“Banking” Weekly Hotlist (5 Januari – 9 Januari 2015) Senin, 5 Januari 2015
Kredit Melemah hingga Akhir Tahun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan pertumbuhan kredit cenderung melambat seiring dengan perlambatan ekonomi. Selain itu, OJK juga memperkirakan bahwa perlambatan ekonomi masih akan berlanjut pada triwulan IV/2014 sebagai akibat dari berbagai tekanan, termasuk tekanan global. Per Oktober 2014, pertumbuhan kredit tercatat 12,62% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy), lebih rendah dibandingkan dengan posisi September 2014 sebesar 13,16% (yoy). Laju kredit paling lambat terjadi pada kredit konsumsi yang hanya mencatat pertumbuhan sebesar 11,05% (yoy) menjadi Rp 990,21 Triliun pada Oktober 2014. Sementara itu, kredit modal kerja dan investasi meningkat masing-masing sebesar 12,77% dan 14,93% (yoy). Kendati demikian, sejumlah perbankan memperkirakan kredit investasi pun akan melambat, pasalnya ada peningkatan suku bunga kredit. Tingginya suku bunga kredit investasi akan menurunkan kebutuhan investasi untuk produksi. Namun OJK optimis memasuki tahun 2015, terdapat potensi peningkatan penyaluran kredit yang berasal dari peningkatan belanja pemerintah seiring membesarnya ruang fiscal. (Sumber: Bisnis Indonesia, 5 Januari 2015, 23)
Aliran Dana Makin Seret Berbeda dengan pertumbuhan secara tahunan, kondisi kredit investasi dan modal kerja jika dibandingkan bulan sebelumnya justru mengalami penurunan. Pada Oktober 2014, kredit investasi tercatat Rp 869,3 triliun, lebih rendah dibandingkan posisi bulan sebelumnya yang mencapai Rp 872,3 Triliun. Memburuknya kondisi kredit investasi juga ditunjukkan oleh meningkatnya rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) dari Rp 22,6 Triliun pada September 2014 menjadi Rp 44,5 pada Oktober 2014. Sama halnya dengan kredit investasi, kredit modal kerja juga mengalami penurunan penyaluran dan peningkatan NPL. Per Oktober 2014, penyaluran kredit investasi sebesar Rp 1.698,5 triliun, lebih rendah dibandingkan posisi September 2014 sebesar Rp 1.708,4 triliun. Adapun posisi NPL kredit modal kerja bulan Oktober 2014 mencapai 44,5 triliun, meningkat tipis dibandingkan September 2014 yang mencapai Rp 43,5 triliun. Berbeda halnya dengan kredit investasi dan modal kerja, kredit
konsumsi justru mengalami peningkatan dibandingkan bulan sebelumnya. Penyaluran kredit konsumsi pada Oktober 2014 tercatat Rp 990,2 triliun, meningkat dibandingkan bulan sebelumnya sebesar Rp 980,4 triliun. Dalam publikasi Tinjauan Kebijakan Moneter Desember 2014, Bank Indonesia memperkirakan penyaluran kredit investasi pada triwulan IV 2014 akan melambat karena kinerja investasi nonbangunan yang masih belum menunjukkan pertumbuhan akibat terkontraksinya impor barang modal. Selain itu, penurunan penjualan alat berat domestik dan minimnya insentif pelaku usaha untuk berinvestasi pun kerap menekan investasi nonbangunan. Sementara itu, publikasi tersebut juga memperkirakan investasi bangunan justru akan meningkat pada triwulan IV 2014 seiring meningkatnya penjualan semen. (Sumber: Bisnis Indonesia, 5 Januari 2015, 23)
Debitur Masih Ragu Pada Oktober 2014, undisbursed loan atau fasilitas kredit kepada nasabah yang belum ditarik tercatat Rp 1.123 triliun, meningkat 14,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy). Peter Jacobs, Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia mengatakan hal ini dikarenakan prilaku debitur yang masih wait and see terhadap prospek pertumbuhan ekonomi. Selain itu, bank Indonesia juga mengatakan kondisi likuiditas perbankan relatif terjaga dengan dukungan modal kuat serta kuat terhadap resiko kredit. Akhir tahun 2014, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan DPK akan berkisar 14%-16% dan kredit sebesar 15% - 17%. Kartika Wirjoatmodjo, Kepala Eksekutif LPS mengatakan perbankan perlu menjaga rasio kecukupan likuiditasnya. Berdasarkan analisis stabilitas dan sistem pembayaran, hal ini dikarenakan: (i) kredit dan cadangan alat likuid merupakan bagian penting dari deposit pricing yang digunakan sebagai dasar pengelolaan kebijakan moneter; (ii) pangsa pasar murah (CASA) mempunyai peran positif bagi pricing; dan perbankan memperharikan efek signaling dari suku bunga pasar uang natar bank dan efek counter dari kondisi bisnis, apabila volatilitas pasar dan perekonomian rendah maka pengelolaan asset liability management (ALM) lebih baik dilakukan. (Sumber: Bisnis Indonesia, 5 Januari 2015, 23)
