ANALISIS TEMA PEREBUTAN KEKUASAAN DALAM NOVEL GAJAH MADA: TAHTA DAN ANGKARA KARYA LANGIT KRESNA HARIADI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh: Adinda Putri Nursyahrifah 109013000091
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015
LEMBAR PENGESAHAN REFLEKSI TEMA PEREBUTAII KEKUASAAII DALAM NOYEL GATAII
MADA: TAIITA DAN ANGKARA KARYA LANGIT KRESNA HARIADI DAN IMPLIKASIIYYA TERIIADAP PEMBALAJARAN SASTRA IhIDOIYESIA DI SMA
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (S. Pd)
Oleh
ADINDA PUTRI NURSYARIF'AII NIM.
109013000091
Di bawahbimbingan Dosen Pembimbing,
t2 t99703 2 001
JURUSA]\ PEIYDIDIKAII BAHASA DAN SASTRA INDONESIA F'AKTJLTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF' HII}AYATULLAH JAKARTA
20tst20t6
KEMBNTERIAN AGAMA UIN JAKARTA
No.
.Il- 1r. H. Jtanda No 95 Cipulal 15112
Terbit No. Rerisi:
FORM (FR)
FITK
Dokumen
Tgl.
ltulotpsia
:
FITK-FR-AKD-089
: I Maret 2010 : 0l
Hal
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah
Nama
.
ini,
Adinda Putri Nursyarif'ah
Tempat/Tgl.Lahir
Tangerang/ 19 Novernber 1991
NIM
109013000091
Jurusan / Prodi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Judul Slaipsi
Refleksi Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajali
Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA Dosen Pembimbing
: l. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA,M.Pd 2. ..............
dengan
ini menyatakan bahwa skripsi yang
saya buat benar-benar hasil karya sendiri
dansayabertanggung jawab se€ara akademis atas apa yang saya tulis.
Pemyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
Iakarta, I 2 Oktober 201 5 Mahasiswa Ybs.
Adinda Putri Nursyarifah NrM. 109013000091
LEMBAR PENGESAIIAN UJIAII MTJNAQASAII Skripsi berjudul "Refleksi Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara KaryaLangit Kresna Hariadi dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA" di ajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah padatanggal 25 November 2015 di hadapan dewan penguji. Oleh karena itu, peneliti berhak memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd) dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Jakarta 25 November 2015
Panitia Ujian Munaqasah
Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi)
Tanggal
'%,tN
Makyun Subuki. M.IIU+ NrP. 19800305 200901 I 015 Sekretaris Panitia (Sekretaris Jurusan/Prodi)
tl/,
W
Tanda Tangan
r:otL
Donna Aii Putra. M. A. NIP. 19840409201101 I 015
1n
Penguji I
Ilindun. M.Pd NIP. 19701215 2009122 001 Penguji
II
Achmad Bahtiar. M. Hum 197601 18 200912 I 001 I{engetahui
NIP.
195
r0E
ABSTRAK
Adinda Putri Nursyahrifah (109013000091). Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul Skripsi, “Refleksi Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”. Pembimbing: Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA., M.Pd Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tema perebutan kekuasaan dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan metode analisis isi. Metode analisis isi digunakan untuk menelaah isi dari novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi. Penelitian ini mendiskripsikan apa yang menjadi masalah, kemudian menganalisis dan menafsirkan data yang ada. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik pustaka, pencatatan data, dan analisis. Hasil penelitian ini menguraikan masalah perebutan kekuasaan antara pihak keluarga suami Sekar Kedaton Sri Gitarja dengan keluarga suami Dyah Wiyat. Hasil dalam penelitian ini dapat ditemukan bahwa dalam perebutan kekuasaan itu disebabkan sistem monarki turun-temurun yang dalam kasus ini pewaris tahtanya adalah perempuan yang terikat oleh aturan keterpatuhan dengan suami walaupun derajatnya lebih rendah dan di balik para suami terdapat pihak-pihak yang hendak mengambil keuntungan pribadi dari tahta tersebut sehingga melakukan cara-cara seperti sabotase, pembunuhan, percobaan pembunuhan, penculikan, sampai kudeta untuk mendapatkan kekuasaan. Tema perebutan kekuasaan dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara ini, dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah, dalam aspek meneliti. Dalam pembelajaran ini, kompetensi yang harus dicapai peserta didik ialah menganalisis teks novel baik secara lisan maupun tulisan, dengan menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel serta menemukan tema yang terkandung dalam novel.
Kata Kunci: tematik, Gajah Mada: Tahta dan Agkara, Langit Kresna Hariadi
i
ABSTRACT
Adinda Putri Nursyahrifah (109013000091). Indonesian and Literature Education Department, Faculty of Tarbiya' and Teachers' Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Paper’s Title, “Refleksi Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”. Supervisor: Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA., M.Pd The goal of this research is to describe the theme of the struggle for power in novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA. The metode that writer used in this research is qualitative descriptive study with content analysis method. This content analysis methode is used for exam the content from novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara by Langit Kresna Hariadi. This research describe what become the problem, than analyze and interpret existing data. Data collection technique in this study is use technique library, data writer, and anlysis. This result of this research is to deciper the problem of the strugle of power between the family of Sekar Kedaton Sri Gitarja husband’s with the family of Dyah Wiyat husband’s. Result from this research can found that the strugle of power is cause by the downhill monarky system that in this case heir to the throne is women that bound by the rules compliance with her husband altough his level is lower and behind the husband there is a side that take advantage personal from the throne so do the bad thing, such as sabotage, murder, attempted murder, kidnaping, until a coup to get the throne. The theme of power struggle in novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara ini, can implicated againts the learning of Language and Indonesia lecture in school, in aspect of research. In this study the competence that must achieved by learnes is analyze the text in novel orally or written, to explain the instrinsic elements in this novel and faind a theme that contained in the novel. Keyword: thematic, Gajah Mada: Tahta dan Agkara, Langit Kresna Hariadi
ii
KATA PENGANTAR
Terimakasih ya Allah ya Rabbal aalamin, atas karunia, syafaat dan kasih sayang-Mu untuk peneliti. Terima kasih ya Rasulullah atas suri tauladan-mu, salawat dan salam tak lupa peneliti haturkan kepada-mu, keluarga-mu, sahabatsahabat-mu, serta umat-mu. Alhamdulillah, syarat terakhir untuk memperoleh gelar sarjana pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta telah rampung terselesaikan. Adapun skripsi ini peneliti beri judul: Refleksi Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA. Dalam penelitan ini, awalnya peneliti dihinggapi perasaan ragu-ragu untuk melakukan penelitian. Keraguan tersebut sering kali melahirkan sikap pesimis dan acuh tak acuh mengingat keterbatasan peneliti dalam menganalisis novel serta keterbatasan sumber data bacaan. Akhirnya keraguan tersebut hilang berkat dukungan dan doa dari berbagai pihak yang sangat bermanfaat bagi peneliti. Oleh karena itu, peneliti menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Makyun Subuki, M. Hum. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang selalu mengerti akan keadaan mahasiswanya, serta memberikan motivasi dan doa. 3. Dona Aji Putra, M.A. selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia,
yang
selalu
memberikan
senyuman
terhadap
mahasiswanya. 4. Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd. selaku Penasihat Akademik dan Dosen Pembimbing yang selalu memberikan keceriaan, kesabaran, dan kelembutan dalam mengajarnya, serta motivasinya.
iii
5. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, khususnya Ibu Rosida Erowati, M. Hum., terima kasih peneliti ucapkan, karna telah membekali peneliti dengan berbagai ilmu yang bermanfaat. 6. Keluarga peneliti, Ayahanda terhormat (alm) R. H. Moch Sjah Marzuki dan Ibunda tercinta Hj. Nurwati, S.Pd yang tak pernah putus mendoakan dan membimbing peneliti. Ucapan terima kasih tak akan pernah cukup untuk menebus setiap tetes keringatnya, derai air matanya, nasihat-nasihat yang selalu terngiang di telinga agar peneliti mendapatkan apa yang ingin dicapai; Kedua kakakku tersayang: R. Fabriansjah Marzuki yang dengan ikhlas berusaha sekuat tenaga menjadi kepala rumah tangga, mejaga mama dan kedua adiknya dalam usia yang sangat muda; R. Ilham Zulhelmisjah Marzuki, yang kalau dekat bertengkar kalau jauh dirindukan. Kakak iparku yang cantik, Niar Daniar, yang telah bersedia menerima peneliti menjadi adik iparnya. Dan untuk jagoan kecil peneliti, keponakan bibi tersayang, Alarik Arkananta Marzuki, perwujudan nyata keindahan Allah dimuka bumi. 7. Keluarga besar (alm) R.H. Oemar Marzuki bin Marzuki, terima kasih telah mewarisi darah Marzuki kepada peneliti. Darah yang kuat dan menggebugebu. Keluarga besar (alm) H. Niman bin Sabin: (alm) kakek, nenekku semata wayang, uwa Sumi, Uwa Acung, Bibi Yanah yang telah menyumbangkan waktunya untuk merawat peneliti di waktu kecil, Om Jaya si tangan besi pelindung para perempuan di keluarga, Bibi Ibeh yang telah membawa keceriaan di dalam keluarga dengan keceplasceplosannya, Mami Nana yang ikut merawat peneliti saat kecil dan sebagai teman bercerita yang baik, Bibi Enong yang suka bagi-bagi info fashion online. 8. Al Mukarom Muhammad Ahmad Ram, guru peneliti yang dengan sabar memberikan arahan kepada peneliti untuk menjadi hamba Allah swt yang baik.
iv
9. Rangga Akhirudin, yang telah membantu peneliti siang dan malam mencari referensi penelitian dan sebagai teman berdiskusi peneliti dalam menyelesaikan penelitian. 10. Teman seperjuangan masa kuliah PBSI kelas C; terutama Lenjee: Sasya, Reni, Uci, Agnis yang telah menjadi teman suka duka di dalam dan di luar kampus sampai sekarang. Serta tak lupa semua teman-teman PBSI angkatan 2009. 11. Teman-teman Big Friends: Tarra, Ratih, Anggi, Mbayu, Nurina, Adit. Yang sejak SMA sampai sekarang terus menjaga silahturahmi, berkumpul bersama dengan peneliti. 12. Pimpinan dan karyawan perpustakaan FITK dan UIN Jakarta, yang telah memberikan kemudahan bagi peneliti dalam memperoleh bahan ataupun informasi. 13. Pimpinan dan karyawan perpustakaan Universitas dan non-Universitas lain yang telah membantu peneliti mendapatkan bahan referensi untuk penelitian. 14. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis menyelesaikan skripsi ini, semoga mendapatkan balasan dari Allah SWT. Peneliti menyadari bahwa dalam penyelasaian skripsi ini, masih terdapat banyak kekurangan sehingga jauh dari kesempurnaan, karena peneliti hanyalah manusia biasa. Serta tersirat sekelumit harapan, kehadiran skripsi ini dapat menyumbangkan sesuatu yang bermakna bagi dunia kesusastraan.
Jakarta, 12 Oktober 2015
Adinda Putri Nursyarifah
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH ABSTRAK .................................................................................................i ABSTRACT ..............................................................................................ii KATA PENGANTAR .............................................................................iii DAFTAR ISI ............................................................................................vi BAB I
PENDAHULUAN ............................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1 B. Identifikasi Masalah ...................................................... 5 C. Pembatasan Masalah…………………………………5 D. Rumusan Masalah ........................................................ 5 E. Tujuan Penelitian ......................................................... 6 F. Manfaat Penelitian ....................................................... 6 G. Metode Penelitian ....................................................... 7
BAB II
KAJIAN TEORI ............................................................... 12 A. Hakikat Novel .............................................................. 12 B. Hakikat Pendekatan Objektif ............................... ........ 13 C. Hakikat Unsur-unsur Intrinsik .............................. ....... 15 1. Pengertian Unsur-unsur Intrinsik ........................... 15 2. Tema ....................................................................... 16 3. Plot ......................................................................... 16 4. Perwatakan ............................................................. 18 5. Latar ...................................................................... 18 6. Sudut Pandang ........................................................ 19 7. Gaya Penceritaan ..................................................... 20 D. Hakikat Tema ............................................................... 21 vi
1. Pengertian Tema ...................................................... 21 2. Penggolongan Tema ................................................ 23 E. Hakikat Negara Monarki .............................................. 25 1. Pengertian Negara Monarki ..................................... 25 2. Jenis-jenis Pemerintahan Monarki ........................... 27 F. Hakikat Kekuasaan ....................................................... 28 1. Pengertian Kekuasaan .............................................. 28 2. Dimensi-dimensi Kekuasaan ................................... 29 3. Sumber Kekuasaan .................................................. 31 G. Pengajaran Sastra di Sekolah .........................................33 H. Penelitian yang Relevan ............................................... 34
BAB III
TINJAUAN NOVEL GAJAH MADA: TAHTA DAN ANGKARA ................................................................ 36 A. Sinopsis ......................................................................... 36 B. Biografi Pengarang ....................................................... 39 C. Pandangan Hidup ......................................................... 43
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN ............... 45 A. Kajian Unsur Intrinsik Novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi .................. 45 1. Tema ....................................................................... 45 2. Plot ... .......................................................................46 3. Perwatakan................................................................55 4. Latar ......................................................................... 73 5. Sudut Pandang .......................................................77 6. Gaya Bahasa .............................................................78 B. Analisis Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi..... ....................... .............................................. 82 C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran
vii
Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah ........................95
BAB V
PENUTUP ......................................................................... 97 A. Simpulan ...................................................................... 97 B. Saran ............................................................................. 98
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………................99 LAMPIRAN-LAMPIRAN LEMBAR UJI REFERENSI DAFTAR RIWAYAT HIDUP
viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan refleksi kebudayaan masyarakat, yang sastrawan tuangkan dalam bentuk tulisan. Kita tidak bisa memungkiri bagaimana sebuah karya sastra bisa begitu menyentuh sisi sensitif pembaca, karena karya sastra bisa menjadi refleksi dari pengalaman yang pembaca alami. Kita bisa mengetahui bagaimana fenomena hidup di sekeliling kita yang sebelumnya tidak kita tahu atau sadari dengan karya sastra. Sebagai refleksi sosial budaya yang dimatangkan oleh ideologi pengarang, para kritikus sastra mulai menganalisis segala hal di balik karya sastra tersebut. Salah satu bentuk karya sastra, novel, merupakan prosa yang mampu memberikan penggambaran keseluruhan cerita secara lebih detail daripada cerpen, sehingga analisisnya dapat dilakukan lebih mendalam. Gambaran detail novel memberikan paparan mengenai gagasan dan ide pengarang mengenai perkembangan suatu kebudayaan masyarakat pada periode dan wilayah tertentu. Dengan begitu, pembaca lebih mengetahui dan memahami kebudayaan yang diceritakan di dalam novel. Novel memiliki tema, seperti halnya cerpen, namun di dalam novel bisa terdapat beberapa tema, baik itu tema dominan atau tema pendamping, sehingga pembaca tidak terpaku dalam ide cerita yang monoton. Selain itu, novel juga memiliki plot yang lebih kompleks, pembaca dapat mengikuti cerita dari awal hingga akhir. Penggambaran watak di dalam novel juga lebih detail dibandingkan cerpen, sehingga pembaca dapat lebih mengenal karakter tokoh dalam cerita tersebut. Dibandingkan dengan cerpen, novel berlatar belakang lebih banyak daripada cerpen karena didukung plot yang kompleks.
1
2
Era modern ini generasi muda telah lebih mudah menikmati karya sastra khususnya novel memungkinkan penggunaan novel sebagai sarana penunjang
belajar.
Wacana
mengenai
pendidikan
karakter
yang
dicanangkan pemerintah membuka lebar peluang novel masuk sebagai sarana belajar yang mengasah perkembangan afektif peserta didik. Novel dapat dijadikan penghubung pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan berbagai mata pelajaran yang lain, seperti sejarah, agama, sosiologi, fisika, dan sebagainya karena teks yang diceritakan di dalam novel dapat membuka pikiran dan menggugah perasaan peserta didik sehingga memberi kesan yang berbeda dalam pembelajaran. Untuk dapat digunakannya novel sebagai penunjang pembelajaran, kita harus mengerti dan memahami apa yang ada dibalik novel itu sendiri. Dalam menganalisis teks di dalam novel, kita menggunakan pendekatan objektif yakni menganalisis unsur-unsur intrinsik. Unsur-unsur intrinsik terdiri atas tema, plot, perwatakan, latar, sudut pandang, dan gaya penceritaan. Tema adalah ide, makna, atau gagasan dalam sebuah cerita. Tema mendasari berkembangnya jalan cerita di dalam novel. Tanpa tema tokoh tidak dapat memiliki karakter, plot tidak dapat mengalir, latar tidak dapat ditentukan. Tokoh, plot, latar merupakan alat pendistribusian tema ke seluruh bagian cerita. Oleh karena itu, penentuan tema tidak bisa dilakukan dari salah satu unsur saja melainkan hubungan dari seluruh unsur karena tema adalah ide keseluruhan dari cerita di dalam novel. Sebagai contoh, para peserta didik dapat mengkaji tema dari novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi. Langit Kresna Hariadi lahir di Banyuwangi tahun 1959, merupakan anak bungsu dan satu-satunya yang memilih profesi sebagai penulis di antara kakak-kakanya yang berprofesi sebagai tentara. Berdasarkan karyakaryanya, dapat kita lihat bahwa latar belakang itulah yang menyebabkan adanya unsur politik dan militer.
3
Novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara berkisah tentang peristiwa setelah mangkatnya Sri Jayanegara, yakni menentukan siapa yang mengisi dampar selanjutnya menjadi tema yang panas di kalangan istana. Sri Gitarja sebagai kakak tentu saja lebih berhak, namun Dyah Wiyat-lah yang memiliki aura seorang pemimpin. Tapi bukan hal ini yang membuat Gajah Mada kesulitan untuk membantu para permaisuri menentukan siapa ratu selanjutnya, melainkan para suami dan orang-orang di belakang para sekar kedaton. Air mata belum kering menemani kepergian Sri Jayanegara, pembunuhan dan teror menghantui istana Majapahit. Tak hanya itu, isu kudeta menyeruak menyebarkan bau busuk membuat Gajah Mada menyiagakan pasukan khususnya, Bhayangkara, untuk menyelidiki hal tersebut. Cakradara, suami Sri Gitarja menjadi tertuduh pembunuhanpembunuhan yang terjadi di istana. Kudamerta telah memiliki istri ketika menjadi suami Dyah Wiyat. Gajah Mada terus menguak identitas dan kejadian-kejadian yang melibatkan kedua pengeran tersebut. Berkat Gajah Mada dan pasukan Bhayangkara, akhirnya dapat diketahui bahwa Panji Wiradapa, tangan kanan pangeran Kudamerta yang dikabarkan dibunuh, merupakan dalang dari pembunuhan yang terjadi di dalam istana dan rencana kudeta terhadap Kerajaan
Majapahit. Ratu Gayatri akhirnya
memutuskan bahwa Majapahit selanjutnya akan diperintah oleh “Ratu Kembar”. Kejadian yang terjadi di dalam novel memberikan banyak informasi kepada para pembacanya. Walaupun dibumbui oleh fiktif, namun sedikit demi sedikit kita mengetahui apa yang terjadi pada zaman Kerajaan Majapahit. Semua kejadian yang ada di dalam novel merupakan jembatan para pembaca untuk menuju tema dari novel ini. Alur yang tidak terlalu cepat, karakter yang kuat, latar yang detil merupakan beberapa kelebihan Langit Kresna Hariadi membuai para pembacanya. Pengkajian novel di sekolah memiliki tantangan tersendiri. Untuk peserta didik SMA, membaca novel yang berbobot sama beratnya dengan
4
membaca buku pelajaran. Padahal banyak sekali hal-hal yang dapat dipelajari dari novel yang berbobot. Novel juga dapat menghubungkan beberapa pengaplikasian pembelajaran seperti Bahasa Indonesia dengan Sejarah, PKn, dan Fisika. Seperti tema perebutan kekuasaan dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara. Para peserta didik dapat lebih memahami mengenai pemerintahan, politik, dan sejarah Indonesia. Para peserta didik juga bisa mengaplikasikannya dalam menganalisis peristiwa sejarah yang terjadi di Indonesia, seperti peristiwa G30S. Peserta didik juga dapat mengamati jalannya pemerintahan yang sedang berlangsung di Indonesia maupun di luar negeri sehingga peserta didik dapat lebih berperan aktif sebagai warga negara yang baik. Alasan penulis memilih novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi dikarenakan novel ini termasuk novel baru yang memiliki informasi tidak hanya untuk pelajaran Bahasa Indonesia namun juga untuk pelajaran yang lain. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sebenarnya telah memberikan kesempatan penelaahan novel sebagai bahan ajar. Peserta didik yang dituntut lebih aktif, sehingga novel dapat dikaji dengan lebih mendalam dan dapat dijadikan tambahan informasi bagi pelajaran yang lain. Novel ini dianalisis menggunakan teori struktural dan pendekatan teori dasar politik. Teori struktural digunakan untuk menganalisis unsur intrinsik diantaranya, tema, alur, penokohan, gaya bahasa, sudut pandang, dan amanat dengan memusatkan analisisnya pada tema, sedangkan teori politik digunakan untuk menganalisis peristiwa perebutan kekuasaan dan peristiwa konspirasi yang membumbuinya.
5
B. Identifikasi Masalah Permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini melalui pendekatan struktural dan teori dasar politik adalah sebagai berikut: 1.
Rendahnya pemahaman peserta didik dalam menganalisis unsur-unsur intrinsik yang meliputi tema, alur, tokoh, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah.
2.
Kesulitan guru mengatasi hambatan pemahaman peserta didik dalam menganalisis tema karya sastra novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
C. Pembatasan Masalah 1. Unsur intrinsik novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara. 2. Tema perebutan kekuasaan dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara. 3. Implikasinya dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.
D. Rumusan Masalah Dari penjabaran latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang akan diangkat:
Bagaimanakah deskripsi unsur intrinsik novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara.
Bagaimanakah tema perebutan kekuasaan dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara?
Bagaimanakah implikasi novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah?
6
E. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah:
Mendeskripsikan unsur intrinsik yang membangun novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara.
Memahami tema perebutan kekuasaan dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara.
Mengetahui implikasi novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat dari segi teoretis dan praktis. a.
Manfaat teoretis Penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan tentang unsurunsur intrinsik dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara dan sebagai sarana pemahaman peristiwa politik pada masa Kerajaan Majapahit.
b.
Manfaat praktis Penelitian ini dapat mempertajam dan menambah wawasan mengenai karya sastra khususnya novel sejarah. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan menambah wawasan mengenai karya sastra. Sedangkan bagi peneliti sastra diharapkan penelitian ini sebagai referensi penelitian sastra selanjutnya. Adapun untuk peserta didik, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana penunjang pembelajaran, baik mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
7
G. Metode Penelitian 1.
Pendekatan Penelitian Dalam suatu penelitian, pengolahan data dilakukan dengan pendekatan penelitian. Penelitian dalam bidang sastra biasanya menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Ciri-ciri terpenting metode kualitatif sebagai berikut. a. Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural. b. Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga makna selalu berubah. c. Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek peneliti sebagai instrument utama, sehingga terjadi interaksi langsung di antaranya. d. Desain dengan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka. e. Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya masing-masing1. Metode kualitatif mengutamakan bahan yang sukar dapat diukur dengan angka-angka atau dengan ukuran-ukuran lain yang eksak,2 meskipun bahan yang didapat terdapat dalam struktur masyarakat secara nyata. Untuk karya sastra yang proses kreatifnya berdasarkan pada fenomena yang terjadi di dalam masyarakat, namun untuk menelitinya sulit menggunakan tolok ukur karena faktor subjektivitas. Penggunaan metode kualitatif ini ditujukan untuk menganalisis struktur-struktur yang ada di dalam novel secara lebih mendalam. Struktur-struktur tersebut dianalisis kemudian diklasifikasikan sesuai
1
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm., 47-48. 2 Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Depok: UI-Press, 1981), cetakan ketujuh, hlm., 29.
8
dengan
fungsinya
masing-masing.
Metode
ini
memungkinkan
terhubungnya data-data dengan konteks keberadaannya. Metode ini juga menyebabkan penjabaran-penjabaran hasil penelitian ke dalam bentuk deskriptif. Untuk metode deskriptif, penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik. Metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta dan kemudian disusul dengan analisis.3 Seperti yang telah disinggung di atas, data-data yang diambil melalui analisis struktur diklasifikasi kemudian dijabarkan secara mendetil yang merupakan hasil proses pengkajian mendalam. Menurut Vredenbregt, penataan dan deskriptif sistematis dari sejumlah gejala di dalam suatu universum merupakan ciri-ciri khas dari penelitian deskriptif. Yang menjadi masalah dalam suatu penelitian deskriptif adalah menata dan mengklasifikasikan gejalagejala yang hendak dilukiskan oleh peneliti, di mana sebanyak mungkin diusahakan untuk mencapai kesempurnaan atas dasar suatu permasalahan tertentu.4
2.
Objek penelitian Objek penelitian adalah unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel yang di dalamnya tersirat gambar besar mengenai peristiwa yang ada dalam novel tersebut. Objek penelitian dalam penelitian ini adalah Refleksi Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMA.
3
Nyoman Kutha Ratna, op.cit., hlm., 53. Jacob Vredenbregt, Pengantar Metodologi Untuk Ilmu-Ilmu Empiris, (Jakarta:Gramedia, 1985) hal: 52. 4
9
3.
Sumber Data Sumber data primer dari penelitian ini adalah teks dari novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi yang diterbitkan oleh penerbit Tiga Serangkai dan merupakan jilid kedua dari pentalogi Gajah Mada. Data sekunder yang diambil dari peneliti sebagai penunjang data primer yang digunakan dalam penelitian berupa artikel-artikel internet yang berhubungan dengan novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara.
4.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah
teknik
pustaka.
Teknik
pustaka
adalah
teknik
yang
mengumpulkan data-data dari sumber tertulis. Teks-teks yang merupakan penunjang penelitian dicermati oleh peneliti yang kemudian digunakan sebagai alat untuk menganalisis data primer. 5.
Teknik Analisis Data Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik kualitatif. Seperti yang telah dijabarkan di atas kualitatif adalah teknik yang tidak menggunakan angka sebagai penjabaran hasil penelitian yang dilakukan melainkan menggunakan deskripsi data-data. Untuk menganalisis suatu data berupa teks sastra, maka penjabaran data-data saja
tidak
akan
cukup
melaikan
diperlukannya
pemahaman.
Pemahaman dalam penelitian karya sastra biasa digunakan dengan teknik hermeneutika. Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata hermeneuien, bahasa Yunani, yang berarti menafsirkan atau mengintrerpretasikan.5 Karena fungsinya sebagai pemahaman akan suatu bahasa, pada awalnya teknik hemeneutika ini digunakan untuk menafsirkan kitab suci yang berisi bahasa dari Tuhan. Karena media yang digunakan dalam sastra
5
Nyoman Kutha Ratna, op.cit., hlm., 45.
