JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 2 Nomor 11 (2013) http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja © Copyright 2013
SENGKETA TANAH PERKEBUNAN PT. MUNTE WANIQ JAYA PERKASA DENGAN MASYARAKAT KAMPUNG MUARA TAE KECAMATAN JEMPANG KABUPATEN KUTAI BARAT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Masrani1 (
[email protected]) Haris Retno Susmiyati2 Abstrak Masrani, 06.55298.00924.11, Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Agraria, Sengketa Tanah Perkebunan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa Dengan Masyarakat Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur. Di bawah bimbingan Ibu Haris Retno Susmiyati, SH., selaku Dosen Pembimbing I dan Wiwik Harjanti, S.H.,LL.M selaku Dosen Pembimbing II. Permasalahan yang akan penulis kemukakan dalam penlitian dan penulisan skripsi adalah Bagaimana terjadinya sengketa tanah, Faktor-faktor apa aja yang mempengaruhi terjadinya tanah, dan bagaimana upaya penyelesaian tanah perkebunan tersebut. Penelitian dan penulisan dalam pembahasan ini mempunyai tujuan untuk mengetahui Bagaimana sengketa, Faktor-Faktor Mempengaruhi Terjadinya Sengketa dan juga Upaya Penyelesaian Sengketa tanah tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, jenis penelitian yang digunakan dalan penelitian hukum emperis (Emeperical Law Research). Sehingga penelitian dilakukan dengan metode penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Dari penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa sengketa tanah tersebut jerjadi antara warga masyarakat Kampung Muara Tae dengan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa kerena adanya pembebasan tanah milik masyarakat muara tae seluas 638 Ha. oleh warga Kampung Muara Ponak kepada PT. Munte Waniq Jaya Perkasa. Masyarakat Muara Tae keberatan dan menolak kehadiran PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dan menuntut pengembalian tanah yang sudah dibebaskan oleh warga Muara Ponak tersebut. Faktor yang mempengaruhi terjadinya sengketa tersebut adalah karena tidak adanya koordinasi dan konsolidasi dalam penerbitan ijin lokasi PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dan karena adanya tumpang tindih pengklaiman hak milik atas tanah antara warga muara tae dengan warga muara ponak setelah terbit ijin lokasi PT. Munte Waniq Jaya Perkasa tahun 2007.
1 2
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 11
Upaya yang bisa dilakukan untuk menyelsaikan sengketa tersebut menurut penulis adalah melalui cara non litigasi berupa mediasi oleh pihak yang independen. Salah satu adalah melalui BPN untuk mengadakan gelar kasus sesuai dengan peraturan kepala Badan pertanahan nasional nomor 3 tahun 2011 tentang Pengolahan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Upaya litigasi adalah upaya terakhir apabila uapay melalui cara non litigasi tidak bisa menyelsaian sengketa. Kata Kunci : Sengketa, Tanah, Faktor, Penyelesaian, Perkebunan, Masyarakat.
2
Hak Milik,
Sengketa Tanah Perkebunan (Masrani ) Pendahuluan Didalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan ayat (1) menyebutkan bahwa Dalam rangka penyelenggaraan usaha perkebunan, kepada pelaku usaha sesuai dengan kepentingannya dapat diberikan hak atas tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan/atau hak pakai sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dan didalam ayat (2) menyebutkan bahwa
Dalam hal tanah yang
diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataanya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya. Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi, menerangkan Hak dan Kewajiban Pemegang Izin Lokasi diatur dalam Pasal 8 sebagai berikut : ayat (1) Pemegang Izin Lokasi diizinkan untuk membebaskan tanah dalam areal Izin Lokasi dari hak dan kepentingan pihak lain berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak atau pihak yang mempunyai kepentingan tersebut dengan cara jual beli, pemberian ganti kerugian, konsolidasi tanah atau cara lain sesuai ketentuan yang berlaku. Ayat (2) Sebelum tanah yang bersangkutan dibebaskan oleh pemegang Izin Lokasi sesuai ketentuan pada ayat (1), maka semua hak atau kepentingan pihak lain yang sudah ada atas tanah yang bersangkutan tidak
3
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 11
berkurang dan tetap diakui, termasuk kewenangan yang menurut hukum dipunyai oleh pemegang hak atas tanah untuk memperoleh tanda bukti hak (sertifikat), dan
kewenangan
untuk
menggunakan
dan
memanfaatkantanahnya
bagi
keperluan pribadi atau usahanya sesuai rencana tata ruang yang berlaku,serta kewenangan untuk mengalihkannya kepada pihak lain. Pada kenyataannya penggunaan
tanah
perkebunan ini tidak jarang
menimbulkan beberapa permasatanah. Penggunaan tanah sebagai tanah perkebunan
seringkali
dianggap
kurang
bijaksana
dan
kurang
