“Banking” Weekly Hotlist (24 November – 28 November 2014) Senin, 24 November 2014
Sejumlah Bank Tahan Kenaikan Bunga Kenaikan BI Rate sebesar 25 basis poin ke level 7,75% tidak lantas mendorong kenaikan suku bunga deposito maupun suku bunga kredit perbankan. Sejumlah bank mengaku bahwa saat ini suku bunga sudah cukup tinggi sehingga akan tidak kompetitif apabila dinaikkan kembali. Sofyan Basir, Direktur Utama PT BCA Tbk mengatakan kenaikan BI rate bersifat tipis, sehingga bank tidak perlu ikut menaikkan suku bunga. Selain itu, pihaknya menegaskan bahwa kondisi likuiditas perseroan masih tetap solid. Per November 2014, suku bunga dasar kredit (SBDK) BRI untuk kredit korporasi dan ritel mencapai 11% dan 11,75%, sementara SBDK kredit mikro dan KPR mencatat masing-masing 19,25% dan 10,25%. Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk mengatakan kondisi likuiditas perbankan tidak terlalu ketat meskipun BI rate naik. Lebih lanjut, respon kenaikan suku bunga akibat kenaikan BI rate masih akan dikaji terlebih dahulu. Hingga September 2014, SBDK perseroan untuk segmen korporasi sebesar 11,50%, sementara ritel dan KPR masing-masing mencapai 12,25% dan 12,75%. Roy Arfandi, Plt. Direktur Utama PT Bank Permata Tbk mengatakan pihaknya sedang mengkaji kenaikan suku bunga simpanan. Walaupun mengalami kenaikan, besarannya tidak akan mencapai lebih dari 25 basisi poin. Sementara SBDK perseroan untuk segmen korporasi meningkat 100 basis poin ke level 12%, lalu bunga segmen ritel meningkat 25 basis poin ke 12,50%. Sementara, suku bunga KPR bertahan di level 12,5%. Kartika Wijoatmodjo, Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengatakan kenaikan BI Rate tidak serta merta mendorong perbankan untuk menaikkan suku bunga khususnya simpanan. Pasalnya perluasan definisi LDR dengan memasukkan surat utang sebagai sumber dana memungkinkan bank untuk mencari alternatif sumber dana lain untuk menyalurkan kredit. Beberapa bank juga berencana untuk menahan bunga kredit korporasi hingga akhir tahun, seperti PT Bank Mega Tbk. Madi Lazuardi, Direktur Retail dan Wholesale Bank Mega, mengatakan bank lebih memilih menjaga kualitas kredit daripada meningkatkan margin bunga bersih. Per Juni 2014, SBDK kredit korporasi bank Mega tercatat 13,25%. Hingga akhir tahun 2014, bank menargetkan pertumbuhan kredit sebesar 20%. Upaya menahan suku bunga kredit korporasi juga dilakukan oleh PT BCA Tbk. Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur BCA mengatakan likuiditas yang longgar mendorong bank untuk menahan suku bunga. Pada akhir tahun, perseroan menargetkan pertumbuhan kredit korporasi hanya sebesar 10%.
(Sumber: Indonesia Finance Today, 24 November 2014, 1)
NPL Kredit Segmen UKM Diprediksi Naik Sejumlah analis memperkirakan kenaikan harga BBM bersubsidi akan meningkatkan resiko kredit bermasalah (NPL), khususnya pada kredit segmen usaha kecil menengah (UKM). Sonny John, analis PT UOB Kay Hian Securities mengatakan kenaikan harga BBM bersubsidi akan menambah tekanan terhadap kualitas aset perbankan. Berdasarkan riset UOB Kay Hian menunjukkan bahwa NPL segmen UKM dan komersial milik PT BRI Tbk, PT BNI Tbk, dan PT BPD Jawa barat dan Banten Tbk masing-masing akan mencapai 4,1%; 5,6% dan 9,9% atau di atas rata-rata industri. Tjandra Lienandjaja, analis PT Mandiri Sekuritas, mengatakan per September 2014, jumlah NPL perbankan naik sebesar 40% menjadi Rp 81,7 triliun. Kenaikan tersebut bersumber dari sektor pertambangan dan penggalian yang meningkat 75 bps ke level 3,22%. Selain itu, sektor transportasi, pergudangan dan komunikasi juga mencatat kenaikan NPL sebesar 29 bps menjadi 3,79%. Chris Lee, analis kredit S&P ratings mengatakan sektor perbankan Indonesia akan menghadapi situasi yang menantang. Kualitas kredit akan memburuk seiring dengan perlambatan ekonomi dan bunga yang tinggi. Walalupun begitu, sektor perbankan Indonesia masih dibekali dengan tingkat profitabilitas dan kecukupan modal yang kuat. Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk mengatakan kualitas aset perlu menjadi perhatian. Per September 2014, NPL perseroan naik 40 bps menjadi 1,1%. Parwati menambahkan nilai ini masih cukup rendah terlebih lagi pencadangan yang dilakukan bank mencapai 180,3%. Jahja Setiaatmadja mengatakan pencadangan beberapa bank sudah cukup tinggi sehingga tidak memerlukan tambahan provisi lagi, namun untuk bank-bank yang yang pencadangannya masih rendah perlu tambahan provisi. Per September 2014, rasio pencadangan BCA mencapai 292,5%. Adapun NPL kotor senilai 0,7%, naik 20 bps dibandingkan tahun lalu (yoy). NPl terutama bersumber dari sektor pertambangan. Walalupun begitu, pihaknya akan tetap menjaga NPL di bawah level 1%. (Sumber: Indonesia Finance Today, 24 November 2014, 8)