10
adalah bahasa, maka teknik hermeneutika dianggap tepat digunakan sebagai teknik dalam penelitian sastra. Penelitian ini berawal dari mengklasifikasikan teks di dalam novel sesuai dengan unsur-unsur intrinsiknya yaitu tema, plot, tokoh, dan latar. Setelah itu dilakukan teknik hermeneutika yaitu pembacaan teks novel berulang-ulang sehingga dapat dipahami gejala sosial-politik tentang perebutan kekuasaan di dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara.
6.
Prosedur Penelitian Prosedur penelitian yang dilakukan peneliti dapat diuraikan sebagai berikut. a) Pembacaan Data Untuk memperoleh data yang akan dianalisis, peneliti membaca data atau dokumen yang akan dianalisis dalam hal ini cerpen karya Langit Kresna Hariadi, Gajah Mada: Tahta dan Angkara. Sebagai pemerolehan data pertama kali, peneliti membaca keseluruhan novel. b) Reduksi data Setelah pembacaan keseluruhan data atau dokumen, peneliti membaca ulang dokumen tersebut dengan lebih teliti agar dapat menganalisis dokumen tersebut dengan baik. Setelah mereduksi data, permasalahan yang akan dianalisis dari data tersebut diidentifikasi. Kemudian, jika terdapat beberapa data yang ditemukan, kemudian diklasifikasikan, mana data primer untuk dianalisis. Teori-teori yang didapat oleh peneliti digunakan untuk menganalisis data tersebut. Kemudian peneliti mengungkapkan pendapat tentang hasil analisis data, berdasarkan teori-teori yang didapat. Setelah melakukan analisis terhadap data atau dokumen, peneliti menyimpulkan hasil penelitiannya tentang refleksi
11
perebutan kekuasaan dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi.
BAB II KAJIAN TEORI
A. Hakikat Novel 1. Pengertian Novel Karya sastra merupakan hasil dari ideologi dan perasaan pengarang. Dalam menuangkan ide dan perasaannya, pengarang maupun penyair memiliki pertimbangan dalam memilih genre seperti apa yang mewakili diri pengarang dan penyair tersebut. Menurut perkembangannya, jenis sastra dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: jenis sastra lama dan modern.1 Karya sastra terbagi menjadi puisi, prosa, dan drama. Ketiga genre ini bisa terlihat perbedaannya baik dari segi bentuk dan penulisannya, khususnya prosa. Bentuk prosa rekaan modern bisa dibedakan atas roman, novel, novelette,
dan
cerpen.2
Penelitian
ini
akan
memusatkan
pembahasannya pada genre novel. Novel berasal dari bahasa latin novellus yang kemudian diturunkan menjadi noveis yang berarti baru. Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi yang muncul belakangan dibandingkan cerita pendek dan roman3. Walaupun dikatakan lebih baru dari roman, namun banyak pula yang berpendapat bahwa kata novel memiliki pengertian yang sama dengan roman. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia novel adalah karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat tiap pelaku. Penjabaran unsur-unsur intrinsik pada
1
Nyoman Kutha Ratna, Estetika Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm., 173. 2 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm., 140. 3 Herman J. Waluyo, Pengkajian Cerita Fiksi, cetakan kedua, (Surakarta: 1994), hlm., 37.
12
13
novel tidak sekompleks roman. Biasanya novel hanya menceritakan suatu peristiwa tertentu.
B. Hakikat Pendekatan Objektif Pendekatan objektif, yaitu kritik sastra yang sasarannya hanya karya sastra semata tanpa menghubungkannya dengan dimensi-dimensi lain seperti pengarang, pembaca, keadaan masyarakat, dan lain-lain.4 Pendekatan objektif merupakan salah satu dari sekian banyak pendekatan yang dilakukan dalam penelitian sastra. Pendekatan ini justru merupakan pendekatan yang terpenting sekaligus memiliki kaitan yang paling erat dengan teori sastra modern, khususnya teori-teori yang menggunakan konsep dasar struktur5. Kritik sastra dengan pendekatan objektif, memusatkan telaahnya pada segi intrinsik, struktur dalam karya itu saja.6 Menurut Junus, pendekatan objektif adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada karya sastra7. Karena pendekatan ini memusatkan kajiannya pada struktur karya sastra itu sendiri, maka pendekatan ini mengabaikan aspek-aspek ekstrinsik. Oleh karena itulah, pendekatan objektif juga disebut analisis otonomi, analisis egocentric, pembacaan mikroskopi. Pemahaman dipusatkan pada analisis terhadap unsur-unsur dalam dengan mempertimbangkan keterjalinan antarunsur di satu pihak, dan unsur-unsur dengan totalitas di pihak yang lain.8 Pendekatan struktural, sama dengan pada linguistik, adalah salah satu pendekatan kajian kesusastraan yang menitikberatkan pada hubungan antarunsur pembangun karya sastra.9 Teori struktural, teori yang bertolak 4
Atmazaki, Ilmu Sastra: Teori dan Terapan, (
: Angkasa Raya,
), hlm.,
12. 5
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm., 72. 6 Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI PRESS, 2006), hlm., 22. 7 Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm.,183. 8 Nyoman Kutha Ratna, op.cit., hlm., 73 9 Nani Tuloli, Kajian Sastra, (Gorontalo: BMT “Nurul Jannah”, 2000), hlm., 41
14
dari asumsi bahwa karya sastra tersusun dari berbagai unsur yang jalinmenjalin, terstruktur, sehingga tidak ada satu unsur pun yang tidak fungsional dalam keseluruhannya. Maka itu nilai karya sastra ditentukan oleh koherentidaknya unsur-unsur karya tersebut.10 Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan.11 Oleh karena itu, dalam pengkajian struktural tidak cukup hanya mengidentifikasi dan menganalisis unsur-unsur intrinsik secara terpisah, namun juga bagaimana masing-masing unsur itu memiliki keterkaitan dan hubungan satu sama lain sehingga membentuk pemaknaan karya sastra yang maksimal. Analisis struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masingmasing unsur sebagai kesatuan struktural.12 Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semenditel dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.13
C. Hakikat Unsur-unsur Intrinsik 1. Pengertian Unsur-unsur Intrinsik Intrinsik ialah unsur-unsur rohaniah, yang harus diangkat dari isi karya sastra itu mengenai tema dan arti yang tersirat di dalamnya.14 Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri.15 Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat novel berwujud. Atau sebaliknya, jika dilihat dari sudut kita pembaca, unsur-unsur 10
Atmazaki, op.cit., hlm., 10. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), hlm., 37. 12 Maman S. Mahayana, Bermain dengan Cerpen, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm., 244. 13 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm., 135. 1414 P. Suparman Natawidjaja, Apresiasi Sastra dan Budaya, (Jakarta: Intermasa, 1982), hlm., 102. 15 Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hlm., 23. 11
15
(cerita) inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah novel.16 Kajian intrinsik membatasi diri pada karya sastra itu sendiri, tanpa menghubungkan karya sastra dengan dunia di luar karya sastra itu.17 Pembagian unsur intrinsik struktur karya sastra yang tergolong tradisional, adalah pembagian berdasarkan bentuk dan isi—sebuah pembagian dikhotomis yang sebenarnya diterima orang dengan agak keberatan.18 Menurut Burhan walaupaun agak kasar namun pembagian ini tidak mudah dilakukan. Karena tidak memungkinkan untuk mengkaji satu unsur intrinsik tanpa melibatkan unsur-unsur yang lain. Untuk mengkaji unsur tema yang merupakan salah satu unsur isi, tidak akan lepas masalah pemplotan yang merupakan unsur bentuk, dan juga unsur-unsur yang lain.
2. Tema Tema adalah makna yang dapat merangkum semua elemen dalam cerita dengan cara yang paling sederhana.19 Tema sering juga disebut ide atau gagasan yang menduduki tempat utama dalam pikiran pengarang dan sekaligus menduduki tempat utama dalam cerita.20 Setiap aspek cerita turut mendukung kehadiran tema. Oleh karena itu, pengamatan harus dilakukan pada semua hal seperti peristiwaperistiwa, karakter-karakter, atau bahkan objek-objek yang sekilas tampak tidak relevan dengan alur utama.
3. Plot Plot atau alur, kadang-kadang disebut juga jalan cerita, ialah struktur rangkaian kejadian dalam cerita.21 Alur atau plot adalah
16
Ibid. Budi Darma, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2004), hlm., 23 18 Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hlm., 24. 19 Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm., 17
41 20 21
Widjojoko dan Endang Hidayat, op.cit., hlm., 46. Ibid.
16
struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fingsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi.22 Bisa dikatakan bahwa secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuh cerita.23 Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan kea rah klimaks dan selesaikan.24 Menurut Abrams alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.25 Plot dibangun oleh beberapa peristiwa yang biasa disebut alur. Unsurunsur alur ialah: a. Perkenalan; b. Pertikaian; c. Perumitan; d. Klimaks/puncak; e. Peleraian; f. Akhir.26 Sedangkan menurut Aminuddin tahapan-tahapan dalam alur dibagi menjadi pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan penyelesaian. Susunan alur di dalam novel tidak selalu seperti di atas. Beberapa novel banyak di awali oleh alur peleraian dan ada pula cerita yang dimulai dari perumitan. Karena itulah ada laur yang disebut alur maju, alur mundur, dan alur campuran. Berdasarkan kualitas hubungan tiap unsur, maka ada alur longgar dan alur erat. Yang dimaksud dengan alur longgar adalah jika sebagian peristiwanya kita lepaskan (tidak dibaca) tidak mengganggu keutuhan 22 23
M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (___: Angkasa Raya, __), hlm., 43 Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm.,
26 24
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm., 159. Ibid 26 Widjojoko dan Endang Hidayat, op.cit., hlm., 46. 25
17
ceritanya. Sedangkan alur erat, bila sebagian ceritanya kita tinggalkan akan mengganggu keutuhan cerita.27 Pendapat tersebut juga didukung oleh Sudjiman. Sudjiman juga membagi alur atas alur erat (ketat) dan alur longgar. Alur erat adalah jalinan peristiwa yang sangat padu di dalam suatu karya sastra; kalau salah satu peristiwa ditiadakan, keutuhan cerita akan terganggu. Alur longgar adalah jalinan peristiwa yang tidak padu di dalam suatu karya sastra, meniadakan salah satu peristiwa tidak akan mengganggu jalan cerita.28 Sudjiman membagi alur atas alur utama dan alur bawahan. Alur utama merupakan rangkaian peristiwa utama yang menggerakkan jalan cerita. Alur bawahan adalah alur kedua atau tambahan yang disusupkan ke sela-sela bagian-bagian alur utama sebagai variasi.29
4. Perwatakan Perwatakan atau karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tesebut30 Cerita prosa Indonesia memperlihatkan tiga cara penokohan, yaitu: a. Cara analitik; b. Cara dramatik; c. Cara campuran; Cara analitik adalah cara pengarang menjelaskan atau mengisahkan tokohnya secara langsung. Menurut Atar Semi pengarang langsung memparkan tetang watak atau karakter tokoh.
31
Cara dramatik cara
pengarang tidak mengisahkan apa dan siapa tokoh ceritanya secara
27
Ibid, hlm., 47. Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm., 161. 29 Ibid., hlm., 160. 30 Robert Stanton, op.cit., hlm., 33 31 M. Atar Semi, op.cit., hlm., 39 28
18
langsung, tetapi menggunakan hal-hal lain yaitu: a. gambaran tentang tempat atau lingkungan sang tokoh; b. percakapan tokoh itu dengan tokoh yang lain, atau cakapan tokoh lain tentang dia; c. pikiran sang tokoh atau pendapat tokoh-tokoh lain tentang dia; d. perbuatan sang tokoh.32
5. Latar Setting/latar adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk di dalam latar ini ialah tempat atau ruang yang dapat diamati. Termasuk di dalam unsur ini adalah waktu, hari, bulan tahun, musim, atau periode sejarah.33 Stanton juga berpendapat sama bahwa latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.34
6. Sudut Pandang Sudut pandang atau pusat pengisahan adalah posisi dan penempatan diri pengarang dalam ceritanya, atau dari mana ia melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam ceritanya itu.35 Terdapat beberapa jenis sudut pandang:36 a) Pengarang sebagai tokoh cerita, tokoh cerita bercerita tentang keseluruhan kejadian atau peristiwa terutama yang menyangkut diri tokoh. b) Pengarang sebagai tokoh sampingan, orang yang bercerita dalam hal ini adalah seorang tokoh sampingan yang menceritakan peristiwa yang bertalian, terutama dengan tokoh utama cerita.
32
Widjojoko dan Endang Hidayat, op.cit., hlm., 47 Ibid., hlm., 47 34 Robert Stanton, op.cit., hlm., 35 35 M. Atar Semi, op.cit., hlm., 57 36 Ibid. hlm., 57-58. 33
19
c) Pengarang sebagai tokoh ketiga, berada di luar cerita bertindak sebagai pengamat sekaligus sebagai narrator yang menjelaskan peristiwa yang berlangsung serta suasana perasaan dan pikiran para pelaku cerita. d) Pengarang sebagai pemain dan narrator, pemain yang bertindak sebagai pelaku utama cerita, dan sekaligus sebagai narrator yang menceritakan tentang orang lain di samping tentang dirinya. Sudut pandang, antara lain, dapat berfungsi: menentukan tokohmayor (utama dan minor (bawahan), memahami perwatakan para tokoh yang dianalisis, memperlihatkan motivasi, menentukan alur dan latar bila dianggap perlu untuk mendukung perwatakan atau tema, dan menentukan tema karya sastra tersebut.37 Jadi, sudut pandang cerita merupakan salah satu cara untuk mengetahui tema cerita tersebut. Pencerita dapat dibedakan menjadi pencerita “akuan” sertaan dan “akuan” tak sertaan; selain itu ada pula “diaan terbatas” dan “diaan” mahatahu. Pencerita “akuan” digunakan bila pencerita merupakan salah satu tokoh dalam cerita yang dalam menyampaikan cerita mengacu kepada dirinya sendiri dan menggunakan kata “aku”. Penceritaan “diaan”
mahatahu adalah pencerita
yang sangat
mengetahui berbagai perasaan, pikiran, angan-angan, keinginan, niat, dan sebagainya dari si tokoh yang diceritakan. Pencerita “diaan” terbatas adalah pencerita yang hanya memaparkan segalanya yang diamatinya dari luar dan tokohnya pun kadang kala terbatas.38
7. Gaya Penceritaan Gaya penceritaan yang dimaksud di sini adalah tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa.39 Tingkah laku ini dianggap 37
Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm., 92 38 Ibid, hlm., 94-95. 39 M. Atar Semi, op.cit., hlm., 47
20
sangat penting karena menentukan penghantaran cerita kepada pembaca. Karena itu pengarang terus melakukan upaya supaya cerita dapat menggugah pembaca dan larut ke dalam cerita tersebut. Tindakan tersebut adalah: 1) pemilihan materi bahasa, pengarang diharuskan memiliki pembendaharaan bahasa yang mumpuni agar dapat memilih pemakaian kata yang tepat yang bersifat informatif dan komunikatif kepada pembacanya; 2) pemakaian ulasan, untuk menopang gagasan pengarang memberikan ulasan, contoh-contoh dan perbandingan yang kualitas dan kuantitasnya disesuaikan dengan keinginan; 3) pemanfaatan gaya bertutur, menjadi unik karena gaya bertutur setiap individu berbeda.
D. Hakikat Tema 1. Pengertian Tema Tema adalah masalah hakiki manusia40. Pengarang biasanya mengambil tema berdasarkan permasalahan yang terjadi di dunia nyata. Menurut Aminuddin tema adalah ide yang mendasari sautu cerita. Tema berperanan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya41. Theme in fiction is what the author is able to make of the total experience rendered.42 Tema adalah … a ‘central idea’ and those which view it more as a ‘recurrent argument, claim, doctrine, or issue’.43 Jika tema adalah permasalahan, ide, ataupun makna yang ada di dalam suatu novel, maka yang manakah dari permasalahan, ide, dan makna yang menjadi tema di dalam novel itu?
40
Herman J. Waluyo, op.cit., hlm., 141-142. Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm., 161. 42 William Kenney, How to Analyze Fiction, (New York: Monarch Press, 1966) hal: 91 43 Jeremy Hawthorn, Studying the Novel, (Great Britain: Edwadr Arnold, 1985) hal: 61. 41
21
Dalam sebuah cerita rekaan terdapat banyak tema. Karena itu, Marjorie Boulton menyebutkan adanya tema dominan. Yang dapat kita rangkum dalam sebuah cerita rekaan hanyalah adanya tema dominan (sentral) dengan tema (tema-tema) lainnya.44 Menurut Hartoko dan Rahmanto, tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.45. untuk itu dalam menentukan tema kita harus merunutkan motif-motif yang membentuk peristiwa dalam cerita, kemudian menghubungkannya dengan unsurunsur intrinsik yang lain. Hal ini disebabkan karena cakupan tema jauh lebih luas daripada unsur-unsur intrinsik yang lain. Karena itu penentuan tema dalam suatu novel bisa dilakukan jika novel telah dibaca seluruhnya karena tema juga merupakan makna yang ada di dalam novel. Namun, bukan berarti tema merupakan makna tersirat yang ada di dalam cerita. Tema merupakan makna keseluruhan dari cerita karena itu dalam menentukannya harus membaca keseluruhan cerita. Hal ini juga dikarenakan tema sangat bergantung dengan unsur-unsur intrinsic yang lain. Pengarang menggunakan dialog-dialog tokoh-tokohnya, jalan pikirannya, perasaannya, kejadian-kejadian, setting cerita untuk mempertegas atau menyarankan isi temanya. Seluruh unsur cerita menjadi mempunyai
satu arti saja, satu
tujuan. Dan yang
mempersatukan segalanya itu adalah tema.46 Di pihak lain, unsur-unsur tokoh (dan penokohan), plot (dan pemplotan), latar (dan pelataran), dan cerita, dimungkinkan padu dan bermakna jika diikat oleh sebuah tema47. Keempat unsure ini
44
Herman J. Waluyo, op.cit., hlm., 144. Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hlm., 68. 46 Jakob Sumardjo dan Saini K.M., Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 1988) 45
hal: 57. 47
Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hlm., 74.
22
mengemban tugas membawa tema kepada seluruh cerita. Begitu juga dengan jalan cerita itu sendiri. Karena tema tersebar di dalam seluruh cerita, bukan berarti cerita itu sendiri adalah tema. Tema merupakan dasar (umum) cerita, dan cerita disusun dan dikembangkan berdasarkan tema. Tema “mengikat” pengembangan cerita. Atau sebaliknya, cerita yang dikisahkan haruslah mendukung penyampaian tema.48.
2. Penggolongan Tema Menurut Nurgiyantoro, tema dapat digolongkan berdasarkan penggolongan dikhotomis yang bersifat tradisional dan nontradisional, penggolongan menurut Shipley, dan penggolongan dari tingkat keutamaannya. a) Tema Tradisional dan NonTradisional Tema tradisional dimaksudkan untuk tema yang biasa digunakan sejak cerita lama. Menurut Meredith dan Fritzgerald, tema-tema tradisional, walau banyak variasi-variasinya, boleh dikatakan, selalu ada kaitannya dengan masalah kebenaran dan kejahatan49. tema seperti ini tidak hanya berlaku di kesusastraan Indonesia saja melainkan di seluruh dunia, karena tema tradisional disukai oleh masyarakat golongan apapun dan kebudayaan manapun. Misalnya tema-tema yang diangkat adalah kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan, cinta sejati menuntut pengorbanan, dan lain-lain. Novel-novel awal kebangkitan sastra Indonesia modern banyak yang menggunakan tema tradisional, contohnya adalah Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, dan Salah Pilih. Berbeda dengan tema tradisional, tema nontradisional mengangkat tema-tema yang tidak lazim. Karena sifatnya yang 48 49
Ibid., hlm., 76. Ibid. hlm., 77.
23
nontradisional, tema yang demikian mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif yang lain.50 Misalnya tema dengan sifat melawan arus adalah kejujuran yang membawa kehancuran. Contoh novel yang memiliki tema yang melawan arus adalah Kemelut Hidup karya Ramadhan K.H. b) Tingkatan Tema Menurut Shipley Shipley dalam Dictionary of World Literature mengartikan tema sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita51. Shipley membagi tema karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan. Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai molekul, man as molecul. Pada tingkatan ini, tema yang diangkat berkisar tentang aktivitas fisik daripada aktivitas psikologis. Untuk tingkatan ini, unsur intriksik yang menonjol adalah unsur latar. Contoh karya fiksi yang mengangkat tema ini adalah Around the World in Eighty Days karya Julius Verne. Kedua,
tema
tingkat
organik,
manusia
sebagai
protoplasma, man as protoplasm. Untuk tingkatan ini tema yang diangkat berkisar maslah seksualitas. Biasanya masalah seksualitas yang
menyimpang
lebih
menonjol
misalnya
mengenai
perselingkuhan. Contoh karya sastra yang mengangkat tema ini adalah Senja di Jakarta, Tanah Gersang karya Mochtar Lubis. Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socious. Untuk tahapan ini, tema yang diangkat bukan lagi sebatas masalah individu melainkan fenomena yang terjadi di masyarakat. Bagaimana manusia berinteraksi dengan sesama manusia, begitu juga hubungan antara manusia dengan 50 51
ibid. hlm., 79. Ibid, hlm., 80.
24
alam sekitarnya. Contoh karya sastra yang mengangkat tema ini adalah Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari Keempat, tema tingkat egonik, manusia sebagai individu, man as individualism. Pada tahap ini tema yang diangkat merupakan tema tentang reaksi individu dengan fenomena yang ada di sekitarnya. Umumnya tingkatan tema ini lebih bersifat batin dan dirasakan oleh individu yang mengalami. Contoh novel yang mengangkat tema ini adalah Atheis karya Achdiat K. Miharja. Kelima, tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi. Maksud dari makhluk tingkat tinggi ini adalah kedudukan manusia sebagi ciptaan Tuhan yang paling tinggi. Karena itu sifat dari tingkatan ini religiusitas. Contoh novel yang mengangkat tema ini adalah Kemarau karya AA Navis. Menurut Sudjiman tema terbagi atas yang disebutnya tema sampingan, topik, dan tema sentral. Tema sentral adalah gagasan yang dominan atau utama, di mana cerita berpusat. Sedangkan tema sampingan adalah gagasan yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Topik adalah penjabaran dari tema sentral, yang sifatnya lebih konkrit.52 Berdasarkan
sumbernya,
tema
digolongkan
menjadi
beberapa.53 1. Tema berasal dari kejiwaan manusia, yang secara tidak langsung menggambarkan keadaan atau proses atau kejiwaan manusia. 2. Pengalaman pengarang merupakan dunia tersendiri yang menjadi sumber tema cerita. 3. Masalah hidup dan kehidupan manusia.
52 53
Nani Tuloli, Teori Fiksi, (Gorontalo: BMT”Nurul Jannah”, 2000), hal: 47. Ibid. Hal: 43-46.
25
4. Sejarah. Tema sejarah bukan berarti hanya catatan peristiwa sejarah masa lampau, tetapi mengandung berbagai pemahaman tentang manusia. 5. Filsafat. 6. Pendidikan.
E. Hakikat Negara Monarki 1. Pengertian Negara Monarki Monarki merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani monos yang berarti tunggal dan arkien yang berarti memerintah. Jadi dapat dikatakan bahwa negara Monarki adalah bentuk negara yang dalam pemerintahannya hanya dikuasai dan diperintah (yang berhak memerintah) oleh satu orang saja.54 Bentuk-bentuk negara bukanlah persoalan utama yang hendak diketengahkan Machivelli di dalam Il Principe, namun kendati hanya sepintas, ia pun menyinggung soal bentuk-bentuk negara itu. Menurut Machiavelli, ada dua bentuk negara yang paling penting, yaitu: republik dan monarki. Ia mengatakan: Seluruh negara dan dominion yang menguasai atau yang telah menguasai umat manusia berbentuk republik atau monarki.55 Machiavelli mengatakan bahwa ada dua jenis monarki, yaitu: monarki warisan (yang telah lama ada), dan monarki baru. Monarki baru terdiri dari yang sama sekali baru dibentuk dan ada pula yang merupakan suatu penggabungan dari kerajaan yang sama sekali baru atau yang telah ada kepada suatu kerajaan yang telah lama ada. Machiavelli mengatakan: Monarki dapat berupa warisan yang para penguasanya selama bertahun-tahun adalah keturunan dari keluarga yang sama, tetapi 54
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): dmeokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2003), hlm., 58 55 J.H. Rapar, Filsafat Politik: Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm., 412.
26
dapat pula yang baru saja dibentuk. Sedangkan monarki baru dapat berupa monarki yang sama sekali baru... atau merupakan anggota baru yang diokulasikan ke monarki warisan milik sang penguasa yang mencaplok mereka...56 Menurut Jellinek, apabila cara terjadinya pembentukan kemauan negara itu semata-mata secara psikologis atau secara ilmiah, yang terjadi dalam jiwa/badan seseorang dan nampak sebagai kemauan seseorang/individu, maka bentuk negaranya adalah monarchi.57 Sedangkan menurut Mac Iver, monarki ialah pemerintahan oleh satu orang dengan kekuasaan yang sangat luas atau absolut. Pada bentuk monarki ini dikenal dengan sistem pergantian yang bersifat turuntemurun. Di samping itu kita dapati dalam sistem ini suatu tanda bahwa raja dan kerabatnya merupakan suatu lapisan masyarakat yang terpisah dari lainnya, oleh karena raja dan kerabat di sekitarnya mempunyai dan dilengkapi dengan berbagai macam hak yang istimewa (hak preogatif) yang melekat pada diri mereka.58 2. Jenis-jenis Pemerintahan Monarki Pemerintahan monarki terbagi menjadi dua: a) Turun-temurun dan elektif Monarki mungkin saja diklasifikasikan sebagai tahta turuntemurun dan elektif. Monarki secara turun-temurun adalah tipe yang normal. Kebanyakan monarki dahulunya dikenal dengan istilah turun-temurun. Dan kehidupan monarki turun-temurun ini memiliki banyak karakter. Monarki ala turun-temurun mewariskan tahta sesuai dengan peraturan rangkaian pergantian tertentu. Ahli waris laki-laki yang tertua biasanya menjadi raja, menggantikan
56
Ibid. hal: 414-415 Azhary, Ilmu Negara: Pembahasan Buku Prof. Mr. R. Kranenburg, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm., 49-50. 58 Soelistyani Ismali Gani, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Ghalia Indonesia, ---), hlm., 134 57
27
posisi raja atau ayahnya sendiri.59 Kerajaan Majapahit menganut sistem pemerintahan monarki turun-temurun yang biasanya pewaris laki-laki yang mewarisi tahta. Namun, setelah Sri Jayanegara meninggal tanpa memiliki keturunan, maka tahta diwariskan kepada adiknya. Pewarisan tahta ini menjadi konflik ketika pewaris seorang putri bukan pangeran yang suatu saat akan menikah dan patuh terhadap suaminya. Hal ini dikhawatirkan dapat berdampak pada “kemurnian” pemerintahan kerajaan. Rangkaian
pergantian
juga
bisa
ditentukan
dengan
konstitusi atau melalui sebuah aksi legislature.60 Namun bukan hal yang luar biasa jika dari masa ke masa monarki elektif berubah menjadi monarki turun-temurun. b) Monarki Mutlak dan Tebatas Mpnarki juga bisa diklasifikasikan sebagai mutlak dan terbatas. Garner menyatakan monarki mutlak adalah monarki yang benar-benar raja. Kehendaknya adalah hukum dalam merespek segala perkara yang ada. Dia tidak dijilid atau dibatasi oleh apapun kecuali kemauannya sendiri. Di bawah sistem ini negara dan pemerintahan tampak identik.61 Monarki terbatas memiliki kekuatan yang dibatasi oleh konstitusi yang tertulis atau dengan prinsip fundamental yang tak tertulis.62 Jadi, raja hanya sekadar simbol, sedangkan jalannya pemerintahan dipimpin yang lainnya.
