18
PENYELESAIAN PERKARA SENGKETA PILKADA DEPOK (ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 002/SKLN-IV/2006 TERKAIT SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA)
Skripsi Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh : ISTIQOMAH NIM : 105045201518
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
19
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430H/2009 M LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis. Guna diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah penulis cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli penulis atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka penulis bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 05 Oktober 2009 ISTIQOMAH
20
”Tidak ada yang menghambat anda terhadap perkara yang anda putuskan hari ini kemudian anda tinjau kembali karena terjadi kekeliruan (fahudîta li rusydika), bahwa anda kembali kepada kebenaran. Kebenaran itu terdepan dan tidak dibatalkan oleh apapun. Kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada terus menerus dalam kebatilan.” (Khalifah Umar bin Khathab)
21
“ sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan Maka apabila kamu telah selesai dari suatu urusan Kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain Dan hanya kepada tuhanmu lah hendaknya kamu berharap” (Q. S. Al insyirah,5-8)
22
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PENYELESAIAN PERKARA SENGKETA PILKADA DEPOK (ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 002/SKLN-IV/2006 TERKAIT SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA) telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 5 Oktober 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah, Konsentrasi Siyasah Syariyyah. Jakarta, 5 Oktober 2009 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua
: Dr. Asmawi, M.Ag NIP. 197210101997031008
(………………………)
2. Sekretaris
: Sri Hidayati, M.Ag NIP. 197102151997032002
(………………………)
3. Pembimbing: Dr. Jaenal Aripin, M.Ag NIP. 197210161998031004
(………………………)
4. Penguji I
: Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag NIP. 197112121995031001
(………………………)
5. Penguji II
: Khamami Zada, MA NIP. 150326892
(………………………)
23
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW, serta keluarganya dan sahabatnya, serta kepada kita semua seluruh umatnya, mudah-mudahan kita semua mendapatkan syafaat beliau di hari akhir nanti. Amin. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi untuk mencapai gelar sarjana Strata Satu (S1) di perguruan tinggi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, adalah membuat karya ilmiah dalam bentuk skripsi. Dalam rangka itu, penulis membuat skripsi ini dengan judul: PENYELESAIAN PERKARA SENGKETA PILKADA DEPOK (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/SKLN-IV/2006 Terkait Sengketa Kewenangan Lembaga Negara). Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi. Namun syukur alhamdulillah berkat bantuan dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan serta hambatan dapat penulis atasi. Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Yth:
24
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Asmawi, M. Ag., dan ibu Sri Hidayati, M. Ag., selaku ketua program studi dan sekretaris program studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Dr. Jaenal Aripin, M. Ag., selaku Dosen pembimbing yang telah banyak memberikan inspirasi, saran, dan arahannya dalam membimbing penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Pimpinan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baik pimpinan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Serta Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Perpustakaan Utama UI, Perpustakaan Mahkamah Agung Republik Indonesia, dan Perpustakaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Terima kasih karena telah memberikan fasilitas kepada peneliti untuk mengadakan studi kepustakaan. 5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama masa belajar dibangku kuliah. 6. Teristimewa ucapan terima kasih ini penulis haturkan untuk kedua orang tuaku; Papah tersayang H. Aluwih dan Mamah tercinta Hj. Rohimah, kalianlah yang tak henti-hentinya selalu memberikan dukungan moril, materil, dan doa. Serta untuk saudaraku; Andri Sanjaya dan Asep Syaifuddin (Abang), Qurratul Aini
25
dan Uswatun Hasanah (Adik). Terimakasih karena telah mendukung penulis dengan sepenuh hati dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Seluruh Staf pegawai kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang telah banyak membantu dan memberikan arahan dengan sikap keramahannya kepada penulis selama penelitian. 8. Bapak Yulman, SH., bagian staf Divisi Hukum Komisi Pemilihan Umum (KPUD) Kota Depok, yang telah meluangkan waktunya untuk dapat di ajak wawancara, tukar pikiran, dalam rangka melengkapi dari penyusunan skripsi ini. 9. Untuk sahabat-sahabatku khususnya konsentrasi Siyasah Syariyyah angkatan 2005, Lia Hilyah, Arie Zakiah, Budi Utomo, Latif Amri, Lisa Astarina, Ria Rizki, Rahma Sari, Afnanul Huda, Andi Sofyan, Hendri Eka Putra, Salman Alfarisi,dll. Terima kasih banyak tuk kalian semua yang telah memberikan saran, dorongan, serta intelektualitas guna menunjang skripsi penulis. 10. Untuk Sahabat-sahabatku; Lia Hilyah, Arie Zakiah, yang selalu memberi dukungan, semangat, dan juga selalu menemani penulis dalam pencarian data (Terima kasih banyak tuk kalian berdua). Serta untuk sahabat ILUNA; May Sulastri, Novia Rahmawati, Nayla Masrusoh, I’ ll never forget nice you . . . 11. Teman-teman penulis dalam Facebookers, kalian kalian semua yang telah banyak menemani waktu-waktu penyusunan skripsi. motivasi di saat penulis sedang down dan malas-malasan.
Trima kasih untuk
26
Semoga amal serta kebaikan berupa bantuan, bimbingan, dorongan, serta perhatian yang diberikan, semoga senantiasa mendapat balasan pahala dari Allah SWT.
Jakarta, 05 Oktober 2009
ISTIQOMAH
27
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………..i DAFTAR ISI…………………………………………………………………………v BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………………………………………………1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………..…..9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………....11 D. Rewiew Studi Terdahulu …………………………...……………….12 E. Metode Penelitian ………………………………………………...…13 F. Sistematika Penulisan…………………………………………….….16
BAB II
KPUD DEPOK DAN PROSES PEMILIHAN KEPALA DAERAH A. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Daerah(KPUD……………………………………………………….18 1. Pengertian KPU dan KPUD…………………………………...…19 2. Karakteristik KPU dan KPUD………………………………...…24 B Tugas, Wewenang, dan Kewajiban KPUD………………………..…27 C. Tahap Penyelenggaraan PILKADA …………………………………32 1. Tahap Persiapan………………………………………………..…35 2. Tahap Pelaksanaan………………………………………………..36 a. Penetapan Daftar Pemilih…………………………………...…36 b. Pendaftaran dan Penetapan Calon Kepala Daerah……………..37
28
c. Kampanye……………………………………………………...40 d. Pemungutan dan Perhitungan Suara…………………………...42 e. Penetapan Pasangan Calon, Pengesahan, dan Pelantikan……...46 BAB III
TINJAUAN UMUM MAHKAMAH KONSTITUSI R.I A. Tinjauan Yuridis Mahkamah Konstitusi……………………………..52 1. Pengertian dan Sejarah Mahkamah Konstitusi …………………...52 2. Fungsi Mahkamah Konstitusi……………………………………..58 3. Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi…………………….61 4. Sumber Hukum Acara Mahkamah Konstitusi…………………….65 B. Hukum Acara Perkara Mahkamah Konstitusi………………………..66 C. Struktur Organisasi Mahkamah Konstitusi…………………………..78
BAB IV
ANALISA PUTUSAN PERKARA NOMOR 002/SKLN-IV/2006 MENGENAI PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH(PILKADA) KOTA DEPOK A. Duduk Perkara Sengketa PILKADA Depok……………………….84 1. Kasus Posisi……………………………………………………...84 a. Gugatan Pasangan Badrul Kamal-Syihabiddin Ahmad Terhadap KPUD Depok ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat …………..87 b.
Permohonan Peninjauan Kembali (PK) KPUD Depok atas Putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat kepada Mahkamah Agung (MA)………………………………………………..
29
1. Dasar Hukum Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) a. Dasar Filosofis………………………………………… b. Legalitas Upaya Hukum PK atau Dasar Yuridis…….... B. Proses Penyelesaian Akhir Sengketa Pilkada Depok di Mahkamah Konstitusi………………………………………………………… C.
Analisis Terhadap Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Tentang Sengketa Pilkada Depok………………………………………….
D. BAB V
Alasan Hukum Hakim Mahkamah Konstitusi……………………
PENUTUP A
Kesimpulan………………………………………………………...
B. Saran-saran………………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….. LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1: Surat Pemberitahuan Penelitian Lampiran 2: Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Depok Nomor 18 Tahun 2005 Tentang Penetapan pasangan calon terpilih Walikota dan Wakil Walikota Depok dalam Pilkada Depok Tahun 2005 Lampiran 3: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/SKLN-IV/2006 mengenai Sengketa Kewenangan Lembaga Negara.
30
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara demokratis pada tingkat pemerintahan daerah merupakan suatu proses politik bangsa Indonesia menuju kehidupan politik yang lebih demokratis, transparan dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, untuk menjamin pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berkualitas dan memenuhi derajat kompetisi yang sehat, maka persyaratan dan tata cara pemilihan kepala daerah di tetapkan dalam perundangundangan, yaitu melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan-peraturan di bawahnya. 1 Undang-undang Nomor 32 tahun 20042 telah memilih penyelenggara pilkada dengan menggunakan organisasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 20033 untuk menjadi penyelenggara pilkada di setiap daerah yang bersangkutan sesuai dengan kepala daerah atau wakil kepala daerah yang dipilih sejak Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
1
Philipus M. Hadjon, Pemilihan Kepala Daerah Berdsarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam Sistem Pemilu menurut UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2005), h. vi. 2
Republik Indonesia, Undang-undang Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 3
Republik Indonesia, Undang-undang tentang Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003.
1
31
Pemerintahan Daerah disahkan pada tanggal 15 Oktober 2004, ketentuan yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah telah mengundang perdebatan publik. Putusan Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa pilkada dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945, bukan kategori rezim pemilu, akan tetapi masuk pada rezim pemerintahan daerah. Di dalam tata cara pemilihan kepala daerah secara langsung dipandang lebih baik jika dibandingkan dengan pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 19994, namun pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki keragaman potensi sengketa. Menurut Mulyana W. Kusuma, ada sejumlah titik rawan yang harus diwaspadai, mengingat persaingan dalam pilkada langsung lebih tajam dibandingkan dalam pemilu Presiden.5 Sementara itu, menurut Syamsuddin Haris paling kurang ada lima sumber konflik potensial dalam pilkada langsung, baik menjelang, saat penyelenggaraan, maupun pengumuman hasil pilkada. 6 Pertama, konflik yang bersumber dari mobilitas politik atas nama etnik, agama, daerah, dan darah. Kedua, konflik yang bersumber dari kampanye negatif antar pasangan calon kepala daerah. Ketiga, konflik yang bersumber dari premanisme politik dan pemaksaan kehendak. Keempat, konflik yang bersumber dari manipulasi dan kecurangan perhitungan suara hasil pilkada. Kelima, 4 Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 5
Mulyana W. Kusuma, Ari Pradawati ed., Pilkada Langsung: Tradisi Baru Demokrasi Lokal, (Surakarta: Kompip, 2005), h. 46. 6
Syamsuddin Haris, Masalah dan Strategi Mensukseskan Pilkada Langsung, ( Jakarta: Jurnal Pamong Praja, 2005), Edisi 3, h. 74-75.
32
konflik yang bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan pilkada. Dari undang-undang yang mengatur tentang pemilihan umum, seperti Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif dan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden tidak memberi batasan yang jelas tentang sengketa pemilu. Demikian juga dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak spesifik mendefinisikan tentang sengketa pilkada. Dalam upaya penyelesaian senketa hasil pilkada diatur lebih lanjut dalam pasal 106 ayat (1) yang menyatakan bahwa keberatan terhadap penetapan hasil pilkada oleh Komosi Pemilihan Umum Daerah yang diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung.7 Mahkamah Konstitusi berdiri sendiri serta terpisah dari Mahkamah Agung secara duality of jurisdiction. Mahkamah Konstitusi berkedudukan setara dengan Mahkamah Agung. Keduanya adalah penyelenggara tertinggi dari kekuasaan kehakiman. Namun, ia hanya berkedudukan di ibu kota negara, tidak seperti halnya Mahkamah Agung yang memiliki beberapa badan peradilan di bawahnya sampai pada tingkat pertama Kabupaten atau Kota.8 Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga tinggi negara yang keberadaan dan wewenangnya diamanatkan oleh UUD 1945, dan lebih lanjut dalam Undang-Undang 7
Putusan Mahkamah Agung Nomor 01/PK/PILKADA/2005, yang diajukan oleh KPUD
Depok. 8
Jaenal Aripin, “ Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. Ke-1, h. 195.
33
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi memiliki empat wewenang dan satu kewajiban berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945. Empat wewenang Mahkamah Konstitusi adalah; (1) mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, (3) memutus pembubaran partai politik, dan (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan wakil presiden menurut Undang-Undang Dasar 1945.9 Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi yang amat penting bagi negara, yaitu mengatur hubungan pemerintahan dengan warga negara dan hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain, sehingga suatu konstitusi mengatur tiga hal penting yaitu yang pertama menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara, kedua mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain, dan yang ketiga mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara.10 Fungsi-
9
Tim Penyusun Buku Lima Tahun Menegakan Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), Cet Ke-5. 10
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2004), Cet. Ke-1, h. 24.
34
fungsi konstitusi tersebut merupakan elemen yang fundamental dalam bentuk negara demokrasi, karena merupakan suatu perwujudan kehendak masyarakat. Sementara dalam hal kedudukannya dalam perkara ini, pemohon mengklaim diri mereka sebagai lembaga negara. Klaim mereka didasarkan pada putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg yang memenangkan gugatan mereka serta membatalkan kemenangan Nurmahmudi Ismail –Yuyun Wirasaputra. Albert Sagala sebagai kuasa hukum dari pemohon mengatakan berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat tersebut, maka pemohon otomatis menjadi pemenang pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok. Penjelasan Albert tentang kedudukan pemohon dan termohon dalam kaitannya dengan persyaratan kualifikasi pemohon dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 61 ayat (1), pemohon dalam perkara SKLN adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 yang memiliki kepentingan langsung dengan kewenangan yang dipersengketakan.11 Adapun mengenai sengketa kewenangan lembaga negara, bahwa sengketa penetapan hasil pemilihan kepala daerah yang pertama kalinya diajukan ke Pengadilan Tinggi adalah sengketa hasil pemilihan kepala kota Depok. Setelah Pengadilan Tinggi menjatuhkan putusan, justru telah lahir masalah baru lagi yang
11
http://www.hukumonline.com/detail. Berita, diakses pada 22 Juni 2009.
35
arahnya tertuju pada Majelis hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Menyusul terbentuknya Komisi Yudisial, perkara majelis hakim ini pun memjadi tantangan pertama bagi penilaian kinerja komisi ini. Demikian rekomendasi Komisi Yudisial tidak ditindak lanjuti oleh Mahkamah Agung, melainkan justru membentuk tim panel untuk merespon sengketa pilkada Depok menyusul diajukan Peninjauan kembali oleh KPUD kota Depok kepada Mahkamah Agung.12 Setelah menjalani proses yang cukup lama dan berbau politis, akhirnya putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung mengabulkan permohonan pemohon. 13 Menanggapi permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) yang diajukan kubu Badrul Kamal, Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Depok Zulfadli mengatakan pernyataan pemohon yang mengklaim diri mereka sebagai lembaga negara berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat tidak dapat dibenarkan. Dia beralasan karena putusan Pengadilan Tinggi Jawa barat tersebut
telah
dibatalkan
oleh
putusan
Mahkamah
Agung
Nomor
01
PK/Pilkada/2005.
Memori Peninjauan Kembali yang diajukan KPUD ke Pengadilan Negeri Cibinong pada tanggal 16 Agustus 2005 dan di teruskan ke Mahkamah Agung pada tanggal 23 Agustus 2005. 12
http:// hukumonline.com.“Sengketa Pilkada : MA kabulkan Peninjauan Kembali KPUD Depok”.html. diakses pada 19 Desember 2005. 13
36
Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) dipilih secara demokratis. Definisi demokratis berupa pemilihan langsung oleh rakyat ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.14 Pasal 24 ayat 5 yang berbunyi: “Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 92) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Penegasan pemilihan secara langsung oleh rakyat juga diamanatkan oleh pasal 56 ayat (1) Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, yaitu “Kepala Daerah dan wakil Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Penyelesaian sengketa penetapan hasil pilkada walikota kota Depok tersebut dapat dijadikan cerminan bahwa penyelesaian sengketa penetapan hasil pilkada yang ditangani Mahkamah Agung ternyata dapat dilakukan upaya hukum lain terhadap putusan Pengadilan Tinggi yang sebelumnya mendapatkan delegasi wewenang dari Mahkamah Agung. Dengan demikian putusan Mahkamah Konstitusi benar-benar bersifat final dan mengikat. Dalam putusan Mahkmah Konstitusi terkait sengketa pilkada Depok bahwa pihak termohon ternyata tidak dapat menerima putusan hukum yang diputuskan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat dan tetap merasa pihaknya yang benar. Untuk itu pihak termohon (dalam perkara ini KPUD Depok) membawa kasus tersebut ke mahkamah Konstitusi untuk dimintakan putusannya menyangkut sengketa penetapan hasil pilkada kota Depok ini melalui jalur pengajuan permohonan terkait sengketa 14
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
37
kewenangan lembaga ke Mahkamah Konstitusi. akan tetapi pada permohonannya, bahwa Mahkamah Konstitusi menyatakan pada putusannya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Pilkada Depok mencatat sejarah demokrasi di Indonesia, karena dapat di katakan sejak masa persiapan, kampanye, hingga pemungutan suara berlangsung aman. Meski ada sejumlah ketegangan, khususnya terkait daftar pemilih dan tuduhan adanya kecurangan yang dilancarkan sejumlah pihak dengan menolak rekapitulasi dan menuntut pemungutan suara ulang, secara umum Pilkada di Depok berjalan tanpa kekerasan dan hura-hura sebagaimana terjadi di tempat lain. 15 Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa sengketa hasil pilkada merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Dalam sengketa hasil pilkada jika ada pasangan calon yang tidak puas dengan penetapan hasil pilkada oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), maka pasangan calon tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung dengan menunjukan bukti-bukti bahwa perhitungan suara yang dilakukan oleh KPUD tidak benar. Akan tetapi dalam pelaksanaan Pilkada Depok bahwa pemohon dari Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok memenangkan hasil putusan Mahkamah Agung dan pihaknya benar dalam perhitungan suara. Dalam masalah Pilkada Depok ini menarik untuk dikaji, karena adanya putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang menyidangkan sengketa hasil pilkada
15
vii.
Topo Santoso, Kepala Daerah Pilihan Hakim, (Bandung: Harakatuna Publishing, 2005), h.
38
antara peraih urutan kedua pilkada yaitu Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad melawan KPUD Depok. Berbeda dengan seluruh sengketa pilkada, baik yang disidangkan oleh Mahkamah Agung maupun Pengadilan Tinggi yang seluruhnya memenangkan permohonan termohon (KPUD), akan tetapi Pengadilan Tinggi Bandung (Jawa Barat) justru memenangkan pemohon. Tentu saja yang paling terpukul bukan hanya KPUD, melainkan juga pasangan yang dianggap menang yaitu Nurmahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor 022/SKLN-IV/2006 telah menyelesaikan perkara yang diajukan oleh pemohon.16 Beranjak dari beberapa persoalan di atas, maka penulis menuangkannya dalam skripsi yang berjudul Penyelesaian Perkara Sengketa Pilkada Depok (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/SKLN-IV/2006 Terkait Sengketa Kewenangan Lembaga Negara).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Penulis akan mencoba menjelaskan mengenai perselisihan dalam hasil pilkada Depok yang berproses panjang mulai dari permohonan yang diajukan pemohon ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat dan juga pihak termohon yang mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung, hingga pada putusan akhir perselisihan tersebut berahkir di Mahkamah Konstitusi. Penulis menganalisis perkara sengketa pilkada Depok dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 002/SKLN-IV/2006 yang pada
16
Pemohon dalam hal ini Pasangan Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad terhadap KPUD Depok atas putusan pengadilan Tinggi Bandung Nomor 01/PILKADA/2005/PT.Bdg.
39
putusan pokoknya mengenai sengketa kewenangan lembaga negara yaitu mengenai pengujian kewenangan KPUD Kota Depok yang mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung atas putusan Pengadilan Tinggi Negeri Nomor 01/PILKADA/2005/PT.Bdg. Dalam penulisan skripsi ini perlu ditentukan beberapa pembatasan masalah, antara lain yaitu: 1. Berdasarkan ketetapan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, oleh karena itu segala bentuk hukum beracara dalam penyelesaian perkara yang penulis bahas berdasarkan ketentuan Undangundang tersebut. 2. Dalam pembahasan skripsi ini penulis menguraikan perkara Sengketa kewenangan Lembaga Negara pada Putusan Nomor 002/SKLN-IV/2006 terkait PILKADA Depok, serta mengacu kepada UUD 1945 dan Undangundang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 3. Mengenai Sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kota Depok, penulis menguraikan secara detail dan jelas mengenai proses penyelenggaraan PILKADA tersebut. Dan untuk lebih jelasnya, perlu dirumuskan beberapa masalah pokok sebagai berikut: 1. Bagaimana mekanisme Mahkamah Konstitusi dalam memberi putusan terhadap perkara sengketa Pilkada Depok? 2. Bagaimana putusan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap kasus sengketa Pilkada Depok?
