“Banking” Weekly Hotlist (12 Januari – 16 Januari 2015) Senin, 12 Januari 2015
Pendatang Baru Kian Ekspansif Sejumlah bank pendatang baru di segmen mikro tengah aktif berekpansi menyalurkan kredit. Salah satu upaya untuk meningkatkan ekspansi adalah melalui memperluas jaringan dan menetapkan suku bunga yang kompetitif. PT BPD Jawa Timur Tbk atau biasa yang disebut Bank Jatim merupakan bank yang baru saja menyasar segmen mikro pada Maret 2014. Sepanjang tahun, Bank Jatim telah membukukan laba kredit mikro sebesar Rp 11 milyar. Kedepannya, Bank Jatim akan menargetkan penyaluran kredit baru sebesar Rp 600 milyar-Rp 700 milyar. Untuk mencapai target tersebut, bank telah menetapkan suku bunga kredit yang rendah. Selain itu, bank juga berencana untuk memperluas jaringan dengan menambah 52 unit mikro baru di seluruh Indonesia. Kendati demikian, kualitas kredit akan tetap dijaga agar bank dapat memperoleh laba bersih sebesar Rp 30 miliar. Hal yang sama juga dilakukan oleh PT BNI Syariah. Untuk memperluas jaringan mikro, pihaknya akan membangun 10 unit di kawasan di Sulawesi dan Maluku serta 5 untuk wilayah Jawa. Pada tahun ini, BNI Syariah menargetkan pertumbuhan penyaluran kredit mikro sebesar 25%. Sementara itu, target pertumbuhan kredit mikro, Bank Pundi menetapkannya lebih moderat yakni 15%. Untuk mencapai target tersebut, Bank Pundi kerap menurunkan Suku Bunga dasar Kredit (SBDK) mikro sebesar 114 basis poin menjadi 22,56% per September 2014. (Sumber: Bisnis Indonesia, 12 Januari 2015, 23)
LPS: 2015 Dalam Batas Aman Dalam publikasi Indeks Stabilitas Perbankan (ISP) bulan November 2014 oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), stabilitas perbankan Indonesia masih berada dalam kondisi aman. Nilai indeks Indonesia mencapai 100,31, lebih rendah dari posisi Oktober 2014 sebesar 100,75. Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya sub indeks kredit dan sub indeks antarbank yang menurun masing-masing sebesar 74 dan 89 basis poin. Adapun stabilitas perbankan sudah mulai riskan dan berada di level waspada apabila nilai indeks telah mencapai 102. Sementara apabila masih berada di level 101, stabilitas perbankan di Indonesia masih dikatakan normal.
Kdepannya, LPS memperkirakan nilai indeks ini memiliki potensi untuk meningkat seiring dengan adanya rencana kenaikan suku bunga the Fed yang akan mendorong sub indeks pasar. Selain itu, kondisi stabilitas perbankan dapat lebih buruk adalah rasio kredit macet (NPL) kembali meningkat. LPS juga memperkirakan pertumbuhan kredit akan mencapai 14,2%, lebih rendh dibandingkan proyeksi OJK sebesar 16%. Kalangan perbankan menilai perlambatan ekonomi pada tahun 2015 masih akan terjadi, sehingga perbankan cenderung menetapkan target pertumbuhan yang moderat yakni sekitar 16%. Target ini dituangkan dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) tahun 2015. OJK mengatakan akan tetap meninjau RBB dari bank-bank tersebut untuk melihat apakah target pertumbuhan kredit sejalan dengan kemampuan bank. Terkait likuiditas, OJK juga menuturkan bahwa kondisi likuiditas masih cenderung baik apabila realisasi fiskal dilakukan secara merata. (Sumber: Bisnis Indonesia, 12 Januari 2015, 24)
Selasa, 13 Januari 2015
