PAKET INFORMASI TERSELEKSI
WANITA DAN ANAK Seri: Kesehatan Reproduksi
S
alah satu alasan kenapa masih rendahnya jumlah dan mutu karya ilmiah Indonesia adalah karena kesulitan mendapatkan literatur ilmiah sebagai sumber informasi.Kesulitan mendapatkan literatur terjadi karena masih banyak pengguna informasi yang tidak tahu kemana harus mencari dan bagaimana cara mendapatkan literatur yang mereka butuhkan. Sebagai salah satu solusi dari permasalahan tersebut adalah diadakan layanan informasi berupa Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT). Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) adalah salah satu layanan informasi ilmiah yang disediakan bagi peminat sesuai dengan kebutuhan informasi untuk semua bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam berbagai topik yang dikemas dalam bentuk kumpulan artikel dan menggunakan sumber informasi dari berbagai jurnal ilmiah Indonesia. Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) ini bertujuan untuk memudahkan dan mempercepat akses informasi sesuai dengan kebutuhan informasi para pengguna yang dapat digunakan untuk keperluan pendidikan, penelitian, pelaksanaan pemerintahan, bisnis, dan kepentingan masyarakat umum lainnya. Sumber-sumber informasi yang tercakup dalam Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) adalah sumber-sumber informasi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan karena berasal dari artikel (full text) jurnal ilmiah Indonesia dilengkapi dengan cantuman bibliografi beserta abstrak.
DAFTAR ISI ANALISIS SITUASI PENERAPAN MANAJEMEN PELAYANAN KEPERAWATAN KESEHATAN KOMUNITAS: PELAYANAN KESEHATAN PEDULI REMAJA (ADOLESCENT FRIENDLY) PADA PEMENUHAN KEBUTUHAN KESEHATAN REPRODUKSI AGGREGATE DI KELURAHAN TUGU KECAMATAN CIMANGGIS KOTA DEPOK
i
Pilih/klik judul untuk melihat full text
DAMPAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP GANGGUAN KESEHATAN REPRODUKSI WANITA DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA MAKASSAR TAHUN 2010
Maria Sonda Jurnal media kebidanan, vol. 2, no. 2, 2010 : 1-20 Abstrak: -
Tantut Susanto Jurnal keperawatan, vol. 2, no. 2, 2011 : 119 – 130 Abstrak: -
ANTARA SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN PENYULUHAN TENTANG PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI
Jurnal penelitian kesehatan suara Forikes, vol. 1, no. 2, 2010 : 125-129 Abstrak : Dalam rentang kehidupan manusia, seseorang perlu mampu menjaga kebersihan diri, termasuk saat seorang remaja putri mengalami menstruasi.Tujuan penelitan ini adalah untuk mengetahui perbedaan perilaku dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi pada remaja putri di SDN Jamsaren I Kota Kediri sebelum dan sesudah pemberian penyuluhan tentang pendidikan kesehatan reproduksi. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah pra eksperimen dengan One Group Pre test–post test design. Sampel penelitian sebanyak 22 remaja putri yang diambil secara purposif. Analisis menggunakan uji Wilcoxon pada a 5%.Hasil penelitian menunjukkan nilai p 0,001 > a 5% atau ada perbedaan perilaku menjaga personal hygiene saat menstruasi antara sebelum dan sesudah pemberian pendidikan kesehatan reproduksi.Diharapkan dari penelitian ini, ada kerjasama antara pihak sekolah dan petugas kesehatan untuk lebih meningkatkan pendidikan kesehatan reproduksi sehingga perilaku dalam menjaga personal hygiene khususnya saat menstruasi lebih meningkat.
DAMPAK PERSEPSI BUDAYA TERHADAP KESEHATAN REPRODUKSI IBU DAN ANAK DI INDONESIA
Nur Khasanah Muwazah : jurnal kajian gender dan anak, vol. 3, no. 2, 2011 : 487 – 492 Abstrak: -
DAFTAR ISI DISKRIMINASI GENDER DALAM KESEHATAN REPRODUKSI SUKU AMUNGME DAN SUKU KAMORO DI KABUPATEN MIMIKA, PAPUA
Qomariah Alwi Buletin Penelitian Kesehatan, vol. 37, no. 4, 2009: 196-204 Abstrak: -
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRAKTIK KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DI SMA NEGERI 1 PURBALINGGA KABUPATEN PURBALINGGA
Tri Prapto Kurniawan; Ani Margawati Jurnal promosi kesehatan Indonesia, vol. 3, no. 2, 2008 : 86-101 Abstrak : Youth behavior is becoming more permissive in terms of sexual interaction. These matters generate many cases of unwanted pregnancy and abortion. This research is aimed to know the factors influencing youth reproduction health practices in SMA 1 Purbalingga, district of Purbalingga by using a cross sectional study. This study applies quantitative using questionnaires for data collection from 110 samples and combines with a qualitative using in-depth interview. This study revealed that respondents level of knowledge in term of sexual health is mostly at sufficient level. The attitude of respondents is mostly still traditional and supported to have sexual practices such as abstinence. Most respondents admitted that their parents have no skill to inform them about reproductive issues. So they prefer to access information from friends and media. Bivariate analysis shows that knowledge, parents role and media have significantly correlated with youth reproductive health practices. However respondent attitude and teacher s role factors have no correlation with reproductive health practices.
HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DENGAN PERILAKU REMAJA PUTRI KELAS VIII TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DI SMP TAMIRIYAH SURABAYA Jurnal keperawatan, vol. 1, no. 1, 2008 : 8-13 Abstrak: -
HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DENGAN PERAN ORANG TUA DALAM MEMPERSIAPKAN MASA PUBERTAS DI DUSUN KWASEN DESA SRIMARTANI KEC.PIYUNGAN KAB. BANTUL YOGYAKARTA
Istichomah;Asih Sukowati Samodra ilmu : jurnal kesehatan, vol. 4, no. 2, 2013 : 104-111 Abstrak : Background: The best teacher in sex education are their parent. Father and mother have a responsible for it. Sex education have to be given integrated with moral and religion so the teen will have the rigt information. Method: This research is cross sectional, quantitative approach descriptive correlation,. Result: The parent knowledge are good 34 parents (54,0%) and activity give sex education are good 53 parents (84.1%). Kendal tau show at 0, 196 * (sig. p <0,05). Conclusion: There are corellation among parents knowledge about sex education and the parent activity of sex eduction to prepare on puberty.
HUBUNGAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DENGAN PERILAKU SEKSUAL KELAS XI DI SMA N 1 GEBOG KUDUS
Dwi Astuti;Sukasno Jurnal ilmu keperawatan dan kebidanan, vol. 2, no. 1, 2011 : 59- 76 Abstrak: -
DAFTAR ISI IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERLIBATAN/PERAN PRIA DALAM KESEHATAN REPRODUKSI DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA Kadir Tiya Gema pendidikan, vol. 15, no. 2, 2008 : 83-8
Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktorfaktor yang dapat memengaruhi keterlibatan/ peran pria dalam kesehatan reproduksi (KR) di Provinsi Sulawesi Tenggara. Populasi dalam penelitian terdiri dari 6 Kabupaten dan kota, yang berjumlah 22 Kecamatan masing-masing Kab. Buton dengan 2 Kecamatan, Kab.Muna dengan 4 Kecamatan, Kota Kendari dengan 4 Kecamatan, Kab.Kolaka dengan 4 Kecamatan, Kab. Konawe dengan 4 Kecamatan dan Kab.Konawe Selatan dengan 4 Kecamatan.Penarikan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik Purposive Sampling, dengan sampel penelitian berjumlah 649 responden.Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan angket/kuesioner, sedang data dianalisis dengan seperangkat analisis kuantitatif dan kualitatif. Pekerjaan yang dominan adalah petani dengan 39,47%, sedangdan tingkat pendidikan terbanyak berada pada level SLTA. Rata-rata penghasilan keluarga dalam sebulan berada pada interval Rp 500.000,- hingga Rp 1 juta dengan 40,99% sedang yang berpenghasilan di atas Rp 2 juta hanya 6,47%. Rata-rata jumlah anak yang dimiliki 1-2 orang anak adalah 42,53% dengan jenis alat kontrasepsi yang banyak dipakai adalah pil (42,42%). Bilamana program ber-KB digalakkan secara kontinue maka pada 5 hingga 15 tahun yang akan datang berpeluang untuk memperoleh rata-rata 2 orang anak/keluarga. Sumber informasi tentang kesehatan reproduksi diperoleh melalui Televisi (37,09%), Dinas Kesehatan, dan BKKBN. Yang memberikan penyuluhan masingmasing adalah dari petugas KB (43,9%), bidan/ suster, dan dokter, sedangkan lembaga/institusi yang menyelenggarakan penyuluhan adalah Dinas Kesehatan dan BKKBN. Umumnya masalah penanganan kesehatan reproduksi baik menurut pandangan Toma/Toga maupun budaya setempat,
sepenuhnya merupakan tanggung jawab suami/ istri. Sebahagian besar responden mengetahui akan masa subur, namun tidak mengetahui akan tanda-tanda bahaya kehamilan, yaitu 56,24%. Informasi tanda-tanda bahaya kehamilan bersumber dari bidan/suster (50,82%) dan Rumah Sakit/Puskesmas. Umur rata-rata untuk melahirkan anak pertama berada pada kisaran 2030 tahun (78,12%). Umumnya tempat istri akan melahirkan adalah di rumah (48,71%), sedangkan yang menolong istri saat melahirkan adalah bidan/suster, dukun, dan dokter. Kemudian, perawatan bayi sepenuhnya merupakan tanggung jawab suami/istri (92%). Minuman yang pertama kali diberikan kepada bayi adalah ASI (97,08%). Kesadaran masyarakat akan perawatan kesehatan reproduksi cukup besar, hal ini ditunjukkan separuhnya responden menyatakan jangka pemberian ASI diberikan selama 2 tahun, umur anak untuk dimunisasi diberikan antara 1-2 bulan, sedangkan jenis imunisasi yang diberikan adalah Polio, BCG dan DPT. Sumber informasi tentang PMS adalah melalui media massa dan media elektronik. Adapun cara penularan HIV/AIDS terbanyak melalui hubungan seks bebas, jarum suntik, dan transfusi darah. Dengan hasil temuan ini maka diharapkan masyarakat luas mewaspadai/ menghindari akan penyakit yang membahayakan ini, utamanya melalui hubungan seks bebas. Orang yang memiliki risiko tertinggi terkena penyakit HIV/AIDS adalah berganti-ganti pasangan, melalui PSK, dan transfusi darah.Kemudian, orang yang dapat terjangkit penyakit HIV/AIDS adalah balita, remaja, bayi dan orang dewasa.Lembaga yang dapat menangani upaya pencegahan penyakit HIV/ AIDS adalah pemerintah, tokoh masyarakat/tokoh agama, organisasi kemasyarakatan, dan LSM. Sumber informasi Narkoba melalui dokter, bidan/ suster, dan lainnya.Narkoba adalah barang yang sangat berbahaya bagi penggunanya, dan bahaya yang ditimbulkan adalah kematian dan penyakit kelamin, serta wujud Narkoba berbentuk bubuk dan cairan.Ketika istri sakit umumnya ke dokter, ke bidan/suster, dan Rumah Sakit, sedangkan penyakit yang dialami ketika istri hamil adalah tekanan darah tinggi dan pendarahan.Kemudian, bentuk dukungan yang diberikan adalah ke
DAFTAR ISI dokter, mengawasi/menjaganya, serta ke dukun beranak. Responden yang melakukan kontak dengan petugas kesehatan pada kunjungan 1-2 kali (76,58%). Yang dipersiapkan ketika istri akan melahirkan adalah biaya serta perlengkapan yang diperlukan untuk bayi dan ibunya. Besarnya biaya yang dikeluarkan ketika istri akan melahirkan adalah Rp 100.000,- hingga Rp 500.000,-. Keputusan jika salah satu dan anggota keluarga yang sakit atau istri mengalami komplikasi maka, segera dibawa ke Rumah Sakit atau Puskesmas terdekat. Disimpulkan, faktor-faktor yang dapat memengaruhi keterlibatan/peran pria dalam kesehatan reproduksi, antara lain: faktor individu, faktor program, dan faktor lingkungan, yang meliputi : sumber info KR, institusi/lembaga penyuluh, umur suami dan istri saat menikah, jumlah anak, alat KB yang digunakan dan besarnya penghasilan, jenjang pendidikan, pengertian KR, penyuluh lapangan, tanggung jawab KR, masalah KR dan budaya setempat dan pengertian KR. Oleh karena itu, dalam melakukan program intervensi, sosialisasi/advokasi tentang Kesehatan Reproduksi, diharapkan institusi BKKBN dan unsur stakeholder dapat memperhatikan ketiga faktor yang turut serta mempengaruhi Kesehatan Reproduksi.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KESEHATAN REPRODUKSI
Alyas Al-fikr : jurnal pemikiran Islam, vol. 15, no. 1, 2011: 187-206 Abstrak: -
KAJIAN TENTANG PENGEMBANGAN SENTRA KESEHATAN REPRODUKSI SEBAGAI UNIT PELAYANAN PUSLITBANG SISTEM DAN KEBIJAKAN KESEHATAN (P3SKK) SURABAYA
S.K. Poerwani;Widjiartini;Evie Sopacua Buletin penelitian sistem kesehatan, vil. 11, no. 3, 2008 : 254-262 Abstrak : This is a exploration study with the objective to analyze the development of Health Reproductive Center in Health Policy and System Research and Development Center in Surabaya. Data which was collected included Health Reproductive Centers programs, its capabilities and stakeholders expectancies. Data was collected using questionnaires, secondary data and assessing papers by facilitators on the health reproductive workshop. Results of this study was that the development of the Health Reproductive Center must be done to support the health reproductive program of Health Department. Expectancies of stakeholders is that Health Reproductive Center should do their functions comprehensive, holistic in a coordinative partnership. The recommendation was that Health Reproductive Center should be facilitated by Health Policy and System Research and Development Center to perform as the stakeholders expectancies that is health reproductive information center to do advocacy and proposals development.
DAFTAR ISI KEBIASAAN MAKAN DAN PENGETAHUAN REPRODUKSI REMAJA PUTRI PESERTA PUSAT INFORMASI DAN KONSELING KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA (PIKKRR)
Jurnal gizi dan pangan, vol. 3, no. 3, 2008 : 124-131 Abstrak : The aim of this research was to observe food habit and knowledge of reproduction health of female adolescence participants and non participants of Information Centre and Counseling of Adolescence Reproduction Health (PIK-KRR) at SMU 1 Liwa and SMK 1 Liwa. Reproduction readiness in adolescence is influenced by physical readiness which is reflected from nutrition and health status and mental readiness in the form of adolescence perception about reproduction health. This research used cross sectional design. The site of the research is determined using purposive sampling. The SMU 1 Liwa was choosen because this school has PIK-KRR and most of the graduates continue their study to the higher level of education, and SMKN Liwa, Lampung Barat was chosen because this school does not have PIK-KRR yet and most of the graduates do not continue their study. Spearmans Correlation and t-test utilized to know whether there were any difference in each variable in SMU and SMK students. The results of the study show that, SMU female adolescence have better reproduction readiness than SMK female adolescence. Therefore it is important for female adolescence to get correct information about nutrition, and reproduction health through formal or informal ways.
KEBUTUHAN REMAJA AWAL TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA Sunarti;Agus Khoirul anam Jurnal kesehatan, vol. 7, no. 1, 2009 : 50-57
Abstrak : Information about health of reproduction is most important for adolescent now. We can see that many kind of cases about health reproduction among the adolescent. From the researcher preface study at 9 junior high school in Blitar, reproduction health care just gave by the headmaster’s advocacy and students organization at school (OSIS). Five student disposed avoid Napza, 5 students feel concerned if they look a pregnant girl without marriage and just 4 student had good knowledge about Napza, HIV/AIDS and how to take care reproduction organ. Base on that, researcher holds study about adolescent need of reproduction health care. This study was aimed to explain how the adolescent need for reproduction health care in. Design used in this study was descriptive exploitative. The population was all 1 Junior High School Blitar’s students. Total sample was 105 respondents wich taken by stratified proportional random sampling technique. Data were collected using questionnaire at May 26th until 28th 2008. The data had analyzed and showed on graph, table and narration. Result showed that 31.4% (44 respondents) explain most need and 41.9% (44 respondents) explain need to adolescent reproduction health care. It happened cause the most respondents got some information about reproduction health care, which result showed that 63% (64 respondent) got some information about it. Adolescent reproduction health care can realize by school make program and cooperation with government health public service to do this program, may be at orientation period for new students.
DAFTAR ISI KEPUASAN SISWA SLTA TERHADAP PENYULUHAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA OLEH BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA NASIONAL
Nina Rahmadillyani;Mubasysyir Hasanbasri;Fitriani Mediastuti Berita kedokteran masyarakat, vol. 26, no. 4, 2010: 203 – 210 Abstrak : Adolescent reproductive health program is a description form of the mission of National Family Planning Coordination Body’s Program (BKKBN), which is preparing early qualified human resources in order to create qualified family in 2015. In order to guarantee the rights of sexual and reproductive health youth provision, it is required an integrated and cross-sector effort. Reproductive health education activities that have been conducted in the schools is that health education is integrated into physical education and health lessons and biology. This study aims to know the satisfaction of the senior high school students to adolescent reproductive health’s counseling, to know the implementation of adolescent reproductive health counseling and find out the coordination of reproductive health high school adolescents by BKKBN. This research is experimental research with non-analytical with retrospective approach supported quantitative with qualitative methods. Analysis of univariable that students who are not satisfied with adolescent reproductive health’s counseling are important as 30 respondents, the least important of 30 respondents. Bivariable analysis is bivariate relationship between counseling and satisfaction is significantly proven (at 5% error level) . Conclusion: Counseling adolescent reproductive health in high school by BKKBN District Klaten not give satisfaction to the students. Implementation counseling adolescent reproductive health by BKKBN District Klaten not meet the needs of students, Espionage activities by BKKBN District Klaten program is still only knowledgeable about the needs of the urgency of adolescent reproduction, School has a new initiative to request assistance from the BKKBN but
can not manage the service needs of adolescents. National Family Planning Coordination Body’s Program (BKKBN) is hoping to involve students in implementation strategy program to reach an effective activity.
KESEHATAN REPRODUKSI DALAM PERSPEKTIF SOSIAL
Kenti Friskarini Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, vol. 14, no. 3, 2004 : 60-68 Abstrak : Reproduction health needs of analyse not only from clinical or demographic matters, but also from social perspective. This article is a literature study of three objects from social perspective information about reproductive health, health seeking behaviour and awareness of the rights in reproduction health. The conclusion is reproductive health needs a holistic approach to solνe the problem, and participation from all the part of the society.
DAFTAR ISI KONDOM PEREMPUAN, PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM KESEHATAN REPRODUKSI
Suci Wulansari Majalah kedokteran Indonesia, vol. 59, no. 4, 2009 : 165-170 Abstrak : Kondom perempuan merupakan alat kontrasepsi dengan proteksi ganda yaitu terhadap kehamilan yang tidak diinginkan dan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) khususnya HIV/ AIDS. Penggunaan kondom adalah cara akhir untuk pencegahan penularan HIV-AIDS melalui hubungan seksual. Sampai saat ini keberadaan kondom perempuan di Indonesia masih kurang populer.Hal tersebut karena kurangnya sosialisasi, ketersediaan, dan harga yang relatif mahal.Kondom perempuan mempunyai berbagai keuntungan jika dibandingkan dengan pemakaian kondom laki-laki, juga merupakan salah satu bentuk pemberdayaan perempuan dalam kesehatan reproduksi sehingga terhindar dari kehamilan yang tidak diinginkan dan IMS.Penelitian menunjukkan masih rendahnya pemakaian kondom laki-laki dalam hubungan seks yang berisiko.Dengan pemakaian secara benar dan konsisten, kondom perempuan merupakan metode pencegahan yang efektif tanpa menimbulkan risiko bagi kesehatan.Tulisan ini mencoba menyampaikan gambaran tentang kondom perempuan dan kaitannya sebagai upaya pemberdayaan perempuan dalam kesehatan reproduksi.
PEMAHAMAN DAN SIKAP SANTRI TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI BERDASARKAN PANDANGAN ISLAM DI PESANTREN UMMUL MUKMININ MAKASSAR
Muhammad Syafar Alqalam : jurnal ilmiah bidang keagamaan dan kemasyarakatan, vol. 15, no. 23, 2009 : 263-276 Abstrak: -
PEMANFAATAN JAMU UNTUK GANGGUAN KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN, ANALISIS LANJUT DATA RISET KESEHATAN DASAR TAHUN 2010
Lestari Handayani;Lusi Kristiana Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 14, no. 3, 2011 : 301-309 Abstrak: -
PENDIDIKAN SEKSUALITAS DAN KESEHATAN REPRODUKSI MODEL PESANTREN BAGI REMAJA
Forum kependidikan, vol. 27, no. 2, 2008 : 146-159 Abstrak : Masa remaja adalah masa perkembangan yang cukup kompleks dalam berbagai aspek kehidupannya; intelektual, moral, mental spiritual dan fisik, seksual dan fungsi-fungsi reproduksinya. Pendidikan di pesantren dengan segala keterbatasan dan kekhasannya cukup tanggap terhadap hal tersebut dan berusaha memberi bekal pengetahuan kepada santri dalam mengelola seksualitas dan reproduksinya. Penelitian ini mengeksplorasi pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi model pesantren dengan fokus bagaimana: (1) profil pesantren lokasi penelitian, kitab-kitab dan isi/materi, (2) model sajian isi/materi dalam kitab dan proses pendidikan, (3) kesan remaja pesantren terhadap pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi model pesantren, (4) problem seksualitas dan kesehatan reproduksi remaja.
DAFTAR ISI PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI OLEH KELOMPOK SEBAYA (PEER GROUP) TERHADAP PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DI SMP NEGERI 2 KASIHAN BANTUL YOGYAKARTA.
Titik Huriah Mutiara medika : jurnal kedokteran kesehatan, vol. 8, no. 2, 2008 : 89-96 Abstrak: -
PENGEMBANGAN BUKLET SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI PADA REMAJA TUNA NETRA
Pariawan Lutfi Ghazali Jurnal kedokteran dan kesehatan Indonesia, vol. 1, no. 1, 2009 : 38-44 Abstrak : Pendidikan kesehatan reproduksi merupakan hal yang krusial untuk tunanetra remaja, karena secara psikologis tunanetra remaja mengalami perkembangan sistem, fungsi dan proses reproduksi, secara normal. Buklet dipilih sebagai media untuk pendidikan kesehatan reproduksi untuk tuna netra remaja karena buklet merupakan media cetak yang bisa mengakomodir tulisan dan gambar dalam jumlah yang cukup banyak, dan diyakini bahwa huruf Braille memerlukan tempat 1,5-2 kali lebih luas dibandingkan dengan huruf biasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan buklet sebagai media pendidikan kesehatan reproduksi untuk tunanetra remaja.Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif di Resource centre IX DIY dan Yayasan Kesehatan Tuna Netra Islam (Yaketunis) Yogyakarta.Subjek penelitian ini adalah praktisi media cetak untuk tuna netra, guru tuna netra dan tuna netra remaja. Instrumen penelitian antara lain panduan wawancara mendalam, panduan FGD (focus group discussion) dan rancangan
booklet. Pengembangan buklet antara lain meliputi penentuan tujuan, yaitu meningkatkan pengetahuan kesehatan reproduksi tunanetra, menyusun materi kesehatan reproduksi untuk buklet dan menentukan bahan dasar untuk buklet. Bahan dasar yang digunakan untuk buklet ini adalah kertas HVS 160 gram dengan ukuran 11,5 x 12 inci untuk tulisan dan plastic mika 0,15 cm untuk gambar. Bentuk tiga dimensi organ reproduksi manusia digambarkan dua sampai tiga gambar dua dimensi dari perspektif yang berbeda. Tulisan dicetak dengan printer Braille dan gambar dibuat dengan thermoform.Buklet terdiri atas 27 halaman dengan beaya konstan Rp. 48.000,00 dan beaya variabel Rp. 13.750,00.dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa buklet merupakan media pendidikan kesehatan reproduksi yang bisa dikembangkan bagi tunanetra remaja. Bahan dasar yang digunakan adalah HVS 160 gram dengan ukuran 11,5 x 12 inci untuk tulisan dan plastic mika 0,15 cm untuk gambar.
PENGEMBANGAN MODEL KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA (KRR)
Made Asri Budisuari Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 8, no. 1, 2005 : 40-46 Abstrak: -
PENGEMBANGAN MODEL KESEHATAN REPRODUKSI TERINTEGRASI UNTUK MAHASISWA D III KEBIDANAN INDONESIA
Erda Mutiara Halida Jurnal pendidikan dan pelayanan kebidanan Indonesia, vol. 2, no. 1, 2015 : 42-51 Abstrak: -
DAFTAR ISI PENGETAHUAN DAN SIKAP KONSELOR SMP DAN SMA DALAM PENYULUHAN KESEHATAN REPRODUKSI DI KOTA SEMARANG
PENGGUNAAN MEDIA KOMUNIKASI VISUAL SEBAGAI STRATEGI KOMUNIKASI DALAM SOSIALISASI KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA
Abstrak : Kegiatan penyebaran informasi kesehatan reproduksi remaja diperlukan sebagai salah satu upaya dalam edukasi kesehatan reproduksi bagi remaja.Penelitian ini bertujuan untuk melihat kemampuan konselor SMP/SMA dalam memberikan penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi remaja.Metode penelitian yang digunakan cross sectional dengan rancangan penelitian pre test-intervensi (penyuluhan/ edukasi)-post test. Populasi penelitian ini adalah 30 orang guru SMP dan SMA di kota Semarang, yang bekerja sebagai konselor dalam kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah. Responden adalah 15 guru BP dari 8 SMP dan 15 guru BP dari 8 SMA di Kota Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan responden setelah diadakan penyuluhan termasuk kategori baik pada konselor SMP (80%) dan termasuk kategori baik pada konselor SMA (100%). Sikap responden mendukung penyuluhan pada konselor SMP (93,3%) dan konselor SMA (100%). Terdapat peningkatan pengetahuan dan sikap (p = 0,003) yang signifikan (p = 0,001) sesudah penyuluhan pada konselor SMP. Terdapat peningkatan pengetahuan dan sikap (p = 0,0095) yang signifikan (p = 0,0095) sesudah penyuluhan pada konselor SMA.
Abstrak: -
Besar Tirto Husodo; Laksmono Widagdo Makara. Seri kesehatan, vol. 12, no. 2, 2008 : 59-62
Etnografi : jurnal penelitian budaya etnik, vol. 11, no. 2, 2011 : 64-74
PERAN PEREMPUAN DALAM KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA
Iza Rumesten R.S. JIPSWARI : jurnal ilmiah Pusat Studi Wanita Universitas Sriwijaya, vol. 2, no. 1, 2011 : 115-131 Abstrak: -
PERANAN ORANG TUA DALAM MENSOSIALISASI KESEHATAN REPRODUKSI PADA REMAJA
Yuni Ratna Sari jurnal ilmiah pekerjaan social, vol. 6, no. 1, 2007: 1255-1270 Abstrak: -
DAFTAR ISI PERBANDINGAN ANTARA PENGARUH LAYANAN INFORMASI DAN KONSELING KELOMPOK TERHADAP SIKAP TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA
Ayesha Hendriyana Ngestiningrum Jurnal penelitian kesehatan suara Forikes, vol. 1, no. 1, 2010 : 7-15 Abstrak : Siswa SMP memerlukan informasi yang benar dan terarah mengenai Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR).Terdapat beberapa metode penyampaian informasi KRR di antaranya adalah layanan informasi dan konseling kelompok.Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan antara layanan informasi dan konseling kelompok terhadap sikap tentang KRR. Jenis penelitian ini adalah Quasy Experiment menggunakan pretest and posttest group design. Populasi penelitian adalah seluruh siswa Kelas VIII SMPN 2 Kauman Ponorogo.Sampel adalah siswa Kelas VIII SMPN 2 Kauman ponorogo yang bersedia diteliti dan mengikuti seluruh rangkaian kegiatan. Dengan teknik cluster, diperoleh sampel sebesar 120 siswa.Data didapatkan dari nilai pretest dan posttest masing-masing kelompok dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner. Teknik analisis data untuk mengetahui pengaruh layanan informasi dan konseling kelompok terhadap sikap tentang KRR menggunakan Paired Sample T-Test. Perbandingan pengaruh antara layanan informasi dengan konseling kelompok terhadap sikap tentang KRR diuji dengan Independen Sample T-Test. Hasil penelitian menunjukkan nilai signifikansi p=0,000 berarti bahwa ada pengaruh layanan informasi terhadap sikap tentang KRR, demikian halnya dengan konseling kelompok nilai signifikansi p=0,410, berarti tidak ada perbedaan signifikan di antara kedua perilaku tersebut. Kesimpulan dari hasil penelitian adalah ada pengaruh layanan informasi terhadap sikap tentang KRR, ada pengaruh konseling kelompok terhadap sikap tentang KRR, dan tidak ada perbedaaan pengaruh layanan informasi dan konseling kelompok terhadap sikap tentang KRR pada siswa Kelas VIII SMPN 2 Kauman Ponorogo.
DAFTAR ISI PERBEDAAN PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI DAN SIKAP SEKS PRA NIKAH DI ANTARA SISWA SMU YANG DI BINA DAN TIDAK DI BINA OLEH PELAYANAN KESEHATAN PEDULI REMAJA PUSKESMAS KLANDASAN LLIR KECAMATAN BALIKPAPAN SELATAN, BALIK PAPAN
Emmy riyanti;Mahyudin Noor Media kesehatan masyarakat Indonesia, vol. 8, no. 2, 2009 : 58-62 Abstrak : The teen-age is a unique transition period and indicated by various physical, emotional and psychological changes. Therefore, the adolescents needs information, tuition, and support about environment so that growing being a health adult both physical, spiritual and also psychosocial. The health of reproduction education is one of the alternative trouble shooting through service of health care adolescent hoped the knowledge of health reproduction will be better. Aims of this research is to know the differences between knowledge of health reproduction and pre marriage sexual attitude of students constructed and non constructed General High School (SMU) by Health Care Adolescently. The research type Is explanatory research with trial community approach. Population of this research is student grade 1 and 1 of SMU Kartlka and SMU Sinar Pancasila with the amount of 594 students. The samples taken from population counted 100 respondents by simple random sampling at each grade. Data analysis made by descriptive and analytic using independent t-test : Result of descriptive analysis shows that knowledge of reproduction health of student constructed by Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) Is most good (54,1%) while which do not be constructed by PKPR quite good (88,5%). For the attitude of student about pre marriage sexual attitude of constructed student by PKPR is quite good (89,1%) while which do not be constructed by PKPR most good (57,7%). From the statistical test using independent t-test obtained, there is a difference between the knowledge of health
student reproduction between constructed SMU and none constructed by PKPR with p value < 0,05. It is suggested to develop this PKPR program to entire Puskesmas especially which in its work region there is SMP and SMU, in order to construct.
PERLINDUNGAN HUKUM ATAS KESEHATAN REPRODUKSI BAGI TENAGA KERJA WANITA TIDAK TETAP DI PERUSAHAAN TEKSTIL DI SUKOHARJO
Tjoemi Sitti Soemiarti ;Chusniatiun Jurnal penelitian humaniora, vol. 1, no. 2, 2000 : 145- 153 Abstrak: -
PERSEPSI REMAJA TERHADAP PENDIDIKAN SEKS DAN KESEHATAN REPRODUKSI
Sri Yuni Murti Widayanti;Sri Wahyuni Jurnal penelitian kesejahteraan social, vol. 11, no. 2, 2012 : 235-245 Abstrak: -
STUDI KEPEDULIAN LAKI-LAKI TERHADAP KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN DI KAMPUNG RANJENG
Rahmawati Jurnal administrasi public, vol. 1, no. 2, 2010 : 134-142 Abstrak: -
DAFTAR ISI TINJAUAN FILSAFAT KESEHATAN REPRODUKSI
Farida Mutiarawati Tri Agustina Kesmas : jurnal kesehatan masyarakat nasional, vol. 3, no. 3, 2008 : 126-132 Abstrak : Kesehatan reproduksi tidak dapat dipisahkan dari kesehatan seksual yang menyangkut peran dua aktor utama laki-laki dan perempuan yang harus dalam kondisi sehat untuk mendapat hasil reproduksi yang sehat.Dari sudut pandang filsafat, ontologi berupaya memahami, mendalami dan mengembangkan pengetahuan kesehatan reproduksi pada tingkat individu dan tingkat masyarakat.Secara epistemologi, kesehatan reproduksi banyak mengalami kemajuan, sejak dari teknologi kontrasepsi sederhana sampai teknologi cloning yang kontroversial. Secara aksiologi, kesehatan reproduksi mampu meningkatkan kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan hidup manusia sesuai perkembangan teknologi.Pemanfaatan dan keberhasilan kesehatan reproduksi dipengaruhi berbagai faktor yang saling terkait dan saling tergantung.Landasan perkembangan ranah kesehatan reproduksi adalah serangkaian konferensi kependudukan dunia sepuluh tahunan. Dimulai pada tahun 1954 di Roma, dilanjutkan 1965 di Belgrade, 1974 di Bucharest, 1984 di Mexico City, dan terakhir tahun 1994 di Cairo. Hingga kini, penerapan berbagai hasil konferensi untuk peningkatan kesejahteraan umat manusia terus berlangsung. Di seluruh negara di dunia, diharapkan hak-hak kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual semakin dipenuhi dengan pemanfaatan maksimal teknologi dan sesuai norma dan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.
ANALISIS HUBUNGAN PERILAKU SEKS PERTAMAKALI TIDAK AMAN PADA REMAJA USIA 15–24 TAHUN DAN KESEHATAN REPRODUKSI Niniek L Pratiwi,1 Hari Basuki2
AbstrAct background: Adolescence is a mix between the development of psychological age and biological age. This problem can not be approached only from the clinical aspect of medical experts. The core problem really lies in the social context of reproductive health is very complex because of the political, social, and economic and closely related to values, ethics, religion and culture. This study aimed to analyze the relationship between the sexual behavior of adolescents aged 15–24 years first with knowledge of reproductive health. Methods: analysis based on the type of adolescent sexual behavior data for people aged 15–24 who are nominally as the dependent variable, and reproductive health as independent variables, with the type of data that are nominally the test analysis through 2 stages: analysis, univariate, bivariate analysis of the relationship between two variables for followed by a second stage analysis Regression ordinal. results: Results Analysis showed that there was a significant correlation significantly between unsafe sexual behavior on knowledge of reproductive health with a value of P = 0.000 with an alpha of 0.05. There was a significant correlation between sexual behavior significantly adolescents aged 15–24 years with knowledge of prevention of sexually transmitted diseases with a value of P = 0.000 at alpha 0.05. suggestions: Required increase in counseling at adolescent age group 15–24 years with an appropriate method to increase the sense of empathy, sympathy, affective on peer group ungrouped by empowering the community by forming a cadre of teenage adolescent reproductive health, by establishing adolescent peer group, youth as an effort to pick up the ball. Key words: adolescent sexual behavior, STDs and reproductive health AbstrAK Masa remaja merupakan perpaduan antara perkembangan usia psikologis dan usia biologis. Masalah ini tidak dapat didekati hanya dari aspek klinis oleh para ahli kedokteran. Inti persoalan sesungguhnya terletak pada konteks sosial yang sangat kompleks karena kesehatan reproduksi politik, sosial dan ekonomi dan berhubungan erat dengan nilai, etika, agama dan kebudayaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan faktor perilaku seksual peramakali remaja usia 15–24 tahun dengan pengetahuan kesehatan reproduksi. Metode analisis berdasarkan jenis data perilaku seks remaja usia 15–24 tahun yang bersifat nominal sebagai variabel dependen, dan kesehatan reproduksi sebagai variabel independen, dengan jenis data yang bersifat nominal maka uji analisis melalui 2 tahap yaitu Analisis, univariat, bivariat untuk analisis hubungan dua variabel yang kemudian dilanjutkan dengan analisis tahap ke dua Analisis Regressi ordinal. Hasil Analisis menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna secara signifikan antara perilaku seksual tidak aman terhadap pengetahuan kesehatan reproduksi dengan nilai P = 0,000 dengan alfa 0,05. Terdapat hubungan yang bermakna secara signifikan antara perilaku seksual remaja usia 15–24 tahun dengan pengetahuan pencegahan penyakit infeksi menular seksual dengan nilai P = 0,000 pada alfa 0,05. Diperlukan peningkatan penyuluhan pada kelompok remaja usia 15–24 tahun dengan metode yang tepat untuk meningkatkan rasa empati, simpati ,afektif pada kelompok peer groupnya dengan melakukan pemberdayaan masyarakat dengan membentuk kader-kader remaja bidang kesehatan reproduksi remaja, dengan membentuk peer group remaja, karang taruna sebagai upaya jemput bola. Kata kunci: Perilaku seksual remaja, IMS dan kesehatan reproduksi Naskah Masuk: 24 Agustus 2010, Review 1: 26 Agustus 2010, Review 2: 26 Agustus 2010, Naskah layak terbit: 17 September 2010
1 2
Peneliti pada Puslitbang Sistem dan Kebijakan kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jl. Indrapura 117 Surabaya, 60176, alamat korespondensi;
[email protected] Dosen FKM Universitas Airlangga Surabaya, Jl. Mulyorejo 60115
309
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 13 No. 4 Oktober 2010: 309–320
PENDAHULUAN Remaja adalah aset sumber daya manusia yang merupakan tulang punggung penerus generasi di masa mendatang. Besarnya jumlah penduduk usia remaja ini adalah merupakan peluang dan bukan menjadi masalah bagi pemerintah. Masa remaja adalah merupakan masa peralihan baik secara fisik, psikis maupun sosial dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Masalah yang berkaitan dengan perilaku dan reproduksi remaja seperti bertambahnya kasus penyakit menular seksual terutama HIV/ AIDS, kematian ibu muda yang masih sangat tinggi, merebaknya praktik aborsi karena kehamilan yang tidak diinginkan dan kecenderungan remaja masa kini untuk melakukan seks pranikah. Hubungan seks pranikah tidak hanya belum diterima oleh masyarakat tetapi juga menimbulkan masalah lain. Kehamilan di luar nikah adalah salah satu masalah yang muncul akibat hubungan seks sebelum nikah. Kehamilan ini tidak saja menimbulkan masalah sosial, tetapi juga masalah kesehatan bagi yang bersangkutan, terutama bila yang mengalaminya adalah remaja yang masih muda usia. Kehamilan pada usia muda ditinjau dari segi kesehatan mengandung risiko tinggi, baik ketika masa kehamilan maupun saat melahirkan. Risiko tinggi yang dimaksud bukan hanya risiko sakit pada yang mengandung dan dikandung, tetapi juga risiko kematian. Secara psikologis, perilaku seks sebelum nikah juga membawa pelakunya mengalami perubahan-perubahan. Perilaku seks pranikah ini memang kasat mata, namun ia tidak terjadi dengan sendirinya melainkan didorong atau dimotivasi oleh faktor-faktor internal yang tidak dapat diamati secara langsung (tidak kasat mata). Dengan demikian individu tersebut tergerak untuk melakukan perilaku seks pranikah. Motivasi merupakan penggerak perilaku. Hubungan antar kedua konstruk ini cukup kompleks, antara lain dapat dilihat sebagai berikut: Motivasi yang sama dapat saja menggerakkan perilaku yang berbeda, demikian pula perilaku yang sama dapat saja diarahkan oleh motivasi yang berbeda. Motivasi tertentu akan mendorong seseorang untuk melakukan perilaku tertentu pula. Pada seorang remaja, perilaku seks pranikah tersebut dapat dimotivasi oleh rasa sayang dan cinta dengan didominasi oleh perasaan kedekatan
310
dan gairah yang tinggi terhadap pasangannya, tanpa disertai komitmen yang jelas (menurut Sternberg hal ini dinamakan romantic love); atau karena pengaruh kelompok (konformitas), di mana remaja tersebut ingin menjadi bagian dari kelompoknya dengan mengikuti norma-norma yang telah dianut oleh kelompoknya, dalam hal ini kelompoknya telah melakukan perilaku seks pranikah. Faktor lain yang dapat memengaruhi seorang remaja melakukan seks pranikah karena ia didorong oleh rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba segala hal yang belum diketahui. Hal tersebut merupakan ciriciri remaja pada umumnya, mereka ingin mengetahui banyak hal yang hanya dapat dipuaskan serta diwujudkannya melalui pengalaman mereka sendiri, “Learning by doing”. Pada saat ini data IMS hanya didapat dari berbagai penelitian terbatas diketahui angka prevalensi IMS di Indonesia cukup tinggi di antara klien KB (Population Council, 1999) berupa Klamidia = 9%, gonorea = 1%, herpes genitalis = 3%. misalnya penelitian pada 312 perempuan klien KB di Jakarta Data tentang. Penelitian lain di di Surabaya pada 599 perempuan hamil didapat infeksi virus herpes simplek sebesar 9,9%, Klamidia 8,2%, trikhomonas 4,8%, gonore 0,8% dan sifilis 0,7% dan Sifilis 0,7%. Dari hasil survey terpadu Biologis dan Perilaku di Jawa Timur pada tahun 2007 pada populasi berisiko menyatakan bahwa HIV > 5%, Klamidia > 10%, GO > 10% dan Sifilis > 1%, namun Upaya pengobatan IMS telah berjalan baik, ini ditunjukkan dari persentase kasus IMS yang diobati 90,75%. (Sumber: Subdin P2) Rumusan Masalah Dari uraian tersebut maka beberapa yang dapat menjadi masalah utama adalah: 1. Adakah hubungan perilaku seks pada remaja usia 15–24 tahun dengan pengetahuan kesehatan reproduksi? 2. Bagaimana hubungan antara kesehatan reproduksi dengan pengetahuan pencegahan IMS. Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor perilaku seks remaja usia 15–24 tahun dengan pengetahuan kesehatan reproduksi.
Analisis Hubungan Perilaku Seks Pertamakali (Niniek L Pratiwi dan Hari Basuki)
METODE Kerangka Konsep Analisis
2. Kesehatan Reproduksi kuessioner RKD10 IND Da01-Da06, Db01-Db11, Dc01-Dc08 maka jika dianalisis hubungan antara skala data nominal dengan ordinal dengan asumsi distribuís normal, maka memakai analisis multireggressi. 3. Perilaku seksual, RKD10 IND, variabel Df01Df06 Definisi Operasional
Jenis dan Desain Analisis Berdasarkan jenis data perilaku seks remaja yang bersifat nominal sebagai variabel dependen, dan kesehatan reproduksi sebagai variabel independen, dengan jenis data yang bersifat nominal maka uji analisis melalui 2 tahap 1. Analisis, univariat, bivariat untuk analisis hubungan dua variabel yang kemudian dilanjutkan dengan analisis tahap kedua 2. Analisis Regressi ordinal dan merupakan multi regresi. Desain Analisis dengan hubungan dengan Regressi ordinal. Estimasi Besar Sampel, Cara pemilihan dan Penarikan sample Populasi adalah seluruh masyarakat Indonesia, yang dapat mewakili provinsi dan representative untuk data nasional. Pengambilan sample memakai sample Susenas Modul 2010. Variabel yang dianalisis berdasarkan kelompok: Karakteristik responden: - Sosek, Tempat tinggal, Jenis kelamin, Pendidikan dan Status perkawinan Perilaku Seks: Mengenal lawan jenis, penget. Koitus, penget. Pencegahan penyakit menular Seks, Analisis kuesioner data Riskesdas terlebih didahului melalui proses coding, editing, entry data oleh Tim manajemen data Riskesdas, analisis lanjut terhadap variabel dilakukan oleh Tim Peneliti Manajemen dan Analisis data Analisis data berdasarkan deskripsi karakteristik dari: 1. Variable RKD RT blok 1V Keterangan anggota RT (variabel 3,5,8,9,10) jenis data ordinal, nominal (ya, tidak) pada variabel 10 (RKD)10.RT.
Pertanyaan Perilaku seksual diperlukan untuk menangkap usia termuda melakukan hubungan seksual sehingga bisa dilakukan upaya preventif berkaitan dengan kesehatan reproduksi.Kesehatan reproduksi merupakan sistem reproduksi, serta fungsi maupun prosesnya (ICPD/International Conference on population and development, Cairo, 1994)..Keguguran adalah jika kehamilan itu berakhir sebellum waktunya tanpa disengaja, pada usia kehamilan belum mencapai 22 minggu/5 bulan. Pertimbangan Etik analisis: Karena penelitian ini melibatkan manusia sebagai subjek maka telah dimintakan persetujuan etik kepada Komisi Etik penelitian kesehatan Badan Litbangkes. HASIL 1. Karakteristik Responden a. Umur Umur responden dalam penelitian ini memiliki rerata 19,31 tahun ± 2,91 tahun. Responden lakilaki memiliki rerata umur 19,21 tahun ± 2,90 tahun, sedangkan responden perempuan memiliki rerata umur 19,41 tahun ± 2,91 tahun. Tabel 1. Distribusi Frekuensi menurut Jenis Kelamin dan Umur Data Berdasarkan Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010 Umur (tahun) 15–17 18–21 22–24 Total
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 6687 6036 34,4% 31,7% 7524 7403 38,7% 38,8% 5221 5631 26,9% 29,5% 19432 19070 100,0% 100,0%
Total 12723 33,0% 14927 38,8% 10852 28,2% 38502 100,0%
311
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 13 No. 4 Oktober 2010: 309–320
Pengelompokan umur responden remaja dikelompokkan menurut Knoers tentang pengelompokan Remaja: 10–14 tahun remaja awal 15–17 tahun remaja tengah 18–21 tahun remaja akhir Sedangkan pengelompokan usia remaja berdasarkan definisi PBB adalah remaja usia 15–24 tahun. b. Tempat tinggal Tabel 2. Distribusi Frekuensi menurut Jenis Kelamin dan Tempat tinggal Berdasarkan Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010 Wilayah Kota Desa Total
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 10603 10402 54,6% 54,5% 8829 8667 45,4% 45,5% 19432 19069 100,0% 100,0%
Total 21005 54,6% 17496 45,4% 38501 100,0%
Dari tabel di atas tampak bahwa persentase remaja laki-laki lebih banyak daripada remaja perempuan baik di wilayah kota maupun pedesaan. Dan distribusi remaja baik laki-laki maupun perempuan masih lebih banyak tinggal di kota dibandingkan perdesaan. c. Status perkawinan Tabel 3. Distribusi Frekuensi menurut Jenis Kelamin dan Status Perkawinan Berdasarkan Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010 Status Perkawinan Belum Kawin Kawin Cerai hidup Cerai mati Total
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 17436 12728 89,7% 66,7% 1947 6180 10,0% 32,4% 45 148 0,2% 0,8% 3 13 0,0% 0,1% 19431 19069 100,0% 100,0%
Total 30164 78,3% 8127 21,1% 193 0,5% 16 0,0% 38500 100,0%
Dari tabel di atas tampak bahwa responden remaja usia 15–24 tahun yang sudah kawin 21,1%, dan lebih
312
banyak pada remaja perempuan dibandingkan lakilaki. Cerai hidup pada usia remaja sebanyak 0,5%. 2. Pengetahuan Kesehatan Reproduksi a. Pernah mendapat penyuluhan tentang kesehatan reproduksi Tabel 4. Distribusi Frekuensi menurut Pernah mendapat Penyuluhan tentang Kesehatan reproduksi Berdasarkan Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010 Pernah mendapat penyuluhan tentang kesehatan reproduksi Ya Tidak Tidak menjawab Total
Frekuensi
Persen
12478 25973 51 38501
32,4 67,5 0,1 100,0
Dari tabel di atas tampak bahwa remaja yang pernah mendapat penyuluhan ttg kesehatan reproduksi baru mencapai 32,4% masih perlu ditingkatan penyuluhan pada program kespro kelompok remaja, mengingat kelompok ini berpotensi untuk persiapan pra-nikah. Khusus Responden Perempuan b. Pengetahuan mengenai sebab menstruasi tidak teratur Tabel 5. Distribusi Frekuensi menurut Sebab Mentruasi Tidak Teratur Berdasarkan Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010 Sebab menstruasi tidak teratur Sakit menahun Keturunan Lainnya Tidak tahu Tidak menjawab Total
Frekuensi
Persen
31 55 1238 1206 16538 19069
0,2 0,3 6,5 6,3 86,7 100,0
Pada tabel di atas tampak bahwa remaja yang pernah mengalami menstruasi tidak teratur 19069 responden, dan sebagian besar tidak tahu/tidak menjawab penyebab mentruasi tidak teratur.
Analisis Hubungan Perilaku Seks Pertamakali (Niniek L Pratiwi dan Hari Basuki)
c. Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi menstruasi tidak teratur Tabel 6. Distribusi Frekuensi menurut Tindakan yang Dilakukan untuk Mengatasi menstruasi tidak teratur Berdasarkan Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010 Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi menstruasi tidak teratur - minum pelancar haid - minum jamu - obat-obatan dokter - suntikan hormon - lainnya
Ya
Tidak
17,2% 15,0% 5,0% 2,0% 31,8%
82,8% 85,0% 95,0% 98,0% 68,8%
Dari Tabel 6 tampak bahwa 17,2% remaja minum pelancar haid untuk mengatasi menstruasi tidak teratur, 15,0% remaja minum jamu dan 5% remaja minum obat-obatan dokter untuk mengatasi haid tidak teratur. Khusus responden perempuan yang sudah menikah d. Usia menikah pertama kali Usia menikah pertama kali responden perempuan memiliki rerata 18,63 tahun ± 2,278 tahun. Usia menikah termuda 10 tahun dan tertua 24 tahun.
