“Banking” Weekly Hotlist (23 Maret – 27 Maret 2015) Senin, 23 Maret 2015
ASEAN Finalisasi Kerangka Kerja Sama Perbankan Bank Negara Malaysia (BNM) mengumumkan bahwa para anggota ASEAN telah menuntaskan ASEAN Banking Integration Framework (ABIF). Penyelesaian kerangka kerja sama perbankan itu memungkinkan otoritas perbankan dari setiap negara anggota ASEAN melakukan kerja sama resiprokal bilateral. Berdasarkan kesepakatan ABIF yang dikembangkan dalam lima tahun terakhir, perbankan dari dua negara ASEAN bisa membuat kesepakatan yang memungkinkan perbankan dari masing-masing negara beroperasi di negara yang menjadi mitra dengan persyaratan yang sama seperti yang diterapkan kepada perbankan lokal. BI dan BNM sudah memiliki kesepakatan berbasis ABIF. Para bankir bank sentral ASEAN mendukung pembentukan ABIF pada Desemeber 2014. Kerangka kerja sama ini difinalisasi dalam pertemuan para menteri keuangan pada 21 Maret lalu. Negara-negara anggota ASEAN yang menyepakati ABIF termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam. (Sumber: Indonesia Finance Today, 23 Maret 2015, 3)
Pembentukan Megabank Syariah Terancam Mundur OJK mengungkapkan bahwa pembentukan bank syariah skala besar (megabank syariah) akan mundur dari target tahun ini. Menurut OJK, pemegang saham harus memperkuat permodalan bank syariah. Selain itu, seluruh bank syariah milik BUMN harus di spin off terlebih dahulu. Dalam rencana bisnis bank (RBB) syariah yang diserahkan ke OJK, tidak ada bank BUMN yang berencana untuk memisahkan unit usaha syariah (UUS) tahun ini. Oleh karena itu, pembentukan megabank syariah kemungkinan tidak akan terealisasi tahun ini dan diharapkan terealisasi tahun 2016. (Sumber: Indonesia Finance Today, 23 Maret 2015, 9)
OJK Pacu Kredit Bank Asing OJK mendorong bank-bank asing yang berada di Tanah Air untuk meningkatkan penyaluran kredit di sektor-sektor yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Kredit yang disalurkan terutama fokus di dua sektor, yaitu trade financing dan direct investment. Hal tersebut karena selama ini kredit dari bank asing untuk kedua sektor tersebut masih kurang. Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia (SPI) sepanjang tahun lalu kredit yang disalurkan oleh bank-bank asing di Tanah Air mengalami peningkatan sebesar 10,20%. (Sumber: Bisnis Indonesia, 23 Maret 2015, 23)
Aturan LFR Segera Rampung OJK optimis relaksasi perhitungan loan to deposit ratio yang tengah digodok bersama BI akan rampung semester 1/2015. Adapun dalam perluasan perhitungan LDR tersebut, kedua regulator ini berencana mengubah definisi deposit menjadi loan to financing ratio (LFR). Unsurunsur yang akan masuk sebagai sumber dana dalam perhitungan rasio tersebut akan dimasukkan secara bertahap. (Sumber: Bisnis Indonesia, 23 Maret 2015, 23
Kredit Maritim Dipacu OJK meminta kalangan perbankan untuk mulai meningkatkan penyaluran kredit ke sektor maritim hingga tumbuh 50% dari realisasi tahun lalu. Adapun hingga November tahun 2014 kredit yang disalurkan ke sektor maritim hanya sebesar 2,36% dari total kredit perbankan atau senilai Rp 85 triliun. Bank yang diminta memperbesar penyaluran kredit ke sektor maritim merupakan bank kategori BUKU III dan BUKU IV. OJK akan menyediakan data yang komprehensif terkait sektor kemaritiman serta regulasi yang kondusif bagi pembiayaan di segmen tersebut. (Sumber: Bisnis Indonesia, 23 Maret 2015, 23)
Selasa, 24 Maret 2015
