PENGARUH KUALITAS PELAYANAN JASA RESTORAN TERHADAP SIKAP UTILITARIAN DAN HEDONIS KONSUMEN DALAM MEMBANGUN PREFERENSI MEREK RESTORAN ( Studi Kasus Magnum Cafe Grand Indonesia ) Rini Agustiningtyas1, Imam Salehudin, S.E., M.Si.2 Program Studi Ekstensi Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor (kualitas lingkungan fisik, kualitas
interaksional, kualitas hasil) yang mempengaruhi sikap utilitarian dan hedonis konsumen dalam membangun sebuah preferensi merek restoran di Magnum Cafe. Teknik analisis data yang digunakan adalah Structural Equation Model (SEM). Hasil penelitian menunjukkan kualitas lingkungan fisik memiliki pengaruh positif terhadap kualitas interaksional dan kualitas hasil, begitu pula dengan kualitas interaksional juga memiliki pengaruh positif terhadap kualitas hasil. Lalu kualitas lingkungan fisik berpengaruh positif terhadap sikap hedonis tetapi tidak memiliki pengaruh positif terhadap sikap utilitarian. Kualitas interaksional tidak memiliki pengaruh positif baik terhadap sikap utilitarian maupun sikap hedonis, sedangkan untuk kualitas hasil memiliki pengaruh positif terhadap sikap utilitarian tetapi tidak memiliki pengaruh positif terhadap sikap hedonis. Pada sikap utilitarian tidak memiliki pengaruh positif terhadap preferensi merek sedangkan sikap hedonis memiliki pengaruh positif terhadap preferensi merek. Kata kunci: Kualitas Lingkungan Fisik, Kualitas Interaksional, Kualitas Hasil, Sikap Utilitarian, Sikap Hedonis, Preferensi Merek.
1. Pendahuluan Usaha restoran saat ini dianggap banyak mendatangkan keuntungan. Maka dari itu, saat ini banyak orang mulai mengalihkan bisnis mereka ke usaha restoran. Menurut data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, bahwa perkembangan bisnis restoran dan kafe dari tahun 2008 – 2011 terus mengalami pertumbuhan secara konsisten. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini:
1. Penulis Utama, 2. Pembimbing
1
pengaruh kualitas..., Rini Agustiningtyas, FE-UI, 2013
2
Tabel 1.1 Pertumbuhan Usaha Restoran & Cafe 2008 - 2011 Tahun 2008 2009 2010 2011
Usaha Restoran & Cafe Jumlah Pertumbuhan 2.234 N/A 2.704 22 % 2.916 8,4 % 3.561 20,6 %
Sumber: Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (2012)
Jumlah restoran di Jakarta telah sangat pesat meningkat hal ini dikarenakan peningkatan pusat perbelanjaan baru dan gedung perkantoran yang dibangun dalam beberapa tahun terakhir. Karena banyak pusat perbelanjaan yang dibangun, Jakarta dikenal sebagai kota mal. Pusat perbelanjaan di Jakarta tidak hanya sebagai tempat untuk hiburan (game center dan film teater, dll), tetapi juga tempat yang cocok untuk makan dengan teman-teman atau keluarga. Aktivitas konsumen Indonesia di mall adalah makan di restoran cepat saji adalah terbesar kedua (54%) setelah kegiatan belanja (59%) selama akhir pekan. Data ini membuktikan bahwa konsumen Indonesia adalah yang paling sering makan di luar terutama di restoran makanan cepat saji. menurut penelitian yang dilakukan oleh Perusahaan Riset Nielsen 2011. Hal tersebut menandakan bahwa industri jasa restoran maupun cafe semakin kompetitif dan sangatlah kompleks karena pertumbuhannya yang terus meningkat setiap tahunnya yang akan mengundang para pemain baru masuk ke dalam industri restoran ini serta aktivitas konsumen yang memiliki preferensi yang beragam terhadap restoran sehingga pemilik restoran harus fokus tidak hanya pada kualitas makanan tetapi juga unsur-unsur lain seperti lingkungan fisik dan layanan karyawan untuk menarik lebih banyak pelanggan, melayani mereka lebih baik dan menjaga mereka untuk kembali demi sebuah keunggulan kompetitif yang dimiliki restoran ataupun cafe tersebut. Beberapa restoran dan cafe secara umum hampir memiliki konsep yang sama, yang membedakannya hanya attribut makanannya saja. Oleh karena itu konsumen tentu ingin merasakan sebuah konsep terbaru dari restoran atau cafe. Walls sebagai produsen es krim yang besar, melihat peluang tersebut untuk mengembangkan sebuah cafe yang berkonsep menyajikan olahan es krim dimana konsep itu belum pernah ada sebelumnya di Indonesia, dimana target pasar yang dituju oleh Walls adalah remaja dan dewasa dan magnum sebagai salah satu produk andalan Walls tersebut telah merepresentasikan dengan segala eksklusifitasnya kepada target pasar tersebut. Oleh karena itu Walls menciptakan Magnum Cafe sebagai konsep baru bagi para pencinta
pengaruh kualitas..., Rini Agustiningtyas, FE-UI, 2013
3
