GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR KEJADIAN STUNTING PADA BALITA USIA 24-59 BULAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2010 (ANALISIS DATA SEKUNDER RISKESDAS 2010)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Disusun oleh: SHELLA MONICA DALIMUNTHE 108101000024
PEMINATAN GIZI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/1437 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar srata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesahatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesahatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesahatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta,
Mei 2015
NIM. 108101000024
i
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN GIZI SKRIPSI, MEI 2015 Shella Monica Dalimunthe, NIM: 108101000024 Gambaran Faktor-Faktor Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder Riskesdas 2010) xiii+ 111 halaman + 18 tabel + 12 grafik + 2 bagan + 2 lampiran ABSTRAK Masalah gizi merupakan penyebab sepertiga kematian pada anak. Stunting menjadi indikator kunci dari kekurangan gizi kronis, seperti pertumbuhan yang melambat, perkembangan otak tertinggal dan sebagai hasilnya anak-anak stunting lebih mungkin mempunyai daya tangkap yang rendah. Dari data Riskesdas 2010 beberapa provinsi dengan jumlah kejadian balita stunting tertinggi menunjukkan bahwa kejadian balita stunting banyak terdapat pada rentang usia 24-59 bulan. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu Provinsi yang memiliki prevalensi stunting diatas prevalensi nasional. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Studi ini menggunakan data sekunder yaitu dengan menganalisis data dari penelitian Riskesdas 2010 di Provinsi NTB. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2013. Sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 388 balita berusia 24-59 bulan di Provinsi NTB. Variabel independen yang diteliti dalam penelitian ini yaitu asupan energi balita, asupan protein balita, jenis kelamin, berat lahir balita, jumlah anggota rumah tangga, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal balita dan status ekonomi keluarga. Sedangkan variabel dependennya adalah kejadian stunting. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner riskesdas. Data yang diperoleh kemudian dilakukan uji statistik dengan rumus chi square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang mengalami stunting sebanyak 56.36%, sedangkan balita normal sebanyak 43.63%. Sebanyak 58.22% balita memiliki asupan energi kurang, sedangkan 41.77% lainnya memiliki asupan energi cukup. 51.70% balita memiliki asupan protein cukup dan sisanya masih memiliki asupan protein kurang. Sebanyak 51.59% balita berjenis kelamin perempuan, sisanya berjenis kelamin laki- laki. Balita lahir dengan BBLR sebanyak 8.62%, sedangka n sisanya lahir dengan berat badan normal. Sebanyak 72.06% anak berasal dari keluarga besar, sisanya berasal dari keluarga kecil. Sebagian besar ibu balita berpendidikan rendah, hanya sebanyak 33.13% yang berpendidikan tinggi. Ayah dengan pendidikan rendah sebanyak 71.51%, sisanya berpendidikan tinggi. Sebanyak 66.8% ibu balita merupakan ibu rumah tangga, sisanya berkerja. Sebanyak 97.03% ayah balita bekerja, sisa nya tidak bekerja. 41.77% balita tinggal di daerah perkotaan, sisanya di pedesaan. Hanya sebesar 17.53%
ii
balita yang berasal dari keluarga berstatus ekonomi tinggi, sisanya berstatus ekonomi rendah. Kata kunci Daftar bacaan
: gizi buruk, stunting, balita : 90 (1985 - 2012)
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH SPECIALISATION NUTRITION THESIS, MAY 2015. Shella Monica Dalimunthe, NIM: 108101000024 Overvie w Determinants of Stunting in Toddle rs age 24-59 Months in The Province of West Nusa Tenggara Year 2010 (Secondary Data Analysis of Riskesdas 2010) xiii + 111 pages + 17 tables + 12 charts + 2 sche mas + 2 attachments
ABSTRACT
Nutritional problems are the cause of all deaths in children. Stunting be a key indicator of chronic malnutrition, such as slowed growth, brain development lags behind and as a result of stunting children are more likely to have a low perception. From the data of Riskesdas 2010 several provinces with the highest incidence of stunting in toddlers showed that the incidence of stunting are happened mostly in the age range 2459 months. West Nusa Tenggara Province (NTB) is one province that has a prevalence of stunting above the national prevalence. This research is a quantitative study with cross sectional approach. This study used secondary data analysis from the study of Riskedas 2010 in NTB Province. The research was conducted in March 2013. The sample that was used in this research is 388 toddlers aged 24-59 months in NTB Province. The independent variables examined in this study were toddler energy intake, toddler protein intake, sex, birth weight infants, the number of household members, mother's education, father's education, mother's occupation, father's occupation, region of residence and family economic status. While the dependent variable was the incidence of stunting. The instrument used in this study is a questionnaire of Riskesdas 2010. The data obtained was then performed in statistical tests with chi-square formula. The results showed that toddlers who stunted are 56.36%, while the other 43.63% are normal. A total of 58.22% of the toddlers have less energy intake, while another 41.77% having sufficient energy intake. 51.70% of toddlers have enough protein and the rest still has less protein intake. A total of 51.59% are female toddlers, while the remaining toddlers are male. Toddlers born with low birth weight are 8.62%, while the rest were born with normal weight. A total of 72.06% of the children come from large families, the rest comes from a small family. Most of the toddler's mother was poorly educated, just as much as 33.13% with high education. Fathers with low education are 71.51%, the rest is highly educated. A total of 66.8% of toddlers’ mothers are housewives, and the remaining mothers are working. A total of 97.03% toddler's father are working, the rest are unemployed. 41.77% of the toddlers living in urban areas, the
iv
rest in the countryside. Only by 17.53% of toddlers who comes from a family with high economic status, the rest are from low economic status. Keywords : malnutrition, stunting, toddler Reading lists : 90 (1985 - 2012)
v
Judul Skripsi
GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR KEJADIAN STUNTING PADA BALITA USIA 24-59 BULAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2010 (ANALISIS DATA SEKUNDER RISKESDAS 2010)
Telah diperiksa, disetujui, dan dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Disusun Oleh: SHELLA MONICA DALIMUNTHE NIM. 108101000024
Jakarta,
April 2015
Mengetahui
Pembimbing I
Pembimbing II
Raihana Nadra Alkaff, SKM, MMA
Ratri Ciptaningtyas, S.Sn.Kes
NIP. 19781216 200901 2005
NIP. 19840404 200912 2 007 vi
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGRISYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Jakarta, April 2015 Mengetahui
Penguji I
Catur Rosidati, MKM
Penguji II
Narila Mutia Nasir, Ph.D
Penguji III
Hj. Farihah Sulasiah, MKM
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama
: Shella Monica Dalimunthe
Tempat/Tgl Lahir
: Jakarta, 10 Juni 1990
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Kuningan No. 99B RT 05/RW 01 Cempaka Putih Ciputat Timur, Tangerang Selatan, 15412.
No Telp / Hp
: (021) 93827650/ 085697690476
Email
:
[email protected]
II. PENDIDIKAN 1995 – 1996
: TK Cressendo
1996 – 2002
: SD Negeri Situ Gintung 1
2002 – 2005
: SMP Negeri 178 Jakarta
2005 – 2008
: SMA Negeri 29 Jakarta
2008 – 2014
: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan, Program Studi Kesehatan Masyarakat
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang tak terhinggackepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kemudian tak lupa shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, semoga kita semua mendapatkan syafa’at dan pertolongannya di yaumil qiyamah nanti. Skripsi dengan judul “Gambaran Faktor-faktor Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder Riskesdas 2010” ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, motivasi dan semangat dari banyak pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan ungkapan dan rasa terima kasih yang tak terhingga ini kepada: 1. Mama dan Papa tercinta yang selalu memberikan segala dukungan, doa dan perhatian kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 2. Bapak Prof. Dr. (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp. And, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Ir. Febrianti, M.Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat. 4. Ibu Catur Rosidati, SKM, MKM selaku Sekretaris Program Studi Kesehatan Masyarakat. 5. Ibu Raihana Nadra Alkaff, SKM, MMA selaku dosen pembimbing I yang telah dengan sabar memberikan ilmu, bimbingan, pengarahan, motivasi, tuntunan dan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan yang luar biasa kepada penulis.sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 6. Ibu Ratri Ciptaningtyas, S.Sn.Kes, MHS selaku dosen pembimbing II yang banyak meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan memberikan ilmu- ilmu baru, semoga Allah SWT mencatat segala amal kebaikannya sebagai ibadah. 7. Ibu DR. Ela Laelasari, SKM, M.kes selaku dosen pembimbing akademik. 8. Para dosen program studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing serta memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis. ix
9. Bapak Ahmad Gozali dan Bapak Azib selaku bagian akademik, terima kasih atas bantuannya dalam pembuatan surat-surat untuk penelitian ini. 10. Para Staf Balitbangkes Kementerian Kesehatan, terima kasih atas kepercayaannya dalam memberikan data Riskesdas 2010 sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini. 11. Teman-teman seperjuangan–STOOPELTH 2008, kakak-kakak, serta adikadik kelasku yang selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis. 12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih banyak. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih kurang dar i sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan dimasa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin Wassalamu’alaikum wr. wb.
Jakarta, Mei 2015 Shella Monica Dalimunthe
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ ABSTRAK …………………………………………………………………………. ABSTRACT ……………………………………………………………………….. PERYATAAN PERSETUJUAN ............................................................................... PANITIA SIDANG ..................................................................................................... DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………. KATA PENGANTAR …………………………………………………………….. DAFTAR ISI ………………………………………………………………………. DAFTAR TABEL …………………………………………………………………. DAFTAR GRAFIK ………………………………………………………………… DAFTAR BAGAN ………………………………………………………………….
i ii iv vi vii viii ix xi xiv xv xvi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 1.3 Pertanyaan Penelitian ........................................................................................ 1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 1.4.1 Tujuan Umum .......................................................................................... 1.4.2 Tujuan Khusus ......................................................................................... 1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 1.5.1 Manfaat Teoritis ....................................................................................... 1.5.2 Manfaat Aplikatif ..................................................................................... 1.6 Ruang Lingkup .................................................................................................
1 6 7 8 8 8 8 8 9 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stunting Pada Balita ......................................................................................... 2.2 Penilaian Status Gizi ...………. ........................................................................ 2.2.1 Pengukurang Antropometri .................................................................... 2.2.1.1 Pengukuran Antropometri Pada Balita ………………………… 2.2.1.2 Parameter Antropometri ……………………………………….. 2.2.1.3 Indeks Antropometri …………………………………………... 2.2.2 Klasifikasi Status Gizi …………………………………………………. 2.3 Pengukuran Asupan Makanan .......................................................................... 2.3.1 24-hour food recall ................................................................................... 2.3.2 Food Frequency Questionnaire (FFQ) ..................................................... 2.3.3 Estimated Food Record ............................................................................ 2.3.4 Dietary History (Riwayat Konsumsi Makanan) ...................................... 2.4 Pertumbuhan dan Perkembangan Balita............................................................ 2.4.1 Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan .......................................... 2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stunting Pada Balita ................................ 2.5.1 Asupan Energi ..........................................................................................
10 18 18 18 18 19 22 23 23 26 28 29 30 30 31 31
xi
2.5.2 Asupan Protein ........................................................................................ 2.5.3 Jenis kelamin ......................................................................................... 2.5.4 Berat Lahir ............................................................................................... 2.5.5 Jumlah Anggota Rumah Tangga ……………………………………… 2.5.6 Pendidikan Ibu ……................................................................................ 2.5.7 Pendidikan Ayah ……………………………………………………… 2.5.8 Pekerjaan Ibu .......................................................................................... 2.5.9 Pekerjaan Ayah ……………………………………………………….. 2.5.10 Wilayah Tempat Tinggal ….................................................................. 2.5.11 Status Ekonomi Keluarga....................................................................... 2.6 Kerangka Teori .................................................................................................
33 34 35 36 38 40 41 42 43 45 47
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep .............................................................................................. 3.2 Definisi Operasional .........................................................................................
48 50
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian .............................................................................................. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................ 4.3 Populasi dan Sampel ......................................................................................... 4.3.1 Populasi .................................................................................................... 4.3.2 Sampel ..................................................................................................... 4.4 Pengumpulan Data ............................................................................................ 4.4.1 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 4.4.2 Instrument Penelitian ............................................................................... 4.4.3 Asupan Energi dan Protein ……………………………………………. 4.4.4 Berat Lahir ……………………………………………………………. 4.4.5 Jenis Kelamin Balita ………………………………………………….. 4.4.6 Pendidikan Ayah dan Ibu (Orang Tua) ………………………………. 4.4.7 Status Bekerja Ayah dan Ibu (Orang Tua)……………………………. 4.4.8 Tingkat Ekonomi Keluarga …………………………………………… 4.4.9 Jumlah Anggota Keluarga …………………………………………….. 4.4.10 Wilayah Tempat Tinggal ……………………………………………. 4.5 Pengolahan Data ............................................................................................... 4.5.1 Pembersihan Data (Data Cleaning) ......................................................... 4.5.2 Transformasi Data/Recode ...................................................................... 4.6 Analisis Data ..................................................................................................... 4.6.1 Analisis Deskriptif (Univariat) ................................................................
53 53 54 54 54 56 56 56 57 58 58 58 59 60 60 61 61 61 61 62 62
BAB V HASIL 5.1 Analisis Univariat …………………………………………………………... 5.1.1 Gambaran Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat ………………………………………………………… xii
63 63
5.1.2 Gambaran Asupan Energi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat ……………………………………………………….. 5.1.3 Gambaran Asupan Protein Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat ……………………………………………………….. 5.1.4 Gambaran Jenis Kelamin Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat ……………………………………………………………… 5.1.5 Gambaran Berat Lahir Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat ……………………………………………………………… 5.1.6 Gambaran Jumlah Anggota Keluarga Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat ……………………………………………… 5.1.7 Gambaran Pendidikan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat ……………………………………………………………… 5.1.8 Gambaran Pendidikan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat ……………………………………………………………… 5.1.9 Gambaran Pekerjaan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat ……………………………………………………………… 5.1.10 Gambaran Pekerjaan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat ……………………………………………………………… 5.1.11 Gambaran Wilayah Tempat Tinggal Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat ……………………………………………… 5.1.12 Gambaran Status Ekonomi Keluarga Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat ……………………………………………… BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian ……………………………………………………... 6.2 Gambaran Stunting Pada Balita ……………………………………………... 6.3 Gambaran Asupan Energi dengan Kejadian Stunting pada Balita ………….. 6.4 Gambaran Asupan Protein dengan Kejadian Stunting pada Balita …………. 6.5 Gambaran Jenis Kelamin dengan Kejadian Stunting pada Balita …………… 6.6 Gambaran Berat Lahir dengan Kejadian Stunting pada Balita ……………… 6.7 Gambaran Jumlah Anggota Rumah Tangga dengan Kejadian Stunting pada Balita ………………………………………………………………………… 6.8 Gambaran Pendidikan Ibu dengan Kejadian Stunting pada Balita ………….. 6.9 Gambaran Pendidikan Ayah dengan Kejadian Stunting pada Balita ………… 6.10 Gambaran Pekerjaan Ibu dengan Kejadian Stunting pada Balita …………… 6.11 Gambaran Pekerjaan Ayah dengan Kejadian Stunting pada Balita…………. 6.12 Gambaran Wilayah Tempat Tinggal dengan Kejadian Stunting pada Balita.. 6.13 Gambaran Status Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting pada Balita... BAB VII PENUTUP 7.1 Simpulan …………………………………………………………………….. 7.2 Saran ………………………………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. LAMPIRAN xiii
64 65 67 68 70 71 73 74 76 77 79
81 82 84 87 89 92 93 95 98 100 102 103 105
108 109 112
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tabel 2.2
Klasifikasi Penilaian Tingkat Kekurangan Gizi Anak-anak dibawah Usia 5 Tahun …………………............................................ Klasifikasi Status Gizi ……………………………………………..
Tabel 3.1 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 5.1
Definisi Operasional ........................................................................... Daftar Variabel dan Kuisioner dalam Riskesdas 2010 ....................... Kode Variabel Pendidikan dalam Riskesdas 2010 …………........... Kode Variabel Pekerjaan dalam Riskesdas 2010 ………………… Gambaran Kejadian Stunting berdasarkan Asupan Energi pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010………………………………………………………………. Tabel 5.2 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Asupan Protein pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ……………………………………………………………….. Tabel 5.3 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Jenis Kelamin pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ...... Tabel 5.4 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Berat Lahir pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ….. Tabel 5.5 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 …………………………………………………............. Tabel 5.6 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Pendidikan Ibu pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ……………………………………………………………….. Table 5.7 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Pendidikan Ayah pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 …………………………………………………………............ Tabel 5.8 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Pekerjaan Ibu pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ...... Tabel 5.9 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Pekerjaan Ayah pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………………………………………………………................ Tabel 5.10 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Wilayah Tempat Tinggal pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 …………………………………………………............. Tabel 5.11 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Status Ekonomi Keluarga pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………………………………………………….............
xiv
13 22 50 57 58 59
65
67 68 70
71
73
74 76
77
79
80
DAFTAR GRAFIK Grafik 5.1 Gambaran Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ……………………....... 63 Grafik 5.2 Gambaran Asupan Energi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………………………………...... 64 Grafik 5.3 Gambaran Asupan Protein Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………………………... 66 Grafik 5.4 Gambaran i Jenis Kelamin Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ....................................... 67 Grafik 5.5 Gambaran Berat Lahir Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010………………………………....... 69 Grafik 5.6 Gambaran Jumlah Anggota Keluarga Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ……………………. 70 Grafik 5.7 Gambaran Pendidikan Ibu Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ……………………....... 72 Grafik 5.8 Gambaran Pendidikan Ayah Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………………………... 73 Grafik 5.9 Gambaran Pekerjaan Ibu Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………………………………...... 75 Grafik 5.10 Gambaran Pekerjaan Ayah Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………………………... 76 Grafik 5.11 Gambaran Wilayah Tempat Tinggal Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ……………………... 78 Grafik 5.12 Gambaran Wilayah Status Ekonomi Keluarga Pada Balita Usia 2459 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………….... 79
xv
DAFTAR BAGAN Bagan 2.1 Kerangka Teori …………………………………….. .....................
47
Bagan 3.1 Kerangka Konsep …………………………………………….......
49
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah gizi merupakan penyebab sepertiga kematian pada anak. Berinvestasi pada kesehatan anak, sama halnya dengan berinvestasi pada kemajuan suatu negara (Hunt, 2001). Masa ketika anak berada di bawah umur lima tahun (balita) merupakan masa kritis dari perkembangan dan pertumbuhan dalam siklus hidup manusia. Anak mengalami pertumbuhan fisik yang paling pesat dan masa ini juga disebut masa emas perkembangan otak. Oleh karena itu, baik buruknya status gizi balita akan berdampak langsung pada pertumbuhan dan perkembangan kognitif dan psikomotoriknya (Boggin, 1999). Bila dibandingkan dengan pertumbuhan berdasarkan standar WHO, adanya 178 juta anak di dunia yang terlalu pendek berdasarkan usia membuat stunting menjadi indikator kunci dari kekurangan gizi kronis. Seperti pertumbuhan yang melambat, perkembangan otak tertinggal dan sebagai hasilnya anak-anak stunting lebih mungkin mempunyai daya tangkap yang rendah (WHO, 2011). Kebanyakan kasus gangguan pertumbuhan terjadi pada masa-masa awal kehidupan manusia (Brown and Begin, 1993 dalam Semba and Bloem, 2001). Pada kenyataannya, terbukti bahwa hampir semua gangguan pertumbuhan anak di negara berkembang terjadi pada dua hingga tiga tahun pertama kehidupan (De Onis a nd blossner, 1997 dalam Semba and Bloem, 2001). Pemberian makan yang tidak tepat mengakibatkan cukup banyak anak yang menderita kurang gizi. Femomena gagal tumbuh atau growth faltering pada anak 1
2
Indonesia mulai terjadi pada usia 4-6 bulan ketika bayi yang diberikan makanan tambahan dan terus memburuk hingga usia 18-24 bulan. Kekurangan gizi memberi kontribusi dua pertiga kematian balita. Dua pertiga kematian tersebut terkait praktek pemberian makanan yang tidak tepat pada bayi dan anak usia dini. (WHO/UNICEF, 2003). Hingga saat ini, gizi kurang pada balita juga masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk Indonesia. Beberapa masalah kekurangan gizi pada balita dapat diketahui melalui beberapa indikator. Indikator tersebut diantaranya berat kurang atau underweight jika dilihat dari berat badan menurut umur (BB/U), pendek atau stunting jika dilihat dari tinggi badan menurut umur (TB/U) dan kurus atau wasting jika dilihat dari berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Dalam hal ini, berat kurang dan kurus merupakan dampak masalah kekurangan gizi yang bersifat akut, sedangkan pendek merupakan manifestasi kekurangan gizi yang bersifat kronis (Kementrian Kesehatan, 2010). Stunting pada balita biasanya kurang disadari karena perbedaan tinggi badan dengan anak usia normal kurang begitu terlihat. Stunting biasanya mulai terlihat ketika anak memasuki masa pubertas atau masa remaja. Ini merupakan hal yang buruk karena semakin terlambat disadari, maka semakin sulit pula untuk mengatas i stunting. (Hendricks, 2005 dalam Candra, 2011). Berdasarkan hasil Riskesdas 2010, prevalensi balita pendek (stunting) secara nasional adalah sebesar 35,6% yang berarti terjadi penurunan dari keadaan tahun 2007 dimana prevalensi kependekan sebesar 46,8%. Prevalensi kependekan sebesar 35,6%
3
terdiri dari 18,4% sangat pendek dan 17,1% pendek. Bila dibandingkan dengan keadaan tahun 2007, prevalensi balita sangat pendek turun dari 18,8% pada tahun 2007 menjadi 18,5% pada tahun 2010. Sedangkan prevalensi pendek menurun dari 18,0% pada tahun 2007 menjadi 17.1% pada tahun 2010. Sebanyak 15 Provinsi memiliki prevalensi kependekan di atas angka prevalensi nasional. Urutan ke 15 Provinsi tersebut dari yang memiliki prevalensi tertinggi sampai terendah adalah: (1) Nusa Tenggara Timur, (2) Papua Barat, (3) Nusa Tenggara Barat, (4) Sumatera Utara, (5) Sumatera Barat, (6) Sumatera Selatan, (7) Gorontalo, (8) Kalimantan Barat, (9) Kalimantan Tengah, (10) Aceh, (11) Sulawesi Selatan, (12) Sulawesi Tenggara, (13) Maluku, (14 ) Lampung, (15) Sulawesi Tengah. Berdasarkan usia balita, kejadian stunting banyak terdapat pada balita usia 24 hingga 59 bulan. Dari data Riskesdas 2010 beberapa provinsi dengan jumlah kejadian balita stunting tertinggi menunjukkan bahwa kejadian balita stunting banyak terdapat pada rentang usia tersebut. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) juga merupakan salah satu Provinsi yang memiliki prevalensi stunting diatas prevalensi nasional. Provinsi NTB mengalami peningkatan angka stunting pada balita. Prevalensi balita sangat pendek meningkat dari 23,8% pada tahun 2007 menjadi 27,8% pada tahun 2010. Sedangkan prevalensi balita pendek pada tahun 2007 sebesar 19,9% menjadi 20,5% pada tahun 2010. Gizi buruk kronis (stunting) tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja tetapi disebabkan oleh banyak faktor, dimana faktor- faktor tersebut saling berhubungan satu dengan lainnya, ada tiga faktor utama penyebab stunting yaitu asupan makanan yang
4
tidak seimbang (berkaitan dengan kandungan zat gizi dalam makanan yaitu karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin dan air), riwayat berat badan lahir rendah (BBLR), dan riwayat penyakit. Secara garis besar penyebab stunting dapat dikelompokkan kedalam 3 tingkatan yaitu tingkat masyarakat, rumah tangga (keluarga), dan individu. Pada tingkat masyarakat, sistem ekonomi; sistem pendidikan; sistem kesehatan dan sistem sanitasi dan air bersih menjadi faktor penyebab kejadian stunting. Pada tingkat rumah tangga (keluarga), kualitas dan kuantitas makanan yang tidak memadai; tingkat pendapatan; jumlah dan struktur anggota keluarga; pola asuh makan anak yang tidak memadai; pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai; dan sanitasi dan air bersih tidak memadai menjadi faktor penyebab stunting, dimana faktor- faktor ini terjadi akibat faktor pada tingkat masyarakat. Faktor penyebab yang terjadi di tingkat rumah tangga akan mempengaruhi keadaan individu yaitu anak berumur dibawah 5 tahun dalam hal asupan makanan menjadi tidak seimbang; berat badan lahir (BBLR); dan status kesehatan yang buruk (Unicef framework). Buruknya status gizi balita ini merupakan konsekuensi dari interaksi berbagai faktor determinan yang berhubungan dengan akses pada pangan, kelayakan tempat tinggal dan akses pelayanan kesehatan (Semba and Bloem, 2001). Penelitian menunjukkan bahwa stunting berhubungan dengan tingkat pendidikan orangtua, berat lahir, umur balita, jenis kelamin dan lokasi tempat tinggal. Selain itu, stunting pada balita juga berhubungan dengan usia ibu, pendidikan ibu, dan tingkat pengeluaran (status sosio-ekonomi) dalam rumah tangga (Semba et al., 2008).
