“Banking” Weekly Hotlist (9 Februari – 13 Februari 2015) Senin, 9 Februari 2015
Bank RI Dapat Lampu Hijau Pertemuan Presiden RI, Joko Widodo, dengan Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Najib Razak, membuahkan hasil bagi industri perbankan nasional. Pasalnya pemerintah Malaysia berkomitmen memberikan kemudahan bagi bank di Indonesia untuk melakukan ekspansi. Sebelumnya perbankan di Indonesia kerap terkendala dengan proses perizinan, sementara bank Malaysia sangat mudah melakukan ekspansi di Indonesia. Sofyan Djalil, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, menuturkan bahwa saat ini telah ada perbicaraan ke hal teknis. Selain itu, dalam waktu depan akan ada penandatangan nota kesepahaman antara Bank Sentral Malaysia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Penandatangan ini merupakan tindak lanjut dari skema ASEAN Banking Integration Framework (ABIF) yang telah disepakati oleh kesepuluh negara ASEAN. Langkah selanjutnya adalah menentukan bank-bank lokal mana yang saja yang akan berekspansi yang telah memenuhi kualifikasi Qualified ASEAN Bank (QAB) dalam skema ABIF. (Sumber: Bisnis Indonesia, 9 Februari 2015, 1)
Akselerasi Baru Pulih 2016 Walaupun mengalami perbaikan, Bank Indonesia memperkirakan bank tidak dapat segera memacu pertumbuhan kreditnya karena rasio kredit macet yang masih cenderung tinggi. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan kredit akan mencapai 14% - 17% pada tahun 2015. Adapun kredit modal kerja diperkirakan akan mengalami pertumbuhan tertinggi, lalu diikuti oleh kredit investasi. Berdasarkan data Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI), pertumbuhan kredit modal kerja oleh perbankan dan BPR tahun 2014 hanya mencapai 10,67% (year on year), lebih rendah dibandingkan tingkat pertumbuhan tahun-tahun sebelumnya. JP Morgan mengatakan hingga akhir 2016, perbankan di Indonesia masih akan menghadapi tantangan dari rencana kenaikan Fed Fund Rate. (Sumber: Bisnis Indonesia, 9 Februari 2015, 23
OJK Kaji Insentif Pajak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini tengah mengkaji pemberian insentif bagi investor yang mengupakan merger bank. Saat ini, OJK tengah dalam masa penjajakan dengan Dirjen Pajak (DJP). Sebelumnya OJK memberikan insensif kepada investor melalui diskresi batas pemilikan bank. Pasalnya investor dapat memiliki lebih dari 40% saham bank dengan syarat mengakuisisi lebih dari satu bank kemudian menggabungkannya. Menanggapi hal ini, BNI mengungkapkan bahwa pihaknya akan tertarik melakukan akuisisi apabila pemerintah memberikan insentif pajak. Kendati demikian, pihaknya mengakui bahwa rencana akuisisi belum tertera dalam Rencana Bisnis Bank (RBB). Untuk mengakuisisi bank lain, pihaknya harus memastikan terlebih dahulu kontribusi bank yang akan diakuisisi terhadap nilai tambah BNI. (Sumber: Bisnis Indonesia, 9 Februari 2015, 23)
GWM Jadi Salah Satu Instrumen Bank Indonesia berencana menerbitkan beleid mengenai insentif dan disinsentif pada kredit mikro. Insentif akan diberikan kepada bank dengan NPL kredit UMKM dibawah 5%. Selain itu, Bank Indonesia juga akan memasukan instrumen giro wajib minimum (GWM). Saat ini, BI masih menyelesaikan hal-hal teknis mengenai beleid tersebut. Beleid ini secara umum dilakukan untuk menggenjot kualitas dan kuantitas penyaluran kredit UMKM, sehingga akan mendorong bank melakukan penyaluran kredit ke sektor produktif. Beleid ini direncanakan dipastikan akan rampung pada tahun ini. Sementara itu, terkait rencana relaksasi perhitungan LDR, OJK saat ini tengah mengkaji komponen-komponen mana saja dari loan maupun deposit yang akan dimasukkan. Selain itu, pengkajian meliputi kesesuaian batas maksimal saat ini yakni 92%. Perluasan ini akan mendorong perubahan definisi indikator LDR menjadi LFR, yakni Loan to Funding Ratio. (Sumber: Bisnis Indonesia, 9 Februari 2015, 23)