Bank Minta Relaksasi Aturan LTV Kalangan perbankan meminta Bank Indonesia untuk melakukan relaksasi terhadap kebijakan Loan To Value (LTV) karena kebijakan ini kerap menghambat masyarakat dalam mengakses pembiayaan perumahan, sehingga kebutuhan rumah menjadi tidak terpenuhi. Sejak aturan LTV
ditetapkan pada Juni 2012, outstanding KPR perbankan menjadi melambat, sehingga berdampak pada kinerja KPR perbankan. Oleh karena itu, perbankan berharap Bank Indonesia dapat mengkaji kembali ketentuan Down Payment agar lebih ringan dari 30%. Pasalnya beban nasabah menjadi lebih berat karena harus membayar uang muka yang lebih tinggi. Menanggapi hal tersebut, Bank Indonesia menyatakan pihaknya tidak akan mengubah kebijakan LTV karena dirasakan masih efektif dalam meredam spekulasi dan menjaga kualitas kredit di sektor properti. (Sumber: Bisnis Indonesia, 5 Januari 2015, 23)
Mimpi Besar Kota Less Cash Society Upaya mewujudkan masyarakat dengan sedikit transaksi tunai memerlukan infrastruktur, iklim yang kondusif serta peran pemerintah daerah. Pemerintah daerah berwenang mengatur prioritas bidang-bidang tertentu yang akan menjadi target pengembangan transaksi nontunai. Provinsi DKI Jakarta terlebih dahulu memulai pemanfaatan transaksi nontunai dengan menjangkau sektor transportasi seperti jaringan kereta api commuterline dan bus TransJakarta. Kedepannya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga akan mencoba memperluas jaringan transaksi non tunai menggunakan uang elektronik di sektor ritel, seperti toko dan pedagang kaki lima. Selain itu, bantuan sosial yang diberikan masyarakat juga akan mengunakan uang elektronik. Bukan hanya untuk skala kecil, transaksi skala besar juga akan diupayakan dilakukan melalui transaksi non tunai. Rencana awal implementasi ini adalah aturan pembayaran sewa kios di jaringan pasar yang dikelola oleh PD Pasar Jaya. Pemprov DKI Jakarta pun telah menunjuk tujuh bank sebagai agen pembayaran dan nantinya pembayaran kios dapat dilakukan melalui mekanisme autodebet dari rekening penyewa. Dalam cakupan pemerintahan, Pemprov DKI Jakarta juga telah menerapkan aturan gerakan nontunai untuk transaksi yang bernilai Rp 25 Juta. Bank Indonesia mengatakan akan terus mengupayakan perbaikan fasilitas dan pembenahan sistem pembayaran nontunai agar lebih efisien, mudah dan murah. Perlu adanya dukungan dan tekad yang kuat dari regulator dan pemerintah untuk mendorong transaksi nontunai di Indonesia. Pasalnya transaksi nontunai di Indonesia masih sangat rendah, yakni hanya berkontribusi berkisar 0,6% dari total transaksi yang dilakukan masyarakat. Bahkan kondisi ini lebih rendah dibandingkan negara lainnya seperti Thailand sebesar 2,5%; Malaysia 7,5% dan Singapura pada posisi 45%. (Sumber: Bisnis Indonesia, 5 Januari 2015, 24)
NIM Sulit Tembus 5% Per Oktober 2014, kondisi NIM bank umum meningkat menjadi 4,24% dari bulan sebelumnya yang mencapai 4,21%. Walaupun begitu, sejumlah pelaku mengatakan perbankan tidak dapat memacu Net Interest Margin (NIM) ke level yang lebih tinggi seperti tahun-tahun sebelumnya yakni 5%. Andry Asmoro, Ekonom Senior PT Bank Mandiri Tbk, memperkirakan NIM perbankan masih akan berkisar sebesar 4%. Hal ini dkarenakan kondisi likuiditas perbankan yang masih tertekan sebagai akibat dari sulitnya memacu pertumbuhan simpanan. Menurutnya, program inklusi keuangan yang sedang marak dijalankan otoritas dapat menjadi peluang bank untuk memacu likuiditas dan merupakan potensi pendapatan selain bunga. Terkait BI Rate, pihaknya mengatakan bank tidak bisa serta merta ikut menaikkan suku bunga karena akan menimbulkan resiko kredit macet. Untuk perkiraan tahun 2015, kebijakan the Fed dalam menaikkan Fed Fund Rate akan menjadi penentu utama kondisi ekonomi. Pasalnya apabila suku bunga Amerika Serikat tersebut dinaikkan akan mendorong volatilitas pasar keuangan dan memacu capital outflow, sehingga kondisi likuiditas domestik menjadi tertekan. Oleh karena itu, pihaknya menyarankan agar perbankan kerap menjaga kualitas asetnya. (Sumber: Bisnis Indonesia, 5 Januari 2015, 24)