Perbankan Berlomba Rights Issue Tahun Depan Upaya right issue ini dilakukan untuk memperkuat modal perbankan, ekspansi bisnis dan menghadapi persaingan pasar bebas ASEAN untuk sektor keuangan pada tahun 2020. Edy Kuntardjo, Direktur Utama PT Bank Ina Perdana Tbk mengatakan upaya ini dilakukan untuk mendorong bank naik kelas menjadi BUKU II. Selain itu, upaya ini dilakukan agar Bank Ina dapat bersaing pada Masyarakat Ekonomi ASEAN sektor keuangan tahun 2020. Rencana ini dimasukkan pada Rencana Bisnis Bank (RBB) tahun 2015. Terkait besaran right issue, pihaknya belum mendapat persetujuan dari OJK. Hingga kuartal III 2014, nilai ekuitas Bank Ina mencapai
Rp 299,15 miliar, meningkat 66,89% (year to date). Adapun tingkat kecukupan modal (CAR) mencapai 25,06%. Hal yang sama juga akan dilakukan oleh PT Bank Mayapada Internasional Tbk. Pihaknya akan melakukan right issue sebanyak 4 kali dengan besaran total Rp 2,1 triliun hingga tahun 2017. Haryono Tjahjarijadi, Direktur Utama bank Mayapada mengatakan, pada tahun 2015, pihaknya akan melakukan right issue sebesar Rp 500 miliar, lalu Rp 600 miliar pada tahun 2016 serta Rp 1 triliun pada tahun 2017. Hal ini dilakukan untuk memperkuat bank dan mendorong bank untuk menjadi BUKU III pada tahun 2018. Adapun hingga September 2014, modal Bank Mayapada baru mencapai Rp 2,79 triliun. Penambahan modal ini juga merupakan langkah antisipasi perusahaan untuk menghadapi penerapan Basel III. PT Bank Permata Tbk berencana untuk memperkuat permodalan dengan menerbitkan saham baru. Roy Arfandi, Plt. Direktur Utama Bank Permata mengatakan saat ini pihaknya tengah berdiskusi dengan para pemegang saham terkait mekanisme penambahan modal melalui right issue atau subdebt. Perseroan juga belum menetapkan target dana dari penerbitan subdebt dan right issue. (Sumber: Indonesia Finance Today, 24 November 2014, 8)
Laba Bank Asing Berkibar Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI), hingga kuartal III 2014 kelompok bank asing mampu memperoleh pertumbuhan laba sebesar 40% (yoy) menjadi Rp 6,57 triliun. Peningkatan ini terutama bersumber dari kenaikan pendapatan bunga sebesar 31%. Laba Deutsche Bank AG meningkat 67,09% (yoy) menjadi Rp 458,71 miliar. Kenaikan ini terutama berasal dari keuntungan penjualan aset keuangan beupa surat berharga sebesar Rp 240,65 miliar. Kenaikan laba yang tinggi juga diperoleh oleh Bank of China Limited sebesar 63,79% (yoy) menjadi Rp 198,62 miliar. Meningkatnya pendapatan bunga bersih sebesar 69,2% merupakan faktor utama kenaikan laba ini. Pertumbuhan pendapatan bunga bersih juga diperoleh The Bank of Tokyo Mitsubishi Ltd yakni 70,96% (yoy) dari Rp 1,27 triliun pada September 2013 menjadi Rp 2,18 triliun pada September 2014. Meningkatnya pendapatan bunga bersih tersebut mampu mendorong laba menjadi sebesar Rp 1,81 triliun, meningkat 45,95% (yoy). Joseph Abraham, Ketua Asosiasi Bank Asing, mengatakan perbankan asing saat ini tengah aktif memacu kredit di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mendorong rasio loan to gross domestic product Indonesia yang saat ini masih berada pada level 35%, jauh di bawah negara Thailand dan Vietnam yang telah mencapai 80%. Gioshia Ralie, Managing Director Head of Corporate and Investment Citi Bank Indonesia, mengatakan bank asing lebih selektif dalam memilih sektor dan debitur dalam menyalurkan kreditnya. Menurutnya asas risk management bank asing lebih ketat, sehingga laba yang dihasilkan pun berlimpah. Rina Indiastuti, Ekonom
Universitas Padjajaran, mengatakan industri perbankan Indonesia akan baik-baik saja, namun kinerja dari sisi profit akan terganggu bagi yang mengandalkan interest rate. (Sumber: Bisnis Indonesia, 24 November 2014, 23)
Perbankan Syariah Pangkas Target Situasi ekonomi yang belum stabil merupakan alasan perbankan syariah memangkas target pembiayaan dan penghimpunan dana pihak ketiga pada 2015. Hendiarto, Direktur Keuangan PT Bank Muamalat Indonesia Tbk menetapkan target pertumbuhan pembiayaan hanya sebesar 11%. Menurutnya kondisi ekonomi yang masih terbatas dan dampak kenaikan harga BBM bersubsidi merupakan dasarkan penetapan target ini. Pertumbuhan pembiayaan akan diselaraskan dengan peningkatan penghimpunan dana pihak ketiga yang juga ditargetkan sebesar 10-11%. Hingga September 2014, pertumbuhan pembiayaan tercatat 14,38% (yoy) menjadi Rp 45,46 triliun, sementara DPK tumbuh sebesar 15,47% (yoy) menjadi 50,26 triliun. Target pertumbuhan pembiayaan dan DPK yang kurang agresif juga dilakukan oleh PT BNI Syariah. Dinno Indiano, Presiden Direktur Bank BNI Syariah, mengatakan target pertumbuhan pembiayaan, DPK dan aset anak usaha ditetapkan sebesar 25%. Adapun hingga kuartal III 2014, pertumbuhan pembiayaan perseroan tercatat 33,3% (yoy) menjadi Rp 14,08 triliun, sementara pertumbuhan DPK sebesar 36,24% (yoy) menjadi Rp 14,93 triliun. Secara umum, berdasarkan data SPI September 2014, pertumbuhan pembiayaan oleh perbankan syariah tumbuh 9,39% (yoy), sementara pertumbuhan DPK tumbuh 14,12% (yoy). (Sumber: Bisnis Indonesia, 24 November 2014, 24)
