“Banking” Weekly Hotlist (09 Maret – 13 Maret 2015) Senin, 09 Maret 2015
Bank BUMN Sepakati Penyatuan ATM Sejumlah bank-bank BUMN mengaku setuju dengan rencana pemerintah untuk menggunakan ATM menjadi satu. Walau begitu, penggabungan ini harus dilakukan kajian dengan matang. Selain itu, harus ada ketentuan yang jelas tentang pembagian keuntungannya. Menurut Direktur Keuangan dan Strategi PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI), penggabungan ini dapat menekan biaya operasional perusahaan. Pasalnya, setiap tahunnya pembiayaan infrastruktur termasuk penambahan ATM memakan dana yang cukup besar. Senada dengan Vice President Electronic Banking Group, mengatakan pengembangan infrastruktur perbankan diperlukan untuk mendorong pendapatan nonbunga. Pengembangan layanan e-chnanel ini juga dibutuhkan agar meningkatkan penetrasi perbankan. Saat ini, dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia hanya sekitar 60 juta yang memiliki akses terhadap perbankan. (Sumber: Indonesia Finance Today, 09 Maret 2015, 9)
McKinsey : Nasabah Bank di Asia Terbiasa dengan Perbankan Digital Hasil studi McKinsey&Company menyimpulkan nasabah perbankan di Asia sudah terbiasa menggunakan layanan perbankan digital (digital banking) melalui computer atau smartphone untuk mengakses akun mereka. Menurut McKinsey, nasabah perbankan di Asia mencari beberapa fitur digital, seperti program loyalty yang menarik, kupon diskon melalui telepon seluler, serta akses penuh investasi online yang menampilkan semua portofolio nasabah. Di Asia, sekitar 700 juta nasabah digital dengan porsi pertumbuhan pengguna yang tinggi di negara berkembang seperti Tiongkok dan India. Di Indonesia, penetrasi layanan perbankan digital (digital banking) baru mencapai 36%, di bawah Vietnam yang sebesar 44% dan Malaysia 41%. McKinsey menyarankan bank untuk menggunakan platform online bukan hanya untuk
menampilkan produk dan layanan tertentu. Mereka juga harus menciptakan customer experience dari semua layanan dan portofolio produknya. (Sumber: Indonesia Finance Today, 09 Maret 2015, 10)
Perbankan Syariah: Entitas Baru jadi Tujuan OJK menilai bank hasil penggabungan bank syariah milik negara lebih baik menjadi perusahaan baru yang terpisah dari sang induk. Bank hasil penggabungan tersebut akan berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tujuan penggabungan bank syariah ini adalah untuk memperluas bisnis bank syariah. Saat ini perbankan bank syariah nasional dihadapkan masalah keterbatasan permodalan sehingga kemampuan untuk memperluas bisnis pun juga terbatas. Dengan adanya penggabungan bank syariah pelat merah, maka bank syariah hasil gabungan ini dapat ikut masuk dalam pembiayaan infrastruktur, membuka akses keuangan hingga ke pelosok Tanah Air, dan belanja infrastruktur sistem teknologi dan informasi yang lebih banyak. (Sumber: Bisnis Indonesia, 09 Maret 2015, 23)
Kompetisi Bank Kian Ketat Posisi klasemen perbankan berdasarkan aset terbesar tahun ini diproyeksikan tidak akan mengalami perubahan jika tidak ada aksi merger dan akuisisi. Namun, persaingan antarbank cukup ketat. Tahun lalu PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk mencatat pertumbuhan aset sebesar 28% menjadi Rp 802 triliun secara konsolidasi. Jika ditilik tanpa menyertakan entitas anak usaha (bank only), aset BRI telah melampaui PT Bank Mandiri (persero) Tbk yang selama ini menempati puncak klasemen. Per Desember 2014, aset BRI mencapai Rp 778 triliun sedangkan Bank Mandiri Rp 757 triliun. Kendati demikian, secara konsolidasi, aset Bank Mandiri tetap yang terbesar, yakni mencapai Rp 855 triliun. (Sumber: Bisnis Indonesia, 09 Maret 2015, 24)
Selasa, 10 Maret 2015
