“Banking” Weekly Hotlist (15 Desember – 19 Desember 2014) Senin, 15 Desember 2014
Bank Andalkan Pinjaman Pemerintah Sejumlah perbankan memperkirakan kondisi Pasar Uang Antar Bank (PUAB) akan menghadapi banyak tantangan pada tahun depan. Royke Tumilaar, Managing Director of Treasury, Financial Institutions & Special Asset Management PT Bank Mandiri Tbk mengatakan tantangan terbesar dari kebijakan pinjaman pemerintah. Kendati demikian, pihaknya yakin bahwa kondisi PUAB akan membaik terlihat dari volume transaksi yang lebih besar dibandingkan tahun lalu. Di sisi lain, Achmad Baiquni, Direktur Keuangan PT BRI Tbk, mengungkapkan bahwa realisasi utang pemerintah tidak akan berdampak signifikan. Hartati, Direktur Keuangan PT Bank OCBC NISP Tbk, menambahkan bahwa perbankan memiliki pendanaan alternatif pada tahun depan. Berdasarkan data Bank Indonesia, jumlah bank yang meminjam dan menempatkan dana ke PUAB tercatat masing-masing 81 dan 94 bank dengan volume transaksi harian rata-rata Rp 12,2 triliun, lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang mencapai Rp 10,7 triliun. Adapun hingga kuartal III 2014 suku bunga PUAB overnight (O/N) relatif stabil di 5,86% dan total volume tercatat Rp 11,8 triliun. Selain itu, deposit facility (DF) O/N tercatat Rp 129,4 triliun. (Sumber: Bisnis Indonesia, 15 Desember 2014, 24)
BI Rate Siap Ikuti Kenaikan Bunga the Fed Bank Indonesia akan kembali menaikkan BI Rate menyusul kenaikan Fed Fund Rate oleh the Fed yang diperkirakan akan dilakukan pada awal tahun depan. Solihin M. Juhro, Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, mengatakan selain suku bunga acuan, Bank Indonesia memiliki instrumen lainnya seperti makroprudensial, financial deepening dan sistem pembayaran. Bauran kebijakan tersebut akan dilakukan dalam takaran dan waktu yang tepat sebagai langkah antisipasi tantangan tahun mendatang, seperti perlambatan ekonomi China dan peningkatan utang luar negeri (ULN). Bank Indonesia optimis bahwa pada tahun 2015 ekonomi Indonesia akan membaik. Pasalnya indikator Composit Leading Indicator (CLI) yang dibentuk Bank Indonesia menunjukkan bahwa tahun depan ekonomi Indonesia menunjukkan arah perbaikan. Bank Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berkisar 5,4% - 5,8% dengan inflasi 4+1%. Adapun
pertumbuhan kredit perbankan diproyeksikan tumbuh 15% - 17%. Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, mengatakan hal utama yang paling ditunggu adalah mengenai suku bunga acuan the Fed. Kenaikan BI Rate lebih lanjut sebelumnya telah diperkirakan oleh Ryan Kiryanto, Kepala Ekonom PT BNI Tbk. (Sumber: Bisnis Indonesia, 15 Desember 2014, 24)
Bank Siapkan Skema Khusus Pelaku perbankan menilai bahwa diperlukan skema khusus terkait penyaluran kredit untuk nasabah nelayan dengan memperhatikan pola penghasilan nelayan. Budi Satria, Corporate Secretary PT BRI Tbk, mengungkapkan bahwa saat ini pihaknya tengah menyusun skema khusus tersebut. Skema ini merupakan penyempurnaan dari produk lama perseroan yakni Kredit Umum Pedesaan (Kupedes). Skema ini pun mencakup pola musiman penghasilan nelayan. Sementara itu Anika Faisal, Direktur Kepatuhan PT BTPN Tbk, mengatakan bahwa penyaluran kredit kepada nelayan harus melibatkan kelompok yang lebih besar yang tergabung dalam suatu kluster tertentu untuk mempermudah administrasi dan mitigasi resiko kredit. Anika mengakui bahwa penyaluran kredit ke sektor ini masih sangat rendah mengingat resiko kredit macet yang tergolong tinggi. Oleh karena itu, pihaknya meminta perbankan untuk berhati-hati dalam menyalurkan kredit ke sektor ini. (Sumber: Bisnis Indonesia, 15 Desember 2014, 24)
