CITRA BURUH PEREMPUAN DALAM FOTO JURNALISTIK (ANALISIS SEMIOTIK FOTO PAMERAN BERANDA PARA BURUH DI RUBRIK FOTOGRAFI HARIAN SURAT KABAR REPUBLIKA EDISI 8 MEI 2013) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh: Arga Sumantri NIM: 109051100023
KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING '6Citra Buruh Perempuan dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika Edisi 8 Mei 2013)" SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
Arga Sumantri
NrM 1090s1100023
19761129 2009r2r
OO1
KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMTJNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAIilryAII DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 143s H I 2014M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Citra Buruh Perempuan dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi
Harian Surat Kabar Republika Edisi 8 Mei 2013 telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada 13 Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) Program Studi Konsentrasi Jumalistik. Jakarta, 13
Januai2[l4
Sidang Munaqasyah Sekretaris,
NrP. 19770st3 2007012 0t8 Penguji II,
W
Fita Fathurrokhmah. M.Si NIP. 19830610 2009 122 001
NIP. 1964 0428 t993 03 1 002
Pembimbing
NIP. 19761129 2009121
001
LEMBAR PERNYATAAN Dengan 1.
ini saya menyatakan bahwa: Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana 1 (S1) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah J akarta 2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan
ini, telah
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
di UIN Syarif
saya
Hidayatullah Jakarta
3. Jika kemudian hari terbukti
bahwa karya
ini hasil plagiat
atau hasil
jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah lakarta
lll
ABSTRAK Arga Sumantri Citra Buruh Perempuan dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika Edisi 8 Mei 2013). Foto jurnalistik merupakan sebuah medium penyampai pesan yang digunakan untuk menyampaikan fakta visual atas suatu realitas kepada masyarakat seluas-luasnya, bahkan sampai pada bagian paling ‘dalam’ dari suatu peristiwa ataupun fenomena sosial budaya masyarakat yang terjadi. Dalam rangka memperingati hari buruh sedunia (MayDay), digelar sebuah pameran foto bertajuk Beranda Para Buruh yang dilaksanakan di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA). Menarik ketika Republika mengangkat kembali perihal pameran tersebut, 8 (delapan) dari 9 (sembilan) foto pameran Beranda Para Buruh yang dimuat di rubrik Fotografi, Republika, edisi 8 Mei 2013 adalah foto dengan tampilan objek buruh perempuan. Objek perempuan dalam medium visual kerap menjadi hal yang menarik bukan hanya dari segi estetika, namun juga pesan atas fakta-fakta sosial yang terjadi terhadap perempuan, dalam hal ini khususnya buruh perempuan di Indonesia. Latar di atas seraya memunculkan pertanyan tentang bagaimana sebenarnya citra buruh perempuan dalam foto jurnalistik di pameran Beranda Para Buruh yang dimuat di rubrik Fotografi, Republika, edisi 8 mei 2013? Dengan mengungkap, apa makna denotasi, makna konotasi, dan makna mitos yang terkandung dalam foto jurnalistik bertajuk Beranda Para Buruh di rubrik Fotografi, Republika, edisi 8 Mei 2013? Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dengan pendekatan kualitatif. Analisa foto dikaji dengan menggunakan metode penelitian semiotik Roland Barthes. Metode penelitian ini memberi titik tekan pada makna denotatif, konotatif, dan mitos. Selanjutnya penulis memperkaya temuan makna dengan mengarahkannya pada permasalahan buruh perempuan serta melihat permasalahan melalui perspektif feminisme sosialis. Dari data yang dikaji lewat semiotik Barthes, diperoleh beberapa data, yakni: Makna denotasi yang memberikan gambaran kepada masyarakat tentang buruh, khususnya buruh perempuan di Indonesia. Dari analisa makna konotasi mengungkapkan keadaan buruh perempuan yang berada pada banyak permasalahan yang membelit dalam kehidupannya. Dari analisa mitos, dapat diketahui bahwasanya dunia buruh perempuan di Indonesia masih sangatlah suram dan kelam. Banyaknya masalah yang dialami kaum buruh perempuan, upah yang masih rendah, tidak adanya tunjangan sosial, kekerasan baik dari segi beban kerja ataupun kekerasan seksual yang diterima kaum buruh perempuan, jika dilihat lewat perspektif feminisme sosialis, merupakan akibat integrasi ideologi patriarki dan sistem kapitalisme. Atas hasil penelitian ini juga kembali dibuktikan bahwasanya foto jurnalistik mampu mengungkapan objektifitas terhadap sebuah fenomena sosial budaya masyarakat yang terjadi. Foto-foto yang ditampilkan bukan hanya sebatas indah tanpa makna, melainkan penuh pesan tentang kondisi buruh perempuan di Indonesia yang secara umum masih tercitrakan kelam dan suram. Melalui fotofoto yang ditampilkan diharap dapat menjadi salah satu kontribusi para fotografer untuk turut serta dalam perjuangan memperbaiki nasib para buruh.
iv
KATA PENGANTAR Bismillahirahmanirrahim Assalamu‟alaikum Wr. Wb Puji syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, dan juga nikmat yang begitu banyak sehingga dengan ridho-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini, shalawat serta salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh keluarga, para sahabat, serta para pengikutnya. Syukur Alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang berjudul “Citra Buruh Perempuan dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika Edisi 8 Mei 2013)”, yang disusun untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Strata 1 (S1), di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama masa penelitian, penyusunan, penulisan, sampai masa penyelesaian skripsi ini penulis mendapat banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Dr. H. Arief Subhan, M.A, serta Wakil Dekan I, Dr. Suparto, M. Ed, MA, Wakil Dekan II, Drs. Jumroni, M.Si, dan Wakil Dekan III, Drs. Wahidin Saputra, MA. 2. Ketua Konsentrasi Jurnalistik, Rubiyanah, M.A serta Sekertaris Jurusan Kosentrasi Jurnalistik Ade Rina Farida, M.Si yang telah
v
banyak meluangkan waktunya untuk membantu menyelesaikan kuliah. 3. Dosen Pembimbing skripsi, sekaligus sahabat istimewa, Rachmat Baihaky MA yang telah membimbing penulis dalam segala hal, terutama dalam menyelesaikan skripsi, sehingga skripsi ini selesai dengan baik dan lancar. 4. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi atas ilmu yang telah diberikan kepada Penulis. 5. Segenap staf Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Perpustakaan Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. 6. Harian Surat Kabar Republika khususnya kepada Yogi Ardhi Cahyadi selaku Redaktur Foto, yang di sela kesibukannya menyempatkan diri untuk menjadi narasumber dalam penelitian ini, begitu juga dengan Diana Putri Tarigan sebagai fotografer, yang juga bersedia menyempatkan waktu sebagai narasummber dan memberi banyak informasi dalam penelitian ini. 7. Kedua orangtua tercinta Bapak Kusman dan Ibu Supiyati atas do‟a dan kasih sayangnya sehingga Peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. 8. Saudara kandung, (Kusnandar dan Lia). Terima kasih atas dukungan, segala bantuannya dan semangatnya sehingga skripsi ini dapat selesai. 9. Kemudian untuk „orang‟ yang selalu memberi perhatian dan semangat pada peneliti serta mengajarkan banyak hal, terima kasih untuk segala dukungan yang telah berikan kepada penulis selama ini. 10. Teman seperjuangan, Faqih, Rifqi, Zaki, Aldi, Sendy, Iqbal, Yusli, semoga persahabatan dan persaudaraan kita akan terus terjalin. Juga buat sahabat-sahabat terbaik, Adam, Wili, Icha, Ambun, Tata, Aldy, Alvi dan lainnya. Terima kasih banyak. 11. Seluruh teman-teman di Klise Fotografi, atas segala pembelajaran dan kekeluargaan nya. Teman-teman Jurnalistik angkatan 2009 dan
vi
teman-teman Fidkom 2009, kalian luar biasa. Teman-teman KKN SAIK, teman-teman AIR FILM serta teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang sudah membantu, memberikan dukungan, saran kepada penulis sampai skripsi ini selesai dengan baik. Penulis menyadari skripsi ini masih belum mencapai kesempurnaan, namun Penulis telah berusaha untuk semaksimal mungkin dengan baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya. Wassalamualaikum Wr. Wb
Penulis
Arga Sumantri
vii
DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………...
i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN……………………….
ii
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………
iii
ABSTRAK ……………………………………………………………...
iv
KATA PENGANTAR …………………………………………………
v
DAFTAR ISI ……………………………………………………... ….... viii DAFTAR TABEL ……………………………………………………… ix DAFTAR GAMBAR……………………………………………………
ix
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……………………………... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ……………………… 6 C. Tujuan ………………………....................................... 6 D. Manfaat Penelitian ………………………................... 7 E. Metodologi Penelitian ……………………………….. 8 F. Tinjauan Pustaka …………………………………….. 11 G. Sistematika Penulisan ……………………………....... 12
BAB II
LANDASAN TEORI A. Tinjauan Umum Tentang Fotografi…………………. 1. Pengertian Fotografi………………………………. 2. Aspek historis Fotografi .….….….….……………. 3. Sejarah Fotografi di Indonesia…………………..... 4. Aliran dalam Fotografi……………………………. 5. Unsur-unsur dalam Fotografi……………………… B. Foto Jurnalistik………………………………………... 1. Pengertian Foto Jurnalistik………………………… 2. Jenis Foto Jurnalistik atau Foto Berita…………….. C. Tinjauan Umum Tentang Semiotik…………………… 1. Pengertian Semiotik / Semiologi…………………... 2. Pandangan Ferdinand De Saussure dan Charles Sanders Peirce……………………………………… 3. Semiotik Foto (Roland Barthes)……………………
BAB III
14 14 16 18 19 22 27 27 29 31 31 33 37
GAMBARAN UMUM HARIAN REPUBLIKA DAN PAMERAN BERANDA PARA BURUH A. Sejarah dan Perkembangan Harian Republika………… 41
viii
B. C. D. E. F.
Motto serta Visi Misi Harian Republika………………. Target Audiens………………………………………... Struktur Redaksi Harian Republika…………………… Tentang Rubrik Fotografi di Republika………………. Pameran Beranda Para Buruh………………………...
44 47 48 48 51
BAB IV
ANALISIS DATA FOTO BERANDA PARA BURUH di RUBRIK FOTOGRAFI HARIAN SURAT KABAR REPUBLIKA EDISI 8 MEI 2013 A. Data Foto 1……………………………………………. 55 B. Analisis Data Foto 1…………………………………... 55 C. Data Foto 2……………………………………………. 65 D. Analisis Data Foto 2…………………………………… 65 E. Data Foto 3……………………………………………. 74 F. Analisis Data Foto 3…………………………………… 74
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………….….…… 83 B. Saran …………………………………………............... 85
DAFTAR PUSTAKA …..………………………………………… … LAMPIRAN-LAMPIRAN ………………………………………. …
87 90
DAFTAR TABEL Tabel 1………………………………………………………….. Tabel 2…………………………………………………………..
34 35
DAFTAR GAMBAR Gambar 1………………………………………………………… Gambar 2………………………………………………………… Gambar 3…………………………………………………………
55 65 74
ix
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Sebagaimana diketahui, media massa cetak layaknya surat kabar dan
majalah, menyajikan informasi atau berita melalui foto dan tulisan. Kedua unsur ini memiliki hubungan yang sangat penting sebagai alat menyajikan informasi bagi khalayak. Tulisan tanpa sebuah foto tentu akan membuat informasi menjadi sedikit “diragukan”, begitupun sebaliknya, foto tidak dapat menjelaskan informasi secara utuh tanpa didukung oleh sebuah tulisan. Dua elemen ini saling ketergantungan satu sama lain dalam kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh media cetak. Seiring dengan terbitnya majalah Life tahun 1937 -1950 di Amerika, dengan editor fotonya Wilson Hicks, yang juga merupakan pelopor foto jurnalis, membuat kehadiran fotografi sebagai salah satu elemen berita berkembang semakin pesat.1 Menarik melihat foto sebagai salah satu elemen penting dalam sebuah media cetak layaknya surat kabar dan majalah. Jika dapat dilihat, fotografi dewasa ini memiliki perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan teknologi yang semakin canggih guna mendukung bidang fotografi dan sifat teknologi yang semakin dekat dengan masyarakat membuat setiap orang kini dapat merekam dan mengabadikan peristiwa kapan saja dan dimana saja. Merekam atau mengabadikan peristiwa sudah seolah menjadi budaya baru ditengah masyarakat. Dengan itu dapat diasumsikan bahwa saat ini aktivitas fotografi bukan hanya dilakoni oleh seorang yang berada dalam dunia profesional sebagai pewarta 1
Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik: Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), h.4
1
2
foto, melainkan sudah menjadi hal yang bersifat massive. Sebagaimana pernyataan Arbain Rambey, seorang pewarta foto senior, dalam satu diskusi terbuka mengatakan, bahwa saat ini semakin banyak orang yang memegang kamera sehingga sulit mendefinisikan istilah “fotografer.” Terlepas dari fenomena tersebut, fotografi dalam perspektif komunikasi sejatinya adalah sebuah media penyampai pesan lewat gambar dan mengandung sarat makna. Bahkan terdapat sebuah pameo terkenal yang menggambarkan bahwa selembar foto dapat berbicara seribu kata. Hal ini seraya menjelaskan bahwa perihal proses penyampaian pesan yang dilakukan manusia tidak hanya terjadi lewat budaya komunikasi yang disepakati bersama baik secara verbal maupun non verbal. Fotografi dalam dunia jurnalistik dikenal dengan istilah foto jurnalistik atau foto berita. Foto jurnalistik merupakan sajian gambar atau foto yang dapat berdiri sendiri sebagai visualisasi suatu peristiwa. Foto jurnalistik pun dapat menjadi pelengkap dan penguat pesan yang disampaikan dalam berita.2 Melihat penjelasan tersebut, foto jurnalistik ternyata dapat memiliki peran ganda, yang pertama sebagai pendamping atau pelengkap berita, dan selanjutnya disatu sisi menjadi berita itu sendiri. Foto jurnalistik dalam media cetak tidak dapat dipahami sebatas penghias mata pembaca ataupun sebatas pengisi ruang kosong pada surat kabar. Melainkan, foto jurnalistik merupakan penunjang isi tulisan sehingga isi berita dapat lebih efektif disampaikan pada pembaca. Minimal, foto jurnalistik bisa menjadi pelengkap berita, atau bahkan secara maksimal justru menjadi berita itu sendiri.
2
Syafrudin Yunus, Jurnalistik Terapan, (Jakarta: PT Ghalia Indonesia, 2010), h. 91.
3
Satu hal yang harus melekat pada karya foto jurnalistik adalah kemampuan wartawan foto dalam melakukan pengamatan yang jitu terhadap objek foto yang akan diambil sehingga mampu menentukan momentum terbaik dari peristiwa untuk di visualisasikan.3 Secara subtantif, foto jurnalistik selayaknya aliran fotografi lainnya tidak begitu meributkan soal teknis. Momentum menjadi nilai yang paling dicari atas hasil dari foto jurnalistik. Penguasaan alat dan teknik fotografi memang dibutuhkan, namun makna atas pesan yang ingin disampaikan melalui foto adalah hal utama dari tujuan foto jurnalistik. Foto jurnalistik dituntut memuat informasi atau pesan. Pesan dalam foto jurnalistik bisa sekadar bagian penting dari sebuah peristiwa yang berlangsung singkat, bisa juga sengaja diciptakan fotografer dari cerita dibalik sebuah peristiwa.4 Esensi pesan menjadi hal yang seolah mutlak lekat dalam praktik foto jurnalistik. Karena secara sederhana dapat dipahami bahwasanya foto jurnalistik adalah foto yang sifatnya informatif dan menarik bagi pembaca, sehingga informasi tersebut dapat tersampaikan pada pembaca dengan sesingkat mungkin. Pesan lewat foto yang ditampilkan dalam media massa biasanya mewakili sudut pandang media tersebut dalam melihat isu-isu politik, ekonomi, ataupun fenomena sosial budaya masyarakat yang terjadi. Sebuah realitas yang ditampilkan media lewat medium foto dapat menimbulkan banyak interpretasi di pikiran pembaca. Hal ini yang kemudian membuat fotografi dalam hal ini foto jurnalistik kerap menjadi hal yang menarik untuk dianalisis, baik dari segi makna, kaitannya dengan realitas sosial budaya masyarakat, ataupun posisinya sebagai salah satu produk media massa. 3 4
Syafrudin Yunus, Jurnalistik Terapan, h. 93. Taufan wijaya, Foto Jurnalistik, (Klaten: CV. SAHABAT, 2011), h. 15.
4
Dewasa ini media massa cukup memberi perhatian khusus terhadap perkembangan fotografi yang semakin banyak diminati masyarakat. Desakan atas persaingan industri media massa membuat masing-masing media dituntut jeli untuk melihat peluang pasar guna menarik pembaca. Republika misalnya, harian surat kabar ini dirasa jeli melihat perkembangan peminat fotografi yang semakin banyak sebagai sebuah peluang pasar. Dalam sepekan, Harian Surat Kabar Republika memiliki 2 rubrik khusus tentang fotografi, yaitu rubrik Fotografi untuk terbitan Rabu, dan rubrik Rana untuk terbitan Sabtu. Dalam rubrik Fotografi, Harian Surat Kabar Republika menyajikan konten yang lebih bersifat informatif perihal wawasan pengetahuan umum tentang fotografi,
dari
perangkat-perangkat
fotografi
ataupun
wawasan
tentang
perkembangan fotografi secara keilmuwan, selain itu, juga menyediakan ruang bagi apresiasi karya foto terpilih bagi para fotografer non professional. Sedangkan rubrik Rana untuk terbitan Sabtu, berisi foto-foto yang menampilkan isu-isu atas realitas yang ada disekitar kita. Serangkain foto tersebut memiliki satu gagasan sesuai tema yang diangkat oleh Harian Surat Kabar Republika. Penulis menemukan hal yang menarik tatkala melihat isi rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013, pada saat itu rubrik Fotografi mengangkat perihal pameran foto bertajuk “Beranda Para Buruh” yang dilakukan di Galeri Antara. Sebelumnya perlu diketahui, Galeri Antara melakukan pameran foto yang mengangkat tema tentang buruh dalam rangka memperingati hari buruh sedunia (may day). Dari sekian banyak foto yang dipamerkan, menarik ketika melihat rubrik Fotografi di Harian Surat Kabar Republika mengangkat kembali pameran tersebut. Melihat isi foto-foto yang ada dalam rubrik Fotografi Harian
5
Surat Kabar Republika edisi 8 mei 2013, 8 dari 9 foto yang ada adalah foto dengan tampilan objek buruh perempuan. Padahal sebagaimana diketahui, pameran foto tersebut bukan hanya berisi foto dengan tampilan objek buruh perempuan. Munculnya perempuan sebagai objek dalam media cetak menjadi sebuah hal yang biasa terjadi, namun gambar atau foto perempuan kerap kali dijadikan sebagai objek penarik perhatian pembaca. Selain itu, isu yang berkaitan tentang kaum perempuan dalam berbagai bidang kerap menjadi isu yang menarik sebagai sebuah informasi. Peneliti melihat ada sebuah pesan tertentu dalam foto jurnalistik yang dapat dieksplorasi secara ilmiah tatkala melihat foto-foto yang ditampilkan rubrik Fotografi di Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013. Melalui metode semiotika, diharapkan mampu memahami sekaligus menggali makna-makna atas karya-karya foto jurnalistik sebagai medium penyampaian pesan. Semiotika yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the study of sign), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sesuatu yang bermakna.5 Untuk itu, berdasarkan pemaparan-pemaparan sebelumnya, peneliti merasa perlu mengeskplorasi permasalahan ini lewat skripsi dengan mengangkat judul “Buruh Perempuan dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika Edisi 8 Mei 2013)”.
5
Kris Budiman, Semiotika Visual, (Yogyakarta: Buku baik, 2003), h.3.
6
B.
Batasan dan Rumusan Masalah Penelitian ini akan difokuskan pada foto-foto dalam rubrik Fotografi di
Harian Surat Kabar Republika yang memuat informasi tentang pameran bertajuk “Beranda Para Buruh” yang dilakukan di Galeri Antara. Peneliti hanya akan menganalisis citra buruh perempuan pada foto yang menampilkan objek perempuan yang dimuat dalam rubrik Fotografi di Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013. Secara garis besar, penulis akan meneliti citra buruh perempuan dalam foto lewat metode semiotik Barthes dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu: 1. Apa makna Denotasi yang terkandung pada foto jurnalistik yang bertajuk Beranda Para Buruh di Rubrik Foografi Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013? 2. Apa makna Konotasi yang terkandung pada foto jurnalistik yang bertajuk Beranda Para Buruh di Rubrik Foografi Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013? 3. Apa makna Mitos yang terkandung pada foto jurnalistik yang bertajuk Beranda Para Buruh di Rubrik Foografi Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013? C.