Kinerja BPD Berpeluang Membaik Berdasarkan Statitistik Perbankan Indonesia (SPI), sepanjang tahun 2014 laba bersih kelompok BPD menurun sebesar 9,9% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (yoy). Pada 2013, laba bank kelompok BPD tercatat senilai Rp 10,73 triliun, sedangkan pada 2014 laba bersih BPD senilai Rp 9,66 triliun. Biaya dana atau cost of fund menjadi salah satu penyebab penurunan laba ini. Beban bunga BPD naik cukup banyak sebesar 30,98% dari Rp 11,91 triliun pada 2013 menjadi Rp 15,60 tahun lalu. Selain itu, rasio kredit bermasalah BPD juga meningkat dari 1,04% pada Desember 2013 menjadi 1,54% pada Oktober 2014. Adapun Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Aset Keuangan (CKPN) BPD juga mengalami peningkatan sebesar 16,77%. Dari sisi kredit, tercatat pertumbuhan sebesar 14,31% dari Rp 265,54 triliun menjadi Rp 302,42 triliun. DPK secara industri meningkat 16,77%. Kendati mengalami penurunan kinerja pada tahun lalu, Ketua Umum Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) mengatakan pada tahun ini laba kelompok BPD berpeluang meningkat, asalkan ekspansi kredit berjalan baik dan tidak ada peningkatan NPL. Selain itu, penurunan suku bunga acuan BI sebesar 25 basis poin (bps) pada bulan lalu dinilai berpengaruh terhadap penurunan biaya dana karena kelompok BPD dapat menurunkan suku bunga simpanan setelah bank-bank lain melakukan hal yang sama untuk merespon penurunan BI Rate. (Sumber: Bisnis Indonesia, 10 Maret 2015, 23)
Risiko Industri Perbankan Meningkat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyebut risiko industri perbankan pada awal tahun ini mengalami peningkatan, tercermin dari kenaikan Indeks Stabilitas Perbankan (ISP). ISP pada Januari 2015 mencapai 100,51 naik 10 bps dari posisi Desember 2014 sebesar 100,41. Analis LPS mengatakan bahwa hal ini didorong oleh peningkatan pada sub indeks market pressure sebesar 65 bps. Sedangkan sub indeks credit pressure dan interbank pressure mengalami penurunan. Indeks credit pressure turun 7 bps sedangkan interbank pressure 61 bps. ISP dibentuk oleh tiga komponen indeks, yakni market pressure, credit pressure, dan interbank pressure. Kendati meningkat, indeks ISP masih berada dalam status normal sesuai skala
observasi crisis management protocol (CMP). Memasuki 2015, indikator pembentuk sub indeks market pressure masih mengalami tekanan akibat pengaruh eksternal. Tekanan indikator sub indeks market pressure juga tertahan oleh data JIBOR 3 bulanan yang mengalami penurunan 7 bps menjadi 7,17% pada Desember 2014. Di sisi lain, credit pressure mengalami penurunan tipis karena meski kondisi likuiditas mengalami perbaikan, kualitas kredit justru mengalami pemburukan. Semua sektor mengalami pemburukan, terutama perdagangan dan kontruksi yang sangat bergantung pada kredit modal kerja. Rasio NPL gross menunjukkan tren peningkatan dalam setahun terakhir hingga mencapai 2,36% pada November 2014. (Sumber: Bisnis Indonesia, 10 Maret 2015, 23)
Bank Diminta Audit TI OJK telah mengimbau industri perbankan untuk mengaudit ulang pengamanan teknologi informasi (TI) guna meminimalkan kejahatan perbankan dari dunia maya. OJK menegaskan agar setiap bank segera merespons identifikasi satu bank lainnya jika patut dicurigai adanya kejahatan internet banking. Tujuannya, untuk menyelamatkan dana nasabah dan bank tidak menjadi korban karena kejahatan ini. OJK mengklasifikasikan modus kejahatan phising atau bentuk penipuan yang dicirikan dengan percobaan untuk mendapatkan informasi penting. Baru-baru ini kejahatan perbankan memanfaatkan celah jaringan internet karena computer atau alat komunikasi nasabah terkena virus atau ditanami Trojan atau juga alat komunikasi yang disadap, sehingga para penyerang bisa tahu nomor otentifikasinya. (Sumber: Bisnis Indonesia, 10 Maret 2015, 24)
Rabu, 11 Maret 2015