3 Otoritas Siapkan Skema Syariah Sejumlah regulator, seperti Bank Indonesia, OJK dan LPS saat ini tengah menetapkan skema untuk mendorong industri keuangan syariah. Hal ini dilakukan untuk mendukung Indonesia sebagai salah satu pusat keuangan syariah di dunia. Agus Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia, mengungkapkan dalam 1 dekade mendatang aset perbankan syariah dtargetkan mencapai 20% dari total aset secara nasional. Muliaman D. Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK mengatakan master plan ini ditargetkan rampung pada tahun ini, sehingga tahun 2015 sudah dapat diimplementasikan. Dalam master plan ini akan terdapat pilar untuk mendorong inklusi keuangan, variasi model pembiayaan dan kemampuan kelembgaan. Selain itu, rancangan ini mengatur kemampuan modal, SDM dan infrastruktur industri keuangan syariah. Sementara itu, Kartiko Wirjoatmodjo, Kepala eksekutif LPD, mengatakan pihaknya akan mengeluarkan skema khusus untuk menjamin dana masyarakat di industri keuangan syariah. (Sumber: Bisnis Indonesia, 24 November 2014, 24)
Selasa, 25 November 2014
Antisipasi Likuiditas Ketat, Prospek Sektor Perbankan Netral Pertumbuhan laba beberapa bank pada triwulan III 2014 masih berada di bawah ekspektasi analis karena ketatnya likuiditas. Tjandra Lienandjaja, analis PT Mandiri Sekuritas, mengatakan likuiditas perbankan masih cukup ketat diindikasikan dengan pertumbuhan kredit dan deposito yang masih lemah. Per Agustus 2014, pertumbuhan kredit tercatat 14% (yoy) sementara pertumbuhan deposito sebesar 12% (yoy). Walalupun begitu, kondisi LDR menunjukkan perbaikan dari bulan sebelumnya. Tahun depan, pihaknya memperkirakan pertumbuhan kredit akan mencapai 15% - 16%, sementara pertumbuhan deposito sebesar 14% - 15%. Pertumbuhan deposito yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit akan mengakibatkan perbankan kerap menghadapi likuiditas yang ketat. Oleh karena itu, perbankan akan mencari sumber pembiayaan lain, seperti menerbitkan obligasi atau saham untuk ekspansi. Rata-rata pertumbuhan laba bank tercatat 11%. Keempat bank BUKU IV mencatat realisasi laba bersih sebesar 72% - 77% dari ekspektasi analis. Berdasarkan pendapatan, PT Bank Panin Tbk mencatat pendapatan tertinggi yakni 84% dari ekspektasi, sementara PT BTN Tbk mencapai ekspektasi terendah yakni 52%. Tjandra berharap pada akhir tahun 2014, perbankan dapat mencatat cost of fund yang rendah sehingga pertumbuhan laba dapat lebih tinggi. Adapun saat ini, mandiri Sekurtas masih menetapkan status netral pada industri perbankan pasalnya masih terdapat potensi perlambatan kredit, kenaikan kredit bermasalah dan pelemahan margin laba perbankan. Teguh Hartanto, Analis PT Bahana Securities menuturkan pertumbuhan laba perbankan mengalami perlambatan dari 19,4% (yoy) pada kuartal III 2013 menjadi 6,3% pada kuartal III 2014. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perlambatan ini adalah kombinasi biaya pendanaan yang tinggi dan kualitas aset yang memburuk, pendapatan non bunga yang masih rendah, perlambatan pinjaman, penurunan aktivitas pengiriman uang dan adanya pemulihan terbatas. Pihaknya berharap tahun 2015, likuiditas dapat meningkat, sehingga LDR dapat terjaga. Saat ini Bahana masih menetapkan status netral pada industri perbankan Indonesia. Berdasarkan riset UOB Kay Hian, perlambatan likuiditas berdampak lebih besar kepada bankbank menengah dibandingkan dengan bank besar karena bank besar mempunyai struktur pendanaan yang lebih kuat dan jangkauan yang lebih luas, sedangkan bank menengah dinilai memiliki eksposur yang tinggi. (Sumber: Indonesia Finance Today, 25 November 2014, 1)
Perbankan Estimasi CASA Meningkat di tahun Depan Kalangan perbankan mengestimasi pertumbuhan dana murah berupa tabunan dan giro (current account saving account/CASA) akan meningkat pada tahun depan. Walaupun begitu, deposito masih akan menopang pertumbuhan DPK di tahun depan. Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk, mengatakan pertumbuhan CASA pada tahun depan akan lebih tinggi. Pasalnya saat ini selisih antara bunga deposito dan bunga dana murah semakin menyempit sejak OJK melakukan kebijakan pembatasan suku bunga deposito. Per September 2014, porsi dana murah perseroan menurun sebesar 12% untuk giro dan 15% untuk tabungan. Di sisi lain, deposito justru menunjukkan kenaikan signifikan yakni 59% menjadi Rp 55,24 triliun. Sejalan dengan pertumbuhan yang meningkat, porsi deposito pada DPK juga meningkat pesat menjadi 70% dari sebelumnya 61%. Tertinggalnya porsi dana murah mendorong perseroan untuk menfokuskan penghimpunan dana murah. Ke depannya, Parwati memperkirakan likuiditas akan semakin longgar. Pasalnya kebijakan kenaikan BI Rate sebesar 25% tidak akan mendorong likuiditas yang ketat. Hal