i
KORELASI BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DENGAN PERSEPSI PELAPORAN KESALAHAN MEDIS OLEH TENAGA KESEHATAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DI RUMAH SAKIT X DAN RUMAH SAKIT Y TAHUN 2015
SKRIPSI
Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Disusun Oleh : LANY APRILI SULISTIANI NIM : 1111101000098
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/1436 H i
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S-1) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 5 Juni 2015
Lany Aprili Sulistiani
iii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Juni 2015 Lany Aprili Sulistiani, NIM. 1111101000098 Korelasi Budaya Keselamatan Pasien Dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga Kesehatan sebagai Upaya Peningkatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Di Rumah Sakit X Dan Rumah Sakit Y Tahun 2015 (xvi + 112 halaman, 7 tabel, 4 bagan, 7 lampiran) ABSTRAK Latar Belakang. Tingkat pelaporan kesalahan medis di Indonesia masih rendah. Pelaporan yang rendah disebabkan oleh ketidaktepatan persepsi tenaga kesehatan terhadap pelaporan kesalahan medis. Masalah ini dapat diatasi dengan penerapan budaya keselamatan pasien yang adekuat. Metode. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan kuantitatif dan desain studi cross sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan alat bantu berupa kuesioner HSOPSC dari AHRQ versi Bahasa Indonesia dan kuesioner persepsi dari Beginta (2012). Besar sampel dalam penelitian ini berjumlah 106 responden di masing-masing rumah sakit yakni Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y. Analisis data univariat dilakukan dengan menggunakan Hospital Survey Excel Tool 1.6 milik AHRQ sedangkan analisis bivariat dilakukan dengan uji korelasional. Hasil. Dimensi budaya keselamatan pasien dengan respon positif terendah di Rumah Sakit X adalah dimensi penyusunan staf dan kerjasama antar unit sedangkan di Rumah Sakit Y adalah penyusunan staf. Persepsi pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X sebesar 49,95% sedangkan di Rumah Sakit Y sebesar 46%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada 6 dimensi (tindakan promotif keselamatan oleh manajer, organizational learning, kerjasama dalam unit, keterbukaan komunikasi, umpan balik dan respon yang tidak menyalahkan) yang berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X sedangkan di Rumah Sakit Y terdapat 4 dimensi (tindakan promotif keselamatan oleh manajer, keterbukaan komunikasi, umpan balik dan respon yang tidak menyalahkan) yang berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis. Saran. Sosialisasi atau pelatihan terkait pelaporan kesalahan medis serta program peningkatan budaya keselamatan diperlukan untuk meningkatkan persepsi positif terhadap pelaporan kesalahan medis di kedua rumah sakit.
Kata Kunci : budaya keselamatan pasien, pelaporan kesalahan medis, K3RS Daftar Bacaan : 81 (1993-2014)
iv
STATE ISLAMIC UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM PUBLIC HEALTH DEPARTMENT OF OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH Undergraduate Thesis, June 2015 Lany Aprili Sulistiani, NIM 1111101000098 Correlation Of Patient Safety Culture And Perception Of Medical Error Reporting as An Increasing Effort for Occupational Safety and Health at X Hospital and Y Hospital in 2015 (xvi + 112 pages, 7 tables, 4 graphics, 7 attachments) ABSTRACT Introduction. Medical error reporting rate in Indonesian is still low. Low reporting rate is caused by health workers‘ inexactitude perception about medical error reporting. This problem can be overcome by the implementation of adequate patient safety culture Method. This research is an analytical research with quantitative approach and cross sectional study design. The data collected by using questionnaire include HSOPSC questionnaire by AHRQ in Bahasa Indonesia and perception questionnaire by Beginta. Sample size of this research is 106 respondent in both of the hospitals, they are X Hospital and Y Hospital. Univariate analysis is conducted by using AHRQ‘s Hospital Survey Excel Tool 1.6 while bivariate analysis is conducted by using correlational statistical test. Results. Patient safety culture dimension with the lowest positive response in X Hospital is dimension staffing and teamwork across units while in Y Hospital is also staffing. Perception of medical error reporting in X Hospital is 49,95% while in Y Hospital is 46%. Statistic test showed that perception of medical error reporting is correlated with 6 dimensions (manager expectations & actions promoting patient safety, organizational learning, teamwork within unit, feedback and nonpunitive response) in X Hospital which is correlated with while in Y Hospital medical error reporting is correlated with 4 dimension (manager expectations & actions promoting patient safety, feedback and nonpunitive response). Saran. Socialization or training about medical error reporting and patient safety culture increasing programs is needed to improve positive perception about medical error reporting.
Keywords References
: patient safety culture, medical error reporting, K3RS : 81 (1993-2014)
v
PERNYATAAN PERSETUJUAN Skripsi dengan Judul
Korelasi Budaya Keselamatan Pasien Dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga Kesehatan sebagai Upaya Peningkatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta Tahun 2015
Telah disetujui, diperiksa, dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, Juli 2015
Disusun Oleh : Lany Aprili Sulistiani NIM : 1111101000098
Mengetahui
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Fase Badriah, M.Kes, Ph.D
Riastuti Kusumawardani, MKM
NIP. 197106052006042012
NIP.198005162009012005
vi
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Jakarta, Juli 2015
Penguji I
Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D NIP. 197503162007102001
Penguji II
Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D NIP. 197612092006042003
Penguji III
Susanti Tungka, MARS
vii
RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi Nama
: Lany Aprili Sulistiani
Nama Panggilan
: Lany / April
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 28 April 1994 Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Raya Bekasi Km.23 Komplek TNI AD/51 RT 03 RW 006 Cakung Barat, Cakung, Jakarta Timur
No. Telpon/HP
: 089601297604 / 082298506835
Email
:
[email protected] [email protected]
LinkedIn
: Lany Aprili Sulistiani
Kata Mutiara
: Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (QS. 94:7-8)
Riwayat Pendidikan Formal 1. 1998-1999
: TK Dharma Wanita Tunas Harapan Bekasi
2. 1999-2005
: SDN Cakung Barat 10 Petang
3. 2005-2008
: SMPN 168 Jakarta Timur
4. 2008-2011
: SMK Perawat Kesehatan Kesdam Jaya Jakarta
5. 2011-2015
: S1 Peminatan K3 Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Riwayat Pendidikan Non Formal 1.
Latihan Dasar Penelitian Tingkat Wilayah Tahun 2008 dan 2009
2.
Latihan Dasar Penelitian Tingkat Provinsi Tahun 2010
viii
3.
Peserta Sertifikasi Kejuruan Bidang Studi Keahlian Kesehatan Kompetensi Keahlian Keperawatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2011
4.
Pendidikan Dasar Relawan Bencana Rumah Zakat Nasional Tahun 2013
5.
Leadership and Character Building Course Kementerian Pemuda dan Olahraga Tahun 2014
6.
Pelatihan Basic Fire Fighting oleh Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta tahun 2013
7.
Workshop Investigasi dan Pencegahan Kecelakaan Kerja tahun 2014
8.
Workshop Ergonomi di Tempat Kerja tahun 2014
9.
Workshop Risk Assessment in the Work Place tahun 2014
10. Workshop Management of Fire Safety tahun 2014 11. Course of Training SMK3 Based on OHSAS 18001 & PP No. 50 Tahun 2012 Riwayat Organisasi 1.
Koordinator Bidang IPS Kelompok Ilmiah Remaja Jakarta Pusat Tahun 2009
2.
Wakil Ketua Kelompok Ilmiah Remaja Jakarta Pusat Tahun 2010
3.
School Representatives Kegiatan Ekstrakurikuler Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan Tingkat Provinsi Tahun 2009
4.
Sekretaris OSIS SMK Perawat Kesehatan Kesdam Jaya Tahun 2010
5.
Penasihat Kelompok Ilmiah Remaja SMK Perawat Kesehatan Kesdam Jaya, Jakarta Pusat Tahun 2012
6.
Relawan Rumah Zakat Cabang Jakarta Barat Tahun 2012-2014
7.
Ketua Preventor Keluarga Kadarzitensi ICD Binaan Rumah Zakat Cabang Jakarta Barat Tahun 2013
8.
Staff Human Resources Department Forum Studi Keselamatan dan Kesehatan Kerja UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2013-2014
9.
General Manager Forum Studi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (FSK3) UIN Jakarta Tahun 2014-2015
10. Ketua Divisi Penelitian Panitia Seminar Pengembangan Profesi K3 UIN Jakarta Tahun 2014
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb. Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan Inayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul ―Korelasi Budaya Keselamatan Pasien dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga Kesehatan Di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Tahun 2015‖ ini dapat diselesaikan tepat waktu. Skripsi ini merupakan salah satu tugas akhir mahasiswa semester 8 Prodi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada : 1.
Kedua orangtua penulis, La Hadimu dan Mulyani atas limpahan ilmu, perhatian, cinta dan kasih sayang yang tidak akan pernah terbalas. I love you mom, dad!
2.
Dr. H. Arif Sumantri SKM., M.Kes. selaku Dekan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Ibu Fase Badriah dan Ibu Riastuti Kusumawardani selaku dosen pembimbing atas ilmu dan pencerahannya setiap saat kepada penulis.
4.
Ibu Catur Rosidati selaku dosen penasihat akademik atas perhatian dan nasihatnya sejak penulis masuk di keluarga besar Kesmas UIN Jakarta.
5.
Ibu Iting Shofwati, seluruh dosen peminatan K3 dan tak lupa seluruh dosen Prodi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih banyak atas ilmu yang telah diberikan selama perkuliahan.
6.
Ms. Jenni Scolese selaku AHRQ Surveys on Patient Safety Culture Technical Assistance, Ms. Limaya Atembina dan Ms. Randie Siegel selaku Patient Safety Culture Surveys Support Group di Westat on behalf of AHRQ yang telah memberikan arahan dalam menggunakan instrumen HSOPSC serta memberikan instrumen analisis data oleh AHRQ.
7.
Ibu Yuri selaku pembimbing lapangan di Rumah Sakit Y. Staf komite mutu serta Bapak Budi, Mas Panji, Ka Dede, Ka Wiyar serta Bu Neti yang telah membantu penulis selama penelitian di RS Y.
x
8.
dr. Fitri, dr. Resnita, Ibu Nurhayana, Ibu Nina, Ka Shylvy dan Pak Timo di Rumah Sakit X dan juga seluruh staf Rumah Sakit X yang telah membantu.
9.
My beloved siblings both Syarfan Maulana Rahman and my youngest brother Nasron Zubaidih. Terimakasih semangatnya dear. My big family especially for Kakung, Nenek, Tete, om Mustar, om Nyong, om Mat, Papa-tua, mamatua, dan juga seluruh sepupu penulis (Ka Dian, Ka Wawan, Ka Sam, Ka Akmal, Ka Ani, Ka Edi, Adi, Hafidz, Febri).
10. Temanku yang terkasih Annisa Septiani, Sri Wahyu Fitria, Yourike Alia Stevani, Salsabila Triana Dwiputri, Betti Ronayan Adiwijayanti, Asril Yusuf Putra Fau, Teman-teman Raklac UIN Jakarta 2011, K3 2011, Kesmas UIN Jakarta 2011, FSK3 UIN Jakarta dan tak lupa IKAHIMA K3 Indonesia. Big thanks for all of you! 11. Adik-adikku angkatan 30 SMK Kesdam Jaya Maya Febrihapsari, Dyah Ayu Hapsari dan Fauziah Putridhini. Seacom my dearest Fitka Prili Miki, Rezky Kira, Fransisca Christina, Dwi Nuraini dan Gita Mayang Asri. Anita Nuryani, Isma Novianti dan staf SHE PT Krama Yudha Ratu Motor atas semangatnya yang tidak putus. Dicky Saputra, Ittha ‗Jun‘, Dina ‗Min‘ serta teman-teman dari seluruh forum dan institusi yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas do‘a, motivasi dan semangatnya. Terutama untuk pertanyaan ‗kapan lulus?‘ atau ‗kapan sidang?‘ yang amat sangat memicu semangat penulis. Harapan penulis agar tulisan yang penulis buat ini dapat memenuhi tujuannya dan semoga tulisan ini dapat dicatat sebagai salah satu amal oleh Allah SWT yang bermanfaat baik bagi Penulis maupun bagi pembaca. Tulisan ini adalah karya manusia. Apa yang hari ini Penulis yakini benar dapat berubah suatu saat nanti. Sesungguhnya kesempurnaan adalah milik Allah SWT sedangkan kekurangan yang ada adalah bagian dari diri Penulis. Wassalamu’alaikum Wr.Wb. Jakarta, Juli 2015 Penulis
xi
DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... i ABSTRAK ............................................................................................................. iii ABSTRACT ........................................................................................................... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN ......................................................................... v RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... vii KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi DAFTAR BAGAN .............................................................................................. xiv DAFTAR TABEL ................................................................................................. xv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xvi DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 A. B. C. D. E. F.
Latar Belakang ............................................................................................... 1 Rumusan Masalah .......................................................................................... 4 Pertanyaan Penelitian..................................................................................... 5 Tujuan ............................................................................................................ 5 Manfaat .......................................................................................................... 6 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 9 A. Pelaporan Kesalahan Medis........................................................................... 9 1. Definisi Kesalahan Medis ......................................................................... 9 2. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis ........ 10 B. Konsep Pembentukan Persepsi .................................................................... 11 C. Konsep Keselamatan di Rumah Sakit.......................................................... 12 1. Definisi Keselamatan Pasien................................................................... 13 2. Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Indonesia ......................... 14 3. Tujuan Keselamatan Pasien .................................................................... 17 4. Insiden Keselamatan Pasien .................................................................... 17 D. Budaya Keselamatan Pasien ........................................................................ 19 1. Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien ............................................... 20 2. Dimensi Budaya Keselamatan Pasien Berdasarkan AHRQ ................... 24 E. Rumah Sakit................................................................................................. 33 1. Klasifikasi Rumah Sakit Umum ............................................................. 33
xii
2. Klasifikasi Rumah Sakit Khusus ............................................................ 34 F. Analisis Kesesuaian Uji Hipotesis ............................................................... 35 G. Kerangka Teori ............................................................................................ 35 BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL & HIPOTESIS . 37 A. Kerangka Konsep......................................................................................... 37 B. Definisi Operasional .................................................................................... 40 C. Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 43 BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................................... 45 A. B. C. D. E. F.
Desain Penelitian ......................................................................................... 45 Waktu dan Tempat Penelitian...................................................................... 45 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................... 45 Alat dan Cara Pengumpulan Data................................................................ 47 Pengolahan Data, Uji Validitas dan Realibilitas.......................................... 49 Metode Analisis Data .................................................................................. 50
BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................. 53 A. Gambaran Umum Rumah Sakit X ............................................................... 54 B. Analisis Univariat ........................................................................................ 55 1. Karakteristik Responden Penelitian ........................................................ 55 2. Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga Kesehatan ............... 56 3. Gambaran Budaya Keselamatan Pasien.................................................. 56 C. Analisis Bivariat .......................................................................................... 58 BAB VI PEMBAHASAN PENELITIAN ............................................................ 68 A. Keterbatasan Penelitian ............................................................................... 68 B. Gambaran Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis ......................................... 68 C. Gambaran Dimensi Budaya Keselamatan Pasien dan Korelasinya dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis ................................................................ 72 1. Tindakan promotif keselamatan oleh manajer ........................................ 73 2. Organizational learning – perbaikan berkelanjutan ............................... 77 3. Kerjasama dalam unit rumah sakit .......................................................... 81 4. Keterbukaan komunikasi ........................................................................ 84 5. Umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi ..... 87 6. Respon yang tidak menyalahkan ............................................................ 90 7. Penyusunan staf ...................................................................................... 93 8. Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien ................... 95 9. Kerjasama antar unit di rumah sakit ....................................................... 97 10. Serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain ............................ 98
xiii
BAB VII PENUTUP ........................................................................................... 101 A. Kesimpulan ................................................................................................ 101 B. Saran .......................................................................................................... 102 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 106 LAMPIRAN
xiv
DAFTAR BAGAN Bagan 2. 1 Outcome Asuhan Medis ..................................................................... 18 Bagan 2. 2 Bagan Dimensi Budaya Keselamatan Pasien ..................................... 25 Bagan 2. 3 Kerangka Teori Penelitian .................................................................. 36 Bagan 3. 1 Kerangka Konsep .................................................................................37
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Matriks Alat Ukur Budaya Keselamatan Pasien .................................. 22 Tabel 4. 1 Deskripsi Kuesioner Bagian Budaya Keselamatan .............................. 48 Tabel 4. 2 Kriteria Penilaian Berdasarkan Presentase .......................................... 51 Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Responden Penelitian .................................... 55 Tabel 5. 2 Gambaran Persepsi Positif Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga Kesehatan 2015 ..................................................................................................... 56 Tabel 5.3 Gambaran Respon Positif 10 Dimensi Budaya Keselamatan Pasien pada Tenaga Kesehatan Tahun 2015 ............................................................................. 57 Tabel 5. 4 Analisis korelasi dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan tahun 2015 ....................................................................................................................... 58
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Lembar Kuesioner
Lampiran 2.
Alat Analisis Budaya Keselamatan Pasien
Lampiran 3.
Output Analisis Data
xvii
DAFTAR SINGKATAN
AHRQ
: Agency for Healthcare Research and Quality
CIHI
: Canadian Institute for Health Information
CSS
: Culture of Safety Survey
HSOPSC
: Hospital Survey of Patient Safety Culture
IHI
: The Institute of Healthcare Improvement
IOM
: Institute of Medicine
JCAHO
: Joint Commision on Accreditation of Health Organizations
KKP-RS
: Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
OSHA
: Occupational Safety and Health Administration
PSCHO
: Patient Safety Cultures in Healthcare Organizations
SLOAPS
: Strategies for Leadership - An Organizational Approach to Patient Safety
VHA-PSCQ : Veterans Administration Patient Safety Culture Questionnaire WHO
: World Health Organization
KTD
: Kejadian Tidak Diharapkan
KNC
: Kejadian Nyaris Cedera
KTC
: Kejadian Tidak Cedera
KPC
: Kondisi Potensial Cedera
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sempurna baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang nantinya akan berpengaruh terhadap kinerja dan produktivitas (Republik Indonesia, 2009a; Nurcahyo, 2008). Organisasi kesehatan berupa rumah sakit diperlukan sebagai upaya perbaikan status kesehatan. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 menyatakan bahwa setiap tenaga kesehatan harus memberikan pelayanan dengan selalu mengutamakan keselamatan pasien. Namun faktor keberagaman dan kerutinan pelayanan kesehatan yang diberikan serta lingkungan rumah sakit yang kompleks dengan berbagai macam profesi, peralatan, prosedur, infrastruktur dan kebijakan dapat berpotensi menimbulkan kesalahan medis yang berujung pada insiden keselamatan pasien (Kalra dkk., 2013; Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006; Occupational Safey and Health Administration, 2014). Perhatian dunia terhadap keselamatan pasien dimulai dari laporan Institute of Medicine pada tahun 1999 terkait kesalahan medis dan jumlah kasus kejadian tidak diharapkan (Classen dkk., 2011; Hercules, 2010). Occupational Safey and Health Administration (2014) menyatakan bahwa sejak dirintis laporan tersebutlah aspek keselamatan pasien mulai dipandang dengan pola pendekatan sistem seperti aspek keselamatan pada bidang industri lainnya seperti manufaktur
1
2
ataupun penerbangan. Karena pada dasarnya isu keselamatan pasien berhubungan erat dengan isu keselamatan tenaga kesehatan itu sendiri. Meginniss dkk. (2012) menyatakan bahwa lebih dari 40.000 insiden keselamatan pasien terjadi di Inggris setiap hari.
Selanjutnya World Health
Organization (2014) mengungkapkan fakta mengejutkan yang menyatakan bahwa 1 dari 10 pasien di negara berkembang termasuk Indonesia mengalami cedera pada saat menjalani pengobatan di rumah sakit. Pada hakikatnya seluruh kesalahan medis yang terlaporkan masih merupakan sebagian kecil dari jumlah sebenarnya (Suharjo dan Cahyono, 2008). Hingga saat ini, tingkat pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan masih sangat rendah (Youngson, 2014). Di Indonesia, Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (2011) menyatakan bahwa sepanjang tahun 2010 telah didapatkan 103 laporan insiden keselamatan pasien dari rumah sakit di seluruh Indonesia. Sementara itu Kementerian Kesehatan dalam Bambang (2011) juga menyatakan bahwa pada tahun 2010 terdapat 1523 rumah sakit di Indonesia dengan 653 diantaranya sudah terakreditasi. Jumlah laporan yang sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah rumah sakit yang telah terakreditasi pada saat itu mengindikasikan tingkat pelaporan yang rendah di Indonesia. Padahal pelaporan kesalahan medis merupakan upaya fundamental sebagai pencegahan terjadinya kesalahan medis (Kachalia dan Bates, 2014), karena pelaporan kesalahan medis dibutuhkan sebagai salah satu upaya dalam proses pembelajaran dan evaluasi berkelanjutan (Lamo, 2011). Reason dalam Wolf dan Hughes pada tahun 2005 menyatakan bahwa terjadinya kesalahan medis maupun
2
3
insiden keselamatan pasien di suatu rumah sakit menunjukkan adanya masalah dalam jumlah besar pada sistem keselamatan di rumah sakit tersebut. Namun Calado Monteiro dan Santos Natário (2014) mengungkapkan bahwa masalahmasalah yang terjadi dalam sistem keselamatan dapat diatasi dengan penerapan budaya keselamatan pasien. Hal ini dapat terjadi karena budaya keselamatan pasien dapat mendukung pembangunan sistem yang kondusif bagi kegiatan perawatan pasien yang aman serta bebas dari kesalahan medis. Budaya keselamatan pasien didefiniskan sebagai lingkungan yang mendukung dilakukannya pelaporan, tidak saling menyalahkan, melibatkan kepemimpinan tingkat atas dan berfokus pada sistem (AORN Journal, 2006). Dengan adanya budaya keselamatan pasien akan tercipta sistem keselamatan yang efektif baik untuk melindungi pasien maupun seluruh tenaga kesehatan yang berada dalam ruang lingkup rumah sakit. Terutama untuk melindungi tenaga kesehatan dari tuntutan pasien ketika terjadi kesalahan medis (Lamo, 2011). Pembentukan persepsi positif terhadap pelaporan kesalahan medis pada tenaga kesehatan membutuhkan budaya keselamatan pasien yang nantinya akan membentuk lingkungan yang bebas dari perilaku saling menyalahkan atas kesalahan medis yang terjadi (El-Jardali dkk., 2011). Hal sama juga diungkapkan Beginta (2012) bahwa persepsi pelaporan kesalahan medis dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan, kerja tim dan budaya keselamatan. Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y adalah rumah sakit dengan perbedaan kelas serta karakteristik pelayanan, dimana Rumah Sakit X merupakan rumah sakit umum kelas B dan Rumah Sakit Y merupakan rumah sakit khusus kelas A.