Harga Komoditas Pengaruhi Kredit Menurunnya harga komoditas global mempengaruhi penyaluran kredit perbankan, khususnya di sektor komoditas, yakni sektor perkebunan dan pertambangan. Menurunnya harga komoditas global mendorong besarnya resiko di sektor komoditas tersebut, sehingga penyaluran kredit ke sektor tersebut pun kerap melambat. Per Oktober 2014, penyaluran kredit sektor perkebunan tercatat Rp 201,8 triliun atau meningkat 20,62% dibandingkan periode Oktober 2013 (year-on-year/yoy). Angka pertumbuhan ini lebih rendah dibandingkan Oktober 2013 sebesar 25,47%. Sama halnya dengan sektor perkebunan, penyaluran kredit di sektor pertambangan juga menunjukkan perlambatan pertumbuhan dari 16,1% pada Oktober 2013 menjadi 14,4% pada Oktober 2014. Selain itu, menurunnya harga komoditas global juga ikut berkontribusi pada peningkatan rasio kredit bermasalah (NPL) bank. Pasalnya menurunnya harga komoditas ini kerap menekan kinerja ekspor debitur bank, sehingga kemampuan bayar debitur menjadi terhambat. Per Oktober 2014, NPL kredit ke sektor perkebunan meningkat dari 1,6% menjadi 2% dan untuk sektor pertambangan NPL tercatat 3,34% menjadi 1,85%. Sejumlah analis mengatakan tren penurunan harga komoditas global masih akan berlanjut hingga akhir semester I tahun 2015. Tren penurunann harga komoditas global sejalan dengan menurunnya harga minyak mentah. Selain itu, kondisi ini akan diperparah dengan menurunnya permintaan seiring kontraksi ekonomi di Jepang. (Sumber: Kompas, 13 Januari 2015, 20)
Normalisasi Kian Dekat Beberapa dewan gubernur The Federal Reserve menyatakan bahwa kenaikan suku bunga acuan the Fed akan dilakukan pada pertengahan tahun ini. Janet Yellen, Presiden the Fed, mengatakan bahwa kenaikan akan dilakukan pada tahun 2015 walaupun inflasi berada di bawah target bank sentral. Kebijakan kenaikan ini perlu diperhitungkan, pasalnya apabila tergesa-gesa justru akan mendorong ekonomi Amerika Serikat ke jurang resesi. (Sumber: Bisnis Indonesia, 13 Januari 2015, 5)
Bunga Kredit Mikro akan Dibatasi Merespon surat dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengenai tingginya Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) UMKM oleh perbankan, OJK tengah mempertimbangkan opsi untuk membatasi suku bunga kredit mikro. Muliaman D. Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK mengatakan implementasi pembatasan tersebut dapat dilakukan melalui pembatasan margin maksimum atau besaran margin di akhir. Kendati demikian, opsi ini akan dikaji secara hati-hati karena dapat berpotensi merusak confidence bank. Sebelumnya KPPU menuturkan suku bunga kredit mikro seharusnya tidak berbeda jauh dengan kredit korporasi. Menanggapi alasan bank karena biaya overhead kredit mikro tinggi, KPPU menilai alasan tersebut tidak kuat karena kredit UMKM biasanya terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera. (Sumber: Bisnis Indonesia, 13 Januari 2015, 23)
Bank Mampu Tepis Resiko Menurut Bank Indonesia, perekonomian dan sistem keuangan Indonesia akan menghadapi empat resiko utama yakni: (i) normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat; (ii) potensi resiko likuiditas yang masih tinggi; (iii) berlanjutnya penurunan harga komoditas global; dan (iv) naiknya rasio utang luar negeri. Kendati demikian, hasil stress test Bank Indonesia menilai perbankan masih mampu menghadapi resiko kredit, suku bunga dan nilai tukar. Simulasi skenario terburuk yakni terkoreksinya surat berharga sebesar 20% hanya akan menurunkan rasio kecukupan modal sebesar 142 basis poin. Begitu pula dengan dengan simulasi depresiasi nilai tukar. Apabila Rupiah terdepresiasi ke level Rp 15.500 per Dollar AS, maka menurut stress Bank Indonesia, hanya 7 korporasi atau 8,77% dari total korporasi di Inodnesia yang akan mengalami permodalan yang negatif.
Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT BCA Tbk, mengatakan hal yang perlu dikhawatirkan pada tahun ini adalah mengenai ekspansi kredit. Pasalnya semakin ekspansif kredit maka nilai rupiah akan semakin tertekan karena orientasi konsumsi, khususnya barang impor dari kredit yang disalurkan cukup tinggi. Per Oktober 2014, kredit berorientasi impor mencapai Rp 53,41 triliun. Menurutnya apabila pertumbuhan kredit dipaksakan sebesar 15% - 16% maka akan terjadi kekeringan likuiditas. OJK menilai bahwa perbankan Indonesia masih memiliki potensi likuiditas yang tinggi seiring adanya dana segar dari pengalihan subsidi BBM sebesar Rp 240 triliun dan rencana pengurangan obligasi ritel pemerintah. (Sumber: Bisnis Indonesia, 13 Januari 2015, 23)
Bank Skala Besar Lebih Tahan Tekanan Riset DBS memperkirakan bahwa pertumbuhan DPK tahun ini akan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan kredit, sehingga likuiditas semakin longgar. Pada tahun 2015, indikator LDR akan menurun ke level 86%. Bank-bank skala besar yang memiliki jaringan yang lebih luas dan kompetitif akan mampu mempertahankan net interest margin (NIM). Program inklusi keuangan dapat menambah potensi transaksi pada bank-bank besar. Sementara, bank kecil akan mengalami tekanan biaya dana yang sangat tinggi. Sejumlah pelaku perbankan mengatakan beberapa faktor yang masih menghambat industri perbankan tahun ini adalah suku bunga yang tinggi dan potensi kenaikan suku bunga domestic seiring dengan kenaikan Fed Fund Rate, pelemahan rupiah terhadap dollar, penurunan harga minyak dan komoditas global. Kondisi ini pada akhirnya akan mendorong ketatnya likuiditas sehingga persaingan pun akan cenderung tinggi. (Sumber: Indonesia Finance Today, 13 Januari 2015, 8)
Penurunan Dividen Berpotensi Tingkatkan Modal Bank BUMN Penurunan besaran rasio pembayaran deviden dari 30% menjadi 20% yang diusulkan oleh Kementerian BUMN disambut baik dengan sejumlah bank milik pemerintah. Ahmad Baiquni, Direktur Keuangan PT BRI Tbk, mengatakan hal ini dapat menjadi potensi likuidtas bank, sehingga kondisi CAR terjaga dan dapat mendorong ekspansi kredit. Selain itu, kondisi ini juga akan dimanfaatkan oleh bank untuk meningkatkan pertumbuhan anorganik dengan mengakuisisi perusahaan asuransi dan sekuritas. Riswinandi, Wakil Direktur PT Bank Mandiri Tbk mengatakan pemotongan deviden dapat dimanfaatkan untuk menambah modal seiring
dengan penerapan Basel III. Selain itu, Bank Indonesia mengatakan hal ini baik untuk dilakukan agar perbankan nasional dapat bersaing dengan perbankan negara ASEAN lainnya. Sofyan Djalil, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, mengatakan terkait kebijakan pemotongan deviden ini masih dalam tahap pengkajian. Pasalnya kebijakan ini masih akan dibahas pada rapat umum pemegang saham (RUPS) di Kementerian BUMN. (Sumber: Indonesia Finance Today, 13 Januari 2015, 9)
Rabu, 14 Januari 2015