5
Sedangkan menurut kerangka pikir UNICEF 1990, disamping faktor makanan, faktor infeksi juga turut mempengaruhi. Ayaya SO (2004) dan Hautvast JL (2000) dalam Ramli (2009) menyebutkan bahwa pada penelitian sebelumnya menunjukkan Intelligence Quotient (IQ) yang rendah, tinggi badan ibu, jenis kelamin laki- laki, tingkat pendidikan ayah dan ibu, kemiskinan, status sosioekonomi, tempat tinggal, perilaku merawat anak (pemberian makan dan ASI yang kurang memadai), keyakinan budaya, akses ke pelayanan kesehatan dan ekosistem lingkungan merupakan faktor- faktor yang berasosiasi dengan kejadian stunting pada balita. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder yaitu data balita yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang telah berhasil dikumpulkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) yang dibantu oleh sejumlah enumerator untuk setiap Kabupaten/Kota, seluruh penelitia Balitbangkes, dosen Poltekkes, Jajaran Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta Perguruan Tinggi pada bulan Juni sampai Juli 2010. Masalah gizi merupakan masalah yang cukup serius di Indonesia. Banyak penelitian mengenai masalah kesehatan dan gizi yang telah dilakukan, salah satunya yaitu Riskesdas 2010. Namun hasil Riskesdas 2010 mengenai status gizi balita khususnya faktor- faktor yang berhubungan dengan kasus stunting pada balita belum dianalisis secara mendalam. Oleh karena itu penulis ingin memanfaatkan data sekunder Riskesdas 2010 tersebut untuk melihat gambaran Faktor-faktor kejadian Stunting di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Akan tetapi keadaan data Riskesdas yang digunakan
6
untuk melakukan penelitian ini kurang begitu baik dalam segi kelengkapan data, karena cukup banyak data yang missing. Berdasarkan data yang terkumpul dari Riskesdas 2010, total balita yang berusia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat pada Tahun 2010 yaitu sebanyak 579 individu. Dari jumlah tersebut, untuk keperluan penelitian ini banyak data yang tidak lengkap, misalnya dalam satu individu sampel, satu dan/atau beberapa variabel yang dibutuhkan untuk penelitian ini tidak ada (missing) maka sampel tersebut tidak dapat digunakan untuk penelitian. Dari total 579 individu tersebut, setelah dilakukan proses cleaning data menjadi 338 individu. Sehingga seluruh individu tersebut digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk meneliti gambaran faktor- faktor kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di provinsi NTB berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2010. Faktor-faktor yang diteliti yaitu: asupan energi, asupan protein, jenis kelamin, berat lahir, jumlah anggota rumah tangga, pendidikian ib u, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal dan status ekonomi keluarga.
1.2 Rumusan Masalah Nusa Tenggara Barat (NTB) masuk dalam urutan ke 3 yang memiliki kasus stunting pada balita diatas prevalensi nasional. Stunting mengindikasi masalah kesehatan masyarakat karena berhubungan dengan meningkatnya risiko morbiditas dan mortalitas, penurunan perkembangan fungsi motorik dan mental serta mengurangi kapasitas fisik
7
(ACC/SCN 2000). Prevalensi balita sangat pendek di NTB meningkat dari 23.8% pada tahun 2007 menjadi 27.8% pada tahun 2010. Sedangkan prevalensi balita pe ndek pada tahun 2007 sebesar 19.9% menjadi 20.5% pada tahun 2010. Kejadian stunting di provinsi Nusa Tenggara Barat masih tinggi dan faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting di Nusa Tenggara Barat pun banyak. Selain itu, data konsumsi energi dan protein yang tersedia dalam Riskesdas 2010 hanya ada untuk balita berusia 24-59 bulan. Pada umumnya balita berusia 24 bulan sudah sapih ASI. Hal ini membuat konsumsi makanan balita benar-benar tergantung dari asupan energi dan protein. Maka dari itu data asupan energi dan protein menjadi sangat penting dalam penelitian ini. Oleh karena itu penulis ingin menganalisis gambaran faktor- faktor kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2010.
1.3 Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana gambaran kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat? 2. Bagaimana gambaran balita stunting usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat berdasarkan asupan energi, asupan protein, jenis kelamin, berat lahir, jumlah anggota rumah tangga, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal dan status ekonomi keluarga?
8
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Diketahuinya gambaran faktor- faktor kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Diketahuinya gambaran kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2. Diketahuinya gambaran balita stunting usia 24-59 bulan berdasarkan asupan energi, asupan protein, jenis kelamin, berat lahir, jumlah anggota rumah tangga, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal dan status ekonomi keluarga. 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis 1. Sebagai pengkayaan pengetahuan dan pengalaman praktis peneliti dibidang penelitian kesehatan masyarakat. 2. Sebagai bahan untuk penelitian lanjutan oleh peneliti lain dalam topik yang sama. 3. Sebagai tambahan referensi karya tulis yang berguna bagi masyarakat luas di bidang kesehatan masyarakat.
9
1.5.2 Manfaat Aplikatif Manfaat aplikatif dari penelitian ini adalah sebagai bahan masukan dalam evaluasi kebijakan dan pengambilan keputusan terkait masalah gizi kurang pada balita oleh pemerintah pusat Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif mengenai gambaran faktor- faktor kejadian stunting pada balita usia 24-59 di Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang dilakukan oleh mahasiswa Peminatan Gizi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasil penelitian ini dimaksudkan sebagai masukan yang berguna bagi pengambilan keputusan dalam rangka pencarian solusi untuk menanggulangi kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study berdasarkan data hasil penelitian Riskesdas tahun 2010 yang pengolahan datanya dilaksanakan pada bulan Maret tahun 2013.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stunting Pada Balita Status gizi merupakan keadaan yang disebabkan oleh keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktifitas dan pemeliharaan kesehatan (Jahari, 2004). Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan sumberdaya manusia dan kualitas hidup. Untuk itu, program perbaikan gizi bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan, agar terjadi perbaikan status gizi masyarakat (Muchtadi, 2002). Sedangkan menurut Almatsier (2003) status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan gizi. Kekurangan gizi terutama pada balita dapat menyebabkan meningkatnya risiko kematian, terganggunya pertumbuhan fisik dan perkembangan mental serta kecerdasan. Dampak kekurangan gizi bersifat permanen yang tidak dapat diperbaiki walaupun pada usia berikutnya kebutuhan gizinya terpenuhi. Kondisi kesehatan dan status gizi pada saat lahir dan balita sangat menentukan kondisi kesehatan pada masa usia sekolah dan remaja (Depkes, 2007). Masa balita merupakan proses pertumbuhan yang pesat dimana memerlukan perhatian dan kasih sayang dari orang tua dan lingkungannya. Disamping itu balita membutuhkan zat gizi yang seimbang agar status gizinya baik, serta proses pertumbuhan tidak terhambat, karena balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi (Santoso & Lies, 2004). Masa balita dinyatakan sebagai masa 10
11
kritis dalam rangka mendapatkan sumberdaya manusia yang berkualitas, terlebih pada periode 2 tahun pertama merupakan masa emas untuk pertumbuhan dan perkembangan otak yang optimal, oleh karena itu pada masa ini perlu perhatian yang serius (Azwar, 2004). Stunting merupakan keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek sehingga mlampaui defisit -2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan (Manary & Solomons, 2009). Stunting dapat didiagnosis melalui indeks antropometrik tinggi badan menurut umur yang mencerminkan pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan pasca persalinan dengan indikasi kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi yang tidak memadai dan atau kesehatan. Stunting merupakan pertumbuhan linear yang gagal untuk mencapai potensi genetik sebagai akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit (ACC/SCN, 2000). Stunting didefinisikan sebagai indikator status gizi TB/U sama dengan atau kurang dari minus dua standar deviasi (-2 SD) di bawah rata-rata dari standar (WHO, 2006a). Ini adalah indikator kesehatan anak yang kekurangan gizi kronis yang memberikan gambaran gizi pada masa lalu dan yang dipengaruhi lingkungan dan keadaan sosial ekonomi. Di seluruh dunia, 178 juta anak berusia kurang dari lima tahun (balita) menderita stunting dengan mayoritas di Asia Tengah Selatan dan sub-Sahara Afrika. Stunting
merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di negara
berpendapatan rendah dan menengah karena hubungannya dengan peningkatan risiko kematian selama masa kanak-kanak. Selain menyebabkan kematian pada masa kanakkanak, stunting juga mempengaruhi fisik dan fungsional dari tubuh (The Lancet, 2008).
12
Stunting
dan serve stunting (selanjutnya hanya disebut sebagai “stunting ”)
pada balita merupakan salah satu masalah besar yang mengancam pengembangan sumber daya manusia. Pada tahun 1995, diperkirakan angka stunting pada balita telah mencapai lebih dari 208 juta dan 206 juta diantaranya berada di negara berkembang. Lebih dari dua per tiga (72%) balita stunting berada di Asia. Pada saat ini, angka global stunting pada balita adalah 178 juta (World Vision, 2009). Di Indonesia, tren data stunting pada anak usia pra-sekolah cenderung tidak mengalami perubahan. Prevalensi ini bahkan mengalami kenaikan sejak tahun 1990 (Atmarita, 2005) Pada tahun 2003, 27,5% anak balita di Indonesia menderita kurus sedang dan berat, atau hanya 10 poin persentase lebih rendah dari pada tahun 1989, dan hampir setengahnya stunting . Anak yang menderita berat lahir rendah dan stunting
pada
gilirannya tumbuh menjadi remaja dan orang dewasa kurang gizi, dengan demikian mengabadikan siklus kekurangan gizi (Atmarita, 2005). Tahun 2005, untuk semua negara-negara berkembang, yang diperkirakan 32% (178 juta) anak-anak usia kurang dari 5 tahun memiliki skor TB/U dengan nilai Z Score kurang -2 (WHO, 2006c; De Onis, M. et al. 2006). Prevalensi tertinggi dalam subkawasan PBB adalah Afrika timur dan menengah masingmasing 50% dan 42%, dengan jumlah terbanyak anak-anak dipengaruhi oleh stunting, 74 juta, tinggal di Asia Tengah Selatan. Prevalensi stunting di Asia tahun 2007 adalah 30.6 % (UNSCN, 2008). Di negara berkembang 11,6 juta kematian anak di bawah usia lima tahun, diperkirakan 6,3
13
juta (54%) dari kematian anak-anak dikaitkan dengan gizi buruk, yang sebagian besar disebabkan oleh kekurangan gizi (WHO, 1997). Tabel 2.1 Klasifikasi Penilaian Tingkat Kekurangan Gizi Anak-anak dibawah Usia 5 Tahun Prevalensi Kekurangan Gizi Sangat Tinggi Sedang tinggi
No.
Indikator
1
Stunting
< 20
20 - 29
30 – 39
> 40
2
Underweight
< 10
10 - 19
20 – 29
> 30
3
Wasting
<5
5-9
10 – 14
> 15
Rendah
Sumber: WHO (1997) Stunting
merupakan hasil dari kekurangan gizi kronis, yang menghambat
pertumbuhan linier. Biasanya, pertumbuhan goyah dimulai pada sekitar usia enam bulan, sebagai transisi makanan anak yang sering tidak memadai dalam jumlah dan kualitas, dan peningkatan paparan dari lingkungan yang meningkatkan terkena penyakit. Terganggunya pertumbuhan bayi dan anak-anak karena kurang memadainya asupan makanan dan terjadinya penyakit infeksi berulang, yang mengak ibatkan berkurangnya nafsu makan dan meningkatkan kebutuhan metabolik (Caufield et al, 2006). Pertumbuhan panjang secara proporsional lebih lambat daripada berat badan. Kekurangan tinggi badan cenderung terjadi lebih lambat dan pemulihan akan lebih lambat, sedangkan kekurangan berat badan bisa cepat kembali dipulihkan. Oleh karena
14
itu, kekurangan berat badan adalah sebagai proses akut dan stunting adalah proses kronis yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama (Waterlow, 1992). Stunting
didiagnosis
melalui
pemeriksaan
antropometrik.
Stunting
menggambarkan keadaan gizi kurang yang sudah berjalan lama dan memerlukan waktu bagi anak untuk berkembang serta pulih kembali. Sejumlah besar penelitian memperlihatkan keterkaitan antara stunting dengan berat badan kurang yang sedang atau berat, perkembangan motorik dan mental yang buruk dalam usia kanak-kanak dini, serta prestasi kognitif dan prestasi sekolah yang buruk dalam usia kanak-kanak lanjut (ACC/SCN, 2000). Ada beberapa alasan mengapa stunting terjadi pada balita. Pada masa balita kebutuhan gizi lebih besar, dalam kaitannya dengan berat badan, dibandingkan masa remaja atau dewasa. Kebutuhan gizi yang tinggi untuk pertumbuhan yang pesat, termasuk pertumbuhan pada masa remaja. Dengan demikian, kesempatan untuk terjadi pertumbuhan yang gagal lebih besar pada balita, karena pertumbuhan lebih banyak terjadi (Martorell et al, 1994). Gangguan pertumbuhan linier, atau stunting , terjadi terutama dalam 2 sampai 3 tahun pertama kehidupan dan merupakan cerminan dari efek interaksi antara kurangnya asupan energi dan asupan gizi serta infeksi. Stunting pada anak-anak dikaitkan dengan kemiskinan yang pada akhirnya terjadi tinggi dan berat badan yang kurang pada saat dewasa, mengurangi kebugaran otot dan kemungkinan juga pada saat kehamilan yang meningkatkan kejadian berat lahir rendah. Bukti menunjukkan bahwa anak-anak stunting juga lebih cenderung memiliki pendidikan rendah, tetapi tidak jelas apakah ini langsung karena faktor gizi atau
15
pengaruh lingkungan. Stunting pada masa kecil mungkin memiliki dampak besar pada produktivitas saat dewasa, meskipun ini adalah statistik yang sulit ditentukan (Poskitt, 2003). Berat badan kurang yang sedang dan anak-anak yang bertubuh pendek juga memperlihatkan perilaku yang berubah. Pada anak-anak kecil, perilaku ini meliputi kerewelan serta frekuensi menangis yang meningkat, tingkat aktifitas yang lebih rendah, berkomunikasi lebih jarang, ekspresi yang tidak begitu gembira serta cenderung untuk berada didekat ibu serta menjadi lebih apatis (Henningham & McGregor, 2005). Saat ini stunting
pada anak merupakan salah satu indikator terbaik untuk
menilai kualitas modal manusia di masa mendatang. Kerusakan yang diderita pada awal ke idupan, yang terkait dengan proses stunting , menyebabkan kerusakan permanen. Keberhasilan tindakan yang berkelanjutan untuk mengentaskan kemiskinan dapat diukur dengan kapasitas mereka untuk mengurangi prevalensi stunting pada anak-anak kurang dari lima tahun. Berat lahir berkontribusi mengurangi pertumbuhan anak dalam dua tahun pertama kehidupan, akan mengakibatkan stunting dalam dua tahun, yang akhirnya tergambar pada tinggi badan saat dewasa. Peningkatan fungsi kognitif dan perkembangan intelektual terkait dengan peningkatan berat lahir dan pengurangan dala m stunting . Efek negatif berat lahir rendah pada pengembangan intelektual ditekankan pada kelompok sosial ekonomi rendah, dan dapat diatasi dengan perbaikan lingkungan (UNSCN, 2008). Stunting pada masa kanak-kanak menyebabkan penurunan yang signifikan dari ukuran tubuh dewasa, sebagai ditunjukkan oleh tindak lanjut dari bayi Guatemala yang
16
dua dekade sebelumnya, telah terdaftar dalam program suplementasi. Salah satu satu konsekuensi utama dari ukuran tubuh dewasa dari masa kanak-kanak yang stunting yaitu berkurangnya kapasitas kerja, yang pada akhirnya memiliki dampak pada produktivitas ekonomi (WHO, 1997). Pola pertumbuhan ini ditandai dengan berkembangnya bayi, dan dilanjutkan dengan pertumbuhan selama remaja. Asupan makanan yang tidak memadai dalam 2 tahun pertama bertanggung jawab pada terjadinya stunting . Kurangnya proses menyusui, menyapih dan praktik pemberian makanan, infeksi dan diare juga berkontribusi (Eastwood, 2003). Meskipun ada sedikit tindak lanjut penelitian sejak masa anak-anak hingga usia dewasa, bukti substansial menunjukkan ada hubungan antara stunting
dengan
kemampuan kognitif yang lambat atau kinerja sekolah pada anak-anak dari negaranegara berpendapatan rendah dan menengah. Sebuah analisis data longitudinal dari Filipina, Jamaika, Peru, dan Indonesia, bersama dengan data baru dari Brasil dan Afrika Selatan, menunjukkan bahwa stunting
antara usia 12-36 bulan usia diperkirakan
mengalami kinerja kognitif yang lebih rendah dan atau nilai yang dicapai di sekolah rendah dalam masa anak-anak (Grantham-McGregor et al, 2007). Di Cebu, Filipina stunting pada usia 2 tahun dikaitkan dengan tertundanya masuk sekolah, sering terjadi pengulangan kelas dan tingginya angka putus sekolah, tingkat kelulusan menurun di sekolah dasar dan menengah, dan kemampuan di sekolah yang lebih rendah (Daniels & Adair, 2004).
17
Kegagalan pertumbuhan pada saat awal kehidupan akan menyebabkan tinggi badan pada saat dewasa kurang kecuali ada kompensasi pertumbuhan (catch-up growth) di masa anak-anak (Martorell et al., 1994). Hanya sebagian kecil dari kegagalan pertumbuhan yang dapat dikompensasi, di Senegal, ketinggian pada saat dewasa hanya sekitar 2 cm lebih pendek daripada standar meskipun stunting terjadi pada anak-anak (Coly, A. N, et al 2006). Tinggi badan dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan selama periode pertumbuhan. Kegagalan pertumbuhan linier sebagian besar disebabkan pada periode intrauterine dan beberapa tahun pertama kehidupan dan disebabkan oleh asupan yang tidak memadai dan sering terjadi infeksi (Shrimpton et al, 2001). Tinggi badan ibu yang pendek dan gizi ibu yang buruk berhubungan dengan peningkatan risiko kegagalan pertumbuhan intrauterin (Black et al, 2008). Studi dari negara-negara berpendapatan rendah dan menengah dilaporkan bahwa tinggi badan pada saat dewasa secara positif terkait dengan panjang badan pada saat lahir. Peningkatan sebesar 1 cm panjang badan pada saat lahir dikaitkan dengan peningkatan 0,7 -1 cm tinggi badan pada saat dewasa (Gigante et al, 2009). Hasil penelitian dari Bosch, Baqui & Ginneken (2008) mengatakan bahwa resiko menjadi stunting pada saat remaja bagi anak-anak moderately stunting adalah 1,64 kali beresiko daripada anak-anak yang tidak stunting sedangkan resiko menjadi stunting pada masa remaja bagi anak-anak severely stunting adalah 7,40 kali beresiko daripada anak-anak yang tidak stunting .
18
2.2 Penilaian Status Gizi 2.2.1 Pengukuran Antropometri Antropometri berasal dari kata antrophos dan metros. Antrophos memiliki arti tubuh, sedangkan metros adalah ukuran. Secara umum antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Antropometri dalam pengertian adalah suatu sistem pengukuran ukuran dan susunan tubuh dan bagian khusus tubuh (Potter & Perry, 2006). Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhub ungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh.
2.2.1.1 Pengukuran Antropometri Pada Balita Indikator ukuran antropometri digunakan sebagai kriteria utama untuk menilai kecukupan asupan gizi dan pertumbuhan bayi dan ba lita.
2.2.1.2 Parameter Antropometri Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Di Indonesia ukuran baku dalam negeri belum ada, maka untuk ukuran berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) digunakan baku HARVARD yang disesuaikan untuk Indonesia (100% baku Indonesia = 50 persentil baku
19
Harvard) dan untuk lingkar lengan atas (LILA) digunakan baku WOLANSKI.
2.2.1.3 Indeks Antropometri Indeks Antropometri untuk Balita (anak usia 2-10 tahun):
1. Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahanperubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan jumlah makanan yang dikonsumsi. Dalam keadaan
normal,
dimana
keadaan
kesehatan
baik
dan
keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal, terdapat 2 kemungkinan perkembangan berat badan yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal (Supariasa, 2002). Indikator BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara UMUM. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Dengan kata lain, berat badan yang rendah dapat disebabkan karena anaknya
20
pendek (kronis) atau karena diare atau penyakit infeksi lain (akut) (Kemenkes RI, 2010).
2. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Tinggi
badan
merupakan
antropometri
yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama (Supariasa, 2002). Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya: kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek (Kemenkes RI, 2010)
3. Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB) Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan berat badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk
21
menilai status gizi saat ini (Supariasa, 2002). Dari berbagai jenis indeks tersebut, untuk menginterpretasikan dibutuhkan ambang batas, penentuan ambang batas diperlukan kesepakatan para ahli gizi. Ambang batas dapat disajikan kedalam 3 cara yaitu persen terhadap median, persentil, dan standar deviasi unit. Indikator BB/TB dan IMT/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat), misalnya: terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus. Disamping untuk identifikasi masalah kekurusan dan indikator BB/TB dan IMT/U dapat juga memberikan indikasi kegemukan.
Masalah kekurusan dan
kegemukan pada usia dini dapat berakibat pada rentannya terhadap berbagai penyakit degeneratif pada usia dewasa (Teori Barker) (Kemenkes RI, 2010).
4. Lingkar Lengan Atas Menurut Umur (LLA/U)
Menurut data baku WHO-NCHS indeks BB/U, TB/U dan BB/TB disajikan dalan dua versi yakni persentil (persentile) dan skor simpang baku (standar deviation score = Z). Menurut Waterlow, et al, gizi anak-anak dinegara- negara yang populasinya relative baik (well- nourished), sebaiknya digunakan “presentil”,
22
sedangkan dinegara untuk anak-anak yang populasinya relative kurang (under nourished) lebih baik menggunakan skor simpang baku (SSB) sebagai persen terhadap median baku rujukan (Djumadias Abunaim,1990).