Selasa, 16 Desember 2014
RI Masih Kalah dari Kenya Transaksi nontunai di Indonesia masih sangat rendah yakni baru sekitar 8% dari total transaksi di Indonesia. Budi Hartono, Vice President Electronic Banking Group PT Bank Mandiri Tbk mengatakan transaksi nontunai perlu untuk ditingkatkan untuk membantu pencatatan Produk Dometik Bruto (PDB) di Indonesia. Kendati demikian, transaksi tunai di Indonesia masih sangat tinggi yakni diperkirakan sebesar US$425 miliar atau sebesar 85% dari total transaksi. Nilai ini jauh lebih tinggi dibandingkan Singapura dan Malaysia yakni masing-masing sebesar 39% dan 42%. Proporsi transaksi nontunai di Indonesia pun bahkan kalah dengan di Kenya. Tingginya tingkat kriminalitas mendorong masyarakat untuk melakukan transaksi nontunai. Menurut Budi dalam kutipannya dari teori ekonomi Friedrich Schneider, meningkatkatnya jumlah transaksi elektronik sebesar 10% akan mengurangi shadow economy sebesar 5%.
(Sumber: Bisnis Indonesia, 16 Desember 2014, 23)
Bank Selektif Tekan NPL OJK meminta perbankan untuk tetap berhati-hati dalam memaju pertumbuhan kredit. Pasalnya sebelum menyalurkan kredit perbankan harus terlebih dahulu mempertajam analisis resiko dan memperkuat kemampuan SDM. Nelson Tampubolon, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, mengatakan perbankan harus mempertajam analisis kredit dengan memperhitungkan kondisi perekonomian. Lebih lanjut, pihaknya menuturkan bahwa sektor pertambangan dan komoditas perlu diwaspadai. Pasalnya permintaan kedua sektor tersebut sedang melambat di pasar global. Namun untuk tahun 2015, baik sektor pertambangan dan komoditas memiliki tren meningkat. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) bulan September 2014, NPL sektor pertambangan meningkat dari September 2013 sebesar 1,47% menjadi 3,21%. Hal yang sama juga terjadi pada sektor pertanian, perburuan dan kehutanan yang meningkat dari 1,62% pada September 2013 menjadi 2,06% pada September 2014. Selain itu, NPL sektor konstruksi pun meningkat menjadi 4,54%, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 3,31%. Menanggapi hal tersebut, Roosniati Salihin, Wapresdir PT Bank Panin Tbk mengatakan perseroan tahun depan akan akan fokus pada penyaluran kredit UMKM yang dinilai lebih tahan terhadap guncangan ekonomi. Pada tahun ini, bisnis perseroan hanya tumbuh sekitar 10% 12% karena ketatnya likuiditas, ketidakstabilan politik akibat pemilu dan perlambatan ekonomi nasional. Demi mendukung penyaluran kredit ke sektor UMKM, perseroan berencana memperluas jaringan kantor cabang ke Indonesia bagian Timur. Sektor telekomunikasi dinilai cukup prospektif, namun belakang penyaluran kredit di sektor ini justru melambat secara signifikan. Berdasarkan Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI), penyaluran kredit di sektor ini hanya meningkat 11,78% (year on year), lebih rendah dibandingkan persentase pada 2 tahun yang lalu yang mencapai 30%. Mira Tayyiba, Kepala Sub Direktorat Pos, telekonomunikasi dan Informatika Bappenas mengatakan sektor telekonomunikasi membutuhkan nilai