cokelat dan ice cream di indonesia untuk memenuhi keinginan pasar yang sangat menginginkan konsep baru dari sebuah Cafe atau restoran yang bercitarasa ice cream serta cokelat. Magnum membidik segmentasi pasar dengan kelompok usia dewasa, dengan target para dewasa yang ingin menikmati eskrim dan dengan posisi para dewasa dengan gaya hidup mengkonsumsi Magnum untuk suatu kebanggaan. Dengan kelompok pasar yang baru yaitu usia dewasa maka diluncurkan sebuah tempat khusus di pusat perbelanjaan Grand Indonesia yaitu Magnum Cafe. Magnum Cafe menawarkan es krim Magnum yang disajikan dengan cara berbeda. Dengan konsep baru cafe ini, yang merupakan cafe es krim magnum pertama di dunia tentu kualitas layanan restoran akan mempengaruhi kepuasan serta perilaku pelanggan yang datang ke dalam magnum cafe ini yang juga dipengaruhi oleh sikap utilitarian dan hedonis yang akan membentuk preferensi merek pada magnum cafe ini sendiri. Oleh karena itu peneliti dirasa penting untuk mengetahui bagaimana faktor-faktor interaksi kualitas pelayan dalam mempengaruhi sikap pelanggan dalam membangun sebuah preferensi merek di magnum cafe. 2. Tinjauan Teoritis 2.1 Physical Environment Quality, Interactional Quality dan Outcome Quality Dalam bisnis restoran, lingkungan fisik memberikan kesan pertama kepada pelanggan. Secara khusus, pelanggan restoran menghabiskan waktu yang cukup dalam dari masuk sampai keluar dari lingkungan fisik, sehingga lingkungan fisik sangat penting. Setelah pelanggan memasuki restoran, pertama kali mereka akan melihat gambaran dari lingkungan fisik restoran tersebut. Kesan tersebut muncul sebelum pada kualitas makanan atau pada kualitas interaksi yang dilakukan karyawan. Kotler (2012) menunjukkan bahwa persepsi positif dari lingkungan fisik dapat membangkitkan emosi positif, yang selanjutnya mengarah kepada persepsi positif pelayanan aktual dan kerja karyawan. Bitner (1990) juga menyarankan bahwa lingkungan fisik yang superior membuat pelanggan merasa lebih baik, yang meningkatkan persepsi mereka tentang produk atau jasa. Jadi, wajar untuk mendalilkan bahwa kualitas lingkungan fisik berpengaruh positif terhadap persepsi pelanggan terhadap kualitas hasil dan kualitas interaksional. Dalam konteks yang sama, kualitas interaksional dapat membuat pelanggan mendapatkan emosi positif (Dolen et al, 2004;. Wong, 2004). Jika pelanggan menerima layanan restoran dengan cepat, sama seperti yang dijanjikan, dan dapat diandalkan, pelanggan lebih cenderung untuk menikmati makan. Di sisi lain, apabila server sopan dan tanggap dapat membuat pelanggan merasa senang bahkan jika kualitas makanan kurang memuaskan. Parsa, Self, Njite, dan King (2005) juga menyatakan bahwa makanan
pengaruh kualitas..., Rini Agustiningtyas, FE-UI, 2013
4
saja tidak dapat menjamin kepuasan pelanggan karena lingkungan fisik dan kualitas interaksional secara signifikan dapat mempengaruhi keseluruhan pengalaman bersantap selama berada di restoran. Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa lingkungan fisik dan kualitas interaksional menyebabkan persepsi positif terhadap kualitas hasil. Oleh karena itu, peneliti mengembangkan hipotesis berikut: Hipotesis 1. Physical Environment Quality memiliki pengaruh positif terhadap Interactional Quality. Hipotesis 2. Physical Environment Quality memiliki pengaruh positif terhadap Outcome Quality. Hipotesis 3. Interactional Quality memiliki pengaruh positif terhadap Outcome Quality. 2.2 Physical Environment Quality Pada Sikap Utilitarian dan Hedonis Berbagai penelitian memberikan bukti yang cukup untuk menunjukkan bahwa lingkungan fisik secara signifikan berkaitan dengan sikap utilitarian terhadap merek restoran tertentu. Misalnya, Bitner (1992) menyatakan bahwa yang lingkungan yang dirancang dengan baik secara layout spasial membuat pelanggan merasa fungsional, mereka membeli apa yang mereka butuhkan yang bertujuan sebagai manfaat praktis bagi mereka karena dengan layout yang berkualitas dan baik hal tersbut akan membuat pelanggan mampu mengekplorasi lingkungan fisik dari suatu toko atau restoran dengan mencari apa yang mereka butuhkan. Wakefield dan Blodgett (1996) juga menunjukkan bahwa menyediakan layout spasial yang berkualitas membantu pelanggan merasa efektif. Selain itu, Kotler (2012) mengemukakan bahwa lingkungan fisik merupakan pendahuluan untuk mendorong pelanggan untuk membeli produk karena lingkungan fisik menciptakan reaksi emosional (aspek hedonis). Misalnya, estetika fasilitas merangsang pelanggan tertarik secara visual, sehingga mengidentifikasi reaksi emosional pelanggan terhadap lingkungan fisik sangat penting. Selain itu, latar musik sebagai bagian dari lingkungan fisik, membantu mereka rileks dan merasa tenang (Ryu dan Jang, 2007). Karena lingkungan fisik itu sendiri dapat membuat tanggapan emosional seperti kegembiraan, kesenangan, atau relaksasi (Namkung dan Jang, 2008), hal ini secara signifikan terkait dengan sikap hedonis akan suatu merek restoran tertentu. Oleh karena itu, peneliti mengembangkan hipotesis berikut: Hipotesis 4: Physical Environment Quality memiliki pengaruh positif terhadap Utilitarian Attitude.