Pengukuran Skor Simpang Baku (Z-score) dapat diperoleh dengan mengurangi Nilai Induvidual Subjek (NIS) dengan Nilai Median Baku Rujukan (NMBR) pada umur yang bersangkutan, hasilnya dibagi dengan Nilai Simpang Baku Rujukan (NSBR). Atau dengan menggunakan rumus :
Z-score = (NIS-NMBR) / NSBR
2.2.2 Klasifikasi Status Gizi Klasifikasi Status Gizi dijelaskan dalam tabel berikut ini: Tabel 2.2 Klasifikasi Status Gizi INDEKS
STATUS GIZI
Z Score
Berat Badan menurut Umur
Gizi Buruk
< -3 SD
(BB/U)
Gizi Kurang
≥ -3 SD sampai dengan < -2 SD
Gizi Baik
≥ -2 SD sampai dengan ≤ -2 SD
Gizi Lebih
> 2 SD
Sangat Pendek
< -3 SD
Tinggi Badan menurut Umur
23
Pendek
≥ -3 SD sampai dengan < -2 SD
Normal
≥ -2 SD
Berat Badan menurut Tinggi
Sangat Kurus
< -3 SD
Badan (BB/TB)
Kurus
≥ -3 SD sampai dengan < -2 SD
Normal
≥ -2 SD sampai dengan ≤ -2 SD
Gemuk
> 2 SD
Gabungan Indikator BB/U
Pendek-Kurus
TB/U < -2 SD dan BB/TB < -2 SD
dan TB/U
Pendek-Normal
TB/U < -2 SD dan BB/TB antara -2
(TB/U)
SD hingga 2 SD Pendek-Gemuk
TB/U < -2 SD dan BB/TB > 2 SD
TB Normal-Kurus
TB/U ≥ -2 SD dan BB/TB < -2 SD
Sumber: Kementrian Kesehatan, 2010. 2.3 Pengukuran Asupan Makan 2.3.1 24-hour food recall Prinsip metode recall 24 jam dilakukan dengan mencatata jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dalam metode ini, respoden, ibu atau pengasuh (bila anak masih kecil) disuruh menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu (kemarin). Biasanya dimulai sejak ia bangun pagi kemarin sampai dia istirahat tidur malam harinya, atau dapat juga dimulai
24
dari waktu saat dilakukan wawancara mundur kebelakang sampai 24 jam penuh (Supariasa, 2001). Pada metode ini subjek atau responden diwawancarai oleh petugas yang sebelumnya sudah dilatih untuk melakukan wawancara food recall. Hasil wawancara ini dapat menggambarkan konsumsi makanan yang sebenarnya oleh subjek tersebut (Gibson, 2005). Meskipun demikian, sekali wawancara saja tidak cukup untuk menggambarkan konsumsi makanan subjek. Oleh karena itu, pada metode food recall diperlukan beberapa kali wawancara pada hari yang berbeda untuk dapat mengetahui objektivitas konsumsi makanan subjek (Gibson, 2005). Hari yang dipilih untuk melakukan food recall juga seharusnya tidak berurutan, jika hal tersebut memingkinkan. Pada memperkirakan konsumsi individu dalam jangka panjang, misalnya tahunan, food recall juga sebaiknya dilakukan beberapa kali pada musim yang berbeda (Bearon et al. 1979; Basiotis et al., 2002 dalam Gibson, 2005). Jika tidak memungkinkan untuk
mengulang food recall,
setidaknya harus dilakukan pengulangan pada 5-15% subsampel untuk memberikan gambaran konsumsi populasi yang valid (Gibson, 2005). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu (Sanjur, 1997 dalam Supariasa, 2001).
25
Food recall dilakukan dengan cara meminta subjek untuk menyebutkan makanan dan minuman apa saja yang telah dikonsumsi selama 24 jam sebelum dilakukan wawancara. Dalam hal ini, subjek diminta untuk menggambarkan informasi secara detail mengenai kuantitas, cara memasak, bahkan memperkirakan makanan dan minuman yang dikonsumsi, jika memungkinkan (Gibson and Ferguson, 1999 dalam Gibson, 2005). Hal penting yang perlu diketahui bahwa dengan recall 24 jam data yang diperoleh cenderung bersifat kualitatif. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data kuantitatif, maka jumlah konsumsi makanan indivdu ditanyakan secara teliti dengan menngunakan alat Ukuran Rumah Tangga (URT) seperti sendok, gelas, piring, dan lain- lain atau ukuran lainnya yang biasa dipergunakan sehari- hari (Supariasa, 2001). Akan tetapi, akan lebih baik lagi jika petugas menggunakan food models untuk mengkur kuantitas konsumsi subjek (Gibson and Ferguson, 1999 dalam Gibson, 2005). Terdapat keuntungan dan kerugian dalam penggunaan metode ini. keuntungan recall 24 hour diantaranya adalah beban responden ringan, biaya murah, mudah, cepat dalam pelaksaaan dan cocok digunakan untuk responden yang buta huruf, dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi ndividu sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari (Supariasa, 2001).
26
Kerugiannya, metode ini sangat bergantung pada ingatan responden, sehingga hasil selanjutnya akan kurang baik jika digunakan untuk responden dari kalangan orang lanjut usia dan anak-anak. Selain itu, adanya kesalahan responden dalam memperkirakan porsi makanan juga sering
terjadi,
tetapi
hal
ini
dapat
diminimalisasikan
dengan
menggunakan food model untuk membantu responden (Gibson, 1993). Disamping itu kekurangan lain dari metode recall 24 jam adalah tidak dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari jika hanya dilakukan recall satu hari, adanya the flat slope syndrome yaitu kecenderungan bagi responden yang kurus untuk melaporkan konsumsinya lebih banyak (over estimate) dan responden yang gemuk cenderung lapornkan konsumsinya lebih sedikit (under estimate) (Supariasa, 2001).
2.3.2 Food Fre quency Questionnaire (FFQ) Metode FFQ pada awalnya digunakan untuk memperoleh informasi deskriptif secara kualitatif mengenai pola konsumsi makanan. Dengan adaya pengembangan bentuk kuesioner untuk memperkirakan porsi makanan, metode ini telah menjadi semi-kualitatif (Gibson, 2005). Metode ini dilakukan dengan menilai frekuensi makanan atau kelompok makanan tertentu yang dikonsumsi selama periode waktu yang spesifik, misalnya harian, mingguan, bulanan atau tahunan (Gibson, 1993).
27
Penilaian dengan metode FFQ dilakukan dengan me nggunakan kuesioner. Kuesioner terdiri atas 2 komponen yaitu daftar makanan dan satu set jawaban kategori frekuensi konsumsi makanan. Daftar makanan berisi daftar makanan tertentu atau daftar kelompok makanan, atau makanan yang dikonsumsi khusus pada waktu-waktu tertentu (Anderson, 1986 dalam Gibson, 1993). Keuntungan metode ini adalah tingkat respon yang tinggi dan beban responden rendah, cepat, relatif tidak mahal dan dapat menilai kebiasaan konsumsi makanan. Selain itu, metode ini juga dapat dilakukan oleh hasil yang terstandarisasi (howarth, 1990 dalam Gibson, 1993). Dengan metode ini responden juga dapat melakukannya sendiri tanpa bantuan dari petugas, petugas yang bertugas tidak membutuhkan latihan khusus. Metode ini juga dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan makan (Supariasa, 2001). Disamping kelebihan-kelebihan diatas, terdapat juga beberapa kekurangan yaitu metode ini tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi sehari, sulit untuk emengembangkan kuesioner pengumpula n data. Selain itu metode ini juga cukup menjemukan bagi pewawancara. Responden juga harus jujur dan mempunyai motivasi yang tinggi, serta perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang akan masuk dalam daftar kuesioner (Supariasa, 2001).
28
2.3.3 Estimated Food Record Pada metode ini, responden diminta untuk mencatat semua jenis makanan dan minuman, termasuk snack yang dikonsumsi dengan mengunakan ukuran rumah tangga, selama periode yang telah ditentukan. Informasi detil mengenai makanan dan minuman yang dikonsumi (termasuk nama merek), serta metode persiapan dan pengolahan makanan juga harus dicatata. Jika memungkinkan, pencatatan mengenai bahan mentah yang digunakan untuk pembuatan makanan, serta hasil akhirnya (ketika sudah matang) juga dilakukan (Dufour et al, 1999 dalam Gibson, 2005). Perkiraan ukuran atau porsi makanan dapat dilakukan oleh responden dengan menggunakan ukuran rumah tangga (misalnya, satu cangkir, satu sendok makan, satu mangkok dan sebagainya). Jumlah hari dalam pelaksaan food record bervariasi, tergantung dari tujuan studi yang dilakukan. Langkah- langkah pelaksanaan food record yaitu: (1) Responden mencatat makanan yang dikonsumsi dalam URT atau gram (nama masakan, cara persiapan dan pemasakan dalam makanan), (2) Petugas memperkirakan/estimasi URT ke dalam ukuran berat (gram) untuk bahan makanan yang dikonsumsi tadi, (3) Menganalisis bahan makanan kedalam zat gizi dengan DKBM, (4) Membandingkannya dengan AKG (Supariasa, 2001).
29
2.3.4 Dietary History (Riwayat Konsumsi Makanan) Metode ini bersifat kualitatif karena memberikan gambaran pola konsumsi berdasarkan pengamatan dalam waktu yang cukup lama, bisa 1 minggu, 1 bulan atau 1 tahun (Supariasa, 2001). Tujuan metode dietary history atau riwayat konsumsi makanan adalah untuk mendapatkan informasi retrospektif atas makanan yang biasa dikonsumsi oleh seseorang dalam periode waktu yang bervariasi. Periode waktu yang dimaksud dapat mencakup bulan sebelumnya, 6 bulan sebelumnya atau terkadang bahkan tahun sebelumnya (Challmer et al, 1985 dalam Gibson, 1993). Riwayat konsumsi makanan biasanya dilaksanakan dalam durasi waktu kurang lebih 1,5-2 jam (Gibson, 1993). Metode ini terdiri dari tiga komponen, yaitu (1)
Wawancara
(termasuk recall 24 hour), yang mengumpulkan data tentang apa saja yang dimakan responden selama 24 jam terakhir dan mendapatkan gambaran umum pola asupan makanan, (2) Penggunaan dari sejumlah bahan makanan dengan memberikan daftar (check list) yang sudah disiapkan, untuk mengklarifikasi jenis dan jumlah makanan pada recall 24 hour, (3) Pencatatan konsumsi selama 2-3 hari sebagai cek ulang (Burke, 1947 dalam Supariasa, 2001). Terdapat keuntungan dan kerugian dalam menggunakan metode ini. keuntungan metode ini adalah dapat diperolehnya gambaran atau informasi konsumsi makanan sehari-hari dengan beban respoden yang
30
relatif lebih rendah daripada metode food record. Sedangkan kerugian dari metode ini yaitu, metode ini sangat bergantung pada ingatan responden dan kemampuan responden dalam mengingat porsi makana n dengan benar, sehingga merode ini kurang cocok dipakai untuk usia dibawah 14 tahun (Cameron and Van Staveren, 1988 dalam Gibson, 1993).
2.4 Pertumbuhan dan Perkembangan Balita 2.4.1 Pengertian Pe rtumbuhan dan Pe rkembangan Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan perubahan dalam besar, jumlah, ukuran dan fungsi tingkat sel, organ maupun individu, yang diukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan metabolic (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Menurut Jelliffe D.B (1989) dalam Supariasa (2001) pertumbuhan adalah peningkatan secara bertahap dari tubuh, organ dan jaringan dari masa konsepsi sampai remaja. Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil proses pematangan. Ada pula yang mendefenisikan bahwa perkembangan adalah penampilan kemampuan (skill) yang diakibatkan oleh kematangan sistem saraf pusat, khususnya di otak. Mengukur perkembangan tidak dapat dengan menggunakan antropometri, tetapi pada anak yang sehat perkembangan searah (parallel) dengan pertumbuhannya.
31
Perkembangan meyangkur adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing- masing dapat memenuhi fungsi didalamnya termasuk pula perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dangan lingkungannya. Pertumbuhan yang optimal sangat dipengaruhi oleh potensi biologisnya. Tingkat pencapaian fungsi bologis seseorang merupakan hasil interaksi berbagai faktor yang saling berkaitan yaitu: faktor genetic, lingkungan “bio-fisikopsikososial”, dan perilaku. prose situ sangat kompleks dan unik, dan hasil akhirnya berbeda-beda dan memberikan ciri pada setiap anak.
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stunting pada Balita 2.5.1 Asupan Energi Pemilihan dan konsumsi makanan yang baik akan berpengaruh pada terpenuhinya kebutuhan gizi sehari- hari untuk menjalankan dan menjaga fungsi normal tubuh. Sebaliknya, jika makanan yang dipilih dan dikonsumsi tidak sesuai (baik kualitas maupun kuantitasnya), maka tubuh akan kekurangan zat- zat gizi esensial tertentu (Almatsier, 2001). Secara garis besar, fungsi makanan bagi tubuh terbagi menjadi tiga fungsi,yaitu member energi (zat pembakar), pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh (zat pembangun), dan mengatur proses tubuh (zat pengatur). Sebagai sumber energi, karbohidrat, protein dan lemak menghasilkan energi yang diperlukan tubuh untuk melakukan aktivitas. Ketiga zat gizi ini terdapat dalam
32
jumlah yang paling banyak dalam bahan pangan yang kita konsumsi sehari- hari. Sebagai zat pengatur, makanan diperlukan tubuh untuk membentuk sel-sel baru, memelihara dan mengganti sel-sel yang rusak. Zat pembangi tersebut adalah protein, mineral dan air. Selain sebagai zat pembangun, protein, mineral dan air juga berfungsi sebagai zat pengatur. Dalam hal ini, protein mengatur keseimbangan air dalam sel. Protein juga membentuk antibody untuk menjaga daya tahan tubuh dari infeksi dan bahan-bahan asing yang masuk kedalam tubuh (Almatsier, 2001). Langkah awal dalam mengevaluasi kegagalan pertumbuhan yang terjadi pada anak adalah dengan mengevaluasi kecukupan energi dan nutrisi yang ada pada makanan yang dikonsumsi. Asupan makanan akan berpengaruh terhadap status gizi. Status gizi akan optimal jika tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang diperlukan, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik dan otak serta perkembangan psikomotorik secara optimal (Almatsier, 2001). Anjuran jumlah asupan energi dalam setiap tahapan umur tidaklah sama, sehingga asupan yang diperlukan balita usia dua dan empat tahun akan berbeda. Kebutuhan energi bagi anak ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh, aktivitas fisik, dan tingkat pertumbuhan. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) energi untuk balita usia 24-47 bulan adalah 1000 kkal/hari, sedangkan AKG balita usia 48-59 bulan adalah 1550 kkal/hari (WNPG VIII, 2004). Adapun batasan minimal asupan energi per hari adalah 70% dari AKG (Kementerian Kesehatan, 2010).
33
2.5.2 Asupan Protein Protein berfungsi sebagai penyedia energi, tetapi juga memiliki fungsi esensial lainnya untuk menjamin pertumbuhan normal (Pipes, 1985). Sebagai sumber energi, protein menyediakan 4 kkal energi per 1 gram protein, sama dengan karbohidrat. Protein terdiri atas asam amino esensial dan non-esensial, yang memiliki fungsi berbeda-beda. Protein mengatur kerja enzim dalam tubuh, sehingga protein juga berfungsi sebagai zat pengatur. Asam amino ese nsial merupakan asam amino yang tidak dapat dihasilkan sendiri oleh tubuh sehingga harus diperoleh dari makanan (luar tubuh). Asam amino non-sesensial adalah asam amino yang dapat di produksi sendiri oleh tubuh. Meskipun demikian, produksi asam amino non-esensial bergantung pada ketersediaan asam amino esensial dalam tubuh (Almatsier, 2001). Protein merupakan bagian kedua terbesar setelah air. Kira-kira sperlima komposisi tubuh terdiri atas protein dan separuhnya tersebar di otot, sperlima di tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di kulit dan sisanya terdapat di jaringa lain dan cairan tubuh. Protein berperan sebagai prekusor sebagian besar koenzim, hormone, asam nukleat dan molekul- molekul yag esesial bagi kehidupan. Protein juga berperan sebagai pemelihara netralitas tubuh (sebagai buffer), pembentuk antibody, mengangkut zat- zat gizi, serta pembentuk ikatan- ikatan esensial tubuh, misalnya hormone. Oleh karena itu, protein memiliki fungsi yang khas dan tidak dapat digantikan oleh zat lain (Almatsier, 2001).
34
Anjuran jumlah asupan protein tidak sama untuk tiap tahapan umur. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) protein balita us ia 48-59 bulan adalah 39 gram/hari (WNPG VIII, 2004). Adapun batasan minimal asupan protei perhari adalah 80% dari AKG (Kementerian Kesehatan, 2010). Jika asupan protein tidak mencukupi, maka perumbuhan linear balita akan terhambat meskipun kebutuhan energinya tercukupi (Pipes, 1985).
2.5.3 Jenis Kelamin Jenis kelamin menentukan besarnya kebutuhan gizi bagi seseorang sehingga terdapat keterkaitan antara status gizi dan jenis kelamin (Apriadji, 1986). Perbedaan besarnya kebutuhan gizi tersebut dipengaruhi karena adanya perbedaan komposisi tubuh antara laki- laki dan perempuan. Perempuan memiliki lebih banyak jaringan lemak dan jaringan otot lebih sedikit daripada laki- laki. Secara metabolic, otot lebih aktif jika dibandingkan dengan lemak, sehingga secara proporsional otot akan memerlukan energi lebih tinggi daipada lemak. Dengan demikian, laki- laki dan perempuan dengan tinggi badan, berat badan dan umur yang sama memiliki komposisis tubuh yang berbeda, sehingga kebutuhan energi dan gizinya juga akan berbeda (Almatsier, 2001). Faktor budaya juga dapat mempengaruhi status gizi pada anak laki- laki dan perempuan. Pada beberapa kelompok masyarakat, perempuan dan anak perempuan mendapat prioritas yang lebih rendah dibandingkan laki- laki dan anak laki- laki dalam pengaturan konsumsi pangan. Hal tersebut mengakibatkan
35
perempuan dan anak perempuan merupakan anggota keluarga yang rentan terhadap pembagian pangan yang tidak merata. Bahkan, pada beberapa kasus, mereka memperoleh pangan yang disisakan setelah angota keluarga prima makan (Soehardjo, 1989). Hasil penelitian menunjukkan bahwa presentase gizi kurang pada balita perempuan lebih tinggi (17,9%) dibandingkan dengan balita laki- laki (13.8%) (Suyadi, 2009). Penelitian lain menunjukkan bahwa presentasi kejadian stunting pada balita laki- laki lebih besar daripada kejadian stunting pada perempuan. Hal ini boleh jadi disebabkan karena balita laki- laki pada umumnya lebih aktif daripada balita perempuan. Balita laki- laki pada umumnya lebih aktif bermain di luar rumah, seperti berlarian, sehingga mereka lebih mudah bersentuhan dengan lingkungan yang kotor dan menghabiskan energi yang lebih banyak, sementara asupan energinya terbatas (Martianto DKK, 2008).
2.5.4 Berat Lahir Berat lahir dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu rendah dan normal. Disebut dengan berat lahir rendah (BBLR) jika berat lahirnya < 2500 gram (Kementrian Kesehatan, 2010). Dampak BBLR akan berlangsung antar generasi. Seorang anak yang mengalami BBLR kelak juga akan mengalami deficit pertumbuhan (ukuran antropometri yang kurang) di masa dewasanya. Bagi perempuan yang lahir BBLR, besar risikonya bahwa kelak ia juga akan menjadi ibu yang stunted sehingga berisiko melahirkan bayi yang BBLR seperti dirinya
36
pula. Bayi yang dilahirkan BBLR tersebut akan kembali menjadi perempuan dewasa yang juga stunted, dan begitu seterusnya (Semba dan Bloem, 2001). Di Negara maju, tinggi badan balita sangat dipengaruhi oleh berat lahir. Mereka yang memiliki berat lahir rendah tumbuh menjadi anak-anak yang lebih pendek (Binkin NJ, 1988 dalam Huy ND, 2009). Besarnya perbedaan ini adalah sama pada Negara maju dan berkembang, dengan mereka yang lahir dengan berat lahir rendah (BBLR) menjdi lebih pendek sekitar 5 cm ketika berusia 17 hingga 19 tahun (Moartorell R, 1998 dalam Huy ND, 2009).
2.5.5 Jumlah Anggota Rumah Tangga Anggota keluarga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu keluarga, baik berada di rumah pada saat pencacahan maupun sementara tidak ada. Anggota keluarga yang telah bepergian 6 bulan atau lebih, dan anggota keluarga yang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan pindah atau akan meninggalkan rumah 6 bulan atau lebih, tidak dianggap anggota keluarga. Orang yang telah tinggal di suatu keluarga 6 bulan atau lebih, atau yang telah tinggal di suatu keluarga kurang dari 6 bulan tetapi berniat menetap di keluarga tersebut, dianggap sebagai anggota keluarga (BPS, 2004). Berdasarkan kategori BKKBN (1998), keluarga dengan anggota kurang dari 4 orang termasuk kategori keluarga kecil, yang kemudian dikenal sebagai Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS). Keluarga dengan anggota lebih dari 4 orang dikategorikan sebagai keluarga besar. Kesejahteraan anak yang
37
tinggal pada keluarga kecil relatif akan lebih terjamin dibandingkan keluarga besar, sebaliknya semakin banyak jumlah anggota keluarga pemenuhan kebutuhan keluarga cenderung lebih sulit, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga (Hastuti 1989). Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Suhardjo (2003) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada masing- masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar. Anak yang terlalu banyak selain menyulitkan dalam mengurusnya juga kurang bisa menciptakan suasana tenang didalam rumah. Lingkungan keluarga yang selalu ribut akan mempengaruhi ketenangan jiwa, dan ini secara langsung akan menurunkan nafsu makan anggota keluarga lain yang terlalu peka terhadap suasana yang kurang mengenakan, dan jika pendapatan keluarga hanya pas-pasan sedangkan jumlah anggota keluarga banyak maka pemerataan dan kecukupan makanan didalam keluarga kurang terjamin, maka keluarga ini bisa disebut keluarga rawan, karena kebutuhan gizinya hampir tidak pernah tercukupi dengan demikian penyakitpun terus mengintai (Apriadji, 1996).
38
Rumah tangga yang mempunyai anggota keluarga besar berisiko mengalami kelaparan 4 kali lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yang anggotanya kecil. Selain itu berisiko juga mengalami kurang gizi sebanyak 5 kali lebih besar dari keluarga yang mempunyai anggota keluarga kecil (Berg, 1986 dalam Suyadi, 2009). Balita yang mengalami stunting
lebih banyak terdapat pada keluarga
yang jumlah anaknya ≥ 3 orang, jika dibandingkan dengan keluarga yang jumlah anaknya < 3 orang. Meskipun demikian, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah anak dengan kejadian stunting pada balita (Neldawati, 2006).
2.5.6 Pendidikan Ibu Menurut Depdiknas (2001), pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi pertumbuhan anak balita. tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan pangan (Hidayat, 1989 dalam Suyadi, 2009). Orang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi akan cenderung memilih bahan makanan yang lebih baik dalam kualitas maupun kuantitas. Semakin tinggi pe ndidikan orang tua maka semakin baik juga status gizi anaknya (Soekirman, 1985 dalam Suyadi, 2009).
39
Orang yang mempunyai pendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional dibandingkan mereka yang berpendidikan rendah atau mereka yang tdak bependidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin mudah seseorang dalam menerima serta mengambangkan pengetahuan dan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan keluarganya (Hapsari, 2001 dalam Suyadi, 2009). Wanita atau ibu dengan pendidikan reandah atau tidak berpendidikan biasanya memiliki lebih banyak anak daripada mereka yang berpendidikan tinggi. Mereka yang berpendidikan rendah pada umumnya sulit untuk memahami dampak negatif dari mempunyai banyak anak (Baliwati, Khomsan, dan Dwiriani, 2004 dalam Hidayah 2010). Rendahnya pengetahuan dan pendidikan orangtua khususnya ibu, merupakan faktor penyebab penting terjadinya KEP. Hal ini karena danya kaitan antara peran ibu dalam mengurus rumah tangga khususnya anak-anaknya. Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu sangat mempengaruhi tingkat kemampuan ibu dalam mengelola sumber daya kelurga, untuk mendapatkan kecukupan bahan makanan yang dibutuhkan serta sejauh mana sarana pelayanan kesehatan gigi dan sanitasi lingkungan yang tersedia, dimanfatkan dengan sebaik-baiknya untuk kesehatan keluarga (Depekes, 1997). Selain itu rendahnya pendidikan ibu dapat menyebabkan rendahnya pemahaman ibu terhadap apa yang dibutuhkan demi perkembangan optimal anak.