59
Jefry Hutagalung, Bentuk Pemerintahan Monarki/Kerajaan (Mei 2009), diakses dari https://jefryhutagalung.wordpress.com/2009/05/04/bentuk-pemerintahan-monarkikerajaan/ 60 Ibid 61 Ibid 62 Ibid
28
F. Hakikat Kekuasaan 1. Pengertian Kekuasaan Kekuasaan adalah suatu fenomena misterius yang tidak dapat diukur, ditimbang, ataupun dilihat dengan panca indera.63 Kekuasaan merupakan suatu model komunikasi yang khas, yang berbentuk tanda yang berarti merupakan acuan situasi tertentu para pelakunya, baik pengirim maupun penerima tanda-tanda atau arus informasi tersebut.64 Michel Foucault melihat politik kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari
tubuh
manusia
karena
akhirnya
kepentingannya
adalah
mendapatkan kepatuhan.65 Kekuasaan adalah kemampuan atau wewenang untuk menguasai orang lain, memaksa dan mengendalikan mereka sampai mareka patuh, mencampuri kebebasannya dan memaksakan tindakan-tindakan dengan cara-cara yang khusus.66 Budiardjo juga berpendapat bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk
memengaruhi perilaku
seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku.67 Oleh karena itu, sejak periode kerajaan seperti Majapahit sampai era pemerintahan modern kekuasaan merupakan hal
yang selalu
diperebutkan karena sebagai alat mengontrol suatu pemerintahan. Kekuasaan tentu saja tidak dapat dipisahkan dari politik. Politik dipandang sebagai kegiatan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu ilmu politik dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari hakikat, kedudukan dan penggunaan kekuasaan di manapun kekuasaan itu berada. Kekuasaan menurut pandangan ini adalah kemampuan (kapabilitas) untuk mempengaruhi
63
Orloc, Kekuasaan, (Jakarta: Erlangga, 1987), hlm., 1. Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan, (Jakarta: Rajawali, 1990), hlm., 77. 65 Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta:Kompas, 2003) hlm., 216. 66 I. Marsana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung, (Yogyakarta:Kanisius, 1992), hlm., 32. 67 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008), hlm., 17-18. 64
29
orang lain atau pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhinya.68
2. Dimensi-dimensi Kekuasaan a) Dimensi Potensial dan Aktual Seseorang yang dipandang mempunyai kekuasaan potensial apabila dia mempunyai atau memiliki sumber-sumber kekuasaan, seperti kekayaan, tanah, senjata, pengetahuan dan informasi, popularitas, status sosial yang tinggi, massa yang teroganisir, dan jabatan.69 Jika seseorang menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya ke dalam kegiatan-kegiatan politik secara efektif maka orang tersebut memiliki kekuasaan aktual. b) Dimensi Konsensus dan Paksaan Aspek paksaan dari kekuasaan cenderung memandang politik sebagai perjuangan, pertarungan, dominasi, dan konflik. Tujuan yang hendak dicapai bukan mengenai kepentingan secara umum
namun
menyangkut
kepentingan
kelompok
kecil
masyarakat. Selain itu alasan untuk menaati kekuasaan adalah rasa takut, takut akan paksaan fisik dan paksaan non fisik. Kekuasaan berdasarkan paksaan merupakan cara paling efektif untuk mendapatkan ketaatan dari pihak lain. Namun, selain pelanggaran etik, penggunaan paksaan menimbulkan kediktatoran ketika sarana paksaan fisik sebagai penentu tidak ada. Sarana kekuasaan yang dipergunakan untuk mendapatkan ketaatan dnegan kekuasaan paksaan berjumlah tiga macam, yakni sarana paksaan fisik, sarana ekonomi, dan sarana psikologis. Sedangkan aspek konsensus dari kekuasaan akan cenderung melihat elit politik sebagai orang yang tengah berusaha menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan masyarakat secara 68 69
P. Anthonius Sitepu, Teori-teori Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hlm., 10 Ibid, hlm., 52
30
keseluruhan.70 Alasan untuk menaati kekuasaan konsensus pada umumnya berupa persetujuan sacara sadar dari pihak yang dipengaruhi. Kekuasaan konsensus menggunakan sarana-sarana seperti nilai-nilai kebaikan bersama, moralitas dan ajaran-ajaran agama,
keahlian
dan
popularitas
pribadi
terkenal
untuk
mendapatkan ketaatan. Tindakan orang lain untuk menaati kekuasaan tidak tergantung kepada kehadiran pemegang kekuasaan yang bersangkutan akan tetapi bergantung pada kesadaran, pengertian, dan persetujuan yang dipengaruhi sendiri. c) Dimensi Positif dan Negatif Kekuasaan positif adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencapai tujuan yang dianggap penting dan diharuskan. Sedangkan kekuasaan negatif adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencegah orang lain mencapai tujuannya yang tidak hanya dipandang tidak perlu akan tetapi juga merugikan pihaknya. d) Dimensi Jabatan dan Pribadi Dalam
masyarakat
yang
sudah
maju
dan
mapan,
penggunaan kekuasaan yang terkandung dalam jabatan tersebut secara efektif tergantung sekali pada kualitas pribadi yang dimiliki dan ditampilkan oleh setiap pribadi yang memegang jabatan.
71
Pada masyarakat yang masih sederhana, struktur kekuasaan dalam masyarakat seperti itu didasarkan atas realitas pribadi lebih menonjol daripada kekuasaan yang terkandung dalam jabatan itu sendiri. e) Dimensi Implisit dan Eksplisit Kekuasaan implisit adalah kekuasaan yang tidak dilihat dnegan kasat mata akan tetapi dapat dirasakan. Sedangkan
70 71
Sitepu, op.cit., hlm., 53. Ibid., hlm., 54.
31
kekuatan eksplisit adalah pengaruh yang jelas terlihat dan dapat dirasakan.72 f) Dimensi Langsung dan Tidak Langsung Kekuasaan langsung adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik dengan melakukan hubungan secara langsung tanpa menjadi perantara. Sedangkan kekuasaan tidak langsung adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik dengan melalui perantara pihak lain yang diperkirakan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap pembuat dan pelaksana keputusan politik.73
3. Sumber Kekuasaan a) Coercive Power Coercive Power adalah kekuasaan yang diperoleh karena sering menunjukkan kekerasan baik dalam kepemimpinannya maupun dalam berbagai kepengurusan, unsur-unsur yang harus dipenuhi adalah sering membentak, menggunakan senjata, sering marah, oleh karena itu diperlukan suara yang keras, badan yang tegap dan besar, tetapi beresiko ketika seseorang yang sedang berkuasa itu seketika sakit dan melemah kekuasaannya.74 b) Legitimate Power Legitimate Power adalah kekuasaan yang diperoleh karena mendapat
surat
keputusan,
mendapat
ijazah,
mendapat
pengangkatan sehingga absah untuk memimpin, dan absah untuk memerintah dan menundukkan orang lain, resikonya adalah tidak menutup kemungkinan setelah memegang surat keputusan, ijazah,
72
Sitepu, op.cit Ibid. 74 Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, (Jakarta: Rineka Cipta. 2010), hlm.,89 73
32
dan
pengangkatan
kekuasaaan itu.
malahan
tidak
mampu
memanfaatkan
75
c) Expert Power Expert Power adalah kekuasaan yang diperoleh karena seseorang tersebut memiliki keahlian tertentu sehingga orang lain membutuhkan keahliannya, kecerdasan, keterampilan, baik dalam mengajar, atau pun tempat bertanya, bahkan tidak menutup kemungkinan orang lain membayarnya, dengan demikian yang bersangkutan menjadi mampu memerintah, dan menyuruh sebagai awal kekuasaan.76 d) Reward Power Reward Power adalah kekuasaan yang diperoleh karena seseorang tersebut sering memberi kepada pihak lain sehingga resikonya orang yang diberi berhutang budi dan bersedia diatur dan disuruh oleh orang yang membayar, jadi bukan berarti kekuasaan yang diberikan dari seseorang kepada seseorang tetapi kekuasaan yang diperoleh dengan sendirinya karena banyaknya pemberian dari sang penguasa.77 e) Reverent Power Kekuasaan ini muncul dengan didasarkan atas pemahaman secara kultural dari orang-orang dengan berstatus sebagai pemimpin. Masyarakat menjadikan pemimpin itu sebagai panutan simbol dari perilaku mereka. Aspek kultural yang biasanya muncul dari pemahaman religiolitas direfleksikan pada kharisma pribadi, keberanian, sifat simpatik dan sifat-sifat lain yang tidak ada pada kebanyakan orang. Hal itu menjadikan orang lain tunduk pada kekuasaannya.78 f) Connection Power 75
Syafiie, op.cit Ibid 77 Ibid 78 Sitepu, op.cit., hlm., 55 76
33
Connection Power adalah kekuasaan yang diperoleh karena seseorang mempunyai hubungan silahturahmi yang luas dengan orang lain, hal ini disebut juga saat ini koneksi nepotisme, namun bagaimanapun kekuasaan seseorang itu muncul karena banyaknya sahabat, relasi, keluarga, almamater, teman, persengkongkolan dengan pihak lain.79 g) Information Power Information Power adalah kekuasaan yang diperoleh karena seseorang mempunyai data, informasi, fakta, dan lain lain sehingga pihak lain membutuhkan dirinya, itulah sebabnya wartawan baik dari media elektronik, maupun media cetak apalagi internet sangat memiliki kekuasaan saat ini karena menghimpun data dengan sangat sempurna.80
G. Pengajaran Sastra di Sekolah Manurut Jakob Sumardjo fungsi sastra dan pengjarannya di Indonesia belum begitu berhasil, karena itu ia megemukakan beberapa hal yang dapat diakukan. Pertama, memperbaiki pegajaran sastra di sekolahsekolah. Kalau faktor guru dan sistem memang bisa segera diatasi bisa digalakkan pengadaan buku-buku penuntun yang memadai, buku-buku antalogi dan semacamnya. Kedua, memanfaatkan kehadiran sastra populer untuk pengajaran sastra serius.81 Ketiga, kalau sastra popler yang baik boleh masuk sekolah, maka sebaliknya karya-kayasastra yang baik harus bisa masuk ke dalam wilayah penerbitan populer.82 Karya sastra merupakan refleksi dari fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat. Fenomena tersebut juga tidak lepas dari bidang pendidikan, seperti yang tergambar di dalam novel Laskar Pelangi karya
79
Syafiie, op.cit., hlm., 90 Ibid. 81 Jakob Sumardjo, Sastra Populer dan Pengajaran Sastra dalam buku Budaya Sastra, (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm., 61. 82 Sumardjo, op.cit, hlm., 62. 80
34
Andrea Hirata. Selain itu banyak juga novel-novel yang dapat dikaitkan dengan disiplin ilmu yang lain. Melalui karya sastra, kita diajak untuk melihat fenomena-fenomena yang terjadi di dalam msyarakat dengan kacamata yang berbeda, yaitu sastra. Sebuah karya sastra yang baik bukan hanya dapat menghibur, tapi juga dapat membuka pikiran kita kan kemungkinan-kemungkinan lain dalam menjalani hidup. Asahan emosi dan logika bisa kita dapatkan melalui karya sastra khususnya novel. Sastra dalam pengajaran dapat membantu pengajaran kebahasaan karena sastra dapat meningkatkan keterampilan berbahasa. Sastra dapat membantu pendidikan secara utuh karena sastra dapat meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta, rasa dan karsa, menunjang pembentukan watak, mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, pengetahuan-pengetahuan lain dan teknologi83.
H. Penelitian yang Relevan Pada penelitian ini, peneliti menggunakan novel Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Tahta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi. Penelitian ini menggunakan teori politik mengenai perebutan kekuasaan. Penelitian ini sebenarnya sangat menarik untuk dikaji. Namun, penelitian karya Langit Kresna Hariadi terdahulu belum ada yang mengangkat segi ini. Penelitian yang relevan tersebut diantaranya adalah: Skripsi karya Handoyo (UNS, 2009) dengan judul Analisis Struktural Novel Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Tahta dan Angkara dan Perang Bubat Karya Langit Kresna Hariadi. Hasil dari penelitian ini adalah persamaan dan perbedaan unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik dari kedua novel tersebut. Permasalahan yang dibahas adalah pertama, unsur intrinsik dari novel Bergelut dalam Kemelut Tahta dan Angkara dan Perang Bubat. Kedua, unsur ekstrinsik kedua novel tersebut 83
Kinayati Djojosuroto, Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya,( Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006), hlm., 85.
35
yaitu aspek sosial budaya pengarang dan sosial budaya yang ada dalam kedua novel tersebut. Teori struktural digunakan untuk membahas permasalahan pertama, sedangkan teori sosiologi sastra digunakan untuk membahas permasalahan kedua.84 Selanjutnya skripsi karya Rizki Adistya Zubaida (UNS, 2012) dengan judul penelitian Analisis Tokoh dan Nilai Pendidikan dalan Novel Gajah Mada Karya Langit Kresna Hariadi (Tinjauan Psikologi Sastra). Analisis dalam penelitian ini membahas mengenai: pertama, unsur intrinsik novel Gajah Mada; kedua, konflik batin tokoh; ketiga nilai pendidikan yang terkandung di dalam novel Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi. Nilai-nilai pendidikan yang diangkat penelitian ini adalah nilai
sosial,
nilai
moral/etika,
nilai
kepahlawanan/patriotisme, dan nilai estetika.
84
religius/keagamaaan,
nilai
85
Handoyo. Analisis Struktural Novel Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Tahta dan Angkara dan Perang Bubat Karya Langit Kresna Hariadi, skripsi mahasiswa Universitaas Sebelas Maret, 2009. Dalam http://perpustakaan.uns.ac.id. 85 Rizki Adistya Zubaida. Analisis Tokoh dan Nilai Pendidikan dalan Novel Gajah Mada Karya Langit Kresna Hariadi (Tinjauan Psikologi Sastra), skripsi mahasiswi Universitas Sebelas Maret, 2012, Dalam http://perpustakaan.uns.ac.id.
BAB III TINJAUAN NOVEL GAJAH MADA: TAHTA DAN ANGKARA
A. Sinopsis Siapa yang tidak mengenal Gajah Mada? Tokoh fenomenal yang merupakan contoh sempurna seorang patriot sejati. Mengerahkan segala pikiran, jiwa, dan raganya demi keutuhan dan kejayaan Kerajaan Majapahit. Tangan besi dan hati batu, itulah Gajah Mada. Negeri yang damai dan tentram semasa pemerintahan Sri Jayanegara terusik oleh ulah Dharmaputra Winehsuka yang melakukan makar dan memaksa Sri Jayanegara angkat kaki dari dampar. Gajah Mada, yang saat itu masih berpangkat bekel, memimpin pasukan kecilnya, Bhayangkara,namun berkemampuan keprajuritan paling tinggi dibanding pasukan kerajaan yang lain, berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan Sri Jayanegara kembali ketahtanya. Usaha itu pun tercapai. Dharmaputra Winehsuka dihukum mati atas perbuatannya dan Majapahit pun memulai mengobati luka-luka makar tersebut. Tapi perebutan kekuasaan tetap berlanjut. Sembilan tahun setelah makar Dharmaputra Winehsuka, Majapahit kembali dirundung masalah perebutan kekuasaan. Semua ini berawal dari terbunuhnya Sri Jayanegara
akibat
diracun
oleh tabib kerajaan
kepercayaannya, satu-satunya Dharmaputra yang menyerah, Ra Tanca. Setelah meracuni Sri Jayanegara, Ra Tanca pun tewas oleh keris beracun milik Gajah Mada yang telah berpangkat patih. Sesuai dengan hukum monarki, tahta raja seharusnya jatuh kepada saudara satu darah. Namun, kedua saudara Sri Jayanegara bukan laki-laki melainkan sekar kedaton. Yang lebih berhak atas tahta tentu saja yang tertua, Sri Gitarja, namun sikapnya yang sangat lembut membuat Gajah Mada khawatir. Sedangkan sifat-sifat kepemiminan lebih dimiliki oleh adiknya, Dyah Wiyat. Tapi bukan para sekar kedaton yang membuat Gajah
36
37
Mada memikirkan ulang mengenai pewaris tahta, namun para suami sekar kedaton atau yang lebih tepat, orang-orang di balik mereka. Raden Cakradara, suami Sri Gitarja, memiliki Pakering Suramurda di belakangnya. Celakanya justru Suramurda yang paling berhasrat menjadikan Cakradara raja dengan mengawini Gitarja. Recana sedemikian rupa
pun
disusun
oleh
Suamurda
untuk
menghalangipihak
lainnyamenguasai dampar, dengan cara apapun. Rencana yang sama juga disusun pendukung Raden Kudamerta, Panji Wiradapa. Hanya saja motivasi Wiradapa yang menginginan jabatan Mahapatih apabila Kudamerta menjadi raja dibumbui dendam lama kepada raja terdahulu, Raden Wijaya. Untuk mempertahankan kendalinya atas Kudamerta, Wiradapa menyandra orang-orang yang paling dicintai Kudamerta, istri dan bayi laki-lakinya. Mengetahui Kudamerta telah beristri bahkan memiliki anak dan menjadikan Dyah Wiyat sebagai istri kedua, Gajah Mada tentu saja tidak bisa bertindak diam. Hal ini semakin genting karena Ratu Gaytri, yang memegang tahta sementara sekaligus ibu kandung kedua sekar kedaton, mengetahui hal ini, demikan juga Dyah Wiyat. Mengetahui ia dijadikan istri kedua dan ditambah bahwa ia tidak mencintai Kudamerta membuat Wiyat sangat membenci suaminya. Namun, beban moral bahwa ia seorang sekar kedaton yang merupakan panutan rakyatnya membuat ia tidak bisa meminta cerai, apalagi laki-laki yang ia cintai malah membunuh saudara laki-lakinya. Selain itu Gajah Mada deengan dibantu pasukan khusus Bhayangkara juga harus menyelidiki keberadaan istri pertama Kudamerta, Dyah Menur, serta bayinya. Gajah Mada merasa bahwa keberadaan bayi ini akan mengancam peralihan kekuasaan Majapahit di masa depan. Di sisi lain, hal-hal ganjil terjadi di lingkungan istana dan membawa nama Cakradara dan Suramurda kepada kasus pembunuhan. Gitarja yang mengetahui hal itu tidak bisa menyembunyikan hatinya yang hancur. Benarkah suami yang sangat dicintainya tega membunuh? Gitarja merasa ia tidak pantas mengemban jabatan seorang ratu jika kedaan
38
suaminya seperti itu dan akhirnya memutuskan menyerahkannya kepada Dyah Wiyat namun ditolak. Ternyata bahaya perebutan kekuasaan tidak hanya datang dari dalam istana. Informasi yang didapat oleh pasukan khusus Bhayangkara bahwa telah dibangun pasukan di wilayah terpencil di dalam hutan, membuat Gajah Mada waspada akan bahaya makar. Segala daya dan upaya telik sandi dilakukan untuk mendapatkan informasi sedetil mungkin tentang pasukan ini. Akhirnya diketahuilah nama pemimpinnya yaitu Raden Panji Rukmamurti dan tangan kanannya, Mandrawa. Ancaman pasukan misterius ini terhadap pihak istana semakin menjadi dengan pencobaan pembunuhan terhadap Dyah Wiyat oleh Rukmamurti. Sebelumnya pesan-pesan kematian berupa mayat-mayat yang dikirim ke lingkungan istana dan pencobaan pembunuhan terhadap Kudamerta,
telah
membuat
Gajah
Mada
terus
meningkatkan
kewaspadaannya. Dan hal ini diperparah dengan cederanya pemimpin pasukan Bhayangkara, Senopati Gajah Enggon. Karena ancaman pembunuhan ditujukan kepada pihak Dyah Wiyat dan Raden Kudamerta, tentu saja kecurigaan akan terlibatnya Raden Cakradara semakin memuncak. Namun, hal yang tak terduga terjadi. Suramurda mati terbunuh. Hal ini membuat Gajah Mada harus mengerahkan setiap sel-sel otaknya untuk mengungkapkan peristiwa sebenarnya yang terjadi. Di lain pihak Dyah Menur yang terancam dibunuh berhasil diselamatkan oleh mantan anggota Bhayangkara, Pradhabasu. Pradhabasu yang merasa kasihan akan keadaan Menur menyembunyikannya dari Gajah Mada karena ia mengetahui apa yang akan dilakukan Gajah Mada terhadap Dyah Menur dan bayinya. Pradhabasu berusaha menolong Dyah Menur
yang
sangat
ingin
bertemu
dengan
suaminya
dengan
menyelundupkannya menjadi abdi dalem istana kiri, istana Dyah Wiyat. Menur yang menyamar menjadi Sekar Tanjung tiba-tiba menjadi dayang kesayangan Wiyat. Tentu saja hal ini menjadi beban yang sangat berat untuk Kudamerta.
39
Rencana makar Raden Panji Rukmamurti berhasil digagalkan dengan ditumpasnya pasukan tersebut dan ditangkapnya Rukmamurti beserta Mandrawa. Pengadilan pun dilakukan di Bale Manguntur, dipimpin oleh Ratu Gayatri sendiri. Dari pengadilan itu diketahuilah bahwa pembunuhan yang terjadi di dalam istana yang ditujukan untuk mengambinghitamkan Raden Cakradara dilakukan oleh Panji Wiradapa agar tahta raja jatuh ke tangan Kudamerta. Serta dibukanya identitas asli Panji Rukmamurti yaitu Nyai Tanca, istri Ra Tanca. Dendamnya kepada Gajah Mada yang telah membunuh suaminya dan kepada Dyah Wiyat yang selingkuh dengan suaminya membuatnya gelap mata dan merancanakan makar. Mandrawa sendiri adalah salah satu anggota muda pasukan khusus Bhayangkara yang berkhianat akibat terjebak bujuk rayu Nyai Tanca. Setelah menjatuhi hukuman kepada Nyai Tanca, Wiradapa, dan Mandrawa,
Ratu
Gayatri
memanfaatkan
kesempatan
ini
untuk
mengukuhkan status Dyah Wiyat sebagai istri sah dan satu-satunya Raden Kudamerta demi keutuhan Kerajaan Majapahit dimasa depan. “Hamba belum pernah mengawini siapa pun, Tuan Putri,” jawab Kudamerta dengan suara amat tegas. Dyah Menur yang mendengar pernyataan suaminya di depan khalayak banyak mengukuhkan hatinya untuk memberikan suaminya tercinta kepada sekar kedaton. Dan pergi membawa bayi yang dikhawatirkan
Gajah
Mada
sebagai
pembawa
bencana
bersama
Pradhabasu.
B. Biografi Pengarang Langit Kresna Hariadi lahir di Banyuwangi tahun 1959 sebagai anak bungsu dari keluarga besarnya. Ia banyak menghabiskan masa kanakkanaknya hingga tamat SD di desa bernama Tegaldlimo sebuah daerah di Banyuwangi, Jawa Timur. Jenjang SMP diselesaikan di Benculuk, SMA di Genteng yang kemudian berlanjut ke IKIP di Surabayadengan mengambil
40
jurusan fisika. Hingga akhirnya Langit Kresna Hariadi memilih untuk tidak menamatkan kuliahnya. Sebuah kekecewaan dialami kakanya yang telah membiayai studinya, tetapi sebuah berkah di balik itu semua karena sekarang telah menjadi pengarang yang hasilnya telah bisa untuk memimpin hidup keluarganya sendiri.1 Sekarang
Langit
Kresna
Hariadi
bertempat
tinggal
bersama
keluarganya di Perumahan Korps Cacat Veteran Nomor 68 di daerah Jaten Karanganyar. Tanah yang sekarang dibangun menjadi perumahan tersebut sebelumnya adalah milik almarhum Mantan Presiden Soeharto seluas 17.492 m2 itu kemudian dibagi-bagikan kepada 136 anggota Yayasan Korps Cacat Veteran RI. Di rumah inilah Langit Kresna Hariadi seharihari melakukan kegiatan menulisnya dan sekarang disibukkan dengan bolka-balik Solo-Jakarta karena ketiga seri novel Gajah Mada akan diangkat ke layar lebar oleh Slamet Raharjo Djarot. Langit Kresna Hariadi kemudian menggubah ketiga seri novel Gajah Mada menjadi sebuah cerita ringkas yang selanjutnya menjadi sebuah skenario film. Ketekunannya sebagai penulis inilah yang mengantarkannya menjadi orang yang dikenal luas oleh berbagai kalangan.2 Latar belakang keluarga yang biasa saja, tetapi terbiasa dengan semangat yang tinggi dalam memperjuangkan hidup. Pada awalnya pihak keluarga tidak menyetujui ketika Langit Kresna Hariadi terjun menggeluti dunia tulis-menulis karena pemikiran pihak keluarga bahwa seorang suami harus bekerja di kantor seperti orang-orang pada umumnya. Hal ini membuat Langit Kresna Hariadi tidak bergeming untuk melanjutkan pemikirannya bahwa dengan menulis kelak akan bisa menghidupi keluarga. Keyakinan yang telah dibuktikan, novel pertamanya berjudul Gajah Mada laris di pasaran, meskipun di dalamnya banyak terjadi berbagai kesalahan. Sebagai tanggung jawab ilmiah, novel pertama 1
Handoyo. Analisis Struktural Novel Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Tahta dan Angkara dan Perang Bubat Karya Langit Kresna Hariadi, skripsi mahasiswa Universitaas Sebelas Maret, 2009. Dalam http://perpustakaan.uns.ac.id. 2 Ibid.
