IDENTIFIKASI KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN Mendra Wijaya
Tenaga Ahli Bidang Kebijakan Publik Sub Direktorat Perumahan dan Kawasan Permukiman Direktorat Urusan Pemerintahan Daerah II Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri
=================================================== BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam perspektif desentralisasi, daerah-daerah otonom yang ada sekarang ini bukan lagi merupakan kelanjutan dari daerah terdahulu. Namun, daerah-daerah otonom tersebut dibentuk berdasarkan kepada Undang-undang Pemerintahan Daerah sehingga seluruh potensi yang ada di daerah dapat digali sebaik-baiknya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rumah tangga daerah terdiri atas :1 1. Urusan-urusan yang diserahkan kepada daerah otonomi sebagai urusan rumah tangganya masing-masing dan mereka dapat secara otonom menyelesaikan permasalahan rumah tangga daerahnya tersebut. Urusan-urusan yang diciptakan oleh sebuah daerah otonom dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya itu harus dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang benar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, juga tetap harus berada dalam koridor kepentingan umum yang berbasis
1
Sudi Fahmi, Hukum Otonomi Daerah, Penerbit Total Media, Yogyakarta. 2009. hlm. 3-4.
1
management by law sebagai indikator pengukur bagi Pemerintah Daerah dalam mengambil kebijakan. 2. Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan otonomi daerah pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi nyata dan bertanggungjawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban dari pada hak, maka setelah terjadi reformasi kebijakan pemerintah terhadap daerah pun mengalami pergeseran yang signifikan. Pergeseran itu terlihat pada pemberian kewenangan otonomi daerah kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang didasarkan pada asas desentralisasi, atau disamping adanya otonomi nyata dan bertanggungjawab juga adanya wujud otonomi luas. Bila
ditelusuri
kembali
dinamika
perkembangan
konsep
desentralisasi, maka akan terlihat dengan jelas bahwa perjalanannya, ia tidak pernah luput dari kritik, atau bahkan melahirkan polemik antara pihak yang pro dan kontra atas konsep desentralisasi itu sendiri. Perdebatan pada tataran konseptual tersebut, tidak saja telah berimplikasi pada semakin berkembangnya konsep desentralisasi, tetapi juga telah memunculkan kerumitan-kerumitan tertentu dalam memahami konsep itu sendiri. Desentralisasi adalah asas penyelenggaraan pemerintahan yang dipertentangkan
dengan
sentralisasi.
Desentralisasi
menghasilkan
pemerintahan lokal (local government), disana terjadi, “…. a “superior” government – one encompassing a large jurisdiction assigns responsibility, authority, or function to ‘lower’ government unit – one encompassing a smaller jurisdiction – that is assumed to have some degree of authonomy.2 Adanya
2
Harry Friedman, Decentralized Development In Asia, dalam G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (Editors), Decentralization And Development Policy Implementation In Developing Countries, Sage Publications, Beverly Hills/ London/ New Delhi, 1985. hal. 35, dalam Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusamedia, Bandung, 2009. hal. 61.
2
pembagian kewenangan serta tersedianya ruang gerak yang memadai untuk memaknai kewenangan yang diberikan kepada unit pemerintahan yang lebih rendah (pemerintahan lokal), merupakan perbedaan terpenting antara konsep desentralisasi dan sentralisasi. Namun perbedaan konsep ini jelas menjadi remang-remang tatkala diterapkan dalam dinamika pemerintahan yang sebenarnya.3 Desentralisasi oleh Rondinelli dan Cheema didefinisikan cukup longgar, tetapi tergolong perspektif administrasi yaitu, “transfer or planning, decision making or administrative authority from central government to its field organizations, local administrative units, semi authonomous and parastatal organizations, local government, or non government organizations”. (Peralihan kewenangan perencanaan, pengambilan keputusan, dan administrative dari pemerintah pusat ke organisasi lapangan, satuan administrative daerah, lembaga-lembaga semi otonom dan antar daerah (parastatal),
pemerintah
daerah,
atau
lembaga-lembaga
swadaya
masyarakat.4 Sebagai dasar hukum diberikannya hak otonomi daerah adalah pasal 18 ayat 12 perubahan kedua UUD 1945. Berdasarkan pasal 18 UUD 1945 pemerintah atas persetujuan DPR mengeluarkan undang-undang tentang pokok-pokok pemerintah di daerah No. 5 tahun 1974 yang telah diganti dengan undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah di dalam undang-undang ini, disebutkan bahwa pelaksanaan otonomi didasarkan kepada prinsip nyata, luas dan bertanggung jawab, selanjutnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 direvisi menjadi
3
Riswandi Imawan, Desentralisasi, Demokratisasi, dan Pembentukan Good Government, dalam Syamsuddin Haris (Editor) Desentralisasi….. dalam Ni’matul Huda, ibid. 4 Ibid. hal. 62.
3
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 lalu direvisi kembali menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.5 Paragima Pemerintahan Daerah yang baru sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
sebetulnya
tersirat
keinginan
untuk
membangun
sistem
pemerintahan yang lebih demokratis, di mana proses politik sera partisipasi masyarakat dan pemerintahan bekerja secara lebih efektif. Selain itu Undang-Undang ini juga merupakan upaya perombakan total dari Undang-Undang yang sebelumnya, yang mana pada saat ini terlihat sedang berlangsung arus balik kekuasaan dari pusat ke daerah yang lebih kompleks. Sesuai dengan isi konsideran menimbang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 disebutkan : a. bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang; b. bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat
melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip
5
Pemerintahan Daerah dibentuk berdasarkan amanat konstitusi pasal 18 UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 telah melahirkan berbagai produk undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, UndangUndang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014. Lihat juga H. Siswanto Suwarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. hlm. 54. Secara normatif Undang-Undang tersebut telah mengikuti perkembangan perubahan keperintahan daerah sesuai zamannya. Secara empiris Undang-Undang tersebut dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan undang-undang sebelumnya memberikan implikasi terhadap kedudukan dan peran formal kekuasaan eksekutif lebih dominan dari kekuasaan legislatif.
4
demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu
ditingkatkan
dengan
lebih
memperhatikan
aspek-aspek
hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan antardaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan
global
dalam
kesatuan
sistem
penyelenggaraan
pemerintahan negara; d. bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
tidak
sesuai
lagi
dengan
perkembangan
keadaan,
ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga perlu diganti; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah; Dalam penjelelasan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan
Daerah,
pemikiran butir a disebutkan :
pada
penjelasanan
umum,
dasar
Hubungan Pemerintah Pusat dengan
Daerah dapat dirunut dari alinea ketiga dan keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Alinea ketiga memuat pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sedangkan alinea
keempat
memuat
pernyataan
bahwa
setelah
menyatakan
kemerdekaan, yang pertama kali dibentuk adalah Pemerintah Negara Indonesia yaitu Pemerintah Nasional yang bertanggung jawab mengatur dan mengurus bangsa Indonesia. Lebih lanjut dinyatakan bahwa tugas Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi seluruh bangsa dan tumpah
darah
Indonesia,
memajukan
kesejahteraan
umum
dan
mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
5
Selanjutnya Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai Negara kesatuan adalah dibentuknya pemerintah Negara Indonesia sebagai pemerintah nasional untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional tersebutlah yang kemudian membentuk Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan dan diberikan otonomi yang seluasluasnya. Pemberian
otonomi
yang
seluas-luasnya
kepada
Daerah
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan
pelayanan,
pemberdayaan,
dan
peran
serta
masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, dalam lingkungan strategis globalisasi, Daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintahan Daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan Pemerintahan Nasional. Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan
6
oleh Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas Daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren.
Urusan
pemerintahan
konkuren
terdiri
atas
Urusan
Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi, dan Daerah kabupaten/kota. Urusan Pemerintahan Wajib dibagi dalam Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak terkait Pelayanan Dasar. Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional masyarakat. Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi dengan Daerah kabupaten/kota walaupun Urusan Pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak dari skala atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan
tersebut.
Walaupun
Daerah
provinsi
dan
Daerah
kabupaten/kota mempunyai Urusan Pemerintahan masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan terdapat hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Di
samping
urusan
pemerintahan
absolut
dan
urusan
pemerintahan konkuren, dalam Undang-Undang ini dikenal adanya urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan umum menjadi
7
kewenangan
Presiden
sebagai
kepala
pemerintahan
yang
terkait
pemeliharaan ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, menjamin hubungan yang serasi berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara serta memfasilitasi kehidupan demokratis. Presiden dalam pelaksanaan urusan pemerintahan umum di Daerah melimpahkan kepada gubernur sebagai kepala pemerintahan provinsi dan kepada bupati/wali kota sebagai kepala pemerintahan kabupaten/kota. Pembagian urusan pemerintahan di Indonesia pada hakikatnya dibagi kedalam tiga kategori, yakni urusan pemerintahan yang dikelola oleh
pemerintah
pusat
(pemerintah),
urusan
pemerintahan
yang
dilaksanakan oleh pemerintah daerah provinsi, dan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/ kota. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat, yaitu : 1.
Politik Luar Negeri
2.
Pertahanan
3.
Keamanan
4.
Moneter dan Fiskal
5.
Yustisi
6.
