“Banking” Weekly Hotlist (13 Oktober – 17 Oktober 2014) Senin, 13 Oktober 2014
Kinerja Kuartal III Masih Tertekan Hingga kuartal III tahun 2014 diperkirakan industri perbankan masih akan tertekan seiring dengan perlambatan kredit. Achmad Baiquni, Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk mengakui walaupun terdapat indikasi perlambatan saat ini, namun pihaknya optimis dapat mencapai target tahun ini yang tertuang dalam Rencana Bisnis Bank (RBB). Selain itu, kebijakan suku bunga deposito oleh OJK tidak mempengaruhi indikator NIM (Net Interest Margin) PT BRI Tbk. Hingga akhir kuartal II 2014, PT BRI Tbk berhasil mencatat NIM sebesar 8,93%, jauh di atas NIM rata-rata bank umum yang mencapai 4,21%. Optimisme juga dirasakan oleh PT BRI Agroniaga Tbk. Menurut Heru Sutanto, Direktur Utama PT BRI Agroniaga Tbk, target perusahaan saat ini sudah hampir tercapai, seperti contoh pihaknya menargetkan penyaluran kredit hingga akhir tahun mencapai Rp 4,6 triliun dan hingga September 2014, realisasi penyaluran kredit tersebut telah mencapai Rp 4,5 triliun. Hal yang sama juga terjadi pada DPK, hingga September 2014 DPK yang terkumpul mencapai Rp 4,6 triliun. Adapun besarnya target DPK yang ditetapkan perusahaan tahun ini mencapai Rp 4,7 triliun. Menurut survei Bank Indonesia, nilai saldo bersih timbang (SBT) dalam survei kegiatan usaha pada kuartal III 2014 hanya mencapai 11,25%, lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 21,05%. Kepala Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Aviliani, mengungkapkan bahwa regulator seharusnya berhati-hati dalam menetapkan kebijakan baru pada industri perbankan karena saat ini situasi ekonomi belum cukup kondusif. Aviliani menambahkan OJK perlu mengkaji efektivitas kebijakan pembatasan suku bunga deposito sehingga tidak berdampak buruk bagi industri perbankan dan ekonomi saat ini. (Sumber: Bisnis Indonesia, 13 Oktober 2014: 23)
Bank Kecil Berebut Dana Murah Pada semester II tahun ini, kalangan perbankan dengan modal inti dibawah Rp 5 triliun mulai gencar memacu perolehan giro dan tabungan untuk menghimpun dana murah. Beberapa bank
bahkan memberikan insentif berupa hadiah dalam rangka mengejar dana murah (current account Saving Account/CASA). Bank Pundi mempromosikan produk giro bernama payroll dengan menawarkan keunggulan berupa biaya murah, suku bunga kompetitif, pengelolaan pembayaran gaji, tunjangan hari raya (THR) dan bonus karyawan. Adapun bagi perusahaan berkesempatan mnedapatkan telefon seluler jenis terbaru dan berkeliling eropa. Rika Djoenandi, Chief of Funding Bank Pundi, mengatakan upaya ini perusahaan lakukan untuk mengincar jumlah nasabah yang besar. Sementara itu PT Bank Victoria Internasional Tbk saat ini pun tengah berupaya meningkatkan CASA dengan mengeluarkan produk simpanan Tabungan Victoria International Personalized (VIP) safe. Keunggulan produk ini adalah bunga yang kompetitif dan perlindungan asuransi dengan uang pertanggungan mencapai Rp 5 miliar. (Sumber: Bisnis Indonesia, 13 Oktober 2014: 24)