Tujuan Penelitian Bertolak dari latar belakang masalah dan rumusan masalah yang telah
diungkapkan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
7
1. Mengetahui makna Denotasi yang terkandung pada foto jurnalistik yang bertajuk Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013. 2. Mengetahui makna Konotasi yang terkandung pada foto jurnalistik yang bertajuk Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013. 3. Mengetahui makna Mitos yang terkandung pada foto jurnalistik yang bertajuk Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013.
D.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan referensi,
perbandingan dan kembali mengkaji dari teori tentang komunikasi suatu tanda dan pemaknaannya (semiotik) dalam hal komunikasi visual serta kajian tentang buruh perempuan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam perkembangan dunia fotografi dan kajian buruh perempuan, terutama
yang
berhubungan dengan foto human interest dimana perempuan menjadi point of interest. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan menjadi referensi bagi para pecinta fotografi, praktisi, serta penggiat buruh perempuan dan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam menghasilkan sebuah karya fotografi, sekaligus sebagai bekal dalam mengembangkan kajian tentang buruh
8
perempuan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah kontribusi pribadi untuk memberikan sedikit pemahaman tentang makna simbolis yang terkandung dalam sebuah foto.
E.
Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui metode penelitian deskriptif dengan jenis
kualititatif, serta menggunakan pendekatan konstruktifis guna mengetahui bagaimana bangunan pesan yang terdapat dalam sebuah foto jurnalistik. Pesan tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik penelitian teks media, khusunya analisis semiotika Roland Barthes yang bertujuan untuk menemukan makna di balik tanda dalam foto jurnalistik. Dalam kajian semiotika dikenal beberapa tokoh terkenal selain Barthes, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Ketiganya cukup popular dalam bidang kajian semiotika. Dalam penelitian ini, penulis memilih Barthes karena penulis tertarik dengan formula yang diajukan Barthes dalam membaca foto di dalam tatanan konotasi. Barthes mengajukan 6 tahapan dalam membaca konotasi pada foto, yaitu trick effect, pose, object, photogenia, aestheticisim, dan sintaksis. 2. Subjek dan Objek Penelitian Subjek dari penelitian ini adalah foto-foto yang ada dalam rubrik Rana di Harian Surat Kabar Republika edisi 8 mei 2013. Kemudian objeknya adalah 3 buah foto yang dinilai dapat mewakili dari keseluruhan foto
tentang buruh
perempuan yang dimuat dalam rubrik FOTOGRAFI di Harian Surat Kabar
9
Republika. Narasumber utama guna menggali informasi yang dibutuhkan adalah Redaktur Foto Harian Surat Kabar Republika, fotografer, dan guna memperkaya informasi terkait dengan buruh perempuan, maka penulis juga menggali informasi dari penggiat buruh perempuan. 3. Teknik Pengumpulan Data a. Dokumentasi Adalah dokumen-dokumen berupa foto yang diperoleh dari Harian Surat Kabar Republika, serta referensi-referensi yang didapat dari buku, atau artikelartikel yang didapat dari internet, surat kabar, majalah, jurnal catatan, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan penelitian ini. Data foto syang menjadi subjek penleitian penulis dapat dari arsip Epaper (Electronic Paper) Harian Surat Kabar Republika. b. Wawancara Teknik wawancara (interview) adalah teknik pencarian data/informasi mendalam
yang diajukan kepada
responden/informan dalam bentuk
pertanyaan.6 Peneliti melakukan wawancara kepada pihak terkait, yang dapat membantu peneliti guna menggali informasi lebih mendalam yang berkaitan dengan penelitian. Dalam penelitian ini data tambahan diperoleh dari wawancara kepada Redaktur Foto Harian Surat Kabar Republika sebagai pemilik kebijakan atas tampilan-tampilan foto dalam rubrik Fotografi di Harian Surat Kabar Republika, kemudian guna mendalami foto yang diteliti, penulis mewawancarai fotografer, serta guna memperkaya kajian terkait buruh
6
Mahi M.Hikmat, Metode Penelitian; Dalam Perspektif Ilmu Komunikasi dan Sastra, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h.79.
10
perempuan, data tambahan didalami penulis atas hasil wawancara dengan aktivis atau penggiat buruh perempuan. 4. Teknik Analisis data Teknik analisis data adalah dengan menggunakan semiotika model Roland Barthes yaitu denotasi, konotasi dan mitos. Denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek. Konotasi adalah signifikasi tahap kedua yang menggunakan tanda tahap pertama (penanda dan petanda) sebagai penanda dan memberikannya petanda tambahan. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi tanda bekerja melalui mitos (Myth). Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai „mitos‟, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.7 Selain itu, karena objek foto yang menjadi bahan penelitian ini bersinggungan dengan isu gender, kemudian peneliti juga mengembangkannya lewat padangan feminisme sebagai alat kajian berdasarkan hasil temuan analisis makna pada foto yang menjadi subjek penelitian. 5. Teknik Penulisan Penulisan dalam penelitian ini merujuk kepada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk, yang diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance.
7
h. 71.
Alex Sobur, Semotika Komunikasi, (Bandung: PT. Penerbit Remaja Rosdakarya, 2009),
11
F.
Tinjauan Kepustakaan Peneliti menemukan beberapa skripsi terdahulu yang juga melakukan
penelitian menggunakan analisis semiotik. Dimana penelitian sebelumnya yang menggunakan semiotik sebagai pisau analisis penelitian adalah, “Analisis Semiotika Terhadap Realitas Simbolik Dalam Karya Foto Jurnalistik ED Zoelverdi”, Siti Rahmawati, Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kemudian, skripsi lain juga meneliti foto dan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes, yaitu “Analisis Semiotik Foto Karya Ismar Patrizki pada Pameran Foto Gaza Perkasa tahun 2010”, karya Muhammad Lutfi Rahman, Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2011. Selain itu, satu skripsi lainnya yang penulis jadikan pegangan adalah skripsi yang juga menggunakan semiotika Roland Barthes, yaitu skripsi yang ditulis oleh Husodo Saka Utama, mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Analisis Semiotik Foto Makin Macet Kian Ruwet Pada FotoKita Award 2011”. Dari ketiga skripsi tersebut sama-sama membahas mengenai makna dan simbol pada teks media, dalam hal ini medium foto, menggunakan analisis semiotika. Tetapi, berkaitan dengan foto, skripsi yang akan dianalisis ini berbeda dan dari sumber yang berbeda pula. Maksud tinjauan pustaka ini adalah agar dapat diketahui bahwa yang penulis teliti sekarang tidak sama dengan penelitian dari
12
skripsi-skripsi terdahulu dan dapat menjadi perbandingan dalam hal penelitian menggunakan model semiotika Roland Barthes.
G.
Sistematika Penulisan Guna membuat penulisan skripsi ini semakin terarah, penulis membuat
sistematika penulisan
yang disesuaikan dengan masing-masing bab. Penulis
membaginya menjadi lima bab yang masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab yang merupakan penjelasan dari bab tersebut. Adapun sistematika penulisan tersebut adalah sebagai berikut: BAB I: Pendahuluan, Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang latar belakang masalah, yaitu menjelaskan mengenai fotografi, foto jurnalistik, makna dibalik foto-foto yang dimuat dalam Rubrik Fotografi Harian surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013. Perumusan dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Kepustakaan dan Sistematika penulisan. BAB II: Kerangka Teoritis, dalam bab ini penulis menguraikan tentang teori-teori yang digunakan yang sesuai dengan permasalahan. Seputar fotografi, sejarah dan perkembangannya, tentang fotografi jurnalistik, sejarah fotografi di Indonesia, tinjauan umum tentang semiotik, pandangan Saussure dan Peirce, juga semiotik foto Roland Barthes. BAB III: Profil, menguraikan tentang Harian Surat Kabar Republika, tentang rubrik Fotografi, serta menguraikan sekilas tentang Pameran Beranda Para Buruh
13
BAB IV: Analisis Penelitian, membahas hasil penelitian yang berisi tentang tanda-tanda, makna, pesan yang terdapat pada foto dalam Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013 dengan menggunakan teori Roland Barthes yaitu denotasi, konotasi dan mitos. BAB V: Penutup, kesimpulan dari hasil penelitian serta saran untuk penggiat fotografi dan Mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya Program Studi Jurnalistik tentang makna, peran dan juga kekuatan daya tarik dari foto jurnalistik.
BAB II LANDASAN TEORI A.
Tinjauan Umum Tentang Fotografi 1. Pengertian Fotografi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Fotografi berarti seni
pengambilan gambar dan cahaya pada film atau permukaan yang dipekakan. Istilah fotografi pertama kali dikemukakan oleh seorang ilmuwan Inggris, Sir John Herschell pada tahun 1839. Secara harfiah, kata fotografi berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas dua suku kata, yaitu photos yang berarti cahaya, dan graphos yang berarti melukis, maka secara utuh, fotografi memiliki arti melukis dengan cahaya. Apabila diperhatikan, seni fotografi hanya akan terjadi ketika terdapat unsur cahaya. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada cahaya, maka tidak ada foto yang bisa dibuat. Sejarah fotografi mencatat, sejak masa pra fotografi pada abad 16, para astronom memanfaatkan camera obscura untuk merekam konstelasi bintangbintang secara tepat. Alat bantu ini kemudian digunakan pula untuk bidang-bidang kegiatan lain, termasuk seni lukis, terutama bagi aliran realisme dan naturalisme.1 Sebagai istilah umum, fotografi berarti proses atau metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya. Alat paling populer untuk menangkap cahaya ini adalah kamera. Fotografi umumnya dipandang sebagai suatu proses teknologi yang memungkinkan kita membekukan waktu, gerak, atau peristiwa. Dengan bantuan
1
Seno Gumira Ajidarma, “Kisah Mata”, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), h.1.
14
15
bahan peka cahaya (film dan kertas) mengubahnya menjadi monochrome (hitamputih) ataupun berwarna (di kertas atau bahan transparan), sebuah foto pada dasarnya adalah wujud suatu moment dari satu atau serangkain gerak.2 Aktivitas fotografi sejatinya adalah kegiatan merekam sebuah peristiwa menjadi gambar. Fotografi juga merupakan suatu produk dari seni rupa, selain karena arti harfiahnya, yaitu melukis dengan cahaya, dalam proses perekaman momentum dalam satu frame (bingkai) bukan hanya melibatkan kamera sebagai alat, namun juga melibatkan emosional yang ada dalam diri seorang fotografer. Hal tersebut kemudian mengingatkan pada satu nama, Hendry CartierBresson, seorang fotografer dari Perancis yang mendirikan agensi foto internasional – Magnum Photo, sekaligus sebagai pencetus teori yang terkenal dalam bidang fotografi, dessesive moment, yaitu saat dimana mata, hati, dan pikiran melebur ketika menekan shutter kamera dalam merekam sebuah gambar. Hal demikian seraya menjelaskan, bahwa fotografi bukan hanya bertumpu pada penguasaan teknis operasional kamera secara jitu, melainkan dibutuhkan pula sentuhan nilai estetis saat menyusun komposisi yang baik untuk menghasilkan sebuah karya foto. Kemanapun fotografi sebagai sarana pencipta imaji visual yang terpercaya dimanfaatkan dalam berbagai tujuan dan fungsi. Fotografi selanjutnya berkembang menjadi sarana yang berguna bagi pengembangan ilmu dan teknologi untuk kemaslahatan manusia.3 Perkembangan teknologi yang semakin maju, seraya membuat fotografi menjadi lebih dekat dengan masyarakat. Komunikasi saat ini bukan hanya terjadi 2 3
ED Zoelverdi, Mat Kodak. (Jakarta: PT Temprint, 1985), h.76. Soeprapto Soedjono, Pot-Pourri Fotografi, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2007),h.132
16
lewat budaya yang disepakati bersama, yaitu secara verbal maupun non verbal. Fotografi mampu menempatkan posisinya sebagai media penyampai pesan lewat medium visual. 2. Aspek Historis Fotografi Soeprapto
Soedjono
dalam
bukunya
“Pot-Pourri
Fotografi”,
mengemukakan bahwasanya benih fotografi diyakini telah muncul sejak zaman prasejarah. Adalah animal pictorium, dikenal sebagai penamaan terhadap mahluk pembuat atau pencipta gambar.4 Sejarah mencatat bahwa sejak zaman prasejarah, telah dikenal mahluk yang tinggal di goa-goa dan meninggalkan jejak visual mereka pada dinding goa yang kemudian dikenal dengan pictograph, petroglyph, dan ideograph ketika setiap gambar yang ada bermuatan makna tertentu.5 Karya visual yang ada didalam goa tersebut berkembang menjadi suatu kegiatan yang turun-temurun dan menjadi tradisi yang hidup dalam peradaban manusia sejak dahulu kala sampai saat ini. Tradisi tersebut dikenal dengan pictorialism, yang merupakan bagian dari hasil kebudayaan materiil yang hidup dan berkembang dalam sejarah manusia sebagai awal perkembangan tradisi imaji visual.6 Alma Davenport dalam bukunya “The History of Photography”, disebutkan bahwa pada abad ke-5 Sebelum Masehi (SM), seorang lelaki
4
Soeprapto Soedjono, Pot-Pourri Fotografi, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti ,2007), h.131 5 Soeprapto Soedjono, Pot-Pourri Fotografi 6 Soeprapto Soedjono, Pot-Pourri Fotografi, h.132
17
berkebangsaan Cina bernama Mo Ti sudah mengamati sebuah gejala fotografi.7 Gejala dimana masuknya cahaya pada dinding ruangan gelap yang terdapat lubang kecil (pinhole), yang menyebabkan pemandangan yang ada di luar akan terefleksikan secara terbalik lewat lubang tadi. Dalam sejarah islam sendiri, lahirnya fotografi tidak bisa dilepaskan dari peran fisikawan muslim, Ibnu Al-Haitam, yang dalam sejarah dunia mencatat, seorang fisikawan muslim ini merupakan penemu dari lensa, yaitu benda yang terbuat dari kaca yang mampu membiaskan ataupun juga memfokuskan cahaya pada jarak tertentu.8 Peristiwa masuknya cahaya pada lubang tenda Ibnu Al Haitam, sehingga memproyeksikan bayangan ke dalamnya, menjadi insprasi dan disinyalir merupakan cikal bakal lahirnya kamera obscura, yang merupakan prototipe dari kamera yang kita kenal saat ini. Pada awalnya, kamera sebagai alat fotografi benar-benar berbentuk kamar yang berukuran cukup besar dan kedap cahaya. Terdapat lubang kecil seukuran jarum atau yang kemudian dikenal dengan pinhole ditengahnya, lubang tesebut berfungsi untuk masuknya cahaya sehingga terproyeksi pada dinding disisi lainnya. Pada tahapan ini,gambar yang dihasilkan masih samar atau kurang begitu jelas, oleh sebab itu kamera obscura kurang diminati. Biasanya penggunaan kamera obscura ini hanya untuk mempermudah proses menggambar yang masih dilakukan secara manual. Selanjutnya dalam buku Pot-Pourri Fotografi karya Soeprapto Soedjono pun dikemukakan bahwasanya ada beberapa tokoh yang disebut menjadi pionir 7
Bonny Dwifriansyah, “Sejarah Fotografi Dunia: dari Mo Ti hingga Mendur bersaudara”, dari artikel http://www.pasarkreasi.com/news/detail/photography/67/sejarahfotografi-dunia Artikel diakses pada 11 Oktober 2013 8 Bonny Dwifriansyah, “Sejarah Fotografi Dunia: dari Mo Ti hingga Mendur bersaudara”
18
dalam dunia fotografi modern, yaitu Niepce, Louis Jacques Mande Daguerre, dan William Hendry Fox Talbot.9 3. Sejarah Fotografi di Indonesia Fotografi sendiri masuk ke Indonesia diyakini lewat jalur kolonialisme. Pada mulanya, fotografi digunakan oleh para ilmuwan dari negara-negara kolonial sebagai pelengkap data yang berfungsi untuk memberikan gambaran visual secara jelas kehidupan masyarakat dari negara yang akan mereka jajah. Hal tersebut dilakukan guna mengetahui potensi dan kondisi geografis wilayah jajahan terlihat lebih rinci. Taufan Wijaya dalam bukunya Foto Jurnalistik menyebutkan bahwa Juriaan Munich, seorang utusan kementrian kolonial, adalah orang yang membawa fotografi masuk ke Indonesia lewat jalan laut di Batavia pada tahun 1841.10 Munich diberi tugas mengabadikan tanaman-tanaman serta kondisi alam yang ada di Indonesia sebagai cara untuk mendapatkan informasi seputar kondisi alam. Sejak saat itu, kamera menjadi bagian dari teknologi modern yang dipakai pemerintah Belanda untuk menjalankan kebijakan barunya. Penguasaan dan kontrol terhadap tanah jajahan tidak lagi dilakukan dengan membangun benteng pertahanan atau penempatan pasukan dan meriam, melainkan dengan cara menguasai teknologi transportasi dan komunikasi modern. Dalam kerangka ini, fotografi menjalankan fungsinya lewat pekerja administratif kolonial, pegawai pengadilan, opsir militer, dan misionaris.
9
Soeprapto Soedjono, Pot-Pourri Fotografi,h.59 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik,(Klaten: CV SAHABAT,2011),h.6
10
19
Latar diatas seraya menjelaskan mengapa selama 100 tahun keberadaan fotografi di Indonesia (1841-1941) perkembangannya sangat lambat, sebab penguasaan alat ini secara eksklusif ada di tangan orang Eropa, sedikit orang Cina, dan Jepang. Selama kurun waktu yang sangat lama itu, fotografi di Indonesia praktis tidak memiliki perkembangan akibat kolonialisasi yang dilakukan Belanda. Sampai kemudian dikenal nama Kassian Cephas, seorang fotografer berdarah pribumi pertama yang merupakan anak angkat pasangan Belanda dengan foto pertamanya yang diidentifikasi bertahun 1875.11 Cephas kemudian dikenal dalam dunia fotografi sebagai fotografer Keraton Yogyakarta, tepatnya pada era kekuasaan Sri Sultan Hamengkubuono ke-VII. Foto tertua Cephas yang ditemukan adalah karyanya yang dibuat pada tahun 1875. 4. Aliran dalam Fotografi Aliran dalam hal ini bukanlah tentang faham tertentu, melainkan melihat fotografi
dari
ragam
dan
karakternya,
serta
penggunaan
foto
dalam
peruntukkannya. Dilihat dari ragam foto yang berkembang, terdapat karakter menonjol dan khas yang dapat terlihat secara kasat mata serta membedakan jenis foto tertentu dengan jenis lainnya, hal ini dikarenakan oleh kayanya ragam dalam kajian seni visual yang telah diawali oleh seni lukis, leluhur dari fotografi. Terdapat beberapa aliran dalam fotografi, antara lain: 1)
Fine Art Photography Fine art dikenal juga dengan aliran fotografi seni murni. karena
merupakan sebuah karya seni, maka tak ada pakem, plot, ataupun aturan baku
11
Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik.
