GAMBARAN INSIDEN KESELAMATAN PASIEN BERDASARKAN KARAKTERISTIK PERAWAT, ORGANISASI, DAN SIFAT DASAR PEKERJAAN DI UNIT RAWAT INAP RUMAH SAKIT AL-ISLAM BANDUNG PADA PERIODE 2012-2016
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.K.M)
OLEH: FITRI HANDAYANI 1112101000002
PEMINATAN MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017 M / 1438 H
i
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN Skripsi, April 2017 Fitri Handayani, NIM: 1112101000002 Gambaran Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Karakteristik Perawat, Organisasi, dan Sifat Dasar Pekerjaan di Unit Rawat Inap Rumah Sakit AlIslam Bandung pada Periode 2012-2016 (xxii + 150 halaman, 22 tabel, 1 grafik, 1 bagan, 3 gambar, 3 lampiran) ABSTRAK Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Penerapan program keselamatan pasien di Rumah Sakit Al-Islam Bandung telah dilaksanakan sejak tahun 2010. Namun, berdasarkan laporan insiden keselamatan pasien (IKP) Komite Keselamatan Pasien tercatat pada tahun 2013 terdapat sebanyak 108 insiden yang di antaranya terdiri dari 18 kasus KTD, 16 kasus KNC, dan 72 kasus KTC. Tahun 2014 tercatat sebanyak 129 insiden yang di antaranya terdiri dari 9 kasus KTD, 23 kasus KNC, dan 96 kasus KTC. Tahun 2015 tercatat sebanyak 105 insiden yang di antaranya terdiri dari 28 kasus KTD, 8 kasus KNC, dan 66 kasus KTC. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran IKP pada perawat berdasarkan umur, pengetahuan, stres, kelelahan, komunikasi, implementasi SOP, kerjasama tim, dan gangguan atau interupsi di Unit Rawat Inap Rumah Sakit AlIslam Bandung. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung. Pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dengan sampel sebanyak 76 perawat dan pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner. Berdasarkan hasil penelitian, perawat yang pernah melakukan IKP sebesar 39,5%. Perawat berusia ≤ 30 tahun sebesar 51,2%, pengetahuan kurang sebesar 89,5%, stres tinggi sebesar 78,6%, kelelahan tinggi 55,2%, persepsi kurang terhadap implementasi SOP sebesar 65,2%, kerjasama tim kurang baik sebesar 68,4% cenderung pernah melakukan IKP. Sedangkan, perawat yang memiliki komunikasi efektif sebesar 71,7% dan gangguan atau interupsi rendah sebesar 70,8% cenderung tidak pernah melakukan IKP. Untuk mengantisipasi terjadinya IKP pada perawat, rumah sakit sebaiknya dapat meningkatkan faktor – faktor yang berperan dalam insiden keselamatan pasien terutama pada perawat yang berusia ≤ 30 tahun, pengetahuan, stres, kelelahan, persepsi terhadap implementasi SOP, dan kerjasama tim. Kata kunci
: Insiden Keselamatan Pasien, Perawat, Karakteritik Individu, Karakteristik Organisasi, Karakteristik Sifat Dasar Pekerjaan Daftar Bacaan: 65 (2000 – 2015)
ii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM HEALTH SERVICE MANAGEMENT Undergraduated Thesis, April 2017 Fitri Handayani, ID Number: 1112101000002 Description of Patient Safety Incidents Based on The Characteristics of Nurses, Organizations, and The Nature of Work in Inpatient Unit of AlIslam Bandung Hospital in The Periode 2012-2016 (xxii + 150 pages, 22 tables, 2 charts, 3 images, 3 attachments) ABSTRACT Hospital patient safety is a system where hospitals make patient care safer. Application of patient safety programs in the hospital Al-Islam Bandung has been ongoing since 2010. However, patient safety incidents reported by Patients Safety Committe recorded in 2013 were 108 incidents of which 72 cases KTC, 18 cases KTD, and 16 cases of KNC. In 2014, there were 129 incidents of which 96 cases KTC, 23 cases of KNC, and 9 cases KTD. In 2015, there were 105 incidents of which 66 cases KTC, 28 cases KTD, and 8 cases KNC. This study aims to description of patient safety incidents by nurses based of individual characteristics which include age, knowledge, stress and fatigue, organizational characteristics which consists of communication and implementation of SOP, teamwork, and disturbance/interruptions at Unit Inpatient of Al-Islam Bandung Hospital. The study design used in this research is descriptive research with cross sectional approach. The study population was all nurses in Inpatient Unit of Al-Islam Bandung Hospital. How sampling collected using purposive sampling with a sample of 76 nurses and data collected through questionnaires. The results showed that were as much as 39,5% of nurses who had conducted patient safety incidents in Inpatient Unit of Al-Islam Bandung Hospital. Nurses age of < 30 years 51,2%, lack of knowledge 89,5%, high stress 78,6%, high fatigue 55,2%, lack of perception of the SOP 65,2%, lack of teamwork 71,7% of nurses who had conducted patient safety incidents. While nurses have effevtive communication 71,7% and low disturbance/interruptions 70,8% of nurses who hadn’t conducted patient safety incidents. To prevent the occurrence of patient safety incidents, the hospital should be able to improve determinan of patient safety incidents, specifially to nurses age of < 30 years, knowledge, stress, fatigue, lack of perception of the SOP, and teamwork. Keywords
: Patient Safety Incidents, Nurse, Individual Characteristics, Organizational Characteristics, The Nature of Work Characteristics Reading List :65 (2000 – 2015) iii
iv
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Identitias Pribadi Nama Lengkap
: Fitri Handayani
Tempat / Tanggal
: Sukabumi, 02 April 1994
Lahir Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Jalan R. A. Kosasih Ciaul Gang Mahmud RT. 003 RW. 005 No. 52, Kelurahan Citamiang, Kecamatan Cikole, Kota Sukabumi, Jawa Barat
Agama
: Islam
Telepon
: 085720008912
Email
:
[email protected] Riwayat Pendidikan
2012 – 2017
: Peminatan Manajemen Pelayanan Kesehatan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Universitas
Islam
Negeri
Hidayatullah Jakarta 2009 – 2012
: SMA Negeri 5 Kota Sukabumi
2006 – 2009
: SMP Negeri 15 Kota Sukabumi
2000 – 2006
: SD Negeri Cijangkar 1 Kota Sukabumi
1999 – 2000
: TK Islam Assalam
vi
(UIN)
Syarif
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillahirabbil’alamin. Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas limpahan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Gambaran Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Karakteristik Perawat, Organisasi, dan Sifat Dasar Pekerjaan di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung pada Periode 20122016” dapat diselesaikan. Sholawat dan salam tidak lupa penulis sampaikan pada baginda Rasulullah Muhammad SAW yang membawa umatnya ke jalan yang diridhoi oleh Allah SWT. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program Strata Satu (S1) pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1.
Keluarga tercinta, terutama Ayahanda Suhendi Sadeli, Ibunda Juju, dan Saudara – Saudariku, Moch. Iskandar dan Keluarga, Lina Nurhayati, S. Hut. dan Keluarga, Nurdin Sayid Firdaus, untuk segala do’a, dorongan semangat, dukungan moril dan materil, perhatian, serta kasih sayang yang tiada henti kepada penulis.
2.
Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. vii
3.
Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph. D., selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus Pembimbing Skripsi yang telah memberikan arahan serta bimbingannya.
4.
Ibu Lilis Muchlisoh, SKM, MKM., selaku Pembimbing Skripsi yang telah memberikan arahan serta bimbingannya.
5.
Ibu Riastuti Kusuma Wardani, SKM, MKM., selaku Penanggung Jawab Peminatan Manajemen Pelayanan Kesehatan.
6.
Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS., Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK., dan Ibu Puput Oktamianti, SKM, MM., selaku Penguji Sidang Skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingannya.
7.
Direktur Rumah Sakit Al-Islam Bandung yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melakukan penelitian skripsi di Rumah Sakit Al-Islam Bandung.
8.
dr. Rita Herawati, Sp. PK, M. Kes. selaku Kepala Komite Mutu dan Keselamatan Pasien Rumah Sakit Al-Islam Bandung.
9.
Bapak Ujang Hidayatullah, SKM. selaku Staf Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit Al-Islam Bandung yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk dapat melaksanakan penelitian skripsi dan juga bersedia memberikan bimbingan serta arahan selama pelaksanaan kegiatan penelitian skripsi.
10. Seluruh perawat di unit rawat inap yang telah bersedia untuk bekerja sama dan menjadi responden dalam penelitian skripsi di Rumah Sakit Al-Islam Bandung.
viii
11. Sahabat terbaik, Eka Putri Hanifah, S. Pd. yang selalu mendengarkan keluh kesah penulis, memberikan semangat, dan motivasinya untuk penulis dapat menyelesaikan skripsi. 12. Hipni Solehudin, S. Ked., dan Keluarga “REKISHI”, Rizki Ananda Prawira Marpaung, S. Ked., Fitria Nurannisa, S. Ked., Putri Auliya Hilfa Lubis, S. Ked., dan Muthiah Miftahul Husnayain, S. Ked. yang selalu memberikan motivasi serta semangatnya kepada penulis. 13. Teman – teman seperjuangan Kesehatan Masyarakat Angkatan 2012 khususnya Peminatan
Manajemen Pelayanan Kesehatan
yang telah
memberikan dorongan semangat dan kebersamaannya selama menyelesaikan perkuliahan. 14. Bi Ade dan Keluarga Bandung, Mbak Laily Rachmayanti, dan Keluarga Tante Dessy yang telah membantu peneliti selama melakukan penelitian. 15. Semua pihak yang secara tidak langsung membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Dengan mengirimkan doa kepada Allah SWT, penulis berharap semua kebaikan yang telah diberikan mendapat pahala dari Allah SWT. Terakhir penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Aamiin ya rabal ‘alamin. Wa’alaikumsalam Wr. Wb. Jakarta, April 2017
Peneliti
ix
DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................... i ABSTRAK ................................................................................................................... ii PERNYATAAN PERSETUJUAN............................................................................ iv DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................................. vi KATA PENGANTAR ............................................................................................... vii DAFTAR ISI ................................................................................................................ x DAFTAR TABEL .................................................................................................... xiv DAFTAR BAGAN................................................................................................... xvii DAFTAR GRAFIK ................................................................................................ xviii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xix DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xx DAFTAR ISTILAH ................................................................................................. xxi BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 A. Latar Belakang ......................................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .................................................................................................... 6 C. Pertanyaan Penelitian ............................................................................................... 7 D. Tujuan Penelitian...................................................................................................... 8 1. Tujuan Umum....................................................................................................... 8 2. Tujuan Khusus ...................................................................................................... 8 E. Manfaat Penelitian .................................................................................................... 8 1. Bagi Rumah Sakit Al-Islam Bandung .................................................................. 8 2. Bagi Peneliti selanjutnya ...................................................................................... 9 F. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................................ 9
x
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 10 A. Konsep Keselamatan Pasien di Rumah Sakit......................................................... 10 1. Definisi Keselamatan Pasien .............................................................................. 10 2. Tujuan Program Keselamatan Pasien ................................................................. 11 3. Standar Keselamatan Pasien ............................................................................... 11 4. Tujuh Langkah Keselamatan Pasien .................................................................. 13 5. Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS) .............................................. 14 6. Sasaran Keselamatan Pasien .............................................................................. 15 B. Insiden Keselamatan Pasien ................................................................................... 24 C. Sistem Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien ...................................................... 28 D. Faktor – Faktor yang Berkontribusi dalam Insiden Keselamatan Pasien............... 33 E. Kerangka Teori Penelitian ...................................................................................... 54 BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL .................. 56 A. Kerangka Konsep ................................................................................................... 56 B. Definisi Operasional ............................................................................................... 59 BAB IV METODE PENELITIAN .......................................................................... 62 A. Desain Penelitian .................................................................................................... 62 B. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................................. 62 C. Populasi dan Sampel .............................................................................................. 62 1. Populasi .............................................................................................................. 62 2. Sampel ................................................................................................................ 63 3. Kriteria Sampel................................................................................................... 65 D. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................................... 65 1. Sumber Data ....................................................................................................... 65
xi
2. Instrumen Penelitian ........................................................................................... 66 E. Uji Validitas dan Realibilitas .................................................................................. 71 1. Uji Validitas ....................................................................................................... 71 2. Uji Realibilitas .................................................................................................... 72 F. Pengolahan Data ..................................................................................................... 73 G. Analisis Data .......................................................................................................... 75 BAB V HASIL PENELITIAN ................................................................................. 76 A. Gambaran Umum Rumah Sakit Al-Islam Bandung ............................................... 76 B. Gambaran Umum Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit Al-Islam Bandung . 77 C. Distribusi Frekuensi Insiden Keselamatan Pasien di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung pada Periode 2012-2016 ................................................. 88 D. Distribusi Frekuensi Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Karakteristik Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung... ............................ 90 1. Usia ..................................................................................................................... 90 2. Pengetahuan ........................................................................................................ 91 3. Stres.. ................................................................................................................... 93 4. Kelelahan............................................................................................................. 95 E. Distribusi Frekuensi Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Karakteristik Organisasidi Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung ............................ 96 1. Komunikasi ......................................................................................................... 96 2. Implementasi Standar Operasional Prosedur (SOP) ........................................... 99 F. Distribusi Frekuensi Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Karakteristik Sifat Dasar Pekerjaan di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung ....... 101 1. Kerjasama Tim .................................................................................................. 101
xii
2. Gangguan atau Interupsi yang Dialami oleh Perawat ....................................... 103 BAB VI PEMBAHASAN........................................................................................ 105 A. Keterbatasan Penelitian ........................................................................................ 106 B. Gambaran Insiden Keselamatan Pasien di Unit Rawat Inap Rumah Sakit AlIslam Bandung pada Periode 2012-2016.............................................................. 107 C. Gambaran Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Karakteristik Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung ............................................... 115 1. Usia ................................................................................................................... 115 2. Pengetahuan ...................................................................................................... 117 3. Stres.. ................................................................................................................. 124 4. Kelelahan........................................................................................................... 129 D. Gambaran Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Karakteristik Organisasi di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung ........................................... 134 1. Komunikasi ....................................................................................................... 134 2. Implementasi Standar Operasional Prosedur (SOP) ......................................... 138 E. Gambaran Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Karakteristik Sifat Dasar Pekerjaan di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung .......................... 141 1. Kerjasama Tim ................................................................................................. 141 2. Gangguan atau Interupsi yang Dialami oleh Perawat.. .................................... 144 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 147 A. Simpulan .............................................................................................................. 147 B. Saran ..................................................................................................................... 148 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. xxii LAMPIRAN ...................................................................................................................
xiii
DAFTAR TABEL No.
Nama Tabel
Halaman
Faktor yang Berpengaruh terhadap Insiden Keselamatan
34
Tabel 2.1
Pasien (WHO, 2009) 2.2
Faktor Model Sistem yang Berkontribusi dalam Insiden
35
Keselamatan Pasien (Henriksen et al., 2008) 3.1
Definisi Operasional
59
4.1
Perhitungan Jumlah Sampel
64
4.2
Nilai Cronbach Alpha pada Instrumen Penelitian
73
4.3
Skor Likert pada Pernyataan Positif dan Negatif
74
5.1
Distribusi Pernyataan Perawat terkait Insiden Keselamatan
88
Pasien di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung pada Periode 2012-2016 5.2
Distribusi Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Usia
90
Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung 5.3
Distribusi
Insiden
Keselamatan
Pasien
Berdasarkan
91
Pengetahuan Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit AlIslam Bandung 5.4
Distribusi Jawaban Perawat Terkait Pengetahuan di Unit
92
Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung 5.5
Distribusi Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Stres Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung
xiv
93
No.
Nama Tabel
Halaman
Tabel 5.6
Distribusi Jawaban Perawat Terkait Stres di Unit Rawat Inap
94
Rumah Sakit Al-Islam Bandung 5.7
Distribusi Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Kelelahan
95
Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung 5.8
Distribusi Jawaban Perawat Terkait Kelelahan di Unit Rawat
96
Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung 5.9
Distribusi
Insiden
Keselamatan
Pasien
Berdasarkan
97
Komunikasi Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit AlIslam Bandung 5.10
Distribusi Jawaban Perawat Terkait Komunikasi di Unit
98
Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung 5.11
Distribusi
Insiden
Keselamatan
Pasien
Berdasarkan
99
Implementasi SOP di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung 5.12
Distribusi Jawaban Perawat Terkait Implementasi SOP di Unit
100
Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung 5.13
Distribusi
Insiden
Keselamatan
Pasien
Berdasarkan
101
Kerjasama Tim Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit AlIslam Bandung 5.14
Distribusi Jawaban Perawat Terkait Kerjasama Tim di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung
xv
102
No.
Nama Tabel
Halaman
Distribusi Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Gangguan
103
Tabel 5.15
atau Interupsi di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung 5.16
Distribusi Jawaban Perawat Terkait Gangguan atau Interupsi yang Dialami oleh Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung
xvi
104
DAFTAR BAGAN No.
Nama Bagan
Halaman
Struktur Organisasi Komite Mutu dan Keseelamatan Pasien
79
Bagan 5.1
Rumah Sakit Al-Islam Bandung Tahun 2016
xvii
DAFTAR GRAFIK No.
Nama Grafik
Halaman
Distribusi Pernyataan Perawat Berdasarkan KTD, KNC, KTC
89
Grafik 5.1
di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung pada Periode 2012-2016
xviii
DAFTAR GAMBAR No.
Nama Gambar
Halaman
Faktor – Faktor yang Berkontribusi terhadap Insiden
38
Gambar 2.1
Keselamatan Pasien pada Pelayanan Kesehatan (Henriksen et al., 2008) 2.2
Kerangka Teori Penelitian
55
2.3
Kerangka Teori Penelitian
58
xix
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari Rumah Sakit Al-Islam Bandung Lampiran 2. Kuesioner Penelitian Lampiran 3. Output SPSS
xx
DAFTAR ISTILAH Nama Singkatan
Kepanjangan
AHRQ
= Agency For Healthcare Research and Quality
Depkes
= Departemen Kesehatan
GKPRS
= Gerakan Keselamatan Pasien Rumah Sakit
IKP
= Insiden Keselamatan Pasien
IOM
= Institute of Medicine
IPSG
= International Patient Safety Goals
JCAHO
= Joint Commission on Acreditation of Healthcare Organization
JCI
= Joint Commission International
KKPRS
= Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
KNC
= Kejadian Nyaris Cedera
KPC
= Kejadian Potensial Cedera
KTC
= Kejadian Tidak Cedera
KTD
= Kejadian Tidak Diharapkan
LASA
= Look Alike Sound Alike
NIOSH
= National Institute for Occupational Safety and Health
NORUM
= Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip
PERSI
= Persatuan Rumah Sakit Indonesia
PPNI
= Persatuan Perawat Nasional Indonesia
SBAR
= Situation, Background, Asessment, Recommendation
SOP
= Standar Operasional Prosedur
TBAK
= Tulis, Baca, Konfirmasi Kembali
TKPRS
= Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit
SPM
= Standar Pelayanan Minimal
WHO
= World Health Organization
xxi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang di dalamnya terdapat ratusan macam obat, ratusan tes dan prosedur, banyak alat dengan teknologinya, bermacam jenis tenaga profesi dan non profesi yang memberikan pelayanan kepada pasien selama 24 jam terus menerus. Keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan peluang terjadinya kejadian yang tidak diharapkan sehingga dapat mengancam keselamatan pasien (Depkes, 2006). Keselamatan pasien adalah sistem pelayanan dalam rumah sakit yang memberikan asuhan pasien menjadi lebih aman. Resiko pasien tidak aman di rumah sakit bisa terjadi kapan saja, dimana saja, dan terhadap siapa saja. Hal tersebut tergantung pada lamanya kontraktual pelayanan, keadaan pasien, kecakapan petugas kesehatan, serta prosedur dan kelengkapan fasilitas rumah sakit (Sofyan, 2010). Terjadinya insiden keselamatan pasien di suatu rumah sakit akan memberikan dampak yang merugikan bagi pihak rumah sakit, staf, dan pasien sebagai penerima pelayanan. Adapun dampak yang ditimbulkan adalah semakin meningkatnya perasaan tidak puas hingga maraknya tuntutan pasien atau keluarganya. Dengan demikian keselamatan pasien merupakan hal yang sangat penting dalam bidang kesehatan terutama dalam pelayanan rumah sakit (Sofyan, 2010).
1
Dampak lain yang dapat terjadi menurut Apriningsih (2013) adalah memperpanjang masa rawat, meningkatkan cedera, kematian, perilaku saling menyalahkan, konflik antara petugas dan pasien, tuntutan dan proses hukum, blow up media massa, dapat menurunkan citra dari sebuah rumah sakit, serta dapat mengindikasikan bahwa mutu pelayanan di rumah sakit masih kurang baik. Kondisi ini harus mampu diantisipasi oleh penyelenggara layanan kesehatan agar keselamatan pasien terjamin, kontinuitas pelayanan, dan organisasi tetap berjalan. Keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan di rumah sakit dan hal tersebut terkait dengan isu mutu dan citra perumahsakitan (Depkes, 2006). Rumah sakit perlu meningkatkan mutu pelayanan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat di antaranya melalui Program Keselamatan Pasien, dimana World Health Organization (WHO) telah memulainya pada tahun 2004. Gerakan Keselamatan Pasien Rumah Sakit (GKPRS) di Indonesia dicanangkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada 21 Agustus 2005. Pada tahun 2000 Institute of Medicine (IOM) di Amerika Serikat menerbitkan laporan “To Err Is Human, Building a Safer Health System”. Laporan tersebut mengemukakan penelitian di rumah sakit yakni di Utah dan Colorado, serta New York. Di Utah dan Colorado ditemukan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) sebesar 2,9%, dimana 6,6% di antaranya meninggal. Di New York ditemukan KTD sebesar 3,7% dengan angka kematian 13,6%. Angka kematian akibat KTD pada pasien rawat inap di seluruh Amerika yang berjumlah 33,6 juta per tahun berkisar 44.000 - 98.000 per tahun. Publikasi
2
WHO pada tahun 2004, mengumpulkan angka – angka penelitian di rumah sakit berbagai Negara, yakni: Amerika, Inggris, Denmark, dan Australia, ditemukan KTD dengan rentang 3,2% - 16,6%. Dengan data – data tersebut, berbagai negara melakukan penelitian dan mengembangkan keselamatan pasien (Depkes, 2006). Berdasarkan data insiden keselamatan pasien yang diterbitkan oleh KKPRS tahun 2006 – 2007, di Indonesia ditemukan sebanyak 145 laporan, tahun 2008 sebanyak 61 laporan, tahun 2009 sebanyak 114 laporan, tahun 2010 sebanyak 103 laporan, dan tahun 2011 sebanyak 34 laporan. Total keseluruhan laporan dari tahun 2007 – triwulan I tahun 2011 sebanyak 457 laporan insiden keselamatan pasien yang terjadi di rumah sakit yang ada di Indonesia (KKPRS, 2012). Pelaporan Kejadian Nyaris Cidera (KNC) lebih banyak dilaporkan, yakni sebesar 47,6%. Angka tersebut jelas lebih tinggi jika dibandingkan dengan KTD yang hanya sebesar 46,2% (KKPRS, 2008). Data – data yang dilaporkan tersebut menunjukkan bahwa jumlah insiden keselamatan pasien di Indonesia sangatlah tinggi. Berdasarkan laporan KKPRS tahun 2011 Triwulan I, jumlah laporan insiden keselamatan pasien sebesar 11,23% terjadi di unit keperawatan, 6,17% di unit farmasi, dan 4,12% oleh dokter. Hal tersebut disebabkan karena ruang perawatan di rumah sakit merupakan tempat yang berkontribusi paling besar dalam perawatan pasien. Sebagai tempat yang langsung berhubungan dengan pasien, maka risiko untuk terjadi kesalahan ataupun insiden keselamatan pasien sangat besar.
3
Menurut Cahyono (2015), tenaga perawat merupakan tenaga profesional yang berperan penting dalam fungsi rumah sakit. Hal tersebut didasarkan atas jumlah tenaga perawat yang memiliki porsi terbesar, yakni 40% - 60% di dalam pelayanan rumah sakit karena perawat merupakan staf yang memiliki kontak terbanyak dengan pasien selama 24 jam. Perawat juga merupakan bagian dari suatu tim yang didalamnya terdapat profesional lain, salah satunya yakni dokter. Luasnya peran perawat memungkinkan lebih besar terjadi risiko kesalahan pelayanan yang mengancam keselamatan pasien. Untuk itu, perawat harus menyadari perannya dalam penyelenggaraan upaya menjaga mutu pelayanan di rumah sakit dan harus dapat berpartisipasi aktif dalam mewujudkan keselamatan pasien. Masalah terkait keselamatan pasien harus segera ditangani oleh pihak rumah sakit. Menurut Mustikawati (2011), keselamatan pasien dapat diperoleh bila faktor yang berkontribusi terhadap insiden keselamatan pasien dapat diminimalisir bahkan dihindari. Faktor – faktor yang berkontribusi terhadap insiden keselamatan pasien menurut Henriksen et al. tahun 2008 adalah karakteristik
individu,
organisasi,
sifat
dasar
pekerjaan,
manajemen,
lingkungan eksternal, dan lingkungan fisik. Adapun menurut WHO tahun 2009, empat faktor yang sangat berpengaruh dalam insiden keselamatan pasien, yakni karakteristik individu, organisasi dan manajerial, kerjasama tim, dan lingkungan. Selain penyebab insiden yang dikemukakan sebelumnya, penyebab lain terjadinya insiden keselamatan pasien dikemukakan pula oleh Cooper & Clarke pada tahun 2003 yakni stres di tempat kerja (WHO, 2009). Mattox (2012) juga
4
berpendapat bahwa kelelahan perawat merupakan faktor yang dapat berkontribusi terjadinya insiden keselamatan pasien. Penelitian Schaefer et al. (1994) dalam WHO (2009) mengemukakan bahwa 70% - 80% dari kesalahan terkait insiden keselamatan pasien disebabkan karena komunikasi dan kerjasama tim yang buruk. Begitu pula laporan insiden keselamatan oleh KKPRS tahun 2011 menyebutkan bahwa penyebab insiden keselamatan pasien sebesar 19,58% berasal dari tim kerja yang kurang. Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) tahun 2003 juga mengungkapkan bahwa faktor yang dapat menimbulkan insiden keselamatan pasien adalah masalah sumber daya manusia dalam pelaksanaan alur kerja atau prosedur yang tidak adekuat. Begitu pula laporan KKPRS tahun 2011 menyebutkan bahwa kesalahan terkait insiden keselamatan pasien sebesar 9,26% disebabkan pada proses atau prosedur klinik. Menurut Kuncoro (2012) dalam menerapkan keselamatan pasien di rumah sakit ada beberapa aspek yang harus dibangun, salah satunya adalah aspek pengetahuan. Pengetahuan perawat tentang keselamatan pasien sangat penting untuk mendorong pelaksanaan program keselamatan pasien. Rumah Sakit Al-Islam Bandung merupakan salah satu rumah sakit swasta tipe B yang telah menerapkan program keselamatan pasien sejak tahun 2010. Dalam PMK No. 129 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit bahwa terjadinya insiden keselamatan pasien standarnya adalah 0% atau 100% tidak terjadi di rumah sakit. Namun, insiden keselamatan pasien di Rumah Sakit Al-Islam Bandung masih terjadi. Hal ini didasarkan atas
5
laporan Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit Al-Islam Bandung, yakni pada tahun 2013 terdapat sebanyak 108 insiden yang terdiri dari 18 KTD, 16 KNC, dan 72 Kejadian Tidak Cidera (KTC). Tahun 2014 terdapat sebanyak 129 insiden yang terdiri dari 9 KTD, 23 KNC, dan 96 KTC. Tahun 2015 terdapat sebanyak 105 insiden yang terdiri dari 28 KTD, 8 KNC, dan 66 KTC. Sebagian besar insiden keselamatan pasien yang dilaporkan terjadi di ruang rawat inap. Adanya kejadian terkait insiden keselamatan pasien di Rumah Sakit AlIslam Bandung menunjukkan bahwa standar yang ditetapkan belum dapat terpenuhi, serta mengindikasikan bahwa terdapat banyak kejadian yang berpotensi menimbulkan kerugian bahkan mengancam keselamatan pasien. Atas dasar tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Gambaran Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Karakteristik Perawat, Organisasi, dan Sifat Dasar Pekerjaan di Unit Rawat Inap Rumah Sakit AlIslam Bandung pada Periode 2012-2016”. B. Rumusan Masalah Keselamatan pasien merupakan suatu sistem yang difokuskan untuk meningkatkan mutu dan citra rumah sakit. Fokus tentang keselamatan pasien tersebut didorong karena masih tingginya angka insiden keselamatan pasien di rumah sakit baik secara nasional maupun global. Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah adanya kejadian terkait insiden keselamatan pasien di Rumah Sakit AlIslam Bandung sehingga standar yang ditetapkan dalam Permenkes No. 129 tahun 2008 belum dapat terpenuhi. Hal ini menunjukkan bahwa perawat dalam
6
memberikan pelayanan asuhan keperawatan kepada pasien di unit rawat inap belum mengutamakan aspek keselamatan pasien secara optimal dan mengindikasikan
bahwa
terdapat
banyak
kejadian
yang
berpotensi
menimbulkan kerugian bahkan mengancam keselamatan pasien. Keadaan ini dapat disebabkan karena belum diketahuinya gambaran faktor yang berkontribusi dalam insiden keselamatan pasien di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung. C. Pertanyaan Penelitian Adapun beberapa pertanyaan penelitian yang selanjutnya hendak diteliti dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana distribusi frekuensi insiden keselamatan pasien di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung pada periode 2012-2016? 2. Bagaimana distribusi frekuensi insiden keselamatan pasien berdasarkan karakteristik perawat (usia, pengetahuan, stres, dan kelelahan) di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung? 3. Bagaimana distribusi frekuensi insiden keselamatan pasien berdasarkan karakteristik organisasi (komunikasi dan implementasi SOP) di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung? 4. Bagaimana distribusi frekuensi insiden keselamatan pasien berdasarkan karakteristik sifat dasar pekerjaan (kerjasama tim dan gangguan atau interupsi yang dialami oleh perawat) di Unit Rawat Inap Rumah Sakit AlIslam Bandung?
7
D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian yang dilaksanakan antara lain: 1. Tujuan Umum Diketahuinya gambaran insiden keselamatan pasien berdasarkan karakteristik perawat, organisasi, dan sifat dasar pekerjaan di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung pada periode 2012-2016. 2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya distribusi frekuensi insiden keselamatan pasien di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung pada periode 2012-2016. b. Diketahuinya
distribusi
frekuensi
insiden
keselamatan
pasien
berdasarkan karakteristik perawat (usia, pengetahuan, stres, dan kelelahan) di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung. c. Diketahuinya
distribusi
frekuensi
insiden
keselamatan
pasien
berdasarkan karakteristik organisasi (komunikasi dan implementasi SOP) di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung. d. Diketahuinya
distribusi
frekuensi
insiden
keselamatan
pasien
berdasarkan karakteristik sifat dasar pekerjaan (kerjasama tim dan gangguan atau interupsi yang dialami oleh perawat) di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung. E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Rumah Sakit Al-Islam Bandung Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak manajemen rumah sakit dalam rangka memberikan pelayanan kepada pasien yang aman, nyaman, dan bermutu tinggi. Dengan meningkatnya
8
keselamatan pasien diharapkan pula dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit. 2. Bagi Peneliti selanjutnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau gambaran untuk pengembangan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan insiden keselamatan pasien dan dapat menjadi bahan – bahan referensi untuk melakukan penelitian lain atau serupa. F. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan oleh Mahasiswa Peminatan Manajemen Pelayanan Kesehatan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran insiden keselamatan pasien berdasarkan karakteristik perawat, organisasi, dan sifat dasar pekerjaan di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung pada periode 2012-2016. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya kejadian terkait insiden keselamatan pasien di Rumah Sakit Al-Islam Bandung yang menunjukkan tidak tercapainya salah satu target SPM Rumah Sakit dalam PMK No. 129 tahun 2008 pada poin keselamatan pasien. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain cross sectional.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Keselamatan Pasien di Rumah Sakit 1. Definisi Keselamatan Pasien World Health Organization (WHO) (2007) mengungkapkan bahwa pelayanan kesehatan yang aman bagi pasien bukan sebuah pilihan akan tetapi merupakan hak pasien untuk pecaya pada pelayanan yang diberikan oleh suatu sistem pelayanan kesehatan. Menurut Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) (2008), keselamatan (safety) adalah bebas dari bahaya atau risiko (hazard). Keselamatan pasien adalah pasien bebas dari cedera (harm) yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari cedera yang potensial akan terjadi (penyakit, cedera fisik, sosial, psikologi, cacat, kematian, dan lain – lain) terkait dengan pelayanan kesehatan. Dalam PMK RI No. 1691 tahun 2011, keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi: assessmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah tejadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan. 10
2. Tujuan Program Keselamatan Pasien Dalam KKPRS (2008), tujuan dari program keselamatan pasien di rumah sakit antara lain: a. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit. b. Meningkatkan akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat. c. Menurunnya kejadian yang tidak diharapkan di rumah sakit. d. Terlaksananya program – program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan. 3. Standar Keselamatan Pasien Setiap rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien. Standar ini disusun dengan mengacu pada “Hospital Patient Safety Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Acreditation of Health Organization (JCAHO), Illinois, USA, tahun 2002, yang disesuaikan situasi dan kondisi perumahsakitan di Indonesia (Depkes, 2006). Standar keselamatan pasien di rumah sakit terdiri dari: a. Standar 1: Hak pasien Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya kejadian tidak diharapkan. b. Standar II: Mendidik pasien dan keluarga Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.
11
c. Standar III: Jaminan keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan. Rumah sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan. d. Standar IV: Penggunaan metoda – metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien. Rumah sakit harus mendesign proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor, dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif kejadian tidak diharapkan, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien. e. Standar V: Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien 1) Pimpinan
mendorong
dan
menjamin
implementasi
program
keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit. 2) Pimpinan
menjamin
berlangsungnya
program
proaktif
untuk
identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi kejadian tidak diharapkan. 3) Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien. 4) Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja rumah sakit, serta meningkatkan keselamatan pasien.