Kualitas Kredit Diyakini Cepat Pulih Bank Indonesia memperkirakan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) akan membaik seiring dengan meningkatnya pendapatan debitor akibat meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang berasal dari ekspansi fiskal pemerintah. Halim Alamsyah, Deputi Gubernur Bank Indonesia, mengatakan perlambatan ekonomi sebelumnya kerap menekan kualitas kredit khususnya kredit segmen usaha kecil dan menengah. Halim mengaku bahwa kondisi pertumbuhan ekonomi tahun ini secara umum lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini juga mendorong kenaikan NPL baik secara spasial maupun secara sektoral. Secara spasial, kenaikan NPL terjadi di luar jawa, khususnya Sumatera dan Kalimanatan. Di kawasan tersebut, sektor komoditas mempunyai andil yang besar dalam pertumbuhan ekonomi, sehingga ketika terjadi penurunan harga komoditas global, performa sektor komoditas juga kerap menurun. Sejalan dengan hal tersebut, secara sektoral, sektor komoditas juga mengalami lonjakan NPL yang tinggi dibandingkan empat tahun yang lalu, seperti pada sektor pertambangan yang mencatat NPL sebesar 3,34% pada Oktober 2014, jauh lebih tinggi dibandingkan posisi tahun 2011 yang mencapai 0,34% dan NPL sektor pertanian yang meningkat dari 1,3% pada tahun 2011 menjadi 2% pada oktober 2014. Walaupun begitu, Bank Indonesia tetap optimis Indonesia akan mencapai pertumbuhan sebesar 5,4% - 5,8% seiring dengan ekspansi fiskal pemerintah yang akan mengalihkan subsidi BBM ke sektor produktif. Walaupun begitu, sejumlah pelaku perbankan pesimis kualitas kredit perbankan akan membaik. Pasalnya pemulihan kualitas kredit sektor komoditas masih sulit untuk dilakukan
karena kondisi harga komoditas global yang belum menunjukkan perbankan. Namun, pihaknya akan terus mencoba menekan tingkat NPL. (Sumber: Bisnis Indonesia, 5 Januari 2015, 24)
Perang Bunga Simpanan Diestimasi Tidak Seketat 2014 Kalangan perbankan mengaku bahwa kondisi likuiditas tahun 2014 masih akan ketat karena rencana kenaikan Fed Fund Rate dan perlambatan ekonomi dunia. Adapun perkiraan kondisi likuiditas tahun 2015 diyakini tidak akan seketat tahun 2014. Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur PT OCBC NISP Tbk, nenambahkan perubahan perhitungan Loan to Deposit Ratio (LDR) akan sangat membantu perbankan dalam mengurangi tekanan likuiditas. Adapun menurut Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT BCA Tbk, perubahan suku bunga simpanan tergantung pada pertumbuhan kredit. Pasalnya jika pertumbuhan kredit stabil maka bunga simpanan juga akan stabil. Lebih lanjut bank harus mengimbangi antara pertumbuhan dana dengan pertumbuhan kredit agar stabilitas perbankan tetap terjaga. Menurut LPS dalam Laporan Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan Triwulan IV 2014, suku bunga deposito berperan pada keputusan strategic pricing perbankan. Estimasi pola interaksi Asset Liability Management (ALM) konsisten dengan hipotesis dimana suku bunga deposito menjadi instrumen positioning terhadap pricing bank lain. Seperti contoh, bank besar memiliki keunggulan kompetitif terhadap positioning pricing DPK. Pasalnya bank besar memiliki lebih banyak alternatif kesediaan alat likuid, baik dari pasar surat utang maupun porsi dana murah (CASA). Hal ini mengakibatkan suku bunga DPK bank besar cenderung lebih rendah dibandingkan bank menengah atau bank kecil. (Sumber: Indonesia Finance Today, 5 Januari 2015, 1)
