ANALISIS GRAMATIKAL TERJEMAHAN SANTRI PONPES MODERN TERHADAP TEKS ARAB MODERN (Studi Kasus Terjemahan Santri Pondok Pesantren Modern Al-Amanah Al-Gontory Perigi Baru, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (SS)
Ahmad Fairobi 103024027531
JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2010 M
ABSTRAK Ahmad Fairobi, Analisis Gramatikal Terjemahan Santri Ponpes Modern terhadap Teks Arab Modern (Studi Kasus Terjemahan Santri Pondok Pesantren Modern Al-Amanah Al-Gontory, Perigi Baru, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten), Jakarta: Jurusan Tarjamah, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010 Kegiatan penerjemahan merupakan aktifitas yang dilakukan banyak kalangan, bukan hanya para penerjemah profesi, melainkan mencakup seluruh siswa sekolah di Indonesia. Kegiatan penerjemahan – dalam hal ini bahasa Arab – dilakukan terus-menerus oleh siswa sekolah terutama oleh santri di pondok pesantren, baik itu pondok pesantren salafi maupun pondok pesantren modern. Hal ini sangat menarik perhatian penulis, karena kegiatan penerjemahan yang mereka lakukan, sepenuhnya dilakukan pada saat mereka mulai mempelajari kedua bahasa tersebut. Padahal, tingkat kemahiran dalam dwi bahasa, bagi seorang penerjemah adalah mutlak diperlukan dalam proses penerjemahan. Baik itu mahir dalam sturktur kata, struktur gramatikal, pemaknaan kata, dan lain-lain. Dalam penelitian ini permasalahan akan difokuskan pada analisis gramatikal dalam proses penerjemahan yang dilakukan oleh para santri. Kemudian perumusan masalahnya terdiri dari bagaimana para santri tersebut menerjemahkan teks bahasa Arab. Lalu ditelusuri tentang hasil terjemahan mereka dilihat dari sisi struktur gramatikal kedua bahasa. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori tentang penerjemahan dan teori tentang struktur gramatikal kedua bahasa. penelitian tentang “Analisis Gramatikal Terjemahan Santri Ponpes Modern terhadap Teks Arab Modern (Studi Kasus Terjemahan Santri Pondok Pesantren Modern Al-Amanah Al-Gontory, Perigi Baru, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten)” ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan dalam penganalisaan data, digunakan perangkat analisis teks yang mendasarkan pada pendekatan interpretatif (subjektif) maka penelitian ini termasuk ke dalam kategori paradigma konstruksionis. Peneliti mencoba mengamati konstruksi teks BSu dan BSa hasil terjemahan para santri dengan menggunakan perangkat analisis struktur gramatikal. Olah data yang digunkan dalam penelitian ini dengan menggunakan dokumentasi, penelusuran data dari buku-buku, dan wawancara dengan narasumber yang kompeten. Dari hasil penelitian ini, dapat diambil kesimpulan bahwa proses penerjemahan yang dilakukan oleh para santri tersebut secara keseluruhan baik. Namun, penulis menemukan bahwa hasil terjemahan mereka masih kurang tepat, terutama pada pengimplementasian struktur gramatikal bahasa Indonesia yang baik dan benar. hal ini disebabkan oleh kurangnya materi kebahasa-Indonesiaan dalam keseharian mereka.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil ‘Âlamîn. Segala puja dan puji senantisa terpanjatkan ke hadirat Allah Swt. Dia-lah pengatur proses penulisan skripsi ini dan Dia-lah penentu kesempurnaan dan penyelesaian skripsi ini. Salawat serta salam tak hentihenti penulis haturkan kepada pemandu makhluk semesta, baginda Rasulullah, Muhammad Saw. putra Abdullah. Ajaran dan suri tauladan beliau menjadi bekal penulis dalam melakukan penelitian ini serta dalam penulisannya. Penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Allah Swt. Pencipta alam semesta. Berkat anugerah dan karunia-Nya, penulis mampu dan bisa menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada kedua orangtua, bapak dan ibu yang telah merawat, mendidik, menjaga, dan membiayai semua pendidikan yang penulis tempuh. Begitu juga atas segala kasih sayang, perhatian, dan motivasi keduanya yang selalu memberi semangat perjuangan. Tak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah banyak memberikan sumbangsih yang tak terhingga dalam penulisan skripsi ini. Mereka adalah: 1. Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora. 2. Drs. Ikhwan Azizi, M.A, selaku Ketua Jurusan Tarjamah yang selalu siap sedia dan selalu ada bagi kemajuan Jurusan Tarjamah. 3. H. Ahmad Syaekhuddin, M.Ag, selaku Sekretaris Jurusan Tarjamah yang banyak membantu penulis dalam kelancaran proses sidang skripsi ini. 4. Drs. H. Ahmad Syatibi, M.A, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang menyetujui judul skripsi yang penulis ajukan ini. 5. Irfan Abubakar M.Ag, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang dengan setia membimbing dan menunggu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Segenap dosen Jurusan Tarjamah dan Fakultas Adab dan Humaniora yang telah memberikan begitu banyak ilmu pengetahuan. Tak lupa seluruh karyawan Fakultas Adab dan Humaniora yang telah memberikan bantuan administrasi selama perkuliahan berlangsung.
7. Keluarga penulis, Abah, Umi, Abang-abang, serta adik penulis. Terimakasih atas semua motivasi dan kasih sayang kalian yang tak terhingga. 8. Teman-teman di Jurusan Tarjamah Angkatan 2003 dan semua teman-teman seperjuangan di kampus. Terima kasih atas semua bantuan dan sumbangsih kalian yang tak terhitung. Semoga semua kebaikan dan sumbangsih mereka mendapat penghargaan yang mulia dari Allah Swt. dan semoga seluruh sumbangsih tersebut menjadi pahala kebaikan bagi mereka. Penulis berharap skripsi ini bisa menjadi manfaat bagi pribadi penulis dan semua pihak. Tiada daya dan upaya yang abadi bagi makhluk. Lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâhil ‘aliyyil ‘azîm.
Tangerang, 31 Agustus 2010
Ahmad Fairobi
DAFTAR ISI ABSTRAK ………………………………………………………………..... i KATA PENGANTAR …………………………………………………….. ii DAFTAR ISI ……………………………………………………………..... iv DAFTAR ISTILAH …………………………………………………......... vi PEDOMAN TRANSLITERASI …………………………………………. vii
BAB I PENDUHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………………......... 1 B. Tinjauan Pustaka ………………………………………………........ 10 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………………......... 10 D. Tujuan Penelitian ………………………………………………........ 11 E. Metode Penelitian ………………………………………………....... 12 F. Sistematika Penulisan …………………………………………......... 12 BAB II KERANGKA TEORI A. Teori Penerjemahan 1.
Definisi Penerjemahan …………………………………………. 15
2.
Model Penerjemahan …………………………………………... 16
3.
Cara Menerjemahkan …………………………………………... 17
4.
Perangkat Penerjemahan ……………………………………….. 17
5.
Kesetiaan dalam Penerjemahan ………………………………... 18
6.
Kesepadanan dalam Penerjemahan …………………………….. 20
B. Teori Gramatikal dan Penggunaannya dalam Penerjemahan 1.
Kategori Sintaksis ……………………………………………... 29
2.
Kategori Gramatikal ………………………………………….... 43
3.
Morfologi …………………………………………………….... 46
4.
Semantik ………………………………………………………. 49
C. Pesantren dan Tradisi Penerjemahan 1.
Pengertian Pesantren ………………………………………….. 52
2.
Sejarah Umum Pesantren ……………………………………... 54
3.
Tradisi Penerjemahan di Pesantren …………………………… 57
BAB III GAMBARAN UMUM PESANTREN AL-AMANAH AL-GONTORY A. Letak Pesantren Al-Amanah Al-Gontory …………………………. 59 B. Sejarah Singkat Pesantren Al-Amanah Al-Gontory ………………. 59 C. Santri ……………………………………………………………… 61 D. Kitab-kitab yang Diajarkan dan Sistem Pengajarannya …………... 64 E. Pengajaran Penerjemahan di Pesantren …………………………… 65 BAB IV ANALISIS TEKS A. Analisis Susunan Kalimat Logis ..................................................... 67 B. Analisis Penerjemahan Prase ........................................................... 77 C. Analisis Perluasan Pola Kalimat ...................................................... 81 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……………………………………………………….. 84 B. Saran ……………………………………………………………… 84
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 86 LAMPIRAN ……………………………………………………………... 88
DAFTAR ISTILAH
Penulis menggunakan beberapa istilah dan singkatan dalam skripsi ini. Penulisan istilah dan singkatan tersebut bertujuan untuk mempermudah para pembaca. Istilah dan singkatan tersebut adalah sebagai berikut: BSa
=
Bahasa sasaran
BSu
=
Bahasa sumber
Hlm
=
Halaman
HR.
=
Hadits riwayat
Num TT
=
Numeralia tak takrif
QS.
=
Al-Qur`an dan surah
TSa
=
Teks sasaran
TSu
=
Teks sumber
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Dalam skripsi ini, data bahasa Arab diberi transliterasi Arab-Latin berdasarkan buku Pedoman Transliterasi Arab-Latin versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Padanan Aksara Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin: HURUF ARAB
HURUF LATIN
ا
KETERANGAN Tidak dilambangkan
ب
b
be
ت
t
te
ث
ts
te dan es
ج
j
je
ح
h
h dengan garis di bawah
خ
kh
k dan h
د
d
de
ذ
dz
de dan zet
ر
r
er
ز
z
zet
س
s
es
ش
sy
es dan ye
ص
s
es dengan garis di bawah
ض
d
de dengan garis di bawah
ط
t
te dengan garis di bawah
ظ
z
zet dengan garis di bawah
ع
‘
koma terbalik di atas hadap kanan
غ
gh
ge dan ha
ف
f
ef
ق
q
ki
ك
k
ka
ل
l
el
م
m
em
ن
n
en
و
w
we
هـ
h
ha
ء
΄
apstrof
ي
y
ye
Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: TANDA VOKAL ARAB
TANDA VOKAL LATIN
KETERANGAN
_َ__
a
Fathah
___
i
Kasrah
u
dammah
ِ _ُ__
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: TANDA VOKAL ARAB
TANDA VOKAL LATIN
KETERANGAN
__َ_ي
ai
a dan i
__َ_و
au
a dan u
Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu: TANDA VOKAL ARAB
TANDA VOKAL LATIN
KETERANGAN
#َـ
â
a dengan topi di atas
$ِـ
î
i dengan topi di atas
ْ&ُـ
û
u dengan topi di atas
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rikâl, al-dîwân bukan addîwân. Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda (-) , dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan yang menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ُُوْرَ ة+,-. اtidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya. Ta Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). NO
KATA ARAB
ALIH AKSARA
1.
/01+2
tarîqah
2.
/34567 ا/84#9.ا
al-jâmi’ah al-islâmiyyah
3.
&ﺝ&د.و<;ة ا
wahdat al-wujûd
Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî dan al-Kindi bukan Al-Kindi). Beberapa ketentuan lain dalam Ejaan Yang Disempurnakan sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini. Contoh, ketentuan mengenai huruf catak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judl buku itu ditulis dengan cetak miring, begitu juga dalam alih aksaranya. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Contoh, Abdussamad al-Palimbani, tidak ditulis ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn alRânîrî. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis secara terpisah. Berikut ini adalah beberapa contoh alih aksara atas
kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuanketentuan di atas: KATA ARAB
ُذ#َ=ْ6ُ>ْ.ذَهَ?َ ا ُ+ْْ>َﺝ.َ@َ اAَB ُ/,1ِ+ْCَ8.ُْ ا/ََآ+َEْ.ا Fَ ا#ّ.َِ إI.ِ إ#َ. َْ;ُ أَنKْLَأ Mِ.#,C.َ اNِOَ4 #َP#َ.ْ&َ4 Fُ اSُُآ+QBَRُ1 ُ/,3ِOْ0َ8ْ.ُ ا+ِه#َTَUْ.ا
ALIH AKSARA dzahaba al-ustâdzu tsabata al-ajru al-harakah al-‘asriyyah asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh Maulânâ Malik al-Sâlih yu’atstsirukum Allâh al-mazâhir al-‘aqliyyah
ُ/,3ِPْ&َV.ْتُ ا#َ1W اal-âyât al-kauniyyah ُ&ْرَاتTْEَUْ.ُ اMْ3ِAُُوْرَةُ ﺕ+,-. اal-darûrat tubîhu al-mahzûrât
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang
merupakan
produk
budaya
Indonesia. Keberadaan
pesantren
di
Indonesia dimulai sejak Islam masuk di negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah berkembang sebelum kedatangan Islam.1 Pondok pesantren mempunyai fungsi utama yaitu mencetak muslim yang menguasai ilmu-ilmu agama (tafaqquh fî al-dîn) secara mendalam serta menghayati dan mengamalkannya dengan ikhlas semata-mata ditujukan untuk pengabdiannya kepada Allah SWT.2 Pada
awal
perkembangannya
memang
pesantren
belum
terstruktur, tetapi sejalan dengan perkembangan Islam di negeri ini terutama setelah terjadi persentuhan yang semakin kuat dengan tradisi intelektual di Timur Tengah, penyelenggaraan pendidikan ini makin terstruktur.
Sejak
itulah
muncul
tempat-tempat
pengajian
yang
1 Amin, Haedari, Transformasi Pesantren: Pengembangan Aspek Pendidikan, Keagamaan, dan Sosial, (Jakarta: LekDis & Media Nusantara, 2006), cet ke. 2, hlm. 3 2 Mahmud, Model-Model Pembelajaran di Pesantren, (Tangerang: Media Nusantara, 2006), cet. Ke. 1, hlm. 20
merumuskan kurikulumnya, yakni pengajaran nahwu/sharf, tafsîr, hadîts, tauhîd, fiqh, ahlâk, dan lain-lain.3 Pesantren telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Terbukti dengan banyaknya jumlah pondok pesantren yang ada sekarang ini. Menurut Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama, Mohammad Ali dalam
surat elektronik kepada detikcom, Jumat
(28/11/2008). Saat ini jumlah pesantren di Indonesia mencapai 15 ribuan dengan jumlah 5-6 juta santri.4 Secara garis besar lembaga pesantren dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar, yaitu: 1. Pesantren Salafi (tradisional) murni, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab kuning sebagai inti pendidikan di pesantren. Dalam pesantren ini tidak ada pendidikan formal (madrasah/sekolah umum) 2. Pesantren
Khalafi
(modern),
yaitu
pesantren
yang
telah
memasukkan pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau membuka tipe-tipe sekolah umum dalam lingkungan pesantren. Metode bandongan dan sorogan mulai ditinggalkan atau didampingi dengan sistem madrasi atau klasikal dengan mempergunakan alat peraga, evaluasi, dengan berbagai
3
Amin, Haedari, Transformasi Pesantren: Pengembangan Aspek Pendidikan, Keagamaan, dan Sosial, (Jakarta: LekDis & Media Nusantara, 2006), cet ke. 2, hlm. 24 4Hizbut Tahrir Indonesia, “Depag: Tidak Ada Pesantren Ajarkan Terorisme”, artikel yang dikutip dari: http://hizbut-tahrir.or.id/2008/11/29/depag-tidak-adapesantren-ajarkan-terorisme/
variasinya
dan
juga
latihan-latihan.
Prinsip-prinsip
psikologi
perkembangan dalam pendidikan dan proses belajar mulai diterapkan. Kenaikan kelas, pembagian kelas, dan pembatasan masa belajar diadakan. Administrasi di sekolah pun dilaksanakan dalam organisasi yang tertib. Pengajaran kitab kuning pada jenis pesantren ini hanya sedikit yang diajarkan. 3. Pesantren Salafi (tradisional) yang dikombinasikan dengan sistem lain (tidak murni), yaitu pesantren yang selain mengajarkan pengajaran kitab kuning juga membuka pendidikan formal dengan sistem madrasi (klasikal).5 Metode pembelajaran di pesantren ada yang bersifat tradisional dan ada yang bersifat modern (baru). Tradisional adalah metode pembelajaran yang diselenggarakan menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah dipergunakan di pesantren atau metode pembelajaran asli (original)
pesantren.
bandongan,
sorogan,
Metode
pembelajaran
musyawarah/bahtsul
tradisional
masâ’il
dan
seperti metode
pengajian pasaran. Sedangkan pembelajaran modern merupakan metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan pesantren dengan mengadopsi metode-metode yang berkembang di masyarakat modern. Metode pembelajaran modern seperti muhâfazah (hafalan), ‘amaliyah (peragaan), rihlah ‘ilmiyah (studi tour), muhâdatsah (bercakap-cakap).6
5
Nurcholisoh, “Studi Perbandingan Terjemahan Santri Salafi Terhadap Teks Kitab Kuning dan Modern: Kasus Santri Pondok Pesantren al-Jazirah”, (Skripsi S1, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN syarif Hidayatullah, 2004), hlm. 3 6 Mahmud, Model-Model Pembelajaran di Pesantren, (Tangerang: Media Nusantara, 2006), cet. Ke. 1, hlm. 50
Metode pembelajaran sangat erat kaitannya dengan fokus atau tujuan dari pembelajaran tersebut. Misalnya pada pesantren modern, lebih menitik-beratkan pada penguasaan bahasa di atas ilmu-ilmu yang lain, terutama bahasa Arab dan Inggris. Metode pembelajaran yang sering dipakai untuk mendukung tujuan terdebut adalah muhâdatsah (bercakap-cakap). Terkait dengan fokus atau tujuan tersebut, Pondok Modern Darussalam Gontor misalnya, langsung mengaitkannya dengan materi ajar lain yang berkaitan erat dengan penggunaan bahasa tertentu, yang sesuai dengan standar kecakapan berbahasa pada tahap perjenjangan kelas. Hal ini terlihat dari materi-materi ajar yang berbahasa Arab. Seperti pada: 1.
Kelas I, pada level pertama ini murid mulai disentuh dengan materi-materi
ajar yang berbahasa
Arab. Misalnya, Aqâ’id
(tauhid), tajwîd, tafsîr, dan hâdits. 2.
Kelas II, bahasa Arab mulai digunakan sebagai bahasa pengantar, walaupun masih cukup sederhana.
3.
Kelas III dan IV, semua mata pelajaran selain ilmu pengetahuan umum sudah disampaikan dengan bahasa Arab yang terstruktur.
4.
Kelas V dan VI, mulai menjelajahi materi-materi referensi (literature) yang juga berbahasa asing. Bahkan pada level ini, sudah dituntut agar bagaimana cara mengajar berbahasa asing yang baik
terhadap adik-adik kelasnya secara langsung yang diawasi oleh guru. 7 Sistem belajar di Pondok Modern Darussalam Gontor, secara sekilas kelihatan menghilangkan satu elemen penting dalam tradisi sistem pendidikan pesantren, yaitu kitab-kitab klasik yang sering disebut kitab kuning. Namun pada kenyataannya kesan dan asumsi ini tidak tepat, karena yang dilakukan Pondok Modern Darussalam Gontor hanya menyangkut metode pengajaran di kelas. Sedangkan esensi pelajaran agama yang menjadi inti kitab-kitab kuning itu tetap ada dan dikemas sedemikian rupa dalam buku-buku yang lebih praktis dan sistematis serta disesuaikan dengan jenjang pendidikan para santri.8
Pesantren dan kegiatan penerjemahan Penerjemahan berasal dari kata terjemah. Terjemah berarti menyalin (memindahkan) suatu bahasa ke bahasa lain, sedangkan penerjemahan berarti
proses,
cara,
perbuatan
menerjemahkan.