2015, Momentum Akselerasi Bank Syariah Tahun 2015 menjadi momentum akselerasi industri perbankan syariah setelah tahun lalu penyaluran pembiayaan turun tajam. Target pembiayaan pada rencana bisnis industri perbankan syariah tahun 2015 lebih tinggi dibandingkan realisasi pembiayaan pada 2014. Berdasarkan Statistik Perbankan Syariah Januari 2015, menunjukkan pembiayaan industri perbankan syariah hanya tumbuh 8,75% dari Rp 181,398 triliun pada Januari 2014 menjadi Rp 197,279 triliun pada Januari 2015. Pembiayaan pada Januari 2015 melanjutkan pelambatan pertumbuhan pembiayaan pada Desember 2014 menjadi 8,2% selama setahun. Otoritas menjelaskan bahwa perlambatan pertumbuhan pembiayaan industri perbankan syariah terjadi karena perekonomian dan permodalan. Oleh karena itu, tahun 2015 ini bankbank syariah harus mencari model bisnis yang kompetitif. Sesuai rencana bisnis bank yang diajukan industri perbankan syariah kepada OJK, target pertumbuhan pembiayaan tahun ini mencapai 25%. (Sumber: Kompas, 24 Maret 2015, 20)
Kredit Ekspor Bisa Jadi Pengganti Bank Indonesia memastikan bagi pelaku di industri perbankan yang belum memenuhi besaran porsi penyaluran kredit ke sektor UMKM, bisa menggunakan kredit ekspor sebagai substitusi. Bank sentral memang mewajibkan tiap entitas bank untuk memenuhi kuota 20% penyaluran kredit ke sektor UMKM. Adapun, dalam pasal 4 Peraturan bank Indonesia (PBI) nomor 14/22/PBI/2012 disebutkan kredit atau pembiayaan untuk produk ekspor nonmigas memang dapat diperhitungkan sebagai pinjaman UMKM. Untuk tahun ini, tiap entitas bank umum yang ada di Indonesia, mesti mencatatkan porsi penyaluran kredit ke sektor UMKM sebesar 5% dari total penyaluran pinjaman bank. Secara bertahap, porsi tersebut naik menjadi 10% pada 2016, 15% di 2017, dan 20% pada 2018. (Sumber: Bisnis Indonesia, 24 Maret 2015, 23)
Konglomerasi Keuangan : Entitas Utama Harus Diperjelas Penunjukkan entitas utama dalam konglomerasi keuangan dinilai akan memudahkan pengawasan perusahaan-perusahaan konglomerasi di Tanah Air. Sehingga dengan adanya penunjukkan entitas utama dapat mendeteksi potensi risiko yang akan timbul sejak dini. Entitas utama yang ditunjuk oleh pemegang saham pengendali konglomerasi keuangan ini berkewajiban untuk membuat komite manajemen risiko dan tata kelola terintegrasi. Hingga saat ini belum ada laporan mengenai penunjukan entitas utama yang masuk ke OJK. Dirinya memperkirakan dari 32 konglomerasi keuangan yang ada, sebagian besar induknya merupakan lembaga perbankan. Sebelumnya, pihak otoritas telah meluncurkan peraturan konglomerasi keuangan dalam POJK Nomor 17/POJK.03/2014 tentang Manajemen Risiko Terintegrasi dan POJK Nomor 18/POJK.03/2014 tentang Tata kelola Terintegrasi. Dalam beleid baru yang akan diterbitkan OJK, rasio kecukupan modal akan diatur lebih dari 15%. (Sumber: Bisnis Indonesia, 24 Maret 2015, 24)
Rabu, 25 Maret 2015
Raihan Cuan Diprediksi Masih Melimpah Kalangan bankir bank pembangunan daerah (BPD) optimistis pertumbuhan laba bersih tahun ini bisa melampaui 10% atau menuju pembalikan tren dibandingkan dengan 2014 yang mengalami koreksi sebesar 9,97%. Pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dan tren beban bunga yang terus turun menjadi faktor pendorong pertumbuhan laba BPD tahun ini. Per Januari 2015, tren perbaikan laba bersih BPD sudah terlihat. Kelompok BPD membukukan pertumbuhan laba bersih sebesar 19,5% menjadi Rp 1,09 triliun. Pertumbuhan laba BPD juga lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan rata-rata laba perbankan sebesar 12%. Pertumbuhan kredit BPD pun lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kredit industri sebesar 11,5%. (Sumber: Bisnis Indonesia, 25 Maret 2015, 24)
