PAKET INFORMASI TERSELEKSI
LINGKUNGAN Seri: Reklamasi Pantai
S
alah satu alasan kenapa masih rendahnya jumlah dan mutu karya ilmiah Indonesia adalah karena kesulitan mendapatkan literatur ilmiah sebagai sumber informasi.Kesulitan mendapatkan literatur terjadi karena masih banyak pengguna informasi yang tidak tahu kemana harus mencari dan bagaimana cara mendapatkan literatur yang mereka butuhkan. Sebagai salah satu solusi dari permasalahan tersebut adalah diadakan layanan informasi berupa Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT). Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) adalah salah satu layanan informasi ilmiah yang disediakan bagi peminat sesuai dengan kebutuhan informasi untuk semua bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam berbagai topik yang dikemas dalam bentuk kumpulan artikel dan menggunakan sumber informasi dari berbagai jurnal ilmiah Indonesia. Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) ini bertujuan untuk memudahkan dan mempercepat akses informasi sesuai dengan kebutuhan informasi para pengguna yang dapat digunakan untuk keperluan pendidikan, penelitian, pelaksanaan pemerintahan, bisnis, dan kepentingan masyarakat umum lainnya. Sumber-sumber informasi yang tercakup dalam Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) adalah sumber-sumber informasi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan karena berasal dari artikel (full text) jurnal ilmiah Indonesia dilengkapi dengan cantuman bibliografi beserta abstrak.
DAFTAR ISI DAMPAK EKOLOGI, SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT AKIBAT REKLAMASI PANTAI TAPAKTUAN ACEH SELATAN
i
Pilih/klik judul untuk melihat full text
DAMPAK REKLAMASI PANTAI TERHADAP PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI DAN SOSIAL BUDAYA PENDUDUK DI OTA MANADO
Husna, Nurul; Alibasyah, M. Rusli; Indra, Indra Jurnal Manajemen Sumberdaya Lahan, Vol. 1, No. 2, 2012:171-178
Wunas, Shirly;Johan H. Lumain Jurnal penelitian enjiniring : JPE, Vol. 9, No. 3, 2003:326-330
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak reklamasi pantai terhadap perubahan ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat pesisir Gampong Pasar Kabupaten Aceh Selatan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Aspek ekologi dan sosial dianalisis secara deskriptif, sedangkan variabel ekonomi dianalisa dengan menggunakan uji t berpasangan atau paired t test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan ekologi seperti biota laut yaitu kepiting, udang, jenis ikan karang dan terumbu karang sebelum reklamasi keberadaannya dalam jumlah sedang dan sesudah reklamasi keberadaannya menjadi sedikit. Untuk biota darat seperti fauna darat (kupu-kupu, capung, belalang dan burung) setelah reklamasi lebih banyak dijumpai bila dibandingkan sebelum reklamasi. Begitu juga dengan vegetasi darat (kelapa, rumput-rumputan dan tanaman liar) setelah reklamasi lebih banyak tumbuh di lahan yang direklamasi apabila dibandingkan sebelum reklamasi. Untuk perubahan sosial faktor-faktor yang diteliti adalah jaminan rasa aman, gotong royong, keakraban dan kepedulian masyarakat, kebiasaan kenduri laut, kunjungan masyarakat luar daerah, kesempatan kerja, tingkat kesehatan, tingkat pendidikan dan tingkat informasi didapat bahwa sebelum reklamasi kurang baik sedangkan sesudah reklamasi menjadi lebih baik. Perubahan ekonomi dipengaruhi oleh pendapatan, kebutuhan hidup dan pengeluaran yang lebih baik sesudah adanya reklamasi dibandingkan sebelum reklamasi.
Abstract: This presentation aimed to explain the impact of waterfront reclamation on the change of communitys social economy and social culture in Bahu Village, Malalayang District of Manado City. Location areal of the population in this research used purposive method consisting of population in subdistrict I and Subdistrict II of Bahu Village. The sample was selected proportionally. The data were gathered by means of observation, interview, questionnaire, and documentation study. They were analyzed using frequency tabulation with comparative approach. The results show that waterfront reclamation has an impact on the change of comunnitys social economy and social culture who settle around the area such as the change of job types, income, houses, the increase of land price, the lack of playground. In general, the respondents agree with the waterfront reclamation. Based on the above results, it is suggested that the government of Manado City make correlated programs between the management of reclamation and the community settling around the area in order to increase their prosperity.
DAFTAR ISI DAMPAK REKLAMASI TELUK JAKARTA PADA EKOSISTEM MANGROVE
Hadi S. Alikodra Media Konservasi Vol. 5, No. 1, 1996:31 – 34
Abstract: Significant impack resulted from the reclamation of mangrove forests, will result in its dissappearance functional changes which in turn will affect the sea productivity of Jakarta Ray and itr other functions such as wildlife habitat, protection against waves and winds, ahsorption of pollutants in Jakarta Bay, and sea intrusion,also the dissappearance of nature potentials to be develop as nature recreation and tourism site. Efforts shouldinclude maintenance, restoration and development of Jakarta Bay mangrove forests, especially in Muara AngkeNature Strict Reserve and the Protected Forest along the eastern part of the coast.
DAMPAK REKLAMASI TELUK JAKARTA TERHADAP
KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN DI TELUK JAKARTA Sampono, Nono; Purbayanto, Ari; Haluan, John; Fauzi, Ahmad; Wiryawan, Budy Jurnal Perikanan dan Kelautan, Vol. 2, No. 2, 2012: 105-112 Abstract: Jakarta is the capital of the state whose condition is very dense; to meet the requirement of land for the development and expansion of Jakarta, the reclamation of Jakarta Bay was planned. In addition to overcome the limitations of the land, reclamation activities will also be able to play a very important role in the rearrangement and can give a distinctive character to the area Ancol Beach. One of the activities affected due to the reclamation of Jakarta Bay is a fisheries activity. Fishermen in the Bay of Jakarta actually have shown opposition to reclamation, so the control of ongoing projects and activities related to dredging is necessary to ensure that the impacts are very
minimal impact on fisheries and aquaculture activities. It was required a study of the impact of reclamation on fisheries activities and fishermen adaptation. The objectives of this study are (1) to understand the knowledge and acceptance of the fishermen to the reclamation activity, (2) to understand the fishing community’s perception of the impact of reclamation and (3) to understand the patterns of adaptation of the fishing communities due to the reclamation. Desktop study and interview were conducted to collect the data. Calculation of composition and GIS analysis were conducted to analyze the data. The level of knowledge of fishermen in Cilincing, Muara Angke and Muara Baru on reclamation activities showed a low level of knowledge. Sedimentation during the reclamation process is a major concern to the fisheries. Some fishermen said the reclamation had no impact on the fishing areas. Fishermen will keep trying to catch fish even have to move their fishing areas or have to move their village.
DEVELOPING SEASIONAL OPERATION FOR WATER TABLE MANAGEMENT IN TIDAL LOWLAND RECLAMATIONS ARAES AT SOUTH SUMATERA INDONESIA
Momon Sodik Imanuddin;Mustika Edi Armanto;Robiyanto Hendro Susanto Jurnal tanah tropika, Vol. 16, No. 3, 2011:233-244 Abstrak: -
DAFTAR ISI DIMENSI SOSIAL REKLAMASI DI WILAYAH PESISIR: BELAJAR DARI KASUSKASUS KERUSAKAN LINGKUNGAN
Henny Aprianty Idea : jurnal ilmiah, Vol. 4, No. 15, 2010:12-17
KAJIAN POLA ARUS AKIBAT PERENCANAAN REKLAMASI PANTAI DI PERAIRAN MAKASSAR
Siagian, Benny Tyson; Helmi, Muhammad; Sugianto, Denny Nugroho Journal of Oceanography, Vol. 2, No. 1, 2013: 98-110
Abstrak: -
DISTRIBUSI KARANG LUNAK DI PERAIRAN TELUK MANADO DENGAN PERBANDINGAN ANTARA KAWASAN NON REKLAMASI DAN REKLAMASI
Jerry, Maramis M. Ch.; Kaligis, Fontje G.; Kusen, Janny D. Jurnal Pesisir Dan Laut Tropis, Vol. 2, No. 1, 2013:63 – 67 Abstrak: Penelitian tentang distribusi karang lunak di Perairan Teluk Manado denganperbandingan antara Kawasan Non Reklamasi dan Reklamasi telah dilakukan di PerairanTeluk Manado pada bulan Januari sampai dengan bulan Maret tahun 2013. Penelitian inibertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis karang lunak yang tersebar di perairan TelukManado khususnya di Pantai Kalasey serta mendeskripsikan kepadatan dan distribusidari karang lunak.Pengambilan data dilakukan di perairan Malalayang pada daerah NonReklamasi dan Reklamasi.Penelitian dimulai dengan melakukan survey awal di lokasipengambilan data. Pada Setiap Lokasi penelitian mempunyai 3 stasiun pengamatan yaitu pada kedalaman 3 meter, 6 meter dan 9 meter, pengambilan data dilakukan denganpencatatan bawah air menggunakan whotr plastic sheet dengan bantuan alat SCUBAdan kamera bawah air. Hasil analisis menunjukan bahwa kepadatan tertinggi terdapatpada daerah Reklamasi khususnya pada kedalaman 6 meter oleh Genus Xeniadengannilai (K) 25.50 ind/m2 dan (KR) 95.39%.Untuk pola penyebarannya pada dua lokasipenelitian adalah mengelompok.
Abstrak: Makassar merupakan salah satu wilayah perairan yang sangat banyak digunakan untuk berbagai aktivitas masyarakat. Bertambah banyaknya aktivitas masyarakat di wilayah perairan Makassar membuat pemerintah merencanakan pembangunan berjangka dengan memanfaatkan potensi laut melalui reklamasi pantai yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan akan lahan yang semakin terbatas. Dalam rencana reklamasi tersebut membutuhkan pemahaman kondisi perairan dimana diketahui bahwa adanya reklamasipantai akan menimbulkan perubahan ekosistem seperti gangguan lingkungan, erosi dan sedimentasi pantaiserta perubahan pola arus. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah mengkaji pola arus akibatperencanaan reklamasi pantai di Perairan Makassar. Penelitian dilakukan dengan observasi lapanganselama 3 hari pada tanggal 19 - 22 April 2012 di Perairan Makassar, dengan titik lokasi 5,60430 LintangSelatan dan 119,437190 Bujur Timur yaitu ± 4,67 Km dari pantai. Metode yang digunakan untuk analisishasil penelitian adalah metode kuantitatif dengan bantuan software SMS (Surface Water Modelling System) yang menghasilkan peta pola arus. Berdasarkan hasil output baik dari data lapangan maupun hasil outputmodel, diketahui bahwa arus di perairan Makassar ini merupakan arus pasut, hal ini dapat dibuktikan olehkarena besar kecepatan rata-rata arus pasut lebih besar dari pada kecepatan arus non pasut. Kecepatan arusberkisar antara 0,22 cm/det sampai 46,25 cm/det dengan kecepatan rata– rata 8,64 cm/det. Dengan arustertinggi yaitu sebesar 46,25 cm/det dengan arah pergerakan 79,70 dan kecepatan arus terendah yaitu 0,22cm/ det dengan arah pergerakan 26,60.
DAFTAR ISI KAJIAN POLA ARUS DI PANTAI MARINA ANCOL DAN PENGARUHNYA TERHADAP RENCANA REKLAMASI
Yuliasari, Dwi; Zainuri, Muhammad; Sugianto, Denny Nugroho Buletin Oseanografi Marina, Vol. 1, No. 5, 2012: 1-9 Abstrak: Arus merupakan parameter penting dalam proses pengangkutan pasir dari mulut teluk menuju wilayah hulunya, kolam pelabuhan dan estuaria. Arus di Pantai Marina, Ancol memperlihatkan pola yang kompleks dan lebih banyak dipengaruhi oleh angin, meskipun bangunan dan reklamasi pantai juga turut mempengaruhi. Secara keseluruhan terbentuknya arus di Pantai Marina, Ancol merupakan resultan dari beberapa jenis arus seperti arus yang dibangkitkan oleh pasang surut, angin dan arus sejajar pantai. Pemisahan arus menggunakan software World Current 1.03 didapatkan hasil kecepatan arus total = 2,67 m/ det, arus pasut = 0,41 m/det, dan arus residu = 2,64 m/det. Hubungan antara fluktuasi arah dan kecepatan arus dengan pola pasang surut yang terjadi dapat ditunjukkan dengan pendekatan model menggunakan software SMS versi 8.0 dan 8.1. Hubungan ini dapat dilihat dengan adanya pergerakan arah arus yang cenderung bolakbalik, yaitu pada saat kondisi pasang arah arus cenderung ke arah Timur Laut - Barat dan pada saat surut arah arus ke arah BaratTimur laut dengan kecepatan arus 0,004 m/det - 0,13 m/ det. Hasil simulasi model pola arus untuk rencana reklamasi pantai menunjukan tidak adanya perubahan pola arus yang signifikan dibandingkan dengan pola arus di pantai Marina, Ancol sebelum reklamasi pantai, maka dapat disimpulkan bahwa dengan adanya rencana reklamasi pantai di Ancol, tidak berpengaruh terhadap pola arus di pantai Marina, Ancol.
KEBIJAKAN REKLAMASI KAWASAN PANTURA DKI JAKARTA DAMPAKNYA TERHADAP SUMBER DAYA IKAN (PENDEKATA SIMULASI) Basir Sumarni Jurnal equilibrium, Vol. 1, No. 1, 2006:71-99
Abstract: The Jakarta Waterfront Development Program or Development of Coastal Town of Jakarta represent program of Local government of OKI to arrange coastal area in Jakarta. The Program recognized by rek/amasi pantura have two especial activities those are that is continent settlement (revitalisasi) for the width of 2. 500 hectare and conglomeration of coastal territorial water (Reklamasi) for the width of 2.700 hectare. This research try to see how impact of reklamasi to fisheries. Approached by using the Bioeconomic Model try to see condition fisheries of OKI Jakarta seenly maximum sustainability yield (MSY) and mount optimal effort from fishery of fisherman using appliance catch Portable Trap and Hand line. By a simulation to the fore from analysis the model done by using software ithing version 6 from High Performance Systems,lnc. By using two sub model that is environmental Change and fisherien resouces obtained by a picture to the fore affect reklamasi. From model of bioeconomic obtained equation of CPUE = 0,312124 - 0,000003 E knownly by Obtainable CPUE hence E = 52.020 can be interpreted that effort of catchabi/ity of fish may nof more than 52.020 trip per year. While Value MSY = 8. 7 8 7 ton depicting storey level exploiting of the sumberdaya everf;,tingly at maximum arrest 8. 7 81 ton per year. Model Clarke, Yoshimoto And Pooley ( CYP) got the biological parameter. Intrinsic growth rate of fish stock (r) = 3.4009, catchability cooficient (q) = 0.00005 and the Carrying Capacity of fish stock (K) = 57.986 ton. The simulation use base year of year 1987 by time simulation of during 35 year or up to 2020. The result of Simulation indicate that by reklamation there will be degradation of resouces of fishery which enough signifikan which perhaps followed with degradation mount production which in turn degrade storey/eve/ of earnings socialize.
DAFTAR ISI KEBIJAKAN REKLAMASI PANTAI DAN LAUT: IMPLIKASI TERHADAP HAK MASYARAKAT PESISIR DAN UPAYA PERLINDUNGANNYA
Flora Pricilla Kalalo Jurnal hukum pembangunan, Vol. 39, No. 1, 2009:102-118 Abstract: The purpose of this research is to know of the implication of coastal and sea reclamation towards coastal people and to know the available efforts of protection as well as protection that should be performed. By benefiting primary legal materials such as legislation regulations and international conventions as well as secondary legal materials such as text books, court decisions, experts’ opinion, research results, journals, internet sources and non-legal materials, it can be concluded that coastal and sea reclamation possessed urgent implication on the coastal people’s rights so protection is necessary towards the coastal people through the establishment of special act concerning coastal and sea reclamation, arranging the reclamation comprehensively, comprising the adat law community, local as well as urban community rights, also regulating the requirements, planning, performing, protection and/or compensation of the people as well as ordering conserving the function of the environment.
KELIMPAHAN HEWAN MAKROBENTHOS PADA DAERAH YANG TERKENA REKLAMASI DAN TIDAK TERKENA REKLAMASI DI PANTAI MARINA, SEMARANG
Dewi, Tiara Surya; Ruswahyuni; Widyorini, Niniek Management of Aquatic Resources Journal, Vo. 3, No. 2, 2014:50-57 Abstrak: Jumlah penduduk Indonesia yang besar tidak seimbang dengan luas lahan yang tersedia
untuk berbagai kegiatan penduduk, membuat pemerintah menerapkan kebijakan untuk melakukan reklamasi pantai agar kebutuhan lahan penduduk terpenuhi. Reklamasi merupakan proses pembentukan lahan baru di daerah pesisir dengan tujuan menjadikan kawasan berair yang rusak atau tak berguna menjadi lebih baik dan bermanfaat. Kegiatan reklamasi memiliki dampak positif dan negatif bagi ekosistem perairan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: kelimpahan hewan makrobenthos pada daerah yang terkena reklamasi (A) dan daerah yang tidak terkena reklamasi (B) dan dampak reklamasi terhadap kelimpahan hewan makrobenthos di Pantai Marina Semarang. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2013 di Pantai Marina Semarang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode observasi. Metode sampling yang digunakan adalah metode sistematik sampling. Pengambilan sampel dilakukan di 2 lokasi, dimana pada masing-masing lokasi ditentukan 7 titik sampling dan setiap titik sampling dilakukan 3 kali ulangan. Jarak antara satu titik sampling ke titik sampling lainnya adalah 5 meter. Kelimpahan hewan makrobenthos yang diperoleh di lokasi A adalah 54 ind/m3 dan terdiri dari 10 genera dengan nilai indeks keanekaragaman (Ha) sebesar 1,06 dan nilai indeks keseragaman (e) 0,65. Kelimpahan hewan makrobenthos di lokasi B adalah 125 ind/m3 terdiri dari 14 genera dengan nilai indeks keanekaragaman (Ha) sebesar 2,55 dan nilai indeks keseragaman (e) 0,96. Kesimpulan dari penelitian ini adalah daerah yang tidak terkena reklamasi memiliki kelimpahan jenis, indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman yang lebih tinggi daripada daerah yang terkena reklamasi.
DAFTAR ISI KONDISI PERAIRAN PANTAI SEKITAR MERAK, BANTENBERDASARKAN INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS BENTHOS
Imran Said L Tobing VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September, 2009:31-40 Abstract: Knowledge of aquatic environmental condition is important, not only to assess its habitat function, but also its prospect in sustainable use of natural resources. Assessment can be done using various methods, one of these is based on benthic diversity index. This method possibly one of the best because benthos is bottom dweller, which rarely migrate in case of environmental condition change. Thereby the diversity index truly reflects its community condition. Accordingly, this research was conducted to know the condition of coastal water around Merak, Banten, based on benthic diversity index. There were 22 benthic species found (12 – 14 species per station), included bivalvia, gastropods, scaphopods, echinoids and foraminiferas; and the most abundant species found were foraminiferas and molluscs (bivalvia). Diversity index of benthos at two research station near Samangraya were classified as middle class, while that at two research station near Terate were classified as high. This indicates that the coastal water around Merak is still in relatively good condition; and should be looked after to maintain its productivity.
MARGINALIZATION OF FISHERMEN FROM UTILIZING COASTAL AREAAFTER RECLAMATION AT SERANGAN SUBDISTRICT, DENPASAR, BALI
Suryawan, Nyoman E-Journal Of Cultural Studies, Vol. 7, No. 1, February 2014 Abstract: Geographically, Serangan Subdistrict, South Denpasar District, Bali Province, used to be
separated from the Bali’s mainland. However, now it is not isolated any longer after a bridge was constructed and reclamation was conducted by the Bali Turtle Island (abbreviated to BTID) in 1996. At that time 379 hectares of the coastal areas were victimized. The investor’s existence and the other businesses utilizing the coastal areas as their operating areas physically changed them, which were entirely coastal. It was this which was directly and indirectly responsible for marginalizing the fishermen. In relation to that, how the fishermen at Serangan subdistrict were marginalized from utilizing the coastal areas after being reclaimed was the focus of the present study. Qualitative method and the approach of cultural studies were used in the present study. The data were collected through observation, in-depth interview, and documentary study. The data were descriptively, qualitatively and interpretatively analyzed. To sum up, the present study showed that there were several forms of marginalization undergone by the fishermen at Serangan Subdistrict after reclamation; they were marginalized from utilizing the coastal environment; economic difficulty resulting from the fact that the sources of fish were getting scarce causing their income to go down; and their powerlessness in overcoming the problem they encountered to improve their standard of living.
DAFTAR ISI PENGATURAN PERIZINAN REKLAMASI PANTAI TERHADAP PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP
PERMASALAHAN KONSERVASI EKOSISTEM MANGROVE DI PESISIR KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH
Moch. Choirul Huda Perspektif, Vol. Xviii, No. 2, 2013:126-135
Ahmad Dwi Setyawan, Kusumo Winarno Biodiversitas, Vol. 7, No. 2, 2006:159-163
Abstrak: Reklamasi merupakan bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap keseimbangan lingkungan alamiah yang selalu dalam keadaan seimbang dinamis. Perubahan ini akan melahirkan perubahan ekosistem seperti perubahan pola arus, erosi dan sedimentasi pantai, berpotensi meningkatkan bahaya banjir. Kajian cermat dan komprehensif tentu bisa menghasilkan area reklamasi yang aman terhadap lingkungan di sekitarnya. Otonomi daerah sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan undangundang merupakan Jandasan yang kuat bagi Pemerintah Daerah untuk mengimplementasikan pembangunan wilayah laut mulai dari aspek perizinan, perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian.
Abstract: The aims of the research were to find out (i) species diversity of mangrove plats, (ii) the conservation problems of mangrove ecosystem, and (iii) restoration efford of mangrove ecosystem at coastal area of Rembang Regency, Central Java. This was descriptive research that was done qualitatively, in July until December 2003, at 3 sites of mangrove habitat in Rembang Regency, namely Pecangakan, Pasar Banggi, and Lasem. The data was collected in field surveys, in-depth interview to local people and/or local government, and examination of topographic maps of Java (1963-1965) and digital satellite image of Landsat 7 TM (July-September 2001). The result indicated that northern coast of Rembang had 27 mangrove species, i.e. 12 species of major mangrove, 2 species of minor mangrove, and 13 species of associated plants. Rhizophora had been dominated mangrove ecosystem in Lasem and Pasar Bangi; while Avicennia had been dominated in Pecangakan. The most degrading factors of mangrove ecosysrems were aquaculture and salt pond, timber logging, land reclamation and soil sedimentation, and environmental pollution. Mangrove restoration by Rhizophora in coast of Pasar Bangi had been successfully, because community based management.
DAFTAR ISI PERUBAHAN KARAKTERISTIK LAHAN PASANG SURUT (STUDI KASUS REKLAMASI DI DELTA BERBAK, JAMBI)
Asmadi Sa’ad, Supiandi Sabiham, Atang Sutandi, Basuki Sumawinata, dan M. Ardiansyah Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains, Vol. 13, No. 2, 2011:5-10 Abstract:
The Indonesian Government’s programes for transmigration on tidal areas were conducted in JambiProvince since 1973 has faced on several problems, i.e. (1) the soil peat and mineral has low capabilityfor agriculture, (2) limited accessibility, (3) peat decomposation is fibric stage and low of nutrientsavailability, and (4) very poor drainage. To improve these conditions required drainage canals todiscard excessive water. These reclamations due to change the soil characteristics. The objectives ofthis research were to study soil charasteristics due to reclamation during 30 years reclamation. Theresearch results showed the first ten-year reclamation, sulfuric acid was released from oxidizedunderlying mangrove-clay, and raised up to the soil surface. The canal construction also caused peatoxidation and land subsidence. The land subsidence showed by peat deplation of about 1,9 cm per yearin the first ten-year. After 20-year reclamation however peat subsidence rate was only 0.42 cm per year.The process of the release sulfuric acid was very rapid during drought period cause acidification thesoil. The first tenyear reclamation caused decreasing of pH, K, Ca and Mg but increasing Al andCEC. Otherwise, after 30 years reclamation soil pH increased but CEC, Al and exchangable basesdecreased. SO4-2 soils solution after 30 years reclamation increase at top soil and decrease at deepersoil horizon.
PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PASANG SURUT SETELAHREKLAMASI DI DELTA BERBAK, JAMBI
Asmadi Sa’ad, Supiandi Sabiham, Atang Sutandi, Basuki Sumawinata, M. Ardiansyah J. Hidrolitan, Vol. 1, No. 3, 2010: 37 – 46 Abstract: This study to analiyze land-use change by the Reclamation on tidal swamp area in delta Berbak Jambi. This study conducted in the reclamated delta Berbak Jambi by series data initially 1973, untill 2008. Initially land-use reclamation noted delta Berbak survey report 1973 and land-use 1989, 1998 and 2008 analyzed from Landsat data and farmer. Landsat data proceed using image processing program ENVI by suvervised classification and used Tasseled cap transformation. Spatial analyzed by Geographycal Information System (GIS) ArcView 3.2 / ArcGis Software. This study showed that there are the transtation step of land-use types and their probabilities of occurance depand on government policy, land and hydrology characteristics and plant economical value. Initially land-use types are forest, rice field and shrub. The fisrt ten-year reclamation land-use types developed into rice field, mixed farming, coconut plantation, forest and shrub. Large changed of forest into rice field strongly influenced by government policy. After 20-year reclamation, land-use types changed forest and rice field decrease but coconut and mixed farming increase caused land and hydrology changed. After 30 years reclamation appear the new land-use types are rubber and oil palm plantation due to the good economically value and more suitable for exist land characteristics.
DAFTAR ISI PHYTOPLANKTON DENSITY AND DIVERSITY IN THE WATERS AROUND THE RECLAMATION AREA IN MANADO BEACH
Liwutang, Yulianti E; Manginsela, Fransine B.; Tamanampo, Jan FWS JURNAL ILMIAH PLATAX, Vol. 1, No. 3:2013:109 – 117 Abstract: Phytoplankton is one of the most important aquatic organisms and has a major role in the cycle of life in the waters. Phytoplankton is able to do the process of photosynthesis to produce the organic matter utilized by other organisms living in aquatic environments. Phytoplankton can also be used as one of the ecological parameters that can describe the ecological conditions of the body of water and can be used as bio-indicators of pollution in the water. The purpose of this study is to obtain the types of phytoplankton in the waters around the reclamation area in Manado Beach, to know the diversity and density of phytoplankton species, and to determine the types of phytoplankton which are dominant according to the water depth. The phytoplankton found in the research site belonged to 27 genera. Station 1, 27 species were found in 5m depth, 19 species in 15m depth and 12 species in 30m depth. Station 2, 24 species were found in 5m depth, 20 species in 15m depth and 13 species in 30m depth. For index density, station 1 and 2 at a depth of 5 m has the highest density of 11 individuals/l and 12.333 Individuals/l. Diversity indices for stations 1 and 2 showed at a depth of 5 m, 2.954 and 2.891, respectively. The dominance indices at station 1 and station 2 showed that were no species dominance.
PROBLEMATIK YURIDIS SURAT KEPUTUSAN GUBERNUR BALITENTANG RENCANA PEMANFAATAN, PENGEMBANGAN DANPENGELOLAAN (REKLAMASI) WILAYAH PERAIRAN TELUK BENOAPROVINSI BALI
Trisna Adi Putra, I Komang; Wairocana, I Gusti Ngurah; Sudiarta, I Ketut Kertha Wicara, Vol. 4, No. 1,2015:1-5 Abstrak: Inception of Bali Governor’s Decree No. 2138/02-C/ HK/2012 are considered inviolation of Presidential Decree No. 122 of 2012 on Reclamation in Coastal Areas and Small Islands are one of the article mentions reclamation should not be done in theconservation area. The method used is a normative legal research to know andunderstand how the validity of Bali Governor’s Decree No. 2138/02-C/HK/2012 onGranting Permits and Use Rights, Development, and Management of Gulf waters ofBenoa Bali Area Jo Governor Decree No.1727/01-B/HK/2013 About Permit FeasibilityStudy Utilization Plan, Development, and Management of Benoa Gulf water BaliProvince. From the aspect of the substance that is the nomenclature of Bali GovernorDecree No. 2138/02-C/2012, is not in accordance with the rovisions of Article 3paragraph (2) letter a Presidential Regulation No.122 of 2012, and the fourth Dictumquaternion Bali Governor’s decision determines the activity initiator / permit holdershall implement (compiled) EIA, contrary to the dictum sixth.
DAFTAR ISI PROSES PERIZINAN DAN DAMPAK LINGKUNGAN TERHADAP KEGIATAN REKLAMASI PANTAI
Rellua, Olivianty Lex Administratum, Vol. 1, No. 2, 2013
Abstrak: Perubahan dan kerusakan lingkungan yang terjadi dewasa ini lebih dikarenakan oleh ulah perilaku manusia status sosial ekonominya. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam aktivitas ini sering dilakukan perubahanperubahan pada ekosistem dan sumber daya alam. Perubahan-perubahan yang dilakukan tentunya akan memberikan pengaruh pada lingkungan hidup.Memperhatikan berbagai dampak pembangunan terhadap lingkungan Pemerintah telah menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara tepat untuk mendorong perilaku masyarakat untuk menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Sehingga permasalahan yang timbul bagaimana proses perizinan dan dampak pemanfaatan lahan reklamasi pantai terhadap lingkungan. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kepustakaan, dengan menggunakan bahan-bahan hukum yang digunakan untuk mendukung penulisan karya tulis yang dibahas seperti buku literatur, perundangan-undangan dan bahan-bahan tertulis lainnya. Tahapan penelitian dan analisis dengan observasi bahan-bahan hukum, pengumpulan bahan hukum dan analisis hukum yang bersifat analitik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan sistem perizinan terpadu tersebut harus didasarkan pada UU-PPLH. Sedangkan dampak pemanfaatan lahan terhadap lingkungan dengan adanya kegiatan reklamasi dapat berdampak negatif (kerugian) dan dampak positif (keuntungan) yang diperoleh.
REKLAMASI KONSEP PENGELOLAAN PESISIR TERPADU : STUDI KASUSU PEKALONGAN
Fauziya Bagawat Jurnal ilmiah plano krisna, Vol. 3, No. 1, 2014: 108-117 Abstrak: Wilayah pesisir merupakan wilayah yang Jangsung mendapatkan dampak dari perubahan iklim. Salah satunya kenaikan muka air laut yang semakin tinggi, dan memberikan dampak luas terhadap wilayah pesisir. Diperkirakan 1OO tahun lagi, Pekalongan mengalami kenaikan muka air laut sampai sejauh 2.85 km dari kondisi saat ini. Hal ini memberikan ‘multiplier effect’ yang besar mengurangi luas daratan pesisir, kerusakan infrastruktur, perubahan pemanfaatan ruang (pemukiman, perikanan, pertanian, industri dan pemanfaatan ruang Jainnya). Untuk itu dibutuhkan pengelolaan pesisir terpadu yang tepat untuk kondisi ini. Bagaimana upaya pengelolaan pes1s1r terpadu yang tepat untuk meminimalkan dampak dari perubahan iklim/ kenaikan muka air laut? Kertas kerja ini akan memaparkan perencanaan wilayah dengan konsep reklamasi, dengan sistem dan mekanisme secara teknis dengan tetap mempertimbangkan ekonomi, ekologi dan kondisi sosial masyarakat Jokal. Metodologi dengan analisa review dampak perubahan iklim, potensi wilayah, dan adaptasi mitigasi bencana. Reklamasi ini tidak hanya untuk mengantisipasi kenaikan muka air laut, namun perencanaan kawasan tersebut untuk memberikan pertambahan nilai ekonomi (konsep cluster +linier) dan nilai ekologi (sempadan pantai, community space, ruang terbukahijau danmangrovecentre).Diharapkan ide ini dapat memperkaya konsep penataan pesisir, baikupaya pengelolaan pesisir terpadu untuk mengantisipasi perubahan iklim/ kenaikanmuka air laut, peningkatan nilai ekonomi dan ekologi pesisir, dan juga manajemenpengelolaan pesisir Serta menjadi masukan untuk penentu kebijakan sebagaialtematif pengelolaan pesisir.
DAFTAR ISI REKLAMASI PANTAI DAN PENGARUHNYA TERHADAP LINGKUNGAN FISIK DI WILAYAH KEPESISIRAN KOTA TERNATE
Djainal, Herry Jurnal pondasi : berkala ilmiah keteknikan, Vol. 12, No. 2, 2006:127-138 Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari proses reklamasi dan mengkaji dampak reklamasi pantai terhadap perkembangan keruangan serta perubahan fungsi ruang di wilayah kepesisiran Kota Ternate. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriftif, teknik atau cara pengumpulan data dilakukan melalui survei data sekunder instansional, yang didukung atau dilengkapi data primer, melalui wawancara, pengecekan lapangan. Pengambilan sampel dan penentuan titik pengecekan di lapangan dengan cara purposive sampling Model analisis proses reklamasi pantai disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan persentase, sedangkan pembuktian dampak reklamasi pantai dilakukan secara deskriftif fenomenologis. Hasil penelitian menunjukan bahwa proses reklamasi pantai di Kelurahan Gamalama telah berlangsung sebelum dikeluarkan kebijakan pemerintah Kota Ternate untuk melakukan penataan kawasan pantai Kota Ternate pada tahun 2001. Dari 56 responden yang melakukan reklamasi, 97,6persen badanusaha, sedangkan anggota masyarakat 2,4persen. Dampak reklamasi pantai dan perubahan fungsi ruang meliputi: a) pola arus laut di perairan sekitar wilayah penelitian selalu berubah arah mengikuti keadaan pasang surut b) banjir yang terjadi di tiga lokasi lebih dominan dipengaruhi oleh sistem drainase perkotaan yang buruk, bukan reklamasi c) memberikan dampak negatif terhadap kedalaman laut dan sedimentasi, d) terjadi penambahan luas lahan 97.312.25 m pangkat 2, e) telah terjadi perubahan-perubahan fungsi lahan/ruang baik di lokasi eksisting maupun pada lokasi rencana.
REKLAMASI PANTAI DITINJAU DARI ANALISIS GEOTEKNIK DAN ANALISIS AMDAL
Linda B Elizabeth Jurnal teknik sipil, Vol. 4, No. 2, 1998:133-144
Abstrak: Reklamasi pada tanah lunak perlu memperhatikan masalah stabilitas dan deformasi yang dilengkapi dengan cara-cara perbaikan tanah termasuk pembebanan bertahap yang merupakan usaha-usaha untuk dapat memenuhi kriteria perancangan dan teknik pelaksanaan reklamasi serta kegiatan reklamasi dan komponen dampak lingkungan.
REKLAMASI SINGAPURA SEBAGAI POTENSI KONFLIK DELIMITASI PERBATASAN WILAYAH INDONESIASINGAPURA
Wisnu Yudha A.R. Global strategis, Vol. 1, No. 2, 2007:120-137
Abstract: The problem of lack of geographical space, combining by the increasing number of population has led Singaporean government to proceed a national policy on reclamation. However such a policy has detrimental impacts on the IndonesianSingaporean bilateral relations that may generate potential conflicts in the future. The process of reclamation by Singapore may create a potential delimitation conflict in the Indonesia-Singapore borderline since the reclamations will detain Indonesian sovereignty. The government should take more serious concern with the potency of the conflict by increasing the awareness of the security along the Indonesian borderline.
DAFTAR ISI STATUS HUKUM TANAH REKLAMASI PANTAI KOTA MANADO BERDASARKAN UNDANG-UNDANG AGRARIA NO. 5 TAHUN 1960
Sirapanji, Dessy Lex Administratum, Vol. 1, No. 2, 2013:79-88
Abstrak: Pentingnya arti tanah bagi manusia, menjadikan tanah sebagai aset yang berharga bagi kehidupan setiap manusia. Hal ini dikarenakan selain sebagai kebutuhan, tanah juga dapat memberikan keuntungan secara ekonomis bagi pemilik tanah, yaitu dengan harga tanah yang cepat melonjak. Kebutuhan akan tanah menjadi semakin vital dikala ledakan penduduk di Manado. Di sisi lain, sebagai suatu faktor alam yang tak dapat diperbaharui, untuk wilayah Manado, tanah bisa didapat melalui proses reklamasi pantai. Reklamasi adalah suatu proses pengurukan wilayah pantai menjadi wilayah daratan. Beberapa wilayah menetapkan bahwa daerah hasil reklamasi hanya dapat dikenakan hak pengelolaan saja tanpa dapat dinaikkan status hukumnya, sementara di daerah lain wilayah hasil reklamasi mendapatkan status yang berbeda. Status hukum dari tanah hasil reklamasi pantai kota Manado adalah berstatus Hak Guna Bangunan diatas tanah negara, yang bebas dari hak pengelolaan lahan (HPL) oleh Pemerintah Kota Manado.
THE CHARACTERISTICS OF COASTAL AND MARINE QUARTERNARY GEOLOGY IN JATABEK (JAKARTA-TANGERANGBEKASI) AREA IN RELATION TO THE COASTAL RECLAMATION
Situmorang, Mangates Bulletin of the Marine Geological, Vol. 13, No. 1, 1998 Abstrak: Reklamasi pantai berpengaruh pada morfologi, batimetri, pola aliran sungai, serta keanekaragaman flora dan fauna. Untuk menekan/menghindari
dampak buruk yang diakibatkan oleh reklamasi pantai, perlu diadakan pembahasan dan peninjauan terhadap segala yang ada di dataran rendah kawasan pantai (geologi Kuarter daerah pantai dan marin). Fisiografi dataran pada kedalaman 16 meter ditemukan 6 fasies endapan. Reklamasi dataran pantai ini sangat rumit karena ada beberapa hambatan yang paling pentig adalah mengurangi dampak negatif (banjir, badai, sanitasi, dll), memelihara sistem pola buangan (drainase). Di dalam proyek reklamasi pantai daerah ini ada rencana sistem reklamasi, di bagian Barat (Kamal-Kapuk-Teluk Naga-Tanjung Pasir). Langkah penting dalam mencegah dampak negatif adalah mengevaluasi AMDAL secara cermat. AMDAL harus didahulukan daripada pembangunan proyek. Dalam persiapan AMDAL ini kekurangan data primer dan marin, padahal data dasar/primer dari kawasan pantai/marin harus diperoleh terebih dahulu oleh pemrakarsa sebelum AMDAL, dan bukan sebaliknya.
WATER STATUS EVALUATION ON TERTIARY BLOCK FOR DEVELOPING LAND USE PATTERN AND WATER MANAGEMENT STRATEGIES IN ACID SULFAT SOIL OF SALEH TIDAL LOWLAND RECLAMATION AREAS OF SOUTH SUMATERA
Momon Sodik Imanudin;M.E. Armanto;R.H. Susanto;S.T. Bernas Agrivita : jurnal tentang ilmu-ilmu pertanian, Vol. 32, No. 3, 2010:241-253 Abstract: -
DAMPAK EKOLOGI, SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT AKIBAT REKLAMASI PANTAI TAPAKTUAN ACEH SELATAN Impact of Tapaktuan Beach Reclamation on Ecological, Social and Economic changes of Coastal Community at Gampong Pasar Aceh Selatan District Nurul Husna 1), Rusli Alibasyah 2), Indra 3) 1)
Program Studi Magister Konservasi Sumberdaya Lahan Unsyiah, Darussalam Banda Aceh Fakultas Pertanian Unsyiah, Jl. Tgk. Hasan Krueng Kalee No. 3 Darussalam Banda Aceh 23111
2&3)
Naskah diterima 12 Oktober 2012, disetujui 20 Desember 2012 Abstract. The study was aimed to assess the impacts of beach reclamation on ecological, social and economic changes of coastal communities at Gampong Pasar, Aceh Selatan District. The study used quantitative and qualitative descriptive methods. Primary data were collected from respondents. Ecological and social data were analyzed by a descriptive method, while economic data were analyzed using paired t test method. The results showed that coastal reclamation affected ecological changes such as crab, shrimp, fish and coral reef. Those marine biota’s amount prior to the reclamation and lower after the reclamation. On the other hand, terrestrial biota’s such as terrestrial fauna (butterflies, dragonflies, grasshoppers and birds) were more abundant after the reclamation than before the reclamation. Likewise, terrestrial vegetation (palm, grass and wild plants) were more abundant after the reclamation than before the reclamation. For social changes, factors studied were social security, togetherness, friendship, community care, and custom marine receptions, excursions of outsider, employment, health, education and information. Those social factors were poor prior to the reclamation and better after the reclamation. Economic changes influenced by incomes, living needs, and expenditures were better after the reclamation, compared to prior to the reclamation. Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak reklamasi pantai terhadap perubahan ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat pesisir Gampong Pasar Kabupaten Aceh Selatan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Aspek ekologi dan sosial dianalisis secara deskriptif, sedangkan variabel ekonomi dianalisa dengan menggunakan uji t berpasangan atau paired ttest. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan ekologi seperti biota laut yaitu kepiting, udang, jenis ikan karang dan terumbu karang sebelum reklamasi keberadaannya dalam jumlah sedang dan sesudah reklamasi keberadaannya menjadi sedikit. Untuk biota darat seperti fauna darat (kupu-kupu, capung, belalang dan burung) setelah reklamasi lebih banyak dijumpai bila dibandingkan sebelum reklamasi. Begitu juga dengan vegetasi darat (kelapa, rumput-rumputan dan tanaman liar) setelah reklamasi lebih banyak tumbuh di lahan yang direklamasi apabila dibandingkan sebelum reklamasi. Untuk perubahan sosial faktor-faktor yang diteliti adalah jaminan rasa aman, gotong royong, keakraban dan kepedulian masyarakat, kebiasaan kenduri laut, kunjungan masyarakat luar daerah, kesempatan kerja, tingkat kesehatan, tingkat pendidikan dan tingkat informasi didapat bahwa sebelum reklamasi kurang baik sedangkan sesudah reklamasi menjadi lebih baik. Perubahan ekonomi dipengaruhi oleh pendapatan, kebutuhan hidup dan pengeluaran yang lebih baik sesudah adanya reklamasi dibandingkan sebelum reklamasi. Kata kunci : reklamasi pantai, ekologi pantai, sosial dan ekonomi masyarakat pesisir
PENDAHULUAN Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia (1990), reklamasi adalah suatu kegiatan atau proses memperbaiki daerah atau areal yang tidak berguna menjadi daerah yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia antara lain untuk sarana dan prasarana baru seperti pelabuhan, bandara, kawasan perindustrian, pemukiman, sarana sosial, rekreasi dan sebagainya.
Menghadapi keterbatasan lahan di Ibukota Kabupaten Aceh Selatan disebutkan dalam KAPEDALDA (2002) bahwa Kecamatan Tapaktuan dengan luas 11.500 ha merencanakan perluasan kota melalui penimbunan yaitu reklamasi yang akan menggeser tanggul laut (seawall) ke arah depan pantai. Dalam perencanaan Pemda Aceh Selatan, sepanjang pantai yang direklamasi ini menjadi daerah pemukiman penduduk, perkantoran, pertokoan, pelabuhan umum, taman kota dan sarana sosial
Jurnal Manajemen Sumberdaya Lahan, Volume 1, Nomor 2, Desember 2012: hal. 171-178
171
lainnya. Realisasi dalam kegiatan dimulai dari sebelah kanan Dermaga Pelabuhan Umum sampai ke sebelah kanan Tempat Pelelangan Ikan (belakang kantor Dinas Perikanan dan Kelautan) Gampong Lhok Bengkuang, tetapi yang sudah terealisasi pembangunannya hanya di Gampong Pasar seluas ± 5 ha. Reklamasi pantai memberikan dampak yaitu perubahan sosial, ekonomi masyarakat dan ekologi pesisir. Perubahan ini bersifat positif dan negatif. Dampak terbesar adanya reklamasi terlihat pada masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan dan buruh angkut semen dipelabuhan yang sehari-harinya bekerja di kawasan reklamasi pantai ini. Oleh karenanya perlu adanya kajian lebih mendalam tentang dampak reklamasi pantai terhadap perubahan ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat pesisir Gampong Pasar. METODOLOGI Penelitian dilakukan di lokasi reklamasi pantai yaitu Gampong Pasar Kecamatan Tapaktuan Kabupaten Aceh Selatan dengan metode survai purposive sampling. Adapun jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu data primer, sekunder dan peta administratif Tapaktuan dan peta kawasan reklamasi pantai sebelum dan sesudah reklamasi. Responden terdiri dari penduduk yang berprofesi sebagai nelayan sebanyak 50 orang dan buruh sebanyak 35 orang. Total responden keseluruhannya berjumlah 85 orang, ditambah dengan stakeholder yang terkait dengan reklamasi pantai Tapaktuan. Responden stakeholder terdiri dari Dinas Kelautan dan Perikanan, Syahbandar, Bappeda serta tokoh masyarakat di Gampong Pasar. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah; observasi, wawancara dan kuesioner.
Metode penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan data primer yang telah dikumpulkan dari masyarakat. Adapun tujuan penggunaan kombinasi kedua analisis ini diharapkan dapat menggambarkan dengan cara membandingkan perubahan aspek ekologi, sosial dan ekonomi komunitas nelayan dan buruh sebelum dan sesudah reklamasi pantai Tapaktuan dari variabel penelitian. Adapun rumus penilaian yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu P = f/n x 100 %; dimana; P = Persentase ; f = Frekuensi tingkat jawaban; dan n = Jumlah sampel (responden); sedangkan untuk variabel perubahan ekonomi analisa data juga dilakukan dengan menggunakan uji t berpasangan atau paired t-tes. HASIL DAN PEMBAHASAN Dampak Perairan
Reklamasi
Terhadap
Biota
Jenis biota perairan yang diwakili dalam penelitian ini adalah jenis kepiting, ikan karang dan terumbu karang. Hasil tangkapan ikan oleh nelayan dinyatakan secara kualitatif dalam tiga kategori yaitu sedikit, sedang, dan banyak. Hasil penelitian dampak reklamasi pantai terhadap biota perairan disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa masyarakat menemukan kepiting, ikan karang dan udang dalam jumlah lebih banyak sebelum reklamasi dibandingkan dengan setelah reklamasi. Pantai dilakukan. Sebanyak 50,59% responden mengakui bahwa mereka dapat memperoleh kepiting dalam jumlah sedang sebelum reklamasi, sedangkan setelah reklamasi pantai sebanyak 95,29% masyarakat mengakui bahwa jumlah biota ini yang dapat ditemukan dalam jumlah sedikit. Dari hasil penelitian terlihat
Tabel 1. Dampak reklamasi pantai terhadap perubahan ekologi biota perairan Jenis Biota
Banyak 60 17,65
% sebelum Reklamasi Sedang Sedikit 50 49,41 27,06 16,47 42,35 40,0
Total 100 100 100
% Sesudah Reklamasi Banyak Sedang Sedikit 4,71 95,29 64,71 35,29 100
Total Kepiting 100 Ikan 100 Terumbu Karang 100 Ket: sedikit (hasil tangkapan ½ timba atau 2,5 kg), sedang (1,5 timba atau 7,5 kg), dan banyak (≥ 2 timba atau ≥ 10 kg).
Sedangkan terumbu karang dinyatakan dalam Satuan luas (ha) yaitu sedikit (≤ 1 ha), sedang (1-2 ha), dan banyak (≥ 2 ha).
172
Nurul Husna, M. Rusli Alibasyah, dan Indra. Dampak Ekologi, Sosial dan Eonomi Masyarakat Akibat Reklamasi …
Tabel 2. Dampak reklamasi pantai terhadap perubahan ekologi biota darat (kupu-kupu, capung, belalang dan burung). Biota Darat Kupu-kupu Belalang Capung Burung
% sebelum Reklamasi Banyak Sedang Sedikit 8,24 91,76 14,12 85,88
Total 100 100
% Sesudah Reklamasi Banyak Sedang Sedikit 40,0 16,47 60 83,53
Ket: Kupu-kupu: sedikit ( ±8 ekor hari-1); sedang ( ±12 ekor hari-1); banyak ( ±16 ekorhari-1) Burung: sedikit ( ±1-3 ekor hari-1); sedang ( >5 ekor hari-1)
perbedaan antara sebelum dan sesudah reklamasi terkait keberadaan kepiting di lokasi penelitian, menurut penjelasan responden, kepiting yang ditemukan sekitar 1-5 ekor saja demikian juga dengan keberadaan udang. Kepiting dan udang ini didapat masyarakat ketika nelayan menjala ikan. Namun setelah reklamasi tempat untuk menjala ikan bagi nelayan sudah tidak ada lagi. Hal ini yang menyebabkan jenis kepiting dan udang sulit ditemukan. Keberadaan ikan karang sebelum reklamasi pantai dilakukan menurut pengakuan 60% masyarakat adalah berada dalam jumlah banyak, nelayan biasanya mendapat ikan karang setiap harinya sebanyak 5 kg. Namun setelah reklamasi 64,71% nelayan mengakui keberadaan ikan karang dalam jumlah sedang. Hal ini menyebabkan nelayan harus mencari daerah tangkapan ikan ke tempat yang lebih jauh dari biasanya. Hasil penelitian terhadap keberadaan terumbu karang adalah sebanyak 42,35% masyarakat berpendapat bahwa terumbu karang sebelum reklamasi berada dalam jumlah sedang. Setelah reklamasi 100% masyarakat berpendapat bahwa terumbu karang dalam jumlah sedikit. Karang yang dimaksud adalah terumbu karang yang sudah mati yang berada di sekitar wilayah reklamasi. Responden menjawab jumlah karang yang ditemui lebih sedikit. Kondisi ini disebabkan oleh dua hal yaitu; (1) karena terjadi pengurukan tanah di wilayah tersebut dan (2) jumlah karang memang lebih sedikit. Kapedalda (2002) menyebutkan bahwa keanekaragaman ekologi di sekitar tapak proyek relatif sedikit. Ditambahkan oleh sumber yang sama pada evaluasi dampak besar penting Bab VII AMDAL bahwa adanya reklamasi pantai memberikan dampak besar yang negatif yaitu kegiatan reklamasi dan
Total 100 100
pembangunan infrastruktur akan menyebabkan kematian terhadap biota akuatik terutama yang mobilitasnya kurang cepat seperti plankton dan benthos yang pada gilirannya akan menyebabkan gangguan produksi ikan, udang, kerang dan sebagainya. Hal ini memberikan dampak buruk terhadap nelayan. Fauna Darat Hasil penelitian terhadap fauna darat disajikan dalam Tabel 2. Menurut Tabel 2 memperlihatkan bahwa keberadaan jenis serangga seperti kupu-kupu, capung dan belalang sebelum reklamasi pantai, menurut 91,76% masyarakat berpendapat berada dalam jumlah sedikit dan 8,24% masyarakat menjawab sedang. Setelah reklamasi 60% masyarakat berpendapat bahwa keberadaan kupu-kupu, capung dan belalang dalam jumlah sedikit dan 40% menjawab sedang. Demikian juga dengan keberadaan burung kutilang (Apus affinus) sebelum reklamasi responden yang menjawab jumlah burung sedikit sebanyak 85,88%, dan yang menjawab sedang sebanyak 14,12%. Kemudian setelah reklamasi yang menjawab keberadaan burung kutilang dalam jumlah sedikit sebanyak 83,53% dan yang menjawab sedang sebanyak 16,47%. Hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa kemungkinan terjadi peningkatan jumlah satwa liar karena keberadaan taman sebagai lokasi kupu-kupu,capung dan belalang hidup. Keberadaan bangunan di daerah reklamasi yang saat ini masih belum dimanfaatkan optimal diduga menjadi rumah/sarang burung. Kenyataan ini diperkuat oleh pengamatan peneliti bahwa sebagian bangunan yang tidak digunakan menjadi sarang burung.