Orang
yang
menerjemahkan disebut penerjemah. Larson merumuskan pengertian penerjemahan secara lebih lengkap sebagai berikut: “Menerjemahkan berarti mempelajari leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi dan konteks budaya dari bahasa sumber (selanjutnya disingkat BSu). Kemudian menganalisis teks tersebut untuk
7
Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005, hlm. 14 8 Abdullah Syukrti Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, hlm. 15
menemukan makna yang sama dan
mengungkapkannya dengan
leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran (selanjutnya disingkat BSa) dan konteks tersebut9.” Agar
pengalihan
suatu
bahasa
terjemahan
tersebut
dapat
dipahami dan dimengerti, maka harus diperhatikan bentuk Bsa-nya. Harimurti Kridalaksana mendefinisikan bahwa penerjemahan sebagai pemindahan suatu amanat dari BSu ke dalam BSa dengan pertamatama mengungkapkan maknanya dan kemudian gaya bahasanya. Eugene A. Nida dalam bidang linguistik, mengungkapkan bahwa menerjemahkan berarti menciptakan padanan paling dekat dalam bahasa penerima terhadap pesan bahasa sumber, pertama dalam hal makna dan kedua pada gaya bahasanya.10 Proses penerjemahan membutuhkan keahlian dalam berbahasa, paling tidak ada dua bahasa, yaitu BSu dan BSa. Sebagaimana kita ketahui, baik itu di pesantren tradisional maupun modern, bahasa Arab adalah bahasa yang wajib dipelajari. Hal ini karena literatur-literatur Islam yang menjadi bahasan dalam pesantren sebagaian besar masih berbahasa Arab. Pada pesantren tradisional, pengetahuan bahasa Arab kemudian diaplikasikan secara langsung oleh interaksi kyai dan santri di pesantren dalam proses belajar-mengajar dan proses penerjemahan terjadi di
9 Milred L. Larson, Penerjemahan Berdasarkan Makna: Pedoman Untuk Pemadanan Antar Bahasa, (Jakarta: Arca, 1991) cet. ke 2 hlm. 262 10 Nurahman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemah, (Flores: Nusa Indah, 1986), cet. ke 1, hlm. 54
dalamnya. Kegiatan penerjemahan dalam pesantren salafi sangat unik, karena teks bahasa Arab diterjemahkan langsung di bawah teks tersebut dengan tulisan Arab “miring” yang berbahasa Jawa. Untuk lebih jelasnya penulis akan cantumkan contoh teks tersebut,
ُة5C.ِ واSِ.#8.ِ اY3Uَ ﺝZَO[ ِ\Uَ8.ِ و اSْOِ8.# ^دمَ ﺏZِ_\َ ﺏ,-َ` ِىbّ.ِ اIّOِ. ُ;ْUَE.ا ِSْVِE.&مِ واO8. اY3ﺏ#_1 ِIِﺏ#Eِ واﺹIِ.^ ZO[ِ وSَ9َ8ْ.بِ وا+8.;ِ ا36 ٍ;UE4 ZَO[ Teks tersebut diambil dari kitab Ta’lîm al-Muta’âlim. Perkataan
ُ;ْUَE.ا
diterjemahkan utawi sakabehane puji iku keduwe Allah, yang berarti “segala puji adalah kepunyaan Allah”, perkataan
oleh
ُ;ْUَE.ا
yang didahului
ِ الdan diakhiri dengan huruf U (damah U) diterjemahkan ke dalam
bahasa
Jawa
dengan
didahului
kata
utawi
dimaksudkan
untuk
menunjukkan bahwa perkataan tersebut adalah mubtada atau pokok kalimat. Hal ini sangat penting untuk diketahui oleh santri, sebab kitabkitab yang diajarkan dalam sorogan dan bandongan ditulis tanpa huruf hidup, sehingga untuk dapat membaca dengan benar dan cocok artinya para santri harus mengetahui tata bahasa Arab. Perkataan Arab
ِIّOِ.
sebenarnya terdiri dari dua kata yaitu li dikenal sebagai huruf jar atau
kata
sandang
penerjemahan
dan
Allahi
yang
diakhiri
dengan
huruf
hidup
I,
ِIّOِ. dalam bahasa Jawa didahului dengan perkataan iku
ِIّOِ. berkedudukan sebagai khabar
untuk menunjukkan bahwa perkataan atau predikat dalam kalimat tersebut.
Kalimat
َ ^دمZِ_\َ ﺏ,-َ` ِىbّ. اDiartikan kang wus ngutamakaken sapa
Allah marang putro wayahe Nabi Adam. Artinya “yang telah melebihkan anak cucunya Adam”. Perkataan
َ\,-َ`
diartikan wus ngutamakaken
untuk menunjukkan bahwa perkataan
َ\,-َ` adalah bentuk waktu selesai.
Sebelum menerjemahkan perkataan
َ ^دمZِ_ﺏ
para kyai menambahkan
pertanyaan retorik sapa Allah untuk lebih menjelaskan bahwa kata kerja
َ\,-َ`
adalah yang dalam bahasa Inggris disebut finite verb yang
subjeknya adalah Allah. Di dalam teks perkataan
ِSْVِE.وا
ِ&مO8. اY3ﺏ#_1 ِIِﺏ#Eواﺹ
diterjemahkan dengan perkataan pendahuluan pira-pira yang
artinya “beberapa”. Jadi diartikan dengan pira-pira sahabate Nabi, pirapira ilmu, lan pira-pira hikmah. Ini menunjukkan bahwa ketiga perkataan tersebut berbentuk majemuk.11 Dalam proses penerjemahan di pesantren tradisional ini, santri harus melalui dua tahap pengalihan bahasa, pertama dari bahasa Arab ke Arab Jawa, baru kemudian santri mengalihkan lagi ke bahasa Indonesia.
11
Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1985), cet. ke 4, hlm. 29
Sedangkan
pada
pesantren
modern,
proses
penerjemahan
dilakukan secara langsung. Menurut salah satu alumni pesantren modern, penerjemahan dilakukan menggunakan metode kata perkata12 secara langsung dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Sebagai contoh kalimat dalam QS. Al-Fatihah ayat 2, yaitu:
َeْ3ِUَ.#َ8ْ.ا
Qَرب
Seluruh alam
yang
ِFا Allah
ِل
ُ;َْUَEْ.َا milik
Segala puji
mengatur
Ini adalah contoh dari jumlah ismiyah, lalu contoh jumlah fi’liyah dalam QS. Al-Baqarah ayat 8 yaitu:
Sه mereka
&بOf hati
ZO[ kepada
F Allah
S=g Telah mengunci
Sه mereka
12
YU6 pendengaran
ZO[ kepada
و dan
Wawancara dengan Bapak KH Sundusi Ma’mun, (Jakarta: 29 April 2009) sedangkan Penerjemahan kata demi kata biasanya dilakukan dalam proses praktik pnerjemahan atau analisis terjemahan, sebelum sampai pada hasil final. Penerjemahan harfiah juga demikian. Tujuannya adalah agar seluruh komponen bentuk dan semantiknya dapat dikontrol secara cermat oleh penerjemah (M. Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, hlm. 20)
Di sini terlihat bahwa proses penerjemahan jumlah fi’liyah dengan model terjemahan kata perkata menyebabkan ketidak-berterimaan pada BSa. Karena mau tidak mau penerjemahan mengikuti struktur kalimat pada bahasa sumber. Penulis dalam hal ini juga menemukan ada satu hal yang bisa menjadi indikasi kelemahan dalam pencapaian hasil penerjemahan yang baik, yaitu penguasaan BSa yang kurang baik. Karena porsi bahasa Indonesia dalam proses belajar mengajar sangat kurang dibandingkan dengan bahasa Arab. Padahal bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran (BSa) dalam penerjemahan mutlak harus dikuasai oleh setiap penerjemah. Penulis tidak mengetahui secara pasti apa yang menjadi dasar dari kebijakan pola pendidikan di masing-masing pesantren tersebut, terutama berkenaan dengan pelajaran bahasa Indonesia. Padahal seperti yang dikatakan oleh seorang peneliti yaitu Beny Hoed, fasih
berbahasa
asing
tidak
dengan
sendirinya
mampu
menerjemahkan.13 Penguasaan BSu dan BSa adalah mutlak diperlukan
untuk pencapaian hasil terjemahan yang baik. Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui lebih dalam terhadap aktivitas penerjemahan para santri, khususnya santri pondok pesantren modern
dengan
melakukan
pengujian
terhadap
santri
dalam
menerjemahkan teks bahasa Arab modern. Dengan asumsi tersebut maka penulis menjadikan masalah ini sebagai bahan penelitian dengan
13
hlm. 3
M. Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemah, (Jakarta: 2007),
judul ”ANALISIS GRAMATIKAL TERJEMAHAN SANTRI PONDOK PESANTREN MODERN TERHADAP TEKS BAHASA ARAB MODERN (Kasus Terjemahan Santri Pondok Pesantren Modern
Al-Amanah Al-Gontory Perigi Baru,
Kec. Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten)”. Adapun sebagai data, Penulis memilih teks tertentu dari kitab fiqh sunnah karangan Sayyid Sabiq yang merupakan salah satu ulama besar Mesir pada abad 20.14
B.
Tinjauan Pustaka Dari hasil tinjauan Penulis terhadap penelitian yang dilakukan oleh
salah satu skripsi yang sudah ada, penelitian yang akan Penulis lakukan termasuk yang kurang populer, karena Penulis hanya menemukan satu judul skripsi yaitu ”STUDI PERBANDINGAN TERJEMAHAN SANTRI SALAFI TERHADAP TEKS KITAB KUNING DAN MODERN: Kasus Santri Pondok Pesantren
al-Jazirah” oleh Nurcholisoh. Skripsi tersebut menerangkan
tentang hasil analisis gramatika atas hasil terjemahan beberapa santri di pondok pesantren tersebut. Lalu Penulis mencoba dengan objek yang bisa dikatakan lain, yaitu santri pondok pesantren modern. Penulis berharap dengan penelitian ini, ditemukan realitas atau fakta baru yang lebih dari peneltian pertama. penulis berharap pula
14
Teks yang dimaksud adalah teks yang dikutip dari kitab Fiq Sunnah karya Sayyid Sabiq pada muqadimah bab shalat.
penelitian ini menjadi input baru bagi perbaikan sistem pengajaran untuk meningkatkan kemampuan para santri di pesantren tersebut pada khususnya, dan pesantren-pesantren lain pada umumnya.
C.
Pembatasan dan Perumusan Masalah Sebagaimana telah penulis kemukakan di atas bahwa metode
pengajaran
bahasa
Arab
pada
pesantren
modern
mempunyai
perbedaan dengan pesantren tradisional. Perbedaan tersebut dapat mempengaruhi hasil penerjemahan, baik yang positif maupun yang negatif. Penulis dalam penelitian ini membedakan kitab Arab modern dan Arab klasik. Kitab Arab modern dan Arab klasik mempunyai perbedaan dalam beberapa hal, yaitu: a. Pengarang dalam kitab Arab klasik umumnya adalah para ahli agama pada fase pertama penyebaran Islam, yaitu sekitar abad pertama sampai ke lima Hijriyah. b. Cara penulisan dalam kitab Arab klasik berbeda dengan kitab Arab modern, hal ini bisa dilihat dari tidak adanya sistem paragraph, tanda koma dan titik dalam penulisan kitab Arab klasik. c. Kitab Arab klasik menggunakan pendekatan tata bahasa yang kaku.
Untuk lebih mengarahkan penelitian ini kepada target yang diharapkan oleh penulis. maka Penulis dalam penelitian ini membatasi masalah pada rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana hasil terjemahan santri dilihat dari sisi gramatikal bahasa sumber (BSu) dan bahasa sasaran (BSa)?
2.
Bagaimana pengaruh bahasa sumber (BSu) yang terdapat pada hasil terjemahan santri?
D.
Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah yang telah penulis kemukakan di atas, tujuan
umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan terjemah santri. Adapun tujuan khususnya yaitu: 1.
Mengetahui bagaimana para santri menganalisis gramatikal Bsu (bahasa Arab) dan menerapkannya ke dalam sistem gramatikal Bsa (Bahasa Indonesia).
2.
Mengetahui berapa besar pengaruh sistem gramtikal BSu yang masih terdapat dalam hasil terjemahan para santri.
E.
Metode Penelitian Penulis dalam hal ini menggunakan metode penelitian yang bersifat
deskriptif kualitatif dalam arti bahwa penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana santri pondok modern tersebut menerjemahkan teks bahasa Arab secara baik.
Penelitian ini lebih diarahkan kepada analisis terjemahan yang dilakukan oleh beberapa santri yang telah ditetapkan sebagai sampel terhadap teks yang telah disediakan terlebih dahulu oleh penulis. Analisis dilakukan dengan melihat teks dari sisi gramatikal BSu dan Bsa. Dari hasil analisis
gramatikal
tersebut
diharapkan
kita
dapat
mengetahui
kemampuan mereka dalam menganalisis struktur gramatikal BSu dan menerapkannya ke dalam struktur gramatikal BSa yang baik, dan seberapa besar pengaruh struktur gramatikal BSu yang masih melekat dalam hasil terjemahan meraka. Dan sebagai bahan pendukung penelitian ini, Penulis mengadakan wawancara langsung baik dengan pihak
pesantren,
maupun
santri
itu
sendiri
mengenai
seputar
permasalahan penerjemahan.
F.
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang akan Penulis paparkan ini merupakan
strukturalisasi penulisan agar dapat dipahami dengan baik. Penulisan skripsi ini dibagi dalam 5 (lima) bab, yaitu: Pada BAB I, Penulis menjadikan bab ini sebagai bab pendahuluan yang akan menjelaskan tentang masalah yang menjadi dasar dari penelitian ini dan signifikansi atau studi kelayakan atas penelitian ini. Penulis membagi bab ini menjadi beberapa subbab, yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Pada BAB II, Penulis menjadikan bab ini sebagai kerangka teori yang dibangun yang akan menjadi landasan bagi penelitian. Bab ini sangat penting,
karena
dalam
bab
ini
akan
dijelaskan
bagaimana
penerjemahan itu, dan korelasi dengan metode penerjemahan pada santri
pesantren tradisional dan santri
pesantren modern. Penulis
membagi bab ini menjadi beberapa subbab, yang terdiri dari definisi penerjemahan,
teori
terjemah,
metode
penerjemahan,
proses
penerjemahan, gambaran umum pesantren, pengertian pesantren, sejarah perkembangan pesantren, kitab-kitab kuning sebagai kurikulum inti pesantren. Pada BAB III, Penulis menjadikan bab ini sebagai penjelasan tentang institusi atau lembaga yang menjadi objek penelitian penulis. Penulis membagi bab ini menjadi beberapa subbab, yang terdiri dari gambaran umum tentang pesantren tersebut, yang meliputi sejarah singkat pesantren tersebut, santri-santri pada pesantren tersebut, kitab-kitab yang diajarkan, dan sistematika pengajarannya. Sedangkan pada BAB IV, Penulis menjadikan bab ini sebagai landasan dan proses analisis dari penelitian penulis. Di sini Penulis akan mencoba menganalisis hasil terjemahan para santri. Analisis gramatikal hasil terjemahan teks modern yang sudah diterjemahkan oleh santri. Untuk BAB V, Penulis menjadikan bab ini sebagai penutup. Bab ini memuat kesimpulan dari hasil penelitian dan saran bagi penelitian tersebut.
Sedangkan untuk tehnik penulisan skripsi ini penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis, Disertasi) yang diterbitkan tahun 2007 oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta edisi terbaru.
BAB II KERANGKA TEORI
D.
Teori Penerjemahan 1.
Definisi penerjemahan Translation atau penerjemahan selama ini didefinisikan melalui
berbagai cara, latar belakang teori, atau pendekatan yang berbeda. Catford
menggunakan
pendekatan
kebahasaan
dalam
melihat
kegiatan penerjemahan dan dia mendefinisikan penerjemahan sebagai: “the replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL)” atau mengganti bahan teks dalam Bsu dengan bahan teks yang sepadan dalam Bsa.15 Newmark juga memberikan definisi serupa namun lebih jelas lagi: “Rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text” atau menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pengarang.16 Ilmuwan
bahasa
dari
Jerman,
G.
Jäger
mendefinisikan
penerjemahan sebagai transformasi teks dari satu bahasa ke teks bahasa lain tanpa mengubah isi teks asli.17
15
Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 5 Rohayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, hlm. 5 17 Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan: Language and Translation the New Millennium Publication, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2006) hlm. 9 16
Eugene A. Nida dan Charles R. Taber, dalam bukunya The Theory and Practice of Translation, memberikan definisi penerjemahan sebagai: “Translating consist in reproduction in the receptor language the closest natural equivalent of the source language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style.” Atau menerjemahkan merupakan kegiatan menghasilkan kembali di dalam bahasa penerima barang yang sedekat-dekatnya dan sewajar-wajarnya, sepadan dengan pesan dalam BSu, pertama-tama menyangkut maknanya dan kedua menyangkut gayanya.18 Dari beberapa definisi di atas, terlihat jelas bahwa dalam proses penerjemahan, faktor terpenting yang
harus diperhatikan adalah
kesepadanan kata, frase, klausa, kalimat, dan unsur-unsur bahasa lainnya pada Bsu ke dalam Bsa, agar isi yang disampaikan pada hasil penerjemahan tetap sama dengan maksud pengarang atau penulis (author) pada teks aslinya, sehingga memberikan kesan kepada pembaca bahwa yang dibaca bukanlah hasil terjemahan, melainkan buku aslinya. 2.
Model penerjemahan Agar penilaian pembaca juga tetap baik terhadap penerjemah,
maka perlu kiranya penerjemah memiliki pengetahuan tentang dua modal: (a) ragam atau model terjemahan, (b) cara menerjemahkan. Dengan kelengkapan itu praktis penerjemah mudah menjatuhkan pilihan
A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, (Jogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 11
18
terhadap ragam terjemahan dan mengetahui cara menggarap naskah atau teks lewat ragam itu dengan tepat. Newmark mengajukan dua kelompok metode penerjemahan, yaitu (1) metode yang memberikan penekanan terhadap BSu, yaitu metode yang diambil penerjemah dengan berupaya mewujudkan kembali dengan setepat-tepatnya makna kontekstual teks sumber (selanjutnya disebut TSu), meskipun akan dijumpai hambatan-hambatan dalam proses penerjemahan, baik itu hambatan sintaksis maupun semantik pada teks sasaran (selanjutnya disebut TSa); (2)
metode yang memberikan
penekanan terhadap BSa, dimana penerjemah berupaya menghasilkan dampak yang relatif sama dengan yang diharapkan oleh penulis asli terhadap pembaca versi BSu.19 3.
Cara Menerjemahkan Rochayah
Machali
mengatakan
dalam
bukunya
bahwa
penerjemahan bukan sekedar menggantikan sebuah teks dalam bahasa sumber ke bahasa sasaran. Sebuah teks tidak lahir dari sebuah ruang kosong, tanpa disertai maksud penulis, gaya penulis, budaya dan konvensi yang diikuti penulis, dan sebagainya.20 Dengan demikian, setiap teks tentunya bukanlah hal yang steril. Karena ketidaksterilan itulah penerjemah harus menganalisis terlebih
19 20
Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 49 Rohayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, hlm. 33
dahulu teks BSu sebelum menerjemahkannya. Ada tiga hal yang menjadi parameter dalam menganalisis, yaitu:21 a) Apa maksud pengarang menulis teks? Apakah untuk menjelaskan sesuatu (eksposisi), atau bercerita (narasi). b) Bagaimana
pengarang
atau
penulis
menyampaikan
maksud
tersebut? Apakah melalui kalimat yang bertenaga, atau melalui kalimat-kalimat yang mengandung ajakan yang terselubung. c) Bagaimana pengarang mewujudkan gaya tersebut dalam pemilihan kata, frase, dan kalimat? Apakah dengan menggunakan bantuan partikel penyangat seperti /-lah, kah, pun/ dalam beberapa frase tertentu? 4.
