JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 3 Nomor 9 (2014) http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja © Copyright 2014
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP UPAYA YANG DILAKUKAN PENGADILAN AGAMA KELAS 1A KOTA SAMARINDA DALAM MENANGANI SENGKETA EKONOMI SYARIAH (Menurut UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama) Sulianto1 (
[email protected]) Mahendra Putra Kurnia 2 (mp_sheva@yahoo) Irma Suryani 3 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana upaya Yang Dilakukan Pengadilan Agama Kelas 1A Kota Samarinda Dalam Menangani Sengketa Ekonomi Syariah. Metode pendekatan yang digunakan adalah Yuridis empiris. Analisis data yang digunakan adalah Deskriptif Kualitatif yaitu melakukan analisa dan memberikan gambaran sesuai dengan data hasil kajian pustaka serta data-data dari lapangan yaitu hasil observasi dan wawancara, kemudian digabungkan dengan masalah yang diteliti menurut kualitas dan kebenaran sehingga dapat menjawab permasalahan yang terjadi. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa tidak adanya kasus sengketa ekonomi syariah yang masuk di Pengadilan Agama. Karena beberapa faktor pertama Masyarakat masih banyak yang belum mengetahui sengketa ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Agama, masyarakat bisa menyelesaikan sengketanya secara kekeluargaan salah satunya dengan mediasi ataupun diluar pengadilan. Kedua dasar hokum dan peratuan perundang-undangan, ketiga kepercayaan public. Adapun upaya-upaya yang dilakukan Pengadilan Agama Mengikuti pelatihanpelatihan, Diskusi para hakim, Menganalisa putusan perkara ekonomi syariah,Secara pribadi para hakim membaca buku-buku yang berhubungan dengan ekonomi syariah,Ada yang khusus membaca majalah digital yang diterbitkan oleh badan peradilan agama, Hakim menuntut sekolah setinggitingginya, Mengikuti sertifikat ekonomi syariah yang dilaksanakan Mahkamah Agung bentuknya pembekalan. Kata Kunci
1 2 3
: Ekonomi Syariah, Pengadilan Agama,
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 9
Pendahuluan Pengadilan merupakan tumpuan harapan terakhir pencari keadilan atau para pihak yang bersengketa. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, pengadilan mempunyai tugas utama, yaitu : 1. Memberikan perlakuan yang adil dan manusiawi kepada pencari keadilan. 2. Memberi pelayanan yang simpatik dan bantuan yang diperlukan. 3. Memberikan penyelesaian perkara secara efektif, efisien, tuntas dan final sehingga
memuaskan
kepada
pihak-pihak
yang
bersengketa
dan
4
masyarakat.
Untuk mewujudkan tugas utama pengadilan tersebut, maka Negara Indonesia melakukan reformasi di bidang hukum melalui amandemen Pasal 24 Undang-undang
Dasar
1945
yang
menyatakan
bahwa
:
“Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna
menegakkan
hukum
dan
keadilan.5
Peradilan
Agama
merupakan salah satu dari 4 (empat) lingkungan peradilan, peradilan Agama tersebut yang keberadaannya diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan kehakiman dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman dan yang terakhir diganti dengan Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman. Undang-undang tersebut merupakan suatu undang-undang yang bersifat organik, sehingga perlu adanya peraturan pelaksanannya. Khususnya untuk pengadilan agama dilakukan pengaturan
4
A. Mukti Arto, 2001,Mencari Keadilan, Pusta Pelajar, Yogyakarta, hlm. 12-13. 5 Undang-undang Dasar Rebublik 1945
2
Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya (Sulianto) lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Di dalamnya memuat hukum materiil sekaligus hukum formiilnya.6 Berkembangnya lembaga keuangan syariah seiring dengan semakin intensifnya pemberlakuan hukum syariah menjadi hukum positif syariah di Indonesia. Pesatnya perkembangan perbankan dan lembaga keuangan syariah lainnya, seperti asuransi syariah (takaful), leasing (ijarah), pegadaian syariah, reksadana syariah, dana pensiunan lembaga keuangan (DPLK) syariah, koperasi syariah, Multi level syariah marketing (MLM) syariah. Kota Samarinda sebagai ibu kota Propinsi merupakan salah satu pusat perekonomian wilayah Kalimantan Timur semakin meningkatnya lembaga perbankan syariah di Kota Samarinda, berimplikasi pada semakin besarnya kemungkinan timbulnya permasalahan
atau
sengketa
antara
pihak
penyedia
layanan
dengan
masyarakat yang dilayani. Mengantisipasi kemungkinan ini, diperlukan adanya lembaga
penyelesaian
sengketa
yang
mempunyai
kredibilitas
dan
berkompeten sesuai bidangnya, yaitu bidang ekonomi syariah. Lembaga penyelesaian tersebut dapat berupa lembaga peradilan ataupun lembaga non peradilan. Untuk lembaga non peradilan, saat ini sudah ada badan arbitrase syariah nasional (BASYARNAS) sebagai pengganti dari badan arbitrase muamalat
Indonesia
(BAMUI)
dan
badan