40
Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah akan lebih baik mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan, sehingga sulit menerima informasi baru bidang gizi. Tingkat pendidikan ikut menentukan atau mempengaruhi mudah tidaknya seseorang menerima suatu pengetahuan, semakin tinggi pendidikan maka seseorang akan lebih mudah menerima informasi- informasi gizi. Dengan pendidikan gizi tersebut diharapkan tercipta pola kebiasaan makan yang baik dan sehat, sehingga dapat mengetahui kandungan gizi, sanitasi dan pengetahuan yang terkait dengan pola makan lainnya (Soehardjo,1989). Tingkat pendidikan ayah dan ibu merupakan determinan yang kuat terhadap kejadian stunting pada anak di Indonesia dan Bangladesh (Semba RD, 2008 dalam Rahayu, 2011). Pada anak yang berasal dari ibu dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki tinggi badan 0,5 cm lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan rendah6. Berdasarkan penelitian Norliani et al., tingkat pendidikan ayah dan ibu mempunyai risiko 2,1 dan 3,4 kali lebih besar memiliki anak yang stunted pada usia sekolah (Norliani, 2005 dalam Rahayu, 2011).
2.5.7 Pendidikan Ayah Tingkat pendidikan ayah yang tinggi akan meningkatkan status ekonomi rumah tangga, hal ini karena tingkat pendidikan ayah erat kaitannya dengan perolehan lapangan kerja dan penghasilan yang lebih besar sehingga akan
41
meningkatkan daya beli rumah tanga untuk mencukupi makanan bagi anggota keluarganya (Hidayat, 1980 dalam Suyadi 2009). Tingkat pendidikan ayah dan ibu merupakan determinan yang kuat terhadap kejadian stunting pada anak di Indonesia dan Bangladesh (Semba RD, 2008 dalam Rahayu, 2011). Pada anak yang berasal dari ibu dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki tinggi badan 0,5 cm lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan rendah6. Berdasarkan penelitian Norliani et al., tingkat pendidikan ayah dan ibu mempunyai risiko 2,1 dan 3,4 kali lebih besar memiliki anak yang stunted pada usia sekolah (Norliani, 2005 dalam Rahayu, 2011).
2.5.8 Pekerjaan Ibu Menurut Djaeni (2000), pekerjaan adalah mata pencaharian apa yang dijadikan pokok kehidupan, sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah. Lamanya seseorang bekerja sehari- hari pada umumnya 6-8 jam (sisa 16-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga, masyarakat, istirahat, tidur, dan lain- lain. Dalam seminggu, seseorang biasanya dapat bekerja dengan baik selama 40-50 jam. Ini dapat dibuat 5-6 hari kerja dalam seminggu, sesuai dengan pasal 12 ayat 1 Undang- undang tenaga kerja No. 14 Tahun 1986. Bertambah luasnya lapangan kerja, semakin mendorong banyaknya kaum wanita yang bekerja terutama di sektor swasta. Di satu sisi hal ini berdampak positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain berdampak negatif
42
terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. (Mulyati, 1990 dalam Hermansyah, 2010). Pengaruh ibu yang bekerja terhadap hubungan antara ibu dan anaknya sebagian besar sangat bergantung pada usia anak dan waktu ibu kapan mulai bekerja. Ibu- ibu yang bekerja dari pagi hingga sore tidak memiliki waktu yang cukup bagi anak-anak dan keluarga (Hurlock, 1999 dalam Suyadi, 2009). Dalam keluarga peran ibu sangatlah penting yaitu sebagai pengasuh anak dan pengatur konsumsi pangan anggota keluarga, juga berperan dalam usaha perbaikan gizi keluarga terutama untuk meningkatkan status gizi bayi dan anak. Para ibu yang setelah melahirkan bayinya kemudian langsung bekerja dan harus meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore akan membuat bayi tersebut tidak mendapatkan ASI. Sedangkan pemberian pengganti ASI maupun makanan tambahan tidak dilakukan dengan semestinya. Hal ini menyebabkan asupan gizi pada bayinya menjadi buruk dan bisa berdampak pada status gizi bayinya (Pudjiadi, 2000 dalam Suyadi, 2009).
2.5.9 Pekerjaan Ayah Menurut Djaeni (2000), pekerjaan adalah mata pencaharian apa yang dijadikan pokok kehidupan, sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah. Lamanya seseorang bekerja sehari- hari pada umumnya 6-8 jam (sisa 16-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga, masyarakat, istirahat, tidur, dan lain- lain. Dalam seminggu, seseorang biasanya dapat bekerja dengan baik selama
43
40-50 jam. Ini dapat dibuat 5-6 hari kerja dalam seminggu, sesuai dengan pasal 12 ayat 1 Undang- undang tenaga kerja No. 14 Tahun 1986. Penelitian Hatril (2001) menunjukkan kecenderungan bahwa ayah yang bekerja dalam kategori swasta mempunyai pola konsumsi makanan keluarga yang lebih baik dibandingkan dengan ayah yang bekerja sebagai buruh. Hasil uji statistiknya pun menunjukkan hubungan yang bermakna antara keduanya. Begitu pula dengan penelitian Alibbirwin (2002) menemukan hubungan yang bermakna antara pekerjaan ayah dengan status gizi balita. dikatakan banwa ayah yang ekerja sebagai buruh memiliki risiko lebih besar mempunyai balita kurang gizi dibandingkan dengan baliya yang ayahnya bekerja wiraswasta. Proporsi ayah yang bekerja dalam kategori PNS/Swasta cenderung mempunyai status gizi baik dibandingkan ayah dengan pekerjaan lainnya (Sukmadewi, 2003 dalam Suyadi, 2009). Hal ini di dukung oleh penelitian Sihadi (1999) dalam Suyadi (2009) yang menyatakan bahwa ayah yang bekerja sebagai buruh memiliki balita dengan proporsi status gizi buruk terbesar yaitu sebesar 53%.
2.5. 10 Wilayah Tempat Tinggal Definisi perkotaan
adalah
suatu
tempat
dengan
1)
kepadatan
penduduknya lebih dibandingkan dengan kondisi pada umumnya, 2) mata pencaharian
utama
penduduknya
bukan
merupakan
aktifitas
ekonomi
primer/pertanian, dan 3) tempatnya merupakan pusat budaya, administrasi atau
44
pusat kegiatan ekonomi wilayah sekitarnya (Daldjoeni, 2003 dalam Humyrah 2009 dan Ratih 2011). Menurut Komsiah (2007), wilayah pedesaan ditandai dengan sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Menurut Depkes (2008), tempat tinggal adalah lokasi rumah seseorang yang dibedakan menjadi perkotaan dan pedesaan. Untuk menentukan suatu kelurahan termasuk daerah perkotaan atau pedesaan, digunakan suatu indikator komposit (indikator gabungan) yang skor atau nilainya didasarkan pada variabel, yaitu: kepadatan penduduk, presentase rumah tangga pertanian dan akses fasilitas umum (BPS, 2007). Letak suatu tempat dapat berpengaruh terhadap perilaku konsumsi individu. Sebagai contoh, seorang petani yang tinggal di desa dan dekat dengan areal pertanian akan lebih mudah dalam mendapatkan bahan makanan segar dan alami, seperti buah dan sayur. Namun, seseorang yang tinggal di daerah perkotaan akan lebih sedikit akses untuk mendapatkan bahan makanan segar tersebut karena di daerah perkotaan lebih banyak tersedia berbagai makanan cepat saji. Walaupun tidak menutup kemungkinan, terdapar penduduk perkotaan yang mengkonsumsi buah dan sayur (suhardjo, 2006). Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan provinsi yang memiliki prevalensi stunting paling tinggi untuk wilayah pedesaan pada tahun 1999-2002 yaitu mencapai 48.2%. Pada tahun 2000 dan 2001 untuk wilayah perkotaan,
45
Makasar merupakan kota dengan prevalensi stunting tertinggi, masing masing mencapai 43,1% dan 42,6% (Atmarita, 2004).
2.5.11 Status Ekonomi Keluarga Besarnya pendapatan yang diperoleh atau diterima rumah tangga dapat menggambarkan kesejahteraan suatu masyarakat. Namun demikian, data pendapatan yang akurat sulit diperoleh, sehingga dilakukan pendekatan melalui pengeluaran
rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga dapat dibedakan
menurut pengeluaran makanan dan bukan makanan, dimana menggambarkan bagaimana penduduk mengalokasikan kebutuhan rumah tangganya. Pengeluaran untuk konsumsi makanan dan bukan makanan berkaitan erat dengan tingkat pendapatan masyarakat. Di Negara yang sedang berkembang, pemenuhan kebutuhan makanan masih menjadi prioritas utama, dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan gizi. Masalah gizi merupakan masalah yang multidimensional karena dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Faktor ekonomi (Pendapatan) misalnya, akan terkait dengan kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan pangannya sehingga akan terkait pula dengan status gizi secara tidak langsung (Soehardjo, 1989). Setidaknya, keluarga dengan pendapatan yang minim akan kurang menjamin ketersediaan jumlah dan keanekaragaman makanan, skarena dengan uang yang terbatas itu biasanya keluarga tersebut tidak dapat mempunyai banyak pilihan (Apriadji, 1986).
46
Hartoyo et al. (2000) mengatakan bahwa keluarga terutama ibu dengan pendapatan rendah biasanya memiliki rasa percaya diri yang kurang dan memiliki akses terbatas untuk berpartisipasi pada pelayanan kesehatan dan gizi seperti posyandu, Bina Keluarga Balita dan Puskesmas. Oleh karena itu, mereka memiliki risiko yang lebih tinggi untuk memiliki anak yang kurang gizi. Akan tetapi, pada keluarga dengan ekonomi lebih tinggi, tingginya pendapatan tidak menjamin bahwa makanan yang dikonsumsi keluarga lebih baik dan beragam. Jumlah pengeluaran yang lebih banyak untuk makanan tidak menjamin bahwa kualitas makanan yang dikonsumsi lebih baik dan lebih beragam. Terkadang perbedaannya terletak pada harga makanan yang lebih mahal (Soehardjo, 1989). Anak-anak yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang lebih sedikit daripada anak-anak dari keluarga dengan status ekonomi lebih baik. Dengan demikian, mereka pun mengkonsumsi energi dan zat gizi dalam jumlah yang lebih lebih sedkit. Studi mengenai ststus gizi menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang kurang mampu memiliki berat badan dan tinggi badan yang lebih rendah dibandingkan anak-anak yang ekonominya baik. Dalam hasil studi, ditemukan bahwa perbedaan tinggi badan lebih besar daripada perbedaan berat badan. Studi juga menunjukkan bahwa anak-anak yang hidup di daerah yang mengalami kekurangan suplai makanan memiliki tinggi badan yang lebih rendah daripada mereka yang tinggal di daerah yang memiliki suplai makanan cukup (Pipes,1985).
47
2.6 Kerangka Teori Berdasarkan uraian teori tersebut diatas, banyak fakto r yang mempengaruhi stunting pada balita baik secara langsung maupun tidak langsung, maka kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: Stunting
Asupan Makanan
Ketersediaan dan Pola Konsumsi Rumah Tangga
Status Infeksi
Pola Asuh
BBLR
Pelayanan Kesehatan dan Kesehatan Lingkungan
Daya Beli, Akses Pangan, Akses Informasi, Akses Pelayanan, Wilayah Tempat Tinggal, Status Kerja Ibu
Jenis Kelamin, Jumlah Anggota Keluarga, Jarak Kelahiran
Kemiskinan, Ketahanan Pangan dan Gizi, Pendidikan, Kesehatan, Kependudukan, Status Kerja Ayah
Pembangunan Ekonomi, Sosial,dan Politik Bagan 2.1 Kerangka Teori Sumber: Modifikasi UNICEF (1990), United Nation ACC/SCN & IFPRI (2000), World Bank (2007), Mbuya et al. (2010), dan Anisa (2012).
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep Kerangka konsep merupakan pedoman untuk penelitian dan menunjukkan hubungan antara variabel independen dan dependen, dimana masing- masing variabel tersebut sudah dapat dioperasionalkan dan diukur oleh peneliti. Beberapa faktor yang dapat memepengaruhi stunting dapat dilihat pada kerangka teori yang terdapat pada Bab II. Variabel independen yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu asupan energi balita, asupan protein balita, jenis kelamin, berat lahir balita, jumlah anggota rumah tangga, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal balita dan status ekonomi keluarga. Sedangkan variabel dependennya adalah kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dari kerangka teori yang telah disebutkan ada beberapa variabel yang tidak dimasukkan kedalam kerangka konsep. Variabel-variabel tersebut adalah status infeksi, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Variabel status infeksi tidak dimasukkan kedalam kerangka konsep karena dalam Riskesdas 2010 ini faktor infeksi yang diteliti yaitu infeksi malaria. Infeksi malaria kurang terlalu berpengaruh langsung terhadap kejadian stunting. Namun untuk menghindari terjadinya bias, maka dalam penelitian ini dilakukan kriteria eksklusi. Subjek sampel yang pernah mengalami malaria dalam satu tahun terakhir tidak dimasukkan kedalam penelitian. Variabel pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan tidak dimasukkan karena berdasarkan data Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2010 48
49
pelayanan dan fasilitas kesehatan dan kesehatan lingkungan di Provinsi NTB sudah tergolong cukup baik. Kerangka Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat berdasarkan variabel- variabel berikut ini: Asupan Energi Asupan Protein Jenis Kelamin Berat Lahir Jumlah Anggota Rumah Tangga Status Stunting Pendidikan Ibu Pendidikan Ayah Pekerjaan Ibu Pekerjaan Ayah Wilayah Tempat Tinggal Status Ekonomi Keluarga Bagan 3.1 Kerangka Konsep
50
3.2 Definisi Operasional Tabel 3.1: Definisi Ope rasional Definisi operasional No Variabel 1.
Stunting pada balita
2.
Asupan Energi
3.
Asupan Protein
4.
Berat Lahir
Definisi Operasional Tinggi balita menurut umur (TB/U) kurang dari -2 SD sehingga lebih pendek daripada tinggi yang seharusnya. Stunting dan severe stunting di gabung dalam kategori stunting. Konsumsi energi total dalam kkal/hari, kemudian dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan. Konsumsi protein dalam gram/hari, kemudian dibandingkan dengan Angka kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan. Berat badan
Cara ukur
Alat ukur
Hasil ukur
Skala ukur
Dihitung dengan mengunakan WHO Anthro
Kuesioner: RKD 10. IND TP/PB: Blok X, 2b Umur: Blok 1V, Kolom 7
0 = stunting, Ordinal gabungan antara stunting dan sever stunting (< -2SD HAZ) 1= normal ( > -2 SD HAZ)
Berdasarkan data pada kuesioner. Data diperoleh melalui 24hour recall.
Kuisioner: RKD10, IND, Blok IX
0 = Redah, jika < 70% AKG 1= Cukup, Jika ≥ 70% AKG
Ordinal
Berdasarkan data pada kuesioner. Data diperoleh melalui 24hour recall.
Kuisioner: RKD 10. IND, Blok IX
0 = Rendah, jika < 80% AKG 1 = Cukup, Jika ≥ 80% AKG
ordinal
Berdasarkan
Kuesioner:
0 = BBLR
ordinal
51
balita pada saat dilahirkan yang diukur menggunakan tinbangan Jenis kelamin belita
pada data kuesioner
RKD 10.RT, Blok VIII, Ea05
Berdasarkan data pada kuesioner
Kuesioner: RKD 10.RT, Blok IV Kolom 4 Kuesioner: RKD10. RT, Blok IV Kolom 8
5.
Jenis Kelamin Balita
6.
Pendidikan Ibu
Tingkat pendidikan tertinggi yang pernah dicapai ibu balita
Berdasarkan data pada kuesioner
7.
Pendidikan Ayah
Tingkat pendidikan tertinggi yang pernah dicapai ayah balita
Berdasarkan data pada kuesioner
Kuesioner: RKD10. RT, Blok IV Kolom 8
8.
Pekerjaan Ibu
Berdasarkan data pada kuesioner
Kuesioner: RKD10. RT, Blok IV Kolom 9
9.
Pekerjaan Ayah
Berdasarkan data pada kuesioner
10
Status
Pekerjaan yang menggunakan waktu terbanyak responden, atau pekerjaan yang memberikan penghasilan terbesar Pekerjaan yang menggunakan waktu terbanyak responden, atau pekerjaan yang memberikan penghasilan terbesar Gambaran
Berdasarkan
jika BB <2500 gram 1 = Normal jika BB ≥2500 gram 0= Perempuan 1 = Laki- laki
Nominal
0 = Rendah, jika tamat SLTP ke kebawah 1 = Tinggi, jika tamat SLTA ke atas 0 = Rendah, jika tamat SLTP ke kebawah 1 = Tinggi, jika tamat SLTA ke atas 0 = Bekerja 1 = Tidak Bekerja
Ordinal
Kuesioner: RKD10. RT, Blok IV Kolom 9
0 = Tidak bekerja 1 = Bekerja
Ordinal
Kuesioner:
0 = Rendah,
Ordinal
Ordinal
Ordinal
52
Ekonomi Keluarga
11
12
Jumlah Anggota Rumah Tangga Wilayah Tempat Tinggal
staus ekonomi keluarga balita yang dikelompokkan berdasarkan jumlah pengeluaran per kapita per hari Jumlah anggota dalam 1 rumah tangga
data pada RKD10.RT, kuesioner, Blok VIIB diukur melalui jumlah pengeluaran per kapita per hari
jika kuintil 1, 2, dan 3 1 = Tinggi, jika termasuk kuintil 4 dan 5
Berdasarkan data pada kuesioner
Daerah kediaman balita dan keluarga selama ini
Berdasarkan data pada kuisioner
0 = Besar : > Ordinal 4 orang 1 = Kecil: < 4 orang 0= Pedesaan Nominal 1 = Perkotaan
Kuesioner: RKD10. RT, Blok IV Kolom 2 Kuisioner: RKD.10.RT
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional. Pengumpulan data dan informasi serta pengukuran antara variabel independen dan dependen dilakukan pada waktu yang sama. Desain studi cross sectional ini cocok digunakan untuk menganalisis subjek penelitian dalam jumlah besar karena mudah dilaksanakan, sederhana, ekonomis dalam hal waktu dan hasilnya dapat diperoleh dengan cepat (Notoatmodjo, 2005).
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari hasil Riskesdas 2010 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI bagian Jaringan Informasi dan Publikasi Penelitian (JIPP) di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Data Riskesdas yang digunakan untuk melakukan penelitian ini diperoleh dari Badan Litbankes Kementrian Kesehatan RI pada bulan Oktober 2012 dengan cara mengirimkan proposal penelitan kepada pihak Litbakes Kementrian Kesehatan RI. Setelah memperoleh data yang diperlukan kemudian dilakukan cleaning data. Kemudian pengolahan data dilakukan pada bulan Maret 2013 dan hasil pengolahan data tersebut dipresentasikan pada seminar proposal skripsi pada bulan April 2013.
53
54
4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah balita di Propinsi Nusa Tengga Barat Tahun 2010, yaitu sebanyak 496.994 orang (BPS, 2010). Adapun sampel dari penelitian ini adalah balita usia 24-59 bulan yang berada di daerah perkotaan dan pedesaan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
4.3.2 Sampel Sampel Riskesdas 2010 diambil dari Kabupaten/Kota yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Populasi dalam Riskesdas 2010 adalah seluruh rumah tangga di seluruh wilayah Indonesia. Dari setiap Kabupaten/Kota yang masuk dalam kerangka sampel Kabupaten/Kota diambil sejumah blok sensus pada proporsional terhadap jumlah rumah tangga di Kabupaten/Kota tersebut. Jumlah data yang tersedia untuk balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah sebanyak
579 individu. Dan
setelah dilakukan proses cleaning data menjadi 338 individu. Berdasarkan kerangka teori, faktor infeksi juga mempengaruhi terjadinya kejadian stunting. Dalam penelitian Riskesdas 2010 ini, faktor infeksi yang di teliti yaitu infeksi malaria. Dan untuk menghindari terjadinya bias, maka dilakukan kriteria eksklusi. Sampel yang pernah
55
mengalami infeksi malaria dalam satu tahun terakhir di keluarkan dari penelitian ini. Untuk kepentingan analisis penelitian, perhitungan sampel minimal yang digunakan yaitu estimasi proporsi dengan presisi relatif (Ariawan, 1998) sebagai berikut:
n = Z2 1-α/2 (1-P) ε2 P
Keterangan : n P
= Jumlah sampel penelitian = Proporsi balita stunting; P = 0, 753 (Wiyogowati, 2012)
Z1-α/2 = Derajat kemaknaan ε
= Presisi relatif
Karena penelitian ini menggunakan data sekunder, sample yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan jumlah data yang tersedia. Setelah melakukan proses cleaning data, data yang dapat digunakan
untuk
penelitian
ini
adalah
338
individu.
Dengan
menggunakan perhitungan rumus diatas, maka didapatkan nilai α yang digunakan untuk mendapatkan jumlah sampel 338 adalah 10%, dan nilai ε adalah 5% (0.05).
56
4.4 Pengumpulan Data 4.4.1 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder Riskesdas 2010, diperoleh dalam bentuk electronic file. Data yang di peroleh dan dianalisis yaitu data asupan energi, asupan protein, jenis kelamin balita berat lahir, jumlah anggota keluarga, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal, status ekonomi keluarga,. Pengumpulan data Riskesdas 2010 dilakukan pada tahun 2010 di setiap blok sampel (BS) yang telah di tentukan.
4.4.2 Instrument Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner Riskesdas yang digunakan untuk mengumpulkan data gambaran faktorfaktor kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Teggara Barat Tahun 2010. Dalam penelitian ini variabel indipenden meliputi variabel data konsumsi energi, konsumsi protein, berat lahir, jumlah anggota keluarga, jenis kelamin, tingkat pendidikan ibu, tingkat pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal dan status ekonomi keluarga. Adapun daftar variabel dan keterangan kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut.
57
Tabel 4.1 Daftar variabel dan kuisioner dalam riskesdas 2010 No
Variabel
Keterangan kuisioner
1. Asupan energi
Kuesioner RKD10 ZP
2. Asupan protein
Kuesioner RKD10 ZC
3. Berat lahir
Kuesioner RKD10 B10A1B
4. Jenis kelamin balita
Kuesioner RKD10 B4K4
5. Pendidikan ibu
Kuesioner RKD10 B4K8 (ibu)
6. Pendidikan ayah
Kuisioner RKD10 B4k8 (ayah)
7. Status bekerja ibu
Kuisioner RKD10 B4K9 (ibu)
8. Status bekerja Ayah
Kuisioner RKD10 B4K9 (ayah)
9. Tingkat ekonomi keluarga
Kuisioner RKD10 B7.B. K25
10. Jumlah anggota keluarga
Kuesioner RKD10 B2R2
11. Wilayah Tempat Tinggal
Kuesioner RKD10 B1R5
Sumber : Depkes RI, 2011 Keterangan: B= Blok K= Kolom
H=Kode Kuisioner Anggota Rumah Tangga
4.4.3 Asupan Energi dan Protein Pada Riskesdas 2010, Asupan energi dan protein diperoleh dari recall 24 jam sebelum dilakukan wawancara. Asupan energi dan protein dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004. Asupan dikategorikan kurang jika energi
58
<70% AKG dan protein <80% AKG dan cukup jika energi > 70% AKG dan protein >80% AKG (WKNPG, 2004).
4.4.4 Berat Lahir Pada Riskesdas 2010, berat lahir diperoleh dari hasil wawancara kepada orang tua balita apakah balita tersebut ditimbang ketika baru lahir atau tidak. Jika ya, maka ditanyakan berapa berat badan balita tersebut ketika lahir.
4.4.5 Jenis Kelamin Balita Data variabel jenis kelamin balita diperoleh dengan melakukan wawancara kepada orangtua balita.
