“Banking” Weekly Hotlist (20 April – 24 April 2015) Senin, 20 April 2015
Perbankan Harus Waspadai Kenaikan NPL Sektor Pertambangan Perbankan harus mewaspadai risiko kenaikan kredit bermasalah/ NPL dari empat sektor, salah satunya sektor pertambangan dan penggalian. Menurut Bank Indonesia, sektor tambang dan penggalian memiliki potensi NPL 2,57% per Januari 2015 atau setara dengan 3,9% dari total kredit. Sektor kedua adalah konstruksi dengan NPL 5,25%, yang merupakan NPL tertinggi dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya, dengan porsi 3,9% dari total kredit. Sektor ketiga adalah perdagangan grosir dan ritel, dengan NPL 3,52% atau setara dengan 19,4% dari total kredit. Sektor keempat adalah sektor jasa komunitas, sosio-kultural, hiburan, dan individual, NPL sektor ini 3,50% dengan porsi 1,7% terhadap total kredit. (Sumber: Indonesia Finance Today, 20 April 2015, 9)
BI Dorong Diversifikasi Sumber Dana Bank Bank Indonesia menyatakan perbankan perlu mencari sumber dana jangka panjang guna menekan risiko mismatch dan mengurangi biaya dana. BI akan mengeluarkan beleid terkait dengan perluasan definisi simpanan pada Mei 2015. Ketentuan itu akan menggolongkan sumber dana dari obligasi dan surat utang jangka panjang lainnya ke dalam komponen simpanan sehingga perhitungan LDR akan lebih longgar. Instrumen surat utang yang akan digolongkan sebagai simpanan baru sebatas obligasi. BI juga tengah mengkaji instrumen lain seperti medium term notes dan sertifikat deposito. Namun, semua instrumen harus bertenor panjang dengan jangka waktu di atas satu tahun. Sebagaimana diketahui, dalam ketentuan yang berlaku, perhitungan LDR hanya memperhitungkan tabungan, giro, dan deposito sebagai simpanan. Dalam praktiknya, bank juga menggunakan likuditas lain seperti surat utang dan pinjaman sebagai sumber dana untuk membiayai ekspansi kredit. (Sumber: Bisnis Indonesia, 20 April 2015, 24)
Selasa, 21 April 2015
Bank Asing Wajib Bangun Data Center di Indonesia OJK berencana menerbitkan POJK yang akan mengatur kewajiban bagi bank asing untuk membangun onshore data center (ODC) di Indonesia. Aturan ini ditargetkan selesai tahun ini. Saat ini aturan tersebut dalam proses pembicaraan antara OJK dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dengan adanya aturan tersebut, nasabah individu bank asing mendapatkan jaminan keamanan serta memudahkan OJK mengaudit data nasabah yang bersangkutan jika ada kebutuhan mendesak. Aturan tersebut terbit sebagai aturan teknis dari Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Dalam aturan OJK tersebut akan diatur data mana yang wajib masuk kategori onshore dan mana yang offshore. Jika data masuk kategori onshore, misalnya data nasabah individu bank asing, harus masuk ke data center di Indonesia. Akan tetapi jika nasabahnya bersifat global, yang cabangnya ada di mana-mana, data perusahaan itu bisa disimpan di data center luar negeri. Selain itu data-data manajemen risiko yang menyangkut nasabah global juga bisa ditempatkan di luar negeri. Dari kajian awal, negara Tiongkok dan Myanmar menjadi acuan negara yang menerapkan kebijakan onshore data center. (Sumber: Indonesia Finance Today, 21 April 2015, 1- 9)
