ANALISIS PENGARUH CITRA TOKO (STORE IMAGE) TERHADAP EKUITAS MEREK TOKO (STORE BRAND EQUITY) PADA PRODUK ELEKTRONIK CARREFOUR BERMEREK BLUESKY Studi Kasus: Konsumen Carrefour yang berdomisili di wilayah Jakarta Anggun Dian Puspita, Arga Hananto Program studi Ekstensi Manajemen kekhususan Komunikasi Pemasaran Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Article Info Article history: Available online Jan 2nd , 2013 Keywords: Store Image, Store Brand Equity, Hypermarket
Abstract This thesis discusses about the analysis of variables of store image that affect the store brand equity of BLUESKY electronic products which is private label of Carrefour Hypermarket. In this study, the variables of store image consists of: the marketing image of the store, the social image of the store, the strategic image of the store, price perception and store brand equity variables (which is composed of perceived quality, loyalty and awareness/association). Data were analyzed using Structural Equation Modeling (SEM) method with software LISREL 8.51. The results of this study indicate that store marketing image variables influence store brand equity; price perception variable has impact on three variables: store brand equity, perceived quality and loyalty towards BLUESKY electronic products. © 2013 Faculty of Economic University of Indonesia. All rights reserved
1. Pendahuluan Indonesia kembali terbukti menjadi pasar empuk bagi peritel asing. Pricewaterhouse Coopers International,Ltd. memprediksi, industri ritel dan konsumer di Asia Pasifik akan tumbuh rata-rata 6% selama 2011 hingga 2015. Melihat pertumbuhan bisnis ritel hipermarket (hypermarket) yang terjadi di Indonesia saat ini, maka dipandang perlu untuk meneliti lebih jauh tentang beberapa hal yang terkait dengan strategi pemasaran dari bisnis tersebut.
Carrefour Indonesia adalah salah satu hipermarket pertama di Indonesia yang mulai beroperasi di Indonesia pada tahun 1998 dengan membuka gerai pertamanya di kawasan Cempaka Putih Jakarta. Pada tahun 1999, Carrefour dan Promodes sebagai pemegang saham utama dari hipermarket Continent, menggabungkan semua kegiatan usaha ritel di seluruh dunia dengan nama Carrefour. Hal tersebut menjadikan Carrefour sebagai ritel terbesar kedua di dunia. 1
University of Indonesia
Analisis Pengaruh..., Anggun Dian Puspita, FE UI, 2013
Carrefour memperkenalkan konsep hipermarket (hypermarket) dan menyediakan alternatif belanja baru di Indonesia bagi pelanggannya. Mereka menawarkan konsep “One-Stop Shopping” yang menghadirkan pilihan tempat berbelanja dengan produk yang sangat beragam, harga murah, juga memberikan pelayanan terbaik. Carrefour menerapkan berbagai upaya digunakan untuk menarik konsumen agar berkunjung ke toko mereka. Beberapa upaya yang mereka lakukan antara lain: menerapkan pemberlakuan harga yang bersaing, menerapkan promosi harga khusus selama periode tertentu dalam katalog yang selalu diperbaharui setiap dua hari menjelang akhir pekan tiba (sering disebut sebagai Action Spot) memasang iklan singkat di televisi yang memuat produk-produk promosi mingguan Carrefour, melakukan penataan layout toko seindah dan senyaman mungkin bagi konsumennya. AC Nielsen mengungkapkan fakta tentang besarnya biaya promosi Carrefour yang bisa mencapai 18 Miliar Rupiah atau lebih. Hal ini pun dibenarkan oleh AVICOM sebagai advertising agencies terkemuka di Indonesia yang menangani komunikasi pemasaran hipermarket Carrefour. Direktur AVICOM menjelaskan, bahwa Carrefour menghabiskan dana setidaknya sebesar 1 miliar rupiah per bulan hanya untuk kegiatan promosi saja. Sebagian besar dari jumlah dana tersebut dihabiskan untuk biaya beriklan di media cetak, sisanya melalui media televisi dan media online. Informasi-informasi terkait dengan besarnya biaya promosi yang harus dikeluarkan oleh hipermarket(hypermarket), mengungkap fakta baru tentang adanya usaha-usaha keras yang dilakukan oleh peritel seperti Carrefour untuk menarik minat konsumen agar bersedia berkunjung dan mengeluarkan sejumlah uang untuk berbelanja di tempat mereka menjual produk-produknya. Para peritel justru berlomba membangun image positif dihadapan konsumen,dengan harapan dapat meningkatkan kepercayaan dan kenyamanan konsumen
terhadap toko, sehingga akhirnya memilih untuk berkunjung serta berbelanja ditempat usaha mereka. Peritel berlomba-lomba membuat merek tokonya(store brand) sendiri, dengan harapan mereka akan mendapatkan keuntungan lebih besar dibandingkan dengan menjual merek nasional. Dengan membeli produk bermerek toko(store brand) konsumen juga akan diuntungkan dari segi harga produk tersebut, sebab pada umumnya harga yang dibanderol oleh peritel untuk produk bermerek toko(store brand) akan jauh lebih murah dibandingkan produk bermerek nasional atau produk manufacture yang sudah ada.Tak jarang, beberapa kartu kredit menawarkan sejumlah potongan harga untuk produk-produk bermerek toko(store brand) karena adanya kerja sama dengan peritel tertentu. Tidak hanya itu, peritel juga berharap bahwa konsumen akan mengenal atau mengingat merek toko(store brand) mereka bahkan sampai pada tahap merekomendasikan kepada rekan-rekan atau keluarga dekatnya pada saat yang diperlukan. Carrefour sebagai peritel besar mencoba memperkenalkan beberapa merek tokonya(store brand) seperti: Carrefour, Paling Murah, BLUESKY dan Harmonie.
Gambar 1.1 Visualisasi Logo Produk Merek Toko (Store Brand) Carrefour Sumber:Private label Carrefour http://www.carrefour.co.id/shop/ carrefourproducts
Melihat maraknya tren merek toko yang ditawarkan para peritel, khususnya untuk jenis toko ritel hipermarket di Indonesia seperti yang telah dijelaskan di atas, menarik minat peneliti untuk meneliti tentang pengaruh citra toko(store image) dan ekuitas merek toko(store brand equity) produk elektronik bermerek BLUESKY milik Carrefour dalam penelitian ini. Merek BLUESKY adalah label yang menaungi produk-produk elektronik dan peralatan rumah tangga yang dijual oleh 2
University of Indonesia
Analisis Pengaruh..., Anggun Dian Puspita, FE UI, 2013
Carrefour, seperti hairdryer, kertas printer ink jet, setrika, regulator kompor gas, pemanggang roti dan beberapa produk lainnya.
Gambar 1.2 Varian Produk Elektronik Bermerek Toko (Store Brand) Carrefour Sumber : Produk-produk Private label Carrefour ITC Depok
2. Tinjauan Teoritis 2.1 Manajemen Ritel Menurut Levy dan Weitz (2007), bisnis ritel adalah kumpulan aktifitas bisnis yang menambah nilai dari produk dan jasa yang dijual ke konsumen untuk keperluan pribadi atau keluarganya(konsumen akhir). Selain itu, Bermans dan Evans (1992) mendefinisikan ritel sebagai kegiatan bisnis yang bergerak dalam penjualan barang atau jasa kepada konsumen yang hanya digunakan untuk kebutuhan pribadi, keluarga, atau rumah tangga mereka sendiri. Dari dua definisi yang disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bisnis ritel merupakan aktifitas perdagangan yang memiliki beberapa fungsi yang terkait dengan penjualan produk maupun jasa kepada konsumen. Jenis ritel menurut Levy dan Weitz (2007) dalam bukunya berjudul “Retailing Management” dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu, yaitu food retailers, general merchandise, dan non store retailers. Karena luasnya cakupan kategori produk yang dijual, Carrefour dapat dikategorikan sebagai gabungan antara retailer toko diskon dengan hipermarket (hypermarket). 2.2 Citra Toko(Store Images) Definisi store image menurut Peter dan Olson, (2005) adalah apa yang dipikirkan konsumen mengenai sebuah toko tertentu.