4
Budaya dan lingkungan yang berbeda sebagai stimulus akan memunculkan persepsi yang berbeda pada tenaga kesehatan. Pada penelitian ini akan dilihat korelasi budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis di masing-masing rumah sakit. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang didapatkan melalui in-depth interview dengan informan pada 2 rumah sakit kelas A, 3 rumah sakit kelas B dan 2 rumah sakit kelas C di Jakarta didapatkan informasi bahwa tingkat kemauan tenaga kesehatan yang bekerja 7 rumah sakit tersebut dalam melaporkan kesalahan medis yang terjadi masih rendah. Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y memberikan ijin untuk melakukan penelitian lebih lanjut sedangkan 5 rumah sakit lainnya menolak untuk memberikan ijin penelitian. Selain hal tersebut, penelitian terkait pelaporan kesalahan medis di Indonesia juga masih sedikit. Oleh karena itulah peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait korelasi budaya keselamatan pasien dan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di masing-masing Rumah Sakit Y Jakarta dan Rumah Sakit X. B. Rumusan Masalah Setiap rumah sakit memiliki sistem keselamatan dan kesehatan kerja yang berbeda sesuai dengan potensi bahaya dan karakteristik pelayanan di dalam rumah sakit tersebut. Dengan berlakunya sistem keselamatan pasien yang berbeda maka akan terbentuk budaya berbeda yang dibentuk oleh setiap orang yang berada didalam rumah sakit tersebut. Budaya keselamatan pasien sendiri merupakan bagian dari budaya rumah sakit yang berperan penting untuk meningkatkan
5
persepsi positif terhadap pelaporan kesalahan medis. Karena masalah pelaporan kesalahan medis yang rendah di rumah sakit dipengaruhi oleh persepsi tenaga kesehatan yang tidak tepat terhadap pelaporan kesalahan medis. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian mengenai ―Korelasi Budaya Keselamatan Pasien Dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta Tahun 2015‖. C. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimanakah gambaran budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta tahun 2015? 2. Bagaimanakah gambaran persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta tahun 2015? 3. Apakah terdapat korelasi antara budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta tahun 2015? D. Tujuan 1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta pada tahun 2015. 2. Tujuan Khusus Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
6
a. Mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien dimasing-masing Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta pada tahun 2015. b. Mengetahui gambaran persepsi positif pelaporan kesalahan medis pada tenaga kesehatan di masing-masing Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta pada tahun 2015. c. Menggambarkan korelasi antara budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis di masing-masing Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta pada tahun 2015. E. Manfaat 1. Bagi Peneliti a. Dapat menjadi proses pembelajaran serta implementasi seluruh ilmu yang didapatkan selama pendidikan. b. Dapat menjadi media untuk mengembangkan ilmu serta praktiknya. 2. Bagi Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta a. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui informasi terkait korelasi budaya keselamatan pasien dan persepsi pelaporan kesalahan medis di masing-masing rumah sakit. b. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dalam evaluasi dan pembuatan kebijakan program peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja serta perlindungan tenaga kerja dari kesalahan medis di masingmasing rumah sakit.
7
3. Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta a. Penelitian ini menjadi salah satu upaya untuk mengimplementasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan serta pengabdian kepada masyarakat. b. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bagi mahasiswa mengenai budaya keselamatan pasien dan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan. F. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini berjudul korelasi budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y tahun 2015. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara budaya keselamatan pasien dan persepsi pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta. Penelitian ini akan dilakukan oleh mahasiswi Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan objek penelitian adalah perawat, dokter dan tenaga kesehatan lain di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y. Penelitian akan dilaksanakan di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta pada bulan Desember 2014-Juni 2015. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross-sectional dengan pengumpulan data berupa pengisian kuesioner. Kuesioner dimensi budaya keselamatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner Hospital Survey on Patient Safety Culture sedangkan kuesioner persepsi pelaporan kesalahan medis yang digunakan adalah kuesioner yang dikembangkan oleh Romi Beginta pada tahun
8
2012. Analisis data yang akan digunakan hanya berupa analisis univariat dan bivariat dengan uji korelasi. Uji korelasi merupakan uji hipotesis untuk variabel independen dan dependen yang bersifat numerik dilakukan pada tiap dimensi yang ada dalam budaya keselamatan dengan persepsi pelaporan kesalahan medis.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelaporan Kesalahan Medis Laporan adalah suatu pernyataan baik secara lisan atau tulisan yang menjelaskan tentang suatu kejadian atau tindakan yang telah (Siswandi, 2011). Pelaporan kesalahan medis digunakan sebagai pembelajaran bagi organisasi dalam memperbaiki sistem pelayanan dan pelaporan sebagai hal yang sangat penting dalam upaya membangun budaya keselamatan pasien terutama dalam mencegah pengulangan kesalahan yang sama (Wolf dan Hughes, 2005; Gulley, 2007). Espin dkk. (2007) juga menyatakan bahwa pembangunan mekanisme pelaporan kesalahan medis adalah strategi yang pertama ditekankan oleh IOM. Penerapan strategi tersbeut di Indonesia diimplementasikan melalui tujuh standar keselamatan pasien yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 1. Definisi Kesalahan Medis Kesalahan medis diartikan oleh AHRQ sebagai kesalahan yang terjadi pada proses perawatan dan berpotensi menciderai pasien. Kesalahan medis diantaranya adalah kegagalan melakukan tindakan yang telah direncanakan atau penggunaan rencana yang tidak tepat untuk mencapai tujuan tertentu. Kesalahan medis dapat berupa output dari tindakan yang dilakukan atau tindakan yang tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan (Agency for Healthcare Research and Quality, 2003).
9
10
Kesalahan medis adalah kegagalan dalam proses tetapi tidak dilakukan secara sengaja untuk menciderai pasien. Kesalahan medis yang tidak menimbulkan bahaya disebut hampir celaka atau near-miss (White dan Gallagher, 2013). Kesalahan medis juga dapat didefinisikan sebagai kegagalan proses yang tidak secara esensial membahayakan pasien namun kesalahan medis dapat berujung pada timbulnya kejadian tidak diharapkan atau jenis insiden keselamatan lainnya (Ghazal dkk., 2014). Berdasarkan definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kesalahan medis adalah kegagalan tenaga kesehatan dalam suatu proses yang berpotensi menimbulkan insiden keselamatan pasien. 2. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis Pelaporan kesalahan medis memerlukan pengungkapan kesalahan yang tepat (Wolf dan Hughes, 2005). Dan untuk mencapai pelaksanaan pelaporan kesalahan medis yang optimal diperlukan faktor pendukung. Faktor pendukung persepsi pelaporan kesalahan medis adalah : a. Kesempatan untuk belajar langsung dari kesalahan medis yang terjadi (learning opportunity) (Waters dkk., 2012). b. Sikap proaktif terhadap keselamatan pasien (Waters dkk., 2012). c. Kewajiban profesi (Waters dkk., 2012). d. Budaya keselamatan pasien (Sorra dan Nieva, 2004)
11
Selain faktor pendukung, terdapat juga beberapa penghambat dari pelaporan kesalahan medis diantaranya adalah sebagai berikut : a. Standar operasional prosedur pelaporan kesalahan medis yang menyulitkan (Wolf dan Hughes, 2005). b. Kurangnya feedback dan dukungan organisasi terhadap pelaporan insiden (Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen, 2014; White dan Gallagher, 2013; Lederman dkk., 2013). c. Budaya yang menyalahkan apabila kesalahan medis tersebut terungkap (Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen, 2014; Waters dkk., 2012; Espin dkk., 2007). d. Waktu yang dibutuhkan untuk melapor (Winsvold Prang dan JelsnessJørgensen, 2014; White dan Gallagher, 2013; Lederman dkk., 2013; Sinicki dkk., 2012). e. Derajat keparahan cidera akibat kesalahan medis yang terjadi (Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen, 2014; Williams dkk., 2013; White dan Gallagher, 2013; Wolf dan Hughes, 2005). B. Konsep Pembentukan Persepsi Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan persepsi sebagai tanggapan (penerimaan) atas sesuatu (Setiawan, 2014). Persepsi didefinisikan lebih aplikatif lagi
sebagai
kemampuan
untuk
membeda-bedakan,
mengelompokkan,
memfokuskan dan selanjutnya diinterpretasikan (Sarwono, 2010). Persepsi berlangsung saat tenaga kesehatan menerima stimulus dari dunia luar yang ditangkap oleh organ-organ bantunya yang kemudian masuk ke dalam
12
otak. Didalamnya terjadi proses berpikir yang pada akhirnya terwujud dalam sebuah pemahaman. Pemahaman inilah yang disebut sebagai persepsi. (Sarwono, 2010) Sebelum terjadi persepsi pada tenaga kesehatan, diperlukan stimuli yang merangsang individu dan stimuli tersebut haruslah ditangkap melalui organ-organ tubuh individu yang diantaranya adalah panca indra. Selanjutnya sensasi dari stimulan dibawa ke dalam sistem syaraf dan dilakukan penambahan informasi kepada stimulus yang diterima yang didapat sebagai interpretasi hingga kemudian menjadi persepsi. Organisasi dalam persepsi mengikuti beberapa prinsip diantaranya
wujud dan latar (figure and ground
atau emergence), pola
pengelompokan serta ketetapan (Sarwono, 2010). C. Konsep Keselamatan di Rumah Sakit Konsep keselamatan yang berlaku pada rumah sakit tidak berbeda dengan yang berlaku pada dunia industri lainnya dimana keselamatan dipandang dengan pola pendekatan sistem dan bukan individu. Karena pada dasarnya keselamatan tenaga kerja berhubungan erat dengan keselamatan pasien (Occupational Safey and Health Administration, 2014). Lingkungan yang aman bagi pasien juga akan menjadi lingkungan yang lebih aman bagi pekerja dan sebaliknya karena keduanya terikat dalam banyak aspek kebudayaan yang sama serta isu sistemik yang terjadi didalam lingkungan rumah sakit. Salah satu contohnya adalah bahaya yang ada dalam ruang lingkup rumah sakit yang disebabkan oleh lemahnya sistem pengendalian infeksi, kelelahan ataupun kesalahan teknis dapat menimbulkan cidera atau penyakit bukan hanya
13
berbahaya terhadap pasien tetapi juga kepada pekerja di rumah sakit tersebut. Tenaga kesehatan yang harus senantiasa berhadapan dengan lingkungan yang tidak menempatkan keselamatan dan kesehatan mereka sebagai prioritas utama tidak akan bisa memberikan pelayanan kesehatan yang benar-benar bebas dari kesalahan (Occupational Safey and Health Administration, 2014). 1. Definisi Keselamatan Pasien Keselamatan merupakan isu global termasuk juga untuk rumah sakit World Health Organization (2014). Ada lima isu penting keselamatan di rumah sakit dan salah satunya adalah keselamatan pasien (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Canadian Council on Health Services Accreditation (2003) memberikan definisi keselamatan pasien yakni pencegahan dan mitigasi dalam lingkup pelayanan kesehatan. Konsep mengenai keselamatan pasien berikutnya lebih menggambarkan outcome dari keselamatan pasien dimana keselamatan pasien diartikan sebagai reduksi dan mitigasi perilaku tidak aman didalam ruang lingkup sistem pelayanan kesehatan, melalui pelaksanaan pelayanan terbaik yang terbukti menghasilkan outcome pasien yang optimal (Davies dkk., 2003). Keselamatan pasien rumah sakit sendiri adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi kegiatan penilaian risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya
14
cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Berdasarkan definisi yang disebutkan diatas maka dapat dirumuskan bahwa keselamatan pasien merupakan usaha-usaha yang dilaksanakan dalam melakukan pencegahan kesalahan yang ditimbulkan dari perilaku tidak aman serta mitigasi untuk meringankan outcome yang tidak diharapkan seperti insiden keselamatan pasien dalam rangka pelaksanaan upaya kesehatan yang optimal. Strategi untuk memperbaiki keselamatan pasien meliputi pembuatan budaya yang mendukung identifikasi dan pelaporan perilaku tidak aman, pengukuran yang efektif terhadap cidera yang dialami pasien dan indikator outcome relevan lainnya serta alat untuk membangun atau menyesuaikan struktur dan proses untuk mereduksi kepercayaan terhadap kewaspadaan yang dimiliki tiap individu (Canadian Council on Health Services Accreditation, 2003). 2. Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Indonesia Standar keselamatan pasien di Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Hospital Patient Safety Standards yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health Organizations (JCAHO) pada tahun 2002 yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi perumahsakitan di Indonesia. Standar keselamatan pasien di
Indonesia disusun dalam
Panduan Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang kemudian diterbitkan oleh Departemen
15
Kesehatan Republik Indonesia tahun 2006. Standar keselamatan tersebut diantaranya adalah : a. Hak pasien Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya kejadian tidak diharapkan. b. Mendidik pasien dan keluarga Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. c. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan Rumah Sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan. d. Penggunaan
metoda-metoda
peningkatan
kinerja
untuk
melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien Rumah sakit harus mendesign proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif kejadian tidak diharapkan, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien. e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien 1) Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organisasi
16
melalui penerapan ―Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit ‖. 2) Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi kejadian tidak diharapkan. 3) Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien. 4) Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja rumah sakit serta meningkatkan keselamatan pasien. 5) Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien. f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien 1) Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas 2) Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien.
17
g. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien 1) Rumah
sakit
merencanakan
dan
mendesain
proses
manajemen informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal. 2) Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat. 3. Tujuan Keselamatan Pasien Berdasarkan Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006) maka tujuan dari keselamatan pasien adalah sebagai berikut : a.
Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit.
b.
Meningkatnya akutanbilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.
c.
Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit.
d.
Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.
4. Insiden Keselamatan Pasien Kegiatan perawatan medis tidak selalu dapat menghasilkan outcome positif yang diharapkan namun dapat menghasilkan beberapa kemungkinan outcome termasuk insiden keselamatan pasien. Kemungkinan outcome tersebut dapat dilihat pada bagan berikut ini (Suharjo dan Cahyono, 2008).
18
Bagan 2. 1 Outcome Asuhan Medis
Sumber : Suharjo dan Cahyono (2008) Berdasarkan bagan 2.1. dapat kita ketahui bahwa terdapat dua jenis outcome dari asuhan medis yang diberikan yakni hasil positif dan hasil negatif. Hasil positif berarti pasien mengalami kesembuhan atau perbaikan dari kondisi sebelumnya sedangkan hasil negatif berarti pasien tidak sembuh atau bahkan mengalami masalah kesehatan yang baru (Suharjo dan Cahyono, 2008). Hasil negatif yang diakibatkan kesalahan medis berupa cidera atau kejadian tidak diharapkan. Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691 terdapat 3 jenis insiden keselamatan pasien diantaranya adalah : a.
Kejadian tidak diharapkan (KTD) atau adverse events adalah insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Kejadian tidak diharapkan juga diartikan sebagai cidera yang tidak dikehendaki atau komplikasi yang menghasilkan kecacatan, kematian atau periode perawatan yang diperlama. (Canadian Institute for Health Information, 2003).
19
Selanjutnya kejadian tidak diharapkan
didefinisikan secara lebih
spesifik sebagai sebuah outcome merugikan bagi pasien, termasuk cedera atau komplikasi dimana outcome tersebut berasal dari manajemen medis yang diterima pasien dan bukan dari penyakit dasar yang diderita oleh pasien (Wang dkk., 2014). b.
Kejadian Nyaris Cedera (KNC) atau near miss adalah terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke pasien.
c.
Kejadian Tidak Cedera (KTC) adalah insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera.
d.
Kondisi Potensial Cedera (KPC) adalah kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden.
e.
Kejadian sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera yang serius
D. Budaya Keselamatan Pasien Budaya keselamatan merupakan salah satu bagian penting dari keseluruhan budaya yang dianut dalam organisasi. Budaya keselamatan adalah produk dari nilai individu dan kelompok, sikap, persepsi, kompetensi dan pola perilaku yang menentukan komitmen untuk, dan gaya serta kecakapan dari manajemen keselamatan dan kesehatan organisasi. Organisasi dengan budaya keselamatan positif ditandai dengan komunikadi yang dibangun atas kepercayaan mutual, dengan persepsi bersama terhadap pentingnya keselamatan dan dengan efikasi dari pengukuran preventif (Advisory Committee on the Safety of Nuclear Installations, 1993).
20
Budaya keselamatan juga didefiniskan sebagai lingkungan yang mendukung dilakukannya pelaporan, tidak saling menyalahkan, melibatkan kepemimpinan tingkat atas dan berfokus pada sistem (AORN Journal, 2006). Konsep budaya keselamatan pasien dikembangkan dari konteks budaya keselamatan di dunia industri dimana budaya keselamatan pasien didefinisikan sebagai keyakinan, nilai, perilaku, yang dihubungkan dengan keselamatan pasien dan dianut bersama oleh tenaga kesehatan yang berada didalam ruang lingkup rumah sakit (Beginta, 2012). Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka budaya keselamatan pasien dapat diartikan sebagai keyakinan, nilai, perilaku yang mendukung keselamatan pasien dan dianut oleh seluruh anggota organisasi kesehatan yang membentuk lingkungan yang mendukung dilakukannya pelaporan, tidak saling menyalahkan, melibatkan kepemimpinan tingkat atas dan berfokus pada sistem. Budaya dalam organisasi kesehatan merupakan hal yang penting dan menentukan proses kemampuan pendeteksian serta penanganan kesalahan yang telah terjadi (Kohn dan Corrigan, 1999). 1. Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien Pengukuran budaya keselamatan pada umumnya dilakukan pada tiap individu kemudian dijadikan agregat pada tingkat yang lebih tinggi. Derajat kesamaan persepsi pekerja terhadap budaya keselamatan itulah yang menjadi kelebihan yang patut dipertimbangkan dari pengukuran budaya keselamatan (Flin dkk., 2006). Terdapat berbagai alat ukur untuk mengukur budaya keselamatan dengan karakteristik organisasi dan dimensi budaya yang berbeda. Budaya
21
keselamatan pada dunia industri lain memiliki dimensi esensial berupa komitmen manajemen terhadap keselamatan.
Sedangkan dimensi yang
umumnya diukur pada tiap alat pengukuran budaya keselamatan di industri adalah
manajemen,
sistem
keselamatan,
risiko,
pressure
pekerjaan,
kompetensi dan prosedur. Organisasi kesehatan sendiri mengembangkan definisi dan/atau alat pengukuran budaya keselamatan pasien berdasarkan literatur budaya keselamatan di industri (Flin dkk., 2006). C Burns dan S Yulle dalam Flin dkk. (2006) menjabarkan dimensi budaya keselamatan pasien yang paling umum diukur di rumah sakit adalah manajemen, sistem keselamatan, persepsi risiko, tuntutan pekerjaan, pelaporan atau pengungkapan, sikap atau perilaku keselamatan, komunikasi atau feedback, kerjasama, sumber daya individu dan faktor organisasional. Berikut ini adalah karakteristik dari tiap-tiap alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur budaya keselamatan pasien pada seluruh unit secara umum dan tidak terfokus pada salah satu profesi tenaga kesehatan (Robb dan Seddon, 2010; Colla dkk., 2005).
22
Tabel 2. 1 Matriks Alat Ukur Budaya Keselamatan PasienMatriks Alat Ukur Budaya Keselamatan Pasien Karakteristik Nama Alat ukur SLOAPS PSCHO VHA PSCQ HSOPS Pengembang
IHI
Singer, dkk
Burr, dkk.
AHRQ
CSS
Weingart, dkk
Karakteristik umum alat ukur Untuk diisi secara Tidak Ya Ya Ya individual Jumlah pertanyaan 58 45 112 44 Dimensi Yang Tercakup Manajemen Ya Ya Ya Ya Kebijakan dan Ya Sebagian Ya Sebagian prosedur Penyusunan staf Ya Sebagian Ya Ya Komunikasi Ya Ya Ya Ya Pelaporan Ya Ya Ya Ya Cronbach’s Alpha 0.45-0.90 0.63-0.83 Penggunaannya pada studi yang telah dilakukan sebelumnya Perbandingan Tidak Ya Tidak Ya dengan institusi lain Korelasi dengan Tidak Tidak Tidak Ya pelaporan Sumber : Robb dan Seddon (2010); J.B. Colla (2005)
Ya 34 Ya Tidak Sebagian Ya Ya "Buruk"
Dari matriks diatas dapat kita lihat masing-masing kelebihan dan kekurangan dari seluruh alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur budaya keselamatan pasien di rumah sakit secara umum. Instrumen pertama adalah SLOAPS yang merupakan akronim dari Strategies for Leadership: An Organizational Approach to Patient Safety dan merupakan alat ukur yang dikembangkan oleh The Institute of Healthcare Improvement (Inoue dkk.) yang dpat digunakan untuk mengukur budaya keselamatan pasien pada tiap bagian di rumah sakit namun kelemahan dari alat ukur ini adalah alat ukur ini tidak dapat mengukur budaya keselamatan secara individual pada tiap tenaga kesehatan melainkan harus diisi oleh manajer tenaga kesehatan yang telah senior (World Health Organization, 2009). Selain itu nilai
Ya Ya
23
Cronbach’s Alpha instrumen ini tidak diketahui sehingga tidak dapat dibandingkan nilai realibilitas dan validitasnya. PSCHO atau Patient Safety Cultures in Healthcare Organizations merupakan instrumen yang dikembangkan oleh Singer dkk. pada tahun 2003. Secara umum matriks ini dapat mengukur seluruh dimensi yang umum terdapat pada budaya keselamatan namun tidak didapatkan penelitian yang melakukan pengukuran budaya keselamatan untuk dikaitkan dengan pelaporan karena instrumen ini memang tidak memiliki outcome spesifik sehingga hanya dapat menggambarkan budaya keselamatan secara umum. Selain itu nilai Cronbach’s Alpha dari instrumen juga tidak diketahui secara spesifik. VHA-PSCQ
atau
Veterans
Administration
Patient
Safety
Culture
Questionnaire adalah instrumen yang dikembangkan oleh Burr dkk. pada tahun 2000 yang menjadi cikal bakal dari HSOPS. Jumlah pertanyaan instrumen ini cenderung terlalu banyak bila dibandingkan dengan instrumen lainnya dengan Cronbach’s Alpha yang masih lebih rendah bila dibandingkan dengan HSOPS. HSOPS atau Hospital Survey on Patient Safety merupakan pengembangan dari VHA-PSCQ dan mencakup seluruh dimensi yang akan diukur dalam penelitian ini. Nilai Cronbach’s Alpha dalam instrumen ini juga tergolong lebih tinggi. HSOPS juga memiliki dimensi outcome berupa pelaporan dan didukung oleh database AHRQ yang dapat diakses. Alat analisa data HSOPS juga mudah didapatkan yakni berupa aplikasi Hospital Survey on Patient Safety Culture Data Entry and Analysis Tools (Agency for Healthcare Research and Quality, 2014). HSOPS juga memiliki kriteria psikometrik spesifik yang lebih baik dibandingkan
24
instrumen lain karena telah dilakukan pengujian yang lebih sistematik pada struktur internalnya (Flin dkk., 2006). CSS atau Culture of Safety Survey adalah instrumen yang dikembangkan oleh Weingart dkk. pada tahun 2004 untuk mengukur budaya keselamatan. Instrumen ini cocok untuk digunakan di tiap unit di rumah sakit dan memiliki jumlah item yang relatif lebih sedikit dibanding instrumen lain namun tidak mencakup seluruh dimensi yang diinginkan dalam penelitian ini. Selain itu nilai Cronbach’s Alpha dari instrumen ini tidak diketahui dan hanya diberikan statement bahwa nilai Cronbach’s Alpha CSS berada pada kategori ‗buruk‘. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa HSOPS lebih adekuat untuk digunakan mengukur budaya keselamatan pasien dalam penelitian ini. 2. Dimensi Budaya Keselamatan Pasien Berdasarkan AHRQ Terdapat 3 aspek dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ (Stone dkk., 2006; Sorra dan Nieva, 2004) yakni dimensi budaya keselamatan pasien pada tingkat unit, tingkat rumah sakit dan dimensi outcome keselamatan yang dapat digambarkan dalam bagan berikut.
