KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA
PUTUSAN Nomor: 364/XI/KIP-PS-A/2013 KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA
1. IDENTITAS [1.1]
Komisi Informasi Pusat yang menerima, memeriksa, dan memutus Sengketa
Informasi Publik Nomor Registrasi 364/XI/KIP-PS/2013 yang diajukan oleh:
Nama
: PATTIRO (PUSAT TELAAH DAN INFORMASI REGIONAL)
Alamat
: Jalan Intan No. 81 Cilandak Barat, Jakarta Selatan 12430.
dalam persidangan diwakili oleh : 1. Widiyarti 2. Ari Setiawan 3. Nanda Octrina Lamtiur 4. Alva Edison Siregar 5. Iskandar Saharudin berdasarkan surat kuasa khusus nomor: 005/EXT.PTIR/DE/I/2014 tertanggal 20 Januari 2014 yang ditandatangani oleh Sad Dian Utomo, sebagai Direktur Eksekutif. Selanjutnya disebut sebagai Pemohon
Terhadap Nama
: Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
Alamat
: Jalan Gatot Subroto No.31, Jakarta Pusat. 10210
dalam persidangan diwakili oleh: 1. Wahyu Priyono, SE., M.M 1
2. Dian Rosdiana, S.H., M.H 3. Handrias Haryotomo, S.H.,M.H 4. Gilang Gumilar, S.IKom 5. W. Karana Andika, S.H 6. Niken Widorini, S.H berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal Januari 2014 yang ditandatangani oleh Bahtiar Arif, SE, M.Fin.,Ak sebagai Ketua Pusat Pengelolaan Informasi dan Data (PPID) Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, selanjutnya disebut sebagai Termohon.
[1.2] Telah membaca surat permohonan Pemohon; Telah mendengar keterangan Pemohon; Telah mendengar keterangan Termohon; Telah memeriksa surat-surat Pemohon; Telah memeriksa surat-surat Termohon. Telah melakukan pemeriksaan setempat ditempat Termohon. Telah mendengar keterangan dan memeriksa saksi.
2. DUDUK PERKARA A. Pendahuluan [2.1] bahwa Pemohon telah mengajukan Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik tertanggal 14 November 2013 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Komisi Informasi Pusat pada tanggal yang sama dengan registrasi sengketa Nomor: 364/XI/KIP-PS/2013
Kronologi [2.2] bahwa Pemohon mengajukan Permohonan Informasi Publik dengan Surat Permohonan Informasi No: 135/WKS.PTR/SEK-FOINI/VIII/2013 pada tanggal 28 Agustus 2013, kepada PPID Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia yang diterima pada tanggal yang sama dengan permohonan. Adapun informasi yang dimohonkan yaitu hasil audit BPK tentang Pembangunan Stadion Hambalang jilid I
2
[2.3] bahwa surat permohonan informasi Pemohon sebagaimana yang diuraikan dalam paragraf [2.2] mendapatkan tanggapan dari Termohon surat Nomor 201 /S/X/09/2013, Prihal: Tanggapan BPK RI atas Permohonan LHP, tertanggal 2 September 2013 yang menyatakan sesuai dengan Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Informasi Publik pada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Pasal 11 huruf b angka 2 disebutkan bahwa terdapat informasi publik yang dikecualikan yaitu LHP yang memuat hasil pemeriksaan investigatif dan pemeriksaan fraud forensic.
[2.4] bahwa atas tanggapan dari Termohon kemudian Pemohon mengajukan surat keberatan atas penolakan informasi nomor: 146/EKS.PTR/SEK-FOINI/IX/2013 yang ditujukan kepada Drs. Hadi Poernomo, Ak selaku Ketua Badan Pemeriksa Keuangan RI, tertanggal 12 September 2013 dan diterima pada tanggal yang sama dengan surat keberatan.
[2.5] bahwa berdasarkan surat keberatan atas penolakan informasi yang diajukan Pemohon sebagaimana diuraikan dalam paragraf [2.4] mendapat tanggapan dari Termohon melalui surat nomor: 515/S/X/10/2013, perihal: tanggapan BPK RI terkait keberatan atas penolakan informasi, tertanggal 24 Oktober 2013, yang pada pokoknya Termohon menyatakan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik bahwa Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan, berdasarkan atas UU tersebut BPK RI
menetapkan Peraturan Badan
Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Informasi Publik pada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Pasal 11 huruf b angka 2 disebutkan bahwa terdapat informasi publik yang dikecualikan yaitu LHP yang memuat hasil pemeriksaan investigatif dan pemeriksaan Fraud Forensic.
[2.6] bahwa atas tanggapan Termohon sebagaimana diuraikan dalam paragraf [2.5] Pemohon mengajukan
permohonan
Penyelesaian
Sengketa Informasi
Publik
Nomor: 189/EKS.PTIR/SEK-FOINI-XI/2013 tertanggal 14 November 2013 yang diterima dan terdaftar di kepaniteraan Komisi Informasi Pusat pada tanggal yang sama dengan registrasi sengketa Nomor: 364/XI/KIP-PS/2013 3
Alasan atau Tujuan Permohonan Informasi [2.7] bahwa Pemohon mengajukan permohonan informasi sebagai perwujudan hak Warga Negara Indonesia untuk memperoleh informasi dari Badan Publik yang tercantum dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Alasan atau Tujuan Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi [2.8] bahwa Pemohon mengajukan permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik kepada Komisi Informasi Pusat karena permohonan informasi yang diminta tidak diberikan.
Petitum [2.9] Pemohon memohon Komisi Informasi Pusat untuk memutus sengketa Informasi Publik ini dan menyatakan informasi a quo terbuka untuk publik.
B. Alat Bukti Keterangan Pemohon [2.10] Menimbang bahwa di persidangan Pemohon menyampaikan keterangan sebagai berikut: 1. bahwa Informasi yang diminta oleh Pemohon adalah mengenai investigatif dan fraud forensic 2. bahwa Pemohon merasa informasi yang diminta adalah Informasi Publik. Terkait dengan hasil audit BPK yang dinyatakan fraud forensic dan merupakan informasi yang dikecualikan sesuai dengan pasal 17 UU KIP relevan jika BPK tidak menyerahkan kepada DPR. 3. bahwa kendati BPK berkewenangan memberikan dokumen kepada DPR yang juga meminta audit investigasi, Pemohon menilai ketika BPK memberikan informasi yang dianggap dikecualikan dan diberikan kepada publik, harusnya tidak diberikan kepada DPR, dalam hal ini BPK melanggar ketentuan dalam UU Keterbukaan Informasi Publik ketika memberikan dokumen yang dikecualikan. 4. bahwa apabila alasan Termohon ada aturan No 3 Tahun 2011 tentang pengecualian informasi atau pengelolaan informasi di BPK, tetapi peraturan BPK menurut Pemohon tidak bisa bertentangan dengan UU No 15 Tahun 2006, pasal 7 ayat 5 UU BPK, hasil pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan penanggungjawab pemeriksaan keuangan negara yang telah diserahkan ke DPR, DPD, DPRD dinyatakan terbuka untuk umum. 4
5. bahwa menurut Pemohon peraturan yang dikeluarkan BPK tidak bisa bertentangan walaupun yang meminta audit investigasi itu sendiri adalah DPR. Kepentingan investigasi semestinya untuk mengungkap kerugian Negara atau berpotensi adanya unsur pidana. 6. bahwa Pemohon menerangkan adalah badan hukum berupa Yayasan dibuktikan dengan Akta Pendirian Yayasan yang disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU2995.AH.01.04 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Yayasan PATTIRO. NPWP: 03.007.919.8-015.000
Surat-Surat Pemohon [2.11] bahwa Pemohon mengajukan surat sebagai berikut: Surat P-1
Salinan surat permohonan informasi No: 135/EKS.PTR/SEK-FOINI/VIII/2013 pada tanggal 28 Agustus 2013, kepada PPID Badan Pemeriksa Keuangan RI
Surat P-2
Salinan surat keberatan atas penolakan informasi yang ditujukan kepada Drs. Hadi Poemomo, Ak sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan RI melalui surat nomor: 146/EKS.PTR/SEK-FIONI/IX/2013 tertanggal 12 September 2013.
Surat P-3
Salinan surat Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik yang ditujukan kepada Ketua Komisi Informasi Pusat melalui Surat Nomor 189/EKS.PTIR/SEK-FIONI/XI/2013 tertanggal 14 November 2013.
Surat P-4
Surat Kuasa Khusus Nomor: 005/EXT.PTIR.DE/1/2014 tertanggal 20 Januari 2014 yang ditandatangai oleh Sad Dian Utomo sebagai Direktur Eksekutif PATTIRO.
Surat P-5
Salinan Akta Pendirian Yayasan Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) No.24 tanggal 07 Desember 2009 kantor notaris Ny.Toety Juniarto, SH,, Jakarta.
Surat P-6
Salinan surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU-2995.AH.01.04 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Yayasan PATTIRO, tertanggal 22 Mei 2012.
Surat P-7
Pendapat Tertulis Pemohon yang disampaikan dalam Sidang Tanggal 2 Juni 2014 tentang Pandangan Pemohon yang berjudul “Pengecualian yang Tidak Lagi Relevan”.
5
Keterangan Termohon [2.12] Menimbang bahwa di persidangan Termohon menyampaikan keterangan sebagai berikut: 1. bahwa sesuai dengan Keputusan Sekjen 275/K/X/XIII/2004 diktum 3 huruf j PPID mewakili BPK dalam proses penyelesaian sengketa di KIP, Pengadilan atau mewakili kuasanya. 2. bahwa telah menerima permohonan informasi dari Pattiro pada bulan Agustus, sudah di teliti dan dijawab oleh Termohon sesuai pasal 17 UU KIP. BPK berdasarkan UU tersebut sudah melakukan kajian terhadap informasi apa saja yang dikecualikan. 3. bahwa informasi yang dimohon oleh Pemohon adalah informasi yang dikecualikan. 4. bahwa berdasarkan peraturan BPK No. 13 Tahun 2011 tentang Informasi Publik di BPK, di salah satu pasalnya menyebutkan bahwa ada informasi yang dikecualikan, salah satunya ada informasi yang terkait dengan pemeriksaan, LHP hasil investigasi audit forensik dan lain sebagainya. 5. bahwa Peraturan BPK No 3 Tahun 2011 disahkan tanggal 6 Desember 2011 dan mulai berlaku 1 tahun setelahnya yaitu pada tanggal 6 Desember 2012. Jika sebelum 6 Desember 2012 ada permohonan informasi dari masyarakat umum terhadap LHP Hambalang 1 informasi tersebut masih diberikan. Namun jika permintaannya setelah tanggal 6 Desember 2012 maka Termohon tidak bisa memberikan informasi. 6. bahwa terkait dengan Hambalang 1 dan 2 permintaan khusus dari salah satu komisi di DPR sehingga hasilnya Termohon serahkan pada komisi yang bersangkutan yakni Komisi X, bukan diberikan kepada seluruh anggota DPR. Surat-Surat Termohon [2.13] bahwa Termohon mengajukan surat sebagai berikut: Surat T-l
Salinan surat nomor: 201 /S/X/09/2013 tentang Tanggapan BPK RI atas Permohonan LHP
Surat T-2
Salinan Surat Nomor: 515/S/X/10/2013 tentang Tanggapan BPK RI terkait Keberatan atas Penolakan Informasi
Surat T-3
Surat Nomor: 217/S/X/04/2014 tentang Jawaban atas Panggilan Sidang tertanggal 8 April 2014 yang ditandatangani oleh Hendar Ristnawan, SH., MH
Surat T-4
Surat Kuasa Khusus tertanggal 12 Januari 2014 yang ditandatangani oleh Bahtiar Arif, SE., M.Fin., Ak sebagai Ketua Pusat Pengelolaan Informasi dan Data (PPID) Badan Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia.