Kredit Tumbuh di Atas 15 Persen Survei Perbankan triwulan IV 2014 menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit rata-rata tahun 2015 akan mencapai 15,7%. Survei ini dilakukan terhadap 42 bank umum yang berkantor pusat di Jakarta dan memiliki pangsa pasar sebesar 80%. Pertumbuhan kredit didorong oleh tingginya penyaluran kredit ke sektor infrastruktur. Kendati demikian, survei ini menjukkan bahwa pertumbuhan kredit baru akan meningkat pada triwulan II 2015 seiring banyaknya proyekproyek pemerintah yang sudah berjalan. Menanggapi hal ini, Budi Gunandi sadikin, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk mengatakan realisasi proyek-proyek infrastruktur pemerintah sulit direalisasikan karena cenderung membutuhkan dana yang sangat besar dan tidak dapat dipenuhi oleh APBN. Menurutnya perbankan juga memiliki keterbatasan sumber dana. Oleh karena itu, Budi menyarankan agar akses masyarakat terhadap keuangan ditingkatkan agar menjadi potensi dana yang masuk ke dalam sistem perbankan Indonesia. Selain itu, perlu dipikirkan juga bagaimana caranya untuk menarik kembali dana investor domestik yang diparkir di luar negeri. (Sumber: Kompas, 14 Januari 2015, 20)
Biaya Dana Diprediksi Stabil LPS menyatakan bahwa dampak kenaikan BI Rate tidak berpengaruh pada kenaikan biaya dana perbankan. Pasalnya, bunga deposito tenor satu bulan hanya meningkat sebesar 0,03%. Penyataan ini didasari oleh pantauan LPS terhadap 58 bank yang memiliki pangsa pasar DPK sebesar 95%. Lebih lanjut, LPS memperkirakan pertumbuhan DPK tahun 2015 tidak akan setajam dibandingkan tahun 2014. Sejumlah pelaku perbankan mengatakan kebijakan pembatasan suku bunga deposito oleh OJK dinilai efektif untuk menurunkan beban biaya dana
perbankan. Selain itu, biaya dana juga diperkirakan menurun seiring kondisi likuiditas yang diperkirakan melonggar. (Sumber: Bisnis Indonesia, 14 Januari 2015, 23)
Bank Jangan Kejar Margin Tinggi OJK meminta perbankan untuk tidak menetapkan margin yang terlampau tinggi. Per Oktober 2014, Net Interest Margin (NIM) perbankan telah mencapai 4,24%. Kendati menurun dibandingkan tahun lalu, Nelson Tampubolon, Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan OJK, mengatakan posisi NIM Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Menurutnya, bunga kredit untuk modal kerja dan investasi perlu dijaga agar kegiatan produktif dapat berlangsung. Berdasarkan Survei Perbankan yang dirilis oleh Bank Indonesia menyatakan bahwa pada tahun 2015, bank akan menaikkan kredit modal kerja dan investasi masing-masing sebesar 11 dan 16 basis poin. Berbeda dengan hasil survei, sejumlah perbankan menyatakan pihaknya belum berencana menaikkan suku bunga kredit selama biaya dana masih terjaga. (Sumber: Bisnis Indonesia, 14 Januari 2015, 23)
NPL Diyakini Turun Tahun Ini Rasio kredit bermasalah (NPL) diperkirakan akan menurun pada tahun 2015. Pernyataan ini diungkapkan oleh Tony Prasetiantono, Ekonom Universitas Gajah Mada. Pada tahun 2014, kenaikan NPL cenderung tajam karena beberapa faktor seperti likuiditas yang ketat, sehingga meningkatkan suku bunga kredit; perlambatan ekonomi; dan tingginya inflasi yang kerap menekan daya beli masyarakat. Sementara itu pada tahun 2015, walaupun kondisi likuiditas masih akan ketat, namun kondisi perekonomian diperkirakan membaik seiring bertambahnya dana sebesar Rp 250 triliun untuk menstimulus fiskal. Selai itu, inflasi pun cenderung terjaga seiring menurunnya harga BBM bersubsidi. Terkait penurunan suku bunga kredit, Budi Gunandi Sadikin, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk mengatakan pihaknya belum berencana menurunkan suku bunga kredit apabila cost of fund belum mengalami penurunan. (Sumber: Bisnis Indonesia, 14 Januari 2015, 23)
