LAPORAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP) TAHUN 2016 DIREKTORAT JENDERAL PEMBINAAN PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Pi
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa kami telah dapat menyelesaikan penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(LAKIP)
Direktorat
Jenderal
Pembinaan
Pengawasan
Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Ditjen Binwasnaker dan K3) Kementerian KetenagakerjaanRI tahun 2016, yang pada dasarnya merupakan bentuk pertanggungjawaban kinerja instansi tahun 2016. Terwujudnya good governance and clean governmentmerupakan tuntutan dalam penyelenggaraan manajemen pemerintahan dan pembangunan yang berdaya guna dan berhasil guna serta bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Hal ini merupakan
amanat
Instruksi
Presiden
Nomor
7
Tahun
1999
tentang
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang mewajibkan seluruh instansi pemerintah
untuk
mempertanggung-jawabkan
seluruh
kegiatan
yang
dilaksanakan dengan anggaran negara dalam bentuk Laporan Akuntabilitas Kinerja. Pengukuran Kinerja sebagai ukuran untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi instansi pemerintah dan didasarkan pada kelompok indikator kinerja utama. Selanjutnya ditampilkan pula gambaran kegiatan dan capaian kinerja yang telah dilakukan selama tahun 2016 serta hal-hal yang masih memerlukan upaya-upaya untuk penyempurnaan kinerja dalam rangka mewujudkan visi dan misi Ditjen Binwasnaker dan K3. Kami menyadari bahwa banyak tantangan sekaligus peluang dalam mencapai visi terwujudnya masyarakat industri yang selamat, sehat dan produktif.
Pii
Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mencurahkan tenaga dan pikiran dalam keterlibatannya menyelesaikan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instnasi Pemerintah Ditjen Binwasnakerdan K3 Tahun 2016 ini, semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan bimbingan Nya. Jakarta,
Piii
Januari 2017
IKHTISAR EKSEKUTIF
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 tahun 2015 merupakan perwujudan akuntabilitas pelaksanaan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 yang medukung terwujudnya good governance berdasarkan peraturan yang berlaku, kebijakan yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain
itu
Laporan
Kinerja
Direktorat
Jenderal
Pembinaan
Pengawasan
Ketenagakerjaan dan K3 merupakan wujud dari pertanggungjawaban atas kinerja pencapaian visi dan misi yang dijabarkan dalam tujuan / sasaran strategis. Program Perlindungan Tenaga Kerja dan Pengembangan Sistem Pengawasan Ketenagakerjaan Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 Tahun 2015 disusun dan dilaksanakan berdasarkan Rencana Strategis yang berorientasi kepada pencapaian target kinerja sesuai dengan sasaran program dan Indikator Kinerja Utama (IKU) yang telah ditetapkan, yaitu : Sasaran Strategis : Meningkatnya kepatuhan dalam penerapan norma ketenagakerjaan. Indikator Program Menurunnya
Target
Realisasi
16.500
16.500
17.065
17.065
jumlah
pekerja anak nasional
Meningkatnya perusahaan
yang
menerapkan
norma
ketenagakerjaan
Berdasarkan hasil pengukuran capaian kinerja Ditjen Binwasnaker dan K3 tahun 2016 diperoleh nilai Capaian Kinerja sebesar 100%, dan Akuntabilitas Keuangan Piv
sebesar 96,30%. Keberhasilan Capaian kinerja pada tahun ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pendukung, seperti : Penyusunan program dan kegiatan telah sejalan dengan tugas dan fungsi, serta sesuai dengan rencana kinerja dan penetapan kinerja yang telah disusun di awal tahun 2017; Pelaksanaan kegiatan pada unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketanagakerjaan dan K3, di daerah, perusahaan dan masyarakat umumnya; dan peningkatan kualitas dan kuantitas pegawai melalui diklat, sosialisasi, maupun bimbingan teknis baik di dalam maupun di luar negeri.
Pencapaian prestasi yang tinggi tersebut merupakan hasil kerja keras dan komitmen penuh dari pimpinan serta segenap jajaran aparat di lingkungan Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3, Kemnaker dalam rangka mewujudkan visi dan misi organisasi. Tingkat pencapaian kinerja yang baik ini akan dipertahankan dan ditingkatkan menjadi semakin baik pada tahun-tahun mendatang. Plt. Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Ir. Maruli A. Hasoloan, MA. P.hD
Pv
DAFTAR
ISI Halaman
KATA PENGANTAR.........................................................................................................
i
IKHTISAR EKSEKUTIF....................................................................................................
ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................
iv
DAFTAR TABEL...............................................................................................................
v
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
PENDAHULUAN....................................................................................... 1.1
LATAR BELAKANG............................................................................
1.2
TUGAS POKOK, FUNGSI DAN KEWENANGAN..............................
1.3
STRUKTUR ORGANISASI.................................................................
1.4
ISU AKTUAL………………………………………………………………
1.5
SISTEMATIKA PENYAJIAN...............................................................
PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA..................................... 2.1
VISI DAN MISI....................................................................................
2.2
TUJUAN DAN SASARAN...................................................................
2.3
INDIKATOR KINERJA UTAMA...........................................................
2.4
PENETAPAN KINERJA TAHUN 2016................................................
AKUNTABILITAS KINERJA.................................................................... A.
CAPAIAN KINERJA ORGANISASI.....................................................
B.
AKUNTABILITAS KEUANGAN...........................................................
PENUTUP................................................................................................... A. KESIMPULAN........................................................................................ B. SARAN....................................................................................................
LAMPIRAN..........................................................................................................................
Pvi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.
Sasaran dan Indikator Kinerja Ditjen Binwasnaker Tahun 2016................................................
9
Tabel 2.
Indikator Kinerja Utama Ditjen Binwasnaker Tahun 2016..........................................................
11
Tabel 3.
Penetapan Kinerja Ditjen Binwasnaker Tahun 2016..................................................................
12
Tabel 4.
Hasil Pengukuran Capaian Kinerja Ditjen Binwasnaker Tahun 2016........................................
15
Tabel 5.
Rekapitulasi dan Realisasi Keuangan Ditjen Binwasnaker Tahun 2016....................................
30
Tabel 6.
Rekapitulasi dan Realisasi Keuangan Ditjen Binwasnaker Tahun 2016...................................
31
Pvii
a
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Tata kepemerintahan yang baik (good governance) memliki tiga landasan yang utama yaitu : transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Akuntabilitas dalam hal ini merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan Peraturan Menteri Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Ketenagakerjaan RI Bab VII Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan pengawasan ketenagakerjaan serta keselamatan dan kesehatan kerja. Pengawasan ketenagakerjaaan berperan untuk mengawasi berlakunya undang-undang dan peraturan-peraturan dibidang ketenagakerjaan, yang diselenggarakan guna mewujudkan kepatuhan terhadap penerapan norma ketenagakerjaan melalui pembinaan, pemeriksaan dan penyidikan yang dilaksanakan secara efektif, baik melalui fungsi pelayanan administrasi maupun fungsi penegakan hukum. Untuk menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan secara baik di seluruh wilayah Republik
Indonesia,
diperlukan
pengawasan
ketenagakerjaan
yang
independen. Sesuai dengan Konvensi ILO Nomor 81 Tahun 1947 tentang pengawasan Ketenagakerjaan di Industri dan Perdagangan, dimana fungsi pengawasan ketenagakerjaan adalah menjamin penegakan ketentuan hukum mengenai kondisi kerja dan lingkungan kerja dalam melakukan pekerjaannya, seperti yang terkait dengan jam kerja, pengupahan, keselamatan dan kesehatan P2
a
kerja,kesejahteraan tenaga kerja, penggunaan pekerja/buruh anak dan orang muda, pelatihan untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja, perlindungan penempatan tenaga kerja di dalam dan luar negeri, penggunaan tenaga kerja asing, tenaga kerja cacat, perlindungan tenaga kerja dalam hubungan kerja, serta jaminan sosial dan kesejahteraan bagi tenaga kerja. Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan secara nasional dan universal dengan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat (human walfare) dan pelayanan masyarakat (human service) yang diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia serta dilaksanakan secara represif, tanpa meninggalkan tindakan-tindakan preventif dan edukatif, seperti : sosialisasi, pembinaan, konsultasi. Independensi dalampengawasan ketenagakerjaan mengandung
makna
bahwa
pengawasan
ketenagakerjaan
hanya
dilaksanakan semata-mata bagi perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja serta untuk mendorong kemajuan dunia usaha, sehingga harus terlepas dari kepentingan-kepentingan lainnya. Dengan demikian peran Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 menjadi sangat strategis, dimana pembangunan ketenagakerjaan bertujuan meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat, tanpa perlakuan diskriminasi dengan tetap memperhatikan kemajuan dunia usaha.. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3merupakan perwujudan pertanggungjawaban atas kinerja pencapaian visi dan misi Direktorat Jenderal Pengawasan Ketenagakerjaan tahun anggaran 2016.
1.2 TUGAS POKOK,FUNGSI DAN KEWENANGAN Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 13
Tahun
2015
tentang
Organisasi
dan
Tata
Kerja
Kementerian
Ketenagakerjaan RI, dibagi kedalam 5 unit teknis eselon II dan 1 Sekretariat Direktorat P3
Jenderal
yang
mempunyai
tugas
merumuskan
serta
a
melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan pengawasan ketenagakerjaan. Dalam
melaksanakan
tugasnya,
Direktorat
Jenderal
Pembinaan
Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 menyelenggarakan fungsi : a. perumusan kebijakan di bidang pengawasan norma kerja dan jaminan sosial tenaga kerja, norma kerja perempuan dan anak, dan norma keselamatan dan kesehatan kerja, serta bina penegakan hukum ketenagakerjaan dan bina keselamatan dan kesehatan kerja; b. pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan norma kerja dan jaminan sosial tenaga kerja, norma kerja perempuan dan anak, dan norma keselamatan dan kesehatan kerja, serta bina penegakan hukum ketenagakerjaan dan bina keselamatan dan kesehatan kerja; c. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengawasan norma kerja dan jaminan sosial tenaga kerja, norma kerja perempuan dan anak, dan norma keselamatan dan kesehatan kerja, serta bina penegakan hukum ketenagakerjaan dan bina keselamatan dan kesehatan kerja; d. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengawasan norma kerja dan jaminan sosial tenaga kerja, norma kerja perempuan dan anak, dan norma keselamatan dan kesehatan kerja, serta bina penegakan hukum ketenagakerjaan dan bina keselamatan dan kesehatan kerja; e. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang pengawasan norma kerja dan jaminan sosial tenaga kerja, norma kerja perempuan dan anak, dan norma keselamatan dan kesehatan kerja, serta bina penegakan hukum ketenagakerjaan dan bina keselamatan dan kesehatan kerja f. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja g. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.
Direktorat Jenderal Pembinaan PengawasanKetenagakerjaan dan K3 terdiri dari : 1. Sekretariat
Direktorat
Jenderal
mempunyai
tugas
memberikan
pelayanan teknis dan administratif kepada semua unsur satuan organisasi
P4
a
di lingkungan Direktorat Jenderal. Sekretariat Direktorat Jenderal terdiri atas: a. Bagian Program, Evaluasi dan Pelaporan; b. Bagian Keuangan; c. Bagian Hukum dan Kerjasama Luar Negeri; dan d. Bagian Kepegawaian dan Umum.
2. Direktorat Pengawasan Norma Kerja dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan criteria, pemberian bimbingan teknis dan supervisi serta evaluasi dan pelaporan
di
bidang
norma
kerja
dan
jaminan
sosial
tenaga
kerja.Direktorat Pengawasan Norma Kerja dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja terdiri atas: a. Subdirektorat Pengawasan Norma Pelatihan danPenempatan Tenaga Kerja; b. Subdirektorat Pengawasan Norma Hubungan Kerja dan Perlindungan Berserikat; c. Subdirektorat Pengawasan Norma Waktu Kerja, Waktu Istirahat dan Pengupahan; d. Subdirektorat Pengawasan Norma Jaminan Sosial Tenaga Kerja; e. Subbagian Tata Usaha.
3.
Direktorat
Pengawasan
Norma
Kerja
Perempuan
dan
Anak
mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan criteria, pemberian bimbingan teknis dan supervise, serta evaluasi dan pelaporan di bidang norma kerja perempuan dan anak. Direktorat Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Anak terdiri atas:
P5
a
a. Subdirektorat
Pengawasan
Norma
Perlindungan
Tenaga
Kerja
Perempuan; b. Subdirektorat Pengawasan Norma Penghapusan Diskriminasi Tenaga Kerja Perempuan; c. Subdirektorat Pengawasan Norma Perlindungan Pekerja Anak; d. Subdirektorat Pengawasan Norma Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak; e. Subbagian Tata Usaha.
4. Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, standardisasi serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengawasan norma mekanik, pesawat uap dan bejana tekan, pengawasan norma konstruksi bangunan, listrik dan penanggulangan
kebakaran,
pengawasan
norma
kesehatan
kerja,
pengawasan norma lingkungan kerja dan bahan berbahaya, serta pengawasan norma kelembagaan, keahlian dan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3). Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja terdiri atas: a. Subdirektorat Pengawasan Norma Mekanik, Pesawat Uap dan Bejana Tekan; b. Subdirektorat
Pengawasan
Norma
Konstruksi
Bangunan,
Listrik
danPenanggulangan Kebakaran; c. Subdirektorat Pengawasan Norma Kesehatan Kerja; d. Subdirektorat Pengawasan Norma Lingkungan Kerja dan Bahan Berbahaya; e. Subdirektorat
Pengawasan
Norma
Kelembagaan,
Keahlian
dan
SistemManajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3); dan f. Subbagian Tata Usaha.
5. Direktorat Bina Penegakan Hukum Ketenagakerjaan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, standardisasi serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang P6
a
pemeriksaan norma ketenagakerjaan, penyidikan norma ketenagakerjaan, pengembangan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), dan kerjasama penegakan hukum. Direktorat Bina Penegakan Hukum terdiri atas: a. Subdirektorat Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan; b. Subdirektorat Penyidikan Norma Ketenagakerjaan; c. Subdirektorat Pengembangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil; d. Subdirektorat Kerjasama Penegakan Hukum; dan e. Subbagian Tata Usaha.
6. Direktorat Bina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan criteria, pemberian bimbingan teknis dan supervise serta evaluasi dan pelaporan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja. Direktorat Bina Keselamatan dan Kesehatan Kerja terdiri atas: a. Subdirektorat Sarana dan Fasilitas Keselamatan dan Kesehatan Kerja; b. Subdirektorat
Pengkajian
dan
Standarisasi
Keselamatan
dan
Kesehatan Kerja; c. Subdirektorat Pengembangan Sumber Daya Manusia Keselamatan dan Kesehatan Kerja; dan d. Subbagian Tata Usaha
1.3 STRUKTUR ORGANISASI Untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi, susunan organisasi dan tata kerja tersebut, sesuai dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RINomor 13
Tahun
2015
tentang
Organisasi
dan
Tata
Kerja
Kementerian
Ketenagakerjaan RI, dibantu oleh 5 (lima) unit eselon II dilingkungan P7
a
Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3, yaitu : (1) Sekretariat Direktorat Jenderal, (2) Direktorat Pengawasan Norma Kerja dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, (3) Direktorat Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Anak, (4) Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja, (5) Direktorat Bina Penegakan Hukum Ketenagakerjaan dan (6) Direktorat Bina Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Secara rinci struktur Organisasi Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 tertera pada bagan sebagai berikut :
1.4 ISU AKTUAL Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan dan keselamatan dan kesehatan kerja masih dirasa belum memiliki dampak terhadap peningkatan perlindungan kesejahteraan pekerja. Hal ini terlihat dari : masih adanya pelanggaran dalam hubungan kerja, jam kerja/kerja lembur, upah lembur, cuti, pembayaran upah di bawah upah minimum, penempatan
tenaga
kerja
dalam
dan
luar
negeri,
kurangnya
kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja, penggunaan tenaga kerja asing tanpa izin, penyalah gunaan jabatan, kebebasan berserikat, masih ditemukannya pekerja anak pada Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk
Anak
(BPTA),
dan
perlakuan
diskriminatif
bagi
pekerja
perempuan. Selain itu penerapan norma keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dirasa masih belum optimal, sehingga budaya K3 belum menjadi budaya kerja di perusahaan. Hal ini tercermin dari masih adanya P8
a
kecelakaan kerja / penyakit akibat kerja, peledakan, kebakaran, pencemaran lingkungan kerja ditempat kerja, belum semua perusahaan yang pekerjanya lebih dari 100 orang atau resiko bahaya besar menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3), dan belum optimalnya lembaga pengujian K3. Pembinaan serta pengawasan norma ketenagakerjaan dan K3 oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan juga dirasa masih belum optimal. Hal ini disebabkan karena minimnya kuantitas dan kualitas pengawas ketenagakerjaan dalam melakukan pembinaan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
1.5 SISTEMATIKA PENYAJIAN Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) adalah dokumen pertanggungjawaban kinerja suatu instansi atas rencana strategis maupun rencana tahunan yang telah disusun serta sebagai mekanisme
pertanggungjawaban
kepada
masyarakat.
LAKIP
merupakan diskripsi dari kegiatan dari apa yang selama ini telah dilakukan dalam satu periode tahun anggaran. Mengacu kepada Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 53 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja dan Tata Cara Reviu
atas
Laporan
Kinerja
Instansi
penyusunan
Laporan
Akuntabilitas
Pemerintah,
Kinerja
Instansi
sistematika Pemerintah
Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 tahun 2016 adalah sebagai berikut : Ikhtisar Eksekutif (executive summary)
Bab I
Pendahuluan Pada bab ini disajikan penjelasan umum organisasi, dengan penekanan pada aspek strategis organisasi serta permasalahan utama (strategic issued) yang sedang dihadapi organisasi.
P9
a
Bab II
Perencanaan Kinerja Pada bab ini diuraikan ringkasan/ikhtisar perjanjian kinerja tahun yang bersangkutan.
Bab III
Akuntabilitas Kinerja Tahun 2016 A. Capaian Kinerja Organisasi Pada sub bab ini disajikan capaian kinerja organisasi untuk setiap pernyataan kinerja sasaran strategis organisasi sesuai dengan hasil pengukuran kinerja organisasi. Untuk setiap pernyataan kinerja sasaran strategis tersebut dilakukan analisis capaian kinerja sebagai berikut : B. Realisasi Anggaran Pada sub bab ini diuraikan realisasi anggaran yang digunakan dan yang telah digunakan untuk mewujudkan kinerja organisasi sesuai dengan dokumen perjanjian kinerja
Bab IV
Penutup Pada sub bab ini diuraikan simpulan umum atas capaian kinerja organisasi serta langkah di masa mendatang yang akan dilakukan organisasi untuk meningkatkan kinerjanya.
Lampiran : 1)
Review Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 Tahun 2015 - 2019 ( Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 27 Tahun 2016)
2)
Rencana Penetapan Kinerja Tahun 2016
3)
Penetepan Kinerja Tahun 2016
4)
Hasi Pengukuran Kinerja Tahun 2016 P10
a
P11
a
BAB II PERENCANAAN KINERJA Rencana Strategis (Renstra) tahun 2015 – 2019 Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 merupakan dasar serta pedoman dalam mengukur Akuntabilitas Kinerja, karena didalamnya termuat : (a) Perumusan visi dan misi serta faktor-faktor kunci keberhasilan organisasi, (b) Perumusan tujuan, sasaran dan kegiatan organisasi dan (c) Cara-cara mencapai tujuan dan sasaran (strategi) menuju terwujudnya profesionalisme pelayanan. Secara singkat substansi Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 dapat diuraikan sebagai berikut :
2.1 VISI DAN MISI 1. Visi “Terwujudnya masyarakat industri yang selamat,sehat dan produktif” 2. Misi Untuk mencapai visi yang telah ditetapkan Direktorat Jenderal Pengawasan Ketenagakerjaan mempunyai misi : a. Menurunkan tingkat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja; b. Menurunkan pelanggaran norma ketenagakerjaan; c. Mengurangi pekerja anak; d. Meningkatkan
efektifitas
pelaksanaan
pengawasan
ketenagakerjaan; e. Meningkatkan kepesertaan dan kualitas jaminan sosial tenaga kerja; f.
P12
Meningkatkan kualitas kondisi lingkungan kerja.
a
2.2 TUJUAN DAN SASARAN 1. Tujuan Tujuan
adalah
mengefektifkan
revitalisasi penerapan
pengawasan peraturan
ketenagakerjaan
perundang-undangan
untuk dan
kebijakan ketenagakerjaan, sehingga dapat terwujud kesejahteraan tenaga kerja dan kemajuan berusaha. 2. Sasaran Sasaran Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3dalam mendukung pembangunan di bidang ketenagakerjaan adalah : a.
Meningkatnya Kualitas Teknis Pemeriksaan dan Penyidikan Norma Ketenagakerjaan;
b.
Meningkatnya
Perlindungan
Pekerja
Perempuan
dan
Penghapusan Pekerja Anak; c.
Meningkatnya Penerapan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3);
d.
Meningkatnya Penerapan Norma Kerja dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
e.
Meningkatnya Kualitas Pelayanan Pengelolaan K3
f.
Meningkatnya Kualitas Layanan Manajemen dan Layanan Teknis Lainnya di lingkungan Ditjen Binwasnaker dan K3
P13
a
Tabel 1. Sasaran dan Indikator Kinerja Ditjen Binwasnaker Tahun 2016
SASARAN
INDIKATOR KINERJA
Meningkatnya kepatuhan dalam
Jumlah Penurunan Pekerja Anak
penerapan norma ketenagakerjaan utama
Meningkatnya perusahaan yang menerapkan norma ketenagakerjaan
2.3 INDIKATOR KINERJA UTAMA Indikator Kinerja Utama (IKU) merupakan ukuran yang akan memberikan informasi sejauh mana suatu organisasi telah berhasil mewujudkan sasaran strategis yang telah ditetapkan. IKU sebaiknya dinyatakan secara eksplisit dan rinci, sehingga jelas apa yang diukur. Indikator Kinerja Utama Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 tertera pada Tabel 2. berikut Tabel2. Indikator Kinerja Utama(IKU) Ditjen Binwasnaker Tahun 2016
INDIKATOR KINERJA
TARGET
Jumlah penurunan jumlah pekerja anak
16.500 pekerja anak
Meningkatnya
perusahaan
ketenagakerjaan
P14
yang
menerapkan
norma
17.065 perusahaan
a
2.4 PENETAPAN KINERJA TAHUN 2016 Penetapan kinerja pada prinsipnya merupakan pernyataan komitmen yang merepresentasikan tekad dan janji dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan, dan akuntabel serta berorientasi pada hasil.Dalam hal ini komitmen dan dukungan pimpinan puncak serta stakeholder lainnya menjadi kunci utama dalam meningkatkan kinerja organisasi. Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 telah menyatakan komitmen bersama yang tertuang dalam Dokumen Penetapan Kinerja Tahun 2015 seperti pada Tabel 3.berikut: Tabel 3.Penetapan Kinerja Ditjen Binwasnaker dan K3 Tahun 2016
N0
1
SASARAN
INDIKATOR KINERJA
TARGET
Meningkatnya kepatuhan Jumlah Penurunan Pekerja Anak
16.500
dalam penerapan norma
Pekerja
ketenagakerjaan utama
anak Meningkatnya
perusahaan
yang
menerapkan norma ketenagakerjaan
P15
17.065 perusahaan
a
BAB III AKUNTABILITAS KINERJA Akuntabilitas kinerja adalah perwujudan suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan melalui sistem pertanggungjawaban secara periodik. Berdasarkan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, akuntabilitas kinerja instansi pemerintah harus berlandaskan pada prinsip-prinsip sebagai berikut : (a) Adanya komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi yang bersangkutan, (b) Berdasarkan suatu sistem yang dapat menjamin penggunaan sumber-sumber daya secara konsisten dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (c) Menunjukkan tingkat pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan, (d) Berorientasi pada pencapaian visi dan misi serta hasil dan manfaat yang diperoleh, (e) Jujur, objektif, transparan dan akurat, dan (f) Menyajikan keberhasilan maupun kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
A.
CAPAIAN KINERJA ORGANISASI Pada dasarnya kinerja menekankan pada apa yang telah dihasilkan dari fungsi-fungsi suatu pekerjaan atau apa yang telah dikeluarkan (out come). Untuk mengukur hasil kerja tersebut diperlukan indikator-indikator kunci dengan standar yang jelas. Pengukuran tingkat capaian kinerja Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 tahun 2016 dilakukan dengan cara membandingkan antara target pencapaian indikator sasaran yang telah ditetapkan
dalam
dokumen
Penetapan
KinerjaDirektorat
Jenderal
Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 tahun 2016 dengan pencapaian kinerjatahun 2016.
