“Banking” Weekly Hotlist (30 Maret – 02 April 2015) Senin, 30 Maret 2015
Ruang Bank Menengah Menyempit Ruang pertumbuhan bisnis tujuh dari 15 bank terbesar Tanah Air kian menyempit dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, tercermin dari pengetatan LDR dan CAR yang terkikis. Dari data laporan keuangan yang disampaikan kepada OJK dan BI hanya empat bank yang pertumbuhan aset 2014 melebihi 2013, yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Bukopin Tbk, dan PT Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk. BRI menjadi bank yang pertumbuhan asetnya paling besar di antara bank-bank lain, yaitu sebesar 28,03% meningkat dari Rp 647,15 triliun menjadi Rp 755,86 triliun. Pada 2013, aset BRI hanya tumbuh 10,73% dari Rp 547,59 triliun. Namun, secara umum situasi perbankan nasional mengalami tekanan dari sisi LDR dan CAR yang tergerus. Tanpa penambahan modal dan penambahan sumber dana alternatif, ekspansi penyaluran kredit terutama bank menengah diestimasikan akan terhambat. (Sumber: Bisnis Indonesia, 30 Maret 2015, 1)
Bank Masih Pacu DPK Sejumlah bank masih fokus memacu penghimpunan dana masyarakat pada awal tahun ini. Data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) menunjukkan hingga Januari 2015, kalangan bank umum membukukan pertumbuhan DPK di posisi 14% (yoy) menjadi Rp 4.106,35 triliun, sedangkan kelompok bank persero dan bank pembangunan daerah (BPD) mencatatkan pertumbuhan DPK lebih tinggi dari rerata industri, masing-masing 19% dan 18%. (Sumber: Bisnis Indonesia, 30 Maret 2015, 23)
RUU Perbankan : OJK Usul Pendekatan Baru Menurut OJK industri perbankan nasional juga perlu landasan hukum untuk melakukan fungsinya dalam mendukung perkembangan nasional dan akses global untuk dapat bersaing dalam menyambut MEA 2020. OJK berharap agar agar di dalam Undang-Undang Perbankan nantinya diatur hal-hal yang bersifat prinsip. Adapun detail peraturannya akan disiapkan dalam bentuk aturan implementasi seperti peraturan pemerintah atau peraturan OJK. Sehingga apabila terjadi perubahan kecil tidak perlu mengubah UU yang ada karena hal ini memerlukan waktu yang cukup lama. Lebih cepat mengubah aturan pelaksanaan. Selain itu, untuk mengawasi sistem keuangan konglomerasi Indonesia yang terintegrasi diperlukan undang-undang yang mengatur hal ini. Dari sisi regulasi, Indonesia tertinggal dari negara lain di kawasan Asia Tenggara karena belum memiliki undang-undang yang mengatur konglomerasi perbankan. Pada 2014 OJK telah memetakan 16 konglomerasi yang telah teridentifikasi menguasai 60% dari total aset keuangan di Indonesia dan 32 lembaga yang terintegrasi. (Sumber: Bisnis Indonesia, 30 Maret 2015, 24)
Selasa, 31 Maret 2015
Bank LKD Diperluas Perluasan aturan tentang layanan keuangan digital yang diatur Bank Indonesia berpotensi tak memandang entitas bank berdasarkan kategori modal inti. Hingga kini bank sentral memang baru memberikan lampu hijau bagi bank kategori BUKU IV atau entitas dengan modal inti di atas Rp 30 triliun untuk masuk di program LKD. Hal ini karena umumnya kelompok bank tersebut telah memiliki jaringan kantor cabang yang luas, permodalan yang cukup, dan risk management yang kuat. Untuk perluasan aturan LKD, bank sentral tidak menutup kemungkinan bagi bank dengan modal inti berapapun untuk masuk ke dalam layanan ini. Selain perluasan tersebut, perluasan aturan layanan keuangan digital bakal rampung tahun ini sebagai penyesuaian dengan program laku pandai yang diinisiasi OJK. (Sumber: Bisnis Indonesia, 31 Maret 2015, 24)