Kamis, 15 Januari 2015
Singapura Dinilai Masih Sulit Sebelumnya OJK berjanji akan merampungkan perjanjian bilateral skema ASEAN Banking Integration Framework (ABIF) dengan Singapura. Skema ini didasari oleh prinsip resiprokal dimana perjanjian dapat mengurangi gap dan saling menguntungkan. Namun terlalu banyaknya perbedaan, mendorong OJK akan terlebih dahulu fokus kepada proses perjanjian bilateral dengan Malaysia. Saat ini, terdapat tiga bank di Indonesia yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Singapura, yakni PT Bank OCBC NISP Tbk, PT Bank UOB Indonesia dan PT Bank DBS Indonesia. Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur Bank OCBC NISP, mengatakan perjanjian bilateral dengan Singapura harus tetap dilanjutkan. Menanggapi hal ini, Riswinandi, Wakil Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk mengatakan terdapat perbedaan skema bisnis antara Singapura dan Indonesia. Pasalnya Singapura cenderung membeli perusahaan yang telah beroperasi atau existing. Sementara bank di Indonesia masih memulai dari awal. Selain itu, untuk mengembangkan bisnis di Singapura, pihaknya masih harus memperdalam kajian hukum. Pasalnya pasti terdapat perbedaan sistem hukum antara di Indonesia dengan Singapura. (Sumber: Bisnis Indonesia, 15 Januari 2015, 23)
CIMB Group, RHB dan MBSB Akhiri Rencana Merger Dalam pertemuan manajemen yang terakhir pada tanggal 14 Januari 2015, CIMB Group Holdings Berhad, RHB Capital Berhad dan Building Society Berhad (MBSB) memutuskan untuk menghentikan rencana merger. Keputusan ini berdasarkan pengkajian ulang potensi sinergi yang dapat dilakukan khususnya menghadapi kondisi perekonomian yang kurang mendukung. Berdasarkan hasil kajian, rencana merger ini dirasakan tidak dapat melindungi dan menciptakan nilai bagi para pemangku kepentingan. Setelah dinyatakan berakhir, masingmasing instansi akan fokus memperkuat jaringan dan mencapai target-target perusahaan. Adapun penarikan pengajuan izin merger yang disampaikan kepada Bank Negara Malaysia (BNM) telah ditarik oleh CIMN Group dan RHB Capital. (Sumber: Indonesia Finance Today, 15 Januari 2015, 3)
Inflasi Cenderung Turun, BI Rate Diprediksi Tetap Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi Desember 2014 tercatat 2,48% (month on month) atau 8,36% (year on year). Walaupun tingkat inflasi cenderung menurun, namun sejumlah kalangan memperkirakan Bank Indonesia akan tetap mempertahankan suku bunga acuan di level 7,75%. Sejumlah analis mengatakan BI Rate akan cenderung stabil hingga September 2015. Tidak adanya urgensi untuk menaikkan BI Rate, seperti laju inflasi yang masih terkendali, spread suku bunga Fed Fund Rate dan BI Rate masih relatif jauh, dan penurunan harga BBM akan menjaga BI Rate pada level 7,75%. (Sumber: Indonesia Finance Today, 15 Januari 2015, 3)
Jumat, 16 Januari 2015