25
Bagan 2. 2 Bagan Dimensi Budaya Keselamatan Pasien Tingkat Unit • Tindakan promotif keselamatan oleh manajer/supervisor • Perbaikan berkelanjutan • Kerjasama dalam rumah sakit • Keterbukaan komunikasi • Umpan balik dan komunikasi terkait kesalahan yang terjadi • Respon yang tidak menyalahkan • Penyusunan staf
Tingkat Rumah Sakit • Dukungan manajemen rumah sakit terhadap budaya keselamatan pasien • Kerjasama antar unit di rumah sakit • Serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain
Outcome Keselamatan • Persepsi keselamatan secara keseluruhan • Frekuensi kejadian yang dilaporkan • Tingkat Keselamatan pasien pada unit • Jumlah kejadian yang dilaporkan
Sumber : AHRQ dalam Sorra dan Nieva (2004) Pada tingkat unit terdapat 7 aspek budaya keselamatan pasien yang dapat diukur diantaranya adalah : a.
Tindakan promotif keselamatan oleh manajer (kepemimpinan) Kepemimpinan memegang peran penting dalam pelaksanaan
manajemen keselamatan yang efektif, mulai dari pemimpin tim hingga middle-manager (seperti contohnya kepala unit rumah sakit) pada tingkat taktis pelaksana maupun top-level manager (seperti contohnya manajer senior rumah sakit) pada tingkat perencanaan strategis. Perhatian terhadap kepemimpinan dan outcome keselamatan ditunjukkan dengan banyaknya penelitian yang meneliti kepemimpinan baik pada sikap, perilaku maupun gaya kepemimpinan (World Health Organization,
26
2009). Katz-Navon (2005) dalam WHO (2009) menyatakan bahwa ketika keselamatan betul-betul diprioritaskan oleh manajer maka terjadi penurunan jumlah kesalahan medis yang terjadi di unit rumah sakit tersebut. Senior manager perlu menunjukkan komitmen mereka terhadap keselamatan dengan mengunjungi bangsal perawatan dan hal ini terbukti berpengaruh terhadap budaya keselamatan pada tenaga perawat (Thomas dkk., dalam WHO, 2009). Pendekatan lainnya adalah dengan memberikan feedback terhadap komitmen tenaga kesehatan pada keselamatan pasien. Sedangkan middle-manager harus terlibat langsung dalam inisiatif keselamatan di unit terkait serta terus menekankan kepada tenaga
kesehatan
bahwa
keselamatan
lebih
penting
daripada
produktivitas (World Health Organization, 2009). b.
Organizational learning-perbaikan berkelanjutan Organizational learning adalah kegiatan proaktif yang dapat
menciptakan serta mentransfer pengetahuan dalam nilai-nilai organisasi kesehatan (Kreitner dan Kinicki, 2007). Rumah sakit haruslah menjadi organisasi pembelajar agar dapat melakukan perbaikan berkelanjutan pada sistem keselamatan dan kesehatan. Konsep learning organization merupakan konsep yang penting dalam
mendukung
upaya
penerapan
dan
peningkatan
program
keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit. Dengan adanya aspek organizational learning yang baik maka diharapkan akan terjadi
27
perbaikan yang berkelanjutan sehingga tercipta budaya keselamatan pasien yang baik. c.
Kerjasama dalam rumah sakit Kerjasama adalah kegiatan atau usaha yg dilakukan oleh beberapa
orang baik dalam berupa lembaga, pemerintah atau organisasi untuk mencapai tujuan bersama (Setiawan, 2014) Kerjasama dalam rumah sakit merupakan aspek penting dalam tiap organisasi karena banyak pekerjaan yang melibatkan banyak orang dalam pelaksanaannya. Hal tersebut juga berlaku di rumah sakit dimana hampir semua pelayanan kesehatan yang diberikan melibatkan tenaga kesehatan dalam kelompok interdisiplin (WHO, 2009). Kerjasama tim dalam rumah sakit merupakan aspek krusial yang harus dikembangkan untuk memastikan keselamatan pasien. Schaefer dkk. dalam WHO (2009) menyatakan bahwa 70-80% kesalahan medis yang terjadi merupakan akibat buruknya komunikasi dan pengertian dalam tim. d.
Keterbukaan komunikasi Keterbukaan komunikasi diwujudkan dengan adanya komunikasi
efektif yang menyeluruh mengenai hal-hal yang terjadi dan terkait keselamatan pasien pada saat serah terima maupun pada saat briefing. Keterbukaan komunikasi akan lebih baik jika terdapat pendekatan standarisasi
komunikasi
mengenai
hal-hal
apa
yang
wajib
dikomunikasikan kepada rekan sejawatnya. Karena komunikasi yang
28
buruk saat serah terima akan menyebabkan kurang atau hilangnya informasi pasien yang penting pada rekan sejawatnya yang berikutnya akan menangani pasien tersebut. Prinsip komunikasi terbuka tenaga kesehatan juga dengan pasien dan keluarganya bila ada risiko atau kejadian yang tidak diharapkan. Pasien berhak mendapat dukungan dan perlindungan bila terjadi kesalahan medis. Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif dicirikan oleh komunikasi
saling
percaya,
oleh
persepsi
bersama
pentingnya
keselamatan, dan oleh kepercayaan dalam keberhasilan langkah-langkah pencegahan (The comission of patient safety and quality assurance of Irlandia, 2008). e.
Umpan balik dan komunikasi terkait kesalahan yang terjadi Menurut The Joint Commission dalam White (2013) kegagalan
komunikasi adalah faktor utama dan terpenting dari terjadinya kesalahan medis di rumah sakit karena tenaga kesehatan dapat meminimalisasi kesalahan medis atau kondisi potensial kesalahan medis di rumah sakit yang sebelumnya dihadapi oleh rekan sejawat dalam timnya. Kegagalan komunikasi seringkali merupakan kombinasi keteledoran manusia dan kegagalan sistem yang laten dalam sistem keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit. Ketiadaan atau minimnya umpan balik terkait kesalahan medis yang terjadi juga merupakan salah satu kegagalan komunikasi. Lederman (2013) menyatakan bahwa perawat dan dokter seringkali tidak
29
melaporkan kesalahan medis yang terjadi akibat ketiadaan umpan balik yang mereka dapatkan dari kegiatan pelaporan yang telah mereka lakukan. Ketika tenaga kesehatan telah meluangkan waktunya untuk melakukan pelaporan disaat mereka seharusnya bisa melakukan kegiatan lain, tenaga kesehatan menginginkan adanya outcome positif. f.
Respon yang tidak menyalahkan Respon yang tidak menyalahkan baik dari manajemen maupun rekan
sejawat atas pelaporan kesalahan medis yang terjadi dibutuhkan untuk dapat mendukung adanya budaya pelaporan kesalahan medis yang efektif. Karena hingga saaat ini ketakutan akan adanya penyalahan individu yang melakukan pelaporan masihlah menjadi faktor penghambat pelaporan kesalahan medis di rumah sakit. Lingkungan yang tidak menyalahkan diperlukan untuk menghindari adanya under-reporting dalam pelaporan kesalahan medis. Lingkungan dengan respon yang tidak menyalahkan tersebut dapat dibangun dengan melakukan pendekatan sistem dimana tenaga medis melaporkan kesalahan medis dengan berfokus pada outcome yang dihasilkan pada kesalahan medis tersebut dan tidak berfokus pada siapa yang melakukannya (Kachalia dan Bates, 2014). g.
Penyusunan staf Doughlas dalam Beginta (2012) menjelaskan bahwa staffing atau
penyusunan staf adalah proses menegaskan pekerja yang ahli untuk mengisi struktur organisasi melalui seleksi dan pengembangan personel.
30
Selain itu penyusunan staf juga didefinisikan sebagai proses menetapkan orang-orang yang akan menduduki posisi tertentu didalam organisasi atau dengan kata lain pemilihan penempatan tenaga kerja sesuai dengan keterampilannya (Siswandi, 2011). Dengan adanya penyusunan staf maka diharapkan jumlah dan keterampilan yang dimiliki setiap perawat sesuaai dengan kebutuhan dan beban kerja di tiap unit rumah sakit. Kesesuaian jumlah tenaga kesehatan dengan beban kerja atau kebutuhan di tiap unit akan berpengaruh terhadap kinerja tenaga kesehatan dalam meningkatkan keselamatan pasien. Aiken dkk. dalam Beginta (2012) menyebutkan bahwa terdapat hubungan langsung antara penyusunan staf pada perawat dan keselamatan pasien. Pada tingkat rumah sakit terdapat 3 aspek budaya keselamatan pasien yang dapat dinilai, diantaranya adalah : a.
Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan dapat dilihat
dengan ada atau tidaknya sistem keselamatan pasien di dalam rumah sakit tersebut. Sistem keselamatan pasien sendiri dapat mendukung terciptanya iklim kerja yang mendukung keselamatan pasien di rumah sakit. Dukungan manajemen juga dapat dilihat dari kebijakan manajemen rumah sakit yang menunjukkan bahwa keselamatan pasien dijadikan prioritas di rumah sakit tersebut (Rosyada, 2014).
31
b.
Kerjasama antar unit di rumah sakit Pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan rangkaian kegiatan
dari berbagai unit yang ada dalam lingkup rumah sakit tersebut. Kerjasama antar unit menunjukkan sejauh mana kekompakkan dan kerjasama tim lintas unit atau bagian dalam melayani pasien (Rosyada, 2014). Kerjasama antar unit yang positif dapat dilihat ketika suatu unit membutuhkan bantuan maka unit lainnya dalam rumah sakit tersebut akan memberikan bantuan kepada unit tersebut. c.
Serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain. Transisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah peralihan
dari keadaan (tempat, tindakan dan sebagainya) kepada keadaan yang lain. Dalam ruang lingkup keselamatan pasien rumah sakit, transisi dapat diartikan sebagai peralihan dari satu unit ke unit lainnya. Kegiatan serah terima dan transisi pasien merupakan dua jenis kegiatan yang sangat rawan menghasilkan kesalahan medis karena adanya informasi yang terlewat dan tidak tersampaikan pada rekan sejawat yang bertugas selanjutnya. Selain informasi yang tidak tersampaikan, pada kegiatan ini juga rentan terjadi kesalahan medis seperti terjatuhnya pasien saat pemindahan pasien.
32
Sedangkan keluaran atau outcome dari budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ terdiri dari 4 aspek yang dapat dinilai diantaranya adalah : a.
Persepsi keselamatan secara keseluruhan Persepsi keselamatan secara keseluruhan merupakan dimensi yang
merangkum persepsi keselamatan pasien oleh tenaga kesehatan secara keseluruhan di rumah sakit tersebut. Dimensi ini mencakup keselamatan pasien di seluruh unit tanpa kecuali. b.
Frekuensi pelaporan kejadian Frekuensi pelaporan kejadian adalah persepsi tenaga kesehatan
tentang seberapa sering ia dan rekan sejawatnya
membuat laporan
berupa kesalahan medis baik yang sudah terjadi ataupun tidak terjadi serta baik mencelakai ataupun tidak mencelakai pasien. c.
Tingkat keselamatan pasien Tingkat keselamatan pasien adalah persepsi tenaga kesehatan
terhadap tingkat keselamatan pasien di rumah sakit tersebut dari rentang sangat baik hingga sangat buruk. d.
Jumlah kejadian yang dilaporkan Jumlah kejadian yang dilaporkan merupakan dimensi yang
menjelaskan jumlah laporan yang dibuat oleh tenaga kesehatan dalam 12 bulan terakhir.
33
E. Rumah Sakit Republik Indonesia (2009b) menyatakan bahwa rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Republik Indonesia (2009b) juga mengelompokkan rumah sakit berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan menjadi Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. Rumah sakit umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit dan rumah sakit khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya. Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit. 1. Klasifikasi Rumah Sakit Umum a. Rumah sakit umum kelas A Rumah sakit umum kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar, 5 spesialis penunjang medik, 12 spesialis lain dan 13 (tiga belas) subspesialis.
34
b. Rumah sakit umum kelas B Rumah sakit umum kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar, 4 spesialis penunjang medik, 8 spesialis lain dan 2 subspesialis dasar. c. Rumah sakit umum kelas C Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar dan 4 spesialis penunjang medik d. Rumah sakit umum kelas D Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 spesialis dasar. 2. Klasifikasi Rumah Sakit Khusus a. Rumah sakit khusus kelas A Rumah sakit khusus kelas A adalah rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang lengkap. b. Rumah sakit khusus kelas B Rumah sakit khusus kelas B adalah rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit
35
pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang terbatas. c. Rumah sakit khusus kelas C Rumah sakit khusus kelas C adalah rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang minimal. F. Analisis Kesesuaian Uji Hipotesis Uji yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah uji korelasi. Uji hipotesis jenis ini merupakan jenis uji hipotesis yang diperuntukkan untuk data variabel dependen dan independen yang berjenis numerik. Seluruh data yang akan dihasilkan dari penelitian ini bersifat numerik dan oleh karena itu peneliti menggunakan uji korelasi untuk melihat ada atau tidaknya korelasi dan keeratan korelasi diantara kedua variabel tersebut. G. Kerangka Teori Berdasarkan seluruh teori yang dipaparkan maka dapat disusun skema kerangka teori yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan.
36
Bagan 2. 3 Kerangka Teori Penelitian
Sumber : Waters (2012); AHRQ (2004); Wolf dan Hughes (2005);Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen (2014); White dan Gallagher (2013); Lederman dkk. (2013); 7Waters dkk. (2012); Sinicki dkk. (2013); Williams dkk. (2013); ElJardali dkk. (2011)
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka teori yang dijelaskan pada bab sebelumnya maka kerangka konsep yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Bagan 3. 1 Kerangka Konsep
Budaya Keselamatan Pasien Tindakan promotif keselamatan oleh manajer/supervisor Perbaikan berkelanjutan Kerjasama dalam rumah sakit Keterbukaan komunikasi Umpan balik dan komunikasi terkait kesalahan yang terjadi Respon yang tidak menyalahkan Penyusunan staf Dukungan manajemen rumah sakit terhadap budaya keselamatan pasien Kerjasama antar unit di rumah sakit Serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain
Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis Oleh Tenaga Kesehatan
Pada kerangka konsep ini seluruh dimensi budaya keselamatan yang terdiri dari 10 dimensi diteliti. Dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ terdiri dari tindakan promotif keselamatan oleh manajer/supervisor, perbaikan berkelanjutan, kerjasama dalam rumah sakit, keterbukaan komunikasi, umpan balik dan komunikasi terkait kesalahan yang terjadi, respon yang tidak menyalahkan, penyusunan staf, dukungan
37
38
manajemen terhadap upaya keselamatan pasien, kerjasama antar unit di rumah sakit serta serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain. Variabel kesempatan belajar (learning opportunity) tidak diteliti karena dapat diteliti melalui salah satu dimensi dalam variabel budaya keselamatan pasien yakni dimensi perbaikan berkelanjutan. Keduanya sama-sama menjelaskan bagaimana adanya pelaporan kesalahan medis dipandang sebagai upaya pembelajaran baik bagi tenaga kesehatan maupun bagi pihak manajemen. Variabel sikap proaktif keselamatan pasien tidak diteliti karena upaya dan sikap proaktif keselamatan pasien sudah dapat diteliti melalui salah satu dimensi budaya keselamatan pasien yakni tindakan promotif keselamatan oleh manajer. Keduanya sama-sama menjelaskan sikap proaktif individu terhadap keselamatan pasien hanya saja pada dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer juga menjelaskan tentang respon manajer atau supervisor terhadap sikap proaktif keselamatan pasien oleh tenaga kesehatan. Variabel adanya kewajiban profesi tidak diteliti karena populasi penelitian ini adalah pada dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain yang memungkinkan adanya data homogen. Dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain merupakan tenaga kesehatan yang secara etik memang memiliki kewajiban untuk melakukan pelaporan apabila terjadi kesalahan medis kepada pihak berwenang di rumah sakit (Ghazal dkk., 2014). Standar operasional prosedur yang berlaku di masing-masing rumah sakit tidak diteliti karena keduanya bersifat homogen di masing-masing rumah
39
sakit. Standar operasional prosedur berlaku secara keseluruhan di tiap unit pada masing-masing rumah sakit. Variabel kurangnya feedback dan dukungan manajemen tidak diteliti karena sudah dapat diteliti melalui salah satu dimensi dalam variabel budaya keselamatan pasien yakni dimensi umpan balik dan komunikasi terkait kesalahan yang terjadi serta dimensi dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien. Variabel budaya yang menyalahkan tidak diteliti karena sudah dapat diteliti melalui salah satu dimensi budaya keselamatan pasien yakni dimensi respon yang tidak menyalahkan. Keduanya menjelaskan tentang ada atau tidaknya respon yang menyalahkan terkait pelaporan yang mereka lakukan. Variabel waktu yang dibutuhkan untuk melapor tidak diteliti karena keduanya bersifat homogen di masing-masing rumah sakit. Hal ini berkaitan dengan penerapan standar operasional prosedur yang sama di seluruh unit pada masing-masing rumah sakit. Derajat keparahan cidera tidak diteliti dalam penelitian ini karena dapat digambarkan melalui variabel persepsi pelaporan kesalahan medis yang juga menggambarkan kemauan melapor pada saat terjadi kesalahan baik yang menghasilkan cidera atau yang tidak menghasilkan cidera.
B. Definisi Operasional No.
Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur
Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis 1 Persepsi pelaporan kesalahan Persepsi tenaga kesehatan terhadap pelaporan Responden medis kesalahan medis di rumah sakit masing-masing. diminta mengisi kuesioner
Hasil Ukur Univariat : • Rendah apabila persentase 14%42,7% • Sedang apabila persentase 42,8%- 71,4% • Tinggi, apabila persentase 71,5%- 100% Bivariat : Total skor
Alat Ukur Skala Ukur Kuesioner
Ordinal untuk univariat dan Rasio untuk Bivariat
Budaya Keselamatan Pasien 2
3
Dimensi 1. Tindakan Persepsi tenaga kesehatan tentang respon positif promotif keselamatan oleh yang diberikan atasan terhadap tindakan yang manajer dilakukan tenaga kesehatan yang mendukung keselamatan pasien di unit kerja masing-masing. Dimensi 2. Organizational Persepsi tenaga kesehatan tentang adanya budaya learning – perbaikan pembelajaran dalam organisasi dimana kesalahan
40
Responden diminta mengisi kuesioner Responden diminta
Persentase respon Kuesioner positif untuk univariat dan total skor untuk bivariat Persentase respon Kuesioner positif untuk
Rasio
Rasio
41
No.
Variabel berkelanjutan
4
Dimensi 3. Kerjasama dalam unit rumah sakit
5
Dimensi 4. komunikasi
6
7
Definisi Operasional dijadikan bahan evaluasi dan pembelajaran dalam rangka perbaikan berkelanjutan di unit dalam rumah sakit masing-masing. Persepsi tenaga kesehatan tentang sikap dan kerjasama antar individu di unit dalam rumah sakit masing-masing.
Keterbukaan Persepsi tenaga kesehatan tentang kebebasan menyampaikan pendapat terkait keselamatan pasien di dalam unit pada rumah sakit masingmasing. Dimensi 5. Umpan balik dan Persepsi tenaga kesehatan tentang adanya komunikasi tentang pemberian informasi tentang kesalahan medis yang kesalahan medis yang terjadi terjadi, pemberian umpan balik perubahan yang dilakukan dan adanya diskusi pencegahan kesalahan medis di dalam unit pada rumah sakit masing-masing. Dimensi 6. respon yang Persepsi tenaga kesehatan bahwa kesalahan medis tidak menyalahkan yang mereka lakukan dan atau laporan yang mereka berikan tidak dijadikan bahan untuk menyalahkan diri mereka dalam unit pada rumah sakit masing-masing.
Cara Ukur
Hasil Ukur
Alat Ukur Skala Ukur
mengisi kuesioner
univariat dan total skor untuk bivariat
Responden diminta mengisi kuesioner Responden diminta mengisi kuesioner Responden diminta mengisi kuesioner
Persentase respon Kuesioner positif untuk univariat dan total skor untuk bivariat Persentase respon Kuesioner positif untuk univariat dan total skor untuk bivariat Persentase respon Kuesioner positif untuk univariat dan total skor untuk bivariat
Rasio
Responden diminta mengisi kuesioner
Persentase respon Kuesioner positif untuk univariat dan total skor untuk bivariat
Rasio
Rasio
Rasio
42
No.
Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur
Hasil Ukur
Alat Ukur Skala Ukur
8
Dimensi 7. Penyusunan staf
Persepsi tenaga kesehatan tentang kesesuaian jumlah tenaga kesehatan dengan beban kerja yang ada dan kesesuaian jam kerja yang ditentukan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang optimal untuk pasien di dalam unit pada rumah sakit masing-masing.
Responden diminta mengisi kuesioner
Persentase respon Kuesioner positif untuk univariat dan total skor untuk bivariat
Rasio
9
Dimensi 8. Dukungan Persepsi tenaga kesehatan tentang dukungan yang manajemen terhadap upaya diberikan oleh manajemen rumah sakit masingkeselamatan pasien. masing kepada mereka dalam meningkatkan keselamatan pasien. Dimensi 9. Kerjasama antar Persepsi tenaga kesehatan tentang adanya unit di rumah sakit kerjasama dan kordinasi yang baik antar unit rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan yang adekuat di rumah sakit masingmasing. Dimensi 10. Serah terima Persepsi tenaga kesehatan tentang alur informasi dan transisi pasien dari unit pasien yang penting pada saat kegiatan serah ke unit lain terima dan trnasfer pasien di rumah sakit masingmasing.
Responden diminta mengisi kuesioner Responden diminta mengisi kuesioner
Persentase respon positif untuk univariat dan total skor untuk bivariat Persentase respon positif untuk univariat dan total skor untuk bivariat
Kuesioner
Rasio
Kuesioner
Rasio
Responden diminta mengisi kuesioner
Persentase respon positif untuk univariat dan total skor untuk bivariat
Kuesioner
Rasio
10
11
C. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konsep dan definisi operasional diatas maka hipotesis penelitian ini adalah : ―Terdapat korelasi antara budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di masing-masing Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta tahun 2015‖. Sedangkan sub-hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Ada korelasi antara dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015. b. Ada korelasi antara dimensi organizational learning – perbaikan berkelanjutan dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015. c. Ada korelasi antara dimensi kerjasama dalam unit rumah sakit dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015. d. Ada korelasi antara dimensi keterbukaan komunikasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015. e. Ada korelasi antara dimensi umpan balik dan komunikasi terkait kesalahan yang terjadi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.
43
44
f. Ada korelasi antara dimensi respon yang tidak menyalahkan atas kesalahan yang terjadi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015. g. Ada korelasi antara dimensi manajemen sumber daya manusidengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015. h. Ada korelasi antara dimensi dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015. i. Ada korelasi antara dimensi kerjasama antar unit di rumah sakit dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015. j. Ada korelasi antara dimensi serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.