mempertimbangakan hak masyarakat. Berbagai permasatanah yang sering muncul dalam pengusahaan perkebunan adalah wilayah perkebunan yang berada di dalam kawasan hutan, perkebunan, Taman Nasional, kawasan transmigrasi, pertanian, dan di atas hak atas tanah masyarakat. Salah satu perusahaan perkebunan yang ada di Indonesia adalah PT. Munte Waniq Jaya Perkasa yang bekerja di bidang perkebunan kelapa sawit. Luas Ijin yang dimiliki mencapai 11.500 Ha. Dalam ijin lokasi PT. Munte Waniq Jaya Perkasa wilayah perkebunan meliputi Kampung Kenyanyan, Muara Ponaq, Rikokng, dan Kampung Kiyak Kecamatan Siluq Ngurai. Namun kenyataannya dilapangan sebagian luas wilayah perkebunan yang dimiliki oleh PT. Munte Waniq Jaya Perkasa masuk dalam wilayah Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur. PT. Munte Waniq Jaya Perkasa mulai melakukan penggusuran tanah (land clearing) di Kampung Muara Tae pada tanggal 23 Oktober 2011. Penggusuran tanah tersebut tidak berdasarkan kesepakatan dengan masyarakat
4
Sengketa Tanah Perkebunan (Masrani ) Kampung Muara Tae selaku pemilik tanah. Bahkan masuknya PT. Munte Waniq Jaya Perkasa di Wilayah Kampung Muara Tae baru diketahui ketika adanya penggusuran pada tanggal 23 Oktober 2011. Sehingga dari uraian diatas, penulis akan membahas dalam sebuah skripsi dengan mengangkat judul : Sengketa Tanah Perkebunan PT. Munte Waniq
Jaya
Perkasa
Dengan
Masyarakat
Kampung
Muara
Tae
Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur. Berkaitan dengan latar belakang masalah yang penulis kemukakan di atas, maka permasatanah-permasatanah yang hendak dikemukakan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana terjadinya sengketa tanah perkebunan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dengan masyarakat Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur ? 2. Faktor-faktor apa aaja yang mempengaruhi terjadinya tanah perkebunan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa
dengan
masyarakat
Kampung
Muara
Tae
Kecamatan
Jempang
Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur ? 3. Bagaimana upaya penyelesaian tanah perkebunan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dengan masyarakat Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur ? Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah teruraikan sebelumnya, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui Bagaimana sengketa terjadinya tanah perkebunan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dengan masyarakat Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur. 2. Untuk mengetahui Faktor-
5
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 11
Faktor Apa Saja Yang Mempengaruhi Terjadinya Sengketa tanah perkebunan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dengan masyarakat Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur. 3. Untuk mengetahui Upaya Penyelesaian Sengketa tanah perkebunan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dengan masyarakat Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur.
Pembahasan Berdasarkan penelitian diketahui bahwa sejarah warga masyarakat Kampung Muara Tae Sebelum berdiri Dusun Muara Tae menjadi Kampung, masyarakat Kampung Muara Tae merupakan komunitas lokal yang bertempat tinggal di Lamin Mancong, dengan sebutan Dayak Benuaq dan sebutan sub suku yaitu Dayak Benuaq Ohokng Sanggokng karena berasal dari Lamin Sanggokng yang hidup secara turun menurun.Sesuai dengan adat istiadat dan sejarah, batas alam atau air menitis berupa hulu sungai dan pematang gunung untuk batas dengan kampung yang berlainan sungai. Dan apabila masih satu sungai batasnya berupa batang sungai dan pematang gunung. Sejarah Penguasaan Tanah oleh Masyarakat Kampung Muara Tae sudah dilakukan sejak jaman lamin Sanggokng dalam bentuk hak ulayat. Tata susunan dan hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum adat adalah sebagai berikut :3 1. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, sebagai hak penguasaan yang tertinggi, beraspek hukum keperdataan dan hukum publik. 2. Hak Kepada Adat dan Tetua Adat, yang bersumber pada hak ulayat, dan beraspek hukum publik 3
6
Boedi harsono, Op. Cit., hal. 183
Sengketa Tanah Perkebunan (Masrani ) semata. 3. Hak-Hak atas Tanah, sebagai hak individual, yang secara langsung atau tidak langsung bersumber pada hak ulayat dan beraspek hukum keperdataan. Antara hak ulayat dan hak perorangan selalu ada hubungan timbal balik. Makin banyak usaha yang dilakukan seseorang di atas suatu bidang tanah, makin eratlah hubungannya dengan tanah yang bersangkutan dan makin kuat pula haknya atas tanah tersebut.4 Penguasaan tanah pada masa Lamin Sanggokng bersifat komunal atau milik bersama, atau bisa disebut sebagai hak ulayat lamin Sanggokng. Dimana tanah-tanah dalam wilayah Lamin Sanggongk di sepanjang sungai Nayan adalah milik bersama semua warga Lamin Sanggokng. Seiring dengan perkembangan kehidupan
masyarakat Kampung Muara Tae, tanah-tanah bersama atau hak
ulayat tersebut sedikit-demisedikit dikelola dan dikuasai oleh warga secara individual untuk memenuhi berbagai kebutuhan pribadi dan keluarga. Masyarakat Kampung Muara Tae menguasai tanah ulayat dengan berladang secara gilir balik dan di atas bekas ladang dibuat kebun buah-buahan, rotan, karet dan tanaman keras lainnya.