Bank Pilih Instrumen BI Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, menuturkan perbankan lebih memilih menempatkan kelebihan dananya di Bank Indonesia daripada ditransaksikan kembali antar bank. Saat ini, dana perbankan yang ditempatkan pada sertifikat Bank Indonesia (SBI) senilai Rp 85 triliun, deposit facility Rp 190 Triliun, reverse repo Surat Berharga Negara (SBN) Rp 117 triliun dan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI) Rp 109 triliun. Hal ini dikarenakan instrumen Bank Indonesia dirasakan lebih liquid. Kendati demikian, kondisi ini tidak boleh dibiarkan karena akan mendorong pasar keuangan menjadi tidak berkembang. Perbankan yang memegang instrumen Bank Indonesia diharapkan dapat saling bertransaksi melalui mini master repo agreement (MRA). Mini MRA ini mengatur kontrak standar transaksi antarbank dengan jaminan surat berharga milik bank sehingga dapat meminimalisir resiko. Mini MRA telah saat ini telah mencapai Rp 630 miliar, namun lebih kecil dibandingkan transaksi Pasar Uang Antar Bank (PUAB) sebesar Rp 10 triliun. Budi Gunandi Sadikin, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk mengatakan salah satu kendala bank untuk memperdalam pasar keuangan Indonesia karena masih minimnya instrumen. Terkait MRA, pihaknya mengatakan hal ini baik untuk memenuhi kebutuhan likuiditas jangka pendek dan dapat memperkuat daya tahan terhadap gejolak perbankan. Suwoko Singoastro, Direktur Treasuri dan Institusi Finansial PT Bank Negara Indonesia Tbk menambahkan mini MRA dapat mendorong distribusi likuiditas di pasar uang menjadi lebih merata dan resiko yang lebih terukur. (Sumber: Kompas, 16 Januari 2015, 20)
Bunga Dikawal ke Satu Digit Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan akan terus mengawal suku bunga kredit UMKM agar terus turun untuk menghindari ekploitasi konsumen. Suku bunga yang bersaing dan wajar menurut KPPU adalah satu digit. Suku bunga yang bersaing menurut pihaknya akan mendorong roda perekonomian. Selain itu, KPPU juga akan terus mengkaji agar selisih suku bunga kredit dan dana tidak terlampau tinggi. Menanggapi KPPU, OJK mengatakan saat ini pihaknya tengah mengkaji beberapa opsi untuk menurunkan suku bunga kredit mikro. OJK menyarankan bank untuk menahan kenaikan bunga kredit untuk mendorong sektor rill. Kendati demikian, berbagai opsi dari OJK harus dilakukan secara berhat-hati agar tidak mengurangi confidence bank. Budi Gunandi Sadikin, Direktu Utama PT Bank Mandiri Tbk mengatakan bank akan menurunkan suku bunga kredit apabila defisit transaksi berjalan membaik. (Sumber: Bisnis Indonesia, 16 Januari 2015, 23)
Bunga Kredit Korporasi Bertahan Sejumlah bank akan menahan kenaikan suku bunga kredit di segmen korporasi seiring meningkatnya permintaan kredit untuk investasi dan modal kerja. PT BNI Tbk mengungkapkan permintaan ini ditenggarai karena meningkatnya proyek-proyek infrastruktur pemerintah. Adapun pembangun infrastruktur tahun ini akan lebih luas yakni mencakup infrastruktur jalan tol, bandara, pelabuhan, bendungan, pembangkit listrik, dan instalasi pengolahan limbah. Untuk proyek besar, BNI menyalurkan kredit melalui kredit sindikasi dengan bank lainnya. Upaya menahan suku bunga kredit korporasi juga dilakukan oleh PT BII Tbk utnuk menjaga tingkat kompetisi di pasar. Adapun tahun ini, pihaknya akan lebih fokus dalam menyasar kredit sektor transportasi dan konstruksi seiring dengan banyaknya proyek infrastruktur pemerintah. Hal ini sejalan dengan hasil survei Perbankan terhadap 42 responden. (Sumber: Bisnis Indonesia, 16 Januari 2015, 23)
