“Banking” Weekly Hotlist (16 Februari – 20 Februari 2015) Senin, 16 Februari 2015
Suku Bunga Simpanan: Ruang Penurunan Masih Terkendala LPS menuturkan bahwa terdapat dua hal yang menjadi parameter penurunan bunga simpanan, yaitu seberapa cepat Amerika Serikat menyesuaikan suku bunga the Fed dan bagimana pemerintah melakukan ekspansi fiskal. Dengan melihat situasi ekonomi dan ekspansi fiskal pemerintah pada tahun lalu, adanya ruang penurunan suku bunga simpanan pada tahun ini baru bisa terlihat sekitar dua hingga tiga bulan ke depan. Selain itu, bank-bank besar dinilai masih memegang kendali dalam menentukan suku bunga simpanan. Apabila pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga bank-bank besar tidak terlalu agresif, suku bunga simpanan bisa turun. Namun, apabila bank-bank besar, terutama bank-bank yang masuk kelompok empat besar dan 10 besar tetap agresif pengumpulan dana dan kredit, bunga simpanan sulit turun. Sementara itu, kondisi likuiditas perbankan yang masih ketat membuat sejumlah bank gencar mencari dana alternatif untuk menopang ekspansi kredit pada tahun ini. Perbankan akan gencar menerbitkan instrumen surat utang dalam bentuk obligasi, medium term notes, dan sertifikat deposito untuk menunjang kebutuhan dana ekspansi. Langkah ini diambil karena regulator berencana memperluas definisi simpanan sehingga penerbitan bisa melonggarkan rasio intermediasi. (Sumber: Bisnis Indonesia, 16 Februari 2015, 24)
OJK Godok EBA Infrastruktur Otoritas Jasa Keuangan tengah mengkaji dan mengembangkan rancangan instrumen Efek Beragun Aset Infrastruktur sebagai laternatif instrumen pendanaan proyek-proyek infrastruktur. Malalui instrumen ini, bank diwajibkan melakukan sekuritisasi proyek-proyek infrastruktur yang didanai. Instrumen ini merupakan modifikasi dari Efek Beragun Aset Surat Partisipasi (EBA-SP). Kalau EBA–SP, bank punya pilihan mau melakukan sekuritisasi ataupun
tidak. Sementara itu kalau EBA infrastruktur, ketika proyek sudah selesai kontruksi dan mau masuk operasional, maka harus disekuritisasi. Rancangan EBA infrastruktur ini juga sebagai langkah OJK merealisasikan mimpi besar pemerintah yang berniat menggenjot pembangunan infrastruktur di Indonesia. Sebab hingga kini belum ada instrumen yang tepat untuk mendanai proyek infrastruktur pemerintah. Adapun, dalam kajian EBA infrastruktur tersebut, inisiator proyek menjadi pemegang hak utama yang menentukan apakah proyek tersebut akan diakuisisi atau tidak. Proyek yang bisa disekuritisasi, yakni proyek yang menguntungkan secara bisnis dan ekonomi. Misalnya, proyek yang bisa didanai lewat instrumen ini adalah pembangunan jalan tol. Ketika kontruksi jalan tol selama tiga tahun belum menghasilkan uang, di sinilah bank masuk dan membiayai. Tetapi ketika jalan tol sudah menghasilkan, barulah diterbitkan sekuritisasinya. (Sumber: Bisnis Indonesia, 16 Februari 2015, 24)
Laba Bersih Industri Perbankan Diestimasi Capai Rp 129 Triliun Otoritas Jasa Keuangan mengistimasi laba bersih perbankan tahun ini tumbuh 19,7% atau Rp 21,26 triliun menjadi Rp 129 triliun. Kenaikan laba bersih ini akan didorong oleh peningkatan net interest margin (NIM). Tahun ini NIM industri perbankan akan naik 146 basis poin (bps) menjadi 5,7% dibandingkan dengan tahun lalu sebesar 4,24%. Kenaikan NIM ini antara lain akan diperoleh karena target kenaikan kredit lebih tinggi dibandingkan dana pihak ketiga. Selain itu, kondisi likuiditas perbankan juga tidak akan seketat tahun lalu. Peningkatan NIM juga akan didorong oleh stabilnya rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO). Hingga akhir tahun 2015, BOPO perbankan akan tetap terjaga di level 75,38%. Tahun lalu, rasio BOPO perbankan berada di level 76,29%. (Sumber: Indonesia Finance Today, 16 Februari 2015, 11)
Selasa, 17 Februari 2015