arbitrase
syariah
daerah
(BASYARDA),termasuk yang ada di daerah samarinda. Sedangkan untuk lembaga peradilan menurut Undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut UU Nomor 7 Tahun 1989), pengadilan agama hanya berwenang memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menyangkut perkawinan, warisan, wakaf, hibah, dan sedekah. Artinya pengadilan agama tidak dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara di luar bidang tersebut. Di sisi lain, Pengadilan Negeri juga tidak berwenang untuk menangani sengketa lembaga keuangan syariah. Pasalnya, lembaga ini memiliki dasar-dasar hukum penyelesaian perkara yang berbeda dengan yang dikehendaki pihak-pihak yang terikat dalam akad syariah.Pengadilan Negeri 6
Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-undang Noomor 3 Tahun 2006 Sejarah, Kedudukan & Kewenangan, hlm. 3.
3
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 9
tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian sebuah perkara. Setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang pengadilan agama (selanjutnya disebut UU Nomor 3 Tahun 2006), Pengadilan yang memiliki kompetensi untuk menyelesaikan perkara ekonomi syariah sudah jelas, yaitu pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 yang menyatakan
bahwa
Pengadilan
Agama
berwenang
memeriksa
dan
memutuskan perkara antara orang-orang yang beragama islam di bidang Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infag Sodakoh, dan Ekonomi syariah. Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah. Meliputi bank syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah, Sekuritas syariah, Pembiayaan syariah, Pegadaian syariah, dana pensiunan lembaga keuangan syariah, bisnis syariah, dan lembaga keuangan mikro syariah. Terkait dengan kewenangan pengadilan agama sebuah penelitian Maya Indriani menyebutkan bahwa untuk di Samarinda menggambarkan secara umum adanya penerapan aturan yang belum terlihat dengan baik karena belum adanya kasus atau perkara yang masuk ke pengadilan agama kota samarinda mengenai sengketa dibidang ekonomi syari’ah. padahal sejak diundangkannya UU Nomor 3 Tahun 2006. Pengadilan Agama memiliki wewenang baru untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah sesuai dengan pasal 49 huruf I UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang peradilan agama. Tetapi pada kenyataannya selama ini pengadilan Agama hanya berwenang menanggapi masalah hukum keluarga seperti perkawinan, talak, rujuk, waris,sehingga ketika diberikan kewenangan baru untuk menerima, memeriksa dan memutus sengketa di bidang ekonomi syari’ah perlu dilakukan persiapan sumber daya manusia yang memadai serta sarana pendukung yang 4
Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya (Sulianto) lain. Sehingga saat ini menurut pengamatan penulis UU Nomor 3 Tahun 2006 masih dalam tataran sosialisasi dan belum terlaksana dengan baik atas sebagaimana mestinya. Dalam penelitian yang sama disebutkan ada kendala teknis yang dijumpai di lapangan dalam praktek peradilan dan tersendatnya upaya penegakan
hukum
selama
ini
adalah
minimnya
tingkat
pemahaman
masyarakat, lembaga keuangan syariah dan juga aparat peradilan terhadap peraturan perundangan yang ada sehinga banyak timbul kesalahpahaman dan kesalahan dalam
implementasi. minimnya
pemahaman juga
berakibat
ketiadaan partisipasi aktif masyarakat dalam penegakan hukum. hal ini salah satunya disebabkan kurang intensifnya sosialisasi peraturan perundangan. Padahal pemahaman dan partisipasi aktif masyarakat mutlak diperlukan agar tercipta masyarakat yang sadar hukum dan ikut membangun kontrol yang efektif terhadap aparat hukum. Karena itu,sangat dibutuhkan sosialisasi yang intensif atas semua peraturan perundangan yang ada, termasuk kewenangan baru ekonomi syariah UU Nomor 3 Tahun 2006 tidak hanya terhadap hakim dan pengawai pengadilan agama, tetapi juga terhadap masyarakat umum.7 Para hakim dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya. Hal ini sesuai adagium ius curia novit hakim dianggap tahu akan hukumnya, sehingga hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan dalih hukumnya tidak atau kurang jelas.8 Keniscayaan hakim untuk selalu memperkaya pengetahuan hukum, juga sebagai sebuah pertanggungjawaban moral atas klaim bahwa apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar, res judikata pro veriate habetur. Sejalan dengan itu, setiap hakim pengadilan agama dituntut untuk lebih mendalami dan menguasai soal perekonomian syariah.Memang, para hakim pengadilan agama telah memiliki latar belakang pendidikan hukum Islam. Namun karena selama ini, pengadilan agama tidak menangani sengketa yang terkait dengan
7
Maya Indriani, 2009, Tinjauan Hukum Terhadap Pelayanan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama Kota Samarinda, hlm 75.