6
Pemeriksaan Setempat terhadap Dokumen Termohon [2.14] Menimbang bahwa Majelis Komisioner telah melakukan pemeriksaan setempat yang di lakukan secara tertutup terhadap dokumen-dokumen yang berada/dimiliki oleh Termohon yang terkait dengan sengketa a quo di kantor Termohon pada Jumat tanggal 21 Februari 2014 pukul 10.00 WIB. Dalam pemeriksaan setempat di peroleh fakta: 1. Bahwa dokumen tersebut berada atau dalam penguasaan/dimiliki oleh Termohon. 2. bahwa Termohon telah menyampaikan laporan hasil pemeriksaan investigatif kepada DPR RI, KPK RI, Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung RI dengan klasifikasi dokumen yang bersifat Rahasia. 3. Bahwa dokumen yang diterima oleh DPR RI, KPK RI, Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung RI adalah salinan dari dokumen yang sama. 4. Bahwa terhadap dokumen dimaksud, yang dikecualikan oleh Termohon, Majelis Komisioner yang melakukan pemeriksaan setempat tidak dilakukan penggandaan atau memfotokopi dokumen.
Dokumen yang di serahkan Termohon kepada Majelis Komisoner pada pemeriksaan setempat adalah: 1. Foto copy Surat Pengantar
LHP Investigatif Nomor
161/S/I/08/2013,
tertanggal 22 Agustus 2013, sifat: rahasia, lampiran 1 (satu) eksemplar, perihal: LHP investigatif (tahap II) Pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, kepada: Ketua KPK RI. 2. Foto copy Surat Pengantar
LHP Investigatif Nomor
160/S/I/08/2013,
tertanggal 22 Agustus 2013, sifat: rahasia, lampiran 1 (satu) eksemplar, perihal: LHP Investigatif (tahap II) Pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, kepada: Ketua DPR RI. 3. Foto copy Surat Pengantar tertanggal 4 September 2013,
LHP Investigatif Nomor
163/S/I/08/2013,
sifat: rahasia, lampiran 1 (satu) eksemplar,
perihal: LHP Investigatif (tahap II) Pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, kepada: Kepala Kepolisian RI.
7
4. Foto copy Surat Pengantar LHP Investigatif Nomor 164/S/I/08/2013, tertanggal 4 September 2013, sifat: rahasia, lampiran 1 (satu) eksemplar, perihal: LHP Investigatif (tahap II) pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, kepada: Jaksa Agung RI.
Keterangan Saksi [2.15] Menimbang bahwa Majelis Komisioner telah memanggil saksi pada persidangan tanggal 2 Juni 2014, menghadirkan Salim Rasyid yaitu seorang Penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan Surat Perintah Tugas Nomor: SPT1863/50-55/06/2014 tertanggal 2 Juni 2014 yang ditandatangani oleh Annies Said Basal amah. Di dalam persidangan saksi mengemukakan keterangan-keterangan sebagai berikut: 1. Bahwa tanggal 23 Agustus 2013 pukul 15.00 WIB Sekretariat pimpinan KPK mendapatkan surat 161/S/I/l 68/2013, dalam hal perihal surat itu memberikan kepada KPK LHP laporan investigatif Hambalang tahap 2, pembangungan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang dengan NomonLHP 192/HP/XVI/08/2013 tanggal 23 Agustus Tahun 2013. 2. Bahwa sebelumnya tanggal 2 November 2012, KPK mendapat surat dari BPK No:281/S/I/XI/2012 pukul 15.50 perihal LHP laporan hasil investigatif tahap 1 Nomor: 139/HP/XVI/10/2012 tanggal 30 Oktober 2012. 3. Bahwa pada saat ini KPK masih mengembangkan proses penyidikan dengan tersangka yang baru, yang sampai saat ini belum selesai. 4. Bahwa Perkara yang sudah selesai dan saat ini sudah disidangkan ada 3 (tiga) orang terdakwa yaitu pihak Kemenpora, pihak Adhi Karya dan Mantan Menpora yaitu Bapak Andi Malarangeng. 5. Bahwa untuk tersangka lain masih dalam tahap penyelidikan termasuk rekanan maka LHP tersebut masih kita gunakan sebagai pendukung. 6. Bahwa LHP tahap 2 yang dimaksud sebagai pendukung dalam rangka proses penyidikan, sumber informasinya tidak hanya dari informasi dalam LHP akan tetapi dari dokumen-dokumen lain yang ada pada Kemenpora dan dari pihak yang terkait proyek Hambalang. 7. Bahwa penyidikan yang dilakukan KPK dalam proyek Hambalang ini menyangkut unsur yang dipersangkaan sebagaimana dimaksud pasal 2 UU Tipikor dimana untuk membuktikannya dibutuhkan keterangan ahli terkait kerugian negara. Dalam hal ini yang mempunyai domain menghitung kerugian negara adalah BPK. Jadi pendapat BPK terkait perhitungan kerugian keuangan negara sangat dibutuhkan untuk memenuhi persangkaan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. 8. Bahwa penyidikan KPK akan terhambat jika dokumen LHP tersebut terakses oleh publik karena dalam LHP tahap pertama maupun LHP tahap kedua sudah 8
menyebutkan pihak terkait yang perlu didalami keterlibatannya dalam kasus Hambalang.
Keterangan tertulis Sekretaris Jenderal DPR RI: [2.16] Menimbang bahwa pada tanggal 9 September 2014, atas permintaan Majelis Komisioner pihak Sekretaris Jenderal DPR RI dimintai keterangan tertulis yang di sampaikan pada tanggal 9 September 2014 dengan surat nomor DPK/08486/SEKJENDPRRI/HP/09/2014 tertanggal 2 September 2014, yang pada pokoknya menjelaskan : 1. Bahwa benar DPR RI meminta BPK untuk melakukan audit investigatif terhadap pelaksanaan pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor, 2. Bahwa DPR RI telah menerima hasil audit BPK. 3. Bahwa hasil audit investigatif BPK diserahkan kepada pimpinan Komisi X dan pimpinan BAKN (Badan Akuntabilitas Keuangan Negara), namun sesuai dengan ketentuan Pasal 17 huruf a UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, informasi tersebut termasuk kategori Informasi Publik yang dikecualikan dan dokumen tersebut telah disampaikan ke KPK, maka pengelolaan dokumen menjadi ranah KPK.
3.
KESIMPULAN PARA PIHAK
Kesimpulan Pemohon [3.1] Menimbang bahwa di dalam persidangan terakhir sebelum pembacaan putusan, Pemohon menyampaikan keterangan tertulis pada tanggal 2 Juni 2014 sebagai berikut: “PENGECUALIAN YANG TIDAK LAGI RELEVAN” 1. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Pasal 13 “Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana” 2. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Pasal 14 “(1) Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur bersama oleh BPK dan Pemerintah” 3. Jika ada informasi yang dirahasiakan karena bersifat pro justicia maka seharusnya BPK menyampaikannya ke KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. Penyampaian ke DPR mestinya tidak dalam versi lengkap.
9
4. Dalam Peraturan BPK No. 01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, pelaporan ke pihak berwenang dapat disertai dengan menutup informasi yang masuk dalam kualifikasi rahasia. Namun demikian, penghapusan atau pengaburan informasi tersebut harus disertai dengan menjelaskan alasan yuridisnya (lampiran IV paragraf 29-31). Penghapusan yang tidak disertai alasan yuridis adalah suatu penyesatan informasi. 5. Lampiran IV, VI, VIII, Peraturan BPK No. 01 Tahun 2007; Pelaporan Informasi Rahasia, “(Par. 29/33/21): ... “Informasi rahasia yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan untuk diungkapkan kepada umum tidak diungkapkan dalam laporan hasil pemeriksaan. Namun laporan hasil pemeriksaan harus mengungkapkan sifat informasi yang tidak dilaporkan tersebut dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menyebabkan tidak dilaporkannya informasi tersebut”(Par. 30/34/22). Situasi lain yang berkaitan dengan keamanan publik dapat juga mengakibatkan informasi tersebut dilarang untuk diungkapkan dalam laporan hasil pemeriksaan. Apabila memungkinkan, BPK dapat berkonsultasi dengan konsultan hukum mengenai ketentuan permintaan atau keadaan yang menyebabkan tidak diungkapkannya informasi tertentu dalam laporan hasil pemeriksaan. 6. Pasal 22 ayat (7) huruf e UU KIP “dalam hal suatu dokumen mengandung materi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, maka informasi yang dikecualikan tersebut dapat dihitamkan dengan disertai alasan dan materinya” 7. Pasal 22 ayat (4) UU KIP “Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya” 8. Kerahasiaan suatu informasi yang dikecualikan tidak lagi relevan jika telah berada di ruang publik. Sebagai contoh, aset 10 debitur terbesar peserta program kredit bagi UKM di bank BUMN adalah dikecualikan. Salah satu alasannya, kondisi finansial seseorang merupakan informasi privat yang tak boleh diungkap ke publik. Hal ini juga diatur oleh UU KIP. Namun ketika bank BUMN tersebut telah pula mengumumkan besaran aset 10 debitur UKM tersebut dalam suatu acara pemberian penghargaan yang diliput media, pengecualian tersebut sudah tidak relevan karena informasi telah berada di ruang publik {public domain). 9. Pasal 7 ayat (5), UU BPK "Hasil pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang telah diserahkan kepada DPR, DPD dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum” 10. DPR adalah lembaga negara yang berwenang melakukan pengawasan dalam rangka akuntabilitas politik. Menyerahkan laporan secara lengkap ke DPR akan menyebabkan tujuan kerahasiaan substansial dari suatu laporan audit investigasi kehilangan maknanya pada lembaga semacam ini.Tugas DPR memang bukan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan (pro justicia), meskipun DPR dapat merekomendasikan tindak lanjut penyidikan ke lembaga yang berwenang melakukannya. 11. DPR merupakan ruang publik, sehingga penyampaian laporan hasil audit 10
investigasi membutuhkan prasyarat teknis dan substansial tertentu agar tidak mengganggu kepastian hukum. Apa lagi jika laporan memuat indikasi keterlibatan anggota DPR. Laporan audit investigasi berbeda dengan laporan audit reguler yang telah diatur oleh Undang-Undang untuk diserahkan ke DPR. Penyerahan Laporan Audit investigasi ke pihak berwenang, dalam hal ini DPR, memerlukan prasyarat tertentu baik dalam prosedur maupun batasan substansi mengingat sifatnya yang pro justicia. 12. Baik Pasal 7 UU BPK, Pasal 14 dan Pasal 17 UU Pemeriksaan Keuangan Negara, laporan hasil pemeriksaan diserahkan ke lembaga legislatif. Termasuk untuk laporan hasil pemeriksaan investigative yang besar kemungkinan mayoritas informasi di dalamnya merupakan informasi terkait penegakan hukum {pro justicia). Skema pro justicia sepenuhnya merupakan kewenangan lembaga penegak hukum memiliki forum akuntabilitasnya di pengadilan, bukan di legislatif yang merupakan forum akuntabilitas poltik. Apalagi Pada pasal 7 ayat (5) UU BPK, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, laporan yang telah disampaikan ke legislatif bersifat TERBUKA UNTUK UMUM. 13. Tidak ada penjelasan eksplisit dari Ketua BPK bahwa 15 (lima belas) nama anggota DPR adalah informasi yang masuk dalam kategori rahasia sehingga memang secara sengaja ditutup. Terakhir, pimpinan DPR justru mengatakan bahwa laporan yang disampaikan oleh BPK memang tidak memuat nama tersebut. Tidak jelas juga apakah memang sejak dalam draft laporan hasil pemeriksaan BPK 'sama sekali tidak ada keterlibatan 15 orang anggota DPR di Komisi 10 atau telah terjadi revisi atas draft laporan. 