NPL BPR Kuartal I/2015 Memburuk OJK mewaspadai tren kenaikan rasio kredit bermasalah pada BPR pada kuartal I/2015. Kenaikan NPL pada industri BPR terjadi dalam tiga bulan awal tahun ini. Posisi NPL pada BPR pada Februari 2015 tercatat 5,3%, namun pada Maret 2015 meningkat menjadi 5,8%. Rasio kredit bermasalah meningkat lantaran kondisi perekonomian di Indonesia hingga saat ini belum stabil. Hal ini dipicu adanya kenaikan harga komoditas sejumlah barang yang berimbas pada kelesuan bisnis serta daya beli yang rendah. Faktor lain, yakni masalah politik di dalam negeri yang belakangan membuat pebisnis khawatir untuk berekspansi. Namun, tingginya NPL di BPR dinilai hanya merupakan gejala temporer. Dengan berbagai upaya perbaikan kinerja BPR, NPL bisa diturunkan dan idealnya berada di level 5%, sesuai batas toleransi dari regulator. (Sumber: Bisnis Indonesia, 21 April 2015, 22)
Implementasi BRC Jilid II : Kredit Produktif Dikaji Ulang Besaran porsi kredit produktif kelompok BPD yang diatur dalam BPD Regional Champion (BRC) Jilid I yang diharapkan dapat diluncurkan dalam waktu dekat. Dalam program BRC Jilid I yang dicanangkan mulai 21 Desember 2010 itu, BPD ditargetkan bisa menyalurkan kredit produktif minimal 40% dari total kredit yang disalurkan, sedangkan 60% sisanya berupa kredit konsumtif. Ketua Asbanda menyatakan bahwa porsi kredit akan dikaji kembali dengan tujuan supaya BPD tidak terlalu mengejar kredit produktif, sedangkan kompetensi bank untuk menyalurkan kredit produktif belum cukup baik. Sehingga kredit bermasalahnya menjadi tinggi kalau tidak diimbangi dengan kompetensi yang memadai. (Sumber: Bisnis Indonesia, 21 April 2015, 23)
Rabu, 22 April 2015
Ketentuan LTV Akan Dilonggarkan OJK berencana melonggarkan ketentuan loan to value (LTV) pada kredit pemilikan rumah (KPR) untuk menggairahkan permintaan kredit di segmen konsumen. Pelonggaran ini juga akan diterapkan pada kredit kendaraan bermotor (KKB). Pelonggaran ini akan membuat uang muka untuk KPR dan KKB diturunkan dari ketentuan yang berlaku saat ini sebesar 20% - 30%. Data statistik perbankan menunjukkan, pertumbuhan KPR dan KPA pada 2011 mencapai 23,4%. Pertumbuhan ini naik menjadi 31,7% pada 2012. Namun, sejak pemberlakuan LTV, pertumbuhan kredit mulai melambat, tercermin dari pertumbuhan tahunan sepanjang 2013 dan 2014 yang masing-masing mencapai 26,6% dan 12,5%. (Sumber: Bisnis Indonesia, 22 April 2015, 24)
Dana Mengendap di Uang Elektronik: BI Pastikan Jadi Hak Pemegang Kartu BI memastikan dana mengendap yang terdapat dalam produk uang elektronik hanya boleh digunakan oleh pemegang kartu, meski OJK mengklaim dana tersebut bisa digunakan dalam bentuk kredit. Adapun, aturan ini juga tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Perubahan Atas PBI Nomor 11/12/PBI/2009 terkait Uang Elektronik. Beleid tersebut menyebutkan nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan. Sementara itu, pemegang merupakan pihak yang menggunakan uang elektronik tersebut. Di sisi lain, OJK menyatakan bahwa dana dari e-money tersebut bisa digunakan bank untuk apa saja, termasuk memberikan kredit. (Sumber: Bisnis Indonesia, 22 April 2015, 24)
LPS Rate Tetap 7,75% LPS memutuskan untuk menetapkan tingkat suku bunga penjaminan untuk periode April hingga Mei 2015 tetap di 7,75% untuk bunga simpanan rupiah. Penetapan besaran tingkat bunga penjaminan mempertimbangkan kondisi suku bunga penjaminan mempertimbangkan kondisi suku bunga simpanan perbankan yang masih cukup tinggi serta kondisi likuiditas yang diperkirakan masih belum melonggar hingga beberapa bulan ke depan. (Sumber: Bisnis Indonesia, 22 April 2015, 24)