P16
a
Tabel 4. Hasil Pengukuran Capaian Kinerja Ditjen Binwasnaker dan K3 Tahun 2016
No
SASARAN
INDIKATOR KINERJA
REALISASI 2015
TARGET 2016
REALISASI 2016
% CAPAI AN
TARGET 20152019
% CAPAIAN VS TARGET RESTRA
Jumlah penurunan pekerja anak Meningkatnya perusahaan yang menerapkan norma ketenagakerjaan
16.000 Pekerja Anak
16.500 Pekerja Anak
16.500 Pekerja Anak
100%
85.000 Pekerja
19%
1
Meningkatnya kepatuhan terhadap ketentuanperund ang-undangan dibidang ketenagakerjaan
15.020 Perusahaa n
17.065 Perusahaa n
17.065 Perusahaa n
100%
76.405 Perusaha an
20%
ANALISIS CAPAIAN KINERJA SASARAN STRATEGIS : Meningkatnya Kepatuhan Terhadap Ketentuan Perundang-undangan di Bidang Ketenagakerjaan. Dalam mencapai sasaran program ini, Ditjen Binwasnaker dan K3 menentukan indikator kinerja sasaran program ini sebagai berikut : 1.
Meningkatnya perusahaan yang menerapkan norma ketenagakerjaan.
Definisi indikator kinerja ini adalah banyaknya perusahaan yang melaksanakan
peraturan
perundang-undangan
melalui
peningkatan
pengawasan dan pemeriksaan norma kerja, norma tenaga kerja perempuan dan anak, norma keselamatan dan kesehatan kerja. Cara perhitungan indikator kinerja ini adalah dengan menjumlahkan semua perusahaan yang yang menerapkan norma kerja perempuan dan anak / norma kerja keselamatan dan kesehatan kerja / norma kerja dan jamsostek / norma pengujian K3 pada tahun berjalan. .
P17
a
Pada tahun 2016, Ditjen Binwasanaker dan K3 sudah mencapai sasaran yang diharapkan. Pencapaian indikator kinerja ini digambarkan dalam tabel 4. Jumlah perusahaan yang menerapkan norma ketenagakerjaan tergambar dalam Renstra Kementerian Ketenagakerjaan Tahun 2015-2019. Jumlah perusahaan yang menerapkan norma ketenagakerjaan didapat dari pencapaian indikator kinerja kegiatan masing-masing unit eselon II di lingkungan Ditjen Binwasnaker dan K3 yang mempunyai satuan perusahaan. Uraian nya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5. Uraian Capaian Kinerja Ditjen Binwasnaker dan K3 Tahun 2016
No 1
Unit Eselon II
Dit. Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja
3
Dit. Pengawasan Norma Kerja dan Jamsostek
4
Capaian
775
775
perusahaan
perusahaan
10.200
10.200
perusahaan
perusahaan
5.600
5.600
perusahaan
perusahaan
490
1.320
perusahaan
perusahaan
17.065
17.895
perusahaan
perusahaan
Dit. Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Anak
2
Target
Dit.
Bina
Keselamatan
Kesehatan Kerja Jumlah
dan
Pada tahun 2016, Ditjen Binwasnaker dan K3 menergetkan sebanyak 17.065 perusahaan yang menerapkan norma-norma ketenagakerjaan utama seperti norma waktu kerja dan waktu istirahat, norma hubungan kerja dan kebebasan berserikat, norma K3, norma penghapusan diskriminasi pekerja perempuan, dan lain-lain. Tabel 13 P18
a
Capaian Indikator Kinerja Program Perlindungan Tenaga Kerja dan Pengembangan Sistem Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 NO
Indikator Kinerja Kegiatan
Target
Realisasi
%
1
2
3
4
5
315 Pengawas KK
315 Pengawas KK
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Jumlah pembinaan pemeriksaan ketenagakerjaan
teknis norma
Jumlah pembinaan penyidikan tindak ketenagakerjaan
teknis pidana
100
120 Pengawas KK
120 Pengawas KK 100
Jumlah pembinaan kelembagaan bidang pengawas ketenagakerjaan
59 Lembaga
59 Lembaga
Jumlah pembinaan fungsional pengawas ketenagakerjaan
120 pengawas ketenagakerjaan dan PPNS
90 pengawas ketenagakerjaan dan PPNS
Jumlah pekerja anak yang ditarik dari bentuk pekerjaan terburuk anak (BPTA)
16.500 anak
16.500 anak
Jumlah perusahaan yang menerapkan norma penghapusan diskriminasi tenaga kerja perempuan
200 perusahaan
Jumlah perusahaan yang menerapkan norma perlindungan tenaga kerja perempuan
300 perusahaan
Jumlah perusahaan yang menerapkan norma perlindungan pekerja anak
275 perusahaan
Jumlah perusahaan yang menerapkan norma waktu kerja, waktu istirahat dan pengupahan
1.400 perusahaan
Jumlah perusahaan yang menerapkan norma penempatan dan pelatihan tenaga kerja
1.400 perusahaan
Jumlah perusahaan yang menerapkan norma hubungan kerja dan kebebasan berserikat
1.400 perusahaan
P19
100
75
100
200 perusahaan 100
300 perusahaan 100
275 perusahaan 100
1.400 perusahaan 100
1.400 perusahaan 100
1.400 perusahaan 100
a
NO
Indikator Kinerja Kegiatan
Target
Realisasi
12
Jumlah perusahaan yang menerapkan norma jaminan sosial tenaga kerja
1.400 perusahaan
1.400 perusahaan
Jumlah sosialisasi SJSN Program Ketenagakerjaan dan Kesehatan
19 wilayah
19 wilayah
Jumlah perusahaan yang menerapkan norma kelembagaan keahlian dan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
2.010 perusahaan
2.010 perusahaan
Jumlah perusahaan yang menerapkan norma mekanik pesawat uap dan bejana tekan
2.010 perusahaan
Jumlah perusahaan yang menerapkan norma konstruksi bangunan, listrik dan penanggulangan kebakaran
2.010 perusahaan
Jumlah perusahaan yang menerapkan norma kesehatan kerja
2.010 perusahaan
2.010 perusahaan
Jumlah perusahaan yang menerapkan norma lingkungan kerja dan lingkungan berbahaya
2.010 perusahaan
2.010 perusahaan
Jumlah perusahaan yang menerapkan norma pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja
150 perusahaan
Persentase kepuasan pegawai atas pelayanan internal Ditjen Binwasnaker dan K3
90 persen
Persentase SDM Aparatur yang memenuhi standar kompetensi
80 persen
80 persen
BB
BB
100 persen
100 persen
85 Perusahaan
85 Perusahaan
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Hasi Evaluasi AKIP
23
Persentase tindak lanjut temuan hasil pemeriksaan internal
24
Jumlah kajian keselamatan kesehatan kerja
P20
dan
%
100
100
100
2.010 perusahaan 100
2.010 perusahaan 100
100
100
150 perusahaan 100
90 persen 100
100 BB
100
100
a
NO
Indikator Kinerja Kegiatan
Target
Realisasi
25
Jumlah Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja
55 Perusahaan
55 Perusahaan
26
Jumlah Pengembangan SDM K3
550 Perusahaan
550 Perusahaan
27
Jumlah kompentensi K3
35 Perusahan
35 Perusahaan
80 Perusahaan
80 Perusahaan
Jumlah pembinaan jejaring lembaga K3
23 Lembaga
23 Lembaga
Jumlah perusahaan yang memperoleh layanan pegujin K3
550 Perusahaan
550 Perusahaan
28
29
30
Pengembangan
Jumlah pembinaan peran masyarakat di bidang K3
serta
%
Hingga akhir tahun, capaian realisasi Indikator Kinerja Program ini sudah tercapai sebesar 100%. Hal ini tidak lepas dari dukungan masing-masing unit dilingkungan Ditjen Binwasnaker dan K3. Sasaran dan capaian kinerja ini sudah sesuai bila dibandingkan dengan dokumen rencana strategis Kementerian Ketenagakerjaan tahun 20152019 (Renstra Kementerian Ketenagakerjaan) sebagaimana tergambar pada Lampiran 2 dokumen ini. Dari tahun ke tahun sasaran ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2014, hasil capaian indikator kinerja ini mencapai 7.095
perusahaan.
sebelumnya,
Sehingga
sasaran
ini
apabila
mengalami
dibandingkan peningkatan
pada
tahun
hampir
100%.
Perbandingan sasaran ini dari tahun ke tahun dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 6.
Realisasi
Indikator Kinerja Jumlah
P21
Target Renstra
2014
2016
2017
2018
15.020
17.065
19.060
21.120
100 100
100
100
100
100
a
perusahaan
perusahaan
perusahaan
perusahaan
perusahaan
yang menerapkan norma ketenagakerjaan
Kegiatan-kegiatan yang menunjang dalam pencapaian indikator program ini diantaranya :
KODE
2197
2197.001
2197.002
2197.003 2197.004
PERHITUNGAN TAHUN 2016 PROGRAM / KEGIATAN / OUTPUT/SUBOUTPUT/KOMPONEN/ JUMLAH SUBKOMP/AKUN/DETIL VOLUME BIAYA Peningkatan Kualitas Teknis Pemeriksaan dan Penyidikan Norma Ketenagakerjaan Pengawas Ketenagakerjaan yang mendapatkan Pembinaan Teknis pemeriksaan norma ketenagakerjaan Pengawas yang Mendapatkan Pembinaan Teknis Penyidikan Tindak Pidana Ketenagakerjaan LEMBAGA YANG MENDAPATKAN PEMBINAAN KELEMBAGAAN BIDANG PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN PENGAWAS DAN PPNS YANG MENDAPATKAN PEMBINAAN FUNGSIONAL PENGAWAS KETENAGAKERJAAN
2,197,994
LAYANAN PERKANTORAN
2197.997
Peralaatan dan Fasilitas Perkantoran
2198
2198.002 2198.003 2198.004 2198.005 P22
315,00 PENGAWAS KK 190,00 PENGAWAS KK 59,00 Lembaga 120,00 PENGAWAS KK DAN PPNS 12,00 Bulan Layanan
10,00 Unit
2,617,370,000
5,681,690,000 3,911,090,000
4,155,324,000 2,038,702,000
178,554,000
Peningkatan Perlindungan Pekerja Perempuan dan Penghapusan Pekerja Anak
PERUSAHAAN YANG MENERAPAN NORMA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI PEKERJA PEREMPUAN PERUSAHAAN YANG MENERAPAN NORMA PERLINDUNGAN PEKERJA PEREMPUAN PERUSAHAAN YANG MENERAPAN NORMA PERLINDUNGAN PEKERJA ANAK PELAYANAN MANAJEMEN DAN TEKNIS DI LINGKUNGAN DITJEN BINWASNAKER
220,00 PERUSAHAAN 330,00 PERUSAHAAN 275,00 PERUSAHAAN 12,00 Bulan Layanan
1,627,800,000 2,209,110,000 3,406,928,000 1,452,847,000
a
2198.994
LAYANAN PERKANTORAN
2198.997
Peralatan dan Fasilitas Perkantoran Peningkatan Penerapan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja PERUSAHAAN YANG MENERAPKAN NORMA KELEMBAGAAB, KEAHLIAN DAN SMK3
2199 2199.001 2199.002
2199.003 2199.004 2199.005 2199.006
2,199,994 2199.997
PERUSAHAAN YANG MENERAPKAN NORMA MEKANIK, PESAWAT UAP DAN BEJANA TEKAN
PERUSAHAAN YANG MENERAPKAN NORMA LISTRIK, KONSTRUKSI BANGUNAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN PERUSAHAAN YANG MENERAPKAN NORMA KESEHATAN KERJA PERUSAHAAN YANG MENERAPKAN NORMA LINGKUNGAN KERJA DAN BAHAN BERBAHAYA PERUSAHAAN YANG MENERAPKAN NORMA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI TEMPAT KERJA
12,00 Bulan Layanan
135,532,000
50,015,104,000 2.010,00 PERUSAHAAN
2,560,959,000
2.010,00 PERUSAHAAN
2,107,138,000
2.010,00 PERUSAHAAN
1,829,635,000
2.010,00 PERUSAHAAN
7,182,627,000
150,00 PERUSAHAAN
1,195,820,000
LAYANAN PERKANTORAN
12,00 Bulan Layanan
3,507,650,000
Peralatan dan Fasilitas Perkantoran
133,00 Unit
140,000,000
Peningkatan Penerapan Norma kerja dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja NORMA WAKTU KERJA, WAKTU 2200.001.001 ISTIRAHAT DAN PENGUPAHAN PERUSAHAAN YANG MENERAPKAN 2200.002 NORMA PENEMPATAN DAN PELATIHAN TENAGA KERJA PERUSAHAAN YANG MENERAPKAN 2200.003 NORMA HUBUNGAN KERJA DAN KEBEBASAN BERSERIKAT PERUSAHAAN YANG MENERAPKAN 2200.004 NORMA JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA WILAYAH YANG MENDAPATKAN 2200.005 SOSIALISASI NORMA JAMINAN SOSIAL 2200
2200.994
Layanan Perkantoran
2200.997
Peralatan dan Fasilitas Perkantoran
2201 2201.001 P23
627,200,000
Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Ditjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja PEGAWAI YANG TELAH SESUAI DENGAN
20,004,705,000 2,384,720,000 1.400,00 PERUSAHAAN 1.400,00 PERUSAHAAN 1.400,00 PERUSAHAAN 24,00 WILAYAH 12,00 Bulan Layanan 10,00 Unit
2,230,415,000
2,140,235,000 3,569,685,000 5,293,797,000 4,225,853,000 160,000,000
102,011,730,000 1.600,00
a
2201.002
KEBUTUHAN BINWASNAKER DOKUMEN PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN ANGGARAN
ORANG 30,00 DOKUMEN 60,00 LAPORAN
2201.003
LAPORAN KEGIATAN DAN PEMBINAAN
2201.007
KELEMBAGAAN PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN YANG DI KEMBANGKAN
420,00 WILAYAH
2201.009
DOKUMEN KINERJA PEGAWAI
12,00 PERSEN
2201.994
Layanan Perkantoran
2201.997
Peralatan dan Fasilitas Perkantoran
12,00 Bulan 34,00 unit
26,002,440,000 24,842,178,000 4,319,410,000 4,404,500,000 6,431,768,000 35,003,432,000 1,008,002,000
Keterangan : Sosialisasi Penerapan Pengawasan Norma Jaminan Sosial Tenaga Kerja Sebagai Implemenasi SJSN di Kota Manado
2. Menurunnya Jumlah Pekerja Anak. Definisi operasional dari indikator kinerja ini adalah banyaknya pekerja anak yang bekerja pada Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (BPTA) seperti: a. Segala bentuk perbudakan atau praktik sejenisnya perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan P24
a
penghambaan (selfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata. b. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, produksi pornografi atau pertunjukan porno. c. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan. d. Pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak. Yang diberi motivasi dalam sheltering untuk di kembalikan ke dunia pendidikan formal maupun non formal Dalam pencapaian sasaran program ini, Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 mengidentifikasikan 1 (satu) Indikator Kinerja Program yaitu jumlah pekerja anak yang ditarik dari Bentuk
Pekerjaan
Terburuk
Anak
(BPTA).