14. Peraturan BPK No. 1/2011 tentang Kode Etik BPK telah melarang Anggota BPK untuk berupaya mengubah temuan pemeriksaan, opini, kesimpulan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan yang tidak sesuai dengan fakta pada saat pemeriksaan, sehingga menjadi tidak obyektif (lihat Pasal 8 ayat (2) huruf h). 15. Pasal 8 ayat (2) Peraturan BPK No. 1/2011, Anggota BPK selaku Pejabat Negara dilarang memerintahkan dan/atau mempengaruhi dan/atau mengubah temuan pemeriksaan, opini, kesimpulan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan yang tidak sesuai dengan fakta dan/atau bukti-bukti yang diperoleh pada saat pemeriksaan, sehingga temuan pemeriksaan, opini, kesimpulan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan menjadi tidak obyektif. 16. Membiarkan laporan tersebut tersandera di Pimpinan DPR akan membuat status kerahasiaan menjadi semu. Membiarkan status informasi tersebut sebagai suatu ’kerahasiaan semu’ adalah suatu kekeliruan mendasar dan bertentangan dengan tujuan kerahasiaan tersebut. Inilah yang disebut oleh Aftergood sebagai bad secrecy yang didasarkan atas suatu kepentingan politik. Lebih baik jika laporan hasil audit investigasi tahap-Il BPK mengenai Hambalang yang sudah terlanjur ada di ruang publik (DPR) ini dibuka ke masyarakat agar tidak menjadi alat tawar-menawar elit berkuasa dan tindak lanjut penyidikan dapat diawasi oleh publik luas. 17. Teknis Penyampaian LHP Audit Investigasi BPK ke legislatif berpotensi melanggar hukum. Telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa berdasarkan Pasal 7 Ayat (5) UU BPK, Penyampaian laporan hasil pemeriksaan dan tanggungjawab keuangan negara ke legislatif adalah titik terminasi kerahasiaan LHP Audit Investigasi BPK. Praktik Selama ini penyampaian LHP Audit Investigasi BPK kepada legislatif 11
diberikan dalam format lengkap tanpa pengaburan informasi rahasia yang disertai alasan yuridis. Secara Normatif hal ini bertentangan dengan Peraturan BPK No.l Tahun 2007 Tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara Dan UU Keterbukaan Informasi Publik Pasal 54 “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)”. Kesimpulan Termohon [3.2] Menimbang bahwa pada bulan Juli 2014, Termohon menyampaikan kesimpulan tertulis sebagai berikut: 1. Bahwa Perkara Sengketa Informasi ini berawal dari permohonan Pemohon melalui surat nomor 135/EKS.PTR/SEK-FOINI/VIII/2013 tanggal 28 Agustus 2013 perihal permohonan informasi terkait hasil audit BPK tentang pembangunan stadion Hambalang Jilid I dan jilid II dan surat nomor 146/EKS .PTR/SEK-FOINI/IX/2013 tanggal
12 September 2013 perihal
keberatan atas penolakan informasi yang ditujukan kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi/PPID BPK RI (Termohon). 2. Bahwa atas permohonan Pemohon tersebut, Termohon telah menyampaikan tanggapan bahwa tidak dapat memenuhi permintaan karena Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Hambalang sebagaimana tertuang dalam LHP Nomor 192/HP/XVI/08/2013 tanggal 23 Agustus 2013 tentang Pembangunan P3SON Hambalang Bogor pada Kementerian Pemuda dan Olah Raga di Jakarta dan Bogor
termasuk
informasi
yang
dikecualikan,
melalui
surat
nomor
201/S/X/09/2013 tanggal 2 September 2013 dan surat nomor 515/S/X/10/2013 tanggal 24 Oktober 2013. 3. Bahwa Termohon tidak dapat memenuhi permintaan dari Pemohon karena informasi yang dimintakan Pemohon yaitu Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Hambalang adalah termasuk dalam dokumen yang dikecualikan oleh BPK RI berdasarkan : a) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik: 1) Pasal 7 Ayat (1) yang mengatur bahwa Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan informasi publik yang
12
berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan; 2) Pasal 17, huruf a, angka 1 yang mengatur bahwa setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik kecuali : Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu informasi yang dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana; b) Peraturan BPK RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Informasi Publik pada Badan Pemeriksa Keuangan: Pasal 11, huruf b, angka 2 yang menyebutkan bahwa Informasi Publik yang dikecualikan meliputi Laporan Hasil Pemeriksaan yang memuat hasil pemeriksaan investigatif dan pemeriksaan Fraud Forensic. 4. Bahwa laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Hambalang ini merupakan informasi penting dan rahasia yang digunakan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dalam melakukan proses penegakan hukum. Hal tersebut sesuai dengan keterangan saksi Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Salim Rasyid dalam Sidang Sengketa Informasi Publik tanggal 2 Juni 2014 dan tanggal 30 Juni 2014 yang menyatakan bahwa : a) KPK masih mengembangkan proses penyidikan dalam kasus Hambalang sehingga LHP Investigatif Hambalang masih digunakan sebagai dasar penyidikan; b) Apabila LHP Investigatif Pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang diketahui oleh publik maka dapat mengganggu proses penegakan hukum oleh KPK karena LHP Investigatif Hambalang ini memuat hal-hal yang dirahasiakan termasuk inisial terdakwa atau pihak-pihak terkait lainnya, dikhawatirkan pihak-pihak yang terkait ini dapat menghilangkan atau menghancurkan barang-barang bukti sebelum dilakukan pemeriksaan oleh KPK; c) Para terdakwa dalam kasus Hambalang dipersangkakan dengan pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2011 tentang Tindak Pidana Korupsi yang mempersyaratkan adanya unsur kerugian negara, 13
oleh karena itu keberadaan LHP Investigatif Pembangunan Pusat Pelatihan Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang menjadi unsur pokok mengingat BPK adalah lembaga yang berwenang melakukan penghitungan kerugian negara; d) Isi dari LHP Investigatif Hambalang menceritakan secara runtut mengenai kronologis peristiwa dari hulu ke hilir yang seluruhnya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan sehingga apabila hanya dibuka sebagian konten saja, sementara yang dianggap rahasia tidak maka akan tetap berpengaruh terhadap kerahasiaan isi LHP. 5. Bahwa penetapan Laporan Hasil Pemeriksaan yang memuat hasil pemeriksaan investigatif dan pemeriksaan Fraud Forensic sebagai informasi yang dikecualikan dalam Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Informasi Publik pada Badan Pemeriksa Keuangan dilakukan dengan dasar pemikiran yuridis sebagai berikut: a.
bahwa LHP invest igati F:fraud forensic dalam proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum baik dalam tahap Penyidikan maupun tahap Pemeriksaan di Pengadilan dijadikan alat bukti surat. Selanjutnya selain sebagai alat bukti surat, LHP investigatif//ra«
b.
bahwa status LHP investigatif//raw
6. Bahwa Pemeriksaan Investigatif Pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang merupakan inisiatif permintaan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada BPK RI sesuai dengan surat Nomor : PW.01/10954/DPR RI/XII/2011 tanggal 16 Desember 2011 tentang Audit Investigatif terhadap
Pelaksanaan Pembangunan Pusat Pelatihan
Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON), oleh karena itu selain disampaikan kepada para Aparat Penegak Hukum yaitu KPK, Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung,
BPK RI juga 14
menyampaikan
Laporan Hasil
Pemeriksaan Investigatif Pusat Pelatihan Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang tersebut kepada DPR sebagai inisiator atas dilakukannya pemeriksaan investigatif. 7. Bahwa untuk menjamin agar informasi yang dikecualikan ini tidak terbuka ke publik, maka dalam surat penyampaian LHP Investigatif Hambalang dari BPK RI kepada DPR nomor 160/S/I/08/2013 tanggal 22 Agustus 2013 tentang LHP Investigatif (Tahap II) Pembangunan Pusat pendidikan dan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang dinyatakan: “Mengingat bahwa laporan ini merupakan hasil pemeriksaan investigatif yang mengandung dugaan unsur pidana dan saat ini sedang disidik oleh penegak hukum, maka laporan ini bukan merupakan dokumen publik dan seyogyanya dapat dijaga kerahasiaannya”. Hal ini menjadi komitmen antar lembaga untuk dapat menjamin terjaganya informasi yang dikecualikan berupa LHP Investigatif Pembangunan Pusat Pelatihan Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang ini. 8. Bahwa prinsip keterbukaan informasi terhadap LHP BPK setelah disampaikan kepada DPR/lembaga perwakilan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 merupakan prinsip umum atas sifat publik seluruh LHP BPK. Bahwa kemudian sifat LHP BPK yang terbuka untuk publik mendapat pengecualian berdasarkan azas perundang-undangan Lex specialis derogat legi generalis, yang pada akhirnya khusus terhadap LHP BPK yang
dipergunakan bagi
kepentingan proses penegakan hukum
(LHP
Investigatif/Frawc/ Forensic) harus dilekatkan sifat dikecualikan dari prinsipnya semula sebagai informasi yang dapat diakses oleh publik. 9. Bahwa apabila LHP Investigatif//rauu? forensic yang dihasilkan oleh BPK ditetapkan/dikualiflkasi sebagai yang informasi tidak dikecualikan dan untuk selanjutnya publik dengan mudahnya dapat mengakses informasi tersebut dikhawatirkan bahwa dikemudian hari akan terjadi kondisi-kondisi yang tidak kita inginkan yang akan sangat menggangu proses penegakan hukum, antara lain sebagai berikut: a. Pihak-pihak yang diduga terlibat dalam suatu perkara tindak pidana korupsi melarikan diri setelah membaca LHP InvestigatilT/rawt/ forensic yang dihasilkan oleh BPK;
15
b. Pihak-pihak yang diduga terlibat dalam suatu perkara tindak pidana korupsi setelah membaca LHP Investigatif/yrrmt/ forensic yang dihasilkan oleh BPK menghilangkan barang bukti yang diperlukan oleh aparat penegakan hukum; c. LHP Investigatif/Zrawc/ forensic yang dihasilkan oleh BPK dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang diduga terkait permasalahan yang diperiksa untuk membentuk opini-opini publik untuk kepentingan yang bersangkutan sehingga dikhawatirkan dapat mengganggu jalannya proses penegakan hukum yang sedang dilakukan oleh aparat penegak hukum. 10. Bahwa berdasarkan alasan-alasan di atas, maka kami menyimpulkan bahwa LHP Investigatif Pembangunan Pusat Pelatihan Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang secara prinsip dan pada hakikatnya merupakan informasi yang dikecualikan. Perihal penyampaian LHP Investigatif ini juga disampaikan kepada DPR, tidak menghilangkan hakikat Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Hambalang sebagai informasi yang dikecualikan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik jo. Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 4. PERTIMBANGAN HUKUM
[4.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan sesungguhnya adalah mengenai permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5, Pasal 35 ayat (1) huruf a, dan Pasal 37 ayat (2) UndangUndang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) juncto Pasal 5 huruf a. Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik (Perki No. 1 Tahun 2013).
