Clipping Service Anti Money Laundering 20 Juni 2011
Indeks 1. Bekas Supir Max Mencairkan Cek Senilai Rp 30 Juta 2. Nazaruddin Ancam Buka Rekaman TPF Demokrat 3. Dua Politisi Golkar Terima Divonis 16 Bulan Bui Paskah Suzetta masih pikir-pikir atas vonis 16 bulan penjara 4. Gubernur Soekarwo izinkan Polisi Periksa Kasus Ketua DPRD Surabaya 5. Peminjaman Dana ke Deltras Dipaksa Dirut PDAM Sidoarjo 6. Korupsi, Mantan Dirut PD Flobamor Ditahan 7. Kasus Cek Pelawat
Meski tidak akui, Baharudin diganjar hukuman sama
Epaper.korantempo.com Senin, 20 Juni 2011
Bekas sopir Max mencairkan cek senilai Rp 30 juta. JAKARTA -Setelah Angelina Sondakh dan Muhammad Nazaruddin, satu lagi politikus Partai Demokrat menjadi sorotan, yakni Max Sopacua. Kemarin Firman Wijaya, pengacara terpidana kasus pengadaan alat roentgen, Syafii Muhammad, mengungkapkan kembali keterlibatan mantan presenter itu. Dia juga
mempertanyakan kesungguhan Komisi Pemberantasan Korupsi membongkar kasus korupsi itu.
“Saya tidak melihat keseriusan KPK menuntaskan kasus ini. Terlihat sekali penanganannya tidak transparan,“ kata Firman kemarin.
Sebelumnya, pengadilan menjatuhkan vonis tiga tahun penjara untuk Sekretaris
Jenderal Departemen Kesehatan Syafii Muhammad. Syafii terbukti menerima cek
pelawat Rp 8,98 miliar dari Budiarto Maliang, komisaris perusahaan rekanan proyek Departemen Kesehatan.
Dalam surat dakwaan untuk Syafii, jaksa menyebutkan duit ini ternyata juga mengalir ke tiga anggota Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009,
Max Sopacua dan kawan-kawan. Max disebut menerima Rp 45 juta, sementara dua
rekannya menerima Rp 35 juta dan Rp 90 juta.“Penerimaan itu jelas dan riil. Bahkan
uang yang didapat Max digunakan anaknya untuk membeli mobil Honda CR-V,“ujar Firman.
Dana itu diduga diberikan dalam bentuk cek perjalanan. Dalam dokumen yang
didapat Tempo, Heru Wahyudi, bekas sopir Max, mencairkan enam cek Mandiri (Mandiri Traveler's Cheque) dengan nilai Rp 30 juta.
Andi Priyatna, Manajer Keuangan PT Handi Jaya, dealer mobil Honda, dalam sidang mengakui menerima tiga cek sebesar Rp 15 juta dari Max.
Pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi mengatakan sedang mempertimbangkan untuk menindaklanjuti dugaan keterlibatan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Max Sopacua dalam kasus itu.“Yang jelas kalau ada informasi yang lain di persidangan pasti itu jadi perhatian kami,“ujar Wakil Ketua KPK Haryono Umar kemarin.
Max hingga kemarin tak bisa dimintai konfirmasi. Ponselnya tak aktif. Tapi
sebelumnya dia membantah, “Saya tak pernah menerima sesuatu dari terdakwa.“ Pengamat politik Universitas Indonesia, Arbi Sanit, mengatakan Partai Demokrat harus berani membuka semua borok kadernya. Simpang-siur sejumlah kasus
korupsi yang menerpa politikusnya mempengaruhi citra partai pada Pemilihan Umum 2014.
“Tinggal dua tahun lagi, kalau tidak sekarang mulai merombak tidak ada waktu lagi.“ ISMA SAVITRI | EKO ARI WIBOWO
Vivanews.com
Minggu, 19 Juni 2011 Nazaruddin Ancam Buka Rekaman TPF Demokrat
"Saya enggak mau nanti mereka di cap politisi bohong oleh masyarakat dan media."
VIVAnews - Lagi, dari negeri seberang Muhammad Nazaruddin menebar ancaman
kepada Partai Demokrat. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat meminta agar koleganya di Partai Demokrat jujur soal suap Seskemenpora.
"Kontak sekarang ke Pak Ruhut (Sitompul) dan Pak Max (Sopacua), karena saya minta mereka jujur jangan bohong tentang apa yang disampaikan Angelina ( Sondakh) dan Mirwan Amir waktu ketemu di ruangan ketua fraksi dengan tim TPF (Tim Pencari
Fakta)," kata Nazaruddin dalam Blackberry Messenger yang diterima VIVAnews.com,
Minggu, 19 Juni 2011.