DPK Valas Mulai Menumpuk Aktivitas pengelolaan mata uang valas industri perbankan saat ini lebih aktif dalam produk himpunan dana dibandingkan dengan fungsi intermediasi. BI menghimbau kepada bank-bank yang memiliki kelebihan likuiditas valas, untuk bisa disimpan di BI untuk menjembatanai supply dan demand. Sejak nilai tukar rupiah dilepas oleh pemerintah maka asumsi nilai tukar cukup sulit ditetapkan. Untuk meningkatkan aktivitas transaksi derivatif, maka BI juga memperbanyak instrumen pendalaman pasar uang. Semakin bnayak instrumen pasar uang di Indonesia, maka akan permintaan dolar di transaksi spot akan berkurang dan hal tersebut akan mengurangi tekanan pada nilai tukar rupiah. Untuk mengurangi fluktuasi nilai tukar, maka setiap transaksi di Indonesia harus menggunakan nilai rupiah. Selain itu, perlu dipertegas kebijakan devisa hasil ekspor, melakukan intervensi
valas secara terukur. Dari sisi permintaan, korporasi swasta hingga BUMN harus melakukan hedging. Alternatif lain yang bisa ditempuh adalah menggalakkan local currency settlement untuk kegiatan ekspor dan impor, serta melakukan kerja sama dengan negara-negara yang cukup tinggi transaksi ekspor impor. (Sumber: Bisnis Indonesia, 22 April 2015, 23)
Kamis, 23 April 2015
Iuran OJK Lebih Baik Ditiadakan Polemik soal pungutan di industri keuangan kembali menyeruak setelah BI menilai iuran OJK yang dibebankan kepada kalangan industri finansial lebih baik ditiadakan. Hal ini karena selain membebani industri keuangan terutama perbankan, OJK sebagai lembaga pengawas dituntut untuk independen. Komisi XI DPR menjelaskan industri perbankan saat ini dibebani oleh tiga lembaga otoritas, yakni BI, OJK dan LPS. Kepada bank sentral, bank-bank diwajibkan menyimpan dananya di BI dalam bentuk GWM primer sebesar 8% dari total DPK dan GWM primer sebesar 4% dari surat-surat berharga yang dikeluarkan perbankan dengan bunga 2,5%. Adapun LPS , membebani bank dengan premi penjaminan sebesar 0,02% per tahun dari total simpanan yang dijamin dan bank-bank masih ditambah dengan iuran OJK sebesar 0,045% dari aset yang dimiliki bank. Pandangan untuk menghapus iuran OJK tersebut merupakan pandangan baik. Namun, untuk menghapus ketentuan tersebut harus melalui revisi undang-undang. Hal ini disebabkan pungutan tersebut diatur dalam PP Nomor 11/2014. Terlebih, OJK ke depannya diarahkan untuk lepas dari APBN. Saat ini, dana untuk program OJK senialai Rp 1,8 triliun berasal dari APBN dan sekitar Rp 1,8 triliun berasal dari iuran perbankan. Sementara itu, kalangan bankir menolak rencana OJK untuk bebas dari APBN pada 2017. Karena rencana ini dinilai memberatkan perbankan. Apalagi pungutannya sekitar 0,03% dan akan menjadi 0,045% dari aset. Sehingga hal ini akan berpengaruh pada perolehan laba perbankan akibat beban dana yang ditanggung terlalu banyak. (Sumber: Bisnis Indonesia, 23 April 2015, 3)
Rasio NPF Enam Bank di Atas 5% OJK mencatat sebanyak enam bank umum syariah (BUS) mencatat tingkat pembiayaan bermasalah (NPF) gross di atas 5% pada Februari 2015. Padahal, di Desember 2014, jumlah BUS yang mencatat NPF di atas 5% hanya tiga bank. Per Februari 2015, rasio NPF gross 5,1% atau naik 157 basis poin secara tahunan. Kenaikan NPF dipicu oleh perlambatan pertumbuhan pembiayaan. Sektor riil yang melambat membuat pertumbuhan pembiayaan terkena imbas. Hingga Februari 2015, pembiayaan perbankan syariah tumbuh 8,67% menjadi Rp 197,543 triliun. Pertumbuhan sedikit lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan sepanjang 2014 yang mencapai 8,25%. Perbankan syariah harus punya rencana kerja untuk menekan tingkat NPL dan mencegah pemburukan lebih dalam. Karena jika merujuk pada data statistik, pemburukan kualitas pembiayaan di bank syariah berpotensi terus berlanjut. (Sumber: Bisnis Indonesia, 23 April 2015, 24)
