FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GEJALA INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI 5 POSYANDU DESA TAMANSARI KECAMATAN PANGKALAN KARAWANG TAHUN 2013
SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh : RUDIANTO NIM : 109101000075
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H / 2013 M
i
ii
iii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, 25 Juli 2013 RUDIANTO, NIM : 109101000075 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di 5 Posyandu Desa Tamansari Kecamatan Pangkalan Karawang Tahun 2013 (xv + 107 halaman, 25 tabel, 2 bagan, 6 lampiran) ABSTRAK ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada balita. Di wilayah Puskesmas Pangkalan yang berada di sekitar industri batu kapur, ISPA masih berada diurutan pertama dari 10 penyakit lainnya. Debu yang berasal dari pembakaran batu kapur merupakan pencemar terhadap lingkungan yang perlu diwaspadai karena dapat mengganggu kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status gizi, status imunisasi, PM10, suhu, kelembaban, racun nyamuk, kebiasaan merokok, bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan hunian dengan gejala ISPA pada balita di desa tamansari dan dilaksanakan April-Juni 2013. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional dengan desain cross sectional. Populasi dan sampel penelitian ini adalah balita yang berusia 1-59 bulan di 5 posyandu desa tamansari tahun 2013 yaitu 68 balita. Analisis data dilakukan dengan CI=95% secara univariat dan bivariat serta menggunakan uji chi square dan man whitney dengan α=0,05. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa proporsi balita ISPA sebesar 57,4%, status gizi kurang sebesar 10,3%, status imunisasi tidak lengkap sebesar 11,8%, rata-rata PM10 sebesar 162,50 µg/m3, rata-rata suhu 28,66 0C, rata-rata kelembaban 86,12%, racun nyamuk bakar sebesar 89,7%, kebiasaan anggota keluarga yang merokok didalam rumah sebesar 79,4%, yang menggunakan yang memakai kayu bakar sebesar 14,7%, luas ventilasi, kepadatan hunian, yang tidak memenuhi syarat sebesar 64,7%, 80,9%. Faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA pada balita pada penelitian ini adalah kepadatan hunia (p=0,032). Sedangkan status gizi, status imunisasi, PM10, suhu, kelembaban, racun nyamuk, kebiasaan merokok, bahan bakar memasak dan luas ventilasi : tidak berhubungan secara bermakna dengan gejala ISPA pada balita. Disarankan kepada puskesmas agar memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingan kesehatan rumah serta masyarakat perlu memperbaiki kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi syarat. Kata Kunci : ISPA, status gizi, status imunisasi, PM10, suhu, kelembaban, racun nyamuk, kebiasaan merokok, bahan bakar masak, luas ventilasi dan kepadatan hunian.
iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM Undergraduate thesis, 25 July 2013 RUDIANTO, NIM: 109101000075 FACTORS ASSOCIATED WITH SYMPTOMS OF RESPIRATORY INFECTIONS (ARI) IN TODDLERS AT THE CASTLE VILLAGE 5 SUB BASE TAMANSARI KARAWANG IN 2013 (xv + 107 Pages, 25 Table, 2 Charts, 6 Attachments) ABSTRACT ARI Acute Respiratory Infection is a disease that often occurs in infants. Base health centers in areas that are around the limestone industry, ISPA still comes out the first of 10 other diseases. The soot from burning limestone is a pollutant to the environment that needs to watch out because it can be detrimental to health. This study aims to determine the relationship between nutritional status, immunization status, PM10, temperature, humidity, mosquitoes toxins, smoking, cooking fuel, extensive ventilation and occupancy density with symptoms of respiratory infection in infants in the Castle and village conducted from April to June 2013. This type of research is an observational cross-sectional design. Population and sample of this study is that infants aged 1-59 months in 5 villages posyandu the Castle in 2013 that 68 toddlers. Data analysis was performed with 95% CI = univariate and bivariate and using chi square test and man whitney with α = 0.05. These results indicate that the proportion of 57.4% toddlers ARI, malnutrition status of 10.3%, incomplete immunization status of 11.8%, an average of 162.50 μg/m3 of PM10, the average temperature is 28 , 66 0C, the average moisture 86.12%, mosquito poison by 89.7%, the smoking habits of family members in the home by 79.4%, which use the firewood of 14.7%, extensive venting, density residential, which does not qualify for 64.7%, 80.9%. Factors associated with symptoms of respiratory infection in infants in this study were hunia density (p = 0.032). While nutritional status, immunization status, PM10, temperature, humidity, mosquitoes toxins, smoking, cooking fuel and extensive ventilation: not significantly associated with respiratory symptoms in toddlers. Recommended to the clinic in order to educate the public about the health interests of the community need to improve the physical condition of the home that do not qualify. Keywords: respiratory infections, nutritional status, immunization status, PM10, temperature, humidity, mosquitoes toxins, smoking, cooking fuel, extensive ventilation and occupancy density.
v
DATA RIWAYAT HIDUP PENULIS Nama
: Rudianto
TTL
: Lampung, 14 Desember 1989
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat asal
: Jln. Merdeka Rt/Rw 007/002 Desa Pangkalan Panji Kab : Banyuasin 30753 Palembang
Agama
: Islam
Status pernikahan
: Akan Menikah
Nomor Handphone
: 087885918582
Email
:
[email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN 2009 - Sekarang
S1 - Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan Lingkungan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2006 - 2009
MAN 1 Pangkalan Balai Banyuasin
2003 - 2006
SMP Negeri 3 Banyuasin III Pulau Harapan
1997 - 2003
SD Negeri PP Langkan
PENGALAMAN MAGANG Maret – April 2013
Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang Bidang Penyehatan Lingkungan
2010 – 2013
Pemberdayaan Masyarakat Melalui Usaha Ternak Bebek Kalung Magelang Jawa Tengah
vi
PENGALAMAN KUNJUNGAN LAPANGAN 05-12-2011
PT. Chevron Company Oil and Gas Balikpapa Kalimantan Timur
07-12-2011
PT. PERTAMINA Unit 5 Balikpapa Kalimantan Timur
21-04-2012
PT. JOB Pertamina Petrochina Tuba Jawa timur
07-05-2012
PT. Chevron Gheothermal Indonesia Garut Jawa Barat
28-06-2012
PT. Suralaya Pembangkit Listrik Cilegon Banten
PENGALAMAN ORGANISASI 2004 – 2005
Anggota Pramuka SMP Negeri 3 Pulau Harapan
2006 – 2008
Anggota Paskibra MAN Pangkalan Balai
2006 - 2008
Staff Departemen Kewarga Negaraan OSIS MAN PABA
2010 - 2011
Staff Departemen Kemahasiswaan BEM FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2010 - 2011
Ketua Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) 1 Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang
2009 - Sekarang
Anggota Envihsa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2009 - Sekarang
Ketua Angkatan 2009 Mahasiswa Beasiswa Santri Jadi Dokter Sumatera Selatan
2013 - Sekarang
Ketua Komunitas Generasi Peduli Banyuasin
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Puji syukur Kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta nikmat-Nya kepada seluruh umatnya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membimbing umatnya menuju jalan yang terang penuh Cahaya Illahi. Alhamdulillah pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi “Faktor-faktor
yang
Berhubungan
dengan
Gejala
Infeksi
Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di 5 Posyandu Desa Tamansari Kecamatan Pangkalan Karawang Tahun 2013” dengan baik dan penuh perjuangan. Skripsi ini disusun dan disajikan sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Teriringi doa, dengan segala kerendahan hati dan rasa syukur penulis memberikan ucapan terimakasih atas terselesaikannya skripsi ini kepada: 1. Skripsi ini aku persembahkan untuk kedua orang tuaku tercinta yang telah memberikan semangat, bimbingan dan doa yang tiada henti untuk lulus tepat waktu. 2. Kakak kandung (Suwarni Ningsih, Heri Susanto, Ida susanti, dan Septiarini) yang telah memberikan dukungan, bantuan dan semangat agar bisa lulus tepat waktu.
viii
3. Adik-adik kandungku (Fera Yuliana dan Tomi julianto) yang selalu memberikan semangat agar bisa lulus cepat. 4. Dini Asmiar, Am. Keb yang selalu memberikan dukungan, semangat dan doa agar bisa lulus cepat. 5. Dinas Pendidikan Sumatera Selatan yang telah memberikan beasiswa kuliah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Ibu Febrianti, SP. Msi. Selaku kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Ibu Ela Laelasari, SKM, M.Kes selaku pembimbing I yang telah memberikan
tuntunan
dan
bimbingan
ilmu
pengetahuan
dalam
penyusunan skripsi ini. 8. Ibu Dewi Utami Iriani, SKM, M.Kes, Ph.D selaku pembimbing II yang telah memberikan tutunan dan bimbingan ilmu pengetahuan dalam penyusunan skripsi ini. 9. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku pembina peminatan kesehatan lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 10. Nenek, Uwak dan Anisa yang telah banyak membantu dan memberikan izin untuk tinggal dalam pelaksanaan skripsi. 11. Temen-temen dan sahabatku mahasiswa beasiswa sumsel khususnya angkatan 2009 (Midun, Aan, Rifki, Desly, Zil, Putra, Kiki, Tika, Rafita,
ix
Etika, Vita, Nurul, Rani, Susi, Maya, Ira, Seil, Fitri, Maharani, Ani, Inti, semangat dan sukses buat kita, Aamiin. 12. Teman-teman mahasiswa Kesehatan Lingkungan 2009 semangat dan sukses untuk kita semua, Aamiin. 13. Serta segenap pihak yang telah membantu dalam penyusun dalam menyelesaikan skripsi ini. Hanya do’a yang dapat penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, semoga amal baiknya mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin. Penulis sadar atas segala kekurangan dan keterbatasan yang ada. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk skripsi ini demi kemajuan dimasa yang akan datang. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta, 25 Juli 2013
Rudianto
x
DAFTAR ISI
ABSTRAK....................................................................................................
i
ABSTACT....................................................................................................
ii
RIWAYAT HIDUP......................................................................................
iii
KATA PENGANTAR..................................................................................
v
DAFTAR ISI................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL........................................................................................
xiii
DAFTAR BAGAN.......................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................
xv
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................
1
A. Latar Belakang..................................................................................
1
B. Rumusan Masalah.............................................................................
5
C. Pertanyaan Penelitian.......................................................................
6
D. Tujuan Penelitian..............................................................................
7
1. Tujuan Umum.............................................................................
7
2. Tujuan Khusus............................................................................
7
E. Manfaat Penelitian............................................................................
8
1. Manfaat Bagi Puskesmas............................................................
8
2. Manfaat Bagi Peneliti.................................................................
9
3. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan.............................................
9
F. Ruang Lingkup Penelitian................................................................
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................
11
A. Pengertian ISPA...............................................................................
11
B. Penyebab ISPA................................................................................
12
C. Klasifikasi ISPA pada Balita............................................................
15
D. Mekanismes Terjadinya ISPA..........................................................
17
E. Tanda dan Gejala ISPA....................................................................
17
F. Masalah ISPA di Indonesia..............................................................
19
G. Faktor Risiko ISPA...........................................................................
22
xi
H. Karakteristik Balita...........................................................................
24
1. Usia.............................................................................................
24
2. Status Gizi...................................................................................
25
3. Status Imunisasi..........................................................................
26
I. Faktor Pendidikan Ibu......................................................................
27
J. Sumber Polutan dalam Rumah.........................................................
28
1. Racun Nyamuk Bakar.................................................................
29
2. Aspa Rokok................................................................................
29
3. Bahan Bakar Masak....................................................................
31
4. PM10..........................................................................................
32
K. Sumber PM10...................................................................................
32
L. Nilai Ambang Batas PM10...............................................................
32
M. Hubungan antara PM10 dengan ISPA..............................................
34
N. Suhu dan Kelembaban......................................................................
35
O. Kondisi Lingkungan Rumah.............................................................
36
1. Luas Ventilasi............................................................................
36
2. Kepadatan Hunian......................................................................
38
P. Kerangka Teori.................................................................................
38
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL....
40
A. Kerangka Konsep.............................................................................
40
B. Defenisi Operasional........................................................................
42
C. Hipotesis...........................................................................................
47
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN.................................................
48
A. Desain Penelitian..............................................................................
48
B. Lokasi dan Waktu.............................................................................
48
C. Populasi dan Sampel Penelitian........................................................
48
1. Populasi......................................................................................
48
2.
Sampel.......................................................................................
49
D. Teknik pengambilan sampel.............................................................
50
E. Instrumen Penelitian.........................................................................
51
F. Metode dan Alat Pengumpulan Data................................................
51
xii
1. Pengukuran PM10......................................................................
51
2. Termohygrometer.......................................................................
52
G. Pengumpulan Data............................................................................
52
1. Data Primer.................................................................................
52
2. Data Sekunder.............................................................................
52
H. Pengolahan Data...............................................................................
53
1. Editing........................................................................................
53
2. Coding........................................................................................
53
3. Entry Data...................................................................................
53
4. Cleaning......................................................................................
54
I. Analisis Data.....................................................................................
54
1. Univariat.....................................................................................
54
2. Bivariat.......................................................................................
54
BAB V HASIL PENELITIAN...................................................................
56
A. Gambaran Desa Tamansari...............................................................
56
B. Hasil Analisis Univariat....................................................................
57
1. Gambaran Kejadian ISPA..........................................................
57
C. Gambaran Faktor Risiko Kejadian ISPA..........................................
58
1. Gambaran Usia...........................................................................
58
2. Gambaran Jenis kelamin.............................................................
58
3. Gambaran Status gizi..................................................................
59
4. Gambaran Status imunisasi........................................................
59
5. Gambaran Pendidikan Ibu..........................................................
60
6. Gambaran PM10.........................................................................
61
7. Gambaran Suhu..........................................................................
61
8. Gambaran Kelembaban..............................................................
62
9. Gambaran Racun nyamuk..........................................................
62
10. Gambaran Kebiasaan merokok...................................................
63
11. Gambaran Bahan bakar memasak..............................................
63
12. Gambaran Luas ventilasi............................................................
64
13. Gambaran Kepadatan hunian......................................................
65
xiii
D. Hasil Analisi Bivariat.......................................................................
65
1. Hubungan Status gizi dengan kejadian ISPA.............................
66
2. Hubungan Status imunisasi dengan kejadian ISPA....................
67
3. Hubungan PM10 dengan kejadian ISPA....................................
68
4. Hubungan Suhu dengan kejadian ISPA......................................
69
5. Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA.........................
70
6. Hubungan Racun nyamuk dengan kejadian ISPA......................
71
7. Hubungan Kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA..............
72
8. Hubungan Bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA..........
73
9. Hubungan Luas ventilasi dengan kejadian ISPA.......................
74
10. Hubungan Kepadatan hunian dengan kejadian ISPA.................
75
BAB VI PEMBAHASAN...........................................................................
77
A. Keterbatasan Penelitian....................................................................
77
B. Analisis Univariat.............................................................................
77
1. Gambaran Kejadian ISPA pada Balita.......................................
77
C. Analisis Bivariat...............................................................................
79
1. Analisis Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA.............
79
2. Analisis Hubungan Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA............................................................................
81
3. Analisis Hubungan Hubungan PM10 dengan Kejadian ISPA...
84
4. Analisis Hubungan Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA.....
86
5. Analisis Hubungan Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA............................................................................................
88
6. Analisis Hubungan Hubungan Racun Nyamuk dengan Kejadian ISPA............................................................................
90
7. Analisis Hubungan Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian ISPA............................................................................
92
8. Analisis Hubungan Hubungan Bakar Bahan Memasak dengan Kejadian ISPA............................................................................
95
9. Analisis Hubungan Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian ISPA............................................................................................
xiv
98
10. Analisis Hubungan Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA............................................................................
100
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN........................................................
104
A. Simpulan...........................................................................................
104
B. Saran.................................................................................................
106
1. Bagi Responden..........................................................................
106
2. Bagi Puskesmas..........................................................................
106
3. Bagi Peneliti Lain.......................................................................
107
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xv
DAFTAR TABEL
No. Tabel
Judul Tabel
Hal
Tabel 3.1
Definisi Operasional............................................................
42
Tabel 5.1
Distribusi Kejadian ISPA....................................................
57
Tabel 5.2
Distribusi Usia Balita..........................................................
58
Tabel 5.3
Distribusi Jenis Kelamin Balita...........................................
58
Tabel 5.4
Distribusi Status Gizi Balita................................................
59
Tabel 5.5
Distribusi Status Imunisasi Balita.......................................
59
Tabel 5.6
Distribusi Pendidikan Ibu Balita.........................................
60
Tabel 5.7
Distribusi Rata-rata PM10 dalam Kamar Balita.................
61
Tabel 5.8
Distribusi Rata-rata Suhu dalam Kamar Balita...................
61
Tabel 5.9
Distribusi Rata-rata Kelembaban dalam Kamar Balita.......
62
Tabel 5.10
Distribusi Pemakaian Racun Nyamuk Bakar......................
62
Tabel 5.11
Distribusi Kebiasaan Merokok didalam Rumah.................
63
Tabel 5.12
Distribusi Bahan Bakar Memasak.......................................
63
Tabel 5.13
Distribusi Luas Ventilasi Kamar Balita..............................
64
Tabel 5.14
Distribusi Kepadatan Hunian Kamar Balita........................
65
Tabel 5.15
Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA....................
66
Tabel 5.16
Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA...........
67
Tabel 5.17
Hubungan PM10 dengan Kejadian ISPA............................
68
Tabel 5.18
Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA.............................
69
Tabel 5.19
Hubungan Kelembaban denagn Kejadian ISPA.................
70
Tabel 5.20
Hubungan Racun Nyamuk Bakar dengan Kejadian ISPA..
71
Tabel 5.21
Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian ISPA.....
72
Tabel 5.22
Hubungan Bahan Bakar Memasak dengan Kejadian ISPA.
73
Tabel 5.23
Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian ISPA..............
74
Tabel 5.24
Hubungan Kepadatan Hunia dengan Kejadian ISPA..........
75
xvi
DAFTAR BAGAN
No. Bagan
Judul Bagan
Hal
Bagan 2.1
Kerangka teori
39
Bagan 2.2
Kerangka Konsep
41
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Kuisoner
Lampiran 2
Hasil Analisis Statistik
Lampiran 3
Foto-foto Dokumentasi
Lampiran 4
Data Kesakitan Puskesmas Pangkalan tahun 2012
Lampiran 5
Surat Izin Penelitian
Lampiran 6
Surat keterangan
xviii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal setiap tahun. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak dan orang lanjut usia, terutama di negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah. Begitu pula, ISPA merupakan salah satu penyebab utama rawat jalan dan rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan terutama pada bagian perawatan anak (WHO, 2008). World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO ± 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di negara berkembang, dimana ISPA merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh ± 4 juta anak balita setiap tahun (Depkes RI, 2001). Proporsi kematian balita akibat Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKTR) 2007 sebesar 15 %. Sebagai kelompok penyakit, ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan, sebanyak 40% - 60%
1
2
kunjungan berobat di Puskesmas dan 15% - 30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit disebabkan oleh ISPA (Depkes RI, 2006). Di Indonesia, ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 besar penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA atau Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan presentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Rima, 2008). Ada banyak faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA baik secara langsung maupun tidak langsung. Hasil penelitian yang dilakukan Charles (2005) menyebutkan bahwa asap rokok dari orang yang merokok dalam rumah serta pemakaian racun nyamuk bakar merupakan risiko yang bermakna dengan kejadian ISPA pada balita. Sedangkan Depkes (2002) menyebutkan bahwa faktor penyebab ISPA pada balita adalah berat badan bayi rendah (BBLR), status gizi buruk, status imunisasi yang tidak lengkap, kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik. Sedangkan menurut Hendrik L. Blum dalam Notoatmodjo (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit ISPA antara lain faktor lingkungan seperti kondisi fisik rumah (ventilasi udara, jenis lantai, jenis dinding, letak dapur, suhu, pencahayaan, kelembaban dan kepadatan hunian). Faktor perilaku seperti kebiasaan merokok anggota keluarga dalam rumah,
3
penggunaan obat nyamuk, jenis bahan bakar memasak, faktor pelayanan kesehatan seperti status imunisasi dan status gizi. Lingkungan yang berpengaruh dalam proses terjadinya ISPA adalah lingkungan perumahan, dimana kualitas rumah berdampak terhadap kesehatan anggotanya. Kualitas rumah dapat dilihat dari jenis atap, jenis lantai, jenis dinding, kepadatan hunia dan jenis bahan bakar memasak yang diapaki. Faktor-faktor diatas diduga sebagai penyeba terjadinya ISPA (Depkes RI, 2003). Industri batu kapur yang berada di desa Tamansari merupakan industri informal yang dikelola oleh masyarakat dan dalam pengolahannya masih bersifat tradisional, sehingga jenis polutan PM10 yang ada di udara berisiko terhadap kesehatan manusia. Efek terhadap kesehatan manusia dipengaruhi oleh intensitas dan lamanya keterpajanan, selain itu juga dipengaruhi oleh status kesehatan penduduk terpajan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa keadaan lingkungan udara yang kurang menguntungkan akan memperburuk kondisi kesehatan seseorang diperburuk lagi (Kusnoputran, 2000). Penelitian Abdullah (2003) membuktikan bahwa status gizi, pemberian ASI, berat badan lahir (BBL), pendidikan ibu, kepadatan hunian, asap pembakaran, asap rokok, keadaan ventilasi dan letak dapur terhadap kejadian ISPA. Hasil penelitian Risa (2005) membuktikan bahwa kebiasaan membuka jendela rumah, jumlah anggota keluarga dan letak ternak kandang berhubungan dengan kejadian ISPA di Kecamatan Parung-Jawa Barat.