Jurnal Manajemen Sumberdaya Lahan, Volume 1, Nomor 2, Desember 2012: hal. 171-178
173
Tabel 3. Persentase jawaban responden terhadap perubahan ekologi keberadaan vegetasi darat. Vegetasi Darat Kelapa Rumput Tanaman liar
% sebelum Reklamasi Banyak Sedang Sedikit 16,47 83,53 51,76 48,24 51,76 48,24
Total
% Sesudah Reklamasi Banyak Sedang Sedikit 7,06 92,94 80 18,82 1,18 15,29 83,53 -
Total
Ket: Kelapa, sedikit (1-5 pohon); sedang (6-9 pohon); banyak (>10 pohon) Rumput dan Tanaman liar, sedikit (±400m); sedang (±800m); banyak ( ±2ha)
Vegetasi Hasil penelitian didapat bahwa vegetasi yaitu, pohon kelapa, jenis rumput-rumputan dan tanaman liar yang ditemukan menunjukkan peningkatan jumlahnya. Persentase jawaban responden terhadap keberadaan vegetasi darat disajikan pada Tabel 3. Hasil penelitian didapatkan bahwa sebelum reklamasi responden yang menjawab vegetasi kelapa dalam jumlah sedikit keberadaannya yaitu 71 responden atau 83,53% dari 85 responden dan setelah reklamasi responden menjawab dalam jumlah sedikit meningkat menjadi 79 responden atau 92,94%. Pada jenis tanaman rumput-rumputan, sebelum reklamasi responden yang menjawab keberadaannya dalam jumlah sedang yaitu sebanyak 44 responden atau 51,76% dan setelah reklamasi jumlah rumput-rumputan dalam jumlah banyak responden yang menjawab adalah 68 responden atau 80% dari 85 responden. Sedangkan jenis tanaman liar sebelum terjadinya reklamasi, responden yang menjawab dalam jumlah sedang sebanyak 44 responden atau 51,76% dan setelah reklamasi responden yang menjawab jumlah tanaman liar dalam keadaan sedang sebanyak 71 responden atau 83,53% dari 85 responden. Hal ini disebabkan karena jenis tanah yang pada awalnya kandungan pasirnya tinggi setelah reklamasi menjadi rendah dan didominasi oleh tanaman daerah pesisir. Pengurukan yang dilakukan juga menjadi sebab sehingga tanaman rumput dan tanaman liar jumlahnya lebih banyak. Komposisi vegetasi di daerah ini terdiri dari dua kelompok yaitu tanaman penyangga dan tanaman liar sesuai dengan rona lingkungan (kondisi lingkungan awal sebelum tersentuh oleh kegiatan) laporan AMDAL KAPEDALDA (2002). Disebutkan hasil AMDAL bahwa keanekaragaman jenis vegetasi relatif sedikit dan dikategorikan sedikit. Dan jenis kelapa sebagai tanaman penyangga semakin sedikit ditemui setelah 174
reklamasi. Kondisi ini akan menyebabkan perubahan struktur ekosistem pesisir. Setelah reklamasi seharusnya tetap dilakukan upaya mempertahankan beberapa vegetasi pesisir terutama tanaman penyangga wilayah pesisir dengan jalan konservasi. Dampak Reklamasi Terhadap Pekerjaan Masyarakat Jenis pekerjaan masyarakat sebelum dilakukannya reklamasi mempunyai 6 kategori jenis pekerjaan yaitu nelayan, perdagangan/ warung, tukang becak, buruh, petani dan pekerjaan tidak tetap. Gambaran umum pekerjaan responden sebelum dan sesudah reklamasi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Pekerjaan responden sebelum dan sesudah reklamasi pantai Jenis Pekerjaan Nelayan Buruh Petani Tukang becak Tidak tetap Warung Jumlah
Reklamasi sebelum (%) 42,35 21,18 14,12 11,76 9,41 1,18 100
Sesudah (%) 58,82 41,18 100
Di Gampong Pasar terjadi perubahan dalam hal jenis pekerjaan masyarakat sekitar yaitu pekerjaan sebelum dan sesudah reklamasi masyarakat yang beralih pekerjaan menjadi buruh dan nelayan setelah adanya reklamasi yaitu sebanyak 35,29%. Sebanyak 16,47% penduduk menjadi nelayan setelah reklamasi, yang sebelumnya memiliki pekerjaan lain seperti; warung, tukang becak, petani dan yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Sedangkan 16 responden atau 18,82% masyarakat menjadi buruh setelah reklamasi dari pekerjaan lain
Nurul Husna, M. Rusli Alibasyah, dan Indra. Dampak Ekologi, Sosial dan Eonomi Masyarakat Akibat Reklamasi …
seperti tukang becak, petani dan masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Perubahan jenis pekerjaan ini dimungkinkan karena adanya kesempatan menjadi buruh lebih besar dan menjanjikan. Dampak Reklamasi Terhadap Perubahan Sosisial Dari hasil penelitian tentang dampak reklamasi pantai terhadap perubahan sosial secara utuh disajikan pada Tabel 5. Jaminan rasa aman yang dirasakan oleh masyarakat daerah reklamasi yang menjadi responden penelitian menunjukkan bahwa sebelum reklamasi responden yang menjawab jaminan rasa aman kurang baik yaitu sebanyak 58,82%. Hal ini sangat berbeda dengan persentase jawaban responden setelah reklamasi yang menunjukkan bahwa 64.71% responden menjawab jaminan rasa aman lebih baik. Adanya reklamasi pantai berdampak positif terhadap kondisi jaminan rasa aman masyarakat di kawasan reklamasi karena dibangun pos polisi pelabuhan Tapaktuan. Selain ditunjukkan dari hasil kuisioner juga diperkuat adanya wawancara yang dilakukan peneliti terhadap beberapa responden yang menyatakan bahwa setelah reklamasi kasus pencurian di wilayah tersebut berkurang. Dari hasil penelitian tentang dampak reklamasi pantai terhadap perubahan sosial yaitu kehidupan gotong royong menunjukkan bahwa sebelum reklamasi responden yang menjawab cukup baik sebanyak 39 responden
atau 45,88 % sedangkan persentase jawaban responden setelah reklamasi menunjukkan bahwa sebanyak 40 responden atau 47.06 % dari 85 responden menjawab kehidupan gotong royong menjadi lebih baik. Kehidupan bergotong royong masyarakat setempat sebelum reklamasi sebenarnya cukup baik sedangkan sesudah reklamasi lebih baik lagi. Gotong royong biasanya dilakukan menjelang peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus, menyambut bulan suci ramadhan dan sebagainya. Kondisi terjaganya rasa gotong royong di wilayah Gampong Pasar sebelum dan sesudah reklamasi menunjukkan bahwa pembangunan yang dilakukan tidak menimbulkan berkurangnya rasa gorong royong. Keakraban dan kepedulian masyarakat pada lokasi penelitian setelah reklamasi menunjukkan peningkatan. Data sebelum reklamasi jumlah responden yang memberikan jawaban kurang baik seabanyak 48,24% dan setelah reklamasi responden yang menjawab lebih baik sebanyak 52,94% dari total 85 responden. Keakraban dan kepedulian terlihat ketika sesama masyarakat walaupun berbeda etnis saling berkunjung jika ada yang tertimpa musibah ataupun acara perkawinan. Dari hasil penelitian dampak reklamasi terhadap kebiasaan kenduri laut sebelum reklamasi responden yang menjawab kebiasaan kenduri laut cukup baik dilaksanakan sebanyak 35.29% dan setelah reklamasi responden yang menjawab pelaksanaan kenduri laut lebih baik lagi yaitu seabnyak 40.00% dari 85 responden.
Tabel 5. Dampak Reklamasi Pantai terhadap perubahan sosial masyarakat No.
Pertanyaan
1
Jaminan rasa aman
2
6
Gotong royong Keakraban dan kepedulian masyarakat Kebiasaan kenduri laut Kunjungan masyarakat luar daerah Kesempatan kerja
7
Kr 58.8
Sebelum Reklamasi Ck Bk 38.82% 2.35%
Kr 0.00%
Sesudah Reklamasi Ck Bk 35.29% 64.71%
36.5
45.88%
17.65%
8.24%
44.71%
47.06%
48.2
38.82%
12.94%
3.53%
43.53%
52.94%
35.2
35.29%
29.41%
38.82% 21.18%
40.00%
57.7
27.06%
15.29%
37.65% 42.35%
20.00%
47.1
38.82%
14.12%
28.24% 31.76%
40.00%
Tingkat kesehatan
24.7
51.76%
23.53%
0.00%
41.18%
58.82%
8 Tingkat pendidikan 9 Tingkat Informasi
15.3
62.35%
22.35%
3.53%
32.94%
63.53%
22,35
57,65
20,00
5,88
38,82
55,30
3 4 5
Ket: Kr=kurang baik, Ck=cukup baik, Bk=lebih baik Jurnal Manajemen Sumberdaya Lahan, Volume 1, Nomor 2, Desember 2012: hal. 171-178
175
Kenduri laut memang biasa dilakukan pada daerah pesisir, termasuk di Gampong Pasar Tapaktuan. Setelah dibangunnya proyek reklamasi kenduri laut masih dilakukan. Pelaksanaaan kenduri laut ini dilakukan pada sekitar bulan Juli atau ketika perubahan angin. Terjaganya pelaksanaan keduri laut menunjukkan masyarakat setempat masih menjaga adat kebiasaan sebelumnya. Hal ini ternyata sangat positif dalam penjagaan keanekaragaman hayati budaya. Hasil penelitian didapat bahwa kunjungan masyarakat luar daerah ke wilayah reklamasi setelah reklamasi meningkat. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian yang mana responden yang menjawab sebelum reklamasi kunjungan masyarakat luar daerah kurang baik mencapai 57,65%. Sedangkan setelah reklamasi responden yang menjawab jumlah kunjungan masyarakat luar daerah menjadi cukup baik yaitu sebanyak 42,35% dari 85 responden. Bertambahnya kunjungan masyarakat luar daerah salah satunya karna sudah ada kawasan RTH. Menurut Taslim selaku Panglima Laot Lhok I Tapaktuan bahwa “setelah reklamasi terjadi perluasan wilayah, kampus Politeknik dan taman RTH (ruang terbuka hijau)”. Hal serupa juga disampaikan oleh responden dalam wawancaranya bahwa dulu sebelum ada reklamasi kurang sekali dibuat acara - acara baik formal maupun informal. Sekarang sudah sering dibuat acara di kawasan reklamasi misalnya, pameran, pertandingan- pertandingan maupun panggung hiburan. Jadi menambah kunjungan masyarakat dari luar Tapaktuan ke pantai reklamasi. Selain itu ada banyak tempat wisata di Kecamatan Tapaktuan salah satunya berada di Gampong Pasar yaitu Gunung Lampu serta Makam, Tapak, Tongkat dan Topi Tuan Tapa. Ini juga merupakan kawasan wisata alam yang bersejarah bagi Tapaktuan yang menjadi tempat potensial bagi masyarakat luar daerah yang berkunjung ke Tapaktuan (BPS, 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesempatan kerja, sebelum reklamasi responden yang menjawab kurang baik sebanyak 47,24%. Setelah reklamasi responden yang menjawab kesempatan kerja lebih baik sebanyak 40,00% dari 85 responden. Data tersebut menjelaskan bahwa jumlah pengangguran lebih sedikit setelah adanya reklamasi yang ditunjukkan dengan jawaban baik responden sebanyak 40,00%. Hasil penelitian didapat bahwa tingkat kesehatan sebelum dan sesudah reklamasi 176
berdampak positif. Responden yang menjawab tingkat kesehatan cukup baik yaitu sebanyak 51,76% dan setelah reklamasi tingkat kesehatan meningkat menjadi lebih baik yaitu 58,82 %. Tingkat kesehatan masyarakat setempat lebih baik disebabkan pelayanan dari dinas terkait dan pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan pun tinggi. Hal ini didukung dengan kondisi sebelum reklamasi dari hasil AMDAL yang dilakukan Kapedalda (2002) bahwa air yang digunakan oleh masyarakat setempat berasal dari sumber yang relative baik. Kondisi ini dapat membantu menjadikan tingkat kesehatan masyarakat bertambah baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang menjawab tingkat pendidikan masyarakat sebelum reklamasi cukup baik yaitu sebanyak 62,35% dan setelah reklamasi responden yang menjawab tingkat pendidikan menjadi lebih baik yaitu sebanyak 63,53% dari. Uraian diatas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan setelah reklamasi lebih baik dibanding sebelum reklamasi. Dari persentase jawaban responden disimpulkan bahwa setelah reklamasi berdampak positif yaitu ditunjukkan dengan jawaban responden yang menyatakan bahwa pendidikan baik naik dari 22,35% menjadi 63,53%. Pada perubahan sosial masyarakat di sektor pendidikan setelah reklamasi mengalami perbaikan, ini menujukkan bahwa pendidikan semakin baik berkembang pada lingkungan sosial masyarakat. Tingkat pendidikan masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan dan buruh adalah 1,18% sarjana, 5,88% lulusan SMK, 40,00 % lulusan SMA, sedangkan lulusan SMP 34,12 % dan 18,82% lulusan SD. Dari 85 responden kurang lebih 80% mengenyam pendidikan Sekolah menengah pertama, atas dan kejuruan, sisanya 20% adalah sarjana dan lulusan SD. Pada dasarnya validitas suatu penelitian ditentukan oleh faktor kemampuan responden dalam memberikan data yang benar dan akurat. Selain itu, tingkat pendidikan juga merupakan salah satu faktor penentu kualitas kehidupan dan sarana yang efektif mengembangkan kualitas sumber daya manusia, khususnya pada aspek peningkatan produktifitas kerja. Selain itu, dengan latar belakang tingkat pendidikan relatif tinggi yang dimilikinya tersebut tentu akan mempengaruhi dalam sikap, perilaku, dan pola pikir bagi responden. Adapun yang dimaksudkan tingkat pendidikan responden
Nurul Husna, M. Rusli Alibasyah, dan Indra. Dampak Ekologi, Sosial dan Eonomi Masyarakat Akibat Reklamasi …
dalam penelitian ini adalah pendidikan formal yang pernah diperoleh oleh responden. Dengan adanya reklamasi di Tapaktuan ternyata juga mempunyai dampak positif pada bidang informasi. Terlihat dari hasil penelitian pada Tabel 5. bahwa jawaban responden yang menjawab informasi cukup baik sebelum reklamasi sebanyak 57,65% dan setelah reklamasi responden yang menjawab informasi lebih baik sebanyak 55,29% dari 85 responden. Informasi memiliki kekuatan, baik yang membangun maupun yang merusak. Teknologi merupakan hal yang amat penting untuk diberdayakan dalam masyarakat karena pada dasarnya kemajuan suatu masyarakat dapat di ukur pada kemampuannya terhadap penguasaan teknologi. Dengan penguasaan teknologi yang baik masyarakat akan mampu membuat inovasi-inovasi baru dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Dampak Reklamasi Ekonomi Masyarakat Dampak reklamasi terhadap perubahan ekonomi dalam hal ini pendapatan disajikan pada Lampiran 4 dan hasil uji T Lampiran 7. Nilai T yang dihasilkan adalah 16,573 pada derajat bebas 84 lebih besar daripada nilai t tabel sebesar 1,663. Nilai sig 2-tailed lebih kecil daripada nilai kritik 0,05 (0,000 < 0,05) berarti di terima Ha artinya terdapat perbedaan yang signifikan dari sebelum dan sesudah reklamasi pantai Tapaktuan ini terhadap pendapatan nelayan dan buruh. Hasil penelitian terhadap pendapatan masyarakat setempat secara nilai uang setelah reklamasi pendapatan semakin meningkat. Data pendapatan responden disajikan pada Lampiran 5. Peningkatan pendapatan dari 85 responden rata-rata sebesar Rp 689,411.76 atau sekitar 46.64% dengan pendapatan rata-rata sebelum reklamasi sebesar Rp 1,478,235.29 dan sesudah reklamasi sebesar Rp 2,167,647.06. Namun apabila dibandingkan dengan harga bahan pokok yang serba mahal sekarang ini dirasakan responden bahwa pendapatan yang didapatkan setiap bulan tidak mencukupi kehidupan keluarga mereka. Dampak reklamasi terhadap perubahan ekonomi dalam hal ini kebutuhan hidup disajikan pada Lampiran 5 dan hasil Uji T Lampiran 9. Nilai T yang dihasilkan adalah 14,866 pada derajat bebas 84 lebih besar daripada nilai t tabel sebesar 1,663. Nilai sig 2-
tailed lebih kecil daripada nilai kritik 0,05 (0,000 < 0,05) berarti di terima Ha artinya terdapat perbedaan yang signifikan dari sebelum dan sesudah reklamasi pantai Tapaktuan ini terhadap kebutuhan hidup nelayan dan buruh. Hasil penelitian terhadap kebutuhan hidup masyarakat setempat secara nilai uang setelah reklamasi kebutuhan hidup semakin meningkat. Data kebutuhan hidup responden disajikan pada Lampiran 5. Peningkatan kebutuhan hidup dari 85 responden rata-rata sebesar Rp 640.588,76 dengan kebutuhan hidup rata-rata sebelum reklamasi sebesar Rp 1.440.588,24 dan sesudah reklamasi sebesar Rp 2.081.176,47. Dampak reklamasi terhadaap perubahan ekonomi dalam hal ini pengeluaran disajikan pada Lampiran 5 dan hasil uji T lampiran 8. Nilai T yang dihasilkan adalah 15,713 pada derajat bebas 84 lebih besar daripada nilai t tabel sebesar 1,663. Nilai sig 2-tailed lebih kecil daripada nilai kritik 0,05 (0,000 < 0,05) berarti kita terima Ha artinya terdapat perbedaan yang signifikan dari sebelum dan sesudah reklamasi pantai Tapaktuan ini terhadap pengeluaran nelayan dan buruh. Hasil penelitian terhadap pengeluaran masyarakat setempat secara nilai uang setelah reklamasi pengeluaran meningkat. Data pengeluaran responden disajikan pada Lampiran 5. Peningkatan pengeluaran dari 85 responden rata-rata sebesar Rp 661.176,47. Pengeluaran rata-rata sebelum reklamasi sebesar Rp 1.418.823,53 dan sesudah reklamasi sebesar Rp 2.080.000,00. SIMPULAN Reklamasi pantai Tapaktuan berpengaruh terhadap biota perairan dan biota darat. Keberadaan biota perairan sebelum reklamasi rata-rata dalam jumlah sedang, setelah reklamasi keberadaannya menjadi sedikit. Pada biota darat seperti fauna darat dan vegetasi darat didapatkan hasil yang lebih baik setelah adanya reklamasi. Reklamasi pantai Tapaktuan berpengaruh terhadap sosial masyarakat yaitu jaminan rasa aman, gotong royong, keakraban dan kepedulian masyarakat, kebiasaan kenduri laot, kunjungan masyarakat luar daerah, kesempatan kerja, tingkat kesehatan, tingkat pendidikan dan tingkat informasi menjadi lebih baik setelah reklamasi. Reklamasi pantai Tapaktuan berpengaruh pada kondisi ekonomi yaitu pendapatan, kebutuhan hidup dan
Jurnal Manajemen Sumberdaya Lahan, Volume 1, Nomor 2, Desember 2012: hal. 171-178
177
pengeluaran lebih banyak setelah reklamasi daripada sebelum reklamasi. DAFTAR PUSTAKA Penelitian Tanah. Pengembangan
178
Badan Penelitian dan Pertanian Departemen
Pertanian. Sumarno. 1986. Teknik Budidaya Kacang Tanah. Sinar Baru. Bandung, 79 hal. Suryani, A. 2007, pendahuluan, [online], www.damandiri.or.id/ file/ anisuryaniipbbab2.pdf, diakses tanggal 12 Mei 2010).
Nurul Husna, M. Rusli Alibasyah, dan Indra. Dampak Ekologi, Sosial dan Eonomi Masyarakat Akibat Reklamasi …
Media Konservasi Vol. V No.
April 1996
: 31
-
34
DAMPAK REKLAMASI TELUK JAKARTA PADA EKOSISTEM MANGROVE (The Impacts of Land Reclamation of Jakarta Bay on Mangrove Ecosystem)
Sumberdaya
P.O. Box 168,
16001
IPB,
ABSTRACT
Significant resulted from the reclamation of mangrove forests, will result i n its functional changes which in turn will affect the sea productivity of Jakarta Ray and other functions such as protection against waves and winds, ahsorption of pollutants in Jakarta Bay, and sea intrusion, wildlife also the dissappearance of potentials to he develop as nature recreation and tourism site. Efforts should include maintenance, restoration and development of Jakarta Bay mangrove forests, especially i n Muara Angke Nature Strict Reserve and the Protected Forest along the eastern part of the coast.
LUAS DAN PENYEBARAN HIJTANMANGROVE mangrove yaitu di daerah pantai sungai yangdipengaruhi jenis-jenis pohon
yang
turnbuh pads dan sekitar muara air laut, dan dicirikan oleh
Lumnitzero, Excoecarin, Xy Scyphyporn, dan Nypn. Maka ekosistem
mangrove ialah ekosistem pantai yang komponen turnbuhannya ialah mangrove, beserta fauna dan habitatnya yang khas. mangrove dunia berada di 22 di benua juta ha. Seluas juta ha kecuali Eropa, dengan total juta ha atau 16% atau 27% diantaranya berada di Indonesia, berada di Brazil dan 7% nya atau lebih juta ha berada Australia. Dari sekitar juta ha, mangrove Indonesia di seluruh kepulauan Indonesia, di adalah di Irian Jaya seluas 3 juta ha. antaranya data yang tersedia, komposisi vegetasi mangrove di Indonesia terdiri dari sedikitnya 3 7 spesies pohon, 5 spesies 9 spesies tumbuhan bawah, 9 spesies tunibuhan 29 spesies epiphyt dan 2 spesies tunibuhan MANGROVE Kawasan
yang tersisa di Teluk Jakarta sebagai Pantai Indah Kapuk (PIK) oleh PT. ha yang terdiri dari: Mandara Permai tinggal sekitar Lindung (mangrove) ha Cagar Alam Muara ha 9 ha Kebun Pembibitan Kehutanan ha Drain ha Jalur Transmisi PLN ha Jalan Tol dan Jalur Hijau ha Kawasan Angke Kapuk yang saat ini tersisa dan merupakan ekosistern mangrove dengan status lindung ha) dan Cagar Alam (Muara Angke) ha) yang ditetapkan untuk tujuan perlindungan dan pelestarian Pemerintah telah rnernberikan perhatian terhadap an dan alarn, ini dilihat dari telah dikeluarkannya yang menetapkan harus
ekosistem mangrove sebagai hijau 100 - 150 dengan status lindung, dan telah dikukuhkannya sebagian dari ekosistem mangrove sebagai Cagar Statusnya sebagai Lindung sepanjang pantai dengan 100 - 150 rn ditetapkan berdasarkan SK Gubernur No. Ea 15/13/70 dan dipertegas statusnya sebagai kawasan lindung No. 32 tahun 1990 Kawasan berdasarkan Keppres Lindung serta Undang-Undang tahun Penataan Ruang. ini knli dikukuhkan dengan SK Gubernur Hindia Belanda No. 2 4 tahun 1939, dimuat No. 294 tahun 1939. Cagar Alam Muara Angke seluas ha, ditetapkan berdasarkan SK Menteri Pertanian No. Tujuan Cagar Alam Muara ini adalah sebagai areal mencari rnakan hagi burung- burung habitat lutung Jan ekor sp). Cagar Alem Muara delta sungai, dirnana vegetasi utanianya dan A Secara di seluruh kawasan mangrove Muara yang terdapat di sana 47 jenis dari 24 khusus untuk bakaunya, jenis-jenis yang A. A. ada adalah R.
adanya
cnseolnris,
(Avenzora, 1988). umumnya, Sebagaimana mangrove Angke herpijahnya berbagai udang dan ikan, dan lainnya. Jenis-jenis ikan yang terdapat antara lain dan julungadalah julung itu berbagai jenis moluska sp., dan a dan juga diternukan (Wibisono, Jenis di Cagar Angke dan kawasan mangrove Muara umuninya adalah hurung;
Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. II No. 2 : 105-112. Desember 2012
DAMPAK REKLAMASI TELUK JAKARTA TERHADAP KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN DI TELUK JAKARTA (Impact of Reclamation on Capture Fisheries in Jakarta Bay) Nono Sampono1), Ari Purbayanto2), John Haluan2), Ahmad Fauzi3), Budy Wiryawan2) 1)
Mahasiswa Pascasarjana Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap Institut Pertanian Bogor 2) Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor 3) Fakultas Ekonomi dan Manajeman Institut Pertanian Bogor ABSTRACT Jakarta is the capital of the state whose condition is very dense; to meet the requirement of land for the development and expansion of Jakarta, the reclamation of Jakarta Bay was planned. In addition to overcome the limitations of the land, reclamation activities will also be able to play a very important role in the rearrangement and can give a distinctive character to the area Ancol Beach. One of the activities affected due to the reclamation of Jakarta Bay is a fisheries activity. Fishermen in the Bay of Jakarta actually have shown opposition to reclamation, so the control of ongoing projects and activities related to dredging is necessary to ensure that the impacts are very minimal impact on fisheries and aquaculture activities. It was required a study of the impact of reclamation on fisheries activities and fishermen adaptation. The objectives of this study are (1) to understand the knowledge and acceptance of the fishermen to the reclamation activity, (2) to understand the fishing community's perception of the impact of reclamation and (3) to understand the patterns of adaptation of the fishing communities due to the reclamation. Desktop study and interview were conducted to collect the data. Calculation of composition and GIS analysis were conducted to analyze the data. The level of knowledge of fishermen in Cilincing, Muara Angke and Muara Baru on reclamation activities showed a low level of knowledge. Sedimentation during the reclamation process is a major concern to the fisheries. Some fishermen said the reclamation had no impact on the fishing areas. Fishermen will keep trying to catch fish even have to move their fishing areas or have to move their village. Keyword: reclamation, Jakarta Bay, fisheries, fisherman
PENDAHULUAN Wilayah Teluk Jakarta meliputi daerah pesisir Jakarta dan Perairan Teluk Jakarta yang dibatasi oleh Tanjung Pasir di sebelah Barat (6°00,96’ LS/106°47,76’ BT) dan semenanjung Muara Gembong di bagian Timur (5°56,48’ LS/107°01,93’ BT). Wilayah ini merupakan teluk yang dangkal dengan profil kedalaman 5 meter terpisah jarak 1 km dari pantai, kemudian kontur kedalaman 10 meter pada jarak 3 km dari pantai. Luas keseluruhan perairan Teluk Jakarta adalah 514 km², dengan panjang garis pantai sekitar 72 km. Teluk Jakarta ini telah mengalami perubahan akibat pembangunan pesisir yang sangat signifikan dalam kurun waktu beberapa dekade terakhir ini, dan masih banyak lagi sejumlah proyek pembangunan yang akan diusulkan maupun tengah sedang berlangsung yang bakal memberikan dampak serius.
Dampak Reklamasi Teluk Jakarta …..
105
Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. II No. 2 : 105-112. Desember 2012
Jakarta yang merupakan ibu kota negara kondisinya sangat padat dengan luas daratan yang terbatas, sehingga untuk memenuhi kebutuhan lahan bagi pembangunan serta perluasan kawasan Jakarta maka pilihan yang tidak bisa dihindari adalah kegiatan reklamasi Teluk Jakarta. Selain untuk mengatasi keterbatasan lahan tersebut, kegiatan reklamasi pantai ini juga akan dapat memainkan peran yang sangat penting dalam penataan ulang dan dapat memberikan karakter tersendiri terhadap Kawasan Pantai Ancol dalam rangka pembangunan Jakarta Water Front City. Salah satu kegiatan yang paling merasakan dampak akibat adanya reklamasi Teluk Jakarta adalah kegiatan perikanan. Populasi penduduk yang bekerja di bidang perikanan di Jakarta pada tahun 2009 adalah 2.366 pemilik perahu dan 16.581 buruh. Berdasarkan status penduduk di Jakarta terdapat 10.268 nelayan tetap dan 8.678 nelayan pendatang. Populasi nelayan yang tinggi telah mengakibatkan fasilitas dan infrastruktur yang tersedia tidak mencukupi termasuk perumahan bagi para nelayan, sehingga sisi kanal-kanal untuk perbaikan kapal telah digunakan juga untuk pemukiman. Aktifitas perikanan saat ini didominasi oleh mini purse seine (payang), purse seine, jaring rampus, jaring insang, bagan dan perangkap (bubu). Ikan yang menjadi target penangkapan diantaranya ikan baronang, kerapu, belanak, julung-julung, cendro dan sebagainya. Selain jenis ikan, kerang hijau merupakan salah satu komoditas yang banyak dibudidayakan di perairan pesisir Utara Jakarta. Menurut Prabowo et al. (2008) masyarakat nelayan di pesisir Teluk Jakarta sebenarnya telah menunjukkan sikap menentang terhadap kegiatan reklamasi, sehingga pengendalian terhadap proyek yang berlangsung dan aktifitas pengerukan yang terkait sangat diperlukan untuk memastikan bahwa dampak yang terjadi sangat minimal terhadap kegiatan perikanan tangkap dan budidaya di pantau Utara Jakarta. Berdasarkan hal tersebut diperlukan penelitian dan kajian yang komprehensif tentang dampak reklamasi terhadap kegiatan perikanan termasuk strategi adaptasi masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah; 1) Mengetahui tingkat pengetahuan dan penerimaan masyarakat nelayan terhadap kegiatan reklamasi 2) Mengetahui persepsi masyarakat nelayan terhadap dampak kegiatan reklamasi 3) Mengetahui pola adaptasi masyarakat nelayan akibat kegiatan reklamasi METODOLOGI Penelitian dilaksanakan di wilayah Teluk Jakarta yang meliputi Muara Angke, Muara Baru, dan Cilincing. Waktu penelitian dilaksanakan sejak Juni hingga November 2012. Metode Pengumpulan Data Data dan Informasi yang dikumpulkan meliputi informasi kegiatan reklamasi, pengetahuan dan persepsi nelayan tentang kegiatan reklamasi. Informasi kegiatan reklamasi diperoleh dari kajian pustaka dan laporan tentang kegiatan reklamasi Teluk Jakarta.
106
Sampono et al.
Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. II No. 2 : 105-112. Desember 2012
Data pengetahuan dan persepsi nelayan tentang kegiatan reklamasi diperoleh dengan wawancara terstruktur. Pemilihan responden untuk wawancara dilakukan dengan teknik purposive sampling. Jumlah responden sebanyak 300 orang yang meliputi 100 nelayan dari wilayah Muara Angke, 100 nelayan dari wilayah Muara Baru dan 100 nelayan dari wilayah Cilincing. Selain pengetahuan dan persepsi nelayan di lakukan juga pemetaan daerah penangkapan ikan di wilayah Teluk Jakarta. Metode Analisis Data Analisis data dilakukan dengan metode tabulasi sederhana untuk menghitung rata-rata dan komposisi dari masing masing pengetahuan dan persepsi nelayan. Hasil perhitungan kemudian di deskripsikan dan dibandingkan. Pemetaan kegiatan reklamasi dan kegiatan perikanan menggunakan analisis Geographic Information System (GIS). Teknik yang digunakan dalam analisis GIS adalah overlay kegiatan reklamasi dan kegiatan perikanan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengetahuan dan Dukungan tentang Kegiatan Reklamasi Tingkat pengetahuan nelayan di Cilincing, Muara Angke, dan Muara Baru tentang kegiatan reklamasi masih rendah. Nelayan yang mengetahui kegiatan reklamasi kurang dari 50%. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat pelibatan nelayan dalam kegiatan sosialisasi kegiatan reklamasi. Tingkat pengetahuan nelayan di Cilincing menunjukkan persentasi tertinggi (lebih dari 40%) dibandingkan nelayan di Muara Baru dan Muara Angke. Perbedaan ini diduga karena nelayan di Cilincing sebagian besar merupakan penduduk setempat (bukan nelayan pendatang) sehingga terdapat nelayan yang diajak terlibat dalam kegiatan sosialisasi, terutama tokoh masyarakat. Meskipun tingkat pengetahun dan pelibatan sangat rendah, namun dukungan terhadap kegiatan reklamasi relatif lebih tinggi, bahkan terdapat sebagian nelayan yang menyebutkan sebagian nelayan di wilayahnya (50%) mendukung kegiatan reklamasi. Hal yang sama terjadi pada reklamasi di Manado, pada saat masyarakat nelayan dirugikan akibat reklamasi, sebagian nelayan masih menerima adanya kegiatan reklamasi (Wunas dan Lumain, 2003). Tingkat pengetahuan, pelibatan dan dukungan nelayan terhadap kegiatan reklamasi disajikan pada Gambar 1, Gambar 2, dan Gambar 3. Dampak Kegiatan Reklamasi Berdasarkan peta daerah penangkapan ikan dan kegiatan budidaya, kegiatan reklamasi akan mempengaruhi kegiatan perikanan. Menurut Berkel et al. (2011) kegiatan reklamasi akan memiliki dampak terhadap kegiatan pelabuhan perikanan dan daerah penangkapan ikan. Wagiu (2011) mengemukakan bahwa reklamasi yang dilakukan di Pantai Manado telah mengakibatkan menurunnya tingkat pendapatan yang berdampak langsung pada kehidupan ekonomi sosial masyarakat nelayan. Sedimentasi pada saat proses reklamasi merupakan dampak utama yang dapat berdampak negatif bagi kegiatan perikanan. Peta kegiatan reklamasi dan kegiatan perikanan disajikan pada Gambar 4.
Dampak Reklamasi Teluk Jakarta …..
107
Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. II No. 2 : 105-112. Desember 2012
100% 80%
60% 40% 20% 0%
Cilincing
Muara Angke
Tahu
Muara Baru
Tidak Tahu
Gambar 1. Tingkat pengetahuan nelayan terhadap kegiatan reklamasi 100% 80% 60% 40% 20% 0%
Cilincing Ya
Muara Angke Muara Baru tidak Tidak Tahu
Gambar 2. Tingkat pelibatan nelayan terhadap kegiatan reklamasi 100% 80% 60% 40% 20% 0%
Cilincing
Muara Angke
Tidak Ada yang Mendukung Sebagian mendukung
Muara Baru
Sebagian kecil mendukung Tidak Tahu
Gambar 3. Tingkat dukungan terhadap kegiatan reklamasi Persepsi nelayan terhadap kegiatan reklamasi mengarah pada dampak negatif terhadap sumberdaya alam perikanan, daerah penangkapan ikan, jalur perahu, dan kegiatan budidaya. Menurut nelayan, dampak negatif paling utama adalah terhadap sumberdaya alam. Lebih dari 50% nelayan menyebutkan bahwa
108
Sampono et al.
Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. II No. 2 : 105-112. Desember 2012
reklamasi akan berdampak negatif terhadap sumberdaya alam. Hal ini senada dengan Widodo (2005) yang mengungkapkan bahwa salah satu dampak negatif dari reklamasi adalah meningkatnya tekanan terhadap keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam. Begitu pula dengan Suryadewi et al. (1998) yang menyatakan bahwa reklamasi akan memusnahkan ekosistem alami yang terkena dampak reklamasi. Musnahnya ekosistem alami akan berpengaruh pada produksi perikanan nelayan.
Gambar 4. Peta daerah reklamasi dan kegiatan perikanan Nelayan yang berpersepsi bahwa reklamasi akan berdampak terhadap daerah penangkapan ikan hanya sebesar 50%, karena daerah penangkapan ikan cukup jauh dari wilayah reklamasi. Namun persentase nelayan yang menyebutkan reklamasi berdampak terhadap jalur perahu lebih tinggi karena nelayan pasti akan melewati daerah reklamasi ketika akan melakukan operasi penangkapan ikan. Perubahan jalur kapal ini karena adanya daratan baru yang terbentuk sebagai hasil reklamasi di kawasan Teluk Jakarta. Reklamasi juga tidak akan banyak merugikan (berdampak negatif) pada sektor perikanan budidaya seperti dicerminkan oleh persepsi responden yang hanya kurang dari 27%. Persepsi nelayan tentang dampak kegiatan reklamasi terhadap daerah penangkapan ikan, jalur penangkapan ikan, kegiatan budidaya, dan sumberdaya alam disajikan pada Gambar 5.
Dampak Reklamasi Teluk Jakarta …..
109
Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. II No. 2 : 105-112. Desember 2012 Menguntun gkan 2%
Merugikan 22%
Menguntun gkan 13%
Tidak Tahu 27%
Tidak Tahu 26%
Merugikan 39% Tidak Berdampak 50%
(a)
Merugikan 26%
(c)
Sangat Merugikan 0%
(b) Membantu 1%
Tidak Tahu 27%
Tidak Tahu 72%
Tidak Berdampak 2%
Tidak Berdampak 21%
Merusak 55% Tidak Berdampak Sangat 16%
Merusak 1%
(d)
Gambar 5. Persepsi nelayan tentang dampak kegiatan reklamasi terhadap (a) daerah penangkapan ikan, (b) jalur kapal, (c) kegiatan budidaya, dan (d) sumberdaya alam Pola Adaptasi Nelayan Terhadap Kegiatan Reklamasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak reklamasi terhadap kegiatan penangkapan ikan ditanggapi secara variatif oleh nelayan. Namun sebagian besar nelayan menyebutkan akan pindah daerah penangkapan ikan jika hasil tangkapan menurun akibat adanya kegiatan reklamasi. Selain berpindah daerah penangkapan ikan, nelayan akan berusaha meningkatkan usaha penangkapan jika hasil tangkapannya menurun. Strategi lain yang mungkin dilakukan sebenarnya adalah melalui pemberdayaan istri nelayan. Penghasilan istri nelayan bahkan dapat menyelamatkan ekonomi keluarga (Zid 2011). Melalui pengembangan mata pencaharian alternatif, misalnya berjualan di pasar atau membuka warung diharapkan keluarga nelayan akan memperoleh penghasilan tambahan. Hal yang sama ditunjukkan jika nelayan tidak dapat melakukan penangkapan akibat kegiatan reklamasi, maka nelayan akan berpindah lokasi atau pindah ke perkampungan lain, namun tetap akan mencari ikan. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan tidak akan merubah pekerjaannya akibat hasil tangkapan menurun atau tidak dapat melakukan kegiatan perikanan akibat adanya kegiatan reklamasi. Nelayan akan tetap berusaha mencari ikan meskipun harus pindah daerah penangkapan ikannya atau harus pindah kampung. Wiyono (2008) juga menyebutkan bahwa nelayan relatif akan tetap bekerja sebagai nelayan meskipun hasil tangkapannya menurun. Pola adaptasi nelayan disajikan pada Gambar 6 dan 7.
110
Sampono et al.
Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. II No. 2 : 105-112. Desember 2012 60
Persentase (%)
50 40 30 20 10 0
Ganti Alat Tangkap
Ganti Lebih Sering Mengurangi Pekerjaan Mencari Ikan Frekuensi ke Laut
Pindah Lokasi
Tetap Tidak Mencari Ikan Menjawab
Persentase (%)
Gambar 6. Pola adaptasi nelayan jika hasil tangkapan menurun 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Tetap Mencari Ikan (Pindah lokasi)
Bertani
Berdagang Mencari Pulang pekerjaan kampung / lain Tidak bekerja
demo
Tidak Menjawab
Gambar 7. Pola adaptasi nelayan jika tidak dapat melakukan kegiatan perikanan KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah: 1) Tingkat pengetahuan nelayan di Cilincing, Muara Angke, dan Muara Baru tentang kegiatan reklamasi masih rendah. 2) Dampak negatif utama kegiatan reklamasi berdasarkan persepsi masyarakat adalah terhadap kondisi sumberdaya alam dan terganggunya jalur perahu. 3) Strategi adaptasi nelayan terhadap kegiatan reklamasi adalah akan tetap berusaha mencari ikan meskipun harus berpindah daerah penangkapan ikan atau harus pindah ke daerah lain karena keahlian itulah yang mereka kuasai.
Dampak Reklamasi Teluk Jakarta …..
111
Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. II No. 2 : 105-112. Desember 2012
DAFTAR PUSTAKA Berkel J. V, M. Jury, T. Foster, J. Dusik, B. Wiryawan, L. Salaki, N. Chans, and S. Pans. 2011. Jakarta Bay Recommendation Paper. DHI Water & Environement. Singapore. Prabowo H., H. Suprapto, and T. Oswari. 2008. Environmental Degradation and Fisherman Livelihoods in Jakarta Coastal Area. The 12th Biennial Global Conference of the International Association for the Study of the Commons, University of Gloucestershire, Cheltenham, UK. Suryadewi A, Edward, A Setiadi. 1998. Masalah Reklamasi Teluk Jakarta ditinjau dari Aspek Psikologi Lingkungan. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan Vol. 18 No. 2 : 145-163 Wagiu M. 2011. Dampak Program Reklamasi Bagi Ekonomi Rumah Tangga Nelayan di Kota Manado. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis Vol. VII No.1 : 12-16 Widodo L. 2005. Kecenderungan Reklamasi Wilayah Pantai dengan Pendekatan Model Dinamik. Jurnal Teknik Lingkungan P3TL-BPPT Vol. 6 No. 1 : 330338 Wiyono, E. S. 2008. Strategi Adaptasi Nelayan Cirebon, Jawa Barat. Buletin PSP vol XVII No. 3. Wunas S. Dan J.H. Lumain. 2003. Dampak Reklamasi Pantai Terhadap Perubahan Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat di Kota Manado. Jurnal Penelitian Enjiniring Vol. 9 No. 3: 325-330 Zid M. 2011. Fenomena Strategi Nafkah Keluarga Nelayan: Adaptasi Ekologis di Cikahuripan-Cisolok, Sukabumi. Jurnal Sosialita Vol. 9 No. 1 : 32-38
112
Sampono et al.
Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis
Volume 2 Nomor 1 Tahun 2013
DISTRIBUSI KARANG LUNAK DI PERAIRAN TELUK MANADO DENGAN PERBANDINGAN ANTARA KAWASAN NON REKLAMASI DAN REKLAMASI (Soft Coral Distribution In The Manado Bay Waters Between Non Reclamation And Reclamation Areas) Jerry M. Ch. Maramis1*,Fontje G. Kaligis1 dan Janny D. Kusen1 1
Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi, Manado * e-mail :
[email protected] Penelitian tentang distribusi karang lunak di Perairan Teluk Manado dengan perbandingan antara Kawasan Non Reklamasi dan Reklamasi telah dilakukan di Perairan Teluk Manado pada bulan Januari sampai dengan bulan Maret tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis karang lunak yang tersebar di perairan Teluk Manado khususnya di Pantai Kalasey serta mendeskripsikan kepadatan dan distribusi dari karang lunak.Pengambilan data dilakukan di perairan Malalayang pada daerah Non Reklamasi dan Reklamasi.Penelitian dimulai dengan melakukan survey awal di lokasi pengambilan data. Pada Setiap Lokasi penelitian mempunyai 3 stasiun pengamatan yaitu pada kedalaman 3 meter, 6 meter dan 9 meter, pengambilan data dilakukan dengan pencatatan bawah air menggunakan whotr plastic sheet dengan bantuan alat SCUBA dan kamera bawah air. Hasil analisis menunjukan bahwa kepadatan tertinggi terdapat pada daerah Reklamasi khususnya pada kedalaman 6 meter oleh Genus Xeniadengan 2 nilai (K) 25.50 ind/m dan (KR) 95.39%.Untuk pola penyebarannya pada dua lokasi penelitian adalah mengelompok. Kata Kunci: Karang lunak, kepadatan, distribusi. Study about soft coral distribution at Manado Bay, especially to compare their existence between Non-Reclamation and Reclamation areas were figured out from January to March, 2013. The aims of the study were to identified the soft corals species that distributed at Manado bay Waters, especially at Kalasey Beach, as well as to describe their density an distribution.Data gathering were worked out at Kalasey coastline zone to Non-reclamation and reclamation area respectively. The study were begin with preliminary survey at study site. At each study site has 3 observation station based on depth, those were 3m, 6m, and 9m deep. Data were noted by underwater white plastic sheet and underwater camera. Underwater work was supported by SCUBA diving.Analysis result has been shown that the highest density of soft coral were found at 2 Reclamation area especially in 6m deep by Genus Xenia within 25,50 ind./m of Density value and 95,39 % of Relative Density. The distribution pattern at both study sites were grouped. Keywords: Soft coral, density, distribution
PENDAHULUAN
(soft coral) dan gorgonia (sea fan). Ketiga kelompok ini secara sepintas mudah dibedakan, antara satu dengan lainnya, walaupun secara taksonomis sampai ke tingkat jenis mengalami banyak kesulitan (Colin dan Arneson, 1995 dalam Manuputty, 2008).
Istilah oktokoral diidentikkan sebagai nama umum karang lunak yang memiliki 8 tentakel, tapi sebenarnya dari kelompok oktokoral dimasukkan 3 kelompok besar yaitu pena laut (sea pen), karang lunak 63
Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis
Volume 2 Nomor 1 Tahun 2013
b. Prosedur Kerja Pengambilan data pada 2 lokasi berbeda pada awalnya dilakukan survey pada lokasi penelitian yaitu Pantai Malalayang di depan penginapan tepi pantai merupakan daerah yang masih alamiah atau belum direklamasi (Lokasi A) dan daerah reklamasi dekat Tugu Boboca (lokasi B). Pengambilan data menggunakan metode Transek Kuadran (Johan 2003). Pada tiap lokasi terdapat 3 stasiun pengamatan yaitu 3, 6 dan 9 meter, dimana masing-masing stasiun ditarik 3 transek dengan panjang transek 20 meter dengan jarak per transek pada tiap stasiun 5 meter dan masing-masing transek diletakkan 20 kuadran dengan ukuran 1x1 meter. Setelah kuadran diletakkan pada transek kemudian dilanjutkan dengan melakukan pengambilan data mengunakan kamera bawah air. Proses identifikasi selanjutnya dilakukan dengan buku identifikasi Gosliner et al. (1996) dan Allen et al. (1994) dengan berdasarkan gambar atau foto yang sudah diambil, kemudian setiap jenis karang lunak yang ditemukan dicatat jumlahnya.
Kelompok Oktokoral merupakan salah satu anggota Cnidaria yang juga berperan dalam pembentukan terumbu. Sama halnya dengan karang batu, bentuk tubuh anggota oktokoral berupa “polip” yaitu bentuk seperti bunga kecil, namun berbeda dengan karang batu dalam tekstur tubuhnya yang tidak memiliki kerangka yang keras tetapi berupa duriduri kecil dari senyawa kalsium karbonat, yang tertanam di dalam jaringan tubuhnya. Studi tentang Distribusi Karang lunak di Perairan Sulawesi Utara, khususnya di Perairan Teluk Manado masih kurang,sehingga penelitian ini dianggap penting untuk mendapatkan informasi ilmiah. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian pada dua lokasi, yaitu kawasan non-Reklamasi di Pantai Malalayang dengan posisi geografis pada kisaran 01⁰27’39’’LU-124⁰47’31’’BT dan kawasan Reklamasi di perbatasan Kota Manado Kecamatan Malalayang Desa Kalasey dengan posisi geografis pada kisaran 01⁰27’42’’LU-124⁰47’0’’BT Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara. a.
Gambar 1. Lokasi penelitian perairan Teluk Manado
64
Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis
c.
Volume 2 Nomor 1 Tahun 2013
Analisa Data
Lunak pada lokasi Non Reklamasi dengan jumlah total sebanyak 1863 Individu dan 6 Genera Karang Lunak pada lokasi Reklamasi dengan jumlah total 475 Individu (ind).Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa daerah Non Reklamasi memiliki jumlah Genera dan jumlah individu paling banyak dibandingkan dengan daerah Reklamasi (Tabel 1).Dari keseluruhan jenis karang lunak yang ditemukan terlihat bahwa Xenia yang paling mendominasi pada daerah Non Reklamasi dan Reklamasi. Genus Xenia merupakan jenis karang lunak yang paling banyak ditemui di dua lokasi dimana dengan total 1794 ind, kemudian diikuti oleh Klyxum sp (140 ind), Nephthea (122 ind), Lobophytum (95 ind), Sinularia (90 ind), Sarcophyton (77 Ind), Lemnalia (11 Ind), Paralemnalia (9 Ind).
Kepadatan (K) Karang Lunak Kepadatan spesies karang lunak dianalisis dengan menggunakan rumus kepadatan (Krebs 1999): K=
Keterangan : = Kepadatan suatu jenis (ind./m2) = Jumlah individu suatu jenis = Luas area (m2) Kepadatan Relatif(%) KR(%) =
100 ∑
Keterangan : = Jumlah individu suatu jenis N = Total seluruh individu.
Indeks Dispersi Morisita/ Distribusi
Tabel 1. Jumlah individu Karang Lunak pada Dua Lokasi Berbeda
∑ x2 − ∑ x I δ = n ( x )2 − x ∑ ∑
Lokasi
Dimana : Iᵟ = Distribusi spesies N= Total jumlah kuadran seluruhnya X= Jumlah individu padasetiap kuadran Untuk menentukan signifikan Iᵟsama dengan atau tidak sama dengan 1, maka digunakan kalkulasi sebagai berikut:
x 2 = I δ (∑ x − 1) + n − ∑ x
Non Reklamas i
1
Nephthea
113
9
122
2
Klyxum sp
95
45
140
3
Sinularia
56
34
90
4
Lobophytum
27
68
95
5
Paralemnalia
9
-
9
6
Sarcophyton
18
59
77
7
Xenia
1534
260
1794
8
Lemnalia
11
-
11
1863 Ind
475 Ind
2338
Jumlah
Dimana jika : Iᵟ= 1, distribusi spesies tersebut random/acak. Iᵟ>1, distribusi spesies tersebut berkelompok dan Iᵟ<1, distribusi spesies tersebut seragam.
Total Individ u
Genus
No
Reklamas i
Kepadatan Dari hasil yang didapat ternyata daerah Non Reklamasi lebih padat dibandingkan dengan daerah Reklamasi, khususnya pada kedalaman 6 meter di daerah Non Reklamasi kepadatan tertinggi oleh genus Xenia dengan nilai (K) 25.50 ind/m2 dan (KR) 95.39% dimana substrat serta intensitas cahaya yang masuk dan kadar salinitas pada kedalaman ini sangat mendukung
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari penelitian yang dilakukan ditemukan sebanyak 8 Genera Karang
65
Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis
Volume 2 Nomor 1 Tahun 2013
keberadaan genus ini. Substrat yang cocok pada genus ini adalah patahan karang keras yang pada umumnya mati serta bebatuan dan pasir.Xenia dapat di temukan pada rataan terumbu sampai pada kedalaman 10 meter (Manuputty 1996). Sedangkan kepadatan tertinggi di daerah Reklamasi terdapat pada kedalaman 3 meter oleh genus Xenia dengan nilai (K) 3.05 ind/m2 dan (KR) 68.54%, substrat menjadi salah satu faktor yang membuat genus ini padat. Faktor lingkungan yang sangat penting mempengaruhi penyebaran dan kepadatan karang lunak adalah interaksi faktor biologi-fisik. Hewan ini sering menyebar pada kedalaman dibawah surut terendah menghindari proses pengeringan (Bayer 1956 dalam Akbar 2013). Karang lunak tersebut selalu melimpah pada karang mati dan batuan dasar.Substrat kelihatannya merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan penyebaran karang lunak ini (Arafat 2009). Pada perairan dangkal, aksi gelombang juga merupakan faktor pembatas untuk karang lunak berkolonisasi, sedangkan pada perairan dalam, ketersediaan cahaya merupakan faktor pembatas karang lunak untuk berkolonisasi (Tursch dan Tursch 1982 ).
Tabel 2. Indeks Penyebaran pada Dua Lokasi Penelitian Berbeda. Distribusi Kedalaman 3 Meter Transek A Transek B Transek C
Non Reklamasi
Reklamasi
1.57 (Mengelompok) 1.81 (Mengelompok) 1.46 (Mengelompok)
2.80 (Mengelompok) 1.74 (Mengelompok) 3.79 (Mengelompok)
Distribusi Kedalaman 6 Meter Transek A Transek B Transek C
Non Reklamasi
Reklamasi
2.13 (Mengelompok) 1.53 (Mengelompok) 2.02 (Mengelompok)
1.75 (Mengelompok) 2.26 (Mengelompok) 1.82 (Mengelompok)
Distribusi Kedalaman 9 Meter Transek A Transek B Transek C
Non Reklamasi
Reklamasi
1.96 (Mengelompok) 1.51 (Mengelompok) 1.17 (Mengelompok)
1.58 (Mengelompok) 3.98 (Mengelompok) 3.33 (Mengelompok)
menyebar pada kedalaman di bawah surut terendah menghindari proses pengeringan (Bayer 1956 dalam Arafat 2009). Parameter Lingkungan Pengukuran parameter lingkungan pada Dua lokasi berbeda memliki suhu dengan kisaran 29-30 0C dengan kecerahan berkisar antara 10-15 meter.Untuk salinitas perairan dengan kisaran 30-35‰.Dari data yang diperoleh terlihat bahwa masing-masing lokasi tidak memiliki perbedaan yang mencolok antara lokasi satu dengan lokasi lainnya, dikarenakan daerah penelitian terletak ada satu perairan yang lokasinya tidak terlalu jauh. Kisaran suhu yang terdapat pada daerah penelitian ini dapat digolongkan dalam kondisi sangat baik, karena dalam kisaran 28-30 0C.Dari salinitas yang didapati di daerah penelitian dapat dikatakan bagus.Nybakken (1992)
Pola Sebaran/ Distribusi Krebs (1999) menyatakan ada tiga tipe pola distribusi yaitu acak, teratur dan mengelompok.Hasil analisis pola distribusi pada karang lunak di dua lokasi penelitian berbeda di tampilkan pada Tabel 7.Umumnya pola distribusi karang lunak pada daerah Non Reklamasi dan daerah Reklamasi adalah mengelompok (Iᵟ > 1). Ketersediaan substrat dan makanan di kedua lokasi penelitian ini yang kemungkinan menjadi penyebab karang lunak ini mengelompok.Faktor lingkungan yang sangat penting mempengaruhi penyebaran dan kelimpahan karang lunak adalah interaksi faktor biologi dan fisik serta tipe substrat. Hewan ini sering
66
Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis
Volume 2 Nomor 1 Tahun 2013
Kepulauan Seribu, Jakarta. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
menyatakan bahwa perkembangan terumbu yang paling optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 23-25 0C.Sedangkan intensitas cahaya berkurang sampai 15-20% dari intensitas permukaan sedangkan untuk kisaran salinitas yang baik bagi pertumbuhan terumbu karang adalah 30-35‰.
Gosliner, M, T. Behrens, W, D. Wiliams, C, G 1996. Coral reef animals of The Indo-Pacific : Animal life from Africa to Hawaii Exclusive of the vertebrates. Sea Challengers. Monterey, California. 32-50.
KESIMPULAN
Johan, O. 2003.Metode Survei Terumbu Karang Indonesia. Disampaikan pada Training Course: Karakteristik Biologi Karang. Yayasan TERANGI, 8 halaman.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu: 1. Terdapat 8 genera Karang Lunak pada lokasi Non Reklamasi dengan jumlah total sebanyak 1863 Individu dan 6 Genera Karang Lunak pada lokasi Reklamasi dengan jumlah total 475 Individu (ind). 2. Kepadatan tertinggi pada Daerah Non Reklamasi diperlihatkan oleh genus Xenia dengan nilai (K) 25.50 ind/m2 dan pada Daerah Reklamasi oleh Xenia dengan nilai 3.05 ind/m2. 3. Pola distribusi karang lunak yang ada pada dua lokasi penelitian berbeda ialah mengelompok.
Krebs,C.J. 1999. Methodology.Harper Publishers. Columbia.
Manuputty, A. E. W. 1996. Pengenalan Beberapa Karang Lunak (Octocorallia, Alcyonacea), Di Lapangan.Oseana, Volume XXI, Nomor 4.1-11. Manuputty, A. E. W. 2008. Beberapa Aspek Ekologi Oktokoral. Oseana, Volume XXXIII, Nomor 2, :33–42 Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis.. Penerbit. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Akbar,
Ecological Collins
M. 2013. Kaitan Kondisi Oseanografi Dengan Kepadatan Dan Keanekaragaman Karang Lunak Di Pulau Laelae, Pulau Bonebatang Dan Pulau Badi. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan. Universitas Hasanuddin, Makasar
Allen, G.R. Steene, R. 1994. Indo-Pacific Coral Reef Field Guide. Singapore. Arafat, D. 2009. Pertumbuhan Karang Lunak (Octocorallia:Alcyonacea) Lobophytum strictum, Sinularia dura dan Perkembangan Gonad Sinularia dura Hasil Fragmentasi Buatan Di Pulau Pramuka,
67
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 98-110 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose
Kajian Pola Arus Akibat Perencanaan Reklamasi Pantai Di Perairan Makassar Benny Tyson Siagian, Muhammad Helmi, Denny Nugroho Sugianto*) Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Jl. Prof. H. Soedharto, SH, Tembalang Semarang. 50275 Telp/Fax (024) 7474698 Email :
[email protected] ;
[email protected] Abstrak Makassar merupakan salah satu wilayah perairan yang sangat banyak digunakan untuk berbagai aktivitas masyarakat. Bertambah banyaknya aktivitas masyarakat di wilayah perairan Makassar membuat pemerintah merencanakan pembangunan berjangka dengan memanfaatkan potensi laut melalui reklamasi pantai yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan akan lahan yang semakin terbatas. Dalam rencana reklamasi tersebut membutuhkan pemahaman kondisi perairan dimana diketahui bahwa adanya reklamasi pantai akan menimbulkan perubahan ekosistem seperti gangguan lingkungan, erosi dan sedimentasi pantai serta perubahan pola arus. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah mengkaji pola arus akibat perencanaan reklamasi pantai di Perairan Makassar. Penelitian dilakukan dengan observasi lapangan selama 3 hari pada tanggal 19 - 22 April 2012 di Perairan Makassar, dengan titik lokasi 5,60430 Lintang Selatan dan 119,437190 Bujur Timur yaitu ± 4,67 Km dari pantai. Metode yang digunakan untuk analisis hasil penelitian adalah metode kuantitatif dengan bantuan software SMS (Surface Water Modelling System) yang menghasilkan peta pola arus. Berdasarkan hasil output baik dari data lapangan maupun hasil output model, diketahui bahwa arus di perairan Makassar ini merupakan arus pasut, hal ini dapat dibuktikan oleh karena besar kecepatan rata-rata arus pasut lebih besar dari pada kecepatan arus non pasut. Kecepatan arus berkisar antara 0,22 cm/det sampai 46,25 cm/det dengan kecepatan rata– rata 8,64 cm/det. Dengan arus tertinggi yaitu sebesar 46,25 cm/det dengan arah pergerakan 79,70 dan kecepatan arus terendah yaitu 0,22 cm/det dengan arah pergerakan 26,60. Kata kunci : Pola Arus, Reklamasi, SMS (Surface Modelling System). Abstract Makassar was one of territorial waters which used for various community activities. With the increase many of their activities in the area waters makassar makes government plan to build futures with potential of the sea through the reclamation which aims to fulfill the needs of the land which is getting limited. The reclamation plan requires an understanding of the conditions in which it is known that waters presence of the beach reclamation will cause changes in the ecosystem such as environmental disturbance, erosion and sedimentation patterns and changes the ocean current. The purpose of this study is to examine the flow patterns due to reclamation planning in the waters of Makassar. Research is done by the field observation during 3 days on the 19th-22nd April 2011 in the waters off Makassar, with point location 5,60430 South latitude and 119,437190 East longitude which is ± 4,67 Km from the shore. Methods that is used for the analysis of result from the research is quantitative methods with the help of SMS software (Surface Water Modelling System) that generates the map current patterns. Based on the result from both output, field data and output model result, it is discovered that the current in the waters of Makassar is categorized current of tidal, this can be proved by because the average speed current tidal is larger than the speed of the non current tidal. Current speed ranges from 0.22 cm/s until 46,25 cm/s with an average speed 8.64 cm/s. By the highest current amount 46,25 cm/s with the direction movement is 79,70 and the lowest current speed 0.22 cm/s with the direction of movement is 26,60. Keywords: Current, Reclamation, SMS (Surface Modelling System) *) Penulis Penanggung Jawab
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 99
1.
