“Banking” Weekly Hotlist (20 Oktober – 24 Oktober 2014) Senin, 20 Oktober 2014
China Siap Guyur Bank US$ 32,7 Miliar Bank Sentral China, People’s Bank of China (PBOC) berencana untuk menyuntikkan dana sebesar 200 miliar Yuan atau sebesar US$ 32,7 miliar kepada 20 bank milik negara. Upaya pengguyuran ini dilakukan atas perintah Perdana Menteri Li Keqiang agar bank-bank China dapat memenuhi standar likuiditas dan sebagai upaya meningkatkan pinjaman. Kebijakan ini semakin memperkuat spekulasi investor bahwa pemerintah akan segera memangkas suku bunga deposito yang kini berada pada level 3%. Sebelumnya, PBOC juga melakukan kebijakan yang sama dengan menyuntikkan dana 500 miliar Yuan kepada 5 bank terbesar di China menyusul pengurangan stimulus oleh bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve. Walaupun begitu, China menegaskan bahwa kebijakan ini bukan untuk menghindari kebijakan stimulus. Menanggapi hal tersebut, Louis Kuijs, Ekonom Royal Bank of Scotland Group Plc’s, mengatakan kebijakan ini merupakan bentuk pelonggaran selektif yang dilakukan pemerintah China dan pihaknya yakin bahwa China masih akan menggunakan kebijakan ini apabila laju pertumbuhan ekonomi dibawah ekspektasi pemerintah. Pendapat ini diperkuat oleh Shen Jian-guang, ekonom Mizuho Securities, yang mengatakan bahwa sejak awal permasalahan perlambatan ekonomi menjadi perharian khusus Perdana Menteri Li Keqiang. (Sumber: Bisnis Indonesia, 20 Oktober 2014: 5)
Bank BUKU II & BPD Dilirik Dana Pensiun Perusahaan dana pensiun tengah melirik penempatan pada Bank BUKU II dan BPD yang siap memberikan return deposito yang lebih tinggi. Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) PT Bank Mandiri Tbk (DPLK Mandiri) saat ini sedang mengincar bank-bank yang mampu memberikan bunga double digit. Rudi Rahman, Direktur DPLK Mandiri mengatakan apabila bunga bank BUKU III dan BUKU IV sudah tak menarik lagi maka pihaknya akan pindah ke BUKU II namun tetap tidak akan ekstrim demi menjaga keamanan likuiditas. Lebih lanjutnya, pihaknya pun sudah beraliansi dengan PT Bank Mandiri Tbk bahwa akan terjadi pengalihan dana baik ke BUKU II maupun ke pasar modal. Adapun kalangan perbankan bank BUKU II, seperti Bank DKI mengungkapkan hinga pekan ketiga Oktober 2014, belum merasakan adanya pengaruh pembatasan suku bunga deposito
yang ditetapkan oleh OJK. Hingga Agustus 2014, modal inti Bank DKI tercatat Rp 3,76 triliun dengan rasio kecukupan modal (CAR) sebesar 19%. Berdasarkan data Bank Indonesia, DPK pada Agustus 2014 tercatat Rp 3.518,9 triliun dimana hampir setengahnya merupakan instrumen deposito. (Sumber: Bisnis Indonesia, 20 Oktober 2014: 24)
Keuntungan Bank Tumbuh Melambat Laba bersih bank umum konvensional pada Agustus 2014 tercatat Rp 75 triliun, meningkat 6,08% dibandingkan Agustus 2013 (year on year/yoy). Walaupun mengalami pertumbuhan, namun kenaikan laba bersih pada bulan Agustus 2014 lebih rendah dibandingkan kenaikan laba bersih pada bulan sebelumnya yang mencapai 11,13% (yoy). Lebih lanjut, pada Agustus 2014 beban operasional pun meningkat sebesar 14,76% (yoy), lebih tinggi dibandingkan kenaikan pendapatan operasional sebesar 12,13% (yoy). Menurut Lucky F. A. Hadibrata, Deputi Komisioner Manajemen Strategis OJK, kondisi perbankan saat ini masih cukup baik. Hal ini diindikasikan dengan rasio kecukupan modal (CAR) yang masih tinggi sebesar 19,52%; dan Return on Assets (ROA) serta Net Interest Margin (NIM) yang masih terjaga pada level 2,9% dan 4,2%. Selain itu tingkat efisiensi perbankan pun cukup baik yang ditandai dengan rasio BOPO yang cukup tinggi di level 76,4%. Meskipun begitu, terdapat sejumlah tantangan bagi industri perbankan tahun ini, salah satunya mengenai perlambatan pertumbuhan kredit. Irwan Lubis, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan OJK, mengakui kemungkinan bank umum ketegori BUKU III dan IV tidak dapat memenuhi target pertumbuhan kredir yang tertuang dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) Tahun 2014. Terget pertumbuhan kredit sebesar 15%-17% dirasakan sulit untuk dicapai karena kondisi ekonomi saat ini dimana debitur enggan untuk mencairkan kredit meskipun telah mendapat komitmen pinjaman dari bank. (Sumber: Bisnis Indonesia, 20 Oktober 2014: 24)
Unit Syariah BPD Siap Akuisisi Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) yang kuat siap untuk mengakuisisi UUS BPD lain yang terkendala permodalan. Tony Sudjiaryanto, Direktur Agrobisnis dan Usaha Syariah PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur (Bank Jatim) mengatakan saat ini UUS BPD yang memiliki modal yang cukup namun belum melakukan spin off (pemisahaan) adalah Bank Jatim, Bank Jateng, Bank DKI dan Bank Kaltim. Pihaknya mengaku siap melakukan upaya konsolidasi dengan UUS BPD lain dengan wilayah yang dekat dengan Bank Jatim.