12
5) Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien. f. Standar VI: Mendidik staf tentang keselamatan pasien 1) Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan, dan orientasi untuk
setiap
jabatan
mencakup
keterkaitan
jabatan
dengan
keselamatan pasien secara jelas. 2) Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien. g. Standar VII : Komunikasi merupakan kunci bagi staff untuk mencapai keselamatan pasien 1) Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal. 2) Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat. 4. Tujuh Langkah Keselamatan Pasien Mengacu kepada standar keselamatan pasien, rumah sakit harus merancang proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif terhadap insiden, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien. Proses perancangan tersebut harus mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktor – faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan tujuh
13
langkah keselamatan pasien rumah sakit. Menurut Depkes (2006), tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit terdiri dari: a. Bangun
kesadaran
akan
nilai
keselamatan
pasien.
Ciptakan
kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil. b. Pimpin dan dukung staf. Bangun komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang keselamatan pasien di rumah sakit. c. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko. Kembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi dan asessmen hal yang potensial bermasalah. d. Kembangkan sistem pelaporan. Pastikan staf di rumah sakit agar dengan mudah dapat melaporkan kejadian atau insiden, serta rumah sakit mengatur pelaporan kepada KKPRS. e. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien. Kembangkan cara – cara komunikasi yang terbuka dengan pasien. f. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien. Dorong staf melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa kejadian itu timbul. g. Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien. Gunakan informasi yang ada tentang kejadian atau masalah untuk melakukan perubahan pada sistem pelayanan. 5. Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS) Dalam PMK No. 1691 tahun 2011, rumah sakit dan tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit wajib melaksanakan program dengan mengacu pada Kebijakan Nasional KKPRS PERSI. Setiap rumah sakit wajib
14
membentuk TKPRS yang ditetapkan oleh kepala rumah sakit sebagai pelaksana
kegiatan
keselamatan
pasien.
TKPRS
yang
dimaksud
bertanggung jawab kepada kepala rumah sakit. Keanggotaan TKPRS terdiri dari manajemen rumah sakit dan unsur dari profesi kesehatan di rumah sakit. Menurut Depkes (2008), tugas dari TKPRS sebagai berikut: a. Mengembangkan program keselamatan pasien di rumah sakit sesuai dengan kekhususan rumah sakit tersebut. b. Menyusun kebijakan dan prosedur terkait dengan program keselamatan pasien rumah sakit. c. Menjalankan peran untuk melakukan motivasi, edukasi, konsultasi, pemantauan (monitoring), dan penilaian (evaluasi) tentang penerapan (implementasi) program keselamatan pasien rumah sakit. d. Bekerjasama dengan bagian pendidikan dan pelatihan rumah sakit untuk melakukan pelatihan internal keselamatan pasien rumah sakit. e. Melakukan pencatatan, pelaporan insiden, analisa insiden, serta mengembangkan solusi untuk pembelajaran. f. Memberikan masukan dan pertimbangan kepada kepala rumah sakit dalam rangka pengambilan kebijakan keselamatan pasien rumah sakit. g. Membuat laporan kegiatan kepada kepala rumah sakit. 6. Sasaran Keselamatan Pasien Dalam PMK No. 1691 tahun 2011, pelaksanaan sasaran keselamatan pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang terakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS). Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life – Saving Patient Safety Solutions dari
15
WHO (2007) yang digunakan juga oleh KKPRS PERSI, dan dari The Joint Comission International (JCI). Tujuan dari sasaran keselamatan pasien adalah mendorong perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian – bagian yang bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti, serta solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas permasalahan ini. Enam sasaran keselamatan pasien terdiri dari: a. Ketepatan Identifikasi Pasien Kesalahan karena keliru dalam mengidentifikasi pasien dapat terjadi di hampir semua aspek atau tahapan diagnosis dan pengobatan. Kesalahan identifikasi pasien bisa terjadi pada pasien yang dalam keadaan terbius/tersedasi, mengalami disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur/kamar/lokasi di rumah sakit, adanya kelainan sensori, atau akibat situasi lain. Maksud sasaran ini adalah untuk melakukan dua kali pengecekan yaitu: pertama, untuk identifikasi pasien sebagai individu yang akan menerima pelayanan dan pengobatan; dan kedua, untuk kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut. Kebijakan
dan/atau
prosedur
yang
secara
kolaboratif
dikembangkan untuk memperbaiki proses identifikasi, khususnya pada proses untuk mengidentifikasi pasien ketika pemberian obat, darah atau produk darah, pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis, atau pemberian pengobatan atau tindakan lain. Kebijakan dan/atau prosedur memerlukan sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir,
16
gelang identitas pasien dengan barcode, dan lain – lain. Nomor kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk identifikasi. Kebijakan dan/atau prosedur juga menjelaskan penggunaan dua identitas berbeda di lokasi yang berbeda di rumah sakit, seperti di pelayanan rawat jalan, unit gawat darurat, atau ruang operasi termasuk identifikasi pada pasien koma tanpa
identitas.
Suatu
proses
kolaboratif
digunakan
untuk
mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur agar dapat memastikan semua kemungkinan situasi untuk dapat diidentifikasi. Elemen Penilaian Sasaran I: 1) Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien misalnya nama dan tanggal lahir pasien. Tidak boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien. 2) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah. 3) Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis. 4) Pasien
diidentifikasi
sebelum
pemberian
pengobatan
dan
tindakan/prosedur. 5) Kebijakan dan/atau prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten pada semua situasi dan lokasi. b. Peningkatan Komunikasi yang Efektif Komunikasi efektif merupakan komunikasi yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang dipahami oleh pasien sehingga akan mengurangi kesalahan dan menghasilkan peningkatan keselamatan
17
pasien. Komunikasi dapat berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis. Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah diberikan secara lisan atau melalui telepon. Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti melaporkan hasil laporan laboratorium klinik cito melalui telepon ke unit pelayanan. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk perintah lisan dan telepon termasuk mencatat (atau memasukkan ke komputer) perintah yang lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima perintah, kemudian penerima perintah membacakan kembali (read back) perintah atau hasil pemeriksaan, dan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan dibaca ulang adalah akurat. Kebijakan dan/atau prosedur pengidentifikasian juga menjelaskan bahwa diperbolehkan tidak melakukan pembacaan kembali (read back) bila tidak memungkinkan seperti di kamar operasi dan situasi gawat darurat di instalasi gawat darurat atau intensive care unit. Elemen Penilaian Sasaran II: 1) Perintah lengkap secara lisan dan melalui telepon atau hasil pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah. 2) Perintah lengkap lisan dan telepon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali secara lengkap oleh penerima perintah. 3) Perintah atau pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan.
18
4) Kebijakan dan/atau prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi keakuratan komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten. c. Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai (High Alert Medications) Bila obat – obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien manajemen harus berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien. Obat – obatan yang perlu diwaspadai adalah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan – kesalahan serius (sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome), seperti obat – obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat, Rupa, dan Ucapan Mirip/ NORUM, atau Look Alike Sound Alike/ LASA). Obat – obatan yang sering disebutkan dalam isu keselamatan pasien adalah pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium klorida 2 meq/ml atau yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0,9%, dan magnesium sulfat sama dengan 50% atau lebih pekat). Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit pelayanan pasien, atau bila perawat kontrak tidak diorientasikan terlebih dahulu sebelum ditugaskan, atau pada keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah dengan meningkatkan proses pengelolaan obat –obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi.
19
Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk membuat daftar obat – obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data yang ada dirumah sakit. Kebijakan dan/atau prosedur juga mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan elektrolit konsentrat, seperti di instalasi gawat darurat atau kamar operasi, serta pemberian label secara benar pada elektrolit yang benar dan bagaimana penyimpanannya di area tersebut sehingga membatasi akses untuk mencegah pemberian yang tidak sengaja atau kurang hati – hati. Elemen Penilaian Sasaran III: 1) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan elektrolit konsentrat. 2) Implementasi kebijakan dan prosedur. 3) Elekrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien, kecuali jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang kurang hati – hati diarea tersebut sesuai kebijakan. 4) Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien harus diberi label yang jelas dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted). d. Kepastian Tepat – Lokasi, Tepat – Prosedur, Tepat – Pasien Operasi Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur yang efektif didalam mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan ini. Digunakan juga praktek berbasis bukti, seperti yang digambarkan di Surgical Safety Checklist dari WHO Patient
20
Safety (2009), juga The Joint Commitions Universal Protocol for Preventing Wrong Site, Wrong Procedure, Wrong Persont Surgary. Salah lokasi, salah prosedur, dan salah pasien pada operasi adalah sesuatu yang mengkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau yang tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurang/tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur verifikasi lokasi operasi. Disamping itu, asessmen pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim bedah, permasalahan yang berhubungan dengan tulisan tangan yang tidak terbaca (illegible hand writing), dan pemakaian singkatan adalah faktor – faktor kontribusi yang sering terjadi. Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan atas satu tanda yang dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten di rumah sakit dan harus dibuat oleh operator atau orang yang melakukan tindakan, dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar jika memungkinkan, dan harus terlihat sampai saat akan disayat. Penandaan lokasi operasi dilakukan pada semua kasus termasuk sisi (laterality), multiple struktur (jari tangan, jari kaki lesi), atau multiple level (tulang belakang). Maksud proses verifikasi praoperatif adalah untuk: 1) Memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar.
21
2) Memastikan
bahwa
semua
dokumen,
foto
(imaging),
hasil
pemeriksaan yang relevan yang tersedia, diberi label dengan baik dan dipampang. 3) Melakukan verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan/atau inplant – inplant yang dibutuhkan. Tahap “sebelum insisi” (time out) memungkinkan semua pertanyaan atau kekeliruan diselesaikan. Time out dilakukan ditempat dimana tindakan akan dilakukan tepat sebelum tindakan dimulai dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan secara ringkas, misalnya menggunakan checklist. Elemen Penilaian Sasaran IV: 1) Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti untuk identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien didalam proses penandaan. 2) Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk memverifikasi saat praoperasi tepat – lokasi, tepat – prosedur, tepat – pasien operasi dan semua dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia tepat dan fungsional. 3) Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum insisi” (time out). Tepat sebelum dimulainya suatu prosedur atau tindakan pembedahan. 4) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mendukung proses yang seragam untuk memastikan tepat-lokasi, tepat – lokasi, tepat –
22
prosedur, tepat – pasien operasi, termasuk prosedur medis dan dental yang dilaksanakan diluar kamar operasi. e. Pengurangan Risiko Infeksi terkait Pelayanan Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) merupakan tantangan terbesar dalam tatanan pelayanan kesehatan dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi mekanis). Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi – infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi petunjuk hand hygiene yang diterima secara umum dan untuk implementasi sebagai petunjuk di rumah sakit. Elemen Penilaian Sasaran V: 1) Rumah sakit mengadopsi dan mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (antara lain dari WHO Patient Safety). 2) Rumah sakit menerapkan hand hygiene yang efektif. 3) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan secara berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
23
f. Pengurangan Risiko Pasien Jatuh Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera bagi pasien rawat inap. Dalam konteks populasi atau masyarakat yang dilayani, pelayanan yang disediakan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila pasien jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi obat, gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu yang digunakan oleh pasien. Elemen Penilaian Sasaran VI: 1) Rumah sakit melakukan proses assesmen awal atas pasien terhadap risiko jatuh dan melakukan asessmen ulang pasien bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau pengobatan, dan lain – lain. 2) Langkah – langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang pada hasil asessmen berisiko jatuh. 3) Langkah
–
langkah
dimonitor
hasilnya,
baik
keberhasilan
pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak dari kejadian yang tidak diharapkan. 4) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh dirumah sakit. B. Insiden Keselamatan Pasien Dalam PMK No. 1691 tahun 2011, insiden keselamatan pasien adalah setiap kejadian atau situasi yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada
24
pasien. Menurut Depkes (2008), insiden keselamatan pasien juga merupakan akibat dari melaksanakan suatu tindakan (comission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission). Adapun jenis – jenis kejadian yang terkait insiden keselamatan pasien dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) atau Adverse Event Reason (2000) mengungkapkan bahwa KTD dapat terjadi di semua tahapan dalam pemberi pelayanan kesehatan mulai dari diagnosis, pengobatan, dan pencegahan. Cahyono (2008) berpendapat bahwa KTD ada yang dapat dicegah (preventable adverse event) dan ada yang tidak dapat dicegah (unpreventable adverse event). KTD yang dapat dicegah berasal dari kesalahan proses asuhan pasien. KTD sebagai dampak dari kesalahan proses asuhan sudah banyak dilaporkan terutama di negara maju. KTD yang tidak dapat dicegah adalah suatu kesalahan akibat komplikasi yang tidak dapat dicegah. Menurut KKPRS (2008), KTD merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan yang mengakibatkan cedera pada pasien akibat melaksanakan suatu tindakan (comission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), dan bukan karena penyakit dasarnya (underlying disease) atau kondisi pasien. Cedera dapat diakibatkan oleh kesalahan medis atau bukan kesalahan medis. Bentuk KTD yang dilaporkan oleh Ballard (2003) meliputi: 28% reaksi dari pengobatan atau obat – obat yang diberikan, 42% adalah kejadian yang mengancam kehidupan tetapi dapat dicegah, 20% pelayanan yang
25
didapat di poliklinik, 10% - 30% merupakan kesalahan hasil laboratorium. Yahya (2006) memaparkan di Indonesia sepanjang tahun 2004 – 2005 laporan dari berbagai sumber tentang dugaaan malpraktek didapatkan data 47 insiden meliputi: pasien meninggal karena operasi, meninggal saat melahirkan, operasi yang mengakibatkan luka dan cacat, keracunan obat, salah pemberian obat, dan kelalaian yang mengakibatkan kematian. 2. Kejadian Nyaris Cedera (KNC) atau Near Miss Aspden (2004) mengungkapkan bahwa KNC lebih sering terjadi dibandingkan dengan KTD, frekuensi kejadian ini tujuh sampai seratus kali dibandingkan dengan KTD. Bentuk KNC yang dilaporkan oleh Shaw et al. tahun 2005 dari total insiden sebanyak 28.998 kasus yang dilaporkan sebanyak (41%) pasien tergelincir, tersandung dan jatuh, (9%) insiden terkait manajemen obat, (8%) insiden terkait sumber dan fasilitas, dan (7%) terkait pengobatan sebanyak 138 laporan merupakan masalah besar (katastropik) dan 260 laporan KTD. Kejadian tergelincir, tersandung, dan jatuh dilaporkan merupakan hal yang paling besar (n = 11.766). Data KNC harus dianalisis agar pencegahan dan pembentukan sistem dapat dibuat sehingga cedera aktual tidak terjadi. Pada sebagian besar kasus KNC dapat memberi dampak pada pembuatan model penyebab dari insiden (incident causation model) atau proses hingga KNC terjadi. Model penyebab terjadinya insiden, KNC berperan sebagai pelopor awal sebelum terjadinya KTD. KNC menyediakan dua tipe informasi terkait dengan keamanan pasien: 1) kelemahan dari sistem pelayanan kesehatan (kesalahan dan kegagalan termasuk tidak adekuatnya sistem pertahanan), dan 2)
26
kekuatan dari sistem pelayanan kesehatan, yaitu tidak ada perencanaan atau tindakan pemulihan secara informal (Robert, 2002 dalam Aspden, 2004). Berdasarkan KKPRS (2008), KNC adalah suatu kejadian akibat melaksanakan suatu tindakan (comission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission) yang dapat mencederai pasien, tetapi cedera serius tidak terjadi karena: a) “keberuntungan” (misalnya: pasien yang menerima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat). b) “pencegahan” (misalnya: secara tidak sengaja pasien akan diberikan suatu obat dengan dosis lethal, tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan). c) “peringatan” (misalnya: pasien secara tidak sengaja telah diberikan suatu obat dengan dosis lethal, segera diketahui secara dini lalu diberikan antidotumnya, sehingga tidak menimbulkan cidera yang berarti). Menurut Cahyono (2008), terciptanya keselamatan pasien sangat didukung oleh sistem pelaporan yang baik setiap kali insiden terjadi. Faktor penyebab KNC sulit didapatkan jika tidak didukung oleh dokumentasi yang baik (sistem pelaporan). Hal ini dapat mengakibatkan langkah pencegahan dan implementasi untuk perbaikan sulit dilakukan. Menurut Kaplan (2002), tujuan sistem pelaporan KNC terdiri dari: 1) pemodelan: bertujuan melihat lebih mendalam bagaimana kegagalan atau kesalahan berkembang menjadi KNC. Mengidentifikasi faktor – faktor apa saja
yang
mempengaruhi
terjadinya
kejadian
diawal,
bagaimana
meningkatkan keamanan pasien, bagaimana mencegah hal tersebut tidak
27
terjadi, dan memberi penguatan pada model pemecahan masalah yang diambil pada kasus sebelumnya, 2) arah atau kecenderungan: bertujuan melihat kecenderungan terjadinya masalah (masalah apa yang sering terjadi, faktor
apa
saja
yang
berkontribusi
terhadap
terjadinya
masalah,
menyediakan cara pemecahan masalah yang paling efektif, dan prioritas untuk dijalankan, 3) meningkatkan kesadaran dan kehati – hatian. 3. Kejadian Tidak Cedera (KTC) KTC adalah suatu insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak mengakibatkan cedera. C. Sistem Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien Pelaporan insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut pelaporan insiden adalah suatu sistem untuk mendokumentasikan laporan insiden keselamatan pasien, analisis, dan solusi untuk pembelajaran (PMK No. 1691 tahun 2011). Menurut KKPRS (2008), KTD dan KNC sangat rentan terjadi di rumah sakit. Pada tahun 2005, WHO menyebutkan kecelakaan yang terjadi di rumah sakit adalah 1 : 3000 lebih besar dibandingkan dengan kemungkinan kecelakaan di penerbangan sebesar 1 : 3.000.000. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan kecelakaan di rumah sakit lebih besar dibandingkan dengan kemungkinan kecelakaan akibat penerbangan. Oleh karena itu, untuk mengevaluasi keberhasilan dari prosedur pengendalian insiden keselamatan pasien membutuhkan sebuah metode untuk mengidentifikasi risiko, salah satu cara yang dilakukan dengan mengembangkan sistem pelaporan dan sistem analisis. Sistem pelaporan ini dipastikan akan mengajak semua orang dalam
28
organisasi kesehatan untuk peduli akan bahaya atau potensi bahaya yang dapat terjadi kepada pasien. Pelaporan juga penting digunakan untuk memonitor upaya pencegahan terjadinya error, sehingga diharapkan dapat mendorong dilakukannya investigasi selanjutnya. Beberapa ketentuan terkait pelaporan insiden sesuai dengan Panduan Nasional KKPRS (2008) sebagai berikut: 1. Insiden sangat penting dilaporkan karena akan menjadi awal proses pembelajaran untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali. 2. Memulai pelaporan insiden dilakukan dengan membuat suatu sistem pelaporan insiden di rumah sakit meliputi kebijakan, alur pelaporan, formulir pelaporan dan prosedur pelaporan yang harus disosialisasikan pada seluruh karyawan. 3. Insiden yang dilaporkan adalah kejadian yang sudah terjadi, potensial terjadi ataupun yang nyaris terjadi. 4. Pelapor adalah siapa saja atau semua staf rumah sakit yang pertama menemukan kejadian atau yang terlibat dalam kejadian. 5. Karyawan diberikan pelatihan mengenai sistem pelaporan insiden mulai dari maksud, tujuan dan manfaat laporan, alur pelaporan, bagaimana cara mengisi formulir laporan insiden, kapan harus melaporkan, pengertianpengertian yang digunakan dalam sistem pelaporan dan cara menganalisa laporan.
KKPRS menganalisis semua insiden keselamatan pasien yang telah dilaporkan oleh pihak rumah sakit setelah mendapatkan rekomendasi dan solusi dari TKPRS. Sistem pelaporan ini akan mendokumentasikan laporan insiden keselamatan pasien, menganalisis dan mencari solusi untuk dijadikan
29
pembelajaran, sistem pelaporan yang bersifat rahasia, dijamin keamanannya, dibuat anonim, dan tidak mudah diakses oleh yang tidak berhak. Pelaporan insiden keselamatan pasien mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut: 1. Tujuan Umum Pelaporan insiden keselamatan pasien bertujuan untuk menurunkan angka insiden keselamatan pasien (KTD dan KNC), meningkatkan mutu pelayanan, dan keselamatan pasien. 2. Tujuan Khusus a. Rumah Sakit (Internal) 1) Terlaksananya sistem pelaporan dan pencatatan insiden keselamatan pasien di rumah sakit. 2) Diketahui penyebab insiden keselamatan pasien sampai pada akar masalah. 3) Didapatkannya pembelajaran untuk perbaikan asuhan kepada pasien agar dapat mencegah kejadian yang sama dikemudian hari. b. KKPRS (Ekternal) 1) Diperolehnya data atau peta nasional angka insiden keselamatan pasien (KTD dan KNC). 2) Diperolehnya pembelajaran untuk meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien bagi rumah sakit lain. 3) Ditetapkannya langkah – langkah praktis keselamatan pasien untuk rumah sakit di Indonesia.
30
Berdasarkan buku Pedoman Penyelenggaraan Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Al-Islam Bandung, adapun alur pelaporan insiden keselamatan pasien secara internal dan eksternal sebagai berikut: 1. Pelaporan Internal a. Apabila terjadi suatu insiden (KNC/KTD) di rumah sakit, wajib segera ditindaklanjuti (dicegah/ditangani) untuk mengurangi dampak/akibat yang tidak diharapkan oleh pihak yang terkait. b. Setelah ditindak lanjuti, segera dibuat laporan insiden dengan mengisi laporan insiden pada akhir jam kerja/shift yang ditujukan kepada atasan langsung (paling lambat 2 x 24 jam). Pelaporan insiden tidak boleh ditunda terlalu lama. c. Setelah selesai mengisi format laporan, segera serahkan kepada atasan langsung pelapor. Atasan langsung disepakati sesuai keputusan manajemen,
yaitu:
supervisor/kepala
unit/kepala
instalasi/kepala
bagian/Kepala SMF/ketua komite medis. d. Atasan langsung akan memeriksa laporan dan melakukan grading resiko terhadap insiden yang dilaporkan. e. Hasil grading akan menentukan bentuk investigasi dan analisa yang akan dilakukan sebagai berikut: 1) Grade biru: Investigasi sederhana oleh atasan langsung, waktu maksimal 1 minggu. 2) Grade hijau: Investigasi sederhana oleh atasan langsung, waktu maksimal 2 minggu.
31
3) Grade kuning: Investigasi komprehensif/ analisis akar masalah /RCA oleh Tim KP di RS, waktu maksimal 45 hari. 4) Grade merah: Investigasi komprehensif/ analisis akar masalah / RCA oleh Tim KP di RS, waktu maksimal 45 hari. f. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan hasil investigasi dan laporan insiden dilaporkan ke Tim KP di RS. g. Tim KP di RS akan menganalisa kembali hasil Investigasi dan Laporan insiden untuk menentukan apakah perlu dilakukan investigasi lanjutan (RCA) dengan melakukan re-grading. h. Untuk grade kuning/merah, Tim KP di RS akan melakukan analisis akar masalah/ RCA. i. Setelah melakukan RCA, Tim KP di RS akan membuat laporan dan rekomendasi untuk perbaikan serta “pembelajaran” berupa petunjuk ”safety alert” untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali. j. Hasil RCA, rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada Direksi. k. Rekomendasi untuk “perbaikan dan pembelajaran” diberikan umpan balik kepada unit kerja terkait. l. Unit Kerja membuat analisis dan trend kejadian di satuan kerjanya masing - masing. m. Monitoring dan evaluasi perbaikan oleh tim KP di RS. 2. Pelaporan Eksternal a. Laporan hasil investigasi sederhana/ analisis akar masalah/ RCA yang terjadi pada pasien dilaporkan oleh Tim KP di RS (Internal)/ Pimpinan
32
RS ke KKP-RS nasional dengan mengisi formulir laporan insiden keselamatan pasien. b. Laporan dikirim ke KKP-RS lewat POS atau KURIR ke alamat: Sekretariat KPP-RS d/a Kantor Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) Jalan Boulevard Artha Gading Blok A-7A No 28, Kelapa Gading – Jakarta Utara 14240, Telp.(021) 45845303/304. D. Faktor - Faktor yang Berkontribusi dalam Insiden Keselamatan Pasien IOM melalui laporannya yang berjudul “To Err is Human: Building a Safety Health System” pada tahun 2000 menekankan bahwa yang meningkatkan pencegahan terhadap insiden (adverse event) adalah berupa faktor yang sistemik, artinya tidak hanya berasal dari kinerja seorang perawat, dokter, atau tenaga kesehatan lain menurut Sanders, 1993 dalam Kohn (2000). Laporan tersebut juga memberi perhatian pada faktor komunitas manusia yang terlibat pada masalah pelayanan kesehatan. Insiden keselamatan pasien dihasilkan dari interaksi atau kecenderungan dari beberapa faktor yang diperlukan kecuali beberapa faktor yang tidak sesuai. Kekurangan pada faktor – faktor tersebut terlihat pada sistem, telah lama ada sebelum terjadi suatu insiden. Yang menjadi poin penting adalah pada pemahaman bahwa, ada kebutuhan untuk menyadari dan memahami fungsi dari banyaknya sistem yang masing – masing berkaitan dengan setiap penyedia layanan kesehatan dan bagaimana kebijakan, serta tindakan yang diambil pada suatu bagian (dalam sistem tersebut) akan berdampak pada keamanan, kualitas, dan efisiensi pada sistem bagian lainnya (Kohn, 2000). Adanya laporan tersebut berdampak pada gerakan untuk melakukan program keselamatan pasien di setiap rumah sakit di
33
seluruh dunia untuk mengatasi masalah insiden keselamatan pasien yang sering terjadi di berbagai rumah sakit yang ada di dunia. Beberapa peneliti telah mengusulkan beberapa model sistem dengan faktor. salah satunya yakni WHO tahun 2009 mengembangkan empat kategori faktor dengan sepuluh topik yang sangat berhubungan dengan penyebab insiden keselamatan pasien. Tabel 2.1 Faktor yang Berpengaruh terhadap Insiden Keselamatan Pasien (WHO, 2009) No 1
Kategori Individu
Topik 1. Stres 2. Kelelahan 3. Kewaspadaan Situasi 4. Pengambilan Keputusan
2
Organisasi
5. Komunikasi 6. Budaya Keselamatan 7. Kepemimpinan Manajer
3
Kerjasama Tim
8. Kerjasama tim 9. Supervisor
4
Lingkungan
10. Lingkungan Kerja dan Budaya
Sebuah istilah yang dikenal dalam bidang keselamatan pasien adalah bahwa setiap sistem secara sempurna dirancang untuk meraih hasil yang didapatkan (Henriksen et al., 2008). Beberapa peneliti telah mengusulkan beberapa model sistem dengan faktor. Perbandingan elemen – elemen model pada sistem sosioteknikal sebagai berikut:
34
Tabel 2.2 Faktor Model Sistem yang Berkontribusi dalam Insiden Keselamatan Pasien (Henriksen et al., 2008) No
Penulis
1
Henriksen et al., 1993
Faktor Pada Model Sistem 1. Karakteristik individu 2. Sifat dasar pekerjaan 3. Interaksi antara sistem dan manusia 4. Lingkungan fisik 5. Lingkungan sosial/organisasi 6. Manajemen 7. Lingkungan Eksternal
2
Vincent, 1998
1. Karakteristik pasien 2. Faktor pekerjaan 3. Faktor individu 4. Lingkungan kerja 5. Faktor manajemen dan organisasi
3
Carayon, 2000
1. Manusia (disiplin ilmu) 2. Teknologi dan perangkat 3. Lingkungan fisik 4. Target organisasi 5. Proses pelayanan
Pelayanan kesehatan tidak terlepas dari sebuah sistem yang kompleks. Terdiri dari berbagai bagian sistem yang saling bertautan. Pendekatan sistem memberikan perspektif yang luas untuk mencari solusi dalam lingkungan secara fisik dan budaya. Sebagai contoh, yakni bagaimana pengaturan unit, prosedur pelayanan kesehatan, transfer pengetahuan oleh organisasi, kesalahan teknis, kurangnya kebijakan dan prosedur, komunikasi antar tim, dan isu dalam ketenagaan mempengaruhi seorang individu dalam memberikan layanan yang aman dan berkualitas. Apabila hal tersebut tidak terpenuhi, maka akan menghasilkan error atau kesalahan (Carayon, 2003).
35
Menurut Carayon (2003), tipe error dan bahaya dapat terklarifikasi menurut domain atau kejadian dalam spectrum pelayanan kesehatan. Akar permasalahan dari bahaya teridentifikasi menurut definisi berikut: 1. Latent
Failure,
yaitu
melibatkan
pengambilan
keputusan
yang
mempengaruhi kebijakan, prosedur organisasi, dan alokasi sumber daya. 2. Active Failure, yaitu kontak langsung dengan pasien. 3. Organizational failure, yaitu kegagalan secara tidak langsung yang melibatkan manajemen, budaya, organisasi, proses atau protokol, transfer pengetahuan, dan faktor eksternal. 4. Technical failure, yaitu kegagalan secara tidak langsung dari fasilitas atau sumberdaya eksternal. Menurut AHRQ (2003), faktor yang dapat menimbulkan insiden keselamatan pasien adalah komunikasi, arus informasi yang tidak adekuat, masalah SDM, hal – hal yang berhubungan dengan pasien, transfer pengetahuan di rumah sakit, alur kerja, kegagalan teknis, serta kebijakan dan prosedur yang tidak adekuat. Adapun menurut Depkes (2008), faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya insiden keselamatan pasien adalah faktor eksternal atau luar rumah sakit, faktor organisasi dan manajemen, faktor lingkungan kerja, faktor kerjasama tim, faktor petugas dan kinerja, faktor tugas, faktor pasien, dan faktor komunikasi. Pada gambar 2.1, menunjukkan bahwa komponen – komponen yang terdapat dalam sebuah sistem perlu dipahami tentang dasar terjadinya insiden keselamatan pasien. Setiap faktor saling berinteraksi satu sama lain. Ketika
36
komponen – komponen tersebut berfungsi secara bersamaan akan terbentuk barrier atau sistem pertahanan terhadap insiden keselamatan pasien yang sebenarnya dapat dicegah. Namun, apabila terdapat kekuarangan atau ketidaksesuaian pada komponen – komponen tersebut dan satu sama lain bergerak terpisah, maka hal itulah yang menjadi kekurangan sistem sehingga adanya insiden keselamatan pasien (Henriksen et al, 2008). Gambar 2.1 juga menunjukkan akar permasalahan sampai penyebab langsung terjadinya insiden keselamatan pasien. Meski tersusun secara bertingkat, setiap faktor tersebut tetap memiliki pengaruh terhadap insiden keselamatan pasien.
37
Eksternal Environment Knowledge Base Demographics
New Technology Government intiatives
Public Awareness Political climate
Economic Pressure Healthcare Policy
Management Latent Condition
Patient load Staffing Resource Availability
Organizational Accessibility of Personnel Structure Safety Culture
Phisical Environment Lighting Notice Temperature Workplace Layout Ventilation
Empluyee Development Leadership Involvement
Human System Interfaces
Org/Social Environment
Medical Devices Equipment Location Controls & Displays Software Control Paper/Electronic
Authority Gradients Group Norms Communication Local Procedures Work Life Quality
Nature of the Work Treatment Complexity Workflow Individual vs Teamwork
Competing task Interupption Physical/Cognitive
Individual Characteristics Knowlwdgw/Skill Experience Sensory Capability
Fatique Motivation Cultural Competency
Active Errors
Acceptable Performance Sub-Standard Performance
Preventable Adverse Event
Gambar 2.1 Faktor
– Faktor
yang Berkontribusi Pada Insiden
Keselamatan Pasien di Pelayanan Kesehatan (Henriksen et al, 2008) 38
Faktor yang berkontribusi dalam insiden keselamatan pasien yang disampaikan oleh Henriksen et al. (2008) dan WHO (2009) dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Karakteristik Perawat a. Usia Menurut Depkes (2002) dalam Hasmoko (2002), kemampuan dan keterampilan seseorang seringkali dihubungkan dengan usia, sehingga semakin lama usia seseorang, maka pemahaman terhadap masalah akan lebih dewasa dalam bertindak dan berpengaruh terhadap produktivitas dalam bekerja. Teori
Robbins
(2003)
mengemukakan
bahwa
usia
dapat
mempengaruhi kondisi fisik, mental, kemampuan kerja, dan tanggung jawab seseorang. Hal tersebut berarti bahwa semakin dewasa usia perawat, maka semakin baik kinerjanya dalam memberikan asuhan keperawatan yang aman atau tidak menyebabkan insiden keselamatan pasien. Staf dengan usia muda umumnya memiliki kekurangan karena cepat bosan, kurang tanggung jawab, dan turn over tinggi. Staf dengan usia lebih tua kondisi fisiknya kurang tetapi bekerja lebih ulet, tanggung jawab besar, dan turn over rendah. Menurut Mulyana (2013), perawat yang berusia kurang dari 30 tahun memiliki risiko asuhan keperawatan yang tidak aman, sehingga hal ini dapat menyebabkan terjadinya insiden keselamatan pasien. Semakin muda usia perawat kecenderungan terjadinya insiden keselamatan pasien semakin besar, sementara semakin meningkatnya usia perawat maka
39
terjadinya insiden keselamatan pasien semakin kecil. Perawat dengan usia yang lebih dewasa atau tua memiliki kematangan dalam berpikir dan bertindak serta memiliki kemampuan untuk mengenali dan mencegah bahaya yang didapatkannya seiring dengan perkembangan usia dan kematangannya. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Suhartati (2002) bahwa terdapat kecenderungan semakin tua usia perawat semakin etik dalam melakukan asuhan keperawatan, sehingga hal ini akan membuat perawat lebih berhati – hati dalam memperhatikan secara seksama terhadap asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien. Menurut Amstrong dan Giffin (1987) dalam Mustikawati (2011), usia petugas tidak mempengaruhi jumlah konsultasi dan jumlah kunjungan rawat yang dilakukan pada klien. Usia berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan perawat, semakin bertambah usia akan menunjukkan kemampuan
membuat
keputusan
yang
baik,
bijaksana,
dapat
mengendalikan emosi, taat prosedur, dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap pekerjaan. Hal tersebut dapat pula berpengaruh pada menurunnya angka insiden keselamatan pasien. b. Pengetahuan Menurut Kuncoro (2012), dalam menerapkan keselamatan pasien di rumah sakit ada beberapa aspek yang harus dibangun, salah satunya yakni aspek pengetahuan. Pengetahuan perawat tentang keselamatan pasien
sangat
penting
untuk
keselamatan pasien.