[4.2] Menimbang bahwa sebelum memasuki pokok permohonan, berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Perki No. 1 Tahun 2013 Majelis Komisioner akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut: 1. kewenangan Komisi Informasi Pusat untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo. 2. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan penyelesaian sengketa informasi. 16
3. kedudukan hukum {legal standing) Termohon sebagai Badan Publik dalam sengketa informasi. 4. batas waktu pengajuan Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi. Terhadap keempat hal tersebut di atas. Majelis mempertimbangkan dan memberikan pendapat sebagai berikut:
A. Kewenangan Komisi Informasi Pusat [4.3] Menimbang bahwa Komisi Informasi Pusat mempunyai dua kewenangan yaitu kewenangan absolut dan kewenangan relatif. Oleh karena itu Majelis akan mempertimbangkan dua kewenangan tersebut dalam perkara a quo. Kewenangan Absolut [4.4] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU KIP dinyatakan: Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan UU KIP dan peraturan pelaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi. [4.5] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 UU KIP juncto Pasal 1 angka 3 Perki 1 Tahun 2013 dinyatakan: Sengketa Informasi Publik adalah sengketa yang terjadi antara Badan Publik dengan Pemohon Informasi Publik dan/atau Pengguna Informasi Publik yang berkaitan dengan hak memperoleh dan/atau menggunakan Informasi Publik berdasarkan peraturan perundang-undangan. [4.6] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan: Pasal 26 ayat (1) huruf a UU KIP Komisi Informasi bertugas: menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi yang diajukan oleh setiap Pemohon Informasi Publik berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam UU KIP. Pasal 36 ayat (1) UU KIP Keberatan diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah ditemukannya alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1). Pasal 37 ayat (2) UU KIP Upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik diajukan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya tanggapan tertulis dari atasan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2).
17
Pasal 38 ay at (1)UU KIP Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota harus mulai mengupayakan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik. [4.7] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 5 Perki No. 1 Tahun 2013 dinyatakan: Penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Komisi Informasi dapat ditempuh apabila: a. Pemohon tidak puas terhadap tanggapan atas keberatan yang diberikan oleh atasan PPID; atau b. Pemohon tidak mendapatkan tanggapan atas keberatan yang telah diajukan kepada atasan PPID dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak keberatan diterima oleh atasan PPID. [4.8] Menimbang bahwa berdasarkan fakta persidangan Pemohon telah menempuh mekanisme memperoleh informasi dan mengajukan permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik sebagai berikut: 1. Tanggal 28 Agustus 2013 Pemohon mengajukan Permohonan Informasi Publik dengan Surat Permohonan Informasi Nomor: 135/EKS.PTR/SEKFOINI/VIII/2013 kepada PPID Badan Pemeriksa Keuangan RI dan diterima pada tanggal yang sama. 2. Tanggal 12 September 2013 Pemohon mengajukan Surat Keberatan Penolakan Informasi dengan surat nomor 146/EKS.PTR/SEKFIONI/IX2013 dan diterima pada tanggal yang sama. 3. Tanggal 14 November 2013 Pemohon mengajukan permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi ke Komisi Informasi Pusat yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Komisi Informasi Pusat pada tanggal yang sama dengan registrasi sengketa Nomor: 364/XI/KIP-PS/2013. [4.9] Menimbang bahwa berdasarkan uraian dalam paragraf [4.4] sampai dengan paragraf [4.8] Majelis berpendapat Komisi Informasi Pusat mempunyai kewenangan absolut untuk menerima, memeriksa dan memutus sengketa a quo.
Kewenangan Relatif [4.10] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU KIP dinyatakan: Kewenangan Komisi Informasi Pusat meliputi kewenangan penyelesaian Sengketa Informasi Publik yang menyangkut Badan Publik pusat dan Badan Publik tingkat provinsi dan/atau Badan Publik tingkat kabupaten/kota selama 18
Komisi Informasi di provinsi atau Komisi Informasi kabupaten/kota tersebut belum terbentuk. [4.11] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Perki No.l Tahun 2013, dinyatakan: Komisi Informasi Pusat berwenang menyelesaikan Sengketa Informasi Publik yang menyangkut Badan Publik Pusat. [4.12] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU KIP, dinyatakan: Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislative, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan Negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi non pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri. [4.13] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU BPK), dinyatakan: Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. [4.14] Menimbang bahwa kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan Pasal 2 UU BPK, dinyatakan: BPK merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. [4.15] Menimbang bahwa Tugas Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan ketentuan: Pasal 6 UU BPK (1) BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. (2) Pelaksanaan pemeriksaan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. (3) Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. 19
(4) Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan. (5) Dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPK melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan BPK. Pasal 7 UU BPK (1) BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya. (2) DPR, DPD, dan DPRD menindaklanjuti hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan Peraturan Tata Tertib masing-masing lembaga perwakilan. (3) Penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPRD dilakukan oleh Anggota BPK atau pejabat yang ditunjuk. (4) Tata cara penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPR, DPD, dan DPRD diatur bersama oleh BPK dengan masing-masing lembaga perwakilan sesuai dengan kewenangannya. (5) Hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang telah diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum.
[4.16] Menimbang bahwa Wewenang BPK berdasarkan ketentuan: Pasal 9 UU BPK (1) Dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang: a. menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan; b. meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara; c. melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang milik negara, di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha keuangan negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-perhitungan, surat-surat, bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan daftar lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara; d. menetapkan jenis dokumen, data, serta informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang wajib disampaikan kepada BPK; 20
e. menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah konsultasi dengan Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah yang wajib digunakan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; f. menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; g. menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK; h. membina jabatan fungsional Pemeriksa; i. memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintahan; dan j. memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah sebelum ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah. (2) Dokumen, data, serta informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang diminta oleh BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dipergunakan untuk pemeriksaan.
[4.17] Menimbang bahwa pembiayaan/pendanaan BPK sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU BPK dinyatakan : (1) Anggaran BPK dibebankan pada bagian anggaran tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (2) Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh BPK kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN. (3) Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan pada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang APBN. [4.18] Menimbang bahwa berdasarkan uraian dalam paragraf [4.10] sampai dengan paragraf [4.17] Majelis berpendapat Komisi Informasi Pusat mempunyai kewenangan relatif dalam menerima, memeriksa dan memutus sengketa a quo.
B. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon [4.19] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan: Pasal 1 angka 12 UU KIP Pemohon Informasi Publik adalah warga negara dan/atau badan hukum Indonesia yang mengajukan permintaan informasi publik sebagaimana diatur dalam UU KIP. Pasal 1 angka 7 Perki No. 1 Tahun 2013 Pemohon Penyelesaian Sengketa Informasi Publik yang selanjutnya disebut Pemohon adalah Pemohon atau Pengguna Informasi Publik yang mengajukan Permohonan kepada Komisi Informasi. Pasal 11 ayat (1) huruf a Perki No.l Tahun 2013 Pemohon wajib menyertakan dokumen kelengkapan permohonan berupa identitas yang sah, yaitu: 21
1. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk, Paspor, atau identitas lain yang sah yang dapat membuktikan Pemohon adalah Warga Negara Indonesia, atau; 2. Anggaran dasar yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan telah tercatat di Berita Negara Republik Indonesia dalam hal Pemohon adalah Badan Hukum. 3. Surat kuasa dan fotokopi Kartu Tanda Penduduk pemberi kuasa dalam hal Pemohon mewakili kelompok orang.
[4.20] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 5 Perki No.l Tahun 2013 dinyatakan: Penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Komisi Informasi dapat ditempuh apabila: a. Pemohon tidak puas terhadap tanggapan atas keberatan yang diberikan oleh atasan PPID; atau b. Pemohon tidak mendapatkan tanggapan atas keberatan yang telah diajukan kepada atasan PPID dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak keberatan diterima oleh atasan PPID. [4.21] Menimbang bahwa berdasarkan fakta persidangan Pemohon telah menempuh mekanisme permohonan informasi dan mengajukan Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik sebagaimana yang diuraikan dalam paragraf [4.8],
[4.22] Menimbang bahwa permohonan yang diajukan oleh Badan Hukum, maka berdasarkan uraian paragraf [4.19] Pemohon telah menyertakan Akta Pendirian yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan telah tercatat di Berita Negara Republik Indonesia telah dibuktikan sesuai dengan paragraf [2.10] dan 2 11 ].
[ .
[4.23] Menimbang bahwa berdasarkan uraian paragraf [4.20] sampai dengan paragraf [4.22] Majelis berpendapat Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) dalam sengketa a quo. C. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Termohon [4.24] Menimbang bahwa kedudukan hukum BPK sebagai Termohon Penyelesaian Sengketa Informasi Publik dalam sengketa a quo sesungguhnya telah diuraikan dan dipertimbangkan pada bagian “Kewenangan Relatif’ (paragraf [4.12] sampai dengan paragraf [4.17]). Pertimbangan-pertimbangan tersebut mutatis mutandis berlaku dalam
22
menguraikan dan mempertimbangkan kedudukan hukum Termohon sebagaimana dimaksud pada bagian ini (Bagian C. Kedudukan Hukum Termohon).
[4.25] Menimbang bahwa pihak termohon sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 44 ayat (2) UU KIP, yaitu: Pihak Termohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pimpinan Badan Publik atau pejabat terkait yang ditunjuk yang didengar keterangannya dalam proses pemeriksaan. [4.26] Menimbang bahwa sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 44 ayat (4) UU KIP, yaitu: Pemohon Informasi Publik dan Termohon dapat mewakilkan kepada wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. [4.27] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [4.24] sampai dengan paragraf [4.26] Majelis berpendapat bahwa Termohon yang memiliki tugas dan fungsi berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) dalam sengketa a quo.
D. Batas Waktu Pengajuan Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi. [4.28] Menimbang bahwa Pemohon telah menempuh mekanisme permohonan informasi dan mengajukan Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada paragraph [2.2] sampai dengan paragraf [2.6] (Bagian Kronologi)
[4.29] Menimbang ketentuan-ketentuan mengenai jangka waktu dalam prosedur penyelesaian Sengketa Informasi Publik sebagai berikut: Pasal 22 ayat (1) UU KIP Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan permintaan untuk memperoleh Informasi Publik kepada Badan Publik terkait secara tertulis atau tidak tertulis.