Pendahuluan
Wilayah perairan Makassar merupakan salah satu wilayah perairan yang sangat banyak digunakan untuk berbagai aktivitas masyarakat seperti industri, pusat pemerintahan, pertambakan, pemukiman, pariwisata dan pelabuhan. Berbagai aktivitas ini akan dapat menimbulkan kebutuhan akan lahan yang akan digunakan sebagai sarana dan prasarana untuk berbagai aktivitas masyarakat tersebut. Bertambah banyaknya aktivitas masyarakat di wilayah perairan Makassar membuat pemerintah merencanakan pembangunan berjangka dengan memanfaatkan potensi laut melalui reklamasi pantai yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan akan lahan yang semakin terbatas. Rencana reklamasi ini sangat membutuhkan pemahaman kondisi perairan dimana diketahui bahwa adanya reklamasi pantai akan menimbulkan perubahan ekosistem seperti gangguan lingkungan, erosi dan sedimentasi pantai serta perubahan pola arus. Kajian mengenai pola arus merupakan salah satu parameter hidro-oseanografi yang sangat penting untuk diteliti. Dimana dengan meneliti pola arus laut diharapkan hasil dari penelitian pola arus tersebut dapat memberikan informasi ilmiah mengenai seberapa besar dampak dari perencanaan reklamasi terhadap pola arus di perairan Makassar. Pengukuran arus di perairan Makassar dilakukan dengan survey lapangan berupa pengambilan data arus dengan menggunakan ADCP (Accoustic Doppler Current Profile). Nilai-nilai dari hasil perekaman ADCP (Accoustic Doppler Current Profile) nantinya akan diverifikasi dengan nilai dari pendekatan model. Pada penelitian ini digunakan pendekatan model matematis hidrodinamika dengan software SMS ( The Surface – Water Modelling System). Software SMS 8.1 digunakan sebagai alat untuk menganalisis pola arus di Perairan Makassar. Software ini juga mampu membuat model skala besar, grid yang kompleks (ribuan elemen) pada sebuah bidang yang tidak beraturan, serta akan memudahkan para penggunannya dalam menvisualisasikan dan memahami data secara numeris. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pola arus akibat perencanaan reklamasi pantai di Perairaan Makassar. Dan manfaat yang dihasilkan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi ilmiah mengenai seberapa besar dampak dari perencanaan reklamasi terhadap pola arus di perairan Makassar. 2. Materi dan Metode Penelitian 2.1 Materi Penelitian Materi yang digunakan pada penelitian ini meliputi data lapangan (data primer) dan data pendukung dari instansi terkait (data sekunder). Data primer yang digunakan adalah data hasil pengukuran 24 jam selama 3 hari dengan menggunakan ADCP ( Accoustic Doppler Current Profiler). Data primer yang diambil pada saat survey lapangan meliputi pengukuran arus, pasang surut, data bathimetri. Sedangkan untuk data sekunder meliputi peta bathimetri pantai Makassar. 2.2 Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah metode kuantatif yang merupakan metode ilmiah karena telah memenuhi kaidah – kaidah ilmiah konkret, obyektif, terukur, rasional, sistematis. 2.3. Metode Pengukuran 2.3.1 Metode Pengukuran Arus Pengukuran arus diambil dengan metoda Euler. Menurut Emery dan Thompson ( 1998) metode Euler dilakukan dengan pengamatan arus pada suatu posisi tertentu di suatu kolom air sehingga data yang didapat adalah data arus dalam suatu titik tertentu dalam fungsi waktu. Pengukuran arus dilakukan dengan menggunakan ADCP (Acoustic Doppler Current Profiler) SonTek Argonaut – XR dengan lokasi pengukuran berada sejauh 4,67 km dari garis pantai, yang diletakkan pada kedalaman 7,8 meter, dengan koordinat 5,60430 Lintang Selatan dan 119,437190 Bujur Timur. 2.3.2
Pengukuran Pasang Surut Pengukuran pasang surut dilakukan dengan menggunakan palem pasut. Lokasi pengukuran pasang surut berada pada lokasi yang mudah diamati, terlindung dari gelombang secara langsung dan aman. Lokasi pemgamatan adalah stasiun pasang surut pada koordinat : S. 5,1371° (Lintang Selatan) dan E. 119,394° (Bujur Timur). Pengamatan dilakukan setiap 1 jam sekali selama 15 x 24 jam.
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 100
2.4
Metode Penentuan Lokasi Sampling Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling adalah dengan menggunakan metode Area Sampling (Cluster Sampling) yaitu sebuah teknik sampling daerah untuk menentukan lokasi pengukuran bila daerah yang diamati sangat luas 2.5 2.5.1
Metode Pengolahan dan Analisis Data Data Arus Berdasarkan pengukuran data lapangan selama 3 x 24 jam dimana perekaman data terjadi setiap 10 menit, didapatkan nilai besar dan arah arus. Besar dan arah arus ini diuraikan komponennya menjadi komponen U (timur-barat) dan V (utara-selatan). Hasil dari perhitungan komponen U dan V ini kemudian di plot kedalam grafik dan vektor arus. Perangkat lunak yang digunakan dalam plot grafik ini adalah Current Rose, CDOseanography serta pengolahan dalam World Current Analysis. 2.5.1
Data Pasang Surut Analisa harmonik pasang surut diolah dengan menggunakan metode Admiralty. Tujuan dari perhitungan ini adalah untuk mendapatkan konstanta harmonik pasang surut yang meliputi Amplitudo (A), M2, S2, K1, O1, N2, K2, P1, M4, MS4, setelah hasil akhir ditentukan dari masing – masing komponen maka akan ditentukan nilai MSL, HHWL, LLWL. Berdasarkan analisa harmonik akan didapatkan nilai besaran amplitudo (A) dan beda fase (g0) pada masing – masing komponen pasang surut. Sehingga dapat ditentukan tipe pasang surut yang terjadi pada perairan tersebut dengan menghitung nilai Formzahl.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 101
3. 3.1
Hasil dan Pembahasan Hasil Pegukuran Arus Pengukuraan arus secara otomatis terekam oleh ADCP ( Accoustic Doppler Current Profiler) setiap 10
menit selama 3 x 24 jam yang dilakukan pada tanggal 19 - 22 April 2012 di Perairan Makassar, dengan titik lokasi 5,60430 Lintang Selatan dan 119,437190 Bujur Timur. ADCP ( Accoustic Doppler Current Profiler) diletakkan di kedalaman perairan 7,8 meter. Nilai kecepatan dan arah arus hasil pengamatan tersaji pada tabel 2. Kecepatan arus berkisar antara 0,1 cm/det sampai 47,9 cm/det. Data hasil pengukuran arus yang lebih lengkap tersaji pada lampiran. Tabel 2 . Data Kecepatan Arus Stasiun Pengamatan Perairan Makassar Kedalaman Kolom
Kecepatan Max
Kecepatan Min
Kec. Rata - Rata
Air Laut (Cell)
(cm/det)
(cm/det)
(cm/det)
(Cell 1)
45,2
0,3
7,37
(Cell 2)
44,5
0,1
8,79
(Cell 3)
47,9
0,1
9,83
(Cell 4)
37,2
0,1
8,39
Sumber : Data Hasil Penelitian, 2012 Berdasarkan pengolahan data arus menggunakan World Currents 1.03 diperoleh grafik pemisah arus (Gambar 2) dapat diketahui bahwa arus yang berperan pada lapisan ini adalah arus pasut. Sedangkan berdasarkan pengolahan arus menggunakan current rose diperoleh diagram yang menunjukkan dominansi arah arus (Gambar 35) bahwa arah arus dominan ke selatan dan dan timur laut.
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 102
Gambar 2. Karakteristik Kecepatan Arus Pasut dan Non Pasut
Gambar 3. Current Rose kecepatan dan Arah Arus Kedalaman Permukaan
Gambar 4. Current Rose kecepatan dan Arah Arus Kedalaman Tengah
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 103
Gambar 5. Current Rose kecepatan dan Arah Arus Kedalaman Dasar
3.2
Pasang Surut
Berdasarkan Pengolahan data selama 15 hari, dimulai tanggal 10 – 24 April 2012, tersaji hasil grafik pasang surut yang ditampilakan pada gambar
Gambar 6. Grafik Pasang Surut di Perairan Makassar Berdasarkan hasil pengolahan data pasang surut dengan metode Admiralty diperoleh gambaran bahwa nilai muka laut rerata (MSL) adalah 201 cm, muka laut rendah terendah (LLWL) adalah 162,6 cm dan nilai muka laut tinggi tertinggi (HHWL) adalah 240,1 cm. Dari nilai bilangan Formzahl (Nilai F = 1,83) maka dapat disimpulkan bahwa jenis pasut di sekitar lokasi pengamatan adalah tipe pasang surut campuran condong ke harian tunggal, dimana dalam sehari terjadi dua kali pasang dan surut tetapi dominasi tunggal dengan elevasi maksimum yang berbeda. 3.3
Hasil Output Model Surface Water Modeling System (SMS)
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 104
Suatu model digunakan sebagai pembanding untuk hasil data lapangan. Untuk memodelkan vektor arus dibuat suatu model dari software Surface Water Modeling System (SMS) dengan sub program ADCIRC (ADvanced CIRCulation Multi-dimensional Hydrodynamic Model) yang kemudian akan dibandingkan hasilnya dengan hasil dari data lapangan. Vektor arus dari hasil model dapat direpresentasikan dalam bentuk peta pola arus berdasarkan kondisi pasang surutnya yang terbagi atas dua bagian yakni peta pola arus sebelum adanya reklamasi (existing condition) dan peta pola arus setelah adanya reklamasi.
3.3.1
Peta Pola Arus pada Model Sebelum Adanya Reklamasi Pantai (Existing Condition)
Gambar 7. Peta Pola Arus Sebelum Reklamasi Pant Saat Kondisi Pasang Tertinggi
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 105
Gambar 8. Peta Pola Arus Sebelum Reklamasi Pantai Saat Kondisi Pasang Menuju Surut
Gambar 9. Peta Pola Arus Sebelum Reklamasi Pantai Saat Kondisi Surut Menuju Pasang
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 106
Gambar 10. Peta Pola Arus Sebelum Reklamasi Pantai Saat Kondisi Surut Terendah
3.3.2 Peta Pola Arus pada Model Setelah Adanya Reklamasi
Gambar 11. Peta Pola Arus Setelah Reklamasi Pantai Saat Kondisi Pasang Tertinggi
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 107
Gambar 12. Peta Pola Arus Setelah Reklamasi Pantai Saat Kondisi Pasang Menuju Surut
Gambar 13. Peta Pola Arus Setelah Reklamasi Pantai Saat Kondisi Surut Menuju Pasang
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 108
Gambar 14. Peta Pola Arus Setelah Reklamasi Pantai Saat Kondisi Surut Terendah
Berdasarkan hasil model yang bertujuan untuk menunjukkan pola arus dapat dijelaskan pola arus dan arahnya dalam bentuk peta pola arus yaitu pada saat pasang tertinggi, pada saat pasang menuju surut, pada saat surut terendah dan pada saat surut menuju pasang. Pada peta pola arus sebelum pengembangan reklamasi (existing condition) tersaji pada gambar 7 - 10. Dari gambar peta pola arus tersebut dapat dijelaskan bahwa vektor arus datang sejajar garis pantai. Kemudian pada model dapat disimpulkan bahwa dalam satu fasa pada saat pasang tertinggi arus bergerak sejajar garis pantai yaitu selatan menuju timur dan timur laut dengan kecepatan 5,2954 cm/det, pada saat pasang menuju surut yaitu pada selang arus cenderung bergerak dari arah timur laut kearah selatan dengan kecepatan arus adalah 8,0491 cm/det. Sedangkan pada saat kondisi surut yaitu 10 arus cenderung bergerak dari arah timur laut menuju selatan dan menyebar kearah barat daya dengan kecepatan arus adalah 4,8511 cm/det, dan pada saat kondisi surut menuju pasang yaitu arus cenderung bergerak dari selatan kearah timur laut dengan kecepatan arus adalah 5,4669 cm/det. Pada peta pola arus setelah reklamasi tersaji pada gambar 11 - 14. Dari gambar peta pola arus tersebut dapat dijelaskan bahwa vektor arus datang sejajar garis pantai. Kemudian pada model dapat disimpulkan bahwa dalam satu fasa pada saat pasang arus bergerak sejajar garis pantai yaitu selatan menuju timur laut dengan kecepatan 3,416 cm/det, pada saat pasang menuju arus cenderung bergerak dari arah timur laut kearah selatan dengan kecepatan arus adalah 3,9955 cm/det. Sedangkan pada saat kondisi surut arus cenderung bergerak dari arah timur laut menuju arah selatan dengan kecepatan arus adalah 1,2725 cm/det, dan pada saat kondisi surut menuju pasang arus cenderung bergerak dari arah selatan kearah timur laut dengan kecepatan arus adalah 7,3129 cm/det. Dominasi arus kearah selatan dan timur laut, hal tersebut telah dibuktikan dengan data-data dan peta pola arus pada model sesuai dengan kondisi sebenarnya dilapangan. 3.4 Persentase Arus Sebelum dan Setelah Adanya Reklamasi Pantai Persentase Arus sebelum dan setelah adanya reklamasi dapat dilihat pada tabel 2.
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 109
Posisi
Tabel 2 . Persentase Arus Sebelum dan Setelah Adanya Reklamasi Pantai Kecepatan Arus Kecepatan Arus Setelah Selisih Persentase Sebelum Reklamasi Adanya reklamasi Pantai (cm/det) (%) Pantai (cm/det) (cm/det)
Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5
2,6323 1,2421 0,3257 2,4765 0,8077
2,5097 1,062 0,291 2,2696 0,7874
0,1227 0,1801 0,0347 0,2069 0,0203
4,65937 14,49838 10,66331 8,354801 2,516538
Titik 6 Titik 7
11,907 0,9078
1,1252 0,8065
0,0655 0,1012
5,499286 11,15063
Titik 8 Titik 9 Titik 10
1,0739 3,2577 9,2358
1,0129 2,933 9,0307
0,0611 0,3246 0,2051
5,687522 9,965435 2,220497
Hasil dari perbandingan kecepatan arus sebelum dan setelah adanya reklamasi pantai menunjukkan terjadinya penurunan kecepatan arus ketika adanya reklamasi pantai dimana penurunan kecepatan arus yang terjadi sebesar 7,52 %. Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa dengan adanya reklamasi berpengaruh terhadap kecepatan arus walaupun kecepatan arus tidak berubah signifikan atau dengan kata lain adanya reklamasi hanya memiliki pengaruh yang sangat kecil dalam perubahan kecepatan arus. Kecepatan arus menurun atau menjadi rendah akibat terjadi pengurangan kecepatan arus dan dibelokkan arahnya oleh keberadaan bangunan pantai tersebut (Triatmodjo, 2008).
4.
Kesimpulan
1. Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan dominasi arus di Perairan Makassar adalah pola arus yang 2. 3.
dipengaruhi oleh pasang surut dengan kecepatan berkisar antara 0,22 cm/det sampai 46,25 cm/det dengan kecepatan rata – rata 8,64 cm/det dan dominasi arah arus mengarah ke selatan sebesar 17,36 % Adanya reklamasi mengakibatkan kecepatan arus mengalami penurunan kecepatan arus sebesar 7,52 %. Nilai verifikasi arus model adalah sebesar 23,99 %.
Daftar Pustaka Creswell, John W. 2002. Desain Penelitian. Jakarta: KIK Press Dahuri R. ett.al : 2001 Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Teratur. PT. Pradnya Paramitra Jakarta. Diposaptono, S, dan Budiman. 2006. Tsunami. Buku Ilmiah Populer Jakarta. Fathoni, A. 2006. Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. Rineka Cipta. Bandung 21 hlm. Hutabarat, Sahala dan Evans. Stewart M. 2008. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia Press : Jakarta Pandoe, W. Widodo. 2004. Extended Three Dimensional ADCIRC Hydrodynamic Model to Include Baroclinic Flow and Sediment Transport. Texas A & M University. Texas.
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 110
Poerbandono dan E. Djunasjah. 2005. Survei Hidrografi. Refika Aditama, Bandung, 166 hlm. RD Instrument. 1996. Accoustic Doppler Current Profiler:Priciples of operation a practical primer. 9855 Businesspark Ave. Sandiego, California. Stewart, R.H. 2006. Introduction to physical oceanography. Department of Oceanography, Texas A & M University. 330 pp. Supangat, A., dan Suzzana. 2001. Pengantar Oseanografi. Balai Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Triadmodjo, B. 1996. Teknik Pantai, Beta Offset, Yogyakarta. Triadmodjo, B. 1999. Teknik Pantai Edisi Kedua. Beta Offset, Yogyakarta. Triatmodjo, B. 2008. Pelabuhan. Cetakan ke 8. Beta Offset. Yogyakarta. Wyrtki, K. 1961. Phyical Oceanography of the South East Asian Waters. Naga Report Vol. 2 Scripps, Institute Oceanography, California.
Buletin Oseanografi Marina Oktober 2012. vol. 1 1 9
Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Jl. Prof. H. Soedharto, SH, Tembalang Semarang. 50275 Telp/Fax (024) 7474698 Email : *
[email protected]
Arus merupakan parameter penting dalam proses pengangkutan pasir dari mulut teluk menuju wilayah hulunya, kolam pelabuhan dan estuaria. Arus di Pantai Marina, Ancol memperlihatkan pola yang kompleks dan lebih banyak dipengaruhi oleh angin, meskipun bangunan dan reklamasi pantai juga turut mempengaruhi. Secara keseluruhan terbentuknya arus di Pantai Marina, Ancol merupakan resultan dari beberapa jenis arus seperti arus yang dibangkitkan oleh pasang surut, angin dan arus sejajar pantai. Pemisahan arus menggunakan software World Current 1.03 didapatkan hasil kecepatan arus total = 2,67 m/det, arus pasut = 0,41 m/det, dan arus residu = 2,64 m/det. Hubungan antara fluktuasi arah dan kecepatan arus dengan pola pasang surut yang terjadi dapat ditunjukkan dengan pendekatan model menggunakan software SMS versi 8.0 dan 8.1. Hubungan ini dapat dilihat dengan adanya pergerakan arah arus yang cenderung bolakbalik, yaitu pada saat kondisi pasang arah arus cenderung ke arah Timur Laut – Barat dan pada saat surut arah arus ke arah Barat –Timur laut dengan kecepatan arus 0,004 m/det – 0,13 m/det. Hasil simulasi model pola arus untuk rencana reklamasi pantai menunjukan tidak adanya perubahan pola arus yang signifikan dibandingkan dengan pola arus di pantai Marina, Ancol sebelum reklamasi pantai, maka dapat disimpulkan bahwa dengan adanya rencana reklamasi pantai di Ancol, tidak berpengaruh terhadap pola arus di pantai Marina, Ancol. : The current is an important parameter in the process of transporting sand from the mouth of the bay toward the upper reaches, pool harbors and estuaries. The pattern of Marina Beach current shows a complex pattern, which is influenced by wind, eventhough the building and coastal reclamation also take a part to the current pattern. In general, the current pattern in the Marina Beach, Ancol is constructed by the resultant of the several current such as tidal current, wind, and long shore current. Current separation used World Current 1.03 and result the speed of observed current = 2,67 m/s, ebb current = 0,41 m/s, and residual current = 2,64 m/s. The relationship between the fluctuations of direction and current speed of tidal flow patterns, can be demonstrated by the application of the SMS model approach with current speed 0,004 0,13 m/s. This relationship can be seen by the existence of the current movement, which flow from northeast to west during the high tide, and directed from west to northeast during the ebb tide. The model simulation for the coastal reclamation plan shows that there is no significant current pattern change at Marina beach before and after reclamation plan, therefore we can concluded that the reclamation plan will not influence the current pattern in Marina Beach, Ancol. :
Wilayah pantai merupakan daerah yang sangat intensif dimanfaatkan untuk kegiatan manusia, seperti sebagai kawasan pusat pemerintahan, pemukiman, industri, pelabuhan, pertambakan, pertanian/perikanan, pariwisata dan sebagainya. Berbagai kegiatan
*) Corresponding author
[email protected]
tersebut dapat menimbulkan peningkatan kebutuhan akan lahan, prasarana dan sebagainya, yang selanjutnya akan mengakibatkan timbulnya masalahmasalah baru seperti erosi, tanah timbul akibat sedimentasi dan lainlain (Triatmodjo, 1999). Untuk merencanakan pembangunan wilayah
http ://ejournal.undip.ac.id/index.php/buloma
Diterima/Received : 06072012 Disetujui/Accepted : 10082012
Buletin Oseanografi Marina Oktober 2012. vol. 1 1 9
2
pesisir diperlukan adanya kajiankajian mengenai kondisi perairan (biotik dan abiotik), sehingga dampakdampak negatif dapat diminimalisir. Di Pulau Jawa, pembangunan wilayah pesisir banyak dilakukan di Pantai Utara Jawa (Pantura). Hal ini dikarenakan, ancaman perubahan kondisi perairan dan pantai Pantura lebih sedikit bila dibandingkan dengan Pantai Selatan. Ancaman tersebut antara lain tsunami, gempa tektonik, dinamika perairan yang besar dan lainlain. Selain itu, wilayah pantura sering dijadikan sebagai pusat kegiatan pemerintahan dan aktivitas masyarakat, seperti Jakarta, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Surabaya, dan lain sebagainya (Marganingrum, 2004). Pemerintah merencanakan pembangunan berjangka dengan memanfaatkan potensi laut melalui reklamasi pantai terutama Pantai Utara Laut Jawa untuk mengatasi kekurangan lahan. Pantai Marina Ancol dipilih sebagai lokasi karena terletak tidak jauh dari pusat kota DKI Jakarta dan sesuai dengan rencana induk Pengembangan Ancol (Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1995, tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta). Reklamasi di Pantai Marina Ancol dimaksudkan untuk memperluas wilayah perumahan dan bisnis. Berdasarkan data dari Dinas Pertanahan dan Pemetaan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta mengenai peta pengukuran areal kerja reklamasi pantai utara Jakarta, diketahui luas area reklamasi pantai di Ancol adalah 625 Ha, dengan batas areal kerja sebelah utara dan barat adalah Laut Jawa, sebelah selatan adalah Ancol dan PT. Asahimas, dan sebelah timur PT. Manggala Krida Yudha. Taman Impian Jaya Ancol dipilih dalam rencana induk tersebut dengan pertimbangan akses mudah, kondisi lingkungan menunjang, dan keadaan topografi lingkungan yang indah, potensi yang dimiliki oleh seperti telah tersedianya fasilitas pendukung sarana rekreasi. Dengan berpijak pada kebijaksanaan peningkatan daya guna tanah pada area terbuka hijau dan rekreasi
sampai pada tahun 2005 serta dengan memperhatikan strategi pengembangan Timur – Barat serta kondisi fisik wilayah DKI Jakarta maka dalam rangka penerapan kebijakan optimasi pemanfaatan Ruang Tata Hijau (RTH) yang masih tersedia, serta usaha pemerataan penyebaran RTH maka lahan yang harus ditetapkan penggunaannya sebagai RTH adalah daerah pantai Jakarta atau tepatnya pada Wilayah Pengembangan (WP) Barat Laut dengan tujuan sebagai daerah pengamanan dari daerah pantai (sebagai penahan intrusi air laut dan pengamanan dari kemungkinan abrasi pantai). Materi yang digunakan pada penelitian ini meliputi data lapangan (data primer) dan data pendukung dari instansi terkait (data sekunder). Data primer meliputi pengukuran arus, gelombang dan pasang surut. Sedangkan untuk data sekunder meliputi data pasang surut (Periode Bulan MeiJuni 2010, yang didapatkan dari Dinas HidroOseanografi) dan data angin (Periode tahun 2010 yang diperoleh dari BMKG) dan peta batimetri Teluk Jakarta (skala 1:50.000 yang dikeluarkan oleh Dinas HidroOseanografi tahun 2005) yang didapat dari hasil pengukuran sebelumnya yang selanjutnya akan digunakan sebagai data pendukung ataupun sebagai verifikasi . Penentuan lokasi sampling menggunakan metode Area Sampling ( ) yaitu sebuah teknik sampling daerah untuk menentukan lokasi pengukuran bila daerah yang diamati sangat luas. Dengan metode ini, peneliti cukup meneliti sebagian dari daerah tersebut agar parameter yang diperoleh dapat menggambarkan karakteristik parameter yang diwakili secara representatif, dimana pemilihannya harus memperhatikan syaratsyarat yang harus dipenuhi secara metodologis (Fathoni, 2006). Pengambilan
Kajian Pola Arus Di Pantai Marina Ancol dan Pengaruhnya Terhadap Rencana Reklamasi. (Dwi Yuliasari, Muhammad Zainuri, Denny Nugroho Sugianto*)
Buletin Oseanografi Marina Oktober 2012. vol. 1 1 9 ) dengan modul ADCIRC ( data menggunakan metode pengukuran titik tunggal, dimana dengan satu titik itu dapat ). mewakili luasan daerah penelitian. Pengukuran arus dilakukan dengan Penelitian ini bertujuan untuk Metode Euler (Emery dan Thompson, 1998) mengkaji dan mengetahui pola arus di Pantai yaitu pengamatan arus pada suatu posisi Marina, Ancol sebelum dan setelah reklamasi tertentu di suatu kolom air sehingga data yang pantai. Ditinjau dari kondisi geografisnya yang di dapat adalah data arus dalam suatu titik berdekatan dengan daratan, arus di Pantai tertentu dalam fungsi waktu. Pengukuran arus Ancol dipengaruhi terutama oleh pasut dan dilakukan dengan menggunakan ADCP angin. Kondisi angin yang berbalik arah dua ( ) SonTek kali dalam setahun berperan memperkuat arus ArgonautXR dengan lokasi pengukuran yang searah dengan arah angin dan berada sejauh 1 km dari garis pantai, yang memperlemah arus yang berlawanan arah diletakkan pada kedalaman 6 meter, dengan dengan arah angin. Kontribusi dari faktor koordinat S : 06° 06' 31.0" (Lintang Selatan) lainnya seperti gradien tekanan dan perbedaan dan E : 106° 49' 36.50" (Bujur Timur). Data densitas untuk perairan Utara Laut Jawa, Arus yang didapat kemudian di plot kedalam khususnya di sekitar Pantai Marina, Ancol, grafik dan vector arus menggunakan Jakarta pada umumnya kecil. serta pengolahan dalam . Hasil pengukuran arus pada tanggal 29 Mei – 1 Juni 2010, di Pantai Marina, Ancol Pengukuran pasang surut dilakukan yang terekam secara otomatis setiap 10 menit dengan menggunakan palem pasut pada selama 3 x 24 jam untuk satu stasiun. Data koordinat : S. 06° 07' 03,3” (Lintang Selatan) yang diperoleh diatur menjadi beberapa dan E. 106° 49' 43,9” (Bujur Timur). Data untuk mengetahui profil kecepatan dan yang telah didapat kemudian dianalisa dengan arah arus. Tabel 1 menunjukkan data metode admiralty untuk mendapatkan kecepatan arus di Pantai Marina Ancol pada karakteristik parameter pasang surut yang tiap Setiap mewakili kedalaman meliputi 9 (sembilan) konstanta harmonis kolom air sekitar 1,0 meter untuk stasiun 1, pasut (M2, S2, N2, K2, K1, O1, P1, M4, MS4) dan dengan kedalaman 6 meter maka terbagi tipe pasut, MSL, LLWL dan HHWL. menjadi 4 , yaitu : 1 = 4 – 4,7 meter, 2 = 3 meter, 3 = 2 meter, 4 = 1 – Pola arus dimodelkan menggunakan 1,2 meter. SMS ( Data Kecepatan Arus di Stasiun Arus Pantai Marina, Ancol RataRata () 14,1 0,2 4,67 (Cell 1) 19,3 0,3 5,99 (Cell 2) 15,8 0,1 4,37 (Cell 3) 20,2 0,1 6,62 (Cell 4) 51 0,7 18,29
3
Pola arus dimodelkan dengan menggunakan SMS, dengan memasukkan 2 kondisi/skenario yaitu ketika sebelum
reklamasi (ditunjukkan oleh gambar 1) dan setelah reklamasi pantai (ditunjukkan oleh gambar 2), tujuannya adalah untuk mengetahui pola arus di Pantai Marina Ancol ketika
Kajian Pola Arus Di Pantai Marina Ancol dan Pengaruhnya Terhadap Rencana Reklamasi. (Dwi Yuliasari, Muhammad Zainuri, Denny Nugroho Sugianto*)
Buletin Oseanografi Marina Oktober 2012. vol. 1 1 9 sebelum dan setelah adanya reklamasi pantai. Hasil analisis dari pola pasang surut ketika pasang tertinggi ( ) menunjukkan bahwa arus bergerak ke arah timur laut – barat
(Gambar 1a dan 2a) dan saat surut terendah arus bergerak ke arah barat timur laut yang ditunjukkan oleh Gambar 1b dan 2b.
Pola arus Pantai Marina, Ancol saat pasang () pada tanggal 12 Juni 2010 pukul 10.00
Pola arus Pantai Marina, Ancol saat surut () pada tanggal 12 Juni 2010 pukul 01.00
4
Pola arus Pantai Marina, Ancol saat pasang () pada tanggal 12 Juni 2010 pukul 10.00 Kajian Pola Arus Di Pantai Marina Ancol dan Pengaruhnya Terhadap Rencana Reklamasi. (Dwi Yuliasari, Muhammad Zainuri, Denny Nugroho Sugianto*)
Buletin Oseanografi Marina Oktober 2012. vol. 1 1 9
Pola arus Pantai Marina, Ancol saat surut () pada tanggal 12 Juni 2010 pukul 01.00
5
Secara keseluruhan kondisi pola dan arah arus sebelum reklamasi pantai, ketika pasang purnama dan pasang perbani tidak mengalami perubahan pola arus yang signifikan, hasilnya menunjukkan pola dan arah yang sama, begitu pula dengan hasil model pola arus setelah reklamasi pantai yang juga menunjukkan pola yang sama ketika pasang purnama dan juga pasang perbani, hanya kecepatannya saja yang berbeda, hal ini dikarenakan tunggang pasang saat purnama ( ) lebih besar daripada tunggang pasang saat pasang perbani (). Kecepatan arus pasang surut maksimum terjadi pada saatsaat antara pasang dan surut, ketika posisi bumibulanmatahari kirakira berada pada satu garis lurus, gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi saling memperkuat. Kondisi ini menyebabkan naiknya elevasi muka air laut, sehingga tunggang pasutnya juga semakin besar, hal inilah yang menyebabkan kecepatan arus pada saat itu semakin besar. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dengan adanya rencana reklamasi pantai di Ancol, Jakarta, tidak akan berpengaruh terhadap pola arus di Pantai Marina, Ancol. Karena arah atau pola arus tidak dapat langsung berubah hanya karena satu faktor saja (dalam hal ini adalah rencana reklamasi
pantai), arah arus hanya akan berubah di ujung titik reklamasi pantai, di titik itu arah arus akan berbelok mengikuti bentuk reklamasi pantainya dan tetap bergerak mengikuti pola arus sebelum reklamasi pantai. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya arus dapat ditimbulkan oleh tiupan angin, pasang surut, dan perbedaan densitas air laut. Dengan adanya rencana reklamasi pantai tersebut, tidak akan merubah pola angin, pasang surut, maupun densitas air laut, sehingga tidak merubah pola arus di Pantai Marina, Ancol. Periode gelombang yang tercatat di Pantai Marina, Ancol berkisar antara 5,0 – 7,7 detik dengan periode gelombang signifikan 6,4 detik, dimana periode gelombang terpanjang terjadi pada tanggal 29 Mei 2010 pukul 17.40 WIB.Tabel 2 menunjukkan data hasil perhitungan gelombang. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa gelombang di Pantai Marina, Ancol pada saat pengukuran termasuk gelombang kecil atau tenang. Kondisi ini dikarenakan pada saat pengukuran angin yang bertiup di sekitar Pantai Marina Ancol cukup tenang, selain itu adanya bangunanbangunan pelindung pantai disekitar Pantai Marina, Ancol dapat mempengaruhi karakteristik gelombang yang ada.
Kajian Pola Arus Di Pantai Marina Ancol dan Pengaruhnya Terhadap Rencana Reklamasi. (Dwi Yuliasari, Muhammad Zainuri, Denny Nugroho Sugianto*)
Buletin Oseanografi Marina Oktober 2012. vol. 1 1 9 Hasil Perhitungan Gelombang Ho Lo To αo Hb (m) (m) (det) (o) (m) H max H signifikan H min
Lb (m)
αb ( o)
(m/det)
0,96 267,7 13,1 0,35 113,8 8,54
45 1,69 1,27 98,10 45,01 0,151 45 0,57 0,43 61,88 45,01 0,075
0,2
45 0,35 0,27 56,99 45,01 0,039
99,8
8
Dari data hasil perhitungan diketahui, L = 61,88 meter dan d = 6 meter, maka d/L = 0,097, sehingga termasuk klasifikasi gelombang laut transisi. Berdasarkan grafik hasil pemisahan arus total menjadi arus pasut dan arus non pasut (Gambar 1), menunjukkan bahwa arus yang paling dominan di pantai Marina, Ancol adalah arus non pasut. Dengan diketahui kedalaman gelombang pecah sebesar 1,27 meter dengan sudut datang gelombang 45o, dari data tersebut kita dapat mengetahui bahwa arus non pasut yang dominan terjadi di Pantai Marina, Ancol adalah l atau arus sejajar pantai dengan kecepatan 7,5 cm/det. Arus ini disebabkan oleh gelombang ()yang memasuki pantai dan membentuk sudut terhadap garis pantai, gelombang yang mengalami disipasi (gesekan), dan gelombang pecah yang merubah dari transfer energi ke transfer massa. Arus sejajar pantai dapat didefinisikan sebagai arus di daerah yang bergerak sejajar pantai akibat pengaruh gelombang yang mengalami dissipasi atau
6
db (m)
pecah dimana arah datang gelombang membentuk sudut terhadap garis pantai. Arus ini merupakan arus non pasut, akan tetapi arus non pasut tidak merubah pola arus pasut. Pola arus berbentuk ellips dan arus bolak balik masih tetap terlihat walaupun dipengaruhi oleh arus nonpasutnya. Meskipun demikian arus non pasut merubah kecepatan arus pasut. Apabila arus non pasut searah dengan arus pasutnya maka kecepatan arus akan bertambah sesuai dengan kekuatan arus non pasutnya, sebaliknya bila arus non pasut berlawanan dengan arus pasut maka kecepatan arus pasutnya berkurang sesuai dengan kekuatan arus non pasutnya. Berdasarkan konstanta pasang surut yang dikeluarkan oleh Jawatan Hidro Oseanografi TNI AL untuk perairan Tanjung Priok Jakarta (Tabel 3), serta pengolahan data selama 30 hari, dimulai dari tanggal 16 Mei – 15 Juni 2010, tersaji hasil grafik pasut ditampilkan pada gambar dibawah
Grafik Pasang Surut di Pantai Marina, Ancol. Kajian Pola Arus Di Pantai Marina Ancol dan Pengaruhnya Terhadap Rencana Reklamasi. (Dwi Yuliasari, Muhammad Zainuri, Denny Nugroho Sugianto*)
Buletin Oseanografi Marina Oktober 2012. vol. 1 1 9 Komponen Konstanta pasut di Pantai Marina, Ancol Komponen M2 S2 N2 K2 K1 O1 P1 M4 MS4 Konstanta So Pasut Amplitudo (cm) 60,1 5,1 3,3 0,9 0,8 28,9 11,8 9,5 0,9 1,0 Fase (deg 360o) 36,8 259,2 200,4 259,2 335,3 304,1 335,3 223,10 248,2 harian tunggal ( ) adalah dimana dalam satu hari terjadi satu kali pasang dan satu kali surut.
Berdasarkan analisa pasang surut yang telah dilakukan, diperoleh hasil : 1. MSL (Duduk tengah) : MSL = 60,1 cm 2. Lowest Low Water Level (LLWL) = 0,7 cm 3. Highest High Water Level (HHWL) = 119,5 cm 4. Tipe Pasut : F = 4,85 Prediksi pasut dilakukan untuk mengetahui tingkat keakurasian data lapangan yang dihasilkan, dan menunjukkan bahwa data yang dihasilkan dari pengamatan lapangan termasuk baik. Tipe pasut di Pantai Marina, Ancol adalah harian tunggal. Menurut Triatmodjo (1999), pasang surut
Verifikasi dilakukan terhadap data arus pada lokasi pengukuran selama 3 hari dengan data arus hasil pemodelan dengan menggunakan SMS. Selanjutnya data arus dari model SMS di dari hasil selama 15 hari yang di dari fort 64 yang berasal dari yang sama dengan *. pada SMS. Hasil verifikasi disajikan pada Gambar 4.
Grafik Hasil Verifikasi Arus di Pantai Marina, Ancol Menurut Makridakis (1999) verifikasi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana tingkat keakuratan model bila dibandingkan dengan data lapangan. Koreksi kesalahan rata rata ( ) dihitung dengan persamaan
:
=
− 100%
dan
= ∑
didapatkan hasil bahwa nilai
MRE hasil model dan hasil data lapangan untuk arus adalah 24,89 %. Hal ini dikarenakan arus model yang dihasilkan merupakan arus pasut, sedangkan untuk arus lapangan merupakan arus total, yaitu gabungan dari arus pasut dan arus non pasut.
7 Kajian Pola Arus Di Pantai Marina Ancol dan Pengaruhnya Terhadap Rencana Reklamasi. (Dwi Yuliasari, Muhammad Zainuri, Denny Nugroho Sugianto*)
Buletin Oseanografi Marina Oktober 2012. vol. 1 1 9 Hasil dari simulasi model arus dapat dipergunakan sebagai data dasar untuk rencana reklamasi pantai, agar dapat mengurangi dampak negatif karena adanya reklamasi pantai yang akan dilakukan. Sebelum melakukan reklamasi pantai, banyak faktor yang harus diperhatikan, selain pola arus dan gelombang, juga harus dilakukan analisis pola sedimentasi untuk mengetahui perubahan garis pantai yang akan terjadi, serta mengetahui lokasi–lokasi yang kemungkinan akan terjadi abrasi maupun akresi, dengan mengambil sampel sedimen ( dan ), sehingga kita dapat mengetahui banyaknya sedimen yang datang dan sedimen yang terbawa arus ke laut. Menurut Lakhan dan Trenhaile (1989) data keluaran simulasi pesisir tidak hanya terkait dengan fluktuasi acak, tetapi juga berbagai derajat kebenaran. Hal ini disebabkan karena model simulasi selalu memasukan simplifikasi dan selalu mengurangi beberapa hal dari keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu tidak ada satu modelpun yang tepat benar saat dihubungkan dengan keadaan yang sebenarnya, dimana model simulasi diperbolehkan untuk disusun dan harus dilengkapi dengan berbagai derajat kebenaran.
8
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan adanya rencana reklamasi pantai tidak merubah pola arus di Pantai Marina Ancol, karena pada dasarnya arus dibangkitkan oleh faktor lain (di luar adanya segala bentuk proses pantai buatan seperti reklamasi pantai) seperti tiupan angin, pasang surut, dan perbedaan densitas. Hasil pendekatan model sebelum reklamasi pantai menunjukkan saat pasang arus bergerak dari Timur Laut – Barat dengan kecepatan 0,123 m/det dan saat surut arus bergerak dari Barat – Timur Laut dengan kecepatan 0,005 m/det. Sedangkan untuk hasil pendekatan model setelah reklamasi pantai, saat pasang arus bergerak dari Timur Laut – Barat dengan kecepatan 0,130 m/det dan saat surut arus
bergerak dari Barat – Timur Laut dengan kecepatan 0,004 m/det. Penulis menyampaikan terimakasih kepada semua pihak dan instansi yang telah memberikan bantuan dan fasilitas dalam penulisan jurnal ilmiah ini Emery, W. J. and Thomson, R. E. 1998. Data Analysis Methods in Physical Oceanography. Boulder, Colorado and Sidney, BC. Fathoni, A. 2006. Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. Rineka Cipta. Bandung. Lakhan, V. C. and A. S. Trenhaile. 1989. Applications in Coastal Modeling. Elsener Science Publisher, Netherlands. Makridakis,S. . 1999. Forecasting Methods and Applications. United States of America Marganingrum, D. 2004. Tinjauan Karakteristik Wilayah Pantai Utara dan Pantai Selatan Jawa Barat dalam Rangka Pengelolaan Kawasan Pesisir Terpadu. http://docs.google.com/viewerkatalog.p dii.lipi.go.id/index.php.pdf (13 April 2010). Triatmojo, B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset. Yogyakarta.
Kajian Pola Arus Di Pantai Marina Ancol dan Pengaruhnya Terhadap Rencana Reklamasi. (Dwi Yuliasari, Muhammad Zainuri, Denny Nugroho Sugianto*)
Buletin Oseanografi Marina Oktober 2012. vol. 1 63 74
Karakteristik Pola Arus Dalam Kaitannya dengan Kondisi Kualitas Perairan dan Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Kawasan Taman Nasional Laut Karimunjawa. (Muh. Yusuf, Gentur Handoyo, Muslim, Sri Yulina Wulandari)
DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES
Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 50-57
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares KELIMPAHAN HEWAN MAKROBENTHOS PADA DAERAH YANG TERKENA REKLAMASI DAN TIDAK TERKENA REKLAMASI DI PANTAI MARINA, SEMARANG Tiara Surya Dewi, Ruswahyuni 1, Niniek Widyorini Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah – 50275, Telp/Fax. +6224 7474698 ABSTRAK Jumlah penduduk Indonesia yang besar tidak seimbang dengan luas lahan yang tersedia untuk berbagai kegiatan penduduk, membuat pemerintah menerapkan kebijakan untuk melakukan reklamasi pantai agar kebutuhan lahan penduduk terpenuhi. Reklamasi merupakan proses pembentukan lahan baru di daerah pesisir dengan tujuan menjadikan kawasan berair yang rusak atau tak berguna menjadi lebih baik dan bermanfaat. Kegiatan reklamasi memiliki dampak positif dan negatif bagi ekosistem perairan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: kelimpahan hewan makrobenthos pada daerah yang terkena reklamasi (A) dan daerah yang tidak terkena reklamasi (B) dan dampak reklamasi terhadap kelimpahan hewan makrobenthos di Pantai Marina Semarang. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2013 di Pantai Marina Semarang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode observasi. Metode sampling yang digunakan adalah metode sistematik sampling. Pengambilan sampel dilakukan di 2 lokasi, dimana pada masing-masing lokasi ditentukan 7 titik sampling dan setiap titik sampling dilakukan 3 kali ulangan. Jarak antara satu titik sampling ke titik sampling lainnya adalah 5 meter. Kelimpahan hewan makrobenthos yang diperoleh di lokasi A adalah 54 ind/m3 dan terdiri dari 10 genera dengan nilai indeks keanekaragaman (H’) sebesar 1,06 dan nilai indeks keseragaman (e) 0,65. Kelimpahan hewan makrobenthos di lokasi B adalah 125 ind/m 3 terdiri dari 14 genera dengan nilai indeks keanekaragaman (H’) sebesar 2,55 dan nilai indeks keseragaman (e) 0,96. Kesimpulan dari penelitian ini adalah daerah yang tidak terkena reklamasi memiliki kelimpahan jenis, indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman yang lebih tinggi daripada daerah yang terkena reklamasi. Kata kunci
: Reklamasi, Hewan Makrobenthos, Kelimpahan
ABSTRACT The population of Indonesia is disproportionate to the available land area for various activities of the population, making the government implemented a policy to conduct land reclamation population that needs are met. Reclamation is the process of formation of new land in the coastal strip with the aim of making a watery area damaged or useless for the better and beneficial. Reclamation activities have positive and negative impacts to the aquatic ecosystem. This study aims to determine: makrobenthos animal abundance in areas that have been reclaimed and areas that have not been reclaimed and the reclamation impact on abundance animal makrobenthos in Marina Semarang. The study was conducted in December 2013 at the Marina Beach in Semarang. The method used is the method of observation. The sampling method used is the method of systematic sampling. Sampling was conducted on animals makrobenthos 2 locations, where at each sampling point locations determined 7 and each sampling point 3 replications. The distance between the sampling point to another sampling point is 5 meters. Makrobenthos abundance of animals obtained at the location A is 54 ind / m3 0.05 and consists of 10 genera of the value of diversity index (H ') of 1.06 and uniformity index value (e) 0.65. Makrobenthos abundance of animals at the site B is 125 ind / 0.05 m3 consists of 14 genera of the value of diversity index (H ') of 2.55 and uniformity index value (e) 0.96. Keywords
1.
: Reclamation, Macrobenthos, Abundance
Penulis Penanggungjawab
50
DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES
Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 50-57
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares A.
PENDAHULUAN Daerah pantai memilki potensi sumber daya alam yang melimpah dan berfungsi sebagai sarana rekreasi, transportasi dan pemukiman. Banyaknya kegiatan di wilayah pantai menimbulkan ketidakseimbangan antara lahan yang ada dengan kebutuhan penduduk. Hal tersebut membuat pemerintah harus melakukan kegiatan reklamasi agar kebutuhan lahan penduduk dapat terpenuhi. Kegiatan reklamasi dilakukan dengan mengubah laut menjadi daratan melalui penimbunan. Kegiatan reklamasi menimbulkan dampak positif dan negatif bagi ekosistem pantai. Dampak positifnya antara lain dapat melindungi pantai dari erosi dan meningkatkan kondisi habitat perairan. Sedangkan dampak negatifnya antara lain sedimentasi, peningkatan kekeruhan air laut, hilangnya keanekaragaman hayati serta rusaknya habitat dan ekosistem pantai (Maskur, 2008). Salah satu kawasan yang direklamasi adalah kawasan Pantai Marina yang digunakan sebagai tempat rekreasi dan pemukiman. Menurut Iswahyuni dan Slamet (2011), reklamasi Pantai Marina dilakukan oleh PT. Indo Perkasa Utama (IPU) yang direncanakan seluas 232 ha. Izin reklamasi tersebut sudah dikeluarkan sejak tahun 1987 oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Proyek reklamasi dilakukan sejak tahun 1990. Pengurukan bukan saja membuat wilayah laut menjadi semakin berkurang, tetapi juga mempengaruhi kehidupan biota perairan yang ada di lokasi tersebut. Menurut Supriharyono (2000), Hewan makrobenthos menjadikan dasar perairan sebagai habitat, sehingga keadaan substrat, baik komposisi maupun ukuran partikel sangat berpengaruh terhadap kelimpahan dan keanekaragaman hewan makrobenthos. Menurut PongMasak dan Pirzan (2006), peran hewan makrobenthos dalam keseimbangan suatu ekosistem perairan dapat menjadi indikator kondisi ekologi di kawasan tertentu. Kegiatan reklamasi dapat dapat menyebabkan terganggunya kestabilan lingkungan termasuk kehidupan di dalamnya. reklamasi mebuat substrat memadat dan menekan tempat hidup hewan tersebut sehingga tempat hidup hewan makrobenthos terganggu. Perbedaan kelimpahan hewan makrobenthos dipengaruhi oleh kemampuan organisme infauna menggali lubang atau membenamkan diri ke dalam substrat untuk menghindarkan diri dari keadaan lingkungan yang ekstrim. Penyebaran hewan makrobenthos dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkah laku, sifat fisika-kimia perairan (DO, pH, suhu, kecerahan, kedalaman, substrat dasar dan bahan organik) serta proses bertambah atau berkurangnya populasi yang ada (Gray, 1981 dalam Atmaja, 2011). Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kelimpahan hewan makrobenthos pada daerah yang terkena reklamasi dan daerah yang tidak terkena reklamasi; dan 2. Dampak reklamasi pantai terhadap kelimpahan hewan makrobenthos. B. 1.
MATERI DAN METODE PENELITIAN Materi Penelitian Materi yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas alat dan bahan penelitian. Alat-alat yang digunakan selama penelitian ini meliputi paralon (panjang 30 cm dan diameter 10 cm) dan cetok pasir yang digunakan untuk mengambil sampel hewan makrobenthos. Saringan yang digunakan untuk menyaring hewan makrobenthos. Thermometer yang digunakan untuk mengukur suhu air. Refraktometer yang digunakan untuk mengukur salinitas air laut. pH paper yang digunakan untuk mengukur pH air laut. DO meter yang digunakan untuk mengukur oksigen terlarut dalam air. Tongkat berskala dan secchi disc yang digunakan untuk mengukur kecerahan dan kedalaman. Mikroskop binokuler untuk identifikasi hewan makrobenthos yang didapatkan. Penumbuk porselen untuk menghaluskan substrat. Oven dan alumunium foil yang digunakan untuk mengeringkan substrat. Timbangan elektrik untuk menimbang berat sampel substrat. Seive shaker yang digunakan untuk memisahkan fraksi substrat. Gelas ukur 1L yang digunakan untuk tempat sedimen yang telah disaring dan pipet ukur yang digunakan untuk mengambil larutan sedimen. Bahan yang digunakan adalah Rose bengale yang digunakan untuk mewarnai hewan makrobenthos dan formalin 4% yang digunakan untuk mengawetkan hewan makrobenthos. 2. Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah metode observasi, yaitu suatu metode yang dilakukan dengan pengamatan dan pencatatan secara sistematik mengenai kejadian-kejadian yang diselidiki ( Hadi, 1980). Pengambilan sampel menggunakan metode sistematik sampling, yaitu sampling yang disusun dengan lokasi dan waktu sampling dengan pola teratur (Dharma, 2009). Anggota sampel diambil dari populasi pada jarak interval waktu, ruang atau urutan yang seragam, diharapkan dengan metode ini akan didapatkan sampel yang mewakili populasi yang diamati (Sudjana, 2002). Penentuan lokasi sampling Pengambilan sampel menggunakan metode sistematik sampling, yaitu sampling yang disusun dengan lokasi dan waktu sampling dengan pola teratur (Dharma, 2009). Anggota sampel diambil dari populasi pada jarak interval waktu, ruang atau urutan yang seragam, diharapkan dengan metode ini akan didapatkan sampel yang
51
Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 50-57
DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares mewakili populasi yang diamati (Sudjana, 2002). Lokasi A merupakan lokasi yang terkena reklamasi dan lokasi B merupakan lokasi yang tidak terkena reklamasi.
Gambar 1. Lokasi Penelitian Secara Keseluruhan dengan Ketinggian 958 (Google Earth, 2013) Teknik Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan di 2 lokasi yaitu lokasi A yang merupakan daerah yang terkena reklamasi dan lokasi B yang merupakan daerah yang tidak terkena reklamasi. Masing-masing lokasi ditentukan 7 titik sampling dengan jarak 5 m dan setiap titik dilakukan 3 kali ulangan. Jarak lokasi A dengan lokasi B adalah 3 km. Pengambilan sampel dilakukan dengan titik sampling sejajar garis pantai. Pada lokasi yang telah ditentukan, dilakukan pengukuran beberapa parameter fisika (kecerahan, kedalaman, suhu,). Parameter kimia yang diukur adalah DO, salinitas dan pH. Pada masing-masing titik dilakukan pengambilan sampel hewan makrobenthos dan substrat. Analisa Data Data yang sudah diperoleh selanjutnya dianalisis untuk mengetahui nilai Kelimpahan Relatif (KR), Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) dan Indeks Keseragaman (e). a. Kelimpahan Relatif (KR) Menurut Odum (1971), nilai kelimpahan relatif didapatkan dengan menggunakan formula Brower 𝑛𝑛𝑖𝑖 KR = x 100% 𝑁𝑁 Keterangan : KR = Kelimpahan Relatif ni = Jumlah individu spesies ke-i N = Jumlah individu seluruh spesies b. Indeks Keanekaragaman (H’) Menurut Odum (1971), nilai indeks keanekaragaman (H’) diperoleh melalui perhitungan menggunakan persamaan Shanon-Wiener, yaitu: ′ ൌ −
ൌͳ
𝑝𝑝𝑖𝑖 𝑝𝑝𝑖𝑖
Keterangan : H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner 𝑛𝑛𝑖𝑖 Pi = 𝑁𝑁 ni = Jumlah individu dari suatu jenis ke-i N = Jumlah total individu seluruh jenis c. Indeks Keseragaman (e) Menurut Odum (1971), nilai indeks keseragaman (e) diperoleh melalui perhitungan menggunakan rumus: ൌ ′ Keterangan : E = Indeks Kemerataan H’max = ln s (s adalah jumlah genera) H’ = Indeks keanekaragaman
52
Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 50-57
DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares C. 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi lokasi Pantai Marina terletak di Kelurahan Tambakharjo, Kecamatan Semarang Barat. Menurut Iswahyuni dan Santoso (2012), kawasan Pantai Marina termasuk dalam Bagian Wilayah III (BWK III), yaitu berada di bawah naungan Kecamatan Semarang Barat. Dalam Rencana Tata Ruang, disebutkan bahwa Bagian Wilayah III berfungsi sebagai pusat transportasi, pergudangan, kawasan rekreasi, pemukiman, perdagangan dan jasa, perkantoran serta industri. Lokasi A, yaitu lokasi yang terkena reklamasi terletak dekat lokasi proyek dan dekat dengan pemukiman nelayan. Di dekat lokasi terdapat beberapa bagan tancap. Lokasi B, yaitu lokasi yang tidak terkena reklamasi terletak di dekat perumahan warga dan dekat dengan lokasi rekrasi serta penabatan kapal. Menurut Maskur (2008), Lahan yang direklamasi berlokasi di sebelah utara hingga barat laut Pantai Marina, yaitu antara Muara Sungai Siangker di sebelah timur dan Muara Kali Silandak di sebelah barat. Areal yang direklamasi mencapai jarak 700 m ke arah laut dari garis pantai, ke arah selatan berbatasan dengan areal pengembangan bandara Ahmad Yani. Hasil Kelimpahan Individu dan Kelimpahan Relatif Hewan Makrobenthos Berdasarkan hasil identifikasi hewan makrobenthos yang telah dilakukan dalam penelitian, didapatkan data kelimpahan hewan makrobenthos yang dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Kelimpahan Individu dan Kelimpahan Relatif pada kedua lokasi penelitian Biota Lokasi A Lokasi B KI (ind/m3) KR (%) KI (ind/m3) KR (%) Polychaeta Capitella sp 11 20,37 14 11,2 Nereis sp 5 9,26 11 8,8 Polydora sp 5 9,26 8 6,4 Prionospio sp 4 7,41 6 4,8 Heteromastus sp 6 4,8 Glycera sp 7 5,6 Nephtys sp 7 5,6 Bivalve Macoma sp 4 7,41 8 6,4 Tellina sp 4 7,41 7 5,6 Gastropoda Cerithium sp 6 11,11 17 13,6 Nassarius sp 2 3,7 6 4,8 Natica sp 4 3,2 Crustacea Gammarus sp 7 12,96 14 11,2 Byblis sp 6 11,11 10 8 Jumlah 54 100 125 100 Keterangan : Lokasi A : lokasi yang terkena reklamasi Lokasi B : lokasi yang tidak terkena reklamasi Histogram kelimpahan hewan makrobenthos pada kedua lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar berikut: kelimpahan (ind/m3)
2. a.
