“Banking” Weekly Hotlist (10 November – 14 November 2014) Senin, 10 November 2014
Siap Sambil Menanti Kejelasan Kalangan perbankan masih menunggu kejelasan terkait model bisnis yang saling menguntungkan dan kepastian aspek legalitas dari implementasi program bantuan sosial menggunakan kartu, seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Rosmaya Hadi, Direktur Eksekutif Departemen Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, mengakui bahwa saat ini pihaknya belum tahu mengenai bankbank mana saja yang ikut penyaluran bantuan sosial serta terkait mekanisme penyaluran kompensasi BBM. Adapun saat ini bank yang sudah mempunyai agen adalah PT Bank Mandiri Tbk dan PT BRI Tbk. Djarot Kusumayakti, Direktur Bisnis UMKM BRI, mengatakan pihaknya belum diberikan arahan untuk ikut sebagai bank pelaksana penyaluran bantuan nontunai. Walalupun begitu, pihaknya akan selalu siap, walaupun dari segi bisnis, program ini tidak terlalu menguntungkan bagi perbankan. Rico Usthavia, EVP Coordinator Transaction Banking Directorate Bank Mandiri, menuturkan pihaknya siap melakukan penyaluran bantuan nontunai, apalagi saat ini Bank Mandiri telah memiliki sarana e-cash. Sementara Gatot M. Suwondo, Direktur Utama PT BNI Tbk, mengatakan pihaknya siap dan saat ini tengah membahas model bisnis yang tepat karena diperlukan suatu perencanaan yang benar. Pihaknya sangat mengapresiasi program bantuan nontunai ini karena dapat berkontribusi pada pencapaian inklusi keuangan di Indonesia. Namun pihaknya menekankan harus adanya payung hukum yang jelas sehingga menjamin transparansi kepada masyarakat. Kesiapan keikutsertaan juga dilontarkan oleh PT BCA Tbk. Inge Setiawati, Sekretaris perusahaan Bank BCA, mengatakan perseroan telah cukup berpengalaman membantu program pemerintah, seperti e-ticket kereta api commuter line, flash card BBM nontunai dan kartu Trans-Jakarta. (Sumber: Bisnis Indonesia, 10 November 2014, 10)
Aset BPD Tumbuh Lesu Bank Pembangunan Daerah (BPD) membukukan pertumbuhan aset terendah dibandingkan kelompok bank lain. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) Agustus 2014, pertumbuhan aset BPD hanya mencapai 10,1% (yoy) menjadi Rp 432 triliun. Contoh BPD yang mengalami perlambatan aset adalah PT BPD Sumatera Barat (Bank Nagari). Pada kuartal III 2014, Bank Nagari mencatat pertumbuhan aset sebesar 10% (yoy), lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 14,36% (yoy). Perlambatan ini dipicu oleh perlambatan pada penyaluran kredit dan Dana Pihak Ketiga (DPK). Pertumbuhan kredit pada kuartal III 2014 tercatat 7,3% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 16,52% (yoy). Sementara, pertumbuhan DPK pada kuartal III 2014 sebesar 11,82% (yoy), lebih rendah dibanding pertumbuhan pada kuartal III 2013 sebesar 18,05% (yoy). Terkait perlambatan penyaluran kredit, Indra Wediana, Direktur Bank Nagari menyebutkan saat ini pihaknya memang sedang memperlambatkan laju penyaluran kredit untuk menjaga rasio kecukupan modal/capital adequacy ratio (CAR). Perlambatan kredit juga terjadi pada PT BPD DKI Jakarta (Bank DKI). Pada kuartal III 2014, penyaluran kredit Bank DKI tumbuh sebesar 28,01% (yoy), lebih rendah dibandingkan posisi kuartal III 2013 sebesar 33,6%. Mulyanto menambahkan perlambatan ini dipicu oleh belum optimalnya realisasi anggaran pemda, sehingga menghambat pengerjaan proyek-proyek pemerintah. Padahal pembiayaan proyek pemerintah mempunyai porsi yang besar dalam penyaluran kredit BPD. Ryan Kiryanto, Ekonom PT BNI Tbk mengatakan BPD harus aktif menghimpun DPK untuk disalurkan menjadi aset produktif. Eko Budiwiyono, Ketua Asosiasi bank Pembangunan Daerah (Asbanda), meminta pemerintah untuk mengikutsertakan BPD dalam penyaluran dana bantuan sosial. Pasalnya BPD telah berpengalaman dalam menyalurkan dana bantuan sosial, seperti pada tahun 2012 dilibatkan dalam menyalurkan dana bantuan untuk siswa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mekanisme penyaluran dana bantuan sosial dilakukan melalui uang elektronik dan agen-agen perbankan, sehingga hanya dapat dilakukan oleh bank kategori BUKU IV. Terkait hal ini, Eko meminta pemerintah untuk memberikan pengecualian untuk BPD. (Sumber: Bisnis Indonesia, 10 November 2014, 23)
Transaksi Nontunai Masih di Bawah 1% Prabu Dewanto, Manager Divisi Perizinan dan Informasi Sistem Pembayaran Bank Indonesia mengatakan penggunaan uang nontunai di Indonesia masih rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Bank Indonesia mencatat 99,4% total transaksi di Indonesia dilakukan secara tunai dan sisinya yakni kurang dari 1 persen dilakukan secara nontunai. Bank Indonesia bekerjasama dengan pemerintah dan universitas saat ini tengah aktif melakukan sosialisasi
penggunaan transaksi nontunai. Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan tingkat penggunaan transaksi nontunai meningkat menjadi 1,8%. Marlison Hakim, Deputi BI Kantor Perwakilan Wilayah V Jateng-DIY, mengatakan gerakan nasional penggunaan uang nontunai terus digencarkan. Dukungan pemerintah dengan meluncurkan Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) juga dirasakan baik untuk meningkatkan penggunaan uang nontunai. (Sumber: Bisnis Indonesia, 10 November 2014, 23)
Upaya Maksimal agar Tak Jaga Kandang Agus D.W. Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia, mengatakan bahwa ekonomi syariah dapat bertahan di tengah krisis dan membuat stabilitas sistem keuangan ekonomi menjadi lebih baik. Sebagai negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia, diharapkan potensi ekonomi syariah di Indonesia dapat dimaksimalkan. Selain itu, pangsa pasar bagi hasil di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia yakni sebesar 30,1% pada pertengahan 2014. Adapun aset industri perbankan syariah pada Agustus 2014 telah mencapai Rp 252,2 triliun atau 5,01% dari aset perbankan konvensional. Walaupun begitu, Agus menyadari bahwa pemahaman masyarakat mengenai perbankan syariah masih rendah. Oleh karena itu, seiring banyaknya pesantren-pesantren di Indonesia, pemberian edukasi mengenai ekonomi syariah perlu diberikan kepada calon dai. Halim Alamsyah, Deputi Gubernur BI, menambahkan bahwa ekonomi syariah dapat menjadi solusi pengurangan kemiskinan dan keterbelakangan melalui pengelolaan zakat dan wakaf. BI memperkirakan potensi dana zakat dan wakaf dapat mencapai Rp 217 triliun. Ahmad Soekro, Direktur Pengawasan Perbankan Syariah Departemen Perbankan Syariah OJK, mengungkapkan market share saham syariah telah mencapai 58,63% pada Juli 2014 atau sebesar Rp 2.955 triliun. Ke depannya, OJK menilai konsep pemberdayaan masyarakat miskin melalu keuangan syariah perlu dimaksimalkan. (Sumber: Bisnis Indonesia, 10 November 2014, 24)