Salah satu daerah perladangan
masyarakat Kampung Muara Tae adalah daerah sungai Nayan Bekok anak Sungai Nayan yang mengalir ke Kampung Muara Tae. Yang menurut batas alam sejak jaman Lamin Sanggokng daerah tersebut masuk dalam wilayah Kampung Muara Tae. Selama masyarakat Kampung Muara Tae berladang dan berkebun di daerah tersebut secara individual, tidak pernah ada sengketa atau klaim dari kampung tetangga yang menyatakan bahwa daerah tersebut bukan wilayah Kampung
4
Soebekti-Tamara, Kumpulan Putusan Mahkamah Agung, Gunung Agung, Jakarta, 1961, Hal. 222
7
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 11
Muara Tae atau masuk kampung lain. Dan tidak pernah ada yang mengakui bahwa daerah tersebut adalah hak warisan pihak tertentu. Bagi masyarakat Kampung Muara Tae, kebun-kebun yang telah mereka buat atau disebut Simpukng adalah bukti fisik/bukti lapangan bahwa tanah tersebut adalah milik mereka secara pribadi atau individual. Dengan demikian saat ini hak-hak atas tanah yang masih ada di wilayah Kampung Muara Tae adalah Hak-Hak atas Tanah, sebagai hak individual, yang secara langsung atau tidak langsung bersumber pada hak ulayat dan beraspek hukum keperdataan. Terjadinya sengketa tanah perkebunan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dengan masyarakat Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur karena PT. Munte Waniq Jaya Perkasa menggusur tanah warga masyarakat Muara Tae tanpa sepakat. Bagi masyarakat Kampung
Muara
Tae
tindakan
penggusuran
tersebut
adalah
tindakan
penyerobotan karena sudah jelas tanah tersebut dikelola oleh masyarakat Kampung Muara Tae sejak turun temurun. Masyarakat Kampung Muara Tae sampai sekarang tetap menolak PT. Waniq Jaya Perkasa. Dan menuntut PT. Munte Waniq Jaya Perkasa agar mengembalikan semua tanah masyarakat Kampung Muara Tae baik yang sudah ditanam maupun yang belum ditanam serta yang belum digusur oleh PT. Munte Waniq Jaya Perkasa. Dan Membayar denda atas kerusakan tanam tumbuh akibat penggusuran.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Sengketa tanah
tersebut menurut hasil penelitian ada dua faktor. Pertama karena tidak adanya konsultasi dan Koordinasi Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Barat dengan
8
Sengketa Tanah Perkebunan (Masrani ) Masyarakat Kampung Muara Tae dalam penerbitan ijin lokasi PT. Munte Waniq Jaya Perkasa. Salah satu asas penyelenggaraan perkebunan diterangan dalam Undangundang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan pasal 2 adalah asas keterbukaan, yaitu bahwa penyelenggaraan perkebunan dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat dan didukung dengan pelayanan informasi yang dapat diakses oleh masyarakat. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi telah menjelaskan Dalam Pasal 6 bahwa Ayat 2 bahwa Surat keputusan pemberian Izin Lokasi ditandatangani oleh Bupati/Walikotamadya atau, untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta setelah diadakan rapat koordinasi antarinstansi terkait, yang dipimpin oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta,atau oleh pejabat yang ditunjuk secara tetap olehnya. Dan dalam ayat (4) menegaskan bahwa Rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai konsultasi dengan masyarakat pemegang hak atas tanah dalam lokasi yang dimohon. Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi empat aspek sebagai berikut a. Penyebarluasan informasi mengenai rencana penanaman modal yang akan dilaksanakan, ruang lingkup dampaknya dan rencana perolehan tanah serta penyelesaian masalah yang berkenaan dengan perolehan tanah tersebut. B. Pemberian kesempatan kepada pemegang hak atas tanah untuk memperoleh penjelasan tentang rencana penanaman modal dan mencari alternatif pemecahan masalah yang ditemui; c. Pengumpulan informasi langsung dari masyarakat untuk memperoleh data social dan lingkungan yang diperlukan.