40
mendorong
pelaksanaan
program
Berdasarkan
Laporan
FDA
Safety
tahun
pada
2001
mengungkapkan bahwa yang menjadi kesalahan yang berhubungan dengan faktor manusia antara lain berhubungan dengan kurangnya pengetahuan sebesar 12,3%. Hal yang sama disampaikan oleh Carayon tahun 2003 bahwa tipe error dan bahaya diklarifikasikan menjadi tiga, salah satunya yakni organizational failure. Kegagalan secara tidak langsung yang melibatkan salah satunya yaitu transfer pengetahuan. AHRQ tahun 2003 menyatakan bahwa faktor yang dapat menimbulkan insiden keselamatan pasien, salah satunya yakni transfer pengetahuan di rumah sakit (WHO, 2009). Menurut Gunibala (2015), pengetahuan merupakan faktor penting dalam seseorang mengambil keputusan, namun tidak selamanya pengetahuan seseorang bisa menghindarkan dirinya dari kejadian yang tidak diinginkannya. Misalnya, perawat yang tingkat pengetahuannya baik, tidak selamanya menerapkan keselamatan pasien dengan baik karena segala tindakan yang dilakukan berisiko menimbulkan terjadinya kesalahan. Faktor lainnya adalah kurangnya minat belajar perawat, yakni perawat yang tidak mempunyai keinginan untuk mengakses teori – teori baru dalam bidang keperawatan khususnya mengenai keselamatan pasien. Meliono (2007) berpendapat bahwa seseorang yang kurang memahami sesuatu tidak dapat melakukan tindakan dengan baik. Perawat yang
memiliki
pengetahuan
kurang
dalam
memahami
tentang
keselamatan pasien tidak mampu menerapkan keselamatan pasien dengan
41
baik sehingga melakukan kesalahan yang dapat menyebabkan insiden keselamatan pasien. Upaya meningkatkan pengetahuan yang bersifat tetap merupakan suatu hal yang penting khususnya dalam konteks keselamatan pasien. Hal tersebut didukung oleh pendapat Notoadmodjo (2009) yang menyatakan bahwa pengetahuan yang menunjang keterampilan perlu diberikan agar staf dapat melakukan tugasnya berdasarkan teori – teori yang dapat dipertanggungjawabkan. Sejalan dengan hal tersebut Henriksen et al. (2008) juga menyatakan bahwa keterbatasan pengetahuan sumber daya manusia memiliki peran penting dalam menyebabkan keterbatasan institusi pelayanan untuk mengelola pelayanan yang berorientasi pada keselamatan pasien. Hal tersebut berarti bahwa keterbatasan pengetahuan merupakan hal penting yang sangat perlu dipertimbangkan demi keamanan asuhan yang diberikan oleh tenaga kesehatan termasuk perawat. Pada intinya, pengetahuan yang baik dapat menjadi tolak ukur dari suatu pelaksanaan, maka pelaksanaan yang baik dan benar harus didasari oleh pengetahuan dan pengalaman. Semakin baik pengetahuan perawat tentang keselamatan pasien, maka akan baik pula penerapan keselamatan pasien sehingga kesalahan – kesalahan yang mengancam keselamatan pasien dapat dihindari atau diminimalisir. Menurut Rivai dan Sagala (2009), pelatihan memiliki peranan yang sangat penting dalam mencegah terjadinya insiden keselamatan pasien. Pelatihan sebagai bagian dari pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem
42
pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat. Lubis (2007) berpendapat bahwa perawat yang tidak mendapat pelatihan atau pembelajaran mempunyai kecenderungan lebih besar untuk melakukan tindakan tidak aman yang menjadi salah satu pemicu terjadinya insiden keselamatan pasien. Berdasarkan KPPRS (2008), terdapat standar untuk mendidik staf tentang keselamatan pasien yaitu: 1) Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan, dan orientasi untuk
setiap
jabatan
mencakup
keterkaitan
jabatan
dengan
keselamatan pasien secara jelas. 2) Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf, serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien dengan kriteria sebagai berikut: a) Memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik keselamatan pasien. b) Mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan in service training dan memberikan pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden. 3) Menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani pasien.
43
c. Stres Pada titik tertentu dalam dunia pekerjaan banyak orang akan mengalami stres terkait pekerjaan. Stres dipengaruhi oleh keseimbangan antara persepsi terhadap tuntutan seseorang (misalnya: dengan beban kerja yang ad, bagaimana menilai sumberdaya untuk memenuhi tuntutan tersebut). Ketika tuntutan dirasa lebih utama dari kemampuan, seseorang akan mengalami efek tidak menyenangkan, seperti kelelahan atau perasaan lelah, konsentrasi kurang, dan mudah tersinggung (Arfan, 2014). Perawat sebagai tenaga kesehatan diharapkan dapat bekerja secara profesional dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Menurut Houtman (2005), stres umumnya lebih banyak dikeluhkan oleh petugas kesehatan seperti perawat. Kesiagaan setiap saat dari seorang perawat dalam menangani pasien, serta situasi pekerjaan dan beban kerja yang ada membuat perawat mengalami tekanan yang membuat stres. Adapun menurut Widyasari (2010), profesi perawat merupakan profesi yang membutuhkan ketrampilan tingkat tinggi dan juga membutuhkan kerjasama tim dalam berbagai situasi sehingga profesi perawat di dalam tempat kerja memiliki banyak stresor. Hasil penelitian National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) dalam Widyasari (2010) mengungkapkan bahwa profesi perawat merupakan profesi yang memiliki resiko tinggi terhadap stres, kondisi ini terjadi karena perawat memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat tinggi terhadap keselamatan nyawa manusia. Selain itu,
44
penelitiannya mengungkapkan bahwa pekerjaan perawat memiliki karakteristik cukup sulit karena tekanan dan tuntutan kerja yang tinggi. Karakteristik tersebut terdiri dari: 1) otoritas bertingkat ganda, 2) heterogenitas personalia, 3) ketergantungan dalam pekerjaan dan spesialisasi, 4) budaya kompetitif di rumah sakit, 5) jadwal kerja yang ketat dan harus siap kerja setiap saat, serta 6) tekanan – tekanan dari teman sejawat. Begitu pula hasil survei Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) pada tahun 2006, sekitar 50,9% perawat rumah sakit yang bekerja di empat provinsi mengalami stres kerja, sering pusing, lelah, tidak bisa beristirahat karena beban kerja terlalu tinggi dan menyita waktu, serta gaji rendah tanpa insentif memadai. Menurut Manojlovich (2007), stres kerja memiliki efek yang negatif pada kesehatan mental dan kesejahteraan fisik perawat. Perawat yang mengalami stres kerja yang tinggi tidak dapat menunjukkan kinerja yang optimal. Hasil penelitian Olaleye (2002) juga mengungkapkan bahwa stres pekerjaan berpengaruh sigifikan terhadap kondisi kesehatan dan kemampuan perawat dalam melayani pasien. Pengaruh stres pada kesehatan fisik muncul dalam bentuk, yakni sakit kepala, sakit punggung atau leher, nyeri otot, tekanan darah tinggi, sedangkan pengaruhnya terhadap kondisi psikis adalah munculnya perasaan cemas, merasa tertekan, kurang konsentrasi, dan kesulitan dalam membuat keputusan. Dari gambaran tersebut diketahui bahwa, kesehatan fisik dan mental dipengaruhi oleh stres kerja yang secara tidak langsung akan
45
mempengaruhi konsentrasi dan kinerja dari perawat itu sendiri sehingga berpengaruh ketika melayani pasien. Oleh karena itu, manajemen stres penting untuk diterapkan di unit kerja dimana responden mengalami stres kerja demi mengurangi angka insiden
keselamatan
pasien.
Adapun
beberapa
cara
yang
direkomendasikan oleh para ahli berdasarkan kebutuhan dan tingkat stres yang dialami. WHO tahun 2009 menyatakan bahwa stres dapat dicegah dengan tiga cara, yakni secara primer, sekunder (meliputi: mendeteksi dan mengelola gejala), dan tersier (meliputi: efek stres yang dapat diobati). Berdasarkan penelitian oleh Everly & Mitchell tahun 1999 menyarankan melakukan Insiden Kritis Manajemen Stres (CISM) untuk tim atau individu yang mungkin terkena situasi stres tinggi (WHO, 2009). Menurut Sauter et al. (1990), identifikasi risiko dapat dikelola dengan berbagai cara, misalnya dengan memastikan jumlah staf yang memadai dan memberikan pelatihan yang tepat. Selain itu, organisasi dapat mengurangi stres kerja, misalnya dengan memungkinkan periode pemulihan setelah periode beban kerja yang tinggi, memberikan peran atau
tugas
yang
jelas,
serta
meningkatkan
kesempatan
untuk
mendapatkan promosi jabatan. d. Kelelahan Menurut Budiono (2003), kelelahan merupakan suatu kondisi yang disertai penurunan efisiensi dan kebutuhan dalam bekerja. AHRQ (2003) mengungkapkan bahwa dampak kelelahan yang dialami perawat
46
mengakibatkan medical error. Lingkungan kerja dan pekerjaan perawat dapat menjadi sumber kelelahan perawat. Sumber kelelahan tersebut dapat ditimbulkan dari pengaturan shif kerja, jam kerja, rotasi, lama kerja, karakteristik pekerjaan, pengaturan waktu istirahat, beban kerja, kondisi kerja, dan iklim kerja. Menurut Peters and Peters (2008), salah satu penyebab medical error disebabkan faktor manusia akibat kelelahan yang dialami. Jam kerja yang lama dan kelebihan beban kerja dapat memungkinkan menghasilkan gejala fisik dan mental seperti: merasakan kelelahan dan kecerobohan kognitif. Perasaan subjektif dari kelelahan mengacu pada rasa kelelahan, kekurangan energi, dan mengurangi motivasi yang disertai dengan kewaspadaan mental menurun, gangguan prestasi kerja, meningkatnya rasa kantuk, tertidur pada saat bekerja, dan pada tingkat yang lebih tinggi dapat menyebabkan kecelakaan. Drake et al. (2005) dalam Mulyana (2013) menyatakan bahwa pengaturan dinas dapat menimbulkan gangguan tidur pada perawat, tidur yang tidak adekuat menyebabkan perawat mengalami rasa mengantuk saat bekerja, menurunnya kemampuan bekerja dengan efisien, aman, dan menurunnya tingkat kewaspadaan. Hal tersebut sangat beresiko menimbulkan insiden keselamatan pasien. 2. Karakteristik Organisasi a. Komunikasi Komunikasi efektif adalah komunikasi yang pada prosesnya dapat menghasilkan persepsi, perilaku, dan pemahaman yang berubah menjadi
47
sama antara pemberi informasi dan penerima informasi. Menurut Jalaluddin (2008), komunikasi yang efektif ditandai dengan adanya pengertian, dapat menimbulkan kesenangan, mempengaruhi sikap, meningkatkan hubungan sosial
yang baik,
dan pada akhirnya
menimbulkan suatu tindakan. Menurut Salim (2006) dan Hamdani (2007), komunikasi harus terjadi dalam pola dua arah, dari pimpinan ke personel garis depan dan sebaliknya. Demikin juga, tindakan diam terhadap kesalahan harus diganti dengan keterbukaan, serta kejujuran mengenai kejadian yang menyangkut dengan keselamatan pasien. Pelaporan dan kepatuhan terhadap prosedur keselamatan pasien merupakan parameter yang dijadikan tolak ukur berjalannya komunikasi keselamatan yang efektif dan menjadi elemen penting untuk mewujudkan pelayanan yang aman, serta menuju keselamatan pasien. Dalam komunikasi, efektifitas merupakan hal yang paling penting karena komunikasi efektif merupakan salah satu strategi untuk membangun budaya keselamatan pasien. Komunikasi efektif sangat berperan menurunkan insiden keselamatan pasien dalam sebuah asuhan medis pasien. Strategi tersebut ditetapkan oleh The Joint Comission on Acreditation of Healthcare Organization (JCAHO) sejak tahun 2010 sebagai tujuan nasional keselamatan pasien. Strategi yang diterapkan JCAHO bertujuan untuk menciptakan proses komunikasi efektif melalui pendekatan standarisasi komunikasi yakni pada saat serah terima pasien (hand over). Hal tersebut dikarenakan komunikasi saat proses transisi
48
perawatan pasien dapat berisiko terjadinya kesalahan ketika informasi yang diberikan tidak akurat. Menurut Nurmalia (2012), keterbukaan pada komunikasi juga melibatkan pasien. Pasien mendapatkan penjelasan akan tindakan dan juga kejadian yang telah terjadi. Pasien mendapatkan informasi tentang kondisi yang akan menyebabkan risiko terjadinya kesalahan. Perawat memberi motivasi untuk memberikan setiap hal yang berhubungan dengan keselamatan pasien. Komunikasi terhadap berbagai informasi mengenai perkembangan pasien antar profesi kesehatan di rumah sakit merupakan komponen yang fundamental dalam perawatan pasien (Riesenberg, 2010 dalam Marjani 2015). Menurut Alvarado, et al. (2006) dalam Marjani (2015) mengungkapkan bahwa ketidakakuratan informasi dapat menimbulkan dampak yang serius pada pasien, hampir 70% kejadian sentinel yaitu kejadian yang mengakibatkan kematian atau cedera yang serius di rumah sakit disebabkan karena komunikasi yang buruk. Adapun Angood (2007) dalam Marjani (2015) mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil kajian data terhadap adanya insiden keselamatan pasien di rumah sakit, masalah yang menjadi penyebab utama adalah komunikasi. WHO (2009) menyatakan bahwa beberapa masalah yang berhubungan dengan kegagalan komunikasi diantaranya yaitu: efek status yang menghambat staf junior untuk berbicara kepada atasan dan kesulitan transmisi informasi antara organisasi atau unit, sehingga kemungkinan kurangnya umpan balik positif dan diskusi disebabkan
49
karena masih ada perawat ataupun petugas kesehatan junior yang segan untuk berbicara langsung kepada atasannya, serta masih ada sekat status yang menghalangi proses komunikasi yang berlangsung diantara keduanya. b. Implementasi Standar Operasional Prosedur (SOP) Menurut Setyarini (2013), Standar Operasional Prosedur (SOP) merupakan suatu standar atau pedoman tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. SOP merupakan tatacara atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu. Adapun menurut Musdalifah (2013), pelaporan kejadian dan feedback yang baik harus terus ditingkatkan dengan rasa saling percaya dan no blame culture, artinya bila staf melakukan kesalahan staf lainnya tidak menilai sebelah mata atas kesalahan yang telah dilakukan oleh staf tersebut dan memberikan umpan balik kepada staf yang telah melapor. Apabila staf melaporkan setiap kesalahan, maka tidak berarti staf tersebut harus dipersalahkan (di blame) ataupun dihukum atas kesalahan yang telah dilakukan. Setiap anggota organisasi memiliki peran dalam melindungi staf atau rekan yang telah melaporkan kesalahan dengan tidak mengecilkan hati rekan yang telah melakukan kesalahan. Bila keadaan ini mampu dibangun dan dipertahankan, tentu akan dapat meningkatkan
frekuensi
pelaporan
kejadian.
Hamdani
(2007)
berpendapat bahwa organisasi kesehatan harus mampu menciptakan lingkungan yang nonpunitive yang tujuannya adalah supaya setiap
50
elemen staf tidak takut untuk melaporkan kejadian. Ketika sistem punishment dijalankan, maka staf akan enggan melaporkan insiden. Kejadian yang tidak dilaporkan tersebut membuat organisasi tidak belajar dari kesalahan dan kurang peduli terhadap pelayanan. Melalui pelaksanaan SOP yang sudah ditetapkan di rumah sakit diharapkan terjadinya insiden keselamatan pasien menurun. Menurut Cahyono (2008), pengembangan dan ketersediaan standar, pedoman, dan protokol mendukung program keselamatan pasien. Standarisasi memiliki tujuan menetapkan tingkat tampilan minimal yang harus dipenuhi seseorang
dalam
penampilan,
setiap
lingkungan
proses, kerja,
tindakan, serta
keterampilan
kondisi
alat
yang
klinis, harus
terstandarisasi. Hal tersebut ditunjang oleh teori Wood dalam Cahyono (2008) yang mengembangkan teori “blunt and sharp end” yang menjelaskan bagaimana interaksi manusia dengan sistem yang dapat menyebabkan terjadinya insiden keselamatan pasien. Blunt and (sisi tumpul) menggambarkan penampilan organisasi, dalam hal ini SOP atau alur kerja yang berfungsi sebagai pelindung atau pencegah kesalahan. Sharp end (sisi tajam) menggambarkan petugas kesehatan, dalam hal ini perawat yang bertugas. Interaksi antara blunt and sharp end seharusnya seimbang sehingga insiden keselamatan pasien dapat dihindari. Dengan demikian, peran perawat sebagai sisi tajam dari pelayanan sangat besar, perawat diharapkan mampu memegang teguh pedoman, kebijakan dan
51
standar praktik keperawatan. Jika hal ini dilanggar, cedera pada pasien tidak dapat dihindarkan. Adapun IOM (2000) yang mengemukakan dua peran perawat dalam keselamatan pasien, yakni memelihara keselamatan melalui transformasi
lingkungan
keperawatan
yang
lebih
mendukung
keselamatan pasien, dan peran perawat dalam keselamatan pasien melalui penerapan standar keperawatan. Menurut WHO (2007), untuk mengurangi kesenjangan dalam pemberian pelayanan keselamatan kepada pasien, maka setiap rumah sakit membentuk SOP. SOP dibentuk, dikeluarkan, dan dibakukan dengan bertujuan untuk menjamin mutu di setiap rumah sakit, serta menjamin mutu tenaga kesehatan demi menunjang keselamatan pasien. 3. Karakteristik Sifat Dasar Pekerjaan a. Kerjasama Tim Menurut Katzenbach & Douglas dalam Cahyono (2008), kerjasama tim merupakan suatu kelompok kecil dengan keterampilan yang saling melengkapi dan berkomitmen pada tujuan bersama, serta sasaran – sasaran kinerja dan pendekatan yang dijadikan tanggung jawab bersama. Kerjasama merupakan bentuk attitude dari perawat dalam bekerja di dalam tim karena membuat individu saling mengingat, mengoreksi, dan berkomunikasi sehingga peluang terjadinya kesalahan dapat dihindari. Menurut Canadian Nurse Association pada tahun 2004 dalam Setiowati (2010), faktor – faktor yang menjadi tantangan bagi perawat dalam memberikan keperawatan yang aman dan memberikan kontribusi
52
dalam keselamatan pasien salah satunya yakni kerjasama tim. Cahyono (2008) mengungkapkan bahwa kinerja kerjasama tim yang terganggu juga merupakan salah satu penyebab insiden keselamatan pasien yang merupakan kombinasi dari kegagalan sistem. Peluang insiden terjadi akibat dari kondisi – kondisi tertentu. Kondisi yang memudahkan terjadinya kesalahan, misalnya: gangguan lingkungan dan kerjasama tim yang tidak berjalan. Menurut Vincent (2003) dalam Setiowati (2010), hambatan komunikasi dan pembagian tugas yang tidak seimbang menjadi penyebab tidak berjalannya kerjasama tim yang efektif. Efektifitas kerjasama tim sangat tergantung pada komunikasi dalam tim, kerjasama, adanya supervisi, dan pembagian tugas. Sebuah studi observasional dan analisis retrospektif terhadap insiden keselamatan pasien menunjukkan bahwa faktor kerjasama tim yang kurang berkontribusi lebih banyak dibandingkan dengan kamampuan klinis yang lemah. Darmanelly (2000) dalam WHO (2009) mengungkapkan bahwa kerjasama tim dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni: kesesuaian memercayai anggota tim, kesediaan untuk mengalah, kemampuan menyampaikan kritik, kesediaan memperbaiki diri, solidaritas kelompok, tanggung jawab, dan pemantaun secara berkala. Menurut Bower et al. (2003) dalam WHO (2009), kerja tim yang baik dapat membantu mengurangi masalah keselamatan pasien, meningkatkan semangat anggota, dan kesejahteraan tim sehingga tim akan berfungsi dari waktu ke waktu. Baker et al. (2005) pun
53
mengungkapkan bahwa kerjasama tim sangat dibutuhkan antar tim medis untuk meningkatkan keselamatan pasien melalui pengurangan kesalahan – kesalahan akibat adanya kerjasama tim antar petugas medis. b. Gangguan atau Interupsi Persepsi pemberi pelayanan kesehatan terhadap gangguan atau interupsi tinggi yaitu apabila petugas kesehatan merasakan adanya aktivitas atau kegiatan lain diluar tugas dan tanggung jawabnya yang harus dilakukan pada saat sedang memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien atau keluarga pasien lebih banyak dibandingkan kegiatan yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya. Menurut Henrikson et al. tahun 1993 dalam Henriksen et al., (2008), penyebab insiden keselamatan pasien salah satunya disebabkan oleh faktor sifat dasar pekerjaan yang meliputi: gangguan atau interupsi selama bekerja, beban kerja, dan alur kerja atau proses kerja. E. Kerangka Teori Penelitian Kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini, peneliti mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Henriksen et al. (2008) dan WHO (2009) terkait faktor yang berkontribusi dalam terjadinya insiden keselamatan pasien di rumah sakit. Adapun kerangka teori pada penelitian ini yaitu:
54
Faktor – faktor yang berkontribusi dalam insiden keselamatan pasien: Karakteristik Individu: Usia1, Pengetahuan1, Kelelahan1,2, Sensori
dan
Memori1,
Keterampilan1, Kapabilitas
Training
dan
Edukasi1,
Tingkat
Pendidikan1, Pengalaman Kerja1, Motivasi1, Stres2, Kewaspadaan Situasi2, Pengambilan Keputusan2 Karakteristik Organisasi: Lingkungan Organisasi1, Komunikasi1,2, SOP1, Kekuasaan dan Kepemimpinan1,2,
Insiden Keselamatan
Karakteristik Sifat Dasar Pekerjaan: Gangguan atau Interupsi1, Kerjasama1,2, Alur Kerja1, Beban Kerja1, Kompleksitas Kerja1 Karakteristik Manajemen: Struktur Organisasi1, Budaya Safety1,2, Staffing1, Supervisor2 Karakteristik Lingkungan Eksternal: Kebijakan Kesehatan1, Demografi1 Karakteristik Lingkungan Fisik: Desain Tempat dan Peralatan Kerja1, Suhu1, Kebisingan1, Pencahayaan1, Lingkungan Kerja dan Bahaya2 Karakteristik Interaksi Sistem dan Manusia: Sistem1, Peralatan1, Teknologi Informasi1. Sumber: 1Henriksen et al. (2008), 2WHO (2009) Gambar 2.2 Kerangka Teori Penelitian
55
Pasien
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep Kerangka konsep pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran insiden keselamatan pasien berdasarkan karakteristik perawat, karakteristik organisasi, dan karakteristik sifat dasar pekerjaan di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung pada periode 2012-2016. Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan sebelumnya, pada penelitian ini peneliti mengacu pada Teori Henriksen et al. (2008) dan WHO (2009). Dalam penelitian ini, peneliti membatasi variabel yang diteliti yakni difokuskan pada karakteristik organisasi yang terdiri dari usia, pengetahuan, stres, dan kelelahan, karakteristik organisasi yang terdiri dari komunikasi dan implementasi Standar Operasional Prosedur (SOP), serta karakteristik sifat dasar pekerjaan yang terdiri dari kerjasa tim dan gangguan atau interupsi yang dialami oleh perawat di Unit Rawat Inap di Rumah Sakit Al-Islam Bandung. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yakni berdasarkan teori yang dikemukan oleh Henriksen et al. (2008) dan WHO (2009) mengenai faktor – faktor yang memiliki peranan yang sangat besar terhadap insiden keselamatan pasien pada pelayanan kesehatan. Berdasarkan WHO (2009) yang mengembangkan empat kategori karakteristik dengan sepuluh topik yang berkontribusi terhadap penyebab terjadinya insiden keselamatan pasien yaitu karakteristik individu, karakteristik organisasi, karakteristik kerja tim, dan karakteristik manajerial. Masing – masing keempat faktor tersebut memiliki sub faktor yang terdiri atas sepuluh 56
sub faktor. Sedangkan berdasarkan Henriksen et al. (2008) mengemukakan faktor yang berkontribusi dalam insiden keselamatan pasien dimulai dari akar permasalahan hingga penyebab langsung terjadinya insiden keselamatan pasien yang tersusun secara bertahap, yaitu dari karakteristik individu, karakteristik organisasi, karakteristik sifat dasar pekerjaan, karakteristik manajemen, karakteristik lingkungan ekternal, karakteristik lingkungan fisik, serta karakteristik hubungan interaksi sistem dan manusia. Pemilihan
ketiga
variabel
utama
yakni
karakteristik
individu,
karakteristik organisasi, dan karakteristik sifat dasar pekerjaan dalam penelitian ini berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Mulyana (2013) dan Afran (2014) bahwa beberapa variabel dalam penelitian tersebut memiliki hubungan dengan insiden keselamatan pasien, serta karakteristik yang difokuskan dalam penelitian ini yang telah peneliti jelaskan sebelumnya memiliki determinan terhadap terjadinya inbsiden keselamatan pasien. Adapun variabel yang termasuk kedalam penelitian ini yakni insiden keselamatan pasien, usia, pengetahuan, stres, kelelahan, komunikasi, implementasi Standar Operasional Prosedur (SOP), kerjasama tim, dan gangguan atau interupsi. Sedangkan untuk variabel yang tidak diteliti dalam penelitian ini yakni karakteristik terkait lingkungan, dan karakteristik hubungan interaksi sistem dan manusia dikarenakan lingkup penelitian menjadi sangat luas dan keterbatasan waktu yang dimiliki oleh peneliti pada saat melakukan pengambilan data.
57
Karakteritik Individu Perawat: - Usia - Pengetahuan - Stres - Kelelahan Karakteristik Organisasi: Insiden Keselamatan Pasien - Komunikasi (KTD, KNC, KTC) - Implementasi SOP
Karakteristik Sifat Dasar Pekerjaan: - Kerjasama Tim - Gangguan atau Interupsi yang Dialami oleh Perawat
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
58
B. Definisi Operasional Adapun definisi operasional dari variabel – variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.1 Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian No 1.
Variabel
Definisi Operasional
Alat Ukur
Hasil Ukur
Cara Ukur
Skala
Insiden
Setiap kejadian atau situasi yang tidak
Kuesioner
0. Pernah melakukan insiden
Pengisian
Ordinal
Keselamatan
disengaja dan kondisi yang mengakibatkan
keselamatan
Pasien
atau berpotensi mengakibatkan cedera yang
KTD, KNC, dan KTC, jika
dapat
perawat memilih jawaban
dicegah
pada
pasien
meliputi:
pasien
Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yaitu
“Jarang”,
kejadian yang berakibat cedera, Kejadian
“Selalu” pada kueioner.
Nyaris Cidera (KNC) yaitu kejadian yang
1. Tidak pernah melakukan
berpotensi
menimbulkan
cedera,
“Sering”,
baik
dan
dan
insiden keselamatan pasien
Kejadian Tidak Cidera (KTC) yaitu kejadian
baik KTD, KNC, dan KTC,
yang tidak menimbulkan cedera.
jika
perawat
jawaban
“Tidak
Kuesioner
memilih Pernah”
pada kuesioner. 2.
Usia
Masa hidup perawat dihitung sejak tanggal kelahiran hingga ulang tahun terakhir pada
59
Kuesioner
0. ≤ 30 tahun
Pengisian
1. > 30 tahun
Kuesioner
Ordinal
saat mengisi kuesioner. 3.
Pengetahuan
Tingkat
pengetahuan
(Mulyana, 2013) perawat
terhadap
Kuesioner
Stres
kurang
konsep keselamatan pasien, pengertian, cara
(apabila nilai median < 7)
pelaporan, dan tindakan yang bertujuan pada
1. Pengetahuan baik (apabila
Pengisian
Ordinal
Kuesioner
nilai median ≥ 7)
keselamatan pasien. 4.
0. Pengetahuan
Suatu kondisi yang mempengaruhi keadaan
Kuesioner
fisik atau psikis perawat karena adanya
0. Stres tinggi (apabila nilai median < 9)
tekanan dari dalam ataupun dari luar
Pengisian
Ordinal
Kuesioner
1. Stres rendah (apabila nilai median ≥ 9)
sehingga dapat mengganggu pelaksanaan kerja. 5.
Kelelahan
Suatu kondisi yang dialami oleh perawat
Kuesioner
yang disebabkan karena adanya beban kerja
0. Kelelahan tinggi (apabila nilai median < 9 )
berlebih dan jadwal kerja yang padat.
Pengisian
Ordinal
Kuesioner
1. Kelelahan rendah (apabila nilai median ≥ 9)
6.
Komunikasi
Suatu proses penyampaian pesan (informasi, ide, gagasan, pernyataan) dari staf (perawat) tanpa rasa takut atau bebas mengungkapkan pendapat, baik mengenai tindakan yang diputuskan maupun jika melihat sesuatu
60
Kuesioner
0. Komunikasi kurang efektif (apabila nilai median < 16) 1. Komunikasi efektif (apabila nilai median ≥ 16)
Pengisian Kuesioner
Ordinal
yang
berdampak
negatif
yang
dapat
mempengaruhi pasien pada perawat di Rumah Sakit Al-Islam Bandung. 7.
Implementasi
Pelaksanaan Standar Operasional Prosedur
SOP
(SOP)
oleh
perawat
terkait
Kuesioner
dengan
pelaporan insiden keselamatan pasien di
0. Implementasi SOP kurang
Pengisian
baik (apabila nilai median <
Kuesioner
Ordinal
16)
Rumah Sakit Al-Islam Bandung.
1. Implementasi
SOP
baik
(apabila nilai median) ≥ 16) 8.
Kerjasama Tim Kondisi dimana individu dalam satu unit
Kuesioner
saling mendukung satu sama lain dan saling
0. Kerjasama tim kurang baik (apabila nilai median < 22)
membantu untuk memberikan perawatan
Pengisian
Ordinal
Kuesioner
1. Kerjasama tim baik (apabila nilai median ≥ 22)
terbaik bagi pasien pada perawat di RSAI Bandung. 9.
Gangguan atau
Adanya aktivitas atau kegiatan lain yang
Interupsi
dialami oleh perawat di unit kerja diluar
(apabila nilai median < 9)
tugas dan tanggung jawab yang harus
1. Gangguan/interupsi rendah
dilakukan pada saat sedang memberikan
(apabila nilai median ≥ 9)
pelayanan kesehatan kepada pasien atau keluarga pasien.
61
Kuesioner
0. Gangguan/interupsi
tinggi
Pengisian Kuesioner
Ordinal
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain cross sectional. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain cross sectional karena peneliti ingin mengukur semua variabel pada waktu yang bersamaan. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kuantitatif. Menurut Notoatmodjo (2005), metode penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung yang beralamat di Jalan Soekarno – Hatta No. 644, Kelurahan Sekejati, Kecamatan Margacinta Kota Bandung, Jawa Barat, pada bulan Oktober – November tahun 2016. C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012). Populasi pada penelitian ini adalah keseluruhan dari perawat yang bertugas di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung berjumlah 243 perawat.
62
2. Sampel Sampel penelitian merupakan bagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi dalam peneliitian tersebut (Sugiyono, 2012). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan non probability sampling. Non probability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang tidak memberi kesempatan yang sama bagi setiap anggota populasi untuk dapat dipilih menjadi sampel. Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan purposive sampling. Menurut Setiadi (2007), purposive sampling yaitu teknik penentuan pengambilan sampel dengan pertimbangan dan penilaian tertentu sesuai yang diinginkan oleh peneliti. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan rumus estimasi proporsi pada populasi terbatas sebagai berikut: Z21-α/2 P(1-P)N n = d2(N-1)+ Z21-α/2 P(1-P) PQ
Keterangan : n
= jumlah sampel yang dibutuhkan
N
= jumlah populasi
Z 1-α/2 = tingkat kepercayaan sebesar 95% = 1,96 P
= proporsi insiden keselamatan pasien di Rumah Sakit Al-Islam Bandung sebesar 50% (0,5)
d
= sampling error sebesar 10% Berdasarkan rumus di atas, dari jumlah populasi sejumlah 243 perawat
dilakukan perhitungan besar sampelnya sebagai berikut: . n =
(1,96) 2. (0,5). (1-0,5).243 (0,1) 2. (243-1) + (1,96) 2. (0,5). (1-0,5) 63
233,3772
=
=
69,03 dibulatkan menjadi 69
2,42 + 0,9604 Berdasarkan perhitungan menggunakan rumus di atas dari jumlah populasi sebesar 243 perawat, maka jumlah sampel yang diperlukan dalam penelitian ini adalah 69 perawat dan untuk menghindari adanya drop out, maka peneliti menambah jumlah sampel sebanyak 10% sehingga jumlah sampel keseluruhan menjadi 76 orang. Pengambilan sampel dari setiap unit dilakukan secara proporsional dengan cara meminta persetujuan dari pihak rumah sakit. Kemudian peneliti menyebarkan kuesioner kepada unit – unit terkait yakni perawat yang sedang bertugas pada saat shif pagi dan sift malam yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi dengan meminta persetujuan kepala ruangan. Perhitungan jumlah sampel di setiap unit sebagai berikut: Tabel 4.1 Perhitungan Jumlah Sampel No
Unit
Jumlah Populasi
Perhitungan
Hasil
Sampel
1
Darussalam 5
30
30/243 x 76
9,38
10
2
Darussalam 4
30
30/243 x 76
9,38
10
3
Firdaus 3
30
30/243 x 76
9,38
10
4
Darussalam 3
22
22/243 x 76
6,88
7
5
Darussalam 3 A
26
26/243 x 76
8,13
8
6
Raudhah
26
26/243 x 76
8,13
8
7
Nifas
8
8/243 x 76
2,50
3
8
Perina
22
22/243 x 76
6,88
7
9
ICU
20
20/243 x 76
6,25
6
10
HCU
29
29/243 x 76
9,06
9
Total
243
76
Sumber : Data Keperawatan, Rumah Sakit Al-Islam Bandung Tahun 2016 64
3. Kriteria Sampel a. Kriteria Inklusi Kriteria inklusi adalah kriteria yang dijadikan karakteristik umum subjek penelitian pada populasi target atau populasi aktual sehingga subjek dapat diikutkan dalam penelitian, yaitu: 1) Perawat pelaksana di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung 2) Perawat tidak dalam masa cuti 3) Bersedia menjadi responden b. Kriteria Ekslusi Kriteri eksklusi adalah kriteria yang memungkinkan sebagian subjek yang memenuhi kriteria inklusi yang tidak dijadikan responden dalam penelitian oleh karena berbagai sebab, yaitu perawat yang memiliki jabatan sebagai kepala ruangan atau penanggung jawab ruangan, perawat sukarela, dan mahasiswa perawat. D. Teknik Pengumpulan Data 1. Sumber Data a. Data Primer Data primer pada penelitian ini adalah data yang berasal dari pengisian kuesioner oleh responden. Data yang dicari dalam penelitian ini adalah jumlah respon dari setiap pertanyaan atau pernyataan pada kuesioner. Pertanyaan atau pernyataan dalam kuesioner penelitian ini berjumlah 49 yang terdiri dari 9 pertanyaan dan 40 pernyataan, serta sampel pada penelitian ini berjumlah 76 responden, sehingga jumlah
65
respon yang didapatkan adalah 49 dikali 76 responden yaitu 3.724 respon apabila semua responden menjawab semua pertanyaan dan pernyataan kuesioner. b. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari Rumah Sakit Al-Islam Bandung yang berupa profil Rumah Sakit Al-Islam Bandung, jumlah perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung, data laporan insiden keselamatan pasien, dan data – data yang berkaitan dengan Sistem Keselamatan Pasien Rumah Sakit Al-Islam Bandung. 2. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat – alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data (Notoadmodjo, 2005). Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini berupa kuesioner yang diisi oleh responden. Seluruh instrumen penelitian dibuat berdasarkan kerangka konsep dan definisi operasional penelitian. a. Kuesioner digunakan untuk mendapatkan gambaran insiden keselamatan pasien, usia, pengetahuan, stres, kelelahan, komunikasi, implementasi SOP, kerjasama tim, dan gangguan atau interupsi yang dialami oleh perawat.
