PAKET INFORMASI TERSELEKSI
PERPUSTAKAAN Seri: Manajemen Pengetahuan
S
alah satu alasan kenapa masih rendahnya jumlah dan mutu karya ilmiah Indonesia adalah karena kesulitan mendapatkan literatur ilmiah sebagai sumber informasi.Kesulitan mendapatkan literatur terjadi karena masih banyak pengguna informasi yang tidak tahu kemana harus mencari dan bagaimana cara mendapatkan literatur yang mereka butuhkan. Sebagai salah satu solusi dari permasalahan tersebut adalah diadakan layanan informasi berupa Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT). Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) adalah salah satu layanan informasi ilmiah yang disediakan bagi peminat sesuai dengan kebutuhan informasi untuk semua bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam berbagai topik yang dikemas dalam bentuk kumpulan artikel dan menggunakan sumber informasi dari berbagai jurnal ilmiah Indonesia. Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) ini bertujuan untuk memudahkan dan mempercepat akses informasi sesuai dengan kebutuhan informasi para pengguna yang dapat digunakan untuk keperluan pendidikan, penelitian, pelaksanaan pemerintahan, bisnis, dan kepentingan masyarakat umum lainnya. Sumber-sumber informasi yang tercakup dalam Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) adalah sumber-sumber informasi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan karena berasal dari artikel (full text) jurnal ilmiah Indonesia dilengkapi dengan cantuman bibliografi beserta abstrak.
DAFTAR ISI ASESMEN KEBUTUHAN PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS PENGETAHUAN DALAM PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DAERAH
Sumarno; Tohani, Entoh; Hiryanto Cakrawala Pendidikan, No. 2, 2013:220-230
Abstrak: Penelitian ini bertujuan menemukan kebutuhan pengembangan model evaluasi untuk mengembangkan manajemen berbasis pengetahuan pada pembangunan pendidikan daerah kabupaten/ kota. Asesmen kebutuhan ini dilakukan di lima kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta, menggunakan teknik survei dan FGD. Sumber informasi adalah jajaran Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Kesimpulan penelitian ini: (1) umumnya jajaran dinas pendidikan melaporkan bahwa kinerja dinas dalam manajemen berbasis pengetahuan masih pada posisi kurang dan cukup; (2) pada kasus tertentu asesmen diri cenderung overestimate sehingga pada aspek yang lebih sederhana justru lebih rendah dibandingkan dengan aspek yang rumit. Untuk itu, disarankan perlunya peningkatan pemahaman wawasan mengenai manajemen berbasis pengetahuan dan peningkatan kinerja dinas pendidikan kabupaten/ kota yang dimulai dengan bantuan model asesmen diri kelembagaan yang objektif.
i
Pilih/klik judul untuk melihat full text
DESAIN SISTEM MANAJEMEN PENGETAHUAN TUGAS AKHIR STUDI KASUS: PROGRAM STUDI ABC – MALANG
Diah Priharsari; Aditya Rachmadi; Yusi Tyroni; Farhan Nurfadeli Jurnal SISFO: Inspirasi Profesional Sistem Informasi, Vol. 5, No. 3, 2015: 242-247 Abstrak: Search engine yaitu kombinasi perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang disediakan oleh perusahaan tertentu melalui website yang telah ditentukan. Search engine mengumpulkan informasi dari web melalui program bot atau web crawler yang secara periodik menelusuri web. Proses pengambilan informasi dari websitewebsite yang ada ini disebut dengan “web scraping”. Web Scraping adalah suatu teknik penggalian informasi dari situs web. Web Scraping berkaitan erat dengan pengindeksan web, adapun cara mengembangkan teknik web scraping yaitu dengan cara pertama Pembuat program mempelajari dokumen HTML dari website yang akan diambil informasinya untuk di tag HTML tujuannya ialah untuk mengapit informasi yang diambil setelah itu pembuat program mempelajari teknik navigasi pada website yang akan diambil informasinya untuk ditirukan pada aplikasi web scraping yang akan kita buat. Perlu pula diperhatikan bahwa implementasi scraping pada tulisan ini hanya melibatkan mesin pencari yang gratis seperti: portal garuda, Indonesian scientific journal database (ISJD), google scholar.
DAFTAR ISI GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA TINGKAT I PRODI D III KEPERAWATAN TENTANG MANAJEMEN STRES DI SEKOLAH TINGGI ILMU KEHATAN (STIKES) PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
Probowo, Anis Profesi: Jurnal Kesehatan Profesional Islami, Vol 11, 2014: 8-11 Abstrak: Latar Belakang. Data dari Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Jawa Tengah tahun 2006 terdapat penyandang masalah kesejahteraan sosial tersebar dalam 27 jenis, 608.000 orang mengalami stres. Studi pendahuluan yang dilakukan pada mahasiswa semester II pada tanggal 15 November 2012, terhadap 10 mahasiswa di dapatkan hasil 2 diantara 10 mahasiswa tidak mengetahui tentang manajemen stres. Tujuan. Mengetahui Gambaran Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kelas 1 Program Studi D III Keperawatan Tentang Manajemen Stres di STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta. Metode Penelitian. Penelitian ini menggunakan studi penelitian deskriptif yaitu statistik yang berfungsi untuk memberi gambaran terhadap obyek yang diteliti melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya, tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum. Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan cross sectional yaitu dengan cara pengambilan sampel sesaat dalam waktu yang bersamaan dan pengumpulan data yang dilakukan secara bersama-sama sekaligus. Hasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (50%) responden memiliki tingkat pengetahuan yang cukup. Angka mayoritas secara deskriptif dapat dijadikan sebagai dasar bahwa secara umum pengetahuan para mahasiswa kelas I Prodi D III Keperawatan STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta berada pada tingkat sedang. Hasil penelitian bahkan menunjukkan bahwa meskipun ada beberapa mahasiswa yang memiliki tingkat pengetahuan baik namun relatif sedikit (14,8%). Jumlah mahasiswa ini hanya separuh dari mereka yang memiliki tingkat pengetahuan
kurang (35,2%). Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian masih cukup banyak mahasiswa yang perlu meningkatkan pengetahuannya tentang manajemen stress.
DAFTAR ISI HAKEKAT MANUSIA DALAM KERANGKA MANAJEMEN PENGETAHUAN DAN ORGANISASI BELAJAR
Tjakraatmadja, Jann Hidajat Jurnal Manajemen Teknologi, Vol 3, No. 1, 2004: 1-26 Abstrak: Belajar dan pengetahuan telah eksis sejak manusia berada. Namun, manfaat pengetahuan bagi dunia ekonomi dan sosial, baru dipahami pada akhir abad 20 ini. Ini terjadi karena fenomena belajar dan karateristik pengetahuan yang bersifat virtual, agak sulit untuk dipahami dan dimanfaatkan bagi aktivitas ekonomi, walaupun manfaatnya dapat dirasakan. Era pengetahuan makin memunculkan pentingnya pengetahuan bagi kesejahteraan manusia. Perusahaan-perusahaan kelas dunia, telah menunjukkan peran dan fungsi pengetahuan sebagai modal fisik yang dimilikinya mampu menciptakan nilai tambah bisnis, kekayaan bagi pemilik serta kesejahteraan bagi karyawan dan masyarakat. Pengetahuan telah menjadi aset utama untuk membangun kesejahteraan ekonomi. Organisasi belajar dan manajemen pengetahuan pada hakekatnya adalah upaya untuk revitalisasi hakekat dan kedudukan manusia (Human Center Design) dalam organisasi, sehingga terjadi proses transformasi seluruh potensi individual menjadi modal maya organisasi, untuk menghasilkan organisasi cerdas. Organisasi cerdas hanya akan tercapai jika kita bisa mendudukan manusia yang memiliki kesadaran akan nilai-nilai kefilsafatan, keindahan dan keilmuan yang merupakan lambing dari moralitas kehidupan. Disamping itu, human akan mampu mengambil jarak antara dirinya dengan dirinya sendiri, serta dirinya dengan sesuatu yang berada diluar dirinya. Kesadaran akan jarak ini membuat manusia mampu melihat dirinya maupun keadaan di luar dirinya, sehingga ia akan mampu berkembang menjadi manusia yang intelek dan bermoral. Manusia seperti ini akan memiliki potensi dirinya, sehingga ia akan mampu berkembang menjadi manusia yang intelek dan bermoral. Manusia seperti ini akan
memiliki potensi yang sangat hebat dan tidak terbatas. Mereka akan menjadi bibit unggul, karena memiliki kompetensi intelektual, potensi etika dan potensi social yang sangat dibutuhkan untuk membangun modal maya organisasi.
DAFTAR ISI KAJIAN ATAS KETERKAITAN ANTARA KONDISI BUDAYA ORGANISASIONAL DAN MANAJEMEN PENGETAHUAN DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM RANGKA PENINGKATAN KINERJA
Ani Murwani Muhar JURIDIKTI: Jurnal Ilmiah Pendidikan Tinggi, Vol. 2, No. 1, 2008: 100-104 Abstrak: Penelitian ini dimotivasi adanya tuntutan peningkatan kualitas layanan sebagai konsekuensi dari penerapan otonomi daerah. Kompetensi yang harus dimiliki dapat ditingkatkan melalui berbagai macam cara yang di antaranya dengan memahami kultur yang ada dan model manajemen yang diterapkan seperti manajemen pengetahuan. Untuk itu, maka penelitian ini bertujuan: (1) Apakah kultur organisasi memiliki hubungan yang kuat dengan manajemen pengetahuan, dan (2) Apa tipe kultur organisasional yang secara signifikan mendukung kasuksesan penerapan manajemen pengetahuan. Populasi penelitian ini adalah pegawai Pemerintah Daerah Tingkat II di lingkungan Provinsi Sumatra Utara yaitu Pemkab Deli Serdang dan Pemko Medan. Penelitian ini menggunakan purposive sampling method dengan kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi responden meliputi (1) Telah bekerja minimal 1 tahun, (2) Telah bekerja minimal 1 tahun di unit kerja saat ini, dan (3) Minimal telah bergolongan IIIa. Untuk mendapatkan data penelitian, daftar pertanyaan disebarkan kepada seluruh responden dengan cara menghubungi para pimpinan unit karja secara langsung, dan oleh para pimpinan unit keria, daftar pertanyaan tersebut didistribusikan ke setiap pegawai. Pengujian hipotesis menggunakan alat analisis korelasi pearson product moment. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan: (1) Hipotesis pertama tidak dapat ditolak, yaitu terdapat hubungan signifikan antara kultur organisasi dan manajemen pengetahuan, (2) Hipotesis kedua tidak dapat ditolak, yaitu terdapat hubungan signifikan antara kultur organisasi bertipe kelompok dan manajemen
pengetahuan, (3) Hipotesis ketiga tidak dapat ditolak, yaitu terdapat hubungan signifikan antara kultur organisasi bertipe perkembangan dan manajemen pengetahuan, (4) Hipotesis keempat tidak dapat ditolak, yaitu terdapat hubungan signifikan antara kultur organisasi bertipe hirarki dan manajemen pengetahuan, dan (5) Hipotesis kelima ditolak, yaitu tidak terdapat hubungan signifikan antara kultur organisasi bertipe rasionalitas dan manajemen pengetahuan.
MANAJEMEN PEMBELAJARAN PENGETAHUAN ALAM PADA PELAKSANAAN MPMBS DI SMP N 1 KALASAN SLEMAN
Eniwati, Kristina Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Vol 8, No 1, 2006: 53-68 Abstrak: Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) yang dilaksanakan dalam tiga siklus dan difokuskan pada manajemen waktu dan lingkungan dalam pembelajaran Pengetahuan Alam yang memanfaatkan lingkungan sekolah untuk Materi Pokok Perubahan Bentuk Energi. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan cara pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan pengambilan kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, perencanakan penggunaan waktu dibagi (dirinci) untuk setiap kegiatan siswa yang berupa pengamatan, diskusi, dan presentasl Kedua, perencanaan waktu ditetapkan melalui pengarahan guru terhadap siswa tentang macam-macam kegiatan dan lamanya waktu untuk setiap kegiatan. Ketiga, perencanaan penggunaan lingkungan disesuaikan antara lingkungan yang ada dengan materi pelajarannya dan waktu yang tersedia. Keempat, perencanaan lingkungan juga ditetapkan melalui pengarahan guru terhadap siswa. Lingkungan perlu dibatasi jangkauan geografisnya.
DAFTAR ISI MANAJEMEN PENGETAHUAN (KNOWLEDGE MANAGEMENT) DAN PROSES PENCIPTAAN PENGETAHUAN Augury El Rayeb; Maimunah; Dhiana Aprianah CCIT Journal, Vol. 2, No. 2, 2009: 185-196
Abstrak: Era globalisasi yang ditunjang oleh inovasi juga ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Menyadari akan persaingan yang semakin berat, maka perlu ada perubahan paradigma yang bertumpu pada analisis bidang ilmu pengetahuan tertentu misalnya pohon industri, kemasan pengetahuan, metadatabase, data mining, serta pengembangan sumber daya manusia. Disinilah peran pendidikan dan knowledge sharing dikalangan karyawan menjadi amat penting dalam meningkatkan kemampuan manusia untuk berpikir secara logika yang akan menghasilkan suatu bentuk inovasi. Jadi inovasi merupakan suatu proses dari ide melalui penelitian dan pengembangan akan menghasilkan proses penciptaan pengetahuan yang baik.
MANAJEMEN PENGETAHUAN DAN DAYA SAING ORGANISASI: SEBUAH REVIEW ERA PERSAINGAN BERBASIS PENGETAHUAN
Anatan, Lina; Margaretha, Meily Jurnal Manajemen, Vol 7, No 1, 2007: 1-12
Abstract: This article discusses the impact of knowledge management to improve organizational competitiveness. As business enter knowledgebased economy era, organizations have to cope with challenges of technological sophistication and global competition, and the importance of knowledge as source of organizational competitive advantage. Employee began to experience work differently with a new array of rules, expectation, and condition of employment predicted on uncertainty and chaos. In order to respond these challenges, organizations as
business performer require the role of high quality and competence human resource to response the development and changes of business environment. The implementation of management and investment in human resource as one of competitive advantage sources are crucial. It may be due to human resource is subject or performer in the enterprise operational activity that use and manage other resources. To create knowledge for individual and to get more benefit from knowledge, knowledge has to be managed through knowledge management. Knowledge management defined as the process of managing knowledge. In other words, t is a structured coordination for managing knowledge effectively. Through knowledge management, organization will be able to implement organizational and self learning and to manage professional intellect.
MANAJEMEN PENGETAHUAN UNTUK KESELAMATAN PASIEN
Hartono; Rika Subarniati; Widodo J. Pudjirahardjo; FM. Judajana Indonesian Journal Of Clinical Pathology And Medical Laboratory, Vol. 20, No. 3, 2014: 253-259 Abstrak: -
DAFTAR ISI MANAJEMEN PENGETAHUAN UNTUK MENINGKATKAN MUTU SEKOLAH
PEKBIS: Jurnal Pendidikan Ekonomi Dan Bisnis, Vol. 4, No. 2, 2012: 85-94 Abstrak: Sekolah sebagai organisasi yang memiliki tujuan mengembangkan potensi diri peserta didik melalui proses pembelajaran, tentu sangat terkait dengan organisasi pembelajar dan bahkan menjadi hal yang sangat penting. Karena dalam organisasi pembelajar sangat berkepentingan dengan manajemen pengetahuan maka sekolah seharusnya menyelenggarakan manajemen pengetahuan agar potensi diri peserta didiknya dapat dikembangkan secara optimal dan bermanfaat bagi diri peserta didik, masyarakat, bangsa, dan negara, sehingga mutu sekolah dapat diakui masyarakat. Organisasi pembelajar dengan menerapkan manajemen pengetahuan akan sangat potensial untuk dapat membawa kemajuan organisasi sekolah. Penerapan manajemen pengetahuan di sekolah perlu dilakukan sebagai pelengkap dan pengintegrasian dari manajemen berbasis sekolah yang sekarang ini masih terpisah-pisah dalam masing-masing manajemen komponen sekolah. Adanya manajemen pengetahuan, informasi dan pengetahuan yang diperoleh dari masing-masing manajemen komponen sekolah dapat dihimpun, dibagikan, dan dimanfaatkan oleh seluruh individu sekolah. Bila sekolah dapat menerapkan manejemen pengetahuan, akan mendorong munculnya budaya knowledge sharing dan learning habit yang melibatkan seluruh personel di dalam sekolah, baik kepala sekolah itu sendiri, guru, maupun murid. Adanya budaya tersebut akan meningkatkan pengetahuan masing-masing yang kemudian akan menjadi pengetahuan orang lain bahkan organisasi, sehingga semua pihak menjadi lebih kompeten. Lebih kompetennya semua pihak pada akhirnya menjadikan mutu sekolah menjadi meningkat.
MANAJEMEN PENGETAHUAN UNTUK MENJAGA KEBERLANJUTAN PENERAPAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DI PEMERINTAH DAERAH
Ikbal Maulana Jurnal Penelitian Pers Dan Komunikasi Pembangunan, Vol. 14, No. 3, 2011: 249-264 Abstrak: -
ORIENTASI BERBASIS PADA MANAJEMEN PENGETAHUAN: IMBAS PADA PENINGKATAN KINERJA
Iin Mayasari; Diki Gita Purnama Journal Of Human Capital, Vol. 2, No. 2, 2010: 169-184 Abstrak: -
DAFTAR ISI PEMANFAATAN PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI BERBASIS MANAJEMEN PENGETAHUAN UNTUK MEMBENTUK SHARING CULTURE DI STIE IEU SURABAYA
Heru Wijayanto Aripradono Jurnal Teknologi Dan Manajemen Informatika, Vol. 6, No. 3, 2008: 464-475 Abstract: Knowledge is the fact or condition of knowing something with familiarity gained through experience or association. Knowledge may be recorded in an individual brain or stored in organizational processes, products, facilities, systems, and documents. In this era of globalization, appropriate adoption of Knowledge management is important for an organization, especially if they want to secure competitive advantage. Knowledge management is the process of transforming information and intellectual assets into enduring value. It connects people with the knowledge that they need to take action, when they need it. In the higher education sector, managing knowledge is considered key to achieving breakthrough competitive advantage. This paper presents a development of knowledge management systems in IEU (KISI) to build the sharing culture in STIE IEU Surabaya. I believe that if our concept about knowledge management is adopted in our institutions, it will yield more benefits to increase the quality of knowledge sharing. There are four activities in this knowledge management systems, using knowledge, finding knowledge, creating knowledge and packaging knowledge. In this process we convert from tacit knowledge into explicit knowledge, so the knowledge can transfer into the other by the knowledge management portal.
PENERAPAN MANAJEMEN PENGETAHUAN DI IM TELKOM: STRATEGI MENINGKATKAN KUALITAS TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
Citra Kusuma Dewi Jurnal Promark: Profesional Marketing & Bisnis, Akuntansi, Administrasi Dan Keuangan, Vol. 1, No. 3, 2012: 24-35 Abstrak: -
PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN STRATEGI IMPLEMENTASI TERHADAP KEBERHASILAN MANAJEMEN PENGETAHUAN DI PT TELKOM
Sutarman Jurnal Ilmu Administrasi, Vol. 4, No. 2, 2007: 128-158 Abstrak: -
DAFTAR ISI PENGARUH KECANGGIHAN TEKNOLOGI INFORMASI, PARTISIPASI MANAJEMEN, DAN PENGETAHUAN MANAJER AKUNTANSI PADA EFEKTIVITAS SISTEM INFORMASI AKUNTANSI
Ratnaningsih, Kadek Indah; Suaryana, I Gusti Ngurah Agung E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana, Vol.6, No.1, 2014: 1-16 Abstrak: Efektivitas sistem informasi akuntansi merupakan suatu keberhasilan yang dicapai oleh sistem informasi akuntansi dalam menghasilkan informasi secara tepat waktu, akurat, dan dapat dipercaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kecanggihan teknologi informasi, partisipasi manajemen, dan pengetahuan manajer akuntansi terhadap efektivitas sistem informasi akuntansi. Penelitian ini dilakukan pada hotel berbintang di Kabupaten Badung. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling sebanyak 44 manajer akuntansi pada hotel bintang tiga dan empat. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Hasil Penelitian menunjukkan kecanggihan teknologi informasi, partisipasi manajemen, serta pengetahuan manajer akuntansi berpengaruh positif dan signifikan terhadap efektivitas sistem informasi akuntansi (SIA).
PENGEMBANGAN SISTEM MANAJEMEN PENGETAHUAN UNTUK KERANGKA KERJA SISTEM INFORMASI AKUNTANSI
Dana Indra Sensuse; Aryanto Paradigma: Jurnal Komputer Dan Informatika Akademi Bina Sarana Informatika, Vol. 12, No. 1, 2010: 24-32 Abstract: Technological
developments.
especially
the
Internet, has resulted changes in transaction activities and business processes of an organization. Activities of transactions that required buyers and sellers meeting. at a certain place and time can now be done without any limitation of space and time. Buyers are able to view, order products and make payments whenever and wherever she/he is. The seller can receive orders, check product availability, order packing, ship goods, and receive payment from a particular place without the need for face to face directly with the buyer. The transaction activities can be done if they are supported by a business environment, called the Electronic Network Business Environment (ENBE). In addition, the Electronic Network Business Environment (ENBE) also provides changes in the activities of the company s financial reporting. The field of accounting must be able to adjust to these changes. The Financial Accounting Standards (SAK) issued by IAI has gradually adjusted towards a changing business processes. Knowledge in the field of Accounting Information System design, including hardware, software, brain ware, data and procedure are also experiencing change and development. This study aims to create a framework for designing accounting information systems in the era of the Electronic Networking Business Environment (ENBE) that can be used as a reference / guideline for developing a system. The KMS Development serves as a basis to create the framework for accounting information systems. A number of the KMS methods, such as capturing and sharing knowledge, are becoming a major discussion in this study. Data collection methods conducted in this study include qualitative methods, i.e., interview and action research. It is expected that this study is able to provide a good impact to people (especially accountants, programmers), process (efficiency and effectiveness), product quality, and ultimately organizational performance can be improved as a whole.
DAFTAR ISI PENGETAHUAN, ASUPAN, STATUS GIZI SISWA DAN MANAJEMEN PENYELENGGARAAN MAKANAN DI SMA NEGERI 2 TINGGIMONCONG KABUPATEN GOWA PROVINSI SULAWESI SELATAN
Asrina; Teti; Puspitasari, Apni; Tanapa, Carlos Lolo Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol 2, No 2, 2013: 90-98 Abstract: Implementation of school meals is one alternative that can be done to overcome the problems associated with food at school-age children. This study aimed to determine how the knowledge, intake, nutritional status, and the management of food at Tinggi moncongâs SMAN 2. Type of researches were descriptive and qualitative survey. Survey conducted qualitative in-depth interviews to determine the management of the food. Samples totaling were 97 people, drawn by simple random sampling. The data was collected primary data collection in the form of a questionnaire concerning the knowledge, intake, and the management of food, as well as secondary data from a general school and the number of students of class X-XI were analyzed by univariate. The results showed that the nutritional status (BMI for age) of respondents categorized as normal / good (89.7%), and nutritional status of very thin (1.0%). Respondents with amounted to sufficient intake of energy 71.1%, higher intake of protein 92.8%, enough intake of fat 55.7%, and adequate intake of KH 91.8%. For quality appearance and taste of the food were good. For the satisfaction of the student, most students are satisfied only on the lunch menu, while for the taste, satisfied students only to the smell of food. The cost analysis did not correspond to the calculation of the cost analysis conducted by researchers. However, the nutritional value of food is in compliance with the existing standard rates.
PENGETAHUAN, PERSEPSI DAN PELAKSANAAN MANAJEMEN RISIKO KLINIS DI LIMA RUMAH SAKIT DI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA DAN BANTEN TAHUN 2005 Daud, Arjaty Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 1, 2007: 11-19 Abstrak: -
PENGUKURAN PERFORMANSI BERDASARKAN MBCFPE PADA KATEGORI PROSES PENGUKURAN, ANALISIS DAN MANAJEMEN PENGETAHUAN SERTA KATEGORI HASIL ITEM KINERJA ANGGARAN, KEUANGAN DAN PASAR DI PERGURUAN TINGGI X
Lisnawati, Devi; Harsono, Ambar; Arijanto, Sugih Reka Integra, Vol. 1, No. 4, 2014: 57-68 Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah mengukur kinerja salah satu kategori dari 6 kategori Malcolm Baldrige Criteria for performance Excellence (MBCfPE) pada Perguruan Tinggi X agar mengetahui level kinerja secara menyeluruh, untuk mengingkatkan daya saing. Tahapan pengukuran dilakukan dengan membuat dokumen aplikasi, review proses dengan ADLI dan membuat review hasil dengan LeTCI guna memperoleh strength dan OFI. Kemudian membuat scoring untuk kedua review dan akhirnya didapatkan score untuk kategori yang diteliti sebesar 33.75 poin dari 90 poin dan score dari seluruh kategori adalah sebesar 350 poin dari 1000 poin, sehingga kinerja perguruan tinggi X berada pada level early results.
DAFTAR ISI PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN PENERAPAN MANAJEMEN TERPADU BAYI MUDA OLEH BIDAN DESA DI KABUPATEN TEMANGGUNG TAHUN 2012
Artawan, wayan gede; Djuwita, Ratna Archive of Community Health (Arc.Com.Health), Vol. 1, No. 2, 2012: 98-108 Abstrak: Rendahnya penerapan manajemen terpadu bayi muda (MTBM) oleh bidan di desa (53,6%) merupakan hambatan utama untuk menurunkan angka kematian neonatal (AKN) dan angkakematian bayi. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan penerapan MTBMoleh bidan setelah menerima pelatihan dan bimbingan teknis (intervensi).Penelitian operasional ini merupakan penelitian non eksperimental dengan desain pretest-di 4 dari 24 pusat kesehatan masyarakat yang dipilih secara acak.Penelitian ini mendapatkan bahwa intervensi dapat meningkatkan pengetahuan bidan danpenerapan MTBM. Perlu pelatihan dan sosialisasi terus menerus untuk mendorong para bidanuntuk menerapkan MTBM secara berkelanjutan.
PENYULUHAN MENINGKATKAN PENGETAHUAN KEPALA DESA DAN BPD TENTANG MANAJEMEN PENGELOLAAN DAN PENGAWASAN KEUANGAN DESA DI KECAMATAN NATAR KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
Hadiawan, Agus; Syafarudin, Syafarudin; Dwijono, AmantotoWarganegara; Arizka Prosiding Pengabdian FISIP Unila, 2012 Abstrak: -
PERAN MANAJEMEN PENGETAHUAN DALAM PENGELOLAAN PERGURUAN TINGGI
Fitri Abdillah; Santi Palupi Pariwisata: Jurnal Ilmiah, Vol. 12, No. 1, 2007: 21-33 Abstract : Continuity of organizational life represent vital issue which faced by organization. Among three organizational asset which owned that physical, monetary and human being, human resources represent all important asset to take care of the continuity of. To win emulation, company very base on its ability improve its intellectual ability and also how to be knowledge had by people in mentioned organization can become company property. This concept of knowledge management. As an organization hence college have central role in moving forward knowledge. There by if knowledge management can be executed at college organization hence will be yielded also knowledge products which is on its innings will cause the continuity of life college of itself and give preeminent contribution at nation.
PERAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM PROSES PENCIPTAAN PENGETAHUAN SEBAGAI INTANGIBLE ASSET DI PERUSAHAAN
Dewi, Utari Jurnal Penelitian Inovasi, 2003: 65-77
Abstract : In an era of globalization, most companies face mounting pressure from their boards and from capital markets to add value. Although executives have become shopisticated in their understanding of what it to achieve competitive adventage, lntengible asset will be basis for company to get it, through creating knowledge. This effort has focused on employee performance as a knowledge creator, and sustainability of learning process.