Pencapaian
IKU
ini
digambarkan dalam tabel 4. Sedang cara perhitungan indikator kinerja ini adalah jumlah total pekerja anak yang berhasil dikembalikan ke dunia pendidikan baik formal maupun non formal. Kegiatan Pengurangan Pekerja Anak dalam rangka mendukung Program Keluarga Harapan (PPA-PKH) merupakan Program Nasional yang telah tertuang dalam RPJMN yang bertujuan untuk mengembalikan pekerja anak ke dunia pendidikan yang pelaksanaannya memerlukan sinergitas antara kementerian terkait, pemerinatah daerah dan LSM. Melalui Kegiatan PPA-PKH sejak dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2015 Kementerian Ketenagkerjaan telah berhasil menarik pekerja anak untuk dikembalikan ke dunia pendidikan sebanyak 63.663 orang pekerja anak. Kegiatan PPA-PKH Tahun 2016 menargetkan menarik 16.500 pekerja anak untuk dikembalikan ke dunia pendidikan. Dengan adanya kebijakan penghematan anggaran APBN Tahun 2016, maka pelaksanaan kegiatan PPA-PKH Tahun 2016 mengalami penyesuaian dengan kebijakan tersebut, sehingga pelaksanaannya dilakukan dalam 2 tahap. PPA-PKH Tahap I dilaksanakan di 143 kabupaten/kota pada 24 provinsi dengan P25
a
target 11.550 pekerja anak dan dilakukan pendampingan di shelter selama 21 hari dan telah selesai dilaksanakan pada bulan Mei s/d Juni 2016.
PPA-PKH Tahap II
dilaksanakan di 46 kabupaten/kota pada 16 provinsi dengan target 4.950 pekerja anak dan dilakukan pendampingan di shelter selama 14 hari dan telah selesai dilaksanakan pada bulan Agustus s/d September 2016. Mengingat kurun waktu pelaksanaan PPA-PKH Tahun 2016 Tahap II pada bulan Agustus s/d September 2016, dimana kurun waktu tersebut telah melewati masa penerimaan murid baru di sekolah formal, maka pekerja anak penerima manfaat PPAPKH Tahun 2016 Tahap II lebih diarahkan untuk memasuki Pendidikan Kesetaraan, Paket A, B, C dan keterampilan. Kabupaten/Kota Pelaksana PPA-PKH Tahun 2016 Tahap II juga merupakan Kabupaten/Kota Pelaksana PPA-PKH Tahun 2016 Tahap I. Dari kegiatan PPA-PKH Tahap I Tahun 2016 yang dilaksanakan di 143 Kabupaten/Kota pada 24 Provinsi dari target 11550 telah berhasil mengembalikan pekerja anak ke dunia pendidikan sebanyak 11498 anak (99,55 %), dengan rincian : a. SD/MI
: 834 anak (7,26 %);
b. SMP/MTs
: 2279 anak (19,84 %);
c. SMA/MA
: 2569 anak (22,36 %);
d. Paket A
: 1273 anak (11,08 %);
e. Paket B
: 2437 anak (21,22 %);
f. Paket C
: 1443 anak (12,56 %);
g. Keterampilan
: 649 anak (5,65 %);
h. Pesantren
: 3 anak (0,03 %).
Dari kegiatan PPA-PKH Tahap II Tahun 2016 yang dilaksanakan di 46 Kabupaten/Kota pada 16 Provinsi dari target 4950 telah berhasil mengembalikan pekerja anak ke dunia pendidikan sebanyak 4932 anak (99,98 %), dengan rincian : a. SD/MI
: 374 anak (7,58 %);
b. SMP/MTs
: 485 anak (9,83 %);
c. SMA/MA
: 874 anak (17,72 %);
d. Paket A
: 348 anak (7,06 %);
e. Paket B
: 1110 anak (22,51 %);
f. Paket C
: 950 anak (19,26 %);
g. Keterampilan
: 791 anak (16,04 %);
h. Pesantren
: 0 anak (0,00 %).
P26
a
Sebagai konpensasi pekerja anak ditarik dari tempat kerja untuk dikembalikan ke dunia pendidikan, Program PPA-PKH Tahun 2016 memberikan uang saku sebesar Rp.250.000,- per bulan yang diperuntukan sebagai biaya untuk memenuhi keperluan sekolah. Pekerja anak penerimaan manfaat PPA-PKH Tahun 2016 Tahap I diberikan uang saku selama 4 (empat) bulan, sedangkan pekerja anak penerimaan manfaat PPA-PKH Tahun 2016 Tahap II diberikan uang saku selama 2 (dua) bulan Manfaat langsung kegiatan PPA-PKH Tahun 2016 tidak saja bisa dinikmati oleh pekerja anak penerima manfaat PPA-PKH tetapi juga telah tercipta lapangan pekerjaan bagi 1.650 orang Pendamping PPA-PKH. Pendamping PPA-PKH direkrut selama 5 bulan untuk mendampingi para pekerja anak penerima manfaat PPA-PKH dalam rangka merubah sikap mental dan memberi motivasi agar mereka mempunyai keinginan dan semangat untuk kembali ke dunia pendidikan. Dari interaksi pendampingan antara pekerja anak penerima manfaat dan para pendamping PPAPKH selama 5 bulan, banyak terjadi dinamika posistif yang dirasakan oleh para pekerja anak penerima manfaat PPA-PKH, mereka mendapatkan kesempatan untuk mengalami secara langsung tentang pola hidup dan pola pikir sehat dan positif. Proses interaksi selama pendampingan menumbuhkan rasa percaya dan takzim para pekerja anak penerima manfaat kepada para pendamping PPA-PKH, sehingga kemudian menjadikan hubungan dan komunikasi antara mereka berlanjut hingga di luar masa pendampingan bahkan berlanjut untuk kurun waktu yang relatif lama. Selama proses pelaksanaan kegiatan PPA-PKH Tahun 2016 banyak pihak yang memberikan bantuan, baik dari unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta maupun masyarakat. Bantuan yang diberikan bisa berupa kemudahan dan keringanan untuk kembali ke sekolah, pemberian uang saku, pemberian alat transportasi berupa sepeda, sepatu, baju seragam dan lainnya. Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus memberikan bantuan pendidikan bagi pekerja anak penerima manfaat PPAPKH sebanyak 49 paket di 16 Provinsi dan 45 Kabupaten/Kota yang disalurkan melalui Lembaga Kemasyarakatan (PKBM dan Yayasan Pendidikan).
P27
a
Apresiasi kepada Pemerintah Provinsi yang telah melakukan replikasi pelaksanaan Program PPA-PKH di daerah masing-masing yang dibiayai melalui APBD. Replikasi Program PPA-PKH oleh pemerintah daerah ini merupakan sesuatu yang sangat baik dan positif, hal ini mengisyaratkan bahwa Program PPA-PKH merupakan program yang bisa diterima pemerintah daerah dan masyarakat, karena merupakan program aksi yang manfaatnya bisa langsung dinikmati oleh masyarakat, dan menjadi salah satu alat ungkit untuk mempercepat pengentasan kemiskinan di Indonesia. Pemerintah Provinsi yang telah melaksanakan replikasi program PPA-PKH adalah sebagai berikut :
Jawa Tengah, 3 Kabupaten / Kota (Kab. Brebes, Kab. Temanggung, Kab. Wonogiri)
Nusa Tenggara Timur, 1 Kabupaten / Kota (Kota Kupang)
Provinsi Maluku, 1 Kabupaten / Kota (Kab. Maluku Tengah)
Tabel lengkap pencapaian dari tahun ke tahun adalah sebagai berikut : Tabel 7.
Indikator Kinerja
Jumlah pekerja anak yang ditarik dari Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (BPTA)
Realisasi
Target Renstra
2015
2016
2017
2018
16.000
16.500
17.000
17.00
pekerja
pekerja
pekerja
pekerja
anak
anak
anak
anak
Keberhasilan pencapaian indikator kinerja ini tidak terlepas dari dukungan pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan PPA – PKH (Penarikan Pekerja Anak – Program Keluarga Harapan, antara lain : pemerintah daerah baik Provinsi, Kabupaten dan Kota, LSM pemerhati anak, dan instansi lain yang terkait (Bappenas, TNP2K, Kemdikbud, Kemenag). Penarikan pekerja anak dari Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Terhadap Anak di 143 Kab/Kota pada 24 Provinsi dengan pekerja anak yang telah P28
a
ditarik dari dunia kerja dan dikembalikan ke dunia pendidikan sebanyak 16.500 anak, dengan daerah provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai berikut: TAHAP I : PENERIMA MANFAAT NO
1.
2.
3.
4.
P29
PROVINSI
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
L
P
JML
JUMLAH SHELTER
Kabupaten Aceh Utara
58
47
105
5
Kabupaten Aceh Pidie
59
25
84
4
Kota Lhokseumawe
37
26
63
3
Kabupaten Bireun
60
24
84
4
Kabupaten Aceh Timur
42
42
84
4
Kabupaten Nias
38
46
84
4
Kabupaten Asahan
61
23
84
4
Kabupaten Tanjung Balai
70
14
84
4
Kabupaten Labuanbatu
30
12
42
2
Kabupaten Solok
57
6
63
3
Kabupaten Agam
49
14
63
3
Kabupaten Payakumbuh
34
8
42
2
Kabupaten Sijunjung
87
18
105
5
Kota Padang
47
16
63
3
Kabupaten Solok Selatan
54
9
63
3
Kab. Padang Pariaman
55
8
63
3
Kabupaten Musirawas
32
10
42
2
Kota Prabumulih
28
14
42
2
Kota Palembang
32
10
42
2
Kab.Ogan Komering ilir
21
21
42
2
KABUPATEN/KOTA
a
5.
6.
7.
8.