Kuesioner
diadopsi
dari
penelitian
sebelumnya
yang
berhubungan dengan insiden keselamatan pasien dan dimodifikasi atau disesuaikan dengan kondisi lokasi penelitian. Penelitian ini menggunakan skala likert yang ditujukan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau kelompok tentang fenomena sosial (Sugiyono, 2009). Pada skala likert, pernyataan yang disajikan dalam bentuk pernyataan
66
favorable dan pernyataan unfavorable. Untuk menjawab pernyataan tersebut responden diberikan beberapa pilihan jawaban dari tingkatan yang positif sampai dengan yang negatif. b. Kuesioner untuk melakukan uji validitas dan realibilitas data dilakukan kepada 30 perawat yang bertugas di Unit Rawat Inap Rumah Sakit AlIslam Bandung, yakni Unit Rawat Inap Darussalam 5, Darussalam 4, Firdaus, dan HCU. Uji validitas data bertujuan untuk mengetahui sejauh mana ketepatan dan kecermatan alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Hastono, 2007). Validitas suatu instrumen kuesioner dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan nilai r hasil dengan nilai r tabel, dikatakan valid apabila nilai r hasil yang dilihat pada tabel Corrected Item – Total Correlation lebih besar daripada nilai r tabel. Kemudian untuk pernyataan yang tidak valid dapat segera dihilangkan dan dilakukan uji validitas kembali tanpa menyertakan pernyataan yang tidak valid sebelumnya. Uji realibitas data dilakukan untuk menunjukkan tingkat konsistensi hasil pengukuran bila dilakukan pengukuran dua kali (Sugiyono, 2009). Uji realibilitas dilakukan dengan cara membandingkan nilai Cronbach Alpha dengan nilai standar yaitu 0,6. Suatu variabel dikatakan realibel atau dapat dipercaya apabila hasil yang dapat dilihat pada tabel Cronbach Alpha ≥ 0,6, dikatakan tidak realibel apabila Cronbach Alpha < 0,6.
67
c. Pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi variabel penelitian sebagai berikut: 1) Insiden Keselamatan Pasien Variabel
insiden
keselamatan
pasien
diukur
dengan
menggunakan kuesioner yang terdiri dari 14 pernyataan pada kuesioner bagian G meliputi pernyataan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), Kejadian Nyaris Cidera (KNC), dan Kejadian Tidak Cidera (KTC). Instrumen ini diadopsi dari penelitian Mulyana (2013) yang disesuaikan dengan PMK No. 1691 tahun 2011 tentang keselamatan pasien di rumah sakit. Adapun untuk menggolongkan kedalam kategori perawat yang pernah dan tidak pernah melakukan kesalahan yang menyebabkan terjadinya insiden keselamatan pasien dalam penelitian ini sebagai berikut: 0. Pernah melakukan insiden keselamatan pasien baik KTD, KNC, dan KTC, jika perawat memilih jawaban “Jarang”, “Sering”, dan “Selalu” pada kueioner. 1. Tidak pernah melakukan insiden keselamatan pasien baik KTD, KNC, dan KTC, jika perawat memilih jawaban “Tidak Pernah” pada kuesioner. 2) Usia Variabel usia dari setiap perawat diukur dengan menggunakan instrumen kuesioner yang akan langsung dijawab oleh perawat dengan mengisi kuesioner sesuai lama hidup perawat dihitung sejak tanggal kelahiran hingga ulang tahun terakhir pada saat mengisi kuesioner.
68
Jawaban usia perawat kemudian dikategorikan menurut Mulyana (2013), bahwa kategori usia kurang dari 30 tahun memiliki kecenderungan melakukan kesalahan yang menyebabkan terjadinya insiden keselamatan pasien. 3) Pengetahuan Variabel pengetahuan diukur dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari 9 pertanyaan pada kuesioner bagian A. Kuesioner tentang pengetahuan mengacu pada KKPRS (2008) meliputi: konsep keselamatan pasien, pengertian, cara pelaporan, dan tindakan yang bertujuan pada keselamatan pasien. Kuesioner ini dikembangkan oleh peneliti berdasarkan KKPRS (2008) yang didukung oleh kepustakaan. Peneliti mengadopsi kuesioner pengetahuan perawat berdasarkan KKPRS (2008) ini karena aplikatif dan sesuai dengan kondisi rumah sakit tempat penelitian dilakukan dan hal ini merupakan standar yang harus diterapkan pelaksanaannya di setiap rumah sakit. 4) Stres Variabel stres diukur dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari 3 pernyataan pada kuesioner bagian B. Pengukuran yang digunakan untuk mengukur variabel stres kerja pada penelitian ini hanya terkait dukungan rekan kerja dan pimpinan, konsentrasi saat bekerja, dan jadwal kerja perawat yang diadopsi sebagian dari indikator stres kerja Health and Safety Executive (HSE), tidak berdasarkan pada kuesioner HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale) yang mengembangkan tiga gejala stres yaitu gejala psikologis,
69
fisiologis, dan perilaku untuk mengukur tingkat stres kerja yang dialami oleh responden. 5) Kelelahan Variabel kelelahan diukur dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari 3 pernyataan pada kuesioner bagian B. Pada variabel kelelahan pengukuran yang dilakukan hanya terkait jumlah perawat di unit tempat bekerja, adanya beban kerja, dan jadwal kerja perawat, tidak berdasarkan pada Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja (KAUPK2) yang terdiri dari 17 item pertanyaan untuk mengukur tingkat perasaan kelelahan kerja yang dialami oleh responden. 6) Komunikasi Variabel komunikasi diukur dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari 5 pernyataan pada kuesioner bagian E. Instrumen untuk mengukur faktor komunikasi ini diambil dari kuesioner yang dikeluarkan oleh AHRQ pada Hospital Survey on Patient Safety Culture. 7) Implementasi SOP Variabel implementasi SOP diukur dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari 5 pernyataan pada kuesioner bagian C. Instrumen ini disesuaikan dengan pelaporan insiden kelamatan pasien di Rumah Sakit Al-Islam Bandung.
70
8) Kerjasama Tim Variabel kerjasama tim diukur dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari 7 pernyataan pada kuesioner bagian D. Instrumen untuk mengukur faktor kerjasama tim ini diambil dari kuesioner yang dikeluarkan oleh AHRQ pada Hospital Survey on Patient Safety Culture. 9) Gangguan atau Interupsi Variabel gangguan atau interupsi diukur dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari 3 pernyataan pada kuesioner bagian F. Instrumen ini diadopsi dari penelitian yang dilakukan oleh Arfan (2014). E. Uji Validitas dan Realibilitas 1. Uji Validitas Uji validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar – benar mengukur apa yang diukur. Menurut Hastono (2007), uji validitas dilakukan guna mengetahui sejauh mana ketepatan dan kecermatan alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pernyataan pada kuesioner mampu untuk mengungkap sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut. Dalam hal ini digunakan beberapa item pernyataan yang dapat secara tepat mengungkapkan variabel yang diukur tersebut. Uji ini dilakukan dengan menghitung korelasi antara masing – masing skor item pernyataan dari setiap variabel dengan total skor variabel tersebut. Uji validitas menggunakan korelasi Product Moment dari Pearson.
71
Suatu instrumen dikatakan valid atau sahih apabila korelasi tiap butiran memiliki nilai positif dan nilai t hitung > t tabel. Notoatmodjo (2010) berpendapat sebaiknya jumlah responden untuk uji validitas berjumlah paling sedikit 20 orang agar diperoleh distribusi nilai hasil pengukuran mendekati normal. Uji validitas pada penelitian ini dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada 30 perawat yang bertugas di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung yang bukan merupakan sampel penelitian. Kuesioner yang diuji validitas adalah kuesioner yang digunakan untuk mengetahui pengetahuan, stres, kelelahan, komunikasi, implementasi SOP, kerjasama tim, dan gangguan atau interupsi yang dialami oleh perawat. Penelitian ini merupakan penelitian yang ditujukan untuk menilai sikap, pendapat, dan persepsi responden terkait beberapa variabel yang diteliti,uji validitas suatu instrumen kuesioner dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan nilai r hasil dengan nilai r tabel. Dengan sampel 30 perawat, maka didapat df = n – 2 = 28. Pada tingkat kemaknaan 5% dengan df = 28% didapat angka r tabel = 0,361. Suatu pernyataan kuesioner dinyatakan valid apabila nilai r hasil yang dilihat pada tabel Corrected item – Total Correlaltion dalam software pengolahan data di perangkat lunak komputer lebih besar daripada nilai r tabel. Dari total 56 pernyataan atau pertanyaan kuesioner yang terdiri dari 10 pertanyaan dan 46 pernyataan yang di uji validitas kepada perawat, sebanyak 7 kuesioner tidak valid dan dikeluarkan dari kuesioner.
72
2. Uji Realibilitas Uji Realibilitas dilakukan setelah setiap pernyataan yang terdapat didalam alat ukur dinyatakan valid dan setelah menghilangkan pernyataan yang tidak valid. Uji realibilitas bertujuan untuk menunjukkan tingkat konsistensi hasil pengukuran bila dilakukan pengukuran dua kali (Sugiyono, 2009). Uji realibilitas dilakukan dengan cara membandingkan nilai Chronbach Alpha dalam software analisis data di perangkat lunak komputer dengan nilai standar yaitu 0,6. Suatu variabel dikatakan realibel atau dapat dipercaya apabila hasil yang dapat dilihat pada tabel Chronbach Alpha ≥ 0,6, dan dikatakan tidak realibel apabila Chronbach Alpha < 0,6 (Hastono, 2007). Berikut hasil perhitungan uji reabilitas: Tabel 4.2 Nilai Cronbach Alpha pada Instrumen Penelitian No
Variabel
Nilai Cronbach Alpha
1
Pengetahuan
0,712
2
Stres dan Kelelahan
0,655
3
Komunikasi
0,754
4
Implementasi SOP
0,852
5
Kerjasama Tim
0,769
6
Gangguan atau Interupsi
0,697
7
Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)
0,647
8
Kejadian Nyaris Cedera (KNC)
0,832
9
Kejadian Tidak Cedera (KTC)
0,867
Sumber : Data Primer F. Pengolahan Data Pelaksanaan pengolahan data bertujuan untuk menghasilkan informasi yang benar dan sesuai dengan tujuan penelitian. Pengolahan data dilakukan
73
setelah seluruh data yang diperlukan selesai dikumpulkan. Tahapan yang dilakukan dalam pengolahan data primer dari kuesioner sebagai berikut: 1. Mengkode data (data coding), yaitu membuat klasifikasi data dan memberi kode atau nilai pada jawaban dari setiap pernyataan dalam kuesioner. Pemberian nilai tergantung pada pernyataan positif atau pernyataan negatif pada kuesioner. Tabel 4.3 Skor Likert pada Pernyataan Positif dan Negatif No
Katagori Skala
Skor Pernyataan
Skor Pernyataan
Positif
Negatif
1
Sangat Setuju (SS)/ Selalu
4
1
2
Setuju (S)/ Sering
3
2
3
Tidak Setuju (TS)/ Jarang
2
3
4
Sangat Tidak Setuju
1
4
(STS)/ Tidak Pernah 2. Menyunting data (data editing), yaitu kuesioner yang telah diisi dilihat kelengkapan jawabannya sebelum dilakukan proses pemasukan data ke dalam komputer, sehingga ketika terdapat data yang salah atau meragukan dapat ditelusuri kembali ke responden yang bersangkutan. 3. Membuat struktur data (data structure) dan file data (data file), yaitu membuat template sesuai format kuesioner yang digunakan pada software. 4. Memasukkan data (data entry), yaitu dilakukan pemasukan data ke dalam templete yang telah dibuat pada program software computer. Adapun software computer yang digunakan dalam penelitian ini adalah program SPSS versi 16.
74
5. Membersihkan data (data cleaning), yaitu data yang telah diinput kemudian dicek kembali untuk memastikan bahwa data tersebut bersih dari kesalahan, baik kesalahan pengkodean maupun kesalahan dalam membaca kode. Dengan demikian diharapkan data tersebut benar – benar siap untuk dianalisis. G. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini berupa analisis data univariat. Analisis univariat dalam penelitian ini dilakukan untuk menggambarankan distribusi frekuensi masing – masing variabel penelitian menggunakan uji statistik deskripstif pada software analisis data.
75
BAB V HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Rumah Sakit Al-Islam Bandung Rumah Sakit Al-Islam berada di Kota Bandung bagian timur tepatnya di Jalan Soekarno – Hatta No. 644, Kelurahan Sekejati, Kecamatan Margacinta Kota Bandung, Jawa Barat. Rumah Sakit Al-Islam Bandung merupakan Rumah Sakit Swasta Tipe B yang bernuansakan islam dalam setiap pelayanannya. Rumah Sakit Al-Islam Bandung mengalami perkembangan yang pesat dalam pelayanan maupun fasilitasnya. Awal berdirinya Rumah Sakit Al-Islam Bandung merupakan salah satu amal usaha Ibu – Ibu Badan Kerja Sama Wanita Islam (BKSWI) Jawa Barat dengan membentuk Badan Hukum Yayasan Rumah Sakit Islam BKSWI Jawa Barat yang dibantu oleh berbagai pihak sehingga dapat berkembang seperti sekarang. 1. Visi: “Menjadi Rumah Sakit yang Unggul, Terpercaya, dan Islami”. 2. Misi: a. Melaksanakan dan menerapkan nilai – nilai islam ke dalam seluruh aspek pelayanan maupun pengelolaan rumah sakit. b. Mendukung dan membantu program pemerintah dalam bidang kesehatan. c. Melakukan kerjasama lintas sektoral dan ikut berperan aktif dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. d. Melaksanakan pelayanan kesehatan dengan memberi kepuasan kepada konsumen sehingga melebihi apa yang diharapkan. 76
e. Mengembangkan kemampuan dan meningkatkan kesejahteraan sumber daya manusia yang dimiliki. 3. Falsafah: Beriman kepada Allah SWT dengan berpegang kepada Al-Quran dan Al-Hadist
sebagai
landasan utama, bekerja
profesional
(wa’amilu
shoolihaati) dalam suatu “team work” (wa tawaa shaubilhaqi wa tawaa shaubishabri). 4. Motto: Internal : “Cepat, Ramah, Profesional dan Islami.” Eksternal : “Sahabat Anda Menuju Sehat Bermanfaat.” B. Gambaran Umum Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit Al-Islam Bandung Meningkatnya keadaan sosial ekonomi masyarakat dan kesadaran masyarakat akan hukum, membuat rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu tinggi, aman, dan selalu menggunakan teknologi mutakhir. Pelayanan di rumah sakit sangat kompleks dan multidisiplin dengan ratusan bahkan ribuan prosedur, sehingga kemungkinan terjadi kesalahan atau insiden sangat besar. Oleh karena itu, Rumah Sakit Al-Islam Bandung telah melakukan berbagai upaya pengendalian mutu agar dapat memberikan mutu pelayanan terbaik, namun demikian masih tetap ada komplain/ketidakpuasaan dari pihak pengguna pelayanan. Demikian pula laporan insiden masih terjadi baik yang dilaporkan oleh staf rumah sakit sendiri maupun laporan yang didapat dari pihak pengguna pelayanan, serta tidak sedikit berujung pada tuntutan penggantian secara materil.
77
Budaya saling menyalahkan apabila terjadi insiden masih sering terjadi dan dirasakan masih kurangnya komunikasi serta transparansi dari pihak pemberi pelayanan kepada masyarakat walaupun sudah terdapat wadah profesi baik medis, keperawatan, profesi lain, maupun non medis sebagai advisory board dalam menjaga mutu pelayanan. Hal – hal tersebut dirasakan perlu upaya lain dalam peningkatan mutu pelayanan yang lebih terstruktur dan bersifat proaktif. Tujuannya agar insiden di rumah sakit dapat diminimalisir dan pada akhirnya akan berkembang suatu budaya karyawan yang memberikan pelayanan bermutu tinggi, aman, transparan, dan responsive menjadi bagian dari kegiatan yang tidak terpisahkan dalam kehidupan profesi sehari – hari. Untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, salah satu upaya yang dilakukan yaitu melalui penerapkan program keselamatan pasien sesuai standar yang telah ditetapkan oleh Komite Keselatamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) PERSI dan The Joint Comission International (JCI). Pada tahun 2011, Rumah Sakit Al-Islam Bandung telah terakreditasi lulus tingkat lengkap (16 pelayanan). Kemudian pada tahun 2016, telah lulus paripurna dalam penilaian Akreditasi Rumah Sakit Nasional Versi 2012. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan visinya untuk menjadi rumah sakit yang unggul, islami, dan terpercaya
dalam
pelayanan
dan
pengelolaan,
serta
misinya
yaitu
melaksanakan pelayanan kesehatan dengan memberi kepuasan kepada konsumen sehingga melebihi apa yang diharapkan. Rumah Sakit Al-Islam Bandung telah memiliki komite khusus yang menangani keselamatan pasien rumah sakit. Komite tersebut yakni Sub Komite Keselamatan Pasien yang berada dalam Komite Mutu dan Keselamatan Pasien
78
(KMKP) yang telah ditetapkan oleh keputusan Direktur Rumah Sakit AI-Islam Bandung pada tahun 2008. Komite Mutu dan Keselamatan Pasien Rumah Sakit merupakan unit fungsional yang dipimpin seorang ketua yang diangkat oleh direktur, memiliki ruang lingkup membantu direktur dalam menjalankan program peningkatan mutu, sasaran keselamatan pasien, dan manajemen risiko rumah sakit. Pada bagan 5.1 merupakan struktur organisasi Komite Mjutu dan Keselamatan Pasien Rumah Sakit Al-Islam Bandung Tahun 2016. STRUKTUR ORGANISASI KOMITE MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT AL ISLAM BANDUNG
DIREKTUR
KETUA KOMITE MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN
SUB KOMITE KESELAMATAN PASIEN
SUB KOMITE MANAJEMEN RISIKO
SUB KOMITE MANAJEMEN MUTU
PENANGGUNG JAWAB MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN UNIT PELAYANAN
Sumber: Profil Rumah Sakit Al-Islam Bandung Tahun 2016
Bagan 5.1 Struktur Organisasi Komite Mutu dan Keselamatan Pasien Rumah Sakit Al-Islam Bandung Tahun 2016
79
Rumah Sakit Al-Islam Bandung telah menerapkan sasaran keselamatan pasien sejak tahun 2010 sebagai program kerja yang dilaksanakan oleh Sub Komite Keselamatan Pasien. Adapun pelaksanaan sasaran keselamatan pasien di Rumah Sakit Al-Islam Bandung sebagai berikut: a. Ketepatan Identifikasi Pasien Pada sasaran keselamatan pasien pertama, pelaksanaan ketepatan identifikasi pasien ditetapkan berdasarkan kebijakan SK Direktur Rumah Sakit Al-Islam Bandung No.4020/RSAI/UM/VIII/2014 tentang Identifikasi Pasien di Rumah Sakit Al-Islam Bandung dengan telah terbentuknya panduan identifikasi pasien dan Standar Operasional Prosedur (SOP) identifikasi pasien yang mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten pada semua situasi dan lokasi. Identifikasi pasien adalah proses pengumpulan data, pencatatan dan konfirmasi segala keterangan tentang bukti – bukti dari pasien agar sesuai dengan rekam medik pasien, sehingga dapat menetapkan dan menyamakan keterangan tersebut. Untuk melakukan identifikasi pasien, Rumah Sakit Al-Islam Bandung telah menggunakan minimal dua identitas pasien yaitu nama, tanggal lahir dan nomor rekam medis. Petugas melakukan identifikasi pasien dengan cara menanyakan langsung kepada pasien. Pelaksanaan identifikasi pasien dilakukan sejak dari awal pasien masuk rumah sakit yaitu di perawatan IGD (Instalasi Gawat Darurat) dan akan selalu dikonfirmasi dalam segala proses di rumah sakit. Proses verifikasi identifikasi pasien dilakukan pada saat sebelum pemberian obat, sebelum pemberian transfusi darah atau produk darah, sebelum pengambilan spesimen untuk pemeriksaan klinis (seperti:
80
darah, urin, dan cairan tubuh lainnya) dan sebelum pemberian tindakan atau prosedur. Sarana identifikasi pasien yang berlaku di Rumah Sakit Al-Islam Bandung terdiri dari gelang identitas pasien, label identitas pasien, berkas rekam medis dan formulir pelayanan (lembar bukti pendaftaran pelayanan, surat pengantar dirawat, formulir pemeriksaan penunjang, surat rujukan pelayanan, dan lembar resep pasien). Pada gelang identitas pasien dibedakan antara jenis kelamin perempuan dan laki – laki. Gelang identitas pasien warna merah muda untuk pasien perempuan dan warna biru untuk pasien laki – laki. Pemberian gelang identitas tersebut bertujuan untuk memudahkan proses identifikasi pasien. b. Peningkatan Komunikasi yang Efektif Pada sasaran keselamatan pasien kedua, pelaksanaan peningkatan komunikasi yang efektif ditetapkan berdasarkan panduan komunikasi efektif dan SOP komunikasi efektif yang berlaku di Rumah Sakit Al-Islam Bandung. Pada Pelaksanaan konsul ke dokter, petugas menggunakan metode
ISBAR
(Introduction,
Situation,
Backgroud,
Assessment,
Recommendation) dalam melakukan pengulangan untuk perintah yang diberikan oleh Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP). Untuk prosedur yang digunakan pada perintah lisan dan/atau melalui telepon menggunakan metode Tbak (Tulis Baca Kembali). Metode Tbak berlaku untuk semua petugas kesehatan yang melakukan dan menerima perintah verbal (lisan dan/atau telepon). Komunikasi verbal dengan metode Tbak melalui telepon untuk staf yang menerima pesan harus menuliskan dan
81
membacakannya kembali kepada pemberi pesan (konfirmasi dan verifikasi dilakukan langsung saat itu juga). c. Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai Pada sasaran keselamatan pasien ketiga, pelaksanaan peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai ditetapkan berdasarkan kebijakan SK Direktur Rumah Sakit Al-Islam Bandung No. 712A/RSAI/SK/UM/II/2015 tentang Pengelolaan Obat High Alert di Rumah Sakit Al-Islam Bandung. Untuk meningkatkan kewaspadaan akan keamanan obat high alert dilakukan upaya – upaya untuk meminimalisir terjadinya kesalahan serta menurunkan potensi resiko terhadap pasien sehingga dapat lebih meningkatkan kepercayaan masyarakat dan meningkatkan mutu pelayanan di rumah sakit. Bagian Instalasi Farmasi Rumah Sakit Al-Islam Bandung telah memiliki daftar obat NORUM (Nama Obat, Rupa, dan Ucapan Mirip) yang ditetapkan berdasarkan kebijakan dan pedoman khusus untuk NORUM. Obat high alert tidak berada diruang perawatan dan harus dibawah pengawasan apoteker sehingga disimpan di gudang pusat, satelit farmasi, dan di beberapa nurse station. Untuk obat narkotika disimpan dengan tempat terpisah dan dilakukan double kunci. Adapun obat high alert yang disimpan di nurse station ditempatkan pada lemari secara terpisah dan lemari dalam keadaan terkunci serta diberi label “Peringatan: High Alert Medications” pada tutup luar tempat penyimpanan. d. Ketepatan Tepat Lokasi Tepat Prosedur dan Tepat Pasien Pada pelaksanaan sasaran keselamatan pasien keempat, Rumah Sakit Al-Islam Bandung berupaya memberikan pelayanan pembedahan yang
82
aman untuk mengurangi kejadian salah lokasi, prosedur dan pasien yang akan menjalani suatu tindakan operasi. Upaya yang dilakukan yaitu dengan melakukan asessment (pengkajian) dan identifikasi pasien, komunikasi efektif, dan site marking. Penerapan site marking dengan menuliskan “YA” pada daerah yang akan dilakukan operasi dan mengisi lembar formulir penandaan lokasi operasi dengan dilengkapi pembubuhan tanda tangan oleh pasien sebagai persetujuan atau konfirmasi ulang. Penandaan ini dilakukan pada organ yang bilateral atau lebih dari dua. Untuk menjamin sisi operasi yang tepat, prosedur yang tepat, serta pasien yang tepat baik sebelum, saat dan setelah menjalani operasi dilakukan penerapan formulir checklist keselamatan operasi/tindakan berisiko, maka sebelum pasien dilakukan tindakan akan melalui prosedur Check – In (tempat penerimaan pasien), Sign – In (sebelum tindakan anestesi/induksi), Time-Out (sebelum tindakan insisi), Sign – Out (sebelum menutup luka operasi dan meninggalkan kamar operasi) dan Check – Out (serah terima perawat anestesi dengan perawat ruangan). e. Pengurangan Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan Pada sasaran keselamatan pasien kelima, pelaksanaan pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan ditetapkan berdasarkan kebijakan Surat
Keputusan
Direktur
Rumah
No.657A/RSAI/SK/UM/II/2015
tentang
Sakit
Al-Islam
Kebersihan
Tangan
Bandung dengan
menerapkan panduan kebersihan tangan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) mencuci tangan yang berlaku di Rumah Sakit Al-Islam Bandung. Tindakan yang dilakukan untuk mengurangi penyebaran infeksi dengan
83
program kebersihan tangan (hand hygiene) yang menekankan pada ketepatan cara, waktu, dan langkah dalam melakukan cuci tangan. Penerapan cuci tangan merupakan program yang dilakukan oleh Sub Komite Pengendalian dan Pencegahan Infeksi (PPI) yang berada dalam Komite Mutu dan Keselamatan Pasien Rumah Sakit Al-Islam Bandung. Penerapan cuci tangan pada petugas kesehatan disesuaikan dengan standar yang ditetapkan oleh WHO dengan five moments for hand hygiene. Five Moments for Hand Hygiene adalah 5 momen krusial mencuci tangan pada petugas kesehatan untuk mengoptimalkan kebersihan tangan dengan mencuci tangan pada waktu yakni 1) sebelum kontak dengan pasien, 2) sebelum melakukan tindakan aseptis, 3) setelah terkena cairan tubuh pasien, 3) setelah kontak dengan pasien, dan 4) setelah kontak dengan lingkungan pasien. Fasilitas kebersihan tangan, seperti cairan alcohol – based hand – rubs telah disediakan di area perawatan yaitu tempat dimana terdapat pasien, petugas pelayanan kesehatan, dan perawatan atau pengobatan yang melibatkan kontak dengan pasien atau kontak dengan lingkungan pasien sehingga untuk melakukan cuci tangan dapat dengan mudahnya untuk diakses. Sedangkan untuk fasilitas kebersihan tangan, seperti handwash tersedia di setiap westafel yang berada di area perawatan pasien dan area yang memungkinkan terjadinya kontak dengan cairan tubuh pasien, bahan atau alat yang terkontaminasi. Hal ini menunjukkan kepedulian yang tinggi untuk mencegah infeksi yang berada di rumah sakit.
84
Petugas kesehatan telah diberikan sosialisai melalui klasikal mentoring karyawan Rumah Sakit Al-Islam Bandung mengenai cara mencuci tangan yang terdiri dari 2 (dua) yaitu cuci tangan dengan menggunakan cairan hand-rubs (dengan waktu 20 – 30 detik) untuk dekontaminasi tangan jika tangan tidak terlihat noda dan cuci tangan dengan menggunakan sabun antiseptik serta air yang mengalir (dengan waktu 40 – 60 detik) bila tangan terlihat kotor atau cairan tubuh pasien. Adapun langkah mencuci tangan yang terdiri dari 6 (enam) langkah yang dikenalkan di Rumah Sakit Al-Islam Bandung dengan singkatan TEPUNG–SELA– CIPUPUT yang artinya telapak tangan, punggung tangan, sela – sela jari kemudian diputar putar. Berikut ini 6 (enam) langkah mencuci tangan yang baik dan benar sesuai standar yang ditetapkan oleh WHO, yaitu: 1) Ratakan dengan kedua telapak tangan; 2) Gosok punggung dan sela – sela jari tangan kiri dengan tangan kanan dan sebaliknya; 3) Gosok kedua telapak dan sela – sela jari; 4) Jari – jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci; 5) Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan lakukan sebaliknya; dan 6) Gosok dengan memutar ujung jari – jari ditelapak tangan kiri dan sebaliknya. f. Pencegahan Risiko Pasien Jatuh Rumah Sakit Al-Islam Bandung melakukan upaya pengurangan risiko pasien jatuh dengan melakukan asessment (pengkajian) dan pengadaan
85
fasilitas pendukung keselamatan pasien, seperti: menggunakan tempat tidur yang memiliki penghalang sisi kanan dan kiri/bed plang, bel pasien, penempatan furniture kamar pasien dan peralatan yang rapi dengan tidak mengganggu mobilitas pasien, serta penanda pasien risiko jatuh yang terdiri dari: label penanda risiko jatuh (warna kuning) pada gelang identitas pasien, pemasangan sign net peringatan risiko jatuh pada tempat tidur pasien bagi keluarga dan pengunjung serta tanda segitiga berwarna kuning pada pintu kamar pasien sebagai peringatan bagi perawat bahwa di kamar tersebut ada pasien yang berisiko jatuh. Proses penatalaksanaan keselamatan pasien risiko jatuh diawali dengan melakukan asessment awal. Pelaksanaan asessment awal telah ditetapkan dalam kebijakan dan pedoman mengenai asessment awal pasien resiko jatuh. Asessment awal ini dilakukan melalui formulir pengkajian risiko jatuh baik pada pasien dewasa, pasien anak dan pasien ganggung jiwa. Perawat yang bertugas akan melakukan pengkajian pada pasien risiko jatuh saat awal pasien masuk di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan rawat inap nantinya, dengan menggunakan metode pengkajian risiko jatuh yang telah ditetapkan oleh Rumah Sakit Al-Islam Bandung yaitu pada pasien dewasa dengan menggunakan Skala Morse/Morse Fall Scale (MFS), pada pasien anak dengan menggunakan Skala Humpty Dumpty Score dan pada pasien lansia menggunakan Skala Hendrich. Hasil pengkajian tersebut kemudian didokumentasikan pada formulir pengkajian resiko jatuh dengan melingkari score.
86
Pada metode dengan menggunakan Skala Morse/Morse Fall Scale (MFS) untuk pasien dewasa terbagi menjadi kategori risiko tinggi (skor ≥45), kategori risiko sedang (skor 25-44) dan kategori rendah (skore 0-24). Pada metode dengan menggunakan Skala Humpty Dumpty Score untuk pasien anak terbagi menjadi kategori risiko tinggi (skore ≥12) dan kategori risiko rendah (skor 7-11). Sedangkan pada metode dengan Skala Hendrich untuk pasien lansia memiliki risiko jatuh apabila skor total ≥ 20). Bila pasien berdasarkan skala tersebut masuk dalam kategori resiko rendahsedang diberikan penanda risiko jatuh pada gelang identitas, dan apabila pasien masuk dalam kategori resiko tinggi selain diberikan penanda risiko jatuh pada gelang identitas juga diberikan penanda khusus pada tempat tidur maupun penanda di depan pintu kamar perawatan. Pada tahap selanjutnya, perawat akan melakukan asessment ulang resiko jatuh secara berkala sesuai hasil pengkajian risiko jatuh yang dilaksanakan pada saat terjadi perubahan kondisi pasien atau pengobatan, dapat juga dilakukan pada pasien yang mengalami perubahan kondisi fisik atau status mental. Hasil asesssment ulang tersebut dituliskan pada formulir asessment ulang yang dilengkapi dengan tanggal pengkajian dan identitas perawat. Kemudian perawat akan menempelkan tanda kuning pada gelang identitas pasien dengan risiko jatuh sedang atau tinggi, pemasangan sign net sebagai tanda risiko jatuh pada tempat tidur dan pemasangan tanda segitiga di pintu kamar perawatan pasien.
87
C. Distribusi Frekuensi Insiden Keselamatan Pasien di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung pada Periode 2012-2016 Insiden keselamatan pasien yang dilakukan oleh perawat dalam penelitian ini meliputi: Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), Kejadian Nyaris Cedera (KNC), dan Kejadian Tidak Cedera (KTC). Distribusi frekuensi insiden keselamatan pasien dapat dilihat pada tabel 5.1 Tabel 5.1 Distribusi Pernyataan Perawat Terkait Insiden Keselamatan Pasien di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung pada Periode 2012-2016 Pernyataan Perawat Terkait
Frekuensi
Persentase
Insiden Keselamatann Pasien
(n)
(%)
Pernah
30
39,5%
Tidak Pernah
46
60,5%
Total
76
100%
Dari tabel 5.1 diatas, didapatkan dari 76 responden penelitian yang tidak pernah melakukan insiden keselamatan pasien adalah sebanyak 46 perawat atau sebesar 60,5%, dan perawat yang pernah melakukan insiden keselamatan pasien adalah sebanyak 30 perawat atau sebesar 39,5%.