20
dalam aliran ini. Perkembangannya mengikuti arus perubahan budaya seni yang sedang berkembang. Jika dilihat dari subjek fotonya pun beragam dan tak terbatas, nilainya sangat erat dengan subjektifitas sang fotografer. 2)
Landscape Photography Landscape photography merupakan salah satu aliran foto yang bisa
dikatakan cukup popular. Foto yang menampilkan keindahan alam ini banyak diminati, karena foto pemandangan alam (landscape) mudah dicerna dan dinikmati oleh berbagai kalangan. Seiring perkembangannya, bermunculan foto yang senada dengan landscape photography, diantaranya yaitu, foto pemandangan kota (cityscape), dan foto pemandangan laut (seascape). 3)
Portraiture Photography Foto portraiture atau yang dikenal pula dengan istilah foto potret,
menampilkan manusia sebagai subjek utamanya. Ciri khas dari aliran foto ini adalah kemampuannya untuk menggambarkan karakter seseorang dalam sebuah gambar. Terkadang foto portraiture tampil dengan natural, namun karakter tokoh utamanya tetap nampak secara jelas. 4)
Comercial Photography Foto
komersial
ini adalah jenis
aliran foto
yang memang
mengkhususkan posisinya pada kebutuhan periklanan. Ragam foto yang dibuat adalah dari tampilan sampel produk hingga visualisasi citra produk tersebut (brand image). 5)
Still-Live Photography Still-live photo adalah aliran fotografi yang secara khas memotret
benda-benda mati. Walaupun subjek fotonya adalah benda mati, namun foto-
21
foto yang dihasilkan terkesan hidup, karena benda-benda dibentuk oleh fotografernya hingga terkesan memiliki sifat karakter, dam pesan tertentu. 6)
Documentary Photography Bisa dikatakan foto dokumenter adalah asal-muasal dari fotografi itu
sendiri. Fungsinya sebagai perekam dan saksi visual atas kehidupan dan budaya suatu masyarakat, sudah dimulai sejak fotografi bersama para ilmuan dunia berlayar mengelilingi permukaan bumi. 7)
Wild-life Photography Hampir serupa dengan foto dokumenter, namun yang direkam bukan
tentang kebudayaan masyarakat tertentu, melainkan kehidupan binatang liar di habitat aslinya. 8)
Journalism Photography Bisa juga dikatakan sebagai foto berita, sebab unsur dasar dari foto
jurnalistik adalah nilai berita yang mutlak terkandung di dalamnya. Foto juga harus memuat informasi 5W+H, yaitu; what, who, when, where, why + how, asupan informasi yang harus dipenuhi sehingga dapat dikategorikan sebagai sebuah berita. Foto berita biasanya dilengkapi pula oleh caption / keterangan foto. 9)
Street Photography Street photography adalah aliran foto yang berkembang seiring dengan
pertumbuhan budaya akibat arus urbanisasi (urban culture). Foto-fotonya sangat khas, baik dari segi display maupun subjek dari foto itu sendiri sangat kental dengan budaya urban.
22
5. Unsur-unsur dalam Fotografi a. Unsur Teknis 1) Pencahayaan Secara harfiah, fotografi adalah melukis dengan cahaya. Apabila fotografi di analogikan sebagai suatu lukisan, maka dapat dikatakan cahaya adalah cat lukisnya, sedangkan film atau sensor digital adalah kanvasnya, serta kamera itu sendiri adalah kuasnya. Oleh karena itu cahaya adalah unsur utama dari fotografi, dan diperlukan kecakapan teknis penguasaan kamera untuk mengaturnya, mengingat kanvas dalam fotografi adalah benda yang sangat peka terhadap cahaya, kesalahan dalam pencahayaan dapat berakibat kerusakan permanen pada foto. Pencahayaan (exposure) adalah proses pemasukan cahaya untuk mengekspos medium peka cahaya baik berupa film maupun sensor digital pada tingkat luminitas tertentu sehingga terekam sebuah gambar. Ada tiga unsur dalam pengaturan tingkat pencahayaan, yaitu: a) Rana atau speed (s), yaitu jendela pada kamera yang mengatur masuknya cahaya dengan cara buka-tutup dalam satuan waktu tertentu sehingga dapat mengatur cepat-lambatnya cahaya masuk kedalam kamera. Satuan angka indikatornya dimulai dari: 1 (satu detik); 2 (1/2 detik); 4; 8; 15; 30; 60; 125; 250; 500; 1000; 2000; 4000; 8000. b) Diafragma (f/), mengatur lebar-sempitnya bukaan lubang cahaya pada lensa, yang bekerja untuk menyesuaikan sedikit-banyaknya cahaya yang masuk kedalam kamera. Satuan angka indikatornya antara lain: 1,2; 2; 3,5; 4; 5,6; 8; 11; 16; 22; 32.
23
c) Tingkat kepekaan film atau sensor digital dalam menangkap cahaya yang dinyatakan dalam satuan International Standard Organization (ISO). Angka indikatornya: 50; 100; 200; 400; 800; 1600; 3200; 6400.12 Untuk mengukur ketepatan pencahayaan pada suatu tingkat luminitas tertentu, digunakan light meter, baik yang terdapat dalam kamera ataupun light meter genggam (hand healt). Light meter berguna sebagai petunjuk untuk mendapatkan pencahayaan dengan kombinasi dari bukaan f/, s, dan ISO dalam satuan tepat (normal/correct), kurang (under), dan lebih (over) dalam suatu kondisi cahaya tertentu. Bila dilihat dari sumbernya, cahaya memiliki dua jenis pencahayaan, yaitu: cahaya natural (avaliable light), yaitu matahari; serta cahaya buatan (artificial light), yaitu cahaya yang bersumber baik dari berbagai jenis lampu, cahaya lilin, maupun lampu flash/blitz. 2) Tehnik Pemotretan `
Selain memahami tiga kombinasi pencahayaan serta kemampuan untuk
menggunakan light meter, fotografer pun harus memahami tehnik-tehnik dasar yang dikenal dalam pemotretan, antara lain: a) Ruang Tajam Ruang tajam (depth of field) adalah luasnya tingkat ketajaman gambar pada sebuah medium dua dimensi (foto). Ruang tajam dipengaruhi oleh pengaturan diafragma (f/). Semakin lebar bukaan f/, maka semakin sempit ruang tajamnya, begitu pula sebaliknya. Ruang tajam luas dapat dilihat dalam angka indikator, yaitu
Prof.Dr.r.m.Soelarko, Fotografi untuk Salon Foto dan Lomba Foto. (Bandung: PT. Karya Nusantara:1978) ,h.13
24
tajam sedang, dan >f/11 adalah ruang tajam sempit. Selain lebarsempitnya f/, ruang tajam juga dipengaruhi oleh focal length, yaitu panjang-pendeknya titik bakar lensa, biasanya menggunakan satuan ukur mili meter. Perbedaan jenis lensa wide, normal, dan tele memiliki perbedaan pula titik bakarnya. Semakin panjang titik bakar lensa (tele) akan berpengaruh pada semakin sempitnya ruang tajam, dan lensa dengan titik bakar lebih pendek (wide) berlaku sebaliknya. b) Penajaman Gambar (focusing), Yaitu penyesuaian titik bakar gambar yang diproyeksikan pada medium rekam. Focusing dilakukan dengan menyetel gelang fokus yang terdapat pada bagian depan lensa. c) Freezing, yaitu membekukan gambar subjek bergerak dengan tehnik menggunakan speed cepat, sehingga menghasilkan gambar yang detail dan tajam serta memberikan efek pause pada gerakan subjek. d) Panning, yaitu memotret subjek bergerak dengan tehnik kamera mengikuti gerakan subjek serta menggunakan speed lambat. Gambar yang dihasilkan akan terekam tajam pada subjek, namun ada kesan bergerak karena latar belakang yang kabur. e) Moving, yaitu memotret dengan speed lambat sehingga dapat menangkap kesan bergerak pada subjek. Yang membedakan dengan tehnik panning adalah kamera yang tidak bergerak pada tehnik moving. f) Silhouette, yaitu memotret subjek foto dengan tehnik kamera berhadapan langsung dengan sumber cahaya, sehingga menghasilkan gambar di mana subjek terlihat seperti bayangan.
25
Dengan memanfaatkan teknik tersebut, foto akan terlihat lebih menarik dan dinamis serta tidak monoton. b. Unsur Estetis 1) Sudut Pandang Berdasarkan sudut pengambilan gambar (camera angle).13 a) Bird Eye View Pengambilan gambar dilakukan dari atas ketinggian tertentu, sehingga memperlihatkan lingkungan yang sedemikian luas dengan bendabenda lain yang tampak di bawah sedemikian kecil. Pengambilan gambar biasanya menggunakan helikopter maupun dari gedung-gedung tinggi. b) High Angle Menempatkan objek lebih rendah dari pada kamera, atau kamera lebih tinggi daripada objek, sehingga yang terlihat pada kaca pembidik objek yang terkesan mengecil. Sudut pengambilan gambar tepat di atas objek, pengambilan gambar seperti ini memiliki arti yang dramatis yaitu kecil atau kerdil. c) Low Angle Menempatkan kamera lebih rendah dari objek, atau objek lebih tinggi dari kamera, sehingga objek terkesan membesar. Sudut pengambilan gambar ini merupakan kebalikan dari high angle. Kesan yang ditimbulkan dari sudut pandang ini yaitu keagungan atau kejayaan. d) Eye Level
13
Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, (Jakarta: PT Bumi Aksara,2004), h. 46
26
Pengambilan gambar ini mengambil sudut sejajar dengan mata objek, tidak ada kesan dramatis tertentu yang didapat dari eye level ini, yang ada hanya memperlihatkan pandangan mata seseorang yang berdiri. e) Frog Level Sudut pengambilan gambar ini diambil sejajar dengan permukaan tempat objek berdiri, seolah-olah memperlihatkan objek menjadi sangat besar. Pemilihan angle dalam pengambilan sebuah foto dapat memberi kesan keberpihakan, simpati, kekaguman maupun perlawanan dalam pesan yang disampaikan. Selain makna tersirat tersebut, sudut pengambilan gambar juga berfungsi sebagai pengaturan komposisi dan proporsi untuk menempatkan subjek agar lebih menarik secara visual. 2) Komposisi Komposisi merupakan pengaturan atau tatanan gambar dalam satu frame. Komposisi berperan untuk menempatkan subjek secara menarik, serta mengarahkan mata pemandang langsung ke subjek utama dari foto tersebut sehingga dapat segera memahami pesan visual yang disajikan oleh fotografer. Mengatur komposisi sebuah foto dapat dilakukan dengan beberapa tehnik, antara lain dengan menggunakan: a) Aturan 1/3 (rule of third) Yaitu membagi proporsi sebingkai foto dalam tiga bagian secara vertikal dan tiga bagian horizontal, kemudian menempatkan subjek pada empat titik persilangan garis tak-nyata (imaginer) pembagi. b) Latar depan (foreground) dan latar belakang (background)
27
Memanfaatkan latar belakang dan/atau latar depan sebagai pengisi ruang kosong dalam sebuah bingkai, serta melengkapi informasi tentang pengaturan tempat dari suatu peristiwa. c) Sudut pandang (perspektif) Memanfaatkan elemen garis imaginer untuk mengarahkan mata pemandang foto langsung kepada objek yang dituju. Mengatur komposisi gambar, selain bermafaat sebagai pemanis tampilan foto, juga berguna untuk memperkuat pesan yang ingin disampaikan oleh fotografer dalam sebingkai fotonya. B.
Foto Jurnalistik 1. Pengertian Foto Jurnalistik Fotografi dalam dunia jurnalistik dikenal dengan istilah foto jurnalistik
atau foto berita. Sebagaimana pada penjelasan diatas mengenai aliran journalism photography, dikatakan sebagai foto berita, sebab unsur dasar dari foto jurnalistik adalah nilai berita yang mutlak terkandung di dalamnya. Foto juga harus memuat informasi 5W+H, yaitu: what, who, when, where, way + how, asupan informasi yang harus dipenuhi sehingga dapat dikategorikan sebagai sebuah berita. Foto berita biasanya dilengkapi pula oleh caption / keterangan foto. Foto jurnalistik merupakan sajian gambar atau foto yang dapat berdiri sendiri sebagai visualisasi suatu peristiwa. Foto jurnalistik pun dapat menjadi pelengkap dan penguat pesan yang disampaikan dalam berita.14 Sehingga dapat diasumsikan bahwasanya foto jurnalistik atau foto berita dapat memiliki peran
14
Syafrudin Yunus, Jurnalistik Terapan, (Jakarta: PT Ghalia Indonesia, 2010),hal 91.
28
ganda, yang pertama sebagai pendamping atau pelengkap berita, selanjutnya disisi lain dapat menjadi berita itu sendiri. Sejarah mencatat, adalah surat kabar harian The Daily Graphic, pada hari Senin tanggal 16 April 1877 memuat gambar yang berisi berita kebakaran hotel dan salon pada halaman satu yang disebut taufan Wijaya dalam bukunya Foto Jurnalistik, merupakan embrio foto jurnalistik.15 Kemudian pada tahun 1937-1950, terbit majalah Life di Amerika Serikat, Majalah tersebut menghadirkan foto dalam porsi yang lebih besar dari pada tulisan dalam penyajian beritanya. Wilson Hicks merupakan pelopor foto jurnalis yang juga adalah editor foto majalah tersebut membuat kehadiran fotografi sebagai salah satu elemen berita, berkembang semakin pesat. Pada tahap ini foto jurnalistik telah hadir dengan derajat yang sama dengan tulisan, karena kehadirannya telah menjadi elemen berita itu sendiri, bukan hanya sebagai unsur pelengkap semata. Dalam buku Fotobiografi Kartono Riyadi: Pendobrak Fotografi Jurnalistik Indonesia Modern yang ditulis oleh Atok Sugiarto, dikatakan bahwa seiring perjalananya, keberadaan foto memang bisa sejajar dengan berita tulis, bahkan sering dikatakan bahwa sebuah foto dapat lebih hebat dari ribuan kata-kata karena mampu menggambarkan atau menceritakan suatu kejadian dengan amat baik.16 Foto jurnalistik dituntut memuat informasi atau pesan. Pesan dalam foto jurnalistik bisa sekadar bagian penting dari sebuah peristiwa yang berlangsung singkat, bisa juga sengaja diciptakan fotografer dari cerita dibalik sebuah 15
Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik,(Klaten: CV SAHABAT,2011),h.1 Atok Sugiarto, Fotobiografi Kartono Riyadi: Pendobrak Fotografi Jurnalistik Indonesia Modern, (Jakarta:PT Kompas Media Nusantara, 2011), hal.89 16
29
peristiwa.17 Esensi pesan menjadi hal yang seolah mutlak lekat dalam praktik foto jurnalistik. Karena secara sederhana dapat dipahami bahwasanya foto jurnalistik adalah foto yang sifatnya informatif dan menarik bagi pembaca. Seiring berjalannya waktu, ketika foto telah mengisi setiap halaman pada surat kabar, kehadiran foto jurnalistik pun mendapat perhatian dari banyak pakar Ilmu Komunikasi. Selain karena foto mampu membekukan suatu peristiwa, bahkan merekam peristiwa yang berdurasi hanya sekejap, sifatnya yang statis juga membuat foto dapat dilihat berulang-ulang, tidak seperti video yang sifatnya lebih dinamis atau sepintas lalu, yang pada akhirnya sebuah foto dapat menampilkan gambar lebih detail dari suatu peristiwa. Oleh karenanya foto dapat lebih mudah dicerna berbagai kalangan dan dapat menimbulkan efek psikologis secara langsung terhadap pembaca surat kabar. 2. Jenis Foto Jurnalistik atau Foto Berita World Press Photo, organisasi foto jurnalis yang kerap menjadi acuan para fotografer dunia mengkategorikan beberapa foto berita, antara lain:18 a)
Spot Photo Foto yang dibuat dari peristiwa yang tidak terjadwal. Misalnya foto
kebakaran, kecelakaan dan sebagainya. Foto jenis ini harus segera disiarkan karena merupakan sesuatu yang up to date. b)
General News Photo Adalah foto yang diabadikan dari peristiwa yang terjadwal, rutin dan
biasa. Temanya bisa bermacam-macam, yaitu : politik, ekonomi dan humor.
17 18
Syafrudin Yunus, Jurnalistik Terapan Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, h.5
30
c)
People in The News Photo Adalah foto tentang orang atau masyarakat dalam suatu berita, yang
ditampilkan adalah pribadi atau sosok orang yang menjadi berita itu. d)
Daily Life Photo Adalah foto yang tentang kehidupan sehari-hari manusia dipandang
dari segi kemanusiawiannya (human interest). e)
Portrait Adalah foto yang menampilkan seseorang secara personal sesuai
karakter ketokohannya. Ditampilkan karena adanya kekhasan pada wajah yang dimiliki atau kekhasan lainnya. f)
Sport Photo Adalah foto yang dibuat dari peristiwa olah raga.
g)
Science and Technology Photo Adalah foto yang diambil dari peristiwa-peristiwa yang ada kaitannya
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. h)
Art and Culture Photo Adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni dan budaya.
i)
Social and Environment Adalah foto tentang kehidupan sosial masyarakat serta lingkungan
hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhan pemberitaan serta penyajiannya, foto berita terbagi menjadi dua, yaitu: foto tunggal (single photo), dan foto seri (storie photo). a.
Foto Tunggal
31
Adalah foto yang memiliki informasi cukup lengkap dan lugas secara visual sehingga dapat berdiri sendiri tanpa perlu diperkuat oleh kehadiran foto lainnya. Foto Seri
b.
Adalah rangkaian beberapa foto yang membangun suatu cerita. Foto seri biasanya digunakan untuk memberikan gambaran menyeluruh dan lengkap tentang suatu peristiwa. C.
Tinjauan Umum Tentang Semiotik 1. Pengertian Semiotik / Semiologi Michael O’Shaugnessy dan Jane Stadler dalam bukunya Media and
Society: An Introduction third edition, menyatakan bahwa semiotik atau yang juga disebut semiologi adalah ilmu tentang tanda-tanda, atau studi atas tanda dan sistem-sistem tanda.19 Semiologi berasal dari bahasa Yunani semeion atau sign dalam bahasa Inggris, yang berarti tanda. Secara singkat, semiologi dapat diartikan sebagai suatu ilmu atau metode untuk mengkaji tanda, seperti bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya.20 Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.21 Secara sederhana, semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda
19
Michael O’Shaugnessy dan Jane Stadler, “Media and Society: An Introduction third edition”,(Victoria:Oxford University Press,2005),h.111 20 Alex Sobur,Semiotika Komunikasi, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2003),h. 15. 21 Alex Sobur,Semiotika Komunikasi, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2003),h. 15.
32
dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberi makna.22 Semiotika atau semiologi, kemudian, adalah studi tentang tanda-tanda dalam masyarakat, dan sementara itu studi tentang tanda linguistik merupakan salah satu cabang dari itu, mencakup setiap penggunaan sistem di mana sesuatu (tanda) membawa makna untuk beberapa orang.23 Semiotik atau penyelidikan simbol-simbol, membentuk tradisi pemikiran yang penting dalam teori komunikasi. Tradisi semiotik terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan, dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri. Penyelidikan tanda-tanda tidak hanya memberikan cara untuk melihat komunikasi, melainkan memiliki pengaruh yang kuat pada hampir semua perspektif yang sekarang diterapkan pada teori komunikasi.24 Semiotik memecah-mecah kandungan teks menjadi bagian-bagian, dan menghubungkan mereka dengan wacana-wacana yang lebih luas. Sebuah analisis semiotik menyediakan cara menghubungkan teks tertentu dengan sistem pesan di mana ia beroperasi. Hal ini memberikan konteks intelektual pada isi: ia mengulas cara-cara beragam unsur teks bekerja sama dan berinteraksi dengan pengetahuan kultural kita untuk menghasilkan makna.25
Maka secara sederhana, semiotik dapat disimpulkan sebagai sebuah kajian mengenai tanda-tanda yang membentuk kesatuan makna. Disadari atau tidak segala hal yang ada di sekitar kita penuh dengan tanda-tanda yang memiliki makna yang disepahami bersama berdasarkan budaya yang ada. Dalam wilayah kajian tentang tanda-tanda yang memiliki makna, dikenal beberapa tokoh penting
22
Benny H.Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, (Depok: FIB UI Depok,2008).
h.3. 23
Jonathan Bignell, Media Semiotics: An Introduction, (Manchester: Manchester University Press,1997),h.1 24 Stephen W.Littlejohn dan Karen A.Foss, Teori Komunikasi: Theories of Human Communication, (Jakarta: Salemba Humanika,2009),h.53. 25 Jane Stokes, How to do Media and Cultural Studies, (Yogyakarta: PT Bentang Pusaka,2006), h.77.
33
yang sudah mengawali kajian ini sejak lama, tiga tokoh yang cukup terkenal adalah Ferdinand D’Saussure, Charles Sanders Peirce, dan Roland Barthes. 2. Pandangan Ferdinand De Saussure dan Charles Sanders Peirce Dikenal dua tokoh penting sebagai founder dalam kajian semiotik, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce.26 Saussure dengan latar belakang keilmuwan linguistik di Eropa, sedangkan Peirce adalah filsuf asal Amerika.27 Keduanya memiliki karakter sendiri terhadap gagasan kajian semiotik. Dalam definisi Saussure, semiologi merupakan sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda ditengah masyarakat, dengan demikian, menjadi bagian dari disiplin psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang mengaturnya.28 Bagi Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti “dua halaman pada selembar kertas”.29 Sebuah tanda, khususnya tanda kebahasaan, merupakan entitas psikologis yang bersisi dua atau berdwimuka, terdiri dari unsur penanda (citra dan bunyi). Kedua elemen tanda tersebut sungguh-sungguh saling tergantung sama lain. Kombinasi dari suatu konsep (signifie = petanda), dan suatu citra bunyi (signifiant = penanda) inilah yang kemudian menghasilkan tanda. Khususnya di dalam bahasa, tanda-tanda memiliki dua karakteristik primordial, yakni arbitrer dan linear.30
26
Michael O’Shaugnessy dan Jane Stadler, “Media and Society: An Introduction third
edition” 27
Sumbo Tinarbuko,Semiotika Komunikasi Visual:Metode Analisis Tanda dan Makna pada Karya Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta:Jalasutra,2008), ke-2, h.11. 28 Kris Budiman, Kosa Semiotika, (Yogyakarta:LKIS,1999), h.107. 29 Benny H.Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, h.29. 30 Kris Budiman, Kosa Semiotika, h.115.