140 120 100 80 60 40 20 0
125
54
A
B Stasiun
Gambar 1. Histogram Kelimpahan Hewan Makrobenthos
53
DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES
Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 50-57
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares b.
Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman Berdasarkan pengamatan dalam penelitian, didapatkan data indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman hewan makrobenthos sebagai berikut: Tabel 2. Indeks Keanekaragaman dan Keseragaman pada Lokasi Penelitian Indeks A B Keanekaragaman (H’) 1,06 2,55 Keseragaman (e) 0,65 0,96 Keterangan : Lokasi A : lokasi yang terkena reklamasi Lokasi B : lokasi yang tidak terkena reklamasi c. Parameter Kualitas Air Parameter perairan yang diamati dalam penelitian adalah suhu, salinitas, kedalaman, kecerahan, dan Disolved oxygen (DO). Hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut: Tabel 3. Hasil Pengukuran Parameter Perairan Parameter Lokasi A Lokasi B Pustaka Suhu Air (oC) 27 28 20 – 300C (Kepmen LH No 51 tahun 2004) Kedalaman (cm) 20 32 Kecerahan (cm) pH air 8 8 7-8,5 (Kepmen LH No 51 tahun 2004) Salinitas (O/OO) 27 27 25-45 (Kepmen LH No 51 tahun 2004) DO (mg/l) 6,2 6,6 ≥ 4 (Kepmen LH No 51 tahun 2004) Keterangan : Lokasi A : lokasi yang terkena reklamasi Lokasi B : lokasi yang tidak terkena reklamasi d. Analisa Substrat Dasar Berdasarkan hasil analisa substrat dasar diperoleh data sebagai berikut: Tabel 4. Analisa Substrat Dasar Lokasi Pasir (%) Lempung (%) Liat (%) Kategori Pustaka A 83,56 0,2 16,24 Pasir >40%(Hanafiah, 2007) B 77 0,32 22,68 Pasir >40%(Hanafiah, 2007) Keterangan : Lokasi A : lokasi yang terkena reklamasi Lokasi B : lokasi yang tidak terkena reklamasi e. Analisa Bahan Organik Berdasarkan analisa bahan organik diperoleh data sebagai berikut: Tabel 5. Analisa Bahan Organik Lokasi Bahan Organik (%) Kategori Pustaka A 4,06 Rendah Reynold (1971) B 10,28 Sedang Reynold (1971) Keterangan : Lokasi A : lokasi yang terkena reklamasi Lokasi B : lokasi yang tidak terkena reklamasi 3. a.
Pembahasan Kelimpahan Hewan Makrobenthos Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh hewan makrobenthos yang terdiri dari 4 kelas, yaitu Polychaeta, Bivalve, Gastropoda dan Crustacea. Genera dari kelas Polychaeta yang ditemukan pada kedua lokasi terdiri dari Capitella sp, Nereis sp, Polyadora sp, Prionospio sp, Heteromastus sp, Glycera sp, dan Nephtys sp. Genera dari kelas Bivalve yang ditemukan adalah Macoma sp dan Tellina sp. Genera dari kelas gastropoda terdiri dari Cerithium sp, Nassarius sp dan Natica sp. Dari kelas Crustacea ditemukan 2 genera, yaitu Gammarus sp dan Byblis sp. Kelimpahan individu hewan makrobenthos yang didapatkan dari lokasi A (lokasi yang terkena reklamasi), yaitu 54 ind/m3 terdiri dari 10 genera. Kelimpahan individu yang didapatkan pada lokasi B (lokasi yang tidak terkena reklamasi) yaitu 125 ind/m3 terdiri dari 14 genera. Perbedaan kelimpahan tersebut juga diakibatkan oleh subtrat yang berbeda, dimana pada lokasi A merupakan substrat yang terkena reklamasi dan pada lokasi B merupakan substrat yang tidak terkena reklamasi. Odum (1993) menyatakan bahwa substrat dasar atau tekstur tanah merupakan komponen yang sangat penting bagi kehidupan organisme. Substrat dasar perairan akan menentukan kelimpahan dan komposisi jenis hewan makrobenthos. Hewan makrobenthos yang banyak ditemukan pada kedua lokasi adalah dari kelas Polychaeta, karena Polychaeta dapat memanfaatkan kondisi yang terbatas dengan menggali substrat lebih dalam untuk mendapatkan nutrien dan oksigen yang meresap ke dalam substrat (Sanders, 1968 dalam Atmaja, 2011). Jenis Capitella sp dan Nereis sp merupakan jenis dengan kelimpahan yang mendominasi pada kedua lokasi. Capitella sp dan Nereis sp merupakan jenis Polychaeta yang mudah beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Menurut Brafield (1978), Capitella sp dan Nereis sp merupakan jenis Polychaeta yang dapat
54
DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES
Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 50-57
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares hidup pada semua jenis substrat dan memiliki daya adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim sekalipun. b. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (e) Indeks keanekaragaman (H’) yang didapatkan pada lokasi A adalah 1,06 dan pada lokasi B adalah 2,55. Nilai indeks keanekaragaman yang didapat di lokasi A lebih rendah daripada lokasi B, karena lokasi A merupakan lokasi yang terkena reklamasi sehingga kondisi substratnya berbeda dengan lokasi yang masih alami. Indeks keanekaragaman pada lokasi A termasuk dalam kategori rendah. Rendahnya nilai indeks keanekaragaman tersebut disebabkan oleh perubahan kondisi lingkungan terutama perubahan kondisi substrat. Menurut Fitriana (2006), indeks keanekaragaman yang rendah menandakan bahwa lokasi tersebut memiliki tekanan ekologi yang tinggi dan ekosistem tersebut tidak stabil. Indeks keseragaman yang diperoleh pada lokasi A adalah 0,65 dan pada lokasi B adalah 0,96. Nilai tersebut menunjukkan bahwa dalam kedua daerah tersebut tidak ada dominasi dari spesies tertentu. Nilai indeks keseragaman tersebut mrnunjukkan bahwa penyebaran individu setiap jenis pada kedua lokasi tersebut merata. Menurut Odum (1971), jika nilai indeks keanekaragaman mendekati 0, maka penyebaran individu tiap jenis tidak merata dan jika nilai indeks keseragaman mendekati 1 maka penyebaran individu tiap jenis merata. c. Parameter Kualitas Air Parameter kualitas air yang diukur meliputi suhu air, kedalaman, kecerahan, pH air, salinitas dan oksigen terlarut. Parameter-parameter tersebut merupakan parameter yang berpengaruh terhadap kelimpahan hewan makrobenthos. Hasil pengukuran suhu air pada lokasi A didapatkan hasil 27 0C dan pada lokasi B didapatkan hasil 280C. Nilai suhu tersebut masih baik untuk kehidupan hewan makrobenthos. Hal tersebut dibuktikan dengan tingginya kelimpahan hewan makrobenthos yang ditemukan di kedua lokasi tersebut. Menurut Sukarno (1981) dalam Wijayanti (2007), suhu dapat membatasi sebaran hewan makrobenthos secara geografik dan suhu yang baik untuk pertumbuhan hewan makrobenthos berkisar antara 25 0C - 310C. Menurut Armis (2003) dalam Irmawan et al. (2010), suhu perairan yang baik bagi kehidupan bentik berkisar antara 200C - 300C dengan fluktuasi tidak lebih dari 50C. Kedalaman dan kecerahan perairan diperoleh hasil kedalaman 20 cm pada lokasi A dan 32 cm pada lokasi B, sedangkan kecerahan pada kedua lokasi adalah tak terhingga atau cahaya dapat menembus sampai dasar perairan. Menurut Nybakken (1988) dalam Syamsurisal (2011), kecerahan perairan dipengaruhi langsung oleh partikel yang tersuspensi di dalamnya, semakin kecil partikel yang tersuspensi maka kecerahan air akan semakin tinggi. Penetrasi cahaya semakin rendah karena meningkatnya kedalaman, sehingga cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis oleh tumbuhan air berkurang. Hal ini secara tidak langsung akan mempengaruhi pertumbuhan hewan makrobenthos yang hidup di dalamnya. Menurut Odum (1996) dalam Irmawan et al. (2010), kedalaman perairan mempengaruhi jumlah jenis hewan makrobentos. Semakin dalam dasar suatu perairan, semakin sedikit jumlah jenis hewan makrobentos karena hanya hewan makrobentos tertentu yang dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungannya. Nilai pH yang didapatkan dari kedua lokasi adalah 8. Nilai pH tersebut merupakan nilai pH yang normal untuk pH air laut Indonesia. Menurut Nontji (2002), kisaran yang normal untuk perairan Indonesia adalah 6,0 - 8,5. Menurut Effendi (2000), sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Sedangkan Hynes (1978) dalam Wijayanti (2007) menyatakan bahwa nilai pH < 5 dan pH > 9 menciptakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi kebanyakan hewan makrobenthos. Hasil yang diperoleh dari pengukuran salinitas pada kedua lokasi adalah 27 0/00. Nilai salinitas tersebut masih mendukung untuk pertumbuhan dan kehidupan hewan makrobenthos yang ada di dalamnya. Menurut Gross (1972), hewan makrobenthos masih bisa mentolerir salinitas yang berkisar antara 250/00 - 450/00. Nybakken (1992) menyatakan bahwa salinitas mempengaruhi penyebaran hewan makrobenthos karena organisme laut dapat bertoleransi terhadap perubahan salinitas yang relatif kecil dan perlahan. Kandungan oksigen terlarut (DO) yang diperoleh adalah 6,2 mg/l pada lokasi A dan 6,6 mg/l pada lokasi B. Menurut Nybakken (1992) dalam Irmawan et al. (2010), kandungan oksigen perairan erat kaitannya dengan banyaknya bahan organik yang berada di suatu perairan. Kandungan oksigen terlarut akan menurun dengan masuknya bahan organik ke perairan. Connel dan Miller (1995) dalam Wijayanti (2007) menyatakan bahwa pada tingkatan spesies, masing-masing biota mempunyai respon yang berbeda terhadap penurunan oksigen terlarut dan perbedaan kerentanan biota terhadap tingkat oksigen terlarut yang rendah, misalnya Capitella sp pada kelas Polychaeta yang dapat hidup dan mengalami peningkatan biomassa walaupun nilai konsentrasi oksigen terlarut nol. d. Kandungan Bahan Organik dan Analisa Substrat Dasar Kandungan bahan organik tanah pada lokasi A adalah 4,06 % dimana menurut Reynold (1971), nilai tersebut termasuk dalam kategori bahan organik rendah. Lokasi B kandungan bahan organiknya sebesar 10,28 % dimana nilai tersebut menurut Reynold (1971) termasuk dalam kategori bahan organik sedang. Kandungan bahan organik tersebut mempengaruhi nilai indeks keanekaragaman hewan makrobenthos, dimana pada lokasi A nilai bahan organik lebih rendah daripada lokasi B. Tingginya bahan organik pada lokasi B disebabkan oleh kegiatan wisatawan di sekitar lokasi rekreasi. Nilai indeks keanekaragaman pada
55
DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES
Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 50-57
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares lokasi A lebih rendah daripada indeks keanekaragaman yang diperoleh pada lokasi B. Hasil tersebut sesuai dengan pendapat Wood (1987) dalam Abdunnur (2002), tinggi rendahnya kandungan bahan organik dalam sedimen berpengaruh besar terhadap populasi organisme dasar. Sedimen yang kaya bahan organik sering didukung oleh melimpahnya organisme benthik. Menurut Nurrachmi et al. (2010), bahan organik merupakan sumber makanan bagi biota laut yang hidup pada substrat dasar sehingga ketergantungannya terhadap bahan organik sangat besar. Hasil analisa substrat dasar menunjukkan bahwa pada lokasi A terdiri dari pasir sebesar 83,56 %, lempung sebesar 0,2 % dan liat sebesar 16,24 %. Hasil tersebut menunjukkan bahwa lokasi A memiliki substrat pasir. Substrat pada lokasi B terdiri dari pasir sebesar 77 %, lempung sebesar 0,32 % dan liat sebesar 22,68 %, sehingga pada lokasi B memiliki substrat pasir. Kedua lokasi penelitian tersebut memiliki substrat pasir, sehingga diketahui bahwa hewan makrobenthos banyak terdapat pada substrat yang berupa pasir. Menurut Lind (1979) dalam Tasabramo et al. (2012), substrat pasir merupakan habitat yang paling disukai oleh hewan makrobenthos. Menurut Parker (1975) dalam Atmaja (2011), substrat dasar yang tersusun atas pasir kasar berlumpur umumnya akan dihuni lebih banyak hewan makrobenthos per unit area dibandingkan dengan dasar perairan yang tersusun atas lempengan lumpur. Hal ini dikarenakan sedimen pasir kasar berlumpur lebih stabil dan memungkinkan terjadinya pertukaran gas serta bahan makanan atau nutrien. Hewan makrobenthos membantu menjaga kestabilan substrat dengan membuat liang di dalam substrat sehingga memudahkan terjadinya pertukaran oksigen dan nutrien ke dalam substrat. D.
KESIMPULAN Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian adalah kelimpahan hewan makrobenthos di lokasi A yang terkena reklamasi lebih rendah daripada lokasi B yang tidak terkena reklamasi. Nilai indeks keanekaragaman (H’) dan nilai indeks keseragaman (e) pada lokasi A lebih rendah daripada lokasi B. Reklamasi berdampak pada menurunnya kelimpahan dan keanekaragaman hewan makrobenthos.
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ir. Ruswahyuni, M.Sc. selaku dosen pembimbing utama dan Dra. Niniek Widyorini, MS. selaku dosen pembimbing anggota yang telah memberikan saran, petunjuk dan perhatian serta waktunya. DAFTAR PUSTAKA Abdunnur. 2002. Analisis Model Brocken Stick Terhadap Distribusi Kelimpahan Spesies dan Ekotipologi Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Pesisir Tanjung Sembilan Kalimantan Timur. Jurnal Ilmiah Mahakam Vol 1 No. 2, Desember 2002. 19 hlm. Atmaja, J. L. 2011. Studi Kelimpahan Hewan Makrobenthos pada Daerah Intertidal di Pantai Bandengan Jepara. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang. Brafield, A. K. 1978. Live in Sandy Shore. Edward Arnold Publishers ltd. London. Dharma, P. 2009. Petunjuk Teknis Pemantauan Kualitas Air. Udayana University Press. Denpasar. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Fitriana, Y.R. 2006. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobenthos di Hutan Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Jurnal Biodiversitas Vol. 7 No. 1. Januari 2006: hal 67-72. Hadi, S. 1980. Metodologi Research. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Irmawan, R.N. H. Zulkifli dan M. Hendri. 2010. Struktur Komunitas Marozoobenthos di Estuaria Kuala Sugihan Provinsi Sumatra Selatan. Maspari Journal Vol. 1 No. 1 5 Juli 2010: hlm 53-58. Iswahuni, N.E. dan S. Santoso. 2011. Analisis Kebijakan Reklamasi Pantai di Kawasan Pantai Marina Semarang. Jurnal Perspektif Vol. 10 No. 2 Juni. 2011: 47 – 54 Maskur, A. 2008. Rekonstruksi Pengaturan Hukum Reklamasi Pantai di Kota Semarang. [Tesis]. Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang. Nontji. A. 2002. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Nurrachmi, I. dan Marwan. 2012. Kandungan Bahan Organik Sedimen dan Kelimpahan Makrozoobenthos Sebagai Indikator Pencemaran Perairan Pantai Tanjung Uban Kepulauan Riau. LIPI Universitas Riau. Pekanbaru. Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta. Odum, E. P. 1993. Dasar- dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Diterjemahkan oleh Eidman dan Bangen. P.T. Gramedia. Jakarta. Pong-Masak, P.R. dan A.M. Pirzan. 2006. Komunitas Makrozoobenthos pada Kawasan Budidaya Tambak di Pesisir Parigi-Moutong, Sulawesi Tengah. Jurnal Biodiversitas Vol. 7, No. 4. Oktober, 2006: hlm 354360.
56
DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES
Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 50-57
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares Reynold, S. C. 1971. A Manual of Introductory Soil Science and Simple Soil Analysis Methods. South Pasific, Nouena New Caledonia. Sudjana. 2002. Metode Statistika. Edisi 6. Penerbit Tarsito. Bandung. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia. Jakarta. Syamsurisal. 2011. Studi Beberapa Indeks Komunitas Makrozoobenthos di Hutan Mangrove Kelurahan Coppo Kabupaten Barru. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar. Tasabaramo, I.A., R. Ambo-Rappe dan M. A. Amran. 2012. Keberadaan Hewan Makrobenthos Hubungannya Dengan Penutupan Lamun di Perairan Pulau Bonebatang, Makassar. Universitas Hasanuddin, Makassar. Wijayanti, M. H. 2007. Kajian Kualitas Perairan di Pantai Kota Bandar Lampung Berdasarkan Komunitas Hewan Makrobenthos. [Tesis]. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
57
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
ISSN 1978-9513
KONDISI PERAIRAN PANTAI SEKITAR MERAK, BANTEN BERDASARKAN INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS BENTHOS Imran Said L Tobing
Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta
ABSTRACT Knowledge of aquatic environmental condition is important, not only to assess its habitat function, but also its prospect in sustainable use of natural resources. Assessment can be done using various methods, one of these is based on benthic diversity index. This method possibly one of the best because benthos is bottom dweller, which rarely migrate in case of environmental condition change. Thereby the diversity index truly reflects its community condition. Accordingly, this research was conducted to know the condition of coastal water around Merak, Banten, based on benthic diversity index. There were 22 benthic species found (12 – 14 species per station), included bivalvia, gastropods, scaphopods, echinoids and foraminiferas; and the most abundant species found were foraminiferas and molluscs (bivalvia). Diversity index of benthos at two research station near Samangraya were classified as middle class, while that at two research station near Terate were classified as high. This indicates that the coastal water around Merak is still in relatively good condition; and should be looked after to maintain its productivity. Key words : benthos, diversity, condition, coastal, Merak
PENDAHULUAN Perairan pantai sangat penting sebagai habitat berbagai jenis organisme. Perairan pantai merupakan daerah peralihan antara perairan tawar dan laut, terutama di daerah-daerah dekat muara sungai. Sebagai daerah peralihan; perairan pantai mempunyai kekayaan organisme yang relatif tinggi, sehingga sangat potensial untuk dijaga agar kondisinya tetap dalam keadaan baik. Kondisi perairan pantai yang baik, tidak hanya akan menguntungkan secara ekologis, tetapi juga merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat; baik secara langsung bagi masyarakat nelayan maupun secara tidak langsung bagi masyarakat lainnya.
Tobing ISL
Kondisi suatu perairan dapat dinilai dengan berbagai metode dan berbagai sudut pandang. Pendugaan kondisi perairan dapat dilakukan berdasarkan sifat fisika-kimia air maupun berdasarkan data biotik penghuni perairan tersebut. Sifatsifat ini akan saling berinteraksi dan saling pengaruh mempengaruhi satu salam lain secara kompleks; sehingga kondisi fisik dan/atau kimiawi akan mempengaruhi kondisi biotik; demikian juga sebaliknya, bahwa kondisi biotik juga dapat mempengaruhi kondisi fisik dan/atau kimiawi suatu perairan. Berbagai jenis organisme dapat digunakan sebagai indikator penduga kondisi (kualitas) suatu perairan; baik jenis-jenis plankton (fitoplankton dan zooplankton), benthos, nekton maupun organisme aquatik lainnya. 31
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
Setiap jenis atau golongan organisme masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan untuk digunakan sebagai objek penduga kondisi perairan. Namun secara umum, benthos mempunyai kelebihan karena sifat hidupnya yang relatif menetap di dasar perairan, sehingga perubahan kondisi habitat akan berpengaruh lebih nyata karena sifat benthos yang relatif tidak bermigrasi. Oleh karena itulah, penelitian ini memilih benthos sebagai objek penduga kondisi perairan di Merak, Banten. Parameter yang digunakan untuk penilaian juga bervariasi; dapat berupa keberadaan (kehadiran) suatu jenis tertentu (bioindikator), kelimpahan populasi, dan keanekaragaman jenis organisme dalam suatu badan air. Penggunaan jenis tertentu sebagai bioindikator dilakukan dengan eksplorasi kehadiran jenis-jenis sensitif dan/atau jenis-jenis yang mempunyai daya toleransi luas terhadap perubahan kondisi lingkungan. Kehadiran jenis-jenis sensitif dapat merupakan indikasi kualitas lingkungan perairan masih baik; sebaliknya ketidak hadiran jenis-jenis sensitif dan/atau banyaknya jenis-jenis toleran dapat merupakan indikasi buruknya kualitas lingkungan perairan. Selanjutnya, populasi yang melimpah merupakan indikasi bahwa kondisi lingkungan yang baik; tetapi ini hanya berlaku (baik) bagi jenis itu sendiri, kecuali populasi yang melimpah terjadi pada sebagian besar jenis penghuni. Hal ini terjadi karena beberapa jenis benthos (organisme) hanya dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik dalam lokasi yang mempunyai kualitas perairan bagus, tetapi beberapa jenis masih dapat hidup dan berkembang dengan baik dalam perairan yang mempunyai kondisi buruk. Bila suatu jenis organisme (benthos) dapat toleran terhadap kondisi buruk, maka jenis tersebut akan berkembang dengan baik karena sedikitnya kompetitor.
Tobing ISL
Pada penelitian ini, penilaian kondisi habitat (lingkungan) perairan dilakukan menggunakan parameter keanekaragaman jenis berupa indeks keanekaragaman jenis benthos. Parameter ini mengakomodasi keseimbangan antara populasi dan jumlah jenis, sehingga pendugaan kondisi diharapkan akan menjadi lebih mencerminkan keadaan sebenarnya. Variasi nilai indeks keanekaragaman akan dikategorikan ke dalam beberapa tingkatan (Krebs, 1978), dengan setiap tingkatan menduga kualitas perairan Semakin buruk kondisi suatu perairan akan menyebabkan keanekaragaman jenis benthos akan semakin kecil; karena akan semakin sedikit spesies yang dapat toleran dan beradaptasi terhadap kondisi perairan tersebut. Ini terjadi karena setiap spesies mempunyai rentang atau daya toleransi tersendiri dalam beradaptasi terhadap kualitas perairan. Perairan di sekitar pantai Merak; dapat mempunyai kondisi berbeda-beda antar berbagai lokasi, tidak hanya karena pengaruh geografis tetapi juga karena pengaruh aktivitas manusia. Perbedaan ini tentunya akan dapat menjadi sumber penyebab bagi keanekaragaman jenis organisme penghuni, termasuk organisme benthos. Oleh karena itu, penelitian ini akan mendata beberapa parameter kondisi fisik perairan yang dianggap dapat menjadi kendala bagi kelangsungan hidup benthos. Namun demikian, belum diketahui : seberapa besar perbedaan kondisi fisik antar lokasi dalam kawasan perairan sekitar pantai Merak ? Apakah terdapat perbedaan jenis-jenis benthos pada lokasi berbeda dan/atau saat pasang dan surut di perairan sekitar pantai Merak ? Apakah variasi kondisi fisik telah berpengaruh terhadap dinamika populasi benthos di perairan sekitar pantai Merak ? Untuk menjawab permasalahan yang ada maka penelitian ini dilakukan 32
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
dengan tujuan untuk mengetahui dan memahami kondisi fisik perairan, serta kondisi biotik (keanekaragaman benthos) perairan di sekitar pantai Merak, Banten. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan indeks keanekaragaman benthos; baik antar lokasi maupun antara saat pasang dan surut, di perairan sekitar pantai Merak, Banten. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai patokan penilaian kondisi lingkungan perairan Merak dalam upaya mempertahankan dan/atau meningkatkan potensinya sebagai habitat berbagai jenis organisme aquatik serta fungsinya sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat.
METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di kawasan perairan pantai sekitar Merak, Banten. Pengambilan sampel ditetapkan di 2 (dua) lokasi lokasi yaitu : Lokasi I adalah di daerah perairan sekitar Krakatau Steel – Samangraya, dan Lokasi II adalah di daerah perairan sekitar Terate – Teluk Banten. Sampling di setiap lokasi dilakukan di 2 (dua) stasion. Stasion pengambilan sampel di Lokasi I berada pada posisi 1050 85’ 55” BT dan 050 55’ 13” LS (Stasion 1) serta pada posisi 1050 58’ 55” BT dan 050 54’ 00” LS (Stasion 2). Selanjutnya, stasion pengambilan sampel di Lokasi II berada pada posisi 1060 08’ 42” BT dan 050 57’ 53” LS (Stasion 1) serta pada posisi 1060 11’ 24” BT dan 050 55’ 37” LS (Stasion 2).
B. Bahan dan alat penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : alkohol sebagai bahan pengawet sampel tanah (lumpur) Tobing ISL
untuk memeriksa keberadaan benthos. Selanjutnya alat yang digunakan meliputi : Eckman Grap untuk mengambil lumpur; kantong plastik untuk menampung lumpur; perlengkapan selam untuk membantu penyelam mengambil lumpur di lepas pantai; coolbox untuk menyimpan sample agar tidak rusak.
C. Cara Kerja Sampling dilakukan dua kali di setiap stasion penelitian yang telah ditetapkan pada waktu yang berbeda yaitu saat kondisi perairan sedang pasang dan saat kondisi perairan sedang surut. Pengambilan sampel lumpur untuk mengetahui dan mendeteksi keberadaan dan kelimpahan benthos dilakukan menggunakan eckman grap. Namun demikian, pengambilan sampel lumpur di daerah lepas pantai, penggunaan eckman grap menjadi tidak efektif karena derasnya arus (gelombang) yang mengakibatkan terbawanya alat (eckman grap). Oleh karena itu; pengambilan sampel lumpur di daerah lepas pantai dilakukan dengan pengambilan langsung (menyelam) dari dasar perairan. Penyelaman juga digunakan untuk mengetahui kondisi dasar perairan, baik kondisi secara fisik maupun kondisi secara biotik. Sampel lumpur yang diambil di setiap stasion, dimasukkan ke dalam kantong plastik transfaran dan diberi pengawet (alkohol) untuk menghindari terjadinya pembusukan organisme (benthos) yang terdapat dalam sampel. Sampel lumpur disimpan di dalam coolbox untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan selama dalam perjalanan.
D. Analisis sampel dan data Sampel lumpur yang diambil dari setiap stasion, diperiksa di laboratorium 33
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
untuk mengetahui keberadaan (identifikasi jenis) benthos yang hidup di dasar perairan. Data semua taksa yang ditemukan beserta jumlah individu / kelimpahan setiap taksa benthos ditabulasikan berdasarkan periode sampling (saat kondisi pasang dan saat kondisi surut) pada masing-masing stasion (stasion 1 atau stasion 2) di setiap lokasi penelitian. Analisis data dilakukan menggunakan Indeks Keanekaragaman ShannonWiener dan nilai Equitabilitas untuk mengetahui kondisi perairan berdasarkan kekayaan jenis dan kekayaan individu setiap jenis (Magurran, 1988). Keseimbangan kedua parameter yang tercermin dalam indeks keanekaragaman dijadikan sebagai indikasi kestabilan
ekosistem perairan. Semakin tinggi nilai indeks keanekaragaman merupakan indikasi bahwa semakin stabil suatu ekosistem perairan. Selanjutnya untuk mengetahui keseragaman jenis benthos di suatu stasion dilakukan analisis tentang equitabilitas. Nilai equitabilitas akan dimanfaatkan untuk menilai terjadi / tidaknya keseragaman benthos di suatu stasion; sekaligus untuk menyimpulkan ada tidaknya suatu jenis atau taxa yang dominan di suatu stasion. Indeks Keanekaragaman yang diperoleh dalam penelitian akan dibandingkan dengan tiga kategori (Tabel 1) yang ditetapkan oleh Krebs (1978) untuk menilai tinggi-rendahnya keanekaragaman benthos di suatu habitat.
Tabel 1. Kategori indeks keanekaragaman
Nilai H
Kategori
0 ≤H ≤ 1
: Keanekaragaman Rendah
1 ≤H ≤ 3
: Keanekaragaman Sedang
H > 3
: Keanekaragaman Tinggi
HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Kondisi dasar perairan pantai sekitar Merak
Secara umum, kondisi dasar perairan pantai sekitar Merak – Banten mempunyai kedalaman dan kekeruhan bervariasi. Lokasi Samangraya mempunyai perairan lebih dalam (35 – 40 meter) dibandingkan dengan perairan Terate (11 meter). Dasar perairan di Terate adalah berlumpur, sedangkan di Samangraya adalah pasir bercampur lumpur (sebelah Tobing ISL
barat pulau Temposo) serta pasir bercampur pecahan karang (sekitar Krakatau Steel) (Tabel 2). Dasar perairan berlumpur di Lokasi II (perairan pantai Terate) menyebabkan perairan menjadi keruh karena terjadinya pengadukan air oleh gelombang, sehingga jarak pandang hanya 2 meter; namun di Lokasi I (Samangraya) yang mempunyai kedalaman 35 – 40 meter, jarak pandang masih dapat mencapai 5 meter. Terhalangnya jarak pandang mengakibatkan pengamatan terhadap biota penghuni menjadi sulit dilakukan; namun demikian pada Lokasi I
34
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
Stasion 2 dan Lokasi II Stasion 2 masih
terdeteksi adanya kehidupan makro algae.
Tabel 2. Kondisi dasar perairan pantai sekitar Merak, Banten
Lokasi I (Samangraya) No
Kriteria
Lokasi II (Terate)
Stasion 1
Stasion 2
Stasion 1
Stasion 2
35 M
40 M
11 M
11 M
2. Dasar perairan
Pasir dan karang
Pasir dan lumpur
Lumpur
Lumpur
3. Jarak pandang
5M
5M
1,5 M
2M
1. Kedalaman
4. Biota
-
Kehadiran makro algae di perairan pantai sekitar Merak merupakan suatu bukti bahwa perairan tersebut masih dapat berfungsi sebagai habitat bagi berbagai jenis biota aquatik, karena algae sebagai salah satu produsen yang merupakan sumber pakan bagi hewan-hewan konsumen masih dapat bertahan hidup. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa; secara ekologis, perairan pantai sekitar Merak masih mempunyai kondisi yang relatif stabil. Pendapat senada dikemukakan oleh Handayani dan Tobing (2008); berdasarkan hasil penelitian mereka, bahwa indeks diversitas fitoplankton di perairan sekitar Merak – Banten tergolong tinggi (lebih besar dari 4) yang merupakan indikasi terjaganya keseimbangan lingkungan perairan. 1. Kondisi perairan pantai Samangraya Hasil penelitian berdasarkan penyelaman di Lokasi I (perairan sekitar Krakatau Steel - Samangraya) pada Stasion 1, menunjukkan bahwa kondisi dasar perairan (kedalaman sekitar 35 meter) merupakan hamparan pasir dan karang keras, namun demikian tidak terdeteksi adanya kehidupan terumbu karang. Tobing ISL
Algae
-
Algae
Keadaan ini terjadi karena adanya sedimen di lokasi tersebut yang tidak sesuai (lagi) dengan pertumbuhan karang yang kemungkinan besar berasal dari pengerukan pantai Merak (dan lokasi ini merupakan jalur yang biasa dilalui oleh kapal) sehingga kemampuan jarak pandangpun (visibility) di dalam air hanya sekitar 5 meter. Pada lokasi penyelaman di Stasion 2 (sebelah barat Pulau Tamposo), kondisi dasar perairan (kedalaman sekitar 40 meter) merupakan hamparan pasir dan lumpur. Jenis biologi aquatik yang masih terdeteksi dapat tumbuh adalah beberapa makro algae; namun demikian terumbu karang juga tidak terdeteksi hidup (tumbuh) di daerah ini. Tidak ditemukannya terumbu karang, seperti juga pada lokasi di sebelah barat Dermaga Pertamina Merak, mungkin sekali terjadi karena adanya lumpur (yang terbukti dengan kemampuan jarak pandang di perairan hanya sekitar 5 meter). Lumpur yang menutupi dasar perairan diduga berasal dari reklamasi pantai Merak yang merupakan pelabuhan Pertamina. 2. Kondisi perairan pantai Terate
2
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
Hasil penelitian di Lokasi II (perairan sekitar Terate) menunjukkan bahwa di Stasion 1 (sebelah selatan Pulau Panjang), kondisi dasar perairan (pada kedalaman sekitar 11 meter) merupakan lumpur tebal yang diperkirakan mencapai sekitar 1 meter. Pada dasar perairan Terate tidak ditemukan adanya kehidupan terumbu karang maupun rumput laut. Menurut informasi masyarakat setempat (nelayan setempat), dahulu di sekitar pantai Terate merupakan kawasan padang rumput laut, tetapi setelah reklamasi pantai Bojonegoro mengakibatkan sedimen menumpuk di Terate (kemampuan jarak pandang hanya sekitar 1,5 meter), sehingga mengakibatkan perubahan kondisi pantai Terate dan hilangnya rumput laut dari kawasan tersebut. Pada Stasion 2 (sebelah timur laut Pulau Panjang), kondisi dasar perairan (pada kedalaman sekitar 11 meter) relatif sama dengan kondisi di lokasi sebelah selatan Pulau Panjang (lumpur tebal). Walaupun sedimen juga relatif menghalangi penetrasi sinar matahari (kemampuan jarak pandang sekitar 2 meter), tetapi beberapa makro alga masih dapat ditemukan hidup. Ini menandakan bahwa walaupun kondisi perairan sudah mengalami kekeruhan, tetapi kehidupan masih berlangsung di kawasan tersebut.
B.
Kondisi perairan berdasarkan indeks keanekaragaman benthos
Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa di perairan pantai sekitar Merak (Samangraya dan Terate) ditemukan 22 jenis benthos. Pada perairan pantai sekitar Samangraya ditemukan 14 jenis benthos (12 jenis di stasion 1 dan 14 jenis di stasion 2), serta 15 jenis di perairan pantai sekitar Terate (14 jenis di stasion 1 dan 13 jenis di stasion 2). Jenis-jenis yang ditemukan umumnya adalah moluska dan Tobing ISL
foraminifera; sedangkan krustasea hanya ditemukan 2 jenis serta Echinodea 1jenis (Tabel Lampiran). 1. Kondisi perairan pantai Samangraya Kondisi perairan, selain dapat dinilai dari kesesuaian untuk kehidupan plankton, juga dapat ditinjau dari segi kehidupan organisme benthos. Jumlah jenis benthos yang terdeteksi di perairan sekitar Samangraya mencapai 14 jenis; yang terdiri dari Mollusca (6 jenis), Arthropoda (1 jenis), Echinodermata (1 jenis) dan Protozoa (6 jenis) (Tabel lampiran). Jenis-jenis tersebut ditemukan dengan kelimpahan dan keanekaragaman yang sedikit bervariasi antar stasion. Jenisjenis dari Bivalvia (Mollusca) dan Foraminifera (Protozoa) umumnya dapat ditemukan di kedua stasion baik dalam kondisi perairan sedang pasang maupun saat kondisi perairan sedang surut. Selanjutnya populasi setiap jenis benthos yang ditemukan di perairan Samangraya sangat bervariasi; yang didominasi oleh jenis-jenis dari foraminifera. Bahkan ditemukan satu jenis foraminifera dengan populasi (jumlah individu) yang sangat melimpah, yaitu Operculina sp. Jenis-jenis benthos yang ditemukan di Stasion 1 adalah 12 jenis, sedangkan di Stasion 2 adalah 14 jenis. Jenis-jenis yang ditemukan umumnya adalah dari golongan Foraminifera (6 jenis) dan Bivalvia (3 jenis), baik di Stasion 1 maupun di Stasion 2. Demikian juga halnya dengan kelimpahan populasi; individu terbanyak yang ditemukan adalah dari golongan Foraminifera dan Bivalvia, baik di stasion I maupun di stasion II (Tabel 3) . Hasil analisis terhadap jumlah individu dan jumlah taxa benthos yang ditemukan di Lokasi I (perairan pantai sekitar Samangraya), seperti tercantum pada tabel 3, memperlihatkan bahwa secara 36
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
umum indeks diversitas benthos di kedua lokasi sampling termasuk ke dalam golongan sedang (berkisar antara 1 dan 3), dengan nilai equitabilitas juga tergolong sedang (rata-rata berkisar antara 70% dan 80 %) di daerah tersebut. Hasil analisis ini memberi arti bahwa, populasi jenis-jenis
benthos yang hidup di kawasan tersebut adalah tersebar relatif tidak merata, yang tercermin dari tingginya populasi jenisjenis Foraminifera terutama Operculina sp. yang mendominasi komunitas benthos di kawasan tersebut, baik di Stasion 1 maupun di Stasion 2.
Tabel 3. Keanekaragaman benthos di perairan pantai Samangraya (Lokasi 1), Merak.
Stasion 1 No
Taxa Benthos
Stasion 2
Sp
Ind
Sp
1. Bivalvia
3
12
3
2. Gastropoda
1
1
2
15
3. Scaphopoda
1
2
1
4
1
4
4. Crustacea
Ind
5. Echinoidea
1
1
1
1
6. Foraminifera
6
110
6
1 88
Jumlah Indeks Diversitas Equitabilitas
12
2,26 0,78
Hasil analisis ini dapat menjadi indikasi bahwa perairan pantai sekitar Samangraya, walaupun kondisinya masih tergolong “kualitas sedang”, tetapi sudah memperlihatkan terjadnya ketidak seimbangan populasi antar spesies benthos penghuni. Ketidak seimbangan populasi terjadi karena adanya tekanan lingkungan yang diantisipasi secara bervariasi oleh spesies penghuni. Perbedaan kemampuan toleransi antar spesies terhadap tekanan lingkungan akan mengakibatkan perbedaan ukuran populasi. Populasi dari suatu spesies toleran akan lebih melimpah dibandingkan dengan populasi suatu Tobing ISL
126
14
2,76
113
0,77
spesies sensitif; sehingga terjadi ketidak seimbangan populasi. 2. Kondisi perairan pantai Terate Jumlah jenis benthos yang terdeteksi di perairan pantai sekitar Terate mencapai 15 jenis; yang terdiri dari Mollusca (8 jenis), Arthropoda (1 jenis), dan Protozoa (6 jenis) (Tabel Lampiran); dengan sedikit variasi antar Stasion. Kesamaan jenis benthos antar kedua stasion adalah relatif tinggi; yang dibuktikan oleh jenis-jenis yang ditemukan antar stasion adalah relatif sama, kecuali dua jenis Bivalva (hanya ditemukan di 37
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
Stasion 1) dan satu jenis dari Foraminifera (hanya ditemukan di Stasion 2). Jenis-jenis benthos yang ditemukan mempunyai variasi populasi yang tidak jauh berbeda, dengan populasi relatif tinggi adalah dua jenis benthos dari Foraminifera yaitu Quinqueloculina sp. dan Spiroloculina sp. Benthos yang ditemukan di Stasion I berjumlah 14 jenis, sedangkan di Stasion
2 berjumlah 13 jenis. Jenis-jenis benthos yang ditemukan berasal dari empat kelas, dengan jumlah spesies tertinggi berasal dari Foraminifera (5 jenis di Stasion 1 dan 6 jenis di Stasion 2) dan Bivalvia (5 jenis di Stasion 1 dan 3 jenis di Stasion 2). Demikian juga dengan jumlah individu terbanyak; berasal dari Foraminifera dan Bivalvia (Tabel 4).
Tabel 4. Keanekaragaman benthos di perairan pantai Terate (Lokasi 2), Merak.
Stasion 1 No
Taxa Benthos
Stasion 2
Sp
Ind
Sp
Ind
1. Bivalvia
5
20
3
16
2. Gastropoda
3
6
3
7
3. Crustacea
1
2
1
3
4. Foraminifera
5
48
6
40
76
13
Jumlah Indeks Diversitas Equitabilitas
14
3,32 0,90
Hasil analisis terhadap jumlah individu dan jumlah taxa benthos yang ditemukan di Lokasi II, seperti tercantum pada tabel 4, memperlihatkan bahwa secara umum indeks diversitas benthos di kedua stasion tergolong tinggi (lebih besar dari 3), dengan nilai equitabilitas juga tergolong cukup tinggi (lebih besar dari 80 %) di kedua stasion tersebut. Hasil analisis ini memberi arti bahwa, walaupun populasi setiap jenis benthos yang ditemukan adalah tersebar relatif kurang merata, tetapi belum menunjukkan adanya satu jenispun benthos yang benar-benar mempunyai populasi ekstrim sehingga mendominasi daerah perairan di sekitar pantai Terate, Merak. Hasil analisis ini dapat menjadi indikasi bahwa perairan pantai sekitar Tobing ISL
3,50
66
0,94
Terate, relatif masih baik bagi berbagai jenis benthos. Ini memberi arti bahwa kondisi perairan di kawasan perairan pantai Terate, adalah relatif baik, sehingga ekosistem perairan tersebut perlu “dijaga” agar tidak menjadi rusak. Bila kondisi perairan menjadi lebih buruk, maka tidak hanya komunitas perairan saja yang menjadi terancam tetapi juga akan berdampak pada kehidupan masyarakat sekitar. Secara umum, perairan pantai sekitar Merak-Banten relatif mempunyai kualitas baik sampai kualitas sedang. Penurunan kualitas perairan di sekitar Samangraya terjadi karena campur tangan manusia (pengurukan pantai). Oleh karena itu, aktivitas manusia yang dapat 38
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
mengakibatkan penurunan kualitas perairan pantai sekitar Merak harus dipertimbangkan secara serius; karena kawasan tersebut merupakan sumber penghidupan masyarakat sekitar terutama nelayan.
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di dua lokasi tersebut, beberapa hal dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Benthos di perairan pantai sekitar Merak – Banten umumnya adalah jenisjenis dari Foraminifera dan Moluska (Bivalvia) 2. Kondisi perairan pantai sekitar Terate mempunyai kualitas lebih baik dibandingkan perairan pantai sekitar Samangraya 3. Secara umum, kualitas perairan pantai sekitar Merak - Banten tergolong baik sampai sedang sehingga masih potensial sebagai habitat sehingga perlu dipertahankan agar produktivitasnya tetap terjaga
B. Saran 1. Penelitian tentang keanekaragaman dan kelimpahan ikan sangat perlu dilakukan sebagai salah satu penilaian potensi ekonomi perairan pantai sekitar Merak bagi masyarakat 2. Berbagai aktivitas manusia yang dapat menurunkan kualitas perairan seyogianya menjadi perhatian, agar tidak merugikan bagi lingkungan dan masyarakat sekitar
DAFTAR PUSTAKA APHA-AWWA-WCS. Standard Methods for the examination of water and Tobing ISL
wastewater, 14th ed. AWWA – WCF.
APHA –
Buckland ST, DR Anderson, KP Burnham and JL Laake. Distance sampling, estimating abundance of biological populations. Chapman and Hall. London. 1994. 446pp. Caughley G and ARE Sinclair. Wildlife Ecology and Management. Blackwell Science. Cambridge. 1994. 334pp. Greenwood JJD. Basic techniques. pp. 11110. In : W. J. Sutherland, ed. Ecological Census Techniques. A Handbook. Cambridge University Press. Cambridge. 1997. Handayani S dan ISL Tobing. Keanekaragaman fitoplankton di perairan pantai sekitar Merak – Banten dan pantai Penet – Lampung. VIS VITALIS, Jurnal Ilmiah Biologi 01 (1) : 29-33, 2008. Magurran AE. Ecological Diversity and Its Measurement. Croom Helm.. London. Sydney. 1988. 179pp. Nybakken JW. Biologi Laut; suatu pendekatan ekologis. Penerbit PT Gramedia Jakarta. 1992. 453pp. Pianka ER. Evolutionary Ecology. Third Edition. Harper & Row, Publishers New York. 1983. 415pp. Sulastri dan DI Hartoto. Phytoplankton changes in some inland water habitat of Central Kalimantan, Indonesia. Berita Biologi, Edisi Khusus : Wetlands Indonesia-Peat Lands, 5 (3) : 285 - 297, 2000.
39
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
Tabel Lampiran.
Jenis-jenis benthos dan jumlah individu yang ditemukan di perairan pantai sekitar Samangraya (Lokasi I) dan Terate (Lokasi II), Merak.
No
Golongan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
MOLLUSCA BIVALVIA Anadara sp. Corbula sp. Donacidae Gafrarium sp. Nuculana sp. Tellina sp. Veneridae
Perairan Pantai Samangraya (Lokasi I) Stasion 1 Stasion 2
Perairan Pantai Terate (Lokasi II) Stasion 1 Stasion 2
2 7 3
2 8 5
2 2 3 6 7 -
7 3 6 -
GASTROPODA Atys sp. Cerithium sp. Liloa sp. Ringicula sp. Volvulela sp.
1 -
2 2 -
2 1 3
3 2 2
SCAPHOPODA 13. Dentalium sp.
2
4
-
-
ARTHROPODA CRUSTACEA 14. Cypridinae sp. 15. Pennaiidae sp.1
-
1
2 -
3 -
ECHINODERMATA 16. ECHINOIDEA sp.1
1
1
-
-
PROTOZOA FORAMINIFERA Asterorotalia sp. Cavarotalia sp. Operculina sp. Pseudorotalia sp. Quinqueloculina sp. Spiroloculina sp.
11 8 60 17 3 11
12 8 47 5 8 8
7 8 6 15 12
5 2 2 5 15 11
Jumlah taksa
12
14
14
8. 9. 10. 11. 12.
17. 18. 19. 20. 21. 22.
Tobing ISL
14
15
13
39
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
Indeks Diversitas Equitabilitas
Tobing ISL
2,26 0,78
2,76 0,77
3,32 0,90
3,50 0,94
40
MARGINALIZATION OF FISHERMEN FROM UTILIZING COASTAL AREA AFTER RECLAMATION AT SERANGAN SUBDISTRICT, DENPASAR, BALI Nyoman Suryawan Faculty of Education of Social Sciences Saraswati Teachers’ Training College email:
[email protected] ABSTRACT Geographically, Serangan Subdistrict, South Denpasar District, Bali Province, used to be separated from the Bali’s mainland. However, now it is not isolated any longer after a bridge was constructed and reclamation was conducted by the Bali Turtle Island (abbreviated to BTID) in 1996. At that time 379 hectares of the coastal areas were victimized. The investor’s existence and the other businesses utilizing the coastal areas as their operating areas physically changed them, which were entirely coastal. It was this which was directly and indirectly responsible for marginalizing the fishermen. In relation to that, how the fishermen at Serangan subdistrict were marginalized from utilizing the coastal areas after being reclaimed was the focus of the present study. Qualitative method and the approach of cultural studies were used in the present study. The data were collected through observation, in-depth interview, and documentary study. The data were descriptively, qualitatively and interpretatively analyzed. To sum up, the present study showed that there were several forms of marginalization undergone by the fishermen at Serangan Subdistrict after reclamation; they were marginalized from utilizing the coastal environment; economic difficulty resulting from the fact that the sources of fish were getting scarce causing their income to go down; and their powerlessness in overcoming the problem they encountered to improve their standard of living. Keywords: marginalization, fishermen, utilization of the coastal areas, after reclamation. INTRODUCTION The globalization era which is triggered by the progress in science and technology has caused cultures to spread from one country to another rapidly. Appadurai (in Ritzer and Goodman, 2011: 598) state that globalization is characterized by ethnoscape, technoscape, mediascape, finanscape, and ideoscape. Bali, as one of the international tourist destinations, cannot be avoided from globalization. As a result, Bali has transformed from the agriculture-based primary economic culture to services-oriented tertiary economic culture especially tourism (Pitana, 1994: 96). The glorification of the culture of money as the impact of global capitalism can be observed from the comodification taking place in every aspect of life, including the utilization of coastal areas for various interests. The existence of Serangan subdistrict, which used to be separated from the mainland of Bali, is not isolated any longer after it was reclaimed and after the bridge which connects the two islands was constructed by PT Bali Turtle Island Development (BTID). The reclamation,
which was intended to develop tourist area, has caused Serangan Island to be four times wider than before; it used to be 112 hectares wide but now it is 450 hectares wide (Suparta, 1998: 163). The existence of BTID, as the investor, has caused the physical condition of Serangan Subdistrict, which used to be entirely coastal, to change. As a comparison, it can be stated that before it was reclaimed the fishermen totaled 1017 (BPS, 1990). Now they only total 94 and spread in several groups of fishermen named Cipta Mana Karya and Karya Segera. The reclamation has also been responsible for the decrease in the amount of the coastal area by 379 hectares which has supported their livelihood (Bali Post, 9 September 2012: p. 1, column 4). The decrease in the sources of fish in the coastal area resulting from the reclamation has caused the fishermen to be marginalized. Based on the background described above, the problem in the present study is how the marginalization of the fishermen after the reclamation was like. The present study was intended to understand in depth the marginalization of the fishermen after the coastal area of Serangan Subdistrict was utilized for different interests. It was expected that the result of the present study would widen the scientific insight into the community of fishermen from the perspective cultural studies. It was also expected that the present study would give critical understanding of the phenomenon related to the functional shift of the coastal area to the public. RESEARCH METHOD This present study was aimed at giving understanding of why the fishermen were marginalized. The study was conducted at Serangan Subdistrict, South Denpasar District, Denpasar City, Bali. The reason why the study was conducted here was that many fishermen had changed their profession. They were marginalized from utilizing the coastal area; in addition, there was a high mobility of people who intended to utilize the coastal area for various interests. The informants were purposively determined, meaning that the subject of the study was selected based on particular requirements. One of the requirements was that the selected informants should be knowledgeable of and experienced in the things related to the title of the study (Zuriah, 2005: 124). The main instrument in the present study was the researcher himself equipped with a guide of interview. In addition, a digital camera, a tape recorder, and some writing equipment were also used. The data were collected through observation, in-depth interview and documentary study. The in-depth interview was held by questioning and answering between the interviewer and the informants with or without interview guide (Bungin,
2010: 108). The documentary study was used to obtain the secondary data by tracing various types of information from journals, magazines, books, internets, and other sources. The data were analyzed by systematically composing various results of observations, interviews and documents. The data were descriptively and qualitatively analyzed while the study was being conducted through the following steps; the data were reduced, presented, and interpreted and then conclusions were drawn. RESULT AND DISCUSSION The developmental process which was only intended to acquire economic growth and which was anthropocentrically oriented was responsible for any environmental damage. The anthropocentric opinion that human beings might exploit environment as they liked contributed to such a condition (Keraf, 2002: 33). The fact that there were particular parties which intended to utilize the coastal area for the interests which were not in accordance with what it should have been used for caused the environment to be degraded and the fishermen to be marginalized from their activities. The area of the mangrove forest decreased and the fishermen found it difficult to earn their living from the coastal area. It was difficult for the fishermen to find places where they could anchor their canoes as such places were also used by the other parties for the businesses they ran such as the cultivation of fish using floating ‘karamba’, water sports, dolphin show, and other activities. The places where the fishermen usually anchored their canoes were also used as the places where other types of sea transport were anchored. After the reclamation various businesses were run, making Serangan not only a tourist destination for domestic tourists but also for foreign tourists. This caused the fishermen to be getting marginalized. In relation to that, Bourdieu (in Harker, 2009: 13) stated that a competition in capital among individuals and groups who utilized the coastal area caused the community of fishermen to be marginalized. The fishermen, with the habitus they had and the life experience inherited from generation to generation, had a clear concept that the beach was theirs. With respect to the economic, social and capital capitals they had, they were extremely poor as could be observed from the fish catching equipment and the means of transport they used. From the point of view of human resources, most of them graduated from elementary school; further, some never went to school. As a consequence, the social network with a wider access to any political or governmental institution was extremely limited. They were different from the investors who already had sufficient sources of capital for fighting for the natural resources available at Serangan Subdistrict. Their way of thinking was
different from the fishermen’s way of thinking as to how to treat the beach. According to the investors, the beach had a promising economic potential which could be developed as a tourist attraction. The powerlessness in the competition caused the coastal community which was dominated by the fishermen to be getting more marginalized. Historically, the BTID, as the investor, entered Serangan in 1996 with its reclamation project. The project tended to physically change what Serangan looked like; as a result, it also affected the coastal community especially the fishermen. The reclamation, which was done by scraping and burying the coastal area caused many parts of the mangrove forest and the ridge of rock exposed at low ride ‘terumbu karang’ to get extinct, which, in fact, played important roles as the sources of fish for the community of fishermen. As a consequence, the sources of their income declined as it was getting more difficult to catch fish to support their livelihood (Suryawan, 2013: 118). In relation to that, the fishermen were forced to sail across the ocean to catch fish as fish was getting scarce in the coastal area. Bourdieu (in Fashri, 2007: 27) stated that capital played an important role in determining the social position of any community. The capital might be economic, social, cultural and symbolic. Such types of capital could be exchanged for one another; as a result, those who had more types of capital would be dominant in the community. According to Satria (2009: 340), such a condition would be in accordance with the materialism which described that a community was made up of the components of infrastructure and suprastructure. As far as the domain of fishermen is concerned, infrastructure refers to the ownership of production tools, and suprastructure refers to the socio-political aspect. Then such infrastructure will affect or determine the existing suprastructure; however, the vice versa does not work. This means that the only economic strength which will determine the social life of a community. The life of the community of fishermen at Serangan Subdistrict was still far from what was expected, especially if viewed from the limited economic, social and cultural capitals they had. Such a limitation did not allow them to compete against the other parties which had bigger capitals. Such a condition affected the groups of the fishermen as could be observed from their powerlessness in overcoming the difficulties their members had. They were highly dependent on the other parties that gave them assistance in the forms of facilities and so forth. Such dependence could inflict them, as the assistance given by the other parties was intended to dominate the fishermen.