Promosi Khusus Masih jadi Andalan Kebijakan pembatasan suku bunga deposito OJK mendorong kalangan perbankan untuk meningkatkan pertumbuhan DPK melalui menghimpun dana murah. Seperti contoh, PT Bank Central Asia Tbk saat ini tengah melakukan promosi tabungan melalui hadiah langsung dan mempermudah proses pembukaan tabuangan dengan program layanan digital BCA, myBCA. Lilik Winarni Soedarso selaku Kepala Divisi Strategi dan Pengembangan Operasi Layanan PT Bank Central Asia Tbk mengatakan layanan digital BCA diluncurkan mengingat karakterisik masyarakat yang cenderung lebih modern yang cukup sibuk dan memiliki waktu yang terbatas. Layanan ini ini masih diujicobakan di beberapa mall di Jakarta dan Surabaya. Hingga akhir tahun BCA menargetkan pertumbuhan DPK sebesar 12%, sedangkan kredit 15%. Dengan tujuan yang sama, DBS Bank pada periode kuartal I 2014 hingga III 2014 memberikan insentif pembukaan tabungan berupa hadiah atau cashback serta bonus bunga sebesar 25%. Destry Damayanti, Ekonom PT Bank Mandiri Tbk mengatakan dengan adanya kebijakan pembatasan suku bunga deposito oleh OJK mendorong deposan untuk beralih ke instrumen investasi lain, sehingga bank akan mencari cara lain untuk menghimpun DPK. Persaingan ini akan mendorong perang hadiah bahkan black market. (Sumber: Bisnis Indonesia, 13 Oktober 2014: 24)
Bunga Kredit dan Korporasi dan Ritel Belum Turun Beberapa kalangan perbankan mengaku belum akan menurunkan suku bunga kredit koorporasi dan ritel karena nilainya yang masih kompetitif. Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk mengatakan suku bunga kredit korporasi dan ritel NISP masih berada di bawah rata-rata nasional, sehingga pihaknya belum akan menaikan tingkat suku bunga kredit tersebut. Adapun suku bunga kredit koorporasi NISP mencapai 11,5% sedangkan suku bunga kredit ritel berada pada posisi 12,25%. Hingga semester I 2014, OCBC NISP mencatatkan pertumbuhan kredit sebesar 155 menjadi Rp 65,5 triliun. Pertumbuhan kredit ini terutama bersumber dari kredit investasi dan modal kerja. Hal yang sama juga diungkapkan oleh PT CIMB Niaga Tbk. Tony Tardjo, Head of Consumer Lending PT CIMB Niaga Tbk mengatakan pihaknya belum akan menurunkan kredit koorporasi dan ritel. Berdasarkan SBDK, bunga kredit koorporasi Bank CIMB Niaga Tbk sebesar 9,85% sementara suku bunga kredit ritel sebesar 10,75%. Hingga Juni 2014, total kredit CIMB Niaga tercatat naik 9,1% menjadi Rp 164,66 triliun. Tony menambahkan bahwa pihaknya mengestimasi kredit koorporasi dan ritel dapat tumbuh 15% pada tahun depan. Berdasarkan data dari Statistik Moneter dan Fiskal Bank Indonesia, pertumbuhan kredit perbankan pada bulan Agustus 2014 sebesar 13,4% cenderung melambat jika dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai 15%. David Sumual, Ekonom PT Bank Central Asia Tbk mengatakan faktor gejolak politik yang mendorong perusahaan menunda ekspansi merupakan faktor utama perlambatan kredit perbankan. Oleh karena itu, David menyarankan perbankan untuk lebih selektif dalam menyalurkan kredit. PT Bank Muamalat Indonesia Tbk mengaku saat ini pihaknya akan lebih selektif dalam menyalurkan kredit. Meitra N Sari, Corporate Secretary PT Bank Muamalat Indonesia Tbk, mengatakan pihaknya akan lebih fokus menyalurkan kredit di sektor energi dan jasa karena kedua sektor tersebut dinilai tidak rentan terhadap krisis politik. Di sisi lain, Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT Bank central Asia Tbk mengatakan tahun ini bank tidak akan ekspansi menyalurkan kredit korporasi karena ketatnya likuiditas bank. Oleh karena itu, BCA saat ini akan lebih banyak menyalurkan kredit modal kerja dibandingkan investasi. (Sumber: Indonesia Finance Today, 13 Oktober 2014: 8)
Selasa, 14 Oktober 2014