pengaruh kualitas..., Rini Agustiningtyas, FE-UI, 2013
5
Hipotesis 5: Physical Environment Quality memiliki pengaruh positif terhadap Hedonic Attitude. 2.3 Interactional Quality Pada Sikap Utilitarian dan Hedonis Kualitas interaksional adalah salah satu topik yang paling banyak dibicarakan dalam industri jasa (Brady dan Cronin, 2001). Secara umum, kualitas interaksional memberikan kontribusi untuk pengalaman bersantap yang positif (Hyun, 2010, Kim, Lee dan Yoo, 2006, Liu dan Jang, 2009). Studi ini menunjukkan bahwa kualitas interaksional mempengaruhi sikap utilitarian, yang mencakup manfaat yang efisien dan praktis terhadap merek sebuah restoran. Oleh karena itu, mengingat definisinya, yaitu pelayanan karyawan menunjukkan kesediaan untuk membantu pelanggan dan memberikan layanan yang cepat, pelanggan lebih cenderung merasakan manfaat utilitarian. Selanjutnya, melakukan layanan yang dijanjikan dan akurat memberikan pelanggan sikap utilitarian positif terhadap merek restoran. Selain pengaruh utilitarian, kualitas interaksional dapat mempengaruhi sikap hedonis, yang terkait dengan emosi terhadap merek sebuah restoran. Kinerja karyawan sangat mempengaruhi respon emosional pelanggan (Dolen et al, 2004; Wong, 2004). Ketika karyawan memberikan layanan berkualitas tinggi, pelanggan lebih cenderung merasa gembira, senang, atau bahagia tentang merek tertentu. Oleh karena itu masuk akal untuk menyimpulkan bahwa kualitas interaksional positif mempengaruhi sikap hedonis terhadap merek sebuah restoran. Oleh karena itu, peneliti mengembangkan hipotesis berikut: Hipotesis 6: Interactional Quality memiliki pengaruh positif terhadap Utilitarian Attitude. Hipotesis 7: Interactional Quality memiliki pengaruh positif terhadap Hedonic Attitude. 2.4 Outcome Quality Pada Sikap Utilitarian dan Hedonis Konsumen dengan sikap utilitarian terhadap merek restoran ini lebih memilih untuk membeli produk karena manfaatnya instrumental, efisien dan praktis. Fungsi dasar makanan untuk memuaskan rasa lapar pelanggan, dengan demikian, pelanggan akan memiliki sikap utilitarian setelah mengkonsumsi makanan. Oleh karena itu wajar jika kualitas hasil dapat meningkatkan sikap utilitarian terhadap merek sebuah restoran. Selain itu, konsumen juga menerima manfaat berupa gairah emosional, dimana mereka memiliki sikap hedonis tentang produk merek layanan sebuah restoran. Dalam kualitas restoran yaitu kualitas hasil, atau makanan, kelezatan dan mampu menyediakan mereka dengan kenikmatan. Misalnya, jika
pengaruh kualitas..., Rini Agustiningtyas, FE-UI, 2013
6
pelanggan
menikmati
presentasi
yang
menarik,
mereka
lebih
cenderung
untuk
mengembangkan sikap hedonis terhadap merek sebuah restoran. Namkung dan Jang (2007) juga menyarankan bahwa kualitas makanan paling penting dalam menyenangkan pelanggan. Berdasarkan tinjauan literatur, kemudian, kualitas hasil positif mempengaruhi sikap konsumen terhadap merek restoran. Oleh karena itu, peneliti mengembangkan hipotesis berikut: Hipotesis 8: Outcome Quality memiliki pengaruh positif terhadap Utilitarian Attitude. Hipotesis 9: Outcome Quality memiliki pengaruh positif terhadap Hedonic Attitude. 2.5 Sikap Utilitarian dan Hedonis Terhadap Preferensi Merek Restoran Preferensi merek sangat tergantung pada pengalaman pelanggan sebelumnya (Keiningham et al, 2005). Dengan kata lain, pengalaman pelanggan yang positif mengarahkan pelanggan untuk membentuk preferensi merek (Hellier et al, 2003;. Kim et al, 2010). Sikap konsumen datang dari mengevaluasi merek setelah mengkonsumsi produk atau jasa. Dengan demikian, sikap utilitarian dan hedonis yang positif terhadap merek restoran adalah hasil dari kepuasan pelanggan dengan merek produk atau jasa tertentu, yang berarti kemungkinan pelanggan lebih suka atas merek tertentu dari produk atau jasa melalui orang lain. Oleh karena itu, peneliti mengembangkan hipotesis berikut: Hipotesis 10: Utilitarian Attitude memiliki pengaruh positif terhadap Brand Preference. Hipotesis 11: Hedonic Attitude memiliki pengaruh positif terhadap Brand Preference. Physical Environment Quality