Menurut aturan OJK, UUS BPD dapat melakukan spin off apabila BPD mempunyai modal minimum Rp 2,5 Triliun dan Bank Umum Syariah (BUS) wajib memiliki modal minimum sebesar 20% dari modal induk usaha atau sebesar Rp 500 miliar. Tony menambahkan bahwa saat ini UUS Bank Jatim telah memiliki modal inti diatas Rp 500 miliar dan tengah melakukan persiapan, seperti SDM dan teknologi serta aktif melakukan sosialisasi menjelang spin off. Pemisahan ini dijadwalkan dilakukan pada tahun 2017. Dalam 3 tahun mendatang, pihaknya berencana untuk membuka 3 kantor cabang khusus layanan syariah di wilayah Malang, Gresik dan Madiun. Penambahan ini merupakan upaya untuk mendorong lending dan funding syariah. Sementara itu, Bank DKI justru belum memiliki rencana terkait akuisisi UUS BPD lain. Mulyatno, Direktur Korporasi dan Syariah Bank DKI mengungkapkan bahwa saat ini pihaknya sedang fokus memperkuat kinerja UUS terlebih dahulu menjelang pemisahan pada tahun 2017. Selain itu, Tony juga mengatakan bahwa pihaknya tidak ingin terburu-buru melakukan spin off karena berdasarkan pengalamannya beberapa bank syariah justru mencatatkan kinerja yang buruk setelah melakukan spin off. (Sumber: Bisnis Indonesia, 20 Oktober 2014: 24)
Selasa, 21 Oktober 2014
LDR Kembali Diutak-atik Perhitungan Loan to deposit Ratio (LDR) dipandang sebagai salah satu penyebab melemahnya pertumbuhan kredit perbankan. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) Agustus 2014, LDR tercatat sebesar 90,63%. Persentase LDR yang semakin mendekati batas atas ini menyebabkan perbankan sulit untuk lebih ekspansif dalam penyaluran kredit. Ryan Kiryanto, Ekonom PT BNI Tbk mengatakan ekspansi kredit dapat dilakukan apabila LDR diubah menjadi Loan to Funding Ratio (LFR) dimana surat utang di bank dimasukkan kedalam komponen Dana Pihak Ketiga (DPK). Alternatif lain, batasan atas LDR diubah dari 92% menjadi 100%. Perhitungan LDR saat ini cenderung menyulitkan perbankan dalam melakukan fungsi intermediasinya. Ryan juga menambahkan, nilai NPL perbankan yang tinggi disebabkan oleh melemahnya perekonomian khususnya ekspor. Permintaan ekspor yang menurun dari negara lain menyebabkan permintaan kredit ekspor pun ikut menurun. Sebelumnya, Bank Indonesia menargetkan pertumbuhan kredit perbankan tahun ini pada kisaran 15%-17%. Namun kalangan perbankan memperkirakan pertumbuhan kredit akan lebih rendah dari target Bank Indonesia. Kalangan perbankan memproyeksikan pertumbuhan kredit tahun ini hanya akan mencapai 14,4%. (Sumber: Bisnis Indonesia, 21 Oktober 2014: 19)
Ekses Likuiditas Jadi Bekal Bank Berdasarkan Survei Perbankan Kuartal III/2014, ekses likuiditas perbankan tercatat Rp 586,85 triliun, meningkat Rp 44,3 triliun dibandingkan Kuartal II/2014 sebesar Rp 542,55 triliun. Adapun berdasarkan komposisinya, penempatan ekses likuiditas perbankan terbanyak pada Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 412,96 triliun atau 70,37% dari total ekses likuiditas. Selain itu, penempatan lainnya dilakukan pada Fasilitas Simpanan Bank (Fasbi) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) masing-masing sebesar Rp 96,34 triliun dan Rp 77,55 triliun. Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk mengungkapkan hingga September 2014 kelebihan likuiditas perseroan mencapai Rp 25 triliun dan kelebihan tersebut ditempatkan pada instrumen likuid lainnya. Sementara itu, PT Bank danamon yang mencatat Loan to Deposit Ratio (LDR) sebesar 91,34% pada kuartal III/2014 memilih menempatkan ekses likuiditas ke SBI. Irwan Lubis, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mengungkapkan bahwa faktor utama pelonggaran likuiditas ini bersifat musiman. Irwan juga menambahkan bahwa ekses lukuiditas kebanyakan mengalir ke Bank Pembangunan Daerah (BPD) atau bank-bank lain milik pemerintah. Di sisi lain untuk mendorong perekonomian, OJK siap untuk membentuk lembaga pembiayaan infrastruktur. Muliaman D. Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK, mengharapkan dengan adanya lembaga pembiayaan infrastruktur, industri keuangan dapat semakin berkontribusi pada pembangunan nasional. Senada dengan OJK, Sigit Pramono, Ketua Umum Perbanas, mengungkapkan Bank Pembangunan Infrastruktur (BPI) sangat diperlukan untuk membiayai proyek infrastruktur dan investasi jangka panjang. Pembangunan infrastruktur yang baik akan mendorong Indonesia keluar dari negara berpendapatan menengah. Namun, Budi Gunandi sadikin, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk mengungkapkan bahwa perbankan memiliki keterbatasan dalam membiayai proyek infrastruktur dan investasi jangka panjang. Lebih lanjutnya, pihaknya mengakui bahwa perbankan hanya mampu membiayai kebutuhan dana untuk jangka pendek. (Sumber: Bisnis Indonesia, 21 Oktober 2014: 20)
Bunga Deposito Turun, LPS Kaji Penurunan LPS Rate Seiring dengan tren penurunan suku bunga deposito perbankan akibat kebijakan pembatasan suku bunga depostio oleh OJK, LPS akan mengkaji penurunan suku bunga penjaminan (LPS Rate). Samsu Adi Nugroho, Sekretaris Lembaga LPS, mengungkapkan pihaknya tengah memantau tingkat Suku Bunga Pasar (SBP) sebagai dasar perubahan LPS Rate. Samsu menambahkan pihaknya cenderung follow the market bukan lead the market seperti BI rate. Penyesuaian ini dilakukan untuk memenuhi ketentuan penjaminan. Hingga Juli 2014, total rekening yang dijamin LPS mencapai 152,6 juta atau 99,8% dari total rekening. M. Doddy Ariefianto, Kepala Divisi Manajemen Resiko dan Sistem Keuangan LPS, memperkirakan suku bunga deposito akan naik namun terbatas. Pihaknya menambahkan kenaikan mulai melambat, di kuartal III bunga deposito naik 20 basis poin. Sebelumnya di kuartal I dan II, bunga deposito naik masing-masing 50 basis poin. Sementara itu, kelompok bank BUKU I sudah melakukan penurunan suku bunga deposito mengikuti BUKU III dan IV, seperti contoh PT Bank Dinar Indonesia Tbk. Hendra Lie, Direktur Utama PT Bank Dinar Indonesia Tbk, mengungkapkan bank telah menurunkan suku bunga deposito antara 50 – 75 basis poin dan saat ini bunga deposito sudah berada di bawah 10%. Penurunan ini, diperkirakan menggerus NIM karena bank belum dapat menurunkan suku bunga kredit. (Sumber: Indonesia Finance Today, 21 Oktober 2014: 8)