Bank Berlomba Tingkatkan Kelolaan Bisnis Trust Perbankan berupaya untuk meningkatakn bisnis penitipan dan pengelolaan dana (trust) pada tahun ini dengan menjalin kerjasam dengan perusahaan minyak dan gas (migas). PT BNI Tbk pada tahun ini menargetkan kenaikan dana trust sebesar 47% atau US$5 miliar. Adapun pihaknya sedang mengincar enam perusahaan migas untuk menempatkan dana di BNI. Tahun
2014, dana trust di BNI tercatat US$ 3,4 miliar, dari dana tersebut BNI dapat memperoleh fee based income sebesar US$ 150 ribu. Tahun ini, pihaknya menargetkan fee based income senilai US$ 250 ribu. Optimisme BNI terhadap bisnis ini kian besar seiring diberikannya kepercayaan kepada BNI untuk mengelola dana penjualan gas Blok Sanga-sanga. Kendati demikian, ada beberapa hambatan bagi perseroan untuk mengembangakan bisnis ini terutama dari sisi regulasi. Pasalnya ada perbedaan sistem hukum antara Indonesia yang menganut hukum kontinental dengan luar negeri yang menganut sistem hukum yurisprudensi. Bank berhadap perusahaan yang melakukan kontrak migas di Indonesia dapat menggunakan bank lokal dalam kegiatan operasionalnya. Hambatan lain adalah karena kurangnya dukungan SDM. Selain BNI, BRI juga akan memacu bisnis trust tahun ini. Tahun lalu, BRI mengelola dana sebesar Rp 16 triliun dari 21 proyek. Nilai ini bahkan melampaui target sebesar Rp 14 triliun. Selain fee based income, keuntungan lain yang dapat diperoleh dari bisnis trust adalah ketersediaan likuiditas. Berbeda halnya dengan BNI dan BRI, BCA menyatakan belum tertarik menggeluti bisnis trust karena belum ada instrumen dalam bentuk dollar Amerika Serikat yang menjadi tempat persinggahan dana. (Sumber: Indonesia Finance Today, 16 Januari 2015, 8)
Rekomendasi: Pada tahun 2015, terdapat potensi kenaikan suku bunga seiring kebijakan normalisasi di Amerika Serikat. Meningkatnya Fed Fund Rate akan mendorong kenaikan suku bunga secara global. Hal ini dapat mendorong dana keluar atau capital outflow dari Indonesia, sehingga kondisi likuiditas domestik menjadi ketat. Bank Indonesia juga diperkirakan akan menaikkan BI Rate sebagai respon dari kenaikan Fed Fund Rate. Kenaikan BI Rate akan menjadi dasar pertimbangan bank untuk menaikkan suku bunga perbankan, baik kredit maupun simpanan. Suku bunga kredit yang meningkat dapat menimbulkan potensi rasio kredit macet (NPL) ke level yang lebih tinggi karena beban bayar sejumlah debitur semakin tinggi. Hal ini juga didorong oleh masih berlanjutnya tren penurunan harga minyak dan komoditas global, sehingga akan mempengaruhi kinerja debitur di sektor komoditas dan pertambangan serta berpotensi untuk mendorong NPL yang lebih tinggi di kedua sektor tersebut. Kenaikan juga akan terjadi pada suku bunga simpanan. Kenaikan suku bunga simpanan akan mendorong kenaikan biaya dana, sehingga profitabilitas perbankan akan cenderung tergerus. Untuk mengantisipasi hal ini, perbankan diharapkan menyalurkan kredit sesuai dengan kemampuan liquiditas dengan fokus penyaluran kredit ke sektor yang dianggap tidak rentan terhadap kondisi perekonomian global. Selain itu, untuk menahan pergerakan NPL, perbankan perlu menjaga kualitas kredit. Terkait adanya potensi kenaikan biaya dana, perbankan juga diharapkan dapat mendorong pangsa pasar dana murah (CASA) dengan berbagai inovasi produk. ***