Agama Urusan pemerintahan dimaksud meliputi : politik luar negeri dalam
arti mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk warga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri, dan sebagainya; pertahanan misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian wilayah negara dalam keadaan bahaya,
8
membangun dan mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer bela negara bagi setiap warga negara dan sebagainya; keamanan misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang yang melanggar hukum negara, menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan negara dan sebagainya; moneter misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang dan sebagainya; yustisi misalnya mendirikan lembaga peradilan,
mengangkat
hakim
dan
jaksa,
mendirikan
lembaga
pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan
grasi,
amnesti,
abolisi,
membentuk
undang-undang,
Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan peraturan lain yang berskala nasional, dan lain sebagainya; dan agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya; dan bagian tertentu urusan pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada daerah.6 Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi dalam tiga kriteria, yaitu
kriteria
eksternalitas,
akuntabilitas
dan
efisiensi
dengan
memerhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan, sebagai suatu sistem antara hubungan kewenangan pemerintah, kewenangan pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah kabupaten/ kota, atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis.7 Untuk 6
Lihat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika. Jakarta. 2006. hal. 35. Selanjutnya Siswanto mengatakan bahwa Sistem pemerintahan daerah di Indonesia, menurut konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, berdasarkan penjelesan dinyatakan bahwa daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat 7
9
mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan. Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib pelayanan dasar serta urusan wajib non pelayanan dasar dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan
ruang;
perumahan
rakyat
dan
kawasan
permukiman;
ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan sosial. kemudian urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar, seperti : tenaga kerja; pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak; pangan; pertanahan; lingkungan hidup; administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; pemberdayaan masyarakat dan Desa; pengendalian penduduk dan keluarga berencana, perhubungan, komunikasi dan informatika; koperasi, usaha kecil, dan menengah; dan lain-lain. Sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah. Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang akan terus ada dan berkembang sesuai dengan tahapan atau siklus kehidupan manusia. Selain sebagai pelindung terhadap gangguan alam maupun cuaca serta makhluk lainnya, rumah juga memiliki fungsi sosial sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, nilai kehidupan, penyiapan generasi muda, dan sebagai manifestasi jatidiri. Dalam kerangka
hubungan
ekologis
antara
manusia
dan
lingkungan
pemukimannya, maka terlihat bahwa kualitas sumberdaya manusia di otonom (streek dan locale rechtesgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
10
masa yang akan dating sangat dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan pemukiman dimana manusia menempatinya. Dilihat dari proses pemukiman, rumah merupakan sarana pengaman bagi manusia, pemberi ketentraman hidup dan sebagai pusat kegiatan berbudaya. Dalam fungsinya sebagai alat pengaman diri, rumah tidak dimaksudkan untuk pelindung yang menutup diri penghuninya seperti sebuah benteng, tetapi pelindung yang justru juga harus membuka diri dan menyatu sebagai bagian dari lingkungannya. Perumahan dan pemukiman selain merupakan kebutuhan dasar manusia juga mempunyai fungsi yang strategis dalam perannya sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, dan peningkatan kualitas generasi yang akan datang serta merupakan pengaktualisasian jati diri. Terwujudnya kesejahteraan rakyat dapat ditandai dengan meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat melalui pemenuhan kebutuhan papannya. Masalah perumahan adalah masalah yang kompleks, yang bukan semata-mata aspek fisik membangun rumah, tetapi terkait sektor yang amat luas dalam pengadaannya, seperti pertanahan, industri bahan bangunan, lingkungan hidup dan aspek sosial ekonomi budaya masyarakat,
dalam
upaya
membangun
aspek-aspek
kehidupan
masyarakat yang harmonis. Oleh karena itu, pembangunan perumahan secara
keseluruhan
tidak
dapat
dilepaskan
dari
keseluruhan
pembangunan permukiman dan bagian penting dalam membangun kehidupan masyarakat yang effisien dan produktif. Pembangunan perumahan dan permukiman merupakan kegiatan yang bersifat multi sektor, Hasilnya langsung menyentuh salah satu kebutuhan dasar masyarakat, juga pendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Sejak awal, pembangunan perumahan dan permukiman di Indonesia telah diselenggarakan berdasarkan prinsip :
11
a.
Pemenuhan kebutuhan akan rumah layak merupakan tugas dan tanggungjawab masyarakat sendiri.
b. Pemerintah
mendukung
melalui
penciptaan
iklim
yang
memungkinkan masyarakat mandiri dalam mencukupi kebutuhannya akan rumah layak. Dukungan diberikan melalui penyediaan prasarana dan sarana, perbaikan lingkungan permukiman, peraturan, perundangan yang bersifat memayungi, layanan kemudahan dalam perijinan bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan lainlain. Pembangunan di bidang perumahan dan permukiman yang bertumpu pada masyarakat memberikan hak dan kesempatan seluasluasnya bagi masyarakat untuk berperan serta. Sejalan dengan peran serta masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan permukiman pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk melakukan pembinaan dalam wujud pengaturan dan pembimbingan, pendidikan dan pelatihan,
pemberian
bantuan
dan
kemudahan,
penelitian
dan
pengembangan yang meliputi berbagai aspek yang terkait antara lain tata ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia, serta peraturan perundang-undangan yang mendukung. Penyelenggaraan rumah dan perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. (Pasal 19 Ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 2011). 1.2. Maksud dan Tujuan Penyusunan Produk Identifikasi Kebijakan Urusan
Pemerintahan
Bidang
Perumahan
dan
Kawasan
Permukiman 1.2.1. Maksud
12
Maksud penyusunan Penyusunan Produk Identifikasi Kebijakan Urusan Pemerintahan Bidang Perumahan dan Permukiman adalah agar diperoleh suatu program dan kegiatan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang komprehensif dan terintegrasi, dan adanya komitmen oleh pemerintah daerah dan pihak terkait dalam rangka percepatan pembangunan Bidang Perumahan dan Permukiman di Indonesia. Penyusunan Produk Identifikasi Kebijakan Urusan Pemerintahan Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman ini diharapkan dapat menjadi
pedoman
kebijakan
daerah
dalam
rangka
implementasi
pelaksanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman sebagaimana
yang
telah
tercantum
dalam
dokumen-dokumen
perencanaan RPJMD, RTRW, dan lain sebagainya, khususnya untuk RPJMD 2015-2020. Identifikasi Kebijakan Urusan Pemerintahan Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman diharapkan dapat memberikan kebijakan dan arahan untuk implementasi pembangunan perumahan dan kawasan permukiman periode 2015-2020. 1.2.2. Tujuan Tujuan Penyusunan Produk Identifikasi Kebijakan Urusan Pemerintahan Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman ini adalah agar sasaran penyelarasan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang perumahan dan kawasan permukiman dapat tercapai melalui optimalisasi dan sinergitas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam pelaksanaan urusan wajib pelayanan dasar.
13
BAB II KONSEP KEBIJAKAN DAN KEBUTUHAN DASAR ATAS PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN 2.1. Konsep Kebijakan Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi kebijakan publik harus dilakukan dan disusun dan disepakati oleh para pejabat yang berwenang dan ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati.
14
Kebijakan secara umum dapat dibedakan dalam tiga tingkatan:8 1) Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan. 2) Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum.
Untuk
tingkat
pusat,
peraturan
pemerintah
tentang
pelaksanaan suatu undangundang. 3) Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan. Namun demikian berdasarkan perspektif sejarah, maka aktivitas kebijakan dalam tataran ilmiah yang disebut analisis kebijakan, memang berupaya mensinkronkan antara pengetahuan dan tindakan. Analisis Kebijakan (Policy Analysis) dalam arti historis yang paling luas merupakan suatu pendekatan terhadap pemecahan masalah sosial dimulai pada satu tonggak
sejarah
ketika
pengetahuan
secara
sadar
digali
untuk
dimungkinkan dilakukannya pengujian secara eksplisit dan reflektif kemungkinan menghubungkan pengetahuan dan tindakan.9 Dengan demikian kebijakan publik sangat berkait dengan administasi negara ketika public actor mengkoordinasi seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat melalui berbagai kebijakan publik/umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negara. Untuk itu diperlukan suatu administrasi yang dikenal dengan “administrasi negara”.10 Administrasi negara mempunyai peranan penting dalam merumuskan kebijakan 8
Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik, Penerbit Pancur Siwah. Jakarta. 2004. hal. 31-33. William N. Dunn, Public Policy Analysis: An Introduction, New Jersey: Englewood Cliffs. 1981. hal. 89. 10 Irfan M. Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta. 1997. hal. 1. 9
15
negara dan ini merupakan bagian dari proses politik. Administrasi negara dalam mencapai tujuan dengan membuat program dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan dalam bentuk kebijakan.11 Pada praktik kebijakan publik antara lain mengembangkan mekanisme jaringan aktor (actor networks). Melalui mekanisme jaringan aktor telah tercipta jalur-jalur yang bersifat informal (second track), yang ternyata cukup bermakna dalam mengatasi persoalan-persoalan yang sukar untuk dipecahkan. Mark Considine memberi batasan jaringan aktor sebagai12:
Keterhubungan secara tidak resmi dan semi resmi antara
individu-individu dan kelompok-kelompok di dalam suatu sistem kebijakan. Kebijakan-kebijakan pemerintah adalah memfasilitasi pemecahan masalah-masalah yang timbul dan menjadi pedoman implementasi dan tujuan yang telah ditetapkan. Policy refers to sepcc guidelines, methods, procedures, rules, forms, and administrative practices established to support and encourage work toward stated goals.13 Kebijakan merupakan terjemahan dari policy (bahasa Inggris). Sering digunakan dalam praktek kenegaraan atau pemerintahan, sedangkan istilah kebijaksanaan berasal dari kata wisdom yang artinya menunjukkan kearifan seseorang. Penggunaan istilah policy, dikalangan pada ahli ada yang menterjemahkan sebagai kebijaksanaan dan ada pula kebijakan.14 Ermaya Pelaksanaan
dalam Otonomi
buku
“Kebijaksanaan
Daerah”
menjelaskan
Pembangunan pengertian
dan policy
(kebijaksanaan) adalah15 : 11 12 13
14 15
Nigro dan Nigro dalam Irfan M. Islamy, ibid. Mark Considine, Public Policy: A Critical Approach, Melbourne: McMillan. 1994. hal. 103. Thoyibbah Kundewi Yudianti, Implementasi Kebijakan Rekayasa Ulang Organisasi Kantor Informasi dan Komunikasi di Sukabumi, Jurnal Mahkamah, Volume 19 Nomor 2, Oktober 2007. Fakultas Hukum, Universitas Islam Riau, Pekanbaru. Hal. 192. Ibid. Ibid.
