PAKET INFORMASI TERSELEKSI
WANITA DAN ANAK Seri: Ibu dan Anak
S
alah satu alasan kenapa masih rendahnya jumlah dan mutu karya ilmiah Indonesia adalah karena kesulitan mendapatkan literatur ilmiah sebagai sumber informasi.Kesulitan mendapatkan literatur terjadi karena masih banyak pengguna informasi yang tidak tahu kemana harus mencari dan bagaimana cara mendapatkan literatur yang mereka butuhkan. Sebagai salah satu solusi dari permasalahan tersebut adalah diadakan layanan informasi berupa Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT). Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) adalah salah satu layanan informasi ilmiah yang disediakan bagi peminat sesuai dengan kebutuhan informasi untuk semua bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam berbagai topik yang dikemas dalam bentuk kumpulan artikel dan menggunakan sumber informasi dari berbagai jurnal ilmiah Indonesia. Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) ini bertujuan untuk memudahkan dan mempercepat akses informasi sesuai dengan kebutuhan informasi para pengguna yang dapat digunakan untuk keperluan pendidikan, penelitian, pelaksanaan pemerintahan, bisnis, dan kepentingan masyarakat umum lainnya. Sumber-sumber informasi yang tercakup dalam Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) adalah sumber-sumber informasi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan karena berasal dari artikel (full text) jurnal ilmiah Indonesia dilengkapi dengan cantuman bibliografi beserta abstrak.
i ANALISIS FAKTOR DETERMINAN PERMASALAHAN PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
Zahtamal; Tuti Restuastuti; Fifia Chandra Kesmas : Jurnal kesehatan masyarakat nasional, vol. 6, no. 1, 2011: 9 - 16 Abstrak: -
ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DALAM TUMBUH KEMBANG BAYI DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK SITI FATIMAH MAKASSAR
Hasnah M. Noor;Marhaeni Jurnal media kebidanan, vol. 1, no. 1, 2010: 1 - 9 Abstrak: -
ANALISIS PEMANFAATAN BANTUAN OPERASIOJNAL KESEHATAN DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI PUSKESMAS WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN KUDUS
Andini Aridewi; Martha Irene Katsurya; Ayun Sriatmi Jurnal manajemen kesehatan Indonesia, vol. 1, no. 1, 2013: 32 – 40 Abstrak: -
Pilih/klik judul untuk melihat full text
ANALISIS POLA MUSIM KELAHIRAN UNTUK KEBIJAKAN PENINGKATAN SARANA PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
Weny Lestari Jurnal manajemen pelayanan kesehatan, vol. 11, no. 4, 2008: 200 - 205 Abstrak: Pola musim kelahiran di Kota Surabaya dan di Rumah Sakit Angkatan Laut (Rumkital) dr. Ramelan Surabaya selama 5 tahun (1994-1998) dianalisis dengan menggunakan analisis statistik chi square, dengan derajat kebebasan (db) = 1 dan taraf signifikansi (P) = 0.05. Kedua pola baik di Surabaya maupun di Rumkital dr. Ramelan Surabaya, menunjukkan bahwa kelahiran terendah terjadi di bulan November dan Desember, dengan menghitung 9 bulan sebelumnya, pola musim konsepsi ada di bulan Februari dan Maret. Pada tahun Masehi (kalender berdasarkan matahari), pola tersebut tidak menunjukkan arti tertentu. Namun, apabila dikonversikan ke tahun Hijriyah (kalender berdasarkan bulan) maka bulan Februari dan Maret di tahun 1994 - 1998 merupakan bulan Ramadhan dan Syawal.Bulan Ramadhan dan Syawal, bagi umat Islam adalah bulan puasa dan hari raya Idul Fitri.Pola ini tetap selama 5 tahun. Puncak kelahiran tertinggi baik di Surabaya maupun di Rumkital dr. Ramelan Surabaya menunjukkan pola yang berbeda. Praktis, ada perbedaan juga dalam pola musim konsepsinya. Analisis pola musim kelahiran ini bisa digunakan untuk kebijakan peningkatan sarana pelayanan kesehatan ibu dan anak.
BEBERAPA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN BAYI BERAT LAHIR RENDAH DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK SITI FATIMAH, MAKASSAR TAHUN 2003
A. Arsunan Arsin ;Rahmawati Pajjattangi; A. Zulkifli Abdullah Media kesehatan masyarakat Indonesia : MIKMI, vol. 1, no. 2, 2005: 83 - 88
FAKTOR IBU DAN ANAK YANG MENENTUKAN KEPARAHAN DEFEK EMAIL GIGI SULUNG PADA ANAK KECIL KECIL MASA KEHAMILAN
Williyanti S.Sjarif;Roosje R Oewen;Sjarif H. Effendi; Bambang Sutrisna Majalah kedokteran Indonesia, vol. 60, no. 9, 2010: 413 - 419 Abstrak: -
Abstrak: -
DETERMINAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI KABUPATEN MANGGARAI BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA NEONATORUM PADA BAYI BARU LAHIR DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK PERTIWI MAKASSAR
Ruben Wadu Willa;Majematang Mading Buletin penelitian sistem kesehatan, Vol. 17, no. 3, 2014: 249 - 256
Fatimah Diagnosis : Jurnal ilmiah kesehatan, vol. 1, no. 1, 2012: 147 - 152
Abstrak: -
Abstrak: -
DIMENSI KUALITAS LAYANAN YANG MEMPENGARUHI KEPUASAN BERDASARKAN PERSEPSI PASIEN RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK DI MALANG
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDARAHAN POST PARTUM DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK PERTIWI KOTA MAKASSAR TAHUN 2010
Erna Atiwi Jaya Esti Vidya : Jurnal ilmiah, vol. 19, no. 1, 2011: 78 - 85
Djuhadiah Saadong Jurnal media kebidanan, vol. 1, no. 1 , 2011
Abstrak: -
Abstrak: -
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA HIPERTENSI PADA IBU HAMIL DI RUMAH SAKIT KHUSUS DAERAH IBU DAN ANAK SITI FATIMAH MAKASSAR
Niswah Zakiah;Rusni Mato;Sjafaraenan Diagnosis : Jurnal ilmiah kesehatan, vol. 1, no. 2, 2012: 131 - 138
HAK ATAS PELAYANAN DAN PERLINDUNGAN KESEHATAN IBU DAN ANAK: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DI KABUPATEN BANYUMAS
Tedi Sudrajat; Agus Mardianto Jurnal dinamika hukum, vol. 12, no. 2, 2012: 261 – 269 Abstrak: -
Abstrak: -
FUNGSI PEMANFAATAN BUKU KIA TERHADAP PENGETAHUAN KESEHATAN IBU DAN ANAK PADA IBU
Colti Sistiarani; Elviera Gamelia; Dyah Umiyarni Purnama Sari Kesmas : Jurnal kesehatan masyarakat nasional, vol. 8, no. 8, 2014: 353 - 358 Abstrak: -
GAMBARAN FAKTOR PENGHAMBAT PASANGAN USIA SUBUR MEMILIH TUBEKTOMI DI RUMAH SAKIT KHUSUS DAERAH IBU DAN ANAK SITI FATIMAH MAKASSAR
Diana Sukmawati H.;Rusli;Suriyanti Diagnosis : Jurnal ilmiah kesehatan, vol. 1, no. 3, 2012: 25 -31 Abstrak: -
KAJIAN KEBIJAKAN PENYALURAN DANA BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN DALAM MENDUKUNG PENCAPAIAN KESEHATAN IBU DAN ANAK (MDGS 4,5) DI TIGA KABUPATEN, KOTA DI PROPINSI JAWA TIMUR INDONESIA
Niniek Lely Pratiwi; Mugeni S; Agus Suprapto; Agung D Laksono; Betty R; Rukmini; Gurendro; Ristrini; Wahyu D Astuti; Oktarina Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 17, no. 4, 2014: 395 - 405 Abstrak: -
KEJADIAN PERSALINAN CAESAR DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK SITI FATIMAH KOTA MAKASSAR
Aminah Nai; Masdarwati Media komunitas kesehatan, vol. 4, no. 1, 2012: 194- 201 Abstrak: -
.
KOMUNIKASI IBU DAN ANAK DENGAN DEPRESI PADA REMAJA
Humanitas : Jurnal psikologi Indonesia , vol. 8, no. 1, 2011: 45-61 Abstrak: -
KUALITAS MIKROBIOLOGI UDARA RUANG OPERASI DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA : STUDI DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK IKATAN BIDAN INDONESIA (IBI) SURABAYA
Anneke Devy Ratnasari; Rachmaniyah; Erna Triastuti Gema kesehatan lingkungan : Buletin ilmiah, vol. 10, no. 2, 2012 : 86-90 Abstrak: -
MANAJEMEN PEMANTAUAN WILAYAH SETEMPAT KESEHATAN IBU DAN ANAK (PWS-KIA) KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT TAHUN 2007
Felly Philipus Senewe; Yuana Wiryawan Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 13, no. 1, 2010: 1-11 Abstrak: Sistem Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA) sebagai alat managemen program KIA untuk memantau cakupan pelayanan KIA di suatu wilayah kerja secara terus-menerus, agar dapat difakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat terhadap wilayah kerja yang cakupan pelayanan KIA nya masih rendah telah diterapkan program sejak tahun 1990an. Secara umum tujuan penelitian untuk mengetahui Sistem PWS-KIA menuju sistem surveilens kelangsungan hidup anak di Kabupaten Sukabumi. Metode cara indepth interview petugas kesehatan (bidan koordinator dan kepala puskesmas) dan focus
group discussion (FGD) pada bidan di desa. Hasilnya pelaksanaan kegiatan program kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Sukabumi sudah berjalan dengan baik.Pelaksanaan PWS-KIA sudah dilaksanakan tetapi masih terdapat beberapa kendala yaitu di beberapa Puskesmas dan di desa masih kekurangan tenaga bidan di desa. Kendala yang lain yaitu faktor geografis yang cukup sulit, tenaga yang terbatas baik di Puskesmas maupun di desa. Masih banyak tenaga kesehatan yang bertugas rangkap.Beberapa tenaga bidan yang kurang peralatan dan belum mengikuti pelatihan KIA. Potensi yang dimiliki yaitu sumber daya masyarakat, peran masyarakat dan keterlibatan sektor lain cukup tinggi. Peran dukun bayi/paraji masih sangat besar. Disarankan perlu penambahan tenaga bidan di desa dengan program bidan kontrak atau program prioritas sekolah bidan untuk anak atau cucu paraji/dukun bayi, pelatihan program KIA atau PWS-KIA bagi tenaga bidan di desa yang baru, melengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai untuk bidan di desa, refreshing untuk program KIA dan PWS-KIA untuk Bidan Koordinator Puskesmas.
OPTIMALISASI RANCANGAN SISTEM INFORMASI RAWAT INAP MENGGUNAKAN DFD-ERD DIKOMBINASI DENGAN USER INTERFACE: STUDI KASUS RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK BUDHI JAYA JAKARTA
Suci Br. Kembaren; Yulia Eka Praptiningsih; Dyah Nur;Julio Warmansyah Jurnal ilmiah informatika dan komputer, vol. 13, no. 1, 2008: 49-60 Abstrak: Pada era informasi ini diperlukan kemampuan dan keterampilan mengolah data menjadi suatu informasi siap pakai.Rumah Sakit (RS) yang secara khusus merawat para ibu hamil dan sebagai pusat perawatan rawat inap bagi para ibu yang melahirkan, memerlukan sebuah sistem informasi yang khusus untuk mengatur data pasien.Permasalahan utama pada RS adalah kesulitan dokter dan tenaga medis untuk menggunakan komputer sebagai media untuk memasukkan data atau membuat laporan. Pendekatan pengembangan database klasik adalah menggunakan DFD - ERD.Pada pendekatan ini untuk mengatasi problem yang ada, maka diperkaya dengan memperhitungkan user interface dalam perancangan.Pada studi kasus ini dievaluasi dampak pendekatan dari sistem yang dikembangkan dengan hanya menggunakan DFD-ERD terhadap pendekatan yang juga memperhatikan juga user interface.Ternyata, dengan pendekatan yang diperkaya dengan user interface memberikan kemudahan dalam operasional di lapangan.
PEMANFAATAN JAMINAN PERSALINAN UNTUK PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI 12 KABUPATEN/KOTA: MENGELIMINASI KENDALA SOSIAL BUDAYA DALAM PERSALINAN AMAN
Lestari Handayani; Suharmiati; Aan Kurniawan; Syarifah Nuraini ; Soegeng Rahanto; Bambang Wasito; Choirum Latifah Buletin penelitian sistem kesehatan,vol. 16, no. 4, 2013: 419- 428 Abstrak: -
PENCATATAN DAN PELAPORAN SISTEM PEMANTAUAN WILAYAH SETEMPAT KESEHATAN IBU DAN ANAK OLEH BIDAN DI DESA DI PUSKESMAS SEPARAN KABUPATEN TANGERANG 2008
Felly Philipus Senewe; Yuana Wiryawan Jurnal ekologi kesehatan, vol. 10, no. 3, 2011: 156-167 Abstrak: -
PENGARUH PENYULUHAN TERHADAP PENGETAHUAN IBU HAMIL TENTANG PENTINGNYA ASI DI RUMAH SAKIT KHUSUS DAERAH IBU DAN ANAK SITI FATIMAH MAKASSAR 2012
Sjafaraenan; Rusni Mato; Nuryanti Diagnosis : Jurnal ilmiah kesehatan, vol. 1, no. 4, 2012: 118-123 Abstrak: -
PENGARUH SENAM HAMIL YOPHYTTA TERHADAP TINGKAT KECEMASAN MENJELANG PERSALINAN PADA IBU PRIIMIGRAVIDA DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK KENDANGSARI SURABAYA
Farida Umamah Jurnal ilmiah kesehatan, vol. 4, no. 2, 2011: 76-84
PERBAIKAN PRASARANA DAN SARANA KESEHATAN BAGI IBU DAN ANAK DI KOTA SEMARANG PADA AKHIR MASA KOLONIAL
Patra widya. Seri penerbitan penelitian sejarah dan budaya, vol. 12, no. 3, 2011 : 589-602 Abstrak: -
Abstrak: -
PENGARUH SENAM NIFAS TERHADAP PENURUNAN TINGGI FUNDUS UTERI PADA IBU POSTPARTUM DI RUMAH SAKIT KHUSUS DAERAH IBU DAN ANAK SITI FATIMAH MAKASSAR
Sjafaraenan; Rusni Mato; Yuliani Diagnosis : Jurnal ilmiah kesehatan,vol. 2, no. 4, 2012: 135-139 Abstrak: -
PENGUKURAN KINERJA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH XYZ DENGAN MENGGUNAKAN METODE BALANCED SCORECARD (JASA PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK)
Rekayasa : Jurnal ilmu-ilmu eksakta dan teknologi, vol. 2, no. 1, 2009: 1 - 7 Abstrak: -
PERBEDAAN PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG KESEHATAN IBU DAN ANAK YANG DILAKSANAKAN OLEH DUKUN BAYI DAN BIDAN
Siti Maryam; Widya Lusi Arisona Sain med : Jurnal kesehatan, vol. 6, no. 1, 2014: 15-19 Abstrak: -
PERILAKU MASYARAKAT DAN MASALAH PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI PROVINSI RIAU
Zahtamal; Tuti Restuastuti; Fifia Chandra Kesmas : Jurnal kesehatan masyarakat nasional,vol. 5, no. 6, 2011: 254-261 Abstrak: -
.PERSEPSI IBU BERSALIN TENTANG KINERJA DAN SIKAP BIDAN DALAM MEMBERIKAN ASUHAN PERSALINAN DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK SITI FATIMAH MAKASSAR PERIODE JULIAGUSTUS 2009
Thabita L.M.; Theresia Limbong; Aspin Pasorong Jurnal media kebidanan, vol. 2, no. 2, 2010: 83 - 100 Abstrak: -
TATA KELOLA TI UNTUK MENINGKATKAN MUTU MANAJEMEN RUMAH SAKIT PRATIWI IBU DAN ANAK TANGERANG
Noer Azmi Septiani Paradigma : Jurnal komputer dan informatika Akademi Bina Sarana Informatika, vol. 15, no. 1, 2013: 33-39 Abstrak: -
UPAYA MENINGKATKAN DERAJAT KESEHATAN IBU DAN ANAK
Suwarni; Wirdahayati Majalah ilmiah cemerlang, vol.-, no. 4, 2009: 30-34 Abstrak: -
UPAYA PENINGKATAN KESEHATAN IBU DAN ANAK MELALUI PENGORGANISASIAN SISTEM SIAGA BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA : STUDI DI DESA NOELTOKO DAN NOEPESU, KECAMATAN MIOMAFFO BARAT
M. Setyo Pramono; Suharmiati Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 16, no. 1, 2013: 38-47
Abstrak: Latar Belakang: Salah satu upaya yang dilakukan kabupaten Timor Tengah Utara dalam Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak adalah Revolusi KIA dalam bentuk Pengorganisasian Desa Siaga. Penelitian ini fokus pada jejaring pada pengorganisasian sistem siaga khususnya di level desa serta tradisi spesifik naketi khususnya di desa Noeltoko dan Noelpesu. Metode: Penelitian dilakukan pada Agustus-November 2012 di Desa Noeltoko dan Noepesu, di wilayah Puskesmas Eban. Jenis penelitian nonintervensi dengan desain eksploratif.Informasi diperoleh melalui wawancara mendalam dan pengamatan langsung. Sebagai Informan adalah tokoh masyarakat, bidan desa dan anggota jejaring. Hasil: Terdapat enam jejaring yang utama di desa studi yaitu Notifi kasi, Transportasi, KB, Dana, ASI Eksklusif dan Donor Darah. Khusus di Desa Noeltoko ada satu jejaring lagi yaitu Siaga Bencana.Tiap bulan secara berkala dilakukan temu jejaring dengan inisiator pertemuan dan merupakan kesepakatan bersama sejak dibentuknya desa siaga. Terdapat tradisi Naketi yang biasa dilakukan pada waktu usia kehamilan antara 7-9 bulan, yaitu pengakuan kesalahan istri kepada suami dengan cara bertatap muka dilanjutkan pengakuan kesalahan suami istri kepada keluarga besar (orang tua/mertua). Kesimpulan: Sistem siaga berbasis masyarakat lewat jejaring desa siaga terbukti cukup efektif untuk meningkatkan kepedulian masyarakat akan kesehatan warga desanya. Indikator keberhasilan, terdatanya semua ibu hamil dan ibu bersalin oleh masyarakat sendiri lewat jejaringnya, bukan oleh tenaga kesehatan.Semua upaya persalinan yang tidak lagi di rumah tetapi pada fasilitas kesehatan menjadi komitmen bersama melibatkan semua jejaring. Indikator lainnya adalah terjadinya diskusi dan dialog yang cukup intensif dalam temu jejaring cukup menggambarkan adanya semangat yang tinggi untuk perbaikan kesehatan di desanya. Tradisi Naketi sebagai wujud kearifan lokal yang bernilai positif untuk persiapan menjelang persalinan, minimal dari sisi psikologis ibu hamil.
Artikel Penelitian
Analisis Faktor Determinan Permasalahan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Determinant Factor Analysis on Mother and Child Health Service Problem
Zahtamal, Tuti Restuastuti, Fifia Chandra
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Riau
Abstrak Masalah kesehatan yang dihadapi Indonesia kini adalah status kesehatan masyarakat yang rendah, antara lain ditandai dengan angka kematian ibu dan bayi yang tinggi serta masih banyak indikator pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) yang belum ideal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan permasalahan pelayanan KIA. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah cross sectional, data faktor predisposisi dikumpulkan dari 550 orang responden yang tersebar di 4 kabupaten/kota dengan menggunakan kuesioner. Selanjutnya, data faktor determinan yang lain dikumpulkan dengan wawancara pada informan antara lain kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dan kepala subdinas kesehatan keluarga. Hasil penelitian menunjukkan faktor predisposisi yang berhubungan dengan pelayanan KIA yaitu sikap responden, pengaruh orang yang memutuskan pemilihan pelayanan kesehatan dalam keluarga, serta pengetahuan responden terkait pelayanan KIA. Diketahui juga bahwa masih banyak kepercayaan masyarakat terkait aspek KIA yang belum sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Faktor pemungkin yang berhubungan dengan pelayanan KIA antara lain distribusi tenaga kesehatan masih belum merata, kualitas ketenagaan pemberi pelayanan KIA belum ideal, dan sarana pendukung pelayanan belum memadai. Faktor pendorong yang berhubungan dengan pelayanan KIA antara lain belum ada kebijakan daerah sebagai acuan, dana pendukung pelayanan belum memadai serta kuantitas kegiatan yang seharusnya dilakukan secara lintas sektoral masih banyak yang belum terealisasi dan belum optimal. Kata kunci: Kesehatan ibu dan anak, permasalahan pelayanan, pelayanan kesehatan Abstract The current issue of health in Indonesia is the low status of public health, among others, characterized by high rates of maternal and infant mortality and many indicators of maternal and child health (MCH) services that have not been ideal yet. This study aims to determine the factors associated with
problems of MCH services. This design used in this research is cross sectional. Predisposing factor data were collected from 550 respondents who were scattered in four districts using a questionnaire. Furthermore, another determinant factor data were collected by interviewing the informants, among others, chief of district health department, Head of Sub Office of Family Health. The results showed that the predisposing factors associated with MCH services is the attitude of the respondent, the influence of people who make decisions in family health care, respondents’ knowledge related to MCH services. Please also note that there are still many aspects of MCHrelated public trust that has not been in accordance with the values of health. Enabling factors associated with MCH services including the distribution of health workers is still not equitable, quality of MCH service workforce has not been ideal and service support facilities have been inadequate. Reinforcing factors associated with MCH services, among others, the lack of regional policy as a benchmark, the fund has not been adequate support services, the quantity of activities that should be done across sectors is still much that has not been realized and is still not optimal. Key words: Mother and child health, service problem, health care
Pendahuluan Masalah kesehatan di Indonesia saat ini adalah status kesehatan masyarakat yang masih rendah, antara lain ditandai dengan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) yang tinggi. Berdasarkan Survei Kesehatan Dasar tahun 2007, AKI di Indonesia masih berada pada angka 228 per 100.000 kelahiran hidup. Demikian pula AKB, masih berada pada kisaran 26,9 per 1.000 kelahiran hidup. Tahun 2004, target Alamat Korespondensi: Zahtamal, Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Riau, Jl. Diponegoro No. 1 Pekanbaru, Hp. 081371530203, e-mail:
[email protected]
9
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 1, Agustus 2011
Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2010 adalah AKI menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 15 per 1.000 kelahiran hidup.1 Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Riau, diketahui AKB yaitu 26 per 1.000 kelahiran hidup dan angka kematian anak balita yaitu 60 per 1.000 kelahiran hidup. Tahun 2006, jumlah kematian bayi mencapai 1.272 kasus, sedangkan jumlah kematian ibu maternal mencapai 179 kasus.2 Program kesehatan ibu dan anak (KIA) untuk mengurangi AKI dan AKB telah banyak dilakukan. Program tersebut antara lain Safe Motherhood. Program ini di Indonesia dituangkan dalam bentuk program Keluarga Berencana (KB), pelayanan pemeriksaan dan perawatan kehamilan, persalinan sehat dan aman, serta pelayanan obstetri esensial di pusat layanan kesehatan masyarakat. Masih tingginya AKI dan AKB di Indonesia termasuk Provinsi Riau disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain dari faktor predisposing, faktor pemungkin (enabling) serta faktor pendorong atau penguat (reinforcing). Faktor-faktor tersebut berupa berbagai hambatan, antara lain dari aspek geografis, ekonomi, sosiokultural, yang diperberat oleh kelemahan dalam mendeteksi, memutuskan tindakan, merujuk dan keterlambatan dalam menangani keluarga sakit/bermasalah setelah sampai di tempat pelayanan kesehatan komperehensif. Kenyataanya, belum banyak informasi yang menggambarkan bagaimana situasi faktor-faktor tersebut, terutama aspek perilaku masyarakat. Padahal, strategi dan kebijakan yang tepat dengan berdasarkan informasi/bukti sangat diperlukan dalam rangka mengatasi persoalan KIA yang belum optimal. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah diperolehnya faktorfaktor yang berhubungan dengan pelayanan KIA. Metode Jenis penelitian yang digunakan adalah cross sectional yakni meneliti faktor determinan dan faktor dominan masalah KIA di masyarakat. Waktu penelitian dilakukan pada tahun 2010. Jumlah wilayah studi responden ditentukan secara quota sampling. Besar sampel dalam kajian ini sebanyak 550 orang masyarakat (setiap kabupaten/kota sekitar 120-150 orang). Selanjutnya, data faktor penentu lainnya secara kualitatif dikumpulkan dengan wawancara pada informan, antara lain kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dan kepala sub dinas kesehatan keluarga. Instrumen yang digunakan adalah format identifikasi indikator pelayanan kesehatan dari data sekunder dan kuesioner/panduan wawancara. Pengelolaan data yang didapat dilakukan untuk data kualitatif dan kuantitatif. Pengelolaan secara statistik/ kuantitatif berupa uji chi square dan perhitungan prevalensi rasio (PR) dengan tingkat kemaknaan hubungan p < 0,05. Pengolahan dan analisis data hasil 10
penelitian dengan menggunakan bantuan peranti lunak komputer. Hasil Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Praktik Kehamilan, Persalinan, dan Nifas Ibu (Maternal)
Beberapa variabel secara statistik berhubungan bermakna dengan praktik responden terkait kesehatan maternal. Variabel tersebut adalah cara pembayaran kesehatan, aksesabilitas terhadap fasilitas kesehatan, pengaruh orang yang memutuskan dalam upaya pencarian pelayanan kesehatan, pengetahuan responden tentang kesehatan ibu, serta sikap ibu terhadap pelayanan kesehatan maternal. Berdasarkan analisis bivariat, variabel sikap merupakan variabel dengan nilai PR terbesar, praktik responden yang buruk terkait pelayanan kesehatan maternal 6 kali lebih banyak pada ibu dengan sikap yang negatif daripada yang positif. Sedangkan variabel usia pernikahan, jumlah anak, pendapatan keluarga serta tenaga yang memberikan pelayanan tidak berhubungan dengan praktik responden terkait pelayanan kesehatan maternal (Lihat Tabel 1). Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh secara bersama variabel bebas terhadap variabel terikat dengan menggunakan uji regresi logistik ganda. Variabel bebas yang mempunyai p < 0,25 pada analisis bivariat dijadikan sebagai variabel kandidat dalam uji regresi logistik ganda. Variabel kandidat yang dimasukkan dalam analisis multivariat adalah jumlah anak, tenaga penolong pelayanan kesehatan keluarga, cara pembayaran kesehatan, aksesabilitas terhadap fasilitas kesehatan, orang yang memutuskan dalam pelayanan kesehatan, serta pengetahuan dan sikap responden. Hasil analisis multivariat menunjukkan 4 variabel bebas berpengaruh kuat terhadap praktik responden terkait kesehatan maternal. Variabel tersebut meliputi sikap responden (adjusted PR = 8,39; p = 0,000; 95% CI = 4,913-14,332), aksesabilitas terhadap pelayanan kesehatan (adjusted PR = 3,171; p = 0,023; 95% CI = 1,175-8,558), orang yang memutuskan pemilihan pelayanan kesehatan dalam keluarga (adjusted PR = 2,614; p = 0,018; 95% CI = 1,183-5,778), dan pengetahuan responden (adjusted PR = 1,670; p = 0,042; 95% CI = 1,019-2,738). Secara bersamaan, diketahui bahwa sikap merupakan variabel yang berpengaruh kuat terhadap praktik responden, dimana praktik yang buruk terkait pelayanan kesehatan maternal 8 kali lebih banyak pada responden yang memiliki sikap negatif daripada yang memiliki sikap positif. Berdasarkan analisis multivariat diperoleh hasil bahwa probabilitas seseorang akan berpraktik buruk terhadap pelayanan kesehatan maternal jika memiliki
Zahtamal, Restuastuti & Chandra, Analisis Faktor Determinan Permasalahan Pelayanan KIA
Tabel 1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktik Kesehatan Maternal Praktik terkait Kesehatan Maternal Variabel
Kategori
n Buruk
Usia pernikahan Jumlah anak Pendapatan Tenaga pelayanan kesehatan Cara bayar Akses pelayanan kesehatan Otoritas pelayanan kesehatan Pengetahuan Sikap
≤ 20 tahun > 20 tahun > 3 orang 1-3 orang ≤ 2.000.000 2.000.000 Nonkesehatan Kesehatan Sendiri Asuransi kesehatan Sulit Mudah Keluarga Suami-istri Kurang Baik Negatif Netral positif
23 (17,4%) 88 (21,1%) 21 (26,6%) 90 (19,1%) 92 (19,8%) 19 (22,1%) 3 (37,5%) 108 (19,9%) 70 (17,6%) 41 (26,8%) 12 (48,0%) 99 (18,9%) 17 (45,9%) 94 (18,3%) 58 (31,5%) 53 (14,5%) 90 (40,2%) 21 (6,4%)
sikap negatif, aksesabilitas pelayanan kesehatan sulit, pengambil keputusan dalam menentukan pelayanan kesehatan adalah suami-istri dan melibatkan orang lain/keluarga serta berpengetahuan buruk yaitu 90%. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Praktik Kesehatan Bayi dan Anak
Beberapa variabel secara statistik berhubungan bermakna dengan praktik responden terkait kesehatan bayi dan anak. Variabel tersebut adalah usia pernikahan, jumlah anak, pendapatan keluarga, cara pembayaran kesehatan, aksesabilitas terhadap fasilitas kesehatan, pengaruh orang yang memutuskan dalam upaya pencarian pelayanan kesehatan, pengetahuan serta sikap responden terhadap pelayanan kesehatan untuk bayi dan anak. Berdasarkan analisis bivariat, variabel pengaruh orang yang memutuskan dalam upaya pencarian pelayanan kesehatan dan pengetahuan responden tentang kesehatan bayi dan anak merupakan variabel dengan nilai PR terbesar. Berdasarkan hasil ini diketahui bahwa praktik responden yang buruk terkait pelayanan kesehatan bayi dan anak sama yaitu 5 kali lebih banyak pada responden dengan pola pengambilan keputusan dalam memilih/memutuskan pelayanan kesehatan adalah suami-istri dan melibatkan orang lain/keluarga serta berpengetahuan buruk (Lihat Tabel 2). Hasil analisis multivariat menunjukkan hanya 4 variabel bebas yang mempunyai pengaruh kuat terhadap praktik responden terkait kesehatan bayi dan anak. Variabel tersebut yaitu orang yang memutuskan pemilihan pelayanan kesehatan dalam keluarga (adjusted
X2
Nilai p
PR (CI 95%)
0,828 (0,54-1,25) 1,391 (0,92-2,09) 0,897 (0,58-1,39) 1,882 (0,76-4,68) 0,658 (0,47-0,92) 2,545 (1,63-3,97) 2,51 (1,69-3,72) 2,18 (1,57-3,02) 6,28 (4,00-9,72)
Baik 109 330 58 381 372 67 5 434 327 112 13 426 20 419 126 313 134 305
132 418 79 471 464 86 8 542 397 153 25 525 37 513 184 366 224 326
0,82
0,365
2,34
0,126
0,231
0,631
1,511
0,206
5,76
0,016
12,58
0,000
16,35
0,000
22,07
0,000
93,81
0,000
PR = 5,992; p = 0,000; 95% CI = 2,525-14,218), pengetahuan responden (adjusted PR = 5,449; p = 0,000; 95% CI = 2,318-12,805), sikap responden (adjusted PR = 4,884; p = 0,000; 95% CI = 2,318-12,805), dan cara pembayaran (adjusted PR = 4,494; p = 0,001; 95% CI = 1,838-10,993). Secara bersamaan, pengaruh orang yang memutuskan pemilihan pelayanan kesehatan dalam keluarga merupakan variabel yang berpengaruh kuat terhadap praktik responden, dimana praktik yang buruk terkait pelayanan kesehatan bayi dan anak 6 kali lebih banyak pada responden yang pengambilan keputusannya suami-istri dan melibatkan orang lain/keluarga. Berdasarkan analisis multivariat ini diperoleh hasil bahwa probabilitas seseorang akan memiliki praktik yang buruk terhadap pelayanan kesehatan bayi dan anak jika memiliki sikap yang negatif, pengambil keputusan dalam menentukan pelayanan kesehatan adalah oleh suami-istri dan melibatkan orang lain/keluarga, berpengetahuan buruk serta pola pembayaran pelayanan kesehatan keluarga secara langsung/out of pocket adalah 87%. Hubungan Faktor Sosiokultural dengan Praktik Masyarakat terkait Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Masih banyak kepercayaan masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai kesehatan, terutama terhadap aspek KIA. Sebanyak 274 orang yang menjawab pernyataan kebiasaan/tradisi yang diterapkan/dipercayai dalam keseharian responden yang berhubungan dengan kesehatan maternal didapatkan data bahwa ada 124 (45,26%) yang memiliki kepercayaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Kepercayaan yang tidak 11
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 1, Agustus 2011
Tabel 2. Hubungan Faktor Penentu yang Mempengaruhi Praktik terkait Kesehatan Bayi dan Anak Praktik terkait Kesehatan Maternal Variabel
Usia pernikahan Jumlah anak Pendapatan Tenaga pelayanan kesehatan Cara bayar Akses pelayanan kesehatan Otoritas pelayanan kesehatan Pengetahuan Sikap
Kategori
≤ 20 tahun > 20 tahun > 3 orang 1-3 orang ≤ 2.000.000 2.000.000 Nonkesehatan Kesehatan Sendiri Asuransi kesehatan Sulit Mudah Keluarga Suami-istri Kurang Baik Negatif Netral positif
n Buruk
Baik
23 (17,4%) 41 (9,8%) 16 (20,3%) 48 (10,2%) 43 (9,3%) 21 (24,4%) 2 (25,0%) 62 (11,4%) 57 (14,4%) 7 (4,6%) 9 (36,0%) 55 (10,5%) 18 (48,6%) 46 (9,0%) 56 (18,1%) 8 (3,3%) 46 (24,5%) 18 (5,0%)
109 337 63 423 421 65 6 480 340 146 16 470 19 467 254 232 142 344
sesuai tersebut sebagian besar terkait aspek gizi selama hamil/bersalin/nifas dan menyusui (31,32%) dan aspek kepercayaan ketika hamil (29,52%). Selanjutnya, pernyataan kebiasaan yang dipercayai dalam keseharian responden yang berhubungan dengan kesehatan bayi dan anak balita didapatkan bahwa yang memiliki kepercayaan tidak sesuai dengan nilai-nilai kesehatan sebesar 23,62%. Kepercayaan yang keliru tersebut sebagian besar terkait aspek gizi pada bayi dan balita atau tidak mendukung air susu ibu (ASI) eksklusif (42,62%) dan aspek kepercayaan terhadap penanganan kesehatan pada bayi dan anak balita (27,87%). Faktor Pemungkin (Enabling) yang Berhubungan dengan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Secara umum, jumlah bidan yang merupakan tenaga kesehatan utama dalam pelayanan KIA di Provinsi Riau sudah memadai. Jumlah lulusan pendidikan minimal diploma 3 (D3) kebidanan sudah memenuhi demand bidan di Provinsi Riau. Namun, berdasarkan rasio tenaga bidan dan jumlah penduduk di Provinsi Riau masih belum mencukupi (37 per 100.000 penduduk). Distribusi tenaga bidan di Provinsi Riau masih belum merata, seperti terlihat dari beberapa desa/kelurahan belum ada tenaga bidan, terutama pada kategori desa sangat terpencil. Beberapa desa justru berlebih tenaga bidan, tetapi di beberapa desa jumlah tersebut tidak sesuai dengan cakupan wilayah kerja. Berdasarkan kualitas ketenagaan pemberi pelayanan KIA, sebagian besar informan mengatakan berdasarkan jenjang pendidikan cukup ideal, sebagian besar bidan 12
132 418 79 471 464 86 8 542 397 153 25 525 37 513 310 240 188 362
X2
Nilai p
5,66
0,017
6,66
0,010
16,19
0,000
1,41
0,235
10,28
0,001
15,20
0,000
52,85
0,000
28,55
0,000
45,74
0,000
PR (CI 95%)
1,78 (1,11-2,85) 1,987 (1,19-3,32) 0,38 (0,24-0,61) 2,19 (0,64-7,42) 3,14 (1,4-6,72) 3,44 (1,93-6,13) 5,42 (3,53-8,35) 5,42 (2,63-11,15) 4,92 (2,94-8,24)
minimal berijazah D3 kebidanan. Namun, dari pendidikan-pelatihan untuk peningkatan kompetensi (asuhan persalinan normal, APN; manajemen terpadu bayi muda, MTBM serta penatalaksanaan asfiksia neonatorum) masih kurang. Beberapa puskesmas sudah ada yang mengikuti, tetapi tidak terdistribusi merata ke semua bidan (rata-rata yang sudah mengikuti pelatihan kurang dari 50%). Begitu juga terhadap jenis pelatihan yang seharusnya diikuti. Selain tenaga bidan, tenaga pendukung pelayanan KIA lainnya seperti ahli gizi juga masih belum memadai. Tidak semua puskesmas memiliki ahli gizi (minimal pendidikan D3 gizi). Ketersediaan dan Ketercukupan Sarana Pendukung Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Sebagian besar informan menyatakan aspek sarana pendukung pelayanan KIA pada kategori belum memadai. Beberapa hal yang belum memadai adalah peralatan pendukung pelayanan KIA (sarana laboratorium, sterilisasi alat, dan lain-lain). Kekurangan sarana ini terutama untuk daerah yang jauh, di puskesmas pembantu (pustu) maupun pondok bersalin desa (polindes). Banyak hal yang menyebabkan sarana ini masih kurang, antara lain keterbatasan dana karena ada pengembangan atau penambahan puskesmas baru. Kendala lain adalah fasilitas yang belum termanfaatkan. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh tidak ada pelatihan pengoperasian alat, tidak ada tenaga teknisi/analis yang kompeten atau tidak tersedia sarana pendukung pengoperasian alat tersebut, seperti daya
Zahtamal, Restuastuti & Chandra, Analisis Faktor Determinan Permasalahan Pelayanan KIA
listrik. Faktor Pendorong (Reinforcing) yang Berhubungan dengan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Kebijakan yang menjadi acuan dalam pelayanan KIA secara umum adalah mengimplementasikan kebijakan nasional terkait pelayanan KIA. Sasaran yang dicapai adalah berdasarkan standar pelayanan minimal bidang kesehatan (SPM BK) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Acuan operasional pelaksanaan di daerah adalah surat keputusan bupati/walikota terkait SPM yang sudah ada. Namun untuk hal-hal teknis lain, seperti pengaturan kompetensi tenaga kesehatan belum diatur melalui kebijakan daerah seperti peraturan daerah (peraturan gubernur dan bupati/walikota). Aspek prasarana pendukung pelayanan KIA sebagian besar berada pada kategori memadai. Beberapa hal yang dianggap sudah baik adalah kebijakan yang jelas terhadap pelayanan KIA, khusus untuk masyarakat miskin tersedia panduan kegiatan (dalam bentuk buku atau modul). Pada beberapa puskesmas, walaupun pedoman sudah ada terkadang jumlahnya belum mencukupi. Kecukupan dana untuk mendukung pelayanan KIA ada yang merasa sudah memadai, namun ada juga yang mengatakan belum memadai. Dana untuk kegiatan rutin/kegiatan tugas pokok dan fungsi dari tenaga kesehatan seperti antenatal care (ANC) di pelayanan primer dianggap cukup memadai. Beberapa daerah terjadi penurunan anggaran untuk pelayanan KIA. Untuk kegiatan tertentu, anggaran tersebut tidak tersedia, terutama untuk pengembangan program dan peningkatan kualitas tenaga kesehatan. Pelayanan KIA untuk masyarakat sudah tersedia dana yang memadai, mengingat kebijakan pelayanan gratis terutama untuk masyarakat miskin. Beberapa kegiatan dalam pelayanan KIA juga melibatkan lintas sektoral seperti pembinaan upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) dengan pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga (PKK) (pos pelayanan terpadu, posyandu; bina keluarga balita, BKB; tanaman obat keluarga, toga; dan lain-lain), dengan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (unit kesehatan sekolah, UKS; pembinaan perilaku hidup bersih dan sehat, PHBS; serta bulan imunisasi anak sekolah) serta dengan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (peningkatan gizi masyarakat). Kegiatan yang dilakukan secara lintas sektoral secara umum tidak bermasalah. Namun, jumlah kegiatan lintas sektoral masih banyak yang belum terealisasi sehingga kegiatan ini hanya dilakukan oleh dinas kesehatan sehingga tidak mencapai target. Berbagai kendala yang masih dihadapi antara lain pola koordinasi kegiatan belum dirumuskan dan tidak diikat dengan memorandum of understanding (MOU)
yang jelas. Leading sector KB di kabupaten/kota adalah Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPP-KB). Sedangkan untuk urusan kesehatan dilakukan oleh Seksi KIA. Bentuk kerja sama kegiatan KB antara leading sector tersebut saling berkoordinasi untuk meningkatkan pelayanan KB. SKPD kesehatan lebih ke arah meningkatkan cakupan peserta KB aktif dan peserta KB. Tugas utama SKPD BPP-KB menyediakan alat kontrasepsi, meningkatkan akseptor baru serta meningkakan kualitas tenaga penyuluh dan teknis dalam pelayanan KB. Implementasi dan koordinasi antarsektor dianggap masih belum optimal, terbukti sering terjadi ketidaksinkronan data dari masing-masing SKPD. Selain itu, koordinasi laporan kegiatan juga tidak berlangsung secara optimal. Kegiatan yang dilakukan oleh SKPD tertentu tidak dikoordinaksikan secara institusi. Dampaknya, banyak kegiatan yang sudah direncanakan tidak terlaksana secara optimal sehingga terjadi kesenjangan antara jumlah akseptor dengan ketersediaan alat kontrasepsi. Sering terjadi ketidaktersediaan/ketidaksesuaian alat kontrasepsi dengan kebutuhan di lapangan. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan terpadu seperti KB kesehatan manunggal juga sering tidak terjadi secara optimal dan tidak didukung oleh MOU/ikatan kerja sama yang jelas. Kondisi seperti ini berdampak pada menurunnya peserta KB aktif di beberapa daerah. Pembahasan Faktor Predisposisi Permasalahan Kesehatan Ibu dan Anak
Faktor-faktor yang diketahui berhubungan bermakna secara statistik dengan praktik responden terkait kesehatan maternal adalah cara pembayaran kesehatan, aksesabilitas terhadap fasilitas kesehatan, pengaruh orang yang memutuskan dalam upaya pencarian pelayanan kesehatan, pengetahuan responden tentang kesehatan ibu serta sikap ibu terhadap pelayanan kesehatan selama hamil, bersalin, dan nifas. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Marpaung,3 dan Rahman,4 salah satu faktor jumlah anak tidak berhubungan dengan praktik yang buruk. Hasil ini mengindikasikan program pemerintah menjamin pelayanan kesehatan terutama untuk masyarakat miskin dan kebijakan pelayanan gratis akan berdampak pada perbaikan praktik masyarakat dalam pelayanan kesehatan. Hal itu berarti bahwa berapa pun jumlah anggota keluarga dan pendapatan keluarga, jika mereka dijamin mendapatkan layanan kesehatan, praktik mereka akan baik. Variabel yang berhubungan dengan kesehatan bayi dan anak adalah usia pernikahan, jumlah anak, pendapatan keluarga, cara pembayaran kesehatan, aksesabilitas terhadap fasilitas kesehatan, pengaruh 13
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 1, Agustus 2011
orang yang memutuskan dalam upaya pencarian pelayanan kesehatan, pengetahuan serta sikap responden terhadap pelayanan kesehatan bayi dan anak. Variabel pengaruh orang yang memutuskan dalam upaya pencarian pelayanan kesehatan dan pengetahuan responden merupakan variabel dengan nilai PR terbesar yang menentukan praktik kesehatan bayi dan anak. Faktor sosial ekonomi berhubungan dengan praktik masyarakat. Hasil analisis multivariat menunjukkan 3 variabel bebas secara bersama berpengaruh bermakna terhadap praktik buruk kesehatan ibu maternal serta kesehatan bayi dan anak. Sikap merupakan variabel yang berpengaruh kuat terhadap praktik responden yang buruk dalam pelayanan KIA. Penelitian Setyaningsih,5 membuktikan bahwa sikap ibu balita secara bermakna berhubungan terhadap praktik ibu balita dalam pencegahan anemia balita (p = 0,028). Juliwanto,6 juga membuktikan bahwa sikap seseorang yang negatif terhadap pelayanan kesehatan membuat seseorang 5 kali lebih besar memilih tenaga nonkesehatan dalam pertolongan persalinannya. Sikap merupakan variabel dominan pembentuk perilaku. Sikap tidak mudah untuk dibentuk, apalagi sikap yang positif terhadap suatu objek. Azwar,7 menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap seseorang terutama hubungannya dengan objek tertentu dalam berinteraksi sosial, dimana terjadi hubungan saling mempengaruhi perilaku individu tersebut sebagai anggota masyarakat. Individu bereaksi membentuk sikap tertentu terhadap objek psikologis yang dihadapinya. Kurangnya stimulasi positif menimbulkan hanya sebagian kecil orang memiliki pengetahuan tentang objek tertentu. Selanjutnya, kurangnya rangsangan positif juga akan berpengaruh terhadap bertahannya kondisi sikap yang netral, bahkan dapat menjadi sikap negatif yang berujung tidak diterapkannya dalam praktik yang diinginkan. Orang yang memutuskan pemilihan pelayanan kesehatan dalam keluarga merupakan variabel yang berpengaruh kuat terhadap praktik pelayanan kesehatan maternal, bayi, dan anak. Pola pengambilan keputusan dalam keluarga akan menentukan praktik pelayanan kesehatan termasuk pelayanan KIA. Pengaruh orang lain, apakah itu orang tua/mertua dan kerabat keluarga lain, membuat keputusan yang akan diambil sering menjadi terlambat, terkadang membingungkan karena banyaknya pilihan. Hal tersebut akan menyebabkan praktik keluarga yang buruk. Suami dan istri harus mempunyai otonomi penuh dalam keputusan praktik KIA tanpa mengabaikan masukan dari orang lain karena jika posisi tersebut kuat keputusan dapat terealisasi dengan cepat. Oleh karena itu, suami/istri harus berpengetahuan benar tentang praktik pelayanan KIA, misalnya dalam perawatan kehamilan dan persalinan yang aman dan 14
sehat.8 Penelitian Danfort, Kruk, Rockers, Mbaruku, dan Galea,9 membuktikan bagaimana pentingnya peran suami dan istri dalam pengambilan keputusan terkait proses persalinan dan menentukan tempat persalinan. Penelitian ini membuktikan bahwa pengetahuan seseorang berhubungan dengan praktik pelayanan KIA. Hasil ini mendukung penelitian-penelitian lain yang telah membuktikan bahwa pengetahuan sebagai salah satu faktor dominan pembentuk perilaku seseorang. Penelitian Setyaningsih, 5 membuktikan bahwa pengetahuan secara bermakna berhubungan terhadap praktik ibu balita dalam pencegahan anemia gizi besi balita (p = 0,003). Menurut Notoatmodjo, 10 pengetahuan yang belum ideal merupakan salah satu penyebab permasalahan kesehatan yang terjadi di masyarakat. Seseorang yang belum berpengetahuan baik akan sulit melakukan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik atau menerima perilaku baru yang lebih baik. Pengetahuan baik merupakan salah satu modal awal untuk praktik yang baik, hingga akhirnya terjadi penurunan kasus/masalah kesehatan atau akan meningkatkan indikator pelayanan kesehatan di masyarakat.10 Penelitian ini membuktikan bahwa variabel aksesabilitas pelayanan kesehatan menentukan praktik kesehatan maternal. Secara umum, diketahui bahwa aspek kemudahan akses fasilitas kesehatan tetapi praktik yang buruk banyak ditemukan pada kelompok yang mengatakan aksesabilitas pelayanan sulit dijangkau. Apabila aksesabilitas pelayanan kesehatan buruk maka masyarakat tidak mendapatkan informasi dan pelayanan yang cukup dari petugas kesehatan yang bermuara pada praktik kesehatan yang buruk. Khusus untuk pelayanan kesehatan bayi dan anak, variabel cara pembayaran sangat menentukan praktik seseorang terkait kesehatan bayi dan anak. Menurut Fuadi,11 pembayaran kesehatan secara mandiri menyebabkan beban ekonomi yang berat bagi keluarga karena biaya kesehatan memang mahal sehingga mereka sering tidak terakses pelayanan kesehatan. Masih banyak kepercayaan masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Juliwanto, 6 membuktikan bahwa ada budaya yang tidak mendukung nilai kesehatan menjadi faktor penentu praktik pelayanan kesehatan masyarakat yang buruk, misalnya dalam memilih tenaga penolong persalinan. Pemilihan tenaga nonkesehatan dalam pertolongan persalinan 24 kali lebih besar pada orang dengan budaya yang tidak mendukung. Faktor Pemungkin (Enabling) yang Berhubungan dengan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Secara umum, ketersediaan tenaga bidan di Provinsi Riau relatif sudah memadai, tetapi terdistribusi tidak
Zahtamal, Restuastuti & Chandra, Analisis Faktor Determinan Permasalahan Pelayanan KIA
merata. Akibatnya, pelayanan komprehensif yang diterima kurang dan pilihan masyarakat terhadap tenaga nonkesehatan meningkat. Penelitian Setyaningsih,5 membuktikan bahwa interaksi petugas kesehatan dengan responden secara bermakna berhubungan terhadap praktik ibu balita dalam pencegahan anemia gizi besi balita (p = 0,014). Berdasarkan aspek kualitas tenaga pelayanan KIA, aspek jenjang pendidikan sudah cukup ideal, tetapi dari aspek pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan kompetensi masih belum maksimal. Kesadaran tenaga kesehatan terhadap kualitas harus terus ditingkatkan karena permasalahan kesehatan sering terjadi pada petugas yang kurang kompeten dan kepuasan pengguna jasa juga tidak akan terwujud. Penelitian Sari, 12 membuktikan bahwa kualitas pelayanan berhubungan dengan tingkat pemanfaatan posyandu (p=0,001), artinya orang tidak akan mewujudkan praktik ideal dalam pelayanan kesehatan jika tidak didukung oleh pelayanan tenaga kesehatan yang kompeten. Sarana pendukung pelayanan KIA berada pada kategori belum memadai. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa keberadaan sarana menentukan kualitas praktik seseorang dalam pelayanan kesehatan serta memicu masalah kesehatan. Penelitian Sari,12 membuktikan bahwa ketersediaan sarana berhubungan dengan tingkat pemanfaatan posyandu (p = 0,001). Tidak tersedianya sarana kesehatan membuat orang tidak puas dengan pelayanan yang diterima. Selain itu, petugas kesehatan tidak maksimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Faktor Pendorong (Reinforcing) yang Berhubungan dengan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Kecukupan prasarana pendukung pelayanan KIA sangat menetukan permasalahan KIA. Untuk hal-hal teknis terkait pelayanan KIA seperti pengaturan kompetensi tenaga kesehatan belum diatur melalui peraturan daerah. Hal ini berdampak pada acuan yang jelas atau jaminan pemberian pelayanan KIA secara efektif dan efisien. Menurut Asfian,13 pedoman kerja merupakan panduan, terutama apabila terdapat pergantian/perubahan karyawan sehingga dapat digunakan untuk menilai. Selanjutnya, Azwar, 14 mengatakan pedoman kerja mempunyai peranan yang cukup penting karena standar dipakai sebagai bahan bandingan. Untuk memandu para pelaksana program menjaga mutu agar tetap berpedoman pada standar yang telah ditetapkan maka disusun pedoman atau petunjuk pelaksana. 14 Aspek kecukupan dana pendukung pelayanan KIA belum memadai. Hasil penelitian membuktikan bahwa dana merupakan faktor utama yang berperan dalam mewujudkan pelayanan KIA. Tidak cukupnya dana membuat banyak program KIA yang seharusnya
dilaksanakan tidak dapat terwujud atau tidak maksimal dilakukan. Dana merupakan salah satu unsur yang tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, dana merupakan alat yang penting untuk mencapai tujuan.15 Secara umum, untuk kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan secara lintas sektoral tidak bermasalah, tetapi kegiatan yang seharusnya dilakukan secara lintas sektoral banyak yang belum terealisasi. Oleh karena itu, kegiatan ini hanya dilakukan oleh dinas kesehatan yang berdampak pencapaian target pelayanan KIA yang rendah. Implementasi dan koordinasi antarsektor program KB belum optimal, terbukti sering terjadi ketidaksinkronan data dari masing-masing SKPD. Selain itu, koordinasi laporan kegiatan tidak berlangsung optimal. Bukti lain adalah bentuk kegiatan yang dilakukan oleh SKPD tertentu tidak dikoordinaksikan secara institusi. Hal ini berdampak pada kegiatan yang direncanakan tidak terlaksana secara optimal. Misalnya, kesenjangan antara jumlah akseptor dengan ketersediaan alat kontrasepsi di lapangan. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan terpadu seperti KB kesehatan manunggal di lapangan sering tidak didasari oleh MOU/ikatan kerja sama yang jelas. Kondisi seperti ini berdampak pada menurunnya peserta KB aktif di beberapa daerah (tidak mencapai target). Kesimpulan Faktor-faktor yang berhubungan dengan pelayanan KIA termasuk faktor predisposisi, yaitu sikap responden, praktik responden yang buruk 8 kali lebih banyak pada responden yang memiliki sikap negatif daripada yang memiliki sikap positif. Pengaruh orang yang memutuskan pemilihan pelayanan kesehatan dalam keluarga merupakan variabel yang berpengaruh kuat terhadap praktik responden terkait pelayanan kesehatan bayi dan anak. praktik yang buruk 6 kali lebih banyak pada responden yang pengambilan keputusannya dilakukan suami-istri dan melibatkan orang lain daripada hanya suami-istri. Pengetahuan responden terkait pelayanan KIA dan aksesabilitas terhadap pelayanan kesehatan juga menentukan praktik seseorang terkait kesehatan maternal dan pelayanan kesehatan bayi dan anak. Cara pembayaran juga sangat menentukan praktik seseorang terkait kesehatan bayi dan anak serta kepercayaan masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai kesehatan, terutama terhadap aspek KIA. Faktor pemungkin yang berhubungan dengan pelayanan KIA, antara lain distribusi tenaga kesehatan masih belum merata, kualitas ketenagaan pemberi pelayanan KIA masih belum optimal dan sarana pendukung pelayanan belum memadai. Faktor pendorong yang berhubungan, antara lain belum adanya kebijakan daerah sebagai acuan dalam pelayanan KIA, dana untuk mendukung pelayanan KIA belum memadai, kuantitas kegiatan yang seharusnya 15
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 1, Agustus 2011
dilakukan secara lintas sektoral masih banyak yang belum terealisasi serta koordinasi antarsektor untuk program KB masih belum optimal.
Puskesmas Butar Kecamatan Pagaran Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2010 [skripsi]. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara; 2010. 4. Rahman KMM. Determinants of maternal health care ytilization in
Saran Meningkatkan proporsi anggaran dan jumlah kegiatan promosi kesehatan kepada masyarakat, difokuskan untuk mengubah perilaku, mengupayakan pola kemandirian keluarga dalam menentukan pilihan dalam pelayanan kesehatan (meminimalisasi hambatan sosiokultural terhadap pelayanan KIA). Meningkatkan upaya menambah kompetensi tenaga kesehatan, khususnya dalam pelayanan KIA (peningkatan anggaran untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia), terus dilakukan upaya optimalisasi pendistribusian tenaga kesehatan serta pemantauan/supervisi rutin untuk menjamin keberadaan tenaga kesehatan di lapangan. Mempertahankan dan meningkatkan upaya advokasi dalam mengupayakan dikeluarkannya kebijakan lokal yang akan mempermudah pelayanan KIA kepada masyarakat, meningkatkan anggaran untuk pelayanan KIA, peningkatan realisasi kegiatan yang dilakukan secara lintas sektoral serta merumuskan pola koordinasi kegiatan yang lebih baik dan diikat melalui MOU yang jelas. Khusus koordinasi antarsektor terutama untuk pelayanan KB, perlu dioptimalkan (dikaji ulang dan dicari solusi yang tepat).
Bangladesh. Research Journal of Applied Science. 2009; 4 (3): 113-9. 5. Setyaningsih S. Pengaruh interaksi, pengetahuan, dan sikap terhadap praktik ibu dalam pencegahan anemia gizi besi balita di Kota Pekalongan tahun 2008 [tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2008. 6. Juliwanto. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan memilih penolong persalinan pada ibu hamil di Kecamatan Babul Rahmah Kabupaten Aceh Tenggara tahun 2008 [tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2009. 7. Azwar S. Sikap manusia, teori, dan pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset; 2000. 8. Musadad A, Rachmalina, Rahajeng E. Pengambilan keputusan dalam pertolongan persalinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2003 [diakses tanggal 2 November 2009]. Diunduh dari: http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%202/Anwar2_1.pdf. 9. Danfort EJ, Kruk ME, Rockers PC, Mbaruku G, Galea S. Household decision-making about delivery in health facilities: evidence from Tanzania. International Centre For Diarrhoeal Disease Research Bangladesh. J Health Popul Nutr. 2009; 27 (5): 696-703. 10. Notoatmodjo S. Promosi kesehatan: teori dan aplikasi. Jakarta: PT Rineka Cipta; 2005. 11. Fuadi A. Tinjauan yuridis pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Raden Soedjati Kabupaten Grobogan [skripsi]. Surakarta: Universitas Muhamadiyah; 2009.
Daftar Pustaka
12. Sari RW. Hubungan karakteristik ibu hamil, ketersediaan sarana, dan
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Ibu selamat, bayi sehat, suami siaga. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2009 [diakses
tanggal
3
Februari
2010].
Diunduh
kualitas pelayanan dengan tingkat pemanfaatan posyandu [skripsi]. 2007.
dari:
13. Asfian. Analisis pemanfaatan pedoman kerja bidan dalam pengelolaan
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/790-ibu-sela-
program KIA KB di Puskesmas Kota Pontianak [tesis]. Semarang:
mat-bayi-sehat-suami-siaga.html. 2. Dinas Kesehatan Provinsi Riau. Profil kesehatan Provinsi Riau tahun 2007. Riau: Dinas Kesehatan Provinsi Riau; 2007.
Universitas Diponegoro; 2008. 14. Azwar A. Menjaga mutu pelayanan kesehatan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan; 1999.
3. Marpaung FV. Pengaruh faktor predisposisi, pendukung, dan pendorong
15. Siahaan. Analisis pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. 2010
terhadap pemanfaatan penolong persalinan oleh ibu di wilayah kerja
(diakses tanggal 14 Desember 2010). Diunduh dari: http://reposi-
16
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
ISSN: 2087 - 1325
ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DALAM TUMBUH KEMBANG BAYI DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK SITI FATIMAH MAKASSAR Hasnah M.Noor dan Marhaeni Jurusan Kebidanan Poltekkes Makassar ABSTRAK Pemberian air susu ibu (ASI) sangat penting bagi bayi dan anak berumur kurang dari dua tahun terutama karena ASI mengandung lemak acids, laktosa, air, dan amino acids, serta memenuhi kebutuhan total metabolis anak selama empat bulan sampai enam bulan pertama kehidupannya (WHO/UNICEF 1989). Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002, hanya 3,7% bayi yang memperoleh ASI pada hari pertama. Sedangkan pemberian ASI pada bayi umur kurang 2 bulan sebesar 64%, antara 2-3 bulan 45,5%, antara 4-5 bulan 13,9 dan antara 6-7 bulan 7,8%. Sementara itu cakupan pemberian susu formula meningkat 3 kali lipat dalam kurun waktu antara 1997 sebesar 10,8% menjadi 32,4% pada tahun 2002. Penelitian ini bersifat survey analitik dengan pendekatan Cross Sectiobal stady yang bertujuan memperoleh informasi tentang hubungan pengetahuan, sikap, dan motivasi ibu dengan pemberian ASI eksklusif dalam tumbuh kembang bayi, dengan melibatkan sampel 147 ibu dari bayi umur 6 – 11 bulan yang diambil secara purpossive sampling. Hasil penelitin menunjukkan bahwa pengetahuan dengan nilai p.0,011, sikap dengan nilai p.0,000, pada ringkat kepercayaan (CI.95%) menunjukkan adanya hubungan secara bermakna pengetahuan dan sikap terhadap pemberian ASI eksklusif, sedangkan motivasi dengan nilai p.0,754 menunjukkan tidak adanya hubungan. Pada analisis dalam hubungan dengan tingkat tumbuh kembang bayi untuk pengetahuan didapatkan nilai p.0.002<α.0,05 menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan tumbuh kembang bayi, sedangkan sikap dan motivasi dengan nilai p.0,123, dan motivasi dengan nilai p.0,747 yang berarti bahwa sikap dan motivasi tidak berefek dalam tumbuh kembang bayi. Disarankan perlunya meningkatkan pengetahuan dan sikap ibu melalui penyusuhan berkesinambungan terhadap pemberian ASI eksklusif. Kata kunci
: Pemberian ASI Eksklusif I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sasaran pembangunan kesehatan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah (RPJM) 2005-2009 adalah menurunkan prevalensi gizi kurang anak balita dari 25,8% tahun 2005 menjadi setinggi-tingginya 20% pada tahun 2009. Pencepatan penurunan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk 2
Volume 1, Nomor 1, Januari – Juni 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
ISSN: 2087 - 1325
diperlukan upaya terobosan nasional untuk menggerakkan seluruh masyarakat terutama ibu-ibu dengan dukungan suami dan keluarga dalam memberikan ASI Eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya (Yekti Widodo, 2003) Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002, hanya 3,7% bayi yang memperoleh ASI pada hari pertama. Sedangkan pemberian ASI pada bayi umur kurang 2 bulan sebesar 64%, antara 2-3 bulan 45,5%, antara 4-5 bulan 13,9 dan antara 6-7 bulan 7,8%. Sementara itu cakupan pemberian susu formula meningkat 3 kali lipat dalam kurun waktu antara 1997 sebesar 10,8% menjadi 32,4% pada tahun 2002 (Evy Rahmawati, 2006). Buruknya pemberian ASI Eksklusif di Indonesia, terbatasnya persediaan pangan di tingkat rumah tangga serta terbatasnya akses balita sakit terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas menyebabkan 5 juta menderita gizi kurang. Padahal kekurangan gizi yang terjadi pada bayi akan berdampak pada gangguan psikomotor, kognitif dan social serta secara klinis terjadi gangguan pertumbuhan. Dampak lainnya derajat kesehatan dan gizi anak Indonesia masih memprihatinkan. Hal ini ditandai dengan tingginya tingkat kematian bayi setiap tahun sekitar 132.000 meninggal sebelum usia 1 tahun. Menurut WHO, dari seluruh kematian bayi tersebut, lebih dari setengahnya terkait dengan gizi kurang dan gizi buruk serta penyakit infeksi. Untuk mencapai tumbuh kembang bayi yang optimal, WHO/UNICEF menetapkan ”Global Strategy for Infant and Young Child Feeding” di Indonesia ditindaklanjuti dengan Penyusunan Strategi Nasional Pemberian Makanan Bayi dan Anak yaitu memberikan ASI dalam 30 menit setelah lahir, memberikan ASI saja atau ASI Eksklusif sejak lahir sampai umur 6 bulan, memberikan makanan pendamping ASI (MP=ASI) yang cukup dan bermutu sejak bayi umur 6 bulan dan meneruskan pemberian ASI sampai anak berumur 2 tahun (Agus Triwinarti,2005). Menurut Unite Nation Invan Children & Found (UNICEF), penelitian yang dilakukan pada tahun 2006 mengatakan bayi yang di beri susu formula memiliki kemungkinan 25 kali untuk meningggal dunia pada bulan pertama kelahirannya. Proporsi pemberian ASI eksklusif pada bayi di Indonesia dari waktu ke waktu terlihat berfluktuasi, menurut Evy R, dan R. Kuntari (2006) dalam tulisannya tentang ASI Eksklusif demi sang anak mengungkapkan masih rendah nya kesadaran ibu untuk memberikan ASI ekslusif baru berkisar 14% yang hanya sampai empat bulan saja dari jumlah ibu yang melahirkan. Berdasarkan hasil penelitian oleh Dr. Moh Efendi di Rumah sakit Umum Dr. kariadi Semarang pada tahun 1977 didapatkan pemberian ASI sampai umur 2 3
Volume 1, Nomor 1, Januari – Juni 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
ISSN: 2087 - 1325
bulan 31,6 % , ASI tambah susu formula 15,8 % dan susu formula 52,6 % dan sebelumnya yaitu pada umur satu bulan ASI 66,7 % dan susu formula 33,3 % . Banyak faktor yang dapat mempengaruhi rendahnya motivasi ibu untuk memberikan ASI secara ekslusif terhadap bayinya, antara lain perilaku ibu sendiri akibat ketidak tahuan dan sikap yang kurang mendukung, selain itu karena produksi ASI yang kurang sehingga memerlukan makanan untuk pengganti ASI, faktor lain adalah kesulitan bayi dalam menghisap akan menghambat asupan yang dapat diperoleh sang bayi, disamping itu keadaan puting susu yang tidak menunjang dan adanya aktivitas ibu sebagai wanita karir. Motivasi turut berkontribusi dalam pemberian ASI ekslusif karena dorongan dari dalam diri ibu untuk menyusui maka bayi dapat disusui sampai enam bulan tanpa makanan pendamping (Natoadmodjo, 2005 ) B. Hipotesis Penelitian 1. Tumbuh kembang bayi yang diberi ASI eksklusif berbeda dengan non ASI eksklusif 2. Pengetahuan merupakan faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI ekslusif dan tumbuh kembang bayi 3. Sikap merupakan faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI ekslusif dan tumbuh kembang bayi 4. Motivasi merupakan faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI ekslusif dan tumbuh kembang bayi. II. BAHAN DAN METODE A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah survey analitik dengan pendekatan cross sectional Study untuk memperoleh informasi tentang hubungan pengetahuan, sikap dan motivasi dalam pemberian ASI ekslusif dengan tumbuh kembang bayi di Rumah sakit Siti Fatima Makassar. B. Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Rumah sakit Ibu dan Anak Siti Fatima Makassar pada bulan Juni s/d Juli 2009. C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah bayi yang datang dan dilayani dipoliklinik anak RSIA Siti fatimah Makassar, dan sampel adalah bayi 4
Volume 1, Nomor 1, Januari – Juni 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
ISSN: 2087 - 1325
berumur 6-11 bulan yang dilayani di Poliklnik RSIA Siti Fatima makassar yang ditarik secara purpossive sampling sebanyak 147 bayi berdasarkan estimasi besar sampel minimal dari Stanly Lameshow (1997). D. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian ini berupa daftar pertanyaan dalam bentuk koesioner E. Pengumpulan Data Melakukan pengumpulan data primer dengan wawancara langsung pada responden melalui daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan, data sekunder diperoleh dari dokumen yang ada berkaitan dengan obyek penelitian ini. F. Pengolahan dan Penyajian data Pengolahan data dilakukan secara elektronik yang menggunakan komputer dengan program SPSS Versi 13.0, penyajian data dilakukan dalam benuk tabel distribusi frekuensi dan tabel silang antara variabel bebas dan variabel terikat disertai dengan penjelasan atau narasi. G. Analisis data Analisis data dilakukan secara univariat untuk mendapatkan gambaran umum masalah penelitian dengan cara mendiskripsikan tiap-tiap variabel yang di gunakan dalam penelitian ini melalui gambaran frekuensinya, dan analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen dan variabel dependen dengan uji statistik Chi-Square. III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil penelitian Hasil penelitian yang diperoleh dari data yang terkumpul, dan diolah untuk kemudian dianalisis secara univariat untuk memperoleh gambaran tentang berbagai faktor yang merupakan obyek penelitian ini, dilanjutkan dengan analisis bivariat untuk menganalisis hubungan variabel-variabel penelitian ini. 1. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan ASI Eksklusif Tabel 1; Analisis Hubungan Pengetahuan Ibu dengan ASI Eksklusif Pada Bayi di RSIA Siti Fatimah Makassar Juli 2009 ASI Eksklusif Chi-Square Jumlah Pengetahuan Eksklusif Non Eksklusif (CI.95%, α=0,05) p value n % n % n % Tahu 41 58,6 29 41,4 70 47,6 Tidak Tahu 28 36,4 49 63,6 77 52,4 p=0,011 Jumlah 69 46,9 78 53,1 147 100,0 Sumber : Data Primer Surfei ASI Eksklusif Juli 2009 5 Volume 1, Nomor 1, Januari – Juni 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
ISSN: 2087 - 1325
Berdasarkan tabel 1 dari 147 responden ada 70 orang yang mengetahui tentang ASI eksklusif lebih banyak yang memberikan ASI eksklusif yakni 41 orang (58,6%) lebih tinggi dibvandingkan yang non eksklusif sebanyak 29 orang (41,4%), sebaliknya yang pengetahuan kurang sebanyak 77 orang lebih banyak yang non eksklusif yakni 49 orang (63,6%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,011<α.0,05, menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu dengan ASI Ekslusif. 2. Hubungan Sikap Ibu dengan ASI Eksklusif Sikap merupakan salah satu faktor penting yang kontributif terhadappemberian ASI secara eksklusif, karena seorang ibu yang memiliki sikap positif pentingnya pemberian ASI akan akan berdampak positif pulapada anaknya, berikut ini adalah analisis tentang sikap. Tabel 2; Analisis Hubungan Sikap Ibu dengan ASI Eksklusif Pada Bayi di RSIA Siti Fatimah Makassar Juli 2009. Sikap Ibu Positif Negatif Jumlah
ASI Eksklusif Eksklusif Non Eksklusif n % n % 12 100,0 0 0,0 57 42,2 78 57,8 69 46,9 78 53,1
Jumlah n 12 135 147
% 8,2 91,8 100,0
Chi-Square (CI.95%, α=0,05) p value p=0,000
Sumber : Data Primer Surfei ASI Eksklusif Juli 2009 Pada tabel 2. Menunjukkan bahwa responden yang bersikap positif seluruhnya 12 orang, keseluruhan (100,0%) memberikan ASI Eksklusif pada bayinya, sedangkan 135 orang yang bersikap negatif terdapat 78 orang (57,8%) memberikan ASI secara non eksklusif. Dari hasil analisis secara bivariat dalam uji statisk Chi-Square didapatkan nilai p=0,000< α=0,05, yang menunjukkan sikap behubungan secara signifikan dengan pemberian ASI Ekslusif. 3. Hubungan Motivasi dengan ASI Eksklusif Tabel 3; Analisis Hubungan Motivasi Ibu dengan ASI Eksklusif Pada Bayi di RSIA Siti Fatimah Makassar Juli 2009.