Perangkat Penerjemahan Ada
dua
penerjemah,
jenis
yaitu
perangkat
perangkat
yang
lazimnya
intelektual
dan
digunakan perangkat
oleh
praktis.
Perangkat intelektual mencakupi: (1) kemampuan yang baik dalam BSu; (2) kemampuan yang baik dalam BSa; (3) pengetahuan mengenai pokok masalah yang diterjemahkan; (4) penerapan pengetahuan yang dimiliki; (5)
keterampilan.
Perangkat
praktis
mencakupi:
(1)
kemampuan
menggunakan sumber-sumber rujukan, baik yang berbentuk kamus umum
biasa, kamus
elektronis, maupun kamus
peristilahan
serta
narasumber bidang yang diterjemahkan; (2) kemampuan mengenali konteks suatu teks, baik langsung maupun tidak langsung.22
21 22
Rohayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, hlm. 34 Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 11
Kedua jenis perangkat itu juga dapat disebut sebagai modal dasar yang harus dimiliki seorang penerjemah. Jika salah satu dari modal dasar itu tidak dimiliki atau kurang baik, maka terjemahan yang dihasilkan menampakkan
berbagai
kekurangan,
tergantung
dari
kadar
kemampuannya memanfaatkan perangkat di atas.23 5.
Kesetiaan dalam Penerjemahan Untuk mengetahui sebuah kesetiaan dalam penerjemahan harus
ada parameter yang dapat dijadikan patokan, seorang penerjemah harus setia pada penulis atau karya aslinya, kemudian kepada bahasa pembacanya. Oleh karena itu, parameter kesetiaannya adalah hubungan antara maksud penulis karya asli, bahasa sasaran, dan masyarakat pembaca terjemahan. Adapun mengenai penjelasan masing-masing parameter tersebut adalah: a. Penulis dalam membuat karyanya pasti mempunyai maksud tertentu. Di sinilah tugas seorang penerjemah untuk melacak maksud penulis. Ini dapat dilakukan dengan mengenali konteks, informasi karya, gaya, ragam bahasa, dan konotasi yang digunakan. b. Dalam mengungkapkan kembali pesan bahasa sumber, penerjemah harus dapat mencari padanannya dalam bahasa sasaran.
23
Rohayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, hlm. 11
c. Pembaca
terjemahan
merupakan
masyarakat
yang
berbeda
dengan pembaca karya asli, ini berarti terdapat perbedaan sosiokultural, bahasa, dan persepsi. Namun dalam beberapa kasus terjemahan suatu karya, kesetiaan pada karya asli itu mengalami perbedaan-perbedaan. Hal ini terjadi karena perbedaan dimensi untuk setia pada masing-masing terjemahan. Dimensi-dimensi yang berbeda tersebut antara lain: a. Dimensi subjektivitas Hal ini banyak terjadi pada setiap terjemahan. Misalnya beberapa penerjemah menerjemahkan teks yang sama, namun pendekatan yang digunakan setiap penerjemah berbeda-beda. Maka hasil terjemahan akan tidak sama persis. b. Dimensi zaman Jauhnya jarak waktu antara teks asli dan terjemahannya dapat menimbulkan masalah seperti kekunoan bahasa yang meyebabkan perbedaan pemahaman. Penerjemah akan mengalami dilema ketika dituntut harus mendekatkan hasil terjemahan dengan situasi dan kondisi teks sumber, dan di lain pihak harus pula menyesuaikan situasi dan kondisi pembaca teks terjemahan tersebut. Selain kedua dimensi di atas juga perlu diperhatikan adanya dimensi fungsional dalam penerjemahan. Dimensi ini yang paling jelas adalah tujuan dari penerjemah itu sendiri.
6.
Kesepadanan dalam Penerjemahan
i. Aspek lingusitik Eugene A. Nida dan Charles R. Taber, dalam bukunya The Theory and Practice of Translation, mengatakan bahwa menerjemahkan merupakan kegiatan menghasilkan kembali dalam bahasa penerima barang yang sedekat-dekatnya dan sewajar-wajarnya sepadan dengan pesan dalam bahasa sumber, pertama-tama menyangkut makna dan kedua menyangkut gayanya. Sebagaimana yang kita ketahui bersama dari pendapat ahli tersebut, bahwa dalam penerjemahan, padanan merupakan unsur yang penting setelah makna. Padanan (equivalent) yaitu kata atau frase yang sama atau bersamaan dalam bahasa lain.24 Dalam menentukan padanan untuk makna yang terkandung dalam BSu, seorang penerjemah sedapat mungkin harus menempatkan katakata yang paling sesuai, dan padanan terjemahan harus diungkapkan secara wajar dalam BSa dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah bahasa terjemahan, sehingga pembaca tidak merasakan atau dalam ungkapan Nida dan Taber “melupakan sejenak” bahwa yang ia baca adalah hasil terjemahan. Inilah yang dinamakan ekuivalensi dinamis atau padanan dinamis oleh Nida dan Taber dalam bukunya.
24
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, cet. 1 hal. 152
Dari pendapat di atas tampak oleh kita bahwa kesepadanan dalam BSa harus lebih diutamakan daripada kaidah-kaidah yang ada dalam BSu, sehingga seorang penerjemah boleh menggunakan jenis terjemahan bebas dengan padanan dinamis untuk mengungkapkan padanan yang wajar dalam bahasa sasaran. Pergeseran pemaknaan atau pemadanan tetap terjadi pada beberapa terjemahan, karena dua bahasa yang menjadi unsur proses terjemahan memiliki kaidah yang berbeda. Para ahli berbeda pendapat dalam mengungkapkan jenis pergeseran yang sering terjadi dalam penerjemahan. Rochayah Machali dalam bukunya mengklasifikasikan pergeseran itu menjadi beberapa macam, yaitu:25 ii.
Pergeseran bentuk (transposisi) Pergeseran bentuk adalah suatu prosedur penerjemahan yang melibatkan pengubahan bentuk gramatikal dari BSu ke BSa. Ada empat jenis pergeseran bentuk, yaitu: Pergeseran bentuk wajib dan otomatis yang disebabkan oleh
-
sistem dan kaidah bahasa. Dalam hal ini, penerjemah tidak mempunyai pilihan lain selain melakukannya. Seperti pergeseran adjektiva
atau
kata
sifat
dalam
bahasa Indonesia
yang
maknanya menunjukkan variasi yang tersirat dalam adjektiva menjadi penjamakan nomina dalam bahasa Inggris, contoh: TSu: Rumah di Jakarta bagus-bagus.
25
Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 63
TSa: The houses in Jakarta are built beautifully. Pergeseran nuansa makna, yaitu built beautifully lebih khusus dari versi BSu-nya “bagus-bagus”. -
Pergeseran yang dilakukan apabila suatu struktur gramatikal dalam BSu tidak ada di dalam BSa. Seperti peletakan verba di latar depan dalam bahasa Indonesia tidak lazim dalam struktur bahasa
Inggris,
kecuali
dalam
kalimat
imperatif.
Maka
padanannya memakai struktur kalimat berita biasa. Contoh: TSu: Telah disahkan penggunaannya. TSa: Its usage has been approved. -
Pergeseran yang dilakukan karena alasan kewajaran ungkapan; kadang-kadang, sekalipun dimungkinkan adanya terjemahan harfiah menurut struktur gramatikal, padanannya tidak wajar atau kaku dalam BSa. Seperti gabungan adjektiva bentukan dengan nomina atau frase nominal dalam BSu menjadi nomina + nomina dalam BSa, contoh: Medical student ----- menjadi ----- mahasiswa kedokteran
-
Pergeseran yang dilakukan untuk mengisi ketumpangan kosa kata (termasuk perangkat tekstual seperti /-pun/ dalam bahasa Indonesia) dengan menggunakan suatu struktur gramatikal. Seperti pergeseran unit yaitu misalnya dari kata menjadi klausa, frase menjadi klausa, dan sebagainya. Contoh:
Deliberate (TSu) ---- menjadi ---- dengan sengaja, tenang dan berhati-hati (TSa) iii.
Pergeseran makna (modulasi) Ada kalanya pergeseran struktur seperti yang terjadi pada prosedur transposisi itu melibatkan perubahan yang menyangkut pergeseran makna karena terjadi juga perubahan perspektif. Newmark membagi modulasi menjadi dua macam yaitu: -
Modulasi wajib, adalah prosedur penerjemahan yang dilakukan apabila suatu kata, frase atau struktur tidak ada padanannya dalam BSa sehingga perlu dimunculkan. Contoh: kata lessor dan lessee dalam bahasa Inggris, biasanya kata lesse diterjemahkan sebagai penyewa, tetapi padanannya untuk lessor tidak ada. Maka padanannya dapat dicari dengan mengubah sundut pandangnya atau dicari kebalikannya, yaitu “orang atau pihak yang menyewakan atau pemberi sewa”
-
Modulasi bebas adalah prosedur penerjemahan yang dilakukan karena alasan non-linguistik, misalnya untuk memperjelas makna, menimbulkan kesetalian dalam BSa, mencari padanan yang terasa alami dalam BSa, dan sebagainya. Contoh: menyatakan secara tersurat dalam BSa apa yang tersirat dalam BSu, seperti kata
environmental
degradation
diterjemahkan
menjadi
penurunan mutu lingkungan (konsep mutu tersirat dalam BSu) iv.
Adaptasi (penyesuaian)
Adaptasi adalah pengupayaan padanan kultural antara dua situasi tertentu. Misalnya salam resmi pembukaan surat ‘Dear sir’ dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi ‘Dengan hormat’, bukan ‘Tuan yang terhormat’. v.
Pemadanan berkonteks Pemadanan berdasarkan konteks atau contextual conditioning adalah penempatan suatu informasi dalam konteks, agar maknanya jelas bagi penerima informasi atau berita. Seperti ungkapanungkapan yang erat dengan budaya setempat. TSu: The mustang was the fastest in the race. TSa: Kuda mustang itu adalah yang tercepat dalam pacuan tersebut. Kata ‘mustang‘ adalah salah satu jenis dari kuda, kata kuda di depan kata
mustang
adalah
hasil
pemadanan
berkonteks
untuk
menjelaskan makna mustang yang masih rancu dalam BSa. vi.
Pemadanan bercatatan Pemadanan
bercatatan
dilakukan
setelah
penerjemah
tidak
menemukan padanan kata, frase, atau klausa dari TSu. Maka penerjemahannya dapat dilakukan dengan memberinya catatan (baik sebagai catatan kaki maupun sebagai catatan akhir). b) Aspek semantik Semantik sebagai salah satu cabang linguistik baru mendapat perhatian dari para linguis dan menjadi kegiatan yang tidak dapat
dipisahkan dari studi linguistik sejak tahun enam puluhan, ketika mereka mulai menyadari bahwa kegiatan berbahasa merupakan kegiatan mengekspresikan
lambang-lambang
bahasa
untuk
menyampaikan
makna-makna yang ada pada lambang-lambang tersebut. Banyak sekali para ahli membicarakan tentang makna secara panjang lebar, seperti Larson, Pateda, dan lain-lain. Namun di sini penulis hanya akan membahas beberapa jenis makna yang dianggap sesuai dengan pembahasan ini, yaitu: 1) Makna Referensial Makna referensial adalah makna yang menunjuk pada acuannya (referennya). Acuan tersebut dapat berupa benda, gejala, peristiwa, dan sebagainya. Contoh makna referensial ada pada leksem /kursi/. Makna yang diacu adalah benda dengan wujud atau bentuk kursi seperti kalimat kursi itu terbuat dari kayu jati.
2) Makna Gramatikal Makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti afiksasi, reduplikasi dan komposisi. Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat batu seberat itu terangkat juga oleh adik melahirkan makna dapat dan dalam kalimat ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan makna gramatikal tidak disengaja. 3) Makna Kontekstual
Dalam analisis wacana dan analisis semantik kita sering berbicara tentang konteks. Makna dan informasi yang kita peroleh dan kita tafsirkan tidak dapat dilepaskan dari konteks. Para antropolog memberikan tiga ciri yang harus dipenuhi untuk menciptakan satu konteks. Konteks adalah satu situasi yang terbentuk karena terdapat setting, kegiatan, dan relasi. Jika terjadi interaksi antara tiga komponen itu maka terbentuklah konteks.26 Jadi makna kontekstual adalah makna yang terjadi karena adanya interaksi antara setting (waktu dan tempat), kegiatan (tingkah laku yang terjadi dalam interaksi berbahasa), dan relasi (hubungan antara peserta bicara dan tutur) dalam berbahasa.27
E.
Teori Gramatikal dan Penggunaannya dalam Penerjemahan Sebelum melangkah lebih jauh, penulis mencoba memahami apa
yang dimaksud dengan gramatika dan gramatikal. Harimurti Kridalaksana dalam kamus linguistiknya mendefinisikan kata gramatika dengan beberapa definisi, yaitu:28 1.
Gramatika sebagai subsistem dalam organisasi bahasa di mana satuan-satuan bermakna bergabung untuk membentuk satuansatuan yang lebih besar. Secara kasar, gramatika terbagi atas
26
Jose Daniel Parera, Teori Semantik (edisi kedua), (Jakarta: Erlangga, 2004) hlm.229 Jose Daniel Parera, Teori Semantik (edisi kedua), hlm. 229 28 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (edisi ketiga), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 66 27
morfologi dan sintaksis dan terpisah dari fonologi, semantik, dan leksikon. 2.
Seluruh sistem hubungan struktural dalam bahasa dan dipandang sebagai seperangkat kaidah untuk membangkitkan kalimat; di dalamnya tercakup pula fonologi dan semantik.
3.
Penyelidikan mengenai subsistem suatu bahasa yang mencakup satuan-satuan bermakna, merupakan cabang lingustik.
4.
Pemerian secara sistematis tentang satuan-satuan bermakna. Sedangkan
kata
gramatikal
sendiri
didefinisikan
juga
oleh
Kridalaksana sebagai,29 1.
Diterima oleh bahasawan sebagai bentuk atau susunan yang mungkin ada dalam bahasa.
2.
Sesuai dengan kaidah-kaidah gramatika suatu bahasa.
3.
Bersangkutan dengan gramatika suatu bahasa. Dari definisi yang dikemukakan oleh Harimurti Kridalaksana itu,
penulis menyimpulkan bahwa teori gramatikal adalah suatu teori yang membahas tentang satuan-satuan bahasa yang bermakna (yaitu kata) dan satuan-satuan itu memiliki hubungan struktural dalam satu bahasa tertentu dan disepakati oleh suatu sekelompok orang atau suku bangsa sebagai seperangkat kaidah-kaidah untuk merangkai kalimat. Harimurti
Kridalaksana
dalam
definisinya
tentang
gramatika,
menyebutkan bahwa gramatika terbagi atas morfologi dan sintaksis.
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (edisi ketiga), hlm. 67
29
Morfologi adalah30 bidang linguistik yang mempelajari morfem dan kombinasi-kombinasinya.
Dan
sintaksis
adalah31
pengaturan
dan
hubungan antara kata dengan kata, atau dengan satuan-satuan yang lebih besar, atau antara satuan-satuan yang lebih besar itu dalam bahasa. Sebelum membahas sintaksis lebih jauh dalam kajian bahasa, kajian linguistik akan memberikan pemahaman kepada kita mengenai hakikat dan seluk beluk bahasa sebagai satu-satunya alat komunikasi terbaik yang hanya dimiliki manusia. Secara popular linguistik adalah ilmu tentang bahasa, atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, atau lebih tepat lagi seperti yang dikatakan Martinet: telaah ilmiah mengenai bahasa manusia. Kata linguistik (berpadanan dengan linguistics dalam bahasa Inggris, linguistique dalam bahasa Prancis, dan linguistiek dalam bahasa Belanda) yang diturunkan dari bahasa Latin lingua yang berarti “bahasa”. Di dalam bahasa-bahasa “roman” yaitu bahasa yang berasal dari bahasa Latin, terdapat kata yang serupa dengan kata Latin lingua, antara lain, lingua dalama bahasa Italia, langue dalam bahasa Spanyol, langage dalam bahasa Prancis.
30
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (edisi ketiga), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 142 31 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (edisi ketiga), hlm. 199
Di sini perlu diperhatikan bahwa bahasa Prancis mempunyai dua istilah, yaitu langue, dan langage dengan makna yang berbeda. Langue berarti suatu bahasa tertentu seperti bahasa Inggris, Arab, Indonesia. Sedangkan langage, bahasa secara umum seperti tampak dalam ungkapan
“manusia
punya
bahasa
sedangkan
binatang
tidak”,
sedangkan dua istilah di atas bahasa Prancis mempunya istilah lain mengenai bahasa seperti kata parole yang berarti bahasa dalam wujud yang nyata, kongkrit yaitu berupa ujaran yang digunakan sehari-hari sedangkan langage adalah sistem bahasa manusia secara umum, jadi sifatnya paling abstrak.32 Sintaksis (ilmu nahwu) merupakan salah satu kajian yang tidak dapat dipisahkan, karena ia merupakan cabang linguistik yang mengkaji unsur terpenting dalam bahasa yaitu kalimat. Kalimat merupakan satuan bahasa yang pengaturan dan hubungan antara kata dengan kata atau dengan satuan-satuan yang lebih besar yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final baik itu secara aktual maupun potensial terdiri dari klausa.33 Sintaksis berasal dari bahasa Yunani, “sun”. Secara etimologis, sintaksis berarti menempatkan secara bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata dan kelompok kata menjadi kalimat.34
32
Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), cet ke 1, hlm. 1 dan 2 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), cet. Ke-5, hlm. 199 dan 92 34 Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rhineka Cipta, 1994), cet. ke 1, hlm. 2006 33
Oleh karena itu dalam pembahasannya, sintaksis menyangkut kalimat dan kata berarti juga menyangkut tata bahasa, maka perlu juga diketahui bahwa dalam tata bahasa secara keseluruhan, mempunyai lima komponen dasar yaitu struktur gramatikal, sistem gramatikal, kategori gramatikal, fungsi gramatikal, dan peran gramatikal. Akan tetapi, dalam pembahasan ini Penulis hanya menjelaskan mengenai kategori sintaksis, morfologi, dan kategori gramatikal, sesuai dengan kebutuhan dalam penulisan skripsi ini.
1.
Kategori Sintaksis
Dalam ilmu bahasa, kata dikelompokkan berdasarkan bentuk perilakunya, dan antara satu kelompok akan berbeda dengan kelompok lainnya. Dengan kata lain, kata dibedakan berdasarkan ketegori sintaksisnya. Kategori sintaksis sering pula disebut kategori atau kelas kata. Bahasa Indonesia memiliki empat macam kelas kata utama, yaitu : Verba yang sepadan dengan fi’il dalam bahasa Arab, nomina yang sepadan dengan isim dalam bahasa Arab, adjektiva yang sepadan dengan na’at dalam bahasa Arab dari segi semantisnya, namun berbeda dari segi kategorinya karena na’at bukan termasuk kelas kata, dan kelas kata yang terakhir adalah adverbial atau kata tugas. a. Verba (fi’il) Verba atau kata kerja dalam bahasa Indonesia terbagi menjadi beberapa macam bentuk tergantung pada perilakunya; apakah
sintaksis, semantik, atau bentuk morfologisnya. Namun secara umum verba dapat dibedakan dari kelas kata lainnya terutama dari adjektiva dengan ciri: “verba mengandung makna inheren perbuatan, proses, dan keadaan yang bukan sifat, atau kualitas, dan memiliki fungsi utama sebagai predikat atau inti predikat walaupun juga dapat mempunyai fungsi lain,” contoh verba dasar tanpa afiks: “Hasan sedang makan di dapur”. Maka kata makan merupakan verba tanpa afiks yang memerlukan komplemen yang berupa keterangan pelengkap.35 Sedangkan yang dimaksud dengan tanda bentuk yaitu verba yang mengadung afiks, yang pada umumnya berupa prefiks, seperti me-, di-, ber-, ter-, per-, ada juga yang berupa konfiks gabungan prefiks dan sufiks seperti ke-an. Sebagai contoh dari uraian di atas penulis memberi contoh sebagai berikut: i.