23
Pasal 22 ayat (7) UU KIP Paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permintaan, Badan Publik yang bersangkutan wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis yang berisikan: a. informasi yang diminta berada di bawah penguasaannya ataupun tidak; b. Badan Publik wajib memberitahukan Badan Publik yang menguasai informasi yang diminta apabila informasi yang diminta tidak berada di bawah penguasaannya dan Badan Publik yang menerima permintaan mengetahui keberadaan informasi yang diminta; c. penerimaan atau penolakan permintaan dengan alasan yang tercantum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; d. dalam hal permintaan diterima seluruhnya atau sebagian dicantumkan materi informasi yang akan diberikan; e. dalam hal suatu dokumen mengandung materi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, maka informasi yang dikecualikan tersebut dapat dihitamkan dengan disertai alasan dan materinya; f. alat penyampai dan format informasi yang akan diberikan; dan/atau g. biaya serta cara pembayaran untuk memperoleh informasi yang diminta. Pasal 22 Ayat (8) UU KIP “Badan Publik yang bersangkutan dapat memperpanjang waktu untuk mengirimkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), paling lambat 7 ( tujuh) hari kerja berikutnya dengan memberikan alasan secara tertulis”. Pasal 36 ayat (1) UU KIP Keberatan diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah ditemukannya alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1). Pasal 36 ayat (2) UU KIP Atasan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) memberikan tanggapan atas keberatan yang diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya keberatan secara tertulis. Pasal 37 ayat (2) UU KIP Upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik diajukan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya tanggapan tertulis dari atasan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2), [4.30] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 13 huruf a Perki No. 1 Tahun 2013 mengatur: Permohonan diajukan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak: tanggapan tertulis atas keberatan dari atasan PPID diterima olehPemohon; 24
[4.31] Menimbang bahwa berdasarkan uraian paragraf [4.28] sampai paragraf [4.30] Majelis berpendapat bahwa permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik yang diajukan Pemohon memenuhi jangka waktu yang ditentukan Pasal 37 ayat (2) UU KIP jimcto 13 huruf a Perki No. 1 Tahun 2013. £. Pokok Permohonan [4.32] Menimbang bahwa pokok permohonan dalam perkara a quo sesungguhnya adalah Sengketa Informasi Publik antara Pemohon dan Termohon mengenai informasi yang dimohonkan Pemohon kepada Termohon yakni hasil audit BPK tentang Pembangunan Stadion Hambalang jilid I dan Jilid II berupa berkas hardfile yang telah dilengkapi dengan pengesahan stampel dan tanda tangan pejabat berwenang.
F. Pendapat Majelis [4.33] Bahwa berdasarkan pertimbangan diatas maka Majelis Komisioner dalam pokok perkara mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[4.34] Menimbang bahwa atas Hasil audit BPK tentang Pembangunan Stadion Hambalang jilid I dan Jilid II, Termohon bependapat bahwa: 1. Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Hambalang adalah termasuk dalam dokumen yang dikecualikan oleh BPK RI hal tersebut berdasarkan: a) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik: 1) Pasal 7 Ayat (1) yang mengatur bahwa Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik,
selain
informasi
yang
dikecualikan
sesuai
dengan
ketentuan; 2) Pasal 17, huruf a, angka 1 yang mengatur bahwa setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik kecuali : Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum, 25
yaitu informasi yang dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana; b) Peraturan BPK RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Informasi Publik pada Badan Pemeriksa Keuangan: Pasal 11, huruf b, angka 2 yang menyebutkan bahwa informasi publik yang dikecualikan meliputi Laporan Hasil Pemeriksaan yang memuat hasil pemeriksaan investigatif dan pemeriksaan Fraud Forensic. 2. bahwa Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Hambalang merupakan informasi penting dan rahasia yang digunakan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dalam melakukan proses penegakan hukum. Hal tersebut sesuai dengan Keterangan Saksi Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Salim Riyad dalam Sidang Sengketa Informasi Publik tanggal 2 Juni 2014 dan tanggal 30 Juni 2014 yang menyatakan bahwa : a) KPK masih mengembangkan proses penyidikan dalam kasus Hambalang sehingga LHP Investigatif Hambalang masih digunakan sebagai dasar penyidikan; b) Apabila LHP Investigatif Pembangunan P3SON Hambalang diketahui oleh publik maka dapat mengganggu proses penegakan hukum oleh KPK karena LHP Investigatif Hambalang memuat halhal yang dirahasiakan termasuk inisial terdakwa atau pihak-pihak terkait lainnya, dikhawatirkan pihak-pihak yang terkait dapat menghilangkan atau menghancurkan barang-barang bukti sebelum dilakukan pemeriksaan oleh KPK; c)
Para terdakwa dalam kasus Hambalang dipersangkakan dengan pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2011 Tentang Tindak Pidana Korupsi yang mempersyaratkan adanya unsur kerugian negara, oleh karena itu keberadaan LHP Investigatif Pembangunan P3SON Hambalang menjadi unsur pokok mengingat BPK adalah lembaga yang berwenang melakukan penghitungan kerugian negara;
26
d) Isi dari LHP Investigatif Hambalang menjelaskan secara runtut mengenai kronologis peristiwa dari hulu ke hilir yang seluruhnya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan sehingga apabila hanya dibuka sebagian konten saja, sementara yang lain dianggap rahasia tidak maka akan tetap berpengaruh terhadap kerahasiaan isi LHP. 3. Bahwa penetapan Laporan Hasil Pemeriksaan yang memuat hasil pemeriksaan investigatif dan pemeriksaan Fraud Forensic sebagai informasi yang dikecualikan dalam Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Informasi Publik pada Badan Pemeriksa Keuangan dilakukan dengan dasar pemikiran yuridis sebagai berikut: a) bahwa LHP investigatif//razvr/forensic dalam proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum baik dalam tahap penyidikan maupun tahap pemeriksaan di Pengadilan dijadikan alat bukti surat. Selanjutnya selain sebagai alat bukti surat, LHP investigatif//rau<7 forensic menjadi dasar pemberian keterangan Ahli oleh pemeriksa BPK pada sidang tindak pidana korupsi; b) Bahwa status LHP investigatif//raw
pemeriksaan
investigatif pembangunan
P3SON
Hambalang
merupakan inisiatif permintaan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada BPK RI sesuai dengan surat Nomor : PW.01/10954/DPR RI/XII/2011 tanggal 16 Desember 2011 tentang audit investigatif terhadap pelaksanaan Pembangunan Pusat Pelatihan Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON), oleh karena itu selain disampaikan kepada para Aparat Penegak Hukum yaitu KPK, Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung,
BPK
RI juga
menyampaikan
laporan hasil
pemeriksaan
investigatif P3 SON Hambalang tersebut kepada DPR sebagai inisiator atas dilakukannya pemeriksaan investigatif pembangunan P3SON Hambalang. 5. bahwa untuk menjamin agar informasi yang dikecualikan ini tidak terbuka ke publik, maka dalam surat penyampaian LHP Investigatif Hambalang 27
dari BPK RI kepada DPR Nomor 160/S/I/08/2013 tanggal 22 Agustus 2013
tentang LHP Investigatif (Tahap II) Pembangunan P3S0N
Hambalang dinyatakan bahwa : “Mengingat bahwa laporan ini merupakan hasil pemeriksaan investigatif yang mengandung dugaan unsur pidana dan saat ini sedang disidik oleh penegak hukum, maka laporan ini bukan merupakan
dokumen
publik
dan
seyogyanya
dapat
dijaga
kerahasiaannya”. Hal ini menjadi komitmen antar lembaga untuk dapat menjamin terjaganya informasi yang dikecualikan berupa LHP Investigatif Pembangunan P3SON Hambalang ini. 6.
bahwa prinsip
keterbukaan
informasi terhadap
LHP BPK setelah
disampaikan kepada DPR/lembaga perwakilan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 merupakan prinsip umum atas sifat publik seluruh LHP BPK. Bahwa kemudian sifat LHP BPK yang terbuka untuk publik mendapat pengecualian berdasarkan azas perundang-undangan Lex specialis derogat legi generalis, yang pada akhirnya khusus terhadap LHP BPK yang dipergunakan bagi kepentingan proses penegakan hukum (LHP Investigatif/Frawrf Forensic) harus dilekatkan sifat dikecualikan dari prinsipnya semula sebagai informasi yang dapat diakses oleh publik. [4.35] Menimbang bahwa atas hasil audit BPK tentang Pembangunan Stadion Hambalang jilid I dan Jilid II, Pemohon bependapat bahwa: L
UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara Pasal
pemeriksaan
13 “Pemeriksa dapat melaksanakan
investigatif guna mengungkap adanya indikasi
kerugian
negara/daerah dan/atau unsur pidana”. 2.
UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Pasal 14 “(1) Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur bersama oleh BPK dan Pemerintah”
3.
Jika ada informasi yang dirahasiakan karena bersifat pro justicia maka seharusnya BPK menyampaikannya ke KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. Penyampaian ke DPR mestinya tidak dalam versi lengkap. 28
4.
Dalam Peraturan BPK No. 01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, pelaporan ke pihak berwenang dapat disertai dengan menutup informasi yang masuk dalam kualifikasi rahasia. Namun demikian, penghapusan atau pengaburan informasi tersebut harus disertai dengan menjelaskan alasan yuridisnya (lampiran IV paragraf 29-31). Penghapusan yang tidak disertai alasan yuridis adalah suatu penyesatan informasi.
5.
Lampiran IV, VI, VIII, Peraturan BPK No. 01 Tahun 2007; Pelaporan Informasi Rahasia, “(Par. 29/33/21): ... “Informasi rahasia yang dilarang oleh ketentuan peraturan per undang-undang an untuk diungkapkan kepada umum tidak diungkapkan dalam laporan hasil pemeriksaan. Namun laporan hasil pemeriksaan harus mengungkapkan sifat informasi yang tidak dilaporkan tersebut dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menyebabkan tidak dilaporkannya informasi tersebut”.(Par. 30/34/22): ... Situasi lain yang berkaitan dengan keamanan publik dapat
juga mengakibatkan informasi
tersebut dilarang untuk diungkapkan dalam laporan hasil pemeriksaan... Apabila memungkinkan, BPK dapat berkonsultasi dengan konsultan hukum mengenai ketentuan permintaan atau keadaan yang menyebabkan tidak diungkapkannya informasi tertentu dalam laporan hasil pemeriksaan. 6.
Pasal 22 ayat (7) huruf e UU KIP “dalam hal suatu dokumen mengandung materi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, maka informasi yang dikecualikan tersebut dapat dihitamkan dengan disertai alasan dan materinya”
7.
Pasal 2 ayat (4) UU KIP “Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya”
9.
Pasal 7 ayat (5), UU BPK “Hasil pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang telah diserahkan kepada DPR, DPD dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum”
10. DPR adalah lembaga negara yang berwenang melakukan pengawasan dalam rangka akuntabilitas politik. Menyerahkan laporan secara lengkap ke DPR akan menyebabkan tujuan kerahasiaan substansial dari suatu laporan audit 29
investigasi kehilangan maknanya pada lembaga semacam ini. Tugas DPR memang bukan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan (pro justicia), meskipun DPR dapat merekomendasikan tindak lanjut penyidikan ke lembaga yang berwenang melakukannya.