Kontribusi Kredit Bank Turun Porsi pertumbuhan kredit terhadap pertumbuhan ekonomi kian menurun beberapa tahun terakhir. Hingga tahun 2013, pertumbuhan kredit rata-rata lebih besar sekitar 3 kali lipat dibandingkan pertumbuhan ekonomi. Namun sejak tahun 2014, pertumbuhan kredit hanya sebesar 2,6 kali pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tercatat 5,02% dan
pertumbuhan kredit tercatat 11,4%. Penurunan porsi ini bersumber dari beberapa faktor yakni suku bunga, likuiditas dan prospek bisnis. Bank Indonesia mengakui suku bunga perbankan masih cenderung tinggi, sementara likuiditas tidak begitu berpengaruh karena kondisi funding yang masih baik. Kendati demikian, Bank Indonesia yakin bahwa pertumbuhan kredit perbankan akan kembali meningkat pada triwulan II 2015 dan kedepannya. Finalisasi RAPBN-P dinilai dapat mendorong kegiatan investasi dan konsumsi yang lebih tinggi. Ryan Kiryanto, Ekonom BNI mengatakan untuk menghasilkan 1% pertumbuhan ekonomi harus ditopang 6% pertumbuhan kredit. Anika Faisal, Direktur Bank BTPN, menambahkan pemerintah perlu memberikan dukungan pada sektor-sektor yang selama ini belum terjamah oleh perbankan, seperti sektor pertanian dan perikanan. Juniman, Ekonom Bank BII menyebutkan sektor infrastruktur akan mendominasi penyaluran kredit perbankan tahun ini. Lebih lanjut, pihaknya memperkirakan pertumbuhan kredit akan mencapai 16,4%. (Sumber: Bisnis Indonesia, 9 Februari 2015, 23)
Selasa, 10 Februari 2015
Bank Saling Intip Bunga Menurunnya biaya dana mendorong perbankan melakukan penyesuaian suku bunga kredit, khususnya untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Seperti contoh PT BCA Tbk telah menurunkan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) menjadi 10,5%. Selain itu, bank juga menawarkan paket dengan bunga tetap selama 5 tahun. Untuk tahun pertama hingga ketiga, bunga KPR yang ditetapkan sebesar 8,88% sementara dua tahun berikutnya bunga ditetapkan sebesar 9,99%. Sama halnya dengan BCA, BTN saat ini juga berencana untuk menurunkan SBDK KPR pada pertengahan bulan Februari 2015. Andry Asmoro, Ekonom Bank Mandiri mengatakan selain karena tren penurunan biaya dana, penurunan SBDK KPR juga dipengaruhi oleh masih rendahnya outstanding loan. (Sumber: Bisnis Indonesia, 10 Februari 2015, 1)
Dana Parkir di BI Melonjak Perlambatan penyaluran kredit pada triwulan tahun ini mendorong kenaikan penempatan kelebihan dana perbankan di Bank Indonesia melalui Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Fasilitas Simpanan BI (Fasbi). Sejumlah bank, seperti Bank Bukopin, Bank Mayapada dan Bank
Victoria mengaku menempatkan kelebihan dana mereka di kedua instrumen BI tersebut walaupun instrumen-instrumen tersebut memberikan imbal hasil yang lebih kecil. Per akhir 2014, tingkat bunga SBI sebesar 6,9% dan bunga Fasbi sebesar 5,75%. Berdasarkan komposisinya, porsi penempatan tertinggi pada komponen Fasbi yakni sebesar Rp 106,2 triliun per Januari 2015, meningkat 7,44% dibandingkan posisi akhir 2014. Diikuti oleh, instrumen reverse repo sebesar Rp 93,64 triliun, meningkat 4,13% dibandingkan akhir 2014. Sementara itu, SBI cenderung menurun tipis ke Rp 88,29 triliun pada Januri 2015. (Sumber: Bisnis Indonesia, 10 Februari 2015, 1)