Target Pertumbuhan Kredit Valas Bank BUMN Konservatif Bank milik pemerintah (BUMN) menetapkan target pertumbuhan valas yang cenderung konservatif pada tahun ini. Hal ini dilakukan karena bank harus menyesuaikannya dengan pertumbuhan dan apihak ketiga (DPK). Sebagai contoh PT Bank Mandiri Tbk menetapkan target pertumbuhan kredit valas sebesar 14% -15% karena mneyesuaikan dengan target DPK valas sebesar 15% - 17%. Hal ini juga dilakukan untuk menjaga indikator Loan To Deposit Ratio (LDR) tetap terjaga di level 75% - 80%. Menurut PT BNI Tbk mengatakan tidak terlalu fokus pada kredit valas karena potensi DPK valas juga kerap tertekan. Adapun kredit valas yang
digelontorkannya merupakan kredit sindikasi sejumlah proyek infrastruktur. Hal yang sama dilakukan oleh PT BRI Tbk. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI), bank umum swasta nasional (BUSN) devisa mencatat pertumbuhan kredit valas tertinggi yakni 14,45% (yoy) pada Oktober 2014 dan 25,52% (yoy) secara kumulatif Januari-Oktober 2014 dibandingkan kumulatif Januari-Oktober 2013. Sementara kredit valas Bank BUMN hanya tumbuh sebesar 10,51% pada bulan Oktober 2014. (Sumber: Indonesia Finance Today, 5 Januari 2015, 9)
Selasa, 6 Januari 2015
Tantangan Berat Menanti Tantangan berat masih akan menanti industri perbankan tahun 2015. Pasalnya pertumbuhan kredit akan melambat seiring perlambatan ekonomi, sehingga rasio laba bersih terhadap total aset (return on Asset/ROA) juga akan menurun. Per Oktober 2014, indikator ROA tercatat 2,89%. ROA cenderung menurun sejak Juni 2014. Seiring dengan penurunan ROA, NIM perbankan juga cenderung turun. Per Oktober 2014, NIM perbankan tercatat 4,24%. A. Prasentyantoko, Pengamat Ekonomi Universitas Atmajaya mengatakan industri perbankan masih akan menghadapi tantangan seiring belum membaiknya permintaan serta ketatnya kondisi likuiditas. Perbankan Indonesia masih mengandalkan pendapatan bunga kredit, kedepannya perbankan harus lebih mendiversifikasikan pendapatan. Pasalnya apabila bank tetap mengandalkan pendapatan bunga kredit, maka kondisi perlambatan kredit bank akan berpengaruh terhadap profitailitas bank tersebut. Selain itu, Eric Alexander Sugandi, Ekonom Standard Chartered, menambahkan kondisi likuiditas yang ketat mendorong bank untuk menghimpunan dana mahal. Hal ini nantinya justru akan meningkatkan beban biaya dana bagi perbankan. Sementara itu, Lana Soelistianingsih, Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia, mengatakan penurunan ROA juga dipengaruhi oleh menurunkan imbal hasil aset yang berbasiskan sekuritas. Menganggapi hal tersebut, Bank Indonesia masih menunjukkan optimisme bahwa pertumbuhan kredit perbankan akan membaik. (Sumber: Kompas, 6 Januari 2015, 20)
Bank Andalkan Pemegang Saham Sejumlah bank masih mengandalkan suntikan dana dari pemegang saham untuk memupuk permodalan dan ekspansi usaha. Salah satu contoh bank yang menerima suntikan dana adalah PT Bank of India Indonesia Tbk. Bank ini menerima suntikan dana dari Bank of India sebagai
pemegang saham mayoritas sebesar US$32 juta melalui skema penawaran umum terbatas. Dana ini akan dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas bank agar target pertumbuhan kredit akan tercapai yakni 30%. Hal yang sama juga dialami oleh PT Bank Mayapada Internasional Tbk. Pihaknya menerima dana paling besar Rp 500 miliar pada tahun 2015. Dana tersebut akan dimanfaatkan untuk meningkatkan penyaluran kredit dan perluasan jaringan, khususnya ke daerah Jawa dan Sulawesi. Selain mengandalakan suntikan dana, Bank Mayapada juga mencoba memupuk modal dari penghimpunan laba dan penerbitan obligasi. (Sumber: Bisnis Indonesia, 6 Januari 2015, 23)