34
TANDA Penanda
petanda
citra-bunyi
Konsep
Tabel 1
Diagram tersebut menggambarkan kesatuan tanda, penanda, dan petanda. Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa tanda-tanda itu seperti lembaran kertas. Satu sisi adalah penanda dan sisi lain menjadi petanda, kertas itu sendiri adalah tanda.31 Disebutkan sebelumnya bahwasanya hubungan antara penanda dan petanda memiliki salah satu karakternya yaitu arbitrer (bebas). Menurut Saussure, ini tidak berarti “bahwa pemilihan penanda sama sekali meninggalkan pembicara”, namun lebih dari itu, dalam arti, pengertian penanda tidak mempunyai hubungan alamiah dengan petanda.32 Semiotik pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan memaknai hal-hal. Memaknai dalam hal ini tidak dapat digabungkan dengan mengkomunikasikan. Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objeak-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.33 Menarik juga untuk melihat pemikiran semiotik dari Charles Sander Peirce,seorang filsuf Amerika yang dikatakan Aart van Zoest, Peirce adalah filsuf
31
Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana,2010), h.14. 32 Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. 33 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2006), cet-3, h.15
35
yang paling original dan multidimensional. Peirce juga disebut oleh Paul Cobley adalah seorang pemikir yang argumentatif.34 Bagi Peirce, sebuah tanda atau representamen adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu dinamakan sebagai interpretan (interpretant) dari tanda yang pertama pada gilirannya mengacu kepada objek (object). Dengan demikian, sebuah tanda atau representamen memiliki relasi triadik langsung dengan interpretan dan objeknya.35 Kris Budiman, dalam bukunya Semiotika Visual, juga memberikan skema tentang proses relasi triadik.
Tabel 2
Skema diatas disebut juga proses semiosis, yaitu suatu proses yang memadukan entitas yang disebut sebagai representamen dengan entitas lain yang disebut sebagai objek. Proses semiosis ini sering disebut pula signifikasi (signification).36 Peirce juga mengemukakan bahwa proses semiosis pada dasarnya tidak terbatas. Jadi, interpretan dapat berubah menjadi representamen baru yang kemudian berproses mengikuti semiosis, secara tak terbatas.37Gerakan yang tak
34
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2009), cet-4,
h.39 35
Kris Budiman, Semiotika Visual, (Yogyakarta: Buku Baik Yogyakarta,2003), h.25. Kris Budiman, Semiotika Visual, h.25-26. 37 Benny H.Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, h.18 36
36
berujung pangkal ini oleh Umberto Eco dan Jacques Derrida kemudian dirumuskan sebagai proses semiosis tanpa batas (unlimited semiosis).38 Oleh karena penulis melihat upaya klasifikasi yang dikerjakan Peirce sangat tidak bisa dibilang sederhana, atau dalam arti sangat rumit dan kusut. Atas pertimbangan tingkat kerumitan yang luar biasa dan takaran relevansi dengan penelitian yang agak kurang, maka penulis hanya akan menambahkan sedikit penjelasan atas pembedaan tipe-tipe tanda yang agaknya paling sederhana dan fundamental yang dikemukakan Peirce, yakni, ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol). Shaugnessy, dalam bukunya Media and Society: An Introduction menjelaskan bahwa:39 1) Ikon adalah tanda-tanda yang menyerupai apa yang mereka tandai. Semua foto atau tanda-tanda film bersifat ikonik dalam gambar benar-benar terlihat seperti apa yang diacu. Demikian pula lukisan atau diagram yang terlihat seperti apa yang mereka tandakan. Maka, ikon merupakan hubungan antara petanda dan penanda didasarkan pada kemiripan atau kemiripan. 2) Indeks adalah tanda-tanda yang mengindikasikan atau menunjuk ke sesuatu yang lain. Indeks merupakan hubungan antara penanda di salah satu indikasi, arah atau pengukuran, urutan atau sebab-akibat. 3) Simbol adalah tanda-tanda yang berdiri mewakili sesuatu, tetapi tidak memiliki kemiripan dengan yang mereka tandai. Simbol merupakan hubungan antara penanda dan petanda yang sewenang-wenang (tidak ada 38
Kris Budiman, Semiotika Visual, h.26. Michael O’Shaugnessy dan Jane Stadler, “Media and Society: An Introduction third edition”, h.117-118. 39
37
'hubungan alami') dan didasarkan pada budaya, konteks, dan konvensi (semacam kesepahaman tak tertulis). 3. Semiotik foto (Roland Barthes) Dalam buku yang disunting oleh Howard Davis dan Paul Walton yang berjudul Bahasa, Citra, dan Media, dikatakan bahwa, meskipun fotografi adalah “medium visual”, ia tidak murni visual.40 Menurut Seno Gumira Ajidarma dalam “Kisah Mata”, bahwa foto adalah suatu pesan yang dibentuk oleh sumber emisi, saluran transmisi dan titik resepsi. Struktur sebuah foto bukanlah sebuah struktur yang terisolasi, karena selalu berada dalam komunikasi dengan struktur lain, yakni teks tertulis, judul, keterangan, artikel, yang selalu mengiringi foto. Dengan demikian pesan keseluruhannya dibentuk oleh ko-operasi dua struktur yang berbeda.41 Selanjutnya, di mata Barthes sendiri, suatu karya atau teks merupakan sebentuk konstruksi belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka yang dilakukan adalah rekonstruksi dari bahan-bahan yang tersedia, yang tak lain adalah karya atau teks itu sendiri.42 Merujuk pada penjelasan di atas, dapat dilihat bahwasanya karya fotografi tidak bisa dilihat sebatas sebuah kenampakkan secara objektif, melainkan fotografi memiliki makna yang lebih dari sekedar yang ternampakkan. Sebab menilik dari proses terciptanya foto yang melibatkan sepenuhnya fotografer, maka tidak dapat dipungkiri akan adanya keterlibatan unsur subjektifitas di dalamnya. Sehingga, apabila foto jurnalistik itu merupakan medium untuk menyampaikan gagasan jurnalis foto, maka gagasan dan upaya untuk bercerita itu sendiri adalah bentuk subjektivitas. 40
Howard Davis dan Paul Walton, Bahasa, Citra, dan Media, (Yogyakarta: Jalasutra,2010) cet-1.h.245 41 Seno Gumira Ajidarma, “Kisah Mata”, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), h.27 42 Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, (Magelang: Yayasan INDONESIATERA,2001),h.93
38
Barthes secara khusus membahas semiotik dalam fotografi. Inti dari pemikirannya adalah Barthes membagi signifikasi dalam karya fotografi pada dua tingkatan. Tingkatan pertama (first order signification) adalah tahap denotasi, yaitu relasi antara penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Selanjutnya signifikasi pada tingkatan kedua (second order signification) adalah konotasi, yakni pemaknaan lain yang muncul dari tanda hasil signifikasi pada tingkatan pertama.43 Denotasi adalah apa disebut Barthes sebagai signifikasi tingkatan pertama. Ini adalah tingkat paling jelas di mana tanda berkomunikasi dan mengacu pada makna akal sehat dari tanda. Makna denotatif dapat dinyatakan dengan menggambarkan tanda sesederhana mungkin. Konotasi beroperasi pada urutan penandaan tingkat kedua, konotasi mengacu pada emosi, nilai-nilai, dan asosiasi yang menimbulkan tanda dalam pembaca, pemirsa, atau pendengar. Makna konotatif tanda dapat diekspresikan dengan cepat mencatat apa yang mengingatkan Anda atau membuat Anda merasa atau membayangkan.44 Tekanan teori tanda Barthes adalah pada konotasi dan mitos. Mitos berada pada tataran siginifikasi tahap kedua, di dalam tataran mitos, tanda-tanda pada signifikasi tahapan pertama menjadi penanda-penanda yang berhubungan lagi dengan petanda-petanda.45 Secara sederhana dapat dipahami bahwa mitos terjadi ketika konotasi menjadi tetap atau terus-menerus, selanjutnya ketika mitos menjadi mantap, maka ia menjadi ideologi.46 Terdapat tiga tahapan dalam membaca foto yang diajukan oleh Barthes yang tertuang dalam The Photographic Message, yaitu perseptif, kognitif dan etis ideologis.47 a. Tahap Perseptif adalah tahap transformasi gambar ke kategori verbal atau verbalisasi gambar yang bersifat imajinatif. Konotasi perspektif tidak lain adalah imajinasi sigmantik yang pada dasarnya bersifat perspektif.
43
ST Sunardi, Semiotika Negativa, (Yogyakarta: Kanal,2002), h.160 Michael O’Shaugnessy dan Jane Stadler, “Media and Society: An Introduction third edition”,h.115-116 45 Kris Budiman, Semiotika Visual, h.64 46 Benny H.Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, h.17 47 ST Sunardi, Semiotika Negativa, h.187 44
39
b. Tahap Konotasi Kognitif adalah tahap pengumpulan dan upaya menghubungkan unsur-unsur “historis” dari analogon (denotasi) ke dalam imajinasi paradigmatik. Dengan demikian pengetahuan kultural sangat menentukan. c. Tahap Etis-Ideologis adalah tahap pengumpulan berbagai penanda yang siap “dikalimatkan” sehingga motifnya dapat ditentukan. Barthes menunjukkan bahwa tiga cara rekayasa di atas membuka kemungkinan untuk menurunkan signifier. Barthes menyebut signifier pada tingkat konotatif ini dengan sebutan mitos dan signified dengan sebutan ideologi. Ini dibangun dengan imajinasi simbolik. Ketiga tahap ini tidak menentukan wacana suatu foto dan ideologi atau moralitas yang berkaitan. Ini murni semiotik-positivistik. Kita akan mencari objektivitas pesan foto melalui prosedur yang dapat diamati dan diukur.48 Penulis dalam penelitian ini merumuskan bagaimana pembacaan citra buruh perempuan dalam foto jurnalistik yang terdapat dalam rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013. Selanjutnya, untuk menjelaskan hal tersebut, penulis menggunakan enam prosedur konotasi citra yang dikemukakan Barthes, yakni meliputi trick effects, pose, objects (objek), photogenia (fotogenia), aestheticism (estetisme), dan syntax (sintaksis).49 Barthes
kemudian
menjelaskan
keenam
prosedur
tersebut
dan
mengkategorikannya menjadi dua, yaitu: 1) Rekayasa yang secara langsung dapat memengaruhi realitas itu sendiri, terdiri dari: a) Trick Effect, artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita.
48 49
ST Sunardi, Semiotika Negativa Kris Budiman, Semiotika Visual, h.70
40
b) Pose, ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Dalam mengambil foto berita seseorang, seorang wartawan foto akan memilih objek yang sedang diambil. c) Objek, objek ini ibarat perbendaharaan kata yang siap dimasukkan ke dalam sebuah kalimat. Objek ini merupakan point of interest (POI) pada sebuah gambar/foto. 2) Rekayasa yang masuk dalam wilayah estetis, terdiri dari: a) Photogenia, adalah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar. Misalnya: lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto), bluring (keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze (efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek) dan sebagainya. b) Aestheticism, yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi. c) Sintaksis, yaitu rangkaian cerita dari isi foto/gambar yang biasanya berada pada caption (keterangan foto) dalam foto berita dan dapat membatasi serta menimbulkan makna konotasi. Dengan demikian, untuk membaca sebuah foto jurnalistik tidak dapat hanya melihat pada tataran denotatif nya saja, atau hanya sebatas apa yang tampak. Karena foto jurnalistik sebagai medium penyampai pesan berada pada tataran komunikasi yang berhubungan dengan hal lain seperti teks tertulis, judul, keterangan, artikel yang selalu mengiringi foto.
BAB III GAMBARAN UMUM HARIAN REPUBLIKA Dan PAMERAN BERANDA PARA BURUH A.
Sejarah dan Perkembangan Harian Republika Harian Republika diterbitkan atas kehendak mewujudkan media massa
yang mampu membawa bangsa menjadi lebih kritis dan berkualitas serta memberikan informasi yang dapat membuka mata khalayak secara rasional. Bangsa tersebut yakni yang mampu sederajat dengan bangsa yang maju lainnya di dunia ini, memegang nilai-nilai spritual sebagai perwujudan Pancasila sebagai filasafat bangsa, serta memiliki arah gerak seperti yang digariskan UUD1945. Kehendak melahirkan masyarakat seperti itu searah dengan tujuan, citacita dan program Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang dibentuk pada 5 Desember 1990. Salah satu dari program ICMI yang disebarkan ke seluruh Indonesia antara lain, mencerdaskan kehidupan bangsa melalui program peningkatan 5K, yaitu kualitas iman, kualitas hidup, kualitas kerja, kualitas karya dan kualitas pikir.1 Untuk mewujudkan tujuan, cita-cita serta program ICMI di atas, beberapa tokoh pemerintah dan masyarakat yang berdedikasi serta berkomitmen pada pembangunan bangsa dan masyarakat Indonesia yang juga beragama Islam, membentuk yayasan Abdi Bangsa pada 17 Agustus 1992. Yayasan ini kemudian menyusun tiga program utamanya, yaitu pengembangan Islamic Center, pengembangan CIDES (Center for Information and Development Studies) serta penerbitan harian umum Republika.
1
Company Profile Harian Republika
41
42
Harian umum Republika berdiri di bawah Yayasan Abdi Bangsa yang terbentuk pada 17 Agustus 1992. Pendiri yayasan ini sebanyak 48 orang, terdiri dari beberapa mantan menteri Negara cendikiawan, tokoh masyarakat serta pengusaha. Mereka antara lain Ir. Drs. Ginanjar Kartasasmita, Haji Harmoko, Ibnu Sutowo, Muhammad Hasan, Ibu Tien Soeharto, Probosutedjo, Ir. Aburizal Bakrie, dan banyak lagi lainnya. Sedangkan Haji Muhammad Soeharto, Presiden RI pada saat itu, berperan sebagai pelindung yayasan. Sementara Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie yang menjabat ketua umim ICMI pada saat itu dipercaya sebagai ketua badan pembina yayasan Abdi Bangsa.2 Untuk mewujudkan programnya dalam menerbitkan sebuah koran harian, pada 28 November 1992 Yayasan Abdi Bangsa mendirikan PT Abdi Bangsa. Melalui proses sedemikan rupa, kemudian yayasan tersebut memperoleh SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dari Departemen Penerangan Republik Indonesia sebagai langkah awal penerbitan Harian Umum Republika. SIUPP itu bernomor 283/SK/MENPEN/SIUPP/A.7/1992 tertanggal 19 Desember 1992.3 PT Abdi Bangsa, penerbit Harian Umum Republika, didirikan di Jakarta pada 28 November 1992. Perusahaan yang berada di bawah Yayasan Abdi Bangsa ini bergerak dalam bidang usaha penerbitan dan percetakan pers. Pengelolaan perseroan dilakukan oleh Direksi di bawah Dewan Komisaris yang anggotanya dipilih oleh rapat umum pemegang saham. Staf direksi dalam mengelola perseroan dibantu oleh pembina manejemen. PT Abdi Bangsa dalam upaya penggalangan dana sebagai modal untuk mengembangkan usahanya yaitu dengan melakukan penjualan saham kepada 2 3
Company Profile Harian Republika Company Profile Harian Republika
43
masyarakat. Penjualan saham dilakukan dengan cara berbeda dari kebiasaan jual beli saham pada umumnya. Satu lembar saham hanya boleh dimiliki oleh satu keluarga. Maka dalam menawarkan 2,9 juta lembar saham pada masyarakat, berarti PT Abdi Bangsa akan dimiliki oleh 2,9 juta pada keluarga atau pemegang saham. Pencetus nama Republika sebagai harian umum yaitu Presiden Soeharto yang pada saat itu beliau menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Gagasan tersebut disampaikan pada saat beberapa pengurus ICMI pusat menghadap padanya guna menyampaikan rencana peluncuran harian umum tersebut. Sebelum tergagas nama Republika, harian umum ini akan diberi nama “Republik.” Harian umum Republika merupakan sebuah koran harian berskala nasional yang terlahir dari kalangan komunitas muslim bagi publik di Indonesia. Penerbitan koran ini merupakan upaya bagi umat khususnya para wartawan muda yang profesional untuk menembus ketatnya izin penerbitan pada masa itu. Keberadaan harian umum Republika pada saat itu memberi warna lain pada surat kabar berskala nasional yang pada umumnya membahas politik, ekonomi, sosial dan budaya tanpa melandaskan ideologi Islam. Harian umum Republika terbit perdana pada 4 Januari 1993. Pada masa penerbitan perdana ini sebetulnya sangat sulit untuk mendapatkan izin menerbitkan harian umum atau koran, namun berkat hasil dari keputusan ICMI se-Indonesia inilah yang dapat menembus ketatnya barisan pemerintahan untuk perizinan penerbitan. Penerbitan Republika menjadi suatu peningkatan bagi masyarakat Indonesia khususnya umat Islam. Sebelum masa itu, aspirasi umat tidak mendapatkan tempat dalam wacana nasional. Kehadiaran media ini tidak
44
hanya memberi saluran bagi inspirasi tersebut, namun juga menumbuhkan sikap pluralisme informasi di masyarakat.4 Harian umum Republika dinobatkan sebagai media pertama yang melakukan Cetak Jarak Jauh (CJJ) pada 17 Mei 1997 di Solo. Selain itu, beberapa tahun sebelumnya tepatnya pada 17 Agustus 1995, bidang teknologi Republika terbukti menjadi media pertama di Indonesia yang mengembangkan media online (www.republika.co.id). Dalam upaya meningkatkan kualitas dan mutu harian umum Republika menjadi lebih akrab serta cerdas terhadap pembacanya, maka Republika mengeluarkan rubrik khusus seperti pendidikan, probes, medika, otomotif, belanja, keluarga dan juga ada dialog jum’at. Kesemua rubrik tersebut sangat membantu pembaca dalam mendapatkan informasi yang diperlukan sesuai rubrik yang diinginkan. B.
Motto serta Visi dan Misi Harian Republika 1. Motto Harian Umum Republika Motto harian Republika yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”, hal itu menunjukkan semangat mempersiapkan masyarakat dalam memasuki era baru. Keterbukaan dan perubahan telah dimulai dan tak ada langkah untuk kembali, bila kita memang bersepakat mencapai kemajuan. Meski demikian, mengupayakan perubahan yang juga berarti pembaharuan harus menggangu stabilitas yang telah susah payah dibangun. Keberpihakan Republika terarah sebesar-besarnya untuk penduduk negeri ini, yang mempersiapkan diri bagi seluruh dunia yang lebih baik
4
Company Profile Harian Republika
45
dan adil. Media massa, dengan Republika sebagai salah satu darinya hanya akan menjadi penopang agar langkah itu bermanfaat bagi kesejahteraan bersama. 2. Visi Harian Umum Republika Setiap media baik cetak maupun elektronik pastinya memilki visi dan misi yang berbeda-beda sesuai ideologi dari masing-masing kantor berita tersebut. Dari keberagaman visi serta misi yang dimiliki suatu harian umum maupun koran, akan mambawa dampak beragammnya pula sudut pandang pada pemberitaan serta fasilitas yang diberikan dari setiap harian umum maupun koran tersebut. Visi dari harian Republika sendiri yaitu menjadi perusahaan media cetak terpadu berskala nasional serta dikelola secara profesional berlandaskan Islami, sehingga akan berpengaruh dalam proses pencerdasan bangsa, pengembangan kebudayaan, serta peningkatan keimanan dan ketaqwaan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia ini.5 Kemudian menjadikan harian umum Republika sebagai koran umat yang terpercaya serta mengedepankan nilai-nilai universal yang sejuk, toleran, damai, cerdas dan profesional. Selain itu juga memiliki prinsip dalam keterlibatannya menjaga persatuan bangsa dan kepentingan umat Islam yang berdasarkan Rahmatan lil „alamin.
3. Misi Harian Umum Republika 1) Politik 5
Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik; Pengantar: Prof. Dr. Harsono Suwardi, MA. (Jakarta: Granit, 2004), h. 122.