Lembaga Pengawas OJK Harus Segera Dibentuk Pelaku pasar dan pengamat industri keuangan Indonesia menginkan adanya lembaga independen yang mengawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tidak adanya wakil di luar birokrat susunan pengurus OJK menimbulkan masalah akuntabilitas dari sisi tata kelola. Padahal OJK memiliki kewenangan yang demikian besar. Sigit Pramono, Ketua Umum Perbanas, mengungkapkan saat ini OJK belum memiliki sistem pengawasan yang memadai. Sejak awal berdiri otoritas hanya diawasi oleh Komite Etik yang dipimpin internal OJK sendiri yakni Rahmat Waluyanto, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK. Adapun belum ada pengawasan dari sisi
eksternal. Padahal OJK merupakan lembaga yang berkuasa penuh mengawasi jasa industri keuangan dengan aset lebih dari Rp 11.000 triliun. Kekuasaan yang begitu besar tanpa adanya pengawasan dapat terbuka kemungkinan adanya penyalahgunaan kewenangan. Hal yang sama juga disampaikan oleh Asosiasi Emiten Indonesia (AEI). Franciscus Welirang, Ketua AEI, mengatakan bahwa perlu ada lembaga pengawas khusus untuk OJK terkait akuntabilitas pungutan OJK. Selain itu AEI juga meminta OJK untuk meninjau kembali model pungutan OJK terhadap emiten. Hal ini menyebabkan perusahaan-perusahaan untuk berpikir ulang untuk mencatatkan sahamnya di BEI. (Sumber: Indonesia Finance Today, 10 November 2014, 1)
NPL Bank Tidak Terpengaruh Kenaikan Harga BBM Sejumlah bankir menilai kenaikan harga BBM bersubsidi tidak akan mempengaruhi rasio kredit bermasalah perbankan. Walaupun begitu, sektor komoditas diperkirakan akan mengalami penurunan dan akan mempengaruhi kualitas kredit di sektor tersebut. Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT BCA Tbk mengatakan, kenaikan harga BBM akan berdampak pada inflasi, namun tidak pada kemampuan membayar nasabah individu. Namun, bank saat ini tengah berhati-hati dalam menyalurkan kredit ke sektor perkebunan dan pertambangan seiring dengan menurunnya harga batubara dan kelapa sawit. Hingga September 2014, NPL kotor bank mengalami kenaikan sebesar 20 basis poin ke posisi 0,7%. Kenaikan tersebut berasal dari sektor komoditas yang mengalami penurunan kualitas kredit. Senada, Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur PT OCBC NISP Tbk, mengatakan perseroan tengah mewaspadai sektor komoditas karena kinerja debitur di sektor ini cenderung akan tertekan sehingga NPL di sektor ini berpotensi meningkat. Per September 2014, NPL Bank OCBC NISP meningkat 40 basis poin ke 1,1%. Kenaikan NPL juga terjadi pada PT Bank BTN Tbk dan PT Bank Danamon Tbk. Bank BTN mencatat NPL tertinggi sebesar 4,85% per September. Walapun begitu, pihaknya berharap dapat menekan NPl ke posisi di bawah 4%. Sementara itu, Bank Danamon mencatat kenaikan NPL sebesar 20 basis poin ke 2,4% pada kuartal III 2014. Vera Eve Lim, Direktur Keuangan Bank Danamon mengatakan kenaikan ini disumbang oleh sektor pertambangan yang memiliki porsi kredit sebesar 1,9%. Halim Alamsyah, Deputi Gubernur Bank Indonesia, mengatakan rasio kredit bermasalah/NPL saat ini cenderung stabil, namun terdapat potensi peningkatan di masa mendatang. Terkait, penurunan sektor komoditas seperti pertambangan, Halim menambahkan bahwa jika harga komoditas batubara meningkat dalam meningkatkan ekspor batubara Indonesia, sehingga sektor pertambangan akan tumbuh kembali. (Sumber: Indonesia Finance Today, 10 November 2014, 8)
Inklusi Keuangan Tingkatkan Pangsa Pasar Bank Syariah Pada tahun 2015, pangsa pasar rekening perbankan syariah ditargetkan sebesar 15% hingga 25%. Adiwarman A. Karim, Wakil Ketua Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengatakan pangsa pasar perbankan syariah terhadap total penduduk muslim baru mencapai 4% dan pangsa pasar jumlah rekening bank syariah per Juli 2014 baru mencapai 11,2% dari 152 juta rekening bank nasional. Selain itu, penetrasi layanan keuangan di Indonesia masih cenderung rendah yang diindikasikan dengan porsi penduduk yang mendapatkan layanan keuangan yakni 19,6%, jauh lebih rendah dibandingkan negara lain seperti Kuwait (86,8%), Oman (73,6%), Malaysia (66,2%), Qatar (65,9%) dan Bahrain (64,5%). Walaupun begitu, untuk mendorong pangsa pasar mencapai target, terdapat potensi yakni daftar tunggu jamaah haji yang mencapai 2,2 juta jiwa, jamaah umrah sebesar 500 ribu per tahun dan pengguna telepon seluler yang mencapai 230 juta jiwa. Terdapat empat strategi untuk mengembangkan inklusi keuangan syariah diantaranya: (i) memperluas nasabah keuangan syariah yang loyal dengan labelisasi MUI; (ii) memperluas nasabah floating mass keuangan formal melalui fitur-fitur keuangan yang canggih; (iii) memperluas nasabah floating mass keuangan formal dengan membidik nasabah loyal keuangan formal konvensional melalui produk yang murah; dan (iv) memperluas basisi nasabah floating mass keuangan informal dengan membidik nasabah loyal keuangan informal konvensional dengan produk yang murah. Rosmaya Hadi, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia mengatakan BI akan mendorong inklusi keuangan dengan membuka akses perbankan dan telekonomunikasi penyedia layanan keuangan digital (LKD) ke berbagai daerah. Selain itu, pihaknya juga menyiapkan infrastruktur komponen untuk mendukung perkembangan LKD dan terus melakukan inovasi, seperti uang elektronik berupa kartu atau ponsel sebagai alat transfer. Terkait perbankan syariah, pihaknya menyarankan perbankan syariah melakukan co-branding dengen perbankan konvensional untuk mempermudaj penerbitan uang elektronik (e-money. Agus Sudiarso, Direktur Utama Bank Syariah Mandiri mengatakan kunci keberhasilan LKD adalah perubahan paradigma masyarakat dari transaksi tunai ke nontunai. Terkait implementasi program branchless banking, perbankan syariah bisa bekerjasama dengan pesantren untuk menjadi agen LKD. (Sumber: Indonesia Finance Today, 10 November 2014, 8)