8
Undang-undang Pokok Kehakiman nomor 48 tahun 2009 pasal 14 ayat (1)
5
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 9
perekonomian syariah, maka wawasan yang dimilikinya pun tentu masih terbatas. Wawasannya akan jauh dibanding masalah sengketa perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf dan sedekah yang selama ini ditanganinya. Paling tidak, ada beberapa hal penting yang kewenangannya dalam menangani sengketa perekonomian syariah. Pertama, para hakim pengadilan agama harus terus meningkatkan wawasan hukum tentang perekonomian syariah dalam bingkai regulasi Indonesia dan aktualisasi fiqh Islam. Kedua, para hakim pengadilan agama harus mempunyai wawasan memadai tentang produk layanan dan mekanisme operasional dari perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, reksadana syariah, obligasi dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah. Mereka juga harus memahami pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syaraiah, dan bisnis syariah. Ketiga, para hakim agama juga perlu meningkatkan wawasan hukum tentang prediksi terjadinya sengketa dalam akad yang berbasis ekonomi syariah. Selain itu, perlu pula peningkatan wawasan dasar hukum dalam peraturan dan perundang-undangan, juga konsepsi dalam fiqh Islam.9 Apakah kendala yang dihadapi pada tahun 2006 masih belum terealisasi hingga pada saat ini, tentang kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa syariah. Bagaimana upaya yang dilakukan Pengadilan Agama kota Samarinda dalam melaksanakan amanat UU Nomor 3 tahun 2006 dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Mengingat kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara ekonomi syariah merupakan kewenangan Pengadilan Agama, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang “Tinjauan Yuridis Terhadap upaya yang dilakukan Pengadilan Agama Kota Samarinda dalam menangani sengketa ekonomi syariah (menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama)”
9
Muhaemin.2006.”Kesiapan Pengadilan Agama Tangani Sengketa Ekonomi Syari’ah”,dalam Republika On Line, diakses tanggal 7 februari 2014.