OJK Bahas Resiprokal dengan Korea Selatan dan Tiongkok OJK akan menandatangani nota kesepahaman atau MoU dengan beberapa negara di Asia, khususnya Korea Selatan dan Tiongkok. Pejabat OJK mengatakan, penandatanganan kesepakatan tersebut mencakup penerapan asas resiprokal untuk mendorong bank-bank nasional ekspansi ke luar negeri. Pada April mendatang OJK akan menandatangani nota kesepakatan dengan Financial Supervisory Services (FSS) Korea Selatan. Kesepakatan yang ditandatangani meliputi asas resiprokal agar PT BNI Tbk (BBNI) dan bank lokal lainnya lebih mudah membuka cabang di negara tersebut. OJK dan FSS telah melakukan pembicaraan tingkat tinggi dan prosesnya hampir selesai. Ketika nota kesepahaman ditandatangani, izin BNI untuk beroperasi di negara tersebut akan diterbitkan. Hingga saat ini hanya BNI yang sudah melaporkan rencana ekspansinya ke Korsel. OJK juga akan menandatangani kesepakatan dengan Tiongkok untuk memuluskan rencana PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) membuka cabang di negara tersebut. Saat ini Bank Mandiri memang sudah ada di Shanghai tapi masih kesulitan untuk transaksi renminbi. Dengan MoU ini , OJK ingin mendorong Bank Mandiri agar bisa full branch. (Sumber: Indonesia Finance Today, 11 Maret 2015, 10)
Pelemahan Nilai Tukar Rupiah Tak Pengaruhi Ketahanan Perbankan OJK telah melakukan uji ketahanan atau stress test terhadap perbankan Indonesia dalam mengantisipasi fluktuasi njilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Pejabat OJK mengatakan kondisi perbankan Indonesia masih cukup baik dalam menghadapi pelemahan nilai tukar. Meskipun kondisi nilai tukar rupiah tidak stabil, hingga sat ini, kondisi permodalan bank nasional masih cukup baik, yakni pada kisaran 21%. OJK telah mewajibkan kepada bankbank agar melakukan hedging untuk meningkatkan manajemen risiko. (Sumber: Indonesia Finance Today, 11 Maret 2015, 10)
JK Minta Istilah Syariah Diubah Wakil presiden Jusuf Kalla meminta perbankan syariah di Indonesia mengubah nama isntrumen dan produk-produk layanan yang menggunakan bahasa Arab menjadi istilah bahasa Indonesia. Langkah tersebut, lanjutnya, akan membuat ekonomi syariah yang berkembang di Tanah Air sesuai dengan kondisi dan kebudayaan masyarakat Indonesia, tidak meniru perkembangan ekonomi syariah di negara lain. Seperti Malaysia dan Timur Tengah. Kendati sepakat dengan wacana mengubah nama instrumen-istrumen perbankan syariah di Indonesia, Bambang P.S. Brodjonegoro selaku ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Indonesia, belum bisa memastikan kapan kebijakan tersebut akan diterapkan. Dari sisi perkembangan industri, setelah stagnan pada tahun lalu, aset industri perbankan syariah Indonesia diproyeksikan mampu tumbuh dan menembus 5% dari total aset perbankan nasional pada akhir 2015. (Sumber: Bisnis Indonesia, 11 Maret 2015, 23)
IFC Topang Bank RI Kelompok Bank Dunia, International Finance Corporation (IFC) kian gencar memberikan penyertaan modal kepada industri perbankan di Indonesia. Sepanjang dua tahun terakhir, IFC telah menggelontorkan dana hingga US$ 1,2 miliar kepada tiga sektor yakni perbankan, infrastruktur, dan manufaktur. IFC akan memberikan penyertaan modal kepada bank bila kedua belah pihak memiliki komitmen dengan pemegang saham dari bank dunia. Adapun bankbank yang sudah mendapatkan penyertaan modal yakni KEB Hana Bank, Bank Andara, Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), dan Bank Danamon. Penyertaan modal diberikan karena IFC memiliki komitmen dengan pemerintah sebagai wujud kerja sama untuk mengurangi kemiskinan. IFC melalui penyertaan modalnya, mendorong bank-bank yang belum melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk menjadi perusahaan terbuka. Baru-baru ini IFC memberikan dana kepada BTPN senilai US$ 75 juta untuk mendukung program pinjaman UMKM. (Sumber: Bisnis Indonesia, 11 Maret 2015, 24