Bank Syariah Incar Dana Valas Untuk menurunkan rasio pembiayaan terhadap simpanan yang tinggi, beberapa pelaku perbankan syariah berupaya untuk menghimpun dana murah dalam mata uang asing. PT Bank Panin Syariah saat ini tengah mengurus perubahan statusnya menjadi Bank Devisa. Subeni, Corporate Communication Bank Panin Syariah, mengungkapkan bahwa izin tersebut ditargetkan dapat selesai pada semester I 2015. Selain itu, pihaknya mengungkapkan bahwa pada tahun 2016 perusahaan akan meluncurkan tabungan dalam bentuk valas. Untuk mendukung hal tersebut, PT Panin Syariah tengah memperbaiki operasional bank dan teknologi informasi. Dengan adanya produk ini diharapkan rasio pembiayaan terhadap simpanan (Financing to Deposit Ratio/FDR) akan menurun. Adapun pada Juli 2014, FDR PT Panin Syariah mencapai 140,48%. Hal yang sama juga akan dilakukan oleh PT Bank OCBC NISP Tbk. Menurut Koko T. Rachmadi, Head of Syaria Business Bank OCBC NISP, pihaknya juga akan membuka tabungan valas dan saat ini tengah mengurus perizinan dari OJK. Selain itu, pihaknya juga akan membuka cabang di lokasi dengan potensi valas yang besar. Setelah meluncurkan tabungan valas, Bank OCBC NISP pun berniat untuk menyalukan pembiayaan dalam bentuk valas karena pembiayaan valas akan berpotensi lebih murah. Terkait FDR, Koko menambahkan perusahaan akan menargetkan FDR di bawah 100%. Menurut Data SPI, Bank Umum Syariah hingga Juli 2014 mencatatkan penyaluran pembiayaan sebesar Rp 188 triliun, sedangkan DPK sebesar Rp 185 triliun. Dengan perolehan tersebut maka besaran FDR unit dan bank syariah mencapai 101,37%. (Sumber: Bisnis Indonesia, 14 Oktober 2014: 19)
Kredit Sindikasi Melesat Berdasarkan data Indonesia Loan Book Runner Bloomberg yang dihimpun Bisnis Indonesia, bank persero yakni PT BNI Tbk dan PT Bank Mandiri Tbk masing-masing mencatatkan kredit sindikasi sebesar US$263,42 Juta dan US$130 Juta. Menurut Fransisca Nelwan Mok, Direktur Corporate Banking Bank, mengatakan selain melakukan club deal dengan bank persero, pihaknya juga menggandeng bank swasta dan multinasional. Adapun NPL kredit koorporasi PT Bank Mandiri Tbk masih berada di bawah 2% yakni 1,6%. Fransisca menambahkan pihaknya berharap agar NPL tidak meningkat mengingat kondisi sektor riil saat ini cukup sulit, lebih lanjut apabila terjadi kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi dan tarif dasar listrik. Hal ini didukung oleh Juniman, Ekonom PT Bank Internasional Indonesia yang mengungkapkan bahwa
akan terjadi perlambatan kredit investasi tahun ini akibat dari gejolak perekonomian Indonesia. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat dan mencapai 5,1% hingga akhir tahun. Perlambatan ini terutama bersumber dari melambatnya ekonomi global dan berkurangnya keinginan investor masuk ke emerging market karena realisasi proyek infrastruktur yang masih cenderung rendah. Dalam data tersebut disebutkan pula penyalur kredit sindikasi terbesar ke Indonesia adalah bank dan manajemen yang berasal dari Swiss yakni Credit Suisse sebesar US$988,08 juta dan disusul oleh Standard Chartered Bank senilai US$864,66 Juta dan Mitsubishi UFJ Financial sebesar US$751,96 Juta. Adapun bank swasta nasional lain yang terlibat kredit sindikasi adalah PT CIMB Niaga mencapai US$142,91 Juta. (Sumber: Bisnis Indonesia, 14 Oktober 2014: 20)
Rabu, 15 Oktober 2014