4
Kejadian ISPA di Propinsi Jawa Barat masih menjadi urutan pertama dibandingkan dengan penyakit lainnya yakni sebesar 33,44%, menurut Profil Kesehatan Jawa Barat tahun 2006, jumlah anak balita penderita ISPA di Jawa Barat mencapai 199.287 anak, dengan jumlah kematian akibat pneumonia pada bayi mencapai 63 orang dan pada anak balita mencapai 19 orang. Data Dinas Kabupaten Karawang menunjukkan bahwa jumlah penderita ISPA di Kabupaten Karawang pada Tahun 2009 adalah 6.476 kasus. Berdasarkan data Puskesmas Pangkalan Kecamatan Pangkalan menunjukkan bahwa ISPA merupakan penyakit infeksi yang paling sering diderita oleh masyarakat khususnya kelompok bayi dan anak-anak. ISPA menempati urutan pertama dalam daftar sepuluh penyakit tertinggi pada kelompok umur 1-4 tahun di wilayah kerja puskesmas pangkalan dengan presentase sebesar 54,50% (Laporan Tahunan Puskesmas Pangkalan 2012). Berdasarkan uraian di atas, penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit dengan angka kesakitan dan angka kematian yang cukup tinggi, sehingga dalam penanganannya diperlukan kesadaran yang tinggi baik dari masyarakat maupun petugas kesehatan, terutama tentang kondisi pencemaran udara di dalam rumah balita yang mempengaruhi kejadian ISPA yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan rumah dan karakteristik balita. Dari data laporan puskesmas tahun 2012 maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA pada balita di 5 Posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang, tahun 2013.
5
B. Rumusan Masalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu masalah kesehatan yang ada di Indonesia. Hal ini disebabkan karena masih tingginya angka kesakitan dan angka kematian karena ISPA pada bayi dan balita. Kejadian ISPA dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain yaitu sosialekonomi (pendapatan orang tua, pendidikan orang tua), status gizi, status imunisasi, tingkat pengetahuan ibu, kepadatan hunian, luas ventilasi, pemakaian racun nyamuk, kebiasaan merokok, bahan bakar memasak, suhu dan kelembapan. Berdasarkan data laporan Puskesmas Pangkalan tahun 2012, menunjukkan bahwa penyakit ISPA merupakan penyakit infeksi yang paling sering diderita oleh masyarakat khususnya kelompok bayi dan balita ISPA menempati urutan pertama dalam daftar sepuluh penyakit tertinggi pada kelompok umur 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas Pangkalan dengan presentase sebesar 54.50%. Berdasarkan data inilah maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan judul faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA pada balita di Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.
6
C. Pertanyaan Penelitian 1.
Bagaimanakah gambaran gejala ISPA pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang, tahun 2013?
2.
Bagaimanakah gambaran karakteristik balita (usia, jenis kelamin, status gizi, status imunisasi) di Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013?
3.
Bagaimanakah gambaran pendidikan ibu di Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013?
4.
Bagaimanakah gambaran kadar PM10 dalam rumah balita di Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013?
5.
Bagaimanakah gambaran lingkungan fisik rumah (suhu, kelembaban, pemakaian racun nyamuk, kebiasaan merokok, pemakaian bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan penghuni) di Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013?
6.
Apakah ada hubungan karakteristik balita (status gizi dan status imunisasi) dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013?
7.
Apakah ada hubungan antara kadar PM10 dalam kamar dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu, Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013?
8.
Ada hubungan antara lingkungan fisik rumah (suhu, kelembaban, pemakaian racun nyamuk, kebiasaan merokok, pemakaian bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan hunian) dengan gejala ISPA pada
7
balita di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013?
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu, Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.
2. Tujuan Khusus 1.
Diketahuinya gambaran gejala ISPA pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.
2.
Diketahuinya gambaran karakteristik balita (usia, jenis kelamin, status gizi dan status imunisasi) di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.
3.
Diketahuinya gambaran pendidikan ibu balita di Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.
4.
Diketahuinya kadar PM10 dalam kamar balita di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.
5.
Diketahuinya gambaran lingkungan fisik rumah (suhu, kelembaban, kebiasaan merokok, pemakaian racun nyamuk, pemakaian bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan penghuni) di 5 posyandu
8
Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013. 6.
Dikethuinya hubungan antara karakteristik balita (status gizi, status imunisasi) dengan kejadian ISPA pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.
7.
Diketahuinya hubungan antara kadar PM10 dalam kamar balita dengan gejala ISPA di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.
8.
Diketahuinya hubungan antara lingkungan fisik rumah (suhu, kelembaban,
pemakaian
racun
nyamuk,
kebiasaan
merokok,
pemakaian bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan penghuni) dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.
E. Manfaat Penelitian 1. Puskesmas Hasil penelitian ini digunakan sebagai masukan untuk menyusun perencanaan program program P2 ISPA dalam upaya pencegahan di Kecamatan Pangkalan khususnya dan daerah lain yang mempunyai masalah yang sama pada umumnya, sehingga angka kesakitan ISPA dapat dikurangi.
9
2. Manfaat Bagi Peneliti Dapat meningkatkan pengetahuan dan mendapatkan kesempatan untuk mengaplikasikan teori yang telah didapatkan dalam operasional kesehatan lingkungan, serta sebagai bahan referensi yang dapat dijadikan bahan bacaan oleh peneliti selanjutnya.
3. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan Dapat dijadikan referensi mengenai bahaya paparan debu batu kapur terhadapat kesehatan manusia yang berada dikawasan sekitar industri batu kapur, khususnya untuk mahasiswa peminatan kesehatan lingkungan.
F. Ruang Lingkup Penelitian ini mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu desa tamansari, kecamatan pangkalan, kabupaten karawang tahun 2013, dilakukan oleh mahasiswa peminatan Kesehatan Lingkungan Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kegiatan penelitain ini dilaksanakan pada bulan April-Juni 2013 di desa tamansari. Populasi penelitian ini adalah seluruh balita yang berusia 159 bulan di 5 posyandu desa Tamansari, sedangkan sampel adalah balita yang dipilih secara random dengan menggunakan metode.
10
Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, data primer dari instrument kuisioner, serta untuk mengetahui kosentrasi debu di udara dilakukan pengukuran dengan alat Environmental particulate monitor (EPAM) HOC 12 merek SKC, INC EPAM-5000, untuk mengetahui suhu dan kelembaban menggunakan alat Thermohygrometer.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Infeksi saluran pernapasan akut sering disalahartikan sebagai infeksi saluran pernapasan atas, yang benar adalah ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Infeksi Saluran Pernapasan Akut meliputi saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah. Infeksi saluran pernapasan akut adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari, yang dimaksud dengan saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru, beserta organ-organ disekitarnya seperti sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru (Depkes RI, 2006). Penyakit ISPA masih merupakan penyakit utama penyebab kesakitan dan kematian bayi dan balita. Keadaan ini berkaitan erat dengan berbagai kondisi yang melatarbelakanginya seperti malnutrisi juga kondisi lingkungan baik polusi di dalam rumah berupa asap maupun debu dan sebagainya (Depkes RI, 2006). Infeksi saluran pernapasan akut yang diadaptasi dari istilah dalam Bahasa Inggris yaitu : Acute Respiratory Infection (ARI) mempunyai pengertian sebagai berikut (Depkes RI, 2005): 1) Infeksi adalah masuknya kuman atau pathogen ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
11
12
2) Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung alveoli beserta organ adneksa seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi Saluran Pernapasan akut secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernapasan (repiratory tract). 3) Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk pilek, demam dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotic, namun demikian anak akan menderita pneumonia bila infeksi paru ini tidak diobati dengan antibiotic dan dapat mengakibatkan kematian (Depkes RI, 2003). Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rhinitis, faringitis, tonsillitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia. Etiologi dari sebagian besar penyakit jalan napas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan terapi antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada balita. Bila ditemukan harus diobati dengan antibiotic penisilin, semua radang telinga akut harus mendapat
13
antibiotic. Infeksi Saluran Pernapasan Akut dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat ke saluran pernapasannya (Depkes RI, 2003). Penyebab ISPA dapat berupa bakteri maupun virus. Di Indonesia, sebagian besar kematian pada balita dipicu karena adanya
ISPA bagian
bawah atau pneumonia. Infeksi saluran pernapasan akut menyerang jaringan paru-paru dan penderita cepat meninggal akibat pneumonia yang terlalu berat. Pada umumnya ISPA dibagi menjadi dua bagian yaitu ISPA bagian atas dan ISPA bagian bawah. Klasifikasi ISPA dapat diklasifikasikan menjadi: 1) Bukan pneumonia yang mencakup kelompok penderita balita dengan gejala batuk pilek (common cold) yang tidak diikuti oleh gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. 2) Pneumonia berat dengan gejala batuk pilek pada balita disertai oleh peningkatan nafas cepat atau kesukaran bernafas (Depkes RI, 2000).
B. Penyebab ISPA ISPA dapat disebabkan oleh banyak hal antara lain : 1) Menurut
Nelson
(2002),
Virus
penyebab
ISPA
meliputi
virus
parainfluenza, adenovirus, rhinovirus, koronavirus, koksakavirus A dan B, Streptokokus dan lain-lain. 2) Perilaku individu, seperti sanitasi fisik rumah, kurangnya ketersediaan air bersih (Depkes RI, 2005).
14
Untuk pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu : a) Imunisasi b) Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) polusi di dalam maupun di luar rumah c) Mengatasi demam d) Perbaikan makanan pendamping ASI e) Penggunaan air bersih untuk kebersihan dan untuk minum Menurut (Depkes RI, 2006) Penyebab ISPA terdiri dari lebih 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus, Pneumococcus, Haemophilus, Bordetella dan Corynebakterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus,
Adenovirus,
Coronavirus,
Picornavirus,
Mikoplasma,
Herpesvirus. Berdasarkan penelitian di Pulau Lombok tahun 1997-2003 serta penelitian di berbagai negara yang dipublikasikan WHO, penyebab ISPA yang paling umum dan paling sering ditemukan pada balita adalah bakteri Streptococcus pneumoniae dan Haemophyllus influenzae. Grup B Streptokokus dan gram negative bakteri Enteric merupakan penyebab yang paling umum pada neonatus dan merupakan transmisi vertikal dari ibu sewaktu persalinan. Penumonia pada neonatus berumur 3 minggu sampai 3 bulan yang paling sering adalah bakteri, biasanya bakteri Streptokokus Pneumoniae. Pada balita usia 4 bulan sampai 5 tahun, virus merupakan penyebab tersering dari pneumonia, yaitu Respiratory Synctyial
15
virus. Pada usia 5 tahun sampai dewasa pada umumnya penyebab pneumonia adalah bakteri (Depkes RI, 2003). Menurut publikasi WHO penelitian yang dilakukan di berbagai negara berkembang juga menunjukkan bahwa Streptococcus Pneumoniae dan Haemophylus Influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan dua pertiga dari hasil isolasi (73,9% aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah). Sedangkan di negara maju, dewasa ini pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus. Di Indonesia, penelitian di Lombok 1997–2003 memperlihatkan usap tenggorok pada usia <2 tahun ditemukan Streptococcus Pneumoniae (48%) dan Haemophylus Influenzae B (8%) (Depkes RI, 2006).
C. Klasifikasi ISPA Pada Balita Klasifikasi merupakan suatu kategori untuk menentukan tindakan yang akan diambil oleh tenaga kesehatan dan bukan sebagai diagnosis spesifik penyakit. Klasifikasi ini memungkinkan seseorang dengan cepat menentukan apakah kasus yang dihadapi adalah suatu penyakit serius atau bukan, apakah perlu dirujuk segera atau tidak. Klasifikasi sederhana berupa tanda dan gejala ISPA yang mudah dikenal untuk mengetahui tindakan selanjutnya apakah harus diberi antibiotika, dapat dirawat di rumah atau harus dirujuk ke Rumah Sakit. Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas kelompok untuk umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun dan kelompok umur di bawah 2 bulan. Kriteria atau entry Pedoman Pengendalian Penyakit
16
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (P2 ISPA) yang dilaksanakan Departemen Kesehatan untuk tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan pengelola P2 ISPA) dalam tatalaksana anak dengan batuk dan atau kesukaran bernapas (Depkes RI, 2007). Adapun klasifikasi penyakit ISPA adalah sebagai berikut : 1) Untuk kelompok umur 2 bulan sampai < 5 tahun klasifikasi dibagi atas: pneumonia berat, pneumonia dan bukan pneumonia. 2) Untuk kelompok umur < 2 bulan klasifikasi dibagi atas: pneumonia berat dan bukan pneumonia. Dalam pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) klasifikasi pneumonia berat pada kelompok umur < 2 bulan adalah gangguan napas dan mungkin infeksi bakteri sistemik. Klasifikasi pneumonia berat berdasarkan pada adanya batuk atau kesukaran bernapas disertai napas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah (chest indrawing) pada anak usia 2 tahun sampai < 5 tahun. Klasifikasi bukan pneumonia mencakup kelompok penderita balita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Dengan demikian klasifikasi bukan pneumonia mencakup penyakit ISPA lain di luar pneumonia seperti batuk pilek bukan pneumonia (common cold, pharingitis, tonsillitis, otitis) (Depkes RI, 2004).
17
D. Mekanisme Terjadinya ISPA Menurut Lindawaty (2010) Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkhus dilapisi oleh membran mukosa bersilia, udara yang masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan dilembutkan. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat dalam hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam membran mukosa. Gerakan silia mendorong membran mukosa ke posterior ke rongga hidung dan ke arah superior menuju faring. Secara umum efek pencemaran udara terhadap pernafasan dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat iritasi oleh
bahan
pencemar.
Produksi
lendir
akan
meningkat
sehingga
menyebabkan penyempitan saluran pernafasan dan makrofage di saluran pernafasan. Akibat dari dua hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bernafas sehingga benda asing tertarik dan bakteri tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan, hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan (Mukono, 2008).
E. Tanda dan Gejala Klinis ISPA Penyakit ISPA pada balita dapat menimbulkan bermacam-macam tanda dan gejala seperti batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga dan demam. Berikut gejala ISPA dibagi menjadi 3 antara lain sebagai berikut : 1) Gejala dari ISPA ringan
18
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau lebih gejala-gejala sebagai beriku : a) Batuk b) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (pada waktu berbicara atau menangis) c) Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung d) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C. 2) Gejala dari ISPA sedang Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut : a) Pernapasan cepat (fast breathing) sesuai umur yaitu : untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih untuk umur 2-<12 bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan - < 5 tahun. b) Suhu tubuh lebih dari 39°C c) Tenggorokan berwarna merah d) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak e) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga f) Pernapasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur) 3) Gejala dari ISPA Berat Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejalagejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
19
a) Bibir atau kulit membiru b) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun c) Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah d) Sela iga tetarik ke dalam pada waktu bernafas e) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba f) Tenggorokan berwarna merah ISPA pada umumnya adalah infeksi bakteri pada berbagai area dalam saluran pernafasan, termasuk hidung, telinga tengah, pharynx, larynx, trachea, bronchi dan paru. Gejalanya dapat bervariasi, antara lain meliputi (WHO, 2009). 1) Batuk. 2) Sesak nafas. 3) Tenggorokan kering. 4) Hidung Tersumbat.
F. Masalah ISPA di Indonesia Menurut Lindawaty (2010) Penyakit ISPA dan gangguan saluran pernafasan lain selalu menduduki peringkat pertama dari sepuluh penyakit terbanyak yang dilaporkan oleh pusat pelayanan kesehatan masyarakat seperti puskesmas, klinik dan rumah sakit. Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA dan penyakit gangguan saluran pernapasan lain adalah rendahnya kualitas udara di dalam rumah dan atau di luar rumah baik secara biologis, fisik, maupun kimia. Hampir semua penyebab penyakit dan kematian yang
20
terkait dengan pencemaran udara tersebut tercatat dan dilaporkan oleh Departemen Kesehatan melalui rumah sakit, puskesmas, dinas kesehatan propinsi dan kota/kabupaten. Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA di Indonesia mulai tahun 1984, bersamaan dengan dilancarkannya pemberantasan penyakit ISPA di tingkat
global
oleh
WHO.