Pemikiran tersebut termasuk persepsi dan sikap konsumen terhadap toko yang berkaitan dengan panca indera manusia. Asosiasi terhadap merek digunakan oleh perusahaan untuk mendekatkan merek kepada konsumen Aaker, (1991). Citra toko yang baik adalah kunci keberhasilan bagi para peritel ditengah persaingan pasar yang sangat ketat saat ini. Citra toko dapat dibentuk melalui kemudahan memperoleh informasi produk atau jasa yang ditawarkan, juga kenyamanan konsumen saat mereka mengunjungi toko yang tak luput dari perhatian. Menurut Lynda dan Tong, (2005), fasilitas penunjang kenyamanan atau kemudahan pengunjung adalah fasilitas yang ditawarkan pusat perbelanjaan untuk mendukung suasana belanja yang nyaman dan mudah bagi pengunjung. Fasilitas penunjang tersebut antara lain: kapasitas toko yang lega, pendingin ruangan (AC), listrik dan generator yang terkontrol, lift dan escalator, kamar kecil (toilet), ATM (Automatic Teller Machine) atau fasilitas pembayaran kartu debet maupun kredit di kasir, dan lain sebagainya yang bertujuan untuk memudahkan pelanggan. Dimensi-dimensi citra toko (store image) menurut Menezes dan Elbert, (1979) terdiri dari store appearance, product assortment, price and services. Sedangkan menurut Orth and Green, (2009) ada enam dimensi store image, antara lain: merchandising, store atmosphere, convenience, price/value, product quality, selection, and service. Dimensi store image ini menjadi penting karena perannya dalam membangun consumer association yang merupakan salah satu toko penunjang penting yang harus dijaga agar mampu menciptakan citra toko (store image) yang positif. Association menurut Aaker, (1991) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan ingatan akan suatu brand dan brand image sebagai kumpulan dari brand association. Menurut Jinfeng dan Zhilong , (2009) secara umum, retailer yang mampu menciptakan retailer associations lebih positif akan dapat memberikan kepuasan kepada konsumen yang lebih besar pula. 3
University of Indonesia
Analisis Pengaruh..., Anggun Dian Puspita, FE UI, 2013
Menurut Levy dan Weitz, (2007) lokasi toko merupakan keputusan yang penting bagi seorang peritel karenatiga alasan, antara lain: 1. Lokasi merupakan pertimbangan utama dalam keputusan konsumen memilih toko. Konsumen biasanya akan memilih ook yang letaknya paling dekat dengan tempat tinggal. 2. Keputusan lokasi memiliki kepentingan strategis karena dapat digunakan untuk mengembangkan sustainable competitive advantage. Jadi apabila seorang peritel memilih lokasi terbaik, maka pesaingnya akan sulit meniru. 3. Keputusan penting mengenai lokasi sangat beresiko karena menyangkut investasi jangka panjang. Selain lokasi, merchandising yang baik dan tertata rapi akan menonjolkan kesan nyaman dan lega bagi konsumen pada saat berbelanja di toko. Jika penataan produk atau jasa yang dijual tidak diperhatikan, maka kemungkinan besar yang terjadi adalah konsumen akan malas untuk membeli karena bingung dengan letak produk atau jasa yang kacau dan tidak sesuai pengelompokannya. Store layout secara tidak langsung juga mempengaruhi minat pengunjung. Levy dan Weitz (2007) mengungkapkan bahwa layout yang tertata rapi dapat menarik minat pengunjung untuk mengadakan suatu transaksi. Layout sebuah toko bisa mendorong eksplorasi pelanggan sehingga dapat memfasilitasi pola traffic tertentu di dalam toko. Dimensi convenience, berkaitan dengan segala hal yang membuat konsumen merasa mudah dan nyaman untuk membeli barang dan merasakan layanan di toko yang bersangkutan. Dalam bahasa Indonesia, convenience diterjemahkan sebagai kenyamanan. Convenience merupakan bagian dari suasana toko (store atmosphere). Menurut Berman dan Evans, (2003) yang dimaksud atmosphere adalah karakteristik fisik dari sebuah toko yang digunakan untuk membangun citra dan menarik
pelanggan. Kualitas layanan tidak dapat dipisahkan dari konsep kepuasan pelanggan. Zeithaml dan Bitner, (2008) mengungkapkan bahwa penelitian lebih lanjut telah mengidentifikasi bahwa faktor-faktor lain seperti faktor pelanggan tertentu dan toko situasi toko pengaruh terhadap kepuasan secara keseluruhan. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa dimensi convenience erat kaitannya dengan besar kecilnya tingkat kepuasan konsumen. Melalui kemudahan dan kenyamanan yang disediakan oleh toko, maka diharapkan konsumen akan merasa lebih puas kepada peritel karena mereka telah mendaptkan barang atau jasa yang sesuai kebutuhannya dengan praktis dan cepat. 2.2.1 Marketing image of the store Beristain dan Zorilla, (2011) citra pemasaran toko (marketing image of the store) tercermin melalui promosi yang dilakukan oleh peritel untuk berbagai macam produk yang dijualnya, kenyamanan saat berbelanja, harga yang ditawarkan, lingkungan fisik toko, serta kualitas pelayanan terhadap pelanggan. Konsumen kemudian akan menggunakan komponen-komponen tersebut untuk mengevaluasi baik atau buruknya store image menurut pandangan mereka, sehingga akan mempengaruhi sikap mereka terhadap toko bahkan mungkin seluruh produk-produk yang dijualnya. 2.2.2 Social image of the store Beristain dan Zorilla, (2011) mengungkapkan bahwa citra toko (marketing image of the store) direfleksikan melalui tanggung jawab toko perusahaan (corporate social responsibility) terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar. Semakin sering perusahaan menjalankan tanggung jawab sosialnya, maka semakin baik citra mereka dimata konsumen. Meskipun pelaksanaannya tidak wajib, akan tetapi perilaku tanggung jawab toko/ perusahaan ini memegang peranan penting 4
University of Indonesia
Analisis Pengaruh..., Anggun Dian Puspita, FE UI, 2013
dalam usaha membangun citra toko/perusahaan yang positif dimata konsumen atau masyarakat. Dengan citra positif yang muncul melalui tanggung jawab toko yang dijalankan maka diharapkan akan membentuk anggapan positif juga, terhadap toko/perusahaan dan produkproduk yang dihasilkan/dijualnya. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya peningkatan peran yang tercermin dalam beberapa studi mengenai CSR, yang menemukan adanya pengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan serta evaluasi terhadap layanannya. CSR juga telah diidentifikasi mampu mempengaruhi perilaku konsumen, yakni sebagai faktor yang memiliki pengaruh terhadap niat membeli, perilaku belanja bahan makanan dan perilaku pembelian. Semuel dan Elianto, (2008) menyatakan bahwa CSR merupakan suatu konsep dari organisasi perusahan yang harus memiliki tanggung jawab kepada konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam aspek operasionalnya. 2.2.3 Strategic image of the store Salah satu cara agar sebuah organisasi diakui kehadirannya ditengah-tengah masyarakat tidak hanya tergantung pada perilaku sosialnya, tetapi juga melalui perilaku strategisnya. Citra stratejik toko (strategic image of the store) merupakan cara bagaimana toko perusahaan berusaha untuk senantiasa berinovasi sehingga memiliki keunggulan kompetitif yang dijadikan sebagai toko tersendiri bagi mereka dimata konsumennya. Aaker, (1991) mengutarakan bahwa, sebuah organisasi adalah kombinasi dari budaya, manusia, rencana-rencana dan asset/kapasitas yang dapat digunakan sebagai pilar dari identitas merek (brand’s identity). Oleh sebab itu, kombinasi yang ada dalam sebuah organisasi yang dalam hal ini toko akan menjadi cerminan dari identitas merek (brand’s identity) toko itu sendiri.
2.3 Ekuitas Merek Toko(Store Brand Equity) Aaker, (1991) mendefinisikan brand equity sebagai seperangkat aset merek dan kewajiban terkait dengan merek, nama dan simbol, yang menambah atau mengurangi dari nilai yang diberikan oleh produk atau jasa untuk perusahaan dan/atau kepada pelanggan perusahaan. Keller, (1993) mendefinisikan brand equity sebagai efek diferensial dari pengetahuan merek (terdiri dari kesadaran/ awareness terhadap merek dan citra merek) yang dimiliki konsumen. Penelitian ini menggunakan pendekatan yang sama, dimana ekuitas merek toko (store brand equity) didefinisikan, dan diukur mengikuti Model Aaker. Dimensi-dimensi ekuitas merek toko (store brand equity) beserta pengertiannya berdasarkan model Aaker, (1991) adalah sebagai berikut: 2.3.1 Perceived quality of the brand Zeithaml, (2008) berpendapat bahwa perceived quality adalah penilaian konsumen mengenai keseluruhan performa suatu produk. Pengalaman seseorang terhadap sebuah produk, kebutuhan yang unik dan pola konsumsi dapat mempengaruhi penilaian konsumen terhadap kualitas sebuah produk. Komponen nilai dari sebuah merek akan mampu mendorong loyalitas konsumen terhadap seorang retailer. 2.3.2 Brand Loyalty Lovelock dan Wirtz, (2004) mengungkapkan bahwa dalam bisnis ritel, konteks loyalitas pelanggan dapat diartikan sebagai keinginan konsumen untuk setia pada suatu perusahaan atau merek produk tertentu secara terus menerus, membeli dan menggunakan produk dan jasa perusahaan tersebut secara berulang kali, kemudian merekomendasikan produk tersebut kepada orang lain. Loyalitas konsumen secara umum dapat diterjemahkan sebagai kesetiaan konsumen untuk membeli dan menggunakan suatu produk, baik berupa 5
University of Indonesia
Analisis Pengaruh..., Anggun Dian Puspita, FE UI, 2013
barang maupun jasa. Loyalitas konsumen merupakan manifestasi dan kelanjutan dari kepuasan konsumen dalam menggunakan fasilitas maupun jasa pelayanan yang diberikan oleh pihak produsen, serta bersedia untuk tetap menjadi konsumen produk mereka. Menurut Reichheld, (1996) pada umumnya loyalitas seorang konsumen dapat ditunjukkan melalui keloyalan terhadap sebuah brand, tetapi keloyalan konsumen juga dapat ditunjukkan pada sebuah toko. Menurut Lynda dan Tong (2005), fasilitas penunjang kenyamanan atau kemudahan pengunjung adalah fasilitas yang ditawarkan pusat perbelanjaan untuk mendukung suasana belanja yang nyaman dan mudah bagi pengunjung. 2.3.3 Brand Awareness Brand awareness menurut Pappu dan Quester, (2006) didefinisikan sebagai kemampuan konsumen untuk mengingat kembali suatu retailer atau merek ketika konsumen dihadapkan pada serangkaian pilihan retailer atau merek. Kuat atau tidaknya brand awareness yang dimiliki oleh seorang konsumen sangat mempengaruhi tinggi rendahnya loyalitas mereka terhadap retailer tertentu. 2.3.4 Brand Association Pappu dan Quester,(2006) mendefinisikan brand associations sebagai segala ingatan yang berhubungan dengan peritel dan/atau merek. Elemen ini berpengaruh secara positif terhadap retailer loyalty, karena kedua toko tersebut akan dijadikan sebagai persepsi kualitas serta komitmen yang membantu konsumen dalam memilih toko mana yang akan dikunjungi. Sehingga akhirnya memunculkan perilaku tertentu yang terpola.