Cukup Kurang
ASI Eksklusif Eksklusif Non Eksklusif n % n % 46 48,4 49 51,6 23 44,2 29 55,8
n 95 52
Jumlah
69
147 100,0
Motivasi
46,9
78
53,1
Jumlah % 64,6 35,4
Chi-Square (CI.95%, α=0,05) p value P = 0,754
Sumber : Data Primer Surfei ASI Eksklusif Juli 2009 6
Volume 1, Nomor 1, Januari – Juni 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
ISSN: 2087 - 1325
Dari 147 responden terdapat 95 orang yang motivasi cukup, dalm pemberian ASI Ekslusif ada 46 (48,4%), lebih kecil dibandingkan yang non eksklusif 49 orang (51,6%), sebaliknya yang motivasi kurang dari 52 orang terdapat 29(55,8%) yang non eksklusif. Secara bivariat melalui uji statisik Chi-Square terdapat nilai P.0,754, ini menunjukkan bahwa motivasi tidak berefek terhadap pemberian ASI Ekslusif. 4. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Tumbuh kembang Bayi Tabel 4; Analisis Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Tumbuh Kembang Pada Bayi di RSIA Siti Fatimah Makassar Juli 2009. Pengetahuan Tahu Tidak Tahu Jumlah
Tumbuh Kembang Normal Tidak Normal n % n % 39 55,7 31 44,3 22 28,6 55 71,4
n 70 77
61
147 100,0
41,5
86
58,5
Jumlah % 47,6 52,4
Chi-Square (CI.95%, α=0,05) p value
p = 0,002
Sumber : Data Primer Surfei ASI Eksklusif Juli 2009 Dilihat dari tumbuh kembang bayi, berdasarkan hasil análisis bahwa dari 147 responden, ada 70 orang yang pengetahuannya cukup diantaranya terdapat 39 bayi (55,7%) dengan tumbuh kembang yang normal, sedangkan yang tidak tahu tentang tumbuh kembang bayi sebanyak 77 orang, lebih banyak yang tumbuh kembangnya tidak normal sebanyak 55 orang (71,4%). Hasil analisis didapatkan nilai p=0,002<α=0,05, menunjukkan bahwa pengetahuan ibu berhubungan dengan tumbuh kembang bayi. 5. Hubungan Sikap Ibu dengan Tumbuh kembang Bayi Sikap merupakan salah satu faktor yang dianggap memberi makna penting terhadap tumbuh kembang anak. Secara univariat dari hasil analisis terhadap 147 orang yang menjadi sampel dalam penelitian ini, diantara 12 orang yang mempunyai sikap positif, terdapat 8orang (66,7%) yang tumbuh kembang anaknya termasuk normal, lebih tinggi dibandingkan bayi yang tumbuh kembangnya kurang dari normal sebanyak 4 orang (33,3%). Berdasarkan hasil analisis dari uji statistik Chi-Square terdapat nilai p= 0,123> α =0,05. Hal itu menunjukkan bahwa sikap tidak berhubungan dengan tumbuh kembang bayi, selengkapnya data dapat dilihat pada tabel berikut. 7
Volume 1, Nomor 1, Januari – Juni 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
ISSN: 2087 - 1325
Tabel 5; Analisis Hubungan Sikap Ibu dengan Tumbuh Kembang Pada Bayi di RSIA Siti Fatimah Makassar Juli 2009
Cukup Kurang
Tumbuh Kembang Normal Kurang Normal n % n % 8 66,7 4 33,3 53 39,3 82 60,7
n 12 135
% 8,2 91,8
Jumlah
61
147
100,0
Sikap
41,5
86
58,5
Jumlah
Chi-Square (CI.95%, α=0,05) p value
p = 0,123
Sumber : Data Primer Surfei ASI Eksklusif Juli 2009 6. Hubungan Motivasi dengan Tumbuh Kembang Bayi Tabel 6; Analisis Hubungan MotivasiIbu dengan Tumbuh Kembang Pada Bayi di RSIA Siti Fatimah Makassar Juli 2009 Tumbuh Kembang Chi-Square Jumlah Normal Tidak Normal (CI.95%, α=0,05) Motivasi Ibu p value n % n % n % Cukup 38 40,0 57 60,0 95 64,6 Kurang 23 44,2 29 55,8 52 35,4 p = 0,75 Jumlah
61
41,5
86
58,5
147 100,0
Sumber : Data Primer Surfei ASI Eksklusif Juli 2009 Ibu yang mempunyai motivasi cukup dengan tumbuh kemabang anak normal ada 38 orang atau 40% lebih rendah bila dibandingkan dengan anak yang tumbuh kembangnya tidak normal ada 57 orang atau 60%. Secara bivariat dari hasil analisis melalui uji Chi-Square terdapat nilai p = 0,75> α=0,05, ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara motivasi dengan tumbuh kembang bayi. 7. Hubungan ASI Eksklusif dengan Tumbuh Kembang Bayi ASI eksklusif merupakan sumber nutrien yang paling lengkap untuk bayi, secara normal bayi yang mendapat ASI secara eksklusif akan mengalami tingkat pertumbuhan yang lebih baik. Hasil analisis dapat dilihat pada tabel berikut; Tabel 1; Analisis Hubungan ASI Eksklusif dengan Tumbuh Kembang Pada Bayi di RSIA Siti Fatimah Makassar Juli 2009 Tumbuh Kembang Chi-Square Jumlah (CI.95%, α=0,05) Cukup Kurang ASI Eksklusif p value n % n % n % Eksklusif 37 53,6 32 46,4 69 46,9 Non Eksklusif 24 30,8 54 69,2 78 53,1 p = 0,008 Jumlah 61 41,5 86 58,5 147 100,0 Sumber : Data Primer Surfei ASI Eksklusif Juli 2009 8 Volume 1, Nomor 1, Januari – Juni 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
ISSN: 2087 - 1325
Dari 147 responden terdapat 69 bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif, diantaranya terdapat ada 37 orang atau 53,6% yang tumbuh kembangnya normal sedangkan yang tumbuh kembang tidak normal ada 32 orang yang diberi ASI ekslusif 46,4%. Berbeda dengan bayi yang non eksklusif lebih banyak yang tumbuh kembang kurang yakni 54(69,2%). Hasil analisis secara bivariat melalui uji Chi-Square diperoleh nilai p.0,008<α.0,05 pada tingkat kepercayaan 95%, yang berarti bahwa pemberian ASI secara eksklusif berhubungan secara signifikan dengan tumbuh kembang bayi. B. Pembahasan 1. Pengetahuan ibu dengan pemberian ASI Eksklusif Pengetahuan (Soekidjo Notoatmodjo 2003), merupakan hasil dari tahu, dan pengetahuan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, sebagain besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga dan di dapatkan melalui lingkungannya. Hasil analisis secara bivariat didapatkan nilai p.0,011<α.0,05 menunjukkan bahwa pengetahuan ibu yang cukup dapat menjamin terlaksananya pemberian ASI secara eksklusif pada bayinya. Demikian pula dalam halpengetahuan dengan tumbuh kembang bayi, berdasarkan hasil analisis didapatkan nilai p.0,002< α.0,05,menunjukkan bahwa pengetahuan yang cukup cuga akan memberi efek penting terhadap tumbuh kembang bayi. 2. Sikap dengan Pemberian ASI Eksklusif Sikap menurut Notoatmodjo (2005) adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang menyangkut senang, tidak senang, setuju, tidak setuju,baik dan tidak baik. Sikap possitif diharapkan dapat menjadi aspek penting tumbuhnya suatu tindakan positif pula seperti pemberian ASI secara eksklusif. Hasil analisis bivariat diperoleh nilai p.0,000< α.0,05, menunjukkan bahwa sikap ibu faktor yang dapat menjamin pemberian ASI eksklusif oleh ibu pada bayinya. Namun demikian dalam hal sikap ibu terhadap tumbuh kembang bayi dari hasil analisis secara bivariat didapatkan nilai p.0,123> α.0,05 yang berarti bahwa sikap ibu yang positif belum dapat menjamin tumbuh kembang bayi. 3. Motivasi dengan ASI Eksklusif Motivasi merupakan tanggapan seseorang terhadap apa yang ditangkap oleh alat inderanya untuk melakukan suatu tindakan. Karena itu motivasi tinggi diharapkan memberikan kontribusi pada ibu dalam 9 Volume 1, Nomor 1, Januari – Juni 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
ISSN: 2087 - 1325
pemberian ASI secara eksklusif. Hasil analisis secara bivariat diperoleh nilai p.0,754>α.0,05, menunjukkan bahwa motivasi tidak memberi efek dalam arti tidak berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif. Demikian pula dalam halmotivasi dengan tumbuh kembang bayi, berdasarkan hasil analisis secara bivariat diperoleh nilai p.0,747> α.0,05 yang menunjukkan bahwa motivasi tidak berefek dengan tumbuh kembang bayi. 4. ASI Eksklusif dengan Tumbuh Kembang Bayi ASI yang diberikan secara eksklusif dibandang sebagai aspek penting yang diperlukan dalam tumbuh kembang bayi. Hal itu karena ASI mengandung unsur nutrien yang tinggi. Sehingga dampak terhadap gangguan kesehatan bayi sangat kecil, bahkan ASI yang diberikan secara benar akan memberikan suatu kekebalan terhadap anak. hasil analisis statistik Chi-Square didapatkan nilai p.0,008< α.0,05. Hal itu menunjukkan bahwa pemberian ASI secara eksklusif berhubungan secara signifikan dengan tumbuh kembang bayi. DAFTAR PUSTAKA Agus Triwinarti, dkk, 2006. Kegagalan tumbuh Kembang bayi Usia 0-9 Jakarta
bulan,
Anonim, 2002. Pelatihan ” Konselor Lactasi ” St Carolus Jakarta Arifin
Siregar,2007. Pemberian Mempengaruhinya ,Jakarta
ASI
Ekslusif
dan
Faktor-Faktor
yang
DepKes R.I, 200. Buku Panduan Manajemen Laktasi: Dit Gizi Masyarakat, Jakarta Evy Rachmawati, 2006, ASI ekslusif Demi sang Anak. Jakarta Hubertin Sri Purwanti, 2004. Konsep Penerapan ASI Ekslusif, EGC Jakarta James Akre,1994.Dasar–Dasar Fisiologis Pemberian makanan untuk Bayi, Jakarta Lamesoshow et al,1997.Besar sampel dalam Penelitian Kesehatan Yogyakarta Muhammad Arifin Siregar, 2007. Hasil Penelitian Pemberian ASI ekslusif dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Hasil Penelitian Yang dipublikasikan. Universitas Sumatera Utara Rusepno Hassan, 2007. Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran UI Jakarta 10
Volume 1, Nomor 1, Januari – Juni 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
ISSN: 2087 - 1325
Natoadmodjo S, 2003. Pendidikan dan Prilaku Kesehatan, Jakarta
PT. Rineka Cipta
Natoatmodjo S, 2005.Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi, PT. Rineka Cipta Jakarta Siswono, 2005. ASI, Hak Anak yang Terkikis. Jakarta Willy F Marimis, 2006.Ilmu Perilaku dalam Pelayanan Kesehatan, Jakarta Yekti Widodo, 2003. Pertumbuhan bayi 0-4 bulan yang Mendapat ASI ekslusif dan Makanan Pendamping,Jakarta Utami Rusli,2005.Hasil Penelitian Hidup ASI Ekslusif. Hasil Penelitian Yang Dipublikasikan, Jakarta
11
Volume 1, Nomor 1, Januari – Juni 2010
DETERMINAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI KABUPATEN MANGGARAI BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. (Maternal and Child Health Determinants in West Manggarai District East Nusa Tenggara Province) Ruben Wadu Willa dan Majematang Mading Naskah Masuk: 28 Maret 2014, Review 1: 3 April 2014, Review 2: 3 April 2014, Naskah layak terbit: 12 Juni 2014
ABSTRAK. Latar Belakang: Kabupaten Manggarai Barat dalam periode Januari sampai dengan Juli 2012 jumlah kematian bayi 34 kasus, Bayi lahir mati 33 kasus dan kematian ibu 9 kasus. Tujuan tulisan ini yaitu ingin menggambarkan penyebab kematian ibu, bayi, balita dan gizi buruk. Metode: Penelitian merupakan studi kualitatif di kabupaten Manggarai Barat Pada tahun 2012. Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Wainakeng dan Labuan Bajo. Pengumpulan data secara Focus Group Discussion dengan Kepala Puskesmas, bidan desa, pengelola program gizi dan seksi KIA pada dinas kesehatan. Hasil: Penyebab kematian ibu dan bayi di wilayah kerja Puskesmas Labuan Bajo disebabkan oleh karena ibu mengalami kekurangan gizi, penyakit infeksi seperti malaria dan tipus. Perhatian ibu terhadap bayi kurang dan akses terhadap pelayanan kesehatan sulit. Permasalahan tersebut harus diatasi dengan cara ibu hamil memeriksakan kesehatan secara rutin, pemakaian kelambu, perlu penyediaan perahu motor dengan operasional lebih murah. Penyebab gizi buruk dan gizi kurang adalah pengetahuan, pola asuh dan kemiskinan serta penyakit infeksi seperti diare dan malaria, diatasi oleh bidan dengan cara proaktif memberikan konseling kepada keluarga yang mempunyai balita gizi buruk. Kematian ibu di wilayah kerja Puskesmas Winakeng disebabkan oleh beberapa factor tidak tersedianya rumah sakit di Kabupaten, masih terdapat ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya ke dukun, pelaksanaan Perda yang mengatur tentang ibu hamil kurang tegas dan keluarga sering terlambat dalam pengambilan keputusan untuk dirujuk. Cara mengatasinya adalah petugas harus lebih aktif memberikan konseling kepada ibu hamil dan melakukan pendekatan dengan lintas sektor dalam memonitoring ibu hamil. Masalah gizi disebabkan terutama karena pola asuh, penyakit infeksi seperti malaria tipes dan diare dan asupan makan yang bergizi kurang. Kesimpulan: kematian ibu dan bayi disebabkan oleh ibu mengalami gizi buruk, akses terhadap pelayanan kesehatan yang sulit, ibu hamil yang memeriksa ke dukun dan tidak tersedianya rumah sakit di kabupaten serta penyakit infeksi malaria dan diare. Solusinya adalah bidang harus aktif dengan melibatkan kepala desa dalam memantau ibu hamil, perlu disediakan perahu motor dan pembangunan rumah sakit daerah. Kata kunci: kematian ibu dan anak, Manggarai Barat ABSTRACT Background: West Manggarai district in period January until July 2012. Infant mortality rate were 34 cases, stillbirths were 33 cases and maternal mortality rate was 9 cases. Methods: This research is qualitative study using Focus Group Discussion (FGD) desain, cooperation with head of public health center, midwife, nutrition program manager, and public health at health department. Results: Maternal and infant mortality in Labuan Bajo public health center caused by maternal nutritional deficiency, infectious diseases such as malaria and typhoid fever, mother less attention to the baby when the baby’s ill and difficult access to health services. The problem solution is pregnant women should be regularly having antenathal care, using of mosquito nets. Need to be provided cheaper sea transport. Causes of malnutrition and undernourishment is knowledge, parenting skill and infectious diseases such as diarrhea and malaria. To overcome this problem midwife should be proactive giving counseling to families with malnutrition children under five. Maternal and infant mortality
Loka Penelitian dan Pengembangan Penyakit Bersumber Binatang Loka Litbang P2B2 Waikabubak Email:
[email protected]
249
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 3 Juli 2014: 249–256 in Winekang public health center caused by not availability of hospital at district, pregnant women still seeking treatment to traditional healers, the implementation of government regulations are less strict and families often late in taking decision to be referred. The solution is health officers must always giving counseling to pregnant women and cross-sector approach to monitoring. Whereas the main cause nutritional problems is parenting behavior, infectious diseases, and not enough healthy food. Conclusion: Maternal and infant mortality caused by difficult access to health services, there are pregnant womens who go to traditional healers, not availability of hospitals in the district, also infectious diseases likes malaria and diarrhea. The solution is the midwife must active involving the village and subdistrict heads in monitoring pregnant women, need to provide a boat and build district hospital Key words: determinants, of maternal and child health, west Manggarai
PENDAHULUAN Angka kematian ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya. Survei Demografi Indonesia (SDKI) 2012 memberikan data bahwa AKI adalah 359 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB adalah 32 per 1.000 kelahiran hidup. Lebih dari tiga perempat dari semua kematian balita terjadi dalam tahun pertama kehidupan anak dan mayoritas kematian bayi terjadi pada periode neonatus (Sindonews.com, 2013; BPS dan tim, 2013). Berdasar kesepakatan global (Millenium Development Goal/MDGs 2000), diharapkan tahun 2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup. Berbagai upaya Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) telah dilakukan untuk mengatasi perbedaan yang sangat besar antara AKI dan AKA antara negara maju dan di negara berkembang, seperti di Indonesia. Upaya-upaya tersebut dilakukan untuk menyelamatkan ibu sejak awal kehamilan sampai masa nifas dengan tujuan agar kehamilan dan persalinannya dapat dilalui dengan selamat dan bayi lahir dalam keadaan sehat (Pusat Humaniora 2014). Kabupaten Manggarai Barat dalam periode Januari sampai dengan Juli 2012 jumlah kematian bayi sebanyak 34 kasus, Bayi lahir mati sebanyak 33 kasus dan kematian ibu sebanyak 9 kasus. Angka ini cukup tinggi dalam jangka waktu satu semester saja. Persoalan seperti ini menyebabkan menepisnya harapan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak pada tahun 2015 mendatang. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah telah dilaksanakan. Salah satu program pemerintah pusat adalah utilisasi pelayanan kesehatan ibu hamil melalui integrasi Penerapan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) dan 250
Antenatal Care (ANC) di Posyandu menjadi bahasan utama. Pelayanan kesehatan ibu hamil sampai saat ini masih menjadi sorotan utama dalam meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan dasar dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan anak, sehingga tahapan fase kehamilan dalam pelayanan kesehatan harus ditingkatkan dan menjadi penapisan utama sesuai dengan tujuan MDGs yaitu menurunkan angka kematian ibu dan anak (Mikrajab N.D. 2013). Pro gram pemer int ah daerah s alah s atu diantaranya program revolusi kesehatan ibu dan anak dengan slogan semua ibu hamil melahirkan di fasilitas kesehatan dan ditolong oleh tenaga kesehatan. Selain itu membangun kemitraan antara bidan dan dukun, dukun mempunyai peran mengantarkan dan memotivasi ibu hamil agar mau melahirkan di fasilitas kesehatan. Upaya tersebut telah dilakukan oleh semua kabupaten kota di provinsi Nusa Tenggara Timur. Baik masalah kematian maupun kesakitan pada ibu dan anak sesungguhnya tidak terlepas dari berbagai faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat di mana mereka berada. Disadari atau tidak, bermacam faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti banyak konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab-akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Pola makan, merupakan salah satu selera manusia di mana peran kebudayaan cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa makanan tertentu (Maas, 2004). Salah satu faktor yang secara langsung dapat mempengaruhi kondisi kesehatan bayi adalah
Determinan Kesehatan Ibu dan Anak (Ruben Wadu Willa dan Majematang Mading)
makanan yang diberikan. Dalam setiap masyarakat ada berbagai aturan yang menentukan kuantitas, kualitas dan bermacam makanan yang seharusnya dan tidak seharusnya dikonsumsi oleh semua anggota suatu rumah tangga, sesuai dengan kedudukan, usia, jenis kelamin dan situasi tertentu. Masalah kesehatan ibu dan anak terkait dengan tindakan ibu memelihara kesehatan selama masa kehamilan, persalinan dan memelihara anak saat usia bayi, pemeliharaan kesehatan tidak hanya terkait dengan menjaga agar tidak sakit tetapi juga termasuk mengonsumsi makan dengan gizi seimbang. Kurangnya asupan zat gizi baik pada saat kehamilan akan menyebabkan kekurangan energi protein dan dampaknya berat badan bayi yang dilahirkan akan rendah. Status gizi ibu sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Bila status gizi ibu normal pada masa sebelum dan selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan dengan berat badan normal. Dengan kata lain kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu sebelum dan selama hamil. Kebutuhan Gizi pada Ibu Hamil menyebabkan meningkatnya metabolisme energi, karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya meningkat selama kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, pertambahan besarnya organ kandungan, perubahan komposisi dan metabolisme tubuh ibu. Kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan saat hamil dapat menyebabkan janin tumbuh tidak sempurna. Ibu hamil yang menderita KEK dan Anemia mempunyai risiko kesakitan yang lebih besar terutama pada trimester III kehamilan dibandingkan dengan ibu hamil dengan status gizi normal. Akibatnya mereka mempunyai risiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan BBLR, kematian saat persalinan, pendarahan, pascapersalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan (Depkes RI, 1996). Bayi yang dilahirkan dengan BBLR umumnya kurang mampu meredam tekanan lingkungan yang baru, sehingga dapat berakibat pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan, bahkan dapat mengganggu kelangsungan hidupnya. Selain itu juga akan meningkatkan risiko kesakitan dan kematian bayi karena rentan terhadap infeksi saluran pernapasan bagian bawah, gangguan belajar, masalah perilaku dan lain sebagainya (Depkes RI, 1998).
Berbagai faktor seperti sosial budaya, kepercayaan tradisional, pengetahuan dan praktek tradisional, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan serta geografis wilayah dan keadaan ekonomi penduduk berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan anak. Informasi tentang berbagai faktor tersebut sangat dibutuhkan dalam rangka upaya perbaikan kesehatan ibu dan anak. Tujuan Penelitian ini adalah untuk menggali penyebab kematian ibu, bayi, balita dan gizi buruk di dua puskesmas Wainakeng dan Puskesmas Labuan Bajo Kabupaten Manggarai Barat. METODE Penelitian merupakan studi kualitatif pada saat Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK) di kabupaten Manggarai Barat Pada tahun 2012. Penelitian dilaksanakan di dua puskesmas yaitu Puskesmas Wainakeng dan Puskesmas Labuan Bajo. Pemilihan dua Puskesmas ini sebagai tempat penelitian adalah didasarkan pada kedua Puskesmas ini terjadi kematian ibu dan balita dalam kurun waktu trisemester pertama. Pemilihan hanya dibatasi pada dua puskesmas disebabkan oleh keterbatasan waktu dan anggaran dalam pelaksanaannya. Pengumpulan data dilakukan dengan cara Focus Group Discussion (FGD) dengan Kepala Puskesmas, bidan koordinator, bidan desa, pengelola program gizi dan kepala seksi pada dinas kesehatan Manggarai Barat sebanyak 20 orang dan ibu hamil sebanyak 10 orang. Mengingat keterbatasan waktu dan anggaran pengumpulan data hanya dilakukan dengan metode FGD. FGD dilaksanakan untuk menggali akar permasalahan yang terdiri dari masalah gizi buruk dan gizi kurang, angka kematian ibu, angka kematian bayi dan bayi lahir mati. Selain melakukan kajian literatur, narasi hasil Focus Group Discussion, analisis data dilaksanakan secara deskriptif kualitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Penyebab Kematian Ibu maternal, bayi, dan bayi lahir mati Berdasarkan hasil Focus Group Discussion pada Puskesmas Labuan Bajo dan Wainakeng diperoleh faktor penyebab kematian bayi, bayi lahir mati dan kematian ibu yang dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
251
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 3 Juli 2014: 249–256
Tabel 1. Penyebab Kematian Bayi, Bayi Lahir Mati dan Kematian Ibu di Puskesmas Labuan Bajo dan Puskesmas Wainakeng, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2012 Penyebab kematian bayi, bayi lahir mati dan kematian ibu Puskesmas Labuan Bajo a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
Hasil Focus Group Discussion (FGD) di Puskesmas Labuan Bajo Bayi Lahir Mati, Kematian Bayi dan Kematian Ibu Penyebab utama bayi lahir mati, kematian bayi dan kematian ibu hamil di wilayah kerja puskesmas Labuan Bajo disebabkan ibu mengalami kekurangan gizi dan kekurangan energi kalori (KEK). Hal ini senada dengan (Depkes RI, 1996) Ibu hamil yang menderita KEK dan Anemia mempunyai risiko kesakitan yang lebih besar terutama pada trimester III kehamilan dibandingkan dengan ibu hamil dengan status gizi normal. Akibatnya mereka mempunyai risiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan BBLR, kematian saat persalinan, pendarahan, pascapersalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan. Bayi yang dilahirkan dengan BBLR umumnya kurang mampu meredam tekanan lingkungan yang baru, sehingga dapat berakibat pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan, bahkan dapat mengganggu kelangsungan hidupnya. Penyakit infeksi seperti malaria dan tifes pada ibu hamil berdampak pada anemia pada ibu hamil. Perhatian ibu terhadap bayi yang kurang apalagi pada saat sakit bayi kurang mendapat perhatian sehingga menyebabkan bayi meninggal dunia dan masalah transportasi yang tidak memadai dan akses terhadap pelayanan kesehatan yang sulit karena wilayah Manggarai Barat merupakan daerah kepulauan yang terdiri dari banyak pulau kecil. 252
Puseksemas Wainakeng
Ibu mengalami kekurangan gizi kekurangan energi kalori (KEK). Penyakit infeksi seperti malaria dan tifes pada ibu hamil Perhatian ibu terhadap bayi kurang Kesulitan transportasi Peran lintas sektor masih kurang Belum adanya evaluasi secara berkala Kurangnya sosialisasi tentang gizi dan KIA ke tingkat desa. Pola asuh orang tua Kemiskinan
a. b. c. d. e.
Tidak tersedianya rumah sakit umum di Kabupaten Keluarga terlambat dalam pengambilan keputusan Ibu hamil memeriksakan kehamilan ke dukun Penegakan perda tentang ibu hamil tidak berjalan Sosial budaya berupa pantangan terhadap ibu hamil pasca persalinan f. Pola asuh orang tua terhadap anak kurang g. Penyakit infeksi seperti malaria, diare dan tifes
Berbagai Cara Mengatasi Bayi Lahir Mati, Kematian Bayi dan Kematian Ibu Cara mengatasi permasalahan kematian bayi, kematian ibu dan bayi lahir mati adalah sebagai berikut. Selama masa kehamilan ibu harus selalu memelihara kesehatan dan status gizi ibu harus selalu dipantau dan makan makanan yang bergizi supaya pada saat persalinan anak yang dilahirkan tidak kurang gizi atau berat badan bayi lahir rendah (BBLR). Kebutuhan Gizi pada Ibu Hamil menyebabkan meningkatnya metabolisme, karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya meningkat selama kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, pertambahan besarnya organ kandungan, perubahan komposisi dan metabolisme tubuh ibu. Kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan saat hamil dapat menyebabkan janin tumbuh tidak sempurna. Diper lukan pemer iksaan kesehat an dan pemakaian kelambu selama kehamilan agar terhindar dari penyakit infeksi seperti malaria, karena dampak dari penyakit malaria terhadap ibu hamil dapat menyebakan anemia. Kemudian orang tua yang memiliki bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah harus selalu dipantau dan dimotivasi oleh bidan dan petugas gizi. Untuk mengatasi permasalahan transportasi maka perlu disediakan perahu motor yang biaya operasionalnya lebih murah. Perahu motor ini dapat dipergunakan sewaktu-waktu apabila ada pasien yang
Determinan Kesehatan Ibu dan Anak (Ruben Wadu Willa dan Majematang Mading)
perlu dibawa dan dirujuk segera. Pada level dinas kesehatan dan puskesmas perlu ditingkatkan program revolusi KIA dengan melibatkan lintas sektor yaitu Camat dan Desa. Pada setiap papan pengumuman kecamatan dan desa harus ditempelkan informasi ibu hamil dan bayi gizi buruk yang akan dipantau dan harus dilakukan evaluasi secara berkala pada semua lini termasuk lintas sektor. Kemudian setiap puskesmas harus melakukan sosialisasi ke setiap desa dan harus memberikan laporan tertulis ke Dinas Kesehatan. Gizi Buruk dan Kurang Gizi Berdasarkan hasil diskusi kelompok terfokus tentang permasalahan gizi buruk dan gizi kurang maka dapat dir umuskan yang menjadi akar permasalahannya adalah Pola asuh orang tua terhadap anak, anak hanya di berikan makanan asal kenyang tapi tidak memperhatikan nilai gizinya. pengetahuan orang tua yang rendah tentang cara mengasuh anak yang baik dan kemiskinan, merupakan penyebab utama. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) telah dilaksanakan namun dalam pelaksanaan, makanan tambahan tersebut bukan semata-mata hanya dikonsumsi oleh bayi saja tapi keluarga yang lain juga ikut mengonsumsinya. Perilaku orang tua dalam memberikan makanan yang bergizi kurang, sebenarnya pangan tersedia di masyarakat seperti sayur-sayuran, telur dan beras tapi dijual anak hanya diberikan nasi putih. Perhatian yang kurang dari orang tua, orang tua sibuk dengan pekerjaan, penyakit infeksi seperti diare, malaria. Salah satu penyebab masalah gizi adalah tradisi masyarakat dalam memberikan makan bagi bayi, seperti bayi dari awal telah diberikan makanan yang seharusnya belum bisa diberikan, sehingga menyebabkan anak tersebut mencret. Selain itu persepsi masyarakat tentang bentuk tubuh anak contohnya kalau orang tuanya berbadan kecil dan kurus maka anaknya juga wajar kalau badannya kecil dan kurus. Cara Mengatasi Masalah Gizi Kurang dan Gizi Buruk Langkah yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah gizi kurang dan gizi buruk adalah dengan memberikan konseling atau pendampingan di posyandu kepada keluarga yang mempunyai balita, agar orang tua lebih memperhatikan cara mengasuh anak yang baik. Selain itu perlu ditingkatkan penyuluhan face to face kepada ibu hamil dan ibu
yang memiliki balita karena penyuluhan tersebut lebih efektif jika dibandingkan dengan penyuluhan berkelompok. Petugas harus lebih proaktif dalam memotivasi dan mendorong orang tua agar lebih kreatif dalam memberikan makanan bagi bayi, dan ketegasan dari petugas sangat penting dalam menangani permasalahan gizi buruk orang tua yang tidak memanfaatkan PMT secara baik harus ditegur dan diberikan peringatan. Dalam mengatasi masalah gizi buruk harus ada peran kepala desa, agar kepala desa berkewajiban untuk memotivasi kader dan menggerakkan masyarakat jadi setiap permasalahan gizi buruk harus dilaporkan kepada kepala desa. Selain itu perlu peningkatan keterampilan dan pengetahuan, pelatihan kepada bidan tentang teknik konseling kepada ibu hamil serta dilakukan perlombaan kreativitas ibu hamil dalam pemberian menu untuk balita. Hasil Focus Group Discussion di Puskesmas Wainakeng Penyebab Utama Kematian Ibu, Bayi Lahir Mati dan Kematian bayi Kematian ibu, bayi lahir mati dan kematian bayi di wilayah kerja Puskesmas Wainakeng adalah disebabkan oleh tidak tersedianya rumah sakit di Kabupaten, permasalahan seperti ini seharusnya bisa diantisipasi oleh keluarga dengan menyediakan anggaran untuk melahirkan ke fasilitas atau rumah sakit yang memadai. D’Ambruoso et al. (2009) menyatakan bahwa keluarga dan masyarakat tidak menyediakan sarana emergensi dengan dukungan finansial atau transportasi secara terpisah disebabkan kurangnya pemahaman mereka terhadap sistem asuransi kesehatan di tambah kurangnya jaminan asuransi dalam pelayanan ibu hamil. Pemahaman ini perlu dibangun oleh tenaga kesehatan terhadap keluarga ibu hamil. Diperlukan suatu mekanisme sistem yang dapat menangani permasalahan ibu melahirkan apabila terjadi komplikasi sebagai contoh salah satu kasus kematian ibu. Perencanaan persalinan sudah dilakukan oleh bidan di polindes, 3–4 hari dilakukan observasi oleh bidan desa dan pada saat proses persalinan 15 menit tidak ada gejala pelepasan plasenta akhirnya dirujuk ke puskesmas dan puskesmas merujuk ke Rumah Sakit Cancar, petugas yang menangani tidak berada di tempat dan yang ada hanyalah bidan yunior. Tiga jam tidak mendapatkan pertolongan maka ibu tersebut meninggal. 253
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 3 Juli 2014: 249–256
Penyebab masalah seperti ini tidak semata-mata bersumber dari masyarakat tetapi juga dipengaruhi oleh sumber daya kesehatan itu sendiri menurut WHO (2007) cit. Ergo et al. (2011) menyebutkan bahwa untuk meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan KIA dan khususnya pelayanan ibu hamil diperlukan penguatan sistem kesehatan untuk mencapai tujuan/ outcome kesehatan. Adapun penguatan sistem kesehatan yang dimaksud, meliputi: pelayanan KIA (service delivery), ketersediaan dan kecukupan tenaga kesehatan dan pendukungnya termasuk kader, sistem informasi kesehatan, ketersediaan produk medis, vaksin, dan teknologi kesehatan, pembiayaan, kepemimpinan/kepemerintahan yang baik (good governance). Keluarga terlambat dalam pengambilan keputusan, pada saat akan melahirkan dan apabila terjadi kegawatan terhadap bayi atau ibu keputusan di dalam keluarga diambil dengan cara rembuk bersama dengan keluarga yang lain proses rembuk keluarga memakan waktu yang cukup lama yang dapat menyebabkan lambat dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu menurut UNFPA untuk menurunkan kematian ibu hamil diperlukan dukungan swadaya masyarakat sehingga mampu mandiri menjadi salah satu aspek penting untuk mencegah terjadinya kematian ibu melahirkan karena tiga terlambat (three delays) yaitu terlambat dalam mencari bantuan medis yang tersedia, mencapai pelayanan kesehatan, dan memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai (UNFPA, 2010). Penyebab kematian berikutnya adalah masih terdapat perilaku ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya ke dukun. Perda yang mengatur tentang ibu hamil telah ada, namun dalam pelaksanaannya perlu ditegakkan. Perlu diberikan pemahaman kepada ibu hamil tentang risiko kehamilan dan dan persalinan. Menurut Poerwanto (1991), ibu yang kurang memahami risiko kehamilan-persalinan menyebabkan rendahnya penggunaan sarana pelayanan kesehatan dalam perawatan kehamilan dan pertolongan persalinan. Menurut Iskandar et al., 1996 masih adanya pantangan yang diberlakukan pada masyarakat pascapersalinan, pantangan ataupun anjuran ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya, ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak produksi ASI; ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Selain itu, larangan untuk memakan buah-buahan seperti pisang, nanas, 254
ketimun dan lain-lain bagi wanita hamil juga masih dianut oleh beberapa kalangan masyarakat terutama masyarakat di daerah pedesaan. (Wibowo, 1993). Secara tradisional, ada praktik yang dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan si ibu. Misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi semula; memasukkan ramuan seperti daundaunan ke dalam vagina dengan maksud untuk membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan; atau memberi jamu tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar 1996). Cara Mengatasi Kematian Ibu, Kematian Bayi dan Bayi Lahir Mati Cara mengatasi kematian ibu kematian bayi dan bayi lahir mati adalah dengan lebih aktif memberikan penyuluhan dan konseling kepada ibu hamil dan ibu yang mempunyai balita agar anak diasuh sendiri dan memberikan pengetahuan tentang cara pemberian makan yang bergizi kepada bayi. Kader dan bidan harus aktif dalam melakukan pendekatan dengan lintas sektor kepala desa, dalam memonitoring dan menggerakkan ibu yang bayinya menderita gizi buruk. Perlu di buat perdes yang mengatur tentang gizi buruk dan akan diusulkan pada musrembangdes. Pada minilokakarya puskesmas yang dilaksanakan setiap tanggal 27 dan 28 setiap bulannya mulai bulan Agustus selain membahas permasalahan Kesehatan Ibu dan Anak harus lebih difokuskan pada masalah gizi. Harus mengatifkan kader kesehatan, dan setiap kader yang berada di desa harus mempunyai kepala keluarga binaan. Melalui keluarga binaan kader dengan mudah dapat memantau dan mengarahkan keluarga untuk selalu memberikan makanan bergizi dan menjaga kesehatan anaknya, apabila setiap kader kesehatan dapat men jalankan tugasnya dengan baik maka jumlah balita yang kurang gizi akan dapat diturunkan. Kader juga perlu diberikan insentif yang dapat menjadi motivasi dalam bekerja. Gizi Buruk dan Kurang Gizi Penyebab utama masalah gizi di wilayah kerja puskesmas Wainakeng adalah perilaku orang tua dalam mengasuh anak. Orang tua terlalu sibuk dengan pekerjaan di kebun atau ladang dari pagi sampai sore, anak dititipkan kepada kerabat atau saudara, dan kerabat tidak memperhatikan apakah anak tersebut sudah makan atau tidak. Selain itu penyebab lainnya
Determinan Kesehatan Ibu dan Anak (Ruben Wadu Willa dan Majematang Mading)
adalah penyakit infeksi seperti malaria, tipes dan diare. Asupan makan yang bergizi kepada anak, masih kurang orang tua hanya memberikan makan asal kenyang saja, seperti diberikan nasi putih saja, tanpa memperhatikan kebutuhan gizi anak. Ketersediaan pangan sebenarnya cukup, tetapi sayur-sayuran ikan dan telur umumnya dijual dan tidak diberikan kepada bayi untuk di konsumsi. Kekurangan gizi pada bayi akan meningkatkan risiko kesakitan dan kematian bayi karena rentan terhadap infeksi saluran pernapasan bagian bawah, gangguan belajar, masalah perilaku dan lain sebagainya (Depkes RI, 1997). Bayi yang lahir dari ibu yang gizinya baik selain dapat tumbuh dan berkembang dengan baik juga akan memberi air susu ibu (ASI) yang cukup untuk bayinya. ASI merupakan makanan bergizi yang paling lengkap, aman, hygienis dan murah. ASI juga meningkatkan keakraban ibu dan anak yang bersifat menambah kepribadian anak di kemudian hari. Itulah sebabnya ASI terbaik untuk bayi. Dari berbagai studi dan pengamatan menunjukkan bahwa dewasa ini di masyarakat terdapat kecenderungan penurunan penggunaan ASI dan mempergunakan susu formula. Dengan kenaikan tingkat partisipasi wanita dalam angkatan kerja dan peningkatan sarana komunikasi dan transportasi yang memudahkan periklanan susu buatan serta luasnya distribusi susu buatan terdapat kecenderungan menurunnya kesediaan menyusui maupun lamanya menyusui baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Menurunnya jumlah ibu yang menyusui sendiri bayinya pada mulanya terdapat pada kelompok ibu di kota terutama pada keluarga berpenghasilan cukup yang kemudian menjalar sampai ke desa. Meskipun menyadari pentingnya pemberian ASI tetapi budaya modern dan kekuatan ekonomi yang semakin meningkat telah mendesak para ibu untuk segera menyapih anaknya dan memilih air susu buatan sebagai jalan keluarnya. Meningkatnya lama pemberian ASI dan semakin meningkatnya pemberian susu botol menyebabkan kerawanan gizi pada bayi dan balita (SIR & EGAR 1991). Kebiasaan orang tua yang memiliki anak mencari pekerjaan ke luar daerah, anak masih berumur 4 bulan orang tua sudah menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan menitipkan anak kepada kerabat untuk di asuh dampaknya adalah anak mengalami kekurangan gizi. Selain alasan pekerjaan, ibu tidak mau menyusui anaknya dengan
alasan penampilan, ibu merasa payudara akan kendor dan kelihatan kurang menarik apabila menyusui bayinya. Pemahaman seperti ini perlu dihilangkan dari ibu menyusui, ibu menyusui perlu diberikan pemahaman yang benar tentang menyusui melalui penyuluhan pada memeriksakan kehamilan ke bidan atau unit pelayanan kesehatan. Kandungan nutrisi yang terkandung dalam ASI tidak bisa tergantikan oleh susu formula. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang dapat di ambil dari permasalahan penyebab kematian ibu serta kematian bayi dan bayi lahir mati di wilayah kerja Labuan Bajo adalah ibu kekurangan gizi, penyakit infeksi seperti malaria dan tifes, akses terhadap pelayanan kesehatan yang sulit. Penyebab masalah gizi buruk di wilayah kerja puskesmas Labuan Bajo adalah pola asuh yaitu anak tidak diperhatikan akan kebutuhan gizi dan petugas masih kurang proaktif dalam memberikan motivasi kepada orang tua. Penyebab kematian ibu, kematian bayi dan bayi lahir mati di wilayah kerja puskesmas Wainakeng adalah tidak tersedianya rumah sakit di kabupaten, yang dapat menangani permasalahan ibu melahirkan apabila terjadi komplikasi. Masih terdapat perilaku ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya ke dukun. Keluarga terlambat dalam pengambilan keputusan untuk penolong persalinan. Penyebab gizi buruk dan gizi kurang di wilayah kerja puskesmas Wainakeng adalah pola asuh atau perilaku orang tua dalam mengasuh, kurangnya asupan gizi terhadap anak, penyakit infeksi seperti malaria, kecacingan diare. Saran Untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah bidan harus selalu memotivasi dan memantau ibu selama masa kehamilan, agar ibu selalu menjaga kesehatan, memeriksakan kesehatan secara rutin, serta mengonsumsi makanan bergizi selama masa kehamilan. Untuk permasalahan transportasi di pulau setiap bidan desa diperlukan perahu motor yang lebih murah operasionalnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut petugas harus lebih proaktif dalam memotivasi agar orang tua lebih kreatif dalam memberikan makan bagi bayi. Petugas harus lebih aktif memberikan penyuluhan dan konseling kepada 255
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 3 Juli 2014: 249–256
ibu hamil dan ibu yang mempunyai balita. Setiap kader yang berada di desa harus mempunyai beberapa keluarga binaan. Kader kesehatan dan petugas gizi harus lebih aktif dalam memberikan konseling dan penyuluhan terhadap orang tua tentang pemberian makanan yang bergizi bagi bayi. DAFTAR PUSTAKA Ambruoso L, Adisasmita AE, Izati Y, Makowiecka K, Hussein J. 2009. Assessing quality of care provided by Indonesian village midwives with a confi dential enquiry. Midwifery, 25 (5), p. 528–39. Brinch Jennifer MPH. 1986. Menyusui Bayi dengan Baik dan Berhasil, Jakarta: Gaya Favorit Press. Departemen Kesehatan RI., 1992. Pedoman Pelayanan Kesehatan Prenatal di Wilayah Kerja Puskesmas. Jakarta: Direktorat Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan RI. 1996. Pedoman Penanggulangan Ibu Hamil Kekurangan Enargi Kronis. Jakarta: Direktorat Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan RI. 1997. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), 1995. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Ergo A, Eichler R, Koblinsky M. and Shah N. 2011. Strengthening Health Systems to Improve Maternal, Neonatal and Child Health Outcomes: A Framework, Washington DC: USAID. Iskandar, Meiwita B, et al. 1996. Mengungkap Misteri Kematian Ibu di Jawa Barat, Depok: Pusat Penelitian
256
Kesehatan Lembaga Penelitian, Universitas Indonesia. UNFPA. 2010. Reducing Maternal Mortality 2012, New York. USA. Pusat Humanoira Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. 2014. Panduan Riset Intervensi Ibu dan Anak Sulhaida Lubis. 2003. Status Gizi Ibu Hamil Serta Pengaruhnya terhadap Bayi yang Dilahirkan. Maas, L.T.F.K.M.U.S.U., 2004. Kesehatan Ibu dan Anak Persepsi Budaya dan Dampak Kesehatannya, hal. 1–6. Mikrajab MA. (t.th). Integrasi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi dan Antenatal Care di Posyandu Kota Mojokerto, Provinsi Jawa Timur ( Utilization of Pregnant Women Services through Integrating Childbirth Planning and Complications Prevention Program and Antenatal Care., (17), pp. 203–216. SIR MA. dan EGAR, 1991. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian Asi oleh Ibu Melahirkan. Manado: Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara, hal. 1–18. Swasono, F. Meutia, 1998. Kehamilan, kelahiran, perawatan ibu dan bayi dalam konteks budaya. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press), Wibowo, Adik. 1993. Kesehatan Ibu di Indonesia: Status “Praesens” dan Masalah yang dihadapi di lapangan. Makalah yang dibawakan pada Seminar “ Wanita dan Kesehatan”, Jakarta: Pusat Kajian Wanita FISIP UI.
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA NEONATORUM PADA BAYI BARU LAHIR DI RUMAH SAKITIBU DAN ANAK PERTIWI MAKASSAR Fatimah STIKES Nani Hasanuddin Makassar ABSTRAK Asfiksia Neonatorum merupakan kegawatdaruratan bayi baru lahir berupa depresi pernafasan yang berlanjut sehingga menimbulkan berbagai komplikasi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Asfiksia Neonatorum pada bayi baru lahir di RSIA Pertiwi Makassar. Penelitian ini merupakan jenis penelitian Deskriptif Analitik dengan menggunakan rancangan Cross Sectional Study. Populasi dalam penelitian ini adalah semua bayi baru lahir yang mengalami Asfiksia di RSIA Pertiwi Makassar sebanyak 90 pasien. Pengambilan sampel menggunakan Purposive Sampling yang sesuai dengan kriteria inklusi. Pengumpulan data dengan dokumentasi berupa rekam medik pasien yang diperoleh di RSIA Pertiwi Makassar menggunakan lembar observasi. Data yang telah terkumpul diolah dan dianalisa dengan menggunakan komputer program excel dan program statistik (SPSS) versi 16.0. Analisa data mencakup analisis univariat dengan mencari distribusi frekuensi, analisis bivariat dengan uji Chi-Square (α<0,05) untuk mengetahui adanya faktor-faktor yang berhubungan dengan Asfiksia Neonatorum pada bayi baru lahir di RSIA Pertiwi Makassar. Hasil analisis bivariat didapatkan adanya hubungan antara umur ibu (x=0,013), status gizi (x=0,001), dan presentase bokong (x=0,027) terhadap kejadian asfiksia neonatorum, dan tidak ada hubungan antara partus lama (x=0,332) dengan kejadian asfiksia neonatorum. Diharapkan ibu hamil memperhatikan status gizinya dan kewaspadaan terhadap resiko persalinan, serta perawat perlu meningkatkan pengawasan terhadap proses persalinan apabila ditemukan faktor resiko asfiksia neonatorum. Kata kunci : Umur, Status Gizi, Partus, Bokong, Asfiksia Neonatorum. PENDAHULUAN Cita-cita pembangunan manusia mencakup semua komponen pembangunan yang tujuan akhirnya ialah kesejahteraan masyarakat. Hal ini juga merupakan tujuan pembangunan millennium atau lebih dikenal dengan istilah Milenium Development Goals (MDGs) yang dicetuskan WHO (World Health Organization) pada tahun 2000 yang pencapaiannya dicanangkan paling lambat pada tahun 2015. Tujuan pembangunan Milenium tersebut antara lain : menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; mencapai pendidikan dasar untuk semua; mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; menurunkan angka kematian bayi/anak; meningkatkan kesehatan ibu; memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya; memastikan keberlanjutan lingkungan hidup; serta meningkatkan kerjasama
Volume 1 Nomor 1 Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
global untuk mencapai pembangunan.(Anik, 2009) Masalah kesehatan ibu dan bayi terutama pada masa perinatal merupakan masalah nasional yang perlu mendapat prioritas utama karena sangat menentukan kualitas sumber daya manusia pada generasi mendatang. Angka kematian bayi perinatal menurut data World Healt Organization (WHO)tahun 2008 sebesar 45 per 1000 kelahiran hidup, dengan kematian terbanyak pada wilayah Afrika sebesar 40 per 1000 kelahiran hidup disusul wilayah Asia Tenggara sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup.(WHO, 2010) . Asfiksia neonatorum merupakan kegawatdaruratan bayi baru lahir berupa depresi pernafasan yang berlanjut sehingga menimbulkan berbagai komplikasi. Asfiksia neonatorum paling sering terjadi pada periode segera setelah lahir dan dan menimbulkan sebuah kebutuhan resusitasi
152
dan intervensi segera untuk meminimalkan mortalitas dan morbiditas. Berdasarkan data statistik WHO 2008 memperlihatkan bahwa penyebab kematian neonatus di dunia antara lain pneumonia sebesar 18 %, prematur 12 %, dan tertinggi ketiga karena asfiksia lahir sebesar 9 % dari total kematian bayi. Untuk kejadian asfiksia di Wilayah Asia Tenggara sebesar 11 % menempati urutan ke-2 kasus terbanyak setelah wilayah Pasifik Barat sebesar 14 %.(WHO, 2010). Untuk wilayah Asia Tenggara, Angka kematian bayi karena asfiksia di negara Laos, Myanmar, Papua Nugini, Thailand sebesar 11 %, tertinggi kedua yaitu Indonesia, Kamboja, Vietnam sebesar 10 %, dan negara terendah yaitu sebesar 1 % adalah negara Singapura.(WHO, 2010) Angka kematian bayi yang diperoleh dari statistik Indonesia 2010 memperlihatkan bahwa provinsi tertinggi kejadiannya yaitu Nusa Tenggara Barat (88,55/1.000 kelahiran hidup) dan terendah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (24,79/1.000 kelahiran hidup), sedangkan untuk Provinsi Sulawesi Selatan berada pada urutan ke-4 yaitu 56,65/1.000 kelahiran hidup. Adapun faktor penyebab utama masih tingginya kematian bayi menurut survey demografi dan kesehatan Indonesia adalah bayi lahir dengan kesulitan nafas (asfiksia) mencapai 24% dan berat lahir rendah sebesar 26%.(Depkes, 2010) Menurut profil kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009, angka kematian bayi pada tahun 2008 sebanyak 638 kematian atau 4,39 per 1.000 kelahiran hidup dan untuk tahun 2009 jumlah kematian turun menjadi 495 atau 3,31per 1.000 kelahiran hidup. Penyebab kematian bayi tersebut yang terbanyak yaitu berat badan laahir rendah (BBLR), asfiksia, dan kelahiran prematur. (Sudarianto, dkk, 2010) Berdasarkan data yang di peroleh melalui medical record RSIA Pertiwi Makassar periode Januari-Desember 2010 jumlah kasus asfiksia sebanyak 387 bayi, 115 diantaranya mengalami asfiksia berat dan kematian karena asfiksia sebanyak 5 bayi. Sedangkan untuk periode Januari sampai Maret 2011 jumlah kasus sebanyak 90 bayi, 25 diantaranya mengalami asfiksia berat dan 3 bayi meniggal karena asfiksia. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Desain Penelitian
Volume 1 Nomor 1 Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
Penelitian yang digunakan peneliti adalah penelitian deskriptif analitik dengan menggunakan rancangan Cross Sectional Study, dimana semua variabel penelitian diukur dalam periode waktu yang sama Populasi dan Sampel Populasi Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karkteristik tertentu (Azis, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah semua bayi baru lahir yang mengalami asfiksia yang akan diteliti di RSIA Pertiwi Makassar periode sebanyak 90 pasien. Sampel Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Sampel dalam penelitian adalah objek yang di teliti sebanyak 35 sampel yang diambil dengan menggunakan tehnik pengambilan sampel Purposive Sampling. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Tabel 1 : Karakteristik Responden Berdasarkan Umurdi RSIA Pertiwi Makassar Umur Freukensi Persentase (n) (%) Beresiko 16 45,7 Tidak 19 54,3 Beresiko Jumlah 35 100,0 Sumber : Data Primer 2011
Berdasarkan tabel 1 sebagian besar responden berada pada usia yang tidak beresiko yaitu 19 responden (54,3%) dan terdapat 16 responden (45,7%) yang berada pada usia beresiko melahirkan bayi dengan Asfiksia. Tabel
2
Gravida 1 2 3 4 Jumlah
:
Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Persalinan (Gravida) di RSIA Pertiwi Makassar Frekuensi Persentase (n) (%) 17 48,6 13 37,1 4 11,4 1 2,9 35 100,0
Sumber : Data Primer 2011
153
Berdasarkan tabel 2 mayoritas responden berada pada persalinan pertama(Primipara) yaitu 17 responden (48,6 %), 13 responden (37,1 %) yang berada pada persalinan ke-2 (Gravida 2), 4 responden (11,4 %) berada pada persalinan ke-3 (Gravida 3), dan 1 responden (2,9 %) berada pada persalinan ke-4 (Gravida 4). Tabel
3
Status gizi Baik Kurang Jumlah
:
Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi di RSIA Pertiwi Makassar Frekuensi Persentase (n) (%) 18 51,4 17 48,6 35 100,0
Sumber : Data Primer 2011
Berdasarkan tabel 3 dari 35 responden terdapat 18 responden (51,4%) dengan status gizi baik dan terdapat 17 responden (48,6 %) dengan status gizi kurang. Tabel
4
:
Partus Partus Spontan Partus Lama Jumlah
Distribusi Responden Berdasarkan Lama Persalinan Di RSIA Pertiwi Makassar Frekuensi (n)
Persentase (%)
19 16
54,3 45,7
35
100,0
Sumber : Data primer 2011
5
Presentase Bokong Bkn Bokong Jumlah
:
Distribusi Responden Berdasarkan Presentase Bokong di RSIA Pertiwi Makassar Frekuensi (n) 17 18 35
Sumber : Data primer 2011
Tabel 6 :Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian Asfiksia Neonatorum di RSIA Pertiwi Makassar Asfiksia Frekuensi Persentase (n) Neonatorum (%) Asfiksia Ringan 14 40,0 sedang 21 60,0 Asfiksia Berat Jumlah
Persentase (%) 48,6 51,4 100,0
Volume 1 Nomor 1 Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
35
100,0
Sumber : Data Primer 2011
Berdasarkan tabel 6 dari 35 responden terdapat 21 responden (60,0%) melahirkan bayi dengan asfiksia berat dan 14 responden (40,0 %) melahirkan bayi dengan asfiksia ringan sedang. Analisa Bivariat Hubungan Antara Umur Ibu dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum di RSIA Pertiwi Makassar. Tabel 7 : Hubungan Antara Umur Ibu dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum di RSIA Pertiwi Makassar
Umur
Berdasarkan tabel 4 sebagian besar responden berada pada usia yang tidak beresiko yaitu 19 responden (54,3%) dan terdapat 16 responden (45,7%) yang berada pada usia beresiko melahirkan bayi dengan Asfiksia. Tabel
Berdasarkan tabel 5 terdapat 18 responden (51,4%) persalinan dengan presentase bukan bokong dan terdapat 17 responden (48,6 %) dengan persalinan presentase bokong.
Tidak Beresiko Beresiko Jumlah
Asfiksia Neonatorum Ringan Berat Sedang n % n %
n
%
10
28,6
6
17,1
16
45,7
4 14
11,4 40,0
15 21
42,9 60,0
19 35
54,3 100,0
Total
Sumber : Data Primerx=0,013α=0,05
Pada tabel 7 menunjukkan bahwa dari 16 responden (45,7 %) yang memilki umur tidak beresiko, terdapat 10 responden (28,6 %) yang anaknya mengalami asfiksia ringan sedang dan 6 responden (17,1 %) yang anaknya mengalami asfiksia berat. Dari 19 responden (54,3 %) yang memilki umur beresiko terdapat 4 responden (11,4 %) yang anaknya mengalami asfiksia ringan sedang dan 15 responden (42,9 %) yang mengalami
154
asfiksia berat.Berdasarkan hasil uji statistic chi-square diperoleh nilai x=0,013. Dengan demikian x=0,013 < α=0,05 sehingga Ha diterima dan Ho. Tabel 8 : Hubungan Antara Status Gizi Ibu dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum di RSIA Pertiwi Makassar Status Gizi Baik Kurang
Asfiksia Neonatorum Ringan Berat Sedang n % n % 12 34,3 6 17,1 2 5,7 15 42,9
n 18 17
% 51,4 48,6
Jumlah
14
35
100,0
40,0
21
60,0
Total
Sumber : Data Primerx=0,001α=0,05
Pada tabel 8 menunjukkan bahwa dari 18 responden (51,4 %) yang memilki status gizi baik, terdapat 12 responden (34,3 %) yang anaknya mengalami asfiksia ringan sedang dan 15 responden (42,9 %) yang mengalami asfiksia berat.(34,3 %) yang anaknya mengalami asfiksia ringan sedang dan 6 responden (17,1 %) yang anaknya mengalami asfiksia berat. Dari 17 responden (54,3 %) yang memilki status gizi kurang terdapat 2 responden (5,7 %) yang anaknya mengalami asfiksia Berdasarkan hasil uji statistic chi-square diperoleh nilai x=0,001. Dengan demikian x=0,001 < α=0,05 sehingga Ha diterima dan Ho ditolak dengan interpretasi “ Ada Hubungan Partus Lama dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum di RSIA Pertiwi Makassar Tabel 9 : Hubungan Antara Partus Lama dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum di RSIA Pertiwi Makassar Lama Partus Partus Spontan Partus Lama Jumlah
Asfiksia Neonatorum Ringan Berat Sedang n % n % 9 25,7 10 28,6
Total n 19
% 54,3
5
14,3
11
31,4
16
45,7
14
40,0
21
60,0
35
100,0
Volume 1 Nomor 1 Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
ringan sedang dan 6 responden (17,1 %) yang anaknya mengalami asfiksia berat. Dari 17 responden (54,3 %) yang memilki status gizi kurang terdapat 2 responden (5,7 %) yang anaknya mengalami asfiksia Pada tabel 9 menunjukkan bahwa dari 19 responden (54,3 %) yang mengalami partus spontan, terdapat 9 responden (25,7 %) yang anaknya mengalami asfiksia ringan sedang dan 10 responden (28,6 %) yang anaknya mengalami asfiksia berat. Dari 16 responden (45,7 %) yang mengalami partus lama terdapat 5 responden (14,3 %) yang anaknya mengalami asfiksia ringan sedang dan 11 responden (31,4 %) yang mengalami asfiksia berat. Berdasarkan hasil uji statistic chisquare diperoleh nilai x=0,332. Dengan demikian x=0,332 > α=0,05 sehingga Ha ditolak dan Ho diterima dengan interpretasi “ Tidak Ada Hubungan Antara Partus Lama dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum Pada Bayi Baru Lahir di RSIA Pertiwi Makassar”. Tabel 10 : Hubungan Antara Presentase Bokong dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum di RSIA Pertiwi Makassar Presentase kelahiran
Bukan Bokong Bokong Jumlah
Asfiksia Neonatorum Ringan Berat Sedang n % n %
Total
n
%
10 28,6 7 20,0 17 48,6 4 11,4 14 40,0 18 51,4 14 40,0 21 60,0 35 100,0
Sumber : Data Primerx=0,027
α=0,05
Pada tabel 10 menunjukkan bahwa dari 17 responden (48,6 %) yang melahirkan dengan presentase bukan bokong, terdapat 10 responden (28,6 %) yang anaknya mengalami asfiksia ringan sedang dan 7 responden (20,0 %) yang anaknya mengalami asfiksia berat. Dari 18 responden (51,4 %) yang elahirkan dengan presentase bokong terdapat 4 responden (11,4 %) yang anaknya mengalami asfiksia ringansedang dan 14 responden (40,0 %) yang mengalami asfiksia berat
155
PEMBAHASAN Sesuai dengan tujuan penelitian dan faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir. 1. Hubungan Antara Umur Ibu dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum Pada Bayi Baru Lahir di RSIA Pertiwi Makassar Umur adalah lama waktu hidup atau terhitung sejak dilahirkan seorang wanita secara biologi dan sudah memasuki umur reproduksinya beberapa tahun sebelum mencapai umur dimana kehamilan dan persalinan dapat berlangsung secara aman.Umur ibu pada saat hamil merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelangsungan kehamilan dan ramalan persalinan. Umur saat kehamilan yang terlalu muda atau terlalu tua mempunyai resiko untuk mengalami komplikasi obstetri yang lebih tinggi dibandingkan dengan kurun waktu reproduksi sehat yaitu pada umur 20 tahun sampai 35 tahun (Manuaba, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan dari 19 responden yang memilki umur beresiko terdapat 4 responden yang anaknya mengalami asfiksia ringan sedang dan 15 responden yang mengalami asfiksia berat. Berdasarkan hasil uji statistic chisquare diperoleh nilai x=0,013. Dengan demikian x=0,013 < α=0,05 sehingga Ha diterima dan Ho ditolak dengan interpretasi “ Ada Hubungan Antara Umur Ibu dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum Pada Bayi Baru Lahir di RSIA Pertiwi Makassar”. Hal ini sesuai dengan teori Prawirohardjo yang menyatakan wanita yang hamil pada umur muda dari segi biologis perkembangan alat-alat reproduksinya belum seluruhnya optimal. Dari segi psikis belum matang dalam menghadapi tuntunan beban moril, mental dan emosional. Sedangkan resiko yang hamil berusia tua adalah adanya perubahan biologi dikaitkan dengan penyakit degeneratif. Proses faal dalam tubuhnya sudah mengalami kemunduran, maka hal ini akan mempengaruhi keadaan rahim. Keadaan ini menyebabkan gangguan pertumbuhan janin yang kelak akan
Volume 1 Nomor 1 Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
menigkatkan resiko terjadinya asfiksia neonatorum. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Arfanitha (2006) yang meneliti hubungan antara faktor ibu dengan kejadian asfiksia neonatorum di RSUD Pangkep yang menunjukkan tidak ada hubungan antara umur ibu dengan asfiksia. 2. Hubungan Antara Status Gizi Ibu dengan Kejadian asfiksia Neonatorum di RSIA Pertiwi Makassar Berdasarkan hasil penelitian didapatkan adanya hubungan antara status gizi ibu dengan kejadian asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dari 17 responden yang keadaan gizinya kurang, mayoritas responden yaitu 15 responden yang anaknya mengalami asfiksia berat, sedangkan untuk responden yang gizinya baik, mayoritas anaknya mengalami asfiksia ringan sedang sebanyak 12 responden. Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolism dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ termasuk organ pernapasan. Penelitian yang telah dilakukan sejalan dengan teori Prawirahardjo (2004) disebutkan bahwa status gizi ibu yang rendah dapat mempengaruhi keadaan janinnya, dimana jikakebutuhan nutrisi tersebut tidak terpenuhi maka dapat menyebabkan hipoksia janin sehingga bayi lahir dengan asfiksia.. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Noviana (2009) yang menyatakan bahwa lebih banyak bayi baru lahir yang mengalami asfiksia pada ibu dengan status gizi baik yang merupakan resiko rendah. 3. Hubungan antara Partus Lama dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum di RSIA Pertiwi Makassar
156
Berdasarkan penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa dari 19 responden yang mengalami partus spontan, terdapat 10 responden yang anaknya mengalami asfiksia berat. Sedangkan dari 16 responden yang mengalami partus lama terdapat 11 responden yang mengalami asfiksia berat dan hanya sebagian kecil yaitu 5 responden mengalami asfiksia ringan sedang. Hasil uji statistic chi-square memperlihatkan nilai x=0,332. Dengan demikian x=0,332 > α=0,05 sehingga Ha ditolak dan Ho diterima dengan interpretasi “ Tidak Ada Hubungan Antara Partus Lama dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum Pada Bayi Baru Lahir di RSIA Pertiwi Makassar”. Berbeda dengan pendapat Manuaba (2007) yang menyatakan bahwa partus lama meningkatkan keinginan ibu untuk mengedan. Upaya mengedan ibu yang bertambah beresiko pada bayi yang akan mengurangi jumlah oksigen ke plasenta, hal ini dapat menyebabkan asfiksia. Persalinan adalah suatu proses fisiologik yang memungkinkan serangkaian perubahan yang besar pada ibu untuk dapat melahirkan janinnya melalui jalan lahir. Ini di definisikan sebagai pembukaan serviks yang progresif, dilatasi atau keduanya, akibat kontraksi rahim teratur yang terjadi sekurang-kurangnya setiap 5 menit dan berlangsung sampai 60 detik. Partus yang lama dapat menghambat kelancaran persalinan dan dapat menyebabkan bayi kekurangan oksigen sehingga menimbulkan kematian . Pada beberapa kondisi, persalinan normal dapat beralih menjadi persalinan patologik apabila terjadi kesalahan dalam penilaian kondisi ibu dan bayi atau juga akibat kesalahan dalam memimpin proses persalinan (Hasan dkk., 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang anaknya mengalami asfiksia ringan sedang lebih banyak terjadi pada partus spontan yaitu 9 responden dibandingkan partus lama yaitu 5 responden, hal ini diduga karena dari hasil penelitian ada faktor lain yang berpengaruhi seperti umur ibu yang beresiko, status gizi ibu kurang atau melahirkan dengan presentase bokong.
Volume 1 Nomor 1 Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
4. Hubungan antara Presentase Bokong dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum di RSIA Pertiwi Makassar Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa dari 18 responden yang melahirkan dengan letak janin presentase bokong, sebagian besar yaitu 14 responden yang anaknya mengalami asfiksia berat, sedangkan hanya 4 yang anaknya mengalami asfiksia ringan sedang. Berdasarkan hasil uji statistic chisquare diperoleh nilai x=0,027. Dengan demikian x=0,027 < α=0,05 sehingga Ha diterima dan Ho ditolak dengan interpretasi “ Ditemukan Adanya Hubungan Antara Presentase Bokong dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum Pada Bayi Baru Lahir di RSIA Pertiwi Makassar”. Sejalan dengan teori Hanifa W (2007) yang menyatakan bahwa asfiksia sering dijumpai pada presentase bokong, dimana terjadi akibat terjepitnya tali pusat antara kepala dan panggul serta akibat retraksi uterus yang dapat menyebabkan lepasnya plasenta sebelum kepala lahir. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat Hubungan Antara Umur ibu dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum Pada Bayi Baru Lahir di RSIA Pertiwi Makassar. 2. Terdapat Hubungan Antara Status Gizi ibu dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum Pada Bayi Baru Lahir di RSIA Pertiwi Makassar. 3. Tidak terdapat Hubungan Antara Partus Lama dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum Pada Bayi Baru Lahir di RSIA Pertiwi Makassar. 4. Terdapat Hubungan Antara Presentase Bokong dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum Pada Bayi Baru Lahir di RSIA Pertiwi Makassar. Saran 1. Bagi Rumah Sakit. Dalam rangka peningkatan kesehatan Ibu hamil perlu ditingkatkan pelayanan kesehatan ibu hamil sehingga dapat menurunkan mortalitas
157
dan mobilitas perinatal khususnya yang disebabkan oleh asfiksia neonatorium. 2. Bagi perawat Perluditingkatkan pengawasan awal yang lebih efektif dan efisien apabila ibu atau janin pada saat pengkajian ditemukan tanda-tanda yang merupakan foktor resiko terjadinya asfiksia neonatorium pada saat kehamilan dan persalinan 3. Bagi Ibu Hamil Perlu diperhatikan keadaan status gizi selama hamil dan kewaspadaan
terhadap resiko yang dapat terjadi pada saat persalinan seperti asfiksia neonatorum dengan sering memeriksakan diri ke tenaga kesehatan. 4. Bagi Peneliti Selanjutnya Diharapkan ada penelitian selanjutnya yang membahas mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan asfiksia neonatorum dengan instrumen dan pengukuran yang tepat serta besar sampel yang lebih banyak sehingga dapat diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA American Heart Association2005. Neonatal Resuscitation, (http://circ.ahajournals.org/cgi/content/full/112/22_suppl/III-91. diakses tanggal 15 April 2011). Depkes.
(online),
2010. Data Statistik Indonesia, (online), (http://www.datastatistikindonesia.com/component/option,com_tabel/kat,5/idtabel,131/Itemid,167/. diakses tanggal 27 april 2011)
Dewi, Vivian N L. 2010. Asuhan Neonatus Bayi Dan Anak Balita. Salemba Medika: Jakarta. Djitowiyono, Sugeng, dkk. 2010. Asuhan Keperawatan Neonatus Dan Anak. Nuha Medika: Yogyakarta. Fakhruddin, Emir. 2009. Presentase Bokong, (online),(http://www.emir-fakhrudin.com/2009/11/presentasibokong.html. diakses tanggal 17 April 2011) Handley, A.J., Evans, T.R. 2004. ABC Of Resuscitation, [E-Book]. Fifth Edition. BMJ. London. Hidayat, Azis Alimul. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Salemba Medika: Jakarta. Hidayat, Aziz Alimul. 2008. Riset Keperawatan dan Tehnik Penulisan Ilmiah. Salemba Medika. Jakarta. Kautsar, Ummul. 2010. Bayi Baru Lahir Normal. (Online), (http://ummukautsar.wordpress.com/2010/01/20/bayibaru-lahir-bbl-normal/#more-520. Diakses tanggal 27 April 2011). Kenneth, dkk. 2009. Obstetri Williams Edisi 21. EGC: Jakarta Manuaba, 2007.Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan Dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. EGC: Jakarta Indonesia Maphia. 2011. Asuhan Kebidanan Patologis. (online) (http://maphiablack.blogspot.com/2011/02/asuhankebidanan-patologis-pada-ibu.html. Diakses 14 April 2011). Maryunani, Anik, dkk. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan Dan Penyulit Pada Neonatus. Trans Info Media: Jakarta. Mochtar, Rustam. 2005. Sinopsis Obstetri. EGC: Jakarta. Niermeyer, S. 2009. Does Neonatal Resuscitation Deserve a Special Chapter, (online), (http://www.fac.org.ar/scvc/llave/epi/niermeye/nierf1.gif&imgrefurl. Diakses tanggal 20 April 2011). Proverawati, Atikah, dkk. 2010. Ilmu Gizi Untuk Keperawatan Dan Gizi Kesehatan. Nuha Medika: Yogyakarta Rohani. 2011. Asuahn Kebidanan Pada Masa Persalinan. Salemba Medika: Jakarta Rahayu, Dedeh Sri. 2009. Asuhan Keperawatan Anak Dan neonatus. Salemba Medika: Jakarta.