Pertumbuhan DPK Perbankan Menguat Pada September Menjelang akhir tahun 2014, DPK memiliki tren meningkat seiring dengan ekspansi dana pemerintah, sehingga mendorong jumlah dana giro. Hingga September 2014, DPK mengalami kenaikan sebesar 12,2% (yoy) menjadi Rp 3.864,3 triliun. Adapun jumlah dana giro meningkat 6,8% menjadi Rp 857,3 triliun. Sementara itu, pertumbuhan kredit cenderung melambat. Penyaluran kredit tumbuh 12,5% (yoy) menjadi Rp 3.588 triliun pada September 2014. Kondisi ini menurun dibandingkan pertumbuhan Agustus 2014 yang mencapai 13,6% (yoy). Perlambatan kredit ini terutama terjadi pada sektor perdagangan dan industri pengolahan. Per September 2014, penyaluran kredit sektor perdagangan tumbuh 4,9% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada Agustus 2014 yang mencapai 30,4% (yoy). Selain itu, sektor pengolahan juga mengalami perlambatan pertumbuhan dari 16,5% (yoy) pada Agustus 2014 menjadi 10% (yoy) pada September 2014. Tigor Siahaan, Citi Country Officer Citibank NA Indonesia, memperkirakan tahun depan tekanan likuiditas akan membebani perbankan. Kondisi likuiditas yang ketat akan menjadi kendala pertumbuhan kredit yang tinggi. Tantangan ke depan bagi industri perbankan adalah bagaimana caranya meningkatkan funding. Oleh karena itu, Tigor menyarankan agar perbankan perlu mencari sumber pembiayaan lain untuk menopang pertumbuhan kredit. Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT BCA Tbk, memperkitakan pertumbuhan DPK hanya mencapai 12%, sehingga hanya dapat mendorong pertumbuhan kredit sebesar 15%. Di sisi lain, perbankan Syariah kerap mencari potensi DPK lain, salah satunya melalui dana haji. James D Rompas, Wakil Presiden Direktur PT CIMB Niaga Tbk, mengatakan saat ini pihaknya sedang membidik pasar dana murah dengan mengeluarkan produk tabungan. Menurutnya, animo masyarakat Indonesia untuk tabungan haji cukup tinggi. Pihaknya menargetkan total 38 ribu rekening atau sebesar Rp 1 triliun pada akhir tahun. Deny Hendrawati, Direktur Utama PT Bank Panin Syariah Tbk, mengakui pihaknya mengincar dana haji sebagai sumber dana murah perseroan. Bank Panin Syariah menargetkan penghimpunan dana haji sebesar Rp 100 miliar-Rp 200 miliar. (Sumber: Indonesia Finance Today, 10 November 2014, 9)
Selasa, 11 November 2014
Tahun Depan Pertumbuhan Kredit Korporasi Terbatas Kalangan perbankan memperkirakan pertumbuhan kredit korporasi akan mencapai pada kisaran 10%-20%. Likuiditas yang ketat merupakan penyebab utama perbankan tidak dapat ekspansi menyalurkan kredit korporasi. Walaupun begitu, terdapat potensi penyaluran kredit perbankan dari banyaknya proyek pemerintah. Asmawi Syam, Direktur Kelembagaan dan BUMN PT BRI Tbk, mengatakan pertumbuhan dapat mencapai 17% bahkan 20% apabila realisasi APBN ekspansif untuk infrastruktur. Per September 2014, kredit koorporasi Bank BRI mencapai Rp 125,4 triliun atau tumbuh sebesar 13% (yoy). Di masa mendatang, Bank BRI mengaku akan fokus kepada pembiayaan proyek infrastruktur ke berbagai sektor transportasi dan energi, seperti proyek Kereta Bandara Soekarno Hatta. Adapun hingga September 2014, penyaluran kredit infrastruktur BRI mencapai Rp 32,6 triliun. Krishna Suparto, Direktur Business Banking PT BNI Tbk, memperkirakan pertumbuhan kredit korporasi akan mencapai 15%-18%. Menurutnya, Bank BNI akan tetap fokus meyalurkan kredit ke sektor unggulan, salah satuinya infrastruktur. Hingga September 2014, penyaluran kredit korporasi perseroan meningkat sebesar 15,2% (yoy) menjadi Rp 117,84 triliun. Bank BNI berkomitmen menyalurkan proyek infrastruktur senilai Rp 60 triliun, namun saat ini realisasi komitemen tersebut baru mencapai 50% dari nilai komitmen. Berbeda dengan Bank BRI dan BNI, Dhalia M Ariotedjo, Direktur Korporasi PT BCA Tbk, lebih pesimis terhadap pertumbuhan kredit korporasi. Menurutnya pertumbuhan kredit korporasi akan mencapai di bawah 10%. Hingga September 2014, total penyaluran kredit korporasi perseroan mencapai 112,53 triliun, meningkat 13,7% (yoy). Sementara penyaluran kredit perseroan ke proyek infrastruktur, terutama transporasi mencapai 6,8% dari total kredit korporasi. Ke depannya, Bank BCA akan lebih banyak menyalurkan kredit ke sektor infrastruktur melalui skema sindikasi. (Sumber: Indonesia Finance Today, 11 November 2014, 8)
Bankir Syariah Pesimistis Target Pangsa Aset 30% akan Tercapai Kalangan perbankan syariah mengakui pesimis target pangsa pasar 30% pada tahun 2023 dapat dicapai. Achmad K Permana, Direktur Unit Usaha Syariah (UUS) PT Bank Permata Tbk, mengatakan untuk merealisasikan tersebut seharusnya regulator memberikan insentif pajak pada produk deposito perbankan syariah. Selain itu, Achmad menilai untuk mencapai target
tersebut perlu kolaborasi yang kuat antara regulator, seperti Bank Indonesia, OJK, Kementerian Keuangan dan Kantor Pajak. Senada, Imam Teguh Saptono, Direktur Bisnis PT BNI Syariah mengatakan bahwa keterlibatan pemerintah mempunyai andil yang besar demi mendukung pencapaian target pangsa pasar perbankan syariah. Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat mengenai perbankan syariah juga penting untuk dilakukan. Sebelumnya, Agus D.W. Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia, mengemukakan saat ini pangsa pasar industri keuangan syariah baru mencapai 5% dari total aset industri keuangan, padahal Indonesia mempunyai potensi yang besar karena jumlah penduduk beragama Islam di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia. Oleh karena itu, BI dan OJK akan aktif melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai ekonomi dan keuangan syariah. (Sumber: Indonesia Finance Today, 11 November 2014, 8)