Verba berafiks me- (N) Contoh: Gadis itu memperlihatkan barisan giginya yang rapi.
ii.
Verba berafiks diContoh: Seorang putri Kerajaan Champa dipersunting sebagai permaisuri.
iii.
Verba berafiks ber- (aktif) Contoh: Aku perlu berhubungan dengan dia.
iv.
Verba berafiks ter- (pasif)
35
Hasan Alwi, d.k.k., Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia: Edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), cet. Ke-4, hlm. 87
Contoh: Habitat Orang Utan semakin terdesak oleh perambahan hutan v.
Verba berafiks ke-an (pasif) Contoh: Banyak bayi di Indonesia kekurangan gizi Dalam bahasa Arab, fi’il terbagi tiga, yaitu fi’il mâdly, fi’il mudlâri,
dan fi’il ‘amar. Walaupun ada beberapa bentuk fi’il berdasarkan bentuk morfologisnya (sharaf). Fi’il mâdly menunjukkan kejadian atau perbuatan yang telah berlalu. Contohnya kata
?= آdalam kalimat ُ/َjُْO.ٌ اeَiَ< َ?َ=َآ
ُ/َْ3َِﺏ+َ8. اmenjadi kalimat /ُ َْ3َِﺏ+َ8.ُ ا/َjُO.آُ=ِ?َ ا
.
Fi’il mudlâri menunjukkan kejadian atau perbuatan yang sedang berlangsung dan akan datang. Contohnya kata
?=V1 yang berarti dia
(laki-laki) sedang atau akan menulis. Dan fi’il ‘amar yang berarti kata kerja yang menuntut pendengarnya untuk melakukan apa yang dikatakan oleh pembicara. Contohnya kata
ُوا+ِUَ=6ِا
yang berarti
dengarkan atau dengarlah.36 b. Nomina (isim) Nomina adalah kelas kata yang biasanya dapat berfungsi sebagai subjek atau objek dari klausa. Kelas kata ini berpadanan dengan nama orang, benda, atau hal lain yang dibedakan dalam alam luar bahasa.
36
Hifni Bek Dayyah, Muhammad Bek Dayah, d.k.k., Kaidah Tata Bahasa Arab, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1991), cet. Ke-3, hlm. 20-24
Sebagaimana halnya verba, nomina dalam bahasa Indonesia dapat diketahui berdasarkan perilaku sintaksis, semantik, atau bentuk morfologisnya. Akan tetapi, nomina mempunyai ciri tertentu yang membedakannya dari kelas kata lain yaitu nomina menduduki fungsi subjek, predikat, atau pelengkap dalam kalimat yang predikatnya verba dan ia tidak dapat diingkari dengan kata tidak melainkan dengan kata bukan. Contohnya pada kalimat Ibuku bukan pramugari.37 Dalam bahasa Indonesia sebuah kata dapat dicalonkan ke dalam kata benda jika kata tersebut berfrase dengan kata tugas di-, ke-, tentang, pe-. Misalnya ketua, di rumah, kehendak, pemuda. Dalam bahasa Inggris sebuah kata masuk dalam kata benda, apabila secara frase dapat dihubungkan dengan kata-kata seperti the, a few, some, every, atau dengan sufiks er seperti farmer, writer, reader.38 Sementara isim
dalam bahasa Arab merupakan kata yang
menunjukkan makna mandiri dalam arti ia tidak terpengaruh zaman atau kala. Contohnya kata
;U< اyang berarti nama orang, kata tersebut tidak
terpengaruh oleh kala. Isim atau nomina secara umum terbagi dua yaitu isim nakiroh, yaitu kata benda yang masih umum seperti kata
?.#2
maksudnya adalah seorang mahasiswa laki-laki (mana saja, boleh siapa saja, atau masih bersifat umum). Dan isim ma’rifah yang menunjukkan
37 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), cet. Ke-5, hlm. 145 dan 146 38 Jose Daniel Parera, Bidang Morfologi, Pengantar Lingustik Umum, seri B, (Ende Flores: Nusa Indah, 1977), hlm. 15 dan 16
kata benda tertentu (sifatnya pasti) misalnya kata
ال
menjadi
?.#k.ا
?.#2 ditambah huruf
yang berarti mahasiswa laki-laki itu (bersifat khusus
atau pasti). Adapun turunan dari isim ma’rifah yaitu:
1) Isim dhomir, pronominal, person. Contohnya derivasinya kata
Z_=4+? اآ.#2
Serta
@Pه& ا
2) Isim idlofah, yaitu nominal yang dipakai sebagai atribut. Contohnya
@3 ﺏe4 +Aع اآ#U=ﺝ7 ا/[#f 3) Isim isyarat atau penanda deiksis. Contohnya
ة+9l. اmb ه#ﺏ+0 ﺕ7و 4) Isim mausul, atau nomina relatif, contohnya
ِI ﺏ7&مُ إ017 يb.ِ اe1;.دُ ا#Uِ[ $K` 5) Isim alam atau nama diri kata contohnya
SO6 وI3O[ F&ل ا6; رUE4 c. Adjektiva Adjektiva adalah kata yang menjelaskan kata benda atau yang dibendakan. Dalam bahasa Indonesia adjektiva mempunyai ciri dapat bergabung dengan kata tidak dan partikel, seperti lebih, sangat, paling, amat, dan sedangkan. Calon kelas kata sifat bahasa Inggris pada umumnya dapat dicirikan dalam frase very, must dan yang dapat bersufiks dengan -er, -est, -st.
Ada juga secara morfologis calon kelas kata sifat ini berproses dengan bentuk se/+bd+nya seperti konfiks se-nya dengan bentuk dasar ulangan misalnya sepandai-pandainya.39 Menurut Hasan Alwi, adjektiva ada yang ditandai dengan prefiks ter- yang berarti paling, contohnya terpintar artinya paling pintar sedangkan verba bermakna keadaan tidak bisa menerima prefiks terseperti kata mati atau suka. Lain halnya dengan kata terbuka, tertutup atau tertidur.40 d.
Adverbia (kelas kata tugas) Dilihat dari segi fungsinya adverbia mempunyai dua peran. Pertama
memberi keterangan pada verba, adjektiva, nomina predikatif, atau kalimat. Contohnya: 1) Saya ingin lekas-lekas pulang. Kata lekas adalah adverbia yang menerangkan verba pulang. 2) Orang itu sangat baik. Kata sangat adalah adverbia yang menerangkan adjektiva baik. 3) Ayah saya hanya petani. Kata hanya adalah adverbia yang menerangkan nomina predikatif. 4) Sebaiknya Engkau datang. Kata sebaiknya adalah adverbia yang menerangkan kalimat engkau datang secara keseluruhan.
39 Jos Daniel Parera, Bidang Morfologi, Pengantar Lingustik Umum, seri B, (Ende Flores: Nusa Indah, 1977), hlm. 17 40 Hasan Alwi, d.k.k., Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia: Edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), cet. ke 4, hlm. 87
Kedua adverbia sebagai kategori yang harus dibedakan dari keterangan sebagai fungsi kalimat. Contohnya: 1) Ia datang kemarin. Kata kemarin berkategori nomina (bukan adverbia) tetapi fungsinya adalah keterangan waktu. 2) Orang itu sangat baik. Kata sangat berfungsi sebagai keterangan dan kebetulan juga kategorinya adalah adverbia. Dari penjelasan di atas, peran adverbia pertama biasa disebut tataran frase, sedangkan peran adverbia kedua bisa disebut tataran klausa yang disebut fungsi sintaksis seperti subjek, predikat, objek, dan sebagainya. Adverbia yang secara semantik bergantung pada satuan leksikal lain. Keberadaannya di dalam suatu satuan frase berkaitan dengan konstituen lain. Keterkaitan itu merupakan hubungan antara pewatas dan inti. Contoh pada frase sangat baik, kata baik adalah inti dan kata sangat menjadi pewatasnya. Adverbia yang jangkauannya meliputi seluruh kalimat atau klausa tidak terikat pada batas frase. Adverbia jenis itu biasanya berpindah tempat di dalam kalimat, contoh: 1) Biasanya Dia pulang sore. 2) Dia biasanya pulang sore. 3) Dia pulang sore biasanya. Bentuk lain yang termasuk adverbia jenis itu adalah sebenarnya, sesungguhnya, agaknya, rupanya, seyogyanya, sebaiknya.
Adverbia
berdasarkan
perilaku
semantisnya
terbagi
menjadi
delapan macam. Di antaranya adverbia pewatas adjektiva, adverbial frekuentif, atau pewatas verba dan adverbial kewaktuan. Adverbia frekuentif atau pewatas verba merupakan adverbia yang menggambarkan makna yang berhubungan dengan saat terjadinya peristiwa yang diterangkan oleh adverbia itu. Kata yang termasuk dalam adverbia ini di antaranya: baru, segera, dahulu, dan lain-lain. Contohnya: Pamanku dulu seorang Bupati.41 e. Frase (Tarkib) Gabungan dua buah kata atau lebih yang merupakan satu kesatuan, dan menjadi salah satu unsur atau fungsi kalimat (subjek, predikat, objek, atau keterangan) biasanya dikenal dengan istilah frase.42 Frase yaitu gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif; gabungan dapat rapat dan renggang, misalnya: gunung tinggi adalah frase karena merupakan konstruksi nonpredikatif, konstruksi ini berbeda dengan gunung itu tinggi yang bukan frase karena bersifat predikatif.43 Abdul Chaer dalam bukunya mengklasifikasikan frase menjadi dua macam. Yaitu frase yang dilihat dari kedudukan kedua unsur yang membentuknya dan frase yang dilihat dari fungsi dan jenisnya. Frase jika
41
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tata Bahasa Indonesia, (Jakarta: DepDikBud) hlm. 223-226 42 Abdul Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rhineka Cipta, 1998), hlm. 301 43 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), cet. Ke-5, hlm. 145 dan 146
dilihat dari kedudukan kedua unsur yang membentuknya dibedakan menjadi;44 1) Frase setara Adalah frase yang kedudukan kedua unsurnya sama derajatnya. Yang satu tidak tergantung sama yang lain, seperti: ayah dan ibu dalam kalimat “Ternyata Ayah Ibu sudah tidak ada.” 2) Frase bertingkat Adalah frase yang kedudukan kedua unsurnya tidak sama. Unsur yang satu kedudukannya sangat penting sehingga tidak dapat ditanggalkan; sedangkan unsur yang lain kedudukannya hanya merupakan penjelas atau tambahan saja. Seperti: sudah makan dalam kalimat “Andi sudah makan tadi pagi”. 3) Frase terpadu Adalah frase yang kedudukan kedua unsurnya tidak dapat ditanggalkan sama sekali. Kalau salah satu unsurnya ditanggalkan maka kalimatnya tidak dapat diterima. Seperti: dari kantor dalam kalimat “Ayah baru pulang dari kantor”. Jika dilihat dari fungsi dan jenisnya, maka ada empat macam frase, yaitu:45 a) Frase benda
44
Abdul Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rhineka Cipta, 1998),
hlm. 302 Abdul Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, hlm. 317.
45
Frase ini lazimnya digunakan untuk menjadi subjek atau objek di dalam kalimat. Misalnya frase pidato Presiden dalam kalimat Kami mendengarkan pidato Presiden melalui radio. Frase pidato Presiden menjadi objek dalam kalimat tersebut. b) Frase kerja Frase ini lazimnya digunakan untuk menjadi unsur predikat di dalam kalimat. Mempunyai dua struktur, yaitu a) berstruktur M – D, dan b) berstruktur D – M. unsur D selalu kata kerja dan unsur M berupa kata-kata keterangan. Misalnya frase tidak mendengar dalam kalimat “Andi tidak mendengar apa-apa ketika pencuri masuk ke rumahnya”. Frase tersebut terdiri
dari kata tidak (M) dan
mendengar (D). c) Frase sifat Frase sifat yang biasanya menjadi unsur predikat di dalam kalimat, juga mempunyai dua macam struktur, yaitu a) M – D dan b) D – M. Misalnya frase sangat baik46 dalam kalimat “Budi sangat baik dalam bekerja”. d) Frase preposisi dan keterangan Frase preposisi yang biasa menjadi unsur K (keterangan) di dalam kalimat mempunyai struktur: unsur pertama berupa kata depan dan unsur kedua berupa kata benda atau frase benda. Berbeda dengan frase benda atau frase kerja pada frase preposisi tidak
46
Unsur pertama sebagai unsur M adalah kata keterangan derajat, dan kata kedua sebagai unsur D adalah kata sifat.
ada unsur D dan unsur M karena kedua unsur pembentuk frase preposisi itu secara bersama-sama membentuk satu kesatuan terpadu yang tidak dapat dipisahkan. Contoh: kalimat Ibu pergi ke pasar tidak bisa menjadi Ibu pergi ke. Frase keterangan yang biasa menjadi K (keterangan) di dalam kalimat
mempunyai
struktur:
unsur
pertama
berupa
kata
penghubung, dan unsur kedua berupa kata keterangan atau kata-kata lain. Sama dengan frase preposisi, frase keterangan pun tidak ada unsur D dan M dalam pembentukannya. Karena kedua unsur
pembentuk
frase
preposisi
itu
secara
bersama-sama
membentuk satu kesatuan terpadu yang tidak dapat dipisahkan. Contoh: kalimat Mereka berjalan dengan tidak diterima, karena seharusnya Mereka berjalan denga hati-hati. Dalam bahasa Arab, frase diartikan sebagai tarkib atau gabungan antara dua kata atau lebih yang belum membentuk klausa atau kalimat. ada dua macam frase dalam bahasa Arab yaitu: a. Tarkib Washfi Sebagaimana yang kita ketahui dalam bahasa Inggris, frase dibagi menjadi lima, yaitu frase nominal, frase verbal, frase adverbial, frase adjektival, dan frase numeralia. Namun dalam bahasa Arab, frase atau tarkib washfi bisa juga berbentuk frase adjektival dan
frase nominal.47 Tarkib washfi biasanya berbentuk na’at man’ut, contoh: Bahasa Indonesia
Bahasa Arab
Pemikiran politik
$6#3i. ا+Vn.ا Yرﺏoا<\ ا+U.ا
Empat langkah
b. Tarkib Idhafi Sebagaimana yang kita ketahui dalam bahasa Inggris, frase dibagi menjadi lima, yaitu frase nominal, frase verbal, frase adverbial, frase adjektival, dan frase numeralia. Namun dalam bahasa Arab, frase atau tarkib idhafi bisa berbentuk frase nominal, frase adverbial, dan frase verbal. Frase idiomatik dalam bahasa Arab biasanya berbentuk tarkib idhafi.48 Tarkib idhafi biasanya berbentuk mudhaf (pokok) dan mudhaf ilaih (tambahan), contoh:
Bahasa Indonesia Menghadapi Irak
permasalahan
Bahasa Arab
اق+8. ا/OVl4 /K&اﺝ4 ;U< أ/01;< زرت
Saya mengunjungi kebun milik
47 Syarif, Hidayatullah, Tehnik Menerjemahkan Teks Arab I, Tangerang: Transpustaka, 2005, hlm. 21 48 Syarif, Hidayatullah, Tehnik Menerjemahkan Teks Arab I, Tangerang: Transpustaka, 2005, hlm. 25
Ahmad
1.
Pola Dasar Kalimat Masing-masing bahasa mempunya pola dasar kalimat, baik itu
bahasa Indonesia, maupun bahasa Arab. Pola dasar kalimat dalam bahasa Indonesia, yaitu: 1.
NP + NP Contoh: Ibu Dokter.
2.
NP + AP Contoh : Bogor Sejuk.
3.
NP + VP Contoh : Petani Mencangkul.
4.
NP + VP + NP Contoh : Dia Belajar Semantik.
5.
NP + VP + NP + NP Contoh : Ibu membelikan kakak pakaian. Pola dasar kalimat dalam bahasa Arab hanya dua pola dasar, yaitu:
1. Jumlah Ismiyah isim + isim
Contoh:
ٌ?[7 ٌ;1ذ
atau
ٌSp#f َ@Pأ
2. Jumlah fi’liyah fi’il + fail
Contoh:
f.
ٌ;1ِ?َ ذ8.َ
atau
ٌ;U<مَ أ#f
Perluasan Pola Dasar Kalimat Dalam bahasa Indonesia, perluasan pola dasar kalimat bisa terjadi
pada subjek, predikat maupun objek, seperti: 1.
NP + VP + NP Contoh : Petani yang rajin sedang mencangkul kebunnya yang luas.
2.
NP + NP + VP + NP + AP Contoh : Petani yang membeli pupuk kurus. Begitu juga dalam bahasa Arab, perluasan bisa terjadi pada
subjek maupun objek kalimat. seperti: 1.
NA + A
contoh:
g.
ل#q \3U9.ب ا#=V.ا
Pernyataan Ingkar 1.
NP + NP --------------------------- NP + bukan + NP Ayah dokter.
Ayah bukan dokter.
2. NP + VP --------------------------- NP + tidak + VP Mobil itu mogok
Mobil itu tidak mogok.
3. NP + AP ---------------------------- NP + tidak + AP Petani itu kurus
Petani itu tidak kurus
. h.
Pertanyaan NP + NP ----------------------------- NP + NP + kah? Ayah dokter.
Ayah dokter kah?
NP + NP ----------------------------- NP + AP + kah? Jakarta ramai
Jakarta ramai kah?
NP + VP + NP ---------------------- NP + VP + NP + kah? Petani mencangkul kebun i.
Petani mencangkul kebun kah?
Pasif Dalam bahasa Indonesia perubahan dari aktif ke pasif ditandai
dengan perubahan imbuhan dari me- menjadi di-. Namun dalam bahasa Arab perubahan dari aktif ke pasif ditandai dengan perubahan bentuk fi’il
dimana
pada
fi’il
madi
perubahannya
dilakukan
dengan
mendamahkan huruf awal dan memberi harkat kasrah pada huruf sebelum huruf akhir. sedangkan pada fi’il mudori
perubahannya
dilakukan dengan mendamahkan huruf awal dan memberi harkat fatah pada huruf sebelum akhir.
Contoh perubahan dalam bahasa Indonesia: N1 + me- + Vt + N2 --------------------- N2 + di- + Vt + oleh + N1 Ayah membaca koran.
Koran itu dibaca oleh Ayah.49
Contoh perubahan dalam bahasa Arab:
ُ/.#6+. آُ=ِ?َ ا------------
j.
َ/.#6+.;ُ اU<آَ=َ?َ ا
Konjungsi Konjungsi
atau
kata
sambung
adalah
kata
tugas
yang
menghubungkan dua klausa atau lebih. Seperti kata dan, kalau, atau, tetapi, kemudian, karena, sejak, sehingga, sebab, meskipun, jadi, sesudah, selanjutnya, maka, dan demikian. Dalam praktek kebahasaan terutama dalam bahasa tulis banyak kita jumpai penulisan kata (konjungsi) di awal kalimat dengan kata penghubung seperti sehingga, dan, atau, tetapi, karena, kemudian, sebahagian. Kata penghubung tersebut bertugas menduduki posisi awal kalimat. Ada sebagian konjungsi yang menyatakan hubungan antar kalimat atau ujaran lain seperti kata jadi, karena itu, dengan demikian, kalau begitu, oleh karena itu, oleh sebab itu, sebab itu, meskipun
49
Jose Daniel Parera, Bidang Sintaksis, Pengantar Lingusitik Umum, seri C, (Flores: Nusa Indah, 1978), hlm. 18-24
demikian, walaupun begitu, sesudah itu, selanjutnya, itulah sebabnya, dan karena itulah.50 k.