Kamis, 26 Maret 2015
Bank Pilih Konsolidasi Strategis Ketimbang Merger Sejumlah Bank Pembangunan Daerah (BPD) enggan merger antarbank daerah karena setiap BPD merupakan kebanggaan daerah masing-masing. Menurut Asosiasi, BPD memilih konsolidasi strategis, seperti strategic holding untuk meningkatkan permodalan dan kualitas bank terutama untuk menghadapi integrasi keuangan ASEAN dalam MEA 2020. Ketua Asbanda menilai bahwa skema BPD Regional Champion jilid kedua sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas BPD. Sebagai tahap awal, BPD akan berkolaborasi dalam proses pengembangan produk, antara lain produk e-procurement dan sistem teknologi informasi (TI). Hal ini dilakukan agar operasional BPD bisa lebih efisien. Saat ini strategic holding BPD dalam BPD Regional Champion jilid kedua sudah berjalan 50%. Asosiasi menargetkan skema ini selesai pada akhir tahun ini. (Sumber: Indonesia Fianance Today, 26 Maret 2015, 9)
Pembahasan UU Perbankan dan UU Bank Indonesia : Revisi 2 Beleid Dirampungkan Komisi XI DPR menargetkan perampungan draft rancangan undang-undang perbankan serta rencana revisi undang-undang Bank Indonesia pada akhir tahun ini. Hingga kini panitia kerja (Panja) tengah mengumpulkan usulan dari regulator dan pelaku industri perbankan terkait halhal yang akan dimasukkan dalam draft rancangan undang-undang (RUU) perbankan. Poin utama yang bakal masuk dalam RUU tersebut yakni besaran porsi kepemilikan asing dalam entitas perbankan nasional. Selain itu, RUU ini bertujuan untuk mengefesienkan operasional perbankan nasional serta mendorong perluasan area bisnis industri ini sehingga tidak hanya bergantung pada kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana. Serta, dalam revisi UU BI akan menyorot area abu-abu antara bank sentral dan OJK yang dipandang tumpang tindih. Beberapa usulan yang tengah dikaji yakni agar bank tidak memilki anak usaha di luar industri jasa keuangan dan kantor cabang asing (KCBA) mesti berbadan hukum Indonesia. Selain itu, komisi XI mempertimbangkan untuk memasukkan usulan bahwa pemegang saham
yang tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan wajib menurunkan kepemilikan sahamnya hingga 0% serta OJK bisa memaksa bank untuk melakukan penggabungan atau merger. (Sumber: Bisnis Indonesia, 26 Maret 2015, 23)
Kredit BUSN Nondevisa Tertinggi Data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) menunjukkan hingga Januari 2015, industri perbankan nasional membukukan pertumbuhan sebesar 12% atau naik dari Rp 3.284,89 triliun pada Januari 2014 menjadi Rp 3.667,16 triliun di bulan yang sama tahun berikutnya. Dari 6 kelompok bank yang ada di Indonesia, OJK mencatat kelompok BUSN nondevisa membukukan pertumbuhan kredit tertinggi atau sebesar 16% dari Rp 108,17 triliun pada Januari 2014 menjadi Rp 125,97 triliun di periode yang sama tahun ini. Sementara itu, kelompok BPD mencatatkan pertumbuhan tertinggi kedua atau sebesar 14% setahunan. (Sumber: Bisnis Indonesia, 26 Maret 2015, 23)