88
Grfaik 5.1 Distribusi Pernyataan Perawat Berdasarkan KTD, KNC, KTC di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung pada Periode 20122016
Keterangan: KTD
KNC
KTC
Dari grafik 5.1 di atas, didapatkan dari 30 perawat yang pernah melakukan insiden keselamatan pasien, sebanyak 20 perawat atau sebesar 26,3% pernah melakukan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), 23 perawat atau sebesar 30,3% pernah melakukan Kejadian Nyaris Cedera (KNC), dan 28 perawat atau sebesar 36,8% pernah melakukan Kejadian Tidak Cidera (KTC). Hasil penelitian menunjukkan jenis insiden KTC lebih banyak pernah dilakukan oleh perawat dibandingkan dengan perawat yang pernah melakukan insiden KNC dan KTD.
89
D. Distribusi
Frekuensi
Insiden
Keselamatan
Pasien
Berdasarkan
Karakteristik Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung 1. Usia Peneliti mengategorikan variabel usia menjadi dua kategori yaitu usia ≤ 30 tahun dan usia > 30 tahun. Distribusi frekuensi insiden keselamatan pasien pada perawat berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 5.3 Tabel 5.2 Distribusi Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Usia Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung Insiden Keselamatan Pasien Usia
Pernah
Total
Tidak Pernah n
%
46,8%
47
100%
24
82,8%
29
100%
46
60,5%
76
100%
n
%
n
%
≤ 30 tahun
25
53,2%
22
> 30 tahun
5
17,2%
Total
30
39,5%
Dari tabel 5.2, didapatkan dari 76 responden penelitian yang berusia ≤ 30 adalah sebanyak 47 perawat atau sebesar 61,8%. Sedangkan responden yang berusia > 30 tahun adalah sebanyak 29 perawat atau sebesar 38,2%. Sedangkan untuk gambaran distribusi numerik dari variabel usia dapat diketahui usia termuda di unit rawat inap adalah berusia 22 tahun dan perawat tertua adalah berusia 45 tahun. Hasil tabulasi silang diketahui perawat yang pernah melakukan insiden keselamatan pasien, paling banyak adalah perawat yang termasuk dalam kategori usia ≤ 30 tahun yaitu sebanyak 25 perawat atau sebesar 53,2%.
90
2. Pengetahuan Pengetahuan perawat digolongkan kedalam dua kategori yaitu pengetahuan kurang dan pengetahuan baik. Distribusi frekuensi insiden keselamatan pasien pada perawat berdasarkan pengetahuan dapat dilihat pada tabel 5.3 Tabel 5.3 Distribusi Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Pengetahuan Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung Insiden Keselamatan Pasien Pengetahuan
Pernah
Total
Tidak Pernah n
%
10,5%
19
100%
44
77,2%
57
100%
46
60,5%
76
100%
n
%
n
%
Kurang
17
89,5%
2
Baik
13
22,8%
Total
30
39,5%
Dari tabel 5.3, didapatkan dari 76 responden penelitian yang memiliki pengetahuan baik adalah sebanyak 57 perawat atau sebesar 75%. Sedangkan responden yang memiliki pengetahuan kurang adalah sebanyak 19 perawat atau sebesar 25%. Hasil tabulasi silang diketahui perawat yang pernah melakukan insiden keselamatan pasien, paling banyak adalah perawat yang memiliki pengetahuan kurang yaitu sebanyak 17 perawat atau sebesar 89,5%. Hasil distribusi jawaban perawat terkait pengetahuan di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung dapat dilihat pada tabel 5.4
91
Tabel 5.4 Distribusi Jawaban Perawat Terkait Pengetahuan di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung No
Pertanyaan
1
Sistem keselamatan pasien di rumah sakit
2
Pelaksanaan keselamatan pasien di Rumah Sakit Al-Islam Bandung Jenis insiden keselamatan pasien
3 4
5 6 7 8
9
Waktu pelaporan setiap terjadi insiden harus dilaporkan secara internal kepada TKPRS (Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit) Dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien Prinsip pemberian obat kepada pasien Prosedur mencuci tangan yang baik benar sesuai standar yang ditetapkan oleh WHO Five moments for hand hygiene atau 5 moment krusial mencuci tangan pada petugas kesehatan untuk mengoptimalkan kebersihan tangan disaat Pengkajian resiko pasien jatuh
Jawaban Salah Benar 25 51 (32,9%) (67,1%) 39 37 (51,3%) (48,7%) 10 66 (13,2%) (86,8%) 25 51 (32,9%) (67,1%)
Total 76 (100%) 76 (100%) 76 (100%) 76 (100%)
13 (17,1%) 17 (22,4%) 6 (7,9%) 0
63 (82,9%) 59 (77,6%) 70 (92,1%) 76 (100%)
76 (100%) 76 (100%) 76 (100%) 76 (100%)
2 (2,6%)
74 (97,4%)
76 (100%)
Dari tabel 5.4 diketahui dari 9 pertanyaan kuesioner tentang pengetahuan, terdapat 1 item pertanyaan yang dijawab benar oleh seluruh perawat yang menjadi responden sebanyak 76 perawat atau sebesar 100% dan 1 item pertanyaan yang dijawab benar oleh hampir seluruh perawat yang menjadi responden sebanyak 74 perawat atau sebesar 97,4%, yaitu pertanyaan nomor 8 tentang pelaksanaan Five Moments for Hand Hygiene atau 5 moment krusial mencuci tangan pada petugas kesehatan untuk mengoptimalkan kebersihan tangan dan pertanyaan nomor 9 tentang
92
pengkajian resiko pasien jatuh dengan form dilakukan pada saat pasien masuk rawat inap. Adapun beberapa perawat yang masih menjawab salah dari pertanyaan sehingga perlu mendapatkan perhatian tentang pengetahuan yaitu informasi terkait dimulainya pelaksanaan keselamatan pasien di Rumah Sakit Al-Islam Bandung sebanyak 39 perawat atau sebesar 51,3%, sistem keselamatan pasien di rumah sakit sebanyak 25 perawat atau sebesar 32,9%, dan setiap terjadi insiden harus dilaporkan secara internal kepada TKPRS (Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit) dalam waktu paling lambat 2 kali 24 jam sebanyak 25 perawat atau sebesar 32,9%. 3. Stres Stres perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung digolongkan kedalam dua kategori yaitu stres tinggi dan stres rendah. Distribusi frekuensi insiden keselamatan pasien pada perawat berdasarkan stres di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung dapat dilihat pada tabel 5.5 Tabel 5.5 Distribusi Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Stres Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung Insiden Keselamatan Pasien Stres
Pernah
Tidak Pernah n
%
21,4%
14
100%
43
69,4%
62
100%
46
60,5%
76%
100%
n
%
n
%
Tinggi
11
78,6%
3
Rendah
19
30,6%
Total
30
39,5%
93
Total
Dari tabel 5.5, didapatkan dari 76 responden penelitian yang mengalami stres rendah adalah sebanyak 62 perawat atau sebesar 81,6%. Sedangkan responden yang mengalami stres tinggi adalah sebanyak 14 perawat atau sebesar 18,4%. Hasil tabulasi silang diketahui perawat yang pernah melakukan insiden keselamatan pasien, paling banyak adalah perawat yang mengalami stres tinggi yaitu sebanyak 11 perawat atau sebesar 78,6%. Hasil distribusi jawaban perawat terkait stres di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung dapat dilihat pada tabel 5.6 Tabel 5.6 Distribusi Jawaban Perawat Terkait Stres di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung No
Pernyataan
1
Pimpinan dan rekan kerja saya saling mendukung satu sama lain sehingga tercipta situasi yang kondusif ditempat kerja Saya mampu menjaga konsentrasi kerja saat sedang sibuk Jadwal kerja dan peraturan di rumah sakit tidak memungkinkan saya untuk memulihkan semangat kerja
2
3
STS 0
Jawaban Total TS S SS 0 44 32 76 (57,9%) (42,1%) (100%)
0
5 (6,6%)
20 (26,3)
36 (47,4%)
60 11 76 (78,9%) (14,5%) (100%) 19 (25%)
1 (1,3%)
76 (100%)
Dari tabel 5.6 diketahui sebagian besar menyetujui pada saat bekerja mampu menjaga konsentrasi kerja ketika sedang sibuk sebanyak 60 perawat atau sebesar 78,9%, pimpinan dan rekan kerja saling mendukung satu sama lain sehingga tercipta situasi yang kondusif ditempat kerja sebanyak 44 perawat atau sebesar 57,9%. Namun, ada beberapa jawaban perawat yang
94
perlu mendapatkan perhatian tentang stres yaitu sebanyak 19 perawat atau sebesar 25% menyetujui terhadap jadwal kerja dan peraturan di rumah sakit yang tidak memungkinkan untuk memulihkan semangat kerja. 4. Kelelahan Kelelahan perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung digolongkan kedalam dua kategori yaitu kelelahan tinggi dan kelelahan rendah. Distribusi frekuensi insiden keselamatan pasien pada perawat berdasarkan kelelahan dapat dilihat pada tabel 5.7 Tabel 5.7 Distribusi Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Kelelahan Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung Insiden Keselamatan Pasien Kelalahan
Pernah
Tidak Pernah n
%
44,8%
29
100%
33
70,2%
47
100%
46
60,5%
76
100%
n
%
n
%
Tinggi
16
55,2%
13
Rendah
14
29,8%
Total
30
39,5%
Dari
Total
tabel 5.7 didapatkan dari 76 responden penelitian yang
mengalami kelelahan rendah adalah sebanyak 47 perawat atau sebesar 61,8%. Sedangkan responden yang mengalami kelelahan tinggi adalah sebanyak 29 perawat atau sebesar 38,2%. Hasil tabulasi silang diketahui perawat yang pernah melakukan insiden keselamatan pasien, paling banyak adalah perawat yang mengalami kelelahan tinggi yaitu sebanyak 16 perawat atau sebesar 55,2%. Hasil distribusi jawaban perawat terkait kelelahan di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung dapat dilihat pada tabel 5.8
95
Tabel 5.8 Distribusi Jawaban Perawat Terkait Kelelahan di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung No
Pernyataan
1
Jumlah perawat di unit tempat bekerja sudah sesuai dengan beban kerja perawat Perawat melakukan kesalahan dalam pelayanan pasien karena bekerja melebihi dari ketentuan yang ada dan terlalu banyak tugas yang harus dikerjakan Merasakan kenyamanan dengan jadwal kerja yang sudah ditetapkan
2
3
STS 0
13 (17,1%)
0
Jawaban Total TS S SS 7 58 11 76 (9,2%) (76,3%) (14,5%) (100%) 37 26 (48,7%) (34,2%)
3 (3,9%)
68 (89,5%)
0
76 (100%)
5 (6,6%)
76 (100%)
Dari tabel 5.8 diketahui sebagian besar menyetujui merasakan kenyamanan dengan jadwal kerja yang sudah ditetapkan sebanyak 68 perawat atau sebesar 89,5% dan jumlah perawat di unit tempat bekerja sudah sesuai dengan beban kerja perawat sebanyak 58 perawat atau sebesar 76,3%. Namun, ada beberapa jawaban perawat yang perlu mendapatkan perhatian tentang kelelahan yaitu sebanyak 26 perawat atau sebesar 34,2% menyetujui perawat melakukan kesalahan dalam pelayanan pasien karena bekerja melebihi dari ketentuan yang ada dan terlalu banyak tugas yang harus dikerjakan. E. Distribusi
Frekuensi
Insiden
Keselamatan
Pasien
Berdasarkan
Karakteristik Organisasi di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung 1. Komunikasi Komunikasi di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung digolongkan kedalam dua kategori yaitu komunikasi kurang efektif dan 96
komunikasi efektif. Distribusi frekuensi insiden keselamatan pasien berdasarkan komunikasi perawat dapat dilihat pada tabel 5.9 Tabel 5.9 Distribusi Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Komunikasi di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung Insiden Keselamatan Pasien Komunikasi
Pernah
Tidak Pernah
Total n
%
52,8%
36
100%
27
67,5%
40
100%
46
60,5%
76
100%
n
%
n
%
Kurang Efektif
17
47,2%
19
Efektif
13
32,5%
Total
30
39,5%
Dari tabel 5.9, didapatkan dari 76 responden penelitian yang memiliki komunikasi efektif adalah sebanyak 40 perawat atau sebesar 52,6%. Sedangkan responden yang memiliki komunikasi kurang efektif adalah sebanyak 36 perawat atau sebesar 47,4%. Hasil tabulasi silang diketahui sebanyak 15 perawat atau sebesar 52,8% yang memiliki komunikasi kurang efektif lebih banyak yang tidak pernah melakukan insiden keselamatan pasien, sedangkan sebanyak 17 perawat atau sebesar 47,2% yang memiliki komunikasi kurang efektif lebih sedikit yang pernah melakukan insiden keselamatan pasien. Hasil distribusi jawaban perawat terkait komunikasi di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung dapat dilihat pada tabel 5.10
97
Tabel 5.10 Distribusi Jawaban Perawat Terkait Komunikasi di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung No
Pernyataan
1
Manajer saya memberikan umpan balik ke arah perbaikan berdasarkan laporan kejadian insiden Kami bebas mengungkapkan pendapat jika melihat sesuatu yang bisa berdampak negatif terhadap pelayanan pasien Kami diberi tahu mengenai kesalahan – kesalahan yang terjadi di unit kami Kami merasa bebas untuk bertanya kepada sesama perawat lain/dokter tentang keputusan maupun tindakan yang diambil di unit ini Di unit ini kami mendiskusikan dengan sesama perawat/dokter bagaimana cara untuk mencegah insiden supaya tidak terjadi kembali
2
3
4
5
STS 0
Jawaban TS S 1 39 (1,3%) (51,3%)
Total
SS 36 (47,4%)
76 (100%)
0
1 (1,3%)
56 (73,7%)
19 (25%)
76 (100%)
0
2 (2,6%)
50 (65,8%)
24 (31,6%)
76 (100%)
0
4 (5,3%)
54 (71,1,%)
18 (23,7%)
76 (100%)
1 (1,3%)
11 (14,5%)
38 (50%)
26 (34,2%)
76 (100%)
Dari tabel 5.10 diketahui sebagian besar menyetujui perawat bebas mengungkapkan pendapat jika melihat sesuatu yang bisa berdampak negatif terhadap pelayanan pasien sebanyak 56 perawat atau sebesar 73,7% dan perawat merasa bebas untuk bertanya kepada sesama perawat lain/dokter tentang keputusan maupun tindakan yang diambil di unit tempat bekerja sebanyak 54 perawat atau seebsar 71,1,%. Namun, ada beberapa jawaban perawat yang perlu mendapatkan perhatian tentang komunikasi yaitu sebanyak 11 atau sebesar 14,5% tidak menyetujui di unit tempat bekerja
98
mendiskusikan dengan sesama perawat/dokter bagaimana cara untuk mencegah insiden supaya tidak terjadi kembali. 2. Implementasi SOP (Standar Operasional Prosedur) Implementasi SOP terkait pelaporan insiden keselamatan pasien oleh perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung digolongkan kedalam dua kategori yaitu implementasi SOP kurang baik dan implementasi SOP baik. Distribusi frekuensi insiden keselamatan pasien berdasarkan implementasi SOP dapat dilihat pada tabel 5.11 Tabel 5.11 Distribusi Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Implementasi SOP di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung Insiden Keselamatan Pasien Implementasi
Pernah
SOP
Tidak Pernah
Total n
%
34,5%
23
100%
38
71,7%
53
100%
46
60,5%
76
100%
n
%
n
%
Kurang Baik
15
65,2%
8
Baik
15
28,3%
Total
30
39,5%
Dari tabel 5.11, didapatkan dari 76 responden penelitian yang memiliki persepsi baik terhadap implementasi SOP terkait pelaporan insiden keselamatan pasien adalah sebanyak 53 perawat atau sebesar 69,7%. Sedangkan responden yang memiliki persepsi kurang baik terhadap implementasi SOP terkait pelaporan insiden keselamatan pasien adalah sebanyak 23 perawat atau sebesar 30,3%. Hasil tabulasi silang diketahui perawat yang pernah melakukan insiden keselamatan pasien, paling banyak adalah perawat yang memiliki persepsi kurang baik terhadap implementasi
99
SOP terkait pelaporan insiden keselamatan pasien yaitu sebanyak 15 perawat atau sebesar 65,2%. Hasil distribusi jawaban perawat terkait implementasi SOP di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung dapat dilihat pada tabel 5.12 Tabel 5.12 Distribusi Jawaban Perawat Terkait Implementasi SOP di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung No
Pernyataan
1
Ketika terjadi insiden keselamatan pasien diharuskan untuk melaporkan insiden tersebut kepada Kepala unit terkait untuk mendapatkan tindak lanjut. Setelah ditindaklanjuti kejadian insiden keselamatan pasien, menyegerakan untuk membuat laporan insiden dengan mengisi formulir laporan insiden pada akhir jam kerja/shift kepada kepala unit terkait Ketika terjadi suatu insiden keselamatan pasien paling lambat dilaporkan selama 2 x 24 jam setelah terjadinya insiden keselamatan pasien Pelaporan insiden keselamatan pasien bertujuan untuk mengetahui penyebab insiden keselamatan pasien sampai pada akar masalahnya Setiap terjadi suatu insiden keselamatan pasien mendapatkan tindaklanjut dari Komite Keselamatan Pasien
2
3
4
5
STS 0
Jawaban TS S 0 29 (38,2%)
Total
SS 47 (61,8%)
76 (100%)
1 (1,3%)
0
45 (59,2%)
30 (39,5%)
76 (100%)
0
7 (9,2%)
45 (59,2%)
24 (31,6%)
76 (100%)
0
0
48 (63,2%)
28 (36,8%)
76 (100%)
0
5 (6,6%)
45 (59,2%)
26 (34,2%)
76 (100%)
Dari tabel 5.12 diketahui sebagian besar menyetujui bahwa pelaporan insiden keselamatan pasien bertujuan untuk mengetahui penyebab insiden keselamatan pasien sampai pada akar masalahnya sebanyak 48 perawat atau sebesar 63,2%. Namun, ada beberapa jawaban perawat yang perlu mendapatkan perhatian tentang implementasi SOP yaitu sebanyak 7 perawat 100
atau sebesar 9,2% tidak menyetujui ketika terjadi suatu insiden keselamatan pasien paling lambat dilaporkan selama 2 x 24 jam setelah terjadinya insiden keselamatan pasien dan setiap terjadi suatu insiden keselamatan pasien mendapatkan tindaklanjut dari Komite Keselamatan Pasien dan sebanyak 5 perawat atau sebesar 6,6%. F. Distribusi
Frekuensi
Insiden
Keselamatan
Pasien
Berdasarkan
Karakteristik Sifat Dasar Pekerjaan di Unit Rawat Inap Rumah Sakit AlIslam Bandung 1. Kerjasama Tim Kerjasama tim perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung digolongkan kedalam dua kategori yaitu kerjasama tim kurang baik dan kerjasama tim baik. Distribusi frekuensi insiden keselamatan pasien pada perawat berdasarkan kerjasama tim dapat dilihat pada tabel 5.13 Tabel 5.13 Distribusi Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Kerjasama Tim Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung Insiden Keselamatan Pasien Kerjasama
Pernah
Tim
Total
Tidak Pernah n
%
31,6%
19
100%
40
70,2%
57
100%
46
60,5%
76
100%
n
%
n
%
Kurang Baik
13
68,4%
6
Baik
17
29,8%
Total
30
39,5%
Dari tabel 5.13, didapatkan dari 76 responden penelitian yang memiliki kerjasama tim baik adalah sebanyak 57 perawat atau sebesar 75%. Sedangkan responden yang memiliki kerjasama tim kurang baik adalah
101
sebanyak 19 perawat atau sebesar 25%. Hasil tabulasi silang diketahui perawat yang pernah melakukan insiden keselamatan pasien, paling banyak adalah perawat yang memiliki kerjasama tim kurang baik yaitu sebanyak 13 perawat atau sebesar 68,4%. Hasil distribusi jawaban perawat terkait kerjasama tim di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung dapat dilihat pada tabel 5.14 Tabel 5.14 Distribusi Jawaban Perawat Terkait Kerjasama Tim di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung No 1 2
3 4 5
6
7
Pernyataan
STS 0
Jawaban Total TS S SS 0 39 37 76 (51,3%) (48,7%) (100%) 1 45 30 76 (1,3%) (59,2%) (39,5%) (100%)
Kami sesama staf di unit ini saling mendukung satu sama lain Jika banyak pekerjaan yang harus 0 diselesaikan dengan cepat, kami saling bekerja sama sebagai tim Saya merasa setiap orang di unit ini 0 0 44 32 76 saling menghargai satu sama lain (57,9%) (42,1%) (100%) Bila suatu area di unit ini sibuk, maka 3 8 43 22 76 perawat di area lain akan membantu (3,9%) (10,5%) (56,6%) (28,9%) (100%) Kami merasa ada kerja sama yang baik 1 3 47 25 76 antar unit di rumah sakit saat (1,3%) (3,9%) (61,8%) (32,9%) (100%) menyelesaikan pekerjaan bersama Unit satu dengan unit lain di rumah 26 33 7 10 76 sakit ini tidak berkoordinasi dengan (34,2%) (43,4%) (9,2%) (13,2%) (100%) baik Saya sering kali merasa tidak nyaman 26 37 7 6 76 bila harus bekerja sama dengan staf (34,2) (48,7%) (9,2%) (7,9%) (100%) unit lain di rumah sakit ini Dari tabel 5.14 diketahui sebagian besar menyetujui bahwa perawat merasa ada kerja sama yang baik antar unit di rumah sakit saat menyelesaikan pekerjaan bersama sebanyak 47 perawat atau sebesar 61,8%, jika banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dengan cepat, kami saling
102
bekerja sama sebagai tim sebanyak 45 perawat atau sebesar 59,2%, dan perawat merasa setiap orang di unit ini saling menghargai satu sama lain sebanyak 44 perawat atau sebesar 57,9%. Namun, ada beberapa jawaban perawat yang perlu mendapatkan perhatian tentang kerjsama tim yaitu sebanyak 17 perawat atau sebesar 22,4% menyetujui bahwa unit satu dengan unit lain di rumah sakit ini tidak berkoordinasi dengan baik. 2. Gangguan atau Interupsi yang Dialami oleh Perawat Gangguan atau interupsi yang dialami oleh perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung digolongkan kedalam dua kategori yaitu gangguan atau interupsi rendah dan gangguan atau interupsi tinggi. Distribusi frekuensi insiden keselamatan pasien berdasarkan gangguan atau interupsi yang dialami oleh perawat dapat dilihat pada tabel 5.15 Tabel 5.15 Distribusi Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Gangguan atau Interupsi yang Dialami oleh Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung Insiden Keselamatan Pasien Gangguan/
Pernah
Interupsi
Tidak Pernah
Total n
%
57,1%
28
100%
34
70,8%
48
100%
46
60,5%
76
100%
N
%
n
%
Tinggi
12
42,9%
16
Rendah
14
29,2%
Total
30
39,5%
Dari tabel 5.15, didapatkan dari 76 responden penelitian yang mengalami gangguan atau interupsi rendah adalah sebanyak 48 perawat atau sebesar 63,2%, Sedangkan responden yang mengalami gangguan atau interupsi tinggi adalah sebanyak 28 perawat atau sebesar 36,8%. Hasil
103
tabulasi silang diketahui sebanyak 16 perawat atau sebesar 57,1% yang mengalami gangguan atau interupsi tinggi tidak pernah melakukan insiden keselamatan pasien, sedangkan sebanyak 12 perawat atau sebesar 42,9% yang mengalami gangguan atau interupsi tinggi lebih sedikit yang pernah melakukan insiden keselamatan pasien. Hasil distribusi jawaban perawat terkait gangguan atau interuspi yang dialami oleh perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung dapat dilihat pada tabel 5.16 Tabel 5.16 Distribusi Jawaban Perawat Terkait Gangguan atau Interupsi yang Dialami oleh Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung No 1
2
3
Jawaban TP J SE Anda mendapatkan pekerjaan 30 33 12 lain di luar tugas dan tanggung (39,5%) (43,4%) (43,4%) jawab sebagai perawat pelaksana Pada saat bekerja melakukan 25 26 22 lebih dari satu pekerjaan dalam (32,9%) (34,2%) (28,9%) waktu yang sama Saya mendapatkan pekerjaan 30 33 12 lain yang harus dilakukan ketika (39,5%) (43,3%) (15,8%) sedang melaksanakan tugas Pernyataan
Total
SL 1 (1,3%)
76 (100%)
3 (3,9%)
76 (100%)
1 (1,3%)
76 (100%)
Berdasarkan tabel 5.16 diketahui sebagian besar perawat jarang mengalami gangguan atau interupsi pada saat melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Namun, ada beberapa jawaban perawat yang perlu mendapatkan perhatian tentang gangguan atau interupsi yaitu sebesar 28,9% pada saat bekerja selalu melakukan lebih dari satu pekerjaan dalam waktu yang sama.
104
BAB VI PEMBAHASAN A. Keterbatasan Penelitian Pada penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan antara lain: 1. Pengambilan data yang dilakukan kepada responden yang bertugas secara shift membuat peneliti harus meninggalkan atau menitipkan kuesioner kepada kepala unit untuk diberikan kepada perawat yang menjadi responden. Hal tersebut dapat memberi kesempatan kepada responden untuk menanyakan kepada rekannya dengan jawaban yang sama persis tanpa menjawab sesuai dengan pengalaman atau penilaian pribadi sehingga menimbulkan ketidaksesuaian atau bias antara data dengan kondisi keadaan di lapangan. 2. Pada penelitian ini tidak dilakukan validasi data laporan insiden keselamatan pasien terkait perawat yang pernah mekakukan insiden keselamatan pasien. 3. Instrumen penelitian pada item pertanyaan terkait pengetahuan perawat yakni berupa kuesioner yang diadopsi dan dimodifikasi oleh peneliti sendiri dari penelitian sebelumnya yang terkait dengan insiden keselamatan pasien dan bukan merupakan kuesioner standar, dimana seluruh pertanyaan dibuat berdasarkan tinjauan pustaka. Sehingga pertanyaan yang ditanyakan kepada responden memiliki kemungkinan belum mencakup secara detail dari aspek yang
menyangkut
menimimalisir
pengetahuan
keterbatasan
ini
perawat. dengan
Peneliti cara
sudah
membuat
berusaha pertanyaan
berdasarkan teori – teori yang ada, sehingga untuk menghindari bias maka 105
sebelum melakukan penelitian terlebih dahulu peneliti melakukan uji validitas dan uji reabilitas. 4. Untuk mengukur variabel stres perawat pada penelitian ini hanya terdiri dari 3 pernyataan terkait dukungan rekan kerja dan pimpinan, konsentrasi saat bekerja, dan jadwal kerja perawat yang diadopsi sebagian dari indikator stres Health and Safety Executive (HSE), tidak berdasarkan pada kuesioner Hamilton Rtaing Scale Anxiety (HRS – A) yang mengembangkan tiga gejala stres yaitu gejala psikologis, fisiologis, dan perilaku untuk mengukur tingkat stres kerja yang dialami oleh responden. 5. Untuk mengukur variabel kelelahan perawat pada penelitian ini terdiri dari 3 pernyataan terkait jumlah perawat di unit tempat bekerja, adanya beban kerja, dan jadwal kerja perawat, tidak berdasarkan pada Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan kerja (KAUPK2) yang terdiri dari 17 item pertanyaan untuk mengukur tingkat perasaan kelelahan kerja yang dialami oleh responden. B. Gambaran Insiden Keselamatan Pasien di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung pada Periode 2012-2016 Pasien yang dirawat di rumah sakit mempunyai hak untuk mendapatkan asuhan pasien yang aman melalui suatu sistem yang dapat mencegah terjadinya insiden keselamatan pasien. Berdasarkan PMK No. 1691 tahun 2011, keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien menjadi lebih aman. Sedangkan insiden keselamatan pasien merupakan suatu kejadian atau situasi yang tidak disengaja dan kondisi
106
yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien yang sebenarnya dapat dicegah. Hasil penelitian pada 76 perawat pelaksana yang bertugas di unit rawat inap, peneliti menemukan bahwa sebagian besar perawat tidak pernah melakukan insiden keselamatan pasien yaitu sebanyak 46 perawat atau sebesar 60,5%. Meskipun sebagian besar perawat tidak pernah melakukan insiden keselamatan pasien, akan tetapi masih ditemukan perawat yang pernah melakukan insiden keselamatan pasien yaitu sebanyak 30 perawat atau sebesar 39,5%. Hal ini berarti insiden keselamatan pasien masih terjadi di ruang perawatan. Dalam PMK No. 129 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit bahwa, insiden keselamatan pasien standarnya adalah 0% kasus atau 100% tidak terjadi di rumah sakit. Sehingga hal tersebut menunjukkan
belum
dapat
memenuhi
standar
yang
ditetapkan
dan
menggambarkan bahwa sebagian perawat dalam memberikan pelayanan asuhan perawatan kepada pasien di unit rawat inap belum mengutamakan aspek keselamatan pasien secara optimal dan mengindikasikan bahwa terdapat banyak kejadian yang potensi menimbulkan kerugian bahkan mengancam keselamatan pasien. Hasil penelitian ini diperkuat dari laporan insiden keselamatan pasien oleh Komite Keselamatan Rumah Sakit Al-Islam Bandung, yakni pada tahun 2013 terdapat sebanyak 108 insiden, tahun 2014 terdapat sebanyak 129 insiden, dan tahun 2015 terdapat sebanyak 105 insiden. Sebagian besar insiden keselamatan pasien yang dilaporkan terjadi di ruang rawat inap.
