JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 2 Nomor 10 (2013) http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja © Copyright 2013
KAJIAN HUKUM TENTANG KEWENANGAN MENTERI KEUANGAN DALAM PENGAJUAN PERMOHONAN PAILIT PERUSAHAAN ASURANSI (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Terhadap PT Asuransi Prisma Indonesia) Benny Apririyanti1 (
[email protected]) Purwanto2 ()
Abstrak Penelitian mengenai Kajian Hukum Tentang Kewenangan Menteri Keuangan dalam Pengajuan Permohonan Pailit Perusahaan Asuransi (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Terhadap PT Asuransi Prisma Indonesia) ini dilakukan atas dasar ketentuan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang masih membuka peluang untuk mempailitkan perusahaan asuransi, yakni yang memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pailit adalah Menteri Keuangan (Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004). Dari hasil penelitian dapat disimpulkan 1) Dasar pertimbangan Mahkamah Agung menolak permohonan pailit PT Asuransi Prisma Indonesia adalah terkait dengan adanya ketentuan Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 yang mengamanatkan untuk perusahaan asuransi permohonan pailit hanya dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan, 2) Akibat hukum dari Putusan Mahkamah Agung terhadap PT Asuransi Prisma Indonesia adalah tidak dapatnya PT Asuransi Prisma Indonesia untuk dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan, dan 3) Proses penyelesaian utang piutang di antara PT Asuransi Prisma Indonesia dengan para pemegang polisnya dapat dilakukan dengan melihat pada kedudukan hukum dari pihak kreditur itu sendiri dimana setelah perusahaan asuransi dinyatakan pailit, maka para pemegang polis asuransi berhak mengajukan tuntutan pemenuhan kewajiban pembayaran utang melalui Pengadilan baik secara perdata maupun pidana. Kata Kunci: Asuransi, Kepailitan, Menteri Keuangan.
1 2
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 10
STUDY LAW MINISTER OF FINANCE AUTHORITY OF FILING BANKRUPTCY PETITION INSURANCE COMPANY (Case Study of the Indonesian Supreme Court Decision Against Prisma PT Asuransi Indonesia)
BENNY APRIRIYANTI (
[email protected])
Faculty of Law, University of Mulawarman
Abstract Research on Legal Studies Authority and the Ministry of Finance in the Bankruptcy Petition Filing Insurance Company (A Case Study of the Republic of Indonesia Supreme Court Decision Against Prisma PT Asuransi Indonesia) is done on the basis of the provisions of Act No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment are still open opportunities for the bankruptcy of insurance companies, which have the legal standing to file for bankruptcy is the Minister of Finance (Article 2 paragraph (5) of Act No. 37 of 2004). From the results of this study concluded 1) consideration for the Supreme Court rejected a bankruptcy petition Prisma PT Asuransi Indonesia is related to the provision of Article 2 paragraph (5) of Act No. 37 of 2004 which mandates for insurance companies for bankruptcy can only be done by the Minister of Finance, 2) the legal consequences of the Supreme Court verdict against Indonesia PT Asuransi Prisma is the inability of Indonesia to PT Asuransi Prisma declared bankrupt by court decisions, and 3) the process of settlement of debts between Prisma PT Asuransi Indonesia with its policy holders can be done by looking at the position the law of the creditor itself, after which the insurance company is declared bankrupt, then the policyholder has the right to demand fulfillment of the obligation to pay the debt through the courts, both civil and criminal. Keywords: Insurance, Bankruptcy, Finance Minister.
2
Kajian Hukum Tentang Kewenangan Menteri Keuangan (Benny Apririyanti)
PENDAHULUAN PT Asuransi Prisma Indonesia (PT API) adalah sebuah perusahaan dengan izin usaha untuk melakukan kegiatan usaha dalam bidang asuransi kerugian dan reasuransi kerugian. Pada tahun 2006, PT API mengalami kesulitan untuk memenuhi standar kecukupan modal usaha sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menkeu RI No. 424/KMK.06/2003 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menkeu
No.