Volume 1 Nomor 1 Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
158
Saifuddin, A.B. 2006. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta. Sarwono prawihardjo. 2004. Ilmu Kandungan, Edisi Kedua. YBP : Jakarta. South InfirmaryVictoria Hospital. 2009, Pediatric Resuscitation. (online), (http://handbook.muh.ie/Paediatrics/ Resuscitation/BLSPaeds.htm. Diakses tanggal 20 April 2011). Sudarianto, dkk. 2010. Profil Kesehatan Sulawesi Selatan 2009. Dina Kesehatan Provinsi Suawesi Selatan: Makassar. Sudarti. 2010. Kelainan Dan Penyulit Pada Bayi Dan Anak. Nuha Medika: Yogyakarta. Ulam, 2010. Pelaksanaan Pada Persalinan, (online),(http://iyan-fridslan.blogspot.com/2010/03/penatalaksanaanpada-persalinan.html. Diakses tanggal 20 April 2011). WHO. 2010. World Health Statistic 2010, (online), (http//www.who.com/2010/12.world-health-statistic.html. diakses tanggal 20 April 2011) Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan, Edisi ketiga, Cetakan kesembilan. YPB: Jakarta. Wong, D.L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. edisi 6. EGC: Jakarta.
JOURNAL MEDIA KEBIDANAN POLTEKKESMAKASSAR ISSN : 2087 - 1325
94
FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERDARAHAN POST PARTUM DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK PERTIWI KOTA MAKASSAR TAHUN 2010 Hj. Djuhadiah Saadong, S.Pd, M.Kes Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Makassar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdarahan post partum merupakan penyebab penting kematian maternal khususnya di Negara berkembang. Faktor-faktor yang menyebabkan perdarahan post partum adalah grandemultipara, jarak persalinan pendek kurang dari 2 tahun, persalinan yang dilakukan dengan tindakan: pertolongan kala uri sebelum waktunya, pertolongan persalinan oleh dukun, persalinan dengan tindakan paksa, dan persalinan dengan narkosa. (Manuaba, edisi 2,2010) World Health organization (WHO ) tahun 2005 menunjukan bahwa perdarahan merupakan 26% dari penyebab kematian ibu di dunia dan merupakan penyebab tersebesar setelah infeksi (15%), unsaf abortion (13%), dan preklampsia/eklampsia (12%). (diakses,03 mei 2011 oleh Administrator pada selasa 21 September 2010). Menurut data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2008 diperoleh angka kematian ibu sebesar 44 orang, penyebab kematian karena perdarahan post partum hanya Atonia uteri 7 orang (15,9 %). Dan pada tahun 2009 diperoleh angka kematian ibu sebesar 31 orang, penyebab kematian akibat perdarahan post partum hanya Atonia Uteri 10 orang (32,2%). Berdasarkan data yang diperoleh di Rumah Sakit Ibu Dan Anak Pertiwi Makassar, jumlah ibu bersalin pada tahun 2008" sebanyak 2.843 orang dengan perdarahan post partum sebanyak 84 orang, dimana jumlah atonia uteri 29 orang (34,5%), retensio plasenta 11 orang (13,1%), Rest plasenta 11 orang (13,1%), laserasi jalan lahir 27 orang (32,1%) dan kelainan pembekuan darah 6 orang (7,1%). Penelitian ini membatasi pada faktor umur ibu, jarak kehamilan dan paritas dalam hubungan dengannya dengan perdarahan post parturn II. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian ini adalah observasional dengan pendekatan Crc Sectional Study yaitu variabelel dependen dan variabelel independen diamati
Nomor 1, Edisi 1, Januari – Juni 2011
94
JOURNAL MEDIA KEBIDANAN POLTEKKESMAKASSAR ISSN : 2087 - 1325
95
pa periode waktu yang sama, yang dilaksanakan di Rumah Sakit Ibu dan An (RSIA) Pertiwi Kota Makassar dan dilaksanakan pada bulan Desember tah 2010, terhadap 50 orang ibu yang melahirkan di Rumah Sakit Ibu dan An (RSIA) Pertiwi Kota Makassar, teknik pengambilan sampel adalah Purposi Sampling. Data yang digunakan berupa data primer yang diperoleh langsung dari ha wawancara dengan ibu melahirkan yang terpilih sebagai sampel, sedangkan da sekunder diperoleh dari instansi yang terkait. Selanjutnya diolah dan dianalis secara univariat maupun secara bivariat. III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Pertiwi Ko makassar sejak bulan Desember 2010 sampai Januari tahun 2011 yang mar proses pengumpulan data dilakukan dengan mengobservasi ibu.Jumlah samp 50 ibu yang hasilnya diuraikan sebagai berikut dalam bentuk tabel: 1. Analisis univariat a. Perdarahan Post Partum Tabel 1: Distribusi Perdarahan Post Partum di Rumah Sakit Ibu dan Anak Pertiwi Kota Makassar Tahun 2011 Perdarahan Post Partum Frekuensi Persentase Tidak aman 15 30.0 Aman 35 70.0 Jumlah 50 100,0 Sumber: Data Primer, 2011 Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu bersalin di RSIA Pertiwi tidak mengalami perdarahan yaitu sebanvak 70.0%, dan yanq mengalami perdarahan sebanvak 30.0% b. Umur Ibu Tabel 2; Distribusi Ibu Berdasarkan Umur Ibu di Rumah Sakit Ibu dan Anak Pertiwi Kota Makassar Tahun 2011 Umur Ibu Frekuensi Persentase Tidak aman 13 26,0 Aman 37 74,0 Jumlah 50 100,0 Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu bersalin di RSIA Pertiwi berumur 20-35 tahun (aman) yaitu sebanyak 74,0%, dan yang berumur < 20 tahun atau > 35 tahun (tidak aman) sebanyak 26,0%.
Nomor 1, Edisi 1, Januari – Juni 2011
95
JOURNAL MEDIA KEBIDANAN POLTEKKESMAKASSAR ISSN : 2087 - 1325
96
c. Paritas Tabel 3: Distribusi Ibu Berdasarkan Paritas Ibu di Rumah Sakit Ibu dan Anak Pertiwi Kota Makassar Tahun 2011 Paritas Tinggi Rendah Jumlah Sumber: Data Primer, 2011
Frekuensi 17 33 50
Persentase 34,0 66,0 100,0
Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu bersalin di RSIA Pertiwi memiliki paritas < 3 (rendah) yaitu sebanyak 66,0%, dan yang paritas tinggi sebanyak 34,0%. d. Jarak Kehamilan Tabel 4: Distribusi Ibu Berdasarkan Jarak Kehamilan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Pertiwi Kota Makassar Tahun 2011 Jarak kehamilan Frekuensi Persentase Rapat
19
38,0
Renggang
31
62,0
Jumlah
50
100,0
Sumber: Data Primer, 2011 Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu bersalin di RSIA Pertiwi jarak kehamilannya >2 tahun (renggang) yaitu sebanyak 31 (62,0%), yang jarak kehamilannya <2 tahun (rapat) 19 (38,0%). 2. Analisis Bivariat Pada tahap ini dilakukan tabulasi silang antara variabel independent (umur, paritas, dan jarak kehamilan) dengan variabel dependen (perdarahan post partum), dengan hasil sebagai berikut: a. Pengaruh Umur Ibu dengan Perdarahan Post Partum Tabel 5: Pengaruh Umur Ibu dengan Perdarahan Post Partum di RSIA Pertiwi Kota Makassar Tahun2011 Umur Ibu Perdarahan Post Partum Jumlah X2 Perdarahan Normal N % N % Tidak aman 9 69,2 4 30,8 13 8,4 Aman 6 16,2 31 83,8 37 Jumlah 15 30,0 35 70,0 50 Sumber: Data Primer, 2011
Nomor 1, Edisi 1, Januari – Juni 2011
96
JOURNAL MEDIA KEBIDANAN POLTEKKESMAKASSAR ISSN : 2087 - 1325
97
Tabel 5 menunjukkan bahwa dari 13 ibu yang berumur < 2 tahun atau >35 tahun (tidak aman) sebagian besar mengalami perdarahan post partum yaitu sebanyak 69,2%, sedangkan dari 37 ibu yang berumur 20-35 tahun (aman) sebagian besar tidak mengalami perdarahan yaitu sebanyak 83,8%. Hasil analisis statistik diperoleh nilai X2 hitung (8,4) > X2 tabel (3,841), hal ini berarti ada pengaruh umur ibu dengan perdarahan post partum. b. Pengaruh Paritas Ibu dengan Perdarahan Post Partum Tabel 6: Pengaruh Paritas Ibu dengan Perdarahan Post Partum di Rumah Sakit Ibu dan Anak Pertiwi Kota Makassar Tahu 2011 Perdarahan Post Partum Paritas Ibu Jumlah X2 Perdarahan Normal N % N % Tinggi 11 64,7 6 35,3 17 9,1 Rendah 4 12,1 29 87,9 33 Jumlah 15 30,0 35 70,0 50 Sumber: Data Primer, 2011 Tabel 6 menunjukkan bahwa dari 17 ibu yang memiliki paritas tinggi sebagian besar mengalami perdarahan post partum yaitu sebanyak 64,7%, sedangkan dari 33 ibu yang memiliki paritas rendah sebagian besar tidak mengalami perdarahan yaitu sebanyak 87,9%. Hasil analisis statistik diperoleh nilai X2 hitung (9,1) > X2 tabel (3,841), hal ini berarti ada pengaruh paritas ibu dengan perdarahan post partum. c. Pengaruh Jarak Kehamilan dengan Perdarahan Post Partum Tabel 7: Pengaruh Jarak Kehamilan dengan Perdarahan Post Partum di Rumah Sakit Ibu dan Anak Pertiwi Kota Makassar Tahun 2011 Perdarahan Post Partum Jarak Kehamilan Perdarahan Normal N % N % Rapat 12 63,1 7 36,9 Renggang 3 9,6 28 90,4 Jumlah 15 30,0 35 70,0 Sumber: Data Primer, 2011
Jumlah
X2
19 31 50
8,7
Nomor 1, Edisi 1, Januari – Juni 2011
97
JOURNAL MEDIA KEBIDANAN POLTEKKESMAKASSAR ISSN : 2087 - 1325
98
Tabel 7 menunjukkan bahwa dari 19 ibu yang jarak kehamilannnya kurang dari 2 tahun (rapat) sebagian besar mengalami perdarahan post partum yaitu sebanyak 63,1%, sedangkan dari 31 ibu yang jarak kehamilannya lebih dari 2 tahun (renggang) sebagian besar tidak mengalami perdarahan yaitu sebanyak 90,4s%. Hasil analisis statistik diperoleh nilai X2 hitung (8,7) > X2 tabel (3,841), hal ini berarti ada pengaruh jarak kehamilan dengan perdarahan post partum. B. Pembahasan 1. Umur Ibu Umur ibu pada saat kehamilan merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat risiko kehamilan dan persalinan. Umur optimum berproduksi adalah antara 20 - 35 tahun. Makin jauh umur ibu dari kisaran ini makin besar risiko terjadinya komplikasi sehubungan dengan kehamilan dan persalinan. Atas dasar ini pula, maka seorang ibu akan lebih rentan terhadap perdarahan, jika mengalami kehamilan diusia yang terlalu muda (< 20 tahun) atau terlalu tua (>35 tahun). Hasil penelitian diperoleh bahwa bahwa sebagian besar ibu bersalin di RSIA Pertiwi berumur 20-35 tahun (aman) yaitu sebanyak 74,0%, dan yang berumur <20 tahun atau >35 tahun (tidak aman) sebanyak 26,0%. Bila dikaitkan dengan kejadian perdarahan post partum diperoleh bahwa dari 13 mengalami perdarahan post partum yaitu sebanyak 69,2%, sedangkan dari ibu yang berumur 20-35 tahun (aman) sebagian besar tidak mengalami perdarahan yaitu sebanyak 83,8%. Hasil analisis statistik diperoleh nilai X2 hitung (8,4) > X2 tabel (3,84 hal ini berarti ada pengaruh umur ibu dengan perdarahan post partum. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Prawirodihardjo yang mengatakan bahwa perdarahan post partum cenderui ditemukan lebih sering pada ibu yang hamil dalam usia muda. Dari beberai literatur disebutkan bahwa umur <20 tahun dan >35 tahun sekalipun beberai penelitian telah mengemukakan hal yang sama namun faktor penyebab sampai saat ini belum ada teori yang dapat menerangkan secara pasti. Beberapa literatur menerangkan bahwa ibu yang berusia terlalu muda atau terlalu tua akan mempunyai risiko yang lebih besar untuk mengalami perdarahan post partum karena ibu yang hamil pada usia yang terlalu mudah mengalami perubahan hormonal yang hebat dalam masa kehamilan; sedangkan ibu yang hamil pada usia terlalu tua mengalami kemampuan adaptasi yang menurun terhadap perubahan hormonal (Rachimhadi. T, 1991).
Nomor 1, Edisi 1, Januari – Juni 2011
98
JOURNAL MEDIA KEBIDANAN POLTEKKESMAKASSAR ISSN : 2087 - 1325
99
2. Paritas Paritas adalah jumlah kelahiran bayi dengan umur kehamilan 32 minggu atau lebih (bayi tunggal atau kembar yang dianggap telah mampu bertahan hidup di luar kandungan) yang pernah dialami oleh ibu. Paritas yang ting merupakan salah satu faktor risiko tinggi pada ibu hamil (Megadhana dalam Thomas, 2008). Hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar ibu bersalin di RS Pertiwi memiliki paritas <3 (rendah) yaitu sebanyak 66,0%, dan yang parit; tinggi sebanyak 34,0%. Bila dikaitkan dengan perdarahan post partum diperoleh bahwa dari 17 ibu yang memiliki paritas tinggi sebagian besar mengalami perdarahan post partum yaitu sebanyak 64,7%, selebihnya 33 %dengan paritas rendah sebagian besar tidak mengalami perdarahan yaitu sebanyak 87,9%. Hasil analisis statistik diperoleh nilai X2 hitung (9,1) >X2 tabel (3,841), h ini berarti ada pengaruh paritas ibu dengan perdarahan post partum. Setiap kehamilan akan menyebabkan kelainan-kelainan pada uterus jika kehamilan yang berulang-ulang dapat menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah pada dinding uterus yang mempengaruhi suplay nutrisi I janin, keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada bayi (Wiknjosastr 1991). Dengan kata lain bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan paritas ting merupakan resiko tinggi terhadap kematian neonatal sebab sistem reproduksi ibu tersebut sudah kehabisan tenaga sedangkan kelahiran pertama juga berisiko tinggi sebab jalan lahir ibu belum teruji. Kelahiran yang kedua dan ketiga umumnya paling aman bagi wanita, tetapi kelahiran yang keempat dapat menyebabkan kematian ibu, kematian anak dan komplikasi lainnya meningkat dan terus meningkat dengan makin meningginya paritas. (Rumawas, 1992). Pada kehamilan, rahim ibu teregang oleh adanya janin, bila terlalu sering melahirkan rahim akan semakin lemah. Bila ibu telah melahirkan 4 anak atau lebih maka perlu diwaspadai adanya gangguan pada waktu kehamilan, persalinan dan nifas, karena kondisi seperti ini sering terjadi perdarahan, dan yang paling aman secara reproduktif adalah paritas 2 atau 3, karena pada saat tersebut kondisi rahim masih sangat optimal secara biofisik untuk menerima kehamilan terutama dalam sirkulasi nutrisi ke janin. Selain itu, kondisi rahim ibu juga tetap terjaga sehingga kematian neonatal dapat ditekan (Hadi, 2003).
Nomor 1, Edisi 1, Januari – Juni 2011
99
JOURNAL MEDIA KEBIDANAN POLTEKKESMAKASSAR ISSN : 2087 - 1325
100
3. Jarak Kelahiran Jarak kelahiran atau jarak antara dua kehamilan adalah jarak waktu anak sejak lahir sampai terjadinya kehamilan kembali. Jarak kelahiran yang terlalu dekat merupakan salah satu faktor risiko tinggi pada ibu hamil. Hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar ibu bersalin di RSIA Pertiwi jarak kelahirannya >2 tahun (renggang) yaitu sebanyak 62,0%, dan yang jarak kelahirannya <2 tahun (rapat) sebanyak 38,0%. Bila dikaitkan dengan perdarahan post partum diperoleh bahwa dari 19 ibu yang jarak kehamilannnya kurang dari 2 tahun (rapat) sebagian besar mengalami perdarahan post partum yaitu sebanyak 63,1%, sedangkan dari 31 ibu yang jarak kehamilannya lebih dari 2 tahun (renggang) sebagian besar tidak mengalami perdarahan yaitu sebanyak 90,40%. Hasil analisis statistik diperoleh nilai X2 hitung (8,7) > X2 tabel (3,841), hal ini berarti ada pengaruh jarak kelahiran dengan perdarahan post partum. Menurut Sujudi, jarak kelahiran anak merupakan kunci kelangsungan hidup anak. Tingkat kematian anak yang dilahirkan dengan jarak kelahiran <24 bulan tiga kali lebih tinggi (102 kematian setup 1000 kelahiran hidup) dibandingkan dengan anak yang dilahirkan dengan jarak kelahiran >24 bulan (31 kematian per 1000 kelahiran hidup).Bila jarak kelahiran <24 bulan akan sangat berbahaya, karena organ-organ reproduksi belum kembali ke kondisi semula. Selain kondisi energi si ibu juga belum memungkinkan untuk menerima kehamilan berikutnya. Keadaan gizi ibu yang belum prima ini membuat gizi janinnya juga sedikit sehingga pertumbuhan janinnya tak Lazimnya wanita membutuhkan 2-3 tahun (>24 bulan) jarak anta kelahiran agar dapat pulih secara fisiologis dari suatu persalinan untuk mempersiapkan kehamilan berikutnya. Risiko kematian bayi juga meningkat bila jarak antara dua persalinan kurang dari dua tahun. Bila jarak kelahiran dengan anak sebelumnya kurang dari dua tahun, rahim dan kesehatan it belum pulih dengan baik. Kehamilan dalam keadaan ini perlu diwaspada karena ada kemungkinan pertumbuhan janin kurang baik, mengalami persalinan lama atau perdarahan. Dibanding dengan jarak kelahiran < 24 bulan setelah kelahiran sebelumnya, anak-anak yang dilahirkan >24 bulan memiliki kelangsung hidup lebih lama secara signifikan, yaitu sekitar 1,5 kali lebih tinggi pada minggu pertama kehidupannya, 2,3 kali lebih tinggi selama setahun kehidupannya. 2,4 kali lebih tinggi selama masa balita. Jarak kehamilan lebih panjang setelah kelahiran terakhir, juga membuat ibu dan anak lebih sehat.
Nomor 1, Edisi 1, Januari – Juni 2011
100
JOURNAL MEDIA KEBIDANAN POLTEKKESMAKASSAR ISSN : 2087 - 1325
101
Jarak anak terlalu dekat, dikhawatirkan terjadi penyapihan yang terlalu cepat pada anak yang lebih tua sehingga anak kekurangan gizi yang diperlukan dari air susu ibu. Belum lagi jika ibu belum siap untuk memiliki anak lagi, hamil kembali dapat menimbulkan tekanan psikologis (stress), yang dap, memberi kecenderungan melahirkan bayi dengan berat badan kurang sebagai akibat hambatan suplay makanan ke janin akibat stress. Sebalikny; jarak kelahiran anak yang terlalu panjang juga kurang menguntungkan, seperti kemungkinan ibu lupa pada pengalaman kehamilan yang lalu sehingga it seringkali mengalami masalah kesehatan sebagaimana kehamilan sebelumnya (Kanthi Aryekti, 2008). KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Hasil penelitian dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu : a. Umur ibu berpengaruh terhadap perdarahan post partum, hal ini berai bahwa ibu yang berumur < 20 tahun atau > 35 tahun cenderung aka mengalami perdarahan post partum. b. Paritas ibu berpengaruh terhadap perdarahan post partum, hal ini berar bahwa ibu yang memiliki paritas tinggi cenderung akan mengalan perdarahan post partum. c. Jarak kelahiran berpengaruh terhadap perdarahan post partum, hal ii berarti bahwa ibu yang jarak kelahirannya < 2 tahun cenderung aka mengalami perdarahan post partum. B. Saran Kesimpulan diatas disarankan : 1. Perlunya penyuluhan yang berkesinambungan kepada ibu hamil agar dapat memperhatikan usia mereka pada saat mereka merencanakan kehamilan. 2. Perlunya ibu hamil membatasi kelahirannya agar dapat terh ir dari kemungkinan terjadinya perdarahan post partum. 3. Perlunya sosialisasi kepada ibu hamil agar dapat mengatur jarak kelahiran anaknya sehingga terhindar dari kemungkinan terjadinya perdarahan. DAFTAR PUSTAKA Danarti Dessy, 2010, Pregnancy and Childbirth, G-media, Yogyakarta
Nomor 1, Edisi 1, Januari – Juni 2011
101
JOURNAL MEDIA KEBIDANAN POLTEKKESMAKASSAR ISSN : 2087 - 1325
Kematian ibu, Indonesia Tertinggi di ASEAN http://www.gizi.net/cqi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid
102
(online)
Manuaba Ida Bagus Gde, llmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana, Edisi 2, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2010 Mochtar, R. 1998. Sinopsis Obsterti, Bagian Pertama, Jakarta Penerbit EGC Notoadmodjo, S. 2005. Metode Penelitian Kesehatan. PT. Rineka Cipta, Jakarta Pelatihan Penanganan perdarahan postpartum http://www.gizi.net/cai-bin/berita/fullnews.cgi7newsid
Dini
(online)
Prawirohardjo. S. 2002. Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta Riyadi, Slamet A.L, 1990. Penelitian Kesehatan. Penerbit Karya Anda, Surabaya Rukiyah Ai Yeyeh dkk, 2010. Asuhan Kebidanan IV (Patologi Kebidanan), CV. Trans Info Media, Jakarta Saifuddin Abdul Bari, 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta Saifuddin Abdul Bari. 2002. Buku Pandua Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, yayasan Bina Pustaka, Jakarta Sastrawinata Sulaiman. 2005. Obstetri Patologi, Edisi 2, Jakarta penerbit EGC
Nomor 1, Edisi 1, Januari – Juni 2011
102
Perlunya memperluas pengetahuan mengenai penyebab terjadinya dan pencegahan infeksi , serta meningkatkan perawatan kebersihan diri seperti kebiasaan
mandi, mengganti pakaian, dan mencuci tangan guna menghindari terkena infeksi agar terhindar dari infeksi luka operasi
DAFTAR PUSTAKA Brunner & Suddart. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Buku kedokteran EGC: jakarta Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial : Problematika Dan Pengendaliannya.Salemba Medika: jakarta. Departemen Kesehatan RI. 2001. Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial Di Rumah Sakit. Dirjen pelayanan medik spesialistik: jakarta. Harahap,Marwali. 2000. Ilmu Penyakit Dalam. Hipokrates: jakarta. Hidayat. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia, jilid I, Salemba Medika: Jakarta Joniyansah. 2009. Kepatuhan Minum Obat Penderi TB. http://syopian.net/blog. Diakses tanggal 10 Maret 2012. Kartika, Dewi. 2009. Peran Keluarga Sebagai Pengawas Minum Obat Dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru. Makalah Referat Kedokteran. 2009. Infeksi Luka Operasi. http://referensikedokteran.blogspot.com, diakses tanggal 10 Maret 2012 Morison J, Moya. 2003. Manajemen Luka.EGC: Jakarta. Notoatmodjo,S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Reneka Cipta: Jakarta . 2007. Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. cetakan I. Reneka Cipta: Jakarta. Nur,M,Raidatusakinah. 2011. Faktor Risiko Infeksi Luka Operasi Pasca Bedah Sesar Di RSUD Dr.Sardjito Yogyakarta Tahun 2011. Skripsi FKM Universitas Hasanuddin Makassar. Nurkusuma, Dudi disyadi. 2009. Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Methicilin-Resistant Stapilococcus Aures (MRSA) Pada Kasus Infeksi Luka Operasi Diruang Perawatan Bedah RS. Dr. Kariadi Semarang 2009. Thesis Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang. Potter.2006. Fundamental Keperawatan. EGC: Jakarta. Pratiwi, Dian. 2009. Kesehatan Lingkungan. FKM Universitas Hasanuddin: Makassar. Price,S.A & Wilson,L.M. 1994. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, (ed.4).buku kedokteran EGC: jakarta. Rahmanto, Bayu. 2011. Kepatuhan Minum Obat. http://.blogspot.com. Diakses tanggal 14 Maret 2012. Suparno, 2003. Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Infeksi Luka Operasi Di RSUD Dr.Sardjito Yogyakarta Tahun 2003. Skripsi FKM Universitas Hasanuddin Makassar. Suparyanto. 2011. Patofisiologi Penatalaksanaan Infeksi Luka Operasi.http://www.blogspot.com. Diakses tanggal 16 Maret 2012. Wahit, M. Iqbal & Nurul Chayatin. 2007. Kebutuhan Dasar Manusia. EGC: jakarta. Wulandari, Ria Riki. 2009. Perbedaan Kejadian Infeksi Luka Operasi Berdasarkan Kategori Operasi Pada Pasien Bedah Yang Diberikan Antibiotik Profilaksis Di RSPKU Muhammadiah Karanganyar Periode 1 Januari-31 Februari 2008. Skripsi Universitas Muhammadiah Surakarta.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHITERJADINYA HIPERTENSI PADA IBU HAMIL DI RUMAH SAKIT KHUSUS DAERAHIBU DAN ANAK SITI FATIMAHMAKASSAR
Volume 1 Nomor 2 Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
135
Niswah Zakiah, Rusni Mato, Sjafaraenan
Mahasiswa S1 Ilmu Keperawatan STIKES Nani Hasanuddin Makassar Dosen tetap Program Studi S1 Keperawatan STIKES Nani Hasanuddin Makassar Dosen tetap Program Studi S1 Keperawatan STIKES Nani Hasanuddin Makassar ABSTRAK Niswah Zakiah, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Hipertensi padaIbu Hamil di Rumah Sakit Khusus Daerah Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar (Dibimbing oleh Rusni Mato dan Sjafaraenan). Hipertensi dalam kehamilan adalah hipertensi yang terjadi saat kehamilan berlangsung dan biasanya pada bulan terakhir kehamilan (Junaidi, 2010). Peningkatan tekanan darah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain riwayat keluarga, stres, nutrisi, umur,paritas, aktivitas, dan eklamsia.Tujuan penelitianadalahuntuk mengetahui apakah ada pengaruh riwayat keluarga, stresdan nutrisi terhadap ibu hamil. Metode penelitian ini adalah deskriptif dengan cross sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 33 responden. Pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling, dan Ibu hamil trimester III yang menjadi sampel dan dilakukan pemeriksaan tekanan darah. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Data yang telah terkumpul kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan program komputer. Analisis data mengcakup analisis univariat dengan mencari distribusi frekuensi, analisis bivariat dengan uji chi-square(p<0,005) untuk mengetahui hubungan antar variabel, Hasil analisis bivariat didapatkan hubungan antara riwayat keluarga dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil (P=0,003), terdapat hubungan antara stres dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil (P=0,000), dan hubungan antara nutrisi dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil (P=0,001). Sehingga terdapat hubungan antara riwayat keluarga, stres, dan nutrisi dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil di Rumah Sakit Khusus Daerah Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar. Kata Kunci : Hipertensi, ibu hamil, riwayat keluarga, stres dan nutrisi PENDAHULUAN Hipertensi adalah tekanan darah atau denyut jantung yang lebih tinggi dari normal, disebabkan oleh penyempitan pembuluh darah (vasokontriksi). Peristiwa kehamilan menyebabkan terjadi perubahan adaptasi fisiologi pada system kardiovaskuler ibu hamil untuk melindungi fungsi normal, memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh saat hamil dan menyediakan tubuh energi untuk perkembangan dan pertumbuhan janin, dimana penyakit hipertensi pada kehamilan berperan besar dalam morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal. Hipertensi diperkirakan menjadi komplikasi sekitar 7% sampai 10%. Kehamilan dengan hipertensi merupakan salah satu penyebab utama tinggi angka kematian ibu dan janin. (Anwar, 2007) Kehamilan dan persalinan merupakan proses alamiah, tetapi bukannya tanpa resiko dan merupakan beban tersendiri bagi seorang wanita. Sebagian ibu hamil akan menghadapi kegawatan dengan derajat ringan sampai berat yang dapat memberikan bahaya terjadinya ketidaknyamanan, ketidakpuasan, kesakitan, kecacatan bahkan kematian bagi
Volume 1 Nomor 2 Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
ibu dan bayinya. Komplikasi yang sering terjadi adalah perdarahan pasca persalinan, uri tertinggal, partus tak maju/partus lama serta infeksi. (Nursalam, 2009) World Health Organization (WHO) melaporkan pada tahun 2005 terdapat 536.000 wanita hamil meninggal akibat hipertensi pada saat persalinan di seluruh dunia. Angka Kematian Ibu (AKI) di Subsahara Afrika 270/100.000 kelahiran hidup, di Asia Selatan 188/100.00 kelahiran hidup dan di Asia Tenggara 35/100.000.(World Health Oorganization, 2010) Berdasarkan laporan WHO pada tahun 2005, di Indonesia angka kematian ibu tergolong tinggi yaitu 420/100.000 kelahiran hidup dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. AKI di Singapura 14/100.000 kelahiran hidup, di Malaysia 62/100.000 kelahiran hidup dan di Thailand 110/100.000 kelahiran hidup. Di Vietnam 150/100.000 kelahiran hidup, di Filipina 230/100.000 kelahiran hidup dan Myanmar 380/100.000 kelahiran hidup. (World Health Oganization, 2010)
136
Angka Kematian Ibu merupakan indikator keberhasilan pembangunan pada sektor kesehatan. AKI mengacu pada jumlah kematian ibu mulai dari masa kehamilan, persalinan dan nifas. Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2009, AKI di Indonesia 307/100.000 kelahiran hidup dan tahun 2009, 228/100.000 kelahiran hidup. AKI di Sumatera Utara 379/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2009.(SDKI, 2009) Berdasarkan laporan Depkes tahun 2009, AKI di Indonesia 226/100.000 kelahiran hidup. Penurunan AKI di Indonesia masih terlalu lambat untuk mencapai target Tujuan Pembangunan yaitu menurunkan angka kematian ibu tiga per empat selama kehamilan dan persalinan. Rentang tahun 2003-2009 penurunan AKI di Indonesia, jauh dari target yang ingin dicapai pada tahun 2010 dan 2015 diperkirakan 125/100.000 kelahiran hidup dan 115/100.000 kelahiran hidup. (Depkes RI, 2009) Di Sulawesi Selatan berdasarkan profil Dinas kesehatan (Dinkes), Angka Kematian Ibu (AKI) dilaporkan pada tahun 2006 sebesar 101,56 per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 2007 menurun menjadi 92,89 per 100.000 kelahiran hidup. Kemudian ditahun 2008 meningkat menjadi 116 per 100.000 kelahiran hidup diantaranya disebabkan oleh perdarahan 72 orang, infeksi 5 orang, eklampsia 19 orang dan lain-lain 20 orang. Dengan demikian masih perlu dilakukan suatu upaya untuk menekan angka kematian ibu seminimal mungkin dari tahun ketahun.(Dinas kesehatatan sul-sel, 2007) Berdasarkan data di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar dari tahun 2010 dengan jumlah 875 0rang pada pemeriksaan ibu hamil diantaranya 52 orang yang mengalami peningkatan tekanan darah tinggi pada ibu hamil trimesterIII. Pada tahun 2011 dengan jumlah 936 pada pemeriksaan ibu hamil diantaranya 65 orang yang mengalami peningkatan tekanan darah tinggi pada ibu hamil trimester III. Berdasarkan data diatas menunjukkan peningkatan ibu dengan hipertensi pada kehamilan di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar pada tahun 2010-2011. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar pada pemeriksaan ibu hamil trimester III diperoleh 33 orang responden, yang mengalami resiko peningkatan tekanan darah tinggi (hipertensi) pada ibu hamil trimester III sebanyak 19 orang (57,6%) dan yang tidak mengalami resiko terjadinya peningkatan tekanan darah tinggi (hipertensi)
Volume 1 Nomor 2 Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
pada ibu hamil trimester III sebanyak 14 orang (42,4%). Variabel yang diteliti, ternyata Riwayat keluarga, stres dan nutrisi memiliki pengaruh signifikan terhadap peningkatan tekanan darah tinggi (hipertensi). Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi pada ibu hamil di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar. BAHAN DAN METODE Lokasi, populasi, dan sampel penelitian Berdasarkan permasalahan yang diteliti, maka jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode penelitian Cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 juli – 29 juli 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar.Penentuan jumlah besar sampel dengan menggunakan rumus didapatkan 33 responden sesuai dengan kriteria inklusi. Jumlah responden di RSKD Ibu dan Anak Siti FatimahMakassar yang sesuai dengan kriteria inklusi sebanyak 33 orang, diambil dengan menggunakan rumus, jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian adalah 33 responden. a.Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah : 1) Ibu hamil trimester III. 2) Ibu yang bersedia menjadi responden dengan cara mengisi lembar persetujuan menjadi responden. 3) Ibu yang melakukan 2 kali pemeriksaan b.Kriteria eksklusipada penelitian ini adalah : 1) Ibu hamil trimester I dan trimester II. 2) Tidak berada di tempat saat peneliti melakukan penelitian. Pengumpulan data Setelah data terkumpul, dilakukan pengolahan data. Pengolahan data dilakukan secara elektronik melalui komputer. 1. Editing data Editing dilakukan untuk memeriksa ulang atau mengecek jumlah dan meneliti kelengkapan data yang diperlukan. 2. Koding Setelah data masuk, setiap jawaban dikonversi ke dalam angka-angka (pengkodean) sehingga memudahkan dalam pengolahan data selanjutnya. 3. Tabulasi data Dilakukan untuk memudahkan dalam pengolahan data ke dalam suatu tabel menurut sifat-sifat yang dimiliki sesuai dengan tujuan penelitian, sehingga tabel mudah untuk dianalisa.
137
4. Analisa data Setelah data tersebut dilakukan editing, koding, dan tabulasi maka selanjutnya dilakukan analisa dengan beberapa cara : a. Analisa Univariat Dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum dengan cara mendeskripsikan tiap variabel yang digunakan dalam penelitian yaitu distribusi frekuensinya. b. Analisa Bivariat Dilakukan untuk melihat pengaruh antara variabel bebas secara sendirisendiri dengan variabel terikat digunakan uji statistic Chi-Square. Analisa data akan diolah dengan menggunakan program komputer. HASIL PENELITIAN Analisis univariat dalam penelitian ini akan mengetahui distribusi frekuensi Umur, Pendidikan, Riwayat keluarga, stres, dan nutrisi. 1. Hasil Analisis Univariat a. Distribusi frekuensi berdasarkan Umur Tabel5.1 : Distribusi frekuensi berdasarkan Umur Ibu Hamil di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar Tahun 2012 Umur Ibu Jumlah % Hamil 19-24 6 18,2 25-30
13
39,4
31-34
8
24.2
35-39
6
18,2
Total
33
100
Sumber : Data Primer, juli 2012
Dari tabel 5.1 di atas dapat dilihat bahwa dari 33 responden, berdasarkan kelompok umur ibu, terdapat 13 responden (39,4%) yang berumur 25 – 30 tahun, 8 responden (24,2%) yang berumur 31-34 tahun dan selebihnya masing-masing 6 responden (18,2%). b. Distribusi frekuensi berdasarkan Tingkat Pendidikan Tabel 5.2 :Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar Tahun 2012 Pendidikan Jumlah %
Volume 1 Nomor 2 Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
SD
3
9,1
SMP
4
12,1
SMU
19
57,6
S1/D3
7
21,2
Total
33
100
Sumber : Data Primer, juli 2012
Dari tabel 5.2 di atas, dapat dilihat bahwa dari 33 responden, terdapat 19 responden (57,6%) dengan tingkat pendidikan SMU, sebanyak 7 responden (21,2%) dengan pendidikan perguruan tinggi, 4 responden (12,1%) yang berpendidikan SMP dan 3 responden (9,1%) yang tingkat pendidikannya SD. c. Distribusi frekuensi berdasarkan Riwayat Keluarga Tabel 5.3 : Distribusi Frekuensi berdasarkan Riwayat Keluarga Ibu Hamil di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar Tahun 2012 Riwayat Keluarga Jumlah % Beresiko
16
48,2
Tidak beresiko
17
51,5
Total
33
100
Sumber : Data Primer, juli 2012
Dari tabel 5.3 di atas, dapat dilihat bahwa dari 33 responden, terdapat 16 responden (48,5%) yang beresiko dengan riwayat keluarga ibu hamil pada saat pemeriksaan trimester III dan sebanyak 17 responden (51,5%) yang tidak beresiko pada ibu hamil saat pemeriksaan trimester III. d. Distribusi frekuensi berdasarkan Stres Responden Tabel 5.4 : Disrtibusi Frekuensi berdasarkan Stres Responden pada Ibu Hamildi RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar Tahun 2012 Stres Jumlah % Beresiko
15
45,5
Tidak beresiko Total
18
54,5
33
100
Sumber : Data Primer, juli 2012
138
Dari tabel 5.4 di atas, dapat dilihat bahwa dari 33 responden, terdapat 15 responden (45,5%) yang beresiko dengan stress pada ibu hamil dan sebanyak 18 responden (54,5%) yang tidak beresiko dengan stres pada ibu hamil. e. Distribusi frekuensi berdasarkan Nutrisi Ibu Hamil Tabel 5.5 :Distribusi frekuensi berdasarkan Nutrisi Responden pada Ibu Hamil di RSKD Ibu dan Anak Siti FatimahMakassarTah un 2012 Nutrisi Jumlah % Beresiko
14
42,4
Tidak beresiko
19
57,6
Total
33
100
Sumber : Data Primer, juli 2012
Dari tabel 5.5 di atas, dapat dilihat bahwa dari 33 responden, terdapat 14 responden (42,4%) yang beresiko pada nutrisiibu hamil dan sebanyak 19 responden (57,6%) yang tidak beresikopada nutrisi ibu hamil. f. Distribusi frekuensi berdasarkan Hipertensi Ibu Hamil Tabel 5.6 : Distribusi frekuensi berdasarkan hipertensi Ibu Hamil di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar Tahun 2012 Hipertensi Jumlah % Beresiko
20
60,6
Tidak beresiko
13
39,4
Total
33
100
Sumber : Data Primer, juli 2012
Dari tabel 5.6 di atas, dapat dilihat bahwa dari 33 responden, terdapat 20 responden (60,6%) yang beresiko hipertensi pada ibu hamil dan sebanyak 13 responden (39,4%) yang tidak beresiko hipertensi pada ibu hamil. 2. Hasil Analisis Bivariat a. Pengaruh Riwayat Keluarga terjadinya Hipertensi pada Ibu Hamil Tabel 5.7 : Pengaruh Riwayat Keluarga terjadinya Hipertensi pada Ibu Hamil trimester III di RSKD Ibu dan Anak Siti
Volume 1 Nomor 2 Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
FatimahMakassar 2012 Riwayat Keluarga
Hipertensi Berisiko n
%
Tidak Berisiko n %
Beresiko Tidak beresiko
14 5
42,4 15,2
2 12
6,1 36,4
Total
19
57,6
14
42,4
Tahun
P
0,003
Sumber : Data Primer, 2012
Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa dari 33 responden, yang memiliki riwayat keluarga beresiko dengan terjadinya hipertensi sebanyak 14 (42,4%) dari 19responden (57,6%). Sedangkan yang riwayat keluarga yang tidak beresiko dengan terjadinya Hipertensi sebanyak 12 orang (36,4%) dari 17 responden (42,4%). Berdasarkan hasil uji Chisquare diperoleh nilai P= 0,003 yang berarti lebih kecil dari nilai α (0,05). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara riwayat keluarga dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil trimester III di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar. b. Pengaruh stres terjadinya hipertensi terhadap ibu hamil trimester III Tabel 5.8 : Pengaruh stres terjadinya hipertensi pada Ibu Hamil trimester III di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar Tahun 2012 Hipertensi
Stres
Berisiko n
Beresiko Tidak beresiko Total
%
Tidak Berisiko n %
14
42,4
1
3,0
5
15,2
13
39,4
19
57,6
14
42,4
P
0,000
Sumber : Data Primer, 2012
Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa dari 33 responden, yang memiliki stres beresiko dengan terjadinya hipertensi sebanyak 14 (42,4%) dari 19 orang (57,6%). Sedangkanstres yang tidak beresiko dengan terjadinya Hipertensi sebanyak
139
13 orang (39,4%) dari 14responden (42,4%). Berdasarkan hasil uji Chisquare diperoleh nilai P= 0,000 yang berarti lebih kecil dari nilai α (0,05). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara stres dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil trimester III di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar. c. Pengaruh nutrisi terjadinya hipertensi pada ibu hamil trimester III Tabel 5.9 : Pengaruh Nutrisi Terjadinya Hipertensi pada Ibu Hamil Trimester III di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar 2012 Hipertensi
Nutrisi
Berisiko n
Beresiko Tidak beresiko Total
%
Tidak Berisiko n %
13
42
1
3,0
6
15,2
13
39,4
19
57,6
14
42,4
P
0,001
Sumber : Data Primer, 2012
Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa dari responden, yang memiliki nutrisi beresiko dengan terjadinya hipertensi sebanyak 13 responden (39,4%) dari 19 orang (57,6%). Sedangkan nutrisi yang tidak beresiko dengan terjadinya Hipertensi sebanyak 13 orang (39,4%) dari 14 orang (42,4%). Berdasarkan hasil uji Chisquare diperoleh nilai P= 0,001 yang berarti lebih kecil dari nilai α (0,05). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara nutrisi dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil trimester III di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar. Pembahasan Bila ditinjau dari karakteristik umum diperoleh bahwa terjadi peningkatan tekanan darah (Hipertensi) pada ibu hamil trimester III ini di sebabkan oleh hormone aldesteron dan estrogen yang sama-sama meningkat dalam kehamilan menyebabkan retensi cairan oleh ginjal. Maka pembahasannya adalah sebagai berikut : 1. Pengaruh riwayat keluarga dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil di
Volume 1 Nomor 2 Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar. Dari data yang diperoleh pada tabel 5.7 diketahui bahwa persentase riwayat keluarga berhubungan dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil dengan kategori beresiko sebanyak 14 (42,4%) dari 19 responden (57,6%). Sedangkan yang tidak beresiko sebanyak 12 (36,4%) dari 14 responden (42,4%). Maka diketahui bahwa persentase riwayat keluarga yang beresiko lebih banyak dari pada yang tidak beresiko, sehingga riwayat keluarga memiliki pengaruh dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square diperoleh nilai p=0,001 dengan demikian nilai p < α (0,05). Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti ada pengaruh antara riwayat keluarga dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil di RSKD ibu dan anak siti fatimah makassar. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka peneliti berkesimpulan bahwa ibu hamil yang memiliki riwayat keluarga menderita tekanan darah tinggi (hipertensi) sangat berpeluang atau beresiko terkena hipertensi, dibanding ibu hamil yang tidak memiliki riwayat keluarga yang menderita hipertensi. Hal ini di sebabkan karena adanya gen yang diturunkan oleh ayah, ibu, saudara ayah, saudara ibu, kakek dan nenek. Hal ini sejalan sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh wijaya (2012), adanya fakror genetik pada keluarga akan menyebabkan keluarga tersebut mempunyai resiko menderita hipertensi. Individu yang memiliki orang tua dengan hipertensi mempunyai dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada individu yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Pada 70-80% kasus, didapatkan riwayat hipertensi di dalam keluarga. Hipertensi juga banyak dijumpai pada penderita kembar monozigot (satu telur), apabila salah satunya menderita hipertensi. Dugaan ini menyokong bahwa faktor genetik mempunyai peran memicu hipertensi. Statistik menunjukkan bahwa masalah tekanan darah tinggi lebih tinggi pada kembar identik dari pada yang kembar tidak identik. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa ada bukti gen yang diturunkan untuk masalah tekanan darah tinggi.(Witono, 2012)
140
Dari hasil peneliti menyatakan bahwa peranan riwayat keluarga terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan ditemukan kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot (satu sel telur) dari pada heterozigot (berbeda sel telur). Tekanan darah terkait erat dengan riwayat keluarga seseorang. Seseorang yang kedua orang tuanya menderita hipertensi akan memiliki kemungkinan 5075% untuk menjadi hipertensi. Pada riwayat keluarga merupakan faktor resiko yang tidak dapat dikontrol sehingga kejadian hipertensi terjadi pada ibu hamil. (Manuaba, 2010) Riwayat penyakit yang di derita, bagi keturunan penderita hipertensi jika ada anggota keluarga yang menderita penyakit hipertensi, walaupun belum adanya tes genetik secara konsisten terhadap penyakit hipertensi tetaplah berhati-hati. Karena dalam garis keluarga pasti punya struktur genetik yang sama. (Muhammadun, 2010) 2. Pengaruh stres dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar. Dari data yang diperoleh pada tabel 5.8 diketahui bahwa persentase stres dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil yang beresiko sebanyak 19 responden (57,6%), sedangkan yang tidak beresiko sebanyak 14 responden (42,4%). Maka diketahui bahwa persentase stres dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil di RSKD Ibu dan Anak lebih banyak yang beresiko. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square diperoleh nilai p=0,000, dengan demikian nilai p< α (0,05). Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti ada pengaruh antara stres dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil di RSKD ibu dan anak siti fatimah makassar. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka peneliti berkesimpulan bahwa ibu hamil yang mengalami stres yang disebabkan dengan masalah-masalah keluarganya (masalah pendidikan anak, biaya pengeluaran rumah tangga, penghasilan keluarga, pekerjaan seharihari dll). Dari masalah-masalah tersebut ibu dapat mengalami stres yang berkepanjangan sehingga jantung terpacu dengan cepat dan hormon pun semakin meningkat, yang menyebabkan penumpukan pada pembuluh darah sehingga bisa menyebabkan tekanan
Volume 1 Nomor 2 Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
darah meningkat (Hipertensi) pada ibu hamil. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Muhammadun (2010), Stres yang berlebihan dapat memicu terjadinya penyakit hipertensi. Dalam kondisi tertekan yang dilepaskan ke aliran darah sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah agar tubuh siap beraksi. (Muhammadun, 2010) Berdasarkan hasil penelitian yang membuktikan bahwa ibu hamil dengan stress tingkat tinggi dapat meningkatkan resiko kelahiran bayi premature, BBLR, bahkan keguguran yang resikonya 2 sampai 3 kali lebih besar di banding ibu hamil dengan stress rendah. Dan stress tingkat tinggi juga meningkatkan tekanan darah tinggi (hipertensi) pada kehamilan. (Dewi, 2010) Pada penelitian didapatkan bahwa ibu hamil yang mempunyai tingkat stres yang tinggi dapat meningkatkan resiko kelahiran bayi premature bahkan keguguran. Pada wanita yang bekerja yang juga bertanggung jawab untuk pekerjaan rumah tangganya mempunyai 5 X resiko komplikasi yang lebih besar. Berdasarkan penelitian resiko keguguran meningkat 2-3 X pada wanita yang mempunyai pekerjaan dengan tingkat stress yang tinggi. (Sunarsih 2011). Berdasarkan penelitian terdahulu mengemukakan bahwa stres di yakini memiliki hubungan dengan hipertensi. Hal ini diduga melalui saraf simpatis yang dapat meningkatkan tekanan darah secara intermitten. Apabila stres berlangsung lama dapat mengakibatkan tingginya tekanan darah yang menetap. Peristiwa yang mendadak yang menyebabkan stres dapat meningkatkan tekanan darah, namun akibat stres berkelanjutan yang dapat menimbulkan hipertensi. (Muhammadun, 2010) 3. Pengaruh nutrisi dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar Dari data tabel 5.9 terdapat 19 responden yang memiliki nutrisi beresiko dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil dan sebanyak 14 responden yang memiliki nutrisi yang tidak beresiko dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square diperoleh nilai p=0,001, dengan demikian nilai p< α (0,05). Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti ada pengaruh
141
antara nutrisi dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil di RSKD ibu dan anak siti fatimah makassar. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka peneliti berkesimpulan bahwa responden yang memiliki nutrisi beresiko dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil disebabkan karena nafsu makan meningkat, cara mengkomsumsi makanan yang tidak seimbang, dan selama hamil sering makan makanan tinggi lemak dan kurang mengkomsumsi sayuran dan buah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Junaidi (2010) dibuktikan bahwa nutrisi merupakan ciri khas pada peningkatan tekanan darah, dan membuktikan bahwa faktor ini mempunyai keterkaitan yang erat dengan terjadinya peningkatan tekanan darah dikemudian hari. Asupan nutrisi ibu hamil yang tidak seimbang dengan aktifitas fisik yang dilakukan dapat menyebabkan sumber energi yang belebihan akan disimpan sebagai deposit lemak yang secara tidak langsung dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah. Hal ini disebabkan karena terjadi peningkatan nafsu makan meningkat yang meretensi air dan elektrolit yang pada akhirnya dapat meningkatkan tekanan darah (hipertensi). (Junaidi, 2010) Peneliti juga menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi adalah 10 kali lebih besar dari kelompok yang overweight. Hal ini berarti bahwa pada kehamilan trimester III kebutuhan energi akan meningkat dan diperlukan untuk pemekaran jaringan ibu seperti penambahan volume darah serta penumpukan lemak. (Muhammadun, 2010) Menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2007), kebutuhan ibu hamil akan protein meningkat 88%. Jumlah protein yang harus tersedia sampai akhir kehamilan sekitar 1925 g yang tertimbun dalam jaringan ibu, janin dan plasenta sehingga mudah terjadi penambahan volume darah yang selalu berubah-ubah. Terjadi peningkatan tekanan darah (hipertensi) pada ibu hamil trimester III disebabkan oleh hormon aldesteron dan estrogen yang sama-sama meningkat dalam kehamilan yang menyebabkan retensi cairan oleh ginjal. Laju filtrasi juga meningkat sebanyak 50% selama kehamilan, yang cenderung meningkat kecepatan hilangnya air dan mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Dimana terjadi pengenceran darah (hemodilusi) yang terjadi pada puncak 36 minggu, serum darah (volume darah)
Volume 1 Nomor 2 Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
bertambah sebesar 25% sampai 30% sedangkan sel darah 20%. Curah jantung akan bertambah sekitar 30%, dan bertambahnya hemodilusi mulai tampak umur 16 minggu sekitar 20%. (Widyakarya, 2007) Penelitian menunjukkan bahwa adanya peningkatan tekanan darah terhadap ibu hamil sangat erat kaitannya dengan asupan nutrisi yang berlebihan yang dapat menyebabkan meningkatnya metabolisme dalam tubuh, kemudian sepanjang trimester III kebutuhan energi terus semakain meningkat sampai akhir kehamilan. Selama trimester III energi tambahan digunakan untuk pertumbuhan janin dan plasenta, sehingga terjadi peningkatan volumen darah. Hal ini disebabkan pengkonsumsian makanan bergizi yang dibarengi frekuensi makan lebih dari 3 kali sehari dan pengkomsumsian makanan yang berlemak dan makanan yang berkalori tinggi. Makanan seperti ini biasanya memiliki kandungan kalori dan gula atau garam yang tinggi. (Indrayani, 2011) Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan pada penelitian ini yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi pada ibu hamil di Rumah Sakit Khusus Daerah Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar, maka kesimpulan yang dapat penulis kemukakan adalah sebagai berikut : 1. Ada pengaruh antara riwayat keluarga dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil disebabkan karena adanya gen yang diturunkan oleh ayah dan ibu kepada anakanaknya. 2. Ada pengaruh antara stres dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil karena tidak mampu mengatasi masalah yang dihadapi yaitu mental, fisik, dan emosional. 3. Ada pengaruh antara nutrisi dengan terjadinya hipertensi pada ibu hamil karena asupan nutrisi ibu hamil yang tidak seimbang sehingga dapat menyebabkan sumber energi yang berlebihan.
Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan di atas, maka penulis dapat memberikan saran sebagai berikut :
142
1. Diharapkan bagi ibu hamil untuk dapat melakukan pencegahan dini terhadap resiko hipertensi dengan selalu memeriksakan kehamilannya pada ahli tenaga kesehatan. 2. Selain pola hidup (aktifitas fisik) disarankan pada ibu hamil untuk mengontrol nutrisi dengan cara mengkomsumsi makanan yang mengandung karbohidrat, serat, sayuran dan vitamin. Makanan dengan komposisi yang terlalu banyak mengandung protein,
lemak, gula, garam dan sedikit serat juga sangat rentan terkena penyakit hipertensi. 3. Bagi pihak institusi rumah sakit khusus daerah ibu dan anak siti fatimah makassar, untuk meningkatkan penyuluhan mengenai pencegahan terjadinya hipertensi. 4. Bagi peneliti selanjutnya perlu dikembangkan lagi penelitian yang jenis dan jumlah sampel yang lebih banyak dan area peneliti diperluas agar hasil penelitian yang diperoleh dapat digeneralisasikan.
DAFTAR PUSTAKA Aliah, W. 2009. AsuhanKebidanan 1 (Kehamilan). Jurnal disajikan dalam lokakarya Pembelajaran tingkat bagi dosen. Makassar (Hal 48 - 49) Anwar, A. 2007. Tinjauan morbiditas dan mortalitas eklampsia. Media Aeskulapius: Bandung. Budi. 21 Oktober 2011. Askep Hipertesi pada Ibu Hamil, (Online), (Nursing_@Budi29:Askep Hipertensi Pada Ibu Hamil, diakses 4 april 2012). Departemen kesehatan, RI. 2009. http//www.BintangMawar.com.data umum Hipertensi. (diakses pada tanggal 4 april 2012). Dinas kesehatan, Sul-sel. 2008. http//www. Bintang Mawar.com. data umum Hipertensi. (Diakses pada tanggal 4 april 2012). Dewi,S. 2010. Hidup Bahagia Dengan Hipertensi. Perpustakaan nasional katalog Dalam Terbitan (KDT): Jogjakarta. ( Hal 75 - 76) Hidayat, A.A. 2009. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisi Data. Salemba Medika: Jakarta. (Hal 40) Indrayani. 2011. Buku Ajar Asuhan Kehamilan. KDT: Jakarta. (Hal 174,) Junaidi, I. 2010. Hipertensi, Pengenalan, Pencegahan, dan Pengobatan. BIP Kelompok Gramedia: Jakarta. (Hal 31 dan 88 - 92) Nursalam. 2009. Konsep dan Penerapan dan Metodologi Penelitian, Ilmu Keperawatan, Pedoman Tesis dan Skripsi keperawatan. Salemba Medika: Jakarta. Manuaba, I.A.C. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan Keluarga Berencana. Edisi 2. EGC: Jakarta. (Hal 75) Maulana, M. 2010. Penyakit Kehamilan dan Pengobatannya. Kata Hati : Jogjakarta. (Hal 96) Muhammadun. 2010. Hidup Bersama Hipertensi. Gramedia Pustaka: Jakarta. (Hal 25, 48, 57) Prawirohardjo, S. 2010. Ilmu Kebidanan Edisi Keempat cetakan ketiga. PT Bina Pustaka. Jakarta. (Hal 175-177, 213, 532) Rukiyah, dan Yulianti, A.L. 2009. Diktat Kuliah Asuhan Kebidanan 1 (kehamilan). KDT: Jakarta. (Hal 2, 77 - 79) Rukiyah, dan Yulianti, A.L. 2010. Asuhan Kebdanan IV (Patologi Kebidanan).KDT: Jakarta. (Hal 168 dan 186) SDKI (Survei Demografi Kese Indonesia). 2009. http//www.info kesehatan hipertensi kehamilan. (diakses pada tanggal 4 april 2012). Sunarsih, T. 2011. Asuhan Keperawatan untuk Kebidanan. Salemba Medika: Jakarta. WHO. 2010. http//www.efarmasi.com.bahaya-hipertensi-pada-ibu-masa_24.html. (diakses pada tanggal 4 april 2012) Widiyakarya. 2007. Gizi dalam Daur Kehidupan. ECG: Jakarta Witono, S. 2012. Http//witono.biz/wp-content/uploads/2012/darah tinggi. (diakses 30 juli 2012). Yulaikhah, L. 2008. Seri Asuhan Kbidanan Kehamilan. EGC: Jakarta. (Hal 49) Yurlianti M.M, 2010. Asuhan Kebidanan NY. “H” Kehamilan 35 Minggu 2 Hari dengan Anemia Sedang di Puskesmas Mamajang Makassar Tanggal 27 juli, 3-10 Agustus 2010. Skipsi tidak diterbitkan. Makassar. Akademi Kebidanan – Sandi Karsa (Hal 12, 13)
Volume 1 Nomor 2 Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
143
Artikel Penelitian
Fungsi Pemanfaatan Buku KIA terhadap Pengetahuan Kesehatan Ibu dan Anak pada Ibu Function of Utilization Maternal Child Health Book to Maternal Knowledge
Colti Sistiarani, Elviera Gamelia, Dyah Umiyarni Purnama Sari
Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman
Abstrak Pemanfaatan buku kesehatan ibu dan anak (KIA) masih belum maksimal terbukti dari data cakupan buku KIA Puskesmas Ajibarang I sekitar 72,34%, yang masih dibawah target Standar Pelayanan Minimal. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan antara fungsi buku KIA yang meliputi pencatatan, edukasi, dan komunikasi dengan pengetahuan ibu terhadap KIA. Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang, yang dilakukan pada peiode bulan Juni _ Oktober 2012, pada ibu di wilayah kerja Puskesmas Ajibarang I. Populasi adalah ibu yang mempunyai anak berusia kurang dari 5 tahun. Sampel diambil sebanyak 91 orang dilakukan dengan teknik proportional random sampling. Analisis data meliputi univariat dengan melakukan uji distribusi frekuensi, dan analisis bivariat dengan uji kai kuadrat (x2). Hasil fungsi pencatatan buku KIA kurang baik ditemukan sekitar 44 %, fungsi edukasi buku KIA baik sekitar 57,1%, fungsi komunikasi buku KIA baik sekitar 61,5%, dan pengetahuan ibu tentang KIA baik adalah sekitar 56%. Ada hubungan antara fungsi pencatatan buku KIA dengan pengetahuan KIA, tidak ada hubungan antara fungsi edukasi dan komunikasi buku KIA dengan pengetahuan KIA. Kata kunci: Buku kesehatan ibu dan anak, fungsi pencatatan, pengetahuan ibu Abstract Utilization maternal child health (MCH) book is not maximized, it is evident from the data MCH book coverage in Ajibarang I Primary Health Care (PHC) was 72.34%, the coverage is still below the target of Minimum Service Standards ( MSS ). The purpose of the study was to analyze relationship between the function of MCH books (recording, educational, communication) with knowledge of MCH. This study used a cross sectional approach and conducted from June to October 2012, performed to mothers at Ajibarang I PHC. The population were mothers of children aged less than 5 years. Samples were taken of 91 people conducted by proportional random sampling technique. Univariate analysis of the data for the frequency distri-
bution test, bivariate chi squared test (x2). Results MCH book recording function less well in the amount of 44%, a good educational functions MCH book of 57.1%, good communication function MCH book by 61.5%, and maternal knowledge about the MCH that is equal to 56 % better. There are relationship between the function of recording MCH books with knowledge, there is no relationship between education and communication functions with knowledge MCH. Keywords: Maternal child health books, recording function, maternal knowledge
Pendahuluan Indikator derajat kesehatan masyarakat berhubungan erat dengan Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB). Menurut SDKI 2012, AKI di Indonesia adalah 259 per 100.000 kelahiran hidup. Target AKI secara nasional pada tahun 2015 adalah 102 per 100.000 kelahiran hidup sebagai bentuk komitmen yang dibangun bagian dari Millenium Development Goals/MDGs.1 Di Jawa Tengah, pada tahun 2012, Angka Kematian Ibu (AKI) adalah sekitar 116,34 per 100.000 kelahiran hidup. Sekitar 57,93% kematian maternal terjadi pada waktu nifas, sekitar 24,74% pada waktu hamil dan sekitar 17,33% pada waktu persalinan. Berdasarkan kelompok umur, kematian maternal terbanyak terjadi pada kelompok usia produktif (20 – 34 tahun) sekitar 66,96%, kemudian pada kelompok umur > 35 tahun sekitar 26,67% dan pada kelompok umur < 20 tahun Alamat Korespondensi: Colti Sistiarani, Jurusan Kesehatan Masyarakat FKIK Unsoed, Kampus Karangwangkal, Jl. Dr. Suparno Purwokerto 53122, Hp. 08122890582, e-mail:
[email protected]
353
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8, Mei 2014
sekitar 6,37%. 2 Kasus kematian ibu di Kabupaten Banyumas terdistribusi merata di setiap puskesmas. Pada tahun 2012, jumlah kematian maternal di Kabupaten Banyumas menempati peringkat ke-6 dari 35 Kabupaten di Jawa Tengah dengan jumlah kematian sebanyak 34 jiwa. Data yang didapatkan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas 2012, AKI sebesar 129 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB sebesar 8,11 per 1000 kelahiran penduduk. Data rujukan maternal risiko tinggi mencapai 20,05%, sedangkan jumlah rujukan neonatal risiko tinggi mencapai 5,77%. Cakupan K1 sebesar 99,25%, cakupan kepemilikan buku KIA mencapai 98,77%, angka ini masih dibawah target standar pelayanan minimal yang seharusnya mencapai 100%.3 Wilayah kerja Puskesmas Ajibarang I terdiri atas 8 desa dan dalam rentang waktu tahun 2011 _ 2012, di daerah tersebut masih ditemukan kasus kematian ibu. Data rujukan tahun 2012, jumlah rujukan maternal risiko tinggi mencapai 37,52%, sedangkan rujukan neonatal mencapai 7,37%. Hasil penghitungan cakupan buku KIA di Kabupaten Banyumas, didapatkan cakupan buku KIA hanya sekitar 72,34% sedangkan cakupan kunjungan pertama ibu hamil (K1) sekitar 72,34%. Cakupan buku KIA dan cakupan K1 masih dibawah target standar pelayanan minimal yang 100%.3,4 Fungsi buku KIA sebagai sarana pencatatan status kesehatan ibu dan anak, sarana edukasi dan sarana informasi.5-6 Tujuan penelitian ini mengetahui hubungan fungsi pemanfaatan buku KIA meliputi fungsi pencatatan, edukasi, dan komunikasi dengan pengetahuan KIA pada ibu yang berada di wilayah kerja Puskesmas Ajibarang I. Metode Penelitian ini mengunakan desain studi potong lintang untuk menganalisis variabel sebab dan akibat yang terjadi pada objek penelitian yang dikumpulkan dalam waktu bersamaan. Populasi adalah ibu yang mempunyai anak berusia kurang dari 5 tahun yang berada di wilayah kerja Puskesmas Ajibarang I Kabupaten Banyumas, pada tahun 2012, berjumlah 966 orang. Besar sampel dihitung menggunakan rumus sampel minimal, jumlah sampel yang diambil sebanyak 91 responden yang diambil dari 8 desa di wilayah Puskesmas Ajibarang I, Kabupaten Banyumas meliputi Desa Ajibarang Kulon 15 responden, Ajibarang Wetan 8 responden, Pandansari 6 responden, Karangbawang 7 responden, Tipar Kidul 14 responden, Darmakradenan 12 responden, Kracak 15 responden, Ciberung 14 responden. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik proportional random sampling. Kriteria inklusi adalah ibu yang berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Ajibarang I dan mempunyai buku KIA. Ibu dengan jumlah balita lebih dari satu. Observasi fungsi pencatatan buku KIA dilakukan pada buku yang dimiliki balita usia tertua. Kriteria eksklusi adalah ibu yang 354
tidak bersedia menjadi responden. Data diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner tentang persepsi ibu terhadap peran tenaga kesehatan dalam pemanfaatan buku KIA. Penilaian fungsi pencatatan buku KIA dilakukan melalui observasi buku KIA yang dimiliki oleh ibu. Observasi kelengkapan buku KIA meliputi identitas ibu dan anak, catatan kesehatan ibu hamil, bersalin dan nifas, pelayanan KB, kunjungan neonatal, catatan imunisasi dan pemberian vitamin, catatan Kartu Menuju Sehat (KMS), catatan perkembangan pada anak. Data pengetahuan KIA ibu diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Data dianalisis menggunakan analisis univariat meliputi persepsi ibu. Fungsi buku KIA meliputi pencatatan KIA, edukasi, dan komunikasi serta pengetahuan ibu tentang KIA. Kategori fungsi pencatatan lengkap jika hasil penilaian kelengkapan isian buku KIA mempunyai skor ≥ 8, tidak lengkap jika skor < 8. Kategori fungsi edukasi baik jika mempunyai skor ≥ 25, kurang baik jika mempunyai skor < 25. Kategori pengetahuan baik jika mempunyai skor ≥ 7, kurang baik, jika skor < 7. Kategori fungsi komunikasi baik jika hasil jawaban kuesioner tentang persepsi ibu dengan skor ≥ 32, fungsi edukasi kurang baik jika skor < 32. Analisis bivariat menggunakan uji statistik dengan uji kai kuadrat. Hasil Sebagian besar responden (67,1%) berpendidikan dasar SD/SMP, sekitar 55% berusia 25 _ 29 tahun. Sekitar 52,74% dengan tingkat pendapatan dibawah UMK Kabupaten Banyumas, tahun 2012 yang besarnya Rp750.000,00. Sebagian besar responden (56%) mempunyai fungsi pencatatan buku KIA yang tidak lengkap, sekitar 57,1% mempunyai fungsi edukasi buku KIA yang baik, sekitar 61,5% mempunyai fungsi komunikasi buku KIA yang baik (Tabel 1). Ada hubungan fungsi pencatatan buku KIA dengan Tabel 1. Karakteristik Responden Variabel
Kategori
n
%
Pendidikan
SMA/SMK SD/SMP 20 _ 24 25 _ 29 30 _ 34 35 _ 39 40 _ 44 Rendah Tinggi Lengkap Tidak lengkap Kurang baik Baik Kurang baik Baik Kurang baik Baik
30 61 10 50 12 8 11 48 43 40 51 39 52 35 56 40 51
32,9 67,1 11,0 55,0 13,2 8,8 12,0 52,7 47,2 44,0 56,0 42,9 57,1 38,5 61,5 44,0 56,0
Usia (tahun)
Pendapatan Persepsi fungsi pencatatan Persepsi fungsi edukasi Persepsi fungsi komunikasi Pengetahuan
Sistiarani, Gamelia & Sari, Fungsi Pemanfaatan Buku KIA terhadap Pengetahuan KIA Ibu
Tabel 2. Hubungan Variabel Fungsi dengan Pengetahuan KIA Pengetahuan KIA Variabel Fungsi
Pencatatan buku KIA Edukasi buku KIA Komunikasi buku KIA
Kategori
Tidak lengkap Lengkap Kurang Baik Kurang Baik
pengetahuan ibu tentang KIA, tetapi fungsi edukasi dan fungsi komunikasi buku KIA tidak berhubungan dengan pengetahuan KIA. Ibu yang mempunyai pengetahuan KIA baik, mempunyai fungsi pencatatan buku KIA tidak lengkap sekitar 70%, dibandingkan dengan ibu yang mempunyai fungsi pencatatan buku KIA lengkap sekitar 45,1% perbedaan tersebut secara statistik bermakna dengan nilai p = 0,031 (nilai p ≤ 0,05), berarti ada hubungan antara fungsi pencatatan buku KIA dengan pengetahuan KIA (Tabel 2). Pembahasan Pada penelitian ini, didapatkan hubungan antara fungsi pencatatan dengan pengetahuan KIA. Temuan ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang mengemukakan hubungan antara kelengkapan pengisian kolom buku KIA dengan pengetahuan ibu di Salatiga. Ibu-ibu yang mempunyai pengetahuan rendah cenderung tidak mengisi kolom pemantauan pertumbuhan anak, sedangkan ibu-ibu yang mempunyai pengetahuan baik akan mengisi buku KIA dengan lengkap.7 Pengisian buku KIA seyogyanya memberikan pemahaman pada ibu tentang status kesehatan diri dan anaknya. Penggunaan buku pegangan antenatal care oleh ibu merupakan salah satu intervensi dalam upaya peningkatan informasi. Catatan yang lengkap akan mendukung peningkatan pengetahuan ibu tentang kesehatan diri dan kesehatan anak-anak.8 Penelitian ini menemukan hubungan fungsi pencatatan buku KIA dengan pengetahuan KIA, tetapi dengan hasil terbalik, ibu yang mempunyai catatan buku KIA tidak lengkap justru mempunyai tingkat pengetahuan yang baik, dibandingkan dengan ibu yang mempunyai catatan lengkap. Catatan buku KIA lengkap lebih banyak didapatkan pada ibu dengan tingkat ekonomi rendah, serta cenderung secara rutin memanfaatkan layanan posyandu dibandingkan dengan ibu dengan tingkat ekonomi tinggi yang cenderung jarang memanfaatkan layanan posyandu. Ibu yang mempunyai tingkat ekonomi tinggi cenderung merupakan ibu bekerja yang juga tergolong mempunyai tingkat pendidikan menengah. Tingkat pengetahuan dilandasi oleh tingkat pendi-
Kurang
Baik
Nilai p
n
%
n
%
12 28 13 27 15 25
30,0 54,9 33,3 51,9 42,9 44,6
28 23 26 25 20 31
70,0 45,1 66,7 48,1 57,1 55,4
0,031 0,120 1,000
dikan formal, sebagian besar (67,04%) responden sudah mempunyai kategori tingkat pendidikan dasar. Pada level pendidikan ini, ibu sudah banyak mengerti pengetahuan tentang KIA secara umum yang tidak hanya didapat melalui buku KIA, tetapi juga melalui interaksi ibu dengan tenaga kesehatan. Media KIA kesehatan yang beraneka ragam juga semakin banyak menjangkau masyarakat sehingga tingkat pengetahuan yang didapatkan melalui interaksi tersebut semakin meningkatkan pemahaman ibu tentang informasi kesehatan ibu dan anak. Semakin bertambah umur seseorang, semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikir sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin membaik. Responden dalam penelitian ini sebagian besar (55%) berada dalam rentang usia 25 _ 29 tahun. Hal tersebut menjadi dasar banyak responden yang tergolong usia produktif yang berdampak pada ingatan informasi yang diperoleh sehingga pengetahuan juga sudah baik. Buku KIA adalah buku catatan terpadu yang digunakan dalam keluarga dengan tujuan meningkatkan praktik keluarga dan masyarakat dalam pemeliharaan atau perawatan kesehatan ibu dan anak serta meningkatkan kualitas pelayanan KIA. Pencatatan buku KIA dilakukan oleh bidan desa serta dan dapat dibantu oleh kader dalam penyelenggaraan posyandu.9 Pencatatan buku KIA yang lengkap tetap harus diperhatikan oleh ibu, meskipun hasil penelitian pencatatan buku KIA yang lengkap lebih banyak dilakukan oleh ibu yang mempunyai pengetahuan kurang baik dibandingkan pencatatan yang tidak lengkap. Pencatatan berhubungan dengan riwayat kehamilan dan persalinan ibu. Selain itu, untuk anak berhubungan dengan status pertumbuhan dan perkembangan, status imunisasi yang berguna sebagai informasi bagi tenaga kesehatan lain serta sebagai informasi status kesehatan ibu dan anak bagi keluarga. Penelitian ini menemukan ibu yang mempunyai fungsi pencatatan buku KIA yang tidak lengkap lebih banyak yang mempunyai pengetahuan yang baik. Hal tersebut dapat disebabkan pengisian buku KIA oleh tenaga kesehatan hanya kolom isian Kartu Menuju Sehat (KMS). Ibu juga hanya mempergunakan buku KIA untuk dibawa saat 355
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8, Mei 2014
penimbangan balita di posyandu dan pada saat pemanfataan layanan kesehatan ke bidan desa dan puskesmas. Pencatatan status kesehatan ibu dan anak di buku KIA mempunyai keuntungan bagi ibu dan keluarga, kader kesehatan, serta tenaga kesehatan. Catatan status kesehatan di buku KIA berlanjut dari pencatatan ibu hamil, persalinan dan catatan tumbuh kembang anak. Catatan kesehatan tersebut dapat digunakan sebagai catatan penghubung riwayat penggunaan pelayanan kesehatan terendah sampai dengan sarana rujukan yang mungkin diakses pada saat mengakses layanan kesehatan tingkat lanjut. Pencatatan di buku KIA juga mempunyai kelemahan antara lain catatan kesehatan tersebut dapat hilang jika buku KIA yang digunakan tidak disimpan dengan baik. Di Norwegia, tidak ada efek terhadap pengetahuan para orang tua terutama ibu melalui catatan tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan. Catatan status kesehatan ibu dan anak merupakan sarana yang tepat untuk meningkatkan interaksi antara ibu dan tenaga kesehatan, sehingga ibu dapat menyimpan catatan kesehatan untuk tahun berikutnya atau sebelumnya. Ibu yang mempunyai catatan status kesehatan yang lengkap merasa lebih percaya diri, ibu juga dapat membagi informasi catatan tentang status kesehatan kepada keluarga sehingga dapat menjadi sumber informasi bagi mereka. Ibu minimal merasakan kekhawatiran jika kehilangan catatan status kesehatan. Orang tua yang menyimpan catatan kesehatan anak mempunyai persepsi positif akan penyelenggaraan layanan kesehatan.10-12 Dilihat dari karakteristik sosial ekonomi, wilayah Puskesmas 1 Ajibarang tergolong jauh dari pusat kota. Sebagian besar aktivitas kegiatan sosial ekonomi di masyarakat masih terpusat pada perdagangan dan pertanian. Dilihat dari karakteristik pedesaan yang masih melekat, di wilayah Puskesmas 1 Ajibarang, karakteristik pendapatan sebagian besar responden mempunyai tingkat pendapatan dibawah UMK Kabupaten Banyumas (52,74%). Perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan tradisional lebih banyak dilakukan oleh wanita yang berada di daerah perdesaan dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dibandingkan dengan wanita dengan tingkat sosial ekonomi yang tinggi.13 Di Bangladesh, ibu yang mempunyai buku KIA mempunyai pengetahuan KIA dan perilaku yang lebih baik tentang KIA karena mempergunakan buku KIA dengan baik pula, dibandingkan kelompok kontrol pada ibu yang tidak mempunyai buku KIA.12 Penelitian ini tidak menemukan hubungan antara fungsi edukasi dengan pengetahuan KIA. Sesuai dengan penelitian sebelumnya, yang tidak menemukan hubungan antara pengalaman ibu dalam memahami buku KIA (fungsi edukasi) dengan pengetahuan tentang KIA pada ibu-ibu hamil di Kecamatan Limbangan, Kabupaten 356
Kendal. 14 Penggunaan buku KIA tidak serta merta meningkatkan pengetahuan ibu, bahwa sekitar 40% ibu di Tanah Datar dan 57% di Padang Pariaman belum pernah membaca atau telah membaca setiap bagian buku KIA atau hanya membaca sebagian kecil. Selain itu, di antara ibu yang telah membaca buku KIA setidaknya bagian dari buku KIA, meliputi di Tanah Datar sekitar 22,4% dan di Padang Pariaman sekitar 27% menyatakan menemukan kesulitan memahami buku KIA tersebut. Ibu yang mempunyai buku KIA tidak berhubungan dengan pengetahuan yang lebih besar, tetapi mempunyai kecenderungan besar untuk mengetahui kepentingan antenatal care serta maksud pemberian imunisasi.16 Peningkatan cakupan pemberian imunisasi pada anak berhubungan dengan pelaksanaan program buku KIA. Buku KIA merupakan sarana yang dapat digunakan sebagai upaya peningkatan kesadaran ibu dan tenaga kesehatan akan pentingnya pemberian imunisasi bagi bayi dan anak. Pada penelitian ini, berdasarkan persepsi ibu sekitar 69,2 % menyatakan kader menginformasikan pada para ibu untuk membaca buku KIA. Namun, informasi pada buku KIA tidak mengendap menjadi ingatan dan pengetahuan. Kemungkinan responden mempunyai kesan yang kurang mendalam terhadap informasi buku KIA sehingga tidak merasa termotivasi untuk menjadikan bagian kebutuhan. Selain itu, kegiatan belajar kelompok untuk memahami informasi buku KIA masih jarang dilakukan oleh kader atau petugas kesehatan. Di Cakranegara, tingkat pendidikan yang baik berhubungan dengan status kesehatan yang baik pula. Ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dan efektivitas buku KIA dengan tingkat pengetahuan ibu tentang KIA.17 Tingkat pendidikan ibu seluruhnya termasuk dalam kategori pendidikan menengah dan pendidikan formal yang telah ditempuh adalah pendidikan dasar sehingga tingkat pengetahuan ibu tentang KIA dirasa sudah baik sehingga sebagian besar (56%) responden mempunyai tingkat pengetahuan yang baik pula. Penggunaan buku pegangan antenatal care oleh ibu merupakan salah satu intervensi dalam upaya peningkatan informasi, pengetahuan dan komunikasi pada ibu, antara lain menumbuhkan kewaspadaan tentang masalah kesehatan reproduksi. Pengembangan buku pegangan antenatal care bertujuan memberikan informasi kepada ibu hamil serta sebagai pedoman dalam merawat dan mengasuh anak.8 Di Palestina, ibu yang mempunyai buku KIA lebih sering berkunjung ke pelayanan kesehatan dibandingkan ibu yang tidak mempunyai buku KIA. Ibu yang memilki buku KIA walaupun berpengetahuan kurang karena jarang/tidak membaca informasi di buku KIA, terbiasa dengan informasi kesehatan karena tenaga kesehatan mempergunakan buku KIA sebagai panduan dalam pemberian informasi/layanan KIA.18 Buku KIA merupakan buku wajib untuk dibaca oleh ibu hamil dan keluarga
Sistiarani, Gamelia & Sari, Fungsi Pemanfaatan Buku KIA terhadap Pengetahuan KIA Ibu
karena berisikan informasi penting dan berguna bagi kesehatan ibu dan anak. Penggunaan buku KIA secara baik tidak terlepas dari penyuluhan oleh bidan dan tenaga kesehatan lain pada setiap kunjungan ibu hamil.19 Pemanfaatan buku kesehatan ibu dan anak dapat diamati dari kepemilikan buku KIA. Ibu membawa buku KIA ketika berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan/menghadiri kegiatan berhubungan program KIA telah menerima informasi dari penyedia layanan kesehatan yang menggunkan buku KIA tersebut. Selanjutnya, ibu telah membaca pesan/informasi yang ada dalam buku KIA tersebut. Selain itu, kemudahan ibu dalam memahami informasi kesehatan/pendidikan kesehatan menjadi determinan penting pengetahuan ibu.20 Penelitian ini tidak menemukan hubungan fungsi komunikasi dengan pengetahuan KIA, berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menemukan hubungan yang secara statistik bermakna antara pemanfaatan buku KIA sebagai media penyuluhan dengan pelayanan antenatal care. Semakin ibu memanfaatkan media penyuluhan (fungsi komunikasi) dalam buku KIA semakin meningkat pengetahuan sehingga banyak memanfaatkan pelayanan antenatal care yang dilakukan oleh petugas kesehatan, demikian pula sebaliknya.20 Temuan penelitian ini juga sesuai dengan penelitian lain yang tidak menemukan hubungan antara kepemilikan buku KIA dengan pengetahuan praktik perawatan kehamilan. Tidak ada hubungan antara kepemilikan buku KIA, sikap dan praktik perawatan kehamilan dengan pengetahuan ibu.21 Buku KIA yang dapat berfungsi sebagai alat komunikasi antara tenaga kesehatan dengan pasien, diharapkan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengontrol kesehatan ibu. Penggunaan buku KIA merupakan salah satu strategi pemberdayaan masyarakat terutama keluarga untuk memelihara kesehatan dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas.20 Buku KIA disebut sebagai alat komunikasi karena tenaga kesehatan dapat mengingatkan catatan-catatan penting yang dapat dibaca oleh tenaga kesehatan lain dan ibu serta keluarga. Hal tersebut antara lain keluhan, hasil pemeriksaan, catatan persalinan, pelayanan yang diberikan kepada ibu/bayi/anak balita, hasil pemeriksaan tambahan dan rujukan. Manfaat buku KIA bagi tenaga kesehatan adalah alat pencatatan, pemantauan dan rujukan kesehatan ibu dan anak, alat komunikasi dan penyuluhan KIA, alat untuk mendeteksi secara dini gangguan/masalah KIA. Pemanfaatan buku KIA oleh tenaga kesehatan masih tidak banyak dilakukan. Hasil penelitian pada bidan desa di Kabupaten Banyumas menyebutkan bahwa ada hubungan antara supervisi dengan peran pengisian buku KIA. Dari hasil penelitian tersebut, tenaga kesehatan masih belum maksimal mempergunakan buku KIA sebagai media komunikasi, informasi dan edukasi kesehatan
ibu dan anak sehingga perlu upaya kader dalam penggunaan buku KIA.22,23 Komunikasi, informasi, dan edukasi kesehatan melalui pemanfaatan buku KIA dapat dilakukan sebagai komunikasi tenaga kesehatan kepada ibu, walaupun ibu mampu membaca sendiri pesan/informasi KIA yang dalam buku KIA, tidak setiap ibu mempunyai waktu/kesempatan untuk membaca pesan/ informasi tersebut. Catatan tentang masalah penyakit, tumbuh kembang anak belum sepenuhnya dipahami dan dapat diintepretasikan dengan baik oleh ibu sehingga perlu upaya komunikasi dari tenaga kesehatan untuk dapat menjelaskannya dengan baik. Pemanfaatan buku KIA oleh tenaga kesehatan perlu dimodifikasi, khususnya dalam menggabungkan informasi/pesan supaya lebih menarik, mudah dipahami sebagai cara untuk menyampaikan pesan tersebut. Tenaga kesehatan juga perlu mempertimbangkan tingkat pendidikan kelompok sasaran. Hal tersebut merupakan upaya peningkatan efektivitas kegiatan berbasis masyarakat dalam mempromosikan pengetahuan dan perilaku ibu dalam kesehatan ibu dan anak. Pemanfaatan buku KIA dalam sesi pendidikan kesehatan akan mendorong komunikasi yang efektif antara ibu dengan tenaga kesehatan. Dukungan tenaga kesehatan dapat diberikan ketika ibu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan dapat menjelaskan poin penting karena ibu belum memahami informasi kesehatan ibu dan anak.15 Kesimpulan Ada hubungan yang bermakna antara fungsi pencatatan dengan pengetahuan KIA, tetapi tidak ada hubungan antara fungsi edukasi dan fungsi komunikasi dengan pengetahuan KIA. Saran Pencatatan buku KIA berhubungan dengan status kesehatan ibu dan anak sehingga memerlukan peran serta ibu untuk menilai kelengkapan isian catatan buku KIA. Perlu peningkatan pencatatan kelengkapan isian buku KIA oleh tenaga kesehatan karena hasil pencatatan dapat berkaitan dengan pengetahuan KIA. Daftar Pustaka 1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Survei demografi dan kesehatan Indonesia tahun 2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2012. 2. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Profil kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2012. Semarang: Dinas Kesehatan Jawa Tengah; 2012. 3. Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. Profil kesehatan Kabupaten Banyumas tahun 2012. Banyumas: Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas; 2012. 4. Siti N, Colti S, Eri W. Pemantauan pencapaian cakupan K1, cakupan K4, cakupan buku KIA dan kualitas pelayanan antenatal di wilayah ker-
357
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8, Mei 2014 ja puskesmas di Kabupaten Banyumas. Prosiding Seminar Nasional
15. Kusumayati A, Nakamura Y. Increased utilization of maternal health
World fit for children [6 Oktober 2012]. 2012. Semarang: Fakultas
services by mothers using maternal and child health book in Indonesia.
Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro; 2012.
J It Health [serial on internet]. 2007 [cited 2014 Jan 5]; 22 (3): 143-51.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman umum manajemen penerapan buku KIA. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2003. 6
Available from: https:// www. jstage. jst. go.jp /article /jaih /22/ 3/ 22_ 3_ 143/ _pdf. 16. Osaki K, Hattori T, Kosen S, Singgih B. Investment in home-based ma-
Syafiq A, Fikawati S. Kepemilikan buku kesehatan ibu dan anak (KIA)
ternal, newborn and child health records improves immunization cov-
dan pelayanan KIA. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
erage in Indonesia. Transaction of The Royal Society of Tropical
Indonesia; 2007.
Medicine and Hygiene [serial on Internet]. 2009 [cited 2014 Jan 4]; 103
7. Djaswadi D. Persepsi perilaku ibu hamil dan masyarakat terhadap risiko kehamilan-persalinan di Kabupaten Purworejo. Yogyakarta: Laboratorium Penelitian Kesehatan dan Gizi Masyarakat; 2008. 8. Akhund S, Avan BI. Development and pretesting of an information, education and communication (IEC) focused antenatal care handbook in Pakistan. Journal of Biomedical Central. 2011; 4: 91.
(8): 846-8. Available from: http://PubMed PMID. 17. Rante A, Susilo W, Faikah. Studi deskriptif dan analisis faktor yang berpengaruh dalam tingkat pengetahuan KIA pada ibu di Puskesmas Cakaranegara Mataram. Jurnal Kesehatan Prima. 2007; 1: 9384. 18. Hagiwara A, Veyama M, Ramiawi A, Sawada I. Is the maternal and child health (MCH) handbook effective in improving health-related be-
9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis penggu-
havior? evidence from Palestine. Journal of Public Health Policy [serial
naan buku KIA. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia;
on the internet]. 2013 [cited 2013 Jul 5]; 34 (1): 31-45. Available from:
2003.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23151920.
10. Chakraborty N, Islam MA, Chowdhury RI, Bari W, Akhter HH.
19. Widaningrum D, Wirawan W, Hasanbasri M. Implementasi buku kese-
Determinants of the use maternal health services in rural Bangladesh.
hatan ibu dan anak di Kabupaten Mimika [tesis]. Yogyakarta:
Health Promotion International Journal, 2003 ; 18 (4): 327-37.
Universitas Gadjah Mada; 2009.
11. Turner KE, Fuller S. Patient-held maternal and/or child health records:
20. Nur E, Werdiati K. Pemanfatan buku KIA sebagai materi penyuluhan
meeting the information needs of patients and healthcare providers in
dalam pelayanan antenatal oleh bidan puskesmas di Kota Bengkulu.
developing countries? Journal of Public Health Informatics [serial on internet]. 2011 [cited 2014 Jan 5]; 3 (2); 48. Available from: http://ojphi.org. 12. Bhulyan SU, Nakamura Y, Qureshi NA. Study on the development and assesment of maternal and child health (MCH) handbook in Bangladesh. Journal of Public Health and Development. 2006; 4 (2): 45-60.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. 2003; 6 (3). 21. Kusindijah. Hubungan antara kepemilikan buku KIA dengan pengetahuan, sikap, dan praktik perawatan kehamilan di wilayah kerja Puskesmas Rangkah Surabaya. Embrio Jurnal Kebidanan. 2012; 1 (1): 42-6. 22. Colti S, Siti N, Suratman. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pe-
13. Amin R, Shah NM, Becker S. Sosioeconomic factors differentiating ma-
ran kader dalam pemanfataatan buku KIA di wilayah kerja Puskesmas
ternal and child health-seeking behavior in rural rural Bangladesh; a
Kalibagor Kabupaten Banyumas. Kemas Jurnal Kesehatan Masyarakat.
cross sectional analysis. International Journal of Equity in Health [serial on internet]. 2010 [cited 2013 Dec 5]. A vailable from: http://www.equityhealthj.com/content/9/1/9.
2013; 8 (2): 77-84. 23. Siti N, Colti S. Faktor-faktor yang berhubungan dengan peran bidan desa dalam pengisian buku KIA. Prosiding Seminar nasional: Pengem-
14. Dora D. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat pemahaman
bangan Sumber Daya Pedesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan
ibu hamil terhadap pesan antenatal care yang terdapat di dalam buku
Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas. Purwokerto:
KIA [tesis]. Semarang: Fakultas Kedokteran; 2010.
Universitas Jenderal Soedirman; 2011.
358
GAMBARAN FAKTOR PENGHAMBAT PASANGAN USIA SUBUR MEMILIH TUBEKTOMIRUMAH SAKIT KHUSUS DAERAH IBU DAN ANAK SITI FATIMAH MAKASSAR Diana Sukmawati H1, Suriyanti2,Rusli3 1
STIKES Nani Hasanuddin Makassar STIKES Nani Hasanuddin Makassar 3 Politeknik Kesehatan Kemenkes Makassar 2
ABSTRAK Tubektomi pada wanita adalah setiap tindakan yang dilakukan pada kedua saluran telur wanita yang mengakibatkan orang yang bersangkutan tidak akan mendapat keturunan lagi.Tubektomi adalah Metode Operatif Wanita (MOW) yang belum banyak dipilih Pasangan usia Subur(PUS) sebagai metode KB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor penghambat PUS (seperti pengetahuan, tarif pelayanan, dukungan keluarga dan efek samping) memilih tubektomi sebagai alat kontrasepsi di RSKDIA Siti Fatimah Makassar. Penelitian ini dilakukan dengan metode survey deskriptif, populasi yang diteliti adalahsemua PUS yang tidak menggunakan alat kontrasepsi mantap MOW / tubektomi di RSKDIA Siti Fatimah Makassar, dengan besar sampel 68 orang dan memenuhi kriteria inklusi.Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data primer dan sekunder pasien dengan memperhatikan etika penelitian.Analisa data menggunakan analisa distribusi frekwensi kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Berdasarkan hasil penelitian, pengetahuan responden yang baik sebanyak 53 responden (77,9 %). Berdasarkan tarif pelayanan, masi banyak responden yang mengatakan mahal yaitu sebanyak 52 responden (76,5 %). Kemudian didapat 38 responden (55,9 5%) yang kurang mendapatkan dukungan keluarga, dan yang beresiko terhadap efek samping sebanyak 48 responden (70,6 %). Berdasarkan hasil penelitian, Dari 68 responden terdapat 17 (25,0 %) responden yang ingin tubektomi dan 51 (75,0 %) responden yang tidak ingin tubektomi.Bagi akseptor hendaknya dapat memanfaatkan pusat pelayanan kesehatan terdekat untuk mendapatkan informasi dan pelayanan tentang KB dengan baik dan benar sehingga dapat memilih kontrasepsi yang terbaik bagi dirinya. Kata Kunci : Pengetahuan, Tarif Pelayanan, Dukungan Keluarga, Efek Samping, Penghambat PUS memilih tubektomi PENDAHULUAN Keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan biopsikososial dan spiritual yang kompprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.(A. Aziz Alimul, 2008 ) Menurut data WHO (World Health Organization) salah satu persoalan dunia adalah masalah kependudukan. Hal ini dibuktikan pada akhir dekade 80-an penduduk dunia 5,2 milyar. Pada dasawarsa 90-an diperkirakan penduduk dunia bertambah 90 juta/tahun sehingga pada akhir abad 20 terdapat sekitar 6,25 milyar manusia dan tahun 2025 diperkirakan menjadi 8,5 milyar.
Volume 1 Nomor 3Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Indonesia sebagai negara dengan penduduk yang besar tidak terlepas dari persoalan tingkat pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi dibuktikan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dalam 20 tahun terakhir. Tahun 1990 penduduk Indonesia berjumlah 146,9 juta, tahun 1996 menjadi 197,5 juta dan meningkat lagi menjadi 203,5 juta pada tahun 2007. Hal itu menjadikan Indonesia di urutan keempat dari negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Memasuki era baru program KB di Indonesia diperlukan adanya reorientasi dan reposisi program secara menyeluruh dan terpadu.Reorientasi dimaksud terutama ditempuh dengan jalan menjamin kualitas pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi yang lebih baik serta menghargai dan melindungi hak-hak reproduksi yang
25
menjadi bagian integral dari hak-hak azasi manusia yang bersifat universal. Prinsip pokok dalam mewujudkan keberhasilan program KB dimaksudkan adalah peningkatan kualitas di segala bentuk serta kesetaraan dan keadilan gender melalui pemberdayaan perempuan serta peningkatan partisipasi pria (Suara Karya, 2011). Badan Kependudukan Dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)mengatakan hasildari Melemahnya penggarapan program kependudukan dan keluarga berencana (KB) di era otonomi daerah ternyata menimbulkan dampak yang sangat besar bagi perkembangan kependudukan dan KB di Indonesia. Hasil Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,6 juta jiwa, melampaui angka proyeksi yang "hanya" 234 juta jiwa. Laju pertumbuhan penduduk naik dari 1,47% per tahun antara 1990-2000 menjadi 1,49% per tahun pada periode 2000-2010. "Ini berarti terjadi pertambahan jumlah penduduk sebanyak 3-4 juta jiwa setiap tahun atau 10.000 bayi lahir setiap hari," ucap Pelaksana Harian Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sudibyo Alimoeso, ketika membuka workshop bagi wartawan kependudukan dan KB.Menurut Sudibyo, jumlah penduduk yang sangat banyak ini akan memberikan implikasi terhadap ketersediaan berbagai kebutuhan hidup, yang pada gilirannya akan memberikan pengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat. Kondisi kependudukan Indonesia saat ini yang masih memprihatinkan diiringi dengan perubahan kondisi sosial, ekonomi dan politik, menjadi dasar pijakan dalam melaksanakan revitalisasi program kependudukan dan KB."Jumlah penduduk yang banyak ibarat pisau bermata dua karena bisa berdampak positif atau negatif," ucap Sudibyo yang sehari-hari menjabat sebagai Sekretaris Utuma (Sestama) BKKBN (Suara Karya, 2011). Bila tahun 2010 nanti penduduk kita 1 - 2 juta di atas proyeksi dan Contraceptive Prevalence Rate (CPR) 5 tahun kedepan stagnan pada angka 57 – 58% maka, penduduk tahun 2015 akan diatas 250 juta, apalagi kalau CPR mengalami penurunan, tambahan penduduk itu bisa mencapai kisaran 16 -17 juta (BKKBN, 2009). Provinsi Sulawesi Selatan menargetkan 173.002 akseptor atau peserta keluarga berencana (KB) tahun 2011.Jumlah tersebut meningkat sekitar 15% dari tahun lalu yang hanya menargetkan 129.850 akseptor.Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga
Volume 1 Nomor 3Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
Berencana Nasional (BKKBN) Sulsel Idrus Sebbu, di Indonesia setiap hari diperkirakan ada 10.000 bayi lahir.Karena itu, program KB menjadi perhatian. “Sebab KB sebagai cara paling rasional untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk,” ungkapnya pada acara kegiatan bakti sosial (baksos) KB Kesehatan yang dilaksanakan Kodam VII/Wirabuana bekerjasama dengan BKKBN Sulsel di Makassar (Tribun Timur, 2011). Tubektomi adalah Metode Operasi Wanita (MOW) yang belum banyak dipilih Pasangan Usia Subur sebagai metode ber-KB dengan melihat rendahnya angka akseptor MOW bila dibandingkan dengan kontrasepsi lain. Di Rumah Sakit Khusus Daerah Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar pengguna kontrasepsi mantap (tubektomi) pada tahun 2009 adalah sebanyak 84 orang dari keseluruhan Pasangan Usia Subur yang menggunakan kontrasepsi lain seperti KB suntik dan IUD masing-masing sebanyak 103 dan 97 orang. Kemudian menjadi 92 orang pengguna tubektomi di tahun 2010 dan yang menggunakan kontrasepsi selain tubektomi sebanyak 193 orang.Dan data terakhir pada tahun 2011 pengguna tubektomi mencapai 97 orang, sedangkan yang menggunakan kontrasepsi lain sebanyak 214 orang (Rekam Medik, 2011). Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarikmelakukanpenelitian yang berjudul “GambaranFaktor Penghambat Pasangan Usia Subur Memilih TubektomiDi RSKDIA Siti Fatimah Makassar”. BAHAN DAN METODE Lokasi,Populasi Dan Sampel Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Khusus Daerah Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar mulai dari tanggal 03 Mei sampai dengan 20 Mei.Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah Semua PUS yang tidak menggunakan alat kontrasepsi mantap MOW / tubektomiyaitu sebanyak 214 orang yang tercatat di rekam medis Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar selama periode 2011, dan teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Aksidental Sampling. Sampeldalampenelitianinisebanyak 68 orang. Pengumpulan Data Cara pengumpulan data yang akandilakukandalampenelitianiniadalah: 1. Data Primer : Diperolehwawancaralangsungdenganme nggunakandaftarpertanyaan/kuesioner yang telahdisediakan.
26
2.
Data Sekunder : Diperolehdariinstansi-instansiterkait (RSKDIA Siti Fatimah makassar) Langkah Pengolahan Data Ada beberapa kegiatan yang dilakukan peneliti dalam pengolahan dalam pengolahan data yaitu (Sugiyono, 2008): 1. Editing Setelah penelitin dilakukan dan data terkumpul maka akan dilakukan editing atau penyuntingan data. 2. Koding Dilakukan untuk memudahkan pengolahan data, yaitu dengan melakukan pengkodean pada status klien. 3. Tabulasi Setelah dilakukan pengkodean kemudian data diolah dengan menggunakan program SPSS dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. HASIL PENELITIAN 1. Data Umum Tabel 5.1 :Distribusi faktor penghambat PUS memilih tubektomimenurut usia responden di RSKDIA Siti Fatimah Makassar Umur Jumlah Persen 20-35 Tahun 40 58,8 % >35 Tahun 28 41,2 % Total 68 100 % Sumber: Data primer 2012
Berdasarkan tabel 5.1 diatas terlihat bahwa dari 68 responden sebagian besar berusia 20-35 tahun yaitu sebanyak 40 orang (58,8 %), dan yang berusia> 35 tahun sebanyak 28 orang (41,2 %). Tabel 5.2 :Distribusi faktor penghambat PUS memilih tubektomimenurut jumlah anak responden di RSKDIA Siti Fatimah Makassar Jumlah Jumlah Persen Anak < 3 anak 34 50,0 % 3-5 anak 26 38,2 % >5 anak 8 11,8 % Total 68 100,0 % Sumber: Data primer 2012
Berdasarkan tabel 5.2 diatas terlihat bahwa dari 68 responden sebagian besar Pasangan Usia Subur mempunyai jumlah anak < 3 anak yaitu sebanyak 34 orang (50,0 %), kemudian jumlah anak
Volume 1 Nomor 3Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
antara 3-5 anak sebanyak 26 orang (38,2 %), dan Pasangan Usia Subur yang mempunyai jumlah anak > 3 yaitu sebanyhak 8 orang (11,8 %). Tabel 5.3 :Distribusi faktor penghambat PUS memilih tubektomimenurut pekerjaan responden di RSKDIA Siti Fatimah Makassar Pekerjaan Jumlah Persen Tidak bekerja 39 57,4% PNS 17 25,0 % Wiraswasta 12 17,6 % Total 68 100,0 %
Sumber: Data primer 2012
Dari tabel 5.3 dapat dilihat bahwa Pasangan Usia Subur yang berjumlah 68 responden yang berlatar belakang pekerjaan non pegawai atau tidak bekerja yaitu sebesar 57,4 % (39 responden) dan 25,0 % (17 responden) bekerja sebagai pegawai negeri sipil, sedangkan Pasangan Usia Subur yang pekerjaannya wiraswasta sebesar 17,6 % (12 responden). 2. Variabel Independen a. Pengetahuan Tabel 5.5 :Distribusi faktor penghambat PUS memilih tubektomimenurut pengetahauan responden di RSKDIA Siti Fatimah Makassar Pengetahuan Jumlah Persen Baik 53 77,9 % Kurang 15 22,1 % Total 68 100,0% Sumber: Data primer 2012
Berdasarkan tabel 5.5 diatas terlihat bahwa dari 68 responden sebagian besar Pasangan Usia Subur memiliki pengetahuan yang baik mengenai informasi tubektomi yaitu sebanyak 53 orang (77,9 %), dan Pasangan Usia Subur yang kurang mengetahui informasi tentang tubektomi yaitu sebanyak 15 orang (22,1 %). b. Tarif Pelayanan Tabel 5.6 :Distribusi faktor penghambat PUS memilih tubektomimenurut tarif pelayanan responden di RSKDIA Siti Fatimah Makassar
27
Tariff Pelayanan Murah Mahal Total
Jumlah 16 52 68
Sumber: Data primer 2012
Persen 23,5 % 76,5 % 100,0 %
Berdasarkan tabel 5.6 diatas terlihat bahwa dari 68 responden sebagian besar Pasangan Usia Subur merasa tarif pelayanan untuk melakukan tubektomi mahal yaitu sebanyak 52 orang (76,5 %), dan Pasangan Usia Subur yang merasa tarif pelayanan untuk melakukan tubektomi murah yaitu sebanyak 16 orang (23,5 %). c. Dukungan Keluarga Tabel 5.7 :Distribusi faktor penghambat PUS memilih tubektomimenurut dukungan keluarga responden di RSKDIA Siti Fatimah Makassar Dukungan Jumlah Persen Keluarga Baik 30 44,1 % Kurang 38 55,9 % Total 68 100,0 % Sumber: Data primer 2012
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa dari 68 responden sebagian besar Pasangan Usia Subur mendapatkan dukungan keluarga yang kurang yaitu sebanyak 38 orang (55,9 %), dan Pasangan Usia Subur yang mendapatkan dukungan keluarga yang baik yaitu sebanyak 30 orang (44,1 %). d. Efek Samping Tabel 5.8 :Distribusi faktor penghambat PUS memilih tubektomimenurut efek samping responden di RSKDIA Siti Fatimah Makassar Efek Jumlah Persen Samping Beresiko 48 70,6 % Tidak beresiko 20 29,4 % Total 68 100,0 % Sumber: Data primer 2012
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa dari 68 responden sebagian besar Pasangan Usia Subur merasa akan mendapatkan resiko bila melakukan Metode Operasi Wanita (MOW) atau tubektomi yaitu sebanyak 48 orang (70,6 %), dan Pasangan Usia merasa yang
Volume 1 Nomor 3Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
merasa tidak beresiko dalam melakukan Metode Operatif Wanita (MOW) atau tubektomi yaitu sebanyak 20 orang (29,4 %). PEMBAHASAN 1. Pengetahuan Berdasarkan pengetahuan (tabel 5.5), terlihat bahwa dari 68 responden sebagian besar Pasangan Usia Subur memiliki pengetahuan yang baik mengenai informasi tubektomi yaitu sebanyak 53 orang (77,9 %), dan Pasangan Usia Subur yang kurang mengetahui informasi tentang tubektomi yaitu sebanyak 15 orang (22,1 %). Hal ini berarti, responden masih mendapatkan informasi agak mudah meskipun hal tersebut belum mencukupi kebutuhan pemenuhan informasi tubektomi secara lengkap. Hasil diatas sesuai dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan.Pemberian informasi mempunyai hubungan yang positif dengan partisipasi peserta KB.Semakin seringnya melaksanakan pemberian informasi tentang program KB semakin meningkatkan pengetahuan motivasi peserta KB. Hal ini dapat terjadi bila kualitas pemberian pelayanan sesuai dengan keinginan peserta KB, pelaksanaan pemberian informasi tentang KB tidak dilakukan saat akan dipasang alat kontrasepsi, dan pemberian informasi tidak saja kepada peserta KB tetapi diberikan kepada para anggota keluarga terutama suami/istri peserta KB yang bersangkutan (Andria, 2009). Untuk mendapatkan informasi yang jelas dan benar diperlukan konseling Keluarga Berencana sebelum ibu menggunakan salah satu alat kontrasepsi. Menurut saya, banyak perempuan yang mengalami kesulitan dalam memilih dan memutuskan alat kontrasepsi yang akan dipakai. Mereka membutuhkan informasi tentang lama pemakaian, kontra indikasi, keuntungan, kerugian, skrining untuk pemilihan metode, bagaimana dampak pada hubungan seksual, dan efek samping. Selain itu ad juga teori yang mengatakan bahwa perilaku seseorang salah satunya ditentukan oleh adanya informasi tentang cara-cara mencapai hidup sehat, cara pemeliharaan kesehatan, dan cara menghindari penyakit sehingga akan meningkatkan pengetahuan masyarakat.
28
2. TarifPelayanan Berdasarkan tabel 5.6 diatas terlihat bahwa dari 68 responden sebagian besar Pasangan Usia Subur merasa tarif pelayanan untuk melakukan tubektomi mahal yaitu sebanyak 52 orang (76,5 %), dan Pasangan Usia Subur yang merasa tarif pelayanan untuk melakukan tubektomi murah yaitu sebanyak 16 orang (23,5 %). Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa tarif pelayanan tubektomi yang ada sekarang tergolong mahal sehingga mempengaruhi pengambilan keputusan 52 responden (76,5 %) dalam ber-KB tubektomi, sedangkan pada responden PUSsebanyak 16 orang (23,5 %) yang ingin tubektomi beranggapan bahwa tarif pelayanan tubektomi yang ada sekarang masih tergolong murah. Tarif pelayanan tubektomi mempunyai hubungan sebagai faktor penghambat Pasangan Usia Subur dalam pemilihan tubektomi sebagai alat kontrasepsinya. Dengan biaya yang diberlakukan sekarang dan kondisi keuangan responden saat ini, tarif tubektomi dirasakan masih relatif mahal bila dibandingkan dengan menggunakan kontrasepsi yang lain sehingga menurunkan minat akseptor untuk melakukan tubektomi. Hal ini didukung penelitian Sulistyawati (2011) bahwa alasan utama akseptor KB memilih tepat pelayanan kesehatan baik negeri maupun swasta adalan pertimbangan biaya yang dikeluarkan.Biaya pelayanan lebih cenderung menghambat daripada usaha meningkatkan pelayanan untuk orangorang yang tidak mampu. Menurut saya, biaya menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan pelayanan kesehatan.Hal ini didukung dengan tingkat penghasilan rata-rata responden yang berada dalam kelas ekonomi menengah kebawah.Responden lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan primernya daripada kebutuhan sekunder. 3. DukunganKeluarga Berdasarkan tabel 5.7 diatas terlihat bahwa dari 68 responden sebagian besar Pasangan Usia Subur mendapatkan dukungan keluarga yang kurang yaitu sebanyak 38 orang (55,9 %), dan Pasangan Usia Subur yang mendapatkan dukungan keluarga yang baik yaitu sebanyak 30 orang (44,1 %). Hal tersebut menggambarkan bahwa dukungan
Volume 1 Nomor 3Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
keluarga masih cukup kurang dalam membantu Pasangan Usia Subur memilih tubektomi sebagai ala kontrasepsinya. Dukungan keluarga adalah bantuan yang bermanfaat secara emosional dan memberikan pengaruh positif yang berupa informasi, bantuan instrumental, emosi, maupun penilaian yang diberikan oleh anggota keluarga yang terdiri dari suami, orang tua, maupun saudara lainnya terhadap wanita dalam memilih tubektomi untuk meningkatkan kesejahteraan fisik dan psikisnya. Sistem kekerabatan yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia yang membuat seorang perempuan dalam pengambilan keputusan mengenai penggunaan alat kontrasepsi juga secara tidak langsung mempengaruhi pemakaian alat KB. Sekarang ini terjadi pergeseran nilai permpuan dengan adanya emansipasi dimana kedudukan perempuan dan laki-laki adalah sama. Tinggal bagaimana mengkomunikasikan segala permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga sehingga komunikasi merupakan hal yang sangat penting dimiliki dalam sebuah keluarga. Aspirasi tentang kemajuan anak, pendidikannya, mobilisasi penduduk, perbaikan sarana dan prasarana, pergeseran nilai-nilai mengenai anak, kesempatan bekerja untuk perempuan diluar rumah dan peningkatan peranan wanita pada umumnya sehingga menunjang berkembangnya norma keluarga kecil. Menurut saya, dukungan keluarga adalah bantuan yang bermanfaat secara emosional dan memberikan pengaruh positif yang berupa informasi, bantuan instrumental, emosi, maupun penilaian yang diberikan oleh anggota keluarga yang terdiri dari suami, orang tua, maupun saudara lainnya terhadap wanita dalam memilih tubektomi untuk meningkatkan kesejahteraan fisik dan psikisnya. pengambilan keputusan dipengaruhi oleh keyakinan atau kepercayaan dalam anggota keluarga dan masyarakat pada umumnya tentang konsep sehat sakit dan didukung oleh teori dari WHO bahwa kultur/budaya merupakan salah satu pola hidup yang dihasilkan dari perilaku normal, kebiasaan, nilai dan penggunaan sumbersumber dalam suatu masyarakat dan kebudayan mempunyai pengaruh dalam perilaku kesehatan.
29
4. Dukungan Suami Berdasarkan tabel 5.8 diatas terlihat bahwa dari 68 responden sebagian besar Pasangan Usia Subur merasa akan mendapatkan resiko bila melakukan Metode Operasi Wanita (MOW) atau tubektomi yaitu sebanyak 48 orang (70,6 %), dan Pasangan Usia merasa yang merasa tidak beresiko dalam melakukan Metode Operatif Wanita (MOW) atau tubektomi yaitu sebanyak 20 orang (29,4 %). Faktor efek samping menjadi faktor penghambat Pasangan Usia Subur untuk memilih tubektomi sebagai alat kontrasepsinya didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya. Penelitian BKKBN (2008) bahwa efek samping mengakibatkan perbedaan yang bermakna terhadap pemilihan pelayanan kesehatan. Hal ini juga didukung hasil penelitian Sulistyawati (2011) bahwa efek samping berpengaruh besar dalam pengambilan keputusan penggunaan alat kontrasepsi. Menurut Davis dan Blake (cit. Andria, 2009) bahwa faktor efek samping dapat langsung mempengaruhi fertilitas dan hanya mempengaruhinya melalui variabel antara sehingga jika agama, kepercayaan, adat istiadat, status wanita, urbanisasi, industrialisasi atau pendidikan mempengaruhi fertilitas maka hubungan dengan keluarga berencana perlu diterangkan melalui variabel antara yang mana fertilisasi dipengaruhi. Untuk mensukseskan program KB, mulai diadakan penekanan pada kontrasepsi yang mempunyai kemanjuran yang tinggi dan motivasi yang berkelanjutan dari akseptor. Menurut Sunarsih (2009) persoalan keluarga berencara menyangkut sesuatu yang sensitif, yaitu sekitar aktivitas seks dan cara-cara yang dipakai untuk menghindari kehamilan.Perlu dilakukan penyuluhan pelan-pelan melaui penanganan yang cukup bijaksan sehingga menjadi terbuka dan persoalannya dapa diperbincangkan dan dikomunikasikan secara terbuka.Dimensi waktu juga penting karena penerimaan masyarakat terhadap kontrasepsi tertentu dapat berubah-ubah sari waktu ke waktu. Terdapat normanorma mengenai kontrasepsi dan juga terdapat perubahan norma. BKKBN menangani persoalan sterilisasi dengan hati-hati karena MUI (Majelis Ulama Indonesia) tidak dapat menerima cara tersebut. Menarik perhatian bahwa alim ulama Islam di Bangladesh, Pakistan dan
Volume 1 Nomor 3Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
Tunisia dapat menerima sterilisasi, tetapi di Indonesia belum dapat diterima. Menurut Sunarsih (2009) bahwa apabila dalam agama terdapat larangan penggunaan alat kontrasepsi tertentu maka mereka tidak akan menggunakan alat tersebut. Hal itu bisa dilihat dengan adanya fatwa MUI bahwa tubektomi adalah haram, kecuali dilakukan dalam keadaan darurat dan sesuai dengan indikasi medis.Normanorma keluarga kecil hanya dapat berjalan dengan mantap apabila program KB di Indonesia dibarengi dengan kemajuan sosial ekonomi.Sistem kekerabatan yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia yang membuat seorang perempuan dalam pengambilan keputusan mengenai penggunaan alat kontrasepsi juga secara tidak langsung mempengaruhi pemakaian alat KB. Mendapatkan informasi yang benar dapat menjadikan alat guna memperjelas rumor salah yang beredar dimasyarakat. Ibu dengan sadar dapat memahami pengalaman-pengalaman menggunakan kontrasepsi dari ibu-ibu yang lain sehingga dapat diterima penjelasannya dengan cara yang benar dan tidak menimbulkan rasa tidak tenang terhadap suatu alat kontrasepsi. Faktor-faktor yang berperan dalam penatalaksanan sarana pelayanan kesehatan antara lain penyebaran sarana kesehatan baik yang negeri maupun swasta dalam segi kualitas dan kuantitas, penyabaran tenaga kesehatan, tarif yang dibutuhkan untuk mendapatkan sarana kesehata, tingkat dukungan keluarga dalm pemilihan alat kontrasepsi dan faktor perilaku berobat. Menurut saya, perasaan yang dirasakan ibu setelah memilih tubektomi sebagai kontrasepsinya antara lain bebas, puas, tidak ada keluhan, dan tidak ada kekhawatiran lagi akan terjadinya kehamilan. Meskipun demikian masih ada yang menyatakan bahwa mereka takut untuk tubektomi karena takut di operasi. Timbulnya perasaan takut akan efek yang dapat ditimbulkan saat menggunakan Tubektomi pada ibu yang mempengaruhi pemilihan kontrasepsi lebih dikarenakan kurangnya mendapat informasi tentang kontrasepsi. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkananalisisdeskriptifdanpemba hasanmengenaigambaranfactorpenghambatP asanganUsiaSuburmemilihtubektomisebagaial
30
atkontrasepsinyadapatdirumuskankesimpulan penelitiansebagaiberikut: 1. Berdasarkanvariablepengetahuan, PasanganUsia Subur lebih banyak yang mengetahui tentang informasi tubektomisebagaialatkontrasepsi. 2. Berdasarkanvariabletarif pelayanan, kebanyakan Pasangan Usia Subur beranggapan bahwa tarif pelayanan yang dibutuhkan untuk memperoleh jasatubektomilumayanmahal. 3. Berdasarkanvariabledukungankeluarga, kebanyakan Pasangan Usia Subur kurang mendapatkan dukungan dari keluarga untukmenggunakan KB tubektomi. 4. Berdasarkanvariableefeksamping, kebanyakan Pasangan Usia Subur beranggapan bahwa MOW (Metode Operatif Wanita) beresikomenimbulkanefeksamping. 5. Berdasarkan variabel penghambat dalam memilih tubektomi, Pasangan Usia Subur lebih banyak memilih untuk tidak ingin menggunakan tubektomi sebagai alat kontrasepsinya.
Saran 1. Bagi profesi keperawatan dapat dijadikan bahan acuan untuk memberikan informasi yang tepat tentang tubektomi. 2. Bagi perencana kebijakan (BKKBN dan DKK) hendaknya lebih meningkatkan pemberian informasi pada masyarakat sehingga dapat meningkatkan pengetahuan tentang tubektomi. 3. Bagi akseptor hendaknya dapat memanfaatkan pusat pelayanan kesehatan terdekat untuk mendapatkan informasi dan pelayanan tentang KB dengan baik dan benar sehingga padat memilih kontrasepsi yang terbaik bagi dirinya. 4. Bagi penelitian selanjutnya untuk lebih mengembangkan penelitian dengan menggunakan teknik penelitian kualitatif sehingga bisa menggali lebih dalam tentang hambatan dalam pemilihan tubektomi pada Pasangan Usia Subur sebagai alat kontrasepsinya dan penelitian tentang seberapa jauh peran petugas kesehatan dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat tentang tubektomi.
DAFTAR PUSTAKA Andria. 2009. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi PUS Tidak Menggunakan Alat Kontrasepsi Di Dusun Desa Tanjung Anom Kecamatan Pancur Baru Kabupaten Deli Serdang.Skripsi tidak diterbitkan. Sumatra Utara: Fakultas Keperawatan. Universitas Sumatra Utara. Badan Pusat Statistik. 2008. Distribusi Penduduk Menurut Privinsi. www. Datastatistik-indonesia.com. diakses pada tanggal 14 Maret 2012. BKKBN. 2008. Penanggulangan Efek Samping Kontrasepsi.Makassar : BKKBN. 2009. Informasi Pelayanan Kontrasepsi. Makassar : BKKBN. Idrus Sebbu. 8 Juni 2011.Kegiatan Bakti Sosial (Baksos) KB Kesehatan. Makassar, Sulawesi Selatan. Diakses Pada Tanggal 14 Maret 2012. Meliani
Niken, dkk. 2010. Pelayanan KELUARGA belajar).Yogyakarta : Fitrimaya.
BERENCANA
(dilengkapi
dengan
penuntun
Nanan.2009. Respon Pasien Terhadap Tarif Pelayanan Foto Rontgen Gigi. Skripsi Tidak Diterbitkan. Bandung : Fakultas Kedokteran Gigi. Universitas Padjadjaran. Sulistyawati, Ari. 2011. Pelayanan KELUARGA BERENCANA. Jakarta : Salemba Medika. Suara Karya. 4 November 2011. Penduduk Indonesia Setiap Hari Tambah 10.000 jiwa.Diakses Pada Tanggal 14 Maret 2012. Sugiyono.2008. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data.Jakarta : Salemba Medika Sunarsih. 2009. Hubungan Antara Karakteristik, Pengetahuan, Dukungan Keluarga, dan Tarif Pelayanan Dengan Pemilihan Jenis Kontrasepsi Suntik Pada Akseptor KB Di RSUD Pandan Arang Boyolali. Skipsi Tidak Diterbitkan. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sri Wahyuni, Eko. 2005. Beberapa Faktor yang Berkaitan Dengan Penggunaan KB IUD Pada Peserta KB Non IUD Di Kecamatan Pendurungan Kota Semarang.Skripsi tidak diterbitkan.Semarang : Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Diponegoro. Tribun Timur. 8 Juni 2011.Kegiatan Bakti Sosial (Baksos) KB Kesehatan.www. Pemprov Sulsel Target 173.002 Peserta KB Tahun 2011. Diakses Pada Tanggal 14 Maret 2012. Wahdaniah.2008. Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap Ibu Hamil Terhadap Kepatuhan Pelaksanaan ANC Di Puskesmas Galesong Kabupaten Takalar Tahun 2008. Skripsi Tidak Diterbitkan. Program Studi S1 Ilmu Keperawatan. STIKES Nani Hasanuddin. Makassar
Volume 1 Nomor 3Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
31
KAJIAN KEBIJAKAN PENYALURAN DANA BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN DALAM MENDUKUNG PENCAPAIAN KESEHATAN IBU DAN ANAK (MDGS 4,5) DI TIGA KABUPATEN, KOTA DI PROPINSI JAWA TIMUR INDONESIA (A Policy Review on The Distribution of Health Operational Aid Funds in Achieving Maternal and Child Health Program (MDGs 4, 5) in Three Districts/Cities of East Java Province) Niniek Lely Pratiwi1, Agus Suprapto1, Agung D Laksono1, Betty R1, Rukmini1, Gurendro1, Ristrini1, Wahyu D Astuti1, Oktarina1, Mugeni S1 Naskah masuk: 7 Agustus 2014, Review 1: 12 Agustus 2014, Review 2: 12 Agustus 2014, Naskah layak terbit: 9 Oktober 2014
ABSTRAK Latar belakang: Kebijakan Peraturan Menteri kesehatan Nomer 494/menkes/SK/IV/2010 tentang Penyaluran dana BOK kepada Pemerintah Daerah sebagai salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah untuk pembangunan kesehatan masyarakat dalam meningkatkan upaya kesehatan promotif dan preventif guna percepatan tercapainya MDGs Bidang Kesehatan. Tujuan kajian untuk memberikan rekomendasi kebijakan BOK dalam pencapaian program kesehatan ibu dan anak. Metode: Kajian data sekunder profil kesehatan kabupaten tahun 2009-2011 dan data primer focus group discussion (FGD) dengan mengundang pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten dan beberapa puskesmas serta staf pengelola BOK dari pemda. Hasil: Penurunan angka kematian ibu dan bayi masih lamban dan kasus gizi kurang makin meningkat dari hasil review data profil 3 kabupaten Sampang, Gresik dan kabupaten Sidoarjo. Pemerintah daerah kurang komitmen dalam menyusun strategi prioritas program kesehatan ibu dan anak dalam bentuk rencana inovasi aksi daerah. Kegiatan preventif promotif BOK kurang pengawasan dan kontrol pertanggungjawaban terutama pada puskesmas yang lokasinya jauh dari pusat pemerintahan kabupaten. Pertanggungjawaban keuangan kurang tepat program dan sasaran, mengingat data pencapaian kesehatan ibu dan anak cakupan KN1-KN4 naik pada tahun 2010, namun kemudian turun kembali pada tahun 2011. Kesimpulan: Perlu upaya evaluasi dan monitoring pemanfaatan dana BOK sesuai peruntukan, supervisi kegiatan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, maupun oleh tokoh masyarakat setempat. Prioritas monitoring pada puskesmas di daerah sulit dengan AKI dan AKB tinggi. Saran: Perlu pendampingan dan pembinaan rutin dan berkala berupa bimbingan teknis terkait pemanfataan BOK. Kata kunci: Bantuan operasional kesehatan/BOK, MDGs, Upaya preventif, promotif kesehatan ABSTRACT Background: Health Policy Regulation Number 494/Menkes/SK/IV/2010 on the distribution of BOK funds to local government is one of the government’s responsibility for the development of public health in improving health promotion and prevention efforts in order to accelerate the achievement of MDGs in Health. The purpose of the study is to provide policy recommendations regarding to BOK in achieving the goals of maternal and child health programs. Methods: Secondary data review of the district health profile in 2009-2011 and analysis on the primary data collected from focus group discussion (FGD) with invited technical implementor from district health office and health centers as well as some of the staffs of the local government that handle BOK. Results: The decline in maternal and infant mortality rates are still slow and cases of malnutrition increased from the three profile data review Sampang, Gresik and Sidoarjo. Local governments pay little commitment in developing priority strategies of maternal and child health programs in the form of a local action
1
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Litbang Kesehatan, Kemenkes RI, Jl. Indrapura 17 Surabaya Alamat Korespondensi:
[email protected]
395
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 4 Oktober 2014: 395–405 and innovation plan. BOK preventive promotive activities are lacking of monitoring and accountability controls, especially in health centers located far from the district center. Financial accountability is less precise to the programs and targetes, having seen the data of maternal and child health outcomes KN1-KN4 coverage which rose in 2010, but then fell back in 2011. Conclusion: Evaluation and monitoring are needed on the utilization of BOK funds, supervising the activities by the district/city health office, as well as by local community leaders. Prioritise monitoring the health centers in the area with high MMR and IMR. Suggestion: Needed routine and periodic mentoring and coaching in the form of technical assistance related to the utilization of BOK. Key words: Health Operational Funds channelling, Maternal child of Health, Preventif and promotif
PENDAHULUAN Upaya peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat selain diarahkan untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs), juga harus diarahkan pada pembudayaan pola hidup sehat bagi masyarakat melalui upaya promotif, preventif, dan pemberdayaan masyarakat. Dukungan jajaran Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (Tim Penggerak PKK) di Kabupaten/Kota merupakan faktor penting dalam mewujudkan budaya hidup sehat bagi masyarakat. Urusan pemerintahan di bidang kesehatan merupakan urusan bersama (concurrent function) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sehingga setiap Pemerintah Daerah diwajibkan untuk meningkatkan pemerataan dan aksesibilitas pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat. Pengembangan kegiatan dan penyediaan dukungan anggaran yang memadai, harus berpedoman pada ketentuan mengenai Standar Pelayanan Minimal (SPM) di bidang pelayanan kesehatan (Djaswadi Dasuki, 2001). Berbagai upaya telah dan akan terus ditingkatkan baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah agar peran dan fungsi Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan dasar semakin meningkat. Dukungan pemerintah bertambah lagi dengan diluncurkannya Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) bagi Puskesmas sebagai kegiatan inovatif di samping program kesehatan lainnya seperti Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Persalinan atau Jampersal (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Kebijakan penyaluran dana BOK oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2010 merupakan salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah dalam pembangunan kesehatan bagi masyarakat di
396
pedesaan/kelurahan khususnya dalam meningkatkan upaya kesehatan promotif dan preventif guna tercapainya target Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan. SPM sebagai tolok ukur urusan kewenangan wajib bidang kesehatan, telah dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Puskesmas sebagai salah satu unit pelaksana pelayanan bidang kesehatan juga mengemban amanat untuk mencapai target tersebut sehingga masyarakat akan mendapat pelayanan kesehatan yang semakin merata, dan berkeadilan. Dana BOK bukan merupakan dana utama dalam penyelenggaraan upaya kesehatan di kabupaten/ kota. Beberapa issu public ditengarai bahwa ada kebijakan tingkat regional, yaitu Pemerintah Daerah mengurangi alokasi pembiayaan program promotif kesehatan ke luar sektor kesehatan, dengan asumsi mereka telah terbiayai oleh dana BOK. Pemerintah Pusat memberikan tambahan dana operasional puskesmas tersebut karena sebagian besar pemda mengalokasikan dana tersebut sangat kurang, dan mengharapkan pemda tidak mengurangi lagi anggaran yang sudah dialokasikan untuk operasional Puskesmas. Masih terdapat berbagai masalah yang dihadapi oleh Puskesmas dan jaringannya dalam upaya meningkatkan status kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya. Beberapa pemerintah daerah mampu mencukupi kebutuhan biaya operasional kesehatan Puskesmas di daerahnya. Di saat yang sama, tidak sedikit pula pemerintah daerah yang masih sangat terbatas alokasi untuk biaya operasional termasuk preventif, promotif Puskesmas. Sementara itu, masih terjadi disparitas antar berbagai determinan sosial di masyarakat yang meliputi perbedaan situasi dan kondisi wilayah, pendidikan masyarakat, sosial ekonomi dan determinan sosial lainnya.
kesehatan, dengan asumsi mereka telah terbiayai oleh dana BOK. Pemerintah pusat memberikan tambahan dana operasional puskesmas tersebut karena sebagian besar pemda mengalokasikan dana tersebut sangat kurang, dan mengharapkan pemda
tidak mengurangi lagi anggaran yang
sudah dialokasikan untuk operasional Puskesmas. Masih terdapat berbagai masalah yang dihadapi oleh Puskesmas dan jaringannya dalam upaya meningkatkan status kesehatan masyarakat
di
wilayah kerjanya.
Beberapa
pemerintah
daerah
mampu
mencukupi
kebutuhan biaya operasional kesehatan Puskesmas di daerahnya. Di saat yang sama, tidak sedikit pula pemerintah daerah yang masih sangat terbatas alokasi untuk biaya operasional termasuk preventif, promotif Puskesmas. Sementara itu, masih terjadi disparitas antar berbagai determinan sosial di masyarakat yang meliputi perbedaan situasi dan kondisi wilayah, pendidikan masyarakat,Dana sosialBantuan ekonomi dan determinan sosial lainnya. Kajian Kebijakan Penyaluran Operasional Kesehatan (Niniek L. Pratiwi, dkk.) METODE
METODE Kerangka Konsep
Goal 7 (Target 7C) Menjamin Kelestarian Lingkungan Hidup. Kajian policy paper ini membatasi hanya pada Kerangka Konsep kesehatan ibu dan anak (target 4 dan 5). Kajian ini melakukan analisis hasil penelitian BOK •TurunanPoicy:Perda,Perbup,Perwali •Sosialisasi terdahulu, studi literatur capaian kesehatan ibu dan •FasilitasiPenyelenggaraanProgram/Kegiatan anak pada data profil kesehatan kabupaten, kota p n •F •K •K •K tahun 2009, 2010 dan 2011 serta data penyerapan e u e e e Akseptabilitas i aia n te te p s d p gs r r e an u Kebijakan a r n St C iM se se m dana BOK. Kajian hasil wawancara mendalam, saa SPM,MDG’S i i d d m o s an a ia ia p a S g k n n a a i K Ketepatan o aj n n n i n � ja d taa L n pengembangan konsep dilakukan dengan analisis e S F an i Kapasitas Programdan a m D as Implementasi IA a d se K e K Manajerial k Sasaran IA e d n – ya n BOK – 5 n K e K dalam dialog selama diskusi yang menyangkut g MDG’S , m s d P M ke ra lP u O n o g si s n att e A r r a ar C Faktor S T P H juga beberapa konten BOK. Komponen dalam . . . Kontekstual 1 2 3 e K prosedur metodologi analisis kebijakan tersebut adalah perumusan masalah, prediksi, rekomendasi, • Kemiskinan pemantauan dan evaluasi. Melakukan analisis • KondisiGeograf i • PeranKeluarga kebijakan berarti menggunakan kelima prosedur metodologi tersebut dalam proses kajiannya dengan metode sencePendekatan making (Dunn, 2000). Gambar 1.Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan BOK Berdasarkan Penelitian ini merupakan kajian kebijakan BOK, Sistem dengan metode potong lintang. Data sekunder HASIL yang dikumpulkan meliputi data profil kesehatan, Faktor Determinan Penyaluran Dana BOK Penelitian inipenyerapan merupakan kajian kebijakan BOK, dengan metode potong lintang. Data sekunder dokumen anggaran BOK tahun 2009, 2010, 2011 dan meliputi review data beberapa hasil penelitian Kebijakan penyaluran yang dikumpulkan profil kesehatan, dokumen penyerapan anggaran BOK tahun dana BOK ke puskesmas BOK terdahulu. dilihat dari berbagai faktor determinan yang 2009, 2010, 2011 dan review beberapa hasil penelitian BOK terdahulu. Kajian dilakukan dengan mengumpulkan informasi memengaruhi tercapainya tujuan MDGs ke 4,5. 3� melalui wawancara mendalam pada pengelola Hasil diskusi diperoleh pandangan bahwa kebijakan �program kesehatan ibu dan anak, bendahara BOK penyaluran dana BOK dipengaruhi oleh sistem proses tingkat kabupaten, kota antara lain: kepala sub bid pengajuan penganggaran, Rencana Pengajuan program dinkes, kepala puskesmas di kabupaten Kegiatan (RPK) yang disusun setahun sekali, Gresik, Sidoarjo, kabupaten Sampang dan kota terkadang di tengah kegiatan ada program prioritas Surabaya. Pertemuan berupa diskusi kelompok yang sifatnya Bottom up atau ada kejadian luar biasa terarah, lokakarya dihadiri oleh kepala bidang program atau emergency, yang harus dilaksanakan dan belum dan kepala sub bidang dinas kesehatan kabupaten diajukan di RPK. Sumber daya manusia juga menjadi dan peneliti. faktor determinan adanya tugas rangkap petugas di Variabel penelitian adalah akseptabilitas kebijakan, puskesmas yang berakibat petugas kurang fokus kontekstual (isi substansi BOK), dan kapasitas dalam bekerja. Hal ini terlihat dari komentar selama manajerial ditanyakan secara mendalam kepada diskusi menanggapi adanya kebijakan BOK sebagai para decisions makers tingkat kabupaten. Sedangkan berikut, variabel ketepatan program sasaran MDGs dan “RPK disusun setahun sekali, boleh mengubah, faktor konstekstual: geografis dan kemiskinan dari tapi akan memperlama proses. Karena akan laporan profil kesehatan kabupaten, kota. Variabel mengubah pengajuan ke KPPN. Jadi kegiatan penyerapan anggaran BOK diperoleh dari rekapitulasi harus sesuai dengan RPK. Kembali lagi ke penyerapan anggaran BOK triwulan, dan tahunan. SDM yang ada di PKM, karena banyak yang Kementerian Kesehatan mentargetkan pada tahun mempunyai tugas rangkap”. (Informan Dinkes 2015 pencapaian MDGs untuk tujuan Goal 1 (Target Kota Surabaya) 1C) Memberantas kemiskinan dan kelaparan; Goal 4 (Target 4A) Menurunkan Angka Kematian anak; Prioritas Program Goal 5 (Target 5A) Meningkatkan kesehatan ibu; Goal Penyaluran dana BOK ditujukan untuk prioritas 6 (Target 6A & 6B) Mengendalikan HIV dan AIDS; program pencapaian tujuan MDGs, khususnya GoaL 6 (Target 6C) Mengendalikan Penyakit TB; 397
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 4 Oktober 2014: 395–405
peningkatan kesehatan anak dan kesehatan ibu. Pemanfaatan dana BOK di kabupaten/kota, diprioritaskan pada upaya preventif dan promotif kesehatan ibu dan anak untuk mengatasi tingginya angka kematian ibu dan bayi suatu daerah, termasuk pula penyakit menular yang dapat mempengaruhi kesehatan maternal. Dana BOK dapat dipakai untuk pemberian makanan tambahan atau PMT anak balita dan ibu hamil dalam setiap kunjungan posyandu. Besaran nilai rupiah untuk PMT tergantung kebutuhan dan harga satuan makanan setempat. Pemberian PMT yang bervariasi dengan kandungan Gizi perlu menjadi pertimbangan utama. Alokasi besaran PMT untuk setiap puskesmas dengan mempertimbangkan besarnya permasalahan status gizi balita di setiap daerah, seperti diungkapkan oleh informan dari Dinkes Kabupaten Gresik sebagai berikut. “Besarnya jumlah dana BOK per puskesmas tergantung jumlah kunjungan, jumlah penduduk dan tipe puskesmas. Gresik pembagian dana BOK berdasarkan jumlah penduduk, jumlah kunjungan, tipe puskesmas. Uuntuk pengadaan PMT, kalau bisa diadakan di dinas, agar seluruh PKM dapat PMT, karena bila diadakan di level PKM, masing-masing PKM ada yang menganggarkan dan ada yang tidak”. “PMT di sidoarjo sebesar 1,4 M (APBD), PMT di gresik 585 jt (APBD). Kabupaten Sidoarjo BOK 2,2 M dengan rincian 1,950 M untuk PKM, 300 jt untuk dinas. Besaran dana BOK kabupaten Gresik 2,7 Miliar dengan rincian untuk PKM 2,4 M, 300 juta untuk manajemen dinas. APBD untuk preventif, promotif di sampang: PMT penyuluhan, honor, kegiatan promkes - 299 juta. Pencegahan penyakit dan penyehatan lingkungan 200 jt. Imunisasi 92 juta. APBD untuk prev prom Gresik: 54 jt untuk promkes”.
Affordability atau Keterjangkauan Biaya Keterjangkauan biaya atau affordability telah mendorong dikeluarkannya kebijakan BOK yaitu berkaitan dengan wewenang dalam konteks otonomi daerah. Daerah otonom, yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas398
batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (Pasal 1 angka 6 UU No 32 Tahun 2004) berhak mengurus urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang tertulis pada Pasal 12 UU No. 32 Tahun 2004 memberikan panduan, yaitu: (1) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. (2) Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan. Penyaluran dana BOK setiap puskesmas di kabupaten/kota berdasarkan jumlah penduduk, jumlah kunjungan dan tipe puskesmas, dipertimbangkan untuk menambah variabel penting lainnya seperti besarnya permasalahan kesehatan ibu dan anak dan geografis yang sulit. Biaya transportasi petugas kesehatan dalam upaya preventif dan promotif kesehatan ibu dan anak dari kecamatan ke desa dengan besaran Rp 25.000 per orang, ditentukan sesuai dengan peraturan daerah dan kelayakan geografis. Kegiatan kunjungan neonatal I-IV petugas kesehatan dalam pemeriksaan ibu hamil ke rumah dalam upaya jemput bola bagi ibu hamil yang tidak mau ke puskesmas karena medan yang sulit dapat memanfaatkan dana BOK sebagai pengganti transport, termasuk pula kunjungan Nifas bagi ibu bersalin dapat memakai dana BOK ini. Berikut tanggapan tentang peruntukan alokasi anggaran BOK, oleh informan dari Kabupaten Gresik, “Dana BOK melalui TP (tugas Pembantuan) sebenarnya tidak tepat, karena BOK turun tiap tahun. Bila dimasukkan dalam Dana alokasi Khusus/DAK, juga kurang tepat karena DAK untuk kegiatan yang “emergency”. Jadi untuk tahun depan akan ditempelkan di DAU”. “Di Gresik terdapat 6994 kader, honor berasal dari APBD, transport bisa dari BOK, 25 ribu. Di Sampang, transport dari puskesmas ke desa 15 ribu. Dari APBD honor kader posyandu 30 ribu per bulan. Banyak kader yang merangkap hingga menangani 3 posyandu. Jumlah posyandu 904 dengan kader 200-
Kajian Kebijakan Penyaluran Dana Bantuan Operasional Kesehatan (Niniek L. Pratiwi, dkk.)