Pola
tatalaksana
ISPA
tahun
1984
mengklasifikasikan penyakit ISPA dalam 3 tingkatan keparahan, yaitu: ISPA ringan, ISPA sedang, dan ISPA berat. Klasifikasi ini menggabungkan penyakit infeksi akut paru, infeksi akut ringan, dan infeksi tenggorokan pada anak dalam satu kesatuan. Pada lokakarya ISPA Nasional tahun 1988 dalam Lindawaty (2010), disosialisasikan pola baru tatalaksana kasus ISPA. Tatalaksana pola baru ini selain menggunakan cara klasifikasi gejala penyakit yang praktis dan sederhana dengan tepat guna, juga memisahkan antara tatalaksana penyakit pneumonia dan tatalaksana penderita penyakit infeksi akut telinga dan tenggorokan. Lokakarya Nasional ke 3 tahun 1990 di Cimacan telah menyepakati untuk menerapkan pola baru tatalaksana kasus ISPA di Indonesia dengan melakukan adaptasi sesuai dengan situasidan kondisi setempat. Dengan menerapkan pola ini, sejak tahun 1990 Pengendalian Penyakit ISPA menitikberatkan atau memfokuskan kegiatan penanggulangannya pada pneumonia balita, karena penyakit pernapasan merupakan penyebab yang
21
tertinggi kematian pada usia di bawah 5 tahun, dimana sebagian besar disebabkan karena pneumonia. Pada tahun 1997 WHO mempublikasikan tatalaksana penderita balita dengan menggunakan pendekatan Integrated Management Childhood Illness (IMC) atau Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang sekaligus merupakan model tatalaksana kasus untuk berbagai penyakit anak, yaitu ISPA, diare, malaria, campak, gizi kurang dan kecacingan. Review Nasional Pelaksana MTBS tahun 2003 menyepakati perlunya MTBS dilaksanakan diseluruh Puskesmas di Indonesia. Namun dalam penerapannya, untuk memperoleh jaminan pelayanan MTBS yang berkualitas dan mencakup sasaran yang luas ternyata memerlukan dukungan sumber daya yang sangat besar, baik untuk biaya pelatihan, proses pelaksanaannya di puskesmas maupun untuk monitoring dan pembinaan yang berkualitas, teratur dan berkelanjutan. Belum
meratanya
ketersediaan
sumber
daya
yang memadai
menyebabkan pelaksanaan MTBS di daerah tersendat-sendat dan mengalami banyak hambatan. Bagi kabupaten/kota yang belum mampu melatih dan melaksanakan MTBS di puskesmas dan tetap harus menyediakan pelayanan kesehatan yang bermutu bagi balita ISPA maka dapat memilih menggunakan prosedur Tatalaksana Standar Penyakit ISPA. Prosedur lama ini, sejak awal dipublikasikan pada tahun 1988 tidak sepenuhnya ditinggalkan karena memiliki kelebihan yaitu membutuhkan biaya yang relative lebih murah dalam penyelengaraan pelatihan maupun
22
pelaksanaan sehari-hari dipuskesmas. Tetapi harus disadari bahwa prosedur ini memiliki beberapa kekurangan dalam hal keterpaduan dengan penyakit lain jika dibandingkan dengan MTBS. Proporsi penyakit sistem pernapasan sebagai penyebab penyakit kematian pada bayi dan balita berdasarkan hasil ekstrapolasi dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 menunjukkan hasil bahwa angka kematian balita akibat penyakit pernapasan adalah 4,9/1000 balita. Sekitar 80 – 90% dari kematian ini disebabkan oleh pneumonia. Sedangkan berdasarkan hasil Surkenas 2001 proporsi kematian karena sistem pernapasan pada bayi (usia<1 tahun) sebesar 23,9% di Jawa-bali, 15,8% di Sumatera serta 42,6% di kawasan Timur Indonesia. Pada anak balita (usia 1 – 5 tahun) sebesar 16,7% di Jawa-bali, 29,4% di Sumatera, 30,3% di kawasan Timur Indonesia. Berdasarkan tempat tinggal, penyakit pernapasan lebih tinggi di pedesaan yaitu 14,5% dibandingkan dengan perkotaan sebesar 9,0% (Depkes RI, 2003). Dari hasil Survey Mortalitas Subdit ISPA Departemen Kesehatan RI tahun 2005 yang dilakukan di 10 propinsi menunjukkan bahwa pneumonia masih merupakan penyebab kematian tertinggi pada balita (22,5%). Angka cakupan penemuan penderita pneumonia balita dari tahun ke tahun tidak menunjukkan adanya peningkatan yang berarti. Mulai tahun 2005, dalam penentuan target Cakupan Penemuan Penderita Penumonia Balita, ditetapkan angka 5% dari jumlah penduduk balita (target sebelumnya adalah 10% jumlah penduduk balita). Hal ini berdasarkan hasil Survey Morbiditas Subdit
23
ISPA Departemen Kesehatan RI tahun 2004 bahwa angka insiden balita batuk dengan napas cepat dalam dua minggu
sebelum survey sebesar 5,12%
(Depkes RI, 2005).
G. Faktor Risiko ISPA Bukti
substansial
menunjukkan
bahwa
faktor
risiko
yang
berkontribusi terhadap insiden ISPA adalah kurangnya pemberian ASI eksklusif, kurang gizi, polusi udara dalam ruangan, berat lahir rendah, kepadatan hunian dan kurangnya imunisasi campak. ISPA menyebabkan sekitar 19% dari seluruh kematian pada anak-anak usia kurang dari 5 tahun, dan lebih dari 70% terjadi di Sahara Afrika dan Asia Tenggara (WHO, 2008). Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai faktor termasuk Indonesia dan berbagai publikasi ilmiah, dilaporkan faktor resiko penyebab ISPA baik untuk meningkatkan insiden (morbiditas) maupun kematian (mortalitas) akibat ISPA. Faktor risiko yang meningkatkan insiden ISPA adalah umur <2 bulan, laki-laki, gizi kurang, berat badan lahir rendah, tidak dapat ASI memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi yang tidak memadai, membendung anak (menyelimuti berlebihan), defisiensi vitamin A, pemberian makanan tambahan terlalu dini, ventilasi rumah kurang (Depkes RI, 2004). Faktor risiko yang meningkatkan angka kematian ISPA adalah umur <2 bulan, tingkat sosial ekonomi rendah, kurang gizi, berat badan lahir rendah, tingkat pendidikan ibu yang rendah, tingkat jangkauan pelayanan kesehatan
24
yang rendah, kepadatan tempat tinggal, imunisasi kurang memadai, menderita penyakit kronis, aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang salah (Depkes R.I, 2004).
H. Karakteistik Balita 1. Usia Balita berumur 0-24 bulan merupakan kelompok umur yang sangat rentan terhadap berbagai penyakit infeksi dan membutuhkan zat gizi yang relative tinggi dibandingkan dengan kelompok umur lain. Umur sangat berpengaruh terhadap kejadian ISPA, bayi lebih mudah terkena ISPA dan lebih berisiko dibandingkan dengan anak balita. Hal ini disebabkan imunitas yang belum sempurna. Dalam analisis gizi balita, data SUSENAS 1989-1999 disebutkan bahwa kelompok umur 6-17 bulan dan 6-23 bulan merupakan saat pertumbuhan kritis, dimana kegagalan tumbuh (growth failure) umumnya terjadi pada anak-anak di Negara berkembang karena masalah gizi. Anak balita pada kelompok umur di bawah 2 tahun menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi pada tahun 1995 dan 1998 dibanding tahun 1989 dan 1992. Disebutkan pula bahwa proses pertumbuhan yang sangat cepat terjadi hanya pada 2 tahun pertama kehidupan manusia, sehingga pada proses pertumbuhan tersebut dibutuhkan zat gizi yang optimal (Jahari dkk, 2000).
25
2. Status Gizi Menurut
Arisma
(2004)
Status
gizi
masyarakat
biasanya
digambarkan dengan masalah gizi yang dialami oleh golongan masyarakat rawan gizi. Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia, disamping kurang vitamin A, anemia gizi dan gangguan akibat kekurangan iodium. Status gizi balita dipengaruhi oleh pola asuh anak yang tidak memadai karena kurangnya pengetahuan, ketrampilan ibu mengenai gizi serta imunisasi dan pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai. Balita dengan keadaan gizi buruk dan gizi kurang (malnutrisi) lebih mudah terkena infeksi dibandingkan dengan balita dengan gizi baik, hal ini disebabkan kurangnya daya tahan tubuh balita. Anak balita dengan status gizi kurang mempunyai risiko menderita pneumonia 3,3 kali dibandingkan dengan balita dengan status gizi baik (Sudirman, 2003). Status gizi balita sampai dengan tingkat malnutrisi dapat diukur menurut
berbagai
pendekatan,
salah
satunya
adalah
pendekatan
antropometri. Untuk bayi dan anak-anak dapat dipakai salah satu dari empat macam indikator antropometri, yaitu berat badan menurut umur (weight-for-age), tinggi badan menurut umur (height- for- age), berat badan menurut tinggi badan (weight for height), dan lingkar lengan atas (mid upper arm circumference). Masing-masing indikator itu memberikan penjelasan tentang status gizi bayi dan anak-anak. Indikator protein energy malnutrition (PEM) yang paling sering dipakai adalah berat badan menurut umur. Nilai rendah angka indikator berat badan menurut umur
26
(WAZ) mencerminkan terjadinya adaptasi anak terhadap gangguan gizi jangka panjang dan jangka pendek (Utomo, 1996). Sedangkan standar baku yang digunakan dalam penentuan status gizi anak balita pada KMS, berdasarkan hasil kesepakatan diskusi yang diselenggarakan oleh Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI), bekerjasama dengan UNICEF Indonesia dan LIPI, yaitu (Departemen Kesehatan, 2000): a. Gizi baik, bila ada kenaikan berat badan dengan bertambahnya umur balita, angka/nilai berat badan dan umur balita di dalam kurva hijau pada KMS. b. Gizi buruk, bila tidak ada kenaikan berat badan dengan bertambahnya umur balita, angka/nilai berat badan dan umur balita di luar kurva hijau pada KMS.
3. Status Imunisasi Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari selsel serta produk zat-zat yang dihasilkannya, yang bekerja sama secara kolektif dan terkoordinir untuk melawan benda asing seperti kumankuman penyakit atau racun yang masuk ke dalam tubuh. Kuman disebut antigen. Pada saat pertama kali antigen masuk ke dalam tubuh, maka sebagai reaksinya tubuh akan membuat zat anti yang disebut dengan antibodi. Pada umumnya, reaksi pertama tubuh untuk membentuk antibody tidak terlalu kuat, karena tubuh belum beradaptasi. Tetapi pada reaksi yang
27
ke-2, ke-3 dan seterusnya, tubuh sudah mempunyai memori untuk mengenali antigen tersebut sehingga pembentukan antibody terjadi dalam waktu yang lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak. Itulah sebabnya, pada beberapa jenis penyakit yang dianggap berbahaya, dilakukan tindakan imunisasi atau vaksinasi. Hal ini dimaksudkan sebagai tindakan pencegahan agar tubuh tidak terjangkit penyakit tersebut, atau seandainya terkena pun, tidak akan menimbulkan akibat yang fatal (Lindawaty, 2010). Imunisasi dasar meliputi DPT 3 kali, Polio 3 kali, BCG 1 kali dan campak 1 kali diberikan kepada balita sebelum berumur 1 tahun. Balita yang mendapatkan imunisasi dasar secara lengkap dan teratur akan mengurangi angka kesakitan dan kematian bayi sebesar 80-90% (Purwana, 1999).
I.
Faktor Pendidikan Ibu Pendidikan ibu sangat berpengaruh terhadap ketepatan dan ketelitian dalam pencegahan dan pengelolaan penyakit yang terjadi pada anak balitanya. Tingkat pendidikan ibu, dalam hal ini lebih dikaitkan dengan kemampuan seorang ibu yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi pada umumnya memiliki pengetahuan yang lebih luas, sehingga dapat lebih mudah dalam menyerap dan menerima informasi serta aktif berperan serta dalam mengatasi masalah kesehatannya dan keluarganya. Saran dan pesan kesehatan yang disampaikan oleh berbagai media atau petugas kesehatan akan mudah
28
dimengerti oleh ibu yang berpendidikan tinggi dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan rendah (Depkes RI, 2000).
J.
Sumber Polutan Dalam Rumah Menurut Mukono (1997) dalam Lindawaty (2010) Kualitas udara dipengaruhi oleh adanya bahan polutan di udara. Polutan di dalam rumah kadarnya berbeda dengan bahan polutan di luar rumah. Peningkatan bahan polutan di dalam ruangan dapat pula berasal dari sumber polutan di dalam rumah seperti asap rokok, asap dapur dan pemakaian obat nyamuk. Faktor lingkungan tingkat rumah tangga yang berkaitan dengan pencemaran udara di rumah tangga seperti yang diungkapkan oleh Stephen & Harpam, 1991 (dalam Handajani, 1996, Safwan, 2003) ialah: 1) Kepadatan dalam rumah, 2) Merokok, 3) Jenis bahan bakar, 4) Ventilasi rumah, 5) Kelembaban dalam rumah, 6) Debu rumah. Kualitas udara pemukiman meliputi udara dalam rumah dan udara di sekitar pemukiman. Di dalam rumah kualitas udara berkaitan dengan ventilasi dan kegiatan penghuni di dalamnya. Dengan bertambahnya jumlah penduduk di pemukiman perkotaan, menyebabkan tingginya kepadatan bangunan sehingga sulit untuk membuat ventilasi oleh Ehlers, 1976 (dalam Safwan, 2003). Dapat dijelaskan dibawah ini:
29
1. Racun Nyamuk Bakar Untuk pengendalian dan pemberantasan nyamuk dalam rumah sebagian keluarga menggunakan bahan insektisida berupa obat nyamuk semprot dan obat nyamuk bakar. Obat nyamuk bakar biasanya digunakan untuk mengendalikan nyamuk dari dalam rumah tetapi disisi lain asap obat nyamuk dapat menjadi sumber pencemaran udara dalam rumah, yang sangat membahayakan kesehatan yaitu gangguan saluran pernapasan karena obat nyamuk jika dibakar mengandung bahan SO2 (sebutan dari bahan
berbahaya
(octachloroprophyl
ether)
dapat
mengeluarkan
bischlorometyl ether atau BCME yang walaupun dalam kondisi rendah dapat menyebabkan batuk, iritasi hidung, tenggorokan bengkak dan perdarahan (Depkes R.I, 2002). Beberapa studi yang dilakukan pada anak-anak di Malaysia terdapat peningkatan prevalensi ISPA pada rumah yang menggunakan obat nyamuk bakar. Hal ini sejalan dengan penelitian Wattimena (2004) menyatakan kejadian ISPA pada balita sebesar 7,11 kali dibandingkan dengan rumah yang tidak menggunakan obat nyamuk bakar.
2. Asap Rokok Sumber asap rokok di dalam ruangan lebih membahayakan daripada di luar ruangan karena sebagian besar orang menghabiskan 60%90% waktunya selama satu hari penuh (24 jam) di dalam ruangan. Asap rokok yang dikeluarkan seorang perokok umumnya mengandung zat-zat
30
yang berbahaya antara lain tar yang mengandung bahan kimia beracun dapat merusak sel paru- paru dan menyebabkan sakit kanker, karbon monoksida (CO) sebagai gas beracun yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen, nikotin merupakan zat kimia perangsang yang dapat merusak jantung dan sirkulasi darah serta membuat pemakai nikotin kecanduan (Kusnoputranto & Susanna, 2000). Semua studi mengenai polusi udara dalam ruang oleh asap rokok menunjukkan bahwa asap rokok merupakan bahaya utama terhadap kesehatan. Campuran asap tersebut lebih dari 4000 jenis senyawa, banyak diantaranya telah terbukti bersifat racun atau menimbulkan kanker pada manusia dan sebagian besar adalah bahan iritan yang kuat. Sebanyak 43 zat karsinogen telah diidentifikasi, termasuk diantaranya: nitrosamines, benza pyrene, cadmium, nikel dan zinc. Karbon monoksida, nitrogen oksida dan partikulat juga merupakan beberapa diantara
bahan-bahan
beracun
yang
terkandung
dalam
rokok
(Kusnoputranto, 2000). Laporan penelitian menunjukkan bahwa orang yang merokok dan orang yang tinggal dengannya akan menerima pajanan yang lebih besar dari ultrafine partikel dan komponen environment tobacco smokes lainnya dibandingkan orang yang bukan perokok, oleh karena itu hal ini dapat merupakan faktorresiko dari timbulnya gejala-gejala gangguan pernapasan dan penyakit pernapasan pada anak-anak, terutama anak- anak kecil serta orang tua perokok berhubungan dengan terjadinya penurunanfungsi paru-
31
paru pada anak-anak dan kerusakan paru-paru yang tidak dapat diobati (Sneddon et al., 1990).
3. Jenis Bahan Bakar Memasak Penggunaan bahan bakar dalam rumah tangga untuk beberapa keperluan seperti memasak dan penerangan biasanya dapat memberi pengaruh terhadap kualitas kesehatan lingkungan rumah. Pemakaian bahan bakar tradisional seperti kayu bakar, arang dan lainnya serta bahan minyak tanah, sering menghasilkan pembakaran kurang sempurna sehingga banyak menimbulkan sisa pembakaran yang dapat mempengaruhi kesehatan. Apabila penghawaan rumah tidak baik dan tidak ada lubang asap di dapur untuk mengeluarkan asap dan partikel-partikel debu dari dapur, maka asap akan memenuhi ruangan dan menyebabkan sirkulasi udara di dalam ruangan tidak baik. Apalagi ibu-ibu sering masak sambil menggendong pernapasan
anaknya,
terutama
asap
pada
akan
balita
memperparah dan
lansia.
penderita
Sedapat
sakit
mungkin
menggunakan bahan bakar yangtidak menimbulkan pencemaran udara indoor atau sisa pembakarannya dapat disalurkan ke luar rumah. Yang terbaik jenis bahan bakar untuk memasak tentu saja listrik, tetapi terlalu mahal (Soewasti, S.S., dkk 2000).
32
4. Partikulat PM 10 PM10 adalah partikulat padat dan cair yang melayang di udara dengan nilai media ukuran diameter aerodinamik 10 mikron. Partikulat 10 mikron mempunyai beberapa nama lain, yaitu PM10 sebagai inhalable particles, respirable particulate, respirable dust dan inhalable dust. PM10 memang merupakan kelompok partikulat yang dapat diinhalasi, tetapi karena ukurannya, PM10 lebih spesifik merupakan partikulat yang respirable dan prediktor kesehatan yang baik (Koren, 2003).
K. Sumber Partikulat (PM10) Partikulat PM10 secara alami berasal dari tanah, bakteri, virus, jamur, ragi, serbuk sari serta partikulat garam dan evaporasi air laut. Sedangkan dari aktifitas manusia, partikulat dihasilkan dari penggunaan kendaraan bermotor, hasil pembakaran, proses industri dan tenaga listrik. Partikulat PM10 dihasilkan secara langsung dari emisi mesin diesel, industri pertanian, aktifitas di jalan, reaksi fotokimia yang melibatkan polutan (misalnya: hasil pembakaran mesin kendaraan bermotor, pembangkit tenaga listrik dan ketel uap industri). Sumber partikulat sesuai dengan ukuran diameter selengkapnya adalah sebagai berikut (US.EPA, 2004): 1) Partikulat sangat halus/ultrafine (diameter ≤0,1 µm), berasal dari hasil pembakaran hasil transformasi SO2 dan campuran organik di atmosfir serta hasil proses kimia pada temperature tinggi.
33
2) Partikulat mode akumulasi (diameter 0,1 µm s/d 3 µm), berasal dari hasil pembakaran batubara, minyak, bensin, solar dan kayu bakar, hasil transformasi NOx, SO2 dan campuran organic, serta hasil proses pada temperature tinggi (peleburan logam, pabrik baja). 3) Partikulat kasar/coarse (>3 µm), berasal dari resuspensi partikulat industri, jejak tanah di atas jalan raya, suspensi dari kegiatan yang mempengaruhi tanah (pertanian, pertambangan dan jalan tak beraspal), kegiatan konstruksi dan penghancuran, pembakaran minyak dan batubara yang tidak terkendali,percikan air laut serta sumber biologi.
L. Nilai Ambang Batas Partikulat (PM10) Nilai ambang batas PM10 yang dipersyaratkan oleh WHO saat ini adalah sebesar 20 µg/m3 untuk rata-rata pajanan tahunan dan 50 µg/m3 untuk rata-rata pajanan harian selama 24 jam (WHO, 2005). Sedangkan baku mutu udara ambient di DKI Jakarta berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 551 tahun 2001 untuk PM10 adalah sebesar 150 µg/Nm3 dalam waktu pengukuran selama 24 jam (Gubernur Provinsi DKI Jakarta, 2001). Nilai batas konsentrasi PM10 di udara untuk melindungi kesehatan masyarakat yaitu 70 µg/m3 (WHO, 1987 dalam Purwana, 1999). Hal ini sesuai hasil penelitian yang menunjukkan tinggi konsentrasi PM10 paling sensitif dan spesifik untuk menduga terjadinya gangguan pernapasan adalah 70 µg/m3 (Purwana, 2005).
34
M. Hubungan Antara PM10 Dengan ISPA PM10 dapat digunakan sebagai indikator perubahan nilai PEFR yang lebih baik dibandingkan PM 2,5, hal ini karena deposisi partikel yang lebih besar (PM10) terjadi pada saluran pernafasan bagian atas, yang kemudian mengaktifasi sekresi mucus dan menimbulkan konstruksi saluran pernafasan serta pada akhirnyamenurunkan nilai PEFR (Katiyar, et al., 2004). Berbagai studi epidemiologi yang mempelajari hubungan antara pajanan PM10 terhadap gangguan saluran pernafasan telah banyak dilakukan, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: Berdasarkan Penelitian Farieda (2009) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kadar PM10 dalam rumah dengan kejadian ISPA (p <0,05) pada balita yang dipengaruhi oleh ventilasi dalam rumah, kepadatan hunian dan lubang asap dapur. Penelitian Situmorang, (2003) di Kelurahan Cakung Timur, Jakarta Timur menyatakan bahwa kejadian ISPA pada balita yang tinggal di dalam rumah yang konsentrasi PM10 lebih dari 70 µg/m3 adalah 6,1 kali dibanding balita yang tinggal di rumah yang konsentrasi PM10 kurang atau sama dengan 70 µg/m3. Dengan mengontrol faktor ventilasi rumah dan status gizi balita maka angka risiko tersebut akan berkurang menjadi 4,25 kali.