135/PMK.05/2005
Tentang
Kesehatan
Keuangan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Hal ini tampak dari jumlah utang
perusahaan
pada
Desember
2009
diperkirakan
mencapai
Rp.11.566.000.000.00 (sebelas miliar lima ratus enam puluh enam juta rupiah), sedangkan
aset
dari
perusahaan
diperkirakan
hanya
mencapai
Rp.1.641.000.000.00 (satu miliar enam ratus empat puluh satu juta rupiah). 3 Untuk menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan selaku pihak yang memiliki kewenangan terkait dengan pengawasan dan pembinaan kegiatan usaha perasuransian memberikan sanksi kepada PT API, di antaranya: 1) Surat Nomor S-644/MK.12/2006 perihal sanksi Peringatan Pertama, 2) Surat Nomor S841/MK.10/2007 perihal sanksi Peringatan Kedua, dan 3) Surat Nomor S840/MK.10/2007 perihal sanksi Peringatan Ketiga.4 Adanya sanksi peringatan ketiga berakibat pada pencabutan izin usaha terhadap PT API, maka untuk menanggapi hal tersebut, pada tanggal 13 Mei 2008, PT API secara sukarela
3 Asuransi Prisma Indonesia Pailitkan Diri Sendiri, http://hukumonline.com/asuransi-prismaindonesia-pailitkan-diri-sendiri.html., diakses pada tanggal 21 Januari 2013, pukul 15.10 Wita. 4 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338 K/PDT.SUS/2010 terhadap PT Asuransi Prisma Indonesia, point 4, halaman .
3
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 10
melakukan pembubaran diri (likuidasi). Hal tersebut diputuskan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada tanggal 17 Juni 2008, yang mana hasil putusan RUPS tersebut dituangkan dalam Akta Pernyataan Keputusan Rapat PT API Nomor 1 tertanggal 11 Juli 2008. Selanjutnya, atas dasar ketentuan Pasal 149 ayat (2) Undang-undang Perseroan Terbatas yang memperkenan kepada debitur yang bersangkutan untuk mengajukan permohonan pailit, maka menimbulkan anggapan pada PT API bahwa akibat dari pencabutan izin usaha yang dimilikinya untuk selanjutnya status perusahaan berubah menjadi perseroan umum dan bukan lagi sebagai perusahaan asuransi, sehingga menjadikan PT API mengajukan permohonan pailit di
Pengadilan
Niaga
Jakarta
Pusat,
dengan
Perkara
No.
01/Pailit/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst. Yang mana dalam putusannya, majelis hakim menyatakan menolak permohonan pailit yang diajukan oleh PT API. Penolakan tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa pihak yang berwenang untuk mengajukan permohonan pailit adalah Menteri Keuangan dan bukanlah PT API sendiri (Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Kepailitan).5 Menanggapi hal tersebut, maka PT API mengajukan permohonan kasasi tertanggal
10
Maret
2010
dengan
akta
permohonan
kasasi
No.15Kas/Pailit/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst jo. 01/Pailit/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst. Hal ini didasarkan atas pertimbangan, di antaranya: 1) bahwa majelis hakim telah salah menerapkan hukum terkait dengan status hukum PT API, 2) bahwa majelis hakim
5 Asuransi Prisma Indonesia Pailitkan Diri Sendiri, http://hukumonline.com/asuransi-prismaindonesia-pailitkan-diri-sendiri.html., diakses pada tanggal 21 Januari 2013, pukul 15.10 Wita.
4
Kajian Hukum Tentang Kewenangan Menteri Keuangan (Benny Apririyanti) telah salah menerapkan hukum terkait dengan PT API tidak berhak dalam mengajukan permohonan pailit, dan 3) perihal permohonan penunjukan Hakim Pengawas dan Kurator.6 Selanjutnya dalam Putusan Nomor 338 K/Pdt.Sus/2010 tertanggal 12 Mei 2010, terkait dengan permohonan kasasi PT API untuk mempailitkan diri, maka majelis hakim menyatakan menolak permohonan kasasi pemohon, dengan pertimbangan bahwa PT API tidak memiliki kualifikasi sebagai pemohon kasasi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Kepailitan, bahwa untuk perusahaan asuransi pengajuan permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Hal ini dipertegas dengan ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Kepailitan, bahwa panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat tersebut.7 Atas dasar tersebut maka tidak seharusnya jika pengajuan permohonan pailit yang diajukan oleh PT API dapat diterima oleh panitera karena pemohon pengajuan permohonan pailit tersebut bukanlah Menteri Keuangan melainkan PT API sendiri. Hal ini sebagai konsekuensi dari berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Kepailitan yang mengamanatkan bahwa hanya Menteri Keuangan sajalah yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap
6 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338 K/PDT.SUS/2010 terhadap PT Asuransi Prisma Indonesia, halaman 9-15. 7 Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang.