300an kader. Dasar dari pembagian dana BOK bermacam-macam dasar”. Sedangkan tanggapan informan kabupaten Sidoarjo mengatakan bahwa, “Di Sidoarjo, sudah menyusun POA dan RPK bulanan untuk satu tahun. Bila ada perubahan RPK, akan memperlama proses pengajuan keuangan (butuh waktu yang lebih lama), yang akan berpengaruh atau berdampak ke seluruh rangkaian kegiatan dan berimbas pada penyerapan anggaran. Di Sidoarjo ada peraturan Bupati yang mengatur bahwa transport dari PKM ke desa wilayah kerja sebesar 25 ribu”. Health System Building Blocks Beberapa pernyataan tentang hambatan yang dihadapi dalam membangun sistem penyaluran dana BOK ditanggapi oleh beberapa informan, seperti dari Dinkes kabupaten Sidoarjo, “Anggaran BOK tahun ini disamakan. BOK bisa untuk transpor kader posyandu, kader posyandu usila. Sidoarjo per posyandu dapat 25 ribu, di Gresik kader per orang 10 ribu. APBD: ada dana 50 ribu per posyandu (1670 posyandu) untuk kegiatan posyandu, tidak melihat berapa pun jumlah balita yang ada. Refresing kader bisa diambil dari BOK, untuk transport dan konsumsi. Sedangkan komentar dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sampang bahwa: “Besaran alokasi dana BOK per puskesmas berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, realisasi penyerapan tahun lalu, jumlah nakes medis dan paramedik”. Program imunisasi, terutama daerah endemis Diphteri seperti propinsi Jawa Timur, maka upaya jemput bola petugas imunisasi ke masyarakat dapat memanfaatkan dana BOK. Imunisasi TT untuk ibu hamil, dan pra hamil. Buku Petunjuk Teknis Penyaluran Dana BOK perlu memberikan contoh konkrit peruntukannya sehingga petugas kesehatan di lapangan tidak ada keraguan dalam pertanggungjawaban keuangannya dan dapat lebih mudah merencanakan kegiatan preventif dan promotif ini. Berikut tanggapan seorang informan dari puskesmas di Kota Surabaya, bahwa:
“Pos KLB dari BOK ada anggarannya, meskipun itu belum tentu terserap. Kalau di Kabupaten lain, pos KLB tidak ada, pos KLB dianggarkan dari APBD, yang lebih longgar dalam melakukan perubahan. Seperti contoh adanya wabah Diptheri di Surabaya pada tahun 2012 dapat menggunakan alokasi KLB dari dana BOK dan mengingatkan petugas kesehatan untuk melakukan upaya preventuf dan promotif.” Kendala kebijakan BOK dalam mencapai tujuan program diantaranya adalah administrasi pertanggungjawaban keuangan yang dirasakan membingungkan, sehingga pada awal kebijakan menjadi kendala. Perlu proses pembelajaran semua pihak terkait sehingga dengan berjalannya waktu akan terbiasa mengerjakan sesuai standar peraturan keuangan Negara. Faktor yang menghambat antara lain dana BOK di masukkan sebagai DAU dan ini memberikan konsekuensi anggaran untuk kesehatan berkurang karena ada substitusi anggaran dari pusat. Faktor penghambat lainya adalah pertanggungjawaban administrasi dana BOK terlalu ketat, sehingga beberapa kabupaten takut untuk membuat pertanggungjawaban keuangan negara. Penyaluran dana BOK yang diperuntukkan kegiatan prioritas di beberapa kabupaten menyebutkan untuk pemberian makanan tambahan bagi balita kurang gizi di posyandu, kegiatan promosi petugas kesehatan, juga untuk transpor kader kesehatan ke posyandu. Besaran transpor kader berbeda setiap kabupaten tergantung Perda atau kebijakan di tingkat kabupaten, kota. Berikut tanggapan informan dari Dinkes Kota Surabaya, “Pertanggungjawaban BOK terlalu njlimet yang merepotkan. Yang bertanggung jawab terhadap dana bukan bendahara, tapi Petugas Pelaksana Teknis Kegiatan/PPT. Transport Perjalanan dinas lebih dari 5 kilo, transport 80 ribu, kalo kurang dari 5 KM, dapat 25 ribu”. “Untuk tahun depan, BOK tidak lagi masuk kedalam dana Tugas Perbantuan/TP. Tapi masuk di dalam dana alokasi khusus/DAU. Dikhawatirkan setelah masuk DAU, jatah anggaran untuk Dinkes Kabupaten akan berkurang, karena ada substitusi anggaran dari pusat”. 399
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 4 Oktober 2014: 395–405
Informan di Kabupaten Gresik memberikan tanggapan bahwa “ “Dana BOK melalui TP (tugas Pembantuan) sebenarnya tidak tepat, karena BOK turun tiap tahun. Bila dimasukkan dalam Dana alokasi Khusus/DAK, juga kurang tepat karena DAK untuk kegiatan yang “emergency”. Jadi untuk tahun depan akan ditempelkan di DAU”.
Beberapa data profil kesehatan kabupaten/kota yang dapat disajikan sebagai informasi dalam capaian kesehatan ibu dana anak baik sebelum dan sesudah adanya kebijakan dana penyaluran BOK gambar di bawah ini.
Formulasi cost sharing pembiayaan upaya preventif promotif dari pemerintah kabupaten/kota melalui APBD. Masyarakat dapat berperan dan dikembangkan melalui mobilisasi dari beberapa sumber dari masyarakat, ataupun perusahaan misalkan Corporate Social Responsibility atau CSR. Berikut tanggapan dari kabupaten Gresik sebagai kota industri. “Memobilisasi sumber daya yang ada di setiap daerah perlu dikembangkan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat setempat, baik masyarakat secara individu, maupun kelompok. Potensi daerah dalam Dana Bagi hasil Cukai Rokok dapat pula menjadi salah satu CSR, namun tentunya harus mempertimbangkan banyak hal terutama dalam era bebas rokok, mungkinkah hal ini dilakukan?”. Potensi daerah dalam menggerakkan pembangunan kesehatan di wilayahnya dapat pula dikembangkan, terutama bila terdapat industri kecil maupun besar. Berikut tanggapan dari Dinas kabupaten Gresik:
Gambar 2. Trend Jumlah Kunjungan Ibu Hamil (KI) di Kabupaten Sampang, Gresik dan Kabupaten Sidoarjo Propinsi Jawa Timur.
Berdasarkan gambar grafik di atas tampaknya jumlah kunjungan K1 kabupaten Sampang ada peningkatan setelah kebijakan dana BOK, namun untuk kabupaten Sidoarjo tidak ada peningkatan bahkan sedikit menurun, demikian pula kabupaten Gresik kunjungan K1 malah terjadi penurunan yang cukup tajam pada tahun 2011.
“Untuk menjadi wacana bila CSR bisa membiayai BOK, untuk daerah terdampak. Hal ini berlaku untuk daerah dengan industri yang banyak. CSR diberikan oleh perusahaan pada dinas, selain juga diberikan pada masyarakat langsung.contoh pada DBHCT (Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau)”. Tren Hasil Program Kesehatan Ibu dan Anak sebelum dan Setelah Kebijakan BOK Perkembangan pencapaian cakupan MDGs kesehatan ibu dan anak dapat dikaji dengan menampilkan pencapaian sebelum dan setelah adanya kebijakan BOK. Hasil dilihat pada penjelasan continum of care data profil kesehatan kabupaten, kota sejak tajun 2009 sampai dengan tahun 2011. 400
Gambar 3. Kecenderungan Jumlah Angka Kematian Ibu di Kabupaten Sampang, Gresik dan Kabupaten Sidoarjo Propinsi Jawa Timur
Kajian Kebijakan Penyaluran Dana Bantuan Operasional Kesehatan (Niniek L. Pratiwi, dkk.)
Gambar 3 memperlihatkan terjadi penurunan angka kematian ibu di kabupaten Sidoarjo, namun pada kabupaten Gresik terjadi peningkatan pada tahun 2010 dan kembali turun sedikit pada tahun 2011. Tampaknya angka kematian ibu ini tidak berpengaruh dengan meningkatnya kunjungan K1 ibu hamil ke petugas kesehatan.
Gambar 4. Trend Jumlah Persalinan oleh Nakes di Kabupaten Sampang, Gresik dan Kabupaten Sidoarjo Propinsi Jawa Timur
Terlihat bahwa di 3 kabupaten Sampang, Gresik dan Sisoarjo terjadi tren peningkatan persalinan oleh tenaga kesehatan setelah adanya kebijakan dana BOK yang diturunkan pada setiap puskesmas. Kesehatan Anak
sangat tajam pada tahun 2011. Kabupaten Sidoarjo angka kematian bayi pada tahun 2010 menurun sedikit dan kemudian pada tahun 2011 angka kematian bayi menurun sangat tajam yaitu pada angka 2,49 per 1000 kelahiran. Di kabupaten Gresik angka kematian Bayi pada tahun 2010 menurun cukup tajam namun pada tahun 2011 naik kembali menjadi 7,5 per 1000 kelahiran.
Gambar 6. Kecenderungan Jumlah Balita Gizi Buruk di Kabupaten Sampang, Gresik dan Kabupaten Sidoarjo Propinsi Jawa Timur
Dari gambar grafik di atas tampak bahwa kecenderungan Balita Gizi Buruk di kabupaten Sampang dan Sidoarjo meningkat pada tahun 2010 dan tahun 2011. Tren Balita gizi buruk menurun pada tahun 2010, dan tahun 2011 di Kabupaten Gresik. PEMBAHASAN Faktor Affordability Pencapaian MDGs Kesehatan Ibu dan Anak
Gambar 5. Kecenderungan Jumlah Angka Kematian Bayi (AKB) di Kabupaten Sampang, Gresik dan Kabupaten Sidoarjo Propinsi Jawa Timur
Pada gambar grafik di atas tampak bahwa di kabupaten Sampang pada tahun 2010 terjadi peningkatan angka kematian, namun menurun dengan
Penurunan angka kematian ibu dan bayi masih lamban dan kasus gizi kurang makin meningkat dari hasil review data profil dari ke 3 kabupaten di Jawa Timur, yaitu Kabupaten Gresik, Sidoarjo dan kabupaten Sampang. Jumlah petugas kesehatan masih sangat terbatas dengan wilayah kecamatan yang luas dan geografis yang tidak memungkinkan, terlihat dari hasil diskusi bahwa banyak tugas rangkap, maka pemberdayaan masyarakat merupakan suatu keniscayaan yang diharapkan secara langsung dapat mempercepat pencapaian MDGs. Perlu suatu gerakan inovatif dengan memberdayakan masyarakat setempat dalam pemantauan dan penimbangan gizi bagi Balita, pemantauan pemeriksaan kunjungan neonatal ke fasilitas kesehatan. Pemberdayaan 401
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 4 Oktober 2014: 395–405
masyarakat “gerakan sehat untuk semua” akan menjadi suatu nilai tersendiri di mata masyarakat. Pemberdayaan masyarakat akan menimbulkan suatu nilai rasa memiliki program kesehatan. Masyarakat akan merasa membutuhkan pengetahuan, keterampilan tentang upaya preventif kesehatan ibu dan anak yang seharusnya mereka lakukan. Permasalahan kesehatan bukan semata mata permasalahan petugas kesehatan. Jika masyarakat peduli terhadap kesehatan maka permasalahan kesehatan adalah masalah masyarakat dan menjadi tanggung jawab masyarakat itu sendiri. Hasil analisis lanjut Riskesdas 2010 oleh Niniek Lely Pratiwi dkk pada tahun 2012 dikatakan bahwa umur kehamilan saat ANC pertama kali didominasi oleh kelompok umur 3 bulan pertama di perkotaan 82,5%, di pedesaan 67,4%. Terlihat bahwa pemeriksaan ANC pertama kali prevalensi terbesar pemeriksaan kehamilan pada umur kehamilan 3 bulan pertama kehamilan. Di pedesaan pemeriksaan ANC pertama kali pada umur kehamilan 4-6 bulan 14,7% dibandingkan ibu hamil di perkotaan yang peduli terhadap kehamilannya, bahkan yang menjawab tidak tahu umur kehamilan saat ANC pertama kali pun di pedesaan 10,7%. Ditemukan bahwa di negara miskin, sekitar 25– 50% kematian wanita usia subur disebabkan oleh masalah yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan, dan nifas. WHO memperkirakan di seluruh dunia setiap tahunnya lebih dari 585.000 meninggal saat hamil atau bersalin. Berdasarkan hasil SDKI 2007 derajat kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih perlu ditingkatkan ditandai oleh Angka Kematian Ibu (AKI) yaitu 228/100.000 Kelahiran Hidup (KH), dan tahun 2008, 4.692 jiwa ibu meninggal di masa kehamilan, persalinan, dan nifas. Angka Kematian Bayi (AKB) 34/1000KH, menunjukkan terjadi stagnasi bila dibandingkan dengan SDKI 2003 yaitu 35 per 1000 KH. Berdasarkan data SKRT 2003 bahwa penyebab langsung kematian ibu adalah pendarahan 28%, eklamsi 24%, infeksi 11%, partus lama 5%, abortus 5%, dan lain-lain. Sedangkan menurut hasil Riskesdas 2007, penyebab kematian bayi baru lahir 0-6 hari di Indonesia adalah gangguan pernapasan 36,9%, prematuritas 32,4%, sepsis 12%, hipotermi 6,8%, kelainan darah/ikterus 6,6% dan lain-lain. Penyebab kematian bayi 7-28 hari adalah sepsis 20,5%, kelainan kongenital 18,1%, pneumonia 15,4%, prematuritas 402
dan BBLR 12,8%, dan RDS 12,8%. Oleh karena itu, upaya penurunan angka kematian bayi dan Balita perlu memberikan perhatian yang besar pada upaya penyelamatan bayi baru lahir dan penanganan penyakit infeksi (diare dan pneumonia). Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi terjadinya kematian ibu maupun bayi adalah kemampuan dan keterampilan penolong persalinan. Pesan pertama kunci Making Pregnancy Safer (MPS) yaitu setiap persalinan hendaknya ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih. Faktor lain adalah kurang pengetahuan dan perilaku masyarakat yang tidak mengenali tanda bahaya dan terlambat membawa ibu, bayi dan balita sakit ke fasilitas kesehatan. Pengetahuan dan perilaku masyarakat tentang tanda bahaya kehamilan diperlukan suatu fasilitasi upaya promotif pada masyarakat baik melalui pendidikan formal maupun non formal (Nova Corcoran, 2008). Bekal pengetahuan reproduksi remaja dan KIA seharusnya masuk dalam kurikulum anak sekolah menengah ke atas. Adanya kebijakan penyaluran dana BOK dapat memfasilitasi upaya preventif dan promotif kesehatan ibu dan anak. Pada tahun 2008 cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di Indonesia sudah mencapai 80,68%, sehingga masih ada pertolongan persalinan yang dilakukan oleh dukun bayi dengan cara tradisional. Hasil analisis data Riskesdas tahun 2010 menyatakan bahwa pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan rerata angka nasional menunjukkan persalinan oleh tenaga kesehatan 78,7%, dan persalinan oleh dukun bayi 17,7%. Pemerintah berupaya untuk memecahkan masalah tersebut. Kementerian Kesehatan RI telah meluncurkan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) dengan stiker yang telah terbukti mampu meningkatkan secara signifikan cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dan Buku KIA sebagai informasi dan pencatatan keluarga yang mampu meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan ibu/bayi, dan balita. Hasil analisis lanjut Riskesdas 2010 oleh Niniek L Pratiwi dkk mengatakan bahwa ibu hamil yang memiliki buku KIA di pedesaan 30,3% yang diperlihatkan dan yang mengaku punya namun tidak memperlihatkan 48,3% sedangkan yang tidak memiliki 21,4%. Menurut Sri Hermiyanti menjelaskan dengan tercatatnya ibu hamil secara tepat dan akurat serta dipantau secara intensif oleh tenaga kesehatan dan kader di wilayah
Kajian Kebijakan Penyaluran Dana Bantuan Operasional Kesehatan (Niniek L. Pratiwi, dkk.)
tersebut, maka setiap kehamilan sampai persalinan dan nifas diharapkan dapat berjalan dengan aman dan selamat (http://www.depkes.go.id/index.php/berita/ press-release/790-ibu-selamat-bayi-sehat-suamisiag.html,2012). Penemuan kasus ibu hamil Risti yang sudah ditangani oleh petugas kesehatan yang meningkat dengan adanya kebijakan dana BOK, diharapkan akan menjadi suatu budaya bagi petugas kesehatan dalam melaksanakan tugas pokoknya, mereka menjemput bola ke masyarakat, mengingat dana transpor ke masyarakat sudah tersedia. Dana BOK dapat pula dipakai buat transpor kader. Kejadian kematian ibu dan bayi yang terbanyak terjadi pada saat persalinan, pasca-persalinan, dan hari pertama kehidupan bayi masih menjadi tragedi yang terus terjadi di negeri ini. Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir memerlukan upaya dan inovasi baru. Upaya untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir harus melalui pemberdayaan masyarakat setempat. Terlebih bila dikaitkan dengan target Millenium Development Goals (MDGs) 2015, yakni menurunkan angka kematian ibu (AKI) menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup, dan angka kematian bayi (AKB) menjadi 23 per 100.000 kelahiran hidup yang harus dicapai. Waktu yang pendek, tidak akan cukup untuk mencapai sasaran itu tanpa berbagai upaya yang luar biasa (Direktorat Bina Kesehatan Anak, 2012). Faktor Determinan Pencapaian MDGs Kesehatan Ibu dan Anak Kebijakan penyaluran dana BOK dipengaruhi oleh faktor determinan antara lain yaitu sistem proses pengajuan penganggaran, Rencana Pengajuan Kegiatan atau RPK disusun setahun sekali. RPK selayaknya dibuat lebih fleksibel agar dapat dimanfaatkan untuk kegiatan yang terkadang sifatnya Bottom up atau ada kejadian luar biasa, yang harus dilaksanakan dan belum diajukan di RPK. Sumber daya manusia juga menjadi faktor determinan yaitu adanya tugas rangkap petugas di puskesmas. Kebijakan dana BOK diharapkan dapat didukung oleh pemerintah kabupaten/kota untuk upaya preventif dan promotif bidang KIA agar keterlambatan rujukan dapat dikurangi. Hasil Riset etnografi budaya Badan Litbangkes di kabupaten Gayolues 2012, bahwa risiko kematian ibu juga makin tinggi akibat adanya
faktor keterlambatan, yang menjadi penyebab tidak langsung kematian ibu. Ada tiga risiko keterlambatan, yaitu terlambat mengambil keputusan untuk dirujuk karena persoalan adat (termasuk terlambat mengenali tanda bahaya), terlambat sampai di fasilitas kesehatan pada saat keadaan darurat dan terlambat memperoleh pelayanan yang memadai oleh tenaga kesehatan. Dua pertiga kematian pada bayi terjadi pada masa neonatal (28 hari pertama kehidupan). Penyebabnya terbanyak adalah bayi berat lahir rendah dan prematuritas, asfiksia (kegagalan bernapas spontan) dan infeksi (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Pemerintah Daerah Provinsi perlu komitmen untuk mendukung pencapaian Millineum Developmen Goals termasuk percepatan penurunan kematian ibu dan kematian bayi baru lahir dengan menyusun Rencana Aksi Daerah di samping terobosan lainnya. Beberapa contoh komitmen, Provinsi Nusa Tenggara Barat telah mencanangkan Program AKINO (Angka Kematian Ibu dan Bayi Nol) dengan meningkatkan akses dan kualitas pelayanan KIA hingga ke tingkat desa; Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan Program Revolusi KIA dengan tekad mendorong semua persalinan berlangsung di fasilitas kesehatan yang memadai (puskesmas); Pemda DI Yogyakarta berkomitmen meningkatkan kualitas pelayanan dan penguatan sistem rujukan, serta penggerakan semua lintas sektor dalam percepatan pencapaian target MDGs oleh Pemda Provinsi Sumatera Barat. Sebenarnya sudah ada upaya terobosan pemerintah dengan adanya program Jampersal (Jaminan Persalinan) yang digulirkan sejak 2011. Program Jampersal ini diperuntukkan bagi seluruh ibu hamil, bersalin dan nifas serta bayi baru lahir yang belum memiliki jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan. Melalui program ini, pada tahun 2012 Pemerintah menjamin pembiayaan persalinan sekitar 2,5 juta ibu hamil agar mereka mendapatkan layanan persalinan oleh tenaga kesehatan dan bayi yang dilahirkan sampai dengan masa neonatal di fasilitas kesehatan. Program yang punya slogan Ibu Selamat, Bayi Lahir Sehat ini diharapkan memberikan kontribusi besar dalam upaya percepatan penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir. Keberhasilan Jampersal tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan pelayanan kesehatan namun juga kemudahan masyarakat menjangkau pelayanan kesehatan di samping pola pencarian pertolongan kesehatan dari masyarakat, sehingga 403
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 4 Oktober 2014: 395–405
dukungan dari lintas sektor dalam hal kemudahan transportasi serta pemberdayaan masyarakat menjadi sangat penting. Program Jampersal ternyata tidak signifikan memberikan konstribusi dalam penurunan angka kematian ibu bersalin. Pada awal Januari 2014 telah di launching-nya oleh Kementerian Kesehatan tentang jaminan kesehatan nasional atau JKN. Program tersebut mencakup pelayanan persalinan, perlu dipikirkan kebijakan yang lebih inovatif agar tidak terjadi lonjakan kematian ibu bersalin. Hasil SDKI 2012 menunjukkan AKI sebesar 359 per 100.000 kelahiran. Tren peningkatan AKI, dikhawatirkan menyebabkan sasaran MDG 5a tidak akan tercapai, demikian juga dengan sasaran MDG 4. Upaya perlu lebih ditingkatkan agar penurunan AKI dan AKB melebihi tren yang ada sekarang. Penyaluran dana BOK ke puskesmas yang sejak mulai tahun 2010 telah didistribusikan ke seluruh puskesmas di Indonesia tidak menunjukkan pemanfaatan yang semestinya sesuai tujuan untuk percepatan pencapaian MDGs. Kebijakan ini sangat bagus dan merupakan upaya inovasi yang memiliki daya ungkit yang tinggi. Ada kemungkinan ketidaktepatan sasaran pengguna anggaran BOK, meskipun tanggung jawab administrasi sudah tidak ada masalah. Perlu penelitian lebih lanjut tentang pemanfaatan dana BOK sesuai pengguna sasaran preventif, promotif program KIA. Diperlukan perubahan target capaian BOK, bukan hanya untuk penyerapan dana BOK. Beberapa pengalaman empiris peneliti berupa kegiatan penelitian observasi partisipatori dengan tinggal di desa, terutama daerah yang sulit secara geografis, menemukan bahwa pemantauan kegiatan pemanfaatan dana BOK jarang bahkan hampir tidak pernah di evaluasi dan di monitoring peruntukannya, peneliti menengarai ada penyerapan pembiayaan tanpa ada kegiatan yang dilakukan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Komitmen Pemerintah Daerah kurang untuk upaya preventif, promotif bidang KIA guna mendukung pencapaian Millineum Developmen Goals termasuk percepatan penurunan kematian ibu dan kematian bayi baru lahir dengan mengurangi anggaran dana preventif dan promotif kabupaten kota dengan pertimbangan sudah ada dana BOK. Terlihat bahwa 404
ada beberapa kasus dari data profil kesehatan kabupaten pada tahun 2010 angka kematian bayi menurun, namun pada tahun 2011 naik kembali ke posisi tahun 2009. Penyusunan Rencana Aksi Daerah kurang mengacu pada program prioritas program kesehatan ibu dan anak, kurangnya monitoring dari propinsi ke kabupaten, kurangnya pemantauan dan monitoring dari dinas kesehatan kabupaten ke kecamatan yang perlu dilakukan. Masih lambannya penurunan angka kematian ibu dan bayi dan kasus gizi kurang dari hasil review data profil dari ke 3 kabupaten (Gresik, Sidoarjo dan Sampang) di Jawa Timur, yaitu Kabupaten Gresik, Sidoarjo dan kabupaten Sampang. Kepala Puskesmas kurang dapat mengelola dana BOK secara lebih efisien dan akuntabel, mengingat dari beberapa data sekunder data pencapaian kesehatan ibu dan anak cakupan ‘KN1’-‘KN4’ naik pada tahun 2010. Program JKN, kebijakan BOK dalam upaya pemberdayaan masyarakat diharapkan dapat mengungkit turunnya angka kematian ibu bersalin, bayi lahir sehat ini diharapkan memberikan kontribusi besar dalam upaya percepatan penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir. Sasaran MDGs diharapkan pada tahun 2015 sudah harus tercapai, kini tenggang waktu itu tinggal 1 tahun lagi. Saran Perlu dilakukan pendampingan dan pembinaan terutama puskesmas yang jauh dari Pusat Kabupaten/ Kota yang dilakukan secara rutin dan berkala setiap bulan ke puskesmas yang tidak hanya pencatatan tanpa memberikan nilai makna di balik angka. Supervisi seharusnya lebih ditekankan pada bimbingan teknis. Dana BOK dimaksudkan juga untuk upaya preventif, promotif petugas kesehatan yang ada di puskesmas, namun dana BOK juga dapat dipakai untuk petugas kesehatan yang di dinas kesehatan untuk supervisi dalam rangka pendampingan pencapaian upaya preventif dan promotif. Perlu suatu gerakan inovatif dengan memberdayakan masyarakat setempat dalam pemantauan dan penimbangan gizi bagi Balita, pemantauan pemeriksaan kunjungan neonatal ke fasilitas kesehatan. Dengan pemberdayaan masyarakat gerakan sehat untuk semua menjadi suatu nilai tersendiri di mata masyarakat bahwa kesehatan merupakan kebutuhan bagi masyarakat.
Kajian Kebijakan Penyaluran Dana Bantuan Operasional Kesehatan (Niniek L. Pratiwi, dkk.)
DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2010. Studi Operasional Bantuan Operasional Kesehatan Terhadap Kinerja Puskesmas Dalam Mencapai Target MDGs, Jakarta. Badan Pusat Statistik, 2007. Laporan Survey Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2007, Jakarta. Badan Pusat Statistik, 2013. Laporan Survey Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2012. Jakarta. Corcoran, N., 2008. Theories and Models in Communiting Health messages. In: Communiting Health strategies for Health promotion. Singapore: Sage Publ. p. 5-31. Dunn, W., 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (second edition) (terjemahan). Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. Djaswadi, Dasuki, 2001. Kematian maternal dan perinatal: masalah, tantangan dan upaya pemecahan. Dalam: Reorientasi kebijakan kependudukan. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Kependudukan Universitas Gadjah mada, hal. 91-104.
Gulliford, M. (et al), 2002. What does `access to health care’ mean? Journal of Health Services Research and Policy, 7(3) July. Kementerian Kesehatan RI, 2011. Bagaimana Pendanaan Jampersal? Mediakom (29) April. Niniek Lely Pratiwi., 2013. Pemberdayaan masyarakat dalam pencapaian MDGs. Dalam: Pemberdayaan Masyarakat dan Perilaku Kesehatan (Teori dan Praktek) Strategi Percepatan pencapaian MDGsPost MDGs, Surabaya: Airlangga University Press, hal 1-8. Niniek Lely Pratiwi. 2014. Health seeking behavior Antenatal care di Indonesia. Dalam: Health seeking behavior Kesehatan Ibu dan Anak, Surabaya: Airlangga University Press, hal 33-66. Niniek Lely Pratiwi., Yunita, F., Fachmi, Yudi, Syaiful, 2012. Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak, Etnik Gayo Desa Tetinggi Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Surabaya: Pusat Humaniora Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.
405
Media Komonitas Kesehatan FKM UVRI Makassar Vol. IV No. 1, Februari 2 0 12
KEJADIAN PERSALINAN CAESAR D1 RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK SITI FATIMAH KOTA MAKASSAR Aminah Nai*, Masdarwati** • Dosen FKM UVRI Makassar •• Dosen FKM UVRI Makassar
Persalinan Caesar merupakan jenis persalinan yang dilakukan dengan melahirkan jan in melalui irisan pada dinding perut, saat ini banyak ibu - ibu yang tidak mau melakukan persalinan secara normal karena tidak ingin mengalami kesusahan dalam melahirkan, Dengan melihat angka kunjungan persalinan Caesar dengan jumlah yang cukup besar serta begitu banyaknya factor yang menyebabkan terjadinya persalinan Caesar, maka perlu dilakukan penelitian mengenai faktor yang berhubungan dengan kejadian persalinan Caesar Di RSIA Siti Fatimah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara umur, paritas, penyulit persalinan serta riwayat persalinan Caesar dengan Kejadian Persalinan Caesar di Rumah sakit ibu dan Anak Siti Fatimah Kota Makassar Sulawesi Selatan Tahun 20 I I . Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan maret sampai april 20 I I . Metode penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan cross sectional study dan pengambilan sampel dengan cara simple random sampling dimana sampelnya adalah sebagian dari ibu yang melahirkan di Rumah Sakit lbu dan Anak Siti Fatimah. Analisis data menggunakan uj i statistic chi square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara Umur dengan kejadian persalinan Caesar dengan nilai p= 0,003,Paritas Ada hubungan dengan Kejadian Persalinan Caesar dengan nilai p= 0,00 I , Penyulit persalinan Ada hubungan dengan kejadian persalinan Caesar denagan nilai p= 0,024,kemudian riwayat persalinan caesar Tidak ada hubungan dengan kejadian persalinan Caesar dengan nilai p= 0,317. Dalam penelitian ini disarankan perlunya untuk memeriksakan kehamilan pada awal kehamilan, menjaga jarak kelahiran dan selalu mengonrol kehamilan agar tidak terjadi komplikasi ataupun mengalami kesulitan pada saat melahirkan apalagi ibu pada umur < 20 thn - > 3 5 thn. Kata Kunci : Persalinan Caesar Umur, Paritas, Penyulit persalinan, riwayat persalinan
praktek kebidanan. Kemajuan tekhnologi yang semakin canggih termasuk antibiotic, dan tingginya tuntutan terhadap dokter untuk membantu persalinan ibu yang mengalami komplikasi yakni dengan Operasi Caesar (Adji, 2003). Beberapa faktor yang menjadi penyebab pelaksanaan persalinan Caesar seperti faktor karna indikasi medis atau penyulit persalinan. Faktor dari ibu antara lain umur ibu, jumlah anak yang dilahirkan atau paritas, gaya hidup persalinan Caesar sebelumnya, periksa antenatal care ataupun dengan jarak kelahiran (Muchtar, 1995). Umur ibu yang terlalu mudah secara biologis perkembangan alat reproduksinya belum sepenuhnya optimal yang berisiko besar atau sampai dua kali dibanding yang berumur reproduksi antara 20-24 tahun atau umur yang terlalu tua· juga berisiko yang sama (Anonim, 2004). lbu yang mengalami kehamilan berulang ulang (paritas tinggi) dapat memberikan risiko dua kali menjalani persalinan Caesar dibanding yang sedikit terlebih dengan jarak kelahiran yang dekat akan berisiko tiga kali. Kehamilan yang berulang akan membuat uterus menjadi renggang sehingga dapat menyebabkan kelainan letak jan in dan placenta
PENDAHULUAN Persalinan Caesar merupakan jenis persalinan yang dilakukan dengan melahirkan janin melalui irisan pada dinding perut (laparatomi) dan dinding perut (histerotomi) persalinan Caesar merupakan operasi besar yang hanya menjadi pilihan ketika keselamatan ibu dan anak terancam. Operasi Caesar merupakan Oerasi besar yang hanya dipilih ketika kesehatan ibu dan anak terancam (Me Donald, 1995). Ada beberapa faktor yang menyebabkan ibu hamil tidak bisa menjalani persalinan secara wajar dengan melalui jalan lahir biasa, bedah Caesar seringkali menjadi pilihan terakhir ketika ibu akan melahirkan anaknya. Bedah Caesar harus dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayinya. Dengan kemajuan tekhnologi kedokteran akan membawa perubahan pada jumlah angka kematian ibu (AKI) yang melahirkan dan angka ibu yang menjalani Operasi Caesar. Saat ini operasi Caesar menjadi trend karena berbagai alasan. Dalam 20 tahun terakhir, angka operasi Caesar meningkat pesat. Operasi ini kadang kadang terlalu sering dilakukan sehingga banyak yang menyebutkan sebagai panacea (obat mujarab) - 194 -
Media I
yang berakibat buruk pada proses pers�linan (Anonim, 2004). Proses melahirkan yang mengalami gangguan atau ada penyulit persalinan baik dari ibu ataupun dari janin berisiko tiga sampai empat kali untuk terjadinya persalinan Caesar. Kejadian yang paling sering ditemui adalah bayi terlalu besar dan panggul ibu yang kecil dan letak bayi yang melintang (Anonim 2004). Seorang ibu yang pada persalinan sebelurnnya melahirkan dengan cara Caesar mempunyai kemungkinan sangat besar untuk menjalani Operasi Caesar lagi untuk persalinan berikutnya. Ibu yang mempunyai riwayat Caesar sebelumnya memiliki risiko sebesar empat kali untuk terjadinya persalinan Caesar (Anonim. 2004). Faktor sosial dan lingkungan merupakan faktor dari akibat seorang ibu yang tidak mau melakukan persalinan secara normal karena tidak ingin mengalami kesusahan dalam melahirkan, faktor gengsi atau ikut-ikutan dengan orang lain. Faktor sosial 101 lebih banyak dipengaruhi karena lingkungan dimana seorang ibu tinggal (Anonim, 2004). Banyak ibu-ib11 yang tidak menyadari efek samping dari persalinan Caesar yang dapat berdampak komplikasi pada dirinya sendiri seperti infeksi atau pendarahan (Winkjasastro, 1 999) atau pada bayinya seperti risiko pembiusan atau kulit bayi terluka akibat sayatan terlalu dalam (daGomez, 1 999). Pada tahun 1 985 WHO mengusulkan bahwa angka persalinan bedah Caesar nasional tidak melebihi 20 % dari seluruh persalinan, tetapi laporan dari beberapa negara justru melebihi angka tersebut, sebagai contoh angka nasional di Amerika Serikat pada tahun 1 986 24, I % di tahun 1 987 = 24,4 %, di Amerika Latin seperti Puerto Rico 28,7 % dan Cina Daratan 26,6% (Wirakusuma, 1 994). Tingkat persalinan lewat bedah Caesar masih berkisar di angka 22% selama I 0 tahun terakhir. Pada tahun 2003 menjadi 2 1 % dan akhir-akhir ini menjadi stabit pada angka 1 5 - 1 8%. Di indonesia saat ini rata-rata bedah Caesar masih di atas 30% (Prabakti, 2005). Operasi Caesar di dunia yang paling rendah· terdapat di Negara- Negara kawasan Eropa Timur seperti Hongaria, berkisar 20% sedangkan angka tertinggi di Brasil, yakni 50% dari angka kelahiran di suatu rumah sakit (Anonim, 2002). Tahun 2002, prevalensi persalinan Caesar menjadi berkurang di Amerika Serikat menjadi 2 1 % sedangkan di Indonesia angka ini justru semakin meningkat. Data rumah sakit swasta dari kota-kota besar di Indonesia menunjukkan kekerapannya berkisar 30-80 % (Anonim, 2002).
""" 1 95 -
Di Indonesia sendiri, berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Tahun I 997 dan tahun 2002-2003 mencatat angka persalinan bedah caesar secara nasional hanya berjumlah kurang lebih 4% dari jumlah total persalinan (BPS Indonesia, 2003 dalam Mutiara, 2004), namun berbagai survei dan penelitian lain menemukan bahwa persentase persalinan bedah caesar pada rumah sakit-rumah sakit di kota besar seperti Jakarta dan Bali berada jauh di atas angka tersebut. Dan secara urn urn jumlah persalinan caesar di rumah sakit Pemerintah adalah sekitar 20-25% dari total persalinan, sedangkan di rumah sakit swasta jumlahnya sangat tinggi yaitu sekitar 30-80% dari total persalinan (Mutiara, 2004). Semua rumah sakit baik Negeri maupun Swasta telah dihimbau untuk menekan persentase persalinan dengan operasi Caesar hingga dibawah 20% Dirjen Medik Depkes menyebarkan surat edaran kerumah sakit bahwa persalinan Caesar harus dibawah 20% karena bagaimanapun juga setiap tindakan operasi selalu memberikan efek samping pada ibu dan bayi (Anonim, 2002). Dari bawah 5% menjadi lebih dari 1 5% (Me Donald, 1 995). Pada tahun 1998 di Indonesia persalinan Caesar di temukan sebesar 23% dari semua persalinan (Depkes, 2000). Dibandung ditemukan rata-rata sebesar 9,7% pada tahun 1 9 8 1 - 1 990 di rumah sakit Hasan Sadikin. Angka persalinan Caesar di Sulawesi selatan mengalami peningkatan yang cukup signiftkan. Hal ini yang terjadi di Rumah Sakit Umum Dr. Wahidin Sudirohusodo di Makassar yakni dari 23,9% pada tahun 1 995 menjadi 3 0, 1 % pada tahun 1 996 (Fatima, 1 997). Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah mengalami peningkatan dan penurunan dalam tiga tahun terakhir, terlihat dari jumlah ibu yang melahirkan yakni, (2008) 28 1 6 orang dan 957 orang yang melahirkan dengan Caesar, (2009) 3705 orang dan 7 19 yang melahirkan dengan Caesar , Lalu pada tahun (2010) 386 1 orang dan 1 4 1 8 orang yang melahirkan dengan Caesar (Profit RSIA ST. Fatimah, 2 0 1 0). Dengan melihat angka kunjungan persalinan Caesar dengan jumlah yang cukup besar serta begitu begitu banyaknya faktor yang menyebabkan terjadinya persalinan Caesar maka perlunya dilakukan penelitian mengenai Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Persalinan Caesar di Rumah Sakit lbu dan Anak Siti Fatimah, agar dapat terjadi penurunan angka persalinan Caesar yang dapat merugikan atau membahayakan ibu maupun dilakukannya upaya-upaya bayinya serta penanggulangan yang efesien dan efektif.
. Media Komonitas Kesehatan FKM UVRI Makassar Vol. IV No. 1, Febru ari 2 0 1 2
Dari hasil pengolahan data yang dilakukan, disajikan dalam bentuk tabel distribusi sebagai berikut :
METODE PENELJTIAN Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan cross sectional study, untuk diperolehnya faktor yang berhubungan dengan kejadian persalinan Caesar.
Karakteristik Responden
Lokasi dan Waktu Penelitian
Tabel l . Distribusi Berdasarkan Tingkat Karakteristik
Lokasi dalam penelitian ini adalah di Rumah Sakit lbu dan Anak Siti. Fatimah Kota Makassar Tahun 2010. Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Maret sampai April 20 I I .
Populasi dan Sam pel Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang bersalin di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti. Fatimah Kota Makassar Bulan Februari Tahun 20 I I sebanyak 433 orang. Sampel Sampel dalam penelitian ini sebagian ibu yang bersalin di Rumah Sakit lbu dan Anak Siti Fatimah Kota Makassar Sulawesi Selatan Tahun 201 1 sebanyak 203 orang.
%
SD SMP SMA Diploma SI
29 31 91 27 25
14.3 15.3 44.8 1 3.3 12.3
1 08 95
53.2 46.8
67 38 98
33.0 1 8.7 48.3
Berisiko <20 Thn > 35 Thn Tidak Berisiko 20 -30 Thn
Jenis IRT Swasta PNS
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data sekunder adalah data yang di peroleh dari rekam medik dan data primer yang diperoleh dari responden pada Rumah Sakit lbu dan Anak Siti Fatimah tahun 20 I I .
Sumber : Data Primer, 2011 Tabel I , menunjukkan bahwa distribusi reponden berdasarkan tingkat pendidikan, dapat dilihat bahwa responden yang memiliki distribusi pendidikan tertinggi yaitu SMA terdapat 9 1 orang dengan persentase (44.8%), yang memiliki tingkat pendidikan SMP sebanyak 3 I orang dengan persentase ( 1 5.3%), lalu yang memiliki tingkat pendidikan SD sebanyak 29 orang dengan persentase ( 1 4.3%), tingkat pendidikan responden yang Diploma ada 27 orang dengan persentase ( 1 3.3%) dan distribusi pendidikan terendah yaitu S I ada 25 orang dengan persentase ( 1 2.3%). Tabel I juga menunjukkan bahwa distribusi Umur lbu responden yang tertinggi yaitu Umur Ibu > 35 Thn sebanyak 1 08 orang yang < 20 Thn dengan Persentase (53.2%) dan distribusi Umur lbu terendah yaitu Kelompok Umur Ibu yang Tidak Berisiko sebanyak 95 orang dengan persentase (46.8%). Distribusi responden berdasarkan Jems pekerjaan, pada umumnya responden bekerja sebagai PNS (Pegawai negeri sipil) yaitu sebanyak 98 orang dengan persentase (48.3%), dan yang terendah responden bekerja Swasta yaitu sebanyak 38 orang dengan persentase ( 1 8.7%), Lainnya bekerja sebagai
Cara pengo lah an data
Data-data yang diperoleh dari tabulasi berdasarkan variable yang di teliti dan di olah dengan menggunakan fasilitas komputer menggunakan program SPSS.
Analisis data yang di lakukan menggunakan uj i Chi-Square untuk hubungan antara variable.
n
Umur
Cara pengum p u la n d ata
Analisis Data
Pendidikan
dengan melihat
-
HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar Sulawesi Selatan yang mana proses pengumpulan data dilakukan dengan wawancara pada responden, data yang diambil dari data rekam medik, serta waktu pengambilan data dan pengolahan data dilaksanakan sejak bulan Maret sampai dengan April 20 I I .
- 1 96 -
47
Media Komonitas Kesehatan FKM UVRI Makassar Vol. IV No. 1, Februari 2 0 1 2
IRT (ibu rumah tangga) sebanyak 67 orang dengan persentase (33.0%). Hubungan antara variable independen dan dependen Tabel 2 Menunjukkan bahwa distribusi hubungan antara Umur responden dengan kejadian persalinan Caesar Terdapat Kelompok Umur yang Berisiko dengan Kriteria Caesar sebanyak 46 responden dengan persentase (42.6%), dan Yang Tidak Caesar 62 responden dengan persentase (57.4%). Kelompok Umur yang Tidak Berisiko dengan Kriteria Caesar sebanyak 60 responden dengan persentase (63.2%), dan yang Tidak Caesar 35 responden dengan persentase (36.8%). Dari hasil analisis statistik diketahui bahwa ada hubungan antara Umur responden dengan kejadian persalinan Caesar dengan nilai p=0,003, nilai ini lebih kecil dari nilai a 0,05
Pemah Tabel 2, Menunjukkan bahwa Distribusi hubungan antara Paritas dengan Kejadian Persalinan Caesar dimana Paritas yang Berisiko dengan Kriteria Caesar ada 63 responden dengan persentase (44.4%), dan yang Tidak Caesar sebanyak 62 responden dengan persentase (57.4%). Paritas yang Tidak berisiko dengan Kriteria Caesar sebanyak 43 responden dengan persentase (70.5%), dan yang Tidak Caesar 1 8 responden dengan persentase (29.5%). Dari basil analisis statistik diketahui bahwa ada hubungan antara responden yang memiliki Paritas dengan kejadian persalinan caesar dengan nilai p=O.OOI , nilai ini lebih kecil dari nilai a 0,05. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa distribusi hubungan antara Penyulit Persalinan dengan Kejadian Persalinan Caesar dimana Penyulit persalinan yang Ada dengan Kriteria Caesar terdapat 64 responden dengan persetase (46.7%), dan yang Tidak Caesar sebanyak 73 responden dengan persentase (53.3%). Sedangkan yang penyulit persalinannya Tidak Ada dengan Kriteria Caesar sebanyak 42 responden dengan persentase (63.6%), dan yang Tidak Caesar 24 responden dengan persentase (36.4%). Dari basil analisis statistik diketahui bahwa ada hubungan antara Penyulit persalinan dengan Kejadian persalinan Caesar dengan nilai p=0,024, nilai ini lebih kecil dari nilai a 0,05. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa hubungan antara Riwayat Persalinan distribusi Caesar dengan Kejadian Persalinan Caesar, dimana yang Pemah mengalarni persalinan Caesar sebelumnya dengan Kriteria Caesar sebanyak 27 responden dengan persentase (58.7%), dan yang Tidak Caesar 19 responden dengan persentase (41 .3%). Sedangkan yang Tidak Pemah mengalami persalinan Caesar sebelumnya dengan Kriteria Caesar sebanyak 79 responden dengan persentase (50.3%), dan yang Tidak Caesar 78 responden dengan persentase (49.7%). Dari basil analisis statistik diketahui bahwa tidak ada hubungan antara Riwayat Persalinan Caesar dengan Kejadian Persalinan Caesar dengan nilai p=0,317, nilai ini lebih besar dari nilai a 0,05 ,
Tabel 2. Hubungao aotara Variabel Iodepeodeo dan Depeoden Kejadian Persalinan Caesa r Variabel
Caesar n
%
Tidak Caesar n
p
% 0,00
Umur
Berisiko <20 dan >35
46
42.6
62
57.4
Tidak Berisiko 20 - 30
60
63.2
35
36.8 0,00
Paritas
Berisiko I dan > 3
63
44.4
79
56.6
Tidak Berisiko 2 dan 3
43
70.5
18
29.5 0,02
Penyulit Persalioan
Ada
64
46.7
73
53.3
Tidak Ada
42
63.6
24
36.4 PEMBAHASAN
0,31
Riwayat
Pemah
27
58.7
19
4 1 .3
Tidak
79
50. 3
78
49.7
Umur
Umur ibu pada saat kehamilan merupakan salah satu factor yang menentukan tingkat risiko kehamilan dan persalinan, apa bila umur optimum � 197 �
Media Komonitas Kesehatan FKM UVRI Makassar VoL IV No. 1, Februari 2012
bereproduksi 20 - 35 tahun sangat baik kama semua alat reproduksi sudah beketja dengan baik dan optimal. Persalinan Caesar pada kelompok Umur yang paling berisiko adalah (< 20 thn > 35 thn). Hal ini karena wanita yang hamil pada Umur mudah. dari segi biologis perkembangan alat reproduksinya belum sepenuhnya optimal, dari segi psikis belum matang dalam menghadapi tuntutan beban moril, mental, dan emosional, dari segi medis sering mendapatkan gangguan emosional sehingga menimbulkan stress yang secara tidak langsung akan menimbulkan kontraksi uterus dan dapat mengakibatkan kelahiran premature. Sedangkan Usia yang sudah Tua, elastisitas dari otot-otot panggul dan sekitarnya serta alat reproduksi pada umumnya mengalami kemunduran, dan pada umur ini besar kemungkinan mengaJami tekanan dara.h tinggi, diabetes militus, dan komplikasi antenatal lainnya. Salah satu penyebab tetjadinya Caesar karena alat reproduksi ibu yang masih belum optimal, ada juga karena umur yang sudah tua tetjadi kerusakan pada embrio yang tidak dapat berkembang dengan normal lagi, semua alat reproduksi sudah mengalami kemunduran. Pada penelitian ini diketahui bahwa dari 203 responden terdapat 1 08 responden dengan persentase (53.2%), yang memiliki umur berisiko (< 20 thn > 35) dan berdasarkan hasil uji statistic terdapat Ada hubungan antara Umur lbu dengan Kejadian Persalinan Caesar dengan nilai p=0,003. Nilai ini lebih kecil dari nilai a 0,05. Begitupun dengan penelitian yang di lakukan dengan Ridha Magfirah (2006) pada penelitiannya di RSUD Bulukumba dan penelitian Wa Ode Sitti Nutfha (2008) bahwa ada hubungan yang antara Umur fbu dengan Kejadian Persalinan Caesar. Berdasarkan basil statistic dan penelitian yang dilakukan oleh RMha Magfirah dan Wa Ode Sitti Nutfha dapat dilihat bahwa umur merupakan salah satu penyebab tetjadinya persalinan Caesar, dimana Hal ini dipengaruhi oleh beberapa factor dari luar yaitu adanya penyulit persalinan yang di alami oleh ibu, dimana umur ibu yang melahirkan terlalu mudah dan dapat menyebabkan terjadinya penyulit persalinan, karena panggul ibu sempit dan organ organ tubuhnya belum berkembang sempuma. Dapat juga di pengaruhi oleh banyaknya persalinan yang pernah dialami oleh ibu tersebut sehingga alat reproduksinya sudah mengalami kemunduran, di Rumah Sakit lbu dan Anak Siti Fatimah dapat dilihat bahwa dari 203 responden yang memiliki umur berisiko sebanyak 53.2%.
Paritas
Paritas adalah jumlah persalinan yang pemah di alami ibu baik lahir hidup maupun lahir mati, tetapi tidak termasuk abortus. Setiap kehamilan yang disusul dengan kelahiran akan menyebabkan kelainan pada uterus, dalam hal ininkehamilan yang berulang - ulang menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah dinding uterus yang mempengaruhi sirkulasi nutrisi kejanin dimana jumlah nutrisi akan semakin berkurang dibandingkan kehamilan sebelurnnya. Paritas I atau > 3 memiliki risiko dan komplikasi persalinan, bahkan akan didapatkam kenaikan yang mencolok pada setiap kehamilan setelah yang kelima. Kehamilan berulang - ulang akan membuat uterus renggang, sehingga dapat menyebabkan kelainan letak janin dan plasenta yang akbirnya akan berpengaruh buruk pada proses persalinan. Hal tersebut dapat menimbulkan komplikasi yang dapat menimbulkan komplikasi yang dapat menjadi penyulit dalam persalinan dan menjadi indikasi dilakukannya operasi Caesar. Namun paritas 2 - 3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kesehatan dan kematian maternal, tetapi hal ini akan berkurang tingkat keamanannya apabila persalinan sebelurnnya telah melalui bedah Caesar sehingga masih perlu untuk tetap memperhatikan kondisi kesehatan ibu selama kehamilan dan saat persalinan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terdapat 1 42 responden (70.3%) responden yang memiliki paritas berisiko yaitu 1 > 3 mengalami persalinan Caesar. Dan berdasarkan hasll uji statistik diketahui bahwa ada hubungan antara responden yang memiliki Paritas dengan kejadian persalinan caesar dengan nilai p=O.OO I , nilai ini lebih kecil dari nilai a 0,05. Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Ridha Magfirah dan Andin Seyuti dengan variable yang sama mengatakan bahwa ada hubungan antara Paritas dengan Persalinan Caesar. Berdasarkan hasil statistic dan penelitian pembanding di atas yang menyatakan ada hubungan antara paritas dengan persalinan Caesar yang sejalan dengan penelitian ini, hal ini di pengaruhl oleh banyaknya ibu yang melahirkan di rumah sakit ibu dan anak sitti Fatimah memiliki paritas 1 dan >3 dimana paritas 1 uterus masih rentan dan sebalilrnya apabila paritasnya > 3 juga dapat menyebabkan tetjadinya komplikasi pada kehamilan hal ini yang dapat menyebabkan terjadinya persalinan Caesar, selain paritas ada juga beberapa factor yang menyebabkan tetjadinya Caesar yaitu adanya penyulit persalinan yang dialami oleh ibu pada saat melahirkan.
-
-
-
- 198 -
Media Komonitas Kesehatan FKM UVRI M.akassar Vol. IV No. 1, Februari 2 0 1 2
mempengaruhi system kardio vaskuler dan cenderung mempersempit atau menghalangi pembuluh darah, jika pembuluh darah tidsk menghantarkan darah secukupnya maka bayi akan terancam stres sehingga persalinan dapat te�g. Penyulit persalinan juga di dorong oleh factor umur ibu yang berisiko dan juga paritasnya yang berisiko.
Penyulit Persalinan
Penyulit persalinan adalah adanya kelainan baik pada ibu maupun janin yang dikandungnya yang dapat mempersulit persalinan. Dalam pengertian paling sederhana berarti bahwa bayi yang akan dilahirkan terlalu besar atau pelfik ( panggul ) ibu yang terlalu kecil sehingga tidak dapat menjadi jalan keluar yang aman bagi bayi. Keadaan panggul merupakan factor penting dalam kelangsungan persalinan, tetapi yang tidak kurang penting ialah bubungan antara kepala janin
Edward Cragin, untuk pertama kali melemparkan ungkapan. "sekali bedah Caesar tetap bedah Caesar". Ungkapan ini dikeluarkan dengan
dengan panggul ibu, besarnya kepala janin dalam perbandingan dengan luasnya panggul ibu menentukan apakah adanya disproporsi sefalopelfik atau tidak.
pertimbangan yang diambil pada waktu itu adalah keadaan rahim ibu, rahirn ibu yang pemah mengalami persalinan Caesar akan pecah selama persalinan berikutnya, bersama dengan jaringan luka
Posisi ideal bayi untuk persalinan normal adalah dengan kepala kebawah (sefalik) dan dengan dagu dan dadanya lenteru dengan baik (ferteks), dan
perut yang relative rendah. Oleh karena itu sangat diperkirakan sangat berbahaya jika ibu tersebut
Riwayat Persalinan Caesar
mengalarni persalinan berikutnya (Duffent. 1 998). Adanya ibu - ibu yang tidak pemah mengalami bedah Caesar tetapi melakukan bedah Caesar, kebanyakan dipicu karena tidak ingin merasakan rasa sakit seperti halnya yang dialami pada persalinan normal. Umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara alarni akan mengalami proses
menghadap kearah belakang tubuh, janin terletak baik pada panggul ibu. Jika dagu janin terangkat maka janin tersebut berada dalam persentase kening, jika terbaring melintang sebinga kepala maupun bokongnya terletak dibawah, maka satu - satunya cara untuk mengeluarkannya adalah bedah Caesar. Dari basil penelitian yang dilakukan di RSIA Siti Fatimah responden yang Ada penyulit persalinan pada saat akan melahirkan yaitu 137 responden dengan persentase (67.5%). Dan dari basil analisis statistik diketahui bahwa ada bubungan signifikansi antara Penyulit persalinan dengan Kejadian persalinan Caesar dengan nilai p=0,024, nilai ini lebih kecil dari nilai a 0,05. Penelitian yang dilakukan oleb Theresia T. Bathara (2006) dan Yusrniati (2006) Meneliti tentang Judul dan Variabel yang sama juga mandapatkan basil yang sama, bahwa ada bubungan antara kejadian persalinan Caesar dengan penyulit persalinan. Berdasarkan dari basil statistic di atas terdapat bubungan antara Caesar dengan penyulit persalinan,
rasa sakit, yaitu berupa muJas disertai rasa sakit di pinggang dan pangkal paha yang semakin kuat dan menggigit. Keadaan tersebut karena keadaan yang pemah atau baik melahirkan akan terjadi dan sering menyebabkan seorang wanita yang akan melahirkan merasa ketakutan, khawatir, dan cemas menjalaninya akibatnya, untuk menghilangkan itu mereka berfikir melahirkan dengan cara operasi. Sebaliknya dari basil penelitian ini, adapuJa ibu yang pemah mengalami bedah Caesar namun pada persalinan berikutnya melakukan persalinan normal. Hal ini disebabkan karena ibu tersebut telah yakin dan selama kehamilan tidak ada kelainan atau rasa sakit yang akan dia rasakan, namun ada juga yang tidak Caesar karena desakan ekonomi yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya operasi. Persalinan bedah Caesar tidak mempengaruhi persalinan selanjutnya berlangsung secara operasi atau tidak. Apabila ada indikasi yang mengharuskan dilakukannya tindakan pembedahan, seperti penyulit persalinan bayi terlalu besar, panggul sempit, atau
artinya penyulit persalinan dapat menyebabkan terjadinya persalinan Caesar dengan persentase 67,5%. Berdasarkan yang Caesar di rumah sakit ibu dan anak sitti Fatimah penyulit persalinan yang dialami oleh ibu adalah salah letak janin, partus lama,kelainan pada placenta dan panggul ibu yang
juga
jalan lahir tidak terbuka. Operasi bisa saja dilakukan. Umumnya, operasi Caesar akan dilakukan lagi pada
disebabkan oleh kebiasaan ibu yang kurang memperhatikan kebamilanya seperti pemeriksaan
persalinan kedua apabila operasi sebelumnya dilakukan dengan tekhnik sayatan melintang tetapi
sempit,
adanya
penyulit
persalinan
saat ibu
bisa
hamil,
ada hambatan persalinan pervagina, seperti janin
dapat juga
tidak maju, tidak bisa lewat panggul, atau tidak letak
menyebabkan terjadinya penyulit persalinan seperti
lintang. Berdasarkan penelitian kasus persalinan dengan operasi berulang kernbali 1 1% sedangkan kemungkinan akan terjadi robekan dibekas sayatan
kehamilannya kurangnya
pada
aktifitas
yang
tersebut
dilakukan
penyakit pada ibu yaitu hipertensi, diabetes, dan infeksi herpes. Apabila ibu hipertensi dapat - 199 -
Media Komonitas Kesehatan FKM UVRI Makassar Vol. IV No. 1, Februari 2 0 1 2
dinding rahim terdahulu berkisar antara I ,2 - I ,8% (Simkin & Ancheta, 2002). Berdasarkan hasil penelitian dari 203 responden hanya 46 responden dengan persentase (22.7%) yang pernah atau memiliki riwayat persalinan Caesar sebelumnya sedangkan yang tidak pernah atau tidak memiliki riwayat persalinan caesar sebelumnya ada 1 57 responden dengan persentase (77.3%). Berdasarkan hasil uji statistic diketahui bahwa tidak ada hubungan antara Riwayat Persalinan Caesar dengan Kejadian Persalinan Caesar dengan nilai p=0,3 17, nilai ini lebih besar dari nilai a 0,05. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Wa Ode Sitti Nutfha dan Andin seyuti (2008) yang mendapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan signifikan antara riwayat persalinan Caesar dengan kejadian persalinan Caesar. Berdasarkan hasil uji statistic di atas menyatakan Tidak ada hubungan antara persalinan Caesar dengan riwayat persalinan Caesar, artinya ibu yang memiliki riwayat persalinan bukan factor penyebab terjadinya persalinan Caesar, walaupun ibu pernah Caesar sebelumnya namun kondisi ibu tersebut baik dan factor pendukung seperti umur dan paritasnya tidak berisiko tidak akan mempemgaruhi terjadinya Caesar pada saat kelahiran berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA Adj i
Seno,
Amankah
Operasi
Caesar
?,
www.kompas.com 2003, Diakses tanggal 28 januari 20 I I . Azwar Azrul, 1998, Pengantar Epidemiologi, Bina Rupa Aksara, Jakarta. Bramantyo L. 2003. Operasi Caesar, Puspa Swara, Jakarta. Bari Saifuddin, 2003. Panduan Praktis Pelayanan kesehatan Naternal dan Neonatal, Bina Pustaka Saryono, Jakarta. Bathara
T,
2006.
"Faktor
Faktor
Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Persalinan Bedah
Sesar
Di
RSUD
Lakipadada
kabupaten Tana Toraja" . . Skripsi FKM UMI, Makassar. Bagus, 1 995. Operasi Kebidanan Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Dokter Umum, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. daGomes, P.Z. Untung Rugi Persalinan Caesar, www.indonesia.com. 1 999, diakses tanggal I februari 20 I I .
KES�PULAN DAN SARAN
Depkes
Kesimpulan
DEP. KES, RI., 200 1 . Rencana Strategis Nasional
Rl.,
2000.
Profil
kesehatan
Indonesia,
Jakarta.
Dari hasil penelitian tentang "Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Persalinan Caesar di Rumah Sakit lbu dan Anak Siti Fatimah Kota Makassar Sulawesi Selatan Tahun 20 I I " dapat disimpulkan bahwa : Ada hubungan antar Umur Paritas lbu Penyulit Persalinan dengan Kejadian Persalinan Caesar, serta tidak ada hubungan antara Riwayat Persalinan Caesar dengan Kejadian Persalinan Caesar.
Making Pregnency Safer Di Indonesia! 200 l - 20 l 0, Departemen Kesehatan Ripublik Indonesia, Jakarta. Danari A, 2004. "Faktor Risiko Penyulit Persalinan Di RSIA ST. Fatimah Makassar". Skripsi FKM UMI, Makassar. H.Moh.Husni Thamrin,dkk,
Saran
Panduan
Penyelesaian
Studi,
Fakultas
Masyarakat
Universitas
Kerja
Kesehatan
Veteran
R.I
Makassar, 2 0 1 0.
Bagi ibu yang memiliki umur < 20 > 35 Tahun, disarankan agar melihat umur dalam merencanakan kehamilan.dan Untuk lbu Paritas I > 3, hendaknya mengatur jarak kehamilannya agar alat reproduksinya dapat bereproduksi dengan baik. -
IKABI, 2002, Risiko Persalinan Setelah Persalinan Caesar, www.IKABI.go.idDiakses
-
tanggal
I 0 februari 20 I I . Linda, Dkk. 2004.
Panduan Praktis Pencegahan
lnfeksi Bina Pustaka Sarwono, Jakarta. McDonald,P.C.G,
1997,
Obstetri,
Gadjah
Mada
University Press, Yogyakarta Mochtar,R., 1 995, Sinopsis dan Obstetri Jilid II, EGC, Jakarta
- 200 -
Media Komonitas Kesehatan FKM UVRI Makassar Vol. IV No. 1, Februari 2 0 1 2
2005. Trend Bedah Caesar, (on line) (http :
Pribakti,
www.gindmend.com). Diakses tanggal
28
20 I 1 .
januari
Prawirohardjo,S.,
1 999,
Ilmu Kebidanan, Yayasan
Bina Pustaka, Jakarta Rahwan
2004. "Faktor - Faktor Yang
Ahmad.
Berhubungan Dengan Terjadinya Persalinan Caesar di Rumah sakit lbu dan Anak Siti Fatimah Makassar". Skripsi FKM UNHAS, Makassar. RSIA. Siti Fatimah, Laporan Tahunan,
Makassar
2008 - 20 1 0. 2002. Persalinan, Penerbit
Simkin, dan Ancheta,
Buku Kedokteran. Jakarta. Syaifuddin,
et,
al.,
2002, Pelayanan
Kesehatan
Maternal dan Neonatal, JNPKKR, Jakarta Salmah
,
2005.Trend Bedah Caesar, (on line) (http
://www.gindimed.com). Diakses Tanggal February Wirakusuma,
1994,
Tinj auan
2
20 I I . Persalinan
Global,
Caesar,
Majalah
Suatu
Kedokteran
Indonesia, Jakarta Winkjosastro
H,
2000.
Ilmu
Bedah
Kebidanan.
Yayasan B ina Pustaka Jakarta. Wibowo , Adik.,
1 992.
Safe Motherhood. Jurnal
Administr:-tsi dan Kebijakan Kesehatan.
- 20 1 -
ISSN 1693-3761 KUALITAS MIKROBIOLOGI UDARA RUANG OPERASI DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (STUDI DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK IKATAN BIDAN INDONESIA (IBI) SURABAYA Anneke Devy Ratnasari, Rachmaniyah, Erna Triastuti ABSTRACT Operating rooms are considered high risk zones that demand constantly sterile conditions, since any operative actions carry the risk for nosocomial infection. This investigation is aimed at studying microbiological air quality of operating rooms and factors that may influence it at the Rumah Sakit Ibu dan Anak IBI Surabaya in 2012 and make a comparative assessment to the Ministerial standard as designated in Kepmenkes RI/Menkes/SK/X/2004 on Environmental Health Requirements for Hospitals. This is a descriptive observation to be carried out at the Rumah Sakit Ibu dan Anak IBI Surabaya in May 2012. The variable to be tudied include microbiological air quality as indicated by standard plate coutnt, temperature, humidity, lighting, and control measures that included construction works on the rooms and building as well as the cleaning and sterilization processes. Data collection methods included interviews, observations, laboratory examinations, and measurements. Laboratory examinations on standard plate counts, both samples prior and after operative procedures on patients were carried out, did not meet the designated standards. The highest counts were detected above the operating table, 480 CFU/m3 and near entrance door, 640 CFU/m3. Room temperature, 25 0C, also did not meet the standard. Room humidity which was measured as 61% also deviated from the standard. The necessary lighting conditions above the operating table as well as the general lighting conditions were below the set standards, the lowest figure above the operating table being at 1215 lux and the lowest measurement for general lighting was 79 lux. The control measures through construction works seemed to meet the standard as indicated by a score of 87 %, while the room cleaning and sterilization processes also meet the standard by a score of 81.81 %. The study recommends the hospital to carry out microbiological air quality measurement once every 6 months, improvement of the lighting intensity, improvement of certain construction aspects of the room, to carry out cleaning and maintenance of air conditioning units once every 6 months that include installation oe anti-microbial filters, make sure to soak floor mops or towels overnight in approved desinfectant solution prior to their usage. Keywords
: Microbiological air quality, operating rooms, influencing factors
PENDAHULUAN Ruang operasi merupakan ruang yang termasuk zona risiko sangat tinggi yang menuntut kondisi ruangan harus steril karena setiap tindakan operasi akan mengundang adanya invasi mikroba yang dapat menimbulkan infeksi nosokomial. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya tahun 2011 diperoleh bahwa pengukuran kualitas mikrobiologi udara ruang operasi yang dilakukan di 6 rumah sakit dari 13 rumah sakit khusus bersalin yang ada di Surabaya tidak memenuhi syarat. Hal ini dikarenakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain jumlah angka kuman yang di ambil di ruang operasi > 10 CFU/m3, konstruksi ruang dan bangunan seperti lantai yang masih ada celah dan tidak terbuat dari bahan vinyl, ventilasi buatan yaitu AC yang tidak dilengkapi dengan filter bakteri sehingga bakteri yang masuk tidak tersaring. Selain itu pencahayaan khususnya di meja operasi < 10.000 lux.
Rumah Sakit Ibu dan Anak IBI Surabaya merupakan salah satu dari 7 rumah sakit bersalin di Surabaya yang pada tahun 2011 belum dilakukan pengukuran kualitas mikrobiologi udara dan sebelumnya juga belum pernah dilakukan pemeriksaan kualitas udara secara mikrobiologi pada ruang operasi. Ruang operasi dan alat-alat operasi yang tersedia dituntut untuk memiliki kualitas mikrobiologi yang memenuhi persyaratan. Selain itu, faktorfaktor yang mempengaruhinya harus memenuhi syarat juga seperti suhu, kelembaban, pencahayaan, serta kegiatan pengendalian yang meliputi konstruksi ruang dan bangunan serta proses pembersihan dan sterilisasi ruang operasi agar tidak memungkinkan terjadinya pencemaran yang dapat menimbulkan infeksi nosokomial. Tujuan Penelitian Mengetahui kualitas udara secara mikrobiologi ruang operasi dan faktor yang mempengaruhinya di Rumah Sakit Ibu dan Anak IBI Surabaya tahun 2012.
GEMA Kesehatan Lingkungan Vol. X No. 2 Agustus 2012 - 86
ISSN 1693-3761 METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian bersifat penelitian deskriptif, yaitu dengan membuat gambaran tentang kualitas udara secara mikrobiologi ruang operasi dan faktor yang mempengaruhinya di Rumah Sakit Ibu dan Anak IBI Surabaya secara objektif. Dilihat dari pendekatannya, maka penelitian ini bersifat cross sectional. Obyek Penelitian Obyek dalam penelitian ini adalah udara di ruang operasi pada Rumah Sakit Ibu dan Anak IBI Surabaya. Pengukuran dilakukan dengan mengambil sampel udara ruang operasi yaitu setelah proses pembersihan dan sterilisasi pada waktu sebelum kegiatan operasi dilakukan. Titik lokasi pengambilan sampel ruangan ada 2
titik yaitu di di dekat / di atas meja operasi dan di dekat pintu. Pengambilan sampel di ruang operasi dilakukan 2 kali pada hari yang berbeda sehingga jumlah sampel udara seluruhnya adalah 4 sampel. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif yaitu dengan menggambarkan objek yang diteliti dengan dilengkapi tabel hasil data yang diperoleh. Data yang diperoleh dibandingkan dengan persyaratan yang ditentukan oleh Kepmenkes RI/1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit mengenai kualitas udara dengan indikator indeks angka kuman, suhu, kelembaban, pencahayaan, konstruksi ruang dan bangunan, serta pembersihan dan sterilisasi ruang operasi.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kualitas Udara Secara Mikrobiologi Ruang Operasi TABEL .1 HASIL PEMERIKSAAN JUMLAH KOLONI KUMANRUANG OPERASI DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK IBI SURABAYA TAHUN 2012
NO
Pengambilan Sampel Udara
Persyaratan Jumlah Angka Kuman (CFU /m3)
Persyaratan Jumlah Angka Kuman (CFU /m3)
Kriteria (MS / TMS)
1
A1
10
480
TMS
2
A2
10
530
TMS
3
B1
10
120
TMS
4
B2
10
640
TMS
Hasil jumlah koloni kuman yang tinggi tersebut dapat dikarenakan suhu, kelembaban, dan pencahayaan yang tidak memenuhi syarat. Suhu yang optimal dan kelembaban yang tinggi dapat menjadi pertumbuhan yang baik dan optimum bagi mikroorganisme. Selain itu, bertambahnya mikroorganisme di udara juga dapat dipengaruhi oleh pencahayaan ruang operasi yang belum memenuhi syarat karena pencahayaan yang kurang optimum. Pencahayaan dapat membunuh mikroorganisme atau paling tidak menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan sebaliknya bilamana
intensitas cahaya kurang dari yang ditetapkan tersebut dapat memacu pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu banyaknya jumlah kuman udara ruang operasi karena AC tidak dilengkapi dengan filter bakteri pertemuan antara lantai dan dinding tidak konus sehingga agak sulit dalam membersihkan sudut-sudutnya serta proses pembersihan yang kurang maksimal di bagian sudut tersebut yang seharusnya dibersihkan menggunakan vacuum cleaner sehingga masih terdapat debu yang tertinggal di sudut-sudut tersebut.
GEMA Kesehatan Lingkungan Vol. X No. 2 Agustus 2012 - 87
ISSN 1693-3761 Suhu Udara Ruang Operasi TABEL .2 HASIL PENGUKURAN SUHU RUANG OPERASI DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK IBI SURABAYA TAHUN 2012
No.
Pengukuran
Persyaratan Suhu (0C)
Hasil Pengukuran Suhu (0C)
Kriteria
1.
A
19-24
24
MS
2.
B
19-24
25
TMS
Hasil pengukuran suhu yang tidak memenuhi syarat dengan hasil 250C, hal ini dikarenakan pada hari tersebut waktu operasi 2 jam lebih awal dari yang ditentukan sehingga petugas sering keluar masuk ruangan untuk menyiapkan alat-alat yang akan digunakan untuk keperluan operasi pasien. Jumlah orang yang masuk ruangan juga mempengaruhi tingginya suhu dalam ruangan tersebut. Suhu dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan jumlah total pertumbuhan mikroorganisme. Tiap mikroorganisme memiliki batas suhu terendah dan batas suhu tertinggi serta suhu optimum. Suhu 25 0C merupakan suhu optimum bagi pertumbuhan bakteri mesofil. Kelembaban Udara Ruang Operasi TABEL 3 HASIL PENGUKURAN KELEMBABAN RUANG OPERASI DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK IBI SURABAYA TAHUN 2012 Persyaratan
Hasil Pengukuran
A
Kelembaban (%) 45-60
Kelembaban (%) 61
B
45-60
55
No.