Rabu, 01 April 2015
BI Sempurnakan Peraturan JIBOR BI menyempurnakan aturan suku bunga penawaran antarbank (JIBOR) dengan menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/2/PBI/2015. Penyempurnaan ini diharapkan bisa meningkatkan produk transaksi pasar uang antarbank (PUAB). Aturan ini dinilai dapat mendorong transaksi produk-produk di pasar keuangan. PBI ini akan mengatur penetapan bank kontributor, yaitu bank yang menyampaikan suku bunga penawaran untuk tenor satu tahun ke bawah. Selain itu, penyempurnaan PBI juga mengukur kewajiban bank kontributor untuk meminjamkan rupiah pada tingkat suku bunga yang disampaikan bank tersebut sepanjang memenuhi batasan waktu dan jumlah nominal peminjaman. Pembentukan suku bunga acuan pasar uang untuk tenor satu tahun ke bawah juga akan melengkapi imbal hasil (yield) Surat Utang Negara yang berjangka waktu dua tahun hingga 30 tahun, sehingga Indonesia akan memiliki kurva imbal hasil (yield curve) yang lengkap antara O/N hingga SUN bertenor 30 tahun. Kurva imbal hasil yang lengkap sangat penting bagi berjalannya transmisi kebijakan moneter (monetary transmission channel), karena kurva imbal hasil yang lengkap mengandung faktor ekspektasi pasar terhadap arah inflasi, suku bunga, dan prospek ekonomi ke depan. Selain itu, instrumen pasar yang berkembang akan semakin banyak sehingga memudahkan investor mendiversifikasikan portofolio dan meningkatkan ketahanan sistem keuangan. Pada 2015, BI menetapkan 16 bank yang menjadi bank kontributor JIBOR. Bank-bank tersebut antara lain, Citibank NA, JP Morgan Chase Bank, PT Bank Central Asia Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk, PT Bank Commonwealth, PT Bank Danamon Indonesia Tbk, PT Bank DSB Indonesia, PT Bank Internasional Indonesia Tbk, PT Bank mandiri Tbk, dan PT BNI Tbk. Selain itu, BI juga menghapus sembilan bank yang mencatat penurunan transaksi PUAB dari daftar kontributor JIBOR. Kesembilan bank tersebut adalah PT Bank Resona Perdania, Rabobank, PT BJB Tbk, PT Bank Victoria Tbk, PT Bank ANZ, PT Bank Mega Tbk, PT BPD Kalimantan Timur, PT Bank Bukopin Tbk, dan PT BPD Riau. (Sumber: Indonesia Finance Today, 01 April 2015, 1-3)
Profitabilitas Perbankan Indonesia Tertinggi di Asia Pasifik Lembaga pemeringkat Fitch Ratings menilai profitabilitas dan kapitalisasi sistem perbankan di Indonesia paling tinggi di Asia Pasifik. Dengan demikian, perbankan Indonesia paling mampu menghadapi tekanan volatilitas pasar akibat kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat. CAR dan ROA bank lapis pertama di Indonesia paling tinggi dibandingkan dengan perbankan di Thailand, Filipina, Malaysia, dan India. Rasio kecukupan modal bank di Indonesia berkisar 18%, sedangkan ROA berkisar 3%. Sementara itu, perbankan di negara Asia Pasifik lainnya memiliki CAR di bawah 15% dan ROA di bawah 2%. Menurut Fitch, profitabilitas empat bank besar di Indonesia menunjukkan ketahanan terhadap volatilitas yang lebih besar pada 2014 karena memiliki permodalan yang kuat. Namun, bank lapis kedua mengalami penurunan profitabilitas akibat tekanan margin dan kenaikan biaya-biaya. Di sisi lain, perbankan Indonesia memiliki eksposur terhadap pinjaman dalam mata uang asing yang lebih besar dibandingkan dengan negara Aisa lainnya. Akan tetapi, eksposur ini relatif lebih stabil dan tidak menunjukkan tanda-tanda melampaui batas. Eksposur ini sebagian besar didorong oleh sektor komoditas, yang terpengaruh oleh pelemahan mata uang, serta penurunan harga komoditas. (Sumber: Indonesia Finance Today, 01 April 2015, 10)