P30
Bengkulu
Lampung
Banten
Jawa Barat
Kab Rejang Lebong
55
29
84
4
Kabupaten Kaur
42
21
63
3
Kabupaten Kapaihyang
51
12
63
3
Kab Lampung Tengah
106
41
147
7
Kota Metro
97
8
105
5
Kab Lampung Selatan
33
30
63
3
Pringsewu
46
17
63
3
Kabupaten Lebak
90
78
168
8
Kabupaten Pandeglang
64
62
126
6
Kota Serang
44
40
84
4
Kabupaten Serang
31
11
42
2
Kabupaten Bogor
54
51
105
5
Kabupaten Garut
51
33
84
4
Kabupaten Sukabumi
44
40
84
4
Kabupaten Cirebon
84
42
126
6
Kabupaten Tasikmalaya
56
28
84
4
Kabupaten Indramayu
70
14
84
4
Kabupaten Subang
45
60
105
5
Kab Bandung Barat
34
8
42
2
Kabupaten Majalengka
42
21
63
3
Kabupaten Karawang
48
36
84
4
Kabupaten Kuningan
47
16
63
3
Kabupaten Purwakarta
36
27
63
3
Kota Cimahi
44
19
63
3
Kabupaten Ciamis
34
29
63
3
Kota Tasikmalaya
45
18
63
3
Kota Cirebon
41
22
63
3
a
9.
10.
11.
P31
Jawa Tengah
Kota Pangandaran
30
33
63
3
Kabupaten Brebes
48
36
84
4
Kabupaten Magelang
47
16
63
3
Kabupaten Pemalang
46
38
84
4
Kabupaten Tegal
63
42
105
5
Kabupaten Karanganyar
27
15
42
2
Kabupaten Sragen
51
54
105
5
Kabupaten Temanggung
81
24
105
5
Kabupaten Jepara
88
17
105
5
Kabupaten Banjarnegara
73
53
105
5
Kabupaten Banyumas
98
28
126
6
Kota Tegal
44
19
63
3
Kabupaten Grobogan
26
37
63
3
62
43
105
5
Kabupaten Bantul
43
20
63
3
Kabupaten Kulonprogo
26
37
63
3
Kabupaten Sleman
50
13
63
3
Kota Yogyakarta
36
6
42
2
Kabupaten Sampang
88
17
105
5
Kabupaten Tuban
42
21
63
3
Kabupaten Lumajang
61
23
84
4
Kabupaten Sumenep
87
60
147
7
Kabupaten Probolinggo
26
16
42
2
Kabupaten Ngawi
61
23
84
4
Kabupaten Ponorogo
72
12
84
4
Kabupaten Jombang
54
72
126
6
Kabupaten Mojokerto
60
24
84
4
DI Yogyakarta Kabupaten Gunung Kidul
Jawa Timur
a
12.
13.
14.
15.
P32
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kabupaten Trenggalek
87
18
105
5
Kabupaten Nganjuk
44
40
84
4
Kabupaten Buleleng
81
66
147
7
Kabupaten Gianyar
67
59
126
6
Kabupaten Karang Asam
48
57
105
5
Kabupaten Klungkung
22
20
42
2
Kabupaten Sumbawa
36
27
63
3
Kabupaten Lombok Barat
85
41
126
6
Kabupaten Bima
60
45
105
5
Kota Bima
56
7
63
3
Kabupaten Lombok Timur
47
16
63
3
Kabupaten Dompu
65
19
84
4
Kab Timor Tengah Selatan
86
82
168
8
Kota Kupang
40
105
5
Kabupaten Sumba Timur
106
20
126
6
Kab Manggarai Barat
52
32
84
4
Kabupaten Ende
55
29
84
4
Kabupaten Sikka
36
27
63
3
Kabupaten Alor
65
40
105
5
Kab Sumba Barat Daya
40
23
63
3
Kab Manggarai Timur
46
17
63
3
Kabupaten Flores Timur
77
28
105
5
Kabupaten Kupang
27
15
42
2
Kabupaten Landak
27
35
63
3
Kabupaten Kubu Raya
32
46
90
3
Kabupaten Mempawah
38
25
63
3
Kabupaten Kuburaya
32
31
63
3
a
16.
17.
18.
19.
20.
21. P33
Kalimantan Tengah
Kabupaten Kapuas
45
18
63
3
Kota Palangkaraya
46
38
84
4
Kalimantan Selatan
Kabupaten Banjar
59
25
84
4
Kabupaten Barito Kuala
42
21
63
3
Kab Hulu Sungai Tengah
77
28
105
5
Kota Banjarmasin
42
21
63
3
Kabupaten Bone
95
52
147
7
Kabupaten Maros
43
83
126
6
Kabupaten Gowa
97
50
147
7
Kota Makassar
108
60
168
8
Kabupaten Luwu Utara
100
26
126
6
Kota Palopo
50
13
63
3
Kabupaten Barru
66
18
84
4
Kabupaten Sidrap
51
33
84
4
Kabupaten Pinrang
27
15
42
2
Kabupaten Sinjai
63
21
84
4
Kabupaten Bantaeng
25
17
42
2
Kab Parigi Moutung
79
47
126
6
Kota Palu
72
33
105
5
Kabupaten Sigi
46
38
84
4
Kabupaten Donggala
39
24
63
3
Kabupaten Muna
29
34
63
3
Kota Kendari
55
8
63
3
Kota Bau-bau
56
7
63
3
Kabupaten Konawe
40
23
63
3
Kab Konawe Selatan
50
13
63
3
Kota Manado
58
26
84
4
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Tenggara
Sulawesi
a
Utara
22.
23.
24.
Sulawesi Barat
Gorontalo
Maluku
Kota Bitung
21
63
84
4
Kabupaten Minahasa
69
15
84
4
Kab Minahasa Selatan
72
12
84
4
Kab Bolaang Mangodo
59
25
84
4
Kota Tomohon
71
13
84
4
Kabupaten Sangihe
29
13
42
2
Mamuju
31
11
42
2
Majene
30
12
42
2
Kabupaten Gorontalo
52
32
84
4
Kabupaten Bonebolango
49
14
63
3
Kota Gorontalo
83
22
105
5
Kab Kepulauan Aru
17
25
42
2
Kab Maluku Tenggara
27
15
42
2
Kabupaten Maluku Tengah
30
12
42
2
Kota Tual
33
9
42
2
7654
3865
11.519
550
Jumlah Seluruhnya :
TAHAP II : PENERIMA MANFAAT NO
1.
PROVINSI
Aceh
L
P
JML
JUMLAH SHELTER
51
39
90
5
Kota Lhokseumawe
36
24
60
2
Kabupaten Aceh Timur
42
78
120
4
42
18
60
2
46
14
60
2
KABUPATEN/KOTA
1.
Kabupaten Aceh Utara
2.
Sumatera Utara
Kabupaten Tanjung
3.
Sumatera
Kota Padang
P34
Balai
a
Barat Sumatera Selatan
6.
Banten
Kabupaten Musirawas
52
8
60
2
Kota Prabumulih
51
9
60
2
Kabupaten Ogan Komering ilir
44
16
60
2
Kabupaten Lebak
85
65
150
5
96
84
150
5
Kabupaten Serang
36
24
60
2
Kabupaten Bogor
84
66
150
5
Kabupaten Tasikmalaya
37
53
90
3
Kabupaten Kuningan
29
31
60
2
Kota Cimahi
71
19
90
3
Kota Tasikmalaya
134
76
210
7
Kota Pangandaran
64
26
90
3
Kabupaten Tegal
29
61
90
3
Kabupaten Banjarnegara
32
28
60
2
Kabupaten Sampang
129
21
150
5
Kabupaten Lumajang
54
36
90
3
Kabupaten Sumenep
139
71
210
7
Kabupaten Ponorogo
67
23
90
3
Kabupaten Jombang
89
61
150
5
Kabupaten Buleleng
133
77
210
7
Kabupaten Karang Asam
53
67
120
4
Kabupaten Klungkung
27
33
60
2
Kota Kupang
73
17
90
3
Kabupaten Ende
69
51
120
4
Kabupaten Sikka
60
30
90
3
Kabupaten Pandeglang
8.
9.
11.
12.
14.
P35
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Bali
Nusa Tenggara Timur
a
Kabupaten Alor
91
58
150
5
15.
Kalimantan Barat
Kabupaten Kubu Raya
34
26
60
2
19.
Sulawesi Selatan
Kabupaten Bone
74
46
120
4
Kabupaten Maros
90
30
120
4
Kota Makassar
172
68
240
8
96
24
120
4
Kota Palopo
66
24
90
3
Kabupaten Sidrap
40
20
60
2
Kabupaten Sinjai
90
30
120
4
Sulawesi Utara
Kabupaten Minahasa
80
40
120
4
Sulawesi Barat
Majene
36
24
60
2
Gorontalo
Kabupaten Gorontalo
108
12
120
4
Kabupaten Bonebolango
60
30
90
3
Kota Gorontalo
102
48
150
5
Kab Maluku Tenggara
36
24
60
2
Kabupaten Maluku Tengah
44
16
60
2
3085
1723
4890
165
Kabupaten Luwu Utara
22.
23.
24.
Maluku
Jumlah Seluruhnya :
P36
a
Keterangan : Kegiatan anak-anak di dalam shelter pada program PPA-PKH
Keterangan :
P37
Kegiatan anak-anak di luar shelter pada program PPA-PKH
a
Hambatan Pelaksanaan PPA-PKH telah delapan kali berjalan. Sejumlah perkembangan dan perubahan telah banyak berlangsung. Perkembangan dan perubahan yang dimaksud mencakup jumlah penerima manfaat, wilayah kerja, dan jumlah pendamping. Perkembangan dan perubahan di ranah tersebut juga mendorong perkembangan dan perubahan dalam hal strategi pelaksanaan. Perkembangan dan perubahan ini meliputi isu strategis seperti: data yang dirujuk,
perekrutan,
rekomendasi
peserta.
penjangkauan,
pendampingan,
Perkembangan
pun
juga
dan
pemberian
mencakup
hal-hal
administratif, misal penentuan penyedia catering, penetapan lokasi shelter, dan lain-lain. Pendek kata, banyak yang telah berubah dari tahun ke tahun. Meskipun telah mengalami perbaikan, tentu saja tantangan tetap muncul dalam pelaksanaan PPA-PKH. Sejak program ini merupakan program pemerintah yang berjenis bantuan sosial dalam bidang ketenagakerjaan, tantangan juga muncul dari sejak awal. Tantangan tahun ini datang dari beragam sisi. Seringkali jenis tantangan mirip. Banyak juga hal yang merupakan tantangan baru. Sebagian besar sudah diantisipasi sehingga cepat diatasi. Sebagian lain belum bisa diatasi, dan menjadi pengalaman berharga untuk tahun-tahun mendatang. Tantangan utama program ini pada dasarnya adalah sejauhmana program ini mampu menyumbang penghapusan pekerja anak secara progresif di tingkat nasional, dan khususnya di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Tanpa memahami tantangan utama ini, para pelaksana di semua tingkatan hanya akan terjebak pada pemahaman bahwa PPA-PKH hanya proyek yang wajib dilaksanakan. Berikut tantangan yang muncul dalam pelaksanaan PPA-PKH 2016
1.
Terjadinya efisiensi/pemotongan anggaran
PPA-PKH tahun ini terlaksana dalam dua tahap. Pembagian dua tahap ini terjadi sebagai respon Kemnaker pada Instruksi Presiden RI untuk memperketat pengeluaran anggaran tahun 2016. Akibatnya, pelaksanaan PPA-PKH 2016 mengalami perubahan, di antaranya:
P38
a
hanya menargetkan penarikan 11.550 pekerja anak. Jumlah ini 4.450 pekerja anak lebih sedikit daripada yang ditargetkan sebelumnya; waktu pendampingan anak di shelter juga lebih cepat. Awalnya, pelaksanaan PPA-PKH akan memfasilitasi eks pekerja anak selama 28 hari di shelter. Sesudah pengetatan, lama pelaksanaan menjadi 21 hari. Lebih sedikit daripada waktu pendampingan tahun-tahun sebelumnya, yaitu 28 hari. Belakangan, atas pertimbangan anggaran, Kemnaker kembali menargetkan sisa 4.450 pekerja anak utuk ditarik melalui program ini. Namun untuk efisiensi, tahap kedua ini hanya difokuskan untuk pekerja anak berusia 15-17 tahun. Waktu pendampingan di shelter kembali mengalami pengurangan, yaitu 14 hari. Jenis layanan program juga hanya berfokus pada pelatihan keterampilan. Dari
sisi
kualitas,
efisiensi
anggaran
ini
sangat
berpengaruh pada
pelaksanaan PPA-PKH. Pertama, waktu pendampingan yang singkat berarti juga mengurangi waktu pendamping untuk berkomunikasi dan mengajak mereka untuk tidak kembali ke dunia kerja. Kedua, waktu yang singkat mengurangi waktu untuk anak mendapatkan pendidikan jembatan (bridging course) yang sangat penting dalam membantu anak keluar dari tempat kerja serta mengajak mereka kembali ke dunia pendidikan.