41
tersebut direvisi yang kemudian berjudul Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Tahta dan Angkara3.4 Latar Belakang seorang pengarang Langit Kresna Hariadi dalam mengangkat
karya
dalam
novel
Gajah
Mada
adalah
karena
keterpengaruhannya oleh gaya penceritaan novelis S.H. Mintardja (pelopor cerita silat). Hal ini adalah sebuah kewajaran, karena bagaimanapun juga seorang pengarang tidak akan pernah lepas pada apa yang pernah dibaca atau ketertarikannya terhadap beberapa karya sastra yang terlanjur menjadi favoritnya sehingga secara sadar maupun tidak disadari turut memengaruhi karya yang dihasilkannya.5 Langit kemudian menekuni kepenulisan secara profesional ketika ia bekerja di radio PTPN Solo sebagai penulis naskah drama radio. Ia pindah ke Sanggar Sakutala di Radio Roiska, kemudian ke Sanggar Prativi di Jakarta. Karena keterbiasaannya membuat naskah drama radio, ia pun bisa mengetik secara cepat. Oleh karena itu, novel yang tebalnya beratus-ratus halaman dapat ia selesaikan dalam waktu tiga bulan. Naskah awal novel Gajah Mada sebenarnya adalah naskah drama radio yang berjudul Dhuaja Bayangkara. Ia menulis naskah itu atas perintah produser karena S. Tijab kelelahan. Namun, karena bisnis drama radio ambruk, naskah itu tidak disiarkan. Kemudian Langit mengubah naskah drama itu ke dalam novel dan mencoba menawarkannya kepada dua penerbit, namun ditolak. Barulah pada saat ia menawarkan ke penerbit Tiga Serangkai, naskahnya diterima dan judulnya diganti menjadi Gajah Mada. Novel Gajah Mada awalnya tidak dibuat berseri. Tapi ketika telah diterbitkan novel tersebut mendapat sambutan yang antusias dari pembaca. Akhirnya ia pun menyanggupi permintaan penerbit untuk membuat sekuel dari novel Gajah Mada. Namun, novel pertama Gajah Mada ternyata juga menuai kritik pedas dari pembaca. Hal ini dikarenakan data-data yang 3
Selanjutnya mengalami revisi pada judul menjadi Gajah Mada: Tahta dan Angkara Handoyo, Op.cit 5 Ibid. 4
42
Langit cantumkan di dalam novelnya banyak yang tidak akurat. Langit mengamini hal ini terjadi karena ia menulis novel tersebut tanpa riset yang benar. Dari situlah keempat sekuel novel Gajah Mada ia buat berdasarkan riset yang sungguh-sungguh guna tidak adanya kesalahinformasian kepada pembaca. Selain menelaah dari buku atau internet, Langit juga mendatangi situs-situs bersejarah yang mendukung tulisannya. Ia pergi ke Sapih di daerah Probolinggo, yang termasuk wilayah Madakaripura dan di sana terletak prasasti Sumpah Palapa. Kemudian ia ke Singapura untuk membayangkan armada Majapahit di wilayah Tumasek. Ia juga ke situs Karang Kamulyan yang diperkirakan tempat berdirinya Kerajaan Sunda Galuh. Namun, ia kesulitan menetapkan lokasi di mana perang Bubat berlangsung. Karena masih ada polemik mengenai letak lapangan Bubat. Langit juga dibantu oleh Yayasan Peduli Majapahit untuk mendapatkan akses data mengenai situasi Majapahit berdasarkan rekonstruksi Henry Maclaine Pont, seorang peneliti dan arsitek dari Belanda. Dari situ ia dapat membayangkan bahwa Kerajaan Majapahit sangat besar. Ia melihat balai prajurit majapahit yang telah dipugar oleh Kodam Brawijaya sangat megah, berarti istana Majapahit pasti lebih megah dan besar. Menurut Langit, Majapahit bisa dikatakan sebagai pemersatu atau agresor. Tapi Majapahit tidak mungkin menyerang jika tidak ada sebab. Jika suatu wilayah tidak ingin bergabung dengan kerajaan Majapahit dengan sukarela, barulah melancarkan serangan. Hal ini dikarenakan Gajah Mada tidak ingin peristiwa Tarta menyerang Singasari terulang lagi, maka ia pun berambisi menyatukan seluruh nusantara di bawah panji Majapahit. Masalah penyerangan, Langit membeberkan bahwa formasi perang ia adopsi dari cerita pewayangan Baratayudha walaupun sebenarnya pada masa itu formasi perang belum ada.
43
C. Pandangan Hidup Langit Kresna Hariadi adalah penulis yang mengangkat sejarah dan budaya Jawa ke dalam karya-karyanya. Beliau berpendapat bahwa novel yang mengangkat tema mengenai sejarah kuno mengalami kekosongan setelah penulis-penulis besar seperti Pramudya Ananta Toer dan Seno Gumira Ajidarma vakum menulis cerita yang mengangkat sejarah. Karya sastra yang bergenre sejarah memang lebih mundur dari hadapan pembaca dibandingkan dengan karya sastra yang berbau kritik sosial. Karena tidak banyak pengarang yang dapat menghantarkan alur sejarah sedemikian nyata sehingga pembaca seakan ikut dalam peristiwa tersebut. Langit mencoba menjawab tantangan itu dengan membuahkan karya Candi Murca yang mengangkat sejarah Kerajaan Sriwijaya. Tak dinyana keinginannya untuk mengangkat kembali novel sejarah Indonesia disambut hangat oleh para pembaca. Menurut Langit, banyak hal yang bisa dipelajari dari masa lalu. Peristiwa kejayaan, masa-masa keemasan raja-raja pada jaman dahulu sebenarnya dapat kita pelajari dan amalkan untuk bangsa Indonesia ke depannya. Anak-anak dan para remaja sayangnya banyak yang tidak menyukai sejarah. Karya sastra yang mengangkat sejarah pun dinilai menggunakan “bahasa” yang terlalu tinggi bagi mereka. Karya-karya yang dihasilkan Langit menggunakan bahasa yang luwes yang bisa dikonsumsi oleh berbagai kalangan, sehingga diharapkan dapat memancing kaum muda untuk mulai menggemari sejarah Indonesia. “Dokumen-dokumen sejarah berupa rontal dan karya-karya pujangga Majapahit memag perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang lebih dapat diterima oleh anak-anak dan pemuda. Dan akan sangat bermanfaat jika saja novel-novel seperti ini tidak saja dikonsumsi oleh mereka yang tertarik sejarah, tetapi ditanamkan ke dalam lubuk hati terdalam setiap anak Indonesia. Untuk meyakinkan bahwa bangsa ini punya pprofil-profil kempemimpinan yang luhur budi dan tinggi kemampuannya. Bukan hanya pemimpin kagetan seperti sekarangsekarang ini.”6
6
Diposkan oleh Bhayangkara Indonesia, Jumat 11 April 2008, 03.27, http://bhayangkaraindonesia.blogspot.com/2008/04/biografi-gajahmada-oleh-langit-kresna.html
44
Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan yang memiliki wilayah kekuasaan terluas di Nusantara. Bahkan lebih luas dari wilayah negara Indonesia sekarang ini. Hal ini karena sifat-sifat kepemimpinan yang dapat membawa rakyat menuju zaman keemasannya. Namun, bukan berarti zaman itu akan berlangsung selamanya, karena tidak ada yang abadi di dunia ini. Langit juga mengungkapkan jika pemimpin melakukan tindakan yang menyimpang, maka akan membawa seluruh rakyat dalam kehancuran.
BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Kajian Unsur Intrinsik Novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun sebuah karya sastra. Unsur-unsur intrinsik terbagi menjadi tema, plot, perwatakan, latar, sudut pandang, dan gaya penceritaan. Unsur-unsur yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah tema, plot, perwatakan, latar, dan gaya penceritaan. a. Tema Tema merupakan gagasan utama yang dimiliki oleh pengarang dan menempati posisi utama dalam cerita. Tema yang mendominasi dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara mengenai perebutan kekuasaan. Ada tiga kubu yang ingin merebut kekuasaan setelah meninggalnya Sri Jayanegara, yaitu Panji Wiradapa/Rangsang Kumuda, Pakering Suramurda, dan Nyai Tanca/Panji Rukmamurti. Dari ketiga tokoh ini, hanya Panji Wiradapa/Rangsang Kumuda yang memiliki dua jalur perebutan. Jalur yang pertama dan sama dengan jalur yang diambil oleh Pakering Suramurda adalah memanfaatkan keponakannya yang menikah dengan Sekar Kedaton. Karena Sekar Kedaton dua-duanya adalah perempuan, mereka
mengharapkan
jalannya
pemerintahan
nanti
akan
ditanggung oleh para suami, Raden Kudamerta atau Raden Cakradara. Jalur kedua dan diambil pula oleh Panji Rukmamurti adalah jalur makar. Dilihat dari keadaan Karang Watu dan banyaknya orang yang dilatih ilmu keprajuritan, perihal makar ini diduga telah direncanakan lama. Walaupun bagaimana Rangsang Kumuda dan Panji Rukmamurti bertemu itu tidak dijelaskan.
45
46
Mengenai perebutan kekuasaan, setiap peralihan kekuasaan selalu ditandai dengan peristiwa berdarah. “Sejak zaman Mataram, perebutan kekuasaan selalu terjadi. Setiap peralihan kekuasaan selalu ditandai peristiwa berdarah,” Pancaksara melanjutkan. “Lebih-lebih zaman Singasari, wilayah paling berbahaya bagi negara adalah saat-saat peralihan kekuasaan. Sekarang, tidak layak cemaskah kita dengan pengalaman peralihan kekuasaan yang macam itu?”1 Sigap Gajah Mada memberikan sembahnya. Tugas yangb sangat berat itu telah digenggam dan siap untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka demikianlah, dengan jelas dan gamblang Patih daha Gajah Mada melaporkan yang terjadi, siapa saja orang yang terbunuh dan kemungkinan kepentingan apa saja yang berada di belakang rentetan kejadian itu. Tegas dan penuh keyakinan Patih Daha Gajah Mada menyebut, apa yang terjadi itu merupakan tanda-tanda terjadinya perebutan kekuasaan. Di belakang Raden Cakradara ada pihak yang bermain, ingin menunggangi dan memanfaatkan Raden Cakradara.2 Dan pergantian kekuasaan di negeri mana pun selalu menyisakan gejolak tanpa terkecuali Majapahit setelah meninggalnya Jayanegara. Udara pun terasa sesak. Gerah akan menyergap siapa pun yang mendambakan kedamaian dan ketenangan. Singasari telah memberi contoh. Di setiap pergantian kekuasaan, udara selalu tersa panas.3
b. Plot Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fingsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Bisa dikatakan bahwa secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuh cerita. Dalam menguraikan cerita alur terbagi ke dalam tahapan-tahapan yaitu pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan penyelesaian.
Alur atau plot di dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara adalah mundur-maju-mundur-maju atau bisa kita sebut alur campuran. Bagian pengenalan dalam novel ini diawali dengan cuplikan peristiwa terakhir di dalam novel kemudian peristiwanya 1
Langit Kresna Hariadi, Gajah Mada: Tahta dan Angkara, (Yogyakarta: Tiga Serangkai, 2009), hlm. 35 2 Ibid, hlm. 241-242 3 Ibid, hlm. 337
47
bergerak maju. Lalu peristiwa ini berlanjut ketika Pacaksara mengenang masa lalu mengenai silsilah raja dari Kerajaan Singasari. Alur berubah menjadi maju, kemudian mulai muncul beragam konflik. Konflik-konflik ini semakin meruncing dengan terkuaknya satu persatu rahasia di balik pihak-pihak yang memperebutkan kekuasaan. Konflik mencapai klimaksnya ketika pasukan Bhayangkara mulai menyelidiki dan mengagalkan rencana makar yang akan dilakukan Rukmamurti setelah terjadinya pembunuhan-pembunuhan di daerah istana. Konflikpun akhirnya terselesaikan ketika pemimpin makar tertangkap oleh pasukan Bhayangkara dan Gajah Enggon menangkap Rangsang Kumuda sebagai otak dibalik sabotase yang terjadi di lingkungan istana. 1. Pengenalan Cerita di dalam novel Tahta dan Angkara di awali dengan adegan Dyah Wiyat yang mengejar embannya yang pergi tanpa pamit. Dyah Wiyat yang mengejar emban tersebut akhirnya menemukannya
di
dekat
gerbang
Purwarakta
bersama
seseorang. Dialah Dyah Menur, nama yang dikenal oleh Dyah Wiyat sebagai emban kesayangannya. Dyah Menur yang bernama asli Sekar Tanjung pergi dari Majapahit bersama dengan Pradhabasu. Adegan ini adalah akhir dari cerita novel ini. Adegan inilah yang menandakan alur mundur. ...Nun jauh di barat setelah melintas Purawaktra, Dyah Wiyat akhirnya melihat dua orang yang berjalan kaki berdampingan. Dyah Wiyat yang akhirnya berhasil menandai orang itu benar...4
Alur kemudian mulai maju dengan diawali cerita sakit yang dialami raja Majapahit pertama, Sri Kertarajasa atau dimasa mudanya
biasa
dipanggil
Raden
Wijaya.
Adegan
ini
menggambarkan betapa dicintainya Sri Kertarajasa oleh rakyatnya, begitupula orang-orang yang mengabdi padanya. 4
Ibid, hlm. 2
48
Kala itu tahun 1309. Segenap rakyat berkumpul di alun-alun. Semua berdoa, apa pun warna agamanya, apakah Siwa, Buddha maupun Hindu. Semua arah perhatian ditujukan dalam satu pandang, ke Purwarakta yang tidak dijaga terlampau ketat.segenap prajurit bersikap sangat ramah kepada siapa pun karena memang demikian sikap keseharian mereka. Lebih dari itu, segenap prajurit merasakan gejolak yang sama, oleh duka mendalam atas gering yang diderita Kertarajasa Jayawardhana.5
Sayangnya sakit yang dialami
oleh Raden Wijaya tak
kunjung sembuh. Dan terdengarlah bunyi bende Kiai Samudra, mengisyaratkan mangkatnya sang raja. Dan ketika bende Kiai Samudra dipukul bertalu, tangis serentak membuncah. Ayunan pada bende yang getar suaranya mampu menggapai sudut-sudut kota merupakan isyarat yang sangat dipahami. Gelegar bende dengan nada satu demi satu, namun berjarak sedikit lebih lama dari isyarat kebakaran merupakan pertanda Sang Prabu mangkat. Semua orang yang mendengar isyarat itu merasa denyut jantungnya berhenti berdetak.6
Dari cerita ini, alur kemudian maju kepada peristiwa dibunuhnya Sri Jayanegara oleh tabib istana kepercayaan sang raja, Ra Tanca. Ra Tanca yang kemudian mati dibunuh oleh Gajah Mada setelah meminumkan racun kepada Sri Jayanegara. Kematian Jayanegara seakan mengingatkan kembali atas peristiwa meninggalnya Raden Wijaya. Dan, suara bende Kiai Samudra itu .... Suara bende itu siapa pun tahu artinya. Senyap yang memberangus adalah nestapa bagi siapa pun yang mencintai Raja. Suaranya yang menggelegar terdengar sampai ke sudut-sudut kotaraja. Bende yang dipukul satu-satu, berjarak sedikit lebih lama dari isyarat kebakaran, merupakan pengulangan apa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya manakala raja pertama Majapahit yang sangat dicintai dan dihormati mangkat.7
Alur kemudian menjadi mundur kembali ketika Pancaksara yang dipaksa Gajah Mada menceritakan kembali silsilah raja Singasari yang menjadi leluhur raja Majapahit. Jika dirunut jauh ke belakang, awalnya Ken Arok yang kelak di kemudian hari bergelar Sri Ranggah Rajasa Batara Sang 5
Ibid, hlm. 3 Ibid, hlm. 6 7 Ibid, hlm. 14 6
49
Amurwabumi hanyalah sampah masyarakat belaka. Namanya melekat dengan sarangnya, Padang Kawutan, yang berada tak jauh dari Istana Singasari. Ia terkenal sebagai maling, perampok, penyamun, dan perbuatan tidak terpuji lainnya. Meski ia seorang penyamun, otaknya jalan dan encer, bahkan jahat. Setidaknya Ken Arok, anak pasangan suami istri Gajah Para dan Ken Endok ini bisa menggunakan akalnya untuk menggapai sebuah tujuan yang luar biasa, menjadi raja. Sebuah kesempatan yang ia peroleh setelah Brahmana Lohgawe membawanya ke Istana Pakuwon Tumapel.8
2. Konflik Pada saat alur kembali maju, konflik-konflik mulai bermunculan. Konflik ini di awali dengan peristiwa-peristiwa pembunuhan yang terjadi di dalam kotaraja. Pembunuhanpembunuhan ini diasumsikan terjadi karena perebutan tahta pihak Raden Cakradara dengan Raden Kudamerta. Manakala Cakradara kemudian lenyap di balik dinding, adalah bersamaan waktu dengan sebuah peristiwa yang terjadi tak jauh dari tempatnya. Hanya beberapa jengkal langkah kaki saja darinya di balik bayangan pohon asoka yang tumbuh lebat dan bunganya sedang mekar, sebuah anak panah yang dilepas dari gendewa direntang melesat dan menggapai tenggorokan seseorang....9 (GM:TdA, 2009:60)
Sang pembunuh yang disewa oleh orang yang memberi perintah mendapat bayarannya setelah membunuh orang yang diperintahkan untuk dibunuh terssebut. Namun si pembunuh bayaran adalah sasaran pembunuhan selanjutnya. Ada yang tidak disadari oleh pembunuh bayaran itu. Ada sesuatu yang kenyal melingkar di dalam kantung itu, yang punya tenaga untuk menggeliat dan mematuk. Menyatu dalam uang yang gemerincing, seekor ular berjenis weling, kecil saja dan hanya sepanjang dua kilan. Akan tetapi, siapa pun tahu ular weling adalah jenis ular yang sangat mematikan. Tidak ada yang bisa menandingi kekuatan racun ular weling kecuali jenis ular sendok atau bandotan. Siapa pun yang dipatuk ular itu akan mendapatkan jaminan terbukanya pintu kematian.10
8
Ibid, hlm. 27 Ibid, hlm. 60 10 Ibid, hlm. 61 9
50
Pembunuhan tidak terhenti sampai di situ. Kotaraja kembali dibayangi oleh teror pembunuhan ketika ditemukannya dua sosok mayat di atas kuda yang di pahanya tercap gambar bulatan digigit ular. Mayat-mayat ini ditemukan oleh tentara penjaga gerbang Purwarakta yang sedang bertugas. Tentara yang bertugas melaporkan peristiwa ini kepada Gajah Enggon sebagai pemimpin pasukan Bhayangkara. “... Ketika aku berhasil menghentikannya, ternyata kuda itu membawa mayat. Kuda itu kubawa balik arah, tetapi malah berpapasan dengan kuda kedua. Dugaanku ternyata benar, kuda yang kedua pun membawa mayat di punggungnya.”11 Dua ekor kuda itu menyita perhatian Gajah Enggon yang tidak berkedip dalam memandanginya. Namun, Gajah Enggon tidak mengenali siapa pemilik kuda tegar itu. Di atas paha kanannya melekat cap bakar bergambar bulatan dibelit ular. Selebihnya ia hanya kuda berwarna coklat. Sedangkan yang seekor lagi tidak memiliki tanda apa pun, tidak ada cap punggung atau tanda khusus yang lain yang bisa dikenali. Gajah Enggon kemudian mengarahkan perhatiannya pada dua sosok mayat yang digeletakkan di bangunan jaga. 12
Tak hanya orang-orang yang dibunuh di dalam kotaraja. Suami Dyah Wiyat, Raden Kedamerta menjadi sasaran percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh Rubaya. Saat semua perhatian sedang terpusat macam itulah Rubaya merasa telah tiba waktunya. Dengan memutar pergelangan tangan, pisau yang semula tersimpan di balik lengan bajunya melorot turun dengan gagang menempatkan diri di telapak tangan. Rubaya mencari kesempatan. Dan, saat ledakan batang bambu yang terbakar terulang kembali, dengan perhitungan cermat ia mempersiapkan diri mengayunkan pisaunya.13 Raden Kudamerta yang menjadi sasaran bidik terhenyak manakala merasakan sakit yang datang tiba-tiba. Perih yang bukan kepalang terasa di dada kirinya, yang ketika dengan cermat ia perhatikan ternyata berasal dari sebilah pisau yang tertancap di dadanya.14 11
Ibid, hlm. 123 Ibid 13 Ibid, hlm. 159 14 Ibid 12
51
Ancaman pembunuhan juga terjadi kepada Sekar Kedaton Dyah Wiyat. Abdi dalem, Ki Jalak Pripih menerima sebuah bingkisan mangga dari seorang pemuda yang berisi tiga ekor ular. “Aku yang menerima, Ki Patih,” jawab abdi dalem itu. “Aku menerimanya dari seorang laki-laki berkuda. Orangnya masih muda dan sangat tampan. Orang itu meminta aku menyerahkan sekeranjang mangga ini kepada Tuan Putri Dyah Wiyat.”15 “Orang itu tidak menyebut nama dan asalnya. Hanya itu pesannya dan orang itu pun pergi. Aku sungguh tidak menyangka di bawah buah mangga ada tiga ekor ular itu.”16
Kemudian pembunuhan terjadi lagi di Bale Gringsing, tempat Gajah Enggon dirawat setelah menderita trauma di kepalanya. Korbannya adalah Lurah Ajar Lengse. Tapi sang pembunuh lari melompati dinding yang jejaknya ditemukan Riung Samudra. “.... Dari kejauhan aku melihat Ki Ajar Langse berkelahi dengan entah siapa. Ketika aku berlari mendatangi, Ki Ajar Langse mati dengan pisau tertikam di perutnya....”17 “Kutemukan sebuah jejak, Kakang Gajah,” Kata Riung Samudra. “Orang yang membunuh Lurah Ki Ajar Langse melompati dinding, ada jejak darah di tembok ketika pelaku pembunuhan itu beerusaha meninggalkan tempat ini.”18 3. Komplikasi Konflik semakin meruncing ketika pembunuhan-pembunuhan yang terjadi diisukan disebabkan oleh orang-orang di balik Raden Kudamerta dan Raden Cakradara. Tak hanya itu, gerak-gerik kudeta juga tercium oleh pasukan Bhayangkara dan mengarahkan perhatiannya ke Karang Watu. Di sana, sejumlah pasukan diberikan pelatihan tempur membuat pasukan Bhayangkara menyiagakan diri mengantisipasi makar seperti peristiwa RaKuti. Tak hanya di Karang
15
Ibid, hlm. 342 Ibid, hlm. 343 17 Ibid, hlm. 390 18 Ibid, hlm. 391 16
52
Watu, kecurigaan pemberontakan juga terjadi di Keta dan Sadeng. Informasi ini didapat dari mantan anggota pasukan Bhayangkara, Pradhabasu. “Menurut hamba, Keta dan Sadeng saat ini sedang menyiapkan makar, Tuan Putri,” ucap bekas Bhayangkara Pradhabasu.19 Pembunuhan di kotaraja dan percobaan pembunuhan yang dialami oleh Raden Kudamerta dan Dyah Wiyat, membuat pihak Raden Cakradara dan orang-orang pendukungnya menjadi sasaran curiga Gajah Mada sebagai dalang. Terutama Pakering Suramurda, paman Raden Cakradara yang berambisi menjadikan Cakradara sebagai raja sehingga ia berharap menjadi Mahapatih. Namun, kecurigaan ini menguap begitu saja ketika Pakering Suramurda justru terbunuh. Pakering Suramurda terbelalak dalam memegangi gagang anak panah yang tenggelam di tengah dadanya. Sakit yang timbul dirasakan nyeri bukan kepalang dan tidak memberi kesempatan kepada paman Raden cakradara itu untuk bertahan lama. Hal itu karena ujung anak panah yang menancap berlumur bisa. Pakering Suramurda ambruk untuk berkelojotan dan mati.20
4. Klimaks Klimaks
terjadi
ketika
Pradhabasu
bersama
orang
bertopeng dan berjubah putih berhasil mencegah Rangsang Kumuda yang ingin menculik Dyah Menur yang saat itu berada di pasar bersama Dyah Wiyat. Rangsang Kumuda ynag ingin menculik Dyah Menur sebagai jaminan agar Raden Kudamerta bersedia menjadi suami Dyah Wiyat agar kelak ia menjadi raja. Dyah Menur tetap tak sadar adanya bahaya yang mengintai. Lelaki bercaping itu berjalan makin dekat. Siapa pun orang itu, ia telah mencabut pisau tajam dan menggenggamnya menggunakan tangan kanan, sementara tongkat kayu penuntunnya pindah ke tangan kiri. Orang itu berencana memaksa Dyah Menur untuk mengikutinya dan apabila perempuan yang menjadi sasarannya
19 20
Ibid, hlm. 169 Ibid, hlm. 443
53
itu tidak mau, tersedia pilihan lain, menenggelamkan pisau itu ke tubuh Dyah Menur.21 “Kisanak, aku ada perlu denganmu,”kata orang itu. “Siapa kamu?” balas orang itu. “Apakah kisanak bernama Rangsang Kumuda?”22 Penunggang kuda putih, namun tidak sedang berjubah putih itu menggeleng. “Aku pinjam dulu,” jawabnya. “Akan kuhajar dulu sampai berantakan untuk mengorek keterangan dari mulutnya.”23
Pria berjubah putih itu membawa Rangsang Kumuda ke balai prajurit. Pria itu membawa Rangsang Kumuda dengan terikat di atas kuda. Karena pria itu memakai topeng, membuat beberapa prajurit bersiaga dan merentangkan anak panahnya. Namun, hal itu dicegah oleh Gajah Mada. Dua kuda yang datang itu langsung menerobos masuk menyibak orang-orang yang bergerombol. Menghadapi kemungkinan tak terduga, beberapa prajurit segera merentang anak panah mengarah kepada orang itu. Akan tetapi, Gajah Mada mengangkat tangan menegahnya. Tanpa basa-basi, orang berjubah putih itu menurunkan barang bawaannya. Tubuh terikat dengan kepala tertutup kain itu diturunkan di depan Patih Daha Gajah Mada.24
Untuk meredam kegiatan makar di daerah Karang Watu, pasukan
Jalapati
dipimpin
Senopati
Suryo
Manduro