_
"
11. DPR merupakan ruang publik, sehingga penyampaian laporan hasil audit investigasi membutuhkan prasyarat teknis dan substansial tertentu agar tidak mengganggu kepastian hukum. Apalagi jika laporan memuat indikasi keterlibatan anggota DPR. Laporan audit investigasi berbeda dengan laporan audit reguler yang telah diatur oleh Undang-Undang untuk diserahkan ke DPR. Penyerahan Laporan Audit investigasi ke pihak berwenang, dalam hal ini DPR, memerlukan prasyarat tertentu baik dalam prosedur maupun batasan substansi mengingat sifatnya yang pro justicia. 12. Baik Pasal 7 UU BPK, Pasal 14 dan Pasal 17 UU Pemeriksaan Keuangan Negara, laporan hasil pemeriksaan diserahkan ke lembaga legislatif. Termasuk untuk laporan hasil pemeriksaan investigative yang besar kemungkinan mayoritas informasi di dalamnya merupakan informasi terkait penegakan hukum (pro justicia). Skema pro justicia sepenuhnya merupakan kewenangan lembaga penegak hukum memiliki forum akuntabilitasnya di pengadilan, bukan di legislatif yang merupakan forum akuntabilitas poltik. Apalagi pada pasal 7 ayat (5) UU BPK, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, laporan yang telah disampaikan ke legislatif bersifat terbuka untuk umum.
[4.36] Menimbang bahwa atas pertimbangan di atas Majelis Komisioner berpendapat sebagai berikut: 1. bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (selanjutnya UU nomor 15 tahun 2004) . Dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa: (1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilaksanakan berdasarkan standar pemeriksaan. (2) Standar pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh ■ BPK, setelah berkonsultasi dengan pemerintah Pasal 7 _ (1) Dalam merencanakan tugas pemeriksaan, BPK memperhatikan permintaan, saran, dan pendapat lembaga perwakilan. (2) Dalam rangka membahas permintaan, saran, dan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPK atau lembaga perwakilan dapat mengadakan pertemuan konsultasi. 30
Pasal 13 “Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana”. Pasal 14 (1) Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur bersama oleh BPK dan Pemerintah” 2. bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU 15 Tahun 2005 tentang BPK). Dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa: (1) BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. (2) Pelaksanaan pemeriksaan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. (3) Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. (4) Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan. (5) Dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPK melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan BPK Pasal 7 ayat (5) Hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang telah diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum. 3. bahwa berdasarkan Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2007 Tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, dalam hal PELAPORAN INFORMASI RAHASIA disebutkan sebagai berikut: Lampiran IV, Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor : 01 Tahun 2007 Tanggal : 7 Maret 2007 Standar Pemeriksaan Pernyataan Nomor 03 Standar Pelaporan Pemeriksaan Keuangan 31
[Paragraf 29] Pernyataan standar pelaporan tambahan kelima adalah: “Informasi rahasia yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundangundangan untuk diungkapkan kepada umum tidak diungkapkan dalam laporan hasil pemeriksaan. Namun laporan hasil pemeriksaan harus mengungkapkan sifat informasi yang tidak dilaporkan tersebut dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menyebabkan tidak dilaporkannya informasi tersebut”. [Paragraf 30] Informasi tertentu dapat dilarang untuk diungkapkan kepada umum oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. Informasi tersebut mungkin hanya dapat diberikan kepada pihak yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mempunyai kewenangan untuk mengetahuinya. Situasi lain yang berkaitan dengan keamanan publik dapat juga mengakibatkan informasi tersebut dilarang untuk diungkapkan dalam laporan hasil pemeriksaan. Sebagai contoh, informasi rinci tentang pengamanan komputer untuk suatu program dapat dikeluarkan dari pelaporan publik guna mencegah penyalahgunaan informasi tersebut. Dalam situasi tersebut, BPK dapat menerbitkan satu laporan resmi yang berisi informasi di atas dan mendistribusikannya kepada pihak yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila memungkinkan, BPK dapat berkonsultasi dengan konsultan hukum mengenai ketentuan, permintaan atau keadaan yang menyebabkan tidak diungkapkannya informasi tertentu dalam laporan hasil pemeriksaan. [Paragraf 31] Pertimbangan Pemeriksa mengenai tidak diungkapkannya informasi tertentu tersebut harus mengacu kepada kepentingan publik. Jika situasi mengharuskan penghilangan informasi tertentu, pemeriksa harus mempertimbangkan apakah penghilangan tersebut dapat mengganggu hasil pemeriksaan atau melanggar hukum. Jika pemeriksa memutuskan untuk menghilangkan informasi tertentu, pemeriksa harus menyatakan sifat informasi yang dihilangkan dan alasan penghilangan tersebut. PENERBITAN DAN PEMERIKSAAN
PENDISTRIBUSIAN
LAPORAN
HASIL
[Paragraf 32] Pernyataan standar pelaporan tambahan keenam adalah: “Laporan hasil pemeriksaan diserahkan kepada lembaga perwakilan, entitas yang diperiksa, pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengatur entitas yang diperiksa, pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan, dan kepada pihak lain yang diberi wewenang untuk menerima laporan hasil pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. [Paragraf 33] Laporan hasil pemeriksaan harus didistribusikan tepat waktu kepada pihak yang berkepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, dalam hal yang diperiksa merupakan rahasia negara maka untuk tujuan keamanan atau dilarang disampaikan kepada pihakpihak tertentu atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pemeriksa dapat membatasi pendistribusian laporan hasil pemeriksaan tersebut. 32
[Paragraf 34] Apabila akuntan publik atau pihak lain yang ditugasi untuk melakukan pemeriksaan berdasarkan Standar Pemeriksaan, akuntan publik atau pihak lain tersebut harus memastikan bahwa laporan hasil pemeriksaan didistribusikan secara memadai. Jika akuntan publik tersebut ditugasi untuk mendistribusikan laporan hasil pemeriksaannya, maka perikatan/penugasan tersebut harus menyebutkan pihak yang harus menerima laporan hasil pemeriksaan tersebut. [Paragraf 35] Apabila suatu pemeriksaan dihentikan sebelum berakhir, namun pemeriksa tidak mengeluarkan laporan hasil pemeriksaan, maka pemeriksa harus membuat catatan yang mengikhtisarkan hasil pekerjaannya sampai tanggal penghentian dan menjelaskan alasan penghentian pemeriksaan. Pemeriksa juga harus mengkomunikasikan secara tertulis alasan penghentian pemeriksaan tersebut kepada manajemen entitas yang diperiksa, entitas yang meminta pemeriksaan tersebut, atau pejabat lain yang berwenang. Lampiran VI, Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Nomor : 01 Tahun 2007 Tanggal : 7 Maret 2007, Standar Pemeriksaan Pernyataan Nomor 05 Standar Pelaporan Pemeriksaan Kinerja PELAPORAN INFORMASI RAHASIA [Paragraf 33] Apabila informasi tertentu dilarang diungkapkan kepada umum, laporan hasil pemeriksaan harus mengungkapkan sifat informasi yang dihilangkan tersebut dan ketentuan yang melarang pengungkapan informasi tersebut. [Paragraf 34] Beberapa informasi tertentu tidak dapat diungkapkan kepada umum berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau keadaan khusus lainnya yang berkaitan dengan keselamatan dan keamanan publik. Misalnya, temuan terinci mengenai pengamanan aktiva maupun sistem informasi dapat dikecualikan dari laporan hasil pemeriksaan yang dapat diakses oleh publik karena berpotensi terjadinya penyalahgunaan informasi tersebut. Dalam situasi tersebut, BPK dapat menerbitkan laporan terpisah yang memuat informasi dimaksud dan didistribusikan kepada kalangan tertentu yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan peraturan 10 perundangundangan yang berlaku. Apabila memungkinkan, BPK dapat berkonsultasi dengan konsultan hukum mengenai ketentuan, permintaan atau keadaan yang menyebabkan tidak diungkapkannya informasi tertentu dalam laporan hasil pemeriksaan. [Paragraf 35] Pertimbangan pemeriksa mengenai tidak diungkapkannya informasi tertentu tersebut harus mengacu kepada kepentingan publik. Jika situasi mengharuskan penghilangan informasi tertentu, pemeriksa harus mempertimbangkan apakah penghilangan tersebut dapat mengganggu hasil pemeriksaan atau melanggar hukum. Jika pemeriksa memutuskan untuk menghilangkan informasi tertentu, pemeriksa harus menyatakan sifat informasi yang dihilangkan dan alasan penghilangan tersebut. 33
Lampiran VIII Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor : 01 Tahun 2007 Tanggal : 7 Maret 2007 Standar Pemeriksaan Pernyataan Nomor 07 Standar Pelaporan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu PELAPORAN INFORMASI RAHASIA [Paragraf 21 ] Pernyataan standar pelaporan tambahan keempat adalah: “Informasi rahasia yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundangundangan untuk diungkapkan kepada umum tidak diungkapkan dalam laporan hasil pemeriksaan. Namun laporan hasil pemeriksaan harus mengungkapkan sifat informasi yang tidak dilaporkan tersebut dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menyebabkan tidak dilaporkannya informasi tersebut”. [Paragraf 22] Informasi tertentu dapat dilarang untuk diungkapkan kepada umum oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. Informasi tersebut mungkin hanya dapat diberikan kepada pihak yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mempunyai kewenangan untuk mengetahuinya. Situasi lain yang berkaitan dengan keamanan publik dapat juga mengakibatkan informasi tersebut dilarang untuk diungkapkan dalam laporan hasil pemeriksaan. Sebagai contoh, informasi rinci tentang pengamanan komputer untuk suatu program dapat dikeluarkan dari pelaporan publik guna mencegah penyalahgunaan informasi tersebut. Dalam situasi tersebut, BPK dapat menerbitkan satu laporan resmi yang berisi informasi di atas dan mendistribusikannya kepada pihak yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila memungkinkan, BPK dapat berkonsultasi dengan konsultan hukum mengenai ketentuan permintaan atau keadaan yang menyebabkan tidak diungkapkannya informasi tertentu dalam laporan hasil pemeriksaan. [Paragraf 23] Pertimbangan pemeriksa mengenai tidak diungkapkannya informasi tertentu tersebut harus mengacu kepada kepentingan publik. Jika situasi mengharuskan penghilangan informasi tertentu, pemeriksa harus mempertimbangkan apakah penghilangan tersebut dapat mengganggu hasil pemeriksaan atau melanggar hukum. Jika pemeriksa memutuskan untuk menghilangkan informasi tertentu, pemeriksa harus menyatakan sifat informasi yang dihilangkan dan alasan penghilangan tersebut. PENERBITAN DAN PEMERIKSAAN
PENDISTRIBUSIAN
LAPORAN
HASIL
[Paragraf 24] Pernyataan standar pelaporan tambahan kelima adalah: “Laporan hasil pemeriksaan diserahkan kepada lembaga perwakilan, entitas yang diperiksa, pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengatur entitas yang diperiksa, pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan, dan kepada pihak lain yang diberi wewenang untuk menerima laporan hasil pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku”.