BAB IV METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif dengan desain studi cross sectional yaitu pengumpulan data dan informasi serta pengukuran antara variabel independen dan dependen dilakukan satu persatu dalam satu waktu. B. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Desember 2014 hingga Juni 2015. Penelitian dilaksanakan dengan melakukan studi literatur dan pengambilan data di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta. C. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y. Tenaga kesehatan sendiri adalah setiap orang yang mengabdikan diri di bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Pendidikan minimal tenaga kesehatan adalah diploma tiga (Republik Indonesia, 2014). Tenaga kesehatan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya Tenaga kesehatan lain disini adalah perawat, ahli farmasi terapis, analis laboratorium, radiografer, safety officer, sanitarian, ahli gizi dan bidan. Berdasarkan data sumber daya manusia di
45
46
Rumah Sakit X diketahui bahwa terdapat 81 dokter, 308 perawat dan 153 tenaga kesehatan lainnya. Sedangkan di Rumah Sakit Y terdapat 107 dokter, 473 perawat dan 217 tenaga kesehatan lainnya. Teknik pengambilan sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah systematic random sampling dan besar sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan rumus besar sampel uji korelasi. Rumus besar sampel untuk uji hipotesis korelasi adalah sebagai berikut (Ariawan, 1998).
(
)
(
)
Diperkirakan korelasi antara budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis berderajat sedang dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,5. Nilai Z =1,96 ( = 0,05); nilai Z = 1,289. Berikut adalah besar sampel untuk uji hipotesis pada masing-masing rumah sakit yang akan diteliti dalam penelitian ini: (
)
(
)
Jadi besar sampel yang dibutuhkan untuk uji korelasi di masing-masing rumah sakit adalah sebesar 53 orang. AHRQ menegaskan setiap peneliti untuk melipatgandakan jumlah besar sampel untuk mencapai jumlah respon yang diinginkan (Sorra dan Nieva, 2004). maka dari itu untuk mencapai jumlah respon sebanyak 53 maka besar sampel yang dibutuhkan adalah 53x2=106 orang di masing-masing rumah sakit dengan total keseluruhan sampel yang dibutuhkan adalah 212 orang.
47
Berdasarkan pembagian besar sampel proporsional berdasarkan jumlah perawat dan dokter di masing-masing rumah sakit maka pada Rumah Sakit X akan diambil sampel 15 dokter, 61 perawat dan 30 tenaga kesehatan lain. Selanjutnya pada Rumah Sakit Y akan diambil sampel 16 dokter, 59 perawat dan 32 tenaga kesehatan lainnya Selanjutnya dari kerangka sampel masing-masing kelompok akan ditentukan sampel terpilih melalui interval sistematis dengan besar interval ditentukan dengan membagi total populasi (N) dengan besar sampel (n) atau i=N/n (Budiarto, 2003). Besar interval di Rumah Sakit X adalah 5 sedangkan interval di Rumah Sakit Y adalah 7. D. Alat dan Cara Pengumpulan Data Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner untuk mengukur variabel budaya keselamatan pasien dan persepsi pelaporan kesalahan medis. Kuesioner dibagikan kepada seluruh responden dan 2 hari kemudian peneliti mengambil kembali kuesioner yang telah diisi oleh responden penelitian. Bagian pertama kuesioner adalah identitas responden yang terdiri dari usia, jenis tenaga kesehatan, unit kerja serta nama rumah sakit. Bagian kedua kuesioner adalah budaya keselamatan pasien yang merupakan versi bahasa indonesia dari Hospital Survey on Patient Safety Culture dari AHRQ. Kuesioner ini sudah diterjemahkan oleh peneliti sebelumnya dan diuji validitas dan realibilitasmya (Pratiwi, 2014).
Berikutnya kuesioner ini
dikembalikan konteksnya sesuai dengan panduan penerjemahan yang
48
diterbitkan oleh AHRQ (Agency for Healthcare Research and Quality, 2009). Agency for Healthcare Research and Quality (2014) menyatakan bahwa hal ini bertujuan agar data yang didapatkan dapat diolah dengan menggunakan aplikasi pengolah data univariat yang dikembangkan oleh AHRQ. Kuesioner ini terdiri dari 42 item pertanyaan dengan 12 dimensi atau aspek yang diukur. Berikut adalah daftar dimensi yang diukur dalam penelitian ini, poin pertanyaan yang merefleksikannya serta nilai Cronbach’s Alpha per dimensi (Sorra dan Nieva, 2004).
No 1 2 3 4 5
Tabel 4. 1 Deskripsi Kuesioner Bagian Budaya Keselamatan Cronbach’s Nama Dimensi Nomor Soal Alpha Dimensi 1. Tindakan promotif keselamatan B1, B2, B3, 0,75 oleh manajer B4 Dimensi 2. Organizational learning – A6, A9, A13 0,76 perbaikan berkelanjutan Dimensi 3. Kerjasama dalam unit rumah sakit A1, A3, A4, 0,83 A11 Dimensi 4. Keterbukaan komunikasi C2, C4, C6 0,72 0,78
6
Dimensi 5. Umpan balik dan komunikasi C1, C3, C5 terkait kesalahan yang terjadi Dimensi 6. Respon yang tidak menyalahkan A8, A12,A16
7
Dimensi 7. Penyusunan staf
0,63
8
Dimensi 8. Dukungan manajemen rumah sakit terhadap budaya keselamatan Dimensi 9. Kerjasama antar unit di rumah sakit
A2, A5, A7, A14 F1, F8, F9
F2, F4, F6, F10 Dimensi 10. Serah terima dan transisi pasien F3, F5, F7, dari unit ke unit lain F11 Sumber : AHRQ, 2003
0,80
9 10
0,79
0,83
0,80
Kuesioner HSOPSC ini juga telah dilakukan uji realibilitas dan uji validitas ulang dengan 30 sampel tenaga kesehatan. Hal ini dilakukan karena
49
diasumsikan terdapat perbedaan karakteristik tenaga kesehatan di Indonesia dan Amerika Serikat. Variabel berikutnya yang diukur adalah persepsi pelaporan kesalahan medis yang diukur lewat kuesioner yang dikembangkan dari kuesioner persepsi pelaporan kesalahan pelayanan oleh perawat (Beginta, 2012). Kuesioner ini memiliki rentang skala likert 1-7 dan terdiri dari 10 pertanyaan. E. Pengolahan Data, Uji Validitas dan Realibilitas. 1. Pengolahan data Pengolahan data yang terkumpul pada penelitian ini akan dilakukan dengan tahapan-tahapan berikut : a. Penyuntingan data individu Penyuntingan
data
individu
dilakukan
dengan
menyeleksi
kuesioner yang telah diisi untuk melihat kelengkapan jawaban kuesioner. Apabila tidak lengkap maka kuesioner akan disisihkan dan tidak digunakan dalam penelitian ini. b. Pemberian skor dan kode jawaban Pemberian kode terhadap jawaban yang diberikan sesuai klasifikasi pada tiap bagian pertanyaan untuk selanjutnya diberikan kode berupa angka untuk memudahkan proses memasukkan data hingga analisis. c. Proses memasukkan dan membersihkan data Entry data dilakukan kedalam komputer untuk berikutnya dibersihkan untuk memastikan kebenaran dari setiap jawaban yang telah dimasukkan ke komputer sebelum diolah dan dianalisis.
50
2. Uji validitas dan uji realibilitas Uji validitas kuesioner untuk melihat ketepatan alat ukur untuk mengukur variabel yang diukur akan dilakukan dengan menggunakan uji Pearson Product Moment. Sebelum melakukan uji validitas terlebih dahulu akan dilakukan pencarian nilai korelasi antara bagian-bagian dari alat ukur dengan cara mengkorelasikan setiap butir alat ukur dengan jumlah skor total yang merupakan jumlah total skor butir. sedangkan uji realibilitas untuk melihat tingkat keajegan instrumen yang digunakan dilakukan dengan menggunakan rumus Cronbach’s Alpha. F. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan berupa analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat ini bertujuan untuk mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien dan persepsi pelaporan kesalahan medis di masing-masing rumah sakit. Penggambaran kondisi keseluruhan dimensi yang diteliti dan disajikan dalam bentuk tabel. Analisis univariat budaya keselamatan pasien akan dilakukan dengan menggunakan Hospital Survey Excel Tool 1.6 milik AHRQ yang dikirimkan oleh pada Januari 2015 kepada penulis. Melalui aplikasi ini, jawaban kuesioner dibagi menjadi 2 jenis yakni jawaban dengan respon positif dan negatif. Jawaban dengan respon positif apabila bernilai 4 dan 5 (setuju dan sangat setuju) pada pertanyaan yang bersifat positif atau bernilai 1 dan 2 (sangat tidak setuju dan tidak setuju) pada pertanyaan yang bersifat negatif. Jawaban dengan respon negatif apabila bernilai 1 dan 2 (sangat tidak setuju
51
dan tidak setuju) pada pertanyaan yang bersifat positif atau bernilai 4 dan 5 (setuju dan sangat setuju) pada pertanyaan yang bersifat negatif. Setelah diketahui sifat jawaban setiap item pertanyaan maka aplikasi tersebut akan menghitung nilai komposit dimensi masing-masing. Nilai komposit per dimensi didapatkan dengan merata-ratakan persentase respon positif masing-masing pertanyaan sesuai dengan dimensinya masing-masing. Nilai komposit per dimensi ini yang menjadi hasil analisis univariat budaya keselamatan pasien. Sedangkan analisis univariat untuk variabel persepsi dilakukan dengan menggunakan analisis total skor. Skor tiap pertanyaan dengan skala likert 1-7 dijumlahkan keseluruhannya lalu dibuat persentasenya. Selanjutnya kriteria penilaian kuat atau lemahnya variabel persepsi pelaporan kesalahan medis dilihat dari persentase (Beginta, 2012). Tabel 4. 2 Kriteria Penilaian Berdasarkan Presentase No. Persentase (%) Kriteria 1. 14 - 42,7 Rendah 2. 42,8 - 71,4 Sedang 3. 71,5 – 100 Tinggi Sumber : Beginta (2012) Sedangkan analisis bivariat digunakan untuk membuktikan hipotesis dalam penelitian ini. Analisis data yang digunakan adalah uji korelasi karena baik variabel independen maupun dependen dalam penelitian ini bersifat numerik. Apabila data terdistribusi normal maka digunakan uji korelasi pearson product moment sedangkan apabila data tidak terdistribusi normal
52
digunakan uji korelasi Spearman. Rumus koefisien korelasi pearson product moment adalah sebagai berikut : (∑ √[ ∑
)
(∑ ∑ )
(∑ ) ][ ∑
(∑ ) ]
*Keterangan : r = koefisien korelasi pearson product moment n = jumlah sampel penelitian Sedangkan rumus koefisien korelasi Spearman adalah sebagai berikut : ∑ (
)
*Keterangan : rs = koefisien korelasi Spearman ∑
= total kuadrat selisih antar rangking
n = jumlah sampel penelitian Menurut Colton Hastono dan Sabri (2011), kekuatan korelasi antara 2 variabel secara kualitatif dapat dibagi kedalam empat area sebagai berikut : 1. r = 0,00-0,25, berarti tidak ada korelasi atau ada korelasi dengan kekuatan lemah 2. r = 0,26-0,50, berarti ada korelasi dengan kekuatan sedang 3. r = 0,51-0,75, berarti ada korelasi dengan kekuatan kuat 4. r = 0,76-1,00, berarti ada korelasi yang sangat kuat atau sempurna Setelah didapatkan koefisien korelasi tersebut, maka dilakukan perbandingan r hitung dengan r tabel untuk menentukan apakah kedua variabel benar-benar berkorelasi secara signifikan.
53
BAB V HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini dibagi menjadi 5 bagian. Bagian-bagian tersebut terdiri dari gambaran umum Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y, gambaran budaya keselamatan pasien masing-masing rumah sakit, gambaran persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di masing-masing rumah sakit dan korelasi budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan tenaga kesehatan oleh tenaga kesehatan. Gambaran budaya keselamatan pasien di masing-masing rumah sakit mencakup 10 dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ. Dimensi tersebut diantaranya adalah dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer/supervisor, dimensi perbaikan berkelanjutan, dimensi kerjasama dalam rumah sakit, dimensi keterbukaan komunikasi, dimensi umpan balik dan komunikasi terkait kesalahan yang terjadi, dimensi respon yang tidak menyalahkan, dimensi penyusunan staf, dimensi dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien, dimensi kerjasama antar unit di rumah sakit serta dimensi serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain. Kesepuluh dimensi budaya keselamatan pasien pada masing-masing rumah sakit disajikan dalam bentuk tabel berupa persentase respon positif dari masing-masing dimensi. Gambaran persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan disajikan dalam bentuk persentase persepsi positif. Dalam penelitian ini variabel persepsi pelaporan kesalahan medis dikategorikan menjadi 3 jenis yakni persepsi
54
lemah, sedang dan kuat berdasarkan pengkategorian yang dilakukan oleh Beginta (2012). Persepsi pelaporan kesalahan medis dikatakan lemah apabila persepsi total antara 14-42,7%; dikatakan sedang apabila persepsi total antara 42,8-71,4%; dan dikatakan kuat apabila persepsi total lebih dari 71,5%. Korelasi antara budaya keselamatan pasien dan persepsi pelaporan kesalahan medis digambarkan melalui uji korelasi dengan melihat nilai r hitung dibandingkan dengan nilai r tabel serta dengan melihat nilai koefisien korelasi yang didapatkan dari hasil uji hipotesis yang dilakukan. A. Gambaran Umum Rumah Sakit X dan Y Rumah Sakit X adalah rumah sakit umum kelas B sedangkan sedangkan Rumah Sakit Y adalah rumah sakit khusus kelas A. Kedua rumah sakit berlokasi di Jakarta. Keselamatan pasien dan K3RS di Rumah Sakit X diupayakan melalui program yang dilaksanakan oleh bagian Manajemen Risiko. Terdapat 3 seksi utama yakni Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (K3RS), Pencegahan Infeksi Rumah Sakit (PIRS) dan Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KPRS). Sedangkan Keselamatan pasien dan K3 di Rumah Sakit Y diupayakan melalui program-program terpadu yang dilaksanakan oleh Bagian K3 dan Kesling bekerja sama dengan Komite Mutu serta tim keselamatan pasien yang merupakan kelompok kerja terpadu dan dibentuk khusus untuk melaksanakan survey budaya keselamatan pasien.
55
Kedua rumah sakit telah terakreditasi. Secara khusus, Rumah Sakit Y sendiri telah memiliki sertifikasi sistem manajemen keselamatan dan kesehatan yakni OHSAS 18001. B. Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui gambaran masingmasing variabel yang diteliti. Response rate yang diperoleh di Rumah Sakit Y adalah sebesar 86% dengan jumlah kuesioner yang diisi lengkap dan dapat digunakan sebanyak 91 kuesioner. Sedangkan response rate yang diperoleh di Rumah Sakit X adalah sebesar 95,38% dengan total kuesioner yang terisi lengkap dan dapat digunakan sebanyak 101 kuesioner. Hasil analisis univariat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Karakteristik Responden Penelitian Hasil analisis univariat karakteristik responden di kedua rumah sakit adalah sebagai berikut : Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Responden Penelitian No. Jenis Tenaga Rumah Sakit Kesehatan Rumah Sakit X Rumah Sakit Y n % n % 1. Dokter 9 8,91% 8 8,79% 2. Perawat 56 55,44% 45 49,45% 3. Lainnya 34 30,69% 38 41,75% Bidan 4 3,96% 1 1,09% Radiografer 3 2,97% 9 9,89% Farmasi 13 10,89% 5 5,50% Terapis 2 1,98% 3 3,29% Gizi 3 2,97% 4 4,39% Sanitarian 2 1,98% 2 2,19% Analis lab 4 3,96% 11 12,10% Safety officer 2 1,98% 2 2,19% 4. Tidak diketahui 5 4,95% Total 101 100% 91 100%
56
Berdasarkan tabel 5.1. diatas karakteristik responden dengan anggota kelompok terbanyak berasal dari kelompok perawat baik di Rumah Sakit X maupun di Rumah Sakit Y. 2. Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga Kesehatan Hasil analisis univariat persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X didapatkan hasil sebagai berikut : Tabel 5. 2 Gambaran Persepsi Positif Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga Kesehatan 2015 Rumah Sakit Variabel Rumah Sakit X Rumah Sakit Y ( n = 101 ) ( n = 91) Persepsi positif pelaporan kesalahan 49,95% 46% Medis Berdasarkan tabel 5.2. diatas secara umum persepsi positif pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y hampir sama. Meskipun persepsi positif di Rumah Sakit X lebih tinggi 3,95% dari Rumah Sakit Y. 3. Gambaran Budaya Keselamatan Pasien Gambaran budaya keselamatan pasien berdasarkan dimensi AHRQ pada tenaga kesehatan tahun 2015 didapatkan hasil sebagai berikut ini.
57
Tabel 5.3 Gambaran Respon Positif 10 Dimensi Budaya Keselamatan Pasien pada Tenaga Kesehatan Tahun 2015 Rumah Sakit No Dimensi Budaya Keselamatan Pasien RS X RS Y (n=101) (n=91) 1 Tindakan promotif keselamatan oleh 76% 65% manajer 2 Organizational learning – perbaikan 67% 89% berkelanjutan 3 Kerjasama dalam unit rumah sakit 71% 82% 4 Keterbukaan komunikasi 68% 82% 5 Umpan balik dan komunikasi tentang 65% 91% kesalahan medis yang terjadi 6 Respon yang tidak menyalahkan 67% 52% 7 Penyusunan staf 61% 52% 8 Dukungan manajemen terhadap upaya 71% 83% keselamatan pasien 9 Kerjasama antar unit di rumah sakit 61% 76% 10 Serah terima dan transisi pasien dari 62% 68% unit ke unit lain Berdasarkan tabel 5.3. diatas dimensi budaya keselamatan pasien dengan respon positif tertinggi di Rumah Sakit X terdapat pada tindakan promotif keselamatan oleh manajer sebesar 76%. Sedangkan respon positif terendah didapatkan pada dimensi penyusunan staf dan kerjasama antar unut rumah sakit staf yakni sebesar 61%. Sedangkan dimensi budaya keselamatan di Rumah Sakit Y yang memiliki respon positif tertinggi adalah dimensi organizational learning – perbaikan berkelanjutan sebesar 91%. Sedangkan respon positif terendah didapatkan pada dimensi penyusunan staf yakni sebesar 52%.
58
C. Analisis Bivariat Analisis bivariat untuk mengetahui korelasi dimensi budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan tahun 2015 dilakukan dengan uji korelasi Spearman karena data tidak terdistribusi normal. Tingkat kepercayaan yang ditetapkan adalah 95%. Secara umum korelasi seluruh dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ dengan persepsi pelaporan kesalahan medis diringkas dalam tabel berikut. Tabel 5. 4 Analisis korelasi dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan tahun 2015 No Variabel RS X RS Y (N = 101) (N = 91) r p value r p value 1 Tindakan Promotif 0,388 0,000* 0,217 0,039* Keselamatan Oleh Manajer 2 Organizational learning0,496 0,000* 0,073 0,493 Perbaikan Berkelanjutan 3 Kerjasama dalam unit 0,327 0,001* 0,184 0,081 4 Keterbukaan komunikasi 0,582 0,000* 0,264 0,012* 5 Umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan medis 0,197 0,048* 0,286 0,006* yang terjadi 6 Respon yang tidak 0,419 0,000* 0,217 0,039* menyalahkan 7 Penyusunan staf 0,039 0,701 -0,165 0,118 8 Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan 0,112 0,266 0,157 0,137 pasien 9 Kerjasama antar unit 0,176 0,078 0,203 0,054 10 Serah terima dan transisi 0,016 0,870 0,098 0,357 pasien *terbukti berkorelasi secara signifikan melalui uji statistik Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa terdapat 6 dimensi budaya keselamatan pasien yang berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan
59
medis di Rumah Sakit X dan terdapat 4 dimensi budaya keselamatan pasien yang berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis. Adapun hasil analisis korelasi tiap variabel yang lebih spesifik adalah sebagai berikut. 1. Korelasi antara dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Berdasarkan tabel 5.4, diketahui hasil uji statistik menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel di Rumah Sakit X adalah sebesar 0,388 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan sedang. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,000 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X. Sedangkan hasil uji statistik yang dilakukan di Rumah Sakit Y menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,217 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,039 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang bermakna di Rumah Sakit Y. Variabel dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer dan variabel persepsi pelaporan kesalahan medis sama-sama berkorelasi di kedua rumah sakit. Namun tingkat kekuatan korelasi kedua variabel berbeda di kedua rumah sakit dimana tingkat kekuatan korelasi kedua variabel lebih tinggi di Rumah Sakit X.
60
2. Korelasi antara dimensi organizational learning – perbaikan berkelanjutan dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada tabel 5.4. sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.6. diatas diketahui hasil uji statistik menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel di Rumah Sakit X adalah sebesar 0,496 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan sedang. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,000 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X. Sedangkan diketahui hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,073 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah dan nyaris tidak ada korelasi.
Sedangkan nilai p value yang didapatkan adalah
sebesar 0,493 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna. Variabel dimensi organizational learning dan variabel persepsi pelaporan kesalahan medis memiliki korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X namun tidak memiliki korelasi bermakna di Rumah Sakit Y.
61
3. Korelasi antara dimensi kerjasama dalam unit rumah sakit dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada tabel 5.4. sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4., diketahui hasil uji statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,327 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan sedang. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,001 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X. Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,184 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah.
Nilai p value yang
didapatkan adalah sebesar 0,081 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna di Rumah Sakit Y. Variabel dimensi kerjasama dalam unit dan variabel persepsi pelaporan kesalahan medis memiliki korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X namun tidak memiliki korelasi yang bermakna di Rumah Sakit Y. 4. Korelasi antara dimensi keterbukaan komunikasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada
62
tabel 5.4. sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.sebelumnya, diketahui hasil uji statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,582 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan kuat. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,000 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X. Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,264 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan sedang.
Nilai p value yang
didapatkan adalah sebesar 0,012 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel juga dikatakan sebagai korelasi yang bermakna dan signifikan di Rumah Sakit Y. Variabel dimensi keterbukaan komunikasi dan variabel persepsi pelaporan kesalahan medis sama-sama memiliki korelasi yang bermakna di kedua rumah sakit. Namun tingkat kekuatan korelasi kedua variabel berbeda di kedua rumah sakit dimana tingkat kekuatan korelasi kedua variabel lebih tinggi di Rumah Sakit X. 5. Korelasi antara dimensi umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada tabel 5.4. sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4. diatas, diketahui hasil uji
63
statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,197 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,048 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X. Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,286 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan sedang.
Nilai p value yang
didapatkan adalah sebesar 0,006 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang bermakna dan signifikan. Variabel dimensi umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi dan variabel persepsi pelaporan kesalahan medis samasama memiliki korelasi yang bermakna di kedua rumah sakit. Namun tingkat kekuatan korelasi kedua variabel berbeda di kedua rumah sakit dimana tingkat kekuatan korelasi kedua variabel lebih tinggi di Rumah Sakit Y. 6. Korelasi antara dimensi respon yang tidak menyalahkan dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada tabel 5.4. sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4, diketahui hasil uji statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel
64
adalah sebesar 0,419 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan sedang. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,000 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X. Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,201 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah.