4.4.6 Pendidikan Ayah dan Ibu (Orang Tua) Pada Riskedas 2010, pendidikan orang tua, yaitu ayah dan ibu ditanyakan kepada orang tua balita yaitu sampai saat Riskesdas dilakukan. Jawaban responden diisi sesuai dengan kode jawaban, yaitu: Tabel 4.2 Kode Variabel Pendidikan dalam Riskesdas 2010 Kode Keterangan 1 Tidak pernah sekolah, termasuk di dalamnya adalah yang belum sekolah karena belum mencapai usia sekolah. 2 Tidak tamat SD, termasuk tidak tamat Madrasah Ibtidaiyah (MI). 3 Tamat SD, termasuk tamat Madrasah Ibtidaiyah/ Paket A dan tidak tamat SLTP/ MTs. 4 Tamat SLTP, termasuk tamat Madrasah Tsanawiyah (MTs)/ Paket B dan tidak tamat SLTA/ MA. 5 Tamat SLTA, termasuk tamat Madrasah Aliyah (MA)/ Paket C. 6 Tamat D1, D2, D3
59
7
Tamat Perguruan Tinggi, termasuk tamat Strata-1, Strata-2 dan Strata-3. Sumber: Depkes, 2010
4.4.7 Status Bekerja Ayah dan Ibu (Orang Tua) Pada Riskesdas 2010, variabel pekerjaan ditanyakan kepada ibu dan ayah balita yaitu dengan menanyakan pekerjaan utama responden, yaitu adalah pekerjaan yang menggunakan waktu terbanyak responden atau pekerjaan yang memberikan penghasilan terbesar. Setelah itu, jawaban responden diisi sesuai dengan kode jawaban, yaitu:
Kode 1 2
3 4
5
6 7 8
9
Tabel 4.3 Kode Variabel Pekerjaan dalam Riskesdas 2010 Keterangan Tidak bekerja, termasuk sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan suatu usaha, atau sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Sekolah, yaitu kegiatan bersekolah di sekolah formal baik pada pendidikan dasar, pendidikan menengah atau pendidikan tinggi yang di bawah pengawasan Depdiknas, Departemen lain maupun swasta. TNI/Polri, bekerja di pemerintahan sebagai angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara dan kepolisian. Pegawai Negeri Sipil (PNS), bekerja di pemerintahan sebagai pegawai negeri sipil. Pegawai swasta yaitu pekerja yang bekerja pada perusahaan swasta. Wiraswasta/pedagang, yaitu orang yang melakukan usaha dengan modal sendiri atau berdagang baik sebagai pedagang besar atau eceran. Pelayanan jasa, orang yang bekerja secara mandiri dan mendapatkan imbalan atas pekerjaannya. Misalnya jasa transportasi seperti sopir taksi, ojek. Petani, yaitu pemilik atau pengolah lahan pertanian, perkebunan yang diolah sendiri atau dibantu oleh buruh tani. Nelayan, orang yang melakukan penangkapan dan atau pengumpulan hasil laut (misalnya ikan). Buruh, yaitu pekerja yang mendapat upah dalam mengolah pekerjaan orang lain (buruh tani, buruh bangunan, buruh angkat angkut, buruh pekerja). Lainnya, apabila tidak termasuk dalam kode 1 s.d 8
Sumber: Depkes, 2010
60
4.4.8 Tingkat Ekonomi Keluarga Pada
Riskesdas
(2010),
Tingkat
ekonomi
keluarga
ditentukan
berdasarkan pengeluaran rumah tangga yang terdiri dari pengeluaran pangan dan non pangan dalam rumah tangga digolongkan menjadi beberapa tingkatan berupa 5 kuintil yang telah ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik Nasional.
4.4.9 Jumlah Anggota Keluarga Pada Riskesdas 2010 jumlah anggota keluarga dihitung berdasarkan banyaknya Anggota Rumah Tangga (ART) yang bertempat tinggal di rumah tangga (RT) tersebut, baik yang berada di rumah tangga pada waktu pencacahan maupun sementara tidak ada (termasuk kepala rumah tangga). ART yang telah bepergian 6 bulan atau lebih, dan ART yang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi dengan tujuan pindah/akan meninggalkan rumah tangga 6 bulan atau lebih tidak termasuk sebagai ART. Orang yang telah tinggal di rumah tangga 6 bulan atau lebih atau yang telah tinggal di rumah tangga kurang dari 6 bulan tetapi berniat tinggal di rumah tangga tersebut 6 bulan atau lebih termasuk sebagai ART. Pembantu rumah tangga, sopir, tukang kebun yang tinggal dan makan di rumah majikannya dianggap sebagai ART majikannya. Pada penelitian ini data variabel jumlah anggota keluarga dikategorikan menjadi dua yaitu keluarga besar (> 4 orang) dan keluarga kecil (< 4 orang) (BKKBN, 1998 dalam Hastuti, 2010).
61
4.4.10 Wilayah Tempat Tinggal Pada Riskesdas 2010 variabel wilayah tempat tinggal ditentukan berdasarkan wilayah tempat tinggal sampel pada saat Riskesdas dilakukan.
4.5 Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan menggunakan program komputerisasi statistik dengan melalui beberapa tahapan sebagai berikut: 4.5.1
Pembersihan Data (Data Cleaning) Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dimasukkan apakah ada kesalahan atau tidak (Najmah, 2011). Setelah menerima data berupa SPSS dari Puslitbangkes, kemudian dilakukan pengecekan kelengkapan data untuk melihat ada tidaknya data yang missing. Ternyata setelah dilakukan proses cleaning data, banyak data yang diperlukan untuk penelitian ini yang missing. Dari 579 data yang tersedia, 241 diantaranya missing. Sehingga data yang tidak lengkap atau missing tersebut tidak digunakan sebagai sample dalam penelitian ini.
4.5.2
Transformasi Data/Recode Setelah dilakukan pembersihan data, maka dilakukan transformasi data berupa pengkodean ulang/recode terhadap variabel sesuai dengan kebutuhan
62
penelitian. Hal ini bertujuan untuk mengklasifikasikan data yang diperoleh sesuai dengan tujuan penelitian.
4.6 Analisis Data 4.6.1
Analisis Deskriptif (Univariat) Pada penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis univariat. Analisis ini digunakan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi masing- masing variabel penelitian yaitu variabel asupan energi, asupan protein, berat lahir, jumlah anggota keluarga, jenis kelamin, tingkat pendidikan ibu, tingkat pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal dan status ekonomi keluarga. Kemudian data tersebut diolah secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk grafik dan tabel frekuensi untuk menentukan jumlah dan presentase masing- masing variabel.
BAB V HASIL
5.1
Analisis Univariat Pada analisis univariat ini ditampilkan distribusi frekuensi dari masingmasing variabel yang diteliti, baik variabel dependen maupun independen. Selanjutnya hasil analisis univariat akan dijelaskan pada sub-bab berikut ini: 5.1.1
Gambaran Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan sebaran kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah sebagai berikut: Grafik 5.1 Gambaran Ke jadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa balita usia 24-59 bulan di provinsi NTB yang mengalami stunting adalah sebanyak 56.36%.
63
64
Dengan kata lain, di Provinsi NTB balita usia 24-59 bulan yang mengalami stunting lebih banyak daripada balita normal.
5.1.2
Gambaran Asupan Energi Pada Balita Usia 24 -59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan sebaran asupan energi pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah sebagai berikut: Grafik 5.2 Gambaran Asupan Energi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik diatas, jumlah balita yang memiliki asupan energi rendah atau dibawah AKG di Provinsi NTB adalah sebesar 58.22%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa di Provinsi NTB masih banyak balita yang kurang asupan energinya, yaitu lebih dari 50% balita. Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB dengan asupan energi rendah dan mengalami stunting sebesar 55.3%. Sedangkan balita dengan asupan
65
energi cukup dan mengalami stunting sebesar 57.84%. Persentase tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 5.1 Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Asupan Energi pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 Status stunting Asupan Stunting
Normal
Total
energi N
%
N
%
N
%
Rendah
108
55.3
88
44.7
196
100
Cukup
82
57.84
60
42.16
142
100
5.1.3
Gambaran Asupan Protein Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan sebaran asupan protein pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah sebagai berikut:
66
Grafik 5.3 Gambaran Asupan Protein Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa balita yang memiliki asupan protein cukup di Provinsi NTB yaitu sebesar 51.70%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa asupan protein pada balita di Provinsi NTB sudah cukup baik karena jumlah balita yang memiliki asupan protein yang cukup lebih dari 50%. Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia 2459 bulan di Provinsi NTB dengan asupan protein rendah dan mengalami stunting sebesar 60.2%. Sedangkan balita dengan asupan protein cukup dan mengalami stunting sebesar 52.77%. Persentase tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
67
Tabel 5.2 Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Asupan Protein pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 Status stunting Asupan Stunting
Normal
Total
Protein N
%
N
%
N
%
Rendah
98
60.2
65
39.8
163
100
Cukup
92
52.77
83
47.23
175
100
5.1.4
Gambaran Jenis Kelamin Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran balita usia 24-59 bulan berdasarkan jenis kelamin di Provinsi NTB adalah sebagai berikut: Grafik 5.4 Gambaran Jenis Kelamin Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa jumlah balita perempuan di Provinsi NTB yaitu sebanyak 51.59% dan jumlah balita
68
laki- laki adalah 48.40%. Maka dapat disimpulkan bahwa jumlah balita perempuan usia 24-59 bulan di Provinsi NTB lebih banyak daripada jumlah balita laki- laki. Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia 2459 bulan di Provinsi NTB yang berjenis kelamin perempuan dan mengalami stunting sebanyak 56.63%. Sedangkan balita laki- laki dan mengalami stunting sebanyak 56.08%. Persentase tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel 5.3 Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Jenis Kelamin pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 Status stunting
Jenis Kelamin
Stunting
Normal
Total
Balita
N
%
N
%
N
%
Perempuan
98
56.63
76
43.37
174
100
Laki- laki
92
56.08
72
43.92
164
100
5.1.5
Gambaran Berat Lahir Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Berdasarkan penilitian yang dilakukan sebaran balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB berdasarkan berat lahir adalah sebagai berikut:
69
Grafik 5.5 Gambaran Berat Lahir Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa hanya sedikit balita yang lahir dalam keadaan BBLR, yaitu sebesar 8.62%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kejadian BBLR di Provinsi NTB kecil, karena lebih dari 90% balita disana lahir dengan berat badan yang normal atau lebih dari 2500 gram. Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia 2459 bulan di Provinsi NTB dengan BBLR dan mengalami stunting sebesar 51.63%. Sedangkan balita dengan berat badan lahir normal dan mengalami stunting sebesar 56.81%. Persentase tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
70
Tabel 5.4 Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Berat Lahir pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 Status stunting Berat Lahir Stunting
Normal
Total
Balita N
%
N
%
N
%
BBLR
15
51.63
14
48.37
29
100
Normal
175
56.81
134
43.19
309
100
5.1.6
Gambaran Jumlah Anggota Keluarga Balita Usia 24 -59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Berdasarkan penilitian yang dilakukan sebaran jumlah anggota keluarga balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai berikut: Grafik 5.6 Gambaran Jumlah Anggota Keluarga Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik diatas balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang memiliki jumlah anggota keluarga besar (> 4 orang dalam satu keluarga) adalah sebesar 72.06%. Dengan kata lain, dapat disimpulkan
71
bahwa sebagian besar penduduk di Provinsi NTB merupakan keluarga besar yang memiliki lebih dari samadengan 4 orang dalam satu keluarga. Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia 2459 bulan di Provinsi NTB yang memiliki kelurga dengan jumlah besar dan mengalami stunting sebesar 53.24%. Sedangkan balita dengan kelurga yang berjumlah sedikit (kecil) dan mengalami stunting sebesar 64.40%. Persentase tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 5.5 Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 Jumlah
Status stunting
Anggota Keluarga
Stunting
Normal
Total
N
%
N
%
N
%
Besar
129
53.24
114
46.76
243
100
Kecil
61
64.4
34
35.6
95
100
5.1.7
Gambaran Pendidikan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran pendidikan ibu dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai berikut:
72
Grafik 5.7 Gambaran Pendidikan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa ibu dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang berpendidikan rendah yaitu sebesar 66.86%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ibu dari balita di Provinsi NTB masih berpendidikan rendah. Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia 2459 bulan di Provinsi NTB dengan pendidikan ibu rendah dan mengalami stunting sebesar 60.64%. Sedangkan balita dengan ibu berpendidikan tinggi dan mengalami stunting sebesar 47.73%. Persentase tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
73
Tabel 5.6 Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Pendidikan Ibu pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 Status stunting Pendidikan Stunting
Normal
Total
Ibu N
%
N
%
N
%
Rendah
136
60.64
89
39.36
225
100
Tinggi
54
47.73
59
52.27
113
100
5.1.8
Gambaran Pendidikan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran pendidikan Ayah dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai berikut: Grafik 5.8 Gambaran Pendidikan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa ayah dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang berpendidikan rendah yaitu
74
sebesar 71.51%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ayah dari balita di Provinsi NTB masih berpendidikan rendah. Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia 2459 bulan di Provinsi NTB yang memiliki ayah berpendidikan rendah dan mengalami stunting sebesar 58.7%. Sedangkan balita yang memiliki ayah berpendidikan tinggi dan mengalami stunting sebesar 50.84%. Persentase tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.7 Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Pendidikan Ayah pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 Status stunting Pendidikan Stunting
Normal
Total
Ayah N
%
N
%
N
%
Rendah
141
58.7
100
41.3
241
100
Tinggi
49
50.48
48
49.52
97
100
5.1.9
Gambaran Pekerjaan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran pekerjaan ibu dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai berikut:
75
Grafik 5.9 Gambaran Pekerjaan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa jumlah ibu dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang tidak bekerja sebanyak 66.8%. Maka dapat disimpulkan bahwa jumlah ibu balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang tidak bekerja lebih banyak dari pada yang bekerja, yaitu lebih dari 60% ibu. Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia 2459 bulan di Provinsi NTB yang memiliki ibu bekerja dan mengalami stunting sebesar 60.37%. Sedangkan balita yang memiliki ibu tidak bekerja dan mengalami stunting sebesar 54.70%. Persentase tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
76
Tabel 5.8 Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Pekerjaan Ibu pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 Status stunting Pekerjaan Stunting
Normal
Total
Ibu N
%
N
%
N
%
Bekerja
68
60.37
45
39.63
113
100
Tidak
122
54.37
103
45.63
225
100
Bekerja
5.1.10 Gambaran Pekerjaan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran pekerjaan ayah dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai berikut: Grafik 5.10 Gambaran Pekerjaan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
77
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa jumlah ayah dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang bekerja sebesar 97.03%. Maka dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh ayah dari balita usia 2459 bulan di Provinsi NTB bekerja. Berdasarkan hasil statistik diketahui jumlah balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang memiliki ayah tidak bekerja dan mengalami stunting sebesar 50.43%. Sedangkan balita yang memiliki ayah bekerja dan mengalami stunting sebesar 56.54%. Persentase tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.9 Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Pekerjaan Ayah pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 Kejadian stunting Pekerjaan Stunting
Normal
Total
Ayah
Tidak Bekerja Bekerja
N
%
N
%
N
%
5
50.43
5
49.57
10
100
185
56.54
143
43.46
328
100
5.1.11 Gambaran Wilayah Tempat Tinggal Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran wilayah tempat tinggal dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai berikut:
78
Grafik 5.11 Gambaran Wilayah Te mpat Tinggal Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa balita usia 2459 bulan di Provinsi NTB yang tinggal di daerah pedesaan sebesar 58.22%. Maka dapat disimpulkan bahwa balita yang tinggal di daerah pedesaan lebih banyak daripada yang tinggal di daerah perkotaan. Berdasarkan hasil statistik diketahui jumlah balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang tinggal di desa dan mengalami stunting sebesar 58.85%. Sedangkan balita yang tinggal di kota dan mengalami stunting sebesar 52.6%. Persentase tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
79
Tabel 5.10 Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Wilayah Te mpat Tinggal pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 Status stunting
Wilayah Tempat
Stunting
Tinggal
Normal
Total
N
%
N
%
N
%
Desa
117
58.85
82
41.15
199
100
Kota
73
52.6
66
47.4
139
100
5.1.12 Gambaran Status Ekonomi Keluarga Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran status ekonomi dari keluarga balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai berikut: Grafik 5.12 Gambaran Status Ekonomi Keluarga Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
80
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa 82.46% keluarga dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB merupakan keluarga berstatus ekonomi rendah. Dengan kata lain, sebagian besar keluarga balita merupakan kelompok masyarakat yang kurang mampu. Berdasarkan hasil uji statistik diketahui jumlah balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB dengan status ekonomi keluarga rendah dan mengalami stunting sebesar 60.19%. Sedangkan balita dengan status ekonomi keluarga tinggi dan mengalami stunting sebesar 38.34%. Persentase tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.11 Gambaran Ke jadian Stunting berdasarkan Status Ekonomi Keluarga pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 Status stunting
Status Ekonomi Keluarga
Stunting
Normal
Total
N
%
N
%
N
%
Rendah
167
60.19
111
39.81
278
100
Tinggi
23
38.34
37
61.66
60
100
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan yang dimiliki yaitu penelitian ini menggunakan data sekunder Riskesdas 2010, dimana penelitian tersebut tidak di disain secara langsung untuk meneliti masalah gizi namun di disain secara langsung untuk meneliti masalah kesehatan yang diarahkan untuk mengevaluasi indikator Millenium Development Goals (MDGs), sehingga variabel yang digunakan dalam penelitian ini terbatas hanya pada data sekunder tersebut. Hal ini berarti data tersebut tidak dirancang untuk menjawab pertanyaan penelitian ini. Sebagai akibatnya, beberapa variabel yang diperlukan dan diduga berhubungan dengan Kejadian Stunting pada balita tidak bisa diteliti seperti seperti pengetahuan gizi ibu, ketersediaaan bahan makanan, sosial budaya, daya beli dan penyakit infeksi. Data Riskesdas yang digunakan untuk melakukan penelitian ini kurang begitu baik dalam segi kelengkapan data, karena cukup banyak data yang missing. Dari total 579 data yang tersedia hanya 338 data yang valid untuk dijadikan sampel dalam penelitian ini. Data konsumsi makanan yaitu asupan energi balita hanya berdasarkan hasil recall 1 x 24 jam. Menurut Gibson (2005) konsumsi makanan sebaiknya dilakukan 3 x 24 jam dengan tujuan untuk menangkap variasi dalam jenis dan jumlah konsumsi makanan. Tingkat pendapatan keluarga dihitung berdasarkan jumlah pengeluaran rumah tangga sehari yang dinyatakan dalam kuintil 1 sampai 5. Angka dalam rupiah untuk
81
82
kuintil-kuintil tersebut tidak bisa didapatkan oleh penulis karena data tersebut tidak ada dalam data Riskesdas 2010.
6.2 Gambaran Stunting pada Balita Stunting merupakan keadaan tubuh pendek dan sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD di bawah median panjang atau tinggi badan (Manary & Solomons, 2009). Stunting dan serve stunting (selanjutnya hanya disebut sebagai stunting) pada balita merupakan salah satu masalah besar yang mengancam pengembangan sumber daya manusia. Pada tahun 1995, diperkirakan angka stunting pada balita telah mencapai lebih dari 208 juta dan 206 juta diantaranya berada di negara berkembang. Lebih dari dua per tiga (72%) balita stunting berada di Asia. Pada saat ini, angka global stunting pada balita adalah 178 juta (World Vision, 2009). Kejadian stunting pada balita diukur dengan menggunakan klasifikasi status gizi berdasarkan indikator tinggi badan menurut umur WHO 2005. Stunting mencerminkan suatu proses kegagalan dalam mencapai pertumbuhan linier yang pontensial sebagai akibat adanya status kesehatan atau status gizi. Pertumbuhan linier atau tinggi badan dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor lingkungan, dan kondisi medis. Perkembangan dari stunting merupakan proses bertahap yang bersifat kronis, termasuk gizi buruk dan penyakit infeksi, selama periode pertumbuhan linier. Hal ini sering dimulai pada saat janin masih berada dalam kandungan dan meluas melalui dua tahun pertama. Stunting pada masa kanak-kanak sangat erat kaitannya dengan kemiskinan. Tanpa perubahan lingkungan, stunting dapat
83
menyebabkan penurunan pertumbuhan permanen. Dengan demikian, anak-anak yang mengalami stunting pada awal kehidupan seringkali lebih pendek pada masa kanakkanak dan dewasa dibanding rekannya yang punya pertumbuhan awal yang memadai (Darity, 2008). Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) prevalensi balita gizi buruk dari tahun 1989 sampai tahun 1995 meningkat tajam yaitu 6.3% pada tahun 1989 menjadi 11.6% pada tahun 1995, lalu cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003. Berdasarkan survey gizi dan kesehatan HKI tahun 1999-2001 prevalensi balita stunting dari tahun 1999-2002 di wilayah pedesaan di delapan provinsi masih berkisar antara 30-40% begitu juga dengan prevalensi balita stunting di wilayah kumuh perkotaan di empat kota menunjukan prevalensi balita stunting tergolong tinggi berkisar antara 27-40%. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan provinsi yang memiliki prevalensi stunting paling tinggi untuk wilayah pedesaan pada tahun 1999-2002 yaitu mencapai 48.2%. Pada tahun 2000 dan 2001 untuk wilayah perkotaan, Makasar merupakan kota dengan prevalensi stunting tertinggi, masing masing mencapai 43,1% dan 42,6% (Atmarita, 2004). Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) juga merupakan salah satu Provinsi yang memiliki prevalensi stunting diatas prevalensi nasional. Provinsi NTB mengalami peningkatan angka stunting pada balita sebesar 4.06% dari tahun 2007 ke tahun 2010. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebanyak 56.36% balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB pada tahun 2010 mengalami stunting.
84
Menurut Kemenkes RI (2010) bila dibandingkan dengan batas non public health problem menurut WHO, angka ini masih diatas ambang batas (cut off) yang disepakati secara universal. Apabila masalah stunting diatas 20% maka merupakan masalah kesehatan masyarakat.
6.3 Gambaran Asupan Energi dengan Kejadian Stunting pada Balita Dari hasil analisis univariat yang dilakukan diketahui bahwa balita dengan asupan energi rendah sebanyak 196 anak (58.22%). Sedangkan balita dengan asupan energi cukup sebanyak 142 anak (41.77%). Dengan kata lain, ada lebih dari 50% balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang mengkonsumsi energi kurang dari AKG. Penelitian yang dilakukan Fitri (2012) mengenai stunting di Sumatera juga menunjukkan bahwa 50.5% balita memiliki konsumsi energi rendah. Makanan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan terutama untuk pertumbuhan. Tanpa asupan makanan dan nutrisi yang cukup, suatu organisme tidak bisa tumbuh dan berkembang secara normal (Robert, 1999 dalam Lupiana, 2010). Tingkat kesehatan biasanya dipengaruhi oleh asupan makanan yang masuk kedalam tubuh seseorang, jika asupan gizi yang masuk dalam komposisi yang baik maka gizi seseorang juga akan baik. Namun jika yang terjadi adalah yang sebaliknya maka tubuh akan kekurangan zat gizi atau biasa disebut malnutrition. Masalah tersebut disebabkan oleh kekurangan atau ketidakseimbanga n antara energi dan protein yang masuk dalam tubuh (Notoatmodjo, 1989).
85
Anjuran jumlah asupan energi dalam setiap tahapan umur tidaklah sama, sehingga asupan yang diperlukan balita usia dua dan empat tahun akan berbeda. Kebutuhan energi bagi anak ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh, aktivitas fisik, dan tingkat pertumbuhan. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) energi untuk balita usia 24-47 bulan adalah 1000 kkal/hari, sedangkan AKG balita usia 48-59 bulan adalah 1550 kkal/hari (WNPG VIII, 2004). Adapun batasan minimal asupan energi per hari adalah 70% dari AKG (Kementerian Kesehatan, 2010). Kegagalan tumbuh (stunting) dihasilkan dari kurangnya asupan gizi merupakan faktor risiko yang paling besar dalam menentukan perkembangan anak (Wachs, 2008). Kekurangan gizi mempengaruhi sejumlah besar anak-anak di negara berkembang. Kekurangan gizi akibat dari berbagai faktor, sering terkait buruknya kualitas makanan, asupan makanan tidak cukup dan penyakit infeksi (El Sayed et al, 2001). Meskipun jumlah balita dengan asupan energi kurang jumlahnya lebih banyak dibandingkan balita dengan jumlah balita dengan asupan energi cukup, ternyata jumlah balita yang menjadi stunting lebih banyak ditemukan pada balita yang awalnya mengkonsumsi energi cukup. Ada sebanyak 57.85% balita yang mengkonsumsi energi cukup namun pada akhirnya menjadi stunting. Hal ini dapat disebabkan karena stunting merupakan akibat dari kekurangan gizi dalam jangka waktu yang lama atau kronis. Meskipun secara umum anak balita dengan asupan energi kurang di Provinsi NTB tahun 2010 lebih tinggi, belum tentu seluruh balita tersebut mengalami stunting. Karena ada kemungkinan sebelum pengambilan data Riskesdas 2010 ini dilakukan, balita-balita tersebut sebenarnya sudah mengkonsumsi energi yang cukup atau sesuai dengan AKG.