investasi yang besar yakni mencapai Rp 278 triliun hingga tahun 2019 untuk pembangunan akses intranet berkecepatan tinggi atau pita lebar (broadband). Tambok P. Setyawati, Vice President Division Head Market Intelligence and Business PT BNI Tbk mengaku sektor telekonomunikasi mempunyai prospek yang baik namun perbankan tidak ingin menambah resiko bermasalah. Pasalnya perbankan perlu memperhatikan kemampuan usaha, legalitas dan tenaga ahli sebelum memberikan kredit. Adapun Bank BNI sendiri telah menyalurkan kredit sektor telekomunikasi ke PT Telkom. Tahun ini, BNI menyediakan dana sebesar Rp 11 triliun untuk membiayai sektor telekonomunikasi dan hingga September 2014 realisasi penyaluran kredit tersebut sudah mencapai Rp 8,4 triliun. (Sumber: Bisnis Indonesia, 16 Desember 2014, 24)
OJK Cek Kinerja Keuangan Bank OJK menegaskan hanya bank yang berkinerja baik yang dapat ikut serta dalam program layanan keuangan tanpa kantor. Muliaman D. Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK, mengatakan terdapat beberapa bank yang mengajukan keikutsertaannya dalam Rencana Bisnis Bank (RBB), namun pihaknya akan menyeleksi dengan ketat bank-bank yang mengajukan izin Laku Pandai. Menurutnya hanya bank yang memiliki kesiapan infrastruktur teknologi infromasi dan komitmen pemilik yang menjalankan. Pihaknya juga menyatakan akan secara aktif memantau perkembangan aktivitas bank dan agen untuk melindungi konsumen. Kendati demikian, performa perbankan tahun ini dirasakan menurun. Nelson Tampubolon, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, mengatakan perlambatan sektor perbankan diakibatkan oleh kondisi ekonomi makro. Salah satu bank yang telah menerapkan layanan keuangan tanpa kantor adalah PT BRI Tbk melalui BRILink. (Sumber: Bisnis Indonesia, 16 Desember 2014, 24)
Rabu, 17 Desember 2014
NPL Tinggi, Jumlah Bank Penyalur Dibatasi Pemerintah akan menghentikan bank-bank penyalur Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang memiliki NPL KUR yang tinggi. Hal ini diungkapkan oleh Sofyan Djalil, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI. Menurutnya NPL sudah tidak wajar apabila telah berada di atas kisaran 10% 15%. Lebih lanjutnya, pihaknya meminta OJK untuk mengkaji penyebab tingginya NPL KUR pada bank-bank penyalur. Apabila NPL disebabkan oleh buruknya kualitas KUR sebagai akibat dari masalah bisnis dan merupakan hal yang dapat dihindari maka pemerintah akan membayar penjaminan pinjaman tersebut. Kendati demikian, pemerintah akan terus aktif menyalurkan KUR melalui bank yang memiliki NPL KUR yang rendah, seperti PT BRI Tbk. Rata-rata NPL KUR PT BRI Tbk tercatat 2,7%. Puspayoga, Menteri Koperasi dan UKM RI, akan menurunkan plafon KUR menjadi maksimal sebesar Rp 25 Juta pada Januari 2015. (Sumber: Bisnis Indonesia, 17 Desember 2014, 1)
Biaya Kliring dan RTGS Dibatasi Bank Indonesia pada pertengahan tahun depan akan merilis beleid mengenai pembatasan biaya transaksi yang dikenakan kepada nasabah untuk produk kliring dan RTGS. Untuk Kliring, Bank Indonesia menetapkan biaya transaksi kepada bank sebesar Rp 1.000, sementara kliring sebesar Rp 7.000 pada pagi hari serta Rp 15.000 setelah lewat jam operasional pukul 15.00 WIB. Bramudija, Kepala Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran, mengatakan pembatasan biaya ini akan diluncurkan bersamaan dengan RTGS II yang