6
Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya (Sulianto) Pembahasan 1. Penyebab Tidak Adanya Penanganan Kasus Sengketa Ekonomi Syariah Di Pengadilan Agama Kelas 1A Kota Samarinda. Penulis disini mencoba membagi-bagi berbagai jenis kendala atau hambatan pelaksanaan perluasan kompetensi Pengadilan Agama di bidang ekonomi syariah sebagai berikut: a. Dasar hukum dan Peraturan Perundang-undangan Meskipun dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 disebutkan bahwa sengketa ekonomi syariah merupakan kompetensi absolute Pengadilan Agama, akan tetapi undang-undang ini terbentur dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase menyebutkan bahwa dalam hal salah satu pihak tidak mau melaksanakan secara sukarela putusan Badan Arbitrase maka pengadilan yang berwenang untuk melakukan eksekusi adalah Pengadilan Negeri. Hal ini menjadi kerancuan, sebab ketika sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan Pengadilan Agama, tentu saja seharusnya Pengadilan Agama pula yang memiliki hak eksekutorial atas putusan Basyarnas. Pada saat diundangkan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 hal ini sempat menjadi polemik di kalangan para praktisi ekonomi syariah. Oleh karena itu pada tahun 2008 Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. Dalam SEMA tersebut tertulis “Dalam hal putusan Badan Arbitrase Syariah tidak dilaksanakan secara
sukarela, maka
putusan tersebut
dilaksanakan
berdasarkan perintah Ketua Pengadilan yang berwenang atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, dan oleh karena sesuai dengan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama juga bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah, maka ketua Pengadilan Agama lah yang berwenang
7
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 9
memerintahkan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah. Akan tetapi telah disayangkan oleh banyak pihak bahwa pada bulan Mei 2010 MARI mengeluarkan kebijakan yang baru melalui SEMA No. 8 Tahun 2010 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Bidang Yudisial Abdul Kadir Mappong menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 8 Tahun 2010 yang mengatur eksekusi putusan badan arbitrase syariah nasional (basyarnas). Dalam SEMA tertanggal 20 Mei 2010 itu, MA membatalkan SEMA Nomor 8 Tahun 2008 yang menyatakan eksekusi putusan basyarnas adalah kewenangan Pengadilan Agama. MA mendasarkan pada Pasal 59 ayat (3) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang Kekuasaan Kehakiman) yang menyatakan para pihak yang tidak melaksanakan putusan arbitrase
(termasuk
dilaksanakan
arbitrase
berdasarkan
syariah)
perintah
secara
Ketua
sukarela,
Pengadilan
permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
putusan
Negeri
atas
“Bahwa sehubungan
dengan hal tersebut di atas, maka diberitahukan kepada saudara, bahwa terhitung sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, SEMA Nomor 8 Tahun 2008 dinyatakan tidak berlaku,” demikian bunyi SEMA Nomor 8 Tahun 2010 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Pengadilan Tinggi Agama, Ketua Pengadilan Negeri, dan Ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia.10 Kebijakan MARI ini merupakan faktor penghambat pelaksanaan kekuasaan PA di bidang ekonomi syariah. Sebelum adanya SEMA diatas, kewenangan eksekutorial Badan Arbitrase Syariah menjadi polemik dan hambatan dalam pelaksanaan kekuasaan baru Pengadilan Agama ini, sebab bagaimanaa
tidak
bilamana
perkara
ekonomi
syariah
merupakan
kewenangan Pengadilan Agama sedangkan berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 61 menyatakan : “Dalam hal para pihak tidak
10
8
www.sengketaekonomisyariah.co.id, Tanggal 20 Mei 2014 Pukul 10.00 WITA
Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya (Sulianto) melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa” Mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA), Taufik, tak sependapat. Menurutnya, dalam masalah seperti ini, Undang Nomor 30 Tahun 1999 sekarang sudah tidak bisa diberlakukan. “Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah lex generalis, sedangkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 itu lex specialis,” tuturnya.11 Dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah menyebutkan : a. Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. b. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyelesaian sengketa dilakukan sesuai akad. c. Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Dengan adanya Pasal diatas, maka para pihak yang bersengketa dapat menempuh dua jalur. Pertama jalur non litigasi, yaitu tidak melalui pengadilan melainkan melalui badan arbitrase, kedua jalur litigasi melalui Pengadilan. Menurut penulis, dalam Pasaal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ini : 1. Bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, sebab dengan adanya hak opsi berarti telah membatasi kewenangan lembaga peradilan yang telah diamanatkan oleh Undang-undang. 2. Menjadi kendala akan terlaksanakanya pelaksanaan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006. 3. Fatwa Dewan Syariah Nasional dan Peraturan Bank Indonesia yang mengharuskan adanya pencatuman dalam akad perbankan syariah
11
www.sengketaekonomisyariah.co.id, Tanggal 20 Mei 2014 Pukul 10.00 WITA
9
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 9
klausul “Apabila terjadi sengketa maka akan ditempuh melalui jalur arbitrase melalui basyarnas”. Hal ini tentu saja akan menjadi penghambat pelaksanaan perluasan kompetensi Pengadilan Agama. Dengan adanyanya klausul ini, UU No. 3 Tahun 2006 seolah-oleh di buat mati kutu dan tumpul. Sebab, setiap ada sengketa sudah harus diajukan ke Basyarnas. Pengadilan Agama hanya mendapat perkara, manakala tidak
tercapai
kesepakatan
dalam
basyarnas.