Pengukuran
1 2
Kriteria TMS MS
Hasil pengukuran kelembaban yang tidak memenuhi syarat sebesar 61%, hal ini dikarenakan pada saat pengukuran kelembaban, lantai masih lembab karena setelah proses pembersihan lantai belum dipel menggunakan kain pel kering sehingga kadar air dalam udara masih tinggi sehingga kelembaban udaranya menjadi tinggi pula. Menurut Pudjiastutik (1998), kelembaban udara yang tinggi dapat berpengaruh pada peningkatan pertumbuhan jumlah mikroorganisme. Pencahayaan Udara Ruang Operasi TABEL 4 HASIL PENGUKURAN PENCAHAYAAN RUANG OPERASI DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK IBI SURABAYATAHUN 2012 NO
Pengukuran
1
A
2
B
Pencahayaan pencahayaan
Persyaratan
Hasil Pengukuran
Titik Pengukuran
Pencahayaan
Pencahayaan
Kriteria
Umum
(lux) 300-500
(lux) 82
TMS
Meja operasi
10.000-20.000
1215
TMS
Umum
300-500
79
TMS
Meja Operasi
10.000-20.000
1686
TMS
baik di meja operasi dan umum ruang operasi belum
memenuhi syarat. Pencahayaan yang kurang dari yang ditetapkan dapat menjadi
GEMA Kesehatan Lingkungan Vol. X No. 2 Agustus 2012 - 88
ISSN 1693-3761 pertumbuhan yang baik bagi mikroorganisme. Menurut Azwar (1995), cahaya dapat berperan sebagai germicid dalam ruangan (pembunuh bakteri atau kuman) karena cahaya merupakan gelombang-gelombang elektromagnetik yang mempunyai energi. Oleh karena itu perlu
ditambah intensitas pencahayaan di ruang operasi untuk disesuaikan dengan persyaratan Kepmenkes RI/Menkes/SK/X/2004. Pencahayaan yang tidak memenuhi syarat tersebut dapat menjadi faktor jumlah mikroorganisme di ruang operasi meningkat.
Kegiatan Pengendalian Pada Ruang Operasi Konstruksi Ruang dan Bangunan pada Ruang Operasi TABEL 5 HASIL PENILAIAN KONSTRUKSI RUANG DAN BANGUNAN RUANG OPERASI DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK IBI SURABAYA TAHUN 2012 No 1. 2.
Penilaian
Bobot
A B
10 10
Skor Maksimal 100 100
Skor Hasil 86 86
Dari hasil penilaian konstruksi ruang dan bangunan diperoleh persentase 86 % dengan kategori memenuhi syarat. Dari 14 % yang tidak memenuhi syarat dikarenakan pertemuan lantai dan dinding tidak konus sehingga agak sulit dalam pembersihan debu yang ada di
Persentase (%) 86 86
Kategori MS / TMS MS MS
pertemuan tersebut. Menurut Winslow, debu yang terdapat di dalam ruangan diperkirakan mengandung 5 juta bakteri per gram. AC tidak dilengkapi dengan filter bakteri. Hal tersebut dapat dikatakan menjadi faktor banyaknya jumlah angka kuman udara ruang operasi.
Proses Pembersihan dan Sterilisasi Ruang Operasi TABEL 6 HASIL PENILAIAN PROSES PEMBERSIHAN DAN STERILISASI RUANG OPERASI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK IBI SURABAYA TAHUN 2012 No 1. 2.
Penilaian
Skor Maksimal
Skor Hasil
A B
220 220
180 180
Dari hasil penilaian konstruksi ruang dan bangunan diperoleh persentase 81,81 % dengan kategori memenuhi syarat. Dari 18,19 % yang tidak memenuhi syarat dikarenakan kain pel yang akan digunakan tidak direndam terlebih dahulu selama semalaman menggunakan germisida/ antiseptic untuk membunuh kumankuman yang menempel dikain pel, namun hanya dibilas menggunakan air yang mengalir. Pembersihan juga kurang sempurna karena pada sudut-sudut pertemuan antara lantai dan dinding yang tidak konus tidak dibersihkan menggunakan vacuum cleaner sehingga debudebu masih ada yang menempel di sudut-sudut tersebut. KESIMPULAN Jumlah koloni kuman udara ruang operasi pada tanggal 17 Mei 2012 dan 23 Mei 2012 melebihi standar Kepmenkes RI No. 1204 / Menkes / SK / X / 2004 yang artinya belum memenuhi syarat.
Persentase (%) 81,81 81,81
Kategori MS / TMS MS MS
Suhu udara ruang operasi pada tanggal 17 Mei 2012 tidak melebihi standar Kepmenkes RI No. 1204 / Menkes / SK / X / 2004 yang artinya sudah memenuhi syarat, sedangkan untuk suhu udara pada tanggal 23 Mei 2012 melebihi standar Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 yang artinya belum memenuhi syarat. Kelembaban udara pada tanggal 17 Mei 2012 melebihi standar Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 yang artinya belum memenuhi syarat, sedangkan untuk kelembaban udara pada tanggal 23 Mei 2012 tidak melebihi standar Kepmenkes RI No. 1204 / Menkes / SK / X / 2004 yang artinya sudah memenuhi syarat. Pencahayaan yang dilakukan di meja operasi dan di dekat pintu pada tanggal 17 Mei 2012 dan 23 Mei 2012 belum memenuhi persyaratan menurut Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004. Kegiatan pengendalian untuk penilaian terhadap konstruksi ruang dan bangunan
GEMA Kesehatan Lingkungan Vol. X No. 2 Agustus 2012 - 89
ISSN 1693-3761 memperoleh persentase sebesar 87 % yang artinya memenuhi standar Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004. Dan penilaian untuk proses pembersihan dan sterilisasi memperoleh persentase sebesar 81,81 % yang artinya memenuhi standar Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004. DAFTAR PUSTAKA Adisasmito, Wiku, 2007. Sistem Manajemen Lingkungan Rumah Sakit. Jakarta, Raja Grafindo Persada. Aditama, Tjandra Y, 2002. Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Jakarta, Universitas Indonesia Press. Azwar, Azrul, 1995. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta, Mutiara Sumber Widya Darmadi, 2008. Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta, Salemba Medika. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995. Pedoman Sanitasi Rumah Sakit di Indonesia. Jakarta, Direktorat Jendral PPM dan PLP. Dwidjoseputro, 2003. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta, Djambatan Haris, Aila, Mukhtar ikhsan, Rita Rogayah, 2012. Asap Rokok sebagai Bahan Pencemar dalam Ruangan. Cermin Dunia Kedokteran, 189 (39): 17. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1407/Menkes/SK/XI/2002, Tentang Pedoman Pengendalian Dampak Pencemaran Udara. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004, Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1335/Menkes/SK/X/2002, Tentang Standar Operasional Pengambilan Sampel Kualitas Udara Ruangan Rumah Sakit. Manuaba, Ida Bagus Gde, 1996. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta, IGC. Mukono, H. J., 2003. Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Saluran Pernapasan. Surabaya, Airlangga University Press. Notoadmodjo, Soekidjo, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta, Rineka Cipta.
Prasasti, Corie Indria, dkk, 2005. Pengaruh Kualitas Udara Dalam Ruangan Ber- AC Terhadap Gangguan Kesehatan. Surabaya, Jurnal Kesehatan Lingkungan Pelezar, Michael J dan Chan, 1988. Dasardasar Mikrobiologi. Jakarta, Universitas Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.340/Menkes/Per/III/2010, Tentang Klasifikasi Rumah Sakit. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 986/Menkes/Per/XI/1992, Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Pudjiastutik, Lily, dkk., Kualitas Udara Dalam Ruang. Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Reynoldi, Dona, 2011. Pencemaran Udara. http://donareynoldidona.blogspot.com/2011/04/penc emaran-udara.html diakses pada tanggal 31 Maret 2012 Sanropie, Djasio, dkk., 1989. Komponen Sanitasi Rumah Sakit Untuk Institusi Pendidikan Tenaga Sanitasi. Jakarta, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Suatmaji, Berri, 2009. Rumah Sakit Bersalin. http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mo d=browse&op=read&id=jbptitbpp -gdl-berrisuatm-34739 diakses pada tanggal 13 Januari 2012 Triatmodjo Pudjarwoto, 1993. Sterilitas Udara Ruang Operasi dan Peralatan Bedah serta Higiene Petugas Beberapa Rumah Sakit di Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran, 82: 21. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999, Tentang Rumah Sakit. Wahyuningtyas, Erliana, 2009. Evaluasi Desinfeksi dan Sterilisasi dengan Kualitas Udara Secara Mikrobiologi di Ruang Operasi Rumah Sakit Umum Daerah Jombang Tahun 2009. Surabaya, Jurusan Kesehatan Lingkungan Surabaya. Yuliawan, I Putu, 2011. Kelembaban dan Tekanan Udara. http://iputuyuliawanappp.blogspo t.com/2012/02/kelembaban-dantekanan-udara.html diakses pada tanggal 31 Maret 2012.
GEMA Kesehatan Lingkungan Vol. X No. 2 Agustus 2012 - 90
PEMANFAATAN JAMINAN PERSALINAN UNTUK PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI 12 KABUPATEN/KOTA: MENGELIMINASI KENDALA SOSIAL BUDAYA DALAM PERSALINAN AMAN (Utilization of Service Delivery Insurance (Jampersal) for Maternal and Child Health Services in 12 Districts/Cities: Eliminate the Socio-cultural Obstacle on Safe Delivery) Lestari Handayani, Suharmiati, Aan Kurniawan, Syarifah Nuraini, Soegeng Rahanto, Bambang Wasito, Choirum Latifah1 Naskah masuk: 24 September 2013, Review 1: 27 September 2013, Review 2: 2 Oktober 2013, Naskah layak terbit: 31 Oktober 2013
ABSTRAK Latar Belakang: Pemerintah telah meluncurkan Jampersal sebagai salah satu upaya menekan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi yang masih tinggi sebagai percepatan mencapai target MDGs 2015. Perilaku pencarian pertolongan persalinan dipengaruhi berbagai faktor termasuk sosial budaya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyediakan kajian peran sosial budaya dalam upaya peningkatan pemanfaatan program jaminan persalinan. Metode: Data penelitian tentang upaya Jampersal dikumpulkan dengan wawancara mendalam, FGD kepada tokoh masyarakat, dukun bersalin, bidan, kepala puskesmas, didukung data kuantitatif dengan responden ibu yang melahirkan satu tahun terakhir. Lokasi penelitian di 6 propinsi masing-masing ditetapkan satu wilayah puskesmas di desa dan satu di kota. Hasil Penelitian: Menunjukkan masih kuat nilai kepercayaan dan pelaksanaan ritual/adat istiadat masih banyak dilakukan sehingga peran dukun masih dibutuhkan. Sarana transportasi menjadi hambatan utama persalinan di fasilitas kesehatan. Interaksi sosial masyarakat desa menjadi kekuatan sedang di kota fasilitas bagus sehingga akses menjadi mudah. Bidan sudah diterima baik di desa maupun di kota oleh masyarakat yang ternyata memiliki pengetahuan kesehatan baik meskipun memiliki pendidikan formal kurang. Sumber pembiayaan persalinan dengan jampersal sudah banyak dimanfaatkan, namun belum maksimal bahkan cenderung rendah di perkotaan tertentu. Kesimpulan: Ada kecenderungan masyarakat memanfaatkan Jampersal untuk persalinan dengan bidan, namun sebagian persalinan masih dilakukan di rumah. Dukun tetap dibutuhkan untuk perawatan ibu dan bayi serta membantu pelaksanaan adat istiadat. Kemitraan bidan-dukun sudah berjalan tapi pembiayaan Jampersal baru menyokong tenaga kesehatan. Saran: Jampersal juga mendukung pembiayaan sosial budaya terkait persalinan yaitu pembiayaan transportasi; Honor dukun yang bermitra; penyuluhan kesehatan KIA dan sosialisasi kepada masyarakat melibatkan dukun dan aparat desa. Kata Kunci: Jampersal, faktor sosial budaya, persalinan aman, bidan-dukun bersalin ABSTRACT Background: The Government launched Jampersal as one of efforts to suppress the number of Maternal and Infant Mortality Ratio (MMR & IMR) as well as a booster to achieve the MDGs by 2015. Delivery assistance seek are influenced by many factors including a socio-cultural factor. This research aimed to provide a study on the socio-cultural role in improving the utilization of Service Delivery Insurance (Jampersal). Methods: Data about Jampersal was collected through in-depth interviews, focus group discussion to community leaders, traditional birth attendants, midwives and head of the health center. In addition, as a supporting data, a quantitative survey to mothers who gave birth in the last year was also conducted. The research was located in 6 province in Indonesia. Each covered one health center in a rural area and one
1
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Badan Litbangkes, Kemenkes RI. Jl. Indrapura no. 17 Surabaya. Alamat Korespondensi:
[email protected]
419
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 4 Oktober 2013: 419–427 in a urban area. Results: The result of this research showed a strong evidence that rituals or traditions were still mostly conducted. So the role of traditional birth attendants were still needed. Lack of transportation was to be the main obstacle to acces health facilities. Meanwhile, social interaction in rural area and a well-developed infrastructure in urban area were important to enable the accessibility to access health facilities. Midwives were well-accepted by the people who had a good knowledge on health despite having less formal education both in rural or urban area. Labor financing by utilizing Jampersal are good but not maximized or tend to be low in certain urban areas. Conclusions: People prefered to chose midwives as birth attendants financed by Jampersal although some delivered at home. TBAs are still needed for maternal and baby care as well as to assist the implementation of rituals. Midwife-TBAs partnerships already on the right track but the labor financing by Jampersal only support health care practitioner. Recommendation: Jampersal also support social and cultural-related financing, such as honorarium for TBAs who are in partner to midwives; transportation cost and also MCH health education and community outreach to involve TBAs and community leaders. Key words: Jampersal, socio cultural determinant, safe delivery, Midwives-TBAs
PENDAHULUAN Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih tinggi. Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan bahwa AKI 228 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 34 per 1000 kelahiran hidup. Berdasar kesepakatan global (Millenium Development Goals/ MDG’s 2000) diharapkan ada tahun 2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup (Kementerian Kesehatan, 2011). Telah diketahui dari contoh di beberapa Negara bahwa AKI dan AKB dapat ditekan bila persalinan dilakukan oleh tenaga kesehatan (nakes) di fasilitas kesehatan (faskes). Berbagai upaya menuju persalinan aman dari sisi medis (provider) seperti penempatan bidan di desa, masih belum menunjukkan hasil memuaskan. Masyarakat Indonesia dengan berbagai tingkat sosial ekonomi, beragam budaya dan bertempat tinggal di wilayah yang berbeda kondisi alamnya, dirasakan masih membutuhkan dukungan pemerintah untuk menjangkau pelayanan medis. Program Jaminan Persalinan (Jampersal) diluncurkan mulai tahun 2011 berdasarkan Permenkes No. 631/Menkes/PER/ III/2011 tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan dan Surat Edaran Menkes RI Nomor TU/Menkes/391/ II/2011 tentang Jaminan Persalinan (Kementerian Kesehatan, 2011) dan kemudian diperbaiki dengan keluarnya Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2562/Menkes/PER/XII/2011 tentang hal yang sama. Jampersal bertujuan menyediakan jaminan biaya untuk ibu bersalin di nakes dan faskes dengan ketentuan dan persyaratan. Dalam pelaksanaan peraturan tersebut telah terjadi beberapa kendala di lapangan karena bervariasinya situasi dan kondisi. Penerapan Peraturan Jampersal 420
disesuaikan dengan dukungan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) cq Dinas Kesehatan di era otonomi daerah berbeda-beda kemampuannya. Hal ini antara lain terkait dengan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan penempatan bidan di desa; Pemanfaatan Jampersal terkait perilaku pemeliharaan kesehatan juga dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi dan budaya. Faktor dari sisi masyarakat menjadi kendala tersendiri mengingat masyarakat tersebar di wilayah kepulauan Indonesia yang bervariasi kondisi alamnya dan sosial ekonominya. Pemerintah telah menyediakan Jampersal, namun masih banyaknya kendala sosial budaya dalam pemilihan penolong persalinan. Kendala datang baik dari pihak ibu sendiri, dari masyarakat maupun dari fasilitas atau tenaga kesehatan. Sisi kendala masyarakat menjadi pokok bahasan utama berdasar hasil temuan penelitian lapangan yang telah dilakukan peneliti Pusat Humaniora Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat-Badanlitbang Kesehatan. Masyarakat sebagai penerima jasa pelayanan perlu mendapat perhatian utama agar mampu menjangkau pelayanan yang disediakan dengan dukungan Jampersal. Mengingat adanya kendala tersebut maka dilakukan penelitian untuk mengkaji kendala sosial budaya dalam persalinan aman. Kebijakan Jampersal tampaknya perlu dilakukan penyempurnaan agar mampu mendukung tujuan pencapaian angka AKI dan AKB sesuai target MDGs tahun 2015. Mengingat kebijakan ini dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan dan dilaksanakan/dikawal oleh jajarannya, maka tulisan ini merupakan masukan yang ditujukan kepada Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan anak (GIKIA) dan Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan (P2JK) selaku pelaksana dan pengelola program KIA dengan pembiayaan Jampersal.
Pemanfaatan Jaminan Persalinan (Lestari Handayani, dkk.)
METODE Penelitian ini merupakan kajian kebijakan dengan menggunakan data utama hasil penelitian berjudul “Peran sosial budaya dalam upaya meningkatkan pemanfaatan program Jaminan Persalinan” yang dilakukan pada tahun 2012 di 6 propinsi (Aceh, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat dan Banten). Masing-masing lokasi ditetapkan 2 puskesmas dengan setiap puskesmas terdiri dari puskesmas yang berada di kota (puskesmas perkotaan) dan 1 puskesmas berada di kabupaten (puskesmas pedesaan) sehingga terdapat 12 puskesmas sebagai sampel penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan melalui Focus Group Discussion (FGD), indepth interview dan pengumpulan data sekunder. Data penelitian dianalisis dengan merujuk berbagai sumber rujukan. HASIL Pertolongan persalinan menurut Sarwono P. (1999: 273) bertujuan untuk membantu persalinan secara sistematis, benar dan aman, sehingga ibu dan bayi selamat dengan trauma sekecil mungkin. Melalui tangan bidan, diharapkan mampu melaksanakan tujuan tersebut dengan cara ditempatkan di fasilitas kesehatan yang terdekat kepada masyarakat (Indonesia, 1989) Pemilihan bidan sebagai penolong
persalinan terlihat sudah cukup merata di desa dan kota lokasi penelitian seperti terlihat pada tabel 1. (Lestari H, dkk, 2012). Seringkali pihak medis meng ‘klaim’ bahwa persalinan “aman” adalah bila dilakukan oleh tenaga medis (bidan atau dokter) di fasilitas kesehatan baik puskesmas/klinik bersalin atau rumah sakit. Namun sebenarnya perlu diketahui definisi melahirkan “aman” menurut pandangan masyarakat (ibu) agar sinkron antara ‘provider side’ dan ‘consumer side’. Di beberapa lokasi penelitian, jumlah persalinan yang dilakukan di rumah masih cukup tinggi seperti di Halmahera Selatan (90,0%), Gayo Lues (89,1%), Landak (78,3%), Lebak (67,2%), Jeneponto (48,6%), Bima (42,9%), meskipun sebagian sudah ditangani oleh bidan. Hasil penelitian Lestari dkk. (2012) ini menunjukkan bahwa di daerah perdesaan masih cukup banyak ibu yang lebih memilih dukun daripada bidan sebagai penolong persalinan. Pemilihan dukun bersalin tidak banyak berbeda dibanding penelitian lain yang sudah pernah dilakukan. Beberapa alasan memilih dukun antara lain lokasi yang dekat dengan tempat tinggal, mengerti dan memahami adat, mau merawat ibu dan bayi saat kehamilan sampai dengan persalinan, biaya yang terjangkau (Lestari H, 1997; Wahit Iqbal Mubarak, 2012). Pemilihan penolong persalinan sangat erat kaitannya dengan rasa percaya terhadap penolong,
Tabel 1. Persentase Responden yang Memiliki Pengetahuan “Benar” tentang Tidak Aman Melahirkan di Rumah dan Tempat Persalinan, di 12 Kabupaten/Kota, Tahun 2012 Tempat Persalinan (%)
n
Nakes sebagai Penolong Persalinan Akhir (%)
di Faskes
di Rumah
Kab. Lebak
67
64,2
32,8
67,2
Kota Cilegon
68
100,0
69,1
30,9
Kab. Bima
70
97,1
57,1
42,9
Kota Mataram
70
92,9
92,9
5,7
Kab. HalSel
50
62,0
10,0
90,0
Kota Ternate
70
92,9
70,0
28,6
Kab. Gayo Lues
55
65,5
10,9
89,1
Kota Banda Aceh
70
100,0
94,3
5,7
Kab. Landak
69
56,5
20,3
78,3
Kota Pontianak
70
97,1
97,1
0,0
Kab. Jeneponto
70
82,8
51,4
48,6
Kota Makasar
70
100,0
92,9
0,0
Kabupaten/ Kota
Sumber: Data primer tahun 2012
421
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 4 Oktober 2013: 419–427
dan kepercayaan terbangun karena adanya interaksi dan berhubungan serta bergaul seperti dukun dan warga di lingkungannya. Di beberapa kabupaten lokasi penelitian, masyarakat beranggapan dukun adalah orang yang dipercaya dan dianggap tepat membantu ibu saat kehamilan dan persalinan. Dukun adalah orang yang sudah sangat mereka kenal, di samping dukun menolong dengan biaya yang terjangkau dan memahami adat istiadat, menjadi pendorong mereka memilih dukun. Masih banyaknya Ritual dan upacara yang dilakukan di masyarakat menjadi salah satu penyebab mereka masih membutuhkan dukun seperti terlihat pada tabel 2. (Lestari H., dkk, 2012) Dukun bersedia membantu merawat ibu dan bayi, bahkan selama 44 hari dengan cara datang ke rumah ibu bersalin, sesuatu pelayanan yang tidak mungkin diharapkan dari bidan. Jadi dalam hal ini, dukun telah turut membantu ibu hamil mempersiapkan fisik selama kehamilan dan khususnya mental pada saat menegangkan yaitu proses persalinan. Dukun memberikan wejangan masalah adat-istiadat, perilaku yang harus dilakukan dan yang dihindari sehingga memberikan ketenangan jiwa kepada ibu. Sebagaimana dikemukakan oleh Grantley Dick-Read dalam Hunt, Sheila (2006) tentang pendekatan psikologis untuk relaksasi yang sangat membantu meredakan nyeri secara alami dalam proses persalinan. Anggapan kemampuan dukun mendeteksi gangguan letak Tabel 2. Distribusi Responden yang Melakukan Ritual/Upacara Saat Kehamilan, Persalinan, Pascapersalinan, di 12 Kabupaten/Kota, Tahun 2012 Kab/Kota
“Ya” Melakukan Ritual/Upacara (%) Kehamilan
Persalinan
Kab. Lebak
65,7
47,8
Pascasalin 85,1
Kota Cilegon
57,4
22,1
45,6
Kab. Bima
32,9
27,1
21,4
Kota Mataram
68,6
32,9
71,4
Kab. HalSel
70,0
38,0
4,0
Kota Ternate
47,1
38,6
48,6
Kab. Gayo Lues
58,2
49,1
54,5
Kota Banda Aceh
21,4
7,1
12,9
Kab. Landak
13,0
18,8
37,7
Kota Pontianak
24,3
12,9
20,0
Kab. Jeneponto
48,6
5,7
4,3
Kota Makasar
28,6
10,0
4,3
422
janin dan mengaturnya kembali, merupakan upaya yang diharapkan masyarakat. Fakta yang ditemukan dalam penelitian ini mirip dengan penelitian Lestari Handayani (1997) yang melihat keterkaitan penolong persalinan dengan kepercayaan. Perilaku ibu dalam pencarian perawat atau penolong pada masa kehamilan, persalinan dan pascapersalinan merupakan salah satu wujud budaya kesehatan. Terbukti bahwa responden pelaksana tradisi terkait kehamilan dan persalinan cenderung memilih dukun sebagai penolong persalinan. Di Jawa Barat, dalam suatu penelitian ditemukan alasan yang sama. Pemilihan dukun beranak (paraji) sebagai penolong persalinan disebabkan alasan yang hampir sama yaitu karena dukun sudah dikenal secara dekat oleh masyarakat, biaya pelayanan yang murah, mengerti dan dapat membantu dalam upacara adat yang berkaitan dengan kelahiran anak serta merawat ibu dan bayi sampai 40 hari (Meiwita B. Iskandar. et al., 1996). Hasil FGD penelitian ini mengungkapkan bahwa masih ada pandangan bahwa dukun memiliki kompetensi yang sama dengan bidan dalam menolong persalinan sehingga mendorong memilih dukun sebagai penolong persalinan. Persalinan adalah proses alamiah, merupakan anggapan yang umum dan diakui. Dengan demikian, ada yang beranggapan bahwa bayi dan plasenta dapat lahir dengan sendirinya sehingga keberadaan bidan hanya dibutuhkan untuk memotong tali pusat. Sedangkan dalam proses persalinan, dukun lebih diharapkan memberikan kekuatan batin dan memberikan arahan kepada ibu dalam menjalani proses alamiah tersebut. Penelitian tahun 2012 tidak berbeda jauh dengan penelitian oleh Lestari pada tahun 1994 di Tulung Agung. Bidan seringkali tidak diikutkan dalam kegiatan upacara, sebagai gantinya mereka mengundang dukun untuk membacakan do’a dan mantera, memimpin pelaksanaan upacara dan memberikan pemahaman tentang makna upacara adat. (Lestari Handayani, 1997) Di samping itu, geografi tempat tinggal yang sulit dan jauh dari fasilitas kesehatan menyebabkan keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan di daerah-daerah tertentu. Kondisi ini menjadi mendorong masyarakat desa dengan fasilitas kehidupan dan sarana transportasi terbatas cenderung memilih dukun sebagai penolong persalinan. Kondisi alam sebagai penyebab sulitnya akses pelayanan bidan
Pemanfaatan Jaminan Persalinan (Lestari Handayani, dkk.)
dijumpai di Tulung Agung, sehingga masyarakat memilih dukun untuk menolong persalinan (Lestari Handayani, 1997). Kemitraan dukun-bidan sudah berlangsung lama dan diakui masyarakat maupun bidan, sangat dibutuhkan. Bahkan dengan adanya Jampersal, beberapa Dinas kesehat an (kot a M at aram, kabupaten Bima) sudah mengalokasikan sebagian dana Jampersal yang di klaim bidan untuk dukun yang bermitra dan membantu saat persalinan (Lestari H, dkk, 2012). Cara ini tampaknya berdampak baik terhadap kemitraan dan kemauan dukun untuk mengarahkan persalinan kepada bidan. Persalinan yang diakui sebagai proses ‘alamiah’ terkadang mengalami hambatan dalam perjalanannya. Pada proses yang ‘abnormal’ hasil persalinan sangat ditentukan oleh penolong persalinan. Pada keadaan ini, seringkali persalinan harus dirujuk ke fasilitas kesehatan yang cukup lengkap peralatan dan tenaga ahlinya (dokter/dokter spesialis kebidanan). Adanya budaya berunding masih banyak dilakukan, dan budaya ini dapat mengakibatkan terjadi keterlambatan pertolongan persalinan yang dapat berakibat fatal pada ibu bila keputusan tidak segera diambil. Kematian ibu bersalin mendapat tanggapan yang berbeda-beda. Di perkotaan, kematian ibu dianggap merupakan tanggung jawab pihak bidan/dokter sebagai penolong persalinan karena pada umumnya mereka mempercayakan adanya tindakan medis.
Masih banyak daerah yang menganggap kematian ibu dalam persalinan adalah suatu yang wajar bahkan masyarakat desa cenderung pasrah bahkan beranggapan merupakan jalan menuju surga bagi si ibu (Mataram). Tetapi penelitian lain mengemukakan bahwa ada juga yang menganggap kematian ibu sebagai suatu peristiwa yang mengerikan karena arwahnya dapat menjadi leak atau kuntilanak (Meiwita B., 1996). Masyarakat sebenarnya sangat mendukung pelayanan persalinan oleh nakes (bidan), bahkan di Pontianak terjadi kecenderungan masyarakat langsung ke RS. (Lestari H, dkk, 2012) Peralihan dari persalinan ”alami” di rumah yang diarahkan ke fasilitas kesehatan sebenarnya merupakan suatu pergeseran seperti terungkap dalam penolakan perempuan Inggris terhadap ”kealamiahan” persalinan karena keinginan melahirkan di Rumah Sakit. Beberapa hal yang akan diperoleh perempuan bila melahirkan di RS, antara lain mendapatkan obat pereda nyeri akibat proses persalinan dan tersedianya berbagai teknik paliatif (Hunt, Sheila, 2006). Hal ini karena telah dikembangkan obat-obatan pereda nyeri yang dapat dimanfaatkan dalam persalinan. Keuntungan bersalin di RS adalah, ibu pascapersalinan dapat beristirahat beberapa hari untuk pemulihan kesehatan dalam arti untuk ’membebaskan diri dari tanggung jawab dan tekanan dalam rumah tangga’ (Hunt, Sheila, 2006). Sebagaimana diketahui, di beberapa keluarga, ibu
Tabel 3. Persentase ”Ya” Pembiayaan Jampersal untuk Periksa Kehamilan, Persalinan, Periksa Ibu Nifas, Periksa Neonatus, Periksa KB, di 12 Kabupaten/Kota, Tahun 2012 Kabupaten/Kota
Pembiayaan Jampersal (%) Hamil
Bersalin
Nifas
Neonatus
Kab. Lebak
67,7
56,7
53,7
55,2
KB 3,0
Kota Cilegon
22,1
19,1
20,6
16,2
7,4
Kab. Bima
63,2
60,0
50,0
50,0
17,1
Kota Mataram
49,3
61,4
52,9
58,6
21,4
Kab. HalSel
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
Kota Ternate
45,6
15,7
14,3
14,3
7,1
Kab. Gayo Lues
21,2
12,7
7,3
14,5
1,8
Kota Banda Aceh
10,1
20,0
5,7
2,9
1,4
Kab. Landak
11,8
18,8
8,7
8,7
10,1
Kota Pontianak
24,6
68,6
7,1
2,9
0,0
Kab. Jeneponto
85,5
62,9
68,6
60,0
10,0
Kota Makasar
39,1
47,1
14,3
18,6
15,7
423
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 4 Oktober 2013: 419–427
adalah penanggung jawab urusan rumah tangga tanpa memedulikan kondisinya setelah melahirkan. Di beberapa budaya ibu melahirkan di tempat persalinan yang terpisah dari pemukiman penduduk. Jampersal tidak hanya menjamin pelayanan persalinan namun menjamin pula pelayanan pemeriksaan kehamilan, nifas, neonatus dan KB. Pemanfaatan Jampersal belum maksimal terbukti hasil penelitian Lestari H, dkk. (2012) menunjukkan fakta seperti yang ditampilkan pada Tabel 3. Pemanfaatan Jampersal antara lain terhambat oleh persyaratan berupa KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang seharusnya dimiliki oleh setiap penduduk yang berusia 17 tahun ke atas. Menilik Undang-undang yang berlaku, penduduk memiliki hak untuk mendapat identitas diri sebagai warga negara sesuai dengan ketentuan undang-undang (UU Kependudukan no. 52, 2009). Dari pengamatan dan hasil FGD, masih banyak penduduk belum memiliki kesadaran pentingnya KTP sebagai identitas diri. Penduduk tidak memiliki KTP terjadi khususnya penduduk yang tinggal di desa terpencil sedangkan di kota terjadi pada penduduk musiman (di perkotaan) yang tidak memiliki Kartu Penduduk Sementara. Alasan yang dikemukakan antara lain proses pengurusan yang panjang, dirasakan berbelit dan biaya yang harus ditanggung, sehingga untuk memenuhi persyaratan sebagai peserta Jampersal mereka harus menggantinya dengan surat domisili yang dapat diperoleh di tingkat Kelurahan/kantor desa. Diakui para suami (dalam FGD) sebenarnya persyaratan Jampersal ringan karena mereka bisa memperoleh pelayanan meskipun bukan penduduk setempat (Lestari H, dkk, 2012). Persyaratan tersebut meskipun tampaknya ringan namun menyebabkan keengganan karena mereka tidak mengerti dan bahkan sebagian tidak mengetahui adanya Jampersal. Proses yang lama, dianggap berbelit dan membutuhkan biaya menyebabkan sebagian keluarga memutuskan tidak memanfaatkan Jampersal dan beralih ke dukun terdekat. Berdasar pengakuan responden, dana yang dibiayai Jampersal cukup besar (sekitar 60%) di kabupaten Lebak, Bima, kota Mataram, Jeneponto dan Pontianak (Lihat Tabel 3). Kurangnya informasi tentang Jampersal merupakan salah satu alasan rendahnya pemanfaatan Jampersal sesuai dengan hasil wawancara maupun FGD. Masyarakat kurang memahami persyaratan Jampersal, siapa yang berhak, pelayanan yang bisa diperoleh, bahkan 424
sebagian mereka sama sekali belum pernah mendengar tentang Jampersal. Adanya pengakuan ”tidak paham tentang Jampersal” oleh suami dan tokoh masyarakat (FGD) mengindikasikan sosialisasi Jampersal kurang maksimal. Masyarakat tahu bahwa ada pelayanan kesehatan gratis dan beranggapan sebagai dana Jamkesmas. Dalam hal ini terjadi kerancuan pemahaman antara Jamkesmas, Jamkesda dan Jampersal. Tidak mudah mengubah pilihan penolong persalinan meskipun biaya gratis melalui Jampersal telah disiapkan. Kendala budaya dapat menghambat peralihan penolong persalinan seperti tercermin dari penelitian di Papua. Suatu penelitian pada suku Amungme dan Kamoro Kabupaten Mimika Papua menunjukkan bahwa perilaku memilih penolong persalinan didasari atas budaya kedua suku. Kendala untuk minta pertolongan Nakes antara lain karena budaya yang menganggap tabu membuka aurat (paha) di depan orang yang belum dikenal, dan meyakini bahwa darah dan kotoran persalinan dapat mengakibatkan penyakit yang mengerikan pada kaum laki-laki dan anak-anak. Oleh karena itu mereka melakukan persalinan di hutan/rimba atau di bagian belakang rumah (kamar mandi, dapur). (Qomariah Alwi, 2005) Hasil penelitian Lestari H dkk (2012) menunjukkan masih banyak ibu maupun suami dan tokoh masyarakat menganggap bahwa kehamilan sebagai hal biasa, dan kodrati. Ibu hamil merasa tidak perlu memeriksakan diri ke bidan atau dokter bahkan mereka masih harus bekerja di ladang dan di hutan untuk membantu perekonomian keluarga. Di kabupaten Mimika – Papua, ibu mempunyai tanggung jawab dan aktivitas ibu sehari-hari dalam mencari bahan makanan untuk seluruh keluarga meskipun dalam keadaan hamil tua sehingga mereka tidak punya waktu untuk mencari atau menunggu bidan. Pelayanan yang diberikan bidan memerlukan biaya yang sulit dijangkau ditambah lagi dengan bidan jarang di tempat dan sikap bidan yang kurang akrab. PT Freeport Indonesia yang berada di Papua kemudian menanggung segala biaya pelayanan kesehatan bagi kedua suku Papua ini mulai dari pemeriksaan kehamilan sampai dengan pascapersalinan, namun budaya melahirkan di dukun tidak berubah (Qomariah Alwi, 2005). Mahalnya biaya persalinan bidan juga menjadi keluhan masyarakat (Lestari H dkk, 2012). Biaya pelayanan persalinan ke bidan yaitu berkisar antara 700 ribu sampai
Pemanfaatan Jaminan Persalinan (Lestari Handayani, dkk.)
satu juta rupiah dianggap mahal oleh masyarakat golongan ekonomi rendah. Di sisi lain, dengan adanya persalinan gratis, sebagian masyarakat Lebak-Banten mengalihkan dana persalinan untuk pembiayaan upacara adat. Dalam rangka mengubah perilaku masyarakat dengan harapan agar seorang ibu hamil mau bersalin ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan maka upaya yang harus dilakukan adalah dengan melakukan intervensi melalui 3 tingkatan ekologi yaitu tingkat individu, tingkat interpersonal dan tingkat komunitas atau masyarakat (Croyle, Robert T. 2005). Dalam pemilihan perawatan/penolong ibu pada masa maternity (hamil, bersalin dan pascapersalinan), ibu dipengaruhi orang sekitarnya karena hubungan antara individu/interpersonal dengan orang di sekitarnya (suami, orang tua, tetangga). Dalam pemilihan penolong kehamilan (Ante Natal Care/ANC), persalinan, pascapersalinan ada faktor yang berpengaruh terhadap hubungan interpersonal yaitu faktor sosial budaya, termasuk demografi, geografi dan akses terhadap fasilitas pelayanan. Pada tingkat komunitas, penetapan praktek perawatan atau pertolongan kehamilan (ANC), persalinan dan pascapersalinan ditentukan oleh ketanggapan fasilitas kesehatan terhadap kebutuhan ibu terkait harapan, dukungan/kemudahan serta hambatan dalam mengakses tenaga kesehatan. Hal ini juga dipengaruhi kebijakan pemerintah yang diberlakukan antara lain pembiayaan kesehatan berupa jaminan persalinan (Jampersal). Isu Kebijakan Persalinan aman saat ini merupakan salah satu program pemerintah dan program yang digerakkan di seluruh dunia untuk tujuan menurunkan AKI dan AKB. Hasil penelitian Lestari H, dkk. (2012) menunjukkan bahwa dukun masih menjadi pilihan dan dibutuhkan pelayanan dalam perawatan ibu dan bayi dan pelaksanaan tradisi. Masalah sosial budaya dapat menjadi penghambat dalam upaya penurunan AKI dan AKB. Pemanfaatan Jampersal sudah cukup dirasakan tetapi masih ada kendala dalam pemanfaatannya. Sosialisasi Jampersal masih kurang dan Jampersal hanya menanggung biaya untuk tenaga kesehatan (Kemkes, 2011) sedangkan permasalahan pembiayaan tidak hanya untuk membayar tenaga kesehatan tetapi termasuk biaya bagi dukun dan transport menuju bidan di faskes dan sosialisasi.
Banyak masyarakat belum paham tentang Jampersal dan persyaratannya. Pengakuan dari responden, mereka mendapat informasi tentang Jampersal dari bidan dan tenaga kesehatan lain. Bidan yang di wawancara menyatakan bahwa sosialisasi Jampersal dirasakan kurang dan perlu dilakukan langsung ke masyarakat. Aparat desa/ kelurahan diharapkan dapat membantu. Informasi dapat diperluas dengan kerja sama lintas sektor seperti kantor desa, LSM dan lainnya sehingga tidak menjadi beban seluruhnya bagi bidan di desa. Mengingat selama ini biaya penyuluhan dan sosialisasi tidak tercukupi dan kurang diperhatikan. PEMBAHASAN Jaminan persalinan diselenggarakan pemerintah dalam upaya memfasilitasi masyarakat agar mendapat pelayanan pertolongan persalinan aman oleh tenaga kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan. Dengan adanya Jampersal diharapkan dapat mengakselerasi tujuan MDG’s 4 (status kesehatan anak) dan MDG’s 5 (status kesehatan ibu). Sosial budaya sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perilaku masyarakat dalam memilih penolong persalinan. Untuk lebih meningkatkan perilaku yang sudah cenderung memihak kepada persalinan oleh bidan maka Jampersal harus mencegah faktor-faktor yang mendorong masyarakat kembali ke perilaku lama yaitu bersalin ke dukun dan dilaksanakan di rumah. Kepercayaan terhadap tradisi masih dipegang erat oleh masyarakat di perdesaan, dan kurang dilaksanakan di perkotaan. Kepercayaan terhadap mistik atau gaib atau roh, seringkali mendorong perilaku yang merugikan. Masyarakat desa di lokasi penelitian masih sangat kuat terlibat dalam suatu upacara/ritual. Kepercayaan sebagai unsur budaya tidaklah mudah untuk mengubahnya apalagi bila menyangkut ideologi dan falsafah hidup. Berbeda dengan kelompok masyarakat perkotaan yang lebih bersifat individualistik sehingga kedekatan satu sama lain sudah berkurang. Status sosialnya yang heterogen dengan mata pencaharian penduduk yang berbagai macam serta kompetitif, tidak bergantung kepada alam membuat masyarakat kota lebih dinamis. Pada umumnya keterikatan terhadap tradisi sangat kecil. Masyarakat kota Banda Aceh, Pontianak dan Makasar sudah jarang yang melakukan ritual dan upacara 425
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 4 Oktober 2013: 419–427
(Lestari dkk, 2012). Oleh karena itu dibutuhkan penyuluhan yang membutuhkan pembiayaan dengan melibatkan dukun, kader dan perangkat desa. Perilaku cukup bagus tentang “persalinan aman dengan ditolong bidan” perlu dijaga agar tidak tercemari oleh kepercayaan yang salah yang dapat merubah perilaku yang sudah baik. Dukun yang bermitra dengan bidan dapat diartikan mendukung upaya persalinan oleh bidan oleh karena itu dukun harus diperdayakan dengan memberikan honor yang layak atas jasanya mendukung kinerja bidan. Masyarakat di desa banyak memilih tempat persalinan di rumah ke fasilitas kesehatan terutama dengan alasan lokasi dengan transportasi sulit. Responden di kota lebih cenderung memilih melahirkan di faskes daripada responden yang tinggal di desa. Masih besarnya persalinan di rumah ini bila merujuk kondisi di Inggris menunjukkan posisi mirip bahkan lebih rendah (Landak, Gayo Lues, Halmahera Selatan) dengan kondisi persalinan di Inggris tahun 1930 dengan 33,2% persalinan di rumah. Perkembangan di Inggris menunjukkan peningkatan persalinan di RS dari tahun ke tahun (Hunt, Sheila, 2006). Pergeseran tempat persalinan di rumah ke fasilitas kesehatan tersebut kurang terlihat di daerah perdesaan penelitian terutama yang sulit transportasi sehingga dibutuhkan biaya cukup besar untuk memanggil atau menuju faskes. Alam dan lingkungan yang sulit telah membatasi kontak langsung bidan dan masyarakat, sehingga sulit untuk mengakses bidan pada saat dibutuhkan. Interaksi masyarakat yang baik akan memudahkan diterimanya suatu informasi tentang KIA dan Jampersal. Informasi yang diterima ibu bila dapat diterima dengan baik oleh suami akan mendorong kemungkinan persalinan kepada nakes mengingat di masyarakat perdesaan, suami adalah pengambil keputusan. Meskipun interaksi dan kegotongroyongan masyarakat desa cukup baik, namun bantuan pembiayaan menuju bidan atau faskes akan mempercepat perubahan perilaku persalinan di dukun. Pemahaman tentang Jampersal yang masih rendah perlu ditingkatkan. Sosialisasi lebih luas dan detil termasuk prosedur dan persyaratan menjadi peserta Jampersal melalui tokoh masyarakat (contoh: Lurah, ketua RW/RT, dll) dan pemuka agama (kiai,
426
pendeta). Pemanfaatan dukun sebagai penyampai pesan Jampersal dengan membangun peran kemitraan yang harmonis dengan bidan akan mempercepat arus informasi bisa tersampaikan. Mengubah perilaku membutuhkan waktu karena perilaku KIA masyarakat merupakan salah satu wujud budaya (Elly M. Setiadi dkk, 2007). Sejak adanya pelayanan gratis melalui Jampersal, diakui membantu meringankan beban biaya untuk bidan. Melihat peluang tersebut, maka Jampersal seharusnya dapat menanggung biaya yang akan mempercepat upaya persalinan aman melalui dukungan terhadap sosial budaya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasar pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sudah ada kecenderungan masyarakat memilih bidan sebagai penolong persalinan dengan memanfaatkan pembiayaan Jampersal, namun sebagian persalinan masih dilakukan di rumah karena sulitnya menuju faskes dan masih belum menyadari perlunya persalinan aman di faskes. Disatu sisi, masyarakat tetap membutuhkan pelayanan dukun khususnya utuk perawatan ibu hamil dan pascapersalinan termasuk merawat neonatus serta membantu pelaksanaan adat istiadat. Kemitraan bidan-dukun sudah berjalan dengan baik tetapi pembiayaan Jampersal baru menyokong tenaga kesehatan padahal peran dukun cukup besar dalam mendukung kinerja bidan. Pemanfaatan dukun sebagai penyampai pesan jampersal dengan membangun peran kemitraan yang harmonis dengan bidan akan mempercepat penyampaian informasi. Saran D isarankan Jamper sal juga mendukung pembiayaan sosial budaya terkait persalinan yaitu 1) Menyediakan pembiayaan transportasi dari rumah menuju fasilitas persalinan/rumah bidan bagi ibu bersalin yang membutuhkan; 2) Honor dukun yang bermitra; 3) Pembiayaan penyuluhan kesehatan KIA dan sosialisasi kepada masyarakat melibatkan dukun dan aparat desa di samping tenaga kesehatan.
Pemanfaatan Jaminan Persalinan (Lestari Handayani, dkk.)
DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2007. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Jakarta Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2010. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Jakarta Croyle, Robert T. 2005. Theory at a Glance. A Guide for Health Promotion Practice (second Edition). USA: The National Cancer Institute. Departemen Kesehatan RI, 1989. Panduan bidan di tingkat desa. Bagian I. Jakarta Elly M Setiadi dkk. 2008. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Kencana. Jakarta. Endang P Gularso. 1998. Kelahiran Anak dalam Tradisi Orang Betawi di Desa Ragunan, Jakarta Selatan. Dalam: Kehamilan, Kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi dalam Konteks Budaya. Enyunting, Meutia F. Swasono. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Foster, George M dan Barbara Gallatin Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan. Penerjemah Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono, Jakarta. Green, Lawrence. 1980. Health Education Planning, A Diagnostic Approuch. The John Hopkins University: Mayfield Publishing Co. Kementerian Dalan Negeri. 2009. Undang-undang Republik Indonesia No 52 tahun 2009 tentang Kependudukan. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. 2011. P e t u n j u k Te k n i s Jaminan Persalinan Tahun 2011. Jakarta Kementerian Kesehatan RI. 2011. Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan Tahun 2010– 2014. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Permenkes No. 631/ Menkes/PER/III/2011 tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan dan Surat Edaran Menkes RI
Nomor TU/Menkes/391/II/2011 tentang Jaminan Persalinan. Jakarta Kementerian Kesehatan RI. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2562/Menkes/ Per/XII/2011 Tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan. Jakarta Koentjaraningrat. 1992. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Lawrence S. Cunningham, John J. Reich. Culture and Values, Volume II: A Survey of the Humanities with Readings amazon.com Lestari Handayani, dkk. 1997. Menuju Pelayanan Persalinan Terpadu. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Lestari Handayani, dkk. 2012. Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jaminan Persalinan (Jampersal). Laporan Penelitian 2012. Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Surabaya. Meiwita B. Iskandar. dkk. 1996. Mengungkap Misteri Kematian Ibu di Jawa Barat. Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Pendidikan UI. Jakarta. Qomariah Alwi. 2005. Budaya Suku Amungme dan Suku Kamoro Papua dalam Pemeliharaan Kehamilan dan Persalinan, Disertasi. Jakarta Sheila Hunt; Anthea Symonds. 2006. Konsep Sosial Kebidanan. ECG. Jakarta. Wahid Iqbal Mubarak, Nurul Chahayatin, Iga Mainur, 2012. Ilmu sosial budaya dasar kebidanan: pengantar dan teori. ECG. Jakarta. Widayatun. Program penempatan bidan di I desa di Indonesia dan Tingkat Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak. Buletin Pengkajian Masalah Kependudukan dan Pembangunan X (1-3) 1999.
427
PENGARUH SENAM NIFAS TERHADAP PENURUNANTINGGI FUNDUS UTERI PADA IBU POSTPARTUMDI RUMAH SAKIT KHUSUS DAERAHIBU DAN ANAK SITI FATIMAHMAKASSAR Yuliani1, Rusni Mato2, Sjafaraenan3 1
STIKES Nani Hasanuddin Makassar STIKES Nani Hasanuddin Makassar
2
3
ABSTRAK Senam Nifas adalah olahraga ringan yang dilakukan ibu yang baru melahirkan bayi. Senam ibu nifas dilakukan selama 7 hari berturut-turut sejak hari pertama melahirkan sampai hari ketujuh Peneliti mengadakan penelitian tentang “Pengaruh Senam Nifas Terhadap Penurunan Tinggi Fundus Uteri Pada Ibu Postpartum di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar”. Penelitian di laksanakan pada taggal 30 juli – 25 september. Tujuan penelitian adalah diketahuinya pengaruh senam nifas terhadap penurunan tinggi fundus uteri. Desain pada penelitian ini adalah “quasi experimental”. Sampel diambil dari 30 orang ibu-ibu post partum yang dirawat di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar. Besar sampel 30 orang dibagi menjadi 2 kelompok, 20 orang diberi perlakuan senam nifas dan 10 orang tidak diberi perlakuan senam nifas. Dari data yang telah terkumpul diolah menggunakan uji sampel paired t-test dengan tingkat kemaknaan p < 0,05. Dari hasil uji sampel paired t-test didapatkan perbedaan hasil mean tinggi fundus uteri antara ibu post partum yang diberi perlakuan senam nifas dengan yang tidak diberi perlakuan. Ibu postpartum yang mendapat perlakuan senam nifas mempunyai penurunan tinggi fundus uteri yang lebih cepat dengan nilai p = 0,000 untuk frekuensi, lama dan gerakan senam nifas. Ini berarti ada pengaruh senam nifas terhadap tinggi fundus uteri. Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ibu post partum yang mendapatkan perlakuan senam nifas mempunyai penurunan tinggi fundus uteri yang lebih cepat daripada ibu post partum yang tidak mendapatkan perlakuan senam nifas. Senam nifas mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap penurunan tinggi fundus uteri pada ibu postpartum di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar. Kata Kunci : ibu postpartum, Senam Nifas, Tinggi Fundus Uteri. PENDAHULUAN Masa nifas (puerperium) dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung selama kira-kira 6 Minggu. Wanita yang melalui periode puerperium disebut puerpura. Puerperium (Nifas) berlangsung selama 6 minggu atau 42 hari, merupakan waktu yang diperlukan untuk pulihnya alat kandungan pada keadaan yang normal. (Ambarwati, 2009). Senam nifas membantu memperbaiki sirkulasi darah, memperbaiki sikap tubuh setelah hamil dan melahirkan, memperbaiki tonus otot pelvis, dan otot vagina, memperbaiki regangan otot abdomen setelah hamil, memperbaiki regangan otot tungkai bawah, dan memperkuat otot-otot dasar panggul serta membantu ibu untuk lebih relaks dan segara pasca melahirkan.( Suherni, dkk, 2009).Akibat jika senam nifas tidak dilaksanakan:
Volume 1 Nomor 4 Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
Senam nifas bisa dilakukan setelah persalinan normal. Mobilisasi dan gerakangerakan sederhana sudah dapat dimulai selagi ibu masih di Klinik atau Rumah Sakit. Agar involusi tubuh berjalan dengan baik dan otototot mendapatkan tonus otot elastisitas dan berfungsi kembali. BAHAN DAN METODE Lokasi, populasi, dan sampel penelitian Berdasarkan permasalahan yang diteliti, maka jenis penelitian ini adalahQuasi-Eksperiment dengan metode pendekatan Non-Equivalen Control Group atau non-randomized Control group pretest-postes design.Penelitian di laksanakan di Rumah Sakit Khusus Daerah Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar, mulai tanggal 30 juli – 25 Agustus. Populasi dalam penelitian ini adalah kelompok ibu nifas/ post partum yang dirawat di ruang perawatan nifas Rumah Sakit Khusus Daerah Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar.
137
Sampel dalam penelitian ini adalah sekelompok ibu nifas/ postpartum di Rumah Sakit Khususn Daerah Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar. Besar sampel sebanyak 30 responden. Kriteria Sampel a. Kriteria inklusi adalah karateristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau yang akan diteliti. 1) Ibu nifas dengan persalinan normal/ pervaginam 2) Ibu nifas dalam keadaan sehat dan tidak memiliki riwayat penyakit lain (gagal jantung, hipertensi) dll. 3) Bersedia menjadi responden serta bersiap untuk di ikuti sampai di rumahnya. b. Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab. 1) Ada komplikasi dengan persalinannya 2) Keluarga ibu nifas menolak berpartisipasi. Cara Pengumpulan Data 1. Data Primer Data primer diperoleh dengan cara melakukan observasi berdasarkan senam nifas yang dilakukan, dalam hal ini observasi terhadap dilakukan atau tidak senam nifas pada kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan menggunakan lembar observasi yang sudah di sediakan. 2. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari instansi terkait yaitu Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar. HASIL PENELITIAN a. Karakteristik Responden Tabel 5.3 : Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur Umur (thn) n % 18-24 25-30 31-35 Total
12 16 2 30
Sumber : Data Primer 2012
40,0 53,3 6,7 100
Dari tabel 5.3 ditemukan frekuensi responden sebagian berumur 25-30 Tahun (53,3%), Tahun (40,o%) dan sisanya berumur 31-35 Tahun.
bahwa besar 18-24 (6,7%)
Tabel 5.4 : Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan Pendidikan n % SD SMP SMA Perguruan Tinggi Total
Sumber : Data Primer 2012
6,7 26,6 60,0 6,7 100
Dari tabel 5.4 ditemukan bahwa frekuensi responden yang terbanyak yaitu SMA sebanyak (60,0%), SD (6,7%), SMP (26,7%), dan sisanya (6,7%) Perguruan Tinggi. Tabel 5.5 : Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan Pekerjaan n % Ibu Rumah Tangga Wiraswasta PNS Total
Sumber : Data Primer 2012
22 5 3 30
73,3 16,7 10,0 100
Dari tabel 5.5 ditemukan bahwa frekuensi pekerjaan responden Sebagian besar Ibu Rumah Tangga (73%%), Wiraswasta (15,7%), dan sisanya PNS (10,0%) Tabel 5.6 : Distribusi frekuensi responden berdasarkan makananseharihari Makanan sehari-hari N % Nasi+sayuran+lauk-pauk Nasi+sayuran+laukpauk+buah-buahan Total
Sumber : Data Primer 2012
4 26
13,3 86,7
30
100
Dari tabel 5.6 ditemukan bahwa frekuensi makanan sehari-hari yang dikonsumsi Responden sebagian besarnya Nasi+sayuran+lauk-pauk+buah-buahan (86,7%), dan sisanya Nasi+sayuran+laukpauk sebanyak (13,3%). Tabel 5.7 : Distribusi frekuensi berdasarkan rumah tangga Pekerjaan Rumah n Tangga Dikerjakan sendiri 22 Dibantu 8 Total 30
Sumber : Data Primer 2012
Volume 1 Nomor 4 Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
2 8 18 2 30
responden pekerjaan % 73,3 26,7 100
138
Dari tabel 5.7 ditemukan bahwa frekuensi pekerjaan rumah tangga Sebagian besar dikerjakan sendiri (73,3%), dan sisanya dibantu (26,7%).
Dari tabel 5.10 ditemukan bahwa frekuensi Penurunan tinggi fundus uteri Ibu post partum sebagian besar lambat sebanyak (90%), dan sisanya (10%) cepat.
Tabel 5.8 : Distribusi frekuensi responden berdasarkan Ibu menyusui Ibu Menyusui n %
c. Analisis Bivariat Tabel 5.12 : Penurunan tinggi fundus uteri pada respondenYang melakukan senam nifas
Menyusui Tidak menyusui Total
Sumber : Data Primer 2012
30 0 30
100 0 100
Dari tabel 5.8 ditemukan bahwa frekuensi Menyusui Responden menyatakan (100%) semua menyusui bayinya. Tabel 5.9 : Distribusi frekuensi responden berdasarkan Ibu yang melakukan senam nifas dan tidak melakukan senam nifas Senam nifas n % Senam Tidak senam Total
Sumber : Data Primer 2012
20 10 30
66,7 33,3 100
Tabel 5.9 menunjukkan bahwa 20 responden yang melakukan senam nifas dan 10 responden yang tidak melakukan senam nifas b. Analisis Univariat Tabel 5.10 : Penurunan tinggi fundus uteri pada responden yang melakukan Senam nifas Penurunan TFU n % Cepat 19 95 Lambat 1 5 Total 20 100
Tabel 5.11 : Penurunan tinggi fundus uteri pada responden yang tidakmelakukanSenam nifas Penurunan TFU N % Cepat Lambat Total
Sumber : Data Primer 2012
1 9 10
10 90 100
Volume 1 Nomor 4 Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
Hari I (sebe lum sena m)
H ar i II
Har i III
Har i IV
Har i V
Har i VI
A1 A2
10 11
9 9
7.5 8
6 6.5
4.5 5
2 3.5
Hari VII (sete lah sena m) 1 2
A3 A4
10 10
8 8
7 7
5.5 6
4 4.5
2.5 2
1 1
A5 A6
10 10
8 9
7.5 7.5
6 6
4.5 4.5
2 2
1 1
A7 A8
11 10
9 8
8 7
6.5 6
5 4.5
4 2
3 1
A9 A 10
10 10
8 8
7 7
5.5 6
4 4.5
2.5 2
1 1
A11 A12
10 11
9 9
7.5 8
6 6.5
4.5 5
2 3.5
1 2
A13 A14 A15
10 10 10
8 8 8
7 7 7.5
5.5 6 6
4 4.5 4.5
2.5 2 2
1 1 1
A16 A17
10 10
9 8
7.5 7
6 5.5
4.5 4
2 2.5
1 1
A18 A19
10 10
8 8
7 7
6 5.5
4.5 4
2 2.5
1 1
A20 10 Rerata penurunan P. Corelasi Probabilitas
8 8,9
7
6
4.5
2
1
0,000 0,000
Tabel 5.13 : Pengukuran penurunan tinggi fundus uteri pada respondenYang tidak melakukan senam nifas
Sumber : Data Primer 2012
Dari tabel 5.9 ditemukan bahwa frekuensi Penurunan tinggi fundus uteri Ibu post partum sebagian besar cepat sebanyak (90%), dan sisanya (10%) lambat.
Resp onde n
No .
Resp onde n
Hari I
Hari III
Hari IV
Hari V
Hari VI
Hari VII
10
H ar i II 9
1
B1
2 3
B2 B3
8
7
6
5
4
10 11
9 9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
4 5
B4 B5
10 11
8 9
7 8
6 6.5
5 5
4 3.5
3 2
6
B6
11
9
8
7
6
5
4
7 8
B7 B8
10 10
8 9
7 8
6 7
5 6
4 5
3 4
9 10
B9 B10
11 10
9 9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
Rerata penurunan
6,8
P. Corelasi
0,735
Probabilitas
0,000
139
Tabel 5.14
Senam Nifas
: Penurunan tinggi fundus uteri padaresponden yang melakukan senam nifas dan tidak melakukan senam nifas Penurunan TFU Cepat
Total
%
Lam % Jumlah % bat Perlakuan 19 45 1 5 20 50 Kontrol 1 5 9 45 10 50 Total 2 1 30 100 Uji Paired Sampel T-test: p= 0,000
Tabel tersebut diatas menunjukkan kejadian percepatan penurunan tinggi fundus uteri pada responden yang dilakukan senam nifas sebanyak 19 orang (45%). Dilihat dari uji statistik Pariedsampel t-test menunjukkan derajat kemaknaan p=0,000 (p0,05) maka Ho ditolak. Dari tabel di atas didapatkan pada kelompok perlakuan, responden yang mengalami percepatan penurunan tinggi fundus uteri sebanyak 19 orang (45%), dan yang mengalami perlambatan penurunan tinggi fundus uteri sebanyak 1 orang (5%) dengan rerata penurunan selama 7 hari melakukan senam nifas yaitu 8.9 cm. Sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan 1 orang (5%) responden yang mengalami percepatan penurunan tinggi fundus uteri dan 9 orang (45%) yang mengalami perlambatan penurunan tinggi fundus uteri dengan rerata penurunan selama 7 hari yaitu 6.8 cm. Dari uji statistikpaired sampel t-test, pada kelompok perlakuan hasil korelasi antara kedua variabel, didapatkan probabilitas p=0,000 yang berarti bahwa korelasi antara sebelum dan sesudah dilakukan senam nifas efektif dalam Penurunan tinggi fundus uteri secara nyata dengan nilai p=0,000. Pada kelompok kontrol, meskipun tidak diberikan perlakuan senam nifas secara nyata fundus uteri turun dengan nilai p=0,735. Hasil korelasi antara pra test dengan post test menghasilkan probabilitas 0,000 hal ini menunjukkan adanya korelasi antara Penurunan tinggi fundus uteri sebelum dan sesudah perlakuan senam nifas. PEMBAHASAN Pada pembahasan ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian yang telah dilaksanakan dan dilakukan uji paried sampel t-test. Sejalan dengan dilaksanakannya senam nifas maka rahim (uterus) akan mengerut kembali sehingga tidak teraba lagi. Sebelum dilaksanakan senam nifas penurunan tinggi fundus uteri pada kelompok perlakuan dan kontrol sekitar 10 cm dan 11 cm. Hari
Volume 1 Nomor 4 Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
pertamaberfungsi untuk memperlancar peredaran darah dan pernapasan. Seluruh organ-organ dalam tubuh akan teroksigenasi dengan baik sehingga hal ini juga akan membantu proses pemulihan tubuh. Gerakanhari kedua, dari 20 responden pada kelompok perlakuan sebagian besar mengalami penurunan tinggi fundus uteri sekitar 2,5 cm, namun diantara 20 reponden masih terdapat 1 responden yang mengalami penurunan tinggi fundus uteri yang lambat dengan rerata penurunan sekitar 1 cm. Pada kelompok kontrol penurunan tinggi fundus uteri sebagian besar mengalami penurunan agak lambat di banding dengan kelompok perlakuan. Gerakan hari ke dua berfungsi untuk melatih sekaligus mengencangkan otot sekitar tangan dan bahu, sehingga pada kelompok perlakuan responden mengalami penurunan lebih cepat di banding dengan kelompok kontrol. Gerakan ke tiga berfungsi untuk menguatkan kembali otot-otot endometrium berkontraksi dengan cepat selama kehamilan dan persalinan. penurunan tinggi fundus uteri hari ketiga pada perlakuan senam nifas lebih cepat di banding dengan responden yang tidak diberikan perlakuan. Pada gerakan dengan hari ketiga tersebut penurunan tinggi fundus uteri pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol tidak jauh beda dengan hari kedua. Begitupun dengan hari ke empat dan seterusnya sampai hari ketujuh. Gerakan ke empat berfungsi untuk memulihkan dan menguatkan kembali otot-otot punggung. Gerakan ke lima berfungsi untuk melatih otot-otot tubuh diantaranya otot-otot punggung, otot-otot bagian perut dan otot-otot bagian paha. Gerakan keenam berfungsi untuk menguatkan otot-otot di kaki yang selama kehamilan menyangga beban yang sangat berat. Selain itu untuk memperlancar sirkulasi di daerah kaki sehingga mengurangi resiko edemi kaki. Gerakan ke tujuh berfungsi untuk menguatkan otot-otot tubuh diantaranya otot-otot punggung, otot-otot bagian perut dan otot-otot bagian paha serta melatih pola pernafasan. Setelah persalinan, rahim menonjol dengan puncaknya hampir setinggi pusar. Tetapi sekitar seminggu kemudian rahim akan mengerut kembali sehingga tidak teraba lagi. Otot yang ada dalam rahim yaitu otot polos. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Senam Nifas yang dilaksanakan secara rutin hari 1-7 pada ibu post partum dengan gerakan senam nifas hari pertama hingga hari ketujuh dapat menurunkan tinggi fundus uteri ibu post partum (p=0,000).
140
Gerakan-gerakan senam nifas tersebut melancarkan peredaran darah dan meningkatkan metabolisme sel, membantu Mengencangkan regangan otot-otot sekitar abdomen dan rahim, sehingga mengakibatkan pengurangan ukuran sel secara menyeluruh. Oleh sebab itu senam nifas mempunyai pengaruh terhadap percepatan penurunan tinggi fundus uteri pada ibu post partum. 2. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di ruang Perawatan Nifas Rumah Sakit khusus Daerah Siti Fatimah Makassar dengan mengikuti Responden sampai di rumahnya Tahun 2012 diperoleh data yang mengalami percepatan penurunan tinggi fundus uteri pada kelompok perlakuan senam nifas, sebanyak 19 orang (90%) responden. Sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan 1 orang (10%) responden. 3. Ada perbedaan penurunan tinggi fundus uteri antara ibu yang melakukan senam
nifas dan ibu yang tidak melakukan senam nifas dimana pada proses ibu yang dilakukan senam nifas proses penurunan tinggi fundus uterinya lebih cepat. SARAN 1. Kepada tenaga kesehatan, perawat dan bidan sangat perlu memahami dan mengerti tentang konsep dan praktik senam nifas agar bisa dilaksanakan di tempat-tempat pelayanan seperti: puskesmas, klinik-klinik, dan rumah sakit dengan harapan dapat memberikan informasi dan bermanfaat kepada ibu post partum. Dalam hal ini perawat maternitas hendaknya memberikan pelatihan senam nifas sebagai salah satu implementasi keperawatan pada ibu post partum yang dirawat di ruangan tersebut. 2. Senam Nifas pada Ibu post Partum sebaiknya dilakukan maksimal selama kurang lebih 10-15 menit dalam waktu 2 kali sehari (pagi dan malam hari ).
DAFTAR PUSTAKA Ambarwati, R. Eny. 2009. Asuhan Kebidanan Nifas. Cet. 3. Mitra Cendikia Press. Jogjakarta. (73-115) Ari, Sulistyawati, 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas. Andi, Yogyakarta. ( 65-171). Brayshaw, Eileen. 2008. Senam Hamil dan Nifas: Pedoman Praktis Bidan. EGC. Jakarta. (229) Fitriani. 2009. Pengetahuan Ibu Tentang Senam Nifas di RSIA St. Fatimah Makassar. Kebidanan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Fikriamrullah,
2011. (http://jfikriamrullah.wordpress.com/2011/07/05/senam-nifas-definisitujuan-manfaatgerakan/). Diakses 17 maret 2012.
Suparyanto, 2011. Anatomi Uterus. (http://poko-rantau.blogspot.com/2011/09/anatomi-uterus.html). Diakses 13 September 2012. Trimarwati, Erny. 2009. Pengaruh Senam Nifas Terhadap Involusi Uteri Pada IbuPostPartum Hari I-III di RSKIA PKU Muhammadiyah Kotagede. Yogyakarta Yanti, Damai, dkk. 2011. Asuhan Kebidanan Masa Nifas. Refika Aditama. Bandung. (53-58) Setiadi, 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Edisi I. Graha ilmu. Yogyakarta. (154-156)
Volume 1 Nomor 4 Tahun 2012 ● ISSN : 2302-1721
141
Perbedaan Persepsi Masyarakat tentang Kesehatan Ibu dan Anak yang Dilaksanakan oleh Dukun Bayi dan Bidan (The Difference Perceive of Society About Health of The Mother and Child was did by Medicine Women and Midwaife) Siti Maryam dan Widya Lusi Arisona Program Studi D III Kebidanan Universitas Tulungagung
abstrak
Kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu wujud hak asasi perempuan dan anak, akan tetapi pada saat ini kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih belum menggembirakan dikarenakan banyak faktor salah satunya adalah sosial budaya dan kepercayaan tradisional masih tinggi kepada dukun bayi. Tujuan penelitian Membuktikan Perbedaan Persepsi Masyarakat tentang Kesehatan Ibu dan Anak yang dilaksanakan oleh Dukun Bayi dan Bidan. Jenis penelitian analitik dengan pendekatan observasional dan rancangan komparasi, Pendekatan waktu cross sectional, Teknik sampling purposive random sampling, dan didapatkan jumlah sampel 144 responden. Analisis menggunakan uji statistik uji T test, didapatkan (p>0,605) maka tidak ada perbedaan persepsi tentang kesehatan ibu dan anak antara Kelompok pengguna jasa dukun bayi dan kelompok pengguna jasa bidan. Persepsi dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah pengalaman, tetapi persepsi sendiri mempunyai faktor lain yang memengaruhi yaitu perhatian terhadap sesuatu, jika seseorang tidak ada perhatian terhadap sesuatu maka sama saja persepsinya tidak berpengaruh, di samping itu untuk mempersepsikan segala sesuatu diperlukan daya dukung pengetahuan, kemampuan dan didukung oleh kemauan. Responden yang pernah ke dukun bayi ataupun responden yang pernah ke bidan untuk memperoleh informasi memiliki peluang yang sama untuk mendapatkan informasi sehingga dengan keadaan tersebut memudahkan responden untuk mempersepsikan tentang kesehatan ibu dan anak. Kata Kunci: Persepsi masyarakat, dan kesehatan ibu dan anak. abstract
The health of mother and child is one of the rights women and children, but in this time the health of mother and child in Indonesia are still not enjoying, because many factors of society. One of the factors is social cultural and traditional beliefs are still high of medicine women. Perception research goal proved the difference perceive of society about health of the mother and child was did by medicine women and midwaife. Type of observational analytic study approach and design comparison. Time approach used cross sectional, Technique Sampling used was purposive random sampling, and obtained 144 total sample of respondents. Analysis using statistical test T test, it was found (p > 0.605) then there is no difference in perceptions of maternal and child health between groups of service users and user groups midwives. Perception basically influenced by many factors, one of which was an experience, but the perception it self have other factors that influence the attention to something, if someone not attention to anything the same perception was not affected. Besides that everything needed to perceive the carrying capacity of knowledge, skills and backed by the will. Respondents who have been to traditional birth attendants or midwives person ever to have the opportunity to obtain the same information to obtain information, so that with the situation it, the society easier thoo perceive about the health of mother and child. Key Word: the perception people about maternal and child health.
pendahuluan
Kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu wujud hak asasi perempuan dan anak. Akan tetapi pada saat ini kesehatan ibu dan anak, khususnya bayi baru lahir di Indonesia masih belum menggembirakan. Hal tersebut terlihat dari masih tingginya angka kematian ibu (AKI) yaitu 334 per seratus ribu kelahiran hidup dan angka kematian bayi baru lahir 21,8 per seribu kelahiran hidup (SDKI 1977). Angka kematian ibu (AKI) sebagai salah satu indikator kesehatan ibu yang sampai sekarang ini masih tinggi dibandingkan dengan AKI di negara ASEAN lainnya. (Maryam Siti. 2012; 1-4)
Menurut Poedji 2003 menjelaskan bahwa faktorfaktor yang mempunyai pengaruh terhadap kelambanan penurunan AKI di Indonesia adalah 1) letak geografis Negara Indonesia merupakan kepulauan, pegunungan, daratan rendah dengan sungai serta bahaya banjir besar, mempunyai banyak desa-desa terpencil yang jauh dari pelayanan kesehatan; 2) persalinan rumah masih tinggi 70% karena masih banyak memilih melahirkan di rumah di antara keluarga dalam lingkungan dalam suasana yang akrab dan familiar dan kelahiran masih merupakan fenomena sosial; 3) sosial budaya dan kepercayaan tradisional masih tinggi antara lain kepada dukun; 4) sosial ekonomi rendah dengan kemampuan biaya
6
terbatas. Berdasarkan hasil Assessment safe motherhood di Indonesia pada tahun 1990/1991 menjelaskan bahwa kualitas pelayanan antenatal yang diperoleh, dukun belum sepenuhnya mampu melaksanakan deteksi dini ibu risiko tinggi. (Poedji. 2003; 1-3) Dukun bayi adalah orang yang dianggap trampil dan dipercaya oleh masyarakat untuk menolong persalinan dan perawatan ibu dan anak sesuai kebutuhan masyarakat. Keterampilan dukun bayi pada umumnya didapat melalui system magang. Anggapan dan kepercayaan masyarakat terhadap keterampilan dukun bayi berkait pula dengan system nilai budaya masyarakat, sehingga dukun bayi pada umumnya diperlakukan sebagai tokoh masyarakat setempat. Secara tradisional dukun bayi trampil dalam hal pertolongan persalinan dan perawatan kesehatan ibu dan anak. Namun demikian keterampilan tersebut bukan didasarkan pada ilmu pengetahuan yang didapatkan dari pendidikan akan tetapi dari kebiasaan. (Depkes RI. 1993: 3-5) Berdasarkan hasil analisis RISKESDAS, 2010 menunjukkan proporsi kelahiran atau persalinan yang terjadi pada 5 tahun sebelum survey, didapatkan proporsi persalinan yang ditolong tenaga kesehatan adalah 80,2% dan 19,7 % persalinan ditolong oleh bukan tenaga kesehatan, dan tercatat 0,1 % tidak bertanggung jawab. Dan juga didapatkan bahwa masih adanya ibu hamil memeriksakan kehamilannya ke dukun yaitu 3,2%, dan tidak melakukan pemeriksaan. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat masih belum optimal. (Riskesdas. 2010: 40-47) Persamaan persepsi dan kesatuan strategi sangat diperlukan tenaga kesehatan sejak dari masyarakat, dukun bayi, pemerintah dan instansi yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan, agar tercapai derajat kesehatan ibu dan anak secara optimal dengan menurunnya angka kematian ibu dan anak di Indonesia. (Poedji Rochjati. 2003 :86) Berdasarkan fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut dengan judul,” Perbedaan Persepsi Masyarakat tentang Kesehatan Ibu dan Anak yang dilakasanakan oleh Dukun Bayi dan Bidan”.
tujuan penelitian
Membuktikan Perbedaan Persepsi Masyarakat tentang Kesehatan Ibu dan Anak yang dilaksanakan oleh Dukun Bayi dan Bidan.
tinjauan pustaka
Persepsi dalam arti umum adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang akan membuat respon bagaimana dan dengan apa seseorang akan bertindak.