mengirimpasukannya. Namun, Ra Kembar mengajak beberapa anak buahnya untuk menyerang lebih dahulu ke Karang Watu. Hal ini karena Ra Kembar ingin mendapat penghargaan dan ingin diakui lebih hebat daripada Gajah Mada. Namun, strateginya malah berujung fatal. “Kuminta kepada kalian berdua untuk masing-masing mengirim pasukan dan menyerbu tempat itu. Apa pun kesalahan yang dilakukan Ra Kembar yang mengambil jalan sendiri tanpa minta
21
Ibid, hlm. 477 Ibid 23 Ibid, hlm. 479 24 Ibid, hlm. 487 22
54
izin, tetap saja niatnya baik. Aku mencemaskan Ra Kembar sedang masuk ke sarang harimau karena kesembronoannya....”25 Namun Gajah Mada memanfaatkan kesempatan ini untuk menurunkan
pasukan
Bhayangkara
menangkap
pemimpin
pemberontakan. Ketika pasukan Jalapati, Sapu Bayu, dan Ra Kembar bertarung di Karang Watu, Gajah Mada memerintahkan Pradhabasu untuk memimpin penangkapan Rangsang Kumuda dan Raden Panji Rukmamurti. “Untuk menjamin kamu benar-benar berhasil, bawa dua puluh orang. Langkah dan siasat apa yang akan kau ambil dalam penyerbuan itu, sepenuhnya aku serahkan kepadamu, termasuk siapa saja yang akan kau bawa. Terjuni tempat itu ketika Karang Watu disibukkan oleh serbuah Ra Kembar, pasukan Jalapati, dan Sapu Bayu. Tangkap hidup-hidup orang yang bernama Rangsang Kumuda dan Raden Panji Rukmamurti yang bermimpi menjadi raja itu.26 (GM:TdA, 2009:422)
5. Peleraian Pada tahap ini pemimpin makar dan dalang kejadiankejadian yang terjadi di kotaraja berhasil ditangkap. Misterimisteri terungkap dari penangkapan ini. Rangsang Kumuda yang membantu Panji Rukmamurti untuk menjalankan makar dan
menjadi
dalang
pembunuhan-pembunuhan
yang
mengarahkan Raden Cakradara sebagai tersangka, ternyata adalah Panji Wiradapa, paman dari Raden Kudamerta. “Hamba Tuan Putri,” jawab Gajah Enggon. “Orang ini menggunakan nama Panji Wiradapa yang bukan nama sebenarnya. Karena di balik nama Panji Wiradapa ada nama Brama Rahbumi yang lenyap lebih dari sepuluh tahun bersamaan sejak Mahapati dihukum mati. Panji Wiradapa juga menggunakan nama lain Rangsang Kumuda. Ini orangnya, dalang semua kekacauan itu.”27
25
Ibid, hlm. 420 Ibid, hlm. 422 27 Ibid, hlm. 490 26
55
Raden Panji Rukmamurti yang merupakan pemimpin makar yang berniat menjadi raja, dan pelaku pencobaan pembunuhan Sekar Kedaton Dyah Wiyat juga memiliki nama lain, yaitu Nyai Tanca, istri dari Ra Tanca, orang yang membunuh Sri Jayanegara dan kekasih dari Dyah Wiyat. “Siapa sebenarnya kamu?” Gajah Mada mencecar. “Aku, Nyai Tanca,” jawab Panji Rukmamurti.28 “Perempuan tidak tahu malu. Pengganggu ketentraman rumah tangga orang. Seharusnya kamu mati dipatuk ular itu,” umpat Nyai Tanca yang mendadak liar itu.29 Sedangkan Mandrawa, orang yang selalu mendampingi Panji Rukmamurti dan melindunginya, ternyata adalah Kendar Kendara, prajurit Bhayangkara yang bertugas menjaga rumah Nyai Tanca namun termakan rayuan Nyai Tanca untuk memberontak. “Bhayangkara kendar Kendara!” teriak Nyai Tanca. “Kuminta janjimu yang akan sehidup semati mendampingiku. Ayo, kekasihku, susul aku ke pakunjaran.”30 6. Penyelesaian Bagian akhir dari cerita ini sudah terpampang sedikit di bagian awal. Dyah Wiyat yang akhirnya mengetahui bahwa emban kesayangannya, Dyah Menur ternyata istri dari suaminya Raden Kudamerta. Dyah Menur yang merasa tidak mungkin bersaing mendapatkan
hati Kudamerta
akhirnya
memutuskan
unntuk
meninggalkan kotaraja ditemani Pradhabasu. Dyah Wiyat yang meminta Dyah Menur untuk tinggal dan berbagi suami tidak dapat menggagalkan keinginan Menur untuk pergi. Raden Kudamerta hanya bisa melihat kedua istrinya itu dari jauh. Bagaikan tercekik leher Sri Wijaya Rajasa Sang Apanji Wahninghyun. Raden Kudamerta tidak mampu berbicara ketika melihat dua perempuan itu akhirnya saling melepas pelukan. Meski Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa telah meminta, Dyah Menur Hardiningsih memiliki alasan untuk bersikukuh dengan keputusan yang diambilnya....”31 28
Ibid, hlm. 494 Ibid, hlm. 496 30 Ibid 31 Ibid, hlm. 505 29
56
c. Perwatakan Perwatakan atau karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individuindividu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tesebut. Langit Kresna Hariadi menggambarkan tokoh-tokohnya secara analitik, menjelaskan atau mengisahkan tokohnya secara langsung. 1. Gajah Mada Sesuai dengan judul novelnya, Gajah Mada merupakan karakter utama dari pentalogi novel Gajah Mada. Gajah Mada digambarkan sebagai seorang pemuda yang memiliki tubuh yang kekar. Tubuh yang ia dapat dari olah kanuragan yang berkesinambungan membuktikan bahwa Gajah Mada adalah orang yang ahli kanuragan. Akan tetapi, dibanding dengan Gajah Enggon dan Gagak Bongol, Gajah Mada benar-benar tak tertandingi. Kakinya adalah kaki yang kukuh, tangannya adalah tangan yang kekar, dan ototototnya paling melingkar...32 Di awal karirnya, Gajah Mada hanya berpangkat bekel. Bekel merupakan pangkat di bawah senopati, yang membawahi pasukan kecil. Walaupun kecil, pasukan yang dipimpin Gajah Mada adalah pasukan yang paling mumpuni di kerajaan Majapahit, Bhayangkara. Peristiwa makar Ra Kuti melambungkan nama Gajah Mada karena ia berhasil melarikan Sri Jayanegara dari percobaan pembunuhan Ra Kuti. .... Peristiwa makar ini melambungkan nama Gajah Mada yang hanya menyandang pangkat bekel, tetapi karena keberanian dan kecerdasan otaknya mampu menyelamatkan Raja dari marabahaya dan mengembalikannya ke tampuk pimpinan negara.33
32 33
Ibid, hlm. 92 Ibid, hlm. 8
57
Karena dianggap melakukan jasa yang sangat besar bagi kerajaan, Gajah Mada diangkat menjadi Patih Kahuripan di Jiwana dan dilanjutkan menjadi patih di Daha. Setelah jasa besar yang diperbuatnya ketika melakukan penyelamatan Raja dari makar yang dilakukan Ra Kuti, Gajah Mada memperoleh anugrah dengan kedudukan sebagai Patih Kahuripan di Jiwana yang dilanjutkan anugrah itu dengan menjabat patih di Daha.34
Tak hanya memiliki tubuh yang tegar dan keberanian bertindak, Gajah Mada disempurnakan dengan otak yang cemerlang dan memiliki visi yang jauh ke depan. Banyak orang yang mengagumi kecerdasan Gajah Mada, termasuk para anggota kerajaan. .... Melengkapi tubuhnya yang demikian gagah dan kekar, Gajah Mada memiliki otak yang cerdas, pendapat dan cara pandangnya adakalanya bahkan jauh tembus ke masa depan dan sering mengagetkan yang menyimaknya. Jayanegara termasuk orang yang sering kaget mendengar gagasan yang keluar dari benak Gajah Mada.35 Gelegar suara meledak menyamai guntur serasa meledak di ruangan itu. Ratu Gayatri mencuatkan alis, demikian pula dengan Ratu Tribhuaneswari mengerutkan dahi pertanda benar-benar tercuri perhatiannya...36
Gajah Mada adalah orang yang selalu mengutamakan bangsa dan negaranya. Sebagai seorang patriotik, Gajah Mada selalu memikirkan dan memberikan saran yang terbaik untuk Majapahit. .... Gajah Mada dengan usiannya yang masih muda dan tatapan matanya yang tajam dalam memandang jauh ke depan sangat mungkin mempunyai sumbang saran yang akan bermanfaat bagi kepentingan bangsa dan negara.37
Pemikiran Gajah Mada yang dalam menjadikan Gajah Mada orang yang bijaksana. Sifat ini bahkan diakui oleh Ratu Gayatri yang seorang biksuni. 34
Ibid, hlm. 26 Ibid, hlm. 92 36 Ibid, hlm. 81 37 Ibid, hlm. 71-72 35
58
.... Rupanya usulan Gajah Mada itu sungguh bijaksana. Dengan ditundanya ppengangkatan raja baru maka di rentang waktu yang ada akan bisa dimanfaatkan untuk menilai sosok macam apa Raden Cakradara dan Raden Kudamerta. Menjadi suami ratu dengan sendirinya akan menempatkan suaminya tak ubahnya raja.38 Wajah Gagak Bongol dan Gajah Enggon menegang. Apabila Gajah Mada sampai mengeluarkan pendapat macam itu, tentulah karena berasal dari pemikiran yang mendalam....39
Gajah Mada adalah seorang yang bertanggung jawab dalam menjalankan tugas-tugasnya. Karena itu Jayanegara dan Arya Tadah menginginkannya sebagai Mahapatih berikutnya. Dalam melaksanakan tugas, Gajah Mada selalu mampu menyelesaikan dengan baik. Oleh karena itu, Jayanegara bahkan telah mempersiapkannya sebagai pengganti Patih Amangkubumi Arya Tadah. Mahapatih Arya Tadah sendiri yang merasa dikejar umur mulai melirik siapa yang pantas mewarisi jabatannya. Arya Tadah melihat hanya Gajah Madalah orangnya.40
Gajah Mada orang yang keras. Jika menyangkut masalah kestabilan negara, Gajah Mada tidak pernah mundur untuk berpendapat. Namun, bukan Gajah Mada kalau terpangkas niatnya hanya oleh jawaban itu. Gajah Mada melangkah mundur membelakangi Arya Tadah untuk sejenak kemudian berbalik lagi.41 “Aku yang memeberi tahu Tuan Putri Ratu Rajapatni. Di mata Biksuni, Dyah Wiyat hanya tersandung takdir. Namun, dalam cara pandangku, ke depan Majapahit akan menghadapi kekacauan apabila Tuan Putri Dyah Wiyat yang terpilih dan tidak memiliki keturunan. Bisa jadi akan terjadi perubahan arah garis keturunan, yang tidak punya hak bisa saja merebut menguasai takhta....”42
Gajah Mada memiliki wibawa yang sangat besar, membuat orang disekitarnya segan terhadapnya. ....Dari apa yang terjadi itu terlihat betapa besar wibawa Gajah Mada, bahkan beberapa prajurit harus mengakui wibawa yang dimiliki Gajah Mada jauh lebih besar dari wibawa Jayanegara. Sri Jayanegara masih bisa diajak bercanda, tetapi tidak dengan 38
Ibid, hlm. 83 Ibid, hlm. 94 40 Ibid, hlm. 115 41 Ibid, hlm. 71 42 Ibid, hlm. 258-259 39
59
Patih Daha Gajah Mada, sang pemilik wajah yang amat beku itu.43 Wibawa Gajah Mada memang demikian besar. Tidak seorang pun dari orang-orang yang hadir di pendapa Balai Prajurit yang berani mendahuli berbicara.44
2. Sekar Kedaton Dyah Wiyat Dyah Wiyat merupakan adik bungsu dari Jayanegara yang berbeda ibu. Dyah Wiyat memiliki sifat tegar, berwawasan luas, memiliki pandangan ke depan, dan berwibawa. Sri Gitarja mungkin terpilih sebagai ratu karena dari calon yang ada, Sri Gitarja lebih tua. Akan tetapi, apabila dilihat dari sisi kemampuan, adiknya banyak memiliki kemampuan yang tidak terduga. Lebih tegar, lebih berwawasan luas, lebih jauh dalam memandang ke depan, dan lebih berwibawa....45 ....Ibu Ratu melihat dalam banyak hal dyah wiyat memang memiliki sifat dan sikap yang menonjol dari kakaknya. Dyah Wiyat bisa bersikap tegas, mampu memilih secara tegas satu di antar banyak pilihan yang berada dalam kedudukan tak ubahnya malakama. Sifat dan sikap yang demikian lebih mandiri dan amat sesuai untuk menjadi pemimpin.46
Dyah Wiyat juga memiliki kecerdasan yang tidak bisa diremehkan. Sementara dalam olah pikir, tidak jarang Dyah Wiyat melontarkan pendapat yang mengagetkan. Ini menjadi gambaran anak bungsu mendiang Raden Wijaya itu memiliki kecerdasan yang tidak bisa diremehkan.47 Dyah Wiyat memiliki kisah percintaan terlarang dengan Ra Tanca, tabib istana. Karena itu Dyah Wiyat sering menginginkan dirinya sakit untuk bisa bertemu Ra Tanca. ....Kelemahan Sri Gitarja adalah karena ia sering sakit-sakitan, sebuah keadaan yang di masa silam sangat diirikan Dyah Wiyat, sebab hanya dengan sakit ia bisa bertemu dengan Rakrian Tanca kekasih hatinya.48
43
Ibid, hlm. 134 Ibid, hlm. 418 45 Ibid, hlm. 66 46 Ibid, hlm. 244 47 Ibid, hlm. 66 48 Ibid, hlm. 66 44
60
Dyah Wiyat yang awalnya tidak memikirkan untuk menjadi ratu, berubah pikirannya setelah mengetahui Raden Kudamerta telah beristri sebelum menikahinya dan adanya perebutan kekuasaan. “Semula memang hamba tidak bermimpi, Ibu,” tambah Dyah Wiyat. “Hamba tak ingin hamba yang diangkat menjad ratu. Di sisi lain, sebelah hamba ada Mbakyu Sri Gitarja yang lebih tua dari hamba. Mbakyu Gitarja lebih berhak memimpin negeri ini didampingi Kakang Raden Cakradara. Akan tetapi, melihat perkembangan keadaan sekarang, hamba justru terpanggil oleh tugas berat itu. Di hadapan Ibu Ratu Gyatri junjungan sesembahan hamba, hamba berjanji akan melaksanakan tugas dengan baik. Hamba akan menjawab perbuatan orang-orang yang berniat memperebutkan takhta dan kekuasaan itu dengan cara yang benar....49 Dyah Wiyat adalah orang yang berani mengungkapkan apa yang ada dipikirannya. Dan ia juga orang yang memiliki harga diri yang tinggi. ...Kekuatan derajat yang dimiliki Raden Kudamerta tak cukup untuk digunakan mempersoalkan masalah itu. Dyah wiyat anak raja, anak kandung Raden wijaya, Raja Majapahit yang gung binatara, sementara Kudamerta hanyalah pewaris kekuasaan Pamotan, penguasa wilayah yang kecil saja. Ketika berniat menjamah, Raden Kudamerta harus menyembah lebih dulu....50 Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa yang bersedekap berbalik. “Boleh tahu siapa nama istrimu itu, Kakang?” tanya Dyah Wiyat. Raden Kudamerta sungguh bingung, tak tahu bagaimana cara menjawab. “atau, akan kau sembunyikan istrimu itu selamanya dariku?”51 ....Dyah Wiyat tidak merasa terpanggil untuk segera memberikan pertolongan. Rahasia yang disembunyikan laki-laki itu, rahasia yang kini bukan rahasia lagi, bahwa ia telah beristri saat mengawini dirinya, sungguh merupakan pelecehan yang tak akan terampunkan.52 Walaupun begitu, Dyah Wiyat adalah orang yang baik dan tabah. Ia mengijinkan Dyah Menur untuk tinggal bersamanya dan berbagi suami. “Apa yang aku inginkan sudah jelas, Sekar Tanjung,” kata Dyah Wiyat. “Aku sama sekali tidak keberatan suamiku memiliki istri
49
Ibid, hlm. 243-244 Ibid, hlm. 237 51 Ibid, hlm. 266 52 Ibid 50
61
lain selain diriku. Kembalilah ke istana dan marilah untuk selalu berdekatan denganku.”53
3. Sekar Kedaton Sri Gitarja Sri Gitarja merupakan kakak dari Dyah Wiyat. Sebagai kakak ia telah memangku jabatan di Kahuripan dalam usia yang masih muda. .... Dalam usianya yang masih belia, Sri Gitarja telah menyandang kedudukan yang tidak bisa dianggap ringan. Kepadanya telah diserahkan tugas untuk menjadi wali pemangku Istana Kahuripan....54
Walaupun begitu, Sri Gitarja bukanlah orang yang mandiri. Sri Gitarja adalah orang yang bergantung pada orang lain. .... tingkat ketergantungan Sri Gitarja sangat tinggi. Ketika Sri Gitarja yang dipilihnya, nantinya Raden Cakradaralah yang menjalankan tugas-tugas anaknya itu....55 Sri Gitarja juga orang yang mengalah dan mementingkan kesejahteraan negaranya. Setelah ia mengetahui bahwa suaminya Raden Cakradara terlibat perebutan kekuasaan setelah mangkatnya Jayanegara. “Aku minta tolong, Paman. Bantu aku menyampaikan sikapku kepada Ibunda Ratu Gaytri dan para Ibunda Ratu yang lain. Aku menolak kedudukan itu. Aku lihat Adi Dyah Wiyat justru lebih pantas dan tepat untuk ditunjuk menjadi ratu. Adi Dyah Wiyat lebih gesit, lebih ringan tangan, dan tegas. Dibutuhkan sikap yang tegas dan kuat untuk memimpin negeri ini. Sikap semacam itu ada pada adikku.”56 “pembunuhan-pembunuhan yang terjadi dimulai bersamaan dengan mangkat Sang Prabu, suamiku terlibat,” jawab Sri Gitarja dengan suara serak.57
4. Raden Kudamerta Raden Kudamerta digambarkan sebagai pemuda tampan yang memiliki tubuh tinggi dan gagah. Karena itulah ia menjadi perhatian dari gadis manapun. Saingannya hanya 53
Ibid, hlm. 505 Ibid, hlm. 25 55 Ibid, hlm. 244 56 Ibid, hlm. 335 57 Ibid 54
62
Raden Cakradara. Kudamerta kalah dalam adu panah dengan Cakradara, namun ia menang dalam hal lari. Pesaing terdekat Cakradara memang hanya Kudamerta. Dengan usia sebaya, bentuk tubuh yang sangat mirip, tinggi dan gagah serta tampan, Kudamerta juga menjadi perhatian siapa pun atau gadis mana pun. Walaupun Kudamerta tak mungkin menyaingi Cakradara dalam olah panah ngembat watang, tetapi tak seorang pun yang mampu menandinginya dalam adu kecepatan lari....58
Walaupun
begitu,
Raden
Kudamerta
menganggap
Cakradara sebagai sahabatnya. Ia menghormati Cakradara, begitu pula sebaliknya. Mereka sering berkuda bersama. Hubungan secara pribadi antara Kudamerta dan Cakradara terjalin dengan baik. Dalam banyak hal mereka sering bersama, satu dan lainnya saling menghormati dan menghargai. Apabila petang datang senja menbayang, dua satria tampan itu sering berkuda menyusuri jalan, saling membalap adu cepat....59 Raden Kudamerta menikahi Dyah Wiyat dengan terpaksa. Ancaman dari pamannya, Panji Wiradapa, yang menculik istri dan anaknya membuat Kudamerta terpaksa menikah dengan Dyah Wiyat. Hal ini sebagai jaminan Kudamerta tetap mengikuti rencana untuk meraih tahta. ....Raden Kudamerta yang oleh Ratu Gayatri dianugrahi gelar Sri Wijaya Rajasa Sng Apanji Wahninghyun itu tidak mampu memusatkan perhatiannya pada rangkaian acara yang diikutinya. Ketika mata Kudamerta terpejam, selalu muncul wajah seseorang yang amat mencuri dan menyita perhatiannya. Wajah itu wajah perempuan yang dipelukannya ada bayi yang tengah menyusu.60 “Aku meminta maaf, Dyah Wiyat. Aku tak berniat menyembunyikan hal itu. Aku bahkan ingin meluruskan perkawinan ini sejak awal, tetapi aku tidak punya pilihan,” jawab Raden Kudamerta.61 Walau pun pahit, akhirnya Raden Kudamerta memutuskan untuk tetap memilih Dyah Wiyat sebagai istri satu-satunya. Hal ini untuk kestabilan pemerintahan ke depannya. Walaupun itu membuat beberapa orang kebingungan karena Kudamerta tidak berkata jujur. 58
Ibid, hlm. 56 Ibid, hlm. 57 60 Ibid, hlm. 149 61 Ibid, hlm. 266 59
63
“Hamba belum pernah mengawini siapa pun, Tuan Putri,” jawab Kudamerta dengan suara amat tegas. Jawaban itu menyentakkan Sekar Kedaton Dyah wiyat Rajadewi Maharajasa. Jelas Raden Kudamerta menyampaikan hal yang sama sekali tidak benar. Gajah Mada juga terkejut karena Raden Kudamerta memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan kenyataan. Namun, rupanya jawaban itu sudah cukup bagi Ibu Ratu yang tidak merasa perlu mengejar dengan pernyataan yang lain. Patih Daha Gajah Mada yang berpikir keras kemudian tersenyum. Tiba-tiba saja Gajah Mada sadar bahwa tidak penting bagi Ibu Ratu, apakah Raden Kudamerta berkata jujur atau tidak. Yang paling penting rupanya bagaimana Raden Kudamerta bersikap. Dengan jawaban itu berarti Raden Kudamerta harus menempatkan Maharajasa sebagai satu-satunya istri, tanpa ada perempuan lain sebagai istri yang lain. Jika istri pertama itu ada, berarti ia harus disingkirkan.62
5. Raden Cakradara Raden Cakradara digambarkan sebagai pemuda yang memiliki tubuh tegap, gagah dan berotot. Tidak hanya itu, Cakradara adalah seorang ahli memanah. Tidaklah heran Cakradara menjadi dambaan gadis-gadis. Cakradara memiliki tubuh yang tegap dan sangat gagah. Tubuhnya berotot dengan dada bidang, alisnya tebal. Dalam olah kanuragan Cakradara selalu mencuri perhatian siapa pun. Kemampuan kelahi menggunakan berbagai jenis senjata sulit ditandingi. Yang paling menonjol adalah kemampuannya ngembat watang....63 Ketampanan Cakradara dan segala kelebihan yang dimilikinya menjadikan dirinya buah gunjing siapa pun, terutama para gadis. Nyaris tidak seorang pun gadis di Ibukota Majapahit yang tidak mengenal namanya dan semua berangan-angan menjadi pendamping hidupnya....64
Cakradara berani menentang keinginan pamannya yang menginginkan kekuasaan dan berambisi menjadikan Cakradara seorang raja. “Semua itu bukan angan-anganku, Paman,” teriak Raden Cakradara. “Angan-angan itu angan-angan Paman, bukan angananganku. Mimpi itu mimpi Paman bukan mimpiku.”65
62
Ibid, hlm. 498-499 Ibid, hlm. 56 64 Ibid 65 Ibid, hlm. 440 63
64
6. Gajah Enggon Gajah Enggon adalah pemimpin pasukan Bhayangkara menggantikan Gajah Mada setelah Gajah Mada diangkat menjadi patih di Kahuripan. Tugas berat memimpin dan membina pasukan Bhayangkara selanjutnya diserahkan kepada Gajah Enggon yang juga memiliki nama Gajah Pradamba....66
Gajah Enggon adalah orang yang bertanggung jawab terhadap kewajibannya. Beberapa tugas berat tak ragu-ragu diserahkan
kepadanya
oleh
Gajah
Mada.
Ia
juga
mengungkapkan dan menangkap dalang di balik kejadian pembunuhan di lingkungan istana di balik topeng dan jubah putih. “Siapa yang melakukan pembunuhan ini?” tanya Senopati Gajah Enggon. “Aku serahkan penelusurannya kepadamu,” jawab Gajah Mada....67 “Akan kau bawa langsung ke Balai Prajurit?” bertanya Pradhabasu. Penunggang kuda putih, namun tidak sedang berjubah putih itu menggeleng. “Aku pinjam dulu,”jawabnya. “Akan kuhajar dulu sampai berantakan untuk mengorek keterangan dari mulutnya.68 7. Pradhabasu
Pradhabasu adalah mantan anggota pasukan Bhayangkara. Ia keluar dari kesatuan karena kecewa akan keputusan Sri Jayanegara terhadap kesalahan Gagak Bongol yang ceroboh membunuh Mahisa Kingkin. Mahisa Kingkin adalah adik ipar Pradhabasu dan juga sahabatnya di Bhayangkara. Karena kematian Mahisa Kingkin, istrinya sekaligus adik Pradhabasu memutuskan bunuh diri untuk menyusul suaminya sebagai tanda bakti. Ditambah Mahisa Kingkin meninggalkan seorang
66
Ibid, hlm. 17 Ibid, hlm. 93 68 Ibid, hlm. 479 67
65
anak laki-laki. Dan kekecewaan itu membuat Pradhabasu bersikeras tidak akan kembali ke pasukan Bhayangkara. “Apa yang terjadi itu menjadi mimpi buruk berkepanjangan, Tuan Putri Ratu,” Pradhabasu melanjutkan. “Tak hanya kematian Mahisa Kingkin, sahabat sejati yang juga adik ipar hamba yang selalu menyelinap dalam mimpi, tetapi apa yang menimpa adik hamba menjadi beban tak tertanggungkan. Hamba berusaha keras untuk melupakan, namun karena setiap kali hamba harus bertatapan muka dengan anak yang mereka tinggalkan, hamba tidak mungkin melupakan. Meski sembilan tahun telah lewat, hamba tak mungkin melupakan. Hamba merasa terharu karena Tuan Putri Ratu telah berkenan meminta hamba untuk mengabdi kembali di kesatuan Bhayangkara, namun hamba tak mampu.”...69
Walaupun Pradhabasu telah keluar dari Bhayangkara, namun pengabdiannya kepada negara, khususnya anggota kerajaan, tetap dilaksanakannya. Seperti menyelamatkan Raden Kudamerta dari lemaparan pisau. Pradhabasu juga memimpin penyerangan ke Karang Watu atas perintah Gajah Mada. “Hamba Tuan Putri,” jawab Gajah Enggon. “Hamba sependapat dengan Tuan Putri Ratu. Pada saat terakhir walaupun Adi Pradhabasu berada di luar Bhayangkara, kembali ia telah membuat jasa. Kalau tidak karena kesigapannya, barangkali pisau itu telah menancap di bagian yang berbahaya di dada Raden Kudamerta.... (GM:TdA, 2009:174) 8. Gagak Bongol
Gagak Bongol melakukan kesalahan di masa lalu dengan membunuh Mahisa Kingkin atas hasutan Singa Parepen, pengkhianat Bhayangkara di masa pemberontakan Ra Kuti. Gagak Bongol diberi kesempatan oleh Pradhabasu untuk menebus kesalahannya dengan mengasuh Prajaka, anak lakilaki Mahisa Kingkin. Awalnya Gagak Bongol kewalahan mengasuh Prajaka karena Prajaka keterbelakangan mental. Namun, lama-kelamaan Gagak Bongol menganggap Prajaka sebagai anugrah unutknya. 69
Ibid, hlm. 180-181
66
Padahal, Gagak Bongol benar-benar menganggapnya sebagai anugrah. Sekian tahun Gagak Bongol dibayangi rasa bersalah, kali ini tiba-tiba mendapat kesempatan untuk merebus kesalahan itu dengan memungut keturunan Mahisa Kingkin sebagai anak meski keadaan bocah itu tidak waras, cacat pada jiwanya.70
Sebagai pasukan Bhayangkara, walaupun Gagak Bongol pernah melakukan kesalahan fatal, namun ia tetap orang yang dapat dipercaya untuk memimpin suatu
pekerjaan besar.