Kalimat Efektif Kalimat efektif adalah kalimat yang baik karena apa yang dipikirkan
atau dirasakan oleh si pembaca (si penulis dalam bahasa tulis) sama benar dengan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh si penutur (si penulis itu) atau kalimat yang dapat mencapai sasarannya secara baik.51 Selain itu kalimat efektif mempunyai ciri-ciri khas, yaitu kesepadanan struktur, keparalelan bentuk, ketegasan makna, kehematan kata, kecermatan penalaran, kepaduan gagasan, dan kelogisan bahasa.52
2.
Kategori Gramatikal
Klasifikasi gramatikal adalah komponen dalam tata bahasa yang memeperlihatkan
bagaimana
satuan-satuan
gramatikal
dengan
berbagai cirinya berperilaku sebagai satuan yang lebih abstrak dalam satuan gramatikal yang besar. Kategori dibedakan atas kategori primer yang terdiri atas kelas kata, dan kategori sekunder yang terdiri dari modus, kala (tenses), aspek, diatesis, jumlah, dan kasus.
50
Abdul Chaer, Gramatika Bahasa Indonesia, (Jakarta:1989 ), hlm. 109-113 J.S. Badudu, Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 188. 52 E. Zaenal Arifin, dan S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Akademi Pressindo, 1992), hlm. 72 51
Kategori primer yang terdiri dari kelas kata telah dijelaskan dalam subbab di atas, sedangkan kategori primer yang terdiri dari enam macam kategori, empat di antaranya menjadi kategori yang sangat penting dalam bahasa Arab, yaitu: a.
Jumlah (number) Jumlah adalah kategori gramatikal yang membeda-bedakan
jumlah. Misalnya tunggal (mufrad), dual (mutsanna), dan jamak (jama’). Dalam
bahasa
Arab
perbedaan
ketiga
jumlah
tersebut
akan
mempengaruhi struktur kalimat atau katanya. Begitu pun dalam bahasa Inggris yang membedakan adanya single dan plural. Contoh: kata book (single) dalam bahasa Inggris menjadi books (plural atau dua). Sedangkan dalam bahasa Arab kata
;U94
(mufrad) menjadi
;انU94 (mutsanna) dan ;ونU94 (jama’ muzakar salim untuk nomina). Sedang untuk verba contoh:
&اA=آ
?=( آmufrad) menjadi #A=( آmutsanna) dan
(jama’ muzakar salim untuk verba). Model tersebut tidak terjadi
dalam bahasa Indoensia karena dalam bahasa Indoensia jumlah dinyatakan dengan tidak merubah susunan kata atau menambah huruf di belakangnya. Melainkan dinyatakan dengan kata-kata khusus seperti seekor, dua ekor dan seterusnya (untuk menyatakan jumlah binatang) atau sebuah, dua buah, dan seterusnya (untuk menyatakan jumlah benda). b.
Tenses (kala)
Tenses adalah kategori gramatikal kata kerja yang dinyatakan dengan perbedaan gramatika dengan melihat waktu pengerjaan atau pengucapan suatu kalimat (ejaan), atau lebih jelasnya bentuk kata kerja untuk menyatakan hubungan waktu. Dalam bahasa Arab selain dikenal adanya tenses lampau, akan datang, sedang, atau waktu sekarang, juga ada bentuk lain. Seperti yang dikatakan oleh Scott bahwa dalam bahasa Arab dikenal adanya dua bentuk tenses yaitu completed (sempurna) dan incompleted (tidak sempurna). Scott memberi contoh kata
rUO( ﺕDia mengecup.), sUO( ﺕDia
mencari atau meraba) dengan huruf terakhir diberi penanda huruf vokal sebagai kata yang memiliki the completed tenses. Sedangkan kata
dan
sUO=1
uncompleted
rUO=1
(huruf konsonan terakhir tidak diberi vokal) mengandung tenses.
Hal
ini
dalam
bahasa
Arab
menurutnya
berpengaruh karena vokal pada huruf konsonan terakhir suatu kata berhubungan dengan modus.53 c.
Modus Modus merupakan kategori gramatikal dalam bentuk verba yang
mengungkapkan
suasana
psikologis
penutur
terhadap
tindakan,
G.C. Scott, Practical Arabic, (London: Low and Brydone Ltd, 1962). Hlm. 109
53
perbuatan, menurut tafsiran pembicara atau sikap pembicara tentang apa yang diucapkannya.54 Ada tiga macam modus, yaitu: 1) Modus subjungtif (modus non factual), untuk menyatakan makna suatu perbuatan dalam verba (fi’il) yang belum pasti (menyatakan keragu-raguan). Modus seperti ini ada pada fi’il mudlori yang manshub (vocal pada huruf konsonan akhir berharakat fathah), dalam bahasa Arab fi’il mudlori berharakat fathah apabila disertai huruf nashab, yaitu:
إذ, e. , Z آ, انcontoh: N. +3g &مC=Pا
Antasuuma khairulaka yang artinya Bagimu berpuasa itu lebih baik.55 Merupakan
perbuatan
yang
belum
tentu
dilakukan
oleh
pendengar. 2) Modus
indikatif
(modus
faktual)
untuk
menyatakan
makna
perbuatan yang faktual (terjadi) atau suatu kebenaran umum (netral)56 modus ini terjadi pada fi’il mudlori yang marfu (vokal konsonan huruf akhir berharakat dammah) 3) Modus
subjungtif
(penegasan)
untuk
menunjukkan
makna
penegasan, modus ini terjadi pada fi’il mudlori yang dijazemkan (vokal huruf terakhir berharakat sukun) contoh:
N. ح+lP S.ا
54 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), cet. ke 5, hlm. 139 55 Hifni Bek Dayyab, Muhammad Bek Dasyyab, Kaedah Tata Bahasa Arab, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1991), hlm. 88 56 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, ((Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), cet. ke 5, hlm. 139
ﺹ;ركyang artinya bukankah kami telah melapangkan dadamu untukmu. d.
Kasus Kasus adalah kategori gramatikal dari nomina, frase nomina,
pronominal, atau adjektiva yang memperlihatkan hubungannya dengan kata lain dalam konstruksi sintaksis. Kasus berhubungan dengan fungsi, makna, dan peran suatu kata dalam sebuah kalimat. Nomina dalam bahasa Arab mempunyai tiga kasus, yaitu: 1)
Nomina (marfu) adalah kasus yang menandai nomina atau sejenisnya sebagai subjek dalam kalimat. Contoh:
SOf
dan
SO0.ا
kolamu atau alkolamu. 2)
Akusatif (manshub) adalah kasus yang menandai nomina atau sejenisnya sebagai objek langsung, contoh:
3)
Genetif (majrur) adalah kasus yang menandai makna milik pada nominan atau sejenisnya, contoh: 3.
a.
#UOf @1+=6إ
eiE. اSOf
Morfologi
Definisi kata Untuk
menganalisis
bahasa
tulis,
gambaran beberapa konsepsi definisi kata:
Penulis
akan
memberikan
Kata mendapatkan tempat yang paling penting dalam analisis
1)
tata bahasa. Sebab kata merupakan satu kesatuan sintaksis dalam tutur atau kalimat. Kata dapat merupakan satu kesatuan yang penuh dan komplit
2)
dalam ujar sebuah bahasa. Kata dapat berdiri sendiri (soleer hearheid). Yang dimaksud bahwa
3)
sebuah kata dalam kalimat dapat dipisahkan dari yang lain. b.
Calon kata Kita harus mengetahui ada calon kata dalam pengelompokan kata
yaitu: 1)
Calon kelas benda (nomina).
2)
Calon kelas kerja (verba).
3)
Calon kelas sifat (adjetif).
4)
Calon kelas kata tugas (partikel).
5)
Phrase (kelompok kata).
6)
Noun phrase (kelompok nominal) yakni kelompok kata yang pusatnya benda.
c.
7)
Verba phrase (kelompok verbal).
8)
Adjektif phrase (kelompok dengan pusat sifat).
9)
Infinitif (bentuk kata kerja non finit). Reduplikasi (pengulangan kata benda) Pada tataran morfologi, reduplikasi adalah suatu proses morfemis,
atau proses pembentukan kata. Hasil dari proses morfemis adalah kata ulang, sedangkan kata ulang bukanlah satu-satunya hasil dari proses reduplikasi pada tataran morfologi.
Adapun reduplikasi pada tataran sintaksis adalah proses di dalam pembentukan kalimat. Oleh karena itu, hasilnya bukan berupa kata ulang. Melainkan suatu bentuk yang oleh Poerwadarminta (1976) dan Parera (1976) disebut ulangan kata. Contoh : a. Dia benar-benar murid yang pandai (kata ulang). b. Benar-benar dialah muridnya (ulangan kata). Pada tataran morfologi, reduplikasi mempunyai makna gramatikal dan non gramatikal. Makna gramatikal yaitu makna yang perumusannya dapat dikaidahkan, atau dapat diramalkan berdasarkan persamaan yang berlaku secara ketatabahasaan (Chaer: 1990). Sedangkan makna non gramatikal yaitu idiomatik atau makna yang rumusannya tidak mengikuti kaidah umum gramatikal. Fungsi pada tataran morfologi reduplikasi: 1.
2.
Bentuk dasarnya nomina, a.
Bermakna plural atau jamak.
b.
Bermakna menyerupai, seperti, semacam.
Bentuk dasarnya verba a. Bermakna intensitas (berkali-kali). b. Resiprokal berbalasan (saling membalas). c. Perihal.
3.
Berdasarkan sifat, a. Bermakna banyak. b. Bermakna hanya. c. Walaupun, tetapi.
d. Superlatif, atau paling. 4.
Bentuk dasarnya kata bilangan, maka makna yang dikandungnya adalah kelompok. Fungsi pada tataran sintaksis reduplikasi hanya memberi makna
penegasan atau penekanan terhadap bentuk yang diduplikasikannya. Pengulangan kata yang tidak perlu seperti nomina: orang-orang, mereka-mereka, kamu-kamu dan kira-kira.57 4.
Semantik
Studi linguistik yang objek kajiannya makna bahasa juga merupakan satu tataran linguistik. Yang tidak dapat dipisahkan dari kajian morfologi, sintaksis, fonologi, kata, frase, dan kalimat. Sebab semantik merupakan unsur yang berada pada semua tataran itu. Meskipun sifat kehadirannya pada setiap tataran tidak sama.58 Semantik mulai mendapat perhatian pada linguist sejak 1954. Hockket, Noam Chomsky (1965) dan Ferdinand de Sauser. Ferdinand de Sauser dengan teori (sign lingustique) tanda linguistik, terdiri dari dua komponen. Yang pertama signifian (yang mengartikan) dan yang kedua signifie (yang diartikan). Ferdinand de Sauser juga mengatakan bahwa sesungguhnya studi linguistik tanpa disertai dengan
57
Abdul Chaer, Reduplikasi Gabungan Kata, jilid 23 (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1979) hlm. 24-3 58 Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rhineka Cipta, 2003), hlm. 284
studi semantik adalah tidak ada artinya, sebab kedua komponen itu, signifian dan signifie, merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.59 Kegiatan
berbahasa
merupakan
kegiatan
mengekspresikan
lambang-lambang bahasa untuk menyampaikan makna-makna yang ada pada lambang-lambang tersebut.60 Semantik berasal dari bahasa Yunani yaitu sema (kata sifat) yang berarti tanda atau lambang. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti menandai atau melambangkan. Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan
antara
tanda-tanda
linguistik
dengan
hal-hal
yang
ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti.61 a.
Pengertian makna Makna dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti “Arti atau
maksud suatu kata”.62 sedangkan dalam kamus linguistik, makna berarti hubungan dalam kesepadanan atau ketidak-sepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang ditujunya.63
59
Abdul Chaer, Linguistik Umum, hlm. 285 Abdul Chaer, Linguistik Umum, hlm. 288 dan 285 61 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rhineka Cipta,1995), 60
hlm. 2 62 W.J.S. Poerwa Darminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 624 63 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (edisi ketiga), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993) hlm. 132
Makna bahasa berkaitan langsung dengan tanda atau lambing linguistiknya. Misalnya kata baqorun merupakan tanda linguistik yang terdiri dari huruf B/a/q/o/r/u/n yang artinya binatang berkaki empat yang berbadan tinggi dan besar biasa diternak, diperas susunya serta dagingnya merupakan makanan yang bergizi tinggi; dalam bahasa Indonesia berarti sapi.64 b.
Jenis makna Mengenai jenis makna para linguist berbeda pendapat; seperti
Palmer yang mengemukakan jenis-jenis makna: kogniktif, ideasional, denotasi, dan proposisi. Sedangkan Bloomfield dalam bukunya Language membedakan makna atas makna sempit (Harrowd Meaning) dan makna luas (Widened Meaning).65 Verhaar dalam bukunya Pengantar Linguistik mengemukakan jenis-jenis makna yaitu makna leksikal dan makna gramatikal.66 Namun dalam hal ini, Penulis hanya akan menjelaskan jenis-jenis makna yang mempunyai relevansi dengan pembahasan skripsi ini yaitu makna leksikal dan makna gramatikal. 1) Makna leksikal
64
Atabik Ali Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Jogyakarta: Multi Karya Grafika, 1999), hlm. 344 65 Leonard Bloomfield, Language (New York: Holt-Rinehart and Wibstob, 1993), hlm. 151 66 J.W.M. Verhaar, Pengantar Linguistik, (Jogyakarta: UGM Press, 1995), hlm. 9
Leksikal adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari nomina leksikon (vokabuler, kosa-kata, perbendaharaan kata).67 Satuan dari leksikon adalah leksem yang lazim disebut kata.68 Dengan demikian, maka makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Oleh karena itu, Abdul Chaer dalam bukunya mendefinisikan makna leksikal dengan makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita.69 Harimurti
Kridalaksana dalam
Kamus Linguistik, mendefinisikan
makna leksikal sebagai makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain; makna leksikal ini dipunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaannya atau konteksnya.70 Kata sapi misalnya, makna leksikal dari kata sapi adalah binatang berkaki empat yang biasanya digunakan sebagai alat pengangkut bajak sawah tradisional yang juga dimanfaatkan daging dan susunya. Makna ini tampak jelas dalam kalimat Sapi itu telah diperah susunya oleh pak Dirman tadi pagi, atau dalam kalimat saya minum susu sapi tadi pagi. Kata sapi pada kedua kalimat itu jelas merujuk kepada binatang sapi, bukan kepada yang lain. 2) Makna gramatikal
67
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rhineka Cipta,1995),
hlm. 60 68
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, hlm. 60 ibid, hlm. 60 70 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (edisi ketiga), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993) hlm. 133 69
Makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika, seperti proses afiksasi, reduplikasi, dan proses komposisi.71 Misalnya dalam proses afiksasi prefiks ber- dengan kata dasar baju melahirkan makna gramatikal ‘mengenakan atau memakai baju’; dengan kata dasar kuda melahirkan makna gramatikal ‘mengendarai kuda’.
F. 1.
Pesantren dan Tradisi Penerjemahan
Pengertian Pesantren Sebelum tahun 60-an, pusat-pusat pendidikan Islam di Jawa dan
Madura dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau barangkali berasal dari bahasa Arab funduq, yang berarti hotel atau asrama.72 Kata pesantren berasal dari kata santri73, dengan awalan pe- di depan dan akhiran –an berarti tempat tinggal para santri. Ada dua pendapat tentang asal-usul kata santri. Pendapat pertama mengatakan bahwa kata santri berasal dari kata “sastri”, sebuah kata dari bahasa sansekerta yang artinya melek huruf.
71
hlm. 62
72
Pendapat ini menurut Nurcholis
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rhineka Cipta,1995),
Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1985), cet. Ke-4, hlm. 18 73 Dalam penelitiannya Clifford geertz berpendapat, kata santri mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti sempit adalah seorang murid satu sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren. Oleh sebab itu perkataan pesantren diambil dari perkataan santri yang berarti tempat untuk para santri.
Majid agaknya didasarkan atas kaum santri adalah kelas literary bagi orang-orang Jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Di sisi lain, Zamarkhsari Dhofier berpendapat, kata santri dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu. Atau secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku
tentang
ilmu
pengetahuan.74
Pendapat
kedua
yang
mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantrik”, berarti seorang yang selalu mengikuti seorang guru ke mana guru ini menetap.75 Pesantren terdiri dari lima elemen pokok, yaitu: kyai, santri, masjid, pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.76 Kelima elemen tersebut merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren dan yang membedakan pendidikan podok pesantren dengan lembaga pendidikan dalam bentuk lain. Pondok pesantren merupakan “bapak” dari pendidikan Islam di Indonesia. Karena pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan formal
di
Indonesia
sebelum
pemerintah
kolonial
Belanda
memperkenalkan sistem pendidikan ala Baratnya. Pesantren didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman. Hal ini dapat dilihat dari
74
Yamadi, Modernisasi Pesantren: kritik Nurcholis Madjid terhadap pendidikan Islam tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm.61 75 Yamadi, Modernisasi Pesantren: kritik Nurcholis Madjid terhadap pendidikan Islam tradisional, hlm. 62 76 Yamadi, Modernisasi Pesantren: kritik Nurcholis Madjid terhadap pendidikan Islam tradisional, hlm. 64
perjalanan historisnya bahwa sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran
kewajiban
dakwah
Islamiah,
yakni
menyebarkan
dan
mengembangkan ajaran Islam sekaligus mencetak kader-kader ulama dan da’i.77
2.
Sejarah Perkembangan Pesantren Pendidikan Islam di Indonesia memiliki ciri khusus karena eksistensi
pondok pesantren yang tersebar di berbagai pelosok daerah. Pesantren dipandang sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki akar sejarah yang panjang. Tentang kehadiran pesantren pertama kalinya di Indonesia, dimana dan siapa pendirinya, tidak dapat diperoleh keterangan pasti. Akan tetapi, tentunya kehadiran pondok pesantren itu sendiri bersamaan dengan masuknya Islam di pulau Jawa. Para ahli sejarah sependapat bahwa ulama pembawa Islam di pulau Jawa adalah para wali sembilan yang lebih dikenal dengan sebutan wali songo. Hal ini dapat dilihat dari kisah kehidupan Raden Rahmat yang mendirikan pondok pesantren Ampel Denta. Raden Rahmat pun kemudian dikenal dengan sebutan Sunan
Ampel. Murid-muridnya
77
(santri) kebanyakan
dari
kalangan
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), cet. ke 1, hlm. 40
bangsawan dan putra Adipati kerajaan.78 Kendati demikian, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang peransertanya tidak diragukan lagi adalah sangat besar bagi perkembangan Islam di Nusantara.79 Pada masa penjajahan Kolonial Belanda, nama pesantren sebagai lembaga pendidikan rakyat terasa sangat berbobot terutama dalam bidang penyiaran agama Islam. Kelahiran pesantren selalu diawali dengan perang nilai antara pesantren yang akan berdiri dengan masyarakat
sekitarnya
dan
diakhiri
dengan
kemenangan
pihak
pesantren. Pada masa penjajahan ini, pondok pesantren tetap berdiri, walaupun sebagian besar berada di daerah pedesaan. Dalam perkembangannya, pesantren sebagai lembaga pendidikan berkembang sangat pesat. Pada zaman kolonial Belanda saja jumlah pesantren besar dan kecil di Indonesia tercatat sebanyak 20.000 buah. Perkembangan selanjutnya mengalami pasang surut. Ada di daerah tertentu yang membuka pesantren baru, ada pula pesantren di daerah lain yang bubar karena tidak terawat lagi.80 Dalam
perkembangan
terakhir,
pendidikan
pesantren
sudah
memperlihatkan model yang dihasilkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi akibat persentuhan dengan pola pendidikan
78
modern. Model-
Labib MZ, Kisah Kehidupan Wali Songo: Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa, (Surabaya: Bintang Timur), tth, hlm. 21 79 Labib MZ, Kisah Kehidupan Wali Songo: Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa, hlm. 41 80 Labib MZ, Kisah Kehidupan Wali Songo: Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa, (Surabaya: Bintang Timur), tth,, hlm. 42
model ini menggambarkan optimalisasi pemanfaatan fungsi-fungsi. Khususnya dari lembaga pendidikan pesantren dan madrasah atau sekolah. Perubahan penting terjadi dalam tahun 1910 di mana pesantrenpesantren (di antaranya pesantren Denanyar di Jombang) mulai membuka pondok untuk murid wanita. Dalam tahun 1920-an beberapa pesantren antara lain Pesantren Tebu Ireng di Jombang dan Pesantren Singosari di Malang mulai mengajarkan pelajaran umum seperti bahasa Indonesia, bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi, dan sejarah.81 Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional tidak diragukan lagi berperan sebagai pusat transmisi dan desiminasi ilmu-ilmu keislaman, terutama yang bersifat kajian-kajian klasik. Maka pengajaran kitab-kitab kuning telah menjadi karakteristik yang merupakan ciri khas dari proses belajar mengajar di pesantren.82 Dari segi sikap terhadap tradisi pesantren dibedakan kepada jenis pesantren salafi dan khalafi. Jenis salafi merupakan pesantren yang tetap mempertahankan
pengajaran
kitab-kitab
Islam
klasik
sebagai
inti
pendidikannya. Di pesantren ini pengajaran pengetahuan umum tidak diberikan. Tradisi masa lalu sangat dipertahankan. Pemakaian sistem madrasah hanya untuk memudahkan sistem sorogan seperti yang dilakukan
di
lembaga-lembaga
pengajaran
bentuk
lama.