Lembaga Penyelesaian Sengketa Perbankan: Januari 2016 Bisa Beroperasi OJK menyebutkan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) khusus sektor perbankan akan segera dibentuk sebelum akhir tahun ini, sehingga bisa beroperasi mulai Januari 2016. Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK, Anto Prabowo menuturkan pihaknya telah berkoordinasi dengan beberapa asosiasi perbankan yang bakal menjadi pendiri lembaga tersebut. Lembaga penyelesaian sengketa tersebut bakal menangani pengaduan konsumen terkait sektor perbankan. Sementara itu, dengan adanya badan tersebut, OJK hanya akan bertindak sebagai fasilitator. Lembaga ini akan memiliki posisi sebagai badan di luar pengadilan. Serta memiliki wewenang untuk melakukan mediasi hingga arbitrase untuk memperoleh kesepakatan antara nasabah yang mengadukan dan entitas bank. Adapun, pembentukan lembaga ini juga sejalan dengan target OJK agar seluruh LAPS di sektor keuangan dapat beroperasi pada awal 2016. (Sumber: Bisnis Indonesia, 11 Maret 2015, 24)
Kamis, 12 Maret 2015
10 BPD Akan Sinergikan Mobile Banking Sepuluh Bank Pembangunan Daerah (BPD) akan melakukan sinergi untuk mengembangkan layanan mobile banking dan internet banking. Menurut pejabat Asbanda, saat ini sejumlah perusahaan sedang membahas proses penyatuan teknologi antar BPD. Selain melakukan sinergi mobile banking, BPD akan mengintegrasikan jaringan ATM dan mengintegrasikan mesin EDC sehingga alat pembayaran menggunakan kartu juga akan terhubung. Dengan adanya infrastruktur teknologi pendukung itu BPD bisa memberikan layanan yang seragam dengan kualitas yang baik. Produk-produk baru juga dapat dikembangkan sesuai dnegan kebutuhan BPD. Sinergi teknologi ini membutuhkan dana yang cukup besar. Untuk mengembangkan BPD, OJK akan mendorong penurunan dividend payout ratio maksimal 40% dari perolehan laba bersih. OJK akan mengimbau pemegang saham BPD untuk menetapkan dividen tidak lebih dari 40%. Selama ini, BPD sering diminta dividen yang besar sehingga sulit untuk mengembangkan bisnis. Bahkan, saat ini ada BPD yang hanya memilki modal Rp 500 miliar. (Sumber: Indonesia Finance Today, 12 Maret 2015, 9)
Likuiditas Ketat, Laba Bank Menengah Diprediksi Tertekan Lembaga Fitch Ratings memprediksi laba bank menengah dan kecil akan tertekan tahun ini akibat ketatnya likuiditas. Tahun lalu, laba bersih bank lapis kedua rata-rata turun 8%-50%. Namun, Fitch menilai peringkat bank lapis kedua ini akan tetap stabil sebab rata-rata bank tersebut mengandalkan pendanaan dari induk usaha. Fitch menilai regulator harus tetap membantu bank untuk meminimalisasi risiko pada 2015 walaupun tantangan yang dihadapi merupakan tantangan operasional. Untuk itu diperlukan perubahan aturan yang signifikan, misalnya perubahan aturan uang muka (down payment) untuk pinjaman. Sementara itu, OJK diharapkan melonggarkan aturan suku bunga deposito untuk bank lapis kedua agar mereka bisa bersaing. Pasalnya, bank skala besar cenderung lebih tahan terhadap pengetatan likuiditas dibandingkan dengan bank skala menengah dan kecil. Kompetisi deposito juga akan tetap ketat, terutama untuk bank kecil dengan pangsa pasar lemah serta bank yang mengandalkan deposito dengan bunga tinggi. Berdasarkan laporan keuangan bank lapis kedua pada 2014, rata-rata mengalami kenaikan cost of funds (biaya dana), likuditas yang ketat, serta perlambatan pertumbuhan kredit akibat penurunan harga komoditas. (Sumber: Indonesia Finance Today, 11 Maret 2015, 10)