46
a. Mengembangkan demokratisasi b. Optimalisasi peran lembaga-lembaga Negara c. Mendorong pertisipasi politik semua lapisan masyarakat d. Mengutamakan kejujuran dan moralitas dalam politik e. Penghargaan terhadap hak-hak sipil f. Mendorong terbentuknya pemerintahan yang bersih 2) Ekonomi a. Mendukung keterbukaan dan demokrasi ekonomi b. Profesionalisme mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan dalam manajemen c. Menekankan perlunya pemerataan sumber-sumber daya ekonomi d. Mempromosikan prinsip-prinsip etika dan moralitas dalam berbisnis 3) Budaya a. Republika mendukung sikap yang terbuka dan apresiatif terhadap bentuk-bentuk kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian dari manapun datangnya b. Mempromosikan bentuk-bentuk kesenian dan hiburan yang sehat c. Mencerdaskan, menghaluskan perasaan, mempertajam kepekaan nurani d. Bersikap
kritis
terhadap
bentuk-bentuk
kebudayaan
yang
cenderung mereduksi manusia dan mendangkalkan nilai-nilai kemanusiaan. 4) Agama
47
a. Republika mendororng sikap beragama yang terbuka sekaligur kritis terhadap realita sosial ekonomi kontemporer b. Mempromosikan semangat toleransi yang lurus c. Mengembangkan penafsiran ajaran-ajaran ideal agama dalam rangka mendapatkan pemahaman yang segar dan tajam, serta mendorong pencarian titik temu di antara agama-agama. d. Mendorong pencarian titik temu di antara agama-agama 5) Hukum a. Mendorong terwujudnya masyarakat sadar hukum b. Menjunjung tinggi supremasi hukum c. Mengembang mekanisme check and balance terhadap pemerintah dan masyarakat d. Menjunjung tinggi HAM e. Mendorong pemberantasan KKN secara tuntas C.
Target Audiens Harian Umum Republika memiliki target dalam memasarkan serta
menyebarluaskan hasil pemberitaan kepada para pembaca setia harian tersebut. Target audiens antara lain adalah pemeluk agama Islam dan juga pemeluk agama lain, memiliki golongan profesional, manejer, eksekutif, pelajar dan juga pengusaha
dengan mengambil pasar berskala nasional. Pembaca harian
Republika untuk golongan pria muda umur 20-29 tahun berkisar 31% dan untuk umur 30-39 tahun berkisar 39%. Adapula untuk golongan wanita muda umur 2029 tahun berkisar 21% dan untuk umur 30-39 tahun berkisar 22%.
48
D.
Struktur Redaksi Harian Republika KOMISARIS Komisaris Utama: Komisaris:
Malik Sjafei Saleh Drs. Chaerudin R. Harry Zulnardy
DIREKSI Direktur Utama: Direktur Operasional: Direktur Pemasaran: Direktur Keuangan dan SDM: Kadiv Iklan dan Promosi: Kadiv Sirkulasi: Kadiv Produksi: Kadiv Riset dan Pengembangan: Kadiv Sistem Informasi: Kadiv SDM: Kadiv Keuangan: REDAKSI Pemimpin Redaksi: Wakil Pemimpin Redaksi: Redaktur Pelaksana: Wakil Redaktur Pelaksana:
Erick Thohir H. Daniel Wewengkang Nuky Surachmad Rachmad Yuliwinoto Joko Susanto Dedik Supardiona Norrokhim Arif Supriono Anif Punto Utomo Y. Sofyan Hery Setiawan
I
Ikhwanul Kiram Mashuri Nasihin Masha Agung Pragitya Vazza Elba Damhuri Selamat Ginting Irwan Ariefyanto Subroto Nina Chairani Ibrahim Syahrudin El Fikri Fachrul Ratzi
ASREDPEL hal 1 dan Opini: ASREDPEL POL NAS KESRA: ASREDPEL Ahad: ASRREDPEL Agama: Sekretaris Redaksi:
Staf Redaksi: Yeyen Rostiana, Zaki Alhamzah, Wahida Handasah, Nurul S. Hamami, Didi Purwadi, Darmawan Sepriyossa, Nur Hasan Murtiaji, Magfiroh Yenni, Bidramnanta, Irwan Kelana, Christine Purwatiningsih, Joka Sadewo, Teguh Setiawan, Budi Utomo, dkk. E.
Tentang Rubrik Fotografi di Harian Surat Kabar Republika Seiring
perkembangan
fotografi
yang
semakin
banyak
diminati
masyarakat, media massa, memiliki kewajiban untuk memberi muatan informasi
49
dengan tempat yang cukup untuk membahas perihal fotografi, selain itu sifat fotografi yang sudah menjadi hal yang massive ini juga sebenarnya bisa dijadikan sebagai sebuah peluang untuk menjaring pasar pembaca dari kalangan pecinta fotografi. Harian Surat Kabar Republika sebagai salah satu surat kabar besar di Indonesia memiliki 2 (dua) halaman khusus yang memuat informasi perihal fotografi, rubrik Rana dan rubrik Fotografi. Dalam sepekan, Republika memuat halaman fotografi sebanyak dua kali, yakni rubrik Rana ada pada terbitan hari Sabtu dan rubrik Fotografi ada pada terbitan hari Rabu. Kedua rubrik ini memiliki karakter atau bisa dikatakan memiliki konsep yang berbeda. Yogi Ardhi Cahyadi, redaktur foto Harian Republika, saat diwawancarai penulis dikantornya pada Minggu, 8 Desember 2013 mengungkapkan bahwa halaman yang khusus memuat informasi tentang fotografi ini merupakan salah satu mimpinya sejak menjadi redaktur foto Harian Republika. Adanya kesatuan pemikiran dengan pimpinan redaksi yang lain membuat halaman yang khusus memuat fotografi di Republika pun kemudian terlaksana. Perlu diketahui, sebenarnya pada tahun 90-an, saat masa (alm) Bakhtiar Phada menjadi redaktur foto di Republika, surat kabar ini sempat memiliki halaman fotografi, namun pada tahun 2003, halaman tersebut dihilangkan dan diganti dengan halaman lain seiring perubahan konsep yang ada.6 Lebih lanjut, Yogi Ardhi juga menjelaskan tentang dua halaman yang memuat khusus informasi tentang fotografi tersebut, dimana rubrik Rana adalah halaman fotografi yang lebih dahulu muncul, tepatnya pada Maret 2012. Yogi
6
Hasil wawancara dengan Yogi Ardhi Cahyadi (Redaktur Foto Republika)
50
Ardhi mengatakan bahwa konsep halaman Rana yakni halaman yang menampilkan karya fotografi, apakah itu berupa foto essay atau display foto yang memiliki muatan story, dan halaman Rana itu dikhususkan untuk fotografer Republika sendiri, baik itu fotografer yang magang, yang sudah menjadi staf fotografer di Republika, atau bahkan Redaktur foto nya, jadi bisa dikatakan bahwa foto yang dimuat berasal dari fotografer Republika sendiri. Rubrik Rana dapat kita temui pada terbitan Sabtu. Belakangan kemudian muncul gagasan untuk membuat lagi halaman lain yang membahas fotografi secara lebih umum, lalu terbitlah rubrik Fotografi mulai Agustus 2012. Rubrik Fotografi memiliki porsi tulisan yang lebih besar dibandingkan rubrik Rana, di rubrik Rana porsi tulisan tidak akan lebih dari 500 (lima ratus) karakter, dan dalam rubrik Fotografi, porsi tulisan akan lebih dari itu. Rubrik Fotografi membahas hampir segala aspek fotografi, contohnya membahas tentang pameran fotografi, buku fotografi, gaya fotografi, tren fotografi, serta perkembangan alat fotografi yang ada seperti apa. Rubrik Fotografi juga memuat foto kiriman pembaca, dimana proses dalam menampilkan foto kiriman pembaca, termasuk isi bahasan yang ada dalam rubrik Fotografi berdasarkan keputusan redaktur foto. Selanjutnya, Yogi Ardhi juga sedikit menambahkan perihal foto-foto yang dimuat di Republika. Selama ini, Republika memiliki batasan khusus dalam menampilkan foto-foto, terutama foto yang menampilkan objek perempuan. Batasan khusus yang konsisten dilakukan yaitu, Republika tidak akan menampilkan foto-foto dengan objek perempuan yang memperlihatkan aurat, apapun bentuknya, baik itu dalam bentuk foto, ilustrasi gambar, ataupun iklan.
51
Sekalipun foto olahraga misalnya, jika didalamnya terdapat objek perempuan yang memperlihatkan aurat, maka foto itu tidak akan dipakai untuk ditampilkan. Batasan khusus lain di luar foto yang menampilkan objek perempuan, Republika sejak dulu konsisten tidak menampilkan foto rokok, orang merokok, bahkan Republika tidak pernah memuat iklan rokok. Kendatipun misalnya, Republika hendak memuat kampanye anti merokok, maka rokok dalam bentuk gambar tidak akan digunakan. Dalam hal tersebut Yogi meyakinkan bahwa Republika sudah melakukan hal tersebut konsisten sejak dahulu. F.
Pameran Beranda Para Buruh Dijelaskan dalam rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika edisi 8
Mei 2013, bahwa pameran foto yang bertajuk “Beranda Para Buruh” ini datang dari gagasan seorang artis dan sineas muda Lola Amaria.7 Bekerja sama dengan Kementrian Tenaga Kerja, Lola Amaria, dengan Production House (PH) nya, Lola Amaria Production, kemudian menggandeng salah satu fotografer jebolan Workshop Antara, Diana Putri Tarigan, untuk bekerja sama membuat foto-foto dokumenter mengenai persoalan buruh.8 Diana Putri Tarigan, saat ditemui penulis di kediamannya, Minggu, 22 Desember 2013, menjelaskan bahwa pada awalnya, Lola Amaria mengajak Diana untuk bersama-sama membuat sebuah project pembuatan film dengan mengangkat garis besar tentang persoalan buruh.
“Saya ditawarkan untuk
penggarapan film Kisah 3 Titik, tapi tidak hanya sebagai still fotografer, tapi juga sebagai fotografer dokumenter”, ujar Diana. Lebih lanjut Diana menambahkan bahwa, pameran Beranda Para Buruh ini memang sudah direncanakan keluar 7 8
Republika Edisi 8 Mei 2013 Wawancara Diana Putri Tarigan
52
bersamaan dengan penggarapan film Kisah 3 Titik, sebuah film yang mengangkat persoalan buruh di Indonesia. Diakui Diana, persiapan pameran ini memakan waktu kurang lebih selama tiga bulan, sampai akhirnya digelar kegiatan pameran di Galeri Foto Jurnalistik Antara pada 1 Mei 2013, bertepatan dengan peringatan hari buruh sedunia (MayDay). Pameran ini berlangsung di Galeri Foto Jurnalistik Antara selama 20 hari, pada tanggal 1-19 Mei 2013. Pameran ini menampilkan hasil karya foto dari beberapa fotografer muda, diantaranya adalah, Diana Putri Tarigan, Adhi Wicaksono, Atet Dwi Pramadia, Grandyos Zatna, Fanny Octavianus, Fahrul Jayadiputra, Ismar Patrizki, Irsan Mulyadi, Joko Sulistyo, M Agung Rajasa, M Risyal Hidayat, Nyoman Budhiwara, R Rekotomo, Seno Soegondo, Yudhi Mahatma, Yusran Uccang, dan Zabur Karuru.9 Selanjutnya, tercatat dalam rubrik Fotografi edisi 8 Mei 2013, pernyataan Diana Putri Tarigan yang mengatakan bahwa, pameran foto ini dimaksudkan untuk menggugah para pihak terkait yang bertanggungjawab atas nasib para buruh agar dapat melihat langsung gambaran realitas dari kehidupan sulit yang harus dihadapi para buruh, serta melihat bagaimana para buruh tidak berhenti berjuang guna memperbaiki nasib mereka lewat berbagai cara, salah satunya adlaah dengan melakukan aksi demonstrasi. Menurutnya, pemerintah maupun pengusaha samasama memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki dan menyejahterakan nasib para buruh. Harapannya, pameran foto ini dapat menjadi salah satu kontribusi dari para fotografer, untuk terlibat dalam perjuangan memperbaiki nasib para buruh. 9
Diana Putri Tarigan dan Para Fotografer “Cerita dari Balik Layar: Beranda Para Buruh”, Penerbit: Galeri Foto Jurnalistik Antara, 2013.
BAB IV ANALISIS DATA FOTO BERANDA PARA BURUH DI RUBRIK FOTOGRAFI HARIAN SURAT KABAR REPUBLIKA EDISI 8 MEI 2013 Pada bab ini peneliti menjelaskan data serta hasil penelitian dari judul “ Citra Buruh Perempuan dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika Edisi 8 Mei 2013)”. Peneliti menggunakan pisau analisis semiotika Roland Barthes yang merujuk pada makna denotatif, konotatif, dan mitos yang terkandung dalam foto berita yang diteliti. Sebagaimana dikatakan Wilson Hiks, yang juga disebut-sebut sebagai bapak perintis foto jurnalistik, mendefinisikan bahwa foto jurnalistik atau foto berita terdiri dari kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi saat ada kesamaan antara latar belakang pendidikan dan sosial pembacanya. Barthes mengajukan tiga tahapan dalam membaca foto yang tertuang dalam buku The Photography Message, yaitu perseptif, kognitif dan etis ideologis.1 Barthes juga mengajukan enam prosedur dalam pembacaan konotasi citra dalam foto, ke enam prosedur tersebut kemudian dikategorikan menjadi dua, antara lain:2 1. Rekayasa yang secara langsung dapat memengaruhi realitas itu sendiri, terdiri dari: a. Trick Effect, artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita. 1 2
ST Sunardi, Semiotika Negativa, h.187 Kris Budiman, Semiotika Visual, h.70
53
54
b. Pose, ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Dalam mengambil foto berita seseorang, seorang wartawan foto akan memilih objek yang sedang diambil. c. Objek, objek ini ibarat perbendaharaan kata yang siap dimasukkan ke dalam sebuah kalimat. Objek ini merupakan point of interest (POI) pada sebuah gambar/foto. 2. Rekayasa yang masuk dalam wilayah ―estetis, terdiri dari: a. Photogenia, adalah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar. Misalnya: lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto), bluring (keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze (efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek) dan sebagainya. b. Aestheticism, yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi. c. Sintaksis, yaitu rangkaian cerita dari isi foto/gambar yang biasanya berada pada caption (keterangan foto) dalam foto berita dan dapat membatasi serta menimbulkan makna konotasi. Selain membaca konotasi lewat konsep membaca foto yang ditawarkan Barthes di atas, dalam mengembangkan mitos yang terbangun dari foto-foto yang di analisis, maka penulis juga merasa perlu menjabarkan mitos ke arah kajian tentang buruh perempuan dengan menggunakan pendekatan gender dan feminisme. Hal ini guna memperkaya dan memperdalam hasil bedah foto agar tidak sebatas menemukan makna yang terbangun.
55
A.
DATA FOTO 1
Gambar 1
B.
ANALISIS DATA FOTO 1
1.
Makna Denotasi Denotasi yaitu relasi antara penanda dengan petanda dalam sebuah tanda,
serta tanda dengan acuan realitas eksternalnya. Untuk mengungkap makna denotatif sebuah foto dapat diketahui pada tahap perseptif, yaitu melakukan transformasi gambar ke kategori verbal atau verbalisasi gambar. Menjelaskan denotasi terhadap karya fotografi hanya menyatakan apa yang ada dan terlihat dalam gambar, tanpa memberi pemaknaan subjektif. Artinya, denotasi dalam foto hanya akan membicarakan tentang apa yang difoto, tidak lebih dari itu. Menambahkan atau mengurangi baik secara objektif maupun anggapan subjektif terhadap apa yang tampak dalam foto adalah hal yang dilarang ketika menjelaskan tentang makna denotasi pada foto. Dalam data foto pertama, didapati objek (analogon) apa saja yang terdapat dalam foto tersebut, antara lain:
56
a. Portrait close up setengah wajah b. Nampak seorang dengan anting dan rambut nya yang panjang c. Tex box bertuliskan Beranda Para Buruh d. Tampilan warna foto dengan hitam putih e. Latar belakang yang dibuat blur (samar) Makna denotasi yang didapat dengan memperhatikan beberapa analogon yang ada mengungkapkan, secara verbal dapat kita katakan dalam gambar ini terdapat tampilan setengah bagian wajah buruh perempuan dalam bentuk cetakan hitam putih yang dilengkapi dengan teks boks “Beranda Para Buruh”. Yogi Ardhi, Redaktur foto Republika, menambahkan bahwa foto yang ada memang sudah tercetak hitam putih dan teks boks yang ada adalah hasil layout dari Republika. 2.
Makna Konotasi Untuk memahami makna konotasi dari sebuah foto, dalam metode Barthes
disebut dengan tahap konotasi kognitif, yaitu makna yang dibangun atas dasar imajinasi paradigmatik. Selain pemahaman kultural, juga dapat diperoleh dengan mengamati beberapa perkembangan prosedur yang memengaruhi gambar sebagai analogon. Prosedur tersebut dikategorikan menjadi enam, antara lain: 2.1.
Trick Effect Memanipulasi gambar sampai tingkat yang berlebihan guna
menyampaikan maksud si fotografer dalam foto jurnalistik adalah hal yang dilarang, karena dapat mengubah realitas yang ada. Adapun pengolahan gambar dalam foto jurnalistik hanya diperbolehkan sebatas cropping untuk memperbaiki presisi, serta memperbaiki warna dengan mengatur tingkat
57
kecerahan, kontras, dan keseimbangan warna. Dalam foto 1, peneliti tidak menemukan manipulasi foto, adapun penambahan text box “Beranda Para Buruh” yang ada, bukan merupakan bagian dari trick effect yang dimaksud. Format warna hitam putih pada foto pun bukan hasil dari olah digital tambahan, melainkan sudah diatur sejak dalam kamera, hal ini ditegaskan oleh Diana Putri Tarigan saat diwawancarai penulis, Minggu, 22 Desember 2013. Perlu diketahui, manipulasi foto dalam foto jurnalistik bukan berarti tidak terjadi, kasus manipulasi terhadap sebuah foto bukan merupakan hal yang baru dalam fotografi, terlebih di era foto digital saat ini. Perkembangan teknologi fotografi saat ini, selain dapat memberikan kemudahan, utamanya bagi para pewarta foto dalam menjalankan profesinya, di sisi lain sebenarnya juga memberikan kemudahan terjadinya olah digital yang sifatnya manipulatif, bahkan tanpa meninggalkan bekas. Hal inilah yang kemudian dapat menimbulkan kekhawatiran kita sebagai konsumen terhadap keaslian suatu foto jurnalistik. Manipulasi foto di era foto digital saat ini juga pernah dibahas dalam rubrik Fotografi Republika, edisi 24 April 2013. Republika memberi beberapa kasus manipulasi foto yang terjadi dalam foto jurnalistik. Satu yang menarik adalah kasus manipulasi foto yang melibatkan sebuah media besar Amerika Serikat, yaitu Majalah TIME. Saat itu Majalah TIME menampilkan headline foto OJ Simpson, seorang atlet American Football, keturunan Afro-Amerika, yang terlibat kasus pembunuhan terhadap seorang artis cantik berkulit putih yang juga
58
merupakan istrinya. Majalah TIME mengubah foto OJ Simpson yang asli dari kepolisian dengan menggelapkan bagian belakang dan kulit simpson terlihat lebih gelap dari foto asli dari kepolisian yang juga dipajang dalam headline Majalah Newsweek. Kendatipun Majalah TIME beralasan hanya atas dasar estetika, hal ini kemudian menimbulkan isu rasialisme di kalangan masyarakat Amerika Serikat saat itu. Majalah TIME dianggap rasis dengan mengubah foto Simpson menjadi tampak lebih gelap, atas kejadian ini kemudian Majalah TIME meminta maaf kepada khalayaknya, perilaku ini hampir saja berakibat fatal terhadap kredibilitas Majalah TIME sebagai majalah besar Amerika. 2.2.