OJK Akan Atur Penawaran Produk OJK berencana mengatur tata cara pemasaran produk dan layanan perbankan serta industri jasa keuangan melalui pesan pendek dan internet. Selain itu, OJK pun lebih jauh akan mengatur dan mengawasi konten penawaran investasi melalui media sosial dan internet. Pasalnya perlu ditelisik kebenaran informasi tersebut. Saat ini, pihaknya tengah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan dan Informatika. Mengagapi hal tersebut, Kemenkominfo mengatakan pihaknya siap bekerjasama dengan OJK terkait pengaturan konten informasi melalui pesan pendek dan internet agar tidak mengganggu kenyaman nasabah. Sebelumnya OJK telah mengeluarkan surat edaran yang menyatakan seluruh pelaku industri keuangan wajib menghentikan pemasaran produk dan layanan melalui pesan pendek atau telefon, kecuali atas persetujuan nasabah. Aturan tersebut tertuang dakan Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan konsumen Jasa keuangan. (Sumber: Bisnis Indonesia, 6 Januari 2015, 23)
40 Bank Bakal Terkena Disinsentif Bank Indonesia akan memberikan disinsentif kepada bank-bank dengan modal inti dibawah Rp 5 triliun (BUKU I dan BUKU II) yang belum memenuhi aturan penyaluran kredit ke sektor UMKM. Saat ini, Bank Indonesia masih menkaji bentuk insentif dan disinsentif yang tepat untuk dilakukan. Seperti contoh, bank yang telah menyalurkan 5% dari total outstanding-nya ke sektor UMKM akan diberikan penambahan jasa giro. Sementara, bank yang belum mencapai ketentuan tersebut akan diberikan pengurangan jasa giro. Menurut Bank Indonesia, sekitar 40 bank yang akan diberikan disinsentif. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/22/PBI/2012 tentang pemberian kredit atau pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam mengembangkan sektor UMKM, besaran kredit untuk sektor tersebut ditetapkan 20% dari total kredit yang dilakuakan secara bertahap hingga tahun 2018. Menanggapi hal tersebut, sejumlah perbankan mengaku setuju dan terus berupaya untuk meningkatkan
penyaluran kredit ke sektor UMKM. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI), total outstanding kredit ke sektor UMKM mencapai Rp 654,52 Triliun pada Oktober 2014 atau tumbuh sebesar 11,08% (yoy). Adapun kredit macet juga tumbuh dari Rp 21,03 triliun pada Oktober 2013 menjadi Rp 26,48 triliun pada Oktober 2014. (Sumber: Bisnis Indonesia, 6 Januari 2015, 23)
Akses Keuangan Diperluas Tahun ini, OJK akan memperluas akses keuangan kepada masyarakat dengan program pelayanan tanpa kantor. Akses keuangan ini juga mencakup asuransi mikro dan akses keuangan mikro yang lebih besar. Selain itu, OJK juga akan melakukan reformasi di bidang pengawasan dunia perbankan untuk memperbaiki tingkat kesehatan lembaga keuangan di Indonesia. Pada tahun lalu, OJK telah melakukan pengawasan terintegrasi yakni pengawasan grup keuangan atau konglomerasi. Lebih lanjut, OJK memperkirakan pertumbuhan kredit tahun 2015 akan mencapai 16% seiring kebijakan pemerintah menurunkan harga BBM kembali, sehingga likuiditas akan kembali normal. (Sumber: Bisnis Indonesia, 6 Januari 2015, 23)
Kinerja Diprediksi Masih Melambat Berbagai otoritas perbankan, seperti Bank Indonesia, OJK dan LPS memperkirakan pertumbuhan kredit perbankan tahun 2015 akan mencapai 15%-17%. Lebih spesifik, OJK memperkirakan pertumbuhan akan mencapai 16%. Hal ini terlihat dari sejumlah Rencana Bisnis Bank (RBB). OJK lebih lanjut berharap nilai ini akan lebih tinggi walaupun kondisi ekonomi global masih cenderung dinamis. Kendati demikian, kalangan perbankan menuturkan bahwa masih terdapat hambatan dalam bisnis bank, seperti tingginya biaya dana dan kondisi pasar yang masih belum membaik. (Sumber: Bisnis Indonesia, 6 Januari 2015, 23)
Singapura Target Kedua Setelah melakukan perjanjian bilateral dalam skema ABIF dengan Malaysia pada Desember 2014, OJK tengah merampungkan perjanjian yang sama dengan Singapura. Melalui prinsip resiprokal dan pengurangan kesenjangan, bank asal Indonesia akan lebih dimudahkan untuk