5
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 10
perusahaan asuransi.8 Selaras dengan Pasal tersebut adalah Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Usaha Perasuransian.9 Selanjutnya ketidakjelasan mengenai pengaturan status hukum dari perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya oleh Menteri Keuangan inilah yang menjadi akar permasalahan sehingga menjadikan PT API mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga karena menganggap bahwa status atau kedudukan dirinya (PT API) sebagai perusahaan perseroan terbatas umum dan bukanlah perusahaan asuransi lagi. Selain itu, status PT API yang berada dalam proses pembubaran (likuidasi) inilah yang akhirnya akan menimbulkan permasalahan baru terhadap proses penyelesain utang piutang dengan pihak kreditur. Karena ditakutkan pihak kreditur tidak dijadikan sebagai pemegang hak utama akibat dari likuidasinya PT API tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut, 1) Apa landasan yuridis MA RI menolak pengajuan permohonan pailit yang diajukan oleh PT API? 2) Bagaimana akibat hukum dari putusan MA RI terhadap PT API terkait dengan pengajuan permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Menkeu RI? 3) Bagaimana penyelesaian utang piutang antara PT API dengan para pemegang polisnya?
8 Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menyatakan bahwa, “Dalam hal ebitur adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dan pensiun dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. 9 Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, menyatakan bahwa, “Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Peraturan Kepailitan, dalam hal terdapat pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, maka Menteri, berdasarkan kepentingan umum dapat memintakan kepada Pengadilan agar perusahaan yang bersangkutan dinyatakan pailit.
6
Kajian Hukum Tentang Kewenangan Menteri Keuangan (Benny Apririyanti) Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) untuk menjelaskan landasan yuridis MA RI menolak pengajuan permohonan pailit yang diajukan oleh PT API, 2) untuk menjelaskan akibat hukum dari putusan MA RI terhadap PT API terkait dengan pengajuan permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan RI, dan 3) untuk menjelaskan proses penyelesaian utang piutang antara PT API dengan para pemegang polisnya. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengutamakan
penelitian
kepustakaan
dan
dokumen-dokumen
untuk
memperoleh data sekunder, seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana.10 Adapun pendekatan
yang
digunakan
oleh
penulis
adalah
pendekatan
peraturan
perundang-undangan yaitu pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi, serta pendekatan kasus merupakan pendekatan terhadap
ratio
decidendi, yaitu pendekatan terhadap alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya.11
PEMBAHASAN 1. Landasan Yuridis Mahkamah Agung Menolak Permohonan Pailit PT Asuransi Prisma Indonsia Dalam kasus permohonan pailit yang diajukan PT API, dimana pengajuan permohonan pailit tersebut dinyatakan ditolak baik oleh Pengadilan
10
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali, Jakarta, halaman 15. 11 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, halaman 93.
7
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 10
Niaga Jakarta Pusat maupun Mahkamah Agung dengan dasar pertimbangan Majelis Hakim bahwa Pemohon (PT API) tidak memiliki kualifikasi untuk melakukan pengajuan permohonan pailit. Hal ini sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Kepailitan maupun Pasal 20 ayat (1) Undang-undang
Usaha
Perasuransian
yang
mengamanatkan
bahwa
permohonan pailit perusahaan asuransi hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Ketentuan Pasal 2 ayat (5) Kepailitan menyatakan bahwa, “Dalam hal debitur
adalah
perusahaan
adalah
perusahaan
asuransi,
perusahaan
reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.” Untuk itu, jika melihat pada Akta Pendirian Perusahaan PT API maka diketahui sejak awal maksud dan tujuan didirikannya PT API adalah untuk melakukan kegiatan usaha di bidang asuransi kerugian dan reasuransi kerugian. Maka sudah barang tentu jika PT API tunduk dan patuh pada ketentuan Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Kepailitan. Ditambah lagi ketentuan Pasal 20 ayat (1) Usaha Perasuransian, mengemukakan hal serupa yaitu, “Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Peraturan Kepailitan, dalam hal terdapat pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, maka Menteri berdasarkan kepentingan umum dapat memintakan kepada Pengadilan agar perusahaan yang bersangkutan dinyatakan pailit”.