Penulis
ibaratkan
Pengadilan Agama sebagai seorang petani diberi cangkul, tapi tidak di beri sawah. Oleh karena itu wajar, bila sampai saat ini perkara ekonomi syariah yang diajukan ke Pengadilan Agama masih bisa dihitung jari, ini bukan berarti jarang terjadi sengketa ekonomi syariah, akan tetapi aksesnya ke Pengadilan Agama sendiri sudah ditutup dengan adanya klausul di awal akad. b. Faktor Kepercayaan dan Pendapat Publik kepercayaan publik yang kurang diakibatkan pandangan yang menyebutkan
bahwa
transaksi
pada
perbankan
syariah
bersifat
komersial atau konvensional. Hal ini terjadi karena disebabkan belum utuhnya pemahaman terhadap metodologi ilmu ekonomi syariah itu sendiri. Ternyata persoalan "epistimologi" ilmu ekonomi syariah menjadi belum tuntas dipahami oleh sebagian dari kita. Mereka menilai ekonomi syariah sebagai sistem perekonomian tidak mempunyai akar keilmuan yang jelas dan kokoh, sehingga masih dianggap cabang dari ilmu ekonomi yang kita sebut konvensional bahkan mungkin dianggap sebagai cabang "liar" yang tidak mempunyai akar. Pemahaman yang simplistik ini menjadikan "keraguan" berdampak pada sikap keengganan untuk menyerahkan penyelesain sengketa dalam industri syariah (Baca: Perbankan Syariah) kepada institusi Peradilan Agama.12
12
www.pengadilanagama.com tanggal 20 mei 2014
10
Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya (Sulianto) Selain faktor keraguan kompetensi hakim Pengadilan Agama, masyarakat juga masih banyak yang beranggapan bahwa UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 hanya diperuntukan bagi umat Islam, sedangkan praktik perbankan syariah tidak hanya dilakukan oleh Muslim, tetapi juga banyak dilakukan oleh non muslim. Salah satu yang beranggapan demikian adalah adalah Hanawijaya (mantan Direktur Bank Syariah Mandiri/Praktisi ekonomi syariah). Beliau menyoalkan hal tersebut, sehingga lebih cenderung menggunakan basyarnas dan peradilan umum.13 Peradilan
Agama
biasanya
disalah-tafsirkkan
hanya
diperuntukkan bagi orang Islam. Padahal, penjelasan pasal 49 UndangUndang Peradilan Agama menyatakan, yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama. Selain hal
diatas
yang
menimbulkan
ketidak
percayaan kepada hakim peradilan agama, juga karena praktisi ekonomi syariah juga masih mempertanyakan dalam hal Undang-Undang Perbankan Syariah yang memetakan persoalan perbankan syariah menjadi dua, yaitu perdata dan pidana. Dimana, Undang-Undang ini tak menjelaskan pengadilan mana yang berhak menanganinya. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama,
persoalan
ekonomi
syariah
memang
menjadi
kompetensi pengadilan agama. Namun, Undang-Undang itu sejatinya hanya berkutat di wilayah perdata. Sekalipun pasal 3A Undang-Undang Peradilan
Agama
menggariskan
adanya
kemungkinan
diadakan
pengkhususan pengadilan, termasuk dalam ranah pidana, tetapi itu hanya berlaku untuk pengadilan syari'ah Islam yang diatur dengan Undang-Undang Mahkamah Syar'iyah di Provinsi Nanggroe Aceh
13
Ibid
11
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 9
Darussalam. Sepanjang menyangkut persoalan perdata, sengketa perbankan syariah harus tetap menjadi kewenangan Pengadilan Agama. “Kalau
menyangkut
persoalan
pidana
pengadilan
umum
yang
menyelesaikannya,” Soal muslim dan non-muslim, kalau sudah mengadakan akad syariah, maka pihak non-muslim harus tunduk pada Undang-Undang yang ada. “Itu berarti mereka telah menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam. Analoginya seperti kaum Tionghoa dulu yang harus tunduk pada BW, meskipun sebenarnya dia tidak termasuk pribumi,”