40
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi permasalahan dalam upaya mengetahui perseteruan akhir dari pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok terkait sengketa kewenangan lembaga negara yang beracara di Mahkamah Konstitusi. Adapun spesifikasi tujuan-tujuan tersebut ialah: 1.
Mengetahui mekanisme Mahkamah Konstitusi dalam memberi putusan terhadap perkara sengketa Pilkada Depok
2. Mengetahui hasil akhir dari putusan Perkara Nomor 002/SKLN-IV/2006 terkait sengketa Pilkada Depok yang di putuskan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi. 3. Untuk memberikan gambaran tentang tahap penyelenggaraan pilkada Depok yang dianggap semakin memperpanjang konflik di seputar pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok. Adapun manfaat penelitian yang juga akan sangat berguna setidaknya jika dilihat dalam dua hal, yaitu: 1. Secara Teoritis; dapat meningkatkan atau menambah pengetahuan dan juga wawasan dalam bidang hukum, serta dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya, dan dapat menjadi acuan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dalam kapasitas sebagai penyelenggara pemilihan Kepala Daerah secara langsung pada khususnya. 2. Secara Praktis; dapat dijadikan pedoman dan bacaan yang bermanfaat bagi para praktisi dan penegak hukum yang terkait dengan penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah atau walikota, khusus dalam hal beracara di
41
Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini pun dapat berguna bagi kalangan masyarakat secara umum.
D. Review Studi Terdahulu Untuk mempermudah dalam pembahasan skripsi ini, penulis ingin memberikan gambaran mengenai tema-tema yang di dalamnya terdapat materi-materi yang khusus mengenai pembahasan tentang judul skripsi yang penulis ingin bahas. Adapun sumber-sumbernya berasal dari buku-buku dan jurnal-jurnal, serta karya akademik. Pertama, Buku “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, oleh Maruarar Siahaan, Konstitusi Press, 2005. Dalam buku tersebut ia membahas mengenai hukum acara yang berlaku di Mahkamah Konstitusi ini mulai dari bentuk peraturan mengenai persidangan, permohonan, fungsi, tugas dan wewenang, serta pembuktian. Akan tetapi dalam pembahasannya tidak menjelaskan proses penjatuhan putusan yang di lakukan oleh hakim Konstitusi dalam persidangan. Kedua, Tesis “Sengketa hasil pemilihan kepala daerah langsung : Studi Kasus Sengketa Hasil Pilkada di Kabupaten Melawi Propinsi Kalimantan Barat”, oleh Syam Radian, mahasiswa Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Dalam Tesisnya membahas tentang uraian atau analisis tentang sengketa hasil pemilihan kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh masyarakat khusus di Kabupaten Melawi Kalimantan Barat. Dalam tesisnya juga
42
membahas tentang bagaimana proses dalam pilkada dan hukum acaranya. Akan tetapi tesis tersebut tidak menjelaskan sengketa hingga ke Mahkamah Konstitusi. Ketiga, Tesis “Penyelesaian Sengketa Penetapan Hasil Pemilihan Kepala Daerah”, oleh Andharinalti, Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008. Dalam tesis ini membahas mengenai gambaran sistem demokrasi dan pemilihan kepala daerah ditinjau dari pilkada di berbagai kota yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Berbeda dengan skripsi yang penulis bahas, yaitu dalam proses penyelesaian sengketa pilkada Depok yang berproses hingga pada tahap pengajuan ke Pengadilan Negeri, Mahkamah Agung, hingga sampai diputus di Mahkamah Konstitusi. Keempat, Skripsi “Kedudukan Hukum (Legal Standing) dalam Hukum Acara Pengujian Undang-undang pada Mahkamah Konstitusi”, oleh Ahmad Siddiq, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Dalam salah satu babnya menguraikan mengenai konsep Mahkamah Konstitusi legal standing dalam hukum acara pengujian perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi, serta menguraikan contoh putusan perkara yang memenuhi syarat legal standing. Dalam skripsi tersebut tidak menjelaskan penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara, akan tetapi hanya pada masalah pengujian undang-undang.
E. Metode Penelitian Untuk sampai pada rumusan yang tepat mengenai kajian tersebut, metodologi yang digunakan adalah:
43
1. Jenis Penelitian Data Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah melalui pendekatan
penelitian
kualitatif
dengan
jenis
penelitian
deskriptif
yang
mengkombinasikan pendekatan normatif dan empiris. 2. Teknik Pengumpulan Data Mengenai teknik pengumpulan data, penulis akan memperoleh data dengan metode penelitian menggunakan studi kepustakaan (library research), yaitu melakukan pengumpulan data-data yang dibutuhkan dari buku-buku, tulisan-tulisan dari berbagai sumber referensi, dan mengumpulkan, meneliti, menelaah serta mengkaji data dan informasi dari berbagai media yang relevan dan obyektif. Penulis juga melakukan studi lapangan (field research), berupa wawancara mendalam (interview) tehadap anggota Komisi Pemilihan Umum serta kepada Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, yang bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang subyek studi yang tidak ditemukan secara tertulis dalam literatur dan data sekunder lainnya, atau sekali pun ada, demikian tidak dijelaskan secara lengkap. 3. Sumber Data a. Data primer, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya, Undangundang Nomor 32 Tahun 2003 tentang Pemerintah Daereh, serta Berkas Putusan Perkara Nomor 002/SKLN-IV/2006, Nomor 001/PUU-IV/2006. Nomor 01/PILKADA/2005, Nomor 01 PK/PILKADA/2005 dan yang pokok yaitu dari buku-buku hukum mengenai bahasan dari judul skripsi ini.
44
b.
Data sekunder, penulis mencari dan memperolah data dalam penyusunan skripsi ini yaitu dari literature yang berasal dari Kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Depok, Arsip Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal, Internaet, kamus, dan buku-buku pengetahuan lainnya yang berkaitan dengan obyek kajian.
4. Teknik Analisis Data Dalam penyajian skripsi ini menggunakan metode analisis yuridis. Melalui pendekatan Conten Analisis, yaitu penulis mencoba melakukan analisis dari data putusan-putusan dari badan peradilan tentang perseteruan sengketa Pilkada Depok, hingga memperoleh data-data yang terkumpul dalam penelitian ini. Seluruh data yang diperoleh akan diklasifikasikan dari bentuk yang bersifat umum, kemudian di kaji dan diteliti, selanjutnya ditarik kesimpulan yang mampu memberikan gambaran spesifik dan relevan mengenai data tersebut. 5. Teknik Penulisan Skripsi Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri, Jakarta, 2007. Dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan dengan beberapa pengecualian, adapun kutipan ayat dari pasal-pasal dalam Undang-undang diketik satu spasi dan dicetak miring.
45
F. Sistematika Penulisan Dalam proposal skripsi ini, penulis membagi pembahasan kedalam 5 bab, dimana masing-masing bab mempunyai penekanan pembahasan mengenai topiktopik tertentu, yaitu: BAB I
Pendahuluan, dalam bab ini penulis menjelaskan Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian, serta Sistematika Penulisan.
BAB II
KPUD Depok dan proses Pemilihan kepala daerah, yang membahas mengenai Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD,pengertian KPU dan KPUD, dan juga masalah karakteristik KPU dan KPUD. Selanjutnya membahas mengenai Tugas, Wewenang, dan Kewajiban KPUD, serta tahap penyelenggaraan PILKADA, ada tahap persiapan, dan tahap pelaksanaan; Penetapan Daftar Pemilih, Pendaftaran dan Penetapan Calon Kepala Daerah, Kampanye, Pemungutan dan Perhitungan Suara, serta Penetapan Pasangan Calon, Pengesahan, dan Pelantikan calon walikota.
BAB III Gambaran Umum Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, membahas mengenai tinjauan yuridis Mahkamah Konstitusi ditinjau dari pengertian dan sejarah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Fungsi Mahkamah Konstitusi, Tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi, sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi, hukum acara perkara Mahkamah Konstitusi, dan juga struktur organisasi Mahkamah Konstitusi
46
BAB IV Analisa putusan perkara nomor 002/SKLN-IV/2006 mengenai perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PILKADA) kota Depok, ditijau dari duduk perkara sengketa PILKADA Depok menjabarkan Kasus Posisi; gugatan Pasangan Badrul Kamal-Syihabiddin Ahmad terhadap KPUD Depok ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat, dan permohonan peninjauan kembali (PK) KPUD Depok atas Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat kepada Mahkamah Agung, meliputi bahasan dasar hukum pengajuan PK, dari dua sisi yaitu, dasar filosofis, dan dasar yuridis. Adapun membahas masalah proses penyelesaian akhir sengketa hasil Pilkada Depok di Mahkamah Konstitusi, analisis terhadap putusan hakim Mahkamah Konstitusi tentang sengketa pilkada Depok dan alasan hukum hakim Mahkamah Konstitusi. BAB V Merupakan bab penutup, yang berisi kesimpulan dari seluruh penelitian dan saran-saran mengenai permasalahan yang di uraikan dalam skripsi ini, Serta di akhiri dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
47
BAB II KPUD DEPOK DAN PROSES PEMILIHAN KEPALA DAERAH
A. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Derah (KPUD) Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Provinsi maupun Kabupaten atau Kota diperlukan adanya suatu lembaga yang independen dan imparsial. Pembentukan dapat dilakukan melalui dua (2) cara, yaitu (1) membentuk lembaga baru di setiap daerah pemilihan; atau (2) memanfaatkan keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan Kabupaten atau Kota yang telah berpengalaman dalam menyelenggarakan pemilihan umum anggota legislatif dan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden17 Dengan alasan efisiensi biaya dan kelengkapan sarana dan prasarana serta kelayakan kemampuan yang telah dibuktikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan KPU Provinsi maupun Kabupaten atau Kota sebagai penyelenggara pemilihan umum anggota legislatif dan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, maka penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dibebankan kepada lembaga Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang organ-organnya merupakan Komisi
17
Zain Badjeber, “Komentar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah”, (Jakarta: Forum Indonesia Baru, 2005), h. 246.
18
18
Pemilihan Umum (KPU) Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang di beri wewenang khusus oleh Undang-Undang dalam menyelenggarakan pemilihan kepala daerah. 18 1. Pengertian Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Undang Undang Dasar 1945 tidak merumuskan lembaga penyelenggara pilkada, namun demikian penyelenggara pemilihan kepala daerah disebutkan dalam pasal 57 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan: “ Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan umum Daerah (KPUD) yang bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)”.19 Komisi Pemiliha Umum Daerah (KPUD) sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah, kemudian ditegaskan lagi dalam pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan Kepala Daerah, yang menyatakan: (1) Pemilihan di selenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah(KPUD) (2) Dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur, KPUD Provinsi menetapkan KPUD Kabupaten atau Kota sebagai bagian pelaksana tahapan penyelenggaraan pemilihan.20
18 Badjeber, “Komentar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah”, h. 247. 19
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU/III/2005. 20
Op. Cit., Pasal 4 ayat 1 dan 2.
19
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang diberikan tugas sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah, menurut pasal 1 angka 21 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut KPUD Provinsi atau Kabupaten atau kota sebagaimana di maksud dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 200321 yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan wakil kepala daerah di setiap Provinsi dan Kabupaten atau Kota. Sekarang yang menjadi permasalahan adalah samakah KPUD sebagaimana di maksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dengan KPU berdasarkan Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. KPU terdapat dalam Pasal 22E Undang Undang Dasar 1945 dalam bab VII B pemilihan umum, yang merupakan hasil perubahan ketiga tahun 2001. Pasal 22E ayat 5 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan “Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi atas putusan perkara Nomor 072-073/PUU/II/2004 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: 21
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
20
“ Maksud pembuat undang-undang menetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi maupun Kabupaten atau Kota berfungsi sebagai pelaksana tugas Komisi Pemilihan Umum Daerah, apabila anak kalimat tersebut dinyatakan tidak mempunyai hukum mengikat, maka bunyi pasal angka 21 akan menjadi “ Komisi Pemilihan Umum Daerah yang selanjutnya disebut KPUD adalah KPU Provinsi atau Kabupaten, atau Kota”. Yang artinya dengan rumusan tersebut penyelenggara pemilihan kepala daerah langsung adalah KPU Provinsi, Kabupaten atau Kota, sebagai bagian dari KPU yang di maksudkan pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945. dengan demikian penyelenggara pemilihan kepala daerah (Pilkada), KPU menjadi regulator dan pengawas pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan oleh KPU Provinsi, Kabupaten, atau Kota, padahal pengertian yang demikian bukanlah yang di maksudkan oleh pembuat undang-undang. Walaupun demikian dalam hal kewenangan yang berkaitan dengan masalah internal KPU dan KPU Provinsi, Kabupaten, atau Kota tetap ada secara hierarkis, sehingga KPU tetap wajib melakukan tugas-tugas koordinasi dan supervisi untuk lebih memberdayakan kinerja KPU Provinsi, kabupaten atau Kota”.22 Menyikapi amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, di satu sisi Mahkamah Konstitusi ingin mengatakan secara formal, bahwa KPUD itu berada dengan KPU Provinsi, Kabupaten atau Kota, sungguh keduanya memiliki organ yang sama.
22
Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 072-073/PUU/II/2004 tentang pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945, h. 112.
21
Pandangan ini dapat dipahami jika dianalogikan dengan jabatan Gubernur atau Bupati. Sebagai Gubernur ia adalah aparat pusat yang ada di daerah, di sisi lain ada juga dengan kepala daerah, ia adalah aparat daerah yang bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melaksanakan pemerintahan di daerah. 23 Dengan konstruksi pikiran seperti ini, memberikan beberapa implikasi; pertama, secara substansi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi, Kabupaten atau Kota berbeda dengan KPUD, kedua, KPU masih mempunyai kewenangan pengawasan dan memberikan advis kepada KPU Provinsi, Kabupaten atau Kota, ketiga, pengaturan proses pencalonan seperti penjadwalan pemilihan, penetapan pasangan calon kepala daerah menjadi kewenangan KPUD, dan keempat, anggota KPUD sebagai aparat KPU di daerah, secara struktural tetap harus memperlihatkan kebijakan atasannya (KPU). Keberadaan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah (PILKADA) kembali di tegaskan dalam konsideran penjelasan umum angka 4 penjelasan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menjelaskan sebagai berikut: “ Melalui Undang-undang ini Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi, Kabupaten atau Kota di berikan kewenangan sebagai penyelenggara Pilkada. Komisi Pemilihan Umum Daerah yang di maksud dalam undang-undang ini adalah KPUD sebagaimana di maksud Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum anggota 23
Sahuri Taufiqurrahman, “Anatomi Putusan mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, (Jakarta: makalah seminar putusan Mahkamah Konstitusi /PUU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, 2005), h. 6 .
22
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk itu, tidak perlu di bentuk dan di tetapkan KPUD dan keanggotaannya yang baru.24 Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). KPUD di maksud adalah KPU Provinsi, Kabupaten atau Kota. KPU ini diberi wewenang sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah. KPUD yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah KPU sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pertimbangan di pilihnya KPU Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang bernama Komisi Pemilihan Umum Daerah sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah dengan tidak membentuk lembaga baru dengan keanggotaan baru adalah untuk efisiensi waktu, tenaga, dan biaya. Pertimbangan ini didasari karena perangkat, sarana, dan prasarana KPU Provinsi, Kabupaten, dan Kotamadya sudan terbentuk di seluruh Indonesia. Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, peran Komisi Pemilihan Umum di sini hanya sebatas menjadi acuan bagi Komisi Pemilihan Umum Daerah dalam membuat berbagai peraturan yang selama ini sudah ada. Dalam pasal 29 butir
24
Republik Indonesia, Undang-undang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, penjelasan umum angka 4.
23
9 dan pasal 32 butir g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 dinyatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum Provinsi, maupun Komisi Pemilihan Umum Kabupaten atau Kota melaksanakan kewajiban lain yang diatur dalam Undang-undang. Dengan demikian ada kewenangan Undang-undang untuk memberikan kewajiban lain kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Kabupaten atau Kota. Ada 3 (tiga) kewajiban lain yang di berikan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Kabupaten atau Kota, yaitu; (1) penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, (2) pertanggung jawaban pemilihan kepala daerah kepada publik, dan (3) melaporkan pelaksanaan pilkada kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Selanjutnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memang tidak memberi kewajiban atau wewenang khusus kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), namun hal ini sesungguhnya tidak berarti KPU kehilangan peran sama sekali, KPU tetap menjaga berfungsinya organisasi secara baik dan benar di tingkat Provinsi, Kabupaten atau Kota. 2. Karakteristik Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 21 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum Daerah yang selanjutnya disebut KPUD adalah KPU Provinsi, Kabupaten, atau Kota. Sebagaimana dimaksud Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan
24
kepala daerah dan wakil kepala daerah di setiap Provinsi dan Kabupaten atau Kota. Dengan demikian semua sifat yang terkandung dalam Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Kabupaten atau Kota juga di miliki oleh KPUD. Bertolak dari penafsiran Mahkamah Konstitusi dan pembuat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa pemilihan kepala daerah tidak termasuk kategori pemilu, maka manajemen pemilihan kepala daerah tidak di lakukan oleh Komisi pemilihan Umum (KPU) tetapi oleh pemerintah, bukan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagaimana yeng berlaku untuk pemilihan umum legislatif dan pemilihan Presiden. Menurut Mahkamah Konstitusi tidak ada alasan kuat bahwa pemilihan kepala daerah tidak masuk ke dalam pengertian pemilihan umumn Pasal 22E UndangUndang Dasar 1945, maka pengaturan pemilihan kepala daerah menjadi kewenangan pemerintah. Meskipun demikian, Komisi Pemilihan Umum Daerah sebagai lembaga Independen harus bebas dari intervensi lembaga negara manapun dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung, yaitu harus berdasarkan asasasas pemilihan umum, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pesan demikian yang ingin di sampaikan dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan para pemohon mengenai aturan hukum yang mengharuskan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) bertanggung jawab kepada
25
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Konsideran putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan;25 “Menimbang bahwa pembuat Undang-Undang telah menetapkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah langsung, yang mana Mahkamah Konstitusi berpendapat hal tersebut menjadi wewenang dari pembuat undang-undang. Walaupun demikian, KPUD harus di jamin independensinya dalam menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, dan apabila independensi KPUD tidak dijamin, maka hal ini akan mengganggu pelaksanaan hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang ditentukan dalam pasal 1 ayat (2) UndangUndang Dasar 1945, bertentangan dengan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum yang di muat dalam pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945”. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki implikasi ; (1) dalam pemilihan kepala daerah Komisi Pemilihan Umum Daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, (2) DPRD tidak berwenang meminta pertanggung jawaban atas KPUD, (3) KPUD tidak berkewajiban mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran pemilihan kepala daerah ,dan (4) pembatalan calon kepala daerah yang terbukti melakukan palanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah
Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 072-073/PUU/II/2004 tentang pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945, h. 110. 25
26
mempunyai kekuatan hukum tetap tidak lagi di lakukan oleh DPRD.26 Ketentuan tersebut cukup logis dengan memandang bahwa amat sulit mempunyai tujuan tersebut, apabila KPUD harus mempertanggung jawabkan kepada lembaga lain, seperti DPRD. Sebab DPRD merupakan unsur-unsur partai politik yang menjadi pelaku dalam kompetisi pemilihan kepala daerah.
B. Tugas, Wewenang, dan Kewajiban Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Komisi Pemilihan Umum Daerah merupakan lembaga yang bertanggung jawab terhadap berbagai bidang dan aspek perencanaan, penyelenggaraan, dan pengendalian penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung. Tata cara pelaksanaan masa persiapan dan tahap pelaksanaan diatur oleh KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.27 Secara sederhana, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) kota Depok berperan sebagai penyelenggara Pemilihan Umum (pemilu)28. Dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dalam batasan entitas kewilayahan menurut yurisdiksi kota Depok. Inilah yang kemudian menjadi wilayah pemilihan dalam pemilihan kepala daerah tahun 2005.
26
Lihat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005, h. 112-113.
27
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005. 28
Lihat pasal 57 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Bab III Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.
27
Tugas dan kewenangan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) inilah yang akan diawasi pelaksanaannya oleh Panitia Pengawas Daerah (panwasda) dalam wilayah kerjanya, begitu pula dengan masyarakat yang amat berkepentingan dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Dalam rangka penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, maka tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagaimana di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, meliputi: a. Merencanakan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; b. Menetapkan tata cara pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan tahapan yang diatur dalam peraturan perundangundangan; c. Mengoordinasikan, menyelenggarakan dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; d. Menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye, serta pemungutan suara kepala daerah dan wakil kepala daerah ; e. Memeliti persyaratan partai politik atau gabungan partai politik serta persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mengusulkan calon; f. Menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan; g. Menerima
pendaftaran
dan
mengumumkan
mengumumkan sumbangan dana kampanye;
tim
kampanye,
dan
28
h. Mengumumkan hasil rekapitulasi perhitungan suara dan mengumumkan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;29 Di samping tugas dan wewenang tersebut di atas, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) juga mempunyai beberapa kewajiban, yaitu: a.
Memperlakukan pasangan calon secara adil dan setara;
b.
Menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa; yang berkaitan dengan penyelenggaran pemilihan kepala daerah dan wakil berdasarkan peraturan perundang-undangan;
c.
Menyampaikan laporan kepada DPRD untuk setiap tahapan pelaksanaan pemilihan dan penyampaian informasi kegiatan kepada masyarakat;
d.
Memelihara arsip dan dokumen pemilihan, serta mengelola barang inventaris milik KPUD berdsarkan peraturan perundang-undangan;
e.
Mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD, serta
f.
Melaksanakan semua tahapan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.30 Pemberian kewenangan mengatur semua tahapan pemilihan kepala daerah
kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah. dengan berpedoman kepada Peraturan Pemerintah, dapat menimbulkan 3 (tiga) persoalan hukum;31 pertama, ketentuan
29 Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), Cetakan pertama h.57.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah, Pasal 6. 30
31
Ramlan Subakti, “Bebarapa pertanyaan tentang sistem pemilihan kepala daerah secara langsung”, (Jakarta: Jurnal Pamong Praja, 2005), ed. 3, h. 55.
29
seperti ini bertentangan dengan prinsip kemandirian yang melekat tidak hanya kepada Komisi Pemilihan Umum, tetapi juga kepada KPUD sebagai aparatnya di daerah, karena menempatkan KPUD di bawah pengarahan pemerintah. KPU atau KPUD yang mandiri berarti tidak berada di bawah golongan, partai politik, ataupun pemerintah, melainkan melaksanakan pemilihan umum sepenuhnya menurut Undangundang. Dengan kewenangan Komisi Pemilihan Umum Daerah menetapkan ketentuan teknis, semua tahapan pemilihan kepala daerah berdasarkan peraturan pemerintah, maka KPUD menerima pengarahan dan supervisi dari pemerintah atau setidaknya jika ada permasalahan dalam menyelenggarakan pemilihan kepala daerah harus bertanya dan berkonsultasi, menunggu pengarahan dari pemerintah tentang pengaturan tahap pemilihan kepala daerah. Kedua, ketentuan tersebut tidak taat asas dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang sama sekali tidak memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membuat peraturan pelaksanaan pemilihan umum, dengan alasan untuk menghindari perbuatan peraturan pemilihan umum oleh peserta pemilu.32 Dan ketiga, pemberian kewenangan pengaturan teknis tahap persiapan dan pelaksanaan tahap pemilihan kepala daerah kepada KPUD bertentangan dengan asas
32
Cetro,” Urgensi revisi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah sebelum penyelenggaraan pemilihan kepala daerah”, ( http://www.cetro.or.id), diakses pada 18 Juli 2005.
30
eksternalitas dan efisiensi yang diatur dalam pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah itu sendiri. Urusan yang bersifat atau berlaku lintas daerah harus ditangani oleh instansi yang berlingkup luas, dikatakan demikian karena pengaturan teknis setiap tahapan tersebut merupakan penjabaran asas-asas pemilihan umum yang demokratis, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia (Luber) serta jujur dan adil (Jurdil). Penjabaran asas-asas pemilihan umum ini berlaku di seluruh Indonesia, bahkan berlaku universal, sehingga tidak dapat di desentralisasikan kepada KPUD. Di sebut tidak efisien yaitu karena bila pemilihan kepala daerah diselenggarakan di 226 daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota), maka harus di buat 226 Surat keputusan (SK) untuk setiap tahapan pemilihan kepala daerah yang isinya sama. Pengaturan teknis pemilihan kepala daerah seharusnya diserahkan kepada KPU, tetapi perencanaan dan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di serahkan sepenuhnya kepada KPUD. 33 Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-III/2005, maka KPUD di dalam menyelenggarakan Pilkada, tidak lagi bertanggung jawab kepada DPRD, baik tanggung jawab pelaksanaan tugas-tugas KPUD maupun tanggung jawab penggunaan anggaran Pilkada. Mengenai pelaksanaan tugas-tugas penyelenggaraan tahapan Pilkada, KPUD bertanggung jawab kepada pemerintah daerah masing-masing. Di samping itu DPRD tidak lagi berwenang membatalkan pasangan calon yang dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan “politik uang”. Karena itu, 33
Cetro, Kesimpulan Putusan perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 072/PUU-II/2004.
31
sekarang beralih kepada KPUD. Hal ini semua didasarkan pada pertimbangan demi menjaga independensi KPUD dalam penyelenggaraan Pilkada, dan kemungkinan adanya intervensi dari pihak DPRD.
C. Tahap Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Dalam rangka mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sesuai tuntutan reformasi dan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa Provinsi, Kabupaten dan Kota merupakan daerah otonom, maka kini sudah saatnya untuk mengemban sistem pemilihan kepala daerah secara langsung dan mulai menerapkan. Upaya ini menjadi lebih mendesak karena tuntutan dari berbagai daerah untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi semakin gencar.34 Undang-undang ini menganut sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dengan memilih calon secara berpasangan. Calon di usulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Asas yang digunakan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sama dengan asas pemilu35 sebagaimana di atur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang
34
Agung Djojosoekarto, Rudi Hauter, “Pemilihan Langsung Kepala Daerah: Transformasi menuju Demokrasi Lokal”, Kerjasama Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia dan Koniad Adenauer Stiftung, h. 6. 35
Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, h. 56.
32
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yaitu asas langsung, umum, bebas dan rahasia (luber), serta jujur dan adil (jurdil). Sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, undang-undang ini menugaskan KPUD di masing-masing daerah. KPUD yang dimaksud dalam hal ini adalah KPUD sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003. Dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, KPUD bertanggung jawab kepada DPRD yang bersangkutan. Namun, secara organisatoris KPUD tetap bertanggung jawab kepada KPU pusat. Walaupun tidak diatur dalam undang-undang ini, secara organisatoris KPU tetap dapat melakukan tugas-tugas koordinasi dan supervisi terhadap KPUD dan demikian juga KPUD provinsi terhadap KPUD Kabupaten/Kota, dalam pemilihan Bupati/Walikota. Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Depok yang di selenggarakan pada Juni 2005 dengan jumlah pemilih sebanyak 908.890 jiwa, telah melahirkan sejumlah keputusan kontroversial. Tidak konsistennya pemerintah pusat melalui Pengadilan Tinggi (PT) hingga Mahkamah Agung (MA) dalam menentukan Walikota terpilih membuat daerah pemukiman ini menjadi sorotan dari berbagai pihak, tetapi, justru hal inilah yang membuat pilkada Depok memiliki daya tarik tersendiri jika di bandingkan dengan pemilihan Kepala Daerah (pilkada) di daerah-daerah lain. Keseriusan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah
33
(Pilkada), diwujudkan dengan membentuk desk Pilkada di Departemen Dalam Negeri.36 Dalam kaitan dengan penyelenggaraan pilkada langsung tersebut, sekurangkurangnya ada dua hal besar yang harus dilihat sebagai konteks. Pertama, bahwa lahirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya yang menyangkut Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah telah melahirkan kontroversi yang cukup serius. Banyak yang menilai bahwa berbagai ketentuan tentang penyelenggaraan Pilkada langsung tersebut kurang didukung oleh kerangka berpikir yang tepat. Buntutnya adalah pengajuan judicial review oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Peduli Pemilu dan beberapa KPU Provinsi. Tentu berbagai kontroversi ini akan mempengaruhi kesiapan KPU
Daerah
(dan
juga
pihak-pihak
lainnya)
di
dalam
persiapan
penyelenggaraannya.37 Hal yang pertama adalah konstruksi kewenangan penyelenggaraan. Berbeda dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang memposisikan Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri- sebagai pemegang mandat tunggal penyelenggaraan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah membagi kewenangan penyelenggaraan pilkada
36
Desk pilkada memiliki peran signifikan dalam upaya mengambil langkah-langkah dan antisipasi mengenai keadaan pemerintah, keamanan, serta memberikan fasilitasi pada setiap tahap penyelenggaraan pilkada agar dalam pelaksanaannya berjalan tertib, aman, dan terkendali). 37
http://www.suaramerdeka.com/harian, “ Antisipasi masalah dalam Pilkada, Perlu perincian kewenangan penyelenggara”, diakses pada Agustus 2009.
34
kepada tiga institusi, yakni pemerintah, KPUD dan DPRD, dengan porsi masingmasing yang diatur oleh UU. Proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (PILKADA) di laksanakan dalam 2 (dua) tahap, yakni tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. 38 1. Tahap Persiapan Persiapan pemilihan merupakan proses awal dalam pemilihan kepala daerah sebelum pelaksanaan pemilihan itu sendiri dilaksanakan. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tidak mengatur mengenai masa persiapan proses pemilihan kepala daerah. Namun, hal tersebut diatur secara rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan kepala daerah, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah. Dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005, di sebutkan bahwa masa persiapan pemilihan kepala daerah, meliputi;39 a. Pemberitahuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kepada Kepala Daerah mengenai berakhirnya masa jabatan; b. Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah;
38
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 65 ayat (1). 39
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Pasal 2.
35
c. Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah; d. Pembentukan kepanitiaan pengawas, PPK dan KPPS; e. Pembentukan dan pendaftaran pemantau oleh KPUD.
2. Tahap Pelaksanaan Dalam tahap pelaksanaan ini meliputi 5 (lima) kegiatan, yang masing-masing merupakan satu rangkaian yang saling terkait, meliputi;40 a. Penetapan Daftar Pemilih Warga negara yang berhak memilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah berumur tujuh belas tahun atau sudah pernah menikah. Dalam undang-undang ini tidak dijelaskan, warga negara Indonesia yang mana yang berhak yang menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. kemungkinan pertama adalah warga negara Indonesia yang terdaftar sebagai penduduk (memiliki kartu tanda penduduk) di daerah yang bersangkutan. Secara prosedural, untuk dapat terdaftar sebagai pemilih, seseorang setidaktidaknya harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:41
40
41
Ibid., Pasal 65 ayat (3).
Lihat pasal 68-69 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo pasal 15-16 Peraturan Pemerintah Nomor Tahun 2005 jo Pasal 2 dan 3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota
36
1. Orang yang bersangkutan merupakan Warga Negara Indonesia (WNI); 2. Menjadi penduduk kota Depok yang pada hari dan tanggal pemungutan suara pemilihan telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah menikah; 3.
Secara nyata tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya;
4.
Tidak di cabut hak pilihnya berdsarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
5.
Berdomisili di daerah pemilihan, yakni wilayah kota Depok, sekurangkurangnya enam bulan sebelum di tetapkannya daftar pemilih sementara (DPS) yang di buktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau bukti identitas kependudukan lainnya yang sah.
Untuk dapat menggunakan hak pilih, seorang Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat didaftar sebagai pemilih adalah keadaan fisiknya harus dalam keadaan sadar atau tidak sedang terganggu jiwa, tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh hukum tetap. Seorang warga negara Indonesia yang telah terdaftar dalam daftar pemilih, kemudian kemudian ternyata tidak lagi memenuhi kedua syarat tersebut, maka tidak dapat menggunakan hak pilihnya. b. Pendaftaran dan Penetapan Calon Kepala Daerah Dalam proses pendaftaran pemilih untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, daftar pemilih pada saat pelaksanaan pemilihan terakhir di daerah,
Depok Nomor 2 Tahun 2005 tentang tata cara pelaksanaan pendaftaran pemilih dalam rangka Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah kota Depok Tahun 2005.
37
digunakan sebagai daftar pemilih untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Seorang pemilih hanya di daftar satu kali dalam daftar pemilih. Pemilih yang mempunyai satu tempat tinggal harus menentukan salah satu di antaranya untuk di tetapkan sebagai tempat tinggal yang di cantumkan dalam daftar pemilih. Sebagai tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih, pemilih diberikan tanda bukti pendaftaran, kemudian di tukarkan dengan kartu pemilih.42 Adapun mengenai penetapan pasangan calon kepala daerah, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, yang tidak memiliki kursi di DPRD dapat mengusulkan pasangan calon
kepala daerah dalam Pilkada. Partai politik atau
gabungan partai politik yang dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, yaitu harus memenuhi syarat; memiliki sekurang-kurangnya telah memperoleh lima belas persen kursi di DPRD, atau memiliki lima belas persen akumulasi perolehan suara sah dalam daerah pemilihan yang bersangkutan. Idealnya proses pencalonan dilakukan melalui sistem dua pintu. Pintu pertama melalui partai politik, sedangkan pintu kedua melalui usulan dari masyarakat. Pasangan calon yang diusulkan oleh masyarakat ini, umpamanya disyaratkan harus mendapat dukungan minimal satu persen dari jumlah pemilih terdaftar. Adapun
Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), Cetakan pertama, h. 66. 42
38
syarat-syarat untuk dapat diusulkan sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat:43 1. Bertakwa kepada tuhan Yang Maha Esa dan setia kepada Pancasila; 2. Berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau sederajat; 3. Berusia sekurang-kurangnya tiga puluh tahun; 4. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan pemeriksaan dari tim dokter; 5. Tidak pernah di jatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan; 6. Memiliki hak pilihnya dan mengenal daerahnya serta telah di kenal oleh masyarakat; 7. Menyerahkan daftar riwayat hidup secara lengkap; 8. Belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama dua kali masa jabatan yang sama; 9. Tidak dalam status sebagai pejabat kepala daerah. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dalam melakukan penelitian terhadap persyaratan administrasi para calon, maka perlu melakukan klarifikasi kepada instansi pemerintah yang berwenang dan menerima masukan dari masyarakat.44 Hasil penelitian tersebut dalam jangka waktu paling lama tujuh hari, terhitung sejak tanggal penutupan pendaftaran, diberitahukan secara tertulis kepada
43
Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, h. 70. 44
ibid, h. 74.
39
pimpinan partai politik yang mengusulkan calon bersangkutan. Apabila pasangan calon, berdasarkan berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan KPUD ternyata belum memenuhi syarat, maka partai politik diberi kesempatan buat melengkapi atau memperbaiki surat percalonan, beserta persyaratan pasangan calon, maka paling lambat tujuh hari sejak saat pemberitahuan hasil penelitian tersebut paling lambat tujuh hari kepada pimpinan partai politik yang mengusulkan. Pasangan calon yang sudah ditetapkan oleh KPUD di umumkan secara luas paling lambat tujuh hari sejak selesainya penelitian. Kemudian dilakukan undian secara terbuka, dalam arti wajib dihadiri oleh pasangan calon, wakil partai politik, pers dan wakil masyarakat, terhadap pasangan calon yang sudah ditetapkan atau di umumkan untuk menentukan nomor urut pasangan calon. Berdasarkan ketentuan pasal 61 ayat (4) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, penetapan dan pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat final dan mengikat. Dalam hal ini berarti tidak ada lagi upaya, baik secara politis maupun secara hukum yang dapat dilakukan untuk membatalkan penetapan pasangan calon tersebut. c. Kampanye Kampanye adalah merupakan suatu kegiatan yang di laksanakan dalam rangka penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kampanye di lakukan selama empat belas hari dan harus telah berakhir pada saat memasuki masa tenang, yaitu tiga hari menjelang pemungutan suara di laksanakan.
40
Kampanye di selenggarakan oleh tim kampanye yang dibentuk oleh pasangan calon bersama-sama partai politik yang mengusulkan pasangan calon. Tim kampanye harus di daftarkan kepada KPUD, bersamaan dengan pendaftaran pasangan calon. Kampanye di lakukan secara bersama-sama atau secra terpisah oleh pasangan calon atau tim kampanye. Penanggung jawab kampanye adalah pasangan calon, dan dalam pelaksanaannya pertanggung jawaban dilakukan oleh tim kampanye. Bentuk kampanye sering dikategorikan antara monologis dan dialogis. Kampanye monologis di identifikasikan sebagai paradigma lama dan dialogis sebagai paradigma baru suatu kampanye. Bentuk-bentuk kampanye monologis dalam pemilihan kepala daerah cukup dominan.45 Adapun bentuk kampanye dialogis adalah berupa tatap muka dan dialog serta debat publik atau debat terbuka antar calon.46 Kampanye dalam komunikasi politik adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk memberikan informasi dalam bentuk citra tentang seseorang atau kebijakan (publik) tertentu yang disampaikan dengan tujuan untuk mempengaruhi calon pemilih untuk mendukung kandidat atau kebijakan tertentu tersebut.47 Dalam kegiatan kampanye pasangan calon wajib menyampaikan visi, misi, dan program secara lisan maupun tertulis kepada masyarakat. Penyampaian materi 45
Bentuk-bentuk kampanye monologis adalah pertemuan yang sifatnya terbatas, penyebaran melalui media cetak dan media elektronik, penyiaran melalui radio dan televisi, penyebaran bahan kampanye kepada umum dan rapat umum. 46
Lihat Pasal 76 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Kampanye dialogis ini adalah seperti kampanye yang sekarang diterapkan dalam pemilihan Presiden 2009-20014. 47
Effendi Gazali, “ Strategis Kampanye PILKADA”, ( Jakarta: Jurnal Pamong Praja, 2005), ed. 3., h. 79-79.
41
kampanye di lakukan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif. Untuk penyusunan bahan kampanye, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah berhak mendapatkan
informasi atau data dari Pemerintah Daerah, sesuai ketentuan
perundang-undangan. Selama masa kampanye,48 Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) membentuk tim monitoring kegiatan-kegiatan kampanye, yang terdiri atas dua orang pegawai sekretariat Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) untuk masing-masing pasangan calon yang diterjunkan ke lapangan dan memantau langsung jalannya kegiatan kampanye oleh kontestan pilkada. Namun, praktek yang terjadi di lapangan, para petugas monitoring tersebut cenderung hanya memenuhi kewajiban minimal mereka dengan mengisi form kosong yang di isi sekadarnya dan pengamatan yang di lakukan tidak secara penuh dan menyeluruh. Dengan di isinya form kosong tersebut, petugas monitoring kembali ke kantor atau ke tempat lain. Hal ini berakibat pada pengisian form laporan monitoring kegiatan kampanye menggunakan laporan berulang (jiplakan).49 d. Pemungutan dan Perhitungan Suara Tahapan yang paling menetukan dalam proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, adalah tahapan pemungutan suara. Pemungutan suara dilakukan 48
Kampanye pemilihan walikota dan wakil walikota Depok adalah kegiatan dalam rangka meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program yang di lakukan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif atau mendidik. Lihat lampiran peraturan KPUD kota Depok No.8 Tahun 2005 tentang petunjuk teknis pelaksanaan kampanye dalam rangka pemilihan walikota dan wakil walikota Depok Tahun 2005. 49
Depok.
Lihat, Bundel laporan kegiatan kampanye hasil monitoring pegawai sekretariat KPUD Kota
42
paling lambat satu bulan sebelum masa jabatan kepala daerah berakhir. Pemungutan suara di laksanakan pada hari libur atau hari yang di liburkan, pemungutan suara di lakukan dengan cara memberikan melalui surat suara, yeng berisi nomor urut, foto, dan nama pasangan calon. Jumlah surat suara dicetak sama dengan jumlah pemilih di tambah 2.5% dari jumlah pemilih.50 Kejelasan status pemilih tergantung kondisi terdaftarnya ia dalam daftar pemilih yang dalam kegiatan pemungutan suara menggunakan kartu pemilih selaku instrumen penunjuk identitas. Dapat dipahami bahwa kata putus mengenai sah atau tidaknya seorang warga yang memiliki hak pilih dalam kegiatan pemungutan suara , tergantung muatan dalam daftar pemilihan umum, bukan di sertakan atau tidaknya kartu pemilih yang berperan sebagai instrumen, terlebih Pasal 34 ayat (2) tidak menyebutkan sanksi atau implikasi lain atas kelalaian dalam pelaksanaannya. Pada hari dan tanggal pemungutan suara, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) melakukan pembagian tugas yang di laksnakan para anggota KPUD dan pegawai sekretarian KPUD secara internal dan eksternal. Pembagian tugas internal dengan komposisi personalia tertentu meliputi penyiapan ruang media center beserta halaman kantor sekreteriat KPUD, dan publikasi hasil perhitungan sementara dengan menggunakan teknologi informasi yang ada. Publikasi di dalam ruang media center menggunakan proyektor LCD yang tampilan gambarnya di arahkan ke salah satu
Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), Cetakan pertama, h. 84. 50
43
dinding ruang (dinding dalam hal ini berfungsi sebagai pengganti layar) yang di peruntukan bagi para tamu Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Sementara bagi masyarakat umum, yang hendak mengikuti jalannya perkembangan perhitungan suara disegenap tempat perhitungan suara secara real time dapat menyaksikannya melalui layar televisi di halaman kantor sekretariat Komisi Pemilihan Umum Daerah yang telah di sambungkan ke komputer pengolahan hasil perhitungan suara. Proses pemungutan suara pada pemilihgan kepala daerah kota Depok cukup menarik perhatian dari berbagai kalangan. Beberapa pejabat yang terlihat adalah sekretaris jenderal Departemen Dalam Negeri progo Nurjaman yang di dampingi oleh Gubernur Jawa Barat Dani Setiawan, serta anggota komisi II DPR RI Ferry Mursidan Baldan, di tempat lain, ada pula rombongan peninjau lain yang terdiri dari anggota KPU Pusat Chusnul Mariyah, serta para anggota KPUD Banjar, Jepara, Sukabumi, Indramayu, Bandung, dan kabupaten Subang.51 Apabila ada pemilih tuna netra, tuna daksa, atau yang mempunyai halangan fisik lain pada saat pemberian suara, maka dapat di bantu petugas Kelompok Pelaksanaan Pemungutan Suara (KPPS) atau orang lain atas permintaan pemilih yang bersangkutan. Petugas KPPS atau orang lain yang membantu pemilih wajib merahasiakan pilihan pemilih yang di bantunya. Mengenai ketentuan pemberian
51
Dalam kunjungan ini hanya di sambut oleh ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok Dzulfadhli beserta staf dan sebagian pegawai sekretariatan KPUD, karena anggota KPUD yang lain beserta sebagian pegawai sekretariat KPUD masih bertugas memonitoring terhadap pelaksanaan pemungutan suara di sejumlah titik wilayah pemilihan.