8
Kajian Hukum Tentang Kewenangan Menteri Keuangan (Benny Apririyanti) Dengan demikian, dapat diketahui bahwa di antara Undang-undang Kepailitan maupun Undang-undang Usaha Perasuransian memiliki keselarasan (sinergisitas) dalam hal pengaturan mengenai pihak yang berwenang untuk mengajukan permohonan pailit bagi perusahaan asuransi, yakni hanya dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan. Dengan kata lain, kedua undang-undang tersebut saling mendukung satu sama lain, hal ini sesuai dengan asas Principle
of Legality oleh Fuller, dimana salah satu asas menyatakan bahwa, “Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.12” Yang mana diketahui bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (5) Undangundang Kepailitan maupun ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Usaha Perasuransian menyatakan hal yang sama (serupa) dan saling mendukung satu sama lain yakni untuk perusahaan asuransi pihak yang berwenang untuk mengajukan permohonan pailit adalah Menteri Keuangan, maka dengan demikian dapat dibenarkan jika Majelis Hakim (baik Pengadilan Niaga maupun MA)
menyatakan
menolak
permohonan
pailit
PT
API
dan
dalam
pertimbangannya menyatakan bahwa yang bersangkutan (PT API) tidak memiliki kualifikasi untuk mengajukan permohonan pailit. Jika kita melihat pada ketentuan Undang-undang Usaha Perasuransian maka kita tidak akan mendapati ketentuan yang menjelaskan tentang kedudukan atau status hukum dari perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya oleh Menteri Keuangan. Yang ada hanya pasal yang menyatakan bahwa jika suatu perusahaan asuransi telah dicabut izin usahanya maka 12 Soemali, Asas Hukum, http://hukum-on.blogspot.com/2012/06/asas-hukum.html., dikases tanggal 2 Februari 2013, pukul 20.15 Wita.
9
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 10
Menteri Keuangan dapat memintakan kepada pengadilan agar perusahaan yang bersangkutan dinyatakan pailit (Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Usaha Perasuransian). Demikian pula ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Kepailitan, hanya mengamanatkan untuk perusahaan asuransi pihak yang berwenang mengajukan permohonan pailit adalah Menteri Keuangan tanpa menjelaskan keadaan atau status dari perusahaan yang akan dimohonkan untuk dinyatakan pailit. Dengan melihat pada kasus PT API ini maka ketiadaan ketentuan yang mengatur mengenai status hukum perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya ini telah menimbulkan permasalahan bagi pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan usaha perasuransian, yakni dengan adanya Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep 081/KM.10/2008 menjadikan halangan bagi PT API untuk dapat dinyatakan pailit.13 Di satu sisi adanya surat keputusan tersebut menimbulkan kebingungan bagi PT API terkait dengan status hukum perusahaan. Namun disisi lain, surat keputusan ini merupakan bentuk tanggung jawab Menteri Keuangan dalam melaksanakan kewajibannya sebagai pihak yang melakukan pembinaan dan pengawasan dalam kegiatan asuransi untuk memberikan sanksi kepada perusahaan asuransi yang melakukan pelanggaran. Sehingga benar adanya jika Menteri Keuangan memberikan sanksi pencabutan izin kepada PT API sebagai akibat dari pelanggaran yang telah dilakukannya. Namun demikian, jika dengan dikeluarkannya Surat Keputusn Menteri Keuangan Nomor Kep 081/KM.10/2008 13 Asuransi Prisma Indonesia Pailitkan Diri Sendiri, http://hukumonline.com/asuransi-prismaindonesia-pailitkan-diri-sendiri.html., diakses pada tanggal 21 Januari 2013, pukul 15.10 Wita.