Pembuatan candi untuk Sri jayanegara dipercayakan padanya. “Ada sebuah pekerjaan besar yang harus dikerjakan dan aku menginginkan pekerjaan besar itu bisa dikerjakan dengan sempurna tanpa cacat. Walaupun belum ada perintah secara langsung dari para Tuan Putri Ratu, tetapi jelas bakal ada pencandian dan pendarmaan. Kuserahkan pengendalian pekerjaan besar ini kepadamu.”71
9. Dyah Menur Hardiningsih Dyah Menur adalah istri Raden Kudamerta yang ditawan oleh Panji Wiradapa atau Rangsang Kumuda agar Raden Kudamerta bersedia menikah dengan Dyah Wiyat. Dyah Menur memiliki seorang bayi laki-laki hasil buah cintanya dengan Raden Kudamerta. Dyah Menur adalah wanita sederhana yang memiliki keinginan yang sederhana. .... Apalagi, pada dasarnya Dyah Menur bukan jenis wanita serakah. Dyah Menur hanya wanita biasa, wanita sederhana dan bukan jenis pemimpi menggapai langit. Cita-cita dan keinginannya hanya sederhana, tidak terlalu muluk terbang ke awang-awang, tidak ingin bederajat tinggi yang oleh karenanya harus disembah dan dilayani. Tuntutan kebahagiaannya sederhana saja. Perempuan itu, Dyah Menur Hardiningsih nama lengkapnya, merasa kebahagiaannya dirampok.72
Dyah Menur adalah wanita yang gigih berjuang demi bertemu dengan orang yang ia cintai. Walau pun itu harus dilakukan dengan cara menyamar menjadi emban di istana Dyah Wiyat dengan nama samaran Sekar Tanjung. Walaupun
70
Ibid, hlm. 193 Ibid, hlm. 96 72 Ibid, hlm. 105 71
67
menjadi emban, namun kecantikan Dyah Menur/Sekar Tanjung sanggup membuat Dyah Wiyat terkesima. Dyah Wiyat memandang Sekar Tanjung dengan mata tak berkedip dan sedikit rasa takjub. Perempuan bernama Sekar Tanjung itu memiliki tubuh yang sangat bagus dengan lekuk pinggang yang indah dan ramping. Wajahnya yang lugu tidak mampu menyembunyikan kecantikannya. Bila Sekar Tanjung mendapat kesempatan berdandan sebagaimana dirinya tentu kecantikannya tak akan kalah dari kecantikannya.73
10. Ibu Ratu Biksuni Gayatri Ratu Gayatri adalah seorang biksuni. Selayaknya seorang biksuni, Ratu Gayatri melepaskan semua kehidupan dan keterikatannya dengan duniawi, sehingga ia menjadi orang yang sangat tenang. Ketenangan itu membuat orang-orang di sekitarnya terbawa, terutama abdi dalem dan emban istana. Berhadapan dengan Ibu Ratu Narendraduhita, Ibu Ratu Rajapatni Gayatri yang dalam setahun terakhir mempersiapkan diri menjadi seorang biksuni, justru terlihat amat tenang, tidak tampak kesedihan di wajahnya. Ibu Ratu Gayatri sangt sadar bahwa pada dasarnya kematian merupakan pintu gerbang menuju nirwana yang kedatangannya tidak perlu ditangisi. Pada suatu tingkat kesadaran, kematian justru harus disambut dengan kebahagiaan, toh kematian akan menimpa siapa saja, juga raja. Itu sebabnya, Ibu Ratu Gyatri selalu menampakkan raut wajah yang sangat bersih, raut muka ikhlas. Segenap abdi perempuan sangat dekkat dengan Ibu Ratu Gayatri. Namun, kedekatan itu berbalut rasa hormat dan segan.74 .... Ibu Ratu Gayatri menampakkan wajah yang bersih, jauh dari keruh duniawi. Senyuman yang ditebar anak kelima Sri Kertanegara itu menjanjikan ketenangan dan kedamaian kepada siapa pun yang datang kepadanya....75
Ratu Gayatri juga digambarkan sebagai wanita yang cantik walaupun sudah berumur lima puluh tahun. ....Meski usianya berada di atas lima puluhan tahun, kecantikan ratu Gayatri masih memancar bercahaya.76
Kejernihan hati yang dimiliki Ratu Gayatri di dapat karena penyerahan dirinya menjadi biksuni. Karena itulah ia ditunjuk 73
Ibid, hlm. 398 Ibid, hlm. 5 75 Ibid, hlm. 101 76 Ibid, hlm. 64-65 74
68
oleh para Ibu Ratu untuk memilih siapa pewaris tahta setelah Sri Jayanegara wafat. ....Untuk menunjuk siapa yang akan menggantikan Jayanegara dibutuhkan kejernihan mata hati, dan itu hanya adiknya yang seorang biksuni yang memiliki....77 Selagi menimang untuk memilih siapa yang menggantikan Jayanegara, Ratu Gayatri juga dipercaya untuk menempati dampar sementara atas usulan Gajah Mada. Hal ini juga di dukung oleh Mahapatih Arya Tadah. “Menurut hamba, untuk sementara kekuasaan itu sebaiknya berada di tangan Tuan Putri Ratu Gayatri,” jawab Gajah Mada.78 “Hamba sependapat dengan usulan Patih Daha Gajah Mada, Tuan Putri Ratu. Dengan demikian, Tuan Putri Ratu akan memiliki kesempatan unutk menimbang lebih teliti dan memandang peralihan kekuasaan itu dengan lebih jelas.”79
Ratu Gayatri yang seorang biksuni tak lagi mengenal rasa takut. Bukannya takut, karena sebagai biksuni, Ratu Gayatri tak lagi mengenal takut, tetapi memang tak baik apabila sampai terjadi kekacauan di tempat yang amat padat itu.80
11. Mahapatih Arya Tadah Arya Tadah digambarkan sebagai seorang laki-laki tua yang telah mengabdikan dirinya kepada keluarga raja sejak pemerintahan Raden Wijaya. Masa kecil Jayanegara, Sri Gitarja, dan Dyah Wiyat dilalui bersama dengan Arya Tadah. Karena itu, Arya Tadah menganggap mereka seperti anaknya sendiri. Berdiri tak jauh dari Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri, Mmahapatih Arya Tadah terlihat sangat bahagia. Mahapatih Arya Tadah yang tua itu merasa bahkan mati pun ia ikhlas manakala melihat momongannya telah memasuki gerbang rumah tangganya. Bagi Mapatih Amangkubumi Arya Tadah, para Sekar Kedaton telah menyita banyak ruang kasih sayangnya. Dalam
77
Ibid, hlm. 65 Ibid, hlm. 83 79 Ibid, hlm. 83-84 80 Ibid, hlm. 154 78
69
menyayangi Sri Gitarja dan Dyah Wiyat memang tak ubahnya terhadap anak sendiri....81
Arya Tadah adalah orang yang setia. Setelah istri tercintanya meninggal, Arya Tadah tidak berniat untuk mencari penggantinya. Ia memutuskan untuk hidup sendiri, tanpa anak pula. Melihatnya sendiri, Sri Gitarja pernah menjodohkannya dengan emban istana namun ditolak oleh Arya Tadah. .... Arya Tadah sendiri adalah orang yang tidak punya siapasiapa. Istrinya telah meninggalkannya lebih dari sepuluh tahun lampau dan tidak meninggalkan keturunan. Arya Tadah tidak berniat untuk berumah tangga lagi. Kesetiaannya kepada mendiang istrinya harus ditebus dengan mendudua samai tua, bahkan telah diniati sampai mati. Terhadap keadaann itu Sri Gitarja pernah menjodoh-jodohkan, misalnya dengan seorang abdi dalem istana, namun Mahapatih Arya Tadah menolak....82
12. Panji Wiradapa/Rangsang Kumuda Panji Wiradapa adalah paman dari Raden Kudamerta. Panji Wiradapa adalah orang yang berambisi untuk merebut kekuasaan
Majapahit.
Ia
memanfaatkan
keponakannya,
Kudamerta, yang ditunangkan dengan Dyah Wiyat agar segera menikahinya supaya Kudamerta menjadi raja dan ia menjadi Mahapatih. Ke depannya akan diketahui bahwa Rangsang Kumuda
adalah
Panji
Wiradapa
yang
mendalangi
pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di kotaraja. ia bersama Panji Rukmamurti merencanakan makar. “Kau bisa menjadi raja, Kudamerta. Manfaatkanlah kesempatan yang sangat langka ini. Mulai sekarang bermainlah dengan cantik. Untuk meraih gegayuhan itu memerlukan pengorbanan. Untuk sebuah tujuan yang sangat kau yakini, kau bahkan harus menggunakan dan membenarkan cara apa pun. Mulai menyusun rencana dari sekarang, kau bisa memanfaatkan hubunganmu dengan Tuan Putri,” lanjut orang itu.83 Bila berkaca pada brenggala, dahulu Panji Wiradapa pernah menggantungkan cita-citanya setinggi langit. Jabatan keprajuritannya kali ini hanyalah sebgai lurah prajurit, padahal 81
Ibid, hlm. 98 Ibid 83 Ibid, hlm. 52 82
70
Panji Wiradapa merasa dirinya pantas menjadi seorang patih, orang kedua setelah raja. Karena mimpi untuk menjadi orang penting itu ternyata tidak terwujud, cukuplah orang lain yang mewakilinya. Asal bisa melihat Raden Kudamerta menjadi raja maka puaslah rasanya. Ki Panji merasa cita-cita itu telah terwakili.84
Agar ambisinya tercapai, Panji Wiradapa tak henti-hentinya menghasut Kudamerta untuk menjadi raja. “Kau harus bermimpi, Kudamerta,” ucap Panji Wiradapa tegas, tetapi dalam nada bisik. “Kau harus menggantungkan angananganmu setinggi langit. Akan tetapi, tidak sekadar bermimpi, jauh lebih penting dari itu, kau harus berusaha dengan keras mewujudkanmimpi itu menjadi kenyataan. Kau punya peluang itu, kau bisa menjadi raja, menjadi orang tedepan. Kini saatnya, gunakan kesempatan yang terbuka jelas di depan matamu.”85
Rangsang Kumuda orang yang keji. Ia rela melakukan apa pun agar ambisinya mendapatkan kekuasaan tercapai. Bahkan dengan cara membunuh sekali pun. Rubaya, orang suruhannya ia bunuh agar identitasnya tidak tersebar. Laki-laki tua itu, ia Rangsang Kumuda, tersenyum penuh arti. Rangsang Kumuda bergegas menjauh sambil dengan segera membasuh kesan apa pun dari raut mukanya. Rangsang Kumuda sadar, apabila rubaya sampai tertangkap dan bisa dikorek semua keterangan dari mulutnya, hal itu akan membahayakannya. Apalagi, apabila Rubaya memmbuka simpul hubungannya dengan raden Kudamerta. Oleh karena itu, sebagaimana yang lain, orang-orang yang menjadi mata rantai yang menghubungkan dengan dirinya harus dipangkas. Dengan kematian Rubaya, tak seorangpun yang bisa menjelaskan siap sebenarnya Rangsang Kumuda.86
Rangsang Kumuda yang menyandra Dyah Menur dan bayinya tidak segan-segan melakukan tindakan berbahaya kepada sang bayi jika Dyah menur tidak menuruti perintahnya. Betapa remuk hati Menur yang merasa harus melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kata hatinya. Namun, melawan kehendak orang itu akan berakibat buruk bagi dirinya. Laki-laki itu sangat kejam. Ancaman akan menyakiti dirinya bukan ancaman paling kejam, ancaman terhadap anaknyalah yang justru 84
Ibid, hlm. 54 Ibid 86 Ibid, hlm. 164 85
71
sangat mengerikan, apabila tidak dituruti apa yang menjadi kehendaknya, nyawa anaknya menjadi taruhan. Setiap kali ia melawan, ancaman terhadap anaknya yang akan dihadapi. Lakilaki tua itu tak segan-segan akan membuktikan ancamannya.87
Rangsang Kumuda juga berniat membunuh Dyah Menur saat menemukannya di pasar Daksina bersama Dyah Wiyat yang sedang menyamar. Dyah Menur tetap tidak sadar adanya bahaya yang mengintai. Lelaki bercaping itu berjalan makin dekat. Siapa pun orang itu, ia telah mencabut pisau tajam dan menggenggamnya menggunakan tangan kanan, sementara tongkat kayu penuntunnya pindah ke tangan kiri. Orang itu berencana memaksa Dyah Menur untuk mengikutinya da apabila perempuan yang menjadi sasarannya itu tidak mau, tersedia pilihan lainn, menenggelamkan pisau itu ke tubuh Dyah Menur.88
Demi mendapatkan kekuasaan sebagai patih,
Panji
Wiradapa memalsukan kematiannya sendiri. Bahkan rela memerintah Rubaya untuk melukai Raden Kudamerta dan membuat Raden Cakradara sebagai kambing hitam. “Kuwakili Panji wiradapa untuk menjawab pertanyaan itu.” Gajah Enggon menjawab. “apa yang dilakukan Panji Wiradapa adalah sebuah fitnah untuk merusak nama Raden Cakradara. Satu per satu orang-orang Raden Kudamerta dibunuh. Orang pertama yang dimatikan adalah dirinya sendiri. Panji Wiradapa mati adalah rekayasa dengan mengorbankan orang lain. Orang itu didandani tidak ubahnya Panji Wiradapa, lalu dibunuh. Disusul oelh kematian berikutnya dan berikutnya yang semua adalah orang –orang Raden Kudamerta. Dengan pembunuhanpembunuhan itu maka semua orang akan mengarahkan pandangan ke Raden Cakradara sebagai pelakunya. Dengan menghancurkan nama Raden Cakradara, orang ini berharap terbukka bagi Raden Kudamerta untuk menjadi raja. Bila Raden Kudamerta menjadi raja, ia berharap ia yang akan duduk di dampar kepatihan.”89 (GM:TdA, 2009:491)
13. Pakering Suramurda
87
Ibid, hlm. 105 Ibid, hlm. 477 89 Ibid, hlm. 491 88
72
Pakering Suramurda adalah seorang penjaga juda Raden Cakradara sekaligus pamannya. Seperti Panji Wiradapa, Pakering Suramurda menghasut Cakradara untuk menempati posisi raja walaupun Cakradara terang-terangan menolaknya. “Kamu harus pusatkan perhatianmu, Cakradara. Hubunganmu dengan Sri Gitarja harus segera dituntaskan ke perkawinan. Sri Gitarja akan diangkat menjadi ratu, kamulah yang kewahyon, penggenggam kekuasaan yang sebenarnya. Sudah bisa dipastikan kamulah nanti yang bakal diangkat menjadi raja. Jangan sampai kesempatan yang telah berada dalam genggaman tanganmu itu terlepas. Sekali kesempatan itu lepas maka kau akan meyesal selamanya.”90
Pakering Suramurda berniat melakukan apa saja untuk menjadikan Raden Cakradara sebagai raja. Meski pun harus membunuh Raden Kudamerta. “Aku wajib mengingatkanmu, pesaing bisa menyerobot dari arah samping, atau muncul dari tempat yang sama sekali tidak terduga. Firasatku mengatakan, sejak sekarang kkau berada dalam bahaya karena pihak pesaing itu menganggap tempat dan kedudukanmu sekarang bisa menjadi batu sandungan mimpi mereka. Sejak sekarang berhati-hatilah. Kewajibanku untuk mengamankan kepentinganmu jangan sampai ada yang mengganggu. Sejak dini aku melihat Raden Kudamerta telah mempersiapkan diri dan berupaya keras agar kekuasaan nanti jatuh ke tangannya. Menghadapi hal itu, Paman tak akan tinggal diam, Paman akan menghancurkan kekuatan itu. Paman akan menggerogoti sedikit demi sedikit dan bila perlu anak panah atau ayunan pisau akan di arahkan ke dadanya....91
Pakering Suramurda juga digambarkan sebagai orang yang cepat naik darah. Ia tidak segan-segan memaki Raden Cakradara ketika menolak rencananya untuk merebut tahta. “Kamu bukan lelaki, tapi kamu perempuan. Kalupun kamu bersuami istri dengan Sri Gitarja maka tempatmu tak lebih dari permaisuri. Kamu permaisuri dan Sri Gitarja itu rajanya. Tidak bisakah matamu melihat kedudukan seperti itulah yang akan kamu jalani?”
90 91
Ibid, hlm. 59 Ibid
73
Namun, Pakering Suramurda akhirnya mati terbunuh akibat panah beracun. Pakering Suramurda terbelalak dalam memegangi gagang anak panah yang tenggelam di tengah dadanya. Sakit yang timbul dirasakan nyeri bukan kepalang dan tidak memberi kesempatan kepada paman Raden Cakradara itu unutk bertahan lama. Hal itu karena ujung anak panah yang emnancap berlumur bisa. Pakering Suramurda ambruk untuk berkelojotan dan mati.92 14. Nyai Tanca/Raden Panji Rukmamurti
Nyai Tanca adalah istri dari Ra Tanca, salah satu dari Dharmaputra Winehsuka yang melakukan makar sembilan tahun yang lalu. Nyai Tanca digambarkan sebagai wanita yang licik dan penyebar fitnah. Ia menyebarkan berita bahwa Sri Jayanegara pernah menggodanya dan juga memnagtakan bahwa Dyah wiyat sebagai perusak rumah tangga orang karena hubungan terlarang Dyah wiyat dan Ra Tanca. Tentu saja ini merupakan tindakan yang sangat berani menyebar fitnah tentang keluarga kerajaan. “Aku tidak mengarang cerita. Jayanegara memang pernah berniat kurang ajar kepadaku. Itu kenyataannya. Aku berkewajiban memberitahu orang se-Majapahit. Sri Jayanegara adalah jenis orang sebagaimana yang aku katakan.” Namun, Gagak Bongol memberinya jawaban yang tangkas, “Lalu bagaimana dengan kamu menawarkan diri untuk perang tanding olah asmara denganku. Wanita yang demikian mudah menawarkan diri kepada orang lain tanpa sepengetahuan suami, lalu bagaimana kamu bisa mengarang cerita Jayanegara berniat seperti itu. Jangan-jangan yang terjadi sebenarnya terbalik. Kamu menawarkan diri kepada Tuanku Jayanegara, sri Baginda tidak menanggapi, menyebabkan kamu berulah seprti itu.93 “Segenap rakyat memuji Sri Jayanegara sundul langit sebagai raja yang adil bijaksana, berbudi bawa laksana, ambek adil paramarta. Tidak ada seorang pun yang tahu raja macam apa Jayanegara yang menggerayangi semua perempuan. Laki-laki macam itu tidak pantas menjadi panutan dan sesembahan. Sementara adik perempuan Sri Jayanegara, kebanggaan macam apa yang dimiliki oleh Sekar Kedaton yang selalu mengganggu ketentraman rumah tangga orang. Bagaimana penilaian khalayak ramai apabila mereka mengetahui perempuan macam apa Dyah
92 93
Ibid, hlm. 443 Ibid, hlm. 310
74
wiyat Rajadewi Maharajasa yang tidak punya urat malu, masih terus mengusik Kakang Ra Tanca meski telah beristri?” 94 “Soal hubungan suamimu dengan Sekar Kedaton Maharajasa. Hubungan itu terjadi sebelum kamu mengenal Ra tanca. Menggunakan cara pandang orang lain, bakal terlihat kamulah yang mengganggu hubungan antara Ra Tanca dan Sekar Kedaton.”95 Selain memiliki keberanian yang tinggi dalam menyebar fitnah, Nyai Tanca adalah orang yang sangat pandai berbicara. Ceplas-ceplos demikian ringan ucapan Nyai Tanca menjadi tanda Nyai Tanca memang orang yang sangat pintar, pemberani, dan punya otak untuk berpikir.96 Nyai Tanca adalah digambarkan sebagai wanita murahan yang mudah menawarkan jasa seksual kepada lelaki manapun yang ia temui, bahkan Kendar Kendara yang baru ia temui. “Berhentilah memfitnah raja,” ucap gagak Bongol. “Semua orang di bumi Wilwatikta ini tahu siapa kamu. Kamu perempuan yang pernah menjual diri, bahkan kepadaku pun kau pernah menawarkan diri. Bagaimana aku bisa percaya kepadamu? Bagaimana orang se-Majapahit bisa percaya padamu?” Terbungkam mulut Nyai Tanca. Soal ia pernah memberikan tawaran itu, benar adanya. Beberapa bulan sebelumnya, ketika Gagak Bongol datang berkunjung, Nyai Tanca telah menggodanya dengan cara yang kelewatan melampaui batas kepatutan.97 “Apa yang Nyai lakukan kepadaku?” pemuda itu meletup. Nyai Tanca memandang lelaki di depannya dengan amat lahap, seperti jenis makanan yang menggiurkan. “Apakah tidak salah bunyi pertanyaan itu?” balas Nyai Tanca. “Apakah tidak seharusnya aku yang bertanya, apa yang kaulakukan padaku?” 98
Nyai Tanca memakai nama Radden Panji Rukmamurti untuk memimpin makar bersama Rangsang Kumuda dan Mandrawa. Nyai Tanca adalah penggagas lambang pasukan makar yang dipimpinnya. Ular membelit buah maja. “Jadi kamu pemilik gagasan pembuatan lammbang ini?” tanya Gagak Bongol. “Ya.” 94
Ibid, hlm. 309 Ibid, hlm. 310 96 Ibid, hlm. 307 97 Ibid, hlm. 310 98 Ibid, hlm. 313 95
75
“Lalu, apa artinya?” Nyai Tanca tidak segera menjawab, menggunakan lampu ublik ia menerangi lembaran kain yang dipasang terbentang di dinding. Nyai Ra Tanca sama sekali tidak berniat menyembunyikan kebanggaannya terhadap lambang yang digagasnya itu. “Bola itu lambang buah maja. Ular itu lambang kakang Ra Tanca.”99 “Kamu perempuan rupanya?” tanya gajah Mada. “Ya,” jawab Panji Rukmamurti dengan suara serak. Walaupun lirih jawaban itu terdengar jelas. Jawaban Panji Rukamamurti itu mengagetkan semua yang hadir, namun lebih khusus anak buahnya yang terkejut. Orang-orang yang selama ini menghimpun diri di Karang watu itu menduga Raden Panji Rukamamurti seorang lelaki. Apalagi, suara yang dimilikinya bernada rendah sepertii umumnya lelaki. “Siapa sebenarnya kamu?” Gajah Mada mencecar. “Aku, Nyai Tanca,” jawab Panji Rukmamurti.100
d. Latar Setting/latar adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk di dalam latar ini ialah tempat atau ruang yang dapat diamati. Termasuk di dalam unsur ini adalah waktu, hari, bulan tahun, musim, atau periode sejarah. 1. Latar tempat a) Balai Prajurit Balai prajurit adalah markas besar militer Majapahit. Seperti halnya markas besar, pertemuan-pertemuan kemiliteran dilakukan di tempat ini. Walau pun tidak secara aktif melakukan kegiatan kemiliteran, Gajah Mada sering berkunjung dam mengumpulkan para prajurit Majapahit, khususnya Bhayangkara, di Balai Prajurit. Balai Prajurit penuh oleh segenap Bhayangkara. Tak hanya para Bhayangkara yang berkumpul dan merasa prihatin dengan keadaan pemimpin mereka yang masih pingsan, tetapi juga para prajurit dari kesatuan yang lain yang datang menengok. Di pembaringan dan tetap dalam perawatan Nyai Lengger, Senopati Gajah enggon terbujur lunglai. Keadaan Gajah Enggon benar-benar seperti orang mati.101
99
Ibid, hlm. 308 Ibid, hlm. 494 101 Ibid, hlm. 324-325 100
76
Sebelum dimakamkan, Sri Jayanegara diberikan upacara kemiliteran sebagai anggota kehormatan Bhayangkara di Balai Prajurit. Sebelum dilakukan upacara pembakaran layon sebagaimana keyakinan agama yang dianut Sri Jayanegara, Raya Pralaya itu disemayamkan lebih dulu ke Balai Prajurit dan akan dilakukan penghormatan secara keprajuritan mengingat Jayanegara bukan sekadar seorang raja, namun secara pribadi Sri Jayanegara adalah bagian dari pasukan Bhayangkara....102 Balai Prajurit juga dijadikan tempat persidangan para petualang yang berniat makar seperti Panji Rukmamurti, rangsang Kumuda, dan Mandrawa. Balai prajurit penuh sesak dan berjejal-jejal. Berita ditangkapnya para petualang yang berangan-angan menjungkalkan Majapahit dann berniat mendirikan negara baru menggunakan lambang buah maja yang dibelit ular menyebar ke mana-mana....103 Tempat ini juga dijadikan tempat di mana Ibu Ratu Gayatri memberikan pertanyaan kepada Raden Kudamerta terkait status penikahannya. Pertanyaan yang diajukan dengan tidak terduga-duga itu menyebabkan Raden Kudamerta pucat pasi. Raden Kudamerta yang gugup menyempatkan memejamkan mata untuk meredam gejolak yang terpancing mendadak itu. Pertanyaan itu tak hanya mengagetkan Raden Kudamerta, semua yang hadir di Balai Prajurit tenpa terkecuali terkejut. Mereka yang sudah dengar desas-desus terpancing rasa ingin tahunya, apalagi mereka yang baru dengar tak kalah kaget.104
b) Bale Gringsing Bale Gringsing adalah tempat pemyimpanan benda-benda pusaka. Di Bale Gringsing, Senopati Gajah Enggon dirawat setelah mengalami trauma di kepalanya. Kini hanya bertiga di ruang itu. Bale Gringsing terasa sepi karena perhatian sedang di arahkan ke makam Antawulan yang di sana sedang berlangsung kegiatan yang melibatkan orang banyak. Sri 102
Ibid, hlm. 147 Ibid, hlm. 484 104 Ibid, hlm. 498 103
77
Gitarja dan Dyah Wiyat memerhatikan keadaan Gajah Enggon yang lunglai, lemah tidak mampu melakukan apa-apa. Senopati Gajah Enggon yang semula gagah perkasa itu bahkan tak mampu mengangkat tangan. Tidak untuk mengangkat tangan, bahkan membuka mata pun tidak mampu.105
c) Alun-alun Alun-alun adalah tempat yang biasa di gunakan para prajurit untuk berlatih perang. Di alun-alun, setelah taklimat yang diberikan masing-masing pimpinannya, pasukan segelar sepapan yang beristirahat sejenak itu mempersiapkan diri untuk kembali berlatih. Tambur dipukul dengan berderap menjadi pembakar semangat. Suara tambur kemudian dilanjutkan dengan bunyi sangkakala yang melengking tinggi membelah udara. Suara anak panah yang dilepas ke langit susul-menyusul merupakan perintah yang harus dipahami karena tidak mungkin perintah diberikan hanya dengan berteriak. Dan ktika bende Kiai Samudra ditabuh dalam latihan berkekuatan segelar sepapan itu, suaranya menggetarkan udara dari ujung ke ujung. Bila ada yang berani berada pada jarak amat dekat ketika bende itu dihantam pemukulnya akan merupakan jaminan bakal jebol gendang telinga orang itu.106
Ra Kembar mendapat informasi mengenai makar di Karang Watu dari seorang informan mata duitan bernama Singajaya di alun-alun. Singajaya nama laki-laki itu, ia merasa berita yang diterimanya sangat penting sehingga tak sabar menunggu geladi perang di alun-alun itu berakhir. Tubuhnya basah kuyup oleh keringat yang diperas setelah berlari kencang dari makam Antawulan ke alunalun. Singajaya yang merasa tidak sabar bahkan memutuskan menyibak segenap prajurit yang sedang menerima teklimat dari pimpinan masing-masing. Ra Kembar melihat apa yang diperbuat orang itu. Bergegas Ra Kembar meneriakinya.107
Alun-alun merupakan lapangan yang sangat luas. Kadang Gajah Mada menghukum para prajurit dengan berlari mengitari alun-alun. Perintah telah dijatuh dan tidak lagi bisa ditawar. Geladi perang baru saja mereka selesaikan dan itu amat menguras tenaga. Kini, Gajah Mada memberi hukuman berlari dua puluh lima kali.