Tabel 7. Distribusi Frekuensi menurut Usia menikah Pertama kali Berdasarkan Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010 Usia menikah pertama ≤14 tahun 15–17 tahun 18–21 tahun 22–24 tahun Total
Frekuensi
Persen
189 1789 3560 716 6254
3,0 28,6 56,9 11,4 100,0
Menurut Tabel 7 tampak bahwa remaja 56,9% menikah usia 18–21 tahun, dan 28,6% remaja menikah pertamakali pada usia 15–17 tahun, 3,0% remaja yang menikah pertamakali pada usia di bawah 14 tahun. Tentunya hal ini perlu dipertimbangkan kembali jika dikaitkan dengan undang-undang perkawinan di indonesia yang menetapkan usia 17 tahun. 3. Perilaku Seksual Tabel 8. Distribusi Frekuensi Menurut Kategori Perilaku Seksual Berdasarkan Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010 Perilaku Seksual Tidak aman Aman Total
Frekuensi 3631 34871 38501
Persen 9,4 90,6 100,0
Tabel 9. Distribusi Frekuensi Menurut Kategori Perilaku Seksual Berdasarkan Provinsi Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010 Provinsi Aceh Sumatra Utara Sumatra Barat Riau Jambi Sumatra Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kep. Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten
Perilaku Seksual Tidak aman Aman 29 (3,6%) 776 (96,4%) 121 (5,3%) 2156 (94,7%) 30 (4,0%) 716 (96,0%) 72 (7,6%) 874 (92,4%) 60 (11,7%) 451 (88,3%) 102 (7,6%) 1235 (92,4%) 28 (9,6%) 265 (90,4%) 88 (6,7%) 1221 (93,3%) 28 (14,4%) 167 (85,6%) 21 (9,3%) 205 (90,7%) 97 (5,9%) 1549 (94,1%) 636 (9,1%) 6355 (90,9%) 340 (6,8%) 4653 (93,2%) 45 (7,9%) 522 (92,1%) 527 (9,5%) 5049 (90,5%) 132 (6,5%) 1897 (93,5%)
Total 805 (100,0%) 2277 (100,0%) 746 (100,0%) 946 (100,0%) 511 (100,0%) 1337 (100,0%) 193 (100,0%) 1309 (100,0%) 195 (100,0%) 226 (100,0%) 1646 (100,0%) 6991 (100,0%) 4993 (100,0%) 567 (100,0%) 5576 (100,0%) 2029 (100,0%)
313
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 13 No. 4 Oktober 2010: 309–320
Lanjutan Tabel 9. Provinsi Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawasi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Irian Barat Papua Total
Perilaku Seksual Tidak aman Aman 133 (22,5%) 457 (77,5%) 73 ( 9,3%) 712 (90,7%) 77 (11,7%) 579 (88,3%) 75 (10,7%) 623 (89,3%) 69 (19,1%) 293 (80,9%) 74 (12,2%) 531 (87,8%) 97 (16,7%) 483 (83,3%) 70 (21,5%) 255 (78,5%) 92 (22,4%) 318 (77,6%) 161 (12,1%) 1167 (87,9%) 55 (13,2%) 362 (86,8%) 27 (16,0%) 142 (84,0%) 22 (12,7%) 151 (87,3%) 53 (21,1%) 198 (78,9%) 45 (26,5%) 125 (73,5%) 45 (33,1%) 91 (66,9%) 106 (26,5%) 294 (73,5%) 3630 ( 9,4%)
Perilaku seks jelek kategori < 18 tahun, tidak menggunakan kontrasepsi, menggunakan jenis kontrasepsi selain kondom, bukan pasangan, Termasuk perilaku seks jelek. Dari tabel 9 tampak bahwa Peilaku seks tidak aman remaja terbanyak prevalensinya di provinsi Irian Barat a. Pernah melakukan hubungan seksual Tabel 10. Distribusi Frekuensi Menurut Pernah Melakukan Hubungan Seksual dan Umur Berdasarkan Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010 Umur 15–17 tahun 18–21 tahun 22–24 tahun Total
314
Pernah melakukan hubungan seksual Tidak Ya Tidak menjawab 463 12259 1 3,6% 96,4% 0,0% 3349 11558 19 22,4% 77,4% 0,1% 5354 5467 31 49,3% 50,4% 0,3% 9166 29284 51 23,8% 76,1% 0,1%
Total 12723 100,0% 14926 100,0% 10852 100,0% 38501 100,0%
34872 (90,6%)
Total 590 (100,0%) 785 (100,0%) 656 (100,0%) 698 (100,0%) 362 (100,0%) 605 (100,0%) 580 (100,0%) 325 (100,0%) 410 (100,0%) 1328 (100,0%) 417 (100,0%) 169 (100,0%) 173 (100,0%) 251 (100,0%) 170 (100,0%) 136 (100,0%) 400 (100,0%) 38502 (100,0%)
Dari Tabel 10 tampak bahwa yang pernah melakukan hubungan seksual pada remaja usia 15–24 tahun pada kelompok umur 15–17 tahun sebesar 3,6% sangat memprihatinkan karena pada usia ini belum siap fisik dan mental ditinjau dari kesehatn reproduksinya. Tabel 11. Distribusi Frekuensi Menurut Pernah Melakukan Hubungan Seksual dan Status Kawin Berdasarkan Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010 Pernah melakukan hubungan seksual Tidak Ya Tidak menjawab Belum kawin 1154 29009 1 3,8% 96,2% 0,0% Kawin 7819 260 49 96,2% 3,2% 0,6% Cerai hidup 178 15 1 91,8% 7,7% 0,5% Cerai mati 15 0 1 93,8% 0,0% 6,3% Total 9166 29284 52 23,8% 76,1% 0,1% Status Kawin
Total 30164 100,0% 8128 100,0% 194 100,0% 16 100,0% 38502 100,0%
Analisis Hubungan Perilaku Seks Pertamakali (Niniek L Pratiwi dan Hari Basuki)
Dari Tabel 11 tampak bahwa remaja yg pernah melakukan hubungan seksual dengan status perkawinan belum kawin sebesar 3,8%, yang sangat mengagetkan pada usia remaja usia 15–24 tahun dengan status cerai hidup sebanyak 194 orang dari 38502 remaja (0,5%). b. Pasangan hubungan seksual pertama kali Khusus yang belum menikah Tabel 12. Distribusi Frekuensi Menurut Pasangan Hubungan Seksual Pertamakali dan jenis Kelamin Berdasarkan Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010 Pasangan hubungan seksual pertama kali Suami/istri Teman Pacar Keluarga Pekerja seks komersial Lainnya Tidak menjawab Total
Jenis Kelamin Laki-laki 1 0,1% 63 7,0% 786 87,6% 2 0,2% 44 4,9% 1 0,1% 0 0,0% 897 100,0%
Total Perempuan 0 1 0,0% 0,1% 12 75 4,6% 6,5% 240 1026 92,7% 88,8% 0 2 0,0% 0,2% 2 46 0,8% 4,0% 4 5 1,5% 0,4% 1 1 0,4% 0,1% 259 1156 100,0% 100,0%
Dari Tabel 12 tampak bahwa pasangan hubungan seksual pertama kali adalah dengan status sebagai teman 6,5%, pacar 87,6%, pekerja seks komersial 4,0%. c. Umur pertama kali berhubungan seksual Umur pertama kali berhubungan seksual responden memiliki rerata 18,98 tahun ± 2,415 tahun. Termuda umur pertama kali berhubungan seksual adalah 5 tahun dan tertua 24 tahun. Responden lakilaki memiliki rerata umur pertama kali berhubungan seksual 19,76 tahun ± 2,432 (termuda 6 tahun tertua 24 tahun), sedangkan responden perempuan memiliki rerata umur pertama kali berhubungan seksual 18,66 tahun ± 2,333 tahun (termuda 5 tahun dan tertua 24 tahun).
Tabel 13. Distribusi Frekuensi Menurut Umur Pertamakali Berhubungan Seksual dan Jenis Kelamin Berdasarkan Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010 Umur pertama kali berhubungan seksual ≤ 14 tahun 15–17 tahun 18–21 tahun 22–24 tahun Total
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
51 2,0% 387 15,1% 1457 56,9% 665 26,0% 2560 100,0%
195 3,2% 1711 28,0% 3479 56,8% 736 12,0% 6121 100,0%
Total 246 2,8% 2098 24,2% 4936 56,9% 1401 16,1% 8681 100,0%
Pengelompokan umur responden remaja dikelompokkan menurut Knoers tentang pengelompokan Remaja: 10–14 tahun remaja awal 15–17 tahun remaja tengah 18–21 tahun remaja akhir Bila dilihat berdasar tempat tinggal responden, responden yang tinggal di kota memiliki rerata umur pertama kali berhubungan seksual 19,34 tahun ± 2,340 (termuda 6 tahun tertua 24 tahun), sedangkan responden yang tinggal di desa memiliki rerata umur pertama kali berhubungan seksual 18,68 tahun ± 2,436 tahun (termuda 5 tahun dan tertua 24 tahun). Tabel 14. Distribusi Frekuensi Menurut Umur Pertamakali Berhubungan Seksual dan Tempat Tinggal Berdasarkan Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010 Umur pertama kali berhubungan seksual ≤ 14 tahun 15–17 tahun 18–21 tahun 22–24 tahun Total
Wilayah Kota Desa 72 175 1,8% 3,7% 777 1321 19,7% 27,9% 2342 2594 59,3% 54,8% 756 645 19,2% 13,6% 3947 4735 100,0% 100,0%
Total 247 2,8% 2098 24,2% 4936 56,9% 1401 16,1% 8682 100,0%
315
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 13 No. 4 Oktober 2010: 309–320
Khusus responden perempuan yang sudah menikah Tabel 15. Distribusi Frekuensi Menurut Pernah Berhubungan Seksual Sebelum Menikah dan Tempat Tinggal Berdasarkan Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010 Pernah berhubungan seksual sebelum menikah Ya Tidak Tidak jelas Total
Frekuensi
Persen
369 5488 484 6342
5,8 86,5 7,6 100,0
Dari Tabel 15 tampak bahwa perempuan yang sudah menikah dan pernah berhubungan seksual sebeum nikah terdapat sebanyak 5,8% d. Penggunaan alat kontrasepsi saat berhubungan seksual pertama kali Tabel 16. Distribusi Frekuensi Menurut Penggunaan Alat Kontraspsi Saat Berhubungan Seksual Pertamakali dan tempat Tinggal Berdasarkan Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010 Penggunaan alat kontrasepsi saat berhubungan seksual pertama kali Ya Tidak Tidak tahu/tidak ingat Tidak menjawab Total
Frekuensi
Persen
952 7579 150 60 8741
10,9 86,7 1,7 0,7 100,0
Penggunaan alat kontrasepsi saat berhubungan seksual pertamakali 10,9%, sedangkan yang tidak menggunakan alat kontrasepsi 86,7% remaja usia 15–24 tahun. e. Jenis alat kontrasepsi saat berhubungan seksual pertama kali Dari Tabel 17 tampak banwa jenis alat kontrasepsi saat berhubungan sekual pertamakali adaah kondom
316
Tabel 17. Distribusi Frekuensi Menurut Jenis Alat Kontraspsi Saat Berhubungan Seksual Pertamakali dan tempat Tinggal Berdasarkan Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010 Jenis alat kontrasepsi saat berhubungan seksual pertama kali Kondom Pil Diafragma/intravag Senggama terputus Lainnya Total
Frekuensi
Persen
397 288 4 32 233 952
41,6 30,2 0,4 3,4 24,4 100,0
41,6%, pil 30,2% danlainnya 24,4%.Untuk lainnya bisa sanggama terputus atau oral seks. Tabel 18. Tabulasi Silang Hubungan Signifikasi Perilaku Seksual dengan tempat Tinggal Berdasarkan Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010 Wilayah Kota Desa Total
Perilaku Seks Tidak aman Aman 1517 19488 7.2% 92.8% 2113 15383 12.1% 87.9% 3630 34871 9.4% 90.6%
Total 21005 100,0% 17496 100,0% 38501 100,0%
c2corr = 262,903 p = 0,000 Prev. ratio = 1,055 (95% CI = 1,048 – 1,062) Koef. Phi = 0,083
Dari tabel di atas tampak bahwa perilaku seks tidak aman lebih banyak prevalensi di desa dbandingakan wilayah perkotaan, hal ini kemungkinan kemudahan akses informasi daerah kota lebih baik dibandingkan perdesaan.
Analisis Hubungan Perilaku Seks Pertamakali (Niniek L Pratiwi dan Hari Basuki)
Tabel 19. Tabulasi Silang Hubungan Signifikasi perilaku seksual dengan tempat Tinggal Berdasarkan Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010 Umur 15–17 tahun 18–21 tahun 22–24 tahun Total
Perilaku Seks Tidak aman Aman 464 12259 3,6% 96,4% 1538 13388 10,3% 89,7% 1628 9224 15,0% 85,0% 3630 34871 9,4% 90,6%
Total 12723 100,0% 14926 100,0% 10852 100,0% 38501 100,0%
Tabel 21. Tabulasi Silang Hubungan Signifikasi Perilaku Seksual dengan Pendidikan Berdasarkan Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010 Pendidikan Rendah Menengah Tinggi Total
Perilaku Seks Tidak aman Aman 1687 9461 15,1% 84,9% 1885 24348 7,2% 92,8% 58 1061 5,2% 94,8% 3630 34870 9,4% 90,6%
Total 11148 100,0% 26233 100,0% 1119 100,0% 38500 100,0%
c2 = 906, 173 p = 0,000
c2 = 602,926 p = 0,000
Berdasarkan Tabel 19 tampak bahwa ada hubungan yang bermakna antara umur dengan perilaku seksual tidak aman, semakin usia bertambah pada kelompok remaja semakin mempunyai kecenderungan perilaku seksual tidak aman dengan meningkatnya prevalensi pada kelompok umur ini.
Dari Tabel 21 tampak bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan perilaku seksual, artinya pada kelompok pendidikan rendah perilaku seks tidak aman lebih banyak prevalensinya dibandingkan kelompok pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
Tabel 20. Tabulasi Silang Hubungan Signifikasi perilaku seksual dengan Jenis Kelamin Berdasarkan Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010
Tabel 22. Tabulasi Silang Hubungan Signifikasi perilaku seksual dengan Status Kawin Berdasarkan Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Perilaku Seks Tidak aman Aman 1340 18092 6,9% 93,1% 2291 16779 12,0% 88,0% 3631 34871 9,4% 90,6%
Total 19432 100,0% 19070 100,0% 38502 100,0%
c2corr = 294,540 p = 0,000 Prev. ratio = 0,574 (95% CI = 0,538 – 0,612)
Dari Tabel 20 tampak bahwa responden lakilaki memiliki persentase perilaku seks aman lebih tinggi daripada responden perempuan. Kemungkinan seorang laki-laki untuk memiliki perilaku seks tidak aman adalah sebesar 0,574 kali dibandingkan perempuan.
Status Kawin Belum kawin Kawin Cerai hidup Cerai mati Total
Perilaku Seks Tidak aman Aman 1155 29009 3,8% 96,2% 2383 5745 29,3% 70,7% 87 107 44,8% 55,2% 6 10 37,5% 62,5% 3631 34871 9,4% 90,6%
Total 30164 100,0% 8128 100,0% 194 100,0% 16 100,0% 38502 100,0%
c2 = 5171,578 p = 0,000
Dari Tabel 22 tampak bahwa ada hubungan perilaku seksual tidak aman terhadap status kawin secara bermakna. Mereka yang pernah kawin mempunyai kecenderungan berperilaku seksual tidak aman.
317
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 13 No. 4 Oktober 2010: 309–320
Tabel 23. Tabulasi Silang Hubungan Signifikasi Perilaku Seksual dengan Pernah mendapat Penyuluhan Kesehatan Reproduksi Berdasarkan Data Riskesdas MDG’S Tahun 2010 Perilaku Seks Pernah mendapat penyuluhan Kespro Tidak aman Aman Pernah 786 11691 6,3% 93,7% Tidak pernah 2844 23179 10,9% 89,1% Total 3630 34870 9,4% 90,6%
Total 12477 100,0% 26023 100,0% 38500 100,0%
c2corr = 211,091 p = 0,000 Prev. ratio = 1,052 (95% CI = 1,045 – 1,059)
Jika di lihat pada Tabel 23 tampak bahwa ada hubungan yang bermakna antara perilaku seks dengan yang pernah mendapat penyuluhan Kesehatan reproduksi. PEMBAHASAN 1. Hubungan Perilaku Seks pada Remaja usia 15–24 tahun dengan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan secara signifikan antara perilaku seks pertamakali pada remaja usia 15–24 tahun dengan pengetahuan kesehatan reproduksi dapat dijelaskan sebagai berikut: berkaitan dengan perilaku dan reproduksi remaja seperti masa remaja adalah merupakan masa peralihan baik secara fisik, psikis maupun sosial dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada masa ini adalah perpaduan antara perkembangan usia psikologis dan usia biologis sehingga sangat dipengaruhi multifaktor yang terjadi di berbagai bidang dalam masyarakat bertambahnya kasus penyakit menular seksual terutama HIV/ AIDS, kematian ibu muda yang masih sangat tinggi, merebaknya praktik aborsi karena kehamilan yang tidak diinginkan dan kecenderungan remaja masa kini untuk melakukan hubungan seksual sebelum nikah. Masalah ini tidak dapat didekati hanya dari aspek klinis oleh para ahli kedokteran. Inti persoalan sesungguhnya terletak pada konteks sosial yang sangat kompleks karena kesehatan reproduksi politik, sosial dan ekonomi dan berhubungan erat dengan nilai, etika, agama dan kebudayaan. Untuk itu diperlukan upaya dari berbagai pihak untuk menghadapi masalah perilaku sesual 318
remaja yang berisiko ini. (Abdul Jalil Amri Arma, 2008) Universitas Sumatera Utara Pengaruh Perubahan Sosial terhadap Perilaku Seks Remaja (189–197). Hubungan seks sebelum pernikahan makin hari makin menjadi sorotan. Salah satu sebabnya adalah makin banyaknya kasus-kasus hubungan seks sebelum nikah di masyarakat. Sebab yang lebih mendasar lagi adalah masih belum bisa diterimanya perilaku seks sebelum nikah oleh sebagian besar anggota masyarakat. Norma yang berlaku hanya bisa menerima perilaku seksual dalam wadah perkawinan. Di sinilah suatu masalah acap kali muncul dalam kehidupan remaja karena mereka ingin mencobacoba segala hal, termasuk yang berhubungan dengan fungsi ketubuhannya yang juga melibatkan pasangannya. Namun dibalik itu semua, faktor internal yang paling memengaruhi perilaku seksual remaja sehingga mengarah pada perilaku seksual pranikah pada remaja adalah berkembangnya organ seksual. Dikatakan bahwa gonads (kelenjar seks) yang tetap bekerja (seks primer) bukan saja berpengaruh pada penyempurnaan tubuh (khususnya yang berhubungan dengan ciri-ciri seks sekunder), melainkan juga berpengaruh jauh pada kehidupan psikis, moral, dan sosial. Pada kehidupan psikis remaja, perkembangan organ seksual mempunyai pengaruh kuat dalam minat remaja terhadap lawan jenis kelamin. Ketertarikan antarlawan jenis ini kemudian berkembang ke pola kencan yang lebih serius serta memilih pasangan kencan dan romans yang akan ditetapkan sebagai teman hidup. Sedangkan pada kehidupan moral, seiring dengan bekerjanya gonads, tak jarang timbul konflik dalam diri remaja. Masalah yang timbul yaitu akibat adanya dorongan seks dan pertimbangan moral seringkali bertentangan. Bila dorongan seks terlalu besar sehingga menimbulkan konflik yang kuat, maka dorongan seks tersebut cenderung untuk dimenangkan dengan berbagai dalih sebagai pembenaran diri. Pengaruh perkembangan organ seksual pada kehidupan sosial ialah remaja dapat memperoleh teman baru, mengadakan jalinan cinta dengan lawan jenisnya. Jalinan cinta ini tidak lagi menampakkan pemujaan secara berlebihan terhadap lawan jenis dan “cinta monyet” pun tidak tampak lagi. Mereka benar-benar terpaut hatinya pada seorang lawan jenis, sehingga terikat oleh tali cinta.
Analisis Hubungan Perilaku Seks Pertamakali (Niniek L Pratiwi dan Hari Basuki)
Perlu pula dijelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar-kelenjar seks (gonads) remaja, sesungguhnya merupakan bagian integral dari pertumbuhan dan perkembangan jasmani secara menyeluruh. Selain itu, energi seksual atau libido/nafsu pun telah mengalami perintisan yang cukup panjang; Sigmund Freud mengatakan bahwa dorongan seksual yang diiringi oleh nafsu atau libido telah ada sejak terbentuknya Independensi. Namun dorongan seksual ini mengalami kematangan pada usia usia remaja. Karena itulah, dengan adanya pertumbuhan ini maka dibutuhkan penyaluran dalam bentuk perilaku seksual tertentu (Boone A, 2005). Cukup naïf bila kita tidak menyinggung faktor lingkungan, yang memiliki peran yang tidak kalah penting dengan faktor pendorong perilaku seksual pranikah lainnya. Faktor lingkungan ini bervariasi macamnya, ada teman sepermainan (peer-group), pengaruh media dan televisi, bahkan faktor orang tua sendiri. Pada masa remaja, kedekatannya dengan peergroupnya sangat tinggi karena selain ikatan peergroup menggantikan ikatan keluarga, mereka juga merupakan sumber afeksi, simpati, dan pengertian, saling berbagi pengalaman dan sebagai tempat remaja untuk mencapai otonomi dan independensi. Maka tak heran bila remaja mempunyai kecenderungan untuk mengadopsi informasi yang diterima oleh teman-temannya, tanpa memiliki dasar informasi yang signifikan dari sumber yang lebih dapat dipercaya. Informasi dari teman-temannya tersebut, dalam hal ini sehubungan dengan perilaku seks pranikah, tak jarang menimbulkan rasa penasaran yang membentuk serangkaian pertanyaan dalam diri remaja. Untuk menjawab pertanyaan itu sekaligus membuktikan kebenaran informasi yang diterima, mereka cenderung melakukan dan mengalami perilaku seks pranikah itu sendiri. Pengaruh media dan televisi pun seringkali diimitasi oleh remaja dalam perilakunya sehari-hari. Misalnya saja remaja yang menonton film remaja yang berkebudayaan barat, melalui observational learning, mereka melihat perilaku seks itu menyenangkan dan dapat diterima lingkungan. Hal ini pun diimitasi oleh mereka, terkadang tanpa memikirkan adanya perbedaan kebudayaan, nilai serta norma-norma dalam lingkungan masyakarat yang berbeda. Perilaku yang tidak sesuai dengan tugas perkembangan remaja pada umumnya dapat
dipengaruhi orang tua. Bilamana orang tua mampu memberikan pemahaman mengenai perilaku seks kepada anak-anaknya, maka anak-anaknya cenderung mengontrol perilaku seksnya itu sesuai dengan pemahaman yang diberikan orang tuanya. Hal ini terjadi karena pada dasarnya pendidikan seks yang terbaik adalah yang diberikan oleh orang tua sendiri, dan dapat pula diwujudkan melalui cara hidup orang tua dalam keluarga sebagai suami-istri yang bersatu dalam perkawinan. Kesulitan yang timbul kemudian adalah apabila pengetahuan orang tua kurang memadai menyebabkan sikap kurang terbuka dan cenderung tidak memberikan pemahaman tentang masalahmasalah seks anak. Akibatnya anak mendapatkan informasi seks yang tidak sehat. Seorang peneliti menyimpulkan hasil penelitiannya sebagai berikut: informasi seks yang tidak sehat atau tidak sesuai dengan perkembangan usia remaja ini mengakibatkan remaja terlibat dalam kasus-kasus berupa konflikkonflik dan gangguan mental, ide-ide yang salah dan ketakutan-ketakutan yang berhubungan dengan seks. Dalam hal ini, terciptanya konflik dan gangguan mental serta ide-ide yang salah dapat memungkinkan seorang remaja untuk melakukan perilaku seks pranikah. 2. Hubungan antara perilaku seks tidak aman dengan pengetahuan pencegahan IMS Infeksi menular seksual memerlukan pengamatan/ deteksi dini yang terus-menerus karena Infeksi menular seksual (IMS) adalah salah satu pintu untuk memudahkan terjadinya penularan HIV. Secara khusus mempunyai tujuan mendapatkan gambaran epidemiologi penyakit IMS, dan faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan penyakit, agar secara terus-menerus dan sistematis memberikan dukungan informasi epidemiologi terhadap penyelenggaraan penanggulangan. Monitoring tingkat kedaruratan melalui analisa kesakitan bila mungkin kematian. Mengikuti trend insidens, faktor risiko dan CFR penyakit guna deteksi dan penanggulangan dini kejadian luar biasa. Menjamin alokasi sumber daya pada kelompok rawan. Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada 319
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 13 No. 4 Oktober 2010: 309–320
semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Risiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga (Holmes, C. B.2003). Pada bulan Desember tahun 2006, penelitian yang menggunakan uji acak terkendali mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan risiko infeksi HIV pada pria heteroseksual Afrika sampai sekitar 50%. Diharapkan pendekatan ini akan digalakkan di banyak negara yang terinfeksi HIV paling parah, walaupun penerapannya akan berhadapan dengan sejumlah isu sehubungan masalah kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat. Beberapa ahli mengkhawatirkan bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada lakilaki bersunat, dapat meningkatkan perilaku seksual berisiko sehingga mengurangi dampak dari usaha pencegahan ini (Bachmann GA, 2000). SIMPULAN 1. Ada hubungan yang bermakna antara perilaku seksual tidak aman terhadap kesehatan reproduksi remaja terutama yang belum pernah memperoleh penyuluhan kesehatan reproduksi 2. Ada hubungan yang bermakna antara perilaku pencegahan IMS dengan perilaku seksual remaja pada usia 15–24 tahun SARAN 1. Perlu meningkatkan penyuluhan kesehatan reproduksi pada kelompok remaja usia 15–24 tahun, penyuluhan yang dapat meningkatkan peer groupnya, simpati dan afektif serta kognitif para remaja, karena usia remaja ini merupakan suatu usia kematangan kelenjar seksual/gonad dengan berkembangnnya psikologis,biologis yang seringkali suka mencoba sesuatu hal yang baru.
320
2. Perlu mengembangkan pemberdayaan masyarakat sebagai kader-kader kesehatan reproduksi baik melalui ibu-ibu PKK, karang taruna, tokoh agama dan budayawan setempat agar dapat berperan serta sebagai figure dalam memberikan keteladanan, sikap, afektif serta paternalistik yang dapat menjadi contoh para remaja agar berperilaku seks yang aman dan sehat. DAFTAR PUSTAKA Abdul Jalil Amri Arma, 2008. Universitas Sumatera Utara Pengaruh Perubahan Sosial terhadap Perilaku Seks Remaja (189–197). Notoatmojo, Soekidjo, 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Bachmann GA et al. Epidemiology and physiology in the older woman. In Female sexuality during the menopause, Supplement, OBG Management May 2000: 17–18. Brooks TR. Sexuality in the Aging Woman.The Female Patient 1994; 19: 63–70. Laumann EO, Paik A, Rosen RC. Sexual dysfunction in the United States: prevalence and predictors. JAMA 1999; 281(6): 537–44. Boone A. Sarah, Kelly M. Shields. Dietery Supplements for Female Sexual Disfungtion. American Journal of System Pharmacy. Vol. 62 March. 15, 2005. The WHO definition of Reproductive Health. Http://www. rho.org/html/definition_.htm. Diakses 5 September 2005. UNAIDS (2006). “Overview of the global AIDS epidemic” (PDF). 2006 Report on the global AIDS epidemic. http://data.unaids.org/pub/GlobalReport/2006/2006� GR�CH02�en.pdf. Diakses pada 8 Juni 2006. Palella FJ Jr, Delaney KM, Moorman AC, Loveless MO, Fuhrer J, Satten GA, Aschman and DJ, Holmberg SD (1998). “Declining morbidity and mortality among patients with advanced human immunodeficiency virus infection. HIV Outpatient Study Investigators”. N. Engl. J. Med 338 (13): 853–60. PubMed. Holmes CB, Losina E, Walensky RP, Yazdanpanah Y, Freedberg KA (2003). “Review of human immunodeficiency virus type 1-related opportunistic infections in sub-Saharan Africa”. Clin. Infect. Dis. 36(5): 656–62. PubMed. WHO (2001). “Blood safety....for too few”. http://www.who. int/inf-pr-2000/en/pr2000-25.html. Diakses pada 17 Januari 2006.
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
PERBEDAAN PERILAKU MENJAGA PERSONAL HYGIENE SAAT MENSTRUASI PADA REMAJA PUTRI ANTARA SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN PENYULUHAN TENTANG PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI Koekoeh Hardjito*, Suwoyo*, Siti Asiyah* Dalam rentang kehidupan manusia, seseorang perlu mampu menjaga kebersihan diri, termasuk saat seorang remaja putri mengalami menstruasi. Tujuan penelitan ini adalah untuk mengetahui perbedaan perilaku dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi pada remaja putri di SDN Jamsaren I Kota Kediri sebelum dan sesudah pemberian penyuluhan tentang pendidikan kesehatan reproduksi. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah pra eksperimen dengan One Group Pre test–post test design. Sampel penelitian sebanyak 22 remaja putri yang diambil secara purposif. Analisis menggunakan uji Wilcoxon pada α 5%. Hasil penelitian menunjukkan nilai p 0,001 > α 5% atau ada perbedaan perilaku menjaga personal hygiene saat menstruasi antara sebelum dan sesudah pemberian pendidikan kesehatan reproduksi. Diharapkan dari penelitian ini, ada kerjasama antara pihak sekolah dan petugas kesehatan untuk lebih meningkatkan pendidikan kesehatan reproduksi sehingga perilaku dalam menjaga personal hygiene khususnya saat menstruasi lebih meningkat. Kata kunci: perilaku, personal hygiene, menstruasi, penyuluhan, kesehatan reproduksi *: Program Studi Kebidanan Kediri Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Depkes Malang PENDAHULUAN Latar belakang Manusia perlu menjaga kebersihan diri dan lingkungan agar sehat, tidak bau, tidak menyebarkan kotoran atau menularkan penyakit bagi diri sendiri maupun orang lain. Sepanjang siklus kehidupan manusia, kebersihan diri harus dijaga termasuk saat manusia memasuki masa remaja. Masa remaja adalah suatu fase perkembangan yang dinamis dalam rentang kehidupan individu. Masa ini merupakan periode transisi dari masa anakanak ke masa dewasa yang ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial (IDAI, 2002). Masa remaja (adolescence/puberty) dimulai pada usia 11 atau 13 sampai usia 21 tahun. Masa preadolescence pada wanita terjadi pada usia 11–13 tahun. Secara fisik pada masa ini terjadi perubahan organ seksual. Salah satu perubahan fisik yang dialami remaja putri adalah menstruasi pertama, yang menuntut remaja putri mampu merawat organ reproduksi dengan baik terutama dalam hal kebersihan pribadi (personal hygiene). Hal ini disebabkan oleh peristiwa menstruasi yang merupakan darah kotor, yang jika kurang dijaga kebersihannya akan berpotensi untuk timbul infeksi pada organ reproduksi (Yusuf, 2002). Untuk menghindari infeksi vagina, remaja putri perlu memiliki perilaku yang baik dalam kebersihan diri, khususnya kebersihan alat reproduksi, untuk itu pendidikan kesehatan perlu diberikan agar kebersihan diri bisa dijaga dengan baik. Guna menciptakan perilaku tersebut, perlu diberikan pendidikan kesehatan khususnya kesehatan reproduksi. Melalui kegiatan ini dapat disampaikan halhal yang terkait dengan organ reproduksi termasuk personal hygiene alat reproduksi, dengan tujuan agar terbentuk pengetahuan tentang perlunya personal
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
125
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
hygiene. Jika pengetahuan meningkat, diharapkan timbul sikap positif dalam menjaga personal hygiene, yang menjadi dasar terbentuknya perilaku menjaga personal hygiene. Menstruasi awal sering dijumpai pada anak kelas 5–6 SD berusia 11–13 tahun. Studi pendahuluan di SDN Jamsaren I Kota Kediri memperoleh hasil bahwa 3 dari 5 siswa yang telah menstruasi mengatakan tidak mengerti cara menjaga kebersihan diri yang benar. Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian Rumusan masalah penelitian ini adalah: “Adakah perbedaan perilaku dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi pada remaja putri Di SDN Jamsaren I Kota Kediri antara sebelum dan sesudah pemberian penyuluhan tentang pendidikan kesehatan reproduksi ?” Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi perilaku remaja putri dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan, 2) menganalisis perbedaan perilaku dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi antara sebelum dan sesudah mendapatkan penyuluhan tentang pendidikan kesehatan reproduksi. Diharapkan penelitian ini membawa manfaat sebagai: 1) sumbangsih pemikiran dalam memilih, menyusun dan merencanakan metode pengembangan perilaku sehat remaja putri, 2) masukan bagi masyarakat, sekolah, puskesmas dan pemerintah dalam memfasilitasi pengembangan perilaku sehat remaja putri, 3) tambahan informasi bagi para akademisi dan praktisi yang terkait dengan Ilmu Perilaku dan Promosi Kesehatan, 4) bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya, sesuai dengan permasalahan yang belum teridentifikasi. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian pra eksperimen di SDN Jamsaren I Kediri pada bulan AprilMei 2009 ini menerapkan one group pre test–post test design, yaitu mengungkapkan perbedaan dengan melibatkan satu kelompok subyek. Populasi penelitian adalah seluruh siswi kelas 5 dan kelas 6 yang sudah menstruasi, dan sampel diambil secara purposif sebanyak 22 siswa. Tabel 1. Definisi Operasional Variabel Variabel Penyuluhan kesehatan reproduksi
Pengertian Proses penyampaian pesan tentang kesehatan reproduksi dari penyuluh kepada sasaran penyuluhan yaitu anak perempuan kelas 5 dan 6 SD yang sudah menstruasi, dengan metode tanya jawab dan simulasi Perilaku menjaga Perilaku menjaga personal hygiene personal hygiene yang dilakukan oleh remaja saat saat menstruasi mendapatkan menstruasi
Kategori Kriteria Skala Pre Sebelum Nominal diberi penyuluhan Post Setelah diberi penyuluhan Baik Cukup Kurang
Skor > 76 Skor 56 76 Skor < 56
Ordinal
Penyuluhan kesehatan reproduksi merupakan variabel bebas, dan perilaku siswa dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi merupakan variabel terikat, yang masingmasing didefinisikan pada Tabel 1. Data dikumpulkan dengan menyebarkan kuesioner tentang halhal yang dikerjakan oleh siswi dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi I. Setelah itu kuesioner diambil dan dilanjutkan dengan pemberian penyuluhan tentang kesehatan reproduksi. Kemudian dilanjutkan dengan penyebaran kuesioner yang sama setelah diberikan
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
126
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
penyuluhan. Berikutnya dilakukan pengolahan data dan analisis data menggunakan uji beda untuk 2 sampel berpasangan yaitu uji Wilcoxon menggunakan SPSS versi 11.05. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Perilaku siswi sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan reproduksi ditampilkan pada Tabel 2. Tabel. 2 Perilaku Remaja Putri Sebelum dan Sesudah Penyuluhan Kesehatan Reproduksi Kategori Perilaku Baik Cukup Kurang Total
Sebelum Penyuluhan Frekuensi Persentase 1 4.5 21 95.5 0 0 22 100
Sesudah Penyuluhan Frekuensi Persentase 4 18 18 82 0 0 22 100
Perbedaan perilaku siswi antara sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan reproduksi disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Tampak bahwa tak ada peningkatan nilai minimum yaitu 60 sesudah pendidikan. Pada nilai maksimum, perilaku sebelum pendidikan kesehatan meningkat dari 78 menjadi 80. Uji Wilcoxon menunjukkan nilai p 0,001 < α 0,05, maka Ho ditolak, artinya ada perbedaan perilaku menjaga personal hygiene saat menstruasi pada siswi SDN Jamsaren I Kota Kediri antara sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan reproduksi.
Skor perilaku sebelum HE 7
6
5
4
3
Frequency
2 Std. Dev = 4.46
1
Mean = 66.2 N = 22.00
0 60.0
62.5
65.0
67.5
70.0
72.5
75.0
77.5
Skor perilaku sebelum HE
Gambar 1 Skor Perilaku Remaja Putri Sebelum Penyuluhan Kesehatan Reproduksi
Sebelum diberi penyuluhan, hanya ada 1 siswi yang memiliki perilaku menjaga personal hygiene dalam kategori baik, sedangkan sisanya adalah dalam kategori cukup. Satu siswi tersebut telah mengalami menstruasi paling lama yaitu 2 tahun, hal ini sesuai dengan pendapat Potter dan Perry, (2000) bahwa sikap seseorang melakukan personal hygiene
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
127
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Tidak ada dua orang yang melakukan perawatan kebersihan dengan cara yang sama. Beragam faktor pribadi dan sosial budaya mempengaruhi praktek hygiene, juga keterbatasan fisik, kepercayaan, nilai dan kebiasaan. Secara terperinci meliputi citra tubuh, praktik sosial, status sosioekonomi, pengetahuan, kebudayaan, pilihan pribadi dan kondisi fisik. Pengetahuan tentang pentingnya hygiene dan implikasinya bagi kesehatan mempengaruhi praktik hygiene. Kendati demikian, pengetahuan tidaklah cukup, motivasi juga harus dilakukan untuk memelihara perawatan diri. Pembelajaran praktik tertentu yang diharapkan dan menguntungkan dalam mengurangi resiko kesehatan dapat memotivasi seseorang untuk memenuhi perawatan yang diperlukan. Lamanya waktu seseorang mengalami menstruasi menjadikan pengetahuannya tentang menstruasi termasuk bagaimana cara mengelola kebersihan diri meningkat.
Skor perilaku setelah HE 16 14 12 10 8
Frequency
6 4 Std. Dev = 5.15 2
Mean = 68.7 N = 22.00
0 60.0
65.0
70.0
75.0
80.0
Skor perilaku setelah HE
Gambar 2 Skor Perilaku Remaja Putri Sesudah Penyuluhan Kesehatan Reproduksi
Sesudah diberi penyuluhan, terdapat 4 siswi yang memiliki perilaku yang baik dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi. Perilaku yang baik ditunjukkan dengan kemampuannya membersihkan organ reproduksi dengan cara yang benar, namun masih dijumpai beberapa remaja yang melakukan dengan cara yang belum benar, sehingga secara keseluruhan memberikan hasil perilaku yang cukup. Perawatan alat reproduksi bisa dilakukan minimal dua kali sehari dan waktu yang lebih baik adalah pagi dan sore hari sebelum mandi, sesudah buang air kecil atau buang air besar atau empat jam sekali, terutama pada perineum (Cristina, 1999). Gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan nilai ratarata siswi dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi. Keterpaparan seseorang terhadap informasi dapat merubah pengetahuan, sikap dan perilaku yang dimiliki (Notoatmodjo, 2005).
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
128
Vol.I No.2 April 2010
ISSN: 2086-3098
Hasil penelitian membuktikan adanya perbedaan perilaku menjaga personal hygiene saat menstruasi siswi SDN Jamsaren I Kota Kediri sebelum dan sesudah pemberian penyuluhan. Menurut Munir (1997), dalam proses penyuluhan ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi yaitu: 1) Keberhasilan sesungguhnya, yaitu perilaku sasaran berubah seperti apa yang diharapkan dan berlangsung terusmenerus. 2) keberhasilan semu, yaitu perubahan perilaku baru terjadi dalam waktu terbatas yaitu selama si penyuluh berada bersama sasaran atau selama mereka masih merasakan manfaat dari perilaku itu. Begitu penyuluh berpisah dengan sasaran atau sasaran tak lagi merasakan manfaatnya, mereka kembali keperilaku lama, 3) Kegagalan total, yaitu sasaran menolak secara total inovasi baru yang disampaikan. Mengapa terjadi kegagalan, keberhasilan semu atau keberhasilan sesungguhnya dalam suatu penyuluhan, ini sangat tergantung dari individu dari tingkat pendidikan, pengetahuan yang melatarbelakangi perilaku masingmasing individu. Kondisi yang terjadi pada remaja putri setelah mendapatkan pendidikan kesehatan dapat disebabkan oleh ketiga hal di atas. Pengetahuan yang didapat dari hasil belajar kepada lingkungan selama perjalanan hidupnya, kemudian mendasari seseorang untuk dapat menginterpretasikan obyek dan dijadikan acuan baginya untuk bertindak terhadap obyek tersebut, yang terlihat sebagai perilaku seharihari. Helen dan Paul (1980) mengemukakan bahwa efektivitas komunikasi, tentu juga efektivitas penyuluhan, paling tidak menimbulkan lima hal, yaitu: kesenangan, hubungan sosial yang baik, pengertian, pengaruh pada sikap dan tindakan. Pendidikan kesehatan reproduksi yang dilakukan masih sebagian kecil dapat menimbulkan tindakan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan penelitian ini adalah: 1) sebagian besar siswi memiliki perilaku cukup dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi, 2) terdapat peningkatan frekuensi perilaku cukup menuju perilaku baik pada siswi setelah mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi, 3) ada perbedaan perilaku menjaga personal hygiene saat menstruasi antara sebelum dan sesudah mendapatkan pendidikan kesehatan pada siswi SDN Jamsaren I Kota Kediri. Berdasarkan simpulan diajukan saran antara lain: 1) sekolah hendaknya memantau kemampuan siswi dalam menjaga personal hygiene saat menstruasi dan menyiapkan pemahaman menjaga personal hygiene pada siswi yang akan mengalami menstruasi I, 2) petugas kesehatan diharapkan meningkatkan pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang cara menjaga personal hygiene pada saat menstruasi dengan berbagai pendekatan. DAFTAR PUSTAKA Munir, B. (1997). Penyuluhan Kesehatan Masyarakat dengan Pendekatan Antropologi , Jakarta: Depkes RI. Notoatmodjo,S. (2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta. Helen S.Ross and Paul R. Mico. (1980). Theory and Practice in Health Education Arikunto, Suharsimi. (1998). Prosedur Penelitian Pendekatan Suatu Praktek, Jakarta: Rineka Cipta. Syamsu Yusuf, 2005. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
129
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
DAMPAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP GANGGUAN KESEHATAN REPRODUKSI WANITA DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA MAKASSAR TAHUN 2010 Maria sonda* Jurusan Kebidanan Poltekkes Makassar ABSTRAK Kemajuan teknologi informasi, dan transportasi modern yang terus berkembang ikut merubah kedudukan peran lelaki dan perempuan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Masalah “marjinalisasi“, “stereotype“, “subordinasi“, adanya “double burden“, unsur “violence“ dari pihak lelaki ke pihak perempuan semakin mengemuka. Masalah KDRT akan berdampak buruk pada kesehatan reproduksi wanita, dan bermuara pada gangguan perilaku dan psikologis, bahkan perceraian. Kematian wanita (WHO, 2002) mencapai 40-70%, setiap 9 menit perempuan menjadi korban kekerasan fisik, 25% terbunuh oleh pasangan lelakinya. Komnas Perempuan menempatkan kasus KDRT tertinggi sekitar 76%. UPPT RS. Bhayangkara (2009) mencatat 71 kasus. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif pendekatan “Studi kasus”, yang bertujuan mengeksplorasi dan mencari penjelasan empirik Dampak KDRT Terhadap gangguan kesehatan reproduksi wanita, gangguan perilaku yang bermuara pada peceraian. Kasus adalah wanita korban KDRT yang dipilih dengan teknik “Snow Bowling” di Rumah Sakit Bahayangkara. Pengumpulan data secara Indepth Interview, observasi dan mempelajari arsip dan dokumen serta dianalisis secara content analysis dan dengan teknik Triangulasi. Hasil penelitian disimpulkan, bahwa terganggunya kesehatan reproduksi berupa gangguan haid bukan akibat langsung KDRT, kekerasan fisik menyebabkan stress, haid terlambat, gangguan perilaku berupa pasrah, tidak berdaya, ragu-ragu dalam mengambil keputusan, gangguan psikis berupa rasa tertekan, stress berkepanjangan, rasa malu, rendah diri, dan perceraian. Disarankan perlunya keterbukaan para istri akan berbagai hal yang tidak berkenan sebagai pribadi, maupun kelangsungan rumah tangganya sebagai anggota keluarga, dukungan mental pihak praktisi masalah KDRT dan unsur terkait lainnya melalui bimbingan yang intensif, perlunya pemahaman bagi para pelaku KDRT akan tanggung jawabnya, serta dukungan berbagai pihak dalam pelaksanaan Undang Undang penghapusan KDRT, kerangka stretegi advokasi menuju terlaksananyaanya produk kebijakan tentang hak korban. Kata kunci
: Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Membicarakan masalah kekerasan dalam rumah tangga mengingatkan kita pada gambaran tentang istri yang teraniaya atau istri yang terlantar karena tindakan suami yang sewenang–wenang kepada mereka. Secara manusiawi, KDRT pada prinsipnya merupakan masalah yang tercakup sebagai salah satu bentuk diskriminasi, khususnya terhadap perempuan, sekaligus menjadi salah satu fenomena pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
3
Nomor 2, Edisi 2, Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
KDRT tidak hanya terjadi pada suatu tempat tertentu, akan tetapi semua pelosok, baik bagi masyarakat di Negara yang masih berkembang bahkan sampai pada masyarakat di Negara maju. Dampak buruk bagi perempuan yang secara langsung dan segera terjadi salah satunya adalah bagaimana peristiwa itu berdampak pada kesehatan perempuan khususnya pada sistem reproduksi, yang pada gilirannya akan berdampak pada kesehatan reproduksi, dan bermuara pada terjadinya gangguan perilaku dan ataupun gangguan psikologis. Laporan WHO tahun 2002 mengenai “Violence and Health” menunjukkan bahwa kualitas kesehatan perempuan menurun drastis akibat kekerasan yang dialaminya. kematian wanita mencapai antara 40-70% akibat pembunuhan, umumnya dilakukan oleh mantan atau pasangannya sendiri. Di Amerika Serikat misalnya, KDRT merupakan bahaya yang terbesar bagi perempuan dibandingkan bahaya perampokan dan pencurian. Data statistik di sana menunjukkan bahwa setiap 9 menit perempuan menjadi korban kekerasan fisik, dan 25% perempuan yang terbunuh oleh pasangan lelakinya. Disebutkan juga bahwa antara 1,5 hingga 3 juta anak menyaksikan KDRT dalam keluarganya. Sebuah riset yang dilakukan pihak pemerintah Kanada menujukkan bahwa setidaknya terdapat satu dari sepuluh perempuan yang berumah tangga mengalami kekerasan dari pasangannya (Elli N.,dkk.,2002 ). Konsensus di Inggris menyatakan bahwa sebagian besar KDRT oleh pria terhadap wanita yang terlihat dalam survey tindak kriminal, menunjukkan bahwa 11,4% wanita dan 4,5% pria telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (Alexander Jo., dkk., 2006). Persentase terbesar dari kasus kekerasan terhadap perempuan dilakukan dalam lingkup rumah tangga. Data 2007 dari Komnas Perempuan menunjukkan, kasus KDRT menempati angka tertinggi dari keseluruhan bentuk kekerasan terhadap perempuan, yakni 16,709 kasus atau 76%. Data serupa juga tercantum dalam laporan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK). Pada priode Januari-April 2007, terjadi 140 kasus KDRT, berarti 35 kasus KDRT setiap bulan, atau satu kasus perhari (artikel/gender,diakses tanggal 03 Dec 2007). Kompleksitas permasalahan yang menyebabkan terjadinya berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan terhadap istri disebabkan karena berbagai faktor yang saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain, diantara faktor tersebut termasuk faktor budaya masyarakat tentang gender, yakni perbedaan peran dan perlakuan sosial antara lelaki dan wanita, budaya patriarkhi yang kental dengan masyarakat Indonesia, faktor relasi dalam keluarga di mana istri selalu dipandang hanya berperan dalam dunia domestik, masih rendahnya keinginan berbagai pihak untuk memanusiakan perempuan, yang dianggapnya sebagai warga negara kelas dua yang tersubordinasi, masih buruknya kondisi ekonomi pada sebagian masyarakat negeri ini. Masih rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar perempuan, sehingga tidak mampu untuk berpendapat apalagi mengambil keputusan, termasuk ketika mengalami kekerasan (artikel/gender,diakses tanggal 03 Desember 2007). Faktor lainnya adalah terjadinya gangguan kesehatan reproduksi yang pada gilirannya bermuara pada kecenderungan bagi seorang wanita memilih untuk mengambil keputusan menggugat cerai pasangannya. 4
Nomor 2, Edisi 2, Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
Penelitian ini dilakukan untuk membuat kekerasan terhadap perempuan dan masalah kesehatan, dan ataupun masalah lainnya yang diakibatkannya menjadi nampak jelas dan bukan hanya sebatas asumsi, tetapi secara nyata menunjukkan keterkaitan antara kekerasan dan masalah kesehatan yang diakibatkannya. B.
Permasalahan Penelitian
Kekerasan dalam rumah tangga menjadi faktor yang berperanan terhadap gangguan kesehatan reproduksi, gangguan perilaku (perilaku merokok, komsumsi alkohol dan obat terlarang, seksual bebas, perilaku berlebihan, serta kemalasan bergerak), gangguan kesehatan psikologis dengan terjadinya stress, depresi, kecemasan, dan rendah diri. Ketiga faktor akibat KDRT tersebut akan bermuara tehadap kegagalan dalam rumah tangga. C. Tujuan Penelitian Untuk menganalisis dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap terjadinya gangguan kesehatan reproduksi, gangguan perilaku, serta kencenderungan kegagalan dalam rumah tangga. Secara khusus menganalisis secara mendalam dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap gangguan kesehatan reproduksi, risiko gangguan perilaku menyimpang, gangguan kesehatan psikis, serta kecenderungan kegagalan dalam rumah tangga. II.
BAHAN DAN METODE
A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan “Studi kasus”. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi sumber yang resmi di Rumah Sakit Bahyangkara Makassar. Triangulasi metode merupakan cara yang digunakan untuk mendapatkan valid data yang diperlukan. Kasus adalah wanita usia antara 15–49 tahun yang memiliki ikatan perkawainan, mempunyai riwayat mengalami kekerasan yang terjadi dalam resmi domestik atau hubungan interpersonal dan dilakukan oleh suami atau mantan suami yang secara sukarela melapor dan yang sudah ditangani polisi, serta ditetapkan/dikatagorikan sebagai korban kekerasan fisik akibat kekerasan dalam rumah tangga dan dirawat di Rumah sakit Bahayangkara. B. Lokasi dan Waktu Penelitian 1.
Tempat Penelitian Penelitian ini bertempat di Rumah Sakit Bahayangkara dengan pertimbangan bbahwa Rumah Sakit Bhayangkara adalah salah satu Rumah Sakit yang mempunyai program untuk memberikan pelayanan kepada korban KDRT, terdapat data yang diperlukan peneliti untuk digunakan sebagai objek penelitian.
5
Nomor 2, Edisi 2, Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
2.
Waktu Penelitian Bertolak dari masalah yang penulis teliti, maka waktu penelitian ini mulai dari tahap perencanaan hingga selesainya laporan penelitian menggunakan waktu selama 3 bulan mulai bulan Juni sampai dengan Agustus 2010.
C. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh langsung dari wanita yang merupakan korban peristiwa KDRT, disamping itu data primer juga diperoleh dari sumber terkait yang dianggap dapat memberikan informasi yang akurat dan representative tentang berbagai permasalahan yang dialami oleh kasus KDRT tersebut baik melalui wawancara terhadap informan, maupun melalui observasi, sedangkan data sekunder diperoleh dari, dokumen serta arsip lainnya yang ada yang memungkinkan diperolehnya informasi terkait dengan obyek penelitian ini. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah: 1. Informan Informan yang dilibatkan dalam penelitian ini sebanyak 5 orang yang terdiri dari: a. Satu orang dari tokoh masyarakat dengan harapan bahwa orang tersebut dianggap mengetahui lebih banyak tentang kondisi keberadaan kasus, dan kondisi sosial yang terjadi di masyarakat. b. Satu orang tenaga kesehatan yang bertugas pada Unit Pusat Terpadu (PPT) Rumah Sakit Bahayangkara, dengan anggapan bahwa pihak tersebut banyak mengetahui tentang kasus-kasus berkaitan dengan KDRT dan kondisi kesehatannya yang dilayani di Rumah Sakit Bhayangkara Makassar. c. Tiga orang yang merupakan kasus adalah wanita dari keluarga yang mempunyai riwayat mengalami kekerasan dalam rumah tangga, seperti telah diutarakan sebelumnya, bahwa kasus dalam penelitian ini adalah semua wanita dalam usia antara 15–49 tahun yang memiliki ikatan perkawainan, maupun telah mengalami perceraian dan mempunyai riwayat mengalami kekerasan yang terjadi dalam area domestik atau hubungan interpersonal dan dilakukan oleh suami atau mantan suami, maka secara otomatis menjadi Informan yang merupakan tumpuan pengumpulan data bagi peneliti dalam mengungkap permasalahan penelitian ini. 2. Teknik Pemilihan Informan Pemilihan informan dilakukan dengan teknik “Snow Bowling” sehingga diperoleh informasi mengenai kasus KDRT yang pernah mendapatkan pelayanan di Rumah sakit Bhayangkara melalui dari mulut ke mulut. D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dengan tatacara pengumpulan informasi menggunakan prinsip langsung melalui penelusuran terhadap arsip dan 6
Nomor 2, Edisi 2, Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
dokumen yang ada dan tersimpan pada bagian (Unit) Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Rumah Sakit Bahayangkara, disamping itu untuk memperoleh data secara langsung dari kasus maupun pihak lain yang dianggap penting dilakukan wawancara yang mendalam (Indepth Interview) dan guna melengkapi hasil wawancara dilakukan observasi terhadap tingkah laku kasus. E. Instrumen penelitian Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dengan melengkapi diri berupa tape Recorder/MP3, Pedoman wawancara/daftar pertanyaan sebagai acuan dalam pelaksanaan wawancara, dan Catatan lapangan yang berfungsi untuk mencatat data/informasi tambahan yang merupakan hasil observasi lapangan. F. Pengolahan dan Analisis Data Data yang dikumpulkan secara taksonomi dengan mencari keterkaitan antara pertanayaan yang satu dengan pertanyaan lain, juga secara komponensial dengan menulis semua symbol-symbol yang ada kemudian dibuat dalam bentuk transkrip dan analisis secara kualitatif, yakni penafsiran data yang telah diperoleh dengan metode analisis isi (content analysis) menggunakan “interactive model”, mulai dari pengumpulan data, penyederhanaan atau reduksi data, penyajian data dan penarikan serta pengujian (verivikasi) dan kesimpulan. Selanjutnya untuk validitas data digunakan teknik triangulasi berupa triangulasi sumber, triangulasi metode, dan tri angulasi teori. III.