107
Didalam pelayanan kesehatan di rumah sakit seperti yang tertuang dalam UU No.44 tahun 2009 pasal 29 menyatakan bahwa rumah sakit berkewajiban memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan minimal rumah sakit. Sehingga semua insiden yang terjadi di rumah sakit merupakan tanggung jawab dari rumah sakit khususnya perawat dalam melakukan proses pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Terjadinya insiden keselamatan pasien di rumah sakit sekecil apapun kejadiannya haruslah segera ditangani, jika tidak hal ini akan memberikan dampak yang merugikan bagi pihak rumah sakit, staf, dan pasien sebagai penerima pelayanan. Adapun dampak yang ditimbulkan menurut Flynn (2002) dalam (Cahyono, 2008) adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan karena rendahnya kualitas atau mutu asuhan yang diberikan kepada pasien. Dampak lain yang dapat terjadi menurut Apriningsih (2013) adalah memperpanjang masa rawat, meningkatkan cidera, kematian, perilaku saling menyalahkan, konflik antara petugas dan pasien, tuntutan dan proses hukum, blow up media massa, dapat menurunkan citra dari sebuah rumah sakit, serta dapat mengindikasikan bahwa mutu pelayanan di rumah sakit masih kurang baik. Kondisi ini harus mampu diantisipasi oleh penyelenggara layanan kesehatan agar keselamatan pasien terjamin, kontinuitas pelayanan, dan organisasi tetap berjalan. Menurut Elrifda (2011), adanya insiden keselamatan pasien di rumah sakit memerlukan perhatian pihak manajemen dan petugas sendiri agar di masa
108
yang akan datang keselamatan pasien lebih ditingkatkan karena keselamatan pasien bukan hanya penting bagi pasien atau keluarganya, tetapi juga mempengaruhi eksistensi institusi dalam jangka panjang. Bila keselamatan pasien kurang diperhatikan sehingga menyebabkan kejadian tidak diinginkan dan merugikan pasien maka reputasi mutu rumah sakit akan berkurang di mata masyarakat. Efek domino dari permasalahan ini adalah promosi dari mulut ke mulut tentang kurangnya mutu pelayanan dikalangan masyarakat yang akan memperburuk reputasi rumah sakit hingga akhirnya masyarakat akan memilih rumah sakit lain untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Insiden keselamatan pasien pada penelitian ini meliputi: Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yaitu kejadian yang berakibat cidera, Kejadian Nyaris Cidera (KNC) yaitu kejadian yang berpotensial menimbulkan cidera, dan Kejadian Tidak Cidera (KTC) yaitu kejadian yang tidak menimbulkan cidera. Hasil penelitian pada 76 perawat pelaksana yang bertugas di unit rawat inap, peneliti menemukan bahwa dari 30 perawat atau sebesar 39,5% yang pernah melakukan insiden keselamatan pasien yaitu sebanyak 20 perawat atau sebesar 26,3% pernah melakukan KTD yang disebabkan karena pasien yang dirawat terjatuh dari tempat tidur sehingga pasien mengalami cedera karena tidak melakukan identifikasi dan pengelolaan risiko pasien sebanyak 17,1% dan komunikasi yang tidak efektif sehingga terjadi insiden yang merugikan pasien sebanyak 13,1%. Hasil analisis distribusi pernyataan perawat terkait KNC diketahui sebanyak 23 perawat atau sebesar 30,3% pernah melakukan KNC yang disebabkan karena pasien yang dirawat terjatuh dari tempat tidur tetapi pasien
109
tidak mengalami cedera sebanyak 18,7% dan terjadi kesalahan dalam pengisisan data rekam medik pasien sehingga melakukan kesalahan dalam pemberian tindakan tetapi pasien tidak mengalami cedera sebanyak 13,1%. Hasil analisis distribusi pernyataan perawat terkait KTC diketahui sebanyak 28 perawat atau sebesar 36,8% pernah melakukan KTC yang disebabkan karena terjadi kesalahan tindakan akibat pengisian rekam medik pasien sebanyak 32,9%% dan pasien yang dirawat hampir terjatuh dari tempat tidur tetapi tidak terjadi karena segera diketahui oleh petugas yang sedang berjaga sebanyak 30,3%. Berdasarkan jenisnya, insiden keselamatan pasien yang paling banyak terjadi adalah insiden KTC dibandingkan dengan insiden KNC dan insiden KTD. Hasil ini diperkuat pula dari data laporan insiden keselamatan pasien oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit Al-Islam Bandung pada tahun 2013, yakni terdapat sebanyak 72 KTC, 16 KNC, dan 18 KTD. Tahun 2014 terdapat sebanyak 96 KTC, 23 KNC, dan 9 KTD. Tahun 2015 terdapat sebanyak 66 KTC, 8 KNC, dan 28 KTD. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Mustikawati (2011) bahwa KTD lebih jarang terjadi dibandingkan dengan KNC sebesar 26,3% di Unit Perawatan Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta Tahun 2009 – 2010. Bentuk KTD dan KNC yang terjadi adalah 1) ketidaksesuaian identifikasi pasien seperti salah penulisan nomor medical record, penulisan nama pasien yang kurang tepat, penempelan stiker nama pasien tidak sama dengan penulisan manual, dan penulisan nomor kamar pasien yang salah, 2) kesalahan dalam
110
pemberian obat seperti salah pasien, salah dosis, dan salah jenis obat, 3) sampel darah pasien tertukar, dan 4) pasien jatuh. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, dari keseluruhan insiden keselamatan pasien yang pernah dilakukan oleh perawat yang paling banyak terjadi adalah insiden jatuh di ruang perawatan. Hal tersebut disebabkan perawat tidak melakukan identifikasi dan pengelolaan risiko pasien. Hasil ini didukung pula oleh data laporan insiden keselamatan pasien, bahwa jumlah insiden jatuh pada tahun 2013 terdapat 13 kasus, tahun 2014 terdapat 21 kasus, dan tahun 2015 terdapat 22 kasus. Hal ini berarti dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2015, insiden jatuh mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan hasil pengamatan pada saat penelitian, perawat pelaksana yang bertugas di unit rawat inap masih ditemukan belum melakukan asessment ulang atau pengkajian secara berkala sesuai dengan penilaian pada pasien yang memiliki risiko jatuh dan jika terjadi perubahan kondisi atau pengobatan. Hal tersebut belum sesuai dengan prosedur yang berlaku di Rumah Sakit Al-Islam Bandung yang seharusnya perawat harus melakukan assesment ulang atau pengkajian secara berkala. Selain itu, pada pengisian formulir pengkajian ulang untuk pasien yang memiliki resiko jatuh, perawat tidak melakukan penilaian yang dilengkapi dengan waktu pelaksanaan pengkajian. Hal tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan insiden jatuh karena terjadinya perubahan kondisi pasien atau pengobatan. Selanjutnya, berdasarkan hasil investigasi sederhana yang dilakukan oleh staf Sub Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit Al-Islam Bandung ditemukan pula bahwa terjadinya insiden jatuh disebabkan pasien atau keluarga
111
pasien tidak memberitahu perawat yang sedang berjaga ketika pasien akan meninggalkan tempat tidur untuk meminta bantuan mendampingi pasien. Hal ini dikarenakan perawat belum melakukan edukasi kepada pasien dan keluarga pasien mengenai faktor risiko jatuh di lingkungan rumah sakit dan meminta persetujuan keikutsertaan untuk mengikuti strategi pencegahan jatuh sepanjang keperawatan pasien melalui pengisian formulir yang telah ditetapkan. Edukasi tersebut meliputi pemberian informasi kepada pasien dan keluarga pasien dalam semua aktifitas sebelum memulai penggunaan alat bantu dan mengajarkan pasien untuk menggunakan pegangan dinding baik di kamar mandi atau pegangan pasien di dinding koridor bangsal. Dampak terburuk dari terjadinya insiden jatuh menurut Stanley (2006), yakni beberapa kasus di antaranya berakibat pada kematian dan luka berat. Insiden jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik, dan psikologis. Kerusakan fisik yang paling ditakuti dari insiden jatuh adalah patah tulang panggul. Jenis patah tulang lain yang sering terjadi akibat jatuh adalah patah tulang pergelangan tangan, lengan atas dan pelvis, serta kerusakan jaringan lunak. Dampak psikologis selain cedera fisik, yakni syok pasca jatuh dan rasa takut akan terjatuh lagi yang dapat memiliki banyak konsekuensi termasuk ansietas, hilangnya rasa percaya diri, pembatasan dalam aktivitas sehari-hari, dan falafobia atau fobia jatuh. Menurut Potter dan Perry (2009), beberapa intervensi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya insiden jatuh pada pasien antara lain: 1) mengorientasikan pasien pada saat masuk rumah sakit dan menjelaskan sistem komunikasi yang ada, 2) bersikap hati – hati saat mengkaji pasien dengan
112
keterbatasan gerak, 3) melakukan supervisi ketat pada awal pasien dirawat terutama malam hari, 4) menganjurkan menggunakan bed bila membutuhkan bantuan, 5) memberikan alas kaki yang tidak licin, 6) memberikan pencahayaan yang adekuat, 7) memasang pengaman tempat tidur terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran dan gangguan mobilitas, dan (8) menjaga lantai kamar mandi agar tidak licin. Dalam penilaian Akreditasi versi 2012, sebuah rumah sakit memerlukan elemen
penilaian
untuk
mengurangi
risiko
jatuh.
Elemen
penilaian
pengurangan risiko jatuh meliputi: 1) rumah sakit melakukan proses assesmen awal atas pasien terhadap risiko jatuh dan melakukan asessmen ulang pasien bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau pengobatan, dan lain – lain, 2) langkah – langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang pada hasil asessmen berisiko jatuh, 3) langkah – langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak dari kejadian yang tidak diharapkan, dan 4) kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh dirumah sakit. Upaya yang dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah dan mengurangi terjadinya insiden keselamatan pasien di rumah sakit yaitu melalui penerapan program keselamatan pasien. Sistem dalam keselamatan pasien dalam PMK No. 1691 tahun 2011 meliputi: assessmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, serta kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko.
113
Selain itu, dalam Permenkes No. 1691 tahun 2011 disebutkan bahwa setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan sasaran keselamatan pasien. Sasaran keselamatan pasien rumah sakit yang saat ini digunakan mengacu pada “Nine Life Saving Patient Safety Solutions” dari WHO Patient Safety tahun 2007 yang juga digunakan oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI), terdiri dari: 1) ketepatan identifikasi pasien, 2) peningkatan komunikasi secara efektif, 3) peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, 4) kepastian tepat lokasi tepat prosedur dan tepat pasien operasi, 5) pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan, dan 6) pengurangan risiko pasien jatuh. Sistem tersebut diharapkan dapat meminimalisir atau mencegah risiko terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan, sehingga dapat belajar dari persitiwa yang tidak diharapkan, nyaris terjadi, dan akan terjadi. Menurut Kohn (2000), inti dari sistem keselamatan pasien adalah belajar. Proses belajar dan perbaikan yang berkelanjutan mengacu pada pembelajaran dari kesalahan (error). Bagaimana terjadi dan bagaimana tindakan pencegahan yang harus dilakukan supaya kesalahan tidak terulang kembali. Organisasi kesehatan harus membuat dan memelihara lingkungan dan sistem untuk menganalisa kesalahan yang terjadi.
114
C. Gambaran Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Karakteristik Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung 1. Usia Usia menjadi salah satu faktor yang berkontribusi dalam terjadinya insiden keselamatan pasien. Semakin muda usia perawat memiliki kecenderungan menimbulkan terjadinya insiden keselamatan pasien dibandingkan dengan usia perawat yang lebih tua. Perawat yang berusia > 30 tahun biasanya jauh lebih terampil karena cenderung berhati – hati dan sangat memperhatikan pelayanan yang diberikan kepada pasien sebagai penerima pelayanan (Mulyana, 2013). Dalam penelitian ini, responden dengan usia termuda di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung adalah 22 tahun dan perawat tertua berusia 45 tahun. Rata – rata responden dalam tahap usia dewasa muda yaitu 20 sampai 40 tahun yang merupakan usia dimana perkembangan puncak dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki serta kebiasaan berfikir rasionalnya akan meningkat (Potter, 2005). Kondisi ini akan memengaruhi perawat dalam meengaplikasikan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kreativitas yang dimiliki termasuk dalam menerapkan keselamatan
pasien
sehingga
dapat
mencegah
terjadinya
insiden
keselamatan pasien di rumah sakit pada saat memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. Sehingga usia perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung saat ini sebagian besar termasuk usia yang ideal dalam bekerja.
115
Hasil penelitian didapatkan pula bahwa perawat yang berusia ≤ 30 tahun cenderung pernah melakukan insiden keselamatan pasien sebanyak 25 perawat atau sebesar 53,2% dibandingkan perawat yang berusia > 30 tahun. Perawat yang berusia ≤ 30 tahun tersebut masih dikategorikan dewasa muda yang kemungkinan lebih besar memberikan sumbangsi terhadap terjadinya insiden keselamatan pasien. Hal ini menunjukkan semakin muda usia perawat,
maka
semakin
berisiko
menimbulkan
terjadinya
insiden
keselamatan pasien. Menurut Teori Robbins (2003), usia dapat memengaruhi kondisi fisik, mental, kemampuan kerja, dan tanggung jawab seseorang. Hal tersebut berarti bahwa semakin dewasa usia perawat, maka semakin baik kinerjanya dalam memberikan asuhan keperawatan yang aman atau tidak melakukan kesalahan yang menyebabkan insiden keselamatan pasien pada saat memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. Staf dengan usia muda umumnya memiliki kekurangan karena cepat bosan, kurang tanggung jawab, dan turn over tinggi. Staf dengan usia lebih tua kondisi fisiknya kurang tetapi bekerja lebih ulet, tanggang jawab besar, dan turn over rendah. Upaya yang dapat dilakukan oleh pihak Manajemen Rumah Sakit AlIslam Bandung yaitu memberikan perhatian khusus pada perawat yang berusia muda (< 30 tahun), misalnya dengan diberikan pengawasan dan bimbingan langsung oleh supervisor. Supervisi adalah melakukan pengamatan secara langsung dan berkala oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh bawahan untuk kemudian apabila ditemukan masalah segera diberikan petunjuk dan bimbingan atau bantuan yang bersifat
116
langsung guna mengatasinya (Gibson, 1996 dalam Aprilia 2016). Supervisor menginformasikan kepada staf hasil monitoring yang telah dilakukan. Bila terjadi penyimpangan, supervisor akan mendiskusikan masalah tersebut bersama dengan pihak terkait dan hasilnya dilaporkan kepada pimpinan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan tindak lanjut. 2. Pengetahuan Menurut Kuncoro (2012), dalam menerapkan keselamatan pasien di rumah sakit ada beberapa aspek yang harus dibangun, salah satunya yakni aspek pengetahuan. Pengetahuan perawat tentang keselamatan pasien sangat penting untuk mendorong pelaksanaan program keselamatan pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar perawat memiliki pengetahuan baik yaitu sebanyak 57 perawat atau sebesar 75%. Meskipun dalam
penelitian
ini
pengetahuan
perawat
hanya
diukur
dengan
menggunakan kuesioner terdiri dari 9 pertanyaan yang meliputi: konsep keselamatan pasien, pengetian keselamatan pasien, cara pelaporan insiden keselamatan pasien, dan tindakan yang betujuan pada keselamatan pasien yang memiliki kemungkinan belum mencakup secara detail dari aspek yang menyangkut pengetahuan perawat. Namun, ditemukan beberapa responden yang masih salah dalam menjawab pertanyaan yang diajukan yakni sebesar 51,3% belum mengetahui sejak kapan pelaksanaan keselamatan pasien di Rumah Sakit Al-Islam Bandung, 32,9% salah dalam menjawab sistem keselamatan pasien, dan 32,9% salah dalam menjawab waktu paling lambat
117
pelaporan setiap terjadi insiden keselamatan pasien di rumah sakit selama 2 x 24 jam. Menurut Gunibala (2015), pengetahuan merupakan faktor penting dalam
seseorang
mengambil
keputusan,
namun
tidak
selamanya
pengetahuan seseorang bisa menghindarkan dirinya dari kejadian yang tidak diinginkannya. Misalnya, perawat yang tingkat pengetahuannya baik, tidak selamanya menerapkan keselamatan pasien dengan baik karena segala tindakan yang dilakukan berisiko menimbulkan terjadinya kesalahan. Faktor lainnya adalah kurangnya minat belajar perawat, yakni perawat yang tidak mempunyai keinginan untuk mengakses teori – teori baru dalam bidang keperawatan khususnya mengenai keselamatan pasien. Adapun Meliono (2007) berpendapat bahwa seseorang yang kurang memahami sesuatu tidak dapat melakukan tindakan dengan baik. Hasil penelitian ini menunjukkan hal serupa, bahwa perawat yang memiliki pengetahuan kurang baik cenderung pernah melakukan insiden keselamatan pasien sebanyak 17 perawat atau sebesar 89,5% dibandingkan perawat yang memiliki pengetahuan baik. Asumsi pertama peneliti mencoba meninjau dari usia perawat. Pada penelitian ini, proporsi responden paling banyak pada perawat yang berusia kurang dari 30 tahun yaitu sebanyak 47 perawat atau sebesar 61,8% dan 25 perawat atau sebesar 53,2% diantaranya pernah melakukan insiden keselamatan pasien. Dari hal tersebut, peneliti berasumsi bahwa perawat yang masih memiliki pengetahuan kurang dapat disebabkan karena masa kerja yang masih singkat sehingga perawat belum dapat menerapkan pengetahuan mengenai keselamatan pasien dengan baik.
118
Perawat dengan masa kerja lebih lama cenderung memiliki pengalaman kerja lebih banyak dibandingkan perawat yang baru bekerja. Lama kerja di unit keperawatan menentukan banyaknya pengalaman perawat mengenail keselamatan pasien yang telah atau hampir dialami. Pengalaman bekerja banyak memberikan keahlian dan keterampilan kerja. Hal ini sejalan dengan penelitian Aprilia (2011), perawat dengan masa kerja lebih lama akan lebih memahami pentingnya penerapan IPSG agar terhindar dari kejadian – kejadian tidak diharapkan yang dapat membahayakan pasien. Penelitian yang dilakukan oleh Sofyan (2010), pada umumnya ditemukan bahwa pengetahuan seseorang yang sangat baik dipengaruhi oleh meningkatnya usia seseorang, akan tetapi dari hasil penelitiannya diketahui bahwa tingkat pengetahuan yang sangat baik lebih didominasi oleh perawat yang berusia 20 – 40 tahun. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan pengetahuan seseorang diantaranya: lingkungan sekitar seseorang, pergaulan sehari – hari, dan kemampuan belajar seseorang. Selain itu, dalam penelitiannnya memaparkan bahwa sumber informasi yang didapat mempengaruhi pengetahuan petugas kesehatan mengenai keselamatan pasien. Tingkat pengetahuan yang kurang disebabkan karena petugas kesehatan tidak pernah mendengar tentang keselamatan pasien dan tidak mendapatkan sumber informasi tentang keselamatan pasien. Dengan semakin banyaknya seseorang mendapatkan informasi dari berbagai sumber maka pengetahuan akan semakin baik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Notoatmodjo bahwa ketersediaan fasilitas merupakan faktor yang memudahkan untuk mempengaruhi tingkat
119
pengetahuan seseorang. Dalam hal ini yang dimaksud dengan ketersediaan fasilitas adalah sumber informasi. Selain itu, adanya perawat yang masih memiliki pengetahuan yang kurang mengenai keselamatan pasien dalam penelitian ini dapat disebabkan oleh kurangnya pelatihan sehingga belum mampu untuk menerapkan pengetahuan yang ada. Menurut Lubis (2007), perawat yang tidak mendapat pelatihan/pembelajaran mempunyai kecenderungan lebih besar untuk melakukan tindakan tidak aman yang menjadi salah satu pemicu terjadinya insiden keselamatan pasien. Hal tersebut diperkuat dari pelatihan yang dilaksanakan oleh Sub Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit Al-Islam Bandung ditemukan belum semua perawat mendapatkan pelatihan terkait keselamatan pasien, sehingga pelatihan yang telah dilaksanakan belum maksimal disampaikan kepada seluruh perawat. Adapun perawat yang telah mendapatkan 1 kali pelatihan tentang keselamatan pasien karena rumah sakit sedang mempersiapkan untuk Akreditasi Rumah Sakit Nasional Versi 2012. Upaya dalam meningkatkan pengetahuan yang bersifat tetap merupakan suatu hal yang penting khususnya dalam konteks keselamatan pasien. Hal tersebut didukung oleh pendapat Notoatmodjo (2009) bahwa, pengetahuan yang menunjang keterampilan perlu diberikan agar staf dapat melakukan
tugasnya
berdasarkan
teori
–
teori
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. Sejalan dengan hal tersebut Henriksen (2008) juga menyatakan bahwa, keterbatasan pengetahuan sumber daya manusia memiliki peran penting dalam menyebabkan keterbatasan institusi
120
pelayanan untuk mengelola pelayanan yang berorientasi pada keselamatan pasien. Hal ini berarti bahwa keterbatasan pengetahuan merupakan hal penting yang sangat perlu dipertimbangkan demi keamanan asuhan yang diberikan oleh tenaga kesehatan termasuk perawat. Pada intinya, pengetahuan yang baik dapat menjadi tolak ukur dari suatu pelaksanaan, maka pelaksanaan yang baik dan benar harus didasari oleh pengetahuan dan pengalaman. Semakin baik pengetahuan perawat tentang keselamatan pasien, maka akan baik pula penerapan keselamatan pasien sehingga kesalahan – kesalahan yang mengancam keselamatan pasien dapat dihindari atau diminimalisir. Dalam KPPRS (2008), terdapat suatu standar untuk mendidik staf tentang keselamatan pasien yaitu: a. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan, dan orientasi untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas. b. Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf, serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien dengan kriteria sebagai berikut: 1) Memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik keselamatan pasien. 2) Mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan in service training dan memberikan pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden.
121
c. Menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani pasien. Dengan demikian, upaya yang dapat dilakukan oleh Sub Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit Al-Islam Bandung yaitu melalui pelatihan. Pelatihan diberikan kepada perawat di unit rawat inap terutama perawat yang masih memiliki tingkat pengetahuan kurang mengenai keselamatan pasien dan perawat yang termasuk dalam dewasa muda didorong agar lebih memiliki kemampuan mengenai keselamatan pasien dengan cara diberikan pelatihan secara berkala agar keselamatan pasien diterapkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan perawat mengenai keselamatan pasien dalam memberikan
asuhan keperawatan
yang
berkualitas kepada pasien, sehingga meningkatkan profesionalisme pada perawat yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dalam pelayanan yang diberikan menjadi lebih aman kepada pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Setiap kali ada pelatihan tentang keselamatan pasien harus dilakukan pretest dan post test agar dapat dimonitor seberapa jauh perkembangan pengetahuan perawat tentang keselamatan pasien. Hal ini pun disampaikan oleh Rivai dan Sagala (2009), pelatihan memiliki peranan yang sangat penting dalam mencegah terjadinya insiden keselamatan pasien. Pelatihan sebagai bagian dari pendidikan yang menyangkut
proses
belajar
untuk
122
memperoleh
dan
meningkatkan
keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat. Pelatihan terkait keselamatan pasien merupakan suatu upaya untuk mencegah atau meminimalisir kesalahan – kesalahan yang mengancam keselamatan pasien. Pelatihan yang diberikan tersebut meliputi standar keselamatan pasien rumah sakit dan pelaksanaan sasaran keselamatan pasien. Menurut PMK No. 1691 tahun 2011, sasaran keselamatan pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) terdiri dari: 1) ketepatan identifikasi pasien, 2) peningkatan komunikasi yang efektif, 3) peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, 4) kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien operasi, 5) pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan, dan 6) pengurangan risiko pasien jatuh. Tujuan dari sasaran keselamatan pasien adalah mendorong perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian – bagian yang bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas permasalahan ini. Untuk mengantisipasi hasil yang bias terkait pengukuran pada variabel pengetahuan
perawat
maka
peneliti
menyarankan
kepada
peneliti
selanjutnya, untuk mengukur pengetahuan perawat mencakup secara detail yang meliputi: manfaat keselamatan pasien, standar keselamatan pasien, jenis insiden keselamatan pasien, pelaporan insiden keselamatan pasien, dan 6 sasaran keselamatan pasien yang terdiri dari: 1) ketepatan identifikasi pasien, 2) peningkatan komunikasi yang efektif, 3) peningkatan keamaman
123
obat yang perlu diwaspadai, 4) kepastian tepat lokai tepat prosedur dan tepat pasien operasi, 5) pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan, dan 6) pengurangan risiko pasien jatuh. 3. Stres Pada titik tertentu dalam dunia pekerjaan banyak orang yang akan mengalami stres terkait pekerjaan. Stres dipengaruhi oleh keseimbangan antara persepsi terhadap tuntutan seseorang misalnya dengan beban kerja yang ada dengan bagaimana menilai sumberdaya untuk memenuhi tuntutan tersebut. Ketika tuntutan dirasa lebih utama dari kemampuan, seseorang akan mengalami efek tidak menyenangkan, seperti kelelahan atau perasaan lelah, konsentrasi kurang, dan mudah tersinggung (Arfan, 2014). Menurut Houtman (2005), stres kerja umumnya lebih banyak dikeluhkan oleh petugas kesehatan seperti perawat. Kesiagaan setiap saat dari seorang perawat dalam menangani pasien, serta situasi pekerjaan dan beban kerja yang ada membuat perawat mengalami tekanan yang membuat stres. Profesi perawat merupakan profesi yang membutuhkan keterampilan tingkat tinggi dan juga membutuhkan kerjasama tim dalam berbagai situasi, sehingga profesi ini di dalam tempat kerja memiliki banyak stresor. Stres perawat yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu suatu keadaan yang dapat memicu reaksi psikologis pemberi pelayanan kesehatan. Untuk mengukur variabel stres perawat, pada penelitian ini hanya terdiri dari 3 pernyataan terkait dukungan rekan kerja dan pimpinan, konsentrasi saat bekerja, dan jadwal kerja perawat yang diadopsi sebagian dari indikator stres Health and Safety Executive (HSE).
124
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar perawat mengalami stres rendah yaitu sebanyak 62 perawat atau sebesar 81,6%. Sedangkan perawat yang mengalami stres tinggi yaitu sebanyak 14 perawat atau sebesar 18,4% dan sebanyak 11 perawat atau sebesar 78,6% diantaranya cenderung pernah melakukan insiden keselamatan pasien. Hal ini menunjukkan semakin perawat mengalami stres, maka semakin berisiko menimbulkan terjadinya insiden keselamatan pasien. Hasil distribusi jawaban perawat bahwa penyebab stres yang dialami perawat disebabkan karena jadwal kerja yang tidak memungkinkan untuk memulihkan semangat kerjanya sebesar 25%. Hal tersebut diduga disebabkan oleh jadwal kerja dan peraturan di rumah sakit yang menuntut perawat bekerja lebih lama dari waktu yang seharusnya dan perawat juga melakukan pekerjaan yang kompleks dengan ketersediaan waktu yang cukup singkat, namun hal tersebut tetap menjadikan setiap pelayanan yang diberikan
oleh
perawat
harus
berwaspada
dalam
mengutamakan
keselamatan pasien. Stres merupakan respon tubuh yang bersifat tidak spesifik terhadap setiap tuntutan atau beban atasnya. Stres terjadi apabila seseorang mengalami beban atau tugas yang berat orang tersebut tidak dapat mengatasi tugas yang dibebankan, maka tubuh akan berespon dengan tidak mampu terhadap tugas tersebut sehingga mengalami stres. Penyebab suatu stres dapat berasal dari lingkungan baik secara fisik, psikososial, maupun spiritual. Sumber stres yang lain adalah berasal dari 1) di dalam diri sendiri, yakni dikarenakan konflik yang terjadi antara keinginan dan kenyataan
125
berbeda, dalam hal ini permasalahan yang terjadi tidak sesuai dengan dirinya dan tidak mampu diatasi maka dapat menimbulkan suatu stres, dan 2) di dalam masyarakat, sumber stres ini dapat terjadi di lingkungan atau masyarakat pada umumnya seperti lingkungan pekerjaan karena beban kerja, tanggung jawab kerja, dan keamanan kerja (Bart Smet, 1993 dalam Tobing, 2007). Penelitian National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) dalam Widyasari (2010) mengungkapkan bahwa profesi perawat merupakan profesi yang memiliki resiko tinggi terhadap stres, kondisi ini terjadi karena perawat memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat tinggi terhadap keselamatan nyawa manusia. Selain itu, penelitiannya juga mengungkapkan bahwa pekerjaan perawat memiliki karakteristik yang cukup sulit karena tekanan dan tuntutan kerja yang tinggi. Karakteristik tersebut terdiri dari: 1) otoritas bertingkat ganda, 2) heterogenitas personalia, 3) ketergantungan dalam pekerjaan dan spesialisasi, 4) budaya kompetitif di rumah sakit, 5) jadwal kerja yang ketat dan harus siap kerja setiap saat, dan 6) tekanan – tekanan dari teman sejawat. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Tarigan (2004) yang melakukan penelitian di bagian ruang bedah RSU Santa Elisabeth Medan bahwa perawat mengalami stres kerja disebabkan komunikasi dengan atasan dan teman kerja tidak baik, mudah bosan, merasa tidak puas terhadap sesuatu yang salah dan beban kerja untuk gaji, merasa tidak seefisien sebagaimana mestinya, merasa tidak mempunyai perasaan secara emosional terhadap masalah dan kebutuhan orang lain, frustasi dalam melaksanakan
126
pekerjaaan, dan faktor individu yakni umur, lama kerja, serta lingkungan psikososial yakni hubungan personal. Hasil survei dari PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) tahun 2006, sekitar 50,9% perawat yang bekerja di 4 provinsi di Indonesia mengalami stres kerja, sering pusing, lelah, tidak bisa beristirahat karena beban kerja terlalu tinggi dan menyita waktu. Stres kerja pada perawat merupakan salah satu permasalahan dalam manajemen sumber daya manusia di Rumah Sakit. Stress kerja adalah suatu tekanan yang tidak dapat ditoleransi oleh individu baik yang bersumber dari dirinya sendiri mapun dari luar dirinya. Penyebab stres bersumber dari biologis, psikologik, sosial, dan spritual. Stres kerja adalah perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan, yang disebabkan oleh stresor yang datang dari lingkungan kerja seperti faktor lingkungan, organisasi dan individu (Widyasari, 2010). Menurut Manojlovich (2007), stres di tempat kerja memiliki efek yang negatif pada kesehatan mental dan kesejahteraan fisik perawat. Perawat yang mengalami stres kerja yang tinggi, tidak dapat menunjukkan kinerja yang optimal. Hasil penelitian Olaleye (2002) mengungkapkan bahwa stres pekerjaan
berpengaruh
sigifikan
terhadap
kondisi
kesehatan
dan
kemampuan perawat dalam melayani pasien. Pengaruh stres pada kesehatan fisik muncul dalam bentuk, yakni sakit kepala, sakit punggung atau leher, nyeri otot, tekanan darah tinggi, sedangkan pengaruhnya terhadap kondisi psikis adalah munculnya perasaan cemas, merasa tertekan, kurang konsentrasi, dan kesulitan dalam membuat keputusan. Dari gambaran
127
tersebut diketahui bahwa, kesehatan fisik dan mental dipengaruhi oleh stres kerja yang secara tidak langsung akan mempengaruhi konsentrasi dan kinerja dari perawat itu sendiri sehingga berpengaruh ketika melayani pasien. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi stres kerja, yakni dengan melakukan manajemen stres. Manejemen stres penting untuk diterapkan di unit kerja dimana perawat mengalami stres kerja demi mengurangi angka insiden keselamatan pasien. Guna mengelola stres dengan baik ada beberapa cara yang direkomendasikan oleh para ahli berdasarkan kebutuhan dan tingkat stres yang dialami. Salah satunya, WHO (2009) menyatakan bahwa stres dapat dicegah dengan tiga cara, yakni secara primer, sekunder (mendeteksi dan mengelola gejala), dan tersier (efek stres yang dapat diobati). Untuk melakukan identifikasi risiko dapat dikelola dengan berbagai cara, misalnya dengan memastikan tingkat staf yang memadai dan memberikan pelatihan yang tepat. Selain itu, organisasi dapat mengurangi stres di tempat kerja, misalnya dengan memungkinkan periode pemulihan setelah periode beban kerja yang tinggi dan memberikan peran atau tugas yang jelas atau meningkatkan kesempatan untuk mendapatkan promosi jabatan. Upaya yang dapat dilakukan oleh pihak manajemen Rumah Sakit AlIslam Bandung untuk menurunkan stres yang dialami oleh perawat yaitu mendesain kembali beban kerja dengan melihat kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang tersedia dengan memperhatikan shift atau jadwal kerja pada perawat. Hal ini direkomendasikan dari penelitian Jones &
128
Johnston (dalam McVicar, 2003) program yang dapat dilakukan untuk mengurangi stres yakni 1) meninjau ulang mendesain kembali beban kerja dengan melihat kuantitas SDM yang tersedia, 2) perlu diperhatikan shift atau jadwal kerja, 3) model kepemimpinan atau manajemen yang berlaku pada organisasi, dan 4) manajemen konflik yang kondusif. Selain itu, untuk mengantisipasi hasil yang bias terkait pengukuran pada variabel stres perawat, maka peneliti menyarankan kepada peneliti selanjutnya untuk mengukur stres perawat dengan menggunakan kuesioner HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale) yang mengembangkan tiga gejala stres yaitu gejala psikologis, fisiologis, dan perilaku untuk mengukur tingkat stres kerja yang dialami oleh responden. Menurut Suparyanto (2011), tingkat stres dapat dikelompokkan dengan menggunakan kriteria HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale). Unsur yang dinilai antara lain: perasaan ansietas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan kecerdasan, perasaan
depresi,
gejala
somatik,
gejala
respirasi,
gejala
gejala
kardiovaskuler, gejala respirasi, gejala gastrointestinal, gejala urinaria, gejala otonom, gejala tingkah laku. 4. Kelelahan Menurut Budiono (2003), kelelahan merupakan suatu kondisi yang disertai penurunan efisiensi dan kebutuhan dalam bekerja. AHRQ (2003) mengungkapkan
bahwa
dampak
kelelahan
yang
dialami
perawat
mengakibatkan medical error. Lingkungan kerja dan pekerjaan perawat dapat menjadi sumber kelelahan perawat.
129
Kelelahan perawat yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu suatu keadaan yang dapat memicu reaksi psikologis pemberi pelayanan kesehatan. Untuk mengukur variabel stres perawat, pada penelitian ini hanya terdiri dari 3 pernyataan terkait jumlah perawat di unit tempat bekerja, adanya beban kerja, dan jadwal kerja perawat. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar perawat mengalami kelelahan rendah yaitu sebanyak 47 perawat atau sebesar 61,8%. Sedangkan perawat yang mengalami kelelahan tinggi yaitu sebanyak 29 perawat atau sebesar 38,3% dan sebanyak 16 perawat atau sebesar 55,2% diantaranya cenderung pernah melakukan insiden keselamatan pasien. Hal ini menunjukkan semakin perawat mengalami kelelahan, maka semakin berisiko menimbulkan terjadinya insiden keselamatan pasien. Hasil distribusi jawaban perawat bahwa penyebab kelelahan yang dialami disebabkan karena perawat melakukan kesalahan dalam pelayanan pasien karena bekerja melebihi dari ketentuan yang ada dan terlalu banyak tugas yang harus dikerjakan sebesar 48,7%, sehingga hal tersebut dapat menurunkan kewaspadaan yang pada akhirnya perawat mengalami kelelahan. Selain itu, asumsi peneliti mencoba meninjau dari stres yang dialami oleh perawat. Pada penelitian ini, proporsi responden yang mengalami stres tinggi yaitu sebanyak 14 perawat atau sebesar 18,4% dan sebanyak 11 perawat atau sebesar 78,6% diantaranya cenderung pernah melakukan insiden keselamatan pasien. Dari hal tersebut, peneliti berasumsi bahwa adanya perawat yang mengalami kelelahan dapat dipengaruhi stres yang dialami oleh perawat. Menurut Widyananti (2010), salah satu
130
hambatan yang akan timbul oleh karena adanya stres yang dialami perawat adalah kelelahan. Kelelahan dapat diartikan sebagai suatu kondisi menurunnya efisiensi, performasi kerja, dan berkurangnya kekuatan atau ketahanan fisik tubuh untuk terus melanjutkan kegiatan yang harus dilakukan. Kelelahan kerja dapat menimbulkan beberapa keadaan yaitu prestasi kerja yang menurun, fungsi fisiologis motorik dan neural yang menurun, badan terasa tidak enak disamping semangat kerja yang menurun. Perasaan kelelahan di tempat kerja cenderung meningkatkan terjadinya kesalahan, sehingga dapat merugikan diri perawat maupun rumah sakit karena adanya penurunan produktivitas kerja. Kelelahan kerja memiliki gejala-gejala seperti, menguap, mengantuk, susah berfikir, cenderung untuk lupa, merasa nyeri di punggung, dan lain-lain. Selain itu kelelahan kerja memiliki beberapa faktor yang mempengaruhi, seperti usia, jenis kelamin, penyakit, keadaan psikis tenaga kerja, dan beban kerja. Adapun menurut AHRQ (2003), sumber kelelahan dapat ditimbulkan dari pengaturan shift kerja, jam kerja, rotasi, lama kerja, karakteristik pekerjaan, pengaturan waktu istirahat, beban kerja, kondisi kerja, dan iklim kerja. Adapun Sochalski (2004) berpendapat bahwa perawat yang mengemban beban kerja lebih tinggi dilaporkan lebih sering melakukan kesalahan dan mengalami kejadian pasien jatuh pada saat mereka berdinas. Kelelahan yang dialami perawat karena bekerja dengan waktu yang terlalu lama dan pengaruh stres yang dapat menurunkan kewaspadaan (Henriksen et al., 2008).