Pada
81 Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1985), cet. ke 4, hlm. 38 82 Yamadi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 67
umumnya pesantren dalam bentuk inilah yang menggunakan sistem sorogan dan weton atau bandongan.83 Pesantren khalafi tampaknya menerima hal-hal baru yang dinilai baik di samping tetap mempertahankan tradisi lama yang baik. Pesantren jenis ini mengajarkan pelajaran umum di madrasah dengan sistem klasikal dan membuka sekolah-sekolah umum di lingkungan pesantren. Tetapi pengajaran dalam bentuk ini diklasifikasikan sebagai pesantren modern di mana tradisi salaf sudah ditinggalkan sama sekali.84 Pesantren saat ini telah menjadi sebuah institusi atau kampus yang memiliki potensi besar dalam akselerasi pendidikan nasional. Dari jumlah pesantren mencapai 14.798 lembaga dengan jumlah santri 3.464.334 orang, bentuk pendidikan yang diselenggarakan dapat diklasifikasi menjadi empat tipe, yakni: (1) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan (MI, MTs, MA dan PT Agama Islam) maupun sekolah umum (SD, SMP, SMA dan PT Umum), seperti Pesantren Tebuireng Jombang, Nurul Jadid Paiton, dan Pesantren as-Syafi’iyyah Jakarta; (2) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meskipun tidak menerapkan kurikulum nasional, seperti Pesantren Gontor Ponorogo dan Darul Rahman Jakarta; (3) Pesantren yang hanya mengajarkan ilmuilmu agama dalam bentuk pendidikan diniyah, seperti Pesantren Lirboyo 83 Yamadi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 70 84 Yamadi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 71
Kediri dan Pesantren Tegalrejo Magelang; dan (4) Pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian.85 Secara umum pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi sebagai: (1) Lembaga
pendidikan
yang
melakukan
transfer
ilmu-ilmu
agama
(Tafaqquh fiddin) dan nilai-nilai Islam (Islam value), (2) Lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control), dan (3) Lembaga
keagamaan
yang
melakukan
rekayasa
sosial
(social
engineering).86
3.
Tradisi Penerjemahan di Pesantren Fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan yang melakukan
transfer ilmu-ilmu agama (Tafaqquah fiddin) telah melahirkan suatu konsekuensi
bagi
komunitas
pesantren
itu
sendiri.
Bahwa
pada
kenyataannya, agama Islam adalah agama yang lahir dan besar di negeri yang mempunyai bahasa berbeda dengan bahasa di negara Indonesia. Oleh karena itu, pesantren dalam implementasinya sebagai wadah transfer ilmu melakukan berbagai
cara untuk menyiasati
perbedaaan bahasa tersebut. Selain dengan mengajarkan bahasa Arab kepada santrinya. Salah satu cara yang dilakukan oleh pesantren, baik itu pesantren salafi
85
Muhammad Maftuh Bashuni, Revitalisasi Spirit Pesantren: Gagasan, Kiprah, dan Refleksi, (Jakarta: DirJen DepAg RI, 2006), cet. Ke. I, hlm. 32 86 Muhammad Maftuh Bashuni, Revitalisasi Spirit Pesantren: Gagasan, Kiprah, dan Refleksi, (Jakarta: DirJen DepAg RI, 2006), cet. Ke. I, hlm. 33
maupun khalafi
adalah dengan menerjemahkan buku-buku atau
manuskrip ilmu-ilmu agama Islam ke bahasa Indonesia. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memudahkan proses transfer ilmu-ilmu agama yang dilakukan oleh pesantren. Salah satu bukti adalah lahirnya banyak terjemahan kitab, baik itu fikih, hadits, tafsir, dan lain sebagainya. Dengan
banyaknya
kitab-kitab
berbahasa
Arab
yang
telah
diterjemahkan, maka transfer ilmu dari kyai ke muridnya berimbas pula meluasnya syiar Islam ke masyarakat luas. Sekarang banyak orang yang bisa menikmati membaca kitab-kitab ilmu agama yang tadinya sedikit mereka pahami karena keterbatasan kemampuan berbahasa Arabnya.
BAB III GAMBARAN UMUM PESANTREN AL-AMANAH AL-GONTORY
F.
Letak Pesantren Al-Amanah Al-Gontory Letak Pesantren Al-Amanah Al-Gontory di daerah Tangerang
Selatan, tepatnya di Jln. Taman Makam Bahagia ABRI Kelurahan Perigi Baru Kecamatan Pondok Aren Kota Tangerang Selatan Propinsi Banten Tlp/fax : 021-74862163. Untuk dapat sampai di pesantren kita bisa menempuhnya dengan menggunakan angkutan umum. Dari Plaza Bintaro kita dapat menggunakan angkutan umum jurusan Komplek Perumahan Graha Raya dengan menempuh perjalanan selama kurang lebih setengah jam. Kemudian berhenti di depan masjid Al-Ghofur dan dilanjutkan lagi dengan berjalan kaki menuju pondok pesantren tersebut selama kurang lebih dua puluh menit. G.
Sejarah Singkat Pesantren Al-Amanah Al-Gontory Pesantren Modern Al-Amanah Al-Gontory mulai dirintis pada tahun
1992. Pesantren ini lahir dari keinginan Bapak (Alm) H. Nadjih. Hi bin H.M. Idup untuk mendirikan sebuah pesantren yang sama dengan pesantren tempat beliau belajar dulu yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor. Beliau merasakan bahwa apa yang telah didapatnya dari Pondok Modern Darussalam Gontor sangat bermanfaat bagi dirinya maupun
orang lain. Oleh karena itu, beliau mulai merintisnya di sebuah tempat di lembah dekat Situ Perigi.87 Menurut KH. Sundusi Ma’mun, Bapak (Alm) H. Nadjih Hi bin H.M. Idup menganggap daerah lembah Situ Perigi merupakan tempat yang representatif untuk berdirinya sebuah pondok pesantren. Selain karena masih asri, keberadaan Situ Perigi sebagai danau yang menampung air cukup banyak sangat berguna bagi kelangsungan aktifitas pondok. Hal ini sangat dirasakan manfaatnya ketika kemarau tiba, di mana daerah sekitar Perigi mulai kekurangan air, pondok pesantren tetap masih bisa beraktifitas seperti biasa karena air masih tetap tersedia.88 Namun sebaliknya, di waktu musim hujan, daerah areal pondok menjadi tempat yang pertama kali merasakan banjir. Pada awal pendiriannya, pesantren ini bernama Al-Amanah dan hanya menempati tempat sederhana yang mereka namakan Ta’sis. Namun pada tahun kedua, pihak pengurus mulai melakukan kerjasama dengan Pondok Modern Darussalam Gontor. Hal ini sesuai dengan keinginan pencetus, yaitu Bapak (Alm) H. Nadjih, Hi bin H.M. Idup agar pondok pesantren ini sama dengan tempat beliau menimba ilmu dulu.89 Setelah hampir lima tahun berjuang untuk mendapatkan legitimasi dari pesantren induk yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor. Akhirnya Pondok Pesantren Modern Al-Amanah berhak menisbathkan nama Al-
87
Wawancara dengan KH. Sundusi Ma’mum (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Amanah Al-Gontory) pada hari Jumat tanggal 26 Juni 2009. 88 Wawancara dengan KH. Sundusi Ma’mum (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Amanah Al-Gontory) pada hari Jumat tanggal 26 Juni 2009. 89 Ibid.
Gontory di belakang nama Al-Amanah. Jadilah nama pondok pesantren tersebut menjadi Pondok Pesantren Al-Amanah Al-Gontory.90 Di seluruh Indonesia hanya ada tiga pondok pesantren modern yang mempunyai legitimasi PMDG untuk menisbathkan nama Al-Gontory di belakang nama pondok pesantrennya, yaitu: (1) Pondok Modern Al-Kautsar Al-Gontory di Lombok Timur NTB, (2) Pondok Modern Daarul Jameel Al-Gontory, dan (3) Pondok Modern Al-Amanah Al-Gontory di Tangerang Selatan Banten. Menurut K.H. Sundusi Ma’mun, penisbathan nama Al-Amanah kepada Al-Gontory ini dianggap sangat penting karena selain sebagai cita-cita awal dari para pencetus, dengan nama Al-Gontory di belakangnya, pengurus berharap dapat meraih hati dan simpati masyarakat terhadap keberadaan pondok pesantren ini. Sebab menurut beliau, brand image Pondok Modern Darussalam Gontor sebagai pesantren dengan metode pendidikan yang modern mempunyai kelebihan di mata masyakakat banyak, dan dianggap mempunyai nilai jual yang tinggi.91 H.
Santri Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab II, bahwa pondok
pesantren terdiri dari lima elemen pokok, yaitu: kyai, santri, masjid, pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam. Salah satu elemen yang juga cukup penting dalam perkembangan pesantren adalah para pencari ilmu itu sendiri, yaitu santri.
90
Ibid. Wawancara dengan KH. Sundusi Ma’mum (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Amanah Al-Gontory) pada hari Jumat tanggal 26 Juni 2009. 91
Santri Pondok Pesantren Modern Al-Amanah Al-Gontory pada waktu pertama kali berdiri berjumlah enam orang santri. Kemudian di tahun kedua bertambah menjadi sembilan belas orang. Seiring perkembangan fisik pondok pesantren, jumlah santri terus bertambah. Pada tahun ajaran 2000-2001 pondok pesantren ini mulai membuka kelas untuk santri putri. Berikut ini adalah data kelulusan santri Pondok Modern Al-Amanah Al-Gontory:
SANTRI NO
PERIODE BELAJAR / TAHUN PELAJARAN L
1
1997-1998
6
2
1998-1999
19
3
1999-2000
30
4
2000-2001
29
5
2001-2002
12
6
2002-2003
14
7
2003-2004
23
8
2004-2005
9
9
2005-2006
11
P
2
10
2006-2007
17
9
11
2007-2008
16
12
12
2008-2009
12
16
Tabel I. (Data Kelulusan santriwan-santriwati Pondok Modern Al-Amanah AlGontory)
Pola
pendidikan
di
Pondok
Modern
Al-Amanah
Al-Gontory
menekankan kepada pembentukan pribadi mukmin muslim yang berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berpikiran bebas. Kriteria atau sifat-sifat utama ini merupakan motto pendidikan di Pondok Pesantren Al-Amanah Al-Gontory. 1.
Berbudi tinggi Berbudi
tinggi
merupakan
landasan
paling
utama
yang
ditanamkan oleh Pondok ini kepada seluruh santrinya dalam semua tingkatan; dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Realisasi penanaman motto ini dilakukan melalui seluruh unsur pendidikan yang ada. 2.
Berbadan sehat Tubuh yang sehat adalah sisi lain yang dianggap penting dalam pendidikan di pondok ini. Dengan tubuh yang sehat para santri akan dapat melaksanakan tugas hidup dan beribadah dengan sebaik-baiknya.
Pemeliharaan
kesehatan
dilakukan
melalui
berbagai kegiatan olahraga, dan bahkan ada olahraga rutin yang
wajib diikuti
oleh santri sesuai
dengan jadwal
yang telah
ditetapkan. 3.
Berpengetahuan luas Para santri di pondok ini dididik melalui proses yang telah dirancang secara sistematik untuk dapat memperluas wawasan dan
pengetahuan
mereka.
Santri
tidak
hanya
diajari
pengetahuan, lebih dari itu mereka diajari cara belajar yang dapat digunakan untuk membuka gudang pengetahuan. Kyai sering berpesan bahwa pengetahuan itu luas, tidak terbatas, tetapi tidak boleh terlepas dari berbudi tinggi, sehingga seseorang itu tahu untuk apa ia belajar serta tahu prinsip untuk apa ia menambah ilmu. 4.
Berpikiran bebas Berpikiran
bebas
tidaklah
berarti
bebas
sebebas-bebasnya
(liberal). Kebebasan di sini tidak boleh menghilangkan prinsip, teristimewa prinsip sebagai muslim mukmin. Justru kebebasan di sini merupakan lambang kematangan dan kedewasaan dari hasil pendidikan yang telah diterangi petunjuk illahi (hidayatullah). Motto ini ditanamkan sesudah santri memiliki budi tinggi atau budi luhur dan sesudah ia berpengetahuan luas. Santri di pondok pesantren ini, selain menjalani proses belajarmengajar di dalam kelas, juga banyak melakukan kegiatan yang bersifat ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler seperti Pramuka, Marching Band,
Marawis, dan lain-lain menjadi kewajiban bagi santri untuk ikut di dalamnya. Karena kegiatan tersebut dinilai sangat berguna bagi santri. I.
Kitab-kitab yang Diajarkan dan Sistem Pengajarannya Dengan latar belakang sebagai pesantren yang memperoleh lisensi
dari Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG), maka kitab-kitab yang diajarkan dan sistem pengajarannya sama dengan pesantren induknya, yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor. PMDG bersifat mandiri dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajarannya, kurikulumnya pun disusun secara mandiri. Dengan kata lain, disesuaikan dengan program Pondok secara keseluruhan.92 Kurikulum yang diterapkan di dalam Pondok Modern Al-Amanah Al-Gontory
juga
dibuat
sama
dengan
PMDG,
tetapi
dengan
penambahan pada beberapa materi tertentu. Seperti pelajaran khat (menulis Arab indah) dimasukan ke dalam kurikulum. Padahal di pesantren lain, khat hanya masuk dalam ektra kurikuler, bukan intra kurikuler, serta mempelajari kitab Bidaya al-Mujtahid.93 Kurikulum yang diterapkan di Kuliyatul Mualimin Islamiyah (KMIPMDG) yang bersifat akademik, dibagi menjadi beberapa bidang studi, yakni; pertama; Bahasa Arab, meliputi:
al-Imla, al-Insya’, Tamrin al-
Lughah, al-Muthala’ah, al-Nahwu, al-Sharf, al-Balaghah, Tarikh al-Adab, dan al-Khat al-‘Arabi (semua materi ini disampaikan dalam bahasa Arab);
92 Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren: Pengalaman Pondok Modern Gontor, (Ponorogo: Trimurti Press, 2005), hlm. 145. 93 Wawancara dengan KH. Sundusi Ma’mum (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Amanah Al-Gontory) pada hari Jumat tanggal 26 Juni 2009
kedua; Dirasah Islamiyah yang meliputi: al-Qur’an, al-Tajwid, al-Tauhid, alTafsir, al-Hadits, Mushthalah al-Hadits, al-Fiqih, Ushul al-Fiqih, al-Faraid, alDin al-Islami, Muqaranat al-Adyan, Tarikh al-Islam, al-Mantiq, dan alTarjamah (Arab-Indonesia), semua materi ini juga menggunakan bahasa Arab. Ketiga; ilmu keguruan, mencakup al-Tarbiyah
wa al-Ta’lim
(pendidikan dan pengajaran) yang disampikan dalam bahasa Arab, dan psikologi pendidikan yang disampaikan dalam bahasa Indonesia. Keempat; bahasa Inggris
yang meliputi: Reading comprehension,
Grammar, Composition, dan Dictation (semua materi ini diberikan dengan bahasa Inggris). Kelima; ilmu pasti, yang mencakup: Berhitung dan Matematika. Keenam; ilmu pengetahuan Alam, yang meliputi Fisika dan Biologi. Ketujuh; ilmu pengetahuan sosial, meliputi Sejarah Nasional dan Internasional, Geografi, Sosiologi, dan Psikologi Umum. Kedelapan; keindonesian atau kewarganegaraan, mencakup Bahasa Indonesia dan Tata Negara. Point lima sampai dengan delapan disampikan dalam bahasa Indonesia.94 J.
Pengajaran Penerjemahan di Pesantren Menurut K.H. Sundusi Ma’mun, penerjemahan merupakan bagian
yang cukup penting bagi santri. Karena di samping sebagai mata pelajaran,
penerjemahan
juga
merupakan
latihan
santri
dalam
memahami al-Qur’an.
94
Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren: Pengalaman Pondok Modern Gontor, (Ponorogo: Trimurti Press, 2005), hlm. 146.
Mata
pelajaran
penerjemahan
di
dalam
pondok
pesantren
dilaksanakan pada kelas 3, 4, dan 5. Materi penerjemahan berkaitan langsung dengan al-Qur’an, oleh karena itu, mata pelajarannya disebut terjemah al-Qur’an. Santri dituntut untuk mampu menerjemahkan ayat alQur’an ke dalam bahasa Indonesia dengan bimbingan seorang ustadz. Target belajar yang ingin dicapai dalam mata pelajaran ini adalah santri dapat menerjemahkan ayat-ayat al-Qur’an dengan baik ke dalam bahasa Indonesia. Sebagaimana kita tahu bahwa penerjemahan adalah suatu proses pengalihan
bahasa
terhadap
suatu
teks.
Di
dalam
prosesnya,
penerjemahan selalu menggunakan dua bahasa, yaitu Bsu dan Bsa. Dalam hal ini masing-masing keduanya diwakilkan oleh bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, pondok pesantren Al-Amanah AlGontory juga memberikan porsi yang cukup besar dalam kurikulum pendidikannya bagi kedua mata pelajaran bahasa tersebut. Di samping karena bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional.95
95
Wawancara dengan KH. Sundusi Ma’mum (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Amanah Al-Gontory) pada hari Jumat tanggal 26 Juni 2009
BAB IV ANALISIS TEKS
Penulis dalam proses penelitiannya menggunakan sampel berupa teks berbahasa Arab yang kemudian diterjemahkan oleh para santri. Penulis menganalisis sampel tersebut kemudian hasil analisis tersebut penulis tuangkan dalam beberapa kategori yang sesuai dengan konteks penelitian awal skripsi penulis yaitu gramatikal. 1.