CONCLUSION AND SUGGESTION The marginalization the fishermen at Serangan Subdistrict faced related to the utilization of the coastal area after the reclamation included the marginalization in the utilization of the coastal environment, the economic difficulty as the sources of fish were getting scarce, and their powerlessness in overcoming the difficulties they underwent. As a phenomenon, it is suggested that the practices applied by the parties that utilized the coastal area which could inflict the community of fishermen should be further explored. In addition, it was expected that the result of the present study could motivate the fishermen to behave critically towards any decision which will utilize the coastal area so that it will not inflict themselves and environment. ACKNOWLEDGEMENT The present study could be completed due to the support provided by numerous parties. In relation to that, the writer would like to thank Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A. for his motivation and direction, Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A. for his correction, and Dr. Putu Sukardja, M.Si. for the valuable input provided to the writer. BIBLIOGRAPHY Bali Post. 2012. “379 Hektar Hilang Nelayan Terpinggirkan”, 9 September, hal. 1, kol. 4. Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Fashri, Fauzi. 2007. Penyingkapan Kuasa Simbol, Apopriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Juxtapose. Harker, Richard, Cheelen Mahar. 2009. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu (terjemahan). Yogyakarta: Jalasutra. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi Modern (terjemahan). Jakarta: Kencana. Satria, Arif. 2009. Ekologi Politik Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Supartha, Wayan. 1998. Baliku Tersayang Baliku Malang Potret Otokritik Pembangunan Bali dalam Satu Dasa Warsa. Denpasar: Bali Post. Suryawan, Nyoman. 2013. “Marginalisasi Mayarakat Nelayan Pascareklamasi di Kelurahan Serangan, Denpasar Selatan”, disertasi, Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya, Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar. Zuriah, Nurul. 2005. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 2 Halaman: 159-163
ISSN: 1412-033X April 2006
Permasalahan Konservasi Ekosistem Mangrove di Pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah Conservation problems of mangrove ecosystem in coastal area of Rembang Regency, Central Java 1
AHMAD DWI SETYAWAN
1,2,♥
1
, KUSUMO WINARNO
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Biodiversitas, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126 Diterima: 25 Desember 2005. Disetujui: 28 Pebruari 2006.
ABSTRACT The aims of the research were to find out (i) species diversity of mangrove plats, (ii) the conservation problems of mangrove ecosystem, and (iii) restoration efford of mangrove ecosystem at coastal area of Rembang Regency, Central Java. This was descriptive research that was done qualitatively, in July until December 2003, at 3 sites of mangrove habitat in Rembang Regency, namely Pecangakan, Pasar Banggi, and Lasem. The data was collected in field surveys, in-depth interview to local people and/or local government, and examination of topographic maps of Java (1963-1965) and digital satellite image of Landsat 7 TM (July-September 2001). The result indicated that northern coast of Rembang had 27 mangrove species, i.e. 12 species of major mangrove, 2 species of minor mangrove, and 13 species of associated plants. Rhizophora had been dominated mangrove ecosystem in Lasem and Pasar Bangi; while Avicennia had been dominated in Pecangakan. The most degrading factors of mangrove ecosysrems were aquaculture and salt pond, timber logging, land reclamation and soil sedimentation, and environmental pollution. Mangrove restoration by Rhizophora in coast of Pasar Bangi had been successfully, because community based management. © 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: conservation problems, mangrove ecosystem, Rembang Regency, Central Java Province.
PENDAHULUAN Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka, karena luasnya hanya 2% permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia. Ekosistem ini memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi, dan sosia-budaya yang sangat penting; misalnya menjaga menjaga stabilitas pantai dari abrasi, sumber ikan, udang dan keanekaragaman hayati lainnya, sumber kayu bakar dan kayu bangunan, serta memiliki fungsi konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia, termasuk Indonesia sangat cepat akibat pembukaan tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan, sebab-sebab alam seperti badai/tsunami, dan lain-lain. Restorasi mangrove mendapat perhatian luas mengingat tingginya nilai sosial-ekonomi dan ekologi ekosistem ini. Restorasi dapat menaikkan nilai sumber daya hayati mangrove, memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, produksi perikanan, dan lain-lain (Setyawan, 2002). Ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Rembang, sebagaimana pantai utara Jawa Tengah lainnya tidak hanya terbentuk di kawasan muara sungai namun terutama terbentuk pada lokasi-lokai tertentu yang terlindung dari gelombang laut, dimana sedimen dari sungai dan laut terendapkan dan membentuk tidal flat atau mud flat ♥ Alamat korespondensi: Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Tel. & Fax.: +62-271-663375 e-mail:
[email protected]
(dataran lumpur pasang surut). Sifat Laut Jawa yang merupakan laut pedalaman dengan jeluk yang dangkal dan arus gelombang yang relatif tenang sangat mendukung proses ini (Steenis, 1958; 1965). Pantai utara Jawa kebanyakan berupa lumpur atau tanah lempung yang ditumbuhi mangrove, pantai terbuka yang berpasir jarang dijumpai, gumuk pasir hampir tidak ada. Pantai berkarang dan kadang-kadang bergamping/karst hanya dijumpai di sebagian tempat, seperti bagian timur Rembang. Vegetasi hutan primer dan sekunder hampir tidak ada lagi, karena telah diubah menjadi lahan budidaya seperti tambak dan sawah (Steenis, 1965). Pada masa lalu ekosistem mangrove sangat melimpah di pantai utara Jawa mulai dari Banten hingga Jepara, “cekungan” antara Pati dan Rembang, serta delta Solo-Brantas. Di pantai selatan ekosistem ini tumbuh di Teluk Grajakan, Pulau Sempu, Segara Anakan, dan Ujung Kulon (Whitten dkk., 2000). Keragaman bentuk fisiografi pantai mempengaruhi kultur masyarakat dalam menyikapi kondisi ekosistem mangrove, hal ini berdampak pada kelestarian ekosistem tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (i) keanekaragaman hayati tumbuhan mangrove, (ii) permasalahan ekosistem mangrove, dan (iii) upaya restorasi ekosistem mangrove di Pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. BAHAN DAN METODE Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Desember 2003. Penelitian lapangan dilakukan pada tiga habitat
160
B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 2, April 2006, hal. 159-163
mangrove di pantai utara Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, yaitu: (i) Pecangakan, Kaliori, (ii) Pasar Bangi, Rembang, dan (iii) Lasem. Ekosistem mangrove di lokasi tersebut terletak di lingkungan muara sungai (riverine environment). Tabulasi data dilakukan di Laboratorium Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
seluruh area, baik dengan berjalan kaki maupun dengan kendaraan bermotor dan perahu. Wawancara dilakukan dengan sekurang-kurangnya 10 orang penduduk dan/atau aparat pemerintah setempat pada setiap lokasi. Di samping itu dilakukan pula kajian pustaka terhadap peta topografi tahun 1963-1965 (US. Army Map Services, 1963-1965) dan citra satelit Landsat 7 TM periode Juli-September 2001. Data hasil penelitian ditabulasikan dalam satu kesatuan dan dipaparkan secara dekriptif kualitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 1. Kawasan muara sungai yang menjadi lokasi penelitian: 1. Pecangakan, Kaliori, 2. Pasar Bangi, Rembang, dan 3. Lasem.
Cara kerja Dalam penelitian ini, batas terluar ekosistem mangrove adalah jarak 100 m ke arah luar dari titik terluar habitat yang masih ditumbuhi satu atau lebih tumbuhan mangrove mayor (dbh > 10 cm). Seluruh lahan yang terletak di dalam garis batas tersebut dinyatakan sebagai kawasan di dalam ekosistem mangrove; sedangkan lahan yang terletak di luar garis batas tersebut dinyatakan sebagai kawasan di luar atau di sekitar ekosistem mangrove. Keanekaragaman tumbuhan dan analisis vegetasi. Koleksi jenis-jenis tumbuhan mangrove dilakukan dengan metode survei (penjelajahan). Spesimen segar hasil koleksi segera diidentifikasi dan dicatat sifat-sifat morfologinya. Sebagian diawetkan, difoto penampakan umum, bunga, dan buah, serta dibuat deskripsinya. Identifikasi spesies mangrove mayor, minor, dan tumbuhan asosiasi merujuk pada pustaka-pustaka: Backer dan Bakhuizen van den Brink (1963; 1965; 1968), Kitamura dkk. (1997), Ng dan Sivasothi (2001), serta Tomlison (1986). Pengambilan data vegetasi dilakukan dengan metode belt transect, yakni 2 dengan meletakkan belt transect ukuran 10X60 m , dari bibir pantai ke arah daratan, yang di dalamnya terdapat 6 2 plot kuadrat untuk setiap strata, dengan ukuran 10X10 m (pohon), 5X5 m2 (semak dan anak pohon), serta 1X1 m2 (herba, bibit semak, dan bibit pohon). Semua spesies tumbuhan di dalam plot diidentifikasi. Diukur nilai penutupan dan frekuensi setiap spesies pada setiap strata habitus. Data komposisi dan struktur vegetasi ditampilkan dalam bentuk nilai penting yang merupakan penjumlahan nilai penutupan dan frekuensi relatif yang dibagi dua (Odum, 1971; Barbour dkk., 1987). Cara ini menyebabkan tidak semua jenis tumbuhan mangrove yang ditemukan melalui metode survei dapat tercakup dalam belt transect. Permasalahan ekosistem mangrove dan restorasi. Kegiatan koleksi data untuk mengetahui permasalahan ekosistem mangrove dan upaya restorasinya mencakup pengamatan (survei) lapangan, wawancara (in-depth interview), serta kajian peta topografi dan citra satelit. Alat dan bahan yang digunakan meliputi: daftar pertanyaan, alat perekam audio dan video, kamera, dan alat tulis. Pengamatan langsung dilakukan dengan menjelajahi
Deskripsi lokasi Wilayah Kabupaten Rembang, secara geografis terletak pada koordinat 110º15'-111º40' BT dan 6º40'-6º55' LS. Adapun batas administrasinya, di sebelah utara berupa Laut Jawa, sebelah timur adalah Kabupaten Tuban, sebelah selatan adalah Kabupaten Blora, sebelah barat adalah Kabupaten Pati. Asal nama Rembang belum dapat dibuktikan dengan tepat, karena ketiadaan bukti-bukti tertulis. Salah satu cerita rakyat menuturkan bahwa nama Rembang berasal dari “ngrembang” yang berarti membabat tebu (Kompas, 03/03/2003; Darmawan dkk., 2003). Kabupaten Rembang terdiri dari 14 kecamatan dan 294 desa, dengan jumlah penduduk 565.860 jiwa. Kabupaten Rembang tergolong daerah "minus". Dari total luas wilayah 101.408 ha, sebanyak 34% (34.968 ha) berupa tanah tegalan, 29% (29.044 ha) berupa sawah, 28% (23.625 ha) berupa hutan, 8% (8.500 ha) tanah pekarangan dan sisanya berupa padang rumput dan tambak. Curah hujan rata-rata 1.500 mL per tahun (Kompas, 12/10/2002). Pesisir utara Kabupaten Rembang, secara geomorfologi terbagi dalam dua bentangan yang sangat berbeda. Pada kaki Gunung Lasem ke arah timur terbentuk dataran bergelombang yang tersusun atas batu kapur dan berbatasan langsung dengan laut Jawa, di antara kaki perbukitan kapur tersebut terbentuk pantai-pantai berpasir, termasuk pantai pasir putih akibat pelapukan koral di laut. Pada kawasan ini terdapat beberapa sungai kecil yang umumnya berhulu di Pegunungan Kendeng, sehingga jarak alirannya cukup pendek, sebagian besar sungai-sungai ini mengering atau alirannya tidak mencapai laut pada musim kemarau. Sebaliknya kawasan di sebelah barat Gunung Lasem merupakan dataran lumpur/aluvial (tidal flat) sebagai akibat sedimentasi. Kawasan ini dipengaruhi beberapa sungai yang umumnya berhulu di Pegunungan Kendeng. Mengingat jarak alirannya yang pendek, sebagian besar sungai-sungai ini merupakan sungai kecil yang kering atau alirannya tidak mencapai laut pada musim kemarau. Beberapa sungai yang alirannya cukup besar dan berair sepanjang tahun adalah Sungai Delok, Sungai Anyar, dan Sungai Lasem. Pada musim hujan, sungai-sungai besar ini dapat meluap dan menyebabkan banjir, seperti di Kaliori dan Lasem (Darmawan dkk., 2003). Oleh karena itu, tumbuhan mangrove hanya terkonsentrasi di sisi barat, mencakup Kecamatan Kaliori, Rembang, dan Lasem. Keanekaragaman tumbuhan mangrove Di pesisir kabupaten Rembang, ditemukan 27 spesies tumbuhan mangrove, terdiri dari 12 spesies mangrove mayor, 2 spesies mangrove minor, dan 13 spesies tumbuhan asosiasi mangrove. Tumbuhan mangrove yang ditemukan di Pecangakan, Pasar Banggi, dan Lasem secara berturut-turut sebanyak 8, 18, dan 11 spesies (Tabel 1). Spesies yang paling umum dijumpai adalah Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia. Tumbuhan mangrove di pesisir
SETYAWAN dan WINARNO – Ekosistem mangrove di pesisir Rembang
Lasem
Mangrove mayor Avicenniaceae p 1. Avicennia alba Avicenniaceae p 2. Avicennia marina Avicenniaceae p 3. Avicennia officinalis Rhizophoraceae p 4. Bruguiera cylindrica Rhizophoraceae p 5. Bruguiera gymnorrhiza Rhizophoraceae p 6. Ceriops tagal Araceae p 7. Nypa fruticans Rhizophoraceae p 8. Rhizophora apiculata Rhizophoraceae p 9. Rhizophora mucronata Sonneratiaceae p 10. Sonneratia alba Sonneratiaceae p 11. Sonneratia caseolaris Sonneratiaceae p 12. Sonneratia ovata Mangrove minor Pteridaceae s 13. Acrostichum aureum Lythraceae p 14. Aegiceras floridum Tumbuhan asosiasi Acanthaceae s 15. Acanthus ilicifolius Asclepiadaceae s 16. Calotropis gigantea Gramineae h 17. Cynodon dactylon Cyperaceae h 18. Cyperus sp. Leguminosae s 19. Derris trifoliata Malvaceae p 20. Hibiscus tiliaceus Convolvulaceae h 21. Ipomoea pescaprae Pandanaceae s 22. Pandanus tectorius Gramineae h 23. Phragmites karka h 24. Sesuvium portulacastrum Aizoaceae Gramineae h 25. Spinifex littoreus 26. Stachytarpheta jamaicensiVerbenaceae h Combretaceae p 27. Terminalia catappa Jumlah 27 Keterangan: “+”hadir; “-“ tidak hadir. p = pohon, s = herba/rumput.
Pasar Bangi
Familia
Pecangakan
Nama Spesies
Habitus
Tabel 1. Jenis-jenis tumbuhan mangrove di pesisir Kabupaten Rembang (Setyawan dkk., 2005a).
+ + + -
+ + + + + + + + + + + -
+ + + +
-
+ +
-
+ + + + + + + + + + 8 18 semak,
+ + + + + + + 11 h=
Strata habitus pohon 1. Avicennia spp. MAY 0,51 0,09 2. Sonneratia spp. MAY 0 0,06 3. Rhizophora spp. MAY 0,22 0,83 Strata habitus anak pohon dan semak Anak pohon 1. Avicennia spp. MAY 0,34 0,10 2. Sonneratia spp. MAY 0 0,09 3. Rhizophora spp. MAY 0,23 0,45 Semak ASO 0,17 0,10 4. Acanthus ilicifolius 5. Acrostichum spp. MIN 0 0,03 ASO 0 0 6. Derris trifoliata ASO 0 0 7. Pandanus tectorius ASO 0 0,04 8. Calotropis gigantea Strata habitus bibit pohon, bibit semak, dan herba Bibit pohon 1. Avicennia spp. MAY 0,43 0,13 2. Rhizophora spp. MAY 0,26 0,68 Bibit semak 3. Acanthus ilicifolius *) ASO 0,17 0,1 4. Derris trifoliata *) ASO 0 0 5. Pandanus tectorius *) ASO 0 0 Herba ASO 0,11 0,10 6. Sesuvium portulacastrum 7. Rumput (Gramineae) **) ASO 0,20 0 8. Rumput liar lainnya ***) ASO 0 0,11 9. Teki (Cyperaceae) ****) ASO 0,10 0,07 Keterangan: MAY = mayor, MIN = minor, ASO = asosiasi.
Lasem
Pasar Bangi
Pecangakan
Nama Spesies
Kategori
Tabel 2. Nilai penting jenis-jenis tumbuhan mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah, termasuk di pesisir Kabupaten Rembang (data selengkapnya tidak ditunjukkan)(Setyawan, 2005b).
0,42 0,06 0,33 0,32 0,06 0,46 0,17 0 0,07 0,07 0 0,32 0,46 0,17 0,07 0,07 0,14 0,23 0 0
161
Lasem didominasi oleh Rhizophora, di Pecangakan didominasi Avicennia, sedangkan di Pasar Bangi didominasi oleh Rhizophora, dengan beberapa tegakan Sonneratia di arah laut dan Avicennia tumbuh di arah daratan (Tabel 2). Semua ekosistem mangrove di ketiga lokasi tersebut sangat terpengaruh kegiatan manusia, dan umumnya merupakan hasil penanaman program rehabilitasi dan restorasi, baik oleh pemerintah kabupaten, maupun masyarakat setempat. Ekosistem mangrove di kawasan ini, tinggal berupa segaris mangrove di tepi laut (mangrove fringe). Di Pasar Bangi lebarnya dapat mencapai 100-300 m, sedangkan di kedua lokasi lainnya, umumnya kurang dari 100 m, bahkan sebagian hanya berupa sebaris pohon mangrove yang memisahkan laut dengan area pertambakan rakyat. Rhizophora dan Avicennia merupakan tumbuhan yang sering dipilih untuk restorasi dan rehabilitasi mangrove. Proyek rehabilitasi hutan mangrove yang didanai pemerintah kabupaten hampir selalu memilih Rhizophora, seperti di Pasar Bangi. Adapun spesies Avicennia biasa dipilih petambak untuk ditanam ditepian pantai untuk menjaga hempasan ombak laut. Pemilihan Rhizophora tampaknya terkait dengan bentuk perakarannya yang khas, sehingga secara awam diidentikkan dengan mangrove (bakau). Tumbuhan ini cenderung membutuhkan area yang luas untuk pertumbuhannya. Sedangkan pemilihan Avicennia untuk restorasi oleh masyarakat tampaknya terkait dengan ukurannya yang relatif lebih kecil sehingga untuk pertumbuhan optimal tidak memerlukan ruangan yang luas dan tidak memakan ruang untuk tambak, misalnya di Pecangakan. Di pesisir Rembang, Sonneratia hampir tidak pernah dipilih untuk program restorasi, tampaknya karena pertumbuhannya yang cenderung lebih lambat. Pemilihan spesies mangrove untuk restorasi juga sangat terkait dengan ketersediaan propagul. Di Pasar Bangi, spesies Rhizophora yang dipilih adalah Rhizophora stylosa (bakau putih) karena lebih mudah dijumpai dan pada awal program restorasi tahun 1980-an merupakan spesies yang ditanam, sedangkan di Pecangakan dipilih Avicennia, karena banyak tumbuh di lokasi tersebut. Permasalahan ekosistem mangrove Beberapa faktor yang menjadi penyumbang terbesar kerusakan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Rembang adalah: pertambakan, penebangan pepohonan, reklamasi dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan. Pertambakan udang/ikan dan garam Konversi ekosistem mangrove menjadi tambak merupakan faktor utama penyebab hilangnya hutan mangrove dunia, tidak terkecuali di pesisir Kabupaten Rembang. Di kawasan ini tambak merupakan pemandangan umum, baik tambak udang dan bandeng maupun tambak garam. Pada musim penghujan, tambak garam yang bersalinitas tinggi biasanya juga diubah menjadi tambak bandeng, sehingga kawasan ini menjadi pemasok bandeng budidaya terbesar di Jawa Tengah setelah kabupaten tetangga baratnya, Pati. Kawasan pesisir Rembang juga menjadi penghasil garam terbesar di Jawa Tengah. Pertambakan ditemukan sepanjang pantai mulai dari Pecangakan hingga Lasem. Tambak-tambak ikan dan udang di kawasan ini dikelola secara intensif hingga jauh ke arah daratan. Hampir semua pantai yang mengalami sedimentasi membentuk dataran lumpur dan memiliki ekosistem mangrove diubah menjadi areal tambak, meskipun beberapa areal tambak yang jauh dari bibir pantai tampaknya tidak lagi produktif akibat perubahan kondisi hidrologi, edafit (tanah sulfat asam),
162
B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 2, April 2006, hal. 159-163
penyakit dan pencemaran lingkungan, sehingga tambak beserta sarana produksinya dibiarkan rusak tidak terurus. Pertambakan rakyat secara nyata mempengaruhi keberadaan mangrove di sekitarnya. Pada saat ini tidak lagi tersisa ekosistem mangrove alami. Ekosistem mangrove yang ada merupakan ekosistem buatan yang diupayakan oleh pemerintah, masyarakat, dan para pihak lain. Penebangan vegetasi mangrove Pembukaan lahan untuk tambak udang memiliki andil besar bagi kerusakan mangrove di luar hutan, sedangkan penebangan secara tidak lestari merupakan penyebab utama kerusakan mangrove di dalam hutan (Suara Pembaruan, 11/08/2002). Di pesisir kabupaten Rembang, tidak ada lagi hutan alami mangrove, meskipun demikian tumbuhan mangrove hasil restorasi di Pasar Banggi sudah menyerupai hutan kembali mengingat usianya sudah lebih dari 15 tahun, waktu yang diperlukan ekositem mangrove yang rusak untuk menyembuhkan diri sebagaimana kondisi asli. Ekosistem mangrove di kawasan ini relatif terjaga mengingat adanya perhatian serius dari pemerintah kabupaten dan kelompok-kelompok tani yang memiliki hak mengelolanya, yakni terdapat kesepakatan bahwa setiap luasan hutan yang dibuka harus didahului dengan penanaman mangrove hingga kondisi mapan pada dataran lumpur dan pasir di arah laut. Namun kawasan ini tidak bebas sama sekali dari ancaman penebangan, terdapat pencurian kayu untuk bangunan rumah maupun kayu bakar, meskipun demikian besarnya peran kelompok tani dapat meminimalkan ancaman tersebut. Salah satu kawasan yang dibabat sisa-sisa ekosistem mangrove untuk pertambakan dapat dijumpai di Pecangakan, Kaliori. Reklamasi dan sedimentasi Reklamasi pantai untuk kepentingan industri dan pelabuhan telah banyak dilakukan di pantai utara Jawa. Di Kabupaten Rembang, reklamasi pantai untuk kegiatan usaha relatif masih terbatas. Salah satu rencana reklamasi pantai yang tampaknya akan berdampak serius adalah rencana pembangunan pelabuhan pendaratan ikan di pusat kota Rembang yang tidak jauh dari kawasan mangrove Pasar Bangi. Dermaga pelabuhan direncanakan jauh menjorok di tengah laut, untuk menghindari kawasan mangrove yang dangkal dan berlumpur, namun aktivitas pelabuhan ikan yang besar dengan segala hiruk-pikuk perahu, manusia, dan sarana lainnya diyakini akan berdampak pada ekosistem mangrove. Besarnya volume kedatangan perahu nelayan dapat menimbulkan riak di laut sehingga menghambat pemantapan bibit baru dan menggerus lumpur yang ada. Kegiatan ini dipastikan juga akan menghasilkan limbah yang dapat mencemari ekosistem mangrove. Kabar terakhir menyatakan rencana tersebut ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan, meskipun pemancangan tiang-tiang dermaga telah dilakukan. Tampaknya telah terjadi kesalahan perencanaan. Kawasan di sekitar rencana lokasi pelabuhan, merupakan kawasan akresi lumpur dari daratan dan pasir putih dari laut, sehingga umur kolam pelabuhan diperkirakan akan pendek dan pemaksaan pembuatan pelabuhan ikan di kawasan ini diyakini berbiaya mahal mengingat harus dilakukan pengerukan sedimen secara periodik, sehingga tidak veasible. Kesombongan para penentu kebijakan tampaknya telah menyia-nyiakan dana pajak dari masyarakat karena memaksakan diri membuat pelabuhan ikan di kawasan tersebut. Sedimentasi merupakan faktor dinamis yang dapat mendorong terbentuknya ekosistem mangrove, namun
sedimentasi dalam skala besar dan luas dapat merusak ekosistem mangrove karena tertutupnya akar nafas dan berubahnya kawasan rawa menjadi daratan. Sedimentasi di pesisir Kabupaten Rembang memungkinkan terus bertambah luasnya daratan ke arah laut, dan memungkinkan pertumbuhan ekosistem mangrove. Namun sesuai dengan pola masyarakat yang terus membuka tambak ke arah laut mengikuti arah pertumbuhan mangrove, maka pada dasarnya perluasan daratan ini tidak menyebabkan bertambah luasnya ekosistem mangrove, kecuali di Pasar Bangi, yang hutan mangrovenya cenderung lebih sulit dibuka untuk tambak karena adanya campur tangan kelompok-kelompok tani yang berusaha mempertahankannya. Sebaliknya perluasan tambak ke arah laut menyebabkan tambak-tambak lama menjadi terletak jauh dari bibir pantai dan terjadi perubahan pola hidrologi, air tidak lagi dapat menggenangi tambak pada saat pasang surut harian, akibat buruknya manajemen drainase. Kawasan tambak ini pada akhirnya banyak yang dipusokan akibat tingginya biaya operasional dan tidak lagi ekonomis. Pencemaran lingkungan Pencemaran yang terjadi baik di laut maupun di daratan dapat mencapai kawasan mangrove, karena habitat ini merupakan ekoton antara laut dan daratan. Bahan pencemar seperti minyak, sampah, dan limbah industri dapat menutupi akar mangrove sehingga mengurangi kemampuan respirasi dan osmoregulasi tumbuhan mangrove, dan pada akhirnya menyebabkan kematian. Di pesisir pantai Rembang bahan pencemar yang umum dijumpai di kawasan mangrove adalah sampah domestik, seperti lembaran plastik, kantung plastik, sisa-sisa tali dan jaring, botol, kaleng dan lain-lain. Secara khas di pesisir Pasar Bangi, terdapat Ulva yang dapat mengapung dan menutupi bibit mangrove sehingga mengganggu upaya restorasi. Menurut Setyawan dkk. (2004) pencemaran logam berat (Fe, Cd, Cr, dan Pb) belum menjadi ancaman serius kawasan mangrove di pesisir Rembang, selanjutnya Setyawan dkk. (2005c) juga menyatakan bahwa pupuk + kimia (NO3 , NH4 ) juga belum menjadi ancaman bagi ekosistem ini, meskipun demikian perkembangan kota dan pertanian tetap berpotensi untuk menyumbangkan bahan pencemar di masa depan, termasuk adanya upaya membangun pelabuhan ikan di Pasar Banggi. Restorasi dan rehabilitasi ekositem mangrove Ekosistem mangrove di Jawa mengalami penurunan sangat drastis, akibat tingginya tekanan pertambahan penduduk yang berimplikasi pada besarnya kegiatan pertambakan, penebangan hutan, reklamasi dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan, sehingga perlu dilakukan restorasi untuk mengembalikan karakteristik dan fungsi ekosistem ini. Hutan mangrove yang rusak dapat melakukan penyembuhan sendiri melalui suksesi sekunder dalam periode 15-30 tahun, dengan syarat sistem hidrologi pasang-surut tidak berubah, dan tersedia biji (propagul) atau bibit. Tindakan sengaja dengan restorasi buatan seringkali diperlukan untuk memastikan berhasilnya proses penyembuhan alami tersebut. Di Jawa, sejarah restorasi ekosistem mangrove tidak banyak dicatat, namun berbagai individu dan lembaga, baik pemerintah maupun swasta, diyakini terlibat dalam kegiatan ini meskipun jumlahnya relatif terbatas. Salah satu contoh restorasi hutan mangrove yang dilakukan secara kontinyu dan cukup berhasil adalah penanaman Rhizophora, di sepanjang pesisir Pasar Bangi.
SETYAWAN dan WINARNO – Ekosistem mangrove di pesisir Rembang
Pemerintah Kabupaten Rembang berupaya merestorasi ekosistem mangrove, khususnya di Pasar Bangi, yang termasuk kecamatan kota dan berpenduduk padat. Pada tahun 1980-an, pemerintah setempat bersama para pihak melakukan restorasi ekosistem mangrove pada area dengan panjang sekitar 3000 m, dan lebar antara 100-300 m. Tujuan kegiatan ini selain untuk menjaga garis pantai dari abrasi dan badai, juga untuk menjaga salah satu identitas lanskap kabupaten ini, yakni ekosistem mangrove. Upaya ini telah menarik hidupan alami, seperti burungburung dan benih ikan (khususnya nener). Untuk menjaga kelestarian tumbuhan ini, masyarakat setempat diikutsertakan dalam kelompok-kelompok tani yang memiliki hak memanen ekosistem yang ada, dengan tetap memperhatikan kelestariannya. Pada akhirnya lokasi ini bernilai konservasi karena menarik berbagai hidupan liar, khususnya spesies-spesies burung air; serta terdapat pula nilai edukasi dan pariwisata, dimana sering disinggahi pelancong di jalur pantura dan menjadi lokasi praktikum dan penelitian mahasiswa dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, Universitas Diponegoro Semarang, dan lain-lain. Penanaman mangrove oleh para petani tambak biasanya secara khusus ditujukan untuk menjaga garis pantai dan menjebak lumpur. Apabila lumpur yang terjebak sudah cukup tinggi, area ini biasanya diubah menjadi tambak, dengan terlebih dahulu menanami mangrove pada batas daratan dengan laut, misalnya di Pecangakan, dimana sejumlah tumbuhan mangrove di muara sungai dibabat untuk tambak, setelah area baru mangrove di arah laut mulai tumbuh subur dan berumur sekitar dua tahun. Pantai utara Rembang merupakan tidal flat bagi sungaisungai di sekitarnya, seperti Sungai Delok, Sungai Anyar, dan Sungai Lasem, sehingga memungkinkan terus berlanjutnya perluasan ekosistem mangrove ke arah laut. Kegagalan restorasi mangrove dapat disebabkan kesalahan pemahaman pola hidrologi, perubahan arus laut, tipe tanah, pemilihan spesies, penggembalaan hewan ternah, sampah, kelemahan manajemen, dan ketiadaan partisipasi masyarakat. Di pesisir Pasar Bangi, partisipasi kelimpok-kelompok tani dalam manajemen pengelolaan mangrove sangat menentukan keberhasilan restorasi mangrove. Masyarakat diwajibkan menjaga kelestarian mangrove, sebagi imbalannya mereka mendapatkan manfaat ekologi seperti perlindungan garis pantai dan terjaganya biodiversitas ikan, serta manfaat ekonomi secara langsung berupa produk kayu Rhizophora dan bibit Rhizophora yang dijual untuk kepentingan program restorasi. Kawasan ini merupakan salah satu salah pusat pembibitan Rhizophora terbesar di Jawa. Dalam program restorasi, sampah domestik seperti lembaran plastik, kantung plastik, tali dan lain-lain dalam menjadi masalah karena menutupi area penanaman sehingga anakan mangrove tidak dapat tumbuh sempurna, bahkan dapat menyebabkan seedling yang perakarannya masih lemah ikut terhanyut ke laut. Di pesisir Pasar Bangi “penjeratan” ini juga dilakukan oleh sejenis algae lembaran, Ulva, Spesies ini hidup mengapung di tepi pantai dangkal terbuka, yang juga merupakan lokasi yang umum didatangi propagul alami mangrove, dan dipilih dalam program restorasi dan rehabilitasi. Pada saat air pasang, Ulva akan terangkat ke atas, dan ketika air surut akan tersangkut, melekat, dan mati pada bibit mangrove, sehingga menghambat pertumbuhan dan mematikan bibit tersebut.
163
Kondisi ini menyebabkan kerugian yang cukup berarti pada program rehabilitasi bakau di tepi pantai Pasar Banggi. KESIMPULAN Di pesisir kabupaten Rembang, ditemukan 27 spesies tumbuhan mangrove, terdiri dari 12 spesies mangrove mayor, 2 spesies mangrove minor, dan 13 spesies tumbuhan asosiasi mangrove. Tumbuhan mangrove di pesisir Lasem dan Pasar Bangi didomimasi oleh Rhizophora, sedangkan di Pecangakan didominasi Avicennia. Penyumbang terbesar kerusakan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Rembang, antara lain: pertambakan, penebangan pepohonan, reklamasi dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan. Restorasi mangrove di pesisir Pasar Bangi, Rembang dengan penanaman Rhizophora cukup berhasil, salah satu penyebabnya adalah keikutsertaan masyarakat dalam manajemen pengelolaannya. DAFTAR PUSTAKA Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1963. Flora of Java. Vol. I. Groningen: P.Noordhoff Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Vol. II. Groningen: P.Noordhoff Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1968. Flora of Java. Vol. III. Groningen: P.Noordhoff Barbour, M.G., J.H. Burk, and W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. Second edition. Menlo Park CA.: The Benjamin Cummings Pub. Co. Inc. Darmawan, A., S.K. Purba, dan Hermawan. 2003. Pemetaan Geologi Teknik Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Bandung: Direktorat Jendral Geologi dan Sumber Daya Mineral. Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia; Bali & Lombok. Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Management Project, Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Agency. Kompas, 03/03/2003. Kabupaten Rembang. Kompas, 12/10/2002. Waduk Banyukuwung Kering Total. Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (ed.). 2001. A Guide to Mangroves of Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science Centre. Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. 3rd edition. Philadelphia: W.B. Sounders Company. Setyawan, A.D. 2002. Ekosistem Mangrove sebagai Kawasan Peralihan Ekosistem Perairan Tawar dan Perairan Laut. Enviro 2 (1): 25-40. Setyawan, A.D. Indrowuryatno, Wiryanto, dan K. Winarno. 2004. Pencemaran logam berat Fe, Cd, Cr, dan Pb pada lingkungan mangrove di Propinsi Jawa Tengah. Enviro 4 (2): 45-49. Setyawan, A.D. Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati. 2005a. Tumbuhan mangrove di pesisir Jawa Tengah: 1. keanekaragaman jenis. Biodiversitas 6 (2): 90-94. Setyawan, A.D. Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati. 2005b. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 2. Komposisi dan Struktur Vegetasi. Biodiversitas 6 (3): 194-198. Setyawan, A.D. Indrowuryatno, Wiryanto, dan K. Winarno. 2005c. Potensi eutrofikasi kandungan nutrien pada sedimen tanah mangrove di Propinsi Jawa Tengah. Enviro 5 (1): 12-17. Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In: Flora Malesiana. Djakarta: Noordhoff-Kollf. Steenis, C.G.G..J. van. 1965. Concise plant-geography of Java. In: Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Vol. II. Groningen: P.Noordhoff Suara Pembaruan, 11/08/2002. Pendangkalan dan Abrasi di Jawa Mengkhawatirkan. Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge University Press. US. Army Map Services. 1963-1965. Sheets Map of Java. Washington, D.C.: Corps of Engineers. Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S.A. Afiff. 2000. The Ecology of Java and Bali. Singapore: Periplus.
Volume 13, Nomor 2, Hal. 05-10 Juli – Desember 2011
ISSN 0852-8349
PERUBAHAN KARAKTERISTIK LAHAN PASANG SURUT (Studi Kasus Reklamasi di Delta Berbak, Jambi) CHANGES OF CHARACTERISTICS TIDAL SWAMP AREA (Case Study Reclamation in Berbak Delta, Jambi) Asmadi Sa’ad1, Supiandi Sabiham2, Atang Sutandi2, Basuki Sumawinata2, dan M. Ardiansyah2 1
Program Studi Ilmu Tanah, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jambi (
[email protected]) 2 Jurusan Tanah , Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Abstract The Indonesian Government’s programes for transmigration on tidal areas were conducted in Jambi Province since 1973 has faced on several problems, i.e. (1) the soil peat and mineral has low capability for agriculture, (2) limited accessibility, (3) peat decomposation is fibric stage and low of nutrients availability, and (4) very poor drainage. To improve these conditions required drainage canals to discard excessive water. These reclamations due to change the soil characteristics. The objectives of this research were to study soil charasteristics due to reclamation during 30 years reclamation. The research results showed the first ten-year reclamation, sulfuric acid was released from oxidized underlying mangrove-clay, and raised up to the soil surface. The canal construction also caused peat oxidation and land subsidence. The land subsidence showed by peat deplation of about 1,9 cm per year in the first ten-year. After 20-year reclamation however peat subsidence rate was only 0.42 cm per year. The process of the release sulfuric acid was very rapid during drought period cause acidification the soil. The first ten-year reclamation caused decreasing of pH, K, Ca and Mg but increasing Al and CEC. Otherwise, after 30 years reclamation soil pH increased but CEC, Al and exchangable bases decreased. SO4-2 soils solution after 30 years reclamation increase at top soil and decrease at deeper soil horizon. Key words : Tidal swamp reclamation, soil characteristics (Reklamasi pasang surut, karakteristik tanah)
PENDAHULUAN Pembukaan lahan pasang surut di Provinsi Jambi, yang sebagian besar terdiri dari lahan sulfat masam dimulai tahun 1969 (IPB, 1969; Litbang Transmigrasi, 1972; Satari, 1979) untuk Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) dan BP-P3S (Badan Pelaksana Proyek Pengairan Pasang Surut) yang dilanjutkan dengan ISDP (Integrated Swamp Development Project). Sampai Pelita VI (1996/1997) pemerintah telah membuka dan mengembangkan lahan rawa di Popinsi Jambi seluas 77.746 hektar untuk rawa pasang surut dan dan 7.436 hektar untuk rawa non pasang surut (Bappeda Provinsi Jambi, 2000).
Permasalahan pembukaan lahan pasang surut (tidal swamp areas) antara lain: (1) tanah tersebut memiliki lapisan atas mentah dan daya sangganya rendah, (2) kurangnya aksesibiltas transportasi, (3) sebagian besar areal ditutupi oleh lapisan bahan organik dengan tingkat kematangan fibrik dan kandungan hara yang rendah, (4) drainase sangat jelek (tergenang) (P4S, 1973). Untuk memperbaiki keadaan tersebut di atas dilakukan drainase dengan membuat saluran yang diharapkan dapat membuang kelebihan air dan masuknya air pasang. Sebagai akibat dari pembuatan saluran dan tanggul (jalan) dalam pembukaan lahan pertanian pada lahan pasang surut adalah
5
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains.
turunnya muka air tanah. Dengan turunnya muka air tanah menyebabkan terjadinya subsiden, pematangan tanah, pematangan gambut dan yang sangat berbahaya adalah lapisan bahan sulfidik mengandung pirit (FeS2), bila teroksidasi akan menghasilkan ion H+ dan ion SO42- yang mengakibatkan tanah yang mengandung bahan sulfidik menjadi tanah sulfat masam yang sangat masam (Van Breemen, 1975; Dent, 1986; Widjaja-Adhi et al., 1992). Keadaan sangat masam meningkatkan kelarutan ion Al3+, Fe2+, dan Mn2+ meningkat dan mendesak kation-kation basa seperti Ca2+, Mg2+, K+ dan Na+ keluar dari komplek jerapan tanah. Tanah sulfat masam yang mengalami berbagai proses oksidasi, reduksi, pengeringan, penggenangan, pencucian oleh banjir secara berulang setiap tahun telah mempengaruhi kandungan pirit terutama pada tanah lapisan atas yang mengakibatkan penurunan dan perubahan pada beberapa karakteristik tanah akan mempengaruhi produktivitas tanah sulfat masam (Syilla et al., 1992). Untuk mempelajari perubahan karakteristik tanah pasang surut ditutupi bahan organik (gambut) setelah direklamasi, maka dilakukan penelitian di Delta Berbak dengan merunut mulai reklamasi tahun 1973 sampai tahun 2008 setelah tiga puluh tahun reklamasi. Informasi ini sangat penting dalam reklamasi dan pengelolaan lahan pasang surut untuk pertanian. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada lahan pasang surut di Delta Berbak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi yang merupakan permukiman transmigrasi yang telah direklamasi sejak tahun 1970-an. Pengamatan lapang dilaksanakan pada bulan Agustus 2008 sampai maret 2009, ketebalan bahan orgnik, dan karakteristik tanah. Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survey dengan merunut time series mulai awal pembukaan tahun 1973, tahun 1984 dan tahun 2008. Lokasi pengamatan didasarkan pada
6
lokasi pengamatan pada tahun 1973 dan 1984 sehingga diperoleh 3 lokasi pengamatan yang bersesuian yaitu : (1) Lokasi 1 Parit 4 Rantau Rasau II, (2) Lokasi 2 SK 21 Sungai Dusun/Bangun Karya dan (3). Lokasi 3 SK 11 Harapan Mamur. Detail lokasi penelitian dan areal pengamatan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian. Penentuan Lokasi pengamatan ditentukan mengikuti metode penentuan satuan lahan pada lahan sulfat masam (Quang et al., 1992; FAO, 1976). Pada lokasi pengamatan tersebut dilakukan pengamatan tanah, air, kondisi saluran dan penggunaan lahan. Data spasial dirubah ke format digital dalam bentuk peta vektor dengan menggunakan Software Geographycal Information System (GIS) ArcView 3.2 / ArcGis 8.1 melalui digitasi layar (screen digitize). Pengolahan data citra satelit dilakukan dengan Software ENVI untuk identifikasi perubahan penggunaan lahan pasang surut mulai reklamasi tahun 1973 sampai tahun 2008. Karakteristik Tanah.
Data karakteristik tanah awal reklamasi diperoleh dari laporan hasil survey P4S tahun 1973, dan data sepuluh tahun setelah reklamasi diperoleh dari laporan akhir Pelaksanaan Monitoring Lahan di Delta Berbak oleh P3S tahun 1984. Sedangkan data
Asmadi sa’ad, dkk. : Perubahan karakteristik lahan pasang surut (Studi Kasus Reklamasi di Delta Berbak, Jambi)
karateristik tanah tahun 2008 diperoleh dari survey lapangan. Untuk mendapatkan data karakteristik tanah tahun 2008 dilakukan pengeboran dan pembuatan profil tanah sampai kedalaman 100 cm. Pengamatan tanah mencakup morfologi tanah kedalaman lapisan/horizon tanah dan tekstur. Untuk gambut dilakukan pengamatan tingkat dekomposisi dan ketebalan bahan organik. Pengamatan kedalaman lapisan (bahan sulfidik atau pyrite) menggunakan perioksida air (H2O2) 30 % (Mensvoort and Dent, 1998). Untuk lebih detail ditentukan di laboratorium dengan menganalisis total sulfur. Analisis total sulfur merupakan metode yang memiliki akurasi tinggi dalam mengidentifikasi tanah sulfat masam (Jassen et al., 1992 dalam Andriesse, 1992). Pengambilan contoh menggunakan pipa paralon PVC berdimeter 4” (empat inchi) dengan panjang 100 cm dibenamkan ke dalam tanah secara tegak lurus terhadap permukaan tanah dan ditutup rapat untuk dianalisis.
Rantau rasau II, penurunan ketebalan bahan organik mencapai 40 cm (4 cm per tahun) namun pada periode berikut tidak terjadi penurunan. Hal ini disebabkan lokasi tersebut lebih rendah dan terluapi oleh air pasang. Pada lokasi 2 terjadi penurunan ketebalan bahan organik 3 cm dalam 10 tahun pertama reklamasi dimana lokasi tersebut terletak pada areal yang paling rendah selalu tergenang namun pada periode berikutnya terjadi penurunan yang cukup tinggi setelah adanya pendalaman saluran. Pada lokasi 3 yang berada pada areal yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya terjadi penurunan ketebalan bahan organik 13 cm selama 10 tahun pertama reklamasi dan 11 cm periode berikutnya. Penurunan ketebalan bahan organik pada lahan pasang surut setelah reklamasi sangat dipengaruhi oleh posisi ketinggian dan terluapi atau tidak oleh air pasang. Gambar 2. Perubahan
Ketebalan
Bahan
Analisa Data
Pengolahan data tabular dilakukan dengan menggunakan software Statistik, sedangkan untuk data spasial dengan menggunakan software GIS. Perubahan karakteristik tanah dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan Karakteristik Tanah Ketebalan Bahan Organik
Reklamasi lahan pasang surut untuk pertanian telah menyebabkan perubahan terhadap karakteristik tanah terutama pada ketebalan bahan organik (Gambar 2). Setelah sepuluh tahun pertama (1973-1984) reklamasi lahan pasang surut terjadi penurunan ketebalan bahan organik 19 cm (1,87 cm/tahun) dan kurun waktu (1984-2008) terjadi penurunan ketebalan bahan organik 10 cm (0.42 cm/tahun). Penurunan ketebalan bahan organik sebagai akibat turunnya muka air tanah sehingga terjadinya kondisi oksidatif dan berubahnya kematangan bahan organik menjadi hemik atau saprik. Dalam 10 tahun pertama reklamasi pada Lokasi 1 di parit 4
Organik Pada Lokasi 1, Lokasi 2 dan Lokasi 3. Tingkat Kemasaman Tanah (pH) , KTK, Al-dd dan SO42-
Gambar 3 menunjukkan, setelah sepuluh tahun pertama reklamasi lahan pasang surut terjadi penurunan pH dan peningkatan Al-dd dan KTK. pH tanah 4.6, turun menjadi 3.83 pada lapisan atas dan 4.1 pada lapisan bawah. Aluminium pada lapisan tanah atas naik dari 5.12 me/100gr menjadi 12 me/100gr dengan kejenuhan aluminium dari 5.8 % menjadi 30 %. KTK pada lapisan atas tanah meningkat dari 57 me/100gr menjadi 103 me/100gr sedangkan pada tanah lapisan bawah KTK naik sedikit dari 45.4 me/100gr menjadi 52.8 me/100gr. Penomena ini dapat dijelaskan dimana reklamasi dengan penggalian tanah
7
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains.
pH
KTK (me/100gr)
Al-dd (me/100gr)
-2
SO4 (me/100gr)
Lokasi 1
Lokasi 2
Lokasi 3
Gambar 3. Perubahan pH, KTK , Al-dd dan SO42- pada Lokasi 1, Lokasi 2 dan Lokasi 3
8
Asmadi sa’ad, dkk. : Perubahan karakteristik lahan pasang surut (Studi Kasus Reklamasi di Delta Berbak, Jambi)
untuk pembuatan saluran menyebabkan perubahan kondisi reduktif menjadi kondisi aksidatif. Kondisi oksidatif menyebabkan terjadi proses dekomposisi bahan organik dan oksidasi pirit. Dekomposisi bahan organik dari fibrik menjadi hemik dan saprik akan meningkatkan KTK dimana akan memperluas tapak jerapan. Oksidasi pirit melapaskan SO42dan H+ sehingga meningkatkan kelarutan aluminium dan menurunkan pH. Perubahan karakteristik tanah setelah tiga puluh tahun reklamasi menunjukkan terjadinya kenaikan pH, dan penurunan Al-dd dan KTK. Pada tahun 2008 pH naik menjadi 5.3 pada kondisi lapang, Al-dd turun menjadi 2 me/100gr dan KTK turun menjadi 17 me/100gr. Penomena ini menujukkan pola yang sama di semua lokasi pengamatan. Hal ini dapat dipahami dimana setelah tiga puluh tahun reklamasi lahan pasang surut menyebabkan tercucinya sebagian aluminium yang dilepaskan menyebabkan pH meningkat namun kation basa K, Ca dan Mg ikut tercuci sehingga larutan tanah lebih didominasi oleh aluminium. Kation basa pada tahun 2008 untuk K 0.1 me/100gr, Ca 0.1 me/100gr dan Mg 0.4 me/100gr. Dominannya aluminium dalam larutan tanah terlihat dari kejenuhan aluminium yang meningkat di semua lokasi. Pada Lokasi 1 kejenuhan aluminium mencapai 73 %, Lokasi 2 mencapai 80 % dan Lokasi 3 mencapai 44 %. KESIMPULAN 1.Reklamasi lahan pasang surut dalam periode awal pembukaan menyebabkan penurunan pH, meningkatkan Al-dd dan KTK, menurunkan K-dd, Ca-dd dan Mg-dd. 2.Perubahan Karakteristik tanahpasca 30 tahun reklamasi meningkatkan pH tanah, menurunkan KTK , Al-dd, meningkatkan kejenuhan aluminium dan menurunkan Kdd, Ca-dd dan Mg-dd. DAFTAR PUSTAKA Andriesse, W. 1992. Acid Sulfate Soils : Diagnosing the illness. Selected Papers of the Ho Chi Minh City Symposium on Acid Sulphate Soils,
March 1992. ILRI Publication 53 : 241-246. ILRI Netherland. Bappeda Provinsi Jambi 2000. Potensi, Prospek dan Pengembangan Usaha Tani Lahan Pasang Surut. Laporan hasil seminar Penelitian dan Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut Provinsi Jambi, Kuala Tungkal , 27 – 28 Maret 2000. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, DEPTAN. Dent, D. 1986. Acid Sulphate Soils: a baseline for research and development. ILRI. Wageningen. 202p. Dent, F.J., 1978. Land suitability classification. Soil and Rice. IRRI, Los Banos, Philiphines. FAO, 1976. A Framework for land evaluation. FAO soil bulletin 32. Soil Resourses Management and conservation Service Land and Water Development Division Institut Pertanian Bogor. 1969. Laporan Survey Kedaerah Pasang Surut Rantau Rassau, Jambi. Batang Berbak – Pamusiran Laut. Sub P4S Jambi. P4S, Ditjen Pengairan, Dept PUInstitut Pertanian Bogor. Institut Pertanian Bogor. 1973. Laporan Survey dan Pemetaan Tanah Daerah Pasang Surut. Batang Berbak – Pamusiran Laut. Sub P4S Jambi. P4S, Ditjen Pengairan, Dept PU-Institut Pertanian Bogor. Institut Pertanian Bogor. 1984. Laporan akhir, pelaksanaan monitoring lahan dalam rangka persiapan E & P seluas 19.894 Ha di Rantau Rasau, Simpang, Lambur dan Pamusiran. P3S Jambi. P3S, Ditjen Pengairan, Dept PU Institut Pertanian Bogor. Mensvoort, Van M.E.F., N. van Nhan, T.K.Tinh and Le Q. Tri, 1992. Coarse lan evaluation of acid sulfate soil areas in the Mekong delta based on farmes’ experience. Selected Papers of the Ho Chi Minh City Symposium on Acid Sulphate Soils, March 1992. ILRI Publication 53 : 321-339. ILRI Netherland.
9
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains.
Quang, Le T., Nguyen Van Nhan, H.G.J. Huizing, and M.E.F. van Mensvoort. 1992. Present land use as basis for land evaluation in two Mekong delta districts. Selected Papers of the Ho Chi Minh City Symposium on Acid Sulphate Soils, March 1992. ILRI Publication 53 : 299-320. ILRI Netherland. Satari, A.M. 1979. A Selective strategy approach in opening up new tidal areas for agricultural development. Buku I Proceedings Simposium III Pengembangan Daerah Pasang Surut di Indonesia. Palembang, 5-9 Februari 1979. Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum – Institut Pertanian Bogor. Bogor.
10
Syilla, M., N. van Bremeen, L.O. Fresco, C.Dixon and A.Stein. 1992. Temporal and spatial variability of soil constraints affecting rice production along the Great Scarcies mangrove swamps, Sierra Leone. Selected Papers of the Ho Chi Minh City Symposium on Acid Sulphate Soils, March 1992. ILRI Publication 53 : 247-259. ILRI Netherland. Van Breemen, N. 1979. Acidification and deacidification of coastal soils as a result of periodic flooding. Proceeding SSSA Vol 39, 1153-1157. Widjaya Adhi, I.P.G., K Nugroho, S. Didi Ardi, dan A. Syarifudin Karama. 1992. Sumber daya lahan rawa: Potensi, keterbatasan dan pemanfaatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian DEPTAN.