Laku Pandai Digelar Maret OJK mengungkapkan bahwa peraturan mengenai laku pandai (branchless banking) telah dikeluarkan dan saat ini pihaknya sedang memantau kepastian sistem dan infrastruktur untuk program laku pandai tersebut. OJK meminta BRI yang telah memiliki program laku pandai, BRI Link, untuk secara resmi me-launching program tersebut pada bulan mendatang karena merupakan program branchless banking yang paling besar dibandingkan dengan program bank lain serta banyak tersebar di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Menanggapi permintaan dari OJK, BRI mengakui siap meluncurkannya pada bulan Maret 2015. Dengan adanya program BRI Link, BRi menargetkan adanya penambahan nasabah sebesar 1,25 juta. OJK menambahkan saat ini baru 60% masyarakat Indonesia yang telah terlayani akses perbankan. Selain itu, OJK juga meminta bank untuk aktif melakukan program laku pandai, terutama di KTI. (Sumber: Bisnis Indonesia, 17 Februari 2015, 23)
Ruang Bunga Turun Masih terbuka Lebar Sejumlah pihak berharap Bank Indonesia dapat melonggakan kebijakan moneter melalui penurunan BI Rate. Hal ini didasari oleh sudah mulai melambatnya indikator makro dan menurunnya inflasi sesuai dengan ekspektasi. Permintaan penurunan ini terutama berasal dari pihak perbankan. Menurut sejumlah kalangan perbankan, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7%, perlu dilakukannya simulasi percepatan melalui penurunan BI rate. Selain itu, penurunan BI Rate ini penting dilakukan untuk menekan biaya dana perbankan, sehingga akan memperbaiki Net Interest Margin (NIM) perbankan. Meski demikian, Perbankan juga mengingatkan agar Bank Indonesia tetap mengantisipasi kebijakan kenaikan suku bunga Fed Fund Rate. Tony Prasentiantono, Pengamat Ekonomi Universitas Gajah Mada, mengungkapkan penurunan BI Rate perlu dilakukan agar target pertumbuhan penyaluran kredit sebesar 15%-17% tercapai. Selain itu, tren penurunan inflasi memberikan ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin ke level 7,5%. (Sumber: Bisnis Indonesia, 17 Februari 2015, 24)
OJK Permudah Ekspansi Bank Domestik ke Luar Negeri Setelah sebelumnya menandatangani MoU dengan regulator Singapura dalam kerangka ASEAN Banking Integration Framework (ABIF), OJK kembali membuka kerjasama dengan otoritas keuangan di Arab Saudi, Korea Selatan (Korsel), Brunei Darussalam dan Taiwan. Dengan instrumen kerjasama ini diharapkan bank di Indonesia, terutama bank milik pemerintah dapat memulai ekspansi ke luar Indonesia. Adapun besarnya pengiriman TKI ke luar negeri dapat menjadi potensi tersendiri bagi perbankan di Indonesia. Menanggapi hal tersebut, Bank Mandiri mengungkapkan pihaknya masih akan mempelajari mekanisme pembukaan cabang di luar negeri yang sedang digarap oleh OJK dan otoritas negara tersebut. Berbeda halnya dengan Bank Mandiri, BNI telah berencana melakukan ekspnasi ke Korea Selatan dan Myanmar serta negara lain. (Sumber: Indonesia Finance Today, 17 Februari 2015, 11)
Rabu, 18 Februari 2015
BI Berikan Sinyal Positif Bank Indonesia memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,5 persen. Selain itu, BI juga menetapkan suku bunga deposit facility sebesar 5,5% dan suku bunga lending facility sebesar 8%. Ekspektasi inflasi yang tetap rendah yakni 3-5% pada tahun 2015 dan 2016 serta terkendalinya defisit transaksi berjalan mendorong Bank Indonesia untuk menurunkan BI Rate. Reformasi kebijakan energi dalam negeri yang menghapuskan subsidi pada jenis BBM premium serta diiringi dengan penurunan harga minyak mentah global kerap menekan tingkat inflasi Indonesia pada awal tahun 2015. Sejumlah pengamat ekonomi seperti Anggito Abimanyu dan Lana Soelistianingsih menanggapi positif penurunan BI rate ini. Menurut Anggito, penurunan ini baik untuk menjaga kualitas kredit perbankan karena apabila tidak diturunkan maka akan terjadi peningkatan kredit macet sejalan dengan deflasi pada Januari 2015. Lebih lanjut, pihaknya memperkirakan dengan adanya penurunan BI Rate ini, pertumbuhan kredit perbankan dapat mencapai 15% dan pertumbuhan ekonomi diperkirakan 5,2-5,5%. Sama halnya dengan Anggito Abimanyu, Lana Soelistianingsih juga mengungkapkan penurunan BI Rate ini dapat menjadi transmisi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dan dapat menjadi sinyal positif perbaikan ekonomi Indonesia. Kendati demikian, Bank Victoria