Pose Dalam gambar data foto 1 merupakan jenis foto portraiture,
dengan format gambar horizontal. Foto buruh perempuan tersebut diambil setengah bagian wajahnya dengan ekspresi wajah yang terlihat layu, lesu, dan mengundang empati. Pose, sebagaimana dijabarkan penulis dalam bab 2, dipahami sebagai gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Atas dasar pemahaman tersebut, maka dalam paragraf sebelumnya, penulis menjelaskan pose yang mengacu pada ekpresi objek dalam data foto 1. Pose seringkali mudah ditemukan dalam foto yang berisi objek manusia atau hewan. Sedangkan dalam foto dengan objek pemandangan alam misalnya, kita tidak akan menemukan pose didalamnya. Sebab, pemandangan alam yang menjadi objek foto tidak terdapat unsur gaya, ekspresi apalagi sikap. Penulis menangkap pose dalam data foto 1 memberi pesan tentang kondisi buruh yang tidak
59
bahagia, ekspresi wajah yang ditampilkan Diana Putri Tarigan, ingin memberi pesan bahwasanya buruh perempuan berada pada kondisi tidak bahagia.
2.3.
Object Keseluruhan elemen yang ada dalam satu bingkai foto sebenarnya
bisa dikatakan sebagai objek foto. Namun terkait dengan object dalam membaca foto disini, sebagaimana yang penulis jabarkan dalam bab 2, object dipahami sebagai satu subjek utama (point of interest) dalam satu bingkai foto. Point of interest dalam fotografi dipahami penulis merupakan bagian yang paling menarik atau menonjol dalam sebuah foto. Point of Interest (POI) atau subjek utama dalam data foto 1 adalah pada tampilan setengah wajah buruh perempuan yang terlihat lesu dan letih. Adapun teks boks yang terdapat dalam foto, bukan merupakan bagian dari objek, melainkan hanya bagian dari layout yang dibuat oleh Republika. Berdasarkan keterangan Diana Putri Tarigan, selaku fotografer yang memotret foto ini, objek perempuan yang menjadi POI dalam foto tersebut bernama Yayuk, seorang buruh pabrik sepatu merek NIKE di Tangerang. Yayuk tinggal di sebuah petak 2 m x 3 m, di daerah Tangerang, ia terpaksa bekerja karena ditinggal suaminya yang menikah lagi. Sudah tujuh tahun Yayuk bekerja sebagai buruh pabrik sepatu tersebut. 2.4.
Photogenia Dalam Photogenia, maka kita akan melihat foto dari segi tehnik
pengambilannya. Meliputi lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman
60
foto), bluring (keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze (efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek).
Apabila dilihat dari teknik pengambilan gambarnya, apa yang tampak dalam data foto 1 terlihat foto diambil di luar ruangan dengan memanfaatkan cahaya alami yaitu matahari (available light). Adanya perbedaan ketajaman objek pada latar depan (foreground) dan latar belakang (background) mengindikasikan foto diambil menggunakan tehnik ruang tajam sempit, yang berarti pengaturan diafragma berada antara f/2,8 sampai f/5,1. Dengan posisi diafragma tersebut maka kecepatan rana (speed) untuk menghasilkan pencahayaan yang nampak dalam data foto 1 berkisar antara S: 1/100 sampai 1/250. Atau juga dapat dikompensasi dengan menggunakan ISO 100 sampai 200. Titik fokus yang ditempatkan pada latar depan (setengah wajah buruh perempuan) ini dilakukan fotografer sebagai upaya penegasan fokus pesan yang ingin disampaikan, dalam hal ini pesan tentang buruh perempuan. Melihat POI yang ada dalam foto memberi indikasi foto diambil dengan sudut pandang sejajar mata manusia atau dalam istilah angle fotografi disebut dengan eye level. Dengan penggunaan angle ini, secara teknik tidak terlalu menimbulkan pesan tertentu. Perlu juga diketahui, pemilihan angle dalam fotografi sedikit banyak juga dapat memberi pesan tertentu, dan juga biasanya dari angle yang digunakan fotografer, kita dapat melihat bagaimana sudut pandang seorang fotografer dalam menampilkan sebuah foto.
61
Contohnya, ketika seorang fotografer memotret jokowi dengan menggunakan low angle (memotret dengan kamera yang berada lebih rendah dari objek), maka kesan yang timbul terhadap Jokowi adalah akan dapat terlihat sebagai sosok yang berwibawa. Akan menjadi berbeda pesan ketika seorang fotografer memotret Jokowi dengan posisi kamera yang berada lebih tinggi (high angle), maka kesan yang timbul terhadap Jokowi akan dapat terlihat kerdil dan tidak berwibawa. 2.5.
Aestheticism Format gambar dalam data foto 1 merupakan jenis foto portraiture,
yaitu foto yang menampilkan manusia sebagai subjek utamanya. Jika dilihat, foto tersebut memperhatikan kaidah 1/3 (rule of third) dengan menempatkan POI di 1/3 bagian kiri foto. Ukuran POI yang penuh secara vertikal gambar mengarahkan sekaligus menegaskan mata untuk langsung mengarah pada objek. Tampilan portraiture yang hanya menampilkan setengah bagian wajah ini sangat menarik sekaligus tidak lazim. Ditambah dengan ekspresi yang nampak dari subjek utama (buruh perempuan) yang terlihat letih, layu dan tatapan mata yang kosong menimbulkan kesan empati. Tampilan portraiture
dengan
menampilkan
setengah
bagian
wajahnya
ini
menimbulkan pesan bahwa buruh perempuan dipandang sebelah mata. Format gambar yang hanya menggunakan paduan warna hitam dan putih (black and white photo) memberi tambahan kesan kelam atau suramnya kondisi buruh perempuan. 2.6.
Sintaxis
62
Penempatan POI yang berada di sebelah kiri gambar dan penempatan judul Beranda Para Buruh yang berada di sebelah kanan gambar, maka, sebagaimana budaya membaca kita, mata yang melihat akan terarahkan (dari kiri ke kanan). Dengan alur tersebut maka penulis dapat menafsirkan suatu rangkaian pesan yang timbul atas kalimat yang ada. “Beranda Para Buruh”, kalimat ini adalah tema besar sekaligus judul dari pameran foto yang diselenggarakan, dari kalimat ini, dapat ditafsirkan keseluruhan foto ini merupakan halaman-halaman kisah kondisi buruh di Indonesia yang dalam tampilan visual, terutama pada foto 1, memberi pesan keadaan yang kelam dan suram. Penempatan kalimat “Beranda Parah Buruh” yang dilakukan pada foto 1 menurut Yogi Ardhi, Redaktur Foto Harian Republika, tidak memiliki pesan khusus, selain semata-mata pemenuhan layout berdasarkan materi yang ada.
Dari berbagai aspek teramati yang telah dijabarkan di atas, didapati makna konotasi dari data foto 1 yang menggambarkan bahwa buruh perempuan masih dipandang “sebelah mata”. Keberadaan perempuan dalam ruang publik, belum mendapat perhatian khusus, bahkan perlindungan yang memadai. Akibatnya kondisi buruh perempuan secara mayoritas masih dalam kondisi memprihatinkan. Ana Sabhana Azmy dalam bukunya Negara dan Buruh Migran Perempuan melihat salah satu bentuk pandangan sebelah mata terhadap kaum buruh perempuan ini dapat dilihat dari kurangnya partisipasi perempuan dalam menentukan
kebijakan-kebijakan
atas
aturan-aturan
yang
berlaku
guna
63
melindungi hak-hak kaum buruh perempuan. Kondisi ini masuk dalam bentuk permasalahan gender dan subordinasi, adalah ketika perempuan berada pada posisi yang tidak penting akibat sifat-sifatnya yang dianggap emosional, irasional dalam berpikir dan perempuan tidak cukup mumpuni sebagai orang yang penting dalam menentukan kebijakan-kebijakan, bahkan untuk menentukan kebijakan bagi perempuan sendiri. Keterlibatan perempuan dalam ruang publik sejauh ini masih dilihat sebagai orang yang bekerja untuk membantu ekonomi keluarga, bukan sebagai tugas utama selayaknya pandangan yang ditujukan pada laki-laki. Dalam artikel yang berjudul Pers Release: Catatan Hitam Buruh Perempuan Indonesia, dimuat oleh Kalyanamitra, pusat komunikasi dan informasi perempuan, menjelaskan bahwa secara umum, buruh perempuan mengalami diskriminasi dalam penerimaan upah, asuransi dan fasilitas kerja.3 Hal inilah yang juga dialami Yayuk saat pertama kali datang dan bekerja di Jakarta. Yayuk memilih bekerja di pabrik karena ditempat kerja sebelumnya, Yayuk secara batin tertekan dan secara materi sangat tidak sesuai. Menurut Diana, Yayuk dahulu bekerja dalam usaha keluarga dan sempat tidak mendapat gaji. Maka kemudian Yayuk memilih bekerja sebagai buruh pabrik. 3.
Makna Mitos Makna mitos yang terbangun dari foto ini adalah buruh perempuan yang
berada pada second class society. Pandangan sebelah mata yang disematkan pada keterlibatan perempuan dalam ruang publik, salah satunya adalah akibat dari adanya konstruksi gender bahwasanya perempuan itu emosional, irasional dalam 3
http://www.kalyanamitra.or.id/2013/04/pers-release-catatan-hitam-buruh-perempuanindonesia/, diakses pada 26 Desember 2013.
64
berpikir, dan perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin. Anggapan perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin ini disinyalir akibat masih kentalnya budaya patriarki di tengah masyarakat. Budaya patriarki dipahami penulis sebagai budaya yang beranggapan bahwa laki-laki memiliki kekuasaan penuh terhadap perempuan. Kendatipun dalam segi kesempatan, perempuan sudah mendapat peluang yang sama di ruang publik, namun penempatan posisi perempuan masih berada dalam second class society (kelas kedua). Buruh perempuan kerap kali masih dianggap sebagai pencari nafkah tambahan bagi keluarga, bukan sebagai tulang punggung keluarga, akibatnya buruh perempuan tidak mendapat tunjangan keluarga dan tidak mendapat tunjangan kesehatan untuk anggota keluarga. Kondisi inilah, menurut Diana Putri Tarigan, selaku fotografer foto tersebut yang juga di alami Yayuk, objek foto dalam data foto 1. Kondisi ini juga masih banyak ditemui di kawasan industri terkemuka di Jakarta, seperti Kawan Berikat Nusantara Cakung maupun Kawasan Industri Pulogadung.4 Hal inilah yang sebagaimana dikatakan Mansour Faqih sebagai salah satu permasalahan yang muncul akibat perbedaan gender. Dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial, posisi perempuan yang berada pada second class merupakan bentuk terjadinya permasalahan gender dan subordinasi. Apabila melihat hal ini dari kacamata feminisme sosialis, keberadaan perempuan pada kelas kedua terjadi akibat integrasi budaya patriarki dan kapitalisme. Dua budaya inilah yang dianggap sebagai akar permasalah yang terjadi terhadap buruh perempuan. 4
Adhitya Himawan, “Nasib Buruh Perempuan Lebih Mengenaskan”, artikel diakses pada 26 Desember 2013, dari http://nasional.kontan.co.id/news/nasib-buruh-perempuan-lebihmengenaskan
65
C. DATA FOTO 2
Gambar 2
D.
ANALISIS DATA FOTO 2 1. Makna Denotasi Dalam gambar data foto kedua kita dapat amati beberapa analogon yang berbentuk objek dari makna denotatif foto tersebut, antara lain: a. Beberapa kabel yang melilit tak beraturan di dinding yang terdapat paku sebagai penyangga. b. Kartu tanda pengenal karyawan yang menggantung dalam kabel yang melilit di dinding c. Foto perempuan dalam kartu tanda pengenal buruh d. Latar belakang dinding Makna denotasi yang didapat dari beberapa analogon yang terdapat dalam data foto 2 dapat mengungkapkan, secara verbal dapat kita
66
katakan dalam foto terdapat potret dengan menampilkan detil kartu tanda pengenal buruh yang menggantung di antara lilitan kabel di dinding. 2. Makna konotasi Untuk memahami makna konotasi dari sebuah foto, dalam metode Barthes disebut dengan tahap konotasi kognitif, yaitu makna yang dibangun atas dasar imajinasi paradigmatik. Selain pemahaman kultural,
juga
dapat
diperoleh
dengan
mengamati
beberapa
perkembangan prosedur yang mempengaruhi gambar sebagai analogon. Prosedur tersebut dikategorikan menjadi enam, antara lain: 2.1.Trick Effect Sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa trick effect merupakan suatu upaya manipulasi gambar pada tingkat yang berlebihan guna menyampaikan maksud si fotografer. Dalam wilayah foto jurnalistik hal ini jelas merupakan hal yang dilarang karena sama saja memanipulasi realitas. Walaupun sebuah foto jurnalistik sebenarnya bukan berarti 100% atas realitas, artinya hasil foto adalah apa yang menjadi pikiran seorang fotografer. Terkait dengan Data foto 2, penulis tidak menemukan hal yang dapat dikatakan sebagai trick effect. Kemudahan olah digital saat ini membuat foto jurnalistik rentan akan manipulasi, hal ini jelas sangat berbahaya, sebab apa yang disampaikan sudah merupakan realitas palsu. Namun agar
67
dapat dipahami, contoh memanipulasi gambar pada tingkat yang berlebihan disini misalnya, menggabungkan dua foto menjadi satu, sehingga menjadi sebuah kejadian yang dalam realitas sebenarnya tidak terjadi seperti apa yang ada dalam foto. 2.2.Pose Apabila melihat tampilan foto yang ada pada data foto 2, foto tersebut masuk dalam aliran Still-Live Photography, yakni aliran fotografi yang secara khas memotret benda-benda mati. Walaupun subjek fotonya adalah benda mati, namun foto-foto yang dihasilkan terkesan hidup, karena benda-benda dibentuk oleh fotografernya hingga terkesan memiliki sifat karakter, dam pesan tertentu. Oleh karena foto dalam data foto 2 adalah foto yang menampilkan benda mati, maka penulis tidak menemukan unsur yang bisa dikatakan sebagai pose. Sebab pose hanya dapat dilihat pada objek foto yang menampilkan objek manusia, ataupun hewan. 2.3.Object Di antara beberapa objek yang terdapat dalam data foto 2, didapati yang menjadi POI adalah kartu tanda pengenal buruh yang menggantung diantara kabel yang menyimpul. Sebab kartu tanda pengenal buruh perempuan yang menjadi POI mewakili buruh perempuan dalam realitas, serta terlihat sebagai objek yang paling menonjol dan menarik mata.
68
Penulis meyakini kartu tanda pengenal itu merupakan milik buruh perempuan, karena selain dapat di amati dari foto yang terdapat dalam kartu tanda pengenal itu, hal ini juga diperkuat oleh pengakuan si fotografer, Diana Putri Tarigan. Diana menjeaskan, bahwa kartu tanda pengenal itu milik Yayuk, objek yang ada dalam data foto 1. Foto tersebut diambil di rumah Yayuk, tepatnya di dinding kamar Yayuk. Dalam foto ini, Diana ingin menampilkan detil dalam bentuk lain untuk menyampaikan pesan tentang buruh perempuan. Diana juga menegaskan, keberadaan kartu tanda pengenal di antara kabel yang melilit itu bukan merupakan rekayasa, bukan sengaja digantungkan. 2.4.Photogenia Dalam Photogenia, maka kita akan melihat foto dari segi tehnik pengambilannya. Meliputi lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto), bluring (keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze (efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek). Penulis mengamati pada data foto 2, secara photogenia, objek dalam keseluruhan bingkai berada di tempat yang lebih tinggi dari fotografer, sehingga fotografer menggunakan low angle. Penggunaan jenis angle yang dipakai oleh seorang fotografer dalam memotret suatu objek dapat terjadi atas beberapa kemungkinan, bisa karena keinginan si fotografer guna menimbulkan kesan tertentu ataupun karena keadaan (situasi) lokasi di mana ia memotret. Pada data foto 2, penulis tidak menemukan kesan lain terhadap penggunaan low angle
69
yang dilakukan oleh fotografer dalam memotret keseluruhan objek dalam satu bingkai foto. Dari sisi pencahayaan, penulis melihat objek berada di dalam ruangan (indoor) dengan kondisi minim cahaya, maka si fotografer menggunakan bantuan flash (lampu kilat) internal kamera. Hal ini dapat diamati dari bayangan (shadow) kabel yang terlihat dibagian bawah kabel yang membentuk simpul. Perlu juga diketahui, terdapat beberapa pilihan penggunaan cahaya bantuan (flash) dalam pengoperasian kamera, pertama dapat menggunakan flash internal kamera, flash eksternal (lampu kilat tambahan), atau dengan menggunakan seperangkat alat lighting yang biasa dipakai di studio-studio foto. Disini penulis meyakini fotografer memotret foto dalam data foto 2 menggunakan flash internal kamera karena melihat beberapa indikator, pertama atas shadow yang nampak di bawah kabel yang menyimpul, yang kedua, atas hasil foto yang berada pada tingkat pencahayaan rendah (under exposure). Keyakinan penulis juga diperkuat oleh keterangan Diana Putri Tarigan sebagai fotografer foto tersebut.
2.5.Aestheticism POI pada foto 2 nampak pada kartu tanda pengenal buruh yang menggantung diantara kabel-kabel. Posisi POI yang ada pada sepertiga kanan dalam bingkai foto, dalam istilah fotografi merupakan penerapan pola komposisi rule of third. Format gambar dalam bentuk hitam putih, memberi kesan yang serupa dengan foto 1, yaitu kelam dan suram.
70
Dari segi estetika, foto dalam data foto 2 sangat menarik, selain tampilan detil yang posisinya menggantikan buruh perempuan sebagai sumber pesan, merupakan pilihan yang tidak lazim dan menarik mata. Pemilihan warna hitam-putih yang ada merupakan hasil diskusi dengan kurator (orang yang memilih foto untuk dipamerkan). Adalah Oscar Motulloh, fotografer senior yang sering dijuluki “dewa” nya foto jurnalistik yang menjadi kurator foto-foto yang ditampilkan dalam pameran Beranda Para Buruh. Diana juga menambahkan, warna hitam putih dipilih untuk menambah kesan dramatis atas foto-foto nya. 2.6.Sintaxis Sintaxis dalam foto jurnalistik biasanya dapat kita lihat lewat teks yang ada pada judul atau caption foto, namun ketika sebuah foto berdiri sendiri tanpa teks seperti pada data foto 2, bukan berarti tidak memiliki unsur sintaksis. Sebuah foto, terlebih foto jurnalistik, pada hakikatnya adalah medium penyampai pesan, dengan atau tanpa teks. Disini penulis menjelaskan unsur sintaksis pada data foto 2 dengan melihat elemen-elemen dalam foto yang dapat memberikan sebuah cerita dalam satu bingkai foto. Pada data foto 2, apabila kita menerapkan budaya membaca kita (dari kiri ke kanan), maka, penulis mulai membaca dari petanda lewat kabel-kabel melilit tak beraturan yang dapat ditafsirkan sebagai suatu masalah yang membelit. Selanjutnya kartu tanda pengenal yang didalamnya terdapat foto buruh
71
perempuan, secara tersirat dapat ditafsirkan, benda tersebut digunakan untuk mewakili kaum buruh perempuan sebagai objek. Maka, jika kita kemudian menarik kesimpulan atas elemen-elemen tersebut, terbentuk sebuah rangkaian pesan bahwa foto 2 dapat ditafsirkan masalah-masalah yang membelit kehidupan kaum buruh perempuan. Dari beberapa aspek teramati yang telah dijabarkan, didapati makna konotasi dari foto tersebut yang menggambarkan kondisi buruh perempuan yang dibelit banyak masalah. Permasalahan upah yang masih rendah, kontrak kerja, dan tidak adanya tunjangan sosial masih menjadi masalah yang sampai saat ini terus diperjuangkan oleh para buruh di Negeri ini, bukan hanya buruh perempuan saja. Konotasi yang muncul dari foto ini, yaitu buruh perempuan yang dibelit atau terbelit banyak masalah, juga dialami oleh Yayuk, objek pada data foto 2. Atas pengakuan Yayuk kepada Diana, ia mulai bekerja sejak ditinggal tanpa kabar oleh suaminya. Satu-satu nya impian Yayuk sendiri adalah memiliki rumah, yang ada halaman nya, ruang tamu, dan lain-lain sebgaimana rumah yang layak. Namun dengan gaji yang diterimanya sebagai buruh, harapan itu rasanya tinggallah harapan. Yayuk saat ini hanya bertempat tinggal di sebuah petak 2x3 m, dan harus membiayai adiknya yang masih sekolah. Dengan biaya sekolah yang tidak murah, belum lagi untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, menjadi serangkaian santapan masalah yang harus dialami oleh Yayuk. Terkait buruh perempuan sendiri, menurut Ana Sabhana Azmy, seorang dosen yang sangat concern memerhatikan kondisi buruh perempuan, memandang permasalahan yang membelit buruh perempuan bukan hanya atas aspek yang dijelaskan sebelumnya, melainkan ada banyak hal lain yang membuat buruh
72
perempuan cenderung menerima lebih banyak permasalahan, diantaranya kekerasan baik fisik maupun berupa pelecehan seksual, tidak adanya kompensasi libur kerja di saat perempuan sedang mengalami haid,
atau kesempatan
perempuan sebagai seorang ibu untuk memberikan ASI ekslusif, karena penulis meyakini bahwa perusahaan menganggap dapat mengganggu produktivitas kerja. Meskipun sejumlah hak-hak buruh perempuan telah dilindungi melalui UU No. 13/Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagian besar perusahaan hampir tidak memperhatikan masalah-masalah yang spesifik yang dialami buruh perempuan. 3. Makna Mitos Adapun makna mitos yang terbangun dari foto ini adalah buruh perempuan ada dalam kondisi terabaikan atau diabaikan. Masalah-masalah klasik yang membelit kaum buruh perempuan seperti masalah penerapan cuti haid, cuti melahirkan, tunjangan untuk kehamilan dan menyusui, belum dapat diakomodir dengan baik, bahkan oleh undang-undang. Indonesia
memang
memiliki
UU
No.13/Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan, yang juga menjelaskan hak-hak buruh perempuan yang tercantum dalam pasal 76 ayat 1-5, namun melihat isi yang tercantum dalam pasal 76 ini, penulis melihat memang belum ada aturan yang lebih spesifik guna melindungi hak-hak buruh perempuan. Garis besar dari isi pasal 76 ini hanya mengatur hak-hak buruh perempuan yang sifatnya normatif. Sedangkan butirbutir itu dirasa belum cukup menghadapi permasalahan buruh perempuan yang ada. Berikut adalah isi UU No.13/Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 76:
73
1. Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. 2. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. 3. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib: a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja. 4. Pengusaha
wajib
menyediakan
angkutan
antar
jemput
bagi
pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00. 5. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.