Utilitarian Attitude Brand Preference
Interactional Quality Hedonic Attitude
Outcome Quality
Gambar 1. Model Konseptual
pengaruh kualitas..., Rini Agustiningtyas, FE-UI, 2013
7
3. Metode Penelitian 3.1 Desain Penelitian Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah metode kuantitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui teknik survey kuesioner kepada responden lalu data yang diperoleh akan diolah dengan metode statistik menggunakan program LISREL dimana indikatorindikator pada kuisioner untuk penelitian ini semua mengacu kepada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Hwang dan Ok (2013). Peneliti melakukan pretesting sebelum pengambilan data primer yang sesungguhnya dilakukan. Pretesting merupakan pengujian terhadap kuesioner kepada 30 responden yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi masalah yang mungkin muncul (Malhotra, 2010). Penelitian ini awalnya memiliki 65 indikator, sehingga perhitungan jumlah sampel minimal yang digunakan adalah jumlah indikator dikali 5 (Malhotra, 2010). Jadi, jumlah sampel minimum yang diperlukan adalah sebanyak 65 X 5 = 325 sampel. Namun jumlah sampel sebanyak 200 sudah dianggap cukup untuk menguji model. Hal ini berdasarkan Kline (2005) yang mengatakan, “SEM is a large sample technique (usually N > 200) and the sample size required is somewhat dependent on model complexity, the estimation method used, and the distributional characteristics of observed variables”. Akhirnya pada penelitian ini ukuran sampel yang direalisasikan untuk diolah lebih lanjut adalah sebanyak 205 sampel dari 208 sampel yang berhasil dikumpulkan. 3.2 Operasionalisasi Variabel Tabel 1 - Operasionalisasi Variabel Variabel
Dimensi Ambience Condition (AC)
Physical Environ ment Quality (PEQ)
Facility Aesthetics (FA)
Indikator 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 1.
Spatial Layout (SL)
2. 3. 4.
Tingkat Pencahayaan Suhu Aroma Suasana di cafe ini tidak bising. Kualitas udara Desain interior cafe ini memiliki ciri khas yang menarik. Cafe ini dihiasi dalam mode yang menarik Penggunaan warna dalam dekorasi cafe ini menambahkan kegembiraan Dekorasi interior menarik Ini adalah sebuah cafe yang menarik Jarak antara meja cukup lebar untuk berjalan dengan mudah Tanda di cafe ini memberikan arahan / navigasi yang jelas Mudah untuk berjalan di dalam cafe Jumlah meja dan tempat duduk di cafe ini tidak menyulitkan untuk berjalan
pengaruh kualitas..., Rini Agustiningtyas, FE-UI, 2013
Acuan Baker, 1986; Kim and Moon, 2009 dan Lam, L.W., Chan, K.W., Fong, D., Lo, F., 2011
Wakefield and Blodgett, 1996; Kim and Moon, 2009
Bitner., 1992; Kim and Moon., 2009
8
Lanjutan Tabel 1 - Operasionalisasi Variabel Variabel Physical Environ ment Quality (PEQ)
Dimensi
Indikator
Seating Comfort (SC)
1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3.
Assurance (AS)
4.
5. 6. 7. 8. 9.
1. Interactional Quality (IQ)
Empathy (EM)
2. 3. 4. 5.
Reliability (RL)
1. 2. 3. 4. 5. 1.
Responsive (RP)
2. 3. 4. 5.
Outcome Quality (OQ)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Acuan
Jarak antara kursi dengan meja nyaman Tempat duduk nyaman Sangat mudah untuk masuk dan keluar dari tempat duduk Memiliki ruang yang cukup luas untuk tempat duduk Di sekitar tempat duduk tidak terlalu ramai.