mengungkapkan penurunan BI Rate tidak terlalu besar, sehingga suku bunga kredit bank tidak akan turun signifikan. (Sumber: Kompas, 18 Februari 2015, 20)
Kredit Proyek Hijau Didorong OJK meminta perbankan untuk fokus menyalurkan kredit ke sektor-sektor yang ramah lingkungan. Per November 2014, penyaluran kredit ke proyek yang ramah lingkungan tidak lebih dari 5% dari total kredit perbankan sebesar Rp 3.596 triliun. OJK menuturkan konsep pembiayaan hijau sangat luas, namun pada tahap awal, konsep tersebut terbatas pada proyekproyek yang ramah lingkungan. Konsep tersebut masih dalam tahap pengembangan oleh OJK. Menanggapi hal tersebut, Bank Mandiri telah memasukan pertimbangan ramah lingkungan dalam menyalurkan kredit, khususnya pada kredit korporasi. (Sumber: Kompas, 18 Februari 2015, 20)
Ekspansi Kredit Berpotensi Naik Diturunkannya BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,5% diyakini Bank Indonesia dapat mendorong pencapaian target pertumbuhan kredit perbankan sebesar 15%-17% pada tahun 2015. Selain itu, Bank Indonesia juga mengakui penurunan pertumbuhan kredit tahun 2014 terjadi setelah Bank Indonesia menaikkan BI Rate sebesar 7,75% pada November 2014. Selain penurunan BI Rate, pertumbuhan kredit perbankan juga akan didorong oleh kecukupan likuiditas dengan proyeksi pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 14%-16% dan membaiknya ekonomi Indonesia. Bank Indonesia memperkirakan penurunan BI Rate akan diikuti oleh penurunan suku bunga kredit perbankan dalam 3-6 bulan mendatang. Di sisi lain, Kadin menilai BI Rate sebesar 7,5% cenderung masih terlalu tinggi dan kalah kompetitif dibandingkan negara lainnya. (Sumber: Bisnis Indonesia, 18 Februari 2015, 1)
Raksasa Tiongkok & Korsel Bersiap Masuk Indonesia Menyusul ditandatanganinya perjanjian awal terkait penerapan asas resiprokal antara OJK dengan otoritas Tiongkok dan Korea Selatan, sejumlah bank besar kedua negara tersebut menyatakan siap berekspansi di Indonesia. China Construction Bank Corporation (CCB) yang merupakan bank spesialis infrastruktur di Tiongkok berencana melakukan akuisisi bank di Indonesia untuk memperluas bisnisnya, khususnya di bidang infrastruktur. Komitmen pemerintah untuk mendorong infrastruktur dengan nilai pembangunan sebesar Rp 5.425 triliun hingga tahun 2019 dinilai sebagai potensi bisnis bagi CCB. Kendati demikian, OJK menyatakan bahwa CCB belum mengajukan proposal terkait akuisisi bank di Indoneisa. Lainnya halnya dengan CCB, bank asal Korea Selatan Shinhan Financial Group telah mengajukan proposal terkait rencana akuisisi bank BUKU I di Indonesia. Salah satu bank yang akan diakuisisi oleh Shinhan adalah bank Metro Express. Sementara itu, dari sisi Indonesia, PT BNI Tbk telah berniat untuk memperluas ekspansi ke Korea Selatan. Terkait hal ini, OJK berharap bahwa proses ekspansi dapat berjalan baik dan perizinan dapat rampung pada semester pertama tahun ini. (Sumber: Bisnis Indonesia, 18 Februari 2015, 23)