35
N. Suhu dan Kelembaban Udara segar berguna untuk menjaga temperature dan kelembaban dalam kamar. Umumnya temperature kamar 22ºC-30ºC. Suhu udara dalam ruangan berhubungan dengan faktor kenyamanan dalam ruangan. Suhu udara yang tinggi menyebabkan tubuh akan kehilangan garam dan air sehingga akan terjadi kejang dan atau kram dan akan mengalami metabolisme dan sirkulasi darah. Pada lingkungan yang ada di dalam ruangan, sekitar 25% dari panas tubuh diemisikan oleh transpirasi. Sebagai temperatur udara ambient dan meningkatnya aktifitas metabolisme, transpirasi ditandai dengan tingginya kelembaban relative, sehingga menghasilkan panas yang tidak nyaman. Dengan kata lain udara kering pada temperature rendah sampai dengan normal membuat kehilangan transpirasi dan mengakibatkan dehidrasi (Pudjiastuti, dkk,1998). Pengaturan kelembaban sangat penting dalam ruangan.Kelembaban yang tinggi dan debu dapat menyebabkan berkembangbiaknya organisme pathogen maupun organisme yang bersifat allergen serta pelepasan formaldehid dari material bangunan. Sedangkan tingkat kelembaban yang terlalu rendah dapat menyebabkan kekeringan/iritasi pada membrane mukosa, iritasi mata dan gangguan sinus. Rumah hendaknya menjadi tempat untuk menyimpan udara yang segar dengan suhu udara yang nyaman berkisar antara 18ºC-30ºC, sedangkan kelembaban berkisar antara 40ºC-70ºC (Depkes RI, 1999).
36
O. Kondisi Lingkungan Rumah 1. Luas Ventilasi Untuk memungkinkan pergantian udara secara lancar diperlukan minimum luas lubang ventilasi tetap 5% luas lantai, dan jika ditambah dengan luas lubang yang dapat memasukkan udara lainnya (celah pintu/jendela, lubang anyaman bambu dan sebagainya) menjadi berjumlah 10% luas lantai. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan proses sirkulasi udara dalam rumah berjalan tidak normal serta udara dalam rumah terasa panas, diperberat lagi apabila rumah padat penghuni akan menyebabkan kurangnya O2 (oksigen) dalam rumah sehingga kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuni rumah menjadi meningkat. Sirkulasi udara rumah yang baik akan mengurangi kadar partikulat, sebaliknya apabila ventilasi tidak memenuhi syarat menyebabkan peningkatan kadar partikulat di dalam ruangan. Selain itu ventilasi yang baik dapat membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri pathogen karena melalui ventilasi selalu terjadi pertukaran aliran udara yang terus-menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap pada kelembaban (humidity) yang optimum. Udara yang masuk sebaiknya udara yang bersih dan bukan udara yang mengandung debu atau bau (Soewasti, S.S., dkk, 2000). Disamping itu tidak cukupnya luas ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadi proses penguapan
37
cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban akan merupakan media yang baik untuk bakteri. Ventilasi dalam ruangan harus memenuhi persyaratan antara lain (Sanropie, 1991): 1) Luas lubang ventilasi yang tetap atau permanent dan lubang ventilasi insidentil, berjumlah 10% dari luas lantai. 2) Udara yang masuk harus udara bersih, tidak dicemari oleh asap dari pembakaran sampah, asap pabrik, asap knalpot kendaraan, debu dan lain-lain. 3) Aliran udara jangan menyebabkan orang masuk angin. 4) Penempatan ventilasi diusahakan berhadapan antara dua dinding ruangan. 5) Kelembaban udara jangan terlalu tinggi dan jangan terlalu rendah. Ventilasi dapat digolongkan dalam dua sistem antara lain ventilasi alamiah ialah ventilasi yang terjadi secara alamiah ialah ventilasi yang terjadi secaraalamiah dimana udara masuk ke dalam ruangan melalui jendela, pintu ataupun lubang angin yang sengaja dibuat untuk itu. Ventilasi buatan ialah ventilasi yang dibuat dari alat khusus untuk pengaliran udara misalnya mesin penghisap udara (exhaust ventilation) dan penyejuk ruangan (air conditioning). Ventilasi yang baik dengan ukuran 10-20% dari luas lantai dapat mempertahankan suhu optimum 22- 24ºC dan kelembaban 60% (Kusnoputranto dan Susana, 2000).
38
2. Kepadatan Hunian Berkembangnya
industri-industri
di
suatu
daerah
akan
menyebabkan urbanisasi penduduk, sehingga penduduk di daerah industri tersebut akan semakin padat. Hal ini akan mengakibatkan keadaan perumahan yang padat dan kondisi bangunan yang tidak memadai. Kondisi demikian sangat mempengaruhi kesehatan penghuni rumah di daerah tersebut. Persyaratan kepadatan hunian dinyatakan dalam m2 per orang. Rumah dikatakan padat penghuninya apabila perbandingan luas lantai seluruh ruangan rumah dengan jumlah penghuni kecil lebih dari 10 m2/orang, sedangkan ukuran yang dipakai untuk luas lantai ruang tidur minimal 3 m2 per orang dan untuk mencegah penularan penyakit (misalnya penyakit pernapasan) jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lain minimum 90 cm (Depkes RI, 2002). Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari 2 orang, kecuali untuk suami, istri, serta balita dibawah umur 2 tahun yang biasanya masih membutuhkan kehadiran orang tuanya. Apabila ada salah satuanggota keluarga yang terkena penyakit terutama penyakit saluran pernapasan sebaiknya jangan tidur sekamar dengan anggota keluarga yang lain.
P. KerangkaTeori Berdasarkan beberapa teori dan hasil-hasil penelitian terdahulu. Adapun kerangka penelitian dapat dilihat pada bagan:
39
Bagan 2.1.Kerangka Teori
Karakteristik Balita -Umur -Jenis Kelamin -Status Gizi -Status Imunisasi
Sumber Polutan -PM 10 -Kebiasaan Merokok -Pemakaian Racun Nyamuk
ISPA
-Bahan bakar Memasak
Kondisi Lingkungan Rumah -Luas Ventilasi -Kepadatan Penghuni -Suhu -kelembaban
Status Sosial -Pendidikan ibu -Pendapatan keluarga Sumber : Stephen dan Harpan (1991) dalam Handajani (1996) dan Safwan (2003), Hendrik L. Blum dalam Notoatmodjo (1996), Mukono (1997), Situmorang (2003), Depkes, RI (2004), WHO (2008).
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka teori diatas, maka kerangka konsep yang dibuat peneliti dalam penelitian ini dimana variabel dependen dalam penelitian ini yaitu gejala ISPA, sedangkan variabel independen dalam penelitian ini adalah status gizi, status imunisasi, PM10, suhu, kelembaban, racun nyamuk bakar, kebiasaan merokok, bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan hunian. Sedangkan variabel yang tidak diteliti pada penelitian ini yaitu : 1. Usia Pada penelitian ini usia tidak diteliti karena dari beberapa referensi dan penelitian lain tidak bibahas mengenai usia. 2. Jenis Kelamin Pada penelitian ini jenis kelamin tidak diteliti karena berdasarkan penelitian dan teori tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dan kejadian ISPA semua memiliki risiko yang sama antara laki-laki dan perempuan. 3.
Pendapatan keluarga Dalam penelitian ini pendapatan keluarga tidak diteliti karena keterbatasan peneliti.
40
41
Berdasarkan kerangka teori yang ada dan keterbatasan maka kerangka konsep yang digunakan dalam penelitain ini dapat dilihat pada bagan 3.1. berikut ini: Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Status gizi
Status Imunisasi
PM 10
Suhu
Kelembaban
Racun Nyamuk Bakar
Kebiasaan Merokok
Bahan Bakar Masak
Luas Ventilasi
Kepadatan Hunian
Gejala ISPA
42
B. Definisi Operasional Tabel 3.1. Definisi Operasional No
Veriabel
Definisi
Cara Ukur
Alat ukur
Skala
Hasil Ukur
Ukur 1
Gejala ISPA
Anak balita umur 1-59 bulan yang
Wawancara
Kuisioner
Nominal
menderita gangguan saluran pernafasan
0. Iya 1. Tidak
yang berhubungan dengan gejala ISPA dalam kurun waktu 2 minggu terakhir meliputi batuk, pilek, sakit telinga dengan atau tanpa demam/panas (Depkes, 2007). 2
Status Gizi
Keadaan
gizi
yang
diukur
Pengukuran
Panjang Badan
berdasarkan
indeks
dan melihat
(baby
BB/U (Berat badan (Kg) per Umur (Bulan)
kartu KMS
board),
secaraantropometri
balita
sesuai standar baku WHO-NCHS
length
ukur
alat tinggi
badan/vertical measures (microtoise)
Ordinal
0. Gizi Kurang (< - 2,0 SD s/d – 3 SD) 1. Gizi baik ( > -2,0 SD s/d +2 SD)
43
No
Veriabel
Definisi
Cara Ukur
Alat ukur
Skala
Hasil Ukur
Ukur 3
Status
Riwayat imunisasi BCG, DPT, Polio,
Wawancara
KMS
Nominal
Imunisasi
Hepatitis dan campak yang diperoleh oleh
(Imunisasi kurang dari
balita dapat dilihat pada KMS atau catatan
salah satu sesuai
status kunjungan ke puskesmas atau
dengan umur balita)
fasilitas kesehatan lainnya.
0. Tidak lengkap
1. Lengkap (Imunisasi sesuai dengan Umur balita saat penelitian).
4
Partikulat
Ukuran sewaktu konsentrasi partikulat
Debu (PM 10) berukuran maksimum 10 mikron dalam dalam rumah
satuan µm/m3 diruangan balita sering tidur. Hasil ukur dibandingkan dengan kadar debu total (TSP) sebesar 150 µg/m3. Dengan perkiraan kadar PM10 = 40% TSP. Maka kadar PM 10 maksimal dalam rumah adalah 70 µg/m3 (Kepmenkes, 1999)
Pengukuran langsung
EPAM-5000
Rasio
µg/m3
44
No
Variabel
Defenisi
Cara Ukur
Alat ukur
Skala
Hasil Ukur
Ukur 5
Suhu
Temperatur udara dalam ruanga dengan
Pengukuran
Termometer
Rasio
0
Pengukuran
Hygrometer
Rasio
%
Wawancara
Kuisioner
Nominal
0. Ada (memakai racun
C
tingkat kenyamanan berkisar antara 180300 C (Kepmenkes,1999) 6
Kelembaban
Jumlah uap air di udara dalam rumah dan dinyatakan dalam persen berkisar antara 40%-70% (Kepmenkes 1999)
7
Racun
Jenis obat nyamuk yang dipakai di dalam
Nyamuk Bakar
rumah yang mengandung senyawa kimia dan observasi
nyamuk bakar)
dan partikulat yang dilepaskan ke udara
8
1. Tidak
ada
ketika digunakan termasuk obat nyamuk
memakai
bakar (Depkes, RI, 2002)
nyamuk bakar)
Kebiasaan
Penghuni tetap yang mempunyai kebiasaan
Merokok
merokok didalam rumah, yang tinggal serumah dengan balita (Depkes, 2005)
Wawancara
Kuisioner
Nominal 0. 1.
Ada Tidak Ada
(tidak racun
45
No
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Skala
Hasil ukur
Ukur 9
Bahan
Bakar Jenis Bahan bakar yang dipergunakan
Memasak
Wawancara
Kuisioner
Ordinal
0. Tidak
Memenuhi
untuk keperluan rumah tangga sehari-hari dan observasi
Syarat (TMS)(Ada asap
(memasak, penerangan dan sebagainya).
pencemar/kayu
Jenis bahan bakar dibedakan menjadi kayu
dan minyak tanah).
bakar, minyak tanah, dan gas. Pada waktu
1. Memenuhi
bakar
Syarat
anggota keluarga menggunakan minyak
(MS)(Tidak ada asap
tanah saat memasak dianggap ada asap
pencemar/gas).
pencemaran dalam rumah dan pada waktu anggota keluarga menggunakan kompor gas saat memasak dianggap tidak ada asap dalam rumah (Soewati,S.S, dkk,2000). 10
Luas Ventilasi Perbandingan luas lantai kamar dengan Rumah
Wawancara,
luas jendela dan lubang angin kamar balita observasi dan sering tidur untuk aliran udara dari dalam kamar keluar kamar atau sebaliknya. Sesuai dengan Kepmenkes (1999) yaitu minimum 10 % dari luar lantai kamar.
pengukuran
Meteran dan kuisioner
Ordinal
0. Tidak memenuhi syarat (< 10% luas lantai) 1. Memenuhi syarat (> 10% dari luas lantai)
46
No
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Skala
Hasil Ukur
Ukur 11
Kepadatan
Perbandingan luas lantai rumah (m2)
hunian
dengan
jumlah
orang
penghuni
rumah>minimal yang dianjurkan 10 m2/ orang (Kepmenkes, 1999)
Pengukuran
Kuisioner dan
dan
meteran
wawancara
Ordinal
0. Tidak memenuhi syarat (<10 m2/orang). 1. Memenuhi syarat (> 10 m2/ orang)
47
C. Hipotesis
1. Ada hubungan antara (status gizi, status imunisasi) dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013. 2. Ada hubungan antara kadar PM10 dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013. 3. Ada hubungan antara (suhu, kelembaban, racun nyamuk bakar, kebiasaan merokok, bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan hunian) dengan gejala ISPA pada balita di 5 psyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian dengan metode analitik observasional dengan desain studi cross sectional yaitu penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA pada balita. Dalam penelitian ini variabel sebab atau risiko dan akibat atau kasus yang terjadi pada objek penelitian diukur atau disebut juga variabel dependent dan independent
akan dikumpulakn dalam waktu
bersamaan dan secara langsung (Notoatmodjo, S, 2010).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini bertempat di 5 posyandu Desa Tamansari Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juni 2013.
C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan dari unit di dalam pengamatan yang akan peneliti lakukan. Populasi dalam penelitian ini adalah semua jumlah balita yang berada di 5 posyandu Desa Tamansari Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang.
48
49
2. Sampel Besar sampel penelitian ditentukan menggunakan uji hipotesis beda 2 proporsi dengan rumus sebagai berikut (Ariawan, 1998) :
√
(
)
√ (
(
)
(
)
)
Keterangan : n = Jumlah sampel yang diteliti Zα = Tingkat kemaknaan α (untuk α = 0,05 adalah 1,96) Zβ = Kekuatan Uji = 80 % P = Rata- rata pada populasi P1 = proporsi status gizi kurang dengan gejala ISPA = 74,5% = 0.745 P2= proporsi status gizi baik dengan gejala ISPA = 54,3%= 0.54,3 Berdasarkan hasil perhitungan diatas maka sampel yang dibutuhkan sebanyak 68 responden.
50
D. Teknik Pengambilan Sampel Dalam penelitian ini digunakan teknik pengambilan sampel secara tidak acak (non probability sampling) dengan metode purposive sampling yaitu suatu metode pengambilan sampel ditentukan oleh orang yang telah mengenal betul populasi yang akan diteliti (Notoatmojo, 2010). Puskesmas Pangkalan memiliki wilayah kerja sebanyak 5 posyandu. Pengambilan sampel secara purposive sampling adalah dengan mengambil sampel di seluruh posyandu yang berada di Desa Tamansari dan akan dipilih secara tidak acak. Kemudian anak balita yang datang di 5 posyandu yang terkena sampel tersebut adalah anak balita yang akan diteliti. Dalam penelitian ini responden harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh peneliti. Adapun kriteria sampel sebagai berikut : 1. Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki balita berumur 1-59 bulan atau yang mengasuh balita tersebut. 2. Bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Pangkalan, Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang, Wilayah yang dimaksud merupakan posyandu yang berada di Desa Tamansari. 3. Memiliki (KMS) Kartu Menuju Sehat.
51
E. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Environmental Particulate Monitor EPAM (HOC 12 merek SKC, INC EPAM-5000, alat yang digunakan untuk pengetahui kosentrasi PM10. 2. Kuisioner Berupa pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh data atau informasi tentang karakteristik balita dan status kesehatan balita serta kondisi rumah balita. 3. Termohygrometer digunakan untuk mengetahui tingkat kelembaban dan suhu kamar balita.
F. Metode dan Alat Pengumpulan Data 1. Pengukuran PM10 Alat yang digunakan untuk mengukur kadar PM10 adalah EPAM5000, langkah-langkah mengoperasikan EPAM-5000: a. Nyalakan mesin dengan menekan tombol ON b. Masukkan Regen PM 10 c. Pilih sampel size (PM10) d. Pilih calibration (90 detik) e. Tempatkan alat dikamar balita
52
2. Termohygrometer Alat yang digunakan untuk mengukur suhu dan kelembaban ruang kamar balita, langkah-langkah a. Nyalakan alat b. Tempatkan alat pada kamar balita selama 15 menit
G. Pengumpulan Data Jenis data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data primer dan data sekunder:
a. Data Primer Data primer dalam penelitian ini yakni berupa data yang diperoleh secara langsung dari orang tua balita mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA seperti status gizi, status imunisasi, racun nyamuk bakar, kebiasaan merokok, bahan bakar masak, kepadatan hunian dilakukan dengan pengisian kuisioner, sedangkan PM10, suhu dan kelembaban menggunakan dengan melakukan pengukuran menggunakan alat EPAM-5000, dan alat Termohygrometer.
b. Data Sekunder Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung oleh peneliti atau dari penelusuran dokumen kesakitan di Puskesmas Pangkalan,
53
catatan, dan laporan dari Dinas Kesehatan Karawang, serta data dari Kelurahan Tamansari.
H. Pengolahan Data a. Editing Editing sebelum data diolah, data tersebut perlu diedit terlebih dahulu dengan tujuan untuk mengkoreksi data yang meliputi kelengkapan pengisian kuisioner, konsistensi atas jawaban dan kesalahan jawaban pada kuisioner. Sehingga dapat diperbaiki jika dirasakan ada kesalahan atau keraguan data.
b. Coding Coding merupakan kegiatan memberikan kode pada jawaban kuisioner yang ada untuk mempermudah proses pengolahan dalam komputerisasi. Mengkode jawaban adalah merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk angka. Pada proses coding ini, variabel independen, dependen akan diberi kode untuk memudahkan dalam menganalisanya.
c.
Entry data Entry data adalah data yang telah dikode tersebut kemudian dimasukkan dalam program komputer untuk selanjutnya akan dioleh.
54
d. Cleaning Cleaning data adalah proses pengecekan kembali data yang sudah dientry apakah ada kesalahan atau tidak. Tahapan cleaning data terdiri dari mengetahui missing data, mengetahui variasi data dan mengetahui konsistensi data.
I.
Analisis a. Univariat Analisis ini dilakukan untuk mengetahui distribusi, frekuensi dan presentase masing-masing variabel yang dianalisis dari tabel distribusi. Variabel tersebut meliputi variabel gejala ISPA pada balita, status gizi, status imunisasi, PM10, suhu, kelembaban, racun nyamuk bakar, kebiasaan merokok, bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan hunian yang mempengaruhi gejala ISPA serta gambaran gejala ISPA pada balita.
b. Bivariat Analisis bivariat digunakan untuk mencari hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Untuk mencari hubungan antara variabel status gizi, status imunisasi, racun nyamuk bakar, kebiasaan merokok, bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan hunian yang mempengaruhi gejala ISPA menggunakan uji Chi-Square
55
(X2), nilai tingkat kemaknaan adalah 0,05 dengan pedoman pengambilan keputusan berikut : Apabila nilai p < 0,05 maka hasilnya bermakna secara statistik atau terdapat hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen. sedangkan bila nilai p ≥ 0,05 maka hasilnya tidak bermakna secara statistik atau tidak terdapat hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen. Sedangkan untuk mencari hubungan antara variabel PM10, suhu dan kelembaban yang mempengaruhi gejala ISPA terlebih dahulu dilakukan uji normalitas karena data-data tersebut bersifat data numerik. Bila hasil tes normalitas data distribusi normal, maka akan dilanjutkan dengan uji t-independent untuk menghubungkan antara variabel numerik dan kategorik. Akan tetapi apabila data tersebut tidak memenuhi asumsi normalitas data, maka data selanjutnya akan dilakukan uji dengan menggunakan uji Man Whitney.