10
Kajian Hukum Tentang Kewenangan Menteri Keuangan (Benny Apririyanti) telah menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak (PT API ataupun Menteri Keuangan) maka dalam hal ini dapat dilakukan pengajuan permohonan pembatalan Surat Keputusan Menteri Keuangan tersebut di Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal ini sebagai akibat dari telah dikeluarkannya keputusan badan/pejabat tata usaha negara yang menimbulkan kerugian bagi pihakpihak tertentu sehingga dapat dimohonkan untuk dilakukan pembatalan oleh pengadilan. Meskipun di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan tidak mencantumkan
ketentuan
yang
mengatur
perihal
status
hukum
dari
perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya oleh Menteri Keuangan, namun tetap saja perusahaan asuransi tersebut harus tunduk pada ketentuan Undang-undang Usaha Perasuransian. Hal ini sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, dimana dalam hal telah dilakukan pencabuatan izin usaha oleh Menteri Keuangan terhadap perusahaan asuransi maka Menteri Keuangan memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan pailit. Dengan kata lain, pencabutan izin usaha memang perlu dilakukan oleh Menteri Keuangan
guna
untuk
dapat
mengajukan
permohonan
pailit
dimana
sebelumnya terhadap perusahaan asuransi yang bersangkutan telah diberikan sanksi-sanksi sesuai dengan tahapan pemberian/penjatuhan sanksi. Selain itu, berdasarkan pada pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 338 K/Pdt. Sus/2010 yakni putusan terhadap permohonan kasasi PT Asuransi Prisma Indonesia mengungkapkan bahwa:
11
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 10
“Untuk menentukan bidang usaha sebuah perusahaan harus didasarkan pada maksud dan tujuan berdirinya perusahaan tersebut sebagaimana diuraikan dalam Akta Pendiriannya dan bukan didasarkan pada ada tidaknya izin usaha karena relevansi dari izin usaha adalah untuk boleh tidaknya sebuah perusahaan memulai kegiatan usahanya. 14 Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa izin usaha yang dimiliki oleh perusahaan asuransi tidak menjadikan jaminan bagi perusahaan asuransi yang bersangkutan untuk tidak dinyatakan pailit. Karena pernyataan pailit baru dapat dilakukan jika perusahaan yang bersangkutan tidak mampu memenuhi kewajiban
terkait
dengan
stabilitas
keuangan
perusahaan
sehingga
menimbulkan utang kepada pihak kreditur, dimana utang-utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih oleh pihak kreditur. Dan terkait dengan izin usaha maka dapat dikatakan bahwa fungsi dari sebuah izin usha adalah untuk menunjukkan agar perusahaan tersebut dapat melaksanakan kegiatan usahanya sesuai dengan izin usaha yang telah diberikan. Bukan pada bisa tidaknya perusahaan tersebut untuk dinyatakan pailit ataupun terkait dengan status hukum dari perusahaan tersebut.15
2. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia terkait Kewenangan Pengajuan Permohonan Pailit oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia Adanya Ketentuan Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menyatakan bahwa, “Dalam hal debitur adalah perusahaan asuransi,
14 Putusan Mahkamah Agung Nomor 338 K/PDT.SUS/2010 terhadap PT Asuransi Prisma Indonesia, halaman 15.
15
12
Ibid.
Kajian Hukum Tentang Kewenangan Menteri Keuangan (Benny Apririyanti) perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.” Konsekuensi dari adanya ketentuan Pasal 2 ayat (5) tersebut adalah menutup kemungkinan bagi pihak lain (selain Menteri
Keuangan)
untuk dapat
mengajukan permohonan pailit
bagi
perusahaan asuransi. Dengan kata lain, terdapat pembatasan hak bagi pihakpihak lain selain Menteri Keuangan dalam hal pengajuan permohonan pailit perusahaan asuransi. Namun demikian, pembatasan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (5) tersebut sama sekali tidak menghilangakan hak kreditur yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan perdata melalui peradilan umum.
Kewenangan
yang
dimiliki
oleh
Menteri
Keuangan
hanyalah
menyangkut kedudukan hukum (legal standing) dimana Menteri Keuangan hanyalah bertindak sebagai pemohon dalam perkara kepailitan karena fungsinya sebagai pemegang otoritas di bidang keuangan dan sama sekali tidak memberikan keputusan yudisial yang merupakan kewenangan hakim, karena kewenangan yang diberikan oleh pembuat undang-undang kepada instansi
yang
berada
dalam
lingkungan
eksekutif
bukan
merupakan
kewenangan mengadili. Jika kita melihat fakta yang ada, pada dasarnya PT API patut untuk dinyatakan pailit, hal ini dikarenakan PT API tidak lagi mampu memenuhi standar kecukupan modal usaha ditambah lagi dengan banyaknya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih oleh pihak kreditur, serta jumlah aset perusahaan yang diperkirakan lebih kecil dari jumlah utang yang dimiliki.