Baker, 1986; Kim and Moon, 2009 dan Lam, L.W., Chan, K.W., Fong, D., Lo, F., 2011
Memiliki karyawan yang dapat menjawab pertanyaan dengan jelas. Merasa nyaman dan percaya diri dalam berinteraksi dengan pelayan Memiliki pelayan yang mampu untuk memberikan informasi tentang menu, bahan-bahan dan metode penyajian makanan Memiliki pelayan yang bersedia untuk memberikan informasi tentang menu, bahan-bahan dan metode penyajian makanan. Membuat Saya merasa aman. Memiliki pelayan yang terlatih Memiliki pelayan yang handal. Memiliki pelayan yang berpengalaman. Memberikan dukungan kepada karyawan sehingga mereka dapat melakukan pekerjaan mereka dengan baik
Parasuraman et al., 1988; Stevens et al., 1995
Memiliki karyawan yang peka terhadap kebutuhan dan keinginan Membuat pelanggan merasa istimewa Menyediakan kebutuhan dan keinginan pelanggan. Memiliki karyawan yang ramah dan meyakinkan jika terjadi kesalahan Merasa kepentingan pelanggan adalah yang terpenting
Bitner., 1992; Kim and Moon., 2009
Melayani tepat waktu Cepat mengatasi masalah Dapat diandalkan dan konsisten. Akurat dalam memeriksa daftar pelanggan waiting list Menyajikan makanan yang sesuai
Parasuraman et al., 1988; Stevens et al., 1995
Saat sibuk, pelayan di cafe ini saling membantu satu sama lain untuk menjaga kualitas pelayanan Menyediakan layanan tepat dan cepat. Memberikan usaha yang lebih untuk nenangani permintaan tertentu Ketika pelanggan memiliki masalah, pelayan menyelesaikannya dengan cepat Para pelayan terlihat memiliki motivasi yang tinggi dalam bekerja
Parasuraman et al., 1988; Stevens et al., 1995
Makanan lezat. Memiliki berbagai jenis menu Makanan segar Memiliki makanan yang sehat Ukuran porsi makanan pas. Penyajian makanan menarik. Makanan disajikan pada suhu yang tepat.
Andaleeb and Conway, 2006; Liu and Jang, 2009; Raajpoot, 2002
pengaruh kualitas..., Rini Agustiningtyas, FE-UI, 2013
9
Lanjutan Tabel 1 - Operasionalisasi Variabel Variabel
Dimensi
Indikator
Utilitarian Attitude (UA)
Hedonic Attitude (HA)
1. 2. 3. 4. 5.
Gagal >< Efektif Menghambat >< Membantu Payah >< Bermanfaat Diabaikan >< Dibutuhkan Ribet >< Praktis
Voss et al., 2003
6. 7. 8. 9. 10.
Sedih >< Senang Bosan >< Menarik Membosankan >< Menyenangkan Lesu >< Bersemangat Benci >< Menikmati
Voss et al., 2003
1. 2.
Sebagai pilihan untuk sering dikunjungi Memenuhi kebutuhan pelanggan lebih baik daripada yang lain Tertarik untuk mencoba berbagai jenis menu di cafe ini daripada di cafe lain Akan sering mengunjungi cafe ini. Sebelumnya, telah beberapa kali mengunjungi cafe ini
Brand 3.
Preferene (BP)
Acuan
4. 5.