Nilai p value yang
didapatkan adalah sebesar 0,057 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna. Variabel dimensi respon yang tidak meyalahkan dan variabel persepsi pelaporan kesalahan medis memiliki korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X namun tidak memiliki korelasi yang bermakna di Rumah Sakit Y. 7. Korelasi antara dimensi penyusunan staf dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada tabel 5.4 sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4 diatas, diketahui hasil uji statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,039 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah dan hampir tidak ada. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,701 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi
65
kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna di Rumah Sakit X. Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar -0,165 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah.
Nilai p value yang
didapatkan adalah sebesar 0,118 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna. Dimensi penyusunan staf dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan sama-sama tidak memiliki korelasi yang bermakna di kedua rumah sakit. 8. Korelasi antara dimensi dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada tabel 5.4 sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4 diatas, diketahui hasil uji statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,112 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,266 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna di Rumah Sakit X. Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,157 yang berarti
66
ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah.
Nilai p value yang
didapatkan adalah sebesar 0,137 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna di Rumah Sakit Y. Variabel
dimensi
dukungan
manajemen
terhadap
upaya
keselamatan pasien dan variabel persepsi pelaporan kesalahan medis samasama tidak memiliki korelasi yang bermakna di kedua rumah sakit. 9. Korelasi antara dimensi kerjasama antar unit di rumah sakit dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada tabel 5.4 sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4, diketahui hasil uji statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 1,176 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,078 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna. Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,203 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah.
Nilai p value yang
didapatkan adalah sebesar 0,054 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna di Rumah Sakit Y.
67
Variabel dimensi kerjasama antar unit dan variabel persepsi pelaporan kesalahan medis sama-sama tidak memiliki korelasi yang bermakna di kedua rumah sakit. 10. Korelasi antara dimensi serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada tabel 5.4 sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4, diketahui hasil uji statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,016 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan yang sangat lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,870 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna di Rumah Sakit X. Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,098 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah dan nyaris tidak ada. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,357 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna di Rumah Sakit Y. Variabel serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain samasama tidak memiliki korelasi yang bermakna di kedua rumah sakit.
68
BAB VI PEMBAHASAN PENELITIAN
A. Keterbatasan Penelitian Dalam melakukan penelitian ini terdapat keterbatasan penelitian dimana penelitian ini hanya menilai persepsi pelaporan kesalahan medis sehingga belum bisa digunakan untuk menilai perilaku sebenarnya seluruh tenaga kesehatan secara nyata terutama perilaku tenaga kesehatan dalam melaporkan kesalahan medis yang terjadi. Selain itu penelitian ini juga tidak membandingkan dua rumah sakit yang sama klasifikasinya dimana Rumah Sakit X merupakan rumah sakit umum kelas B sedangkan Rumah Sakit Y merupakan rumah sakit khusus kelas A. Sehingga ada kemungkinan kondisi yang berbeda di kedua rumah sakit. B. Gambaran Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga Kesehatan Pelaporan digunakan sebagai pembelajaran bagi organisasi dalam memperbaiki sistem pelayanan terutama dalam mencegah pengulangan kesalahan medis yang sama (Wolf dan Hughes, 2005; Gulley, 2007). Meskipun kesalahan medis tidak secara esensial membahayakan pasien namun kesalahan medis dengan tingkat risiko yang tinggi dapat berujung pada timbulnya kejadian tidak diharapkan atau jenis insiden keselamatan lainnya (Ghazal dkk., 2014). Ada atau tidaknya efek negatif dari kesalahan medis yang terjadi tidak mengalihkan fokus utama bahwa hal tersebut adalah
69
kesalahan medis. Karena pada dasarnya setiap pelaporan yang dibuat baik itu menimbulkan bahaya atau baru berupa near miss menjadi upaya fundamental untuk memperbaiki keselamatan di industri manapun (Wolf dan Hughes, 2005). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan baik di Rumah Sakit X ataupun Rumah Sakit Y berada pada kategori sedang (Beginta, 2012). Pelaporan dan pengungkapan kesalahan medis sendiri masih tergolong baru di dalam dunia kesehatan. Sebelumnya praktik pelayanan kesehatan oleh profesional tenaga kesehatan akan menuntut tenaga kesehatan untuk diam atau membatasi diskusi saat terjadi kesalahan medis. Tenaga kesehatan terutama dokter akan dituntut untuk membicarakan masalah tersebut hanya pada pihak manajemen rumah sakit atau pengacara mereka (Eaves-Leanos dan Dunn, 2012). Namun kini pelaporan dan pengungkapan kesalahan medis dipandang sebagai upaya fundamental dalam perbaikan sistem pemberian pelayanan kesehatan di rumah sakit (Waters dkk., 2012). Lebih jauh lagi, apabila sistem pelaporan dapat menerangkan tentang faktor manusia yang terlibat dalam proses terjadinya kesalahan medis maka dapat menjadi acuan bagi pelaksanaan redesain atau penyusunan ulang sistem dan proses keselamatan dan kesehatan yang ada serta meningkatkan aspek keselamatan di rumah sakit tersebut (Carayon dkk., 2014). Berdasarkan observasi dan peninjauan dokumen di kedua rumah sakit, sistem pelaporan di kedua rumah sakit sudah berjalan namun belum optimal
70
karena masih banyak kesalahan medis yang tidak terlaporkan. Hal ini terjadi karena persepsi yang umumnya masih dianut oleh tenaga kesehatan bahwa adanya laporan kesalahan medis akan membawa citra buruk kepada pelaku, kolega dan juga unit tempatnya bekerja. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen (2014) yang dilakukan pada perawat di 3 kota di Norwegia. Ketika melakukan pelaporan, hal yang ditakutkan perawat adalah adanya tekanan dari teman sejawat. Mereka mengaku kesulitan untuk melaporkan kesalahan medis yang terjadi baik yang ia lakukan maupun yang dilakukan teman sejawatnya. Uribe dalam Espin dkk. (2007) juga menyatakan bahwa ketakutan terhadap outcome negatif yang muncul menjadi salah satu penghalang perawat dan dokter untuk melaporkan kesalahan medis yang terjadi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Waters dkk. (2012) di salah satu provinsi di Inggris mengemukakan bahwa perawat dan bidan selalu menghubungkan antara pelaporan dengan risiko tuduhan malpraktik dan proses pengadilan sehingga baik perawat maupun bidan memilih untuk tidak melapor apabila terjadi kesalahan medis. Tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y juga jarang melaporkan kesalahan medis apabila kesalahan medis tidak sampai menciderai pasien. Hal ini selaras dengan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan Espin dkk. (2010) pada perawat ICU dari 3 rumah sakit di Kanada yang menyatakan bahwa perawat cenderung tidak melaporkan kesalahan medis yang terjadi apabila pasien tidak mengalami cidera.
71
Terdapat banyak barrier pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan yang mengurangi persepsi positif tenaga kesehatan terhadap pelaporan kesalahan medis. Espin dkk. (2007) menyatakan bahwa umumnya barrier tersebut mencakup adanya penyalahan diri, kurangnya kerahasiaan, kurangnya waktu untuk melakukan pelaporan serta feedback yang minim. Sebelumnya Espin dkk. (2006) juga menyatakan bahwa tenaga kesehatan juga masih jarang yang melaporkan kesalahan medis apabila itu bukan merupakan daerah kewenangannya meskipun ia melihat sendiri kesalahan medis yang terjadi. Dan pada kenyataannya berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan beberapa tenaga kesehatan di masing-masing rumah sakit, barrier tersebut masih sangat banyak ditemukan dalam praktik sehari-hari di kedua rumah sakit. IOM dalam Wolf dan Hughes (2005) sendiri membedakan antara pelaporan sukarela dan wajib pada praktik pelayanan kesehatan di rumah sakit. Pelaporan kesalahan medis yang bersifat sukarela berlaku saat tenaga kesehatan mengetahui bahwa telah terjadi kesalahan medis yang belum atau tidak menimbulkan efek negatif. Sedangkan pelaporan yang bersifat wajib berlaku ketika terjadi kejadian serius seperti kejadian sentinel atau kejadian tidak diharapkan yang sampai mengakibatkan kematian atau cidera berat pada pasien. Penerapan pelaporan sukarela yang diterapkan di rumah sakit nantinya akan memberikan persepsi positif terhadap pelaporan dan membiasakan seluruh tenaga kesehatan untuk sadar lapor saat terjadi kejadian tidak diharapkan.
72
C. Gambaran Dimensi Budaya Keselamatan Pasien dan Korelasinya dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis Budaya keselamatan merupakan salah satu bagian penting dari keseluruhan budaya yang dianut dalam organisasi. Budaya keselamatan adalah produk dari nilai individu dan kelompok, sikap, persepsi, kompetensi dan pola perilaku yang menentukan komitmen untuk, dan gaya serta kecakapan dari manajemen keselamatan dan kesehatan organisasi (Advisory Committee on the Safety of Nuclear Installations, 1993). Heni (2011) menyatakan bahwa masih banyak industri yang memandang sebelah mata aspek keselamatan di dalam ruang lingkupnya hanya demi kepentingan efisiensi. Begitu pula yang terjadi di rumah sakit, untuk menyadarkan manajemen akan pentingnya keselamatan kadang diperlukan satu kejadian atau kesalahan medis yang menimbulkan outcome negatif terlebih dahulu. Heni (2011) juga menyatakan bahwa untuk mencapai praktik pelayanan kesehatan yang selamat baik bagi pekerja maupun pasien, diperlukan budaya keselamatan yang kuat. Mengingat budaya keselamatan erat kaitannya dengan sifat, sikap dan perilaku individu serta organisasi terhadap
pentingnya
keselamatan
maka
upaya
peningkatan
budaya
keselamatan berarti juga upaya perbaikan sikap dan perilaku selamat. AHRQ dalam Sorra dan Nieva (2004) sendiri mendefinisikan budaya keselamatan pasien menjadi 10 dimensi berbeda pada tingkat unit dan rumah sakit untuk nantinya dapat menjadi dimensi yang dapat diintervensi dalam rangka perbaikan budaya keselamatan.
73
1. Tindakan promotif keselamatan oleh manajer Dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer adalah salah satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang menunjukkan bahwa manajer mempertimbangkan saran dari stafnya yang bertujuan untuk perbaikan keselamatan pasien, menghargai stafnya ketika mereka mengikuti prosedur keselamatan pasien dan tidak mengabaikan masalah keselamatan pasien (Robb dan Seddon, 2010). Dalam dimensi ini yang dimaksud sebagai manajer adalah atasan langsung dari tenaga kesehatan baik secara fungsional maupun struktural di unit tempatnya bertugas. Berdasarkan hasil penelitian, respon positif dari dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer di Rumah Sakit X adalah sebesar 76% sedangkan di Rumah Sakit Y adalah sebesar 65%. Dimensi ini terdiri dari 4 pertanyaan yang diwakili pada item B1, B2, B3 dan B4 dalam kuesioner penelitian ini. Respon positif dimensi ini di Rumah Sakit X cenderung lebih tinggi daripada di Rumah Sakit Y. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya sistem yang lebih komprehensif yang berlaku di Rumah Sakit X. Sistem komprehensif di Rumah Sakit X yang dimaksudkan disini adalah karena memiliki safety officer pada tiap unit yang merupakan representatif dari unit masing-masing. Hal ini menunjukkan adanya proses integrasi yang baik antara unit yang menangani keselamatan rumah sakit dengan seluruh unit di rumah sakit. Sedangkan di Rumah Sakit Y, unit yang bertanggungjawab terhadap masalah keselamatan pasien dipisahkan dengan K3 rumah sakit. Sehingga koordinasi terkait keselamatan pasien dan
74
komitmen yang tercipta pada manajer di Rumah Sakit Y tidak sebaik di Rumah Sakit X Jakarta Timur. Keselamatan dan kepemimpinan sendiri berkorelasi sangat erat. Seperti yang dinyatakan oleh Katz-Navon (2005) dalam WHO (2009) bahwa ketika keselamatan betul-betul diprioritaskan oleh manajer maka terjadi penurunan jumlah kesalahan medis yang terjadi di unit rumah sakit tersebut. Sherriff dan Rose (2011) lebih lanjut manyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh setiap organisasi bergantung pada kepemimpinan di organisasi tersebut. Berdasarkan hasil uji statistik juga didapatkan bahwa dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y. Temuan ini selaras dengan hasil penelitian pada tenaga kesehatan yang dilakukan oleh Erler dkk. (2013) di Midwestern Amerika Serikat dan El-Jardali dkk. (2011) di Libanon yang menyatakan bahwa ada korelasi signifikan antara dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer dengan persepsi pelaporan kesalahan medis. Hal tersebut juga selaras dengan hasil penelitian Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen (2014) yang dilakukan dengan responden perawat di 3 kota berbeda di negara bagian Østfold, Norwegia. Mereka menemukan bahwa penyebab perawat cenderung tidak melaporkan kesalahan medis adalah karena atasan yang tidak suportif terhadap keselamatan pasien. Atasan yang tidak suportif terhadap keselamatan cenderung menyuruh informan untuk berhati-hati dan selektif dalam melaporkan tiap kesalahan medis yang terjadi.
75
McFadden dkk. (2009) juga menyatakan bahwa ada korelasi antara kepemimpinan dan budaya keselamatan dengan keselamatan pasien pada 371 rumah sakit di Amerika Serikat. Ballangrud dkk. (2012) juga menemukan korelasi signifikan antara dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer dengan persepsi pelaporan kesalahan medis pada perawat unit ICU pada studi cross sectional yang dilakukan di 10 ICU dalam 6 rumah sakit di Norwegia. Pelaporan kesalahan medis Umumnya ahli Keselamatan Kerja di seluruh dunia menyatakan bahwa pengembangan budaya keselamatan dimulai dari manajemen puncak dan tim manajemen dalam organisasi. Dengan demikian safety leadership sangat berperan sebagai kunci keberhasilan dalam membangun budaya keselamatan yang kuat pada industry beresiko tinggi (Astuti, 2010). Heni (2011) menyatakan bahwa komitmen manajer terhadap keselamatan menentukan pembangunan budaya keselamatan bagi tiap bawahannya. Dan komitmen pemimpin harus ditunjukkan dalam perkataan dan tindakan. Pemimpin memiliki pengaruh dalam mengubah mindset tenaga kesehatan baik cara pikir, sikap dan perilaku mereka dalam membangun budaya keselamatan baik demi petugas ataupun pasien. Faktor keteladanan dalam safety leadership sangat diutamakan dalam membangun budaya keselamatan suatu organisasi. Manajer atau pemimpin dalam organisasi dapat memberi contoh nilai-nilai keselamatan yang ditunjukkan dalam perilaku dan tindakan serta etika kerja untuk meningkatkan keselamatan.
76
Astuti (2010) menegaskan kembali hal tersebut dengan menyatakan bahwa tim manajemen dalam organisasi mempunyai kepemimpinan keselamatan
yang
efektif
dan
mendemonstrasikan
karakter
khusus,
berkorelasi dengan perilaku yang spesifik, dan cenderung menciptakan budaya organisasi yang tepat. Jika atasan melihat suatu pekerjaan dilakukan tidak benar, maka manajemen harus segera turun mengoreksi kondisi tersebut untuk melihatkan komitmen yang tinggi dan meyakinkan pada pekerja bahwa tidak ada toleransi untuk suatu penyimpangan prosedur. Keselamatan harus dipenuhi sepenuhnya dan tidak boleh kurang agar suatu kecelakaan bisa dihindari. Kita sering melihat kebijakan atau ucapan pimpinan bahwa keselamatan adalah prioritas utama, kenyataan di lapangan kebijakan dan ucapan pimpinan ini belum dilaksanakan. Pimpinan atau manajer perlu mewujudkan prioritas pertama dalam keselamatan dengan cara: a. Para
manajer
perlu
memeriksa
potensi
permasalahan
aspek
keselamatan, dengan menggunakan matrik resiko. b. Menjadikan aspek keselamatan dibahas pertama dalam agenda pertemuan dan jadikan keselamatan menjadi bagian dari bisnis. c. Bila aspek keselamatan tidak dimasukkan dalam budget, maka penyebabnya harus disampaikan secara terus terang d. Bila ada konflik prioritas produktivitas dengan keselamatan maka dulukanlah
aspek
keselamatan,
pujilah
pekerja
yang
telah
melaksanakan aspek keselamatan dengan baik di depan koleganya.