toko(store brand) dengan merek produsen adalah variabel kunci dalam proses pembelian produk bermerek toko (store brands) oleh konsumen. Pada saat yang bersamaan, Richardson et al., (1996) dalam Beristain dan Zorrilla, (2011) mengungkapkan bahwa strategi yang dijalankan oleh peritel dimaksudkan untuk menekankan value for money, sehingga harga menghasilkan efek positif dan signifikan dalam proses pembelian merek toko(store brands) mereka. Oleh sebab itu, terdapat anggapan bahwa persepsi dari harga produk yang terjangkau atau relatif berharga rendah memberikan pengaruh positif pada kesetiaan konsumen terhadap sebuah merek toko(store brands). Menurut Aaker, (1991) disebutkan bahwa, harga memainkan peran penting dalam konfigurasi asosiasi yang berkaitan dengan proposisi nilai merek toko(store brands). Bukan menjadi hal yang mengejutkan, bahwa merek toko(store brands) dianggap sebagai alternatif yang lebih murah daripada merek nasional. Selain itu, merek toko(store brands) berkaitan secara psikologis yang berhubungan dengan aktifitas penghematan terkait dengan pembelian, serta asosiasi yang berkaitan dengan jenis tertentu dari pengguna merek (brand user), mengingat bahwa pembelian produk-produk berkualitas dengan harga yang wajar mengarah kepada kesan pembeli yang cerdas (smartbuyer). 2.5
Hubungan antara dimensi citra toko (The Dimension of Store Image) dengan ekuitas merek toko (Store Brand Equity)
Dimensi citra toko (The Dimension of Store Image) memiliki hubungan dengan ekuitas merek toko (store brand equity), yang akan dikemukakan oleh beberapa penjelasan sebagai berikut.
2.4 Persepsi Harga (Price Persceptions) D’Astous dan Saint-louis, (2005) dalam Beristain dan Zorrilla, (2011) mengungkapkan bahwa perbedaan harga antara merek
2.5.1 Hubungan antara citra pemasaran toko (marketing image of the store) dengan ekuitas merek toko (store brand equity) 6
University of Indonesia
Analisis Pengaruh..., Anggun Dian Puspita, FE UI, 2013
Hubungan citra pemasaran sebuah toko terhadap ekuitas merek toko, tercermin dalam kualitas dan banyaknya varian produk, kenyamanan, harga, lingkungan fisik toko dan kualitas pelayanan. Semeijn et al., (2004) dalam Beristain dan Zorrilla, (2011) berpendapat bahwa konsumen menggunakan evaluasi secara keseluruhan untuk membentuk sikap mereka terhadap toko secara keseluruhan serta terhadap merek-merek yang dijual oleh toko tersebut. 2.5.2 Hubungan antara citra sosial toko (social image of the store) dengan ekuitas merek toko (store brand equity) Maignan dkk, (1999) dalam Beristain dan Zorrilla, (2011) menyatakan bahwa citra sosial datang dari tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility), yaitu dari sejauh mana perusahaan menjalankan prinsip-prinsip ekonomi, hukum, tanggung jawab etis dalam kebijakan mereka terhadap stakeholders. Brown dan Dancing, (1997); Turban dan Greening, (1996); Lichtenstein etal., (2004), Mohrand dan Webb, (2005) dalam Beristain dan Zorrilla, (2011) menyatakan bahwa persepsi tentang perilaku tanggung jawab sosial dapat memainkan peran yang penting dari hasil-hasil keluaran perusahaan, termasuk reputasi (reputation), komitmen merek (brand commitment), niat diferensiasi (differentiation), niat melakukan pembelian (purchase intent) dan identifikasi pelanggan dengan perusahaan. Jones et.al., (2007) dalam Beristain dan Zorrilla, (2011) menunjukkan bahwa toko yang cukup besar dapat memperoleh keuntungan dari perilaku bertanggung jawab secara sosial, termasuk memperkuat dan meningkatkan reputasi toko, memperoleh reputasi yang bagus dan lurus, yang dapat ditransfer kepada produk yang disediakan atau dijual oleh toko tersebut. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Swedia, Anselmsson dan Johansson, (2007) dalam Beristain dan Zorrilla, (2011) menyatakan bahwa citra tanggung jawab sosial
toko memiliki pengaruh positif pada keinginan konsumen membeli merek toko (store brand purchase intentions). 2.5.3 Hubungan antara citra stratejik toko (strategic image of the store) dengan ekuitas merek toko (store brand equity) Citra stratejik toko (strategic image of the store) memiliki hubungan terhadap ekuitas merek toko (store brand equity). Citra stratejik dan ekuitas merek toko (store brand equity) juga saling berhubungan satu sama lain. Sebuah organisasi dianggap tergantung tidak hanya pada perilaku sosialnya saja, tetapi juga pada perilaku stratejiknya. Aaker, (1991) dalam menyatakan bahwa suatu organisasi merupakan kombinasi dari budaya, manusia, rencana dan aset/ kapasitas. Kombinasi ini bisa menjadi salah satu pilar dari identitas sebuah merek. Oleh sebab itu, Hsieh et al., (2004) dalam Beristain dan Zorrilla, (2011) menyatakan bahwa citra toko (store image) akan berkaitan dengan merek-merek yang berhubungan dekat dengan citra itu sendiri. Dalam hal ini Keller dan Aaker, (1998) dalam Beristain dan Zorrilla, (2011) menekankan peran penting yang dimainkan oleh asosiasi merek yang terkait dengan kapasitas perusahaan untuk berinovasi. Asosiasi ini memiliki pengaruh positif terhadap persepsi kualitas dan keinginan konsumen untuk membeli produk yang diidentifikasi sebagai produk perusahaan tersebut. 2.5.4 Hubungan antara persepsi harga (price perception) dengan ekuitas merek toko (store brand equity) Suri et al., (2000) dalam Beristain dan Zorrilla, (2011) mengungkapkan adanya hubungan antara harga dan kualitas yang dirasakan yaitu, harga bertindak sebagai indikator kualitas produk yang berarti bahwa harga yang rendah dapat dikaitkan dengan kualitas yang lebih rendah dan bagitu pula sebaliknya. Oleh karena itu dapat disimpulkan 7
University of Indonesia
Analisis Pengaruh..., Anggun Dian Puspita, FE UI, 2013
bahwa, persepsi negatif tentang harga terjangkau yang dimiliki oleh merek toko (store brand) dapat pula mempengaruhi persepsi kualitas yang dirasakan konsumen terhadap merek toko (store brand) itu sendiri. Harga dan loyalitas terhadap merek toko (store brands) memiliki keterkaitan. 2.6 Merek Toko (Private Label) Produk Elektronik Hypermarket Carrefour Sebelumnya sudah pernah ada studi oleh Yufita, (2010) mengenai private label dari beberapa industri ritel secara umum yang terdiri dari Carrefour, Hypermart dan Giant, namun hanya sebatas analisa persepsi konsumen private label dan national brand yang menggambarkan kesetujuan terkait produk makanan-minuman serta produk non makanan-minuman saja. Dalam penelitiannya disebutkan beberapa informasi terkait persepsi responden terkait indikator variabel produk, indikator harga produk, indikator variabel promosi, variabel penempatan (store display) produk dari produk non makanan-minuman private label. Namun tidak dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap produk non makanan-minuman private label apa yang diteliti. Oleh sebab itu, perlu dikaji lebih dalam mengenai produk non makanan-minuman private label industri ritel yang disebutkan peneliti agar lebih terperinci. Di Indonesia, tren produksi dan pemasaran produk private label oleh industri ritel semakin marak. Berikut ini adalah tabel private label produk peritel yang ada di Indonesia berdasarkan data dari berbagai sumber: Tabel 2.1 Data private label produk peritel di Indonesia Tipe Gerai Hypermarket
Merek Gerai Carrefour
Perusahaan Ritel PT Carrefour Indonesia
Merek Produk Private Label Carrefour, Harmonie, Carrefour Discount, Carrefour Home, Bluesky, First Line, Paling Murah.