d. Peran serta
9
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 11
masyarakat berupa usulan tentang alternatif bentuk dan besarnya ganti kerugian dalam perolehan tanah dalam pelaksanaan Izin Lokasi. Faktor kedua adalah Terjadi tumpang tindis klaim Hak Atas Tanah antara warga Masyarakat Kampung Muara Tae dan warga Masyarakat Kampung Muara Ponak. Dari hasil penelitian, warga masyarakat Kampung Muara Ponak baru mengklaim hak atas tanah diatas tanah yang dikuasai oleh warga masyarakat Kampung Muara Tae setelah adanya Ijin Lokasi PT. Munte Waniq Jaya Perkasa. PT. Munte Waniq Jaya Perkasa masuk di Wilayah Kutai Barat berdasarkan Keputusan Bupati Kutai Barat Nomor 525.26/K.1073/2007 Tertanggal 19 Desember 2007. Luas ijin yang diberikan ±11.500 Ha. Di dalam Peta Ijin Lokasi tersebut PT. Munte Waniq Jaya Perkasa masuk dalam wilayah Kecamatan Siluq Ngurai tepatnya yaitu di dalam wilayah Kampung Muara Ponaq, Kampung Rikong, Kampung Kiyak dan Kampung Kenyanyan. Pada kenyataannya di lapangan, beberapa bagian wilayah Ijin Lokasi perusahaan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa masuk dalam wilayah Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang. Berdasarkan
sejarah
batas
yang
disepakati
sejak
turun-temurun
sebagaimana yang dipetakan dalam Peta Partisipatif yang dibuat oleh Pemerintah Kampung Muara Tae tahun 2011, ternyata garis batas wilayah Kampung Muara Tae dan Kampung Muara Ponak di dalam Peta Lokasi tersebut telah bergeser ke dalam wilayah Kampung Muara Tae. Luas pergeseran tersebut seluas 638 Hektar. Setelah adanya pergeseran batas wilayah Kampung tersebut, maka tanah-tanah yang selama ini telah dikuasai oleh warga masyarakat Kampung Muara Tae diklaim oleh warga Kampung Muara Ponak sebagai hak waris mereka.
10
Sengketa Tanah Perkebunan (Masrani ) Didalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan ayat (2) menyebutkan bahwa
Dalam hal tanah yang diperlukan
merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataanya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya. Berdasarkan pengklaiman tersebut maka dilakukan pembebasan tanah kepada PT. Munte Waniq Jaya Perkasa untuk mendapatkan imbalan sebagaimana diterangkan dalam pasal 9 ayat 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Penyelesaian sengketa tanah dapat ditempuh melalui secara litigasi atau melalui lembaga peradilan dan non litigasi atau melalui cara di luar lembaga peradilan. Penyelesaian sengketa tanah secara litigasi telah ditempuh dengan membuat Laporan ke Polda Kalimatan Timur Berdasarkan Laporan Polisi Nomor LP/K/06/I/2012/POLDA KALTIM/SPKT, tertanggal 9 Januari 2012, Petinggi Kampung Muara Tae melaporkan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dan warga Kampung Muara Ponak atas nama sdr. Giarto, Jerki, Mangging, dan Namur dengan dugaan penyerobotan tanah milik warga masyarakat Kampung Muara Tae. Kemudian laporan tersebut dilimpahkan ke Polres Kutai Barat untuk dilakukan
penyelidikan
dan
penyidikan
berdasarkan
surat
Nomor
:
RES.1.2./295/I/2012/Direskrimum, tanggal 13 Januari 2013.