yang sama juga diungkapkan oleh PT Bank Mayapada Tbk. Hariyono Tjahrijadi, Direktur Utama Bank Mayapada mengatakan pertumbuhan CASA menjadi fokus perseroan kedepan. Walaupun begitu, pihaknya mengaku bahwa sebagian besar porsi DPK masih ditopang oleh deposito sebesar 82%. Tjandra Lienandjaja, Analis PT Mandiri Sekutritas mengatakan hingga September 2014 pertumbuhan DPK perbankan tercatat 13,3% dimana pertumbuhan tersebut ditopang oleh pertumbuhan dana deposito sebesar 21,4% sementara CASA sebesar 7%. Pertumbuhan DPK ini mendorong penurunan LDR menjadi 89,1% pada September 2014. Sonny John, Analis PT UOB Kay Hian, menuturkan bank menengah akan mendapatkan tekanan likuiditas yang lebih besar dibandingkan bank BUKU IV. Bank besar mempunyai struktur pendanaan lebih baik karena jumlah cabang dan jaringan yang lebih banyak. (Sumber: Indonesia Finance Today, 25 November 2014, 1)
BBM Naik Undisbursed Loan Diprediksi Melonjak Fasilitas kredit yang belum ditarik nasabah atau undisbursed loan diperkirakan meningkat hingga Triwulan I 2015. Per September 2014, jumlah undisbursed loan mencapai Rp 1.085 triliun, meningkat 12,24%. Kenaikan harga BBM diperkirakan akan mendorong debitur dalam menghitung ulang permintaan pinjaman unruk ekspansi bisnis. Halim Alamsyah, Deputi Gubernur Bank Indonesia, menuturkan perhitungan kembali oleh debitur hanya terjadi sekitar satu atau dua kuartal mendatang, selanjutnya panyaluran kredit akan meningkat kembali. Ekspansi dunia usaha akan meningkat seiring komitmen pemerintah dalam membangun proyek infrastruktur terbukti dari adanya pengalihan alokasi anggaran subsidi BBM ke sektor produktif.
Kondisi ini diiringi oleh likuiditas yang longgar diperkirakan akan dapat mendorong permintaan kredit tahun depan mencapai 15% - 17%. Menurut David Sumual, Ekonom PT BCA Tbk, meningkatnya undisbursed loan ini dipengaruhi oleh kondisi politik Indonesia yang tidak stabil. Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT BCA Tbk, mengatakan pihaknya tidak akan ekspansif menyalurkan kredit korporasi tahun ini karena akan menyedot banyak likuiditas. Oleh karena itu, pihaknya akan lebih fokus meningkatkan kredit modal kerja. Lo Nyen Khing, Wakil Presiden Direktur PT CIMB Niaga Tbk, mengatakan pada akhir tahun dan tahun depan permintaan kredit akan meningkat. Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur PT OCBC NISP Tbk, optimis penyaluran kredit akan lebih tinggi pada akhir tahun 2014 dan tahun 2015. (Sumber: Indonesia Finance Today, 25 November 2014, 9)
Bank Bidik Transaksi dan Nasabah Baru Tingginya permintaan menjelang akhir tahun mendorong perbankan untuk meningkatkan transaksi menggunakan kartu kredit melalui pemberian hadiah dan diskon belanja. Fransisca K Arnan, Senior Vice President and head of Card Business HSBC, mengatakan strategi dalam meningkatkan nasabah kartu kredit melalui pemberian ptongan belanja dan fasilitas penerbangan. Hal yang sama juga dilakukan PT BCA Tbk. Santoso Liem, Senior General Manager Head of Consumer Card BCA mengaku pihaknya telah melakukan promosi untuk belanja barang, elektronik dan lain-lain. Hingga September 2014, transaksi kartu kredit BCA berjumlah Rp 34 triliun, hingga akhir tahun, pihaknya mentargetkan transaksi kartu sebesar Rp 40 triliun. Pihaknya mengakui bahwa pertumbuhan jumlah kartu kredit di Indonesia melambat menjadi 4% - 5%, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 8% - 12%. Hal ini terjadi setelah adanya kebijakan pembatasan kartu kredit oleh Bank Indonesia. Eko Budiwiyono, Wakil Ketua Umum Perbanas, mengatakan kebijakan pembatasan kartu kredit ini akan membuat bisnis kartu kredit menjadi lebih sehat dan resiko menjadi lebih terjaga. Hingga September 2014, nilai transaksi kartu kredit mencapai Rp 21,921 triliun dengan jumlah kartu sebesar 15,819 juta kartu. (Sumber: Kompas, 25 November 2014, 20)
LPS Pantau Suku Bunga Simpanan di Pasar Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunda rencana penurunan besaran simpanan yang dijamin karena likuiditas ketat yang masih dihadapi oleh perbankan. Selain itu, pihaknya tengah pada proses pengkajian terkait penyesuaian LPS rate yang akan berakhir tanggal 14 Januari 2015 sebagai akibat dari peningkatan suku bunga setelah BI Rate dinaikkan. Kartika Wirjoatmodjo, Kepala eksekutif LPS, mengatakan pihaknya akan terus memantau suku bunga
di pasaran setelah BI menaikkan BI rate menjadi 7,75%. Hasil pantauan ini akan menjadi dasar LPS menentukan besaran simpanan yang dijamin dan LPS Rate. Selain itu, Kartika menuturkan likuiditas perbankan saat ini cenderung ketat terlihat dari rasio intermediasi (LDR) yang cenderung tinggi. Adapun LPS Rate berada pada level 7,75% untuk simpanan dalam bentuk Rupiah di bank umum dan 10,25% untuk BPR. (Sumber: Bisnis Indonesia, 25 November 2014, 24)