13
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 10
Namun hal ini tidak dapat dilakukan akibat dari putusan pengadilan yang menyatakan menolak permohonan pailit PT API. Hal ini terjadi akibat dari pemohon pengajuan pailit tersebut adalah PT API dan bukanlah Menteri Keuangan sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang. Keberlakuan ketentuan Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Kepailitan ini menjadikan PT API tidak dapat mengajukan permohonan pailit untuk dirinya sendiri (dengan kata lain, telah membatasi hak PT API (sebagai pihak debitur) untuk dapat mengajukan permohonan pailit di pengadilan). Sebagaimana telah dilakukan oleh PT API dengan mengajukan permohonan pailit di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang berakhir dengan ditolaknya permohonan tersebut oleh Majelis Hakim dengan pertimbangan bahwa kualifikasi pemohon tidak sesuai dan seharusnya pihak yang melakukan pengajuan permohonan adalah Menteri Keuangan dan bukanlah PT API sendiri.16 Dengan dinyatakan ditolaknya permohonan pailit tersebut maka berakibat pada tidak dapatnya PT API untuk dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan. Meskipun demikian, keberlakuan Undang-undang Kepailitan dan adanya pembatasan hak kepada pihak kreditur maupun debitur untuk mengajukan permohonan pailit bagi perusahaan asuransi ini tidak sepenuhnya menutup hak pihak kreditur pada PT API untuk mengajukan gugatan secara perdata. Selain itu, masih terbuka kemungkinan bagi kreditur maupun debitur yang ingin mengajukan permohonan pailit perusahaan asuransi yaitu dengan cara mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan agar perusahaan 16 Putusan Mahkamah Agung Nomor 338 K/PDT.SUS/2010 terhadap PT Asuransi Prisma Indonesia, halaman 13.
14
Kajian Hukum Tentang Kewenangan Menteri Keuangan (Benny Apririyanti) yang bersangkutan dimohonkan untuk dinyatakan pailit. Dengan kata lain, keberlakuan Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Kepailitan ini tidak sepenuhnya menutup atau membatasi hak bagi kreditur maupun debitur
untuk dapat
melakukan permohonan pengajuan pailit bagi perusahaan asuransi, karena pihak kreditur maupun pihak debitur masih dapat melakukan pengajuan setelah sebelumnya mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan. Dan Menteri Keuangan sebagai pihak yang berwenang pun selanjutnya akan melaksanakan apa yang telah diamanatkan oleh undang-undang sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab dari keberlakuan ketentuan tersebut.
3. Proses Penyelesaian Utang Piutang antara PT Asuransi Prisma Indonesia dengan Para Pemegang Polisnya Ketentuan Pasal 20 ayat (2) Undang-undang Usaha Perasuransian, menyatakan bahwa, “Hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang dilikuidasi merupakan hak utama.” Hak utama dalam ayat ini mengandung pengertian bahwa dalam hal kepailitan, hak pemegang polis mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak-pihak lainnya, kecuali dalam hal kewajiban untuk negara, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 17 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jika sebuah perusahaan asuransi melakukan proses likuidasi maupun dinyatakan pailit maka pihak pemegang
17 Penjelasan Umum Pasal 20 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, Tambahan Lembaharan Negara Republik Indonesia Nomor 3467.