11
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 11
Proses penyelidikan di Polres Kutai Barat berhenti sampai pada proses pemanggilan saksi pelapor dari Muara Tae yaitu para pemilik tanah yang digusur oleh PT. Munte Waniq Jaya Perkasa. Menurut pihak Polres Kutai Barat bahwa mereka kesulitan untuk melanjutkan proses karena masing-masing pihak baik warga Muara Tae maupun warga Muara Ponak sama-sama tidak mempunyai bukti kepemilikan tanah yang sah menurut hukum yang berlaku berupa surat bukti kepemilikan tanah. Maka oleh sebab itu mereka sarankan agar ditempuh melalui jalur hukum perdata. Penyelesaian sengketa melalui Badan Pertanahan Nasional diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengolahan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan.
Penyelesaian
sengketa melalui BPN dilakukan melalui proses gelar kasus. Dalam pasal 1 angka 5 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengolahan
Pengkajian
dan
Penanganan
Kasus
Pertanahan
mengenai
penyelenggaraan gelar kasus berbunyi : Gelar kasus pertanahan yang selanjutnya disingkat gelar kasus adalah mekanisme kelembagaan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dalam rangka penanganan dan/atau penyelesaian sengketa pertanahan. Gelar penanganan dan/atau penyelesaian kasus pertanahan meliputi : Gelar kasus internal, Gelar kasus eksternal ,Gelar mediasi, dan Gelar istimewa. Langkah-langkah penanganan sengketa dijelaskan dalam Pasal 27 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengolahan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan Peraturan Kepala
12
Sengketa Tanah Perkebunan (Masrani ) Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengolahan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan dilakukan : 1) Penelitian/pengolahan data pengaduan. 2) Penelitian lapangan. 3) Penyelenggaraan gelar kasus. 4) Penyusunan risalah pengolahan data 5) Penyiapan berita acara/surat/keputusan, dan/atau 6) Monitoring dan evaluasi terhadap hasil penanganan sengketa. Penutup Sengketa tanah perkebunan antara warga masyarakat Kampung Muara Tae dengan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa terjadi setelah PT. Munte Waniq Jaya Perkasa melakukan Pembebasan lahan seluas 638 Hektar dengan warga Kampung Muara Ponak. Tanah tersebut telah dikuasai masyarakat Kampung Muara Tae. Tetapi setelah adanya PT. Munte Waniq Jaya Perkasa masyarakat Kampung Muara Ponak membebaskan tanah tersebut secara sepihak tanpa sepengatahuan Masyarakat Kampung Muara Tae. Masyarakat Kampung Muara Tae menolak PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dan menuntut pengembalian tanah yang sudah dikuasai oleh PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dan menuntut denda ganti rugi atas kerusakan tanah dan tanam tumbuh yang telah digusur oleh pihak perusahaan. Ada dua faktor yang mempengaruhi terjadinya sengketa. Pertama Tidak adanya konsultasi dan Koordinasi Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Barat dengan Masyarakat Kampung Muara Tae dalam penerbitan ijin lokasi PT. Munte Waniq Jaya Perkasa.
13
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 11
Kedua Terjadi tumpang tindis klaim Hak Atas Tanah antara warga Masyarakat Kampung Muara Tae dan warga Masyarakat Kampung Muara Ponak. Maka oleh sebab itu penulis simpulkan upaya penyelesaian sengketa yang sebaiknya ditempuh adalah melalui cara non litigasi dengan melakukan gelar kasus oleh Badan Pertanahan Nasional sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengolahan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Kepastian hukum pemilikan dan penguasaan hak atas tanah harus terlebih dahulu ditemukan antara warga masyarakat Muara Tae dan warga Masyarakat Muara Ponak. Dalam proses penyelesaian tersebut kegiatan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa harus dihentikan di wilayah sengketa sampai sengketa selesai. Warga masyarakat Kampung Muara Tae bisa menyampaikan surat pengaduan kepada BPN agar dilakukan gelar kasus untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
14
Sengketa Tanah Perkebunan (Masrani ) DAFTAR PUSTAKA A.
Buku Soemitro, Ronny Hanitijo, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri , Ghalia Indonesia, Jakarta Muhammad, Abdul kadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Sumardjono, dkk, 2008, Mediasi Sengketa Tanah, Kompas, Jakarta, Usman, Rachmadi, 2003, Pilihan Penyelesaian Diluar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung Murad, Rusmadi, 2007, Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan, Mandar Maju, Bandung Yuwono, Trisno, 1994, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Arkola, Surabaya Hatta,Mohammad, 2005, Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan, Media Abdi, Yogyakarta
B.
Perundang-undangan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengolahan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengolahan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi
D.
Dokumen Monografi Kampung Muara Tae Tahun 2012
15