Pendapatan Bank Makin Tergerus pada 2015 Beberapa ekonom dan bankir memperkirakan pendapatan bank akan semakin tergerus pada tahun 2015. Net Interest Margin (NIM) akan menurun ke level 4% hingga akhir tahun 2014 dan diperkirakan semakin tertekan di tahun 2015 karena kondisi makro ekonomi yang semakin menantang. Juniman, ekon PT Bank Internasional Indonesia Tbk mengatakan bahwa pendapatan bank akan semakin tergerus seiring dengan penurunan NIM pada akhir tahun 2014. Menurut data dari Bank Indonesia, NIM pada Agustus 2014 mencapai 4,21%. Adapun pertumbuhan kredit perbankan pada Agustus 2014 mencapai 13,34% (year on year), melambat jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencapai 15%. Pertumbuhan kredit hingga akhir tahun diperkirakan akan mencapai 14,4%. Juniman menambahkan bank sulit mendulang pendapatan berlimpah jika penyaluran kredit melambat. Pendapatan pun dapat semakin tergerus pada tahun 2015 karena tekanan ekonomi yang tinggi, seiring kemungkinan pemerintah melakukan kenaikan harga BBM bersubsidi. Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk mengatakan pertumbuhan pendapatan perbankan akan melambat seiring dengan perlambatan kredit. Tahun ini diperkirakan laba bersih perusahaan mencapai 13%-15%, tidak terpaut jauh dari proyeksi pertumbuhan kredit sebesar 15%-17%. Glen Glenardi, Direktur Utama PT Bank Bukopin Tbk, menambahkan dampak perlambatan kredit terhadap perolehan pendapatan sudah terasa sejak semester pertama 2014. Selain itu, pendapatan bank juga turun sebagai akibat dari penurunan NIM. Menurutnya, bank berupaya
untuk menjaga NIM pada level 4% dengan menurunkan bunga deposito sebesar 50 basis poin. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk, bahwa bank akan lebih cepat menurunkan suku bunga deposito dibandingkan suku bunga kredit. Hingga akhir tahun 2014, BCA memperkirakan pertumbuhan kredit mencapai 10%-12% lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya yang mencapai 13%-15%. Di sisi lain, Fitch Ratings menyatakan bahwa dengan pengawasan perbankan yang ketat menempatkan sektor perbankan Indonesia dalam posisi yang baik. Dalam laporannya, disebutkan bahwa ditengah tekanan profitabilitas perbankan dan kualitas aset pada tahun lalu, bank-bank besar Indonesia tetap mempnyai kapitalisasi yang baik. (Sumber: Indonesia Finance Today, 15 Oktober 2014: 8)
Tingkatkan KPR, Bank Bidik Captive Market Institusi PT Bank Syariah Mandiri dan PT Bank Tabungan Negara Tbk membidik captive market dalam rangka meningkatkan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). BSM membidik perusahaan ritel, sedangkan BTN membidik segmen pensiunan. Edwin Dwijajanto, Senior Executive Vice President BSM mengatakan pihaknya menggandeng koperasi karyawan PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (Alfamart). Potensi awal kerjasama ini mencapai Rp 20 miliar untuk menfasilitasi pembiayaan perumahan pegawai tetap Alfamart, baik kepemilikan rumah baru, rumah kedua, renovasi rumah, maupun take over dan kavling siap bangun. Hingga September 2014, penyaluran kredit rumah BSM Griya mencapat Rp 5,4 triliun, meningkat lebih dari 3 kali lipat dibandingkan Desember 2013. Selain penyaluran pembiayaan perumahan, kerjasama ini juga membuka peluang untuk meningkatkan Dana Pihak Ketiga (DPK), terutama dana murah tabungan karyawan Alfamart. Di lain pihak, BTN saat ini tengah melebarkan pasar pembiayaan perumahan kepada nasabah Taspen. Menurut Maryono, Direktur Utama BTN, mekanisme pembiayaan melalui skema pembayaran angsuran dipotong langsung dari uang pensiunan. Potensi pasar yang kecil menyebabkan BTN hanya menyediakan fasilitas pembiayaan untuk harga rumah maksimal Rp 250 Juta. Selain Taspen, BTN juga mengincar penyaluran KPR kepada peserta BPJS Ketenagakerjaan. Skema yang digunakan adalah BPJS Ketenagakerjaan menalangi uang muka KPR. (Sumber: Indonesia Finance Today, 15 Oktober 2014: 9)