16
Kebijakan yang diterapan secara subyektif yang dalam operatifnya merupakan : (1) suatu penggarisan ketentuan; (2) yang bersifat pedoman, pegangan, bimbingan untuk mencapai kesepahaman dalam maksud/ cara/ sarana; (3) bagi setiap usaha dan kegiatan kelompok manusia yang berorganisasi; (4) sehingga terjadi dinamika gerakan tindakan yang terpadu, sehaluan dan seirama dalam mencapai tjuan tertentu. Ciri-ciri policy : (1) mengandung hubungan dengan tujuan organisasi atau lembaga yang bersangkutan; (2) dikomunikasikan dan dijelaskan ke semua pihak yang bersangkutan; (3) dinyatakan dengan bahasa yang mudah dipahami, sebaiknya tertulis; (4) mengandung ketentuan tentang tentang batasbatasnya
dan
ukuran
bagi
tindakan
bagi
kemudian
hari;
(5)
memungkinkan diadakan perubahan dimana perlu meskipun secara relatif tetap dan stabil; (6) masuk akal dan dapat dilaksanakan memberi peluang
untuk
bertindak
dan
penafsiran
oleh
mereka
yang
bertanggungjawab dalam pelaksanaannya. Kebijakan publik adalah pola ketergantungan yang komplek dan pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung termasuk keputusankeputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah. Jenkins dalam merumuskan kebijaksanaan nefara sebagai : A set of interrelated taken by a political actor or group of actors concerning the selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where these decision should, in principle, be within the power of these actors to achieve. Dapat disimpulkan bahwa kebijakan itu berkaitan dengan apapun yang dipilih untuk dikatakan, dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah, yaitu menyangkut penyampaian atau maksud atau tujuan dan suatu program atau penerapan dan suatu peraturan, penggarisan ketentuan yang bersifat pedoman, pegangan, bimbingan untuk mencapai
17
kesepahaman dalam maksud/ cara/ sarana bagi setiap usaha kelompok manusia yang berorganisasi.16 2.2. Kebutuhan Dasar Manusia Manusia memiliki kebutuhan dasar yang bersifat heterogen. Setiap orang pada dasarnyamemiliki kebutuhan yang sama, akan tetapi karena budaya, maka kebutuhan tersebutpun ikut berbeda. Dalam memenuhi kebutuhan manusia menyesuaikan diri dengan prioritas yang ada.Lalu jika gagal memenuhi kebutuhannya, manusia akan berpikir lebih keras dan bergerak untuk berusaha mendapatkannya. Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupuan psikologis, yang tentunya bertujuan untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatan. Maslow
mengembangkan
teori
tentang
bagaimana
semua
motivasi saling berkaitan. Ia menyebut teorinya sebagai “hierarki kebutuhan”. Kebutuhan ini mempunyai tingkat yang berbeda-beda. Ketika satu tingkat kebutuhan terpenuhi atau mendominasi, orang tidak lagi mendapat motivasi dari kebutuhan tersebut. Selanjutnya orang akan berusaha memenuhi kebutuhan tingkat berikutnya. Maslow17 membagi tingkat kebutuhan manusia menjadi sebagai berikut: (1) Kebutuhan fisiologis: kebutuhan yang dasariah, misalnya rasa lapar, haus, tempat berteduh,
seks,
tidur,
oksigen,
dan
kebutuhan
jasmani
lainnya.
(2)Kebutuhan akan rasa aman: mencakup antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional. (3)Kebutuhan sosial: 16
Ibid. hal. 193. Lihat Maslow, Abraham H., Motivasi dan Kepribadian: Teori Motivasi dengan Ancangan Hirarki Kebutuhan Manusia (judul asli: Motivation and Personality). Diterjemahkan oleh Nurul Iman. Jakarta : PT. Pustaka Binaman Pressindo, 1984, hal. 39. 17
18
mencakup kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki, kasih sayang, diterima-baik, dan persahabatan. (4)Kebutuhan akan penghargaan: mencakup faktor penghormatan internal seperti harga diri, otonomi, dan prestasi; serta faktor eksternal seperti status, pengakuan, dan perhatian. (5)Kebutuhan akan aktualisasi diri: mencakup hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya. 2.3. Pemenuhan Kebutuhan Perumahan Sebagai Hak Warga Negara Amanat
dalam
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (1), bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang merupakan hasil revisi Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman menegaskan bahwa rumah adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Salah satu langkah penting dalam upaya pemenuhan kebutuhan rumah bagi masyarakat adalah pengembangan dan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman, yang pada prinsipnya bertujuan untuk menyiapkan lokasi bagi pembangunan perumahan sejahtera yang dilengkapi dengan prasarana, sarana dan utilitas yang memadai dan terjangkau. Satu bidang dimana selalu ada kekurangan baik di negara maju maupun berkembang yang diakibatkan tekanan penduduk ialah bidang perumahan
dan
permukiman.
Sebagian
besar
permintaan
akan
perumahan berasal dari berjuta-juta migran luar kota yang datang berbondong-bondong. Secara nasional kebutuhan perumahan relatif
19
besar, meliputi : kebutuhan rumah yang belum terpenuhi (backlog) sekitar 4,3 juta unit; pertumbuhan kebutuhan rumah baru setiap tahunnya sekitar 800 ribu unit; serta kebutuhan peningkatan kualitas perumahan yang tidak memenuhi persyaratan layak huni sekitar 13 juta unit rumah (Menkimpraswil, 2002) Kondisi di atas jelas menimbulkan permasalahan lingkungan, khususnya pusat kota (inner-city) dimana akan tercipta kawasan dan lingkungan kumuh (sick districts and neighborhoods) yang dapat diindikasikan dengan munculnya permukiman kumuh dan liar (slum dan squatters), kematian dan kerusakan kawasan bersejarah, kesemrawutan dan kemacetan lalulintas (traffic congestion), kerusakan kawasan tepian air, bantaran sungai dan tepian laut, kekacauan ruangruang publik (public domain, public space, public easement), lingkungan pedestrian, isi dan arti komunitas, ketidak sinambungan ekologi kota serta ketidak seragaman morfologi dan tipologi kota. Sedangkan pengertian dasar permukiman dalam Undang-Undang No.1 tahun 2011 adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain dikawasan perkotaan atau kawasan perdesaan Menurut Koestoer (1995) batasan permukiman adalah terkait erat dengan konsep lingkungan hidup dan penataan ruang. Permukiman adalah area tanah yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung peri kehidupan dan merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasaan lindung baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan. Parwata (2004) menyatakan bahwa permukiman adalah suatu tempat bermukim manusia yang telah disiapkan secara matang dan menunjukkan suatu tujuan yang jelas, sehingga memberikan kenyamanan kepada penghuninya. Permukiman (Settlement) merupakan suatu proses seseorang mencapai dan menetap
20
pada suatu daerah (Van der Zee 1986). Kegunaan dari sebuah permukiman adalah tidak hanya untuk menyediakan tempat tinggal dan melindungi tempat bekerja tetapi juga menyediakan fasilitas untuk pelayanan, komunikasi, pendidikan dan rekreasi.
21
BAB III IDENTIFIKASI KEBIJAKAN TERKAIT SINERGI PUSAT DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN URUSAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN 3.1. Tinjauan Pelaksanaan Kebijakan Terkait Sinergi Pusat Daerah Dalam
Penyelenggaraan
Urusan
Perumahan
dan
Kawasan
Permukiman Beberapa kebijakan yang terkait dengan kegiatan kebijakan Penyelenggaraan Perumahan dan Permukiman melalui Sinergi Pusat dan Daerah, yaitu : 3.1.1. Undang-Undang
Nomor
17
Tahun
2007
tentang
Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005-2025 Salah satu arahan pembangunan jangka panjang nasional tahun
2005 – 2025
Pembangunan
seperti
Jangka
yang tercantum
Panjang
Nasional
dalam
Rencana
(RPJPN)
adalah
mengurangi kesenjangan antar wilayah yang merupakan perwujudan pembangunan yang merata ke seluruh wilayah. Maksud dan tujuan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025, selanjutnya disebut RPJP Nasional, adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional periode 20 tahun terhitung sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2025, ditetapkan dengan maksud memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa (pemerintah,masyarakat, dan dunia usaha) di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sesuai dengan visi, misi, dan arah pembangunan yang disepakati bersama sehingga seluruh upaya yang dilakukan oleh pelaku pembangunan bersifat sinergis, koordinatif.
22
Tujuan yang ingin dicapai dengan ditetapkannya UndangUndang tentang RPJP Nasional Tahun 2005–2025 adalah untuk: (a) mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan dalam pencapaian tujuan nasional, (b) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi baik antardaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah, (c) menjamin keterkaitan dan konsistensi
antara
perencanaan,
penganggaran,
pelaksanaan
dan
pengawasan, (d) menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan, dan (e) mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Kondisi sarana dan prasarana di Indonesia saat ini masih ditandai oleh rendahnya aksesibilitas, kualitas, ataupun cakupan pelayanan. Akibatnya, sarana dan prasarana yang ada belum sepenuhnya dapat menjadi tulang punggung bagi pembangunan sektor riil termasuk dalam rangka mendukung kebijakan ketahanan pangan di daerah, mendorong sektor produksi, serta mendukung pengembangan wilayah. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan perumahan hingga tahun 2020 diperkirakan mencapai lebih dari 30 juta unit sehingga kebutuhan rumah per tahun diperkirakan mencapai 1,2 juta unit. Data tahun 2004 mencatat bahwa sebanyak 4,3 juta jumlah rumah tangga belum memiliki rumah. Penyediaan air minum juga tidak mengalami kemajuan yang berarti. Berdasarkan Data Statistik Perumahan dan Permukiman Tahun 2004, jumlah
penduduk
(perkotaan dan pedesaan)
yang
mendapatkan akses pelayanan air minum perpipaan baru mencapai 18,3 persen, hanya sedikit meningkat dibandingkan dengan 10 tahun sebelumnya (14,7 persen). Demikian juga halnya dengan penanganan persampahan di kawasan perkotaan dan perdesaan baru mencapai 18,41 persen atau mencapai 40 juta jiwa, sedangkan cakupan pelayanan drainase baru melayani 124 juta jiwa.