44
bantuan kepada pemilih, sebagaimana di maksud di atas, lebih lanjut akan di atur dalam Peraturan Pemerintah. Perhitungan suara harus di lakukan dan di selesaikan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang bersangkutan dan dapat dihadiri oleh sanksi pasangan calon, panitia pengawas, pemantau dan warga masyarakat. Sanksi pasangan calon karus membawa surat mandat dari tim kampanye yang bersangkutan dan menyerahkan kepada ketua KPPS. Penghitungan suara pasca pemilihan kepala daerah di Kota Depok berangsur kisruh, Pendukung salah satu calon wali kota mendesak Komisi Pemilihan Umum Depok dan Panitia Pemungutan Suara menghentikan proses penghitungan suara tersebut. Meski KPU Depok harus melanjutkan proses penghitungan, para anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) menghentikan penghitungan karena diintimidasi sekelompok massa.52 Guna mencegah terjadinya kecurangan dalam bentuk manipulasi angka perhitungan suara, perhitungan suara harus dilakukan dengan cara yang memungkinkan saksi pasangan calon, panitia pengawas, pemantau dan warga masyarakat yang hadir dapat menyaksikan dengan jelas proses perhitungan suara. Pasangan calon dan warga masyarakat melalui pasangan calon yang hadir, dapat mengajukan keberetan terhadap jalannya perhitungan suara oleh KPPS apabila terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
52
http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/politik/artikel_cetak, “Perhitungan suara pilkada Depok kisruh” sumber: kompas, diakses pada 29 Juni 2009.
45
berlaku. Jika keberatan yang dilakukan oleh saksi pasangan calon atau warga masyarakat dapat di terima, maka KPPS seketika itu juga melakukan pembetulan. Setelah selesai perhitungan suara, KPPS segera membuat berita acara dan sertifikat hasil perhitungan suara yang ditanda tangani oleh ketua KPPS, dan dapat pula ikut ditanda tangani oleh para saksi pasangan calon. Kemudian satu eksamplar salinan berita acara dan sertifikat hasil perhitungan suara, di berikan kepada masingmasing saksi pasangan calon dan satu eksemplar lagi di tempel ditempat umum yang bisa dilihat oleh warga masyarakat. e. Penetapan Pasangan Calon, Pengesahan, dan Pelantikan Berdasarkan berita acara dan sertifikat hasil perhitungan suara, KPU provinsi atau KPU kabupaten kota, melalui rapat pleno menetapkan calon terpilih dengan ketentuan sebagai berikut; a. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih; b. Apabila tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara sah, pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 25% dari jumlah suara sah pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar, di antara yang memperoleh suara 25%, dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih;
46
c. Apabila terdapat lebih dari satu pasangan calon yang perolehan suaranya sama dan di atas 25% dari suara sah, penentuan pasangan calon terpilih di lakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas. Jika pasangan calon terpilih yang berhalangan tetap, partai politik yang pasangan calonnya memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua di bawah pasangan calon terpilih, mengusulkan pasangan calon kepada DPRD untuk di pilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari. Demikian juga halnya dalam pemilihan kepala daerah sebagai pengganti wakil kepala daerah yang berhalangan tetap harus di lakukan selambatlambatnya dalam waktu enam puluh hari. Setelah pasangan calon terpilih di tetapkan oleh KPUD yang bersangkutan, di teruskan ke DPRD untuk selanjutnya di usulkan kepada presiden melalui menteri dalam negeri bagi pasangan calon guberbur dan wakil gubernur dan kepada menteri dalam negeri melalui gubernur bagi pasangan calon bupati atau wali kota dan wakil wali kota, untuk mendapatkan pengesahan dan pengangkatan. Sebelum memangku jabatan, kepala daerah dan wakil kepala daerah di lantik dengan mengucapkan sumpah atau janji yang di pandu oleh pejabat yang melantik dengan sumpah atau janji sebagai berikut; “Demi allah (Tuhan) saya bersumpah atau berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan nseadil-adilnya, memegang teguh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.”
47
Dalam pelaksanaan perhitungan suara dan rekapitulasi finalnya hasil penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok, telah ada interupsi yang berasal dari tim pasangan calon Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad yang dinyatakan kalah dan di tetepkan sebagai pemenang urutan kedua oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) tersebut mempersoalkan tiga hal berkenaan dengan perhitungan suara dan rekapitulasi yang telah dan tengah berlangsung.53 Pertama, rekapitulasi final terhadap perolehan suara yang tengah di laksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok menjurus pada statusnya yang ilegal mengingat rekapitulasi yang telah di lakukan oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia pemilihan Kecamatan (PPK) se kota Depok dengan sujumlah kecacatan di dalamnya. Kecacatan tersebut berkenaan dengan proses pemungutan suara. Kedua, adanya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh tim kampanye pasangan calon Nurmahmudi Ismail dan Yuyun Wirasaputra beserta pendukungnya merupakan catatan tersendiri sehingga menjadikan pasangan calon ini diragukan legitimasinya dan tidak layak ditetapkan sebagai pemenang dalam rekapitulasi dengan perolehan suara dengan asumsi bahwa perolehan suaranya diwarnai kecurangan dan tidak sah.
53
Keterangan ini di peroleh dari kesaksian H.M.T. Hutoyo Gunardi sebagai saksi dari KPUD Kota Depok dan saksi-saksi dari kubu Badrul kamal-Syihabuddin Ahmad; Lihat. Salinan Putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat. Nomor 01/PILKADA/2005/PT.Bdg., h. 25.
48
Ketiga, menganggap bahwa tidak selayaknya Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok membuat berita acara dan rapat pleno dalam pembuatan surat keputusan (SK) yang berisi rekapitulasi akhir dan penetapan pasangan calon Walikota dan wakil Walikota terpilih tanpa melibatkan terlebih dulu pada pihak-pihak terkait, seperti Panitia Pengawas pilkada (panwasda) kota Depok, DPRD kota Depok, dan KPUD Profinsi Jawa Barat. Gubernur dan wakil gubernur dilantik oleh menteri dalam negeri atas nama presiden, sedangkan bupati atau wali kota dan wakil wali kota dilantik oleh gubernur atas nama menteri dalam negeri. Pelantikan di maksud di laksanakan dalam rapat paripurna DPRD.54 Tabel 1 Peroleha Suara Sah Para pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Depok55 No. Urut 1. 2. 3. 4. 5.
Nama Calon Walikota dan Wakil Jumlah Suara Final Walikota Depok H. Abdul Wahab Abidin dan 32.461 M. Ilham Wijaya Drs. H. Harun Heryana dan 23.859 Drs. H. Farkhan A.R Drs. H. Badrul Kamal, M.M. dan 206.781 K.H. Syihabuddin Ahmad Drs. Yus Ruswandi dan 43.096 H. M. Soetandi Dipowongso, S.H Dr. Ir. H. Nurmahmudi Ismail dan 232.610 Drs. H. Yuyun Wirasaputra Sumber: SK KPUD Nomor18 Tahun 200556
Prosentase 6,13% 4,50% 39,03% 6,44% 43,90%
Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), Cetakan pertama, h. 98. 55 Rincian Perolehan sah di setiap kecamatan dapat di lihat dalam lampiran tabel 1.1. 54
49
Melihat hasil tersebut, sedikitnya terdapat 40 % (empat puluh persen) pemilih terdaftar yang tidak ikut memilih. Menurut Andrinof Chaniago pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), dengan persentase sebanyak itu, proses pilkada cenderung hanya sebagai tontonan publik saja. Warga Depok belum mampu memaknai pilkada sebagai proses pembuatan kebijakan publik yang akan berpengaruh langsung kepada mereka sendiri.57 Semua alur penyampaian hasil penetapan Walikota dan Wakil Walikota terpilih untuk kemudian dilaksanakan pelantikan terhadapnya, mengharuskan Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok menempuh jalur melalui DPRD Kota Depok kepada menteri dalam negeri melalui Gubernur Jawa Barat.58 Diikut sertakannya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Depok dalam jalur penyampaian hasil pilkada ini membuka peluang terhadap keputusan penetapan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok yang masih berlangsung di DPRD. Namun, terbitnya Surat Edaran Mentri Dalam Negeri (SE Mendagri) yang menjelaskan mekanisme tersebut sedikit menepis kemungkinan tersebut.
56
Iberamsjah MS, SK KPUD No.18 tahun 2005, Pilkada Kota Depok Tahun 2005, (Depok: Sekretariat Walikota Depok, 2006), h. 78. 57
Lihat http://www.kompas.com “Pilkada Depok dan sikap apatis”, diakses pada 8 November, 2006. 58
Pasal 99 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005. Lih. Pula ketentuan sebelumnya yang terkait dalam pasal 87 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.
50
Akhirnya pada hari tanggal 16 Juli 2005 melalui Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Daerah (SK KPUD) Nomor 18 Tahun 2005, ditetapkan bahwa Dr. Ir. H. Nurmahmudi Ismail dan Drs. H. Yuyun Wirasaputra resmi menjadi Walikota dan Wakil Walikota Depok yang baru. Setelah melalui perjalanan panjang, bahkan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) sampai perlu untuk turun tangan dalam menyelesaikan kasus ini, dan pada akhirnya Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Depok yang resmi memenangkan Dr. Ir. H. Nurmahmudi Ismail dan Drs. H. Yuyun Wirasaputra resmi di lantik menjadi Walikota dan Wakil Walikota Depok tepat tanggal 26 Januari 2006 dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyar Daerah (DPRD) Kota Depok.
51
BAB II KPUD DEPOK DAN PROSES PEMILIHAN KEPALA DAERAH
A. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Derah (KPUD) Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Provinsi maupun Kabupaten atau Kota diperlukan adanya suatu lembaga yang independen dan imparsial. Pembentukan dapat dilakukan melalui dua (2) cara, yaitu (1) membentuk lembaga baru di setiap daerah pemilihan; atau (2) memanfaatkan keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan Kabupaten atau Kota yang telah berpengalaman dalam menyelenggarakan pemilihan umum anggota legislatif dan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden59 Dengan alasan efisiensi biaya dan kelengkapan sarana dan prasarana serta kelayakan kemampuan yang telah dibuktikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan KPU Provinsi maupun Kabupaten atau Kota sebagai penyelenggara pemilihan umum anggota legislatif dan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, maka penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dibebankan kepada lembaga Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang organ-organnya merupakan Komisi
59
Zain Badjeber, “Komentar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah”, (Jakarta: Forum Indonesia Baru, 2005), h. 246.
18
55 Pemilihan Umum (KPU) Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang di beri wewenang khusus oleh Undang-Undang dalam menyelenggarakan pemilihan kepala daerah. 60 1. Pengertian Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Undang Undang Dasar 1945 tidak merumuskan lembaga penyelenggara pilkada, namun demikian penyelenggara pemilihan kepala daerah disebutkan dalam pasal 57 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan: “ Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan umum Daerah (KPUD) yang bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)”.61 Komisi Pemiliha Umum Daerah (KPUD) sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah, kemudian ditegaskan lagi dalam pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan Kepala Daerah, yang menyatakan: (1) Pemilihan di selenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah(KPUD) (2) Dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur, KPUD Provinsi menetapkan KPUD Kabupaten atau Kota sebagai bagian pelaksana tahapan penyelenggaraan pemilihan.62 Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang diberikan tugas sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah, menurut pasal 1 angka 21 Undang-undang
60
Badjeber, “Komentar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah”,
h. 247. 61
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU/III/2005. 62
Op. Cit., Pasal 4 ayat 1 dan 2.
56 Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut KPUD Provinsi atau Kabupaten atau kota sebagaimana di maksud dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 200363 yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan wakil kepala daerah di setiap Provinsi dan Kabupaten atau Kota. Sekarang yang menjadi permasalahan adalah samakah KPUD sebagaimana di maksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dengan KPU berdasarkan Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. KPU terdapat dalam Pasal 22E Undang Undang Dasar 1945 dalam bab VII B pemilihan umum, yang merupakan hasil perubahan ketiga tahun 2001. Pasal 22E ayat 5 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan “Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi atas putusan perkara Nomor 072-073/PUU/II/2004 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: “ Maksud pembuat undang-undang menetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi maupun Kabupaten atau Kota berfungsi sebagai pelaksana tugas Komisi Pemilihan Umum Daerah, apabila anak kalimat tersebut dinyatakan tidak mempunyai hukum mengikat, maka bunyi pasal angka 21 akan menjadi “ Komisi Pemilihan Umum Daerah yang selanjutnya disebut KPUD adalah KPU Provinsi atau Kabupaten, atau Kota”. Yang artinya dengan rumusan tersebut penyelenggara pemilihan kepala daerah
63
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
57 langsung adalah KPU Provinsi, Kabupaten atau Kota, sebagai bagian dari KPU yang di maksudkan pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945. dengan demikian penyelenggara pemilihan kepala daerah (Pilkada), KPU menjadi regulator dan pengawas pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan oleh KPU Provinsi, Kabupaten, atau Kota, padahal pengertian yang demikian bukanlah yang di maksudkan oleh pembuat undangundang. Walaupun demikian dalam hal kewenangan yang berkaitan dengan masalah internal KPU dan KPU Provinsi, Kabupaten, atau Kota tetap ada secara hierarkis, sehingga KPU tetap wajib melakukan tugas-tugas koordinasi dan supervisi untuk lebih memberdayakan kinerja KPU Provinsi, kabupaten atau Kota”.64 Menyikapi amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, di satu sisi Mahkamah Konstitusi ingin mengatakan secara formal, bahwa KPUD itu berada dengan KPU Provinsi, Kabupaten atau Kota, sungguh keduanya memiliki organ yang sama. Pandangan ini dapat dipahami jika dianalogikan dengan jabatan Gubernur atau Bupati. Sebagai Gubernur ia adalah aparat pusat yang ada di daerah, di sisi lain ada juga dengan kepala daerah, ia adalah aparat daerah yang bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melaksanakan pemerintahan di daerah. 65 Dengan konstruksi pikiran seperti ini, memberikan beberapa implikasi; pertama, secara substansi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi, Kabupaten atau Kota berbeda dengan KPUD, kedua, KPU masih mempunyai kewenangan pengawasan dan memberikan advis kepada KPU Provinsi, Kabupaten atau Kota, ketiga, pengaturan proses 64
Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 072-073/PUU/II/2004 tentang pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945, h. 112. 65
Sahuri Taufiqurrahman, “Anatomi Putusan mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, (Jakarta: makalah seminar putusan Mahkamah Konstitusi /PUU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, 2005), h. 6 .
58 pencalonan seperti penjadwalan pemilihan, penetapan pasangan calon kepala daerah menjadi kewenangan KPUD, dan keempat, anggota KPUD sebagai aparat KPU di daerah, secara struktural tetap harus memperlihatkan kebijakan atasannya (KPU). Keberadaan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah (PILKADA) kembali di tegaskan dalam konsideran penjelasan umum angka 4 penjelasan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menjelaskan sebagai berikut: “ Melalui Undang-undang ini Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi, Kabupaten atau Kota di berikan kewenangan sebagai penyelenggara Pilkada. Komisi Pemilihan Umum Daerah yang di maksud dalam undang-undang ini adalah KPUD sebagaimana di maksud Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk itu, tidak perlu di bentuk dan di tetapkan KPUD dan keanggotaannya yang baru.66 Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). KPUD di maksud adalah KPU Provinsi, Kabupaten atau Kota. KPU ini diberi wewenang sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah. KPUD yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah KPU sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
66
Republik Indonesia, Undang-undang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, penjelasan umum angka 4.
59 Pertimbangan di pilihnya KPU Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang bernama Komisi Pemilihan Umum Daerah sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah dengan tidak membentuk lembaga baru dengan keanggotaan baru adalah untuk efisiensi waktu, tenaga, dan biaya. Pertimbangan ini didasari karena perangkat, sarana, dan prasarana KPU Provinsi, Kabupaten, dan Kotamadya sudan terbentuk di seluruh Indonesia. Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, peran Komisi Pemilihan Umum di sini hanya sebatas menjadi acuan bagi Komisi Pemilihan Umum Daerah dalam membuat berbagai peraturan yang selama ini sudah ada. Dalam pasal 29 butir 9 dan pasal 32 butir g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 dinyatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum Provinsi, maupun Komisi Pemilihan Umum Kabupaten atau Kota melaksanakan kewajiban lain yang diatur dalam Undang-undang. Dengan demikian ada kewenangan Undang-undang untuk memberikan kewajiban lain kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Kabupaten atau Kota. Ada 3 (tiga) kewajiban lain yang di berikan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Kabupaten atau Kota, yaitu; (1) penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, (2) pertanggung jawaban pemilihan kepala daerah kepada publik, dan (3) melaporkan pelaksanaan pilkada kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Selanjutnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memang tidak memberi kewajiban atau wewenang khusus kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), namun hal ini sesungguhnya tidak berarti KPU kehilangan peran sama sekali, KPU tetap menjaga berfungsinya organisasi secara baik dan benar di tingkat Provinsi, Kabupaten atau Kota.
60 2. Karakteristik Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 21 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum Daerah yang selanjutnya disebut KPUD adalah KPU Provinsi, Kabupaten, atau Kota. Sebagaimana dimaksud Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di setiap Provinsi dan Kabupaten atau Kota. Dengan demikian semua sifat yang terkandung dalam Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Kabupaten atau Kota juga di miliki oleh KPUD. Bertolak dari penafsiran Mahkamah Konstitusi dan pembuat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa pemilihan kepala daerah tidak termasuk kategori pemilu, maka manajemen pemilihan kepala daerah tidak di lakukan oleh Komisi pemilihan Umum (KPU) tetapi oleh pemerintah, bukan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagaimana yeng berlaku untuk pemilihan umum legislatif dan pemilihan Presiden. Menurut Mahkamah Konstitusi tidak ada alasan kuat bahwa pemilihan kepala daerah tidak masuk ke dalam pengertian pemilihan umumn Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945, maka pengaturan pemilihan kepala daerah menjadi kewenangan pemerintah. Meskipun demikian, Komisi Pemilihan Umum Daerah sebagai lembaga Independen harus bebas dari intervensi lembaga negara manapun dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung, yaitu harus berdasarkan asas-asas pemilihan umum, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
61 Pesan demikian yang ingin di sampaikan dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan para pemohon mengenai aturan hukum yang mengharuskan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Konsideran putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan;67 “Menimbang bahwa pembuat Undang-Undang telah menetapkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah langsung, yang mana Mahkamah Konstitusi berpendapat hal tersebut menjadi wewenang dari pembuat undang-undang. Walaupun demikian, KPUD harus di jamin independensinya dalam menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, dan apabila independensi KPUD tidak dijamin, maka hal ini akan mengganggu pelaksanaan hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang ditentukan dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, bertentangan dengan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum yang di muat dalam pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945”. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki implikasi ; (1) dalam pemilihan kepala daerah Komisi Pemilihan Umum Daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, (2) DPRD tidak berwenang meminta pertanggung jawaban atas KPUD, (3) KPUD tidak berkewajiban mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran pemilihan kepala daerah ,dan (4) pembatalan calon kepala daerah yang terbukti melakukan palanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tidak lagi
67 Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 072-073/PUU/II/2004 tentang pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945, h. 110.
62 di lakukan oleh DPRD.68 Ketentuan tersebut cukup logis dengan memandang bahwa amat sulit mempunyai tujuan tersebut, apabila KPUD harus mempertanggung jawabkan kepada lembaga lain, seperti DPRD. Sebab DPRD merupakan unsur-unsur partai politik yang menjadi pelaku dalam kompetisi pemilihan kepala daerah.
B. Tugas, Wewenang, dan Kewajiban Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Komisi Pemilihan Umum Daerah merupakan lembaga yang bertanggung jawab terhadap berbagai bidang dan aspek perencanaan, penyelenggaraan, dan pengendalian penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung. Tata cara pelaksanaan masa persiapan dan tahap pelaksanaan diatur oleh KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.69 Secara sederhana, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) kota Depok berperan sebagai penyelenggara Pemilihan Umum (pemilu)70. Dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dalam batasan entitas kewilayahan menurut yurisdiksi kota Depok. Inilah yang kemudian menjadi wilayah pemilihan dalam pemilihan kepala daerah tahun 2005. Tugas dan kewenangan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) inilah yang akan diawasi pelaksanaannya oleh Panitia Pengawas Daerah (panwasda) dalam wilayah kerjanya, begitu pula dengan masyarakat yang amat berkepentingan dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
68
Lihat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005, h. 112-113.
69
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005. 70
Lihat pasal 57 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Bab III Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.
63 Dalam rangka penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, maka tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagaimana di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, meliputi: i.
Merencanakan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;
j.
Menetapkan tata cara pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan tahapan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan;
k. Mengoordinasikan, menyelenggarakan dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; l.
Menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye, serta pemungutan suara kepala daerah dan wakil kepala daerah ;
m. Memeliti persyaratan partai politik atau gabungan partai politik serta persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mengusulkan calon; n. Menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan; o. Menerima pendaftaran dan mengumumkan tim kampanye, dan mengumumkan sumbangan dana kampanye; p. Mengumumkan hasil rekapitulasi perhitungan suara dan mengumumkan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;71 Di samping tugas dan wewenang tersebut di atas, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) juga mempunyai beberapa kewajiban, yaitu: g.