HASIL PENELITIAN
Sesuai dengan rencana sebelumnya mengenai tempat penelitian ini adalah di Rumah Sakit Bahyangkara, namun mengingat bahwa tempat kejadian kasus di tempat yang berbeda, maka penelitian ini dilakukan penelusuran di dua tempat di Sulawesi Selatan yakni di Kota Makassar dan Luwu Palopo dengan melibatkan sebanyak 5 subyek yang merupakan informan yakni tiga (3) orang kasus adalah korban KDRT yang diperoleh secara “Snow booling” dan 2 orang masing-masing petugas kesehatan yang bertugas di bagian pusat pelayanan terpadu Rumah sakit Bahayangkara, dan tokoh masyarakat yang dijadikan sebagai informan untuk dilakukan “Cross matching” yang memungkinkan terjadinya “Klop Matching” hasil penelitian ini, setelah diawali dengan melakukan pendekatan interpersonal ke rumah sakit, dan juga ke salah satu LSM yang khusus bergerak dalam melakukan pendampingan–pendampingan pada korban kekerasan. Hasil wawancara selanjutnya dianalisis secara mendalam dengan membuat suatu deskripsi data yang diperoleh guna mengeksplorasi serta membuat simpulan mengenai dampak kekerasan dalam rumah tangga, dengan asumsi bahwa terungkapnya berbagai aspek yang merupakan dampak KDRT, maka terbuka pulalah tabir dari permasalahan itu yang pada gilirannya dapat menjadi acuan dalam mencari solusi terhadap perlindungan perempuan yang selama ini menjadi aspek penting dalam hal kesetaraan gender. Untuk memperoleh gambaran dan kesimpulan akhir berkaitan dengan KDRT, maka dilakukan suatu teknik wawancara mendalam secara terpisah pada setiap 7
Nomor 2, Edisi 2, Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
informan di rumah masing-masing yang menjadi tempat peristiwa itu terjadi. Hasil selengkapnya dibahas dan diuraikan secara kasus perkasus sebagai berikut: Segala bentuk kekerasan yang berakibat atau mungkin berakibat menyakiti secara fisik, seksual, mental atau penderitaan yang terjadi dalam rumah tangga dikenal dengan KDRT. Informasinya digali dengan mengajukan pertanyaan seputar unsur terkait KDRT tersebut, yang diuraikan dan dibahas secara kasus perkasus tersebut tentang peristiwa KDRT yang dialami informan dengan motif yang berbeda, namun dengan pengertian yang sama, bahwa: kasus pertama adalah seorang ibu rumah tangga dengan kode informan : 01, Ru, dengan latar belakang pekerjaan sebagai PNS, usia 48 tahun, agama Kristen, pendidikan formil SMA, anak 3 orang berdomisili di kota Palopo yang telah membina kehidupan berumah tangga sejak 19 tahun (1988) yang lalu, namun akhirnya ia telah bercerai dari suaminya karena merasa tidak tahan lagi menghadapi perilaku kekerasan yang senantiasa diperlakukan suaminya, ia dipukuli tanpa alasan yang jelas, dan tidak lagi memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya, hingga akhirnya ia merasa senantiasa terancam, merasa malu pada keluarga dan lingkungan masyarakat sekitar, sesungguhnya si ibu (Ru) sudah merasa tak berdaya namun tetap pasrah menjalani kehidupan rumah tangganya oleh karena ibu adalah seorang taat dalam menjalankan ajaran agamany sebagai umat Nasarani dimana dimana masalah perceraian tidak di izinkan. berangkat dari ajaran dan kepercayaan inilah maka rumah tangga ibu Ru sempat bertahan selama 19 tahun yang walaupun pada akhirnya sebagai manusia biasa dia tidak dapat mempertahankan kehidupan rumah tangganya sampai pada akhir tujuan perkawinannya karena tidak tahan lagi, Ungkapan ini berdasarkan kutipan hasil wawancara bersama informan yang diungkapkan dengan ekspresi wajah yang penuh kecemasan, dengan nada setengah menangis walaupun ia masih berusaha untuk tegar, berikut wawancaranya : “… betul sekali sejak perkawinan saya pada tahun 1988 saya sama sekali tidak pernah merasakan kebahagiaan dan kedamaian walau telah dikaruniai 3 orang anak namun bahtera rumah tangga kami selalu diwarnai dengan percekcokan dikarenakan suami saya selaku kepala rumah tangga yang tidak bertanggung jawab kepada istri dan anak-anaknya, bahkan suami sering memukuli dan tidak pernah memberi nafkah atau jaminan terhadap saya sebagai istri dan juga kepada anak-anaknya sampai sekarang..”(Ru, 48 tahun.). Bagaimana perlakuan yang dialami informan dari sauminya itu, menurut informan mengatakan bahwa detilnya kekerasan itu tidak diingat lagi secara jelas sampai berapa kali, karena sepanjang ia hidup berumah tangga bersama suaminya, kehidupannya senantiasa diwarnai dengan kekerasan, begitu ada sedikit masalah ia langsung dipukuli. Menurut ungkapannya sebelum akhirnya terjadi perceraian, yakni sekitar tahun 2001 ia bersama suaminya sempat pisah tempat karena suami dipindah tugaskan ke Luwu Timur, dan informan tinggal di Luwu kota bersama anak-anaknya karena bekerja sebagai PNS, akibatnya selama itu sang suami jarang pulang dan bahkan belakangan diketahui sudah punya teman wanita lain. Atas kejadian itu kedua belah pihak berinisiatif untuk memperbaiki keutuhan rumah tangga dengan dipindahkannya suaminya kembali ke kota Palopo, namun tindakan suaminya justru semakin menjadi-jadi atau tidak ada perubahan. Kutipan wawancara bersama informan dapat dilihat berikut ini: 8
Nomor 2, Edisi 2, Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
“.. Iya kekerasan yang dilakukan suami saya selalu ada tetapi saya tidak ingat lagi berapa kali karena begitu ada masalah sedikit langsung saya dipukuli, sebelum secara resmi cerai pada tahun 2001 kami sempat pisah rumah, oleh karena tugas suami saya ditempatkan di LuwuTimur dan saya bersama anak-anak di Luwu kota, akibat dari pisah tempat itu suami saya jarang pulang namun pada akhirnya dia ajak anaknya satu orang tinggal bersama disana tetapi rupanya suami saya sudah punya teman wanita lain atas peristiawa itu suami saya dipindah tugaskan kembali ke kota Palopo dengan harapan dia bisa berubah setelah tinggal serumah dengan kami tapi, tidak demikian dia tambah menjadi-jadi, dia malahan setiap datang di rumah selalu marah-marah dan memukuli saya…”(Ru, 48 tahun..) Bentuk kekerasan yang dialami menurut pengakuan informan sangat bervariasi, mulai dengan cara melempar dengan menggunakan benda apa saja yang dipegang, menampar atau memukul pada muka dan kepala, menendang menggunakan sepatu laras dan kayu bambu, diinjak-injak menggunakan sepatu, serta memaki-maki dan tidak memberi nafkah kepada keluarganya. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan dapat dilihat pada kutipan dibawah ini; “…Iya dengan bermacam-macam cara seperti… tampar pada muka atau kepala, tendang dengan sepatu laras diaderah kaki, dipukul dengan menggunakan pantat senjata dan kayu bambu, diinjak-injak dengan menggunakan sepatu, memaki-maki dan diancam dengan menggunakan alat serta tidak diberi nafkah, diinjak-injak menggunakan sepatu laras, selalu menggunakan tangan, kaki dan kayu, menampar pada muka dan memukul kepala saya..” (Ru, 48 tahun). Ketika pertanyaan dialihkan pada aspek terkait erat dengan kewanitaan dengan maksud untuk menggali kemungkinan adanya gangguan pada kesehatan reproduksi, dari hasil wawancara diperoleh jawaban melalui pernyataan informan bahwa berbicara tentang hubungan sebagai suami istri menurut pengakuannya, dengan alasan keyakinan yang dianutnya bahwa seorang istri harus melayani suami, karena itu ia tetap menjalani seperti biasa, dengan harapan suami akan berubah, namun secara terus terang informan mengaku pernah khawatir dengan kondisi kesehatannya pada saat kehamilan bulan ke enam anaknya yang pertama, ketika itu ia diinjak-injak oleh suaminya, namun informan mengakui bersyukur karena tidak terjadi apa-apa pada kehamilannya. Menurut pengakuannya, yang ia rasakan hanya pada siklus haid yang biasanya teratur, tiba-tiba terjadi perubahan yang terkadang terlambat antara 1-2 minggu, akan tetapi ia mengakui tidak bisa memastikan apakah perubahan pada siklus menstruasi itu adalah akibat dari kekerasan suami atau tidak. Soal lain terkait masalah kesehatan reproduksi menurut pengakuan informan tidak pernah mengalami abortus, kelahiran prematur, ataupun anak lahir berat rendah, karena menurut pengakuannya setiap kali melahirkan, berat badan anaknya selalu lebih dari 3.000 gram. Berikut ini adalah bentuk pernyataan yang dikutip pada saat “indepth interview” berlangsung: “.. Haid saya biasa terlambat sampai 1-2 minggu tapi saya tidak tau apakah penyebabnya dari kekerasan tersebut…saya juga tidak pernah mengalami keguguran, tidak pernah melahirkan anak tidak cukup bulan, karena setiap kali melahirkan berat badan anak saya selalu lebih dari 3 kg…” (Ru, 48 tahun). 9
Nomor 2, Edisi 2, Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
Wawancara dilanjutkan untuk mengetahui apakah terjadi gangguan dalam tingkah laku informan akibat kekerasan yang dialaminya. Informasi yang diperoleh dari hasil wawancara bersama informan tersebut bahwa akibat kekerasan yang selalu dialaminya ia mengalami perubahan perilakunya walaupun itu hanya bersifat temporer yakni pernah terjadi penurunan nafsu makan selama tiga bulan sampai mengakibatkan ia jatuh sakit, selain itu informan mengaku ada rasa raguragu dalam mengambil keputusan sehingga ia selalu meminta bantuan saudara terdekatnya. Berikut kutipan awancara bersama informan: “…Sepanjang kekerasan yang saya alami sempat membuat saya kehilangan nafsu makan selama 3 bulan yang mengakibatkan saya jatuh sakit.. selalu juga merasa ragu-ragu untuk mengambil keputusan, sehingga selalu meminta bantuan saudara terdekat. ..” (Ru, 48 tahun). Pernyataan serupa diutarakan informan lainnya, dengan pengertian yang sama tentang perubahan-perubahan berupa gangguan terhadap perilakunya terkait dengan kekerasan yang telah dilakukan pihak suaminya. Dari hasil wawancara tersebut diperoleh jawaban bahwa informan yang bersangkutan selama adanya perlakuan kekerasan yang diperbuat suaminya, ia merasa tak berdaya, timbul rasa malu, tekanan yang amat sangat karena takutnya peristiwa yang sama terulang kembali hingga akhirnya ia merasa kehilangan nafsu makan. Berikut kutipan wawancaranya: “…..Ada perubahan nafsu makan, dimana biasa lupa makan akibat stress…” (Er, 27 thn). Berbicara tentang dampak terhadap faktor psikologis akibat dari kekerasan yang dialaminya, juga terungkap secara verbal berdasarkan pengakuannya bahwa selama kebersamaanya sebagai pasangan suami istri yang sah (sebelum resmi bercerai) ia selalu merasa menghawatirkan keutuhan rumah tangganya karena takut anak-anaknya nanti terlantar, untuk dirinya sendiri selalu ia merasa tertekan, tidak berdaya, merasa rendah diri, dan malu pada keluarga serta pihak tetangga, bahkan sampai ia mengalami stress berat atas ancaman-ancaman suaminya baik yang menggunakan alat maupun tidak. Hal itu terungkap dari hasil wawancara mendalam bersama informan berikut ini: “…Stress berkepanjangan, sangat tertekan, Rasa malu terhadap saudara dan kelurga yg lain saya tanggung sendiri, selalu merasa ragu-ragu untuk mengambil keputusan, sehingga selalu meminta bantuan saudara terdekat. ..” (Ru, 48 thn). Kondisi di atas didukung dari hasil observasi peneliti saat wawancara berlangsung bahwa di ekspresi wajah informan, dan tingkah lakunya terlihat bahwa ia masih mengalami trauma berat atas masa lalunya dengan suaminya, dan masih terlihat adanya rasa stress yang berat, hal itu terlihat dari ekspresi wajah yang nampak tegang, dengan nada suara yang setengah menangis. Tentang ancaman perceraian menurut Heise bahwa salah satu dampak dari KDRT adalah terjadinya perceraian (Heise,1999: 8). Informmasi yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara bersama informan, bahwa apa yang dialami sejak 19 tahun berumah tangga dengan suaminya, karena menurut pengakuannya tidak mampu lagi menerima kekerasan yang selalu dilakukan suaminya tanpa ada 10
Nomor 2, Edisi 2, Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
perubahan bahkan semakin menjadi-jadi, walaupun telah dilakukan upaya melalui bantuan pihak keamanan dan tokoh masyarakat serta pihak tokoh agama (majelis), namun akhirnya pada awal tahun 2007 ia memutuskan untuk menggugat cerai suaminya atas persetujuan anaknya yang pertama yang kemudian melalui proses peradilan perkawinannya berakhir dengan cerai. Berikut pernyataan hasil wawancaranya: “…Kepada Keamanan.. atau polisi, tokoh agama.. atau majelis sayapun sadar bahwa perceraian itu bertentangan dengan iman dan kepercayaan saya, oleh karena itu saya sempat bertahan.. selama kurang lebih 19 tahun…tapi karena saya tidak mampu lagi bertahan maka, permohonan cerai saya lanjutkan atas pesetujuan anak saya yg pertama dan akhirnya melalui proses peradilan.. kami… sah cerai tahun 2007 …(Ru, 48 thn). Pada kasus kedua, seorang ibu rumah tangga, umur 27 tahun beragama Kristen, pendidikan SMP, berdomisili di Lamasi. Hasil wawancara bersama, diperoleh informasi bahwa informan dalam kehidupan membina rumah tangga kurang beruntung jika dibandingkan dengan ibu sekaumnya yang lain. Hal itu menurut pengakuannya bahwa sejak ia menikah, dan resmi menjadi seorang ibu rumah tangga, sesungguhnya sudah terlihat adanya tanda-tanda permasalahan yang sepele menjadi masalah dalam keluarga. Hal tersebut terjadi oleh karena tidak adanya keterbukaan,dan lambat laun permasalahan itu semakin rumit dan menjadi akar permasalahan terjadinya suatu kekerasan dalam rumah tangga. Informan mengaku sangat sering dibentakbentak, bahkan diusir dari rumah, apa yang menjadi penyebab dari munculnya permasalahan itu hanya kesalah pahaman saja terhadap pengasuhan anak-anak mereka. Secara singkat terungkap dari hasil wawancara mendalam bersama informan berikut: “…Pada awalnya saya dengan suami saya hanya permasalahan kecil saja, oleh karena tidak adanya keterbukaan, maka masalah kecil menjadi masalah besar… saya sering dibentak-bentak, bahkan diusir dari rumah yang penyebabnya hanya itu, salah paham terhadap asuhan anak…” (Er, 27 th). Adanya dampak berupa gangguan pada kewanitaan atau gangguan kesehatan reproduksi, dari hasil wawancara yang diperoleh dari informan, dalam penyataannya bahwa tidak merasa adanya perubahan, ia masih tetap menjalankan fungsi reproduksinya seperti biasa. Berikut ini adalah kutipan pengakuannya: “.. Tidakji juga saya tidak pernah mengalami gangguan masalah kewanitaan, soal hubungan sebagai suami istri saya tetap berusaha melakukannya untuk memenuhi kewajiban saya sebagai istri yang harus melayani suami ..” (Er, 27 thn). Lebih lanjut mengenai dampak pada aspek psikologis, menurut pengakuan informan, bahwa secara psikologis ia senantiasa merasa ragu terhadap keutuhan rumah tangganya, khususnya pada kelanjutan pendidikan anak-anaknya, sehingga ia merasa sangat tertekan dan serba salah dalam hal mendidik anakanaknya. Hal tersebut dikutip dari hasil wawancara secara mendalam berikut ini: 11
Nomor 2, Edisi 2, Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
“..Merasa ragu terhadap keutuhan rumah tangganya, khusunya terhadap didikan anak-anak saya merasa sangat tertekan, merasa serba salah dalam hal mendidik anak-anak apalagi untuk pengambilan keputusan, Percaya diri saya sebenarnya sudah mulai hilang, namun masih tetap berupaya menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik…” (Er, 27 thn). Seperti halnya kasus pertama di atas, pada kasus ini berdasarkan hasil observasi saat wawancara berlangsung, juga terlihat adanya ketegangan yang nampak pada ekspresi wajahnya, bahkan dalam tingkah lakunya juga menunjukkan situasi sedikit kaku walaupun dalam ungkapannya masih berusaha untuk memperbaikinya, adanya gangguan lain pada uraian di atas, oleh kasus yang kedua ini dari aspek perilakunya, juga bagi informan mengatakan bahwa walaupun ia senantiasa mendapatkan bentakan,dan selaluh disalahkan bila mendidik anak-anak, tapi ia masih tetap berupaya memperbaiki kondisi dan kelanggengan rumah tangganya dengan berusaha semaksimal mungkin menjalankan tingkah laku sebagai istri, walaupun ia merasa tertekan, namun yang berubah dalam perilakunya adalah perubahan nafsu makan bahkan terkadang lupa makan akibat stress. Hal itu terungkap dari pernyataan saat wawancara, seperti pada kutipan berikut: “Ada perubahan nafsu makan, biasa lupah makan akibat stress” (Er, 27 thn). Dampak terburuk yang mungkin bisa terjadi akibat dari KDRTpada kasus yang kedua ini, dari hasil wawancara secara mendalam dijelaskan bahwa informan pernah berusaha minggat dari rumah untuk sementara selama 3 minggu, yang kemudian oleh pihak keluarga dan tokoh agama diadakan pertemuan dan musyawarah bersama, yang akhirnya ia sadar dan memilih untuk kembali membina rumah tangga mereka secara utuh dan senantiasa berupaya membahagiakan keluaganya saat ini sebagaimana ajaran agama mereka bahwa perceraian tidak dizinkan. Beriktu ini adalah kutipan hasil wawancara secara mendalam : “..Pernah pergi ke rumah orang tua saya selama kurang lebih 3 minggu, karena saya merasa kurang nyaman/aman tapi setelah dipertemukan kembali oleh keluarga dan tokoh agama ,akhirnya saya sadar dan kembali ke keluarga. maka untuk saat ini saya berupaya menjaga keutuhan rumah tangga dan membahagiakan keluarga saya.. “(Er, 27 thn). Selain kedua kasus di atas juga masalah yang sama pada kasus ketiga, seorang ibu, umur 49 tahun, agama Kristen, sebagai PNS, yang tinggal di Rappocini Makassar, yang sempat diwawancarai secara mendalam tentang peristiwa kekerasan yang telah dialaminya. Dalam pengakuannya ia mulai mengalami perlakuan dari suami dalam bentuk KDRT setelah anak-anak mereka mulai membutuhkan biaya. Bentuk perlakuan yang dialami berupa bentakan dan maki-makian yang akhirnya berujung pemukulan. Hal itu biasanya disamping faktor biaya anak-anak, juga ketika ia bermain judi dan kalah, ketika ia kembali kerumah dan meminta uang jika tidak dipenuhi, pada saat itulah ia melakukan makian dan pemukulan. Berikut ini adalah kutipan hasil wawancara mendalam : “…ya mulai mengalami kekerasan setelah anak-anak mulai membutuhkan biaya banyak, saya biasa dimaki – maki, dipukul dan ditampar…” (Tn, 49 thn). 12
Nomor 2, Edisi 2, Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
“.. Biasanya kalau dia pergi main judi kemudian kalah, pasti dia pulang minta uang.. dan kalau saya tidak kasih pasti dia marah dan memukuli saya …” (Tn, 49 tahun). Pada sisi yang lain mengenai dampak yang ditimbulkan secara psikologis, dalam pengakuan informan yang diungkapkan melalui hasil wawancara mendalam, ia mengaku bahwa tidak merasa tenang menjalankan kehidupan berumah tangga akibat kekhawatiran yang dirasakan, karena menurutnya hal itu bisa berdampak pada kelangsungan kehidupan anak-anaknya, sehingga ia juga mersa tertekan, selain itu ia merasa malu terhadap tetangga akibat perlakuan suaminya. Berikut kutipan wawancaranya: “Iya saya merasa khawatir akan berdampak pada anak-anak, disamping itu saya juga merasa sangat malu sama tetangga ..”(TN, 49 tahun). Dalam hal kesehatan reproduksi dalam pengakuannya bahwa mengenai siklus haid tetap teratur seperti biasanya setiap bulan, disamping masalah berkaitan dengan kehamilan maupun persalinan menurut informan mengatakan bahwa tidak pernah mengalami gangguan berupa terjadinya abortus, melahirkan prematurus, ataupun melahirkan anak dengan berat rendah. Berikut kutipan hasil wawancara bersama informan: “..Haid saya datang tiap bulan dan tidak ada masalah, saya tidak pernah mendapat perlakuan kasar ketika hamil, tidak pernah keguguran, dan tidak pernah berusaha menggugurkan kandungan, anak-anak semua lahir dengan berat diatas 3 kg..”(Tn, 49 Tahun) Ketika ditanya mengenai dampak terhadap terganggunya perilaku informan, menurutnya biasa-biasa saja, hanya ia senantiasa pasrah karena takut kalau nanti perlakuan suaminya semakin menjadi-jadi, walaupun menurutnya jika suaminya kemudian mau meninggalkannya dengan menceraikannya, bagi informan tidak menjadi masalah karena menurutnya dia sebagai seorang PNS mempunyai pegangan untuk membiayai kehidupannya dan anak-anaknya. Berikut kutipan wawancaranya: “.. Ya saya jadinya pasrah saja karena takutnya dia menjadi-jadi, saya sebenarnya tidak terlalu terganggu dengan sikap suami saya, maksudnya kalau mau ditinggal juga tidak masalah kan adaji pegangan/gaji sendiri..”(Tn, 49 tahun). Hal tersebut juga nampak dari hasil observasi yang dilakukan, bahwa secara psikologis terlihat informan dengan ekspresi wajahnya yang tegang, walaupun terlihat ia ingin berusaha untuk menutupinya. Soal kelangsungan rumah tangga sebagai dampak kekerasan yang sering dialami dari pihak suaminya, dari hasil wawancara secara mendalam informan menjelaskan bahwa pada akhirnya ia mengambil sikap pada saat dirinya dipukuli lagi untuk kesekian kalinya sampai bengkak-bengkak pada wajah, ia meminta pendapat pihak keluarganya (kakak) yang kemudian disarankan kedokter dalam hal ini ke rumah sakit Bahayangkara untuk di visum sebagai alat bukti untuk proses lanjut. Oleh informan kemudian meminta persetujuan kakaknya, dan atas persetujuan itu ia menggugat cerai suaminya melalui proses hukum di pengadilan, dan akhirnya ia secara sah cerai pada tanggal 02 April 2004. 13
Nomor 2, Edisi 2, Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
Hasil wawancara secara mendalam di atas, selanjutnya dilakukan “cross matching” melalui wawancara bersama tokoh Agama dan petugas kesehatan yang dianggap mengetahui lebih jauh kondisi sesungguhnya apa yang terjadi terhadap ketiga kasus KDRT yang telah dipaparkan secara detil yang diperoleh melalui hasil wawancara secara mendalam dengan maksud agar dapat diperoleh “klop matching” sebagaimana apa yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Hasil “Indepth interview” diperoleh penjelasan dari petugas kesehatan bahwa KDRT memang masih sering terjadi bahkan cenderung meningkat dari tahun ketahun, menurutnya Rumah sakit Bhayangkara yang merupakan rumah sakit yang memberi pelayanan bagi korban kekerasan. Mereka yang datang dalam bentuk kekerasan fisik, benda tumpul, dengan tangan, luka memar atau terbuka, bahkan sampai patah tulang, sering dikunjungi oleh korban kekerasan dalam rumah tangga dengan kepentingan Ingin mendapat keterangan visum dari petugas nantinya sebagai bukti untuk proses perkara selanjutnya. Hasil wawancara yang diperoleh dapat dilihat pada kutipan berikut: “.. Rumah sakit Bhayangkara merupakan rumah sakit yang memberi pelayanan bagi korban kekerasan tentu sering di kunjungi oleh korban kekerasan dalam rumah tangga dengan kepentingan Ingin mendapat keterangan visum dari petugas nantinya sebagai bukti untuk proses perkara selanjutnya. Dan pada tahun 2009 jumlah korban kekerasan dalam rumah tangga yang berkunjung kesini baik yg datang diantar oleh keluarga maupun oleh petugas kepolisian sebanyak 71 kasus..” (Petugas R.S) . “…Jenis kekerasan adalah kekerasan fisik/pemukulan dengan benda tumpul / tangan, jenis Luka memar dan terbuka bahkan ada yang patah tulang rahang..” (Petugas R.S) . Hal senada juga diungkapkan oleh tokoh masyarakat, bahwa sebagai tokoh masyarakat dirinya sering menerima laporan dari masyarakat atau tetangganya tentang adanya kekerasan dalam rumah tangga, dan yang paling banyak adalah kekerasan yang dilakukan pihak suami, yang menurutnya masalah tersebut adalah masalah yang tidak wajar karena hanya dipicu oleh hal-hal yang sepele yang sebenarnya masih dapat diselesaikan secara kekeluargaan, seperti pengaruh menuman beralkohol, dan ada yang menyangkut masalah judi. Berikt ini adalah kutipan hasil wawancara bersama tokoh masyarakat. “…. Selama ini biasa saya mendapat laporan dari masyarakat atau tetangga terdekat tentang kekerasan dalam rumah tangga dan yang paling banyak adalah kekerasan yang dilakukan sang suami terhadap istri ……Penyebabnya hanya masalah sepeleh yang sebenarnya tidak wajar karena hanya terpicu oleh hal-hal dan masalah sepele yang masih dapat diselesaikan secara kekeluargaan, antara lain sering terjadi akibat karena pengaruh minum minuman beralkohol ada juga karena masalah judi…”(Mr, Toma). Bagi informan dari petugas kesehatan mengenai dampak psikologis dari KDRT, menurutnya bahwa ketika berbicara tentang dampak KDRT itu terhadap fakktor psikologis korban memang ada yang sempat stress mengeluh tidak bahagia dalam rumah tangga, merasa tertekan, sehingga tidak jarang penanganannya berlanjut ke pihak psikiater. Mereka pada umumnya mengeluh sangat ketakutan berulangnya pristiwa tesebut, dan merasa malu terhadap keluarganya, bahkan sering ada yang tidak ingin pulang ke rumahnya lagi. 14
Nomor 2, Edisi 2, Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
Ungkapan serupa juga di sampaikan oleh tokoh masyarakat dalam wawancaranya bahwa memang diantara mereka jika ada yang datang berkonsultasi, mengalami psikis atau stress yang akhirnya pergi meninggalkan rumah mereka. Hal itu diungkapkan melalui wawancara yang dikutip berikut ini: “…Memang ada yang sempat stress , mengeluh tidak bahagia dalam rumah tangga, penanganannya dikonsulkan ke dokter psikiater di rumah sakit sehingga tidak ada yang sampai berlanjut ke gangguan jiwa yang parah, pada umumnya mereka sangat ketakutan jangan-jangan berulang, mereka mengeluh sangat malu kepada keluarga sehingga ada yang tidak ingin pulang kerumahnya lagi rasa percaya diri dan kemampuan untuk bertindak sangat terbatas sehingga ada rasa tertekan…”(Petugas R.S). “… Ya, ada yang mengalami gangguan psikis atau stress yang terjadi dengan pergi meninggalkan rumah hingga 3 hari sampai 3 minggu. …”(Mr, Toma). Dalam hal gangguan kesehatan reproduksi akibat KDRT ini, oleh kedua informan, baik dari pihak rumah sakit, maupun pihak tokoh masyaraat, keduanya mengatakan bahwa selama ini tidak ada laporan tentang adanya yang diantara mereka mengalami gangguan terhadap kesehatan reproduksinya. Baik abortus, kelahiran prematur, atau kelainan dalam hubungan seksual, dan kelahiran anak dengan berat rendah, tidak didapatkan laporan. Pernyataan ini sedikit berbeda dengan ungkapan informan dari kasus, bahwa ada diantara mereka yang mengaku mengalami gangguan haid yang mereka duga terkait dengan kekerasan tersebut. Berikut adalah hasil wawancara kedua informan: “…Untuk semua kasus belum ada yg teridentifikasi mengalami gangguan, menstruasi, keguguran/mengugurkan dan melahirkan diusia kehamilan mudah. Melahirhan dengan anak berat badan kurang dari 2500 gr juga tidak ada…” (Petugas R.S dan Toma). Berlanjut tentang dampak dari KDRT yang didentifikasi melalui wawancara bersama informan dari petugas kesehatan demikian pula dari tokoh masyarakat tentang adanya gangguan perilaku korban, menurut kedua informan ini memberikan pernyataan yang sedikit berbeda. Bagi pihak petugas rumah sakit mengungkapkan bahwa selama ini tidak teridentifikai adanya gangguan terhadap tingkah laku korban KDRT. Berikut kutipan wawancaranya yang diperoleh: “… Kebiasaan merokok, minum alkohol dan perubahan pola makan juga tidak teridentifikasi…”(Petugas R.S) Sedikit berbeda dengan pernyataan pihak informan dari tokoh masyarakat yang mengatakan bahwa tentang adanya perubahan perilaku korban menyatakan hal tersebut ada, namun jika dipersentasekan jumlahnya sangat kecil, ada yang semacam melampiaskan stressnya saja karena tidak sampai berkelanjutan, demikian pula merokok, itu ada namun tidak berkelanjutan. Berikut ini adalah hasil wawancara yang dikutip: “… Ada, tapi itu kalo dipersentasekan kecil sekali, ada yang semacam melampiaskan stresnya saja karena tidak sampai berkelanjutan, merokok juga tidak berkelanjutan…”(Mr, Toma).
15
Nomor 2, Edisi 2, Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
Dampak akhir suatu KDRT biasanya berakhir dengan perceraian, setalah dilakukan “klop matching” dengan petugas maupun pihak tokoh masyarakat melalui wawancara mendalam secara terpisah tentang riwayat kelanjutan perkawinan mereka dalam kehidupan berumah tangga oleh pihak informan dari petugas kesehatan tidak mendapatkan informasi mengenai perceraian itu, mereka menyatakan bahwa korban dari KDRT ketika mencari penyelesaian lewat rumah sakit, menurut mereka hal perceraian belum masuk dalam pembicaraannya. Pada umumnya mereka belum membicarakan status rumah tangga mereka tapi mengatakan bahwa semua harus diproses lewat pihak keamanan. Sementara oleh pihak informan dari tokoh masyarakat mengungkapkan bahwa pihak korban KDRT diantara mereka ada yang berpisah rumah untuk sementara, namun tidak jarang diantara mereka ada yang sampai menempuh jalan cerai melalui proses pengadilan. Berikut ini adalah hasil wawancara yang dikutip : “… Selama ini ada yang berpisah rumah untuk sementara, ada juga yang bercerai sampai melalui proses pengadilan…”(Mr, Toma). Apa yang ditempuh pihak korban ataupun pihak petugas termasuk tokoh masyarakat dalam mencari penyelesaian permasalahan KDRT sehingga tidak sampai menjurus sampai ketingkat yang lebih berat adalah dengan melalui jalan mempererat silaturrahmi melalui pengajian bagi pihak yang beragama Islam, sedangkan yang beragama nasrani diikutkan dalam kebaktian rumah tangga. Berikut kutipan hasil wawancara: “… Cara kami mengatasi itu adalah memberikan petuah/nasehat secara terpisah, kemudian setelah itu dipertemukan untuk didamaikan…. Yang kami lakukan selama ini adalah melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan, misalnya bagi yang muslim diikutkan dalam kegiatan pengajian, dan yang nasrani diikutkan dalam kebaktian rumah tangga…”(Mr, Toma). IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Hasil Penelitian disimpulkan bahwa : 1. Terjadinya masalah haid yang terlambat bukan merupakan akibat langsung dari kekerasan fisik, melainkan akaibat kekerasan fisik berdampak terhadap terjadinya stress yang mengakibatkan haid terlambat. 2. KDRT tidak selamanya menimbulkan abortus. Hal itu terlihat bahwa salah saorang dari kasus penelitian ini mendapat penganiayaan saat hamil 6 bulan, namun akhirnya melahirkan normal. 3. Dampak kekerasan dalam rumah tangga mengakibatkan terjadinya gangguan perilaku menyimpang terhadap korban KDRT berupa pasrah untuk berbuat, tidak berdaya, dan ragu-ragu dalam mengambil keputusan. 4. Dampak psikis akibat KDRT adalah terjadinya rasa tertekan, stress berkepanjangan, rasa malu, dan rasa rendah diri 5. Akibat akhir dari KDRT adalah terjadinya perceraian. Dua diantara tiga informan akhirnya memilih bercerai lewat proses pengadilan. B. Saran Berdasar pada permasalahan yang diangkat dan tujuan yang ingin dicapai, akhirnya diperoleh hasil, serta kesimpulan penelitian maka disarankan : 16
Nomor 2, Edisi 2, Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
1. Perlunya para istri untuk dapat secara assertif kepada orang lain, dan berani berkata “tidak” pada pasangan apabila sesuatu hal tidak berkenan dihatinya sebagai pribadi, maupun kelangsungan rumah tangganya sebagai anggota keluarga. 2. Perlunya bagi para pelaku kekerasan untuk memahami jika anak dan istri adalah tanggung jawabnya sehingga masalah-masalah yang timbul dalam rumah tangga dapat teratasi. 3. Perlu dibangun kerangka stretegi advokasi untuk mendorong terjadinya produk-produk kebijakan yang memperhatikan hak korban termasuk penanganan masalah kesehatan terutama penanganan masalah kesehatan reproduksi yang dialaminya. 4. Perlu adanya aturan hukum berupa sanksi bagi para pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga sesuai derajat kekerasan yang dilakukan, sehingga tindakan yang bersifat kesewenang-wenangan dalam rumah tangga dapat dicegah. 5. Perlu adanya dukungan unsur terkait, termasuk masyarakat secara lintas sektoral dalam rangka pelaksanaan Undang Undang Penghapusan terhadap Kekerasan Dalam Rumah tangga secara intensif dan berkesinambungan. Daftar Pustaka Alexander Jo., Roth Carolin, Levi Valerie, 2006. Praktik Kebidanan Isu, Edisi Bahasa Indonesia. EGC. Jakarta.
Riset dan
Anonim, 2005. Angka Perceraian di Sulawesi Selatan Memperihatinkan. Jurnal Keluarga. Informasi KB dan Kependudukan Jakarta. Bambang Samekto, 2008. Millenium Development Kependudukan Indonesia. Jurnal Keluarga Kependudukan Ed. Khusus Jakarta.
Goals (MDGS) Informasi KB
dan dan
Bambang. E.S, 2004, KDRT Masih Dianggap Kasus Privat. http://www. Jurnal Perempuan. Com/ ONLINE/ diakses 29 Agustus 2010. DEPKES RI, 2002, Informasi Kesehatan Reproduksi, Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan Jakarta. Elli N.,dkk.,2002, Panduan Pelatihan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta. Faiz. P.M, 2008, Perlindungan terhadap perempuan melalui Undang-Undang Kkekerasan Dalam Rumah Tangga, Jurnal Hukum/ONLINE/ diakses 01 September 2010. HABSARI. R dan HENDARWAN.H, 2005, Kajian Dampak Kekerasan Terhadap Status kesehatan Perempuan di Propinsi DKI Jakarta dan Propinsi di Yogyakarta. Jurnal Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2006. 17
Nomor 2, Edisi 2, Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
Harian Kompas, 2003, Swara, Membicarakan Jaminan Ketersediaan Sarana Kesehatan Reproduksi. Makassar. Hasanah M, et. Al, 2009, Studi Kualitatif Mengenai kekerasan dalam Rumah Tangga di LBH Apik Semarang. Jurnal Hasil penelitian. ONLINE. Diakses tanggal 20 Agustus 2010. Hayati, E.N. (2000). Menggugat harmoni. Yogyakarta: Kerjasama Rifka Annisa Women’s Crisis Center Dengan Ford Pondation. Jurnal Hasil Penelitian Kualitatif Kekerasan dalam Rumah Tangga Psikologi Universitas Sultan Agung. Heise L.L., et al., 1999. Violence against women, Population Report, Vol. XXVII, Number 4, Desember, 1999. Hidayat, A.Aziz Alimul, 2007. Metode penelitian kebidanan & teknik analis data. Salemba Medika. Jakarta. Israwati, et. al. 2006, Buku Sumber Untuk Advokasi Keluarg Berencana, Kesehatan Reproduksi, Gender, dan pengembangan Kependudukan, Cetakan Ke Empat (Ed.Revisi), Hak Cipta BKKBN dan UNFPA. Jakarta. Julianti Devi, S. Kep,2003. Manajemen stres ( stres management) National safety Council, Edisi Bahasa Indonesia. EGC. Jakarta. Jurnal Keluarga. 2008. Informasi KB dan Kependudukan. Jakarta. Kalibonso R.S, 2010. Penegakan Hukum Kejahatan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jurnal Media Informasi Hukum dan Peraturan Perundang undangan. (ONLINE, diakses tanggal 29 Agustus 2010). Komisi Keluarga K.,W.,I., bekerjasama dengan Keluarga Berencan Nasional dan UNFA. 2007. Membangun Keluarga Sejahtera dan Bertanggung Jawab Berdasarkan Perspektif Agama Katolik. Jakarta. Laporan Kepolisian Polwiltabes Sat Reskrim Unit PPA. 2007. Makassar. Laporan kepolisian Resor Kota Makassar Barat Sat Reskrim Unit PPA., 2007. Makassar. Laporan Rumah Sakit Bhayangkara Unit PPT. 2007, Makassar. Maleong L.J, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya – Bandung. Manuaba, Ida Bagus Gde.1999. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita, Jakarta.
18
Nomor 2, Edisi 2, Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
Mira Suminar, dkk, 2004. Akibat Kekerasan terhadap 6 orang Isttri pada Aspek Fisik, Psikologis, Sosial, dan Ekonomi yang Berdomisili di wilayah Jakarta dan Bandung Tahun 2004. Indonesian Journal of Public Health. Jakarta. Neni Utami Adiningsih, 2007. Manifestasi Ketidak adilan dan Ketidaksetaraan Gender. Jurnal Media Informasi dari Kita Untuk Kita Nomor: 5/IV/2005 Jakarta. New page 1, Pengetahuan dan Pemahaman Responden tentangKDRT (www.indomedia.com/poskup/2007/11/22), diakses 27 mei 2008. Ngatimin H. M. Rusli, 2005. Ilmu Perilaku Kesehatan Sari dan Aplikasi, Yayasan “PK-3” Makassar. Ngatimin H. M. Rusli, 2007. Disability Oriented Approach, Yayasan “PK-3” Makassar. Notoatmojo,S. 2003.Pengantar Kesehatan.Yogyakarta.
Pendidikan
Kesehatan
dan
Ilmu
Prilaku
Profil Potensi dan Tingkat Pembangembangan Desa/kelurahan Kampung Buyang Kecamatan Mariso,Makassar, Sul-Sel, 2007. Siswanto S, 2006. Kesehatan Mental: Konsep, Cakupan, dan Perkembangannya, Andi Offset, Yogyakarta. Sugiyono, 2007, Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta. Bandung. Surbakti. N, 2006. Problematikan Penegakan Hukum UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga.Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 9, No.1. Susilowati.P, 2008. Jurnal Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Isteri. http://www. Scribd.com/ ONLINE/ diakses tanggal 29 Agustus 2010. Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam rumah Tangga.