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Desa Tamansari Desa Tamansari merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang. Luas wilayah Desa Tamansari kurang lebih 5.320 m2 dengan kondisi geografis sebagian besar memiliki sumber daya alam yang sangat berpotensi secara ekonomis dan sosial yaitu persawahan, sungai dan bukit batu kapur. Adapun batas wilayah Desa Tamansari adalah sebagai berikut : Sebelah Utara : Desa Taman Mekar Sebelah Selatan : Desa Ciptasari Sebelah Timur : Hutan Negara Sebelah Barat : Kabupaten Bekasi Jumlah penduduk Desa Tamansari adalah 6.203 jiwa. Tingkat pendidikan penduduk sebagian besar lulus sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama. Mata pencarian sebagian besar adalah sebagai petani dan buruh penambang batu kapur yang ada diwilayah Desa Tamansari yang telah ada sejak puluhan tahun yang lalu.
56
57
B. Hasil Analisis Univariat Analisis unuvariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari setiap variabel independen maupun dependen pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari karawang tahun 2013 dapat dilihat sebagai berikut:
1. Gambaran Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa prevalensi gejala ISPA pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari tahun 2013 adalah sebesar 57,4 % untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5.1. berikut ini : Tabel 5.1. Distribusi Gejala ISPA pada Balita di Desa Tamansari Tahun 2013 Gejala ISPA
Frekuensi
Presentase
Iya
39
57,4%
Tidak
29
42,6%
Jumlah
68
100%
Sumber : Data Primer Tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.1. diatas dapat diketahui bahwa dari 68 balita, 39 balita (57.4%) mengalami gejala ISPA dan 29 balita (42.6%) tidak mengalami ISPA.
58
C. Gambaran Faktor Risiko Gejala ISPA 1. Gambaran Usia Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data usia balita di Desa Tamansari sebagai berikut: Tabel 5.2. Distribusi usia pada Balita di Desa Tamansari Tahun 2013 Variabel
Mean
SD
Min-Max
Usia (Bulan)
21.23
14.245
1-59
Sumber: Data Primer Tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.2. diketahui bahwa rata-rata usia balita 21,23 bulan dengan standar deviasi 14,245. Usia terendah 1 bulan dan tertinggi 59 bulan.
2. Gambaran Jenis Kelamin Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data jenis kelamin balita di Desa Tamansari sebagai berikut: Tabel 5.3. Distribusi jenis kelamin pada Balita di Desa Tamansari Tahun 2013 Variabel Kategori Frekuensi Presentase Jenis kelamin
Laki-laki
36
52.9 %
Perempuan
32
47.1 %
68
100 %
Total Sumber: Data primer Tahun 2013
59
Berdasarkan tabel 5.3. diketahui bahwa dari 68 balita, 36 balita (52,9%) berjenis kelamin laki-laki dan 32 balita (47,1%) berjenis kelamin perempuan.
3. Gambaran Status Gizi Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data status gizi balita di 5 posyandu Desa Tamansari sebagai berikut: Tabel 5.4. Distribusi status gizi pada Balita di Desa Tamansari Tahun 2013 Variabel
Kategori
Frekuensi
Presentase
Status gizi
Kurang
7
10,3 %
Baik
61
89,7 %
68
100 %
Total
Sumber : Data Primer Tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.4. diketahui bahwa dari 68 balita, 7 balita (10,3%) gizi kurang atau nilai SD -2,1 dan 61 balita (89,7%) gizi baik atau nilai SD 2.
4. Gambaran Status Imunisasi Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data status gizi balita di Desa Tamansari sebagai berikut:
60
Tabel 5.5. Distribusi status imunisasi pada Balita di Desa Tamansari Tahun 2013 Variabel
Kategori
Frekuensi
Presentase
Status imunisasi
Tidak lengkap
8
11,8 %
Lengkap
60
88,2 %
68
100 %
Total Sumber: Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.5. diketahui bahwa dari 68 balita, 8 balita (11,8%) imunisasi tidak lengkap dan 60 balita (82,8%) imunisasi lengkap.
5. Gambaran Pendidikan Ibu Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data pendidikan ibu balita di Desa Tamansari sebagai berikut: Tabel 5.6. Distribusi pendidikan ibu Balita di Desa Tamansari Tahun 2013 Variabel
Kategori
Frekuensi
Presentase
Pendidikan
Rendah
59
86,8 %
ibu
Tinggi
9
13,2 %
68
100 %
Total Sumber : Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.6. diketahui bahwa dari 68 responden, 59 ibu (86,8%) berpendidikan rendah dan 9 ibu (13,2%) bependidikan tinggi.
61
6. Gambaran PM10 Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data PM10 pada kamar balita di Desa Tamansari sebagai berikut: Tabel 5.7. Distribusi PM10 dalam kamar balita di Desa Tamanasri Tahun 2013 Variabel
Mean
Median
SD
Min-Max
PM10 (µg/m3)
162,50
117,00
134,20
41-628
Sumber: Data Primer Tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.7. diketahui bahwa kadar PM10 dalam rumah balita rata-rata 162,50 µg/m3 dengan standar deviasi 134,20. Kadar PM10 terendah 41 µg/m3 dan tertinggi 628 µg/m3.
7. Gambaran Suhu Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data suhu pada kamar balita di Desa Tamansari sebagai berikut: Tabel 5.8. Distribusi Suhu kamar Balita di Desa Tamanasri Tahun 2013 Variabel
Mean
Median
Suhu (0C)
28,66
28,45
SD 1,84
Min-Max 24,7-32,9
Sumber : Data Primer Tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.8. diketahui bahwa suhu dalam kamar balita rata-rata 28,660 C dengan standar deviasi 1,84. Suhu terendah 24,70 C dan tertinggi 32,90 C.
62
8. Gambaran Kelembaban Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data kelembaban pada kamar balita di Desa Tamansari sebagai berikut: Tabel 5.9. Distribusi Kelembaban kamar Balita di Desa Tamanasri Tahun 2013 Variabel
Mean
Median
Kelembaban (%)
86,12
11,23
SD
Min-Max
11,23
58-99
Sumber : Data Primer Tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.9. diketahui bahwa kelembaban kamar balita rata-rata 86,12% dengan standar deviasi 11,23. Kelembaban terendah 58% dan tertinggi 99%.
9. Gambaran Racun Nyamuk Bakar Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data yang menggunakan racun nyamuk bakar di Desa Tamansari sebagai berikut: Tabel 5.10. Distribusi racun nyamuk bakar di Desa Tamansari Tahun 2013 Variabel
Frekuensi
Presentase
Iya
61
89,7 %
Tidak
7
10,3 %
Total
68
100 %
Racun nyamuk bakar
Sumber : Data Primer Tahun 2013
63
Berdasarkan tabel 5.10. diketahui bahwa dari 68 responden, 61 rumah (89,7%) menggunakan racun nyamuk bakar dan 7 rumah (10,3%) tidak menggunakan racun nyamuk.
10. Gambaran Kebiasaan Merokok Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data yang terbiasaan merokok didalam rumah di Desa Tamansari sebagai berikut: Tabel 5.11. Distribusi kebiasaan merokok dalam rumah di Desa Tamansari Tahun 2013 Variabel
Frekuensi
Presentase
Ada
54
79,4 %
Tidak ada
14
20,6%
Total
68
100%
Kebiasaan merokok
Sumber : Data Primer Tahun 2013 Berdasarkan tebel 5.11. diketahui bahwa dari 68 responden terdapat 54 anggota keluarga (79,4%) yang terbiasa merokok di dalam rumah dan 14 anggota keluarga (20,6%) tidak merokok.
11. Gambaran Bahan Bakar Memasak Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data yang menggunakan kayu bakar di Desa Tamansari sebagai berikut:
64
Tabel 5.12. Distribusi bahan bakar masak yang menggunakan kayu bakar di Desa Tamansari Tahun 2013 Variabel
Frekuensi
Presentase
Ada
10
14.7 %
Tidak ada
58
85.3 %
Total
68
100%
Bahan bakar masak
Sumber : Data Primer Tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.12. diketahui bahwa dari 68 responden terdapat 10 keluarga (14,7%) yang menggunakan kayu bakar dan 58 keluarga (85,3%) yang menggunakan gas.
12. Gambaran Luas Ventilasi Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data luas ventilasi kamar balita di Desa Tamansari sebagai berikut: Tabel 5.13. Distribusi luas ventilasi pada Balita di Desa Tamansari Tahun 2013 Variabel
Kategori
Frekuensi
Presentase
Luas ventilasi
TMS
44
64,7 %
MS
24
35,3 %
68
100%
Total Sumber : Data Primer Tahun 2013
65
Berdasarkan tabel 5.13. diketahui bahwa dari 68 responden terdapat 44 luas ventilasi (64,7%) tidak memenuhi syarat, 24 luas ventilasi (35,3%) memenuhi syarat yang telah ditentukan.
13. Gambaran Kepadatan Hunian Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data kepadatan hunian kamar balita di Desa Tamansari sebagai berikut: Tabel 5.14. Distribusi kepadatan hunian kamar Balita di Desa Tamansari Tahun 2013 Variabel
Kategori
Frekuensi
Presentase
Kepadatan
TMS
55
80,9 %
hunian
MS
13
19,1 %
68
100 %
Total Sumber : Data Primer Tahun 2013
.Berdasarkan tabel 5.14. didalam tabel dihasilkan bahwa dari 68 kelurga terdapat 55 keluarga (80,9%) yang tidur dalam satu kamar lebih dari 2 orang dan 13 keluarga (19,1%) keluarga yang tidur tidak lebih dari 2 orang.
D. Hasil Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen (status Imunisasi, status gizi, racun nyamuk bakar, kebiasaan merokok, bahan bakar masak, luas ventilasi dan kepadatan hunian)
66
dan variabel dependen dengan menggunakan uji chi square. Sedangkan untuk mngetahui hubungan antara variabel independen (PM10, suhu dan kelambaban) dan variabel dependen menggunakan uji uji non parametrik yaitu man-whitney dIkarenakan tidak berdistribusi normal. Hubungan antara variabel independen dan variabel dependen pada penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut:
1. Hubungan Status Gizi dengan Gejala ISPA pada Balita Hasil analisi hubungan antara status gizi dengan gejala ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 5.15. Tabel 5.15. Analisis Hubungan antara Status Gizi dengan Gejala ISPA pada Balita di Desa Tamansari Tahun 2013 Gejala ISPA Status Gizi
Iya
Total
Tidak
Pvalue
N
%
N
%
N
%
Kurang
5
71,4%
2
28,6%
7
100%
Baik
34
55,7%
27
44,3%
61
100%
Jumlah
39
57,4%
29
42,6%
68
100%
Sumber : Data Primer Tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.15. diketahui balita yang status gizi kurang dan menderita ISPA adalah 71,4% serta balita dengan status gizi kurang tidak mengalami ISPA adalah 28,6%. sedangkan balita yang status gizi baik dan menderita ISPA adalah 55,7% serta balita dengan status gizi baik
0,690
67
tidak mengalami ISPA 44,3%. Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue 0,690 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan gejala ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013.
2. Hubungan Status Imunisasi dengan gejala ISPA pda Balita Hasil analisi hubungan antara status Imunisasi dengan gejala ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 5.16. Tabel 5.16. Hubungan antara Status Imunisasi dengan Gejala ISPA pada Balita di Desa Tamansari Tahun 2013 Status
Gejala ISPA
Imunisasi
Iya
Total
Tidak
Pvalue
N
%
N
%
N
%
Tidak lengkap
6
75,0%
2
25,0%
8
100%
Lengkap
33
55,0%
27
45,0%
60
100%
Jumlah
39
57,4%
29
42,6%
68
100%
Sumber : Data Primer Tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.16. diketahui balita yang status imunisai tidak lengkap dan menderita ISPA sebanyak 75,0% serta balita dengan status imunisasi tidak lengkap dan tidak mengalami ISPA sebesar 25,0%, sedangkan balita yang imunisasi lengkap dan menderita ISPA adalah 55,0% serta balita dengan status imunisasi lengkap dan tidak mengalami ISPA sebanyak 45,0%. Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai
0,451
68
pvalue 0,451 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status imunisasi dengan gejala ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013.
3. Hubungan antara PM10 dengan Kejadian ISPA pada Balita Hasil analisis hubungan antara PM10 dengan gejala ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013 diperoleh dengan menggunakan uji non parametrik yaitu man-whitney hal tersebut dikarenakan data variabel PM10 merupakan data yang berdistribusi tidak normal. Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.17. Tabel 5.17. Hubungan antara PM10 dengan Gejala ISPA pada Balita di Desa Tamansari Tahun 2013 PM10 (µg/m3)
N
Rata-rata
pvalue
Iya
39
35,49
0,633
Tidak
29
33,17
Gejala ISPA
Sumber : Data Primer Tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.17. diketahui nilai rata-rata PM10 yang mengalami gejala ISPA adalah 35,49 µg/m3 dan nilai rata-rata PM10 yang tidak mengalami ISPA adalah 33,17 µg/m3. Berdasarkan hasil uji man whitney didapatkan nilai pvalue 0,633 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulakn bahwa pada alpha 5% tidak terdapat perbedaan yang
69
signifikan rata-rata PM10 antara balita yang mengalami ISPA dengan yang tidak mengalami ISPA di Desa Tamansari tahun 2013.
4. Hubungan antara Suhu dengan Gejala ISPA pada Balita Hasil analisis hubungan antara suhu dengan gejala ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013 diperoleh dengan menggunakan uji non parametrik yaitu man-whitney hal tersebut dikarenakan data variabel suhu merupakan data yang berdistribusi tidak normal. Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel tabel 5.18. Tabel 5.18. Hubungan antara suhu dengan Gejala ISPA pada Balita di Desa Tamansari Tahun 2013 Suhu (0C)
N
Rata-rata
Pvalue
Iya
39
35,00
0,809
Tidak
29
33,83
Gejala ISPA
Sumber : Data Primer Tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.18. diketahui nilai rata-rata suhu yang mengalami ISPA adalah 35,00 0C dan nilai rata-rata suhu yang tidak mengalami ISPA adalah 33,83 0C. Berdasarkan hasil uji man whitney didapatkan nilai pvalue 0,809 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulakn bahwa pada alpha 5% tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata suhu antara balita yang mengalami ISPA dengan yang tidak mengalami ISPA di Desa Tamansari tahun 2013.
70
5. Hubungan antara Kelembaban dengan Gejala ISPA pada Balita Hasil analisis hubungan antara kelembaban dengan gejala ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013 diperoleh dengan menggunakan uji non parametrik yaitu man-whitney hal tersebut dikarenakan data variabel kelembaban merupakan data yang berdistribusi tidak normal. Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel tabel tabel 5.19. Tabel 5.19. Hubungan antara Kelembaban dengan Gejala ISPA pada Balita di Desa Tamansari Tahun 2013 Kelembaban (%)
N
Rata-rata
Pvalue
Iya
39
34,26
0,906
Tidak
29
34,83
Gejala ISPA
Sumber : Data Primer Tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.19. diketahui nilai rata-rata kelembaban yang mengalami ISPA adalah 34,26% dan nilai rata-rata kelembaban yang tidak mengalami ISPA adalah 34,83%. Berdasarkan hasil uji man whitney didapatkan nilai pvalue 0,906 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulakn bahwa pada alpha 5% tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kelembaban antara balita yang mengalami ISPA dengan yang tidak mengalami ISPA di Desa Tamansari tahun 2013.
71
6. Hubungan antara Racun Nyamuk Bakar dengan Gejala ISPA pada Balita Hasil analisis hubungan antara racun nyamuk bakar dengan gejala ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 5.20. Tabel 5.20. Hubungan antara racun nymuk bakar dengan kejadian ISPA pada Balita di Desa Tamansari Tahun 2013 Gejala ISPA Racun Nymuk
Iya
Total
Tidak
pvalue
Bakar
N
%
N
%
N
%
Iya
35
57,4%
26
42,6%
61
100%
Tidak
4
57,1%
3
42,9%
7
100%
Jumlah
39
57,4%
29
42,6%
68
100%
Sumber : Data Primer Tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.20. diketahui responden yang menggunakan racun nyamuk bakar dan mengalami ISPA adalah (57,4%) serta responden yang menggunakan racun nyamuk bakar dan tidak mengalami ISPA sebanyak 42,6%. Sedangkan responden yang tidak menggunakan racun nyamuk bakar dan mengalami ISPA sebanyak 57,1% serta responden yang tidak menggunakan racun nyamuk bakar dan tidak mengalami ISPA 42,9%. Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue 1,000 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
1,000
72
yang signifikan antara racun nyamuk bakar dengan gejala ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013. 7. Hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan Gejala ISPA pada Balita Hasil analisis hubungan antara kebiasaan merokok dengan gejala ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 5.21. Tabel 5.21. Hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan Gejala ISPA pada Balita di Desa Tamansari Tahun 2013 Kebiasaan
Gejala ISPA
Merokok
Iya
Total
Tidak
pvalue
N
%
N
%
N
%
Ada
32
59,3%
22
40,7%
54
100%
Tidak
7
50,0%
7
50,0%
14
100%
Jumlah
39
57.4%
29
42,6%
68
100%
Sumber: Data Primer Tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.21. diketahui balita yang anggota keluarganya merokok dan menderita ISPA adalah 59,3% serta balita yang anggota keluarganya merokok dan tidak mengalami ISPA adalah 40,7%. Sedangkan balita yang anggota keluarganya tidak merokok dan mengalami ISPA sebanyak 50,0% serta balita yang anggota keluarganya tidak merokok dan tidak mengalami ISPA sebanyak 50,0%. Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue 0,559 (pvalue > 0,05). Sehingga
0.559
73
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok anggota keluarga balita dengan gejala ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013. 8. Hubungan Bahan Bakar Masak dengan Gejala ISPA pada Balita Hasil analisis hubungan antara bahan bakar masak dengan gejala ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 5.22. Tabel 5.22. Hubungan antara Bahan Bakar Masak dengan Gejala ISPA pada Balita di Desa Tamansari Tahun 2013 Bahan Bakar
Gejala ISPA
Masak
Iya
Total
Tidak
pvalue
N
%
N
%
N
%
Kayu, minyak
6
60,0%
4
40,0%
10
100%
Gas
33
56,9%
25
43,1%
58
100%
Jumlah
39
57,4%
29
42,6%
68
100%
Sumber: Data Primer Tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.22. diketahui responden yang memakai bahan bakar memasak menggunakan kayu atau minyak dan mengalami ISPA sebanyak 60,0% serta responden yang memakai bahan bakar memasak menggunakan kayu atau minyak dan tidak mengalami ISPA sebanyak 40,0% sedangkan responden yang memakai bahan bakar memasak menggunakan gas dan mengalami ISPA sebanyak 56,9% serta responden yang memakai bahan bakar memasak menggunakan gas dan tidak
1,000
74
mengalami ISPA sebanyak 43,1%. Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue 1,000 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara bahan bakar masak dengan gejala ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013.
9. Hubungan Luas Ventilasi dengan Gejala ISPA pada Balita Hasil analisis hubungan antara luas ventilasi dengan gejala ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 5.23. Tabel 5.23. Hubungan antara Luas Ventilasi dengan Gejala ISPA pada Balita di Desa Tamansari Tahun 2013 Gejala ISPA Luas Ventilasi
Iya
Total
Tidak
pvalue
N
%
N
%
N
%
TMS
26
59,1%
18
40,9%
44
100%
MS
13
54,2%
11
45,8%
24
100%
Jumlah
39
57,4%
29
42,6%
68
100%
Sumber: Data Primer Tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.23. diketahui balita yang luas ventilasi kamar tidak memenuhi syarat dan mengalami ISPA adalah 59,1% serta luas ventilasi kamar tidak memenuhi syarat dan tidak mengalami ISPA sebanyak 40,9% sedangkan luas ventilasi kamar yang memenuhi syarat dan mengalami ISPA sebanyak 54,2% serta luas ventiasi kamar yang memenuhi syarat dan tidak mengalami ISPA sebanyak 45,8%.