15
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 10
polis dalam perusahaan asuransi tersebut menjadi pihak yang utama (pihak yang didahulukan) dalam hal pelunasan utang-piutang. Berbeda halnya dengan sebuah perusahaan yang telah dinyatakan pailit, PT API adalah sebuah perusahaan asuransi yang telah ditolak permohonan pailitnya baik oleh Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung (dalam proses kasasi). Hal ini akibat dari ketidaksesuaian kualifikasi pemohon perkara sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang yaitu Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Kepailitan dan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Usaha Perasuransian, dimana Menteri Keuangan sebagai pihak yang berewenang untuk melakukan pengajuan permohonan pailit perusahaan asuransi dan bukanlah PT API sendiri. Akibat dari ditolaknya permohonan kasasi tersebut, maka hal ini pun akan berpengaruh terhadap proses penyelesaian utang piutang (terutama terhadap utang-utang yang telah jatuh tempo) yang terjadi di antara para pihak yaitu pihak kreditur (selaku pemegang polis) dengan pihak debitur (PT API). Jika kita melihat pada ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata, menyatakan bahwa, “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” Selanjutnya dalam Pasal 1132 KUH Perdata, menyatakan bahwa: “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masingmasing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. 16
Kajian Hukum Tentang Kewenangan Menteri Keuangan (Benny Apririyanti)
Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa kedua pasal tersebut yaitu Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata merupakan landasan dasar dalam penyelesaian utang piutang terutama dalam lingkup kepailitan. Kepailitan (bangkrut) merupakan suatu keadaan dimana suatu perusahaan
diperkirakan
memiliki
jumlah
aset
yang
lebih
kecil
bila
dibandingkan dengan utang yang dimilikinya, sehingga berakibat pada banyaknya utang yang jatuh tempo dan dan dapat ditagih oleh pihak kreditur. Jika terjadi hal yang demikian, maka langkah pailit ataupun Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) menjadi jalan terbaik bagi para pihak (pihak kreditur maupun debitur).18 Meskipun diketahui bahwa ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata dapat dijadikan sebagai landasan dalam penyelesaian utang piutang kepalitan, namun ketentuan Pasal 20 ayat (2) Undang-undang Usaha Perasuransian, menyatakan bahwa, “Hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang dilikuidasi merupakan hak utama.” Maka dalam hal terjadinya kepailitan terhadap perusahaan asuransi tersebut pihak yang menjadi pemegang polis haruslah menjadi pihak yang diutamakan atau didahulukan dalam hal pelunasan utang piutang yang terjadi. Hal ini mengingat pada perjanjian polis asuransi dimana pemegang polis merupakan pihak yang terikat dan sepakat dengan perjanjian asuransi tersebut.
18
Jono, 2010, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, halaman 5.
17
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 10
Melihat pada PT API yang tidak dapat dinyatakan pailit akibat dari putusan Majelis Hakim yang menyatakan menolak permohonan pailit, akibat dari ketidaksesuaian kualifikasi pemohon pailit ini akan menimbulkan permasalahan terkait dengan proses penyelesaian uatang piutang di antara PT API dengan para pemegang polisnya. Sebagaimana diketahui jumlah utang yang dimiliki oleh PT API lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah aset perusahaan, namun demikian proses penyelesaian utang piutang pun harus tetap dilaksanakan. Adapun proses penyelesaian utang piutang yang terjadi di antara PT API dengan para pemegang polisnya dapat dilakukan dengan melihat pada kedudukan dari pihak kreditur itu sendiri, apakah sebagai kreditur konkuren, kreditur preferen atau kreditur separatis.19 Dengan melihat pada hal tersebut maka pihak-pihak atau kreditur dengan hak istimewa (hak untuk didahulukan) menjadi pihak (kreditur) yang didahulukan dalam hal pelunasan utang yang terjadi di antara pihak kreditur dan debitur dalam perusahaan tersebut. Hal ini sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 20 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, menyatakan bahwa, “Hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang dilikuidasi merupakan hak utama.” Pada dasarnya, setiap perbuatan hukum yang akan ataupun yang telah terjadi harus disesuaikan dengan perjanjian (kesepakatan) yang telah dibuat dan disepakati oleh masing-masing pihak sejak awal pembentukan 19
Djohansyah, J., 2004, Kreditur Separatis, Preferen dan Penjaminan Utang antar Induk dan
Anak Perusahaan, Jakarta.
18
Kajian Hukum Tentang Kewenangan Menteri Keuangan (Benny Apririyanti) perjanjian (kesepakatan) tersebut, yakni melihat pada perjanjian (isi polis asuransi) yang menjadi landasan dasar dalam kegiatan perasuransian. Dalam hal pihak kreditur memiliki hak yang dilanggar ataupun merasa dirugikan oleh pihak debitur maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa, “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Dengan kata lain, pihak kreditur (nasabah/pemegang polis PT API) yang merasa dirugikan atau haknya telah dilanggar dapat mengajukan gugatan secara perdata maupun tuntutan pidana.