Likuiditas Ketat, Penerbitan Obliggasi Bank Bakal Marak Moody’s Investment Service, Lembaga Pemeringkat global menilai meningkatnya LDR akan mendorong penerbitan obligasi Bank di Indonesia guna mendanai kredit. Alka Anbarasu, AVP & Analis Moody’s mengatakan pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan DPK mendorong tren pendanaan di masa mendatang akan lebih didorong kebutuhan. Secara umum di kawasan ASEAN, pinjaman dan obligasi yang diterbitkan perbankan ASEAN meningkat dari 71% menjadi US$ 168 miliar periode 2009-2013. Sementara LDR mencapai 90%. Tidak hanya Indonesia, Thailand dan Vietnam membukukan kenaikan LDR valuta asing yang tinggi seiring dengan ekspansi perbankan kedua negara ini di luar negeri. Moody’s memperkirakan pertumbuhan kredit di ASEAN mencapai belasan persen dimana sektor perdagangan akan mendominasi penyaluran kredit, khususnya di negeara Indonesia dan Filipina. Seiring dengan pernyataan Moody’s, sejumlah bank domestik mengaku berencana untuk mengeluarkan obligasi. Royke Tumilaar, Direktur Treasury Bank Mandiri, mengatakan tambahan dana dari obligasi dapat mengurangi missmatch likuiditas, khususnya untuk pembiayaan yang bersifat jangka panjang, seperti proyek infrastruktur. Adapun nilai obligasi yang akan diterbitkan minimal US$ 500 Juta. Achmad Baiquni, Direktur Keuangan Bank BRI, mengakui perseroan berencana mengeluarkan obligasi dengan nilai setara Rp 2 triliun dan digunakan untuk ekspansi. Berbeda halnya dengan kedua bank persero, PT Bank Mega Tbk mengakui kondisi perseroan masih cenderung aman. Nilai LDR saat ini masih terjaga pada level 68,76% dan diperkirakan akan stabil di kisaran 60%-70% hingga akhir tahun. Kostaman Thayid, Direktur Utama Bank Mega, mengatakan untuk menjaga LDR, pihaknya masih mengandalkan peningkatan DPK dan menahan ekspansi kredit. (Sumber: Indonesia Finance Today, 11 November 2014, 8)
4 Bank Biayai Proyek Kereta Empat bank yang tergabung dalam BUKU IV bersama-sama memberikan kredit sindikasi kepada PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan anak perusahaannya sebesar Rp 3,04 triliun. Kredit sindikasi ini dibagi menjadi 2 bagian yakni Rp 2,38 triliun kepada PT KAI dan Rp 660,34 miliar kepada PT KAI Commuter Jabodetabek. Tenor yang ditetapkan dalam kredit sindikasi ini selama 10 tahun dengan masa grace period selama 2 tahun. Abdul Rachman, Direktur Korporasi PT Bank Mandiri Tbk mengatakn pihaknya setuju untuk memberikan kredit ini untuk mendukung pengembangan infrastruktur pengangkutan barang dan penumpang melalui kereta api. Upaya ini diharapkan mampu mendorong pengembangan fasilitas logistik sehingga dapat menurunkan biaya logistik di Indonesia. Perseroan juga berencana untuk kembali memberikan kredit kepada PT KAI terkait pembangunan infrastruktur kereta bandara yakni sekitar Rp 1,8 triliun. Hal yang sama diungkapkan oleh Krishna Suparto, Direktur PT BNI Tbk. Pihaknya juga sedang dalam tahap finalisasi penyaluran kredit sindikasi untuk pembangunan infrastruktur kereta bandara. Upya ini dilakukan mengingat transportasi kereta api merupakan sektor strategis karena berpotensi mempercepat pertumbuhan ekonomi. Dhalia Ariatedjo, Direktur PT BCA Tbk menambahkan dengan pengembangan sistem transportasi perkeretaapian, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih tinggi dari 5%. Kurniadi Atmosasmito, Direktur Keuangan PT KAI, mengungkapkan total investasi yang dibutuhkan untuk membangun dan mengembangkan infrastruktur hingga 2019 sebesar Rp 14 triliun dimana 85% merupakan pembiayaan dari perbankan dan sisanya dari pendanaan internal. Sebagian dana akan dimanfaatkan untk pembelian 860 unit gerbong kereta commuter line. Dengan upaya ini diharapkan target jumlah kereta sebanyak 1.440 unit dan target penumpang sebanyak 1,2 juta per hari dapat tercapai. (Sumber: Bisnis Indonesia, 11 November 2014, 3)
Kontribusi Anak Usaha Belum Optimal A. Tony Prasetiantono, Pengamat Ekonomi Universitas Gajah Mada, mengatakan kontribusi anak usaha bank-bank BUMN dirasakan belum optimal. Adapun hanya anak usaha dibidang perbankan syariah yang paling optimal menyumbang dana. Hingga kuartal IV 2014, hanya anak usaha PT Bank Mandiri Tbk yang mencatat laba terbesar. Pada periode yang sama, laba konsolidasi Bank Mandiri tercatat Rp 15,03 triliun dan laba bank only sebesar Rp 14,03 triliun. Untuk Bank BRI, laba konsolidasi tercatat Rp 18,16 triliun dana laba bank only Rp 18,12 triliun. Sementara, laba konsolidasi Bank BNI tercatat Rp 7,64 triliun dengan laba bank only sebesar Rp 7,42 triliun.
Bank Mandiri merupakan bank yang paling banyak memiliki anak usaha. Hingga September 2014, aset anak usaha Bank Mandiri tercatat Rp 103,5 triliun atau 12,86% dari total aset perseroan. Adapun PT Bank Syariah Mandiri (BSM) yang memiliki andil laba terbesar. Agus Dwi Handaya, Direktur BSM, mengungkapkan laba tersebut seharusnya dapat lebih tinggi namun terimbas besarnya beban bagi hasil karena pertumbuhan dana. Sementara, aset anak usaha Bank BRI hingga September 2014 mencapai Rp 18,15 triliun atau 2,63% dari total aset konsolidasian. Adapun anak usaha Bank BNI mencatat aset sebesar Rp 27,5 triliun. Sementara itu, Bank BTN masih sulit memiliki anak usaha karena struktur permodalan yang masih rendah. Tony lebih menyarankan kepada perbakan untuk melakukan konsolidasi guna mendorong daya saing perbankan nasional. (Sumber: Bisnis Indonesia, 11 November 2014, 20)
Bank Kecil Kian Gencar Cari Mitra Sejumlah bank BUKU I dan II tengah aktif mencari mitra strategis untuk memupuk kembali rasio permodalan perseroan yang kian tergerus. Salah satu contoh adalah PT Bank Pundi Indonesia. Rasio kecukupan modal perseroan menurun hingga 116 basis poin dari 11,67% September 2013 menjadi 10,51% pada September 2014. Paulus Wiranata, Direktur Utama Bank Pundi mengatakan telah ada tawaran investasi dari Belanda namun untuk dirasakan tidak dapat direalisasikan tahun ini. Selain penurunan CAR, laba perseroan juga menurun sebesar 86,8% dari Rp 7,5 miliar pada kuartal III 2013 menjadi Rp 1 miliar pada September 2014. Melonjaknya beban bunga yang tidak sebanding dengan pendapatan kerap menekan penurunan laba perseroan. Sementara itu, PT Bank Himpunan Saudara juga mengalami penurunan CAR dari 12,31% pada September 2013 menjadi 11,45% pada September 2014. Untuk memupuk kembali permodalan, perseroan memilih melakukan merger dengan PT Bank Woori yang efektif berlangsung pada tanggal 19 Desember. Upaya ini diperkirakan mampu memuluskan rencana perseroan untuk masuk ke kategori bank BUKU III. Yanto M. Purbo, CEO Bank Saudara mengatakan pihaknya akan menambah 100 unit kantor cabang hingga tahun 2019. (Sumber: Bisnis Indonesia, 11 November 2014, 20)
Rabu, 12 November 2014