0,799
75
Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue 0,799 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara luas ventilasi dengan gejala ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013.
10. Hubungan Kepadatan hunian dengan Gejala ISPA pada Balita Hasil analisis hubungan antara kepadatan hunian dengan gejala ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 5.24. Tabel 5.24. Hubungan antara Kepadatan Hunian dengan Gejala ISPA pada Balita di Desa Tamansari Tahun 2013 Gejala ISPA Kepadatan
Iya
Total
Tidak
pvalue
hunian
N
%
N
%
N
%
TMS
28
50,9%
27
49,1%
55
100%
Ms
11
84,6%
2
15,4%
13
100%
Jumlah
39
57,4%
29
42,6%
68
100%
Sumber: Data Primer Tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.24. diketahui kepadatan hunian balita yang lebih dari 2 orang dan mengalami ISPA adalah 50,9% serta kepadatan hunian yang lebih dari 2 orang dan tidak mengalami ISPA sebanyak 49,1%. Sedangkan kepadatan hunian yang tidak lebih dari 2 orang dan mengalami ISPA sebanyka 84,6% serta kepadatan hunian yang tidak lebih dari 2
0,032
76
orang dan tidak mengalami ISPA sebanyak 15,4%. Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue 0,032 (pvalue < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan gejala ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013.
BAB VI PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian Dalam pelaksanaan penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan peneliti yaitu : 1. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Desain ini tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat, hanya menjelaskan hubungan keterkaitan. Meskipun demikian, desain ini dipilih karena paling sesuai dengan tujuan penelitian, serta efektif dari segi waktu. 2. Pemeriksaan gejala ISPA langsung ditanyakan ke ibu balita, tanpa mengunakan pemeriksaan dokter untuk memperkuat hasil. Sehingga mempengaruhi proporsi gejala ISPA.
B. Analisis Univariat 1. Gambaran Gejala ISPA pada Balita di Desa Tamansari Pada penelitian ini untuk gejala ISPA yaitu dengan menanyakan pada ibu balita yang pernah dialami balita selama kurun waktu dua minggu baik itu batuk, pilek, demam dan panas. Pengertian ISPA sendiri merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Penyakit Infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung
77
78
(saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (WHO, 2003). Dari hasil wawancara, pada tabel 5.1 bahwa balita yang mengalami gejala ISPA sebanyak 57,4% dan yang tidak mengalami gejala ISPA sebanyak 42,6%. Dari hasil laporan puskesmas tahun 2012 bahwa Kejadian ISPA diwilayah puskesmas pangkalan merupakan penyakit infeksi yang paling sering diderita oleh masyarakat khususnya kelompok bayi dan anak-anak. Kejadian ISPA menempati urutan pertama dalam daftar sepuluh penyakit tertinggi pada kelompok umur 1-4 tahun di wilayah kerja puskesmas pangkalan dengan presentase 54,50% (Laporan Puskesmas, 2012). Diperkuat dengan data yang didapat dari dinas kesehatan kabupaten karawang bahwa kejadian ISPA di Provinsi Jawa Barat diurutan petama dibandingkan dengan penyakit lain yakni sebesar 33,44% (Dinkes Karawang, 2009). Gejala ISPA yang terjadi pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari dan hanya ditanyakan kepada ibu balita dalam kategori mengalami ISPA dan tidak mengalami ISPA hanya sebatas gejala subjektif yang diperhatikan oleh seorang ibu, harus diperhatikan secara serius. Walaupun hanya gejala ISPA yang terjadi pada balita namun ini menjadi indikasi bahwa telah terjadi kejadian ISPA sebenarnya.
79
Gejala ISPA tak lepas dari faktor-faktor yang dapat memicunya. Kadar debu dalam rumah merupakan faktor penting sebagai pencetus terjadinya gejala ISPA. Kadar debu dalam penelitian ini dipengaruhi oleh faktor lainya. Berdasarkan hasil pengukuran PM10 didalam kamar balita, didapatkan kadar PM10 yang melebihi nilai ambang batas menurut standar WHO yaitu sebesar 70µg/m3. Hal ini lah yang menjadi asumsi peneliti bahwa balita yang tinggal disekitar industri batu kapur mengalami ISPA, dimana PM10 sebagai pemicu terjadinya ISPA pada balita tetapi juga dipengaruhi dengan faktor risiko lainnya.
C. Analisis Bivariat 1. Analisis Hubungan Status Gizi dengan Gejala ISPA pada Balita Status gizi anak balita dalam penelitian ini ditetapkan berdasarkan perbandingan berat badan menurut umur (BB/U) berdasarkan standar HAZ, WHO-NCHS. Adapun hasil yang diperoleh yaitu balita yang status gizi nya kurang berjumlah 10,3% sedangkan balita dengan status gizi baik sebanyak 89,7%. Berdasarkan tabel 5.15. diketahui balita yang status gizi kurang dan menderita ISPA adalah 71,4% serta balita dengan status gizi kurang tidak mengalami ISPA adalah 28,6%. sedangkan balita yang status gizi baik dan menderita ISPA adalah 55,7% serta balita dengan status gizi baik tidak mengalami ISPA 44,3%. Berdasarkan hasil uji chi square
80
didapatkan nilai pvalue 0,690 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu desa tamansari tahun 2013. Menurut Almatsler (2003), timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan karena asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapatkan cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makanan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah sehingga mudah terserang penyakit. Status gizi merupakan faktor risiko terhadap kejadian ISPA. Berdasarkan Nuryanto (2012) menyatakan bahwa status gizi kurang maka akan bersiko untuk terjadinya ISPA. Balita dikatakan status gizinya baik jika nilai perbandingan antara BB dan umur adalah dengan SD 2 dan apabila nilai SD -2 maka dikatakan status gizi kurang. Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan gejala ISPA pada balita. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Nuryanto (2012) yang menyatakan bahwa status gizi kurang pada balita berisiko mengalami kejadian penyakit ISPA 8,40 kali dibandingkan balita dengan status gizi baik. Tidak adanya hubungan antara status gizi dengan gejala ISPA pada balita, hal ini diduga jika dilihat proporsi antara status gizi baik
81
dan status gizi kurang lebih besar (>) status gizi baik yaitu sebesar 89,7% dan ini tidak sebanding dengan status gizi kurang yaitu sebesar 10,3%. Sehingga tidak terjadi hubungan yang signifikan jika dibandingkan juga dengan distribusi gejala ISPA. Walaupun pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan gejala ISPA, petugas posyandu sebaiknya tetap melakukan posyandu secara rutin sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dan menghimbau kepada ibu balita agar tetap menjaga asupan makanan yang diberikan oleh anak, selain itu petugas posyandu juga dapat memberikan makanan pendamping asi kepada balita seperti susu, biskuit dan bubur kacang hijau agar dapat mengurangi status gizi kurang.
2. Analisis Hubungan Status Imunisasi dengan Gejala ISPA pada Balita Pada penelitian ini, variabel status imunisasi merupakan imunisasi yang diteriama oleh balita sesuai dengan umurnya. Adapaun hasil yang diperoleh yaitu balita dengan status imunisasi tidak lengkap yaitu sebesar 11,8% sedangkan balita dengan status imunisasi lengkap sebanyak 88,2%. Berdasarkan tabel 5.16. diketahui balita yang status imunisai tidak lengkap dan menderita ISPA sebanyak 75,0% serta balita dengan status imunisasi tidak lengkap dan tidak mengalami ISPA sebesar
82
25,0%, sedangkan balita yang imunisasi lengkap dan menderita ISPA adalah 55,0% serta balita dengan status imunisasi lengkap dan tidak mengalami ISPA sebanyak 45,0%. Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue 0,451 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status imunisasi dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu desa tamansari tahun 2013. Menurut Purnomo (2006) imunisasi sangat penting diberikan pada anak untuk memperoleh kekebalan terhadap penyakit tertentu. Cakupan imunisasi yang lengkap, meliputi imunisasi BCG (anti tuberkulosis), DPT (anti difteri, pertusis dan tetanus), polio (anti poliomilitis) dan campak (anti campak). Imunisasi menjadi salah satu faktor sangat penting bagi para ibu untuk menjaga agar bayi dan balitanya tetap dalam kondisi sehat dan terlindungi dari berbagai penyakit. Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan, imunisasi polio pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya diberikan dengan jarak paling cepat empat minggu, imunisasi DPT/HB pada bayi umur dua, tiga, empat bulan dengan interval minimal empat minggu, dan imunisasi campak paling dini umur sembilan bulan (Depkes RI, 2008). Imunisasi merupakan salah satu bentuk intervensi yang sangat efektif menurunkan angka kematian dan kesakitan bayi serta balita dari
83
berbagai jenis penyakit. Makin lengkap status imunisasi, semakin kecil risiko terkena penyakit yang dapat dicegah. Sebaliknya risiko terkena penyakit infeksi juga akan lebih besar, bila imunisasi pada anak tidak lengkap. Status imunisasi merupakan faktor yang menjadi risiko mengalami kejadian ISPA, Pemberian imunisasi pada balita sangat bermanfaat, sejalan dengan penyakit ISPA sebagai penyebab utama kematian balita dapat dicegah dengan imunisasi. Meskipun dari hasil statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna namun status imunisasi tidak lengkap berisiko dengan kejadian ISPA dibandingkan dengan balita dengan imunisasi lengkap. Balita dikatakan baik jika balita mendapatkan imunisasi sesuai dengan umur, sehingga diharapkan kepada ibu balita agar membawa anaknya untuk diberikan imunisasi sesuai dengan umur agar kesehatan balita tetap terjaga. Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status imunisasi dengan gejala ISPA pada balita. Penelitian ini tidak sejala dengan penelitian Sugiharto (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan terjadinya ISPA pada balita. Tidak adanya hubungan antara status imunisasi dengan gejala ISPA pada balita, hal ini diduga jika dilihat proporsi antara status imunisasi lengkap dengan status imunisasi tidak lengkap lebih besar (>)
84
status imunisasi lengkap yaitu sebanyak 60 balita dan 8 balita tidak dengan imunisasi lengkap dengan begitu balita mempunyai daya tahan tubuh yang kuat sehingga tidak terjadi gejala ISPA. Walaupun pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara status imunisasi dengan gejala ISPA, petugas posyandu tetap melaksanakan imunisasi kepada balita yang masih membutuhkan sesuai dengan umurnya dan menghimbau kepada ibu balita agar membawa balitanya dalam pelaksanaan imunisasi dan diberikan imunisasi kepada anaknya, selain itu petugas posyandu diharapkan melaksanakan imunisasi dengan menarik agar ibu-ibu tertarik untuk hadir mengikuti posyandu agar balita dapat mendapatkan imunisasi dengan lengkap sehingga kejadian ISPA dapat berkurang.
3. Analisis Hubungan PM10 dengan Gejala ISPA pada Balita Pada penelitian ini, data mengenai parameter PM10 dalam rumah diukur langsung pada setiap rumah yang diteliti dengan titik sampling di ruangan balita sering tidur. Kadar PM10 hanya diukur 1 kali dengan metode sewaktu (spot sampling) yang digunakan untuk memeriksa secara acak keadaan sewaktu zat pencemar udara pada tempat-tempat pemeriksaan, sehingga diperoleh gambaran kadar PM10 dalam setiap rumah balita. Berdasarkan tabel 5.17. diketahui nilai rata-rata PM10 yang mengalami gejala ISPA adalah 35,49 µg/m3 dan nilai rata-rata PM10
85
yang tidak mengalami ISPA adalah 33,17 µg/m3. Berdasarkan hasil uji man whitney didapatkan nilai pvalue 0,633 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulakn bahwa pada alpha 5% tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata PM10 antara balita yang mengalami ISPA dengan yang tidak mengalami ISPA di 5 posyandu desa tamansari tahun 2013. Menurut Gertrudist (2010) PM10 mempunyai peran yang lebih penting daripada sekedar iritan dan merupakan kelompok risiko kesehatan terbesar diantara berbagai ukuran partikulat. PM10 merupakan indikator yang paling cocok untuk pengukuran pencemaran partikulat yang dikaitkan dengan efek terhadap gangguan saluran pernapasan sehingga kadarnya di dalam rumah tetap harus dijaga jangan sampai melebihi 70 µg/m3. Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa PM10 yang melebihi nilai ambang batas yang telah ditentukan dengan kejadian ISPA. Semakin lama seorang balita terpajan PM10 maka akan berisiko terhadap kejadian ISPA, karena persyaratan PM10 dalam ruangan yaitu sebesar 70 µg/m3 sedangkan rata-rata PM10 hasil pengukuran yaitu sebesar 162,50 µg/m3. Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar PM10 dalam kamar balita dengan gejala ISPA pada balita. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Farieda (2009) yang mengatakan ada hubungan yang bermakna antara PM10 dengan kejadian ISPA pada balita, PM10 yang
86
tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 56,5 kali untuk terjadi ISPA dibandingkan PM10 yang memenuhi syarat. Melihat data diatas dengan adanya perbedaan dengan teori, hal ini dapat dimungkinkan karena jarak antara wawancara gejala ISPA dengan saat dilakukan pengukuran terlalu lama yaitu satu minggu, bisa saja tidak terjadinya hubungan saat dilakukan wawancara balita dalam kondisi sehat dan mempunyai daya tahan tubuh yang baik sehingga PM10 tidak menyebabkan gejala ISPA. Meskipun tidak terdapat hubungan namun dengan demikian tetap perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi pencemaran PM10 didalam kamar balita, karena PM10 berisiko terhadap kesehatan manusia khususnya pada anak-anak. Untuk itu perlu memberikan penyuluhan dan pengetahuan kepada masyarakat tentang cara mengurangi pencemaran PM10 dalam kamar balita seperti ventilasi menggunakan kawat penyaring debu, menanam pohon di depan rumah yang fungsi pohon tersebut sebagai penghambat agar PM10 tidak masuk kedalam kamar, selalu membersihkan kamar balita secara rutin.
4. Analisis Hubungan Suhu dengan Gejala ISPA pada Balita Pada penelitian ini variabel suhu merupakan data numerik hasil dari pengukuran menggunakan alat Thermometer. Berdasarkan tabel 5.18. diketahui nilai rata-rata suhu yang mengalami ISPA adalah 35,00 0
C dan nilai rata-rata suhu yang tidak mengalami ISPA adalah 33,83 0C.
87
Berdasarkan hasil uji man whitney didapatkan nilai pvalue 0,809 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulakn bahwa pada alpha 5% tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata suhu antara balita yang mengalami ISPA dengan yang tidak mengalami ISPA di 5 posyandu desa tamansari tahun 2013. Suhu udara memiliki peranan sangat penting, suhu akan berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan manusia. Suhu ruangan, harus dijaga agar tetap memenuhi syarat dengan cara membuka jendela atau pintu kamar. Suhu berbanding terbalik dengan kelembapan apabila suhu tinggi maka kelembapan rendah dan sebaliknya. Suhu adalah kandungan uap air yang terdapat di dalam ruang yang besar diukur dengan menggunakan thermometer dengan satuan pengukuran derajat celcius (ºC). Suhu ruangan yang ideal
adalah
berkisar
antara
No.829/Menkes/SiuVII/1999)
18-30ºC
tentang
(Keputusan
persyaratan
Menteri kesehatan
perumahan. Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara suhu dengan gejala ISPA pada balita. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Heru (2012) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara suhu dengan kejadian ISPA pada balita. Melihat data diatas dengan adanya perbedaan dengan teori, hal ini dapat dimungkinkan saat melakukan pengukuran suhu ruangan
88
kamar balita dipengaruhi dengan intensitas hujan, karena saat dilakukan pengukuran suhu terjadi hujan, dilihat dari proporsi suhu bahwa ratarata suhu memenuhi syarat kesehatan rumah yaitu 28,66
0
C. Namun
suhu juga sebagai pemicu kejadian ISPA, untuk itu perlu dilakukan upaya agar suhu didalam kamar balita tetap memenuhi syarat yang telah ditentukan seperti membuka jendela dan pintu setiap pagi, sehingga terjadi sirkulasi udara dan suhu tetap stabil.
5. Analisis Hubungan Kelembaban dengan Gejala ISPA pada Balita Hasil penelitian terkait variabel kelembaban didapatkan dengan melakukan pengukuran menggunakan alat Hygrometer. Berdasarkan tabel 5.19. diketahui nilai rata-rata kelembaban yang mengalami gejala ISPA adalah 34,26% dan nilai rata-rata kelembaban yang tidak mengalami ISPA adalah 34,83%. Berdasarkan hasil uji man whitney didapatkan nilai pvalue 0,906 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulakn bahwa pada alpha 5% tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kelembaban antara balita yang mengalami gejala ISPA dengan yang tidak mengalami ISPA di desa tamansari tahun 2013. Menurut Listyowati (2013) Faktor etiologi ini dapat tumbuh dengan baik jika kondisi yang optimum. Virus, bakteri dan jamur penyebab ISPA untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya membutuhkan suhu dan kelembapan optimal. Pada suhu dan kelembaban
tertentu
memungkinkan
pertumbuhannya
terhambat
89
bahkan tidak tumbuh dan mati. Tapi pada suhu dan kelembaban tertentu dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan sangat cepat. Hal inilah yang membahayakan karena semakin sering anak berada dalam ruangan dengan kondisi tersebut dan dalam jangka waktu yang lama maka anak terpapar risiko tersebut. Akibatnya makin besar peluang anak untuk terjangkit ISPA. Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kelembaban dengan gejala ISPA. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Heru (2012) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan secara signifikan antara kelembapan dengan kejadian ISPA pada balita. Melihat data diatas dengan adanya perbedaan dengan teori, hal ini dapat dimungkinkan karena saat melakukan pengukuran kelembaban berbarengan dengan hujan sehingga kelembaban dipengaruhi dengan suhu hujan saat dilakukan pengukuran yang semestinya kelembaban memenuhi syarat karena terjadi hujan maka kelembaban menjadi tinggi. Namun Kelembaban di dalam ruangan merupakan faktor yang berpengaruh tehadap kejadian ISPA karena kelembaban sangan erat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangbiakan faktor etiologi ISPA yang berupa virus, bakteri dan jamur. Walaupun tidak terdapat hubungan, tetapi kondisi kelembaban yang tidak memenuhi syarat dapat mempengaruhi kejadian ISPA sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan upaya-upaya:
90
a. Masyarakat perlu diberikan pengetahuan tentang upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatur kelembapan dalam rumah sehingga memenuhi syarat kesehatan seperti memperbaiki ventilasi, membuka jendela agar sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah, memasang genteng kaca atau fiberglasa. b. Puskesmas diharapakan melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap masyarakat tentang syarat-syarat rumah sehat.