Hellier et al., 2003; Kim et al., 2010
4. Analisis & Pembahasan 4.1 Analisis Model Pengukuran Data responden akan diolah menjadi bentuk model pengukuran untuk mengetahui hubungan antara variabel laten dan variabel teramatinya melalui muatan faktor (factor loadings). Dalam penelitian ini menggunakan Lisrel 8.72 menghasilkan output uji kecocokan menunjukkan nilai chi-square sebesar 3407,94 dengan nilai p-value 0,00. Model pengukuran menunjukkan nilai chi-square yang besar dengan p-value lebih kecil dari nilai syarat 0,05. Dalam hal ini, nilai p-value tidak dipertimbangkan, karena nilai 0,00 menunjukkan adanya bias pada ukuran sampel. Ukuran sampel yang lebih dari 100 menyebabkan adanya bias sehingga nilai RMSEA lebih tepat dijadikan acuan untuk menilai uji kecocokan. Nilai RMSEA menunjukkan angka 0,061 dimana nilai menunjukkan good fit karena kecocokan keseluruhan model yang baik (good fit) adalah di bawah 0,08. Dalam pengolahan data menggunakan Lisrel 8.72 ini, peneliti menghitung nilai t-value dengan tingkat signifikasi 0.05 atau ≥ 1,96. Jika nilai t-value lebih dari 1,96 maka telah signifikan. Sedangkan untuk nilai SLF (Standardized Loading Factor) ≥ 0.5 (Igbaria et. al., 1997). Uji reliabilitas dihitung dengan mengambil nilai SLF dan ej (errors) dari output diagram alur Lisrel 8.72 untuk memperoleh nilai CR (Construct Reliability) dan VE (Variance Extracted). Syarat nilai CR sama dengan lebih besar dari 0,7 dan VE sama dengan lebih besar dari 0,5 (Wijanto, 2008). Berikut ini merupakan serangkaian uji validitas dan reliabilitas untuk setiap variabel:
pengaruh kualitas..., Rini Agustiningtyas, FE-UI, 2013
10
Tabel 2 - Validitas dan Reliabilitas Variabel
Dimensi
Ambience Condition
Physical Environ ment Quality (PEQ)
Facility Aesthetics
Spatial Layout
Seating Comfort
Assurance
Interactional Quality (IQ)
Empathy
Reliability
Responsive
Outcome Quality
Utilitarian Attitude
Hedonic Attitude
Brand Preference
Indikator
SLF
AC1 AC2 AC3 AC4 AC5 FA1 FA2 FA3 FA4 FA5 SL1 SL2 SL3 SL4 SC1 SC2 SC3 SC4 SC5 AS1 AS2 AS3 AS4 AS5 AS6 AS7 AS8 AS9 EM1 EM2 EM3 EM4 EM5 RL1 RL2 RL3 RL4 RL5 RP1 RP2 RP3 RP4 RP5 OQ1 OQ2 OQ3 OQ4 OQ5 OQ6 OQ7 UA1 UA2 UA3 UA4 UA5 HA1 HA2 HA3 HA4 HA5 BP1 BP2 BP3 BP4 BP5
0,75 0,80 0,78 0,60 0,67 0,84 0,89 0,72 0,85 0,84 0,78 0,68 0,69 0,75 0,81 0,66 0,80 0,80 0,65 0,67 0,74 0,76 0,67 0,59 0,77 0,81 0,71 0,71 0,82 0,70 0,74 0,82 0,78 0,79 0,81 0,85 0,78 0,77 0,76 0,87 0,85 0,79 0,78 0,78 0,83 0,83 0,56 0,67 0,86 0,77 0,77 0,66 0,74 0,66 0,70 0,89 0,87 0,87 0,85 0,87 0,83 0,80 0,80 0,83 0,72
pengaruh kualitas..., Rini Agustiningtyas, FE-UI, 2013
CR
VE
0.84
0.52
0,95
0,69
0,92
0,53
0,85
0,59
0,90
0,51
0,94
0,60
0,95
0,64
0,95
0,66
0,90
0,58
0,94
0,50
0,96
0,76
0,95
0,63
11
4.2 Analisis Model Struktural Uji kecocokan model struktural menunjukkan output nilai chi square sebesar 3859,72 dengan p-value 0,00 dan RMSEA sebesar 0,068. Nilai p-value dan RMSEA sama dengan uji kecocokan terakhir pada model pengukuran dimana nilainya sudah memenuhi syarat. Berikut merupakan diagram alur struktural model yang telah diolah dengan nilai t-value
dan
standardized loading factor pada output Lisrel 8.72: Gambar 2. Path Model Struktural (T-Value dan SLF) Physical Environment Quality
(6,98) 0,91
(-‐0,36) -‐0,04
(2,10) 0,32
(2,00) 1,59*
Utilitarian Attitude
Brand Preference
(-‐0,09) -‐0,01
Interactional Quality
(-‐1,52) -‐0,58
(3,49)
(0,84) 0,07
Hedonic Attitude
(2,61) 0,66
0,59 (2,12) 1,03*
Outcome Quality
(-‐1,03) -‐0,19
Chi-square = 3859,72; df = 1996; P-value = 0,00000; RMSEA = 0,068
R2: Interactional quality = .83; Outcome quality = .80; Utilitarian attitude = .96; Hedonic attitude = .91; Brand preference = .50
Keterangan: a. Tanda (
) t-value signifikan
b. Tanda (
) t-value tidak signifikan
c. Angka dalam kurung menunjukkan t-value. t-value yang signifikan memiliki nilai ≥ 1,96. d. Angka yang tidak diberi kurung menunjukkan nilai standardized loading factor (SLF). e. Tanda (*) pada nilai SLF menunjukkan bahwa meskipun nilai SLF > 1,00 tetapi tetap dianggap 1,00 (nilai SLF maksimum).