Bunga Kredit Mikro Empat Bank Turun Sejumlah penyalur kredit mikro menurunkan suku bunga kredit mikro seiring dengan bunga deposito yang menurun. Sejumlah kalangan menilai suku bunga kredit mikro berpotensi untuk menurun jika biaya dana dapat ditekan. Adapun keempat bank tersebut adalah PT Bank Mandiri Tbk, PT BPD Jawa Barat dan Banten Tbk, PT Bank Pundi Indonesia Tbk, PT BTPN Tbk dan PT Bank Danamon Tbk. Sejak Januari 2014 hingga September 2014, Bank Mandiri telah menurunkan bunga kredit mikro sebesar 250 basis poin ke level 19,5%. Agus Haryoto, SVP Micro Development Bank Mandiri, mengatakan penurunan ini dilakukan karena pendapatan bunga dari penyaluran kredit masih dapat terjaga. Bunga berpotensi turun jika biaya dana juga mengalami penurunan. Adapun per September 2014, outstanding kredit mikro Bank Mandiri Rp 32,7 triliun atau meningkat 31,4% (yoy). Bank Pundi juga menurunkan suku bunga kredit sebesar 14 basis poin pada bulan Juni 2014 untuk plafon di bawah Rp 5 juta. Paulus Wiranata, Direktur Utama Bank Pundi mengatakan penurunan suku bunga kredit ini merupakan strategi pricing bukan karena cost of fund bank. Hingga akhir tahun, bank Pundi menargetkan ekspansi kredit sebesar Rp 1,44 triliun. Sementara, Bank Danamon mencatat penurunan bunga kredit terkecil yakni 4 basis poin. Vera Eve Lim, Direktur Keuangan Bank Danamon, mengatakan hingga akhir tahun pihaknya akan menahan laju kredit mikro. Adapun hingga September, outstanding kredit mikro Bank Danamon tercatat Rp 19,7 triliun, atau turun 1% (yoy). Hal yang berbeda justru dilakukan oleh PT Bank BRI Tbk yang tetap menahan suku bunga kredit mikro perseroan pada level 19,25%. Djarot Kusumayakti, Direktur Bisnis Bank BRI, mengatakan saat ini suku bunga perseroan masih kompetitif. Adapun pertumbuhan kredit tahun ini ditargetkan sebesar 20%. (Sumber: Indonesia Finance Today, 12 November 2014, 8)
J Trust Harus Lunasi Pembelian Saham Bank Mutiara Pekan Depan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah meloloskan J Trust, pemenang tender pembelian Bank Mutiara pada uji kelayakan dan kepatuhan. J Trust harus melunasi pembelian saham Bank Mutiara sebelum penutupan transaksi pada 20-21 November 2014, sehingga kepengurusan akta akan berjalan lebih cepat. Samsu Adi Nugroho, Sekretaris Lembaga LPS, mengatakan J Trust telah mebayar 10% dari total nilai transaksi yang ditaksir mencapai Rp 4,5 triliun. Adapun proses transaksi penjualan ini tinggal menunggu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank Mutiara terkait pengalihan saham dari LPS ke J Trust. Yanuar Rizki, pengamat keuangan,
mengatakan penjualan Bank Mutiara harus dilakukan secara business to business. Menanggapi penjualan Bank Mutiara, A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas UGM, mengatakan pemerintah seharusnya menunda penjualan Bank Mutiara. Menurutnya aset LPS yang mencapai Rp 30 triliun masih memungkinkan untuk menangani Bank Mutiara. (Sumber: Indonesia Finance Today, 12 November 2014, 8)
S&P: Integrasi Perbankan Terkendala Regulasi S&P dalam laporan terbarunya ASEAN Financial Integration: The Long Road to Bank Consolidation memprediksi integrasi perbankan di Asia Tenggara tidak akan berjalan mulus. Chriss Lee, Analis Kredit S&P, menjelaskan belum harmonisnya regulasi antar negara ASEAN merupakan kendala utama upaya integrasi ini. Integrasi akan dipercayakan akan tetap terjadi pada tahun 2020 walaupun masing-masing negara memiliki regulasi yang bertentangan. Lee menambahkan mayoritas bank di singapura dan Malaysi menjadi bank paling agresif ekspansif di ASEAN, dan diperkirakan Thailand akan segera menyusul. Semenatara Indonesia dan Filipina masih fokus memperkuat jaringan domestik. Indonesia juga menjadi salah satu negara dengan penetrasi kredit terendah di ASEAN. Saat ini, otoritas negara ASEAN masih berunding mengenai implementasi ASEAN Banking Integration Framework (ABIF). Dalam ABIF, negara akan mendapatkan Qualified ASEAN Bank (QAB) dimana bank negara tersebut dapat ekspansi ke negara ASEAN lain. Muliaman D. Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK, mengatakan regulasi perbankan di Indonesia lebih terbuka dibandingkan negara ASEAN lainnya. Di Indonesia, pengaturan kepemilikan saham oleh asing sebesar 40%, namun di Singapura dan Malaysia batas asing sebesar 20%. Pahala N. Mansury, Direktur Keuangan dan Strategi PT Bank Mandiri Tbk mengatakan tidak boleh ada diskriminasi ruang ekspansi bagi bank yang berstatus QAB. Regulasi dapat menghambat integrasi perbankan apabila ruang berkompetisi dibedakan antara bank local dan bank asing. DI sisi lain, Sigit Pramono, Ketua Umum Perbanas, mengatakan kemampuan bank-bank lokal sangat terbatas, khususnya dalam mendukung proyek-proyek infrastruktur yang membutuhkan dana yang besar. Oleh karena itu, pihaknya menyarankan agar pemerintah melakukan merger dan akuisisi yakni pertama mendirikan Bank Pembangunan Indonesia (BPI) dengan modal Rp 100 triliun, kemudian BPD melebur ke BPI. Selain itu, konsolidasi yang perlu dilakukan adalah melebur Bank Mandiri dan Bank BNI. Adapun Bank BRI fokuskan menyalurkan kredit ke segmen usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). (Sumber: Indonesia Finance Today, 12 November 2014, 8)
Bank Gencar Terbitkan NCD untuk Tingkatkan Pendanaan Negotiable Certificate of Deposit (NCD) merupakan salah satu alternatif untuk menekan biaya dana karena memiliki bunga yang lebih rendah. NCD oleh sejumlah bank digunakan untuk membiayai kredit. PT Bank Internasional Indonesia Tbk akan menerbitkian NCD dalam 2 seri, yakni seri NCD I seri A dengan nilai Rp 100 miliar dengan bunga sebesar 9,12% dalam jangka waktu 6 bulan dan NCD I seri B senilai Rp 580 miliar dengan bunga 9,6% dalam jangka waktu 1 tahun. Taswin Zakaria, Presiden Direktur Bank BII, mengatakan selain menerbitkan NCD, pihaknya juga berencana untuk melakukan right issue tahun ini dengan melepas 6,77 miliar saham baru atau sekitar 10% dari jumlah seluruh sahamnya. Dana yang didapat dari aksi korporasi ini digunakan untuk mengejar target pertumbuhan kredit sebesar 17%-20%. Sementara PT Bank KEB Hana Indonesia telah menerbitkan dua seri NDC I, yakni NCD seri I yang berjangka waktu enam bulan dengan nilai Rp 85 miliar dan NCD I yang berjangka waktu satu tahun senilai Rp 365 miliar. Wisnu Wardhana, Direktur Bank KEB Hana, mengatakan tingkat bunga yang ditawarkan sebesar 9,5%-9,75%. Adapun dana penerbitan NCD ini dilakukan untuk ekspansi bisnis. Target pertumbhan kredit perseroan sebesar 30% dengan fokus usaha kecil dan menengah (UKM). PT Commonwealth Bank Indonesia saat ini telah menerbitkan NCD sebanyak empat kali. Rian E Kasian, Executive Vice President Commonwealth Bank Indonesia, mengatakan penerbitan NCD menjadi andalan untuk mendapatkan dana murah sehingga dapat menjaga sumber pendanaan perseroan. Hal yang sama juga dilakukan oleh PT Bank DBS Indonesia. Tahun ini Bank DBS telah dua kali menerbitkan NCD, yakni NCD I dengan Rp 905 miliar dan NCD II dengan Rp Rp 760 miliar. (Sumber: Indonesia Finance Today, 12 November 2014, 8)