Perubahan Penggunaan Lahan Pasang Surut Setelah Reklamasi Di Delta Berbak, Jambi (Land Use Change on Tidal Swamp Area After Reclamation in Berbak Delta, Jambi) Asmadi Sa’ad1, Supiandi Sabiham2, Atang Sutandi2, Basuki Sumawinata2, dan M. Ardiansyah2 ABSTRACT This study to analiyze land-use change by the Reclamation on tidal swamp area in delta Berbak Jambi. This study conducted in the reclamated delta Berbak Jambi by series data initially 1973, untill 2008. Initially land-use reclamation noted delta Berbak survey report 1973 and land-use 1989, 1998 and 2008 analyzed from Landsat data and farmer. Landsat data proceed using image processing program ENVI by suvervised classification and used Tasseled cap transformation. Spatial analyzed by Geographycal Information System (GIS) ArcView 3.2 / ArcGis Software. This study showed that there are the transtation step of land-use types and their probabilities of occurance depand on government policy, land and hydrology characteristics and plant economical value. Initially land-use types are forest, rice field and shrub. The fisrt ten-year reclamation land-use types developed into rice field, mixed farming, coconut plantation, forest and shrub. Large changed of forest into rice field strongly influenced by government policy. After 20-year reclamation, land-use types changed forest and rice field decrease but coconut and mixed farming increase caused land and hydrology changed. After 30 years reclamation appear the new land-use types are rubber and oil palm plantation due to the good economically value and more suitable for exist land characteristics Keywords : Land Use Change , Tidal swamp reclamation (Perubahan Penggunaan Lahan , Reklamasi pasang surut) PENDAHULUAN Perubahan penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yakni faktor alam (karakteristik tanah, hidrologi dan topografi), sosial ekonomi (pertumbuhan penduduk, perkembangan tanaman, zonasi, peraturan yang mengikat) dan kebijakan pemerintah (Rayner et al., 1994; Turner et al., 1995). Ke tiga faktor tersebut saling berinteraksi satu sama lainnya dalam
skala lokal, regional dan global (Messerli, 1997) dan sangat berhubungan erat dengan infrastruktur (Shosany dan Goldshleger, 2002). Perubahan penggunaan lahan dapat terjadi menurut spasial dan temporal (Lambin, 1997). Perubahan penggunaan lahan di daerah Pasang Surut di Delta Berbak , Jambi pada awal rekalamasi lebih ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan reklamasi tersebut bertolak
1
Program Studi Ilmu Tanah, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jambi (
[email protected]) 2 Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor J. Hidrolitan., Vol 1 : 3 : 37 – 46, 2010 ISSN 2086 – 4825
37
Asmadi S, dkk: Perubahan penggunaan lahan pasang surut setelah reklamasi dari potensi lahan pasang surut untuk menunjang pembangunan sektor pertanian sebagai alternatif dalam mengimbangi pengalihan fungsi lahan untuk bukan pertanian dan untuk memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat akibat pertumbuhan penduduk. Kebijakan ini dimulai awal pelita pertama diarahkan untuk penempatan transmigrasi dengan pola tanaman pangan yang sekaligus secara politis untuk mencapai swasembada pangan (Litbang Transmigrasi, 1972) melalui program transmigrasi. Pembangunan di lahan pasang surut di delta berbak, Jambi yang pada awal reklamasi dimulai tahun 1969 (Pelita I) (Litbang Transmigrasi, 1972; Satari, 1979). Pembukaan lahan pasang surut dilanjutkan dengan proyek yang dikenal sub P4S (sub Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut) dan BP-P3S (Badan Pelaksana Proyek Pengairan Pasang Surut) kemudian dilanjutkan dengan ISDP (Integrated Swamp Development Project) yang melibatkan PU-Pengairan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Perkebunan, Badan Litbang Pertanian dan Bappeda sebagai Koordinator (Bappeda Propinsi Jambi, 2000). Sebagai konsekwensi dari reklamasi lahan pasang surut di delta Berbak Jambi menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi areal pertanian yaitu lahan sawah yang ditempati oleh transmigran. Areal lahan pasang surut dibuat saluran primer, saluran sekunder untuk mengendalikan tata air dan sebagai sarana transportasi. Sebagai akibat dari pembangunan sarana pengairan dan transportasi dalam pengelolaan lahan pasang surut terutama yang berpotensi sulfat masam menyebabkan terjadi degradasi lahan akibat aktivitas manusia atau yang dikenal dengan
anthrophogenic soil degradation (Lal, 1998; Blum, 1998; Himiyama, Y., 1999), seperti perubahan-perubahan penggunaan lahan dari lahan sawah menjadi perkebunan atau ditinggalkan (Dunn et al., 1991; Hobbs, 1997; Mendoza and Etter, 2002). Kenyataan sekarang di lahan pasang surut delta Berbak, Jambi telah terjadi perubahan penggunaan lahan yang pada awal reklamasi ditujukan untuk lahan sawah berubah menjadi lahan bukan sawah seperti perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, semak belukar, kebun campuran dan kebun kelapa. Namun di beberapa tempat masih terdapat penggunaan lahan sawah. Untuk mendapatkan data perubahan sebelum dan sesudah pembukaan lahan pasang surut yang sangat diperlukan sebagai dasar kebijakan pemerintah selanjutnya, maka dilakukan kajian analisis perubahan penggunaa lahan secara spasial dan temporal dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh (Remote Sensing) dan sistem informasi geografi. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan dengan merunut seri waktu (time series) mulai awal pembukaan tahun 1973, tahun 1989, tahun 1998 dan tahun 2008. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Untuk data penggunaan lahan tahun 1973 diperoleh dari laporan hasil survey delta Berbak Tahun 1973 dan foto udara. Data tahun 1989, tahun 1998 diperoleh dari hasil analisis citra Landsat dan informasi dari masyarakat atau penduduk setempat. Sedangkan data tahun 2008 diperoleh dengan menganalisis citra Landsat tahun 2008 dan hasil pengamatan di lapang. Data spasial dirubah ke format digital dalam bentuk peta vektor dengan 38
J. Hidrolitan., Vol 1 : 3 : 37 – 46, 2010
menggunakan Software Geographycal Information System (GIS) ArcView 3.2 / ArcGis 10 melalui digitasi layar (screen digitize). Pengolahan data citra landsat dilakukan dengan Software ENVI untuk identifikasi perubahan penggunaan lahan pasang surut tahun 1989, 1998 dan tahun 2008. Pengamatan lapang dilaksanakan pada bulan Agustus 2008 sampai maret 2009.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Pengolahan citra Landsat dimulai dengan melakukan koreksi geometrik citra dilakukan melalui (1) rektifikasi atau restorasi citra, (2) registrasi dan (3) registrasi citra ke peta lain (Purwadhi, 2001 dan Mumby, et al., 2000). Foto udara tahun 1976 diregistrasi terhadap citra terkoreksi geometrik. Untuk mendapatkan perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan membandingkan penggunaan lahan secara seri peta tahun 1973, 1989, 1998 dan 2008. Ekstraksi penggunaan lahan dari citra dilakukan dengan metode klasifikasi terbimbing (suvervised classification) dengan transformasi Tasseled cap (Healey,
Cohen, Zhiqiang, dan Krankina, 2005). Pengolahan data tabular dilakukan dengan menggunakan software Statistik, sedangkan untuk data spasial dengan menggunakan software GIS (ArcView 3.2). HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Awal Reklamasi Tahun 1973
Gambar 2. Peta Penggunaan lahan 1973
Gambar 2 menunjukkan bahwa penggunaan lahan pada awal reklamasi dapat dikelompokkan dalam tiga (3) kelompok yaitu : (1) Hutan, (2) Sawah, (3) semak belukar. Perkampungan hanya tersebar sedikit dalam areal yang kecil yaitu Nipah Panjang dan untuk perkampungan transmigran berada sepanjang tanggul dekat saluran dengan jarak antar rumah sekitar 100 m dan 250 m. Hutan mendominasi penggunaan lahan awal pembukaan yaitu 16.302,58 ha (58,08 %). Kelompok hutan dapat berupa nipah (Nipa fructicans Thumb.) dan mangrove (Sonnereatia sp., Avicenia officinalis L. and Rhizophora sp.), yang mendominasi di daerah pantai delta Berbak yaitu Nipah Panjang, Sungai Ular. Sementara untuk di bagian tengah area studi didominasi oleh hutan 39
Asmadi S, dkk: Perubahan penggunaan lahan pasang surut setelah reklamasi tropis yang didominasi oleh Colophylum sp., pada tanah gambut yang tipis dan Eugenia sp., Alstonia sp. ,Dyera sp., Shorea sp., Kompassia malacesis Maing, rattan (calamus sp. Daemanorops sp.), and Pinanga sp., pada lahan yang memiliki lapisan gambut tebal. Penggunaan lahan sawah mendominasi di daerah tengah delta Berbak (lokasi penelitian) yang dibuka oleh patani transmigran dan bagian utara lokasi studi dan tepi (leevi) sungai Batanghari seperti di desa Rasau desa dan desa Simpang yang dibuka oleh petani lokal (melayu dan Bugis). Penggunaan lahan sawah oleh petani lokal sering ditanami tanaman kelapa yang diantaranya ditanami padi sawah sekali dalam satu tahun. Penggunaan lahan sawah berupa tanaman padi sawah (Oryza Sativa L.) pada awal pembukaan mencapai 11.198,34 ha (39,89 %). Sementara semak belukar terdapat di daerah yang ditinggalkan oleh petani lokal yang umumnya berada di pinggir sungai Batang Berbak dan Sungai Pamusiran mencapai 569.75 ha (2,03 %) (Gambar 2). Penggunaan Lahan Setelah Reklamasi Tahun 1989
Gambar 3. Peta Penggunaan lahan 1989
Penggunaan lahan setelah reklamasi reklamasi (tahun 1989) dapat dikelompokkan dalam enam (6) kelompok yaitu : (1) Hutan, (2) Sawah, (3) semak belukar, (4) Kebun campuran, (5) Kelapa, (6) Perkampungan (Gambar 3). Hutan sebagai penggunaan lahan setelah pembukaan tahun 1989 seluas 1.704,33 Ha (6.07 %). Kelompok hutan masih berupa nipah (Nipa fructicans Thumb.) dan mangrove (Avicenia officinalis L. and Rhizophora sp.), yang mendominasi di daerah pantai delta Berbak yaitu Nipah Panjang, Sungai Ular. Sementara untuk di bagian pinggir sungai Batanghari dan batang Berbak di daerah Rasau desa dan desa Simpang didominasi oleh hutan tropis berupa Eugenia sp., Alstonia sp., Dyera sp., rattan (calamus sp. Daemanorops sp.), and Pinanga sp. Penggunaan lahan sawah mendominasi di daerah tengah delta Berbak (lokasi penelitian) mencakup desa Rantau rasau I, Rantau Rasau II, Bangun Karya, Harapan Makmur, Rantau Makmur, Bandar Jaya, yang dibuka oleh patani transmigran dan bagian utara lokasi studi dan dekat tepi sungai Batanghari seperti di desa Rasau desa dan desa Simpang, Puding dan sungai Dusun yang dibuka oleh petani lokal (melayu dan Bugis). Penggunaan lahan sawah oleh petani lokal sering ditanami tanaman kelapa yang diantaranya ditanami padi sawah sekali dalam satu tahun. Penggunaan lahan sawah berupa tanaman padi sawah (Oryza Sativa L.) setelah pembukaan (tahun 1989) seluas 18.457,90 ha (65,76 %). Sementara semak belukar terdapat di daerah yang ditinggalkan oleh petani lokal yang umumnya berada di pinggir sungai Batang Berbak dan Sungai Pamusiran mencapai 1.144,30 ha (4,08 %) (Gambar 3). 40
J. Hidrolitan., Vol 1 : 3 : 37 – 46, 2010
Penggunaan lahan berupa kebun campuran mencapai 4.12,25 ha (14,70 %) yang umumnya terdapat pada daerah yang relatif lebih tinggi seperti di desa Rantau Rasau I, Rantau Rasau II dan desa Bandar Jaya. Tanaman yang diusahakan dalam penggunaan lahan kebun campuran berupa tanaman jengkol, pinang (Areca sp), kelapa (Cocos sp), durian (Durio sp), nangka (Artocarpus integrifolia L.), jeruk (Citrus sp.), pisang (Musa sapientum), ubi kayu (Monihot sp.) dan ubi jalar (Ipomea sp.). Penggunaan kebun kelapa mendominasi di daerah yang dibuka oleh petani lokal terutama Bugis dan Melayu yaitu pada daerah sebelah utara lokasi penelitian dekat Nipah Panjang dan Sungai Dusun dekat sungai Pamusiran. Luas penggunaan lahan kelapa mencapai 2.504,71 ha (8,92 %). Kelapa yang diusahakan berupa kelapa lokal dengan system budidaya secara tradisional tanpa adanya usaha pemupukan. Perkampungan tersebar sedikit dalam areal yang kecil yaitu Nipah Panjang, Puding, Simpang dan untuk pemukiman transmigran berada sepanjang tanggul dekat saluran. Pemukiman Trasmigran diatur menurut lahan yang dimiliki. Untuk Desa Rantau Rasau II, pemukiman ditempatkan pada suatu kelompok d i sepanjang SK 16 dan Parit 1, 2, 3, 4, 5, dan parit 6. Dimana setiap rumah menempati areal pekarangan dan lahan usaha berada di lokasi yang lain. Semantara untuk desa lainnya pemukiman transmigran tersebar sesuai masing-masing lahan yang dimiliki yaitu 2 ha per kepala keluarga yang mencakup lahan pekarangan dan lahan usaha. Penggunaan Lahan Setelah Reklamasi Tahun 1998
Penggunaan lahan setelah reklamasi (Tahun 1998) memilki tipe yang sama dengan tahun 1989. Namun terdapat perbedaan luasan dari masingmasing tipe penngunaan lahan. Penggunaan lahan berupa hutan setelah pembukaan tahun 1998 seluas 186,46 ha (0,66 %). Kelompok hutan dapat berupa mangrove (Avicenia officinalis L. and Rhizophora sp.), dan nipah (Nipa fructicans Thumb.) hanya terdapat di daerah pantai delta berbak yaitu Nipah Panjang, Sungai Ular. Sementara untuk di bagian pinggir sungai batang Berbak di daerah Rasau desa dan desa Simpang masih terdapat sedikit hutan berupa Eugenia sp., Dyera sp., Shorea sp., and Pinanga sp.
Gambar 4. Peta Penggunaan lahan 1998
Penggunaan lahan sawah mendominasi di daerah tengah delta Berbak (lokasi penelitian) mencakup desa Rantau rasau I, Rantau Rasau II, Bangun Karya, Harapan Makmur, Rantau Makmur, Bandar Jaya, yang dibuka oleh patani transmigran dan bagian utara lokasi studi dan dekat tepi sungai Batanghari seperti di desa Rasau desa dan desa Simpang, Puding dan sungai Dusun yang dibuka oleh petani 41
Asmadi S, dkk: Perubahan penggunaan lahan pasang surut setelah reklamasi lokal (melayu dan Bugis). Penggunaan lahan sawah oleh petani lokal sering ditanami tanaman kelapa yang diantaranya ditanami padi sawah sekali dalam satu tahun. Penggunaan lahan sawah berupa tanaman padi sawah (Oryza Sativa L.) setelah pembukaan (tahun 1989) seluas 10.610,65 ha (37,80 %). Sementara semak belukar terdapat di daerah yang ditinggalkan oleh petani lokal yang umumnya berada di pinggir sungai Batang Berbak dan Sungai Pamusiran mencapai 6.274,77 ha (22,35 %)(Gambar 3). Penggunaan lahan berupa kebun campuran mencapai 4.953,23 ha (17,65 %) yang umumnya terdapat pada daerah yang relatif lebih tinggi seperti di desa Rantau Rasau I, Rantau Rasau II, bangun Karya , Bandar Jaya dan Desa Simpang. Tanaman yang diusahakan dalam penggunaan lahan kebun campuran berupa tanaman mangga, jengkol, pinang (Areca sp), kelapa (Cocos sp), durian (Durio sp), nangka (Artocarpus integrifolia L.), jeruk (Citrus sp.), pisang (Musa sapientum), ubi kayu (Monihot sp.) dan ubi jalar (Ipomea sp.). Penggunaan kebun kelapa mendominasi di daerah yang dibuka oleh petani Lokal terutama Bugis dan Melayu yaitu pada daerah sebelah utara lokasi penelitian dekat Nipah Panjang dan Sungai Dusun dekat sungai Pamusiran. Luas penggunaan lahan kelapa mencapai 5.584,63 ha (19,89 %). Kelapa yang diusahakan berupa kelapa lokal dengan system budidaya secara tradisional tanpa adanya usaha pemupukan. Perkampungan mulai berkembang seperti Nipah Panjang, Puding, Simpang dan pasar Rantau Rasau. Sedangkan untuk pemukiman transmigran tidak begitu berkembang bahkan banyak petani yang meninggalkan lahannya kecuali pada
areal yang berpotensi sawah seperti Rantau Makmur, Bangun Karya dan Harapan Makmur. Penggunaan Lahan Setelah Reklamasi Tahun 2008 Penggunaan lahan setelah reklamasi reklamasi (Tahun 2008) dapat dikelompokkan dalam delapan (8) kelompok yaitu : (1) Hutan, (2) Sawah, (3) semak belukar, (4) Kebun campuran, (5) Kelapa, (6) Perkampungan, (7) Karet dan (8) Kelapa Sawit.
Gambar 5. Peta Penggunaan lahan 2008
Penggunaan lahan berupa hutan setelah pembukaan tahun 2008 adalah seluas 186,46 ha (0,66 %). Kelompok hutan hanya dapat berupa mangrove (Avicenia officinalis L. and Rhizophora sp.) hanya terdapat di daerah pantai delta berbak yaitu Nipah Panjang, Sungai Ular. Sedikit berupa hutan yang terdapat dipinggir sungai dan anak sungai Batang Berbak berupa Eugenia sp., Dyera sp., and Pinanga sp.,. Penggunaan lahan sawah mendominasi di daerah tengah delta Berbak (lokasi penelitian) mencakup desa Rantau rasau I, Rantau Rasau II, Bangun Karya, Harapan Makmur, 42
J. Hidrolitan., Vol 1 : 3 : 37 – 46, 2010
Rantau Makmur, Bandar Jaya yang dibuka oleh patani transmigran dan bagian utara lokasi studi di Nipah Panjang dan Sungai Dusun. Sekitar tepi sungai Batanghari seperti di desa Rasau desa dan desa Simpang, dan Puding masih terdapat penggunaan lahan sawah. Penggunaan lahan sawah oleh petani lokal sebagian masih ditanami tanaman kelapa yang diantaranya ditanami padi sawah sekali dalam satu tahun. Penggunaan lahan sawah berupa tanaman padi sawah (Oryza Sativa L.) setelah pembukaan (tahun 2008) seluas 12.425,46 ha (44,26 %). Sementara semak belukar hanya terdapat di daerah yang ditinggalkan oleh petani transmigran yang umumnya terdapat di desa Pematang Mayan (Pemekaran desa Rantau Makur dan Rantau Rasau II) dengan luasan 1.351,50 ha (4,81 %). Penggunaan lahan berupa kebun campuran mencapai 729,62 ha (2,60 %) yang terdapat di desa Pematang Mayan yang merupakan lahan yang relatif lebih tinggi. Tanaman yang diusahakan dalam penggunaan lahan kebun campuran berupa tanaman kelapa (Cocos sp), pinang (Areca sp), durian (Durio sp), sukun, jengkol, nangka (Artocarpus integrifolia L.), jeruk (Citrus sp.), pisang (Musa sapientum). Penggunaan kebun kelapa mendominasi di daerah yang dibuka oleh petani Lokal terutama Bugis dan Melayu yaitu pada daerah sebelah utara lokasi penelitian dekat Nipah Panjang dan Sungai Dusun dekat sungai Pamusiran. Penggunaan lahan kelapa semakin meluas di daerah yang lebih tinggi seperti di desa Rantau Rasau I, Pematang Mayan, dan Bangun Karya dan Harapan Makmur. Luas penggunaan lahan kelapa mencapai 9.526,74 ha (33,94 %). Kelapa yang diusahakan berupa kelapa lokal dan
beberapa lokasi kelapa hibrida terutama di desa Rantau Rasau I. Perkampungan mulai menyebar dan berkembang yaitu Nipah Panjang I dan Nipah panjang II, Puding, Simpang dan Sungai Dusun. Pemukiman transmigran masih tetap sepanjang tanggul dekat saluran dengan jarak antar rumah sekitar 100 m dan 250 m. Pemukiman Transmigran yang berkembang di Pasar Rantau nrasau dan sepanjang jalan utama Puding – Nipah Panjang. Penggunaan lahan karet dan kelapa sawit di lokasi penelitian mencapai karet 1.046,66 ha (3,73 %) dan kelapa sawit 2.625,43 ha (9,35 %). Penggunaan lahan karet menyebar di lahan yang relatif lebih tinggi seperti Rantau Rasau II, Rantau Rasau I. Sedangkan kelapa sawit menyebar di desa Rantau Jaya, Rantau rasau II dan Rantau Makmur. PEMBAHASAN Tabel 1 menunjukkan bahwa penggunaan lahan secara spasial dan temporal tahun 1973, 1989, 1998 dan 2008 terjadi perubahan penggunaan lahan pada empat waktu tersebut. Perubahan pada periode tahun 19731989 menunjukkan peningkatan lahan sawah 7.259,56 ha, kebun campuran 4.126,25 ha dan kelapa 2.504,71 ha, tapi hutan menurun 14.598,25 ha. Hal ini menunjukkan bahwa lahan sawah mendominasi sekitar 65 % dari luasan keseluruhan diikuti oleh kebuncampuran 14,70 %. Luasnya lahan sawah menggambarkan kondisi lahan pada sepuluh tahun pertama reklamasi mendukung untuk produksi padi. Perubahan ini lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah untuk membuka lahan sawah baru untuk tujuan peningkatan peroduksi pangan (beras). Pada lahan yang relatif lebih 43
Asmadi S, dkk: Perubahan penggunaan lahan pasang surut setelah reklamasi tinggi berubah menjadi kebun campuran. Hal ini disebabkan oleh posisi lahn yang tinggi sehingga tidak Tabel 1. Luas Penggunaan Lahan Penggunaan No Lahan 1973* 1 2 3
terluapi oleh air pasang mendukung penanaman padi.
Tahun 1989** 1998** Luas (Hektar) 1,704.33 186.46 18,457.90 10,610.65 1,144.30 6,274.77
untuk
2008***
Hutan 16,302.58 166.66 Sawah 11,198.34 12,425.46 Semak Belukar 569.79 1,351.50 Kebun 4 Campuran 4,126.25 4,953.23 729.62 5 Kelapa 2,504.71 5,584.63 9,526.74 6 Perkampungan 133.22 460.97 198.65 7 Karet 1,046.66 8 Kelapa Sawit 2,625.43 Jumlah 28,070.71 28,070.71 28,070.71 28,070.72 Sumber : Hasil Pengolahan Data *Data Survey Delta Berbak 1973 dan Foto Udara ** Analisis Citra Landsat TM dan informasi petani *** Analsis Citra Landsat TM dan informasi petani serta pengamatan di lapangan Pada periode tahun 1989-1998, luas sawah berkurang 7.847,25 ha, sementara semak belukar bertambah 5.130,47 ha. Menurut petani setempat terjadinya perubahan sawah menjadi semak belukar disebabkan oleh tingginya kemasaman tanah dan tanaman padi tidak bisa tumbuh dengan baik sehingga lahan tidak diusahakan. Perubahan luas lahan kelapa meningkat 3.079,92 ha dimana kelapa yang ditanam pada lahan sawah telah tinggi dan tidak bisa ditanami padi. Pada periode 1998-2008, luas sawah bertambah 1.814,81 ha sehingga sawah mendominasi seluas 12.425,46 ha (44,3 %) dan semak belukar berkurang 4.923,27 ha. Berkurangnya semak belukar disebabkan lahan telah menunjukkan perbaikan dan dapat ditanami padi kembali dan sebagian disebabkan oleh tingginya minat masyarakat terhadap kelapa sawit dan
karet terutama pada lahan yang lebih tinggi. Bertambahnya luasan lahan kelapa 3.942,11 ha terutama karena perubahan lahan sawah yang ditanami kelapa dan kelapa telah tumbuh besar sehingga tidak bisa ditamami padi. Secara keseluruhan perubahan penggunaan lahan setelah tiga puluh tahun reklamasi disebabkan oleh perubahan kondisi lahan terutama perubahan ketersediaan air dan pertumbuhan tanaman yang lebih baik untuk tanaman padi sawah dan tingginya minat masyarakat terhadap komoditi perkebunan terutama komoditi kelapa, kelapa sawit dan karet. Di samping itu komoditi tanaman perkebunan terutama karet dan kelapa sawit memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. KESIMPULAN DAN SARAN 44
J. Hidrolitan., Vol 1 : 3 : 37 – 46, 2010
1. Tipe penggunaan lahan pada lahan pasang surut di delta Berbak Jambi berkembang dari awal tiga tipe penngunaan lahan pada awal reklamasi dan berkembang menjadi enam tipe penggunaan lahan setelah sepuluh samapi dua puluh tahun reklamasi dan berkembang menjadi delapan tipe penngunaan lahan setelah tiga puluh tahun reklamasi. 2. Perubahan penggunaan lahan pada awal pembukaan lahan pasang surut di delta Berbak Jambi disebabkan oleh adanyan kebijakan pemerintah dalam usaha pembukaan lahan sawah untuk produksi pangan dan setelah sepuluh sampai dua puluh tahun reklamasi disebabkan oleh perubahan karakteristik lahan dan hidrologi serta nilai ekonomi dari komoditi karet dan kelapa sawit. 3. Penggunaan lahan untuk padi lebih dominan lahan yang relatif lebih rendah dan untuk penggunaan lahan tanaman perkebunan kelapa, karet dan kelapa sawit lebih dominan pada lahan yang relatif lebih tinggi. 4. Untuk perencanaan reklamasi lahan pasang surut sangat diperlukan mempertimbangkan perubahan kondisi biofisik, hidrologi dan arah kebijakan ke depan. DAFTAR PUSTAKA Bappeda Provinsi Jambi 2000. Potensi, Prospek dan Pengembangan Usaha Tani Lahan Pasang Surut. Laporan hasil seminar Penelitian dan Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut Provinsi Jambi, Kuala Tungkal , 27 – 28 Maret 2000. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, DEPTAN.
Bappeda Provinsi Jambi, 2000. Potensi, Prospek dan Pengembangan Usaha Tani Lahan Pasang Surut. Laporan hasil seminar Penelitian dan Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut Provinsi Jambi, Kuala Tungkal , 27 – 28 Maret 2000. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, DEPTAN. Blum. W. E.H., 1998. Basic concepts : Degradation, Resilience, and Rehabilitation. Methods for Assessment of Soil Degradation. CRC Press. Boca Raton, Florida. USA. Himiyama, Y., 1999. Historical information bases for land use planning in Japan. Land Use Policy 16, 145-151. Pergamon. Elsevier Science Ltd. Hobbs, R., 1997. Future Landscapes and the Future LAndscape Ecology. Landsc. Urbann Plann. 37, 1-9. Pergamon. ElsevierScience Ltd. Institut Pertanian Bogor. 1969. Laporan Survey Kedaerah Pasang Surut Rantau Rassau, Jambi. Batang Berbak – Pamusiran Laut. Sub P4S Jambi. P4S, Ditjen Pengairan, Dept PU-Institut Pertanian Bogor. Institut Pertanian Bogor. 1973. Laporan Survey dan Pemetaan Tanah Daerah Pasang Surut. Batang Berbak – Pamusiran Laut. Sub P4S Jambi. P4S, Ditjen Pengairan, Dept PU-Institut Pertanian Bogor. Lal, R., 1998. Soil quality and sustainability. Methods for Assessment of Soil Degradation. CRC Press. Boca Raton, Florida. USA. Lambin, E.F., 1997. Modelling and monitoring land-cover change processes in tropical regions. 45
Asmadi S, dkk: Perubahan penggunaan lahan pasang surut setelah reklamasi Progress in Phys. Geography 21 (3), 375-393. Litbang Transmigrasi, 1972. Program Transmigrasi di Lahan Rawa. Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Maxim, S. and Naftaly, G. 2002. Landuse and population density changes in Israel—1950 to 1990: analysis of regional and local trends. Elsevier, Land Use Policy 19 (2002) 123–133. Mendoza, S. J.E., and Etter, R. A., 2002. Multitemporal análisis (1940-1996) of land cover changes in the southwesttern Bogota highplain (Colombia). Landsc. Urbann Plann. 59, 147158. Pergamon. Elsevier Science Ltd. Messerli, B., 1997. Geography in a rapidly changing world. IGU Bulletin 47 (1), 65–75. Purwadhi, F.S.H., 2000. Interpretasi Citra digital. PT. Grasindo, Jakarta. Rayner, S., Bretherton, F., Buol, S., Fosberg, M., rossman, W.,1994. A wiring diagram for the study of land use/cover change. In:Meyer, W.B., Turner II, B.L. (Eds.), Changes in Land Use and Land Cover:A Global Perspective. Cambridge University Press, New York and London, pp. 15–54.
Satari, A.M. 1979. A Selective strategy approach in opening up new tidal areas for agricultural development. Buku I Proceedings Simposium III Pengembangan Daerah Pasang Surut di Indonesia. Palembang, 5-9 Februari 1979. Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum – Institut Pertanian Bogor. Bogor. Satari, A.M., 1979. A Selective strategy approach in opening up new tidal areas for agricultural development. Buku I Proceedings Simposium III Pengembangan Daerah Pasang Surut di Indonesia. Palembang, 5-9 Februari 1979. Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum – Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sean P. Healey, P.S.,. Cohen, W.B., Zhiqiang, Y., and Krankina, O.N., 2005. Comparison of Tasseled cap-based Landsat data structures for use in forest disturbance detection. Remote Sensing of Environment 97 (2005) 301 - 3 10, Elsevier Inc Turner, B. L. II, Skole, D., Sanderson, S., Fischer, G., Fresco, L. and Leemans, R. 1995. Land-use and land cover change , P. 132. Science/Research plan, IGBP report no. 35, HDP Report no. 7.
46
Jurnal Ilmiah Platax
Vol. 1:(3), Mei 2013
ISSN: 2302-3589
KEPADATAN DAN KEANEKARAGAMAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN SEKITAR KAWASAN REKLAMASI PANTAI MANADO1 Phytoplankton Density and Diversity in the Waters around the Reclamation Area in Manado Beach Yulianti E Liwutang2, Fransine B Manginsela3, Jan FWS Tamanampo3 ABSTRACT Phytoplankton is one of the most important aquatic organisms and has a major role in the cycle of life in the waters. Phytoplankton is able to do the process of photosynthesis to produce the organic matter utilized by other organisms living in aquatic environments. Phytoplankton can also be used as one of the ecological parameters that can describe the ecological conditions of the body of water and can be used as bio-indicators of pollution in the water. The purpose of this study is to obtain the types of phytoplankton in the waters around the reclamation area in Manado Beach, to know the diversity and density of phytoplankton species, and to determine the types of phytoplankton which are dominant according to the water depth. The phytoplankton found in the research site belonged to 27 genera. Station 1, 27 species were found in 5m depth, 19 species in 15m depth and 12 species in 30m depth. Station 2, 24 species were found in 5m depth, 20 species in 15m depth and 13 species in 30m depth. For index density, station 1 and 2 at a depth of 5 m has the highest density of 11 individuals/l and 12.333 Individuals/l. Diversity indices for stations 1 and 2 showed at a depth of 5 m, 2.954 and 2.891, respectively. The dominance indices at station 1 and station 2 showed that were no species dominance. Keywords : phytoplankton, density, diversity, reclamation area
ABSTRAK Fitoplankton merupakan salah satu organisme perairan yang sangat penting dan mempunyai peran utama dalam siklus kehidupan di perairan. Fitoplankton mampu melakukan proses fotosintesis untuk menghasilkan senyawa organik yang merupakan sumber energi yang dimanfaatkan oleh organisme lain yang hidup di lingkungan perairan. Fitoplankton juga dapat digunakan sebagai salah satu parameter ekologi yang dapat menggambarkan bagaimana kondisi ekologi suatu perairan dan dapat digunakan sebagai bio-indikator pencemaran dalam suatu perairan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data jenis-jenis fitoplankton yang ada di perairan sekitar kawasan reklamasi Pantai Manado, mengetahui keanekaragaman dan kepadatan spesies fitoplankton dan mengetahui jenis-jenis fitoplankton yang dominan menurut kedalaman air. Jenis fitoplankton yang ditemukan di lokasi penelitian totalnya berjumlah 27 genus. Stasiun 1, ditemukan 27 spesies di kedalaman 5m, 19 spesies di kedalaman 15m dan 12 spesies di kedalaman 30m. Stasiun 2, ditemukan 24 spesies di kedalaman 5m, 20 spesies di kedalaman 15m dan 13 spesies di kedalaman 30m. 1
Bagian dari skripsi Mahasiswa Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK-UNSRAT 3 Staf pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi 2
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/platax
109
Jurnal Ilmiah Platax
Vol. 1:(3), Mei 2013
ISSN: 2302-3589
Untuk indeks kepadatan, stasiun 1 dan 2 di kedalaman 5 m memiliki kepadatan tertinggi yaitu 11 Ind/l dan 12,333 Ind/l. Indeks keanekaragaman untuk stasiun 1 dan 2 di kedalaman 5m yaitu 2,954 dan 2,891, indeks dominasi di stasiun 1 dan stasiun 2 menunjukkan tidak adanya dominasi spesies. Kata kunci : fitoplankton, kepadatan, keanekaragaman, kawasan reklamasi PENDAHULUAN
mengakumulasi bahan pencemar yang masuk ke perairan. Sebagai produsen utama dalam rantai makanan, dimana fitoplankton akan dimakan oleh zooplankton dan zooplankton dimakan oleh ikan kecil dan ikan kecil akan dimakan oleh ikan yang lebih besar dan seterusnya. Hal ini akan sangat berbahaya jika bahan pencemar yang terakumulasi dalam ikan akhirnya masuk ke dalam tubuh manusia karena dapat menimbulkan kematian seperti kasus Minamata di Jepang. Tujuan penelitian ini yaitu mendapatkan data jenis-jenis fitoplankton menurut kedalaman air; mengetahui kepadatan dan keanekaragaman fitoplankton; dan mengetahui jenis fitoplankton yang dominan menurut kedalaman air di perairan sekitar kawasan reklamasi Teluk Manado.
Lautan dipenuhi oleh plankton yakni, organisme atau jasad renik yang hidup secara pasif di perairan, dengan mengapung dan melayang di dalam air yang terbawa hanyut oleh arus (Barnes dan Mann, 1982; Nybakken, 1992; Ewusie, 1990; Rohmimohtarto dan Juwana, 2005) dan merupakan salah satu organisme yang sangat penting di perairan yang mempunyai peran utama dalam siklus kehidupan di perairan (Nontji, 2008). Aktivitas pembangunan di wilayah Pantai Manado terus meningkat. Perluasan lahan untuk reklamasi, mengambil bahan dari bukit atau gunung di daratan sehingga menyebabkan perubahan fisik lahan daratan yang digunakan untuk pembangunan pertokoan, apartemen, restoran dan hotel yang mengakibatkan erosi tanah melalui sungai kemudian masuk ke Teluk Manado. Perubahan bentuk garis pantai akibat reklamasi pantai dan bertambahnya aktivitas dan penduduk di wilayah tersebut bisa menyebabkan bertambahnya limbah cair maupun padat yang akan masuk ke sungai dan Teluk Manado. Omori dkk., (1994) dalam Olii (1997) mengemukakan bahwa banyak dari pengaruh aktivitas manusia yang terjadi secara simultan menghasilkan perubahan distribusi, perbedaan biologi dan struktur tropik dari komunitaskomunitas organisme. Hal ini akan memberikan dampak negatif terhadap ekosistem perairan Teluk Manado. Jika banyak limbah cair maupun padat di permukaan perairan, maka akan menghalangi masuknya cahaya matahari dan akan mengganggu fitoplankton dalam proses fotosintesis. Beberapa jenis fitoplankton juga dapat menyerap dan
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/platax
METODE Pengambilan sampel fitoplankton dilakukan di sekitar kawasan reklamasi Pantai Manado pada kedalaman 5m, 15m dan 30m. Stasiun 1 berada pada koordinat 1029’15,5” dan 124049’40,5”, stasiun 2 pada koordinat 1028’26,7” dan 124049’42,4” (Gambar 1). Sampel diambil menggunakan alat sampling La Mote pada siang hari, karena aktifitas fitoplankton yang membutuhkan cahaya matahari untuk melakukan fotosintesis. La mote diturunkan secara vertikal dari atas perahu pada suatu posisi, sampai kedalaman yang diinginkan kemudian ditarik kembali. Air yang tertampung pada La mote kemudian disaring dengan menggunakan plankton net. Air yang sudah tersaring dalam codend dipindahkan ke botol-botol sampel yang telah diberi label dan masing-
110
Jurnal Ilmiah Platax
Vol. 1:(3), Mei 2013
ISSN: 2302-3589
Indeks keanekaragaman jenis (H’) maksimum: H’max = ln S dimana : S= jumlah spesies fitoplankton.
masing botol sampel dimasukkan cairan formalin 4%. Pengukuran beberapa parameter perairan, seperti suhu menggunakan alat ukur termometer, salinitas menggunakan refraktometer dan pengukuran kecerahan menggunakan secchii disk. Sampel fitoplankton yang diperoleh diidentifikasi dengan memakai mikroskop cahaya pembesaran 100 kali di Laboratorium Hidrobioekologi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNSRAT. Untuk keperluan identifikasi sampel diambil sebanyak 50 ml dan diletakkan di dalam cawan petri disk kemudian diamati. Sampel diidentifikasi dengan mengacu pada buku penuntun identifikasi fitoplankton laut dari Tamanampo (2002). Kepadatan fitoplankton dihitung dengan menggunakan rumus menurut King dan Dewend (Subari dan Sudrajat, 1982) sebagai berikut :
Indeks keseragaman jenis (e) dihitung menggunakan rumus Pilou (Krebs, 1987 dalam Gustiarisane, 2011), yaitu :
Untuk indeks dominasi dalam suatu habitat digunakan rumus di bawah ini (Odum 1994 dalam Lombok 2003). ∑( )
dimana : C : indeks dominan spesies ni : jumlah individu spesies ke-i N : total individu seluruh spesies HASIL DAN PEMBAHASAN
dimana : E= jumlah individu/l C= jumlah individu yang dihitung A= volume (ml) total sampel dalam cod-end plankton net Fa= volume (ml) sub sampel (yang diperkirakan dengan mikroskop) n= volume (l) air yang harus disaring dengan plankton net
Karakteristik perairan Bervariasinya suhu pada setiap stasiun penelitian disebabkan waktu pengukurannya berbeda-beda, hal ini akan berhubungan dengan intensitas cahaya yang masuk kedalam perairan. Stasiun I diukur sekitar pukul 10.0011.00 dan stasiun 2 diukur sekitar pukul 12.00-13.00, sehingga intensitas cahaya matahari stasiun 2 lebih tinggi dibandingkan pada stasiun 1. Hasil pengukuran suhu (Tabel 1) sesuai dengan suhu air permukaan di wilayah tropis yaitu antara 20-300C (Nybakken, 1992). Menurut Arinardi (1997) suhu perairan Indonesia menunjukan ciri khas perairan tropis yaitu umumnya relatif tinggi dengan perbedaan sebaran horizontal yang kecil (28-310C). Sebaran suhu perairan Teluk Manado selama penelitian tidak menjadi kendala bagi pertumbuhan fitoplankton karena menurut Ray dan Rao (1964) pada umumnya fitoplankton dapat berkembang dengan baik pada suhu 20-30 0C.
Kepadatan Relatif (%) menggunakan rumus kepadatan relatif (%) (Cox, 1967 dalam Gustiarisane, 2011) :
Indeks Keanekaragaman (H’) menggunakan rumus menurut Shannon-Winner (Odum, 1996) dalam Gustiarisane (2011) sebagai berikut: dimana : H’= keanekaragaman spesies ni= jumlah individu spesies ke-i N= jumlah individu seluruh spesies
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/platax
111
Jurnal Ilmiah Platax
Vol. 1:(3), Mei 2013
terbagi ke dalam Diatom 22 genus, Dinoflagellata 6 genus, Cyanophyta 3 genus dan Chlorophyta 2 genus. Jenisjenis fitoplankton di perairan Teluk Manado di dominasi oleh Diatom.
Secara vertikal nilai salinitas air laut akan semakin besar dengan bertambahnya kedalaman. Salinitas di lokasi penelitian di pengaruhi oleh Sungai Sario. Pengaruh air tawar dari sungai terlihat pada salinitas yang rendah di stasiun 1. Daya tembus cahaya ditentukan oleh banyaknya padatan tersuspensi dan jasad renik yang melayang, kekeruhan dan warna air. Cahaya yang masuk ke perairan berperan sebagai sumber energi bagi pertumbuhan fitoplankton; makin tinggi kecerahan makin dalam penetrasi cahaya matahari. Kecerahan yang tinggi merupakan syarat untuk berlangsung fotosintesis fitoplankton.
Kepadatan (ind/l) fitoplankton Kepadatan fitoplankton yang terdapat di dua stasiun pada kedalaman 5m lebih tinggi daripada kedalaman 15m dan 30m. Sachlan (1972) mengemukakan bahwa fitoplankton mempunyai sifat mendekati cahaya (fototaksis positif). Lebih rendahnya kepadatan fitoplankton di kedalaman 15m dan 30m karena di kedalaman tersebut cahaya matahari yang masuk sudah mulai berkurang atau tidak sama jika dibandingkan dengan intensitas cahaya di kedalaman 5m (Gambar 2 dan 3).
Jenis-jenis fitoplankton Stasiun 1 kedalaman 5m ditemukan 27 spesies, kedalaman 15m ditemukan 19 spesies dan kedalaman 30m ditemukan 12 spesies. Stasiun 2, kedalaman 5m ditemukan 24 spesies, kedalaman 15m ditemukan 20 spesies dan kedalaman 30m ditemukan 13 spesies. Jenis-jenis fitoplankton yang ditemukan di lokasi penelitian tidak berbeda jauh dengan jenis-jenis fitoplankton yang dijumpai di Teluk Manado pada penelitian sebelumnya. Rondo (1990), menemukan 50 jenis fitoplankton dari 5 stasiun penelitian di Teluk Manado (Molas, Tanjung Pisok, Mokupa, Bahu dan di bagian tengah Teluk Manado) yang terbagi ke dalam Diatom 24 jenis, Dinoflagellata 13 jenis, Cyanophyta 6 jenis dan Chlorophyta 7 jenis. Rimper (2001), menemukan 29 genus dari 6 stasiun penelitian di Teluk Manado (Stasiun 1 pada daerah mangrove, stasiun 2 dan 3 pada bagian tengah perairan, stasiun 4 pada daerah karang dan stasiun 5 dan 6 pada muara sungai) yang terbagi ke dalam Diatom 15 genus, Dinoflagellata 7 genus, Cyanophyta 1 genus dan yang lainnya 6 genus. Wanggai (2007) menemukan 33 genus dari 3 lokasi penelitian di Perairan Kawasan Reklamasi (belakang Bahu Mall, belakang hypermart dan daerah sekitar pelabuhan) yang
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/platax
ISSN: 2302-3589
Indeks keanekaragaman Stasiun 1, keanekaragaman tertinggi di kedalaman 5m (H’=2,954) dan keanekaragaman terendah di kedalaman 30m (H’=2,398). Stasiun 2, keanekaragaman tertinggi ada di kedalaman 5m (H’=2,891) dan keanekaragaman terendah di kedalaman 30m (H’=2,442) (Gambar 4). Odum (1996) dalam Gustiarisane (2011) menyatakan bahwa kisaran nilai indeks keanekaragaman 0-1 menunjukan bahwa daerah tersebut terdapat tekanan ekologis yang tinggi dan indeks keanekaragaman spesies rendah dengan sebaran individu tidak merata dan kestabilan komunitas rendah. Kisaran 1-3 menunjukan indeks keanekaragaman yang sedang dengan sebaran individu sedang dan kestabilan komunitas sedang, nilai keanekaragaman >3 menunjukan keadaan suatu daerah yang mengalami tekanan ekologi rendah dan indeks keanekaragaman spesiesnya tinggi dengan sebaran individu tinggi dan kestabilan komunitas tinggi. Hasil analisis data, keanekaragaman di perairan sekitar kawasan reklamasi Teluk Manado memiliki nilai keanekaragaman sedang dengan sebaran individu sedang dan kestabilan komunitas sedang, hal ini
112
Jurnal Ilmiah Platax
Vol. 1:(3), Mei 2013
penting bagi tumbuhan yang mengandung klorofil, karena cahaya tidak dapat menembus kedalaman yang besar, maka fitoplankton tidak dapat hidup di air yang sangat dalam. Hal inilah yang menyebabkan semakin dalam suatu perairan maka jumlah dari fitoplankton akan semakin berkurang
sesuai pernyataan bahwa suatu ekosistem dengan keanekaragaman tinggi atau sedang maka dominasinya rendah. Indeks kesamarataan Indeks kesamarataan atau regularitas/equitabilitas yaitu penyebaran individu antar spesies yang berbeda dan diperoleh dari hubungan antara keanekaragaman (H’) dan kenakaragaman maksimalnya (H’ max). Krebs (1987) dalam Gustiarisane (2011) mengatakan bahwa jika indeks kesamarataan lebih besar dari 0,5 dan mendekati 1 maka keseragaman organisme dalam suatu perairan berada dalam keadaan seimbang dan tidak terjadi persaingan baik terhadap tempat maupun makanan. Hasil analisis data, indeks kesamarataan di stasiun 1 berkisar antara 0,8860,912 dan di stasiun 2 berkisar antara 0,921-0,923 menunjukkan kesamarataan spesies di dua lokasi penelitian dalam keadaan seimbang dan tidak terjadi persaingan baik terhadap tempat maupun makanan.
KESIMPULAN Hasil penelitian di stasiun 1, kedalaman 5m ditemukan 27 spesies, kedalaman 15m ditemukan 19 spesies dan kedalaman 30m ditemukan 12 spesies. Stasiun 2, kedalaman 5m ditemukan 24 spesies, kedalaman 15m ditemukan 20 spesies dan kedalaman 30m ditemukan 13 spesies. Indeks kepadatan spesies, stasiun 1 dan 2 kedalaman 5m memiliki kepadatan spesies tertinggi yaitu 11 Ind/l dan 12,333 Ind/l. Indeks keanekaragaman tertinggi ada pada kedalaman 5m yaitu H’=2,954 dan H’=2,891. Indeks dominasi pada kedua stasiun di 3 kedalaman (5m, 15m dan 30m) menunjukkan tidak adanya dominasi spesies.
Indeks dominasi Indeks dominasi stasiun 1 adalah 0,0652-0,0972 dan stasiun 2 adalah 0,0579-0,0964. Indeks dominasi untuk setiap stasiun menunjukan suatu bentuk dominan jenis yang rendah. Hal ini didasarkan oleh Odum (1994) dalam Lombok (2003) yang menyatakan bahwa kisaran nilai dominan 0-0,5 menunjukkan bahwa daerah tersebut dominasinya rendah. Kisaran 0,50-0,75 menunjukkan bahwa daerah tersebut dominasinya sedang dan untuk nilai dominasi 0,75-1 menunjukkan keadaan suatu daerah dengan dominasi tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa di perairan reklamasi Teluk Manado tidak terdapat jenis fitoplankton yang dominan. Gambar 5 menunjukan distribusi fitoplankton menurun mengikuti pertambahan kedalaman. Sachlan (1972) mengemukakan bahwa fitoplankton mempunyai sifat mendekati cahaya (fototaksis positif) selanjutnya Ewusie (1990) mengatakan bahwa cahaya
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/platax
ISSN: 2302-3589
DAFTAR PUSTAKA Arinardi, O.H. 1997. Status Pengetahuan Plankton di Indonesia. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. Barnes. R.S.K., dan K.H. Mann. 1982. Fundamentals of Aquatic Ecosystem. Blackwell Scientific Publications. Oxford London Edinburgh. Ewusie J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. ITB. Bandung Gustiarisanie A. 2011. Conditions of Marine Phytoplankton in Coastal Areas Meral Karimun regency of Kepulauan Riau Province. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Riau. Lombok B.J.A, 2003. Struktur komunitas zooplankton di Teluk Manado dan Laut Flores. Skripsi. Fakulatas Perikanan dan Ilmu kelautan. Manado.
113
Jurnal Ilmiah Platax
Vol. 1:(3), Mei 2013
ISSN: 2302-3589
huan Tentang Biota Laut Edisi ke Dua. Djambatan. Jakarta. Sachlan M. 1972. Planktonologi Corespondence Course Centre Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian.Jakarta. Subari W dan Sudrajat. 1982. Penelitian Plankton di Selat Bali dan Samudera Indonesia (Selat Jawa, Barat Sumatera). Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta Tamanampo J. 2002. Phytoplankton Laut (Identifikasi dengan Gambar), Bahan Ajar Planktonologi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Manado Wanggai I. 2007. Inventarisasi dan Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Kawasan Reklamasi Teluk manado. Skipsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan Universitas Sam Ratulangi. Manado
Nybakken J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Edisi kedua. PT Gramedia. Jakarta. Nontji Anugerah. 2008. Plankton laut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta Olii H. 1997. Distribusi Ichtyoplankton di Perairan Bagian Selatan Pulau Bunaken. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan Universitas Sam Ratulangi. Manado. Rimper J.R.T.S.L. 2001. Kelimpahan dan Distribusi Fitoplankton di Perairan Teluk Manado Sulawesi Utara. Thesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Rondo M.1990. Komunitas Fitoplankton di Teluk Manado. Jurnal Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Volume 1 No.3.Manado. Rohmimohtarto K. dan S. Juwana. 2005. Biologi Laut Ilmu Pengeta-
Tabel 1. Karakteristik Perairan No
Parameter
Stasiun 1 (Mega Mall)
Stasiun 2 (Hypermart)
5m
15m
30m
5m
15m
30m
1.
Salinitas (‰)
31
31
32
31
32
33
2.
Suhu Perairan (0C)
29
29
28
30
30
29
3.
Kecerahan (m)
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/platax
16
114
17
Jurnal Ilmiah Platax
Vol. 1:(3), Mei 2013
Gambar 1. Lokasi Penelitian
Gambar 2. Kepadatan ind/l pada Stasiun 1
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/platax
115
ISSN: 2302-3589
Jurnal Ilmiah Platax
Vol. 1:(3), Mei 2013
Gambar 3. Kepadatan ind/l pada Stasiun 2
Gambar 4. Indeks Keanekaragaman Spesies
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/platax
116
ISSN: 2302-3589
Jurnal Ilmiah Platax
Vol. 1:(3), Mei 2013
ISSN: 2302-3589
Gambar 5. Distribusi Spesies Fitoplankton Berdasarkan Kedalaman
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/platax
117
PROBLEMATIK YURIDIS SURAT KEPUTUSAN GUBERNUR BALI TENTANG RENCANA PEMANFAATAN, PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN (REKLAMASI) WILAYAH PERAIRAN TELUK BENOA PROVINSI BALI Oleh I Komang Trisna Adi Putra I Gusti Ngurah Wairocana I Ketut Sudiarta Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Inception of Bali Governor's Decree No. 2138/02-C/HK/2012 are considered in violation of Presidential Decree No. 122 of 2012 on Reclamation in Coastal Areas and Small Islands are one of the article mentions reclamation should not be done in the conservation area. The method used is a normative legal research to know and understand how the validity of Bali Governor's Decree No. 2138/02-C/HK/2012 on Granting Permits and Use Rights, Development, and Management of Gulf waters of Benoa Bali Area Jo Governor Decree No.1727/01-B/HK/2013 About Permit Feasibility Study Utilization Plan, Development, and Management of Benoa Gulf water Bali Province. From the aspect of the substance that is the nomenclature of Bali Governor Decree No. 2138/02-C/2012, is not in accordance with the provisions of Article 3 paragraph (2) letter a Presidential Regulation No.122 of 2012, and the fourth Dictum quaternion Bali Governor's decision determines the activity initiator / permit holder shall implement (compiled) EIA, contrary to the dictum sixth. Keywords: Bali, Reclamation, Conservation Areas, Bali Governor’s Decree ABSTRAK Lahirnya Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 2138/02-C/HK/2012 dianggap melanggar Perpres No. 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang salah satu pasalnya menyebutkan reklamasi tidak boleh dilakukan di kawasan konservasi. Metode yang dipakai adalah penelitian hukum normatif untuk mengetahui dan memahami bagaimana keabsahan Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 2138/02-C/HK/2012 tentang Pemberian Izin dan Hak Pemanfaatan, Pengembangan, dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Jo Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 Tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan, dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali. Dari aspek substansi yaitu nomenklatur dari Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 2138/02-C/2012, belum sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) huruf a Perpres No. 122 Tahun 2012, dan Diktum keempat angka empat keputusan Gubernur Bali menentukan pemrakarsa kegiatan/pemegang izin wajib melaksanakan (menyusun) AMDAL, bertentangan dengan dictum keenam. Kata Kunci: Bali, Reklamasi, Kawasan Konservasi, Surat Keputusan Gubernur Bali 1
I.
PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang
Polemik terkait lahirnya SK Gubernur Bali Nomor 2138/02-C/HK/2012 mengenai Pemberian Ijin dan Hak Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali dianggap melanggar Perpres Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang salah satu pasalnya menyebutkan reklamasi tidak boleh dilakukan di kawasan konservasi. Selanjutnya jika dihubungkan kembali dengan status kawasan Perairan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi (pasal 55 Perpres nomor 45 tahun 2011) dikaitkan dengan larangan melakukan kegiatan reklamasi pada kawasan konservasi (perpres nomor 12 tahun 2012) maka dapat dinyatakan bahwa rencana reklamasi tidak memenuhi ketentuan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009, juga bertentangan dengan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan Perpres No. 45 Tahun 2011 tentang kawasan perkotaan Sarbagita yang menetapkan kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi. Jadi berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 adalah keputusan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan terkait tata ruang (Perpres no 45 tahun 2011), bertentangan dengan pengaturan mengenai reklamasi (Perpres no 122 tahun 2012) dan hal tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (Onrechtmatige Overheids Daad). 1.2.
Tujuan
Tujuan Umum penulisan karya ilmiah ini adalah untuk memahami dan mengetahui Problematik yuridis Surat Keputusan Gubernur Bali tentang rencana pemanfaatan, pengembangan dan pengelolaan (reklamasi) wilayah perairan teluk benoa provinsi Bali.
2
II.
ISI MAKALAH 2.1.
Metode Penelitian
Penelitian sebagai sarana dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, analisis dan konstuktif terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.1 Dalam suatu penelitian hukum, Soerjono Soekanto membedakan menjadi dua metode penelitian yang didasarkan pada data yang diperoleh Pertama, penelitian hukum normatif yaitu yang meneliti data sekunder dan yang kedua, penelitian empiris yang lebih menekankan pada data primer.2 Metode yang dipakai dalam penulisan karya ilmiah ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif ini adalah penulisan hukum doktriner, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan- peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Sedang disebut sebagai penelitian perpustakaan ataupun studi dokumen dikarenakan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan . 2.2.
Hasil dan Pembahasan
2.2.1. Analisis Surat Keputusan dari Aspek Substansi Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 2138/02-C/2012 tentang Pemberian Izin dan Hak Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali dikategorikan sebagai keputusan tata usaha negara yang bersifat individual konkret. Izin merupakan tindak administrasi negara dalam bidang hukum publik yang dilakukan pemerintah secara
sepihak dan khusus melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan berdasarkan wewenang yang luar biasa.3
1 Ronny Hanitijo Soemitro, 1997, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalis Indonesia, Jakarta, Hal.44. 2 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.12. 3 Prins dan Kosim Adisapoetra, 1987, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, cetakan keenam, PT Pradnya Paramitha, Jakarta, hal.42.
3
Dari aspek substansi, analisis surat keputusan Gubernur Bali Nomor 2138/02C/2012 dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Nomenklatur dari Keputusan Gubernur tersebut diatas, belum sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) huruf a Perpres No. 122 Tahun 2012; b. Diktum keempat angka empat keputusan Gubernur Bali menentukan pemrakarsa kegiatan/pemegang
izin
wajib
melaksanakan
(menyusun)
AMDAL,
Bertentangan dengan dictum keenam. Dengan ketentuan keenam menunjukkan bahwa kegiatan pemanfaatan ini harus dilaksanakan, sementara proses kajian AMDAL belum tentu menyetujui terhadap rencana kegiatan pemanfaatan, pengembangan dan pengelolaan wilayah perairan teluk Benoa Provinsi Bali. 2.2.2. Analisis Surat Keputusan dari Aspek Prosedur Suatu keputusan harus dibuat sesuai dengan prosedur cara pembuatannya. Apabila prosedur dan cara pembuatannya tidak diikuti maka keputusan itu akan menjadi batal. Menurut penjelasan Pasal 53 UU No.5 Tahun 1986, keputusan demikian dapat dinyatakan sebagai keputusan yang bertentangan dengan peraturan prundang-undangan yang berlaku, karena tidak memenuhi syarat procedural atau syarat formal.4 Prosedur terbitnya Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 2138/02-C/2012, Gubernur Bali mengatakan belum mengetahui tentang rencana Pemanfaatan dan pengembangan kawasan perairan teluk benoa, padahal Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 2138/02-C/2012 tentang Pemberian Izin dan Hak Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali telah dikeluarkan Gubernur sendiri pada tanggal 26 Desember 2012. Jadi berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa prosedur terbitnya Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 2138/02-C/2012 tidak transparan, dalam artian tidak terbuka kepada masyarakat Bali. III. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
4 Marbun S.F., 1997, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administratif Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal.134.