pengaruh kualitas..., Rini Agustiningtyas, FE-UI, 2013
12
4.3 Pembahasan Penelitian ini telah menunjukkan bahwa satu kesatuan antara kualitas lingkungan fisik (physical environment quality), kualitas interaksional (interactional quality), serta kualitas hasil (outcome quality) dalam bisnis restoran adalah penting terhadap terbentuknya sikap konsumen terhadap preferensi merek (brand preference) restoran tersebut. Dimana restoran kelas atas (fine dining) terbukti lebih dominan membentuk sikap hedonis (hedonic attitude) yaitu sikap yang berdasarkan atas kesenangan emosional, dibanding dengan sikap utilitarian (utilitarian attitude) yang berdasarkan atas kebutuhan dasar konsumen itu sendiri. Yang artinya kualitas di restoran mewah, seperti magnum cafe harus terus dikembangkan, berbeda dengan restoran-restoran yang sudah ada sebelumnya dalam kaitannya membentuk preferensi merek (brand preference) yang dipertimbangkan oleh konsumen. Namun penelitian ini menunjukan adanya faktor kritis yang harus dirubah oleh manajemen restoran magnum cafe, yaitu kualitas interaksional (interactional quality) dimana secara empiris dalam penelitian ini hal tersebut tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terbentuknya sikap konsumen baik itu hedonis maupun utilitarian. Hal itu disebabkan karena kualitas interaksional (interactional quality) di magnum cafe meskipun dinilai baik oleh para responden, namun menurut pengamatan peneliti sendiri kualitas tersebut tidak jauh berbeda dengan kualitas pelayanan di restoran-restoran kelas atas lainnya. Oleh karena itu kualitas interaksional (interactional quality) yang secara teori harusnya berdampak terhadap terbentuknya sikap hedonis (hedonic attitude) maupun sikap utilitarian (utilitarian attitude), di magnum cafe hal tersebut tidak terbentuk. Hal ini juga dikarenakan faktor kualitas lingkungan fisik (physical environment quality) dan kualitas hasil dari magnum cafe yang memang berbeda dari restoran-restoran kelas atas yang pernah ada sebelumnya, keunikan kedua kualitas inilah yang menjadi fokus konsumen sehingga kualitas interaksional (interactional quality) yang dimiliki magnum cafe seakan diabaikan oleh konsumen yang datang ke magnum cafe. Tentu hal ini penting untuk diperbaiki oleh manajemen magnum cafe dengan tujuan untuk membentuk sikap konsumen terhadap preferensi merek (brand preference) magnum cafe yang lebih memiliki dampak yang lebih besar yang tentu saja ini akan meningkatkan performa perusahaan itu sendiri. Sementara faktor kritis juga terlihat dari tidak adanya pengaruh signifikan sikap utilitarian (utilitarian attitude) terhadap preferensi merek (brand preference) oleh konsumen. Hal ini tentu menguatkan bahwa tujuan konsumen yang berorientasi pada kesenangan sangat jelas terlihat dibanding konsumen yang berorientasi pada kebutuhan dasar. Kualitas yang memiliki dampak signifikan terhadap hal itu adalah kualitas lingkungan fisik (physical environment quality) yang memiliki dampak signifikan dalam membangun
pengaruh kualitas..., Rini Agustiningtyas, FE-UI, 2013
13
tanggapan emosional berupa kesenangan dan kenyamanan, yang secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap preferensi merek (brand preference) oleh konsumen magnum cafe. Ini harus menjadi pertimbangan manajemen menguatkan hal tersebut dan terus concern terhadap kualitas lingkungan fisik (physical environement quality). Pada akhirnya menguatkan penelitian dari Ryu and Han (2011), secara garis besar penelitian ini menunjukan bahwa faktor hedonis lah yang paling berperan sebagai dasar utama konsumen datang ke restoran kelas atas (fine dining). 4.4 Keterbatasan dan Saran Penelitian ini hanya mengambil satu objek penelitian yaitu fine dining restaurant yaitu Magnum Cafe Jakarta. Dimana tidak seperti penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Hwang dan Chihyung (2013) yang menggunakan dua segmentasi yaitu casual dining restaurant dan fine dining restaurant. Meskipun demikian keterbatasan ini bisa diterima karena memang tujuan penelitian ini memang ingin melihat dampak model yang telah dibuat oleh Hwang dan Ok terhadap satu jenis restoran, yaitu fine dining yang sedang berkembang sekarang di Indonesia dan tujuannya bukan untuk membandingkan antar jenis restoran. Sering adanya bias antara magnum cafe dan ice cream magnum itu sendiri yang kadang penilaian konsumen juga dikait-kaitkan dengan ice cream magnum biasa. Maksud bias disini adalah responden mengaitkan kualitas hasil (outcome quality) magnum cafe Jakarta dengan kualitas ice cream magnum yang biasa dijual di supermarket yang seharusnya berbeda. Saran untuk managerial adalah memperbaiki faktor kritis berdasarkan temuan penelitian, yaitu faktor kualitas interaksional (interactional quality) yang tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap sikap konsumen yaitu utilitarian attitude maupun hedonic attitude karena dinilai kualitas interaksional (interactional quality) tidak memiliki keunikan yang signifikan dibanding restoran-restoran lain salah satunya dengan cara melakukan kreasi pelayanannya dalam berinteraksi dengan konsumen misalnya dengan menggunakan pakaian yang unik (kostum) yang berbeda dari restoran lainnya. Saran untuk penelitian selanjutnya, penelitian ini mengungkapkan pengaruh hedonis melalui kesenangan emosional dalam restoran fine dining, perlu ada tambahan variabel yang menjelaskan tanggapan kesenangan yang seperti apa serta menambahkan beberapa variabel baru terkait merek seperti brand loyalty, brand image maupun brand awareness. Selain itu Hedonic attitude erat kaitannya dengan life style (gaya hidup) oleh karena itu dalam penelitian mendatang perlu adanya variabel tersebut sebagai mediator ataupun indipenden variabel untuk mengukur seberapa life style (gaya hidup) berpengaruh terhadap brand preference
pengaruh kualitas..., Rini Agustiningtyas, FE-UI, 2013
14
Daftar Referensi Andaleeb, S.S., & Caskey, A. (2007). Satisfaction with food services: insights from a college cafeteria. Journal of Foodservice Business Research, 10 (2), 51–65. Andersson, T. D., & Mossberg, L. (2005). The dining experience: Do restaurants satisfy customer needs?. Food Service Technology, 4, 171-177. Bitner, M.J. (1990). Evaluating service encounters: the effects of physical surroundings and employee responses. Journal of Marketing, 54 (2), 69–82. Dolen, W.V., Ruyter, K.D., & Lemmink, J. (2004). An empirical assessment of the influence of customer emotions and contact employee performance on encounter and relationship satisfaction. Journal of Business Research, 57 (4), 437–444. Hair, J., Black, B., Babin, B., Anderson, R., & Tatham, R. (2006). Multivariate data analysis. (6th ed.). New Jersey: Prentice Hall. Hellier, P.K., Geursen, G.M., Carr, R.A., & Rickard, J.A. (2003). Customer repurchase intention: a general structural equation model. European Journal of Marketing, 37 (11/12), 1762–1800. Hwang, J., & Ok, C. (2013). Brand Preference And Its Impatcs On Customer Share Of Visits And Word-Of-Mouth Intention: An Empirical Study. In The Full-Service Restaurant Segment. International Journal of Hospitality Management, 32, 111–121. Hwang, J., & Ok, C. (2013). The antecedents and consequence of consumer attitudes toward restaurant brands: A comparative study between casual and fine dining restaurants. International Journal of Hospitality Management, 32, 121–131. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia. (2012). Pertumbuhan Usaha Restoran 2008 - 2011. 18 Januari 2013. http://www.budpar.go.id/userfiles/file/Usaha%20restoran%20dan%20RM%202007%20-%202011.pdf Kline, R. B. (2005). Principles and practice of structural equation modeling (2nd ed.). New York: Guilford Press. Kotler, P. & Keller, K. L. (2012). Marketing Management 14th Edition. New Jersey : Pearson Education, Inc. Lovelock, & Wirtz, J. (2011). Service marketing: people, technology, strategy. New Jersey: Prentice-Hall. Lupiyoadi, R. & Hamdani, A. (2011). Manajemen pemasaran jasa. (2nd ed.). Jakarta: Salemba Empat. Malhotra, N.K. (2010). Marketing research: an applied orientation. (6th ed). New Jersey: Pearson Pretince-Hall. Mehrabian, A., & Russell, J.A. (1974). An approach to environmental psychology. MIT Press, Cambridge, MA. Namkung, Y., & Jang, S. (2007). Does food quality really matter in restaurants? Its impact on customer satisfaction and behavioral intentions. Journal of Hospitality & Tourism Research, 31 (3), 387–410. Parasuraman, A., Zeithaml, V.A., & Berry, L.L. (1988). SERVQUAL: a multiple-item scale for measuring consumer perceptions of service quality. Journal of Retailing, 64 (1), 12–40. Ryu, K., & Han, H. (2011). New or repeat costumers: How does physical environment influence their restaurant experience? International Journal of Hospitality Management. Ryu, K., & Jang, S. (2007). The effect of environment perceptions on behavioral intentions through emotions: the case of upscale restaurants. Journal of Hospitality & Tourism Research, 31, 56–72. Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Voss, K.E., Spangenberg, E.R., & Grohmann, B. (2003). Measuring the hedonic and utilitarian dimensions of consumer attitude. Journal of Marketing Research, 40 (3), 310–320. Wakefield, K.L., & Blodgett, J.G. (1994). The importance of servicescapes in leisure service settings. Journal of Services Marketing, 8 (3), 66–76. Wijanto, Setyo Hari. (2008). Structural Equation Modeling dengan Lisrel 8.8 (1st ed.). Yogyakarta: Graha Ilmu.
pengaruh kualitas..., Rini Agustiningtyas, FE-UI, 2013