105
Ibid, hlm. 351 Ibid, hlm. 376 107 Ibid, hlm. 373 106
78
Tanpa perlu diulang lagi perintah itu, para prajurit yang sedang apes itu berhamburan menuju alun-alun.108
d) Padas Payung Padas Payung memiliki nama yang sesuai dengan keadaan geologisnya, tebing yang memayungi jalan. Di tempat ini, Pekring Suramurda terbunuh oleh orang yang tidak dikenal ketika melakukan pertemuan rahasia dengan Raden Kudamerta yang akhirnya kepergok oleh Gajah Mada. Karena sering digunakan untuk beradu balap kuda, iitulah sebabnya Radenn Cakradara sangat mengenal tempat itu. Kedatangannya ke Padas Payung di tengah malam yang pekat itu karena sebagaimana pesan yang ia terima dari Gamak Truntung, di tempat itulah ia harus bertemu pamannya, Pakering Suramurda, yang ulahnya telah merepotkannya.109
e) Karang Watu Karang Watu adalah tempat yang digunakan pasukan pemberontak di bawah pimpinan Raden Panji Rukmamurti dan Rangsang Kumuda sebagai tempat berlatih perang. Melalui sebuah kerja keras willayah seluas dua kali Tambak Segaran itu disulap menjadi tanah lapang yang digunakan untuk berlatih perang. Di tempat itu dibangun sebuah pendapa yang sangat besar yang bahkan ukurannya melebihi Balai Prajurit di Kotaraja Majapahit. Pendapa itu tidak terlihat dari luar sungai karena telindung oleh barisan pohon kelapa dan bambu. Di belakang bangunan induk terdapat bangsal panjang yang dihuni lebih dari dua ratus orang setiap hari, siang dan malam berlatih amat keras, baik secara perorangan maupun kelompok. Bangsal memanjang itu ditopang oleh tiang bambu dengan atap ijuk sehingga sebenarnya sangat mudah terbakar.110 (GM:TdA, 2009:448)
Tempat ini kemudian dihancurkan oleh pasukan Majapahit dibantu oleh Bhayangkara yang menagkap Panji Rukmamurti. Sangkakala yang ditiup dengan nada melengking panjang disambut dengan sorak-sorai mengagetkan Mandrawa. Juga mengagetkan segenap penghuni Karang Watu. Bumi bagai berderak ketika prajurit yang sempurna dalam siaga itu bergerak 108
Ibid, hlm. 382 Ibid, hlm. 435 110 Ibid, hlm. 448 109
79
karena mereka berjalan sambil menghentakkan kaki ke tanah secara bersamaan berirama. Yang terjadi kemudian bagaikan gajah melawan pelanduk.111
2. Latar waktu Novel ini berlatar waktu pada masa Kerajaan Majapahit di bawah pimpinan Sri Jayanegara. Sri Jayanegara wafat karena diracun oleh Ra Tanca. Wafatnya Jayanegara terjadi pada tahun 1328. Setelah kematian-kematian itu, adakah kini pencandian yang sama harus disiapkan pula? Kini, 1328, hampir dua puluh tahun setelah kematian Rabu Wijaya, atau sembilan tahun setelah pemberontakan Ra Kuti pada 1319.112
e. Sudut pandang Sudut pandang atau pusat pengisahan adalah posisi dan penempatan diri pengarang dalam ceritanya, atau dari mana ia melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam ceritanya itu. Sudut pandang yang digunakan dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara ini menggunakan sudut pandang orang ketiga. Pengarang sebagai tokoh ketiga, berada di luar cerita bertindak sebagai pengamat sekaligus sebagai narrator yang menjelaskan peristiwa yang berlangsung serta suasana perasaan dan pikiran para pelaku cerita. Lagit Kresna Hariadi menggunakan penceritaan “diaan” mahatahu. Penceritaan “diaan” mahatahu adalah pencerita yang sangat mengetahui berbagai perasaan, pikiran, angan-angan, keinginan, niat, dan sebagainya dari si tokoh yang diceritakan. Yang kemudian menjadi gelisah justru Patih Amangkubumi Arya Tadah. Arya Tadah merasa sikap Patih Daha itu terlalu berlebihan. Arya Tadah merasa, setinggi apa pun derajajt ataupun pangkat Gajah Mada sumbang suaranya belum pantas menjadi bahan pertimbangan para ratu dalam mengambil keputusan. Apalagi bila mengingat
111 112
Ibid, hlm. 466 Ibid, hlm. 7
80
pilihan yang tersedia hanya dua, tinggal memilih salah satu di antara Sri Gitarja atau Dyah Wiyat.113 Rupanya wajah itulah yang menyebabkan Raden Kudamerta kurang sepenuh hati menerima kehadiran Dyah Wiyat untuk selalu muncul dan melekat dalam setiap gerak kegiatannya, dalam ayunan irama kehidupannya di sepanjang hari di sepanjang waktu karena bukankah pasangan suami istri haruslah selalu menghamburkan waktu dan menghabiskannya bersama-sama?114
f. Gaya Bahasa Gaya penceritaan yang dimaksud di sini adalah tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa. Tingkah laku ini dianggap sangat penting karena menentukan penghantaran cerita kepada pembaca. Karena itu pengarang terus melakukan upaya supaya cerita dapat menggugah pembaca dan larut ke dalam cerita tersebut. Tindakan tersebut adalah: 1) pemilihan materi bahasa, pengarang diharuskan memiliki pembendaharaan bahasa yang mumpuni agar dapat memilih pemakaian kata yang tepat yang bersifat informatif dan komunikatif kepada pembacanya; 2) pemakaian
ulasan,
untuk
menopang
gagasan
pengarang
memberikan ulasan, contoh-contoh dan perbandingan yang kualitas dan kuantitasnya disesuaikan dengan keinginan; 3) pemanfaatan gaya bertutur, menjadi unik karena gaya bertutur setiap individu berbeda. 1. Pemilihan Materi Bahasa Bahasa yang digunakan Langit Kresna Hariadi memiliki keunikan tersendiri. Langit Kresna jarang menggunakan bahasa rumit seperti pemakaian majas yang biasa digunakan oleh pengarang-pengarang. Langit Kresna membubuhkan tanda tangannya pada novel-novelnya dengan menggunakan bahasa Jawa. Di dalam novel-novelnya, khususnya Gajah Mada:
Tahta
dan
Angkara,
Langit
memasukkan kata-kata atau frasa-frasa Jawa. 113 114
Ibid, hlm. 81 Ibid, hlm 149
Kresna
banyak
81
.... Lebih dari itu, segenap prajurit merasakan gejolak yang sama, oleh duka mendalam atas gering yang diderita Kertarajasa Jayawardhana.115 Pancaksara mencatat semua yang didongengkan ayahnya itu dan diguratkan ke berlembar-lembar rontal. Pancaksara juga mencatat wrna kesedihan yang serupa yang terpancar dari wajah segenap kawula yang melakukan pepe di alun-alun....116 .... Beberapa hari kemudian, Kalagemet yang telah menyandang kedudukan sebagai kumararaja dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahandanya.117 1309 dendang duka ditembangkan nglangut karena Sang Prabu Sri Kertarajasa Jayawardhana wafat....118 .... Adalah istrinya, Dewi Setyawati yang amat mencintai suaminya mengais ribuan mayat yang salang tunjang bergelimpangan....119 Prabawa yang dimiliki Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri benarbenar luar biasa, bahkan Pradhabasu tercengang melihatnya karena seingat Pradhabasu itulah pertama kalinya sang Prajaka tidak menolak ketika seseorang berniat berakrab-akrab....120 ....Wilang jenis orang yang suka bicara blak-blakan tanpa tedheng aling-aling.121 .... Untuk rasa hormat, rasa cinta, dan sayangnya terhadap Sri Gitarja, dari sejak dini ia tidak pernah berangan-angan saoal dampar kencana....122 .... Kenapa aku menebak di menjelang pintu gerbang utara ada orang yang melakukan baris pandhem, sebenarnya bisa ditebak dengan mudah, pastilah ada hubungannya dengan Raden Kudamerta.”123 Cukat trengginas pasukan khusus Bhayangkara yang tidak berkurang jumlahnya kecuali nahas yang menimpa Gajah Enggon, melaksanakan perintah yang dijatuhkan Patih Daha Gajah Mada....124 Ibu Ratu Gayatri yang berada dalam sikap semadi di sanggar pamujan, terusik keheningan mata hatinya oleh alunan indah itu....125 Ra Kembar menjanjikan kepada pendukungnya untuk bersamasama mukti wiwaha, tidak sebaliknya hamukti lara lapa terus sepanjang waktu.126 (GM:TdA, 2009:450) 115
Ibid, hlm. 3 Ibid, hlm. 6 117 Ibid, hlm. 7 118 Ibid 119 Ibid, hlm. 177 120 Ibid, hlm. 192 121 Ibid, hlm. 209 122 Ibid, hlm. 244 123 Ibid, hlm. 276 124 Ibid, hlm. 291 125 Ibid, hlm. 428 126 Ibid, hlm. 450 116
82
Dengan langkah amat ringan bahkan adakalanya dilakukan sambil berkejar-kejaran, Dyah Wiyat dan Menur mengayun langkah ke pasar daksina....127 .... Beberapa Bhayangkara sigap membawa Nyai Tanca dan langsung menggelandangnya ke pakunjaran.128
2. Pemakaian Ulasan Di dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara, Langit Kresna banyak memakai perbandingan peristiwa yanng ditujukan untuk menambah pemahaman pembaca akan peristiwa yang terjadi. Langit meninggalnya
Kresna Sri
membandingkan
Jayanegara
dengan
peristiwa peristiwa
meninggalnya Raden Wijaya. Di mana digambarkan keadaan yang terjadi tidak jauh berbeda. Dan, suara bende Kiai Samudra itu.... Suara bende itu siapa pun tahu artinya. Senyap yang memberangus adalah nestapa bagi siapa pun yang mencintai raja. Suaranya yang menggelegar terdengar sampai ke sudutsudut kotaraja. bende yang dipukul satu-satu, berjarak sedikit lebih lama dari isyarat kebakaran, merupakan pengulangan apa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya manakala raja pertama Majapahit yang sangat dicintai dan dihormati mangkat.129
Langit Kresna juga menbandingkan peristiwa bunuh diri adik perempuan Pradhabasu dengan peristiwa Dewi Setyawati istri Prabu Salya, demikian denggan Nyai Mertaraga
dan
Nyai
Tirtawati
istri
dari
Adipati
Ranggalawe. Pradhabasu yang menunduk itu tidak menjawab, sementara Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri merasa pertanyaan itu sebenarnya tak perlu dilontarkan. Kisah yang dituturkan Pradhabasu itu merupakan lambang sasmita yang cukup jelas artinya. Istri Mahisa Kingkin telah melaksanakan darma kesetiaan seorang istri kepada suaminya. Tidak ada kkebanggaan seorang istri daripada 127
Ibid, hlm. 477 Ibid, hlm. 496 129 Ibid, hlm. 14 128
83
menyusul dan menemani sang suami di alam kematian. Setidaknya Kembangrum Ring Puri Widati memiliki keyakinan, betapa nista baginya bila tidak mempunyai keberanian untuk menyusul suaminya ke alam kematian.130
3. Gaya Bertutur Gaya bertutur yang dilakukan Langit Kresna Hariadi sangat sederhana. Langit Kresna menuturkan cerita dengan irama yang tidak terlalu lama dan tidak terlalu cepat juga. Walaupun ia menggabarkannya secara detil, namun tidak membuat rasa bosan saat membacanya. Langit Kresna dapat menyesatkan pembaca bila kita tidak hati-hati dalam membaca dan berspekulasi. Seperti jika kita menganggap bahwa Pakering Suramurda sebagai dalang dari pembunuhan
di
kotaraja.
Hal
ini
wajar
karena
kita
menganggap Suramurda tidak memiliki alibi pada saat peristiwa tersebut berlangsung, namun ia memiliki motif yang kuat. Tapi ada juga disaat cerita yang akan disampaikan Langit Kresna sudah bisa kita tebak. Seperti peran Nyai Tanca sebagai penggagas gerakan makar. Nyai Tanca mengakui bahwa ia penggagas lambang buah maja yang dililit ular. Hal ini menjadikan kita berpikir bahwa ia terlibat. Ditambah dengan motif bahwa ia adalah istri Ra Tanca yang pernah melakukan makar dan ia memiliki dendam tersendiri dengan anggota istana, Dyah Wiyat. Perawakan Panji Rukmamurti yang digambarkan sebagai pemuda yang tampan, tapi memiliki rambut yang feminim memudahkan kita menebak bahwa ia adalah Nyai Tanca.
130
Ibid, hlm. 179
84
B. Analisis Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya. Telah tersurat dengan jelas bahwa novel ini memiliki tema tentang perebutan kekuasaan. Hal ini bahkan dapat kita lihat dari pemilihan judul novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara. Pemilihan judul ini tepat mewakili alur atau plot yang digambarkan di dalam novel. “Sejak zaman Mataram, perebutan kekuasaan selalu terjadi. Setiap peralihan kekuasaan selalu ditandai peristiwa berdarah,” Pancaksara melanjutkan. “Lebih-lebih zaman Singasari, wilayah paling berbahaya bagi negara adalah saat-saat peralihan kekuasaan. Sekarang, tidak layak cemaskah kita dengan pengalaman peralihan kekuasaan yang macam itu?”131 Sigap Gajah Mada memberikan sembahnya. Tugas yang sangat berat itu telah digenggam dan siap untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka demikianlah, dengan jelas dan gamblang Patih daha Gajah Mada melaporkan yang terjadi, siapa saja orang yang terbunuh dan kemungkinan kepentingan apa saja yang berada di belakang rentetan kejadian itu. Tegas dan penuh keyakinan Patih Daha Gajah Mada menyebut, apa yang terjadi itu merupakan tanda-tanda terjadinya perebutan kekuasaan. Di belakang Raden Cakradara ada pihak yang bermain, ingin menunggangi dan memanfaatkan Raden Cakradara.132 Dan pergantian kekuasaan di negeri mana pun selalu menyisakan gejolak tanpa terkecuali Majapahit setelah meninggalnya Jayanegara. Udara pun terasa sesak. Gerah akan menyergap siapa pun yang mendambakan kedamaian dan ketenangan. Singasari telah memberi contoh. Di setiap pergantian kekuasaan, udara selalu terasa panas.133
Bagaimana peliknya peristiwa pemindahan tampuk kepemimpinan kerajaan Majapahit dari Sri Jayanegara kepada ratu kembar, Sri Gitarja dan Dyah Wiyat, di mana sang kakak, Sri Gitarja, yang lebih berhak mendapatkan tahta karena lebih tua, namun memliki sifat yang
131
Ibid, hlm. 35 Ibid, hlm. 241-241 133 Ibid, hlm. 337 132
85
sangat lembut yang dikhawatirkan kurang mampu dalam memimpin Kerajaan Majapahit; dan sang adik, Dyah Wiyat, yang lebih muda namun mewarisi sifat kepemimpinan Raden Wijaya. Sri Gitarja mungkin terpilih sebagai ratu karena dari calon yang ada, Sri Gitarja lebih tua. Akan tetapi, apabila dilihat dari sisi kemampuan, adiknya banyak memiliki kemampuan yang tidak terduga. Lebih tegar, lebih berwawasan luas, lebih jauh dalam memandang ke depan, dan lebih berwibawa....134 ....Ibu Ratu melihat dalam banyak hal Dyah Wiyat memang memiliki sifat dan sikap yang menonjol dari kakaknya. Dyah Wiyat bisa bersikap tegas, mampu memilih secara tegas satu di antar banyak pilihan yang berada dalam kedudukan tak ubahnya malakama. Sifat dan sikap yang demikian lebih mandiri dan amat sesuai untuk menjadi pemimpin.135
Bukan berarti tema perebutan kekuasaan ini menjadikan ia tema satu-satunya di dalam novel ini. Seperti halnya novel-novel yang lain, novel ini pun memiliki tema dominan dan tema pendukung. Tema dominan di novel ini telah dijelaskan di atas, sedangkan tema pendukung yang ada di novel ini adalah nikah paksa dan dendam. “Aku meminta maaf, Dyah Wiyat. Aku tak berniat menyembunyikan hal itu. Aku bahkan ingin meluruskan perkawinan ini sejak awal, tetapi aku tidak punya pilihan,” jawab Raden Kudamerta.136 “Perempuan tidak tahu malu. Pengganggu ketentraman rumah tangga orang. Seharusnya kamu mati dipatuk ular itu,” umpat Nyai Tanca yang mendadak liar itu.137
Berdasarkan penggolongan tema, tema perebutan kekuasaan ini masuk dalam golongan tema nontradisional, karena jarang sekali novel yang mengangkat tema ini. Untuk novel-novel sejarah seperti halnya novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara, para pengarang biasanya mengambil unsur percintaan tokoh-tokohnya agar menarik kalangan pembaca lebih luas. Hal ini juga didasarkan latar belakang
134
Ibid, hlm. 66 Ibid, hlm. 244 136 Ibid, hlm. 266 137 Ibid, hlm. 496 135
86
Langit Kresna Hariadi yang memiliki keluarga berprofesi militer, sehingga variasi tematik yang ia miliki berbeda dari yang lain. Mengenai tema perebutan kekuasaan ini, jika dikategorikan ke dalam tingkatan tema menurut Shipley, tema ini masuk ke dalam ketegori tema tingkat sosial, karena tema yang diangkat bukan lagi sebatas masalah individu melainkan fenomena yang terjadi di masyarakat. Peristiwa pengalihan kekuasaan dari Sri Jayanegara kepada Sri Gitarja dan Dyah Wiyat tentu saja bukan sebatas masalah individual. Karena berdasarkan kekuasaan monarki, keluarga kerajaan adalah refleksi dari dewa-dewa yang diagungkan para rakyatnya. Sehingga siapa pun yang menaiki tampuk singgasana otomatis akan medapatkan kekuasaan mutlak terhadap rakyatnya. Dan ketika bende Kiai Samudra dipukul bertalu, tangis serentak membuncah. Ayunan pada bende yang getar suaranya mampu menggapai sudut-sudut kota merupakan isyarat yang sangat dipahami. Gelegar bende dengan nada satu demi satu, namun berjarak sedikit lebih lama dari isyarat kebakaran merupakan pertanda Sang Prabu mangkat. Semua orang yang mendengar isyarat itu merasa denyut jantungnya berhenti berdetak.138 (GM:TdA, 2009:6) Dan, suara bende Kiai Samudra itu .... Suara bende itu siapa pun tahu artinya. Senyap yang memberangus adalah nestapa bagi siapa pun yang mencintai Raja. Suaranya yang menggelegar terdengar sampai ke sudut-sudut kotaraja. Bende yang dipukul satu-satu, berjarak sedikit lebih lama dari isyarat kebakaran, merupakan pengulangan apa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya manakala raja pertama Majapahit yang sangat dicintai dan dihormati mangkat.139
Hal inilah yang menjadikan peralihan kekuasaan ini berdarah, karena pewaris dampar bukanlah seorang pangeran melainkan puteri yang masing-masing telah memiliki calon suami yang dikhawatirkan orang-orang di balik para pemuda ini yang haus akan kekuasaan tertinggi di Majapahit yang telah memiliki wilayah kerajaan yang sangat luas.
138 139
Ibid, hlm. 6 Ibid, hlm. 14
87
Sigap Gajah Mada memberikan sembahnya. Tugas yang sangat berat itu telah digenggam dan siap untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka demikianlah, dengan jelas dan gamblang Patih daha Gajah Mada melaporkan yang terjadi, siapa saja orang yang terbunuh dan kemungkinan kepentingan apa saja yang berada di belakang rentetan kejadian itu. Tegas dan penuh keyakinan Patih Daha Gajah Mada menyebut, apa yang terjadi itu merupakan tanda-tanda terjadinya perebutan kekuasaan. Di belakang Raden Cakradara ada pihak yang bermain, ingin menunggangi dan memanfaatkan Raden Cakradara.140
Selain tema sentral yang telah disinggung di atas, dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara ini juga memiliki tema sampingan yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Langit Kresna Hariadi menggunakan tema percintaan dan dendam sebagai bumbu dalam novel ini. Cinta terlarang yang dimiliki Raden Kudamerta kepada istrinya Dyah Menur, seorang perempuan dari kalangan rakyat biasa, menjadikan konflik peralihan kekuasaan ini menjadi lebih rumit. ....Raden Kudamerta yang oleh Ratu Gayatri dianugrahi gelar Sri Wijaya Rajasa Sng Apanji Wahninghyun itu tidak mampu memusatkan perhatiannya pada rangkaian acara yang diikutinya. Ketika mata Kudamerta terpejam, selalu muncul wajah seseorang yang amat mencuri dan menyita perhatiannya. Wajah itu wajah perempuan yang dipelukannya ada bayi yang tengah menyusu.141 “Aku meminta maaf, Dyah Wiyat. Aku tak berniat menyembunyikan hal itu. Aku bahkan ingin meluruskan perkawinan ini sejak awal, tetapi aku tidak punya pilihan,” jawab Raden Kudamerta.142
Panji Wiradapa yang merupakan paman Kudamerta menculik Dyah Menur. Hal ini dilakukan Panji Wiradapa untuk memaksa Kudamerta agar menikahi Dyah Wiyat, seorang Sekar Kedaton kerajaan besar. Dengan adanya peristiwa terbunuhnya Sri Jayanegara, Panji Wiradapa semakin membenarkan alasannya sendiri untuk menawan Dyah Menur, karena dengan begitu kesempatan Dyah Wiyat mewarisi dampar istana menjadi lebih besar. Jika Dyah Wiyat menjadi ratu, maka otomatis Kudamerta mejadi seorang raja. Jika Kudamerta 140
Ibid, hlm. 241-242 Ibid, hlm. 149 142 Ibid, hlm. 266 141
88
menjadi orang nomor satu di Majapahit, maka kemungkinan Panji Wiradapa menjadi orang nomor dua, yaitu Mahapatih, akan terwujud. “Kau bisa menjadi raja, Kudamerta. Manfaatkanlah kesempatan yang sangat langka ini. Mulai sekarang bermainlah dengan cantik. Untuk meraih gegayuhan itu memerlukan pengorbanan. Untuk sebuah tujuan yang sangat kau yakini, kau bahkan harus menggunakan dan membenarkan cara apa pun. Mulai menyusun rencana dari sekarang, kau bisa memanfaatkan hubunganmu dengan Tuan Putri,” lanjut orang itu.143 Bila berkaca pada brenggala, dahulu Panji Wiradapa pernah menggantungkan cita-citanya setinggi langit. Jabatan keprajuritannya kali ini hanyalah sebgai lurah prajurit, padahal Panji Wiradapa merasa dirinya pantas menjadi seorang patih, orang kedua setelah raja. Karena mimpi untuk menjadi orang penting itu ternyata tidak terwujud, cukuplah orang lain yang mewakilinya. Asal bisa melihat Raden Kudamerta menjadi raja maka puaslah rasanya. Ki Panji merasa cita-cita itu telah terwakili.144 “Kau harus bermimpi, Kudamerta,” ucap Panji Wiradapa tegas, tetapi dalam nada bisik. “Kau harus menggantungkan angananganmu setinggi langit. Akan tetapi, tidak sekadar bermimpi, jauh lebih penting dari itu, kau harus berusaha dengan keras mewujudkanmimpi itu menjadi kenyataan. Kau punya peluang itu, kau bisa menjadi raja, menjadi orang tedepan. Kini saatnya, gunakan kesempatan yang terbuka jelas di depan matamu.”145
Dan dari cinta terlarang ini jugalah yang menjadikan Gajah Mada merasa kekhawatirannya akan kestabilan kekuasaan trah murni Raden Wijaya, karena Raden Kudamerta dan Dyah Menur memiliki seorang putra. Tentu saja hal ini akan mempengaruhi peralihan kekuasaan di masa yang akan datang. Selain itu, hal ini berarti Raden Kudamerta menempatkan Dyah Wiyat sebagai istri kedua. Kesalahan yang sangat fatal! Betapa remuk hati Menur yang merasa harus melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kata hatinya. Namun, melawan kehendak orang itu akan berakibat buruk bagi dirinya. Laki-laki itu sangat kejam. Ancaman akan menyakiti dirinya bukan ancaman paling kejam, ancaman terhadap anaknyalah yang justru sangat mengerikan, apabila tidak dituruti apa yang menjadi kehendaknya, nyawa anaknya menjadi taruhan. Setiap kali ia
143
Ibid, hlm. 52 Ibid, hlm. 54 145 Ibid 144
89
melawan, ancaman terhadap anaknya yang akan dihadapi. Lakilaki tua itu tak segan-segan akan membuktikan ancamannya.146 ...Kekuatan derajat yang dimiliki Raden Kudamerta tak cukup untuk digunakan mempersoalkan masalah itu. Dyah wiyat anak raja, anak kandung Raden wijaya, Raja Majapahit yang gung binatara, sementara Kudamerta hanyalah pewaris kekuasaan Pamotan, penguasa wilayah yang kecil saja. Ketika berniat menjamah, Raden Kudamerta harus menyembah lebih dulu....147 Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa yang bersedekap berbalik. “Boleh tahu siapa nama istrimu itu, Kakang?” tanya Dyah Wiyat. Raden Kudamerta sungguh bingung, tak tahu bagaimana cara menjawab. “atau, akan kau sembunyikan istrimu itu selamanya dariku?”148 ....Dyah Wiyat tidak merasa terpanggil untuk segera memberikan pertolongan. Rahasia yang disembunyikan laki-laki itu, rahasia yang kini bukan rahasia lagi, bahwa ia telah beristri saat mengawini dirinya, sungguh merupakan pelecehan yang tak akan terampunkan.149
Namun, tidak hanya Raden Kudamerta saja yang memiliki cinta terlarang. Dyah Wiyat pun menyimpan cinta kepada pria beristri, mantan pemberontak, dan pembunuh Sri Jayanegara: Ra Tanca. Kisah cinta terlarang mereka telah dimulai secara diam-diam. Dyah Wiyat yang seorang Sekar Kedaton tentu saja mengetahui bahwa hubungannya dengan Ra Tanca yang seorang mantan pemberontak tidak akan disetujui keluarganya, terutama Sri Jayanegara sendiri. Dan benar! Ketika Sri Jayanegara mengetahui hubungan terlarang Dyah Wiyat dengan Ra Tanca ia menjadi murka. Walaupun kemurkaan itu hanya diketahui oleh Ra Tanca seorang. Penolakan Sri Jayanegara diterima Ra Tanca dengan sangat pahit, sehingga memicu keputusan Ra Tanca untuk mengulang dosa lamanya sembilan tahun silam: makar. Ra Tanca bekerja sama dengan istrinya, Nyai Tanca, dan Panji Wiradapa merencanakan merebut dampar istana. Rencana makar ini pun dimulai pada saat Ra Tanca yang ketika itu dipanggil ke istana untuk mengobati Sri Jayanegara yang sedang 146
Ibid, hlm. 105 Ibid, hlm. 237 148 Ibid, hlm. 266 149 Ibid 147
90
sakit, namun justru meracuni Sri Jayanegara hingga tewas, walau hal ini dibayar dengan nyawa Ra Tanca sendiri. Kabar cinta terlarang antara Dyah Wiyat dan Ra Tanca ternyata telah menjadi rahasia umum di kerajaan Majapahit, bahkan sampai ke telinga istri Ra Tanca, Nyai Tanca. Nyai Tanca memiliki cinta yang teramat besar kepada Ra Tanca, tidak memercayai suaminya berselingkuh tanpa digoda oleh wanita lain dan ia beranggapan Dyah Wiyatlah
akar
dari
pohon
perselingkuhan
itu.