77
Manajer sering mendelegasikan tanggungjawab ke bawahannya. sering menyalahkan korban dan bukan mengidentifikasi kegagalan sistem dan akar permasalahan, tidak menanyakan isu-isu keselamatan, dan tidak senang mendengarkan informasi buruk tentang penerapan keselamatan dan menyalahkan si pembawa berita. Beberapa hal yang bisa ditingkatkan oleh manajer untuk meningkatkan motivasinya adalah : a. Kunjungi lapangan secara perorangan dan minta pekerja membantu menunjukkan kondisi dan perilaku tidak aman. b. Sampaikan apa yg dilakukan sebagai manajer untuk aspek keselamatan dan mengapa hal ini dilakukan. Pada akhirnya kemajuan dan penerapan safety leadership di setiap rumah sakit sangat tergantung dari komitmen pihak top management dalam menumbuhkembangkan budaya keselamatan di organisasinya masingmasing. 2. Organizational learning – perbaikan berkelanjutan Dimensi organizational learning – perbaikan berkelanjutan adalah salah satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang menunjukkan bahwa terdapat budaya 'belajar‘ dimana kesalahan medis yang terjadi dapat memberikan perubahan positif bagi peningkatan keselamatan pasien. Dimensi ini juga menunjukkan bahwa setiap perubahan yang dilakukan akan evaluasi efektifitasnya (Robb dan Seddon, 2010). Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi organizational learning – perbaikan berkelanjutan di Rumah Sakit X adalah
78
sebesar 67% sedangkan di Rumah Sakit Y adalah sebesar 89%. Dimensi ini terdiri dari 3 pertanyaan yang diwakili pada item A6, A9 dan A13 dalam kuesioner penelitian ini. Respon positif dimensi ini yang didapat di Rumah Sakit X cenderung lebih rendah dari Rumah Sakit Y. Hal ini bisa disebabkan karena petugas kesehatan di Rumah Sakit Y telah lebih akrab dengan pelaporan kesalahan medis dan budaya keselamatan pasien. Rumah Sakit Y juga telah rutin melakukan pengukuran budaya keselamatan pasien selama 6 tahun terakhir sehingga setiap tahun tiap dimensi budaya keselamatan pasien dapat terkontrol perkembangannya. Dan berdasarkan wawancara dengan beberapa informan di Rumah Sakit Y didapatkan bahwa meskipun tenaga kesehatan masih merasa adanya penyalahan individu, tetapi mereka sadar bahwa itulah kesempatan mereka untuk mengetahui apa yang salah sehingga menyebabkan kesalahan medis agar kesalahan tersebut dapat ditanggulangi dan tidak terjadi lagi. Hasil observasi di kedua rumah sakit selama pengumpulan data juga menunjukkan bahwa kedua rumah sakit merupakan organisasi pembelajar yang cukup baik. Tenaga kesehatan sudah mulai terbiasa untuk melakukan diskusi untuk meningkatkan keselamatan baik dengan personil di unitnya ataupun dengan personil lintas unit seperti unit K3 ataupun Komite Mutu di Rumah Sakit Y ataupun Manrisk di Rumah Sakit X. Saat terjadi kesalahan, tenaga medis juga secara aktif menjadikannya sebagai bahan diskusi untuk evaluasi kinerja keselamatan guna menemukan pemecahan masalahnya. Oleh karena itulah pengetahuan tenaga kesehatan
79
selalu berkembang seiring dengan banyaknya pengalaman yang didapatkan selama bertugas di kedua rumah sakit. Berdasarkan
uji
statistik
juga
didapatkan
bahwa
dimensi
organizational learning-perbaikan berkelanjutan di Rumah Sakit X memiliki korelasi yang bermakna dengan persepsi pelaporan kesalahan medis pada tenaga kesehatan. Hali ini selaras dengan hasil penelitian Waters dkk. (2012) yang dilakukan pada perawat dan bidan di 3 unit persalinan di provinsi British Columbia. Pelaporan kesalahan medis merupakan kesempatan untuk belajar bagi perawat yang terlibat atau anggota staf lainnya. Adanya kesempatan untuk belajar memberikan motivasi bagi perawat dan bidan untuk melaporkan kesalahan yang terjadi. Insiden keselamatan pasien yang disebabkan oleh kesalahan medis memberikan kesempatan bagi perawat dan bidan untuk mengetahui faktor-faktor yang berkontribusi hingga terjadi kesalahan medis. El-Jardali dkk. (2011) juga menyatakan bahwa dimensi organizational learning-perbaikan berkelajutan berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis. Pelaporan kesalahan pada level sistem dan bersifat wajib akan menciptakan kesempatan untuk belajar yang lebih baik dibandingkan pelaporan yang bersifat sukarela (Espin dkk., 2007). Organizational learning sendiri merupakan kegiatan proaktif yang dapat menciptakan serta mentransfer pengetahuan dalam nilai-nilai organisasi kesehatan (Kreitner dan Kinicki, 2007). Adanya proses organizational learning berfungsi untuk menambah, mengubah atau mengurangi pengetahuan organisasi (Schulz,
80
2001). Menurut Cyet dan March dalam Schulz (2001) organisasi akan belajar saat terjadi ‗masalah‘. Pada saat mengalami masalah, organisasi akan mencari penyelesaian masalah, mengadopsi solusi yang baik dan mempertahankan solusi terbaik untuk nantinya digunakan di masa yang akan datang. Schulz (2001) merangkum sumber pembelajaran organisasi dapat berasal dari berbagai sumber termasuk diantaranya adalah pengalaman masa lalu, pengalaman organisasi lain, proses berpikir, rekombinasi pengetahuan, proses kehilangan, dan eksperimen. Sebagian besar dari sumber tersebut mempunyai 2 peran yakni sebagai pencetus proses belajar (misal pencarian solusi masalah yang terjadi) atau memberikan input pembelajaran (misal pengalaman atau ide) bagi rumah sakit. Heni (2011) menyatakan bahwa pengetahuan atau pengalaman tentang keselamatan dapat berupa explicit knowledge ataupun tacit knowledge. Explicit knowledge merupakan pengetahuan yang didapatkan petugas kesehatan melalui lembaga pendidikan formal atau non formal seperti pelatihan atau kursus. Sedangkan tacit knowledge adalah pengetahuan yang didapatkan melalui pengalaman yang diresapi sendiri. Pengetahuan petugas kesehatan di rumah sakit terkait keselamatan yang didapatkan dari tiap pelatihan yang dihadiri haruslah terlebih dahulu dipahami, dimengerti dan dilakukan agar dapat menjadi modal awal pembelajaran mandiri dan aktif dari petugas yang bertugas di unit terkait. Dan dalam rangka meningkatkan pengetahuan tersebut maka pengetahuan yang patut diketahui petugas kesehatan bukan hanya terkait hal-hal di bidang
81
keselamatan tetapi juga perlu mengetahui aspek perilaku manusia, safety leadership serta materi lainnya. Berdasarkan Tecdoc IAEA No. 1329 yang dikutip oleh Barenzani (2009) diketahui juga bahwa learning organization sendiri merupakan salah satu ciri pengembangan budaya keselamatan tingkat akhir. Pada tahap ini organisasi yang menerapkan sudah menerapkan gagasan terus menerus untuk meningkatkan performa keselamatan. Manajemen organisasi yang sudah pada tahap ini tercermin dengan adanya penekanan kuat pada komunikasi, pelatihan, gaya kepemimpinan, dan meningkatkan efisiensi & efektifitas sumber daya dalam organisasi. 3. Kerjasama dalam unit rumah sakit Dimensi kerjasama dalam unit adalah salah satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang menunjukkan adanya dukungan yang diberikan staf satu sama lain. Dimensi ini juga menunjukkan adanya sikap saling menghargai antar staf dan staf yang dapat saling bekerjasama sebagai sebuah tim (Robb dan Seddon, 2010). Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi kerjasama dalam unit di Rumah Sakit X adalah sebesar 71% sedangkan di Rumah Sakit Y adalah sebesar 81%. Dimensi ini terdiri dari 3 pertanyaan yang diwakili pada item A1, A3, A4 dan A11 dalam kuesioner penelitian ini. Respon positif dimensi ini yang didapat di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y cenderung tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh karena setiap petugas di dalam unit tersebut saling mendukung satu sama lain, bekerja sebagai tim apabila banyak
82
hal yang harus diselesaikan dan menghargai satu sama lain. Selain itu atasan mereka juga menciptakan suasana yang baik dan memotivasi tenaga kesehatan untuk membicarakan masalah yang terjadi dalam unit mereka. Hasil uji statistik yang dilakukan juga menunjukkan bahwa ada korelasi signifikan antara kerjasama dalam unit rumah sakit dengan persepsi pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X. Hal ini selaras dengan penelitian Erler dkk. (2013) yang menemukan bahwa kerjasama dalam tim memiliki korelasi yang bermakna
dengan persepsi pelaporan kesalahan
medis. Hal yang sama juga ditemukan oleh El-Jardali dkk. (2011) pada penelitiannya di Libanon. Namun hasil uji statistik tidak menunjukkan adanya hubungan antara kerjasama dalam unit dengan persepsi pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit Y. Kerjasama yang ada di dalam unit tidak dapat dijadikan faktor pendukung terciptanya persepsi positif tenaga kesehatan terhadap pelaporan kesalahan medis yang ada. Kondisi ini dapat disebabkan perbedaan persepsi tenaga kesehatan tentang kerjasama dalam unit di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y. Tenaga kesehatan di masing-masing unit Rumah Sakit Y cenderung lebih beragam daripada di Rumah Sakit X. Keberagaman yang dimaksud disini contohnya adalah pada tiap-tiap unit perawatan selalu ada petugas farmasi yang bertugas untuk menyediakan kebutuhan obat-obatan pasien sehingga dalam satu unit perawatan tidak hanya terdapat perawat dan petugas administrasi saja. Hal ini berbeda dengan penerapan pembagian tugas di Rumah Sakit X dimana pemberian obat di unit perawatan Rumah Sakit X
83
dilakukan oleh perawat dan tidak ada petugas farmasi yang ditugaskan di unit perawatan. Schaefer dkk. dalam WHO (2009) yang menyatakan bahwa 70-80% kesalahan medis yang terjadi merupakan akibat buruknya komunikasi dan pengertian dalam tim. Dalam penelitian kualitatif yang dilakukan Chakravarty (2013) juga menyatakan bahwa mayoritas dokter dan perawat setuju bahwa kerjasama yang baik dalam tim akan memberikan pengaruh yang baik terhadap kinerja keselamatan unit kerjanya. Kerjasama dalam unit menunjukkan sejauh mana anggota unit tersebut dapat bekerjasama dalam tim. Kerjasama merupakan aspek penting dalam tiap rumah sakit karena banyak pekerjaan yang melibatkan banyak orang dalam pelaksanaannya. Hal tersebut juga berlaku di rumah sakit dimana hampir semua pelayanan kesehatan yang diberikan melibatkan tenaga kesehatan dalam kelompok interdisiplin (World Health Organization, 2009). Perbedaan disiplin ilmu dari setiap anggota tim dapat berpengaruh terhadap persepsi kerjasama yang berlaku di dalam tim tersebut (Erler dkk., 2013). Kerjasama tim dalam rumah sakit merupakan aspek krusial yang harus dikembangkan untuk memastikan keselamatan pasien. Anggota tim yang bekerja dalam tiap fungsi di rumah sakit mungkin merupakan ahli yang sangat berpengalaman di bidangnya namun mereka tidak terlatih secara khusus untuk bekerja dalam sebuah tim (Beuzekom dkk., 2010). Maka dari itu diperlukan satu sesi khusus bagi tiap rumah sakit untuk mengembangkan kinerja tim di masing-masing rumah sakit untuk
84
mempertahankan dan memperbaiki kinerja tim. DiTullio (2010) menyatakan bahwa ketika ada rasa tidak dihargai dalam suatu tim maka mereka memiliki hak untuk bertindak sesuai yang diperlukan. Tidak ada tim yang sempurna namun ketika ada hal yang tidak berjalan sesuai keinginan maka anggota tim harus dapat menggunakan kemampuan komunikasi yang dimilikinya untuk memecahkan situasi tersebut. 4. Keterbukaan komunikasi Dimensi keterbukaan komunikasi adalah salah satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang menunjukkan adanya kebebasan staf untuk berbicara tentang hal yang berpotensial menciderai pasien dan bebas untuk mempertanyakan hal-hal tersebut kepada atasan mereka (Robb dan Seddon, 2010). Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi keterbukaan komunikasi di Rumah Sakit X adalah sebesar 62% sedangkan di Rumah Sakit Y adalah sebesar 82%. Dimensi ini terdiri dari 3 pertanyaan yang diwakili pada item C2, C4 dan C6 dalam kuesioner penelitian ini. Respon positif dimensi ini cenderung cukup tinggi. Selama observasi di kedua rumah sakit peneliti menemukan bahwa komunikasi antar tenaga kesehatan sudah cukup baik dan tiap tenaga kesehatan dapat menyuarakan pendapatnya secara bebas ketika melihat sesuatu yang menyimpang dari standar, mempertanyakan keputusan yang diambil oleh atasan. Tenaga kesehatan juga tidak merasa takut untuk bertanya jika ada suatu hal yang
85
tidak benar sedang terjadi dan hal tersebut berkaitan dengan keselamatan pasien. Namun respon positif dimensi ini yang didapat di Rumah Sakit X cenderung lebih rendah dari Rumah Sakit Y. Keterbukaan komunikasi di RS Y yang cenderung lebih tinggi daripada di Rumah Sakit X dapat disebabkan oleh karena mulainya pemberlakukan budaya keselamatan dimana seluruh staf Rumah Sakit Y diwajibkan untuk mulai berkomunikasi dengan santun kepada semua pihak dan berkomukasi dengan terbuka. Komitmen manajemen untuk membentuk budaya tersebut serta seluruh program yang dibentuk guna mewujudkannya menjadi faktor pendukung terciptanya lingkungan dengan komunikasi terbuka demi mendukung perbaikan keselamatan di Rumah Sakit Y. Berdasarkan hasil uji statistik juga didapatkan bahwa dimensi keterbukaan komunikasi memiliki korelasi yang bermakna dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan Erler dkk. (2013) pada 76 personil critical care transport program di Midwestern, Amerika Serikat dimana mereka menyatakan bahwa ada korelasi yang signifikan antara dimensi keterbukaan komunikasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis. El-Jardali dkk. (2011) juga menyatakan hal yang sama dalam penelitiannya pada 68 rumah sakit di Libanon. Dalam rangka meningkatkan budaya keselamatan pasien yang lebih positif, maka komunikasi antar tenaga kesehatan haruslah lebih suportif dan
86
terbuka serta bebas dari penyalahan individu (Ross, 2011). Keterbukaan komunikasi diwujudkan dengan adanya komunikasi efektif yang menyeluruh mengenai hal-hal yang terjadi dan terkait keselamatan pasien pada saat serah terima maupun pada saat briefing (Hamdani, 2007). Menurut The Joint Commission dalam White dan Gallagher (2013) kegagalan komunikasi adalah faktor utama dan terpenting dari terjadinya kesalahan medis di rumah sakit karena tenaga kesehatan dapat meminimalisasi kesalahan medis atau kondisi potensial kesalahan medis di rumah sakit yang sebelumnya dihadapi oleh rekan sejawat dalam timnya. Komunikasi antar petugas akan lebih baik dan terbuka jika terdapat standarisasi komunikasi mengenai hal-hal apa yang wajib dikomunikasikan kepada rekan sejawatnya. Dengan begitu maka tenaga kesehatan akan terbiasa menyampaikan apa yang harus disampaikan dan tidak ada informasi yang terlewat. Beberapa penelitian sebelumnya juga menyatakan bahwa kurangnya komunikasi menyebabkan timbulnya kesalahan medis yang berujung pada kejadian tidak diharapkan (Chakravarty, 2013; Erler dkk., 2013; Waters dkk., 2012). White (2013) juga menyatakan bahwa kegagalan komunikasi seringkali merupakan kombinasi keteledoran manusia dan kegagalan sistem yang laten dalam sistem keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit. Sebagian besar tenaga kesehatan mengakui bahwa komunikasi adalah faktor terpenting yang paling diperlukan untuk mencapai peningkatan keselamatan dan efisiensi (Chakravarty, 2013; Bognár dkk., 2008). Oleh
87
karena itu prinsip komunikasi terbuka harus diterapkan pada setiap komunikasi yang dilakukan termasuk komunikasi dengan pasien dan keluarganya bila ada risiko atau kejadian yang tidak diharapkan. Pasien berhak mendapat dukungan dan perlindungan bila terjadi kesalahan medis. Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif dicirikan oleh komunikasi saling percaya, oleh persepsi bersama pentingnya keselamatan, dan oleh kepercayaan dalam keberhasilan langkah-langkah pencegahan (The Comission of Patient Safety and Quality Assurance of Irlandia, 2008). Pendidikan
terkait
keterbukaan
komunikasi
dan
kemampuan
komunikasi interpersonal bagi tenaga kesehatan sejak mereka masih berada dibangku pendidikan sangat dibutuhkan dalam membangun dimensi ini. Karena kemampuan komunikasi didapatkan dengan proses yang cukup lama dan tidak instan. The Accreditation Council for Graduate Medical Education sendiri sebagai institusi akreditasi pendidikan kedokteran mewajibkan para calon
dokter
untuk
membangun
dan
mengembangkan
kemampuan
komunikasi dan interpersonal. Hal ini dilakukan karena tidak semua resident memiliki kemampuan komunikasi yang baik dan topik sensitif seperti terjadinya kesalahan medis terkadang menjadi stressor yang sangat memberikan efek psikologis bagi para dokter (Raper dkk., 2014). 5. Umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi Dimensi umpan balik dan komunikasi tenatang kesalahan medis yang terjadi adalah salah satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang menunjukkan bahwa staf diinformasikan setiap kesalahan yang
88
terjadi dalam rumah sakit, diberikan umpan balik terkait perubahan yang dilakukan untuk mencegah terulangnya kesalahan tersebut dan bagaimana mereka mendiskusikan kesalahan medis yang terjadi serta cara untuk mencegahnya (Robb dan Seddon, 2010). Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi di Rumah Sakit X adalah sebesar 65% sedangkan di Rumah Sakit Y adalah sebesar 91%. Dimensi ini terdiri dari 3 pertanyaan yang diwakili pada item C1, C3 dan C5 dalam kuesioner penelitian ini. Respon positif dimensi ini yang didapat di Rumah Sakit X cenderung lebih rendah dari Rumah Sakit Y. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya kemudahan komunikasi dan kordinasi secara ‗trickle down‘ di Rumah Sakit Y karena semua hal yang berkaitan dengan keselamatan pasien ditangani langsung oleh Komite Mutu yang secara struktural maupun fungsional lebih tinggi dari unit lain sehingga komunikasi ‗trickle down‘ akan menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Selain itu Unit Komite Mutu di RS Y lebih dapat mengkoordinasikan unit lain karena terdapat petugas-petugas yang paling senior dan seluruh petugas yang bekerja di Rumah Sakit Y mengetahui bahwa unit inilah yang bertugas dalam proses akreditasi maupun optimalisasi pelayanan di Rumah Sakit Y. Berdasarkan uji statistik yang dilakukan juga diketahui bahwa dimensi umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi memiliki korelasi yang bermakna baik di Rumah Sakit X maupun di Rumah Sakit Y. Hal ini selaras dengan temuan El-Jardali dkk. (2011) bahwa dimensi umpan
89
balik dan komunikasi tentang kesalahan yang terjadi berkorelasi signifikan dengan persepsi pelaporan kesalahan medis pada tenaga kesehatan di Libanon. Selain itu hasil penelitian kualitatif yang dilakukan Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen (2014) di Norwegia juga menyatakan bahwa ada korelasi antara umpan balik dengan pelaporan kesalahan medis. Dalam penelitian mereka, perawat merasa enggan melaporkan karena mereka pikir hal itu sama sekali tidak ada gunanya ketika tidak ada umpan balik apapun dan hal itu tidak didiskusikan lebih lanjut. Sulit untuk menentukan apakah ada peningkatan keselamatan saat tidak ada umpan balik yang adekuat bagi perawat. Hal yang sama juga diutarakan Lederman dkk. (2013) dalam penelitiannya di 2 rumah sakit di Australia. Mereka menemukan bahwa perawat dan dokter seringkali tidak melaporkan kesalahan medis yang terjadi akibat ketiadaan umpan balik yang mereka dapatkan dari kegiatan pelaporan yang telah mereka lakukan. Ketika tenaga kesehatan telah meluangkan waktunya untuk melakukan pelaporan disaat mereka seharusnya bisa melakukan kegiatan lain, tenaga kesehatan menginginkan adanya outcome positif. Berdasarkan hasil wawancara dengan tenaga kesehatan di kedua rumah sakit juga diketahui bahwa mereka lebih merasa termotivasi untuk melakukan pelaporan ketika ada feedback yang cukup dan dikhususkan pada mereka
selaku
pelapor.
Tenaga
kesehatan
di
kedua
rumah
sakit
mengungkapkan bahwa rumah sakit telah memberikan feedback yang baik
90
terkait semua laporan yang mereka lakukan, hanya saja mereka menyatakan bahwa akan lebih baik jika feedback yang sebelumnya hanya bersifat general kepada setiap unit baik yang melapor atau tidak maka ditambah. Unit mereka selaku unit yang melapor sebaiknya diberikan feedback yang lebih dibandingkan unit lain yang tidak melapor sebagai wujud apresiasi manajemen terhadap pelaporan yang telah diberikan. Ketiadaan atau minimnya umpan balik terkait kesalahan medis yang terjadi juga merupakan salah satu kegagalan komunikasi. Ginen menyatakan bahwa umpan balik merupakan aspek terpenting dan kritis dalam komunikasi baik ketika menerima ataupun memberikan umpan balik. Umpan balik yang efektif memberikan outcome positif bagi pemberi, penerima dan juga organisasinya. Ketika individu berbicara maka dia perlu mendapatkan 2 hal dasar dalam komunikasi tersebut yakni mereka perlu paham bahwa mereka dimengerti dan apa yang mereka katakan adalah sesuatu yang bernilai. Umpan balik yang positif juga merupakan kesempatan untuk memberikan penghargaan dan motivasi bagi orang tersebut. Umpan balik juga merupakan kesempatan untuk belajar dari hal sebelumnya yang dikomunikasikan (Ginen, 2014). 6. Respon yang tidak menyalahkan Dimensi respon yang tidak menyalahkan adalah salah satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang menunjukkan adanya persepsi bahwa kesalahan medis yang terjadi tidak digunakan untuk
91
menyalahkan mereka dan kesalahan tersebut juga tidak dijadikan catatan khusus tentang pribadi mereka (Robb dan Seddon, 2010). Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi respon yang tidak menyalahkan di Rumah Sakit X adalah sebesar 67% sedangkan di Rumah Sakit Y adalah sebesar 52%. Dimensi ini terdiri dari 3 pertanyaan yang diwakili pada item A8, A12 dan A16 dalam kuesioner penelitian ini. Respon positif yang didapat di Rumah Sakit X cenderung lebih tinggi dari Rumah Sakit Y. Hal ini bisa disebabkan oleh berlakunya budaya yang tidak menyalahkan karena terdapat nilai-nilai keislaman yang bebas dari penyalahan diri tenaga medis di Rumah Sakit X. Dalam nilai keislaman yang dianut oleh seluruh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X, setiap orang yang melapor tidak dapat disalahkan karena laporan yang mereka lakukan karena laporan itu dibuat sesuai denga kondisi yang berlaku. Mereka dapat dengan lebih baik berbicara mengenai kesalahan yang terjadi. Aspek kejujuran dan keterbukaan komunikasi disini memegang peran penting bagi tingginya respon positif di Rumah Sakit X. Berdasarkan hasil uji statistik juga didapatkan bahwa dimensi respon yang tidak menyalahkan berkorelasi signifikan pada kedua rumah sakit baik Rumah Sakit X maupun Rumah Sakit Y. Hal ini selaras dengan hasil penelitian El-Jardali dkk. (2011) di 68 rumah sakit Libanon dan Beginta (2012) pada perawat ruang inap RSUD Bekasi. Respon yang tidak menyalahkan baik dari manajemen maupun rekan sejawat atas pelaporan kesalahan medis yang terjadi dibutuhkan untuk dapat mendukung adanya
92
budaya pelaporan kesalahan medis yang efektif. Karena hingga saaat ini ketakutan akan adanya penyalahan individu yang melakukan pelaporan masihlah menjadi faktor penghambat pelaporan kesalahan medis di rumah sakit. Setiap orang membuat kesalahan dan apa yang dilakukan terhadap kesalahan adalah hal yang paling penting. Pada saat terjadi kesalahan dibutuhkan atasan yang suportif. Atasan yang suportif terhadap keselamatan akan melihat kesalahan medis yang terjadi sebagai kesempatan untuk memperbaiki keselamatan. Dan untuk melakukan hal ini diperlukan kepercayaan yang baik antara tenaga kesehatan dan tiap tenaga kesehatan sebelumnya harus tahu bahwa atasan mereka akan mendukung mereka (DiTullio, 2010). Dengan demikian lingkungan yang tidak menyalahkan juga sangat
diperlukan
Pembentukan
untuk
persepsi
mendukung
positif
terhadap
pelaporan pelaporan
kesalahan kesalahan
medis. medis
memerlukan komunikasi yang baik dan lingkungan yang tidak menyalahkan (Ross, 2011). Karena lingkungan yang menyalahkan dapat berpotensi menimbulkan under-reporting dalam pelaporan kesalahan medis (Kachalia dan Bates, 2014). Lingkungan dengan respon yang tidak menyalahkan tersebut dapat dibangun dengan melakukan pendekatan sistem dimana tenaga medis melaporkan kesalahan medis dengan berfokus pada outcome yang dihasilkan pada kesalahan medis tersebut dan tidak berfokus pada siapa yang melakukannya (Kachalia dan Bates, 2014). Lingkungan yang tidak
93
menyalahkan juga diperlukan untuk memberikan pembelajaran bagi perawat dan tenaga kesehatan lainnya dari kesalahan medis yang terjadi (Ross, 2011). 7. Penyusunan staf Dimensi penyusunan staf adalah salah satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang menunjukkan adanya persepsi staf bahwa tenaga kerja di rumah sakit cukup untuk menangani semua beban kerja yang ada dan jam kerja yang ditentukan manajemen sudah cukup untuk memberikan pelayanan terbaik bagi pasien (Robb dan Seddon, 2010). Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi penyusunan staf di Rumah Sakit X adalah sebesar 61% sedangkan di Rumah Sakit Y adalah sebesar 52%. Dimensi ini terdiri dari 4 pertanyaan yang diwakili pada item A2, A5, A7 dan A14 dalam kuesioner penelitian ini. Respon positif dimensi ini yang didapat di Rumah Sakit X cenderung lebih rendah dari Rumah Sakit Y. Respon positif yang lebih rendah di Rumah Sakit Y bisa disebabkan oleh adanya kompleksitas pelayanan kesehatan yang lebih tinggi dan beragam dengan jumlah pasien yang lebih banyak di Rumah Sakit Y mengingat Rumah Sakit Y merupakan rumah sakit rujukan tertinggi sekaligus pusat kanker nasional. Hal-hal tersebut dapat menjadikan respon negatif dimensi ini meningkat yang otomatis mengurangi respon positif dimensi ini. Penyusunan staf yang adekuat merupakan aspek fundamental dalam proses pemberian pelayanan kesehatan pada tiap organisasi kesehatan. Petugas kesehatan seringkali hanya berfungsi sebagai lapisan pertahanan
94
terakhir untuk mencegah kesalahan medis tidak terjadi. Kelebihan beban kerja akibat kurangnya petugas serta kemampuan yang tidak cukup merupakan ancaman besar bagi keselamatan baik petugas maupun pasien di rumah sakit (Beuzekom dkk., 2010). Hal ini ditegaskan oleh Aiken dkk. dalam Beginta (2012) yang menyatakan bahwa kesesuaian jumlah tenaga kesehatan dengan beban kerja atau kebutuhan di tiap unit akan berpengaruh terhadap kinerja tenaga kesehatan dalam meningkatkan keselamatan pasien. Berdasarkan hasil uji statistik yang juga dilakukan diketahui bahwa terdapat dimensi penyusunan staf tidak berkorelasi signifikan dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y. Hal ini tidak selaras dengan penelitian-penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa dimensi penyusunan staf berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis (El-Jardali dkk., 2011; Agnew dkk., 2013). Hal ini bisa disebabkan oleh karena adanya variabel lain yang mempengaruhi korelasi antara penyusunan staf dengan persepsi pelaporan kesalahan medis pada tenaga kesehatan. Ketika tenaga kesehatan mengalami beban kerja yang tinggi maka masih dapat tercipta persepsi positif terhadap pelaporan karena banyaknya adanya hal lain yang mempengaruhi seperti kepemimpinan keselamatan dalam unit rumah sakit. Kepemimpinan manajer tiap unit di masing-masing rumah sakit sebetulnya memegang peran penting bagi pembentukan persepsi positif tenaga kesehatan terhadap pelaporan kesalahan medis. Kepemimpinan
95
keselamatan yang adekuat di rumah sakit berfungsi sebagai rolemodel yang efektif dalam menciptakan persepsi tenaga kesehatan yang berada dalam tanggung jawabnya. Manajer dapat memotivasi tenaga kesehatan untuk melapor dan meyakinkan tenaga kesehatan bahwa hal itu sangat bermanfaat bagi rumah sakit dan tidak akan merugikan dirinya sendiri selaku pelapor. 8. Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien Dimensi dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien adalah salah satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang menunjukkan adanya suasana kerja yang dibentuk oleh manajemen untuk mendukung keselamatan pasien di rumah sakit tersebut. Dimensi ini juga menunjukkan persepsi tenaga kesehatan bahwa keselamatan merupakan prioritas tertinggi di rumah sakit (Robb dan Seddon, 2010). Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan di Rumah Sakit X adalah sebesar 71% sedangkan di Rumah Sakit Y adalah sebesar 83%. Dimensi ini terdiri dari 3 pertanyaan yang diwakili pada item F1, F8 dan F9 dalam kuesioner penelitian ini. Respon positif dimensi ini yang didapat di Rumah Sakit X cenderung lebih rendah dari Rumah Sakit Y. Tingginya respon positif yang didapatkan di Rumah Sakit Y dapat terjadi karena manajemen sudah mengawasi budaya keselamatan pasien pada seluruh staf berkat pelaksanaan survey budaya keselamatan pasien yang dilaksanakan setiap tahun sekali. Sejak tahun 2007 Rumah Sakit Y telah melakukan survey rutin budaya keselamatan pasien setiap bulan September.