masuk ke Singapura. Saat ini di Indonesia terdapat 3 bank yang sahamnya dikuasai oleh Singapura, seperti Bank OCBC NISP, UOB Indonesia dan Bank DBS. Sementara itu, hanya bank BNI yang merupakan satu-satunya bank asal Indonesia yang berekpansi ke Singapura. Kedepannya, diharapkan setelah perjanjian tersebut rampung, bank asal Indonesia pun dapat aktif berekspansi di Singapura. Walalupun begitu, bank asal Indonesia harus berstatus Qualified ASEAN Bank (QAB) terlebih dahulu. Artinya bank asal Indonesia harus memiliki struktur permodalan yang cukup dan berdaya saing. Menanggapi hal tersebut, PT BRI Tbk mengaku siap untuk berekspansi ke Singapura, bahkan hal ini juga telah tertuang dalam RBB tahun 2015. Selain Singapura, BRI juga berencana untuk memperluasa ekspansi ke Malaysia dan Vietnam. BRI juga tidak hanya akan bergantung pada remitansi TKI, namun pihaknya juga akan fokus pada penyaluran kredit, khususnya kredit UMKM. Menurut OJK, pihaknya akan mendukung bank yang berencana ekspansi ke luar negeri dengan mempermudah izin bagi bank-bank tersebut. (Sumber: Bisnis Indonesia, 6 Januari 2015, 24)
Rabu, 7 Januari 2015
Bunga Tinggi, BPD Terpukul Tekanan suku bunga tinggi dan kenaikan kredit bermasalah menekan kinerja kelompok Bank Pembangunan Daerah (BPD). Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia Oktober 2014, BPD mengalami penurunan laba sebesar 17,7% dibandingkan akhir tahun sebelumnya (year to date/ytd). Penurunan laba ini terutama bersumber dari menurunnya pendapatan bunga bersih sebesar 12,69% (ytd). Adapun penurunan pendapatan bunga bersih tersebut terjadi karena tekanan beban bunga deposito yang kian meningkat seiring dengan peningkatan BI rate secara bertahap sejak Juni 2013. Penurunan profitabilitas juga terlihat dari margin bunga bersih sebesar 6,6%, menurun 44 basis poin dibandingkan posisi akhir tahun lalu. Kinerja BPD yang kurang baik juga ditunjukan oleh kualitas kredit yang menurun yang diindikasikan oleh meningkatnya rasio kredit macet (NPL) dari 1,04% pada Desember 2014 menjadi 1,54%. Sejumlah pelaku BPD mengakui pihaknya sedang mengalami tren penurunan. Dan sejumlah BPD kerap berupaya menurunkan NPL dengan berbagai cara seperti, mengupayakan penagihan, restrukturisasi dan lelang, serta selektif dalam menyalurkan kredit. Selain itu, beberapa BPD, seperti Bank Jabar akan lebih menfokuskan diri dalam menyalurkan kredit ke infrastruktur serta UMKM tahun ini. (Sumber: Bisnis Indonesia, 7 Januari 2015, 23)
Definisi Simpanan Diatur Ulang Bank Indonesia saat ini masih mempersiapkan sistem perluasan definisi simpanan dalam indikator Loan to Deposit Ratio (LDR). Selain itu, pihaknya juga akan memberikan insentif dan diinsentif bagi industri perbankan. Apabila sistem telah terbentuk, maka indikator LDR akan berubah menjadi Loan to Funding Ratio (LFR) dan diperlukan waktu selama 3 hingga 4 bulan untuk merubah sistem pelaporan. Bank Indonesia berharap sistem ini akan rampung pada semester I 2015. Terkait perubahan sistem ini, LPS mengatakan Bank Indonesia perlu memberikan insentif, seperti kemudahan dalam penerbitan surat berharga dan obligasi. Selain itu, Bank Indonesia juga perlu menjaga supply dan demand di pasar sekunder. (Sumber: Bisnis Indonesia, 7 Januari 2015, 23)
Bank Besar Garap Sektor Infrastruktur Bank-bank besar mengaku siap untuk lebih memperkuat fungsi intermediasinya pada sektor infrastruktur seiring dengan komitemen pemerintah untuk menggalakkan sektor tersebut. Asmawi Syam, Plt. Direktur Utama PT BRI Tbk mengaku saat ini porsi penyaluran kredit BRI masih ditopang oleh kredit mikro. Walaupun begitu, pihaknya akan siap mendukung pemerintah dengan meningkatkan intensifitas dan volume kredit infrastruktur. Untuk tahun 2015, pihaknya telah berkomitmen untuk menyalurkan kredit infrastruktur ke beberapa proyek, seperti pembiayaan kereta api, transportasi, penyebrangan sungai dan lain-lain. Selain BRI, BNI juga mengakui siap untuk menyalurkan kredit di sektor infrastruktur. Gatot M. Suwondo, PT BNI Tbk, mengatakan proyek infrastruktur yang akan disasar oleh bank adalah proyek dalam bidang pembangunan kelistrikan, telekomunikasi dan transportasi seperti jalan, rel kereta api dan pelabuhan. Selain itu, pihaknya berharap konsolidasi antara eksekutif dan legislatif dapat segera tercapai agar pembangunan infrastruktur dapat segera terlaksana dan kredit menjadi lebih lancar. (Sumber: Bisnis Indonesia, 7 Januari 2015, 23)