Hypermarket
Hypermart
Hypermarket & Supermarket Supermarket
Giant
Superindo
Supermarket
Hero
Convenience Store Convenience Store
Alfamart
Warehouse Clubs Warehouse Clubs
Makro
Indomart
Lotte Mart
PT Matahari Putra Prima PT Hero Supermarket, tbk. PT Lion Super Indo PT Hero Supermarket, Tbk. PT Sumber Alfaria Trijaya PT Indomarco Prismatama, Tbk PT Makro Indonesia PT Lotte Shopping Indonesia
Value Plus Giant, First Choice
365, Superindo Care, Bio Organik Hero Save, Nature Choice, Relliance Pasti, “A” Indomaret
Aro, Save Pack Herbon, Wiselect, Withone, Basicicon, Tasse Tasse juga Gerard Darel
Sumber : Data industri ritel di Indonesia Tahun 2009 s.d. 2012
Produk elektronik private label milik industri ritel hipermarket di Indonesia hingga saat ini hanya dimiliki oleh Carrefour. Hipermarket Carrefour memiliki private label BLUESKY untuk produk elektroniknya sejak tahun 2003 silam. Merek BLUESKY telah beredar di seluruh gerai Carrefour di dunia. Jumlah gerai Carrefour di Indonesia sendiri sebanyak 85 gerai yang tersebar di 7 kota besar Indonesia, berdasarkan data jumlah gerai periode hingga Agustus 2012. Awalnya, produk elektronik private label Carrefour hanya tersedia dengan merek BLUESKY. Namun, seiring waktu berjalan private label untuk produk elektronik Carrefour kini juga tersedia dalam merek Carrefour Discount dan Carrefour Home. Sejak pertengahan tahun 2012 yang lalu Carrefour merubah merek private label untuk produk elektroniknya, yakni bermula dari merek BLUESKY menjadi merek Carrefour Discount dan Carrefour Home. Tujuan dari peralihan merek tersebut yakni agar konsumen lebih aware, bahwa Carrefour memiliki produk elektronik private label ditengah aktifitasnya memasarkan produkproduk bermerek nasional (national brand) yang sudah beredar pada umumnya. Produk elektronik private label dengan merek Carrefour Discount dan Carrefour Home 8
University of Indonesia
Analisis Pengaruh..., Anggun Dian Puspita, FE UI, 2013
diklaim memiliki kualitas dan harga yang lebih menjanjikan, dibandingkan pendahulunya yakni BLUESKY. Strategi perubahan merek ini mengindikasikan bahwa Carrefour semakin percaya diri mengusung private label untuk produk elektroniknya, karena konsumen semakin mengenal citra toko Carrefour sebagai ritel terbesar dan terlengkap di Indonesia. Selain merek BLUESKY juga terdapat private label lain yang diusung oleh Non Store Retailers yang bergerak khusus dibidang Electronic Retailers. Beberapa merek private label milik Non Store Retailers tersebut antara lain: private label merek Kris milik ritel Ace Hardware dan beberapa produk elektronik custom private label milik PT Lauder Elektronik Indonesia. Perbedaan dari seluruh produk elektronik private label tersebut hanya dilihat dari ‘siapa’ dan jenis toko penjualnya, dimana produk elektronik merek BLUESKY, Carrefour Home dan Carrefour Discount dijual oleh ritel hypermarket yang banyak dikunjungi oleh konsumen yang ingin berbelanja tidak hanya produk elektronik semata. Sedangkan private label merek Kris milik ritel Ace Hardware dan beberapa produk elektronik custom private label milik PT Lauder Elektronik Indonesia dijual oleh non store retailers yang memang khusus menjual produk-produk elektronik. 3. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian yang terdiri dari beberapa tahap, dimana tahapan-tahapan tersebut akan dilalui oleh peneliti dalam rangka meraih tujuan penelitian sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Menurut Malhotra, (2007) desain riset merupakan suatu kerangka dasar atau blueprint yang mengarahkan proyek penelitian pemasaran. Desain riset menjelaskan prosedur atau dasar penelitian secara terperinci yang dibutuhkan untuk menemukan solusi dari rumusan masalah dalam sebuah penelitian. Terdapat beberapa jenis klasifikasi desain penelitian menurut Malhotra, (2007). Namun
skripsi ini menggunakan klasifikasi desain penelitian sebagai berikut: 1. Penelitian Konklusif Malhotra, (2007) menjelaskan bahwa Penelitian Konklusif adalah penelitian yang dilakukan untuk membantu pembuat keputusan dalam menentukan, mengevaluasi dan memilih alternative terbaik untuk diambil pada situasi tertentu. Penelitian jenis ini bertujuan untuk menguji hipotesis dan menguji pengaruh satu variabel terhadap variabel lain. Malhotra, (2007) juga menjelaskan bahwa hasil dari penelitian konklusif adalah kesimpulan yang dapat dijadikan sebagai masukan (input) bagi pengambilan keputusan. Dalam penelitian konklusif, riset diklasifikasikan menjadi dua jenisyakni riset deskriptif dan riset kausal. Namun untuk skripsi ini riset deskriptif yang dipilih, dimana akan dijelaskan selanjutnya. 2. Penelitian Deskriptif Menurut Malhotra, (2007) riset deskriptif adalah riset yang bertujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan suatu karakter/karakteristik atau fungsi dari sesuatu hal. Kemudian Istijanto, (2009) menjelaskan pula bahwa riset deskriptif merupakan jenis riset yang bertujuan untuk menggambarkan sesuatu. Pada umumnya dalam riset deskriptif juga dilakukan analisis kuantitatif, dan pengumpulan data yang dapat bersumber dari data sekunder, survey maupun observasi. Dalam penelitian deskriptif ini, digunakan single cross-sectional design dimana peneliti mengumpulkan informasi dari satu jenis sampel responden serta dilakukan hanya satu kali dalam satu periode. Hasil pengumpulan informasi tersebut merupakan jawaban dari responden penelitian dalam kuesioner yang disebarkan oleh peneliti, dimana pertanyaan didalamnya telah disusun secara sistematis dan mudah untuk dipahami oleh responden. Baru setelah informasi terhimpun, maka data mentah dapat diolah dan diuji hipotesisnya dengan menggunakan software SPSS maupun LISREL 8.51. Penelitian ini merupakan replikasi penelitian Beristain dan Zorrilla, (2011) yang 9
University of Indonesia
Analisis Pengaruh..., Anggun Dian Puspita, FE UI, 2013
menggunakan dua model penelitian untuk menganalisis lebih dalam mengenai hubungan citra toko (store image), persepsi harga (price) dan ekuitas merek toko (store brand equity). Kedua model penelitian tersebut digambarkan pada gambar 3.1. dan gambar 3.2 sebagai berikut. Pada Gambar 3.1. terdapat visualisasi dimana citra toko (store image) dan harga mem-pengaruhi perceived quality (quality), brand loyalty (loyalty), dan brand awareness/ association (awareness/association).
Gambar 3.1 Model Penelitian 1 Sumber: Beristain dan Zorrilla, (2011)
Kemudian pada gambar 3.2 dijelaskan bahwa variabel marketing image of the store, social image of the store, strategic image of the store dan harga mampu mempengaruhi ekuitas merek toko (store brand equity). Dimana variabel store brand equity merupakan variabel laten yang terdiri dari Quality, Loyalty dan Awareness/Association.