Jurnal Sain Med, Vol. 6. No. 1 Juni 2014: 15–19
Persepsi adalah suatu proses pengenalan atau identifikasi sesuatu dengan menggunakan panca indera (Drever, dalam Susanti, 2003). Kesan yang diterima individu sangat tergantung pada seluruh pengalaman yang telah diperoleh melalui proses berpikir dan belajar, serta dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam diri individu. Persepsi juga merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui inderaindera yang dimilikinya. (Susanti, 2003: 40-45) Dukun bayi adalah orang yang dianggap trampil dan dipercaya oleh masyarakat untuk menolong persalinan dan perawatan ibu dan anak sesuai kebutuhan masyarakat. Keterampilan dukun bayi pada umumnya didapat melalui system magang. Anggapan dan kepercayaan masyarakat terhadap keterampilan dukun bayi berkait pula dengan system nilai budaya masyarakat, sehingga dukun bayi pada umumnya diperlakukan sebagai tokoh masyarakat setempat. Secara tradisional dukun bayi trampil dalam hal pertolongan persalinan dan perawatan kesehatan ibu dan anak. (Depkes RI. 1993; 4–5) Sedangkan tugas bidan desa secara khusus adalah bertanggung jawab terhadap program Kesehatan Ibu Dan Anak (KIA) termasuk keluarga berencana. Tujuan pemanfaatan bidan adalah untuk meningkatkan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan KIA (Kesehatan Ibu Dan Anak) yang meliputi: peningkatan khususnya 5 program prioritas di desa yang meliputi Kesehatan Ibu Dan Anak, keluarga berencana, imunisasi, perbaikan gizi dan penanggulangan diare. (Depkes, R.I. 2001: 20-23), Bidan juga mempunyai tugas melaksanakan supervisi atau bimbingan dan pembinaan kepada dukun bayi yang berada di wilayah kerjanya serta menjalin kerjasama dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak. (Depkes RI. 1998: 5-8) Kesehatan ibu dan anak merupakan kesehatan yang mencakup kesehatan ibu hamil, ibu bersalin , menyusui, ibu nifas, bayi dan anak balita serta anak prasekolah. (Dinkes Jatim. 2002: 2-9)
metode penelitian
Model penelitian yang digunakan adalah metode survey analitik yang dilakukan pada tanggal 1 Agustus samapi dengan 20 Oktober 2013 dengan tempat penelitian di desa Sambijajar Kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung, Jenisnya analitik dengan pendekatan observasional yang bertujuan menggambarkan keadaan serta menggali secara luas hal-hal yang mempengaruhi terjadimya sesuatu, dan juga digunakan untuk menggambarkan dan menggali secara luas persepsi masyarakat pengguna jasa dukun bayi dan bidan tentang kesehatan ibu dan anak. Sedangkan rancangan penelitian ini adalah rancangan komparasi yaitu membedakan antara variabel 1 dan variabel 2 tentang kesehatan ibu dan anak.
Maryam dan Arisona: Perbedaan Persepsi Masyarakat tentang Kesehatan Ibu dan Anak
Pendekatan waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah belah lintang atau cross sectional, Populasi penelitian ini adalah seluruh masyarakat sambijajar yang berjumlah 1437. Dan teknik sampling yang di gunakan adalah porposive random sampling yang sesuai dengan kriteria inklusi dengan jumlah responden 144 responden. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner tertutup yang berjumlah 15 dengan pilihan jawaban setuju dan tidak setuju.
purposive random sampling, yang dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus s/d 20 Oktober 2013 Berdasarkan tabel 1 diketahui rata-rata umur responden pada kelompok pengguna jasa dukun bayi berbeda dengan kelompok pengguna jasa bidan yaitu 49,4 tahun dan 28,9 tahun. Sedangkan berdasarkan latar belakang pendidikan responden pada tabel 1 diketahui hampir seluruhnya responden (61) berpendidikan SD pada Pengguna Jasa Dukun dan sebagian kecil (15) pada Pengguna jasa Bidan. Hasil analisis pengetahuan tentang kesehatan ibu dan anak antara kelompok pengguna jasa dukun bayi dan kelompok pengguna jasa bidan dapat disajikan dalam grafik boxplot di bawah ini: Berdasarkan gambar 1 diketahui pada kelompok pengguna jasa dukun bayi memiliki skor persepsi hampir sama dengan kelompok pengguna jasa bidan.
hasil penelitian
Pada penelitian ini responden yang terpilih sebagai sampel penelitian ibu yang sudah memiliki anak di desa Sambijajar Kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung. Sebanyak 144 ibu yang diambil secara 30 28
Persepsi
26 24 22 20 18 16 Kelompok ke Bidan
Kelompok ke Dukun Bayi
Kelompok Gambar 1. Perbedaan persepsi tentang kesehatan ibu dan anak antara kelompok pengguna jasa dukun bayi dan kelompok pengguna jasa bidan
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Umur dan pendidikan Responden No. 1 2
Umur (Tahun) Termuda Tertua 39 58 22 35
Kelompok Umur Pengguna Jasa Dukun Pengguna jasa Bidan
Rata-Rata (Mean) 49,4 28, 9
SD 61 15
Pendidikan SMP SMA 11 0 47 12
PT 0 2
Jumlah 72 72
Sumber: data hasil penelitian 2013
Tabel 2. Hasil Analisis Uji T Tets Perbedaan persepsi tentang kesehatan ibu dan anak antara Kelompok pengguna jasa dukun bayi dan kelompok pengguna jasa bidan Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
Persepsi
Equal variances assumed Equal variances not assumed
F 1,471
Sig. ,227
t-test for Equality of Means
t
,518 ,512
142
Sig. (2-tailed) ,605
Mean Difference ,269
Std. Error Difference ,520
122,831
,610
,269
,527
df
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -,758 1,297 -,773
1,312
Berdasarkan tabel 2 diketahui tidak ada perbedaan persepsi tentang kesehatan ibu dan anak antara Kelompok pengguna jasa dukun bayi dan kelompok pengguna jasa bidan (p >0,605).
pembahasan
Kesehatan ibu dan anak merupakan kesehatan yang mencakup kesehatan ibu hamil, ibu bersalin , menyusui, ibu nifas, bayi dan anak balita serta anak prasekolah. Kesehatan pada masa tersebut sangat perlu mendapat pemantauan karena jika terdapat penyimpangan dan ketidaknormalan agar segera dapat ditanggulangi atau dicari penatalaksanaan yang tepat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat termasuk didalamnya penurunan kematian ibu dan anak, akan berhasil bila mengikutsertakan masyarakat. Dukun bayi adalah salah satu warga masyarakat yang sangat berpotensi dalam upaya peningkatan kesehatan tersebut, karena dukun adalah orang yang terdekat dengan masyarakat. Selaras dengan keterampilannya dukun bayi memiliki fungsi dalam perawatan kesehatan ibu dan anak diantaranya yaitu memberi perawatan ibu hamil normal, pengenalan dan rujukan ibu hamil risiko tinggi dan penyulit dalam kehamilan, perawatan ibu nifas, perawatan bayi baru lahir, dan pengenalan dan rujukan masa nifas dan bayi untuk imunisasi. Agar dukun dapat melaksanakan fungsinya dengan baik maka perlu adanya pembinaan dan pemantauan secara terus menerus dan berkesinambungan dari petugas kesehatan khususnya bidan. Sedangkan Tugas pokok bidan adalah memelihara dan melindungi masyarakat di wilayah kerjanya berdasarkan prioritas masalah yang dihadapi dan yang sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Sedangkan tugas bidan secara khusus adalah bertanggung jawab terhadap program Kesehatan Ibu Dan Anak (KIA) termasuk keluarga berencana. Tujuan pemanfaatan bidan adalah untuk meningkatkan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan KIA (Kesehatan Ibu Dan Anak) yang meliputi: peningkatan khususnya 5 program prioritas di desa yang meliputi Kesehatan Ibu Dan Anak, keluarga berencana, imunisasi, perbaikan gizi dan penanggulangan diare. Persepsi adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang akan membuat respons bagaimana dan dengan apa seseorang akan bertindak. Persepsi juga merupakan suatu proses pengenalan atau identifikasi sesuatu dengan menggunakan panca indera (Drever, dalam Susanti, 2003). Kesan yang diterima individu sangat tergantung pada seluruh pengalaman yang telah diperoleh melalui proses berpikir dan belajar, serta dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam diri individu. Persepsi juga merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya. Dipertegas dengan teori
Jurnal Sain Med, Vol. 6. No. 1 Juni 2014: 15–19
yang menjelaskan bahwa Thoha berpendapat bahwa faktor yang mempengaruhi persepsi pada umumnya terjadi karena dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri individu, misalnya sikap, kebiasaan, dan kemauan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu yang meliputi stimulus itu sendiri, baik sosial maupun fisik. Dijelaskan oleh Robbins (2003) bahwa meskipun individu-individu memandang pada satu benda yang sama, mereka dapat mempersepsikannya berbeda-beda (James L Gibson. 2004) Berdasarkan hasil penelitian didapatkan tidak ada perbedaan persepsi tentang kesehatan ibu dan anak antara Kelompok pengguna jasa dukun bayi dan kelompok pengguna jasa bidan (p >0,605), hal ini disebabkan karena pada dasarnya persepsi dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah pengalaman berdasarkan data yang didapatkan sebagian besar responden berpendidikan SD pada pengguna jasa dukun bayi namun tidak menutup kemungkinan responden mendapatkan pengalaman dari lingkungan yang ada di sekitarnya didukung dengan umur responden yang tergolong sudah tidak muda lagi dalam arti semakin bertambah umur maka proses berfikir pun akan semakin matang dan juga akan lebih bisa menerima informasi yang diterimanya, diperkuat lagi bahwa persepsi sendiri mempunyai faktor lain yang mempengaruhi yaitu perhatian terhadap sesuatu, jika seseorang tidak ada perhatian terhadap sesuatu maka sama saja persepsinya tidak berpengaruh. Disamping itu untuk mempersepsikan segala sesuatu diperlukan daya dukung pengetahuan, kemampuan dan didukung oleh kemauan. Responden yang pernah ke dukun bayi ataupun responden yang pernah ke bidan untuk memperoleh informasi memiliki peluang yang sama untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan ibu dan anak, misalkan responden yang dulunya pada saat persalinan datang ke dukun untuk proses persalinannya namun pada saat ada penimbangan bayi responden juga datang ke Posyandu atau ketika responden sakit responden akan datang ke tenaga kesehatan yaitu bidan, dan juga sebaliknya responden yang persalinannya di tolong oleh bidan tidak menutup kemungkinan akan datang ke dukun bayi untuk memandikan bayi sampai usia bayi 36 hari, memijat bayinya ataupun memijat perutnya pada saat hamil, artinya selama proses tersebut samasama memperoleh informasi tentang kesehatan ibu dan anak sebagai modal untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan sehingga dengan keadaan tersebut memudahkan responden untuk mempersepsikan tentang kesehatan ibu dan anak.
kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah tidak ada perbedaan persepsi tentang kesehatan ibu dan anak antara Kelompok pengguna jasa dukun bayi dan kelompok pengguna jasa bidan (p >0,605).
Maryam dan Arisona: Perbedaan Persepsi Masyarakat tentang Kesehatan Ibu dan Anak saran
1. Dukun bayi hendaknya menjalin kemitraan dengan bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat khususnya kesehatan ibu dan anak sehingga dukun bayi mengetahui dan paham batas kewenangannya. 2. Bidan Hendaknya lebih dekat dengan masyarakat dalam pemberian pelayanan kesehatan terutama dalam Kesehatan Ibu dan Anak sehingga masyarakat akan lebih percaya dan mau memanfaatkan fasilitas kesehatan, dan menjalin kemitraan dengan dukun setempat dalam pemberian pelayanan kesehatan ibu dan anak. 3. Masyarakat diharapkan Lebih meningkatkan pengetahuan dan kepercayaan kepada tenaga kesehatan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan terutama kesehatan ibu dan anak sehingga akan meningkatkan persepsi masyarakat pada tenaga
kesehatan dan berdampak pada perilaku yang positif untuk selalu memanfaatkan pelayanan kesehatan yang diberikan tenaga kesehatan.
daftar pustaka 1. Depkes RI. Pedoman Supervisi Dukun Bayi. Jakarta. Derektorat bina kesehatan keluarga. 1993. 50: 3–5 2. Depkes, R.I, Penyelenggaraan Puskesmas Di Era Desentralisasi., Jakarta. 2001: 40; 20–23 3. Dinkes Jatim. Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta. JICA. 2002. 52: 2–9 4. Istiarti, T., Pemanfaatan Tenaga Bidan Desa di Kabupaten Semarang. Yogyakarta. 1998. 45: 5–8 5. Maryam Siti. Peran Bidan dalam Menyukseskan MDGS. Jakarta. 2012. 48: 1–4 6. Poedji Rochjati. Rujukan Terencana Dalam Sistem Rujukan Paripurna Kabupaten/ Kota. Surabaya. UNAIR. 2003. 136: 1–3 dan 86 7. Riskesdas. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar. Jakarta, 2010. 109: 40–47 8. Sugiono, Statistik Untuk Penelitian, Bandung. 2009. 390: 61–68 9. Susanti. Skala Psikologis. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2003: 40–45
Artikel Penelitian
Perilaku Masyarakat dan Masalah Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Provinsi Riau Community Behavior and Health Care of Maternal and Child Health Problems in Province of Riau
Zahtamal, Tuti Restuastuti, Fifia Chandra
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Riau
Abstrak Status kesehatan masyarakat yang rendah di Indonesia ditandai oleh angka kematian ibu dan angka kematian bayi yang tinggi sebagaimana terlihat pada indikator pelayanan KIA yang belum ideal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui situasi pelayanan KIA dan mengkaji faktor perilaku sebagai penyebab masalah KIA di Provinsi Riau. Riset ini menggunakan rancangan studi deskriptif dengan data kuantitatif dan kualitatif mengenai indikator keberhasilan pelayanan KIA. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indikator-indikator kinerja pelayanan KIA ada yang tercapai, ada pula yang tidak. Sementara itu, perilaku masyarakat terhadap pengetahuan tentang kehamilan ibu tergolong baik, sikap netral, dan praktek baik. Seseorang yang berpengaruh besar terhadap pengambilan keputusan dalam upaya tindakan kesehatan sebagian besar menyatakan suami/istri. Jika dilihat dari aspek kecepattanggapan keluarga dalam merespon anggota keluarga yang mempunyai masalah KIA, sebagian besar tidak ada keterlambatan. Masih banyak kepercayaan masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai kesehatan, terutama terhadap aspek KIA. Kata kunci: Pelayanan kesehatan, kesehatan ibu dan anak, perilaku masyarakat Abstract Low health community status in Indonesia is indicated by high maternal and infant mortality rates as shown in the indicators of health care of maternal and child health not ideal. The aim of this study was to understand the situation of maternal and child health and to analyze behavioral factor determining maternal and child health problems in Riau Province. This research employed descriptive design with quantitative and qualitative data on achievement of performance indicators of maternal and child health. The results showed that some performance indicators of maternal and child health were achievable and some were not. Meanwhile, the community health behavior about maternal health knowledge was good, attitude was neutral, and practice was good. Similarly, the community health behavior about new254
born and child health level of knowledge was medium, attitude was positive, and practice was good. In solving maternal and child health problems, key person who mostly categorized as a decision maker for health action was husband or wife. With respect to the family emergency response to maternal and child health problems of a family member, most decisions to care the problems were not late. However, there were many communities’ beliefs which do not match the health values, especially for maternal and child health aspects. Key words: Health care, maternal and child health, community behaviour
Pendahuluan Saat ini, masalah kesehatan di Indonesia yang rendah antara lain ditandai oleh angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) yang tinggi. Berdasarkan survei kesehatan dasar 2007, AKI di Indonesia masih tergolong tinggi (228 per 100.000 kelahiran hidup). Demikian pula AKB, masih berada pada kisaran 26,9 per 1.000 kelahiran hidup. Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan target AKI dan AKB yang diharapkan dicapai pada tahun 2010 adalah 125 per 100.000 kelahiran hidup dan 15 per 1.000 kelahiran hidup.1 Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Riau, diketahui bahwa angka kematian bayi 26 per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian anak balita 60 per 1000 kelahiran hidup. Jumlah kematian bayi mencapai 1.272 kasus, sedangkan jumlah kematian ibu mencapai 179 kasus pada tahun 2006.2 AKI dan AKB yang masih tergolong tinggi tersebut Alamat Korespondensi: Zahtamal, Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Kedokteran Komunitas FK Universitas Riau Jl. Diponegoro No. 1 Pekanbaru, Hp. 081371530203, e-mail:
[email protected]
Zahtamal, Restuastuti & Chandra, Perilaku Masyarakat dan Masalah Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
disebabkan oleh berbagai faktor yang meliputi faktor penyedia (predisposing), faktor pemungkin (enabling) serta faktor pendorong atau penguat (reinforcing). Faktor-faktor tersebut berupa berbagai hambatan aspek geografis, ekonomi, sosiokultural, yang diperberat oleh kelemahan dalam mendeteksi, memutuskan tindakan serta merujuk. Selain itu, akibat keterlambatan menangani keluarga yang mempunyai masalah kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan komperehensif. Belum banyak informasi yang menggambarkan berbagai faktor tersebut, khususnya dari aspek perilaku masyarakat. Padahal, strategi dan kebijakan tepat yang dikembangkan berdasarkan informasi bukti sangat diperlukan dalam upaya mengatasi masalah KIA tersebut. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh gambaran berbagai indikator dan faktor perilaku yang terkait pelayanan KIA di masyarakat. Metode Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan data kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan di 4 kabupaten/kota di Provinsi Riau dengan karakteristik masyarakat nelayan/pesisir, pertanian dan perkebunan serta perkotaan industri. Untuk merepresentasikan karakteristik tersebut dipilih masyarakat yang bermukim di Kota Pekanbaru mewakili wilayah perkotaan, Kabupaten Kampar mewakili daerah perkebunan/pertanian, Kota Dumai mewakili daerah industri, dan Kabupaten Rokan Hilir mewakili daerah nelayan/pesisir. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 mengamati masyarakat di lokasi penelitian terpilih. Jumlah wilayah studi dan responden ditentukan secara quota sampling. Besar sampel ditentukan 550 orang masyarakat, masingmasing setiap kabupaten/kota berada pada kisaran 120150 orang. Instrumen yang digunakan adalah format identifikasi indikator pelayanan kesehatan dari data sekunder dan kuesioner. Hasil Secara umum, indikator keberhasilan pembangunan kesehatan untuk pelayanan KIA antara lain adalah AKI, jumlah anak balita bawah garis merah (BGM) (kurang 15%). Beberapa indikator lain yaitu cakupan balita yang naik berat badan (ada 2 kabupaten yang belum mencapai target yakni Kampar dan Rokan Hilir) dan cakupan Posyandu Purnama (ada 1 kabupaten yang belum mencapai target yakni Rokan Hilir). Selanjutnya, cakupan kunjungan bayi (ada 2 kabupaten yang belum mencapai target yakni Kampar dan Rokan Hilir). Indikator yang belum mencapai target antara lain cakupan kunjungan ibu hamil (K4), pertolongan persalinan ditolong petugas kesehatan, kunjungan neonatus (KN-2), cakupan peserta keluarga berencana (KB) aktif, cakupan desa/kelurahan kategori universal child immunization (UCI), caku-
pan anak balita yang mendapat kapsul vitamin A 2 kali setahun, cakupan ibu hamil yang mendapat 90 tablet fe, cakupan pemberian makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) pada anak balita bawah garis merah dari keluarga miskin, cakupan rumah tangga sehat serta cakupan bayi yang mendapat ASI ekslusif. Faktor Perilaku terkait Pelayanan KIA
Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 550 orang dengan rata-rata umur 29,63 tahun (standar deviasi (SD) = 5,82). Status ekonomi responden sebagian besar berpenghasilan Rp. 800.000-2.000.000 (menengah rendah) yakni 61,3%. Selanjutnya, jika dilihat dari cara pembayaran untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang sering digunakan keluarga adalah bayar langsung yakni 397 orang (72,2%). Hanya 20,1% yang ditanggung oleh asuransi (Asuransi Kesehatan (Askes)/Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Askes swasta, dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)). Tenaga penolong dalam pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan keluarga sebagian besar adalah tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan/mantri kesehatan) yakni 542 orang (98,5%). Sarana/fasilitas kesehatan yang paling sering digunakan oleh keluarga sebagian besar responden menjawab adalah puskesmas yakni 266 orang (48,4%). Pengetahuan tentang Kehamilan, Persalinan, dan Nifas
Gambaran rata-rata skor pengetahuan responden tentang kehamilan, persalinan, dan nifas adalah 74,05 (SD = 14,51). Secara keseluruhan, diketahui kategori pengetahuan responden berada pada kategori baik yakni 366 orang (66,6%) (Lihat Tabel 1). Jumlah yang paling banyak kategori baiknya adalah Kota Dumai (86,2%), sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Rokan Hilir (50,7%). Berdasarkan uji komparatif kategorik diketahui bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pengetahuan responden dengan nilai signifikan (p value = 0,000). Pengetahuan tentang Kesehatan Bayi
Berdasarkan pengolahan data didapatkan rata-rata skor pengetahuan responden tentang kesehatan bayi adalah 63,87 (SD = 19,01). Secara keseluruhan diketahui bahwa kategori pengetahuan responden berada pada kategori cukup yakni 283 orang (51,5%) (Lihat Tabel 2). Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa kategori pengetahuan responden sedikit bervariasi, 3 kabupaten/kota sebagian besar dengan kategori cukup (Rokan Hilir, Dumai, dan Kampar), sedangkan Pekanbaru sebagian besar (60,3%) berada pada kategori baik. Selanjutnya, kabupaten yang kurang ideal kategori pengetahuannya adalah Rokan Hilir, dimana kategori cukup dan kurangnya masih banyak yakni masing255
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 5, No. 6, Juni 2011
Tabel 1. Pengetahuan Responden tentang Kehamilan, Persalinan, dan Nifas Kabupaten Kategori Pengetahuan
Total Rokan Hilir
Kurang
Cukup
Baik
Total
Dumai
Pekanbaru
Kampar
Jumlah Nilai expected % kabupaten Jumlah Nilai expected % kabupaten Jumlah Nilai expected % kabupaten
3 1,3 2,1% 67 46,2 47,2% 72 94,5 50,7%
0 1,3 0% 19 44,9 13,8% 119 91,8 86,2%
0 1,1 0% 28 37,8 24,1% 88 77,2 75,9%
2 1,4 1,3% 65 50,1 42,2% 87 102,5 56,5%
5 5,0 0,9% 179 179,0 32,5% 366 366,0 66,5%
Jumlah Nilai expected % kabupaten
142 142,0 100%
138 138,0 100%
116 116,0 100%
154 154,0 100%
550 550,0 100%
Tabel 2. Pengetahuan Kesehatan Bayi Kabupaten Kategori Pengetahuan
Total Rokan Hilir
Kurang
Cukup
Baik
Total
Dumai
Pekanbaru
Kampar
Jumlah Nilai expected % kabupaten Jumlah Nilai expected % kabupaten Jumlah Nilai expected % kabupaten
15 7,0 10,6% 69 73,1 48,6% 58 62,0 40,8%
5 6,8 3,6% 86 71,0 62,3% 47 60,2 34,1%
3 5,7 2,6% 43 59,7 37,1% 70 50,6 60,3%
4 7,6 2,6% 85 79,2 55,2% 65 67,2 42,2%
27 27,0 4,9% 283 283,0 51,5% 240 240,0 43,6%
Jumlah Nilai expected % kabupaten
142 142,0 100%
138 138,0 100%
116 116,0 100%
154 154,0 100%
550 550,0 100%
masing 48,6% dan 10,6%. Melalui uji chi square diketahui bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pengetahuan antarkabupaten/kota dengan nilai signifikan (p value = 0,000).
are diketahui bahwa terdapat perbedaan yang bermakna kategori sikap antar kabupaten/kota dengan nilai signifikan (p value = 0,001). Gambaran Sikap Responden terhadap Kesehatan Bayi
Gambaran Sikap Responden terhadap Kehamilan, Persalinan, dan Nifas
Secara keseluruhan diketahui bahwa rata-rata skor sikap responden terhadap kehamilan, persalinan, dan nifas adalah 69,92 (SD = 11,59). Adapun kategori sikap responden sebagian besar berada pada kategori netral yakni 137 responden (93,8%) (Lihat Tabel 3). Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa kategori sikap responden sedikit bervariasi, dimana 3 kabupaten sebagian besar dengan kategori positif (Dumai, Pekanbaru, dan Kampar), sedangkan Rokan Hilir sebagian besar adalah netral yakni sebanyak 52,1%. Melalui uji chi squ256
Secara keseluruhan diketahui bahwa rata-rata skor sikap responden terhadap kesehatan bayi adalah 75,47 (SD = 15,06). Adapun kategori sikap responden sebagian besar sudah berada pada kategori positif yakni 362 responden (65,8%) (Lihat Tabel 4). Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa kategori sikap responden sedikit bervariasi, dimana 3 kabupaten/kota sebagian besar dengan kategori positif (Dumai, Pekanbaru, dan Kampar), sedangkan Rokan Hilir sebagian besar adalah netral yakni sebanyak 52,1%. Melalui analisis statistik dengan uji komparatif kategorik tidak berpasangan diketahui bahwa terdapat perbedaan yang
Zahtamal, Restuastuti & Chandra, Perilaku Masyarakat dan Masalah Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Tabel 3. Sikap Responden terhadap Kehamilan, Persalinan, dan Nifas Kabupaten Kategori Sikap
Total Rokan Hilir
Netral
Positif
Total
Dumai
Pekanbaru
Kampar
Jumlah Nilai expected % kabupaten Jumlah Nilai expected % kabupaten
74 57,8 52,1% 68 84,2 47,9%
59 56,2 42,8% 79 81,8 57,2%
31 47,2 26,7% 85 68,8 73,3%
60 62,7 39,0% 94 91,3 61,0%
224 224,0 40,7% 326 326,0 59,3%
Jumlah Nilai expected % kabupaten
142 142,0 100%
138 138,0 100%
116 116,0 100%
154 154,0 100%
550 550,0 100%
Tabel 4. Sikap Responden terhadap Kesehatan Bayi Kabupaten Kategori Sikap
Total Rokan Hilir
Negatif
Netral
Positif
Total
Dumai
Pekanbaru
Kampar
Jumlah Nilai expected % kabupaten Jumlah Nilai expected % kabupaten Jumlah Nilai expected % kabupaten
5 1,3 3,5% 65 47,2 45,8% 72 93,5 50,7%
0 1,3 0% 47 45,9 34,1% 91 90,8 65,9%
0 1,1 0% 19 38,6 16,4% 97 76,3 83,6%
0 1,4 0% 52 51,2 33,8% 102 101,4 66,2%
5 5,0 0,9% 183 183,0 33,3% 362 362,0 65,8%
Jumlah Nilai expected % kabupaten
142 142,0 100%
138 138,0 100%
116 116,0 100%
154 154,0 100%
550 550,0 100%
bermakna kategori sikap antar kabupaten/kota dengan nilai signifikan (p value = 0,000). Praktek Pemeliharaan Kesehatan Ibu Hamil, Ibu Bersalin, dan Ibu Nifas
Secara keseluruhan diketahui bahwa rata-rata skor praktek responden untuk peningkatan dan pemeliharaan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, dan ibu nifas adalah 80,70 (SD = 8,03). Adapun kategori praktek responden sebagian besar berada pada kategori baik yakni sebanyak 329 responden (59,8%) (Lihat Tabel 5). Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa kategori praktek responden sedikit bervariasi, dimana 3 kabupaten sebagian besar dengan kategori baik (Dumai, Pekanbaru, dan Kampar), sedangkan Rokan Hilir sebagian besar berada pada kategori kurang yakni sebanyak 60,6%. Melalui uji chi square diketahui bahwa terdapat perbedaan yang bermakna kategori praktek antar kabupaten/kota dengan nilai signifikan (p value = 0,000).
Praktek Upaya Peningkatan Kesehatan pada Bayi dan Anak Balita
Rata-rata skor praktek upaya peningkatan kesehatan pada bayi dan anak balita adalah 84,89 (SD = 17,19). Adapun kategori praktek responden sebagian besar berada pada kategori baik yakni sebanyak 446 responden (81,1%) (Lihat Tabel 6). Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa kategori praktek responden antarkabupaten/kota adalah sama, dimana 4 kabupaten/kota sebagian besar dengan kategori baik. Akan tetapi, Kabupaten Rokan Hilir memiliki kategori kurang masih cukup banyak yakni sebanyak 36,6%. Kabupaten/kota yang sangat baik praktek untuk peningkatan kesehatan pada bayi dan anak balita adalah Kota Pekanbaru dengan kategori baik sebanyak 95,7%. Melalui uji chi square diketahui bahwa terdapat perbedaan yang bermakna kategori praktek antarkabupaten/kota dengan nilai signifikan (p value = 0,000). 257
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 5, No. 6, Juni 2011
Tabel 5. Praktek Pemeliharaan Kesehatan Ibu Hamil, Ibu Bersalin, dan Ibu Nifas Kabupaten Kategori Praktek
Total Rokan Hilir
Kurang
Baik
Total
Dumai
Pekanbaru
Kampar
Jumlah Nilai expected % kabupaten Jumlah Nilai expected % kabupaten
86 57,1 60,6% 56 84,9 39,4%
61 55,5 44,2% 77 82,5 55,8%
28 46,6 24,1% 88 69,4 75,9%
46 61,9 29,9% 108 92,1 70,1%
221 221,0 40,2% 329 329,0 59,8%
Jumlah Nilai expected % kabupaten
142 142,0 100%
138 138,0 100%
116 116,0 100%
154 154,0 100%
550 550,0 100%
Tabel 6. Praktek Peningkatan Kesehatan pada Bayi dan Anak Balita Kabupaten Kategori Praktek
Total Rokan Hilir
Kurang
Baik
Total
Dumai
Pekanbaru
Jumlah Nilai expected % kabupaten Jumlah Nilai expected % kabupaten
52 26,9 36,6% 90 115,1 63,4%
20 26,1 14,5% 118 111,9 85,5%
5 21,9 4,3% 111 94,1 95,7%
27 29,1 17,5% 127 124,9 82,5%
104 104,0 18,9% 446 446,0 81,1%
Jumlah Nilai expected % kabupaten
142 142,0 100%
138 138,0 100%
116 116,0 100%
154 154,0 100%
550 550,0 100%
Faktor Sosiokultural
Kategori orang kunci yang berpengaruh besar terhadap pengambilan keputusan dalam upaya tindakan kesehatan sebagian besar adalah suami/istri yakni sebanyak 513 responden (93,3%). Selanjutnya, dari aspek kecepattanggapan keluarga dalam merespon anggota keluarga yang sakit (bermasalah) terutama terhadap KIA sebagian besar (458 orang; 83,3%) menjawab tidak ada keterlambatan dalam memutuskan upaya tindakan kesehatan. Jika dilihat berdasarkan kabupaten/kota diketahui bahwa responden masih banyak juga yang mengatakan ”ya/terlambat” yakni Kota Pekanbaru (20,7%) dan Rokan Hilir (20,4%). Khususnya untuk kecepattanggapan keluarga dalam merespon anggota keluarga, aspek keterlambatan dalam memutuskan upaya tindakan untuk ibu yang mau bersalin sebagian besar (495 orang; 90,0%) menjawab tidak. Berdasarkan kabupaten/kota diketahui bahwa responden masih banyak yang mengatakan ”ya/terlambat” yakni Rokan Hilir (15,5%) dan Kota Pekanbaru (12,1%). Berdasarkan pengolahan data diketahui bahwa masih 258
Kampar
banyak kepercayaan masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai kesehatan, terutama terhadap aspek KIA. Sebanyak 274 responden yang menjawab pernyataan kebiasaan/tradisi yang diterapkan/dipercayai dalam kesehariannya yang berhubungan dengan kesehatan ibu hamil/bersalin/nifas/menyusui didapatkan bahwa 124 (45,26%) memiliki kepercayaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Adapun jenis kepercayaan yang keliru/tidak sesuai tersebut sebagian besar terkait aspek gizi selama hamil/bersalin/nifas dan menyusui yakni 31,32%. Kepercayaan yang keliru tersebut misalnya selama bersalin tidak boleh memakan udang dan selama menyusui tidak boleh makan kerang. Ada juga yang mempercayai bahwa selama nifas tidak boleh minum air putih, makan ikan, dan buah-buahan. Selain itu, ada juga aspek kepercayaan yang keliru ketika hamil (29,52%). Contoh kepercayaan yang keliru tersebut antara lain urut (kusuk) ibu ketika hamil ke dukun. Jika dilihat per kabupaten/kota, responden yang memiliki kepercayaan yang belum sesuai tersebut yaitu Kabupaten Rokan Hilir (64,47%), Kabupaten Kampar (46,55%), Kota
Zahtamal, Restuastuti & Chandra, Perilaku Masyarakat dan Masalah Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Pekanbaru (38,70%), dan Kota Dumai (30,77%). Aspek kepercayaan yang keliru tersebut sebagian besar juga terkait aspek gizi selama hamil/bersalin/nifas dan menyusui. Selanjutnya, dari 254 orang yang menjawab pernyataan kebiasaan/tradisi yang diterapkan/dipercayai dalam keseharian responden yang berhubungan dengan kesehatan bayi dan anak balita didapatkan bahwa ada 60 (23,62%) memiliki kepercayaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Adapun jenis kepercayaan yang tidak sesuai tersebut sebagian besar terkait aspek gizi pada bayi dan balita atau tidak mendukung ASI eksklusif yakni 42,62%. Kepercayaan tersebut misalnya adalah bayi baru lahir diberi kelapa muda, setiap bayi baru lahir diberi makan pisang. Selain itu, aspek kepercayaan yang keliru terhadap penanganan kesehatan pada bayi dan anak balita (27,87%). Contoh kepercayaan yang keliru tersebut antara lain kepercayaan ke dukun, mereka diberi “tetomeh” yaitu sejenis ramuan yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit/mengusir roh jahat penyebab penyakit. Pembahasan Dilihat dari 14 indikator yang dinilai, terlihat hanya 4 indikator (28,7%) yang sudah mencapai target. Pembangunan kesehatan atau pelayanan kesehatan yang harus diberikan kepada masyarakat belum maksimal. Sulit mencapai derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan kesehatan di Provinsi Riau selama 2 tahun terakhir belum menunjukkan perubahan terhadap indikator standar pelayanan minimal (SPM) yang signifikan.3 Hasil ini juga tidak jauh berbeda dengan beberapa kabupaten/kota di Indonesia. Indikator SPM bidang kesehatan di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi yang cakupan antenatal care (ANC) K4 (72,3%) masih kurang dari target nasional.4 Kabupaten Ngawi pada tahun 2008 mencapai target Posyandu Purnama hanya 286 (24,57%). Selain itu, cakupan pelayanan K4 hanya 13.218 (94,49%). Beberapa indikator untuk kesehatan bayi dan anak balita seperti cakupan pemberian kapsul vitamin A 2 kali pada balita pada tahun 2008 hanya sebanyak 35.268 (78,00%).5 Pengetahuan tentang kesehatan maternal tergolong baik yakni 366 orang (66,6%). Pengetahuan baik merupakan modal awal praktek yang baik dan pada akhirnya terjadi penurunan masalah maternal atau peningkatan indikator pelayanan kesehatan di masyarakat.6 Pengetahuan responden tentang kesehatan bayi dan anak balita tergolong cukup. Hal tersebut merupakan sesuatu yang belum ideal yang akan berdampak terhadap upaya modifikasi perilaku oleh pihak terkait yang meliputi pembentukan perilaku baru, peningkatan perilaku maupun pertahanan perilaku. Pengetahuan yang belum ideal merupakan salah satu penyebab peningkatan
kasus/permasalahan kesehatan di masyarakat. Seseorang yang belum memiliki pengetahuan yang baik akan mengalami kesulitan mengubah perilaku ke arah positif atau menerima perilaku yang lebih baik. Sebaliknya, orang yang telah berpengetahuan cukup akan menerima atau mengadopsi perilaku baru dengan baik.6 Kategori sikap responden terhadap kesehatan ibu maternal sebagian besar adalah netral yang dinyatakan belum ideal karena setiap waktu dapat berubah ke arah positif atau negatif. Faktor yang membentuk sikap dan hubungannya dengan objek-objek tertentu dalam interaksi sosial saling mempengaruhi perilaku individu sebagai anggota masyarakat. Individu bereaksi membentuk sikap tertentu terhadap objek psikologis yang dihadapinya. Stimulasi positif yang kurang menyebabkan hanya sebagian kecil orang yang berpengetahuan tentang objek tertentu. Rangsangan positif yang kurang juga berpengaruh terhadap pertahanan kondisi sikap netral yang dapat menjadi sikap negatif.7 Praktek responden terhadap kesehatan maternal sebagian besar tergolong baik. Walaupun lebih dari 50% baik, tetapi angka ini belum ideal karena ada sebanyak 40,2% responden belum melakukan upaya yang mendukung kesehatan maternal. Banyak faktor yang terkait mengapa masyarakat belum melakukan praktek kesehatan dengan baik. Faktor tersebut antara adalah predisposing factors, enabling factors, dan reinforcing factors.5 Orang dengan tingkat penghasilan yang belum ideal cenderung memperlihatkan praktek yang kurang. Semua responden yang berpengetahuan kurang, sebagian besar berasal dari kelompok yang berpenghasilan Rp. 800.0002.000.000. Masyarakat yang belum tercakup asuransi (askes/asuransi swasta/Jamsostek/Jamkesmas), umumnya memperlihatkan praktek yang kurang. Masyarakat miskin (penghasilan < Rp. 800.000 per bulan) umumnya sudah tercakup asuransi (terutama Jamkesmas) dan sebagian besar berpraktek dengan kategori baik (65,4%). Masyarakat ekonomi menengah atas dan ekonomi baik cenderung berpraktek secara baik. Bertentangan dengan masyarakat berpenghasilan menengah bawah, mereka umumnya belum tercakup asuransi (81,1%), sebagian besar (66,5%) dengan kategori praktek kurang. Diharapkan pemerintah tidak hanya berkonsentrasi menjamin pembiayaan kesehatan masyarakat miskin. Mereka yang berpenghasilan menengah keatas tidak mendapat jaminan pembiayaan kesehatan subsidi pemerintah, hendaknya ditanamkan supaya ikut dalam asuransi kesehatan secara mandiri termasuk menghidupkan kembali dana sehat, terutama kelompok yang berpenghasilan menengah hingga rendah. Praktek peningkatan kesehatan bayi dan anak balita sebagian besar berada pada kategori baik. Sebagian besar responden yang tidak memberikan ASI jolong untuk bayi 259
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 5, No. 6, Juni 2011
mengindikasikan pengetahuan tentang ASI yang tergolong kurang. Penelitian lain menemukan mereka tidak tahu melakukan dan mereka tahu tetapi tidak melakukan termasuk peran petugas kesehatan. Terkait dengan ASI eksklusif, ditemukan bahwa bidan menyatakan setuju memberikan susu formula kepada bayi baru lahir. Sebagian ibu dianjurkan petugas kesehatan untuk memberi susu formula pada minggu pertama setelah kelahiran.8 Orang kunci yang berpengaruh besar pada pengambilan keputusan tindakan kesehatan sebagian besar adalah suami/istri. Hasil yang sama terlihat pada penelitian di Nusa Tenggara Timur, pengambil keputusan untuk mencari pertolongan persalinan adalah istri (36,7%), suami (30,7%), orang tua/mertua (16,9%), diputuskan secara bersama (suami istri atau anak dan orang tua) (16,9%), dan lainnya (0,9%).9 Berdasarkan aspek cepat tanggap keluarga merespons anggota keluarga yang sakit, sebagian besar merasa tidak ada keterlambatan memutuskan upaya tindakan kesehatan. Cepat tanggap keluarga merespons tindakan untuk ibu bersalin, umumnya responden menjawab tidak. Dilihat berdasarkan kabupaten/kota diketahui bahwa responden Kota Pekanbaru masih banyak yang mengatakan ”terlambat”. Hal ini mungkin disebabkan oleh masyarakat yang berusaha mengobati sendiri berdasarkan pengetahuan mereka. Selain itu karena banyak tersedia toko obat/apotek di Kota Pekanbaru. Masih banyak kepercayaan masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai kesehatan, terutama terhadap aspek KIA. Jenis kepercayaan yang tidak sesuai tersebut sebagian besar terkait aspek gizi selama hamil/bersalin/nifas dan menyusui. Menurut mereka, hal tersebut membuat tubuh mereka gatal karena makan udang atau kerang, akan terjadi perdarahan nifas jika mereka makan ikan. Hal tersebut menyebabkan ibu menjadi banyak pantangan makanan. Padahal, kandungan gizi makanan tersebut sangat bermanfaat bagi ibu dan bayi. Makanan laut seperti kerang dan udang mengandung beberapa zat gizi penting yang merupakan sumber protein hewani dan digolongkan kepada complete protein karena kadar asam amino esensial yang tinggi dan sekitar 85%-95% mudah diserap tubuh. Ikan juga merupakan sumber protein tinggi yang sangat dibutuhkan tubuh dan apabila dipantang akan berdampak buruk bagi kesehatan ibu dan janin karena ibu kekurangan asupan protein serta berpengaruh terhadap perkembangan janin atau bayinya.10 Masih banyak kebiasaan/tradisi yang berhubungan dengan kesehatan bayi dan anak balita yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Kepercayaan tersebut sebagian besar terkait aspek gizi pada bayi dan anak balita atau tidak mendukung ASI eksklusif dan penanganan ke260
sehatan pada bayi dan anak balita. Menurut mereka, bayi yang hanya diberi ASI tidak akan kenyang dan akan kekurangan gizi. Mengganti ASI dengan cairan yang tidak bergizi akan berdampak buruk bagi kondisi bayi, daya tahan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan. Konsumsi air putih atau cairan lain akan membuat bayi merasa kenyang sehingga tidak mau menyusu. Padahal, ASI kaya dengan gizi yang sempurna untuk bayi. Memberikan air putih sebagai tambahan cairan sebelum bayi berusia 6 bulan dapat mengurangi asupan ASI hingga 11%. Pemberian air manis dalam minggu pertama usia bayi berhubungan dengan penurunan berat badan bayi.11 Kesimpulan Perilaku responden tentang kehamilan, persalinan, dan nifas yakni dengan kategori pengetahuan baik, kategori sikap netral dan kategori praktek sebagian besar adalah baik. Perilaku responden terhadap kesehatan bayi dan anak balita sebagian besar kategori pengetahuan adalah cukup, sikap sudah berada pada kategori positif, dan praktek pada kategori baik. Orang kunci yang berpengaruh besar terhadap pengambilan keputusan upaya tindakan kesehatan sebagian besar adalah suami/istri. Dilihat dari aspek kecepattanggapan keluarga dalam merespons anggota keluarga yang sakit (bermasalah) terutama terhadap KIA, sebagian besar responden tidak merasa ada keterlambatan dalam memutuskan upaya tindakan kesehatan. Masih banyak kepercayaan masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai kesehatan, terutama terhadap aspek KIA. Saran Bagi pemerintah Provinsi Riau khususnya dinas kesehatan diharapkan lebih meningkatkan gerak pembangunan kesehatan khususnya untuk pelayanan KIA karena masih banyak indikator pelayanan KIA yang belum mencapai target. Peningkatan anggaran promosi kesehatan dalam merubah perilaku khususnya untuk daerah pertanian dan pesisir. Bagi tenaga kesehatan diharapkan adanya upaya peningkatan perilaku masyarakat tentang kesehatan melalui program promosi kesehatan/pemberdayaan masyarakat. Masyarakat diharapkan meningkatkan perilaku kesehatan dan kesadaran pentingnya pelayanan kesehatan secara mandiri, seperti di pos kesehatan desa, pondok bersalin desa, dan pos pelayanan terpadu. Pemerintah tidak hanya konsentrasi menjamin pembiayaan kesehatan pada masyarakat miskin. Walaupun secara implementasi mereka dengan kategori penghasilan menengah keatas mampu memenuhi pembiayaan kesehatan tanpa subsidi dari pemerintah, hendaknya mereka ditanamkan supaya ikut dalam kepesertaan asuransi kesehatan secara mandiri (termasuk menghidupkan kembali dana sehat),
Zahtamal, Restuastuti & Chandra, Perilaku Masyarakat dan Masalah Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
terutama bagi mereka yang berpenghasilan menengah kebawah.
6. Notoatmodjo S. Promosi kesehatan: teori dan aplikasi. Jakarta: PT Rineka Cipta; 2005. 7. Azwar S. Sikap manusia, teori, dan pengukurannya. Yogyakarta:
Daftar Pustaka
Pustaka Pelajar Offset; 2000.
1. Departemen Kesehatan RI. Setiap jam, 2 orang ibu bersalin meninggal
8. Meyske E. Faktor yang berkaitan dengan praktek pemberian asi eksklu-
dunia. 2004 [diakses tanggal 2 Januari 2008]. Diunduh dari:
sif. 2009 [diakses tanggal 2 November 2009]. Diunduh dari:
http://202.155.5.44/index.php?option= news&task=viewarticle&sid=448& Itemid=2. 2. Dinas Kesehatan Provinsi Riau. Profil kesehatan Provinsi Riau tahun 2007. Riau: Dinas Kesehatan Provinsi Riau; 2007. 3. Zahtamal. Studi/survei MMR-IMR dan indikator-indikator derajat kesehatan tahun 2007. Riau: PT Wastu Asrindoriau; 2007.
http://www.fkm.unair.ac.id. 9. Musadad A, Rachmalina, Rahajeng E. Pengambilan keputusan dalam pertolongan persalinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2003 [diakses tanggal 2 November 2009]. Diunduh dari: http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%202/Anwar2_1.pdf. 10. Anonim. Udang: kaya protein dan rendah kalori. 2007 [diakses tanggal
4. Arali. Capaian MDG’s peningkatan kesehatan ibu di Polewali Mandar.
2 November 2008]. Diunduh dari: http://www.sportindo.com/pa-
2008 [diakses tanggal 2 November 2009]. Diunduh dari: http://ara-
ge/181/Food_Nutrition/Articles_Tips/Udang_Kaya_Protein_dan_Rend
li2008.wordpress.com/2009/08/09/capaian-mdgs-peningkatan-kesehatan-ibu-di-polewali-mandar.
ah_Kalori.html. 11. Linkages. Satu-satunya sumber cairan yang dibutuhkan bayi usia dini.
5. Dinas Kesehatan Kabupaten Ngawi. Profil kesehatan Kabupaten Ngawi
2002 [diakses tanggal 2 November 2009]. Diunduh dari:
tahun 2008. 2009 [diakses tanggal 2 November 2009]. Diunduh dari:
http://www.linkagesproject.org/media/publications/ENA-References
http://www.profilkesngawi2008.html.
/Indonesia/Ref4.7%20.pdf.
261
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
Persepsi Ibu Bersalin Tentang Kinerja dan Sikap Bidan dalam Memberikan Asuhan Persalinan di Rumah Sakit Ibu Dan Anak Siti Fatimah Makassar Peride Juli-Agustus 2009 Thabita L.M,* Theresia Limbong,* Aspin Pasorong **
ABSTRAK Angka Kematian Ibu (AKI) tahun 2007 sebesar 248/100.000 kelahiran hidup. Untuk mencapai target nasional pada tahun 2015 sebesar 125.000 kelahiran hidup maka pemerintah mencanangkan pelayanan yang bermutu kepada seluruh masyarakat Indonesia sebagai standar pelayanan kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang persepsi ibu bersalin tentang kinerja dan sikap bidan dalam memberikan asuhan persalinan. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskritif jenis survey. Sampel adalah semua ibu bersalin normal kala I sampai IV yang ditolong oleh bidan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar Periode Juli-Agustus tahun 2009, dengan 30 responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja bidan baik (≥ 75%) dan masih perlu ditingkatkan dalam pendampingan persalinan dan posisi melahirkan. Persepsi ibu bersalin tentang sikap bidan juga baik (> 50%). Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa persepsi ibu bersalin tentang kinerja dan sikap bidan dalam memberikan asuhan persalinan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar akan lebih ditingkatkan lagi melalui peningkatan pendidikan formal dan pelatihan untuk meng-up date kompetensi bidan. Kata Kunci
: Kinerja dan Sikap bidan.
PENDAHULUAN Latar Belakang Pelayanan Kesehatan mempunyai peranan yang cukup penting dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Salah satu diantaranya ialah menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu. Untuk dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu banyak upaya yang dapat dilaksanakan antara lain program menjaga mutu (Quality Assurance Program). Untuk menjaga mutu maka pelayanan prima yang diberikan kepada masyarakat yaitu pelayanan berkualitas berdasarkan standar profesi bidan yang telah ditetapkan. Di dalam memberikan pelayanan asuhan persalinan, bidan hendaknya melakukannya dengan memperhatikan kepuasan klien. Persalinan yang semestinya merupakan suatu proses alamiah seringkali berubah menjadi suatu persalinan yang terhambat atau tidak mengalami kemajuan mulai dari kala I sampai kala IV. Dalam hal ini bidan sebagai pemberi asuhan sangat berperan dalam mengelola persalinan dengan baik. ( APN JNPK – KR. 2008:3 ) Bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan yang memiliki posisi penting dan strategis terutama dalam penurunan Angka Kematian Ibu (AKI). Bidan memberikan pelayanan kebidanan yang berkesinambungan dan paripurna,berfokus pada aspek pencegahan, promosi, dengan berlandaskan 75
Volume 2, Nomor 2| Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
kemitraan dan pemberdayaan masyarakat bersama-sama dengan tenaga kesehatan lainnya untuk senantiasa siap melayani siapa saja yang membutuhkannya, kapan, dimana saja dia berada. Untuk menjamin kualitas tersebut diperlukan suatu standar profesi sebagai acuan untuk melakukan segala tindakan dan asuhan yang diberikan dalam seluruh aspek pengabdian profesinya kepada individu, keluarga dan masyarakat,(Kep.MenKes RI,2007.3). WHO memperkirakan sebanyak 37 juta kelahiran terjadi dikawasan Asia Tenggara setiap tahun. Angka Kematian Ibu di Indonesia masih tertinggi di Negara ASEAN. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, angka kematian ibu Indonesia 255/100.000 kelahiran hidup dan tahun 2007 laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan angka kematian ibu (AKI) menjadi 248/100.000. Pada tahun 2009, diharapkan pemerintah mampu menurunkan angka kematian ibu menjadi 226/100.000 kelahiran hidup. (http://www.postel.sinarharapan.co.id diakses 16 mei 2009) Angka Kematian Ibu (AKI) di Propinsi Sulawesi Selatan tahun 2008 yang disebabkan oleh komplikasi persalinan yaitu perdarahan 72%, infeksi 5%, eklamsia19% dan lain-lain 20%. Hal ini masih jauh dari target tujuan pembangunan millennium development goals (MGDs), angka kematian ibu di Indonesia tahun 2015 harus dicapai 125/100.000 kelahiran hidup. (Profil Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan, 2008). Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar juga merupakan salah satu Rumah Sakit di Sulawesi Selatan yang telah meningkatkan kualitas pelayanan kebidanan dengan mengikutsertakan bidan-bidan dalam pelatihan asuhan persalinan normal (APN), pelatihan pelayanan prima dan pelayanan obstetric dan neonatus essensial komprehensif (PONEK). Data kepegawaian yang ada saat ini menggambarkan sumber daya manusia-Nya memiliki kualifikasi Pendidikan yaitu lulusan pendidikan Diploma III Kebidanan merupakan bidan pelaksana, yang memiliki kompetensi untuk melaksanakan praktiknya baik di institusi pelayanan maupun praktik perorangan, dan lulusan pendidikan bidan setingkat Diploma IV / S1 merupakan bidan profesional, yang memiliki kompetensi untuk melaksanakan praktiknya baik di institusi pelayanan maupun praktik perorangan dan berperan sebagai pemberi pelayanan, pengelola, dan pendidik. Setiap harinya terdapat kasus rujukan antara lain kasus persalinan lama,perdarahan hamil muda (placenta previa), ketuban pecah dini (KPD), eklamsia dan kasus emergensi yang harus di section cesario (SC). (Data Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar , 2008). Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan dan melakukan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadaya atau berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan. Kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas penampilan seseorang dalam melaksanakan tugas. (Mangkunegara et,2006:153 ) Kinerja individu ini akan tercapai apabila didukung oleh kemampuan dan keahlian serta motivasi kerja yang tinggi. Penilaian kinerja adalah penilaian yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui hasil kerja seseorang dan kinerja organisasi (Mangkunegara, 2006:154 )Mengingat kinerja mengandung komponen kompetensi dan produktifitas hasil, maka hasil kinerja sangat tergantung pada tingkat kemampuan individu dalam pencapaian hasil. (DepKes,2004:230) Sukidjo Notoatmodjo (2005 : 52) menyatakan Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau obyek tertentu, yang melibatkan pendapat, emosi, pikiran, perasaan dan perhatian yang bersangkutan ( senang - tidak 76
Volume 2, Nomor 2| Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek. Persepsi atau tanggapan adalah proses mental yang terjadi pada diri manusia yang menunjukkan bagaimana kita melihat, mendengarkan, merasakan , memberi serta meraba (kerja indera) sekitar kita (Sukidjo Notoatmojo,2005) Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis Tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Persepsi Ibu Bersalin Tentang Kinerja dan Sikap Bidan Dalam Memberikan Asuhan Persalinan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar” Perumusan Masalah. 1. Bagaimana persepsi ibu bersalin tentang kinerja bidan dalam memberikan asuhan persalinan pada kala I sampai Kala IV di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar periode bulan Juli sampai dengan Agustus tahun 2009. 2. Bagaimana persepsi ibu bersalin tentang sikap bidan dalam memberikan asuhan persalinan pada kala I sampai kala IV di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar periode bulan Juli sampai dengan Agustus tahun 2009. Tujuan Penelitian. 1. Tujuan Umum. Mengetahui gambaran/informasi persepsi ibu bersalin tentang kinerja dan sikap bidan dalam memberikan asuhan persalinan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar periode bulan Juli sampai dengan Agustus tahun 2009. 2. Tujuan Khusus. a. Untuk memperoleh informasi persepsi ibu bersalin tentang kinerja bidan dalam memberikan asuhan persalinan pada kala I sampai kala IV. b. Untuk memperoleh informasi tentang persepsi ibu bersalin tentang Sikap bidan dalam memberikan asuhan persalinan pada kala I sampai kala IV. Manfaat penelitian. 1. Manfaat ilmiah. Hasil penelitian ini diharapkan memperkaya khasanah ilmu pengetatahuan atau bahan acuan bagi peneliti berikutnya. 2. Manfaat institusi. Dapat digunakan sebagai bahan kajian pustaka bagi kemajuan ilmu pengetahuan. 3. Manfaat praktis. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam pelaksanaan kegiatan perencanaan dan evaluasi dalam program kesehatan guna memperbaiki kinerja dan sikap petugas kesehatan utamanya bidan.
77
Volume 2, Nomor 2| Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif jenis “survey” dengan pendekatan Cross sectional yang bermaksud mendapatkan informasi/masalah yang sedang dihadapi, khususnya di bidang pelayanan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar Tahun 2009. (Notoatmodjo,2006 : 138-144). Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar, yang dillaksanakan pada bulan Juli minggu IV sampai Agustus 2009 Populasi dan Sampel. Populasi adalah semua ibu yang bersalin di Rumah Sakit Ibu dan Anak Sifi Fatimah Makassar selama periode penelitian. Sedangkan Sampel semua ibu yang bersalin dengan : Kriteria inklusi ( semua ibu bersalin normal Kala I – IV yang telah dilayani oleh bidan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar ). Kriteria esklusi ( semua ibu bersalin yang ditolong oleh selain bidan yaitu dokter, atau keadaan darurat) di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar. Jumlah sampel 30 responden. Cara pengambilan sampel. Pengambilan sampel secara purposive, yaitu pengambilan sampel yang didasarkan atas adanya tujuan tertentu dan dilakukan berdasarkan ciri atau karakteristik populasi. Instrumen Penelitian Penelitian yang digunakan yaitu kuesioner untuk mengumpulkan data/informasi, persepsi ibu bersalin tentang kinerja dan sikap bidan dalam memberikan asuhan persalinan pada kala I sampai kala IV di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar. Metode Pengumpulan Data 1. Data Primer : Pengumpulan data yang dilakukan dengan memberikan kuesioner pada responden untuk mengisinya. Bagi responden yang tidak bisa membaca maka kuesioner dapat dibacakan oleh keluarga atau peneliti. 2. Data Sekunder : Data yang diperoleh secara tidak langsung melalui profil Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar. Pengelolaan dan Penyajian Data Pengolaan dan penyajian data dilakukan menggunakan bantuan computer. Sebelum semua data diolah maka terlebih dahulu melalui tahapan – tahapan sebagai berikut. 78
Volume 2, Nomor 2| Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
1. Editing. Dilakukan untuk memeriksa ulang atau mengecek kembali jumlah dan kelengkapan kuesioner apakah setiap pernyataan sudah dijawab dengan benar. 2. Koding. Setelah semua data masuk, setiap jawaban diubah atau disalin ke dalam angka-angka dan symbol tertentu untuk diberikan jawaban sehingga memudahkan dalam pengolahan data selanjutnya. 3. Tabulasi Data. Dilakukan untuk memudahkan dalam pengelolaan data ke dalam suatu tabel menurut sifat – sifat yang dimiliki sesuai dengan tujuan penelitian dan tabel mudah dianalisis. Analisis data. Berdasarkan masalah dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini maka data yang dikumpulkan selanjutnya dianalisis dengan teknik analisis statistik deskriptif berupa persentase dalam bentuk tabulasi dengan rumus :
P = f/n x 100 % Keterangan : P
=
Persentase
f
=
Frekuensi kategori pada suatu tingkat kategori tertentu
n
=
Jumlah Sampel
Untuk mengetahui persepsi ibu bersalin tentang kinerja dan sikap bidan digunakan pengkategorian skor yang diperoleh dari responden. Pengkategorian penilaian kinerja bidan menggunakan Skala Ordinal dan penilaian tersebut dibuat kategori Ya dan Tidak, sedangkan untuk sikap bidan berdasarkan Skala Likert yaitu Sangat setuju, Setuju, Ragu – ragu, Tidak setuju, Sangat Setuju. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 5 – 15 Agustus 2009. Setelah data dikumpul melalui kuesioner yang dibagikan kepada 30 responden; data selanjutnya diolah dengan computer dan di analisis secara deskriptif kemudian disajikan dalam bentuk tabel disertai dengan pembahasan. Hasil penjelasan tersebut adalah sebagai berikut : 79
Volume 2, Nomor 2| Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
Tabel 1: Distribusi Karakterikstik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di RSIA Siti Fatimah Makassar bulan Agustus 2009 No 1 2 3
SMA SMP SD Jumlah
Tingkat pendidikan
F 7 5 18 30
Sumber : Data Primer, bulan Agustus 2009
% 23.40 16.60 60.00 100
Tabel 1 memperlihatkan tingkat pendidikan yang dimiliki responden bervariasi dari tingkat SD sampai SMA. Karakteritik responden terbanyak adalah yang berlatar belakang pendidikan SD berjumlah 18 rensponden (16%), pendidikan SMA berjumlah 7 responden (23,4%) dan pendidikan SMP berjumlah 5 responden (16,6%). Tabel 2: Distribusi Frekuensi Persepsi Responden terhadap Kinerja Bidan dalam Tindakan Kala I Berdasarkan Item Pertanyaan di RSIA Siti Fatimah Makassar bulan Agustus 2009. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kinerja ( Pengetahuan dan Keterampilan ) Menjelaskan tentang peraturan Rumah Sakit dan Kamar berasalin Pendamping Persalinan Cara mengatasi rasa sakit Menyiapkan Alat Merubah posisi tidur dan menawarkan makan / minum Menjelaskan kemajuan persalinan dan kondisi janin Menjelaskan teknik bernapas saat kesakitan Pengawasan selama persalinan Jalan-jalan sebelum waktu bersalin Menjelaskan cara meneran yang baik N = 30
% 86,7
Tidak f % 4 13.3
15 29 27 25
50 96,7 90 83,3
15 1 3 5
50 3.3 10 16,7
24
80
6
20
27 26 28 28
90 86,7 93,3 93,3
3 4 2 2
10 13.3 6.7 6.7
f 26
Ya
Sumber : Data Primer, bulan Agustus 2009
Berdasarkan tabel 2 diatas pada Item 1, dari 30 responden menunjukkan bahwa 26 responden ( 86,70% ) mengatakan bidan menjelaskan tentang peraturan rumah sakit dan kamar bersalin khususnya tentang hak ibu sebagai pasien, sedangkan yang yang tidak menjelaskan 4 responden ( 13,30% ). Item ke 2, dari 30 responden yang mengatakan bidan menijinkan untuk memilih pendamping persalinan sesuai keinginan ibu hanya 15 responden ( 50% ) dan yang tidak mengizinkan 15 responden ( 50% ). Item ke 3, dari 30 responden yang mengatakan bidan mengajari cara mengatasi rasa sakit karena persalinan lebih
80
Volume 2, Nomor 2| Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
banyak yaitu 29 responden 96,70 % ) bila dibandingkan dengan yang tidak mengajari yaitu 1 responden ( 3,30% ). Item ke 4, dari 30 responden yang mengatakan bidan menyiapkan alat sebelum menolong sebanyak 27 responden ( 90% ) bila dibandingkan dengan bidan yang tidak menyiapkan alat sendiri yaitu 3 responden (10%). Item ke 5, dari 30 responden yang mengatakan bidan melakukan perubahan posisi tidur dan menawarkan minum / makanan sebanyak 25 responden ( 83,30% ) bila dibandingkan dengan yang tidak merubah posisi tidur dan menawarkan minum / makanan yaitu 5 responden ( 16,70% ). Item ke 6, dari 30 responden mengatakan bidan yang memberitahukan kemajuan persalinan dan kondisi janin sebanyak 24 responden ( 80% ) bila dibandingkan dengan yang tidak memberitahukan yaitu 6 responden ( 20% ). Item ke 7, dari 30 responden yang mengatakan bidan mengajari teknik bernapas saat ibu kesakitan sebanyak 27 responden ( 90% ) bila dibandingkan dengan yang tidak mengajari yaitu 3 responden ( 10% ). Item ke 8, dari 30 responden yang mengatakan bidan yang selalu mengawasi ibu selama menunggu kelahiran lebih banyak yaitu 26 responden ( 86,70% ) bila dibandingkan dengan yang tidak mengawasi yaitu 4 responden ( 13,30% ). Item ke 9, dari 30 responden yang mengatakan bidan memperbolehkan ibu jalan-jalan sebelum waktunya melahirkan lebih banyak yaitu 28 responden (93,30%) bila dibandingkan dengan yang tidak memperbolehkan yaitu 2 responden ( 6,70% ). Item ke 10, dari 30 responden yang yang mengatakan bidan mengajari cara meneran yang baik lebih banyak yaitu 28 responden (93,30%) bila dibandingkan dengan yang tidak mengajari yaitu 2 responden ( 6,70% ). Tabel 3 : Distibusi Frekuensi Persepsi Responden terhadap Kinerja Bidan dalam Tindakan Kala II Berdasarkan Item Pertanyaan di RSIA Siti Fatimah Makassar bulan Agustus 2009 No 1 2 3 4 5
Kinerja ( Pengetahuan dan Keterampilan )
F
Ya
% F 24 80 6 15 50 15 memecahkan 23 76.7 7
Memeriksa djj diantara kontraksi Posisi melahirkan Memberitahu ibu saat akan ketuban Meletakkan bayi diperut ibu,dikeringkan,disusui 27 90 3 dan beritahu jenis kelaminnya. Mengikat tali pusat dan membungkus 23 76,7 7 Bayi diatas perut ibu N = 30
Tidak % 20 50 23.3 10 23.3
Sumber : Data Primer, bulan Agustus 2009
Berdasarkan tabel 3 diatas pada item 1, dari 30 responden menunjukan bahwa 24 responden ( 80% ) mengatakan bidan memeriksa djj saat rasa sakit ibu berkurang, sedangkan yang tidak memeriksa 6 responden ( 20% ).