Bank Masih Bersabar untuk Mengejar Margin Tebal Kebijakan pembatasan suku bunga deposito oleh OJK diperkirakan akan meningkatkan NIM perbankan pasalnya bank belum akan menurunkan bunga kredit. Menanggapi hal ini Vera Lim, Direktur Keuangan PT Bank Danamon Indonesia Tbk, mengungkapkan bahwa bunga simpanan akan turun lebih cepat dibandingkan bunga kredit, sehingga NIM akan bergerak naik. Kebijakan pembatasan suku bunga deposito akan berdampak pada penurunan biaya dana, sehingga kebijakan ini berpotensi meningkatkan NIM sebesar 10 – 20 basis poin. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Hadi Sukrianto, Direktur Utama PT Bank Jatim Tbk. Menurutnya pada akhir tahun, perolehan margin bank akan tetap tebal karena pihaknya cenderung menyalurkan kredit mikro dan konsumer yang memiliki yield yang cukup tinggi dan resiko yang rendah. Selain itu, bank akan menahan tingkat bunga untuk menjaga margin. Adapun hingga September 2014, NIM Bank Jatim tercatat 7,07%, meningkat 15 basis poin. PT Bank BRI Tbk pun optimis pihaknya akan mencapai NIM di atas 8% pada akhir tahun. Achmad Baiquni, Direktur Keuangan BRI,
mengatakan bank tetap fokus pada kredit mikro dengan margin yang cukup tinggi. Adapun bunga dasar kredit mikro PT BRI Tbk mencapai 19,25%. Kombinasi penurunan bunga deposito dan tingkat bunga kredit yang stabil akan meningkatkan NIM PT BRI Tbk menjadi 8,25% - 9%. (Sumber: Indonesia Finance Today, 21 Oktober 2014: 8)
Rabu, 22 Oktober 2014
Bankir Andalkan Pendapatan Nonbunga Perlambatan fungsi intermediasi perbankan seiring dengan tertekannya margin bunga bersih mendorong perbankan untuk lebih menstimulus pendapatan nonbunga untuk meningkatkan keuntungan. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia bulan Agustus 2014, pendapatan operasional nonbunga mencapai Rp 102,61 triliun, meningkat 12,11% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy). Adapun pendapatan bunga masih tumbuh lebih tinggi yaitu 14,05% (yoy) ke posisi Rp 177,77 triliun. Pahala N. Mansury, Direktur Keuangan dan Strategi PT Bank Mandiri Tbk mengungkapkan bahwa ekspektasi pendapatan nonbunga ini masih sejalan dengan Rencana Bisnis Bank (RBB). Pada Agustus 2014, pendapatan operasional selain bunga PT Bank Mandiri Tbk tercatat 9 triliun, meningkat 6,13% (yoy). Pertumbuhan ini cenderung masih lambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 11,5% (yoy). Sementara itu, pendapatan operasional selain bunga PT Bank Danamon Tbk hingga September 2014 mencapai Rp 5,04 triliun, tumbuh 68% (yoy), namun pendapatan operasional selain bunga konsolidasi justru menurun 6,47% menjadi Rp 3,9 triliun. Vera Eve Lim, Direktur PT Bank Danamon Tbk, mengungapkan kontraksi pendapatan operasional selain bunga konsolidasi ini dikarenakan pembagian deviden dari anak perusahaan. Juniman, Ekonom PT Bank Internasional Indonesia Tbk mengatakan saat pendapatan bunga bersih tertekan, bank dapat meningkatkan fee based income untuk menjaga pertumbuhan laba. Peningkatan fee based income dapat melalui peningkatan inovasi produk dan treasury. Lebih lanjut, BUKU III dan IV akan mempunyai kesempatan yang lebih besar dalam meningkatkan fee based income karena telah memiliki banyak jaringan. PT BNI Tbk sebelumnya mentargetkan fee based income sebesar Rp 500 miliar dari bisnis jasa layanan transaksional bank kepada korporasi dan hinga September 2014 reliasasi tersebut sudah mencapai 75% atau Rp 375 miliar. Iwan Kamaruddin, Pimpinan Divisi Jasa Transaksional Perbankan PT BNI Tbk mengungkapkan pihaknya telah bekerjasama dengan banyak korporasi yang memiliki nasabah ritel untuk pengelolaan cash management. Sementara itu, Juniman menambahkan untuk BUKU I dan II masih sulit mendorong pendapatan nonbunga dan masih harus berfokus pada pertumbuhan laba. Senada dengan pendapat Juniman, PT Bank Capital Indonesia yang merupakan kategori bank BUKU I tercatat mengalami
penurunan pendapatan nonbunga hingga 65,9% (yoy) dari Rp 76,05 miliar pada September 2013 menjadi Rp 25,86 miliar pada September 2014. (Sumber: Bisnis Indonesia, 22 Oktober 2014: 3)
7 Bank Diincar Investor Asing Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengakui saat ini bank asing berminat untuk mengambil 7 bank yang diwajibkan divestasi oleh OJK. Sebelumnya OJK memberikan 2 pilihan kepada tujuh bank tersebut yakni melakukan divestasi dengan menjual sahamnya dalam jangka waktu 5 tahun ke depan atau mencari mitra strategis untuk memperbaiki kinerjanya. Ketujuh bank tersebut sudah masuk dalam kategori tiga atau cukup sehat. Hal ini didasarkan pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/8/PBI/2012 tentang kepemilikan saham Bank Umum dimana disebutkan bank yang memiliki tingkat kesehatan dan Good Corporate Governance (GCG) dengan peringkat komposit (PK) tiga, empat dan lima diwajibkan melakukan perbaikan kesehatan. Terkait minat dari perbankan asing, Irwan Lubis, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III OJK, mengatakan saat ini OJK akan bertindak selektif karena pihaknya ingin mendorong perbankan nasional melalui upaya konsolidasi. Upaya ini juga sejalan dengan rancangan masterplan industri jasa keuangan yang tengah dipersiapkan oleh OJK. Konsolidasi akan menjadi poin penting yang akan diatur dalam cetak biru industri keuangan. Selain itu, pertimbangan konsolidasi seperti ukuran dan volume bank di Indonesia pun akan lebih lanjut dipaparkan dalam Masterplan Jasa Keuangan Indonesia (MPJKI) yang dalam waktu dekat akan dirilis oleh OJK. (Sumber: Bisnis Indonesia, 22 Oktober 2014: 19)