Bank Kembali Minta Penundaan Kalangan perbankan meminta perpanjangan waktu pelaksanaan migrasi kartu anjungan tunai mandiri (ATM) dan debit dari magnetic stripe menuju chip hingga akhir 2020. Seperti diketahui, dalam Peraturan BI (PBI) No.16/1/2014 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran perbankan diharuskan melakukan migrasi tersebut per 1 Januari 2016. Ketua Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) mengatakan banyak masalah yang harus dihadapi perbankan nasional. Masalah tersebut antara lain pemahaman teknologi chip yang lebih kompleks dibandingkan dengan magnetic stripe, perubahan pada mesin ATM dan mesin electronic data capture (EDC), keterlambatan sertifikasi vendor ATM dan EDC, biaya migrasi yang tinggi, serta masalah pendistribusian kartu. Apalagi, jumlah kartu ATM dan debit jauh melampaui jumlah kartu kredit. Berdasarkan data statistik sistem pembayaran BI, jumlah kartu ATM dan debit mencapai 99,91 juta keeping kartu per 1 Januari 2015. Adapun kartu kredit hanya 16,04 juta keping kartu. Selain itu, dalam migrasi kartu ATM dan debit ini melibatkan banyak bank, yaitu sejumlah 59 bank yang menjadi penerbit kartu debit. (Sumber: Bisnis Indonesia, 26 Maret 2015, 24)
Jumat, 27 Maret 2015
Jasa Perbankan Masuki Era Baru OJK menyatakan laku pandai akan menandai era perbankan yang mendasar karena akses bank kini mendekatkan diri kepada masyarakat. Untuk tahap awal ada empat bank yang siap menjalankan laku pandai dengan jumlah agen mencapai 128.039 agen. Empat bank itu yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Central Asia Tbk, dan PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk. Sebagaimana diketahui, laku pandai merupakan layanan keuangan dengan menggunakan pihak ketiga yang disebut agen. Alhasil, ke depan perbankan tidak perlu mengeluarkan biaya investasi pembukaan jaringan kantor cabang baru untuk memperdalam penetrasi bisnisnya. Menurut OJK, saat ini 13 bank lainnya juga telah mengajukan izin laku pandai dan OJK tengah melakukan penilaian terhadap kesiapan bank. Bank harus menerapkan manajemen risiko secara ketat agar laku pandai bisa berjalan dengan aman. Jika 13 bank ini mulai menjalankan laku pandai, jumlah agen akan beroperasi mencapai 350.000 agen dan mencakup 75% wilayah Indonesia. (Sumber: Bisnis Indoensia, 27 Maret 2015, 24)
Bank Menjaring Keluarga Miskin Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS) yang menyasar 15,5 juta keluarga miskin bisa menjadi pintu masuk. Namun, kemajuannya lambat. Padahal, inklusi keuangan tak hanya efektif memberdayakan kamum miskin, tetapi juga prospektif untuk bisnis. Menurut Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial, bahwa bank tidak terlalu tertarik , masuk ke dalam PSKS ini karena warga miskin sebagai target PSKS dianggap tidak banyak melakukan transaksi keuangan atau bahkan nihil transaksi. Dari aspek bisnis jangka pendek-menengah, hal ini tidak menguntungkan bank. Padahal, bank harus berinvestasi untuk membangun infrastruktur. Akibatnya, dari 15,5 juta rumah tangga miskin (RTM) sebagai sasaranPSKS, hanya 2 juta yang ditargetkan terjaring sistem keuangan formal pada akhir 2015. Sekitar 1 juta RTM telah terjaring pada 2014. Tahun ini, targetnya 1 juta RTM lagi terjaring. PSKS tahap kedua akan disalurkan April-Mei 2015 untuk tiga bulan sekligus. Setiap RTM akan menerima Rp 600.000. Bantuan akan digelontorkan untuk 15,5 juta RTM yang telah menjadi target pada tahap pertama. Berdasarkan situs resmi PSKS, 14,4 juta juta RTM mencairkan dana pada tahap pertama atau sekitar 97% dari total target. Pada pengucuran bantuan tahap kedua
ini, 1 juta RTM yang telah memiliki rekening akan menerima bantuan melalui rekening masingmasing. Adapun, yang belum memiliki rekening, bantuan akan disalurkan melalui giro dan pos. (Sumber: Kompas, 27 Maret 2015, 1 dan 15)
***