OJK Akan Bentuk Klaster BPD Untuk menekan rasio kredit bermasalah pada kelompok Bank Pembangunan Daerah (BPD), OJK tengah mempersiapkan skema terkait penyaluran kredit produktif, termasuk pinjaman ke usaha mikro, kecil dan menengah. Berdasarkan data SPI September 2014, NPL BPD tercatat 9,25%, naik 230 basis poin dari 6,95%. Sementara NPL perbankan untuk kredit mikro tercatat 4,1%. Heru Kristiana, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan IV OJK, mengatakan tingginya NPL ini karena belum semua bank milik pemerintah daerah mempunyai kemampuan untuk menyalurkan kredit mikro dan sektor produktif lainnya. OJK berencana untuk mengelompokkan BPD ke dalam suatu klaster berdasarkan kemampuan menyalurkan kredit mikro. Irwan Lubis, Deputi komisioner Pengawas Perbankan OJK, mangatakan saat ini pihaknya masih menunggu Rencana Bisnis Bank (RBB) untuk melihat strategi bank dalam menurunkan NPL. Supriyanto, Direktur Utama PT BPD Jawa tengah mengatakan pihaknya saat ini tengah mengkaji tiap sektor yang memiliki sensivitas yang tinggi. Kenaikan harga BBM bersubsidi diperkirakan akan berdampak pada sektor mikro. Eko Budiwiyono, Ketua Asosiasi Bank Pembangunan Daerah mengatakan pada tahun depan terdapat tantangan ekonomi baik internal dan eksternal. (Sumber: Bisnis Indonesia, 25 November 2014, 24)
Rabu, 26 November 2014
OJK: Diversifikasi Sumber Dana Dorong Efisiensi Modal Bank OJK menilai komposisis sumber dana yang berasal dari surat utang cenderung akan membuat ketahanan likuiditas menjadi lebih solid. Oleh karena itu, bank perlu melakukan diversifikasi sumber dana untuk mencapai efisiensi. Irwan Lubis, Deputi komisioner OJK, menyambut baik aturan perluasan definisi simpanan dalam indikator LDR oleh Bank Indonesia. Pasalnya banyak bank yang lebih mengandalkan surat utang sebagai sumber dana untuk ekspansi. Dengan dimasukkan surat utang dalam komponen simpanan, maka nilai LDR tidak akan setinggi
sekarang. Selain itu, perbankan juga mempunyai fleksibilitas dalam memilih sumber pendanaan, sehingga tidak akan mengganggu modal untuk digunakan sebagai sumber ekspansi. Mryono, Direktur Utama PT BTN Tbk menilai reformulasi LDR membuat bank lebih luwes dalam mencari dana. Reformulasi ini dapat mendorong LDR BTN mencapai 87%. Nilai LDR yang lebih rendah memperkirakan mampu meningkatkan ekspansi kredit. Hingga 2017, BTN menargetkan penghimpunan dana selain DPK mencapai 30% dari total simpanan. Upaya tersebut dilakukan melalui penerbitan obligasi senilai Rp 2 triliun pada kuartal III 2014 dan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA) senilai Rp 1,5 triliun pada kuartal IV 2014. Sementara menurut Budi G. Sadikin, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk mengatakan resiko surat utang dan DPK cenderung berbeda. Bank akan lebih mudah menghimpun dana dari DPK daripada surat utang. Walaupun begitu, pihaknya mengaku bahwa reformulasi ini akan melonggarkan likuidtas. (Sumber: Indonesia Finance Today, 26 November 2014, 8)
Ekspansi Jaringan Kantor Perbankan Diestimasi Melambat Seiring dengan implementasi branchless banking dan layanan keuangan digital, ke depan penambahan jaringan penambangan cabang diperkirakan melambat. Berdasarkan data OJK, per September 2014, jumlah kantor cabang bank umum mencapai 19.430 kantor. Lucky FA Hadibrata, Deputi Komisioner OJK, mengatakan perbankan saat ini tengah melakukan konsolidasi jaringan kantor sehingga ekspansi kantor cabang tidak semasif tahun ini. Perbankan sedang merevitalisasi cabang-cabang ke dalam funding dan mixed (pendanaan dan kredit). Berdasarkan PBI/14/26/BPI/2012, pembukaan jaringan perbankan memperhitungkan theoretical capital, semakin tinggi modal maka semakin leluasa bank membuka jaringan kantor baru. Lucky menambahkan ke depan bank akan mengandalkan agen atau perantara jasa keuangan dalam melakukan implementasi branchless banking, sehingga strategi bank akan terfokus pada ekspansi agen bukan pembuakaan jaringan kantor. Apalagi karena biaya ekspasi agen lebih rendah dibandingkan membuat kantor cabang baru. PT Bank Mayapada Internasional Tbk mengungkapkan komitmennya dalam membuka cabang baru di kawasan Indonesia Timur. Selain itu, pihaknya juga berencana untuk menjadi peserta branchless banking. Sebagai persiapan pembukaan kantor cabang baru tersebut pihaknya menganggarkan sekitar Rp 12 milyar. Selain itu, pihaknya juga akan memperkuat sistem teknologi informasi (TI) sebagai syarat penyelenggaraan layanan branchless banking. Sementara itu, PT BCA Tbk berencana untuk membuka 50 kantor cabang baru untuk menghimpun DPK. Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT BCA Tbk, mengatakan pembukaan kantor cabang ini merupakan kombinasi pembukaan cabang di Jawa Barat dan di luar jawa. (Sumber: Indonesia Finance Today, 26 November 2014, 9)