PENUTUP Bertitik tolak dari permasahan, pembahasan maupun analisa di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan di antaranya: 1) Landasan yuridis Mahkamah Agung menolak permohonan pailit PT Asuransi Prisma Indonesia adalah berkaitan dengan kualifikasi pemohon kasasi yang tidak sesuai dengan apa yang telah diamanatkan oleh undang-undang yaitu ketentuan Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Kepailitan, mengamanatkan bahwa dalam hal debitur adalah perusahaan asuransi maka pengajuan permohonan pailit hanya dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan. Atas dasar tersebut maka dalam putusannya Majelis Hakim Mahkamah Agung menyatakan menolak permohonan kasasi PT API dimana sebagai perusahaan asuransi maka pihak yang berwenang untuk mengajukan pailit adalah Menteri Keuangan dan bukanlah PT API sendiri, 2)
19
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 10
Akibat hukum dari Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh PT API menjadikan perusahaan asuransi ini tidak dapat dinyatakan pailit dan dalam hal adanya kewenangan pengajuan permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan maka menimbulkan pada pembatasan hak bagi pihak lain kecuali Menteri Keuangan untuk dapat mengajukan permohonan pailit. Meskipun pada dasarnya tidak menutup kemungkinan bagi pihak lain untuk dapat melakukan permohonan yakni dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan agar perusahaan asuransi yang bersangkutan dimohonkan untuk dinyatakan pailit oleh pengadilan, dan 3) Proses penyelesaian utang piutang yang terjadi antara pihak kreditur (pemegang polis) dengan pihak debitur (PT API) dapat dilakukan dengan cara melihat pada status atau kedudukan dari pihak kreditur pada perusahaan asuransi tersebut, apakah sebagai pihak kreditur preferen, kreditur konkuren atau kreditur separatis. Hal ini sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 20 ayat (2) Undang-undang Usaha Perasuransian, menyatakan bahwa, “Hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang dilikuidasi merupakan hak utama.” Karena dengan melihat pada kedudukan kreditur tersebut dapat mempengaruhi kedudukan kreditur dalam hal pelunasan utang, dimana seorang kreditur dengan hak istimewa
(hak
utama/hak
untuk
didahulukan)
mendapatkan
hak
untuk
didahulukan dibandingkan dengan pihak kreditur lainnya dalam hal pelusanaan utang. Selanjutnya, bagi pihak kreditur yang merasa haknya telah dilanggar
20
Kajian Hukum Tentang Kewenangan Menteri Keuangan (Benny Apririyanti) ataupun merasa dirugikan maka dapat mengajukan permohonan/gugatan secara perdata maupun tuntutan pidana. Beberapa saran yang dapat dikemukakan terkait dengan judul ini di antaranya: 1) Kewenangan Menteri Keuangan terkait dengan pengajuan permohonan pailit perusahaan asuransi tersebut perlu adanya untuk ditetapkan, namun dalam hal ini perlu pula adanya ketentuan yang mengatur mengenai hakhak bagi kreditur untuk dapat mengajukan permohonan pailit perusahaan asuransi melalui Menteri Keuangan, 2) Harus ada ketentuan yang mengatur mengenai kedudukan atau status hukum bagi perusahana asuransi yang telah dicabut izin usahanya oleh Menteri Keuangan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan maupun kebingunan di dalam masyarakat, dan 3) Harus ada ketentuan yang menetapkan perihal batasan kewenangan Menteri Keuangan serta sanksi jika Menteri Keuangan tidak mengajukan atau meneruskan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Djohansyah, J., 2004, Kreditur Separatis, Preferen dan Penjaminan Utang antar Induk dan Anak Perusahaan, Jakarta. Jono, 2010, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta. Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta. B. Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1924 Nomor 556. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
21
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 10
Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Lemabaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 424/KMK.06/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan reasuransi. Peraturan Menteri Keuangan No. 135/PMK.05/2005 tanggal 27 Desember 2005 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 424/KMK.06/2003 Tentang Kesehatan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi. C. Dokumen Hukum, Skripsi, dan Tesis Bravika Bunga Ramadhani, 2009, Penyelesaian Utang Piutang Melalui
Kepailitan (Studi Kasus Pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang PT Prudential Life Insurance), Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai Kasasi Nomor: 338 K/Pdt.Sus/2010 tentang PT Asuransi Prisma Indonesia. D. Artikel Jurnal Ilmiah, Artikel Koran, Artikel Internet Artikel berjudul “Asuransi Prisma Indonesia Pailitkan Diri Sendiri”, http://hukumonline.com/asuransi-prisma-indonesia-pailitkan-dirisendiri.html.
22