Kinerja Lesu, Saham Bank Melaju Pelemahan industri perbankan pada tahun 2014 tidak berdampak pada pergerakan saham di sektor ini. Berbeda dengan tahun sebelumnya, pergerakan harga saham sektor finansial yang lebih banyak didominasi oleh perbankan tahun 2014 justru menunjukkan performa yang baik. Pertumbuhan sektor finansial tercatat 28,91% dari level 538,52 pada tanggal 2 Januari menjadi 694,24 pada tanggal 20 Oktober 2014. Kenaikan ini terutama bersumber dari bank berkapitalisasi besar, seperti PT BRI Tbk (BBRI) dan PT BCA Tbk (BBCA). Harga saham kode BBRI naik sebesar Rp 2.550 dari Rp 8.150 menjadi Rp 10.700. Selain itu, harga saham kode BBCA juga meningkat sebesar Rp 1.925 dari Rp 10.700 menjadi 1.925.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan tahun lalu dimana kinerja perbankan menunjukkan performa yang baik namun pergerakan harga saham cenderung menurun. Laju pertumbuhan harga saham tahun lalu (2 Januari 2013 – 20 oktober 2013) tercatat 6,07% dari level 553,09 menjadi 586,63. Padahal tahun lalu, industri perbankan tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun ini, sebagai contoh pada pertumbuhan kredit. Pertumbuhan kredit tahun lalu (Agustus 2013) mencapai 22,28% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tahun ini (Agustus 2014) yang mencapai 13,93% (yoy). Begitu pula dengan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang pada tahun lalu mencapai 15,28% (yoy), lebih tinggi dibandingkan tahun ini yang mencapai 12,08% (yoy). Pergerakan harga saham juga berbanding terbalik dengan sentimen pelaku perbankan. Berdasarkan survei Bank Indonesia, sejumlah kalangan memperkirakan akan terjadi perlambatan pertumbuhan kredit dan DPK bahkan hingga akhir tahun 2014. Sonny John, Analis UOB KayHian Securities, memperkirakan pertumbuhan kredit tahun ini akan terjadi perlambatan yakni dibawah 20% seiring nilai Loan to Deposit Ratio (LDR) yang telah mencapai batas atas. Sonny John nenambahkan indikator Return on Equity (ROE) dan Return On Asset (ROA) akan tertekan hingga 3-5 tahun ke depan seiring dengan mengecilnya NIM. Namun akan terjadi penguatan dari sisi permodalan dan rasio kredit bermasalah masih dapat dijaga. (Sumber: Bisnis Indonesia, 22 Oktober 2014: 19)
Bank UMKM Disuntik Rp 200 Miliar Sejalan dengan rencana Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk membentuk bank khusus pertanian, pihaknya menambah modal pembentukan divisi khusus pembiayaan pertanian Bank UMKM sebesar Rp 200 Miliar. Soekarwo, Gubernur Provinsi Jawa Timur,mengungkapkan bahwa hal ini telah mendapatkan pertimbangan dari OJK. Terkait pembentukan divisi khusus pertanian, pihaknya menambahkan bahwa teknis pembentukan divisi khusus pertanian tidak sulit hanya perlu dibahas dan disepakati di tingkat pemegang saham dengan konsultasi dengan OJK. Adapun pola bisnis yang dijalankan sama dengan kredit UMKM selama ini tetap memperhatikan kelayakan usaha dan bunga yang dikenakan atas pinjaman sebesar 6%. Upaya ini diperkirakan mampu memperbesar kapitalisasi pertanian, sehingga kontribusinya terhadap ekonomi daerah dapat berkembang signifikan. (Sumber: Bisnis Indonesia, 22 Oktober 2014: 19)
Bank Indonesia Permudah Kliring Kredit Bank Indonesia saat ini sedang mengembangkan sistem pembayaran generasi II untuk mempermudah kliring kredit, bahkan di tingkat Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Yosefin Tyas Emmy, Kepala Sistem Pembayaran Bank Indonesia Wilayah IV Surabaya, pengembangan sistem pembayaran ini dilakukan untuk mempermudah layanan perbankan, sehingga apabila sistem ini sudah berjalan maka transfer antar BPR dapat mendekati riil. Saat ini kliring masih harus ke bank induk dan dibagi kedalam empat sesi, sehingga memerlukan waktu 2 jam. Dengan adanya sistem ini, proses kliring dapat mendekati Real Time Gross Setlement (RTGS). Selain itu, sistem ini pun dapat meningkatkan keamanan, menyesuaikan dengan kode transfer dunia dan merancang integrasi dengan perusahaan penyelenggara transfer dana. Saat ini, sistem kliring ini sedang dimatangkan oleh Bank Indonesia, terkait soal mekanisme dan status kepersertaan BPR dan BPD. (Sumber: Bisnis Indonesia, 22 Oktober 2014: 19)
CIMB Niaga Pacu Dana Murah Menjelang akhir tahun, PT Bank CIMB Niaga saat ini tengah memacu perolehan dana murah dengan menyasar kelas menengah melalui produk tabungan bernama On Account. Budiman Tanjung, Head of Preferred, Private, Wealth Management and Consumer Liabilities Business Bank CIMB Niaga, mengatakan produk ini menyasar kelas menengah dengan usia 25-40 tahun dan mengutamakan kemudahan bertransaksi menggunakan teknologi. Produk ini ditargetkan mampu menarik 100 ribu nasabah dalam 12 bulan sejak produk diluncurkan dan perseroan dapat memperoleh dana sekitar Rp 500 miliar. Untuk mencapai target tersebut, perseroan mengandalkan berbagai fitur dan promo seiring dengan gaya hidup modern. Berdasarkan laporan keuangan pada semester I 2014, CIMB Niaga berhasil menghimpun DPK sebesar Rp 160 triliun, meningkat 12,5% (yoy). Adapun perusahaan menargetkan pertumbuhan DPK mencapai 15% hingga akhir tahun. (Sumber: Bisnis Indonesia, 22 Oktober 2014: 20)
Seleksi Alam Bisnis Uang Elektronik Walaupun telah memberikan izin kepada 18 penerbit uang elektronik, namun hanya sedikit pelaku perbankan yang benar-benar terjun ke dalam bisnis ini. Tingginya nilai investasi dan belum terbukanya peluang pendapatan merupakan kendala utama bisnis ini. Bisnis uang elektronik membutuhkan investasi jangka panjang yang besar, seperti membangun back office