34
[Paragraf 25] Laporan hasil pemeriksaan harus didistribusikan tepat waktu kepada pihak yang berkepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun dalam hal yang diperiksa merupakan rahasia negara maka untuk tujuan keamanan atau dilarang disampaikan kepada pihakpihak tertentu atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pemeriksa dapat membatasi pendistribusian laporan tersebut. [Paragraf 26] Walaupun SPAP meminta suatu laporan perikatan atestasi untuk mengevaluasi suatu asersi berdasarkan kriteria yang disepakati atau penerapan suatu prosedur yang disepakati harus memuat pernyataan yang membatasi penggunaannya kepada pihak-pihak yang telah menyepakati kriteria dan prosedur tersebut, tetapi pernyataan tersebut tidak membatasi pendistribusian laporan. [Paragraf 27] Apabila akuntan publik atau pihak lain yang ditugasi untuk melakukan pemeriksaan berdasarkan Standar Pemeriksaan, akuntan publik atau pihak lain tersebut harus memastikan bahwa laporan hasil pemeriksaan didistribusikan secara memadai. Jika akuntan publik tersebut ditugasi untuk mendistribusikan laporan hasil pemeriksaannya, maka perikatan/penugasan tersebut harus menyebutkan pihak yang harus menerima laporan hasil pemeriksaan tersebut. [Paragraf 28] Apabila suatu pemeriksaan dihentikan sebelum berakhir, tetapi pemeriksa tidak mengeluarkan laporan hasil pemeriksaan, maka pemeriksa harus membuat catatan yang mengikhtisarkan hasil pemeriksaannya sampai tanggal penghentian dan menjelaskan alasan penghentian pemeriksaan. Pemeriksa juga harus mengkomunikasikan secara tertulis alasan penghentian pemeriksaan tersebut kepada manajemen entitas yang diperiksa, entitas yang meminta pemeriksaan tersebut, atau pejabat lain yang berwenang. [Paragraf 29] Apabila akuntan publik atau pihak lainnya yang melakukan pemeriksaan untuk dan atas nama BPK berpendapat bahwa pemeriksaan harus dihentikan sebelum berakhir maka akuntan publik atau pihak lain tersebut wajib mengkonsultasikan pendapatnya tersebut terlebih dahulu kepada BPK. Selanjutnya, BPK akan memutuskan apakah pemeriksaan harus dilanjutkan atau dihentikan. 4. bahwa berdasarkan Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Informasi Publik pada Badan Pemeriksa Keuangan (Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2011). Dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa: Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala meliputi: a. Laporan Hasil Pemeriksaan yang telah disampaikan kepada DPR, DPD, dan DPRD; b. Evaluasi BPK terhadap pelaksanaan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilaksanakan oleh Kantor Akuntan Publik beserta laporan hasil pemeriksaannya yang telah disampaikan kepada DPR, DPD, dan DPRD; dan c. informasi publik lainnya. 35
Pasal 7 Laporan Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi: a. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara/Daerah, dan Laporan Keuangan; b. Badan/Lembaga lain yang mengelola Keuangan Negara/Daerah; c. Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja; d. Laporan Hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu; dan e. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester. Pasal 11 Informasi Publik yang dikecualikan meliputi: a. informasi terkait dengan proses pemeriksaan atau proses evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dan huruf b; b. Laporan Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dan huruf b yang memuat: 1. rahasia negara; 2. hasil pemeriksaan investigatif dan pemeriksaan Fraud Forensic; dan 3. informasi publik yang menurut Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dikecualikan untuk dipublikasikan; c. informasi publik yang dimuat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 3 meliputi: 1. informasi publik yang apabila dibuka dapat menghambat proses penegakan hukum; 2. informasi publik yang dapat mengganggu kepentingan perlindungan atas hak kekayaan intelektual atau persaingan usaha tidak sehat; 3. informasi publik yang terkait dengan strategi, intelijen, dan sistem pertahanan dan keamanan negara; 4. informasi publik yang mengungkapkan kekayaan alam negara Indonesia; 5. informasi publik yang apabila dibuka dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional, antara lain pengawasan terhadap perbankan, asuransi, dan lembaga keuangan lainnya; 6. informasi publik yang apabila dibuka dapat mengganggu hubungan luar negeri; dan 7. informasi yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan proses pencetakan uang; dan/atau informasi yang menurut undang-undang tidak boleh diungkapkan; d. pedoman pemeriksaan yang meliputi pedoman, standar, panduan, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis, prosedur operasional standar, dan seri panduan yang berlaku di lingkungan BPK; e. memorandum atau surat-surat antara BPK dengan Badan Publik lainnya atau disposisi dan nota dinas internal BPK yang menurut sifatnya dirahasiakan; f. data pribadi pejabat dan pegawai di lingkungan BPK; dan informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan undang-undang. Berdasarkan hal diatas Majelis Komisioner berpendapat bahwa Termohon telah memiliki mekanisme perlakuan atas informasi dikecualikan atau dirahasiakan, 36
sehingga pada saat mendistribusikan informasi yang mengadung informasi dikecualikan Termohon seharusnya dapat lebih cermat dalam mengklasifikasikan dokumen yang mengandung unsur informasi dikecualikan. Dengan demikian Termohon dalam menyampaikan informasi a quo seharusnya dapat dibedakan antara yang disampaikan kepada pihak aparat penegak hukum (KPK RI, POLRI dan Kejaksaan Agung) dengan dokumen yang disampaikan kepada bukan aparat penegak hukum (DPR RI), sehingga penolakan pemberian informasi oleh Termohon menjadi tidak relevan dan sepatutnya ditolak.
[4.37] Menimbang berdasarkan ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 UU Nomor 15 Tahun 2004 jo Pasal 11 Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2011 dan Pasal 17 huruf (a) UU KIP Majelis Komisioner berpendapat bahwa pada laporan hasil pemeriksaan investigatif dan pemeriksaan Fraud Forensic adalah dokumen yang dikecualikan
sedangkan
didalam laporan tersebut terdapat informasi tentang adanya dugaan tindak pidana, sehingga yang berwenang mengetahui atau mengakses hanya aparat penegak hukum. Sedangkan berdasarkan Pasal 9
UU KIP jo Pasal 7 ayat (5) UU 15 Tahun 2005
tentang BPK jo Pasal 6 Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2011 Laporan Hasil Pemeriksaan yang telah disampaikan kepada DPR, DPD, dan DPRD adalah informasi terbuka dan dapat diakses oleh publik. Dengan demikian Majelis Komisoner berpendapat bahwa Laporan hasil pemeriksaan merupakan laporan terbuka setelah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Sehingga penolakan informasi oleh Termohon menjadi tidak relevan dan sepatutnya ditolak
[4.38] Menimbang bahwa dalam laporan hasil audit BPK tentang Pembangunan Pusat Pelatihan Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Stadion Hambalang jilid I dan Jilid II diawali dari adanya permintaan audit investigatif pimpinan DPR RI kepada Termohon (vide kesimpulan dan keterangan Termohon), setelah melakukan audit investigatif Termohon menemukan adanya dugaan tindak pidana atas proyek pembangunan Stadion Hambalang jilid I dan jilid II. Selanjutnya pihak Termohon menyampaikan dokumen LHP investigatif (tahap II) Pembangunan Pusat Pelatihan Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang kepada pihak DPR RI, KPK, Kejaksaan Agung RI dan Kepolisian RI dengan sifat rahasia dan dokumen tersebut diterima dalam bentuk yang sama (vide keterangan Termohon dan hasil pemeriksaan setempat). Bahwa atas hal tersebut Majelis Komisioner berpendapat 37
seharusnya Termohon menyajikan dokumen dalam format a quo hanya kepada penegak hukum (KPK, Kejaksaan Agung RI dan Kepolisian RI). Sedangkan format informasi yang disampaikan kepada pihak bukan aparat penegak hukum (DPR RI) hanya terkait hasil investigatif tanpa mengandung unsur informasi dikecualikan. Sehingga penolakan informasi oleh Termohon menjadi tidak relevan dan sepatutnya ditolak. [4.39] Menimbang bahwa dalam setiap pengelolaan dokumen hasil pemeriksaan yang di sampaikan ke DPR merupakan informasi terbuka (vide Pasal 7 ayat (5) Undangundang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan) namun apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan (vide Pasal 14 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan) dalam hal Majelis Komisioner berpendapat bahwa yang berwenang untuk mendapatkan laporan pemeriksaan yang ditemukan unsur pidana adalah hanya aparat penegak hukum dalam hal ini adalah KPK, Kejaksaan Agung RI dan Kepolisian RI. Sehingga penolakan informasi oleh Termohon menjadi tidak relevan dan sepatutnya ditolak [4.40] Menimbang bahwa dalam keterangan tertulis DPR RI yang pada pokoknya bahwa: 1. bahwa benar DPR RI meminta BPK untuk melakukan audit investigatif terhadap pelaksanaan pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor. 2. bahwa DPR RI telah menerima hasil audit BPK. 3. bahwa hasil audit investigatif BPK diserahkan kepada pimpinan Komisi X DPR RI dan pimpinan BAKN (Badan Akuntabilitas Keuangan Negara), namun sesuai dengan ketentuan Pasal 17 huruf a UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, informasi tersebut termasuk kategori Informasi Publik yang dikecualikan dan dokumen tersebut telah disampaikan ke KPK, maka pengelolaanya ada pada KPK. [4.41] Menimbang bahwa dalam fakta persidangan saksi dari KPK pada pokoknya menerangkan bahwa penyidikan KPK akan terhambat jika dokumen LHP tersebut terakses oleh publik karena dalam LHP tahap pertama maupun LHP tahap kedua sudah menyebutkan pihak terkait yang perlu didalami keterlibatannya dalam kasus Hambalang. [4.42] Menimbang bahwa berdasarkan keterangan tertulis DPR RI yang menyatakan bahwa: 38
1. bahwa benar DPR RI meminta BPK untuk melakukan audit investigatif terhadap pelaksanaan pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor. 2. bahwa DPR RI telah menerima hasil audit BPK. 3. bahwa hasil audit investigatif BPK diserahkan kepada pimpinan Komisi X DPR RI dan pimpinan BAKN (Badan Akuntabilitas Keuangan Negara), [4.43] Menimbang bahwa dalam penyajian dokumen dikecualikan di Badan Publik Termohon telah diatur dalam: 1. Paragraf 29 sampai dengan Paragraf 35, Lampiran IV, Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor : 01 Tahun 2007 Tanggal : 7 Maret 2007 Standar Pemeriksaan Pernyataan Nomor 03 Standar Pelaporan Pemeriksaan Keuangan; 2. Paragraf 33 sampai dengan Paragraf 35, Lampiran VI, Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Nomor : 01 Tahun 2007 Tanggal : 7 Maret 2007, Standar Pemeriksaan Pernyataan Nomor 05 Standar Pelaporan Pemeriksaan Kinerja; 3. Paragraf 21 sampai dengan Paragraf 29, Lampiran VIII Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor: 01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, Tanggal : 7 Maret 2007 Standar Pemeriksaan Pernyataan Nomor 07 Standar Pelaporan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu, dan; 4. Pasal 7 dan Pasal 11 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Informasi Publik pada Badan Pemeriksa Keuangan. Maka Termohon harus hati-hati dan cermat dalam menghasilkan, mengolah, mengelola dan menyajikan dokumen hasil pemeriksaan investigatif yang memuat informasi dikecualikan. Informasi yang mengandung informasi dikecualikan tidak dapat diberikan kepada pihak selain pihak yang memiliki kewenangan.