Nyai
Tanca
beranggapan Dyah Wiyat merebut suaminya dari pelukannya. Sehingga ia menjadi sangat membenci Dyah Wiyat, sampai kematian Ra Tanca pun ia anggap disebabkan oleh Dyah Wiyat. Sehingga memicu Nyai Tanca melakukan percobaan pembunuhan kepada Dyah Wiyat dengan mengirimkan sekeranjang buah mangga yang di dalamnya dimasukkan ular bandotan yang sangat beracun. “Segenap rakyat memuji Sri Jayanegara sundul langit sebagai raja yang adil bijaksana, berbudi bawa laksana, ambek adil paramarta. Tidak ada seorang pun yang tahu raja macam apa Jayanegara yang menggerayangi semua perempuan. Laki-laki macam itu tidak pantas menjadi panutan dan sesembahan. Sementara adik perempuan Sri Jayanegara, kebanggaan macam apa yang dimiliki oleh Sekar Kedaton yang selalu mengganggu ketentraman rumah tangga orang. Bagaimana penilaian khalayak ramai apabila mereka mengetahui perempuan macam apa Dyah wiyat Rajadewi Maharajasa yang tidak punya urat malu, masih terus mengusik Kakang Ra Tanca meski telah beristri?”150 “Aku yang menerima, Ki Patih,” jawab abdi dalem itu. “Aku menerimanya dari seorang laki-laki berkuda. Orangnya masih muda dan sangat tampan. Orang itu meminta aku menyerahkan sekeranjang mangga ini kepada Tuan Putri Dyah Wiyat.”151 “Orang itu tidak menyebut nama dan asalnya. Hanya itu pesannya dan orang itu pun pergi. Aku sungguh tidak menyangka di bawah buah mangga ada tiga ekor ular itu.”152 “Perempuan tidak tahu malu. Pengganggu ketentraman rumah tangga orang. Seharusnya kamu mati dipatuk ular itu,” umpat Nyai Tanca yang mendadak liar itu.153
150
Ibid, hlm. 309 Ibid, hlm. 342 152 Ibid, hlm. 343 153 Ibid, hlm. 496 151
91
Majapahit adalah sebuah negara yang berbentuk monarki. Monarki adalah bentuk negara yang dalam pemerintahannya hanya dikuasai dan diperintah (yang berhak memerintah) oleh satu orang saja. Dalam hal ini, Majapahit diperintah oleh seorang raja. Menurut Machiavelli, monarki terbagi menjadi dua jenis, yaitu monarki warisan (yang telah lama ada) dan monarki baru. Pada masa awal terbentuknya Kerajaan Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya, Majapahit berbentuk monarki baru. Namun, ketika kekuasaan diwariskan kepada keturunan Raden Wijaya, maka seketika Majapahit berubah bentuk menjadi monarki warisan. Majapahit sebagai negara monarki menempatkan raja dan kerabatnya terpisah dari lapisan masyarakat lainnya, baik karena mereka memiliki hak istimewa atau karena kepercayaan rakyatnya yang menganggap raja adalah jelmaan dewa. Kerajaan Majapahit seperti halnya kerajaan nusantara pada umumnya, menganut sistem pemerintahan monarki turun-temurun. Tipe monarki ini adalah tipe yang umum, di mana ahli waris laki-laki yang tertua biasanya menjadi raja, menggantikan raja atau ayahnya sendiri. Dalam kasus kerajaan Majapahit, raja pertama, Raden Wijaya, sebagai pendiri kerajaan Majapahit, setelah wafat digantikan oleh putra mahkota, Sri Jayanegara, sebagai raja. Namun, setelah Sri Jayanegara wafat tanpa keturunan seorang pun, maka tahta diwariskan kepada adiknya. Pewarisan tahta inilah yang berujung konflik, di mana pewaris itu bukanlah laki-laki melainkan perempuan. Mengapa konflik? Sri Gitarja, sang kakak, seharusnya yang lebih berhak mendapatkan tahta kerajaan dan menjadi ratu, namun sifatnya yang sangat lembut dianggap menjadi hambatan dalam menjalankan pemerintahan yang menbutuhkan tangan besi. Dyah Wiyat, sang adik, mewarisi sifat kepemimpinan Raden Wijaya, namun sebagai adik ia tidak bisa begitu saja diangkat menjadi ratu. Hal ini dikarenakan karena sistem monarki turun-temurun. Di samping itu, walaupun Sri
92
Gitarja dan Dyah Wiyat seorang Sekar Kedaton yang berhak mewarisi tahta kerajaan, mereka tetap harus mematuhi orang yang kelak akan menjadi suami mereka, dalam hal ini adalah Raden Cakradara dan Raden Kudamerta. Sesuai dengan nilai yang ditanamkan kepada kedua Sekar Kedaton semenjak kecil, walaupun mereka Sekar Kedaton mereka harus tunduk, patuh, dan taat kepada suami mereka kelak. Hal inilah yang menjadikan kekhawatiran Patih Gajah Mada terhadap kemurnian pewaris tahta kerajaan. Karena, ketika salah satu Sekar
Kedaton
diangkat
menjadi
ratu,
dalam
menjalankan
pemerintahan mereka akan sangat mendengarkan pendapat suami mereka, bahkan tidak menutup kemungkinan suami merekalah nanti yang akan menjalankan pemerintahan di balik bahu istri mereka yang seorang ratu. Jika hal ini terjadi, maka suami Sekar Kedaton menjadi seorang “raja”. Padahal Raden Cakradara maupun Raden Kudamerta adalah pihak yang berada di luar trah Raden Wijaya sebagai pewaris sah kerajaan Majapahit. Di samping itu, pihak-pihak pendukung di belakang
Raden
Cakradara
dan
Raden
Kudamerta
dapat
mempengaruhi kedua Raden dalam menyumbangkan pendapat mengenai kebijakan pemerintahan yang dijalankan Sekar Kedaton. Dengan begitu, kepentingan kedua pihak dapat mengotori kebijakan Sekar Kedaton dalam menjalankan pemerintahan. Hal ini menjadi kekhawatiran Gajah Mada, karena Majapahit adalah negara monarki mutlak,
di
mana
kehendak
raja
adalah
hukum.
Kestabilan
pemerintahan akan goyah jika hukum-hukum tersebut menguntungkan suatu kelompok dalam hal ini orang-orang di balik Raden Kudamerta atau Raden Cakradara. Politik kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari tubuh manusia karena akhirnya kepentingannya adalah mendapatkan kepatuhan. Kekuasaan adalah kemampuan atau wewenang untuk menguasai orang lain, memaksa dan mengendalikan mereka sampai mereka patuh, mencampuri kebebasannya dan memaksakan tindakan-tindakan
93
dengan cara-cara yang khusus. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk memengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku. Oleh karena itu, sejak periode kerajaan seperti Majapahit sampai era pemerintahan modern kekuasaan merupakan hal yang selalu diperebutkan karena sebagai alat mengontrol suatu pemerintahan. Tujuan kekuasaan yaitu memberi struktur kegiatan manusia dalam masyarakat dan selalu rentan terhadap perubahan. Struktur-struktur kegiatan itu disebut institusional kekuasaan, yaitu keseluruhan struktur hukum dan politik serta aturan-aturan sosial yang melanggengkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan. Pihak-pihak di balik Raden Cakradara dan Raden Kudamerta sadar bahwa kekuasaan yang dimiliki seorang raja khususnya kerajaan besar seperti Majapahit adalah kekuasaan potensial, oleh karena itu mereka memutuskan ingin menguasai dampar Kerajaan Majapahit. Majapahit memiliki sumber-sumber kekuasaan seperti daerah kekuasaan yang luas, kekayaan yang didapat dari upeti tiap-tiap daerah kekuasaan yang yang banyak, bala tentara yang mumpuni dan persenjataan lengkap yang siap digunakan untuk menaklukan daerah baru atau untuk
mempertahankan
kedaulatan
kerajaan.
Kekuasaan
raja
Majapahit juga merupakan kekuasaan eksplisit dan langsung, di mana pengaruh dari kekuasaan itu jelas terlihat dan dapat dirasakan secara langsung. Karena perkataan raja yang dipercaya jelamaan dewa adalah hukum yang harus dipatuhi oleh seluruh rakyat Majapahit. Keyakinan bahwa raja merupakan penjelmaan dewa jga menjadikan raja Majapahit memiliki reverent power. Karena rakyat akan menjadikan raja sebagai panutan simbol dari perilaku mereke. Karena hal-hal inilah Panji Wiradapa melakukan berbagai macam cara agar keponakannya, Raden Kudamerta, menjadi raja Majapahit. Panji Wiradapa memaksa Raden Kudamerta menikahi Dyah Wiyat agar kemungkinan Kudamerta menjadi raja semakin besar. Namun, di
94
sisi lain, Panji Wiradapa juga menyadari bahwa Dyah Wiyat yang seorang Sekar Kedaton tidak mungkin mewarisi tahta jika kakak lakilakinya, Sri Jayanegara masih hidup. Oleh karena itu, Panji Wiradapa juga telah memiliki rencana dengan Ra Tanca dan Nyai Tanca untuk melakukan makar. Langkah pertama makar tersebut adalah dengan membunuh Sri Jayanegara oleh racun yang dibuat oleh ahli racun terkemuka se-Majapahit, Ra Tanca. Setelah Sri Jayanegara wafat, masih ada pihak yang harus disingkirkan Panji Wiradapa agar Dyah Wiyat mendapatkan tahta. Ia juga harus menyingkirkan Sri Gitarja, kakak perempuan Dyah Wiyat. Karena walaupun sama-sama perempuan, Sri Gitarja lebih tua daripada Dyah Wiyat, jadi jika Sri Jayanegara Wafat maka yang lebih berhak mendapatkan tahta adalah Sri Gitarja. Untuk mencegah hal itu, Panji Wiradapa memasang jebakan berupa fitnah-fitnah pembunuhan dilingkungan istana yang mengarah kepada calon suami Sri Gitarja, Raden Cakradara. Bahkan Panji Wiradapa membayar pembunuh bayaran yang merupakan mantan anggota pasukan Bhayangkara untuk melukai keponakannya sendiri, Raden Kudamerta, dengan tujuan untuk memfitnah Raden Cakradara. Hal ini dilakukan Panji Wiradapa karena ia tahu sifat Sri Gitarja yang terlalu baik hati. Jika Sri Gitarja tahu calon suaminya adalah dalang pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di istana, maka Sri Gitarja akan menyerahkan haknya sebagai pewaris tahta kepada adiknya, Dyah Wiyat, dengan sukarela. Jika Sri Gitarja menyerahkan tahtanya kepada Dyah Wiyat, maka Dyah Wiyat pun akan dinobatkan menjadi ratu Majapahit, dan suaminya Raden Kudamerta menjadi raja. Jika Raden Kudamerta menjadi raja, maka ambisi Panji Wiradapa menjadi Mahapatih juga akan terwujud.
95
C. Implikasi
Hasil
Penelitian
Terhadap
Pembelajaran
Sastra
Indonesia di Sekolah Sastra dalam pengajaran dapat membantu pengajaran kebahasaan karena sastra dapat meningkatkan keterampilan berbahasa. Sastra dapat membantu pendidikan secara utuh karena sastra dapat meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta, rasa dan karsa, menunjang pembentukan watak, mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, pengetahuan-pengetahuan lain dan teknologi. Jika kita mengacu pada solusi yang dikemukakan Jakob Sumardjo, yaitu pengadaan buku-buku penuntun yaitu karya sastra serius di sekolah, maka proses pembelajaran sastra di sekolah akan lebih maksimal. Melalui karya sastra, kita diajak untuk melihat fenomenafenomena yang terjadi di dalam masyarakat dengan kacamata yang berbeda, yaitu sastra. Sebuah karya sastra yang baik bukan hanya dapat menghibur, tapi juga dapat membuka pikiran kita kan kemungkinan-kemungkinan lain dalam menjalani hidup. Asahan emosi dan logika bisa kita dapatkan melalui karya sastra khususnya novel. Jika dikaitkan dengan novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara, pendidik dapat memberikan alternatif pembelajaran yang diharapkan dapat memotivasi peserta didik dalam mempelajari disiplin ilmu yang lain. Selain peserta didik dapat lebih memahami dalam menganalisis unsur intrinsik di dalam novel, peserta didik dapat lebih memahami sejarah Nusantara khususnya pada masa Kerajaan Majapahit. Selain itu, peserta didik diharapkan dapat terbantu dalam menganalisis lebih lanjut pengaplikasian ilmu politik dalam suatu pemerintahan. Di mana ketika suatu pemerintahan mengalami pergantian kekuasaan, maka pada saat itulah kestabilan negara terusik. Dengan mempelajari hal ini, diharapkan peserta didik memiliki bekal dalam menganalisis bahkan berpartisipasi aktif dalam sistem politik di Indonesia. Sehingga
96
diharapkan ke depannya, peserta didik akan menjadi pemimpin Indonesia yang lebih baik di masa yang akan datang.
97
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan analisis yang diuraikan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Unsur intrinsik dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi ini terdiri dari: tema, yaitu perebutan kekuasaan; alurnya merupakan alur campuran; perwatakan para tokoh; latar dalam novel; sudut pandang yang digunakan dalam hal ini sudut pandang orang ketiga; gaya bahasa yang digunakan pengarang seperti penggunakan bahasa Jawa, pemakaian ulasan, dan gaya bertutur yang lugas dan tegas namun sederhana. 2. Dalam penelitian ini, peneliti menguraikan tema novel tentang perebutan kekuasaan. Tema perebutan kekuasaan menjadi tema utama dalam novel ini, namun novel ini juga memiliki tema sampingan seperti tema percintaan dan dendam. Perebutan kekuasaan terjadi karena sistem monarki turun-temurun yang berlaku di kerajaan Majapahit di mana garis keturunan laki-laki yang menggantikan raja sebelumnya. Namun, setelah meninggalnya Sri Jayanegara, pewaris tahta Majapahit dua Sekar Kedaton: Sri Gitarja dan Dyah Wiyat. Namun, pemilihan pewaris tahta selanjutnya tidak hanya berkisar apakah sang kakak, Sri Gitarja, yang lebih berhak mewarisi tahta sesuai dengan sistem monarki, namun tidak memiliki aura pemimpin, atau sang adik, Dyah Wiyat, yang mewarisi sifat-sifat Raden Wijaya. Tapi juga masalah latar belakang calon suami mereka dan orang-orang di belakang calon suami mereka. Yang kemudian diketahui bahwa paman dari Raden Kudamerta, Panji Wiradapa, yang paling berambisius menjadikan Raden Kudamerta, suami Dyah Wiyat,
98
sebagai raja. Ia melakukan penculikan, pembunuhan, dan bekerja sama dengan Ra Tanca dan Nyai Tanca untuk merencanakan makar. Hal ini dilakukan paman Raden Kudamerta karena posisi raja memiliki kekuasaan potensial. 3. Penelitian ini dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah, dalam aspek membaca. Dalam pembelajaran sastra ini, kompetensi yang harus dicapai peserta didik ialah menganalisis teks novel baik secara lisan maupun tulisan, dengan menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel serta menemukan tema dalam novel tersebut. Setelah dapat menemukan tema, peserta didik diharap dapat memahami tema tersebut dan mengaplikasikannya dalam terapan ilmu disiplin yang lain. Sehingga pelaksanaan pembelajaran peserta didik dapat lebih bervariatif dan menyenangkan.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut, peneliti dapat memberi beberapa saran yang diharapakan dapat menjadi salah satu upaya konsrtuktif dalam mengembangkan konsep pendidikan di Indonesia. 1. Dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara, pengarang ingin menceritakan kepada kita peristiwa sejarah pada masa Kerajaan Majapahit. Pada era globalisasi sekarang ini, para peserta didik sudah melupakan dan tidak memedulikan peristiwa sejarah bangsanya sendiri. Padahal banyak yang bisa dipelajari dari peristiwa lampau dan dapat dijadikan acuan penerapan kebijakan di era kekinian. 2. Pengarang juga ingin menyampaikan peristiwa perebutan kekuasaan yang telah terjadi sejak masa lampau. Bagaimana konflik-konflik itu terjadi, dan bagaimana cara mengatasinya. Hal ini dapat dijadikan pembelajaran bagi peserta didik sebagai calon penerus bangsa di masa yang
akan
datang,
bagaimana
pemerintahan dan kekuasaan terjadi.
intrik-intrik
politik
mengenai
DAFTAR PUSTAKA
Atmazaki. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. : Angkasa Raya. . Azhary. Ilmu Negara: Pembahasan Buku Prof. Mr. R. Kranenburg. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1986 Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. 2008 Darma, Budi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa. 2004 Djojosuroto, Kinayati. Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya, Yogyakarta: Penerbit Pustaka. 2006 Gani, Soelistyani Ismali. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Ghalia Indonesia. Handoyo. Analisis Struktural Novel Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Tahta dan Angkara dan Perang Bubat Karya Langit Kresna Hariadi. Skripsi mahasiswa Universitas Sebelas Maret. Yogyakarta. 2009. Haryatmoko. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta:Kompas, 2003 Hawthorn, Jeremy. Studying the Novel. Great Britain: Edward Arnold. 1985 Hutagalung, Jefry. Bentuk Pemerintahan Monarki/Kerajaan. Diakses dari https://jefryhutagalung.wordpress.com/2009/05/04/bentuk-pemeritahanmonarkikerajaan/ Kenney, William. How to Analyze Fiction. New York: Monarch Press. 1966 Mahayana, Maman S. Bermain dengan Cerpen. Jakarta: Gramedia. 2006 Martin, Roderick. Sosiologi Kekuasaan. Jakarta: Rajawali. 1990 Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005 Natawidjaja, P. Suparman. Apresiasi Sastra dan Budaya. Jakarta: Intermasa. 1982 Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2005 Orloc. Kekuasaan. Jakarta: Erlangga. 1987 Rapar, J.H. Filsafat Politik: Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli. Jakarta: Raya Grafindo Persada. 2001 Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007
99
100
Semi , M. Atar. Anatomi Sastra, ___: Angkasa Raya. . __
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. 2008 Sitepu, P. Anthonius. Teori-teori Politiki. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012 Sumardjo, Jakob. Sastra Populer dan Pengajaran Sastra dalam buku Budaya Sastra, Jakarta: Rajawali. 1984 Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. Apresiasi Kesusastraan, Jakarta: Gramedia. 1988 Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. cetakan ketujuh. Depok: UIPress. 1981 Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007 Syafiie, Inu Kencana. Ilmu Politik. Jakarta: Rineke Cipta. 2010. Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. 1984 Tim ICCE UIN Jakarta. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Jakarta. 2003 Tuloli, Nani. Kajian Sastra. Gorontalo: BMT “Nurul Jannah” . 2000 Vredenbregt, Jacob. Pengantar Metodologi Untuk Ilmu-Ilmu Empiris. Jakarta: Gramedia. 1985 Waluyo, Herman J.. Pengkajian Cerita Fiksi. cetakan kedua. Surakarta: Sebelas Maret University Press. 1994 Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: UPI PRESS. 2006. Windhu, I. Marsana. Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung. Yogyakarta:Kanisius. 1992 Zubaida, Rizki Adistya. Analisis Tokoh dan Nilai Pendidikan dalam Novel Gajah Mada Karya Langit Kresna Hariadi (Tinjauan Psikologi Sastra). Skripsi mahasiswi Universitas Sebelas Maret. Yogyakarta. 2012.
LEMBAR UJI REFERENSI
Adinda Putri Nursyarifah
NIM
109013000091
Jurusan/Prodi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Judul Skripsi
"Refleksi Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajah
Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia
di SMA"
NO 1
REFERENSI
Ratnq Nyoman Kutha. Teori, Metode, dnn Telvtik P enelitian Sas,trq.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2007 2
Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantm. cetakan ketujuh. Depok: UI-Press. 1981
J
Vredenbregt, Jacob. Pengantar Metodologi Untuk Ilmu-Ilmu Empiris. Jakarta: Gramedia 1985
4
Siswanto, Wahyudi. Pengontm Teori Sastra. Jakarta: Grasindo.2008
5
Waluyo, Herman 1.. Pengkajian Cerita Fiksi. cetakan
kedua. Surakarta: Sebelas Maret University Press. 1994
PARAF
PEMBIMBING
6
Atmazaki. Ilmu Sostra: Teori dan Terapan. _ Angkasa Raya
7
Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori don Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: UPI PRESS. 2006.
8
Tuloli, Nani. Kajian Sastro. Gorontalo: BMT 'Tlurul Jannah" .2000
9
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Penglmjian Fil$i. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
2005 10
Mahayana, Maman
S. Bermain dengan Cerpen.
Jakarta: Gramedia 2006 11
Teeuw,
A. Sustra don llmu Sostra. Jakwta:
Pustaka
Jaya 1984
t2
Natawidjaja, P. Suparmat. Apresiasi Sastra dan Budaya- Jakarta: Intermasa. 1982
13
Darma, Budi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Batrasa.2004
r4
Stanton, Robert. Teori Yogyakarta: Pustaka
Fil$i Robert Stanton.
P
elalar. 2007
15
Semi . M. Atar. Anatomi
Sastra,_:
t6
Minderop, Albertine. Metode Karakteri s as i Tel aah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005
t7
Kenney, William. How to Anolyze Fiction. New York: Monarch Press. 1966
Angkasa Raya.
.
_
18
Hawthorn, Jeremy. Studying the Novel. Great Britain: Edward Arnold. 1985
l9
Sumardjo, Jakob
dan Saini K.M.
Apresiasi
Kesus astraan, Jakartz: Gramedia. I 98 8
20
Tim ICCE UIN Jakarta. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demoltqsi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Mqdani. Jakarta: ICCE UIN Jakarta.2003
2t
Rapar, J.H. Filsafat
22
Azhary. Ilmu Negara: Pembahasan Bulru Prof, Mr. R.
Politik: Plqto, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli. Jakarta: Raya Grafindo Persada. 2001
Kranenbarg. Jakarta: Ghalia Indonesia. I 986 Z)
Gani, Soelistyani Ismali. Pengantar llmu Politik. J
24
t/
akarta: Ghalia Indonesia.
Hutagalung, Jefry. Bentuk
P
emerintahan
Mo nar ki/ Ke r aj aan. Diakses dari
25
Orloc. Kekuasaan Jakarta: Erlangga. 1987
26
Martin, Roderick. Sosiologi Kekuasaan Jakarta: Rajawali. 1990
27
Haryahnoko.
Etiltn Politik dan
Kekuasaan.
Jakarta:Kompas, 2003 28
Windhu"
I.
Marsana. Kekuasaan dan Kekerasan
menurut Johan Galtung. Yogyakarta:Kanisius. 1992
u
29
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar llmu Politik. Jakarta: Gramedia.2008
30
Sitepu, P. Anthonius. Teori-teori Politiki. Yogyakarta: Graha
31
/
l1mu.20l2
Syafiie, Inu Kencana. Ilmu Politik. Jakarta: Rineke Cipta.2010.
32
Sumardjo, Jakob. Sastra Populer dan Pengajaran
(-/
Sastra dalam bttkt Budaya Sastra, Jakarta: Rajawali. 1984 JJ
Djojosuroto, Kinayati. Analisis P e n g aj ar anny a, Y o gy akarta:
34
Telcs
Sastra dnn
Penerbit Pustaka.
200
6
Handoyo. Analisis Struhural Novel Gajah Madq: Bergelut dalam Kemelut Tahta dan Angkara
dan Perang Bubat Karya Langit Kyesna Hariadi. Skripsi mahasiswa Universitas Sebelas Maret. Yogyakarta. 2A09, 35
ZttbudU Rizki Adistya. Analisis Tolah dan Nilai Pendidikan dalam Novel Gajah Mada Karya
Langit Kresna Hariadi (Iinjauan Psikologi Sastra). Skripsi mahasiswi Universitas Sebelas Maret. Yogyakarta . 2012.
I
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
ADINDA PUTRI NURSYARIFAH, atau biasa dipanggil Dinda. Dia adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, lahir di Tangerang, 19 November 1991 dari pasangan (alm) Bapak R. H. Moch Sjah Marzuki dan Ibu Hj. Nurwati S.Pd. kakaknya yang tertua bernama R. Wahyu Fabriansjah Marzuki dan kakak kedua bernama R. Ilham Zul Helmisjah Marzuki. Dia menuntaskan
pendidikan
dasarnya
di
MI
Madrasah
Pembangunan UIN Jakarta. Lalu melanjutkan sekolahnya di SMP Negeri 87 Jakarta. Kemudian melanjutkan ke SMA Negeri 87 Jakarta. Setelah itu melanjutkan jenjang pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2009. Perempuan yang mempunyai minat menekuni makeup artis ini, memiliki tujuan hidup “mengejar ridho Illahi”. Tapi jangan menyamakan tujuan hidupnya dengan kata-kata yang ada di belakang truk. Dalam hidup ini jika kita hanya melakukan doa, usaha, dan lain-lain tapi tidak mengharap keridhoan Allah, maka semua itu sia-sia. Pengalaman Organisasi: Sekretaris MPK SMAN 87 Jakarta tahun 2006-2007, Sekretaris OSIS SMAN 87 Jakarta tahun 2007-2008, ketua ekskul tari Glipang SMAN 87 Jakarta tahun 2007-2008, staff akademik LBB ORBIT 2012-2014. Aktif dalam proyek pertunjukan teater, “parade teater IX” dengan judul Centeng, tahun 2013, sebagai sutradara dan penulis naskah, dan sekarang aktif sebagai guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP PGRI 1 Ciputat.