Analisis Susunan Kalimat Logis Penyusunan kalimat yang baik merupakan hal yang penting dalam
menerjemahkan, karena untuk membuat pembaca mudah memahami sebuah karya terjemahan, maka setiap penulis atau penerjemah harus cermat dalam menyusun kata-kata menjadi kalimat. Menurut Penulis, memudahkan pembaca dalam membaca karya terjemahan merupakan bagian dari tugas penerjemah, karena tujuan dari penerjemahan adalah menjadi jembatan bagi orang yang tidak mampu memahami karya tulis yang bersumber dari bahasa lain selain bahasa yang dikuasainya. Kasus 1
ِFِ ا+3AV=ً ﺏ/َEَ=َ=ْnُ4 , ً/&ﺹCv4 ً7#8`ً و أ7&اfُ أeَUَ-َ=َدةُ ﺕ#A[ ُة5C.ا . ِS3Oi=.#ً ﺏ/َUَ=َ=ْvُ4 , َZ.#8ﺕ
96
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian kecil sampel sebagai berikut: Shalat adalah ibadah yang mengandung perkataan dan perbuatan yang khusus. Dibuka dengan menyebut nama Allah dan ditutup dengan salam. Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan oleh sebagian kecil sampel pada kalimat tersebut, jika dilihat dari struktur gramatikal BSu, kalimat tersebut menunjukan perluasan dari pola dasar kalimat jumlah ismiyah, perluasannya berbentuk tarkib wasfi atau na’at-man’ut. Jika dilihat dari struktur gramatikal Bsa, kalimat tersebut menjadi kalimat majemuk bertingkat. Kalimat tersebut jika dilihat dari S+P+O tersusun menjadi: Shalat adalah ibadah yang mengandung perkataan dan S
P
O
Klausa Subordinatif 1
perbuatan yang khusus. Dibuka dengan menyebut nama Allah Klausa Subordinatif 2
96
Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
dan ditutup dengan salam. Klausa Subordinatif 3 Setelah dianalisis, penulis menemukan sebagian kecil sampel kurang tepat
menerjemahkan
kalimat
tersebut.
Sebagian
kecil
sampel
memenggal kalimat tersebut menjadi dua kalimat dengan memberi tanda titik setelah kata khusus. Hal itu dibolehkan dalam penerjemahan. Namun jika dilihat dari struktur gramatikal Bsa, proses pemenggalan kalimat tersebut kurang tepat, karena kata dibuka berfungsi sebagai predikat. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, posisi predikat berada setelah subjek. Untuk kasus seperti ini, penulis memilih untuk menampilkan kata shalat di depan kata dibuka. Jadi penerjemahan yang tepat menurut penulis sebagai berikut: “Shalat adalah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan yang khusus. Shalat dibuka dengan takbiratul ihram dan ditutup dengan salam.” Kasus 2
. ى+gدة أ#A[ /1 أ/.x_4 #K.;8 ﺕ7 /.x_4 م56y ا$` ة5CO.و
97
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian besar sampel sebagai berikut:
97
Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
“Kedudukan shalat dalam Islam tidak dapat ditandingi dengan ibadah yang lain.” Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan oleh sebagian besar sampel pada kalimat tersebut, jika dilihat dari struktur gramatikal BSu, kalimat tersebut menunjukan jumlah ismiyah dengan khabar muqadam atau khabar yang diletakan di awal kalimat. Jika dilihat dari struktur gramatikal BSa, kalimat tersebut menunjukan kalimat tunggal aktif. Kalimat tersebut, bila dikaitkan dengan S+P+O tersusun menjadi: Kedudukan shalat di dalam Islam tidak dapat ditandingi dengan ibadah S
K
P
O
yang lain. Setelah dianalisis, Penulis menemukan bahwa sebagian besar sampel tidak tepat menerjemahkan kalimat tersebut. Sebagain besar sampel kurang memahami pesan yang dimaksud pengarang teks tersebut. Menurut Penulis, subjek dalam kalimat tersebut adalah kata shalat dan bukan prase kedudukan shalat. Kata kedudukan dalam kalimat tersebut lebih tepat berfungsi sebagai objek. Hal ini didukung oleh struktur
bangun
paragraph
secara
keseluruhan.
berkaitan erat dengan kalimat selanjutnya yaitu
ِI ﺏ7&مُ إ017.
Damîr atau kata ganti (
Kalimat
tersebut
يb.ِ اe1;.دُ ا#Uِ[ $K`
) pada kalimat tersebut
merujuk kepada kata shalat bukan prase kedudukan shalat.
Jadi, penerjemahan yang tepat menurut penulis adalah : “Shalat di dalam Islam menempati kedudukan yang tidak dapat ditandingi oleh ibadah lainnya.” Kasus 3
98
. ِI ﺏ7&مُ إ017 يb.ِ اe1;.دُ ا#Uِ[ $K`
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian besar sampel sebagai berikut: “Dan itu adalah tiang agama yang tidak dapat berdiri kecuali dengan hal tersebut.” Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan oleh sebagian besar sampel pada kalimat tersebut. Jika dilihat dari struktur gramatikal BSu, kalimat tersebut menunjukan jumlah ismiyah yang mengalami perluasan pada khabarnya. Klausa
ِI ﺏ7&مُ إ017 يb.ا
dalam kalimat tersebut merupakan penjelasan dari kata ِe1;.ا
. Jika dilihat dari struktur gramatikal BSa, kalimat tersebut adalah kalimat tunggal aktif. Kalimat tersebut, bila dikaitkan dengan S+P+O tersusun menjadi: Dan itu adalah tiang agama yang tidak dapat berdiri kecuali S
P
O
K
dengan hal tersebut Setelah dianalisis, Penulis menemukan sebagian besar sampel kurang tepat menerjemahkan kalimat tersebut. Klausa yang berkedudukan sebagai keterangan dalam kalimat tersebut kurang tepat penerjemahannya. Klausa
98
Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
7&مُ إ017 يb.ا
ِIﺏ
menyimpan dua damir (satu damir tersimpan dalam kata
ُ&م01)
yang
berkedudukan sebagai subjek dan objek dalam klausa tersebut, yaitu kata agama dan shalat. Sebagian besar sampel kurang teliti mengimplementasikan damir dalam proses penerjemahan klausa tersebut. Jadi penerjemahan yang tepat menurut penulis sebagai berikut: “Shalat adalah tiang agama dimana agama tidak akan berdiri tanpa shalat (atau tanpanya).” Kasus 4
. e3iUg Iى ﺏ+6 أ/O3. SO6 وI3O[ F اZO ﺹ$A_. اZO[ ة5C.ﺽ@ ا+` 99
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian kecil sampel sebagai berikut: “Telah diwajibkan atas nabi SAW pada malam mi’raj sebanyak 50 waktu.”
Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan oleh sebagian kecil sampel di atas, jika dilihat dari struktur gramatikal BSu, kalimat tersebut menunjukan jumlah fi’liyah majhul atau kalimat pasif. Hal itu bisa dilihat pada kata bentukan fi’il majhul. Di dalam bahasa Arab, lazim dalam pembentukan kalimat pasif, objek tidak disebutkan atau dihilangkan dalam kalimat, hal ini dikarenakan objek yang menjadi pelaku dalam kalimat pasif diangggap telah mafhum atau telah
99
Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
diketahui bersama) atau juga tidak diketahui sama sekali pelakunya. Namun di dalam bahasa Indonesia, tidak lazim menghilangkan objek yang menjadi pelaku dalam kalimat pasif. Kalimat tersebut diterjemahkan ke dalam BSa sebagai kalimat tunggal pasif oleh sebagian besar sampel. Kalimat tersebut, bila dikaitkan dengan S+P+O tersusun menjadi: telah diwajibkan atas nabi SAW pada malam mi’raj sebanyak 50 waktu. P
O
K. waktu
K. kuantitas
Setelah dianalisis, Penulis menemukan sebagian kecil sampel yang kurang tepat menerjemahkan kalimat tersebut. Kekurang-tepatan itu disebabkan oleh sebagian sampel kurang memahami struktur gramatikal BSu dan penerjemahannya dalam BSa. Teks BSu tersebut memiliki subjek yang tersirat dalam fi’il madi yaitu Allah swt. yang kemudian berganti peran menjadi objek. Posisi subjek dalam teks tersebut adalah kata shalat. Hal ini sudah lazim dalam struktur bahasa Arab, namun tidak dalam struktur bahasa Indonesia. Oleh karena itu, penerjemahan yang tepat menurut penulis adalah tetap menerjemahkan kata yang hanya tersirat dalam BSu dan menempatkannya sebagai objek dalam struktur kalimat BSa. Jadi, penerjemahan yang tepat menurut penulis adalah :
Shalat telah diwajibkan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad saw. pada malam mi’raj sebanyak 50 waktu.
Kasus 5
100
. ِم56y ا$` #Kُ=.x_4
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian kecil sampel sebagai berikut: “Kedudukan dalam Islam.” Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan oleh sebagian kecil sampel di atas, jika dilihat dari struktur gramatikal Bsu menunjukan bahwa kalimat tersebut adalah jumlah ismiyah. jika dilihat dari struktur gramatikal BSa menunjukan bahwa kalimat tersebut adalah kalimat tunggal aktif. Bila dikaitkan dengan S+P+O tersusun menjadi: Kedudukan dalam Islam S
K
Setelah dianalisis, penulis menemukan bahwa sebagian kecil sampel kurang tepat menerjemahkan sub-judul tersebut. Kekurang-tepatan itu terjadi karena sampel tidak menerjemahkan damîr atau kata ganti
Damîr atau kata ganti
#ه
.
tersebut berfungsi sebagai objek dalam kalimat
tersebut. Hal ini berimplikasi kepada kerancuan pemahaman. Jadi penerjemahan yang tepat menurut penulis sebagai berikut: Kedudukan shalat di dalam Islam.
100
#ه
Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
Kasus 6
. SO6 وI3O[ F اZO ﺹF&ل ا6ل ر#f : ل#f ْط+ُf e ﺏF; اA[ َ\ِ0ُP
101
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian besar sampel sebagai berikut: “Abdullah ibn Qurt berkata Rasulullah bersabda.” Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan sebagian besar sampel di atas, jika dilihat dari struktur gramatikalnya menunjukan bahwa kalimat tersebut adalah kalimat tunggal. Kalimat tersebut bila dilihat dari S+P+O tersusun menjadi: Abdullah ibn Qurt berkata Rasulullah bersabda. S
P
O
Setelah dianalisis, Penulis menemukan bahwa sebagian besar sampel tidak tepat menerjemahkan kalimat tersebut. Kata
َ\ِ0ُP
dalam
kalimat tersebut adalah fi’il madi majhul atau kata kerja pasif yang menyiratkan adanya objek yang tersimpan yaitu kata hadits. Penulis dalam hal ini, lebih mengutamakan keutuhan struktur gramatikal BSu dari pada segi estetika bahasa. Karena menurut Nida,102 walaupun gaya bahasa itu penting, makna mestilah menjadi prioritas utama dalam penerjemahan.
101
Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68 Syihabudin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), Bandung: Humaniora, 2005, cet. ke 1, hlm. 11 102
Jadi penerjemahan yang tepat menurut penulis sebagai berikut:
“Sebuah hadits telah diriwayatkan Abdullah ibn Qurt bahwa Rasulullah Saw. bersabda …” Kasus 7
\3A6 $` ُد#K9.ِ اIِ4#_َ6 ُ و ذَرْوَة, ُة5C.ُ اmُ&دU[ و, ُم56yِ ا+4oرَأْسُ ا . ِFا
103
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian kecil sampel sebagai berikut: “Kepala seorang raja adalah Islam, dan tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.” Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan oleh sebagian kecil sampel di atas, jika dilihat dari struktur gramatikal BSu-nya, kalimat tersebut menunjukan gabungan dari tiga jumlah ismiyah (dalam bahasa Indonesia lazim disebut kalimat majemuk setara). Kalimat tersebut, jika dilihat dari struktur gramatikal BSa-nya menunjukan kalimat majemuk setara. Kalimat tersebut, bila dikaitkan dengan S+P+O tersusun menjadi: Kepala seorang raja adalah Islam, dan tiangnya adalah shalat, S
P
O
S
P
O
dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah. S
P
O
Setelah dianalisis, penulis menemukan sebagian kecil sampel yang kurang tepat menerjemahkan kalimat tersebut. Kalimat majemuk setara dalam struktur
Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
103
gramatikal BSu dan BSa sedikit berbeda. Kalimat majemuk setara dalam bahasa Arab sering menggunakan bentuk ataf (ma’tuf wa ma’tuf alaih). Sedangkan dalam bahasa Indonesia menggunakan tanda koma. Sebagian kecil sampel tersebut cukup terpengaruh oleh struktur gramatikal BSu, sehingga penerjemahannya banyak menggunakan konjungsi dan. Penggunaan konjungsi yang berlebihan dalam bahasa Indonesia tidak lazim. Jadi penerjemahan yang tepat menurut penulis sebagai berikut: “Kepala masalah adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncak tertingginya adalah jihad di jalan Allah.”
Kasus 8
, َe3ِiUg ِIِى ﺏ+6َُ أ/O3. SO6 وI3O[ F اZO ﺹ$A_. اZO[ ُة5C.ِﺽَ@ ا+ُ` 104
.;UE4 #1 َُ&ْدِيP SB , ً#iUg ْ@َOِ8ُ ﺝZ=< ْ@َCَ0َP SB
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian kecil sampel sebagai berikut: “Dan diwajibkan shalat pada malam isra’ sebanyak 50, lalu dikurangi sampai jadi 5. Lalu nabi Muhammad dipanggil oleh Allah.” Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan oleh sebagian kecil sampel di atas, jika dilihat dari struktur gramatikal BSu-nya, kalimat tersebut menunjukan gabungan dari tiga jumlah fi’liah yang dihubungkan
104
Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
oleh konjungsi
SB
(tsum-ma). Kalimat tersebut, jika dilihat dari struktur
gramatikal BSa-nya menunjukan kalimat majemuk bertingkat. Kalimat tersebut bila dikaitkan dengan S+P+O tersusun menjadi: Dan diwajibkan shalat pada malam isra’ sebanyak 50, P
O
K
lalu dikurangi sampai jadi 5, P
O
lalu nabi Muhammad dipanggil oleh Allah. S
P
O
Setelah dianalisis, Penulis menemukan bahwa sebagian kecil sampel kurang tepat menerjemahkan kalimat tersebut. Kata konjungsi
SB (tsum-
ma) dalam Bsu sering diterjemahkan ke dalam Bsa dengan kata lalu, kemudian, setelah itu. Penulis melihat bahwa sebagian kecil sampel tersebut masih terpengaruh gaya bahasa Bsu. Konjungsi
SB
(tsum-ma)
yang lebih dari dua dalam Bsu tidak diterjemahkan dengan kata yang sama dalam Bsa. Jadi penerjemahan yang tepat menurut penulis sebagai berikut:
Shalat telah diwajibkan kepada Nabi Muhammad saw. pada malam isra sebanyak 50 waktu, lalu dikurangi menjadi 5 waktu, kemudian Nabi dipanggil oleh Allah.
2.
Analisis Penerjemahan Prase
Kasus 1
$` ُد#K9.ِ اIِ4#_َ6 ُ و ذَرْوَة, ُة5C.ُ اmُ&دU[ و, ُم56yِ ا+4oرَأْسُ ا .ِF\ ا3A6
105
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian kecil sampel sebagai berikut: “Kepala seorang raja adalah Islam, dan tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.” Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan oleh sebagian kecil sampel di atas, jika dilihat dari struktur gramatikal BSu-nya, kalimat tersebut menunjukan gabungan dari tiga jumlah ismiyah (dalam bahasa Indonesia lazim disebut kalimat majemuk setara). Kalimat tersebut, jika dilihat dari struktur gramatikal BSa-nya menunjukan kalimat majemuk setara. Kalimat tersebut, bila dikaitkan dengan S+P+O tersusun menjadi: Kepala seorang raja adalah Islam, dan tiangnya adalah shalat, S
P
O
S
P
O
dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah. S
P
O
Setelah dianalisis, penulis menemukan sebagian kecil sampel yang kurang tepat menerjemahkan kalimat tersebut. Kata
ِ+4oا
diterjemahkan oleh sebagian
kecil sampel sebagai raja. Kata tersebut adalah bentuk ma’rifah (khusus) dari asal
105
Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
kata
ُ+ْ4َأ
yang artinya urusan, masalah.106 Kata tersebut pula, berbeda dengan
kata
َ+ِ4^
yang artinya raja, penguasa.107 Ketidak-tepatan dalam menentukan
makna menyebabkan kerancuan dalam kalimat tersebut. Jadi penerjemahan yang tepat menurut penulis sebagai berikut: “Kepala masalah adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncak tertingginya adalah jihad di jalan Allah.”
Kasus 2
. ُIَE,Eَي| وﺹb4+=. وا$p#i_.; و اU< أmروا
108
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian kecil sampel sebagai berikut: “Diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’I, dan Tirmiji dan disohehkan.” Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan oleh sebagian kecil sampel di atas, jika dilihat dari struktur gramatikal Bsu, kalimat tersebut adalah jumlah fi’liah ma’lum. Jika dilihat dari struktur gramatikal Bsa, kalimat tersebut menunjukan kalimat tunggal pasif. Bila dikaitkan dengan S+P+O tersusun menjadi:
106 Atabiq, Ali, d.k.k. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1996, hlm. 220 107 Ibid, hlm. 219 108 Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
Diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’I, dan Tirmiji dan disohehkan. P
S
Setelah dianalisis, Penulis menemukan sebagian kecil sampel kurang tepat menerjemahkan kalimat tersebut. Struktur gramatikal BSu yang merupakan jumlah fi’liah ma’lum dapat diterjemahkan sebagai kalimat tunggal pasif dalam BSa. Pemahaman struktur gramatikal BSu yang dilakukan oleh sebagian kecil sampel sudah tepat. Namun menurut hemat penulis, damîr atau kata ganti
m (h) pada prase m رواharus tetap
ditampilkan tetapi tidak difungsikan sebagai subjek. Jumlah fi’liah tersebut menurut penulis, lebih tepat diterjemahkan menjadi sebuah prase dibanding sebagai kalimat pasif. Jadi penerjemahan yang tepat menurut penulis sebagai berikut:
Hadits
Riwayat109
Ahmad,
Nasa’I
dan
Turmudzi
yang
kemudian
menshohehkan hadits tersebut. Kasus 3
. َى+gدةٍ أ#A[ ِ/1ُ أ/.x_4 #K.;8 ﺕ7 ٌ/.x_4 ِم56y ا$` ِة5COِ.و
110
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian kecil sampel sebagai berikut:
109 110
lazim disingkat menjadi HR. Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
“Kedudukan shalat dalam Islam tidak tertandingi oleh kedudukan ayat ibadah yang lain.” Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan sebagian kecil sampel di atas, jika dilihat dari struktur gramatikalnya menunjukan bahwa kalimat tersebut adalah kalimat tunggal aktif. Kalimat tersebut bila dilihat dari S+P+O tersusun menjadi: Kedudukan shalat dalam Islam tidak tertandingi S
komplemen
P
oleh kedudukan-kedudukan ayat-ayat ibadah yang lain. O Setelah dianalisis, Penulis menemukan bahwa sebagian kecil sampel kurang tepat menerjemahkan kalimat tersebut. Kekurang-tepatan itu disebabkan oleh sebagian kecil sampel tidak memahami arti kata. Kata
ِ/1أ
dalam kalimat tersebut bermakna111 setiap, sesuatu dan apa saja,
bukan bermakna ayat al-Quran seperti yang diperkirakan oleh sebagian kecil sampel tersebut. Jadi, penerjemahan yang tepat menurut penulis adalah :
“Shalat di dalam Islam menempati kedudukan yang tidak dapat ditandingi oleh ibadah lainnya.” 3.
Analisis Perluasan Pola Kalimat 111
Atabik, Ali, Ahmad Zuhdi, Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia – Al Ashriy, Jogyakarta: Multi Karya Grafika,1996, cet. ke 5. hlm. 281
Kasus 1
112
ِ دا#A8. اeِ4 Z.#8 ﺕFُ اIَAَ أَوْﺝ#4 ُ أول$وه .ت
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian besar sampel sebagai berikut: “Dan dia adalah yang pertama diwajibkan Allah ta’ala dalam ibadah.” Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan oleh sebagian kecil sampel di atas, jika dilihat dari struktur gramatikal Bsu-nya menunjukan bahwa kalimat tersebut adalah jumlah ismiyah. Jika dilihat dari struktur gramatikal Bsa-nya menunjukan bahwa kalimat tersebut adalah kalimat tunggal berpelengkap. Bila dikaitkan dengan S+P+O tersusun menjadi: dan dia adalah yang pertama diwajibkan Allah ta’ala dalam ibadah. S
P
pelengkap
Setelah dianalisis, penulis menemukan bahwa sebagian besar sampel kurang tepat menerjemahkan kalimat tersebut. Kekurang-tepatan penerjemahan kalimat tersebut kemungkinan terjadi karena sampel kurang
memahami
nizam
atau
gaya
bahasa
Bsu.