DAFTAR ISI PERANCANGAN MODEL MANAJEMEN PENGETAHUAN MENGGUNAKAN MODEL NONAKA TAKEUCHI (STUDI KASUS ADMINISTRASI AKADEMIK)
Tan, Robby Jurnal Informatika, Vol. 6, No. 1, 2010: 53-66
Abstract : Education quality is one of the main factors in executing education process. This value can be measured from the quality of the educators, curriculum, books, and many more. On the other hand, there is other determining factor that is equally important, which is the service of the place of education. In order to create good service, there should be a standard of service and equality of information from all the stakeholders. With the increase of the knowledge and information, the service should be faster and the decision process should be more effective. Meanwhile, not all of the knowledge and information inside an organization is in explicit forms, and still many tacit knowledge and information. Author proposes the design model of knowledge management so that the tacit knowledges can be collected andtransform into explicit forms. The design model will use the model from Nonaka Takeuchi, in which the creation of knowledge is sourced from each individuals and then is transmitted and externalized, collected and transformed into a new knowledge.
PERBANDINGAN PENGETAHUAN TENTANG MANAJEMEN DIABETES MELITUS PADA MAHASISWA TAHAP SARJANA DAN PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER (P3D) FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO
Rumbino, Agustinus Rihando; Pandelaki, Karel; Langi, Yuanita A e-CliniC, Vol. 2, No. 2, 2014
Abstrak: Diabetes Melitus (DM) merupakan masalah kesehatan yang angka kejadiannya meningkat secara global. Dokter umum sebagai lini pertama dalam penanganan DM dituntut untuk memiliki pengetahuan yang baik tentang manajemennya. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado yang dididik untuk menjadi dokter haruslah memiliki pemahaman yang baik tentang manajemen Diabetes Melitus. Permasalahannya adalah bagaimana gambaran pengetahuan mengenai manajemen DM pada mahasiswa tahap sarjana dan tahap program pendidikan profesi dokter (P3D). Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat pengetahuan mengenai manajemen DM pada mahasiswa tahap sarjana dan tahap P3D Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Metode: Penelitian ini bersifat analitik deskriptif dengan pendekatan kuantitatif melibatkan 80 responden yang menjawab kuesioner pengetahuan mengenai manajemen DM. Hasil: Dari 40 responden mahasiswa tahap sarjana 1 responden (2,5%) termasuk dalam kategori pengetahuan baik, 7 responden (17,5%) termasuk kategori sedang dan 32 reponden (80%) termasuk kategori rendah. Pada 40 responden mahasiswa tahap profesi (P3D) diketahui 3 responden (7,5%) termasuk kategori pengetahuan baik, 25 responden (62,5%) termasuk kategori sedang dan 12 responden (30%) adalah kategori pengetahuan rendah. Simpulan: Tingkat pengetahuan mahasiswa tahap sarjana mengenai manajemen DM masih rendah. Tingkat pengetahuan mahasiswa P3D mengenai manajemen DM masih tergolong sedang. Tingkat pengetahuan manajemen DM mahasiswa P3D lebih baik dibanding mahasiswa tahap sarjana.
DAFTAR ISI RANCANGAN MODEL MANAJEMEN PENGETAHUAN UNTUK PERENCANAAN POLA TANAM EFEKTIF TANAMAN PANGAN BERBASIS SPATIAL MINING
Sediyono, Eko; Hartomo, Kristoko Dwi; Yulianto, Sri Jurnal Buana Informatika, Vol. 3, No. 2, 2012: 119-130 Abstrak: Paper ini membahas tentang rancangan model manajemen pengetahuan (knowledge management) untuk perencanaan pola tanam efektif tanaman pangan berbasis pencarian data spasial (spatial mining). Aplikasi manajemen pengetahuan yang dibangun akan menjadi portal bagi pengetahuan-pengetahuan mengenai pranata mangsa tradisional yang diketahui oleh masyarakat diberbagai daerah di Jawa dan Bali, dilengkapi dengan lokasi masingmasing pengetahun yang dipetakan dalam peta digital. Selain itu sistem yang dibangun juga menggabungkan data hasil penelitian terbaru mengenai pranata mangsa terbarukan dan data pola tanam tanaman pangan di berbagai daerah di Jawa dan Bali. Rancangan model diuji coba di daerah Kabupaten Boyolali. Selain memberikan pengetahuan yang bermanfaat secara praktis bagi petani, sistem ini dapat menumbuhkan budaya penyebaran pengetahuan (Knowledge Sharing) diantara para petani dan petugas dinas pertanian di berbagai daerah melalui Web.
STUDI SINERGI PENGEMBANGAN MANAJEMEN PENGETAHUAN DAN SOFT SKILLS BERDASARKAN LATAR BELAKANG SOSIAL EKONOMI
Yosephus Endra Rahmadi; Benedictus K. Budiprasetyo Journal Of Human Capital Bakrie School Of Management, Vol. 1, No. 3, 2009: 259-276 Abstrak: -
ASESMEN KEBUTUHAN PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS PENGETAHUAN DALAM PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DAERAH Sumarno, Entoh Tohani, dan Hiryanto FIP Universitas Negeri Yogyakarta email:
[email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan menemukan kebutuhan pengembangan model evaluasi untuk mengembangkan manajemen berbasis pengetahuan pada pembangunan pendidikan daerah kabupaten/ kota. Asesmen kebutuhan ini dilakukan di lima kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta, menggunakan teknik survei dan FGD. Sumber informasi adalah jajaran Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Kesimpulan penelitian ini: (1) umumnya jajaran dinas pendidikan melaporkan bahwa kinerja dinas dalam manajemen berbasis pengetahuan masih pada posisi kurang dan cukup; (2) pada kasus tertentu asesmen diri cenderung overestimate sehingga pada aspek yang lebih sederhana justru lebih rendah dibandingkan dengan aspek yang rumit. Untuk itu, disarankan perlunya peningkatan pemahaman wawasan mengenai manajemen berbasis pengetahuan dan peningkatan kinerja dinas pendidikan kabupaten/kota yang dimulai dengan bantuan model asesmen diri kelembagaan yang objektif. Kata Kunci: manajemen berbasis pengetahuan, pembangunan pendidikan daerah NEEDS ASSESSMENT ON THE IMPLEMENTATION OF THE KNOWLEDGE-BASED MANAGEMENT IN THE DISTRICT EDUCATION DEVELOPMENT Abstract: This study aimed to assess the needs for establishing an evaluation model on knowledgebased management (KBM) in the district education development. This needs assessment was carried out in five districts in the Special Region of Yogyakarta, using a survey method, and focused group discussion. This study concluded that: (1) District Education Office (DEO) performances were at the poor and fair levels. (2) To a certain extent, the self-assessment tended to overestimate so that some simple aspects tended to be lower than the complicated ones. Therefore, it is strongly recommended: (1) to improve the DEO officials’ understanding on KBM; and (2) to strengthen the DEO performance in local education development, by providing a better and objective institutional assessment model. . Keywords: knowledge-based management, district education development
PENDAHULUAN Disparitas pembangunan pendidikan merupakan persoalan penting di dalam pembangunan pendidikan daerah sebagai bagian dari pembangunan nasional khusus sektor pendidikan. Untuk mengurangi disparitas antardaerah tersebut perlu dicari akar permasalahannya, dan salah satunya adalah minimalnya peran pengetahuan dan informasi sebagai landasan manajemen pembangunan pendidikan. Dalam suatu knowledege based society yang kaya dengan pembaharuan dan kearifan, inovasi, dan wisdom merupakan sebuah keniscayaan untuk menerapkan dan mengembangkan manajemen berbasis pe-
ngetahuan. Untuk itu, perlu dimulai dengan melakukan asesmen kebutuhan sehingga ditemukan unsur yang paling urgen untuk segera ditindaklanjuti. Penelitian ini difokuskan pada masalah berikut. Bagaimanakah kondisi manajemen pengetahuan dan informasi yang ada dalam penyelenggaraan, pengelolaan, dan pelaksanaan pembangunan pendidikan di daerah? Sesuai dengan rumusan masalah tersebut tujuan penelitian pendahuluan ini adalah melakukan identifikasi dan asesmen kebutuhan terkait dengan penerapan manajemen berbasis pengetahuan dalam pembangunan pendidikan daerah.
220
221 Penerapan sistem informasi manajemen (SIM) dalam pendidikan sudah lama dikenal sebagai penunjang manajemen pendidikan, tetapi belum juga mapan secara kelembagaan. Pentingnya informasi dipicu oleh tulisan futurolog A. Tofler lewat bukunya the Power Shift (1990) beberapa dekade yang lampau, yang menjelaskan bahwa penguasaan informasi merupakan kunci sukses di dunia yang makin kompetitif. Perkembangan manajemen kemudian menunjukkan bahwa penguasaan informasi saja belum cukup, tetapi juga perlu dikuasai sebagai pengetahuan (knowledge) dengan pengetahuan ini dimungkinkan pembuatan keputusan lebih arif (wise). Berkembanglah knowledge based economy dan knowledge based society. Semangat untuk mewujudkan ekonomi berbasis pengetahuan dan masyarakat berbasis pengetahuan tersebut telah pula menjiwai masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI, 2011). Cita-cita nasional untuk mewujudkan masyarakat inovatif yang arif, menumbuhkan keniscayaan untuk menerapkan knowledge based society, yang artinya manajemen konvensional saja tidak cukup karena juga diperlukan knowledge based management (Firestone & McElroy, 2005). Pada dasarnya, Gambar 1 menunjukkan bahwa di dalam manajemen berbasis pengetahuan ada tiga level lingkungan, yakni sebagai berikut. Business processing environment: lingkungan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi, yang kalau dalam penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah daerah adalah menyediakan pelayanan pendidikan untuk semua, yang berkualitas, paling tidak sesuai dengan standar pelayanan minimal pendidikan. Knowledge processing environment: pelaksanaan tugas dan fungsi kelembagaan yang hanya terjadi secara rutin, tidak akan memadai di dalam masyarakat yang semakin dinamis dan kompetitif. Oleh karena itu, organisasi birokrasi pendidikan akan dapat mengimbangi tuntutan atau bahkan mewarnai ma-
Cakrawala Pendidikan, Juni 2013, Th. XXXII, No. 2
syarakatnya apabila juga selalu meningkatkan kinerjanya. Di sinilah diperlukan lingkungan kelembagaan yang senantiasa mencari dan menghasilkan pengetahuan baru (knowledge production) dan memadukannya (knowledge integration) dengan mekanisme layanan sebagai tanggungjawab pokoknya. Experiential learning tidak hanya berlaku pada individu yang belajar, melainkan juga pada satuan organisasi yang juga perlu dapat belajar dari pengalaman. Knowledge management environment: pengetahuan tidak diperoleh secara tidak sengaja, akan tetapi direncanakan, diimplementasikan, dan dikendalikan secara efektif. Organisasi pendidikan perlu mengelola berbagai informasi yang dihasilkan secara terencana untuk dijadikan masukan dalam pengambilan keputusan dalam rangka pengembangan kinerja pendidikan. Lingkungan yang demikian memungkinkan dihasilkan kebijakan dan program pendidikan yang inovatif, budaya belajar berkembang, dan kebermanfaatan insfrastruktur pendidikan. Pendekatan R&D atau riset dan pengembangan, merupakan salah satu perwujudan nyata dari lingkungan manajemen pengetahuan. Penyelesaian masalah tidak hanya dilakukan secara intuitif, melainkan dicari solusinya melalui perintisan model atau prototip, yang secara konseptual dapat dipertanggungkawabkan, dan secara emperik sudah teruji, dengan kemasan yang telah melalui penyempurnaan berulang-ulang. Hubungan antara business processing environment dan knowledge processing environment dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 memvisualkan posisi dan proses dihasilkannya pengetahuan baru serta upaya untuk menerapkannya di dalam pelaksanaan fungsi pokok organisasi yang sudah menerapkan manajemen berbasis pengetahuan. Berdasarkan konsep tersebut aspek-aspek kunci yang perlu diketahui di dalam asesmen awal dapat dituangkan ke dalam Gambar 3.
222
Gambar 1. Konsep Dasar Manajemen Berbasis Pengetahuan (Sumber: Firestone and McElroy, 2005) The Knowladge Life Sycle (KLC)
Gambar 2. Pemrosesan Pengetahuan dalam Manajemen Berbasis Pengetahuan (Sumber: Firestone and McElroy, 2005) Asesmen Kebutuhan Penerapan Manajemen Berbasis Pengetahuan dalam Pembangunan Pendidikan Daerah
223 Konseptualisasi Penyiapan Instrumen untuk Mendeskripsikan Kinerja Pendidikan
Lingkungan Proses Penyelenggaraan/ Pengelolaan Layanan Pendidikan Pemanfaatan Pengetahuan Bila cocok, konsekuensi Bila tidak cocok, mengidentifikasi problem
Lingkungan Pemrosesan Pengetahuan/ Informasi Menghasilkan Informasi/Pengetahuan 1. Problem Kebutuhan 2. belajar memenuhi kebutuhan tersebut 3. Pengumpulan pengetahuan/informasi 4. Perumusan pengetahuan 5. Penilaian terhadap hasil perumusan 6. Tindak lanjut penilaian
Lingkungan Manajemen Pengetahuan/Informasi 1. Strategi menghasilkan dan mengintegrasikan pengetrahuan 2. Kebijakan dan aturan 3. Infrastruktur 4. Program Pelatihan 5. Program Inovasi
Mengintegrasikan Informasi/Pengetahuan 1. Penyebaran informasi/pengetahuan 2. Pencarian peluang untuk menerapkan pengetahuan 3. Pendidikan/pelatihan 4. Berbagai informasi Diperolehnya Perangkat Informasi/Pengetahuan Baru
Gambar 3. Kerangka Pikir untuk Asesmen Kebutuhan METODE Survei asesmen (Valadez & Bamberger, 1994) ini dilakukan di semua kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu: Kota Yogyakarta, dan empat kabupaten yakni Bantul, Sleman, Kulon-Progo, dan Gunung Kidul. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan angket tertutup model rating scale, dilengkapi dengan pertanyaan terbuka. Instrumen tersebut dirancang sesuai dengan kerangka konsep bahwa manajemen berbasis pengetahuan itu mencakup tiga level lingkungan, yakni lingkungan pelaksanaan tugas utama, lingkungan pemrosesan pengetahuan yang mencakup menghasilkan dan memanfaatkan pengetahuan untuk meningkatkan kinerja, dan lingkungan manajemen pengetahuan di mana pengetahuan itu dikembangkan secara terencana. Dengan rancangan instrumen tersebut akan diperoleh gambaran profil dari tiga level lingkunagn tersebut dan dari profil itu kemudian dapat diidentifikasikan kebutuhan kelembagaan agar dapat diwujudkan manajemen berbasis pengetahuan. Cakrawala Pendidikan, Juni 2013, Th. XXXII, No. 2
Di samping pengisian angket juga dilakukan FGD untuk melengkapi, memperoleh klarifikasi, dan sekaligus triangulasi atas jawaban tertulis di dalam angket. Sebagai sumber informasi adalah jajaran dinas pendidikan, dan FGD dilakukan di masing-masing kantor dinas pendidikan kabupaten/kota sehingga sangat intensif karena diikuti oleh sekitar sepuluh orang. Analisis data kuantitatif dilakukan dengan statistik deskriptif tabulasi silang dan ditampilkan berupa grafik, sedangkan untuk data kualitatif dilakukan dengan klasifikasi sebagai cara untuk menemukan makna. Sesuai dengan rancangn semula, data yang diperoleh dari FGD bermanfaat ganda. Dalam hal tertentu data tersebut memperjelas maksud dari informasi yang dituangkan di dalam angket; dan dalam hal lain untuk validasi kebenaran dari isian yang hanya secara ringkas dituliskan ke dalam angket. Di dalam bagian berikut dapat ditemukan bahwa ada persepsi diri yang agak terlalu tinggi (over estimate) dan ketahuan setelah dilakukan triangulasi di dalam FGD.
224 HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum disajikan profil di setiap kabupaten/kota terlebih dulu ditampilkan profil lintas kabupaten/kota atau gambaran agregatif keseluruhan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini akan sangat bermanfaat untuk kepentingan perumusan implikasi dan rekomendasi karena lokus problem dan otoritas dapat berada di tingkat provinsi, dan berada di masing-masing kabupaten/kota. Agregasi Lintas Kabupaten/Kota Daerah Istimewa Yogyakarta Survei ini pada dasarnya mengidentifikasi tiga level lingkungan, yakni lingkungan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi, lingkungan pemrosesan pengetahuan, dan lingkungan manajemen pengetahuan. Data agregasi lintas kabupaten/kota menunjukkan bahwa dari sekor maksimal 5, seberapa pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Dinas Pendidikan sebagai penyelenggara pemerintahan dalam bidang pendidikan baru mencapai 2,28; separoh dari kondisi ideal. Sementara itu, pemrosesan pengetahuan di lingkungan Dinas Pendidikan baru mencapai 2,87; masih juga pada kondisi kurang karena skor maksimum 5. Adapun dalam hal manajemen pengetahuan di lingkungan Dinas Pendidikan juga baru 3,34 atau pada posisi cukup karena sekor maksimum juga 5.
Gambar 4. Agregasi Lintas Kabupaten/Kota Lingkungan Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pendidikan Ada tiga aspek yang dilihat dan semua di bawah 3,0, artinya belum pada posisi cukup. Sumber acuan pelaksanaan tugas sudah pada kondisi cukup, mengedepankan kepatuhan
pada SOP, agak kurang peduli bahwa yang terjadi rutinitas, serta pemanfaatan data/informasi bahkan pengetahuan dilaporkan pada kondisi cukup. Dalam hal belajar dari keberhasilan dan juga dari kasus kegagalan masih dalam posisi kurang. Hal ini berarti bahwa secara kelembagaan, masih kurang kapabel untuk belajar dari pengalaman. A. Pelaksanaan Tugas Pokok 2.95625
Sumber Acuan
1.83541
2.052
Tindaklanjut Keberhasilan
Tindaklanjut Kegagalan
Gambar 5. Lingkungan Pelaksanaan Tupoksi DIY Lingkungan Pemrosesan Pengetahuan Lingkungan pemrosesan pengetahuan yang mencakup menghasilkan dan mengintegrasikan pengetahuan ke dalam pelaksanaan tugas pokok, masih pada posisi cukup atau sekitar 3,0 dari skala 5. Bahkan, untuk fungsi menghimpun pengetahuan masih pada posisi “kurang” (1,7). Demikian pula pengetahuan tentang indikator kinerja manfaat belum sampai pada angka cukup, artinya belum hidup konsep efikasi bahwa program berhasil menyelesaikan masalah. Satu-satunya yang lebih dari cukup adalah fungsi pemeliharaan informasi (3,46), tetapi tidak pada pemanfaatan informasi (2,8). Lingkungan Manajemen Pengetahuan Kondisi pada lingkungan ketiga ini yang nampaknya lebih diwarnai oleh persepsi mengenai kondisi yang diharapkan atau kondisi yang seharusnya. Hal ini ditandai dengan meskipun dilaporkan bahwa fungsi-fungsi perencanaan pengetahuan, dibuatnya kebijakan mengenai pengetahuan, pengadaan sarana, bahkan pelatihan; nyatanya belum sampai dengan dilahirkannya berbagai program inovatif yang baru mencapai
Asesmen Kebutuhan Penerapan Manajemen Berbasis Pengetahuan dalam Pembangunan Pendidikan Daerah
225 angka 2,5 dari skala 5. Kalau benar bahwa telah hidup fungsi manajemen pengetahuan yang efektif tentu diikuti dengan lahirnya program-program inovatif. Sering dikatakan bahwa sebenarnya ada ide inovasi, akan tetapi terkendala oleh pendanaan, artinya belum mampu menghasilkan pemikiran program inovatif itu berikut dengan bagaimana pendanaannya.
Kota Yogyakarta Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta menampilkan data yang sejalan dengan temuan agregatif lintas kabupaten/kota, dimana fungsi pelaksanaan tugas rutin dirasa masih kurang (2,5). Meskipun demikian, dalam hal pemrosesan pengetahuan dilaporkan cukup (3,04), dan manajemen pengetahuan dilaporkan nyaris baik (3,83); semua dalam skala maksimum 5. Namun, Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta menjelaskan bahwa ada beberapa program inovatif misalnya: pendaftaran siswa baru dengan sistem online, ada BOSDA yang menjadi dasar pelarangan sekolah untuk menarik biaya, ada program afirmasi untuk anak-anak dari keluarga miskin (Jaminan Pendidikan Daerah, kuota 20% meskipun belakangan menimbulkan masalah lain.
Gambar 6. Lingkungan Proses Pengetahuan -DIY
Gambar 9. Profil MBP Rinci – Kota Yogyakarta
Gambar 7. Lingkungan Manajemen Pengetahuan – DIY Agregasi Masing-Masing Kabupaten/Kota Setelah disajikan temuan lintas dinas pendidikan kabupaten/kota, di dalam bagian berikut disajikan profil dari masing-masing kabupaten/ kota di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Cakrawala Pendidikan, Juni 2013, Th. XXXII, No. 2
Grafik yang lebih rinci tersebut menampilkan bahwa: satu dari tiga indikator unsur A (pelaksanaan tugas pokok) pada kondisi cukup; pada komponen B (pemrosesan pengetahuan) tujuh dari sembilan unsur berada pada kondisi cukup; dari lima unsur C (manajemen pengetahuan) hampir semua sudah dalam posisi baik. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa di wilayah kota ini memang muncul programprogram teobosan. Kabupaten Sleman Profil Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman secara global tampak sangat percaya diri
226 untuk mengatakan bahwa dalam hal pemrosesan pengetahuan (B) dan manajemen pengetahuan (C) sudah pada posisi cukup baik (3,8) dari skala 5; akan tetapi dalam hal pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (A) masih belum mencapai kondisi cukup (2,89). Seharusnya kalau memang fungsi B dan apalgi C bagus, tentunya fungsi A akan baik pula.
Gambar 10. Profil MBP Total – Kabupaten Sleman
himpun pengetahuan, tetapi dilaporkan bahwa sudah cukup baik. Sleman juga percaya bahwa dalam hal manajemen pengetahuan sudah baik. Meskipun tidak dapat ditunjukkan bahwa sudah menghasilkan program-program inovatif. Di dalam FGD dilaporkan bahwa ide baru seringkali terkendala oleh keterbatasan pembiayaan program. Kabupaten Gunung Kidul Profil global Kabupaten Gunung Kidul menunjukkan bahwa dalam hal pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (A) masih dalam posisi kurang (2,1). Sementara itu, dalam hal pemrosesan pengetahuan (B) masih belum mencapai cukup (2,7), tetapi dalam hal manajemen pengetahuan (C) sudah cukup baik (3,6). Ungkapannya mirip bahwa meskipun ada ide sering terkendala oleh kemampuan pendanaan.
Adapun gambaran lebih rinci dapat diperhatikan pada grafik berikut. KAB. SLEMAN 5 4 3 2 1 0
Gambar 12. Profil MBP Total – Kabupaten Gunung-Kidul Gambaran lebih rinci dapat diperhatikan di grafik berikut.
Gambar 11. Profil MBP Rinci – Kabupaten Sleman Garis putus-putus merupakan batas “cukup (3,0). Satu indikator dari fungsi A hampir baik, tetapi du aspek yang lain masih di bawah cukup. Artinya, dalam hal menindaklanjuti pengalaman positif dan atau negatif di dalam pelaksanaan tugas pokok, masih bagus. Sementara itu, hanya satu dari sembilan aspek B yang masih dalam kondisi kurang yaitu dalam hal meng-
Gambar 13. Profil MBP Rinci – Kabupaten Gunung-Kidul
Asesmen Kebutuhan Penerapan Manajemen Berbasis Pengetahuan dalam Pembangunan Pendidikan Daerah
227 Tampak di dalam grafik tersebut bahwa semua unsur A masih di bawah garis cukup, hanya sumber acuan kegiatan yang sudah mendekati cukup. Pada rumpun B, tiga dari sembilan unsur sudah pada kondisi cukup, yakni pemeliharaan informasi, dan mereka sudah berusaha memiliki indikator dampak dan hasil dari setiap program yang dilaksanakan. Pada komponen manajemen pengetahuan, empat aspek sudah pada posisi cukup, akan tetapi masih kurang melahirkan program-program inovatif. Kabupaten Kulon Progo Profil Kabupaten Kulon Progo berbeda dengan kabupaten lain, tampaknya lebih objektif. Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (A) memang masih belum mencapai posisi cukup. Demikian pula dalam pemrosesan pengetahuan (B) dan lebih rendah lagi adalah dalam hal manajemen pengetahuan yang pada posisi kurang (1,3).
Gambar 15. Profil MBP Rinci – Kabupaten Kulon-Progo Kabupaten Bantul Khusus Kabupaten Bantul ada dua dinas, yaitu Dinas Pendidikan Dasar dan Dinas Pendidikan Menengah dan Nonformal. Grafik berikut menunjukkan bahwa lingkungan Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (A), pemrosesan pengetahuan (B), dan manajemen pengetahuan (C) pada umumnya masih pada posisi kurang; kecuali fungsi manajemen pengetahuan pada Dinas Dikdas.
Gambar 14. Profil MBP Total – Kabupaten Kulon-Progo Gambaran lebih rinci dapat dicermati di dalam Gambar 15. Semua unsur A masih kurang kecuali sumber acuan yang sudah cukup. Pada lingkungan B, pemrosesan pengetahuan, hampir mendekati cukup, kecuali fungsi penghimpunan pengalaman yang masih kurang; sehingga kalau fungsi lain dari pemrosesan pengetahuan sudah mendekati cukup, hanya terhadap himpunan pengetahuan yang belum terlalu banyak.
Cakrawala Pendidikan, Juni 2013, Th. XXXII, No. 2
Gambar 16. Profil MBP Total – Kabupaten Bantul Profil yang lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 17. Secara konsisten profil Dinas Dikdas dilaporkan lebih baik dibandingkan dengan Dinas Pendidikan Menengah dan nonformal. Di dalam pelaksanaana tugas pokok, yang sudah mendekati cukup adalah sumber acuan di pendidikan dasar. Tindak lanjut dari setiap ada kasus keberhasilan dan kegagalan kurang dilakukan de-
228 ngan baik. Dalam hal lingkungan pemrosesan pengetahuan, satu-satunya yang menonjol dari sembilan aspek hanyalah ketersediaan indikator proses pada pendidikan dasar, sedangkan aspek lain masih dalam kondisi kurang. Di dalam manajemen pengetahuanpun yang dilaporkan lebih baik adalah pendidikan dasar kecuali dalam hal keinovasian, baik pendidikan dasar maupun pendidikan menengah dan nonformal, samasama dalam posisi kurang.