Kartu Kredit Masih Potensial Sejumlah perbankan optimis bisnis kartu kredit masih akan meningkat ditengah perlambatan kredit consumer dan pembatasan kartu kredit. Hal ini diyakini oleh Henry Konaefi, Direktur PT BCA Tbk. Pasalnya, pertumbuhan penyaluran kredit menggunakan kartu kredit mencapai 15% dibandingkan awal tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan kredit consumer yang hanya mencapai 5,4%. Bank BCA masih menerapkan strategi yang cukup konservatif dalam mengakuisisi nasabah baru, yakni dengan menetapkan seleksi ketat dalam memilih calon nasabah. Sementara PT Bank CIMB Niaga Tbk memilih untuk menyasar nasabah kelas atas dalam meningkatkan kinerja bisnis kartu kredit dengan bekerja sama dengan PT JCB Internasional Indonesia. Budiman Poedjihardjo, Head of Branch and Branchless Banking Bank CIMB Niaga, mengatakan secara khusus kartu kredit ini ditujukan untuk nasabah ekspatriat Jepang di Indonesia. Pihaknya memperkirakan bisnis kartu kredit untuk nasabah premium dan super premium masih sangat tinggi. (Sumber: Bisnis Indonesia, 12 November 2014, 23)
BI Proses Izin 2 Bank Setelah sebelumnya meloloskan PT Bank Mandiri Tbk dan PT BRI Tbk, Bank Indonesia kembali meloloskan PT BCA Tbk dan PT BNI Tbk untuk masuk dalam Branchless Banking. Rosmaya Hadi, Direktur Eksekutif Departemen Akunting dan Sitem Pembayaran Bank Indonesia mengatakan hanya Buku IV yang dapat merekrut agen dan mengingat agar program ini dilakukan dengan prinsip kehati-hatian. Suwingyo, Direktur Bank BCA mengatakan saat ini pihaknya sedang mempersiapkan perekrutan agen-agen. Adapun pokok pengaturan layanan keuangan digital dalam pemilihan agen individu antara lain: (i) memiliki kemampuan, reputasi dan integritas di wilayah operasional; (ii) memiliki usaha utama dengan lokasi tetap; (iii) lulus uji tuntas dan menempatkan deposito sesuai yang ditetapkan bank. Terkait program ini, Gandjar Mustika, Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK mengatakan saat ini masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan akses layanan keuangan. Oleh karena itu, branchless banking dapat meruntuhkan tembok eksklusif yang menjadi paradigm di masyarakat. (Sumber: Bisnis Indonesia, 12 November 2014, 23)
Tahun depan, Kredit Masih Diprediksi Melandai Nelson Tampubolon, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, memperkirakan pertumbuhan kredit akan sulit naik secara signifikan pada tahun 2015 dan hanya akan mencapai kenaikan sebesar 17%-18%. Adapun untuk tahun ini, maksimal pertumbuhan kredit diperkirakan hanya akan mencapai 15%. Adapun DPK per September 2014 tercatat 88%. Nelson menilai kondisi ini masih tinggi, oleh karena itu pihaknya memiminta perbankan untuk menyeimbangkan pertumbuhan kredit dengan DPK. Bank harus mempersiapkan sumber dana selain DPK, baik melalui penambahan modal baru maupun penerbitan obligasi serta masuk ke pasar modal. Kebijakan pembatasan suku bunga deposito per Oktober 2014, menurut Nelson sudah memberikan dampak yang baik yakni dengan menurunnya suku bunga dana dan kredit. Achmad Baiquni, Direktur Keuangan PT BRI Tbk, mengatakan situasi ekonomi di tahun 2015 cukup menantang, oleh karena itu perseroan akan lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan, khususnya dalam penerbitan obligasi atau masuh ke pasar modal. BRI juga merencanakan untuk menerbitkan obligasi dan Medium Term Note (MTN) tahap II tahun depan. Adapun hingga kuartal III/2014, total DPk yang berhasil dihimpun BRI mencapai Rp 544,27 triliun, tumbuh 19,7% (yoy). (Sumber: Bisnis Indonesia, 12 November 2014, 24)
Kamis, 13 November 2014
Ekspansi Kredit Valas Melambat Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) Agustus 2014 terlihat bahwa pertumbuhan penyaluran kredit valuta asing relatif melambat. Hingga Agustus 2014, penyaluran kredit valas tercatat Rp 576,93 triliun, meningkat 0,70% (year to date). Kondisi ini jauh lebih rendah dibandingkan posisi pertumbuhan kredit valas Agustus 2013 sebesar 18,05% (year to date). Adapun total DPK mencapai Rp 631,72 triliun, meningkat 10,84% (year to date), lebih rendah dibandingkan Agustus 2013 yang mencapai 23% (year to date). LDR valas pada Agustus 2014 menembus angka 91,24%. Abdul Rachman, Direktur Institusional Banking PT Bank Mandiri Tbk mengatakan perbankan cenderung berhati-hati dalam menyalurkan kredit valas untuk menjaga likuiditas. Pasalnya DPK valas cenderung lebih sulit didapatkan. Adapun hingga September 2014, penyaluran kredit valas perseroan mencapai US$ dan LDR masih terjaga pada level 70%. Menurut Taswin Zakaria, Direktur Utama PT BII Tbk, permintaan kredit valas melambat seiring dengan perlambatan kredit secara umum. Selain itu, permintaan valas dari pemerintah atau perusahaan BUMN masih cenderung terbatas akibat adanya control pinjaman valas. Nelson Tampubolon, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, mengatakan secara umum pertumbuhan kredit masih tergolong rendah karena LDR yang tinggi. (Sumber: Bisnis Indonesia, 13 November 2014, 19)