nantinya dapat menggunakan mata uang asing. Isbandiono Subadi, Wakil Ketua Umum Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), mengatakan biaya perlu dibedakan antara bank kecil dan bank besar. Pasalnya bank kecil sudah selayaknya diberikan biaya yang rendah. Hingga 15 Desember 2014, nominal kliring nasional mencapai Rp 6,6 triliun dengan jumlah transaksi 337.000 transaksi, sementara RTGS mencapai Rp 490 triliun dengan 57.000 transaksi. Selain itu, Bank Indonesia juga akan merilis kliring generasi II. Sukarela Permana, Direktur Departemen Manajemen Sistem Pembayaran mengatakan keunggulan kliring adalah dapat digunakan secara multitransfer. (Sumber: Bisnis Indonesia, 17 Desember 2014, 20)
BI Setuju, OJK Pikir-pikir Untuk mendorong kualitas dan kuantitas kredit mikro, Bank Indonesia setuju untuk memberikan insentif dan disintensif kepada perbankan. Hal ini dilakukan sejalan dengan salah satu fokus regulator yang ingin meningkatkan sektor manufaktur Indonesia. Solihin M. Juhro, Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, mengatakan pengembangan di sektor manufaktur merupakan upaya dalam mendorong Indonesia sebagai hub perdagangan di dunia. Manufaktur yang diharapkan tumbuh adalah manufaktur yang berbasiskan sumber daya alam, sehingga Indonesia tidak perlu lagi ekspor bahan mentah yang akhir-akhir ini menurun akibat menurunnya harga komoditas global. Lain halnya dengan Bank Indonesia, OJK saat ini masih mengkaji terkait aturan pemberian insentif dan disinsentif. Ganjar Mustika, Kepala Departemen Penlitian dan Pengaturan Perbankan OJK mengatakan saat ini pihaknya masih fokus pada program yang akan berlansung yakni laku pandai. Adapun menurut data SPI, NPL UMKM perbankan terlampau membengkak. Menanggapi hak tersebut, Ganjar memberikan akan melakukan upaya lanjutan. Namun apabila salah satu perbankan terus mengalami peningkatan saldo, maka akan dikaji kemungkinan diberikan disinsentif. Hendar, Deputi Gubernur Bank Indonesia, mengatakan pemberian insentif dan eksternal, diharapkan mampu menggenjot kredit UMKM, (Sumber: Bisnis Indonesia, 17 Desember 2014, 20)
Kamis, 18 Desember 2014
Ekonomi RI Tumbuh 5,6% Asian Development Bank (ADB) kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2015 menjadi 5,6%. Sebelumnya ADB memproyeksi Indonesia akan tumbuh sebesar 5,8% pada tahun depan. Edimon Ginting, Ekonom ADB untuk Indonesia mengatakan hanya konsumsi saja yang dapat mendorong ekonomi Indonesia, sementara andil ekspor akan lebih rendah dibandingkan ekspektasi ADB. Selain memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi pada tahun depan, ADB pun memangkas pertumbuhan ekonomi tahun dari sebelumnya sebesar 5,3% menjadi 5,1%. Hal ini disebabkan oleh masih lemahnya investasi dan ekspor di Indonesia. Menurutnya ekspor akan meningikat tipis pada tahun depan, namun tidak cukup kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Investasi pun diperkirakan akan stagnan karena kondisi ekonomi dan politik yang belum menentu. Adapun pos belanja pemerintah masih akan tetap tinggi, namun akan lebih ditopang oleh belanja sektor produktif, seperti untuk pembangunan infrastruktur. (Sumber: Bisnis Indonesia, 18 Desember 2014, 4)