23
3.1.2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Paragima Pemerintahan Daerah yang baru sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
sebetulnya
tersirat
keinginan
untuk
membangun
sistem
pemerintahan yang lebih demokratis, di mana proses politik sera partisipasi masyarakat dan pemerintahan bekerja secara lebih efektif. Selain itu Undang-Undang ini juga merupakan upaya perombakan total dari Undang-Undang yang sebelumnya, yang mana pada saat ini terlihat sedang berlangsung arus balik kekuasaan dari pusat ke daerah yang lebih kompleks. Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren.
Urusan
pemerintahan
konkuren
terdiri
atas
Urusan
Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi, dan Daerah kabupaten/kota. Urusan Pemerintahan Wajib dibagi dalam Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak terkait Pelayanan Dasar. Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional masyarakat. Dalam Pasal 12 ayat (1) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi: a.
pendidikan;
b. kesehatan; c.
pekerjaan umum dan penataan ruang;
d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
24
e.
ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan
f.
sosial. Dengan demikian bidang perumahan dan kawasan permukiman
adalah salah satu urusan pemerintahan yang bersifat concurrent atau dilaksanakan bersama oleh Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Dengan landasan ketentuan tersebut, penyelenggaran urusan yang dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat adalah
menangani
urusan-urusan
pemerintahan
yang
merupakan
kewenangan Pemerintah, baik yang akan dilaksanakan sendiri maupun yang akan dilakukan melalui dekonsentrasi dan tugas pembantuan dalam rangka
peningkatan
kapasitas
dan
percepatan
kelembagaan
penyelenggaraan urusan perumahan dan kawasan permukiman di daerah secara sinerjik dengan peran Pemerintah.
Urusan Pemerintahan
Absolut
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Politik Luar Negeri Pertahanan Keamanan Yustisi Moneter dan Fiskal Nasional Agama
Urusan Pemerintahan Umum
Konkuren
Wajib
Pelayanan Dasar
Pilihan
Non Pelayanan Dasar
SPM
Gambar 1 : Pembagian Urusan Pemerintahan
25
3.1.3. Undang-Undang
Nomor
25
Tahun
2004
tentang
Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 ditetapkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah
satu
kesatuan
tatacara
perencanaan
pembangunan
untuk
menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan Daerah dengan melibatkan masyarakat. UU 25 Tahun 2004 tentang SPPN, mencakup 5 pendekatan dalam seluruh
rangkaian
perencanaan
pembangunan,
yaitu:
beberapa
pendekatan dalam perencanaan pembangunan, yaitu pendekatan politik, teknokratik, partisipatif, atas-bawah dan bawah-atas. Oleh karena itu, rencana pembangunan adalah penjabaran dari agenda dan janjipembangunan yang ditawarkan Presiden/Kepala Daerah pada saat kampanye guna dituangkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (Daerah). Perencanaan dengan pendekatan teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau Satuan Kerja Perangkat Daerah yang secara fungsional bertugas untuk itu. Perencanaan pembangunan dengan Pendekatan Partisipatif
dilaksanakan
dengan
melibatkan
semua
pihak
yang
berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan Rasa Memiliki yang tinggi atau mendalam. Sedangkan, Pendekatan Atas-bawah dan Bawahatas dalam perencanaan pembangunan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan.
Rencana
hasil
proses
diselaraskan
melalui
musyawarah
atas-bawah
dan
(Musyawarah
bawah-atas Perencanaan
Pembangunan yang dihasilkan lewat Metode Penjaringan Aspirasi Masyarakat) yang dilaksanakan baik di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa.
26
3.1.4. Peraturan
Pemerintah
Nomor
65
Tahun
2005
Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini adalah: a.
Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal menjadi acuan dalam penyusunan Standar Pelayanan Minimal oleh Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen dan dalam penerapannya
oleh
Pemerintah
Provinsi
dan
pemerintah
Kabupaten/Kota. b. Standar Pelayanan Minimal disusun dan diterapkan dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib pemerintahan daerah provinsi dan pemerintah
daerah
Kabupaten/Kota
yang
berkaitan
dengan
pelayanan dasar sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan Pemerintah ini memuat tentang prinsip-prinsip Standar Pelayanan Minimal, penyusunan Standar Pelayanan Minimal, Penerapan Standar Pelayanan Minimal, Pembinaan dan Pengawasan. Untuk melaksanakan SPM, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Pasal 1 ayat (5) PP 65/2005 menyebutkan “Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara yang penyelenggaraanya diwajibkan oleh peraturan perundangundangan kepada Daerah untuk perlindungan hak konstitusional, kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, serta ketenteraman dan ketertiban umum dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi internasional”.
27
Dalam penjelasan PP 65/2005 disebutkan SPM diterapkan pada urusan wajib Daerah terutama yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Untuk urusan pemerintahan lainnya, daerah dapat mengembangkan dan menerapkan standar/indikator kinerja. Pasal 1 ayat (6) PP 65/2005 mendefinisikan Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. PP 65/2005 tidak menampilkan daftar spesifik urusan wajib dan pelayanan dasar. PP 65/2005 hanya mendefinisikannya di Pasal 1 ayat (5) dan ayat (8). Selanjutnya, pelayanan dasar didefinisikan sebagai jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan. Pasal 2 ayat (2) PP 65/, SPM disusun dan diaplikasikan dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar sesuai dengan perundang-undangan. 3.1.5 Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 – 2019 Bunyi RPJM Nasional 2015-2019, RPJMN 2015-2019 adalah pedoman untuk menjamin pencapaian visi dan misi Presiden, RPJMN sekaligus untuk menjaga konsistensi arah pembangunan nasional dengan tujuan di dalam Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dan RPJPN 2005– 2025. Bunyi Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015, RPJM Nasional memuat strategi pembangunan nasional, umum,
program
Kementerian/Lembaga
dan
kebijakan lintas
Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian
28
secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RPJMN sebagaimana dimaksud berfungsi sebagai : a. Pedoman bagi Kementerian/Lembaga dalam menyusun rencana strategis; b. Bahan penyusunan dan penyesuaian RPJM Daerah; c. Pedoman pemerintah dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP); dan d. Acuan dasar dalam pemantauan dan evaluasi RPJM Nasional. 3.2. Tinjauan Kebijakan Teknis Penyelenggaraan Urusan Perumahan dan Kawasan Permukiman Beberapa dasar hukum pelaksanaan kebijakan pembangunan urusan pemerintah bidang perumahan dan kawasan permukiman adalah sebagai berikut: 3.2.1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif. Mengacu pada Undang-Undang No 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau didalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Setiap orang dapat berpartisipasi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal melalui
29
pembangunan rumah susun yang layak, aman, harmonis, terjangkau secara mandiri, dan berkelanjutan. Negara berkewajiban memenuhi kebutuhan
tempat
tinggal
yang
terjangkau
bagi
masyarakat
berpenghasilan rendah. Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan bahwa pemerintah dalam melaksanakan pembinaan mempunyai wewenang: a.
Menyusun dan menetapkan norma, standar, pedoman, dan kriteria rumah, perumahan, permukiman, dan lingkungan hunian yang layak, sehat, dan aman;
b. Menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan permukiman; c.
Menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan bidang perumahan dan kawasan permukiman;
d. Memberdayakan pemangku kepentingan dalam bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat nasional; e.
Melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan sosialisasi peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan pelindungan hukum dalam bermukim;
f.
Mengoordinasikan pemanfaatan teknologi dan rancang bangun yang ramah lingkungan serta pemanfaatan industri bahan bangunan yang mengutamakan sumber daya dalam negeri dan kearifan lokal;
g. Mengoordinasikan
pengawasan
dan
pengendalian
pelaksanaan
peraturan perundang-undangan bidang perumahan dan kawasan permukiman;
30
h. Mengevaluasi peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat nasional; i.
Mengendalikan pelaksanaan kebijakan dan strategi di bidang perumahan dan kawasan permukiman;
j.
Memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh;
k. Menetapkan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; l.
Memfasilitasi pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan kawasan permukiman; dan
m. Memfasilitasi kerja sama tingkat nasional dan internasional antara pemerintah dan badan hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. 3.2.2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun Aturan hukum mengenai rumah susun pada awalnya terdapat di Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1986 tentang Rumah Susun. Seiring dengan perkembangan zaman, aturan-aturan yang terdapat di UndangUndang Nomor 16 Tahun 1986 tersebut tidak mampu mengimbangi perkembangan pesat yang terjadi di bidang pemukiman, terutama di bidang rumah susun. Terlebih adanya pengaruh globalisasi, budaya serta kehidupan masyarakat yang berkembang dengan sangat dinamis menjadikan aturan-aturan yang terdapat di undang-undang ini menjadi kurang memadai. Pemerintah pada tanggal 10 November 2011 mengundangkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Ada beberapa tujuan penyelenggaraan rumah susun yang terdapat di undangundang ini, yaitu :
31
-
menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau;
-
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang;
-
mengurangi luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan pemukiman kumuh;
-
mengarahkan pengembangan kawasan perkotaan;
-
memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi;
-
memberdayakan para pemangku kepentingan;
-
memberikan kepastian hukum dalam penyediaan, kepenghunian, pengelolaan dan kepemilikan rumah susun. Tujuan utama dari diundangkannya Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2011 adalah untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal yang dapat dijangkau oleh masyarakat berkemampuan rendah. Sangat disayangkan niat mulia dari pemerintah tersebut tidak dibarengi dengan kehadiran berbagai peraturan pemerintah yang menjadi peraturan pelaksana atau aturan lanjutan dari berbagai ketentuan yang terdapat di undang-undang ini. Peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 masih mengikuti peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1986. Peraturan pelaksana yang utama adalah Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun. Selain peraturan pemerintah tersebut, terdapat beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh Kepala BPN dan Menteri Dalam Negeri serta beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh kepala daerah. Aturan-aturan pelaksana tersebut menurut ketentuan Pasal 118 huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan pelaksana yang baru. Meskipun demikian, beberapa aturan pelaksana sudah tidak relevan untuk diterapkan di masa sekarang, bahkan ada beberapa aturan yang bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2011.