Nazaruddin mengancam, jika kedua koleganya itu tidak berkata jujur, maka dia akan membuka persoalan yang sebenarnya ke publik. "Karena kalau mereka bohong
percuma rekaman pertemuan itu akan saya buka. Saya nggak mau nanti mereka di cap politisi bohong oleh masyarakat dan media," tegas Nazaruddin.
Selain meminta jujur kepada Max dan Ruhut, Nazaruddin juga meminta dua kolega lainnya Benny K Harman dan Ja'far Hafsah. "Kalau Pak Benny dan Pak jafar saya
telepon jangan bohong, kalau ditanya ke media dia jawab. Mereka kalau sama media tidak mau mengiyakan dan mentidakkan ucapan saya karena tidak mau partai
berpolemik di media. Tetapi kalau dipanggil KPK mereka sampaikan sesuai yang di sampaikan Mirwan Amir dan Angelina," beber Nazaruddin.
Pekan lalu, Max mengakui dirinya ikut dalam rapat TPF yang meminta keterangan Angelina Sondakh dan Muhammad Nazaruddin. Namun, Max mengaku tidak tahu
bahwa dalam rapat itu Angie mengaku menerima dana dari I Wayan Koster, seperti yang dituduhkan Nazaruddin.
"Memang saya hadir di awal-awal dalam rapat itu," kata Max. Dalam rapat itu yang didengar keterangannya adalah Angelina dan Mirwan Amir.
Tapi Max mengaku tidak mendengar keterangan Angelina, sebagaimana yang
dituduhkan Nazaruddin. "Rapat itu di ruang ketua fraksi PD. Kebetulan saya ada dan diundang sebagai wakil ketua umum . Tapi pembicaraan belum sampai disitu saya sudah pulang," tegas Max. Baca selengkapnya bantahan Max di sini. Sebelumnya, Nazaruddin membeberkan bahwa Angelina Sondakh pernah mengakui menerima uang dari Wayan Koster. Pengakuan itu, kata Nazaruddin, disampaikan Angelina saat diinterogasi Tim Pencari Fakta Demokrat.
Nazaruddin menyebutkan bahwa pertemuan TPF itu dihadiri Ketua Fraksi Partai
Demokrat Jafar Hafsah, Max Sopacua, Ruhut Sitompul, Benny K Harman, Edi
Sitanggang. "Dan setelah itu Marwan Amir yang terima uang, dia jelaskan uang itu ke mana saja," tulisnya. (sj) Vivanews.com
Jumat, 17 Juni 2011 2 Politisi Golkar Terima Divonis 16 Bulan Bui
Paskah Suzetta masih pikir-pikir atas vonis 16 bulan penjara. VIVAnews - Dua politisi Partai Golkar, Bobby Suhardiman dan Anthony Zeidra Abidin menerima vonis 16 bulan penjara yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
"Demi kepastian dan masa depan keluarga, saya menerima," kata Bobby Suhardiman, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat 17 Juni 2011.
Hal senada juga diungkapkan oleh kolega Bobby, Anthony Zeidra Abidin. Dia juga menyatakan menerima putusan yang dijatuhkan majelis hakim. "Apabila majelis
hakim berpendapat saya menerima uang dari Hamka Yandhu, walau saya anggap itu bantuan, saya akan menerima dengan ikhlas," kata Anthony yang juga pernah dipidana karena menerima suap dana YPPI.
Sebelumnya, ketua majelis hakim menjatuhkan vonis 16 bulan penjara kepada 10 politisi Golkar termasuk Bobby dan Anthony.
Sementara itu, delapan politisi lainnya, yang disidang secara terpisah menyatakan pikir-pikir dengan vonis yang dijatuhkan hakim tersebut.
Terdakwa kasus cek pelawat lainnya, Paskah Suzetta, mengatakan ada ketidakadilan karena belum ada pemeriksaan terlebih dahulu kepada pemberi suap. Dia menilai, tidak ada kesamaan dalam hukum dalam kasus tersebut. "Itu merupakan ketidak adilaan yang nyata, itu alasan kami meminta pikir-pikir," kata Paskah. (art)
Tempointeraktif.com Jumat, 17 Juni 2011
Gubernur Soekarwo Izinkan Polisi Periksa Kasus Korupsi Ketua DPRD Surabaya TEMPO Interaktif, Surabaya - Gubernur Jawa Timur yang juga Ketua DPD Partai
Demokrat Jawa Timur Soekarwo mempersilahkan penegak hukum mengusut dugaan
korupsi dana Bimbingan Teknis (Bintek) DPRD Surabaya yang melibatkan Ketua DPRD Surabaya dari Partai Demokrat Wisnu Wardhana.
Bahkan, Jum'at 17 Juni 2011 ini, Soekarwo mengaku telah menandatangani surat permintaan izin dari Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya untuk
memeriksa Wisnu dalam kasus dugaan korupsi senilai Rp 2,7 Miliar pada tahun 2010
lalu itu.