Agunan Jadi Persoalan Nelayan Ono Surono, Ketua HImpunan Nelayan Seluruh Indonesia Jawa Barat mengatakan bahwa Nelayan saat ini tidak mengerti persyaratan yang akan menjadi agunan. Oleh karena itu, pihaknya meminta pemerintah dan perbankan untuk melakukan edukasi agar Nelayan dapat mengerti cara meminjam ke bank. Nelayan kerap membutuhkan dana untuk membiayai pembelian alat tangkap yang lebih modern, tempat penyimpanan ikan dan pembelian kapal. Menurutnya potensi sektor kelautan dan perikanan sangat potensial. Ahmad Irfan, Direktur Direktur Komersial PT BPD Jawa Barat dan Banten Tbk (BJB) mengatakan pihaknya telah mengucurkan kredit di sektor ini, namun belum begitu signifikan. Saat ini pihaknya tengah mengkaji upaya peningkatan kredit di sektor maritim dan akan mempertimbangkannya dengan prinsip prudential banking. Jafar Ismail, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Barat meminta Nelayan untuk ikut dalam koperasi agar tidak terjerat oleh rentenir. Di Sulawesi Utara, dilakukan suatu pendampingan bisnis kepada Nelayan yang merupakan kerjasama antara Bank Indonesia dengan dinas terkait. Luctor E. Tapiheru, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Utara mengatakan hal ini dilakukan untuk menekan resiko kredit bermasalah di sektor maritim. Perbankan enggan masuk ke sektor ini karena resikonya yang tinggi. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 disebutkan bahwa nantinya Bank Pembangunan Daerah (BPD) akan ditunjuk sebagai agen
penyalur kredit untuk sektor maritim. Novie V. B Kaligis, Direktur Pemasaran Bank Sulut, menyambut baik hal ini. (Sumber: Bisnis Indonesia, 18 Desember 2014, 19)
Kredit Investasi Akan Melambat Kondisi suku bunga yang masih tinggi serat defisit neraca perdagangan akan menekan penyaluran kredit investasi perbankan pada tahun depan. Padahal untuk mengejar target pertumbuhan sebesar 5,8% diperlukan struktrur investasi yang lebih besar. Eric Sugandi, Ekonom Standard Chatered, mengatakan kenaikan BI Rate akan memperlambat penyaluran kredit investasi. Pada kuartal III 2015, pihaknya memperkirakan Bank Indonesia akan kembali meningkatkan BI Rate sebesar 50 basis poin menjadi 8, 25%. Berdasarkan data SPI September 2014, kredit investasi tumbuh 16,39% (year on year). Namun seiring dengan peningkatan kredit, NPL kredit investasi pun meningkat dari 1,82% pada September 2013 menjadi 2,5 pada September 2014. Taswin Zakaria, Presiden Direktur PT Bank Internasional Indonesia Tbk mengakui bahwa perlambatan kredit investasi tahun depan disebabkan oleh tingginya suku bunga. Suku bunga yang tinggi pun akan mempengaruhi konsumsi masyarakat sehingga kredit konsumsi pun akan cenderung melambat. Namun perlambatan ini hanya akan berlangsung pada kuartal I 2015. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Mangkoe Sasmito, Direktur Utama Bank Lampung. Pihaknya mengatakan kenaikan harga BBM bersubsidi akan menekan kredit konsumsi hanya hingga awal tahun depan. Sementara di Malang, Jawa Timur, kenaikan BI Rate kerap mempengaruhi kredit pemilikan rumah (KPR). Yan Jimmy, Kepala Sub Bagian Pengawasan Kantor OJK mengatakan KPR mengalami penurunan sebesar 41,24% (year on year). Selain itu, kredit realestate juga menurun 40,11% (year on year). Menurutnya meningkatnya suku bunga acuan kerap meningkatkan pula suku bunga KPR. Bunga KPR yang tinggi mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap rumah. (Sumber: Bisnis Indonesia, 18 Desember 2014, 20)
Jumat, 19 Desember 2014