4
1. Kawasan perairan Teluk Benoa merupakan kawasan konservasi, baik berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) RI Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) maupun berdasarkan Peraturan Daerah
Provinsi Bali
Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali. 2. Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 2138/02-C/2012 tentang Pemberian Izin dan Hak Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali dapat dianalisis dari Aspek Substansi dan aspek prosedur. Dari aspek substansi yaitu nomenklatur dari Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 2138/02-C/2012, belum sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) huruf a Perpres No. 122 Tahun 2012, dan Diktum keempat angka empat keputusan Gubernur
Bali
menentukan pemrakarsa
kegiatan/pemegang izin wajib
melaksanakan (menyusun) AMDAL, Bertentangan dengan dictum keenam. Sedangkan dari aspek prosedur yaitu tidak ada penjelasan yang transparan terkait penerbitan Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 2138/02-C/2012. tentang Pemberian Izin dan Hak Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali. DAFTAR PUSTAKA I. BUKU Marbun S.F., 1997, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administratif Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta; Prins dan Kosim Adisapoetra, 1987, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, cetakan keenam, PT Pradnya Paramitha, Jakarta; Ronny Hanitijo Soemitro, 1997, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalis Indonesia, Jakarta; Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta; II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang - Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); Undang - Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739); Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
5
Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
PROSES PERIZINAN DAN DAMPAK LINGKUNGAN TERHADAP KEGIATAN REKLAMASI PANTAI1 Oleh : Olivianty Rellua2
kegiatan reklamasi dapat berdampak negatif (kerugian) dan dampak positif (keuntungan) yang diperoleh. Kata Kunci : Perizinan, Reklamasi Pantai
ABSTRAK Perubahan dan kerusakan lingkungan yang terjadi dewasa ini lebih dikarenakan oleh ulah perilaku manusia status sosial ekonominya. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam aktivitas ini sering dilakukan perubahan-perubahan pada ekosistem dan sumber daya alam. Perubahan-perubahan yang dilakukan tentunya akan memberikan pengaruh pada lingkungan hidup.Memperhatikan berbagai dampak pembangunan terhadap lingkungan Pemerintah telah menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara tepat untuk mendorong perilaku masyarakat untuk menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Sehingga permasalahan yang timbul bagaimana proses perizinan dan dampak pemanfaatan lahan reklamasi pantai terhadap lingkungan. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kepustakaan, dengan menggunakan bahanbahan hukum yang digunakan untuk mendukung penulisan karya tulis yang dibahas seperti buku literatur, perundangan-undangan dan bahan-bahan tertulis lainnya. Tahapan penelitian dan analisis dengan observasi bahan-bahan hukum, pengumpulan bahan hukum dan analisis hukum yang bersifat analitik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan sistem perizinan terpadu tersebut harus didasarkan pada UU-PPLH. Sedangkan dampak pemanfaatan lahan terhadap lingkungan dengan adanya
A. PENDAHULUAN Reklamasi merupakan subsistem dari sistem pantai, sedangkan dalam hukum positif di Indonesia pengaturan mengenaireklamasi dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pasal 1 butir 23 memberikandefinisi bahwa reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan socialekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan, atau drainase. Dalam pasal 34 menjelaskan bahwa hanya dapat dilaksanakan jika manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar dari biaya sosial dan biaya ekonominya. Namun demikian, pelaksanaan reklamasi juga wajib menjaga dan memperhatikan beberapa hal seperti (a) keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat, (b) keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan pelestarian lingkungan pesisir, serta persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan materil. Beberapa aturan yang mengatur mengenai reklamasi pantai yaitu terdapat dalam Peraturan Menteri PU No. 40/PRT/M/2007 mengenai pedoman perencanaan tata ruang kawasan reklamasi pantai, Peraturan Pemerintah RI No. 47 Tahun 1997 tentang rencana tata ruang nasional,kemudian Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentangPerlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UndangUndang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang merupakan pedoman atau petunjuk bagi daerah untuk mengatur, mengendalikan dan menata
1 2
Artikel Skripsi NIM 090711540
158
Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
wilayahnya dalam satu kesatuan matraekosistem.Reklamasi juga harus mengacu kepada Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentangPengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang PenanggulanganBencana yang mengatur tentang perlindungan terhadap aset baik berupa jiwa, raga, harta sehingga ancaman bencana yang ada di wilayah pesisir dapat diminimalisir. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 merupakan peraturan yang mengatur pembatasan kegiatan manusia termasuk industri yang dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan mutu laut. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 dirancang untuk melindungi mutu laut, yang meliputi upaya atau kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut dengan tujuan untuk mencegah atau mengurangi turunnya mutu laut dan rusaknya sumberdaya laut. Perlindungan mutu laut harus didasarkan pada baku mutu air laut, kriteria baku kerusakan laut dan status mutu laut.3 Daerah yang sering melakukan reklamasi yaitu Kota Manado, Sulawesi Utara. Adanya pembangunan reklamasi di KotaManado, yang dikembangkan menjadikawasan industrialisasi dengan pola super blok dan mengarah pada terbentuknyaCentral Business District (CBD), mengakibatkan adanya wajah kota pada daerahpesisir pantai. Pertumbuhan dan perkembangan Kota Manado menjadi lebih condong ke arah pantai atau laut sehingga Kawasan Boulevard lebih terbuka menjadi salah satu bagian kota yang berorientasi ke laut. Pengembangan wilayah reklamasi disekitar kawasan tersebut memperlihatkan gejala mulai hilangnya ruang publicyangada. Akses 3
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 tentang Pencemaran dan/atau Perusakan Laut
masyarakat terhadap view pantai dan pesisirnya mulai berukuran seiring dengan semakin berkembangnya pembangunan diwilayah tersebut. Dampak reklamasi di pesisir pantai kawasan Boulevard telah mengakibatkan berkurangnyaaksesbilitas ruang publik, ketidakberlanjutan fungsi ruang publik yang tidak memberikan keleluasaan akses bagi masyarakat dan munculnya pola penguasaan ruang publik,dan juga menimbulkan dampak pada lingkungan bawah laut”.4 Pembangunan reklamasi tak ubahnya adalah dua sisi yang berbeda. Di satu sisi memiliki keuntungan yang sangat besar sebagai daerah pemekaran kawasan dari lahan yang semula tidak berguna menjadi daerah yang bernilai ekonomi tinggi. Dan disisi lain, jika tidak diperhitungkan dengan matang berdampak terhadap lingkungan yang mempengaruhi kondisi alam ke arah yang semakin memburuk. B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana proses perizinan dalam kegiatan reklamasi pantai? 2. Bagaimanadampak pemanfaatan lahan reklamasi pantai terhadap lingkungan? C. METODE PENULISAN Dalam penulisan skripsi ini penulisan mempergunakan metode pengumpulan data dan metode pengolahan data sebagai berikut : 1. Metode Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data, maka penulis telah mempergunakan Metode Penelitian Kepustakaan (Library Research) yakni suatu metode yang digunakan dengan jalan mempelajari buku literatur, perundang-undangan, dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan materi 4 http:/dariusarkwright.blogspot.com/2010/04/reklamasi-dandampaknya-pada-wilayah-pesisir, diunduh tanggal 27 Desember2012
159
Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
pembahasan yang digunakan untuk mendukung pembahasan ini. 2. Metode Pengolahan Data Data yang terkumpul kemudian diolah dengan suatu teknik pengolahan data secara Deduksi dan Induksi sebagai berikut : a. Secara Deduksi, yaitu pembahasan yang bertitik tolak dari hal-hal yang bersifat umum, kemudian dibahas menjadi suatu kesimpulan yang bersifat khusus. b. Secara Induksi, yaitu pembahasan yang bertitik tolak dari hal-hal yang bersifat khusus, kemudian dibahasmenjadi suatu kesimpulan yang bersifat umum(merupakan kebalikan dari metode deduksi) D. PEMBAHASAN 1. Proses Perizinan dalam kegiatan Reklamasi Pantai Izin lingkungan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, menggabungkan proses pengurusan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Izin pembuangan limbah cair, dan izin limbah bahan beracun berbahaya (B3). Sebelumnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, keputusan kelayakan lingkungan hidup diurus di awal kegiatan usaha. Setelah konstruksi selesai, pengusaha harus mengurus izin pembuangan limbah cair dan B3. Sekarang ketiga izin itu digabungkan, diurus satu kali menjadi izin lingkungan. Syaratnya, yaitu analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), atau upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL), dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL). Tanpa ketiga dokumen tersebut, izin lingkungan tidak akan diberikan. Izin lingkungan juga di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, yang disahkan pada tanggal 23 Februari 2012. Yang sekaligus mencabut PP Nomor 27 160
Tahun 1999 tentang Amdal dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam PP ini Izin Lingkungan yaitu izin yang wajib dimiliki oleh setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk mendapakan izin usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1). Dalam Pasal 2 PP No 27 Tahun 2012 ayat (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memilik AMDAL dan UKL-UPL wajib memilik izin lingkungan, ayat (2) Izin lingkungan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diperoleh melalui tahapan kegiatan yang meliputi : a. Penyusunan Amdal, dan UKL-UPL. b. Penilaian Amdal dan pemeriksaan UKLUPL, dan c. Permohonan penerbitan izin lingkungan. Peraturan pemerintah ini juga mewajibkan setiap usaha dan/atau kegiatan wajib memiliki izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH). Izin ini berbeda dengan izin lingkungan. Izin lingkungan diperoleh sebelum usaha dan/ atau kegiatan beroperasi tetapi izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan diperoleh setelah usaha dan/atau kegiatan beroperasi. Jadi izin lingkungan dilakukan pada saat kegiatan belum dilaksanakan tahap perencanaan, dan untuk mendapatkannya rencana usaha dan/atau kegiatan wajib memiliki dokumen Amdal atau formulir UKL-UPL. Izin lingkungan ini akan menjadi persyaratan dalam memperoleh izin operasi rencana usaha dan/atau kegiatan. Izin lingkungan diterbitkan sebagai persyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH) diterbitkan sebagai persyaratan mendapatkan izin lingkungan dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Izin PPLH diterbitkan pada tahap operasional. Izin PPLH antara lain :
Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
a. Pembuangan air limbah ke air b. Pemanfaatan air limbah untuk aplikasi ke tanah c. Penyimpanan sementara limbah B3 d. Pengumpulan limbah B3 e. Pemanfaatan limbah B3 f. Pengolahan limbah B3 g. Penimbunan limbah B3 h. Pembuangan air limbah ke laut i. Dumping ke media lingkungan j. Pembuangan air limbah dengan cara reinjeksi, dan k. Emisi, dan /atau l. Pengintroduksian organisme hasil rekayasa genetika ke lingkungan. Selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 42 PP No 27 Tahun 2012 tentang Permohonan Izin Lingkungan bahwa permohonan izin lingkungan diajukan secara tertulis oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan kepada Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya (ayat 1). Permohonan izin lingkungan disampaikan bersamaan dengan pengajuan penilaian Andal, RKL-RPL atau pemeriksaan UKL-UPL ayat (2). Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) Permohonan izin lingkungan harus dilengkapi dengan :5 a. Dokumen Amdal atau formulir UKL-UPL. b. Dokumen pendirian usaha dan/atau kegiatan, dan c. Profil usaha dan/atau kegiatan. Setelah menerima permohonan izin lingkungan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 43 Menteri, gubernur atau bupati/walikota wajib mengumumkan permohonan izin lingkungan. Pengumuman izin dilakukan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya wajib mengumumkan kepada masyarakat terhadap permohonan dan keputusan izin lingkungan. Pengumuman kepada
masyarakat disampaikan melalui multimedia dan papan pengumuman dilokasi usaha dan/atau kegiatan paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak dokumen Andal dan RKL-RPL yang diajukan dinyatakan lengkap secara administratif.6 Izin Lingkungan diterbitkan oleh : a) Menteri, untuk Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKLUPL yang diterbitkan oleh Menteri, b) Gubernur, untuk Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKLUPL yang diterbitkan oleh Gubernur, c) Bupati/Walikota, untuk Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota. Izin Lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota : a) setelah dilakukannya pengumuman permohonan izin lingkungan, b) dilakukan bersamaan dengan diterbitkannya Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKLUPL (Pasal 47 PP No 27 Tahun 2012) Menteri, gubernur, bupati/walikota dapat mendelegasikan keputusan keputusan kelayakan lingkungan atau rekomendasi UKL-UPL kepada pejabat yang ditetapkan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota. Sejak persyaratan permohonan izin dinyatakan lengkap izin lingkungan paling lama 100 hari (penilaian 75, pengumuman 15 hari, SKKL 10 hari). Waktu tidak termasuk waktu untuk melengkapi data atau informasi yang masih dianggap kurang oleh pejabat berwenang. Terhadap kegiatan reklamasi pantai terutama yang memiliki skala besar atau yang mengalami perubahan bentang alam secara signifikan, perlu disusun rencana detil tata ruang (RDTR). Penyusunan RDTR reklamasi pantai ini dapat dilakukan bila sudah memenuhi persyaratan administratif seperti :
5
Lihat PP No 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan
6
Ibid.,Pasal 45
161
Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
(a) Memiliki RTRW yang sudah ditetapkan dengan perda yang mendeleniasi kawasan reklamasi pantai. (b) Lokasi reklamasi sudah ditetapkan dengan SK Bupati/Walikota, baik yang akan direklamasi maupun yang sudah direklamasi. (c) Sudah ada studi kelayakan tentang pengembangan kawasan reklamasi pantai atau kajian/kelayakan properti (studi investasi). (d) Sudah ada studi AMDAL kawasan maupun regional. Selanjutnya berkaitan dengan perizinan, Pasal 35 menyatakan pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disisentif, serta pengenaan sanksi7. Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 36 dan Pasal 37 UU Penataan Ruang. Dari perencanaan awal suatu usaha atau kegiatan pembangunan sudah harus memuat perkiraan dampaknya. Hal ini berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa Setiap usaha dan/ataukegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL. Terhadap resiko negatif dari suatu pembangunan terlebih dahulu perlu dilakukan perencanaan atas kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan. Perencanaan dimaksud dengan menganalisis berbagai hal mulai dari manfaat kegiatan, dampak yang timbul terhadap lingkungan, kondisi alam dan lainnya. Dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012. Peraturan Pemerintah ini juga mengatur secara detail tentang Amdal, karena PP ini juga sekaligus merupakan pengganti PP No 27 tahun 1999 tentang Amdal. Dalam PP ini penyusunan Amdal dan UKL-UPL dapat dilihat didalam Pasal 3 ayat (1) dikatakan Setiap usaha dan/atau 7
Ibid., Pasal 35
162
kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan wajib memiliki Amdal. Ayat (2) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib Amdal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memiliki UKL-UPL. Perizinan merupakan tindakan pemerintah untuk mengendalikan pengelolaan lingkungan yang hidup.Pengendalian yang dilakukan pemerintah adalah bersifatpreemitif, maksudnya adalah langkah atau tindakan yang dilakukan pada tingkat pengendalian keputusan dan perencanaan.Pemberlakuan AMDAL sebagai tindakan preemitif, dari pemerintah.Artinya agar AMDAL dilakukan oleh pemrakarsa dengan efektif, sebagai upaya pengelolaan lingkungan yang baik. Tujuan diterbitkannya izin lingkungan antara lain yaitu untuk memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup yang lestari dan berkelanjutan, meningkatkan upaya pengendalian usaha dan/atau kegiatan yang berdampak negatif terhadap lingkungan, memberikan kejelasan prosedur, mekanisme, dan koordinasi antar instansi dalam penyelenggaraan perizinan usaha dan/atau kegiatan, dan memberikan kepastian hukum dalam usaha dan/atau kegiatan. Sebagaimana penjelasan diatas menunjukkan pedoman-pedoman penting dalam proses perizinan dalam kegiatanreklamasi pantai, dalam hal pemberian izin lingkungan sebelum mendapat izin usaha/kegiatan.Dalam hal ini menunjukkan perizinan terpadu dalam bidang lingkungan hidup yang merupakan instrumentuntuk mencapai ketertiban hukum bidang lingkungan hidup.Penyelenggaraan sistem perizinan terpadu tersebut harus didasarkan pada UU-PPLH. 2. Dampak Pemanfaatan Lahan Reklamasi Pantai Terhadap Lingkungan
Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
Secara hukum reklamasi pantai di Indonesia, dapat menyangkut dampak dan nilai manfaat apa yang akan diperoleh berdasarkan nilai lingkungan, sosial, dan ekonomi.Dalam hukum positif di Indonesia, reklamasi diatur dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada butir 23, disitu dikatakanreklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan, atau drainase.Dalam pasal 34 UU No. 27 Tahun 2007 menjelaskan bahwa reklamasi dapat meningkatkan manfaat dan nilai tambah wilayah pesisir ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi lalu pelaksanaan reklamasi juga wajib menjaga dan memperhatikan kehidupan masyarakat, pelestarian lingkungan pesisir, dan perencanaan reklamasi yang baik.Berdasarkan penjelasan pasal 34, ternyata reklamasipantaidapat mempengaruhi semua aspek kehidupan yang ada di masyarakat. Dampak pemanfaatan lahan terhadap lingkungan dengan adanya kegiatan reklamasi seperti dampak negatif (kerugian) dan dampak positif (keuntungan) yang diperoleh sebagai berikut : 1. Dampak Negatif Secara teknis, reklamasi pantai dapat merubah konfigurasi pantai dan menutup sebagian wilayah laut sehingga sulit dibuktikan bahwa kegiatan tersebut tidak membawa dampak negatif terhadap lingkungan laut. Termasuk mempengaruhi keanekaragaman hayati secara negatif, mengganggu karakter fisik, aktivitas dan interaksi dari organisme-organisme dalam suatu lingkungan fisik wilayah laut.Selain permasalahan lingkungan hidup akibat reklamasi pantai, reklamasi pantai juga
merambat pada permasalahan sosial,ekonomi, dan sumber daya alam. Dampak negatif yang ditimbulkan akibat dari reklamasi pantai sebagai berikut: a. Pencemaran lingkungan pantai oleh limbah yang dihasilkan. b. Perubahan garis pantai pola arus laut saat ini. c. Gangguan terhadap pola lalu lintas kota. d. Pola kegiatan nelayan menjadi terganggu. e. Gangguan terhadap tata air tanah maupun air permukaan termasuk di dalamnya masalaherosi, penurunan kualitas dan kuantitas air, serta potensi banjir di kawasan pantai. f. Terjadinya pencemaran pantai pada saat pembangunan. g. Permasalahan pemindahan penduduk dan pembebasan tanah. h. Potensi terjadinya kerusakan pantai dan instalasi bawah air (kabel, pipa gas, dan lainya). i. Potensi gangguan terhadap lingkungan (tergusurnya perumahan nelayan, berkurangnya hutan mangrove, terancamnya biota pantai langkah). j. Perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang (RDRT).8 a. Dampak fisik Dampak fisik yang terjadi karena adanya perubahan lingkungan.Berdirinya bangunan-bangunankonstruksi yang direklamasi, membawa perubahan pada kawasan pantai.Perubahan fisik lingkungan alam yang dapat kita lihat dari pembangunan reklamasi pantai yaitu seperti perubahan hidro-oseanografi, erosi pantai, dapat mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) dikawasan reklamasi tersebut.Sistem 8
Dr.Flora Kalalo, SH, MH, Implikasi Hukum Kebijakan Reklamasi Pantai dan Laut di Indonesia, LoGoz Publishing, 2009, hlm 5
163
Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
hidrologi gelombang air laut yangjatuh ke pantai akan berubah dari alaminya.Berubahnya air akan mengakibatkan daerah diluar reklamasi akan mendapat limpahan air yang banyak sehingga akan terjadi abrasi.Perubahan lain yaitu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sendimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai dan merusak kawasan tata air, serta potensi gangguan terhadap lingkungan. Dampak lainnya yaitu meningkatkan potensi banjir dan penggenangan di wilayah pesisir. Potensi banjir akibat kegiatan reklamasi itu akan semakin meningkat bila dikaitkan dengan adanya kenaikan muka air laut yang disebabkan oleh pemanasan global.Disebabkan karena perubahan lahan dan bentang alam, kerena kegiatanreklamasipantai itu sendiri. b. Dampak biologis Dampak biologis yang sudah jelas terlihat akibat pembangunan reklamasi itu yaitu seperti kehancuran ekosistem berupa hilangnya keanekaragaman hayati.Keanekaragaman hayati yang diperkirakan akan punah akibat pembangunan reklamasi itu antara lain berupa terganggunya ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun, eustaria, dan juga terancamnya biota laut.Keanekaragaman biota laut akan berkurang, baik flora maupun fauna, karena timbunan tanah urugan mempengaruhi ekosistem yang sudah ada.Serta penurunan keanekaragaman hayati lainnya, dapat kita lihat dalam pasal 21 UU No. 32 Tahun 2007 mengenai “kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”. Disitu dijelaskan untuk menentukanterjadinya kerusakan lingkungan hidup, ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Dampak penting ditentukan berdasarkan “kriteria baku kerusakan lingkungan hidup” :9 a. Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa; b. Kriteria baku kerusakan terumbu karang; c. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan. d. Kriteria baku kerusakan mangrove; e. Kriteria baku kerusakan padang lamun; f. Kriteria baku kerusakan gambut; g. Kriteria baku kerusakan kars; dan/atau h. Kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika dikaitkan dengan pembangunanreklamasipantai, dapat kita lihat dalam ayat(3).Dapat dijelaskankerusakankerusakanyangterjadiyangberdampak pada ekosistem laut : b.1 Dampak Reklamasi Pantai Terhadap Hutan Mangrove Setiap kegiatan manusia yang berkaitan dengan kerusakan hutan mangrove seperti reklamasi pantai pada akhirnya akan menimbulkan dampak negatif terhadap sumber daya alam tersebut. Dengan adanya kegiatan reklamasi kawasan mangrove akan punah dengan dilakukan pengerukan dan penimbunan di daerah pantai tempat dimana tumbuhnya mangrove. Jika ekosistem mangrove hilang, maka berbagai macam keanekaragaman hayati pun akan punah akibat kegiatan reklamasi seperti punahnya spesies ikan, kerang, kepiting, burung, dan berbagai keanekaragaman hayati lainnya. Ditambah lagi dengan ancaman polutan dan sendimentasi dari material-material yag digunakan untuk reklamasi dan 9
Lihat UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 21
164
Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
pembangunan terhadap keberadaan ekosistem mangrove. b.2 Dampak Reklamasi Pantai Terhadap Terumbu Karang. Wilayah pesisir yang tidak dikelola dengan baik dapat mengancam keselamatan terumbu karang, akibat sendimentasi dan pencemaran perairan laut. Salah satunya dengan adanya kegiatan reklamasi pantai memberikan dampak penting bagi terumbu karang, akibat dari pengerukan yang dilakukan karena reklamasi, membuat rusaknya terumbu karang. b.3. Dampak Reklamasi Pantai Terhadap Padang Lamun. Reklamasi pantaijuga berdampak bagi ekosistem padang lamun. Kerusakan padang lamun akibat gangguan alam dan aktivitas manusia dengan adanya kegiatan reklamasi mengakibatkan kerusakan fisik terhadap padang lamun banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Reklamasi dan pembangunan kawasan industri juga telah melenyapkan sejumlah besar daerahpadanglamun. b.4 Dampak Reklamasi Pantai Terhadap Ekosistem Eustaria Reklamasi pantai juga memberikan dampak penting bagi ekosistem eustaria. Eustaria merupakan wilayah pesisir semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut. Eustaria memiliki fungsi penting, bagi ekosistem-ekosistem laut lainnya. Maka dari itu, jika rusaknya ekosistem eustariaberimplikasi terhadap penurunan kualitas lingkungan untuk sumber daya ikan dan erosi pantai. c. Dampak Sosial Ekonomi Masyarakat yang tinggal dekat dengan lokasi reklamasi adalah manusia yang paling merasakan dampak dari kegiatan reklamasi pantai tersebut. Sebab, sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya dari hasil tangkapan ikan maupun sumber
daya lainnya seperti kerang dan rumput laut. Aktivitas penangkapan ikan yang mereka lakukan masih terbatas pada kawasan pesisir yang tidak jauh dari lokasi tempat tinggal mereka. Dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2007, reklamasi bertujuan untuk meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi. Namun, dalam kenyataannya saat ini bertolak belakang dengan tujuan reklamasi itu sendiri. Padahal dalam pembangunan berkelanjutan (sustainability development) terdapat tiga prinsip utama, yaitu prinsip ekonomi, sosial, dan aspek ekologi. Prinsip ekologi (kelestarian lingkungan) inilah yang seringkali dikesampingkan oleh para pelaku pembangunan, karena bertentangan dengan prinsip ekonomi, sehingga mengabaikan keberlanjutan (sustainability) kelestarian lingkungan di masa mendatang. 2. Dampak Positif : Selain menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, sosial, ekonomi.Pembangunan reklamasi juga memberikan dampak positif atau keuntungan, dapat kita lihat keuntungan apa saja yang diberikan dari kegiatanreklamasi tersebut antara lain : a. Pembangunan kegiatan reklamasi akan meningkatkan kualitas dan nilai ekonomi kawasan pesisir. b. Pembangunan kegiatan reklamasi dapat mengurangi lahan yang dianggap kurang produktif. c. Pembangunan kegiatan reklamasi dapat menambah wilayah atau pertambahan lahan. d. Pembangunan kegiatan reklamasi dapat melindungi wilayah pantai. e. Pembangunan kegiatan reklamasi dapat menata kembali daerah pantai. f. Pembangunan kegiatan reklamasi dapat memperbaiki rejimhidraulik wilayah pantai. 165
Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
Dampak positif lainnya yang dapat kita lihat dengan adanya reklamasi pesisir pantai yaitu : a. Ada tambahan daratan buatan hasil pengurugan pantai sehingga dapat dimanfaatkan untuk bermacam kebutuhan. b. Daerah yang dilakukan reklamasi menjadi aman terhadap erosi, karena adanya konstruksi pengaman yang disiapkan sekuat mungkin untuk dapat menahan gempuran ombak laut. c. Daerah yang ketinggiannya dibawah permukaan air laut, bisa aman terhadap banjir apabila dibuat tembok penahan air laut di sepanjang pantai. d. Tata lingkungan yang bagus dengan perletakkan taman sesuai perencanaan, sehingga dapat berfungsi sebagai area rekreasi yang sangat memikat pengunjung.10 Tak hanya kerugian yang diperoleh tapi juga ada keuntungan-keuntungan yang diperoleh seperti : a. Adanya lahan baru untuk dibangun pusat bisnis dan hiburan seperti hotel berbintang mall, pusat hiburan di Pantai. b. Dapat memberikan kontribusi ekonomi untuk daerah dan masyarakat baik APBD, dan lapangan kerja. c. Dapat menunjang pariwisata daerah. d. Reklamasi bukanlah konstruksi yang sulit dikerjakan, tapi juga dapat dilaksanakan oleh tenaga lokal sekalipun. e. Dapat berfungsi sebagai peredam tsunami dengan adanya pemasangan front break water, serta desain gedung berpola pengendali air. 11
10
http://www.analisadaily.com/analisa-dampakreklamasi-pada-daerah-pesisir-pantai
11
http://m.kompasiana.com/post/regional/2011/01/2 6/kajian-teknis-sederhana-perlu-tidaknya-reklamasipantai-kalasey-minahasa-sulawesi-utara/
166
Reklamasi pantai memberikan keuntungan dalam mengembangkan wilayah, praktek ini juga memberikan pilihan penyediaan lahan dalam wilayah/kota, pengembangan wisata ke pantai, berkembangnya pusat kegiatan bisnis, pengaturan sistem transportasi yang terpadu, dapat membuka peluang kerja baru dan tenaga kerja baru. Oleh karena adanya berbagai dampak negatif, tidak mengherankan jika dibeberapa daerah reklamasi pantai telah memicu protes masyarakat setempat. Dampak yang bersifat multidimensi ini, menyebabkan reklamasi pantai selayaknya menjadi pokok yang dikaji secara lebih mendalam. Tetapi selain itu reklamasi pantai juga memberikan dampak positif. Melihat kelebihan dan kekurangan reklamasi pantai tersebut, nampaknya lebih banyak dampak kerugiannyayang terlihat. Maka dari itu, dengan melihat dua sisi baik sisi positif maupun sisi negatif perlu tidaknya pembangunan reklamasi pantai. Sejatinyareklamasi daerah pesisir tidak dianjurkan, namun jika menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek sosial, ekonomi, dan tentunya lingkungan, sah-sah saja reklamasi dilakukan. E. PENUTUP 1. Kesimpulan 1. Proses perizinan reklamasi pantai, dalam hal ini adalah suatu pemberian izin usaha/kegiatan harus memiliki izin lingkungan terlebih dahulu. Dalam pemberian izin lingkungan harus didasarkan pada kajian-kajian yang mendasari pemberian izin tersebut, dapat dilihat dalam PP Nomor 27 Tahun 2012 diatur dengan jelas mengenai izin lingkungan. Halhal tersebut merupakan pedoman penting dalam pemberian izin lingkungan. Karena izin lingkungan dan izin usaha memiliki keterkaitan
Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
yang erat. Seperti pada pasal 40 UUPPLH dikatakan bahwa izin lingkungan merupakan persyaratan mendapatkan izin usaha. 2. Reklamasi pantai berdampak pada lingkungan pantai. Dampaknegatif bagi nelayan, karena menurun hasil tangkapannya di laut. Diakibatkan rusaknya ekosistem-ekosistem yang ada di kawasan pantai. Tetapi berdampak positif untuk sebagian penduduk lainnya, karena mempunyai kesempatan mendapatkan mata pencaharian tambahan dengan adanya pembangunan di kawasan reklamasi pantai. Pengaruhreklamasi pantai juga memberikan dampak kualitas ruang dan perubahan fungsi ruang bagi masyarakat. Pengembanganreklamasimemperlihat kan hilangnnyaruang publik yang ada, yang tidak memberikan keleluasaan akses masyarakat terhadap view pantai. 2. Saran 1. Dalam hal pemberian izin lingkungan haruslah dilakukan secara cermat dan teliti melalui kajian-kajian terlebih dahulu, sehingga menjadi dasar penting bagi pembangunan reklamasi pantai, guna terhindar dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari reklamasi itu sendiri. 2. Dalam meminimalkan dampak fisik, biologis, sosial-ekonomi dan budaya negatif dari pembangunan reklamasi pantai serta mengoptimalkan dampak positif, kegiatan reklamasi harus dilakukan secara hati-hati dan berdasarkan pedoman-pedoman yang ada dengan melibatkan para pemangku kepentingan. Kajian yang cermat dan konprenhensiftentu bisa menghasilkan area reklamasi yang aman dan melestarikan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Helmi, SH, MH, Dr. Hukum Perizinann Lingkungan Hidup, Sinar Grafika, Jakarta, 2012 N.M.Spelt dan J.B.J.M. ten Berger, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh Philipus M. Hadjon, Yuridika, Surabaya, 2002 Otto Soemarwoto, Menyinergikan Pembangunan & Lingkungan Telaah Kritis Begawan Lingkungan,Publiser of Choice &Ecoherart, Yogyakarta, 2005 R.M. Gatot P. Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996. Dr. Flora Kalalo, SH, MH, 2009, Implikasi Hukum Kebijakan Reklamasi Pantai dan Laut di Indonesia, LoGoz Publishing, Sumber-sumber Lain Undang-UndangNo. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang No. 27 Tahun 2007, pasal 1 butir 23 PeraturanPemerintah No 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 tentang Pencemaran dan/atau Perusakan Laut http:/dariusarkwright.blogspot.com/2010/04/reklamas i-dan-dampaknya-pada-wilayah-pesisir, diunduh tanggal 27 Desember2012 BukuPedomanReklamasidiWilayah Pesisir (2005) http:/oceocean.blogspot.com/2012/04/rek lamasi-pantai, diunduh tanggal 25 Januari2013 http://en.wikipedia.org/wiki/Reclamation, di unduh tanggal 28 Januari 2013 Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia, Tahun I No. 1/1994 – Jurnal Hukum Lingkungan, Jakarta, 1996 http://journal.unnissula.ac.id/jlsa/article/downl oad/33/31 http://www.analisadaily.com/analisa-dampakreklamasi-pada-daerah-pesisir-pantai http://m.kompasiana.com/post/regional/2011/ 01/26/kajian-teknis-sederhana-perlutidaknya-reklamasi-pantai-kalaseyminahasa-sulawesi-utara/
167
ISSN : 2302-9307
Jurnal llmfah Plano Krisna Vol. 3 No. 1 Januari 2014
REKLAMASI KONSEP PENGELOLAAN PESISIR TERPADU (Studi Kasus Pekalongan)
Fauziya , ST. MT 1 Abstract Wilayah pesisir merupakan wilayah yang Jangsung mendapatkan dampak dari perubahan iklim. Salah satunya kenaikan muka air laut yang semakin tinggi, dan memberikan dampak luas terhadap wilayah pesisir. Diperkirakan J OO tahun lagi, Pekalongan mengalami kenaikan muka air laut sampai sejauh 2.85 km dari kondisi saat ini. Hal ini memberikan 'multiplier effect' yang besar ; mengurangi luas
daratan
pesisir,
kerusakan infrastruktur, perubahan
pemanfaatan
ruang
(pemukiman, perikanan, pertanian, industri dan pemanfaatan ruang Jainnya). Untuk itu dibutuhkan pengelolaan pesisir terpadu yang tepat untuk kondisi ini. Bagaimana
upaya
pengelolaan
pes1s1r
terpadu
yang
tepat
untuk
meminimalkan dampak dari perubahan iklim/ kenaikan muka air laut? Kertas kerja ini akan memaparkan perencanaan wilayah dengan konsep reklamasi, dengan sistem dan mekanisme secara teknis dengan tetap mempertimbangkan ekonomi, ekologi dan kondisi sosial masyarakat Jokal. Metodologi dengan analisa review dampak perubahan
iklim,
potensi
wilayah,
dan adaptasi
mitigasi
bencana.
Reklamasi ini tidak hanya untuk mengantisipasi kenaikan muka air laut, namun perencanaan kawasan tersebut untuk memberikan pertambahan nilai ekonomi (konsep cluster +linier) dan nilai ekologi (sempadan pantai, community space, ruang terbuka hijau dan
mangro ve centre). Diharapkan ide ini dapat memperkaya konsep penataan pes1s1r,
baik
upaya pengelolaan pesisir terpadu untuk mengantisipasi perubahan iklim/ kenaikan muka air laut, peningkatan nilai ekonomi dan ekologi pesisir, dan juga manajemen pengelolaan pesisir
Serta menjadi masukan untuk penentu kebijakan sebagai
altematif pengelolaan pesisir. Kata Kunci : reklamasi, perubahan ik/im
pengelolaan pesisir terpadu,
1 Dosen Tetap Prodi Tek•1ik PWK Ff - Unkris
108
Jurnal llmiah Plano Krisna Vol. 3 No. 1 Januari 2014
ISSN , 2302-9307
PENDAHULUAN
Reklamasi dilakukan
oleh
meningkatkan lahan
sosial
adalah
kegiatan
Orang
dalam
rangka
sumber
daya
manfaat
ditinjau
dan
laut
dari
sudut
ekonomi
pengurugan,
27
Tahun
lingkungan
dengan
cara
lahan
atau
pengeringan
drainase. (UU no
yang
2007).
Selama
reklamasi dilakukan karena lahan terbatas sedangkan
pembangunan,
untuk
pertumbuhan penduduk semakin Reklamasi dari
pantai merupakan
sistem
Perubahan adanya \okal,
pantai
pantai
reklamasi tetapi
tinggi.
subsistem
(Suharso
1 996).
dan
dampak
tidak
hanya
meluas.
akibat bersifat
Dampak
positif
kegiatan reklamasi antara lain tentunya pada peningkatan kualitas dan
nilai
ekonomi
perlindungan peningkatan perbaikan pantai,
dan
penambahan
pesisir,
erosi,
habitat
perairan,
hidraulik
kawasan
kondisi
rejim
wilayah, dari
pantai
penyerapan
rob),
Pekalongan.
tenaga
kerja.
dengan Daratan
pengelolaannya
studi
kasu;
hasil
reklamasi
akan
di
diinteegrasikan
dengan kondisi eksisting. Hasil reklamasi ini
tidak
hanya
menahan
gelombang
pasang yang mengikis pantai, selain itu juga dapat menjadi semacarn bendungan untuk rnenahan
banj ir rob
di
daratan.
Konsep reklamasi ini i juga memberikan keuntungan wilayah.
dalam
Praktek
penyediaan wilayah,
mengembangkan
Laban
lahan
menciptakan
semakin
untuk
penataan
pernekaran
daerah
altematif
luas,
kegiatan
pantai, dan
pengernbangan wisata bahari. Kertas
kerja konsep
memaparkan
101
juga
akan
pengembangan
kawasan secara spasial dengan pusat-pusat untuk
cluster
kawasan
mengurang1 lahan yang dianggap kurang produktif,
(
mengembangkan
perencanaan kawasan. Pusat-pusat akan menciptakan
sikuen
dan
peruntukan
aktifitas di kawasan reklamasi. Selain itu akan dipaparkan pula konsep pengelolaan kawasan
reklamasi
kelembagaan,
dengan
managemen
secara
pengelolaan
dan pemberdayaan masyarakat .
(Djakapermana, 20 I I )Pada dilakukan pengelolaan
kertas
kerja ini,
sebagai pesisir
reklamasi
strategi terpadu
untuk dan
mengantisipasi kenaikan paras muka air
FENOMENA PERUBAHAN IKLIM DI WILAYAH PESISIR Konsep Reklamasi ini di gunakan untuk mengatisipasi dampak perubahan
109
Jurnal llmiah Plano Krisna Vol. 3 No 1 Januari 2014
ISSN : 2302-9307
.
iklim
serta sebagai
pesisir
terpadu.
upaya pengelolaan
Perubahan
Iklim
cyclones), •
itu
Meningkatnya tinggi gelombang
sendiri merupakan fenomena yang tidak bisa
di
pungkiri,
perlahan
tapi
dan abrasi pantai, dan •
pasti
Meningkatnya
dampak-dampak perubahan iklim tersebut
(Kusuma.
akan memberikan dampak yang serius.
intrusi
air laut.
2008)
Secara garis besar, fenomena diatas telah dan akan memberikan dampak pada
Perubahan iklim dikelompokkan menjadi 4
masyarakat
(empat) fenomena berikut :
wilayah
a.
Meningkatnya temperatur udara
Wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil
b.
Meningkatnya curah hujan
adalah wilayah yang mendapatkan dampak
c.
Kenaikan m uka air laut (sea level rise)
langsung dari perubahan iklim. M isalnya
d.
Meningkatnya
kenaikan paras muka air laut memberikan
intensitas
kejadian
ekstrim yang diantaranya adalah : •
pesisir dan
masyarakat
pulau-pulau
di
kecil.
dampak semakin berkurangnya daratan.
Meningkatnya intensitas curah
berubah
hujan
pemukiman yang tidak nyaman, kesehatan
pada
musim
basah
(extreme rairifall), •
khususnya
Meningkatnya
fungsi
terganggu,
freln1ensi
dan
pemanfaatan
infrastruktur
ruang,
lumpuh
dan
rusak, kegiatan sosial ekonomi terganggu
intensitas banjir (extremeflood),
(pertanian,
perkebunan,
kehutanan,
Berkurangnya
pariwisata)
dan
ekosistem
dan
debit
musim
curah
hujan
sungai
pada
kemarau
bertambah panjangnya periode
(drought),
musim kering
terganggu(lingkungan : tanah dan air).
serta
Pekalongan, salah satu kabupaten pesisir setiap
di
pantai
tahunnya
Utara
pulau
mengalam i
kenaikan
Meningkatnya temperatur yang
paras muka air laut (rob) setinggi
diikuti dengan gelombang panas
Ketika I 0 tahun sama dengan
80
(heat waves),
tahun
Menurunnya kualitas air pada
seianjutnya
50
musim kemarau,
muka air
laut akan
Meningkatnya frekuensi
intensitas
badai
dan
(tropical
sama
dengan
1 60
Jawa,
0.8
cm.
cm, 20
cm,
dan
tahun, I 00 tahun, paras air terns
tinggi,
dan
menggenangi daratan sampai jauh.
110
Jurnal llmiah Plano Krisna Vol. 3 No. 1 Januari 2014
ISSN : 2302-9307
Gambar I : Daerah rawan genangan kenaikan air muka air laut selama 20,40,
60, 80
dan
I 00 tahun. (Sumber : Subandono, 2008, 2 0 1 2)
Garnbar I menunjukkan capaian akibat kenaikan air muka laut, pada saat I 00 tahun. Luas Genangan Mencapai sampai
2. 79 km.
1 9.564,2
ha, jarak capaian dari pantai pada saat kondisi sekarang
Dapat di bayangkan akan banyak terjadi perubahan pemanfaatan ruang,
kerusakan infrastruktur, pemukiman yang rusak dan dampak lainnya. Upaya-upaya untuk mengantisipasi kenaikan paras air muka laut adalah sebagai berikut :
t.
Adaptif/ Akomodatif
2. Protektif 3.
Reklamasi
4.
Mundur
111
ISSN : 2302-9307
Jurnal llmiah Plano Krisna Vol. 3 No. 1 Januari 2014
Tabel I : Antisipasi kenaikan paras air muka laut
A.
A.komodatif
Teknologi
Aplikasi
• Sistim peringatan dini
- Perencanaan emergensi
• Sistim evakuasi - Perlindungan bencana
• Membutuhkan sedikit tcknologi
- Perubahan tata guna lahan dan
• tvfernbutuhkan
- Pengaturan
berbagai
teknologi
(akuakultur,
praktik pertanian yang
ketat
untuk
•membutuhkan sedikit teknologi
kawasan bencana - Meningkatkan sistim drainase
ll.
•meningkatkan diameter pipa • meningkatkan kapasitas pompa
l'rotektif
•Dam, tanggul, penahan bajir (lloodwalls)
Dengan struktur keras
• SeawalJ, revetment •Groin • Pemecah gelombang tcrpisah •Pintu air dan penahan pasut (tidal barriers) •Penahan intrusi air laut -
Dengan struktur lunak
•Reklamasi • Pemeliharaan pantai (beach nourishment) secara periodik • Perbaikan dan pembuatan sand dunes
-
• Perbaikan dan pembuatan wetland
• Penghutanan
Dengan cara alami (indigenous)
kembaH
• Penanaman kelapa, waru, mangrove • Dinding penahan dari kayu • Dinding penahan dari batu
C. Mundur - Meningkatkan
atau menetapkan
• Membutuhkan sedikit teknologi
kawasan mundur (set back) - Memindahkan
bangunan-
• Membutuhkan banyak teknologi
bangunan yang terancam - menghilangkan atau meniadakan
• Membutuhkan sedikit teknologi
pembangunan di kawasan berisiko - Memperkirakan pergerakan
• Membutuhkan sedikit teknologi
- Mengatur realignment
• Membutuhkan berbagai teknologi sesuai dengan lokasi
- Menciptakan
penyangga
di
• ivfembutuhkan sedikit teknologi
kawasan upland
D. Akomodatif
112
ISSN : 2302-9307
Jurnal llmiah Plano Krisna Vol. 3 No. 1 Januari 2014
- Perencanaan emergensi
• Sistim peringatan dini 0 Sistim evakuasi
- Perlindungan bencana
aMembutuhkan sedikit teknologi
- Perubahan tata guna lahan dan praktik
Membutuhkan
berbagai
teknologi
(akuakultur)
pertanian ketat
yang
- Pengaturan
untuk
0membutuhkan sedikit teknologi
kawasan bencana - Meningkatkan sistim drainase
•meningkatkan diameter pipa •meningkatkan kapasitas pompa
PENGELOLAAN PESISm TERPADU DENGAN KONSEP REKLAMASI
dengan kondisi eksisting. Pengelolaannya wilayah
pesisir
Kota
Pekalongan
mengantisipasi
dilakukan dengan terpadu, dimulai dengan
kenaikan paras m uka air laut di Kota
perencanaan, pemanfaatan (implementasi)
Pekalongan,
dan
untuk
Konsep
dengan
konsep
reklamasi.
pengendalian.
Siklus
ini
saling
Reklamasi ini tidak hanya mengantisipasi
mengkontrol kondisi pengelolaan pesisir.
rob,
Terpadu,
tetapi
juga
untuk
pengembangan
wilayah yang pengelolaannya terintegrasi
maksudnya
terintegrasi
melibatkan stake holder di kawasan pesisir
Perencanaaon
Gambar 2 : Siklus pengelolaan pesisir terpadu
Eksisting Pantai utara Kota Pekalongan mengalami kerusakan akibat erosi pantai, rob dan banj ir.
terganggunya pemukiman, pertanian, budi daya perikanan, infrastruktur serta kondisi ekologi dan ekonomi di pesisir Kota Pekalongan.
Kondisi ini mengakibatkan
Gambar 3 : Kondisi kawasan pesisir Kota Pekalongan : erosi pantai, rob, banjir dan akresi (Sumber ; Subandono, 2012)
113
ISSN ' 2302-9307
lurnal llmiah Plano Krisna Vol. 3 No. 1 Januari 2014
Gambar 4
:
Kondisi kawasan pesisir Kota Pekalongan : erosi pantai, rob, banjir dan akresi
(Sumber ; Subandono, 2012) - Konsep Reklamasi di Pekalongan Reklamasi
yang
menambah
kontrol air dari rob (ada pompa). Untuk
2 1 0 ha, kawasan di
mengantisipasi paras muka air laut di
dilakukan
daratan pantai sekitar
bagi menjadi 5 kawasan :
kawasan
reklamasi
ini
juga
dengan
a.
30 ha
bantuan teknologi sea wall (protektif) dan
b.
35 ha
pompa kontrol. Untuk menghubungkan
c.
35 ha
satu
d.
220 ha
Pekalongan di desain jalan lingkar Kota
e.
90 ha
Pekalongan, jalan ini menjadi jaringan
Site plan reklamasi di desain sedemikian rupa, ada
3 polder yang memisahkan zona
kawasan
reklamasi
dengan
kota
yang mendukung pola penataan wilayah di kawasan Kota Pekalongan.
A-B, C- D, dan D-E. Polder ini sebagai
Gambar S : Zona -zona reklamasi Kota Pekalongan (sumber : analisis perencanaan)
114
Jurnat flmiah Plano Krisna Vol. 3 No. 1 Januari 2014
Pola
pemanfaatan
ruang
ISSN : 2302-9307
di
kawasan
dengan gabungan pola
reklamasi ini terbagi menjadi
beberapa
sirkulasi
fungsi :
setiap
lndustri perikanan
pengolahan
ikan,
pasar higenis Wisata
:
linear
zona
dan
atau
cluster.
Dimana
kawasan
memi liki
kesempatan yang sama untuk dinikmati dan dikunjungi. Pola linear ini bisa di
wisata
belanja
hasil-hasil
mulai dari zona A ke E, atau sebaliknya.
perikanan, wisata kuliner Publik space ; untuk Pemukiman
Cluster-cluster ini mewadahi :
: pemukiman menengah
Cluster
yang
dan ata, apartment dan hotel
ecotourism,
hotel,
Bisnis centre : pusat batik
pemukiman
ecotourism,
Ekologi
green
belt
mengarahkan
Cluster
2
(sempadan pantai-community space),
centre,
pemukiman,
ruang terbuka hijau di setiap zona
(wisata bahari), dan
Kawasan yang di ubah fungsi untuk
ekologi ; mangrove centre
reklamasi
desain
dari ini
Cluster 3
:
mengarahkan
ke
pantai
dan
bisnis terbuka
community space
community space (rest area),
green belt.
- Cluster cluster kegiatan Skenario
-
apartment,
ke
Cluster kawasan
4
:
Industri perikanan
dan
wisata kuliner perikanan.
dari
Cluster 4
Gambar 6 : A liran cluster-cluster pada kawasan reklamasi {sumber : analisis perencanaan 1
115
ISSN : 2302-9307
!urnal llmiah Plano Krisna Vol. 3 No. 1 Januari 2014
Sempadan pantai reklamasi
di
di
sepanjang
fungsikan
untuk
pantai
laboratorium
ruang
hijau, dengan jarak yang di syaratkan
terbuka hijau, biking track, jogging track,
Gambar 7
:
tujuan
utama
ruang
terbuka
(Sumber : analisis dan perencanaan)
yang baik bagi Kota Pekalongan. Timbul
Dari hasil reklamasi, menunjukkan yang semula
dan
(minimal J OO m dari pantai).
Desain kawasan reklamasi kola Pekalongan
MULTIPLIER EFFECT
alam
untuk
pula lapangan pekerjaan dan semakin luas lapangan
alternatif
pekerjaan
mengantisipasi kenaikan
Aktifitas wisata akan
paras muka air taut, memberikan dampak
wisata bahari, pantai dan
yang lain. Karena perluasan wilayah
Skala Makro & Mikro.
pesisir yang di kelola. Dampak tersebut
-
baru.
meningkat
ecotourism.
Interaksi Sosial Budaya
adalah :
Akses ruang publik semakin
-
dalam
Peningkatan Ekonomi
baik
desain
banyak
luas,
disediakan
Pe11i11gkatan ekonomi skala makro dan
community space dan ruang terbuka
mikro, investasi di bidang properti dan
hijau
bisnis lainnya
masyarakat.
akan ikut menumbuhkan industri mikro
dari aktivitas pariwisata
misal bisnis kuliner, ecotourism dan lain
masy
lain. Hal ini memberikan nilai investasi
Kegiatan-kegiatan
yang
dapat Interaksi
lokal-turis
digunakan juga
timbul
(interaksi meningkat).
Ruang
akselarasi
116
Jurnal llmiah Plano Krisna Vol. 3 No. 1 Januari 2014
budaya
terbuka
terselenggara
yang
dengan
ISSN : 2302-9307
akan interaksi
Pengembangan wisata bahari Kota Bercirikan Pantai, menghadap ke Laut
dan
tersebut. Pengelolaan
Lingkungan
Yang
Berkelanjutan
Pengelolaan
Ide ini di harapkan dapat memperkaya model pengelolaan wilayah pesisir terpadu . PUSTAKA :
Limbah
dan
Sistem
De Chiara, Joseph,
Standard For Housing and
drainase membaik dikelola dengan
Residentia/Development, Mc
baik dalam satu managemen. Hal ini akan
memberikan
ekosistem
pesisir
memberikan
Graw Hill Inch.
perbaikan
I
laut.
peningkatan
Dan
Diposaptono,
Pusat
Kementerian Kelautan dan
yang lebih terarah terbentuk
dengan
Pengikat/Penghubung
Perikanan. Diposaptono,
(20 12),
Pekalongan,
Kota
Kementerian Kelautan dan
transportasi (transit coridor).
Perikanan.
KESIMPULAN :
Dari hasil reklamasi di Kota Pekalongan ini
Diposaptono,
Berbagai
Antisipasi kenaikan paras muka air
Indonesia
berbagai ta
keperluan. lahan
mengamankan lahan subur
di
Tahun IV Oktober.
baik
luas
Ancaman
Maritime Magazine, edisi 24/
Daerah pantai menjadi tertata dengan
utk
(20 12), Menjawab
Wilayah Pesisir,
laut dapat tercapai (Mitigasi Bencana)
lahan
Subandono,
Reklamasi
maka hal-hal yang bisa di capai :
Menambah
Subandono,
Penataan Kawasan Pesisir
kota
terbentuk. Dan juga terbentuk simpul
Tersedia
Kecil,
Pulau-Pulau
Pegembangan
Pemasaran dan informasi baru
Koridor
Adaplasi
Laut Di Wilayah Pesisir Dan
Ekonomi Regional Jalur
(2008),
Kenaikan Paras Muka Air
darat Model
Subandono,
Teknologi
kualitas
perairan ke arah laut dan pantai kearah
-
(1 995), Time Saver
dan
Shirvani,
Hamid,
(1985), The Urban
Design Process, Van Nostrad Reinhold Co. 117
DAN PENGARUHNYA TERHADAP KOTA (COASTAL RECLAMATIONAND ITS INFLUENCE TO PHYSICAL ENVIRONMENTIN THE COASTAL AREA OF TOWN
ABSTRAK Tujuan penelitian lni adalah untuk mempelajari proses reklamasi dan mengkajl dampak perubahan fungsi ruang di wilayah reklamasi pantai terhadap perkembangan keruangan penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriftif, Teknik atau kepesisiran Kota cara pengumpulan data dilakukan melalui survei data sekunder instansional, yang didukung atau wawancara, pengecekan lapangan. Pengambilan sampel dan dilengkapi data primer, dengan cara purposive sampling Model proses penentuan titlk pengecekan di reklamasi pantai disajikan bentuk frekuensi dan persentase, sedangkan pembuktian dampak reklamasi pantai dilakukan secara deskriftif fenomenoiogis Hasil penelitian menunjukan bahwa proses reklamasi pantai di Kelurahan Gamalama telah berlangsung sebelum dikeluarkan kebijakan pemerintah Kota untuk melakukan penataan pada tahun 2001. Dari 56 responden yang melakukan reklamasi, kawasan pantai Kota usaha, sedangkan anggota masyarakat reklamasi pantai dan perubahan fungsi ruang meliputi: a) pola arus laut di sekitar wilayah penelitian arah mengikuti keadaan surut banjir yang terjadi di lokasi dominan dipengaruhi oleh sistem drainase perkotaan yang buruk, bukan reklamasi memberikan dampak kedalaman perubahan-perubahan . . maupun pada lokasi rencana. kunci: Reklamasi, Lingkungan
Kepesisiran ABSTRACT
The purpose of this research is to study the reclamation process and investigate the impact of coastal reclamation to the spatial growth and also the change of space function in coastal area of The research method being used is descriptive qualitative. Technique or way of data Town collecting was done through the survey of institutional secondary data, that supported or equiped by the primary data which conducted through interview and field checking. Sampel taking and determination of checkingpoint in field was done by purposive sampling. Analysis model of the coastal reclamation process was presented in the form of tables of frequency and percentage, while verification of the affect of coastal reclamation was conducted phenomenal descriptively. The result of the research indicate that the coastal process in Sub-District Gamalama has taken place before the releasing of governmental policy of Town to do the in the year 2001. From 56 respondent which doing coastal area settlement of Town % are the firm. while the society member are 2,4 %. reclamation; The affect of coastal reclamation and the change of space function cover o f : a) the sea outflow around the research area always chopp round to follow the ebb situation. b) floods that happened in three location are more dominant influenced by the bad urban drainage system, not coastal reclamatin c) given the negative impact to depth of the sea and sedimentation, d) occured the wide addition of e) had been occured the change of function either in existing land of location or at the plan location Keywords : Reclamation, Environmental, Coastal Area
3
127
Teknik
Temate 12
Desember 2006
PENDAHULUAN
daerah dan sebagian masyarakat beberapa tahun terakhir cenderung meningkat. Dalam
Belakang Perubahan dan kerusakan lingkungan yang terjadi dewasa
lebih dikarenakan oleh
ulah dan perilaku manusia untuk meningkatkan
perkernbangan selanjutnya kawasan dimanfaatkan untuk pembangunan fasilitas perkotaan dan permukiman. Proses
status social ekonominya. Upaya peningkatan
reklarnasi
pantai
pada
status tersebut, antara lain dikeranakan faktor
kenyataan dilakukan belurn berjalan dengan
kerniskinan yang terjadi dalam kehidupan
baik
manusia.
dampak negatif seperti semakin banyaknya
Pernbangunan merupakan suatu proses perubahan
tidak
pemanfaatan aktivitas
terlepas
surnberdaya
ini
sering
dari
aktivitas
alarn.
dilakukan
material
yang
hanyut,
sehingga
terjadi
pendangkalan perairan, dan bila ini terus
untuk meningkatkan taraf
manusia
sehingga dikhawatirkan rnenirnbulkan
Dalam
berlangsung akan
mengancam
ekosistem
pantai. Bertolak
perubahan-
dari
berbagai
persoalan
perubahan pada ekosistem dan sumberdaya
tersebut, rnaka
alam. Perubahan-perubahan yang dilakukan
penelitian mengenai "Reklamasi Pantai dan
tentunya
Pengaruhnya terhadap Lingkungan Fisik di
akan mernberi pengaruh pada
lingkungan
Di
daerah
perkotaan
menarik untuk dilakukan
Wilayah Kepesisiran Kota
persoalan lingkungan yang paling nampak adalah
persoalan' yang ditirnbulkan oleh
1.2 Perurnusan Masalah
Berdasarkan
penggunaan lahan. Ada tiga penyebab utama antara
(1)
lain;
faktor
rneningkatnya
permasalahan seperti diuraikan sebelumnya
perturnbuhan penduduk baik secara alami
berikut
(keiahiran) maupun perpindahan penduduk dari
penelitian ini.
desa
ke
kota
(urbanisasi),
pembangunan yang
(2)
faktor
mendominasi
daerah perkotaan, (3) faktor keterbatasan lahan perkotaan. Reklarnasi pantai, merupakan salah satu contoh dari
upaya manusia untuk
menjawab keterbatasan lahan di perkotaan,
belakang
ini
disajikan
perumusan
dalarn
a. Bagaimana proses reklarnasi pantai di Wilayah
Kepesisiran
Kota
dilaksanakan? b. Bagaimana
dampak
reklamasi
terhadap
perkembangan
kawasan
pantai dan
perubahan fungsi ruang di wilayah pesisir dan pantai
Kota
sebagaimana yang terjadi di Kota kegiatan reklamasi yang dilakukan sepanjang pantai
kota, dari arah selatan ke utara
Kota
yang dilakukan oleh pemerintah
Reklamasi Pantai Dan Pengaruhnya TerhadapLingkungan
128
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan kedua
masalah
tersebut, berikut ini disajikan tujuan penelitian yang
dicapai.
a. Mempelajari proses reklamasi di wilayah kepesisiran Kota b. Mengkaji
dampak
reklamasi
pantai
terhadap perkembangan kawasan dan perubahan
fungsi
ruang
di
wilayah
Pengertian umum reklamasi dikemukakan oleh para ahli, Chapman (1982, dalam
reklamasi sebagai proses untuk membuat lahan agar cocok untuk pemanfaatan tertentu. Bila dilihat dari penggunaan lahan kota yang sudah
atau akan dikembangkan untuk menunjang ekonomi kota atau daerah.