dan infrastruktur seperti electronic data capture (EDC) di jaringan merchant yang diajak kerjasama. Semakin banyak merchant yang bekerjasama maka akan semakin besar pula dana investasi yang harus dikeluarkan. Darmadi Sutanto, Direktur Konsumer dan Ritel PT BNI Tbk menyebutkan telah mengeluarkan dana sebesar Rp 60 Miliar untuk mengembangkan sistem back office dan biaya promosi. Sementara itu, dana yang dikelurkan PT BCA Tbk mencapai Rp 50 miliar. Hal yang sama diakui oleh Eko Budiwiyono, Direktur Utama PT Bank Pembangunan Daerah DKI Jakarta. Menurut Eko, nilai investasi yang tinggi merupakan kendala utama perseroan. Sejauh ini persebaran uang elektronik Bank DKI baru sampai di jaringan Transjakarta dan sejumlah rekanan ritel. Selain dari kalangan perbankan, perusahaan telekomunikasi pun menghadapi tantangan bisnis uang elektronik. Basis pelanggan yang besar tidak menjadi jaminan bisnis uang elektronik akan berhasil karena sejumlah pelanggan belum nyaman dalam melakukan transfer uang melalui rekening telepon. Bank Indonesia sebagai regulator uang elektronik belum memberikan celah untuk meraup pendapatan. Pasalnya Bank Indonesia tidak menyetujui para penerbit untuk mengutip biaya transaksi dan biaya pengisian ulang (top up) kecuali dilakukan di luar jaringan. Tujuan utama bisnis uang elektronik ini adalah mengurangi penggunaan uang tunai. Apabila penerbit memberikan biaya, maka akan mengurangi penggunaan uang elektronik dan masyarakat akan kembali menggunakan uang tunai. Bank Indonesia mempercayai kunci sukses bisnis ini adalah volume. Semakin besar volume uang elektronik, maka potensi uang yang diendapkan dan belum terpakai juga besar. Oleh karena itu, penerbit dapat memanfaatkan pengendapan uang tersebut dengan menyimpannya pada instrumen investasi jangka pendek. Hingga Agustus, Bank Indonesia mencatat nominal transaksi rata-rata uang elektronik mencapai Rp 261 miliar perbulan atau Rp 8,4 miliar per hari. Pencapaian tersebut dinilai kurang memuaskan karena masih memerlukan inovasi produk, penentuan target pasar dan strategi yang lebih menarik. (Sumber: Bisnis Indonesia, 22 Oktober 2014: 20)
Transaksi Kartu Mulai Meningkat Menjelang akhir tahun transaksi menggunakan kartu debet semakin meningkat. Pada September 2014, jumlah transaksi menggunakan kartu debet mencapai 344,5 juta kali dengan nominal sebesar Rp 379 triliun. Adapun nominal transaksi paling tinggi terjadi pada bulan Juli 2014 dengan nilai Rp 410 triliun. Sementara itu untuk transaksi menggunakan kartu kredit tercatat Rp 21,9 triliun, lebih tinggi dibandingkan Agustus yang mencapai Rp 21,5 triliun. Laksono, Card Business Group Head PT Bank Internasional Indonesia, mengatakan kenaikan transaksi baik menggunakan kartu debet maupun kredit cenderung mengikuti siklus. Pasca lebaran transaksi cenderung menurun, namun menjelang akhir tahun transaksi akan naik kembali sejalan dengan meningkatnya permintaan menjelang tahun baru dan hari raya. Walaupun begitu, penggunaan kartu kredit masih akan dibayangi oleh aturan pembatasan kartu dan kemungkinan tahun 2015 akan terjadi kontraksi. Selain itu penggunaan PIN pada
kartu kredit pun akan berpengaruh, apalagi sosialisasi kepada masyarakat belum menyeluruh. Boyke Yurista, Senior Vice President Consumer Cards Group PT Bank Mandiri Tbk, mengungkapkan bahwa penggunaan kartu kredit di Bank Mandiri terus meningkat pada akhir tahun seiring dengan digelarnya sejumlah program baru. Siklus ekonomi di akhir tahun pun diyakini akan mendorong penggunaan uang elektronik atau e-money. Walaupun sempat menurun pada Agustus 2014, transaksi e-money kembali meningkat pada September 2014. Nilai transaksi menggunakan e-money pada September 2014 mencapai Rp 305,5 miliar. Rosmaya Hadi K, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI, menharapkan penetrasi uang elektronik semakin meluas di masyarakat sehingga dapat mengurangi pengunaan uang tunai. (Sumber: Bisnis Indonesia, 22 Oktober 2014: 20)
Likuiditas Mulai Longgar Pada Agustus 2014, likuiditas perbankan semakin longgar terlihat dari indikator LDR yang menurun dibandingkan bulan Sebelumnya. LDR tercatat 90,63%, lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 92,19%. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) Agustus 2014, tercatat pinjaman yang disalurkan perbankan kepada pihak ketiga bukan bank mencapai Rp 3.352 triliun, sedangkan dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun perbankan mencapai Rp 3.699 triliun. Likuiditas perbankan yang mulai longgar ini dikarenakan melambatnya pertumbuhan kredit dan tumbuhnya DPK. Pertumbuhan kredit per Agustus 2014 mencapai 14,06% dibandingkan Agustus 2013 (yoy), lebih rendah dibandingkan pertumbuhan bulan Juli 2014 yang mencapai 15,44% (yoy). Sementara itu, Pertumbuhan DPK justru mengalami peningkatan dari 11,87% (yoy) pada bulan Agustus 2014 menjadi Rp 11,05% pada bulan Juli 2014. Bank Indonesia mengungkapkan LDR berada pada kisaran yang aman yakni 7892%. Walaupun begitu, ada beberapa kelompok bank yang memiliki LDR lebih besar dari 92%, yakni bank asing konvensional sebesar 143,86% dan bank campuran konvensional sebesar 132,62%. Berdasarkan survei yang dilakukan Bank Indonesia, kalangan perbankan memproyeksikan pertumbuhan kredit pada triwulan IV/2014 akan sekitar 14,4%. Sigit Pramono, Ketua Umum Perbanas, mengungkapkan bahwa rendahnya pertumbuhan kredit karena calon debitur masih menahan diri menunggu perkembangan perekonomian ke depan. Kinerja pemerintah minimal dalam 100 hari akan menjadi patokan arah perekonomian kedepannya. A. Prasetyantoko, Pengamat ekonomi Universitas Atma Jaya, mengungkapkan perbankan akan lebih memilih menahan laju kredit karena sulit mengharapkan pertumbuhan DPK secara kontinu. (Sumber: Kompas, 22 Oktober 2014: 20)
Menunggu Pekan Ketiga November 2014 Walaupun sudah ditetapkan sebagai pemenang PT Bank Mutiara Tbk, J Trust Co Ltd tetap harus menjalani uji kepatuhan dan kelayakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator perbankan di Indonesia. Muliaman D. Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK, mengungkapkan uji kepatuhan dan kelayakan yang akan dilakukan sama seperti uji dalam pembelian bank lainnya. Uji tersebut akan dilakukan dengan wawancara untuk melihat kesungguhan dan keseriusan pembelian Bank Mutiara. Adapun batas waktu hasil uji keluar pada tanggal 20 November 2014. Samsu Adi, Sekretaris Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), mengatakan sesuai dengan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS, proses penjualan saham Bank Mutiara harus sudah tuntas pada pekan ketiga bulan November 2014. Adapun mengenai harga Bank Mutiara, pihaknya mengatakan saat ini harga rata-rata bank di Indonesia sekitar 3,2 kali nilai buku. Jika dihitung, dengan ekuitas per Desember 2013 sebesar Rp 1,3 triliun, maka harga Bank Mutiara sekitar Rp 4,16 triliun. Namun bisa saja Bank Mutiara terjual dengan harga 3,5-4 kali nilai buku yakni sekitar Rp 4,55 triliun – Rp 5,2 triliun. Pengambilalihan saham juga sudah disetujui oleh pemegang saham Bank Mutiara dan saat ini sedang menunggu hasil uji kepatuhan dan kelayakan terhadap J trust. Diharapkan dengan pengambilalihan ini, pemilik baru dapat mengembangkan Bank Mutiara. (Sumber: Kompas, 22 Oktober 2014: 20)