Merger Bank Syariah BUMN Berpotensi Molor Merger bank syariah berpotensi molor dari target yang direncanakan jika menggunakan skema penggabungan bertahap yang menitikberatkan pada terjaminnya kualitas bank hasil merger nanti. Sebab, aksi mega merger bank syariah pelat merah tersebut ditargetkan rampung tahun ini, sedangkan sinergi dilakukan bertahap butuh waktu berkisar tiga-empat tahun. Jika penggabungan dilakukan dalam kondisi bank yang belum optimal, berpotensi besar akan mengeluarkan biaya lebih tinggi. Apalagi, jika opsi merger terealisasi, bank syariah tersebut bakal memiliki 26.000 karyawan atau setara dengan jumlah pekerja di bank dengan aset terbesar ke-5 di Indonesia. (Sumber: Bisnis Indonesia, 23 April 2015, 24)
OJK Kian ‘Ramah’ Investor OJK memberikan insentif kepada investor yang berencana mengakuisisi bank, dengan mengizinkan pembelian saham bank domestik lebih dari satu bank. Di sisi lain, OJK kini tengah memperjuangkan insentif pajak untuk investor-investor yang berencana mengakuisisi bankbank di Indonesia. Jika merger dilakukan, maka pajak yang dikenakan juga harus digabungkan , atau ke depannya, tidak akan sesuai dengan harga pasar. Selain itu, OJK juga membuka pintu bagi investor yang bersedia membeli bank kurang sehat atau divestasi sesuai dengan ketentuan regulasi. Namun, setelah pembelian tersebut, investor asing harus melakukan penyehatan dan tidak boleh menjual kembali sesuai dengan waktu yang ditetapkan. (Sumber: Bisnis Indonesia, 23 April 2015, 23)
Ekspansi Bergeser ke Luar Jawa OJK menyatakan dalam 5 – 10 tahun ke depan ekspansi perbankan akan mulai bergeser ke luar Jawa berkat layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif atau laku pandai. Selama ini industri jasa keuangan lebih terkonsentrasi di Jawa. Sementara itu, akses masyarakat terhadap jasa keuangan di wilayah lain seperti kawasan Indonesia Timur masih terbatas. Berdasarkan data statistik perbankan OJK, distribusi penyaluran kredit perbankan masih timpang antara Jawa dengan luar Jawa. Bahkan, sebanyak Rp 1.795,315 triliun atau 48,97% total kredit perbankan disalurkan di Provinsi DKI Jakarta. Adapun, lima provinsi lain di Jawa mencatat porsi penyaluran kredit sebesar 26%. Sementara itu, penyaluarn kredit di Sulawesi, Papua, dan Maluku hanya Rp 179,037 triliun atau 4,88% dari total kredit. Adapun porsi kredit di Sumatera, Kalimantan, dan Bali-Nusa tenggara masing-masing mencapai 11,97%, 4,11%, dan 2,67%. (Sumber: Bisnis Indonesia, 23 April 2015, 23)
Margin Bunga Kian Menipis Margin bunga bersih industri perbankan umum Indonesia terus menipis hingga mencapai 4,06% pada Februari 2015. Pada 2012, margin bunga bersih masih 5,49%. Industri perbankan menghadapi tantangan karena penurunan bunga deposito lebih kecil dibandingkan penurunan suku bunga kredit. Pada 2013, margin bunga bersih (NIM) masih 4,89% lalu menjadi 4,23% akhir tahun 2014. Statistik Perbankan Indonesia per Februari 2015 menunjukkan total pendapatan bunga bersih industri perbankan umum sebesar Rp 262 triliun. Adapun rata-rata total aset produktif sebesar Rp 6.532 triliun. Potensi penurunan NIM masih bisa terjadi, terutama jika penurunan suku bunga deposito tak sebesar penurunan suku bunga kredit. Pada 2014, kenaikan suku bunga kredit lebih rendah dibandingkan kenaikan suku bunga deposito. Perbankan menghadapi persoalan likuiditas dengan rasio pinjaman terhadap simpanan mencapai 92,19% pada Juli 2014. Akibatnya, bank harus menaikkan suku bunga deposito untuk menarik dana nasabah. Upaya mempertahankan rasio likuiditas yang lebih sehat dengan meningkatkan simpanan nasabah itu berdampak pada turunnya NIM industri perbankan. Menjelang akhir tahun lalu, OJK sudah membuat kebijakan dengan membatasi bunga deposito. Bunga deposito bank BUKU IV dibatasi 200 basis poin dari suku bunga acuan BI dan untuk BUKU III dibatasi 225 basis poin dari BI Rate. (Sumber: Bisnis Indonesia, 23 April 2015, 20)