Memperlakukan pasangan calon secara adil dan setara;
Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), Cetakan pertama h.57. 71
64 h.
Menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa; yang berkaitan dengan penyelenggaran pemilihan kepala daerah dan wakil berdasarkan peraturan perundang-undangan;
i.
Menyampaikan laporan kepada DPRD untuk setiap tahapan pelaksanaan pemilihan dan penyampaian informasi kegiatan kepada masyarakat;
j.
Memelihara arsip dan dokumen pemilihan, serta mengelola barang inventaris milik KPUD berdsarkan peraturan perundang-undangan;
k.
Mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD, serta
l.
Melaksanakan semua tahapan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. 72 Pemberian kewenangan mengatur semua tahapan pemilihan kepala daerah kepada
Komisi Pemilihan Umum Daerah. dengan berpedoman kepada Peraturan Pemerintah, dapat menimbulkan 3 (tiga) persoalan hukum;73 pertama, ketentuan seperti ini bertentangan dengan prinsip kemandirian yang melekat tidak hanya kepada Komisi Pemilihan Umum, tetapi juga kepada KPUD sebagai aparatnya di daerah, karena menempatkan KPUD di bawah pengarahan pemerintah. KPU atau KPUD yang mandiri berarti tidak berada di bawah golongan, partai politik, ataupun pemerintah, melainkan melaksanakan pemilihan umum sepenuhnya menurut Undang-undang. Dengan kewenangan Komisi Pemilihan Umum Daerah menetapkan ketentuan teknis, semua tahapan pemilihan kepala daerah berdasarkan peraturan pemerintah, maka
72 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah, Pasal 6. 73
Ramlan Subakti, “Bebarapa pertanyaan tentang sistem pemilihan kepala daerah secara langsung”, (Jakarta: Jurnal Pamong Praja, 2005), ed. 3, h. 55.
65 KPUD menerima pengarahan dan supervisi dari pemerintah atau setidaknya jika ada permasalahan dalam menyelenggarakan pemilihan kepala daerah harus bertanya dan berkonsultasi, menunggu pengarahan dari pemerintah tentang pengaturan tahap pemilihan kepala daerah. Kedua, ketentuan tersebut tidak taat asas dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang sama sekali tidak memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membuat peraturan pelaksanaan pemilihan umum, dengan alasan untuk menghindari perbuatan peraturan pemilihan umum oleh peserta pemilu. 74 Dan ketiga, pemberian kewenangan pengaturan teknis tahap persiapan dan pelaksanaan tahap pemilihan kepala daerah kepada KPUD bertentangan dengan asas eksternalitas dan efisiensi yang diatur dalam pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah itu sendiri. Urusan yang bersifat atau berlaku lintas daerah harus ditangani oleh instansi yang berlingkup luas, dikatakan demikian karena pengaturan teknis setiap tahapan tersebut merupakan penjabaran asas-asas pemilihan umum yang demokratis, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia (Luber) serta jujur dan adil (Jurdil). Penjabaran asas-asas pemilihan umum ini berlaku di seluruh Indonesia, bahkan berlaku universal, sehingga tidak dapat di desentralisasikan kepada KPUD. Di sebut tidak efisien yaitu karena bila pemilihan kepala daerah diselenggarakan di 226 daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota), maka harus di buat 226 Surat keputusan (SK) untuk setiap tahapan pemilihan kepala daerah yang isinya sama. Pengaturan teknis pemilihan
74
Cetro,” Urgensi revisi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah sebelum penyelenggaraan pemilihan kepala daerah”, ( http://www.cetro.or.id), diakses pada 18 Juli 2005.
66 kepala
daerah
seharusnya
diserahkan
kepada
KPU,
tetapi
perencanaan
dan
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di serahkan sepenuhnya kepada KPUD. 75 Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-III/2005, maka KPUD di dalam menyelenggarakan Pilkada, tidak lagi bertanggung jawab kepada DPRD, baik tanggung jawab pelaksanaan tugas-tugas KPUD maupun tanggung jawab penggunaan anggaran Pilkada. Mengenai pelaksanaan tugas-tugas penyelenggaraan tahapan Pilkada, KPUD bertanggung jawab kepada pemerintah daerah masing-masing. Di samping itu DPRD tidak lagi berwenang membatalkan pasangan calon yang dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan “politik uang”. Karena itu, sekarang beralih kepada KPUD. Hal ini semua didasarkan pada pertimbangan demi menjaga independensi KPUD dalam penyelenggaraan Pilkada, dan kemungkinan adanya intervensi dari pihak DPRD.
C. Tahap Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Dalam rangka mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sesuai tuntutan reformasi dan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa Provinsi, Kabupaten dan Kota merupakan daerah otonom, maka kini sudah saatnya untuk mengemban sistem pemilihan kepala daerah secara langsung dan mulai menerapkan. Upaya ini menjadi lebih mendesak karena tuntutan dari berbagai daerah untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi semakin gencar.76
75
Cetro, Kesimpulan Putusan perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 072/PUU-II/2004. Agung Djojosoekarto, Rudi Hauter, “Pemilihan Langsung Kepala Daerah: Transformasi menuju Demokrasi Lokal”, Kerjasama Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia dan Koniad Adenauer Stiftung, h. 6. 76
67 Undang-undang ini menganut sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dengan memilih calon secara berpasangan. Calon di usulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Asas yang digunakan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sama dengan asas pemilu77 sebagaimana di atur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yaitu asas langsung, umum, bebas dan rahasia (luber), serta jujur dan adil (jurdil). Sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, undangundang ini menugaskan KPUD di masing-masing daerah. KPUD yang dimaksud dalam hal ini adalah KPUD sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003. Dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, KPUD bertanggung jawab kepada DPRD yang bersangkutan. Namun, secara organisatoris KPUD tetap bertanggung jawab kepada KPU pusat. Walaupun tidak diatur dalam undang-undang ini, secara organisatoris KPU tetap dapat melakukan tugas-tugas koordinasi dan supervisi terhadap KPUD dan demikian juga KPUD provinsi terhadap KPUD Kabupaten/Kota, dalam pemilihan Bupati/Walikota. Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Depok yang di selenggarakan pada Juni 2005 dengan jumlah pemilih sebanyak 908.890 jiwa, telah melahirkan sejumlah keputusan kontroversial. Tidak konsistennya pemerintah pusat melalui Pengadilan Tinggi (PT) hingga Mahkamah Agung (MA) dalam menentukan Walikota terpilih membuat daerah pemukiman ini menjadi sorotan dari berbagai pihak, tetapi, justru hal inilah yang membuat pilkada Depok memiliki daya tarik tersendiri jika di bandingkan dengan
77
56.
Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, h.
68 pemilihan Kepala Daerah (pilkada) di daerah-daerah lain. Keseriusan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), diwujudkan dengan membentuk desk Pilkada di Departemen Dalam Negeri.78 Dalam kaitan dengan penyelenggaraan pilkada langsung tersebut, sekurangkurangnya ada dua hal besar yang harus dilihat sebagai konteks. Pertama, bahwa lahirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya yang menyangkut Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah telah melahirkan kontroversi yang cukup serius. Banyak yang menilai bahwa berbagai ketentuan tentang penyelenggaraan Pilkada langsung tersebut kurang didukung oleh kerangka berpikir yang tepat. Buntutnya adalah pengajuan judicial review oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Peduli Pemilu dan beberapa KPU Provinsi. Tentu berbagai kontroversi ini akan mempengaruhi kesiapan KPU Daerah (dan juga pihak-pihak lainnya) di dalam persiapan penyelenggaraannya.79 Hal yang pertama adalah konstruksi kewenangan penyelenggaraan. Berbeda dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang memposisikan Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri- sebagai pemegang mandat tunggal penyelenggaraan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah membagi kewenangan penyelenggaraan pilkada kepada tiga institusi, yakni pemerintah, KPUD dan DPRD, dengan porsi masing-masing yang diatur oleh UU. 78
Desk pilkada memiliki peran signifikan dalam upaya mengambil langkah-langkah dan antisipasi mengenai keadaan pemerintah, keamanan, serta memberikan fasilitasi pada setiap tahap penyelenggaraan pilkada agar dalam pelaksanaannya berjalan tertib, aman, dan terkendali). 79
http://www.suaramerdeka.com/harian, “ Antisipasi masalah dalam Pilkada, Perlu perincian kewenangan penyelenggara”, diakses pada Agustus 2009.
69 Proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (PILKADA) di laksanakan dalam 2 (dua) tahap, yakni tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. 80 1. Tahap Persiapan Persiapan pemilihan merupakan proses awal dalam pemilihan kepala daerah sebelum pelaksanaan pemilihan itu sendiri dilaksanakan. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tidak mengatur mengenai masa persiapan proses pemilihan kepala daerah. Namun, hal tersebut diatur secara rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan kepala daerah, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah. Dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005, di sebutkan bahwa masa persiapan pemilihan kepala daerah, meliputi;81 a. Pemberitahuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kepada Kepala Daerah mengenai berakhirnya masa jabatan; b. Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah; c. Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah; d. Pembentukan kepanitiaan pengawas, PPK dan KPPS; e. Pembentukan dan pendaftaran pemantau oleh KPUD.
80
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 65 ayat (1). 81
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pemilihan, Pemberhentian Kepala Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Pasal 2.
Pengangkatan
dan
70 2. Tahap Pelaksanaan Dalam tahap pelaksanaan ini meliputi 5 (lima) kegiatan, yang masing-masing merupakan satu rangkaian yang saling terkait, meliputi;82 a. Penetapan Daftar Pemilih Warga negara yang berhak memilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah berumur tujuh belas tahun atau sudah pernah menikah. Dalam undang-undang ini tidak dijelaskan, warga negara Indonesia yang mana yang berhak yang menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. kemungkinan pertama adalah warga negara Indonesia yang terdaftar sebagai penduduk (memiliki kartu tanda penduduk) di daerah yang bersangkutan. Secara prosedural, untuk dapat terdaftar sebagai pemilih, seseorang setidaktidaknya harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:83 1. Orang yang bersangkutan merupakan Warga Negara Indonesia (WNI); 2. Menjadi penduduk kota Depok yang pada hari dan tanggal pemungutan suara pemilihan telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah menikah; 3. 4.
Secara nyata tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya; Tidak di cabut hak pilihnya berdsarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
82
83
Ibid., Pasal 65 ayat (3).
Lihat pasal 68-69 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo pasal 15-16 Peraturan Pemerintah Nomor Tahun 2005 jo Pasal 2 dan 3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok Nomor 2 Tahun 2005 tentang tata cara pelaksanaan pendaftaran pemilih dalam rangka Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah kota Depok Tahun 2005.
71 5.
Berdomisili di daerah pemilihan, yakni wilayah kota Depok, sekurangkurangnya enam bulan sebelum di tetapkannya daftar pemilih sementara (DPS) yang di buktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau bukti identitas kependudukan lainnya yang sah.
Untuk dapat menggunakan hak pilih, seorang Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat didaftar sebagai pemilih adalah keadaan fisiknya harus dalam keadaan sadar atau tidak sedang terganggu jiwa, tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh hukum tetap. Seorang warga negara Indonesia yang telah terdaftar dalam daftar pemilih, kemudian kemudian ternyata tidak lagi memenuhi kedua syarat tersebut, maka tidak dapat menggunakan hak pilihnya. b. Pendaftaran dan Penetapan Calon Kepala Daerah Dalam proses pendaftaran pemilih untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, daftar pemilih pada saat pelaksanaan pemilihan terakhir di daerah, digunakan sebagai daftar pemilih untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Seorang pemilih hanya di daftar satu kali dalam daftar pemilih. Pemilih yang mempunyai satu tempat tinggal harus menentukan salah satu di antaranya untuk di tetapkan sebagai tempat tinggal yang di cantumkan dalam daftar pemilih. Sebagai tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih, pemilih diberikan tanda bukti pendaftaran, kemudian di tukarkan dengan kartu pemilih.84 Adapun mengenai penetapan pasangan calon kepala daerah, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, yang tidak memiliki kursi di DPRD dapat Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), Cetakan pertama, h. 66. 84
72 mengusulkan pasangan calon kepala daerah dalam Pilkada. Partai politik atau gabungan partai politik yang dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, yaitu harus memenuhi syarat; memiliki sekurang-kurangnya telah memperoleh lima belas persen kursi di DPRD, atau memiliki lima belas persen akumulasi perolehan suara sah dalam daerah pemilihan yang bersangkutan. Idealnya proses pencalonan dilakukan melalui sistem dua pintu. Pintu pertama melalui partai politik, sedangkan pintu kedua melalui usulan dari masyarakat. Pasangan calon yang diusulkan oleh masyarakat ini, umpamanya disyaratkan harus mendapat dukungan minimal satu persen dari jumlah pemilih terdaftar. Adapun syarat-syarat untuk dapat diusulkan sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat:85 10. Bertakwa kepada tuhan Yang Maha Esa dan setia kepada Pancasila; 11. Berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau sederajat; 12. Berusia sekurang-kurangnya tiga puluh tahun; 13. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan pemeriksaan dari tim dokter; 14. Tidak pernah di jatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan; 15. Memiliki hak pilihnya dan mengenal daerahnya serta telah di kenal oleh masyarakat; 16. Menyerahkan daftar riwayat hidup secara lengkap; 17. Belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama dua kali masa jabatan yang sama; 85
70.
Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, h.
73 18. Tidak dalam status sebagai pejabat kepala daerah. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dalam melakukan penelitian terhadap persyaratan administrasi para calon, maka perlu melakukan klarifikasi kepada instansi pemerintah yang berwenang dan menerima masukan dari masyarakat.86 Hasil penelitian tersebut dalam jangka waktu paling lama tujuh hari, terhitung sejak tanggal penutupan pendaftaran, diberitahukan secara tertulis kepada pimpinan partai politik yang mengusulkan calon bersangkutan. Apabila pasangan calon, berdasarkan berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan KPUD ternyata belum memenuhi syarat, maka partai politik diberi kesempatan buat melengkapi atau memperbaiki surat percalonan, beserta persyaratan pasangan calon, maka paling lambat tujuh hari sejak saat pemberitahuan hasil penelitian tersebut paling lambat tujuh hari kepada pimpinan partai politik yang mengusulkan. Pasangan calon yang sudah ditetapkan oleh KPUD di umumkan secara luas paling lambat tujuh hari sejak selesainya penelitian. Kemudian dilakukan undian secara terbuka, dalam arti wajib dihadiri oleh pasangan calon, wakil partai politik, pers dan wakil masyarakat, terhadap pasangan calon yang sudah ditetapkan atau di umumkan untuk menentukan nomor urut pasangan calon. Berdasarkan ketentuan pasal 61 ayat (4) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, penetapan dan pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat final dan mengikat. Dalam hal ini berarti tidak ada lagi upaya, baik secara politis maupun secara hukum yang dapat dilakukan untuk membatalkan penetapan pasangan calon tersebut. c. Kampanye
86
ibid, h. 74.
74 Kampanye adalah merupakan suatu kegiatan yang di laksanakan dalam rangka penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kampanye di lakukan selama empat belas hari dan harus telah berakhir pada saat memasuki masa tenang, yaitu tiga hari menjelang pemungutan suara di laksanakan. Kampanye di selenggarakan oleh tim kampanye yang dibentuk oleh pasangan calon bersama-sama partai politik yang mengusulkan pasangan calon. Tim kampanye harus di daftarkan kepada KPUD, bersamaan dengan pendaftaran pasangan calon. Kampanye di lakukan secara bersama-sama atau secra terpisah oleh pasangan calon atau tim kampanye. Penanggung jawab kampanye adalah pasangan calon, dan dalam pelaksanaannya pertanggung jawaban dilakukan oleh tim kampanye. Bentuk kampanye sering dikategorikan antara monologis dan dialogis. Kampanye monologis di identifikasikan sebagai paradigma lama dan dialogis sebagai paradigma baru suatu kampanye. Bentuk-bentuk kampanye monologis dalam pemilihan kepala daerah cukup dominan.87 Adapun bentuk kampanye dialogis adalah berupa tatap muka dan dialog serta debat publik atau debat terbuka antar calon. 88 Kampanye dalam komunikasi politik adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk memberikan informasi dalam bentuk citra tentang seseorang atau kebijakan (publik)
87
Bentuk-bentuk kampanye monologis adalah pertemuan yang sifatnya terbatas, penyebaran melalui media cetak dan media elektronik, penyiaran melalui radio dan televisi, penyebaran bahan kampanye kepada umum dan rapat umum. 88
Lihat Pasal 76 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Kampanye dialogis ini adalah seperti kampanye yang sekarang diterapkan dalam pemilihan Presiden 200920014.
75 tertentu yang disampaikan dengan tujuan untuk mempengaruhi calon pemilih untuk mendukung kandidat atau kebijakan tertentu tersebut.89 Dalam kegiatan kampanye pasangan calon wajib menyampaikan visi, misi, dan program secara lisan maupun tertulis kepada masyarakat. Penyampaian materi kampanye di lakukan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif. Untuk penyusunan bahan kampanye, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah berhak mendapatkan informasi atau data dari Pemerintah Daerah, sesuai ketentuan perundang-undangan. Selama masa kampanye,90 Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) membentuk tim monitoring kegiatan-kegiatan kampanye, yang terdiri atas dua orang pegawai sekretariat Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) untuk masing-masing pasangan calon yang diterjunkan ke lapangan dan memantau langsung jalannya kegiatan kampanye oleh kontestan pilkada. Namun, praktek yang terjadi di lapangan, para petugas monitoring tersebut cenderung hanya memenuhi kewajiban minimal mereka dengan mengisi form kosong yang di isi sekadarnya dan pengamatan yang di lakukan tidak secara penuh dan menyeluruh. Dengan di isinya form kosong tersebut, petugas monitoring kembali ke kantor atau ke tempat lain. Hal ini berakibat pada pengisian form laporan monitoring kegiatan kampanye menggunakan laporan berulang (jiplakan).91 d. Pemungutan dan Perhitungan Suara
89
Effendi Gazali, “ Strategis Kampanye PILKADA”, ( Jakarta: Jurnal Pamong Praja, 2005), ed. 3.,
h. 79-79. 90
Kampanye pemilihan walikota dan wakil walikota Depok adalah kegiatan dalam rangka meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program yang di lakukan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif atau mendidik. Lihat lampiran peraturan KPUD kota Depok No.8 Tahun 2005 tentang petunjuk teknis pelaksanaan kampanye dalam rangka pemilihan walikota dan wakil walikota Depok Tahun 2005. 91
Depok.
Lihat, Bundel laporan kegiatan kampanye hasil monitoring pegawai sekretariat KPUD Kota
76 Tahapan yang paling menetukan dalam proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, adalah tahapan pemungutan suara. Pemungutan suara dilakukan paling lambat satu bulan sebelum masa jabatan kepala daerah berakhir. Pemungutan suara di laksanakan pada hari libur atau hari yang di liburkan, pemungutan suara di lakukan dengan cara memberikan melalui surat suara, yeng berisi nomor urut, foto, dan nama pasangan calon. Jumlah surat suara dicetak sama dengan jumlah pemilih di tambah 2.5% dari jumlah pemilih.92 Kejelasan status pemilih tergantung kondisi terdaftarnya ia dalam daftar pemilih yang dalam kegiatan pemungutan suara menggunakan kartu pemilih selaku instrumen penunjuk identitas. Dapat dipahami bahwa kata putus mengenai sah atau tidaknya seorang warga yang memiliki hak pilih dalam kegiatan pemungutan suara , tergantung muatan dalam daftar pemilihan umum, bukan di sertakan atau tidaknya kartu pemilih yang berperan sebagai instrumen, terlebih Pasal 34 ayat (2) tidak menyebutkan sanksi atau implikasi lain atas kelalaian dalam pelaksanaannya. Pada hari dan tanggal pemungutan suara, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) melakukan pembagian tugas yang di laksnakan para anggota KPUD dan pegawai sekretarian KPUD secara internal dan eksternal. Pembagian tugas internal dengan komposisi personalia tertentu meliputi penyiapan ruang media center beserta halaman kantor sekreteriat KPUD, dan publikasi hasil perhitungan sementara dengan menggunakan teknologi informasi yang ada. Publikasi di dalam ruang media center menggunakan proyektor LCD yang tampilan gambarnya di arahkan ke salah satu dinding
Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), Cetakan pertama, h. 84. 92
77 ruang (dinding dalam hal ini berfungsi sebagai pengganti layar) yang di peruntukan bagi para tamu Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Sementara bagi masyarakat umum, yang hendak mengikuti jalannya perkembangan perhitungan suara disegenap tempat perhitungan suara secara real time dapat menyaksikannya melalui layar televisi di halaman kantor sekretariat Komisi Pemilihan Umum Daerah yang telah di sambungkan ke komputer pengolahan hasil perhitungan suara. Proses pemungutan suara pada pemilihgan kepala daerah kota Depok cukup menarik perhatian dari berbagai kalangan. Beberapa pejabat yang terlihat adalah sekretaris jenderal Departemen Dalam Negeri progo Nurjaman yang di dampingi oleh Gubernur Jawa Barat Dani Setiawan, serta anggota komisi II DPR RI Ferry Mursidan Baldan, di tempat lain, ada pula rombongan peninjau lain yang terdiri dari anggota KPU Pusat Chusnul Mariyah, serta para anggota KPUD Banjar, Jepara, Sukabumi, Indramayu, Bandung, dan kabupaten Subang.93 Apabila ada pemilih tuna netra, tuna daksa, atau yang mempunyai halangan fisik lain pada saat pemberian suara, maka dapat di bantu petugas Kelompok Pelaksanaan Pemungutan Suara (KPPS) atau orang lain atas permintaan pemilih yang bersangkutan. Petugas KPPS atau orang lain yang membantu pemilih wajib merahasiakan pilihan pemilih yang di bantunya. Mengenai ketentuan pemberian bantuan kepada pemilih, sebagaimana di maksud di atas, lebih lanjut akan di atur dalam Peraturan Pemerintah.