Tiga Bank Turunkan SBDK untuk Ringankan Beban Konsumen Seiring dengan kebijakan pembatasan suku bunga deposito oleh OJK pada awal triwulan IV 2014, sudah ada 3 bank yang telah menurunkan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) yakni PT Bank Bukopin Tbk, PT BTPN Tbk dan PT BPD Jawa Barat dan Banten Tbk. SBDK Bank Bukopin menurun 15 basis poin untuk kredit korporasi, 55 basis poin untuk ritel dan 70 basis poin untuk
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) nonritel. Adapun BTPN juga menurunkan SBDKnya sebesar 8 basis poin untuk kredit ritel, 29 basis poin untuk kredit mikro dan 31 basis poin untuk kredit non-KPR pada Oktober 2014. Adapun SBDK Bank BJB menurun 10 basis poin untuk kredit korporasi, 25 basis poin untuk kredit ritel dan 3 basis poin untuk kredit 3 basis poin untuk kredit non-KPR. Ketiga bank ini mengaku menurunkan SBDK untuk meringankan beban konsumen. Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan akan dinaikkan kembali SBDK pada industri perbankan. Hal ini disebabkan oleh ketatnya likuiditas antarbank karena tingginya inflasi. (Sumber: Indonesia Finance Today, 7 Januari 2015, 1)
Kamis, 8 Januari 2015
Resiko KPR Mulai Terkendali Bank Indonesia menilai kebijakan Loan To Value (LTV) masih efektif untuk mengurangi spekulasi dan mengendalikan resiko kredit. Bank Indonesia juga mengatakan sejak diberlakukannya kebijakan tersebut terjadi pergeseran penyaluran KPR ke tipe rumah kecil atau dibawah 70 meter persegi. Adapun NPL KPR per Oktober 2014 tercatat 2,4%. Kendati demikian, sejumlah pelaku perbankan menganggap kebijakan ini dapat menghambat akses pembiayaan rumah bagi masyarakat. (Sumber: Bisnis Indonesia, 8 Januari 2015, 23)
Bank Umum Agar Libatkan BPR Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan Bank Umum dan Bantuin Teknis dalam rangka pengembangan UMKM, Bank Umum diharapkan dapat meningkatkan porsi penyaluran kredit ke sektor UMKM hingga 5% dari total penyaluran kredit. Menanggapi hal ini, Joko Suyanto, Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), mengatakan hal ini dapat mendorong persaingan antara Bank Umum dan BPR dalam menyasar sektor UMKM yang memang telah menjadi fokus BPR. Oleh karena itu, pihaknya meminta Bank Umum untuk bermitra dengan BPR. Salah satu bentuk kerjasama tersebut ialah meningkatkan linkage atau penyaluran kredit UMKM oleh Bank Umum melalui BPR. Pertumbuhan kredit BPR cenderung melambat dari 20% tahun lalu menjadi 15,59% pada November 2014. Josua Pardede, Ekonom PT Bank Permata Tbk memperkirakan perlambatan BPR masih akan terjadi pada tahun 2015. Adapun peningkatan kerjasama dengan Bank Umum dapat menjadi solusi untuk mendorong BPR. (Sumber: Bisnis Indonesia, 8 Januari 2015, 23)
Laju Kredit Di Bawah Proyeksi Berdasarkan rilis data pertumbuhan uang beredar (M2) oleh Bank Indonesia, terlihat fungsi intermediasi perbankan kerap melambat yakni 11,7% pada November 2014. Kondisi ini jauh dibawah ekspektasi pertumbuhan kredit Bank Indonesia sebesar 15% - 17% dan OJK sebesar 16% - 18%. Bank Indonesia menekankan bahwa perlambatan ini bukan disebabkan oleh kondisi likuiditas karena pihaknya meyakini kondisi likuiditas perbankan masih cenderung aman. Faktor utama perlambatan ini berasal dari perlambatan ekonomi secara keseluruhan. Lebih lanjut, perlambatan kredit ini terutama terjadi pada kredit modal kerja dan investasi. Kalangan perbankan mengaku kondisi pasar yang belum membaik kerap menekan performa industri perbankan. (Sumber: Bisnis Indonesia, 8 Januari 2015, 23)
Kinerja Diyakini Membaik Perbankan Syariah diperkirakan akan tumbuh lebih baik dibandingkan pada tahun 2014 seiring dengan fokus bank untuk memperbaiki kualitas aset peluang pertumbuhan pembiayaan. Selain itu, ekspansi fiskal yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dapat lebih lanjut mendorong industri perbankan syariah. OJK menilai perlu dukungan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan pembiayaan bank syariah karena menjelang akhir tahun kinerja bank syariah kian melamat. Pertumbuhan kredit pada November 2014 tercatat 6,7% dan NPL cenderung tinggi sebesar 4,75%. Walaupun kondisi likuiditas cenderung mengetat,kalangan perbankan syariah optimis pihaknya dapat menghimpun laba karena potensi dana haji yang masih cenderung besar. Lebih lanjut perbankan syariah akan terus melakukan pemantauan secara ketat untuk menjaga kualitas kredit. (Sumber: Bisnis Indonesia, 8 Januari 2015, 24)