Pembukaan Data Nasabah Tunggu Revisi UndangUndang Perbankan Sejumlah kalangan perbankan menilai bahwa permintaan pembukaaan data nasabah oleh Ditjen Pajak harus menunggu revisi undang-undang perbankan dan memiliki hukum yang kuat. Sebelumnya dalam wawancara dengan Bloomberg, Ahmad Fuad Rahmany, Direktur Jendral Pajak Kementerian Keuangan, meminta DPR untuk mengamandemen UU Perbankan agar Ditjen Pajak dapat mengakses data nasabah. Data nasabah ini dapat dimanfaatkan untuk menggali potensi penerimaan pajak. Berdasarkan APBN 2015, penerimaan pajak yang ditargetkan mencapai Rp 1.380 triliun. Eko Budiwiyono, Direktur Utama PT Bank DKI mengatakan bank akan taat pada peraturan yang berlaku apabila hukum terkait pembukaan data nasabah bank sudah jelas dan disesuaikan dengan revisi Undang-undang Perbankan. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan disebutkan bahwa mewajibkan perbankan untuk menjaga kerahasiaan nasabah dan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penimpan dan simpanannya. Menurut Undang-undang tersebut bank bisa membuka kerahasiaannya untuk kepentingan perpajakan dengan syarat pimpinan Bank Indonesia (regulator pengawas perbankan) atas permintaan Menteri Keuangan mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan mengenai keadaan keuangan nasabah kepada pejabat bank. Glen Glenardi, Direktur Utama PT Bank Bukopin Tbk, mengatakan akan mematuhi peraturan yang berlaku. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Taswin Zakaria, Direktur Utama PT Bank Internasional Indonesia Tbk. Pihaknya akan mematuhi peraturan yang berlaku sepanjang hukumnya sudah jelas. Namun terkait hal ini, perlu ada pembatasan mengenai pembukaan data nasabah. Selain itu, pihaknya juga mengatakan apabila unutk mencapai target penerimaan pajak, pemerintah seharusnya memperbaiki kondisi ekonomi agar masyarakat menjadi lebih produktif sehingga memperluas basis pajak. Selain itu aturan mengenai perpajakan harus dibuat sederhana dan mudah dimengerti oleh wajib pajak. Gatot M. Suwondo, Direktur Utama PT BNI Tbk mengatakan perbankan masih cenderung sulit membuka data nasabah. Untuk meningkat penerimaan pajak, seharusnya industri dalam negeri harus tumbuh, sehingga dapat meningkatkan potensi sumber pajak dan perlu ditingkatkan pula kualitas pegawai pajak. Senada dengan Gatot, David Sumual, Ekonom PT BCA Tbk pembukaan data nasabah perbankan dapat mendorong pelarian modal dan dapat berdampak negatif pada perekonomian. Oleh karena itu perlu infrastruktur yang memdai untuk mencegah pelarian modal dan tax amnesty. (Sumber: Indonesia Finance Today, 15 Oktober 2014: 9)
Bank Perlu Diversifikasi Untuk mengantisipasi situasi ekonomi yang tidak menentu, perbankan disarankan untuk memupuk likuiditas melalui diversifikasi, seperti merilis surat utang. Hal tersebut dikemukakan oleh Agustinus Prasetyantoko, Ekonom Universitas Atmajaya. Lebih lanjut, Agustinus mengatakan bahwa bank-bank cenderung memupuk likuiditas tanpa berencana menyalurkannya kembali karena indikator LDR yang sudah tergolong tinggi. Menurutnya, instrumen di pasar uang saat ini cukup menarik dipertimbangan sebagai salah satu sumber dana untuk ekspansi kredit, salah satunya Medium Term Note (MTN). Sebelumnya PT BRI Tbk telah menerbitkan MTN Tahap I yang dijual ke 49 pihak. PT BRI Tbk juga berencana untuk menerbitkan MTN dalam jangka pendek dan jangka panjang melalui penawaran terbatas dengan nilai maksimum Rp 2 triliun dan jangka waktu maksimal 3 tahun. (Sumber: Bisnis Indonesia, 15 Oktober 2014: 24)