Gambar 17. Profil MBP Rinci – Kabupaten Bantul Pembahasan Temuan-temuan penelitian pendahuluan ini dapat dipahami mengingat manajemen berbasis pengetahuan itu sendiri relatif baru, dan di Indonesia terkait dengan konsep MP3EI yang memperkenalkan konsep ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy), dalam konteks menuju masyarakat Indonesia baru (knowledge based society) berbasis pengetahuan, yang inovatif dan arif bijaksana. Baik ekonomi berbasis pengetahuan maupun masyarakat berbasis pengetahuan membutuhkan manajemen berbasis pengetahuan. Meskipun sebenarnya manajemen berbasis pengetahuan tersebut sangat bermanfaat bila diterapkan di dunia pendidikan, kita pahami bahwa manajemen pendidikan nasional masih dalam masa transisi dari sistem sentralistik menuju sistem desentralistik. Otoritas pendidikan daerah selama lebih dari setengah abad dalam posisi sangat bergantung pada pemerintah pusat. Baru semenjak era reformasi, diterapkan sistem pemerintahan desentralisasi, daerah tiba-tiba menerima pendelega-
sian kewenangan di berbagai bidang, termasuk salah satunya adalah bidang pendidikan. Meskipun sudah satu dekade, transisi tersebut masih berlangsung, dependensi masih sangat kuat; bahkan dalam beberapa kebijakan, pemerintah pusat mengatur sangat rinci dan sangat mengikat. Tentu kebijakan tersebut beralasan, karena pada waktu diserahi kewenangan tidak serta merta dapat mengeksekusi kewenangan tersebut secara optimal. Contoh mutakhir adalah kebijakan kurikulum. Dalam Kurikulum 2006, setiap satuan pendidikan diberi kewenangan untuk mengembangkan kurikulum (KTSP) dengan acuan standar nasional, namun diduga kuat bahwa banyak sekolah kurang mampu dalam pengembangan kurikulum. Oleh karena itu, kemudian digagas kebijakan Kurikulum 2013 yang menggariskan bahwa silabi disusun oleh pusat dan sekolah sebagai pengguna atau pelaksana tetap ada ruang untuk menjadi pelaksana yang kreatif. Temuan tersebut sejalan dengan berbagai penelitian di antaranya yang dilakukan oleh Anik Gufron, Sumarno, dan Heru Kuswanto (2009) di tingkat satuan pendidikan, Sukardi, dkk. (2007) dan The World Bank (2004, 2009) di tingkat kabupaten/kota. Lembaga Penelitian UNY bekerjasama dengan Ditjen Mandikdasmen juga melakukan penelitian mengenai desentralisasi pendidikan ini. Bank Dunia di tahun 2004 menemukan minimalnya kesiapan menerapkan model desentralisasi, dan lima tahun kemudian menemukan betapa disparitas antar kabupaten/kota terjadi di bidang keberhasilan investasi dalam bidang pendidikan. Dinas Pendidikan daerah sebagai penyelenggara pemerintahan dalam urusan pendidikan, dituntut piawai memosisikan diri dan memainkan peran secara optimal, menjadi agen dan memfasilitasi kinerja satuan-satuan pendidikan yang berada di daerahnya. Lagi-lagi ruang gerak tersedia yang hanya akan dapat diisi dengan baik kalau memiliki kapasitas untuk melakukan pengaturan strategis, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Di sinilah penerapan manajemen berbasis pengetahuan merupakan suatu keniscayaan. Oleh karena itu, temuan
Asesmen Kebutuhan Penerapan Manajemen Berbasis Pengetahuan dalam Pembangunan Pendidikan Daerah
229 asesmen awal ini mengungkap secara jelas kuatnya kebutuhan penguatan kapasitas kelembagaan otoritas pendidikan daerah untuk menerapkan manajemen berbasis pengetahuan, pada semua level lingkungan: (1) lingkungan terendah yaitu pelaksanaan tugas pokok dan fungsi; (2) lingkungan pemrosesan pengetahuan; dan lebih-lebih yang tertinggi; (3) lingkungan manajemen pengetahuan. PENUTUP Kesimpulan Penelitian asesmen kebutuhan ini menghasilkan simpulan berikut. Pada umumnya jajaran dinas pendidikan melaporkan bahwa dari berbagai indikator manajemen berbasis pengetahuan kinerja dinas masih pada posisi kurang dan cukup. Pada level lingkungan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi tidak selalu jelas muatan konsepnya. Pada lingkungan level pemrosesan pengetahuan juga kurang terjadi upaya belajar dari pengalaman, sehingga juga kurang ada upaya memanfaatkan hasil belajar dari pengalaman ke dalam pelaksanaan tugas pokok. Apalagi pada lingkungan level manajemen pengetahuan tentu lebih lemah lagi, kurang ada upaya terencana untuk memperoleh pengetahuan baru, terkait dengan pembangunan pendidikan daerah. Di DIY terasa kurangnya kebijakan/program inovatif peningkatan kualitas; dalam hal aksesibilitas kesempatan pendidikan dasar tidak terasa karena angka partisipasi sudah di atas ukuran nasional. Berbeda dengan realitas objektif tersebut, persepsi otoritas dinas pendidikan kabupaten/kota sebagaimana dilaporkan sendiri di dalam angket, pada kasus tertentu cenderung overestimate sehingga menghasilkan temuan yang menunjukkan bahwa lingkungan level 3 tertinggi, diikuti level 2 dan terendah baru level 1. Hal ini mengindikasikan terbatasnya pemahaman tentang manajemen berbasis pengetahuan; karena kalau level 3 tinggi seharusnya banyak kebijakan yang inovatif.
Cakrawala Pendidikan, Juni 2013, Th. XXXII, No. 2
Saran
Berdasarkan simpulan tersebut dipandang penting dan perlu dikemukakan kepada Dinas Pendidikan daerah saran-saran sebagai berikut. Peningkatan pemahaman, sikap positip dan keterampilan menerapkan manajemen berbasis pengetahuan dalam pembangunan pendidikan daerah. Hal ini dapat dimulai dengan memperkuat kapasitas kelembagaan bahwa di dalam membangun pendidikan daerah memerlukan data, informasi, dan pengetahuan. Sifat visioner komitmen pimpinan dengan jajarannya sangat besar pengaruhnya terhadap keseluruhan kinerja sistem layanan pendidikan daerah. Peningkatan kinerja dinas pendidikan kabupaten/kota, sesuai dengan peraturan perundangan dan kebijakan nasional dalam pendidikan, dan akomodatif terhadap karakteristik daerah masing-masing. Untuk kepentingan tersebut fasilitasi akan sangat membantu, dimulai dengan berfungsinya evaluasi diri yang lebih objektif, valid, dan handal sehingga dapat menjadi acuan di dalam pembuatan kebijakan pembangunan pendidikan daerah. Hal inilah yang aka menjadi fokus dan target dari penelitian tahap berikutnya, menghasilkan model evaluasi yang mampu menghasilkan pengetahuan dan informasi yang bermanfaat untuk peningkatan kinerja dinas pendidikan kabupaten/kota. UCAPAN TERIMA KASIH Penghargaan dan terimakasih kami sampaikan kepada: (1) Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Ditjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud yang telah mensponsori penelitian ini; (2) Redaksi Cakrawala Pendidikan yang telah berkenan menerbitkan artikel ini; dan (3) Dinas Pendidikan kabupaten/kota di DIY dan para narasumber yang telah memberikan informasi penting dan para pihak yang telah memberikan dukungan terhadap pelaksanaan penelitian sehingga penelitian ini dapat terlaksana. Semoga kebaikan yang telah diberikan mendatangkan kebermanfaatan bagi pembangunan pendidikan nasional Indonesia.
230 DAFTAR PUSTAKA Firestone, J.M. and McElroy, M.W. 2005. “Doing Knowledge Management”. The Learning Organization Journal. Vol. 12, No.2. Diunduh dari http://www.emeraldinsight.com/.
Lembaga Penelitian UNY Bekerjasama dengan Ditjen Mandikdasmen. 2008. Kemampuan Daerah dalam Implementasi Pembangunan Pendidikan Dasar. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Ditjen Mandikdasmen kerjasama dengan Lemlit UNY.
Gufron, Anik, Sumarno, dan Heru Kuswanto. 2009. “Implementai Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Sekolah di DIY”. Laporan Penelitian Pengembangan Daerah. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UNY.
The World Bank. 2004. Education in Indonesia: Managing the Transition to Decentralization. Washington, D.C.: EDI – World
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI). Jakarta: Kemenko Perekonomian. Sukardi dkk. 2007. Evaluasi Efikasi Pelaksanaan Program Perluasan dan Pemerataan Pendidikan Dasar. Ditjen Mandikdasmen Kerjasama dengan Lembaga Penelitian UNY.
Bank.
The World Bank. 2009. Investing in Indonesia’s Education at the District Level. Jakarta: The World Bank Office Jakarta. Toffler, A. 1990. Poer shift – Knowledge, Wealth, and Violence at the Edge of the 21st Century. New York: Bantam Books. Valadez, J. & Bamberger, M. 1994. Monitoring and Evaluating Social Programs in Developing Countries. Washington, D.C.: EDI – World Bank.
Asesmen Kebutuhan Penerapan Manajemen Berbasis Pengetahuan dalam Pembangunan Pendidikan Daerah
PROFESI Volume 11 / Maret – Agustus 2014
GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA TINGKAT I PRODI D III KEPERAWATAN TENTANG MANAJEMEN STRES DI SEKOLAH TINGGI ILMU KEHATAN (STIKES) PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA Anis Probowo STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta Jl. Tulang Bawang Selatan No. 26 Tegalsari RT 02 RW 32 Kadipiro, Banjarsari, Surakarta Email:
[email protected] Abstrak Latar Belakang. Data dari Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Jawa Tengah tahun 2006 terdapat penyandang masalah kesejahteraan sosial tersebar dalam 27 jenis, 608.000 orang mengalami stres. Studi pendahuluan yang dilakukan pada mahasiswa semester II pada tanggal 15 November 2012, terhadap 10 mahasiswa di dapatkan hasil 2 diantara 10 mahasiswa tidak mengetahui tentang manajemen stres. Tujuan. Mengetahui Gambaran Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kelas 1 Program Studi D III Keperawatan Tentang Manajemen Stres di STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta. Metode Penelitian. Penelitian ini menggunakan studi penelitian deskriptif yaitu statistik yang berfungsi untuk memberi gambaran terhadap obyek yang diteliti melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya, tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum. Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan cross sectional yaitu dengan cara pengambilan sampel sesaat dalam waktu yang bersamaan dan pengumpulan data yang dilakukan secara bersama-sama sekaligus. Hasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (50%) responden memiliki tingkat pengetahuan yang cukup. Angka mayoritas secara deskriptif dapat dijadikan sebagai dasar bahwa secara umum pengetahuan para mahasiswa kelas I ProdiD III Keperawatan STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta berada pada tingkat sedang. Hasil penelitian bahkan menunjukkan bahwa meskipun ada beberapa mahasiswa yang memiliki tingkat pengetahuan baik namun relatif sedikit (14,8%). Jumlah mahasiswa ini hanya separuh dari mereka yang memiliki tingkat pengetahuan kurang (35,2%). Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian masih cukup banyak mahasiswa yang perlu meningkatkan pengetahuannya tentang manajemen stres. Kata kunci : Tingkat pengetahuan, manajemen stres
bagian kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak bisa lepas dari stres, masalahnya adalah bagaimana hidup beradaptasi dengan stres tanpa harus mengalami distress. Tidak semua bentuk bentuk stres itu mempunyai konotasi negatif, cukup banyak yang bersifat positif (Dalami, 2002: 28). Data dari Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Jawa Tengah tahun 2006 terdapat penyandang masalah kesejahteraan sosial tersebar dalam 27 jenis, salah satunya adalah penyandang psikotik. Di Jawa Tengah tercatat 704.000 orang mengalami ganguan kejiwaan, dan dari jumlah tersebut sekitar 96.000 diantaranya didiagnosa telah menderita kegilaan, 608.000 orang mengalami stres. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa 3
PENDAHULUAN Pemahaman tentang stres dan akibatnya penting bagi upaya pengobatan maupun pencegahan banyak gangguan kesehatan jiwa. Para ahli sudah banyak meneliti masalah stres, khususnya yang bertalian dengan situasi dan kondisi hidup. Masalah stres sering dihubungkan dengan situasi dan kondisi hidup dengan kehidupan modern merupakan sumber bermacam gangguan stress. Perlu diperhatikan bahwa kepekaan orang untuk menghayati stres tidaklah sama ada yang lebih kuat dan ada yang lebih rapuh (Dalami, 2002: 27). Stres adalah realita kehidupan setiap hari yang dapat dihindari, stres bukan sesuatu hal yang buruk dan menakutkan, tetapi merupakan 8
PROFESI Volume 11 / Maret – Agustus 2014
per mil dari sekitar 32 juta penduduk di Jawa Tengah menderita kegilaan dan 19 per mil lainnya menderita stres. Jumlah tersebut jika dipersentasekan, maka jumlahnya mencapai sekitar 2,2 persen dari total penduduk Jawa Tengah. Data tersebut menunjukkan bahwa stres bersifat universally, yaitu semua orang dapat merasakannyatetapi cara pengungkapannya yang berbeda atau diversity. Stres sering terjadi pada orang yang bekerja dan pada situasi perkuliahan Perkuliahan pada dunia modern sekarang ini, bukan lagi hanya sekadar datang ke kampus, menghadiri kelas, ikut serta dalam ujian, dan kemudian lulus (Dinkes Jateng, 2006). Pengetahuan adalah merupakan hasil tau dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan yang cukup di dalam domain kongnitif mempunyai 6 tingkat yaitu (Notoatmodjo, 2003: 11). Mahasiswa STIKES PKU Muhammadiyah Program Studi D III Keperawatan memiliki latar belakang yang berbeda baik dari segi usia, suku, agama, dan lain-lain. Hal ini berpengaruh terhadap cara pandang mahasiswa terhadap dirinya dan manajemen stres. Studi pendahuluan yang dilakukan pada mahasiswa semester II pada tanggal 15 November 2012, terhadap 10 mahasiswa di dapatkan hasil 2 diantara 10 mahasiswa tidak mengetahui tentang manajemen stres. Melihat pentingnya manajemen stres dalam kehidupan mahasiswa, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang Gambaran Pengetahuan Mahasiswa Tingkat 1 Program Studi D III Keperawatan Tentang Manajemen Stres di STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta.
Hasil 1. Umur
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Umur Frekuensi Prosentase (%)
18-19 47 87,6 20-21 6 11,1 22-23 1 1,9 Jumlah 54 100,0 Diketahui bahwa sebagian besar responden berumur 18-19 tahun yaitu sebanyak 47 mahasiswa (87,6%). 2. Jenis Kelamin Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Prosentase (%) Frekuensi Kelamin Laki –laki 6 11,0 Perempuan 48 88,9 Jumlah 54 100,0 Diketahui bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan yaitu ada sebanyak 48 mahasiswi (88,9%). Selebihnya yang berjenis kelamin laki-laki ada sebanyak 6 mahasiswa (11%). 3. Tingkat Pengetahuan Tabel 3. Distribusi Responden berdasarkan Tingkat Pengetahuan tentang Manajemen Stress Pengetahuan Frekuensi Prosentase (%) Baik 8 14,8 Cukup 27 50,0 Kurang 19 35,2 Buruk 0 0,0 Total 54 100,0 Diketahui bahwa ada 8 mahasiswa (14,8%) yang memiliki tingkat pengetahuan baik. Ada 27 mahasiswa (50,0%) yang memiliki tingkat pengetahuan cukup.
METODE PENELITIAN Metode penelitian menggunakan penelitian deskriptif. Populasinya sebanyak Mahasiswa Kelas I Program Studi D III Keperawatan STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta sebanyak 117 responden. Menggunakan teknik simple random sampling (sederhana) peneliti membuat 117 undian untuk responden, selanjutnya peneliti akan memilih secara acak untuk mengambil 54 responden dalam melakukan penelitian. Instrument penelitian menggunakan kuesoner yang berupa pernyataan.
4. Tabulasi Silang Tabel 4. Distribusi Tabulasi Pengetahuan Menurut Umur Responden Tingkat pengetahuan Umur Kura Baik % Cukup % % ng 18-19 6 75 24 88,89 17 89,47 20-21 1 12,5 3 11,11 1 5,26 22-23 1 12,5 1 5,26 Jumlah 8 100 27 100 19 100 Menurut data tersebut dapat disimpulkan bahwa ada kecenderungan semakin bertambah
HASIL DAN PEMBAHASAN 9
PROFESI Volume 11 / Maret – Agustus 2014
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satu diantaranya yaitu umur seseorang. Semakin cukup umur tingkat kemampuan seseorang , kematangan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan menerima informasi. Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia, akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin membaik. Menurut data tersebut dapat disimpulkan bahwa yang berjenis kelamin perempuan cenderung tingkat pengetahuan seseorang cukup dibanding berjenis kelamin laki-laki. Pada responden berjenis kelamin perempuan, proposi tingkat pengetahuan baik (100%) lebih besar dari pada proposi responden yang tingkat pengetahuan cukup (92,60%) maupun kurang (21,05%). Pada responden berjenis kelamin lakilaki, proposi tingkat pengetahuan kurang (78,95%) lebih besar dari pada cukup (7,40%) maupun baik (0%). Pengetahuan yang diukur dalam penelitian ini didefinisikan sebagai kemampuan mahasiswa dalam mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan manajemen stress. Aspek-aspek tersebut meliputi pengaturan diet dan nutrisi, istirahat tidur, olahraga dan latihan teratur, berhenti merokok, tidak mengkonsumsi minuman keras, pengaturan berat badan, pengaturan waktu, terapi psikofarmaka, psikoterapi, dan terapi psikoreligius (Hidayat, 2004: 63). Manajemen stres merupakan salah satu materi pengetahuan yang dipelajari di pendidikan tinggi keperawatan dan harus dikuasai ketika akhirnya para mahasiswa menjadi perawat agar dapat diterapkan pada dirinya sendiri dan juga terutama pada pasien. Seharusnya memang mahasiswa Program Studi D III Keperawatan dituntut memiliki pengetahuan yang baik tentang manajemen stres. Manajemen stres dalam beberapa hal terkait dengan kedewasaan atau kebiasaan. Adanya perbedaan tingkat pengetahuan tentang manajemen stress pada para mahasiswa tersebut disebabkan karena faktor latar belakang budaya, pemahaman agama, lingkungan pergaulan (komunitas atau masyarakat), dan pengalaman.
umur, tingkat pengetahuan seseorang semakin baik. Tabel 5. Distribusi Tabulasi Pengetahuan Menurut Jenis Kelamin Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Jumlah
Baik 8 8
Tingkat pengetahuan % Cukup % Kurang 100 25 92.60 4 2 7.40 15 100 27 100 19
% 21.05 78,95 100
Menurut data tersebut tersebut dapat disimpulkan bahwa yang berjenis kelamin perempuan cenderung tingkat pengetahuan seseorang cukup dibanding berjenis kelamin laki-laki Pembahasan Karakteristik responden Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (50%) responden memiliki tingkat pengetahuan yang cukup. Angka mayoritas secara deskriptif dapat dijadikan sebagai dasar bahwa secara umum pengetahuan para mahasiswa kelas I Prodi D III Keperawatan STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta berada pada tingkat sedang. Hasil penelitian bahkan menunjukkan bahwa meskipun ada beberapa mahasiswa yang memiliki tingkat pengetahuan baik namun relatif sedikit (14,8%). Jumlah mahasiswa ini hanya separuh dari mereka yang memiliki tingkat pengetahuan kurang (35,2%). Dengan demikian masih cukup banyak mahasiswa yang perlu meningkatkan pengetahuannya tentang manajemen stress. Seiring waktu diharapkan para mahasiswa tersebut semuanya akan semakin memahami pengetahuan ini yang akan sangat berguna bagi mereka sendiri dalam menjalani perkuliahan dan nanti bagi pasien yang mereka tangani setelah terjun di lapangan. Menurut data tersebut dapat disimpulkan bahwa ada kecenderungan semakin bertambah umur, tingkat pengetahuan seseorang semakin baik. Pada responden berumur 18-19 tahun, proposi responden dengan tingkat pengetahuan kurang (89,47%) lebih besar dari pada proposi responden yang tingkat pengetahuan cukup (88,89%) maupun baik (75%). Pada responden berumur 20-21 tahun, proposi responden dengan tingkat pengetahuan baik (12,5%) lebih besar dari pada proposi responden yang tingkat pengetahuan cukup (11,11%) maupun kurang (5,26%). Pada responden berumur 22-23 tahun proposi responden dengan tingkat pengetahuan baik (12,5%) lebih besar dari pada proposi responden yang tingkat pengetahuan cukup (0%) maupun kurang (5,26%).
KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan
10
PROFESI Volume 11 / Maret – Agustus 2014
Responden dalam penelitian ini berumur 18-19 tahun sebanyak 47 mahasiswa, jenis kelamin yang diteliti sebagian besar berjenis kelamin perempuan sebanyak 48 mahasiswi.Menurut hasil penelitian diketahui bahwa 27 mahasiswa yang memiliki tingkat pengetahuan cukup. Menurut hasil disimpulkan bahwa ada kecenderungan semakin bertambah umur, tingkat pengetahuan seseorang semakin baik.Menurut hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan mahasiswa kelas I program studi D III keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta adalah cukup. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan peneliti lain dapat melanjutkan atau mengembangkan dengan meneliti lebih jauh bukan hanya meneliti tingkat pengetahuan tentang manajemen stres misalnya, seperti hubungan antara manajemen stres dengan kepribadian seseorang, atau pengaruh manajemen stres terhadap kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA 1. Arikunto Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendidikan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta. 2. Dalami, E. 2010. Konsep Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Trans Info Media. 3. Hidayat, A.A. 2004. Konsep Dasar Keperawatan, Edisi I. Jakarta: Salemba Medika. 4. Notoatmodjo, S. 2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
11
MANAJEMEN PENGETAHUAN DAN DAYA SAING ORGANISASI: SEBUAH REVIEW ERA PERSAINGAN BERBASIS PENGETAHUAN
Abstract This article discusses the impact of knowledge management to improve organizational competitiveness. As business enter knowledge-based economy era, organizations have to cope with challenges of technological sophistication and global competition, and the importance of knowledge as source of organizational competitive advantage. Employee began to experience work differently with a new array of rules, expectation, and condition of employment predicted on uncertainty and chaos. In order to respond these challenges, organizations as business performer require the role of high quality and competence human resource to response the development and changes of business environment. The implementation of management and investment in human resource as one of competitive advantage sources are crucial. It may be due to human resource is subject or performer in the enterprise operational activity that use and manage other resources. To create knowledge for individual and to get more benefit from knowledge, knowledge has to be managed through knowledge management. Knowledge management defined as the process of managing knowledge. In other words, t is a structured coordination for managing knowledge effectively. Through knowledge management, organization will be able to implement organizational and self learning and to manage professional intellect. Keywords: knowledge economy, knowledge management, organizational learning, professional intellect Pendahuluan Organisasi yang bersaing dalam lingkungan bisnis saat ini dihadapkan pada tantangan baru dengan munculnya perekonomian berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Dalam kondisi ini, kelangsungan hidup dan daya saing organisasi untuk memenangkan pasar sangat ditentukan oleh aset intangible yang melekat dalam diri sumber daya manusia (SDM) baik ketrampilan maupun pengetahuan dan bukan lagi pada kemampuan untuk mendapatkan dan mengubah bahan mentah menjadi barang jadi. Kesuksesan organisasi sangat ditentukan oleh kemampuan mereka beroperasi dalam lingkungan bisnis global yang mengalami
1
perubahan cepat dan tidak dapat diprediksi dengan memfokuskan pada penciptaan dan penggunaan aset-aset intelektual. Untuk tetap dapat bertahan dalam persaingan berbasis pengetahuan, setiap organisasi harus mampu menganalisa elemen-elemen lingkungan untuk mendeteksi, memonitor, menganalisa perubahan yang dapat menciptakan kesempatan maupun ancaman bagi perusahaan. Organisasi perlu mengembangkan cara yang efektif untuk mempelajari lingkungan dan mengimplementasikan keputusan strategis sehingga dapat memanfaatkan kesempatan yang ada dan menghadapi ancaman yang terjadi. Pengembangan cara yang efektif dapat dicapai dengan dukungan pemanfaatan teknologi informasi dan manajemen pengetahuan. Dengan perkataan lain, organisasi harus mempelajari kelemahan, kekuatan pesaing, dan mempelajari bagaimana keinginan dan kebutuhan konsumen dengan meningkatkan kemampuan inovasi, eksploitasi teknologi, dan melakukan investasi pada proses pengetahuan dan SDM berbasis pengetahuan. Artikel ini membahas peran manajemen pengetahuan dalam menciptakan daya saing organisasi dalam kompetisi berbasis pengetahuan. Pembahasan diawali dengan perubahan paradigma persaingan kearah persaingan berbasis pengetahuan, pengelolaaan sumber daya manusia dalam era pengetahuan, dan peran manajemen pengetahuan sebagai fondasi dalam proses pembelajaran organisasi untuk meningkatkan daya saing perusahaan. Pembahasan akan diakhiri dengan pentingnya proffesional intellect dalam meningkatkan kompetensi SDM. Kompetisi Berbasis Pengetahuan: Paradigma Baru Persaingan Bisnis Seiring perkembangan persaingan global yang makin kompetitif, pengetahuan memainkan peran penting dalam proses perekonomian global. Paradigma persaingan bisnis saat ini telah berubah kearah persaingan berbasis pengetahuan, yang membawa dampak pada perkembangan perokonimian global kearah ekonomi berbasis pengetahuan. Negara-negara yang mengembangkan dan mengatur aset-aset pengetahuan mereka secara efektif akan menjadi lebih unggul dibandingkan dengan negara-negara lain yang tidak menjadikan pengetahuan sebagai sumber keunggulan kompetitifnya. Individu-individu dengan pengetahuan yang lebih baik akan mendapatkan pekerjaan dengan imbalan dan penghargaan yang lebih baik pula. Ekonomi berbasis pengetahuan menunjukkan suatu trend bahwa perekonomian lebih banyak tergantung pada pengetahuan, informasi, dan ketrampilan yang tinggi, serta menjamin ketersediaan aset-aset intangible tersebut (Kimpeler, 2001). Dalam era pengetahuan, pengetahuan memainkan peranan yang penting dalam perekonomian, oleh karena itu harus dikembangkan dan dikelola secara efektif agar perusahaan dapat meningkatkan kinerjanya. Untuk mencapai tujuan tersebut perusahaan harus meningkatkan investasi dalam research and development
2
(R&D), pendidikan dan pelatihan, serta investasi yang bersifat intangible lainnya yang semuanya harus diutamakan dan dikembangkan melebihi aset tangible. Era ekonomi pengetahuan memiliki beberapa karakteristik penting antara lain (Kimpeler, 2001): makin pentingnya pengetahuan sebagai faktor produksi intangible, pembentukan kerjasama dan kemitraan strategik, dan adanya perubahan strategi yang cepat dalam suatu jaringan kerja, yaitu ekonomi berbasis pengetahuan. Perubahan dari era ekonomi industri ke era ekonomi pengetahuan dijelaskan dalam Table 1. Dalam lingkungan bisnis yang kompetitif dan dinamis, pengetahuan telah diakui sebagai sumber daya yang penting dalam mencapai keunggulan kompetitif organisasi (Karl, 2003). Perubahan dari era industri kepada era ekonomi pengetahuan ini menuntut organisasi-organisasi yang ada untuk berubah dalam pengaturan aktivitas internal organisasi, misalnya dengan melakukan pendelegasian tanggung jawab manajer, merekrut tenaga kerja yang lebih fleksibel dan memiliki keterampilan, adanya outsourcing, serta meningkatkan jaringan kerjasama baik di dalam maupun di luar organisasi untuk mentransformasikan pengetahuan pada nilai-nilai bisnis yang menguntungkan (Drake, 1998). Tabel 1. Perubahan dari Era Industri menuju Era Ekonomi Pengetahuan Aset Tangible Tugas yang terpecah-pecah Pemasaran Masal Operasional yang efisien Kontrol Manajemen Pelatihan berkelanjutan
Aset Intangible Tugas yang menyeluruh Produk Just-In-Time Inovasi Sasaran Pembelajaran yang
Sumber: Kimpeler (2001)
Era pengetahuan menuntut adanya perubahan pengelolaan sumber daya manusia (SDM). Hal ini disebabkan pengaruh besar yang diberikan oleh SDM sangat diperlukan untuk memberikan kontribusi bagi tercapainya organisasi lebih efektif. SDM harus mampu memperkenalkan pemikiran baru dalam mengelola organisasi melalui pengetahuan yang dimilikinya (Karl, 2003). SDM diharapkan dapat meningkatkan aktivitas-aktivitasnya, tidak hanya bertanggung jawab terhadap aktivitas-aktivitas seperti rekruitmen, seleksi, kompensasi, serikat pekerja dan lainnya, tapi juga perlu melaksanakan aktivitas-aktivitas baru seperti mengembangkan keterampilan kepemimpinan, mengembangkan kreativitas dan inovasi, melakukan menajemen perubahan dan transformasi, menjadikan organisasi pembelajar, dan lainya (Raich, 2002). Aktivitas dan tanggung jawab dari sumber daya manusia di Era Pengetahuan dapat dilihat pada Tabel 2.