74
E. DATA FOTO 3
Gambar 3
F. ANALISIS DATA FOTO 3 1. Makna Denotasi Dalam gambar data foto kedua kita dapat amati beberapa analogon yang berbentuk objek dari makna denotatif foto tersebut, antara lain: a. Seorang buruh perempuan memegang spanduk b. Kawat duri pembatas yang biasa digunakan petugas saat ada aksi demonstrasi c. Beberapa buruh perempuan lain yang ikut aksi unjuk rasa d. Kalimat “Buruh Bukan Budak” yang tertulis di spanduk 2. Makna konotasi Untuk memahami makna konotasi dari sebuah foto, dalam metode Barthes disebut dengan tahap konotasi kognitif, yaitu makna yang dibangun atas dasar imajinasi paradigmatik. Selain pemahaman
75
kultural,
juga
dapat
diperoleh
dengan
mengamati
beberapa
perkembangan prosedur yang mempengaruhi gambar sebagai analogon. Prosedur tersebut dikategorikan menjadi enam, antara lain: 2.1.Trick Effect Trick effect dipahami sebagai upaya memanipulasi gambar sampai tingkat yang berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita. Pada data foto 3, penulis tidak menemukan indikator yang menunjukkan adanya trick effect. Sebab dari apa yang tampak dalam foto 3 merupakan hasil jepretan murni si fotografer pada saat aksi unjuk rasa buruh. Jika
sebelumnya
contoh
trick
effect,
adalah
menggabungkan dua gambar menjadi satu sehingga menciptakan sebuah realitas, maka contoh lain adalah dengan menambahkan atau menghilangkan unsur-unsur atau elemen-elemen yang ada dalam foto lewat olah digital secara berlebihan. Contoh kasus nyata trick effect lain yang pernah terjadi dalam foto jurnalistik adalah kasus manipulasi foto yang dilakukan oleh surat kabar Al-Ahram, Mesir.5 Pada 2010, berlangsung pertemuan antara Presiden Barack Obama, pemimpin Palestina, Israel, Mesir, dan Yordania di Gedung Putih. Sebelum berjalan menuju ruang pertemuan, para pemimpin berjalan melalui salah satu di koridor Gedung Putih.
5
Republika, Edisi 1 Mei 2013.
76
Obama berjalan di tengah, diapit bagian kiri dan kanan belakangnya empat pemimpin negara lainnya. Saat itu Al-Ahram mengubah posisi Husni Mubarak dalam rombongan Barack Obama yang dalam foto yang dirilis Associated Press berada di bagian belakang rombongan, menjadi di bagian paling depan. Pihak AlAhram berkilah perubahan posisi ini sebagai upaya untuk menggambarkan peran penting Husni Mubarak dalam perundingan damai di Timur Tengah. Atas dasar apapun, manipulasi foto secara berlebihan dalam foto jurnalistik adalah hal
yang tidak
diperkenankan. 2.2.Pose Pose dalama data foto 3 terlihat pada buruh perempuan yang memegang spanduk bertuliskan “Buruh Bukan Budak”. Terlihat ekspresi nya yang berteriak memberi pesan bahwa buruh perempuan itu tengah menyuarakan apa yang tertulis dalam spanduk. Dilihat dari pose, kesan yang terbangun dari foto ini adalah pergerakan buruh perempuan atas kondisinya selama ini yang merasa telah menjadi budak. Sebagaimana pemahaman penulis tentang budak, dapat dikatakan, budak adalah seorang yang berada dibawah kendali Tuan nya. Budak juga identik dengan orang yang mendapatkan perlakuan sewenang-wenang dari atasannya. 2.3.Object
77
POI pada foto 3 berada pada seorang buruh perempuan yang memegang spanduk bertuliskan “Buruh Bukan Budak”. POI tersebut dapat dikatakan sebagai objek utama dala foto 2. Selain objek utama yang terletak pada POI, penulis juga menemukan objek lainnya yang dapat dikatakan sebagai objek pendukung yang keberadaannya bukan hanya sebagai pelengkap gambar atau pengisi ruang kosong pada satu bingkai foto. Buruh perempuan lainnya yang masuk dalam frame, dapat memberi tafsiran bahwa tulisan yang ada di spanduk adalah suara buruh secara menyeluruh atas kondisi yang selama ini mereka alami. Objek pendukung lainnya adalah kawat duri yang biasa terlihat ketika ada aksi unjuk rasa. Penulis melihat kesan yang terbangun dari masuknya kawat duri dalam foto adalah adanya suatu pembatas antar kelas sosial. Pembatas yang membuat senjang satu kelas dengan kelas lainnya, dalam hal ini buruh sebagai kelas bawah dan penguasa (pemerintah) sebagai kelas atas. 2.4.Photogenia Dalam Photogenia, maka kita akan melihat foto dari segi tehnik pengambilannya. Meliputi lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto), bluring (keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze (efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek) Secara
photogenia,
foto
3
memiliki
kekuatan
pada
pengambilan sudut pandang (angle) yang dilakukan oleh fotografer. Dalam foto 3, foto diambil ketika sedang berlangsung aksi unjuk rasa
78
buruh, posisi buruh perempuan yang tengah memegang spanduk tersebut
terlihat
menghadap
ke
tempat
yang
lebih
tinggi,
menunjukkan si fotografer mengambil foto dengan berada pasa posisi lebih tinggi dari objek (high angle), sudut pandang seperti ini, dapat memberi kesan objek terlihat kecil dan tertindas. Pada konteks pencahayaan, sebagaimana layaknya foto yang diambil di luar ruangan, foto diambil dengan bantuan cahaya matahari (daylight), dan dari segi ketajaman foto, tingkat ketajaman latar depan dan latar belakang foto terlihat merata, dalam tehnik memotret dikenal dengan istilah ruang tajam luas dengan mengatur kamera pada diafragma berkisar f/8-f/22, dengan kecepatan rana (speed) berkisar 1/150-1/500, dan ISO 100-200. Tingkat ketajaman yang hampir merata pada objek dalam foto 3 menunjukkan keseluruhan objek yang masuk dalam bingkai merupakan sebuah pesan, bukan hanya terletak pada objek buruh perempuan yang memegang spanduk, melainkan buruh lain disekitarnya serta kawat duri yang ada juga merupakan sebuah pesan yang ingin disampaikan fotografer.
2.5.Aestheticism Estetika komposisi gambar pada foto 3 juga memiliki kekuatan pesan yang menarik. Penempatan latar depan buruh perempuan yang memegang spanduk dengan memasukkan beberapa buruh lainnya, dapat ditafsirkan apa yang tertera dalam spanduk, “Buruh Bukan Budak”, juga merupakan suara buruh lainnya. Masuknya kawat duri dalam bingkai foto dapat ditafsirkan sebagai sebuah pembatas yang menunjukkan kepada siapa buruh
79
perempuan tersebut menyalurkan aspirasinya, dalam hal ini kepada pihak yang memang bertanggung jawab terhadap nasib para buruh (pemerintah). 2.6.Sintaxis Tulisan
yang
ada
pada
spanduk
secara
sintaksis
mengarahkan pemikiran pembaca pada maksud dari pesan yang ingin disampaikan oleh foto tersebut. “Buruh Bukan Budak”, sebuah kalimat yang dapat ditafsirkan sebagai peregerakan kaum perempuan atas adanya keinginan perubahan dari kondisi yang mereka alami selama ini yang merasa sebagai budak. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, budak sendiri memiliki arti anak-anak dan juga berarti hamba atau jongos. Dalam konteks buruh di sini, tentu budak yang dimaksud adalah pengertiannya sebagai hamba atau jongos, yang dalam budaya kita identik dengan orang yang mendapat perlakuan sewenang-wenang atau semena-mena dari Tuan nya. Kata “buruh” dan “budak” sendiri sebenarnya memiliki tingkat persamaan arti yang hampir sama, sebab jika meniliki dari definisi keduanya adalah orang yang diberi upah oleh “tuan” nya, yang membedakannya yakni, budak secara pemahaman sosiologis kita berada pada kasta yang sangatsangat bawah dalam sebuah tingkatan kelas sosial. Dari foto 3, dapat ditafsirkan secara sintakasis, penulis melihat ada sebuah pesan pergerakan yang dilakukan kaum buruh perempuan atas kondisi yang mereka rasakan selama ini. Adanya
80
keinginan perbaikan sistem, mulai dari upah kerja, penerapan sistem beban kerja bagi buruh perempuan, tunjangan sosial, atau pun perlakuan lain yang selama ini membuat mereka merasa seperti “budak”. Dari berbagai aspek teramati yang dijabarkan di atas, didapati makna konotasi dari foto tersebut adalah buruh yang berada dalam keadaan seperti budak. Istilah „budak‟ identik dengan kaum yang mendapat perlakuan sewenangwenang dari majikannya. Analogi buruh perempuan seperti “budak” dapat dilihat dari kondisi yang terjadi, utamanya yang berada dalam sektor formal. Upah buruh perempuan lebih rendah karena buruh perempuan selalu dianggap berstatus lajang. Buruh perempuan tidak mendapat tunjangan keluarga, serta jaminan sosial untuk suami dan anak. Perempuan ditempatkan pada pekerjaan yang hanya membutuhkan ketekunan, ketelitian, dan kerapihan, dan biasanya hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan setiap hari selama bertahun-tahun.6 Buruh perempuan yang diibaratkan „budak‟ bukan hanya dapat dilihat dalam hubungan produksi, namun juga dalam hal perlakuan yang diperoleh para buruh perempuan. Contohnya data kasus yang dirilis oleh Kalyanamitra, tentang sejumlah buruh yang bekerja di Jakarta Utara, banyak mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, seperti harus mau menikah dengan pengusaha/ majikan di pabrik agar diangkat sebagai karyawan tetap di perusahaan tersebut. Kasus pelecehan ini juga sering menimpa beberapa jurnalis perempuan yang dirayu oleh narasumbernya ketika mereka melakukan peliputan.
6
http://jurnalperempuan.com/2011/05/hak-hak-buruh-pekerja-perempuan/ diakses pada senin 4 Desember 2013
81
Perilaku-perilaku seperti di atas inilah yang seraya mengindikasikan buruh perempuan menjadi seperti „budak‟ yang dapat diperlakukan sewenang-wenang. Melihat kasus tersebut, kondisi yang terjadi tentu bukan hanya akibat dari sistem produksi semata, melainkan sudah melibatkan budaya patriarki yang menganggap bahwa laki-laki memiliki kekuasaan penuh atas perempuan. Kondisi diatas apabila melihatnya lewat kacamata feminisme sosialis, terjadi akibat integrasi budaya patriarki dan kapitalisme. 3. Makna Mitos Adapun makna mitos yang terbangun dari foto ini adalah adanya labelling kelas sosial terhadap kaum buruh perempuan, label kelas bawahan. Mitos bahwasanya buruh perempuan ada pada kelas bawahan tentu menimbulkan asumsi bahwasanya buruh perempuan adalah kaum yang berada pada kelas yang tertindas. Kondisi ini, banyak ditemukan khususnya pada kaum buruh migran perempuan. Sebagaimana diketahui, mayoritas buruh migran perempuan yang bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah sebagai pembantu rumah tangga. Misalnya, data yang didapat penulis lewat buku Buruh Migran dan Perempuan, karya Ana Sabhana Azmy, yang juga merupakan sebuah penelitian berbentuk tesis ini menyebutkan bahwa pada Tahun 2005, jumlah buruh migran di Malaysia berjumlah total, 1.214.000 orang, dan dari seluruh buruh migran yang ada di negara Malaysia, 68,9% - nya adalah buruh migran asal Indonesia. Buruh migran Indonesia mendominasi sektor Pembantu Rumah Tangga (PRT). Penulis melihat hal ini diantaranya adalah akibat minimnya lapangan kerja dan keharusan seorang perempuan untuk menghidupi keluarga, oleh karena itu, kendati dengan
82
berbekal pendidikan yang rendah mereka beranikan diri untuk menjadi TKI sebagai PRT di negeri orang. PRT dalam budaya kita, jika diterapkan pada sebuah strata sosial. tentu posisinya berada pada kelas bawahan, yang sangat rentan mendapat perlakuan sewenang-wenang dari majikannya. Baik dari segi upah sampai pelecehan seksual. Sekali lagi, jika melihat kasus ini dari kacamata kaum feminisme sosialis, akar permasalahan yang dialami buruh perempuan bersumber dari perpaduan budaya patriarki dan kapitalisme.
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Dari data yang telah terkaji melalui tawaran membaca foto yang diajukan oleh Roland Barthes, maka didapati kesimpulan, yaitu: 1. Makna denotasi yang didapat dari hasil analisis semiotik foto pameran bertajuk Beranda Para Buruh yang dimuat di Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013, memberikan gambaran tentang upaya bercerita lewat foto yang dilakukan fotografer terkait pesan tentang buruh perempuan di Indonesia. Lewat konstruksi foto yang tidak lazim, pemilihan format warna dan objek yang dipilih membuat foto-foto yang ada menjadi di luar kebiasaan foto jurnalistik pada umumnya. Meskipun beberapa foto ditampilkan secara tidak lazim, dari fotofoto tersebut justru memiliki kekuatan dan memberikan gambaran tentang keadaan buruh perempuan di Indonesia. Dalam rangkaian foto-foto tersebut kita dapat melihat suatu cerita tentang kondisi buruh perempuan yang terjadi dengan tanpa menampilkan unsur-unsur yang berpotensi memunculkan kontroversi secara visual.
2. Hasil analisis makna konotasi dari foto-foto yang ada memberikan sebuah ungkapan bahwasanya untuk memahami foto jurnalistik tidak cukup sebatas melihat apa yang tampak. Terlebih melihat foto-foto yang ditampilkan dengan format yang tidak lazim dan penuh dengan elemenelemen yang sifatnya simbolik.
83
84
Diana Putri Tarigan, dalam dua foto nya mampu membangun citra suram dan kelamnya kondisi buruh perempuan di Indonesia. Diana berupaya merangkai sebuah cerita tentang keadaan kelamnya buruh perempuan lewat cara yang sangat unik dan penuh muatan simbolik. Satu foto terakhir karya Irsan Mulyadi mampu membangun citra buruh perempuan yang ingin bergerak keluar dari kondisi kelamnya dunia buruh perempuan yang nyatanya masih penuh masalah dan belum terselesaikan. Banyak aspek yang membuat keadaan buruh perempuan di Indonesia masih berkutat pada banyak permasalahan. Baik dari segi hubungan produksi, sistem yang ada, ataupun akibat kentalnya konstruksi gender
yang
melekat
di
masyarakat,
membuat
perbaikan
atas
keberlangsungan kondisi buruh perempuan terhambat.
3. Hakikat foto jurnalistik yang merupakan refleksi atas realitas, muncul bukan atas pandangan subjektif semata, melainkan memiliki hubungan sinergi atas fenomena sosial budaya masyarakat yang terjadi. Mitos yang terbangun dari foto-foto pameran bertajuk Beranda Para Buruh yang dimuat Republika memberikan sebuah fakta bahwa keberadaan buruh perempuan dalam ruang publik tidak serta merta meningkatkan derajat kaum perempuan. Posisinya yang masih berada pada second class society, terabaikan, bahkan tertindas memberikan sebuah pesan bahwa masih kentalnya ketimpangan gender di tengah kehidupan masyarakat yang berimbas negatif khususnya bagi kaum perempuan.
85
B.
Saran Wacana tentang seni fotografi khususnya, tidak lagi hanya mendebatkan
foto dari segi teknis bagaimana foto itu dibuat, melainkan sudah harus bergerak pada ranah filosofis. Sehingga budaya visual di Indonesia dapat terus berjalan kearah perkembangan, dan bukan hanya sekedar pengulangan. Oleh karena, ternyata ranah fotografi dapat terintegrasi dengan banyak hal yang berkaitan dengan fenomena budaya yang berkembang di masyarakat, bekal wawasan budaya secara meluas dapat membuat sebuah karya foto jurnalistik lebih kaya informasi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa hal yang dapat menjadi saran baik kepada segenap akademisi Fakultas komunikasi, khususnya Program Studi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta bagi peminat fotografi khususnya yang menekuni foto jurnalistik dan orang-orang yang concern terhadap buruh perempuan, yaitu: 1. Melihat hasil analisis atas makna denotasi yang didapat dari ketiga foto yang diteliti, memberikan suatu referensi tentang tampilan foto-foto dengan mengusung tema atas fenomena sosial budaya yang terjadi di tengah masyarakat. Referensi tampilan-tampilan foto dalam foto yang diteliti dapat menjadi suatu acuan bagai para fotografer pemula khususnya.
2. Melihat hasil analisis atas makna konotasi yang didapat dari ketiga foto yang diteliti, dapat menjadi sebuah kamus visual bagi para penikmat fotografi. Metode semiotika Barthes dengan rumusannya dalam membaca
86
konotasi pada foto, dapat menjadi pegangan seorang fotografer agar dapat mengerti bagaimana suatu kesan dapat terbentuk, hingga dapat memanfaatkannya secara fungsional ketika ingin mengungkapkan suatu pesan, khususnya dalam medium foto.
3. Melihat hasil analisis atas makna mitos yang didapat dari ketiga foto yang diteliti, secara umum memuat fakta-fakta atas fenomena yang terjadi di tengah kehidupan kaum buruh perempuan, dapat menjadi salah satu alat kampanye atas usaha perbaikan nasib kaum buruh perempuan bagi para penggiat atau aktivis yang senantiasa memperjuangkan nasib buruh perempuan melalui foto.