Dalam konteks ini, ada dua azas yang berlaku, yaitu azas
personalitas dan azas penundukan diri. Azas personalitas diaplikasikan untuk akad yang dilangsungkan antara sesama orang Islam. Sedangkan azas penundukan diri diperuntukkan bagi akad antara orang Islam dengan non-Islam. “Harus ditelaah dari akadnya. Kalau dalam perbankan syariah, berarti akad atau perikatannya adalah syariah. Orang non muslim harus tunduk,”. Dari segi historical background, lanjutnya, sejak UndangUndang Peradilan Agama yang baru disahkan, pengadilan agama bisa
meng-cover perkara perdata dan pidana. Hanya, tak semua perkara pidana yang bisa dicakup. Mahkamah Syar’iyah di sana dapat menyidangkan perkara pidana, sepanjang sudah diatur di Qonun, seperti judi, khalwat, atau
maysir. “Untuk perkara pidana dalam dunia perbankan syariah, kan tidak ada Qonun-nya. Berarti itu jadi kewenangannya peradilan umum,” c. Faktor Keberadaan Badan Arbitrase Badan arbitrase yang menangani sengketa ekonomi syariah adalah
Badan
sebelumnya
Arbitrase
bernama
Syariah
Badan
Nasional
Arbitrase
(BASYARNAS)
Majelis
Ulama
yang
Indonesia
(BAMUI). Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) pada saat didirikan bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI didirikan pada tanggal 21 Oktober 1993 – berbadan hukum 12
Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya (Sulianto) yayasan. Akte pendiriannya ditandatangani oleh Ketua MUI Bpk. KH. Basri dan Sekretaris Umum Bpk. HS. Prodjokusumo. BAMUI dibbentuk oleh MUI berdasarkan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI Tahun 1992. Perubahan nama dari BAMUI menjadi BASYARNAS diputuskan dalam Rakernas MUI tahun 2002. Perubahan nama, perubahan bentuk dan
pengurus
BAMUI
dituangkan
dalam
09/MUI/XII/2003 Tanggal 24 Desember 2003.
SK.
MUI
No.
Kep-
14
Tujuan didirikannya Badan Arbitrase Syari’ah Nasional adalah untuk
menyelesaikan
perselisihan/sengketa-sengketa
keperdataan
dengan prinsip mengutama usaha-usaha perdamaian/ islah. Lahirnya Badan Arbitrase Syari’ah Nasional pada saat sebelum ada Undangundang
Nomor
3
Tahun
2006,
menurut
Prof.
Mariam
Darus
Badrulzaman, sangat tepat karena melalui Badan Arbitrase tersebut, sengketa-sengketa bisnis yang operasionalnya menggunakan hukum islam dapat diselesaikan dengan mempergunakan hukum islam. Adanya Badan Arbitrase Syari’ah sebagai suatu lembaga permanen, berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata diantara bank-bank syariah dengan para nasabahnya atau pengguna jasa mereka pada khususnya dan antara sesama umat Islam yang melakukan hubungan-hubungan keperdataan yang menjadikan syariat islam sebagai dasarnya pada umumnya adalah merupakan suatu kebutuhan yang sungguh-sungguh nyata. Selain itu keberadaan Basyarnas berfungsi memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa muamalah/ perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, jasa dan lain-lain.
14
www.badanarbitrase.co.id 20 mei 2014
13
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 9
Lingkup
Kewenangan
Badan
Arbitrase
Syari’ah
Nasional
(BASYARNAS) berwenang : a.
Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah (perdata) yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada BASYARNAS sesuai dengan prosedur BASYARNAS.
b. Memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa mengenai persoalan berkenaan dengan suatu perjanjian. Keberadaan Basyarnas ini dilindungi oleh Undang-undang, salah satunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase. Melihat tujuan, fungsi dan kewenangannya, sebelum adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sangatlah memberi peran yang sangat bermanfaat bagi tumbuh kembangnya perbankan syariah, karena memang pada saat itu belum ada peradilan yang ideal yang menggunakan hukum Islam untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Dengan adanya basyarnas sengketa ekonomi syariah akan diselesaikan secara hukum Islam, dan untuk membendung supaya perkara ini tidak masuk ke lingkup peradilan umum, maka disusunlah klausul pada setiap akad perbankan syariah bahwa bilamana terjadi perselisihan akan di bawa ke jalur non litigasi atau ke basyarnas, meskipun hak eksekutorial tetap berada di peradilan umum. Keberadaan ini berbeda setelah adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Dengan lahirnya Undang-Undang tersebut sebenarnya telah ada lembaga peradilan yang ideal dan sebenarnya, lembaga yang sejatinya memiliki kewenangan sebagai wilayatul madzalim, yaitu peradilan agama yang menyelesaikan sengketa berdasarkan hukum Islam yang memiliki kewenangan secara yudikatif yang memiliki kewenangan memaksa dan memiliki hak eksekutorial. Sehingga, seharusnya setiap ada sengketa ekonomi syariah di selesaikan di 14
Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya (Sulianto) pengadilan agama. Akan tetapi pada kenyataannya basyarnas tetap ada dan klausul untuk ke jalur litigasi pun masih tetap dilaksanakan. Hal ini tentu saja menjadi penghambat bagi pelaksanaan kewenangan Pengadilan Agama
di bidang ekonomi syariah. Pengadilan Agama hari ini hanya
mendapat jatah “sisa” dari perkara limpahan basyarnas yang tidak dapat diselesaikan olehnya. d. Pelaksanaan penyelesaian sengketa Pelaksanaan sengketa ekonomi syariah tidak pernah sama sekali dilakukan di Pengadilan Agama Karena tidak adanya kasus yang pernah masuk ke Pengadilan Agama Samarinda, hal ini dikarenakan menurut pendapat Majelis Ulama Indonesia bahwa sengketa ekonomi syariah selalu diselesaiakan melalui tempat terjadinya konflik tersebut, dimana masing-masing
pihak
sering
kali
mediasi
dimana
mereka
tidak
mendapatkan kepuasaan dalam memutuskan perkaranya. Ketentuan dalam Pasal 10 ayat 1 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jelas menyatakan bahwa hakim dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukumnya tidak ada atu kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Hakim sebagai organ utama pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman wajib hukumnya bagi hakim untuk menemukan hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Masih adanya forum penyelesaian sengketa dalam Pasal 55 ayat 2 Undangundang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan pandangan inferior masyarakat terhadap pengadilan agama yang hanya menangani perkara dibidang waris, hibah, perkawinan dan wakaf
15
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 9
2. Kesiapan Pengadilan Agama Kelas 1A Kota Samarinda dalam menangani Kasus Sengketa Ekonomi Syariah. Para hakim pengadilan agama memiliki tantangan dan tugas baru. Ini terkait dengan amandemen Undang-Undang No 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang memberikan perluasan wewenang pengadilan agama, untuk menangani sengketa ekonomi syariah. Sudah sejauhmana kesiapannya. Dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keterampilan para hakim Peradilan Agama dalam memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, Mahkamah Agung RI telah menerbitkan Perma Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Kompilasi tersebut, merupakan pedoman bagi para hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah agar dapat memberikan putusan yang adil dan benar serta adapun dasar hukum dalam hal penanganan perkara syariah adalah Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Faktor Keberadaan Badan Arbitrase, Dengan adanya Badan Arbitrase Faktor Kepercayaan Publik Masih banyak kalangan yang meragukan kemampuan Hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa perkara ekonomi syariah. mereka beranggapan hakim agama tidak memahami hukum ekonomi konvensional dan perbankan. Ketentuan dalam Pasal 10 ayat 1 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jelas menyatakan bahwa hakim dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukumnya tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
16
Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya (Sulianto) Ketika diberlakukannya Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama semua hakim sudah siap, begitu di Undang-undang kan otomatis siap, sejauh mana dengan itu hakim dibekali melalui Departemen Agama mengadakan pelatihan-pelatihan.