2. Persimpangan proses pemindahan unit Pengawasan Ketenagakerjaan UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah memandatkan bahwa aparat pengawas ketenagakerjaan di bawah dinas yang membawahi ketenagakerjaan di tingkat provinsi. Pengawas ketenagakerjan akan berada dalam suatu Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pengawasan. Pengawas ketenagakerjaan tetap berada di bawah supervisi pemerintah provinsi, dan dapat tetap tinggal di kabupaten/kota tersebut. Meski banyak kabupaten/kota belum menyelesaikan proses pelaksanaan mandat ini, namun pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2014 tersebut akan berlaku efektif tahun 2017 ini. Sementara itu, pelaksanaan PPA-PKH berlangsung di tingkat kabupaten/kota. Meski pengawas ketenagakerjaan akan tinggal dan bekerja di tingkat kabupaten/kota tempat PPA-PKH diselenggarakan, situasi ini pasti akan mempengaruhi efektivitas kegiatan. Supervisi yang dilakukan tentu tak dapat P39
a
mengandalkan alat komunikasi dan media sosial mengingat perkembangan pelaksanaan program semacam PPA-PKH bergerak cepat dan membutuhkan penanganan yang bagus dan matang. 3.
Keterlambatan pemberian laporan Terdapatnya dua tahap pelaksanaan PPA-PKH 2016 juga berimbas pada pengiriman laporan. Pelaporan pelaksanaan PPA-PKH 2016 tahap pertama cenderung lancar. Tidak ada keterlambatan laporan. Para pelaksana di tingkat kabupaten/kota mengirim pelaporan dengan cepat. Sayangnya, kondisi ini tidak terjadi pada pelaporan tahap kedua. Para pelaksana PPA-PKH Tahap Kedua lambat dalam menyerahkan pelaporan. Meski sudah dilengkapi oleh aplikasi database, ternyata tidak semua daerah menggunakan aplikasi ini. Untuk mengatasi ini, penggunaan alat komunikasi dan media sosial akhirnya menjadi pilihan. Tantangan ke depan adalah efektivitas penggunaan database dan sumberdaya manusia yang menggunakannya. Diketahui bahwa daerah menggunakan tenaga pengoperasian database dari kantor dinas. Namun, dalam prakteknya, tenaga operasional database itu juga dibantu oleh tenaga non aparatur sipil negara. Akibatnya, saat masa pelaksanaan yang disebutkan dalam Surat Keputusan Pengangkatan Tenaga Operasional PPA-PKH selesai, bantuan dari tenaga non ASN juga selesai. Dengan demikian, penting untuk Kemnaker menetapkan bahwa tenaga operator harus berstatus ASN dari kalangan pegawai negeri sipil, yang dapat bekerja tanpa bantuan mereka dari non ASN dan non-pegawai negeri sipil.
4.
Sulitnya menjangkau pekerja anak di tempat terpencil
Menindaklanjuti usulan pelaksanaan PPA-PKH tahun 2015, Kemnaker menggunakan data penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang disediakan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Data menyebutkan bahwa di dalam 165 kabupaten/kota tempat pelaksanaan PPAPKH 2016 terdapat 55.227 pekerja anak usia 10 – 17 tahun yang akan mendapatkan KIP. Secara umum, jumlah ini jauh lebih besar daripada target total 16.500 pekerja anak. Merujuk data ini, pendamping melakukan kunjungan verifikasi. Secara umum, data sahih. Hanya di bawah 1% data tidak sahih (usia dan nama). Berdasarkan kunjungan verifikasi tersebut, pendamping menemukan bahwa banyak anak P40
a
yang tercantum dalam data tersebut sedang bekerja di tempat lain (kota-kota terdekat) dan tidak tinggal di alamat yang dituliskan. Akibatnya, pendamping harus mencari pekerja anak lainnya yang tercantum dalam daftar. Sayangnya, daftar banyak menyebutkan anak tinggal di kecamatan terpencil dan sulit dijangkau. Bila pun ingin dijangkau, penjemputan membutuhkan biaya besar. Akhirnya, anak yang tinggal terpencil juga tak dapat terjangkau.
5.
Sistem rujukan masih belum padu
Rekomendasi pendidikan bagi peserta PPA-PKH tahun 2016 masih juga memiliki tantangan. Mereka yang terutama ingin melanjutkan pendidikan melalui Kelompok Belajar (Kejar) Paket A (setara sekolah dasar), Paket B (setara SMP) dan Paket C (setara SMA) masih banyak yang belum dapat mengakses pendidikan tersebut secara langsung begitu program mereka ikuti. Mereka masih harus menunggu kepastian dari penyelenggara kegiatan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang mendapatkan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) 1 untuk membiayai kegiatan pendidikan yang biasanya datang pada periode September – Desember. Dengan demikian, untuk peserta PPA-PKH, kepastian mengikuti pendidikan Paket masih memerlukan waktu.
Pendaftaran (enrolment) pada setiap jenis pendidikan tidak memiliki syarat yang sama dan dilaksanakan tidak setiap waktu. Biasanya peserta PPA-PKH banyak yang berkeinginan kembali ke pendidikan formal. Mereka pun kemudian direkomendasikan ke pendidikan formal tersebut. Sayangnya, seringkali anak ingin kembali ke pendidikan formal mereka masih harus dihadapkan pada biaya pendaftaran, seragam dan buku. Hal inilah yang membuat banyak peserta PPA-PKH tidak kembali ke sektor pendidikan. Bahkan, banyak di antara mereka kembali ke dunia kerja. Sementara, tantangan mendasar yang dihadapi oleh mereka yang berkeinginan kembali ke pendidikan non formal adalah pendaftaran pendidikan non formal (Paket dan keterampilan) tidak terjadi setiap hari/waktu. Tatkala peserta PPAPKH sudah menyelesaikan shelter pada periode Juli – Agustus, program Kejar Dana bantuan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat-Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 1
P41
a
Paket baru dimulai Oktober. Akibatnya, waktu menunggu semakin panjang. Dan, ini membuat banyak dari mereka kembali bekerja. Kondisi yang sama dihadapi saat mereka memilih pendidikan keterampilan. Selain harus membayar, tidak banyak pemerintah daerah ataupun lembaga pendidikan keterampilan yang bisa menyediakan pelatihan keterampilan dengan biaya murah, apalagi gratis. Jika pun mereka bisa membayar, belum tentu ada lembaga (masyarakat atau pemerintah) yang membuka program pelatihan sebelum Oktober.
6.
Komitmen Daerah yang Terbatas
Gagasan tentang dimilikinya program penanggulangan atau pengurangan pekerja anak oleh daerah tampaknya masih menunggu waktu. Sampai saat ini, Kementerian Tenaga Kerja baru mencatat Kabupaten Gorontalo yang menyediakan pendanaan untuk tambahan satu dari tiga shelter yang disediakan.
Sementara
ada
beberapa
kabupaten/kota
yang
mampu
menindaklanjuti kegiatan ini dengan anggaran biaya pendapatan daerah (APBD) masing-masing. Kabupaten/kota seperti itu memberikan bantuan tambahan pada peserta PPA-PKH antara lain dengan menyediakan sepeda sebagai alat transportasi, atau bantuan seragam. Atau, dengan selalu meminta dinas pendidikan setempat untuk memberi tempat bagi peserta PPA-PKH yang mau bersekolah hingga tingkat SMP. Sedikitnya
kabupaten/kota
menggunakan
APBD
yang
bukanlah
menindaklanjuti hal
yang
kegiatan
diharapkan.
ini
dengan
Situasi
ini
mengindikasikan bahwa APBD untuk penghapusan atau pengurangan pekerja anak masih kecil. Di samping itu, terindikasi juga bahwa penghapusan pekerja anak masih menjadi tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Ketenagakerjaan belaka. Isu ini masih menjadi isu milik SKPD, bukan pemerintah daerah.
Padahal, bila disimak dengan cermat, kegiatan PPA-PKH bukanlah kegiatan yang baru berlangsung satu-dua tahun. Kegiatan ini sudah berlangsung sejak tahun 2008, dengan hanya tidak melakukan kegiatan ini tahun 2009. Ada kabupaten/kota yang sudah sejak awal menyelenggarakannya. Ada juga yang P42
a
baru satu kali. Kegiatan ini juga melibatkan semua perangkat terkait pemerintah daerah, mulai dari Sekretaris Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, serta Kantor Kementerian Agama (sebagai bagian dari Forum Komunikasi Pemerintahan Daerah). Tantangan besar adalah bahwa tidak ada satupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJMD) kabupaten/kota yang melaksanakan kegiatan ini mencantumkan penghapusan pekerja anak sebagai outcome keberhasilan pembangunan mereka. Bahkan, tidak ada satu pun juga yang menjadikan sebagai isi dari Rencana Kerja Pemerintah Daerah KPD. Penghapusan pekerja anak hanya menjadi bagian dari Rencana Strategis (Renstra)
SKPD
bidang
ketenagakerjaan.
Itupun
tak
semua
Dinas
mencantumkannya dalam Renstra mereka. Ketiadaan program penghapusan pekerja anak dalam RPJMD ini yang menjadi gambaran dan pangkal terbatasnya komitmen daerah. Ketiadaan komitmen penghapusan pekerja anak dalam RPJMD ini membuat siapapun (birokrasi maupun swasta) untuk menghapus pekerja anak secara komprehensif.
7. Peningkatan Sumbangan PPA-PKH untuk Roadmap Penghapusan Pekerja Anak 2022
Pendekatan PPA-PKH memasukkan pendampingan di shelter sebagai bagian dari
proses
kerja
(business
process)
penghapusan
pekerja
anak.
Pendampingan di shelter pada dasarnya adalah proses yang sangat penting untuk membuat eks pekerja anak tersebut mudah beradaptasi dengan sistem pendidikan. Proses ini bisa dilakukan oleh birokrasi bekerja sama dengan para pemangku kepentingan lainnya. Tanpa proses ini, anak (terutama mereka yang masuk dalam sistem ketenagakerjaan sedemikian lama) dipastikan akan mengalami kesulitan beradaptasi saat masuk dalam sistem pendidikan. Sampai saat ini, pekerja anak yang diikutsertakan dalam kegiatan PPA-PKH selama tujuh tahun cenderung masih kecil (hanya 65 ribu anak sejak 2008). Bila dibandingkan dengan jumlah pekerja anak, angka ini masih kurang dari 20% jumlah pekerja anak di Indonesia.2 Karenanya, benar bahwa PPA-PKH adalah kegiatan inti Pemerintah Indonesia. Namun, ini bukanlah satu-satunya 2
P43
Berdasarkan Survai Pekerja Anak 2009, BPS, Jakarta, 2010
a
yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Kegiatan lain juga harus membantu untuk mengatasi problem pekerja anak. Roadmap
Penghapusan
Pekerja
Anak
Pemerintah
Indonesia
yang
diluncurkan 1 Juni 2015 secara jelas menyebutkan bahwa Pemerintah menargetkan untuk menghapuskan pekerja anak pada tahun 2022. Bila hanya mengandalkan PPA-PKH, pencapaian target itu adalah mustahil. PPA-PKH belum dipahami sebagai pemicu ataupun contoh intervensi langsung pemerintah dalam penghapusan pekerja anak. PPA-PKH masih dipahami sebagai kegiatan atau proyek tahunan. Ini terindikasi dengan “menguapnya” sejumlah praktik baik (good practices) yang muncul dari PPAPKH. Praktik baik itu mengenai kembalinya anak ke sistem pendidikan setelah anak mendapatkan manfaat dari PPA-PKH. Sayangnya, praktik-praktik itu belum tereplikasi di banyak daerah lain. Hal baik yang terlupakan juga dari adanya PPA-PKH adalah banyaknya pendamping yang bersemangat bahkan militan. Juga, PPA-PKH memiliki banyak tutor yang bisa mengarusutamakan isu pekerja anak dalam modul atau cara mengajar mereka. PPA-PKH juga melahirkan banyak pelatih penghapusan pekerja anak, baik yang datang dari organisasi masyarakat sipil (OMS) maupun aparatur sipil negara itu sendiri. Tantangannya adalah bagaimana sejumlah praktik baik dan modal hebat ini bisa ditingkatkan demi menyumbang pencapaian Roadmap Penghapusan Pekerja Anak 2022 ?. Itulah tantangan buat PPA-PKH tahun-tahun mendatang atau program-program sejenis lainnya.