3
Tabel 2. Aktivitas dan Tanggungjawab yang Diharapkan dari professional
Aktivitas Lama (Classic) Rekruitmen dan Seleksi Disain Pekerjaan dan Evaluasi Penghargaan dan Tunjangan Kompensasi Tunjangan Sosial Manajemen Kinerja Pensiun Staf Internasional Serikat Pekerja Komunikasi Karyawan Moral Karyawan/Kepuasan Penempatan keluar Pengembangan SDM: Pelatihan & Pengembangan Perencanaan Karir Sumber: Raich (2002)
Aktivitas Baru SDM yang Strategik dan Peraturan-peraturan Manajemen Perubahan dan Transformasi Manajemen Pengetahuan Keberagaman Budaya Organisasi Benchmarking dan praktik-praktik terbaik Konsultan Internal Memfasilitasi Organisasi Pembelajar Pengembangan Keterampilan Kepemimpinan Pengembangan Potensi-Potensi yang Tinggi Kreativitas dan Inovasi SDM yang Global Kompetensi – kompetensi Utama Keberhasilan dalam Manajemen Kinerja
Manajemen Pengetahuan dan Daya Saing Perusahaan Dalam era pengetahuan, manajemen pengetahuan (knowledge management) mendapat perhatian khusus. Konsep ini mulai banyak dikenal didunia bisnis sejak tahun 2000-an. Para pemimpin organisasi mulai memahami proses kreasi pengetahuan sebagai keunggulan daya saing perusahaan dengan memobilisasi pengetahuan karyawan dan menumbuhkan lingkungan belajar yang dapat mengakomodasi the new economics of information yang mulai merebak (Rachmany & Akib, 2002). Tujuan penerapkan konsep manajemen pengetahuan ini adalah untuk meningkatkan serta memperbaiki operasional perusahaan dalam mencapai keuntungan kompetitif. Selain itu, manajemen pengetahuan juga diterapkan untuk memperbaiki komunikasi diantara manajemen puncak dan pekerja untuk mempertahankan proses kerja serta menanamkan budaya berbagai pengetahuan dan mengimplementasikan sistem penghargaan berbasis kinerja (Muttaqien, 2006). Melihat pentingnya pengetahuan dalam mencapai keunggulan kompetitif suatu organisasi, maka organisasi harus mampu mengelola pengetahuan yang melekat dalam diri SDM, pendekatan dalam proses pengelolaan pengetahuan tersebut lebih dikenal dengan nama Knowledge Management (manajemen pengetahuan). Definisi Manajemen Pengetahuan Dalam definisi www.worldIQ.com (2007), manajemen pengetahuan berasal dari kata manajemen (management) dan pengetahuan (knowledge). Pengetahuan merupakan keyakinan yang diakui kebenarannya serta mencakup apa yang tersurat dan yang tersirat (Rachmany & Akib, 2002). Sedangkan manajemen adalah proses perencanaan dan pengendalian atas kinerja berbagai aktivitas. Berdasarkan pemahaman akan arti kata manajemen dan pengetahuan, secara terminologi, manajemen pengetahuan berarti sebuah proses perencanaan dan
4
pengontrolan kinerja aktivitas tentang pembentukan proses pengetahuan. Sykrme (2003) mendefinisikan manajemen pengetahuan sebagai suatu proses yang dapat menolong organisasi menemukan, memilih, menyebarkan, dan memindahkan informasi yang penting dan diperlukan untuk berbagai aktivitas seperti penyelesaian masalah, proses pembelajaran yang dinamis, serta strategi perencaaan dan pengambilan keputusan. Secara umum, manajemen pengetahuan adalah sebuah proses yang mengkoordinasikan penggunaan informasi, pengetahuan dan pengalaman. Dengan demikian, terdapat perbedaan arti untuk data, informasi dan pengetahuan. Berdasarkan hierarkinya, informasi berasal dari data yang telah diproses sehingga dapat diinterpretasikan, pengetahuan adalah hasil dari pengolahan informasi secara lebih lanjut dengan menggunakan metode tertentu. Kebijaksanaan (wisdom) lebih kearah pengambilan keputusan dari pengguna pengetahuan. Hierarki data-informasi dan pengetahuan dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Hierarki Data-Informasi dan Knowledge (Sumber : Akhmad Hidayatno, 2006) Ruang lingkup Manajemen Pengetahuan Menurut Finerty (1997), manajemen pengetahuan memiliki ruang ringkup dua lapisan. Lapisan pertama adalah proses (process) meliputi utilization, storing, acquisition, distribution/sharing dan creation. Lapisan kedua meliputi structure, technology, measurement, organizational design, leadership dan culture. Kedua lapisan tersebut terintegrasi membentuk ruang lingkup knowledge management. Pengetahuan yang menjadi obyek dalam manajemen pengetahuan terbagi menjadi dua, yaitu tacit knowledge dan explicit knowledge. Tacit knowledge adalah pengetahuan yang ada dalam kepala manusia. Tacit knowledge bersifat personal, prosedural, soft (lunak), tersimpan di otak, informal dan biasanya tentang kecakapan atau ketrampilan. Explicit knowledge adalah pengetahuan manusia yang berada diluar kepala. Bentuk explicit knowledge, antara lain dokumen, buku, jurnal dan lain-lain. Sifat dari explicit knowledge adalah tercetak dalam kodekode, deklaratif, formal dan hard (keras). (Nonaka dan Takeuchi ,1995)
5
Gambar 2. Ruang Lingkup Manajemen Pengetahuan (Sumber : Akhmad Hidayatno, 2006) Dalam pengembangan pengetahuan, terjadi proses transfer pengetahuan. Proses ini terangkum dalam sebuah model yaitu model SECI (Socialization, Externalization, Combination dan Internalization). Socialization adalah proses transfer informasi diantara individu dalam suatu organisasi dengan cara melalui proses percakapan. Dalam proses ini terjadi transfer dari tacit knowledge ke tacit knowledge. Proses selanjutnya adalah Externalization, yaitu transfer dari tacit knowledge kedalam explicit knowledge. Misalnya, penulisan buku, jurnal, majalah dan lain-lain. Combination adalah transfer dari explicit knowledge ke explicit knowledge. Misalnya, merangkum buku. Internalization adalah transfer dari explicit knowledge ke tacit knowledge. Misalnya, guru mengajar didalam kelas. Proses transfer pengetahuan berlangsung berulang-ulang membentuk suatu siklus. Hal inilah yang menyebabkan pengetahuan terus berkembang dari waktu ke waktu. Jadi menurut konsep SECI, siklus transfer pengetahuan akan terus berputar dan berkembang.
Gambar 3. Model SECI (Sumber : Akhmad Hidayatno, 2006)
6
Tantangan Dalam Implementasi Manajemen Pengetahuan Tantangan utama yang banyak dihadapi oleh praktisi-praktisi yang terlibat dalam suatu organisasi yang menerapkan manajemen pengetahuan adalah perubahan budaya dari “knowledge is power (Pengetahuan adalah sumber kekuatan)” berubah menjadi “knowledge sharing is power (Berbagi pengetahuan adalah sumber kekuatan)” (Sykrme ,2003). Tantangan yang lainnya adalah: Waktu Waktu yang dibutuhkan dalam menerapkan konsep manajemen pengetahuan Pengakuan organisasi dan sistem penghargaan kadangkala tidak cukup dalam memberikan pengakuan terhadap pengetahuan. Organisasi terbentur dengan kondisi financial Terlalu berfokus pada proses yang detail daripada gambaran secara keseluruhan Ketakutan untuk belajar dari pihak luar organisasi Ketidakdisiplinan individu, sedangkan manajemen pengetahuan sangat menuntun adanya kedisiplinan dari individu yang menerapkan manajemen pengetahuan. Alasan Pentingnya Penerapan Manajemen Pengetahuan Dalam kondisi persaingan bisnis saat ini telah banyak organisasi yang inovatif dan menghargai nilai sebuah pengetahuan untuk memperbaiki produk dan pelayanan mereka. Terdapat beberapa alasan mengapa konsep manajemen pengetahuan mulai banyak diterapkan (Sykrme (2003): Globalisasi dan Persaingan Banyak organisasi mulai bergantung pada pengetahuan untuk menciptakan keuntungan strategis mereka. Dengan pengetahuan yang tersedia tetapi sifatnya tersebar atau terpecah membuat organisasi sering menghabiskan waktu dan daya mereka atau bahkan gagal untuk dapat mencapai kualitas pengetahuan tertinggi dan berpengalaman yang tersedia diorganisasi. Restrukturisasi dan Perampingan (downsizing) Tanpa sistem mekanisme yang efektif dalam menggunakan pengetahuan yang dimiliki karyawan yang telah, berpengalaman organisasi akan mengalami kerugian atau harus membayar lagi untuk pengetahuan yang sebenarnya telah dimiliki. Berbagi praktik-praktik terbaik yang telah dilakukan Organisasi-organisasi akan menghemat pengeluaran mereka dalam setahun dengan mengambil pengetahuan dari karyawan-karyawan terbaik mereka serta kemudian diterapkan ditempat lain pada situasi yang sama. Inovasi yang berhasil Organisasi-organisasi yang menerapkan manajemen pengetahuan telah menemukan bahwa melalui jaringan pengetahuan, organisasi dapat menciptakan produk dan layanan baru yang lebih baik serta lebih cepat.
7
Manajemen Pengetahuan Sebagai Fondasi Learning Organization Bisnis modern diindikasikan oleh adanya perubahan paradigma dalam sejarah peradaban manusia dari era industri ke dalam era pengetahuan. Tjakaraatmadja dan Lantu (2006) mendefinisikan era pengetahuan sebagai suatu zaman dimana faktor dominan yang dimiliki manusia dan dibutuhkan untuk mengelola sistem kerja adalah kualitas pikiran (knowledge content) yang digunakan dan dinternalisasikan pada setiap proses produksi yang pada akhirnya diwujudkan dalam bentuk barang dan jasa. Dalam era pengetahuan, sumber keunggulan kompetitif perusahaan tidak lagi berada pada kepemilikan fasilitas fisik tetapi lebih ditentukan oleh tingkat kualitas pengetahuan baik dalam bentuk kreativitas, inovasi, maupun pengetahuan. Drucker (1992) mengemukakan bahwa kunci sukses untuk meningkatkan kesejahteraan serta kualitas individu dan kelompok kerja dalam organisasi adalah penemuan dan pendalaman atas ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu. Untuk mencapai kesuksesan, organisasi perlu merubah nilai-nilai organisasi dan menetapkan fokus baru dengan menciptakan dan menggunakan aset intelektual melalui manajemen pengetahuan untuk dapat bersaing secara efektif dalam lingkungan bisnis dan persaingan berbasis pengetahuan. Hal ini dikarenakan, pengetahuan merupakan sumber daya utama dan memiliki peran penting untuk pencapaian keunggulan kompetitif berkelanjutan. Malhotra (1997) mengemukakan bahwa manajemen pengetahuan akan membantu proses organisasi untuk mencapai kombinasi sinergis dalam data dan informasi untuk memproses kapasitas teknologi informasi dengan kapasitas inovatif dan kreativitas individu. Kesuksesan kemajuan teknologi organisasi akan dicapai melalui keunggulankeunggulan yang terkait dengan sumber daya manusia (SDM) yaitu baik pengetahuan maupun ketrampilan. Sedangkan Monasco (1996) menyatakan bahwa manajemen pengetahuan ini merupakan strategi proses yang mengidentifikasi pengetahuan untuk mengembangkan sumber-sumber kompetitif. Pengetahuan yang dimiliki organisasi harus diimplementasikan dengan dukungan penggunaan teknologi informasi. Teknologi informasi memainkan peranan penting dalam proses pendistribusian informasi antar perusahaan dengan menggunakan media intranet. Organisasi harus mampu merancang teknologiteknologi untuk membuat perubahan revolusioner dalam penciptaan pengetahuan pekerja, komunikasi, dan pengelolaan pengetahuan. Tanpa teknologi baru untuk menciptakan perubahan revolusioner, komunikasi dan pengelolaan informasi melalui sistem manajemen pengetahuan akan memiliki kesempatan kecil dalam memperbaiki proses pendistribusian pengetahuan sehingga dapat menghambat proses kapitalisasi pengetahuan dalam organisasi. Melalui adopsi teknologi informasi, organisasi dapat meningkatkan kemampuan dan kekuatan untuk mengembangkan pengetahuan, ide-ide baru sehingga dapat menghasilkan temuan baru yang memberikan nilai tambah bagi pelanggan melalui informasi yang didapat dari konsumen.
8
Dalam era pengetahuan, manajemen pengetahuan menuntut pentingnya pembelajaran dalam organisasi. Untuk mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan proses pembelajaran organisasi. Learning organization memiliki makna kemampuan organisasi dalam menciptakan, memperoleh, dan menstransfer pengetahuan, serta memodifikasi perilaku untuk merefleksikan pengetahuan dan pandangan baru. Beberapa penulis memberikan definisi berbeda-beda tentang organisasi pembelajaran. Huber (1991) menyatakan bahwa suatu entitas atau organisasi dikatakan dalam proses pembelajaran jika melalui proses informasi, tingkat perubahan perilaku potensial berubah lebih baik. Fiol dan Lyles (1985) mendefinisikan organisasi pembelajaran sebagai suatu proses perbaikan melalui pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik. Argyris (1977) mengemukakan bahwa pembelajaran organisasional (learning organizational) merupakan suatu proses dalam mendeteksi dan mengoreksi suatu kesalahan. Sedangkan Stata (1989) menyatakan bahwa pembelajaran organisasional terjadi melalui pembagian (shared) wawasan dan pengetahuan, serta pengembangan pengetahuan dan pengalaman organisasi. Learning organization mencakup lima aktivitas penting yang menunjukkan kemampuan organisasi dalam membangun dan mengembangkan sumber daya berbasis pengetahuan yaitu pemecahan masalah secara sistematis, penggunaan pendekatan dalam proses pembelajaran organisasional, belajar dari pengalaman masa lalu, pembelajaran dari pengalaman dan praktek-praktek dari pihak lain, dan transfer pengetahuan secara tepat dan efisien melalui organisasi (Garvin, 1998). Masing-masing aktivitas memiliki pemikiran dan pola perilaku yang berbedabeda. Dengan menciptakan sistem dan proses yang mendukung aktivitas dan mengintegrasikan kegiatan operasional sehari-hari, kesuksesan pembelajaran organisasional dapat dicapai. Selain itu untuk mencapai kesuksesan dalam pembelajaran, learning organization menuntut SDM yang memiliki kompetensi global (baik dalam hal kompetensi manajerial, kompetensi fungsional, kompetensi intelektual, kompetensi profesi, dan kompetensi perilaku), tetapi juga SDM yang etis dan kreatif yang memiliki basis pengetahuan. SDM dituntut tidak hanya sekedar sebagai pelaku perubahan dalam proses perkembangan organisasi, tetapi individu harus bisa beradaptasi, mempelajari, menguasai perkembangan yang ada, serta mengembangkan pengetahuan dan ketrampilannya untuk tercapainya tujuan organisasi. Peran Proffesional Intellect Dalam Meningkatkan Kompetensi SDM Argyris (1998) mengemukakan bahwa untuk menjadi sebuah organisasi pembelajar, perusahaan harus mampu mengatasi adanya dilema bahwa kesuksesan pencapaian keunggulan kompetitif sangat tergantung pada proses pembelajaran, tetapi kebanyakan karyawan tidak tahu bagaimana belajar (how to learn). Dilema lain adalah, bahwa anggota organisasi yang diasumsikan dapat memanfaatkan proses pembelajaran dengan baik, misalnya para profesional yang bekerja pada posisi kepemimpinan, sebenarnya tidak memiliki potensi yang baik. Untuk itu
9
perusahaan perlu membuat solusi untuk memotivasi para profesional baik karyawan maupun manajer, khususnya, untuk terlibat dalam proses pembelajaran baik self learning maupun organizational learning. Melalui proses pembelajaran individual (self learning) dan organizational learning akan membawa dampak bagi tercapainya knowledge worker yang sangat diperlukan dalam organisasi abad 21 yang menghadapi tantangan kompetisi berbasis pengetahuan. Penguasaan pengetahuan akan memberikan manfaat bagi individu dalam beradaptasi dengan lingkungan dan merespon setiap hambatan yang muncul, dan bahkan individu dapat memanfaatkan hambatan yang muncul sebagai suatu tantangan untuk membangun pengetahuan dan mengembangkan ketrampilan yang dimilikinya. Penguasaan pengetahuan saja tidaklah cukup dan memerlukan penguasaan ketrampilan bahkan lebih dari satu ketrampilan (multiskill). Individu dituntut untuk dapat memelihara dan mengelola pengetahuan, ketrampilannya, dan bahkan mengembangkan ketrampilan baru. Individual tidak hanya memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan melainkan juga karir mereka sehingga diperlukan pelatian secara kontinu (continuous training) dan proses pembelajaran terus menerus. Mengelola intelektualitas SDM dan mengubahnya dalam produk dan jasa yang berguna merupakan faktor penting dalam kompetisi berbasis pengetahuan. Pandangan ini menunjukkan bahwa proffessional intellect berperan penting dalam menciptakan nilai bagi organisasi atau industri jasa dan industri manufaktur. Proffesional intellect menciptakan nilai-nilai dan keuntungan bagi industri jasa seperti software, health care, jasa finansial, komunikasi, dan konsultan. Sedangkan dalam sektor manufaktur, proffesional intellect akan mendukung aktivitas seperti penelitian dan pengembangan (R&D), desain produk, desain proses, logistik, pemasaran, dan manajemen sistem. Proffessional intellect suatu perusahaan dilaksanakan dalam empat level perusahaan meliputi pengetahuan kognitif (cognitive knowledge), peningkatan ketrampilan (advanced skill), pemahaman sistem (system understanding), dan kreativitas yang dimotivasi oleh diri sendiri/self-motivated creativity (Quinn 1998) Cognitive knowledge merupakan keunggulan mendasar dari suatu disiplin yang dicapai oleh profesional melalui pelatihan yang ekstensif dan sertifikasi. Advanced skill menterjemahkan pembelajaran dari buku kedalam suatu aplikasi yang efektif. Kemampuan untuk mengaplikasikan peraturan disiplin dalam masalah dunia nyata yang kompleks merupakan proses penciptaan nilai profesional yang tersebar dalam semua level. System understanding memungkinkan para profesional untuk menyelesaikan masalah yang besar dan kompleks dan untuk menciptakan nilai lebih. Pengetahuan para profesional tentang “know why” dapat mengantisipasi subtle interaction dan konsekuensi yang tidak diharapkan. Self motivated creativity terdiri atas kemauan, motivasi, dan kemampuan adaptasi untuk mencapai kesuksesan.
10
Tiga level pertama berada dalam sistem organisasi, database, atau teknologi operasi, sedangkan level keempat ditemukan dalam budaya organisasi. Nilai intelektualitas mengalami peningkatan skala intelektual dari cognitive knowledge ke self-motivated creativity. Pentingnya peran proffesional intellect dalam pencapaian keunggulan kompetitif perusahaan menuntut perusahaan untuk mampu mengembangkan dan mengelola aset intelektual. Beberapa praktek untuk mengembangkan proffessional intellect meliputi merekrut orang-orang terbaik, kemampuan pengembangan dini secara intensif, peningkatan tantangan bagi para profesional, dan evaluasi. Melalui proses rekrutmen dan seleksi orang-orang terbaik, organisasi dapat memanfaatkan pengetahuan “know how” dari para intelektual yang dikembangkan untuk menyelesaikan permasalahan riil yang kompleks. Penutup Aset intelektual merupakan faktor kunci kesuksesan organisasi dalam merespon perubahan lingkungan bisnis dan kemajuan teknologi yang pesat dan membawa dampak pada munculnya knowledge society dan ekonomi berbasis pengetahuan. Ekonomi berbasis pengetahuan menunjukkan suatu trend bahwa perekonomian lebih banyak tergantung pada pengetahuan, informasi, dan ketrampilan yang tinggi, serta menjamin ketersediaan aset-aset intangible tersebut. Dalam kondisi ini, peran SDM yang kompeten sangat diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan, yaitu SDM yang berbasis pengetahuan dan memiliki ketrampilan-ketrampilan sehingga dapat menguasai perkembangan teknologi yang ada. Pengembangan SDM berbasis pengetahuan memerlukan proses pembelajaran yang mendukung baik proses pembelajaran pada diri sendiri maupun proses pembelajaran dalam organisasi. Untuk meraih keunggulan kompetitif, organisasi perlu memperhatikan pentingnya pengelolaan proffessional intellect yang dapat dikelola melalui manajemen pengetahuan. Manajemen pengetahuan menitikberatkan pada akuisisi dan komunikasi pengetahuan yang menjadi fondasi proses pembelajaran dalam organisasi Referensi Argyris, C., 1998. Teaching smart people how to learn. Harvard Business Review on Knowledge Management, 81-108. Drake, K. (2003). Firms, knowledge and competitiveness. The OECD Observer.
Drucker, P.F., 1992. Managing for the future. Buttrworth Heinemann Ltd, New York.
Fiol, C.M. dan Lyles, A.M., 1985. Organizational learning. Academy of Management Review, October Garvin, D.A., 1998. Building a learning organization. Harvard Business Review on Knowledge Management, 47-78 Hidayanto, A. (2006). Bahan kuliah knowledge management departemen Teknik Industri Universitas Indonesia.
11
Karl, A. K. (2003). Human resource management in the knowledge economy. The Academy of Management Executive. Vol. 17, Iss. 2, p.137-139 Kimpeler, S. (2002). What is “knowledge management” in theory and practice. Paper for the Baltic-Net Conference on Knowledge Management in Networks and Innovation Systems in Regions In Transition. Denmark Malhotra, Y. (1997), “Knowledge Management”, Knowledge Organizations and Knowledge Workers: A View from the Front Lines.
Manasco, B., 1996. Leading Firms Develop Knowledge Strategies. Knowledge Inc., 1 (6), 26-29
Muttaqien, A. (2006). Membangun perpustakaan berbasis konsep knowledge management: transformasi menuju research college dan perguruan tinggi.berbasis internasional Nonaka, I. & Takeuchi, H. (1995). The knowledge-creating company: how Japanese companies create the dynamics of innovation. Oxford: Oxford University Press Rachmany, H. & Akib, H. (2002). Rekonstruksi manajemen pengetahuan. Majalah Manajemen. Raich, M. (2002). HRM in the knowledge-based economy: is there an afterlife? Journal of European Industrial Training. Vol.6, Iss.7, p.269 Setiarso, B. (2003). Manajemen pengetahuan (knowledge management) dan proses penciptaan pengetahuan. LIPI Skyrme, D.J. (2003) Knowledge management: making sense of an oxymoron. Stata, R., 1989. Organizational learning-the key to management innovation. Sloan Management Review, Spring. Tuomi, I. (2002). The future of knowledge management. Lifelong Learning in Europe (LLinE). Vol.7, Iss. 2, p.69-79 Tjakraatmadja, J.H., & Lantu, D.C., 2006. Knowledge Management Dalam Konteks Organisasi Pembelajar. Sekolah Bisnis dan Manajemen, Institut Teknologi Bandung. Quinn, J.B., Anderson, P., dan Pinkelstein, 1998. Managing proffesional intellect. Harvard Business Review on Knowledge Management, pp. 181-205
12
MANAGEMEN LABORATORIUM MANAJEMEN PENGETAHUAN UNTUK KESELAMATAN PASIEN (Knowledge Management on Patient Safety) Hartono1, Rika Subarniati2, Widodo J. Pudjirahardjo2, FM. Judajana1
ABSTRACT Many mistakes are often made in the laboratory such as: confusing results of specimen examination, wrong process of laboratory services and many problems appearing during services can result in patient’s error. the knowledge management can be a systematically way to capture and communicate knowledge to the laboratory technicians in order to minimize errors made in the laboratory. the purpose of this study is to prove that by implementation of patient’s safety using management strategy of knowledge about patient’s safety can increase the performance of laboratory personnel. the study is carried out pre-experimentally by using a pre-post design in a group without a control group comprising 55 respondents. Prior to giving implementation about knowledge of patient’s safety, the study subjects were tested by a pre-test about: the personnel’s potentials (mindset, attitude, awareness and knowledge), quality of work and performance of the personnel. Knowledge management was implemented in several stages, starting from dispersion of knowledge by making: modules, stages of setting up a team, distribution of knowledge by training and executing patient’s safety and acquainting knowledge by routine team meetings, recording, reporting and evaluation of patient’s safety. the increase of potentials, work process quality and personnel performance was post-tested to show a change and implementation effect of knowledge management about patient’s safety. the result showed a significant change in the personnel potentials post implication of knowledge management (p<0.001). A significant change was also shown in increase work quality (p<0.001). the influence of potential increase of work process quality showed a significant correlation (p=0.172, β=01.87). the increase of personnel potentials also influenced the improvement of their performance (p=0.002, β: 0.406). However, the increase of personnel work process quality significantly influenced the improvement of personnel performance (p<0.001, (β=0.581) Based on this study it can be concluded that knowledge management about patient’s safety can influence the increase of potentials and quality of personnel work process. the increase of quality on the personnel work process can significantly influence the improvement of personnel performance as well. Key words: Patient’s safety, knowledge management ABSTRAK Di laboratorium sering terjadi kesalahan misalnya dalam hal: pemeriksaan spesimen, kesalahan pelayanan laboratorium dan masalah yang timbul selama layanan dapat merugikan pasien. Pelatihan manajemen pengetahuan secara sistematik diperlukan untuk menangkap dan menyampaikannya kepada petugas laboratorium dengan tujuan memperkecil kesalahan yang terjadi di tempat tugasnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat keselamatan pasien dengan melaksanakan strategi manajemen pengetahuan tentang hal terkait untuk meningkatkan kinerja petugas di laboratorium. Penelitian berupa prapercobaan dengan uji pra-pasca pelaksanaan. Kajian manajemen pengetahuan tanpa menggunakan kelompok pembanding ini mengikut sertakan 55 orang responden. Prapelaksanaan pelatihan manajemen pengetahuan tentang keselamatan pasien, dilakukan dengan mengukur kemampuan petugas (kebiasaan perilaku, sikap, kesadaran dan pengetahuan), mutu proses kerja dan kinerja petugas. Manajemen pengetahuan dilaksanakan dalam beberapa tahap, dimulai dengan mewujudkan pengetahuan dalam bentuk modul, membentuk regu kerja, penyebaran pengetahuan dengan melaksanakan pelatihan, serta membudayakannya dengan melakukan pencatatan, pelaporan dan penilaian keselamatan pasien pada pertemuan rutin. Perubahan kemampuan petugas, peningkatan mutu proses kerja dan peningkatan kinerja petugas diukur pascapelaksanaan manajemen pengetahuan. Telitian menunjukkan bahwa pascapelaksanaan manajemen pengetahuan menunjukkan perubahan terkait kemampuan petugas secara bermakna (p<0,001), juga tampak peningkatan mutu kerja petugas yang menunjukkan perubahan secara bermakna (p<0,001). Peningkatan kemampuan petugas berpengaruh dalam proses kerja secara bermakna (p=0,172, β =01,87). Peningkatan kemampuan petugas berpengaruh secara bermakna terhadap perbaikan kinerja petugas (p<0,002, β: 0,406), serta peningkatan mutu proses kerja yang mempengaruhi kinerja petugas (p<0,001, β =0,581). Berdasarkan kajian ini dapat disimpulkan, bahwa pelaksanaan pelatihan manajemen pengetahuan tentang keselamatan pasien meningkat berkat kemajuan kemampuan dan mutu proses kerja petugas. Peningkatan mutu proses kerja petugas juga menaikkan secara bermakna kinerjanya. Kata kunci: Keselamatan pasien, manajemen pengetahuan
1 2
Departemen Patologi Klinik FK-UNAIR/ Instalasi Patologi Klinik RSUD Dr. Soetomo Surabaya. E-mail:
[email protected] Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya
253
PENDAHULUAN Pelayanan di laboratorium klinik meliputi tiga tahap yakni: praanalisis, analisis dan pascaanalisis yang melibatkan petugas di luar dan di dalam laboratorium. Didasari telusuran beberapa kepustakaan yang dilakukan oleh Bonini et al,1 didapatkan data kesalahan pada tahap praanalisis berkisar antara 31,6% hingga 75%. Pada tahap analisis kesalahan terjadi antara 13,3% hingga 31,6% dan yang pascaanalisis kesalahan yang timbul antara 9% hingga 30,8%. Secara menyeluruh, rerata kesalahan yang terjadi di laboratorium klinik berkisar antara 0,1% hingga 9,3%.2 Penjelasan di atas, menimbulkan keingintahuan para peneliti ini untuk mengetahui apakah terdapat kesalahan dalam layanan di Laboratorium Patologi Klinik Instalasi Patologi Klinik RSUD Dr. Soetomo Surabaya tempat yang bersangkutan bekerja. Instalasi Patologi Klinik memberikan layanan laboratorik kepada pasien yang berasal dari Instalasi Rawat Jalan, Instalasi Rawat Inap Medik dan Instalasi Rawat Inap Bedah RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Jumlah pasien yang diperiksa setiap hari sekitar 250 hingga 300 orang. Untuk mengetahui kesalahan yang terjadi terkait layanan laboratorik di Instalasi Patologi Klinik, peneliti mengamatinya selama empat hari kerja pada tanggal 12 Juni 2008, 13 Juni 2008, 16 Juni 2008 dan 17 Juni 2008. Berdasarkan amatan didapatkan data sebagai berikut: di bagian loket pendaftaran sebanyak 30,81% berupa catatan nama tidak jelas; pemeriksaan darah lengkap sebesar 51% berupa borang yang permintaan pemeriksaan tidak lengkap; pemeriksaan faal hemostasis pengisian borang tidak lengkap sebesar 71,25%, label tabung tidak baku ditemukan 100%; pemeriksaan imunologis ditemukan pengisian borang tidak lengkap sebesar 47%, label tabung tidak lengkap sebesar 14,75%. Semua hal tersebut merupakan kesalahan yang dapat timbul di laboratorium yang berdampak juga kepada kesalahan penanganan pasien. Penyelidikan menggunakan daftar tanya jawab telah dilaksanakan untuk mengetahui pola pikir para koordinator pelayanan setiap bagian. Hasil penyelidikan menunjukkan, bahwa pola pikir menggambarkan mutu pelayanan yang baik adalah bila dilaksanakan: sesuai tatalangkah atau prosedur tetap (protap) (57%); aman bagi petugas (43%); memuaskan (29%); cepat serta tepat waktu (14%) pada pelaksanaannya. Hal tersebut belum mencerminkan keselamatan pasien terkait pekerjaan laboratorik. Dengan demikian maka keselamatan pasien perlu pula dilaksanakan secara terawasi ketertibannya di instalasi patologi klinik.