Aturan PLS Masuk Cetak Biru OJK telah memasukkan aturan profit and loss sharing (PLS) ke dalam cetak biru industri perbankan. Edy Setiadi, Kepala Departemen Perbankan Syariah OJK, mengatakan tujuan penerapan PLS ini adalah agar penyediaan pencadangan bank syariah bisa diringankan. Sebelumnya dalam Peraturan Bank Indonesia No. 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Resiko Bagi Bank Umum Syariah, pada pasal 5 dalam resiko investasi menjelaskan apabila bank memberikan pembiayaan berbasis bagi hasil kepada nasabah maka bank ikut menanggung resiko atas kerugian usaha nasabah yang dibiayai. Taufik Machrus, Corporate Secretary PT Bank Syariah Mandiri, mengatakan penerapan PLS ini merupakan wewenang regulator dana apabila aturan tersebut ditetapkan, pihaknya siap menaati peraturan. Agus Sudiarto, Direktur Utama BSM, mengungkapkan bahwa saat ini pihaknya berencana menambah pencadangan, sehingga ekspansi tahun ini kemungkinan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Untuk menjaga kualitas aset, perseroan telah menyediakan rektorat aset. Jika pemburukan aset sudah mulai terlihat, maka direktorat akan mengingkat nasabah sesuai dengan akad, kalau tidak jaminan akan dilikuidasi. Terkait dengan ketidakpastian di tahun depan, kalangan perbankan syariah mulai meningkatkan kewaspadaan dengan meninjau kembali aspek resiko dan selektif dalam menyalurkan pembiayaan. Subeni, Corporate Communication PT Bank Panin Syariah Tbk mengungkapkan pihaknya sedang memulai proses identifikasi, analisis, evaluasi, pengendalian, pemantauan dan telaah ulang resiko menghadapi tahun 2015. Hal yang sama juga dilakukan oleh PT Bank Muamalat Indonesia. Menurut Meitra Ninanda Sari, Corporate Secretary PT Bank Muamalat Indonesia Tbk, pihaknya sedang memperkuat aspek manajemen resiko. (Sumber: Bisnis Indonesia, 15 Oktober 2014: 24)
Kredit Perbankan Terus Melambat Berdasarkan survei perbankan pada triwulan III 2014 yang dilakukan Bank Indonesia, pertumbuhan kredit perbankan pada triwulan IV 2014 diperkirakan akan melambat. Perlambatan ini terutama bersumber dari rendahnya permintaan pembiayaan baru dari nasabah dan meningkatnya potensi resiko kredit. Survei yang dilakukan terhadap 42 bank umum menyatakan bahwa pertumbuhan kredit perbankan pada triwulan IV akan mencapai 14,4%, lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya yang mencapai 18,2%. Terkait suku bunga, responden memproyeksinya bahwa akan terjadi kenaikan rata-rata suku bunga kredit modal kerja, investasi dan konsumsi pada triwulan IV 2014. Respoden juga memproyeksikan bahwa pertumbuhan DPK akan membaik. Sementara itu, Enny Sri Hartati, Direktur INDEF menjelaskan perbankan perlu melakukan terobosan untuk memperluas jangkauan layanan keuangan, seperti dengan bermitra dengan lembaga keuangan mikro. (Sumber: Kompas, 15 Oktober 2014: 20)
Kamis, 16 Oktober 2014