"Semua yang melanggar hukum harus ditindak," kata Soekarwo. "Pagi tadi saya
sudah tandatangani (surat izin permintaan pemerikasan dari Polrestabes Surabaya)," ujarnya lebih lanjut.
Siapapun, termasuk Wisnu Wardhana, kata Soekarwo, tidak kebal hukum dan jika melanggar harus taat pada perundang-undangan yang berlaku.
Itu sebabnya, Soekarwo meminta Wisnu untuk menghormati hukum dan tidak menghalang-halangi kepolisian melakukan pemeriksaan. Wisnu juga harus
memberikan izin kepada polisi yang akan menggeledah ruang kerjanya di DPRD Kota Surabaya. "Semua harus tunduk, tidak ada yang istimewa," ucap Soekarwo.
Kasus yang saat ini ditangani PolrestabesSurabaya sempat terkendala karena Wisnu Wardhana menolak ruang kerjanya digeledah polisi. Padahal, pihak
PolrestabesSurabaya sudah mendapat ijin penggeledahan dan ijin penyitaan dari Pengadilan Negeri Surabaya.
Wisnu beralasan, ruang kerjanya adalah bagian dari simbol negara yang tidak bisa diacak-acak seenaknya saja. Bahkan Wisnu menilai penggeledahan yang akan dilakukan di ruangannya adalah bentuk pelecehan terhadap rumah rakyat.
Dengan telah turunnya surat izin dari Gubernur ini, Soekarwo minta polisi tidak ragu lagi untuk memproses Wisnu termasuk juga melakukan penggeledahan di ruang kerjanya.
Secara terpisah, Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi Jawa Timur Supriyanto mengatakan, surat yang telah ditandatangani oleh Soekarwo itu juga sudah
diserahkan kepada Polisi pada hari ini juga. "Suratnya kami terima kemarin dan hari ini juga Pak Gubernur sudah bubuhkan tandatangan," ucap Supriyanto. FATKHURROHMAN TAUFIQ
Tempointeraktif.com Jumat, 17 Juni 2011
Peminjaman Dana ke Deltras Dipaksa Dirut PDAM Sidoarjo
TEMPO Interaktif, Sidoarjo - Penyidik Kejaksaan Negeri Sidoarjo, Jawa Timur, Jum’at, 17 Juni 2011, melanjutkan pemeriksaan kasus korupsi berkaitan dengan
peminjaman dana Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM) Sidoarjo kepada klub sepak bola Deltras Sidoarjo senilai Rp 3 miliar.
Dua orang diperiksa sebagai saksi, yakni anggota direksi PDAM Sidoarjo, Abdul Basith Lao dan Iwan Prasetya. Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Sidoarjo Irwan Setiawan di sela-sela pemeriksaan menjelaskan, Abdul Basith Lao dan Iwan Prasetya mengaku dipaksa Direktur Utama PDAM Sidoarjo, Djajadi, menandatangani nota kesepahaman peminjaman dana tersebut.
"Keduanya tandatangan setelah dipaksa Direktur Utama," kata Irwan. Menurut Irwan, Abdul Basith Lao dan Iwan Prasetya diperiksa seputar tanggung
jawab dan mekanisme penyaluran dana pinjaman tersebut. Dalam pemeriksaan sebelumnya, keduanya mangkir tak menghadiri panggilan jaksa penyidik.
Basith yang menggunakan batik berwarna kuning kecoklatan dan Iwan memakai
batik berwarna merah tiba hampir bersamaan di ruang penyidik. Keduanya hadir didampingi kuasa hukum masing-masing.
Dari pemeriksaan Abdul Basith Lao dan Iwan Prasetya, kata Irwan, modus
penyelewengan dana PDAM Sidoarjo semakin terang benderang. Aapalagi keduanya membantah keterangan Djajadi yang menyebutkan pembahasan dana pinjaman dilakukan dalam rapat direksi 13 Agustus 2010. "Mereka mengaku tak hadir. Rapat direksi fiktif," ujar Irwan pula. Keterangan Abdul Basith Lao dan Iwan Prasetya selanjutnya akan dikonfrontir kepada sejumlah saksi lain yang segera menyusul diperiksa.
Usai pemeriksaan, Abdul Basith Lao dan Iwan Prasetya menolak memberikan
penjelasan kepada wartawan, dan langsung meninggalkan ruang penyidik Kejaksaan Negeri Sidoarjo.
Dalam kasus ini, penyidik telah menetapkan Djajadi dan Penanggung Jawa klub Deltras Sidoarjo Vigit Waluyo sebagai tersangka..
Peran Djajadi dan Vigit Waluyo tertuang dalam suratperjanjian utang piutang
tersebut. Penetapan keduanya sebagai tersangka, menurut Irwan, telah melalui
kajian mendalam setelah memintai keterangan sejumlah saksi dan mengumpulkan barang bukti.