93
Dalam kunjungan ini hanya di sambut oleh ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok Dzulfadhli beserta staf dan sebagian pegawai sekretariatan KPUD, karena anggota KPUD yang lain beserta sebagian pegawai sekretariat KPUD masih bertugas memonitoring terhadap pelaksanaan pemungutan suara di sejumlah titik wilayah pemilihan.
78 Perhitungan suara harus di lakukan dan di selesaikan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang bersangkutan dan dapat dihadiri oleh sanksi pasangan calon, panitia pengawas, pemantau dan warga masyarakat. Sanksi pasangan calon karus membawa surat mandat dari tim kampanye yang bersangkutan dan menyerahkan kepada ketua KPPS. Penghitungan suara pasca pemilihan kepala daerah di Kota Depok berangsur kisruh, Pendukung salah satu calon wali kota mendesak Komisi Pemilihan Umum Depok dan Panitia Pemungutan Suara menghentikan proses penghitungan suara tersebut. Meski KPU Depok harus melanjutkan proses penghitungan, para anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) menghentikan penghitungan karena diintimidasi sekelompok massa. 94 Guna mencegah terjadinya kecurangan dalam bentuk manipulasi angka perhitungan suara, perhitungan suara harus dilakukan dengan cara yang memungkinkan saksi pasangan calon, panitia pengawas, pemantau dan warga masyarakat yang hadir dapat menyaksikan dengan jelas proses perhitungan suara. Pasangan calon dan warga masyarakat melalui pasangan calon yang hadir, dapat mengajukan keberetan terhadap jalannya perhitungan suara oleh KPPS apabila terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika keberatan yang dilakukan oleh saksi pasangan calon atau warga masyarakat dapat di terima, maka KPPS seketika itu juga melakukan pembetulan. Setelah selesai perhitungan suara, KPPS segera membuat berita acara dan sertifikat hasil perhitungan suara yang ditanda tangani oleh ketua KPPS, dan dapat pula ikut ditanda tangani oleh para saksi pasangan calon. Kemudian satu eksamplar salinan berita
94
http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/politik/artikel_cetak, “Perhitungan suara pilkada Depok kisruh” sumber: kompas, diakses pada 29 Juni 2009.
79 acara dan sertifikat hasil perhitungan suara, di berikan kepada masing-masing saksi pasangan calon dan satu eksemplar lagi di tempel ditempat umum yang bisa dilihat oleh warga masyarakat. e. Penetapan Pasangan Calon, Pengesahan, dan Pelantikan Berdasarkan berita acara dan sertifikat hasil perhitungan suara, KPU provinsi atau KPU kabupaten kota, melalui rapat pleno menetapkan calon terpilih dengan ketentuan sebagai berikut; a. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih; b. Apabila tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara sah, pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 25% dari jumlah suara sah pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar, di antara yang memperoleh suara 25%, dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih; c. Apabila terdapat lebih dari satu pasangan calon yang perolehan suaranya sama dan di atas 25% dari suara sah, penentuan pasangan calon terpilih di lakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas. Jika pasangan calon terpilih yang berhalangan tetap, partai politik yang pasangan calonnya memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua di bawah pasangan calon terpilih, mengusulkan pasangan calon kepada DPRD untuk di pilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari. Demikian juga halnya dalam pemilihan kepala daerah sebagai pengganti wakil kepala daerah yang berhalangan tetap harus di lakukan selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari.
80 Setelah pasangan calon terpilih di tetapkan oleh KPUD yang bersangkutan, di teruskan ke DPRD untuk selanjutnya di usulkan kepada presiden melalui menteri dalam negeri bagi pasangan calon guberbur dan wakil gubernur dan kepada menteri dalam negeri melalui gubernur bagi pasangan calon bupati atau wali kota dan wakil wali kota, untuk mendapatkan pengesahan dan pengangkatan. Sebelum memangku jabatan, kepala daerah dan wakil kepala daerah di lantik dengan mengucapkan sumpah atau janji yang di pandu oleh pejabat yang melantik dengan sumpah atau janji sebagai berikut; “Demi allah (Tuhan) saya bersumpah atau berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan nseadil-adilnya, memegang teguh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan seluruslurusnya, serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.” Dalam pelaksanaan perhitungan suara dan rekapitulasi finalnya hasil penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok, telah ada interupsi yang berasal dari tim pasangan calon Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad yang dinyatakan kalah dan di tetepkan sebagai pemenang urutan kedua oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) tersebut mempersoalkan tiga hal berkenaan dengan perhitungan suara dan rekapitulasi yang telah dan tengah berlangsung. 95 Pertama, rekapitulasi final terhadap perolehan suara yang tengah di laksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok menjurus pada statusnya yang ilegal mengingat rekapitulasi yang telah di lakukan oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia pemilihan Kecamatan (PPK) se kota Depok dengan sujumlah kecacatan di dalamnya. Kecacatan tersebut berkenaan dengan proses pemungutan suara.
95
Keterangan ini di peroleh dari kesaksian H.M.T. Hutoyo Gunardi sebagai saksi dari KPUD Kota Depok dan saksi-saksi dari kubu Badrul kamal-Syihabuddin Ahmad; Lihat. Salinan Putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat. Nomor 01/PILKADA/2005/PT.Bdg., h. 25.
81 Kedua, adanya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh tim kampanye pasangan calon Nurmahmudi Ismail dan Yuyun Wirasaputra beserta pendukungnya merupakan catatan tersendiri sehingga menjadikan pasangan calon ini diragukan legitimasinya dan tidak layak ditetapkan sebagai pemenang dalam rekapitulasi dengan perolehan suara dengan asumsi bahwa perolehan suaranya diwarnai kecurangan dan tidak sah. Ketiga, menganggap bahwa tidak selayaknya Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok membuat berita acara dan rapat pleno dalam pembuatan surat keputusan (SK) yang berisi rekapitulasi akhir dan penetapan pasangan calon Walikota dan wakil Walikota terpilih tanpa melibatkan terlebih dulu pada pihak-pihak terkait, seperti Panitia Pengawas pilkada (panwasda) kota Depok, DPRD kota Depok, dan KPUD Profinsi Jawa Barat. Gubernur dan wakil gubernur dilantik oleh menteri dalam negeri atas nama presiden, sedangkan bupati atau wali kota dan wakil wali kota dilantik oleh gubernur atas nama menteri dalam negeri. Pelantikan di maksud di laksanakan dalam rapat paripurna DPRD.96 Tabel 1 Peroleha Suara Sah Para pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Depok97 No. Urut 1. 2. 3.
Nama Calon Walikota dan Wakil Walikota Depok H. Abdul Wahab Abidin dan M. Ilham Wijaya Drs. H. Harun Heryana dan Drs. H. Farkhan A.R Drs. H. Badrul Kamal, M.M. dan
Jumlah Suara Final
Prosentase
32.461
6,13%
23.859
4,50%
206.781
39,03%
96 Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), Cetakan pertama, h. 98. 97 Rincian Perolehan sah di setiap kecamatan dapat di lihat dalam lampiran tabel 1.1.
82 K.H. Syihabuddin Ahmad Drs. Yus Ruswandi dan 43.096 H. M. Soetandi Dipowongso, S.H Dr. Ir. H. Nurmahmudi Ismail dan 232.610 Drs. H. Yuyun Wirasaputra Sumber: SK KPUD Nomor18 Tahun 200598
4. 5.
6,44% 43,90%
Melihat hasil tersebut, sedikitnya terdapat 40 % (empat puluh persen) pemilih terdaftar yang tidak ikut memilih. Menurut Andrinof Chaniago pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), dengan persentase sebanyak itu, proses pilkada cenderung hanya sebagai tontonan publik saja. Warga Depok belum mampu memaknai pilkada sebagai proses pembuatan kebijakan publik yang akan berpengaruh langsung kepada mereka sendiri.99 Semua alur penyampaian hasil penetapan Walikota dan Wakil Walikota terpilih untuk kemudian dilaksanakan pelantikan terhadapnya, mengharuskan Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok menempuh jalur melalui DPRD Kota Depok kepada menteri dalam negeri melalui Gubernur Jawa Barat.100 Diikut sertakannya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Depok dalam jalur penyampaian hasil pilkada ini membuka peluang terhadap keputusan penetapan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok yang masih berlangsung di DPRD. Namun, terbitnya Surat Edaran Mentri Dalam Negeri (SE Mendagri) yang menjelaskan mekanisme tersebut sedikit menepis kemungkinan tersebut.
98
Iberamsjah MS, SK KPUD No.18 tahun 2005, Pilkada Kota Depok Tahun 2005, (Depok: Sekretariat Walikota Depok, 2006), h. 78. 99
Lihat http://www.kompas.com “Pilkada Depok dan sikap apatis”, diakses pada 8 November,
2006. 100
Pasal 99 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005. Lih. Pula ketentuan sebelumnya yang terkait dalam pasal 87 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.
83 Akhirnya pada hari tanggal 16 Juli 2005 melalui Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Daerah (SK KPUD) Nomor 18 Tahun 2005, ditetapkan bahwa Dr. Ir. H. Nurmahmudi Ismail dan Drs. H. Yuyun Wirasaputra resmi menjadi Walikota dan Wakil Walikota Depok yang baru. Setelah melalui perjalanan panjang, bahkan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) sampai perlu untuk turun tangan dalam menyelesaikan kasus ini, dan pada akhirnya Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Depok yang resmi memenangkan Dr. Ir. H. Nurmahmudi Ismail dan Drs. H. Yuyun Wirasaputra resmi di lantik menjadi Walikota dan Wakil Walikota Depok tepat tanggal 26 Januari 2006 dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyar Daerah (DPRD) Kota Depok.
84 BAB IV ANALISA PUTUSAN PERKARA NOMOR 002/SKLN-IV/2006 MENGENAI PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH KOTA DEPOK
A. Duduk Perkara Sengketa PILKADA Depok 1. Kasus Posisi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok pada tanggal 16 Juli 2005 telah menetapkan hasil pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok dalam keputusan KPU Kota Depok Nomor 18 Tahun 2005 tentang penetapan pasangan calon terpilih Walikota dan Wakil Walikota Depok dalam Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Kota Depok tahun 2005, yang menyatakan pasangan calon Dr. Ir. H. Nurmahmudi Ismail, M.Sc dengan Drs. H. Yuyun Wirasaputra dengan Nomor urut calon 5 sebagai calon terpilih. Keputusan tersebut didasarkan pada hasil perolehan suara setiap pasangan calon sebagaimana dinyatakan dalam keputusan KPUD Kota Depok Nomor 18 Tahun 2005 tentang penetapan dan pengumuman rekapitulasi hasil perhitungan suara pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok 2005. Hasil perolehan suara yang telah di tetapkan tersebut yaitu: No. Urut 1. 2. 3. 4.
Nama Calon Walikota dan Wakil Walikota Depok H. Abdul Wahab Abidin dan M. Ilham Wijaya Drs. H. Harun Heryana dan Drs. H. Farkhan A.R Drs. H. Badrul Kamal, M.M. dan K.H. Syihabuddin Ahmad Drs. Yus Ruswandi dan H. M. Soetandi Dipowongso, S.H
Jumlah Suara Final
Prosentase
32.461
6,13%
23.859
4,50%
206.781
39,03%
43.096
6,44%
85 5.
Dr. Ir. H. Nurmahmudi Ismail dan Drs. H. Yuyun Wirasaputra
232.610
43,90%
Dari hasil perolehan suara tersebut bahwa pasangan calon Nomor 3, Drs. H. Badrul Kamal, MM dengan KH. Syihabuddin Ahmad, BA, tidak dapat menerima hasil yang telah ditetapkan oleh KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) Kota Depok, dan mengajukan permohonan keberatan kepada Pengadilan Tinggi Bandung melalui Pengadilan Negeri Cibinong. Permohonan di terima dan di registrasi oleh Pengadilan Tinggi Bandung pada tanggal 12 Juli 2005 dengan Nomor Perkara 01/PILKADA/2005 PT. Bdg. Pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota peserta Pemilihan Kepala Daerah Kota Depok Tahun 2005 yang telah divonis menang oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung dalam putusan Nomor 01/PILKADA/2005/PT. Bgd. Berdasarkan undangundang Nomor 32 Tahun 2004, khususnya pasal 106 yang menyatakan vonis Pengadilan Tinggi final dan mengikat. Dan di dalam penjelasan ayat (7) dinyatakan final dan mengikat, berarti tidak ada lagi upaya hukum perlawanan terhadap vonis itu.101 Oleh karena pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Depok pasangan Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad merasa bahwa putusan Pengadilan Tinggi Bandung tersebut bersifat final, dan merasa bahwa dialah yang memenangkan dalam pemilihan kepala daerah tersebut. Maka, Komisi Pemilihan Umum Daerah merasa keberatan dan telah mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung dengan putusan Nomor 01 PK/Pilkada/2005.
101
Mahkamah Konstitusi, Putusan perkara Nomor 001/PUU-IV/2006, “ Pengujian Undangundang terhadap Undang-Undang Dasar 1945” (Jakarta: Mahakamah Konstitusi, 2006), h. 3.
86 Pasangan calon Nomor 3 (tiga) atas nama Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad merasa keberatan dengan putusan Mahakamah Agung Nomor 01 PK/Pilkada/2005 tersebut, oleh karena putusan Nomor 01 PK/Pilkada/2005 bertentangan dengan Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Petaruran Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 jo. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004102 tersebut telah di atur secara tegas dalam ayat (6) yang menyatakan; “Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana di maksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah kabupaten dan kota”. Selanjutnya dalam ayat (7) menyatakan “Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana di maksud pada ayat (6) bersifat final”. Penjelasan ayat (7) menyatakan; “Putusan Pengadilan Tinggi yang bersifat final103 dalam ketentuan ini adalah Putusan Pengadilan tinggi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan tidak bisa lagi di tempuh upaya hukum”. Hal ini dipertegas lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 pada Pasal 94 ayat (7) yang berbunyi “Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final dan mengikat. Bahwa
dengan
dikeluarkannya
putusan
Mahkamah
Agung
Nomor
01
PK/Pilkada/2005 yang membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg., maka pasangan calon nomor urut 3 merasa sangat dirugikan sebagai pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota yang seharusnya sudah dilantik jadi Walikota dan Wakil Walikota Depok setelah di menangkan oleh Pengadilan
102
Indonesia, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 106 Ayat 6 dan 7.
103
Bersifat final yaitu tidak bisa lagi ditempuh upaya hukum.
87 Tinggi Jawa Barat. Karena dengan di keluarkannya putusan Mahkamah Agung Nomor 01 PK/Pilkada/2005 yang membatalkan putusan Pengadilan Tinggi yang sudah bersifat final dan mengikat tersebut, maka beralasan tidak dapat diterima (quod non) jika pasangan Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad tidak jadi dilantik.104 Berikut adalah duduk perkara dari perselisihan hasil sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kota Depok Tahun 2005; a. Gugatan Pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad Terhadap KPUD Depok ke Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat Pengadilan Tinggi105 Jawa Barat di Bandung sebagai lembaga yang memeriksa dan mengadili perkara106 permohonan keberatan dalam tingkat pertama dan terakhir. Permohonan keberatan yang diajukan ke Pengadilan Tinggi Bandung adalah didasari pada hasil prolehan suara sebagaimana dinyatakan dalam keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Depok Nomor 17 Tahun 2005 tentang penetapan dan pengumuman rekapitulasi hasil perhitungan suara pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok. Pasangan calon Walikota atau Wakil Walikota Depok peserta Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Depok Tahun 2005 yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok yaitu pasangan Nomor urut 3 (tiga)107, tentang penetapan
104 Mahkamah Konstitusi, Putusan perkara Nomor 001/PUU-IV/2006, “ Pengujian Undangundang terhadap Undang-Undang Dasar 1945” (Jakarta: Mahakamah Konstitusi, 2006), h. 4
Pengadilan Tinggi merupakan sebuah lembaga peradilan dilingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota Provinsi sebagai Pengadilan Tingkat Banding terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri. 105
106
Kepaniteraan Pengadilan Tinggi Bandung Jawa Barat terdaftar di bawah register Nomor: 01/Pilkada/2005/PT.Bdg. melalui Pengadilan Negeri Cibinong. 107
Pemohon yaitu pasangan Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad merasa keberatan terhadap penetapan Komisi Pemilihan Umum Kota Depok Nomor 18 Tahun 2005, tanggal 16 Juli 2005. tentang penetapan calon terpilih Walikota dan Wakil Walikota Depok Tahun 2005.
88 pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota 2005. Hasil perolehan suara yang telah ditetapkan tersebut telah memenangkan pasangan calon Nurmahmudi Ismail. 108 Pasangan nomor urut 3 berpendapat bahwa hasil perhitungan suara tersebut terdapat kesalahan, sehingga merugikan pemohon yang mengakibatkan tidak masuk sebagai pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih. Oleh karenanya, pasangan Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad melalui kuasa hukumnya menggugat keberatan tersebut ke Pengadilan Tinggi Bandung agar memeriksa dan memutus. Pemohon berpendapat bahwa hasil perhitungan suara yang benar untuk perolehan suara pemohon adalah sebanyak 269.531 suara, dan perolehan suara untuk calon nomor 5 (lima) atas nama Nurmahmudi Ismail dan Yuyun Wirasaputra adalah sebanyak 195.353 suara, sehingga pemohonan menempati urutan pertama dalam perolehan suara pada pemilihan kepala daerah Kota Depok. Pemohon mendapatka pernyataan dari masyarakat yang menyatakan bahwa terdapat penggelembungan jumlah pemilih sebanyak 9.471 untuk calon nomor 5 (lima). Dengan kejadian tersebut di atas maka pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sebagai akbat dari kecurangan seperti tersebut diatas, maka di tetapkan hasil perhitungan suara yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya sebagaimana tertera dalam penetapan keputusan Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok. Permohonan yang di ajukan ke Pengadilan Tinggi Bandung bukanlah semata-mata tertuju untuk kemenangan salah satu calon atau hanya dengan hasil akhir terpilihnya 108
Lihat Tabel 1 pada bab II tentang Perolehan Suara Sah Para pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Depok, h. 49.
89 seorang Walikota dan Wakil Walikota. akan tetapi, jauh lebih dalam maknanya dari pada itu, yaitu membangun tatanan demokrasi yang akan mempengaruhi pembentukan karakter bangsa (Nation Character Building) dan membangun tatanan pemerintahan yang baik dan bersih (Good ang clean Governance). Maka berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, pemohon mohon kepada Pengadilan tinggi Bandung untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut; 1. 2.
Mengabulkan permohonan pemohon; Menyatakan batal atas jeputusan Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok Nomor 18 tahun 2005 tentang penetapan hasil perhitungan suara untuk pasangan Walikota dan Wakil Walikota Depok;
3.
Menetapkan hasil perhitungan suara yang benar untuk calon nomor urut 3 atas nama Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad dengan jumlah perolehan suara 269. 531 suara, atau jika Pengadilan Tinggi berpebdapat lain, mohon di nyatakan pasangan calon dengan nomor urut 5 di nyatakan tidak memenuhi syarat atau diskualifikasi. Adapun tentang hukumnya yang diajukan pemohon (Badrul Kamal dan
Syihabuddin Ahmad), adalah bahwa Majelis Pengadilan Tinggi berpendapat, karena yang diperiksa sesuai dengan wewenang Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi109, maka hanya memeriksa berkenaan dengan hasil akhir perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon, bukan tentang pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaan Pilkada, maka tidak merupakan keharusan untuk menarik pihak panwasda sebagai pihak, oleh karena itu maka eksepsi ini pun harus dinyatakan di tolak.
109
Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005.