BI Tak Perlu Agresif Bank Indonesia (BI) diharapkan tidak agresif dalam mengambil keputusan menaikkan BI Rate. Kekhawatiran BI diperkirakan berasal dari respon kenaikan harga BBM dan Fed Funds Rate. Kenaikan BI Rate sebesar 25 basis poin ke level 7,75% dirasakan cukup untuk meredam tekanan dua kekhawatiran tersebut. Destry Damayanti, Ekonom PT Bank Mandiri Tbk, mengungkapkan walaupun dengan kenaikan BI Rate 25 basis poin akan mendorong Real Interest Rate (RIR) yang diterima BI akan negatif namun kenaikan itu cukup hanya untuk memberi sinyal bahwa kondisi saat ini prudent dan menahan pengeluaran konsumtif agar ekonomi seimbang. Sebelumnya Agus Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia, mengatakan bahwa BI akan melakukan kebijakan moneter lebih lanjut apabila pemerintah tidak fokus mendorong sektor riil. (Sumber: Bisnis Indonesia, 16 Oktober 2014: 5)
Indonesia Butuh Bank Besar Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Indonesia (MEA) 2015, Indonesia memerlukan bank kuat dan bermodal besar agar dapat bersaing dengan bank-bank asing. Upaya tersebut dapat terwujud melalui upaya konsolidasi. Sigit Pramono, Ketua Umum Perbanas, mengungkapkan hal tersebut di sela-sela peluncuran bukunya yang berjudul “Mimpi Punya Bank Besar”. Menurutnya untuk dapat bersaing dengan bank asing Indonesia harus memiliki bank besar dengan modal minimum Rp 100 triliun. Terdapat tujuh skema skenario konsolidasi yakni: (i) Mendirikan Bank Pembangunan Indonesia (BPI) yang fokus membiayai proyek infrastruktur dan proyek jangka panjang; (ii) Megamerger Bank Pembangunan Daerah (BPD); (iii) Merger PT Bank Mandiri Tbk dengan PT BNI Tbk serta penggabungan bank ini mengakuisisi PT BTN Tbk; (iv) Menfokuskan bank BRI sebagai bank UMKM dan mendukung sektor pertanian dan perikanan; (v) Penguatan permodalan dan tata kelola bank komersial swasta nasional; (vi) Menggabungkan bank-bank syariah milik BUMN dan membentuk Bank Syariah Indonesia; dan (vii) Membentuk perusahaan induk yang membawahi bank-bank BUMN. Menanggapi konsolidasi, Budi Gunandi Sadikin, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk mengatakan bahwa konsolidasi sangat penting dilakukan agar mendorong kapasitas bank nasional sehingga dapat bersaing dalam MEA. Oleh karena itu, Budi menyarankan agar pemerintah memperkecil deviden untuk memenuhi kebutuhan modal. Hal yang senada diungkapkan oleh Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT BCA Tbk, yang setuju terkait konsolidasi PT Bank Mandiri dan BNI karena penggabungan dua bank ini akan menghasilkan bank besar yang dapat bersaing secara regional. Sementara itu, Aviliani, Sekretaris Komite Ekonomi Nasional mengungkapkan bahwa cetak biru perbankan yang diusulkan Sigit Pramono dalam bukunya perlu memiliki konektivitas yang kuat terhadap sektor riil. Raden Pardede, Wakil Ketua Komite Ekonomi Nasional mengatakan perlu adanya undang-undang ataupun peraturan untuk meciptakan bank besar yang dapat bersaing dengan bank asing. (Sumber: Bisnis Indonesia, 16 Oktober 2014: 20)
Perbanas Berharap RI Punya Bank Kelas Dunia Pemerintah dihimbau untuk melakukan langkah strategis dalam memperkuat perbankan nasional, salah satunya melalui konsolidasi Bank. Sigit Pramono, Ketua Umum Perbanas, dalam sela-sela peluncuran bukunya yang berjudul "Mimpi Punya Bank Besar" mengatakan pemerintah bisa melakukan megamerger antara PT Bank Mandiri Tbk dan PT BNI Tbk, kemudian hasil merger tersebut dapat mengakuisisi PT BTN Tbk. Nantinya portofolio kredit perumahan PT Bank Mandiri Tbk dan PT BNI Tbk akan diserahkan kepada PT BTN dan PT BNI Mandiri tetap menjadi bank komersial yang kuat. Selain itu, Sigit juga mengusulkan proyek