19
Nomor 2, Edisi 2, Juli – Desember 2010
VOL. I NO. 1 DESEMBER 2008
ISSN 1979-8091
HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DENGAN PERILAKU REMAJA PUTRI KELAS VIII TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DI SMP TA’MIRIYAH SURABAYA Intim Cahyono, Dhiana Setyorini, Sri Hardi Wuryaningsih Prodi Keperawatan Sutopo, Prodi Keperawatan Sutomo
ABSTRACT A health reproductive phase is complicated for teenagers because teens is a period that a teenager has a fast growth of physical, psychology, and social. Teenagers are not still able to use well the physical and psychological functions. Therefore, they always tend to be easily interested at certain things. Half of teenager group is always confusion to understand what they have to do and don’t. this confusion, finally, will cause negative behavior on teenagers health reproduction, especially for female teenagers. The research aims to know a correlation between the female teenagers knowledge and behaviors on their health reproduction. The research design use an analysis with a cross sectional approach. The independent variable is female teenagers knowledge while the dependent variable is their behaviors on health reproductions. All female teenagers of class VIII SMP Ta’miriyah are the population with 100 respondents are the sample by using a proportional simple random sampling. The method of collecting data is questionnaire which is analysed by using a statistical test of rank spearman correlation. Based on the result of the statistical test, rs = 0,250 , p = 0,012 mean p < α, Ho is rejected and there is a correlation between knowledge and health reproductive behavior of female teenagers in class VIII SMP Ta’miriyah Surabaya. Knowledge or cognitive is the main domain to form someone’s behavior. Consequently, knowledge is the most influencing to taken a decision. Key words : knowledge, behavior, health reproductive of female teenagers
Alamat Korespondensi : Jl. Parang kusumo no 1 Surabaya, Telp. 031-3550163
PENDAHULUAN Remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. di Indonesia menurut Biro Pusat Statistik (1999) jumlah kelompok umur 10-19 tahun sekitar 15% populasi (Soetjiningsih, 2004). Masa remaja merupakan masa perkembangan menuju kematangan. Dikenal pula sebagai masa terjadinya berbagai perubahan baik perubahan jasmani, seksualitas, pikiran, kedewasaan, maupun sosial. Semua itu merupakan proses perpindahan seseorang dari masa anak – anak (Rozak, 2006). Kesehatan reproduksi merupakan masalah yang pelik bagi remaja. Pada masa remaja mengalami perkembangan yang pesat baik fisik, psikis maupun sosial yang berdampak pada perilaku. Perkembangan fisik ditandai dengan semakin matang dan mulai berfungsinya organ reproduksinya. Perubahan psikis masa pubertas adalah lebih perhatian terhadap diri sendiri dan juga ingin diperhatikan oleh lawan jenisnya, dengan menjaga penampilanya. Perubahan sosial yang dialaminya adalah remaja akan lebih dekat dengan teman sebayanya dibandingkan dengan orang tuanya sendiri. Remaja lebih percaya pada teman– temannya, termasuk informasi tentang kesehatan reproduksi. Padahal informasi seperti itu belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya (Tito, 2005). Pengaruh buruk baik itu dari lingkungan pergaulan, majalah, dan lainnya pada remaja dapat
JURNAL KEPERAWATAN
berupa informasi yang salah tentang hubungan seksual dan cara menjaga kesehatan reproduksi. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya ISR (infeksi saluran reproduksi) dan mendorong remaja untuk berperilaku seksual aktif (melakukan hubungan intim sebelum menikah). Akibatnya remaja beresiko kehamilan diluar nikah, aborsi, penyakit menular seksual (PMS), HIV atau AIDS. Ketidaktahuan remaja tentang kesehatan reproduksi dan cara menjaga kesehatan reproduksi membuat remaja ingin melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan konsep sehat. Hubungan seksual di luar nikah tanpa rasa berdosa sering dilakukan remaja. Hal ini mengakibatkan kehamilan yang akhirnya menempuh jalur aborsi tanpa memperhitungkan bahaya yang mengancam (Rahmawati, 2006). Menurut survei yang dilakukan Youth Center Pilar PKBI Jawa Tengah 2004 di Semarang mengungkapkan bahwa perilaku remaja yang berpacaran juga tergambar dari survei yaitu saling ngobrol 100 %, berpegangan tangan 93,3 %, mencium pipi /kening 84,6 %, berciuman bibir 60,9 %, mencium leher 36,1 % saling meraba (payudara dan kelamin) 25 %, dan melakukan hubungan seks 7,6 %. Hubungan seks yang dilakukan dengan pasangan dengan : 1)pacar 78,4 %, 2)teman 10,3 %, dan 3) pekerja seks 9,3 %. Dengan alasan melakukan hubungan seks adalah coba-coba 15,5 %, sebagai ungkapan rasa cinta 43,3 %, kebutuhan biologis 29,9 %. Sedangkan tempat untuk
8
VOL. I NO. 1 DESEMBER 2008 melakukan hubungan seks adalah rumah sendiri/pacar 30 %, tempat kos /kontrak 32 %, hotel 28 %, dan lainnya 9 % (Farid, 2006). Pengetahuan dan kemampuan merawat organ reproduksi/seksual merupakan hal yang sangat penting dalam kesehatan reproduksi. Kalau menstruasi, bagaimana menjaga agar organ reproduksinya tetap bersih dan sehat? Bagaimana cara menggunakan pembalut dengan baik? Berapa kali harus diganti dalam sehari? Bagaimana memilih pakaian dalam yang sehat? Dan berbagai macam hal praktis yang sederhana akan tetapi sangat penting diketahui ini jarang kita dapatkan dari ortu atau guru di sekolah (Utamadi, 2001). Remaja putri yang paling besar menanggung resiko reproduksi remaja. Hal ini disebabkan falsafah gender di masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai sub ordinasi, misalnya dalam kasus kehamilan pada remaja, dibandingkan remaja laki-laki remaja perempuan lebih sering dicemooh, dikucilkan dan dicap atau stigma lainnya oleh masyarakat (BKKBN, 2005). Kesehatan reproduksi remaja tidak hanya masalah seksual saja tetapi juga menyangkut segala aspek tentang organ reproduksinya. Menyadari hal ini, menurut Nyi Ageng Serang (2006) bahwa penyebaran informasi tentang kesehatan reproduksi telah cukup banyak dilakukan oleh instansi pemerintah terkait dan LSM melalui sekolah, media massa, dan media lainnya seperti internet perlu dimanfaatkan bagi remaja, orang tua dan masyarakat dengan sikap lebih terbuka terhadap informasi yang ada. Orang tua memegang peranan paling penting dalam memberikan dan ”meluruskan” informasi kepada remaja. Diskusi tentang kesehatan reproduksi dan dampak negatif perilaku beresiko perlu dilakukan secara dua arah. Untuk itu, selain remaja sendiri, para orang tua pun perlu menambah pengetahuan dan informasi secara lebih lanjut tentang kesehatan reproduksi. Dalam memberikan informasi dan berdiskusi, orang tua juga dapat menanamkan nilai moral dan agama kepada remaja. Informasi kesehatan reproduksi dan nilai moral-agama tersebut dapat dikemas dalam suasana yang terbuka tapi terarah (Farid, 2006). Berdasarkan hal tersebut penelitian ini bertujuan mencari hubungan antara pengetahuan dengan perilaku remaja putri tentang kesehatan reproduksi. Pengetahuan adalah hasil dari tahu setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba dimana sebagian besar diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003). Perilaku adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang diamati langsung maupun yang tidak diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003). Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku menurut Indrawijaya (2000) antara lain: Unsur Biologi, Unsur Pengalaman, Sintesa,
JURNAL KEPERAWATAN
ISSN 1979-8091 Lingkungan Kebudayaan, Kelas Sosial. Green menganalisis perilaku manusia berangkat dari tingkat kesehatan, kesehatan seseorang dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu: faktor perilaku (Behaviour Causes) dan faktor diluar perilaku (non Behaviour Cause). Proses Adopsi Perilaku Rogers (1974) terjadi proses yang berurutan yaitu: Awarenes (kesadaran), Interest,
Evaluation, Trial, Adoption
Kebutuhan remaja dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu kebutuhan fisik, mental, dan rohaniah. Sedangkan faktor yang mempengaruhi proses perkembangan seorang remaja dibagi 2 kelompok utama: Faktor endogen dan eksogen. Faktor eksogen terdiri berbagai komponen lingkungan yaitu: 1)keluarga, 2)sosial, 3)geografis, dan fasilitas-fasilitas yang ada dalam lingkungan seperti: makanan dan kesempatan atau perangsangan belajar (Gunarsa, 2003). Pengetahuan dasar yang perlu dimiliki agar mempunyai kesehatan reproduksi yang baik adalah: Pengenalan sistem dan fungsi alat reproduksi. Pengendalian perilaku, resiko berhubungan seks yang tidak terlindung, Penundaan hubungan seksual dan cara penggunaan kontrasepsi, Pengaruh lingkungan, sosial dan media terhadap perilaku remaja, Pelecehan seksual dan pornografi kaitannya dengan perilaku seksual. Perilaku yang berisiko tinggi terhadap penularan PMS, termasuk HIV atau AIDS: Sering berganti-ganti pasangan seksual, Pasangan seksual mempunyai pasangan ganda, Terus melakukan hubungan seksual, walaupun mempunyai keluhan PMS, Tidak memakai kondom saat melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berisiko, Pemakaian jarum suntik bersama-sama secara bergantian. Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut sistem dan fungsi reproduksi yang dimiliki oleh remaja. Pengertian sehat disini tidak semata-mata berarti bebas penyakit atau bebas dari kecacatan namun juga sehat secara mental serta sosial kultural. Remaja perlu mengetahui kesehatan reproduksi agar remaja memiliki informasi yang benar mengenai sistem dan fungsi reproduksi serta berbagai faktor yang ada di sekitarnya. Dengan infomasi yang benar tersebut remaja diharapkan memiliki sikap dan tingkah laku yang bertanggung jawab mengenai proses reproduksinya sendiri. Disamping itu dengan mengetahui berbagai aspek kesehatan reproduksi maka kita akan dapat melakukan berbagai tindakan pencegahan atau sedini mungkin melakukan tindakan pengobatan bila memiliki permasalahan dengan sistem dan fungsi alat reproduksi. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan jenis analitik dengan pendekatan cross sectional.Populasi penelitian ini adalah siswa putri kelas VIII di SMP
9
VOL. I NO. 1 DESEMBER 2008
ISSN 1979-8091
Ta’miriyah Surabaya yang berjumlah 131 orang, dengan alasan bahwa siswa remaja putri kelas VIII lebih dewasa dan berpengalaman dalam hal kesehatan reproduksi Sampel siswa putri yang terpilih menjadi sampel sesuai dengan kriteria inklusi. Jumlah sampel yang diperlukan pada penelitian ini adalah sebanyak 100 responden. Teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan Proporsional Simple Random Sampling dengan cara di Acak. Variabel independen adalah pengetahuan remaja putri, sedangkan variabel dependen adalah perilaku remaja putri tentang kesehatan reproduksi. Untuk mengetahui adanya hubungan antara variabel independen dan dependen dilakukan uji korelasi
rank Spearman.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden 1. Usia responden: remaja putri yang berusia 13 tahun sebanyak 50 responden (50 %), dan yang berusia 12 dan 15 tahun masing-masing sebanyak 2 responden (2 %) 2. Informasi tentang kesehatan reproduksi menunjukkan semua responden (100 %) sudah mendapat informasi tentang kesehatan reproduksi remaja 3.Sumber Informasi tentang Kesehatan reproduksi yang didapatkan oleh remaja putri sebanyak 33 responden (33 %) berasal dari orang tua dan sebanyak 19 responden (19 %) berasal dari guru Pengetahuan Remaja kesehatan reproduksi
Putri
tentang
Berdasarkan tabel 1 didapatkan bahwa responden yang memiliki pengetahuan kurang tentang kesehatan reproduksi sebanyak 46 responden (46 %) dan yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 31 responden (31 %) Kondisi tersebut sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003) bahwa pengetahuan merupakan hasil tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan pengideraan terhadap suatu obyek tertentu. Dengan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, maka seseorang dapat lebih memahami dirinya sendiri sehingga mampu menjaga kesehatannya dengan lebih baik dan mengambil keputusan terbaik untuk hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksinya. Hasil penelitian didapatkan bahwa proporsi terbanyak adalah siswi yang berusia 13 tahun dengan jumlah 50 orang (50 %). Menurut teori Hurlock (1997) semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang dijumpai dan
JURNAL KEPERAWATAN
semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya. Tabel 1 Pengetahuan responden tentang kesehatan reproduksi pada remaja putri di SMP Ta’miriyah Surabaya bulan April 2008 Pengetahuan Frekuensi Persentasi Kurang 46 46 % Cukup 23 23 % Baik 31 31 % Total 100 100 % Selain itu, sumber informasi yang diperoleh oleh remaja paling banyak mereka dapatkan dari orang tua dengan jumlah sebanyak 33 orang (33 %). Menurut Notoatmodjo (2003) bahwa pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: tingkat pendidikan, pekerjaan, umur, pengalaman, dan pemberian informasi. Adapun penyebab pengetahuan tinggi pada remaja tentang kesehatan reproduksi dikarenakan siswi sudah mendapat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi melalui pelajaran biologi. Faktor penyebab kurangnya pengetahuan diantaranya karena rendahnya arus informasi apalagi tentang kesehatan reproduksi dan remaja juga masih belum bisa menyaring kebenaran informasi dari berbagai sumber yang mereka dapat. Selain itu, kurangnya perhatian dari orang tua dan guru untuk memberikan informasi yang akurat tentang kesehatan reproduksi kepada remaja. Adanya anggapan bahwa pemberian pengetahuan tentang kesehatan reproduksi identik dengan pendidikan seks yang menurut mereka merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan apalagi disekolah yang bernuansa agama (Islam) membuat remaja akhirnya memiliki pengetahuan yang kurang tentang kesehatan reproduksi. Hal ini dibuktikan dengan pendapat Hurlock (1997) dalam bukunya tentang psikologi perkembangan, bahwa orang tua kurang memiliki pengetahuan/terhambat oleh sopan santun dan rasa malu sehingga anak tidak di persiapkan untuk menghadapi masa pubernya. Kurangnya pengetahuan kesehatan reproduksi dikalangan remaja membuat banyak pihak prihatin. Karena itu perlu diadakannya penyuluhan agar remaja memiliki pengetahuan yang baik tentang pendidikan kesehatan reproduksi meliputi definisi remaja, definisi kesehatan reproduksi, pentingnya kesehatan reproduksi dan akibat bahaya pergaulan bebas seperti kehamilan diluar nikah, aborsi, PMS dan HIV (AIDS). Hal ini akan membantu remaja terhindar dari perbuatan yang merugikan kesehatan reproduksinya sendiri. Perilaku remaja putri kelas VIII terhadap kesehatan reproduksi di SMP Ta’miriyah Berdasarkan tabel 2 didapatkan bahwa responden yang memiliki perilaku positif tentang kesehatan reproduksi sebanyak 90 responden (90
10
VOL. I NO. 1 DESEMBER 2008
ISSN 1979-8091
%) dan responden yang memiliki perilaku negatif sebanyak 10 responden (10 %). Tabel
2 Responden berdasarkan perilaku terhadap kesehatan reproduksi pada remaja putri kelas VIII di SMP Ta’miriyah Surabaya bulan April 2008
Perilaku
Frekuensi
Presentase
Negatif Positif Total
10 90 100
10 % 90 % 100 %
Dari 100 siswi didapatkan bahwa perilaku negatif remaja putri dalam menjaga kesehatan reproduksinya antara lain: 1)berciuman mulut dengan pacar sebanyak 12 siswi (12 %),; 2)berhubungan seksual dengan pacar sebanyak 0 siswi (0 %); 3)menggunakan terlalu sering sabun antiseptik atau cairan pewangi untuk menghilangkan bau pada alat kelamin sebanyak 40 siswi (40 %); 4)menggunakan air kotor (berbau atau tidak jernih) untuk membersihkan alat kelamin sebanyak 5 siswi (5 %); 5)menggunakan bedak deodoran pada alat kelamin sebanyak 3 siswi (3 %); 6)menyentuh atau menggosok atau meraba dengan menggunakan tangan atau benda ke alat kelamin untuk mendapat kepuasan seksual (masturbasi) sebanyak 4 siswi (4 %); 7)menggunakan celana dalam yang ketat sebanyak 40 siswi (40 %); 8)menggunakan celana dalam milik orang lain sebanyak 2 siswi (2 %); 8)mengganti celana dalam minimal 2 kali sehari sebanyak 68 siswi (68 %); 9)mengganti pembalut 3 kali sehari sebanyak 70 siswi (70 %); 10)mengganti bra minimal 2 kali sehari sebanyak 61 siswi (61 %). Mantra menyebutkan seperti dikutip oleh Notoatmodjo (2003) bahwa perilaku kesehatan merupakan segala bentuk pengalaman interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya berhubungan dengan kesehatan. Perilaku remaja putri terhadap kesehatan reproduksi meliputi bagaimana cara para remaja putri untuk menjaga kesehatan reproduksi agar terhindar dari penyakit infeksi atau akibat lain yang akan sangat merugikan diri kita sendiri terutama/khususnya untuk remaja putri. Sebagian kelompok remaja sering mengalami kebingungan untuk memahami apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. kebingungan inilah yang akhirnya akan menimbulkan perilaku negatif terhadap kesehatan reproduksinya di kalangan remaja. Pada remaja terjadi perkembangan seksual yang dapat memicu dorongan seks. Remaja masih belum mampu menguasai fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya. Sehingga memiliki kecenderungan sifat selalu ingin tahu, coba-coba serta mudah tertarik terhadap hal-hal yang
JURNAL KEPERAWATAN
berhubungan dengan perilaku seksual. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dengan berubahnya pola pergaulan remaja yang semakin bebas dan tidak bertanggung jawab. Hal ini memungkinkan mereka melakukan perilaku negatif tanpa didasari pengetahuan yang lengkap dan benar tentang kesehatan reproduksi. Perilaku negatif terhadap kesehatan reproduksi pada penelitian ini dikarenakan responden memiliki pengetahuan yang kurang tentang kesehatan reproduksi, kurangnya perhatian orang tua, tekanan dari teman-temannya, kurangnya mendapat penyuluhan dan lainnya. Indrawijaya (2000) menyebutkan faktor yang mempengaruhi perilaku antara lain unsur biologis, unsur pengalaman, sintesa, lingkungan kebudayaan dan kelas sosial. Kurangnya informasi yang di peroleh remaja dapat mengakibatkan munculnya perilaku yang tidak baik. Untuk itu, perlu diadakannya suatu penyuluhan, seminar ataupun diskusi secara bersama dan memberikan informasi yang di perlukan oleh remaja tentang bagaimana cara menjaga kesehatan reproduksi. Hal ini bertujuan agar perilaku remaja terhadap kesehatan reproduksi lebih baik dari sebelumnya. Selain itu, perlunya pendekatan terhadap orang tua terutama seorang iibu yang biasanya lebih dekat dengan remaja putri untuk mengarahkan dan membimbing anak dalam mempersiapkan masa pubernya supaya memiliki perilaku yang sesuai. Hubungan antara pengetahuan dan perilaku tentang kesehatan reproduksi Berdasarkan tabel 3 hasil tabulasi silang antara pengetahuan dan perilaku remaja di ketahui bahwa dari 100 siswi terdapat 46 orang yang memiliki pengetahuan kurang yang memiliki perilaku positif sebanyak 39 orang (39 %) dan yang memiliki perilaku negatif sebanyak 7 orang (7 %). Terdapat 23 orang yang memiliki pengetahuan cukup yang memiliki perilaku positif sebanyak 20 orang (20 %) dan yang memiliki perilaku negatif sebanyak 3 orang (3 %), dan dari 31 orang yang memiliki pengetahuan baik yang memiliki perilaku positif sebanyak 31 orang (31 %) dan yang memiliki perilaku negatif sebanyak 0 orang (0 %). Hasil uji Korelasi Rank Spearman didapatkan bahwa rs = 0.250, p = 0.012 (p < 0.05) yang menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan dan perilaku tentang kesehatan reproduksi pada remaja putri kelas VIII di SMP Ta’miriyah Surabaya Adanya hubungan antara pengetahuan dan perilaku tentang kesehatan reproduksi seharusnya dianggap penting untuk memberikan suatu penyuluhan atau konsultasi khusus remaja. Pemberian memberikan informasi yang akurat tentang pendidikan kesehatan reproduksi agar dapat mengurangi perilaku negatif remaja (hamil di
11
VOL. I NO. 1 DESEMBER 2008
ISSN 1979-8091
luar nikah, seks yang tidak terlindung, dan lain-lain) seperti yang terjadi saat ini. Hal ini seperti yang dikemukakan BKKBN (2004) pentingnya memberikan pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja sudah seharusnya di pahami karena usia remaja merupakan masa transisi, masa terjadinya perubahan fisik/emosional. Secara teori seperti yang diungkapkan oleh Agus Dariyo (2004), bahwa pengetahuan dan sikap merupakan predisposisi (penentu) yang memunculkan adanya perilaku yang sesuai. Sikap tumbuh diawali dari pengetahuan yang dipersepsikan sebagai suatu hal yang baik (positif) maupun tidak baik (negatif). Selanjutnya diinternalisasikan ke dalam dirinya, dari apa yang diketahui tersebut akan mempengaruhi pada perilakunya. Tabel 3 Hubungan antara pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan perilaku remaja kelas VIII Pengetahuan
Perilaku
Negatif Positif Kurang 7 39 Cukup 3 20 Baik 0 31 Uji Korelasi Rank Spearman : Rs = 0,25 p = 0,012
Total 46 23 31
Notoatmodjo (2003), menyebutkan pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Seseorang yang memiliki pengetahuan baik terhadap suatu hal, maka ia cenderung akan mengambil keputusan yang lebih tepat berkaitan dengan masalah tersebut dibandingkan dengan mereka yang pengetahuannya rendah. Seringkali dalam kehidupan realitasnya, ada banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Misalnya, lingkungan sosial, kebudayaan, informasi yang mereka dapat, serta pengalaman, Hal ini membuat apa yang diketahui seseorang seringkali tidak sesuai dengan apa yang muncul dalam perilakunya. Kemungkinan seseorang memiliki pengetahuan yang bagus terhadap suatu hal, tetapi dalam kenyataannya perilakunya tidak sesuai dengan pengetahuannya tersebut. Dariyo (2004) menyatakan bahwa seorang remaja tidak mampu mengendalikan diri. Sehingga terlibat dalam kehidupan seksual secara bebas (diluar norma sosial) misalnya, seks pranikah, kumpul kebo, prostitusi, akan berakibat negatif, seperti kehamilan, di keluarkan dari sekolah. Biasanya merekalah yang memiliki sifat ketidakkonsistenan (inconsistency) antara pengetahuan dan perilakunya. Walaupun seseorang mempunyai pengetahuan bahwa seks pranikah itu tidak baik, namun karena situasi, kesempatan dan
JURNAL KEPERAWATAN
lingkungan itu memungkinkan, serta ditunjang oleh niat untuk melakukan hubungan seks pranikah, maka individu tetap saja melakukan hal itu. Selain hal tersebut, bagi mereka yang telah mencapai golongan dewasa muda (21 tahun keatas) umumnya mereka telah memiliki kemampuan untuk menilai dan memgevaluasi suatu tindakan atau keputusan itu baik atau benar menurut pertimbangan hati nurani. Sedangkan remaja dianggap belum memiliki kemampuan ini karena belum matang secara penuh kapasitas intelektualnya. Tidak tersedianya informasi yang akurat dan benar tentang kesehatan reproduksi, dapat memaksa remaja untuk mencari akses dan eksplorasi sendiri. Arus komunikasi dan informasi mengalir deras menawarkan petualangan yang menantang. Majalah, buku, dan film pornografi dan pornoaksi yang memaparkan kenikmatan hubungan seks tanpa mengajarkan tanggung jawab dan resiko yang harus dihadapi, menjadi acuan utama mereka. Perasaan seksual menghinggapi setiap remaja meskipun kadarnya berbeda satu dengan yang lain, juga kemampuan untuk mengendalikannya. Ketika mereka harus berjuang mengenali sisi-sisi diri yang mengalami perubahan fisik-psikis-sosial akibat pubertas, masyarakat justru berupaya keras menyembunyikan segala hal tentang seks. Pandangan bahwa seks tabu, yang sekian lama tertanam, membuat remaja enggan berdiskusi tentang kesehatan reproduksi dengan orang lain. Dari hasil penelitian, mengungkapkan bahwa ada 10 siswi (10%) yang memiliki perilaku negatif. Alat ukur yang di gunakan dalam penelitian ini adalah kuiseoner yang miliki beberapa kelemahan diantaranya adalah, bahwa responden bisa saja menjawab pernyataan dengan tidak jujur, sehingga peneliti tidah dapat mengetahui apakah responden telah menjawab dengan sejujur-jujurnya atau tidak. Kurangnya pengetahuan kesehatan reproduksi remaja pada sebagian siswa mengindikasikan bahwa selayaknya para remaja memperoleh informasi antara lain tentang: 1) pengenalan alat sistem dan fungsi alat reproduksi, 2) kehamilan tidak diinginkan, penularan infeksi menular seksual ( IMS ) dan HIV / AIDS, 3) pengaruh lingkungan sosial dan media terhadap perilaku remaja, 4) pelecehan seksual dan pornografi serta porno aksi, 5) kesetaraan dan keadilan gender, dan 6) Tanggung jawab remaja terhadap keluarga. Pendekatan yang bisa dilakukan diantaranya melalui institusi keluarga, kelompok sebaya ( peer group ), institusi sekolah, kelompok kegiatan remaja, LSM yang peduli terhadap masalah remaja.
12
VOL. I NO. 1 DESEMBER 2008
ISSN 1979-8091
SIMPULAN DAN SARAN
(2003). Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta Rozak, Abdul. (2006). Remaja dan Bahaya Narkoba. Jakarta. Prenada
.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1)remaja putri yang memiliki pengetahuan tentang kesehatan reproduksi kurang sebanyak 46 responden (46 %), yang memiliki pengetahuan cukup sebanyak 23 responden (23 %), dan yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 31 responden (31 %); 2)remaja putri yang memiliki perilaku positif terhadap kesehatan reproduksi sebanyak 90 responden (90 %), dan yang memiliki perilaku negatif sebanyak 10 responden (10 %); dan 3)adanya hubungan antara pengetahuan dan perilaku tentang kesehatan reproduksi pada remaja putri kelas VIII di SMP Ta’miriyah Surabaya Berdasarkan kesimpulan tersebut maka disarankan: 1)remaja mempertahankan tingkat pengetahuan yang dimiliki serta meningkatkan aktivitas positif yang dapat mengurangi perilaku yang menyimpang; 2) pihak sekolah dapat tetap memberikan informasi tentang pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja; 3)membina hubungan baik pihak sekolah maupun orang tua.
Rahmawati,
(2006),
Sebagian
Bergeser
http://www.gemari.or.id, tanggal 11 januari 2008
Nilai di
Agama Remaja,
peroleh
Soetjiningsih. (2004). Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta. : CV Sagung Seto. Tito. (2005). http://www.geocities.com. Diperoleh Tanggal 15 Desember 2007 Utamadi,
Peer G. (2005). http://www.geocities.com. tanggal 15 Desember 2007
Education.
Diperoleh
. (2001). Merawat Organ Rproduksi Cewek, http://www.gizi.net, diperoleh tanggal 11 januari 2008.
DAFTAR ACUAN (2006). Kehamilan dan Melahirkan. http://www.bkkbn.go.id. diperoleh tanggal 17 Desember 2007
BKKBN.
. (2005). http://www.bkkbn.go.id. diperoleh tanggal 15 Desember 2007. . (2005). Beberapa Definisi. http://www.bkkbn.go.id. Diperoleh tanggal 15 Desember 2007 Dariyo, Agus. (2004). Psikologi Perkembangan Remaja. Jakarta. Ghalia Indonesia. Farid, (2006), Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja, http://point-lookout.blogspot.com, diperoleh tanggal 11 januari 2008. Gunarsa, S. (2003). Psikologi Remaja. Jakarta. PT BPK Gunung Mulia Hurlock,
EB. (1997). Psikologi Jakarta. Erlangga.
Perkembangan.
Indrawijaya, A. (2000). Perilaku Organisasi. Bandung. Sinar Baru Algasindo Notoatmodjo, S. (2003). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta. Rineka Cipta
.
JURNAL KEPERAWATAN
13
104
Jurnal Kesehatan “Samodra Ilmu” Vol. 04 No. 02 Mei 2013
HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DENGAN PERAN ORANG TUA DALAM MEMPERSIAPKAN MASA PUBERTAS DI DUSUN KWASEN DESA SRIMARTANI KEC. PIYUNGAN KAB. BANTUL YOGYAKARTA Istichomah, Asih Sukowati ABSTRACT Background: The best teacher in sex education are their parent. Father and mother have a responsible for it. Sex education have to be given integrated with moral and religion so the teen will have the rigt information. Method: This research is cross sectional, quantitative approach descriptive correlation,. Result: The parent knowledge are good 34 parents (54,0%) and activity give sex education are good 53 parents (84.1%). Kendal tau show at 0, 196 * (sig. p <0,05). Conclusion: There are corellation among parents knowledge about sex education and the parent activity of sex eduction to prepare on puberty. Keywords: Knowledge, sex education, parents
LATAR BELAKANG MASALAH International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo tahun 1994 menyepakati tentang program kesehatan reproduksi. Paket pelayanan kesehatan reproduksi essensial yang merupakan prioritas antara lain adalah Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja (BKKBN,1997). Sedangkan di Indonesia sejak tahun 2000, pemerintah telah mengangkat KRR (Kesehatan Reproduksi Remaja) menjadi program nasional (http://hq web.0l.bkkbn.go.id).
ketrampilan hidup. Akan tetapi program tersebut masih belum dilaksanakan secara tepat dan menjangkau seluruh remaja di Indonesia. Hal ini ditandai dengan masih rendahnya pengetahuan, sikap dan prilaku remaja dalam kesehatan reproduksi remaja, sehingga sebagian dari remaja mengalami gangguan kehidupan seksual yang menyimpang. Gangguan kehidupan seksual yang menyimpang tersebut khususnya kehamilan diluar nikah bagi remaja putri, ketergantungan NAPZA, dan menderita HIV/AIDS (BKKBN,2005).
Program kesehatan reproduksi remaja (KRR) yaitu merupakan upaya pelayanan untuk membantu remaja memiliki status kesehatan reproduksi yang baik melalui: pemberian informasi, pelayanan konseling, dan pendidikan
Menurut Suharto(2002), pendidikan seks sudah saatnya untuk dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Kegiatan ini dilaksanakan sejalan dengan melakukan pelatihan bagi orang tua dan guru mengenai kesehatan reproduksi
1.
Dosen S1 Keperawatan STIKes Yogyakarta
2.
S1 Keperawatan STIKes Surya Global Yogyakarta
104
Istichomah dan Sukowati, A., “Hubungan Antara Pengetahuan Orangtua Tentang ....” dan seksualitas remaja sehingga mereka mampu menjadi sumber informasi dan mitra yang dipercaya oleh remaja. Perkembangan zaman yang seperti sekarang ini pada umumnya anak remaja cenderung lebih percaya pada teman-teman mereka dari pada orang tua, mereka dapat dengan mudah mendapatkan sumber informasi/pendidikan seks secara bebas baik melalui internet, hand phone, buku komik dewasa dan anak, televisi (sinetron, film), CD yang setiap hari mereka dapat menyaksikan adegan seks secara bebas, sehingga semua itu menjadi sesuatu yang biasa bahkan dapat mendorong mereka untuk mencoba. Oleh karena itu orang tua sebaiknya sedini mungkin memberitahukan mereka tentang pendidikan reproduksi (http://hq web 0l.bkkbn.go.id). Pendidikan reproduksi sebaiknya yang memberikan adalah orang terdekat dalam kehidupannya yaitu orang tua, karena orang tua adalah orang yang paling mengenal siapa dan bagaimana anaknya, apa kebutuhan mereka dan bagaimana memenuhinya. Selain itu, baik dilihat dari sudut agama maupun dari hukum negara, orang tua adalah pendidik utama, pertama dan terakhir bagi anak-anaknya yang akan dipertanggung jawabkan kelak. Karena orang tualah yang paling tepat untuk menyampaikan masalah kesehatan reproduksi ini kepada anak-anak mereka. Orang tua tidak perlu sekolah di perguruan tinggi untuk dapat menjelaskan masalah baligh karena semua orang tua pernah mengalaminya hanya saja sesuai dengan tantangan zaman, orang tua perlu sedikit meningkatkan pengetahuan tentang hal ini agar dapat percaya diri dalam menjelaskan kepada anak dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti (http://hq web 0l.bkkbn.go.id). Pendidikan seks terbaik adalah orang tua, dimana ayah dan ibu mempunyai peran dan tanggung jawab yang sama dalam mempersiapkan anak mereka menghadapi masa pubertas. Pendidikan ini diberikan secara integral
105
dengan pendidikan moral dan agama agar remaja memdapat informasi yang benar dan menjaga pertumbuhan naluri seksual secara benar. Namun banyak anak yang tidak dipersiapkan untuk menghadapi masa puber. Misalnya orang tua yang kurang memiliki pengetahuan atau karena kesulitan menyampaikan informasi oleh orang tua kepada anak (Puspitasari,2002). Pada studi pendahuluan yang telah dilakukan penulis, pada tanggal 18 Juni 2008 di desa Kwasen, kelurahan Srimartani, kecamatan Piyungan, kabupaten Bantul, Yogyakarta, didapatkan data ada 75 orang tua yang mempunyai anak pada usia pubertas. Para orang tua mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi melalui dakwah pengajian, perkumpulan BKR (Bina Keluarga Remaja) selain itu juga berdasarkan naluri dan pengalaman yang diperolehnya sejak mereka kecil dari orangtuanya dulu dan dari 10 orang tua hanya 3 orang tua yang mampu menjawab lebih dari 50% pertanyaan dengan benar mengenai kesehatan reproduksi remaja. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa pengetahuan mereka tentang kesehatan reproduksi masih kurang. Berdasarkan hasil observasi terdapat kasus 3 perempuan hamil diluar nikah, dan ada sekelompok kecil pemuda yang suka mabukmabukan itu dikarenakan karena mereka kurang mendapat perhatian dari orang tuanya, dan peneliti juga telah melakukan wawancara terhadap 10 orang tua yang memiliki anak usia pubertas didapatkan 6 orang tua yang memiliki masalah dengan anaknya dan orang tua tersebut mengatakan bahwa anak mereka bertanya mimpi basah tetapi orang tua tersebut tidak mau menjelaskan karena mereka merasa malu untuk menjelaskannya (2 orang) kemudian ada 4 orang tua yang mengatakan bahwa anakanak mereka sering marah-marah tanpa sebab sehingga membuat para orang tua bingung dan menangis. Dari hasil observasi dan wawancara tersebut dapat dikatakan bahwa peran orang tua dalam mempersiapkan anak menghadapi masa pubertas kurang.
106
Jurnal Kesehatan “Samodra Ilmu” Vol. 04 No. 02 Mei 2013
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan orang tua tentang kesehatan reproduksi remaja dengan peran orang tua dalam mempersiapkan anak menghadapi masa pubertas di Dusun Kwasen, Desa Srimartani, Kec. Piyungan, Kab. Bantul, Yogyakarta
BAHAN DAN CARA Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif korelasionnal yaitu yang mengkaji hubungan antara variabel yang dapat dilakukan oleh peneliti dengan mencari, menjelaskan suatu hubungan, memperkirakan, menguji berdasarkan teori yang ada (Nursalam,2003) dengan pendekatan cross sectional yaitu setiap objek hanya diteliti atau diobservasi dan diukur pada waktu yang sama (Notoatmodjo,2003).
POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN Populasi Populasi pada penelitian ini adalah semua orang tua yang mempunyai anak usia 10-12 tahun di Dusun Kwasen, Srimartani, Piyungan, Bantul, Yogyakarta dengan jumlah 75 orang tua.
Sampel Sampel dalam penelitian ini menggunakan tehnik Purposive sampling, yaitu cara pengambilan sampel dengan pemberian kriteria tertentu (Arikunto,2002). Sehingga sampel dalam penelitian ini adalah orang tua di Dusun Kwasen, Kabupaten Bantul Yogyakarta sebanyak 63 orang tua dengan kriteria sampel sebagai berikut: 1) Orang tua yang mempunyai anak usia 10-12 tahun dan merupakan warga dusun Kwasen, kec. Piyungan, kab. Bantul, Yogyakarta. 2) Dapat berkomunikasi dengan baik (verbal maupun non verbal) 3) Bersedia untuk diteliti dan menjadi responden. 4) Sehat jasmani dan rohani.
5) Tidak sedang bepergian saat pengambilan data dilakukan.
LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Lokasi penelitian dilakukan di Dusun Kwasen, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Waktu penelitian dilakukan mulai bulan Desember sampai dengan bulan Januari 2010. Pengetahuan orang tua tentang kesehatan reproduksi remaja merupakan pemahaman atau kemampuan orang tua untuk mengetahui makna kesehatan reproduksi, mencakup aspek-aspek biologis seksuaitas yang berkaitan dengan masa remaja. Diukur dengan menggunakan kuesioner dan skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal, kemudian dimasukkan dalam rentang kriteria baik, cukup dan kurang. Peran orang tua dalam mempersiapkan masa pubertas anak adalah serangkaian perilaku yang dilakukan orang tua dengan tujuan agar anak siap menghadapi masa pubertas dan permasalahan yang mungkin muncul sesuai dengan yang diharapkan orang tua. Diukur dengan menggunakan kuesioner dan skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal, kemudian dimasukkan dalam rentang kriteria aktif, cukup, dan kurang. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data primer dan sekunder, dimana data primer yaitu data yang langsung diperoleh dari objek penelitian dan jenis data sekunder yaitu data yang tidak langsung diperoleh dari objek penelitian. Pengumpulan data dilakukan menggunakan metode angket/kuesioner. Peneliti mendatangi rumah responden untuk membagikan kuesioner kepada subjek penelitian untuk diisi dan dikumpulkan. Sebelumnya peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian serta cara mengisi kuesioner tersebut. Peneliti juga meminta persetujuan kepada calon responden dengan bukti informed consent. Setiap responden diminta untuk mengisi berkas kuesioner yang terdiri dari angket berisi identitas
Istichomah dan Sukowati, A., “Hubungan Antara Pengetahuan Orangtua Tentang ....”
107
pribadi dan kuesioner pengetahuan KRR dan peran orang tua dalam mempersiapkan anak menghadapi masa pubertas. Pengisian kuesioner dilakukan secara kolektif untuk masingmasing orang tua di depan peneliti. Kuesioner diisi pada saat itu juga untuk mencegah adanya faktor pengganggu dari luar, misalnya adanya intervensi dari orang lain, kuesioner hilang, dan lain-lain, yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.
Pada tabel 4.1 dapat dilihat bahwa dari sejumlah 63 responden penelitian, sebagian besar orang tua Dusun Kwasen, Desa Srimartani, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta yang memiliki kategori pengetahuan baik yaitu sebanyak 34 orang (54,0%), cukup baik sebanyak 17 orang (27,0%), dan kategori kurang sebanyak 12 orang (19,0%).
Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif, dengan menggunakan rumus uji korelasi Kendal Tau untuk mencari hubungan dan menguji hipotesis antara dua variabel atau lebih dengan skala data ordinal, dengan rumus:
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Peran Orang tua di Dusun Kwasen, Kabupaten Bantul, Yogyakarta 2010
Peran orang tua dalam mempersiapkan anak menghadapi masa pubertas
(Sumber: data primer diolah)
Dimana: = Koefisien korelasi kendall tau yang besarnya (-1<0<1) = jumlah rangking atas = Jumlah rangking bawah N
= Jumlah anggota sampel
Untuk membantu dalam menganalisa data penelitian ini, penulis menggunakan program SPSS Window’s 11,5
HASIL PENELITIAN Pengetahuan orang tua tentang kesehatan reproduksi remaja Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Orang tua di Dusun Kwasen, Kabupaten Bantul, Yogyakarta
Pada tabel 4.2 dapat dilihat bahwa dari sejumlah 63 responden penelitian, sebagian besar orang tua Dusun Kwasen, Desa Srimartani, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta yang memiliki kategori peran orang tua aktif yaitu sebanyak 53 orang (84,1%), cukup aktif sebanyak 10 orang (15,9%), dan untuk kategori kurang aktif tidak ada atau (0%). Hubungan antara pengetahuan orang tua tentang kesehatan reproduksi remaja dengan peran orang tua dalam mempersiapkan anak menghadapi masa pubertas. Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Orang tua dengan Peran Orang tua di Dusun Kwasen, Kabupaten Bantul, Yogyakarta 2010
(Sumber: data primer diolah)
(Sumber: data primer diolah)
108
Jurnal Kesehatan “Samodra Ilmu” Vol. 04 No. 02 Mei 2013
Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui bahwa dari 63 reponden penelitian, sebagian besar orang tua Dusun Kwasen, Desa Srimartani, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta yang memiliki pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja termasuk dalam kategori baik yaitu sebanyak 34 orang (54,0%), cukup baik sebanyak 17 orang (27,0%), dan kategori kurang sebanyak 12 orang (19,0%). Sedangkan dari 63 responden penelitian, orang tua Dusun Kwasen, Desa Srimartani, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta yang memiliki kategori peran orang tua dalam mempersiapkan anak menghadapi masa pubertas aktif yaitu sebanyak 53 orang (84,1%), kategori cukup sebanyak 10 orang (15,9%), dan yang memiliki kategori kurang tidak ada (0%). a. Hasil Analisis pengetahuan orang tua tentang kesehatan reproduksi remaja dengan peran orang tua dalam mempersiapkan anak menghadapi masa pubertas Tabel 4.4 Hasil Analisis Korelasi antara Pengetahuan Orang tua dengan Peran Orang tua di Dusun Kwasen, Kabupaten Bantul, Yogyakarta 2010
(Sumber: data primer diolah)
Dari hasil data diatas, correlation coefisient yaitu sebesar 0,196, dengan sig yaitu 0,034. Hal ini menunjukkan bahwa nilai p<0,050, berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan sebesar 0,196 antara pengetahuan orang tua tentang kesehatan reproduksi remaja dengan peran orang tua dalam mempersiapkan anak menghadapi masa pubertas di Dusun Kwasen, Srimartani, Piyungan, Bantul, Yogyakarta.
PEMBAHASAN Hubungan antara pengetahuan orang tua tentang kesehatan reproduksi remaja dengan peran orang tua dalam mempersiapkan anak
menghadapi masa pubertas Pada responden didapatkan hubungan yang signifikan antara pengetahuan orang tua tentang kesehatan reproduksi remaja dengan peran orang tua dalam mempersiapkan masa pubertas anak di Dusun Kwasen Desa Srimartani Kecamatan Piyungan Kabupaten Bantul Yogyakarta. Hal ini dapat dilihat pada hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan bahwa nilai sig diketahui sebesar 0,034, ini berarti nilai sig kurang dari 0,05 dan berarti sangat signifikan atau terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan orang tua tentang kesehatan reproduksi remaja dengan peran orang tua dalam mempersiapkan masa pubertas anak di Dusun Kwasen Desa Srimartani Kecamatan Piyungan Kabupaten Bantul Yogyakarta, sehingga semakin baik pengetahuan orang tua tentang kesehatan reproduksi remaja maka semakin aktif pula peran orang tua dalam mempersiapkan masa pubertas anak yang dicapai. Dari data hasil penelitian untuk keseluruhan pengetahuan orang tua tentang kesehatan reproduksi remaja yang telah dimasukkan dalam kategori baik, cukup, dan kurang, dapat diketahui bahwa sebagian besar orang tua memiliki pengetahuan baik sebanyak 34 orang 54,0% dan peran orang tua sebagian besar masuk dalam kategori aktif sebanyak 53 orang 84,1%. Tetapi selain itu terdapat juga beberapa orang tua yang mempunyai pengetahuan yang baik dengan pengetahuan yang cukup sebanyak 17 orang (27,0%), dan orang tua yang memiliki peran yang cukup sebanyak 10 orang (15,9%), dan orang memiliki pengetahuan kurang sebanyak 12 orang (19,0%) serta disini tidak ada orang tua yang memiliki rata-rata peran yang kurang. Hal-hal diatas sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa orang tua memiliki beberapa kewajiban yang harus dilakukan. Supaya anak tidak terjerumus kepada hal-hal negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan juga keluarga. Kewajiban orangtua tersebut di antaranya adalah memberikan pendidikan
Istichomah dan Sukowati, A., “Hubungan Antara Pengetahuan Orangtua Tentang ....” agama, akhlak, sosial, dan mental kepada anak sebelum ia memasuki masa puber. Orangtua harus membekali anak dengan informasi yang benar dan sesuai dengan kebutuhannya (http/ www.perkembsngsn anak.com/2007). Sedangkan pengetahuan sendiri merupakan faktor yang mempunyai hubungan dengan peran orang tua dimana tingkat pengetahuan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pengetahuan masyarakat umumnya berhubungan dengan tingkat pendidikannya. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Mourbas, dkk 2000).
KESIMPULAN 1. Pengetahuan orang tua tentang kesehatan reproduksi remaja di Dusun Kwasen Kecamatan Piyungan Kabupaten Bantul Yogyakarta sebagian besar dalam kategori baik yaitu sebanyak 34 orang tua (54,0%). 2. Peran orang tua dalam mempersiapkan anak menghadapi masa pubertas di Dusun Kwasen Kecamatan Piyungan Kabupaten Bantul Yogyakarta sebagian besar dalam kategori aktif yaitu sebanyak 53 orang tua (84,1%). 3. Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan orang tua tentang kesehatan reproduksi remaja dengan peran orang tua dalam mempersiapkan anak menghadapi masa pubertas di Dusun Kwasen Kecamatan Piyungan Kabupaten Bantul Yogyakarta, dengan nilai hasil korelasi kendall tau sebesar 0,196* (sig. p <0,05).
Saran 1. Bagi Ilmu keperawatan Diharap mampu memberikan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi remaja di lingkungan keluarga sehingga orang tua mampu meneruskan informasi yang diperoleh dari perawat kepada anaknya sehingga
109
anak dapat mengerti tentang pendidikan KRR yang benar. 2. Bagi orang tua di dusun Kwasen, Srimartani, Piyungan, Bantul, Yogyakarta Para orang tua diharapkan membekali diri dengan informasi yang benar mengenai pubertas dan kesehatan reproduksi remaja yang benar sehingga dapat menjelaskan kepada anak tentang kesehatan reproduksi yang benar dan dapat menjalin komunikasi terbuka dengan anak. 3. Bagi peneliti lain Karena keterbatasan peneliti maka dalam penelitian selanjutnya disarankan agar dilakukan penelitian mengenai hubungan pengetahuan orang tua tentang kesehatan reproduksi remaja dengan peran orang tua dalam mempersiapkan masa pubertas anak dengan lingkup yang lebih luas agar dapat digeneralisasikan kepada masyarakat guna membantu program promosi kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto,2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Pt Rineka Cipta, Jakarta. BKKBN, 1997. Pedoman Penyampaian Materi Reproduksi Sehat Sejahtera Remaja Usia 11-21 tahun untuk Konseling dengan Sasaran Orang tua Remaja, Kantor Meneg Kependudukan/BKKBN, Jakarta. BKKBN, 2004, Menjaga Anak Gadis Meniti Godaan Pada Masa Pubertas, http://www.bkkbn.go.id, diakses pada tanggal 20 November 2008, jam 12.16 BKKBN, 2005, Pendidikan Reproduksi Sesuai Usia Anak, http://www.bkkbn.go.id, diakses pada tanggal 21 November 2008, jam 11.10 Chaerani,N dan Nurachmi., 2003. Biarkan Anak Bicara, Republika, Jakarta
110
Jurnal Kesehatan “Samodra Ilmu” Vol. 04 No. 02 Mei 2013
Chairiyah, Y., 2003. Draf RUU Kesehatan,BKKBN, Jakarta.
Istiwidayanti, PT. Gelora Aksara Pratama, Jakarta.
Dewi Rosiana,2006.Skripsi: Peran Orang tua Dalam Mendampingi Anak Menghadapi Masa Pubertas di desa Kedungjati Kecamatan Sempor Kebumen.Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Http://sepsis. Wordpres.com diakses tanggal 20 Juli 2010 pukul9.30 wib
Hartini,2007. Hubungan Tingkat Pengetahuan Reproduksi dengan Perilaku Seks Pra Nikah Remaja Penghuni Koskosan di Kelurahan Semaki Gede Kec. Umbulharjo Yogyakarta. STIKES Surya Global, Yogyakarta. Hariyanti Dwi, 2007. Skrips: Hubungan Pengetahuan tentang Kesehatan Reproduksi dengan Prilaku Seksual Beresiko Pada Remaja Di SMK N 4 YOGYAKARTA. STIKES Surya Global, Yogyakarta. Hastuti Sari.,2003, Hubungan Antara Pengatahuan Orang tua tentang Kesehatan Reproduksi Reamaja dengan upaya mempersiapkan masa pubertas di SLTPN I Martapura. Karya Tulis Ilmiah, Fakulyas Kedokteran UGM, Yogyakarta. Herdalena, T.,2001. Skripsi: Pengetahuan Remaja Tentang Kesehatan Reproduksi dan Prilaku Seksual Remaja Berdasarkan Jenis Kelamin, Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta. Herdiansiska, Y., dan Wardhani, EK., 2002. Modul 6 Kesehatan Reproduksi Remaja, PKBI, IPPF, BKKBN, UNFPA, Jakarta. Hurlock, EB., 1995. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Remang Kehidupan, edisi kelima, Terjemahan Soedjarwa
Monks,J.F dan Knoers, A.M.P., Haditono, S. R., 2001. Psikologi Perkembangan(Pengantar dalam Berbagai Bagiannya), Gadjah University Press. Mott, S. R., James, S. R., Sperhac, A. M., 1990 Nursing Care of Children ang Families, 1 edition, AddisonWesley, Canada Notoatmodjo,s.,2003, Pendidikan dan Prilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam, 2003. Konsep Dasar Penerpan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba Medika, Jakarta. Riwidikdo, Handoko, 2007. Statistik Kesehatan, Mitra Cendikia Press, Yogyakarta. Rosmansyah Elsiano, 2007, Informasi mengenai Perkembangan Anak dan Peran Orang tua (http/ www.perkembangan anak.com/ 2007). Sugiyono,2002, Statistia untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung. Soekanto S.2001, Sosiologi Keluarga tentang Ikhwak Keluarga, Remaja, dan Aanak, Kumpulan Abstraksi, BKKBN, Yogyakarta. Suharto, 2002. Pendidikan Seks dalam Kurikukum Sekolah,// www.pkbi.or.id,Jakarta. Sunaryo.2004. Psikologi untuk keperawatan. Cetakan pertama. PenerbitvBuku Kedokteran. EGC, Jakarta
Istichomah dan Sukowati, A., “Hubungan Antara Pengetahuan Orangtua Tentang ....” Supartini,2004, Konsep Dasar Keperawatan, EGC, Jakarta. Sitaresmi,2002.Thesis: Persepsi Siswa Putri tentang Kesehatan Reproduksi di Kotamadya Yogyakarta, UGM, Yogyakarta. Schaefer, C.E dan Di Gerenimo, TF., 2001. Cara Membicarakan Berbagai Topik Penting dengan Anak, Terjemahan Yassin Thohari,BKKBN, Yogyakarta.
111
Utamadi, G., Hidayati N. R., 2005, Mau Kliping: “ Ngerumpiin ‘Seks’ Ama Ortu?”, http://www.glorianet.org , diakses pada tanggal 25 Februari 2010, jam 13.00 wib Wijaya,A., 2003, Perilaku Seksual Remaja,// www.drawclinic.com. diakses pada tanggal 18 Juli 2010, jam 14.00 wib
HUBUNGAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DENGAN PERILAKU SEKSUAL KELAS XI DI SMA N 1 GEBOG KUDUS Dwi Astuti, Sukasno
ABSTRAKSI Pendahuluan : sex bebas adalah hubungan yang dilakukan dengan cara berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan alat pengaman apapun sehingga menyebabkan kehamilan dikalangan remaja. Salah satu fakta perilaku remaja sexsual, hal ini di tambah dengan terbatasnya pengetahuan mereka tentang system reproduksi, sering kali menyebabkan kehamilan yang tidak di inginkan yang mengarah pada tindakan aborsi illegal, dan resiko PMS termasuk HIV/AIDS. Tujuan penelitian untuk mengetahui bagaimana pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi di SMA N 1 GEBOG KUDUS. Penelitian dilakukan pada bulan Mei Sampai Juli di SMA N 1 GEBOG KUDUS kelas XI dengan jumlah Populasi yang diambil sejumlah 35 responden. Metode yang digunakan adalah penelitian korelasi analitik. Cara pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Teknik penghitungan dengan menggunakan bantuan SPSS12,0. Hasil data yang diperoleh diketahui bahwa didapakan tingkat pengetahuan baik sebanyak pada remaja di SMA N 1 Gebog Kudus sebanyak 21 siswa (60%), berpengetahuan cukup 12 siswa (34,3%)dan berpengetahuan kurang sebanyak 2 siswa (5,7%). Berdasarkan tingkat perilaku seksual remaja didapatkan perilaku yang menyimpang sebanyak 7 siswa (20%), dan Perilaku yang tidak menyimpang sebanyak 20 siswa (57,1%). Hasil uji x² hitung (7,693%)> x² tabel (5,991%) yang berarti Ha ditolak dan Ho diterima, yang berarti ada hubungan pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja dengan perilaku seksual di SMA N 1 Gebog Kudus. Kesimpulkan Berdasarkan hasil penelitian didapatkan adanya hubungan antara pengetahuan remaja dengan sikap perilaku seksual remaja. Sehingga perlu diadakan upaya untuk memberikan penyuluhan. Bagi bidan di kabupaten kudus sebagai tenaga kesehatan agar lebih memperhatikan remaja yang berperilaku seksual menyimpang dengan memberikan penyuluhan terhadap remaja melalui bantuan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR). Dan juga bekerjasama terhadap guru, orang tua, dan teman sebaya Daftar Pustaka : 25 (1999-2008) Kata Kunci : Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Remaja, Perilaku Seksual Remaja
PENDAHULUAN Proporsi remaja di dunia diperkirakan 1,2 miliar atau sekitar 1/5 dari jumlah penduduk dunia, ini sesuai dengan jumlah kelompok remaja di Indonesia yang berusia 10-19 tahun kurang lebih 1/5 dari jumlah seluruh penduduk (WHO, 2001).
58
Masa remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan perkembangan pesat baik fisik, psikologis maupun intelektual. Pola karakteristik pesatnya tumbuh kembang ini menyebabkan remaja mempunyai sifat khas yaitu keingintahuan yang besar, menyukai tantangan serta cenderung berani menanggung resiko atas perbuatannya tanpa didahului oleh pertimbangan yang matang (Ahmadi, 2005). Di Indonesia saat ini makin banyak remaja yang menunda perkawinan dan mengejar pendidikan yang lebih tinggi yang dilihat dari kaca mata positif dapat menekan laju pertumbuhan penduduk. Tetapi di sisi lain dengan semakin derasnya arus globalisasi dimana kemudahan mengakses berbagai data baik via media maupun internet, semakin memudahkan remaja mencari informasi sendiri tanpa melihat dampak baik buruk terhadap dirinya demi memenuhi keingintahuan tersebut. Pandangan dan sikap dalam hal seksualitas juga semakin bebas. Penyalahgunaan seks dapat terjadi pada setiap remaja karena pada hakekatnya setiap individu secara potensial adalah pelaku seks. Potensi ini mencapai puncaknya pada usia remaja, sampai ia tidak membutuhkan lagi di usia tua (Zarfice Tafal, 2001). Keadaan ini terkadang juga didukung oleh pola asuhan dari orang tua yang kurang memahami tentang pentingnya informasi yang seharusnya telah ditanamkan sejak balita semisal tentang sex education, sehingga saat anak menginjak usia remaja mencari informasi sendiri mengenai kehidupan seksual itu (Ahmadi, 2005). Seks bebas dan kurangnya pengetahuan serta pemahaman tentang system reproduksi
menyebabkan perbuatan coba-coba yang dapat menyebabkan remaja
terancam resiko terkena PMS seperti HIV/AIDS dan resiko kehamilan yang tidak direncanakan. Kehamilan seperti ini sering mengarah ke tindakan illegal yaitu aborsi yang dapat berujung ke kematian (Herlina, 2001). Walaupun tindakan aborsi di Indonesia sebagai tindakan ilegal, namun angka terjadinya aborsi mencapai 750.000 -1.000.000 kejadian pertahun dan kejadian pertahun dan 40 s/d 50 % dari aborsi itu adalah aborsi yang tidak aman . Aborsi biasanya dilakukan terselubung tanpa ada jaminan terhadap kualitas pelayanan yang diberikan termasuk tata laksana penanganan komplikasi akibat aborsi yaitu kematian (UNFPA, 2001). Keadaan di atas menampakkan fenomena betapa di sekitar kita begitu banyak remaja yang memerlukan bimbingan dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi untuk menghindarkan mereka supaya tidak salah dalam mengambil langkah( Zarfice Tafal, 2001).
59
Melihat kebutuhan remaja dan memperhitungkan tugas puskesmas sebagai barisan terdepan pemberi layanan kesehatan kepada masyarakat, seharusnya puskesmas memberikan pelayanan yang layak kepada remaja sebagai salah satu kelompok masyarakat yang dilayaninya (Webmaster, 2005). Saat ini program terbaru dari pemerintah adalah pembentukan PKPR (Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja ) dengan tujuan agar berbagai permasalahan remaja seperti NAPZA, anemia, kehamilan di luar nikah, aborsi dan lain-lain, dapat segera diketahui oleh bidan selaku ujung tombak di desa binaan masing-masing sehingga dapat segera dilaporkan ke puskesmas untuk ditindaklanjuti penanganannya (Husni, 2005). Dengan pengetahuan yang baik tentang kesehatan reproduksi akan mencegah mereka melakukan aktifitas seksual yang tidak bertanggung jawab (UNFPA.2001), jadi dengan memperluas akses informasi yang benar dan jujur bagi remaja akan membuat remaja makin sadar akan tanggung jawab perilaku reproduksinya sehingga remaja akan mampu (empowered) dalam membuat keputusan dalam perilaku reproduksi mereka (Zarfice Tafal, 2001). Berdasarkan data dari siswa SMA N 1 Gebog KudusTahun Ajaran 2008-2008 ada siswa yang melakukan penyimpangan perilaku seksual diluar nikah 15 siswa (2,07%), berupa kehamilan. Berdasarkan hasil survai pendahuluan yang peneliti lakukan di SMA N 1 Gebog Kudus dengan jumlah 724 siswa, dimana 220 (30,38%) siswa tahu cara berperilaku seksual yang baik, meliputi tidak berciuman dimuka umum, tidak berpelukan dimuka umum dan 504 (69,61%) siswa tidak tahu cara berperilaku seksual yang baik. Berdasarkan data diatas sehingga penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul ”Hubungan Pengetahuan Remaja Tentang Kesehatan Reproduksi Remaja Dengan Perilaku Seksual di SMA N 1 Gebog Kudus”
TINJAUAN TEORI
Konsep Dasar Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, penciuman, rasa, dan raba (Notoatmodjo, 2002).
60
Pengetahuan menurut para ahli filsafat ada bermacam-macam pandangan,di antaranya pandangan Aries Toteles, bahwa pengetahuan merupakan pengetahuanyang di inderai dan dapat merangsang budi, menurut Decrates ilmu pengetahuan merupakan serba serbi, sedang oleh Bacon dan David Home diartikan sebagai pengalaman indera dan batin. Menurut Imanuel Kant, pengetahuan merupakan persatuan antara budi pekerti dan pengalaman. Pengetahuan merupakan hasil rekaman kognitif mengenal sesuatu masukan akan manusia. Pengetahuan adalah hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2003).
Faktor-faktor yang mempengaruhi Pengetahuan (Notoatmodjo, 2003) a.
Tingkat pendidikan
Adalah upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat b.
Informasi
Seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih banyak akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas. c.
Budaya
Tingkah laku manusia atau sekelompok manusia dalam memenuhi kebutuhan yang meliputi sifat dan kepercayaannya d.
Pengalaman
Sesuatu yang pernah dialami seseorang akan menambah pengetahuan tentang sifat yang non formal e.
Sosial Ekonomi
Tingkat kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tingkat Pengetahuan a.
Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya 61
b.
Memahami (comprehension)
Suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi secara benar. c.
Aplikasi (application)
Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya) d.
Analisis (analysis)
Kemampuan untuk menyebarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tapi masih di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru e.
Sintesis (synthesis)
Kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru f.
Evaluasi (evaluation)
Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek atau materi
Konsep Dasar Remaja Remaja adalah suatu periode perubahan dari tidak matang menjadi matang atau perubahan dari makhluk aseksual menjadi seksual (Soetjiningsih, 2004). Pada masa remaja terjadi proses awal kematangan organ reproduksi manusia yang disebut sebagai masa pubertas. Pubertas berasal dari kata pubercere yang berarti menjadi matang, sedangkan remaja atau adolescence berasal dari kata adolescere yang berarti dewasa ( Adelar, 2003). Pada masa ini banyak terjadi perubahan baik dalam hal fisik maupun psikis. Perubahan-perubahan ini dapat mengganggu batin remaja dan menyebabkan remaja dalam kondisi rawan dalam menjalani proses tumbuh kembangnya. Kondisi ini juga diperberat dengan adanya globalisasi yang ditandai dengan makin derasnya arus informasi.
Masa remaja dibedakan dalam : 62
Masa Pra Pubertas (Pueral) 12 – 14 tahun Masa ini adalah masa peralihan dari masa sekolah menuju masa pubertas, di mana seorang anak yang telah besar (puer) ini sudah ingin berlaku seperti orang dewasa tetapi dirinya belum siap masuk dalam kelompok orang dewasa. Pra pubertas adalah saat-saat terjadinya kematangan seksual yang sesungguhnya, bersamaan dengan terjadinya perkembangan fisiologis yang berhubungan dengan kematangan kelenjar endokrin yang bermuara langsung di dalam saluran darah. Dengan melalui pertukaran zat yang ada di antara jaringan-jaringan kelenjar dengan pembuluh rambut di dalam kelenjar tadi. Zat-zat yang dikeluarkan itu disebut hormon, selanjutnya hormon-hormon tadi memberikan stimulasi pada tubuh anak sedemikian rupa sehingga anak merasakan adanya rangsangan-rangsangan tertentu. Rangsangan hormonal ini menyebabkan rasa tidak tenang pada diri anak, suatu rasa yang belum pernah dialami sebelumnya pada masa anak-anak yang telah dilaluinya (Ahmadi, 2005). Peristiwa kematangan jasmani (seksual) pada wanita terjadi 1,5 sampai 2 tahun lebih awal daripada pria. Pada wanita biasa ditandai dengan adanya menstruasi pertama, sedang pada laki-laki ditandai dengan keluarnya sperma yang pertama, biasanya lewat bermimpi sehingga merasakan kepuasan seksual. Bagi masa remaja awal tanda-tanda di atas disebut sebagai tanda-tanda primer akan datangnya masa remaja. Adapun tanda-tanda lainnya disebut sebagai tanda-tanda sekunder dan tanda tersier.
1)
Tanda sekunder antara lain :
(a)
Pria :
(1)
Tumbuh suburnya rambut, janggut, kumis, dan lain-lain.