86
Oleh sebab itu meskipun pada saat pengambilan data Riskesdas ini dilakukan tercatat bahwa balita tersebut mengkonsumsi energi dalam jumlah kurang, tetapi balita tersebut tidak mengalami stunting. Begitu pula sebaliknya, balita yang tercatat mengkonsumsi jumlah energi sesuai AKG pada saat pengambilan data Riskesdas ini belum tentu pada masa sebelumnya selalu mengkonsumsi energi sesuai AKG. Oleh sebab itu meskipun pada data Riskesdas tercatat bahwa balita tersebut telah mengkonsumsi energi sesuai dengan AKG tidak menutup kemungkinan bahwa balita tersebut dapat mengalami stunting. Masyarakat Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat memiliki tradisi Berayan Mangan, yaitu tradisi makan bersama yang telah dilakukan sejak dahulu kala. Biasanya tradisi Berayan Mangan ini dilakukan oleh anak-anak pada saat makan siang dan anak-anak tersebut ditemani oleh ibu mereka. Tujuannya yaitu untuk meningkatkan selera dan nafsu makan pada anak. Berayan Mangan ini dilakukan secara spontan. Seorang anak akan membawa sepiring nasi yang sudah dilengkapi dengan lauk pauk. Kemudian bersama teman dan saudara serta kerabat lainnya berkumpul di salah satu rumah tetangga. Terkadang lauk pauk bisa saling tukar ataupun saling mencicipi. Tradisi ini merupakan salah satu kebiasaan yang cukup baik guna untuk mengurangi tingkat gizi buruk pada anak. Jika tradisi ini terus dikembangkan dan dikombinasikan dengan adanya penyuluhan mengenai informasi gizi untuk anak, mungkin gizi buruk di NTB dapat ditanggulangi. Penyuluhan informasi gizi ditujukan agar ibu dapat menyajikan makanan yang bergizi untuk anak-anaknya. Sehingga pada
87
saat kegiatan Berayan Mangan ini dilakukan, lauk-pauk yang dibawa anak-anak tersebut adalah lauk-pauk yang sehat dan bergizi, meskipun bukan lauk-pauk yang mahal dan mewah. Dengan demikian selain meningkatnya nafsu makan anak, anak pun diharapkan mendapatkan asupan gizi yang sesuai dengan AKG. Karena stunting merupakan akibat dari kekurangan gizi kronis, jika tradisi Berayan Mangan ini dilakukan terus menerus maka diharapkan prevalensi kejadian stunting di masa yang akan datang pun dapat menurun.
6.4 Gambaran Asupan Protein dengan Ke jadian Stunting pada Balita Dari hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa proporsi kejadian stunting pada balita yang cukup asupan protein lebih tinggi dibandingkan dengan yang mengkonsumsi kurang protein. Yaitu sebesar 51.70% balita memiliki asupan protein cukup dan sebesar 48.29% lainnya memiliki konsumsi asupan protein kurang dari AKG. Hal ini dapat disimpulkan bahwa konsumsi protein pada balita di Provinsi NTB tahun 2010 sudah cukup baik. Penelitian dengan hasil sejalan dikemukakan oleh Theron et al (2006) yang menyebutkan bahwa anak-anak stunting di wilayah perkotaan memiliki asupan protein yang cukup bila dibandingkan dengan anak-anak stunting yang berada di pedesaan. Protein berfungsi sebagai penyedia energi, tetapi juga memiliki fungsi esensial lainnya untuk menjamin pertumbuhan normal (Pipes, 1985). Sebagai sumber energi, protein menyediakan 4 kkal energi per 1 gram protein, sama dengan karbohidrat.
88
Protein merupakan faktor utama dalam jaringan tubuh. Protein membangun, memelihara dan memulihkan jaringan di tubuh seperti otot dan organ. Saat anak tumbuh dan berkembang, protein adalah zat gizi yang sangat diperlukan untuk memberikan pertumbuhan yang optimal. Asupan protein harus terdiri sekitar 10% sampai 20% dari asupan energi harian (Sharlin & Edelstein, 2011). Protein merupakan bagian kedua terbesar setelah air. Kira-kira seperlima komposisi tubuh terdiri atas protein dan separuhnya tersebar di otot, seperlima di tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di kulit dan sisanya terdapat di jaringa lain dan cairan tubuh. Protein berperan sebagai prekusor sebagian besar koenzim, hormone, asam nukleat dan molekul- molekul yag esesial bagi kehidupan. Protein juga berperan sebagai pemelihara netralitas tubuh (sebagai buffer), pembentuk antibody, mengangkut zat-zat gizi, serta pembentuk ikatan- ikatan esensial tubuh, misalnya hormone. Oleh karena itu, protein memiliki fungsi yang khas dan tidak dapat digantikan oleh zat lain (Almatsier, 2001). Peningkatan asupan protein diperlukan bayi dan anak-anak stunting yang perlu tumbuh dalam rangka mengejar ketinggalan. Kekurangan gizi selama tahun pertama kehidupan, baik hasil dari lingkungan maupun karena kondisi seperti malabsorpsi atau cystic fibrosis. Peningkatan kebutuhan protein untuk mengejar pertumbuhan secara proporsional lebih besar dari pengingkatan energi dan tergantung pada usia dan kecepatan pertumbuhan (Lawson, 2005). Tetapi meskipun jumlah balita yang mengkonsumsi protein sesuai dengan AKG lebih banyak dibandingkan dengan jumlah balita dengan konsumsi protein rendah, tidak
89
menutup kemungkinan balita tersebut terbebas dari stunting. Karena berdasarkan hasil perhitungan statistik didapatkan hanya 83 dari 175 balita dengan konsumsi protein memiliki pertumbuhan normal. 92 balita lainnya (52.77%) mengalami stunting meskipun konsumsi proteinnya sudah sesuai dengan AKG. Sama halnya dengan asupan energi, banyaknya kejadian stunting yang justru ditemukan pada anak-anak yang memiliki asupan protein cukup dikarenakan adanya faktor waktu yang mempegaruhi sampai akhirnya seorang anak dapat menjadi stunting. Protein berfungsi sebagai pengangkut zat-zat gizi. Jika seorang anak dengan asupan energy cukup namun asupan proteinnya sangat kurang, maka zat-zat gizi yang lain pun tidak dapat diangkut keseluruh tubuh. Sehingga menyebabkan kekurangan gizi dan bila kejadian ini terus menerus terjadi maka terjadilah stunting. Oleh karena itu baik asupan energy maupun protein, keduanya sangat penting dalam proses tumbuh kembang anak.
6.5 Gambaran Jenis Kelamin dengan Ke jadian Stunting pada Balita Dari hasil analisis yang dilakukan, jumlah balita perempuan di Provinsi NTB Tahun 2010 sebagian besar berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 174 balita (51.59%). Sedangkan sebanyak 164 balita (48.40%) berjenis kelamin laki- laki. Dari 174 balita perempuan yang ada, terdapat 98 orang balita (56.63% ) mengalami stunting. Meskipun demikian kejadian stunting pada laki- laki di Provinsi NTB juga terbilang cukup tinggi, yaitu sebanyak 56.08% dari 164 balita yang ada mengalami stunting. Jenis kelamin menentukan besarnya kebutuhan gizi bagi seseorang sehingga terdapat keterkaitan antara status gizi dan jenis kelamin (Apriadji, 1986). Perbedaan
90
besarnya kebutuhan gizi tersebut dipengaruhi karena adanya perbedaan komposisi tubuh antara laki- laki dan perempuan. Faktor budaya juga dapat mempengaruhi status gizi pada anak laki- laki dan perempuan. Pada beberapa kelompok masyarakat, perempuan dan anak perempuan mendapat prioritas yang lebih rendah dibandingkan laki- laki dan anak laki- laki dalam pengaturan konsumsi pangan. Hal tersebut mengakibatkan perempuan dan anak perempuan merupakan anggota keluarga yang rentan terhadap pembagian pangan yang tidak merata (Soehardjo, 1989). Penelitian yang dilakukan oleh Nasikhah (2012) menunjukkan bahwa kejadian stunting pada balita usia 24-36 bulan di Kecamatan Semarang Timur lebih banyak dialami oleh balita perempuan (64.5%) daripada balita laki- laki (35.5%). Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa presentase gizi kurang pada balita perempuan lebih tinggi (17,9%) dibandingkan dengan balita laki- laki (13.8%) (Suraedi, 2004). Sedangkan sebuah studi meta analisis di 10 negara Sub-Saharan Afrika menunjukkan bahwa prevalensi stunting pada anak (0-59 bulan) laki- laki lebih tinggi (40%) dibandingkan dengan anak perempuan (36%) (Wamani H et al., 2007). Sejalan dengan penelitian tersebut penelitian yang dilakukan di wilayah Maluku Utara pada anak usia 0-59 bulan juga menunjukkan anak laki- laki memiliko risiko lebih tinggi (OR=16) untuk mengalami stunting dibandingkan dengan anak perempuan (Ramli et al., 2009). Penelitian serupa yang dilakukan di Zimbabwe juga menunjukkan bahwa prevalensi stunting pada balita laki- laki lebih tinggi (36%) daripada anak perempuan (30%). Rosha
91
et al (2012) menunjukkan bahwa anak perempuan memiliki efek protektif atau risiko lebih rendah 29% terhadap stunting dibandingkan dengan anak laki- laki. Perempuan memiliki lebih banyak jaringan lemak dan jaringan otot lebih sedikit daripada laki- laki. Secara metabolik, otot lebih aktif jika dibandingkan dengan lemak, sehingga secara proporsional otot akan memerlukan energi lebih tinggi daripada lemak. Dengan demikian, laki- laki dan perempuan dengan tinggi badan, berat badan dan umur yang sama memiliki komposisis tubuh yang berbeda, sehingga kebutuhan energi dan gizinya juga akan berbeda (Almatsier, 2001). Pada tahun pertama kehidupan, laki- laki lebih rentan mengalami malnutrisi daripada perempuan. Hal ini disebabkan karena ukuran tubuh laki- laki yang besar dimana membutuhkan asupan energi lebih besar pula sehingga bila asupan makanan tidak terpenuhi dan kondisi tersebut terjadi dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan gangguan pertumbuhan (Grehwin M et al., 2004). Namun pada tahun kedua kehidupan perempuan lebih berisiko menjadi stunting. Hal ini terkait dengan pola asuh orang tua dalam memberikan makan pada anak dimana dalam kondisi lingkungan dan gizi yang baik, pola pertumbuhan anak laki- laki lebih baik daripada perempuan. Di Filipina, laki- laki lebih dulu dikenalkan makanan pendamping dimana makanan yang diberikan kaya akan protein yang penting dalam proses pertumbuhan. Sedangkan perempuan lebih banyak diberikan sayuran (Adair et al, 1997). Baik laki- laki maupun perempuan memiliki probabilitas untuk menjadi stunting. Namun dengan pola asuh yang baik sebenarnya stunting dapat dicegah. Di Provinsi NTB ini meskipun jumlah balita perempuan lebih banyak dibandingkan jumlah balita laki- laki,
92
proporsi balita yang mengalami stunting hampir sama, yaitu lebih dari 56%. Hal ini mungkin dapat disebabkan karena pola asuh orang tua balita di Provinsi NTB kurang baik pada balita laki- laki dan perempuan.
6.6 Gambaran Berat Lahir dengan Ke jadian Stunting pada Balita Dari hasil analisis univariat yang dilakukan menunjukkan adanya perbedaan proporsi antara balita BBLR dengan balita normal, yaitu sebanyak 8.62% balita mengalami BBLR dan 91.37% sisanya lahir dengan berat badan normal. Namun demikian, lebih dari 56% balita yang tadinya lahir dengan berat badan normal pada akhirnya juga menjadi stunting. Berat lahir merupakan indikator untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan, kesehatan jangka panjang dan pengembangan psikososial dan juga mencerminkan secara mendasar kualitas perkembangan intra uterin dan pemeliharaan kesehatan mencakup pelayanan kesehatan yang diterima oleh ibu selama kehamilannya (Awwal et al, 2004). Berat bayi pada saat dilahirkan juga menjadi indikator potensial untuk pertumbuhan bayi, respon terhadap rangsangan lingkungan, dan untuk bayi bertahan hidup (Schanler, 2003). Berat lahir dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu rendah dan normal. Disebut berat lahir rendah (BBLR) jika berat lahirnya <2500 gram (Kementrian Kesehatan, 2010). Bayi dengan BBLR memiliki risiko 10 kali untuk mengalami kematian neonatal dibandingkan dengan bayi lahir dengan berat badan 3000 sampai 3500 gram (Schanler, 2003).
93
Penelitian yang dilakukan oleh Fitri (2012) menunjukkan balita dengan BBLR memiliki risiko menjadi stunting sebesar 1.7 kali dibandingkan dengan balita yang memiliki berat lahir normal. Penelitian yang dilakukan di Zimbabwe oleh Mbuya et al. (2010) juga menunjukkan bahwa bayi dengan berat lahir <2500 gram mengalami stunting dengan prosentase 41.4%. Stunting merupakan keadaan kurang gizi kronis dimana diperlukan waktu yang lama untuk menjadi stunting. BBLR memang menjadi faktor penting dalam kejadian stunting. Namun besar pula kemungkinan balita yang lahir dengan berat badan normal untuk menjadi stunting. Karena selain faktor berat lahir, stunting juga dipengaruhi oleh faktor asupan makanan. Balita yang lahir tanpa BBLR jika pada proses pertumbuhannya kurang asupan energi dan protein maka hal ini dapat pula menyebabkan seorang balita yang tadinya normal menjadi stunting.
6.7 Gambaran Jumlah Anggota Rumah Tangga dengan Kejadian Stunting pada Balita Hasil analisis menunjukkan bahwa proporsi kejadian stunting lebih banyak ditemukan pada balita dengan jumlah anggota keluarga besar (> 4 orang). Sebanyak 72.06% balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB berasal dari keluarga dengan jumlah anggota keluraga lebih dari 4 orang. Namun demikian, hanya 53.24% balita dengan jumlah anggota keluarga banyak yang mengalami stunting. Sedangkan sebanyak 64.4% balita yang berasal dari keluarga yang jumlah anggota keluarganya sedikit mengalami stunting. Dapat dikatakan bahwa jumlah balita yang memiliki jumlah saudara yang tidak terlalu banyak justru mengalami stunting lebih tinggi.
94
Jumlah anggota keluarga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada pola pertumbuhan anak dan balita dalam satu keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar (Suhardjo, 2003). Menurut Hong (2007) prevalensi anak-anak stunting sama dari urutan kelahiran pertama sampai ketiga, tetapi secara signifikan lebih tinggi pada anak keempat. Hal ini karena urutan kelahiran berkolerasi dengan usia anak, dan kompetisi untuk makanan cenderung lebih besar di rumah tangga dengan anak yang lebih banyak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nasikhah (2012), menunjukkan sebanyak 64.5% balita dari keluarga dengan jumlah anggota keluarga kecil/sedikit mengalami stunting. Balita yang memiliki jumlah saudara yang lebih sedikit belum tentu terbebas dari stunting. Karena bisa jadi faktor pembagian makanan yang kurang adil dapat juga mengakibatkan balita tersebut mendapatkan jumlah makanan yang kurang, sehingga asupan gizinya pun kurang. Pola asuh keluarga yang salah seperti membiasakan anak yang lebih tua mendapatkan jumlah makanan atau asupan gizi yang lebih banyak dibandingkan anak yang lebih muda (balita) dapat juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya jumlah kejadian stunting pada balita yang justru berasal dari keluarga kecil.
95
6.8 Gambaran Pendidikan Ibu dengan Ke jadian Stunting pada Balita Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa 66.86% ibu berpendidikan rendah. Hanya sebanyak 113 ibu (31.13%) yang berpendidikan tinggi. Dan dari 66.68% ibu yang berpendidikan rendah tersebut 60.64% diantaranya meimiliki balita stunting. Pendidikan adalah suatu proses penyampaian bahan, materi pendidikan kepada sasaran pendidikan guna perubahan tingkah laku. Hasil pendidikan orang dewasa adalah perubahan kemampuan, penampilan atau perilakunya. Sehingga dapat dikatakan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan, maka makin banyak pengalaman atau informasi yang diperoleh (Notoatmodjo, 2007). Tingkat pendidikan ayah dan ibu merupakan determinan yang kuat terhadap kejadian stunting pada anak di Indonesia dan Bangladesh (Semba et al., 2008). Pada anak yang berasal dari ibu dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki tinggi badan 0.5 cm lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan rendah. Berdasarkan penelitian Norliani et al. (2005) tingkat pendidikan ayah dain ibu memiliki risiko 2.1 dan 3.4 kali lebih besar memiliki anak yang stunted pada usia sekolah. Tinggi rendahnya pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap perawatan kesehatan, proses kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran terhadap kesehatan dan gizi anak-anak dan keluarganya. Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya
96
masalah gizi didalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya (Suhardjo, 2003). Penelitian yang dilakukan di Zimbabwe oleh Mbuya et al. (2010) menunjukkan Ibu dengan pendidikan rendah (no education dan primary school) memiliki anak yang stunting. Khumaidi (1989) mengemukakan bahwa pengetahuan ibu tentang memilih bahan makanan yang bernilai gizi baik dan tentang cara memperlakukan bahan pangan dalam pengolahan sangat mempengaruhi status gizi balita. Tingkat pendidikan dan intelegensi ibu yang tinggi dapat bertindak sebagai faktor protektif yang mengurangi keadaan gizi kurang dalam awal usia anak-anak terhadap perkembangan anak. Sebaliknya, kondisi gizi yang sama cenderung menimbulkan efek yang lebih buruk terhadap perkembangan anak jika ibunya buta huruf atau mempunyai pendidikan yang rendah (Gibney JM, 2009). Studi yang dilakukan di negara berkembang mengidentifikasi tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan pertumbuhan fisik dari anak. Salah satu jalur potensial melibatkan hubungan antara pendidikan ibu meningkat dan masukan yang lebih besar oleh ibu tentang keputusan alokasi sumber daya kelurga (Becker et al., 2006). Karena ibu lebih cenderung untuk mengalokasikan sumber daya keluarga dalam cara-cara mempromosikan gizi anak mereka. Tingkat pendidikan dapat meningkatkan keputusan ibu membuat kekuasaan, yang meningkatkan gizi anak, kesehatan dan akhirnya pertumbuhan fisik mereka (Wachs, 2008).
97
Ibu yang berpendidikan rendah biasanya sulit menerima hal- hal baru, sehingga merupakan kendala besar untuk meningkatkan kesehatan keluarganya. Ibu dengan pendidikan yang rendah sulit memahami pengetahuan gizi yang penting untuk keluarganya. Jadi meskipun diberikan prevensi berupa penyuluhan tentang pendidikan gizi, biasanya para ibu tersebut tetap tidak mengikuti saran yang diberikan oleh kader kesehatan maupun tenaga kesehatan. Selain itu ibu dengan pendidikan rendah cenderung tidak memiliki wawasan yang luas dan cenderung berpikir kolot. Hal ini disebabkan karena para ibu ini sulit untuk beradaptasi dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi. Mereka cenderung lebih percaya kepada cerita yang mereka dengar dari orang tua atau para tetua yang berada di lingkungan tempat tinggal mereka, yang belum tentu baik untuk kesehatan balita mereka dibandingkan dengan pengetahuan gizi yang sudah terbukti kebenarannya. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi lebih sedikit dipengaruhi oleh praktekpraktek tradisional yang merugikan kualitas dan kuantitas makanan untuk dikonsumsi keluarga setiap harinya (Schultz et.al, 1984 dalam Ichwanudin,2002). Sedangkan pada ibu dengan pendidikan tinggi, mereka jauh lebih terbuka terhadap perkembangan pengetahuan dan teknologi yang ada. Hal ini menyebabkan para ibu berpendidikan tinggi lebih mudah menerima informasi- informasi baru mengenai gizi dan kesehatan dari berbagai sumber.
98
6.9 Gambaran Pendidikan Ayah dengan Kejadian Stunting pada Balita Dari analisis yang dilakukan, sebanyak 71.51% balita memiliki ayah pendidikan rendah. Sedangkan 28.48% sisanya memiliki ayah berpendidikan tinggi. Jumlah balita dengan ayah berpendidikan rendah dan mengalami stunting pun tinggi, yaitu sebanyak 58.7%. Pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan sekaligus meningkatkan kualitas hidup penduduk, sangat erat hubungannya dengan derajat kesehatan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin besar pula akses terhadap informasi termasuk informasi kesehatan. Salah satu indikator pokok kualitas pendidikan formal adalah jumlah penduduk yang berpendidikan tinggi. Di Provinsi NTB sendiri, jumlah penduduk baik laki- laki ataupun perempuan yang berpendidikan rendah masih terbilang cukup tinggi. Berdasarkan Indikator Kesejahteraan Rakyat, data Susenas Tahun 2010 Provinsi NTB yang dikutip dari Profil Provinsi NTB Tahun 2010, sebanyak 15.08% penduduk NTB pada tahun 2010 tidak pernah sekolah. Penduduk tidak tamat SD meningkat dari 23.69% pada tahun 2009 menjadi 26.93% pada tahun 2010. Penduduk lulus SD/MI menurun dari 25.76% pada tahun 2009 menjadi 24.31% pada tahun 2010. Jumlah penduduk yang lulus SLTP/MTs pun mengalami penurunan dari 15.60% pada tahun 2009 menjadi 14.49% pada tahun 2010. Begitu pula penduduk yang lulus SLTA/MA dan Diploma. Penduduk lulus SLTA/MA menurun dari 15.27% pada tahun 2009 menjadi 14.95% pada tahun 2010. Hanya sebanyak 1.23% penduduk yang berhasil melanjutkan sampai tingkat Diploma, itu pun mengalami penurunan dari tahun
99
sebelumnya yang mencapai 1.47%. Penduduk yang dapat mencapai tingkat Perguruan Tinggi meningkat dari 2.73% pada tahun 2009 menjadi 3.04 pada tahun 2010. Hal ini dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk berpendidikan rendah (tidak mencapai wajib belajar 9 tahun) pada tahun 2010 semakin meningkat dan jumlah penduduk dengan pendidikan tinggi semakin berkurang. Meskipun jumlah penduduk yang dapat melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi meningkat, namun jumlah penduduk berpendidikan rendah tetap lebih banyak. Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2011) menunjukkan bahwa 2.8% balita dengan ayah berpendidikan rendah mengalami stunting. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Bangladesh dan Filipina yang menyatakan bahwa pendidikan ayah lebih berpengaruh terhadap kejadian stunting daripada pendidikan ibu. Peranan ayah sebagai pemimpin di rumah tangga akan mempunyai kewenangan lebih besar dibandingkan ibu dalam pengambilan segala keputusan yang berkaitan dengan keluarga termasuk dalam bidang kesehatan. Dalam hal ini peranan ibu dalam keluarga lebih kepada mengaplikasikan keputusan yang telah dibuat oleh ayah (Allen LH & Gillespie SR, 2001). Penelitian Semba et al. menunjukkan bahwa di Indonesia pendidikan ayah yang tinggi sangat terkait dengan pola pengasuhan anak, penggunaan jamban tertutup, imunisasi anak, pemberian kapsul vitamin A, penggunaan garam beryodium dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Status pendidikan ayah dan ibu sama pentingnya dalam suatu keluarga. Jika ibu berpendidikan rendah namun ayah berpendidikan tinggi, ayah dapat memberikan andil
100
terhadap status gizi keluarganya. Ayah yang berpendidikan tinggi dapat memberikan masukan kepada istri mereka mengenai bahan makanan yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan keluarga mereka. Dalam kasus ini dapat disimpulkan jumlah ayah berpendidikan rendah lebih banyak dari pada jumlah ayah balita yang berpendidikan tinggi. Jumlah balita stunting pun lebih banyak ditemukan pada balita yang memiliki ayah dengan status pendidikan rendah, yaitu sebanyak 58.7%. Tugas pokok seorang ayah adalah sebagai pencari nafkah dalam kerluarga. Tingkat pendidikan ayah dapat juga mempengaruhi pekerjaan ayah, yang pada akhirnya akan mempengaruhi income keluarga. Ayah dengan pendidikan tinggi cenderung memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik. Sehingga pemasukan keluarga untuk dialokasikan dalam pembelian bahan makanan pun lebih tinggi. Selain itu ayah dengan pendidikan tinggi cenderung menggunakan uang mereka lebih bijaksana. Misalnya seperti tidak menghabiskan uang untuk membeli rokok dan lebih memilih menggunakan uang tersebut untuk membeli bahan makanan bergizi untuk keluarga.