Kurs Rp16.000, 20 Bank Tetap Kuat Bank Indonesia optimis industri perbankan di Indonesia masih tahan banting meski pergerakan rupiah terhadap Dolar Amerika melemah. Optimisme tersebut berdasarkan hasil stress test yang dilakukan bank sentral ini pada Oktober silam. Dengan menggunakan asumsi nilai tukar sebesar Rp 16.000/US$, hasil simulasi menunjukkan masih aman. Ada sekitar 20 bank yang kategorinya besar. Ketahanan tersebut terpantau dari sisi risiko kredit, pasar, hingga likuiditas. Optimisme ini juga kian menguat sebab perbankan di Indonesia dinilai tak banyak menyalurkan kredit dalam mata uang asing. Adapun yang banyak menyalurkan kredit valas adalah bank umum kategori BUKU IV . (Sumber: Bisnis Indonesia, 12 Maret 2015, 23)
Bank Nasinal Dinilai Kurang ‘Green’ Sekelompok bank papan atas dinilai kurang memilki tanggung jawab sosial terhadap lingkungan dalam penyaluran fungsi intermediasi. Responsi Bank baru saja melakukan survei terhadap 11 bank domestik dan 3 bank asing. Proses scoring dilakukan dengan memasukkan elemen dalam kebijakan lembaga keuangan seperti kredit korporasi dalam pembiayaan proyek. Hasil survei tersebutt menunjukkan bahwa bank-bank nasional masih banyak yang belum memiliki kebijakan environmental and social risk management (ESRM). (Sumber: Bisnis Indonesia, 12 Maret 2015, 24)
Jumat, 13 Maret 2015
Industri Keuangan Masih Tahan Tekanan Depresiasi Rupiah OJK menilai industri keuangan masih mampu bertahan terhadap tekanan depresiasi rupiah. Berdasarkan uji tekanan (stress test) yang dilakukan terhadap industri perbankan, modal bank mampu menahan dampak depresiasi rupiah hingga ke level Rp 14.000 per dolar AS. Namun, jika rupiah menyentuh level Rp 15.000 per dolar AS, ada satu hingga lima bank yang modalnya akan terpengaruh. Deputi Komisioner OJK Bidang Pengawasan Perbankan mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah bisa menimbulkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan rasio kredit bermasalah (NPL). Selain melaksanakan uji tekanan, OJK juga melakukan pengawasan dan memanggil manajemen bank-bank yang berpotensi tergerus modalnya jika rupiah menyentuh Rp 15.000 per dolar AS. Berdasarkan data statistik utang luar negeri BI, utang luar negeri jangka pendek perbankan yang akan jatuh tempo pada tahun ini sekitar US$ 19,95 miliar atau naik 26% dibandingkan dengan tahun lalu sebesar US$ 15,77 miliar. OJK menginginkan bank komersial yang dimilki investor asing atau kantor cabang bank asing di Indonesia memasukkan pinjaman dari induk usaha ke dalam modal inti (tier I) sehingga terhitung sebagai devisa. OJK mengaku risiko pasar tetap harus diwaspadai terutama untuk perbankan yang aktif bertransaksi valas. Untuk transaksi derivativ, OJK selalu meminta transaksi tersebut meiliki underlying asset yang jelas.
Transaksi derivativ valas perbankan hanya bisa dilakukan dengan tiga variabel, yakni variabel tingkat bunga, nilai tukar, atau variabel tingkat bunga dan nilai tukar. (Sumber: Indonesia Finance Today, 13 Maret 2015, 9)
NPL Kontruksi Bikin Cemas OJK menyebut kredit ke sektor kontruksi terus mengalami pemburukan. Hingga awal tahun ini, rasio kredit bermasalah di sektor kontruksi tersebut bahkan telah mneyentuh level 5%. Dari data OJK, pada Januari 2015, ada 6 sektor yang terus menunjukkan pemburukan kualitas. Adapun hingga bulan tersebut, sektor kontruksi mencatatkan rasio kredit bermasalah (NPL) sebesar 5% naik dari 4% di bulan yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan NPL di sektor kontruksi tersebut memang meningkat sejalan dengan pertumbuhan kredit yang tinggi. Kredit ke sektor kontruksi tumbuh hingga 27,1% hingga Januari 2015. Penurunan kualitas kredit di perbankan nasional secara keseluruhan memang meningkat tipis hingga awal tahun ini. Sebelumnya, BI menilai peningkatan rasio kredit bermasalah di sektor kontruksi disebabkan keterlambatan pembayaran. Namun, bank sentral ini memandang NPL kontruksi pada tahun ini akan mengalami penurunan. (Sumber: Bisnis Indonesia, 13 Maret 2015, 24)
***