32
Ada beberapa pasal dari UU Nomor 20 Tahun 2011 yang mensyaratkan pengaturan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah. Pasal-pasal tersebut antara lain : -
Pasal 12 mengenai pembinaan Pasal 16 ayat (4) mengenai kewajiban menyediakan rumah susun umum Pasal 20 ayat (5) mengenai pendayagunaan tanah wakaf untuk rumah susun;
-
Pasal 27 mengenai pemisahan rumah susun serta gambar dan uraian;
-
Pasal 49 mengenai bentuk SHM sarusun dan SKBG sarusun dan tata cara penerbitannya;
-
Pasal 54 ayat (4) mengenai pengalihan kepemilikan sarusun umum;
-
Pasal 60 mengenai pengelolaan rumah susun, masa transisi, dan tata cara penyerahan pertama kali;
-
Pasal 69 mengenai peningkatan kualitas rumah susun;
-
Pasal 71 ayat (2) mengenai pengendalian penyelenggaraan rumah susun;
-
Pasal 73 mengenai penugasan atau pembentukan badan pelaksana;
-
Pasal 78 mengenai Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun;
-
Pasal 88 ayat (4) mengenai bentuk dan tata cara pemberian insentif kepada pelaku pembangunan rumah susun umum dan rumah susun khusus
serta
bantuan
dan
kemudahan
kepada
masyarakat
berkemampuan rendah; -
Pasal 108 ayat (3) mengenai sanksi administratif, tata cara dan besaran denda administratif. Selain aturan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah, beberapa
ketentuan
dalam
Undang-Undang
Nomor
20
Tahun
2011
juga
mensyaratkan pengaturan lebih lanjut melalui peraturan menteri dan peraturan daerah.
33
3.2.3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Dengan disahkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 maka Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 dinyatakan resmi tidak berlaku. Dan secara otomatis aturan baru menjadi pedoman penyelenggaraan pentaan ruang di Indonesia. Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 selain tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat juga tidak memihak kepada lingkungan. Karena itulah diperlukan pembaharuan. Selain itu, aturan – aturan dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 telah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan ketersediaan ruang. Kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks tidak di imbang oleh ketersediaan ruang yang semakin terbatas, oleh karena itu diperlukan aturan yang dapat mengelola kebutuhan dengan keterbatasan ruang yang ada. Dalam Undang-Undang tata ruang terbaru ini, partisipasi masyarakat lebih terasa. Masyarakat diberikan kesempatan untuk dapat berperan aktif dalam pembangunan. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan sekarang ini merupakan perencanaan yang berakar pada keinginan masyarakat, yang tidak dirasakan dalam aturan terdahulu, masyarakat menunggu pembangunan dari pemerintah khususnya pemerintah pusat. Musyarah rencana pembangunan (MUSRENBANG) yang sekarang ini benar - benar telah mengakomodir dari seluruh kemauan masyarakat. Dengan demikian dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 masyarakat memperoleh hak partisipasinya dan juga pemerintah sudah transparansi dan demokratis dalam pembangunan. Selain daripada itu, pembangunan yang berbasis pada lingkungan merupakan prioritas utama penataan ruang yang terdapat dalam UndangUndang No. 26 Tahun 2007. Penyelenggaraan penataan ruang seperti yang tercantum UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007, bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkeianjutan.
34
Aman dapat diartikan sebagai aman dari bencana alam, bencana sosial, dan bencana kegagalan teknologi. Saat ini, baik Pemerintah maupun pemerintah daerah provinsi, masing-masing telah dan tengah menyusun rencana tata ruang Kawasan Strategis Nasional [KSN) dan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Provinsi. Berdasarkan amanat Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, semua pemerintah daerah (provinsi, kabupaten dan kota) wajib menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang selanjutnya dilegalisasikan menjadi Peraturan Daerah (Perda), dengan masa berlaku selama 20 tahun dan ditinjau kembali setiap 5 tahun. Sehubungan dengan upaya pengurangan risiko bencana, rencana tataruang saat ini juga perlu memasukkan kajian risiko bencana untuk mengidentifikasikan kerawanan,
tingkat ancaman, tingkat kerentanan,
dan tingkat kapasitas di suatu wilayah. Memasukkan upaya pengurangan risiko bencana kedalam penataan ruang, yang meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, harus menjadi prioritas Pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan terhadap
kehidupan
dan
penghidupan
masyarakat,
khususnya
masyarakat miskin dan rentan, serta berpihak pada upaya pelestarian lingkungan hidup. Undang-undang ini terdiri dari 13 Bab dan 80 Pasal. Ruang lingkup peraturan ini meliputi Bab I Ketentuan Umum, Bab II Asas dan Tujuan, Bab III Klasifikasi Penataan Ruang, Bab IV Tugas dan Wewenang, Bab V Pengaturan dan Pembinaan Penataan Ruang, Bab VI Pelaksanaan Penataan Ruang, Bab VII Pengawasan Penataan Ruang, Bab VIII Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat, Bab IX Penyelesaian Sengketa, Bab X Penyidikan, Bab XI Ketentuan Pidana, Bab XII Ketentuan Peralihan, dan Bab XIII Ketentuan Penutup.
35
Peraturan ini menjelaskan bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Untuk menjamin tercapainya tujuan tersebut, maka dilakukan pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang. Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan. Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: 1.
terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan ;
2.
terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
3.
terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
3.2.4. Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2014 Tentang Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman Sesuai dengan Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2014 Tentang Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman ; Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman merupakan upaya yang dilakukan oleh Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota untuk mewujudkan tercapainya tujuan
36
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. Pembinaan dilakukan dalam lingkup perencanaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Tanggung jawab pemerintah dilakukan melalui koordinasi; sosialisasi peraturan perundang-undangan; bimbingan, supervisi dan konsultasi; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan pengembangan; pendampingan dan pemberdayaan; serta pengembangan sistem informasi dan komunikasi. 3.2.5. Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 22 Tahun 2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Perumahan Rakyat Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Standar pelayanan minimal adalah sebuah kebijakan publik yang mengatur mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Sebagai sebuah kebijakan yang baru diperkenalkan, standar pelayanan minimal sudah selayaknya didukung oleh peraturan perundangundangan yang
memadai mulai dari
undang-undang, peraturan
pemerintah ataupun peraturan menteri terkait. Standar pelayanan minimal sebagai sebuah kebijakan memiliki kedudukan yang kuat dan bersifat spesifik mengingat konsekuensi hukum
yang
disandangnya
karena
bersifat
mengikat
seluruh
penyelenggara negara dan masyarakat, baik secara individual maupun kelompok. Sebagai sebuah kebijakan, standar pelayanan minimal selalu didukung oleh peraturan perundang-undangan yang merupakan dasar hukum pemberlakuannya dan memiliki arti yang spesifik sesuai dengan pemaknaan istilah yang digunakan sesuai dasar hukumnya. Dalam BAB II mengenai Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 22 Tahun 2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Perumahan Rakyat Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Standar
37
Pelayanan Minimal Bidang Perumahan Rakyat Pasal 2 menyebutkan bahwa
pemerintah memberikan pelayanan dalam bidang perumahan
rakyat agar masyarakat mampu menghuni rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat dan aman yang didukung dengan prasaran, sarana dan utilitas umum (PSU). Lalu, untuk memberi pelayanan, pemerintah menetapkan SPM bidang perumahan rakyat daerah provinsi dan daerah kabupaten kota. Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota menyelenggarakan pelayanan urusan perumahan sesuai dengan SPM bidang perumahan rakyat yang terdiri dari jenis pelayanan dasar, indikator, nilai dan batas waktu pencapaian tahun 2009 – 2025.
38
BAB IV ORGANISASI PENYELENGGARA KOORDINASI UMUM TERKAIT PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN 4.1. Sub
Direktorat
Perumahan
Dan
Permukiman
Direktorat
Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah II Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Kementerian Dalam Negeri mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan dalam negeri untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. 3.1. Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 Sebagaimana diketahui sesuai Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014, telah dibentuk 34 (tiga puluh empat) Kementerian Negara, dengan komposisi 13 (tiga belas) Kementerian mengalami perubahan, dan 21 (dua puluh satu) kementerian tidak mengalami perubahan. Yang mengalami
perubahan
adalah
2
(dua)
kementerian
baru,
yakni
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, 1 (satu) Kementerian dengan perubahan nomenklatur yakni Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, serta 10 (sepuluh) Kementerian dengan pergeseran fungsi yakni Kemenko Perekonomian, Kemenko Polhukam, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi, Kementerian PUPR, Kementerian Pariwisata, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Dikbud, Kementerian Ristek Dikti, dan Kementerian Ketenagakerjaan. Sedangkan 21 (dua puluh satu) Kementerian yang tidak mengalami perubahan adalah Kementerian Keuangan, Kementerian Agama, Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian
39
Hukum dan HAM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Sosial, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian ESDM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian BUMN,
Kementerian
PANRB,
Kementerian
Koperasi
dan
UKM,
Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Kementerian PP dan Perlindungan Anak, Kementerian PPN/Bappenas, dan Kementerian Sekretariat Negara. Tugas Kementerian Dalam Negeri adalah menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan dalam negeri untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan negara. Sementara salah satu fungsinya adalah perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang politk dan pemerintahan kewilayahan,
umum,
otonomi
pembinaan
daerah,
pemerintahan
pembinaan desa,
administrasi
pembinaan
urusan
pemerintahan dan pembangunan daerah, pembinaan keuangan daerah, serta kependudukan dan pencatatan sipil. Kelembagaan Kementerian Dalam Negeri dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara, dan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri. Selanjutnya organisasi dan Tata Kerja Kemendagri ditetapkan melalui Permendagri Nomor 43 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemendagri yang ditetapkan 10 April 2015. Adapun susunan Organisasi Kementerian Dalam Negeri : (a) Sekretariat Jenderal; (b) Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum; (c) Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan; (d) Direktorat Jenderal Otonomi Daerah; (e) Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah; (f) Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa; (g) Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah; (h) Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil; (i) Inspektorat Jenderal; (j) Badan
40
Penelitian dan Pengembangan; (k) Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia; (l) Staf Ahli. 3.2. Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Kementerian Dalam Negeri Tugas Kemendagri adalah menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan
dalam
negeri
untuk
membantu
Presiden
dalam
menyelenggarakan negara. Sementara salah satu fungsinya adalah perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang politk dan pemerintahan kewilayahan,
umum,
otonomi
pembinaan
daerah,
pemerintahan
pembinaan desa,
administrasi
pembinaan
urusan
pemerintahan dan pembangunan daerah, pembinaan keuangan daerah, serta kependudukan dan pencatatan sipil. Kelembagaan Kementerian Dalam Negeri dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara, dan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri. Selanjutnya organisasi dan Tata Kerja Kemendagri ditetapkan melalui Permendagri Nomor 43 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemendagri yang ditetapkan 10 April 2015. Adapun susunan Organisasi Kementerian Dalam Negeri: (a) Sekretariat Jenderal; (b) Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum;
(c)
Direktorat
Jenderal
Bina
Administrasi
Kewilayahan;
(d) Direktorat Jenderal Otonomi Daerah; (e) Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah; (f) Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa; (g) Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah; (h) Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil; (i) Inspektorat Jenderal; (j) Badan Penelitian dan Pengembangan; (k) Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia; (l) Staf Ahli.