Perbankan Keberatan Turunkan Margin Perbankan masih ragu menurunkan suku bunga kredit karena masih harus mempertimbangkan biaya dana. Menurut Gatot M. Suwondo, Ketua Umum Himbara, cost of fund tidak hanya dapat dilihat dari yield-nya saja, pasalnya ada berbagai resiko lain, seperti legal risk. Margin juga tidak dapat dilihat scara general untuk suatu kawasan karena setiap negara memiliki risiko yang berbeda-beda. Persoalan lain yang dihadapi perbankan adalah masih terkonsentrasinya aktivitas perbankan di Pulau Jawa karena pembukaan cabang di luar Jawa masih cenderung mahal. Senada, BRI dan BII pun mengakui pihaknya belum berencana menurunkan suku bunga karena masih akan mengkaji cost of fund dan resikonya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Bank Mayapada. Pihaknya mengatakan penurunan suku bunga akan dilakukan apabila bunga bank yang diberikan oleh bank lebih rendah. Kedepannya, diperkirakan margin bunga akan tertekan seiring dengan perlambatan ekonomi. (Sumber: Indonesia Finance Today, 10 Februari 2015, 1)
Pertumbuhan Ekonomi 2015 di Kisaran 5,3% 5,7% Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5,3% - 5,7% pada tahun 2015. Adapun perkiraan pertumbuhan ekonomi ini terutama ditopang oleh investasi Pembentukan Modal tetap Bruto (PMTB) dan konsumsi masyarakat. Investasi PMTB pemerintah diperkirakan akan meningkat seiring besarnya anggaran infrastruktur dalam APBN. Pertumbuhan PMTB diperkirakan akan meningkat sebesar 5,6%. Sementara itu, penurunan harga BBM akan mendorong pertumbuhan konsumsi masyarakat ke level 5,2%. Kendati demikian, dari sisi perdagangan Indonesia masih
akan menghadapi fenomena penurunan harga komoditas global. Walaupun begitu, kinerja ekspor dapat diperbaiki dengan upaya peningkatan daya saing dan diversifikasi ekspor. Kedua upaya ini diperkirakan dapat mendorong pertumbuhan ekspor sebesar 2,3%. Secara sektoral, pertumbuhan masih akan ditopang oleh sektor-sektor non-tradable seperti pengangkutan dan komunikasi yang diperkirakan akan meningkat sebesar 9,9%; diikuti oleh sektor konstruksi dengan nilai pertumbuhan sebesar 6,8%; sektor keuangan sebesar 6,5% dan sektor jasa-jasa sebesar 5,8%. Josua Pardede, Ekonom BCA, menambahkan pertumbuhan PMTB akan meningkat seiring upaya pemerintah untuk mempermudah perizinan investasi melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Lebih lanjut, pihaknya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dengan range yang lebih sempit yakni 5,3% - 5,5%. (Sumber: Indonesia Finance Today, 10 Februari 2015, 7)
Rabu, 11 Februari 2015
Laba BPD Terancam Eko Budiwiyono, Ketua Umum Asosiasi Bank Daerah (Asbanda), memperkirakan laba BPD akan menurun pada tahun 2015. Faktor utama yang menyebabkan penurunan laba ini adalah masih tingginya biaya dana. Selain itu, laba pun kerap tergerus dengan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN). Berdasarkan data dari OJK, laba bersih yang berhasil dihimpun BPS tercatat Rp 9,36 triliun, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 9,98 triliun. Eko memproyeksikan pertumbuhan kredit BPD akan mencapai 15% - 20% pada tahun 2015. Berbeda halnya dengan proyeksi Asbanda, sejumlah BPD optimis laba tahun 2015 akan lebih besar dibandingkan laba tahun sebelumnya. PT BPD Jawa Tengah yakin tahun ini pihaknya akan dapat menghimpun laba yang tinggi ditopang oleh pertumbuhan kredit ke sektor produktif dan adanya kenaikan fee based income. Pada tahun 2015, pihaknya memproyeksikan pertumbuhan laba akan berkisar antara 9% hingga 10%. (Sumber: Bisnis Indonesia, 11 Februari 2015, 22)
Porsi Deposito Bank BUMN Melesat Berdasarkan data Bank Indonesia, porsi deposito bank BUMN naik sebesar 518 basis poin dibandingkan posisi tahun 2013 menjadi 40,58%. Kenaikan porsi ini berasal dari pertumbuhan deposito sebesar 35,35% (yoy) menjadi Rp 609,13 triliun pada tahun 2014. Kondisi deposito