Perbankan Indonesia Beresiko Tinggi Standard & Poor’s (S&P) dalam laporan Banking industry Country Risk Assessment (BICRA): Indonesia menyebutkan sektor perbankan Indonesia beresiko tinggi. Faktor utama tingginya resiko perbankan Indonesia adalah rendahnya pendapatan per kapita negara, kreditor yang memiliki resiko yang tinggi dan catatan kelam regulasi dan pendampingan regulator. Pada laporan tersebut, sektor perbankan Indonesia diberikan peringkat BB+/Stable/B dan masuk ke dalam kategori 7 bersama Filipina, Rusia, Bulgaria, Yordania, Maroko dan El Savador. Cheul Soo Cho, Credit Analyst S&P rendahnya pendapatan per kapital diakibatkan rendahnya infrastruktur dan kualitas tenaga kerja, lemahnya kepastian hukum serta banyaknya kasus korupsi. Selain itu, tingginya resiko pemberian kredit karena lemahnya budaya pembayaran tagihan di Indonesia. Hal ini diakibatkan oleh hukum yang lemah, sehingga pemberi kredit sulit menerima haknya. Walaupun sudah melakukan inovasi pasca krisis, namun regulasi masih tertinggal dari standar internasional. Namun, dukungan kredit kepada masyarakat cukup kuat. Adanya pedampingan dari regulatior juga merupkan langkah yang baik karena efektif mengurangi jumlah bank gagal. Hingga 2 tahun kedepan, S&P memproyeksikan pertumbuhan perbankan di Indonesia akan moderat karena persaingan masih cenderung rendah. (Sumber: Bisnis Indonesia, 13 November 2014, 19)
Jangan Sampai Kehilangan Momentum Potensi keuangan syariah dunia diperkirakan akan meningkat di tahun mendatang. Hingga tahun 2013, aset keuangan syariah telah mencapai US$1,66 triliun. Shaima Hasan, Ketua Tim Riset Keuangan Syariah Thomson Reuters memperkirakan aset keuangan syariah global akan tumbuh mencapai US$2 triliun dalam kurun waktu satu hingga dua tahun mendatang. Institusi perbankan memiliki kontribusi terbesar dalam perkembangan keuangan syariah yakni 73,2% atau senilai US$1,214 triliun. Berbeda halnya dengan perkembangan perbankan syariah global yang semakin meningkat, perbankan syariah Indonesia justru mengalami penurunan kinerja aset pada 2013. Nilai aset bank syariah Indonesia menurun 2,9% dari US$ 19,73 miliar menjadi US$ 19,17 miliar. Penurunan aset bank syariah Indonesia terutama bersumber dari depresiasi nilai mata uang dan konsidi ekonomi dan politik Indonesia yang tidak stabil. Juniman, ekonom PT BII Tbk mengatakan perlambatan ekonomi menyebabkan menyusutnya pertumbuhan aset dan kredit bank syariah. Namun demikian perbankan syariah tumbuh lebih tinggi yakni 19%20% dibandingkan perbankan konvensional yang tumbuh sekitar 14%-15%. Perbankan syariah Indonesia juga masih mempunyai banyak potensi, oleh karena itu Juniman meminta pemerintah untuk lebih mensosialisasikan masyarakat akan perbankan syariah. Ryan Kiryanto, Ekonom PT BNI Tbk mengatakan penurunan bank syariah dikarenakan banyaknya migrasi dana ke bank konvensional. Oleh karena pihaknya meminta OJK untuk lebih fokus mengembangkan perbankan syariah di Indonesia. Hal yang sama juga dikemukan oleh Najmul Hasan, Director Remedial Asset Management Unit ICD. Menurutnya untuk mengembangkan perbankan syariah diperlukan komitmen pemerintah, regulator, bank sentral dan masyarakat. Pengembangan perbankan syariah perlu didasari oleh transformasi aturan, insentif pajak, inovasi produk dan perbaikan infrastruktur. Berkembangnya perbankan syariah suatu negara dapat mendorong industri keuangan syariah secara menyeluruh. Aamir A. Rahman, Managing Director lembaga konsultan keuangan Fajr Capital Advisor, mengatakan perbankan merupakan tulang punggung industri keuangan syariah. Zeti Akhtar Aziz, Gubernur Bank Negara Malaysia, menuturkan peran perbankan syariah sebagai intermediasi perlu ditingkatkan karena merupakan konektivitas antara sektor keuangan dengan sektor riil. Firdaus Djaelani, Deputi Komisioner OJK mengatakan diperlukan BUMN Syariah di Indonesia untuk mendorong pertumbuhan industri keuangan syariah. Upaya ini dapat dilakukan melalui dua opsi yakni mendirikan bank baru atau mengubah platform bank BUMN yang sudah ada. (Sumber: Bisnis Indonesia, 13 November 2014, 20)
Provisi Bank Cukup untuk Redam Kenaikan NPL S&P memperkirakan rasio kredit bermasalah pada perbankan Indonesia akan meningkat pada tahun 2015. Walalupun begitu, perbankan Indonesia masih dapat menyerap kenaikan beban provisi karena laba yang tinggi. Chris Lee, analis kredit kredit S&P mengatakan tahun depan akan lebih menantang bagi perbankan Indonesia, kualitas kredit akan memburuk seiring dengan perlambatan ekonomi. Belum lagi, pengetatan likuiditas the Fed yang akan menambah tekanan kondisi makro Indonesia. Walaupun begitu, perbankan Indonesia akan cukup kuat menghadapi tekanan tersebut karena memiliki tingkat profitabiitas dan kecukupan modal yang tinggi. Halim Alamsyah, Deputi Geburnur Bank Indonesia mengatakan perbankan Indonesia mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap modal asing, contohnya CAR perbankan hanya menurun 147 basis poin ketika Surat Berharga Negara (SBN) turun 25%. Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT BCA Tbk mengatakan pencadangan perbankan Indonesia sudah cukup tinggi sehingga tidak memerlukan penambahan provisi lagi. Berbeda halnya dengan BCA, Gatot M. Suwondo, Direktur Utama PT BNI Tbk mengatakan pihaknya justru telah meningkatkan pencadangan sebagai antisipasi kenaikan NPL. Pada masa mendatang, bank akan menyalurkan kredit lebih moderat agar kualitas kredit terjaga dan tetap fokus kepada sektor unggulan. Hal yang sama juga dilakukan oleh PT BTN Tbk. Rico Budidarmo, Direktur Treasury BTN mengatakan pihaknya telah maikkan provisi sebesar 50,7% karena tren kualitas kredit terus menurun dan NPL tergolong tinggi. (Sumber: Indonesia Finance Today, 13 November 2014, 1)
Jumat, 14 November 2014
BI Rate Tetap Jaga Stabilitas Bank Indonesia kembali menetapkan BI Rate pada level 7,5% seiring upaya menjaga inflasi dan menurunkan defisit transaksi berjalan. Agus Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia, mengatakan kebijakan moneter selama ini mampu menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta mendukung pemulihan ekonomi. Berdasarkan data dari Bank Indonesia, defisit transaksi berjalan pada kuartal III 2014 menyempit dari menjadi US$ 6,8 miliar atau 3,1% terhadap PDB, setelah sebelumnya tercatat 3,89% pada kuartal III 2013. Walaupun begitu, impor migas masih membebani transaksi berjalan Indonesia. Perry Warjiyo, Deputi Gubernur BI, menambahkan kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi diharapkan dapat mengurangi impor migas Indonesia. Bank Indonesia memperkirakan kinerja transaksi berjalan tahun ini akan membaik, sehingga defisit transaksi berjalan akan di bawah US$ 26 miliar atau di bawah 3% terhadap PDB. Dari sisi nilai tukar, Mirza Aditya, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, mengatakan penguatan Dollar saat ini tengah terjadi di beberapa negara berkembang.