41
3.3. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 43 Tahun 2015 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri Dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 43 Tahun 2015 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri, Susunan Organisasi Kementerian Dalam Negeri, terdiri atas: a.
Sekretariat Jenderal;
b. Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum; c.
Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan;
d. Direktorat Jenderal Otonomi Daerah; e.
Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah;
f.
Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa;
g. Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah; h. Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil; i.
Inspektorat Jenderal;
j.
Badan Penelitian dan Pengembangan;
k. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia; dan l.
Staf Ahli.
Mengenai Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah, diatur dalam BAB VI Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 43 Tahun 2015 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri. Direktorat Jenderal
Bina
Pembangunan
Daerah
mempunyai
tugas
menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang urusan pemerintahan dan pembinaan pembangunan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah, terdiri atas: a.
Sekretariat Direktorat Jenderal;
b. Direktorat Perencanaan, Evaluasi dan Informasi Pembangunan Daerah; c.
Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah I;
42
d. Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah II; e.
Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah III; dan
f.
Direktorat Sinkronisasi Urusan Pembangunan Daerah IV; Mengenai Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah II
diatur dalam Pasal 639 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 43 Tahun 2015 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri. Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah II mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah di bidang penyelenggaraan urusan pemerintahan dan sinkronisasi serta harmonisasi pembangunan daerah lingkup pekerjaan umum, perumahan
dan
kawasan
permukiman,
kelautan
dan
perikanan,
perhubungan, komunikasi, informatika, statistik dan persandian. Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah II, terdiri atas: a.
Subdirektorat Pekerjaan Umum;
b. Subdirektorat Perumahan dan Kawasan Permukiman; c.
Subdirektorat Kelautan dan Perikanan;
d. Subdirektorat Perhubungan; e.
Subdirektorat Komunikasi, Informatika, Statistik, dan Persandian; dan
f.
Subbagian Tata Usaha. Dalam Pasal 646 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 43 Tahun
2015 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri, Subdirektorat Perumahan dan Kawasan Permukiman mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan pembinaan umum, pelaksanaan koordinasi dan fasilitasi penyusunan pemetaan urusan pemerintahan, penyusunan standar pelayanan minimal, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan
urusan
pemerintahan,
pelaksanaan
pemantauan,
evaluasi dan pelaporan, pemberian bimbingan teknis dan supervisi
43
sinkronisasi
serta
harmonisasi
pembangunan
daerah
di
bidang
perumahan dan kawasan permukiman. Subdirektorat
Perumahan
dan
Kawasan
Permukiman
menyelenggarakan fungsi: a.
penyiapan bahan perumusan kebijakan dan fasilitasi penyelenggaraan urusan
pemerintahan
pembangunan
daerah
daerah, di
sinkronisasi
bidang
dan
perumahan
harmonisasi
dan
kawasan
permukiman; b. penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan dan koordinasi fasilitasi penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, sinkronisasi dan harmonisasi pembangunan daerah di bidang perumahan dan kawasan permukiman; c.
penyiapan bahan pelaksanaan pembinaan umum serta koordinasi fasilitasi penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, sinkronisasi dan harmonisasi pembangunan daerah di bidang perumahan dan kawasan permukiman;
d. penyiapan bahan pelaksanaan koordinasi dan fasilitasi penyusunan pemetaan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman; e.
penyiapan bahan pelaksanaan koordinasi dan fasilitasi penyusunan standar pelayanan minimal penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman;
f.
penyiapan bahan pelaksanaan koordinasi dan fasilitasi penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman;
g. penyiapan bahan pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, sinkronisasi dan harmonisasi pembangunan daerah di bidang perumahan dan kawasan permukiman; dan
44
h. penyiapan bahan pemberian bimbingan teknis dan supervisi penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, sinkronisasi dan harmonisasi pembangunan daerah di bidang perumahan dan kawasan permukiman.
45
BAB V ANALISIS KEBIJAKAN BIDANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN
5.1. Tinjauan
Kebijakan
Penyelenggaraan
Urusan
Pemerintahan
Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman Dari uraian sebelumnya, pada Bab III telah digambarkan secara umum kebijakan yang mengatur tentang penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagai dasar sinkronisasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam rangka mencapai tujuan pembangunan negara. Kemudian kebijakan yang mengatur secara teknis dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang perumahan dan kawasan permukiman. Dengan perspektif desentralisasi, daerah-daerah otonom yang ada sekarang ini bukan lagi merupakan kelanjutan dari daerah terdahulu. Namun, daerah-daerah otonom tersebut dibentuk berdasarkan kepada Undang-undang Pemerintahan Daerah sehingga seluruh potensi yang ada di daerah dapat digali sebaik-baiknya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rumah tangga daerah terdiri atas :18 3. Urusan-urusan yang diserahkan kepada daerah otonomi sebagai urusan rumah tangganya masing-masing dan mereka dapat secara otonom menyelesaikan permasalahan rumah tangga daerahnya tersebut. Urusan-urusan yang diciptakan oleh sebuah daerah otonom dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya itu harus dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang benar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, juga tetap harus berada dalam koridor kepentingan umum yang berbasis 18
Sudi Fahmi, Hukum Otonomi Daerah, Penerbit Total Media, Yogyakarta. 2009. hlm. 3-4.
46
management by law sebagai indikator pengukur bagi Pemerintah Daerah dalam mengambil kebijakan. 4. Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan otonomi daerah pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi nyata dan bertanggungjawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban dari pada hak, maka setelah terjadi reformasi kebijakan pemerintah terhadap daerah pun mengalami pergeseran yang signifikan. Pergeseran itu terlihat pada pemberian kewenangan otonomi daerah kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang didasarkan pada asas desentralisasi, atau disamping adanya otonomi nyata dan bertanggungjawab juga adanya wujud otonomi luas. Bila
ditelusuri
kembali
dinamika
perkembangan
konsep
desentralisasi, maka akan terlihat dengan jelas bahwa perjalanannya, ia tidak pernah luput dari kritik, atau bahkan melahirkan polemik antara pihak yang pro dan kontra atas konsep desentralisasi itu sendiri. Pembagian urusan pemerintahan di Indonesia pada hakikatnya dibagi kedalam tiga kategori, yakni urusan pemerintahan yang dikelola oleh
pemerintah
pusat
(pemerintah),
urusan
pemerintahan
yang
dilaksanakan oleh pemerintah daerah provinsi, dan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/ kota. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, mengandung konsekuensi terhadap pembagian penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Pada Undang-Undang sebelumnya
(Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah), urusan pemerintahan dibagi atas Urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat (dapat dilimpahkan sebagian urusannya kepada perangkat Pemerintah Pusat atau wakil Pemerintah Pusat di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah) dan Urusan pemerintah daerah dibagi atas urusan wajib dan pilihan.
47
Namun,
pada
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2014,
urusan
pemerintahan dibagi atas Urusan Absolut yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Urusan pemerintahan konkruen (urusan wajib dan pilihan) yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dalam pemetaan urusan pemerintahan wajib tidak terkait pelayanan dasar dan urusan pilihan, Pemerintah Daerah mengikuti parameter yang ditentukan oleh Kementerian/ Lembaga dengan memperhatikan
parameter
dan
persyaratan
yang
ditetapkan
Kementerian/ Lembaga terkait. Setelah mendapat kesepakatan dan memenuhi syarat barulah kemudian urusan pemerintahan wajib tidak terkait pelayanan dasar dan urusan pilihan dapat dibentuk menjadi Satuan Kerja Perangkat Daerah yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah. Pola pemetaan dapat digambarkan pada matrik dibawah ini : Kementerian Dalam Negeri
Kementerian/ Lembaga
Pasal 24 Ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014
Parameter Yang Ditetapkan Oleh Kementerian/ Lembaga Terkait
Pemerintah Daerah Provinsi/ Kabupaten/ Kota
Memenuhi Syarat
Pemerintah Daerah Yang Bersangkutan Menetapkan Peraturan Daerah Urusan Pemerintahan
Pembinaan Teknis
Memperhatikan
Pasal 24 Ayat (6) UU No. 23 Tahun 2014
Pemerintah Daerah Membentuk SKPD Yang Relevan Dengan Urusan Pemerintahan Gambar 2 : Pola Penetapan Pilihan Urusan Wajib Non Pelayanan Dasar dan Urusan Pilihan Dikaitkan Dengan Pembentukan SKPD (Menurut UU 23/2014)
48
Sedangkan dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sesuai dengan isi Pasal 11 Ayat (3) adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar. Penyelenggara Pemerintahan Daerah memprioritaskan
pelaksanaan
Urusan
Pemerintahan
Wajib
yang
berkaitan dengan Pelayanan Dasar (Pasal 18 Ayat 1). Dalam Pasal 17 Ayat (1) disebutkan Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Dari uraian diatas dapat diasumsikan bahwa penyelenggaraan urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar adalah given. Daerah wajib memberikan prioritas mengingat standar penyelenggaraan urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar berbeda dengan urusan pemerintahan wajib tidak terkait pelayanan dasar dan urusan pilihan.