Upaya Mengatasi tantangan tersebut, sejumlah rekomendasi memang perlu ditanggapi untuk dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan R.I sebagai pelaksana langsung, juga pemerintah daerah sebagai pelaksana pendukung. Tanpa kebijakan yang responsif (baik di tingkat nasional maupun daerah) bukan tidak mungkin tantangan di atas bisa teratasi. Berdasarkan hal tersebut, ada dua hal yang wajib untuk diperhatikan. Dua hal ini didasari pemahaman bahwa kegiatan PPA-PKH tidak berdiri sendiri. Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya besar Bangsa Indonesia dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya. Memang syarat penting P44
a
perbaikan kedua hal ini adalah peningkatan kinerja dan upaya kerja keras Kemnaker sebagai leading ministry. Tanpa perbaikan di dua hal ini, sekali lagi hanya akan membuat Roadmap Penghapusan Pekerja Anak tidak mencapai tujuannya. Sejumlah rekomendasi di bawah ini pada dasarnya hanya bisa dicapai bukan hanya meliputi perbaikan pada saat pelaksanaan PPA-PKH. Namun juga meliputi semua hal terkait penghapusan pekerja anak. Perbaikan pertama adalah terkait dengan peningkatan kualitas pada “dapur kegiatan” (manufacturing quality improvement). Peningkatan ini penting karena dapur kegiatan yang akan menentukan dan mempersiapkan layanan ini secara lebih baik hingga tersaji dan dapat dinikmati oleh pekerja anak khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya. Manufacturing quality improvement ini meliputi antara lain: penyiapan data dasar, persiapan rujukan anak, pengarusutamaan pada program besar lainnya, serta koordinasi antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah (K/L dan Pemda).Perbaikan kedua adalah pada peningkatan kualitas pelayanan langsung (service quality improvement) pada peserta PPA-PKH sebagai stakeholder utama. Pada dasarnya, layanan inilah yang akan dinikmati oleh anak. Juga, layanan langsung inilah yang nanti akan dilihat oleh masyarakat umum, termasuk para pengusaha nasional dan daerah yang selama ini digadang-gadang akan memberikan dana tanggungjawab social perusahaan (corporate social responsibility-CSR) mereka pada isu penghapusan pekerja anak. Service quality improvement ini meliputi antara lain layanan langsung selama di shelter, hingga peserta PPA-PKH kembali ke dunia pendidikan.Berikut rekomendasi tersebut secara lebih rinci.
1.
Advokasi RPJMD
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) adalah dokumen janji kampanye kepala daerah yang terpilih. Undang-undang No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menegaskan bahwa RPJMD menjadi patokan perencanaan pembangunan daerah di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. RPJMD juga mencakup semua program dan kegiatan serta anggaran pemerintah daerah dan dilindungi oleh Undang-undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Hanya program yang memiliki rujukan P45
a
pada RPJMD itulah yang nantinya dapat dibiayai oleh pemerintah daerah. Pada dasarnya, awal tahun 2017 merupakan waktu yang tepat untuk melakukan advokasi RPJMD. Sebagian besar daerah akan melakukan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada Februari 2017 ini. Dengan demikian, masih ada kesempatan untuk menambah isi pada visi-misi kepala daerah terpilih dan menuangkannya dalam RPJMD, sebelum disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). 2.
Penguatan koordinasi kabupaten/kota
pelaksanaan
di
tingkat
provinsi
dan
PPA-PKH telah dilaksanakan selama lebih dari delapan tahun. Informasi tentang keberhasilan dan tantangan pelaksanaan program perlu disebarluaskan pada banyak pihak, termasuk sampai ke tingkat desa/kelurahan. Ini dimaksudkan agar kegiatan mendapat dukungan lebih banyak. Isu pekerja anak memiliki kaitan dengan sektor terkait (cross cutting issues). Koordinasi dan kerjasama antar pemangku kepentingan baik pemerintah
dan
non
pemerintah
menjadi
kebutuhan
strategis.
Optimalisasi koordinasi dan kerjasama lintas sektor menjadi kebutuhan di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Koordinasi dan kerjasama ini
penting melibatkan SKPD terkait,
pihak
swasta,
organisasi
masyarakat sipil, dan lain-lain. Ini dimaksudkan agar mereka juga bisa menyumbang untuk tindak lanjut pelayanan pasca pendampingan. Koordinasi yang paling penting perlu terjadi di daerah. Sejak pemberlakuan otonomi daerah, SKPD bidang ketenagakerjaan perlu memberikan informasi secara rutin kepada SKPD bidang pendidikan (baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi). Sebab, koordinasi ini akan memudahkan SKPD bidang pendidikan di kabupaten/kota memberikan informasi pada penyelenggara pendidikan tingkat SD-SMP. Juga memudahkan SKPD bidang pendidikan di tingkat provinsi menyampaikan sejumlah kebutuhan bagi eks pekerja anak pada penyelenggara pendidikan tingkat SMA.
P46
a
Di samping itu, pendamping PPA-PKH di lapangan perlu berkoordinasi dan bekerjasama dengan penyelenggara pendidikan. Hal ini diperlukan untuk
melakukan
sinergitas
antara
pendamping
PPA-PKH
dan
pelaksana pendidikan agar pekerja anak yang dikembalikan ke pendidikan menjadi bagian dari pengawasan pihak yang bergerak di bidang pendidikan. 3. Penguatan dan pendokumentasian database pelaksanaan PPAPKH Sebagai suatu program yang dimonitoring oleh banyak pihak (dalam dan luar negeri), PPA-PKH perlu membekali diri dengan sistem database yang baik. Database yang baik akan memudahkan Kemnaker untuk membuktikan kesuksesan penyelenggaraan program. Database yang baik juga akan memudahkan Kemnaker untuk mengadvokasikan eks pekerja anak mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah di semua tingkatan, khususnya kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang berwenang menangani masalah pendidikan dan sosial. Selain itu, database yang baik juga akan memudahkan Kemnaker mencari rujukan dalam merencanakan perbaikan pada pelaksanaan PPA-PKH tahun-tahun berikutnya. 4.
Peningkatan kualitas kondisi dan layanan selama di shelter Kemnaker perlu melakukan peningkatan standar shelter sebagai pusat pendampingan bagi pekerja anak. Mereka membutuhkan fasilitas yang memadai, lengkap dengan fasilitas untuk pembelajaran dan asrama yang layak. Fasilitas yang tersedia di shelter penting dioptimalkan fungsinya oleh pendamping. Fasilitas yang baik memudahkan para pendamping dalam mengembangkan berbagai kreatifitas kegiatan dalam melakukan pendampingan. Di sisi lain, pendamping juga perlu melakukan pengembangan materi dan diri. Ini penting dilakukan agar terjadi perubahan pada diri anak baik secara psikologis maupun sosial. Dengan demikian, peserta PPA-PKH mampu meningkatkan kepekaan, kesadaran dan kompetensinya.
P47
a
Pelaksana kegiatan PPA-PKH tingkat daerah perlu berkoordinasi dengan dinas terkait untuk memenuhi kebutuhan pekerja anak selama kegiatan pendampingan. Hal ini dimaksudkan agar dinas terkait dapat berperan serta selama pendampingan baik pada aspek kesehatan, pembinaan mental, kedisiplinan, dll. 5.
Penambahan jumlah dana untuk peserta PPA-PKH Selama
mengikuti
program
PPA-PKH,
Kemnaker
senantiasa
menyediakan dana untuk peserta. Setiap peserta berhak untuk mendapatkan uang saku. Mereka akan mendapatkan selama empat bulan. Banyak anak yang menggunakan uang saku tersebut dengan bijak. Ada yang menggunakannya untuk membeli pakaian seragam dan/atau buku saat mereka kembali ke pendidikan. Ada juga yang diberikan kepada orang tua. Meski demikian, tetap diakui bahwa tidak sedikit anak yang membelanjakannya dengan cara konsumtif. Mereka menggunakannya untuk membeli keperluan pribadi yang tidak terkait dengan pendidikan. Lepas dari itu, mengingat kegiatan ini adalah untuk peserta, Kemnaker penting untuk mempertimbangkan menambah jumlah dana yang diberikan pada anak. Pemberian dana ini dilakukan tidak sekaligus. Penambahan dana hanya dilakukan pada anak yang kembali ke dalam lembaga pendidikan. Bila anak tersebut tidak kembali ke lembaga pendidikan, ia tidak berhak mendapat dana tambahan. 6.
Peningkatan remunerasi bagi pendamping dan tutor Pendampingan anak selama di shelter memiliki salah satu peran kunci dalam melakukan pendampingan pekerja anak, sehingga penting mendapatkan pendamping yang memilki komitmen, terampil, terlatih dan memiliki jaringan luas. Oleh karena itu pendamping yang direkrut meski memperhatikan kepedulian dan kompetensi. Pendamping yang telah teruji ikut dalam pendampingan harus diprioritaskan. Rekrutmen pendamping baru diperlukan jika pendamping lama sudah tidak bersedia ikut atau beraktivitas di tempat lain. Peningkatan kapasitas pendamping perlu terus ditingkatkan sesuai kebutuhan pelaksanaan kegiatan PPA-PKH di lapangan. Pendamping memiliki peran sangat menentukan terhadap perubahan anak dan dinamika sosial yang terus berubah. Oleh karena itu, pelatihan dan
P48
a
asistensi teknis bagi pendamping perlu terus dikembangkan agar kemampuan pendampingan dan pelayanan pada pekerja anak semakin meningkat dan memenuhi standar pelayanan bagi anak berbasis hak anak. Tutor sebagai pengajar dalam pendampingan di shelter memiliki peran yang mendukung pelaksanaan pendampingan. Tutor diminta untuk dapat bekerjasama dengan pendamping dalam pembinaan pekerja anak di shelter. Oleh karena itu, perekrutan tutor perlu dilakukan koordinasi dengan dinas pendidikan atau lembaga pendidikan yang ada di Kabupaten/Kota setempat dan perlu dipertimbangkan pula bahwa peran tutor diharapkan bisa membantu mendukung pengembalian pekerja anak ke pendidikan. Namun, hal penting bagi Kemnaker adalah untuk meningkatkan remunerasi bagi pendamping dan tutor. Terkait dengan honor tutor, Kemnaker dapat merujuk atau setidaknya mendekati standar biaya umum (SBU) yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan. Sementara, untuk pendamping, Kemnaker perlu mempertimbangkan penerapan Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Sebab, selain bisa meningkatkan semangat dan militansi pendamping, penerapan PP tersebut juga menjadi ajang pembuktian bahwa Kemnaker bisa menjadi contoh penerapan peraturan yang baik. 7.
Pengembangan kerjasama dengan swasta dan pihak lain Sebagaimana diketahui, pelaksanaan PPA-PKH Tahun 2017 akan mengalami perubahan signifikan dalam hal pendanaan dan pelayanan pada peserta. Pihak Kemnaker hanya menargetkan penarikan 17 ribu pekerja anak. Tantangan terberat adalah bahwa dana yang tersedia turun drastis. Dari Rp 100 milyar tahun 2016, menjadi Rp 30 milyar tahun 2017. Penurunan pendanaan ini berkonsekuensi pada dengan pengurangan jenis layanan. Pekerja anak yang ditargetkan akan ditarik tidak akan mendapatkan pelayanan yang sama. Target jumlah penerima manfaat ini dapat dirinci sebagai berikut:
P49
a
Sebanyak lima ribu anak akan mendapatkan manfaat dari layanan di shelter. Mereka akan mendapatkan layanan yang sama dengan para penerima manfaat tahun-tahun sebelumnya, Sisanya, sebanyak 12 ribu pekerja anak akan mendapatkan manfaat dari layanan di luar shelter. Sampai saat ini layanan untuk anak di luar shelter belum ditentukan. Mengingat, dana pasti akan menjadi hambatan. Menanggapi hal ini, Kemnaker perlu membuka pintu untuk bekerjasama dengan swasta, organisasi multilateral dan/atau organisasi masyarakat internasional untuk mengatasi kekurangan pendanaan dan layanan. Pembukaan pintu pada swasta dan pihak lain ini pada dasarnya merupakan bagian dari Roadmap Indonesia Bebas Pekerja Anak. Pada dasarnya, langkah ini sudah sering dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Langkah ini juga akan memudahkan Kemnaker melakukan dua hal sekaligus. Pertama, pelaksanaan PPA-PKH sebagai target kerja dari Presiden. Kedua, pelaksanaan Roadmap sebagai target kerja dari pemerintah dan masyarakat. Tata cara dan tata kelola kerjasama dengan swasta dan pihak lain perlu diatur cepat, dan merujuk pada praktik-praktik yang pernah dilakukan di masa lalu bersama ILO, UNICEF, dan pihak-pihak lainnya..