Gambar 3.2 Model Penelitian 2 Sumber: Beristain dan Zorrilla, (2011)
Setelah diketahui model penelitian, maka kemudian dapat dilakukan uji model dengan membuat hipotesis-hipotesis yang akan menggali informasi lebih dalam terkait dengan penelitian yang dilakukan. Hipotesis tersebut adalah sebagai berikut: H1a: Citra toko (store image) Carrefour memiliki pengaruh positif terhadap persepsi kualitas (the perceived quality) pada merek toko (store brands) BLUESKY. H1b: Citra toko (store image) Carrefour memiliki pengaruh positif terhadap loyalitas pada merek toko (store brands) BLUESKY. H1c : Citra toko (store image) Carrefour memiliki pengaruh positif terhadap kesadaran merek/asosiasi merek (brand awareness/association) BLUESKY. H2a : Citra pemasaran (marketing Image) Carrefour memiliki pengaruh positif terhadap ekuitas merek toko (store brand equity) BLUESKY. H2b : Citra sosial (social image) Carrefour memiliki pengaruh positif terhadap merek toko (store brand equity) BLUESKY. H2c : Citra stratejik (strategic image) Carrefour memiliki pengaruh positif ekuitas merek toko (store brand equity) BLUESKY. H3a : Persepsi harga (price perception) memiliki pengaruh positif terhadap ekuitas merek toko (store brand equity) BLUESKY Carrefour. H3b : Persepsi harga (price perception) dari merek toko (store brands) memiliki pengaruh negatif terhadap persepsi kualitas produk elektronik dari merek toko (store brands) BLUESKY Carrefour. H3c: Persepsi harga (price perception) dari merek toko (store brands) memiliki pengaruh positif terhadap loyalitas konsumen pada merek toko (store brands) BLUESKY Carrefour. 10
University of Indonesia
Analisis Pengaruh..., Anggun Dian Puspita, FE UI, 2013
H3d : Persepsi harga (price perception) dari merek toko (store brands) memiliki pengaruh positif terhadap kesadaran akan merek toko (store brand awareness) BLUESKY Carrefour. Pertanyaan utama dalam kuesioner penelitian ini berjumlah 26 poin, dengan estimasi waktu pengisian untuk satu kuesioner sekitar lima hingga sepuluh menit. Sedangkan data sekunder untuk penelitian ini diperoleh melalui studi kepustakaan, buku referensi, internet dan sumber-sumber lain yang memuat informasi yang diperlukan untuk bahan penelitian ini. Menurut Istijanto, (2009) data sekunder adalah data dalam bentuk yang sudah jadi, dikumpulkan dan diolah oleh pihak lain dan biasanya sudah dalam bentuk publikasi. Dalam penelitian ini digunakan pertanyaan terstruktur dengan tujuan untuk memudahkan responden dalam menjawab pertanyaan yang diajukan, lebih cepat, dan mengurangi bias jawaban. Bentuk kuesioner pertanyaan terstruktur adalah sebagai berikut: Dichotomus Questions, yaitu pertanyaan dengan hanya dua alternatif jawaban yang terdiri dari : ‘ya’ atau ‘tidak’. Scale Response Questions, yaitu pertanyaan yang jawabannya terdiri dari berbagai alternatif jawaban dengan menggunakan skala tertentu yang sesuai dengan persepsi responden. Dengan skala 1 s.d. 5 dimana 1 adalah skala jawaban Sangat Tidak Setuju (STS) dan 5 adalah skala jawaban Sangat Setuju (SS). Multiple Choice Questions, yaitu peneliti memberikan pilihan jawaban dan responden diminta untuk memilih satu atau lebih alternatif jawaban. Jenis non-probability sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah convenience sampling, yaitu metode sampling yang memilih sampel dari orang atau unit yang paling mudah dijumpai atau diakses. Metode ini pada umumnya secara acak tapi tetap
mempertahankan beberapa syarat pemilihan responden untuk memenuhi kriteria responden supaya data yang didapat valid. Dalam penelitian ini, peneliti memutuskan untuk melakukan survei mengingat metode ini adalah cara paling sederhana dan mudah untuk dilakukan, serta dapat tetap meraih sampel dalam jumlah besar dengan hasil yang dapat dikatakan agak lebih baik apabila dibandingkan dengan metode lain seperti observasi dan wawancara. Peneliti membagikan kuesioner melalui tautan menuju halaman Google Docs kepada sejumlah responden pengguna internet. Selain melalui halaman Google Docs, pembagian kuesioner juga dilakukan secara langsung kepada konsumen Carrefour yang berdomisili dan atau bekerja di wilayah Jakarta. Peneliti menggunakan descriptive statistics untuk melihat jumlah responden berdasarkan karakteristik demografinya. Descriptive statistics menyajikan hasil survei melalui bentuk distribusi frekuensi dan persentase dari profil responden. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan SPSS for Windows Versi 16. Distribusi frekuensi menyediakan gambaran secara keseluruhan dari jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan tingkat pengeluaran untuk berbelanja per bulan dari responden penelitian ini. Uji validitas model pengukuran dilakukan dengan memeriksa apakah (a) t-value dari standardized loading factors dari variabel teramati dalam model memenuhi syarat yang baik, yaitu diatas 0,70. Igbaria et al, (1997) menyatakan bahwa standardized loading factors >0,50 adalah sangat signifikan, tetapi jika dia kurang dari itu namun masih > 0,30 maka variabel terkait bisa dipertimbangkan untuk tidak dihapus. Analisis Reliabilitas model pengukuran dilakukan dengan menghitung nilai Construct Reliability (CR) dan Variance Extracted (VE) dari nilai standardized loading factors dan error variance. Standardized loading factors dapat diperoleh secara langsung dari output program LISREL. 11
University of Indonesia
Analisis Pengaruh..., Anggun Dian Puspita, FE UI, 2013
Reliabilitas adalah konsistensi suatu pengukuran Wijanto, (2008). Reliabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa indikator-indikator mempunyai konsistensi tinggi dalam mengukur variabel latennya. Reliabilitas suatu konstruk dikatakan baik jika nilai construct reliabilitynya ≥ 0,70 Wijanto, (2008). Cara lain untuk menghitung reliabilitas adalah dengan menggunakan variance extracted (VE), dimana nilai VE ≥ 0,50. Ekstrak varian mencerminkan jumlah varian keseluruhan dalam indikator yang dijelaskan oleh construct latent. Bollen dan Long dalam Wijanto, (2008) mengungkapkan bahwa prosedur SEM secara umum akan mengandung tahapan-tahapan sebagai berikut a. Spesifikasi model (model specification) b. Identifikasi model (identification) c. Estimasi (estimation) d. Uji kecocokan (testing fit) e. Respesifikasi (respesification) Dalam tahapan uji kecocokan antara data dengan model, validitas dan reliabilitas model pengukuran, dan signifikansi koefisienkoefisien dari model struktural ada beberapa tahapan-tahapan. Hair et.al., (1998) mengemukakan bahwa evaluasi terhadap tingkat kecocokan data dengan model dilakukan melalui tahapan-tahapan, antara lain sebagai berikut: 1. Kecocokan keseluruhan model(overall model fit); 2. Kecocokan model pengukuran(measurement model fit); 3. Kecocokan model struktural(structural model fit). Kemudian setelah diperoleh hasil-hasil pengujian kecocokan antara model dengan data (testing fit) maka menurut Wijanto, (2008) agar komunikasi dalam penyampaian tentang ide konsep dasar SEM dapat berjalan secara efektif, maka digunakan Diagram Lintasan (Path Diagram) sebagai sarana komunikasi.
4. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil uji hipotesis yang telah dilakukan sebelumnya, 6 dari 10 hipotesis penelitian membuktikan adanya hubungan signifikan pada tingkat keyakinan 95% dengan t-value > 1,96. Secara umum, Tabel 4.12 adalah kesimpulan hasil uji hipotesis dan disertai dengan estimasi koefisien regresi yang distandarisasikan (standardized coefficients). Tabel 4.12 Kesimpulan Uji Hipotesis Hipotesis
t-value
Estimasi
H1a
Store Image → Quality
- 0,17
-0,06
H1b
Store Image →Loyalty
0,05
0,02
0,22
0,09
-2,09
-0,06
0,88
0,02
1,28
0,04
3,25
0,07
H1c H2a H2b H2c H3a
Path
Store Image → Awareness/Association Marketing Image → Store Brand Equity Social Image → Store Brand Equity Strategic Image → Store Brand Equity Price Perception → Store Brand Equity
H3b
Price Perception → Quality
2,85
0,27
H3c
Price Perception → Loyalty
2,22
0,26
H3d
Price Perception → Awareness/Association
1,14
0,12
Hasil Data Tidak Mendukung Hipotesis Data Tidak Mendukung Hipotesis Data Tidak Mendukung Hipotesis Data Mendukung Hipotesis Data Tidak Mendukung Hipotesis Data Tidak Mendukung Hipotesis Data Mendukung Hipotesis Data Mendukung Hipotesis Data Mendukung Hipotesis Data Tidak Mendukung Hipotesis
Sumber: Output LISREL 8.51 hasil olahan peneliti Tahun 2012
5. Pembahasan Hasil uji hipotesis terlihat dari printed output hasil proses syntax dalam rumus persamaan olahan peneliti dan juga terdapat pada path diagram. Pada hubungan yang signifikan nilai t-value lebih besar dari t-tabel. Penelitian ini menggunakan tingkat kepercayaan 95% (batas minimum t-value = 1,96). Dari hasil uji validitas dan reliabilitas yang dilakukan sebelum melakukan pengujian hipotesis model dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel dalam penelitian telah memenuhi kriteria lulus uji validitas dan reliabilitas. H1a: Uji hipotesis untuk varaibel store image Carrefour terhadap variabel quality produk BLUESKY dapat dilihat pada Tabel 4.12, dimana hipotesis H1a, dimana hasilnya ternyata tidak didukung 12