BI dan OJK Tak Kompak Baik Bank Indonesia maupun OJK sama-sama mempunyai andil terkait kebijakan perbankan. Kendati demikian, aturan dari Bank Indonesia dan OJK seringkali tidak selaras satu sama lain, khususnya terkait program layanan keuangan digital. Halim Alamsyah, Deputi Gubernur Bank Indonesia, mengatakan pihaknya akan membatasi peserta program layanan keuangan digital yakni hanya BUKU IV saja. Aturan ini lebih ketat daripada yang disyaratkan oleh OJK. OJK mengungkapkan semua bank dapat andil dalam program ini selama mendapat perizinan dari regulator. Program layanan keuangan digital yang diinisiasi BI merupakan layanan perbankan tanpa kantor berbasis uang elektronik. Sedangkan definisi OJK, program layanan keuangan kantor untuk mendekatkan masyarakat kepada jasa keuangan, seperti simpanan, pinjaman dan asuransi mikro. Adapun dasar BI menetapkan program ini hanya ditujukan kepada Bank BUKU IV karena BI menjaga aspek kehati-hatian. Di sisi lain, OJK tidak membatasi persyaratan melalui tingkat permodalan bank. Muliaman D. Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK mengatakan pengembangan branchless banking harus dibuka seluas-luasnya agar masyaratakat yang tersentul kayanan keuangan dapat menerima dampaknya, bahkan tidak menutup kemungkinan peserta perbankan dari bank BUKU I. Kendati demakian, bank BUKU I masih tidak memiliki layanan internet bank. Tri Joko, Direktur Keuangan PT Bank Bukopin Tbk setuju dengan pendapatan OJK. Pihaknya saat ini tengah terus menyempurkan infrastruktur untuk mengembangkan bisnis ini. Agustinus Prasentyantoko, Ekonom Universitas Atmajaya, mengatakan regulator perlu menerapkan aturan yang lebih ketat terkait aturan teknis pelaksanaan layanan keuangan tanpa kantor dengan menggunakan agen-agen perbankan di daerah. (Sumber: Bisnis Indonesia, 26 November 2014, 1)
Dana ke Industri Kreatif Masih Kecil Berdasarkan data Bank Indonesia, jumlah penyaluran kredit untuk industri kreatif tercatat per Agustus 2014 mencapai Rp 115,4 triliun atau hanya sebesar 17,4% dari total penyaluran kredit. Eni V. Panggabean, Kepala Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM BI, mengatakan porsi industri kreatif hanya mencapai 9,76%. Oleh karena itu pihaknya menuturkan bahwa diperlukan peran perbankan untuk mendorong sektor ini. Untuk mendorong UMKM, pada tahun depan Bank Indonesia akan memberikan pelatihan pencatatan kepada para pelaku UMKM. Sulistyawati, Direktur Pengembangan Produk Ekspor Kementerian Perdagangan, memaparkan bahwa industri kreatif sudah ada sejak lama namun perhatian pemerintah ke sektor tersebut masih rendah. Industri kreatif di Indonesia memerlukan nilai tambah agar dapat menjual produknya tersebut. M. Iqbal Alamsyah, Direktur Pengembangan
Ekonomi Kreatif Berbasis Media, mengatakan ekonomi kreatif berpotensi untuk membantu sektor perpajakan. Iqbal berharap pada pemerintahan kali ini akan dibentuk badan yang menangani dan mengelola kreatif. (Sumber: Bisnis Indonesia, 26 November 2014, 19)
Bank Kecil Serbu Bursa Alfred Nainggolan, Analis PT Koneksi Kapital, memperkirakan bank BUKU I dan II akan ikut melantai tahun depan seiring memnuhi kebutuhan permodalan, seperti contoh PT Bank Agris Tbk. Bank Agris berencana melantai di Bursa Efek Indonesia pada tanggal 22 Agutus 2014 dengan melepaskan 900 juta lembar saham dengan target nilai Rp 100 miliar. Adapun harga per lembar saham sebesar Rp 105-115. Siang Leng Ho, Direktur Utama Bank Agris, mengatakan upaya ini dilakukan untuk memperkuat modal perseroan. Sebelumnya, hal yang sama sudah dilakukan oleh PT Bank Panin Syariah Indonesia Tbk. Pada tahun ini, Bank Panin melantai di bursa dengan target berkisar Rp 500 miliar dan Rp 190 miliar. Alfred memperkirakan saham dari bank-bank kecil tersebut akan diserap oleh asing seiring dengan optimisme investor asing terhadap kondisi keuangan Indonesia. Eko Budiwiyono, Ketua Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda), menuturkan bahwa telah ada beberapa BPD yang berminat untuk melakukan IPO. Terkait rencana IPO PT Bank DKI, pihaknya masih menunggu pembahasan APBD DKI Jakarta tahun 2015 terlebih dahulu. Dari 26 BPD, sekitar 13 BPD masih memiliki modal di bawah Rp 1 triliun. Adapun hingga tahun 2014, BPD yang telah melantai adalah PT Bank Jabar Banten Tbk dan PT Bank Jatim Tbk. PT Bank Ina Persada setelah melepaskan saham ke bursa menargetkan pihaknya dapat naik tingkat ke BUKU II. Edy Kuntardjo, Presiden Direktur Bank Ina mengatakan bahwa penerbitan saham baru (right issue) dapat menjadi pilihan untuk meningkatkan modal. (Sumber: Bisnis Indonesia, 26 November 2014, 20)
Obligasi Belum Jadi Pilihan Bankir Kupon obligasi yang tinggi menyebabkan sejumlah bank belum tertarik utnuk menerbitkan obligasi sebagai sumber pendanaan. Roy Arman Arfandy, Plt. Direktur Utama PT Bank Permata Tbk mengatakan saat ini pihaknya belum memutuskan untuk menerbitkan obligasi sebagai sumber pendanaan tahun depan. Untuk menambah permodalan, pihaknya telah terlebih dahului menerbitkan subdebt dan right issue. Kendati demikian, tidak tertutup kemungkinan jika Bank Permata akan menerbitkan obligasi. Saat ini, pihaknya tengah terus memantau pergerakan tren kupon obligasi dan menyesuaikan kebutuhan likuiditas secara internal. Senada, Taswin Zakaria, Direktur Utama PT Bank Internasional Idnonesia Tbk, mengatakan