6.10 Gambaran Pekerjaan Ibu dengan Ke jadian Stunting pada Balita Dari hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB tahun 2010 tidak bekerja, yaitu sebesar 66.80%. Sedangkan ibu balita yang bekerja hanya sebesar 33.13% . Jumlah balita yang mengalami stunting jauh lebih banyak ditemukan pada ibu yang bekerja, yaitu sebanyak 68 dari 113 anak (60.37%). Dengan kata lain, ibu yang tidak bekerja cenderung memiliki anak tidak stunting.
101
Dalam keluarga peran ibu sangatlah penting yaitu sebagai pengasuh anak dan pengatur konsumsi pangan anggota keluarga, juga berperan dalam usaha perbaikan gizi keluarga terutama untuk meningkatkan status gizi bayi dan anak. Pengaruh ibu yang bekerja terhadap hubungan antara ibu dan anaknya sebagian besar sangat bergantung pada usia anak dan waktu ibu kapan mulai bekerja. Ibu- ibu yang bekerja dari pagi hingga sore tidak memiliki waktu yang cukup bagi anak-anak dan keluarga (Hurlock, 1999 dalam Suyadi, 2009). Perhatian terhadap pemberian makan pada anak yang kurang dapat menyebabkan anak menderita kurang gizi, selanjutnya berpengaruh buruk terhadap tumbuh kembang anak dan perkembangan otak mereka. Beban kerja yang berat pada ibu yang melakukan peran ganda dan beragam akan dapat mempengaruhi status kesehatan ibu dan status gizi balitanya (Mulyati, 1990 dalam Hermansyah, 2010). Hal ini menyebabkan asupan gizi pada balitanya menjadi buruk dan bisa berdampak pada status gizi balita tersebut (Pudjiadi, 2000 dalam Suyadi, 2009). Sebagian besar ibu balita di Provinsi NTB merupakan ibu rumah tangga atau tidak bekerja. Ibu rumah tangga memiliki waktu yang lebih banyak untuk menjaga anakanak mereka dirumah. Sedangkan pada ibu yang bekerja, ibu tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengurus anak. Sehingga ibu kurang dapat memperhatikan asupan gizi yang baik untuk anak dan keluarga mereka. Ibu harus keluar rumah pagi hari dan pulang ke rumah sudah dalam keadaan lelah sehabis bekerja, sehingga waktu untuk anak pun berkurang. Ibu yang bekerja biasanya memiliki pola asuh yang buruk. Biasanya mereka menyerahkan balita mereka kepada pembatu rumah tangga atau nenek balita untuk
102
menjaga balita tersebut selama ibu bekerja. Oleh karena itu jumlah balita stunting lebih banyak ditemukan pada ibu yang bekerja.
6.11 Gambaran Pekerjaan Ayah dengan Kejadian Stunting pada Balita Hasil analisis menunjukkan hanya 2.96% ayah balita yang tidak bekerja. 97.03% lainnya berkerja. Dapat disimpulkan sebagian besar ayah balita bekerja. Namun meskipun hampir seluruh ayah balita bekerja, bukan berati balita mereka terbebas dari stunting. Ternyata 56.54% balita dengan ayah bekerja tersebut justru mengalami stunting. Ayah memiliki peran yang sangat penting dalam keluarga. Sebagai kepala keluarga, pekerjaan dan penghasilan ayah sangat mempengaruhi daya beli suatu keluarga. Penelitian Hatril (2001) menunjukkan kecenderungan bahwa ayah yang bekerja dalam kategori swasta mempunyai pola konsumsi makanan keluarga yang lebih baik dibandingkan dengan ayah yang bekerja sebagai buruh. Hasil uji statistiknya pun menunjukkan hubungan yang bermakna antara keduanya. Penelitian Alibbirwin (2002) mengatakan ayah yang bekerja sebagai buruh memiliki risiko lebih besar mempunyai balita kurang gizi dibandingkan dengan balita yang ayahnya bekerja wiraswasta. Keadaan sosial ekonomi antara lain dapat digambarkan dengan ketersediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Berdasarkan data BPS Provinsi NTB tahun 2010 yang dikutip dari Profil Provinsi NTB Tahun 2010 diketahui bahwa sebanyak 47% penduduk NTB berusia diatas 10 tahun bekerja dalam bidang pertanian.
103
Kebanyakan hasil pertanian tersebut untuk konsumsi rumah tangga sehingga pendapatan dari pertanian masih terbilang cukup rendah. Oleh karena itu meskipun sebagian besar ayah balita bekerja tetapi balita-balita tersebut tetap mengalami stunting.
6.12 Gambaran Wilayah Te mpat Tinggal dengan Kejadian Stunting pada Balita Hasil analisis menunjukkan 58.22% balita tinggal di pedesaan. Sedangkan 41.77% lainnya tinggal di daerah perkotaan. Sebagian besar balita yang mengalami stunting (58.85%) juga tinggal di daerah pedesaan. Definisi perkotaan adalah suatu tempat dengan 1) kepadatan penduduknya lebih dibandingkan dengan kondisi pada umumnya, 2) mata pencaharian utama penduduknya bukan merupakan aktifitas ekonomi primer/pertanian, dan 3) tempatnya merupakan pusat budaya, administrasi atau pusat kegiatan ekonomi wilayah sekitarnya (Daldjoeni, 2003 dalam Humyrah 2009 dan Ratih 2011). Menurut Komsiah (2007), wilayah pedesaan ditandai dengan sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Letak suatu tempat dapat berpengaruh terhadap perilaku konsumsi individu. Sebagai contoh, seorang petani yang tinggal di desa dan dekat dengan areal pertanian akan lebih mudah dalam mendapatkan bahan makanan segar dan alami, seperti buah dan sayur. Namun, seseorang yang tinggal di daerah perkotaan akan lebih sedikit akses untuk mendapatkan bahan makanan segar tersebut karena di daerah perkotaan lebih banyak tersedia berbagai makanan cepat saji. Walaupun tidak menutup kemungkinan, terdapar penduduk perkotaan yang mengkonsumsi buah dan sayur (Suhardjo, 2006).
104
Penelitian yang dilakukan di daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh Rosha et al (2012) mengemukakan bahwa anak yang tinggal di wilayah kota memiliki efek protektif atau risiko lebih rendah 32% terhadap stunting dibandingkan dengan anak yang tinggal di pedesaan. Fenomena ini diduga karena wilayah kota adalah tempat dimana terbukanya lapangan pekerjaan yang lebih beragam sehingga orangtua lebih mudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi dari pekerjaan di desa. Hal ini memungkinkan kebutuhan gizi dan makanan anak sehingga terhindar dari stunting. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Kanjilal et al (2010) menemukan bahwa stunting diamati lebih tinggi diantara anak orang miskin di daerah pedesaan. Anak-anak perkotaan secara signifikan lebih kecil kemungkinannya dari anak-anak pedesaan utuk menjadi stunting.
Mbuya et
al.
(2010) dalam penelitiannya di Zimbabwe
mengemukakan bahwa balita yang tingal di daerah pedesaan berisiko 2.3 kali untuk mengalami stunting dibandingkan dengan balita yang tingal di perkotaan. Dalam penelitian ini sebagian besar balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB tinggal di pedesaan. Selain sulitnya lapangan pekerjaan di daerah pedesaan yang mengakibatkan daya beli keluarga rendah, sulitnya mendapatkan pelayanan kesehatan pun menjadi salah satu faktor yang menyebabkan status gizi balita di daerah pedesaan lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan. Selain itu orang-orang di daerah pedesaan biasanya memiliki pola pikir yang tidak open-minded. Sebagian besar masyarakat di pedesaan lebih mempercayai perkataan orang-orang dahulu atau tetua desa yang belum tentu benar faktanya dibandingkan dengan informasi- informasi baru yang sudah teruji kebenarannya. Selain
105
sulitnya mendapatkan pelayanan kesehatan, informasi kesehatan pun menjadi sulit untuk sampaikan kepada mereka, karena mereka cenderung membantah dan tetap menjalani apa yang mereka percaya berdasarkan leluhur mereka. Hal ini akan mempengaruhi pola asuh balita. Orang-orang di pedesaan sering memberikan makanan yang tidak sesuai dengan usia balita. Seperti memberikan pisang kepada anak bayi yang usianya belum cukup. Kebiasaan-kebiasaan ini dapat mempengaruhi masalah gizi balita yang pada akhirnya mengakibatkan stunting.
6.13 Gambaran Status Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting pada Balita Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat terlihat bahwa 82.46% balita berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah. Hanya sebesar 17.53% balita yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi tinggi. Sebanyak 167 dari 278 balita (60.19%) dengan status ekonomi keluarga rendah mengalami stunting. Status ekonomi keluarga salah satunya dapat dilihat dari pendapatan suatu keluarga. Pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan konsumsi keluarga. Makin rendah pendapatan keluarga, makin besar peluang keluarga tersebut mempunyai balita yang berstatus gizi kurang. Bayi dan anak-anak balita adalah kelompok yang sangat sensitif terhadap kualitas konsumsi pangan keluarga (Tabor,dkk, 2000 dalam Ichawanuddin, 2002). Rendahnya
pendapatan
orang-orang
miskin
dan
lemahnya
daya
beli
memungkinkan untuk mengatasi kebiasaan makan dengan cara-cara tertentu yang
106
menghalangi perbaikan gizi yang efektif terutama untuk anak-anak mereka (Suhardjo, 1989 dalam Nuraeni 2008). Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan tentang kuantitas dan kualitas makanan. Kekuarga dengan status ekonomi kurang baik (keluarga dengan pendapatan rendah) akan mengalami kesulitan dalam memperolah bahan makanan bergizi. Sulitnya kondisi ekonomi keluarga membuat balita yang berasal dari keluarga yang kurang mampu tidak mendapatkan asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhan tubuhnya. Hal ini disebabkan kurangnya daya beli keluarga akan bahan makanan yang bervariasi. Oleh karena itu banyak balita yang berasal dari keluarga miskin yang mengalami masalah kurang gizi seperti stunting. Keluarga dengan pendapatan yang minim akan kurang menjamin ketersediaan jumlah dan keanekaragaman makanan, skarena dengan uang yang terbatas itu biasanya keluarga tersebut tidak dapat mempunyai banyak pilihan (Apriadji, 1986) Status ekonomi rendah berkaitan erat dengan banyaknya jumlah penduduk miskin di suatu daerah. Berdasarkan data BPS Provinsi NTB untuk jumlah penduduk miskin yang dikutip dari Profil Provinsi NTB Tahun 2010, diketahui bahwa jumlah penduduk miskin di Provinsi NTB pada tahun 2010 berjumlah lebih dari 900.000 jiwa (971.800 jiwa). Penelitian sejalan yang dilakukan oleh Nasikhah (2010) menunjukkan bahwa balita dengan status ekonomi keluarga rendah berisiko untuk mengalami stunting sebesar 3.91 kali.
107
Anak-anak yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang lebih sedikit daripada anak-anak dari keluarga dengan status ekonomi lebih baik. Dengan demikian, mereka pun mengkonsumsi energi dan zat gizi dalam jumlah yang lebih lebih sedkit. Studi mengenai ststus gizi menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang kurang mampu memiliki berat badan dan tinggi badan yang lebih rendah dibandingkan anak-anak yang ekonominya baik. Dalam hasil studi, ditemukan bahwa perbedaan tinggi badan lebih besar daripada perbedaan berat badan. Studi juga menunjukkan bahwa anak-anak yang hidup di daerah yang mengalami kekurangan suplai makanan memiliki tinggi badan yang lebih rendah daripada mereka yang tinggal di daerah yang memiliki suplai makanan cukup (Pipes,1985) Selain itu Hartoyo et al. (2000) mengatakan bahwa keluarga terutama ibu dengan pendapatan rendah biasanya memiliki rasa percaya diri yang kurang dan memiliki akses terbatas untuk berpartisipasi pada pelayanan kesehatan dan gizi seperti posyandu, Bina Keluarga Balita dan Puskesmas. Status ekonomi rendah yang terjadi di Provinsi NTB dapat disebabkan karena sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani yang berpenghasilan rendah. Karena penghasilan yang rendah itu maka daya beli keluarga pun kurang. Sebagai akibatnya ibu tidak bisa memberikan gizi yang cukup untuk balita mereka. Jika hal ini terjadi secara terus- menerus dalam waktu yang lama maka balita mereka berisiko mengalami stunting.
BAB VII PENUTUP 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tentang faktor penyebab stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat menurut data Riskesdas 2010, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Jumlah balita berusia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang mengalami stunting lebih banyak daripada balita normal. 2. Balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang memiliki asupan energy kurang jumlahnya lebih banyak dibandingkan balita yang memiliki asupan energi cukup. Hampir seluruh balita dengan asupan energi kurang tersebut mengalami stunting. 3. Asupan protein pada balita di Provinsi NTB sudah cukup baik. Balita dengan
konsumsi
protein
cukup
jumlahnya
lebih
banyak
dibandingkan balita dengan konsumsi protein kurang. 4. Balita berusia 24-59 bulan di Provinsi NTB sebagian besar berjenis kelamin perempuan. 5. Sebagian besar balita lahir degan berat lahir normal. Hanya sebagian kecil yang lahir dengan BBLR. Meskipun hampir seluruh balita lahir dengan berat badan normal, lebih dari setengah populasi balita yang lahir dengan berat badan normal tersebut mengalami stunting. 6. Sebagian besar balita berasal dari keluarga besar (memiliki jumlah anggota rumah tangga > 4 orang), sedangkan sisanya berasal dari
108
109
keluarga kecil. Namun lebih dari setengah populasi balita
yang
berasal dari keluarga kecil tersebut justru mengalami stunting. 7. Sebagian besar ibu balita di Provinsi NTB berpendidikan rendah. 8. Ayah balita yang berpendidikan rendah juga lebih banyak daripada yang berpendidikan tinggi. 9. Sebagian besar ibu balita merupakan ibu rumah tangga (tidak bekerja), sedangkan yang lainnya bekerja. 10. Hampir seluruh ayah balita di Provinsi NTB bekerja, hanya sebagian kecil yang tidak bekerja. Namun, meskipun hampir seluruh ayah balita bekerja, lebih dari setengah populasi anak yang memiliki ayah bekerja mengalami stunting. 11. Balita yang tinggal di daerah pedesaan jumlahnya lebih banyak dibandingkan balita yang tinggal di daerah perkotaan. 12. Hampir seluruh balita berusia 24-59 bulan di Provinsi NTB berasal dari keluarga berstatus ekonomi rendah. Hanya sebagian kecil yang berasal dari kerluaga berstatus ekonomi tinggi.
7.2 Saran A. Bagi Balitbang Kemenkes 1) Dalam pelaksanaan Riskesdas selanjutnya sebaiknya untuk data konsumsi makan dilakukan pengukuran dengan metode recall 3x24 jam, bukan
110
1x24 jam dengan tujuan untuk menangkap variasi dalam jenis dan jumlah konsumsi makanan.
B. Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat 1) Optimalisasi fungsi Puskesmas melalui pemberian penyuluhan secara rutin disertai dengan pemberian pamflet mengenai pengetahuan gizi dan pola asuh anak yang baik kepada para orang tua, terutama ibu agar pemahaman mereka mengenai pentingnya asupan gizi pada balita meningkat. 2) Meningkatkan fungsi Posyandu untuk menghidupkan kembali tradisi masyarakat Lombok yaitu Berayan Mangan (budaya makan bersama), untuk meningkatkan nafsu makan anak sehingga kemungkinan untuk terjadinya gizi buruk atau gizi kurang dapat diatasi segera. Kegiatan Berayan ini dapat diperkenalkan kepada warga yang belum terlalu familiar dengan kegiatan tersebut dengan cara memberikan informasi pada saat pemberian makanan tambahan di posyandu. Pada saat kegiatan Berayan, diselipkan juga sosialisasi mengenai gizi seimbang.
C. Bagi Peneliti Selanjutnya Agar meneliti variabel- variabel yang tidak diteliti dalam penelitian ini seperti pengetahuan gizi ibu, ketersediaan bahan makanan, sosial budaya, daya beli, penyakit infeksi, pelayanan dan fasilitas kesehatan, dan
111
kesehatan lingkungan, karena secara teori variabel tersebut berhubungan dengan kejadian stunting pada balita di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
DAFTAR PUSTAKA
ACC/SCN & International Food Policy Research Institude (IFPRI). 2000. 4th Report on the World Nutrition Situation, Nutrition Throughout the Life Cycle.
Adair, et al. 1997. Age Specific Determinants of Stunting in Filipino Children. The Journal of Nutrition. P. 172
Alibbirwin. 2001. Karakteristik Keluarga Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Kurang Pada Balita Yang Berkunjung Ke Posyandu Di Desa Bojong Baru Kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor. Skripsi. FKM-UI. Depok
Allen, L.H & Gillespie, S.R. 2001. What Works? A Review of The Efficacy and Effectiveness of Nutrition Intervensions. Manila. ABD.
Anisa, Paramitha. 2012. Faktor-fakror yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 25-60 Bulan di Kelurahan Kalibaru Depok Tahun 2012. Skripsi. FKM-UI. Depok
Apriadji, Wield Harry. 1986. Gizi Keluarga. Jakarta: PT Penebar Swadaya.
Ariawan, Irwan. 1998. Besar dan Metode Sample pada Penelitian Kesehatan. Depok: Universitas Indonesia.
Almatsier, Sunita. 2001. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Atmarita. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Makalah disajikan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Jakarta 17-19 Mei 2004.
112
113
Atmarita. 2005. Nutrition problems in Indonesia. Paper presented in an Integrated International Seminar and Workshop Lifestyle-Related Disease, Gajah Mada University. Awwal, et al. 2004. Nutrition the Foundation of Health and Development. Massline Printers 1/15. Humayun Road, Mohammadpur, Dhaka.
Azwar, A. 2004. Kecenderungan Masalah Gizi dan Tantangan di Masa Datang. www.gizi.net Becker, S., et al. 2006. Husbands’ and Wives’ Reports of Women’s Decision Making Power in Western Guatemala and Their Effects on Preventive Health Behaviours. Social Science and Medicine. 62: P. 2313-2326.
Bhutta, Z.A et al. 2008. Maternal and Child Undernutrition: What works? Interventions for Maternal and Child Undernutrition and Survival. 371. www.thelancet.com
Black et al. 2008. Maternal And Child Undernutrition: Global And Regional Exposures And Health Consequences. The Lancet Series. www.thelancet.com
Boggin, Barry. 1999. Patterns of Human Growth (2nd ed). Cambridge: Cambride University Press.
Bosch A, B , Baqui, A. H. & Ginneken, J. K .2008. Early-life Determinants of Stunted Adolescent Girls and Boys in Matlab, Bangladesh. International Centre For Diarrhoeal Disease Research, Bangladesh. 2 : 189- 199
BPS.2007. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2007. Jakarta: BPS.
Candra, Aryu et al. 2011. Risk Factors of Stunting among 1-2 Years Old Children in Semarang City. Semarang: Media Medika Indonesiana.
114
Caufield, et al. 2006. Disease Control Priorities in Developing Countries 2nd Edition (Stunting. Wasting and Micronutrient Deficiency Disorder Chapter 28). Jamison et al. (Ed). World Bank, Washington DC. Coly, A. N, et al. 2006. Preschool Stunting, Adolescent Migration, Catch-Up Growth, And Adult Height In Young Senegalese Men And Women Of Rural Origin. The Journal of Nutrition, Community and International Nutrition136 : 2412–20.
Darity, W.A. 2008. Stunted Growth. International Encylopedia of The Social Sciences, 2nd Edition. USA: Detroit Macmillan References.
Depkes RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta: Depkes.
Djaeni, Ahmad. 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta: Dian Rakyat.
Eastwood, M. 2003. Principle of Human Nutrition Second Edition. Blackwell Science Ltd, a Blackwell Publishing Company.
El Sayed, et al. 2001. Malnutrition Among Pre School Children in Alexandria, Egypt. Journal Health Popular Nutrition. Center for Health and Population Research. 4: 275-280.
Fitri. 2012. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan Terjadinya Stunting Pada Balita (1259 Bulan) Di Sumatera (Analisis Data Riskesdas 20120). Depok: Tesis, FKM-UI.
Gibney JM, et.al. 2008. Public Helath Nutrition. (Andri Hartono; Penerjemah). Jakarta: EGC.
Gibson, Rosalind S. 1993. Nutritional assessment: A laboratory manual. Oxford: Oxford University Press.
115
Gibson, Rosalind S. 2005. Principles of nutritional assessment (2nd ed.). Oxford: Oxford University Press.
Gigante et al. 2009. Epidemiology Of Early And Late Growth In Height, Leg And Trunk Length: Findings From A Birth Cohort Of Brazilian Males. European Journal of Clinical Nutrition : 375-381.
Gizi Buruk Balita di NTB Karena Pola Asuh http://lomboknews.com/2011/03/02/giziburuk-balita-di-ntb-karena-pola-asuh/
Gershwin M, et al. 2004. Handbook of Nutrition and Immunity. New Jersey: Humana Press. P.71-85
Grantham-McGregor S. et al. 2007. Developmental Pontential In The First 5 Years For Child In Developing Countries. Lancet; 369: 60–70.
Hatril. 2001. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Asupan Energi dan Protein Pada Balita dari Keluarga Miskin di Kabupaten Karawang Propinsi Jawa Barat Tahun 1999 (Analisis Data Sekunder). Skripsi UI. Depok
Henningham, H. B. & McGregor, S. G. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat, Gizi dan Perkembangan Anak. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan Public Health Nutrition, Editor. Gibney, M.J, Margetts, B.M., Kearney, J.M. & Arab, L Blackwell Publishing Ltd, Oxford.
Hermansyah. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan asupan zat gizi (energi dan protein) Balita di wilayah kera puskesmas kelurahan kelapa dua Jakarta barat tahun 2010. Jakarta: Skripsi FKIK UIN.
116
Hidayah, Nor
Rofika. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2010 (analisis Riskesdas 2010). Depok: Skripsi, FKM-UI. Hong, R. 2007. Effect of Economic Inequality on Chronic Childhood Undernutrition in Ghana. Public Health Nutrition, P. 371-378.
Hunt, J.M. 2001. Investing in children: Child protection and economic growth. Social protection in Asia and the Pasific, Asian Development Bank. 20 Mei 2012. www.adb.org/documents/books/social_protection/chapter_16.pdf
Ichwanuddin. 2002. Analisis stratifikasi pemodelan risiko BBLR terhadap kejadian KEP pada anak usia 3-12 bulan di Kecamatan Tanjung Sari Kabupaten Sumedang Propinsi Jawa Barat 2007. Depok: Tesis. FKM-UI.
Jahari, B.A. 2004. Penilaian Status Gizi Berdasarkan Antropometri. Puslitbang Gizi dan Makanan. Depkes RI.
Kanjilal et al. 2010. Nutrition Status of Children in India: Household Socio Economic Condition as The Contextual Determinant. International Journal for Equality in Health. Biomed Central Ltd. 9:19
Kementrian Kesehatan. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia Tahun 2010. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Khumaidi. 1989. Gizi Masyarakat. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.
Lawson, M. 2005. Encylopedia of Human Nutrition (Nutritional Requirement). Caballero, B., Allen, L., & Prentice, A (Ed). Elsevier Academic Press.