Investor Asing Berminat Akuisisi Bank BUKU I dan II OJK menuturkan bahwa banyak investor yang sebagian besar berasal dari Asia dan Timur Tengah tertarik untuk mengakuisisi kelompok Bank BUKU I dan II. Kendati demikian, OJK akan lebih memprioritaskan investor yang telah menandatangani perjanjian dengan OJK. Salah satu investor asing yang telah menandatangani adalah Cathay Financial Holdings Co Ltd yang telah
menyetujui pembelian 40% saham Bank Mayapada dengan nilai sebesar US$ 278 juta. Menanggapi hal tersebut, Bank Mayapada belum berani memberikan komentar karena masih akan menunggu keputusan para pemegang sham. Menurut analis, akuisisi ini akan berdampak positif bagi kinerja Bank Mayapada. Secara umum, perbankan Indonesia masih memiliki banyak potensi seiring besarnya potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain itu, tingkat profitablitas juga masih akan cukup besar di kisaran 4%-5%. (Sumber: Indonesia Finance Today, 8 Januari 2015, 1)
Jumat, 9 Januari 2015
Bank Belum Berencana Turunkan Bunga Kredit Tekanan biaya dana yang tinggi mendorong perbankan untuk tidak menurunkan suku bunga kredit. Budi Gunandi Sadikin, Direktur Utama Bank Mandiri mengatakan bank akan menurunkan suku bunga kredit apabila biaya dana sudah menunjukkan tren menurun dan Bank Indonesia melakukan pengurangan pengetatan moneter. Bank Indonesia mengatakan bank belum juga menurunkan suku bunga kredit padahal suku bunga deposito telah menurun. Pada November 2014, suku bunga kredit tercatat 12,97%, meningkat tipis dibandingkan Oktober 2014 sebesar 12,93%. Di sisi lain, suku bunga deposito justru menurun ke level 8,20% untuk berjangka waktu 1 bulan; 9,02% untuk jangka waktu 3 bulan; 9,30% untuk jangka waktu 6 bulan dan 8,74% untuk jangka waktu 12 bulan. Sebelumnya pada Oktober 2014, suku bunga deposito berjangka waktu 1, 3, 6 dan 12 bulan masing-masing tercatat 8,23%; 9,25%; 9,38% dan 8,77%. OJK berharap bank dapat memasukkan rencana penurunan suku bunga kredit dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) Tahun 2015. Hal ini dilakukan unruk meningkatkan penerimaan sektor rill dari perbankan. Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur BCA, mengatakan pihaknya berencana menurunkan suku bunga kredit sekitar 25 basis poin. (Sumber: Bisnis Indonesia, 9 Januari 2015, 23)
Bankir Lebih Optimis Muliaman D. Hadad, mengatakan sejumlah kalangan perbankan optimis terhadap perkembangan industri perbankan di tahun 2015. Hal ini terlihat dari optimisme target penyaluran kredit sebesar 16% dan pertumbuhan DPK sebesar 14% dalam RBB Tahun 2015. Kendati demikian, OJK akan tetap meninjau RBB bank apakah target tersebut telah disesuaikan dengan kemampuan bank, seperti kekuatan permodalan entitas bank. Target pertumbuhan kredit yang lebih tinggi daripada DPK menurut OJK akan mendorong LDR yang tinggi. Namun
hal tersebut dapat diatasi apabila realisasi fiskal pemerintah dapat dilakukan secara merata sehingga potensi likuiditas tinggi. Adapun berdasarkan data pertumbuhan uang beredar (M2), industri perbankan mencatat pertumbuhan kredit sebesar 11,7% (yoy) pada November 2014, sementara pertumbuhan DPK sebesar 13,41% (yoy). Marisa Wijayanto, Analis PT Buana Capital memproyeksikan industri perbankan masih akan melambat pada semester I 2015, namun akan meningkat kembali pada semester II 2015. Adapun proyeksi pertumbuhan kredit akan mencapai 13% - 15%. Walaupun begitu kondisi likuiditas akan membaik seiring adanya aturan perluasan defisini simpanan dalam komponen LDR. (Sumber: Bisnis Indonesia, 9 Januari 2015, 24) ***