131
Peters and Peter (2008) menyatakan bahwa salah satu penyebab medical error disebabkan faktor manusia akibat kelelahan yang dialami. Jam kerja yang lama dan kelebihan beban kerja dapat memungkinkan menimbulkan gejala fisik dan mental seperti merakan kelelahan dan kecerobohan kognitif. Perasaan subjektif dari kelelahan mengacu pada rasa kelelahan, kekurangan energi, dan mengurangi motivasi yang disertai dengan kewaspadaan mental yang menurun, gangguan prestasi kerja, meningkatnya rasa kantuk, tertidur pada saat bekerja, dan pada tingkat yang lebih tinggi dapat menyebabkan kecelakaan. Adapun AHRQ (2003) menyatakan bahwa sumber kelelahan dapat ditimbulkan dari pengaturan shif kerja, jam kerja, rotasi, lama kerja, karakteristik pekerjaan, pengaturan waktu istirahat, beban kerja, kondisi kerja, dan iklim kerja. Menurut Haryanti (2013), dampak negatif dari beban kerja yang berlebihan adalah kemungkinan timbulnya emosi perawat yang tidak sesuai dengan yang diharapkan pasien. Bila beban kerja seorang perawat tinggi, maka sangat berpengaruh besar dalam memberikan pelayanan keperawatan di unit rawat inap karena berpotensi besar perawat melakukan kesalahan terkait keselamatan pasien. Jika seorang perawat salah dalam menentukan prioritas utama pasien, maka pasien akan beresiko tinggi mengalami kecacatan bahkan kematian. Dampak beban kerja yang dirasakan perawat adalah sering merasa lelah, tidak dapat rileks, otot tengkuk, dan punggung tegang. Kadang – kadang perawat mudah marah, sulit tidur, dan sulit berkonsentrasi, selain itu konsekuensi dari beban kerja yang dialami perawat
132
yakni kurang responsif dan kurang memperhatikan aspek psikologis, serta emosi pasien. Upaya yang dapat dilakukan oleh pihak Manajemen Rumah Sakit AlIslam Bandung untuk memotivasi perawat dalam upaya meningkatkan semangat kerja perawat sehingga memberikan asuhan keperawatan kepada pasien menjadi lebih aman yaitu mengupayakan pendidikan lanjut keperawatan minimal sampai S1 Keperawatan sebagai bentuk suatu reward atas kinerja yang telah diberikan selama bekerja. Selain itu, untuk mengantisipasi hasil yang bias terkait pengukuran pada variabel kelelahan perawat, maka peneliti menyarankan kepada peneliti
selanjutnya
untuk
mengukur
kelelahan
perawat
dengan
menggunakan Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja (KAUPK2). KAUPK2 merupakan parameter untuk mengukur perasaan kelelahan kerja sebagai gejala subjektif yang dialami pekerja dengan perasaan yang tidak menyenangkan. Keluhan yang dialami pekerja setiap harinya membuat mereka mengalami kelelahan kronis. KAUPK2 terdiri dari 17 item pertanyaan (3 aspek keluhan subjektif yang diderita oleh tenaga kerja yang mengalami kelelahan, yaitu aspek pelemahan aktivitas sebanyak 7 butir, aspek pelemahan motivasi sebanyak 3 butir, dan aspek gejala fisk sebanyak 7 butir).
133
D. Gambaran Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Karakteristik Organisasi di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung 1. Komunikasi Komunikasi efektif adalah komunikasi yang pada prosesnya dapat menghasilkan persepsi, perilaku, dan pemahaman yang berubah menjadi sama antara pemberi informasi dan penerima informasi. Dalam PMK No. 1691 tahun 2011, peningkatan komunikasi yang efektif merupakan sasaran keselamatan pasien kedua. Komunikasi efektif, tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan dipahami oleh pasien akan mengurangi kesalahan, dan meningkatkan keselamatan pasien. Pada komunikasi dalam penelitian ini yaitu adanya keaktifan interaksi yang dilakukan oleh perawat dengan sesama petugas kesehatan yang berkaitan dengan keselamatan pasien. Komunikasi dikatakan efektif jika komunikasi yang terjalin diantara perawat sebagai pemberi pelayanan kesehatan saling mengerti dan memperlihatkan adanya keterbukaan, saling mendukung, bersikap positif, dan kesetaraan. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar perawat telah melakukan komunikasi efektif antara petugas kesehatan di unit rawat inap yaitu sebanyak 40 perawat atau sebesar 52,6%. Sedangkan perawat yang masih kurang efektif yaitu sebanyak 36 perawat atau 47,4% dan sebanyak 19 perawat atau sebesar 52,8% diantaranya cenderung lebih banyak tidak pernah melakukan insiden keselamatan pasien. Hasil distribusi jawaban perawat bahwa kurangnya komunikasi efektif pada penelitian ini disebabkan karena perawat jarang mendiskusikan dengan sesama perawat atau dokter
134
bagaimana cara untuk mencegah insiden supaya tidak terjadi kembali sebesar 15,8% dan perawat belum merasa bebas untuk bertanya kepasa sesama perawat lain atau dokter tentang keputusan maupun tindakan yang harus diambil sebesar 5,3%. Komunikasi dalam keselamatan pasien telah menjadi standar dalam The Joint Comission on Acreditation of Healthcare Organization (JCAHO) sejak tahun 2010. Menurut Salim (2006) dan Hamdani (2007), komunikasi harus terjadi dalam pola dua arah, dari pimpinan ke personel garis depan dan sebaliknya. Demikian juga, tindakan diam terhadap kesalahan harus diganti dengan keterbukaan, serta kejujuran mengenai kejadian yang menyangkut dengan keselamatan pasien. Pelaporan dan kepatuhan terhadap prosedur keselamatan pasien merupakan parameter yang dijadikan tolak ukur berjalannya komunikasi keselamatan yang efektif dan menjadi elemen penting untuk mewujudkan pelayanan yang aman, serta menuju keselamatan pasien. Adapun menurut Jalaluddin (2008), komunikasi yang efektif ditandai dengan adanya pengertian, dapat menimbulkan kesenangan, mempengaruhi sikap, meningkatkan hubungan sosial yang baik, dan pada akhirnya menimbulkan suatu tindakan. Dalam komunikasi, efektifitas merupakan hal yang paling penting karena komunikasi efektif merupakan salah satu strategi untuk membangun budaya keselamatan pasien. Komunikasi efektif sangat berperan dalam menurunkan insiden keselamatan pasien dalam sebuah asuhan medis pasien. Strategi tersebut ditetapkan oleh JCAHO sejak tahun 2010 sebagai tujuan nasional keselamatan pasien. Strategi tersebut bertujuan untuk menciptakan
135
proses komunikasi efektif melalui pendekatan standarisasi komunikasi yakni pada saat serah terima pasien (hand over). Hal tersebut dikarenakan komunikasi saat proses transisi perawatan pasien dapat memiliki risiko terjadinya kesalahan ketika informasi yang diberikan tidak akurat. Menurut Nazhar (2009) dalam Hamdani (2007) komunikasi dapat diwujudkan pada saat serah terima, briefing, dan ronde keperawatan. Perawat menggunakan komunikasi terbuka pada saat serah terima dengan mengkomunikasikannya kepada perawat lain tentang risiko terjadinya insiden, melibatkan pasien pada saat serah terima. Briefing digunakan untuk berbagi informasi seputar isu – isu keselamatan pasien, perawat dapat secara bebas bertanya seputar keselamatan pasien yang potensial terjadi dalam kegiatan sehari – hari. Ronde keperawatan dapat dilakuakn setiap minggu dan fokus hanya pada keselamatan pasien. Komunikasi pada saat serah terima pasien di Rumah Sakit Al-Islam Bandung biasanya tidak hanya secara lisan tetapi juga dalam bentuk tulisan. Briefing atau “operan” menjadi sarana untuk berkomunikasi secara lisan perihal asuhan keperawatan yang perlu dilakukan perawat pelaksana yang menjalankan shift selanjutnya. Adapun komunikasi lisan melalui telepon oleh perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung dengan menggunakan metode ISBAR (introduction, situation, background, asessment, recommendation) dan teknik TBAK (Tulis, Baca, Konfirmasi Kembali). Namun hasil pengamatan di lapangan pada saat penelitian, pelaksanaan peningkatan komunikasi efektif dengan menggunakan metode TBAK masih ditemukan Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) belum
136
melengkapi dokumentasi verifikasi secara tertulis berupa pembubuhan tanda tangan/paraf pada berkas rekam medis pasien. Hal tersebut belum sesuai dengan prosedur komunikasi efektif yang berlaku, bahwa seharusnya pemberi pesan harus segera melengkapi dokumentasi verifikasi secara tertulis berupa pembubuhan tanda tangan atau paraf verifikasi komunikasi efektif dalam catatan berkas rekam medis pasien. Ada pula komunikasi yang di dokumentasikan dalam bentuk tulisan di Rumah Sakit Al-Islam Bandung, antara lain: 1) buku operan shift, 2) catatan perawat yang dipegang sendiri sebagai Perawat Penanggung Jawab Pelayanan (PPJP), dan 3) lembar catatan medik harian pada berkas rekam medis. Selain komunikasi lisan dan komunikasi tulisan, adapula kegiatan ronde kelapangan terkait keselamatan pasien yang telah dilaksanakan di Rumah Sakit Al-Islam Bandung, namun belum berjalan dengan maksimal. Pelaksanaan ronde keselamatan pasien ini sudah dilaksanakan sejak tahun 2013 yang dilakukan 2 kali selama 1 bulan, namun pada pelaksanaannya terdapat kendala karena berbagai kegiatan dan tugas yang padat dari bagian komite sehingga kegiatan ronde keselamatan pasien hanya dilaksanakan sesuai sesuai kondisi. Kegiatan ronde keselamatan pasien bertujuan untuk memonitoring sejauh mana pelaksanaan keselamatan pasien di Rumah Sakit Al-Islam Bandung. Hasil dari ronde kelapangan tersebut kemudian menjadi evaluasi dan menjadikan rekomendasi kepada unit terkait. Pelaksanakan ronde keselamatan pasien merupakan suatu bentuk dukungan yang diberikan dapat diwujudkan dalam bentuk kunjungan atau supervisi ke setiap untuk pelayanan untuk memonitoring atau mengetahui kesulitan/permasalahan/
137
kendala yang dihadapi dalam melaksanakan keselamatan pasien dan memastikan bahwa seluruh personil rumah sakit mendukung pelaksanaan keselamatan pasien. Menurut O’Daniel (2008), komunikasi yang baik mendorong kolaborasi dan membantu mencegah kesalahan. Oleh karena itu, sebaiknya komunikasi yang kurang efektif lebih diperhatikan lagi oleh pihak rumah sakit sehingga insiden – insiden yang berhubungan dengan keselamatan pasien dapat dikurangi atau bahkan dapat dihindari. 2. Implementasi Standar Operasional Prosedur (SOP) Menurut Setyarini (2013), Standar Operasional Prosedur (SOP) merupakan suatu standar atau pedoman tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. SOP merupakan tatacara atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu. Menurut IOM (2000), peran perawat dalam keselamatan pasien yaitu memelihara keselamatan pasien melalui transformasi lingkungan keperawatan yang lebih mendukung keselamatan pasien dan peran perawat dalam keselamatan pasien melalui penerapan standar keperawatan. Yang dimaksud dalam penelitian ini adalah implementasi SOP terkait pelaporan insiden keselamatan pasien di Rumah Sakit Al-Islam Bandung. Rumah Sakit Al-Islam Bandung telah memiliki SOP yang mengatur tentang pelaporan insiden keselamatan pasien secara tertulis dan detail. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar perawat memiliki persepsi baik terhadap implementasi SOP terkait pelaporan insden
138
keselamatan pasien yaitu sebanyak 53 perawat atau sebesar 69,7%. Sedangkan perawat yang memiliki persepsi kurang baik terhadap implementasi SOP terkait pelaporan insden keselamatan pasien yaitu sebanyak 23 perawat atau sebesar 30,3% dan sebanyak 15 perawat atau sebesar 65,2% diantaranya cenderung lebih banyak pernah melakukan insiden keselamatan pasien. Hal ini menunjukkan semakin perawat memiliki persepsi kurang baik terhadap implementasi SOP, maka semakin berisiko menimbulkan terjadinya insiden keselamatan pasien. Hasil distribusi jawaban perawat yang memiliki persepsi kurang terhadap implementasi SOP disebabkan karena sebesar 9,2% tidak menyetujui bahwa ketika terjadi suatu insiden keselamatan pasien paling lambat dilaporkan selama 2 x 24 jam setelah terjadinya insiden keselamatan pasien dan sebesar 6,6% belum mendapatkan tindak lanjut dari komite keselamatan pasien ketika terjadi insiden keselamatan pasien. Pelaporan insiden keselamatan pasien di rumah sakit dilakukan untuk menilai jenis insiden yang terjadi dan dapat diketahui kesalahan yang biasa dilakukan oleh perawat, serta dapat diambil tindakan sebagai bahan pembelajaran organisasi. Organisasi belajar dari pengalaman sebelumnya dan mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi faktor risiko terjadinya insiden, sehingga dapat mengurangi atau mencegah insiden yang akan terjadi karena telah belajar dan terinformasi dengan jelas dari insiden yang sudah pernah terjadi melalui pelaporan kejadian dan investigasi. Menurut Musdalifah (2013), pelaporan kejadian dan feedback yang baik harus terus ditingkatkan dengan rasa saling percaya dan no blame
139
culture, artinya bila staf melakukan kesalahan, staf lainnya tidak menilai sebelah mata atas kesalahan yang telah dilakukan oleh staf tersebut dan memberikan umpan balik kepada staf yang telah melapor. Apabila staf melaporkan setiap kesalahan, maka tidak berarti staf tersebut harus dipersalahkan (di blame) ataupun dihukum atas kesalahan yang telah dilakukan. Setiap anggota organisasi memiliki peran dalam melindungi staf atau rekan yang telah melaporkan kesalahan dengan tidak mengecilkan hati rekan yang telah melakukan kesalahan. Bila keadaan ini mampu dibangun dan dipertahankan, tentu akan dapat meningkatkan frekuensi pelaporan kejadian. Hamdani (2007) berpendapat bahwa organisasi kesehatan harus mampu menciptakan lingkungan yang nonpunitive yang tujuannya adalah supaya setiap elemen staf tidak takut untuk melaporkan kejadian. Ketika sistem punishment dijalankan, maka staf akan enggan melaporkan insiden. Kejadian yang tidak dilaporkan tersebut membuat organisasi tidak belajar dari kesalahan dan kurang peduli terhadap pelayanan. Melalui pelaksanaan SOP yang sudah ditetapkan di rumah sakit diharapkan terjadinya insiden keselamatan pasien menurun. Menurut Cahyono (2008), pengembangan dan ketersediaan standar, pedoman, dan protokol mendukung program keselamatan pasien. Standarisasi memiliki tujuan menetapkan tingkat tampilan minimal yang harus dipenuhi seseorang, setiap proses, tindakan, keterampilan klinis, penampilan, lingkungan kerja, serta kondisi alat yang harus terstandarisasi. Hal ini ditunjang oleh teori Wood dalam Cahyono (2008) yang mengembangkan teori “blunt and sharp end” yang menjelaskan bagaimana
140
interaksi manusia dengan sistem yang dapat menyebabkan terjadinya insiden keselamatan pasien. Blunt and (sisi tumpul) menggambarkan penampilan organisasi, dalam hal ini SOP atau alur kerja yang berfungsi sebagai pelindung atau pencegah kesalahan. Sharp end (sisi tajam) menggambarkan petugas kesehatan, dalam hal ini perawat yang bertugas. Interaksi antara blunt and sharp end seharusnya seimbang sehingga insiden keselamatan pasien dapat dihindari. Dengan demikian, peran perawat sebagai sisi tajam dari pelayanan sangat besar, perawat diharapkan mampu memegang teguh pedoman, kebijakan dan standar praktik keperawatan. Jika hal ini dilanggar cedera pada pasien tidak dapat dihindarkan. Dengan demikian, upaya yang dapat dilakukan oleh pihak Manajemen Rumah Sakit Al-Islam Bandung perlu melakukan sosialisasi dan pengawasan yang lebih intensif terhadap pelaksanaan SOP terkait pelaporan insiden keselamatan pasien di setiap unit kerja sehingga perawat dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan pelaksanaan SOP terkait pelaporan insiden keselamatan pasien yang berlaku di rumah sakit untuk memberikan asuhan keperawatan yang lebih aman bagi pasien. E. Gambaran Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Karakteristik Sifat Dasar Pekerjaan di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung 1. Kerjasama Tim Menurut Katzenbach & Douglas dalam Cahyono (2008), kerjasama tim merupakan suatu kelompok kecil dengan keterampilan yang saling melengkapi dan berkomitmen pada tujuan bersama, serta sasaran – sasaran kinerja dan pendekatan yang mereka jadikan tanggung jawab bersama.
141
Kerjasama merupakan bentuk attitude dari perawat dalam bekerja di dalam tim karena membuat individu saling mengingat, mengoreksi, dan berkomunikasi, sehingga peluang terjadinya kesalahan dapat dihindari. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar perawat memiliki kerjasama tim yang baik yaitu sebanyak 57 perawat atau sebesar 75%. Sedangkan perawat yang memiliki kerjasama tim kurang baik yaitu sebanyak 19 perawat atau sebesar 25% dan 13 perawat atau sebesar 68,4% cenderung melakukan insiden keselamatan pasien. Hal ini menunjukkan semakin perawat memiliki kerjasama tim yang kurang baik, maka semakin berisiko menimbulkan terjadinya insiden keselamatan pasien. Hail distribusi jawaban perawat bahwa perawat yang masih kurang dalam kerjasama tim disebabkan karena perawat merasa sulit untuk berkoordinasi dengan unit lain sebesar 22,4% dan perawat lebih nyaman bekerja sendiri dibanding bekerja dalam tim sebesar 16,1%. Hal tersebut bisa jadi ada hubungannya dengan komunikasi yang terjalin di unitnya. Kurangnya komunikasi yang tejalin antar perawat disebabkan adanya status jawaban dan kurangnya keterbukaan sesama tim dapat menyebabkan kerjasama dalam tim tidak terkoordinasi dengan baik. Dalam melakukan asuhan keperawatan kepada pasien, perawat melakukannya hanya kepada pasien yang menjadi tanggung jawabnya saja dari pada bekerja di dalam tim. Setiap perawat memiliki tanggung jawab dan tugasnya masing – masing terhadap pasien sehingga perawat lain tidak saling mengetahui pekerjaan rekannya. Hal tersebut yang kemudian membuat perawat menjadi tidak saling meng-crosscheck pekerjaan satu sama lain, hal ini dapat
142
semakin
besar
menimbulkan
potensi
terjadinya
kesalahan
dalam
memberikan asuhanan perawatan kepada pasien. Dengan demikian, peneliti memberikan masukan kepada pihak manajemen rumah sakit untuk meningkatkan
kerjasama
tim
antar
perawat.
Tidak
hanya
untuk
meningkatkan kinerja dalam asuhan keperawatan tetapi juga untuk meningkatkan keselamatan pasien selama melakukan perawatan di rumah sakit. Menurut Manser (2009) dalam Lestari (2013), hambatan komunikasi dan pembagian tugas yang tidak seimbang menjadi penyebab kurang efektifnya kerjasama tim. Efektifitas kerjasama tim sangat tergantung pada komunikasi dalam tim, adanya supervisi, dan pembagian tugas. Menurut Vincent (2003) dalam (Setiowati, 2010) mengemukaan sebuah studi observasional dan analisis retrospektif oleh terhadap insiden keselamatan pasien menunjukkan bahwa faktor kerjasama tim yang kurang, berkontribusi lebih banyak dibandingkan dengan kemampuan klinis yang lemah. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Mulyana (2013) yakni faktor kerjasama menjadi indikator bahwa perawat dengan kerjasama kurang memiliki kecenderungan menyebabkan insiden keselamatan pasien tiga kali lebih besar dari perawat yang memiliki persepsi sebaliknya. Darmanelly (2000) dalam WHO (2009) berpendapat bahwa kerjasama tim dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni kesesuaian mempercayai anggota tim, kesediaan untuk mengalah, kemampuan menyampaikan kritik, ketersediaan memperbaiki diri, solidaritas kelompok, tanggung jawab, dan pemantauan secara berkala.
143
Kerjasama tim dalam pelayanan dapat mempengaruhi kualitas dan keselamatan pasien di rumah sakit. Potensi konflik yang mungkin terjadi dalam interaksi tim dapat berakibat pada pelaksanaan kerjasama tim dalam pelayanan. Bekerja secara tim merupakan sebuah nilai yang harus dibangun sebagai budaya dalam penerapan keselamatan pasien. Konflik yang muncul dapat menurunkan persepsi individu atas kerjasama tim yang mengganggu proses pelayanan dan berujung pada kemungkinan terjadinya insiden keselamatan pasien. Sebagaimana yang disampaikan oleh Bower et al. (2003) dalam WHO (2009) bahwa kerja tim yang baik dapat membantu mengurangi masalah keselamatan pasien, meningkatkan semangat anggota, dan kesejahteraan tim sehingga tim akan berfungsi dari waktu ke waktu. Adapun menurut Baker et al. (2005), kerja tim sangat dibutuhkan antar tim medis untuk meningkatkan keselamatan pasien melalui pengurangan kesalahan – kesalahan akibat adanya kerjasama tim antar petugas medis. Upaya yang dapat dilakukan oleh pihak Manajemen Rumah Sakit AlIslam Bandung yaitu melaksanakan rapat rutin dengan mengundang setiap kepala instalasi atau atasan langsung beserta beberapa anggotanya untuk rutin membahas masalah – masalah internal terkait dengan kerjasama, koordinasi antar unit, dan koordinasi antar tim terkait dengan keselamatan pasien dan melaksanakan outbond bersama – sama antar perawat dan profesi kesehatan lainnya untuk meningkatkan kerjasam tim. 2. Gangguan atau Interupsi yang Dialami oleh Perawat Adanya gangguan atau interupsi yang dialami oleh perawat memiliki kemungkinan untuk menimbulkan kesalahan – kesalahan yang dapat
144
berakibat fatal bagi pasien. Menurut teori Henrikson et al. (1993) dalam Henriksen et al (2008) bahwa penyebab insiden keselamatan pasien salah satunya disebabkan oleh faktor sifat dasar pekerjaan yang meliputi adanya gangguan atau interupsi selama bekerja. Persepsi perawat terhadap gangguan atau interupsi tinggi yaitu apabila perawat merasakan adanya aktivitas atau kegiatan lain di luar tugas dan tanggung jawabnya yang harus dilakukan pada saat sedang memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien atau keluarga pasien lebih banyak dibandingkan kegiatan yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar perawat mengalami gangguan atau interupsi rendah yaitu sebanyak 48 perawat atau sebesar 63,2%. Sedangkan perawat yang mengalami gangguan atau interupsi tinggi yaitu seabnyak 28 perawat atau sebesar 36,8% dan sebanyak 16 perawat atau sebesar 57,1% diantaranya cenderung lebih banyak tidak pernah melakukan inisiden keselamatan pasien. Hasil distribusi jawaban perawat yang merasakan gangguan atau interupsi tinggi disebabkan karena ketika sedang melaksanakan tugas yang dirasakan oleh perawat paling banyak disebabkan karena sering melakukan lebih dari satu pekerjaan dalam waktu yang sama sebesar 28,9%. Namun, secara keseluruhan perawat yang mengalami gangguan atau interupsi rendah lebih banyak dibandingkan dengan perawat yang mengalami gangguan atau interupsi tinggi. Sehingga, adanya gangguan yang dialami oleh perawat ketika sedang melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya tidak memberatkan maupun
145
menyulitkan perawat untuk melakukan aktifitas atau kegiatan lain di luar tugas dan tanggung jawabnya. Hal tersebut dapat tejadi dikarenakan gangguan atau interupsi sudah membudaya di Rumah Sakit Al-Islam Bandung. Tugas perawat di ruang perawatan tidak hanya melakukan asuhan keperawatan tetapi juga melakukan pekerjaan administrasi seperti pengisian rekam medis, memfasilitasi pasien makan, berpakaian, mengantar dan menjemput pasien saat konsul ke unit atau rumah sakit lain, serta mengisi formulir lain yang terkait dengan asuhan keperawatan. Di luar itu, perawat juga dilibatkan dalam kegiatan rumah sakit yang menyebabkan terjadinya interaksi dengan banyak pihak dan terlibat dalam pekerjaan lain di luar asuhan keperawatan.
146
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian “Gambaran Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Karakteristik Perawat, Organisasi, dan Sifat Dasar Pekerjaan di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung pada Periode 2012-2016” yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2016 hingga November 2016, menghasilkan simpulan sebagai berikut: 1. Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung pada periode 2012-2016 lebih banyak perawat yang tidak pernah melakukan insiden keselamatan pasien sebanyak 46 perawat (60,5%) dibandingkan dengan perawat yang pernah melakukan insiden keselamatan pasien sebanyak 30 perawat (39,5%) dalam satu tahun terakhir. Berdasarkan jenis insiden keselamatan pasien yakni KTC lebih banyak pernah dilakukan oleh perawat dibandingkan dengan jumlah perawat yang pernah melakukan KNC dan KTD. Perawat yang pernah melakukan KTC sebanyak 28 perawat (36,8%), perawat yang pernah melakukan KNC sebanyak 23 perawat (30,3%), dan perawat yang pernah melakukan KTD sebanyak 20 perawat (26,3%). 2. Berdasarkan karakteristik perawat, perawat yang berusia ≤ 30 tahun cenderung pernah melakukan insiden keselamatan pasien sebesar 53,2%, perawat yang memiliki pengetahuan kurang cenderung pernah melakukan insiden keselamatan pasien sebesar 89,5%, perawat yang mengalami stres tinggi cenderung pernah melakukan insiden keselamatan pasien sebesar
147
78,6%, dan perawat yang mengalami kelelahan tinggi cenderung pernah melakukan insiden kselamatan pasien sebesar 55,2%. 3. Berdasarkan karakteristik organisasi, perawat yang memiliki komunikasi kurang efektif cenderung tidak pernah melakukan insiden keselamatan pasien sebesar 52,8% dan perawat yang memiliki persepsi kurang baik terhadap implementasi SOP cenderung pernah melakukan insiden keselamatan pasien sebesar 65,2%. 4. Berdasarkan karakteristik sifat dasar pekerjaan, perawat yang memiliki kerjasama tim kurang cenderung pernah melakukan insiden keselamatan pasien sebesar 68,4% dan perawat yang mengalami gangguan atau interupsi tinggi cenderung tidak pernah melakukan insiden keselamatan pasien sebesar 57,1%. B. Saran 1. Bagi Rumah Sakit Al-Islam Bandung a. Rumah
sakit
diharapkan
dapat
meneruskan
dan
meningkatkan
pelaksanaan program – program keselamatan pasien yang telah dilaksanakan. b. Sebaiknya pihak rumah sakit memberikan perhatian khusus pada perawat yang berusia muda (< 30 tahun), misalnya dengan diberikan pengawasan dan bimbingan langsung oleh supervisor. c. Sebaiknya rumah sakit melakukan peningkatan pengetahuan perawat di unit rawat inap terutama perawat yang masih memiliki tingkat pengetahuan kurang dengan mengadakan upgrading pelatihan secara rutin dan berkesinambungan. Setiap kali ada pelatihan tentang
148
keselamatan pasien harus dilakukan pretest dan post test agar dapat dimonitor seberapa jauh perkembangan pengetahuan perawat tentang keselamatan pasien. d. Sebaiknya rumah sakit melakukan desain kembali beban kerja perawat dengan melihat kuantitas SDM yang tersedia dengan memperhatikan shift atau jadwal kerja pada perawat. e. Sebaiknya rumah sakit dapat mengupayakan pendidikan lanjut keperawatan minimal sampai dengan S1 Keperawatan sebagai suatu bentuk reward untuk memotivasi perawat dalam upaya meningkatkan semangat kerja perawat sehingga memberikan asuhan kepada pasien menjadi lebih aman. f. Sebaiknya kepala ruangan agar memberikan sosialisasi tentang SOP terkait pelaporan insiden keselamatan pasien pada setiap akan memulai pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien. g. Sebaiknya pihak manajemen rumah sakit melaksanakan rapat rutin dengan mengundang setiap kepala instalasi atau atasan langsung beserta beberapa anggotanya untuk rutin membahas masalah – masalah internal terkait dengan kerjasama, koordinasi antar unit, dan koordinasi antar tim terkait dengan keselamatan pasien dan melaksanakan outbond bersama – sama antar perawat dan profesi kesehatan lainnya untuk meningkatkan kerjasam tim.
149
2. Bagi Peneliti Selanjutnya a. Peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian yang terkait dengan menggunakan metode kualitatif agar hasil yang didapatkan lebih lengkap dan lebih tergali secara mendalam. b. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian mengenai insiden keselamatan pasien dengan mengukur karakteristik lain yang belum diteliti. c. Peneliti selanjutnya diharapkan untuk mengukur pengetahuan perawat mencakup secara detail yang meliputi manfaat keselamatan pasien, standar keselamatan pasien, jenis insiden keselamatan pasien, pelaporan insiden keselamatan pasien, dan 6 sasaran keselamatan pasien yang terdiri dari: 1) ketepatan identifikasi pasien, 2) peningkatan komunikasi yang efektif, 3) peningkatan keamaman obat yang perlu diwaspadai, 4) kepastian tepat lokai tepat prosedur dan tepat pasien operasi, 5) pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan, dan 6) pengurangan risiko pasien jatuh. d. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan kuesioner HRS – A (Hamilton Rtaing Scale Anxiety) yang mengembangkan tiga gejala stres yaitu gejala psikologis, fisiologis, dan perilaku untuk mengukur tingkat stres kerja yang dialami oleh responden. e. Peneliti selanjutnya dapat menggunakan kuesioner KAUPK2 (Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan kerja) untuk mengukur tingkat perasaan kelelahan kerja yang dialami oleh responden.
150
DAFTAR PUSTAKA Agency For Healthcare Research and Quality (AHRQ). 2003. Diakses dari https://www.ahrq.gov/ pada tanggal 27 Mei 2016. Aprilia, S. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perawat dalam Penerapan IPSG (Internasional Patient Safety Goal) Pada Akreditasi JCI (Joint Commission International) di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011. FKM UI. Apriningsih, Desmawati., & Joesro, Mohamad. 2013. Kerjasama Tim dalam Budaya Keselamatan Pasien di RS X (Studi Kualitatif di Suatu RSUD di Provinsi Jawa Barat). Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5 (3). Arfan, A. N. 2014. Gambaran Determinan Insiden Keselamatan Pasien Pada Petugas Kesehatan di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Tahun 2014. FKM Universitas Hasanuddin Makasar. Aspden, Philip., Corrigan, Janet M., Wolcott, Julie., and Erickson, Shari M. 2004. Patient Safety: Achieving A New Standard For Care. Washington, D.C.: The National Academies Press. Baker, et al. 2005. The Role of Teamwork in the Professional Education of Physicians: Current Status and Assessment Recommendations. Diakses dari http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.473.8079&rep=re&t ype=pdf pada tanggal 29 Juli 2016. Ballard, K. A. 2003. Patient Safety: A Share Responsibility. Online Journal of Issues in
Nursing.
Volume
8
No.3.
Diakses
dari
http://www.nursingworld.org/MainMenuCategories/ANAMarketplace/ANAPer iodicals/OJIN/TableofContents/Volume82003/No3Sept2003/PatientSafety.html pada tanggal 29 Juli 2016.
xxii
Bawelle, dkk. 2013. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Perawat dengan Pelaksanaan Keselamatan Pasien (Patient Safety) di Ruang Rawat Inap RSUD Liun Kendage Tahuna. Ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 1. Nomor 1. Universitas Sam Ratulangi Manado. Cahyono, A. 2015. Hubungan Karakteristik dan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Pengelolaan Keselamatan Pasien di Rumah Sakit. Jurnal Ilmiah WIDYA, Volume 2 No. 2. Cahyono, J. B. 2008. Membangun Budaya Keselamatan Pasien dalam Praktik Kedokteran.Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Carayon, Pascale. & Ayse, P. Gurses. 2008. Nursing Workload and Patient Safety – A Human Factors Enginnering Perspektive. Patient Safety and Quality: An Advance – Based Handbook for Nurses. Chapter 30 Vol.2. Diakses dari http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:http://www.ahrq.gov/p rofessionals/cliniciansproviders/resources/nursing/resources/nurseshdbk/Carayo nP_NWPS.pdf pada tanggal 17 Mei 2016. Data Keperawatan Rumah Sakit Al-Islam Bandung Tahun 2016. Departemen Kesehatan (Depkes) Republik Indonesia.
2006. Panduan Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety): Utamakan Keselamatan Pasien. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety): Utamakan Keselamatan Pasien. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Elrifda. 2011. Budaya Patient Safety dan Karakteistik Kesalahan Pelayanan: Implikasi Kebijakan di Salah Satu Rumah Sakit di Kota Jambi. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6 No.2.
xxiii
Gunibala, Moch. T. 2015. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Perawat dengan Penerapan Patient Safety di RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Kota Gorontalo. Fakultas Ilmu – Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan Universitas Negeri Gorontalo. Hamdani, Siva. 2007. Analisis Budaya Keselamatan Pasien (Patient Safety Culture) di Rumah Sakit Islam Jakarta Tahun 2007. FKM UI. Hapsari, Raditya Wahyu. 2013. Hubungan Peran Perawat Sebagai Edukator dengan Pemenuhan Kebutuhan Rasa Aman Paisen di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum dr. H. Koesnadi Kabupaten Bondowoso. Universitas Jember. Hastono, Sutanto Priyo. 2007. Analisis Data Kesehatan. Depok: FKM UI. Hastono, Sutanto Priyo., & Sabri, Luknis. 2010. Statistik Kesehatan. Jakarta: Rajawali Pres. Henriksen, K., et. al. 2008. Patient Safety and Quality: An Evidence Base Handbook for Nurses. Rockville MD: Agency for Healthcare Research and Quality Publications. Diakses dari http://www.ahrq.gov/QUAL/nurseshdbk/ pada tanggal 17 Mei 2016. 2008. Understanding Adverse Events: A Human Factors Framework. Diakses dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK2666/pdf/ch5.pdf pada tanggal 17 Mei 2016. Institute of Medicine (IOM). 2000. To Err is Human: Building a Safer Health System. Washington D.C.: The National Academies Press. Jalaluddin, Rakhmat. 2008. Psikologi Komunikasi [e-book]. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Diakses
dari
http://www.e-bookspdf.org/download/jalaludin
rakhmat-psikologi-komunikasi-rosdakarya.html pada tanggal 29 Juli 2016.
xxiv
Joint Commission International (JCI). 2007. Meeting the International Patient Safety Goals. ISBN: 978-1-59940-158-4. 2011. Standar Akreditasi Rumah Sakit, Enam Sasaran Keselamatan Pasien. Edisi ke-4. Kaplan, H. 2002. Alertness to Danger When Rates of Injury are Low. Institute od Medicine Committee. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 129/MENKES/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. .2011.
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No.
1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Kertadikara, P. 2008. Patient Safety: Paradigma Baru Layanan Medis. Diakses dari http://kertadikara.blogspot.com/ pada tanggal 23 Februari 2017. Kohn, Linda T., Corrigan, Janet M., and Donaldson, Molla S. 2000. To Err Is Human: Building a Safer Health System. Wahington, D.C.: The National Academies Press. Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS). 2012. Instrumen Akreditasi Rumah Sakit Standar Akreditasi Versi 2012. Edisi-1. Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS). 2008. Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (Patient Safety Incident Report). Jakarta: KKPRS PERSI. 2010.