(2)
Selaput suara semakin besar dan berat.
(3)
Badan mulai membentuk “segitiga”, urat-urat pun menjadi kuat dan muka bertambah persegi.
(b) Wanita : (1)
Pinggul semakin besar dan melebar
(2)
Kelenjar-kelenjar pada dada menjadi berisi (lemak)
(3)
Suara menjadi bulat, merdu dan tinggi
(4)
Muka menjadi bulat dan berisi Adapun tanda-tanda tersier antara lain : biasanya diwujudkan dalam sikap dan
perilaku, contoh pada pria ada perubahan mimik jika bicara, cara berpakaian, cara
63
mengatur rambut, bahasa yang diucapkan, aktingnya dan lain-lain. Adapun pada wanita : ada perubahan cara bicara, cara tertawa, cara berpakaian, jalannya dan lain-lain (Pardede, 2002). Perkembangan lainnya pada masa pra pubertas ini adalah munculnya perasanperasaan negatif pada diri anak sehingga masa ini ada yang menyebut sebagai masa negatif. Anak mulai ada keinginan melepaskan diri dari kekuasaan orang tua, tidak mau tunduk pada perintah dan kebijaksanaan dari orangtua. Semuanya terasa ingin ditolak, hal ini bukan karena anak ingin bebas sepenuhnya dari orangtua tapi ingin menyamakan statusnya dengan orang dewasa. Tentang lamanya masa ini sangat relatif tergantung dari ritme dan tempo perkembangan anak. Karl Buhrel mengatakan masa ini berlangsung cukup lama meliputi sebagian besar dari masa puber. Tapi H.Hetzer menunjukkan lamanya masa ini cukup singkat ± 9 bulan.
Masa Pubertas Pada masa ini seorang anak tidak lagi hanya bersikap reaktif, tapi juga anak mulai aktif dalam rangka menemukan jati dirinya (akunya), serta mencari pedoman hidup untuk bekal kehidupan mendatang. Sehingga Ch.Buhler pernah menggambarkan dengan ungkapan “ Saya menginginkan sesuatu tapi tidak mengetahui akan sesuatu itu”. Sehingga masa ini ada yang menyebutnya sebagai masa strumund drang (badai dan dorongan). Tentang tanda-tanda masa pubertas ini E. Spranger menyebutkan ada tiga aktifitas yaitu :
a.
Penemuan aku
b.
Pertumbuhan pedoman kehidupan
c.
Memasukkan diri pada kegiatan kemasyarakatan Kegiatan tersebut pada wanita dan pria sudah barang tentu ada perbedaan biologis
dan kejiwaannya, juga karena ada perbedaan pandangan sikap dalam hidupnya.
Tabel 1: Perbedaan sikap hidup Laki – laki
Wanita
64
a. Aktif memberi
a. Pasif dan menerima
b. Cenderung untuk memberi-
b. Cenderung untuk menerima
kan perlindungan
perlindungan
c. Minatnya tertuju pada hal-
d.
c. Minat tertuju kepada hal-hal
hal yang bersifat intelektual,
yang bersifat emosional dan
abstrak
konkret
Berusaha memutuskan
d. Berusaha mengikut dan
sendiri dan ikut berbicara e. Sifat saklik dan objektif
menyenagkan orang lain e. Sikap personil dan subjektif
Masa Adolesen (Pardede,2002) Pada masa ini seseorang sudah dapat mengetahui kondisi dirinya, ia sudah mulai membuat rencana kehidupan serta sudah mulai memilih dan menentukan jalan hidup (way of life) yang hendak ditemuinya. Pada masa ini remaja sudah mulai tenang kejiwaannya, sebagai persiapan kehidupan pada masa dewasa.
a.
Menunjukkan timbulnya sikap positif dalam menentukkan
sistem tata nilai (value) yang ada. b.
Menunjukkan adanya ketenangan dan keseimbangan di
dalam kehidupannya c.
Mulai menyadari bahwa sikap aktif, mengkritik waktu ia
puber itu mudah tapi melaksanakannya sulit. d.
Ia mulai memiliki rencana hidup yang jelas dan mapan
e.
Ia mulai senangmenghargai sesuatu yang bersifat histories
dan tradisi, agama, kultur, etis dan estetis, serta ekonomis. f.
Dalam menentukkan calon teman hidup / pasangan sudah
tidak berdasar nafsu seks belaka, tapi juga berdasar atas pertimbangan yang matang dari berbagai aspek. g.
Mulai mengambil / menentukkan sikap hidup berdasarkan
system nilai yang diyakininya 65
h.
Pandangan dan perasaan yang semakin menyatu atau
melebar antara erotik dan seksualitas, yang sebelumnya (pubertas) antar keduanya terpisah.
Kesehatan Reproduksi Remaja Pengertian kesehatan reproduksi adalah keadaan sehat baik secara fisik, psikis maupun social yang berkaitan dengan system, fungsi dan proses reproduksi (Dep. Kes RI, 2007). Reproduksi sendiri merupakan proses alami untuk melanjutkan keturunan, sedangkan reproduksi sehat berkaitan dengan sikap dan perilaku sehat dan bertanggung jawabnya seseorang berkaitan dengan alat reproduksi dan fungsi-fungsinya serta pencegahan terhadap gangguan-gangguan yang mungkin timbul (Notoatmodjo, 2005). Sedangkan definisi remaja menurut WHO adalah seseorang yang telah berusia 1019 tahun, sedangkan menurut UU Perlindungan anak No. 23 tahun 2002 adalah seseorang yang telah berusia 10-18 tahun.
Perilaku Seksual Remaja Beresiko Perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari (Notoatmodjo, 2005) Hubungan seksual adalah suatu hubungan yang melibatkan hubungan intim antara laki-laki dan perempuan (BKKBN, 2001). Perilaku seksual remaja yang beresiko adalah hubungan seks pada remaja dengan berganti-ganti pasangan diluar nikah yang berakibat kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), aborsi dan terjangkitnya penyakit infeksi menular seksual, HIV/AIDS, infertilitas dan keganasan (Dep. Kes RI,2007).
1. Jenis perilaku seksual beresiko antara lain : a.
Seks Pranikah
Adalah hubungan seks yang dilakukan remaja sebelum menikah. Hal ini dapat berakibat kehilangan keperawanan/keperjakaan, tertular dan menularkan IMS/ISR, kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) atau terpaksa dikawinkan. b.
Penyimpangan Perilaku Seksual 66
Homoseksual (lesbian atau gay) merupakan perilaku seksual dimana seseorang tertarik pada jenis kelamin yang sama. Bisa disebabkan oleh faktor genetik, lingkungan, atau gangguan keseimbangan hormon. c.
Kekerasan Seksual
Beberapa remaja baik laki-laki maupun perempuan menghadapi ancaman kekerasan seksual (heteroseksual atau homoseksual) yang biasanya dilakukan oleh orang dewasa d.
Kehamilan Yang Tidak Diinginkan
Merupakan kondisi dimana pasangan tidak menghendaki adanya kelahiran akibat dari kehamilan yang merupakan akibat dari suatu perilaku seksual/hubungan seksual baik disengaja maupun tidak. KTD memicu terjadinya aborsi ilegal yang dapat mengakibatkan kerusakan rahim, infeksi rahim, infertilitas, perdarahan, komplikasi, bahkan kematian.
METODE PENELITIAN
Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang lingkup masalah Ruang lingkup masalah dalam penelitian ini yaitu adakah hubungan antara pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja dengan perilaku seksual. 2. Ruang lingkup keilmuwan Penelitian ini dilakukan dalam bidang ilmu kebidanan khususnya kesehatan reproduksi. 3. Ruang lingkup sasaran Sasaran dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA. 4. Ruang lingkup wilayah Penelitian dilakukan di SMA N 1 Gebog Kudus. 5. Ruang lingkup waktu Penelitian ini dimulai bulan Mei sampai Juni 2008.
67
Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah korelasi analitik dengan pendekatan cross sectional. Adapun pendekatan cross sectional yaitu mempelajari dinamika korelasi antara variable bebas (independent) dan variable terikat (dependent) dalam waktu yang sama (Notoatmodjo, 2005). Dalam hal ini peneliti mencari data mengenai hubungan pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi
remaja dengan perilaku
seksual remaja dalam waktu bersamaan dan hanya dilakukan satu kali.
Populasi Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian (Arikunto, 2004). Populasi dalam penelitian ini adalah siswa dan siswi kelas XI SMA N 1 Gebog Kudus. Dengan jumlah siswa kelas XI 238 orang.
Sampel Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti (Arikunto, 2004). Dimana sampel yang diambil adalah siswa kelas XI SMA N 1 Gebog Kudus yang bersedia menjadi responden. Dengan jumlah siswa kelas XI 238 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah secara Proportionate Stratified Random Sampling apabila sampel random ini subyek <100 lebih baik diambil semua. Namun apabila subyek >100 dapat diambil 10-15% atau 20-25% atau lebih (Arikunto, 2006). Dimana 15% dari 238 orang adalah 35,7 orang atau 36 orang.
Teknik sampling Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi. Teknik sampling merupakan cara yang dapat ditempuh dalam pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan objek penelitian (Nursalam, 2003).
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data a. Data primer adalah data yang
diambil langsung tanpa perantara dari
sumbernya. Data primer dalam penelitian ini akan diperoleh langsung dari
68
pengisian kuesioner oleh responden yaitu siswa-siswi kelas XI SMA Negeri 1 Gebog Kudus. b. Data sekunder adalah data yang diambil secara tidak langsung dari sumbernya. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari pendokumentasian yang telah dilakukan oleh bagian kesiswaan SMA Negeri 1 Gebog Kudus.
Teknik Pengumpulan Data Usaha Metode pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini baik variabel bebas maupun terikat adalah dengan kuesiner. Kuesioner sebelum digunakan diuji coba untuk mengukur validitas dan reabilitas yaitu untuk mengetahui baik tidaknya instument pengumpulan data. Uji validitas dan reabilitas dilakukan di SMA PGRI II Kudus dengan alasan bahwa responden di SMA PGRI II Kudus mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan responden di tempat penelitian, dengan jumlah 20 responden. Uji validitas dilakukan dengan teknik korelasi antara skor item dengan skor total. Bila korelasinya rendah berarti pertanyaan tersebut tidak valid dan harus di drop. Jika koefisien korelasi (r) tabel yang diperoleh (>0,444) lebih besar atau sama dengan koefisien nilai-nilai kritis r pada taraf signifikan 5% maka item soal tersebut dinyatakan valid atau memiliki validitas konstruk yang secara statistik terdapat konsistensi internal dalam item-item tersebut dapat dipergunakan untuk mengukur aspek yang sama. Sebaliknya, apabila diketahui r hitung < r tabel (< 0,444) maka instrumen tersebut dikatakan tidak valid sehingga tidak layak dipergunakan sebagai alat atau instrumen penelitian. Berdasakan tabel uji validitas yang dilakukan oleh 20 responden di SMK PGRI Kaliwungu kudus didapatkan hasil pada item-item pertanyaan r hitung (0,85) > r tabel (0,444) dan pada tingkat perilaku seksual r hitung (0,791) > r tabel (0,444) sehingga dinyatakan kuesioner valid. Instrumen dikatakan reliable jika reliabilitas internal seluruh instrument sama dengan atau lebih dari 0,60 sampai mendekati angka 1 dan nilainya positif (Arikunto, 2006). Berdasakan tabel uji reliabilitas yang dilakukan oleh 20 responden di SMK PGRI Kaliwungu Kudus didapatkan hasil pada item-item pertanyaan pada tingkat pengetahuan r
69
hitung (0,962) > r tabel (0,60) dan pada tingkat perilaku seksual r hitung (0,851) > r tabel (0,60) sehingga dinyatakan kuesioner valid.
Analisa Data 1.
Analisa Univariate Analisa univariate yaitu analisa yang dilakukan terhadap varabel dari hasil penelitian. Pada umumnya analisa ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2005).
2.
Analisa Bivariate Analisa bivariate yaitu analisa yang dilakukan terhadap dua variable yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2005). Uji bivariate dengan uji ChiSquare (x²) tabel 2x1 (dfnya adalah 2
Hasil Penelitian Tingkat Pengetahuan Responden Tentang Kesehatan Reproduksi Remaja tingkat pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi pada kelas XI di SMA N 1 Gebog Kudus berpengetahuan baik dengan jumlah 21 responden (60,0%), berpengetahuan cukup 12 (34,3%) dan yang berpengetahuan kurang sebesar 2 responden (5,7%) Tentang perilaku seksual diketahui bahwa remaja mempunyai perilaku seksual yang tidak menyimpang sebesar 28 responden (80,0%), sedangkan yang mempunyai perilaku seksual yang menyimpang sebesar 7 respoden (20,0%). Hubungan Antara Pengetahuan Remaja Tentang Kesehatan Reproduksi Remaja Dengan Perilaku Seksual Kelas XI di SMA N 1 Gebog Kudus.
Tabel 2 : Distribusi Frekuensi Silang Antara Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang Kesehatan Reproduksi Remaja Dengan Perilaku Seksual Kelas XI Di SMA N 1 Gebog Kudus
70
Perilaku Seksual NO
Menyimpang
Tidak menyimpang
Total
Tingkat Pengetahuan
f
1
Baik
2
Cukup
3
Kurang
1
2,9
1
2,9
2
5,7
Total
7
20,0
28
80.0
35
100
%
f
%
f
%
1
2,9
20
57,1
21
60,0
5
14,3
7
20,0
12
4,3
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel di atas menjelaskan tentang penyebaran data antara 2 variabel yaitu tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dengan perilaku seksual. sebagian remaja kelas XI di SMA N 1 Gebog Kudus mempunyai pengetahuan yang baik dan tidak menyimpang sebesar 20 siswa (57,1%) dengan pengetahuan baik dan menyimpang sebanyak 1 siswa (2,9%). Dan mempunyai pengetahuan yang cukup dan tidak menyimpang sebesar 7 siswa (20,0%) dan menyimpang sebanyak 5 siswa (14,3%). Dan mempunyai pengetahuan yang kurang dan tidak menyimpang sebesar 1 siswa (2,9%) dengan pengetahuan yang kurang dan menyimpang sebanyak 1 siswa (2,9%).
PEMBAHASAN
Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang Kesehatan Reproduksi Di SMA Negeri 1 Gebog Kelas XI. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja pada kelas XI pada SMA N 1 Gebog Kudus rata-rata mempunyai pengetahuan yang baik sebesar 21 siswa (60,0%). Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003). Reproduksi sendiri merupakan proses alami untuk melanjutkan keturunan, sedangkan reproduksi sehat berkaitan dengan sikap dan perilaku sehat dan bertanggung jawabnya seseorang berkaitan dengan alat reproduksi dan fungsi-fungsinya serta pencegahan terhadap gangguan-gangguan yang mungkin timbul (Notoatmodjo, 2005).
71
Sebagian besar pengetahuan remaja berpengetahuan baik Sebanyak 21 siswa (60%) yang berarti responden sudah mengerti tentang kesehatan reproduksinya yang meliputi pengertian, bahaya dari kesehatan reproduksi. Sehingga mereka mudah mendapat informasi. Pengetahuan yang baik ini dapat diperoleh dari berbagai informasi melalui beberapa media informasi. Antara lain buku bacaan, leflet, media elektronik, dan lainlain.
Berdasarkan Perilaku Seksual Di SMA Negeri 1 Gebog Kelas XI Berdasarkan penelitian yang dilakukan perilaku seksual remaja pada kelas XI di SMA 1 Gebog sebagian besar berperilaku seksual tidak menyimpang 28 siswa (80,0%). Perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari (Notoatmodjo, 2005) Hubungan seksual adalah suatu hubungan yang melibatkan hubungan intim antara laki-laki dan perempuan (BKKBN, 2001). Perilaku seksual remaja yang beresiko adalah hubungan seks pada remaja dengan berganti-ganti pasangan diluar nikah yang berakibat kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), aborsi dan terjangkitnya penyakit infeksi menular seksual, HIV/AIDS, infertilitas dan keganasan (DepKes RI, 2007). Sebagian besar perilaku seksual remaja berperilaku seksual yang tidak menyimpang sebanyak 28 responden (80%). Sehingga remaja tidak beresiko terjadinya penyakit menular seksual, KTD, Aborsi, AIDS, HIV. Namun masih ada siswa yang mengalami penyimpangan seksual sebanyak 7 siswa (20%). Dalam hal ini perlu dilakukan pembinaan berupa pendalaman agama dan konseling terhadap remaja. Sehingga dapat merubah perilaku remaja tersebut.
Hubungan Pengetahuan Remaja Tentang Kesehatan Reproduksi Remaja Dengan Perilaku Seksual Pada Kelas XI Di SMA N 1 Gebog Kudus Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa perilaku seksual yang tidak menyimpang terhadap remaja yang mempunyai pengetahuan yang baik sebesar 20 siswa (57,1%), yang mempunyai pengetahuan cukup sebesar 7 siswa (20,0%) dan yang mempunyai pengetahuan yang kurang sebesar 1 siswa (2,9%). Pengetahuan yang baik dan tidak menyimpang sebesar 20 siswa (57,1%) dengan pengetahuan baik dan
72
menyimpang sebanyak 1 siswa (2,9%). Dan mempunyai pengetahuan yang cukup dan tidak menyimpang sebesar 7 siswa (20,0%) dan menyimpang sebanyak 5 siswa (14,3%). Serta mempunyai pengetahuan yang kurang dan tidak menyimpang sebesar 1 siswa (2,9%) dengan pengetahuan yang kurang dan menyimpang sebanyak 1 siswa (2,9%). Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa rata-rata remaja pada kelas XI di SMA N 1 Gebog mempunyai pengetahuan yang baik terhadap kesehatan reproduksi remaja dan berperilaku yang tidak menyimpang Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan penulis dengan uji Chi-square (bantuan program SPSS 12.0) Adapun nilai chi-square tabel pada tingkat signifikansi 5 % adalah 5,991. Kemudian dilakukan perbandingan chi-square hitung dan chi-square tabel. Dimana chi-square hitung adalah 7,693 > chi-square tabel dengan df : 2 taraf signifikan 5% adalah 5,991. Sehingga ada hubungan antara tingkat pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja dengan perilaku seksual pada kelas XI di SMA N 1 Gebog Kudus. Dengan kata lain Ho ditolak dan Ha diterima, yang menunjukkan hasil bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja dengan perilaku seksual pada kelas XI di SMA N 1 Gebog Kudus. Remaja pada kelas XI di SMA N 1 Gebog Kudus yang mempunyai pengetahuan yang baik tentang kesehatan reproduksi dan tidak akan melakukan penyimpangan terhadap perilaku seksual. Upaya yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan agar remaja tidak melakukan hubungan seksual yang menyimpang dengan memberikan penyuluhan terhadap remaja melalui bantuan PKPR (Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja) dan kerjasama terhadap, guru, pegawai yang ada disekolah, orang tua, teman dan pergaulan
KESIMPULAN .1
Sebagian besar responden mempunyai tingkat pengetahuan rendah tentang kesehatan reproduksi mereka
73
.2
Sebagian besar Siswa SMA N 1 Gebog Kudus mempunyai tingkat kecemasan tinggi atau dalam hal ini dikategorikan cemas yaitu sebanyak 22 orang (62,8%).
.3
Ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan Kesehatan reproduksi remaja terhadap perilaku seksual dengan keeratan hubungan yang kuat yang ditunjukkan dengan nilai chi-square tabel pada tingkat signifikansi 5 % adalah 5,991. Kemudian dilakukan perbandingan chi-square hitung dan chi-square tabel. Dimana chi-square hitung adalah 7,693 > chi-square tabel dengan df : 2 taraf signifikan 5% adalah 5,991
SARAN Hasil penelitian ini agar dapat sebagai masukan atau menambah informasi, untuk lebih mengembangkan ilmu pengetahuan terutama asuhan kebidanan pada remaja. Hasil penelitian ini agar dapat digunakan untuk menambah informasi kepada remaja agar maengetahui tentang kesehatan reproduksi dan perilaku seksual yang menyimpang. Hasil penelitian ini agar digunakan sebagai masukan untuk meningkatkan KIE tentang Kesehatan reproduksi remaja terhadap perilaku seksual yang menyimpang
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu. 2002. Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Rineka Cipta Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi V. Jakarta: PT. Rineka Cipta Depkes RI. 2003. Modul Pelatihan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI. 2007. Modul Pelatihan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR). Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Diptrim. 2001. Kurikulum dan Modul Pelatihan Pemberian Informasi Kesehatan Reproduksi Remaja. Semarang : BKKBN Herlina. 2001. Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer. Jogjakarta : UII Press
74
Masrukhin. 2006. Statistik Deskriptif. Kudus. Mitra Press Notoatmodjo, Soekidjo. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi 2. Jakarta: PT. Rineka Cipta Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi 3. Jakarta: PT. Rineka Cipta Pardede, M. 2002. Perubahan Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Rineka Cipta Sholeh Munawar dan Ahmadi A. 2005. Psikologi Pekembangan. Edisi Revisi. Jakarta : PT. Rineka Cipta Soetjiningsih. 2004. Buku Ajar Tumbuh Permasalahannya. Jakarta: Sagung Seto
Kembang
Remaja
dan
Sudarsono. 2004. Kenakalan Remaja. Cetakan Keempat. Jakarta : PT. Rineka Cipta Sugiyono. 2006. Statistika Untuk Penelitian. Cetakan Kesembilan. Bandung : Alfabeta Suharto A. 2006. Sex Education For Kids I. Yogyakarta : Kreasi Wacana Tafal, Zarfice. 2001. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pada Anak Remaja. Jogjakarta: Program Studi Ilmu Keperawatan. Fakultas Kedokteran UGM Rozaeni, S. Kesehatan www.4_search.co.id
Reproduksi
Remaja.
16
September
2005.
Ruliyati, S. Seksual Remaja. 28 September 2007. www.mitra_riset.com Rusdi, M. Artikel Kesehatan Reproduksi. 26 Agustus 2006. www.4_search.co.id Suciyati, I. Seks Pranikah. 28 September 2007. www.kalbe.co.id
75
Muhammad Syafar
`
PEMAHAMAN DAN SIKAP SANTRI TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI BERDASARKAN PANDANGAN ISLAM DI PESANTREN UMMUL MUKMININ MAKASSAR Oleh: Muhammad Syafar (*)
Abstract The physical and mental growth in adolescent period is something worth to note. Problem of reproductive health can come up in this period, as well as other problems such as pregnancy, abortion, sexual transmitted infection, and HIV/ AIDS limited information and health services access. This study was descriptive and observational, participants were 80 female student of Islamic boarding school, class 2 and class 3 of its senior high school. In percentage, the result shows that the understanding on the importance of health of reproduction, class 2 (30%) class 3 (63,3%); on using appropriate contraception method, class 2 (2%) class 3 (13,3%); on avoiding unwanted pregnancy and abortion, class 2 (6%) class (3,3%) and avoiding STI and HIV/AIDS to class 2 ( 54%) class 3 (20%). Their understanding on reproductive health based on Al-QURAN, particularly related to the verse that human being is created in a couple, class 2 (26%) class 3 (3,33 %); verse on the creation of men, class 3 (62%), class 3 (96,6%); verse on marriage as a good deed, class 2 (2%), class 3 (0%); Verse on prohibition of sexual intercourse before getting married, class 2 (66%) class 3 (93,3%); High frequency of sex intercourse, class 2 (20%), class 3 (3,3%); oral sex, class 2 (8%), class 3 (3,%); knowledge on Al Quran related to marriage and sex – intercourse among them were relatively high. It can be concluded that student under research knew well on reproductive health, pregnancy, and contraception method Key word : Understanding, Attitude, Health Reproduction
PENDAHULUAN
M
asa remaja diwarnai oleh pertumbuhan, perubahan, munculnya berbagai kesempatan dan seringkali menghadapi resiko-resiko kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi remaja dipengaruhi oleh kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual (PMS) atau infeksi menular (*) Dosen Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar
Jurnal “Al-Qalam” Volume 15 Nomor 23 Januari - Juni 2009
263
Muhammad Syafar seksual (IMS), kekerasan seksual, dan oleh sistem yang membatasi akses terhadap informasi dan pelayanan klinis. Kesehatan reproduksi juga dipengaruhi oleh gizi, kesehatan psikologis, ekonomi dan ketidaksetaraan jender yang menyulitkan remaja putri menghindari hubungan seks yang dipaksakan atau seks komersial. Remaja seringkali kekurangan informasi dasar mengenai kesehatan reproduksi, keterampilan menegoisasikan hubungan seksual, dan akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi yang terjangkau serta terjamin kerahasiannya. Keprihatinan akan jaminan kerahasiaan (privacy) atau kemampuan membayar, dan kenyataan atau persepsi remaja terhadap sikap tidak senang yang ditunjukkan oleh petugas kesehatan, semakin membatasi akses pelayanan lebih jauh. Banyak diantara remaja yang kurang atau tidak memiliki hubungan yang stabil dengan orang tuanya maupun dengan orang dewasa lainnya, dengan siapa seyogianya remaja dapat berbicara tentang masalah-masalah kesehatan reproduksi yang memprihatinkan atau yang menjadi perhatian mereka. Sekitar 1 milyar manusia, hampir 1 di antara 6 manusia di bumi ini, adalah remaja, 8 diantaranya hidup di negara berkembang. Banyak sekali remaja yang sudah aktif seksual (meski tidak selalu atas pilihan sendiri), dan di berbagai daerah atau wilayah, kira-kira separuhnya sudah menikah. Kegiatan seksual menempatkan remaja pada tantangan resiko berbagai masalah kesehatan reproduksi. Setiap tahun kira-kira 15 juta remaja berusia 15-19 tahun melahirkan, 4 juta melakukan aborsi, dan hampir 100 juta terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS) yang dapat disembuhkan. Secara global, 40% dari semua kasus infeksi HIV terjadi pada kaum muda yang berusia 15-24 tahun. Resiko kesehatan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berhubungan, misalnya kesetaraaan jender, kekerasan seksual dan pengaruh media massa maupun gaya hidup yang popular. Berdasarkan survei WHO (1999), lebih dari 20 macam PMS yang melibatkan lebih dari 13 juta perempuan dan laki-laki setiap tahunnya. Penyakit menular seksual tidak mengenal umur, warna kulit, agama, tingkat sosial ekonomi dan pendidikan seseorang. Kelompok dewasa dan remaja merupakan kelompok umur yang memiliki resiko terbanyak tertular PMS, ini disebabkan karena mereka cenderung melakukan hubungan seksual pada usia muda dan
264
Jurnal “Al-Qalam” Volume 15 Nomor 23 Januari - Juni 2009
Muhammad Syafar memiliki pasangan seks lebih dari satu. Hampir dua pertiga dari PMS terjadi pada usia di bawah 25 tahun. Kaum muda cenderung lebih beresiko tertular PMS, termasuk HIV/AIDS karena berbagai sebab. Seringkali hubungan seksual terjadi tanpa direncanakan atau tanpa diinginkan. Walaupun hubungan seks dilakukan atas keinginan bersama (“mau sama mau”). Seringkali remaja tidak merencanakan lebih dahulu sehingga tidak siap dengan kondom maupun kontrasepsi lain, dan mereka yang belum berpengalaman ber-KB cenderung menggunakan alat kontrasepsi tersebut secara tidak benar. Lebih lanjut, remaja putri mempunyai resiko lebih tinggi terhadap infeksi dibandingkan wanita lebih tua karena belum matangnya sistem reproduksi mereka. Salah satu tujuan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) adalah agar pada usia anak dan remaja, generasi muda kita dapat memahami secara benar permasalahan yang berkaitan dengan KRR secara menyeluruh baik yang berkaitan dengan pertumbuhan fisik, mental, sosial serta perilaku seksual yang menyimpang, penyakit menular seksual, HIV/AIDS dan pencegahannya. Hal tersebut diperlukan karena pada masa remaja telah mulai terjadi kematangan alat-alat reproduksi yang memungkinkan mereka dapat melaksanakan fungsi seksualnya, tetapi belum didukung oleh kondisi mental, sosial, spiritual dan ekonomi yang memadai untuk menghasilkan generasi yang berkualitas. Perlu disadari bahwa jika dalam implementasi kebijakan dan metode penyampaian KRR tidak mempertimbangkan dan memperhatikan nilai spritual/agama, maka justru dapat menimbulkan dampak negatif. Hal ini terjadi karena dengan remaja tahu tentang perkembangan fisiologi dirinya serta tahu tentang alat kontrasepsi sehingga tahu tentang kapan dan bagaimana menghindari kehamilan manakala mereka berhubungan diluar nikah. Nilai spiritual yang dimaksud adalah sebagai acuan untuk memberi arah menentukan mana yang benar dan mana yang salah, serta mana yang buruk dan mana yang baik terhadap suatu perbuatan. Nilai spiritual tersebut bersumber dari agama. Islam sebagai agama universal yang dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia, memberi pedoman hidup kepada umat manusia dalam segala aspeknya. Islam mengatur dan memberi arah kepada manusia dalam melaksanakan fungsi reproduksinya, kearah tujuan yang benar dan baik sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang beradab dan terhormat. Demikian
Jurnal “Al-Qalam” Volume 15 Nomor 23 Januari - Juni 2009
265
Muhammad Syafar juga pedoman secara khusus yang berkaitan dengan KRR telah jelas termaktub dalam Al-Quran dan Al-Hadits, baik pada tingkat konseptual maupun operasional. Berdasarkan pada latar belakang, penelitian ini mengangkat permasalahan, yaitu: 1) bagaimana pemahaman santri tentang kesehatan reproduksi berdasarkan pandangan Islam?, 2) bagaimana sikap santri terhadap kesehatan reproduksi?
KAJIAN PUSTAKA Masalah Remaja Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Batasan usia remaja menurut WHO adalah usia 10-19 tahun. Sedangkan menurut Badan Koordinasi Pelaksana Inpres No.6 tahun 1971 menetapkan remaja adalah mereka yang berusia di atas 12 tahun dan di bawah 18 tahun serta belum menikah. Masa remaja (Adolesen) merupakan masa pertumbuhan anak menjadi dewasa, masa terjadi perkembangan seksuil atau masa dalam kehidupan yang dimulai dengan timbulnya sifat-sifat seksuil sekunder yang pertama sampai pada akhir pertumbuhan somatik. Masa ini berlangsung bertahuntahun dan baru berakhir bila seseorang telah mencapai puncak kematangan dan pertumbuhan badan serta telah mempunyai kapasitas memperbanyak jenisnya. Menurut seorang Psikolog yang bernama Hollinshead, masa adolesen ialah masa dalam kehidupan seorang dimana masyarakat tidak lagi memandangnya sebagai seorang anak, tetapi ia juga masih belum diakui sebagai seorang dewasa dengan segala hak dan kewajibannya. Pubertas ialah saat tercapainya kematangan seksuil atau saat terjadinya kemungkinan untuk berkembang baik. Hal ini biasanya ditentukan oleh menarhe pada wanita dan timbulnya polusi (ejakulasi yang pertama kali, biasanya terjadi malam hari) pada pria. Dengan demikian pubertas merupakan suatu titik dalam masa adolesen.
266
Jurnal “Al-Qalam” Volume 15 Nomor 23 Januari - Juni 2009
Muhammad Syafar
Kesehatan Reproduksi Menurut Pandangan Islam Kesehatan Reproduksi didefinisikan sebagai “suatu keadaan utuh kesejahteraan fisik, mental, dan sosial dari penyakit dan kecacatan dalam semua hal yang berhubungan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi. Pandangan Islam tentang Penciptaan dan Reproduksi Manusia:
.
Proses Penciptaan Manusia Allah menciptakan manusia terdiri dari dua unsur yaitu unsur ruhani/ jiwa dan unsur jasmani, yang dalam kehidupan manusia keduanya saling berkaitan. Tentang unsur ruhani/jiwa, Allah SWT telah mengadakan perjanjian dengan ruh di Lauh-Mahfuzh, sebelum ditiupkan kedalam janin dirahim ibunya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran surat Al-A‘raf ayat 172. Sedangkan tentang unsur jasmani Allah SWT telah menggambarkan proses penciptaan manusia dengan sangat indah, sebagaimana firmannya dalam Al-Quran surat Al-Mu‘minun ayat 12-14. Pertemuan antara jasmani dan ruhani terjadi bersamaan dengan ditiupkan ruh kedalam janin dan ditandai dengan telah bergeraknya janin tersebut. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat As-Sajadah ayat 8-9. Juga dikuatkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas‘ud, bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Sesungguhnya anak manusia diciptakan pertama kali didalam perut ibunya selama empat puluh hari, yaitu dalam bentuk nutfah. Kemudian tersusun dan membentuk gumpalan darah, kemudian daging, kemudian tulang. Setelah itu Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh kedalamnya empat perkara : rizkinya, ajalnya, amal perbuatannya, dan keadaaan hidupnya, sengsara atau bahagia “. Manusia Diciptakan Berpasang-pasangan Sunatullah menentukan, bahwa untuk melangsungkan kehidupan makhlukNya, Allah SWT menciptakan jenis laki-laki dan perempuan. Artinya segala sesuatunya diciptakan-Nya secara berpasang-pasangan, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran surat Adz-Dzariat ayat 49. Antara jenis laki-laki dan perempuan itu tidak sama, terdapat perbedaan yang merupakan ciri masing-masing. Hal tersebut ditegaskan oleh Allah SWT dalam AL-Quran surat Ali-Imran ayat 36. Dengan adanya perbedaan
Jurnal “Al-Qalam” Volume 15 Nomor 23 Januari - Juni 2009
267
Muhammad Syafar tersebut laki-laki dan perempuan merupakan pasangan yang masingmasing memiliki daya tarik dan hasrat untuk mengadakan kontak karena saling membutuhkan dan saling melengkapi. Apabila hasrat untuk mengadakan kontak biologis dibiarkan terjadi secara naluriah tanpa diatur maka akan menyebabkan terjadinya kontak dalam bentuk liar seperti pelacuran, kumpul kebo dan lain-lain. Hal tersebut mengakibatkan manusia sebagai makhluk terhormat dan beradab menjadi merosot martabatnya. Dalam agama Islam aturan untuk menata kontak manusia yang berlainan jenis yaitu dengan pernikahan. Pernikahan dan Hubungan Seksual Suami Isteri sebagai Ibadah Salah satu fitrah manusia yang telah diberikan oleh Allah SWT adalah fitrah berupa dorongan seksual, yang antara lain bertujuan agar kehidupan umat terus berlanjut hingga akhir kiamat kelak. Fitrah tersebut merupakan rahmat Allah SWT yang sifatnya suci, sehingga penyalurannya diperlukan aturan yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan. Islam memberi aturan yang sesuai dengan kedudukan manusia yaitu dengan pernikahan. Dalam pernikahan hubungan seksual suami isteri memiliki nilai ibadah yang mendatangkan pahala, namun jika dilakukan diluar nikah atau berzina maka hukumnya dosa dan menerima siksa serta bencana. Kehamilan Setelah terjadi pernikahan maka harapan utama dari pasangan suami isteri adalah adanya kehamilan, karena dengan kehamilan pasangan tersebut terbukti akan mendapat keturunan yang akan melanjutkan kelangsungan hidup dan cita-citanya. Kehamilan adalah peristiwa yang menakjubkan karena dalam kehamilan itulah proses penciptaan manusia berlangsung (QS 23: 12-14). Kehamilan terjadi apabila ada pertemuan antara sel mani ( sperma ) dengan sel telur (ovum). Pertemuan tersebut diawali dengan adanya hubungan seksual pada saat wanita dalam periode subur. Proses bersatunya sel telur dengan sel mani tersebut, yang disebut zygote, akan berkembang membelah diri dan bergerak (dialirkan) ke rongga rahim untuk kemudian menempel pada selaput lendir rahim (endometrium). Dari dinding rahim inilah, bakal janin (embrio) mendapatkan makanan dari aliran darah rahim dan berkembang menjadi janin, sebagaimana tahapan perkembangannya diungkapkan juga dalam AL-Quran (surat 23 : 12-14)
268
Jurnal “Al-Qalam” Volume 15 Nomor 23 Januari - Juni 2009
Muhammad Syafar
TEMUAN DAN PEMBAHASAN Pemahaman Tentang Kesehatan Reproduksi Dari hasil analisa data yang telah dilakukan bahwa pengertian kesehatan reproduksi yang selama ini dipahami para santri bahwa kesehatan reproduksi yang menjelaskan tentang organ reproduksi saja seperti alat kelamin pria (penis) maupun wanita (vagina) secara anatomis dan fisilogis saja karena sudah sering disinggung pada mata pelajaran biologi. Dan sebagian mengatakan kesehatan reproduksi bagaimana menghindari penyakit menular seksual (PMS) atau infeksi menular seksual (IMS) serta HIV/AIDS. Pemahaman santri selain diperoleh melalui pelajaran di klas, juga dari sumber informasi dari media elektronik maupun media massa, sedangkan informasi dari orang tua pada umumnya tidak pernah diterima, mungkin hal ini masih dianggap tabu. Pengetahuan adalah setiap bentuk informasi yang dimiliki seseorang, yang merupakan bagian dari cognitive domain (taksonomi Bloom),yang didapatkan dari pengalaman dan informasi yang diterima . Distribusi jawaban santri tentang pengertian kesehatan reproduksi seperti table berikut ini : Tabel 1 Distribusi Pemahaman Santri Tentang Kesehatan Reproduksi Tanggapan Kesehatan yang meliputi organ reproduksi Penggunaan metode kontrasepsi yang tepat Menghindari kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi Menghindari PMS dan Infeksi HIV/AIDS JUMLAH
Kelas 2 Nilai 19 11 3 27 50
% 58 2 6 54 100
Kelas 3 Nilai % 19 63,33 4 13,33 1 13,33 6 30
20 100
Menurut ilmu pengetahuan modern,seks perlu diajarkan secara bertahap sejak dini. Dari masa kanak-kanak, puber hingga dewasa. Ilmu pendidikan modern telah mengajarkan tentang perkawinan, proses terjadinya kehamilan, sejak terbentuknya konsepsi (embrio), masa bayi sehingga mencapai usia pubertas, yang telah memungkinkan bagaimana menghadapi menarrhae(menstruasi pertama), kehamilan, penyakit yang berhubungan dengan seksual (infeksi penyakit menular), dan termasuk pergaulan bebas berdampak abortus dan kehamilan tidak diinginkan (Unwanted Pregnancy).
Jurnal “Al-Qalam” Volume 15 Nomor 23 Januari - Juni 2009
269
Muhammad Syafar Analisa data pengetahuan tentang seksual dan perkawinan dalam pandangan Islam dengan mengajukan pertanyaan berdasarkan Ayat-Ayat Al-Quran dan Hadist Nabi Muhammad SAW, memberikan jawaban yang sebagian besar sudah memenuhi pengertian dari Ayat Ayat terpilih antara lain Surat Al-Mukminum ayat 12-14, Surat Al-Imran ayat 36, Surat Al Baqarah 223, Surat Adz Dzarut ayat 49. Namun masih ada juga memberikan jawaban yang kurang tepat, salah satu gambaran table distribusi pemahaman Surat Al Mukminum ayat 12-14 : Tabel 2 Distribusi Pemahaman Santri Tentang Al-Quran Surat Al-Mukminun ayat 12-14l Tanggapan Manusia diciptakan berpasang-pasangan Proses penciptaan manusia Pernikahan dan hubungan suami istri sebagai ibadah Kehamilan JUMLAH
Kelas 2 Nilai % 18 36 31 62 1 2 0 0 50 100
Kelas 3 Nilai % 1 3,33 29 96,67 0 0 0 0 30 100
Dari tabel tersebut diatas tampak bahwa 29 santri kelas 3 dari 30 ora,atau 96,67% memiliki pengetahuan yang baik mengenai Al-Quran Surat Al-Mukmin ayat 12-14. Sedangkan kelas 2, 31 santri dari 50 orang atau 62% menjawab benar. Konteks ayat ayat diatas telah dipahami santri namun masih ada juga yang masih salah penafsiran, sehingga masih dibutuhkan waktu untuk lebih banyak belajar dan berdiskusi dengan narasumber (ustad). Dalam lingkup pondok pesantren masalah pengertian tentang kontrasepsi sudah cukup dikenal,namun alat alat kontrasepsi yang belum pernah dilihat seperti IUD, kondom pria,apalagi kondom wanita (diapragma), yang sering dilihat hanya Pil KB karena diantara santri ada orang tuanya peserta KB. Namun pemahaman tentang kontrasepsi masih berbeda beda seperti tabel di bawah ini. Tabel 3 Distribusi Pemahaman Santri Tentang Pengertian Kontrasepsi Kelas 2 Kelas 3 Tanggapan Nilai % Nilai % Cara untuk mencegah kehamilan baik 36 72 21 70 dengan menggunakan alat/obat Berhubungan erat dengan program KB Kondom dan Pil KB Tidak tahu JUMLAH
270
8 2 4 50
16 4 8 100
6 1 2 30
20 3,33 6,67 100
Jurnal “Al-Qalam” Volume 15 Nomor 23 Januari - Juni 2009
Muhammad Syafar Secara keseluruhan, pengetahuan santri baik kelas 3 maupun kelas 2 mengenai kontrasepsi tanggapannya sama. Hal ini dapat dilihat, dari 30 santri kelas 3, 21 orang (70%), memilih cara untuk mencegah kehamilan baik dengan menggunakan alat/obat. Sedangkan untuk kelas 2, 36 dari 50 santri (72%). Pemilihan pertanyaan khusus kondom karena kata ini sudah sangat populer di kalangan remaja termasuk para santri, karena isuenya menjadi kontradiktif karena ada pihak kondom sebagai alat mencegah kehamilan(KB) tapi ada juga pihak menilai kondom juga termasuk alat mencegah penyakit infeksi menular seksual. Tabel 4 Distribusi Pemahaman Santri Tentang Fungsi Kondom Kelas 2 Kelas 3 Jawaban Nilai % Nilai % Mencegah kehamilan 4 8 4 13,33 Mencegah penularan penyakit menular 0 0 0 0 seksual, HIV/AIDS Semua benar 46 92 26 86,67 30 100 50 100 JUMLAH
Secara keseluruhan, pengetahuan siswi kelas 3 maupun kelas 2 mengenai fungsi kondom tanggapannya sama. Hal ini dapat dilihat dari tabel tersebut diatas, dari 30 santri kelas 3, sebanyak 26 santri (86,67%) menjawab benar. Sedangkan untuk kelas 2, dari 50 responden, 46 diantaranya (92%) menjawab benar. Sebagai konfirmasi pemahaman santri tentang terjadinya kehamilan (konsepsi), karena hal ini telah diberikan pada mata ajaran biologi, ternyata belum semua memahami secara maksimal dengan melihat masih adanya jawaban yang diberikan jauh dari sebenarnya seperti oral seks,dan kehamilan bisa terjadi kalau dilakukan berkali kali. Kehamilan bisa tidak terjadi karena adanya infertilitas (kemandulan) dan penyakit infeksi seksual.
Jurnal “Al-Qalam” Volume 15 Nomor 23 Januari - Juni 2009
271
Muhammad Syafar Tabel 5 Distribusi Pemahaman Sanri Tentang Kemungkinan Terjadinya Kehamilan Kelas 2 Kelas 3 Tanggapan Nilai % Nilai % Ciuman di bibir 0 0 0 0 Senggama walaupun hanya sekali 33 66 28 93,33 Senggama berkali-kali 13 26 1 33,33 Oral sex 4 8 1 3,3 50 100 30 100 JUMLAH
Dari tabel tersebut diatas tampak bahwa 28 santri kelas 3 dari 30 orang (93,33%) memilih senggama walaupun hanya sekali. Kelas 2, 33 santri dari 50 orang (66%) menjawab benar. Pengetahuan Pencegahan kehamilan dapat dilakukan dengan memakai alat kontrasepsi seperti kondom dan pil KB bahkan ada yang menyebutkan aborsi sebagai salah satu cara (alternatif). Pengertian tentang aborsi yang dikenal adalah mengakhiri kehamilan sebelum cukup bulan dengan kategori aborsi kriminalis, dan tidak dipahami bahwa aborsi dapat dilakukan karena indikasi medis. Dalam pemahaman kegiatan atau perbuatan perbuatan perilaku seks sebelum nikah para santri masih tetap teguh bahwa perbuatan itu dosa besar (berzina) dan lebih banyak mengemukakan pendekatan ayat S.Al Israa ayat 32 “dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah faahisah (perbuatan yang keji) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh oleh seseorang)”, diikuti dengan mengapa harus mengerjakan perbutan Fahisyah dan untuk melawan nafsu saitan tersebut harus dilawan dengan mendirikan shalat yang benar. Khusus dalam pemahaman tentang penyakit infeksi penyakit menular seksual (IMS), ternyata umumnya santri menekankan disebabkan dan disebarkan melalui hubungan seksual (senggama),sedangkan penyakit IMS dapat saja terjadi karena faktor hygiene perorangan seperti jamur, virus dan komplikasi penyakit lainnya.
272
Jurnal “Al-Qalam” Volume 15 Nomor 23 Januari - Juni 2009
Muhammad Syafar Tabel 6 Distribusi Pemahaman Santri Tentang Pengertian Penyakit IMS Kelas 2 Kelas 3 Tanggapan Nilai % Nilai % Penyakit yang ditularkan melalui 30 60 25 83,33 senggama Infeksi pada alat kelamin 14 28 3 10 Penyakit kelamin 5 10 1 3,33 Tidak tahu 1 2 1 3,33 50 100 30 100 JUMLAH
Dari tabel diatas tampak bahwa 25 santri (83,33%) dari 30 orang kelas 3, memilih penyakit yang ditularkan lewat senggama, 3 responden atau 10% memilih infeksi pada alat kelamin, dan masing-masing 1 santri ( 3,33%) memilih penyakit kelamin dan jawaban tidak tahu. Untuk kelas 2, 30 santri (60%) memilih penyakit yang ditularkan lewat senggama, 14 santri (28%) memilih infeksi pada alat kelamin, 5 santri (10%) memilih penyakit kelamin dan 1 santri ( 2%) memilih jawaban tidak tahu. Sedang pada pemahaman tentang HIV/AIDS sebagian besar sudah mengenal dengan dalam hal pengertiannya, namun sejauh ini belum mengetahui cara penularan dan pencegahannya karena belum tersosialisasi informasi yang baik, dari pihak sekolah (pesantren) maupun dari kalangan keluarga atau belum mendapat intervensi dari pihak luar (Dinas kesehatan, NGO). Tabel 7 Distribusi Pemahaman Santri Tentang Pengertian HIV/AIDS Kelas 2 Kelas 3 Tanggapan Nilai % Nilai % Termasuk penyakit menular seksual 22 44 18 60 Penyakit infeksi yang tidak bisa 7 14 5 16,67 disembuhkan Penyakit yang menyebabkan seseorang 20 40 7 23,33 mengalami penurunan kekebalan tubuh Tidak tahu 1 2 0 0 50 100 30 100 JUMLAH
Jurnal “Al-Qalam” Volume 15 Nomor 23 Januari - Juni 2009
273
Muhammad Syafar Dari tabel diatas tampak bahwa 18 santri (60%) dari 30 orang kelas 3, memilih termasuk penyakit menular seksual, 5 santri (16,67%) memilih penyakit infeksi yang tidak bisa disembuhkan , dan 7 santri ( 23,33%) memilih penyakit yang menyebabkan seseorang mengalami penurunan kekebalan tubuh. Untuk kelas 2, 22 santri (44%) dari 50 orang kelas 3, memilih termasuk penyakit menular seksual, 7 santri (14%) memilih penyakit infeksi yang tidak bisa disembuhkan , dan 20 santri (40%) memilih penyakit yang menyebabkan seseorang mengalami penurunan kekebalan tubuh, sedangkan 1 orang lainnya ( 2%) menjawab tidak tahu. Sedang pemahaman tentang akibat penyakit infeksi menular seksual (IMS), menunjukan bahwa 18 santri (60%) dari 30 orang kelas 3, memilih menganggu organ reproduksi, 12 santri (40%) memilih dapat berakhir dengan kematian. Untuk kelas 2, 30 santri (60%) dari 50 responden memilih mengganggu organ reproduksi, 20 santri (40%) memilih dapat berakhir dengan kematian.
Sikap Santri tentang Kesehatan Reproduksi Pengambilan jawaban sikap didasarkan dengan pengajuan pernyataan dengan skala guttman (dikhotomi) saja, dengan menilai sikap tentang senggama (hubungan suami isteri) serta aktivitas mengakses informasi dari internet. Seperti penyajian dalam tabel berikut : Tabel 8 Distribusi Sikap Santri Tentang Melakukan Hubungan Suami Isteri Jika Pacar Anda Mau Bertanggung Jawab Kelas 2 Kelas 3 Sikap Nilai % Nilai % Setuju 2 4 1 3,33 Tidak setuju 48 96 29 96,67 JUMLAH 50 100 30 100
Dari tabel diatas tampak dari 29 santri (96,67%) kelas 3 menjawab tidak setuju, sedangkan untuk santri kelas 2, 48 ( 96%) santri menjawab tidak setuju.
274
Jurnal “Al-Qalam” Volume 15 Nomor 23 Januari - Juni 2009
Muhammad Syafar Tabel 9 Distribusi Sikap Santri Tentang Informasi Seksual dari Internet Boleh Diakses oleh Siapa Saja Kelas 2 Kelas 3 Sikap Nilai % Nilai % Setuju 25 50 18 60 Tidak setuju 25 50 12 40 30 100 50 100 JUMLAH
Dari tabel di atas tampak dari 18 santri ( 60%) kelas 3 menjawab setuju, sedangkan untuk responden kelas 2, 25 santri (50%) responden menjawab setuju.
PENUTUP Kesimpulan Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, yaitu : 1.
Pemahaman santri mengenai kesehatan reproduksi secara umum cukup baik dan dikaitkan dengan aturan dan norma agama Islam yang dipahaminya
2.
Pemahaman aborsi dikategorikan sebagai aborsi kriminalis belum memahami aborsi medis, dan pemahaman penyaki infeksi menular seksual (IMS) hanya diakibatkan oleh hubungan seksual belum memahami faktor lainnya.
3.
Pada umumnya sikap santri tentang hubungan seksual pranikah tidak setuju.
R ekomendasi 1.
Perlunya subtansi kesehatan reproduksi lebih diperkaya mulai dari pemahaman, penularan penyakit infeksi menular seksual, pencegahan serta dampak sosial didalam kurikulum yang menyangkut hal tersebut.
2.
Pentingnya peran orang tua sebagai sumber informasi pertama dan utama bagi santri mengenai kesehatan reproduksi yang sesuai dengan tahap tumbuh kembang sebagai remaja
Jurnal “Al-Qalam” Volume 15 Nomor 23 Januari - Juni 2009
275
Muhammad Syafar
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’anAl-Karim. Amiruddin Dali M. 2004. Penyakit Menular Seksual. Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. FKUH.Makassar. PT.Lkis Pelangi Aksara. Adhi Djuanda (Editor). 2002. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketiga. Jakarta. Syauqi, Al-Fanjakartajari Ahmad. 1996. Nilai Kesehatan Dalam Syariat Islam, Bumi Aksara. Al-Jawari, Shiddiq M. Kritik Islam Terhadap Kemungkinan Legalisasi Aborsi Amandemen UU No.23/1992.Available at http : www.khilafah 1924.org/index.php? Noor Rochmah dkk. 2001. Kesehatan Reproduksi Remaja menurut Pandangan Islam. Pimpinan Pusat Aisyiyah dengan BKKBN. PT. Moro Esem Jakarta. Sherris Jacqueline (Editor). Kesehatan Reproduksi Remaja : Membangun Perubahan yang Bermakna .Available at http: www.path.org/files/indonesian_16-3.pdf Sudan MD, 1997. Al- Quran Dan Panduan Kesehatan Masyarakat, PT. Dana Bhakti Primayasa, Jogyakarta. Dagr Nisar Muhammad. 2002. Hidup Sehat Dan Bersih Ala Nabi, Penerbit Himmah, Jakarta.