penerbitan obligasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan bank, ketika likuiditas dirasa cukup maka opsi penerbitan obligasi akan cenderung diabaikan. Pihaknya mengakui bahwa saat ini, LDR bank masih aman di level 86%. Nelson Tampubolon, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK menyarankan perbankan untuk mencari alternatif penghimpunan dana dari pasar modal dan menghindari pinjaman luar negeri karena sudah terlalu tinggi. (Sumber: Bisnis Indonesia, 26 November 2014, 20)
Kamis, 27 November 2014
Teknologi Bank Nirkantor Harus Siap Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI, menyambut baik layanan keuangan nirkantor, namun agen-agen dan teknologi perlu dipersiapkan dengan baik. OJK mengatakan dengan layanan ini masyarakat tidak perlu repot mencari bank. Pasalnya akan ada agen bank baik individu, warung atau lembaga keuangan mikro yang akan melayani beberapa produk seperti tabungan, kredit mikro, asuransi mikro dan produk lainnya yang disetujui oleh OJK. Adapun layanan ini akan berlaku mulai tanggal 1 Januari 2015. Muliaman D. Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK, mengatakan layanan ini bertujuan untuk memberikan akses keuangan kepada masyarakt terpencil, sehingga terbebas dari praktek rentenir. (Sumber: Kompas, 27 November 2014, 20)
Bank DKI Segera Caplok 20% Saham Bank NTT Martono Suprapto, Direktur Keuangan Bank DKI, menyatakan akan membeli Bank BPD NTT maksimal sebesar 20% dari modal perseroan. Selain itu, pihaknya menyatakan tidak menutup kemungkinan Bank DKI akan menambah porsi saham yang dibeli apabila bank telah berhasil masuk pada ban BUKU III. Adapun saat ini, proses pembelian saham tersebut masih berlanjut dan menunggu persetujuan dari OJK. Senada, Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI Jakarta mengatakan pembelian 20% ini akan dilakukan setelah perseroan masuk ke dalam BUKU III. Adapun pihaknya menarget Bank DKI untuk masuk ke dalam BUKU IV pada tahun 2016. (Sumber: Bisnis Indonesia, 27 November 2014, 3)
Holding BPD ditargetkan 2023 Rencana konsolidasi antar Bank Pembangunan Daerah (BPD) mengerucut dalam skema Holdings. Sudirman HMY, Ketua Pengembangan Syariah Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (BPD) mengatakan skema Holdings ini dapat terealisasi paling lambat pada tahun 2023. Hal ini dilakukan sebagai strategi untuk menghadapi MEA sektor keuangan 2020. Asbanda saat ini tengah mempersiapkan BPD Regional Champion (BRC) Jilid II yang merupakan lanjutan BRC I dengan menambahkan aspek manajemen resiko dan budaya perusahaan. Konsolidasi ini dapat mendorong BPD menjadi bank terbesar keempat berdasarkan total aset. Walaupun begitu, BPD kerap menghadapi beberapa tantangan. Pasalnya BPD belum menunjukkan performa yang baik terlihat dari terkoreksinya laba sebesar 6,34% (yoy) menjadi Rp 7,82 triliun. Terkoreksinya laba ditenggarai oleh meningkatnya beban operasional. Erzon, mantan ketua asbanda mengatakan skema Holdings ini sudah terlihat dari komitmen BPD dalam membangun infrastruktur teknologi bersama. (Sumber: Bisnis Indonesia, 27 November 2014, 19)
Porsi Kepemilikan Asing kembali disoroti Komisi XI DPR akan membahas kembali Rancangan Undang-undang (RUU) Perbankan dengan menggandeng OJK. Gus Irawan Pasaribu, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, mengatakan salah satu poin yang akan disoroti adalah mengenai kepemilikan asing. Menurutnya kepemilikan asing yang ideal adalah dibawah 50%. Aviliani, Kepala Bidang Pengkajian dan Penelitian Perbanas, mengatakan RUU jangan bersifat teknis melainkan strategis, karena apabila terlalu teknis maka Bank akan sulit untuk menyesuaikan. Sementara Joseph Abraham, Asosiasi Bank Asing (FBAI) mengatakan peran bank asing dalam sektor perbankan Indonesia sangat besar. Adanya pengaturan kepemilikan tersebut, akan membatasi jumlah investor yang akan masuk ke Indonesia. (Sumber: Bisnis Indonesia, 27 November 2014, 20)
Jumat, 28 November 2014