Penelitian Hasil penelitian yang akan dilakukan sebagai
diharapkan dapat memberikan berikut :
a. Hasil dari penelitian ini akan memberikan sumbangan pemikiran yang berguna bagi perkembangan
ilmu
pengetahuan
dan
sebagai bahan perbandungan bagi peneliti lain
yang
memiliki
minat
melakukan
penelitian dengan aspek yang sama. b. Hasil
penelitian
ini
diharapkan
menambah pengetahuan
dapat
reklamasi
pantai serta dampak terhadap lingkungan biotik, dan sosial serta perkembangan dan perubahan fungsi ruang di wilayah kepesisiran Kota c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bagi para pelaku, perencana dan reklamasi pantai agar dalam melaksanakan dapat meminimalkan dampak negatif.
mendesak, tindakan ini
lebih strategis bila kawasan
kepesisiran Kota 1.4
bahwa pada
Di satu pihak, pemerintah kota sering memandang reklamasi pantai sebagai satusatunya
jalan
untuk
mengembangkan
sumberdaya lahan bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi
industri khususnya dalam konteks
pertumbuhan kota. Di pihak lain muncul suatu kekuatiran baik dari sudut pandang lingkungan misalnya bahaya banjir, polusi, dan sampah dari
sudut
pandang kualitas
hidrologi air
misalnya dangkal,.
perubahan pola arus; dan dari sudut. pandang ekonomi misalnya tingginya harga lahan di sekitar pantai, perubahan mata pencaharian. Wilayah kepesisiran atau kawasan kepesisiran
dan
ada
yang
menyebutkan
sebagai daerah pesisir merupakan dari
coastal area. Sunarto
memberikan
sebagai daerah yang
membentang dari minakat gelombang pecah (breaker zone) di laut hingga mencapai akhir
alluvial pesisir (coastal alluvial
plain) di darat. Jurnal
Vol.
Desember 2006
Masih dalam Sunarto
sifat dasar
serta
mengelola
segenap
kegiatan
daerah pesisir selalu mengalami dinamika,
pemanfaatannya guna mencapai pembangunan
karena ada berbagai faktor sehingga daerah
yang optimal dan berkelanjutan.
pesisir selalu bersifat poligenik.
demikian keterpaduan dalam perencanaan
perubahan atau dinamika daerah pesisir secara
dalam pengeloaan kawasan pesisir dan pantai
akan bersifat
dan siklik, kecuali
mencakup
Dengan
aspek, yaitu (1) keterpaduan
telah dipengaruhi oleh dinamika manusia
ekologis;
(anfropodinamic). Faktor antropodinamik yang
keterpaduan disiplin
keterpaduan
(2)
sektor;
(3)
dan (4) keterpaduan
pengaruhnya terhadap perubahan daerah pesisir ini dikendalikan dengan strategi
yang
dengan
menyeluruh
untuk
keterpaduan aktivitas sektoral. Jika strategi ini tidak
dapat
berjalan
sesuai
dengan
rencananya, maka perubahan daerah pesisir yang sifatnya ritmik dan siklik akan rusak, sehingga terjadi degradasi ekosistem pesisir atau daerah pesisir. adalah kesatuan
Lingkungan
ruang dan semua benda, daya, keadaan dan termasuk di dalamnya manusia
mahluk dan
prilakunya,
kelangsungan
yang
Didalam penelitian
perikehidupan
lainnya.
pantai di Kelurahan
termasuk
daya, keadaan dan mahluk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan
perikehidupan
dan
kesejahteraan manusia serta mahluk
lain.
dengan itu pengelolaan kawasan pesisir dan pantai memiliki
pengertian
bahwa
pengelolaan
sumberdaya alam dan pesisir melalui penilaian secara menyeluruh
Kota
Materi penelitian yang akan digunakan adalah: a. data
primer,
dikummpuikan
dengan
melakukan pengamatan fenomenologis dan pengukuran di lapangan, selain itu juga dilakukan wawancara. b. data sekunder, dikumpulkan dengan teknik dokumentasi.
Pengelolaan Lingkungan adalah kesatuan ruang semua benda.
lokasi
3.2 Materi Penelitian
dan No 23
yang
(fokus) penelitian pada wilayah reklamasi
mempengaruhi
kesejahteraan manusia serta mahluk Tahun
3.1 Lokasi Penelitian
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik atau cara pengumpulan data dilakukan melalui instansional, yang dldukung dengan
data
sekunder
atau dilengkapi
data primer, melalui wawancara,
pengecekan lapangan. Pengambilan sampel dan penentuan titik pengecekan di dengan cara purposive sampling. 3.4
(comprehensive assesment), merencanakan Reklamasi PantaiDan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan
Data
130
data dilakukan baik secara
sebagai berikut ini.
kualitatif maupun kuantitatif, model
a. Undang-undang.
disesuaikan dengan sifat rancangan penelitian
b. Peraturan
yang mengacu pada pengujian
c. Keputusan, lnstruksi Presiden dan Surat
tujuan
penelitian,
dan
model
proses
reklamasi pantai disajikan dalam bentuk frekuensi
dan
presentase,
Keputusan Menteri. d. Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala
sedangkan
pembuktian dampak reklamasi pantai dilakukan secara deskriftif fenomenologis.
Pelaku Reklamasi Pantai d i Kelurahan Gamalama
DAN PEMBAHASAN Proses
4.1
Reklamasi
Pantai
di
Gamalama Perencanaan Reklamasi Pantai
Dari
Gamalama, dan anggota masyarakat yang melakukan kegiatan reklamasi diketahui total lahan yang
Program Pembangunan perencanaan reklamasi pantai oleh PemerintahDaerah Kota di Kelurahan Gamalama meliputi: a. Wilayah Perencanaan Reklamasi pantai Fisik
direklamasi yaitu . seluas
2
529.840 m . Pelaku
Kelurahan
reklamasi
diatur
dalam
dan
Pelaku reklamasi pantai di Kelurahan
c. Sasaran Program Perencanaan Penataan
kepesisiran pantai Kota Lingkup kewenangan
di
Gamalama terdiri
Gamalama terdiri
wilayah kepesisiran. d. Dasar hukum rencana penataan wiiayah
pantai
swasta masyarakat secara perseorangan.
b. Waktu Pelaksanaan Rencana Pembangunan
khusus
wawancara dengan Lurah
swasta dan masyarakat
secara perseorangan (Lampiran 1) dari terhadap data diperoleh
secara
yang melakukan reklamasi sedangkan anggota masyarakat dari total
undang-undang,
lahan reklamasi, seperti disajikan pada
peraturan-peraturandan keputusan-keputusan, Persentase Luas Lahan Reklamasi Oleh
Pelaku Reklamasi
Sumber hasil olahan data primer, 2004
131
PONDASI Vol. I 2 No.2 Desember 2006
4.1.3
reklamasi pantai Hal ini menunjukan ada kesadaran
Responden (56 orang) yang memiliki ijin reklamasi pantai atau sebesar
%
positip bagi pelaku reklamasi pantai, untuk
dengan
%
melakukan reklamasi dengan
lahan 528.215
dan
tidak memiliki ijin rekiamasi dengan total lahan 2
m
ijin
terlebih dahulu sebelum rnereklamasi
pantai.
. Dari
bila dilihat
IV.2
Dari responden kegiatan reklamasi
dari jumlah responden menunjukan bahwa
yang
sebagian besar masyarakat 52 responden
kebutuhan lahan untuk
melakukan reklamasi dengan menggunakan
sekaligus dijadikan
dilakukan
ini
disebabkan
karena
tinggal dan usaha.
ijin, dan 4 responden yang mereklamasi ijin.
lV.2 Responden dan Luas Lahan Reklamasi dengan ijin Reklamasi Pantai
Persentase
Persentase
Luas
Persentase
529.648 192 529.840 Hasil olahan data primer, 2004
reklamasi urugan yang dilakukan di kelurahan
Teknik Reklamasi Reklamasi pantai di wilayah Kelurahan
gamaiama, pada kenyataasn dilapangan belum
Gamalama biia dilihat dari teknik dasar sistem
dilakukan sesuai dengan dengan
rekiamasi maka pada umumnya menggunakan
reklamasi yang baik, sehinggga memberikan
sistem urugan, yaitu tanggulltalud dibuat
dampak negatif terhadap kondisi
terlebih
dahulu
untuk
reklamasi dari
Reklamasi Pantai Dan
melindungi
lahan
ombak.
Sistem
Terhadap
132
lV.3 Persentase Jumlah Responden dan Luas Lahan Reklamasi dengan Penggunan Talud d i Kelurahan Gamalama Penggunaan
No
Jumlah
Persentase
Talud
Persentase
Luas
%
%
1
38
528.21 5
2
18
1.625
56
529.840
Jumlah
Hasil olahan data sekunder dan primer, 2004 Penggunaaan material urugan dengan kondisi semacam ini akan memberikan peluang hanyutnya
material
urugan
pada
4.1.4 Material Reklamasi Pantai
Dari 56 responden responden
peiaku
% yaitu 38
Material reklamasi yang digunakan ada
reklamasi
tiga jenis yaitu Tiang kayu dikombinasikan
menggunakan talud dengan luas lahan 528.215 2
m , sedangkan 18 responden menggunakan sarnadengan
talud
dengan Tiang
Tiang kayu, dan
Urugan.
atau
dengan luas lahan 1.625
m atau sama dengan
dari total luas
4.2 Dampak reklamasi terhadap lingkungan
4.2.1
Surut, Pola Arus dan Abrasi
Pantai
4.3. Pekerjaan
Kota
yang tidak
sebanyak
2
lahan
sedimentasi diperairan dekat loasi reklamasi.
saat
terhempas gelombang orang
terbawa hanyut dan mengakibatkan terjadinya
dan Kimpraswil
Surut
1)
Data sekunder Tahun 2004
membuat desain talud yang harus
diikuti oleh anggota masyarakat yang akan
surut,
dari hasil pengukuran yang
melakukan reklamasi seperti pada Gambar 4.3.
dilakukan oleh
MU, pada masing-masing
Dari kenyataan yang terjadi dilapangan pada
lokasi (Dufa-dufa, Gamalama, dan Kalumata)
umumnya pelaku reklamasi pantai dalam
ditemukan
pembuatan talud tidak buat secara
demikian, tipe
secara
bertahap
dengan
secara ini dapat
dampak negatif terhadap kondisi kedalaman laut karena sebagian material akan
133
dengan
surut (pasut) Pulau
harian ganda sebagaimana umumnya tipe
menyusun batu-batu kali yang diletakan diujung lahan reklamasi.
antara
termasuk dalam kategori campuran
sebagaiman standar yang ada, melainkan dilakukan
F
surut
di
Indonesia. Nilai kisaran
bagian
timur
surut (tide
range) adalah perbedaan antara tinggi muka air pada saat Jurnal
dengan tinggi Vol. I 2 No.2
2006
muka air pada saat minimum, rata-rata
surut disuatu
juga
dipengaruhi oleh topografi pantai setempat.
berkisar antara 1-3 meter. Pada tiga lokasi (stasiun) pengamatan ditemukan nilai F (bilangan 0,9 pada saat bahwa pada
bahwa
antara ini menandakan
purnama nilai kisaran
Kondisi
surut untuk
stasiun pengamatan di (Gambar Gamalama
(Gambar
pengamatan di
tertinggi di depan
4.8).
dengan nilai F adalah 0,9
Dufa-dufa
stasiun pengamatan di
surut bisa mencapai 1 meter. Kisaran Garnalama
stasiun,
4.7)
dan
Stasiun
Kalumata (Gambar
ini
0.00
4.00
8.00
12.00
16.00 20.00
24.00
(jam) Gambar 4.1
0.00
4.00
Surut stasiun Dufa-dufa
8.00
12.00 16.00
20.00
24.00
(jam)
Gambar 4.2 Grafik
. Surut
stasiun Gamalarna
PantaiDan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan
134
0.00
4.00
8.00
12.00
16.00
20.00
24.00
(jam) Gambar 4.3 Grafik Keadaan
pasut
rnemegang
di
Surut di stasiun Kalumata reklamasi 20 crnldetik pada saat
Pulau
penting
dalarn
kajian
dengan arah
Tirnur Laut.
reklarnasi pantai, kedudukan rnuka air laut rata-rata (MSL
-
Mean Sea Level)
dibutuhkan
sebagai titik ketinggian Bench mark
4.2.2 Sedimentasi
yang
Pernbuatan tanggul laut
kemudian digunakan untuk pembangunan dan
sea wall)
pengembangan di lokasi reklamasi. Dalarn standar
dengan
reklarnasi untuk
rnemperhatikan arah
pengembangan pantai Kota
ditentukan fungsi pelataran 2.4 rn di
kornposisi yang dirancang konstruksi
pasut
dapat
Aneka Consultan, 2001).
sedimentasi
2) Pola Arus
sekitarnya.
Dari data
Pulau
rnengakibatkan pada
pantai
di
pada
kecepatan arus di
saat air laut
4.2.3 Kedalaman Laut
derrnaga Ahrnad Yani 56 cmldetik dengan arah
Hasil
pengukuran
Tenggara, dan kecepatan arus 34
hanya
Timur. pada saat surut, dengan
dernikian kecepatan arus pada saat dermaga
di
Yani iebih besar bila
dibandingkan pada saat surut. Kecepatan arus di
135
arus bawah laut,
pengukuran arah dan kecepatan
arus permukaan di
dengan arah
tidak
dan gelombang
pecahnya
terendah air laut (PT. Blantikindo
yang
di
Resident 200 dari
lokasi
lahan
kedalarnannya sedangkan
pada
laut ke arah selatan
reklamasi
rnencapai lokasi
yang rn laut
terminal baru lainnya kedalarnan kurang Jurnal Vol. 12 Desember 2006
dari dari 2
bahkan ada yang hanya
seperti
m
di depan Kedaton Kesultanan (Kelurahan Salero).
Tindakan preventif yaitu pencegahan agar tidak
dampak
negatif
dari
pelaksanaan reklamasi pantai, 2) kuratif yaitu solusi untuk perbaikan terhadap dampak dari
4.2.4 Banjir dan Sampah
pelaksanaan reklamasi pantai yang sudah
Hasil pengamatan di lapangan, penyebab utama terjadi banjir di tiga lokasi diakibatkan
oleh
buruknya
perkotaan, sehingga
sistem
terlanjur ada, 3) pengembangan yaitu solusi
terutama
ke masa depan terhadap dampak
drainase
maupun negatif.
meluapnya air ke
jalan. Waiaupun tidak ada pengaruh secara
4.2.8 Perubahan fungsi
langsung antara reklamasi dengan banjir, namun
Kelurahan Gamalama
banjir
mengakibatkan terganggunya
Kelurahan Gamalama
aktifitas masyarakat terutama bagi para pedagang
dalam Rencana
kaki
(RUTK)
4.2.5
Kerusakan
Terumbu
Karang
dan
Padang Lamun. Gamaiama
berpengaruh
keberadaan
terumbu
pertumbuhan
dan
Penggunaan
karang
terhadap
terutama
kelangsungan urugan
yang
bagi
hidupnya. terlepas
keperairan dapat menyebabkan terjadi proses
kedudukan
Tata Ruang Kota 2001-2010 termasuk dalam
Bagian Wilayah Kota I (BWK) fungsi
Kegiatan reklamasi pantai di Kelurahan
di
sebagai
memiliki
Perdagangan,
Pemerintahan dan Pariwisata Terpadu. Wilayah ini diharapkan akan menjadi saiah satu kawasan andalan bagi pengembangan perekonomian Kota
serta regional
di Provinsi Maluku Utara, maupun dalam kaitannya dengan kawasan Asia Pasific.
sedimentasi di sekitar lokasi reklamasi. 4.2.6 Perkembangan Keruangan
V.
Program penataan kawasan pantai di
DAN S A W N
5.1 Kesimpulan
Kelurahan Gamalama dengan jalan melakukan reklamasi memberikan dampak
terhadap
diadakan permasalahan
dasar data
perkembangan keruangan, yaitu bertambahnya
dan data sekunder pada penelitian ini
luas lahan terbangun. Selain dampak
diambil beberapa
, sebagai
berikut.
juga menimbulkan dampak negatif.
a. Proses Rekiamasi pantai di Kelurahan Gamalama antara lain:
penanganan dampak reklmasi Dari
uraian
berbagai
dampak
pada
pernbahasan sebelumnya, maka dalam penelitian tiga
startegis
1) Proses reklamasi pantai di Kelurahan
Gamalama telah berlangsung sebelum kebijakan
untuk melakukan penataan kawasan pantai
kota
pada
tahun
untuk membuang sampah disembarang
2001.
Perencanaan penataan Pantai dilakakan tiga
3) Kedalaman laut dan sedimentasi,
tahap yaitu, tahap kelayakan, tahap reklamasi,
terjadi perubahan kedalan air
dan tahap pembangunan sarana fisik di
sekitar
lahan reklamasi. 2) Pelaku
pantai
di
Kelurahan
terdiri
meter,
padahal
kedalamannya dan
masyarakat yang
secara perseorangan, reklamasi
%
sedangkan
reklamasi, yang memiliki % dengan
atau sebesar 528.215 m
dan
4) Terjadi
penambahan
3
meter.
luas
lahan
2
m , namun lahan yang digunakan
lahan
pemanfaataan
2
melebihi
sedimentasl
pantai
% tidak memiliki
seharusnya
Perubahan ini menunjukan telah terjadi
anggota masyarakat 2,4 % dari total luas lahan
2
reklamasi
kedalaman air hanya mencapai 1,5
reklamasi
meiakukan
lahan
pada
lebih
dominan
untuk
usaha.
5) Berdasarkan fungsi dan jenis
reklamasi dengan total lahan 192 m . Pelaku
yang direncanakan untuk diperuntukan
menggunakan talud dengan
terdapat 13 jenis yang akan mengisi
reklamasi
lahan 528.215
sedangkan yang tidak
menggunakan talud sebanyak
dengan
2
lahan 1.625 m atau sama dengan dari total
lahan rekiamasi pantai Gamalama demikian
Kelurahan
Kota telah
Dengan terjadi
perubahan fungsi lahanlruang baik di
lahan
b. Dampak rekiamasi pantai dan perubahan fungsi
lokasi eksisting maupun pada lokasi
ruang meliputi;
rencana, yang sebelumnya merupakan
Perubahan pola arus belum teridentifikasi,
daerah pantai menjadi
namun dari data yang ada arus laut yang ada
perekonomian kota.
sekitar wilayah penelitian
di
arah mengikuti keadaan dengan
pelayanan
demikian
arus
dipengaruhi oleh arus 2) Banjir yang
surut,
lautnya
5.2 Saran
a. Masyarakat Kepada masyarakat pelaku reklamasi
surut.
di tiga lokasi lebih dominan
untuk
memperhatikan
teknik-teknik
dipengaruhi oleh sistem drainase perkotaan
reklamasi yang benar, dan penggunaaan
yang
material reklamasi,
buruk,
reklamasi
pantai
tidak
perijinan
mempengaruhi secara langsung terjadinya
sebaiknya berkoordinasi dengan instansi
banjir. Sampah lebih dominan slkap masyarakat yang memiliki kencenderungan
terkait, sehingga tidak ada reklamasi yang dilakukan
137
dan
12 No.2 Desamber 2006
tidak sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK). b. Pemerintah Kepada pemerintah kota diharapkan dapat terhadap
meningkatkan
kerusakan
lingkungan yang diakibatkan adanya kegaiatan reklamasi pantai melalui penertiban secara integral dan terpadu, serta merelokasi sesuai dengan perencanan penataan kawasan pantai tidak hanya terbatas di Kelurahan Gamalama akan tetapi pada daerah sekitarnya yang berpeluang terkena langsung.
dampak
secara
tidak
Asballah, Raja., 2003, Hubungan Reklamasi Pantai dengan Komponen Perkembangan Kawasan, Tesis, Program Studi MPKD, Program Sarjana UGM, Yogyakarta Bengen G, Dietriech., 2001, Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut, Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Sunarto, 2000, Kausalitas dan Equilibirium Dinamik sebagai Paradigma Pengelolaan Ekosistem Pesisir, dalam Prosiding Makalah Penunjang dalan Seminar Nasional Pengelolaan Ekosistem Pantai dan dalam Konteks Negara kepulauan, 2 September 2000, Penerbit Fak. Geografi UGM, Yogyakarta
Dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan
138
Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
STATUS HUKUM TANAH REKLAMASI PANTAI KOTA MANADO BERDASARKAN UNDANG-UNDANG AGRARIA NO. 5 TAHUN 19601 Oleh: Dessy Natalia Sirapanji2 ABSTRAK Pentingnya arti tanah bagi manusia, menjadikan tanah sebagai aset yang berharga bagi kehidupan setiap manusia. Hal ini dikarenakan selain sebagai kebutuhan, tanah juga dapat memberikan keuntungan secara ekonomis bagi pemilik tanah, yaitu dengan harga tanah yang cepat melonjak. Kebutuhan akan tanah menjadi semakin vital dikala ledakan penduduk di Manado. Di sisi lain, sebagai suatu faktor alam yang tak dapat diperbaharui, untuk wilayah Manado, tanah bisa didapat melalui proses reklamasi pantai. Reklamasi adalah suatu proses pengurukan wilayah pantai menjadi wilayah daratan. Beberapa wilayah menetapkan bahwa daerah hasil reklamasi hanya dapat dikenakan hak pengelolaan saja tanpa dapat dinaikkan status hukumnya, sementara di daerah lain wilayah hasil reklamasi mendapatkan status yang berbeda. Status hukum dari tanah hasil reklamasi pantai kota Manado adalah berstatus Hak Guna Bangunan diatas tanah negara, yang bebas dari hak pengelolaan lahan (HPL) oleh Pemerintah Kota Manado. Kata kunci: reklamasi A. PENDAHULUAN Manado, sebagai ibu kota dari provinsi Sulawesi Utara Kota yang berada di tepi pantai Laut Sulawesi persisnya di Teluk Manado memiliki luas wilayah daratan adalah 15.726 hektar. Manado juga merupakan kota pantai yang memiliki garis pantai sepanjang 18,7 kilometer dan menjadi suatu wilayah yang menyimpan potensi ekonomi yang sangat besar,
Sehingga kebutuhan akan tanah menjadi suatu kebutuhan primer. 3 Kebutuhan akan tanah menjadi semakin vital di kala ledakan penduduk di Manado. Di sisi lain, sebagai suatu faktor alam yang tak dapat diperbaharui, untuk wilayah Manado, tanah bisa didapat melalui proses reklamasi pantai. Reklamasi adalah suatu proses pengurukan wilayah pantai menjadi wilayah daratan. Wilayah yang telah direncanakan sejak lama untuk wilayah reklamasi tersebut di Manado adalah di Pusat Kota Manado. Munculnya ide reklamasi terhadap pantai kota Manado, merupakan ide dari Gubernur E.E Mangindaan dengan beberapa pengusaha yang ada dikota Manado pada tahun 1995. Di sisi lain, reklamasi dan hasil reklamasi merupakan suatu kondisi yang dapat terjadi di wilayah-wilayah kota besar di Indonesia untuk menjawab kebutuhan tanah. Sebagai perbandingan, saat ini reklamasi pantai telah di lakukan di Semarang, Surabaya, Makasar dan Jakarta. Setiap daerah memiliki permasalahan yang berbeda mengenai hasil dari reklamasi tersebut. Beberapa wilayah menetapkan bahwa daerah hasil reklamasi hanya dapat dikenakan hak pengelolaan saja tanpa dapat di naikkan status hukumnya, sementara di daerah lain wilayah hasil reklamasi mendapatkan status yang berbeda. Munculnya tanah baru sebagai hasil reklamasi pantai, saat ini memunculkan permasalahan baru dalam hal penguasaannya. Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, telah membuka keran bagi daerah untuk mengelola rumahtangganya secara luas termasuk juga dalam pengelolaan pertanahan. Khususnya mengenai penguasaan tanah hasil reklamasi tersebut. Sebagai tanah baru muncul, maka tanah 3
1
Artikel skripsi. 2 NIM: 090711501.
“Kota manado”, “http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Manado”, diunggah tangal 9 Maret 2013.
79
Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
hasil reklamasi pantai tersebut dalam kekuasaan Negara.4 Penguasaan ini akan berimplikasi dalam hal hak pengelolaannya. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, maka Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.5 Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai HPL, maka subyek atau pemegang HPL adalah 6 1. Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; 2. Badan-Badan Usaha Milik Negara (”BUMN”) atau Badan-Badan Usaha Milik Daerah (”BUMD”); 3. Lembaga-lembaga Pemerintah Departemen/Non Departemen; 4. Badan Otorita, serta badan-badan hukum pemerintah lainnya yang ditunjuk pemerintah. Di sisi lain, reklamasi pantai dapat memberikan suatu ruang baru bagi Pemerintah Daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya dari tanah yang muncul sebagai hasil reklamasi pantai. Walaupun masih terdapat berbagai permasalahan dalam pertanahan tersebut.7 4
Sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan : “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” 5 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Pasal 1 butir 2. 6 Arie S. Hutagalung, Penelitian Surat Keputusan Gubernur Nomor 122 Tahun 2001 yang akan mempengaruhi isi dari Perjanjian HGB atau Hak-Hak Atas Tanah lainnya diatas HPL khususnya mengenai izin rekomendasi dari pemegang HPL. 7 Yuswanda A. Temenggung, Pengelolaan Pertanahan Perkotaan: KOnsolidasi Tanah Sebagai Instrumen Penataan dalam Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21, Yayasan Sugijanto Soegijoko dan URDI (urban and regional development institute), Jakarta, 2005, hlm. 243.
80
Permasalahan pertanahan yang paling mendasar adalah yang berkaitan dengan masalah penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang sangat bertolakbelakang dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotongroyong. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat tema di atas dengan judul ”STATUS HUKUM TANAH HASIL REKLAMASI PANTAI KOTA MANADO BERDASARKAN UNDANGUNDANG AGRARIA NOMOR 5 TAHUN 1960” 8
B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana Status Hukum Tanah Hasil Reklamasi Pantai Kota Manado? 2. Bagaimana Proses Perencanaan, Perijinan dan Pelaksanaan Reklamasi Pantai kota Manado? C. METODE PENELITIAN 1. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, yaitu dimana pembahasan didasarkan pada peraturan dan 8
http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/24 9/node/6/uu-no-5-tahun-1960-peraturan-dasarpokok-pokok-agraria di punggah pada tanggal 9 maret 2013
Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
penerapan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pendekatan Masalah Pendekatan permasalahan dalam penulisan skripsi ini menggunakan bentuk pendekatan Perundangundangan (Statute approach), Studi Kasus (Case approach) dan pendekatan Konseptual (Conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan (Statute approach) yaitu memecahkan jawaban atas rumusan masalah yang diajukan dengan mendasarkan pada ketentuan dalam legislasi dan regulasi yang relevan, Studi Kasus (Case approach) yaitu memberikan analisis terhadap rumusan masalah dengan memberi kasus yang berkaitan dan Pendekatan Konseptual (Conceptual approach) yaitu memecahkan jawaban atas rumusan masalah yang diajukan dengan merujuk pada konsep prinsipprinsip hukum yang relevan. 3. Sumber Bahan Hukum 1) Bahan hukum primer Bahan hukum yang merupakan norma yang mengikat, berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul serta permasalahan yang dibahas, antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dasar PokokPokok Agraria, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Kota, Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, dan peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian. 2) Bahan hukum sekunder Bahan hukum yang berfungsi untuk menjelaskan bahan hukum primer dan tidak bersifat autoritatif. Sumber bahan hukum sekunder dari penulisan skripsi ini berupa buku-buku atau literatur, pendapat-pendapat para sarjana, jurnal-jurnal hukum, bahan perkuliahan, berita yang dimuat dalam
media internet dan media elektronik, serta kamus hukum yang berhubungan dengan materi skripsi ini. D. PEMBAHASAN 1. Reklamasi Pantai Manado Reklamasi tentu ditujukan untuk kemajuan suatu daerah dan juga masyarakat agar daerah tersebut dapat terus berkembang secara pesat. Perkembangan-perkembangan tersebut harus didasarkan seperti yang tercantum dalam Pasal 34 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Tanah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, dimana reklamasi di wilayah Indonesia hanya dapat dilaksanakan jika manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar bagi daerah, masyarakat dan juga negara. Salah satu contohnya adalah pemasukan daerah yang bertambah, lahan huni daerah yang bertambah, tidak membahayakan lingkungan hidup, dan juga mendukung kegiatan sosial dan ekonomi bagi masyarakat didaerah tersebut. Biasanya daerah yang melakukan reklamasi adalah daerah yang telah berkembang. Hal tersebut dikarenakan reklamasi membutuhkan biaya yang cukup besar, kemudian membutuhkan wilayah yang layak, dan juga dorongan kebutuhan masyarakat yang besar. Di Indonesia terutama didaerah wilayah pesisir pantai, wilayah kota-kota besar telah berbondongbondong untuk melakukan reklamasi didaerah pantai agar wilayahnya semakin luas dan pendapatan daerahnya juga bertambah. Salah satu contoh reklamasi yang dilakukan oleh kota besar di Indonesia adalah reklamasi terhadap pantai adalah kota Manado. Kota Manado adalah kota yang terkenal bagi seluruh wisatawan baik lokal, nasional dan internasional akan indahnya wilayah pantainya. Berbagai ajang kelautan internasional seperti festival kapal perang dunia atau festival laut telah 81
Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
dilakukan di pantai di kota Manado seperti pantai Bunaken. Dengan keindahan alam yang terdapat di Manado, banyak masyarakat ingin bertempat tinggal secara lama atau bermukim sementara untuk menikmati keindahan panorama alamnya. Banyaknya keinginan masyarakat untuk tinggal di kota Manado, mendorong kota untuk memberi lahan baru yang dibutuhkan. Oleh karena itu beberapa orang berfikir untuk mencari lahan kosong yang baru untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat, dan berpotensi untuk menambah nilai pemasukan daerah kota Manado. Karena telah terjadi populasi yang bertambah banyak di kota Manado, tentu difikirkan untuk membuat lahan tinggal yang baru karena minimnya lahan tinggal yang ada. Oleh karena itu di kota Manado dilakukan reklamasi, dimana tujuannya adalah menambah luas daratan untuk lahan huni ideal bagi masyarakat, yang dikarenakan makin ramainya pendatang dari daerah lain yang ingin bertempat tinggal di wilayah kota Manado. Munculnya ide reklamasi terhadap pantai di kota Manado, merupakan ide Gubernur E.E. Mangindaan dengan beberapa pengusaha yang ada di Kota Manado pada tahun 1995. Reklamasi yang ditujukan adalah reklamasi didaerah pantai yang letaknya didaerah utara kota Manado. Dimana reklamasi dilakukan untuk mengembangkan kawasan bisnis di Manado, yang selama ini telah berkembang dengan mengoptimalkan daerah pantai yang selama ini terbengkalai dan tidak terawat dengan baik.9 Dengan berbagai pengenalan kota Manado melalui program visit Indonesia, dan berbagai ajang festival yang dilaksanakan oleh pemerintah kota Manado 9
Bahtin razak, Perjanjian Awal Pemkot Bersedia, Sertakan Modal Kronologis Reklamasi PT Megasurya Nusa Lestari, http://www.manadopost.co.id/, tanggal 23 September 2010, hlm.1., diunduh tanggal 18 November 2012
82
telah membuat kota Manado sebagai kawasan yang paling ramai dan paling berkembang di provinsi Sulawesi Utara untuk saat ini. Sehingga diperlukan pengembangan yang lebih luas di wilayah kota Manado. Salah satunya dengan melakukan reklamasi pantai teluk kota Manado pada tahun 1995.10 Pemerintah Daerah Tingkat II Kota Manado memiliki kewajiban dalam mengelola kawasan di setiap pantai yang terletak di kota Manado. Kewajiban dalam pengelolaan kawasan pantai tersebut berupa modal daerah, yaitu hak pengelolaan lahan (HPL), dimana pantai diakui sebagai modal atau aset daerah yang harus dikelola oleh pemerintah. Sehingga diperlukan kerjasama dan tata cara administrasi antara pemerintah kota dan juga pengusaha sebelum dilakukan reklamasi pantai, sebagai akibat dari hak pengelolaan lahan yang dimiliki pemerintah kota Manado terhadap pantai-pantai yang terletak di Manado. Pada tanggal 20 Juli 1995, reklamasi daerah pantai kota Manado direalisasikan dengan dibuatnya perjanjian kerjasama antara Pemerintah Daerah Tingkat II Kota Manado dengan PT Megasurya Nusa Lestari selaku pihak pemohon reklamasi pantai Manado. Surat perjanjian kerjasama tersebut terurai dalam Surat Perjanjian Nomor 10/Pks/Hkm/1995 tentang perjanjian reklamasi pantai Manado, yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Pada perjanjian tersebut terdapat beberapa pasal yang menyangkut hak dan kewajiban antara Pemerintah Daerah Tingkat II Kota Manado dengan PT Megasurya Nusa Lestari. Dalam langkah memperoleh legalisasi dalam perjanjian tersebut, maka juga dilakukan peninjauan terhadap kebutuhan reklamasi pantai. Hasil dari peninjauan tersebut adalah keluarnya keputusan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) 10
Ibid.
Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
Kota Manado untuk mengeluarkan surat persetujuan Nomor 09/KPTS/DPRD/VIII/1995 tertanggal 21 Agustus 1995, dimana bunyinya antara lain adalah menyetujui untuk mengadakan reklamasi di wilayah pantai Teluk Manado, untuk melakukan pembangunan pusat pertokoan, pusat perbelanjaan, tempat pariwisata dan rekreasi yang dilaksanakan oleh PT. Megasurya Nusa Lestari melalui penyertaan modal daerah kepada pihak ketiga.11 Setelah keluarnya surat persetujuan reklamasi pantai oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Manado, pelaksanaan tata cara teknis reklamasi diserahkan kepada Walikota Kota Manado dengan berdasarkan kepada UndangUndang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Tanah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Oleh karena itu keputusan dilaksanakannya reklamasi terhadap pantai Teluk Manado berlaku sejak tanggal ditetapkan, pada 21 Agustus 1995. Dengan berlakunya reklamasi terhadap pantai Manado tersebut memunculkan pertanyaan tentang status tanah hasil reklamasi pantai Manado oleh PT. Megasurya Nusa Lestari. 2. Hak Atas Tanah Pada Tanah Reklamasi Pantai Manado Sebagaimana yang telah diatur dalam Surat Edaran Badan Pertanahan Nasional Sulawesi Utara, Mennag/Ka.BPN No.4101293 tentang Penertiban Status Tanah Timbul dan Tanah Reklamasi, tanggal 9 Mei 1996 dimana memberikan status kepada tanah hasil reklamasi sebagai tanah tumbuh yang sengaja dibentuk melalui tindakan penimbunan pantai, maka tanah tersebut dikuasai langsung oleh Negara. Sementara pihak yang melakukan reklamasi dapat diberi prioritas pertama untuk mengajukan permohonan hak atas tanah reklamasi tersebut. Hal tersebut juga berlaku bagi 11
Ibid.
reklamasi yang telah dilakukan di pantai Manado, dengan demikian tanah reklamasi tersebut tidak serta merta langsung menjadi hak dari PT. Megasurya Nusa Lestari, karena meninjau pada Hak Menguasai Negara, maka terhadap tanah hasil reklamasi tersebut masih belum tercipta hubungan hukum antara keduanya. Sehingga penguasaan tanah masih dikuasai negara dan pengaturannya masih diatur oleh Badan Pertanahan Nasional. Terbentuknya tanah reklamasi sesuai dengan Surat Edaran Badan Pertanahan Nasional Sulawesi Utara tersebut, hanya menempatkan PT. Megasurya Nusa Lestari sebagai pemegang prioritas pertama yang dapat mengajukan permohonan memperoleh hak atas tanah terhadap tanah reklamasi pantai Manado. Secara umum, untuk terciptanya hubungan hukum kepemilikan atau hak atas tanah, maka harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu mengajukan permohonan hak atas tanah kepada Negara melalui Kantor Pertanahan. Berdasarkan permohonan tersebut maka negara menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak yang harus diikuti dengan pendaftaran haknya, sehingga hubungan hukum antara subyek hukum dan tanah hasil reklamasi sebagai obyek tercipta. Dalam hal reklamasi pantai Manado berdasarkan perjanjian 10/Pks/Hkm/1995 telah diatur bahwa pihak yang menerima Hak Pengelolaan Lahan (HPL) adalah Pemerintah Daerah kota Manado. Hal ini berimplikasi pada jenis hak atas tanah yang dapat dimohonkan oleh PT. Megasurya Nusa Lestari terhadap pemegang Hak Pengelolaan Lahan yaitu Pemerintah Daerah kota Manado. Status Hak Pengelolaan Lahan pada tanah reklamasi tersebut memunculkan implikasi pada PT. Megasurya Nusa Lestari untuk melakukan pengajuan permohonan hak atas tanah dengan didasarkan pada ketentuan yang berlaku. 83
Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
Namun seiring perkembangannya status tanah reklamasi pantai Manado oleh PT. Megasurya Nusa Lestari, status Hak Pengelolaan Lahan oleh pemerintah Kota Manado telah hapus. Hal tersebut terjadi dikarenakan PT. Megasurya Nusa Lestari telah melaksanakan kegiatan Pasal 2 poin a pada Surat Perjanjian Kerjasama Nomor 10/Pks/Hkm/1995 tentang perjanjian reklamasi pantai Manado, yaitu memberikan lahan 16 persen dari lahan reklamasi sebagai hutan kota, dan membangun jalan raya diatas lahan reklamsi dalam bentuk jalan lingkar ke Pemerintah Daerah Manado, pelaksanaan hal-hal dalam Pasal 2 tersebut dipakai sebagai konpensasi atas penyertaan modal pemerintah kota Manado. Sehingga seiring perkembangan status Hak Pengelolaan Lahan tersebut hapus, sehingga statusnya adalah menjadi lahan tanah negara bebas dari hasil reklamasi dan statusnya dikuasai oleh negara. Dari hal tersebut dapat diartikan bahwa tanah reklamasi pantai kota Manado yang berada pada kawasan pengembangan PT. Megasurya Nusa Lestari sama dengan tanah yang berada pada kawasan-kawasan perumahan lainnya yang status tanahnya adalah tanah negara bebas. Sehingga pada tahun 1997 dibuatkan amandemen pertama oleh pemerintah kota Manado dan PT Megasurya Nusa Lestari pada Surat Perjanjian Nomor 10/Pks/Hkm/1995 tentang perjanjian reklamasi pantai Manado dengan menghilangkan unsur Hak Pengelolaan Lahan di dalam pasal-pasal perjanjian dan sekaligus menambah izin reklamasi menjadi 300.000 meter persegi atau 30 hektar kepada PT. Megasurya Nusa Lestari, hal tersebut disesuaikan pada kondisi di lapangan bahwa memungkinkan pantai Manado untuk direklamasi seluas kebutuhan lahan tersebut. Oleh karena itu status tanah hasil reklamasi yang dapat dimiliki PT Megasurya Nusa Lestari adalah Hak Guna Bangunan diatas tanah negara, hal ini dikarenakan 84
tanah reklamasi pantai masih dalam penguasaan negara dan PT Megasurya Nusa Lestari selaku perusahaan yang memiliki hak prioritas dapat meminta hak untuk melakukan pembangunan pada tanah reklamasi tersebut. Sehingga tanah reklamasi yang penggunaannya digunakan untuk pembangunan perumahan dan pusat industri, dapat dimintakan Hak Guna Bangunan kepada Badan Pertanahan Nasional Pusat. Hak atas tanah yang dapat dimintakan PT Megasurya Nusa Lestari, dalam tanah reklamasi pantai Manado, dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Tanah hasil reklamasi pantai Manado berada dalam penguasaan negara Berdasarkan Surat Edaran Badan Pertanahan Nasional Sulawesi Utara, Mennag/Ka.BPN No.410-1293 tentang Penertiban Status Tanah Timbul dan Tanah Reklamasi, tertanggal 9 Mei 1996 memberikan status kepada tanah hasil reklamasi sebagai tanah tumbuh yang sengaja dibentuk melalui tindakan penimbunan pantai, maka tanah tersebut dikuasai langsung oleh Negara. 2. Hak atas tanah yang dapat diminta adalah Hak Guna Bangunan. Dimana Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang berbunyi: Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) tersebut, Pemilik Hak Guna Bangunan diberi hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu tertentu. Dengan demikian PT Megasurya Nusa Lestari sebagai pemegang prioritas dalam tanah hasil reklamasi pantai Manado, dapat meminta hak guna bangunan untuk melakukan pembangunan diatas tanah reklamasi dengan jangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang selama jangka waktu 20 tahun.
Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
3. Asal Tanah yang dimintakan Hak Guna Bangunan adalah tanah dikuasai oleh negara. Asal tanah dalam Hak Guna Bangunan dapat diperoleh dari beberapa asal tanah, berdasarkan Pasal 37 UndangUndang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria menegaskan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah tanah Negara, tanah Hak Pengelolaan, atau tanah Hak Milik. Sehingga dikarenakan tanah hasil reklamasi pantai Manado adalah dikuasai oleh negara maka PT Megasurya Nusa Lestari dapat memintakan Hak Guna Bangunan diatas tanah negara. 4. Subyek yang dapat menjadi pemegang Hak Guna Bangunan Berdasarkan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1999 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan hak Milik, berbunyi: Pasal 19 Yang dapat menjadi pemegang Hak Guna Bangunan adalah : a. Warga Negara Indonesia; b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Berdasarkan pasal tersebut maka PT Megasurya Nusa Lestari adalah subyek yang dapat menjadi pemegang hak guna bangunan, karena PT Megasurya Nusa Lestari adalah badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas yang berkedudukan di Indonesia. Maka berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah terurai tersebut, maka PT. Megasurya Nusa Lestari sebagai pemegang hak prioritas pada tanah reklamasi pantai Manado berhak atas Hak Guna Bangun (HGB) diatas Tanah Negara pada tanah hasil reklamasi. Apabila permohonan Hak Guna Bangunan ini menjadi pilihan maka konsekuensi hukumnya adalah Hak Guna Bangunan yang dimiliki bersifat dapat
dialihkan dan dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani sebagai Hak Tanggungan. Dengan sifat Hak Guna Bangunan yang demikian, PT. Megasurya Nusa Lestari memiliki kewenangan penuh dalam Hak Guna Bangunan pada tanah reklamasi pantai Manado untuk menjual, menukarkan, menghibahkan kepada pihak lain, dan termasuk menjadikan tanah Hak Guna Bangunan tersebut sebagai penyertaan modal dalam perusahaan lain, serta menjaminkan Hak Guna Bangunan kepada kreditor dengan Hak Tanggungan. 3. Perencanaan Reklamasi Pantai Kota yang terletak di tepi pantai cenderung mengalami pertumbuhan secara pesat dalam pembangunan sehingga memberi dampak terhadap meningkatnya kebutuhan lahan untuk perumahan, industri, perdagangan dan jasa, pelabuhan, serta wisata, oleh karena itu diperlukan perluasan wilayah melalui reklamasi, seperti reklamasi pada pantai. Reklamasi pantai merupakan kawasan hasil perluasan daerah pesisir pantai melalui rekayasa teknis penimbunan tanah untuk pengembangan kawasan baru. Dalam pelaksanaan reklamasi, diperlukan rencana tata cara pelaksanaan, ijin, dan juga disertai tujuan yang penting untuk dilakukannya reklamasi, seperti reklamasi terhadap wilayah pesisir pantai pantai. Tujuan-tujuan dalam pelaksanakan reklamasi pantai haruslah mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku dalam perundang-undangan agraria. Selain itu pelaksanaan reklamasi harus memperhitungan dampak-dampak terhadap lingkungan di laut yang dapat diakibatkan oleh reklamasi. Hal-hal tersebut ditujukan agar reklamasi dapat berjalan secara baik dan juga hasil reklamasi tidak berdampak buruk bagi lingkungan sekitar pesisir pantai. Kegiatan melakukan reklamasi lahan, seperti di wilayah pesisir pantai kemungkinan besar dapat berdampak 85
Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
buruk bagi ekosistem lingkungan disekitarnya, hal tersebut dikarenakan reklamasi pantai dapat mengubah tatanan ekosistem lingkungan yang ada menjadi lingkungan yang baru, sehingga dapat menimbulkan dampak seperti rusaknya habitat ikan-ikan di tepian pantai dan juga dapat merusak ekosistem tanaman pantai seperti tanaman bakau. Oleh karena itu reklamasi tidak diperbolehkan untuk dilakukan secara bebas, melainkan diatur dan diperlakukan syarat melalui negara untuk melaksanakan reklamasi secara benar, sehingga reklamasi dapat dilakukan secara tepat dan dapat diawasi oleh negara selaku pihak yang memiliki hak atas tanah hasil reklamasi. Pada dasarnya kegiatan reklamasi pantai tidak dianjurkan, akan tetapi reklamasi dapat dilakukan dengan memperhatikan persyaratan-persyaratan sebagai berikut: a. Reklamasi merupakan kebutuhan pengembangan kawasan budi daya yang telah ada di sisi daratan. Sehingga tujuan pelaksanaan pengembangan reklamasi ditujukan untuk pengembangan budidaya di wilayah daratan, seperti budi daya ikan air payau; b. Reklamasi merupakan bagian wilayah dari kawasan perkotaan yang cukup padat dan membutuhkan pengembangan wilayah daratan untuk mengakomodasikan kebutuhan yang ada. Sehingga tujuan pelaksanaan reklamasi ditujukan untuk kebutuhan sosial seperti kebutuhan lahan untuk perumahan masyarakat, pengembangan ekonomi industri, perdagangan dan juga jasa; c. Reklamasi dilakukan di luar kawasan hutan bakau yang merupakan bagian dari kawasan lindung atau taman nasional, cagar alam, dan suaka margasatwa. Dimana kawasan pantai yang hendak direklamasi harus diluar dari kawasan hutan bakau, sebagai tanaman yang dilindungi; 86
d. Reklamasi tidak dilakukan di wilayah yang merupakan kawasan yang berbatasan atau dijadikan acuan batas wilayah dengan daerah atau negara lain. Dimana daerah yang hendak di reklamasi tidak dilakukan didaerah perbatasan dengan wilayah negara lain seperti di wilayah laut yang berbatasan laut dengan negara Singapura, Malaysia, Filipina; 12 Selain itu persyaratan untuk melaksanakan reklamasi juga diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Tanah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, yaitu terdapat pengaturan terhadap reklamasi tanah: Pasal 34 (1) Reklamasi Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi. (2) Pelaksanaan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga dan memperhatikan: a. keberlanjutan kehidupan dan penghidupan Masyarakat b. keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; serta c. persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material. (3) Perencanaan dan pelaksanaan Reklamasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya kegiatan reklamasi harus ditujukan terhadap kepentingan sosial seperti kemajuan ekonomi bagi masyarakat, 12
Departemen Pekerjaan Umum, “Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai”, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, 2008, hlm.23.
Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
reklamasi juga ditujukan untuk pemanfaatan kemajuan pada pendapatan asli daerah, serta reklamasi ditujukan untuk pengembangan wilayah. F. PENUTUP Kesimpulan 1. Reklamasi Pantai Kota Manado Status hukum dari tanah hasil reklamasi pantai kota Manado oleh pengembang PT. Megasurya Nusa Lestari adalah berstatus Hak Guna Bangunan diatas tanah negara, yang bebas dari hak pengelolaan lahan (HPL) oleh Pemerintah Kota Manado, dengan Didasarkan pada amandemen pasal 2 poin a pada surat perjanjian kerjasama nomor 10/Pks/Hkm/1995 tentang perjanjian reklamasi pantai Manado, dimana lahan hijau dan ruas jalan yang diminta telah dipenuhi oleh pengembang PT. Megasurya Nusa Lestari. 2. Perencanaan Reklamasi Pantai 1) Dalam perijinan reklamasi pantai, diperlukan perijinan kepada pihak yang berwenang dan harus berdasarkan pasal 28 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 tahun 2008 tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan, bahwasanya adalah Bupati atau Walikota adalah pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan reklamasi. 2) Setelah mendapatkan perijinan reklamasi makan dalam pelaksanaan diperlukan beberapa tahap yaitu Pelelangan atau Penunjukan Pengelola Kegiatan Reklamasi, Nota kesepahaman dan Pelaksanaan Reklamasi dan Prasarana Dasar. Saran Agar tidak terjadinya kesalahan prosedur dalam melakukan reklamasi maka diperlukan tata cara dan proses reklamasi yang baik, yaitu didasarkan Pasal 34 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007
Tentang Pengelolaan Tanah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, terdapat pengaturan terhadap reklamasi tanah, yaitu reklamasi dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat dan nilai tambah daerah yang ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, sosial ekonomi, dan pelaksanaan reklamasi yang wajib menjaga dan memperhatikan keberlanjutan kehidupan masyarakat dan untuk melaksanakan reklamasi haruslah sesuai persyaratan dan juga harus melakukan permohonan pemberian ijin kepada walikota atau bupati di daerah yang akan dilakukan reklamasi, maka dengan melakukan segala persyaratan yang sudah ditentukan diharapkan tidak terjadi segala kerugian baik kepada masyarakat maupun secara aspek lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Achmad Chomzah, Ali. Hukum Pertanahan. Jakarta. 2003. Departemen Pekerjaan Umum. Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai. Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta. 2008. Gita Chandrika Napitupulu, Isu Strategis dan Tantangan Dalam Pembangunan Perkotaan: Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia Abad 21, Buku I, Urban and Regional Development Institute (URDI) .Jakarta. 2005. Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan. Jakarta. (edisi revisi) 2005. Karnawati, Dwikorita. Reklamasi Tanah. Rossanty. Semarang. 2008. Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, Makroekonomi (terj.), Edisi ke-14, Jakarta, erlangga, 1999. Santoso, Urip. Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah. Kencana. Jakarta. 2008. Soedjono, Proseur Pendaftaran Tanah Tentang Hak Milik, Hak Sewa dan Hak Guna Bangunan, Jakarta, Rineka Cipta, 2008. Sutedjo, Mulyani dan Kartasaputra, A.G. Pengantar ilmu Tanah: Terbentuknya 87
Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
Tanah dan Tanah Pertanian. Rineka Cipta. Jakarta, 2002. Yuswanda A. Temenggung, Pengelolaan Pertanahan Perkotaan: KOnsolidasi Tanah Sebagai Instrumen Penataan dalam Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21, Yayasan Sugijanto Soegijoko dan URDI (urban and regional development institute), Jakarta, 2005. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Tanah Pesisir Dan PulauPulau Kecil Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1996 tentang Pelimpahan Kewenangan pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara Peraturan Menteri Dalam Negri No.1 tahun 2008 tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6 Tahun 1998 Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah untuk Rumah Tinggal. Surat Persetujuan Nomor 09/KPTS/DPRD/VIII/1995 tertanggal 21 Agustus 1995 Surat Perjanjian Nomor 10/Pks/Hkm/1995 tentang Perjanjian Reklamasi Pantai Manado Arie S. Hutagalung, Penelitian Surat Keputusan Gubernur Nomor 122 Tahun 2001 tentang Perjanjian HGB atau HakHak Atas Tanah lainnya diatas HPL 88
khususnya mengenai izin rekomendasi dari pemegang HPL. Internet: Artikata.com. Definisi Pengurugan. http://www.artikata.com/arti-383350pengurukan. html. Bambang. Garis Pantai RI Terpanjang Keempat Didunia. 24 http://www.antaranews.com/. Februari 2009. Djakapermana, Ruchat Deni. Pengertian Reklamasi. http://bulletin.penataanruang.net/. Ilustri. Pengertian Drainase. http://www.ilustri.org/. 27 Juli 2009 Kota Manado, http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Mana do, dipunggah tangal 9 Maret 2013. Pramudyah, Asrul. Kajian Pengelolaan Daratan Pesisir Berbasis Zonasi Di Provinsi Jambi. http://eprints.undip.ac.id/16641/1/Asrul _Pramudiya.pdf. Razak, Bahtin. Perjanjian Awal Pemkot Bersedia, Sertakan Modal Kronologis Reklamasi PT Megasurya Nusa Lestari. http://www.Manadopost.co.id/. tanggal 23 September 2010.