276
Jurnal “Al-Qalam” Volume 15 Nomor 23 Januari - Juni 2009
PEMANFAATAN JAMU UNTUK GANGGUAN KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN, ANALISIS LANJUT DATA RISET KESEHATAN DASAR TAHUN 2010 Lestari Handayani1, Lusi Kristiana1
ABSTRACT Background: Female reproductive health problem are many, while the consumption of jamu (traditional herbal medicine) was popular in the community. Method: The data of Riset Kesehatan Dasar (National Basic Health Research) 2010 in Indonesia is used to gure out women who consumed jamu to handle reproductive health problem. The Survey provided data of women who suffered from reproductive health problem. Results: There were ve types of complaints about health reproduction of 79.835 women within the range 15–59 age years old such as; infrequent menstruation was 28,6% (n = 79.675), complication of pregnancy were 6,5% (n = 20.347), breast pain after childbirth was 11.9% (n = 20.347), and pregnancy problem it will be ended at gestational age < 22 weeks were 4.0% (n = 63.536), Unintended pregnancies were 3.5% (n = 63.536). Statistic test of relationships between reproduction health problems and the use of jamu revealed that it will have possibilities to handle breast pain after childbirth with jamu (traditional herbal medicine). There was statistically signicant relationships (p = 0.000) with moderate relationship (Coefcient Contingensi = 0.356). Conclution: The research concluded that many kinds of jamu for reproduction health complaints of women were used in the community but the benets are not recognized. It was recomended to inventory jamu for reproduction health problem that mostly are consumed by communities for the development and further research which is mostly concerned to observe the benets and the safety of the jamu. Keywords: jamu consumtions; reproductive health problem; National Basic Health Research 2010 ABSTRAK Keluhan perempuan tentang kesehatan reproduksi sering terjadi sedangkan penggunaan jamu masih sering dijumpai di masyarakat. Jamu untuk kesehatan reproduksi banyak digunakan namun belum diketahui angka pasti penggunaan jamu oleh perempuan di Indonesia. Penelitian ini menganalisis data riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 untuk memberikan gambaran pemanfaatan jamu untuk gangguan kesehatan reproduksi perempuan. Hasil Penelitian menunjukkan lima jenis keluhan tentang kesehatan reproduksi pada 79.835 orang perempuan usia 15–59 tahun yaitu menstruasi tidak teratur 28,6% (n = 79.675), komplikasi kehamilan 6,5% (n = 20.347), nyeri payudara setelah melahirkan 11,9 % (n = 20.347), gangguan kehamilan yang berakhir pada usia kehamilan < 22 minggu 4,0% (n = 63.536), Kehamilan yang tidak direncanakan 3,5% (n = 63.536). Uji hubungan yang antara gangguan kesehatan reproduksi dan pemanfaatan jamu untuk mengatasinya hanya memungkinkan untuk nyeri payudara setelah melahirkan. Diperoleh hubungan signikan (p = 0,000) dengan menggunakan uji chi square dengan kuat hubungan moderat (Koesien Contingensi = 0,356). Kesimpulan cukup banyak jenis jamu yang digunakan untuk mengatasi gangguan kesehatan reproduksi perempuan tapi manfaatnya belum jelas diketahui. Disarankan dilakukan inventarisasi jamu kesehatan reproduksi yang banyak dimanfaatkan untuk dikembangkan serta perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan keamanan dan khasiatnya. Kata kunci: pemanfaatan jamu, gangguan kesehatan reproduksi, Riskesdas 2010 Naskah Masuk: 23 Mei 2011, Review 1: 25 Mei 2011, Review 2: 25 Mei 2011, Naskah layak terbit: 23 Juni 2011
PENDAHULUAN Di era modern, penggunaan cara tradisional berupa jamu sebagai upaya kesehatan masih 1
dilakukan oleh sebagian masyarakat. Obat tradisional atau lebih dikenal sebagai jamu secara umum masih dipakai oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu
Pusat Humaniora Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Jl. Indrapura 17 Surabaya Alamat korespondensi:
[email protected]
301
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 14 No. 3 Juli 2011: 301–309
cara dalam menolong diri sendiri terhadap keluhan kesehatan atau sebagai cara menjaga kesehatan. Data Susenas tahun 2001 menunjukkan bahwa dari seluruh penduduk sakit, 56,3% melakukan pengobatan sendiri. Angka ini lebih rendah dibanding tahun 1998 yaitu sebesar 62,2%. Namun bila dilihat dari penggunaan obat tradisional dalam tahun 2001 yaitu 28,7% dari penduduk sakit yang melakukan pengobatan, angka ini hampir dua kali lipat dibanding tahun 1998 yaitu 15,2% (Departemen Kesehatan RI, 2001). Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), persentase penduduk yang menggunakan obat tradisional pada tahun 2006 sebesar 38,3%, yang meningkat dibandingkan pada tahun 2005 yaitu sebesar 35,52% (Badan Pusat Statistik, 2006). Kenyataan tersebut membuktikan bahwa jamu atau obat tradisional masih cukup tinggi dimanfaatkan oleh masyarakat. Kesehatan merupakan aset berharga bagi manusia karena dengan tubuh sehat memungkinkan manusia beraktivitas secara maksimal. Tubuh sehat menjadi dambaan setiap orang tidak terkecuali kaum perempuan. Saat ini perempuan banyak yang menjalani peran ganda, baik sebagai pengelola rumah tangga maupun sebagai pencari nafkah. Peran ganda ini memberikan beban yang semakin besar. Di samping itu mereka masih harus melakukan peran reproduksinya dalam berbagai tingkat usia kehidupan. Seringkali perempuan mengalami gangguan kesehatan reproduksi baik ringan, sedang maupun berat. Gangguan kesehatan akan memberikan hambatan dalam fungsi reproduksi. Pada masyarakat Indonesia, perhatian terhadap kesehatan baik kesehatan reproduksi maupun kesehatan lainnya dari anggota rumah tangga pada umumnya diserahkan kepada perempuandituntut untuk menyelesaikan masalah tersebut (Armas, 1995). Oleh karena itu perempuan seringkali melakukan upaya pemeliharaan kesehatan agar perannya sebagai perempuan selalu terjaga. Keluhan perempuan tentang kesehatan reproduksi ditengarai banyak terjadi. Kondisi ini bisa dilihat dari tingginya kebutuhan pelayanan kesehatan untuk ibu. Berbagai upaya kesehatan dilakukan antara lain dengan mencoba melakukan perawatan ataupun pengobatan sendiri sampai kepada mencari pengobatan di pelayanan kesehatan informal seperti pengobat tradisional maupun pelayanan kesehatan formal. Perempuan diduga masih banyak memanfaatkan jamu atau obat tradisional dalam upaya kesehatan reproduksi. Keadaan ini bisa dilihat dari banyaknya 302
industri jamu yang memproduksi jamu untuk perawatan kesehatan perempuan (Handayani, 1999). Gambaran tentang penggunaan jamu oleh perempuan di Indonesia untuk kesehatan reproduksi selama ini belum diketahui angka pasti. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 telah selesai dilakukan dan memberikan berbagai data kesehatan dan secara khusus tentang kesehatan reproduksi perempuan. Data yang dikumpulkan termasuk pula upaya yang dilakukan dalam mengatasi gangguan kesehatan reproduksi. Dengan memanfaatkan data Riskesdas tersebut, dilakukan analisis tentang pemanfaatan jamu untuk mengatasi gangguan kesehatan reproduksi oleh perempuan dan menguji hubungan pemanfaatan jamu dengan gangguan kesehatan reproduksi. METODE Kerangka Konsep Kerangka konsep yang diadaptasi dari teori Health Belief Model menunjukkan bahwa konsumsi jamu oleh perempuan dapat dipegaruhi oleh gangguan kesehatan yang dirasakan perempuan, nilai kesehatan reproduksi bagi perempuan, keberadaan jenis jamu, pengetahuan tentang fasilitas kesehatan dan manfaat yang dirasakan akibat minum jamu (Strecher, 1997). Konsumsi jamu diharapkan akan memengaruhi kesehatan reproduksi. Pengkajian pada tulisan ini dibatasi pada hubungan konsumsi jamu dengan gangguan kesehatan reproduksi yang menyebabkan seorang perempuan mengkonsumsi jamu, oleh karena keterbatasan data yang tersedia dalam Riskesdas 2010. Kerangka konsep pemanfaatan jamu oleh perempuan dan berbagai faktor terkait dapat dilihat secara menyeluruh dalam gambar 1. Bahan jamu Gangguan Masalah kesehatan kesehatan reproduksi
reproduski perempuan
Jenis jamu
Pengetahuan tentang fasilitas kesehatan
Konsumsi Jamu Konsumsi jamu oleh perempuan
Nilai kesehatan reproduksi
Kesehatan Peningkatan Reproduksi kesehatan
reproduksi
Gender issue
Keterangan: ...................... adalah variabel yang diteliti
Data Riskesdas Penelitian ini memanfaatkan data Riskesdas 2010 yang merupakan riset berbasis masyarakat
Pemanfaatan Jamu untuk Gangguan Kesehatan (Lestari Handayani, Lusi Kristiana)
yang bertujuan mengevaluasi beberapa indikator kesehatan sebagai bahan penilaian pencapaian target MDGs. Riskesdas 2010 mengumpulkan indikator kesehatan yang diperoleh dari sampel rumah tangga yang dapat mewakili nasional dan provinsi. Indikator yang akan dikumpulkan melalui Riskesdas 2010 termasuk informasi tentang status kesehatan ibu dan status kesehatan reproduksi. Disain penelitian ini disesuaikan dengan Riset Kesehatan Dasar tahun 2010. Kerangka sampel yang digunakan dalam Riskesdas 2010 ditentukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Penelitian dilaksanakan di seluruh provinsi (33) Indonesia dengan waktu pengumpulan data sejak bulan Juni–Juli tahun 2010. Pengumpulan data dilakukan oleh tim Riskesdas Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Populasi penelitian ini adalah perempuan usia 15–59 tahun yang merupakan sampel Riskesdas 2010. Kelompok ini dalam data Riskesdas 2010 berjumlah 79.835 orang. Kelompok reproduktif adalah 10–59 tahun namun responden yang ditanya tentang kesehatan reproduksi adalah usia 15–59 tahun, sehingga unit analisis penelitian ini adalah perempuan usia produktif 15–59 tahun yang mengalami gangguan kesehatan reproduksi sebagai sampel penelitian. Variabel penelitian disesuaikan dengan konsep yang digunakan dan keberadaan data Riskesdas 2010 yang tersedia di Badan Litbang Kesehatan. Terdapat 5 gangguan kesehatan reproduksi yang ditanyakan dalam kuesioner Riskesdas yaitu: 1) Menstruasi tidak teratur; 2) Komplikasi kehamilan; 3) Nyeri payudara setelah melahirkan; 4) Gangguan
kehamilan yang berakhir pada usia kehamilan < 22 minggu; 5) Kehamilan yang tidak direncanakan. Pemanfaatan jamu sebagai salah satu upaya menyelesaikan gangguan kesehatan reproduksi diambil sebagai variabel yang dikaji. Data yang terkumpul dilakukan analisis secara deskriptif dan dilakukan tabulasi silang. Selain dilakukan uji hubungan antara variabel tergantung yaitu minum jamu dengan variabel bebas yaitu gangguan kesehatan reproduksi yaitu nyeri payudara setelah melahirkan. Empat variabel yang lain tidak dilakukan uji hubungan. Hal ini karena susunan pertanyaan yang tersedia dalam kuesioner tidak memungkinkan untuk melakukan uji hubungan. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi square. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menyampaikan gambaran perempuan 15–59 tahun dengan gangguan kesehatan reproduksi dan perilaku konsumsi jamu yang dikaitkan dengan karakteristik sampel yaitu kelompok umur, pendidikan, pekerjaan, status ekonomi dan lokasi tempat tinggal. Selanjutnya dilakukan uji statistik untuk mengetahui hubungan antara gangguan kesehatan reproduksi dengan penggunaan jamu. Gangguan Kesehatan Reproduksi Perempuan Berdasar Kelompok Umur Gangguan kesehatan reproduksi pada perempuan usia 15–59 tahun dalam kuesioner Riskesdas tahun 2010 digambarkan berdasar kelompok umur dan terlihat hasil sebagai berikut ini (Tabel 1).
Tabel 1. Distribusi Gangguan Kesehatan Reproduksi Perempuan Berdasar Kelompok Umur, Riskesdas 2010 Gangguan kesehatan Reproduksi Perempuan Kel. Umur (tahun)
Menstruasi tidak teratur
Frekw
%
Komplikasi kehamilan
Frekw
%
Nyeri payudara setelah melahirkan
Frekw
%
Kehamilan berakhir < 22 mg
50,0 40,1 6,6 0,2
Frekw 43 844 1.008 513 152
% 1,7 33,0 39,4 20,0 5,9
100,0
2.560
100,0
15–19
2.387
10,5
31
2,3
78
3,2
20–29
6.398
28,1
30–39
6.374
28,0
40–49 50–59
4.900 2.725
21,5 12,0
572 584 135 4
43,1 44,0 10,2 0,3
1.215 974 160 4
Total
22.784
100,0
1.326
100,0
2.431
Kehamilan yang tidak direncanakan Frekw % 56 2,5 681 30,3 1.045 46,6 426 19,0 36 1,6 2.244
100,0
303
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 14 No. 3 Juli 2011: 301–309
Gangguan kesehatan reproduksi yang terbanyak dikeluhkan adalah menstruasi tidak teratur yang terjadi pada kelompok umur 15–59 tahun yang berstatus belum menikah maupun sudah kawin ataupun cerai mati/cerai hidup, tidak menikah. Disusul secara berurutan kehamilan yag berakhir pada usia kehamilan kurang dari 22 bulan (berstatus kawin/kawin cerai mati/cerai hidup, 5 tahun terakhir), nyeri payudara setelah melahirkan (berstatus kawin/kawin cerai mati/cerai hidup), kehamilan yang tidak diinginkan dan terakhir komplikasi kehamilan (berstatus kawin/ kawin cerai mati/cerai hidup, 5 tahun terakhir). Pada seluruh gangguan kesehatan reproduksi terbesar pada kelompok umur 20–39 tahun. Dari seluruh perempuan umur 15–59 tahun dibedakan dalam 5 kelompok umur. Responden yang mengalami keluhan menstruasi tidak teratur berjumlah 22.784 dan bila dikelompokkan berdasar umur terlihat bahwa terbanyak adalah kelompok 20–29 tahun (28,1%) disusul kelompok umur 30-39 tahun (28,0%) dan paling sedikit adalah kelompok umur 15–19 tahun (10,5%). Tingginya keluhan menstruasi tidak teratur pada kelompok 20–29 tahun dan 30–39 tahun diduga karena kelompok ini merupakan kelompok usia yang telah menikah dan melahirkan sehingga paling memperhatikan masalah menstruasi dibandingkan kelompok lainnya (Gambar 1). 15‐19 th
10%
12% 22%
20‐29 th
28%
30‐39 th 40‐49 th 50‐59 th
28%
Gambar 1. Keluhan Menstruasi Tidak Teratur Menurut Kelompok Umur, Riskesdas 2010
Gangguan Kesehatan Reproduksi Perempuan Berdasar Status Ekonomi (Kuintil) Status ekonomi (kuintil) dikelompokkan menjadi 5 yang dihitung dari tingkat pengeluaran perkapita per tahun sesuai dengan ketentuan BPS dan diperoleh tingkat terendah adalah kuintil 1 sampai tertinggi yaitu kuintil 5. Gambaran berdasar kuintil terkait dengan gangguan kesehatan reproduksi perempuan adalah sebagai terlihat dalam gambar 2 berikut ini.
304
Gambar 2. Gangguan kesehatan reproduksi pada perempuan umur 15–5 tahun Berdasar Kelompok Status Ekonomi Kuintil, Riskesdas 2010
Gambar 2 menunjukkan bahwa persentase keluhan menstruasi tidak teratur tidak terlihat kecenderungan tertentu bahkan cenderung merata di semua kuintil. Demikian pula untuk keluhan komplikasi kehamilan yang tampaknya merata di setiap kuintil meskipun kuintil 4 menunjukkan persentase tertinggi (22,4%). Keluhan nyeri payudara setelah melahirkan terlihat paling tinggi pada kuintil 2 (22,9%) disusul kuintil 1, sedangkan persentase terendah terdapat pada kuintil 5 yaitu 14,4 persen. Gangguan Kesehatan Reproduksi Perempuan berdasar Lokasi Tempat Tinggal Dilakukan pengelompokkan berdasar lokasi tempat tinggal dan diperoleh gambaran yang hampir sama untuk kelima jenis gangguan reproduksi yaitu bahwa keluhan atau gangguan reproduksi terlihat lebih tinggi di perkotaan (Tabel 2). Upaya Minum Jamu untuk Mengatasi Gangguan Kesehatan Reproduksi Perempuan Banyak upaya dapat dilakukan dalam mengatasi gangguan kesehatan reproduksi, baik upaya sendiri maupun melalui pelayanan kesehatan. Salah satu upaya sendiri untuk mengatasi gangguan kesehatan adalah dengan minum jamu. Gangguan reproduksi yang diatasi dengan minum jamu terbanyak adalah nyeri payudara setelah melahirkan yaitu 20,9% disusul dengan keluhan menstruasi tidak teratur (7,4%), komplikasi kehamilan (3,8%), kehamilan yang tidak direncanakan (2,6%) dan terendah adalah
Pemanfaatan Jamu untuk Gangguan Kesehatan (Lestari Handayani, Lusi Kristiana)
Tabel 2. Distribusi Gangguan Kesehatan Reproduksi Perempuan Berdasar Lokasi Tempat Tinggal, Riskesdas 2010 Gangguan Kesehatan Reproduksi Perempuan Lokasi tempat tinggal
Menstruasi tidak teratur
Perkotaan
12.762
Perdesaan
10.022
44,0
Total
22.784
100,0
Frekw
Nyeri payudara setelah melahirkan
Komplikasi kehamilan
Kehamilan berakhir < 22 mg
Kehamilan yang tidak direncanakan
%
Frekw
%
Frekw
%
Frekw
%
56,0
765
57,7
1.290
53,0
1.432
55,9
Frekw
561
42,3
1.141
47,0
1.128
44,1
985
43,9
1.326
100,0
2.431
100,0
2.560
100,0
2.244
100,0
1.259
% 56,1
Tabel 3. Upaya Perempuan (15–59 tahun) Mengkonsumsi Jamu untuk Gangguan Kesehatan Reproduksi, Riskesdas 2010 Melakukan Upaya Minum Jamu untuk Mengatasi Masalah tersebut
Gangguan Kesehatan Reproduksi Perempuan
Ya
Tidak
Total
Frekw 1.687
% 7,4
Frekw 21.097
% 92,6
Frekw 22.784
% 100,0
50
3,8
1.276
96,2
1.326
100,0
• Nyeri payudara setelah melahirkan
509
20,9
1.922
79,1
2.431
100,0
• Kehamilan yang berakhir pada usia kehamilan < 22 minggu (< 5 bulan)
28
1,1
2.532
98,9
2.560
100,0
59
2.185
2.244
100,0
• Menstruasi tidak teratur • Komplikasi kehamilan
• Kehamilan yang tidak direncanakan
penggunaan jamu untuk mengatasi kehamilan yang berakhir pada usia kehamilan < 22 bulan. Gambaran upaya minum jamu pada perempuan yang mengalami gangguan kesehatan reproduksi dapat digambarkan pada gambar 3 yang menunjukkan angka tertinggi pada gangguan kesehatan reproduksi
berupa nyeri payudara (20,9%). Selanjutnya, perempuan yang menggunakan jamu untuk mengatasi gangguan menstruasi tidak teratur, komplikasi kehamilan, hamil tidak direncanakan dan kehamilan yang berakhir < 22 minggu berturut-turut sebanyak 7,4%, 3,8%, 2,6%, dan 1,1.
25 20.9 20 Mens tdk teratur
15 10 5
Kompl kehamilan Nyeri payudara stl melahirkan Hamil berakhir < 22 mg
7.4
Hamil tdk direncanakan
3.8 1.1
2.6
0
Gambar 3. Persentase Perempuan 15–59 tahun yang mengalami gangguan kesehatan reproduksi dan menggunakan jamu untuk mengatasi gangguan kesehatan reproduksi, Riskesdas 2010.
305
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 14 No. 3 Juli 2011: 301–309
HUBUNGAN ANTARA GANGGUAN KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN TERHADAP PEMANFAATAN JAMU Gangguan reproduksi yang diambil datanya dalam Riskesdas tahun 2010 ada 5 macam pertanyaan, namun hanya 1 gangguan kesehatan reproduksi yang dapat diuji hubungannya dengan penggunaan jamu yaitu nyeri payudara setelah melahirkan. Pada pertanyaan tentang nyeri payudara setelah melahirkan, jawaban “ya” dan “tidak” keduanya memberikan pilihan pertanyaan tentang upaya pemanfaatan jamu baik pada perempuan. Sedangkan 4 (empat) gangguan reproduksi yang lain bila menjawab “tidak” maka tidak ada pilihan upaya pemanfaatan jamu. Berdasarkan kuesioner Riskesdas 2010, maka dalam penelitian ini gangguan setelah melahirkan hanya diambil gangguan berupa rasa nyeri di payudara dan dilihat hubungannya dengan upaya minum jamu untuk mengatasi gangguan tersebut. Terkait keluhan nyeri payudara setelah melahirkan, diasumsikan bahwa: • Gangguan kesehatan setelah melahirkan yang ditangani dengan upaya minum jamu pada umumnya berupa gangguan kesehatan nyeri payudara. Sedangkan gangguan paska melahirkan lainnya seperti yang terdapat pada pertanyaan
•
kuesioner Riskesdas yaitu perdarahan, kejangkejang, pingsan, dan sebagainya pada umumnya langsung dibawa ke petugas kesehatan untuk mendapat penanganan. Jamu yang banyak beredar untuk mengatasi gangguan kesehatan setelah melahirkan adalah jamu untuk nyeri payudara. Selama ini berbagai jamu dikenal dimanfaatkan untuk perawatan kesehatan ibu paska melahirkan dan jamu yang banyak dimanfaatkan adalah jamu untuk melancarkan Air Susu Ibu (ASI) atau sering disebut jamu melahirkan.
Tabel 5 menyajikan tabulasi silang nyeri payudara terhadap upaya minum jamu. Digunakan uji chi square untuk melihat hubungan antara nyeri payudara setelah melahirkan dengan upaya minum jamu untuk mengatasi nyeri payudara setelah melahirkan. Pada tabel 6 ditampilkan pemanfaatan jamu untuk mengatasi nyeri payudara setelah melahirkan sebagai berikut: Hasil uji chi-square menunjukkan signikansi = 0,000, artinya ada hubungan signikan antara nyeri payudara setelah melahirkan dan upaya minum jamu untuk mengatasi nyeri payudara. Untuk melihat kuat hubungan, maka dilanjutkan dengan uji asosiasi. Hasilnya sebagai berikut.
Tabel 5. Distribusi Nyeri Payudara berdasar Upaya Minum Jamu, Riskesdas 2010 Minum jamu
Nyeri payudara setelah melahirkan
Ya
Tidak
Total
Ya
509 (20,9%)
1.922 (79,1%)
2.431 (100,0%)
Tidak
118 (0,7%
17.798 79,1%
17.916 (100,0%)
Total
627 3,1%
19.720 96,9%
20.347 100,0%
Tabel 6. Uji Chi-Square Nyeri Payudara Setelah Melahirkan dan Upaya Minum Jamu untuk Mengatasi Nyeri Payudara, Riskesdas 2010 Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square
2947.515a
1
.000
Continuity Correctionb
2940.729
1
.000
Likelihood Ratio
1682.630
1
.000
Linear-by-Linear Association
2947.370
1
.000
N of Valid Cases
20347
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (2-sided)
.000
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 74,91. b. Computed only for a 2x2 table
306
Exact Sig. (1-sided)
.000
Pemanfaatan Jamu untuk Gangguan Kesehatan (Lestari Handayani, Lusi Kristiana)
Tabel 7. Uji Asosiasi Nyeri Payudara Setelah Melahirkan dan Upaya Minum Jamu untuk Mengatasi Nyeri Payudara Symmetric Measures Nominal by Nominal
Value
Approx. Sig.
Phi
0.381
0.000
Cramer's V
0.381
0.000
Koesien Contingensi
0.356
0.000
N of Valid Cases
20347
Untuk menilai asosiasi variabel dengan skala nominal yang diuji hubungannya dengan chi square maka dipakai koesien kontingensi . Diperoleh hasil nilai Koefisien Contingensi = 0,356, artinya kuat hubungan adalah moderat. Jadi, gangguan nyeri payudara memengaruhi perempuan usia 15–59 tahun untuk melakukan upaya minum jamu meskipun dalam derajat yang sedang saja, dengan asumsi masih banyak upaya lain selain jamu yang dilakukan oleh perempuan. PEMBAHASAN Kesehatan reproduksi di Indonesia perlu mendapat perhatian mengingat cukup besar jumlah perempuan usia produktif. Penggunaan jamu untuk menyelesaikan masalah kesehatan reproduksi tampaknya masih banyak dilakukan di Indonesia. Masalah reproduksi yang banyak dialami perempuan dapat dilihat dari ketersediaan jenis jamu. Jamu untuk gangguan menstruasi, jamu untuk paska melahirkan, jamu untuk perawatan kehamilan, bahkan jamu untuk terlambat haid juga tersedia di masyarakat. Bukti bahwa penggunaan jamu untuk kesehatan reproduksi cukup tinggi terbukti dari penelitian oleh Handayani yang menginventarisir 19 produsen jamu di 4 kabupaten di pulau Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep) dan ditemukan berbagai produk jamu untuk perawatan dan pengobatan kesehatan reproduksi termasuk untuk kesehatan ibu setelah melahirkan. Industri jamu di Madura memproduksi berbagai jenis jamu untuk keperluan kesehatan perempuan (Handayani, 1999). Masalah kehamilan yang tidak diinginkan tampaknya juga menjadi tanggung jawab perempuan untuk penyelesaiannya, hal ini terlihat dari upaya mereka untuk mengakhiri kehamilan dengan cara
minum jamu. Dalam penelitian ini terlihat upaya penggunaan jamu untuk mengakhiri kehamilan yang sebenarnya dapat membahayakan ibu maupun janin. Sebagaimana diketahui beberapa tanaman obat yang digunakan pada jamu dapat menyebabkan keguguran maupun cacat pada bayi (Handayani, 2003). Tindakan perempuan yang mengabaikan risiko berbahaya bagi dirinya, kemungkinan karena desakan lingkungan dalam keluarga dan masyarakat. Penelitian Handayani menunjukkan bahwa pengaruh suami dan lingkungan keluarga yang kuat tidak memberikan kesempatan kepada perempuan untuk melakukan pertimbangan yang rasional terkait dengan kepentingan dirinya sendiri (Handayani, 2008). Masalah kesehatan reproduksi pada umumnya diserahkan pada perempuan sehingga pada akhirnya perempuan dituntut untuk menyelesaikan masalah tersebut (Armas, 1995). Penyelesaian masalah kesehatan reproduksi pada umumnya diawali dengan upaya pengobatan sendiri, antara lain dengan penggunaan jamu. Penelitian ini menunjukkan beberapa gangguan kesehatan reproduksi yang ditangani dengan minum jamu seperti menstruasi tidak teratur dan keluhan nyeri payudara setelah melahirkan. Pemanfaatan jamu ini dapat dibandingkan dengan penelitian lain yang menunjukkan fakta yang mirip. Suatu studi dekriptif melalui FGD (Focus Group discussion) telah dilakukan di pulau Madura menunjukkan bahwa ratarata perempuan Madura menggunakan jamu untuk perawatan kesehatan secara umum dan perawatan kesehatan reproduksi seperti jamu terlambat haid, sehat perempuan, rapat, keputihan, melahirkan, dll. (Soegijono, 1996). Hasil analisis hubungan antara upaya minum jamu dengan keluhan nyeri payudara setelah melahirkan yang signikan dengan kekuatan asosiasi moderat, merupakan pembuktian adanya hubungan penggunaan jamu untuk kesehatan reproduksi. Tindakan minum jamu oleh perempuan dapat dikaji menggunakan konsep berdasar teori HBM (Health Belief Model) yang mengaitkan faktor psikososial dengan perilaku kesehatan. Konsep tersebut melihat bahwa minum jamu dilakukan karena berbagai pengaruh antara lain pengetahuan tentang gangguan kesehatan, persepsi manfaat minum jamu, dan persepsi terancam oleh gangguan kesehatan. Secara umum, teori HBM melihat bahwa tindakan kesehatan dipengaruhi beberapa faktor yaitu persepsi 307
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 14 No. 3 Juli 2011: 301–309
terancam oleh gangguan kesehatan, persepsi manfaat dari tindakan kesehatan tersebut, persepsi kerentanan terhadap penyakit, pengisyarat/penguat tindakan, dan faktor karakteristik individu seperti umur, suku, jenis kelamin, kepribadian, sosial ekonomi dan pengetahuan. Teori HBM menggambarkan nilai harapan terhadap perilaku kesehatan sebagai misal keinginan agar menjadi sehat serta mengungkapkan bagaimana kepercayaan terhadap suatu tindakan akan mampu melindungi seseorang dari keadaan sakit (Strecher, 1997). Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan telah menggerakkan program saintifikasi jamu (Kementerian Kesehatan, 2010). Jamu diharapkan dapat dijadikan salah satu prasarana dalam upaya kesehatan yang dapat dipakai secara bertanggung jawab dari segi keamanan maupun manfaat. Jamu diharapkan juga dapat dipakai di tempat pelayanan kesehatan formal namun dengan cara yang bertanggung jawab. Pemanfaatan jamu pada langkah awal diharapkan terbatas pada upaya promotif dan preventif dan selanjutnya dapat dikembangkan untuk upaya kuratif. Hal ini sesuai dengan pengaturan praktik kedokteran yang bertujuan untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dari dokter (Indonesia, 2004). Mengingat ada perilaku minum jamu yang dilakukan tanpa mempertimbangkan bahaya yang dapat terjadi, maka pengkajian keamanan dan khasiat untuk setiap produk jamu perlu dilakukan. Hal ini terkait pula dengan upaya pemerintah dalam melindungi masyarakat dari efek samping yang dapat terjadi dengan minum jamu. Berbagai peraturan telah diterbitkan oleh Badan POM dalam rangka menertibkan, mengatur dan mengevaluasi produksi jamu seperti persyaratan berbagai produk sediaan jamu, standar pembuatan obat tradisional yang baik dan benar, larangan pencampuran bahan obat kimia ke dalam jamu, pedoman rasionalisasi komposisi obat tradisional (Departemen Kesehatan R.I, 1993), pedoman uji klinik obat tradisional (Departemen Kesehatan R.I, 2000) dan lain sebagainya. KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemanfaatan jamu untuk mengatasi gangguan kesehatan reproduksi perempuan cukup banyak dan perlu diperhitungkan 308
dalam pengembangan jamu ke depan. Secara detil disimpulkan: 1. Keluhan tentang kesehatan reproduksi pada perempuan usia 15–59 tahun yaitu menstruasi tidak teratur, komplikasi kehamilan, nyeri payudara setelah melahirkan, gangguan kehamilan yang berakhir pada usia kehamilan < 22 minggu, kehamilan yang tidak direncanakan ternyata cukup banyak dan yang memanfaatkan jamu untuk mengatasinya berturut-turut adalah 28,6% (n = 79.675), 6,5% (n = 20.347), 28,6% (n = 79.675), 4,0% (n = 63.536), and 3,5% (n = 63.536). 2. Uji hubungan antara gangguan kesehatan reproduksi dan pemanfaatan jamu untuk mengatasinya hanya memungkinkan untuk nyeri payudara setelah melahirkan. Diperoleh hubungan signikan (p = 0,000) dengan menggunakan uji chi square dengan kuat hubungan moderat (Koesien Contingensi = 0,356). Disarankan untuk penelitian lebih lanjut tentang jamu untuk nyeri payudara setelah melahirkan dan mengatur menstruasi yang banyak dimanfaatkan dalam mengatasi gangguan kesehatan reproduksi. Penelitian dilakukan berjenjang dan fokus pada jamu yang sudah ada dan dimanfaatkan secara luas sehingga diperoleh jamu yang aman dan berkhasiat. Lebih jauh, jamu tersebut diharapkan akan dapat diterapkan dalam pelayanan kesehatan secara formal. DAFTAR PUSTAKA Armas EJ, 1995. Learning Together. A woman’s Story. In: Learning about Sexuality. A Practical Beginning. Editor: Sondra Zeidenstein and Kristen Moore. New York, The Population Council International Women’s Health Coalition. P. 33–44. Badan Pusat Statistik, 2006. Indikator Kesehatan 1995– 2006. Bersumber dari: http://www.bps.go.id/sector/ socwcl/table1.shtml. [Diakses 17 Januari 2008]. Departemen Kesehatan RI, 1993. Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan. Pedoman Rasionalisasi Komposisi Obat Tradisional. Jakarta, Departemen Kesehatan RI. Departemen Kesehatan RI, 2000. Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional. Jakarta, Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Direktorat Pengawasan Obat Tradisional.
Pemanfaatan Jamu untuk Gangguan Kesehatan (Lestari Handayani, Lusi Kristiana) Departemen Kesehatan RI, 2001. Survei Kesehatan Nasional (Susenas) 2001 Jakarta, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, 2001. Guttmacher Institute, 1998. Memasuki Sebuah Dunia Baru Kehidupan Seksual dan Reproduksi Perempuan Muda. Bersumber dari: http://www.guttmacher.org/ pubs/new_world_indo.html. Diakses 23 Maret 2008 Handayani L, 2003. Membedah Rahasia Ramuan Madura. Jakarta, Agromedia Pustaka. Handayani L, Suharti S. Industri Kecil Obat Tradisional di Madura. Medika No. 5 Tahun XXV, Mei 1999. P. 290–295.
Kementerian Kesehatan, 2010. Peraturan Menteri Kesehatan No. 003/MENKES/PER/I/2010 tentang Saintikasi Jamu Dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Soegijono KR, Setia P, Lestari H. Studi tentang penggunaan jamu oleh masyarakat Madura. Forum iImu Kesehatan Masyarakat. Tahun ke XV. No. 5–6 Januari–Juni 1996. Strecher VJ, Irwin MR, 1997. The Health Belief Model. In: Health Behavior and Health Education. Theory, Research and Practice. Second Edition. Editors: Karen Glanz, Frances Marcus Lewis, Barbara K. Rimer. San Fransisco, Jossey-Bass Publisher.
309
Erda Mutiara Halida: Pengembangan Model Kesehatan Reproduksi Terintegrasi untuk Mahasiswa D III Kebidanan Indonesia
Pengembangan Model Kesehatan Reproduksi Terintegrasi untuk Mahasiswa D III Kebidanan Indonesia Erda Mutiara Halida1 1
Mahasiswa Program Studi Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Abstrak Pendidikan kebidanan merupakan salah satu sarana yang berperan penting dalam menghasilkan bidan yang kompeten dan berkualitas. Bidan yang kompeten dalam kesehatan reproduksi dihasilkan dari lulusan pendidikan kebidanan yang telah mengikuti proses pendidikan dengan memperhatikan aspek pencapaian kompetensi lulusan yang baik, salah satunya adalah dengan melaksanakan model pembelajaran kesehatan reproduksi terintegrasi. Artikel ilmiah ini disusun untuk menggambarkan bagaimana pengembangan model pembelajaran kesehatan reproduksi terintegrasi untuk peningkatan kompetensi mahasiswa D III Kebidanan Indonesia. Metode yang digunakan adalah studi literatur. Penelitian tahap awal sudah selesai dilakukan dan saat ini sedang berlangsung penelitian tahap berikutnya. Kata Kunci: kesehatan reproduksi, kompetensi, pembelajaran, terintegrasi Pendahuluan Upaya peningkatan derajat kesehatan ibu dan anak serta kesehatan reproduksi sangat erat kaitannya dengan tugas dan fungsi bidan. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464 tahun 2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik bidan pasal 9 dijelaskan bahwa bidan dalam menjalankan praktik berwenang memberikan pelayanan yang meliputi pelayanan kesehatan ibu, pelayanan kesehatan anak dan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.1 Bidan diakui sebagai tenaga profesional kesehatan yang bertanggungjawab dan akuntabel bekerja sebagai mitra perempuan untuk memberikan dukungan, asuhan dan nasehat selama masa hamil, bersalin dan nifas, serta memimpin persalinan atas tanggungjawab sendiri dan memberikan asuhan pada bayi baru lahir.2-4 Asuhan ini mencakup upaya pencegahan, promosi persalinan normal, deteksi komplikasi pada ibu dan anak dan akses bantuan medis dan bantuan lain yang sesuai, serta melaksanakan tindakan kegawardaruratan.4 Pendidikan bidan merupakan salah satu pendidikan profesional yang mengarahkan peserta didiknya pada kesiapan penerapan keahlian terutama yang termasuk dalam lingkup ilmu kebidanan.5 Perencanaan yang baik terhadap 42 | IJEMC, Volume 2 Supl 1, Februari 2015
suatu proses pendidikan dapat dituangkan dalam suatu bentuk kurikulum, menggambarkan rencana pembelajaran yang jelas, proses pembelajaran dan evaluasi, baik teori maupun praktek yang sesuai dengan kebutuhan.6 Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan sebagai suatu sistem yang terdiri dari komponen mengenai tujuan, isi maupun bahan kajian dan pelajaran serta cara penyampaian dan penilaiannya yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan di perguruan tinggi.7,8 Pendidikan tinggi kebidanan pada dasarnya memiliki tujuan untuk dapat menghasilkan lulusan yang kompeten dan berkualitas. Sistem pendidikan tinggi sebagai suatu proses memiliki empat tahapan, yaitu masukan (input), proses, luaran (output) dan hasil ikutan (outcome). Lulusan yang memiliki kompetensi dan kualitas yang baik dihasilkan dari masukan dan proses yang baik. Kurikulum merupakan salah satu bagian dari tahapan masukan, kurikulum didasarkan pada rumusan kompetensi yang harus dicapai atau dimiliki oleh lulusan perguruan tinggi yang sesuai atau mendekati kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat pemangku kepentingan/stakeholders.9 Sementara dalam
Erda Mutiara Halida: Pengembangan Model Kesehatan Reproduksi Terintegrasi untuk Mahasiswa D III Kebidanan Indonesia
tahapan proses terdapat proses pembelajaran yang juga memegang peranan penting untuk mencapai keberhasilan pendidikan untuk menghasilkan luaran berupa lulusan sesuai dengan kompetensinya.8 Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu.10 Kompetensi kebidanan merupakan kombinasi antara pengetahuan, perilaku profesional dan keterampilan khusus yang ditunjukkan pada tingkat kemahiran yang telah ditetapkan dalam pendidikan kebidanan.6 Salah satu bentuk model pembelajaran yang sesuai dengan pendidikan tinggi kebidanan adalah model pembelajaran terintegrasi/terpadu dengan tipe integrated. Model pembelajaran terintegrasi cocok dilaksanakan pada pendidikan tinggi kebidanan, mahasiswa dijadikan sebagai fokus dalam pembelajaran yang sesuai dengan model pembelajaran pada orang dewasa. Model pembelajaran terintegrasi memadukan beberapa nilai-nilai dengan berlandaskan pada konsep dan topik yang ada, sehingga materi yang terbentuk tidak berdasarkan mata-mata pelajaran.11 Selain itu, model pembelajaran kesehatan reproduksi terintegrasi lebih mendorong mahasiswa untuk aktif, berbeda dengan model pembelajaran kesehatan reproduksi konvensional yang lebih terfokus kepada materi yang terpisah-pisah dan lebih kepada konsep serta dengan metode pembelajaran yang kurang dapat menggugah mahasiswa dikarenakan metode yang digunakan pada umumnya adalah teacher center learning.12 Model pembelajaran terintegrasi merupakan penerapan dari kurikulum terintegrasi. Studi yang dilaksanakan oleh Pipas (2004) menunjukkan penerapan kurikulum terintegrasi pada Primary Care Medical School dapat meningkatkan kemampuan peserta didik dalam memberikan pelayanan berbasis komunitas.13 Model pembelajaran terintegrasi dalam asuhan kesehatan reproduksi yang dapat diterapkan mengingat bahwa dalam tujuan pembelajarannya tidak terlepas dari berbagai aspek dalam mata kuliah lain yang saling terkait dengan topik yang dibahas dalam kesehatan reproduksi.