BI: Masalah Bank Syariah Didominasi Pembiayaan Konsumtif BI menilai masalah dalam pembiayaan perbankan syariah selama ini lebih didominasi oleh pembiayaan dengan prinsip jual beli bukan bagi hasil. Hal ini disebabkan oleh permintaan pembiayaan masyarakat Indonesia yang lebih bersifat konsumtif, bukan produktif. BI dan OJK mendorong dan mengupayakan agar pihak perbankan syariah dapat menyalurkan kredit yang lebih produktif melalui produk-produk perbankan. (Sumber: Indonesia Finance Today, 01 April 2015, 11)
Akad Pembiayaan Kurang Variatif OJK menilai akad dalam bisnis pembiayaan syariah kurang beragam sehingga inovasi produk pembiayaan perlu dilakukan. Sebagian besar akad pembiayaan yang diperjanjikan antara bank dengan nasabah berbasis konsumtif dengan pola jual-beli atau murabahah. Bank akan tertarik menggunakan akad murabahah karena marginnya relatif tinggi sedangkan risikonya relatif rendah. Sementara itu, akad dengan prinsip bagi hasil atau mudharabah cenderung tidak mendominasi kendati bagi hasil merupakan prinsip utama dalam pembiayaan berlandaskan syariah. Pada Januari 2015 akad mudharabah hanya mencapai 7,11% dari total pembiayaan sebanyak Rp 197,28 triliun. Sementara itu, akad murabahah mencapai 58,78% dari total pembiayaan yang yang disalurkan. Adapun akad yang lain mendominasi setelah akad murabahah yakni akad musyarakah atau akad dengan prinsip pemilikan bersama antara bank dengan nasabah. Porsi akad musyarakah mencapai 25%. Oleh karena itu, OJK menghimbau kepada bank syariah untuk melakukan inovasi produk. (Sumber: Bisnis Indonesia, 01 April 2015, 23)
OJK Gandeng DFSA Sejumlah bank nasional mulai melirik untuk menggarap pasar di salah satu kawasan yang merupakan kantong tenaga kerja Indonesua (TKI), yakni kawasan Timur Tengah. Hal ini dilakukan untuk membuka jalan bagi bank-bank nasional untuk mengembangkan bisnisnya di kawasan Timur Tengah. OJK meneken nota kesepahaman dengan Dubai Financial Services Authority (DFSA). Setiap kerja sama dengan otoritas lain selalu dilandasi dengan semangat resiprokal saling menguntungkan. Setelah meneken kerja sama dengan DFSA, dalam waktu dekat OJK akan menekan kerja sama dengan otoritas Korea Selatan. (Sumber: Bisnis Indonesia, 01 April 2015, 23)
Dana Ziswaf Belum Tergarap Sejumlah kalangan menilai perbankan syariah bisa memanfaatkan potensi dana zakat, infaq, shadaqah dan wakaf (ziswaf) sebagai sumber dana untuk penyaluran pembiayaan bagi kalangan masyarakat unbankable. Namun, banyak yang harus dilakukan karena potensi dana ziswaf yang ada belum tergarap optimal. Menurut Dewan Syariah Nasional MUI, sumber dana bank syariah saat ini didominasi dana mahal. Berdasarkan data statistik perbankan OJK sebanyak 61,85% DPK perbankan syariah berasal dari dana deposito. Sementara itu, dana giro