[4.44] Menimbang bahwa penyajian atau penyampaian informasi yang mengandung unsur dikecualikan tetap berprinsip pada setiap Badan Publik wajib melakukan pengujian tentang konsekuensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dengan saksama dan penuh ketelitian sebelum menyatakan Informasi Publik tersebut dikecualikan untuk diakses oleh publik. 39
[4.45] Menimbang bahwa dengan adanya fakta persidangan dan uraian paragraf [4.40] sampai dengan paragraf [4.44] bahwa Termohon menyampaikan informasi yang dikecualikan kepada pihak yang tidak berwenang menjadikan relevansi pengecualian atas informasi tersebut menjadi tidak ada, dengan demikian Majelis berpendapat penolakan informasi oleh Termohon menjadi tidak relevan dan sepatutnya ditolak. [4.46] Menimbang bahwa Termohon dalam mengelola informasi a quo dimana informasi tersebut mengandung informasi yang dikecualikan, maka seharusnya dalam menyajikan informasi tersebut Termohon dapat dengan mengaburkan atau menutup dokumen yang mengandung informasi yang dikecualikan. Sebagai ilustrasi perlakuan dan pengamanan dokumen yang dikecualikan sebagaimana yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan RI, dalam konteks ini misalnya dokumen Soal-soal Ujian Nasional. Sejak masa proses pembuatan soal, telah dilakukan dengan sangat hati-hati, melalui pengumpulan bank soal sampai dengan penyusunan, pembuatan dan penggandaan soal yang dilakukan secara rahasia dengan pemberian kode-kode tertentu, serta pada saat pendistribusian soal yang melibatkan pengamanan dari pihak kepolisian, hingga selanjutnya pada saat pelaksanaan ujian juga melibatkan pengawas-pengawas, baik dari unsur pemerintah atau pihak-pihak lain yang telah ditentukan melalui surat keputusan tertentu, bahkan sampai dengan selesainya ujian dilaksanakan, soal ujian tersebut masih dikumpulkan kembali oleh pengawas dan panitia ujian untuk diamankan dalam pengelolaaannya. (fakta persidangan putusan Nomor: 244/VII/KIP-PS-M-A/2012 antara ICW dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
dan Prosedur Operasi Standar Ujian Nasional Sekolah Menengah
Pertama, Madrasah Tsanawiyah, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menengah Atas, Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Atas Luar Biasa, Dan Sekolah Menengah Kejuruan Tahun pelajaran 2011/2012)
[4.47] Menimbang bahwa seharusnya dalam pengelolaan informasi yang dikecualikan Badan Publik harus cermat dan teliti, baik dalam tahap pembuatan, penyimpanan, pengiriman maupun pengelolaannya, maka menjadi sangat penting bagi Badan Publik memiliki standar operasional prosedur untuk pengelolaan informasi atau dokumen yang dikecualikan atau yang dinyatakan oleh badan publik mengandung unsur-unsur yang dikecualikan. 40
[4.48] Menimbang bahwa dengan ditolaknya alasan pengecualian dari Termohon oleh Majelis Komisioner, maka kerahasiaan atas dokumen a quo menjadi tidak relevan sehingga sepatutnya Termohon memberikan informasi a quo.
5.KESIMPULAN [5.1] Berdasarkan seluruh uraian dan fakta hukum di atas, Majelis Komisioner berkesimpulan: 1. Komisi Informasi Pusat berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutus permohonan a quo. 2. Pemohon memiliki kedudukan hukum {legal standing) untuk mengajukan permohonan dalam sengketaa quo. 3. Termohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Termohon dalam sengketa a quo. 4. Jangka waktu permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik yang diajukan Pemohon telah sesuai dengan ketentuan UU KIP dan Perki No. 1 Tahun 2013.
6. AMAR PUTUSAN Memutuskan,
[6.1]
Menyatakan permohonan
informasi Pemohon berupa informasi yang
dimohonkan yaitu hasil audit BPK tentang Pembangunan Pusat Pelatihan Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Stadion Hambalang jilid I dan Jilid II berupa berkas hardfile yang telah dilengkapi dengan pengesahan stempel dan tanda tangan pejabat berwenang adalah informasi terbuka. [6.2] Memerintahkan kepada Termohon untuk memberikan informasi sebagaimana tersebut dalam paragraf [6.1] kepada Pemohon selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan ini diterima Termohon;
41
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Majelis Komisioner yaitu John Fresly selaku Ketua merangkap Anggota, Abdulhamid Dipopramono dan Yhannu Setyawan masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal 22 September 2014 dengan adanya dissenting opinion oleh Komisioner John Fresly dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Senin, tanggal 20 Oktober 2014 oleh Majelis Komisioner yang nama-namanya tersebut di atas, dengan didampingi oleh Ramlan Achmad sebagai Panitera Pengganti dan dihadiri oleh
Anggota Majelis
Anggota Majelis
(AbdulhamicP©ipo[ ramono)
Panitera Pengganti
(Ramlan Achmad)
42
7.
P E N D A P A T B E R B E D A ( D I S S E M I N G OPIXIO.X)
[7.1] Pendapat Berbeda dinyatakan oleh Majelis Komisioner John Fresly sebagai berikut: [7.2] Menimbang bahwa dalam anotasi UU KIP diuraikan bahwa Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat, terbatas, dan tidak mutlak / tidak permanen. Meskipun pada dasarnya informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses, namun dalam praktek tidak semua informasi dapat dibuka. Ada informasi tertentu yang apabila dibuka dapat menimbulkan kerugian atau bahaya bagi kepentingan publik maupun kepentingan yang sah dilindungi oleh UU. Namun prinsipnya, pengecualian informasi publik tersebut haruslah untuk melindungi kepentingan publik itu sendiri. Pengecualian informasi bersifat ketat mengindikasikan bahwa UU KIP menghendaki adanya dasar keputusan yang obyektif dalam melakukan pembatasan melalui pengecualian informasi. Sifat ketat juga menghendaki pengecualian informasi harus dilakukan secara teliti dan cermat. Untuk itu, UU ini memperkenalkan uji konsekuensi bahaya (consequential harm test) dan uji kepentingan publik (balancing public interest test). Uji konsekuensi bahaya mewajibkan agar Badan Publik dalam menetapkan informasi yang dikecualikan mendasarkan pada pertimbangan bahwa apabila informasi tersebut dibuka, maka akan menimbulkan kerugian atau bahaya bagi kepentingan publik maupun kepentingan yang dilindungi oleh hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 19. Sedangkan uji kepentingan publik mewajibkan agar Badan Publik membuka informasi yang dikecualikan jika kepentingan publik yang lebih besar menghendaki atau sebaliknya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (4). Pembatasan terhadap informasi yang dikecualikan/kerahasiaan - sebagai pembatasan hak akses - sebagaimana diatur dalam UU KIP ini dapat dilihat dari segi: a) obyek informasinya, misalnya dengan kewajiban melakukan penghitaman/pengaburan terhadap informasi yang dikecualikan (lihat Pasal 21 Ayat (7) huruf e UU KIP) dan masa keberlakukannya sehingga memunculkan aturan masa retensi sebagaimana diatur pada Pasal 20 UU KIP; dan b) proses/cara penetapan informasi rahasia, misalnya dalam menetapkan sebagai informasi rahasia harus melalui pertimbangan-pertimbangan yang obyektif mengacu pada UU KIP. Lihat Pasal 2 Ayat (4) dan Pasal 19 UU KIP, Pengecualian informasi bersifat tidak mutlak/permanen artinya bahwa tidak ada pengecualian informasi berlaku selama-lamanya. Pengecualian informasi harus dapat dibuka apabila dikehendaki oleh kepentingan publik yang lebih besar sebagaimana dijelaskan di atas. Selain itu, pengecualian informasi juga harus memiliki masa retensi. Ketentuan masa retensi ini diatur dalam Pasal 2 UU KIP dan diatur lebih lanjut dalam Pasal 8 dan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang peraturan pelaksanaan UU KIP Yang dimaksud dengan “konsekuensi yang timbul” adalah konsekuensi yang membahayakan kepentingan yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang ini apabila suatu Informasi dibuka. Suatu Informasi yang dikategorikan terbuka atau tertutup 43
suatu Informasi dibuka. Suatu Informasi yang dikategorikan terbuka atau tertutup harus didasarkan pada kepentingan publik. Jika kepentingan publik yang lebih besar dapat dilindungi dengan menutup suatu Informasi, Informasi tersebut harus dirahasiakan atau ditutup dan/atau sebaliknya. (Anotasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Komisi Informasi Pusat Republik Indoensia bekerja sama dengan Indonesian Center for Environmental law (ICEL), Yayasan TIFA, Jakarta, 2009, halaman!4) [7.3] Menimbang bahwa dalam laporan hasil hasil audit BPK tentang Pembangunan Pusat Pelatihan Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Stadion Hambalang jilid I dan Jilid II diawali dari adanya permintaan audit investigatif pimpinan DPR RI kepada Termohon (vide kesimpulan dan keterangan Termohon), setelah melakukan audit investigatif Termohon menemukan adanya dugaan tindak pidana atas proyek pembangunan Stadion Hambalang jilid I dan Jilid II. Selanjutnya pihak Termohon menyampaikan dokumen LHP investigatif (tahap II) Pembangunan Pusat Pelatihan Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang kepada pihak DPR RI, KPK, Kejaksaan Agung RI dan Kepolisian RI dengan sifat rahasia dan dokumen tersebut diterima dalam bentuk yang sama (vide keterangan Termohon dan hasil pemeriksaan setempat).
[7.4] Menimbang bahwa Informasi Publik yang apabila dibuka atau diberikan dapat menghambat proses penegakan hukum di dalam dokumen LHP investigatif (tahap II) Pembangunan Pusat Pelatihan Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang adalah informasi menyangkut inisial nama-nama yang diduga melakukan tindakan pidana dan informasi yang berkaitan dengan proses analisa atas hasil pemeriksaan dokumen a quo.
[7.5] Menimbang bahwa berdasarkan penjelasan pada paragraf
[7.4], dengan
diterimanya dokumen LHP Investigatif (tahap II) Pembangunan P3SON Hambalang yang bersifat rahasia oleh pihak aparat penegak hukum (KPK RI, Polri, Kejaksaan Agung RI) dan bukan aparat penegak hukum (DPR RI) dalam format yang sama maka derajat kerahasiaannya menjadi tereduksi. Majelis Komisioner John Fresly berpendapat bahwa hal ini tidak menghilangkan sifat kerahasiaannya namun tidak semua informasi yang terkandung di dalam dokumen a quo dikecualikan. [7.6] Menimbang bahwa penyerahan dokumen LHP investigatif BPK kepada DPR sebagai institusi yang bukan aparat penegak hukum suatu Informasi Publik 44
dikecualikan yang menurut sifatnya dirahasiakan, tidak menghilangkan sifat rahasia dari informasi yang dikecualikan tersebut sepanjang masa retensinya belum berakhir.
[7.7] Menimbang bahwa kepentingan Pemohon untuk mengatasnamakan kepentingan publik tidak dijelaskan dalam persidangan sehingga uji kepentingan publik terhadap dokumen LHP yang dikecualikan oleh Termohon tidak perlu dilakukan.
[7.8] Menyatakan informasi dokumen LHP investigatif (tahap II) Pembangunan P3SON Hambalang merupakan informasi dikecualikan untuk sebagian.
[7.9] Memerintahkan kepada Termohon untuk memberikan dokumen resmi dokumen LHP investigatif tahap I dan tahap II Pembangunan P3SON Hambalang dengan menghitamkan atau mengaburkan bagian yang menyebutkan atau memuat inisial nama-nama yang diduga melakukan tindakan pidana dan informasi yang berkaitan dengan proses analisa atas hasil pemeriksaan dokumen a quo.
45
Untuk salinan Putusan ini sah dan sesuai dengan aslinya diumumkan kepada masyarakat berdasarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Pasal 59 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik.
Jakarta, Oktober 2014 Panitera Pengganti
(Ramlaii Achmad)
46