Kredit Mikro Ditargetkan Naik 4 Kali Lipat OJK menargetkan porsi kredit mikro sebesar 4-5 kali pada akhir pemerintahan Presiden RI, Joko Widodo. Muliaman D. Hadad, Ketua Dewan Komisoner OJK mengatakan hal ini sejalan dengan prioritas pemerintah dalam mendukung sektor maritim di Indonesia. Berdasarkan data statistik OJK, porsi penyaluran kredit perbankan untuk usaha mikro baru mencapai 3,74% dari total penyaluran kredit. Padahal 98,81% dari total usaha di Indonesia merupakan usaha mikro. Oleh karena itu, potensi pembiayaan masih cenderung tinggi. Skema layanan mikro diharapkan mampu mendorong literasi dan inklusi keuangan karena sifatnya yang low cost. Lebih lanjut layanan keuangan mikro dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang saat ini tengah mengalami perlambatan. Berdasarkan survei literasi keuangan tahun 2013, hanya 21,84% masyarakat yang dikategorikan sebagai well literated. Terkait NPL kredit mikro yang cenderung tinggi, Muliaman menambahkan hal tersebut dapat disiasati dengan menggabungkan kredit dengan asuransi mikro. (Sumber: Bisnis Indonesia, 19 Desember 2014, 19)
Bank Waspadai Resiko Valas Sejumlah pelaku perbankan mengakui bahwa fluktuasi nilai tukar kerap memberikan resiko pasar yang tinggi terhadap industri perbankan. Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur PT OCBC NISP Tbk mengatakan resiko utama yang disebabkan oleh fluktuasi nilai tukar adalah resiko pasar, selanjutnya resiko likuiditas dan kredit. Pihaknya menuturkan bahwa bank memiliki rasio intermediasi dalam bentuk valas sebesar 80% dan saat ini memiliki cadangan valas yang cukup ditambah dengan dana valas cadangan dari parent company sebesar US$ 300 Juta yang dapat ditarik. Walaupun begitu, pihaknya berharap agar gejolak nilai tukar akan kembali mereda. Vera Eve Lim, Direktur Keuangan PT Bank Danamon Tbk, mengaku sudah memperkirakan gejolak ini dan saat ini pihaknya akan menjaga likuiditas valas dan memperhatikan resiko nilai tukar tukat. Saat ini, rasio intermediasi valas (LDR) bank Danamon berkisar 40%. Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT BCA Tbk, mengatakan saat ini bank memiliki ekses likuiditas valas sebesar US$ 700 Juta. Menanggapi gejolak nilai tukar, Ronald Waas, Deputi Gubernur Bank Indonesia, mengatakan depresiasi nilai tukar disebabkan oleh tingginya permintaan valas seiring utang sejumlah perusahaan yang akan jatuh tempo pada akhir tahun 2014. Selain itu, melemahnya ekspor Indonesia pun kerap memacu penurunan Rupiah terhadap Dollar AS. Bank Indonesia akan mendorong perusahaan pemerintah dan swasta dalam melakukan lindung nilai (hedging)
dengan merombak aturan utang luar negeri. Peter Jacobs, Direktur Departemen Bank Indonesia mengatakan saat ini pihaknya sedang menyusun penyempurnaan secara detail dan teknis mengenai pinjaman luar negeri, seperti contoh dengan menambahkan detail rasio kewajiban valuta asing dan aset asing. Pada akhir Oktober lalu, Bank Indonesia merilis peraturan mengenai prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan ULN yang akan berlaku pada 1 Januari 2015. Dalam aturan tersebut, sejumlah perusahaan diwajibkan melakukan hedging dan menyediakan valas dalam rasio tertentu. Berdasarkan data dari Bank Indonesia per September 2014, total utang luar negeri tercatat US$ 292,28 miliar, tumbuh 11,19% (year on year). (Sumber: Bisnis Indonesia, 19 Desember 2014, 20) ***