Dalam pemeriksaan sebelumnya, bekas Bupati Sidoarjo Win Hendrarso membantah memerintahkan penyaluran dana pinjaman PDAM ke klub Deltras Sidoarjo. Ia juga mengaku tak tahu menahu mengenai pinjaman dana tersebut. "Saya tak pernah menyuruh pinjam dana ke PDAM," ucap Win.
EKO WIDIANTO
Mediaindonesia.com
Jumat, 17 Jumat 2011 Korupsi, Mantan Dirut PD Flobamor Ditahan KUPANG--MICOM: Penyidik Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur, Jumat (17/6), kembali menahan satu lagi mantan Direktur Utama Perusahan Daerah Flobamor
Frans Rihi dalam kasus dugaan korupsi dana operasional KM Pulau Sabu senilai Rp7 miliar.
Tersangka yang juga mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur itu ditahan di rumah tahanan Kupang setelah menjalani pemeriksaan selama sekitar empat jam di Kejaksaan Tinggi NTT.
Kepala Seksi Penyuluhan Hukum dan Humas Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur Muib mengatakan, penahanan tersangka itu untuk kepentingan kelancaran proses
penyidikan kasus dugaan korupsi di perusahan daerah milik pemerintah Provinsi NTT itu.
Muib yang juga penyidik kasus dugaan korupsi dana operasional Km Pulau Sabu itu menambahkan, tersangka akan menjalani penahanan selama 20 hari dan akan diperpanjang jika dibutuhkan.
Frans Rihi adalah mantan Kepala Biro Ekonomi Setda NTT yang pada 2006 sempat menjabat sebagai PLT Direktur Utama PD Flobamor dan ikut menandatangani laporan pengelolaan dana operasional KM Pulau Sabu pada 2006.
Frans Rihi yang kini menjabat sebagai staf ahli di Setda Provinsi NTT itu ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Kejaksaan Tinggi NTT pada Mei lalu. (Ant/OL-5) Mediaindonesia.com Jumat, 17 Juni 2011 Kasus Cek Pelawat Meski tidak Akui, Baharudin Diganjar Hukuman Sama JAKARTA--MICOM: Meski tak mengakui perbuatannya, politikus Partai Golkar
Baharudin Aritonang tetap diganjar hukuman yang sama dengan empat rekannya lainnya yaitu selama 1 tahun 4 bulan pidana penjara.
Ia menjalani persidangan kasus dugaan suap pemilihan Miranda S. Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia bersama Asep Ruchimat Sudjana, Teuku Muhammad Nurlif, Reza Kamarullah, dan Hengky Baramuli.
Meski memutuskan hukuman yang sama dengan tersangka lainnya, tetapi dalam
pertimbangan, majelis hakim sempat menolak keterangan Baharudin Aritonang yang menyangkal keterangan saksi Hamka dan Kuntadi bahwa ia tidak menerima cek perjalanan. Hakim Eka Budhi Prijatna menganggap terdakwa tidak bisa karena bantahan tersebut tidak dapat dibuktikannya.
"Dalil sangkalan tidak dibuktikan lebih jauh oleh terdakwa. Tidak memaparkan bukti-bukti yang cukup kuat untuk mematahkan. Majelis hakim berpendapat
terdakwa Baharudin pantas dikesampingkan," kata hakim Eka saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor, Jumat (17/6). Namun kemudian dalam putusan, kelima terdakwa kasus cek perjalanan itu tetap diganjar hukuman yang sama yaitu pidana penjara selama 1 tahun 4 bulan dan denda sebesar Rp50 juta subsidair 3 bulan kurungan.
Terkait hal itu, jaksa penuntut umum akan menjadikan putusan tersebut sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk mengajukan banding atau tidak.
Sebelumnya, dalam tuntutan jaksa, majelis hakim diminta untuk menjatuhkan pidana penjara terhadap Baharudin Aritonang dengan hukuman yang lebih berat daripada keempat rekannya. Jaksa menganggap mantan politikus Senanyan itu tidak
mengakui perbuatannya yang telah menerima tiga lembar cek senilai Rp150 juta pascaterpilihnya Miranda S. Goeltom sebagai DGS BI. (*/OL-5)
Humas PPATK
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Centre (INTRAC) (P) +62-21-3850455/3853922 (F) +62-21-3856809/3856826 (E)
[email protected]
DISCLAIMER: Informasi ini diambil dari media massa dan sumber informasi lainnya dan
digunakan
khusus
untuk
PPATK
dan
pihak-pihak
yang
memerlukannya. PPATK tidak bertanggungjawab terhadap isi dan pernyataan yang disampaikan dalam informasi yang berasal dari media massa.