96
Manajemen Rumah Sakit Y telah menyadari pentingnya budaya keselamatan dan melakukan pengukuran tiap tahunnya untuk mengetahui perkembangan budaya keselamatan di dalam rumah sakit. Hal ini menunjukkan adanya perhatian khusus manajemen terhadap budaya keselamatan pasien di dalam rumah sakit. Tim khusus budaya keselamatan pasien juga dibentuk untuk mendukung kinerja Komite Mutu dalam mengawasi dan meningkatkan budaya keselamatan pasien yang berlaku di dalam ruang lingkup Rumah Sakit Y termasuk seluruh pekerja baik pekerja tetap, pekerja tidak tetap maupun pekerja outsourcing. Berdasarkan hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa dimensi penyusunan staf tidak berkorelasi signifikan dengan persepsi pelaporan kesalahan medis. Hal ini tidak selaras dengan hasil penelitian-penelitian terdahulu (El-Jardali dkk., 2011; Agnew dkk., 2013). Hal ini dapat terjadi karena masih terdapat variabel lain yang berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oeh tenaga kesehatan. Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan dapat dilihat dengan ada atau tidaknya sistem keselamatan pasien di dalam rumah sakit tersebut. Sistem keselamatan pasien sendiri dapat mendukung terciptanya iklim kerja yang mendukung keselamatan pasien di rumah sakit. Dukungan manajemen juga dapat dilihat dari kebijakan manajemen rumah sakit yang menunjukkan bahwa keselamatan pasien dijadikan prioritas di rumah sakit tersebut (Rosyada, 2014).
97
9. Kerjasama antar unit di rumah sakit Dimensi kerjasama antar unit di rumah sakit adalah salah satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang menunjukkan adanya kordinasi yang baik antar unit-unit di dalam rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien (Robb dan Seddon, 2010). Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi kerjasama antar unit di Rumah Sakit X adalah sebesar 61% sedangkan di Rumah Sakit Y adalah sebesar 76%. Dimensi ini terdiri dari 4 pertanyaan yang diwakili pada item F2, F4, F6 dan F10 dalam kuesioner penelitian ini. Respon positif dimensi ini yang didapat di Rumah Sakit X cenderung lebih rendah dari Rumah Sakit Y. Respon positif yang tinggi di Rumah Sakit Y dapat disebabkan karena Rumah Sakit Y telah memiliki sistem budaya keselamatan pasien yang telah terorganisir sejak lama dan membuat tenaga kesehatan di Rumah Sakit Y lebih
sadar terhadap pentingnya budaya keselamatan dalam pemberian
pelayanan kesehatan kepada pasien. Team building dan capacity building yang dilakukan juga amat membantu dalam membentuk hubungan kerjasama maupun komunikasi yang baik pada tenaga kesehatan yang bekerja pada unit berlainan. Selain itu koordinasi setiap unit dalam memberikan pelayanan kesehatan juga lebih mudah Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi signifikan antara dimensi kerjasama antar unit dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan baik di Rumah Sakit X maupun
98
Rumah Sakit Y. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian terdahulu yang telah dilakukan sebelumnya (El-Jardali dkk., 2011; Agnew dkk., 2013). Hal ini dapat disebabkan karena kerjasama antar unit tidak terlalu berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis pada kedua rumah sakit. Perlu dilakukan observasi mendalam lebih lanjut agar diketahui variabel lain yang berpengaruh terhadap persepsi pelaporan kesalahan medis di kedua rumah sakit baik di Rumah Sakit X maupun Rumah Sakit Y. 10. Serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain Dimensi serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain adalah salah satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang menunjukkan bahwa informasi penting terkait pasien dapat ditransfer antar unit dan antar shift (Robb dan Seddon, 2010). Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi keterbukaan komunikasi di Rumah Sakit X adalah sebesar 62% sedangkan di Rumah Sakit Y adalah sebesar 68%. Dimensi ini terdiri dari 4 pertanyaan yang diwakili pada item F3, F5, F7 dan F11 dalam kuesioner penelitian ini. Respon positif dimensi ini yang didapat di Rumah Sakit X cenderung lebih rendah dari Rumah Sakit Y. Hal ini dapat terjadi karena respon positif yang didapatkan baik pada dimensi kerjasama dalam unit ataupun antar unit pada Rumah Sakit X cenderung lebih rendah dari respon positif yang didapatkan di Rumah Sakit Y. Transisi sendiri diartikan sebagai peralihan dari keadaan (tempat, tindakan dan sebagainya) kepada keadaan yang lain (Setiawan, 2014). Respon
99
positif yang tidak terlalu tinggi di kedua rumah sakit menunjukkan adanya proses serah terima maupun transisi pasien yang kurang optimal. Dalam ruang lingkup keselamatan pasien rumah sakit, transisi dapat diartikan sebagai peralihan pemberian pelayanana kesehatan oleh satu unit menjadi oleh unit lainnya. Kegiatan serah terima dan transisi pasien merupakan dua jenis kegiatan yang sangat rawan menghasilkan kesalahan medis karena adanya informasi yang terlewat dan tidak tersampaikan pada rekan sejawat yang bertugas selanjutnya. Selain informasi yang tidak tersampaikan, pada kegiatan ini juga rentan terjadi kesalahan medis seperti terjatuhnya pasien saat pemindahan pasien. Dalam rangka mengurangi proses komunikasi yang tidak adekuat untuk meneruskan informasi lintas unit dan lintas shift terutama informasi yang terkait keselamatan maka diperlukan satu media atau kegiatan khusus. Pada bidang industri lainnya, terdapat satu sesi khusus di awal kerja yang disebut safety briefing dimana manajer akan membicarakan mengenai isu keselamatan yang terjadi hari itu dan menanyakan kembali kepada pekerja untuk mengetahui respon mereka terhadap isu tersebut. Dalam diskusi tersebut, seluruh informasi terkait keselamatan akan tergali sehingga tidak akan ada informasi yang terlewat atau tidak tersampaikan. Hal ini juga dapat dilakukan di rumah sakit guna mengoptimalkan komunikasi terkait keselamatan dalam rumah sakit baik yang terjadi dalam unit mereka ataupun yang terjadi di unit lain.
100
Berdasarkan hasil uji statistik yang juga dilaksanakan diketahui bahwa dimensi serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain tidak berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan baik di Rumah Sakit X maupun Rumah Sakit Y. Hal ini bertentangan dengan dengan penelitian terdahulu yang telah dilakukan sebelumnya (El-Jardali dkk., 2011; Agnew dkk., 2013). Hal ini menun\jukkan bahwa terdapat kemungkinan adanya variabel lain yang mempengaruhi korelasi keduanya dan erlu dilakukan observasi mendalam lebih lanjut agar diketahui variabel lain yang berpengaruh terhadap persepsi pelaporan kesalahan medis di kedua rumah sakit baik di Rumah Sakit X maupun Rumah Sakit Y. Kebutuhan pelayanan kesehatan dalam 24 jam tanpa henti menjadikan tenaga kesehatan bekerja dalam pengelompokkan jam kerja yang di rumah sakit. Pengelompokkan jam kerja ini membuat perlunya ada kegiatan transisi dan serah terima pemberian pelayanan kesehatan pasien individual kepada tim berikutnya. Transisi dan serah terima yang dialami pasien bergantung pada kebutuhan pasien. Transisi dan serah terima membutuhkan komunikasi yang adekuat dan efektif. Kewenangan, kewajiban, dan informasi ditransfer melalui proses co-construction dimana pihak yang memberi dan menerima berpartisipasi secara aktif (Behara dkk., 2005).
101
BAB VII PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas sebelumnya maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut : 1. Dimensi budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit X bervariasi dengan budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit Y. Dimensi budaya keselamatan pasien dengan respon positif terendah adalah dimensi penyusunan staf dan kerjasama antar unit di Rumah Sakit X dan dimensi respon yang tidak menyalahkan dan penyusunan staf di Rumah Sakit Y. Dimensi budaya keselamatan pasien dengan respon positif tertinggi adalah tindakan promotif keselamatan oleh manajer di Rumah Sakit X dan umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi di Rumah Sakit Y. 2. Persepsi positif pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan masih rendah di kedua rumah sakit yakni kurang dari 50%. 3. Terdapat 6 dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X yakni dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer, dimensi organizational learning-perbaikan berkelanjutan, dimensi kerjasama dalam unit, dimensi keterbukaan komunikasi, dimensi umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan
102
medis yang terjadi serta dimensi respon yang tidak menyalahkan. Sedangkan di Rumah Sakit Y terdapat 4 dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit Y yakni dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer, dimensi keterbukaan komunikasi, dimensi umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi serta dimensi respon yang tidak menyalahkan. B. Saran Berdasarkan kesimpulan yang didapatkan maka peneliti mengajukan saran sebagai berikut : 1. Bagi pihak manajemen Rumah Sakit X a. Memberikan sosialisasi secara berkala yang bersifat mandatory tentang pelaporan kesalahan medis dan keuntungan serta kerugian adanya pelaporan di Rumah Sakit X kepada tenaga kesehatan. b. Memberikan pelatihan kepada safety officer dan kepala unit di masing-masing unit kerja Rumah Sakit X tentang safety leadership. c. Melakukan program khusus seperti pemberian reward pada kegiatan wajib lapor isu keselamatan. Reward dapat berupa materil ataupun poin tambahan pada penilaian kinerja yang dilakukan di rumah sakit. Hal ini dapat meningkatkan ketertarikan, kesadaran dan kepedulian tenaga kesehatan terhadap terjadinya kesalahan medis di sekitarnya. Kegiatan ini sering dilakukan di industri lain kerap dimana terdapat program wajib lapor kondisi dan perilaku tidak aman pada pekerja
103
dengan adanya umpan balik berupa hadiah tertentu. Pekerja dengan laporan terbanyak berhak mendapatkan hadiah tertentu dari manajemen. Dan setiap laporan yang masuk akan diberikan umpan baliknya kembali berupa tinjauan ulang dari manajemen dan disampaikan kepada pekerja. d. Pelaksanaan safety briefing oleh manajer guna memberikan komitmen terhadap keselamatan pasien dan pekerja di tiap unit. Safety briefing berisi isu keselamatan yang terjadi, tindak lanjut manajemen terhadap isu tersebut dan sarana untuk mengingatkan kembali pekerja agar tetap bekerja dengan selamat. e. Melaksanakan
pengawasan
dan
kontrol
terhadap
budaya
keselamatan pasien melalui survey rutin budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit X. f. Menyesuaikan beban kerja dengan jumlah tenaga kesehatan yang ada di Rumah Sakit X. g. Meningkatkan proses pertukaran informasi pada kegiatan serah terima guna mencegah hilangnya informasi terutama informasi yang terkait keselamatan. h. Bekerjasama dengan bagian rohani untuk ikut mensosialisasikan dan mulai membudayakan respon yang tidak menyalahkan atas kesalahan medis yang terjadi.
104
2. Bagi pihak manajemen Rumah Sakit Y a. Memberikan sosialisasi secara berkala yang bersifat mandatory tentang pelaporan kesalahan medis dan keuntungan serta kerugian adanya pelaporan di Rumah Sakit X kepada tenaga kesehatan. b. Melakukan program khusus seperti pemberian reward pada kegiatan wajib lapor isu keselamatan. Reward dapat berupa materil ataupun poin tambahan pada penilaian kinerja yang dilakukan di rumah sakit. Hal ini dapat meningkatkan ketertarikan, kesadaran dan kepedulian tenaga kesehatan terhadap terjadinya kesalahan medis di sekitarnya. Kegiatan ini sering dilakukan di industri lain kerap dimana terdapat program wajib lapor kondisi dan perilaku tidak aman pada pekerja dengan adanya umpan balik berupa hadiah tertentu. Pekerja dengan laporan terbanyak berhak mendapatkan hadiah tertentu dari manajemen. Dan setiap laporan yang masuk akan diberikan umpan baliknya kembali berupa tinjauan ulang dari manajemen dan disampaikan kepada pekerja. c. Menggabungkan wewenang dan tanggung jawab unit yang menangani masalah keselamatan pasien dan keselamatan kerja serta program yang dilaksanakan oleh keduanya karena keduanya merupakan aspek yang berkorelasi erat. Selain itu dengan menggabungkan koordinasi kedua unit dalam melaksanakan program dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi program di Rumah Sakit Y.
105
d. Mengembangkan instrumen pengukuran budaya keselamatan pasien yang ada agar hasil pengukuran lebih dapat dipercaya. e. Melakukan evaluasi efektifitas setiap program keselamatan yang ada kemudian
dibandingkan
dengan
hasil
pengukuran
budaya
keselamatan pasien yang dilakukan setiap tahun. f. Pelaksanaan safety briefing oleh manajer guna memberikan komitmen terhadap keselamatan pasien dan pekerja di tiap unit. Safety briefing berisi isu keselamatan yang terjadi, tindak lanjut manajemen terhadap isu tersebut dan sarana untuk mengingatkan kembali pekerja agar tetap bekerja dengan selamat. g. Bekerjasama dengan bagian K3 dan manajer tiap unit dalam menciptakan lingkungan yang bebas dari penyalahan individu atas kesalahan medis yang terjadi. h. Menyesuaikan beban kerja dengan kapasitas tenaga kesehatan yang ada di Rumah Sakit Y. 3. Bagi peneliti selanjutnya a. Melakukan penelitian kualitatif untuk menggali informasi yang lebih mendalam terkait variabel-variabel lain yang mempengaruhi persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan. b. Melakukan penelitian dengan menyamakan klasifikasi rumah sakit yang diteliti.
106
DAFTAR PUSTAKA
Advisory Committee on the Safety of Nuclear Installations. 1993. Human Factors Study Group Third Report: Organising for Safety, London, HMSO. Agency for Healthcare Research and Quality. 2003. Ahrq's Patient Safety Initiative : Building Foundations, Reducing Risk. [Online]. Rockville, MD. Dapat diakses dari: http://www.ahrq.gov/research/findings/finalreports/pscongrpt/psiniapp1.html [Pada 12 Desember 2014. Agency for Healthcare Research and Quality 2009. Background and Information for Translators. Agency for Healthcare Research and Quality. 22 Desember 2014 2014. RE: Re: Request for the Tool of Hospital Survey :*Ref#24-38192. Type to SULISTIANI, L. A. Agnew, Cakil, Rhona Flin, dkk. 2013. Patient Safety Climate and Worker Safety Behaviours in Acute Hospitals in Scotland. Journal of Safety Research, 45, 95-101. Aorn Journal. 2006. Aorn Guidance Statement: Creating a Patient Safety Culture. AORN Journal, 83, 936-942. Ariawan, Iwan. 1998. Besar Dan Metode Sampel Pada Penelitian Kesehatan, Depok, Jurusan Biostatistik dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Astuti, Yusri Heni Nurwidi 2010. Peran ―Safety Leadership‖ Dalam Membangun Budaya Keselamatan Yang Kuat. SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR. Yogyakarta: STTN BATAN & Fakultas Saintek UIN SUKA. Ballangrud, Randi, Birgitta Hedelin, dkk. 2012. Nurses‘ Perceptions of Patient Safety Climate in Intensive Care Units: A Cross-Sectional Study. Intensive and Critical Care Nursing, 28, 344-354. Bambang. 2011. 870 Rumah Sakit Belum Terakreditasi. Antara, kamis, 28 April 2015. Barenzani, Nadia. 2009. Kajian Penerapan Budaya Keselamatan Di Iebe. Hasilhasil Penelitian di IEBE. Beginta, Romi. 2012. Pengaruh Budaya Keselamatan Pasien, Gaya Kepemimpinan, Tim Kerja, Terhadap Persepsi Pelaporan Kesalahan Pelayanan Oleh Perawat Di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umumdaerah Kabupaten Bekasi Tahun 2011. Magister Tesis, Universitas Indonesia.
107
Behara, Ravi, Robert L. Wears, dkk. 2005. A Conceptual Framework for Studying the Safety of Transitions in Emergency Care. Advances in Patient Safety, 2. Beuzekom, M. Van, F. Boer, dkk. 2010. Patient Safety : Latent Risk Factors. British Journal of Anaesthesia, 105. Bognár, Agnes, Paul Barach, dkk. 2008. Errors and the Burden of Errors: Attitudes, Perceptions, and the Culture of Safety in Pediatric Cardiac Surgical Teams. The Annals of Thoracic Surgery, 85. Budiarto, Eko. 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran : Sebuah Pengantar, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Calado Monteiro, J. A. dan M. M. Santos Natário. 2014. Safety Culture in the Surgical Services: Case Study. Tékhne. Canadian Council on Health Services Accreditation 2003. Cchsa and Patient Safety 2003. Canadian Institute for Health Information. 2003. Frequently Asked Questions — Adverse Events Project. Dapat diakses dari: http://secure.cihi.ca/cihiweb/dispPage.jsp?cw_page=adevents_faq_e#adve rse [Pada 12 Desember 2014]. Carayon, Pascale, Tosha B. Wetterneck, dkk. 2014. Human Factors Systems Approach to Healthcare Quality and Patient Safety. Applied Ergonomics, 45. Chakravarty, Abhijit. 2013. A Survey of Attitude of Frontline Clinicians and Nurses Towards Adverse Events. Medical Journal Armed Forces India, 69, 335-340. Classen, Dc, R Resar, dkk. 2011. ‗Global Trigger Tool‘ Shows That Adverse Events in Hospitals May Be Ten Times Greater Than Previously Measured. Health Aff (Millwood), 30. Colla, J B, A C Bracken, dkk. 2005. Measuring Patient Safety Climate: A Review of Surveys. Qual Saf Health Care, 14, 364-366. Davies, Jan M., Philip Hébert, dkk. 2003. The Canadian Patient Safety Dictionary. Canada: The Royal College of Physicians and Surgeons of Canada. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Panduan Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety), Jakarta.
Nasional
Ditullio, Barbara. 2010. On Building Teams That Support a Patient Safety Culture. AORN Journal, 92, S107-S108.
108
Eaves-Leanos, Aaliyah dan Edward J. Dunn. 2012. Open Disclosure of Adverse Events: Transparency and Safety in Health Care. Surgical Clinics of North America, 92, 163-177. El-Jardali, Fadi, Hani Dimassi, dkk. 2011. Predictors and Outcomes of Patient Safety Culture in Hospital. BMC Health Services Research, 11. Erler, Cheryl, Nancy E. Edwards, dkk. 2013. Perceived Patient Safety Culture in a Critical Care Transport Program. Air Medical Journal, 32, 208-215. Espin, Sherry, Wendy Levinson, dkk. 2006. Error or ―Act of God‖? A Study of Patients' and Operating Room Team Members' Perceptions of Error Definition, Reporting, and Disclosure. Surgery, 139, 6-14. Espin, Sherry, Glenn Regehr, dkk. 2007. Factors Influencing Perioperative Nurses' Error Reporting Preferences. AORN Journal, 85, 527-543. Espin, Sherry, Abigail Wickson-Griffiths, dkk. 2010. To Report or Not to Report: A Descriptive Study Exploring Icu Nurses‘ Perceptions of Error and Error Reporting. Intensive and Critical Care Nursing, 26, 1-9. Flin, R, C Burns, dkk. 2006. Measuring Safety Climate in Health Care. Qual Saf Health Care, 15, 109-115. Ghazal, Lubna, Zulekha Saleem, dkk. 2014. A Medical Error: To Disclose or Not to Disclose. J Clin Res Bioeth, 5. Ginen, Bob. 2014. Business Communication Feedback. Five reasons why feedback may be the most important skill [Online]. Dapat diakses dari: http://www.cambridge.org/elt/blog/2014/03/five-reasons-feedback-mayimportant-skill/ [Pada 12 Juli 2015]. Gulley, Tamala Lavelle. 2007. Investigation into Workplace Culture for Medication Error Reporting in Pharmacy, Ann Arbor, MI, Proquest. Hastono, Sutanto Priyo dan Luknis Sabri. 2011. Statistik Kesehatan, Jakarta, Rajawali Pers. Heni, Yusri. 2011. Improving Our Safety Culture : Cara Cerdas Membangun Budaya Keselamatan Yang Kokoh, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama. Hercules, Patricia Ann. 2010. Instrument Readiness: A Patient Safety Issue. Perioperative Nursing Clinics, 5, 15-25. Inoue,
Akiomi, Norito Kawakami, dkk. 2010. Organizational Justice, Psychological Distress, and Work Engagement in Japanese Workers. Int Arch Occup Environ Health, 83, 29-38.
Kachalia, Allen dan David W. Bates. 2014. Disclosing Medical Errors: The View from the USA. The Surgeon, 12, 64-67.
109
Kalra, Jawahar, Natasha Kalra, dkk. 2013. Medical Error, Disclosure and Patient Safety: A Global View of Quality Care. Clinical Biochemistry, 46, 11611169. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/Menkes/Per/Viii/2011 Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit. In: MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA (ed.) Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor. Jakarta. Kohn, Linda T. dan Janet M. Corrigan 1999. To Err Is Human. In: DONALDSON, M. S. (ed.) Building a Safer Health System. Washington D.C.: National Academy Press. Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit 2011. Laporan Insiden Keselamatan Pasien Periode Januari-April 2011. http://www.inapatsafetypersi.or.id/data/triwulan12011/laporan_ikp12011.pdf: PERSI. Kreitner, Robert dan Angelo Kinicki. 2007. Organizational Behavior, New York, McGraw-Hill Int. Lamo, Nancy. 2011. Disclosure of Medical Errors : The Right Thing to Do, but What Is the Cost?, Kansas City, Lockton Companies LLC. Lederman, Reeva, Suelette Dreyfus, dkk. 2013. Electronic Error-Reporting Systems: A Case Study into the Impact on Nurse Reporting of Medical Errors. Nursing Outlook, 61, 417-426.e5. Mcfadden, Kathleen L., Stephanie C. Henagan, dkk. 2009. The Patient Safety Chain: Transformational Leadership's Effect on Patient Safety Culture, Initiatives, and Outcomes. Journal of Operations Management, 27, 390404. Meginniss, Anne, Frances Damian, dkk. 2012. Time out for Patient Safety. Journal of Emergency Nursing, 38, 51-53. Nurcahyo, Heru. 2008. Ilmu Kesehatan Jilid 1 Dan 2 Untuk Smk, Jakarta, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan Nasional. Occupational Safey and Health Administration. 2014. Organizational Safety Culture - Linking Patient and Worker Safety [Online]. Dapat diakses dari: https://www.osha.gov/SLTC/healthcarefacilities/safetyculture_full.html [Pada 12 Januari 2014]. Pratiwi, Nurandini. 2014. Gambaran Budaya Keselamatan Pasien Di Rsud Lasinrang Pinrang Tahun 2014. S1 Undergraduate Thesis, Universitas Hasanuddin.