University of Indonesia
Analisis Pengaruh..., Anggun Dian Puspita, FE UI, 2013
H1b:
H1c:
H2a:
H2b:
oleh data karena t-value hanya sebesar 0,17 (tingkat keyakinan 95%), tidak memenuhi kriteria t-value >1,96. Dari hasil pengamatan langsung terhadap responden yang ada dilapangan, konsumen kebanyakan memang tidak memiliki anggapan bahwa citra toko yang dimiliki oleh Carrefour mempengaruhi anggapan mereka terhadap kualitas produk elektronik BLUESKY. Uji hipotesis dapat dilihat dari Tabel 4.12, dimana hipotesis H1b tidak didukung oleh data karena t-value hanya sebesar 0,05 (tingkat keyakinan 95%), lebih rendah dari kriteria t-value > 1,96. Penolakan H1b berarti bahwa hipotesis tentang adanya pengaruh positif variabel store image terhadap brand loyalty tidak didukung oleh data. Uji hipotesis dapat dilihat dari Tabel 4.12 dimana hipotesis H1c ditolak karena tvalue hanya sebesar 0,22 (tingkat keyakinan 95%), tidak memenuhi kriteria nilai t-value > 1,96. Dari hasil pengujian hipotesis, dapat disimpulkan bahwa store image tidak mempengaruhi dimensi awareness/association. Uji hipotesis dapat dilihat dari Tabel 4.12 dimana hipotesis H2a didukung oleh data karena nilai t yang diperoleh sebesar -2,09 (tingkat keyakinan 95%), nilai t yang diperoleh signifikan (t-value = -2,09 lebih kecil dari - 1,96, signifikan untuk uji dua arah/two tailed test), karena hipotesis yang diajukan bersifat uji dua arah, maka H2a didukung oleh data. Didukungnya hipotesis H2a oleh data menunjukkan adanya hubungan yang positif antara variabel marketing image dan store brand equity. Uji hipotesis dapat dilihat dari Tabel 4.12, dimana hipotesis H2b ditolak karena t-value hanya sebesar 0,88, lebih rendah dari kriteria t value > 1,96 (tingkat keyakinan 95%). Penolakan H2b menunjukkan tidak adanya pengaruh variabel social image terhadap
store brand equity. Dari teori di atas, dapat disimpulkan bahwa social image yang dibangun oleh pihak Carrefour tidak mempengaruhi store brand equity untuk produk elektronik bermerek BLUESKY yang dijualnya. Dari hasil pengamatan langsung, konsumen pada umumnya tidak begitu mengkaitkan antara aktifitas sosial yang dilakukan oleh pihak Carrefour melalui kegiatan corporate social responsibility(CSR), dengan tinggi rendahnya pandangan mereka terhadap store brand equity produk elektronik bermerek BLUESKY. Bahkan tak sedikit yang beranggapan bahwa Carrefour tidak menjalankan corporate social responsibility(CSR) yang seharusnya dilakukan oleh banyak industri besar sebagai bentuk imbal balik (feedback) dari apa yang mereka peroleh dari konsumennya.Ini merupakan sebuah temuan yang sebaiknya ditindaklanjuti secara sigap oleh pihak Carrefour, sehingga citra sosial mereka tetap terjaga dimata konsumen maupun para stakeholder serta pihak pemerintah sebagai pemilik regulasi. H2c: Uji hipotesis dapat dilihat dari Tabel 4.12 dimana hipotesis H2c ditolak karena tvalue hanya sebesar 1,28 (tingkat keyakinan 95%) < 1,96. Penolakan H2c menunjukkan tidak terbukti adanya pengaruh variabel strategic image terhadap store brand equity. Dari teori di atas, dapat disimpulkan bahwa strategic image yang dibangun oleh pihak Carrefour tidak mempengaruhi store brand equity produk elektronik bermerek BLUESKY secara signifikan. Konsumen pada umumnya tidak mengkaitkan antara aktifitas stratejik yang dilakukan oleh pihak Carrefour (seperti: inovasi dalam layanan maupun produk yang dijualnya, dengan tinggi rendahnya pandangan mereka terhadap store brand equity produk elektronik bermerek BLUESKY. 13
University of Indonesia
Analisis Pengaruh..., Anggun Dian Puspita, FE UI, 2013
H3a: Uji hipotesis dapat dilihat dari Tabel 4.12, dimana hipotesis H3a diterima karena tvalue sebesar 3,25 (tingkat keyakinan 95%) < 1,96. Penerimaan hipotesis H3a menunjukkan adanya hubungan positif antara variabel price perception dan store brand equity. Semakin konsumen menganggap bahwa harga suatu produk terjangkau dan tepat/sesuai dengan kualitasnya, maka mereka akan cenderung memiliki pandangan yang lebih baik tentang store brand equity. Dari teori di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi harga (price perception) konsumen terhadap produk-produk yang dijual oleh pihak Carrefour mempengaruhi store brand equity produk elektronik bermerek BLUESKY. Dari hasil pengamatan langsung, konsumen pada umumnya memiliki pandangan bahwa Carrefour memberlakukan harga yang terjangkau untuk produk-produk yang dijualnya. Selain itu konsumen terprovokasi bahwa Carrefour menjual produk dengan harga yang terjangkau. Hal ini membuat pandangan terhadap store brand equity untuk produk elektronik bermerek BLUESKY menjadi positif juga. H3b: Uji hipotesis dapat dilihat dari Tabel 4.12, dimana hipotesis H3b diterima karena t-value sebesar 2,85 (tingkat keyakinan 95%) < 1,96. Penerimaan hipotesis H3b menunjukkan adanya pengaruh negatif variabel price perception terhadap perceived quality. Hasil yang didapatkan ternyata mendukung pernyataan berikut. Semakin konsumen menganggap produk memiliki harga terjangkau, maka konsumen akan cenderung semakin menganggap negatif kualitas produk. H3c: Uji hipotesis dapat dilihat dari Tabel 4.12, dimana hipotesis H3c diterima karena tvalue sebesar 2,22 (tingkat keyakinan 95%) < 1,96. Penerimaan hipotesis H3c
menunjukkan pengaruh positif variabel price perception terhadap loyalty, dimana price perception yang disandang produk BLUESKY memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap loyalitas konsumen terhadap produk tersebut. H3d: Uji hipotesis dapat dilihat dari Tabel 4.12, dimana hipotesis H3d ditolak karena t-value hanya sebesar 1,14, sehingga tidak memenuhi kriteria nilai t>1,96. Penolakan hipotesis H3d menunjukkan tidak terbukti adanya pengaruh variabel Price Perception terhadap Awareness/Association. Dari hasil penelitian ini, disimpulkan bahwa price perception konsumen terhadap Carrefour ternyata tidak mempengaruhi awareness/association konsumen pada produk elektronik bermerek BLUESKY. Tinggi rendahnya harga produk elektronik bermerek BLUESKY tidak membuat konsumen merasa bahwa dirinya diarahkan pada asosiasi –asosiasi tertentu, seperti: pemakai produk BLUESKY adalah konsumen yang cerdas atau malah tidak cerdas dalam memilih produk yang akan digunakan. Sebagian besar hanya mengaitkan bahwa persepsi harga yang dibentuk oleh produk elektronik bermerek BLUESKY terkait dengan bagaimana cara pihak Carrefour menarik perhatian konsumen untuk membeli produk tersebut. 6. Kesimpulan Dalam rangka menjawab perumusan masalah yang telah disusun sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan berdasarkan hasil pengujian hipotesis penelitian, yaitu sebagai berikut: 1. Citra toko (Store Image) Carrefour tidak terbukti berpengaruh positif terhadap persepsi kualitas merek toko (BLUESKY). Konsumen tidak memiliki persepsi bahwa store image yang disandang oleh Carrefour 14
University of Indonesia
Analisis Pengaruh..., Anggun Dian Puspita, FE UI, 2013
sebagai ritel terkemuka serta terpercaya adalah jaminan bahwa kualitas produk elektronik bermerek toko BLUESKY sepenuhnya juga dapat dipercaya; 2. Citra toko (Store Image) tidak terbukti memberi pengaruh positif terhadap loyalitas konsumen untuk membeli merek toko. Citra toko (store image) Carrefour tidak memliki pengaruh yang signifikan terhadap loyalitas konsumen terhadap pembelian maupun penggunaan produk elektronik bermerek BLUESKY. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian di Spanyol, dimana konsumen produk store brand pada hypermarket yang ada disana menganggap bahwa, citra toko (store image) yang dimiliki oleh hypermarket mempengaruhi loyalitas konsumen terhadap pembelian produk maupun penggunaan layanannya; 3. Citra toko (Store Image) Carrefour tidak terbukti mempengaruhi dimensi awareness /association produk elektronik BLUESKY. Teori yang ada mengemukakan bahwa dimensi store image ini menjadi penting karena perannya dalam membangun consumer association yang merupakan salah satu unsur penunjang penting yang harus dijaga agar mampu menciptakan citra toko (store image) yang positif. Namun, yang terjadi pada produk elektronik BLUESKY tidak demikian. Pihak Carrefour memang berhasil membangun store image yang positif dimata konsumen, yang dibuktikan dengan tingginya kesadaran konsumen terhadap keberadaan Carrefour sebagai tempat belanja pilihan akan tetapi masih belum bisa membuat konsumen menaruh perhatian yang sama besar kepada store brand produk elektroniknya yang bermerek BLUESKY; 4. Citra pemasaran (marketing image) Carrefour terbukti memberi pengaruh positif terhadap variabel store brand equity untuk produk elektronik bermerek BLUESKY yang dijualnya. Dari hasil pengamatan langsung terhadap responden penelitian ini, konsumen pada umumnya
5.
6.
7.