Kemudian Bagi para akademisi yang juga
concern terhadap seni membaca foto, metode semiotika Barthes ini dapat pula menjadi pegangan utama dalam mengembangkan paradigma kontstruktivis dalam membaca foto dan mengkorelasikannya dengan fenomena sosial budaya yang terjadi di tengah masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira, Kisah Mata Fotografi, Yogyakarta: Galang Press, 2002 Alwi, Audy Mirza, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004 Alwi, Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan & Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka, 1997 Azmy, Ana Sabhana, Negara dan buruh Migran Perempuan, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012 Berger, Arthur Asa, Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010 Bignell, Jonathan, Media Semiotics: An Introduction, Manchester: Manchester University Press, 1997 Budiman, Kris, Kosa Semiotika, Yogyakarta, LKIS, 1999 _______, Kris, Semiotika Visual, Yogyakarta: Buku Baik, 2003 Davis, Howard dan Paul Walton, Bahasa, Citra, dan Media, Yogyakarta: Jalasutra, 2010 Faqih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Hoed, Benny H Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Depok: FIB UI Depok, 2008 Khairunnisa, Mira, Citra Perempuan Ideal dalam Sinetron: Studi Analisis Wacana Sinetron Dewi Fortuna, Depok: Skripsi FISIP UI, 1992
Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, Magelang: Yayasan INDONESIATERA, 2001 Littlejohn, Stephen W dan Karen A.Foss, Teori Komunikasi: Theories of Human Communication, Jakarta: Salemba Humanika, 2009 M Hikmat, Mahi, Metode Penelitian; Dalam Perspektif Ilmu Komunikasi dan Sastra, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011 Mosse, Julia Cleve, Gender dan Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
87
Mulyana, Dedy, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010 Narwoko, J Dwi dan Bagong Suyanto, Sosiologi; Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana, 2007
O’Saughnessy, Michael and Jone Stadler, Media and Society: And Introduction third edition, Victoria, 2005 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, Yogyakarta: PT LKS Pelangi Aksara, 2007 Rachmat, Jalaludin, Psikologi Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011
Sobur, Alex, Semotika Komunikasi, Bandung: PT. Penerbit Remaja Rosdakarya, 2009 Soedjono, Soeprapto, Pot-Pourri Fotografi, Jakarta: Universitas Trisakti, 2007 Soelarko, Prof.Dr.r.m. Fotografi untuk Salon Foto dan Lomba Foto, Bandung: PT Karya Nusantara, 1978 Stokes, Jane, How to do Media and Cultural Studies, Yogyakarta: PT Bentang Pusaka, 2006 Sugiarto, Atok, Fotobiografi Kartono Riyadi: Pendobrak Fotografi Jurnalistik Indonesia Modern, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2011 Sunardi, ST, Semiotika Negativa, Yogyakarta: Kanal, 2002 Tarigan, Diana Putri dan Para Fotografer, Cerita Dari Balik Layar: Beranda Para Buruh, Jakarta: Galeri Foto Jurnalistik Antara, 2013 Tinarbuko, Sumbo, Semiotika Komunikasi Visual:Metode Analisis Tanda dan Makna pada Karya Desain Komunikasi Visual, Yogyakarta: Jalasutra, 2008 Upe, Ambo, Tradisi Aliran dalam Sosiologi; Dari Filosofi Positivistik ke Post Positivistik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010
Wijaya, Taufan, Foto Jurnalistik, Klaten: CV. SAHABAT, 2011 Yunus, Syafrudin, Jurnalistik Terapan, Jakarta: PT Ghalia Indonesia, 2010 Zoelverdi, Mat Kodak, Jakarta: PT Temprint, 1985
88
Referensi Lain: Dwifriansyah, Bonny. “Sejarah Fotografi Dunia: dari Mo Ti hingga Mendur bersaudara”. Artikel diakses pada 11 Oktober 2013, dari http://www.pasarkreasi.com/news/detail/photography/67/sejarahfotografi-dunia Yunus, Tabrani, “Bangkitlah Buruh Perempuan”, Artikel diakses pada 4 Desember 2013, dari http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2013/06/24/bangkitlah-buruh perempuan-567882.html http://jurnalperempuan.com/2011/05/hak-hak-buruh-pekerja-perempuan/, diakses pada senin 4 november 2013 www.komnasperempuan.or.id Kalyanamitra (Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan), “Pers Release”, dari http://www.kalyanamitra.or.id/2013/04/pers-release-catatan-hitam-buruhperempuan-indonesia/ diakses pada 17 Desember 2013 Himawan, Adhitya, “Nasib Buruh Perempuan Lebih Mengenaskan”, artikel diakses pada 26 Desember 2013, dari http://nasional.kontan.co.id/news/nasib-buruh-perempuan-lebihmengenaskan Republika Edisi 24 April 2013 Republika Edisi 1 Mei 2013 Republika Edisi 8 Mei 2013
89
Naskah Wawancara 1 Nama : Yogi Ardhi Cahyadi Pekerjaan : Redaktur Foto Harian Republika Tempat, Tanggal Wawancara : Kantor Harian Republika, Minggu 8 Desember 2013 Pukul : 14.30 Keterangan : Wawancara untuk data penelitian Citra Buruh Perempuan dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013) 1. Sebenarnya, halaman fotografi yang ada di Republika ini sejak kapan mas? Lalu, bisa dijelaskan tentang halaman fotografi tersebut? 2012 kalo ga salah awal-awal. Pertama kali sebelumnya sih Rana kan, halaman Rana yang konsepnya adalah fotografi yang menampilkan foto, apakah dia berupa essay atau display saja yang punya kaitan story, foto-foto story. Kalau Rana itu dikhususkan untuk fotografer kita sendiri, fotografer Republika, apakah dia staff fotografer, magang, atau redaktur, hanya intern, selama ini seperti itu. Belakangan ada ide bikin lagi halaman lain yang menyasar fotografi secara lebih umum, jadi disitu porsi tulisannya lebih besar dari Rana, kalo Rana kan naskahnya hanya 500 karakter, nah ini bisa lebih besar tulisannya dan membahas hampir segala aspek fotografi. Termasuk foto-foto apapun, foto pameran, buku fotografi, gaya fotografi, tren nya, alat nya yang baru muncul atau perkembangan alat fotografi seperti apa, itu masuknya di halaman Fotografi yang hari Rabu, dan Sabtu tetap ada, nah jadi seminggu ada dua kali, termasuk kiriman dari pembaca.
2. Untuk foto kiriman pembaca, proses kurasinya langsung ke mas Yogi? Ya ke Saya langsung, untuk kiriman pembaca, termasuk kita mau bahas apa itu Saya dan tim Saya. Yang nulis di halaman Fotografi itu kadang saya atau redaktur yang lain, bisa jadi staff fotografer yang nulis bisa juga, tergantung event nya apa.
3. Awal munculnya halaman fotografi sendiri, sebenarnya apakah atas usulan dari redaktur foto atau dari atasan? Ya nyambung, artinya, pada saat saya megang foto, dan ada pergantian Redpel, mimpi saya, untuk memunculkan kembali halaman fotografi. Jadi sempat ada sebenarnya sekitar tahun 90-an sampai awal tahun 2000-an itu ada, waktu jaman redaktur foto nya (alm) Bakhtiar Phada sempat ada itu. Kemudian pada tahun 2003-an itu hilang, dihilangkan diganti halaman lain karena konsep koran nya berbeda saat itu, lalu ya
sudah hilang tidak ada lagi halaman fotografi, baru sekarang ini tahun 2012 lah ada lagi. Khususnya disini yang Rana lebih awal daripada yang Fotografi. Sebetulnya kita ingin ada halaman khusus yang memberikan space lebih besar buat fotografer kita (Republika) dalam menampilkan karya-karya nya.
4. Jadi, apakah halaman fotografi itu dikhususkan untuk fotografer republika saja? Kalau Rana iya, kalau fotografi lebih ke umum tidak hanya dari Republika aja. Memang kita yang menggarap, kalau ada pameran atau bahasan tentang tokoh penting misalnya, itu prosesnya kita yang wawancara, kita yang liput, kalau ada bahan-bahan dari luar ya kita olah lagi, itu untuk halaman Fotografi. Kalau Rana itu Maret 2012, kalau rubrik Fotografi yang pertama itu sekitar agustus 2012
5. Kemudian saya ingin bertanya tentang foto-foto yang ada di rubrik Fotografi edisi 8 Mei 2013 ini mas, disini Republika memuat tentang pameran Beranda Para buruh yang dilakukan di galeri Antara, dan hampir seluruh foto yang dimuat adalah foto dengan objek buruh perempuan, sebetulnya apakah ada pertimbangan khusus dalam menampilkan fotofoto khususnya di edisi ini mas? Kalau saya sih, semestinya nanya ke temen saya yang nulis ini, walalupun keputusan akhir ada di saya, tapi kan berdasarkan materi yang ada juga. Tidak ada pertimbangan khusus sih, semata adalah ketersediaan materi foto yang ada. Soalnya dari tema yang ada pun, dari judul pameran nya sendiri kan Beranda Para Buruh, Cuma kalo kebetulan ini yang di ambil yang foto buruh perempuan ya mau bagaimana lagi. Terus satu lagi, mungkin ya ini mungkin, jumlah buruh pabrik perempuan di Indonesia kan lebih besar dari buruh laki-laki.
6. Menurut mas sendiri, dari kacamata sebagai fotografer, bagaimana mas melihat perempuan dalam foto? Kalau konteksnya perempuan dalam foto, saya melihat dari kacamata fotografer dan sebagai seorang laki-laki ya mungkin melihatnya faktor estetika saja. Tapi ini secara manusiawi ya tampak lebih indah untuk dilihat. Tapi nanti kalau dikaitkan dengan kebijakan media, kita (Republika) ada beberapa batasan khusus terutama dalam foto-foto yang menampilkan sosok perempuan. Secara khusus kita tidak menampilkan foto-foto perempuan yang mengumbarkan aurat, apapun bentuknya, baik itu iklan. Misalnya fotofoto fashion, kita (Republika) menampilkan foto-foto fashion dengan baju muslim iya,
dengan baju yang bukan baju muslim pun kita muat, tapi tetap dengan batasan khusus tadi. Terus foto olahraga, kan sekarang atletik misalnya, bajunya tipis-tipis, nah kita tidak pakai. Mungkin temen-temen wartawan tetap motret, nah tapi untuk yang dimuat kita pilih-pilih lagi. Apalagi iklan, katakanlah ada iklan yang pakai baju bikini atau baju pantai, kita tidak pakai.
7. Selain aurat, apakah ada batasan lain yang digunakan Republika dalam menampilkan foto? Kalau untuk perempuan ya itu aurat, kalau yang secara umumnya, kita tidak tampilkan foto orang yang merokok, orang yang pakai “obat”, dari dulu kita tidak pakai itu. Kalau di TV kan sekarang kita lihat di film-film tidak dipakai itu kita lihat baru sekarang-sekarang, kalau kita sudah dari dulu tidak pakai itu. Lalu, bir, minuman keras kita tidak pakai. Terus orang yang menggunakan jarum suntik, narkotika kita tidak pakai, bahkan foto rokok nya sendiri kita hindari.
8. Kalau tentang buruh perempuan sendiri, bagaimana mas melihat dari kacamata sebagai redaktur foto, sisi kemenarikan buruh perempuan dijadikan berita itu ada di sisi mana? Ataupun dalam foto itu sisi kemenarikannya bagaimana? Bisa dilihat dari berbagai aspek, artinya, kan muncul pertanyaan, kenapa buruh yang kerja di pabrik harus perempuan? Kemana kaum laki-lakinya? seperti itu. Karena, disisi lain jadi buruh itu kan bukan “tugas”perempuan. Lalu, perempuan kan dari segi fisik tidak terlalu kuat dan tidak bisa membela diri. Kalau dari segi konteks buruh ya itu tadi, karena perempuan ini memiliki sisi-sisi yang lebih lah. Menarik lah secara gambar dan secara visual banyak cerita yang bisa diangkat dari buruh sebagai subjek foto. Bagaimana dia perjuangan hidupnya, bagaimana dia memperoleh upah standar yang setara, kadang-kadang kan upah buruh perempuan bisa lebih rendah ya. Satu-satunya upah pekerjaan untuk perempuan yang paling tinggi yaa menjadi bintang film porno. Lainnya, mungkin di kelas dua kan biasanya.
9. Disini penelitian aku ingin melihat citra buruh perempuan dalam foto jurnalistik nih mas, aku memilih 3 foto sebagai subjek penelitian, dari foto 1, 2, dan 3, mas sendiri sebagai fotografer membaca ketiga foto tersebut seperti apa? Dalam arti, menurut mas apa yang ingin si fotografer sampaikan?
Kalau foto 1 ini kan portrait ya, lebih jelasnya mungkin langsung tanya pada fotografernya. Saya mengira-ngira saja, dia ingin menampilkan sosok si buruh, dengan membuat komposisi yang tidak lazim, foto ini terlihat jadi lebih menarik sebenarnya, ditunjang ekspresi dan pemilihan medium warna yang hitam putih. Tapi yang jadi pertanyaan saya adalah, karena ini melihat dari segi jurnalistik, kalau saya akan menampilkan komponen-komponen yang menunjang atau memperkuat sosok buruh yang di portrait ini. Okelah dia buruh, lalu, dia buruh apa? Sedang apa atau bagaimana mungkin bisa diterangkan di background ini, kalau dilihat background nya kan perumahan biasa, saya tidak melihat ada yang menjelaskan apakah ini dia sedang berdemo, sedang ditempat kerja nya, atau di kos nya, saya tidak tahu. Itu yang saya lihat dari foto 1, sebetulnya kekuatannya ada di ekspresinya dan pemotongan bagian wajah ini, tapi bagian yang kosong ini saya rasa kurang ada fungsinya. Bisa ada fungsinya kalau ada teks seperti ini, dan kalau sebagai foto tunggal yang tanpa teks saya tidak melihat foto punya kekuatan yang lebih. Kalau foto 2, portrait dalam bentuk lain, karena disitu ada foto sosok si pemilik kartu nya, hampir sama dengan portrait foto sebelumnya, kelamnya sama, pemilihan warna hitam putih nya juga sepertinya rangkaian dari foto sebelumnya. Nah, kembali lagi ke foto tadi, kalau dia sebagai rangkaian foto bisa lebih terjelaskan, karena dia jadi bagian dari sebuah gambaran besar. ada sebuah foto seperti ini misalnya, oke, karena saya akan mendapatkan informasi lagi dari foto-foto lain, tapi kalau dia sebagai foto tunggal, saya melihat seperti tadi, kurang “nonjok” lah. Untuk foto 2 ya kurang lebih hampir sama dengan foto 1. Saya tidak tahu apakah foto yang ada di kartu tanda pengenal ini sama dengan yang di portrait pada foto 1, kalau sama ini bisa jadi cerita yang lebih. Pemilihan warna yang hitam putih dan dibikin kelam ini memiliki gambaran suramnya dunia buruh, yak karena disini konteksnya perempuan, okelah kondisi buruh perempuan. Tapi ini terjadi pada dunia buruh di Indonesia secara umum, baik laki-laki ataupun perempuan. Nah yang saya sedang cari dalam foto ini, ada tidak unsur penanda yang menunjukan dia dimana, di tempat kos dia atau di tempat kerja dia? Karena kalau ada komponen yang bisa menjelaskan ini ada dimana, di tempat kos atau dimana, ini bisa jadi portrait yang menarik. Foto yang ke-3, ini standard ya, foto demo buruh, kalau dilihat dari adanya kawat ini, kayaknya dia di istana, tapi saya tidak tahu juga ya. Kita sering melihat foto-foto seperti ini. Si fotografer menampilkan poster sebagai medium penyampai pesan ini demo tentang apa. Lalu ekspresi si buruh yang berteriak, dan ada kawat-kawat ini menunjukan kepada
siapa mereka berteriak, kemungkinan yang saya lihat ini di istana. Tapi yang kurang mendukung adalah ekspresi buruh lainnya, tapi itu kan kita tidak bisa mengatur itu semua harus memiliki ekspresi yang sama dengan buruh yang berteriak dengan poster ini.
Narasumber
Yogi Ardhi Cahyadi
Naskah Wawancara 2 Nama : Diana Putri Tarigan Pekerjaan : Freelance Fotografer Tempat, Tanggal Wawancara : Kediaman Diana Putri Tarigan, Kebon Jeruk, Minggu, 22 Desember 2013 Pukul : 15.00 Keterangan : Wawancara untuk data penelitian Citra Buruh Perempuan dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika edisi 8 Mei 2013) 1. Bisa diceritakan tentang asal mula Pameran Beranda Para Buruh ini mba ? Jadi pada awalnya saya ditawarkan untuk penggarapan film “Kisah 3 Titik”, tapi tidak hanya sebagai still fotografer, tapi juga dokumenter. Jadi itu kan project fiksi dan non fiksi, nah yang fiksi nya itu film, dan yang non fiksi nya itu berupa pameran foto.
2. Berarti bisa dibilang ini sebenarnya awalnya hanya project film? Yaa tidak juga, artinya sudah direncanakan memang pameran foto ini berbarengan juga dengan project film, memang paketan gitu.
3. Ide awalnya datang dari mana mba untuk membuat project ini? Awalnya dari pihak Production House (PH) dulu, lalu Kementrian Tenaga Kerja setuju untuk bekerja sama. Kebetulan PH nya itu yang menggarap, Lola Amaria Production. Di awal itu sebenarnya dengan Cinemasphere ya, tapi saya sendiri kurang tau bagaimana kondisi internalnya mereka, tapi yang saya lihat sampe selesai kemaren, Lola Amaria Production si yang menggarapnya.
4. Saya sendiri lihat pameran ini kalau tidak salah dulu berlangsung di Antara, bertepatan dengan peringatan hari buruh (mayday), berapa fotografer sebenarnya mba yang ikut serta dalam pameran tersebut? Betul sekali, dulu diadakan di Antara. Untuk yang ikut serta sendiri cukup banyak fotografer, bisa dilihat di bukunya mungkin. Mereka itu yang lain jadi sistem nya kontributor, jadi Mas Oscar sebagai kurator mengambil foto-foto demo buruh di seluruh Indonesia. Sedangkan untuk pendalaman foto dan objek itu saya yang lakukan.
5. Kalau persiapan pameran nya sendiri memakan waktu berapa lama mba? Kalau untuk project semuanya saya pertama kali di calling itu bulan November, dan saya mulai ngerjain foto nya sendiri itu Januari, selama sebulan, terus saya minta tambahan waktu lagi sekitar dua mingu karena tidak terkejar. Jadi narasumber saya yang ada di foto-foto itu tempatnya beda-beda dan jarak nya cukup jauh-jauh, yang satu di Bogor, satu di Tangerang, dan satu narasumber lagi di Pulogadung. Itu sih yang membuat saya hampir keteteran dalam persiapannya.
6. Langsung ke foto-foto nya mba Diana nih yang aku jadikan subjek penelitian, untuk Foto yang pertama ini, yang tampilannya setengah wajah ini, bisa diceritakan mba? Oh iya bisa, untuk yang foto ini objeknya namanya Yayuk, asal Klaten. Yayuk datang ke Jakarta untuk bekerja, di tempat kerjanya yang awal, boleh dibilang kurang menyenangkan, ya kurang secara materi dan batin lah tertekan gitu. Akhirnya dia memilih kerja di pabrik. Datang ke Jakarta sama suami, dan si suaminya bekerja sebagai satpam, lalu tergoda wanita lain, terus Yayuk nya ditinggalkan. Yayuk Bekerja di pabrik sepatu NIKE, dulu awal-awal gajinya sekitar 1,4 juta, sekarang si sudah 2,2 juta. Tidak ada tunjangan lain diluar itu. Dengan gajinya yang hanya segitu, dia masih bisa memanage untuk membantu kuliah adiknya D3 komputer.
7. Yayuk sendiri pendidikan terakhirnya apa ya mba? Ehm.. Yayuk si kalau tidak salah lulusan SMA.
8. Yayuk sendiri merantau sudah sejak kapan mba ? Sejak 2006, kemudian selama satu tahun, seperti tadi saya bilang dia kerja ikut keluarga. Terus pindah ke pabrik sepatu NIKE yang di Tangerang. Dan Yayuk itu tinggal di kontrakan yang cuma sekitar 2x3 m lah. Kontrakannya itu dia bayar sekitar Rp. 350.000 per bulan. Satu yang jadi impian Yayuk sendiri, dia bilang hanya ingin punya rumah, yang ada halamannya, ada ruang tamu, dapur, ya sebagaimana sebuah rumah yang layak. Tapi kan sepertinya dengan kondisi nya yang yaa bisa dibilang agak jauh lah untuk mimpi itu.
9. Kalo foto yang menampilkan kartu tanda pengenal karyawan ini bisa diceritakan mba?
Oh iya ini saya ambil di kontrakannya Yayuk, saya lihat ini menggantung di dinding, ini kartu tanda pengenal nya yang sudah tidak dipakai sebenarnya. Artinya kartu pengenal nya yang lama. Saya ingin mengambil detil Yayuk dalam bentuk lain sebenarnya. Saya melihat objeknya ini rasanya menarik, tulisannya si yang membuat menarik waktu itu, tapi kebetulan saya lupadan dari foto tidak begitu terbaca juga kan.
10. Dengan hampir semua foto mba di Pameran Beranda Para Buruh, ide ini apakah memang dari mba sendiri atau bagaimana? Kalau kemarin sih saya sendiri yang memilih narasumber nya ini semua, karena saya melihat isu buruh lebih menarik ketika tentang buruh perempuan. Karena umumya mereka kan itu juga multi tafsir, sebagai ibu rumah tangga, dia juga kerja untuk keluarganya.
Narasumber
Diana Putri Tarigan
Foto Dokumentasi Wawancara
Yogi Ardhi Cahyadi (Redaktur Foto Republika)
Diana Putri Tarigan (Fotografer)