Agustinus Prasentyantoko, Ekonom PT BTN Tbk, mengatakan Indonesia mempunyai masalah pada fundamental ekonomi, kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi merupakan solusi jangka pendek untuk mengatasi masalah ini. Eric Sugandi, Ekonom Standard & Chartered Bank, mengatakan perlu adanya kebijakan pengetatan suku bunga untuk menurunkan impor nonmigas. Gundy Cahyadi, Ekonom DBS Research Group, mengatakan Bank Indonesia dapat menaikkan BI Rate ke level 9% apabila pemerintah tidak tepat dalam mengeksekusi besaran harga BBM bersubsidi yang baru. (Sumber: Bisnis Indonesia, 14 November 2014, 4)
BI Yakin di Level 15%-17% Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan kredit tahun depan akan mencapai 15%-17%. Halim Alamsyah, Deputi Gubernur Bank Indonesia, memperkirakan tahun depan laju DPK akan lebih tinggi dibandingkan laju kredit perbankan. Agus Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia, memperkirakan tahun depan ketahanan industri perbankan tetap kuat dengan resiko kredit, likuiditas dan pasar yang cukup terjaga. Adapun Bank Indonesia memperkirakan hingga akhir tahun ini, pertumbuhan kredit akan mencapai 13%-14%. Menanggapi perkiran Bank Indonesia, Nelson Tampubolon, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, mengatakan pihak internal OJk tengah mematangkan laju fungsi intermediasi perbankan pada tahun depan. Terkait indikator LDR, Bank Indonesia memperkirakan tahun ini LDR akan berada pada posisi 89,9%. Menurutnya posisi hingga Agustus 2014 sebesar 90,63% sudah menunjukkan pelonggaran. Lebih lanjut, Bank Indonesia mengatakan bank BUKU III merupakan kelompok bank yang mengalami perlambatan pertumbuhan terbesar. Halim menambahkan perlambatan ini dikarenakan kelompok bank tersebut belum melakukan ekspansi. Ahmad Baiquni, Direktur Keuangan PT BRI Tbk mengatakan kondisi tahun depan cenderung menantang dan tidak akan lebih bagus dari tahun ini. Kondisi ini akan mendorong perbankan dalam berhati-hati dalam mengambil kebijakan. (Sumber: Bisnis Indonesia, 14 November 2014, 23)
OJK Enggan Batasi Bunga Kredit Nelson Tampulon, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, mengatakan kebijakan penurunan suku bunga mikro tidak akan dilakukan melalui penerbitan regulasi karena suku bunga berjalan sendiri berdasarkan kekuatan pasar. Namun hal ini mungkin terjadi apabila margin dinilai sangat tinggi. Berdasarkan kajian OJK, terdapat beberapa bank yang menetapkan SBDK mikro di atas 20%. Adapun bank BUMN memiliki SBDK mikro yang lebih rendah, seperti contoh PT Bank Mandiri Tbk sebesar 19,5% dan PT BRI Tbk sebesar 19,25%. Achmad Baiquni,
Direktur Keuangan BRI, mengatakan SDBK mikro ideal pada level 19% karena biaya overhead yang harus ditanggung tergolong tinggi. Lebih lanjut, pihaknya mengaku tidak keberatan apabila OJK mengeluarkan kebijakan pembatasan suku bunga kredit, namun tidak di bawah level 19%. Syarkawi Rauf, Komisioner KPPU, saat ini tengah mengkaji kemungkinan kartel suku bunga di industri perbankan. Pihaknya menduga ada bank yang memasukkan komponen keuntungan dalam biaya operasional sehingga SBDK kredit mikro tinggi. (Sumber: Bisnis Indonesia, 14 November 2014, 24)
Bank Tak Buru-Buru Menerbitkan Obligasi Perbankan diminta tidak terburu-buru dalam menerbitkan obligasi karena situasi ekonomi yang masih sulit. Hotma Parulian, Manager Financial Institution Ratings PT Pemeringkat Efek Indonesai (Pefindo) mengatakan penerbitan surat berharga dalam waktu dekat ini masih berat karena situasi ekonomi yang masih sulit, anggaran tahun depan belum juga belum jelas dan realisasi infrastruktur baru dapat terlihat pada semester II. Peluang obligasi perbankan untuk pembiayaan infrastruktur dapat dilakukan dengan syarat didukung oleh kondisi pasar. Selain itu, pihaknya juga menyarankan perbankan mengerem penerbitan obligasi junior karena dapat memengaruhi permodalan bank. Tantangan ke depan juga masih beresiko seiring dengan adanya kebijakan the Fed. Hendro Utomo, Senior Vice President Financial Institutions Ratings PT Pemeringkat Efek Indonesia, mengatakan saat ini baru ada satu bank yang akan menerbitkan obligasi yakni senilai Rp 700 miliar. Tahun depan diperkirakan akan terjadi kenaikan suku bunga domestik, sehingga perbankan justru akan mempercepat penerbitan obligasi. Tigor M Siahaan, Country Officer Citi Indonesia, mengatakan peneribitan obligasi cukup menarik, apabila kedepannya perbankan dituntut untuk mendiversifikasi sumber pendanaan. (Sumber: Bisnis Indonesia, 14 November 2014, 24)
J Trust Mesti Suntik Dana OJK mewajibkan J Trust dalam meningkat kecukupan modal (CAR) PT Bank Mutiara Tbk ke level 14% dalam waktu 3 tahun. Muliaman D. Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK, mengatakan upaya ini dilakukan untuk menyehatkan likuiditas Bank Mutiara serta memperbaiki rasio kredit bermasalah (NPL). OJK juga mensyaratkan agar J Trust tidak menjual kembali Bank Mutiara dalam kurun waktu 10 tahun. Nelson Tampubolon, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, mengatakan J Trust tidak akan terkena aturan aturan kepemilikan sebesar 40% untuk bankbank dalam penyehatan atau penyelamatan. (Sumber: Bisnis Indonesia, 14 November 2014, 24) ***