8.
mengkaitkan antara usaha-usaha promosi maupun pemasaran yang dilakukan oleh pihak Carrefour dengan tinggi rendahnya pandangan maupun ekspektasi mereka terhadap store brand equity produk elektronik bermerek BLUESKY; Citra sosial (social image) Carrefour tidak terbukti mempengaruhi variabel store brand equity untuk produk elektronik bermerek BLUESKY yang dijualnya. Selain itu juga, tidak sedikit konsumen yang belum mengetahui, bahwa Carrefour juga melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab sosialnya sebagai perusahaan ritel bertaraf internasional; Citra stratejik (strategic image) yang dijalankan oleh pihak Carrefour tidak terbukti mempengaruhi variabel store brand equity untuk produk elektronik bermerek BLUESKY yang dijualnya. Hal ini dikarenakan strategi-strategi pencitraan yang dilakukan oleh Carrefour lebih intens dilakukan untuk produk kebutuhan seharihari daripada produk elektroniknya yang bermerek BLUESKY. Pihak Carrefour kurang agresif dalam membangun strategi yang kompetitif dimata konsumen, untuk produk store brand merek BLUESKY; Persepsi harga(price perception) konsumen ternyata terbukti memberi pengaruh positif terhadap store brand equity produk elektronik bermerek BLUESKY. Dari hasil pengamatan langsung, konsumen pada umumnya memiliki pandangan bahwa Carrefour memberlakukan harga yang terjangkau untuk produk-produk yang dijualnya.Selain itu konsumen terprovokasi bahwa Carrefour menjual produk dengan harga yang terjangkau. Hal ini membuat pandangan terhadap store brand equity untuk produk elektronik bermerek BLUESKY menjadi positif juga; Persepsi harga (price perception) ternyata terbukti memiliki pengaruh negatif terhadap persepsi kualitas produk elektronik merek BLUESKY. Semakin konsumen menganggap produk memiliki 15
University of Indonesia
Analisis Pengaruh..., Anggun Dian Puspita, FE UI, 2013
harga terjangkau, maka konsumen akan cenderung semakin menganggap negatif terhadap kualitas produknya. Konsumen percaya bahwa harga yang dibanderol untuk produk elektronik BLUESKY milik Carrefour sudah sesuai dengan ketahanannya serta kapasitasnya. Mereka cukup cerdas menyikapi kondisi yang menyatakan bahwa harga barang akan berbanding lurus dengan kualitas yang disandangnya; 9. Persepsi harga(price perception) konsumen terbukti memberi pengaruh positif terhadap produk elektronik bermerek BLUESKY ternyata mempengaruhi loyalty konsumen terhadap produk elektronik bermerek BLUESKY. Dari hasil pengamatan langsung, konsumen pada umumnya mengakui bahwa harga produk elektronik BLUESKY yang lebih murah bila dibandingkan dengan produk sejenis dengan merek yang sudah ada dipasaran menjadi pertimbangan mereka saat memutuskan untuk membeli atau menggunakan produk elektronik bermerek BLUESKY; 10. Persepsi harga (price perception) konsumen ternyata tidak mempengaruhi awareness/association konsumen terhadap produk elektronik bermerek BLUESKY. Tinggi rendahnya harga produk elektronik bermerek BLUESKY tidak membuat konsumen merasa bahwa dirinya diarahkan pada asosiasi-asosiasi tertentu, seperti: pemakai produk BLUESKY adalah konsumen yang cerdas atau malah tidak cerdas dalam memilih produk yang akan digunakannya. Dalam proses pelaksanaan penelitian ini, terdapat beberapa keterbatasan penelitian yang dihadapi oleh peneliti, antara lain: 1. Jumlah sampel yang terkumpul hanya memenuhi kriteria minimum (n x 5), karena faktor sulitnya memperoleh informasi tentang jumlah pasti populasi
2.
3.
pengguna produk elektronik Carrefour bermerek BLUESKY; Semakin terbatasnya store brand Carrefour untuk produk elektronik yang bermerek BLUESKY, karena adanya perubahan strategi pihak Carefour yang melakukan penggantian pada beberapa private label mereka. Semula produk elektronik private labelnya hanya BLUESKY menjadi bermerek Carrefour Discount dan Carrefour Home; Tidak semua konsumen Carrefour yang menyadari, bahwa BLUESKY adalah store brand Carrefour. Butuh ekstra ketelitian dan kesabaran untuk menemukan responden yang benar-benar sesuai dengan kriteria penelitian, sehingga saat dilakukan pengumpulan data dan informasi butuh waktu yang lebih lama untuk memperolehnya.
7. Saran Dari penjabaran kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh setelah melakukan penelitian, maka dapat disampaikan beberapa masukan bagi pihak manajerial, antara lain: 1. Untuk meningkatkan persepsi positif marketing image konsumen terhadap store brand equity produk elektronik bermerek BLUESKY, sebaiknya Carrefour lebih fokus menjabarkan keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh produk tersebut pada event-event promosi yang sering dilakukan. Seperti, menyiapkan sales representative yang khusus menangani penjualan produk elektronik bermerek BLUESKY. Sehingga diharapkan konsumen akan memiliki pandangan atau asosiasi bahwa BLUESKY adalah merek dengan kualitas produk yang baik. 2. Untuk meningkatkan persepsi positif pada persepsi harga produk Carrefour terhadap store brand equity Carefour untuk produk elektronik bermerek BLUESKY, sebaiknya Carefour lebih mengeksplorasi aktifitas 16
University of Indonesia
Analisis Pengaruh..., Anggun Dian Puspita, FE UI, 2013
marketing image, social image dan strategic image untuk untuk meningkatkan store image private labelnya. Dari segi marketing image bisa saja pihak Carrefour lebih intens melakukan promosi produk BLUESKY pada event-event promo pada akhir pekan yang sudah sering dilakukan, dimana terjadi peningkatan jumlah pengunjung yang signifikan manakala katalog diskon mingguan diterbitkan. Kemudian dari segi social image, pihak Carrefour diharapkan lebih meningkatkan publikasi atas aktifitas Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukannya, selama ini tidak banyak konsumen mengetahui bahwa Carrefour melakukan hal tersebut. Sedangkan dari segi strategic image, sebenarnya Carrefour sudah berinovasi dengan strategi mereka dalam rangka menarik minat konsumennya, yakni dengan memberikan garansi pengembalian selisih harga produk yang dijualnya apabila terdapat produk serupa ternyata memiliki harga lebih murah ditoko sekitar gerai Carrefour dengan jarak tertentu. Hanya saja strategi ini tidak begitu familiar dimata konsumen, sehingga perlu upaya lebih dari Carrefour untuk membuat konsumen lebih aware dengan ‘manuver-manuver’ tersebut; 3. Untuk meningkatkan persepsi positif pada persepsi harga produk Carrefour terhadap kualitas produk elektronik bermerek BLUESKY, sebaiknya harga yang dibanderol tidak terlalu rendah. Seringkali persepsi konsumen terhadap produk berharga murah adalah mempengaruhi kualitasnya juga. Memposisikan merek BLUESKY sebagai produk berharga murah tidak selamanya baik untuk produk itu sendiri, sehingga Carrefour harus bijaksana dalam menetapkan harga. Sehingga BLUESKY tidak terjebak dalam stigma negatif konsumen karena memiliki harga yang terlalu murah dibandingkan dengan produk sejenis dengan merek lainnya; 4. Loyalitas konsumen merupakan manifestasi dan kelanjutan dari kepuasan konsumen
dalam menggunakan fasilitas maupun jasa pelayanan yang diberikan oleh pihak produsen, serta bersedia untuk tetap menjadi konsumen produk mereka. Bila dikaitkan dengan price perception yang dimiliki oleh BLUESKY, maka Carrefour sebaiknya menggunakan usaha untuk meningkatkan citra positif konsumen terhadap persepsi harga produk yang dijualnya. Seiring peningkatan persepsi harga yang positif terhadap BLUESKY, maka konsumen kemudian akan menjadi loyal. Cara mengikatkan persepsi harga yang positif terhadap BLUESKY bisa dilakukan dengan langkah meyakinkan konsumen bahwa dengan harga yang bersaing, juga memungkinkan kualitas produk private label BLUESKY untuk disandingkan dengan national brand pada umumnya. Dalam proses pelaksanaan penelitian, berikut ini adalah saran bagi penelitan pada masa yang akan datang, antara lain: 1. Melakukan penelitian serupa pada obyek lain, misalnya toko ritel lain dengan target market menengah keatas, di mana produk store brand nya mungkin dinilai memiliki kualitas lebih tinggi dari store brand Carrefour. Hal ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana model penelitian ini diaplikasikan pada toko dengan target market berbeda (kelas menengah keatas atau segmentasi anak-anak, remaja dan orang tua); 2. Memasukkan variabel lain seperti kualitas pelayanan karyawan(salesperson quality), kenyamanan toko(atmosphere/environment) dan lain sebagainya yang mungkin mempengaruhi variabel dependen penelitian ini sebagaimana dijelaskan dalam Brita (2010) dan Jamaliah (2011); 3. Menambah jumlah sampel. Dalam penelitian ini sampel yang diperoleh baru sejumlah minimum yang disyaratka (n x 5). Sedangkan menurut penelitian sebelumnya jumlah sampel bisa mencapai 405 orang responden. 17