Hal ini juga dapat menjawab tantangan dari kebutuhan masyarakat terhadap seorang bidan yang kompeten. Studi yang dilakukan oleh Kate (2013) pada mahasiswa bagian patologi dan farmasi telah menyatakan bahwa model pengintegrasian lebih efektif dilaksanakan dibandingkan dengan model tradisional yang selama ini dijalankan. Delapan puluh tujuh persen mahasiswa menyatakan bahwa mereka dapat mengikuti materi dengan lebih baik, tujuh puluh lima persen mahasiswa menyatakan mereka dapat menghubungkan apa yang mereka pelajari dengan aspek klinis yang ada. Model pembelajaran dengan melaksanakan metode pengintegrasian dirasakan memberikan manfaat lebih baik oleh mahasiswa dalam meningkatkan kemampuan kognitif dan psikomotor.14 Model pembelajaran terintegrasi yang dapat memadukan mata kuliah kesehatan reproduksi dengan beberapa nilai-nilai yang terdapat pada mata kuliah lainnya di tingkat pendidikan tinggi dirasakan akan memberikan manfaat kepada mahasiswa untuk dapat membantu proses pembelajaran. Selain memadukan nilai-nilai yang terkandung dalam mata kuliah, juga akan diintegrasikan soft skills yang tidak kalah penting untuk keberhasilan pencapaian kompetensi mahasiswa. Studi yang dilaksanakan oleh Hamidah (2012) pada siswa jurusan Tata Boga mengenai model pembelajaran soft skills terintegrasi telah menyatakan bahwa model pembelajaran ini mampu menyatukan hard skills dan soft skills secara seimbang, siswa dimungkinkan untuk memperoleh pengalaman dalam perspektif yang lebih luas baik menyangkut permasalahan-permasalahan yang dikembangkan dalam pembelajaran maupun kemampuan-kemampuan lain seperti dapat berpikir kritis, kreatif, memecahkan masalah, pengembangan personal dan komunikasi.12 Metode Artikel ilmiah ini disusun berdasarkan studi literatur dari berbagai sumber meliputi hasil penelitian dalam jurnal-jurnal ilmiah, peraturan organisasi nasional dan internasional, buku text serta website instansi dan organisasi nasional dan internasional. Sedangkan untuk membangun suatu model pembelajaran kesehatan reproduksi terintegrasi, penulis akan melakukan pelatihan IJEMC, Volume 2 Supl 1, Februari 2015
| 43
Erda Mutiara Halida: Pengembangan Model Kesehatan Reproduksi Terintegrasi untuk Mahasiswa D III Kebidanan Indonesia
penyusunan model pembelajaran terintegrasi pada ahli pengembangan kurikulum pendidikan tinggi. Diskusi Pembelajaran dan kurikulum merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pembelajaran merupakan operasionalisasi dari kurikulum. Kurikulum akan memiliki makna jika terdapat proses pembelajaran didalamnya, dan sebaliknya pembelajaran akan berlangsung dengan baik apabila memiliki kurikulum yang menjadi pedomannya. Nilai, kepercayaan, konsep, prinsip dan model suatu kurikulum akan menjadi warna dalam proses pembelajarannya. Pembelajaran terpadu memiliki kaitan erat dengan kurikulum, terutama pada organisasi kurikulum. Organisasi kurikulum yaitu susunan atau cara menyajikan dan membahas materi kurikulum (kurikulum dalam pengertian sebagai materi pelajaran).11 Kurikulum menurut Hilda Taba (1962) dalam Ruhimat (2012) merupakan rencana atau program belajar.7 Kurikulum menurut UndangUndang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam BAB 1 Pasal 1 Ayat 19 menyatakan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.16,17 Kurikulum pendidikan tinggi menurut Kepmendiknas No.232/U/2000 mendefinisikan sebagai5 seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi maupun bahan kajian dan pelajran serta cara penyampaian dan penilaian yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di perguruan tinggi. Terdapat tiga jenis kurikulum berdasarkan organisasi kurikulum, yaitu:7,11,18 Separated Subject Curriculum, model ini adalah sistem pengorganisasian materi pelajaran yang terpisah, materi kurikulum dibatasi dengan tegas dan secara sempit oleh masing-masing cabang disiplin ilmu atau mata pelajaran tertentu saja, terlepas dan tidak mempunyai kaitan satu sama lainnya. Pada kurikulum jenis ini lebih mementingkan penyampaian sejumlah informasi sebagai bahan pelajaran agar dapatditerima dan 44 | IJEMC, Volume 2 Supl 1, Februari 2015
dihafal oleh peserta didik sehingga aktivitas peserta didik tidak terlalu dianggap penting dalam prosesnya. Correlated Curriculum, model ini adalah sistem pengorganisasian isi materi pelajaran, satu mata pelajaran dikaitkan dengan materi yang ada pada mata pelajaran lainnya atau satu pokok bahasan dengan pokok bahasan lainnya apabila diperlukan. Hubungan antara mata pelajaran tersebut dapat dilakukan melalui beberapa cara, diantaranya secara insidental atau kebetulan ada hubungan antara mata pelajaran yang satu dengan yang lainnya, hubungan yang lebih erat misal suatu pokok bahasan diperbincangkan dalam berbagai bidang strudi, broad field yaitu dengan menghilangkan batasan masing-masing mata pelajaran. Integrated Curriculum, model ini merupakan sistem pengorganisasian materi yang akan memadukan berbagai materi mata pelajaran ke dalam satu fokus perhatian dimana batas-batas mata pelajaran sudah tidak tampak (terjadi fusi), karena yang diambil dari setiap mata pelajaran bukan strukturnya tapi substansi bahasannya yang diperlukan untuk membahas suatu topik. Proses pembelajaran dengan integrated model tidak mengedepankan nama-nama mata pelajaran, tetapi isi-isi mata pelajaran yang dimanfaatkan untuk dapat mengembangkan pengetahuan dan pemahaman yang komprehensif dan terintegrasi. Konsep integrasi menurut Tyler dan Taba dalam Kurniawan (2011) adalah hubungan horizontal pengalaman belajar/materi pelajaran yang ada dalam satu level, yaitu mengaitkan bahasan yang ada dalam satu materi dengan materi lainnya yang ada dalam satu jenjang yang jika dirujuk pada pendapat Olivia termasuk dalam kategori model correlated. Selanjutnya Taba menyebutkan bahwa integrasi adalah penyatuan materi ke dalam sistem pengetahuan atau cara bertindak siswa, yang dapat diartikan juga sebagai tujuan yang ingin dicapai dari upaya mengkreasi organisasi kurikulum terpadu, yaitu optimalisasi proses dan hasil belajar siswa.11 Pembelajaran terintegrasi atau terpadu merupakan suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik secara individual maupun kelompok, aktif mencari, menggali dan
Erda Mutiara Halida: Pengembangan Model Kesehatan Reproduksi Terintegrasi untuk Mahasiswa D III Kebidanan Indonesia
menemukan konsep serta prinsip keilmuan secara holistik, bermakna dan otentik.18 Pembelajaran terpadu adalah pembelajaran yang dalam pembahasan materinya meliputi atau saling mengaitkan berbagai bidang studi atau mata pelajaran secara terpadu dalam suatu fokus tertentu untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada peserta didik.11,19 Pembelajaran terintegrasi sebagai suatu proses memiliki empat karakteristik, meliputi:18 Holistik yaitu pembelajaran yang mengarahkan peserta didiknya untuk mengamati dan mengkaji beberapa bidang kajian sekaligus terhadap suatu gejala atau fenomena yang menjadi pusat perhatian tanpa terpisah-pisah.20 Bermakna yaitu kebermaknaan dari proses pembelajaran akan dicapai melalui pengkajian suatu fenomena dari berbagai macam aspek, sehingga akan terbentuk semacam jalinan antar konsep yang berhubungan sebagai suatu skema.19 Otentik merupakan suatu model pembelajaran terintegrasi akan lebih memungkinkan peserta didik untuk memahami secara langsung prinsip dan konsep yang ingin dipelajari melalui kegiatan belajar secara langsung. Aktif yaitu pembelajaran terintegrasi menekankan keaktifan peserta didik dalam proses pembelajaran, baik secara fisik, mental, intelektual maupun emosional agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan mempertimbangkan hasrat, minat serta kemampuan siswa sehingga memotivasi peserta didik untuk terus belajar. Robin Fogarty (1991) mengemukakan sepuluh cara atau model dalam pembelajaran terpadu ditinjau dari cara memadukan konsep, keterampilan, topik dan unit tematisnya. Kesepuluh cara tersebut adalah: fragmanted, connected, nested, sequenced, shared, webbed, threaded, integrated, immersed, dan networked. 1. Kesehatan Reproduksi Terintegrasi Penerapan kesehatan reproduksi terintegrasi dilaksanakan dalam bentuk pelayanan integratif kesehatan reproduksi yang disepakati lebih berorientasi pada kebutuhan klien. Adanya perbedaan sasaran dalam tiap komponen kesehatan dan perbedaan masalah pada tiap klien, menuntut adanya pelayanan komprehensif dan spesifik namun tetap sesuai dengan kebutuhan klien. Oleh karena itu setiap komponen program kesehatan
reproduksi perlu mengintegrasikan unsur yang mendukung bagi pelayanan kesehatan reproduksi yang sesuai dengan kebutuhan klien.21 Pelayanan kebidanan adalah bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan yang diberikan oleh bidan, dilakukan secara mandiri, kolaborasi, konsultasi dan rujukan bagi kesehatan reproduksi perempuan sepanjang sikluas kehidupannya, termasuk bayi dan anak balita.22 Pembelajaran kesehatan reproduksi yang terintegrasi merupakan bentuk pembelajaran yang mengintegrasikan kebutuhan masyarakat yaitu fisiologi, psikologi, budaya, agama dan soft skills dalam kurikulum kesehatan reproduksi untuk dapat menjawab tantangan kebutuhan masyarakat. Dalam menjalankan tugas sebagai bidan, seorang bidan memiliki kewenangan untuk memberikan pelayanan kesehatan reproduksi, bidan sebagai mitra perempuan, memberikan dukungan, tanggap terhadap kebutuhan, memberikan asuhan dan nasehat kepada kliennya.1,2,4 Adanya perbedaan sasaran dalam tiap komponen kesehatan reroduksi dan perbedaan permasalahan yang dihadapi klien menuntut bidan untuk dapat memberikan pelayanan yang komprehensif dan tepat untuk memenuhi kebutuhan klien. Pelaksanaan pembelajaran kesehatan reproduksi terintegrasi nantinya dapat memberikan pengaruh terhadap penerapan pelayanan yang integratif, yang memungkinkan klien memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi terintegrasi sesuai dengan kebutuhannya.21 Melalui pembelajaran kesehatan reproduksi terintegrasi yang akan menerapkan prinsip pembelajaran terintegrasi, peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan dan menerapkan konsep yang dipelajarinya. Dengan demikian, peserta didik terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari secara menyeluruh (holistis), bermakna, autentik dan aktif.18 Melalui proses tersebut diharapkan nantinya peserta didik akan dapat memberikan asuhan yang holistik dibangun melalui integrasi topik kesehatan reproduksi sesuai standar kompetensi kesehatan reproduksi dengan nilai-nilai dari bidang keilmuan lainnya yang dapat mendukung perkembangan dan sesuai dengan kebutuhan masyaIJEMC, Volume 2 Supl 1, Februari 2015
| 45
Erda Mutiara Halida: Pengembangan Model Kesehatan Reproduksi Terintegrasi untuk Mahasiswa D III Kebidanan Indonesia
rakat.7,18 Melalui model pembelajaran kesehatan reproduksi terintegrasi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk memecahkan permasalahan secara ilmiah, baik masalah yang terkait dengan sosial budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi.7 Dewasa ini, tenaga kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah tenaga kesehatan yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas, terampil dalam mengaplikasikan ilmunya di dunia kerja, memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan etika dan norma yang berlaku dalam lingkungan atau masyarakat.23 Bidan dalam kesehariannya berinteraksi dengan masyarakat, sebagai lulusan institusi pendidikan kebidanan tentu ada harapan-harapan dari pengguna lulusan terhadap sosok bidan yang dapat menjawab masalah dan kebutuhan mereka. Lulusan yang dihasilkan dari perguruan tinggi salah satunya diharapkan juga memiliki sifat humanis dan lebih berbudaya.23 Seorang bidan yang mampu berkomunikasi dengan baik dan memiliki simpati juga merupakan sosok yang dibutuhkan masyarakat. Studi pendahuluan mengenai kebutuhan masyarakat terhadap bidan yang dilaksanakan di beberapa puskesmas yang tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Sumatera Barat terhadap 604 wanita menunjukkan 98% responden menyatakan menginginkan bidan yang tidak hanya mampu menyelesaikan masalah tetapi sekaligus sabar, ramah, dan mampu menjadi pendengar yang baik (Data Primer, 2013). Berdasarkan data tersebut, selain kecakapan pengetahuan dan keterampilan (hard skill) dari seorang bidan diperlukan pula unsur soft skills atau keterampilan mengelola diri dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Soft skills merupakan sekelompok sifat kepribadian ataupun kemampuan mengelola diri secara tepat dan kemampuan membangun relasi dengan orang lain secara efektif. Kemampuan mengelola diri sendiri dapat dikatakan sebagai kemampuan intrapersonal skills, sedangkan kemampuan atau keterampilan seseorang membangun relasi dengan orang lain dapat dikatakan sebagai interpersonal skills.12,23,24 Soft skills adalah skills yang memungkinkan seseorang meraih potensi dirinya dan menggunakan 46 | IJEMC, Volume 2 Supl 1, Februari 2015
pengetahuannya secara bermanfaat dan terintegrasi dalam kehidupannya. Soft skills adalah kombinasi perilaku yang meliputi sikap dan motivasi yang menggerakkan perilaku. Atribut dari soft skills dapat berupa nilai yang dianut, motivasi, perilaku, kebiasaan, karakter dan sikap. Beberapa bentuk yang termasuk ke dalam soft skill adalah kejujuran, komitmen, tanggung jawab, kepercayaan, semangat, kesederhanaan, kerjasama, dapat menghargai orang lain, memiliki integritas, kepemimpinan, pengambilan keputusan, mampu melakukan penyelesaian konflik, komunikasi, memiliki kreatifitas dan kemampuan presentasi. Pembelajaran dengan soft skills merupakan upaya membentuk kepribadian dengan proses berkelanjutan untuk mencapai pembudayaan terhadap soft kills itu sendiri.12,24,25 Hard skills merupakan kemampuan individu yang dapat dilihat dengan mata (ekspilisit) berupa perilaku dan keterampilan secara teknis untuk menyelesaikan tugas tertentu. Penguasaan soft skills yang baik akan mampu mendorong penguasaan dan pemanfaatan hard skills secara lebih baik pula. Keberhasilan seseorang tidak ditentukan hanya oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hardskills) saja, namun juga ditentukan oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (softskills).12,24,25 Bahkan menurut penelitian dari Harvard University Amerika Serikat menyatakan bahwa kesuksesan seseorang ditentukan oleh hardskills dan softskills dengan bobot 20% ditentukan oleh hardskills dan 80% ditentukan oleh softskills.24 Penguasaan keterampilan baik hard skills maupun soft skills dirumuskan dalam bentuk kompetensi yang kemudian dituangkan dalam sebuah silabus pembelajaran. Penyusunan dan pengembangan silabus di dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi dapat disesuaikan dengan kondisi dan potensi, kebutuhan dan kemampuan potensial yang dimiliki peserta didik, dan kebutuhan masyarakat oleh institusi pendidikan sesuai tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.26 Pembelajaran kesehatan reproduksi terintegrasi dilaksanakan dengan mengembangkan silabus mata kuliah kesehatan reproduksi dan keluarga berencana. Silabus merupakan pedoman guru untuk melaksanakan proses belajar mengajar dan
Erda Mutiara Halida: Pengembangan Model Kesehatan Reproduksi Terintegrasi untuk Mahasiswa D III Kebidanan Indonesia
sebagai rujukan dalam pengembangan program pembelajaran dalam satuan waktu yang lebih sempit yaitu rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).11 Asuhan kesehatan reproduksi terintegrasi kebutuhan perempuan adalah: a) Konsep dasar kesehatan reproduksi sesuai kebutuhan masyarakat Kesehatan reproduksi didefinisikan sebagai suatu keadaan sehat secara fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berhubungan dengan sistem, fungsi serta proses reproduksi.21,27,28 Masyarakat perlu untuk mengetahui bahwa kehidupan terkait kesehatan reproduksi mereka yang telah sejak lama diperjuangkan secara internasional, salah satunya adalah melalui Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development, ICPD) yang disponsori oleh PBB di Kairo-Mesir pada tahun 1994 tentang kesehatan reproduksi dan hak-hak reproduksi dan seksual.28,29 Bidan dalam memberikan pelayanan terkait kesehatan reproduksi pada dasarnya melaksanakan pelayanan yang mencakup keseluruhan kehidupan manusia atau yang dikenal sebagai pendekatan siklus hidup (life cycle approach). Perbedaan masing-masing komponen dalam pendekatan siklus kehidupan tersebut menuntut adanya pelayanan kesehatan reproduksi yang diberikan secara terpadu, berkualitas dan memperhatikan hak reproduksi perorangan dan sesuai dengan program pelayanan yang tersedia. Pelayanan terkait pendekatan siklus hidup tersebut tercakup dalam Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE) dan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif (PKRK) yang mencakup pelayanan kesehatan reproduksi bagi usia lanjut.28,30 Bidan dalam memberikan suatu pelayanan kebidanan yang paripurna serta secara berkesinambungan memiliki orientasi pada asuhan kebidanan yang holistik, termasuk pemahaman pada aspek sosial, emosional, budaya, agama, psikologi dan fisik perempuan. Penting sekali adanya dukungan pada perempuan sepanjang siklus reproduksinya yaitu mulai dari konsepsi,
bayi dan anak, remaja, usia subur dan usia lanjut.31 Hak dalam kehidupan reproduksi perempuan juga telah diperhitungkan dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo pada tahun 1994. Indonesia juga melaksanakan beberapa upaya untuk dapat mendukung tercapainya hak-hak reproduksi, diantaranya dengan gencar melaksanakan promosi hak-hak reproduksi, advokasi terkait hak-hak reproduksi, Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) hakhak reproduksi dan penyediaan sistem pelayanan yang mendukung hak-hak reproduksi.28 Kesehatan reproduksi berkaitan dengan peristiwa awal kehidupan yang mungkin memiliki konsekuensi jangka pendek atau panjang bagi kehidupan seseorang bahkan keturunannya. Dalam kesehatan reproduksi juga terdapat dimensi fisik, psikologis dan sosial yang penting untuk kehidupan dan penting untuk diketahui oleh setiap individu. Kesehatan seksual dan reproduksi merupakan hal yang paling dasar dari hak asasi manusia, kesehatan seksual dan reproduksi yang baik berarti bahwa adanya kemandirian, kebebasan informasi, peningkatan kehidupan dan hubungan personal.32 Kesehatan reproduksi juga tidak terlepas dari pembicaraan seputar seks, seksualitas dan gender. Masyarakat perlu memahami makna dari seks, seksualitas dan gender, dikarenakan mereka seringkali sulit membedakan makna antara ketiga hal tersebut dan memiliki pemahaman berbeda yang secara tidak langsung akan berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat. Studi yang dilaksanakan oleh McCabe (2010) mengenai pemahaman pria dan wanita mengenai seks dan seksualitas terkait gender. Hasil studi ini menunjukkan bahwa pemahaman para responden terkait seks, seksualitas dan gender saling berbeda dan tidak jarang memiliki pemahaman yang tidak tepat. Oleh sebab itu masyarakat perlu mengetahui secara benar mengenai hal-hal yang terkait dengan seks, seksualitas dan gender.33 b) Asuhan kesehatan reproduksi remaja yang sesuai dengan kebutuhan remaja Kesehatan reproduksi remaja diartikan sebagai keadaan yang sehat dari sistem, fungsi dan proses alat reproduksi remaja. Pemberian asuhan IJEMC, Volume 2 Supl 1, Februari 2015
| 47
Erda Mutiara Halida: Pengembangan Model Kesehatan Reproduksi Terintegrasi untuk Mahasiswa D III Kebidanan Indonesia
kesehatan reproduksi remaja perlu dilaksanakan untuk dapat membantu remaja memiliki status kesehatan reproduksi yang baik melalui cara pemberian informasi, pelayanan konseling dan pendidikan keterampilan hidup. Pengetahuan remaja mengenai kesehatan rerpoduksi masih sangat rendah, hanya 17,1% wanita dan 10,4% laki-laki yang mengetahui secara benar tentang masa subur dan risiko kehamilan.28 Akses informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi remaja perlu diperhatikan karena akan berdampak terhadap kesehatan reproduksi jangka panjang. Kebanyakan remaja pada masa pubertasnya lebih memilih untuk mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi bersama teman sebayanya. Berdasarkan hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 tentang kesehatan reproduksi remaja diketahui bahwa 53% remaja wanita lebih memilih mendiskusikan tentang haid bersama temannya, sedangkan 50% remaja laki-laki memilih untuk tidak mendiskusikan mengenai pengalaman mimpi basah yang mereka alami kepada orang lain.34 Remaja perlu untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Bidan dalam hal ini berperan dalam memberikan asuhan kesehatan reproduksi remaja melalui komunikasi informasi dan edukasi kesehatan reproduksi remaja, terkait dengan asuhan sepanjang siklus kehidupan yang diperankan oleh bidan sesuai kewenangannya. Kebutuhan akan kesehatan seksual dan reproduksi yang baik pada remaja juga harus didasari oleh adanya pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk menghindari kemungkinan negatif sebagai akibat dari perilaku seksual.32 Studi yang dilakukan oleh Ozumba (2007) terhadap remaja mengenai dampak pendidikan kesehatan pada pengetahuan kesehatan reproduksi remaja menunjukkan hasil meningkatnya pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi disertai dengan sikap remaja yang lebih positif terkait isu-isu kesehatan reproduksi.35 Asuhan yang diberikan kepada remaja tidak hanya semata-mata bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada remaja mengenai kesehatan reproduksi, namun juga agar remaja dapat mengamalkan pengetahuannya secara baik dan 48 | IJEMC, Volume 2 Supl 1, Februari 2015
bertanggung jawab. Oleh karena itu penting sekali memberikan asuhan yang dilengkapi dengan pendidikan karakter terhadap remaja. Pendidikan karakter bertujuan agar tercapai watak dasar yang harus dimiliki oleh seseorang, pendidikan karakter dilaksanakan dengan menanamkan kebajikan sebagai nilai dasar karakter bangsa. Terdapat sembilan pilar karakter dasar yang perlu ditanamkan terhadap remaja, yaitu: cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya, tanggung jawab, disiplin dan mandiri, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, toleransi cinta damai dan persatuan.36 Remaja pada masa perkembangan dan pertumbuhannya juga dipengaruhi oleh asupan nutrisi yang mereka konsumsi. Membahas mengenai nutrisi masa remaja sangat penting karena remaja merupakan salah satu periode terpenting dalam perkembangan kehidupan manusia. Permasalahan kesehatan remaja terkait nutrisi diperburuk dengan adanya sekitar 35% remaja puteri yang menderita anemia. Hal ini akan berpengaruh terhadap kesiapan fisik remaja nantinya untuk menghadapi kehamilan di kemudian hari. Bidan dapat berperan melalui kegiatan konseling dan edukasi terkait nutrisi yang sesuai untuk kebutuhan remaja. Studi yang dilaksanakan oleh Little (2002) mengenai efek pendidikan mengenai asupan nutrisi terhadap pengetahuan mengenai asupan nutrisi pada remaja setingkat sekolah menengah atas, menunjukkan bahwa pada remaja memiliki pengetahuan yang lebih baik mengenai asupan nutrisi setelah diberikan pendidikan terkait nutrisi. Hal ini juga dapat dilakukan oleh bidan dengan harapan agar remaja nantinya sadar dan tahu mengenai kebutuhan asupan nutrisi mereka secara sehat dan bertanggung jawab.21,37 c) Asuhan kesehatan reproduksi pada wanita usia subur dan wanita usia menopause Usia subur atau sering disebut masa reproduksi merupakan masa terpenting bagi wanita dalam siklus reproduksinya yang berlangsung kira-kira 33 tahun. Pada masa usia subur sangat penting bagi wanita untuk mendapatkan pela-
Erda Mutiara Halida: Pengembangan Model Kesehatan Reproduksi Terintegrasi untuk Mahasiswa D III Kebidanan Indonesia
yanan kesehatan reproduksi yang baik. Upaya pemeliharaan kesehatan yang dilaksanakan sebelum dan pada masa reproduksi menentukan baik atau tidaknya generasi penerus atau keturunann yang akan didapatkan oleh individu. Berbagai pelayanan kesehatan yang penting pada masa usia subur diantaranya adalah memberikan pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas, kehamilan dan persalinan yang aman, menjaga jarak kelahiran dan jumlah kehamilan dengan penggunaan alat kontrasepsi. Masa usia lanjut atau menopause merupakan masa dimana seorang wanita mengalami haid yang terakhir. Pada masa ini wanita perlu mendapat perhatian dan mengetahui tentang hal-hal yang akan mereka alami selama masa menopause. Wanita pada usia menopause juga penting untuk mendapatkan perhatian terhadap deteksi kanker dan penyakit degeneratif.28,38 Penyusunan model kesehatan reproduksi terintegrasi ini menggunakan langkah-langkah penyusunan sebagai berikut: 1) Melakukan kajian mengenai standar kompetensi bidan dan kompetensi dasar bidan dalam kesehatan reproduksi. Standar kompetensi bidan yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi dijelaskan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 369/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan, dimana bidan dalam memberikan asuhan terkait kesehatan reproduksi terkait dengan masa prakonsepsi dan asuhan pada ibu/wanita dengan gangguan reproduksi. 2) Melakukan kajian mengenai kebutuhan masyarakat khusunya ibu/wanita terkait kesehatan reproduksi berdasarkan kurikulum yang telah ada dan hasil studi pendahuluan penelitian. Berdasarkan hasil dari studi pendahuluan mengenai kebutuhan ibu terhadap bidan, didapatkan hasil bahwa ibu/wanita memerlukan bidan yang tidak hanya menguasai hard skills tetapi juga memerlukan bidan yang menguasai soft skills dalam memberikan asuhan/pelayanan. Soft skills merupakan kemampuan untuk mengelola disi dan membangun relasi dengan orang lain secara efektif, termasuk di dalamnya adalah kejujuran, komitmen, tanggung jawab, semangat, kepercayaan, kesederhanaan, kerja-
3)
4) 5)
6)
7)
8)
sama, menghargai orang lain, integritas, kepemimpinan, pengambilan keputusan, penyelesaian konflik, komunikasi, kreatifitas dan kemampuan presentasi. Menentukan nilai-nilai dari bahan kajian lain yang akan dibutuhkan untuk mendukung tercapainya kompetensi dalam mata kuliah kesehatan reproduksi. Adapun nilai-nilai yang mendukung pencapaian kompetensi kesehatan reproduksi adalah nilai-nilai agama, sosial budaya, soft skills, psikologi dan fisiologi. Menentukan tipe pengintegrasian yang akan dilaksanakan. Pada penelitian ini, tipe pengintegrasian yang dipakai adalah tipe integrated. Melakukan pemetaan kompetensi kesehatan reproduksi dengan mengintegrasikan nilainilai agama, sosial budaya, soft skills, psikologi dan fisiologi yang dibutuhkan untuk tercapainya kompetensi kesehatan reproduksi yang terdiri dari ranah kognitif, psikomotor dan afektif. Pada langkah ini, ditentukan kompetensi dasar dan indikator yang kemudian diintegrasikan dengan nilai-nilai yang mendukung tercapainya kompetensi kesehatan reproduksi. Indikator tersebut disesuaikan dengan kedalaman pencapaian ranah kognitif, psikomotor dan afektif yang diperlukan untuk tercapainya kompetensi kesehatan reproduksi. Menyusun kompetensi dasar, indikator, materi pembelajaran kesehatan reproduksi yang telah diintegrasikan dengan nilai-nilai dari bahan kajian lain yang disesuaikan dengan kebutuhan perempuan dalam kesehatan reproduksi dengan melibatkan dosen pengampu dari mata kuliah yang terkait dengan nilai-nilai yang akan diintegrasikan. Menentukan alokasi waktu yang dibutuhkan dalam pembelajaran serta menentukan sumber belajar yang digunakan dalam pembelajaran untuk mencapai kompetensi kesehatan reproduksi. Menentukan jenis penilaian yang sesuai dengan kompetensi yang akan diujikan, dimana penilaian kognitif akan dilaksanakan dengan bentuk soal pilihan ganda berbasis kasus, penilaian psikomotor dan afektif dilaksanakan dengan daftar tilik dan lembar observasi. IJEMC, Volume 2 Supl 1, Februari 2015
| 49
Erda Mutiara Halida: Pengembangan Model Kesehatan Reproduksi Terintegrasi untuk Mahasiswa D III Kebidanan Indonesia
Pembelajaran merupakan konsep dari dua dimensi kegiatan yaitu mengajar dan belajar. Kegiatan tersebut harus direncanakan dan diaktualisasikan serta diarahkan pada pencapaian tujuan pembelajaran atau penguasaan sejumlah kompetensi dan indikatornya sebagai gambaran dari hasil belajar.19 Seseorang dapat dikatakan telah berhasil dalam belajar apabila ia telah mampu menunjukkan adanya perubahan dalam dirinya. Perubahan tersebut dapat ditunjukkan diantaranya dari kemampuan berpikirnya, keterampilan dan sikapnya terhadap suatu objek atau dapat disebut kompeten.18,39 Pembelajaran terintegrasi merupakan model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk dapat mempelajari materi pelajaran secara holistik, bermakna, autentik, aktif dan tidak terpisah-pisah. Pembelajaran kesehatan reproduksi terintegrasi merupakan pembelajaran yang dibentuk secara holistik, bermakna, autentik dan aktif dengan mengintegrasikan kebutuhan masyarakat yaitu fisiologi, psikologi, budaya, agama dan soft skills dalam kurikulum kesehatan reproduksi untuk dapat menjawab menganai tantangan dari kebutuhan masyarakat. Pembelajaran terintegrasi yang dipadukan dengan kemampuan klinis dapat meningkatkan perhatian peserta didik dan meningkatkan ketertarikan peserta didik dalam pembelajaran. Peserta didik yang diberikan model pembelajaran terintegrasi dapat membuat diagnosis yang lebih akurat dibandingkan peserta didik yang mendapatkan model pembelajaran konvensional. Model pembelajran terintegrasi memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar dengan lebih baik karena mereka terlibat langsung dalam proses pembelajaran dengan model terintegrasi dan yang dapat meningkatkan kemampuan peserta didik dalam keterampilan mendiagnosa objek pembelajaran yang diberikan. Model pembelajaran terintegrasi juga dapat memberikan kemampuan peningkatan pengetahuan peserta didik mengenai hal-hal yang mereka pelajari. Peserta didik mendapatkan pengetahuan secara bermakna melalui jalinan antar konsep-konsep dari berbagai hal yang mereka pelajari.
50 | IJEMC, Volume 2 Supl 1, Februari 2015
Daftar Pustaka
1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/MENKES/PER/X/2010, (2010). 2. ICM. Essential Competencies for Basic Midwifery Practice. ICM; 2010 [cited 2013 19 December]; Available from: www.international midwives.org. 3. ICM. Global Standars for Midwifery Education 2010 - Glossary of Terms Used in ICM ICM; 2011 [cited 2013 19 December]; Available from: www.internationalmidwives.org. 4. Supari SF. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 369/MENKES/SK/ 5. III/2007 tentang Standar Profesi Bidan. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 2007. 6. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, (2000). 7. ICM. Global Standards - Glossary of Terms - June 2011. International Confederation of Midwife; 2011 [cited 2013 19 December]; Available from: www.internationalmidwives. org. 8. Ruhimat T. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada; 2012. 9. Dikti D. Buku Panduan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Tinggi. Jakarta: Direktorat Akademik Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi; 2008. 10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010, (2010). 11. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 045/U/2002, (2002). 12. Kurniawan D. Pembelajaran Terpadu: Teori, Praktik dan Penilaian. Bandung: CV. Pustaka Cendikia Utama; 2011. 13. Hamidah S. Model Pembelajaran Soft Skills Terintegrasi pada Siswa SMK Program Studi Keahlian Tata Boga. Jurnal Pendidikan Vokasi. 2012;2. 14. Pipas CF. Collaborating to Integrate Curriculum in Primary Care Medical Education: Successes and Challenges From Three US Medical Schools. Family Medicine. 2004. 15. Kate MS. Introducing Integrated Teaching in Undergraduate Medical Curriculum. International Journal of Pharma Scienses and Research. 2010;1. 16. Muqoyyanah AR, Sulhadi. Efektifitas dan Efisiensi Model Pembelajaran IPA Terpadu Tipe Integrated dalam Pembelajaran Tema Cahaya. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia. 2010;6. 17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (2003).
Erda Mutiara Halida: Pengembangan Model Kesehatan Reproduksi Terintegrasi untuk Mahasiswa D III Kebidanan Indonesia
18. Sanjaya W. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana; 2006. 19. Trianto. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara; 2010. 20. Majid A. Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya; 2013. 21. Fogarty R. How to Integrate the Curricula. United States of America: SAGE; 2009. 22. UNFPA. Program Kesehatan Reproduksi Dan Pelayanan Integratif di Tingkat Pelayanan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2011. 23. Suharti. Pedoman Pelayanan Kebidanan Komunitas. Jakarta: Kementerian Kesehatan 2011. 24. Sailah I. Pengembangan Soft Skills di Perguruan Tinggi. Bogor: Ditjen Dikti; 2008. 25. Muqowim. Pengembangan Soft Skill Guru. Yogyakarta: Pedagogja; 2012. 26. Elfindri. Soft Skills untuk Pendidik: Badouse Media; 2011. 27. Mulyasa E. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya; 2010. 28. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, 36 (2009). 29. Kumalasari I. Kesehatan Reproduksi untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika; 2012.
30. JIB Adinma EA. Impact of Reproductive Health on Socio-economic Development: A Case Study of Nigeria. Reproductive Health and National Development. 2011. 31. UNFPA. Yang Perlu Diketahui Petugas tentang Kesehatan Reproduksi. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2011. 32. HPEQ. Standar Kompetensi Bidan Indonesia. Jakarta: Ditjen Dikti Kemendikbud; 2011. 33. Silva MOd. The Reproductive Health Report. The European Journal of Contraception and Reproductive Health Care. 2011. 34. Janice McCabe AET, J R Heiman. The Impact of Gender Expectations on Meanings of Sex and Sexuality: Results from a Cognitive Interview Study. Sex Roles. 2010. 35. Statistik BP. Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 Kesehatan Reproduksi Remaja. Jakarta: Kementerian Kesehatan2013. 36. C I Mba SNO, B C Ozumba. The impact of health education on reproductive health knowledge among adolescents in a rural Nigerian community. Journal of Obstetrics and Gynaecology. 2007. 37. Zubaedi. Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana; 2011.
IJEMC, Volume 2 Supl 1, Februari 2015
| 51
Vol.I No.1 Januari 2010
ISSN: 2086-3098
Siswa SMP memerlukan informasi yang benar dan terarah mengenai Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). Terdapat beberapa metode penyampaian informasi KRR di antaranya adalah layanan informasi dan konseling kelompok. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan antara layanan informasi dan konseling kelompok terhadap sikap tentang KRR. Jenis penelitian ini adalah Quasy Experiment menggunakan pretest and posttest group design. Populasi penelitian adalah seluruh siswa Kelas VIII SMPN 2 Kauman Ponorogo. Sampel adalah siswa Kelas VIII SMPN 2 Kauman ponorogo yang bersedia diteliti dan mengikuti seluruh rangkaian kegiatan. Dengan teknik cluster, diperoleh sampel sebesar 120 siswa. Data didapatkan dari nilai pretest dan posttest masingmasing kelompok dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner. Teknik analisis data untuk mengetahui pengaruh layanan informasi dan konseling kelompok terhadap sikap tentang KRR menggunakan Paired Sample TTest. Perbandingan pengaruh antara layanan informasi dengan konseling kelompok terhadap sikap tentang KRR diuji dengan Independen Sample TTest. Hasil penelitian menunjukkan nilai signifikansi p=0,000 berarti bahwa ada pengaruh layanan informasi terhadap sikap tentang KRR, demikian halnya dengan konseling kelompok nilai signifikansi p=0,410, berarti tidak ada perbedaan signifikan di antara kedua perilaku tersebut. Kesimpulan dari hasil penelitian adalah ada pengaruh layanan informasi terhadap sikap tentang KRR, ada pengaruh konseling kelompok terhadap sikap tentang KRR, dan tidak ada perbedaaan pengaruh layanan informasi dan konseling kelompok terhadap sikap tentang KRR pada siswa Kelas VIII SMPN 2 Kauman Ponorogo. Kata Kunci : Layanan Informasi, Konseling Kelompok, Sikap, KRR. Telepon: 081556432775, email:
[email protected] Di Indonesia, remaja masih sering menemui kesulitan untuk mendapatkan hak reproduksi mereka, yaitu hak akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi, termasuk informasi mengenai Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). Bukti ketidaktahuan remaja tentang KRR ini dapat dilihat dari banyaknya pertanyaan seputar organ reproduksi, perilaku seks saat pacaran, Infeksi Menular Seksual (IMS), Kehamilan Tak Dikehendaki (KTD), kontrasepsi, pelecehan seksual, homoseksual sampai masalah kepercayaan diri, seringkali dilontarkan remaja kepada Youth Center milik Perkumpulan Keluarga Berencana
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
7
Vol.I No.1 Januari 2010
ISSN: 2086-3098
Indonesia (PKBI). Yahya Ma’shum (2005), Humas PKBI, menyatakan bahwa isi pertanyaan tersebut merefleksikan kurangnya akses remaja pada informasi kesehatan reproduksi. Pada bulan September 2004, Synovate Research mengadakan penelitian serupa di 4 kota (Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan) melibatkan 450 responden usia 1524 tahun, hasilnya 65% informasi seks mereka dapatkan dari kawan, sedangkan 35% dari film porno (Kartika, 2005). Tahun 1998 responden survei remaja di empat provinsi memperlihatkan sikap yang sedikit berbeda dalam memandang hubungan seks di luar nikah. Ada 2,2% responden setuju apabila lakilaki berhubungan seks sebelum menikah. Angka ini menurun menjadi 1% bila ditanya sikap mereka terhadap perempuan yang berhubungan seks sebelum menikah. Jika hubungan seks dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai, maka responden setuju menjadi 8,6%. Jika mereka berencana menikah, responden setuju kembali bertambah menjadi 12,5% (LDFEUI & NFPCB, 1999 dalam Darwisyah, 2005). Sejauh ini berbagai upaya yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif telah dilakukan untuk mengatasi masalah remaja ini. Upaya Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) merupakan komponen promotif dan preventif. Pelayanan KRR khususnya pelayanan medik dan rujukannya merupakan komponen kuratif (Depkes RI, 1995). Perlu kerjasama lintas program dan lintas sektoral untuk menangani masalah ini. Sebenarnya akses informasi KRR dapat diperoleh remaja melalui pendidikan formal di sekolah maupun informal melalui orang tua, teman bergaul, media dan sebagainya (BKKBN, 2003). Selain dari guru maupun dari orang tua, informasi KRR ini juga dapat diperoleh siswa dari tenaga kesehatan. Bidan bisa memberikan layanan informasi atau bahkan memberikan konseling kelompok terhadap para siswa. Kedua teknik penyampaian informasi ini masing masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dimungkinkan kedua teknik ini mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap siswa. 1. Mengetahui pengaruh layanan informasi terhadap sikap tentang KRR 2. Mengetahui pengaruh konseling kelompok terhadap sikap tentang KRR pada siswa Kelas VIII di SMPN 2 Kauman Ponorogo. 3. Mengetahui perbandingan pengaruh layanan informasi dengan konseling kelompok terhadap sikap tentang KRR pada siswa Kelas VIII di SMPN 2 Kauman Ponorogo. Penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 1317 Mei 2008 di SMPN 2 Kauman Ponorogo ini merupakan penelitian quasy experiment menggunakan pretest and postest group design. Populasi penelitian adalah semua siswa SMPN 2 Kauman Ponorogo Kelas VIII, dengan sampel siswa Kelas VIII SMPN 2 Kauman Ponorogo yang bersedia diteliti dan mengikuti seluruh rangkaian kegiatan (pretest, layanan informasi/konseling kelompok, posttest). Dengan teknik cluster diperoleh sampel sebesar 120 siswa dengan perincian 60 siswa diberikan intervensi berupa layanan informasi dan 60 siswa diberikan intervensi berupa konseling kelompok. Intervensi tersebut dilaksanakan masing sebanyak 3 kali pertemuan dengan durasi 60 menit tiap pertemuan.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
8
Vol.I No.1 Januari 2010
ISSN: 2086-3098
Data didapatkan dari nilai pretest dan posttest masingmasing kelompok dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner berupa pertanyaan tertutup mengenai sikap tentang KRR yang telah melalui uji validitas dan reabilitas. Teknik analisis data untuk mengetahui pengaruh layanan informasi terhadap sikap tentang KRR menggunakan Paired Sample TTest. Demikian juga pengaruh konseling kelompok terhadap sikap tentang KRR diuji dengan Paired Sample TTest. Sedangkan perbandingan pengaruh antara layanan informasi dengan konseling kelompok terhadap sikap tentang KRR diuji dengan Independen Sample T Test. PreLayin
Frequency
6
4
2
0 66.40 67.10 70.40 72.40 73.70 74.30 75.00 76.30 76.90 77.60 78.90 79.60 80.30 80.90 81.60 82.20 82.90 83.50 84.20 84.90 85.50 86.60 86.80 88.20 90.10
PreLayin
Gambar 1. Nilai Pretest Sikap tentang KRR pada Kelompok Layanan Informasi Siswa SMPN 2 Kauman Tahun 2008 Sikap tentang KRR sebelum dilakukan layanan informasi sebagai berikut: responden dengan nilai 82,90 sebanyak 7 siswa (11,7%), nilai 74,30 sebanyak 6 siswa (10,00%), nilai 77,60 sebanyak 5 siswa (8,3%), yang selengkapnya tampak pada Gambar 1. Sedangkan sikap tentang KRR sesudah dilakukan layanan informasi sebagai berikut: responden dengan nilai 91,40 sebanyak 6 siswa (11,7%), nilai 84,80 sebanyak 4 siswa (6,7%), nilai 83,50 sebanyak 4 siswa (6,7%), yang selengkapnya tampak pada Gambar 2. Paired Sample TTest menghasilkan nilai signifikasi 0,000 (<0,05), berarti Ho ditolak yaitu ada pengaruh layanan informasi terhadap sikap tentang KRR.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
9
Vol.I No.1 Januari 2010
ISSN: 2086-3098
PostLayin
6
5
Frequency
4
3
2
1
0 72.40
75.00
76.90
78.90
80.30
81.60
82.90
84.20
84.90
86.80
88.20
90.10
90.80
92.70
96.70
PostLayin
Gambar 2 Nilai Posttest Sikap tentang KRR pada Kelompok Layanan Informasi Siswa SMPN 2 Kauman Tahun 2008 Prayitno dan Erman Amti (2004) menyatakan bahwa layanan informasi dapat membekali individu dengan pengetahuan dan memungkinkan individu tersebut dapat menentukan arah hidupnya sebab dengan berdasarkan informasi tersebut individu diharapkan dapat membuat rencana dan keputusan serta bertanggung jawab terhadap keputusan dan rencana yang dibuat itu. Jadi dengan adanya layanan informasi tentang KRR ini, bekal informasi siswa berupa pengetahuan tentang KRR ini dapat membantunya menentukan rencana dan keputusan yang tepat perihal KRR serta dapat bertanggung jawab terhadap keputusan yang dibuatnya itu. Penelitian serupa dilakukan oleh Fransisca Iriani dan M. Nisfiannor (2004) dalam Amiruddin (2007). Penelitian tersebut menyatakan bahwa ada perbedaan sikap terhadap hubungan seks pranikah antara remaja yang diberi penyuluhan dan yang tidak diberi penyuluhan kesehatan reproduksi remaja (KRR). Pratama (2006) mengatakan bahwa remaja harus diberikan penyuluhan (layanan informasi) tentang kesehatan reproduksi yang menyangkut sistem, fungsi dan proses reproduksi agar mereka memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku positif terhadap kesehatan reproduksinya. Sedangkan Een Sukaedah (2001) dalam penelitiannya mengenai faktorfaktor yang berhubungan dengan sikap terhadap KRR menyatakan bahwa faktor pengetahuanlah yang paling dominan berhubungan dengan sikap KRR. Hubungan layanan informasi, sikap dan remaja dapat digambarkan sebagai berikut: respon batin terhadap suatu objek dalam penelitian adalah sikap dan pemahaman terhadap pentingnya KRR yang diperoleh dari penginderaan. Upaya ini diteruskan ke otak untuk diteruskan ke otak untuk diproses melalui impulsimpuls saraf. Stimulus akan terus diingat dan memorinya lama bila stimulus tersebut diberikan berulangulang. Stimulus yang dimaksud Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
10
Vol.I No.1 Januari 2010
ISSN: 2086-3098
berupa layanan informasi. Layanan informasi memberikan informasi yang seluasluasnya sehingga peserta memiliki pengetahuan yang memadai dan kemudian bersikap positif terhadap obyek yang dibicarakan (KRR). Hasil penelitian ini membuktikan bahwa stimulasi berupa layanan informasi mampu meningkatkan pemahaman terhadap sikap tentang KRR. Sikap tentang KRR sebelum dilakukan konseling kelompok sebagai berikut: responden dengan nilai 82,20 sebanyak 4 siswa (6,7%), nilai 78,30 sebanyak 4 siswa (6,7%), nilai 76,30 sebanyak 4 siswa (6,7%), yang lebih lengkap tampak pada Gambar 3. Sedangkan sikap tentang KRR sesudah dilakukan konseling kelompok sebagai berikut: responden dengan nilai 84,80 sebanyak 5 siswa (8,3%), nilai 88,80 sebanyak 4 siswa (6,7%), nilai 95,39 sebanyak 3 siswa (5%), yang selengkapnya tampak pada Gambar 4. Paired Sample TTest menghasilkan nilai signifikasi 0,000 (<0,05), berarti Ho ditolak yaitu ada pengaruh konseling kelompok terhadap sikap tentang KRR. Pengukuran pretest dan posttest pada kelompok yang diberikan konseling kelompok menunjukkan perubahan yang bermakna. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh positif pemberian konseling kelompok terhadap sikap tentang KRR. Hal di atas sesuai dengan pendapat Ohlsen (1970) dalam Sukardi (1988) bahwa konseling pada remaja dapat memberikan hasil pengembangan keberanian dan kepercayaan diri untuk mengamalkan apa yang diperoleh dalam situasi kehidupannya sehari hari. Penelitian kesehatan tentang konseling oleh Siswa Dini Kurniasari (2006) menyebutkan bahwa konseling kelompok memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sikap remaja dalam menghitung siklus menstruasinya. postKons
5
Frequency
4
3
2
1
0 65.80 71.00 75.00 76.90 78.90 80.30 81.60 83.50 84.80 85.80 86.80 88.20 89.47 90.79 92.70 94.00 95.39 97.37
postKons
Gambar 3. Nilai Pretest Sikap tentang KRR pada Kelompok Konseling Kelompok Siswa SMPN 2 Kauman Tahun 2008
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
11
Vol.I No.1 Januari 2010
ISSN: 2086-3098
preKons
4
Frequency
3
2
1
0 62.50 69.70 71.00 73.70 75.00 76.30 78.30 78.90 80.30 81.60 82.90 84.20 86.60 87.50 90.10 92.76 94.70
preKons
Gambar 4 Nilai Posttest Sikap tentang KRR pada Kelompok Konseling Kelompok Siswa SMPN 2 Kauman Tahun 2008 Ada beberapa alasan pemberian konseling kelompok mampu memberikan pengaruh terhadap sikap. Pertama, konseling KRR membantu remaja membuat keputusan atau memecahkan masalah mengenai dirinya melalui pemahaman tentang faktafakta yang berkaitan dengan KRR (BKKBN, 2003). Pada konseling kelompok ini, para remaja diharapkan akan mengubah cara pandang dan pola pikirnya terhadap masalah seputar KRR sehingga remaja merasa lebih mampu untuk menemukan sikap dan tindakan yang tepat baginya. Kedua, metode konseling kelompok mengupayakan perubahan sikap dan perilaku secara tidak langsung melalui penyajian informasi yang menekankan pengolahan kognitif oleh para peserta sehingga mereka dapat menerapkan sendiri serta mengupayakan perubahan sikap dan perilaku secara langsung dengan membicarakan topiktopik tertentu pada pengolahan kognitif dan penghayatan afektif (Winkel, 1991). Ketiga, setiap anggota dalam konseling kelompok mengeksplorasi masalah dan perasaannya antara yang satu dengan yang lainnya dengan bantuan konselor berusaha untuk mengubah sikap dan nilainilainya (Sukardi, 1988). Pada penelitian ini, peserta diberi kesempatan untuk mengemukakan masalahnya sedangkan teman lain dan konselor membantu memberikan masukan alternatif pemecahan masalah. Konseling mengandung unsur kognitif dan afektif karena konselor dan para klien berpikir bersama. Konseling ini mengarah pada perubahan dalam diri klien. Berkat komunikasi antar pribadi diharapkan klien akan berubah ke arah yang positif mengenai pandangan serta sikapnya dalam mengambil keputusan maupun tindakan yang berkaitan dengan KRR dibanding saat sebelum konseling kelompok dimulai. Hubungan antara konseling kelompok, sikap dan remaja dapat digambarkan sebagai berikut: respon batin terhadap suatu objek dalam penelitian adalah sikap dan pemahaman terhadap pentingnya KRR yang diperoleh dari penginderaan. Upaya ini diteruskan ke otak
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
12
Vol.I No.1 Januari 2010
ISSN: 2086-3098
untuk diteruskan ke otak untuk diproses melalui impulsimpuls saraf. Stimulus akan terus diingat dan memorinya lama bila stimulus tersebut diberikan berulangulang. Stimulus yang dimaksud berupa konseling kelompok. Konseling kelompok mengupayakan hubungan interpersonal antara konselor dan para konseli untuk mendapatkan informasi yang benar. Oleh karenanya konselor harus benarbenar memahami perihal KRR. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa stimulasi berupa konseling kelompok mampu meningkatkan pemahaman para peserta terhadap sikap tentang KRR. Analisis perbandingan antara pengaruh layanan informasi dan konseling kelompok terhadap sikap tentang KRR menggunakan Independent Sample TTest. Uji tersebut menghasilkan nilai signifikasi 0,410 (>0,05), berarti Ho diterima artinya tidak ada perbedaan yang signifikan antara pengaruh layanan informasi dengan konseling kelompok terhadap sikap tentang KRR. Pengukuran posttest pada kedua kelompok menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Ini berarti layanan informasi maupun konseling kelompok samasama efektif dalam memberikan pengaruh positif terhadap sikap tentang KRR. Hal di atas mungkin disebabkan oleh materi KRR yang menarik bagi siswa SMP. Ini bisa dilihat dari antusiasme para siswa saat mengikuti layanan informasi maupun konseling kelompok. Rasa senang dan rasa tertarik terhadap materi KRR ini mempermudah pemahaman siswa terhadap nformasi KRR. Ini berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan mereka terhadap KRR. Pada masingmasing jenis layanan memungkinkan para responden mendapatkan informasi KRR yang memadai. Bedanya, layanan informasi diberikan melalui metode ceramah, dan tanya jawab sehingga peserta pada kelompok ini dapat secara langsung menanyakan informasi yang belum jelas maupun yang belum dimengerti. Sedangkan pada konseling kelompok, para peserta dapat memperoleh informasi dari pendapat, masalah masalah beserta alternatif pemecahan masalahnya dari peserta lain maupun dari konselor. Informasi baru yang memadai dapat memberikan kontribusi besar dalam perubahan sikap. Teori Rosenberg yang dikenal dengan teori affectivecognitive consistency menyatakan bahwa hubungan komponen afektif dan kognitif bersifat konsisten, maka apabila komponen afektif berubah maka komponen kognitif juga berubah. Sebaliknya bila komponen kognitif berubah maka komponen afektif juga berubah (Walgito, 2003). Menurut Azwar (2003), para ahli psikologi sosial banyak yang beranggapan bahwa ketiga komponen sikap (cognitive, affective, conative) selaras dan konsisten, karena apabila dihadapkan pada satu obyek sikap yang sama maka ketiga komponen itu harus mempolakan sikap yang seragam. Dan apabila salah satu saja di antara ketiga komponen sikap tidak konsisten dengan yang lain, maka akan terjadi ketidakselarasan yang menyebabkan timbulnya perubahan sikap sedemikian rupa sehingga konsistensi itu tercapai kembali. Prinsip ini banyak dimanfaatkan dalam manipulasi sikap guna mengalihkan bentuk sikap tertentu menjadi bentuk yang lain. Adapun manipulasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah layanan informasi dan konseling kelompok. Berdasarkan hasil eksperimen Hovland dan Weiss dalam Gerungan (2002) yang menyelidiki pengaruh penyebaran berita yang isinya sama oleh sumber pemberitaan yang
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
13
Vol.I No.1 Januari 2010
ISSN: 2086-3098
berbeda, maka walaupun isi komunikasi sama apabila sumbernya dianggap lebih dapat dipercaya maka pemberitaan itu lebih dapat diterima daripada apabila dikomunikasikan oleh sumber yang dianggap tidak dapat dipercayai. Dalam penelitian ini intervensi baik yang berupa layan informasi maupun konseling kelompok dilakukan oleh peneliti yang juga berprofesi sebagai bidan. Siswasiswi SMPN 2 Kauman Ponorogo memiliki rasa percaya pada penulis. Hal ini ditunjukkan dengan antusiasme kedua kelompok terhadap materi yang dibicarakan dan keterbukaan mereka untuk menanyakan halhalyang belum dimengerti dan keberanian mereka mengungkapkan masalah KRR yang sedang dihadapi. Eksperimen dari Murphy dan Newcomb dalam Gerungan (2002) menyatakan bahwa perubahan sikap yang paling berhasil terjadi pada orangorang yang mempunyai sikap awal bimbang dan raguragu terhadap obyek sikap tersebut dan kemudian orangorang tersebut diberi komunikasi tertentu. Dalam penelitian ini, sebelum dilakukan intervensi, siswasiswi SMPN 2 Kauman Ponorogo memiliki sikap yang masih raguragu terhadap KRR, yang terlihat dari hasil pretest sikap. Selain itu sebelum melakukan intervensi, peneliti juga menanyakan sikap mereka terhadap KRR secara lisan. Dari pertanyaan lisan ini, sebagian dari mereka malu untuk membicarakan masalah KRR terlebih bila harus membicarakannnya dengan orang tua atau guru. Sebenarnya mereka suka dan ingin tahu lebih jauh tentang KRR tapi tidak tahu menyakannnya kepada siapa. Pemberian intervensi berupa layanan informasi dan konseling kelompok memberikan komunikasi yang jelas dan tegas mengenai obyek sikap (KRR). Objek yang dahulu dipandang dengan sikap yang bimbang kini menjadi lebih jelas. Sikap yang belum mendalam relatif tidak bertahan lama sehingga akan mudah berubah (Walgito, 2003). Pada kelompok layanan informasi, siswa langsung menanyakan halhal yang tidak ia ketahui pada peniliti. Bahkan ada siswa yang membuat kesimpulan sendiri bahwa ia menajwab kurang tepat pertanyaan sikap yang ada dalam kuesioner setelah ia mendapat pengetahuan tentang materi tersebut. Pernyataan siswa yang diungkapkan secara terbuka dalam forum layanan informasi ini dapat mempengaruhi sikap siswa yang lain.Pada kelompok konseling kelompok penekanannya adalah pada pemecahan masalah KRR. Masalahmasalah yang diungkapkan siswa belum mencakup seluruh materi KRR. Hal ini dimungkinkan dapat berpengaruh terhadap sikap terhadap keseluruhan materi KRR. Jadi dapat disimpulkan bahwa layanan informasi dan konseling kelompok memberikan efektifitas yang sama dalam merubah sikap tentang KRR disebabkan oleh beberapa hal yaitu: 1) materi KRR yang menarik bagi kedua kelompok, 2) kedua metode sama–sama menambah pengetahuan sehingga mengakibatkan perubahan sikap, 3) kedua metode dapat memberikan kejelasan dan ketegasan tentang KRR, 4) kedua metode diberikan oleh peneliti yang berprofesi sebagai bidan yang dipercaya oleh siswa, yang mempermudah perubahan sikap, 5) pada kelompok layanan informasi ada pernyataan sikap siswa secara terbuka, yang dapat mempengaruhi siswa lain, 6) pada kelompok konseling kelompok, masalah yang diungkapkan belum mencakup seluruh materi KRR sehingga berpengaruh terhadap sikap tentang KRR. Dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh layanan informasi dan konseling kelompok terhadap sikap tentang KRR pada siswa Kelas VIII di SMPN 2 Kauman Ponorogo. Akan tetapi
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
14
Vol.I No.1 Januari 2010
ISSN: 2086-3098
tidak ada perbedaan antara pengaruh layanan informasi dan konseling kelompok terhadap sikap tentang KRR. Hal ini menunjukkan bahwa layanan informasi dan konseling kelompok samasama efektif untuk meningkatkan sikap tentang KRR pada siswa. Saran yang diajukan bagi profesi bidan khususnya dan tenaga kesehatan lainnya, layanan informasi dan konseling kelompok ini dapat digunakan sebagai alternatif media promosi kesehatan untuk meningkatkan sikap tentang KRR pada para siswa. Selain itu perlu juga kerjasama antara pihak sekolah dan tenaga kesehatan untuk menyelenggarakan pelatihan bagi guru BK (Bimbingan Konseling) mengenai KRR, yang bertujuan agar guru BK dapat memberikan layanan informasi dan konseling mengenai KRR dengan lebih baik lagi. Amiruddin, 2007. Tabel Sintesa: Analisis Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja. http://ridwanamiruddin.wordpress.com/2007/05/05/tabelsintesa/ Arikunto, S., 2005. DasarDasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Azwar, S., 2003. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset. BKKBN, 2003. Petunjuk Teknis Pengembangan Advokasi Kesehatan Reproduksi Remaja dan Hakhak Reproduksi. Surabaya Depkes RI dan WHO, 2003. Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). Jakarta Depkes RI, 1995. Pola Pembinaan Kesehatan Reproduksi Remaja dalam Pembinaan Kesehatan Keluarga. Jakarta Ghozali, 2001. Aplikasi Analisis Multivariat dengan SPSS. Semarang: Undip. Henderson, 2005. Konsep Kebidanan. Jakarta: EGC. Kurniasari, 2006. Pengaruh Konseling Kelompok Kesehatan Reproduksi Remaja terhadap Sikap Remaja dalam Menghitung Siklus Menstruasinya. Karya Tulis Ilmiah untuk Diploma Kebidanan Prodi Kebidanan Magetan Poltekkes Surabaya. Notoatmodjo, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat PrinsiPrinsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta. Nurihsan dan Sudianto, 2005. Manajemen Bimbingan dan Konseling di SMP. Jakarta: Grasindo.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
15
STUDI KEPEDULIAN LAKI-LAKI TERHADAP KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN DI KAMPUNG RANJENG Rahmawati* Email :
[email protected] Rina Yulianti** Email :
[email protected] *Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Raya Jakarta KM 4 Serang **Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Raya Jakarta KM 4 Serang.
Abstract : Improved access to health services for women of course originated from the family / home, where husband / male has a big role. Understanding and involvement of husbands in providing information about women's reproductive health is one manifestation of attention and affection of a husband to his wife. This study tries to see how the concerns of men about women's reproductive health Ranjeng Village. Is a qualitative research method in this study with key informants were men and his wife as the Kampung Ranjeng secondary informants. This study found the results of research that understanding husband / men about reproductive health of women and various kinds of diseases that can affect female reproductive organs, both local and immigrant population is still low. This is influenced by economic factors, education, culture. Concern men in Kampung Ranjeng on reproductive health is influenced by economic considerations and more towards the use of contraceptives. Key words: men’s concern, women's reproductive health
134
Studi Kepedulian Laki-Laki Terhadap Kesehatan Reproduksi Perempuan Di Kampung Ranjeng (Rahmawati & Rina)
Sedunia
Seperti yang diketahui bahwa
tahun
ini,
Pemerintah
setiap tanggal 8 Maret diperingati
Indonesia mencanangkan
sebagai Hari Wanita Sedunia. pada
Perempuan
tanggal 08 Maret 2011 merupakan
Berikut ini 10 tuntutan Perempuan
100 hari Wanita Sedunia yang
Keluar dari Krisis yaitu 1) turunkan
dirayakan
harga
serentak
di
seluruh
Keluar
bahan
gerakan
dari
pokok
Krisis.
(produksi,
penjuru dunia termasuk di Negara
distribusi dan konsumsi), 2) Dukung
kita Indonesia. berbagai kegiatan
keterwakilan
dilakukan oleh kelompok/anggota
politik dan ruang public, 3) Cabut
masyarakat yang bekerja membela
kebijakan yang mendiskriminasikan
hak-hak perempuan dari penindasan
perempuan, 4) Hentikan kekerasan,
kekerasan, pelecehan seksual dan
berikan jaminan dan perlindungan
segala bentuk diskriminasi lainnya
hukum
yang
Negara,
Kebebasan informasi dan media
perusahaan atau lembaga individu
yang ramah terhadap perempuan, 6)
baik
Peningkatan
dilakukan
oleh
laki-laki
maupun
oleh
bagi
perempuan
dalam
perempuan,
Akses
5)
Pelayanan
Publik, Kesehatan dan Pendidikan,
perempuan itu sendiri. Hari Wanita Sedunia ini telah
7) Kembalikan Akses dan kontrol
membuka dimensi baru bagi kaum
Perempuan terhadap Sumber Daya
wanita
Alam,
dalam
mengembangkan
8)
Perlindungan
dirinya serta dapat berperan aktif
pemenuhan
terlibat
di
Perempuan, 9) Lindungi kebebasan
masing-masing.
beragama dan berkeyakinan dan 10)
Kesejahteraan hidup semua orang di
Hentikan investasi yang merusak
dunia akan ikut berpengaruh jika
lingkungan
kaum wanita diabaikan hak-haknya
perempuan.
dalam
pembangunan
negaranya
HAM
dan
dan
Pekerja
merugikan
pemerkosaan
Peningkatan akses pelayanan
fisik dan psikologis, serta kekerasan
kesehatan bagi perempuan tentunya
yang
tempat
berawal dari keluarag/rumah, dimana
mereka bekerja, dan dimanapun.
suami/laki-laki memiliki peran yang
Pada
besar. Pemahaman dan keterlibatan
kerena
penindasan, dilakukan peringatan
suami, Hari
Wanita 135
Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010
suami dalam memberikan informasi
tinggi,
tentang
penerima
kesehatan
reproduksi
maka
wanita
sebagai
kesehatan,
anggota
perempuan merupakan salah satu
keluarga dan pemberi pelayanan
wujud perhatian dan bentuk kasih
kesehatan
sayang suami kepada istrinya.
keluarga, supaya anak tumbuh sehat
Ciruas
berperan
dalam
sampai dewasa sebagai generasi
Kampung Ranjeng terletak di Kecamatan
harus
muda.