Resiko Meningkat, Bank Konservatif Salurkan Kredit Kondisi tahun 2015 yang masih menantang, mendorong sejumlah perbankan untuk lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Bianto Surodjo, Direktur Ritel & Consumer PT Bank Permata Tbk, mengatakan perlambatan kredit khususnya akan terjadi di kredit konsumsi seperti KPR dan KKB serta beberapa kredit korporasi khususnya di sektor tambang. Pihaknya memperkirakan pertumbuhan kredit secara umum berkisar 10% - 15% pada tahun 2015, lebih rendah dibandingkan estimasi regulator sebesar 15% - 17%. Budi Gunandi Sadikin, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk, mengatakan kondisi makro yang kurang stabil khususnya setelah ada kenaikan harga BBM bersubsidi mendorong bank bersikap konservatif. Bank Mandiri memilih untuk menjaga kualitas daripada ekspansif menyalurkan kredit. Selain itu, hal lain yang difokuskan Bank Mandiri adalah menjaga likuiditas dan margin. Sementara Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT BCA Tbk, mengatakan pada tahun 2015 perbankan akan dihadapkan pada resiko likuiditas yang ketat, sehingga penyaluran kredit akan lebih sulit. Pihaknya pun menurunkan target pertumbuhan kredit pada tahun depan yakni sebesar 10% - 12%, lebih rendah dibandingkan target tahun ini sebesar 13% - 15%. Nelson Tampubolon, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, mengatakan perbankan perlu menghitung ulang jika kondisi likuiditas mengetat pada tahun 2015. (Sumber: Indonesia Finance Today, 28 November 2014, 8)
OJK Dorong Pembiayaan ke Sektor Maritim OJK akan mendorong sektor keuangan dalam mendukung sektor kemaritiman. Hal ini dilakukan melalui fasilitas kerjasama antara pelaku usaha keuangan dengan pelaku usaha kemaritiman yang diinisiasi oleh OJK. Muliaman D. Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK, mengatakan lembaga keuangan khususnya bank harus memperhatikan resiko di sektor kemaritiman. Untuk meminimalisir resiko, pihaknya menyarankan bank memberikan kredit sekaligus program asuransi mikro. Berdasarkan data SPI September 2014, total penyaluran kredit ke sektor maritim sebesar Rp 67,33 triliun, hanya sebesar 1,85% dari total penyaluran kredit perbankan. Namun, kondisi ini meningkat sebesar 1,78% dibandingkan posisi tahun lalu. Sementara NPL juga mengalami kenaikan dari 13,05% pada September 2013 menjadi 14,19% pada September 2014. Djarot Kusumayakti, Direktur Bisnis UMKM PT BRI Tbk, mengatakan Bank BRI tercatat menyalurkan kredit ke sektor maritim sebesar Rp 7 Triliun. Adapun tahun depan panyaluran kredit di sektor ini dapat ditingkatkan namun perlu ada tata niaga yang baik. Sofyan Basir,
Direktur Utama BRI, mengatakan pihaknya siap menyalurkan kredit ke sektor maritim. Selain itu, pihaknya mengatakan bahwa kondisi NPL di sektor maritim cukup baik yakni di kisaran 3,54,2% per September 2014. Krisna Suparto, Direktur Business Banking PT BNI Tbk mengatakan kredit di sektor maritim masih cenderung rendah yakni Rp 3 Triliun. Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan RI, mengatakan Indonesia mempunyai potensi perikanan yang sangat besar, oleh karena itu hal ini perlu didukung oleh semua pelaku kepentingan, khususnya lembaga keuangan dalam memberikan kredit kepada nelayan. Gatot M. Suwondo, Ketua Umum Bank Milik Negara (Himbara), mengatakan pemerintah perlu memprioritaskan sektor maritim terutama melalui pembangunan infrastruktur di sektor tersebut. (Sumber: Indonesia Finance Today, 28 November 2014, 9)
Bank Asing Waspadai Penurunan Laba Walaupun mengalami peningkatan laba yang lebih tinggi dbandingkan kelompok bank lain, bank asing tetap mewaspadai penurunan laba. Pasalnya, pertumbuhan laba pada kuartal III 2014 hanya sebesar 40% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan laba kuartal sebelumnya yang mencapai 105% (yoy). Joseph Abraham, Ketua Umum Asosiasi Bank Asing Indonesia, memperkirakan pada akhir tahun diperkirakan pertumbuhan akan terus melambat. Hal ini dikarenakan biaya dana yang terus meningkat apalagi ada kenaikan BI Rate. Gioshia Ralie, Managing Director Head of Corporate and Investment Citi Bank, memproyeksikan pertumbuhan laba tahun depan tidak akan sebesar tahun ini karena adanya kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi dan ekspor yang sedang menurun akibat terkoreksinya harga komoditas global. (Sumber: Bisnis Indonesia, 28 November 2014, 19)
RI Butuh Bank Pembangunan Untuk mendukung fokus pemerintahan di sektor infrastruktur, sigit Pramono, Ketua Umum Perbanas, mengatakan Indonesia memerlukan bank pembangunan yang khusus mendanai sektor tersebut. Pasalnya, saat ini perbankan Indonesia tidak punya peran yang jelas karena semua bank dapat masuk ke semua sektor. Pihaknya mengatakan akan memberikan usul Masterplan Perbankan Nasional kepada Komisi XI DPR yang didalamnya mengatur pembentukan Bank Pembangunan Indonesia (BPI). BPI nantinya merupakan megamerger antara semua Bank Pembangunan Daerah (BPD). Selain itu, perlu juga dilakukan kekhususan bank seperti bank pertanian dan perikanan, bank perumahan dan bank komersial. Terkait kepemilikan asing, Sigit menambahkan hal tersebut bukanlah hal utama yang harus dipikirkan. Membatasi asing pada perbankan Indonesia justru akan mencoreng nama Indonesia. Senada,
Arif Budimanta, politikus PDI Perjuangan menambahkan kepemilikan asing bukan sesuatu hal yang perlu ditakutkan. (Sumber: Bisnis Indonesia, 28 November 2014, 20)
***