Laporan
Insiden
Keselamatan
Pasien.
Diakses
dari
www.inapatsafety-persi.or.id/umpanbalik Laporan_ikp1.pdf pada tanggal 24 Mei 2016. xxv
2011. Laporan Insiden Keselamatan Pasien. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Komite Keselamatan Paisen Rumah Sakit Al-Islam Bandung. Tahun 2013 – 2015. Laporan Insiden Keselamatan Pasien Komite Keselamatan Paisen Rumah Sakit Al-Islam Bandung Tahun 2013 – 2015. Kuncoro. 2012. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Kualitas Kerja dengan Kinerja Perawat dalam Penerapan Sistem Keselamatan Pasien. Lestari, dkk. 2013. Konsep Manajemen Keselamatan Pasien Berbasis Program di RSUD Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah. FKG. Universitas Padjajaran. Lim, A. 2010. New Course Tackles Patient Safety. Australian Nursing Journal. North Fitzroy. Manojlovich, M., et.al. 2007. Healthy Work Environment, Nurses- Physician Communication, and Patinent’s Outcomes. American Journal of Critical Care Vol. 16. Marjani, Farida. 2015. Pengaruh Dokumentasi Timbang Terima Paisen dengan Metode Situation Background Assessment Recomendation (SBAR) terhadap Insiden Keselamatan Pasien di Ruang Medical Bedah RS. Panti Waluyo. Stikes Kusuma Husada Surakarta. Mattox, E. A. 2012. Strategies for improving patient safety: Linkingt ask type to error type.
Critical
Care
Nurse.
Vol.
32/No.1.
Diakses
pada
http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=25&hid=118&sid=b9117e5d-bab14cae-9010-559f1406d321%40sessionmgr1 pada tanggal 1 Juni 2016. Mulyana, Dede Sri. 2013. Analisis Penyebab Insiden Kesehatan Pasien oleh Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit X Jakarta. Tesis: FKM UI.
xxvi
Mustikawati, Y. H. 2011. Analisis Determinan Kejadian Nyaris Cedera dan Kejaidna Tidak Diharapkan di Unit Perawatan Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan UI. Nurmalia. 2012. Pengaruh Program Mnetoring Keperawatan terhadap Penerapan Budaya Keselamatan Paisen di Ruang Rawat Inap RS Sultan Agung Semarang. Tesis. FKM UI. Notoadmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 2010. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2010. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Rineka Cipta. O’Daniel
and
Roseinsten.
2008.
Professional
Communication
and
Team
Collaboration. Patient Safety and Quality: An Evidence-Based Handbook for Nurses. Diakses dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK2637/pdf/ch33. pdf pada tanggal 29 Juli 2016. Peters and Peters. 2008. Medical Error and Patient Safety; Human Factors in Medicine [e-book].
London, New
York:
CRC
Press.
Diakses
dari
http://www.freebookspot.es/Comments.aspx?Element_ID=364411 pada tanggal 17 Mei 2016. Potter, P. A & Perry, A.G. 2009. Fundamental of Nursing: Concepts, Prosess & Practice. St Louis: Mosby Year Book. Inc. Jakarta: ECG. Reason, J. 2000. Human Error: modes and management. BMJ: 320( 7237): 768-770. Diakses dari http://www.bmj.com/content/320/7237/768 pada tanggal 29 Juli 2016.
xxvii
Reader, et al. 2006. Communication skills and error in the intensive care unit. Wolters Kluwer Health. Diakses dari http://www.pdfio.com/k-6647985.html pada tanggal 29 Juli 2016. Robbins, S. P. 2003. Perilaku Organisasi. Edisi ke-10. Jakarta: PT. Indeks Gramedia. Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Setiowati, Dwi. 2010. Hubungan Kepemimpinan Efektif Head Nurse dengan Penerapan Budaya Keselamatan Pasien oleh Perawat Pelaksana di RSUPN Dr. Cipto Mangkusumo Jakarta. Tesis, Universitas Indonesia. Setyarini, dkk. 2013. Kepatuhan Perawat Melaksanakan Standar Prosedur Operasional Pencegahan Pasien Resiko Jatuh di Gedung Yosep 3 Dago dan Surya Kencana Rumah Sakit Borromeus.
Jurnal Kesehatan. STIKes Santo
Borromeus. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sutriningsih, Ani., & Harus, Bernadeta Dece. 2015. Pengetahuan Perawat tentang Keselamatan Paisen dengan Pelaksanaan Prosedur keselamatan Pasien Rumah Sakit (KPRS) di Rumah Sakit Panti Walyu Sawahan Malang. Jurnal CARE, Vol. 3, No.1. Stanley. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC. Tobing, Erida R. L. 2007. Gambaran Stres Kerja pada Perawat di Ruang TB Paru di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan.
xxviii
World Health Organization (WHO). 2005. World Allience For Patient Safety: WHO Draft Guidelines For Adverse Events Reporting and Learning System. WHO: Geneva. Diakses dari http://osp.od.nih.gov/sites/default/files/resources/Reportin g_Guidelines.pdf pada tanggal 24 Mei 2016. 2007.
Nine
Life
Saving
Patient
Safety
Solution.
Diakses
dari
http://www.who.int pada tanggal 12 Desember 2016. 2009. Human Factors in Patient Safety Review of Topics and Tools. Diakses dari http://www.who.int/patientsafety/research/methods_measures/human_facto rs/human_factors_review.pdf pada tanggal 24 Mei 2016. Yahya, A. A. 2006. Konsep dan Program Patient Safety. Bandung: Konvensi Nasional Mutu Rumah Sakit.
xxix
xxx
No.Responden
KUESTIONER PENELITIAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN INSIDEN KESELAMATAN PASIEN DI UNIT RAWAT INAP RUMAH SAKIT AL-ISLAM BANDUNG TAHUN 2016 Kepada Yth Bapak/Ibu/Saudara/i Perawat Unit Rawat Inap di Rumah Sakit Al-Islam Bandung Assalamu’alaikum Wr. Wb. Salam Hormat Saya Fitri Handayani Mahasiswi Program Studi Kesehatan Masyarakat Peminatan Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta akan mengadakan penelitian mengenai “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Insiden Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Al-Islam Bandung Tahun 2016”. Penelitian ini tidak menimbulkan akibat yang merugikan Bapak/Ibu/Saudara/i sebagai responden. Informasi yang diberikan akan dijaga kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian ini. Oleh karena itu saya mohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/i untuk menjawab kuestioner ini dengan sejujur-jujurnya dan memberikan penilaian yang objektif sesuai fakta yang ada. Pernyataan dalam kuestioner ini merupakan pernyataan yang menggambarkan kondisi umum pekerjaan Bapak/Ibu/Saudara/i selama bekerja di Rumah Sakit Al-Islam Bandung. Bantuan Bapak/Ibu/Saudara/i akan sangat membantu dan besar manfaatnya dalam penelitiaan ini. Atas kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/i dalam mengisi kuestioner ini, saya mengucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.
A. Latar Belakang Responden Nama Responden
:....................................................................
Ruang
:....................................................................
Usia (*wajib diisi)
:.................................................................... Bandung, November 2016
Tanda Tangan Responden
Peneliti
Fitri Handayani
B. Petunjuk Pengisian 1. Survei ini bertujuan untuk meminta Bapak/Ibu/Saudara/i memberikan pendapat mengenai keselamatan pasien di rumah sakit Bapak/Ibu/Saudara/i. Survei ini kirakira memerlukan 10 – 15 menit untuk mengisi keseluruhan pernyataan. 2. Kuesioner ini bukan tes dengan jawaban benar atau salah, yang terpenting adalah menjawab pernyataan dengan jujur sesuai pendapat dan keadaan yang sebenarnya. 3. Kuestioner ini dapat digunakan secara optimal bila semua pertanyaan dijawab, oleh karena itu mohon teliti kembali apakah semua pernyataan semua telah terjawab sebelum dikembalikan kepada peneliti.
C. Kuestioner Penelitian Pengetahuan A. Petunjuk pengisian : Berilah jawaban yang menurut Bapak/Ibu/Saudara/i benar pada pertanyaan di bawah ini dengan memberi tanda (√) pada kolom yang tersedia. Kode [A1] A.
[A2] [A3]
[A4]
[A5]
[A6] [A7] [A8]
[A9]
Pertanyaan Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem di mana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi, kecuali..... asessmen implementasi solusi pelaporan dan terciptanya budaya resiko untuk meminimalkan analisis insiden keselamatan pasien di timbulkan resiko rumah sakit Rumah Sakit Al-Islam Bandung telah menerapkan keselamatan pasien sejak tahun? 2010 2009 2008 2007 Kejadian tidak diharapkan (KTD) adalah.......... suatu insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak mengakibatkan cidera. suatu kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cidera, tetapi belum terjadi insiden. suatu kejadian yang tidak diharapkan yang mengakibatkan cidera pada pasien akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil, dan bukan karena penyakit dasarnya atau kondisi pasien. terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke pasien. Setiap terjadi insiden harus dilaporkan secara internal kepada TKPRS (Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit) dalam waktu paling lambat, adalah........... 1 x 24 jam 2 x 24 jam 3 x 24 jam 4 x 24 jam Diperlukan sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien, yaitu dengan...... nomor rekam medik nama pasien dan nomor rekam medik semua jawaban dan nomor kamar nomor kamar dan nama pasien benar Pemberian obat kepada pasien dilakukan dengan prinsip............ 7 benar 1 dok 6 benar 1 dok 5 benar 1 dok 4 benar 1 dok Prosedur mencuci tangan yang baik benar sesuai standar yang ditetapkan oleh WHO, terdiri dari......... 5 langkah 6 langkah 7 langkah 8 langkah Berikut ini yang bukan termasuk kedalam Five moments for hand hygiene atau 5 moment krusial mencuci tangan pada petugas kesehatan untuk mengoptimalkan kebersihan tangan disaat, yaitu.... sebelum setelah melakukan setelah menyentuh sebelum menyentuh menyentuh tindakan – tindakan daerah sekitas keluarga pasien pasien invasive pasien Pengkajian resiko pasien jatuh dengan form dilakukan saat........... Pasien mengalami angka kejadian tak pasien ada instruksi dari cedera akibat jatuh diharapkan (KTD) meningkat masuk dokter rawat inap
B. Petunjuk pengisian : Berilah jawaban yang menurut Bapak/Ibu/Saudara/i sesuai pada pertanyaan di bawah ini dengan memberi tanda ceklis (√) pada kolom yang tersedia. Pilihan Jawaban : STS = Sangat Tidak Setuju TS = Tidak Setuju S = Setuju SS = Sangat Setuju STS TS S SS Kode Pernyataan 1 2 3 4 Stress Perawat [B1] Pimpinan dan rekan kerja saya saling mendukung satu sama lain sehingga tercipta situasi yang kondusif ditempat kerja [B2] Saya mampu menjaga kosentrasi kerja saat sedang sibuk [B3] Jadwal kerja dan peraturan di rumah sakit tidak memungkinkan saya untuk memulihkan semangat kerja Kelelahan Perawat [B4] Jumlah perawat di unit tempat bekerja sudah sesuai dengan beban kerja perawat [B5] Perawat melakukan kesalahan dalam pelayanan pasien karena bekerja melebihi dari ketentuan yang ada dan terlalu banyak tugas yang harus dikerjakan [B6] Merasakan kenyamanan dengan jadwal kerja yang sudah ditetapkan Implementasi SOP (Standar Operasional Prosedur) [C1] Ketika terjadi insiden keselamatan pasien diharuskan untuk melaporkan insiden tersebut kepada Kepala unit terkait untuk mendapatkan tindak lanjut. [C2] Setelah ditindaklanjuti kejadian insiden keselamatan pasien, menyegerakan untuk membuat laporan insiden dengan mengisi formulir laporan insiden pada akhir jam kerja/shift kepada kepala unit terkait [C3] Ketika terjadi suatu insiden keselamatan pasien paling lambat dilaporkan selama 2 x 24 jam setelah terjadinya insiden keselamatan pasien [C4] Pelaporan insiden keselamatan pasien bertujuan untuk mengetahui penyebab insiden keselamatan pasien sampai pada akar masalahnya [C5] Setiap terjadi suatu insiden keselamatan pasien mendapatkan tindaklanjut dari Komite Keselamatan Pasien
Kerjasama Tim [D1] Kami sesama staf di unit ini saling mendukung satu sama lain [D2] Jika banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dengan cepat, kami saling bekerja sama sebagai tim [D3] Saya merasa setiap orang di unit ini saling menghargai satu sama lain [D4] Bila suatu area di unit ini sibuk, maka perawat di area lain akan membantu [D5] Kami merasa ada kerja sama yang baik antar unit di rumah sakit saat menyelesaikan pekerjaan bersama [D6] Unit satu dengan unit lain di rumah sakit ini tidak berkoordinasi dengan baik [D7] Saya sering kali merasa tidak nyaman bila harus bekerja sama dengan staf unit lain di rumah sakit ini Kode
Pernyataan
Komunikasi [E1] Manajer saya memberikan umpan balik ke arah perbaikan berdasarkan laporan kejadian insiden [E2] Kami bebas mengungkapkan pendapat jika melihat sesuatu yang bisa berdampak negatif terhadap pelayanan pasien [E3] Kami diberi tahu mengenai kesalahan – kesalahan yang terjadi di unit kami [E4] Kami merasa bebas untuk bertanya kepada sesama perawat lain/dokter tentang keputusan maupun tindakan yang diambil di unit ini [E5] Di unit ini kami mendiskusikan dengan sesama perawat/dokter bagaimana cara untuk mencegah insiden supaya tidak terjadi kembali Gangguan/Interupsi [F1] Anda mendapatkan pekerjaan lain di luar tugas dan tanggung jawab sebagai perawat pelaksana [F2] Pada saat bekerja melakukan lebih dari satu pekerjaan dalam waktu yang sama [F3] Saya mendapatkan pekerjaan lain yang harus dilakukan ketika sedang melaksanakan tugas
Tidak Pernah 1
Jarang 2
Sering 3
Selalu 4
C. Petunjuk pengisian : Berilah jawaban yang menurut Bapak/Ibu/Saudara/i sesuai pada pertanyaan di bawah ini dengan memberi tanda ceklis (√) pada kolom yang tersedia. Pilihan Jawaban : Kuesioner Tentang Insiden Keselamatan Pasien Pilihan jawaban : 1. Tidak Pernah : (>5 tahun sekali) 2. Jarang : (>2-5 tahun sekali) 3. Sering : (beberapa kali/tahun) 4. Selalu : (Tiap minggu/bulan) Seberapa sering kejadian di bawah ini terjadi di area kerja/unit kerja Anda? Tidak Kode Pernyataan Pernah Jarang Sering Selalu 1 2 3 4 Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) [G1] Melaksanakan tindakan kepada pasien yang mengakibatkan cedera pada pasien [G2] Salah memberikan tindakan kepada pasien sehingga menyebabkan pasien mengalami gangguan kesehatan lain di luar penyakitnya [G3] Pasien yang dirawat ditempat saya bekerja terjatuh dari tempat tidur sehingga pasien mengalami cedera karena tidak melakukan identifikasi dan pengelolaan risiko pasien [G4] Terjadi kesalahan dalam pengisian data rekam medik pasien, sehingga saya melakukan kesalahan dalam pemberian tindakan kepada pasien yang mengakibatkan pasien cedera [G5] Komunikasi antara petugas tidak efektif sehingga terjadi insiden yang merugikan pasien Kejadian Nyaris Cedera (KNC) [G6] Memberikan tindakan kepada pasien yang mengakibatkan insiden yang telah terpapar ke pasien tetapi tidak mengakibatkan cedera pada pasien [G7] Salah memberikan tindakan kepada pasien tetapi tidak mengakibatkan terjadinya gangguan kesehatan lain [G8] Terjadi kesalahan dalam pengisian data rekam medik pasien, sehingga saya melakukan kesalahan dalam pemberian tindakan tetapi pasien tidak mengalami cedera [G9] Pasien yang dirawat ditempat Anda bekerja terjatuh dari tempat tidur tetapi pasien tidak mengalami cedera [G10] Komunikasi antara petugas tidak efektif sehingga terjadi
insiden tetapi tidak mengakibatkan cedera pada pasien Kejadian Tidak Cedera (KTC) [G11] Pasien saya hampir mengalami insiden tetapi tidak jadi karena segera diketahui oleh petugas yang lain [G12] Terjadi kesalahan dalam pengisian data rekam medik pasien, tetapi segera diketahui dan dilakukan perbaikan [G13] Pasien yang dirawat ditempat Anda bekerja hampir terjatuh dari tempat tidur tetapi tidak jadi karena segera diketahui oleh petugas [G14] Komunikasi antara petugas tidak efektif tetapi tidak terjadi insiden pada pasien Terima Kasih Atas kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/i untuk mengisi kuesioner ini. Mohon untuk diperiksa kembali jawaban Anda dan pastikan sudah lengkap tersisi semua.
LAMPIRAN HASIL OUTPUT SPSS Kategori_IKP Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Pernah
30
39.5
39.5
39.5
Tidak Pernah
46
60.5
60.5
100.0
Total
76
100.0
100.0
Kategori_KTD Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Pernah
20
26.3
26.3
26.3
Tidak Pernah
56
73.7
73.7
100.0
Total
76
100.0
100.0
Kategori_KNC Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Pernah
23
30.3
30.3
30.3
Tidak Pernah
53
69.7
69.7
100.0
Total
76
100.0
100.0
Kategori_KTC Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Pernah
28
36.8
36.8
36.8
Tidak Pernah
48
63.2
63.2
100.0
Total
76
100.0
100.0
UJI NORMALITAS Descriptives Statistic Skor_PengetahuanPerawat
Mean 95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
6.94
Upper Bound
7.45
5% Trimmed Mean
7.22
Median
7.00
Variance
1.254
Std. Deviation
1.120
Minimum
5
Maximum
9
Range
4
Interquartile Range
.128
2
Skewness Skor_Komunikasi
Std. Error
7.20
-.168
.276
Kurtosis
-.546
.545
Mean
16.34
.224
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
15.90
Upper Bound
16.79
5% Trimmed Mean
16.28
Median
16.00
Variance
3.828
Std. Deviation
1.957
Minimum
13
Maximum
20
Range
7
Interquartile Range
3
Skewness Kurtosis Skor_GangguanInterupsi
Mean 95% Confidence Interval for Mean
.244
Upper Bound
9.72
5% Trimmed Mean
9.31
Median
9.00
Variance
4.530
Std. Deviation
2.128
Minimum
3
Maximum
12 9 3
Skewness
-.276
.276
Kurtosis
-.544
.545
9.49
.144
Mean 95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
9.20
Upper Bound
9.77
5% Trimmed Mean
9.47
Median
9.00
Variance
1.586
Std. Deviation
1.260
Minimum
7
Maximum
12
Range
5
Interquartile Range
1
Skewness Kurtosis Mean 95% Confidence Interval for Mean
.442
.276
-.128
.545
8.91
.113
Lower Bound
8.68
Upper Bound
9.13
5% Trimmed Mean
8.88
Median
9.00
Variance
.965
Std. Deviation
.982
Minimum
7
Maximum
12
Range
5
Interquartile Range
2
Skewness Kurtosis Skor_ImplementasiSOP
.545
9.24 8.75
Interquartile Range
Skor_KelelahanPerawat
.276
Lower Bound
Range
Skor_StresPerawat
.556 -.935
Mean 95% Confidence Interval for Mean
.449
.276
.178
.545
16.86
.221
Lower Bound
16.41
Upper Bound
17.30
5% Trimmed Mean
16.83
Median
16.00
Variance
3.725
Std. Deviation
1.930
Minimum
14
Maximum
20
Range
6
Interquartile Range
4
Skewness Kurtosis Skor_KerjasamaTim
Mean 95% Confidence Interval for Mean
.496
.276
-1.225
.545
22.74
.296
Lower Bound
22.15
Upper Bound
23.33
5% Trimmed Mean
22.71
Median
22.00
Variance
6.676
Std. Deviation
2.584
Minimum
16
Maximum
28
Range
12
Interquartile Range
3
Skewness
.470
.276
Kurtosis
.480
.545
DISTRIBUSI FREKUENSI Kategori_UsiaPerawat Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
< 30 Tahun
47
61.8
61.8
61.8
> 30 Tahun
29
38.2
38.2
100.0
Total
76
100.0
100.0
Kategori_PengetahuanPerawat Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Pengetahuan Kurang
19
25.0
25.0
25.0
Pengetahuan Baik
57
75.0
75.0
100.0
Total
76
100.0
100.0
Kategori_StresPerawat Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Stres Tinggi
14
18.4
18.4
18.4
Stres Rendah
62
81.6
81.6
100.0
Total
76
100.0
100.0
Kategori_KelelahanPerawat Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Kelelahan Tinggi
29
38.2
38.2
38.2
Kelelahan Rendah
47
61.8
61.8
100.0
Total
76
100.0
100.0
Kategori_Komunikasi Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Komunikasi Tidak Efektif
36
47.4
47.4
47.4
Komunikasi Efektif
40
52.6
52.6
100.0
Total
76
100.0
100.0
Kategori_ImplementasiSOP Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Implementasi SOP Kurang
23
30.3
30.3
30.3
Implementasi SOP Baik
53
69.7
69.7
100.0
Total
76
100.0
100.0
Kategori_KerjasamaTim Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Kerjasama Tim Kurang
19
25.0
25.0
25.0
Kerjasama Tim Baik
57
75.0
75.0
100.0
Total
76
100.0
100.0
Kategori_GangguanInterupsi Frequency Valid
Gangguan/Interupsi Tinggi
28
Gangguan/Interupsi Rendah
48
Total
76
Percent
Valid Percent
36.8
Cumulative Percent
36.8
36.8
63.2
63.2
100.0
100.0
100.0
OUTPUT TABULASI SILANG Kategori_UsiaPerawat * Kategori_IKP Crosstabulation Kategori_IKP
Kategori_UsiaPerawat
< 30 Tahun
> 30 Tahun Total
Pernah
Tidak Pernah
Total
Count
25
22
47
% within Kategori_UsiaPerawat
53.2%
46.8%
100.0%
Count
5
24
29
% within Kategori_UsiaPerawat
17.2%
82.8%
100.0%
Count
30
46
76
% within Kategori_UsiaPerawat
39.5%
60.5%
100.0%
Kategori_PengetahuanPerawat * Kategori_IKP Crosstabulation Kategori_IKP
Kategori_PengetahuanPer awat
Pengetahuan Kurang
Pengetahuan Baik Total
Pernah
Tidak Pernah
Total
Count
17
2
19
% within Kategori_PengetahuanPerawat
89.5%
10.5%
100.0%
Count
13
44
57
% within Kategori_PengetahuanPerawat
22.8%
77.2%
100.0%
Count
30
46
76
% within Kategori_PengetahuanPerawat
39.5%
60.5%
100.0%
Kategori_StresPerawat * Kategori_IKP Crosstabulation Kategori_IKP
Kategori_StresPerawat
Stres Tinggi
Stres Rendah Total
Pernah
Tidak Pernah
Total
Count
11
3
14
% within Kategori_StresPerawat
78.6%
21.4%
100.0%
Count
19
43
62
% within Kategori_StresPerawat
30.6%
69.4%
100.0%
Count
30
46
76
Kategori_StresPerawat * Kategori_IKP Crosstabulation Kategori_IKP
Kategori_StresPerawat
Stres Tinggi
Stres Rendah Total
Pernah
Tidak Pernah
Total
Count
11
3
14
% within Kategori_StresPerawat
78.6%
21.4%
100.0%
Count
19
43
62
% within Kategori_StresPerawat
30.6%
69.4%
100.0%
Count
30
46
76
% within Kategori_StresPerawat
39.5%
60.5%
100.0%
Kategori_KelelahanPerawat * Kategori_IKP Crosstabulation Kategori_IKP
Kategori_KelelahanPe rawat
Kelelahan Tinggi
Kelelahan Rendah
Total
Pernah
Tidak Pernah
Total
Count
16
13
29
% within Kategori_KelelahanPerawat
55.2%
44.8%
100.0%
Count
14
33
47
% within Kategori_KelelahanPerawat
29.8%
70.2%
100.0%
Count
30
46
76
% within Kategori_KelelahanPerawat
39.5%
60.5%
100.0%
Kategori_Komunikasi * Kategori_IKP Crosstabulation Kategori_IKP
Kategori_Komunikasi
Komunikasi Tidak Efektif Komunikasi Efektif
Total
Pernah
Tidak Pernah
Total
Count
17
19
36
% within Kategori_Komunikasi
47.2%
52.8%
100.0%
Count
13
27
40
% within Kategori_Komunikasi
32.5%
67.5%
100.0%
Count
30
46
76
% within Kategori_Komunikasi
39.5%
60.5%
100.0%
Kategori_ImplementasiSOP * Kategori_IKP Crosstabulation Kategori_IKP
Kategori_ImplementasiSO P
Implementasi SOP Kurang
Implementasi SOP Baik Total
Pernah
Tidak Pernah
Total
Count
15
8
23
% within Kategori_ImplementasiSOP
65.2%
34.8%
100.0%
Count
15
38
53
% within Kategori_ImplementasiSOP
28.3%
71.7%
100.0%
Count
30
46
76
% within Kategori_ImplementasiSOP
39.5%
60.5%
100.0%
Kategori_KerjasamaTim * Kategori_IKP Crosstabulation Kategori_IKP
Kategori_KerjasamaTim
Kerjasama Tim Kurang
Kerjasama Tim Baik
Pernah
Tidak Pernah
Total
Count
13
6
19
% within Kategori_KerjasamaTim
68.4%
31.6%
100.0%
Count
17
40
57
% within Kategori_KerjasamaTim
29.8%
70.2%
100.0%
Count
30
46
76
% within Kategori_KerjasamaTim
39.5%
60.5%
100.0%
Total
Kategori_GangguanInterupsi * Kategori_IKP Crosstabulation Kategori_IKP
Kategori_GangguanInt erupsi
Gangguan/Interupsi Tinggi
Gangguan/Interupsi Rendah
Pernah
Tidak Pernah
Total
Count
16
12
28
% within Kategori_GangguanInterupsi
57.1%
42.9%
100.0%
Count
14
34
48
% within Kategori_GangguanInterupsi
29.2%
70.8%
100.0%
Count
30
46
76
% within Kategori_GangguanInterupsi
39.5%
60.5%
100.0%
Total
DISTRIBUSI ITEM PERTANYAAN A1
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
0
25
32.9
32.9
32.9
1
51
67.1
67.1
100.0
Total
76
100.0
100.0
A2
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
0
39
51.3
51.3
51.3
1
37
48.7
48.7
100.0
Total
76
100.0
100.0
A3
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
0
10
13.2
13.2
13.2
1
66
86.8
86.8
100.0
Total
76
100.0
100.0
A4
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
0
25
32.9
32.9
32.9
1
51
67.1
67.1
100.0
Total
76
100.0
100.0
Frequency
Percent
Valid Percent
0
13
17.1
17.1
17.1
1
63
82.9
82.9
100.0
Total
76
100.0
100.0
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
17
22.4
22.4
22.4
A5
Valid
Cumulative Percent
A6
Valid
0
1
59
77.6
77.6
Total
76
100.0
100.0
Frequency
Percent
100.0
A7
Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
0
6
7.9
7.9
7.9
1
70
92.1
92.1
100.0
Total
76
100.0
100.0
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
76
100.0
100.0
100.0
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
A8
Valid
1
A9
Valid
0
2
2.6
2.6
2.6
1
74
97.4
97.4
100.0
Total
76
100.0
100.0
Frequency
Percent
Valid Percent
3
44
57.9
57.9
57.9
4
32
42.1
42.1
100.0
Total
76
100.0
100.0
Frequency
Percent
D1
Valid
Cumulative Percent
D2
Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
2
5
6.6
6.6
6.6
3
60
78.9
78.9
85.5
4
11
14.5
14.5
100.0
Total
76
100.0
100.0
D3
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
1
1.3
1.3
1.3
2
19
25.0
25.0
26.3
3
36
47.4
47.4
73.7
4
20
26.3
26.3
100.0
Total
76
100.0
100.0
D4 Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
2
7
9.2
9.2
9.2
3
58
76.3
76.3
85.5
4
11
14.5
14.5
100.0
Total
76
100.0
100.0
D5
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
2
26
34.2
34.2
34.2
3
37
48.7
48.7
82.9
4
13
17.1
17.1
Total
76
100.0
100.0
Frequency
Percent
100.0
D6
Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
2
3
3.9
3.9
3.9
3
68
89.5
89.5
93.4 100.0
4
5
6.6
6.6
Total
76
100.0
100.0
E1
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
3
29
38.2
38.2
38.2
4
47
61.8
61.8
100.0
Total
76
100.0
100.0
E2
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
1
1.3
1.3
1.3
3
45
59.2
59.2
60.5
4
30
39.5
39.5
100.0
Total
76
100.0
100.0
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
2
7
9.2
9.2
9.2
3
45
59.2
59.2
68.4
4
24
31.6
31.6
100.0
Total
76
100.0
100.0
E3
Valid
E4
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
3
48
63.2
63.2
63.2
4
28
36.8
36.8
100.0
Total
76
100.0
100.0
E5 Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
2
5
6.6
6.6
6.6
3
45
59.2
59.2
65.8
4
26
34.2
34.2
100.0
Total
76
100.0
100.0
F1
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
3
39
51.3
51.3
51.3
4
37
48.7
48.7
100.0
Total
76
100.0
100.0
F2 Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
2
1
1.3
1.3
1.3
3
45
59.2
59.2
60.5
4
30
39.5
39.5
100.0
Total
76
100.0
100.0
Frequency
Percent
Valid Percent
3
44
57.9
57.9
57.9
4
32
42.1
42.1
100.0
Total
76
100.0
100.0
Frequency
Percent
F3
Valid
Cumulative Percent
F4
Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
1
3
3.9
3.9
3.9
2
8
10.5
10.5
14.5
3
43
56.6
56.6
71.1
4
22
28.9
28.9
100.0
Total
76
100.0
100.0
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
1.3
1.3
1.3
F5
Valid
1 2
3
3.9
3.9
5.3
3
47
61.8
61.8
67.1
4
25
32.9
32.9
100.0
Total
76
100.0
100.0
F6
Valid
1
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
10
13.2
13.2
13.2
2
7
9.2
9.2
22.4
3
33
43.4
43.4
65.8
4
26
34.2
34.2
100.0
Total
76
100.0
100.0
F7
Valid
1
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
6
7.9
7.9
7.9
2
7
9.2
9.2
17.1
3
37
48.7
48.7
65.8
4
26
34.2
34.2
100.0
Total
76
100.0
100.0
B1
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
2
1
1.3
1.3
1.3
3
39
51.3
51.3
52.6
4
36
47.4
47.4
100.0
Total
76
100.0
100.0
B2
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
2
1
1.3
1.3
1.3
3
56
73.7
73.7
75.0
4
19
25.0
25.0
100.0
Total
76
100.0
100.0
Frequency
Percent
B3
Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
2
2
2.6
2.6
2.6
3
50
65.8
65.8
68.4
4
24
31.6
31.6
100.0
Total
76
100.0
100.0
B4
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
2
4
5.3
5.3
5.3
3
54
71.1
71.1
76.3
4
18
23.7
23.7
100.0
Total
76
100.0
100.0
Frequency
Percent
B5
Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
1
1
1.3
1.3
1.3
2
11
14.5
14.5
15.8
3
38
50.0
50.0
65.8
4
26
34.2
34.2
100.0
Total
76
100.0
100.0
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
1
1.3
1.3
1.3
2
12
15.8
15.8
17.1
3
33
43.4
43.4
60.5
4
30
39.5
39.5
100.0
Total
76
100.0
100.0
C1
Valid
C2
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
3
3.9
3.9
3.9
2
22
28.9
28.9
32.9
3
26
34.2
34.2
67.1
4
25
32.9
32.9
100.0
Total
76
100.0
100.0
Frequency
Percent
C3
Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
1
2
2.6
2.6
2.6
2
17
22.4
22.4
25.0
3
31
40.8
40.8
65.8
4
26
34.2
34.2
100.0
Total
76
100.0
100.0
G1
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
3
4
5.3
5.3
5.3
4
72
94.7
94.7
100.0
Total
76
100.0
100.0
Frequency
Percent
G2
Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
3
5
6.6
6.6
6.6
4
71
93.4
93.4
100.0
Total
76
100.0
100.0
Frequency
Percent
Valid Percent
3
13
17.1
17.1
17.1
4
63
82.9
82.9
100.0
Total
76
100.0
100.0
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
2
1
1.3
1.3
1.3
3
4
5.3
5.3
6.6
4
71
93.4
93.4
100.0
Total
76
100.0
100.0
G3
Valid
Cumulative Percent
G4
Valid
G5 Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
2
1
1.3
1.3
1.3
3
9
11.8
11.8
13.2
4
66
86.8
86.8
100.0
Total
76
100.0
100.0
G6
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
3
5
6.6
6.6
6.6
4
71
93.4
93.4
100.0
Total
76
100.0
100.0
G7
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
3
6
7.9
7.9
7.9
4
70
92.1
92.1
100.0
Total
76
100.0
100.0
G8
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
1.3
1.3
1.3
3
9
11.8
11.8
13.2
4
66
86.8
86.8
100.0
Total
76
100.0
100.0
2
G9
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
2
2
2.6
2.6
2.6
3
13
17.1
17.1
19.7
4
61
80.3
80.3
100.0
Total
76
100.0
100.0
Frequency
Percent
G10
Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
2
1
1.3
1.3
1.3
3
13
17.1
17.1
18.4
4
62
81.6
81.6
100.0
Total
76
100.0
100.0
G11
Valid
1
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
1.3
1.3
1.3
2
5
6.6
6.6
7.9
3
16
21.1
21.1
28.9
4
54
71.1
71.1
100.0
Total
76
100.0
100.0
G12
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
2
4
5.3
5.3
5.3
3
21
27.6
27.6
32.9
4
51
67.1
67.1
100.0
Total
76
100.0
100.0
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
2
10
13.2
13.2
13.2
3
13
17.1
17.1
30.3
4
53
69.7
69.7
100.0
Total
76
100.0
100.0
Frequency
Percent
G13
Valid
G14
Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
2
1
1.3
1.3
1.3
3
17
22.4
22.4
23.7
4
58
76.3
76.3
100.0
Total
76
100.0
100.0