OJK Kaji Penurunan Uang Muka KPR Bank Konvensional OJK dan BI mengkaji penurunan ketentuan LTV untuk kredit perumahan rakyat (KPR) bagi bank konvensional dalam waktu dekat. Menurut pejabat OJK, penurunan ini diputuskan agar masyarakat lebih mudah mendapatkan fasilitas KPR. Penurunan uang muka dinilai perlu karena pertumbuhan indsutri perbankan, khusunya sektor kredit properti semakin melambat. Perlambatan KPR ini sangat dirasakan oleh perbankan syariah. Penurunan uang muka tidak akan diterapkan untuk rumah kedua dan ketiga karena hal itu sudah tidak menjadi suatu kebutuhan. Penurunan uang muka hanya akan diberlakukan untuk rumah pertama. Pascaaturan LTV yang diterbitkan pada 2012 dan 2013, kredit properti melambat. Jika ada kenaikan, hal itu terjadi karena ada kredit lanjutan dari tahun sebelumnya. Sepanjang tahun lalu, kredit pemilikan rumah (KPR) hanya tumbuh 12,51% sedangkan kredit pemilikan apartemen (KPA) tumbuh 9,63%. (Sumber: Indonesia Fianance Today, 23 April 2015, 1-9)
Hedging Syariah Bisa Dilakukan Tanpa OJK OJK mengungkapkan pasca diterbitkan fatwa hedging untuk industri keuangan syariah, para pelaku dapat langsung menyerahkan izin produk tanpa harus menunggu POJK terbit. Hal ini disebabkan sebelum fatwa hedging terbit, sudah ada Peraturan bank Indonesia (PBI) sehingga pelaku industri dapat segera menerbitkan izin produk. Beberapa PBI yang sudah ada sebelumnya yakni PBI Nomor 16/16/PBI/2014 tanggal 17 September 2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak asing, dan akan mulai berlaku pada 10 November 2014. PBI Nomor 16/18/PBI/2014 tanggal 17 Sepetember 2014 tentang Perubahan atas PBI Nomor 15/8/PBI/2013 tentang Transaksi Lindung Nilai kepada Bank (berlaku 10 November 2014) dan PBI Nomor 16/19/PBI/2014 tanggal 17 Se[etember 2014 tentang Penyempurnaan atas PBI Nomor 15/17/PBI/2013 tentang Transaksi swap Lindung Nilai Kepada BI (sudah berlaku mulai 17 September 2014). (Sumber: Bisnis Indonesia, 23 April 2015, 23)
Jumat, 24 April 2015
Perlambatan Ekonomi : Potensi tambahan Likuiditas hanya Rp 485 Triliun Indikator lain yang menunjukkan likuiditas adalah berkurangnya nilai simpanan perbankan di BI baik pada instrumen Fasbi maupun SBI sebesar Rp 50 triliun per 24 April 2015. Menurut salah satu ekonom, perlambatan ekonomi berdampak terhadap kondisi likuiditas perbankan, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi 5,2% pada 2015, potensi peningkatan likuiditas perbankan turun Rp 115,97 triliun dari Rp 600,95 triliun menjadi Rp 485 triliun. Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 5,7% tetapi sejumlah indikator ekonomi pada kuartal I menunjukkan perlambatan. Penurunan terjadi karena penurunan daya beli masyarakat dan investasi. Indikasinya terlihat pada penurunan penjualan semen, kendaraan bermotor, pertumbuhan kredit, dan penurunan impor barang konsumsi. Investasi swasta yang ditunjukkan oleh kredit investasi dan impor barang modal juga menurun. Pertumbuhan kredit investasi turun di bawah 15% pada kuartal I 2015 dibandingkan pada kuartal I 2014 sebesar 34%. (Sumber: Indonesia Finance Today, 28 April 2015, 10) ***