• Revitalisasi
• Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar : Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Pasal 12 UU No. 23 Tahun 2014
Pasal 18 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 •
Penyelenggara Pemerintahan Daerah memprioritaskan pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar
kelembagaan yang menangangi urusan perumahan dan permukiman sebagai bentuk penguatan penyelenggaraan urusan wajib pelayanan dasar. • Re-Organisasi SKPD terkait tata kelembagaan yang menangani urusan wajib pelayanan dasar
Institusional
Gambar 3 : Asumsi Dasar Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Wajib Pelayanan Dasar
49
Dengan demikian, meskipun tidak ada norma yang mengatur secara spesifik penguatan kelembagaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan pada urusan wajib pelayanan dasar seperti ketentuan yang mengatur dalam penyelenggaraan urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan pilihan, tidak serta merta diasumsikan bahwa penyelenggaraan urusan wajib pelayanan dasar selain menjadi bidang yang diprioritaskan, bidang tersebut menjadi prioritas juga pada peningkatan organisasi difasilitasi menjadi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang dipimpin unit Eselon II. Masalah perumahan dan permukiman berkaitan dengan proses pembangunan,
serta
kerap
merupakan
keterbelakangan pembangunan umumnya.
cerminan
dari
dampak
Pembangunan perumahan
dan permukiman yang kurang terpadu, terarah, terencana, dan kurang memperhatikan kelengkapan prasarana dan sarana dasar seperti air bersih, sanitasi, sistem pengelolaan sampah, dan saluran pembuangan air hujan, akan cenderung mengalami degradasi kualitas lingkungan atau yang kemudian diterminologikan sebagai kawasan kumuh. Pertumbuhan dan perkembangan penduduk yang cukup pesat mempunyai dampak terhadap berbagai bidang antara lain di bidang fisik lingkungan, sosial, maupun ekonomi yang memerlukan ketersediaan prasarana dan sarana dasar yang secara umum akan bersifat susul menyusul dengan laju pertumbuhan penduduk. Kurang tersedianya sarana dasar ini akan mengakibatkan tumbuhnya beberapa bagian wilayah perkotaan menjadi kawasan kumuh. Karena Perumahan dan Kawasan Permukiman menjadi urusan pemerintahan wajib pelayanan dasar, maka tata organisasi bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman di daerah diharapkan menjadi prioritas bagi daerah dengan pertimbangan resource, mindset, beban kerja serta kemampuan keuangan daerah. Telah diuraikan bahwa ada enam
50
urusan Wajib Pelayanan Dasar yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Urusan pemerintahan Wajib pelayanan dasar ini pelaksanaannya harus diprioritaskan oleh Pemerintah Daerah. Kemudian, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib memprioritaskan 6 (enam) urusan Pelayanan Dasar yang disebut pada Pasal 12, yaitu : pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan
ruang;
perumahan
rakyat
dan
kawasan
permukiman;
ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan sosial. Artinya keenam program pelayanan dasar ini mendapatkan prioritas pembiayaan, SDM, Sarana/prasarana, dan manajemennya sehingga bisa berjalan baik ditingkat Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Pembangunan perumahan dan permukiman jika dilakukan secara sistemik akan memberikan kontribusi langsung terhadap peningkatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan. Hal tersebut disebabkan karena pembangunan perumahan dapat mendorong pertumbuhan wilayah dan ekonomi daerah, mendukung pembangunan sosial budaya dan memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteran.
Oleh
karena
itu,
pembangunan
perumahan
dan
permukiman harus dilandasi oleh suatu kebijakan, strategi dan program, kegiatan yang komprehensif dan terpadu sehingga selain mampu memenuhi hak dasar rakyat, agar keluarga Indonesia dapat menghuni rumah yang layak dan berkelanjutan.
51
5.2. Penguatan
Penyelenggaraan
Urusan
Pemerintahan
Bidang
Perumahan dan Kawasan Permukiman antara Pusat dan Daerah Isi dari Pasal 1 Angka 4 UU Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 menyebutkan bahwa RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) merupakan dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk jangka periode selama 5 (lima) tahunan yang berisi penjabaran dari visi , misi , dan program kepala daerah dengan berpedoman pada RPJP Daerah serta memperhatikan RPJM Nasional. RPJMD menekankan tentang pentingnya menterjemahkan secara arif tentang visi , misi , dan agenda Kepala Daerah terpilih dalam tujuan , sasaran , strategi dan kebijakan pembangunan yang merespon kebutuhan dan aspirasi masyarakat serta kesepakatan tentang tolok ukur kinerja untuk mengukur keberhasilan pembangunan daerah dalam 5 tahun ke depan. RPJMD adalah dokumen perencanaan manajerial strategis daerah untuk periode lima tahun yang disusun sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah di seluruh Indonesia, bersifat adaptif, fleksibel, dan mampu mengakomodir penyesuaian atas perkembangan yang muncul serta dapat memanfaatkan peluang yang ada, menggambarkan tingkat pelayanan pemerintah kepada masyarakat yang merupakan indikator keberhasilan setiap organisasi pemerintah. Oleh karena itu, pola pelayanan yang perlu dibangun harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan dapat meningkatkan komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan.
52
Tabel 1 : RPJMD seluruh Provinsi di Indonesia No
Nama Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kepulauan Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Utara Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara
33 34
Papua Papua Barat
Perda/ Tahun
Perda No 6 Tahun 2012 (2012-2017) Perda No 5 Tahun 2014 (2013-2018) Perda No 4 Tahun 2014 (2010-2015) Perda Nomor 74 Tahun (2014-2019) Peda No 03 Tahun 2011 (2010-2015) Perda No 1 Tahun 2011 (2010-2015)
Perda Nomor Tahun (2013-2018) Perda No 6 Tahun 2012 (2012-2017) Perda No Tahun (2011-2015)
Perda No 2 Tahun 2013 (2013-2017) Perda No Tahun 2013 (2013-2018) Perda No 4 Tahun 2012 (2012-2017)
Perda No 5 Tahun 2014 (2013-2018) Perda No Tahun 2012 (2012-2017) Perda No Tahun 2014 (2014-2019)
Perda No Tahun (2013-2018) Perda No 01 Tahun 2014 (2013-2018) Perda No Tahun (2013-2018)
Perda No 01 Tahun 2011 (2010-2015) Perda No Tahun 2014 (2011-2015) Perda No 7 Tahun 2014 (2013-2017)
Perda No 4 Tahun 2011 (2010-2015) Perda No 15 Tahun 2013 (2012-2017)
Perda Nomor Tahun (2011-2016) Perda No 10 Tahun 2013 (2013-2018) Perda No 01 Tahun 2013 (2012-2016) Perda No 10 Tahun 2013 (2013-2018)
Perda No Tahun (2014-2019) Perda No 14 Tahun 2013 (2013-2018) Perda No Tahun (2012-2016)
53
Dari data tabel diatas, beberapa daerah akan melaksanakan RPJMD 2015-2020 yang berkaitan pula dengan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Serentak 2015 di 263 daerah Provinsi, Kota, dan Kabupaten. Dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
dan
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2014
tentang
Pemerintahan Daerah, maka Kepala Daerah terpilih berkewajiban menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sebagai acuan dan pedoman dasar pembangunan yang ingin dicapai daerah dalam periode 5 (lima) tahun ke depan. Rencana Stratejik yang dibuat oleh Kepala Daerah harus dapat diterjemahkan dan dilaksanakan oleh masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai suatu unit organisasi pelaksana di tingkat daerah sekaligus juga merupakan konsistensi terhadap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Visi dan Misi Kepala Daerah
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Penentuan Objek Perencanaan Pembangunan
Analisis Terhadap Objek Termasuk didalamnya Prioritas Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman RENCANA TEKNIS RENCANA PRIORITAS PEMBIAYAAN
RENCANA PRIORITAS KELEMBAGAAN
Masuk Dokumen RKP dan Anggaran APBD
Gambar 4 : Proses Rencana Prioritas Bidang Perkim Dalam Penyusunan RPJMD
OPERASIONAL
54
Dalam hal ini maka diharapkan dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2015-2020, setiap daerah dapat
memprioritaskan bidang perumahan dan
kawasan
permukiman sesuai dengan amanah Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan
Daerah
bahwa
perumahan
dan
kawasan
permukiman merupakan substansi pelayanan dasar kepada masyarakat. Daerah
diharapkan
membuat
peraturan
daerah
terkait
urusan
pemerintahan bidang perumahan dan kawasan permukiman sebagai bentuk legitimasi bahwa bidang perumahan dan kawasan permukiman adalah bentuk urusan wajib pelayanan dasar yang menjadi bagian dari prioritas pembangunan daerah. Oleh karena itulah penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang perumahan dan kasawan permukiman berada dibawah tanggung jawab 5 (delapan)
kementerian
Pembangunan
terkait,
meliputi Kementerian
Nasional/Bappenas,
Kementerian
Perencanaan
Dalam
Negeri,
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Lingkungan Hidup dimana Kementerian Dalam Negeri sebagai pemegang kendali koordinasi umum terhadap pemerintah daerah. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (1), diamanatkan bahwa; setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Amanat tersebut mendudukkan bahwa rumah merupakan hak setiap
orang
untuk
dapat
meningkatkan
mutu
kehidupan
dan
penghidupannya. Rumah selain berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembina keluarga yang mendukung perikehidupan dan penghidupan juga mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, dan penyiapan generasi muda. Oleh karena
55
itu, pengembangan perumahan dengan lingkungannya yang layak dan sehat merupakan wadah untuk pengembangan sumber daya manusia Indonesia di masa depan.