90 Bahwa Majelis Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang dibentuk berdasarkan penetapan ketua Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang mulai menyidangkan perkara Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg., yang berdasarkan pasal 3 ayat (1) dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005, hanya berwenang memeriksa perselisihan atas perbedaan hasil akhir perhitungan suara yang di umumkan oleh KPUD dengan hasil perhitungan yang dilakukan oleh pemohon, dimana perbedaan perhitungan tersebut harus dibuktikan oleh pemohon baik panggembosan, maupun penggelembungan (mark up) jumlah pemilih. Oleh karena pemohon merasa terdapat kecurangan ataupun kesalahan dalam hal penetapan jumlah pemilih, maka Badrul Kamal telah mengemukakan bukti-bukti di dalam persidangan. Pertama, masalah adanya daftar pemilih yang tidak memenuhi syarat dalam pemilihan, seperti warga yang hanya mengontrak atau kos dipaksa untuk memilih pasangan calon nomor urut 5. Kedua, terdapat laporan pada Polres Depok yaitu adanya pemalsuan dokumen kartu pemilih dan telah terjadi politik uang (money politic). Ketiga, diakui oleh beberapa warga pendukung pasangan nomor urut 3, bahwa telah dihalanghalangi untuk menggunakan hak pilihnya.110 Dengan kejadian tersebut di atas, hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat beralasan bahwa dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak di laksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Demi tegaknya dan berlangsungnya pilkada yang demokratis, maka calon yang tidak mematuhi aturan main dan melanggar aturan, tidak layak menjadi pemimpin sebagai panutan masyarakat. Karena di dalam proses pemilihan terdapat kesalahan aparatur pelaksana
110
Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 01/PILKADA/2005/PT.B.dg, h. 9.
91 pemilihan walikota dan wakil walikota, oleh karenanya harus dinyatakan gugur demi hukum atau diskualifikasi. Menimbang bahwa benar terdapat penggembosan suara untuk pasangan nomor urut 3 sudah terbukti sejumlah 62.770 suara, dan jumlah penggelembungan untuk pasangan nomor urut 5 adalah 27.782 suara. Maka majelis berpendapat bahwa perolehan suara yang benar untuk pasangan nomor urut 3 adalah 269.551 suara sedangkan untuk nomor urut 5 adalah 204.828 suara, oleh karena permohonan pemohon cukup terbukti
111
dan
permohonan dapat dikabulkan. Pengadilan Tinggi Bandung pada putusannya MENGADILI bahwa menolak eksepsi termohon112, mengabulakan permohonan dari pemohon113, menyatakan batal akan hasil perhitungan suara akhir yang di umumkan oleh KPUD Depok tanggal 6 Juli 2005, menyatakan jumlah perhitungan suara yang benar adalah; untuk pasangan calon nomor 3 perolehan suara menjadi 269.551 suara, dan untuk calon pasangan nomor 5 perolehan suara menjadi 204.828 suara. b. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) KPUD Depok atas Putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat kepada Mahkamah Agung 1.Dasar hukum Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) a. Dasar Filosofis Bahwa pemohon Peninjauan Kembali sangat keberatan dan tidak dapat menereima putusan a quo, karena di dalamnya terdapat kekeliruan yang nyata yang melanggar asas111
Berdasarkan alasan tersebut, oleh karenanya hakim majelis Pengadilan Tinggi Bandung Jawa Barat telah terjadi kekeliruan dalam putusannya. 112
Termohon adalah Komisi Pemilihan Umum Kota Depok dalam eksepsi tertulis yang di ajukan kepada hakim Pengadilan Tinggi melalui kuasa hukumnya, pada tanggal 21 Juli 2005. 113
Pemohon adalah pasangan Drs. H. Badrul Kamal, MM dan KH. Syihabuddin Ahmad, BA. Dalam putusan Nomor 01?Pilkada/2005/Pt.Bdg
92 asas terpenting dalam penyelenggaraan Pilkada dan pemilu pada umumnya. Jika putusan seperti itu dibenarkan dan menjadi preseden, maka bukan hanya Pilkada di Kota Depok yang akan dicederai, melainkan juga akan mengancam kepastian bagi setiap penyelenggara Pilkada di seluruh Indonesia. Adalah berlebihan bilamana terdapat Putusan Pengadilan Tinggi Bandung tersebut di tafsirkan sebagai upaya hukum terakhir yang menutup koreksi, karena bertentangan dengan doktrin yang berlaku umum, yaitu tujuan hukum adalah keadilan. b. Legalitas Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) atau Dasar Yuridis Sebagaimana diketahui ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan; “ Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”114 Ketentuan tersebut di atas dengan jelas menegaskan bahwa penyelenggaraan peradilan berfungsi untuk menegakan hukum dan keadilan. Penyelenggaraan peradilan yang justru menimbulkan keadaan yang sebaliknya, yaitu diabaikannya hukum dan dilecehkannya rasa keadilan merupakan hal yang sangat tidak di harapkan, namun hal itu praktis mungkin saja terjadi. Oleh karena itu, hukum dan perundang-undangan menyediakan lembaga korektif115 untuk meluruskan kembali putusan-putusan badan peradilan yang bertentangan dengan hukum dan keadilan. Penggunaan upaya korektif (upaya hukum peninjauan kembali) ini tidak terbatas terhadap putusan-putusan yang belum mempunyai hukum tetap, melainkan dalam hal-hal yang sangat terbatas. Dapat pula diajukan terhadap putusan-putusan yang telah 114
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia 1945, Pasal 24 ayat (1).
115
Lembaga Korektif dalam hal ini adalah Mahkamah Agung.
93 berkekuatan hukum tetap. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan pasal 23 ayat (1) Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman yang menyatakan116; “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pihakpihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang di tentukan dalam Undangundang.” Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat dan terkadang perlu di gunakan untuk melakukan koreksi terhadap putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketentuan di atas merupakan ketentuan umum yang berlaku bagi setiap jenis perkara. Pengecualian atas ketentuan umum ini harus di dasarkan pada norma yang jelas, tegas dan tidak memuat keraguan.117 Mengenai kekeliruan Pengadilan Tinggi Bandung dalam mengadili sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) Depok, yaitu berdasarkan penerapan ketentuan pasal 106 ayat (1)jo ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Pasal 94 ayat (1) jo. Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 jo. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005. yang menegaskan bahwa ketentuan pasal 106 ayat (1) jo. Ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yang menyatakan; “(1) keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat di ajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. (2) Keberatan sebagaimana di maksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.118
116
Kekuasaan kehakiman, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 23 ayat (1). 117 Mahkamah Konstitusi, Putusan perkara Nomor 001/PUU-IV/2006, “ Pengujian Undangundang terhadap Undang-Undang Dasar 1945” (Jakarta: Mahakamah Konstitusi, 2006), h. 14 118 Pasal 106 Ayat (1) jo. Ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
94 Kemudian ketentuan pasal 94 ayat (1) jo. Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 di nyatakan; “Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan hanya dapt di ajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan. Keberatan sebagaimana di maksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon”.119 Selanjutnya di dalam ketentuan pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005, di nyatakan secara tegas; “(1) Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan wakil kepala daerah propinsi atau kabupaten kota hanya dapat di ajukan berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon”.120 Mengartikan upaya hukum dalam penjelasan pasal 106 ayat (7) Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dalam arti luas sehingga tercakup ke dalamnya upaya hukum luar biasa, yang berarti menutup peluang dilakukannya upaya korektif terhadap putusan pengadilan. Membatasi kemungkinan pengajuan Peninjauan Kembali untuk sengketa yang menyangkut kepentingan publik dan hak politik rakyat serta proses demokrasi di sebuah daerah seperti halnya kota Depok dengan memaksakan interpretasi tertentu atas makna penjelasan satu ketentuan undang-undang. Argumentasi tersebut di atas, secara sistematik didasarkan pada ketentuan pasal 21 jo. Pasal 22 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman sebagai payung hukum sistem peradilan di Indonesia di anut proses pemeriksaan perkara dengan 3 (tiga) tingkatan, masing-masing yaitu tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi, kesemuanya di kualifikasikan sebagai upaya hukum biasa, yang billamana telah
119
120
Pasal 94 Ayat (1) jo. Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005 Pasal 3 Ayat (1), Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005.
95 sampai pada putusan kasasi atau para pihak tidak mengajukan upaya hukum selanjutnya, maka dikualifikasi sebagai putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau final ( in kracht van gewedsjede).121 Bahwa dengan demikian, makna upaya hukum dalam ketentuan pasal 106 ayat (7) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 haruslah di tafsirkan secara sistematis sebagai upaya hukum biasa, artinya terhadap Putusan Pengadilan Tinggi tersebut hanya tertutup untuk upaya banding maupun kasasi. Konsekuensi hukumnya, maka terhadap putusan a quo masih terbuka untuk diuji melalui upaya hukum luar biasa in casu peninjauan Kembali. Sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan demikian alasan hukum yang diajukan tersebut di atas mempunyai alasan hukum yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana telah dengan tepat di pertimbangkan oleh Majelis Hakim dalam perkara nomor 01 PK/PILKADA/2005 dalam putusannya122. Bahwa dengan demikian dalil pemohon123 seolah-olah terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 01/PILKADA/2005/PT.Bdg., sudah bersifat final dan tidak ada Mahkamah Konstitusi, Putusan perkara Nomor 001/PUU-IV/2006, “ Pengujian Undangundang terhadap Undang-Undang Dasar 1945” (Jakarta: Mahakamah Konstitusi, 2006), h.15. 121
122
Putusan Nomor 01 PK/PILKADA/2005 hal. 16 Nomor 6 “ Bahwa Mahkamah Agung berpendapat putusan yang bersifat final dan mengikat sebagaimana di maksud dalam pasal 106 ayat (5) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Pasal 94 ayat (7) PP Nomor 6 Tahun 2005 dan Pasal 4 ayat (6) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2005 dapat di tafsirkan sebagai putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagaimana di maksud dalam pasal 342 HIR, sehingga oleh karena itu untuk menjaga supaya hukum di laksanakan secara wajar tepat dan adil., adalah beralasan menurut hukum apabila di beri kesempatan kepada pihak yang keberatan tergadap putusan Mahkamah Agung atau putusan Pengadilan Tinggi dalam kedudukannya sebagai penerima delegasi dari Mahkamah Agung untuk dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali sesuai dengan Pasal 34 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. ”. 123
Pemohon adalah Komisi Pemilihan Umum Kota Depok terhadap putusan Pengadilan Tinggi bandung tertanggal 04 Agustus 2005.
96 upaya hukum lain, dan seolah-olah putusan Mahkamah Agung di dalam perkara Nomor 01 PK/PILKADA/2005 telah melanggar peraturan perundang-undanganyang berlaku, termasuk peraturan yang di buatnya sendiri, in casu peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 adalah keliru dan tidak berdasar, sehingga karenanya adalah beralasan hukum untuk di tolak setidak-tidaknya dikesampingkan. Apabila terdapat keberatan terhadap penitipan hasil pemilihan kepala daerah, keberatan tersebut dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung, dalam waktu paling lambat tiga hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah. Keberatan yang dapat diajukan kepada Mahkamah Agung hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung disampaikan melalui Pengadilan Tinggi untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada Pengadilan Negeri untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupten atau kota. Berdasarkan surat putusan Nomor 01/PILKADA/2005 yang diajukan oleh Komisi Pemilihan Umum Kota Depok (Pemohon PK)124 melawan Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad (Termohon PK) terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang telah berkekuatan hukum tetap. Dengan ini pemohon keberatan hasil pilkaka dengan duduk perkara seperti di atas pada pengajuan yang dilakukan oleh Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad ke Pengadilan Tinggi Bandung.
124
Pemohon adalah pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Depok peserta Pemilihan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Depok Tahun 2005 yang terdaftar di KPUD Kota Depok
97 Bahwa sesudah putusan yang bersifat final dan mengikat tersebut125, pemohon Peninjauan Kembali (PK) yang semula adalah termohon telah mengajukan permohonan Peninjauan Kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Tinggi tanggal 16 Agustus 2005 Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg. Kemudian disusul dengan memori alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada hari yang bersamaan. Terlebih dahulu akan dipertimbangkan apakah terhadap putusan Pengadilan Tinggi dalam perkara sengketa Pilkada sebagai penerima delegasi dari Mahkamah Agung dapat diajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebagaimana diatur dalam pasal 34 Undangundang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, mengingat putusan a quo bersifat final dan mengikat. Hakim Mahkamah Agung menimbang sehubungan dengan alasan tersebut; bahwa dalam hubungan ini tidak berkelebihan untuk dikemukakan terlebih dahulu bahwa Pasal 16 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa; “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang dia ajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”126 Sedangkan pasal 28 ayat (1) Undang-undang tersebut menentukan; “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”
125
Dalam hal ini Putusan Pengadilan Tinggi Bandung tanggal 4 Agustus 2005 Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg. 126 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan kehakiman Pasal 16.
98 Dan pasal 79 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang di perlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup di atur dalam undang-undang ini”. Bahwa Mahkamah Agung berpendapat putusan yang bersifat final dan mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat 5 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 94 ayat 7, Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005 dan pasal 4 ayat 6 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 dapat ditafsirkan sebagai putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam pasal 342 HIR, sehingga oleh karena itu untuk menjaga hukum di laksanakan secara wajar tepat dan adil, adalah beralasan menurut hukum. 127 Dengan demikian, dalil permohonan pemohon atau termohon Peninjauan Kembali, baik tentang penggembosan maupun penggelembungan suara merupakan dalil yang secara hukum tidak mungkin dibuktikan di muka sidang Hakim Mahkmah Agung, oleh karena kebenaran ataupun ketidak benaran dalil tersebut berada di luar jangkauan kewenangan Hakim untuk menilainya. Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor 01 PK/PILKADA/2005 yang di ajukan oleh pemohon Peninjauan Kembali (KPUD Kota Depok) melawan Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad atas putusan Pengadilan Tinggi ke Mahkamah Agung. Bahwa tentang keberatan yang diajukan pemohon, Mahkamah Agung berpendapat dapat di 127
Yaitu Apabila di berikan kesempatan kepada pihak yang keberatan terhadap putusan Mahkamah Agung, atau putusan Pengadilan Tinggi dalam kedudukannya sebagai penerima delegasi dari Mahkamah Agung untuk dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali sesuai dengan pasal 34 Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
99 benarkan, karena Pengadilan Tinggi telah melakukan kekeliruan dalam menerapkan hukum, berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: 1. Bahwa yang menjadi wewenang Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi sebagai penerima delegasi Mahkamah Agung dalam memeriksa dan mengadili sengketa Pilkada adalah hanya terhadap penetapan hasil pemilihan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah propinsi atau kabupaten kota yang berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.128 2.
Konsekuensi diajukan keberatan dalam sengketa hasil Pilkada tersebut adalah kewajiban dari pemohon untuk membuktikan adanya kehilangan suara pemohon yang dapat mempengaruhi terpilihnya pasangan termohon, yang tentunya pembuktian tersebut harus berdasarkan alat bukti yang sah menurut hukum acara perdata,129 bukan berdasarkan pada dugaan atau asumsi yang tidak dapat merupakan alat bukti yang sempurna. Untuk pembuktian yang dapat di akui secara yuridis, misalnya dengan membandingkan formulir hasil rekapitulasi suara yang di miliki oleh para saksi pasangan calon.
3. Alat bukti yang diajukan oleh termohon Peninjauan Kembali menurut pendapat Mahkamah Agung selain tidak ada yang dapat mempengaruhi penetapan hasil perhitungan suara yang signifikan yang dapat mempengaruhi penetapan hasil perhitungan suara tahap akhir dari Komisi pemilihan Umum Daerah (KPUD) tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Depok, lagi pula alat bukti tersebut hanya berkenaan dengan teknis dalm penyelenggaraan pemilihan, 128
Lihat Pasal 106 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 jo. Pasal 94 ayat 2 PP Nomor 6 Tahun 2005 dan Pasal 2 PERMA Nomor 02 Tahun 2005. 129
Pasal 164 HIR menentukan alat bukti yang sah adalah surat, bukti saksi, sangkaan, pengakuan dan sumpah.
100 yang untuk memeriksa dan memutusnya bukan menjadi wewenang Mahkamah Agung maupun Pengadilan Tinggi sebagai penerima delegasi wewenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa Pilkada. Dalam putusan Hakim Mahkamah Agung Nomor 01 PK/PILKADA/2005, berdasarkan pertimbangan dari bukti-bukti yang ada atas pertimbangannya, tanpa mempertimbangkan keberatan atau alasan Peninjauan Kembali selebihnya, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali yang dilakukan oleh pemohon, yaitu adalah KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA DEPOK dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung tanggal 4 Agustus 2005 Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg. dan sekaligus membatalkan keberatan dari permohonan pemohon keberatan Pilkada Depok, yaitu Drs. H. Badrul Kamal, MM dan KH. Syihabuddin Ahmad, BA.Serta Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara ini dengan amar, membatalkan keberatan dari permohonan pemohon keberatan Pilkada Depok, yaitu Drs. H. Badrul Kamal, MM dan KH. Syihabuddin Ahmad, BA.
B. Proses Penyelesaian Akhir Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Depok di Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi dalam salah satu kewenangannya adalah memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, dalam putusan perkara Nomor 002/SKLN-IV/2006 terkait sengketa kewenangan lembaga negara yang diajukan oleh Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad (pemohon) terhadap Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok (Termohon).
101 Pemohon telah mengajukan permohonan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya di berikan terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. dalam hal ini pemohon atas nama Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad adalah pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota peserta pemilihan kepala daerah Kota Depok Tahun 2005 yang telah di vonnis menang atau terpilih oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung dalam putusan nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg. berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 khususnya pasal 106 ayat (7) yang menyatakan vonnis Pengadilan Tinggi final. Oleh karena telah diputuskan memperoleh suara terbanyak atau terpilih oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat, maka pemohon menang dan terpilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam hal ini Walikota dan Wakil Walikota Depok, sehingga pemohon dapat dikategorikan sebagai Lembaga Negara (Pemerintahan Daerah).130 Adapun kedudukan termohon (KPUD Kota Depok) selaku penyelenggara pemilihan kepala daerah yang diberi tugas secara khusus131 dan mempunyai kewenangan serta kewajiban yang telah diatur secara tegas dalam Pasal 5 dan 6 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, sehingga Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) telah melaksanakan sebuah tugas Lembaga Negara yaitu Pemilihan Kepala Daerah secara demokratis sesuai amanat Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok yang dalam menjalankan perintah
130
Pasal 61 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi atau “yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang di persengketakan” 131
Berdasarkan Pasal 57 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai pelaksanaan Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945
102 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 57 dapat dikategorikan sebagai Lembaga Negara. Dengan demikian, pemohon berhak mengajukan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai “termohon” untuk penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara kepada Mahkamah Konstitusi sesuai dengan pasal 30 huruf (b) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003. Pemohon keberatan terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 01 PK/Pilkada/2005 tersebut, oleh karena putusan Mahkamah Agung Nomor 01 PK/Pilkada 2005 dikeluarkan berdasarkan surat yang diberi judul: Memori Peninjauan Kembali132 oleh KPUD (Termohon) yang tidak di kenal dan bertentangan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, jo. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, jo. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005. Bahwa berdasarkan pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 jo. Pasal 57 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo pasal 18 ayat (1) Undang-Undang dasar 1945, tidak ada wewenang ataupun tugas KPUD (termohon) untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali atas suatu putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat, sebagaimana layaknya kejaksaan yang berfungsi sebagai pengacara negara, atau seperti salah satu pihak yang berkepentingan langsung terhadap suatunputusan pengadilan selain dari pada kewajiban untuk melaksanakan putusan yang bersangkutan. Bahwa oleh karena pembuat undang-undang telah mengatur secara tegas dan jelas tentang wewenang Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok dan kedudukan suatu putusan pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung. Maka KPUD itu, tidak berwenang
132
Memori Peninjauan Kembali di ajukan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 01/PILKADA/2005?PT.Bdg tanggal 04 agustus 2005, kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui ketua Pengadilan Tinggi Bandung
103 mengajukan Peninjauan Kembali ke mahkamah Agung atas putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 106 ayat (7) telah dinyatakan final. Karena KPUD telah mendapat kewenangan untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, juga bersumber dari Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 itu. Perbuatan Komisi Pemilihan Umu Daerah Kota Depok a quo133 yang mengajukan surat yang berjudul: Memori Peninjauan Kembali terhadap putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg., berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat di bandingkan dengan mengajukan peninjauan Kembali atas putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan putusan bersifat final. Undang-undang yang berlaku untuk penyelenggaraan dan penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sedangkan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang ditentukan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah itu adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), dalam hal ini adalah KPUD Kota Depok. Bahwa di hubungkan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 106 ayat (7) maka dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung Nomor 01 PK/Pilkada/2005 yang membatalkan putusan Pengadilan
133
Pasal 10 a quo di tegaskan “putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat di tempuh”
104 Tinggi Jawa Barat di Bandung Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg. adalah suatu pengingkaran dan pelanggaran terhadap Undang-Undang dasar 1945 c/q Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai peraturan pelaksanaannya. Bahwa pemohon nomor urut 3 pada pemilihan kepala daerah Kota Depok (Badrul kamal dan Syihabuddin Ahmad) merasa sangat dirugikan sebagai pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Depok setelah dimenangkan atau terpilih oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung tersebut. Karena, dengan di keluarkannya putusan Mahkamah Agung Nomor 01 PK/Pilkada/2005 yang membatalkan putusan Pengadilan Tinggi yang sudah bersifat final dan mengikat tersebut, maka pemohon terancam batal dilantik jadi Walikota dan walikota Depok berdasarkan hasil pemilihan kepala daerah yang diputus oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung. Dengan dimohonkannya Peninjauan Kembali di luar sistem hukum positif yakni Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentant Pemilihan Kepala Daerah oleh KPUD, maka Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok telah melampui kewenangan yang diperolehnya dari amanat undang-undangan quo, sekaligus telah mencaplok kewenangan pembuat undang-undang yang diberi wewenang oleh Undang-Undang Dasar 1945.