Kamis, 23 Oktober 2014
Kredit Meningkat, Laba BRI Tumbuh 19 Persen Laba PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk pada Triwulan III 2014 tercatat Rp 18,12 triliun, meningkat 19% (year on year/yoy) dibandingkan posisi Triwulan III 2013 sebesar Rp 15,23 triliun. Sofyan Basir, Direktur Utama PT BRI Tbk, mengatakan pertumbuhan laba disebabkan oleh peningkatan kredit yang terjadi pada hampir semua segmen. Pada akhir September 2014, total kredit tercatat Rp 464,19 triliun, meningkat 12,32% dibandingkan posisi September 2013 sebesar Rp 148,43 triliun. Segmen pertumbuhan kredit mikro mencatatkan pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 15,8% (yoy). Peningkatan laba terjadi saat posisi LDR sebesar 85,29%. Hingga akhir tahun, diperkirakan pertumbuhan laba masih akan terjadi. Untuk meningkatkan pertumbuhan laba, PT BRI Tbk berupaya untuk meningkatkan kredit dan LDR hingga mencapai 90% karena likuiditas masih akan tetap aman. Dari sisi pendanaan, DPK PT BRI Tbk tercatat Rp 54,27 triliun, tumbuh 19,7% (yoy). Peningkatan DPK terutama bersumber dari peningkatan
rekening tabungan selama setahun sebesar 10 juta rekening. Hingga triwulan III 2014, total rekening PT BRI Tbk mencapai 46,52 triliun. Berbeda halnya dengan PT BRI Tbk, PT Bank Internasional Indonesia Tbk justru mengalami penurunan laba. Laba bersih kumulatif Januari-September 2014 setelah pajak dan kepentingan non-pengendali PT BII Tbk tercatat Rp 340 miliar, menurun dibandingkan kumulatif tahun lalu yang mencapai Rp 1.098 triliun. Sementara itu laba sebelum pajak tercatat Rp 478 miliar. Taswin Zakaria, Presiden Direktur BII, mengatakan penurunan terjadi karena provisi yang lebih tinggi untuk beberapa nasabah korporasi dan tekanan terhadap margin bunga yang turun dari 5,11% ke 4,63%. Adapun penurunan margin bunga tersebut terjadi karena peningkatan biaya dana akibat pengetatan likuiditas perbankan. (Sumber: Kompas, 23 Oktober 2014: 20)
Laba Bersih BRI Bakal Tembus Rp 24 Triliun PT Bank Rakyat Indonesia Tbk optimis akan meraih laba bersih hingga Rp 24 triliun sepanjang tahun ini. Hingga triwulan III 2014, perseroan mampu meraih laba sebesar Rp 18,12 triliun, meningkat 19% dibandingkan tahun lalu. Sofyan Basir, Direktur Utama PT BRI Tbk, berharap pada akhir tahun perseroan dapat mencapai target laba tersebut. Adapun target pertumbuhan kredit pertumbuhan mencapai 15%. Hingga September 2014, BRI sudah menyalurkan kredit sebesar Rp 464,19 triliun, naik 12,32% (yoy). Segmen mikro masih mendominasi penyaluran kredit. Hingga September 2014, penyaluran kredit mikro tercatat Rp 148,43 triliun, meningkat 15,8% (yoy). Adapun jumlah nasabah kredit mikro tercatat 7,1 juta. Peluang memacu kredit diperkirakan masih tinggi seiring dengan LDR yang baru mencapai 85,29%. Hingga Kuartal III 2014, total DPK yang berhasil dihimpun sebesar Rp 544,27 triliun, meningkat 19,7% (yoy). Berdasarkan komposisi DPK, tabungan mencapai Rp 211,11 triliun, deposito sebesar Rp 254,07 triliun dan giro tercatat Rp 79,09 triliun. Adapun posisi NPL gross BRI per September 2014 tercatat 1,89%, di bawah rata-rata industri yang mencapai 2,31% per Agustus 2014. Performa yang baik juga ditunjukkan dari pencapaian NIM sebesar 8,78%. Achmad Baiquni, Direktur Keuangan BRI, mengungkapkan kenaikan NIM disebabkan oleh meningkatnya porsi penyaluran kredit ke sektor-sektor potensial dengan yield yang tinggi. Menurutnya, BRI sempat menaikkan suku bunga di tengah kenaikan cost of fund akibat suku bunga bergerak naik. Suku bunga kredit korporasi, menengah dan konsumer naik dengan rentang 50 bps hingga 100 bps, namun tidak ada kenaikan suku bunga pada kredit mikro. (Sumber: Bisnis Indonesia, 23 Oktober 2014: 1)
Deposito Syariah Lebih Kompetitif Pembatasan suku bunga deposito oleh OJK kepada perbankan konvensional berdampak positif pada perbankan syariah. Pasalnya akibat kebijakan tersebut likuiditas perbankan syariah menjadi membaik. Teguh Saptono, Direktur Bisnis PT BNI Syariah, mengungkapkan produk deposito syariah dengan menggunakan prinsip bagi hasil lebih kompetitif. Berdasarkan laporan keuangan semester I 2014, DPK perseroan telah mencapai Rp 13,50 triliun, meningkat 30,07% (year on year/yoy). Berdasarkan data dari BNI Syariah, tingkat bagi hasil atau nisbah untuk deposito jangka waktu 1, 3, 6 dan 12 bulan masing-masing sebesar 49%, 51%, 53% dan 55%. Menurut Taufik Machrus, Sekretaris Perusahaan PT Bank Syariah Mandiri, simpanan dalam bentuk deposito paling tinggi dan mendorong Financing to Deposit Ratio (FDR) perseroan ke level 85,68% pada September 2014. Hingga September 2014, DPK tercatat Rp 57,57 triliun, meningkat 6,31% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (yoy). Tingginya pertumbuhan DPK terutama berasal dari pertumbuhan deposito sebesar 12,75% (yoy) dan mendorong deposito ke posisi Rp 30,68 triliun hingga September 2014. (Sumber: Bisnis Indonesia, 23 Oktober 2014: 24)