Keselamatan pasien di laboratorium klinik berupa upaya mencegah terjadinya kesalahan di laboratorium. Penerapan keselamatan pasien memerlukan strategi dan melibatkan Sumber Daya Manusia (SDM). Peneliti memilih strategi menggunakan pelatihan manajemen pengetahuan untuk meningkatkan kemampuan SDM di Instalasi Patologi Klinik (IPK). Peneliti memodifikasi tahapan pelatihan manajemen pengetahuan menjadi: tahap mewujudkan pengetahuan, tahap menata prasarana, tahap menyebarkan pengetahuan dan tahap membudayakan hal tersebut. Di samping itu, peneliti menetapkan penunjuk SDM, yaitu kemampuan petugas dengan variabel: pengetahuan, kesadaran, sikap dan kebiasaan perilakunya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelatihan manajemen pengetahuan yang dapat dipergunakan untuk pelaksanaan keselamatan pasien di laboratorium klinik dengan membuktikan bahwa hal tersebut terkait dengan meningkatkan kemampuan petugas, proses kerja dan kinerja petugasnya. Hipotesis dalam kajian ini ditetapkan sebagai berikut: Kinerja petugas IPK, berhubungan dengan; perubahan kemampuan (pengetahuan, kesadaran, sikap dan kebiasaan perilaku) pascapelaksanaan pelatihan manajemen pengetahuan, perubahan mutu proses kerja petugas di Instalasi Patologi Klinik pascapelaksanaan manajemen pengetahuan pengaruh kemampuan terhadap mutu proses kerja petugas di Instalasi Patologi Klinik pengaruh kemampuan terhadap kinerja petugas di Instalasi Patologi Klinik dan pengaruh mutu proses kerjanya.
METODE Rancangan penilitian berupa kajian praeksperimental, yang dilaksanakan mulai bulan April hingga Oktober 2011 di Instalasi Patologi Klinik RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Patokan kesertaan populasi sasaran adalah Petugas yang terlibat langsung pada pelayanan di Instalasi Patologi Klinik RSUD Dr. Soetomo; Petugas yang sudah bertugas di Instalasi Patologi Klinik selama lebih dari tiga bulan; Petugas yang masih aktif bertugas selama masa penelitian. Mereka yang tidak disertakan adalah dalam masa pensiun dan cuti atau sakit dalam kurun waktu lebih dari satu (1) bulan. Jumlah sampel berdasarkan perhitungan adalah 48 orang, dengan mempertimbangkan kemungkinan terjadi kegagalan, maka besarnya ditetapkan sebanyak 55 petugas. Sampel di setiap unit pelayanan dihitung secara proporsional, diperoleh perincian sebagai berikut: loket pendaftaran tujuh (7) orang, urusan sampling delapan (8) orang, bagian kimia klinik sembilan (9) orang,
254 Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 20, No. 3 Juli 253–259
bagian hematologi enam (6) orang, bagian imunologi tiga (3) orang, bagian penyakit infeksi tiga (3) orang, loket pengambilan basil satu (1) orang dan PPDS patologi klinik 18 orang. Variabel pada penelitian ini adalah: kemampuan petugas, mutu proses kerja dan kinerjanya. Penelitian dilaksanakan dalam tiga langkah yakni: langkah pertama mengukur kemampuan petugas, mutu proses kerja dan kinerja petugas prapelaksanaan pelatihan manajemen pengetahuan. Langkah kedua mengukur tahapan pelatihan manajemen pengetahuan dalam pelaksanaan keselamatan pasien di instalasi patologi klinik. Langkah ketiga pengukuran pascapelaksanaan pelatihan manajemen pengetahuan. Pengolahan data dilaksanakan sebagai berikut: uji normalitas (Kohnogorov-Smirnof) untuk menentukan hal yang terkait data. Uji statistik deskripsi kekerapan untuk menggambarkan sebaran data yang diteliti. Uji beda pra dan pasca menggunakan paired t-test untuk data bersebaran normal. Uji beda pra dan pasca menggunakan uji Wilcoxon untuk data yang bersebaran tidak normal, uji regresi linier untuk mengetahui pengaruh antar variabel. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa semua data variabel memiliki sebaran normal kecuali proses kerja dan kinerja petugas terkait.
HASIL DAN PEMBAHASAN Petugas Instalasi Patologi Klinik Komposisi petugas Instalasi Patologi Klinik (IPK) sebagai sampel pada penelitian ini terdiri dari lakilaki 14 orang (25,5%) dan wanita 41 orang (74,5%). Unit pelayanan petugas instalasi patologi klinik terbagi dalam tujuh bagian yaitu: loket pendaftaran, ruang pengambilan spesimen, hematologi klinik, kimia klinik, imunologi klinik, penyakit infeksi dan loket penyerahan hasil. Penyebaran petugas berdasarkan unit layanan yang tertera di Tabel 1.
Berdasarkan pendidikan, petugas yang lulus: SMA sebanyak 10 orang (18,1%), Diploma Analis Kesehatan 27 (491%) orang, S-1 7 (12,7%) orang dan pendidikan dokter 18 (20,1%). Berdasarkan lama kerja di instalasi patologi klinik kurang dari lima (5) tahun berjumlah delapan (8) orang (14,5%). Komposisi petugas berdasarkan pelatihan yang pernah diikuti tentang keselamatan pasien sebanyak lima (5) orang (13,5%) sudah mengikuti pelatihan, sedangkan yang 32 (86,5%) orang belum pernah mengikutinya. Tahapan pelatihan manajemen pengetahuan Penilaian terhadap tahapan manajemen pengetahuan menunjukkan hasil baik (73,2%). Rincian pencapaian kemajuan per tahap pelatihan manajemen pengetahuan ditunjukkan di Tabel 2. Berdasarkan tahapan pelatihan manajemen pengetahuan menunjukkan bahwa tingkatan mewujudkan pengetahuan dan menyebarkannya dengan kategori sangat baik dengan rerata 90% dan 86%. Tahap menata prasarana menunjukkan kategori baik (66,7%), sedangkan yang membudayakan pengetahuan kategori cukup (50%). Mutu proses kerja Variabel mutu proses kerja petugas IPK mempunyai lima sub, antara lain adalah: pemberian penjelasan persiapan pasien, pengambilan spesimen dan pemberian label di wadahnya, analisis penulisan serta hasilnya. Subvariabel pemberian penjelasan ditangani oleh tujuh (7) petugas, pengambilan spesimen dan pemberian label wadahnya oleh delapan (8) orang, bagian analisis ditangani oleh 21 orang dan di bagian penulisannya oleh 19 orang. Peningkatan mutu proses kerja petugas sebelum dan sesudah dilakukan pelaksanaan ditunjukkan di Tabel 3. Tampak bahwa peningkatan mutu proses kerja petugas pascapelaksanaan keselamatan pasien menunjukkan peningkatan sebesar 14,69%.
Tabel 1. Sebaran petugas berdasarkan unit pelayanan No.
Macam unit pelayanan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Loket pendafataran Ruang sampling Divisi hematologi klinik Divisi kimia klinik Divisi imunologi klinik Divisi penyakit infeksi Loket penyerahan hasil
Jumlah
Jumlah terteliti (55 orang) Admin
Analis
PPDS
Jumlah keseluruhan
Persen (%)
7 1
8 6 9 3 3 -
10 3 2 3 -
7 8 16 12 5 6 1
12,7 14,5 29,1 21,8 9,1 10,9 1,8
8
29
18
55
100
Manajemen Pengetahuan untuk Keselamatan Pasien - Hartono, dkk
255
Tabel 2. Tahapan pelatihan manajemen pengetahuan petugas di Instalasi Patologi Klinik terkait keselamatan pasien No. 1. 2. 3. 4.
Tahapan manajemen pengetahuan
Rerata (%)
Mewujudkan pengetahuan Menata prasarana Menyebarkan pengetahuan Membudayakan pengetahuan
Manajemen pengetahuan
Kategori (Kategori)
90,0 66,7 86,0 50,0
Sangat baik Baik Sangat baik Cukup
73,2
Baik
Tabel 3. Mutu proses kerja petugas Instalasi Patologi Klinik pra dan pascapelatihan manajemen pengetahuan No. 1. 2. 3. 4. 5.
Proses kerja (jumlah orang) Pemberian penjelasan persiapan pasien (7) Pengambilan spesimen (8) Pemberian label (8) Analisis spesimen (21) Penulisan hasil analisis (19) Proses kerja petugas
Pra pelaksanaan (%)
Pascapelaksanaan (%)
Peningkatan (%)
86,64
99,07
12,43
88,13 90,42 82,54 77,74
96,88 96,88 98,74 94,58
8,75 6,46 16,20 16,84
82,38
97,07
14,69
Kemampuan petugas Kemampuan petugas pascapelaksanaan pelatihan manajemen pengetahuan menunjukkan peningkatan secara bermakna (p<0,001). Rincian peningkatan kemampuan petugas ditunjukkan di Tabel 4. Subvariabel kemampuan petugas (pengetahuan, kesadaran sikap dan kebiasaan perilaku) menunjukkan peningkatan bermakna, kecuali yang terkait peningkatan secara tidak bermakna. Uji Hipotesis Uji hipotesis (H1) menunjukkan bahwa kemampuan petugas terjadi peningkatan pascapelaksanaan pelatihan manajemen pengetahuan secara bermakna (p<0,001). Berdasarkan subvariabel kemampuan petugas menunjukkan bahwa yang terkait kebiasaan perilaku petugas terjadi peningkatan tidak bermakna. Uji hipotesis (H2) menunjukkan terjadi perubahan mutu proses kerja petugas pascapelaksanaan manajemen pengetahuan secara bermakna (p<0,001). Subvariabel proses kerja yang tidak terjadi perubahan adalah pemberian penjelasan. Uji hipotesis (H3) menunjukkan peningkatan kemampuan petugas pasca-
pelaksanaan pelatihan manajemen pengetahuan tidak berhubungan secara bermakna terhadap peningkatan mutu proses kerja petugas (p<0,172, (3: 0,187). Uji hipotesis (H4) menunjukkan peningkatan kemampuan petugas pascapelaksanaan manajemen pengetahuan berpengaruh secara bermakna terhadap perbaikan kinerja petugas secara bermakna (p<0,002, 13: 0,406). Uji hipotesis (H5) menunjukkan peningkatan kemampuan petugas berpengaruh terhadap kinerja petugas secara bermakna (p<0,001, 13: 0,581). Rangkuman hasil uji hipotesis terdapat pada di Tabel 5. Pada penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pelatihan manajemen pengetahuan tentang keselamatan pasien di instalasi patologi klinik kategorinya baik. Pada tahap pewujudan pengetahuan melibatkan para koordinator unit pelayanan setiap bagian dan staf dokter senior. Modul yang tersusun sebagai wujud pengetahuan tentang keselamatan pasien di instalasi patologi klinik dapat dimengerti dengan baik dan dapat meningkatkan pengetahuan secara bermakna. Pada tahap penataan prasarana lebih berfokus kepada pengaturan regu keselamatan pasien. Salas
Tabel 4. Kemampuan (kesadaran, kebiasaan perilaku dan sikap) dan pengetahuan petugas instalasi patologi klinik pra dan pasca-pelaksanaan perlatihan keselamatan pasien No. 1 2 3 4
Kemampuan petugas Pengetahuan Kesadaran Sikap Kebiasaan perilaku Kemampuan petugas IPK
Peningkatan
P
Rerata
SB (SD)
Rerata
Rentang
22,73 4,55 25,62 1,59
19,58 12,57 6,20 8,43
25,00 4,17 23,22 2,08
(-25,00)-(52,78) (-22,92)-37,50 16,07-42,86 (-25,00)-(20,84)
<0,001 0,016 <0,001 0,167
10,58
6,72
10,02
(-1,78)-(25,50)
<0,001
256 Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 20, No. 3 Juli 253–259
Tabel 5. Rangkuman hasil uji hipotesis Hipotesis H1 H2 H3 H4 H5
Variabel Manajemen pengetahuan kemampuan petugas IPK Manajemen pengetahuan mutu proses kerja petugas IPK Kemampuan petugas IPK mutu proses kerja petugas IPK Kemampuan petugas IPK kinerja petugas IPK Mutu proses kerja kinerja petugas IPK
et al3 menjelaskan bahwa patokan kerja regu dalam meningkatkan keselamatan pasien dinilai dari pengetahuan, kecakapan dan sikapnya. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan regu maupun petugas meningkat secara bermakna. Perubahan sikap yang mendukung kegiatan keselamatan pasien yakni mau melaporkan kejadian dan tidak saling menyalahkan bahkan para koordinator pelayanan mempelopori pemecahan masalah yang ditemuinya. Penyebaran pengetahuan menurut Nonaka4 pengetahuan yang tacit ke yang lebih jelas dengan proses penyelarasan keadaan luar. Pengetahuan yang lebih jelas ke hal sama lainnya melalui proses gabungan. Pengetahuan yang lebih jelas ke pengetahuan tacit melalui proses internalisasi. Pada penelitian ini penyebaran pengetahuan tentang keselamatan pasien melalui proses internalisasi maupun penyelarasan keadaan luar melalui modul keselamatan pasien dengan pembelajaran secara mandiri, kemudian dibahas secara kelompok kerja di setiap bagian yang dipimpin para koordinatornya. Di samping itu, pertemuan dilakukan untuk memecahkan masalah tingkat Instalasi yang dipimpin oleh ketua regu keselamatan pasien beserta kepala instalasi patologi klinik. Budaya organisasi digambarkan sebagai sikap, pengalaman, keyakinan dan nilai yang didapatkan melalui pembelajaran, interaksi antar individu dan kelompok yang terkait.5 Dalam telitian ini menunjukkan tahap membudayakan keselamatan pasien mencapai kategori cukup. Hal ini disebabkan karena pembudayaan keselamatan pasien sedang berjalan dan proses tersebut terus berlanjut. Sehingga pada masa waktu berikutnya perlu diamati ulang. Pada pelaksanaan pelatihan keselamatan pasien yang dilakukan dalam empat (4) tahap, terdapat keterbatasan, antara lain belum tersusun modal keselamatan pasien untuk: perawat, dokter Spesialis Patologi Klinik serta tenaga medik di lingkungan Rumah Sakit. Pelaksanaan pelatihan keselamatan pasien sudah terdapat pedoman dari Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS), yakni yang berisi hal terkait keselamatan pasien di rumah sakit melalui tujuh
p
Kuat pengaruh (ß)
<0,001
-
Bermakna
Keterangan
<0,001
-
Bermakna
0,172
0,187
Tidak bermakna
0,002
0,406
Bermakna
<0,001
0,581
Bermakna
langkah kegiatan, yaitu: membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien; memimpin dan mendukung staf di tempat tugas; menyatupadukan aktivitas pengelolaan kebahayaan; mengembangkan sistem pelaporan; melibatkan hal terkait dengan berkomunikasi dengan pasien; belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien serta mencegah cidera melalui pelaksanaan sistem keselamatan pasien.6 Antara manajemen pengetahuan sebagai strategi pelaksanaan keselamatan pasien dan pedoman dari Departemen Kesehatan terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut terletak pada pengelolaan pengetahuan para petugas terkait. Yaitu pelatihan manajemen pengetahuan di bidang pekerjaan petugas pelaksana pelayanan laboratorik klinik. Pelatihan manajemen pengetahuan sebagai strategi pelaksanaan keselamatan memiliki tujuan jangka pendek maupun panjang. Tujuan jangka pendek yakni mengelola pengetahuan petugas, sehingga petugas lebih cepat bergerak mencegah kemungkinan terjadi kejadian yang tidak diharapkan maupun yang nyaris menciderakan. Tujuan jangka panjang adalah membudayakan keselamatan pasien di laboratorium klinik. Pembentukan pengetahuan dapat digambarkan sebagai berikut: individu mendapatkan rangsangan dari luar lingkungan yang selanjutnya diterima oleh pancaindera penerimaan.7 Rangsangan yang secara sadar dan bermakna akan disimpan dan menjadi bagian ingatan selanjutnya diproses dalam jangka pendek atau hal terkait kegiatan kerjanya. Sesudah itu, melalui proses rumit dialihkan ke dalam ingatan jangka panjang. Dalam ingatan jangka panjang seluruh penerimaan ini, yaitu pengetahuan dan penjelasan yang telah dipelajari oleh seseorang akan disimpan. Penyimpanan data dalam ingatan jangka panjang bersifat dinamis, bila dipergunakan data dan penjelasan yang dapat dipanggil ulang.8 Tahapan manajemen pengetahuan penting untuk dilakukan, agar proses terbentuknya pengetahuan di petugas berjalan dengan baik dan mencapai ingatan berjangka panjang.
Manajemen Pengetahuan untuk Keselamatan Pasien - Hartono, dkk
257
Galia dan Legros9 telah meneliti penerapan manajamen pengetahuan untuk meningkatkan pengetahuan yang terkait sumber daya manusia. Pada penelitian ini, pengukuran pengetahuan menggunakan sajian daftar tanya jawab dengan mengukur enam (6) tingkat kognitif yang merujuk kepada Bloom taxonom.10 Telitian menunjukkan perubahan bermakna yang terjadi di tingkat mengerti (understand), menerapkan (apply), menilai (evaluate) dan mencipta (create). Petugas administrasi di laboratorium, analis maupun mahasiswa PPDS mencapai tingkat kognisi mengerti dan menerapkan terjadi perubahan secara bermakna di para Analis Laboratorium Klinik. Kognisi menilai terjadi perubahan secara bermakna di mahasiswa PPDS. Sedangkan di tingkat kognisi mencipta terjadi perubahan secara bermakna di para petugas analis dan mahasiswa PPDS. Kesadaran terkait keadaan (situational awareness) dibagi menjadi tiga (3) tingkatan yakni tingkat pertama (penerimaan/persepsi), tingkat kedua (pemahaman/komprehensi) dan tingkatan ketiga (perencanaan/proyeksi).11 Sneddon et al12 menyimpulkan kesalahan terbesar yang terjadi di kesadaran tingkat penerimaan (66,7%), disebabkan data keterangan tentang kondisi sekitar petugas kurang tersedia. Telitian ini menunjukkan, bahwa perubahan kesadaran di tingkat penerimaan secara bermakna terdapat di mahasiswa PPDS. Petugas Administrasi dan Analis tidak menunjukkan perubahan secara bermakna. Perubahan kesadaran tingkat pemahaman secara bermakna terdapat di petugas Analis dan mahasiswa PPDS. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa PPDS telah mampu mengidentifikasi permasalahan keselamatan pasien di lingkungan kerjanya. Di samping itu, mahasiswa PPDS mampu menggabungkan dan menyatupadukan berbagai macam penjelasan tentang keselamatan pasien untuk dipergunakan dalam memecahkan masalah serta memutuskan perbaikan dalam upaya mencapai tujuan keselamatan yang bersangkutan. Pascapelaksanaan pelatihan manajemen pengetahuan tentang keselamatan pasien dan pengaruhnya terhadap petugas Analis menunjukkan bahwa terjadi perubahan kesadaran di tingkat penerimaan. Perubahan tersebut bermakna, yaitu bahwa petugas Analis mampu mengumpulkan penjelasan tentang keselamatan pasien dan mempersepsikan dalam bentuk kejadian yang tidak diharapkan atau yang nyaris cidera. Komponen sikap terdiri dari kognitif, terkait perasaan hati (afektif) dan kerja ma (konatif).13 Dalam telitian ini petugas administrasi menunjukkan perubahan sikap di ketiga komponen sikap yakni kognisi, afeksi dan konasi. Perubahan sikap petugas administrasi IPK
dapat terjadi karena: (1) pengalaman pribadi selama mengikuti pelatihan manajemen pengetahuan tentang keselamatan pasien dan (2) pengaruh orang lain, yaitu: arahan para koordinator, serta ketua tim keselamatan pasien. Dweck14 menjelaskan hubungan self-theory dengan kebiasaan perilaku, yakni: kebiasaan yang menetap ( fixed-mindset) dan yang berkembang (growth-mindset). Madegosky et al15 dalam telitiannya menyimpulkan bahwa pengetahuan, kecakapan dan sikap mahasiswa kedokteran dalam penerapan kurikulum keselamatan pasien terjadi setelah tahun kedua. Gollwitzer16 menekankan bahwa pemberian penjelasan akan mempersiapkan kebiasaan perilaku dan sikap lebih siap. Fischer17 menyarankan untuk mengubah kebiasaan perilaku dengan pembelajaran seumur hidup. Dalam telitian ini tertunjukkan bahwa petugas administrasi, analis maupun mahasiswa PPDS tidak mengalami perubahan kebiasaan perilaku seca ra ber ma k na. Ha l i n i dapat disebabkan karena petugas yang memiliki kebiasaan yang menetap (fixed-mindset), waktu pelaksanaan pelatihan keselamatan pasien kurang lama (hanya empat bulan), pemberian penjelasan belum mempengaruhi kebiasaan perilaku. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan pelatihan manajemen pengetahuan perlu diperpanjang waktunya.
SIMPULAN DAN SARAN Pelatihan manajemen pengetahuan dapat meningkatkan kemampuan (pengetahuan, kesadaran, kebiasaan perilaku dan sikap) petugas terhadap pelaksanaan keselamatan pasien. Hal ini berarti bahwa pelatihan manajemen pengetahuan dapat digunakan sebagai strategi untuk meningkatkan kemampuan petugas dalam pelaksanaan keselamatan pasien di laboratorium klinik. Penelitian ini perlu dilanjutkan juga dengan melibatkan para perawat dan dokter Spesialis Patologi Klinik yang lebih banyak disertai kelompok pembanding. Di samping itu perlu juga dalam penelitian menggunakan spesimen lain seperti: air kemih dan tinja yang belum pernah diikutgunakan dalam penelitian terdahulu, sehingga sesuai dengan kondisi di tempat kerja.
DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
Bonini P, Plebani M, Ceriotti F & Rubboli F. ‘Errors in laboratory medicine’, Clinical Chemistry, 2002; 48 (5): 691–698. Lippi G, Salvagno GL, Montagnana M, Franchini M & Guidi GC. `Phlebotomy Issues and Quality Improvement in Results of Laboratory Testing; Clinical Laboratory, 2006; 52: 1–11.
258 Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 20, No. 3 Juli 253–259
3.
4.
5.
6. 7.
8.
Salas E. Sims DE, Klein K & Burke S. Can teamwork enhance patient safety? Risk Management Foundation, Harvard Medical Institution, Viewed 6 june 2011,
, 2003; 5–9. Nonaka I. ‘Organizational Knowledge Creation’. The Knowledge Advantage Conference held November 11–12, 1997, Bill Spencer of the National Security Agency, viewed 10 June 2011 http://www.knowledge-nurture.com/downloads/ NONAKA.pdf, 1997; 1–3. Serrat 0. A Primer on organizational culture, Knowledge Solution, ADB, viewed 10 june 2011, < http://digitalcommons. ilr.cornell.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1109&context=intl > November, 2009; 68: 1–3. Lumenta N. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit, Jakarta, Departemen Kesehatan RI, 2008; 22–33. Bornemann M, Graggober M, Hartlieb E, Humpl B, Koronakis P, Primus A, Ritsch K, Rollet H, Sammer M, Tuppinger J, Willfort R and Wols K. An illustrated guide to knowledge management, Wissens management Forum, Austria. 2003; viewed 5 june 2011 Lutz SG & Huitt WG. Information Processeing and Memory: Theory and Applications. Educational Psycholoy Interactive. Valdosta, viewed 7 june 2011 , 2003; 1–17.
9.
10. 11. 12.
13.
14.
15.
16.
17.
Galia F & Legros D. Knowledge Management and Human Resources Practices in an Innovation Perspective: Evidance from France, viewed 11 January 2010 < http://www.druid.dk/conferences/ summer2003/papers/GALIA_LEGROS.pdf >, 2003; 1–26. Krathwohl DR. ‘A revision of bloom’s taxonomy: an overview, Theory into Practice, 2002; 41 (4): 212–218. Endsley MR. ‘In Toward a theory of situation awareness in dynamic system’, Human Factor, 1990; 37 (1): 32–64. Sneddon A, Mearns K & Flin R. `Situation Awareness and Safety in Offshore Drill Crews`, Cognitive Technology Work, 2006; 8: 255–267. Azwar S. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007; 15–26. Dweck C. ‘The Growth Mindset’, Coert Visser, viewed 5 June 2011, , 2006; 1–5. Madigosky WS, Headrick LA, Nelson K, Cox KR & Anderson T. `Changing and suatining medical student knowledge, skill and attitudes about patient safety and medical fallibility`, Academic Medicine, 2006; 81 (1): 94–101. Gollwitzer PM. Implementation Intentions, York University/ Universität Konstanz Paschal Sheeran University of Sheffield, viewed 10 june 2011, , 2008; 1–25. Fischer G. Lifelong Learning: Changing Mindsets, viewed 24 February 2011, , 1999; 1–13.