bank BUMN lebih tinggi dibandingkan kondisi porsi deposito perbankan secara umum yang hanya meningkat 311 basis poin, sementara itu pertumbuhan deposito tercatat 20% (yoy). LPS menilai peningkatan posrsi deposito merupakan bentuk agresivitas bank dalam menghimpun dana. Peningkatan porsi deposito bank BUMN juga sejalan dengan kenaikan suku bunga deposito sebesar 97 basis poin, lebih tinggi dibandingkan kenaikan suku bunga simpanan secara keseluruhan yakni 66 basis poin. Menurut BRI, kenaikan suku bunga ini merupakan dampak dari ketatnya likuiditas, sehingga bank harus meningkatkan bunga untuk menghimpun dana. Kendati demikian, pihaknya juga masih akan terus berupaya meningkatkan porsi dana murah (CASA) untuk mengatasi biaya dana. (Sumber: Bisnis Indonesia, 11 Februari 2015, 23)
Komponen LFR Tingkatkan Daya Saing Bank OJK dan BI menilai bahwa alat ukur kemampuan pendanaan melalui Loan to Funding Ratio (LFR) dapat mendorong Indonesia bersaing dengan negara G-20 karena prinsip dasar alat ukur ini berlaku secara internasional. Bank Indonesia menambahkan bank di Indonesia perlu memiliki alat ukut yang berstandar 100% yang memenuhi kewajiban likuiditas, sehingga apabila kebutuhan likuiditas bank dapat harus siap dan dapat memperhitungkannya secara harian. Hingga Desember 2014, alat likuid bank terhadap non core deposit (AL/NCD) mencapai 98%. Adapun komposisi perhitungan alat likuid terdiri dari 10% deposito, 30% tabungan dan 30% giro. Bank Indonesia mengatakan beleid LFR akan dirilis pada kuartal I 2015. Tujuan utama dikeluarkannya beleid tersebut untuk mendorong penyaluran kredit ke sektor UMKM. Menanggapi hal tersebut, Bank Danamon mengatakan pihaknya akan mempelajari dahulu beleid dari Bank Indonesia tersebut setelah itu pihaknya dapat menerbitkan obligasi sebagai sumber pendanaan. (Sumber: Bisnis Indonesia, 11 Februari 2015, 23)
Kamis, 12 Februari 2015
Likuiditas Menahan Pertumbuhan Kredit Kondisi likuiditas yang ketat pada semester I 2014 menyebabkan pertumbuhan kredit tidak mencapai target tahun 2014 yakni sebesar 15% - 17%. Pada akhir 2014, pertumbuhan kredit perbankan tercatat 11,4% (yoy). Budi Gunandi Sadikin, Direktur Utama Bank Mandiri, mengakui bahwa pihaknya memang memperlambat penyaluran kredit agar likuiditas tetap longgar dan
pada kondisi aman. OJK mengatakan ketatnya likuiditas mendorong kenaikan suku bunga simpanan bank, sehingga biaya dana perbankan kerap meningkat. Besarnya biaya dana menyebabkan penurunan laba bank. NIM perbankan pada November tercatat 4,24%, lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang mencapai sekitar 5%. (Sumber: Kompas, 12 Februari 2015, 20)
Tetap Waspada Kredit Macet LPS mengatakan perbankan masih akan menghadapi resiko tekanan kualitas kredit pada tahun 2015. Sebelumnya pada tahun 2014, NPL sektor komoditas dan pertambangan berada pada posisi yang tinggi, namun menjelang tahun 2015 kondisi kedua sektor tersebut telah menunjukkan perbaikan. Doddy Ariefianto, Kepala Divisi Resiko Perekonomian dan Sistem Keuangan LPS, menuturkan saat ini giliran sektor perdagangan besar dan eceran serta manufaktur yang patut dikhawatirkan oleh perbankan. Pasalnya NPL kedua sektor tersebut kerap tinggi. Sektor perdagangan besar dan eceran mencatat NPL sebesar 3,05% pada November 2014, sementara sektor manufaktur mencatat NPL sebesar 4,70%. Menurutnya, kemungkinan kondisi gagal bayar disebabkan oleh dua hal yakni kebangrutan dan kurangnya aset likuid, sehingga tidak dapat membayar pokok utang dan bunga. Kedua faktor ini dikhawatirkan akan terjadi pada sektor perdagangan besar dan eceran serta manufaktur. Kartiko Wirjoatmodjo, Kepala Eksekutif LPS, menambahkan untuk mengantisipasi hal tersebut, maka Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) sangat diperlukan. (Sumber: Kompas, 12 Februari 2015, 20)