Aset Bank DKI dan BII Melesat Kredit yang tetap tinggi seiring dengan pertumbuhan DPK mendorong sejumlah bank berhasil mendorong asetnya ke level yang lebih tinggi, seperti PT Bank DKI dan PT Bank Internasional Indonesia Tbk. Hingga September 2014, posisi aset Bank DKI mencapai Rp 37,51 triliun, meningkat 22,41% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy). Adapun perolehan dana pihak ketiga (DPK) dan penyaluran kredit tumbuh masing-masing sebesar 15,30% (yoy) dan 28,02% (yoy). Kenaikan ini mendorong laba Bank DKI mencapai Rp 665 miliar, meningkat 8,13% (yoy). Eko Budiwiyono, Direktur Utama PT Bank DKI mengungkapkan bahwa pertumbuhan kredit Bank DKI berada di atas rata-rata pertumbuhan kredit bank nasional. Hal ini dikarenakan terdapat potensi captive market masih perlu dioptimalkan, seperti pembiayaan pembangunan atau infrastruktur. Permodalan Bank DKI yang semakin meningkat mendorong BMPK, sehingga plafon pembiayaan kepada debitur pilihan juga meningkat. Indikator-indikator kesehatan lainnya juga menunjukkan perbaikan. Rasio NPL gross membaik dari 2,79% pada September 2013 menjadi 2,36% per September 2014, sedangkan NPL net tercatat 1,32%, lebih rendah dibandingkan per September 2013 sebesar 1,95%. Indikator ROA, ROE dan BOPO pun masih cenderung terjaga pada levelnya yaitu masing-masing tercatat 2,77%, 20,55% dan 74%. Kendati demikian, Eko menambah bahwa akan terjadi kekhawatiran pengetatan likuiditas di masa mendatang, khususnya yang bersumber dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Sementara itu, PT Bank Internasional Indonesia (BII) tercatat mengalami peningkatan aset sebesar 11% menjadi Rp 104,6 triliun per September 2014. BII juga berhasil mencatatkan laba setelah pajak dan kepentingan non pengendali sebesar Rp 340 miliar. Peningkatan laba ini terjadi setelah ada peningkatan provisi untuk beberapa nasabah korporasi dan tekanan terhadap Net Interest Margin (NIM). Pendapatan operasional sebelum provisi mencapai Rp 2,05 triliun, sementara portofolio kredit mencapai Rp 104,6 triliun dengan simpanan nasabah sebesar Rp 103,6 triliun. Terjadi peningkatan signifikan pada simpanan syariah yakni sebesar 84% (yoy) menjadi Rp 3,5 triliun per September 2014. Secara umum, hingga September 2014, CAR BII mencapai 14,07% dengan modal sebesar Rp 16,4 triliun. Menurut Sri Adiningsih, Ekonom Universitas Gajah Mada, mengatakan kalangan perbankan harus kembali memacu pertumbuhan kredit sebesar 20% demi tercapainya target pertumbuhan sebesar 7%-8% pada tahun 2019. Hal ini didasari bahwa sektor perbankan masih menjadi sumber pendanaan utama di Indonesia. Pertumbuhan kredit yang saat ini dirasakan tidak terlalu tinggi disebabkan oleh adanya pengalihan dana ke pasar modal. Aktifnya dana yang masuk ke pasar modal akan mengurangi tekanan terhadap perbankan. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI), Indonesia memang sempat mencatatkan pertumbuhan kredit di atas 20% tahun lalu, namun pada tahun 2014 ini dirasakan pertumbuhan kredit tidak akan seagresif tahun lalu karena adanya kebijakan Bank Indonesia yang membatasi laju pertumbuhan kredit sebesar 15%-17% dan tekanan ekonomi yang memperlemah fungsi intermediasi perbankan. Sejalan dengan pendapat Sri Adiningsih, survei perbankan triwulan III 2014 menunjukkan pesimisme di kalangan perbankan bahwa pertumbuhan kredit akan berada dibawah target BI. (Sumber: Bisnis Indonesia, 23 Oktober 2014: 24)
Jumat, 24 Oktober 2014
Bank Mandiri Tidak Agresif PT. Bank Mandiri Tbk mengaku tidak akan agresif dalam menyalurkan kredit dan memupuk laba. Hal ini dikarenakan kondisi perekonomian yang masih cenderung sulit. Budi G. Sadikin, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk, mengungkapkan saat ini perseroan masih akan fokus mengutamakan likuiditas, manyalurkan kredit berkualitas dan memelihara margin. Hingga triwulan III 2014, pertumbuhan laba Bank Mandiri tercatat 12,9% (yoy) menjadi Rp 14,3 triliun. Pertumbuhan laba ini ditopang oleh pertumbuhan kredit sebesar 12,4% (yoy) menjadi Rp 506,5 triliun hingga triwulan III 2014. Berdasarkan sektoral, penyaluran ke sektor produktif sebesar Rp 389,4 triliun atau meningkat 14,3% (yoy). Sementara itu, pertumbuhan DPK tercatat 14,9% ke level Rp 590,9 triliun. Budi menambahkan hal ini merupakan hal yang menggembirakan bagi Bank Mandiri, pasalnya perseroan dapat meningkatkan DPK ditengah ketatnya likuiditas yang
melanda perbankan nasional. Adapun LDR Bank Mandiri tercatat 85,31%. Lebih lanjut, Pahala N. Mansury, Direktur Keuangan dan Strategis Bank Mandiri, memperkirakan pertumbuhan kredit akan mencapai 15%-17% pada akhir tahun ini. Adapun pada tahun 2015, perseroan memperkirakan pertumbuhan akan lebih tinggi namun kurang dari 20%. (Sumber: Kompas, 24 Oktober 2014: 19)
Akses harus dipermudah Rasio kredit per PDB Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Rasio kredit per PDB Indonesia saat ini sekitar 36,24%, jauh berada di bawah Malaysia dengan rasio kredit per PDB sebesar 122% dan Thailand sebesar 103%. Darmin Nasution, Ketua Dewan Penasehat Mandiri Institute, mengatakan kondisi ini disebabkan oleh rendahnya akses masyarakat terhadap layanan keuangan formal. Sekitar 48% dari total penduduk Indonesia belum mendapatkan akses kepada layanan keuangan. Lebih lanjut dari jumlah penduduk berusia 15 tahun ke atas, hanya sekitar 20% yang sudah mendapatkan akses layanan keuangan. Persentase ini lebih rendah dibandingkan Malaysia dan Thailand yang masing-masing tercatat 63% dan 77%. Darmin menambahkan dengan meningkatkan akses layanan keuangan kepada masyarakat, maka pertumbuhan ekonomi pun akan lebih optimal. Oleh karena itu, Bank Indonesia dan OJK tengah menggalakkan program layanan keuangan digital dan Branchless Banking. Budi G. Sadikin, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk mengungkapkan bahwa peningkatan akses layanan keuangan harus didukung oleh ekosistem. Seperti contoh, andil PT Bank Mandiri Tbk dan PT BRI Tbk dalam menyalurkan bantuan langsung melalui transaksi non tunai. Jenis penyaluran seperti ini dapat menggeser kebiasaan masyarakat dari konsumtif menjadi penabung. Survesh Suri, Country Manager IFC untuk Indonesia, mengatakan peningkatan akses layanan keuangan dapat mengurangi kemiskinan, seperti contoh melalui peningkatan pembiayaan kepada sektor UMKM. Ronald Waas, Deputi Gubernur Bank Indonesia, mengatakan layanan keuangan digital dapat menjadi solusi karena perkembangan teknologi komunikasi yang semakin pesat. (Sumber: Bisnis Indonesia, 24 Oktober 2014: 20)
Komisi Bank Tak Tergoyahkan Perlambatan sektor perbankan tahun ini tidak berdampak pada perolehan fee based income sejumlah perbankan. Hingga kuartal III 2014, fee based income PT BRI Tbk tercatat Rp 4,2 triliun, meningkatkan 23,8% (year on year/yoy). Peningakatan ini terutama bersumber dari biaya administrasi tabungan dan e-banking. Fee based income dari biaya administrasi tabungan mencapai Rp 2,5 triliun atau berkontribusi sebesar 59,6%. Sementara komisi yang didapat dari