15
Upaya-upaya Pengadilan Agama a. Mengikuti pelatihan-pelatihan b. Diskusi para hakim c. Menganalisa putusan perkara ekonomi syariah d. Secara pribadi para hakim membaca buku-buku yang berhubungan dengan ekonomi syariah e. Ada yang khusus membaca majalah digital yang diterbitkan oleh badan peradilan agama hingga saat sampai seri ke-empat f. Hakim menuntut sekolah setinggi-tingginya g. Mengikuti sertifikat ekonomi syariah yang dilaksanakan Mahkamah Agung bentuknya pembekalan Penutup 1. Penyebab tidak adanya penanganan kasus sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama dibidang ekonomi syariah antara lain: a. Masyarakat kota samarinda masih banyak belum mengetahui sengketa ekonomi
syariah
diselesaikan
di
Pengadilan
Agama,
masyarakat
menyelesaikan sengketanya secara kekeluargaan salah satunya dengan mediasi ataupun di luar pengadilan. b. Mengenai sengketa ekonomi syariah memiliki beberapa penyelesaian sengketa ekonomi syariah diantaranya dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama bahwa kewenangan sengketa ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Agama, Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase memungkinkan bahwa sengketa ekonomi syariah diselesaikan diluar pengadilan yaitu melalui badan arbitrase, dan 15
Hasil wawancara dengan Drs. Tamimudin M.H Hakim Pengadilan Agama 15 agustus 2014
17
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 9
Undang-undang Nomor 201 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyatakan bahwa penyelesaian tentang perbankan syariah dilakukan di Pengadilan Agama. c. Faktor kepercayaan dan pendapat public bahwa hakim masih banyak yang belum mengerti tentang ilmu ekonomi dan perbankan konvensional sehingga dalam putusan dikhawatirkan tidak berkualitas, d. Faktor keberadaan badan arbitrase adalah bahwa tujuan didirikannya untuk menyelesaiakan perselisihan atau sengketa-sengketa keperdataan dengan prinsip mengutamakan usaha-usaha perdamaian atau islah. 2. Ketika diberlakukannya Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama semua hakim sudah siap, begitu di Undang-undang kan otomatis siap, sejauh mana dengan itu hakim dibekali melalui Departemen Agama mengadakan pelatihan-pelatihan terhadap hakim di Pengadilan Agama. Upaya-upaya Pengadilan Agama a. Mengikuti pelatihan-pelatihan b. Diskusi para hakim c.Menganalisa putusan perkara ekonomi syariah d. Secara pribadi para hakim membaca buku-buku yang berhubungan dengan ekonomi syariah e. Ada yang khusus membaca majalah digital yang diterbitkan oleh badan peradilan agama hingga saat sampai seri ke-empat f. Hakim menuntut sekolah setinggi-tingginya g. Mengikuti sertifikat ekonomi syariah yang dilaksanakan Mahkamah Agung bentuknya pembekalan
18
Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya (Sulianto) Daftar Pustaka A. Buku Abdul Ghofur Anshori, 1989, peradilan Agama di antara wawasan nusantara dan kebhineka, YBN, yogkarta. Anshori Abdul Ghofur, Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006 Sejarah, Kedudukan & Kewenangan. Arto A. Mukti, 2001,Mencari Keadilan, Pusta Pelajar, Yogyakarta. Djalil Basiq, 2006, Peradilan Agama di Indonesia, Kencana, Jakarta. Harahap Yahya, 2007, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta. Indriani Maya, 2009, Tinjauan Hukum Terhadap Pelayanan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama Kota Samarinda. Izzan Ahmad dan Tanjung Syahri, 2006, Referensi Ekonomi Syariah, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung. Karim Adiwarman A, Ekonomi Makro Islam, 2007, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Misanam Munrokhim, Suseno Priyonggo, dan Hendrieanto M. Bhekti, 2008, Ekonomi Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. muhammad Abdul Kadir, 2004, Hukum dan penelitian hukum, PT.citra aditya: bandung. Soetantio Retnowulan dan Oeripkartawinata Iskandar, 1997, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek , Mandar Maju, Bandung. Sutiyoso Bambang, 2006, penyelesaian sengketa bisnis, citra media, Yogyakarta. Usman Rachmad, 2002, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, PT. CitraAdity, Bandung. Wahyudi Abdullah Tri, 2004, Peradilan Agama di Indonesia, Pustaka Pelajar, Jogjakarta B. Peaturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara 1945 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang pengadilan Agama. Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
19
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 9
C. Dokumen Hukum, Hasil Penelitian, Tesis dan Disertasi Maya Indriani, 2009, “Tinjauan Hukum Terhadap Pelayanan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama Kota Samarinda”, Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman Samarinda. Ery Prayitno, 2013, “inkonsistensi penerapan prinsip syariah dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan musyarakah bermasalah pada bank syariah mandiri cabang tenggarong”, Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman Samarinda.
20