C. Analisis Terhadap Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Tentang Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Dalam pasal 61 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 di jelaskan lebih lanjut syarat pokok untuk mengajukan sengketa kewenangan antar lembaga negara ke Mahkamah Konstitusi, yaitu;
105 1. Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Dasar 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan [Pasal 61 ayat (1)]; dan 2. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang kepentingan
langsung
pemohon
dan
menguraikan
kewenangan
yang
di
persengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi termohon [Pasal 61 ayat (2)] Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, jelas dalil pemohon yang mendalilkan seolah-oleh pemohon adalah lembaga negara dengan dalih telah dinyatakan memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok oleh putusan Pengadilan Tinggi Bandung dalam putusannya Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg., tidak dapat dibenarkan dan karenanya harus di tolak. Hal ini berdasarkan pada alasan hukum, sebagai berikut: 1. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung tersebut telah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 PK/Pilkada/2005 tanggal 16 Desember 2005, sehingga karenanya berdasarkan prinsip mengenai kekuatan suatu putusan dalam arti positif apa yang telah di putus oleh hakim harus dianggap benar “Res judicata pro veritate habetur”134. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung a quo tidak berlaku lagi,
dan yang
berlaku adalah putusan Mahkamah Agung Nomor 01
PK/Pilkada/2005 tenggal 16 Desember 2005. 2. Kedudukan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota) beserta segala kewenangannya baru 134
ke-6, h. 27.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: LIBERTY, 2002) Ed
106 memiliki legalitas setelah mengucapkan sumpah atau janji jabatan, sebagaimana dinyatakan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 110 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004135 tentang Pemerintahan Daerah. 3. Dari ketentuan pasal dan ayat dalam Undang-undang tersebut, terbukti bahwa merupakan fakta hukum pelamtikan yang di dalamnya di ucapkan sumpah atau janji jabatan merupakan peristiwa hukum yang harus dipenuhi untuk di perolehnya status Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dengan demikian pemohon nukanlah lembaga negara, sehingga tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan dalam pasal 61 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain bahwa pemohon dalam pengajuan perkaranya ke Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dan tidak dapat dikatakan sebagai Lembaga negara. Dalam permohonan pemohon mempersoalkan dan menyatakan bahwa termohon KPUD Kota Depok tidak berwenang mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg, yang telah melahirkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 PK/Pilkada/2005. Bahwa sudah barang tentu dalil pemohon a quo adalah sangat keliru dan tidak berdasar dan setidaktidaknya dikesampingkan. Hal ini didasarkan kepada argumentasi atau pertimbangan hukum, sebagai berikut136:
135
Pasal 110 ayat (1-3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, putusan perkara Nomor 002/SKLN-IV/2006 “Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Antara Drs. H. Badrul Kamal, MM, dkkDengan Komisi Pemilihan Umum daerah Kota Depok” (Jakarta: 25 Januari 2006), h. 13. 136
107 1. Peninjauan Kembali adalah upaya hukum yang merupakan hak setiap subyek hukum, termasuk Lembaga Negara, yang terlibat dalam suatu perkara. Hak untuk mengajukan PK oleh suatu lembaga negara bukan dan tidak dapat di pandang dan di tempatkan dalam konteks kewenangan lembaga negara. Berwenang tidaknya suatu lembaga negara yang terlibat dalam suatu perkara pengajuan PK bukan masalah kewenangan yang dapat dipersengketakan dalam peradilan di Mahkamah Konstitusi, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam ketentuan pasal 23 Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 2. Tepat tidaknya atau benar tidaknya suatu permohonan Peninjauan Kembali tidaknya subyek hukum yang mengajukannya merupakan wewenang dari Mahkamah Agung untuk menilainya. Dalam kaitannya dua hal perlu di kemukakan: Pertama, Mahkamah Agung berwenang untuk menafsirkan dan memberikan makna atas suatu ketentuan Undang-undang137. Kedua, menurut ketentuan Pasal 65 Undangundang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara pada Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, maka mempermasalahkan terpilih tidaknya pemohon dalam Pemilihan Kepala Daerah Kota Depok merupakan sengketa mengenai kepentingan pemohon sebagai Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Depok, dan bukan serta tidak bisa di paksakan menjadi sengketa antar lembaga negara. Oleh karena itu, termohon mohon dengan hormat kiranya Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:
137
Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, h. 14.
108 “Menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk mengadili dan memutus perkara permohonan pengujian Sengketa Kewenangan Lembaga Negaramyang di berikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 ini yang di ajukan oleh Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad, dan karenanya harus di nyatakan tidak dapat di terima”. Memaparkan beberapa persoalan khususnya menyangkut tentang putusan Mahkamah Konstitusi dan implikasinya terhadap pencari keadilan (justiciabellen). Secara garis besar persoalan yang munculkan adalah pengaturan mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi, isi dan karakteristik putusan, rekapitulasi putusan Mahkamah Konstitusi terakhir, beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang penting, serta tentang finalnya putusan Mahkamah Konstitusi sehingga upaya hukum terhadap putusan tidak dikenal. 138 Membahas mengenai tata cara dan bentuk-bentuk pelaksanaan putusan serta problematikanya di lingkungan Mahkamah Konstitusi. Seperti diketahui, pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi berbeda sebagaimana yang diatur di lingkungan Peradilan Umum. Putusan Mahkamah konstitusi bersifat erga omnes, sehingga daya ikatnya tidak hanya kepada para pihak yang berperkara saja, tetapi mengikat juga kepada pihak lain, misalnya dalam putusan judicial review terhadap suatu Undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi.
D. Alasan Hukum Hakim Mahkamah Konstitusi Berdsarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PMK/2004, secara tegas bahwa peradilan dalam perselisihan hasil pemilu itu bersifat cepat139 dan sederhana.140
http://id.shvoong.com/law-and-politics/1902464-tata-cara-penyelesaian-sengketa, “Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi”. Diakses pada September 2006. 138
139
Dalam hal ini cepatnya sifat peradilan dalam perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi selain di artikan cepat dalam proses beracaranya juga cepat dalam melahirkan putusan yang di tandai dengan batasan-batasan waktu yang telah di tentukan oleh pembuat undang-undang dan tidak adanya upaya hukum lain terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
109 Proses cepat dan sederhana sebagai konsekuensi logis dari sistem pengadilan di Mahkamah Konstitusi yang tidak memiliki tingkatan atau dengan kata lain, pengadilan di Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir. Konsekuensi logis lainnya adalah bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan tidak memiliki upaya hukum lain. Tidak seperti dalam undang-undang tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa putusan Mahkamah Agung dalam menyelesaikan sengketa penetapan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) adalah final dan mengikat. Sedangkan putusan Pengadilan Tinggi yang mendapat kewenangan delegasi dari Mahkamah Agung untuk memutus sengketa penetapan hasil pilkada kabupaten atau kota adalah bersifat final. Perkara sengketa penetapan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kota Depok yang diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung merupakan salah satu contoh yang tidak tetap dipungkiri bahwa penyelesaian sengketa penerapan hasil pilkada tidak dapat menjadikan pasangan Walikota dan Wakil Walikota terpilih untuk segera menduduki jabatannya, karena putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang telah menganulir kemenangan mereka.141 Bahkan pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih harus sabar menanti sampai dijatuhkannya putusan Mahkamah Konstitusi.142
140
Pasal 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PMK/2004.
141
Memori Peninjauan Kembali, terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 01/PILKADA/2005/PT.Bdg, Agustus, 2005 antara Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad (semula pemohon, kini termohon) dengan Komisi Pemilihan Umum Kota Depok ( semula termohon, kini pemohon Peninjauan Kembali (PK)). 142
Kubu pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad (yang telah di menangkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung, kini dapat di kalahkan oleh Peninjauan Kembali Mahkamah Agung) berusaha menyatakan
110 Dalam pertimbangan hukum Hakim Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa maksud dan tujuan pemohon adalah sebagaimana terurai di atas; maka Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dan kedudukan hukum (legal standing) pemohon dalam permohonan a quo,. Bahwa kewenangan konstitusional Mahkamah menurut Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final antara lain, untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya di berikan oleh Undang-Undang Dasar 1945.143 Bahwa permohonan pemohon sesuai dengan judul pokok permohonan adalah “Permohonan Pengujian Kewenangan Lembaga Negara yang diberikan oleh UndangUndang Dasar 1945”.144 Adapun dalil-dalil pokok yang diajukan pemohon adalah; a. Bahwa pemohon adalah pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat a quo, sehinnga dapat di kategorikan sebagai Lembaga Negara;
bahwa dirinyalah yang benar. Oleh karenanya, Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad mengajukan sengketa penetapan hasil pilkada tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Meskipun tidak melalui mekanisme atau jalur penyelesaian perselisihan hasil pemilu, melainkan jalur SKLN dan PUU. Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) perkara Nmor 001/PUU-IV/2006 mengenai Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. dan juga Nomor 002/SKLN-IV/2006 btentang sengketa kewenangan lembaga negara. 143
Lihat lebih Lanjut dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstiutusi (selanjutnya di sebut UUMK), dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). 144
Isi permohonannya adalah memohon Mahkamah Konstitusi menguji kewenangan suatu lembaga negara yakni menguji kewenangan KPU Kota Depok (Termohon) yang mengajukan permohonan PK kepada Mahkamah Agung atas putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg, tanggal 4 Agustus 2005. serta menguji putusan Mahkamah Agung RI mengenai PK terhadap putusan Pengadilan tinggi a quo.
111 b. Bahwa Komisi Pemilihan Umum daerah Kota Depok dalam menjalankan perintah pasal 57 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya di sebut UU Pemda) dapat dikategorikan sebagai Lembaga Negara; c. Bahwa dengan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg, yang dilakukan oleh KPUD Kota Depok telah melampui kewenangan yang diberikan oleh Undangundang Pemerintahan Daerah maupun Undang-Undang Dasar 1945. Adapun untuk menentukan apakah Mahkamah berwenang dalam memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) pemohon. Maka Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan sebagai berikut; a. Bahwa permohonan pemohon mengenai kewenangan KPUD Kota Depok mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat, bukanlah termasuk Sengketa Kewenangan Konstitusional yang dimaksudkan dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf b UUMK, melainkan hak yang timbul karena adanya kewenangan sebagaimana di maksud Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Pemerintahan daerah yang memuat tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum Daerah dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dengan demikian objek sengketa bukanlah objek sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara sebagaimana di tentukan dalam Pasal 61 Undang-undang Mahkamah Konstutusi (UUMK).
112 b. Kepala Daerah dalam hal ini Walikota dan Wakil Walikota terpilih, 145 masih mempersyaratkan pengesahan pengangkatan oleh menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dan pelantikan oleh Gubernur atas nama Presiden.146 Dengan demikian, pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih belum manjadi kepala daerah. c. Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD) Kota Depok merupakan KPUD yang kewenangannya di berikan oleh Undang-undang dalam hal ini undang-undang pemda. Dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), menurut Undang-undang Pemda dan sebagaimana juga di akui oleh pemohon, bahwa Komisi Pemilihan Umum daerah bukanlah bagian dari KPU yang di maksud dalam pasal 22E UndangUndang Dasar 1945. dengan demikian, meskipun KPUD adalah Lembaga Negara, namun dalam penyelenggaraan Pemilihan kepala daerah (pilkada) kewenangannya bukanlah kewenangan yang di berikan oleh Undang-Undang Dasar, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/SKLN-IV/2006 tentang Sengketa Kewenangan lembaga Negara, bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi berdasarkan seluruh penjelasan alasan hukumnya tersebut di atas, baik dari segi subjek pemohon dan termohonnya, maka permohonan a quo bukanlah termasuk lingkup perkara Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar Lembaga Negara, sebagaimana dimaksud 145
Pasal 109 ayat (2) UU Pemda dan Pasal 100 ayat(2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah (selanjutnya di sebut PP Nomor 6 Tahun 2005). 146
Pasal 110 ayat (1) dan Pasal 111 ayat (2) Undang-undang Pemerintahan daerah, dan pasal 102 ayat (2) Peraturan Pemerintahan Nomor 6 Tahun 2005.
113 dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang dasar 1945 dan pasal 10 ayat (1) huruf b joncto Pasal 61 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, permohonan pemohon harus dinyatakan “tidak dapat diterima” (niet ontvankelijk verklaard).
114
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian dan pembahasan bab-bab sebelumnya, dan memberi jawaban atas pertanyaan pada perumusan masalah penulisan skripsi ini, maka dapat di ambil kesimpulan bahwa: 1. Mekanisme dari putusan Mahkamah Konstitusi terkait Sengketa hasil pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok merupakan salah satu contoh upaya penyelesaian sengketa pilkada yang menjadi sejarah demokrasi Indonesia. Dalam artian bahwa sengketa tersebut tidak menimbulkan anarki di tingkat massa seperti di daerah lain, namun dapat diselesaikan dengan damai melalui jalur Pengadilan. Kasus sengketa pilkada Depok tersebut berawal dari gugatan pasangan Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad kepada Pengadilan Negeri Cibinong Jawa Barat terhadap KPUD Kota Depok, yang menetapkan pasangan Nurmahmudi Ismail dan Yuyun Wirasaputra sebagai pasangan yang memperoleh suara terbanyak dan di tetapkan sebagai pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Depok. Gugatan pasangan Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Kemudian, KPUD Kota Depok mengajukan upaya Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.upaya Peninjauan Kembali (PK) ini ditempuh karena menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, putusan Pengadilan
115 Tinggi Jawa Barat dengan pertimbangan hukumnya bahwa Majelis kasasi menemukan adanya kesalahan dalam putusan Pengadilan Tinggi Bandung Jawa Barat, yang hanya didasarkan pada asumsi, bukan fakta. Majelis kasasi pun membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung, mengadili sendiri, menolak keberatan Badrul Kamal, dan membenarkan keputusan KPUD Kota Depok. 2.
Putusan
yang
dikeluarkan
oleh
Mahkamah
Konstitusi
terkait
dengan
kewenangannya, khususnya dalam putusan Nomor 002/SKLN-IV/2006 terkait sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 adalah bersifat final. Karena Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Dalam perselisihan hasil penetapan terpilihnya kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung yang berangsur cukup lama. Maka, pada putusan hakim Mahkamah Konstitusi
pada
putusan
Nomor
002/SKLN-IV/2006
itu
bahwa
pada
permohonannya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) Karena perkara tersebut bukanlah termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Oleh karena itu, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final tersebut diartikan sebagai putusan yang langsung memperoleh kekuatan hukum.
B. Saran-saran 1.
Usaha untuk mencari keadilan dan kebenaran ditubuh Peradilan, sesunguhnya merupakan perjuangan yang tiada mengenal kata berhenti. Hal tersebut merupakan
116 sebuah ideologi untuk membangun seluruh komponen bangsa atau masyarakat ke arah yang lebih baik, oleh karena itu independensi kekuasaan kehakiman tergantung kepada faktor-faktor internal lembaga Peradilan dan (Political sphare) di sekilingnya. 2. Untuk terciptanya check and balances, tiap lembaga negara harus menggunakan pendekatan legal konstitusional untuk melaksanakan mekanisme kontrol kekuasaan antara legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Agar pengawasan terhadap lembaga eksekutif oleh lembaga legislatif haruslah diberi koridor untuk menegakan nilai keadilan dan tidak hanya sekedar pertarungan elit politik semata. Apabila proses ini terjadi, maka sistem politik yang lebih sehat akan tercipta dan membawa kesejahteraan masyarakat. Dengan memegang kuat prinsip check and balances tersebut, maka lembaga negara akan dapat menjalankan tugasnya dengan lebih efektif dan lebih demokratis. 3. Kemandirian Mahkamah Konstitusi akan menentukan keberhasilan pelaksanaan fungsi dan wewenang dalam kontrol kekuasaan. Untuk menciptakan Mahkamah Konstitusi yang independen, maka tata cara pemilihan dan persyaratan calon hakim merupakan hal yang paling utama. 4.
Sebagai konsekuensi bahwa pilkada sebagai rezim pemilu, maka sengketa hasil pilkada dapat diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi atau Peradilan ad hock pemilu dibawah Mahkamah Konstitusi. Pembentukan Peradilan ad hock pemilu ini penting untuk mengantisipasi sengketa yang jangka waktunya sudah limitatif dan sebagai antisipasi banyaknya daerah yang melaksanakan pilkada.
117 DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU Abdullah, Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2005, Cetakan pertama. Amirudin, Bisri, Zaini, ed, Pilkada Langsung Problem dan Prospek sketsa singkat perjalanan pilkada 2005, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Aripin, Jaenal, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008, Cet. Ke-1. Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitualisme, Jakarta: Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2004, Cet. Ke-1. Badjeber, Zain, Komentar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta: Forum Indonesia Baru, 2005. Fadjar, Abdul Mukti, Hukum Konstitusi Dan mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, Cet. Ke-1. Fatkhurohman et. Al. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004, Cet. Ke-1. Gazali, Effendi, Strategis Kampanye PILKADA, Jakarta: Jurnal Pamong Praja, 2005, ed. 3. Iberamsjah MS, SK KPUD No.18 tahun 2005, Pilkada Kota Depok Tahun 2005, Depok: Sekretariat Walikota Depok, 2006. Loqman, Loebby, S.H., M.H., Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta: Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1996-1999. Nadir, Ahmad, Pilkada Langsung dan masa depan demokrasi: studi atas artikulasi politik nahdliyyin dan dinamika politik dalam Pilkada langsung di Kabupaten Gresik Jawa Timur, Malang, Avveroes, 2005. Narang, Agustin Teras, Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung dan Pengaturan Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, Jakarta: Penerbit, 2004.
118 Parluhutan Daulay, Ihksan Rosyada, Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006, Cet. Ke-1. Santoso, Topo, Kepala Daerah Pilihan Hakim, Bandung: Harakatuna Publishing, 2005. Sarunjang, Pilkada Langsung Problem dan Prospek, Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2005. Siahaan, Maruarar, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005. Cet. Ke-1. Subakti, Ramlan, Bebarapa pertanyaan tentang sistem pemilihan kepala daerah secara langsung, (Jakarta: Jurnal Pamong Praja, 2005)ed. 3. Soedarsono, Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Demokrasi: Penyelesaian sengketa penetapan hasil pemilu 2004, Jakarta: Sekretaris jendral dan kepaniteraan MKRI, 2005). Cet, Ke-1. Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, Cet. Ke-1. Susanto, Agung, Hukum Acara Perkara Konstitusi, Prosedur Berperkara pada Mahkamah Konstitusi, Bandung: Mandar Maju, 2006, Cet. Ke-1. Sutioso, Bambang, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Bandung: Citra Aditya Baktiu, 2006, Cet Pertama. Sutioso, Bambang dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, Yogyakarta: VIII-Press. Syahrizal, Ahmad, Peradilan Konstitusi; Suatu Studi tentang Adjudikasi konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Jakarta: PT. Paradnya Paramita, 2006, Cet. Ke-1. Tasrif, Suardi, Menegakan Rule Of Law di Bawah Orde Baru, Bandung: Mizan, 1971. Tim Penyusun Cetak Biru Mahkamah Konstitusi, Cetak biru membangun mahkamah Konstitusi sebagai institusi peradilan konstitusi yang modern dan terpercaya, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004. Tutik, Titik Tri wulan, Pemilihan Kepala Daerah berdasarkan undang-undang nomor 32 Tahun 2004 dalam Sistem Pemilu Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006.
UNDANG-UNDANG
119 Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
PUTUSAN ------Putusan MKRI Nomor 001/PUU-IV/2006 Mengenai pengujian Undang-undang terhadap UUD RI 1945. ------Putusan MKRI Nomor 002/SKLN-IV/2006 Mengenai Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya di berikan UUD RI 1945. ------Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 01/PK/PILKADA/2005. ------Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 01/PILKADA/2005. ------Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 072-073/PUU/II/2004 tentang pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. ------Peraturan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok No.1-20 tahun 2005.
INTERNET http://www.cetro.or.id, “ Urgensi revisi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah sebelum penyelenggaraan pemilihan kepala daerah”, diakses pada July, 2009. http:// hukumonline.com./“Sengketa Pilkada : MA kabulkan Peninjauan Kembali KPUD Depok”.html. diakses pada Mei 2009.
120 http://id.wikisource.org/wiki/Mekanisme_Impeachment_&_Hukum_Acara_Mahkamah_ Konstitusi, diakses pada November, 2008.
http://jurnalhukum.blogspot.com/ 2006/09/ mahkamah-konstitusi-ri.html, “ Mahkamah Konstitusi: The Guardian and the Interpreter Of The Constitution” diakses pada September, 2006. http://www.kanalpemilu.com. “mk-mulai-sidangkan-perselisihan-hasil pemilu” diakses pada Mei, 2009. http://www.kompas.com “Pilkada Depok dan sikap apatis”, diakses pada November, 2006. http;//www.kompas.com, “Struktur Organisasi Mahkamah Konstitusi”, diakses pada Juni 2006. http://www.suaramerdeka.com/harian, “ Antisipasi masalah dalam Pilkada, Perlu perincian kewenangan penyelenggara”, diakses pada Agustus, 2009.
http://ramadiandri10.blogspot.com/2009/01/tugas-dan-wewenang-mk.html, “Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi”, diakses pada Januari, 2009. http://taufiqnugroho.blogspot.com /2009/02/ mahkamah-konstitusi-dalam-struktur.html, “Mahkamah Konstitusi Dalam Struktut Ketatanegaraan Indonesia”, diakses pada Februari, 2009.
121