Manajemen Pengetahuan untuk Keselamatan Pasien - Hartono, dkk
259
Manajemen Pengetahuan untuk Meningkatkan Mutu Sekolah (Sumarno)
MANAJEMEN PENGETAHUAN UNTUK MENINGKATKAN MUTU SEKOLAH Sumarno Dosen Pendidikan Ekonomi Universitas Riau Pekanbaru
ABSTRAK Sekolah sebagai organisasi yang memiliki tujuan mengembangkan potensi diri peserta didik melalui proses pembelajaran, tentu sangat terkait dengan organisasi pembelajar dan bahkan menjadi hal yang sangat penting. Karena dalam organisasi pembelajar sangat berkepentingan dengan manajemen pengetahuan maka sekolah seharusnya menyelenggarakan manajemen pengetahuan agar potensi diri peserta didiknya dapat dikembangkan secara optimal dan bermanfaat bagi diri peserta didik, masyarakat, bangsa, dan negara, sehingga mutu sekolah dapat diakui masyarakat. Organisasi pembelajar dengan menerapkan manajemen pengetahuan akan sangat potensial untuk dapat membawa kemajuan organisasi sekolah. Penerapan manajemen pengetahuan di sekolah perlu dilakukan sebagai pelengkap dan pengintegrasian dari manajemen berbasis sekolah yang sekarang ini masih terpisah-pisah dalam masing-masing manajemen komponen sekolah. Adanya manajemen pengetahuan, informasi dan pengetahuan yang diperoleh dari masingmasing manajemen komponen sekolah dapat dihimpun, dibagikan, dan dimanfaatkan oleh seluruh individu sekolah. Bila sekolah dapat menerapkan manejemen pengetahuan, akan mendorong munculnya budaya knowledge sharing dan learning habit yang melibatkan seluruh personel di dalam sekolah, baik kepala sekolah itu sendiri, guru, maupun murid. Adanya budaya tersebut akan meningkatkan pengetahuan masing-masing yang kemudian akan menjadi pengetahuan orang lain bahkan organisasi, sehingga semua pihak menjadi lebih kompeten. Lebih kompetennya semua pihak pada akhirnya menjadikan mutu sekolah menjadi meningkat. Kata kunci: manajemen pengetahuan, organisasi pembelajar dan mutu sekolah. LATAR BELAKANG PENELITIAN Dalam perkembangan teori organisasi, telah muncul teori yang dikenal dengan learning organization (organisasi pembelajar) yaitu organisasi dimana orang-orang secara kontinyu menemukan dan mengembangkan kapasitasnya untuk menciptakan masa depan (Senge, 1994). Dari perkembangan organisasi pembelajar tersebut ada tuntutan terhadap organisasi untuk menyediakan/menciptakan, mengumpulkan, serta mendistribusikan pengetahuan yang harus/dapat dipelajari dan diaplikasikan oleh orang-orang yang ada dalam organisasi agar organisasi mencapai kemajuan. Untuk tercapainya organisasi pembelajar, muncul manajemen yang mampu mendukung pelaksanaannya yaitu yang dikenal dengan manajemen pengetahuan (knowledge management) karena organisasi pembelajar melibatkan pemerolehan dan penggunaan pengetahuan baru (Yukl, 2010). Melalui manajemen pengetahuan tersebut diharapkan tersedia pengetahuan yang terdistribusikan keseluruh organisasi sehingga orang-orang yang ada dalam organisasi dapat menggunakannnya untuk mengembangkan potensi dirinya dalam rangka mencapai kemajuan organisasi. Sekolah sebagai organisasi pendidikan mengemban amanat pendidikan nasional yaitu mengusahakan secara sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
Pekbis Jurnal, Vol.4, No.2, Juli 2012: 85-94
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003). Sebagai organisasi yang memiliki tujuan mengembangkan potensi diri peserta didik melalui proses pembelajaran, tentu sangat terkait dengan organisasi pembelajar dan bahkan menjadi hal yang sangat penting. Karena dalam organisasi pembelajar sangat berkepentingan dengan manajemen pengetahuan maka sekolah seharusnya menyelenggarakan manajemen pengetahuan agar potensi diri peserta didiknya dapat dikembangkan secara optimal dan bermanfaat bagi diri peserta didik, masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam organisasi sekolah, belajar itu tidak hanya penting bagi peserta didik, melainkan juga bagi semua orang yang terlibat dalam sekolah (terutama guru dan kepala sekolah) agar dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan masyarakat sebagaimana yang dinyatakan McShane & Gilnow (2008) bahwa organisasi harus terus menerus belajar tentang lingkungannya agar dapat survive dan sukses melalui adaptasi. Ikujiro Nonaka dari Jepang mengadopsi pengajaran dan pembelajaran untuk mencapai kemajuan organisasi bisnis dengan menyatakan bahwa organisasi pembelajar harus ada organisasi pengajaran (the learning organization must be a teaching organization), sehingga dimungkinkankannya pengetahuan yang dimiliki secara personal dapat diakses oleh orang lain (Kanter, 2003). Ini berarti bahwa organisasi pengajaran dengan manajemen pengetahuannya akan sangat potensial untuk dapat membawa kemajuan organisasi sekolah. Dalam pengelolaan sekolah, dikenal adanya manajemen berbasis sekolah yang mencakup manajemen komponen sekolah yaitu manajemen: kurikulum dan program pengajaran, tenaga kependidikan, kesiswaan, keuangan, sarana dan prasarana, hubungan sekolah dan masyarakat, serta manajemen pelayanan khusus lembaga pendidikan (E. Mulyasa 2011). Manajemen tersebut masih berjalan sendirisendiri, informasi-informasi baru yang datang tidak dimanfaatkan untuk perubahan dan kesuksesan. Misalnya saja informasi tentang kemampuan awal siswa yang masuk pada setiap awal tahun ajaran; guru tidak semuanya mengetahui dan yang mengetahui juga tidak memanfaatkan untuk menyempurnakan program pembelajaran, kepala sekolah tidak menjadikannya sebagai sumber pengetahuan yang dapat meningkatkan pengelolaan dan pelaksanaan keputusan/kebijakan sekolah. Begitu juga bila ada guru yang mengikuti seminar ataupun pelatihan, pengetahuannya tidak dibagikann kepada koleganya untuk perbaikan dan kemajuan pembelajaran bersama. Terlebih lagi terhadap informasi yang berkaitan dengan perubahan di masyarakat, sekolah sangat sedikit yang meresponnya secara organisasional. Hal-hal tersebut sebagai contoh kecil yang selama ini terjadi dan menyebabkan sekolah selalu ketinggalan dengan masyarakatnya, seperti diungkapkan oleh Zamroni (2003) bahwa praktek pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan yang riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan dalam pekerjaan. Persoalannya adalah bagaimana manajemen pengetahuan di sekolah agar dapat meningkatkan mutu sekolah? PEMBAHASAN Manajemen Pengetahuan Menurut McShane & Von Glinow (2008), manajemen pengetahuan meliputi beberapa aktivitas tersusun yang meningkatkan kapasitas organisasi untuk mendapatkan, membagi, dan menggunakan pengetahuan dalam cara yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan kesuksesan. Townley, 2001 (dalam Wikipedia, 2012), mengartikan manajemen pengetahuan sebagai seperangkat proses menciptakan dan berbagi pengetahuan ke seluruh organisasi untuk
Manajemen Pengetahuan untuk Meningkatkan Mutu Sekolah (Sumarno)
mengoptimalkan pencapaian misi dan tujuan organisasi. Dari kedua pendapat tersebut dapat diambil makna bahwa dalam manajemen pengetahuan terdapat proses atau aktivitas untuk mendapatkan/menciptakan, membagi, dan menggunakan pengetahuan untuk mengoptimalkan pencapaian misi dan tujuan organisasi sehingga kelangsungan hidup dan kesuksesan organisasi dapat ditingkatkan. Pengetahuan bukan sekedar informasi. Menurut Whitten RiyaWidayanti (2010), informasi adalah data yang telah diproses atau diorganisasi ulang menjadi bentuk yang berarti, sedangkan pengetahuan adalah informasi yang disaring lebih jauh berdasarkan fakta, kebenaran, kepercayaan, penilaian, pengalaman dan keahlian si penerima. Informasi dibentuk dari kombinasi data yang diharapkan memiliki arti bagi penerima sebagaimana diungkapkan oleh Bellinger (2004) bahwa information relates to description, definition, or perspective (what, who, when, where). Pengetahuan lebih luas dari informasi karena didalamnya sudah melibatkan penilaian dan kepercayaan berdasar pengalaman serta keahlian seseorang, yang oleh Bellinger (2004) dikatakan knowledge comprises strategy, practice, method, or approach (how). Model Empat Langkah Pembelajaran menurut Tobin & Pettingell (2008) menggambarkan proses transformasi data hingga menjadi pengetahuan dan bahkan hingga menjadi kearifan, yaitu: - Langkah 1: data (data), - Langkah 2: informasi (information), Informasi = data + tujuan + relevansi - Langkah 3: pengetahuan (knowledge), Pengetahuan = informasi + penerapan - Langkah 4: kearifan (wisdom) Kearifan = pengetahuan + pengalaman + intuisi Pada langkah pertama kita mendapatkan data, yang dapat berupa kata yang kita baca, sesuatu yang kita dengar, ataupun sesuatu yang kita pikirkan. Ketika kita mengilhami data dengan relevansi dan tujuan tertentu jadilah informasi. Relevansi dan tujuan misalnya dihubungkan dengan tugas pekerjaan. Untuk itu data yang disediakan/tersedia perlu dijelaskan oleh manajer/pimpinan tentang relevansi dan tujuannya terkait dengan tugas pekerjaan baik untuk sekarang maupun untuk kemajuan masa mendatang. Setelah pegawai memahami informasinya terkait dengan relevansi dan tujuan tugas pekerjaannya, perlu diarahkan agar informasi tersebut diterapkan pada pelaksanaan tugas pekerjaannya. Bila pegawai menggunakan informasi tersebut untuk melaksanakan tugas pekerjaannya maka masuklah ke langkah pengetahuan. Langkah terakhir dari model adalah kearifan, yang merupakan kombinasi dari pemahaman yang mendalam (insight) dan gerak hati (intuition) yang didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman. Ini adalah komoditi yang termahal. Dalam konteks manajemen pengetahuan, pengetahuan dapat dibedakan dalam dua kelompok yaitu (Luthans, 2005): a) Pengetahuan berwujud (tangible) yang tercakup dan dipertahankan dalam struktur dan sistem organisasi, misalnya riset dan pengembangan; hak paten; hak cipta; lisensi; informasi tentang karyawan, pelanggan, pemasok, produk, dan pesaing, b) Pengetahuan tidak berwujud (intangible) atau intelegensi yang dimiliki karyawan dan stakeholder (pelanggan, pemasok, pemilik, konsultan), misalnya pengalaman, keahlian, dan ide mereka. Polanyi (Winson dkk, 2009) membedakan pengetahuan menjadi pengetahuan eksplisit (Explicit Knowledge) dan pengetahuan tacit (Tacit Knowledge); a) Pengetahuan eksplisit merupakan bentuk pengetahuan yang sudah terdokumentasi/terformalisasi, mudah disimpan, diperbanyak, disebarluaskan dan dipelajari. Contoh manual, buku, laporan, dokumen, surat, file-file elektronik, dsb. Pengetahuan eksplisit dapat diungkapkan dengan kata-kata dan angka, disebarkan dalam bentuk data,rumus, spesifikasi,dan manual, b) Pengetahuan tacit, merupakan
Pekbis Jurnal, Vol.4, No.2, Juli 2012: 85-94
bentuk pengetahuan yang masih tersimpan dalam pikiran manusia, sifatnya sangat personal. Misalnya gagasan, persepsi, cara berpikir, wawasan, keahlian/kemahiran, dan sebagainya. Bila disimak, tacit knowledge itu sama dengan pengetahuan tidak berwujud, sedangkan explicit knowledge sama dengan pengetahuan berwujud.Tacit knowledge dapat dikonversi menjadi explicit knowledge. Proses perubahan/konversi pengetahuan tacit dan eksplisit oleh Nonaka (Winson dkk, 2009) Nonaka dan Takeuchi (Rizkiria Ratmarisa Nur, 2011) digambarkan sebagai sebuah proses yang menjadi sebuah siklus, yang meliputi tahap-tahap Sosialisasi Eksternalisasi, Kombinasi, dan Internalisasi (Sosialization, Externalization, Combination, and Internalization), dengan penjelasannya: 1) Sosialisasi (dari tacit ke tacit). Perubahan pengetahuan ini dapat terjadi antara orang ke orang, orang ke banyak orang, atau banyak orang ke banyak orang. Tacit knowledge ini dapat ditransfer dari satu orang ke yang lain tanpa melalui proses verbal atau dokumen tertulis, melainkan melalui bercerita Pengalaman, kegiatan bersama – seperti tinggal bersama, meluangkan waktu bersama, observasi, on the job training, mentoring, rapat dan bekerja sama dengan tim dalam sebuah proyek. Hal ini banyak berkaitan dengan komunikasi dan kolaborasi dengan orang. 2) Eksternalisasi (dari tacit ke explicit). Eksternalisasi mengacu kepada proses artikulasi dan pengkodean dari tacit knowledge untuk mengkonversikan ke explicit knowledge. Dalam prakteknya, eksternalisasi didukung oleh dua faktor kunci. Pertama, artikulasi pengetahuan tacit–yaitu konversi dari tacit ke eksplisit– seperti dalam dialog tim. Kedua, menerjemahkan pengetahuan tacit dari para ahli ke dalam bentuk yang dapat dipahami, misal dokumen, dsb. 3) Kombinasi (dari explicit ke explicit). Kombinasi mengacu pada proses mengkonversi explicit knowledge ke explicit knowledge yang lebih komplek. Dalam praktiknya, fase kombinasi tergantung pada tiga proses berikut; pertama, penangkapan dan integrasi pengetahuan eksplisit baru termasuk pengumpulan data eksternal dari dalam atau luar institusi kemudian mengkombinasikan data data tersebut, kedua, penyebarluasan pengetahuan eksplisit tersebut melalui presentasi atau pertemuan langsung, dan ketiga, pengolahan pengetahuan eksplisit sehingga lebih mudah dimanfaatkan kembali, misalnya menjadi dokumen rencana, laporan, data pasar, dsb. 4) Internalisasi (dari explicit ke tacit). Internalisasi terkait denga proses penggunaan explicit knowledge. Internalisasi pengetahuan baru merupakan konversi dari pengetahuan eksplisit ke dalam pengetahuan tacit organisasi. Individu harus mengidentifikasi pengetahuan yang relevan dengan kebutuhannya di dalam organizational knowledge tersebut. Dalam prakteknya, internalisasi dapat dilakukan dalam dua dimensi. Pertama, penerapan pengetahuan eksplisit dalam tindakan dan praktek langsung. Contoh melalui program pelatihan. Kedua, penguasaan pengetahuan eksplisit melalui simulasi, eksperimen, atau belajar sambil bekerja. Dari penerapan pengetahuan eksplisit oleh individu terjadilah proses pengetahuan tacit dalam diri individu yang mungkin akan berkembang/dikembangkan oleh individu tersebut. Hasil pengetahuan tacit ini akan dikonversikan lagi melalui sosialisasi dan seterusnya, sehingga pengetahuan yang ada selalu berkembang. Proses Manajemen Pengetahuan Menurut McShane & Von Glinow (2008), proses manajemen pengetahuan meliputi; 1) Mendapatkan pengetahuan (knowledge acquisition) pengetahuan dapat diperoleh melalui pengumpulan informasi dan ide-ide dari lingkungan eksternal termasuk ketika pegawai belajar dari sumber eksternal. Untuk mendapatkan pengetahuan, diperlukan kemampuan untuk menghargai nilai informasi baru, menerimanya, dan menerapkannya, 2) Berbagi pengetahuan (knowledge sharing),
Manajemen Pengetahuan untuk Meningkatkan Mutu Sekolah (Sumarno)
proses ini dapat dilakukan melalui repositori digital pengetahuan. Strategi lain adalah memberikan kesempatan pegawai untuk berkomunikasi tatap muka misalnya kelompok diskusi, kelompok kerja untuk berbagi keahlian dan pengalaman, dan 3) Menggunakan pengetahuan (knowledge use), Pengetahuan yang sudah didapat dan dibagi, perlu digunakan secara efektif. Untuk ini perlu tersedianya pengetahuan dan kebebasan yang cukup bagi pegawai untuk menerapkannya. Ini memerlukan budaya yang mendukung belajar dari pengalaman. Davenport et.al dalam Cut Zurnali (Wikipidea, 2012) menjelaskan proses yang lebih rinci sebagai sasaran umum dari sistem manajemen pengetahuan dalam praktik adalah; 1) Menciptakan knowledge: Knowledge diciptakan seiring dengan manusia menentukan cara baru untuk melakukan sesuatu atau menciptakan knowhow, 2) Menangkap knowledge: Knowledge baru diidentifikasikan sebagai bernilai dan direpresentasikan dalam suatu cara yang masuk akal dan dapat dicerna;3) Menjaring knowledge: Knowledge baru harus ditempatkan dalam konteks agar dapat ditindaklanjuti. Hal ini menunjukkan kedalaman manusia (kualitas tacit) yang harus ditangkap bersamaan dengan fakta explicit; 4) Menyimpan knowledge: Knowledge yang bermanfaat harus dapat disimpan dalam format yang baik, sehingga orang lain dalam organisasi dapat mengaksesnya atau menggunakannya; 5) Mengolah knowledge: Sebagaimana sebuah perpustakaan (library), knowledge harus dibuat up-to-date. Hal tersebut harus di review untuk menjelaskan apakah knowledge tersebut relevan atau akurat, dan 6) Menyebarluaskan knowledge: Knowledge harus tersedia dalam format yang bermanfaat untuk semua orang atau anggota dalam organisasi yang memerlukan knowledge tersebut, dimanapun dan tersedia setiap saat. Pentingnya Manajemen Pengetahuan bagi Organisasi Bellinger (2004), mengungkapkan bahwa nilai dari manajemen pengetahuan berhubungan secara langsung terhadap efektivitas, dimana dengan pengetahuan yang dikelola memungkinkan anggota organisasi untuk menghadapi situasi sekarang dan secara efektif memimpikan dan menciptakan masa depan mereka. Secara lebih luas Kanter (2003) menyatakan bahwa untuk mempromosikan inovasi, bisnis perlu untuk menuang dan membagi “soft knowledge” seperti pemikiran (insights), instuisi (intuitions), dan firasat (hunches). Menurut Jann Hidajat (Wordpress, 2008), makna manajemen pengetahuan bagi perusahaan adalah; a) Menumbuhkembangkan pengetahuan organisasi, sebagai modal utama untuk meningkatkan daya saing perusahaan, b) Terbentuknya lingkungan belajar yang kondusif, dan c) Menumbuhkembangkan pengetahuan individual di dalam organisasi, sehingga pada akhirnya tercipta suasana berbagi pengetahuan baru untuk menjadi pengetahuan organisasi. Dalam kaitannya dengan manajemen pengatahuan dan organisasi perusahaan, Ikujiro Nonaka (Romi Satria Wahono, 2006) menyatakan bahwa Pengetahuan adalah satu-satunya kunci keunggulan kompetitif, karena perusahaan yang sukses mampu: secara konsisten menghasilkan pengetahuan baru, menyebarkannya ke dalam perusahaan, dan mengimplementasikan dalam teknologi atau produk baru. Levinson (tt) menyatakan bahwa manajemen pengetahuan yang kreatif dapat meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan pendapatan. Secara rinci diungkapkan bahwa program manajemen pengetahuan yang efektif membantu perusahaan dalam; a) Membantu inovasi dengan mendorong munculnya ide/gagasan, b) Meningkatkan pelayanan pelanggan melalui kecepatan dalam menaggapi, c) Menaikkan pendapatan melalui pemasaran produk dan jasa yang lebih cepat, d) Menaikan tingkat retensi pegawai melalui pengakuan dan penghargaan nilai pengetahuan yang dimiliki pegawai, e) Memperlancar operasi dan mengurangi biaya melalui pengurangan proses yang berlebih atau tidak perlu.
Pekbis Jurnal, Vol.4, No.2, Juli 2012: 85-94
Perlunya Manajemen Pengetahuan Bagi Sekolah Menurut Uhar Saputra (tt), thema utama dari manajemen pengetahuan adalah; a) Pembelajaran, b) Pengembangan/sharing, c) Penempatan orang di tempat yang tepat dan waktu yang tepat, d) Pembuatan keputusan yang efektif, e) Kreativitas, f) Membuat pekerjaan jadi lebih mudah, dan g) Mendorong tumbuhnya bisnis baru dan nilai bisnis. Dari tema tersebut terkait nampak keterkaitannya dengan manajemen pengetahuan yang memiliki tujuan menyediakan pengetahuan untuk pembelajaran. Sekolah merupakan organisasi pembelajaran terutamanya bagi murid-muridnya, sehingga untuk keperluan tersebut perlu menyediakan pengetahuan dan mendistribusikannnya agar muridnya dapat belajar dengan baik dan kreatif. Lebih jauh Petrides & Guiney (2002) menyatakan bahwa dampak dari penggunaan data dan informasi melalui manajemen pengetahuan dalam sistem pendidikan dapat mengaktifkan sekolah untuk berevolusi dari tempaan birokrasi selama era industri ke ekologi pendidikan pengetahuan yang siap untuk bersaing dalam jaringan informasi berbasis masyarakat global. Dalam kerangka ekologi sekolah, manajemen pengetahuan harus menguji sejumlah besar data yang mereka kumpulkan, bagaimana mengubah data menjadi informasi yang bermakna, dan bagaimana informasi menjadi pengetahuan untuk mempertahankan pemikiran pengambilan keputusan pendidikan. Sejalan dengan pemikiran di atas, Zulkarnaen (2011) menyatakan bahwa suatu organisasi dapat tetap eksis jika organisasi itu dapat selalu beradaptasi terhadap tuntutan lingkungannya. Proses adaptasi itu pada hakekatnya adalah suatu proses pembelajaran yang harus dilakukan oleh organisasi itu untuk selalu dapat menghasilkan kinerja lebih baik dan nilai-tambah terhadap produknya (barang atau jasa). Penerapan Knowledge Management akan memfasilitasi (mungkin dapat dikatakan memaksa ) anggota organisasi untuk selalu melanjutkan proses pembelajaran dalam hidupnya. Pentingnya manajemen pengetahuan dapat dilihat juga dari sisi bergesernya teori pembangunan ekonomi, yaitu dari teori konvensional yang bertumpu pada modal phisik (pabrik dan alat produksi) ke teori komtemporer yang bertumpu modal manusia (human capital / intellectual capital) yang dikenal dengan knowledge based economy (Mulyono, 2010). Dari pergeseran ini pendidikan menempati posisi terpenting dalam upaya meningkatan produktivitas, karena pendidikan melahirkan tenaga kerja yang memiliki kompetensi, pengetahuan, dan keterampilan, serta kreativitas yang memadai. Tenaga kerja yang demikian itulah yang dikenal juga sebagai tenaga kerja yang memiliki kapabilitas memadai. Menurut Wibiwo (2012), tantangan dalam membangun kapabilitas antara lain: mengubah cara berpikir dan berperilaku, merancang pengalaman yang mendukung penemuan diri, pengalaman sebelumnya merupakan bentuk pembelajaran. Oleh karenanya untuk menciptakan pendidikan yang mampu membangun dan menciptakan kapabilitas manusia/tenaga kerja diperlukan manajemen pengetahuan di dunia pendidikan, termasuk sekolah. Menurut Leung (2010), ada tiga alasan utama mengapa mengadopsi manajemen pengetahuan dalam pendidikan (sekolah), yaitu: Pertama, dapat memakai keahlian guru berpengalaman dan berbagi dengan yang lain, terutama guru baru. Dengan demikian praktek terbaik dapat diperoleh dan dibagi diantara guru, Kedua, dapat meningkatkan efektivitas dalam kaitannya dengan kinerja belajar-mengajar sekolah. Hal ini menyediakan rancangan kerja dan memberi kecerdasan bersaing kepada guru. Untuk Pendidikan, faktor bersaing yang penting adalah untuk mencapai outcome dan meningkatkan hasil belajar murid, dan Ketiga, manajemen pengetahuan mendukung pengembangan dari komunitas pengetahuan pada sekolah dan menaruh budaya organisasi pembelajaran. Hal ini akan meningkatkan pembelajaran serta mengelola secara sah hak milik intelektual sekolah.