University of Indonesia
Analisis Pengaruh..., Anggun Dian Puspita, FE UI, 2013
Kepustakaan Aaker. D. (1991). Managing Brand Equity; Capitalizing on the Value of Brand Name. New York: Free Press. Beristain,J.J., & Zorrilla, P. (2011). The relationship between store image and store brand equity: A conceptual framework and evidence from hipermarket (hypermarket). Journal of Retailing and Consumer Services 18. s. 562574. Berman,B., & Evans.(1992). Retail Management-A Strategic Approach 5th edition. New York: Macmilan Publishing Company. Berman,B., & Evans,J.R. (2003). Retail Management A Strategic Approach(Eight Edition). New York: Maxwell MacMilan International Publishing Company. Bollen,K.A. (1989). Structural equations with latent variables. New York: John Wiley. D’Astous, A. & Saint-Louis, O. (2005). Consumer Evaluations of Sponsorships Programmes, in Europes. An Journal of Marketing Vol 29 Dharmesta, B.S. & Irawan. (2005). Manajemen Pemasaran Modern Edisi Kedua.Yogyakarta: Liberty. Doll, W.J., Torkzadeh, G. & Weidong, X. (1994). A Confirmatory Factor Analysis of the End-User Computing Satisfaction Instrument. MIS Quarterly. Dyah, H. P. (2004). “Persaingan Hipermarket (hypermarket): dari potongan harga hingga kartu belanja.” Dipublikasikan Kamis, 9 Desember 2004. http://202.59.162.82/swamajalah/sajian/ details.php?cid=1&id=1662&pageNum=8 Ferdinand, A. (2006). Structural Equation Modelling dalam Penelitian Manajemen, Edisi 4. BP. Semarang: UNDIP. Fields, A. (2000). Discovering Statistics Using SPSS for Windows: Advanced Techniques for the Beginner. London: SAGE Publications. Hair, J. F., Anderson, R.E., Tatham, R.L., Black, W.C. (1998). Multivariate Data Analysis. New Jersey: Prentice-Hall,. Inc. Hair, J. F., Bush, R.P. & Ortinau, D. J. (2003). Marketing Research: Within a changing information environment 2nd ed. New York: McGraw Hill. Hair, J. F., Anderson, R.E., Tatham, R.L., Black, W.C. (2006). Multivariate Data Analysis 6th Edition. New Jersey USA: Pearson Education Inc. Hatammimi, J. (2011). “Private Label, Contoh Lain dari The Power of Packaging”. http://ekonomi.kompasiana.com/marketing/2011/07/15/pri vate-label-contoh-lain-dari-the-power-of-packaging/. Hapsari, J. (2009). Analisis Pengaruh Dimensi Store Image dan Customer Satisfaction terhadap Retailer Equity. (Studi Kasus : Carrefour Hipermarket (hypermarket) di Jakarta).Skripsi Universitas Indonesia. Hsieh, M.H., Pan, S.L., & Setiono, R. (2004). Product, Corporate, and Country-Image Dimensions and Purchase Behavior: A Multicountry Analysis. Journal of the Academy of Marketing Science. Vol 32. No.3. Page 251270. Istijanto. (2009). Aplikasi Praktis Riset Pemasaran. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Jamaliah, M., & Rahman. (2011). Functional Store Image and Corporate Social Responsibility Image: A Congruity
Analysis on Store Loyalty. World Academy of Science, Engineering and Technology 77. Jinfeng, W., & Zhilong, T. (2009). The impact of selected store image dimensions on retailer equity: evidence from 10 Chinese hypermarkets. Journal of Retailing and Consumer Services 16(6). Page 486-494. Jöreskog, K.G., & Sörbom, D. (1989). Lisrel 7: User’s Reference Guide. Mooresville: Scientific Software, Inc. Keller, K.L., Aaker, D.A. (1998). The effects of sequential introduction of brand extensions. Journal of Marketing Research 29(1). Pages 35-50. Kline, T.J.B., & Klammer, J.D. (2001). Path model analyzed with ordinary least squares multiple regression versus LISREL, Journal of Psychology: Interdisciplinary and Applied , 135(2), 213-225. Kotler, P. (1997). Marketing management: Analysis, Planing, Implementation, Control. Ed. 8. New jersey: Prentice Hall, Inc. Kotler, P., Ang, S.H., Leong, S.M. & Tan, C.T. (1999). Marketing Management An Asian Perspective, 2nd Ed., Prentice Hall. Levy, M., & Barton A.W. (2007). Retailing Management 6th Ed. New York: McGraw-Hill. Lovelock, C. & Wirtz, J. (2004). Services Marketing 5th Ed. New Jersey: Prentice-Hall. Lynda & Tong. (2005). The 4Rs of ASIAN shopping centre management. Singapore: Marshall Cavendish Academic. Ma’aruf, H. (2005). Pemasaran Ritel. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Malhotra, N.K. (2004). Marketing Research: an applied orientation (4th ed). USA: Prentice Hall. Malhotra, N.K. (2007). Marketing Research An Applied Orientation 5th Ed. New Jersey: Prentice Hall. McGoldrick, P. (2002). Retail Marketing. New York: McGraww-Hill Education. Menezes, D. & Elbert, N.F. (1979). Alternative semantic scaling formats for measuring store image: An evaluation. Journal of travel research (16). Page 80-87 Meyer, W.G., et al. (1988). Retail Marketing. McGraw Hill, USA. Nurbani, I.D. (2011). Analisis Pengaruh Store Image, Attitude, dan Satisfaction terhadap Store Loyalty pada Discount Ritel Store (Studi Kasus : Carrefour Wilayah Jakarta). Universitas Indonesia. Pappu, R., & Quester, P.G. (2006). Does customer satisfaction lead to improved brand equity? An empirical examination of two categories of retail brands. Journal of Product & Brand Management (15)1. Pages 4-14. Peter, J.P., & Olson, J.C. (2005). Consumer Behaviour and Marketing Strategy (7th ed.). New York: McGrawHill. Prihtiyani & Adhi, Ksp. (2012). “Majalah Ritel Diluncurkan”. Dipublikasikan Kamis, 23 Februari 2012.http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/02/23/ 13595879/Majalah. Ritel .Diluncurkan. Private Label Manufacturer’s Association (PLMA). 2010. Store Brands Achieving New Heights of Consumer Popularity and Growth.http://plma.com/storeBrands/ sbt09.html. Produk private label Carrefour.2011. http://www.carrefour .co.id / shop/carrefourproducts.
18 University of Indonesia
Analisis Pengaruh..., Anggun Dian Puspita, FE UI, 2013
Reicheld, F.F. (1996). The Loyalty Effect: The Hidden Force Behind Growth, Profits, and LastingValue, Boston: Harvard Business School Press. Rochaety, E., Tresnati, R. & Latief, A.M. (2007). Metodologi Penelitian Bisnis Dengan Aplikasi SPSS Edisi Pertama. Jakarta: Mitra Wacana Media. Saladin, D. (2003). Intisari Pemasaran dan Unsur-unsur Pemasaran Cetakan Ketiga. Bandung: Linda Karya. Semeijn, J., Van Riel, A. & Ambrosini, A. (2004). Consumer evaluation of store brands: effects of store images and product attributes. Journal of Retailing and Consumer Services (11)4. Pages 247-258. Semuel, H. & Elianto, W. (2008). Corporate Social Responsibility, Purchase Intention, dan Corporate Image pada Restoran di Surabaya dari Perspektif Pelanggan. Jurnal Manajemen Pemasaran Vol. 3. Halaman 35-54. Sarassina, RR. F. (2000). Pengaruh Store Image pada Image Private Brand Toko Ritel : Studi Kasus Pada Hero Supermarket. Skripsi Universitas Indonesia. Sitinjak, T. Jr., & Sugiarto. (2006). Lisrel. Yogyakarta: Graha Ilmu. Schoell, W.F. (1993). Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa Edisi Revisi. Bandung: Penerbit Alfabeta. Sugiyono. (2005). Metode Penelitian Bisnis. Cetakan kedelapan. Bandung, CV Alfabeta. Tjiptono, F. (1997). Strategi Pemasaran, Edisi 1, Yogyakarta: Penerbit Andi.Wicaksono, E.W. (2010). “Analisis Dampak Store Image dan Perceived Risk Produk terhadap Evaluasi Konsumen atas Store Brands (Studi Kasus : Carrefour Depok, Jawa Barat)”. Skripsi Universitas Indonesia. Orth, U.R. & Green, M.T. 2009. Consumer loyalty to family versus non-family business: The roles of store image, trust and satisfaction. Journal of Retailing and Consumer Services 16(4). Page 248-259. Wijanto, S.H. (2008). Structural Equation Modeling dengan LISREL 8.8 Konsep dan Tutorial, Yogyakarta, Graha Ilmu. Yufita, S. (2010). Analisa perbedaan persepsi antara produk private label dibanding national brand ditinjau dari bauran pemasaran. Skripsi Universitas Kristen Petra. Yusof, J.M., Musa & Sofiah. (2011). “Functional Store Image and Corporate Social Responsibility Image: A Congruity Analysis on Store Loyalty”. World Academy of Science Journal, Engineering and Technology. Page 347-354. Zeithaml, Valarie, A., Bitner, Jo, M., & Gremler D.D. (2008). Services Marketing. New York: McGraw-Hill.
19 University of Indonesia
Analisis Pengaruh..., Anggun Dian Puspita, FE UI, 2013