Hambatan Dalam pencapaian indikator ini adalah Otonomi daerah, di mana kewenangan berada di daerah sehingga menyulitkan koordinasi antara pusat dengan daerah terutama Kabupaten/Kota dalam hal ini Pegawai Pengawas. Selain itu seiring dengan berkembangnya jumlah perusahaan dan bertambahnya Objek K3 di daerah yang tidak diiringi dengan penambahan Pegawasi Pengawas, sehingga masih banyaknya perusahaan-perusahaan dan Objek K3 yang belum diawasi. Upaya Dalam mengatasi hambatan tersebut adalah dengan disahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana seluruh pegawas pengawas di Kabupaten/Kota di tarik ke Provinsi untuk P50
a
memudahkan Koordinasi. Selain itu dilakukan juga Upgrading Pegawas Pengawas menjadi Spesialis, sehingga dalam pengawasan yang di lakukan lebih efektif, Detail dan Tepat Sasaran.
3. Menurunnya pelanggaran hukum di bidang hukum ketenagakerjaan.
Ditjen Binwasnaker dan K3 mendefinisikan sasaran program ini sebagai persentase penurunan pelanggaran hukum norma ketenagakerjaan. Sedang cara perhitungan indikator kinerja ini adalah dengan mambandingkan antaran jumlah semua kasus / pelanggaran norma ketenagakerjaan dengan jumlah kasus / pelanggaran yang diselesaikan selama tahun 2015. Pada tahun 2015, Ditjen Binwasnaker dan K3 mencatat telah terjadi pelanggaran hukum norma ketenagakerjaan sebanyak 8.178 kasus. Dari jumlah tersebut sebanyak 681 kasus telah diselesaikan atau sebesar 8,33% dari total kasus yang terjadi. Jadi pencapaian indikator kinerja ini sebesar 208,18%. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, maka pencapaian indikator kenerja ini mengalami peningkatan sebesar 108,56%. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 8.
Realisasi
Indikator Kinerja
Target Renstra
2014
2015
2016
2017
4,98%
8,33%
4%
3%
Persentase penurunan pelanggaran hukum norma ketenagakerjaan
Adapun
kegiatan-kegiatan
yang
dilaksanakan
guna
mendukung
tercapainya indikator kinerja ini antara lain : 1 P51
Bimtek
Pengawas
Ketenagakerjaan
Tentang
Tata
Cara
a
Pemeriksaan dan Penindakan Norma Hubker dan Perlindungan Berserikat di Palu 2
Bimtek
Pengawas
Ketenagakerjaan
Tentang
Tata
Cara
Pemeriksaan dan Penindakan Norma WKWI dan Pengupahan di Surabaya 3
Bimtek
Pengawas
Ketenagakerjaan
Tentang
Tata
Cara
Pemeriksaan dan Penindakan Norma Penempatan dan Pelatihan Tenaga Kerja di Bandung 4
Bimtek
Pengawas
Ketenagakerjaan
Tentang
Tata
Cara
Pemeriksaan dan Penindakan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Balikpapan 5
Lokakarya
Penyusunan
Checklist
Pemeriksaan
Norma
Ketenagakerjaan di Jawa Barat 6
Lokakarya Penyusunan SOP Pemeriksaan dan Penindakan Norma Ketenagakerjaan di Jawa Barat
7
Konvensi Nasional Kader Norma Ketenagakerjaan Tahun 2015
Keterangan : Konvensi Nasional Kader Norma Ketenagakerjaan Tahun 2015
Hambatan
P52
a
Jumlah Penyidik Pegawai Nageri Sipil Ketenagakerjaan yang ada masih kurang dari kebutuhan. Beberapa daerah bahkan tidak mempunyai pejabat PPNS
Ketenagakerjaan
sehingga
proses
penyidikan
tindak
pidana
ketenagakerjaan tidak bisa berjalan dengan baik. Secara kualitas juga pejabat PPNS Keteangakerjaan yang sudah ada masih kurang dalam melakukan penyidikan.
Upaya Kementerian terus melakukan kerja sama dengan Pusdiklat Bareskrim dalam menambah jumlah PPNS Ketenagakerjaan melalui diklat-diklat PPNS setiap tahunnya. Serta melakukan pembinaan teknis kepada PPNS yang ada di daerah-daerah agar kemampuan teknis dalam melakukan penyidikan tindak pidana ketenagakerjaan dapat meningkat. Dengan semakin meningkatnya kualitas dan kuantitas PPNS ketenagakerjaan diharapkan jumlah pelanggaran hukum yang dilakukan perusahaan dapat dikurangi secara maksimal.
B.
AKUNTABILITAS KEUANGAN PAGU
anggaran
Program
Perlindungan
Tenaga
Kerja
dan
Pengembangan Sistem Pengawasan Ketenagakerjaan Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasn Ketenagakerjaan pada tahun 2015 sebesar Rp 677.136.644.000,- (Enam Ratus Tujuh Puluh Tujuh Milyar Juta Seratus Tiga Puluh Enam Juta Enam Ratus Empat Puluh Empat Ribu Rupiah). Anggaran tersebut semua bersumber dari APBN dan PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak). Anggaran Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 tersebut di alokasikan pada setiap unit kerja dengan realisasi penyerapan sebagai berikut:
1. Sekretariat Direktorat Jenderal Kegiatan yang dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan Sekretariat P53
Direktorat
Jenderal
Binwasnaker
dan
K3
adalah
Rp
a
220.475.526.000,-(dua ratus dua puluh milyarempat ratus tujuh puluh lima juta lima ratus dua puluh enam ribu rupiah). Adapun realisasi keuangan Sekretariat Ditjen Binwasnaker dan K3 tahun 2015 sebesar: Kegiatan
Dukungan
Pagu Anggaran
Manajemen
220.475.526.000
Realisasi
%
185.140.741.830
83,97%
dan Dukungan Teknis Lainnya 2. Direktorat Bina Penegakan Hukum Ketenagakerjaan Kegiatan yang dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan Direktorat Bina Penegakan Hukum Ketenagakerjaan adalah sebesar Rp 22.991.690.000,-(dua puluh dua milyar sembilan ratus sembilan puluh satu juta enam ratus sembilan puluh ribu rupiah). Adapun
realisasi
keuangan
Direktorat
Bina
Penegakan
Hukum
Ketenagakerjaan pada tahun 2015adalah sebesar: Kegiatan
Peningkatan Teknis
Kualitas
Pagu Anggaran
22.991.690.000
Realisasi
20.016.259.140
%
87,06
Pemeriksaan
dan Penyidikan Norma Ketenagakerjaan
3. Direktorat Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Anak Kegiatan yang dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan Direktorat Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Anak adalah sebesar Rp 110.023.025.000,-(seratus sepuluh milyar dua puluh tiga juta dua puluh lima ribu rupiah).
P54
a
Adapun
realisasi
keuangan
Direktorat
Pengawasan
Norma
Kerja
Perempuan dan Anak pada tahun 2015 adalah sebesar :
Kegiatan
Pagu Anggaran
Peningkatan Perlindungan
108.261.400.000
%
107.616.389.300
99,40
Pekerja
Perempuan Penghapusan
Realisasi
dan Pekerja
Anak
4. Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kegiatan yang dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah sebesar Rp 91.232.710.000,-(sembilan puluh satu milyar dua ratus tiga puluh dua juta tujuh ratus sepuluh ribu rupiah). Adapun realisasi keuangan Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerjapada tahun 2015 sebesar:
Kegiatan
Pagu Anggaran
Peningkatan Penerapan Norma dan
91.232.710.000
Realisasi
82.651.222.723
%
90,59
Keselamatan
Kesehatan
Kerja
(K3)
5. Direktorat Pengawasan Norma Kerja dan Jamsostek Kegiatan yang dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan Direktorat Pengawasan Norma Kerja dan Jamsostek adalah sebesar Rp P55
a
21.254.590.000,- (dua puluh satu milyar dua ratus lima puluh empat juta lima ratus Sembilan puluh ribu rupiah). Adapun realisasi fisik dan keuangan Direktorat Pengawasan Norma Kerja dan Jamsostek pada tahun 2015 sebesar:
Kegiatan
Pagu Anggaran
Peningkatan Penerapan Norma
Kerja
21.254.590.000
Realisasi
18.200.293.250
%
85,63
dan
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
6. Direktorat Bina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Kegiatan yang dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan Direktorat Bina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah sebesar Rp 156.150.558.000 ,-(seratus lima puluh enam milyar seratus lima puluh juta lima ratus lima puluh delapan ribu rupiah). Adapun realisasi fisik dan keuangan Direktorat Bina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada tahun 2015 sebesar:
Kegiatan
Peningkatan
Kualitas
Pelayanan Pengelolaan K3
P56
Pagu Anggaran
156.150.558.000
Realisasi
%
144.928.251.075
92,81
a
P57
a
Tabel 10.
Rekapitulasi dan Realisasi Keuangan Berdasarkan Unit Kerja Ditjen Binwasnaker dan K3Tahun 2015 UNIT KERJA
PAGU AWAL
PAGU AKHIR
REALISASI KEUANGAN
(Rp) 1
SISA FISIK
(Rp)
(Rp)
(%)
(%)
(Rp)
2
3
4
5
6
DIREKTORAT BPHK
22,991,690,000
22,991,690,000
20,016,259,140
87.06
97
2,975,430,860
DIREKTORAT PNKPA
108,261,400,000
108,261,400,000
107,616,389,300
99.40
100
645,010,700
DIREKTORAT PNK3
91,232,710,000
91,232,710,000
82,651,222,723
90.59
98
8,581,487,277
DIREKTORAT PNKJ
21,254,590,000
21,254,590,000
18,200,293,250
85.63
98
3,054,296,750
DIREKTORAT BINA K3
156,150,558,000
156,150,558,000
144,928,251,075
92.81
98
11,222,306,925
SESDITJEN
207,548,155,000
207,548,155,000
173,695,746,820
83.69
97
33,852,408,180
BALAI-BALAI K3
22,256,324,000
22,256,324,000
20,854,409,208
93.70
100
1,401,914,792
DEKONSENT RASI
47,441,217,000
47,441,217,000
42,698,716,375
90.00
100
4,959,556,925
677,136,644,000
677,136,644,000
610,661,287,891
90.18
98.5
66,692,412,409
JUMLAH
P58
a
Tabel 11. Rekapitulasi dan Realisasi Keuangan Ditjen BinwasnakerTahun 2015
PROGRAM
2
PAGU
3
REALISASI KEUANGAN (Rp.)
(%)
4
5
SISA
6 Program perlindungan Tenaga Kerja dan Pengembangan
677.136.644.000
610.661.287.891
90,18
66.692.412.409
677.136.644.000
610.661.287.891
90,18
66.692.412.409
Sistem Pengawasan Ketenagakerjaan JUMLAH
Sumber : Laporan Tahunan 2015
P59
a
BAB IV PENUTUP
4.1 KESIMPULAN Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 tahun 2016 menggambarkan capaian kinerja dalam satu tahun anggaran. Pengukuran tingkat capaian kinerja Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 tahun 2016 dilakukan dengan cara membandingkan antara target pencapaian indikator sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen Penetapan Kinerja Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 tahun2016 dengan realisasi kegiatan tahun 2016. Berdasarkan analisis capaian kinerja Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 tahun 2016, dapat disimpulkan bahwa Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 telah berhasil menyelesaikan kegiatan dan program tahun 2016 dengan nilai capaian kinerja sebesar 100% dan penyerapan anggaran sebesar 90,15%.
4.2 SARAN Besarnya
tingkat
capaian
kinerja
Direktorat
Jenderal
Pembinaan
Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 dapat diraih berkat kerjasama dari seluruh unit kerja yang telah mengimplementasikan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dalam penyelenggaraan kegiatannya. Namun demikian dalam pelaksanaannya tetap tidak terlepas dari hambatan serta kendala, baik bersifat internal maupun eksternal. Disarankan,
untuk
mengantisipasi
permasalahan
yang
timbul
dalampelaksanaan kegiatan, perlu dilakukan evaluasi serta pengendalian secara rutin, serta pengawasan yang berkesinambungan, sehingga apabila muncul kendalasegera dapat dicari solusi pemecahannya. P60
a
Demikian Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 Tahun 2016 ini disusun, dengan harapan dapat dipergunakan oleh seluruh pihak-pihak yang berkepentingan. Jakarta, Februari 2016
P61
a
P62