megamerger lainnya yaitu pengabungan semua Bank Pembangunan Daerah (BPD) menjadi Bank Pembangunan Infrastruktur (BPI) dimana saham BPI akan dikuasai oleh Pemerintah. Lebih lanjut BPI akan difokuskan untuk membangun daerah. Menanggapi usulan Sigit Pramono, Aviliani, ekonom Perbanas mengungkapkan upaya ini harus dapat diselesaikan melalui cetak biru perbankan nasional. Selain itu, cetak bisa tersebut harus memuat konektivitas perbankan dengan sektor riil. Oleh karena itu, pemerintah melalui Bank Indonesia maupun OJK perlu memberikan insentif dan disinsentif. (Sumber: Koran Sindo, 16 Oktober 2014)
Dirut Mandiri pasrah soal penggabungan Mandiri-BNI Sigit Pramono, Ketua Perbanas, mengusulkan megamerger antara PT Bank Mandiri Tbk dengan PT BNI Tbk dan hasil penggabungan tersebut bernama PT BNI Mandiri. Konsolidasi ini dilakukan agar Indonesia mempunyai bank yang besar dan kuat, khususnya dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Tahun 2015. Lebih lanjut, penggabungan ini lalu mengakuisisi PT BTN Tbk, sehingga kredit perumahan PT Bank Mandiri Tbk dan PT BNI Tbk akan diserahkan kepada PT BTN Tbk. Menanggapi hal ini, Budi Gunandi Sadikin, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk menyambut baik rencana konsolidasi ini. Bahkan pihaknya memperkirakan penggabungan kedua bank ini dapat menjadi bank terbesar di Asia pada lima hingga sepuluh tahun mendatang. Namun, keputusan akan konsolidasi ini tergantung pada pemerintah karena hanya pemerintah yang mempunyai wewenang dalam konsolidasi ini. (Sumber: www.merdeka.com, 16 Oktober 2014)
Jumat, 17 Oktober 2014
Bank ramai-ramai Obral KPR Beberapa kalangan perbankan mengakui bahwa saat ini pihaknya sedang menfokuskan pembiayaan perumahan, salah satunya PT BCA Tbk. Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT BCA Tbk mengungkapkan bahwa tahun ini perusahaan akan fokus kepada pembiayaan perumahan karena kebutuhan KPR masih sangat besar. Adapun hingga semester I 2014, PT BCA Tbk mencatat penyaluran KPR mencapai Rp 40 Triliun dengan NPL sebesar 0,45%. Hal yang senada juga diungkapkan oleh PT BTN Tbk. Maryono, Direktur Utama PT BTN Tbk mengatakan
pada tahun 2015, pihaknya mentargetkan pertumbuhan kredit rumah sebesar 17%. Lebih lanjut, pihaknya akan mentargetkan pembangunan 7,5 juta rumah di Indonesia tahun 2019. PT BNI Tbk menargetkan pertumbuhan KPR sebesar 10% pada tahun ini dan 15% pada tahun depan. Berbeda halnya dengan PT BCA Tbk, PT BNI Tbk mengakui pertumbuhan KPR hingga saat ini cenderung lemah yaitu hanya berkisar 3%. Darmadi Sutanto, Direktur Konsumer dan Ritel PT BNI Tbk, mengakui saat ini pihaknya tidak memiliki rencana untuk menaikkan atau menurunkan suku bunga KPR. (Sumber: Bisnis Indonesia, 17 Oktober 2014: 24)
Potensi Rp 90 Triliun Per Tahun Destry Damayanti, ekonom PT Bank Mandiri Tbk, meminta perbankan untuk lebih mengoptimalkan peluang branchless banking. Berdasarkan hasil uji coba pelaksanaan branchless banking PT Bank Mandiri Tbk, terdapat sekitar 120 Juta orang yang belum tersentuh perbankan. Jika 30%nya dapat tergarap oleh branchless banking dan menabung minimal Rp 10 Ribu maka terdepat potensi Rp 90 Triliun setiap tahunnya. Hal ini dapat menurunkan tekanan likuiditas yang dialami oleh Perbankan. Menanggapi branchless banking, PT BRI Tbk saat ini tengah fokus pada layanan branchless banking yang bernama BRI Link. Saat ini pihaknya sedang dalam proses perekrutan agen-agen. (Sumber: Bisnis Indonesia, 17 Oktober 2014: 24) ***