6. Analisis Hubungan Racun Nyamuk Bakar dengan Gejala ISPA pada Balita Pada penelitian ini, variabel racun nyamuk bakar merupakan bahan pestisida yang digunakan responden untuk mengilangkan nyamuk dan di letakkan dibawah tempat tidur. Adapaun hasil yang diperoleh yaitu responden yang menggunkan racun nyamuk bakar sebagai pembasmi nyamuk sebesar 89,7% sedangkan responden yang tidak menggunakan racun nyamuk bakar sebanyak 10,3%. Berdasarkan tabel 5.20. diketahui responden yang menggunakan racun nyamuk bakar dan mengalami ISPA adalah (57,4%) serta responden yang menggunakan racun nyamuk bakar dan tidak mengalami ISPA sebanyak 42,6%. Sedangkan responden yang tidak menggunakan racun nyamuk bakar dan mengalami ISPA sebanyak 57,1% serta responden yang tidak menggunakan racun nyamuk bakar dan tidak mengalami ISPA 42,9%. Berdasarkan hasil uji chi square
91
didapatkan nilai pvalue 1,000 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara racun nyamuk bakar dengan gejala ISPA pada balita di desa tamansari tahun 2013. Penggunaan racun nyamuk bakar dapat menyababkan iritan dan gangguan saluran pernapasan karena Menurut Widodo (2007) racun nyamuk bakar mengandung insektisida yang disebut d-aletrin 0,25%. Apabila dibakar akan mengeluarkan asap yang mengandung d-aletrin sebagai zat yang dapat mengusir nyamuk, tetapi jika ruangan tertutup tanpa ventilasi maka orang di dalamnya akan keracunan d-aletrin. Selain itu, yang dihasilkan dari pembakaran juga CO dan CO2 serta partikulat-partikulat. Dalam penelitian ini menunjukan bahwa penggunaan racun nyamuk bakar untuk mengendalikan nyamuk dari dalam rumah, disisi lain racun nyamuk dapat menjadi sumber pencemaran udara dalam rumah, disebabkan racun nyamuk bakar mengandung bahan CO, SO2, serta partikulat yang dapat menimbulkan batuk, iritasi hidung dan tenggorokan. Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara racun nyamuk bakar dengan gejala ISPA pada balita. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Lina (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bemakna antara racun nyamuk bakar dengan kejadian ISPA pada balita.
92
Tidak adanya hubungan antara racun nyamuk bakar dengan gejala ISPA pada balita, hal ini diduga saat melakukan wawancara hanya menanyakan apakah ibu menggunakan racun nyamuk bakar akan tetapi penempatan racun nyamuk bakar tidak langsung kontak dengan balita. Meskipun dari uji statistik tidak terdapat hubungan secara bermakna tetapi sesuai dengan teori dan penelitian-penelitian terdahulu bahwa asap racun nyamuk bakar berisiko terhadap kesehatan manusia khusunya pada balita yang daya tahan tubuhnya masih rendah. Untuk itu perlu dilakukan penyuluhan dan memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang bahaya penggunaan racun nyamuk bakar sebagai pengendali nyamuk. Untuk itu masyarakat agar dapat mengurangi pemakaian racun nyamuk bakar atau bahkan tidak menggunakannya lagi dan dapat menggunakan kelambu sebagai pelindung dari gigitan nyamuk serta membiasakan hidup bersih dan sehat seperti melaksanakan 3M.
7. Analisis Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Gejala ISPA pada Balita Pada penelitian ini terkait penelitian kebiasaan merokok anggota keluarga ditanyakan kepada responden. Adapun hasil yang diperoleh yaitu anggota keluarga yang terbiasa merokok sebanyak 79,4% sedangkan yang anggota keluarga yang tidak merokok sebanyak 20,6%.
93
Berdasarkan
tabel
5.21
diketahui
balita
yang
anggota
keluarganya merokok dan menderita ISPA adalah 59,3% serta balita yang anggota keluarganya merokok dan tidak mengalami ISPA adalah 40,7%. Sedangkan balita yang anggota keluarganya tidak merokok dan mengalami ISPA sebanyak 50,0% serta balita yang anggota keluarganya tidak merokok dan tidak mengalami ISPA sebanyak 50,0%. Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue 0,559 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok anggota keluarga balita dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu desa tamansari tahun 2013. Menurut Kusnoputranto (2000) Asap rokok merupakan salah satu bahan pencemar dalam ruang. Selain meningkatkan terjadinya suatu penyakit, adanya asap rokok akan menambah adanya bahan pencemar di dalam ruangan, serta menambah risiko kesakitan dari bahan toksik lain. Gangguan pernapasan ini lebih mudah terjadi pada balita yang lebih rentan terhadap efek polutan. Selain itu keberadaan balita yang lebih lama di dalam rumah juga menyebabkan dosis pencemar yang diterima akan lebih tinggi (balita terpapar lebih lama). Bila balita menghirup udara yang tercampur partikulat dari asap rokok maka dimungkinkan terjadi iritasi pada saluran pernapasa, selanjutnya akan mudah terinfeksi. Lingkungan dalam rumah dan tempat kerja adalah
94
tempat terbanyak terjadi pemaparan oleh rokok. Pemaparan asap rokok akan meningkatkan penyakit jantung dan infeksi saluran pernafasan pada anak (Sarwanto, 2004). Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan gejala ISPA pada balita. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Winarni (2009) yang mengatakan bahwa adanya perokok dalam rumah mengakibatkan risiko balita untuk mengalami ISPA 3,60 kali dibandingkan dengan tidak adanya perokok dalam rumah. Tidak adanya hubungan anatara kebiasaan merokok dengan gejala ISPA pada balita, hal ini diduga saat melakukan wawancara hanya menanyakan merokok atau tidak sedangkan jumlah batang rokok yang dihisap tidak ditanyakan ditambah lagi balita jarang kontak dengan anggota keluarga yang merokok. Meskipun berdasarkan uji statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA, namun tetap dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi pencemaran asap rokok dalam rumah karena menurut teori dan penelitia-penelitian terhadulu menjelaskan bahwa balita dengan anggota keluarga yang terbiasa merokok dalam rumah berisiko terhadap kesehatan terutama bagi anak balita maka perlu dihindari kontak antara perokok dengan balita.
95
Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan upaya-upaya penyuluhan sebagai berikut: a. Memberikan pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai ISPA dan penularannya, sehingga masyarakat mengetahui cara-cara mencegah penularan ISPA seperti: - Tidak merokok didalam rumah dan tidak berdekatan dengan balita - Membeikan pengetahuan kepada anggota keluarga tentang bahaya merokok dan dianjurkan untuk berhenti merokok - Mengurangi emisi doplet saat penderita ISPA batuk atau bersi, seperti menutup mulut dan hidung dengan tangan atau tisu - Mencuci tangan segera setelah kontak dengan sekresi pernafasan - Penderita ISPA dalam rumah segera berobat agar tidak menjadi sumber penular dalam rumah. b. Puskesmas melakukan supervisi dan memberikan bimbingan tentang ISPA pencegahan dan perawatannya kepada ibu-ibu khususnya yang mempunyai balita.
8. Analisis Hubungan Bahan Bakar Masak dengan Gejala ISPA pada Balita Pada
penelitian
ini,
variabel
bahan
bakar
memasak
dikelompokkan menjadi dua yaitu pamakaian kayu atau minyak dan pemakaian gas sebagai bahan bakar memasak. Adapaun hasil yang
96
diperoleh yaitu responden yang memakai kayu atau minyak sebagai bahan bakar memasak sebanyak 14,7% sedangkan yang memakai gas sebagai bahan bakar memasak sebanyak 85,3%. Berdasarkan tabel 5.22. diketahui responden yang memakai bahan bakar memasak menggunakan kayu atau minyak dan mengalami ISPA sebanyak 60,0% serta responden yang memakai bahan bakar memasak menggunakan kayu atau minyak dan tidak mengalami ISPA sebanyak 40,0% sedangkan responden yang memakai bahan bakar memasak menggunakan gas dan mengalami ISPA sebanyak 56,9% serta responden yang memakai bahan bakar memasak menggunakan gas dan tidak mengalami ISPA sebanyak 43,1%. Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue 1,000 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara bahan bakar masak dengan gejala ISPA pada balita di desa tamansari tahun 2013. Menurut Soemirat (2000) pembakaran minyak tanah dan kayu bakar menghasilkan polutan dalam bentuk debu (partikel) juga menghasilkan zat pencemar kimia berupa karbonoksida, oksidasulfur, oksidaoksigen dan hidrokarbon. Semua zat kimia diatas memberikan dampak pada gangguan saluran pernapasan. Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara bahan bakar memasak dengan gejala ISPA pada balita. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
97
Castanea (2012) yang menyatakan bahwa balita yang tinggal di dalam rumah yang menggunakan bahan bakar minyak tanah atau kayu berpeluang menderita ISPA sebanyak 2,235 kali lebih banyak dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam rumah yang menggunakan bahan bakar gas untuk memasak. Tidak adanya hubungan antara bahan bakar memasak dengan gejala ISPA pada balita, hal ini diduga karena jumlah responden yang menggunakan minyak tanah atau kayu bakar jumlahnya sedikit hal ini disebabkan masyarakat sudah beralih menggunakan gas ukuran 3 kilogram yang disosialisasikan kepada masyarakat oleh pemerintah dan semakin langkanya ketersediaan bahan bakar minyak tanah. Meskipun dari uji statistik tidak terdapat hubungan bermakna antara bahan bakar masak dengan kejadian ISPA pada balita, namun teori membuktikan bahwa asap yang dikelaurkan dari pembakaran mengandung banyak gas pencemar dan partikel-partikel yang berisiko terhadap kesehatan manusia khususnya balita. Dengan demikian tetap dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi kadar partikulat di dalam rumah dengan cara mengganti bahan bakar memasak dengan yang tidak menimbulkan pencemaran udara dalam rumah atau sisa pembakarannya dapat keluar dari dalam rumah melalui ventilasi ruangan sehingga bahan pencemar dapur dapat lebih banyak keluar dan terdispersi dengan udara luar (ambien).
98
9. Analisis Hubungan antara Luas Ventilasi dengan Gejala ISPA pada Balita Pada penelitian ini, variabel luas ventilasi merupakan ukuran luas perbandingan antara kamar dengan ventilasi. Adapaun hasil yang diperoleh yaitu luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat sebanyak 64,7% sedangkan luas ventilasi kamar yang memenuhi syarat sebanyak 35,3%. Berdasarkan tabel 5.23. diketahui balita yang luas ventilasi kamar tidak memenuhi syarat dan mengalami ISPA adalah 59,1% serta luas ventilasi kamar tidak memenuhi syarat dan tidak mengalami ISPA sebanyak 40,9% sedangkan luas ventilasi kamar yang memenuhi syarat dan mengalami ISPA sebanyak 54,2% serta luas ventiasi kamar yang memenuhi syarat dan tidak mengalami ISPA sebanyak 45,8%. Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue 0,799 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara luas ventilasi dengan gejala ISPA pada balita di desa tamansari tahun 2013. Menurut Tulus (2008) pengaruh buruknya ventilasi adalah kurangnya kadar O2 dan bertambahnya kadar CO2, adanya pengap, suhu udara ruangan naik dan kelembapan udara ruangan bertambah. Efek dari pencemaran udara ini dapat menyebabkan terjadinya kesulitan bernafas,
sehingga
benda
asing
termasuk
virus,
bakteri
dan
99
mikroorganisme lainya tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan. Hal inilah yang akan memudahkan terjadinya penularan penyakit ISPA. Luas ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat disebabkan karena tipe rumah yang keci karena kepemilikan tanah yang sempit. Ditambah lagi ada sebagian rumah yang tidak memiliki ventilasi dikarenakan rumah responden berdekatan dengan pembakaran batu kapur, sehingga masyarakat tidak membuat ventilasi karena debu akan mudah masuk kedalam kamar. Ventilasi rumah lebih banyak hanya di rumah bagian depan. Sementara pada bagian kamar tidak dibuatkan ventilasi. Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara luas ventilasi dengan gejala ISPA pada balita. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Nuryanto (2012) yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara luas ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita. Walaupun pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara luas ventilasi dengan gejala ISPA pada balita, namun dirasa penting agar responden membuat ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan yaitu 10% luas lantai kamar. Luas ventilasi rumah yang berfungsi untuk mengatur udara, karena kondisi dinding rumah dapat memberikan kontribusi terciptanya kelembaban dan temperatur yang memungkinkan suatu bibit penyakit akan mati atau berkembangbiak. Luas ventilasi rumah selain bermanfaat untuk sirkulasi udara tempat masuknya cahaya
100
juga mengurangi kelembaban dalam ruangan. Kelembaban tinggi dapat disebabkan karena uap air dari keringat manusia maupun pernapasan. Kelembaban dalam ruang tertutup dimana banyak terdapat manusia di dalamnya lebih tinggi kelembaban dibanding diluar ruang. Hal ini semakin membahayakan kesehatan manusia.
10. Analisis Hubungan antara Kepadatan Hunian dengan Gejala ISPA pada Balita Pada penelitian ini, variabel kepadatan hunian merupakan perbandingan luas kamar dengan jumlah anggota keluarga yang tidur dalam satu kamar. Adapun hasil yang diperoleh yaitu didapatkan kepadatan hunian yang memenuhi syarat sebanyak 80,9 % sedangkan kepadatan hunian tidak memenuhi syarat sebanyak 19,1%. Berdasarkan tabel 5.24. diketahui kepadatan hunian balita yang lebih dari 2 orang dan mengalami ISPA adalah 50,9% serta kepadatan hunian yang lebih dari 2 orang dan tidak mengalami ISPA sebanyak 49,1%. Sedangkan kepadatan hunian yang tidak lebih dari 2 orang dan mengalami ISPA sebanyka 84,6% serta kepadatan hunian yang tidak lebih dari 2 orang dan tidak mengalami ISPA sebanyak 15,4%. Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue 0,032 (pvalue < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan gejala ISPA pada balita di desa tamansari tahun 2013.
101
Menurut Notoatmojo (2003) kondisi kepadatan hunian sangat penting terutama menyangkut dengan penularan penyakit infeksi antar individu. Gangguan pernapasan yang disebabkan oleh virus, biasanya disebarkan antar penghuni dan dihantarkan melalui udara, dalam kondisi dimana rumah dihuni oleh lebih dari batas hunian yang dipersyaratkan maka disamping mengakibatkan kurangnya konsumsi oksigen juga apabila salah satu anggota keluarga menderita penyakit infeksi, akan mudah menularkan kepada anggota yang lain. Jumlah kamar tidur dan pengaturannya disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin. Ukuran kamar tidur anak yang berumur lebih kurang 5 tahun minimal 4,5 m2 dan yang lebih dari 5 tahun minimal 9 m2. Kepadatan hunia ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi jumlah penghuni. Hasil perhitungan analisis bivariat diperboleh bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan gejala ISPA pada balita. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Nuryanto (2012) yang mengatakan bahwa anak yang tinggal di rumah yang padat (<10 m2/orang) akan mendapatkan risiko mengalami ISPA sebesar 3,09 kali dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah yang tidak padat penghuninya. Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Listyowati (2013) dan penelitian Angelina (2011) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian ISPA atau Pneumonia pada balita.
102
Terdapatnya hubungan antara kepadatan hunian dengan gejala ISPA karena 55 responden kepadatan hunian padat penghuni. Tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat disebabkan karena luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah keluarga yang menempati rumah. Luas rumah yang sempit dengan jumlah anggota keluarga yang banyak menyebabkan rasio penghuni dengan luas rumah tidak seimbang. Kepadatan ini memungkinkan bakteri maupun virus dapat menular melalui pernapasan dari penghuni rumah yang satu ke penghuni yang lainnya. Rumah yang padat penghuni akan menyebabkan sirkulasi udara dalam ruangan rumah tidak sesuai dengan kata lain pergerakan udara dalam ruangan tersebut akan terhambat mengakibatkan terjadinya kepengapan, apalagi diperparah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat baik ukuran maupun letaknya akan semakin menyebabkan terjadinya pencemaran udara di dalam ruang. Sehingga mempermudah penularan penyakit berbasis lingkungan yang salah satunya adalah ISPA yang ditularkan melalui transmisi udara. Semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui udara akan semakin mudah dan cepat, oleh karena itu kepadatan hunian dalam tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian ISPA pada balita. Lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan salah satu faktor
103
risiko terjadinya ISPA pada balita yang tinggal didalamnya, untuk itu perlu dilakukan upaya pencegahan agar kejadian ISPA tidak tinggi.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 68 responden di 5 posyandu desa Tamansari, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Gambaran balita di Desa Tamansari yang mengalami gejala ISPA ada 39 balita (57,4%), sedangkan balita yang tidak mengalami gejala ISPA ada 29 balita (42,6%). 2. Rata-rata PM10 didalam kamar balita sebesar 162,50 µg/m3 dengan standar deviasi 134,202, nilai minimum 41 µg/m3 dan nilai maximum 628 µg/m3. Artinya rata-rata konsentrasi PM10 dalam kamar balita melebihi nilai ambang batas yang ditentukan WHO yaitu sebesar 70 µg/m3. 3. Rata-rata suhu didalam kamar balita sebesar 28,66 0C dengan standar deviasi 1,841 dengan nilai minimum 25 0C dan nilai maximum 33 0C. Artinya tingkat suhu kamar balita di Desa Tamansari memenuhi persyaratan yang telah ditentukan Depkes RI. 4. Rata-rata kelembaban kamar balita sebesar 86,12% dengan standar deviasi 11,230 dengan nilai minimum 58% dan nilai maximum 99%. 5. Frekuensi status gizi balita adalah 10,3% balita di Desa Tamansari mengalami gizi kurang dan 89,7% balita mengalami gizi baik.
104
105
6. Frekuensi status imunisasi adalah 11,8% balita di Desa Tamansari tidak
mendapatkan
imunisasi
lengkap
dan
88,2%
balita
mendapatkan imunisasi lengkap. 7. Frekuensi memakai racun nyamuk bakar adalah 89,7% responden di Desa Tamansari menggunakan racun nyamuk bakar sebagai pembasmi nyamuk dan 10,3% tidak menggunakan racun nyamuk bakar. 8. Frekuensi kebiasaan merokok adalah 79,4% anggota keluarga balita di Desa Tamansari terbiasa merokok didalam rumah dan 20,6% anggota keluarga balita tidak merokok. 9. Frekuensi bahan bakar memasak adalah 14,7% keluarga balita di Desa Tamansari menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak dan 85,3% menggunakan gas sebagai bahan bakar memasak. 10. Frekuensi luas ventilasi adalah 64,7% luas ventilasi kamar balita di desa tamansari tidak memenuhi syarat dan 35,3% luas ventilasi kamar balita di Desa Tamansari memenuhi syarat yang telah ditentukan. 11. Frekuensi kepadatan hunian adalah 80,9% kamar balita di Desa Tamansari padat penghuni dan 19,1% kamar balita sesuai dengan persyaratan. 12. Faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari tahun 2013 adalah kepadatan hunian.
106
Adapun faktor-faktor yang tidak berhubungan dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari tahun 2013 adalah status gizi, status imunisasi, PM10, suhu, kelembaban, racun nyamuk, kebiasaan merokok, bahan bakar memasak, dan luas ventilasi.
B. Saran Berdasarkan simpulan di atas, maka dalam penelitian ini peneliti memberikan saran sebagai berikut : 1. Bagi (Responden) Ibu Balita a. Diharapkan anggota keluarga tidak merokok didalam rumah, membuat ventilasi sesuai dengan syarat dan ketentuan kesehatan. b. Diharapkan ibu pengasuh selalu memperhatikan kebersihan balitanya dan selalu membawa balitanya ke posyandu. c. Diharapkan kepada anggota keluarga saat tidur bersama balita tidak lebih dari 2 orang saja yang berada di dalam kamar.
2. Bagi Puskesmas Desa Tamansari a. Pihak puskesmas mengadakan posyandu sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, selain itu pada setiap posyandu diharapkan adanya pemberian makanan pendamping asi seperti biskuit, bubur kacang hijau dan lain sebagainya. Agar ibu dan balita menjadi semangat untuk mengikuti posyandu.
107
b. Pihak puskesmas diharapkan memberikan pelatihan dalam upaya promosi kesehatan kepada masyarakat. c. Meningkatkan kerjasama lintas sektor seperti kelurahan, tokoh masyarakat, karang taruna, dalam upaya promosi kesehatan kepada masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setempat.
3. Bagi Peneliti Lain a. Peneliti lain melakukan penelitian lebih lanjut mengenai ISPA pada balita dapat dilakukan secara medis untuk memperoleh data yang objektif. b. Peneliti lain sebaiknya melakukan penelitian kualitatif untuk menggali lebih dalam permasalahan yang menyebabkan ISPA pada balita.