e-banking tercatat Rp 691 miliar atau sekitar 16,3% terhadap total komisi. Ahmad Baiquni, Direktur Keuangan PT BRI Tbk, mengatakan selain kedua komponen tersebut, peningkatan fee based income perseroan berasal dari trade finance, layanan kartu kredit, biaya administrasi kartu kredit dan layanan pembayaran. Randi Anto,Direktur Kepatuhan PT BRI Tbk, mengatakan selain meningkatkan kinerja, perseroan akan fokus kepada layanan e-chanel dan e-banking dalam memacu pertumbuhan laba. Hal ini didasari oleh cakupan nasabah BRI yang cukup besar. Selain BRI, PT BTPN Tbk pun berhasil meningkatkan fee based income ke level Rp 190,7 miliar hingga September 2014, meningkat lebih dari dua lipat dibandingkan tahun lalu yang mencapai Rp 81,1 miliar. Walaupun begitu, BTPN belum berhasil meningkatkan laba. Hingga September 2014, laba BTPN mencapai Rp 1,42 triliun, terkoreksi sebesar Rp 14,68% (yoy). Menurut Jerry Ng, Direktur Utama BTPN, kondisi dinamika ekonomi yang cenderung mengalami perlambatan merupakan faktor penurunan laba tersebut. Lebih lanjut, pihaknya saat ini tengah fokus pada melakukan hal-hal fundamental secara konservatif dan prudent seperti menjaga likuiditas, menjaga kualitas kredit serta pengelolaan biaya bunga maupun operasional dengan cermat. Arief Harris, Direktur Keuangan BTPN, menambahkan selain perlambatan ekonomi, kenaikan suku bunga DPK pun turut berdampak pada penurunan laba. Menanggapi LDR yang telah mencapai 98,18%, Arief mengatakan hal tersebut wajar. Apabila perhitungan LDR memasuknya obligasi dan pinjaman bilateral, maka LDR BTPN masih berada di level 87%. Oleh karena itu, Arief menyarankan agar perhitungan LDR dikaji kembali. (Sumber: Bisnis Indonesia, 24 Oktober 2014: 24)
LPS Rate Siap Turun 50 Bps Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga penjaminan sebesar 25 hingga 50 basis poin. Penurunan ini sebagai respon atas menurunnya suku bunga di pasar. Kartika Wirjoatmodjo, Kepala Eksekutif Lembaga Penjaminan Simpanan, mengatakan kemungkinan penurunan suku bunga penjaminan LPS bukan sebagai respon dari kebijakan pembatasan suku bunga OJK melainkan sebagai langkah lanjutan atas pergerakan suku bunga di pasaran. Lebih lanjutnya pihaknya mengatakan kemungkinan penurunan suku bunga LPS juga didasari oleh kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM, dampak terhadap inflasi serta rencana tapering off. Kartika mengklaim LPS masih memiliki ruang walau sedikit terbatas selama 6 bulan ke depan untuk menurunkan suku bunga hingga 50 bps. Hingga Juli 2014, jumlah nominal yang dijamin LPS sebesar Rp 3.210,70 triliun dengan 151,72 juta rekening. Jumlah tersebut terdiri dari simpanan dengan nominal maksimal Rp 2 miliar sebesar Rp 1.550,52 triliun dan simpanan di atas Rp 2 miliar sebesar Rp 1.660,18 triliun. (Sumber: Bisnis Indonesia, 24 Oktober 2014: 24)
OJK Tutup Tujuh Kantor Bank OJK perwakilan Sumatera Barat menutup tujuh kantor cabang bank umum yang terdiri dari KCP, Kantor Kas dan Payment Point. Penutupan ini berasal dari permintaan bank yang bersangkutan dengan mempertimbangkan bisnis bank tersebut. Bob Haspian, Pengawas Bank Senior Perwakilan OJK Sumbar, mengatakan penutupan tersebut tidak ada kaitannya dengan likuiditasi. Kondisi ekonomi yang tidak stabil, sehingga bank mengubah rencana bisnisnya dengan menurunkan status kantor bank bahkan menutup kantor yang tidak produktif. Yang menjadi perhatian OJK adalah mengawasi penyelesaian bank dengan nasabah, terkait pengalihan nasabah dari kantor yang ditutup ke kantor cabang lainnya. Berdasarkan data OJK Sumbar per Agustus 2014, jumlah kantor bank di daerah itu mencapai 347 unit Kantor Cabang Pembantu (KCP), 84 unit kantor cabang dan satu kantor pusat. Jumlah kantor bank di Sumber mengalami peningkatan sebesar 4,51% (yoy). Di sisi lain, Bank NTB terancam kehilangan layanan cash management system apabila hingga akhir tahun tidak memenuhi persyaratan modal inti sebesar Rp 780 miliar. Yusri, Kepala OJK Perwakilan NTB, mengungkapkan modal inti Bank NTB per September 2014 tercatat Rp 622 miliar sehingga membutuhkan tambahan sebesar Rp 158 miliar. Apabila sampai 31 Desember 2014, tambahan modal tidak direalisasikan, maka regulator akan menghentikan layanan cash management system. Oleh karena itu, regulator berharap pemegang saham segera menambah setoran modal. Pihaknya optimis bahwa pemegang saham dapat memenuhi persyaratan ini. Komari Subakir, Direktur Utama Bank NTB menyampaikan pemegang saham telah berkomitmen menyetor dana tambahan modal inti. Berdasarkan laporan keuangan perseroan, Hingga akhir Juni 2014, total aset Bank NTB mencapai Rp 5,99 triliun dengan total dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 4,77 triliun. Adapun penyaluran kredit tercatat Rp 3,69 triliun dan laba setelah pajak sebesar Rp 106,24 miliar. (Sumber: Bisnis Indonesia, 24 Oktober 2014: 23)
BI Terima 5.512 Pengaduan Menjelang akhir tahun, Bank Indonesia telah menerima 5.512 laporan terkait sistem pembayaran dari masyarakat. Mutiara Sibarani, Asisten Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Divisi Perlindungan Konsumen Sistem Pembayaran BI, mengatakan 84% diantaranya merupakan permintaan informasi, sedangkan sisanya merupakan pengaduan. Untuk menyikapi laporan tersebut, BI memiliki tiga langkah penyelesaian melalui edukasi, konsultasi dan fasilitasi. Sebagian besar laporan tersebut terkait permasalahan kartu kredit, seperti masalah penggantian kartu, card trapping, e-mail phising dan etika penagihan. Kasus yang sering dialami masyarakat adalah tertelan kartu dan pelaku sindikat memasang nomor call center palsu, memasang kamera untuk mengetahui nomor pin nasabah, sehingga sindikat mendapatkan kartu dan nomor pin nasabah. Adapun dalam etika penagihan di antaranya nasabah tidak mampu membayar tagihan kartu kredit sampai jangka waktu yang ditentukan. (Sumber: Bisnis Indonesia, 24 Oktober 2014: 23) ***