Beleid Baru Ancam Data Nasabah Peraturan Direktorat Jendral Pajak No. Per-01/PJ/2015 yang diterbitkan tanggal 26 Januari 2015 dan akan diterapkan pada April 2015 mengundang banyak kekhawatiran baik dari OJK maupun pelaku usaha industri perbankan. Pasalnya ketentuan baru yang mewajibkan bank melaporkan daftar serta bukti potong pajak giro dan deposito secara rinci tersebut akan berpotensi membuka rahasia nasabah, sehingga akan melanggar pasal 40 UU No. 10/1998 tentang perbankan. Kalangan perbankan Dirjen Pajak meniai Dirjen Pajak harus berkoordinasi dahulu dengan perbankan agar tidak menyalahi governance perbankan. Selain itu, ketentuan ini pun akan menimbulkan dampak psikologis bagi perbankan. Lebih lanjut, Sigit Pramono, Ketua Umum Perbanas, menghimbau agar DJP mengkaji kembali ketentuan ini karena bertentangan dengan UU Perbankan terkat kerahasian bank. Selain itu, pihaknya menyarankan agar Dirjen Pajak melakukan koordinasi dengan BI dan OJK mengenai masalah ini. Apabila ketentuan ini tetap dilakukan, Sigit mengkhawatirkan akan adanya penarikan dana deposito secara besar-besaran dan dana tersebut kemudian dialihkan ke luar negeri, sehingga berpotensi menyebabkan capital flight. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Aviliani, Ekonom Indef. Menurutnya, DJP perlu memikirikan efek ini. (Sumber: Bisnis Indonesia, 18 Februari 2015, 24)
Jumat, 20 Februari 2015
Bank Didorong Optimalkan Ekses Likuiditas Selain menurunkan BI Rate, Bank Indonesia juga menurunkan deposit facility (DP) sebesar 25 basis poin menjadi 5,5%. Hal ini dilakukan agar endapan kelebihan dana dibank sentral dapat dimaksimalkan. Menurunnya deposit facility akan mendorong perbankan untuk lebih aktif menyalurkan kredit daripada menyimpan kelebihan dananya di Bank Indonesia. Hingga November 2014, penempatan dana perbankan di Bank Indonesia mencapai Rp 588,09 triliun atau meningkat sebesar 23,88% (yoy). Menanggapi hal ini, Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk, mengatakan keputusan bank untuk menempatkan dananya di Bank Indonesia bukan semata-mata karena suku bunga, melainkan salah satu kebijakan internal pengelolaan resiko likuiditas ke aset yang likuid. Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT BCa Tbk, menambahkan penempatan kelebihan dana di Bank Indonesia merupakan dana cadangan guna menunggu kebutuhan dana nasabah. (Sumber: Bisnis Indonesia, 20 Februari 2015, 23)
NPL Manufaktur Naik 40,83% Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) November 2014, rasio kredit bermasalah sektor manufaktur naik sebesar 40,83% (yoy) menjadi Rp 13,56 triliun. Kenaikan NPL terjadi seiring kenaikan penyaluran kredit di sektor manufaktur yakni 14,84% (yoy) menjadi Rp 638,48 triliun. Per November 2014, NPL sektor manufaktur tercatat 2,12%, lebih rendah dibandingkan NPL perbankan secara umum sebesar 2,36%. Kendati mengalami kenaikan yang cukup signifikan, Bank Indonesia optimis sektor manufaktur akan mengalami perbaikan kedepannya seiring dampak dari depresiasi Rupiah. Menanggapi peningkatan rasio kredit bermasalah pada sektor manufaktur, LPS menilai bahwa hal ini disebabkan oleh bertambahnya waktu working capital cycle atau siklus modal kerja. Pada tahun sebelumnya, menurut data di Bursa Efek Indonesia, siklus modal kerja membutuhkan waktu sekitar 55 hari, namun pada tahun 2014, angka tersebut meningkat 65 hari. Semakin lama working capital cycle, maka hasil dari investasi juga akan semakin lama didapat, sedangkan selisih 10 hari tersebut juga membutuhkan biaya. Selain itu, suku bunga pinjaman perbankan yang masih tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang melambat juga kerap mendorong peningkatan rasio kredit bermasalah. (Sumber: Bisnis Indonesia, 20 Februari 2015, 24)
Target Pertumbuhan Kredit Belum Diubah Penurunan BI Rate belum memberikan kepercayaan bagi perbankan untuk memacu target pertumbuhan kredit yang lebih tinggi. Sejumlah pelaku perbankan masih bertahan pada target yang ditetapkan sebelumnya pada Rencana Bisnis Bank (RBB) tahun 2015. Menurut kalangan perbankan, BI Rate bukan lah satu-satunya faktor pendorong pertumbuhan kredit perbankan. Pasalnya perbankan juga harus menyesuaikan dengan kebutuhan nasabah dan pertumbuhan perekonomian nasional. Lebih lanjut, bank saat ini memilih untuk realistis seiring dengan kondisi perekonomian saat ini dan akan lebih fokus untuk penanganan risk management perbankan. (Sumber: Bisnis Indonesia, 20 Februari 2015, 24) ***