81
Volume 2, Nomor 2| Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
Item ke 2, dari 30 responden yang mengatakan bidan mengijinkan memilih posisi melahirkan sesuai keinginan ibu hanya 15 responden (50%) dan yang tidak mengijinkan ibu memilih posisi melahirkan sesuai keinginan ibu 15 responden (50% ). Item ke 3, dari 30 responden yang mengatakan bidan memberitahu saat akan memecahkan ketuban sebanyak 23 responden ( 76,70% ) bila dibandingkan dengan yang tidak memberitahu saat akan memecahkan ketuban yaitu 7 responden ( 23,30% ). Item ke 4, dari 30 responden yang mengatakan bidan meletakkan bayi diatas perut ibu, mengeringkan,segera disusui dan memberitahu jenis kelaminnya sebanyak 27 responden ( 90% ) dan yang tidak diletakkan diatas perut ibu yaitu 3 responden ( 30% ). Item ke 5, dari 30 responden yang mengatakan bidan mengikat tali pusat dan membungkus bayi diatas perut ibu lebih banyak yaitu 23 responden ( 76,70% ) bila dibanding dengan yang tidak mengikat tali pusat dan membungkus bayi diatas perut ibu yaitu 7 responden ( 23,30% ). Tabel 4 : Distribusi Frekuensi Persepsi Responden Tentang Kinerja Bidan dalam Tindakan Kala III Berdasarkan Item Pertanyaan di RSIA Siti Fatimah Mks bulan Agustus 2009. No 1 2 3 4
Kinerja ( Pengetahuan dan Keterampilan ) Menyuntik oksitocin Melahirkan Placenta /PTT Melakukan masase Memeriksa ari-ari dan memberitahu ibu bahwa ari-ari lengkap N = 30
F 29 20 28 20
Ya
% 96,70 66,70 93,30 66,70
F 1 10 2 10
Tidak % 3,30 33,30 6,70 33,30
Sumber : Data Primer, bulan Agustus 2009
Berdasarkan tabel 4 diatas pada item 1, dari 30 responden menunjukkan bahwa 29 responden ( 96,70 % ) mengatakan bidan segera menyuntik oksiticin segera setelah bayi lahir, sedangkan yang tidak segera menyuntik 1 responden (3,30% ). Item ke 2, dari 30 responden yang mengatakan bidan melakukan peregangan tali pusat/segera melahirkan placenta dengan benar sebanyak 20 responden (66,70%) sedangkan yang tidak melakukan PTT dengan benar dan tepat sebanyak 10 responden ( 33,30% ). Item ke 3, dari 30 responden yang mengatakan bidan melakukan masase uterus setelah ari-ari lahir sebanyak 28 responden (93,30%) bila dibandingkan dengan yang tidak melakukan masase yaitu 2 responden (6,70%). Item ke 4, dari 30 responden yang mengatakan bidan memeriksa ari-ari sudah lahir lengkap sebanyak 20 responden (66,70%) dan yang memeriksa dan tidak memberitahu ibu sebanyak 10 responden (33,30%). 82
Volume 2, Nomor 2| Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
Tabel 5 : Distribusi Frekuensi Persepsi Responden Tentang Kinerja Bidan dalam Tindakan Kala IV Berdasarkan Item Pertanyaan di RSIA Siti Fatimah Mks bulan Agustus 2009. No Kinerja (Pengetahuan dan Keterampilan) Ya Tidak F % F % 1 Memeriksa robekan jalan lahir dan 29 96,70 1 3,30 menjahit robekan jalan lahir 2 Mengajari ibu masase uterus 27 90.00 3 10.00 3 Memeriksa tekanan darah,nadi, TFU 24 80.00 6 20.00 dan perdarahan dgn benar selama 2 jam pertama 4 Mengajari ibu dan keluarga masase jika 26 86,70 4 13.30 uterus tidak berkontraksi/tidak teraba keras. 5 Mengajari ibu cara menyusui 28 93,30 2 6.70 N = 30 Sumber : Data Primer, bulan Agustus 2009
Berdasarkan tabel 5 diatas pada item 1, dari 30 responden menunjukkan bahwa 29 responden ( 96,70% ) mengatakan bidan memeriksa dan menjahit robekan jalan lahir, sedangkan yang tidak memeriksa jalan lahir dan tidak menjahit robekan jalan lahir 1 responden (3,30%). Item ke 2 , dari 30 responden yang mengatakan bidan mengajari ibu untuk memeriksa fundus dan masase uterus lebih banyak yaitu 27 responden (90%) bila dibandingkan dengan yang tidak mengajari yaitu 3 responden (10%). Item ke 3, dari 30 responden yang mengatakan bidan memeriksa tekanan darah, nadi, perdarahan dan fundus uteri dengan benar selama 2 jam pertama sebanyak 24 responden (80%) sedangkan yang tidak memeriksa dengan benar selama 2 jam pertama sebanyak 6 responden (20%). Item ke 4, dari 30 responden yang mengatakan yang mengatakan bidan mengajari ibu dan keluarga cara masase jika uterus tidak berkontraksi sebanyak sebanyak 26 responden (26,70%) dan yang tidak mengajari ibu dan keluarga cara masase uterus jika tidak berkontraksi sebanyak 4 responden (13,30%). Item ke 5, dari 30 responden yang mengatakan banhwa bidan yang mengajari cara menyusui bayi dengan benar sebanyak 28 responden (93,30%) dan yang tidak mengajari ibu cara manyusui yang benar yaitu 2 responden (6,70%)
83
Volume 2, Nomor 2| Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
Tabel 6 : Distribusi Frekuensi Persepsi Responden Terhadap Sikap Bidan dalam Kala I Berdasarkan Item Pertanyaan di RSIA Siti Ftaimah Mks, bulan Agustus 2009. No Sikap (Komunikasi dan pelayanan) Baik < baik F % F % 1 Menyambut ibu dengan ramah 25 83,30 5 16,70 2 Memanggil nama ibu 20 66,70 10 33.30 3 Memberi kata-kata yang menguatkan 21 70.00 9 30.00 ibu 4 Mengijinkan suami / keluarga 19 63,30 11 36,70 mendampingi ibu 5 Menggunakan tirai saat memeriksa ibu 27 90.00 3 10.00 6 Memberikan dukungan moril 26 86,70 4 13,30 7 Bidan tetap ramah melayani ibu 20 66,70 10 33.30 8 Menjawab pertanyaan ibu dengan 21 70.00 9 30.00 memuaskan 9 Bidan mendampingi saat ibu 26 86,70 4 13.30 memerlukan 10 Menunjukkan wajah yang senang pada 23 76,70 7 23,30 ibu 11 Menanyakan perasaan ibu 20 66,70 10 33.30 12 Menjelaskan sebelum memberikan 14 46,70 16 53,30 tindakan 13 Membersihkan keringat ibu 23 76,70 7 23,30 14 Memberikan kesempatan keluarga dan 26 86,70 4 13.30 tokoh agama untuk berdoa 15 Memperhatikan kebutuhan ibu 28 93,30 2 6,70 N = 30 Sumber : Data Primer,bulan Agustus 2009
Berdasarkan tabel 6 diatas pada item 1, dari 30 responden menunjukan bahwa sikap bidan yang baik dalam menyambut ibu sebanyak 25 responden (83,3%) dan kurang dari baik sebanyak 5 responden (16,7%). Item ke 2, menunjukan bahwa sikap bidan yang yang baik dalam memanggil ibu dengan nama ibu sebanyak 20 responden (66,7%) dan kurang baik sebanyak 10 responden (33,3%). Item ke 3,, menunjukan bahwa sikap bidan yang baik dalam memberikan kata-kata yang menguatkan ibu saat kesakitan sebanyak 21 responden (70%) dan kurang baik sebanyak 9 responden (30%). Item ke 4, menunjukan bahwa sikap bidan yang baik dalam mengijinkan suami atau keluarga untuk mendampingi ibu sebanyak 19 responden (63,3%) dan kurang baik sebanyak 11 responden (36,7%). Item ke 5, menunjukan bahwa sikap bidan yang baik yaitu menggunakan tirai/sampiran saat akan memeriksa ibu sebanyak 27 responden (90%) dan kurang baik sebanyak 3 responden (10%).
84
Volume 2, Nomor 2| Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
Item ke 6, menunjukan bahwa sikap bidan yang baik dalam memberikan dukungan moril adalah sebanyak 26 responden (86,7%) dan kurang baik sebanyak 4 responden ( 13,3%). Item ke 7, menunjukan bahwa sikap bidan yang baik dalam melayani ibu dengan ramah adalah sebanyak 20 responden (66,7%) dan yang kurang baik sebanyak 10 responden (33,3%). Item ke 8, Sikap bidan yang baik dalam menjawab pertanyaan ibu dengan memuaskan adalah sebanyak 21 responden (70%) dan yang kurang baik sebanyak 9 responden (30%). Item ke 9, sikap bidan yang baik saat ibu membutuhkan mendampingi ibu adalah adalah sebanyak 26 responden (86,7%), dan yang kurang baik sebanyak 4 responden (13,3%). Item ke 10, sikap bidan yang baik dan senantiasa menunjukan wajah yang senang pada ibu adalah sebanyak 23 responden (76,7%), dan yang kurang baik sebanyak 7 responden (23,3%) Item ke 11, menunjukan bahwa sikap bidan yang baik dalam menanyakan bagaimana perasaan ibu adalah sebanyak 20 responden (66,7%),dan yang kurang baik sebanyak 7 responden (23,3%). Item ke 12, menunjukan bahwa sikap bidan yang baik dalam memberikan penjelasan sebelum memberikan tindakan adalah sebanyak 14 responden (46,7%), dan yang kurang baik sebanyak 16 responden (53,3%). Item ke 13, menunjukan bahwa sikap bidan yang baik dalam membersihkan keringat ibu adalah sebanyak 23 responden (76,7%), yang kurang baik sebanyak 7 responden (23,3%). Item ke 14, sikap bidan yang baik dalam memperhatikan kebutuhan ibu adalah sebanyak 28 responden (93,3%), dan yang kurang baik sebanyak 2 responden (6,7%). Selanjutnya untuk item ke 15, menunjukan bahwa sikap bidan yang baik dalam memberikan kesempatan keluarga dan tokoh agama untuk berdoa adalah sebanyak 26 responden (86,7%), dan kurang baik sebanyak 4 responden (13,3%). Tabel 7 : Distribusi Frekuensi Persepsi Responden Tentang Sikap Bidan dalam Tindakan Kala II Berdasarkan Item Pertanyaan/Kuesioner di RSIA Siti Fatimah Mks bulan Aguatus 2009. No 1 2 3 4 5 6 7
Sikap (Komunikasi dan pelayanan) Pimpin ibu meneran Memberikan support dan pujian Menawarkan minum pada ibu saat rasa sakit berkurang Membersihkan cairan dan darah Menjaga privacy ibu Memberitahu pembukaan sudah lengkap Memberi selamat pada ibu, saat bayi sudah lahir N = 30
F 27 20 19
Baik
< baik
% 90.00 66,70 63,30
F 3 10 11
% 10.00 33,30 36,70
27 28 20
90.00 93,30 66,70
3 2 10
10.00 6,30 33,30
20
66,70
10
33,30
Sumber : Data bulan Agustus 2009
85
Volume 2, Nomor 2| Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
Berdasarkan tabel 7 diatas pada item 1, dari 30 responden menunjukan bahwa sikap bidan yang baik dalam memimpin ibu meneran sebanyak 27 responden (90%) dan sikap kurang baik sebanyak 3 responden (10%). Item ke 2, menunjukan bahwa sikap bidan yang baik dalam memberikan support dan pujian saat ibu meneran adalah sebanyak 20 responden (66,7%) dan sikap kurang baik sebanyak 10 responden (33,3%). Item ke 3, menunjukan bahwa sikap bidan yang baik yaitu menawarkan minum pada ibu adalah sebanyak 19 responden (63,3%) dan sikap kurang baik sebanyak 11 responden (36,7%). Item ke 4, menunjukan bahwa sikap bidan yang baik yaitu membersihkan ibu dari cairan dan darah adalah sebanyak 27 responden (90%), dan sikap kurang baik sebanyak 3 responden (10%). Item ke 5, sikap bidan yang baik dalam menjaga privacy ibu adalah sebanyak 28 responden (93,3%) sikap bidan yang kurang 2 responden (6,7%). Item ke 6, sikap bidan yang baik yaitu memberitahu ibu saat pembukaan sudah lengkap adalah sebanyak 20 responden (66,7%) dan sikap yang kurang baik adalah sebanyak 10 responden ( 33,3%). Item ke 7, menunjukan bahwa sikap bidan yang baik yaitu memberikan selamat pada ibu saat bayinya lahir adalah sebanyak 20 responden (66,7%), dan sikap kurang baik sebanyak 10 responden (33,3%). Tabel 8 : Distribusi Frekuensi Persepsi Responden Tentang Sikap Bidan dalam Tindakan Kala III Berdasarkan Item Pertanyaan di RSIA Siti Fatimah Mks, bulan Agustus 2009. No Sikap (Komunikasi dan pelayanan) Baik < baik F % F % 1 Memberitahu ibu akan disuntik 23 76,70 7 23,30 2 Melahirkan ari-ari dengan sabar 21 70.00 9 30.00 3 Masase uterus dengan lembut 24 80.00 6 20.00 4 Memeriksa jalan lahir dengan lembut 21 70.00 9 30.00 N = 30
Sumber : Data bulan Agustus 2009
Berdasarkan tabel 8 diatas pada item 1, dari 30 responden menunjukan bahwa sikap bidan yang baik yaitu memberitahu ibu saat akan disuntik sebanyak 23 responden (76,7%) dan sikap kurang baik sebanyak 7 responden (23,3%). Item ke 2, sikap bidan yang baik dalam melahirkan ari-ari dengan sabar adalah sebanyak 21 responedn (70%) dan sikap kurang baik sebanyak 9 responden (30%). Item ke 3, sikap bidan yang baik yaitu melakukan masase uterus dengan lembut adalah sebanyak 24 responden (80%) dan sikap kurang baik sebanyak 6 responden (20%). Item ke 4, sikap bidan yang baik yaitu memeriksa jalan lahir dengan lembut adalah sebanyak 21 responden (70%) dan sikap kurang baik sebanyak 9 responden (30%). 86
Volume 2, Nomor 2| Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
Tabel 9: Distribusi Frekuensi Persepsi Responden Tentang Siksp Bidan dalam Tindakan Kala IV Berdasarkan Item Pertanyaan di RSIA Siti Fatimah Mks, bulan Agustus 2009. No Sikap (Komunikasi dan pelayanan) Baik < baik F % F % 1 Bidan dengan sabar membersihkan 22 73,30 8 26,70 ibu dan mengenakan pakaian yang bersih 2 Bidan memberikan kesempatan ibu 25 83,30 5 16,70 tidur barsama bayinya 3 Memberi kesempatan keluarga untuk 25 83,30 5 16,70 bersama ibu dan bayi 4 Bidan mengajari ibu dengan sabar 16 53,30 14 46,70 untuk segera melapor jika keluar darah yang banyak dari jalan lahir N = 30
Sumber : Data primer, bulan Agustus 2009
Berdasarkan tabel 9 diatas pada item 1, dari 30 responden menunjukan bahwa sikap bidan yang baik yaitu dengan sabar membersihkan ibu dan mengenakan pakaian yang bersih sebanyak 22 responden (73,3%) dan sikap kurang baik sebanyak 8 responden (26,7%). Item ke 2, menunjukan bahwa sikap bidan yang baik yaitu memberikan kesempatan ibu tidur bersama bayinya adalah sebanyak 25 responden (83,3%), sikap kurang baik sebanyak 5 responden (16,7%) Item ke 3, menunjukan bahwa sikap bidan yang baik dalam memberikan kesempatan kepada keluarga untuk bersama ibu dan bayi adalah sebanyak 25 responden (83,3%), sikap kurang baik sebanyak 5 responden (16,7%). Item ke 4, menunjukan bahwa sikap bidan yang dengan sabar mengajari ibu untuk segera melapor jika keluar banyak darah dan pusing adalah sebanyak 16 responden (53,3%) , sikap kurang baik sebanyak 14 responden (46,7%) B. Pembahasan 1. Karakteristik Umum Responden Menurut tingkat Pendidikan Karakteristik responden terbanyak adalah berpendidikan SD. Hal ini dapat mempengaruhi persepsi responden terhadap kinerja dan sikap bidan karena semakin rendah pendidikan seseorang makin sulit untuk memahami dan menilai sesuatu secara obyektif.Persepsi yang dilakukan akan secara subyektif dengan melihat kepuasan dan kepentingannya sendiri. 2. Persepsi Responden Tentang Kinerja Bidan a. Persepsi Responden Tentang Kinerja Bidan pada Kala I Kala I persalinan adalah keadaan dimulai ketika adanya kontraksi yang teratur serta dilatasi servik dan berakhir pada pembukaan lengkap 87
Volume 2, Nomor 2| Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
(10 cm). Dalam persalinan kala I (kala pembukaan, ibu biasanya menghendaki ketegasan mengenai apa yang sedang terjadi pada tubuhnya maupun mencari keyakinan dan hubungan dengan bidannya. Ibu bisa merasa bergairah atau cemas oleh karena itu ibu membutuhkan penerimaan atas kegembiraan dan ketakutan mereka. Untuk itu pentingnya pemberian asuhan yang sesuai kebutuhan ibu dan bayi karena ibu akan merasa lebih aman dan nyaman dalam menghadapi persalinan. Berdasarkan hasil penelitian dari 30 responden tentang persepsi terhadap kinerja bidan pada kala I baik (≥ 75%), meliputi menjelaskan tentang peraturan rumah sakit dan kamar bersalin khususnya tentang hak ibu sebagai pasien,mengajari cara mengatasi rasa sakit karena persalinan, menyiapkan peralatan sebelum menolong persalinan, perubahan posisi tidur (16,70%) sebaiknya bidan melakukan perubahan posisi tidur miring kiri/kanan, jalan-jalan sampai ibu merasa ingin meneran atau jika ibu merasa lelah sehingga mempercepat proses persalinan. Memberitahukan pada ibu tentang kemajuan persalinan dan kondisi janin (20%), setiap kali bidan selesai memeriksa ibu hendaknya memberitahukan hasil pemeriksaan agar ibu tidak khawatir tentang kemajuan persalinan dan kondisi janin karena stress mempengaruhi psikologis ibu, mengajari teknik bernapas pada saat kesakitan, pengawasan selama persalinan, jalan-jalan sebelum waktu melahirkan dan cara meneran. Dalam pendampingan persalinan baru 50% bidan yang memberi kesempatan ibu untuk memilih pendamping persalinan sesuai keinginan ibu. Hal ini disebabkan karena kondisi kamar bersalin yang tidak memungkinkan untuk semua persalinan didampingi. b. Persepsi Responden Tentang Kinerja Bidan pada Kala II Kala II persalinan dimulai ketika servik membuka lengkap dan berakhir saat bayi lahir ( fase pengeluaran janin ). Pada persalinan stdium dini ibu masih bisa menahan sakit dan bisa diantara kontraksi. Begitu persalinan maju ibu mulai menarik diri dari pada mengontrol ketika persalinan semakin kuat ibu menjadi lebih sensitif karena ibu mengalami “nyeri ekstrem” sehinga kemampuan mendengarkan dan berkonsentrasi pada segala sesuatu menjadi berkurang kecuali melahirkan sehingga semua tergantung pada hubungan bidan dengan ibu karena hanya bidan yang dapat memahami apa yang sedang dialami ibu. Pada saat ini pentingnya asuhan yang penuh kasih sayang karena ibu sangat membutuhkan perhatian ekstra. Berdasarkan hasil penelitian terhadap 30 responden memberikan persepsi bahwa kinerja bidan pada kala II baik (≥ 75%). Menilai djj diantara kontraksi sangat penting untuk menilai kesejahteraan janin tapi masih 20% tidak menilai djj saat kala pengeluaran, memberitahukan saat akan memecahkan ketuban, meletakkan bayi diperut ibu, mengikat tali 88
Volume 2, Nomor 2| Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
pusat serta membungkus bayi diatas perut ibu. 50% responden mengatakan posisi melahirkan adalah terlentang, hal ini dapat menyebabkan hipoksia janin karena kurangnya oksigen serta proses penurunan kepala janin lambat dan dapat mengakibatkan persalinan lama. Bidan balum memberikan kesempatan bagi ibu untuk memilih sendiri posisi melahirkan sesuai keinginan ibu, sesuai dengan asuhan sayang ibu maka sebenarnya ibu harus diberikan kesempatan oleh bidan untuk memilih posisi melahirkan yang diinginkan ibu. c. Persepsi Responden Tentang Kinerja Bidan pada Kala III Kala III persalinan dimulai dengan kelahiran bayi dan berakhir dengan lahirnya placenta. Dalam kala III (kala pengeluaran placenta), ibu mengalami ketidaknyamanan karena kram uterus sebelum melahirkan placenta, pada saat ini ibu sangat membutuhkan dukungan bidan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa dari 30 responden memberikan persepsi yang baik (≥ 75%) bagi kinerja bidan saat kala III. Masih ada 33,30% responden tidak melakukan PTT dengan tepat dimana bidan tidak melakukan penarikan waktu ada kontraksi secara simultan melakukan PTT. 33,30% tidak memberitahukan ibu bahwa ari-ari sudah diperiksa dan keadaanya lengkap. Hal ini dapat mengakibatkan perdarahan post partum. d. Persepsi Responden Tentang Kinerja Bidan pada Kala IV Kala IV dimulai dengan kelahiran placenta dan berakhir dua jam setelah selesainya kala III persalinan. Kala IV (kala pengawasan), ibu harus menikmati kontak kulit dengan bayinya yang baru lahir. Berdasarkan hasil penelitian pada 30 responden memberikan persepsi baik (≥ 75%) bagi kinerja bidan saat kala IV. 20% bidan melakukan pengawasan kala IV (memeriksa tekanan darah, perdarahan, nadi dan TFU) tapi tidak sesuai dengan standar yaitu 15 menit selama 1 jam pertam dan setiap 30 menit pada jam kedua). Hal ini dapat menyebabkan tidak terdeteksi bila terjadi perdarahan dan syok hypovolemik. 3. Persepsi Responden Tentang Sikap Bidan. a. Persepsi Responden Tentang Sikap Bidan pada Kala I. Sikap bidan pada kala I sesuai persepsi responden, bahwa bidan bersikap baik (> 50%) meliputi : menyambut ibu dengan ramah saat ibu pertama kali masuk kamar bersalin (83,3%). Masih ada 33,30% bidan tidak memanggil ibu dengan menyebut nama ibu. Hal ini sangat penting karena ibu akan merasa lebih akrab jika dipanggil namanya sehingga mengurangi stress ibu menjelang persalinan. Memberi kata-kata yang menguatkan ibu (70%) merupakan dukungan persalinan oleh bidan. Masih 30% bidan yang tidak member kata-kata yang menguatkan ibu. Mengijinkan suami atau keluarga mendampingi ibu (63,3%) dan masih 36,7% bidan tidak mengijinkan karena kondisi kamar bersalin yang tidak 89
Volume 2, Nomor 2| Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
memungkinkan. Menggunakan tirai saat memeriksa ibu (90%). Memberikan dukungan moril (86,7%). Ramah melayani ibu (66,7%), sikap bidan yang kurang ramah 33,3% hal ini karena jumlah persalinan yang tidak seimbang dengan bidan yang bertugas atau jaga (2:6-8 pasien) sehingga bidan kelelahan.Demikian halnya dengan tidak menjawab pertanyaan ibu dengan memuaskan (30%). Langsung mendatangi saat ibu memerlukan (86,7%). Menunjukan wajah yang senang pada ibu (76,7%). Menanyakan bagaimana perasaan ibu (66,7%). Membersihkan keringat ibu (76,7%). Memperhatikan kebutuhan ibu (93,3%). Memberikan kesempatan kepada keluarga dan tokoh agama untuk berdoa (86,7%). Sedangkan sikap bidan pada kala I yang masih perlu perbaikan menurut persepsi responden yaitu tidak memberi penjelasan terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan sebanyak 16 responden (53,5%). Sikap bidan seperti ini tidak sesuai dengan standar asuhan kebidanan dan tidak memperhatikan hak pasien. b. Persepsi Responden Tentang Sikap Bidan pada kala II. Sikap bidan pada kala II sesuai persepsi responden bahwa bidan bersikap baik (>50%) saat memberikan asuhan. Sikap memberikan support dan pujian sangat membantu ibu terutama saat meneran. Sikap bidan yang tidak menawarkan minum pada kala II 36,7%, Sikap bidan yang sudah baik pada kala II tetap di pertahankan bahkan ditingkatkan agar terjaga kualitas pelayanan kebidanan. c. Persepsi Responden Tentang Sikap Bidan pada kala III. Sikap bidan pada kala III sesuai persepsi responden bahwa bidan bersikap baik (>50%) saat memberikan asuhan. Sikap bidan yang sudah baik pada kala III tetap di pertahankan bahkan ditingkatkan agar terjaga kualitas pelayanan kebidanan. d. Persepsi Responden Tentang Sikap Bidan pada kala IV. Sikap bidan pada kala IV sesuai persepsi responden bahwa bidan bersikap baik (>50%) saat memberikan asuhan 46,7 % bidan tidak mengajari ibu untuk segera melapor jika keluar banyak darah dan pusing. Hal ini dapat menyebabkan ibu tidak mengenali tanda-tanda bahaya sehingga saat terlambat dalam pengamannya. Sikap bidan yang sudah baik pada kala IV tetap dipertahankan bahkan ditingkatkan agar terjaga kualitas pelayanan kebidanan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1.
Responden memberikan persepsi yang baik terhadap kinerja bidan pada kala I baik (≥75%) , hanya untuk pendampingan persalinan baru 50 % bidan yang 90
Volume 2, Nomor 2| Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
2.
3. 4. 5. 6. 7. 8.
memberi kesempatan ibu untuk didampingi saat proses persalinan berlangsung, sisanya 16,70% menilai kurang dalam memberi asuhan persalinan, sehingga perlu ditingkatkan lagi meliputi merubah posisi tidur dan menawarkan makan/minum. Responden memberikan persepsi yang baik terhadap kinerja bidan pada kala II (≥75%) berdasarkan hasil penelitian terhadap 30 responden. Hanya 50% bidan yang memberi kesempatan untuk memilih sendiri posisi melahirkan yang di inginkan ibu, hal ini perlu di tingkatkan lagi. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa dari 30 responden memberikan persepsi baik (≥75%) bagi kinerja bidan saat kala III. Berdasarkan hasil penelitian pada 30 responden menunjukkan bahwa responden memberikan persepsi baik (≥75%) bagi kinerja bidan saat kala IV. Sikap bidan pada kala I sesuai persepsi responden >50% bersikap baik, tetapi 53,3% responden belum memberikan penjelasan sebelum tindakan dilakukan. Sikap bidan pada kala II sesuai penilaian responden >50% bahwa bidan bersikap baik. Sikap bidan pada kala III sesuai penilaian responden >50% bahwa bidan bersikap baik. Sikap bidan pada kala IV sesuai penilaian responden >50% bahwa bidan bersikap baik.
S a r a n. 1.
2.
3.
4.
Bagi bidan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar yang bertugas di kamar bersalin, memberikan kesempatan kepada ibu untuk didampingi oleh orang yang diinginkan ibu, dengan memperhatikan penggunaan sampiran yang baik dengan demikian privacy ibu dapat terjaga. Dalam pertolongan persalinan sebaiknya memberikan kesempatan kepada ibu untuk memilih posisi persalinan sesuai keinginan ibu demi kenyamanan ibu. Meningkatkan kinerja dan sikap bidan menjadi lebih baik agar dapat memberikan pelayanan prima guna meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat, khususnya bagi ibu bersalin dengan demikian menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu di Indonesia yang masih tinggi. Perlunya peningkatan kualitas dan sumber daya bidan di kamar bersalin melalui peningkatan pendidikan formal dan pelatihan untuk meng-up date kompetensi bidan yang pernah diperolehnya.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Anonym. 2005. Angka kematian Ibu (Online), (http://ww.postel.sinarharapan.co.id. Diakses tanggal 16 Mei 2009).
2.
Chapman V, 2006, Asuhan Kebidanan Persalinan dan Kelahiran, EGC, Jakart 91
Volume 2, Nomor 2| Juli – Desember 2010
Jurnal Media Kebidanan Poltekkes Makassar
3.
DepKes RI, 2002, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 900 Tentang Registrasi dan Praktik Bidan, PP IBI, Jakarta.
4.
Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan, 2008, Profil Kesehatan Sulawesi Selatan, Makassar.
5.
JNPK – KR, 2008, Buku Acuan Persalinan Normal, JNPK – KR, Jakarta
6.
Manuaba, 2008, Gawat Darurat Obstetri Ginekologi dan Obstetri
7.
Ginekologi Sosial Untuk Profesi Bidan, EGC, Jakarta.
8.
Mangkunegara A.P, 2006, Evaluasi Kinerja SDM, Refika Aditama,
9.
Noor H.M, 2008, Metodologi Penelitian Kebidanan dan Penulisan Skripsi, Program D IV Bidan Pendidik, Makassar.
10. Notoatmodjo S, 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. 11. ………….., 2005, Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi, Rineka Cipta, Jakarta. 12. ……………, 2006, Buku 1 Standar Pelayanan Kebidanan, PP IBI, Jakarta. Wiyati N, dkk., 2008. Perawatan Ibu Bersalin (Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin), Penerbit : Fitramaya. Yogyakarta.
92
Volume 2, Nomor 2| Juli – Desember 2010
UPAYA PENINGKATAN KESEHATAN IBU DAN ANAK MELALUI PENGORGANISASIAN SISTEM SIAGA BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA (STUDI DI DESA NOELTOKO DAN NOEPESU, KECAMATAN MIOMAFFO BARAT) (Improving Maternal and Child Health Through Community-Based Organizing Alert System in North Central Timor Regency (Studies in Noeltoko and Noepesu Village, West Miomaffo District)) M. Setyo Pramono dan Suharmiati
ABSTRACT Background: One of the efforts of North Central Timor regency in Improving Maternal and Child Health is a MCH revolution in the save community. This research focus on organizing network on alert system particularly at the level of villages and naketi traditions in Noeltoko and Noelpesu village. Methods: The study was conducted in August-November 2012 in Noeltoko and Noepesu village, Eban health centers in the region. Types of non-interventional studies with exploratory design. Information was obtained through in-depth interviews and direct observations. As informants are community leaders, midwives and members of the networks. Results: There are six major networks in the study villages notication, transportation, family planning, funding, exclusive breastfeeding and blood donor. In the Village Noeltoko again that there is a network of disaster preparedness. Regular monthly meeting conducted the meeting initiator and network with a collective agreement since the creation of idle village. There is the usual tradition Naketi at between 7–9 months of gestation, the wife to the husband recantation face to face followed by recantation couple to a large family (parents). Conclusion: Communitybased alert system through idle villagers networking proved effective enough to increase public awareness of health villagers. Indicators of success, logging all pregnant women and birth mothers through their networks by themselves, not by health personnel. All the efforts of labor is no longer in the house but in a health facility with a commitment involving all networks. Another indicator is the discussion and the dialogue is quite intensive in the sufciently describes the networking meeting in high spirits for the improvement of health in their village. Naketi tradition as a form of local wisdom that is positive for minimal preparation for the delivery of maternal psychological side. Key words: networking, save community, naketi ABSTRAK Latar Belakang: Salah satu upaya yang dilakukan kabupaten Timor Tengah Utara dalam Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak adalah Revolusi KIA dalam bentuk Pengorganisasian Desa Siaga. Penelitian ini fokus pada jejaring pada pengorganisasian sistem siaga khususnya di level desa serta tradisi spesik naketi khususnya di desa Noeltoko dan Noelpesu. Metode: Penelitian dilakukan pada Agustus–November 2012 di Desa Noeltoko dan Noepesu, di wilayah Puskesmas Eban. Jenis penelitian nonintervensi dengan desain eksploratif. Informasi diperoleh melalui wawancara mendalam dan pengamatan langsung. Sebagai Informan adalah tokoh masyarakat, bidan desa dan anggota jejaring. Hasil: Terdapat enam jejaring yang utama di desa studi yaitu Notikasi, Transportasi, KB, Dana, ASI Eksklusif dan Donor Darah. Khusus di Desa Noeltoko ada satu jejaring lagi yaitu Siaga Bencana. Tiap bulan secara berkala dilakukan temu jejaring dengan inisiator pertemuan dan merupakan kesepakatan bersama sejak dibentuknya desa siaga. Terdapat tradisi Naketi yang biasa dilakukan pada waktu usia kehamilan antara 7–9 bulan, yaitu pengakuan kesalahan istri kepada suami dengan cara bertatap muka dilanjutkan pengakuan kesalahan suami istri kepada keluarga besar (orang tua/mertua). Kesimpulan: Sistem siaga berbasis masyarakat lewat jejaring desa siaga terbukti cukup efektif untuk meningkatkan kepedulian masyarakat akan kesehatan warga desanya. Indikator keberhasilan, terdatanya semua ibu hamil dan ibu
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Litbang Kesehatan, Kemenkes RI Alamat korespondensi: E-mail:
[email protected]
38
Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak (M. Setyo Pramono dan Suharmiati) bersalin oleh masyarakat sendiri lewat jejaringnya, bukan oleh tenaga kesehatan. Semua upaya persalinan yang tidak lagi di rumah tetapi pada fasilitas kesehatan menjadi komitmen bersama melibatkan semua jejaring. Indikator lainnya adalah terjadinya diskusi dan dialog yang cukup intensif dalam temu jejaring cukup menggambarkan adanya semangat yang tinggi untuk perbaikan kesehatan di desanya. Tradisi Naketi sebagai wujud kearifan lokal yang bernilai positif untuk persiapan menjelang persalinan, minimal dari sisi psikologis ibu hamil. Kata Kunci: Jejaring, desa siaga, naketi Naskah masuk: 13 Desember 2012, Review 1: 15 Desember 2012, Review 2: 17 Desember 2012, Naskah Layak Terbit 28 Februari 2013
PENDAHULUAN Kematian ibu, kematian neonatal dan kematian bayi masih merupakan masalah besar yang dialami oleh masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) umumnya dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) khususnya. Hasil Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) 2004 menyebutkan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia adalah 307 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan di NTT 554 per 100.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2007, AKI nasional turun menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup dan di NTT menjadi 306 per 100.000 kelahiran hidup (hasil survei SDKI). Walaupun di NTT terjadi penurunan, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata Provinsi lainnya di Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan bahwa masih tingginya persalinan yang ditolong oleh dukun di NTT yaitu sebesar 46,2% sementara ibu bersalin di rumah mencapai 77,7% (Depkes, 2007). Angka Kematian Bayi (AKB) nasional 52 per 1.000 kelahiran hidup, pada tahun 2004 turun menjadi 34 per 1000 kelahiran hidup. Di NTT dari 62 per 1.000 kelahiran hidup, turun menjadi 57 per 1000 kelahiran hidup. Di Kabupaten TTU beberapa penyebab kematian bayi baru lahir, yakni 34% disebabkan asfixia, 13% disebabkan BBLR, dua persen disebabkan infeksi. Penyebab kematian balita, antara lain 19% disebabkan pneumonia/ISPA, 16% diare, dan 6% gizi kurang (Dinas Kesehatan TTU, 2011). Sedangkan faktor penyebab langsung kematian
ibu saat nifas Kabupaten TTU pada tahun 2009, yakni 52% akibat perdarahan, 37% akibat eklampsia, lima persen akibat infeksi, dan 5% oleh faktor lainnya. Kendala yang dihadapi adalah minimnya sarana dan prasarana kesehatan, baik polindes, puskesmas maupun rumah sakit. Jika mengacu pada tabel 1 secara umum status kesehatan di TTU masih rendah walau ada kecenderungan terjadi penurunan dari indikator derajat kesehatan. Berdasarkan latar belakang di atas menjadi dipahami jika kesehatan terutama KIA menjadi salah satu prioritas pembangunan di NTT. Hal ini dibuktikan dengan kebijakan Gubernur NTT yang menggulirkan Revolusi KIA melalui Peraturan Gubernur NTT No. 42 tahun 2009. Dengan adanya Revolusi KIA, diharapkan semua ibu melahirkan di fasilitas kesehatan, dengan target selamat baik ibu dan bayinya. Terdapat tiga fokus dalam revolusi KIA, yaitu (1) pengorganisasian sistem siaga, (2) profesionalisme SDM kesehatan dan (3) sarana dan prasarana yang memadai. Penelitian ini fokus pada pengorganisasian sistem siaga khususnya di level desa. Pada tahun 2011 Dinas Kesehatan TTU melakukan kemitraan dengan Australia Indonesia Partnership for Maternal and Neonatal Health (AIPMNH) dalam rangka mengembangkan desa siaga. Program kemitraan lainnya adalah dengan GTZ (Jerman) dan DHS 2 (Asian Development Bank). Hingga sekarang jumlah desa siaga mencapai 31 buah dari total 174 desa/ kelurahan baik yang masih aktif maupun yang sudah
Tabel 1. Derajat Kesehatan TTU tahun 2007–2011 Indikator Derajat kesehatan Jumlah Kematian Bayi Jumlah kematian Balita Jumlah Kematian Ibu AKB AKI
2007 90 19 8 15.8/1000 140/100.000
2008 96 18 13 17.34/1000 239/100.000
2009 46 12 18 8.66/1000 364/100.000
2010 43 35 18 8.52/1000 357/100.000
2011 37 10 12 6.8/1000 220.43/100.000
Diolah dari Laporan Tahunan 2011 Dinkes TTU
39
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 1 Januari 2013: 38–47
tidak aktif. Pengembangan desa siaga bertujuan terwujudnya masyarakat desa yang sehat dan peduli terhadap permasalahan kesehatan di wilayahnya. Pelaksanaan kegiatan desa siaga di Kabupaten TTU juga melibatkan berbagai lintas sektor di antaranya Dinas Kesehatan, BPMD (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa), BP2KB (Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana), Kecamatan dan Puskesmas setempat. Dengan terbentuknya desa siaga ini diharapkan tidak ada lagi kematian ibu dan bayi di desa setempat sehingga dapat menekan AKI dan AKB di Kabupaten TTU. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keberlangsungan dan wujud partisipasi masyarakat dalam pengorganisasian sistem siaga. METODE Penelitian dilakukan di Desa Noeltoko dan Noepesu, Kecamatan Miomaffo Barat Kabupaten TTU pada tahun 2012. Kedua desa ini ditetapkan sebagai desa yang menjadi program kemitraan dengan AIPMNH dan masuk wilayah pelayanan Puskesmas Eban. Jenis penelitian ini adalah nonintervensi dengan desain eksploratif berupa studi kualitatif di mana informasi diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi di lapangan. Informannya adalah kepala puskesmas, pemegang program KIA, bidan desa. Untuk keperluan FGD di level desa pesertanya perwakilan PKK, LKMD, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Kedudukan PKK, LKMD, Tokoh masyarakat dan tokoh agama di era sekarang adalah berfungsi saling melengkapi dalam sebuah sistem pemerintahan di desa sehingga bisa dikatakan sudah setara (homogen di dalam kapasitas). Observasi bertujuan untuk analisa situasi di lapangan dan dilakukan pada pertemuan jejaring desa siaga untuk mengetahui sejauh mana mekanisme dan materi pertemuan. HASIL A. Gambaran Umum Deskripsi Lokasi Desa Noeltoko Desa Noeltoko sebagai lokasi penelitian memiliki luas wilayah 150,26 ha terdiri dari 4 RW dan 8 RT, 164 KK dengan jumlah penduduk sebanyak 594 orang. Bila dilihat dari tingkat pendidikan, penduduk yang sedang sekolah usia 7–18 tahun sebanyak 154 orang, sedangkan penduduk yang tidak pernah 40
sekolah (buta huruf) sebanyak 49 orang. Terdapat 3 orang yang tamat S1. Sebagian besar mata pencarian penduduk adalah pengrajin rumah tangga (58,7%), petani (35,1%), sedangkan sisanya bekerja sebagai guru swasta, pedagang kecil, PNS dan sebagian kecil pensiunan TNI/Polri/PNS (0,6%). Seluruh penduduk beragama Kristen terdiri dari Katolik (74,2%) dan sisanya (25,8%) Kristen Protestan (Potret Desa Siaga Noeltoko, 2011). Perjalanan dari ibukota TTU Kefamenanu menuju Desa Noeltoko berjarak kurang lebih 15 km, tetapi karena lokasi desa berada di lereng bukit, sebagian jalan masih berbatu, serta melalui jalan berliku-liku maka perjalanan ditempuh dalam waktu sekitar 90 menit. Kendaraan roda 4 masih bisa masuk walau dengan syarat harus pengemudi yang sudah menguasai medan, namun jika masuk musim penghujan kendaraan roda 4 tidak dapat ke desa ini. Sejarah lisan mengatakan bahwa dahulu desa ini merupakan pusat kerajaan sebelum akhirnya oleh Belanda dipindah ke lokasi Kefamenanu ibukota sekarang. Terdapat sungai yang membelah desa, cukup lebar tetapi dikarenakan kemarau panjang, airnya kering. Menurut informasi, saat ini banyak orang dari luar desa bahkan kota berada di lokasi sungai untuk mencari emas. Walaupun listrik dari PLN belum masuk, warga Desa Noletoko tetap mendapatkan listrik melalui sinar matahari dengan teknologi solar cell yang berada di atas rumah-rumah mereka. Jika pada siang hari sinar matahari cukup terik, maka energinya melalui solar cell cukup untuk menyalakan lampu pada malam hari hingga pagi harinya. Namun jika cuaca mendung, maka lampu hanya bisa menyala sampai pukul 21.00. Desa Noeltoko termasuk salah satu desa yang berhasil di wilayah kecamatan Miomaffo Barat. Hal ini dibuktikan banyaknya piagam dan piala yang tersimpan di Balai Desa Noletoko antara lain sebagai juara pembangunan desa dari Menteri dalam Negeri (tahun 1990 dan 1992) maupun piala penghargaan desa siaga dari provinsi NTT. Desa Noepesu Desa Noepesu dengan luas wilayah ± 800 ha (800.000 m 2) terdiri dari 3 dusun dan terdiri dari 6 RW dan 18 RT, 426 KK dengan jumlah penduduk sebanyak 1.418 orang masing-masing 690 lakilaki dan 728 perempuan. Bila dilihat dari tingkat pendidikan, penduduk yang tamat SD sebanyak
Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak (M. Setyo Pramono dan Suharmiati)
323 orang, tidak tamat SD 73 orang, tamat SLTP 435 orang, tamat SLTA 313 orang, tamat Diploma 4 orang dan S1 sebanyak 5 orang. Sebagian besar mata pencarian penduduk adalah petani yaitu 341 orang, guru 18 orang, tukang batu 16 orang, pedagang kecil dan buruh bangunan masingmasing 14 orang, tukang kayu 12 orang, penjaga hotel 8 orang serta 2 orang bekerja sebagai sopir (Profil Desa, 2011). Lokasi desa di dataran tinggi dengan udara yang cukup sejuk. Berdasarkan observasi terlihat tanaman tumbuh cukup subur antara lain, wortel, bawang merah, alpukat, labu siam dan tentu saja kemiri. Khusus kemiri dapat ditemui hampir di setiap pekarangan warga di TTU. Seluruh penduduk beragama Kristen Katolik. Tradisi/kebiasaan ritual adat yang berkaitan dengan kelahiran dari bayi, anak sampai dewasa, pengambil keputusan dan yang berperan aktif dalam perkembangannya adalah orang tua dan keluarga. B. Jejaring Pengorganisasian Sistem Siaga Pemberdayaan masyarakat dilaksanakan melalui pengorganisasian sistem siaga sebagai wujud nyata partisipasi masyarakat. Keberadaan desa siaga yang menitikberatkan pada partisipasi masyarakat diwujudkan dalam bentuk pengembangan jejaring siaga. Terdapat tujuh jejaring di Desa Noeltoko yaitu jejaring notifikasi, jejaring dana, jejaring transportasi, jejaring donor darah, jejaring KB, jejaring ASI eksklusif serta jejaring siaga bencana. Di Desa Noepesu hanya ada enam jejaring karena tidak ada jejaring siaga bencana. Setiap jejaring mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda dan dipimpin oleh seorang ketua, beserta sekretaris, bendahara serta beberapa anggota yang dipilih dari masyarakat sendiri. Tidak ada kriteria khusus untuk menjadi anggota jejaring kecuali mau bekerja dan mempunyai kepedulian yang besar terkait dengan kesehatan. Semua jejaring dikoordinir oleh Ketua Fasilitator Desa Siaga. Pada tanggal tertentu setiap bulan, semua jejaring termasuk aparat pemerintah desa berkumpul untuk melaporkan kegiatannya, berbagi informasi data terbaru serta memecahkan masalah yang ada, sekaligus evaluasi. Tempat pertemuan adalah di balai desa. Biasanya yang hadir pada acara tersebut adalah semua jejaring termasuk aparat pemerintah desa. Tugas dan fungsi yang sudah dilaksanakan oleh masing-masing jejaring sebagai berikut:
1. Jejaring Notikasi Tugas dari jejaring notikasi adalah mendata ibu hamil, ibu melahirkan, ibu menyusui, pendataan KB, pendataan ibu yang ikut jamkesmas dan pendataan golongan darah satu keluarga. Format dari pendataan membuat sendiri. Secara umum tidak ada perbedaan konsep pendataan baik di Noeltoko maupun Noepesu. Hal menarik dari observasi adalah ketua jejaring notikasi Noeltoko melaporkan kegiatan sambil menggendong balitanya yang berumur 1 tahun, bahkan ketika tidak maju (kembali sebagai audience) tampak sesekali dia memberi ASI balitanya. Hal ini menunjukkan komitmen yang luar biasa. Dilaporkan pula bahwa 2 anggotanya sudah tidak aktif lagi karena mencari kerja di luar kota. 2. Jejaring Dana Mengumpulkan dana dari masyarakat untuk keperluan biaya persalinan, transportasi dan lainnya. Di desa Noeltoko setiap KK menyumbang Rp. 1.000,-/bulan. Kegiatan tersebut sudah berjalan sejak Juli 2011. Untuk ibu hamil yang datang ke posyandu juga ada tabungan ibu bersalin (tabulin). Jika tabulinnya kecil sementara ibu hamil harus dirujuk ke rumah sakit, maka ada bantuan dari Desa Siaga. Hal ini didukung oleh pernyataan bidan desa sebagai berikut: Ada, karena ke sana khan biasanya cuma Rp. 100.000,-, tetapi kemarin dirujuk ke Atambua, sehingga perlu biaya Rp. 300.000,- jadi kita bantu Rp. 150.000,- dan dari keluarga juga Rp.150.000,-. Karena tabulinnya agak kecil. Sedangkan jejaring dana di Desa Noepesu mencari dan mengkoordinir dana dari masyarakat untuk membantu ibu hamil sebesar Rp.2.000,-/KK/ tahun sebagai dasolin (Dana Sosial Ibu Bersalin). Pada tahun 2012 ada anggaran untuk ibu dan anak dari ADD (Alokasi Dana Desa) sebesar Rp. 2.000.000,- per tahun. Terdapat kotak amal Desa Siaga yang diletakkan di atas meja untuk tamu yang datang meskipun tidak ada unsur paksaan, termasuk masyarakat yang ada di Noepesu. Uang yang tersimpan di bendahara sampai sekarang (Oktober 2012) sekitar 4 juta rupiah. 3. Jejaring Transportasi Jejaring transportasi desa Noeltoko mendata semua lokasi ibu hamil, menyiapkan tandu
41
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 1 Januari 2013: 38–47
serta mendata kendaraan yang siap digunakan sewaktu-waktu mengantar bumil yang akan bersalin. Tandu disiapkan sebagai antisipasi jalan tidak memungkinkan atau kendaraan tidak tersedia menuju lokasi ambulan (ambulan tidak dapat masuk ke desa). Jarak Desa Noeltoko dibandingkan desa-desa lainnya menuju ke Puskesmas Eban sebagai tempat faskes yang memadai untuk persalinan memang yang terjauh di samping medan yang sulit. Jarak antara desa Noeltoko dengan lokasi ambulan kurang lebih 7 km dengan struktur tanah mendaki (daerah pegunungan) dan hanya bisa dilalui oleh roda dua atau berjalan kaki. Jarak antara tempat ambulan ke puskesmas sendiri kurang lebih 3 km. Sedangkan di Desa Noepesu ada satu dusun yang terletak di bawah dan sulit untuk dijangkau oleh kendaraan. Jejaring transportasi dibantu masyarakat membawa ibu yang akan bersalin dengan cara didudukkan di kursi kemudian dibawa ke atas, selanjutnya menggunakan oto/mobil untuk dibawa ke puskesmas Eban. Sampai saat ini kejadian yang sama sudah berlangsung 5 kali. Baik di Desa Noeltoko maupun Noepesu biaya transport didanai oleh jejaring desa siaga. 4. Jejaring Donor Darah Tugas dan fungsinya adalah mendata golongan darah setiap KK. Yang memeriksa golongan darah adalah petugas puskesmas Eban pada bulan Agustus 2012. Penentuan orang yang dipilih menjadi pendonor berdasarkan batasan umur (dewasa) dan fisiknya bagus total di Noeltoko sebanyak 96 orang, sedangkan di Noepesu sebanyak 150 orang. Sejauh ini belum ada kebutuhan darah dari mendonor namun mereka tetap diminta siap-siap jika ada yang membutuhkan. Ketua FD jejaring bertugas membagi nama-nama pendonor berdasarkan golongan darah yang ada dengan golongan darah ibu hamil. 5. Jejaring KB Kegiatan yang sudah dilakukan jejaring KB di samping mendata pasangan usia subur (PUS), kegiatan utamanya adalah pendekatan pada PUS yang belum KB. Menurut laporan mereka baru 58% yang mengikuti KB dari total PUS. Selama ini kesulitan yang dirasakan oleh jejaring KB adalah mengajak menjadi akseptor KB karena dilarang oleh suaminya. Di Peraturan Desa belum 42
menyebutkan hal-hal yang berkaitan dengan KB. di Desa Noeltoko terdapat 48 orang yang ikut KB, tetapi drop out 8 orang. Jenis alat kontrasepsi yang digunakan adalah KB suntik. Mereka tidak menyukai KB jangka panjang seperti implant maupun IUD. Alasan masyarakat tidak menyukai KB IUD disampaikan oleh ketua jejaring KB sebagai berikut: Masyarakat sepertinya trauma dengan IUD, karena ada beberapa peserta KB IUD yang sudah memasang selama 10 tahun, tetapi setelah akan dilepas tidak mendapati IUD nya. Di samping itu juga ada yang tidak mau memasang IUD karena tabu untuk dilihat orang. Di Desa Noepesu jumlah peserta KB sebanyak 153 orang, terdiri dari peserta IUD (4 orang), implant (25 orang), suntik (87 orang) dan pil (9 orang). KB suntik banyak karena relatif simple sehingga mudah disepakati suami istri. 6. Jejaring ASI Eksklusif Jejaring ASI Eksklusif telah mendata ibu yang mempunyai bayi yang berusia 1–6 bulan untuk melakukan ASI eksklusif. Di samping pertemuan rutin tiap bulan sesama jejaring, juga melaporkan data ke bu bidan. Pada usia kehamilan ibu berusia 6 bulan, jejaring menjelaskan tentang bagaimana untuk menyusui bayi sehingga diharapkan ibu yang bersalin akan menyusui anaknya minimal sampai 6 bulan. 7. Jejaring Siaga Bencana Jejaring Siaga Bencana merupakan jejaring baru di desa Noeltoko. Jejaring ini tidak ditemukan di Desa Noepesu. Jejaring tersebut dibentuk berdasarkan kesepakatan mengingat kondisi geogras desa Noeltoko yang berbukit dan rawan bencana serta letaknya jauh dari puskesmas. Pada awal mulanya tujuan pembentukan jejaring ini untuk menghadapi bencana alam dan kematian. Namun dengan berjalannya waktu, yang berjalan selama ini adalah menghimpun dana jika ada kematian. Seperti pernyataan ketua jejaring Siaga Bencana berikut: Selama ini, kita menyumbang kalau ada kematian maka masing-masing KK menyumbang Rp.5.000,- dan yang menerima adalah keluarga yang mengalami musibah, dan ini sangat membantu. Di sini ada 8 RT jadi yang memungut
Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak (M. Setyo Pramono dan Suharmiati)
sumbangan ini adalah per RT, diperoleh antara Rp.700.000–Rp.900.000. Anggota jejaring Siaga Bencana melibatkan Ketua RT, RW, dusun dan tokoh masyarakat. Jika misalnya ada bencana, koordinator siaga bencana yang akan melapor ke BPD dan kabupaten. Hal yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya Desa Siaga seperti yang disampaikan oleh Sekretaris desa Noeltoko sebagai berikut: "Mungkin untuk semua pelaksanaan semua jejaring, memang selama ini berjalan dengan baik karena sejak Desa Siaga bulan Juli 2011 masyarakat di desa Noeltoko sudah merasakan manfaatnya. Yang baru Januari 2012 ada tambahan Jejaring Siaga Bencana dan masyarakat yang ada ini merasa terbantu dengan adanya jejaring ini. Karena dari tahun-tahun yang lalu tidak ada itu. C. Peraturan Desa Desa Noeltoko dijadikan sebagai desa siaga pada tahun 2011. Pada perkembangannya dibuat peraturan desa (perdes) dalam rangka desa siaga. Peraturan ini dibuat berdasarkan musyawarah/kesepakatan bersama mulai dari aparat pemerintah desa, BPD (Badan Perwakilan Desa) serta masyarakat desa. Hasil kesepakatan tersebut selanjutnya disosialisasikan kepada masyarakat sebelum kemudian ditetapkan sebagai peraturan desa. Apabila dicermati peraturan desa ini berkaitan dengan KIA, ibu hamil sampai dengan persalinan dan balita untuk mendapatkan pemeriksaan atau pelayanan yang standar. Di dalam peraturan tersebut juga memuat sanksi bagi yang tidak mentaati peraturan. Ibu-ibu yang tidak aktif di posyandu, ibu hamil yang tidak memeriksakan dengan teratur, serta ibu bersalin yang tidak melahirkan di fasilitas kesehatan diberikan sanksi berupa denda yang harus dibayar bila melanggar. Sejauh ini peraturan tersebut berjalan sesuai dengan ketetapan dan sudah ada yang mendapatkan sanksi. Peraturan desa di Desa Noepesu tidak murni berisi tentang kesehatan, tetapi juga berkaitan dengan lingkungan, kemasyarakatan, keamanan dan sebagainya. Terkait tentang kesehatan membahas tentang Kesehatan Ibu dan Anak. Konsep Peraturan Desa dibuat oleh aparat pemerintah desa dan BPD, kemudian disosialisasikan ke masyarakat. Jika masyarakat merasa keberatan maka perdes direvisi. Selanjutnya draft perdes dikirim ke tingkat atas (hukum) untuk disahkan. Perdes dibuat sekitar tahun
2008 dan setiap tahun direvisi untuk perbaikan serta untuk mengevaluasi apakah peraturan ini berjalan atau tidak. Jadi sebelum revolusi KIA, peraturan desa di Noepesu sebetulnya sudah ada. Peraturan desa terkait kesehatan ibu dan anak berisi tentang kewajiban yang harus dilaksanakan serta sanksi yang harus dibayar jika tidak mematuhi meliputi: 1) Bagi ibu yang mempunyai balita dan alpa ke posyandu dikenakan denda sebesar Rp.5.000,-/bulan. 2) Jika ibu melahirkan di rumah, maka ibu tidak mendapatkan bantuan, maksudnya bukan bantuan untuk kesehatan tetapi bantuan untuk program lain mis raskin, tetapi untuk kesehatan tetap diberikan. Jadi jika ibu yang melahirkan di rumah kita skors selama kurang lebih 1 tahun untuk mendapatkan kembali pelayanan. Jadi di sini tidak boleh melahirkan di rumah tetapi harus melahirkan di fasilitas pelayanan kesehatan. 3) Jejaring transportasi melaporkan bahwa sudah siap 7 sepeda motor dan 1 tenda yang siap mengantar ke faskes (puskesmas Eban). Untuk jejaring donor darah terdata 92 orang ditambah dengan gol darah bumil. Persiapan calon pendonor pada ibu yang berisiko. D. Observasi Pertemuan Jejaring Inisiator pertemuan jejaring di Desa Noeltoko merupakan kesepakatan bersama sejak dibentuknya desa siaga, bahwa setiap bulan tanggal 12 dilakukan pertemuan dengan agenda evaluasi, pelaporan dan penyampaian data terbaru. Tempat pertemuan adalah di balai desa Noeltoko. Peserta pertemuan lengkap mulai dari pengurus inti jejaring yang berjumlah 7 orang terdiri dari aparat pemerintah desa, BPD dan unsur kesehatan (ketiga unsur tersebut sebagai pembina desa siaga), kemudian ketua, sekretaris, bendahara dan anggota jejaring. Total peserta pertemuan kurang lebih terdapat 25 orang termasuk anggota jejaring.. Menurut catatan pengamat, ada beberapa anggota jejaring yang kurang percaya diri untuk menyampaikan pendapat, hal ini diduga dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah (80% berpendidikan SD). Pendapat hanya disampaikan oleh beberapa orang antara lain ketua fasilitator desa (FD), sekretaris desa, bidan desa, ketua jejaring KB dan ketua jejaring notifikasi. Namun secara keseluruhan pengorganisasian desa siaga yang ada di desa Noeltoko sudah menjalankan 43
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 1 Januari 2013: 38–47
tugasnya dengan baik. Acara dipandu oleh ketua FD. Hal yang menarik adalah setiap pertemuan selalu diawali dan ditutup dengan doa yang dipimpin tokoh agama setempat sekaligus ketua jejaring dana. Kemampuan ketua FD dalam memimpin pertemuan sangat baik. Berdasarkan pengamatan, pengurus inti jejaring seperti FD, bidan, sekdes cukup kompak saling melengkapi dan mengisi dalam menjalankan acara pertemuan jejaring. Diskusi pertemuan jejaring berlangsung lancar mengalir. Kemampuan ketua FD dan kekompakan pengurus inti di dalam memahami dan menguasai permasalahan, perkembangan dan data terbaru sangat berpengaruh dan membantu berlangsungnya temu jejaring. Masing-masing jejaring melaporkan hasil kegiatan. Terjadi diskusi yang cukup seru antar jejaring karena ada temuan balita gizi buruk satu orang, di mana anak tersebut merupakan anak ke-6 bahkan sekarang ibunya hamil lagi anak ke-7. Jejaring KB menyebutkan bahwa suami ibu tersebut tidak setuju KB. Sebagaimana di Noeltoko, di Desa Noepesu pun inisiator pertemuan merupakan kesepakatan bersama sejak dibentuknya desa siaga, bahwa setiap bulan tanggal 13 dilakukan pertemuan dengan agenda evaluasi, pelaporan dan penyampaian data terbaru. Tempat pertemuan di Balai Desa Noepesu. Peserta pertemuan lengkap mulai dari pengurus inti jejaring yang berjumlah 7 orang terdiri dari Pengurus desa (PD), BPD, dan unsur kesehatan (ketiga unsur ini sebagai pembina desa siaga), kemudian ketua, sekretaris, bendahara dan anggota. Dengan anggota jejaring maka total peserta pertemuan kurang lebih terdapat 24 orang. Di akhir dialog disepakati tentang rencana tindak lanjut yang paling mendesak yaitu akan mengumpulkan ibu hamil dan suami di balai pertemuan desa untuk diberikan pencerahan tentang desa siaga serta revolusi KIA terkait dengan pertolongan persalinan yang harus dilaksanakan di fasilitas kesehatan yang memadai yaitu puskesmas. Hal tersebut dilaksanakan karena beberapa hari sebelum acara dialog berlangsung terdapat seorang ibu yang melahirkan sendiri di rumah, setelah melahirkan baru dibawa ke puskesmas. E. Kearifan Lokal Tradisi Menjelang Persalinan Terdapat tradisi spesifik yang berkaitan dengan ibu hamil di NTT termasuk di kabupaten TTU berupa 44
acara yang disebut dengan Naketi atau Nakohe (Dodo, 2012) Naketi ini biasa dilakukan pada waktu usia kehamilan antara 7–9 bulan. Menurut kepercayaan masyarakat, persoalan ibu hamil (sebelum bersalin) terutama yang berhubungan dengan keluarga harus diselesaikan sebelum melahirkan yang medianya disebut dengan Naketi. Jika tidak dilakukan maka akan menghambat proses persalinan. Naketi yaitu pengakuan kesalahan/dosa istri kepada suami dengan cara bertatap muka dilanjutkan pengakuan kesalahan/dosa suami istri kepada keluarga besar (orang tua/mertua). Dengan telah dilakukannya Naketi maka ini menjadi dukungan moril bagi ibu yang akan bersalin. Hal ini sebagai wujud kearifan lokal yang positif bagi persiapan menjelang persalinan minimal dari sisi psikologis ibu hamil. Dengan dukungan keluarga besarnya, sang ibu hamil merasa tidak ada beban sehingga siap untuk bersalin. PEMBAHASAN Hasil analisis situasi pada Desa Noeltoko dan Noepesu menunjukkan bahwa komitmen bersama menjadi kata kunci berjalannya jejaring. Berdasarkan pengalaman hal ini tidak mudah. Di kedua desa tersebut kekompakan pengurus inti jejaring mulai dari ketua fasilitator desa, sekretaris desa, bidan desa dan kepala desanya menjadi kekuatan untuk menanamkan komitmen bersama tersebut. Untuk itu pendampingan dari pemerintah daerah menjadi hal penting karena memberikan energi baru. Upaya pemberdayaan desa oleh Dinas Kesehatan dan peran yang signifikan juga ada pada Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) karena mendampingi desa siaga langsung di lapangan. Disusul dengan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BP2KB). Jejaring desa siaga di Noeltoko dan Noepesu secara konsep dan penerapannya relatif sama walaupun jika dibandingkan ada sedikit perbedaan tapi hal itu lebih banyak ke arah teknis (tabel 2). Di Desa Noeltoko sudah ada tambahan jejarimg Siaga Bencana yang bertujuan masih terbatas mengurangi beban keluarga yang mendapat bencana yang dalam hal ini adalah kematian. Walau fokus utamanya adalah kesehatan ibu dan anak namun secara konsep, jejaring dimungkinkan untuk berkembang sesuai kebutuhan spesifik masing-masing desa.
Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak (M. Setyo Pramono dan Suharmiati)
Keberadaan jejaring baik di Desa Noeltoko maupun di Nepesu sangat membantu mengatasi masalah kesehatan terutama ibu dan anak. Hal ini diakui oleh kepala puskesmas dan kepala desa. Seiring dengan digaungkannya Revolusi KIA dan upaya pemerintah daerah TTU agar setiap persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan yang memadai maka dapat dilihat tren lokasi persalinan di kedua desa tersebut sejak
tahun 2010 (tabel 3). Jika menilik keberadaan jejaring yang mulai ada pada pertengahan 2011 maka setelah ada jejaring ada tren kenaikan persalinan di fasilitas kesehatan. Di Desa Noeltoko, pada tahun 2010 belum ada persalinan di fasilitas kesehatan, namun pada tahun 2011 sudah ada 36,4% bahkan di tahun 2012 mencapai 93,3%. Hal yang sama terjadi pada Desa Noepesu,
Tabel 2. Perbadingan Jejaring di Desa Noeltoko dan Noepesu No 1
Sistem Siaga Jejaring Notikasi
2
Jejaring Dana
3
Jejaring Transportasi
4
Jejaring Donor darah
5
Jejaring KB
6
Jejaring ASI Ekslusif
7
Jejaring Siaga Bencana Waktu temu jejaring Peraturan Desa
8 9
Desa Noeltoko Desa Noepesu Ada, aktif, pendataan bumil, buteki, bayi, Ada, aktif, pendataan bayi, balita, bumil, balita, gol darah, masy yg tdk punya bunifas, KB, gol darah, PUS, WUS, ASI jamkesmas, tdk punya KTP. eks Problem: anggota tdk aktif krn mencari kerja di kota Ada, aktif, ada tabulin, tiap bulan Rp.1000/ Ada, aktif, KK. alokasi dana desa 2 juta tahun 2012 untuk Kotak sumbangan bulin Rp. 2.000/KK/th (dasolin) Rp.15.000/KK/th (dana desa) separuhnya masuk ke operasional jejaring transportasi) Ada, aktif, Ada, aktif, 1 tandu, 9 buah roda 2 5 buah roda 2, 2 buah roda 4 Ada, aktif Ada, aktif Tiap bumil di backup min 3 pendonor Ada, aktif, Ada, aktif, mendata PUS, WUS, mengajak ibu KB, sosialisasi alat kontrasepsi pd kegiatan banyak KB suntik, kendala: suami tidak posyandu mendukung Ada, aktif Ada, aktif, pendampingan bumil yang akan bersalin, mendata jumlah buteki, penyuluhan ASI pendampingan buteki eks Ada, aktif, tiap kematian ada sumbangan Tidak ada Rp.5000/KK Setiap bulan tanggal 12 Setiap bulan tanggal 13 Ada, tahun 2011 Ada, • usia kehamilan 3 bulan wajib lapor ke • ibu yang mempunyai balita kemudian nakes, jika tidak ada denda alpa ke posyandu dikenakan denda Rp. 100.000. sebesar Rp.5.000/bulan. • bumil dilarang urut ke dukun, jika hal • Jika ibu melahirkan di rumah, maka ibu tersebut dilakukan maka ibu hamil tidak mendapatkan bantuan program dikenai denda Rp. 200.000,- dan ibu (non kesehatan) mis raskin selama dukunnya juga kena denda 1 tahun, tetapi yankes kesehatan tetap Rp.200.000. diberikan. Ibu bersalin harus di fasilitas • Yang melahirkan sendiri, dendanya kesehatan. Rp. 200.000,-, untuk balita yang tidak • Ada jejaring dana yang khusus mencari dibawa ke posyandu kena denda dana untuk membantu ibu hamil yaitu Rp.100.000 masing-masing balita. sebesar Rp.2.000/KK/tahun
45
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 1 Januari 2013: 38–47
Tabel 3. Tren Lokasi Persalinan di Desa Noeltoko dan Noepesu Desa Noeltoko
Noepesu
Lokasi Bersalin Faskes Rumah Total Faskes Rumah Total
2010 N 0 6 6 9 5 14
2011 % 0,00 100,00 100,00 64,29 35,71 100,00
walaupun pada tahun 2012 sedikit ada penurunan namun jika kita perhatikan angka absolutnya antara tahun 2011 dan 2012 tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Dengan kata lain dibandingkan tahun 2010 maka tahun 2011 dan 2012 persalinan di Desa Noepesu menunjukkan pola yang positif (mayoritas persalinan sudah ke fasilitas kesehatan). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Sistem siaga berbasis masyarakat lewat jejaring desa siaga terbukti cukup efektif untuk meningkatkan kepedulian masyarakat akan kesehatan warga desanya. Indikator paling mudah adalah terdatanya semua ibu hamil dan ibu bersalin tidak oleh tenaga kesehatan tetapi oleh masyarakat itu sendiri lewat jejaringnya. Semua upaya persalinan yang tidak lagi di rumah tetapi pada fasilitas kesehatan menjadi komitmen bersama melibatkan semua jejaring mulai dana sampai transportasi. Indikator lainnya adalah terjadinya diskusi dan dialog yang cukup intensif dalam temu jejaring cukup menggambarkan adanya semangat yang tinggi untuk perbaikan kesehatan di desanya. Hal ini jika tetap “dirawat” akan dapat menjadi modal sosial yang cukup berharga. Fak tor yang ter penting dalam per baikan kesehatan adalah komitmen bersama baik di level kabupaten, kecamatan/puskesmas dan yang paling utama adalah desa. Keberadaan Perda dan Perdes yang mendukung upaya perbaikan kesehatan ibu dan anak di masyarakat menjadi salah satu bukti kepedulian dalam bentuk kebijakan tertulis. Kebijakan dan komitmen yang diambil oleh para pengambil keputusan dalam penanggulangan masalah kesehatan ibu dan anak disesuaikan dengan peran, tugas dan tanggung jawab masing-masing sektor terkait dan 46
N 4 7 11 17 3 20
2012 % 36,36 63,64 100,00 85,00 15,00 100,00
N 14 1 15 18 5 23
% 93,33 6,67 100,00 78,26 21,74 100,00
harus dilakukan secara konprehensif dan terintegrasi. Dengan adanya desa siaga lewat jejaringnya sangat membantu meningkatkan kepedulian masyarakat akan kesehatan terutama ibu hamil, bersalin dan bayinya. Jejaring desa siaga ini mempunyai peluang yang cukup besar untuk direplikasikan pada banyak daerah lain, apalagi semua desa di TTU relatif memiliki karakteristik relatif sama. Keberhasilan di Noeltoko dan Noepesu justru dapat menjadi pemicu banyak desa lainnya di TTU. Apalagi sebelumnya sudah cukup banyak desa yang menjadi program desa siaga namun mati suri di tengah jalan. Berkaca dari Desa Noeltoko dan Noepesu diperlukan kepemimpinan yang kuat, peduli pada masalah kesehatan dan keterbukaan untuk menggerakkan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan kemauan keras dari penanggung jawab kesehatan atau pemerintah kecamatan/desa untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Saran Usulan langsung dari jejaring adalah agar pelatihan untuk pengurus jejaring ditingkatkan mengingat selama ini jarang ada pelatihan yang sudah diterima. Salah satunya adalah jejaring ASI eksklusif menyampaikan kendala bahwa kurang pelatihan dan belum ada fasilitasi, dan selama ini hanya belajar dari pengalaman saja. Administrasi/ pencatatan hendaknya dibuat sesederhana mungkin tapi cukup memadai. Perlu dukungan dari penentu kebijakan baik tingkat pusat sampai ke daerah akan membuat upaya perbaikan kesehatan ibu dan anak yang dilakukan akan sia-sia saja. Kendala lain adalah kasus gizi kurang baik pada ibu maupun bayi yang sering kali perhatian belum sampai ke sana, walaupun sang ibu walau bersedia memberikan ASI eksklusif tetapi jika dia sendiri bergizi
Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak (M. Setyo Pramono dan Suharmiati)
kurang maka ASI nya juga tidak berkualitas. Dengan kata lain faktor ekonomi turut menjadi determinan sektor kesehatan. Hal ini sekaligus sebagai bukti bahwa pembangunan haruslah terintegrasi di segala bidang. Penggunaan pendekatan budaya turut menjadi poin penting yang perlu dicermati. Aspek budaya tidak selamanya menjadi aspek yang menghambat implementasi suatu kebijakan namun justru dapat menjadi media implementasi. Sebagai contoh tradisi Naketi, walaupun asalnya adalah acara intern keluarga besar ibu bersalin sebetulnya dapat menjadi momentum jejaring untuk masuk aktif membantu mengawal persalinannya nanti. Tentu saja apapun yang menjadi tradisi tetap harus hati-hati agar tidak menjadi kontra produktif. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada peneliti daerah yang telah bekerja sama melaksanakan
penelitian, Dinas Kesehatan TTU atas bantuan operasionalnya, Puskesmas Eban, Kepala Desa Noeltoko dan Noepesu yang menyediakan waktu dan lokasi desanya sebagai objek penelitian, serta berbagai pihak yang turut membantu jalannya penelitian. DAFTAR PUSTAKA Depkes, 2007. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI Jakarta. Dinkes TTU. 2011. Laporan Tahunan 2011 Dinkes Timor Tengah Utara. Dodo, O. Dominirsep. 2012, Implementasi desa Siaga berbasis Kearifan Budaya di Desa Tuabatan, IGI, FISIP UGM. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Potret Desa Siaga Noeltoko 2011. Timor Tengah Utara NTT. Prol Desa Noepesu 2011. Timor Tengah Utara NTT.
47