Suku Bunga Bisa Naik Juni Membaiknya data perekonomian Amerika Serikat (AS) mendorong desakan atas diimplementasikannya kebijakan kenaikan Fed Fund Rate oleh the Fed. Jeffrey Lacker, Gubernur the Fed Richmond, mengatakan bahwa menaikkan suku bunga di bulan Juni merupakan opsi yang menarik. Lacker menekannya ekonomi yang melaju lebih cepat membutuhkan suku bunga yang lebih tinggi. John Williams, Gubernur the Fed San Fransisco, mengatakan kebijakan normalisasi semakin dekat seiring perbaikan data tenaga kerja AS. Pada Januari 2015, tingkat pengangguran tercatat pada level 5,7%, jauh lebih rendah dibandingkan posisi tahun 2009 sebesar 10%. (Sumber: Bisnis Indonesia, 12 Februari 2015, 5)
Ada Ruang Hingga 50 Bps OJK meminta perbankan, khususnya bank BUKU III dan IV untuk menurunkan suku bunga kredit sebagai dampak dari kebijakan pembatasan suku bunga deposito. Menurut Irwan Lubis, Deputi Komisioner OJK Bidang Pengawasan Bank 3 mengatakan range penurunan bisa hingga 50 basis poin. Selain itu, OJK akan melakukan pengawasan rutin setiap 3 bulan untuk memastikan bank merealisasikan penurunan suku bunga. Gus Irawan, Wakil Ketua Komisi XI DPR, menuturkan bahwa saat ini tingkat suku bunga kredit mengkhawatiran karena nilainya yang sudah terlalu tinggi. Muliaman D. Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK, mengatakan realisasi belanja infrastruktur dapat menjadi potensi likuiditas untuk perbankan. Menanggapi hal tersebut, kalangan perbankan menilai bahwa kebijakan pembatasan suku bunga deposito belum berdampak pada penurunan cost of fund, sehingga bank masih akan mengkaji mengenai hal tersebut. Adapun Bank BRI sudah berencana untuk menurunkan suku bunga pada tahun ini dengan tingkat penurunan yang bervariasi untuk setiap segmen. (Sumber: Bisnis Indonesia, 12 Februari 2015, 23)
Pemilik Diminta Perkuat Komitmen OJK meminta pemegang saham bank, terutama investor asing untuk lebih memperhatikan kondisi kesehatan bank-bank di Indonesia. Menurut OJK, pemegang saham baik lokal maupun asing wajib memenuhi ketentuan risk based bank rating (RBBR). Selain itu, khusus untuk asing, OJk lebih lanjut meminta bank untuk menyalurkan kredit ke sektor produktif. Menganggapi hal tersebut, manajemen PT Bank Nusantara Parahyangan Tbk mengungkapkan pada tahun ini pihaknya akan fokus memperbaiki kondisi internal untuk meningkatkan kinerja operasional, sehingga akan mempercepat pertumbuhan bank. Komposisi saham BNP dikuasai oleh Jepang yakni Acom Co. Ltd sebesar 66,15%. Pembenahan ini dilakukan karena BNP kerap mencatatkan kenaikan rasio kredit bermasalah. Per November 2014, NPL BNP tercatat 2,67, lebih tinggi dbandingkan posisi November 2013 sebesar 0,79%. Pada tahun ini, bank akan lebih fokus kepada sektor produktif yakni UMKM. (Sumber: Bisnis Indonesia, 12 Februari 2015, 24)
Jumat, 13 Februari 2015
OJK Imbau Perbankan Emisi Obligasi OJK mengimbau agar bank-bank khusus penyalur kredit infrastruktur bisa menjadikan surat utang sebagai sumber pendanaan. Berdasarkan data OJK, sepanjang tahun 2014, sumber pendanaan perbankan masih didominasi oleh DPK dengan kontribusi 97%. Adapun pencarian dana melalui pasar modal, khusunya pasar surat utang baru sekitar 2,1%. Meski demikian, setelah mengalami tren penurunan dalam 3 tahun terakhir, jumlah obligasi yang diterbitkan oleh industri perbankan diperirakan meningkat hingga 54% pada tahun ini karena sejumlah faktor seperti rencana perubahan ketentuan rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR). Adapun saat ini, ada sekitar tujuh bank yang siap menerbitkan surat utang dengan nilai Rp 49,5 triliun. Ketujuh bank tersebut adalah PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN), dengan nilai Rp 11,9 triliun, PT CIMB Niaga Tbk (BNGA) Rp 11,9 triliun, PT Bank OCBC NISP Tbk (NISP) Rp 5,4 triliun, PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BNII) Rp 8,4 triliun, dan PT Bank Pan Indonesia Tbk (PNBN) senilai Rp 4,9 triliun. Sedangkan, kelompok bank yang akan menerbitkan obligasi dalam bentuk valuta asing adalah PT Bank Rakyat Indonesia (BBRI) senilai Rp 5,8 triliun, PT Bank Negara Indonesia (BBNI) Rp 6 triliun. Pencarian dana melalui obligasi ini untuk memperkuat cadangan likuiditas dan penyaluran kredit (Sumber: Bisnis Indonesia, 13 Februari 2015, 13)
Opsi Merger Kian Menguat Opsi menyatukan unit usaha syariah di kalangan bank pembangunan daerah kian menguat menyusul niat kelompok bank ini untuk berbenah serta menguatkan bisnis syariah mereka. OJK menjelaskan ada 2 opsi yang tengah dipikirkan para pimpinan UUS BPD tersebut. Pertama, UUS BPD akan digabung menjadi 1 bank umum syariah. Kedua, melalui langkah penguatan atau suntik modal. Dalam merealisasikan target tersebut, OJK melibatkan baik bank milik pemerintah maupun bank swasta. Adapun, pengembangan industri syariah diperlukan supaya tersedia berbagai moda pembiayaan syariah yang lebih variatif serta peningkatan akses masyarakat terhadap industri tersebut. Bahkan Gubernur BI menargetkan aset perbankan syariah mencapai posisi 20% dari total aset bank secara nasional. (Sumber: Bisnis Indonesia, 13 Februari 2015, 23)
Bisnis Melambat, Laba Tumbuh 19,7 Persen Ditengah perekonomian yang menggeliat di akhir tahun 2014, bisnis perbankan justru melambat. OJK memperkirakan laba industri perbanakn tumbuh sekitar 19,7% mencapai Rp 129 triliun pada tahun 2015. Merujuk data OJK, dana pihak ketiga dan kredit pada Desember 2014 melambat masing-masing dari 13,79% dan 11,89% secara tahunan (yoy) pada November 2014 menjadi 12,29% dan 11,58%. Perlambatan kedua hal itu berpengaruh terhadap perlambatan pertumbuhan total aset pada Desember 2014 di kisaran 13,34% (yoy) dari bulan sebelumnya di kisaran 14,39%. Walaupun pertumbuhan kredit melambat, ada dua sektor yang justru naik, yakni sektor konstruksi dan rumah tangga. Peningkatan kredit sektor konstruksi sejalan dengan program pemerintah yang saat ini fokus pada infrastruktur. Namun, peningkatan kredit konstruksi yang tumbuh 27,2% diikuti diikuti dengan rasio kredit bermasalah (NPL) gross tertinggi mencapai 4,4%. Rasio NPL kredit perdagangan besar dan eceran, serta transportasi, pergudangan, dan komunikasi, juga terus naik sejak awal tahun 2014. (Sumber: Kompas, 6 Februari 2015, 20 )
Profil Risiko 2 Bank Memburuk OJK menyatakan dua bank mencatat penurunan profil risiko sepanjang 2014 lalu. Saat ini jumlah bank yang memiliki peringkat profil risiko level tiga tercatat ada 12 bank dari sebelumnya 10 bank. Dua bank yang mengalami penurunan profil risiko yang berasal dari bank umum kegiatan usaha (BUKU) I atau bank dengan modal di bawah Rp 1 triliun. Dua bank tersebut melakukan ekspansi ke segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tanpa disertai infrastruktur seperti SDM yang memadai. Akibatnya, rasio NPL melonjak sehingga bank perlu menyediakan pencadangan. OJK telah meminta pemegang saham dua bank tersebut untuk menambah modal agar rasio kecukupan modal (CAR) sesuai dengan standar profil risiko. Standar CAR untuk bank yang memiliki profil risiko tiga mencapai 10%-11%. (Sumber: Bisnis Indonesia, 13 Februari 2015, 23)
***