Sampel
menerjemahkan gaya bahasa teks tersebut secara leterleg. Hal ini terlihat dari penempatan objek kalimat yang kurang tepat. Penerjemahan yang
112
Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
demikian berimplikasi pada kerancuan pemahaman. Menurut hemat penulis, objek dalam kalimat tersebut harus ditampilkan secara jelas. objek dalam kalimat tersebut adalah kata ibadah. Jadi penerjemahan yang tepat menurut penulis sebagai berikut: Shalat adalah ibadah yang pertama kali diwajibkan oleh Allah Ta’ala. Kasus 2
. ُ;ْAَ8.ِ اI3O[ ُ?6#Eُ1 #4 ُ أول$و ه
113
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian besar sampel sebagai berikut: “Dan dia adalah pertama kali yang dihitung terhadap hamba.” Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan oleh sebagian kecil sampel di atas, jika dilihat dari struktur gramatikal Bsu-nya menunjukan bahwa kalimat tersebut adalah jumlah ismiyah. Jika dilihat dari struktur gramatikal Bsa, menunjukan bahwa kalimat tersebut adalah kalimat tunggal pasif. Bila dikaitkan dengan S+P+O tersusun menjadi: Dan dia adalah pertama kali yang dihitung terhadap hamba. S
113
P
Pelengkap
Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
Setelah dianalisis, Penulis menemukan bahwa sebagian besar sampel kurang tepat menerjemahkan kalimat tersebut. Kekurang-tepatan penerjemahan kalimat tersebut kemungkinan terjadi karena sebagian besar sampel kurang memahami nizam atau gaya bahasa Bsu. Sampel menerjemahkan gaya bahasa teks tersebut secara leterleg. Hal ini terlihat dari penempatan objek kalimat yang kurang tepat. Penerjemahan yang demikian berimplikasi pada kerancuan pemahaman. Jadi penerjemahan yang tepat menurut penulis sebagai berikut: Shalat adalah ibadah seorang hamba yang pertama kali dihitung.
Dari data di atas, penulis melihat ada dua hal yang perlu digarisbawahi, yaitu: a.
Data tersebut mengindikasikan bahwa sebagian sampel kurang memahami arti kata dalam BSu (bahasa Arab). Hal ini bisa disebabkan oleh ketidak lengkapan kamus yang mereka miliki, sehingga proses penentuan arti kata menjadi salah.114
b.
Data tersebut mengindikasikan juga bahwa sampel terlihat masih terpengaruh oleh struktur gramatikal Bsu (bahasa Arab) dan kurang memahami struktur gramatikal BSa (bahasa Indonesia) dengan baik. Hal ini bisa disebabkan oleh kurangnya materi pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah tersebut.
114
Hasil observasi penulis menemukan bahwa kamus dwi bahasa yang dimiliki oleh santri maupun pesantren tidak banyak macamnya. Penulis juga menemukan hampir semua santri menggunakan kamus dwi bahasa karangan Mahmud Yunus.
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Setalah menganalisa secara keseluruhan dari berbagai aspek yang
dibutuhkan maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: a.
Secara keseluruhan, hasil penerjemahan santri modern cukup baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa sampel yang sudah cukup baik menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh penulis dalam BSu.115
b.
Pertanyaan penulis di awal bab tentang seberapa berpengaruhnya struktur gramatikal bahasa sumber (BSu) dalam proses penerjemahan, penulis mendapatkan bahwa ada sebagian kecil sampel yang masih terpengaruh oleh struktur gramatikal bahasa sumber (BSu). Hal ini bisa dimaklumi karena pengetahuan sampel terhadap struktur gramatikal bahasa sasaran (BSa) yang juga kurang baik. Penguasaan sampel terhadap struktur gramatikal bahasa sasaran (BSa) kurang baik karena porsi mata pelajaran bahasa Indonesia di tingkat sekolah menengah atas pada umumnya tidak cukup.
B.
Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, saran penulis sebagai berikut :
115
Lihat table II.
a.
Sebaiknya santri atau pelajar selalu mengikuti perkembangan bahasa, baik bahasa sumber maupun bahasa sasaran
b.
Sebaiknya santri atau pelajar memperhatikan struktur bahasa sumber dan bahasa sasaran untuk memudahkan dalam proses pengalihan bahasa.
c.
Berkaitan dengan pengetahuan tentang struktur bahasa sumber dan sasaran, sebaiknya berbagai pihak terutama pihak penyelenggara pendidikan mulai membaiki materi pelajaran yang berkaitan dengan bahasa,
terutama
penguasaan
bahasa
struktur
sasaran.
gramatikal
Karena
bahasa
kelemahan
sasaran
akan
dalam sangat
berpengaruh pada hasil akhir penerjemahan. d.
Cara merumuskan sebuah gramatika haruslah terdiri dari seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan dengan yang lain karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realita dalam alam semesta tertentu. Maka unsur gramatika dalam proses penerjemahan harus juga terdiri dari seperangkat unsur leksikal yang mengacu pada referen yang sesuai dengan konteks budaya dalam Bahasa Sumber (BSu).
e.
Para santri diberikan banyak latihan penerjemahan agar terampil dalam menerjemahkan teks Arab ke dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya.
Penulis sadar bahwa penelitian ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penelitian ini harus diperbaiki dan diteruskan sebagai instrumen perbaikan sistem pendidikan khususnya kebahasaan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Atabik, Ahmad Zuhdi, Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia – Al Ashriy, Jogyakarta: Multi Karya Grafika,1996, cet. ke 5. Alwi, Hasan, d.k.k., Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, ed. Ke 3, cet. ke 6. ‘Aqib, Kharisudin, Al-Fath (Metode Cepat Belajar Membaca Tulisan (Kitab) Gundul, Surabaya: H.I. Press, 2007, cet. ke 10. Arifin, E. Zaenal, S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: Akademika Pressindo, 2006, ed. Ke 2. Chaer, Abdul, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, ed. Rev, cet. ke 1. ---------------- Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, cet. ke 3. ---------------- Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, cet. ke 2. Dhofier, Zamaksyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1985), cet. ke 4. Hidayatullah, M. Syarif, Teori dan Permasalahan Penerjemahan, Diktat Jurusan Tarjamah Fak. Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. ---------------, Tehnik Menerjemah Teks Arab 1, Tangerang: Transpustaka, 2005, cet. ke 2. ---------------, Modul Kursus Terjemah Arab-Indonesia Dasar II, Tangerang: Transpustaka, 2004, cet. ke I. Keraf, Gorys, Komposisi, Flores: Nusa Indah, 1994, cet. Ke 10.
Kridalaksana, Harimurti, Struktur, Kategori, dan Fungsi Dalam Teori Sintaksis, Jakarta: UNIKA Atmajaya, 2002, -------------- Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia (edisi kedua), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, cet. Ke 2. -------------- Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, ed. Ke 3, cet. ke 1.
Machali, Rochayah, Pedoman Bagi Penerjemah, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2000, Mansyur, Moh., Kustiwan, Pedoman Bagi Penerjemah Arab-Indonesia Indonesia-Arab, Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2002. Munawir, A.W., Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawir Indonesia-Arab Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 2007, cet. ke 1. ------------------ Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, cet. Ke 2. Mufid, Nur, Kaserun AS. Rahman, Buku Pintar Menerjemah Arab-Indonesia (Cara Paling Tepat, Mudah dan Kreatif), Surabaya: Pustaka Progressif, 2007, cet. ke 7. Nasuha, Hamid, d.k.k., Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis, Disertasi), Jakarta: Ceqda, 2007, cet. ke 2. Partanto, Pius A., M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Buku Kamus Terpopuler), Surabaya: Arkola, 1994. Rofi’I, Bimbingan Tarjamah Arab-Indonesia jilid 2, Jakarta: Persada Kemala, 2002, cet. ke 1. Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Mesir: Darul Fikr, 1983. -------------- Fikih Sunnah Jilid I (Terjemahan), Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006, cet. Ke 1. Sakri, Adjat, Ihwal Menerjemahkan, Bandung: ITB, 1985, cet. ke 2. Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), Bandung: Humaniora, 2005, cet. ke 1. Tarigan, Henry Guntur, Pengajaran Sintaksis, Bandung: Angkasa, 1986, cet. Ke 2.
Verhaar, J.W.M., d.k.k., Asas-Asas Linguistik Umum, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wasito, Hermawan, Pengantar Metodologi Pnenelitian (Buku Panduan Mahasiswa), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, cet. Ke 2. Widyamartaya, A., Seni Menerjemahkan, Yogyakarta: Kanisius, 1989, cet. Ke 17.
ampiran I
Wawancara dengan Bapak KH Sundusi Ma’mun (Bertempat di Pondok Pesantren Al-Amanah Al-Ghontory pada hari Jumat tanggal 26 Juni 2009 pukul 16.30 WIB)
Penulis :
Siapa pendiri dan penggagas berdirinya Pondok Pesantren Modern Al-Amanah Al-Ghontory?
KH. Sundusi Ma’mun : Pesantren ini dicetuskan dan didirikan oleh Bpk (Alm) H. Nadjih Hi bin H. M. Idup pada tahun 1992 bersama rekan-rekannya. Penulis : Apa yang melatar belakanginya? KH. Sundusi Ma’mun : Bpk (Alm) H. Nadjih Hi bin H. M. Idup adalah salah satu alumni Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, beliau sangat ingin dalam hidupnya mendirikan sebuah pesantren yang sama dengan tempat beliau “nyantri” dulu. Beliau mengangggap bahwa apa yang telah diajarkan PMDG padanya dulu benar-benar telah membentuknya menjadi orang yang baik. Dahulunya lokasi yang menjadi pesantren saat ini adalah lembah yang berada di bawah situ, yaitu Situ Perigi, yang masih asri. Kenapa harus di sini, salah satu pertimbangannya adalah keberadaan Situ Perigi sebagai Situ atau danau. Air dinilai sebagai sumber daya alam yang sangat menunjang keberadaan Pondok, manusia sangat bergantung terhadap air. Oleh karena itu, lokasi Pondok saat ini dinilai sangat cocok oleh para pendiri waktu itu. Dahulu pernah terjadi kemarau panjang selama kurang lebih enam bulan lamanya, daerah-daerah yang berada di atas Situ Perigi sudah mengalami kekeringan, namun Pondok tetap berjalan seperti biasa karena air tetap melimpah dari Situ Perigi. Begitu juga sebaliknya, kalau datang musim hujan yang ekstrem, daerah areal pondok pesantren menjadi daerah pertama yang mengalami kebanjiran. Dahulu juga, pondok pesantren ini hanya bermula dari sebuah gedung yang dinamakan ta’sis (masdar dari kata asas yang
artinya dasar). Yaitu tempat serbaguna bagi aktifitas pondok, seperti kegiatan belajar-mengajar, mushola, dan asrama.116 Dan pada tahun pertama berdirinya pondok pesantren ini hanya memiliki enam orang santri yang menuntut ilmu. Tipologi penduduk di sekitar pondok pesantren dulu sebagian besar adalah petani. Tingkat pengetahuan keagamaan mereka tidak tinggi. Sehingga penerimaan masyarakat terhadap keberadaan pondok pesantren tidak terlalu baik saat itu. Penduduk sekitar pondok kebanyakan adalah warga NU yang notabene tidak terlalu menerima keberadaan pondok yang dianggap muhammadiyah. Namun hal ini tidak berlangsung lama, karena pada hakekatnya pro dan kontra dalam hal itu sudah lumrah terjadi, tapi tidak menimbulkan ekses yang negatif. Dan Pondok Pesantren Al-Amanah Al-Ghontory sendiri sebenarnya adalah pondok pesantren yang tidak menganut paham apapun. Di PMDG sendiri, sebagai pondok pesantren induk, tidak mengizinkan adanya dikotomi-dikotomi yang mengarah kepada pertentangan masuk ke dalam pondok pesantren. Oleh karena itu, keberadaan pondok pesantren tetap eksis sampai sekarang dan terus mengalami kemajuan yang berarti. Penulis : Apa yang menjadi latar belakang dari nama Pondok Pesantren Modern Al-Amanah Al-Ghontory? KH. Sundusi Ma’mun : Pada awal berdirinya pondok pesantren ini bernama “Al-Amanah”, namun seiring berjalannya waktu, para pendiri pondok pesantren ini berkeinginan agar ada embelembel “Al-Ghontory” di belakang nama “Al-Amanah”. Hal ini dilatar-belakangi oleh beberapa faktor, yaitu:
a.
b.
116
Keinginan dari Bapak (Alm) H. Nadjih Hi bin H. M. Idup sebagai pencetus ide atas berdirinya Pondok agar pondok pesantren ini sama dengan pondok pesantren tempat beliau menuntut ilmu dulu yaitu PMDG. Dengan kata lain pondok ini harus mempunyai kesamaan dalam berbagai hal dengan PMDG, baik itu sistem pendidikan, metode belajar, dan SDM yang dimiliki. Pondok Pesantren Modern Al-Amanah Al-Ghontory, dengan penisbathan kata “Al-Ghontory” mengindikasikan bahwa pondok pesantren ini bersifat atau berciri sama dengan gontor atau PMDG.
Sebagai mana kita ketahui bersama bahwa ada lima elemn pokok yang menjadi dasar berdirinya pondok yaitu masjid, santri, kitab-kitab yang diajarkan, santri dan asrama.
PMDG dalam sejarah perkembangan pesantren, merupakan pondok pesantren yang sangat terkenal dengan kemodernannya dalam sistem belajar. Dari pondok pesantren ini, banyak lahir tokoh-tokoh Islam Modern, seperti Nurcholish Madjid, Maftuh Bashuni, Azhumardi Azhra, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, nama gontor menjadi brand image yang punya nilai jual tinggi. Hal ini sangat berpengaruh dalam kuantitas santri. Setelah hampir lima tahun berjuang untuk mendapat legitimasi dari pesantren induk yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor. Akhirnya Pondok Pesantren Modern Al-Amanah berhak menisbathkan nama Al-Ghontory di belakang nama Al-Amanah. Jadilah nama pondok pesantren tersebut menjadi Pondok Pesantren Al-Amanah Al-Ghontory. Untuk diketahui bahwa banyak pondok pesantren yang menjadikan PMDG sebagai pesantren induk, seperti Pondok Pesantren Modern Dar el-Qolam, Darunnajah, Latansa, dan lain sebagainya. Namun yang menggunakan nama Al-Ghontory yang dinisbathkan di belakang namanya hanya ada tiga pondok pesantren, salah satunya adalah AlAmanah Al-Ghontory ini. Penulis :
Menurut Bapak, apa yang membedakan antara pondok pesantren modern dan tradisional (salafi)?
KH. Sundusi Ma’mun : Menurut Saya, pondok pesantren modern dan tradisional (Salafi) sama saja, sama-sama pondok pesantren. Hanya berbeda dalam sistem belajarnya, di mana aspek kebahasaan (yaitu bahasa Arab dan Inggris) menjadi sangat dominan di pondok pesantren modern. Hal ini sangat terasa dengan penggunaan bahasa Arab dan bahasa Inggris dalam kehidupan pondok pesantren sehari-hari, baik itu dalam proses belajar-mengajar, maupun dalam keseharian santri di dalam pondok pesantren. Stigma yang terjadi di masyarakat bahwa pondok pesantren modern tidak mempelajari kitab-kitab kuning sebagai salah satu elemen pokok dalam pondok pesantren tidak benar adanya. Pondok pesantren modern pun dalam sistem belajarnya tetap mempelajari apa yang dinamakan oleh masyarakat sebagai kitab-kitab kuning tersebut. Seperti kitab Bidâya al-Mujtahid, fiq as-Sunnah, dan lain-lain. Hanya saja, memang apa yang dipelajari di dalam pondok pesantren modern terhadap kitabkitab kuning tidak sebanyak di pondok pesantren tradisional (Salafi).
Oleh karena itu, saya mengimbau kepada siapapun yang merasa alumni, baik itu alumni pondok pesantren modern dan tradisional untuk tidak sombong (tinggi hati dan menganggap orang lain rendah). Karena masing-masing dari kedua tipe pondok pesantren tersebut pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Selepas dari PMDG, saya juga belajar di pondok pesantren tradisional. Penulis : Apa pendapat Bapak tentang penerjemahan? KH. Sundusi Ma’mun : Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa penerjemahan adalah salah satu proses dalam belajar. Dalam ranah pesantren, pesantren sangat konsern terhadap wacana penerjemahan. Karena penerjemahan dilakukan untuk mengetahui makna suatu kata atau kalimat dalam bahasa tertentu. Misalnya kata atau kalimat dalam bahasa Arab. Di Pondok Pesantren Al-Amanah al-Ghontory sendiri, dalam kurikulum belajarnya menerapkan mata pelajaran terjemah, yaitu terjemah al-Qur’an. Al-Qura’an diterjemahkan kata perkata oleh para santri ke dalam bahasa Indonesia tanpa bantuan kamus, apa-apa yang tidak diketahui oleh santri kemudian ditanyakan kepada guru. Dan tolok ukur keberhasilan santri dalam menerjemahkan adalah ketika santri bisa menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara baik. Penulis :
Bagaimana pengetahuan tentang penerjemahan di pondok pesantren ini dan implementasinya dalam sistem belajar?
KH. Sundusi Ma’mun : Seperti yang sudah dijelaskan tadi, bahwa penerjemahan difokuskan pada penerjemahan al-Qur’an. AlQura’an diterjemahkan kata perkata oleh para santri, masalah bagaimana cara menerjemahkan yang baik, santri tidak sepenuhnya mengetahui hal itu. Setelah santri menerjemahkan dengan kemampuannya sendiri, lalu guru melakukan pemeriksaan terhadap hasil terjemahan dan kemudian mengoreksi kesalahannya. Penulis : Bagaimana kurikulum dibuat di pondok pesantren ini? KH. Sundusi Ma’mun : Kurikulum dibuat berdasarkan pada kebutuhan belajar para santri yang dianggap baik untuk diterapkan. Kemudian untuk memenuhi standardisasi nasional mengenai kurikulum, pondok pesantren ini juga memasukkan mata
pelajaran yang sesuai dengan apa yang sudah ditentukan oleh Dinas Pendidikan Nasional. Penulis : Bagaimana penerapan kurikulum pendidikan di pondok pesantren ini hubungannya dengan penerjemahan? KH. Sundusi Ma’mun : Sebagaimana kita ketahui bahwa fokus belajar dari santri di pondok ini, adalah agar santri memperoleh pendidikan yang baik di segala bidang pendidikan. Oleh karena itu tentu pendidikan penerjemahan salah satunya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan yang menjadi fokus perbaikan kami juga sebagai pengurus pondok pesantren.
Lampiran II
Daftar nama santri yang menjadi sampel dalam penelitian, yaitu:
NO NAMA
KLS
1
Zakiudin
VI a
2
A. Satria Fataw
VI a
3
Syamsul B.
VI a
4
Arie Sugiarto S.
VI a
5
Angga Arya
VI a
6
Eko Prasetia
VI a
7
Dian H.
VI a
8
Bakti Gustian
VI a
9
Mujahidin
VI a
10
Yasin Fadillah
VI a
11
Abdul Kholiq
VI a
12
Ramadhan Akbar
VI a
13
Muhammad Reza
VI a
14
Oki Susanto
VI a
15
Chaerul Anwar
VI a
16
Gusta Indracahya
VI a