Kabupaten
Oleh
sebab
itu
wanita,
yang
seyogyanya diberi perhatian sebab :
memiliki tingkat kelahiran cukup
(1) Wanita menghadapi masalah
tinggi
kesehatan
Ciruas,
merupakan dan
daerah
banyak
dilakukan
khusus
berkaitan
tidak
pernikahan usia muda, sementara
dihadapi
sebagian besar penduduknya bekerja
fungsi reproduksinya; (2) Kesehatan
di sector informal seperti ojeg dan
wanita
dagang, dan beberapa menjadi buruh
mempengaruhi kesehatan anak yang
pabrik. Dengan tingkat pendidikan
dikandung
yang masih rendah menyebabkan
Kesehatan wanita sering dilupakan
keputusan soal reproduksi (memiliki
dan ia hanya sebagai objek dengan
anak) mayoritas keputusan suami,
mengatasnamakan
istri/perempuan hanya
seperti
melakukan
pria
yang
secara dan
dengan langsung
dilahirkan;
(3)
“pembangunan”
program
KB,
dan
menginsyaratkan
pengendalian jumlah penduduk. (4)
kurangnya kepedulian suami akan
Masalah kesehatan reproduksi wanita
kesehatan reproduksi perempuan/istri
sudah
mereka, terlebih lagi jika dalam usia
Intemasional diantaranya
muda
menyepakati hasil-hasil Konferensi
saja.
Hal
ini
sudah
melahirkan
dengan
menjadi
agenda Indonesia
mengenai kesehatan reproduksi dan
kondisi banyak anak.
kependudukan (Beijing dan Kairo); (5) Berdasarkan pemikiran di atas
TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan bertujuan
untuk
kesehatan wanita merupakan aspek
kesehatan
paling penting
mempertinggi
disebabkan
derajat kesehatan masyarakat. Demi
pengaruhnya pada kesehatan anak-
tercapainya derajat kesehatan yang
anak. Oleh sebab itu pada wanita 136
Studi Kepedulian Laki-Laki Terhadap Kesehatan Reproduksi Perempuan Di Kampung Ranjeng (Rahmawati & Rina)
diberi kebebasan dalam menentukan
kepentingan
Indonesia
hal yang paling baik menurut dirinya
secara nasional telah disepakati ada
sesuai dengan kebutuhannya di mana
empat komponen prioritas kesehatan
ia sendiri yang memutuskan atas
reproduksi, yaitu : (1) Kesehatan Ibu
tubuhnya sendiri.
dan Bayi Baru Lahir; (2) Keluarga Berencana;
Kesehatan reproduksi adalah
(3)
saat
ini,
Kesehatan
keadaan sehat secara menyeluruh
Reproduksi Remaja; (4) Pencegahan
mencakup
fisik,
dan Penanganan Penyakit Menular
kehidupan
sosial,yang
dengan
mental
alat,fungsi
reproduksi.
dan
Seksual, termasuk HIV/AIDS.
berkaitan proses
Kesehatan reproduksi wanita
demikian
adalah suatu kondisi sehat yang
serta
Dengan
kesehatan reproduksi bukan hanya
menyangkut
kondisi
dari
proses reproduksi yang dimiliki oleh
bagaimana
wanita/perempuan. Pengertian sehat
bebas
penyakit,melainkan
fungsi
disini
seksual yang aman dan memuaskan
bebas penyakit atau bebas dari
sebelum
kecacatan namun juga sehat secara
dan
sesudah
semata-mata
dan
seseorang dapat memiliki kehidupan menikah
tidak
sistem,
berarti
mental serta sosial cultural.
menikah. Menurut Depkes RI (2001) ruang lingkup kesehatan reproduksi
Indikator
sebenarnya
Kesehatan Reproduksi Wanita.
sangat
luas,
sesuai
Dalam pengertian kesehatan
dengan definisi yang tertera di atas, karena
keseluruhan
reproduksi secara lebih mendalam,
sejak
bukan
mencakup
kehidupan
manusia
Permasalahan
lahir
semata-mata
sebagai
hingga mati. Dalam uraian tentang
pengertian klinis (kedokteran) saja
ruang lingkup kesehatan reproduksi
tetapi juga mencakup pengertian
yang
digunakan
sosial (masyarakat). Intinya, goal
pendekatan siklus hidup (life-cycle
kesehatan secara menyeluruh bahwa
lebih
approach),
rinci sehingga
kualitas
diperoleh
hidupnya
sangat
baik.
komponen pelayanan yang nyata dan
Namun, kondisi sosial dan ekonomi
dapat
terutama
dilaksanakan.
Untuk 137
di
negara-negara
Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010
berkembang yang kualitas hidup dan
mempengaruhi
kemiskinan memburuk, secara tidak
masyarakat.
langsung
memperburuk
kesehatan
reproduksi
Indikator-indikator kesehatan
Peran
pula
kehidupan keluarga
dalam
wanita.
memandang perempuan atau istri
permasalahan
mereka lebih banyak melihat dari
reproduksi
wanita
kajian
di
atau
pemahaman
bahwa
Indonesia, antara lain: (1) Jender; (2)
perempuan/istri harus lebih banyak
Kemiskinan,
lain
berperan dalam sektor domestik.
mengakibatkan : Pendidikan yang
Salah satu bentuk sektor domestik
rendah, Kawin muda, Kekurangan
tersebut adalah mengurus suami dan
gizi dan kesehatan yang buruk,
”dapat
Wanita juga sangat rawan terhadap
Menurut pandangan teori struktural
beberapa penyakit dan Beban Kerja
fungsional (Garna, 1994:28), peranan
yang berat.
wanita dalam keluarga, tidak hanya
antara
menghasilkan
keturunan”.
berarti segala sesuatu tentang wanita, Peran Keluarga dalam Kesehatan
tetapi berbagai implikasi dari posisi
reproduksi perempuan
dan peranan pria atau anak yang
Dari
sudut
pandang
berkaitan dengan posisi wanita.
sosiologi
Pemisahan
(Usman, 1998 : 156), keluarga
peranan
ini
lazimnya tidak semata-mata dilihat
kadangkala dianggap sebagai suatu
sebagai kinship group yang terdiri
hal yang bersifat alamiah, karena
dari ayah, ibu dan anak yang
perbedaan
terhimpun atas dasar perkawinan dan
lingkunganlah yang menyebabkan
darah,
ditempatkan
bahwa tugas-tugas pria dan wanita
sebagai unit sosial terkecil dalam
memang harus dipisahkan yang oleh
masyarakat. Antara keluarga dan
para ahli dinyatakan dengan teori
masyarakat terjalin hubungan yang
nature dan teori nurture. Teori
resiprokal yaitu keberadaan dan
nature
dinamika yang tumbuh di dalam
perbedaan psikologis pria dan wanita
keluarga, dipengaruhi serta sekaligus
disebabkan
tetapi
juga
faktor
biologis
beranggapan oleh
factor
dan
bahwa biologis
sedang teori nurture beranggapan 138
Studi Kepedulian Laki-Laki Terhadap Kesehatan Reproduksi Perempuan Di Kampung Ranjeng (Rahmawati & Rina)
bahwa perbedaan tersebut tercipta
kelebihan
melalui
perempuan,
proses
belajar
dari
yang
dimiliki
oleh
hamil
dan
yaitu
melahirkan tentu fungsi reproduksi
lingkungan.
wanita sangat berbeda dengan fungsi reproduksi laki-laki baik dari segi “organ reproduksi” maupun dari segi
METODE Metode
penelitian
“penggunaannya”.
yang
2)
Kesehatan
dipakai dalam penelitian ini adalah
wanita
metode kualitatif. Yang menjadi
mempengaruhi kesehatan anak yang
obyek penelitian adalah laki-laki dan
dikandung dan dilahirkan. Sebagai
perempuan
(suami
istri)
pihak yang dikodratkan untuk hamil
Kampung
Ranjeng
Kecamatan
dan melahirkan, tentunya tanggung
dan
secara
jawab
Ciruas Kabupaten Serang.
langsung
perempuan
untuk
menghasilkan keturunan yang sehat menjadi lebih besar, karena dari ibu hamil yang sehat secara fisik dan
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembangunan bertujuan
untuk
mental akan dilahirkan bayi /anak
kesehatan
yang sehat.
mempertinggi
Selanjutnya
derajat kesehatan masyarakat. Demi
Kesehatan
tercapainya derajat kesehatan yang
wanita sering dilupakan dan ia hanya
tinggi,
sebagai
sebagai
anggota
namakan
“pembangunan”
keluarga dan pemberi pelayanan
program
KB,
kesehatan
dalam
jumlah penduduk. Karena tugas dan
keluarga, supaya anak tumbuh sehat
perannya yang dianggap sebagai
sampai dewasa sebagai generasi
“pihak
muda.seyogyanya diberi perhatian
pertambahan
sebab : 1) Wanita menghadapi
maka perempuan selalu menjadi
masalah kesehatan khusus yang tidak
obyek program Keluarga Berencana
dihadapi
dengan
demi
Dengan
penduduk.
penerima
fungsi
maka
wanita
kesehatan, harus
pria
berperan
berkaitan
reproduksinya.
139
objek
dengan dan
yang
mengatas seperti
pengendalian
menghasilkan
jumlah
penduduk”,
pengendalian
jumlah
Program
kurang
KB
Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010
secara
(wiraswasta, ojeg dsb) dan sisanya
kimia atau akan terjadi perubahan
dapat disebut sebagai pengangguran
hormone dari penggunaan beberapa
tidak kentara karena bekerja secara
alat
tersebut.
serabutan (petani penggarap, tukang
Berdasarkan factor-faktor di atas,
bangunan dan lain sebagainya). Dari
maka kesehatan wanita merupakan
tingkat pendidikan kepala keluarga,
aspek
rata-rata sudah tamat SLTA.
memperdulikan
pengaruh
kontrasepsi
paling penting
disebabkan
Kajian
pengaruhnya pada kesehatan anak-
tentang
kesehatan
anak. Wanita harus diberi kebebasan
reproduksi perempuan dapat dilihat
dalam menentukan hal yang paling
dari sudut pandang gender, factor
baik menurut dirinya sesuai dengan
ekonomi, tingkat pendidikan, kawin
kebutuhannya di mana ia sendiri
muda, beban kerja yang berat dan
yang memutuskan atas tubuhnya
kekurangan gizi. Kepedulian laki-
sendiri. Tentunya hal ini hanya dapat
laki terhadap kesehatan reproduksi
dilakukan jika sudah ada kepedulian
perempuan di Kampung Ranjeng
laki-laki
dapat
terhadap
kesehatan
dibedakan
berdasarkan
local
pendatang.
penduduk
reproduksi perempuan.
dan
sendiri
Berdasarkan hasil observasi dan
terdiri dari 3 RT yaitu RT 01, RT 02
wawancara, sebagian besar laki-laki
dan RT 22 memiliki sekitar 248
penduduk local bekerja di sector
Kepala
informal dan pengangguran tidak
Kampung
Ranjeng
Keluarga.
Pengumpulan
data/informasi dalam penelitian ini
kentara.
menggunakan
hampir
purposive
random
Sementara sebagian
pendatang
besar
bekerja
sebagai karyawan perusahaan/pabrik.
sampling yaitu dipilih secara acak
Ketika
keluarga termasuk pasangan usia
ditanyakan
tentang
subur atau sudah menikah. Dari hasil
pemahaman suami/laki-laki tentang
observasi
diketahui
kesehatan reproduksi perempuan dan
bahwa 15 % kepala keluarga bekerja
berbagai jenis penyakit yang bisa
sebagai PNS/TNI Polri. 30% bekerja
menyerang
sebagai karyawan pabrik, 25 %
perempuan, baik penduduk local
bekerja
maupun pendatang sebagian besar
di
di
lapangan
sektor
informal 140
organ
reproduksi
Studi Kepedulian Laki-Laki Terhadap Kesehatan Reproduksi Perempuan Di Kampung Ranjeng (Rahmawati & Rina)
menyatakan tidak mengetahuinya.
hal-hal
Penyakit menular seksual (PMS)
perempuan, bukan menjadi prioritas
seperti HIV Aids, kanker servik, dan
mereka.
sifilis
tahu.
pandang ibu-ibu atau istri mereka,
Penyakit tersebut identik dengan
pemahaman mereka akan kesehatan
perilaku “jajan” dengan wanita tuna
reproduksi
susila (WTS). Mereka tidak sadar
kurang. Mereka hanya menggunakan
bahwa
bisa
cara tradisional untuk mengobati
mengancam siapa saja yang memiliki
keluhan-keluhan yang dialami pada
pasangan seks yang lebih dari satu,
organ reproduksinya, seperti minum
mungkin
tidak
banyak
penyakit
yang
tersebut
yang
berkaitan
dengan
Sementara dari sudut
mereka
sendiri
juga
poligami
atau
jamu, menggunakan jasa pijat dukun
juga
kaum
bayi. Untuk pemeriksaan papsmear
Ranjeng
yang digunakan mendeteksi penyakit
banyak yang tidak tahu mengenai
kanker serviks atau kanker leher
penyakit menular seksual sehingga
rahim tidak dilakukan karena tidak
perlu sosialisasi dari pihak terkait.
tahu harus kemana dan bagaimana
selingkuh.
karena Begitu
perempuan
laki
Kampung
Sebagian besar informan laki-
prosesnya, belum lagi soal biaya
berpendapat
yang besar.
kesehatan
bahwa
soal
reproduksi
tanggung
jawab
melainkan
tanggung
Faktor ekonomi berpengaruh
bukan
terhadap
mereka/suami,
perubahan
pemahaman
istri
suami di Kampung Ranjeng tentang
/perempuan sendiri. Perempuan/istri
kesehatan reproduksi, tetapi lebih
harus
jawab
terhadap
masalah
kearah penggunaan alat kontrasepsi.
reproduksi,
karena
Rata-rata suami mereka sudah peduli
masalah reproduksi dianggap sebagai
akan penggunaan alat kontrasepsi
dunia wanita. Hal ini dipengaruhi
untuk mengurangi angka kelahiran
oleh budaya patriarkhi.
atau jumlah anak. Tetapi lebih
paham
kesehatan
Budaya
patriarkhi
banyak
yang
istri
yang
menyebabkan laki-laki merasa lebih
menggunakan
unggul dan harus mendapat perhatian
Mungkin karena factor ekonomi,
lebih daripada perempuan, sehingga
bagi penduduk local, masih banyak 141
alat
harus
kontrasepsi.
Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010
Dengan
ibu-ibu yang melahirkan sendiri di
demikian,
untuk
rumah atau di bidan desa. Tetapi
meningkatkan kepedulian laki-laki
untuk saat ini sudah banyak
terhadap
yang
kesehatan
reproduksi
melahirkan tempat kesehatan, seperti
perempuan perlu ditingkatkan lagi
puskesmas
sosialisasi dari pihak-pihak yang
yang
memberikan
pelayanan melahirkan atau rumah
terkait
kesehatan
reproduksi
bersalin.
perempuan agar mereka jauh lebih
Karena faktor ekonomi dan
peduli terhadap kesehatan reproduksi
pendidikan pula yang menyebabkan
istri mereka, bukan hanya sekedar
perempuan
pemilihan
masih
di
kampong
memiliki
ranjeng
kesadaran
penggunaan
alat
kontrasepsi semata.
yang
rendah untuk menjaga kesehatan reproduksi mereka. Di samping itu
DAFTAR RUJUKAN
pula lemahnya dukungan suami pada
Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Program Kesehatan Reproduksi (Kespro). 2001. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Jakarta Moleong. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Penerbit Alfabeta Mamiek dan Wibowo. 2000. Permasalahan Kanker Servik di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara. Penderita Kanker Servik. 2010. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. http : //www.departemenkesehatan. go.id) Perempuan Keluar dari Krisis. 2011. (http://www.jurnalperempuan .com) Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Penerbit Alfabeta
kesehatan reproduksi istri mereka. KESIMPULAN Pemahaman tentang
suami/laki-laki
kesehatan
perempuan
dan
reproduksi
berbagai
jenis
penyakit yang bisa menyerang organ reproduksi
perempuan,
baik
penduduk local maupun pendatang masih rendah. Hal ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi, pendidikan, budaya. Selain itu, kepedulian lakilaki di Kampung Ranjeng mengenai kesehatan
reproduksi
dipengaruhi
oleh pertimbangan ekonomi dan lebih
kearah
penggunaan
alat
kontrasepsi. 142
KESEHATAN REPRODUKSI
Tinjauan Filsafat Kesehatan Reproduksi
Farida Mutiarawati Tri Agustina*
Abstrak Kesehatan reproduksi tidak dapat dipisahkan dari kesehatan seksual yang menyangkut peran dua aktor utama laki-laki dan perempuan yang harus dalam kondisi sehat untuk mendapat hasil reproduksi yang sehat. Dari sudut pandang filsafat, ontologi berupaya memahami, mendalami dan mengembangkan pengetahuan kesehatan reproduksi pada tingkat individu dan tingkat masyarakat. Secara epistemologi, kesehatan reproduksi banyak mengalami kemajuan, sejak dari teknologi kontrasepsi sederhana sampai teknologi cloning yang kontroversial. Secara aksiologi, kesehatan reproduksi mampu meningkatkan kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan hidup manusia sesuai perkembangan teknologi. Pemanfaatan dan keberhasilan kesehatan reproduksi dipengaruhi berbagai faktor yang saling terkait dan saling tergantung. Landasan perkembangan ranah kesehatan reproduksi adalah serangkaian konferensi kependudukan dunia sepuluh tahunan. Dimulai pada tahun 1954 di Roma, dilanjutkan 1965 di Belgrade, 1974 di Bucharest, 1984 di Mexico City, dan terakhir tahun 1994 di Cairo. Hingga kini, penerapan berbagai hasil konferensi untuk peningkatan kesejahteraan umat manusia terus berlangsung. Di seluruh negara di dunia, diharapkan hak-hak kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual semakin dipenuhi dengan pemanfaatan maksimal teknologi dan sesuai norma dan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Kata kunci : Kesehatan reproduksi, tinjauan filsafat. Abstract The Reproductive Health can not be separated from Sexual Health as there is two main actors of male and female has to be related to. Both of them are must be in a healthy condition, in order to produce a healthy reproductive result. From philosophies stand point, the ontology of reproductive health is tried to understand, to explore and to develop reproductive knowledge in the individual and community levels. Epistemologi of reproductive health show highly progress related to contraceptive technology starting from the simplest one to the most controversial of cloning technology. Axiologically, the reproductive health enables to improve the human prosperity and fulfill the human needs in association with technological development. The utilization and the successfull of reproductive health are determined by several interrelated and interdependent factors. The fundamental of reproductive health field development is in a series of world population conferences that held every tens years. Started in 1954 in Roma, continues to 1965 in Belgrade, 1974 in Bucharest, 1984 in Mexico City, and the latest in 1994 in Cairo. Until now, the implementation of several conference results for improvement of human kind properties is continuously occurred. All over the world, it is hoped that reproductive rights and sexual rights can be continuously fulfilled with a highest utilization of technology and in the line with fairness and enlightened norms and values. Key words : Reproductive health, philosophical foundation. *Departemen Biostatistik dan Ilmu Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Gd. A Lt. 2 FKM UI, Kampus Baru UI Depok 16424 (e-mail:
[email protected])
126
Agustina, Tinjauan Filsafat Kesehatan Reproduksi
Berbagai masalah kesehatan reproduksi mulai menjadi topik perhatian ketika penyakit HIV/AIDS muncul pada awal tahun 80-an. Namun, area kesehatan reproduksi sudah menjadi program utama kesehatan jauh sebelum itu, sejak era Maria Stopes (1880-1958) dan Margaret Sanger (1883-1966). Maria Stopes adalah seorang bidan Inggris yang mengabdikan diri bagi penduduk pengendalian kesuburan penduduk miskin.1,2 Sedangkan, Margaret Sanger adalah seorang perawat Amerika Serikat yang berjuang mengatur kelahiran untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga.3,4 Kiprah kedua tokoh keluarga berencana tersebut menjadi tonggak sejarah kesehatan reproduksi di dunia. Angka kematian ibu akibat kehamilan, persalinan dan masa nifas yang tinggi telah membuka mata dunia tentang peranan kesehatan reproduksi yang penting dalam perencanaan keluarga. Dia ditawarkan menjadi alternatif pemecahan dalam upaya meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan keluarga. Perencanaan jarak dan jumlah kelahiran terbukti mempu menghindarkan ibu dari kematian yang tragis. Selanjutnya, upaya menjaga kesehatan ibu dan bayi dalam kandungan (kehamilan) berperan menurunkan risiko kesakitan dan kematian ibu dan bayi yang dikandungnya. Hal tersebut tersirat pada berbagai jargon filosofis masa kehamilan yang diciptakan WHO, seperti ‘safe motherhood –penyelamatan masa kehamilan’, ‘making pregnancy safer – membuat kehamilan aman’ atau ‘every pregnancy is a risk – setiap kehamilan berisiko’.5 Keadaan akan semakin diperparah jika pada masa kehamilan terjadi hambatan mengakses pelayanan kesehatan. Hingga kini, kegiatan reproduksi manusia tidak terlepas dari peran dua aktor utama sepasang anak manusia yang berbeda jenis kelamin yang pada gilirannya akan menghasilkan manusia baru. Untuk memainkan peran tersebut secara baik, kegiatan reproduksi tersebut sudah harus dipersiapkan sejak masih di dalam kandungan. Selanjutnya siklus kehidupan (life cycle) dijadikan metode pendekatan penting dan efektif dalam ranah kesehatan reproduksi. Perkembangan teknologi kedokteran terkini mengantarkan pada cloning yang memungkinkan terciptanya manusia baru tanpa peran hubungan seksual laki-laki. Namun, hal tersebut masih menjadi polemik pro dan kontra berkepanjangan, seperti tersirat dari ungkapan berikut “Cloning is the process of creating an identical copy of something. In biology, it collectively refers to processes used to create copies of DNA fragments (molecular cloning), cells (cell cloning), or organisms. The term also encompasses situations whereby organisms reproduce asesxually.”6 “Cloning describes the processes used to create an exact genetic replica of another cell, tissue or organism. The copied material, which has the same genetic makeup as the original, is referred to as a clone. The most fa-
mous clone was a Scottish sheep named Dolly.”7 Kontroversi kloning menyebabkan berbagai kalangan agamis atau rohaniwan menentang penciptaan makhluk identik baru melalui teknologi cloning, “The Catholic Church and various traditionalist religious groups oppose all forms of cloning, on the grounds that life begins at conception.”8 Meskipun demikian, penelitian lanjutan masih berlangsung dalam teknologi kloning, terutama pada cloning therapeutic, yang menggunakan stem cell dari sel sehat untuk melakukan replika pada sel-sel yang rusak sehingga sel baru dan sehat akan menggantikannya. Tentu saja hal tersebut sangat bermanfaat penyembuhan berbagai penyakit yang masih sulit disembuhkan, seperti penyakit jantung koroner atau berbagai komplikasi diabetes. Pengertian Jika dilihat dari program kesehatan, maka program kesehatan reproduksi di dunia, meliputi berbagai komponen yang meliputi kesehatan ibu dan anak (KIA), keluarga berencana (KB), kesehatan reproduksi remaja (KRR), infeksi saluran reproduksi/infeksi menular seksual (ISR/IMS), termasuk HIV dan AIDS, serta kesehatan lanjut usia (lansia). Tulisan ini mencoba melakukan eksplorasi tentang perjalanan ranah kesehatan reproduksi dalam keilmuan kedokteran dan kesehatan. Pembahasan akan bermula dari asal kata dan definisi kesehatan reproduksi, dilanjutkan dengan penelaahan ontologi, epistemologi, dan aksiologi kesehatan reproduksi, serta perkembangan ranah kesehatan reproduksi. Makna kata-kata kesehatan reproduksi ditatap berdasarkan aturan bahasa dan definisi lembaga kesehatan dunia (WHO). Kesehatan Reproduksi terdiri dari dua kata, yaitu ‘kesehatan’ dan ‘reproduksi’. Kata kesehatan, yang terdiri dari kata dasar ‘sehat’ atau “healthy” termasuk dalam kelompok kata sifat. Sehat adalah suatu kondisi yang bebas dari gangguan, kelainan, atau kesakitan/penyakit pada sistem, fungsi dan proses kehidupan. Jika diberi awalan ke- dan akhiran -an maka kata ‘sehat’ berubah menjadi kata benda, yang abstrak, ‘kesehatan’ atau “health” didefinisikan oleh WHO: “ Health is a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity.”8 ‘Kesehatan’ merupakan kata benda yang abstrak karena dia tidak berwujud tetapi kehadirannya dapat dirasakan secara nyata oleh manusia. Perasaan sehat atau yang tidak sehat dapat diukur derajatnya. Kita sering mendengar atau membaca pernyataan “ditengarai bahwa derajat kesehatan masyarakat di daerah ‘X’ sangat buruk atau dalam kondisi yang mengkhawatirkan”. Selanjutnya, kata ‘reproduksi’ jelas mengadopsi bahasa Inggris ‘reproduction’ (kata benda) menjadi ‘reproductive’ sebagai kata sifat karena berperan memberikan sifat kepada kata ‘he127
KESMAS, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 3, No. 3, Desember 2008
alth’, sehingga menjadi reproductive health, bukan reproduction health. Reproduksi, terdiri dari awalan reyang artinya pengulangan dan kata ‘produksi’, sehingga arti kata reproduksi adalah suatu produksi yang berulang atau memproduksi kembali. Dalam dunia kesehatan, reproduksi berarti menghasilkan produk yang serupa dengan spesies induknya. Dalam kamus Thesaurus disebutkan bahwa kata ‘reproductive’ termasuk dalam adjective atau kata sifat yang berarti “producing new life or offspring.”9 Definisi kesehatan reproduksi yang digunakan saat ini adalah turunan atau pengembangan dari definisi kesehatan yang ditetapkan oleh WHO. Selanjutnya, pada konferensi internasional ICPD di Cairo 1994, definisi tersebut dibakukan dan disetujui oleh para peserta konferensi Reproductive health is “a state of complete physical, mental, and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity in all matters relating to the reproductive system and its functions and processes.”8 Dalam bahasa Indonesia, kesehatan reproduksi adalah “suatu kondisi sehat menyeluruh meliputi fisik, mental dan kesejahteraan sosial, tidak semata-mata karena ketidakhadiran penyakit dan cacat yang berkaitan dengan sistem, fungsi dan proses reproduksi”. Dengan implikasi bahwa reproduksi seseorang dinyatakan sehat ketika dia mampu mendapatkan kehidupan seksual dan reproduksi yang aman, mampu bereproduksi, dan bebas menentukan kapan dan seberapa sering bereproduksi. Berarti bahwa hak-hak kesehatan reproduksi seseorang harus terpenuhi dalam menunjang pencapaian reproduksi yang sehat.10,11 Secara jelas dapat dilihat bahwa untuk dapat hamil maka dibutuhkanlah sepasang manusia dengan jenis kelamin yang berbeda, laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, proses reproduksi tersebut akan diawali dengan pertemuan sperma dengan sel telur yang perkembangan selanjutnya terjadi di dalam rahim perempuan, berkembang menjadi janin, dan sampai pada masa tertentu (sekitar 9 bulan), janin tersebut siap dilahirkan menjadi seorang bayi atau manusia baru. Dalam perkembangan teknologi kedokteran, ternyata suatu mahluk baru atau anak dapat dihasilkan tanpa proses pertemuan sperma dan sel telur yang dikenal dengan teknologi kloning. Teknologi tersebut telah sukses diuji cobakan pada biri-biri yang dikenal sebagai Dolly. Sebagaimana teknologi bayi tabung, sejatinya teknologi kloning bertujuan menolong pasangan yang tidak mampu untuk menghasilkan keturunan dengan cara yang lazim. Dalam kondisi reproduksi yang tidak sehat, sepasang suami istri tidak dapat menghasilkan keturunan. Teknologi kloning ini merupakan terobosan teknologi kesehatan reproduksi di dunia. 128
Tinjauan Filsafat Dalam filsafat ilmu, suatu disiplin ilmu dapat dinyatakan sebagai pengetahuan, jika memenuhi kriteria ontology yang mencakup apa/hakikat ilmu/kebenaran/ Ilmiah, epistemology mencakup metode dan paradigma serta aksiologi mencakup tujuan/nilai-nilai imperatif/sikap (attitude).12 Filsafat ilmu berkembang dari dua cabang utama meliputi filsafat alam dan filsafat moral. Filsafat alam menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (natural sciences) sedangkan filsafat moral menjadi rumpun ilmu-ilmu sosial (social sciences). Selanjutnya, kelompok ilmu-ilmu alam mempunyai cabang utama ilmu alam (physical sciences) dan ilmu hayat (biological sciences). Cabang ilmu-ilmu alam yang menunjukkan ilmu kedokteran dan kesehatan berada pada garis cabang keilmuan ilmu hayat.13 Ilmu senantiasa berkembang, bagaikan pohon yang semakin membesar, tumbuh cabang, anak cabang, ranting hingga semakin rimbun. Hal tersebut disebabkan oleh manusia memiliki rasa ingin tahu yang besar serta ditunjang oleh perkembangan ilmu pengetahuan yang lain seperti kimia, fisika dan teknologi. Dalam The New Britannica Encyclopedia, pohon ilmu mempunyai lima cabang, yaitu Logika (Logic), Matematika (Mathematics), Ilmu Alam (Natural Sciences), Sejarah dan Humaniora (History and Humanities), dan Filsafat (Philosophy). Selanjutnya, cabang Ilmu Alam mempunyai ranting-ranting keilmuan Sejarah dan Filsafat Ilmu (History and Philosphy of Science), Ilmu-ilmu Fisika (Physical Sciences), Ilmu Bumi (Earth Science), Ilmu-ilmu Biologi (Biological Sciences), Ilmu Kedokteran dan disiplin ilmu yang tergabung di dalamnya (Medicine and affiliated disciplines), Ilmu Sosial dan Psikologi (Social Sciences and Psychology), dan Ilmu-ilmu Teknik (Technological Sciences). Dalam Ilmu-ilmu kedokteran, dibahas tentang sejarah ilmu kedokteran (history of medicine), bidangbidang praktek atau penelitian medis khusus (field of specialized medical practise or research), dan disiplin ilmu yang tergabung dalam ilmu kedokteran (disciplines of affiliated with medicine).14 Sumber lain juga menyebutkan bahwa ilmu Kedokteran termasuk dalam cabang Biologi Terapan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, disamping Ilmu Gizi dan Kesehatan/Higiene, Pertanian, Peternakan, Perikanan, serta Bioteknologi. Kemudian dari ilmu Kedokteran tersebut muncul ilmu-ilmu spesifik lainnya, seperti spesialisasi saraf, mata, kandungan, gigi, THT, internis, dan anak.15 Pada abad penalaran, konsep dasar keilmuan berubah dari kesamaan menjadi pembedaan khususnya antar berbagai pengetahuan, sehingga memunculkan spesialisasi pekerjaan dan perubahan struktur di masyarakat. Pohon pengetahuan dibedakan berdasarkan
Agustina, Tinjauan Filsafat Kesehatan Reproduksi
apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahui, dan untuk apa pengetahuan digunakan. Namun, dengan pembedaan keilmuan justru menimbulkan berbagai masalah dan kerumitan, sehingga menyebabkan sebagian orang melakukan pendekatan inter-disipliner. 13 Dalam perkembangan Kesehatan reproduksi juga mempunyai pendekatan inter-disipliner yang beberapa cabang ilmu bergabung menelaah sasaran yang sama.16 Dia merupakan bagian ilmu kedokteran dan kesehatan yang secara spesifik menangani berbagai masalah repoduksi manusia dengan penanganan yang tidak semata-mata di tingkat individu, tetapi juga di tingkat masyarakat. Selanjutnya, cabang ilmu-ilmu sosiologi dan humaniora bersama ilmu-ilmu kesehatan menelaah area kesehatan reproduksi tersebut. Oleh sebab itu, pertemuan natural sciences dan social sciences dalam bahasan kesehatan menjadi relevan ketika berbagai masalah kesehatan reproduksi banyak berhubungan dengan masalah kependudukan. Ontologi Ontologi suatu bidang ilmu adalah hakekat pengetahuan yang menjadikan asumsi dasar suatu kebenaran bidang ilmu tertentu.12 Ontologi didefinisikan sebagai studi tentang konsep realitas yang dijelaskan oleh suatu disiplin ilmu.17 Ontologi kesehatan reproduksi adalah bidang area yang bergerak untuk memahami, mendalami dan mengembangkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, termasuk penanganan berbagai masalah reproduksi manusia. Bukan hanya pada tingkat individu tetapi juga tingkat masyarakat, dapat dinyatakan bahwa reproduksi individu atau masyarakat tersebut sehat. Individu atau masyarakat mempunyai sistem reproduksi yang sehat, fungsi reproduksi yang sehat dan proses reproduksi yang sehat. Seperti bidang kedokteran dan kesehatan lainnya, kesehatan reproduksi akan menatap manusia sebagai objek. Tubuh manusia yang disebut sebagai ‘geometri tubuh’ mempunyai empat dimensi, meliputi: pertama, dimensi kesinambungan waktu dengan masalah utama reproduksi; kedua, dimensi kesinambungan ruang dengan masalah utama regulasi dan kontrol populasi yang juga disebut sebagai masalah “politik”; ketiga, dimensi kemampuan untuk menahan hasrat yang merupakan persoalan internal tubuh; keempat, kemampuan merepresentasikan tubuh kepada sesama yang merupakan persoalan ekstenal tubuh. Keempat dimensi tubuh ini terkait erat dengan bidang area kesehatan reproduksi dan bidang kesehatan lain yang terintegrasi di dalamnya yaitu kesehatan seksual. 18 Menurut WHO, kesehatan seksual tidak terpisahkan dari kajian kesehatan reproduksi, karena sebagai akibat munculnya berbagai penyakit menular seksual, termasuk HIV dan AIDS, peningkatan kepedulian kesehatan masyarakat terhadap berbagai kejadian ke-
kerasan yang berhubungan dengan jender (gender-related violance) serta berbagai masalah disfungsi seksual. Hal tersebut menekankan pada perlu perhatian terhadap penanggulangan karena sangat mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di suatu negara. Pemenuhan hak azasi manusia dalam bentuk hak kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi menjadi hal yang esensial.19 Bidang yang menggeluti berbagai penyakit sistem reproduksi seperti infeksi dan keganasan murni merupakan bidang ilmu kedokteran. Ketika penelusuran dilakukan terhadap penyebab infeksi atau keganasan pada sistem dan organ reproduksi, maka berbagai masalah yang menyertai dan melatarbelakanginya juga menyangkut berbagai aspek kesehatan lain, seperti gizi, sosiologi, ekonomi, antropologi dan humaniora. Kejadian kekerasan dalam rumah tangga atau perdagangan manusia (human trafficking), juga membuat kesehatan reproduksi ikut berperan. Jelaslah bahwa bidang kesehatan reproduksi tidak dapat berdiri, dia akan menelaah dan menanggulangi berbagai masalah kesehatan reproduksi bersama bidang ilmu lain. Untuk mengatasi permasalahan yang ada, mereka saling melengkapi dan mendukung dengan satu tujuan menciptakan reproduksi yang sehat. Epistemologi Epistemologi atau sejarah perkembangan keilmuan dalam menelaah asal mula dan ruang lingkup suatu ranah pengetahuan yang berupaya menjawab pertanyaan ‘bagaimana ilmu pengetahuan didapatkan dan dibangun?’17 Dengan kata lain epistemologi adalah sarana, sumber, metoda menggunakan langkah maju menuju ilmu pengetahuan.12 Epistemologi kesehatan reproduksi bermula dari kepedulian Maria Stopes dan Margaret Sange pada kematian ibu yang tinggi di dalam masyarakat yang ternyata berhubungan dengan kelahiran yang tinggi. Teknologi pengaturan keluarga yang ditemukan kemudian, pada mulanya mendapatkan tantangan yang berkepanjangan, tetapi jasa kedua tokoh keluarga berencana dunia tersebut akhirnya diakui oleh dunia. Teknologi keluarga berencana berkembang sejalan dengan perkembangan dunia kedokteran. Pengaturan keluarga tidak terbatas pada upaya membatasi atau menjarangkan kelahiran, tetapi juga menciptakan teknologi untuk mendapatkan anak, karena tidak semua orang mempunyai kemudahan dan mampu mendapatkan keturunan secara alami. Bantuan mendapatkan keturunan bermula dari penemuan teknologi inseminasi buatan atau AI (Artificial Insemination), yang diikuti teknologi fertilisasi di luar atau IVF (In Vitro Fertilization) dan transfer embrio atau ET (Embryo Transfer). Temuan teknologi yang paling mutakhir adalah teknologi kloning. Berbagai temuan teknologi tersebut tidak dapat langsung 129
KESMAS, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 3, No. 3, Desember 2008
diaplikasikan kepada manusia, tetapi melalui serangkaian percobaan pada hewan. Adopsi teknologi kedokteran hewan yang diakui selangkah lebih maju daripada teknologi kedokteran manusia merupakan sesuatu yang lazim, mengingat teknologi yang bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia tujuan dari suatu ilmu pengetahuan. Pertambahan jumlah penduduk yang merupakan keberhasilan proses reproduksi manusia bagaikan dua sisi mata uang. Di satu pihak, dia merupakan proses yang menguntungkan, di lain pihak merupakan ancaman. Reproduksi yang tidak terkendali akan mengancam persediaan sumber daya alam, sehingga memunculkan teknologi pengendalian, berbagai alat kontrasepsi. Serangkaian konferensi kependudukan, yang selalu memasukkan masalah kesehatan reproduksi ke dalam agenda pertemuan. Agenda tersebut meliputi keluarga berencana, pencanangan hak kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi, yang diharapkan dapat diretifikasi setiap negara anggota. Ketika kesehatan seksual berintegrasi dengan kesehatan reproduksi, maka hak-hak kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi, yang merupakan bagian dari hakhak azasi manusia diretifikasi oleh negara. Mengabaikan hak tersebut akan berdampak pada munculnya masalah yang berakar pada kepedulian terhadap kesehatan reproduksi yang rendah. Sebagai contoh, pengabaian kesehatan reproduksi remaja berdampak pada akses pelayanan kesehatan reproduksi remaja yang rendah. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab tingkat infeksi kasus baru berbagai penyakit menular seksual, termasuk HIV dan AIDS yang tinggi. Penyakit AIDS/HIV yang sampai kini belum ditemukan obat penyembuhnya, merupakan fakta yang seharusnya menjadi strategi andalan untuk menyadarkan remaja mencegah penularan virus yang mematikan tersebut. Obatobat sangat mahal yang hanya berguna memperpanjang usia penderita AIDS tersebut pasti tidak akan memecahkan masalah. Berbagai temuan pada rangkai penelitian di ranah kesehatan reproduksi adalah sangat berharga dan tidak dapat diabaikan dalam upaya membangun strategi pemecahan berbagai masalah kesehatan reproduksi yang ada. Aksiologi Aksiologi adalah nilai-nilai (values) yang merupakan tolok ukur kebenaran ilmiah yang menjadikan etik dan moral sebagai dasar normatif dalam penelitian, penggalian dan aplikasi ilmu.12 Aksiologi adalah nilai tujuan pemanfaatan dan penggunaan pengetahuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebutuhan hidup manusia. Sejalan dengan perkembangan zaman, ketika nilai dan norma yang berlaku di masyarakat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi negara pada suatu ketika, maka pe130
rilaku manusia atau masyarakat akan mengadopsi keserbabolehan yang ada. Perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, seperti tidak membuang sampah sembarangan, melaporkan unggas yang mati mendadak segera, atau mencuci tangan merupakan hal umum yang mudah diadopsi oleh masyarakat. Namun, berbagai fakta empiris menunjukkan bahwa kepatuhan masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Sementara, berbagai perilaku yang tabu dibicarakan secara publik, membutuhkan regulasi lebih rumit yang mengundang pro dan kontra. Seperti undang-undang pornografi dan pornoaksi yang hingga kini tidak diketahui keberadaan dan kelanjutannya. Tampaknya, kepedulian negara terhadap perilaku seksual masih dilingkupi oleh tradisi tabu. Padahal informasi dini yang baik dan benar akan membekali remaja dengan sikap, pengertian cara pengambilan keputusan terbaik untuk diri sendiri. Pengertian bahwa tubuh adalah area privasi diri, memberikan rasa memiliki dan menyayangi. Hal tersebut dapat mencegah tindakan gegabah, seperti melakukan seks sebelum menikah, mencoba obat-obat terlarang, atau bahkan terlibat dalam kegiatan pornoaksi. Banyak penelitian membuktikan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja justru menjauhkan remaja dari prilaku coba-coba. Dengan memberitahu berbagai akibat yang terjadi jika salah melangkahkan, diharapkan remaja berfikir jernih untuk melakukan berbagai tindakan yang berisiko berbahaya terhadap kesehatan. Kesehatan reproduksi merupakan ranah terapan keilmuan kedokteran dan kesehatan yang berkembang dengan dukungan dan integrasi berbagai ranah keilmuan lain, meliputi ilmu farmasi, gizi, promosi kesehatan, teknologi kedokteran, dan teknologi informasi yang secara canggih menginformasikan temuan dan terobosan baru di bidang kesehatan umum dan kesehatan reproduksi. Perkembangan Program kesehatan reproduksi terkini tidak dapat muncul dan tak dapat dipisahkan dengan kegiatan berbagai program kependudukan. Angka kematian ibu yang tinggi, peningkatan kasus HIV/AIDS khususnya di kalangan remaja, merupakan pemicu perkembangan teknologi diranah kesehatan reproduksi, seperti penemuan berbagai obat penunjang penderita AIDS, penanggulangan masalah infertilitas dengan teknologi kloning. Bagian ini akan membahas perkembangan ranah kesehatan reproduksi yang diawali dengan kepedulian dunia pada angka fertilitas yang tinggi yang memicu penyelenggaraan konferensi kependudukan dunia yang berlanjut dengan bahasan tentang hak kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual yang merupakan hak azasi manusia. Terakhir adalah tentang perkembangan teknologi ke-
Agustina, Tinjauan Filsafat Kesehatan Reproduksi
sehatan reproduksi. Pada ICPD Cairo 1994, dicetuskan pergeseran paradigma kependudukan dari paradigma ‘pengendalian jumlah’ menjadi ‘pemenuhan hak dan kepentingan individu’. Isu-isu kesetaraan jender, pemberdayaan perempuan, serta terobosan hak kesehatan reproduksi mulai dikumandangkan disini. Program aksi (programme of action) ICPD Cairo tersebut mencakup 16 Bab, meliputi Pembukaan; Prinsip-prinsip dasar; Hubungan antara populasi, Kesinambungan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan; kesetaraan jender, keadilan dan pemberdayaan perempuan; peran, hak, komposisi dan struktur keluarga; pertumbuhan dan struktur populasi; hak reproduksi dan kesehatan reproduksi; kesehatan, kesakitan dan kematian; distribusi populasi, urbanisasi, dan migrasi internal; migrasi internasional; populasi, pembangunan dan pendidikan; teknologi, riset dan pengembangan; aksi nasional; kerja sama internasional; kemitraan dengan sektor non pemerintah; dan tindak anjut dari hasil konferensi. Terdapat beberapa bab yang berkaitan dengan kesehatan, dan kesehatan reproduksi. Berikut adalah Bab-bab yang berisi muatan-muatan bidang area kesehatan reproduksi. Bab Pembukaan paragraf 1.8 dan 1.12 menjelaskan keberhasilan negara anggota dalam kurun waktu 20 tahun terakhir menangani berbagai masalah kependudukan. Hal tersebut meliputi penurunan angka kelahiran, angka kematian, peningkatan level pendidikan penghasilan, dan status ekonomi, terutama pada perempuan. Keberhasilan yang paling nyata adalah pergeseran pandangan penentu kebijakan menyikapi konsep baru kesehatan reproduksi. Termasuk sikap terhadap isu keluarga berencana dan kesehatan seksual yang memberikan komitmen terhadap POA hasil ICPD Kairo. Pada Bab Prinsip-prinsip Dasar, dari lima belas prinsip yang diajukan, maka isu-isu kesehatan reproduksi terdapat pada Prinsip 1, 2, 4, 8, 9 dan 11, mulai dari isu hak azasi manusia, pemberdayaan perempuan, penyediaan akses layanan kesehatan reproduksi, kesetaraan jender, perkawinan tanpa paksaan, hingga perlindungan negara atas eksploitasi dan perdagangan manusia. Bab VII tentang Hak Reproduksi dan Kesehatan Reproduksi dengan program asksi meliputi lima aspek kesehatan reproduksi, untuk hak reproduksi dan kesehatan reproduksi, keluarga berencana, penyakit menular seksual dan pencegahan HIV, seksualitas dan hubungan antar jender, remaja. Setiap POA mempunyai tujuan yang harus diimplementasikan oleh setiap negara peserta. Kelima tujuan POA tersebut secara sinergi diimplementasikan dalam berbagai program kesehatan reproduksi di negara anggota konferensi. Di Indonesia, program kesehatan reproduksi mengadopsi rekomendasi stra-
tegi regional WHO untuk negara-negara anggota ASEAN meliputi paket kesehatan reproduksi esensial (PKRE) dan paket kesehatan reproduksi komprehensif (PKRK). PKRE terdiri dari Kesehatan Ibu dan Anak, Keluarga Berencana, Pencegahan dan Penanggulangan ISR/PMS/HIV dan kemandulan, dan Kesehatan Reproduksi Remaja. PKRK adalah mencakup PKRE ditambah dengan Pelayanan dan Penanganan masalah Lansia. Disamping itu, penanggulangan masalah kesehatan ibu dan anak berbagai program berawal dari program Gerakan Sayang Ibu (GSI) yang sudah dilakukan. Namun, predikat Indonesia sebagai negara nomor satu dengan angka kematian ibu (AKI) yang tertinggi masih melekat. AKI Indonesia yang terkini masih sekitar 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2002-2003). Angka tersebut jauh lebih tinggi dari Malaysia (50 per 100.000 kelahiran hidup dan Singapura (8 per 100.000 kelahiran hidup). Angka tersebut mengekspresikan perhatian penentu kebijakan yang belum peduli pada kesejahteraan ibu, yang dapat diupayakan melalui strategi kesehatan reproduksi. Ketika hak kesehatan reproduksi harus terpenuhi, berarti harus mencakup hak mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan. Masalah paling mendasar ketika angka kematian ibu adalah belum ditemukan teknik pencegahan pertemuan sperma dan sel telur. Upaya yang paling tidak manusiawi adalah aborsi yang menjadi cara pintas untuk mencegah penambahan anggota keluarga. Ketika berbagai temuan tersebut semakin berkembang, tercipta berbagai metode kontrasepsi mencakup metoda hormonal, penggunaan alat, dan metode operasi. Sebaliknya, teknologi untuk pasangan dengan tingkat kesuburan memenuhi hak produktif pasangan tersebut. Berbagai pengobatan yang mencakup sinkronisasi kesuburan, inseminasi buatan atau AI (Artificial Insemination), fertilisasi di luar atau IVF (In Vitro Fertilization) dan transfer embrio atau ET (Embryo Transfer), serta teknologi kloning, merupakan upaya pengendalian. Ketika dunia farmasi berkembang bersamaan masalah yang terkait reproduksi, obat-obatan penanggulangan berbagai penyakit menular seksual juga berkembang, khususnya obat-obat penanggulangan infeksi HIV dan AIDS. Meskipun, obat penyembuhan penyakit AIDS belum ditemukan, tetapi obat-obat yang memperpanjang hidup penderita terus dikembangkan dan diproduksi, dengan harga yang sangat mahal. Untuk itu, peran bidang lain seperti promosi kesehatan saling melengkapi program kesehatan reproduksi. Saat ini infeksi baru HIV terbanyak adalah sumbangan kaum muda yang menggunakan obat-obat terlarang melalui jarum suntik. Sudah saatnya negara memfokuskan diri dalam pencegahan kasus baru narkoba suntik yang pada akhirnya akan menekan kasus baru infeksi HIV. 131
KESMAS, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 3, No. 3, Desember 2008
Kesimpulan Salah satu pemenuhan hak azasi manusia adalah tercapainya hak-hak kesehatan, yang mencakup hak kesehatan reproduksi. Dari perjalanan sejarah panjang dunia kesehatan, ranah kesehatan reproduksi mempunyai andil yang besar. Capaian tersebut diraih bersama dengan berbagai ranah ilmu pengetahuan yang lain. Kegiatan reproduksi yang menghasilkan manusia baru tidak lepas dari persiapan rumit dan terencana. Filosofi kesehatan reproduksi diadopsi dari definisi kesehatan reproduksi yang dicanangkan oleh WHO pada ICPD ke-5 di Cairo tahun 1994, yaitu membebaskan manusia dari gangguan sistem, fungsi, dan proses reproduksi yang merupakan hak setiap individu laki-laki dan perempuan. Dalam kesehatan reproduksi, kesetaraan merupakan faktor utama yang sangat menunjang pencapaian reproduksi sehat. Teknologi yang tercipta dan dimanfaatkan tidak hanya memuaskan pihak tertentu, tetapi haruslah dinikmati oleh semua individu tanpa ada batas. Ketika teknologi kesehatan reproduksi yang diciptakan tersebut tidak memberikan rasa nyaman, perlu dipertimbangkan pandangan dari bidang lain.
org/wiki/Cloning. 7. Trusted health information for you. [diakses tanggal 4 Febrari 2008]. Diunduh dari: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/cloning.html. 8. Preamble to the Constitution of the World Health Organization as adopted by the International Health Conference, New York, 19-22 June, 1946; signed on 22 July 1946 by the representatives of 61 States (Official Records of the World Health Organization, no. 2, p. 100) and entered into force on 7 April 1948. 9. [diakses tanggal 28 Januari 2008]. Diunduh dari: http://www.thefreedictionary.com/reproductive. 10. [diakses
tanggal
28
Januari
2008].
Diunduh
dari:
http://www.rho.org/html/definition_.htm 11. Situs Centre for Reproduktive Rights. [diakses tanggal 29 Januari 2008]. Diunduh dari: http://www.reproductiverights.org/ww_iss_reprohealth.html. 12. Wibisono, Koento. Hand-out Kuliah S3 Filsafat Ilmu tahun akademik 2007/2008. 13. Suriasumantri, Jujun S. Filsafat ilmu – sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan; 1999. 14. The New Brittanica Encyclopedia. [diakses tanggal 4 Februari 2008]. Diunduh dari: www.britannica.com. 15. Modul on-line untuk SMA-Pustekom. [diakses tanggal 4 Februari 2008]. Diunduh dari: http://www.e-dukasi.net/mol/ mo_full.php?moid=75
Daftar Pustaka 1. Situs Today in Science. [diakses tanggal 16 Januari 2008]. Diunduh dari: http://www.todayinsci.com/10/10_02.htm. 2. Your friend, philosopher and guide. [diakses tanggal 16 Januari 2008]. Diunduh dari: http://www.sitagita.com/view.asp?id=6725. 3. Sejarah perkembangan keluarga berencana dan program kependudukan. Jakarta: Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional: 1981. 4. Lewis H J. Woman History. [diakses tanggal 16 Januari 2008]. Diunduh dari: http://womenshistory. about.com/library/bio/blbio_margaret _sanger.htm. 5. WHO. Dokumen ICPD. [diakses tanggal 26 Oktober 2007]. Diunduh dari: http://www.who.org. 6. [diakses tanggal 4 Febrari 2008]. Diunduh dari: http://en.wikipedia.
132
&fname=cabang.htm 16. Gie, The Liang. Pengantar filsafat ilmu. Yogyakarta: Liberty; 2000. 17. Dharmawan, Arya Hadi. Dinamika sosio-ekologi pedesaan: Perspektif dan pertautan keilmuan ekologi manusia, sosiologi lingkungan dan ekologi politik. Solodarity: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. 2007;1(1). 18. Turner, Bryan S. dalam Nuraini Juliastuti. Studi tubuh. Newslatter Kunci. Yogyakarta; 1999. [edisi 1 Juli 1999, diakses tanggal 4 Februari 2008]. Diunduh dari: http://www.kunci.or.id/esai/nws/01/studi_tubuh.htm. 19. WHO. Sexual health – a new focus for WHO. Progress in Reproductive Health Research. No. 67. 2004. Department of Reproductive Health and Research. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 2004.