Manajemen Pengetahuan untuk Meningkatkan Mutu Sekolah (Sumarno)
Penerapan Manajemen Pengetahuan Di Sekolah Berdasarkan hasil diskusi Knowledge Management in Education Summit in December 2002, Petrides & Nodine (2003) menyarankan penerapan manajemen pengetahuan dalam lembaga pendidikan yaitu dengan cara; 1) Membangun daftar data/informasi dan kebiasaan secara organisasional untuk menggunakan data/informasi secara positif melalui pelibatan orang-orang dalam diskusi secara terbuka, 2) Fokus pada orang-orang dan kebutuhan mereka, kemudian melakukan kegiatan melalui managemen pengetahuan untuk memenuhinya, 3) Susun proses kerja dan pola aliran informasi, 4) Yakinkan adanya teknologi yang dapat mengumpulkan dan sharing informasi, 5) Tingkatkan pembelajaran murid dan outcomenya, jangan membiarkan prosedur tanpa keahlian, 6) Berharap proses yang terus maju/dinamis, dan 6) Pertimbangkan gambaran yang lebih besar/luas. Charles Leadbeater (Uhar Saputra, tt), mengungkapkan bahwa organisasi perlu menciptakan pengetahuan yang mempunyai prinsip-prinsip: 1) Cellular – punya struktur organisasi yang adaptif tidak kaku 2) Self-managing – individu dan tim mengelola diri untuk membukan inovasi dan kreativitas. 3) Entrepreneurial – kewirausahaan yang mendorong pada kemampuan individu dalam memanfaatkan peluang bagi pertumbuhan dan perubahan 4) Equitable membership and reward – mengembangkan sistem reward yang adil yang dapat menumbuhkan rasa keanggotaan 5) Deep knowledge reservoirs – punya kapabilitas dengan fokus pada keakhlian spesialist ketimbang generalist 6) The holostic company – memanfaatkan aset pengetahuan yang berada di luar struktur organisasinya 7) Collaborative leadership – berorientasi pada kerjasama untuk mengarahkan, menginformasikan nilai dan mendorong memberdayakan yang lain dalam mengelola organisasi. Untuk menerapkan manajemen pengetahuan ada beberapa faktor penting yang mempengaruhinya yaitu (Riya Widayanti, 2010); a) Manusia, yaitu yang terkait dengan tacit knowledge ataupun explicit knowledge yang mampu di-sharing/transfer dalam organisasi, b) Kepemimpinan, yaitu berkenaan dengan peran pemimpin dalam membangun visi yang kuat dengan menggalang dan mengarahkan partisipasi semua anggota organisasi dalam mewujudkan visinya, c) Teknologi, yaitu berkenaan dengan dukungan infrastruktur dalam penyebaran informasi pada orang yang tepat dan waktu yang tepat pula, d) Organisasi, yaitu sistem pengaturan yang jelas, termasuk reward bagi yang berpartisipasi dalam penyebaran informasi, sehingga semua orang memahami kedudukannya serta tugas dan tanggungjawabnya dalam organisasi, e) Pembelajaran, yaitu berkenaan dengan kemauan dan praktek belajar dari setiap individu sehingga muncul ide-ide, inovasi dan pengetahuan baru. Praktik penerapan manajemen pengetahuan dalam kaitannya dengan data, informasi, dan pengetahuan melalui fungsi di sekolah, Petrides & Nodine (2003) memberikan contoh antara lain seperti dalam Tabel 1 berikut: Tabel 1 Kaitan Manajemen Pengetahuan dengan Data Informasi dan Pengetahuan Fungsi Misi
Data Data tentang kebutuhan komunitas dan tujuan yang mengarah kepada artikulasi misi institusi
Informasi Administrasi dan tim guru yang mengases efektivitas program
Pengetahuan Sistem diskusi terbuka untuk program baru dan kebutuhan lain yang berhubungan dengan misi
Pekbis Jurnal, Vol.4, No.2, Juli 2012: 85-94 Fungsi
Data
Perencanaan strategik
Sistem informasi pengumpulan data outcome
Pengintegrasia n teknologi kedalam kurikulum
Guru-guru bertemu untuk menguji variasi penerapan software yang cocok
Pembelajaran murid
Interaksi berdasar Web dan asesmen pembelajaran murid
Informasi pencapaian misi Informasi tentang outcome didistribusikan ke program untuk diskusi dan review Kepala sekolah, guru, dan staf merencanakan bersama untuk memodifikasi skedul lab. komputer Berdasar hasil asesmen, guru merevisi kativitas kelas untuk pemenuhan kebutuhan murid yang lebih baik
Pengetahuan Tim guru mengases data/informasi dan menentukan kebutuhan untuk tambahan data/informasi Tim sekolah bertemu bulanan untuk diskusi dan mengases efektivitas implementasi teknologi dan membuat perubahan yang perlu Guru-guru bertemu secara kolaborasi dan belajar tentang kebutuhan setiap kelas. Curah pendapat tentang perlakuan yang efektif dan mengajukan proposal kepada kepala sekolah
Dalam penerapan manajemen pengetahuan di organisasi/sekolah seperti tersebut di muka, peran kepala sekolah dalam proses itu sangat penting. Tanpa peran kepala sekolah, sangat sulit manajemen pengetahuan berjalan di sekolah, sebagaimana diungkapkan oleh hasil penelitian Leung (2010) yang menyatakan bahwa kepala sekolah harus dapat menstimulasi knowledge sharing dan menyediakan pelatihan bagi guru, dan yang paling penting, kepala sekolah harus mendorong para guru untuk berpikir dengan cara yang baru dan menekankan bahwa manejemen pengetahuan dapat menyelesaikan masalah yang sebelumnya atau saat ini terjadi di dalam sekolah. Mendasarkan pada pendapat Havelock dan Zlotolow; West-Burnham dan O’Sullivan; serta Beatty, selanjutnya Leung menjelaskan bahwa dalam praktek manajemen pengetahuan kepala sekolah berperan sebagai catalyst, process helper, dan resource linker, yaitu: 1) Sebagai katalis, kepala sekolah harus memprakarsai perubahan atas praktek implementasi manajemen pengaetahuan di sekolah. Kepala sekolah harus mengetahui perilaku para guru dan staf serta budaya pada sekolah yang dapat mendukung perubahan atau bahkan dapat menolak perubahan. 2) Sebagai process helper, kepala sekolah harus membantu guru/staf ketika mereka menemukan masalah dalam mempraktekkan manajemen pengetahuan. Kepala sekolah harus memotivasi para guru dan mencipkana lingkungan kerja yang dapat mendukung praktek baru ini. Sebagai pemimpin dari organisasi pembelajar, kepala sekolah harus mendukung proses pembelajaran di sekolah untuk meningkatkan kinerja. Kepala sekolah perlu menciptakan koneksi secara emosional dengan para guru untuk dapat menyampaikan secara jelas tujuan dan harapannya serta menyediakan umpan balik yang positif kepada para guru melalui komunikasi yang efektif. 3) Sebagai resource linker, kepala sekolah harus mengalokasikan kembali sumber daya yang tersedia untuk mencapai perubahan yang diharapkan. Beberapa peran personalia maupun kelompok tugas perlu dudukkan kembali untuk memfasilitasi proses perubahan dan menyediakan dukungan teknis dan pedagogik. Untuk ini perlu pengembangan staf melalui pelatihan, mentoring, ataupun partisipasi.
Manajemen Pengetahuan untuk Meningkatkan Mutu Sekolah (Sumarno)
Penerapan manajemen pengetahuan di sekolah perlu dilakukan sebagai pelengkap dan pengintegrasian dari manajemen berbasis sekolah yang sekarang ini masih terpisah-pisah dalam masing-masing manajemen komponen sekolah. Adanya manajemen pengetahuan, informasi dan pengetahuan yang diperoleh dari masingmasing manajemen komponen sekolah dapat dihimpun, dibagikan, dan dimanfaatkan oleh seluruh individu sekolah. Bila sekolah dapat menerapkan manejemen pengetahuan, akan mendorong munculnya budaya knowledge sharing dan learning habit yang melibatkan seluruh personel di dalam sekolah, baik kepala sekolah itu sendiri, guru, maupun murid. Adanya budaya tersebut akan meningkatkan pengetahuan masing-masing yang kemudian akan menjadi pengetahuan orang lain bahkan organisasi, sehingga semua pihak menjadi lebih kompeten. Lebih kompetennya semua pihak pada akhirnya menjadikan mutu sekolah menjadi meningkat. KESIMPULAN Dari pembahasan sebelumnya tentang manajemen pengetahuan di sekolah dalam meningkatkan mutu sekolah dapat diambil kesimpulan: 1. Manajemen pengetahuan adalah proses atau aktivitas untuk mendapatkan/menciptakan,membagi, dan menggunakan pengetahuan untuk mengoptimalkan pencapaian misi dan tujuan organisasi sehingga kelangsungan hidup dan kesuksesan organisasi dapat ditingkatkan. 2. Pengetahuan dapat dibedakan kedalam dua golongan yaitu pengetahuan tacit atau tidak berwujud atau intangible dan pengetahuan explicit atau berwujud atau tangible. Keduanya dapat diubah/ditransformasi melalui proses sharing knowledge. 3. Untuk menerapkan manajemen pengetahuan di sekolah dapat dilakukan melalui penerapan prinsip-prinsip penciptaan pengetahuan serta penerapan kepemimpinan yang partisipatif untuk terciptanya sekolah sebagai organisasi pembelajar melalui proses pembelajaran individu yang ada. 4. Sekolah perlu menerapkan manajemen pengetahuan sebagai pelengkap dan pengintegrasian dari manajemen berbasis sekolah yang sekarang ini masih terpisah-pisah dalam masing-masing manajemen komponen sekolah, karena melalui manajemen pengetahuan akan tercipta organisasi pembelajar yang memungkinkan setiap individu yang ada menjadi berkembang sehingga dapat membelajarkan murid secara optimal dan akhirnya mutu sekolah dan lulusannya dapat meningkat. DAFTAR PUSTAKA Bellinger, Gene. 2004. Knowledge Management - Emerging Perspectives. Error! Hyperlink reference not valid. Diakses 25 April 2012. E. Mulyasa. 2011. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi. Remaja Rosdakarya. Bandung. Leung, Chi-Hong. 2010. Research Article: Critical Factors of Implementing Knowledge Management in School Environment: A Qualitative Study in Hong Kong. Research Journal of Information Technology, 2: 66-80. http://scialert.net/ fulltext/%3Fdoi%3Drjit.2010.66.80%26org%3D10&usg=ALkJrhiCTYQWQZPtz SEph07NdofpVbCkvA. Diakses 26 April 2012.
Pekbis Jurnal, Vol.4, No.2, Juli 2012: 85-94
Levinson, Meridith. tt. What is Knowledge Management (KM)?. http://www.cio.com/ article/40343/Knowledge_Management_Definition_and_Solutions. Diakses 26 April 2012. th
Luthans, Fred. 2005. Organizational Behavior. 10 Edition. Mc-Graw-Hill Companies. New York. Kanter, Rosabeth Moss. 2003. Rosabeth Moss Kanter on Frontier of Management. Harvard Business School Publishing Co. Massachusetts. McShane, Steven L. & Von Glinow, Mary Ann. 2008. Organizational Behavior. Fourth Edition. McGraw-Hill/Irwin. New York. Mulyono. 2010. Konsep Pembiayaan Pendidikan. Ar-Ruzz Media. Jogjakarta. Petrides, Lisa A. & Guiney, Susan Zahra. 2002. Knowledge Management for School Leaders: An Ecological Framework for Thinking Schools. Teachers College Record Volume 104, Nomor 8, December 2002, pp. 1702-1717. Error! Hyperlink reference not valid.. Diakses 20 April 2012. Petrides, Lisa A. & Nodine, Thad R. 2003. Knowledge Management in Education. The Institute for The Study of Knowledge Management in Education. http://iskme.path.net/kmeduction.pdf. Diakses 20 April 2012. Riya Widayanti. 2010. Penerapan Knowledge Management Dalam Organisasi. http://sisteminformasi.blog.esaunggul.ac.id/2010/10/12/enerapan-knowledgemanagement-dalam-organisasi/. Diakses 25 April 2012. Rizkiria Ratmarisa Nur. 2011. Penerapan Sharing Knowledge Pada Pt United Tractors, Tbk. Program Studi Manajemen Dan Bisnis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. http://rizkiria46.blogstudent.mb.ipb.ac.id/files/2011/10/Paper-KNOWLEDGEMANAGEMENT-Rizkiria-RN.pdf. Diakses 20 April 2012. Romi Satria Wahono. 2006. Knowledge Management dan Dunia Pendidikan. Error! Hyperlink reference not valid.. Diakses 26 April 2012. Senge, Peter M. 1994. The Fifth Discipline: The Art & Practice of The Learning Organization. Doubleday. New York. Tobin, Daniel R. & Pettingell, Margaret S.. 2008. The AMA Guide to Management Development. AMACOM. New York. Uhar Saputra. Tt. Manajemen Pengetahuan Lembaga Pendidikan. Error! Hyperlink reference not valid.. Diakses 26 April 2012. Wibowo.2012. Bahan Kuliah: Inovasi Dalam Manajemen Pendidikan. Buku Pertama. Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta. Wikipedia.2012. Manajemen Pengetahuan. http://id.wikipedia.org/wiki/Manajemen_ pengetahuan. Diakses 24 April 2012. Winson, Titin, dan Andry. 2009. Knowledge Management. http://manajemenpengetahuan.blogspot.com/. Diakses 25 April 2012. Wordpress.2008. Resume buku Knowledge Management dalam Konteks Organisasi Pembelajar. http://oq1510.wordpress.com/2008/10/22/resumekm/. Diakses 30 April 2012.
ORIENTASI BERBASIS PADA MANAJEMEN PENGETAHUAN: I M BAS PADA PENINGKATAN KINERJA lin Mayasari
Diki Gila Purnama i i n. rna vasa [email protected]; d i ki. pu rna [email protected] Fakultas Ekonomi Universitas Paramadina, Jakarta
ABSTRACT
This study is the application of the concept of knowledge management on organization of educational services. The concept in this study is the concept of acquisition, dissemination, and use of knowledge to be used as basis in conducting business activities with better education a n d its relation to performance. The purpose of this research is to study the correlation between acquisition of knowledge by the diseminating of knowledge, the use of knowledge, and performance. Data collection is conducted by distributing questionnaires. Results showed that there was a positive correlation between 1) knowledge acquisition and dissemination of knowledge; 2) the acquisition of knowledge and use of knowledge; 3) the acquisition of knowledge and performance 3) dissemination of knowledge and use of knowledge. However, there is no correlation between the use of knowledge and performance. Keywords: knowledge management, knowledge acquisition, knowledge dissemination, and
knowledge use.
PENDAHULUAN
Manajemen pengetahuan digunakan untuk memperbaiki proses dan aktivitas bisnis dalam suatu organisasi dengan mempermudah saluran informasi pengetahuan yang bisa dijadikan panduan kerja dengan lebih optimal. Menurut Darroch (2003) manajemen pengetahuan adalah sebuah konsep yang berkaitan dengan pencarian, pemerolehan, penyimpanan, penyebaran dan penggunaan pengetahuan. Konsep ini juga berkaitan dengan penciptaan atau pengelolaan pe ngeta h u a n d a n d i s e m i n a s i pengeta h u a n d a l a m orga nisasi. Definisi m a n a j e m e n pengeta huan menunjukkan bahwa konsep i n i terdiri atas akusisi pengetahuan, diseminasi pengetahuan, dan penggunaan pengetahuan. Diseminasi pengeta huan dalam organisasi menjadi fokus perhatian manajemen pengeta huan. Manajemen pengetahuan juga terdiri atas perilaku dan praktik yang dikonseptualisasikan sebagai rutinitas organisasi. Organisasi dengan rutinitas manajemen pengeta huan dikatakan sebagai organisasi yang memili ki kapabilitas yang membedakan. Pengetahuan dapat datang dari berbagai sumber. Pengetahuan dapat terdiri atas data dan informasi yang berkaitan dengan status keuangan perusahaan, kompetitor, trend industri, pengembangan pengetahuan. Stu d i ini merupaka n studi lanjutan Purmana dan Mayasari (2009) mengenai deskripsi penerapan manajemen pengeta huan. Studi terdahulu mE�rupakan studi kual itatif u ntuk mengeta h u i penerapa n manajemen pengeta huan pada suatu lembaga pendidikan yang
Journal o f Human Capital - Vol.2 No.2 - Februari 2010
169
lin Mayasari
&
Diki Gita Purnama
dilakukan dengan wawancara pada orang-orang yang menduduki jabatan struktural tertentu. Untuk bisa menerapkan manajemen pengetahuan dengan baik, perusahaan harus menerapkan aspek-aspek akuisisi pengeta huan, diseminasi pengetahuan, dan penggunaan pengeta huan dengan baik. Pada studi lanjutan ini, kaitan antar aspek-aspek dalam manajemen pengetahuan dan kinerja karyawan akan diamati. Hal ini penting dilakukan karena aspek manajemen pengetahuan tidak hanya sekedar aktivitas rutin yang dilakukan oleh organisasi namun mengenai imbasnya pada kinerja harus dipahami dengan baik. Dengan memahami kaitan antar aspek-as pek d a l a m m a n a j e m e n pe ngeta h u a n d a n k i n e rja, orga n i sasi d a pat mengembangkan strategi yang baik untuk dapat mengelola dan mengkoordinasi saling berbagi ilmu pengetahuan antar karyawan. Saling berbagi ilmu ini akan menjadi jembatan yang baik antar karyawan untuk bisa menjadikan contoh dalam menjalankan tugas sehari-hari. Rumusan Masalah
Penelitian ini untuk mengetahui korelasi antar aspek manajemen pengetahuan. Aspek-aspek manajemen pengetahuan memiliki korelasi kuat satu sarna lain. Aspek-aspek yang dipahami adalah: 1.
2.
3.
4.
5.
Akuisisi pengetahuan memiliki korelasi dengan diseminasi pengetahuan karena dengan adanya pengetahuan yang dimiliki membuat organisasi maupun individu berbagi atau memberikan pengeta huan pada orang lain agar bisa dijadikan sebagai pengetahuan bersama. Akuisisi pengetahuan memiliki korelasi dengan penggunaan pengetahuan. Pengeta huan yang sudah ada dalam bentuk pengetahuan eksplisit bisa digunakan untuk memperlancar kegiatan sehari-hari dalam menjalankan tugas yang ada dalam deskripsi kerja. Adanya manual kerja dapat dijadikan pegangan atau panduan dalam melaksanakan tugas sehari hari. Akuisisi pe ngeta h u a n m e m i l i k i ko relasi d e ngan kinerj a . Informasi p e ngeta h u a n memberikan kemudahan orang untuk mem perbaiki produktivitas kerja. Produktivitas kerja bisa meningkat karena karyawan memiliki panduan kerja untuk memudahkan kerja. Diseminasi pengeta huan memiliki korelasi dengan penggunaan pengeta huan. Saling berbagi informasi baik dalam situs organisasi, publikasi dalam sejumlah media maupun m e l a l u i pelatihan-pelatihan d a n bedah buku dapat digunakan u ntuk m e m b a ntu pelaksanaan kerja. Penggunaan pengetahuan memiliki korelasi dengan kinerja. Manajemen pengeta huan bertuj uan untuk membantu proses kerja dengan baik dan bisa meningkatkan kinerja karena manajemen pengeta huan merupakan proses untuk memudahkan aliran informasi agar setiap karyawan meningkatkan pengetahuan scara luas
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami pelaksanaan manajemen pengetahuan pada suatu universitas dalam meni ngkatkan kinerja. Penerapan m a najemen pengeta huan d i l e m baga p e n d i d i ka n sa ngat penting. H u nt (1991) berpe n d a pat ko nsep m a n a j e m e n pengetahuan dalam organisasi digunakan untuk menjelaskan bahwa sumber daya yang dimiliki
170
Journal of Human Capital - Vol.2 No.2 - Februari 2010
Orientasi
Berbasis Pada Manajemen Pengetahuan: ...
oleh orga nisasi dapat dijadikan untuk keunggulan kompetitif. Sumber daya stratejik dapat digunakan untuk pendukung kinerja keuangan. Hal ini mengingat kompetisi di bidang industri pendidikan sangat ketat belakangan ini sehingga penerapan manajemen pengetahuan dapat dijadikan sebagai keunggulan kompetitif. Keunggulan kompetitif dapat dijadikan kompetensi inti dan bisa memenangkan persa ingan. Keunggulan kompetitif i n i merupakan unik dan merupakan sumber inovasi untuk organisasi. Kombinasi sumber daya yang berbeda dapat mendorong organisasi untuk menciptakan produk atau menawarkan jasa yang unggul kepada konsumen. Sumber daya ini merupakan elemen manajemen pengetahuan. Slimber daya yang d i m i l iki o l e h organisasi m e m i l i ki s i k l u s h i d u p pendek, o l e h karena itu m a najemen pengetahuan dapat berperan sebagai alat untuk memperpanjang siklus hidup sumber daya, dan bisa menyebabkan organisasi memiliki inovasi secara terus-menerus. Aspek Manajemen Pengetahuan
Pengetahuan yang menjadi objek dalam manajemen pengetahuan terbagi menjadi dua, yaitll tacit knowledge dan explicit knowledge (Tsai & Lee, 2006). Tacit knowledge adalah pengetahuan yang ada dalam kepala manusia. Tacit knowledge bersifat personal, prosedural, lunak, tersimpan di otak, informal dan biasanya tentang kecakapan atau ketrampilan. Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995):"Tacit knowledge is highly personal and hard to be formalized. Subjective insights, intuitians and hunches fall inta this category of knowledge': Explicit knowledge berkaitan dengan pengetahuan yang ditransmisikan atau dikomunikasikan melalui media bahasa yang sistematis dan formal. Aktualisasi pengetahuan ini bisa dalam bentuk tulisan, gambar, program komputer atau paten. Menurut Wong dan Radcliffe (2000), pengetahuan berkaitan dengan organisasi bisa terdiri atas d u a pengeta h u a n tersebut. Explicit knowledge diwujlldkan d a l a m bentuk dokumentasi, buku, sistem dan database sedangkan tacit knowledge diwujudkan dalam bentuk kapabilitas individu yang ada pada masing-masing dalam organisasi. Menurut Darroch (2003), manajemen pengetahuan merupakan konsep yang memiliki multi dimensi yaitu akusisi pengetahuan, diseminasi pengetahuan, dan penggunaan pengetahuan. Bagian berikut akan me mba has secara detil dimensi-dimensi ini. Akuisisi Pengetahuan
Organisasi seharusnya secara rutin melakukan benchmarking terhadap suatu organisasi yang m e l a ku k a n kegiatan bisnis terba i k sebagai s a l a h satu bentuk a kuisisi pengeta h u a n . Benchmarking sebagai pencarian secara berkesinambungan d a n penerapan secara nyata praktik-praktik yang lebih baik yang mengarah pad a kinerja kompetitif unggul (Watson, 1993). Berkaitan dengan manajemen pengetahuan, benchmarking merupakan suatu bentuk untuk mendapatkan pengetahuan yang baru dari pihak lain. Benchmarking sebagai suatu proses belajar yang berlangsung secara sistematis dan terus-menerus di mana setiap bagian dari suatu perusahaan dibandingkan dengan perusahaan yang terbaik atau pesaing yang paling unggul. Kegiatan benchmarking perlu keterlibatan dari semua pihak yang berkepentingan, pemilihan yang tepat tentang apa yang akan ditiru, pemahaman dari organisasi itu sendiri, pemilihan mitra yang cocok dan kemampuan untuk melaksanakan apa yang ditemukan dalam praktik bisnis.
Journal of Human Capital - Vol.2 No.2 - Februari 2010
171
lin Mayasari
& Diki Gita Purnama
Dalam usaha untuk meningkatkan akuisisi pengetahuan, organisasi seharusnya membangun infrastruktur internet (Vasey, 2000). Organisasi secara rutin menggunakan internet sebagai sumber ide. Berdasarkan hasil wawancara, diketa hui bahwa organisasi dalam studi i n i membangun infrasruktur internet dengan baik. Infrasruktur intranet ini merupakan hal penting dan sejalan dengan pendapat Hedlund (1993). Organisasi dalam studi ini memiliki sejumlah elemen-elemen. Elemen-elemen yang berkaitan adalah 1) jumlah orang dengan komputer yang ada d a l a m orga nisasi, 2) j u m l a h pe nggu n a a n e m a i l , 3) p e n e r a p a n penggunaan internet, 4 ) eksistensi website, S) eksistensi intranet perusahaan, 6 ) eksistensi dukungan non-computerized knowledge, 7) eksistensi aliran kerja, 8) eksistensi alur kerja yang eksplisit, 9) eksistensi sistem manajemen dokumen, 10) eksistensi jejaring internal di mana pengeta h u a n saling d i bagi yaitu m e l a l u i database, berita, fo rum, obrolan, 1 1 ) eksistensi alat elektronik unuk mencari informasi, 12) eksistensi web server yang membagi informasi d e ngan ko nsum en, pemasok, u n iversitas, 13) eksistensi sistem yang s u d a h terkomputerisasi. Orga nisasi m e ngel u a rkan banyak s u m b e r biaya u nt u k a ktivitas riset i nternal u n t u k menghasilkan banyak informasi. Menurut Darroch (2003), sumber biaya yang cukup bisa menggerakan individu untuk melakukan penelitian sebagai bentuk akusisi pengetahuan. Penelitian membutuhkan biaya yang besar. Diseminasi Pengetahuan
Diseminasi pengetahuan merupakan suatu usaha agar informasi bisa diterima oleh orang lain dalam organisasi. Organisasi mengumpulkan semua informasi dalam suatu prosed ur baik formal maupun informal (Siemieniuch & Sinclair, 2004). Prosed ur kerja merupakan aspek yang menjadi perhatian untuk ditetapkan. Prosedur kerja dapat diwujudkan dalam bentuk dokumen sehingga semua anggota organisasi bisa memahami petunjuk kerja. Prosedur kerja yang didokumentasi harus memiliki pengukuran yang je las. Pengukuran yang jelas ini bisa menjadi standar evaluasi kerja. Untuk terciptanya manajemen pengeta huan, pembentukan infrastruktur yang mendukung perlu diwujudkan karena ini membantu proses penyebaran informasi untuk seluruh anggota organisasi. Untuk menciptakan saling berbagi pengeta huan yang efektif, organisasi harus memelopori nilai proses pengetahuan, mengintegrasikan pengetahuan ke dalam pelatihan dan proses pengembangan staf, mengkomunikasikan secara konstan, melakukan promosi secara internal, merayakan kemenangan, dan membangun infrastruktur yang jelas agar setiap orang memiliki pemahaman dengan baik (CarriOn, Gonzales, & Leal,2004). Saluran informasi adalah jejaring sosial dalam organisasi dan merupakan suatu mekanisme yang menghubungkan dengan dunia luar. Saluran informasi adalah contoh nyata dari modal sosia!. Saluran informasi mengandung struktur formal organisasi. Dimensi modal sosial ini terdiri atas hubungan personal yang individu kembangkan dengan individu yang lain melalui interaksi. Hubungan yang kuat dalam saluran informasi ini adalah eksistensi jaluran yang kuat untuk saling mengadakan komunikasi dan merupakan bentuk diseminasi ilmu pengetahuan (Hoffman, Hoelscher, & Sherif, 2005)
172
Journal of Human Capital - Vol.2 No.2 - Februari 2010
Orientasi
Ber basis Pada Manajemen Pengetahuan: ...
Penggunaan Pengetahuan
Penggunaan pengeta h u a n merupakan tuj u a n utama d a l a m m e nerapkan manaj e m e n pengeta h u a n karena pengeta h u a n yang d im iliki o l e h orga nisasi a k a n opti m a l apabila pengetahuan digunakan secara lebih aktif. Penggunaan pengeta huan merupakan aplikasi utama dalam manajemen pengetahuan. Individu dalam organisasi dapat memanfaatkan pengetahuan dalam organisasi untuk memperbaiki kinerja. Kinerja
Ma najemen pengetahuan yang diterapkan dengan baik dalam organisasi pada akhirnya memang ditujukan untuk dapat menciptakan kinerja yang baik yaitu terutama dalam bentuk peningkatan profitabilitas. Firestone (2001) berpendapat bahwa ada suatu keterkaitan antara manajemen pengetahuan dengan tujuan perusahaan dan memberikan sejumlah manfaat. Ukuran kesuksesan organisasi bisa dilakukan melalui 1) profitabilitas modal (ROA, ROI); 2 ) pertumbuhan (penjualan, pangsa pasar); 3 ) efisiensi keuangan dan operasional (kelancaran k e u a n ga n , l i ku i d itas keuangan, prod u ktivitas kerja, efisiensi biaya); 4) kepuasan stake h o l d e r (pening katan kekayaan, kepuasan karyawan, kepuasan ko nsumen, citra l i ngkungan); 5 ) posisi kompetitif (posisi kompetitif do mestik, harga, kual itas); dan 5) persepsi kesuksesan menurut individu. Dalam penelitian ini, ukuran kinerja menggunakan pengukuran perseptual dari sisi individu . METODE PENELITIAN Unit Analisis
Penelitian ini menggunakan individu sebagai subjek penelitian. Individu yang dipilih adalah karyawan ya ng sudah bekerja lebih dari dua tahun. Dengan demikian, ketika dim intai informasi, individu tersebut dapat memberikan informasi manajemen pengetahuan dengan baik. Pendekatan Penelitian
M a n a j e m e n pengeta h u a n m e m i l iki pengukura n kua ntitatif. Tuj u a n p e n e l itia n i n i menggunakan pendekatan kua ntitatif adalah untuk m e m a h a m i pe ndapat atau sikap responden mengenai aspek-aspek manajemen pengetahuan. Instrumen Pengukuran
Agar m e n d a patkan i n stru m e n pengukuran yang baik, instru m e n pengukuran harus d iterjema hkan d a n d i ke m bangkan sesuai d e nga n konteks penelitian. I nstru m e n yang d i g u n a k a n u n t u k pengukuran a kuisisi pengetahuan, d i s e m i n a s i pe ngeta h ua n , d a n penggunaan pengetahuan berasal dari studi Darroch (2003). Instrumen terse but adalah:
Journal of Human Capital - Vol.2 No.2 - Februari 2010
173
lin Mayasari & Diki Gita Purnama
Akusisi Pengetahuan
Individu dalam setiap organisasi memiliki interaksi secara langsung dengan konsumen untuk mempelajarinya bagaimana melayani mereka dengan baik. Organisasi mengumpulkan semua informasi dalam suatu prosedur baik formal maupun informal. Organisasi secara rutin melakukan benchmark terhadap suatu organisasi yang melakukan kegiatan bisnis terbaik. Organisasi secara rutin menggunakan internet sebagai sumber ide. Organisasi mengeluarkan banyak sumber biaya untuk aktivitas riset internal. Organisasi mendapatkan ide untuk maju dengan melakukan kerjasama dengan organisasi lain. Organisasi mengetahui konsumen yang sangat potensial untuk dikelola. Organisasi memiliki karyawan yang sudah bertahan lama untuk tinggal bekerja. Karyawan organisasi diminta untuk berbagi pengetahuan melalui media tertentu. Organisasi mengadakan langganan sejumlah artikel atau majalah. Organisasi membiayai karyawan untuk melakukan seminar. Organisasi membiayai karyawan untuk melakukan penelitian. Organisasi melakukan rekrutmen karyawan yang memiliki tingkat kreativitas tinggi. Diseminasi Pengetahuan
Setiap program dalam organisasi memiliki pertemuan formal rutin. Organisasi memiliki database informasi atau pengetahuan. Atasan dalam organisasi anda sering memberikan presentasi pengetahuan yang up to date. Organisasi juga melakukan rotasi kerja. Organisasi sering melakukan brainstorming untuk menggali ide baru. Karyawan melakukan pertemuan informal. Organisasi melakukan diskusi mengenai hal-hal yang terkini untuk perbaikan kinerja organisasi. Karyawan dalam organisasi merasa tidak kesulitan untuk menemui seseorang yang memiliki suatu kompetensi tertentu bila mereka membutuhkan. Organisasi anda memiliki intranet. Penggunaan Pengetahuan
Organisasi anda memiliki ke,mampuan cepat untuk merespon perubahan bisnis. Organisasi anda memiliki kernampuan cepat untuk mendeteksi adanya perubahan industri. Organisasi memiliki kemampuan cepat untuk merespon kemauan karyawan. Organisasi memiliki kemampuan untuk menghasilkan profitabilitas yang tinggi. Organisasi memiliki suatu mekanisme untuk memperbaiki kinerja di setiap bagian. Kinerja
Saya menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan kepada saya dengan baik. Saya memenuhi tanggung jawab yang dijabarkan dalam deskripsi kerja.