UUD 1945 : Pasal 28 H ayat 1 : Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingiungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Penyelenggaraan Urusan Wajib Pelayanan Dasar Pasal 11 Ayat (3) dan Pasal 12 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005-2025 Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 – 2019
UU No. 1 Tahun 2011 Pasal 5 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2011 Pasal 5 Ayat (10 UU No. 23 Tahun 2014 Pasal 12 Ayat (1) Butir (d)
Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat atas kebutuhan perumahan dan kawasan permukiman melalui pelayanan wajib dasar
Gambar 5 : Kebutuhan Atas Perumahan Merupakan Hak Konstitusional Warga Negara
Namun demikian hak dasar rakyat tersebut pada saat ini masih belum sepenuhnya terpenuhi. Salah satu penyebabnya adalah adanya kesenjangan pemenuhan kebutuhan perumahan (backlog) yang relatif masih besar. Hal tersebut terjadi antara lain karena masih kurangnya kemampuan daya beli masyarakat khususnya kelompok Masyarakat Berpenghasilan
Rendah
(MBR)
dalam
memenuhi
kebutuhan
perumahannya. Berdasarkan data BPS tahun 2010 jumlah keluarga di Indonesia yang belum memiliki rumah (backlog) sebesar 13,5 juta dan rumah yang tidak layak huni 7,6 juta. Sedangkan data dari UNDP kawasan kumuh di Indonesia luasnya sekitar 59 ribu hektar. Untuk menangani hal tersebut, pemerintah terus berupaya melakukan pemenuhan kekurangan rumah hanya bisa ditangani sekitar 200 ribu per tahun dimana sekitar 60 persen
56
berada di perkotaan. Selain itu peningkatan kualitas rumah layak huni hanya 300 ribu per tahun serta penanganan kawasan kumuh 275 hektar per tahun. Dengan
demikian
kelembagaan
dibidang
perumahan
dan
kawasan permukiman, pemerintah saat ini sudah melakukan perumusan kebijakan dan operasionalisasi kebijakan yang memberikan stimulasi kepada daerah. Sedangkan dalam faktanya kelembagaan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota belum seluruhnya memiliki lembaga yang berwenang untuk menangani urusan tersebut. Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, maka daerah diberikan kewenangan sesuai Pasal 17 (1) Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, untuk merumuskan kebijakan, salah satunya adalah kebijakan mengenani urusan pemerintahan bidang perumahan dan kawasan permukiman Dasar Hukum • UUD 1945 • UU No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN • UU Nom. 17 Tahun 2007 tentang RPJP Nasional Tahun 2005-2025 • UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah • UU No. 1 Tahun 2011 • UU No. 20 Tahun 2011
Proses • Penyusunan
Kebijakan, Program dan Anggaran, Kerjasama, Data dan Informasi serta Evaluasi Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman
Output • Peraturan Daerah Terkait Pelayanan Wajib Dasar Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman sebagai bagian daari penyelenggaraan urusan pemerintahan • Peraturan Kepala Daerah
Gambar 6 : Proses Tahapan Pembentukan Kebijakan Terkait Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman
57
Revitalisasi dan reposisi lembaga kordinasi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang
Perumahan dan Permukiman, yakni
memperkuat kembali berbagai bentuk kordinasi dan sinkronisasi yang relevan antara pemerintahan pusat dan pemerintah daerah sebagai modal untuk pembentukan kelembagaan yang menangani urusan pemerintahan bidang perumahan dan kawasan permukiman yang sesuai substansi pelayanan dasar.
58
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan Dalam rangka melaksanakan peran desentralisasi, dekonsentrasi dan
tugas
pembantuan,
pemerintah
konkuren,
Pemerintah
berbeda
daerah
dengan
menjalankan
pemerintah
pusat
urusan yang
melaksanakan urusan pemerintahan absolut. Urusan Pemerintahan konkuren dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. pembagian urusan tersebut didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional Urusan pemerintahan tersebutlah yang menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Adanya penyertaan skala prioritas dalam penyelenggaraan urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar agar dimaksudkan otonomi luas bukan lagi diartikan semua urusan harus dilembagakan. Akan tetapi fungsinya tetap menjadi domain kewenangan daerah namun tidak harus dilembagakan tersendiri karena akan memicu bertambahnya biaya atau overhead cost. Dibutuhkan strategi untuk menerapkan kelembagaan yang right sizing yang bercirikan ramping struktur namun kaya
fungsi.
Hal
ini
dimaksudkan
untuk
memaksimalkan
penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan wewenangnya masingmasing serta meningkatkan tingkat akuntabilitas dan efisiensi dalam mengukur keberbehasilan. Selain itu, pembagian wilayah kerja ini juga ditujukan
untuk
memudahkan
jalur
birokrasi
yang
kelak
akan
mempermudah pemerintah baik pusat maupun daerah dalam melayani masyarakat. Untuk meningkatkan penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang perumahan dan kawasan permukiman sebagai urusan wajib
59
pelayan dasar di Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah wajib melakukan sinkronisasi urusan pemerintah antara pusat dan daerah. Urusan
pemerintahan
bidang
perumahan
dan
kawasan
permukiman merupakan urusan pemerintahan yang menyeluruh dan terintegrasi dari tingkat pusat hingga daerah, dimana sinkronisasi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang perumahan dan kawasan permukiman dilakukan secara sinergi oleh seluruh stakeholder, baik dari pihak
pemerintah
maupun
non-pemerintah
diseluruh
tingkatan
pemerintahan. Sesungguhnya, Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan bahwa penyelenggaran layanan dasar
termasuk
bidang
perumahan
dan
kawasan
permukiman
didalamnya, merupakan salah satu urusan wajib Pemerintah Daerah. Namun demikian, Pemerintah memandang penting untuk bergandengan tangan serta bahu membahu dengan Pemerintah Daerah, yakni memberikan fasilitasi agar urusan wajib Pemerintah Daerah dimaksud dapat berlangsung dengan optimal. 6.2. Rekomendasi Rekomendasi ini memberikan masukan-masukan yang dapat bermanfaat
bagi
kepentingan
dalam
penyelenggaraan
urusan
pemerintahan bidang perumahan dan kawasan permukiman dalam perspektif kebijakan, rekomendasi tersebut antara lain : 1.
Pembangunan prasarana dan sarana perumahan dan kawasan permukiman sebaiknya menjadi prioritas utama Pemerintah Daerah sebagai bagian dari penyelenggaraan urusan pemerintahan wajib pelayanan dasar, karena dengan demikian dapat mencegah dan
60
mengendalikan kondisi perumahan bagi penduduk kemudian terkait dengan kepadatan penduduk tinggi yang berpengaruh terhadap adaptasi manusia. 2.
Sebagaimana yang tertuang didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren berwenang untuk: menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan dan melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Namun, daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Dengan demikian
daerah
wajib
memberikan
legitimasi
tentang
penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang perumahan dan kawasan permukiman sebagai bentuk urusan wajib pelayanan dasar sebagai program prioritas daerah baik dari penguatan kelembagaan maupun pembiayaan penyelenggaan urusan. 3.
Peningkatan status dan eksistensi kelembagaan secara simultan menjadi SKPD tersendiri dapat dilakukan secara bertahap atau penuh berdasarkan beban kerja daerah, kemampuan anggaran daerah, sumber daya manusia dan kebutuhan institusional. Memang sebagian besar kewenangan dan penanganan perumahan maupun kawasan permukiman hanya setingkat eselon III atau eselon IV. Padahal kebutuhan rumah di daerah begitu besar.
4.
Dalam
rangka
penyelenggaraan
urusan
pemerintahan
bidang
perumahan dan kawasan permukiman, Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah II pada Direktorat Jenderal Bina Pembangunan
Daerah
bersama
Kementerian
PUPERA
dan
BAPPENAS melakukan pembinaan dan pengawasan umum ke
61
daerah provinsi untuk pelaksanaan sinkronisasi dan sinergi, melalui penguatan sinkronisasi dan integrasi Standar Pelayanan Minimum (SPM) Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi, Kabupaten/ Kota serta mendorong SKPD menyusun Rencana Strategis Bidang perumahan dan kawasan permukiman yang sinkron dan terintergrasi dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi, Kabupaten/ Kota.
62
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Said Zainal, Kebijakan Publik, Penerbit Pancur Siwah. Jakarta. 2004. Mark Considine, Public Policy: A Critical Approach, Melbourne: McMillan. 1994. Dunn William N., Public Policy Analysis: An Introduction, New Jersey: Englewood Cliffs. 1981. Fahmi, Sudi, Hukum Otonomi Daerah, Penerbit Total Media, Yogyakarta. 2009. Huda Ni’matul, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusamedia, Bandung, 2009. Islamy, Irfan M., Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta. 1997. Maslow, Abraham H., Motivasi dan Kepribadian: Teori Motivasi dengan Ancangan Hirarki Kebutuhan Manusia. Terjemahan oleh Nurul Iman. Jakarta : PT. Pustaka Binaman Pressindo, 1984. Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika. Jakarta. 2006. Thoyibbah Kundewi Yudianti, Implementasi Kebijakan Rekayasa Ulang Organisasi Kantor Informasi dan Komunikasi di Sukabumi, Jurnal Mahkamah, Volume 19 Nomor 2, Oktober 2007. Fakultas Hukum, Universitas Islam Riau, Pekanbaru.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005-2025. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
63
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2014 Tentang Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 – 2019. Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Kementerian Dalam Negeri. Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 22 Tahun 2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Perumahan Rakyat Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 43 Tahun 2015 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014.
64