DAFTAR PUSTAKA
Ariawan, I. (1998). Besar Dan Metode Pada Sampel Peneilitan Kesehatan. Jurusan Biostatistik dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Alsagaff, H, Abdul, M. (2008). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press. Depkes RI. (2000). Informasi tentang ISPA pada Anak Balita. Jakarta: Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan RI, (2002). Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita: Jakarta. Dewi, AC. (2011). Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Diwilayah Kerja Puskesmas Gayamsari Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. FKM UNDIP. 2012. Dewi, CC (2012). Hubungan Kondisi Fisik Lingkungan Rumah dan Perilaku Orang Tua dengan Kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Kedungmundu Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Volume 1, nomer 2, tahun 2012. FKM UNDIP. Ernawati dan Farich, A. (2012). Hubungan Faktor Lingkungan Rumah Dan Faktor Anak Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Balita Di Desa Way Huwi Puskesmas Karang Anyar Kecamatan Lampung Selatan Tahun 2012. Fardiaz, S. Polusi air dan Udara. Yogyakarta : Kanisius edisi ke lima belas 2012. Gertrudis, T. (2010). Hubungan Antara Kadar Partikulat PM 10 Udara Dalam Rumah Tinggal Dengan Kejadian ISPA Disekitar Pabrik Semen PT Indocement Citeurep. Tesis, FKM UI.
Handayani, Y. (2010). Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Penyakit Ispa Pneumonia Pada Balita Di Puskesmas Bangetayu Kota Semarang, Karya tulis ilmiah. Isnaini, M. Dan Misrawati (2012). Pengaruh Kebiasaan Merokok Keluarga Di Dalam Rumah Terhadap Kejadian ISPA Pada Balita. Jurnal. Karim, L. (2012). Hubungan sanitasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita diwilayah kerja puskesmas Marisa kecamatan marisa Kabupaten Pohuwatu tahun 2012. Laporan Tahunan. (2012). Laporan tahunan Puskesmas Kabupaten karawang.
Pangkalan,
Lindawaty. (2010). Partikulat (Pm10) Udara Rumah Tinggal Yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Ispa) Pada Balita (Penelitian Di Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan Tahun 2009-2010.Tesis, FKM UI. Listyowati. (2013). Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Tegal Barat Kota Tegal.Jurnal Kesehatan Masyarakat 2013, Volume 2, Nomor 1, FKM UNDIP. Mairuhu, V. (2011). Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Pulau Barrang Lompo Kecamatan Ujung Tanah Kota Makkasar. Nindya, T, S dan Lilis, S. (2005). Hubungan Sanitasi Rumah Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Pada Anak Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.2, No.1, Juli: 43 – 52, FKM, Universitas Airlangga. Nur, H. (2004). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan (ISPA) Pada Balita Dikelurahan Pasienan Tigo Kecamatan Koko Tengah Kota Padang. Skripsi. FKM UNSU.
Nuryanto (2012). Hubungan Status Gizi Terhadap Terjadinya Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita. Jurnal pembangunan manusia. Vol 6. No 2. Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta. Edisi pertama Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jakarta :PT. Rineka Cipta. Oktavia, D, dkk. (2010). Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dan Prilaku Keluarga Terhadap Kejadian ISPA Pada Balita Di Kelurahan Cambai Kota Prabumulih Tahun 2010. Jurnal . Padmonobo,H dkk. (2010). Hubungan Faktor-Faktor Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Jatibarang Kabupaten Brebes. Jurnal kesehatan lingkungan tahun 2012. Pangestika,YR dan Pawenang, ET. (2010). Hubungan Kondisi Lingkungan Terhadap Kejadian ISPA Pada Balita Keluarga Pembuat Gula Aren. Jurnal. Kesehatan lingkungan 2010. Permatasari, C. (2009). Faktor risiko kejadian ISPA ringan pada balita dikelurahan Rangkapan Jaya Baru kota Depok 2008. Tesis universitas Diponegoro semarang 2008. Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011. Tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah.
Pramudiani, NA, dan Prameswari, GH. (2011). Hubungan Antara Sanitasi Rumah Dan Prilaku Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita. Jurnal kesehatan Masyarakat tahun 2011. Putro, D. (2008). Hubungan Antara Pengetahuan Dan Sikap Orang Tua Dengan Uapaya Pencegah Kekambuhan ISPA Pada Anak Di Wilayah Kerja Puskesmas Purwantoro. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Rerung, R (2012). Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Lembang Batu Sura Tahun 2012. Jurnal.
Sastroasmoro, S dan Ismail, S. (2010). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta : Sagung Seto. Edisi ke 3. Safitri, A, D dan Soedjajadi, K. (2007). Hubungan Tingkat Kesehatan Rumah Dengan Kejadian Ispa Pada Anak Balita Di Desa Labuhan Kecamatan Labuhan Badas Kabupaten Sumbawa. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.3, No.2, hl: 139 – 150. Sugiharto dan Nurjazuli. (2012). Analisis faktor risiko kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sidorejo Kota Pagar Alam. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. Sukana, B dan Mardiana. (2011). Kejadian Ispa Dengan Curah Hujan Dan Kualitas Udara (Pm 10) Dikabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Jurnal ekologi kesehatan vol. 10 no 3, hl : 195-207. Sukar, A, et all. (1996). Pengaruh Kualitas Lingkungan Dalam Ruang (Indoor) Terhadap Penyakit Ispa-Pnemonia Di Indramayu, Jawa Barat. Penelitian Puslit Ekologi kesehatan, Jurnal. Sulistyoningsih, H dan Rustandi, R (2010). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Dtp Jamanis Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2010. Jurnal, FKM UNSIL. Sumargo, J. (1989). Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Terjadinya ISPA Pada Balita Di Kelurahan Kepala Dua Wetan Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur. Tesis. Universitas Indonesia. Suyatno.
(2010). Menghitung Besar Masyarakat.FKM UNDIP.
Sampel
Penelitian
Kesehatan
Yulaekah, S (2007). Paparan Debu Terhirup Dan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Industri Batu Kapur (Studi Di Desa Mrisi Kecamatan Tanggungharjo Kabupaten Grobogan). Tesis. Yulianti, L dkk (2011). Faktor-faktor lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan kejadian Pneumonia pada balita diwilayah
kerja puskesmas pangandaran kabupaten kesehatan lingkungan Indonesia tahun 2012.
Ciamis.
Jurnal
Yusup, N A dan Sulistyorini (2004). Hubungan Sanitasi Rumah Secara Fisik Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Tahun 2004. Yuwono, T. (2008). Faktor-Faktor Lingkungan Fisik Rumah Yang Berhubungan Dengan Pneumonia Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Kawungaten Kabupaten Cilacap Tahun 2008. Tesis, Universitas Diponegoro Semarang 2008. Wahyuni, R (2010). Hubungan Faktor Lingkungan Dan Faktor Perilaku Keluarga Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Ambacang Kecamatan Kuranji Padang. Penelitian keperawatan komunitas. Wahyu, R (2011). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Bagian Atas Pada Baduta Di Desa Ngrundul Kecamatan Kebonarum Kabupaten Klaten. Jurnal Vol.4 no.1 juli 2011:101110. Wardhani, E. (2010). Hubungan Faktor Lingkungan, Sosial-Ekonomi, Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Insfeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita Di Kelurahan Cicadas Kota Bandung. Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Nasional Bandung. Winarni, dkk. (2009). Hubungan Antara Perilaku Merokok Orang Tua Dan Anggota Keluarga Yang Tinggal Dalam Satu Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Diwilayah Kerja Puskesmas Sempor II Kabupaten Kebumen Tahun 2009. Jurnal Ilmiah Kesehatan Perawat, volume 6 no. 1, Febuari 2010.
LAMPIRAN 1
KUISIONER PENELITIAN
Saya Rudianto, Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, Peminatan Kesehatan Lingkungan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, ingin menyampaikan bahwa saya akan melaksanakan penelitian dengan judul “FaktorFaktor yang Berhubungan dengan Gejala ISPA Pada Balita di 5 Posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang Tahun 2013”, yang merupakan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat. Semua jawaban ibu akan dijamin kerahasiaannya. Atas perhatian dan kerjasama ibu, saya mengucapkan terima kasih. Peneliti
Rudianto Petunjuk pengisisan sebagai berikut : 1. Isilah titik-titik di bawah ini sesuai dengan jawaban atau kondisi responden. 2. Berilah silang ( X ) pada salah satu kolom di lajur kanan, pada pilihan “Ya” atau “Tidak” sesuai keadaan anda.
No. Responden : Tgl wawancara :
2013
IDENTITAS RESPONDEN (IBU) 1. Nama
:
2. Tanggal Lahir/Umur : 3. Alamat
:
4. Pendidikan
:
5.Pekerjaan
:
6. No Hp
:
:
SD/SMP/SMA/lainnya....................
IDENTITAS BALITA Pertanyaan
Kode
1
Nama balita : .....................................
A1 (
)
2
Jenis Kelamin : L / P (dilingkari)
A2 (
)
3
Umur : .............................bulan
A3 (
)
4
Berat badan sekarang/tinggi badan saat
A4 (
)
A5 (
)
A6 (
)
ini : .........Kg/.........cm 5
Apakah berat badan lahir balita > 2500 gram ? Iya/Tidak Berat : .........gram
6
Pernahkah balita ibu berada di bawah garis merah KMS pada 1 tahun terakhir ? a. Ya b. Tidak
FAKTOR LINGKUNGAN RUMAH 1
Apakah ibu terbiasa menggunakan racun nyamuk?
B1(
)
B2 (
)
B3 (
)
a. Ya b. Tidak 2
Jika ya, racun nyamuk jenis apa yang sering digunakan? a. Bakar b. Semprot c. Elektrik
3
Ketika menggunakan racun nyamuk dimana sering ditempatkan? a. Kamar Tidur b. Ruang Keluarga
4
Jenis bahan bakar apa yang ibu gunakan untuk
B4 ( )
memasak? a. Kayu Bakar b. Minyak Tanah c. Gas Elpiji 5
Apakah ibu sering menggendong anak saat memasak?
B5 (
)
B6 (
)
B7 (
)
B8 (
)
a. Iya b. Tidak 6
Apakah ada anggota ibu yang biasa merokok? a. Iya b. Tidak
7
Jika iya, dimana sering dia merokok? a. Di dalam rumah b. Di luar rumah
8
Apakah ibu sering membuka jendela setiap pagi? a. Iya b. Tidak
9
Apakah kamar tidur dihuni lebih dari 2 orang ?
B9 (
)
C1(
)
C2 (
)
C3 (
)
a. Ya b. Tidak KEJADIAN PENYAKIT ISPA PADA BALITA 1
Apakah anak ibu pernah mengalami sakit batuk pilek/demam pada kurun waktu 1 tahun terakhir? a. Ya b. Tidak
2
Apakah kejadian sakit batuk/pilek tersebut lebih dari 14 hari ? a. Ya b. Tidak
3
Apakah dalam dua minggu terakhir ini anak ibu mengalami tanda-tanda klinis seperti batuk-batuk atau pilek, disertai demam? a. Iya b. Tidak
4
Apakah ibu pernah berobat ke dokter?
C4( )
a. Iya b. Tidak 5
Apakah status imunisasi balita lengkap (BCG, DPT,
C5( )
Polio, Campak, dan Hepatitis) ? Ya/Bila Tidak (sebutkan imunisasi yang diberikan pada balita anda) Tidak : ................................ 6
Apakah balita Ibu mendapatkan ASI Eksklusif selama 6 bulan ? a. Ya b. Tidak
C6 ( )
PENGUKURAN SANITASI FISIK RUMAH (diisi oleh Peneliti) No
Komponen
Hasil Pengukuran
1
PM 10
.............µg/m3
2
Ventilasi
Panjang :
cm
Lebar
:
cm
luas
:
cm2
3
Luas Kamar (m2)
4
Suhu (0C)
5
Kelembapan (%)
LEMBAR OBSERVASI No
Kriteria
1
Ventilasi menggunakan kawat penyaring debu.
2
Dipekarangan rumah ada pepohonan.
3
Jarak rumah dipinggir jalan utama.
4
Jarak rumah dengan pembakaran batu kapur.
Cheklist
LAMPIRAN 2
UNIVARIAT 1. Kejadian ISPA statusISPA Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
iya
39
57.4
57.4
57.4
tidak
29
42.6
42.6
100.0
Total
68
100.0
100.0
2. Jenis Kelamin kelaminbalita Cumulative
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Percent
laki-laki
36
52.9
52.9
52.9
perempuan
32
47.1
47.1
100.0
Total
68
100.0
100.0
3. Status Gizi Statusgizi Cumulative
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Percent
Kurang
7
10.3
10.3
10.3
Baik
61
89.7
89.7
100.0
Total
68
100.0
100.0
4. Status Imunisasi statusimunisasi Cumulative
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Percent
tidak lengkap
8
11.8
11.8
11.8
lengkap
60
88.2
88.2
100.0
Total
68
100.0
100.0
5. Pendidikan Ibu pendidikanibu Cumulative Frequency
Percent
Valid Percent
Percent
rendah sd,smp
59
86.8
86.8
86.8
tinggi sma,d3,s1
9
13.2
13.2
100.0
Total
68
100.0
100.0
Valid
6. Numerik (Umur, PM10, Suhu dan Kelembaban) Descriptive Statistics N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
Umurbalita
68
2
59
21.68
14.053
PM10
68
41
628
162.50
134.202
Suhu
68
25
33
28.66
1.841
Kelembapan
68
58
99
86.12
11.230
Valid N (listwise)
68
7. Racun Nyamuk Racunnyamuk Cumulative
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Percent
iya
61
89.7
89.7
89.7
tidak
7
10.3
10.3
100.0
Total
68
100.0
100.0
8. Kebiasaan Merokok Merokok Cumulative
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Percent
Ada
54
79.4
79.4
79.4
tidak ada
14
20.6
20.6
100.0
Total
68
100.0
100.0
9. Bahan Bakar Masak Bahanbakarmasak Cumulative
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Percent
kayu,minyak
10
14.7
14.7
14.7
Gas
58
85.3
85.3
100.0
Total
68
100.0
100.0
10. Luas Ventilasi Ventilasi Cumulative
Valid
11.
Frequency
Percent
Valid Percent
Percent
tms
44
64.7
64.7
64.7
ms
24
35.3
35.3
100.0
Total
68
100.0
100.0
Kepadatan Hunian Kepadatanhubian Cumulative
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
Percent
tidak memenuhi syarat
55
80.9
80.9
80.9
memenuhi syarat
13
19.1
19.1
100.0
Total
68
100.0
100.0
UJI NORMALITAS One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test PM10 N Normal Parameters
a
68
68
162.50
86.12
28.66
134.202
11.230
1.841
Absolute
.263
.184
.148
Positive
.263
.126
.148
Negative
-.183
-.184
-.076
2.171
1.519
1.223
.000
.020
.100
Mean
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal.
Mann-Whitney Test Ranks statusIS PA PM10
kelembapan
Suhu
suhu
68
Std. Deviation Most Extreme Differences
kelembapan
N
Mean Rank
Sum of Ranks
iya
39
35.49
1384.00
tidak
29
33.17
962.00
Total
68
iya
39
34.26
1336.00
tidak
29
34.83
1010.00
Total
68
iya
39
35.00
1365.00
tidak
29
33.83
981.00
Total
68
a
Test Statistics PM10
kelembapan
suhu
Mann-Whitney U
527.000
556.000
546.000
Wilcoxon W
962.000
1336.000
981.000
-.477
-.118
-.242
.633
.906
.809
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Grouping Variable: statusISPA
BIVARIAT 1. Status Gizi dengan gejala ISPA Case Processing Summary Cases Valid N statusgizi * statusISPA
Missing
Percent 68
N
100.0%
Total
Percent 0
N
.0%
68
statusgizi * statusISPA Crosstabulation statusISPA iya statusgizi
kurang
Count % within statusgizi
baik
Count % within statusgizi
Total
Count % within statusgizi
tidak
Percent
Total
5
2
7
71.4%
28.6%
100.0%
34
27
61
55.7%
44.3%
100.0%
39
29
68
57.4%
42.6%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df a
1
.427
.153
1
.695
.657
1
.417
.632 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.690
Linear-by-Linear Association
.623
b
N of Valid Cases
1
.355
.430
68
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,99. b. Computed only for a 2x2 table
2. Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA Case Processing Summary Cases Valid N statusimunisasi * statusISPA
Missing
Percent 68
N
100.0%
Total
Percent 0
N
.0%
Percent 68
100.0%
statusimunisasi * statusISPA Crosstabulation statusISPA iya statusimunisasi
tidak lengkap
Count % within statusimunisasi
Lengkap
Count % within statusimunisasi
Total
Count % within statusimunisasi
tidak
Total
6
2
8
75.0%
25.0%
100.0%
33
27
60
55.0%
45.0%
100.0%
39
29
68
57.4%
42.6%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
Df a
1
.283
.481
1
.488
1.218
1
.270
1.154 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.451
Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
1.137
1
.286
68
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,41. b. Computed only for a 2x2 table
3. Racun Nyamuk dengan Kejadian ISPA Crosstab statusISPA iya racunnyamuk
iya
Count % within racunnyamuk
tidak
Count % within racunnyamuk
Total
Count % within racunnyamuk
tidak
Total
35
26
61
57.4%
42.6%
100.0%
4
3
7
57.1%
42.9%
100.0%
39
29
68
57.4%
42.6%
100.0%
.248
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df a
1
.991
.000
1
1.000
.000
1
.991
.000 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
1.000
Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
.000
1
.991
68
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,99. b. Computed only for a 2x2 table
4. Kebiasaan Merokok dengan Kejadian ISPA Crosstab statusISPA Iya merokok
ada
Count % within merokok
tidak ada
Count % within merokok
Total
Count % within merokok
tidak
Total
32
22
54
59.3%
40.7%
100.0%
7
7
14
50.0%
50.0%
100.0%
39
29
68
57.4%
42.6%
100.0%
.645
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.532
.103
1
.748
.387
1
.534
.390 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.559
Linear-by-Linear Association
.384
b
N of Valid Cases
1
.371
.535
68
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,97. b. Computed only for a 2x2 table
5. Bahan Bakar Masak dengan Kejadian ISPA Case Processing Summary Cases Valid N bahanbakarmasak *
Percent 68
statusISPA
Missing
100.0%
N
Total
Percent 0
N
.0%
Percent 68
100.0%
bahanbakarmasak * statusISPA Crosstabulation statusISPA iya bahanbakarmasak
kayu,minyak
Count % within bahanbakarmasak
gas
Count % within bahanbakarmasak
Total
Count % within bahanbakarmasak
tidak
Total
6
4
10
60.0%
40.0%
100.0%
33
25
58
56.9%
43.1%
100.0%
39
29
68
57.4%
42.6%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df a
1
.855
.000
1
1.000
.034
1
.854
.034 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
1.000
Linear-by-Linear Association
.033
b
N of Valid Cases
1
.569
.856
68
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,26. b. Computed only for a 2x2 table
6. Luas Ventilasi dengan Kejadian ISPA Crosstab statusISPA iya ventilasi
tms
Count % within ventilasi
ms
Total
18
44
59.1%
40.9%
100.0%
13
11
24
54.2%
45.8%
100.0%
39
29
68
57.4%
42.6%
100.0%
Count % within ventilasi
Total
26
Count % within ventilasi
tidak
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.695
.018
1
.892
.154
1
.695
.154 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
.799 .152 68
1
.697
.445
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,24. b. Computed only for a 2x2 table
7. Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA Crosstab statusISPA iya kepadatanhubian
tidak memenuhi syarat
Count % within kepadatanhubian
memenuhi syarat
Total
27
55
50.9%
49.1%
100.0%
11
2
13
84.6%
15.4%
100.0%
39
29
68
57.4%
42.6%
100.0%
Count % within kepadatanhubian
Total
28
Count % within kepadatanhubian
tidak
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.027
3.603
1
.058
5.402
1
.020
4.884 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
.032 4.812
1
.028
68
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,54. b. Computed only for a 2x2 table
.026
LAMPIRAN 3
DOKUMENTASI PENGUMPULAN DATA PRIMER
Foto Proses Wawancara Dan Pemilihan Sampel
Foto Penimbangan Dan Pengukuran Tinggi Badan Balita
Foto Kondisi Rumah Responden
Foto Kondisi Ventilasi rumah
Foto Pengukuran PM10, suhu dan kelembapan