dan tabungan masing-masing hanya memiliki porsi 8,62% dan 29,545 dari total DPK perbankan syariah sebesar Rp 210,761 triliun per Januari 2015. Optimalisasi dana zakat untuk pembiayaan akan menimbulkan efek turunan yang bear karena akan memberdayakan kaum mustahiq atau penerima zakat. Hal ini diharapkan akan mengangkat harkat kaum mustahiq menjadi golongan muzzaki atau pemberi zakat. (Sumber: Bisnis Indonesia, 01 April 2015, 24)
Kamis, 02 April 2015
Pertumbuhan Kartu Kredit Diestimasi Masih Lambat di Kuartal I MasterCard Indonesia memprediksi pertumbuhan kartu kredit masih lambat pada kuartal I 2015 karena permintaan kredit dari industri belum meningkat. Berdasarkan data alat pembayaran menggunakan kartu (APMK) per Februari 2015 di OJK, jumlah kartu kredit yang beredar tercatat 16,06 juta kartu. Jumlah ini meningkat 0,14% dibandingkan dengan akhir 2014 sebanyak 16,04 juta kartu. Vice President & Country Manager MasterCard, mengatakan perlambatan bisnis kartu kredit pada kuartal I terjadi karena masih melambatnya permintaan kredit dari industri. Biasanya, pertumbuhan jumlah kartu kredit meningkat pada April hingga Juni. Selanjutnya, memasuki semester dua atau mulai Agustus, biasanya pertumbuhan akan kembali melambat dan mulai meningkat kembali pada akhir tahun. Pangsa pasar kartu kredit di Indonesia masih sangat luas. Berdasarkan data MasterCard, masih ada sekitar 20 juta potensi pasar yang dapat dibidik dan tersebar di seluruh kota di Indonesia. Potensi ini dengan segmen yang berbeda-beda tergantung bank akan membidik segmen yang mana. (Sumber: Indonesia Finance Today, 02 April 2015, 8)
NPF Berpotensi Tembus 9% OJK memprediksi ingkat pembiayaan bermasalah atau NPF perbankan syariah bisa menembus 9% jika terjadi goncangan ekonomi. Simulasi hasil tes ketahanan atau stress test OJK dalam Laporan Triwulan IV 2014, menunjukkan NPF akan naik sebesar 389 bais poindari posisi NPF awal sebesar 5,29% dalam skenario terburuk. Kenaikan NPF dalam simulasi tes ketahanan ini lebih besar dibandingkan dengan kenaikan kredit bermasalah secara industri yang mencapai 253 bps – 263 bps. Dalam simulasi tersebut, OJK menggunakan parameter pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, suku bunga, inflasi, dan harga minyak. Parameter tersebut dibagi dalam skenario moderat dan skenario terburuk. Angka dalam parameter yang digunakan berasal dari data perbankan per September 2014. Menurut Deputi Komisioner OJK, perbankan syariah memang lebih rentan dalam menghadapi guncangan ekonomi karena manajemen risiko tidak sekuat bank konvensional. (Sumber: Bisnis Indonesia, 02 April 2015, 23)
Tingkat Bunga Antarbank Mulai Turun BI menilai kondisi likuiditas di pasar perbankan kian terjaga, terbukti dari suku bunga penawaran anatarbank (Jibor) yang mulai turun. Peluncuran Jibor yang melibatkan rate ratarata dari 21 bank kontributor telah memberikan dampak baru, sebab bunga yang diberikan menunjukkan tren menurun. Jibor yang berlaku kini sama dengan suku bunga pasar uang antar bank. Namun, bila dibandingkan dengan transaksi repo, lebih rendah rate repo sebab memiliki kolateral. Adapun beleid anyar yang dirilis BI terkait suku bunga penawaran antarbank diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/2/PBI/2015. Tujuan dari pembentukan PBI ini untuk meningkatkan transparansi membentuk suku bunga referensi. (Sumber: Bisnis Indonesia, 02 April 2015, 24)
***