117
Lupiana, Mindo. 2010. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kurang Energi dan Protein pada Bayi di Provinsi Lampung Tahun 2007 (Analisis Data Riskesdas 2007). Depok: Tesis FKM-UI.
Manary, M.J. & Solomons, N.W. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat, Gizi dan Perkembangan Anak. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan Public Health Nutrition, Editor. Gibney, M.J, Margaretts, B.M., Kearney, J.M. & Arab, L Blackwell Publishing Ltd, Oxford.
Martorell, R. et al. 1994. Reversibility of Stunting: Epidemiological Findings in Children From Developing Countries.
Mbuya, Mduduzi N.N, et al. 2010. Biological, Social, and Environmental Determinants of Low Birth Weight and Stunting among Infants and Young Children in Zimbabwe. Zimbabwe: Zimbabwe Working Papers.
Muchtadi, D. 2002. Gizi untuk Bayi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Nasikhah, Roudhotun. 2012. Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-36 Bulan di Kecamatan Semarang Timur. Semarang: Artikel Penelitian FK Universitas Diponegoro.
Norliani, et al. 2005. Tingkat Sosial Ekonomi, Tinggi Badan Orang Tua dan Panjang Badan Lahir dengan Tingi Badan Anak Baru Masuk Sekolah. BKM. XXI: 04: 133-139
Notoatmodjo, Soekidjo. 1989. Dasar-dasar Pendidikan dan PelatihanI. Jakarta: Badan Penerbit Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
118
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodelogi Penelitian Kesehatan edisi Revisi. Jakarta: Rieneka Cipta
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.
Nuraeni. 2008. Hubungan antara asupan energi, protein dan faktor lain dengan status gizi baduta ( 0-23 Bulan ) di wilayah kerja puskesmas Depok Jaya tahun 2008. Depok: Skripsi. FKM UI.
Pipes, L. Peggy. 1985. Nutrition in infancy and childhood. Missouri: Times Mirror/Mosby College Publishing.
Poskitt, E. 2003. Nutrition in Childhood dalam Nutrition in Early Life Editor: Morgan J.B & Dickerson, J W. T. John Wiley & Son Ltd. England.
Profil Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010.
Rahayu, Leni Sri. 2011. Hubungan Pendidikan Orang Tua dengan Perubahan Status Stunting dari usia 6-12 Bulan ke Usia 3-4 Tahun. Jakarta: Skripsi, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Ramli et al. 2009. Prevalence and Risk Factors for Stunting and Severe Stunting Among Under-fives in North Maluku Province of Indonesia. Biomed Central (BMC) Pediatrics. P. 9:64
Rosha, Bunga Ch., et al. 2012. Analisis Determinan Stunting Anak 0-23 Bulan Pada Daerah Miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur 2012. Panel Gizi Makan 2912, 35(1): 34-41.
119
Schanler, R.J. 2003. The Low Birth Weight Infant. Nutrition in Pediatrics Basic Schience and Clinical Applications. Walker, W.A., Watkins, J. B & Duggan, C. (Ed). London: BC Decker Inc.
SDKI.
2007.
Angka
Kematian
Ibu
dan
Bayi.
Dalam
http://kalteng.bkkbn.go.id/ViewArtikel.aspx?ArtikelID=41
Semba, Richard D. and Martin W. Bloem. 2001. Nutrition and health in developing countries. New Jersey: Humana Press.
Semba, et al. 2008. Effect Parental Formal Education on Risk of Child Stunting in Indonesia and Bangladesh: A Cross Sectional Study. 371: P. 322-328. www.thelancet.com
Sharlin, J & Edelstein, S. 2011. Essentials of Life Cycle Nutrition. LLC: Jones and Bartlett Publisher.
Shrimpton, R et al. 2001. Worldwide Timing of Growth Faltering: Implications for Nutritional Interventions. American Academi of Pediatric.
Soehardjo. 1989. Sosio budaya gizi. Bogor: IPB PAU Pangan dan Gizi.
Suhardjo. 2003. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara.
Supariasa, I Dewa Nyoman. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC
Suraedi, Ahmad. 2004. Status Gizi Balita di Kecamatan Rawamerta Kabupaten Karawang dan Hubungannya dengan Karekteristik Keluarga dan Karakteristil Balita Tahun 2004. Depok: Skripsi, FKM-UI.
120
Suyadi, Edwin Saputra. 2009. Kejadian KEP Balita dan Faktor yang Berhubungan Di Wilayah Kelurahan Pancoran Mas Depok Tahun 2009. Depok: Skripsi, FKM-UI The Lancet. 2008. The Lancet’s Series Maternal and Child Undernutrition, Executive Summary. www.thelancet.com
Theron et al. 2006. Inadequate Dietary Intake Is Not the Cause of Stunting Amongst Young Children Living in An Informal Settlement in Gauteng and Rural Limpopo Province in South Africa: The Nutrigro Study. Public Health Nutrition. Unicef Framework http://motherchildnutrition.org/malnutrition/about-malnutrition/underlying-causesof-malnutrition.html
UNSCN. 2008. 6th Report on the World Nutrition Situation. Geneva: SCN.
Wachs, T.D. 2008. Mechanism Linking Parental Education and Stunting. The Lancet 371: 280.
Wamani H, at al. 2007. Boys Are More Stunded Than Girls in Sub-Saharan Africa: meta analysis of 16 demographic and Health Surveys. BMC pediatrics. p:7-17.
Waterlow, J.C. 1992. Protein Energy Malnutrition. Edward Arnorld, A Division of Hodder & Stoughton, London.
Website Resmi Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat: Bukan Karena Tak Makan http://www.ntbprov.go.id/baca.php?berita=101
WNPG. 2004.
Angka Kecukupan Gizi dan Angka Label Gizi. Jakarta: Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi.
121
WHO. 1997. WHO Global Databese on Child Growth and Malnutrition. Geneva.
WHO. 2006a. WHO Child Growth Standards. Geneva
WHO. 2010. World Health Report 2010.
WHO. 2011. Nutrition: Complementary Feeding. http://www.who.int/nutrition/topics/complementary_feeding/en/index.html
WHO. 2011. 10 Facts on Nutrition http://www.who.int/features/factfiles/nutrition/en/index.html
WHO/UNICEF. 2003. Feeding and Nutrition of Infants and Young Children. WHO Regional Publications, European Series, No. 87, P. 17.
World
Vision.
2009.
Stunted
Development:
https://worldvision.org.nz/lendahand/sg_response.aspx
Q&A
.
LAMPIRAN
OUTPUT UNIVARIAT ___ ____ ____ ____ ____ (R) /__ / ____/ / ____/ ___/ / /___/ / /___/ 12.0 Statistics/Data Analysis Special Edition
Copyright 1985-2011 StataCorp LP StataCorp 4905 Lakeway Drive College Station, Texas 77845 USA 800-STATA-PC http://www.stata.com 979-696-4600
[email protected] 979-696-4601 (fax)
Single-user Stata network perpetual license: Serial number: 93611859953 Licensed to: STATAforAll STATA Notes: 1.
(/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables
. use "D:\skripSHIT\data riskesdas\new\stunting_ntb.dta", clear . set memory 500m set memory ignored. Memory no longer needs to be set in modern Statas; memory adjustments are performed on the fly automatically. . svyset b1r7 [pweight=weind], strata(b1r1) vce(linearized) singleunit(missing) pweight: VCE: Single unit: Strata 1: SU 1: FPC 1:
weind linearized missing b1r1 b1r7
. svydescribe Survey: Describing stage 1 sampling units pweight: VCE: Single unit: Strata 1: SU 1:
weind linearized missing b1r1 b1r7
FPC 1:
Stratum -------52 -------1
#Units -------61 -------61
#Obs -------338 -------338
#Obs per Unit ---------------------------min mean max -------- -------- -------1 5.5 14 -------- -------- -------1 5.5 14
. svy:proportion bb_lahir jk pend_ayah pend_ibu kerja_ibu kerja_ayah stat_eko anngota_rt tmp > t_tinggal energi2 protein2 (running proportion on estimation sample) Survey: Proportion estimation Number of strata = Number of PSUs =
_prop_4: _prop_10: _prop_11: _prop_15: _prop_16:
1 61
Number of obs Population size Design df
= 338 = 271153 = 60
jk = laki-laki kerja_ibu = tidak bekerja kerja_ayah = tidak bekerja anngota_rt = > 4 orang anngota_rt = <= 4
-------------------------------------------------------------| Linearized | Proportion Std. Err. [95% Conf. Interval] -------------+-----------------------------------------------bb_lahir | bblr | .0862244 .0155119 .055196 .1172528 normal | .9137756 .0155119 .8827472 .944804 -------------+-----------------------------------------------jk | perempuan | .5159965 .0304088 .4551698 .5768232 _prop_4 | .4840035 .0304088 .4231768 .5448302 -------------+-----------------------------------------------pend_ayah | rendah | .7151903 .029167 .6568477 .773533 tinggi | .2848097 .029167 .226467 .3431523 -------------+-----------------------------------------------pend_ibu | rendah | .668652 .0364137 .5958138 .7414902
tinggi | .331348 .0364137 .2585098 .4041862 -------------+-----------------------------------------------kerja_ibu | bekerja | .3313517 .0307021 .2699383 .392765 _prop_10 | .6686483 .0307021 .607235 .7300617 -------------+-----------------------------------------------kerja_ayah | _prop_11 | .0296032 .0111387 .0073225 .051884 bekerja | .9703968 .0111387 .948116 .9926775 -------------+-----------------------------------------------stat_eko | rendah | .8246636 .0301022 .7644503 .8848769 tinggi | .1753364 .0301022 .1151231 .2355497 -------------+-----------------------------------------------tmpt_tinggal | desa | .6016456 .069245 .4631349 .7401562 kota | .3983544 .069245 .2598438 .5368651 -------------+-----------------------------------------------energi2 | rendah | .582258 .0388115 .5046234 .6598926 cukup | .417742 .0388115 .3401074 .4953766 -------------+-----------------------------------------------protein2 | rendah | .4829856 .0348812 .4132129 .5527583 cukup | .5170144 .0348812 .4472417 .5867871 -------------------------------------------------------------jml_kel | besar | .7206005 .0269424 .6667077 .7744934 kecil | .2793995 .0269424 .2255066 .3332923
OUTPUT CROSSTAB ___ ____ ____ ____ ____ (R) /__ / ____/ / ____/ ___/ / /___/ / /___/ 12.0 Statistics/Data Analysis Special Edition
Copyright 1985-2011 StataCorp LP StataCorp 4905 Lakeway Drive College Station, Texas 77845 USA 800-STATA-PC http://www.stata.com 979-696-4600 [email protected] 979-696-4601 (fax)
Single-user Stata network perpetual license:
Serial number: 93611859953 Licensed to: STATAforAll STATA Notes: 1.
(/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables
. use "D:\skripSHIT\data riskesdas\new\stunting_ntb_new_edit.dta", clear . svyset b1r7 [pweight=weind], strata(b1r1) vce(linearized) singleunit(missing) pweight: VCE: Single unit: Strata 1: SU 1: FPC 1:
weind linearized missing b1r1 b1r7
. svydescribe Survey: Describing stage 1 sampling units pweight: VCE: Single unit: Strata 1: SU 1: FPC 1:
Stratum -------52 -------1
weind linearized missing b1r1 b1r7
#Units -------61 -------61
#Obs -------338 -------338
#Obs per Unit ---------------------------min mean max -------- -------- -------1 5.5 14 -------- -------- -------1 5.5 14
. svy:tabulate energi2 stat_stunting, obs row percent (running tabulate on estimation sample) Number of strata Number of PSUs
= =
1 61
----------------------------------------
Number of obs Population size Design df
= = =
338 271153 60
| status stunting energi2 | stunting normal Total ----------+----------------------------rendah | 55.3 44.7 100 | 108 88 196 | cukup | 57.84 42.16 100 | 82 60 142 | Total | 56.36 43.64 100 | 190 148 338 ---------------------------------------Key: row percentages number of observations Pearson: Uncorrected chi2(1) Design-based F(1, 60)
= =
0.2154 0.1807
P = 0.6723
. svy:tabulate protein2 stat_stunting, obs row percent (running tabulate on estimation sample) Number of strata Number of PSUs
= =
1 61
Number of obs Population size Design df
---------------------------------------| status stunting protein2 | stunting normal Total ----------+----------------------------rendah | 60.2 39.8 100 | 98 65 163 | cukup | 52.77 47.23 100 | 92 83 175 | Total | 56.36 43.64 100 | 190 148 338 ---------------------------------------Key: row percentages number of observations Pearson: Uncorrected chi2(1) Design-based F(1, 60)
= =
1.8966 1.9191
P = 0.1711
= = =
338 271153 60
. svy:tabulate jk stat_stunting, obs row percent (running tabulate on estimation sample) Number of strata Number of PSUs
= =
1 61
Number of obs Population size Design df
= = =
338 271153 60
= = =
338 271153 60
---------------------------------------jenis | kelamin | status stunting balita | stunting normal Total ----------+----------------------------perempua | 56.63 43.37 100 | 98 76 174 | laki-lak | 56.08 43.92 100 | 92 72 164 | Total | 56.36 43.64 100 | 190 148 338 ---------------------------------------Key: row percentages number of observations Pearson: Uncorrected chi2(1) Design-based F(1, 60)
= =
0.0103 0.0091
P = 0.9243
. svy:tabulate bb_lahir stat_stunting, obs row percent (running tabulate on estimation sample) Number of strata Number of PSUs
= =
1 61
---------------------------------------| status stunting bb lahir | stunting normal Total ----------+----------------------------bblr | 51.63 48.37 100 | 15 14 29 | normal | 56.81 43.19 100 | 175 134 309
Number of obs Population size Design df
| Total | 56.36 43.64 100 | 190 148 338 ---------------------------------------Key: row percentages number of observations Pearson: Uncorrected chi2(1) Design-based F(1, 60)
= =
0.2902 0.3653
P = 0.5479
. svy:tabulate jml_kel stat_stunting, obs row percent (running tabulate on estimation sample) Number of strata Number of PSUs
= =
1 61
Number of obs Population size Design df
= = =
338 271153 60
= = =
338 271153 60
---------------------------------------jumlah | anggota | status stunting keluarga | stunting normal Total ----------+----------------------------besar | 53.24 46.76 100 | 129 114 243 | kecil | 64.4 35.6 100 | 61 34 95 | Total | 56.36 43.64 100 | 190 148 338 ---------------------------------------Key: row percentages number of observations Pearson: Uncorrected chi2(1) Design-based F(1, 60)
= =
3.4412 3.2231
P = 0.0776
. svy:tabulate pend_ibu stat_stunting, obs row percent (running tabulate on estimation sample) Number of strata Number of PSUs
= =
1 61
Number of obs Population size Design df
---------------------------------------pendidika | status stunting n ibu | stunting normal Total ----------+----------------------------rendah | 60.64 39.36 100 | 136 89 225 | tinggi | 47.73 52.27 100 | 54 59 113 | Total | 56.36 43.64 100 | 190 148 338 ---------------------------------------Key: row percentages number of observations Pearson: Uncorrected chi2(1) Design-based F(1, 60)
= =
5.0691 4.5296
P = 0.0374
. svy:tabulate pend_ayah stat_stunting, obs row percent (running tabulate on estimation sample) Number of strata Number of PSUs
= =
1 61
---------------------------------------pendidika | status stunting n ayah | stunting normal Total ----------+----------------------------rendah | 58.7 41.3 100 | 141 100 241 | tinggi | 50.48 49.52 100 | 49 48 97 | Total | 56.36 43.64 100 | 190 148 338 ---------------------------------------Key: row percentages number of observations Pearson:
Number of obs Population size Design df
= = =
338 271153 60
Uncorrected chi2(1) Design-based F(1, 60)
= =
1.8934 1.7270
P = 0.1938
. svy:tabulate kerja_ibu stat_stunting, obs row percent (running tabulate on estimation sample) Number of strata Number of PSUs
= =
1 61
Number of obs Population size Design df
= = =
338 271153 60
= = =
338 271153 60
---------------------------------------pekerjaan | status stunting ibu | stunting normal Total ----------+----------------------------bekerja | 60.37 39.63 100 | 68 45 113 | tidak be | 54.37 45.63 100 | 122 103 225 | Total | 56.36 43.64 100 | 190 148 338 ---------------------------------------Key: row percentages number of observations Pearson: Uncorrected chi2(1) Design-based F(1, 60)
= =
1.0975 1.0282
P = 0.3147
. svy:tabulate kerja_ayah stat_stunting, obs row percent (running tabulate on estimation sample) Number of strata Number of PSUs
= =
1 61
---------------------------------------pekerjaan | status stunting ayah | stunting normal Total ----------+----------------------------tidak be | 50.43 49.57 100 | 5 5 10 | bekerja | 56.54 43.46 100
Number of obs Population size Design df
| 185 143 328 | Total | 56.36 43.64 100 | 190 148 338 ---------------------------------------Key: row percentages number of observations Pearson: Uncorrected chi2(1) Design-based F(1, 60)
= =
0.1475 0.1826
P = 0.6707
. svy:tabulate tmpt_tinggal stat_stunting, obs row percent (running tabulate on estimation sample) Number of strata Number of PSUs
= =
1 61
Number of obs Population size Design df
= = =
338 271153 60
= = =
338 271153 60
---------------------------------------tempat | status stunting tinggal | stunting normal Total ----------+----------------------------desa | 58.85 41.15 100 | 117 82 199 | kota | 52.6 47.4 100 | 73 66 139 | Total | 56.36 43.64 100 | 190 148 338 ---------------------------------------Key: row percentages number of observations Pearson: Uncorrected chi2(1) Design-based F(1, 60)
= =
1.2872 1.0199
P = 0.3166
. svy:tabulate stat_eko stat_stunting, obs row percent (running tabulate on estimation sample) Number of strata Number of PSUs
= =
1 61
Number of obs Population size Design df
---------------------------------------status | status stunting ekonomi | stunting normal Total ----------+----------------------------rendah | 60.19 39.81 100 | 167 111 278 | tinggi | 38.34 61.66 100 | 23 37 60 | Total | 56.36 43.64 100 | 190 148 338 ---------------------------------------Key: row percentages number of observations Pearson: Uncorrected chi2(1) Design-based F(1, 60)
= =
9.4927 11.6513
P = 0.0012
OUTPUT OR . svy:logit stat_stunting energi2, or (running logit on estimation sample) Survey: Logistic regression Number of strata Number of PSUs
= =
1 61
Number of obs Population size Design df F( 1, 60) Prob > F
= = = = =
338 271153 60 0.18 0.6723
------------------------------------------------------------------------------| Linearized stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] --------------+---------------------------------------------------------------energi2 | .9018032 .2193071 -0.43 0.672 .5544348 1.466807 _cons | .8083223 .1152807 -1.49 0.141 .6077015 1.075174 ------------------------------------------------------------------------------. svy:logit stat_stunting protein2,or (running logit on estimation sample)
Survey: Logistic regression Number of strata Number of PSUs
= =
1 61
Number of obs Population size Design df F( 1, 60) Prob > F
= = = = =
338 271153 60 1.92 0.1715
------------------------------------------------------------------------------| Linearized stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] --------------+---------------------------------------------------------------protein2 | 1.354006 .2965137 1.38 0.172 .8737355 2.098269 _cons | .6610184 .0992085 -2.76 0.008 .4895901 .8924718 ------------------------------------------------------------------------------. svy:logit stat_stunting jk,or (running logit on estimation sample) Survey: Logistic regression Number of strata Number of PSUs
= =
1 61
Number of obs Population size Design df F( 1, 60) Prob > F
= = = = =
338 271153 60 0.01 0.9243
------------------------------------------------------------------------------| Linearized stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] --------------+---------------------------------------------------------------jk | 1.022577 .2391366 0.10 0.924 .6405311 1.632494 _cons | .7659666 .1309547 -1.56 0.124 .5441117 1.07828 ------------------------------------------------------------------------------. svy:logit stat_stunting bb_lahir,or (running logit on estimation sample) Survey: Logistic regression Number of strata Number of PSUs
= =
1 61
Number of obs Population size Design df F( 1, 60)
= = = =
338 271153 60 0.36
Prob > F
=
0.5484
------------------------------------------------------------------------------| Linearized stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] --------------+---------------------------------------------------------------bb_lahir | .811584 .2807356 -0.60 0.548 .4062884 1.621184 _cons | .9368735 .2957396 -0.21 0.837 .4982597 1.761596 ------------------------------------------------------------------------------. svy:logit stat_stunting jml_kel,or (running logit on estimation sample) Survey: Logistic regression Number of strata Number of PSUs
= =
1 61
Number of obs Population size Design df F( 1, 60) Prob > F
= = = = =
338 271153 60 3.20 0.0787
------------------------------------------------------------------------------| Linearized stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] --------------+---------------------------------------------------------------jml_kel | .6296032 .1628711 -1.79 0.079 .3752662 1.056317 _cons | .8781287 .123809 -0.92 0.360 .6623324 1.164234 ------------------------------------------------------------------------------. svy: logit stat_stunting pend_ibu,or (running logit on estimation sample) Survey: Logistic regression Number of strata Number of PSUs
= =
1 61
Number of obs Population size Design df F( 1, 60) Prob > F
= = = = =
338 271153 60 4.50 0.0381
------------------------------------------------------------------------------| Linearized stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] --------------+---------------------------------------------------------------pend_ibu | 1.686711 .4158943 2.12 0.038 1.030006 2.762114
_cons | .64919 .0832395 -3.37 0.001 .5023244 .838995 ------------------------------------------------------------------------------. svy: logit stat_stunting pend_ayah,or (running logit on estimation sample) Survey: Logistic regression Number of strata Number of PSUs
= =
1 61
Number of obs Population size Design df F( 1, 60) Prob > F
= = = = =
338 271153 60 1.72 0.1946
------------------------------------------------------------------------------| Linearized stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] --------------+---------------------------------------------------------------pend_ayah | 1.394525 .3535305 1.31 0.195 .8398366 2.31557 _cons | .7034961 .0838071 -2.95 0.004 .5543344 .8927948 ------------------------------------------------------------------------------. svy: logit stat_stunting kerja_ibu,or (running logit on estimation sample) Survey: Logistic regression Number of strata Number of PSUs
= =
1 61
Number of obs Population size Design df F( 1, 60) Prob > F
= = = = =
338 271153 60 1.03 0.3151
------------------------------------------------------------------------------| Linearized stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] --------------+---------------------------------------------------------------kerja_ibu | 1.278668 .3102547 1.01 0.315 .7869968 2.077508 _cons | .6563185 .1505518 -1.84 0.071 .4148019 1.038457 ------------------------------------------------------------------------------. svy: logit stat_stunting kerja_ayah,or (running logit on estimation sample) Survey: Logistic regression
Number of strata Number of PSUs
= =
1 61
Number of obs Population size Design df F( 1, 60) Prob > F
= = = = =
338 271153 60 0.18 0.6714
------------------------------------------------------------------------------| Linearized stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] --------------+---------------------------------------------------------------kerja_ayah | .7819456 .4511339 -0.43 0.671 .2465927 2.47955 _cons | .9829546 .5732299 -0.03 0.977 .3061419 3.156052 ------------------------------------------------------------------------------. svy: logit stat_stunting tmpt_tinggal, or (running logit on estimation sample) Survey: Logistic regression Number of strata Number of PSUs
= =
1 61
Number of obs Population size Design df F( 1, 60) Prob > F
= = = = =
338 271153 60 1.02 0.3170
------------------------------------------------------------------------------| Linearized stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] --------------+---------------------------------------------------------------tmpt_tinggal | 1.288836 .3240765 1.01 0.317 .7793983 2.131258 _cons | .6992126 .0986564 -2.54 0.014 .5272738 .927219 ------------------------------------------------------------------------------. svy: logit stat_stunting stat_eko,or (running logit on estimation sample) Survey: Logistic regression Number of strata Number of PSUs
= =
1 61
Number of obs Population size Design df F( 1, 60) Prob > F
= = = = =
338 271153 60 11.23 0.0014
------------------------------------------------------------------------------| Linearized stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] --------------+---------------------------------------------------------------stat_eko | 2.432261 .64514 3.35 0.001 1.430832 4.134581 _cons | .6613297 .0805403 -3.40 0.001 .5183473 .843753 -------------------------------------------------------------------------------