110
Raper, Steven E., Andrew S. Resnick, dkk. 2014. Simulated Disclosure of a Medical Error by Residents: Development of a Course in Specific Communication Skills. Journal of Surgical Education, 71, e116-e126. Republik Indonesia 2009a. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144. Jakarta: Sekretariat Negara RI. Republik Indonesia 2009b. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153. Jakarta: Sekretariat Negara RI. Republik Indonesia 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014. Lembaran Negara Republik Indonesia No. 298 Tahun 2014. Jakarta: Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Robb, Gillian dan Mary Seddon. 2010. Measuring the Safety Culture in a Hospital Setting : A Concept Whose Time Has Come? The New Zealand Medical Journal, 123. Ross, Jacqueline. 2011. Understanding Patient Safety Culture: Part I. Journal of PeriAnesthesia Nursing, 26, 170-172. Rosyada, Sabila Diena. 2014. Gambaran Budaya Keselamatan Pasien Pada Perawat Unit Rawat Inap Kelas Iii Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Rebo Bulan Juni Tahun 2014. Sarjana Kesehatan Masyarakat Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sarwono, Sarlito W. 2010. Pengantar Psikologi Umum, Jakarta, Rajawali Pers. Schulz, Martin 2001. Organizational Learning. In: BAUM, J. A. C. (ed.) Companion to Organizations. University of Washington: Blackwell Publishers. Setiawan, Ebta. 2014. Kamus Besar Bahasa Indonesia Online [Online]. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. [Pada 19 Desember 2014]. Sherriff, Barry dan Norton Rose 2011. Promoting Effective Health and Safety Leadership Using Platform in the Model Work Health and Safety Act. Canberra: Safe Work Australia. Sinicki, J., G. Bednarz, dkk. 2012. Your Safety, Our Commitment: A Standardized Error Reporting Enabling a Culture of Patient Safety. International Journal of Radiation Oncology*Biology*Physics, 84, S663S664. Siswandi. 2011. Aplikasi Manajemen Perusahaan: Analisis Kasus Dan Pemecahannya, Jakarta, Penerbit Mitra Wacana Media.
111
Sorra, Joann S. dan Veronica F. Nieva 2004. Hospital Survey on Patient Safety Culture. In: WESTAT (ed.) AHRQ Publication No. 04-0041 ed. Rockville, MD: Agency for Healthcare Research and Quality. Stone, Patricia W., Michael I. Harrison, dkk. 2006. Organizational Climate of Staff Working Condition an Safety - an Integrative Model Advances in Patient Safety, 2, 467-468. Suharjo, J. B. dan B. Cahyono. 2008. Membangun Budaya Keselamatan Pasien Dalam Praktik Kedokteran, Yogyakarta, Penerbit Kanisius. Wang, Xue, Ke Liu, dkk. 2014. The Relationship between Patient Safety Culture and Adverse Events: A Questionnaire Survey. International Journal of Nursing Studies, 51, 1114-1122. Waters, Norna F., Wendy A. Hall, dkk. 2012. Perceptions of Canadian Labour and Delivery Nurses About Incident Reporting: A Qualitative Descriptive Focus Group Study. International Journal of Nursing Studies, 49, 811821. White, Andrew A. dan Thomas H. Gallagher. 2013. Chapter 8 - Medical Error and Disclosure. In: JAMES, L. B. dan H. R. BERESFORD (eds.) Handbook of Clinical Neurology. Elsevier. Who 2009. Better Knowledge for Safer Care : Human Factors in Patient Safety, Review of Topics and Tools. Williams, Steven D., Denham L. Phipps, dkk. 2013. Understanding the Attitudes of Hospital Pharmacists to Reporting Medication Incidents: A Qualitative Study. Research in Social and Administrative Pharmacy, 9, 80-89. Winsvold Prang, Ida dan Lars-Petter Jelsness-Jørgensen. 2014. Should I Report? A Qualitative Study of Barriers to Incident Reporting among Nurses Working in Nursing Homes. Geriatric Nursing, 35, 441-447. Wolf, Zane Robinson dan Ronda G. Hughes. 2005. Chapter 35. Error Reporting and Disclosure. In: HUGHES, R. G. (ed.) Patient Safety and Quality: An Evidence-Based Handbook for Nurses. Rockville, MD: Agency for Healthcare Research and Quality. World Health Organization 2009. Better Knowledge for Safer Care : Human Factors in Patient Safety, Review of Topics and Tools. World Health Organization. 2014. 10 Facts of Patient Safety. Dapat diakses dari: http://www.who.int/features/factfiles/patient_safety/patient_safety_facts/e n/ [Pada 28 November 2014]. Youngson, George G. 2014. Medical Error and Disclosure – a View from the U.K. The Surgeon, 12, 68-72.
LAMPIRAN
112
113
KUESIONER PENELITIAN Kepada Yth. Bapak/Ibu/Saudara/i Dokter dan Perawat di Rumah Sakit X dan Y Jakarta
Assalamualaikum wr.wb. Salam Hormat. Saya, Lany Aprili Sulistiani mahasiswi program studi Kesehatan Masyarakat peminatan keselamatan dan kesehatan kerja akan mengadakan penelitian yang berjudul ―Korelasi Budaya Keselamatan Pasien Dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis Oleh Tenaga Kesehatan Sebagai Upaya Peningkatan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Di Rumah Sakit X Dan Rumah Sakit Y Jakarta Tahun 2015‖. Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran hubungan budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di masing-masing rumah sakit. Penelitian ini tidak akan menimbulkan hal merugikan bagi bapak/ibu/saudara/i sebagai responden. Informasi yang didapatkan akan dijamin kerahasiaannya dan hanya akan digunakan dalam kepentingan penelitian ini. Oleh karena itu saya mohon agar bapak/ibu/saudara/i untuk menjawab pertanyaan ini dengan objektif dan sejujur-jujurnya sesuai dengan kondisi bapak/ibu/saudara/i. Pernyataan dalam kuesioner ini merupakan pernyataan-pernyataan yang menggambarkan kondisi umum pekerjaan bapak/ibu/saudara/i selama bekerja di rumah sakit sekarang ini. Atas kesediaan bapak/ibu/saudara/i untuk mengisi kuesioner ini dengan lengkap dan jujur saya mengucapkan banyak terimakasih.
LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bersedia untuk menjadi responden penelitian ini dan saya memahami dan menyadari bahwa penelitian ini bersifat rahasia dan tidak akan mempengaruhi atau mengakibatkan hal yang merugikan saya. Oleh karena itu saya bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Jakarta/
April 2015
Responden
114
C. Identitas Responden 1. Usia 2. Jenis Tenaga Medis Dokter 3. Unit Kerja 4. Rumah Sakit RS X
: ……. tahun : Perawat Tenaga kesehatan lain, (sebutkan)............... : …………………………………... : Rumah Sakit Y
D. Petunjuk Pengisian 1. Kuesioner ini bertujuan untuk meminta pendapat anda tentang isu keselamatan pasien, kesalahan medis dan pelaporan kesalahan medis di unit kerja dan rumah sakit tempat anda bekerja. Untuk menyelesaikan seluruh pertanyaan dalam survei ini akan dibutuhkan kirakira 10-15 menit. 2. Kuesioner ini bukanlah tes dengan jawaban benar atau salah, yang terpenting anda menjawab dengan jujur sesuai pendapat dan kondisi anda 3. Kami menjamin kerahasiaan jawaban bapak/ibu/saudara/i karena kuesioner ini sematamata bertujuan untuk penelitian dan bukan untuk mengevaluasi kinerja anda. 4. Kuesioner ini dapat digunakan optimal apabila semua pertanyaan terjawab. Oleh karena itu mohon diteliti, apakah semua pertanyaan telah terjawab sebelum dikembalikan ke peneliti. DEFINISI ISTILAH Keselamatan pasien adalah suatu hal yang berbentuk pencegahan terhadap tindakan yang dapat menciderai pasien selama proses perawatan. Kesalahan adalah ketidaksesuaian pekerjaan yang dilakukan dengan standar operasional prosedur yang berlaku dan berpotensi menimbulkan insiden keselamatan pasien baik secara langsung maupun tidak langsung. E. Pertanyaan Bagian 1 : Budaya Keselamatan Pasien Kuesioner bagian ini bertujuan untuk mengetahui budaya keselamatan pasien yang ada dan berlaku di rumah sakit tempat anda bekerja. NO. A1 A2 A3
Pernyataan Setiap petugas di unit saya saling mendukung satu sama lain dalam bekerja Saya merasa unit ini memiliki cukup petugas untuk mengerjakan semua tugas yang ada di unit ini Ketika banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dengan cepat, kami bekerjasama sebagai sebuah tim untuk mengerjakannya
Sangat Tidak Setuju
Tidak Setuju
Setuju
Sangat Setuju
115
NO. A4 A5 A6 A7 A8 A9 A10 A11 A12 A13 A14 A15 A16 A17 A18 B1 B2 B3
Pernyataan Di unit saya, setiap petugas memperlakukan rekan kerja yang lain dengan baik Setiap petugas di unit saya bekerja lebih lama dari waktu yang seharusnya (lebih dari 8 jam sehari; atau lebih dari 40 jam seminggu) demi keselamatan pasien Kami secara aktif melakukan kegiatan – kegiatan yang dapat meningkatkan kualitas keselamatan pasien Saya merasa unit ini lebih banyak menggunakan tenaga honorer untuk kegiatan pelayanan disini Saya merasa kesalahan yang kami lakukan di unit ini digunakan untuk menyalahkan kami Di unit saya, kesalahan – kesalahan yang dilaporkan berperan penting untuk membawa perubahan yang positif Jarang sekali tidak ada kesalahan yang serius terjadi disini Ketika salah satu petugas di unit saya sibuk dengan pekerjaannya, petugas yang lain akan membantu Ketika kesalahan yang berdampak negatif pada pasien dilaporkan, saya merasa pelakunya yang utama dibicarakan bukan masalahnya Kami mengevaluasi efektivitas setiap program peningkatan keselamatan pasien yang telah dijalankan Kami bekerja dalam ―mode krisis‖, yaitu berusaha melakukan pekerjaan yang begitu kompleks dalam waktu yang sangat singkat Keselamatan pasien tidak pernah dikorbankan hanya agar lebih banyak pekerjaan yang diselesaikan Saya khawatir kesalahan yang saya perbuat akan dicatat dalam penilaian kinerja saya Saya merasa ada masalah keselamatan pasien di unit ini Prosedur dan sistem di unit ini sudah baik dalam mencegah kesalahan terjadi Atasan saya akan memberikan pujian ketika pekerjaan yang saya lakukan sesuai dengan prosedur keselamatan pasien Atasan saya selalu mempertimbangkan saran dari stafnya untuk meningkatkan keselamatan pasien Ketika banyak tuntutan pekerjaan yang harus diselesaikan, atasan saya menginginkan kami bekerja lebih cepat, meskipun kami harus mengambil jalan
Sangat Tidak Setuju
Tidak Setuju
Setuju
Sangat Setuju
116
NO.
Pernyataan pintas untuk menyelesaikannya
B4 C1 C2 C3 C4 C5 C6 F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9
Atasan saya mengabaikan masalah keselamatan pasien yang terus terjadi secara berulang Kami selalu diberi umpan balik tentang perubahan yang dilakukan setelah terjadi suatu insiden Saya bebas untuk berpendapat jika melihat sesuatu yang dapat memberikan dampak negatif terhadap keselamatan pasien Kami selalu diberitahu mengenai setiap kesalahan – kesalahan apapun yang terjadi di unit kami Saya memiliki kewenangan yang bebas untuk mempertanyakan keputusan atau tindakan yang diambil oleh atasan saya Pada unit kami, kami selalu mendiskusikan langkahlangkah yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu kesalahan terjadi lagi di unit kami Petugas takut untuk bertanya jika terdapat suatu hal yang tidak benar sedang terjadi berkaitan dengan kselamatan pasien Pihak manajemen rumah sakit selalu menciptakan suasana kerja yang berorientasi pada keselamatan pasien Unit – unit di rumah sakit kurang berkoordinasi dengan baik antara satu dengan yang lain Kesalahan yang terjadi di unit ini, seringkali menjadi penyebab terjadinya kesalahan di unit lain yang berdampak negatif pada keselamatan pasien Ada kerjasama yang baik antar unit di rumah sakit dalam menyelesaikan pekerjaan yang harus dilakukan secara bersama-sama Informasi penting yang berkaitan dengan keselamatan pasien seringkali tidak tersampaikan kepada petugas berikutnya saat pergantian shift kerja Saya merasa kurang nyaman bekerjasama dengan petugas dari unit lain di rumah sakit ini Kadang muncul masalah saat melakukan pertukaran informasi antar unit di rumah sakit Tindakan – tindakan yang dilakukan pihak manajemen di rumah sakit menunjukkan bahwa keselamatan pasien merupakan prioritas yang diutamakan Manajemen rumah sakit memperhatikan keselamatan
Sangat Tidak Setuju
Tidak Setuju
Setuju
Sangat Setuju
117
Sangat Tidak Setuju
NO.
Pernyataan
F10
pasien hanya saat terjadi kejadian tidak diharapkan yang menciderai pasien Unit – unit dalam rumah sakit bekerjasama dengan baik dalam memberikan pelayanan yang bereorientasi pada keselamatan pasien Pergantian shift menimbulkan masalah bagi pasien di rumah sakit ini
F11
Tidak Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Bagian 2 : Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis Kuesioner bagian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana persepsi anda terhadap pelaporan kesalahan medis yang ada di rumah sakit terutama di unit tempat anda bekerja. Petunjuk Pengisian : Silahkan baca terlebih dahulu pernyataan di tiap-tiap poin dan berikan tanda centang di pilihan jawaban anda. Rentang jawaban di bawah ini menunjukkan jawaban saudara. Angka 1 menunjukkan bahwa pernyataan tersebut tidak sesuai dengan kondisi anda dan tidak pernah anda lakukan, sedangkan angka 7 menunjukkan bahwa pernyataan tersebut sangat sesuai dengan kondisi anda dan selalu anda lakukan. 1 2 (Tidak Pernah) NO. 1 2
3 4 5 6
3
4
5
Pernyataan Saya memberikan laporan ketika menemukan kesalahan, walaupun kesalahan tersebut tidak akan membahayakan atau mencelakakan pasien Saya memberikan laporan ketika menemukan kesalahan yang dapat mencelakakan pasien walaupun tidak sampai terjadi, karena sempat diketahui dan diperbaiki terlebih dahulu Saya memberikan laporan ketika menemukan kesalahan yang dapat mencelakakan pasien walaupun tidak berakibat buruk atau fatal Saya memberikan laporan tentang kondisi kerja yang berpotensi menyebabkan kesalahan (misalnya pencatatan tidak teratur, lantai licin dll) Saya memberikan laporan tentang kebiasaan kerja yang saya tahu merupakan suatu yang salah Saya memberikan laporan tentang penyimpangan prosedur yang dilakukan untuk kebaikan (misal menunda memberikan konseling/pemberian obat/visit karena pasien sedang tidur)
6 1
7 (Selalu) 2
3
4
5
6
7
118
NO. 7
8 9 10
Pernyataan Saya memberikan laporan tentang penyimpangan prosedur yang dilakukan untuk efisiensi kerja (misalnya menunda memberikan konseling/obat/visit agar dapat dilakukan bersama pasien lain) Saya memberikan laporan kesalahan yang disebabkan/terjadi pada rekan kerja saya Saya memberikan laporan kesalahan yang disebabkan/terjadi pada atasan saya Saya memberikan laporan kesalahan pencatatan yang terjadi
1
2
3
4
Terimakasih atas kesediaan bapak/ibu/saudara/i karena telah menjawab pertanyaan survei ini dengan lengkap Mohon diperiksa kembali jawaban anda dan pastikan sudah terisi semua
5
6
7
Alat Analisis Penelitian Hospital Survey On Patient Safety Culture Data Entry and Analysis Tools
119
120
OUTPUT PERHITUNGAN Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit X
Budaya Keselamatan Pasien di RS Y
121
Korelasi dimensi 1 dengan persepsi di Rumah Sakit X Correlations tot_persepsi Spearman's rho
tot_persepsi
Correlation Coefficient
d1_supervisor
1.000
Sig. (2-tailed)
.
N d1_supervisor
.388
**
.000
101
101
**
1.000
Sig. (2-tailed)
.000
.
N
101
101
Correlation Coefficient
.388
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Korelasi dimensi 2 dengan persepsi di Rumah Sakit X Correlations tot_persepsi Spearman's rho
tot_persepsi
Correlation Coefficient
D2_orglearn
1.000
Sig. (2-tailed) N D2_orglearn
Correlation Coefficient
.496
**
.
.000
101
101
**
1.000
.496
Sig. (2-tailed)
.000
.
N
101
101
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Korelasi dimensi 3 dengan persepsi di Rumah Sakit X Correlations d3_TW_in_unit Spearman's rho
d3_TW_in_unit
Correlation Coefficient
1.000
Sig. (2-tailed)
.327
**
.
.001
101
101
**
1.000
Sig. (2-tailed)
.001
.
N
101
101
N tot_persepsi
tot_persepsi
Correlation Coefficient
.327
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Korelasi dimensi 4 dengan persepsi di Rumah Sakit X Correlations d4_comm_open nes
tot_persepsi Spearman's rho
tot_persepsi
Correlation Coefficient
1.000
Sig. (2-tailed)
**
.
.000
101
101
**
1.000
Sig. (2-tailed)
.000
.
N
101
101
N d4_comm_opennes
.582
Correlation Coefficient
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
.582
122
Korelasi dimensi 5 dengan persepsi di Rumah Sakit X Correlations tot_persepsi Spearman's rho
tot_persepsi
Correlation Coefficient N
*
1.000
.197
.
.048
Sig. (2-tailed) d5_feedback
d5_feedback
101
101
*
1.000
Sig. (2-tailed)
.048
.
N
101
101
Correlation Coefficient
.197
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Korelasi dimensi 6 dengan persepsi di Rumah Sakit X Correlations tot_persepsi Spearman's rho
tot_persepsi
Correlation Coefficient
1.000
Sig. (2-tailed) N d6_nonpun_resp
d6_nonpun_resp
Correlation Coefficient
.419
.
.000
101
101
**
1.000
.419
Sig. (2-tailed)
.000
.
N
101
101
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Korelasi dimensi 7 dengan persepsi di Rumah Sakit X Correlations tot_persepsi Spearman's rho
tot_persepsi
Correlation Coefficient
d7_staffing
1.000
.039
.
.701
N
101
101
Correlation Coefficient
.039
1.000
Sig. (2-tailed)
.701
.
N
101
101
Sig. (2-tailed) d7_staffing
Korelasi dimensi 8 dengan persepsi di Rumah Sakit X Correlations tot_persepsi Spearman's rho
tot_persepsi
Correlation Coefficient
d8_mana_supp
1.000
.112
.
.266
N
101
101
Correlation Coefficient
.112
1.000
Sig. (2-tailed)
.266
.
N
101
101
Sig. (2-tailed) d8_mana_supp
**
123
Korelasi dimensi 9 dengan persepsi di Rumah Sakit X Correlations tot_persepsi Spearman's rho
tot_persepsi
Correlation Coefficient
1.000
.176
.
.078
Sig. (2-tailed) d9_team_across
d9_team_across
N
101
101
Correlation Coefficient
.176
1.000
Sig. (2-tailed)
.078
.
N
101
101
Korelasi dimensi 10 dengan persepsi di Rumah Sakit X Correlations tot_persepsi Spearman's rho
tot_persepsi
Correlation Coefficient
.016
.
.870
N
101
101
Correlation Coefficient
.016
1.000
Sig. (2-tailed)
.870
.
N
101
101
Sig. (2-tailed) d10_handsoff
d10_handsoff
1.000
Korelasi dimensi 1 dengan persepsi di Rumah Sakit Y Correlations tot_persepsi Spearman's rho
tot_persepsi
Correlation Coefficient
.217
.
.039
N
91
91
*
1.000
.039
.
91
91
Correlation Coefficient
.217
Sig. (2-tailed) N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Korelasi dimensi 2 dengan persepsi di Rumah Sakit Y Correlations tot_persepsi Spearman's rho
tot_persepsi
Correlation Coefficient
.073
.
.493
91
91
Correlation Coefficient
.073
1.000
Sig. (2-tailed)
.493
.
91
91
N d2_orglearn
d2_orglearn
1.000
Sig. (2-tailed)
N
*
1.000
Sig. (2-tailed) d1_supervisor
d1_supervisor
124
Korelasi dimensi 3 dengan persepsi di Rumah Sakit Y Correlations tot_persepsi Spearman's rho
tot_persepsi
Correlation Coefficient
1.000
.184
.
.081
Sig. (2-tailed) N d3_TW_in_unit
d3_TW_in_unit
91
91
Correlation Coefficient
.184
1.000
Sig. (2-tailed)
.081
.
91
91
N
Korelasi dimensi 4 dengan persepsi di Rumah Sakit Y Correlations tot_persepsi Spearman's rho
tot_persepsi
Correlation Coefficient
*
.264
.
.012
91
91
Correlation Coefficient
.264
*
1.000
Sig. (2-tailed)
.012
.
91
91
Sig. (2-tailed) N d4_comm_open
d4_comm_open
1.000
N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Korelasi dimensi 5 dengan persepsi di Rumah Sakit Y Correlations tot_persepsi Spearman's rho
tot_persepsi
Correlation Coefficient
1.000
Sig. (2-tailed) N d5_feedback
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
d5_feedback .286
**
.
.006
91
91
**
1.000
.006
.
91
91
.286
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Korelasi dimensi 6 dengan persepsi di Rumah Sakit Y Correlations d6_non_punitive _respond
tot_persepsi Spearman's rho
tot_persepsi
Correlation Coefficient
1.000
.201
.
.057
91
91
Correlation Coefficient
.201
1.000
Sig. (2-tailed)
.057
.
91
91
Sig. (2-tailed) N d6_non_punitive_respond
N
125
Korelasi dimensi 7 dengan persepsi di Rumah Sakit Y Correlations tot_persepsi Spearman's rho
tot_persepsi
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
d7_staffing
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
d7_staffing
1.000
-.165
.
.118
91
91
-.165
1.000
.118
.
91
91
Korelasi dimensi 8 dengan persepsi di Rumah Sakit Y Correlations d8_management _support
tot_persepsi Spearman's rho
tot_persepsi
Correlation Coefficient
1.000
.157
.
.137
91
91
Correlation Coefficient
.157
1.000
Sig. (2-tailed)
.137
.
91
91
Sig. (2-tailed) N d8_management_support
N
Korelasi dimensi 9 dengan persepsi di Rumah Sakit Y Correlations tot_persepsi Spearman's rho
tot_persepsi
Correlation Coefficient
1.000
.203
.
.054
91
91
Correlation Coefficient
.203
1.000
Sig. (2-tailed)
.054
.
91
91
Sig. (2-tailed) N d9_TW_ac_unit
d9_TW_ac_unit
N
Korelasi dimensi 10 dengan persepsi di Rumah Sakit Y Correlations d10_handsoff_tr ansition
tot_persepsi Spearman's rho
tot_persepsi
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
.098
.
.357
91
91
Correlation Coefficient
.098
1.000
Sig. (2-tailed)
.357
.
91
91
N d10_handsoff_transition
1.000
N