174
Journal of Human Capital - Vol.2 No.2 - Februari 2010
Orientasi
Berbasis Pada Manajemen Pengetahuan: ...
Saya melaksanakan tugas-tugas yang seharusnya saya lakukan. Saya memenuhi tuntutan kinerja yang ditentukan dalam pekerjaan. Saya tidak melalaikan unsur-unsur pekerjaan yang wajib saya lakukan. Saya bisa melaksanakan tugas-tugas penting. Saya terlibat dalam kegiatan yang secara langsung memengaruhi evaluasi kinerja saya. Untuk menguji validitas skala pengukuran, confirmotory analysis akan dilakukan dengan program SPSS. Analisis Data
Analisis dilakukan atas hubungan antar aspek-aspek dalam manajemen pengetahuan. Untuk keperluan ini, analisis korelasi dilakukan dengan menggunakan program SPSS. HASll DAN PEMBAHASAN
Pengumpulan data penelitian ini dilakukan selama hampir satu minggu pad a bulan Februari 2010. Responden penelitian adalah karyawan sebuah universitas yang sudah bekerja lebih dari dua tahun. Karyawan ini meliputi staf dan tenaga non pendidik. Jumlah kuesioner yang disebarkan adalah 30 eksemplar. Dari jumlah tersebut, kuesioner yang kembali adalah 30 eksemplar. Hal ini menunjukkan bahwa, tingkat pengembalian kuesioner penelitian ini sebesar 100 persen. Sebanyak 11 orang (36 persen), responden penelitian berjenis kelamin pria dan 19 orang (64 persen) berjenis kelamin wanita. Karyawan yang menjadi responden dalam penelitian ini mempunyai rentang usia dari 20 sampai 50 tahun. Responden tersebar relatif merata pada setiap rentang umur. Namun, sebanyak 43 persen karyawan terkonsentrasi pada umur 20 -30 tahun. Variabel Jenis Kelamin Umur (tahun)
Pendidikan
Tabel
1.
Kategori Pria Wanita 20-30 31-40 41-50 >50 SMU Sarjana Pasca Sarjana
Jumlah 11 19 13 10 6 1 2 8 20
Persen 36 64 43 33 21 1 6,7 26,7 66,7
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Umur, Pendidikan
Pengujian validitas konstruk dilakukan dengan confirmatory factor analysis. Berdasarkan hasH perhitungan pada Tabel 1.2., indikator-indikator variabel akuisisi pengetahuan, diseminasi pengetahuan, dan penggunaan pengetahuan memiliki factor loading en 0,4. Namun ada dua indikator yang tidak signifikan yaitu akuisis8 dan disemin6. Dengan demikian dapat disimpulkan
Journal of Human Capital - Vol.2 No.2 - Februar; 2010
175
lin Mayasari & Diki Gita Purnama
bahwa, secara keseluruhan, indikator-indikator pengukuran tersebut telah memenuhi ketentuan validitas konverjen sehingga merupakan satu kesatuan alat ukur yang mengukur konstruk yang sama dan dapat memprediksi dengan baik konstruk yang seharusnya diprediksi ( Hair et al., 1998). Butir
Konstruk Jumlah 13
Akuisisi pengetahuan
Diseminasi pengetahuan
9
Penggunaan Pengetahuan
5
Kinerja
7
Kode Akuisisil Akuisisi2 Akuisisi3 Akuisisi4 Akuisisi5 Akuisisi6 Akuisisi7 Akuisisi8 Akuisisi9 Akuisisil0 Akuisisill Akuisisi12 Akuisisi13 Diseminasil Diseminasi2 Diseminasi3 Diseminasi4 Diseminasi5 Diseminasi6 Diseminasi7 Diseminasi8 Diseminasi9 Gunal Guna2 Guna3 Guna4 Guna5 Kinerjal Kinerja2 Kinerja3 Kinerja4 Kinerja5 Kinerja6 Kinerja7
Factor Loading
0,624 0,776 0,644 0,515 0,387 0,717 0,520 0,144 0,570 0,780 0,827 0,553 0,817 0,451 0,729 0,669 0,624 0,897 0,167 0,841 0,652 0,447 0,895 0,917 0,884 0,810 0,738 0,838 0,854 0,911 0,873 0,718 0,764 0,607
Sumber: Data diolah
Tabel 2. Uji Validitas Instrumen Pengukuran 176
Journal of Human Capital - Vol.2 No.2 - Februari 2010
Orientasi
Berbasis Pad a Manajemen Pengetahuan: . . .
Berkaitan dengan anal isis reliabilitas yang diuji dengan program SPSS-ll pada Tabel 1.3,. I nstru men pengukuran ini menunjukk an hasil yang konsisten sehingga kesa lahan tidak sistematis dalam penelitian dapat dihindari. Keterangan
Jumlah Butir
Cronbach Alpha
Akuisisi Pengetahuan
13
0,855
Diseminasi Pengetahuan
9
0,807
Penggunaan Pengetahuan
5
0,902
Kinerja
7
0,903
Sumber: Data diolah
Tabel 3. Uji Reliabilitas Instrumen Pengukuran
Variabel Akuisisi Pengetahuan Diseminasi Pengetahuan Penggunaan Pengetahuan Kinerja
Akuisisi Pengetahuan
Diseminasi Pengetahuan 0,777'
Penggunaan Pengetahuan 0,531'
0,484'
0,550'
0,261'
0,777' 0,531'
0,550'
0,484'
0,261
Kinerja
0,206 0,206
Sumber: Hasil Pengolahan Data Penelitian
Tabel 4. Korelasi antar Konstruk Berdasarkan hasH penelitian diperoleh korelasi antar aspek dalarn manajemen pengetahuan. Tabel 1.5. menunjukkan sejumlah korelasi yaitu 1) akuisisi pengetahuan memiliki korelasi dengan diseminasi pengetahuan sebesar O,777; 2) akuisisi pengetahuan memHiki korelasi dengan penggunaan pengetahuan sebesar 0,531; 3) akuisisi pengetahuan memiliki korelasi dengan kinerja sebesar 0,484; 4) diseminasi pengetahuan memiliki korelasi dengan penggunaan pengetahuan sebesar 0,550; dan 5) penggunaan pengetahuan memiliki korelasi yang redah dengan kinerja sebesar 0,206. Penjelasan Korelasi Antaraspek Manajemen Pengetahuan Akuisisi Pengetahuan pad a Diseminasi Pengetahuan
Akuisisi pengetahuan merupakan suatu cara atau kegiatan organisasi dalam mengumpulkan
Journal of Human Capital - Vol.2 No.2 - Februari 2010
177
lin Mayasari & Diki Gita Purnama
pengetahuan untuk menjadi informasi berharga bagi organisasi. Dalam mengembangkan akuisisi pengetahuan individu dalam universitas memiliki i nteraksi secara langsung dengan konsumen untuk mempelajarinya bagaimana melayani dengan baik. Organisasi yang dipilih dalam studi ini adalah organisasi di bidang pendidikan di mana interaksi dengan mahasiswa secara langsung bisa diketahui dengan cepat. Interaksi ini dirasakan sehari-hari oleh tenaga pengaja r. Untuk mengeta h u i keinginan l e b i h lanj ut pada perte nga h a n proses belajar mengajar, individu diberikan suatu evaluasi mengenai kinerja seorang dosen dalam kelas. Dengan demikian, organisasi bisa mendapatkan informasi langsung yang berupa masukan dari individu sebagai pengguna jasa. Input yang diberikan secara langsung menjadi bahan evaluasi kinerja karyawan. Akuisisi pengeta huan bisa memengaruhi diseminasi pengetahuan. Sebuah organisasi yang s u d a h m e n e r a p k a n a k uisisi p e n geta h u a n bisa m e l a k u ka n d i s e m i n a s i p e ngeta h u a n . Kemudahan untuk melakukan diseminasi pengetahuan karena adanya modal sosial yang kuat antar karyawa n. Modal sosial adalah kumpulan sumber daya yang dimiliki oleh seorang individu anggota jaringan sosial pribadi; yang mungkin akan tersedia untuk individu sebagai hasil dari sejarah hubungan ini (Van der Gaag, 2005). Coleman (1988) menyatakan bahwa modal sosial didefinisikan oleh fungsinya. Modal sosial melekat pada struktur hubungan antara aktor dan antara aktor. Modal sosial juga melibatkan hubu ngan antara individu dan organisasi yang memfasilitasi tindakan dan menciptakan nilai (Adler, & Kwon, 2002). Kepercayaan adalah salah satu faktor ya ng p a ling sering disebutkan diketa h u i mempengaruhi penciptaan pengetahuan dan saling berbagi. Kepercayaan memfasilitasi pembelajaran antara mitra, dan bahwa keputusan untuk bertukar pengetahuan dalam kondisi tertentu didasarkan pada kepercayaan. Demikian, kepercayaan dan saling berbagi pengetahuan saling mem perkuat satu sama lain (Mayasari, 2010). Manajemen pengetahuan adalah dengan sifat kegiatan sosial, yang memerlukan partisipasi aktif dari anggota organisasi. Oleh karena itu, karyawan pada semua tingkat lebih mungkin untuk berbagi pengetahuan kritis sehingga dapat memengaruhi dan diberi imbalan bagi kinerja organisasi. Dengan kata lain saling berbagi ilmu yang dilakukan menjadi mudah karena ada aspek kepercayaan dan keyakinan antar karyawan untuk berbagi ilmu pengetahuan untuk memudahkan jalannya kegiatan sehari-hari. Manajemen pengeta huan di universitas juga diwujudkan dalam bentuk pelatihan-pelatihan dasar bagi karyawan universitas seperti pelatihan Bahasa I nggris, komputer, manajemen arsip dan beberapa pelatihan dasar lain yang menjadi kompetensi umum yang harus dimiliki oleh dosen m au p u n staf penunja ng. Pelatihan softskill j uga d iadakan untuk meni ngkatkan knowledge sharing yang pada akhirnya meningkatkan kinerja karyawan seperti pelatihan kepemimpinan, komu nikasi, pengambilan keputusan hingga pelatihan team building. Penelitian merupakan salah satu unsur Tridharma Perguruan Tinggi yang wajib dilakukan oleh civitas akademika U niversitas. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan sebagai satu model penelitian yang kompetitif yang merupakan kegiatan penelitian yang mengarahkan dan membimbing calon-calon peneliti yang tergolong dalam penelitian mandiri yang mengarah ke penciptaan inovasi dan pengembangan i l m u pengetahuan. Universitas memberikan kesempatan kepada civitas akademika, baik dosen maupun staf penunjang serta mahasiswa untuk mengadakan penelitian dengan dana yang disediakan khusus untuk kegiatan tersebut.
178
Journal of Human Capital - Vol.2 No.2 - Februari 2010
Orientasi
Berbasis Pada Manajemen Pengetahuan: . . ,
Kerjasama dengan organisasi lain juga merupakan sarana untuk a kuisisi informasi d a n pengetahuan. Organisasi mendapatkan i d e untuk maju dengan melakukan kerjasama dengan organisasi lain. Menurut penelitian Khamseh dan Jolly (2008), kerjasama dengan pihak lain merupakan suatu metoda untuk menggali pengetahuan yang berguna dari pihak lain di luar organisasi. Kerjasama akan menjadikan organisasi mempelajari keahlian dan mendapatkan sumber daya yang tidak dimiliki organisasi. Akusisi pengetahuan ini berupa pengetahuan eksplisit dari pihak organisasi lain yang mungkin sudah d ikodifikasi dalam bentuk aturan atau prosedur. Pengetahuan yang didapat dapat berupa pengetahuan yang bersifat inti maupun non-inti. Berdasarkan informasi tambahan dari hasil wawancara, organisasi dalam studi ini j uga mengadakan langganan sejumlah artikel atau majalah, membiayai karyawan baik staf dan dosen untuk ikut aktif dalam seminar serta membiayai karyawan untuk melakukan penelitian. Semua usaha ini juga ditujukan untuk mendapatkan pengetahuan dalam memperbaiki kinerja yang ada. Media-media tersebut dapat memberikan sarana bagi karyawan untuk menimba i l m u di l u a r j a m kerj a . Rekrutmen karyawan d e ngan kara kteristik tertentu j uga dipertimbangkan. Sumber daya yang ada membantu dalam meningkatkan kinerja organisasi. Dosen-dosen d e ngan memiliki latar belakang pendidikan yang baik da pat m e m bantu organisasi untuk mewujudkan jangka pendek dan jangka panjang. Akuisisi Pengetahuan dengan Penggunaan Pengetahuan
Akuisisi pengeta h u a n memiliki korelasi baik dengan penggunaan pengeta huan. H a l ini meliputi beberapa penjelasan. Pengetahuan yang sudah ada dalam bentuk pengetahuan eksplisit bisa digunakan untuk memperlancar kegiatan sehari-hari dalam menjalankan tugas yang ada dalam deskripsi kerja. Adanya manual kerja dapat dijadikan pegangan atau panduan dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Berdasarkan wawancara yang dilakukan adanya pusat manajemen atau knowledge center management mendorong individu untuk mengakses informasi dengan mudah tanpa perlu informasi dari pihak-pihak lain. Untuk menunjang diseminasi informasi, organisasi harus memiliki database informasi atau pengetahuan sebagai saluran informasi secara formal. Setiap individu dalam organisasi dapat m e ngakses dengan m u d a h bila d i perlukan u ntuk m e n d a patkan referensi. Sosialisasi pengetahuan berusaha mewujudkan explicit know/edge yang diciptakan dan saling dibagikan melalui organisasi dan diubah ke dalam tacit know/edge individu. Internalisasi pengeta huan berkaitan dengan kapabilitas aplikatif pengetahuan atau kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dalam situasi nyata. Perubahan lingkungan bisnis yang cepat menuntut organisasi harus m enyesuaikan dengan peruba han i n i . I ndividu yang ada dalam organisasi harus m enyesuaikan dan m em p erbarui terus-meneru s pengeta h u a n yang d i m i l iki agar bisa mengikuti perkembangan yang ada. Dengan terus memperbarui pengetahuan yang dimiliki oleh individu dapat membantu individu untuk menyelesaikan dan men ingkatkan kinerja dengan lebih baik. Untuk menarik minat dosen melakukan diseminasi pengetahuan, organisasi dalam studi ini sudah memiliki ganjaran atau mekanisme untuk memberikan penghargaan bagi dosen yang
Journal of Human Capital - Vol.2 No.2 - Februari 2010
179
lin Mayasari & Diki Gita Purnama
mengikuti call for paper, seminar maupun melakukan penelitian. Limerick, Passfield, d a n Cunnington (1994) berpenda pat bahwa kompensasi juga merupakan aspek penting dalam manajemen pengetahuan. Kompensasi merupakan aspek untuk meningkatkan motivasi bagi i ndividu untuk melakukan saling berbagi informasi. Saling berbagi informasi merupakan sesuatu yang harus d ih a rgai karena individu sudah meluangkan waktu untuk mencari, menyimpan dan membagi bagi rekan kerja yang lain. Prosedur penilaian kinerja berkaitan d e ngan kompensasi penting d a n h a l i n i m e rupakan sesuatu yang s a l i n g be rkaita n . Menumbuhkan motivasi internal bagi karyawan untuk melakukan saling berbagi informasi atau pengetahuan merupakan upaya yang sulit. Oleh karena itu, organisasi harus memulainya dengan memberikan kompensasi yang sepadan agar mendorong individu mau memberikan pengetahuan yang dimiliki kepacla orang lain. Diseminasi pengetahuan juga bermula dari manajemen atas. Berdasarkan hasil wawancara, organisasi ini juga menunjukkan komitmen atas untuk melakukan diseminasi pengetahuan. Membangun kepemimpinan yang dapat d ipercaya merupakan tataran tingkat atas untuk m e laksanakan m a najemen pengetahuan (Siemieniuch & Sincla ir, 2004). Kepemimpinan merupakan suatu a r a h a n bagi terlaksananya manajemen pengeta h u a n . P e m i m p i n menetapkan tujuan untuk mengarahkan anggota organisasi menjalankan aktivitas. Akuisisi Pengetahuan dengan Kinerja
Informasi pengeta huan memberikan kemudahan orang untuk memperbaiki produktivitas kerja. Produktivitas kerja bisa meningkat karena karyawan memiliki panduan kerja untuk memudahkan kerja. Panduan kerja, buku-buku, hasil penelitian, prosedur kerja merupakan sumber informasi untuk memberikan pengetahuan mengenai cara-cara bekerja dengan baik dan optimal, meningkatkan pengeta huan lebih luas dan mencontoh kesuksesan-kesuksesan atau prestasi kerja karyawan lain. Diseminasi Pengetahuan dengan Penggunaan Pengetahuan
Saling berbagi informasi baik dalam situs organisasi, publikasi dalam sejumlah media maupun melalui pelatihan-pelatihan dan bedah buku dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan kerja. Karyawan menggunakan setiap bentuk informasi untuk membantu menyelesaikan pekerjaan dengan optimal. Penggunaan Pengetahuan
Penggunaan penget a h u a n penting u ntuk orga nisasi d a l a m merespon tu ntuta n pasar (Siemieniuch & Sinclair, 2004). Organisasi memiliki kemampuan cepat u ntuk merespon perubahan bisnis. Berdasarkan hasil wawancara tambahan, diketahui bahwa organisasi dalam studi ini sudah menggunakan manajemen pengetahuan untuk memenuhi tuntutan pasar meskipun belum dijalankan secara optimal. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya korelasi a ntara pe nggu n a a n pengeta h u a n d a n k i n erja d e nga n koefi s i e n 0,206. M a naje m e n pengetahuan bertujuan untuk membantu proses kerja dengan baik d a n bisa meningkatkan kinerja karena manajemen pengeta huan merupakan proses untuk memuda h ka n a liran 180
Journal of Human Capital - Vol.2 No.2 - Februari 2010
Orientasi
Berbasis Pada Manajemen Pengetahuan: ...
informasi agar setiap karyawan meningkatkan pengetahuan scara luas namun memang secara praktis belum bisa diketahui apakah penggunaan pengetahuan memiliki korelasi pada kinerja dalam waktu yang singkat. Pengujian hubungan ini memang membutuhkan waktu yang lama, dengan demikian, simpulan untuk menunjukkan bahwa penggunaan pengetahuan memiliki im bas besar pada kinerja dapat diketahui dalam jangka waktu yang panjang. SIMPUlAN
Manfaat manajemen pengetahuan bisa dipahami sebagai kompetensi inti yang dimiliki oleh organisasi agar bisa menjalankan kegiatan sehari-hari. Aspek-aspek manajemen pengetahuan yaitu akuisisi pengetahuan, diseminasi pengetahuan, penggunaan pengeta huan. Aspek-aspek i n i m e m i li ki korelasi satu sama lain. Akuisisi pengetah ua n mendorong keinginan untuk melakukan d iseminasi pengetahuan. Diseminasi pengeta huan mendukung penggunaan pengetahuan. Namun, penggunaan pengetahuan belum secara optimal mendukung kinerja. P roses manajemen pengetahuan merupakan proses yang membutuhkan waktu yang lama. Setiap individu dalam organisasi beserta segala infrastruktur yang menyertai individu bekerja memang harus disiapkan dengan baik, karena proses manajemen pengetahuan harus didukung dengan budaya yang mengayomi perubahan, iklim organisasi yang positif, kesiapan individu untuk mengubah cara pikir, kecepatan mengambil suatu tindakan, dan memiliki visi dan misi u ntuk berke m bang serta m e m perbaiki diri secara terus-menerus. Tentu saja, h a l i n i membutuhkan dukungan dari jajaran level atas organisasi untuk bisa memberikan motivasi dan contoh dalam menerapkan manajemen pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari dalam menyelesaikan pekerjaan. Penelitian ini memiliki keterbatasan pada beberapa aspek. Pertama, analisis data dilakukan hanya menggunakan uji korelasi. Konsekuensinya, penelitian ini hanya menunjukkan tingkat hubungan masing-masing dimensi dalam manajemen pengetahuan dan kinerja. Oleh karena itu, penelitian yang akan datang difokuskan untuk menguji kausalitas antar dimensi dan kinerja. Tujuannya adalah agar melihat kekuatan variabel manajemen pengetahuan dan kinerja dengan lebih baik. Kedua, sampel penelitian diambil pada satu perusahaan yang bergerak dalam jasa pendidikan. Penelitian yang akan datang lebih baik menggunakan perusahaan dengan latar belakang industri yang berbeda. Dengan demikian, kekuatan untuk menjelaskan fungsi manajemen pengetahuan tidak terbatas pada satu industri saja dalam memengaruhi pe n ingkatan kinerja. Ketiga, kekuatan indi kator-in dikator dalam d imensi ma naje m e n pengetahuan yaitu akuisisi, diseminasi dan penggunaan harus diberikan elaborasi yang kuat pada penelitian yang akan datang dengan menggunakan sejumlah literatur hasil penelitian yang mendukung. Keem pat, pengukuran kinerja yang digunakan sebagai variabel dalam penelitian ini menggunakan ukuran subjektif. Pengukuran subjektif memiliki kelemahan karena berdasarkan persepsi masing-masing individu yang belum tentu memiliki kebenaran yang standar. Oleh karena itu, penelitian mendatang menggunakan pengukuran kinerja yang objektif misalnya ROI, ROE, profitabilitas maupun kinerja sumber daya manusia lainnya.
Journal of Human Capital " Vol.2 No.2 " Februari 2010
181
lin Mayasari & Diki Gita Purnama
REFERENSI
CarriOn, G.C., Gonzales, J . L.G., & Leal, A. (2004).ldentifying key knowledge area i n the professional services industry: A case study. Journal of Knowledge Management, 8: 131150. Darroch, J . (2003). Developing a measure of manajemen pengetahuan behaviors and practice. Journal of Manajemen pengetahuan, 7: 41-54. Firestone, J.M. (2001). Estimating benefits of knowledge initiatives concepts methodology, and tools. Journal of Knowledge and Innovation, 1: 13-27. Hair. J.F., Anderson, R.E. Tatham. R.L., & Black, w.e. (1998). Multivariate Data Analysis. Fifth edition. New Jersey: Prentice Hall. Hoffman, J.J., Hoelscher, M.L., & Sherif, K. (2005). Social capital, knowledge management, and sustained superior performance. Journal of Knowledge management, 9: 93-100. Hu nt, S.D. (1991) a. Modern Marketing Theory: Critical Issues in the Philosophy of Marketing Science. Cincinnati: South-Western Publishing Co. Khamseh, H.M. & Jolly, D.R. (2008). Knowledge transfer in alliance: Determinant factors. Journal of Knowledge Management, 12:37-50. Limerick, D., Passfield, R., & Cunn ington, B. (1994). Transformational change-towards an action learning organization. The Learning Organization, 1: 9-40. Mayasari, I . (2010). Highlighting social capital as the im portance of investigating network phenomena: Case study of Paramadina internal networking. Tidak Dipublikasikan. Nonaka, I., & Takeuchi, H. (1995). The Knowledge-Creating Company. Oxford University Press, New York. Siemieniuch, e.E., & Sinclair, M.A. (2004). A framework for organizatio nal readiness for knowledge management. International Journal of Operations & Production Management, 24: 79-98. Purnama, D.G., & Mayasari, I. (2009). Strategi unggul organisasi dengan orientasi berbasis pada manajemen pengetahuan: Studi eksploratori pada organisasi jasa pendidikan. Proceeding PPM. Tsai, M.T., & Lee, K.w. (2006). A study of knowledge internalization: From the perspective of learning cycle theory. Journal of Manajemen pengetahuan, 10: 57-71. Van der Gaag, M. (2005). Measurement of social capital. Netherlands Organization for Scientific Research. Vasey, M. (2000). Srategic value of knowledge in an environment of change. British Academy of Management Workshop: Knowledge Management for Strategic Business Change. Watson, G. (1993). Strategic Benchmarking. John Wiley, Singapore. Wong, w.L.P. & Radcliffe, D.F. (2000). The tacit nature of design knowledge. Technology Analysis and Strategic Management, 12: 493-512. 182
Journal of Human Capital - Val.2 No.2 - Februari 2010
INDEKS
Amir, M. Taufiq, 2008, Bagaimana PT Astra Internasianal Tbk Mengelola Budaya Inovasi, Journal of Human Capital, Vol 1 No. 1 - Oktober 2008 ----------, 2009, Passion, Engagement dan Thriving Saat Bekerja; Memaksimalkan Potensi Indidivu, Journal of Human Capital, Vol 1 No. 2 - Februari 2009 Ariani, D. Wahyu, 2009, Penialian Diri dan Penilaian Rekan Kerja dalam Penilaian Kinerja Karyawan, Journal of Human Capital, Vol 2 No. 1 - Oktober 2009 Ashraf, Mohammad and Mohd. H.R. Joarder, 2009, Talent Management and Retention Practices from the Faculty's Point of View: A Case Study, Journal of Human Capital, Vol 1 No. 2 Februari 2009 Barata, Dion Dewa, 2009, Globalization and Dynamics of Human Resources in Multinational Company, Journal of Human Capital, Vol 1 No. 3 - Juni 2009 Fachrunnisa, Olivia, 2009, The Nature of Trust in Virtual Organization: A Conceptual Analysis, Journal of Human Capital, Vol 2 No. 1 - Oktober 2009 Hickey, William, 2009, Getting to Strategic HRM in Indonesia, Journal of Human Capital, Vol 1 No. 2 - Februari 2009 Indartono, Setyabudi, Hawjeng Chiou Chun-Hsi and Vivian Chen, 2008, The Knowledge Characteristics Work Design: Analysis of Job Fit Influence on in Role Performance, Journal of Human Capital, Vol 1 No. 1 - Oktober 2008 ------ ------, 2009, The Mining Workers Perception of Direct and Indirect Compensations Fulfillment, Journal of Human Capital, Vol 1 No. 3 - Juni 2009 Irawanto, Dodi Wirawan, 2008 Spirituality, Spiritual Values Treatment, and Firm Performance, Journal of Human Capital, Vol 1 No. 1 - Oktober 2008 Kusumadmo, E., 2008, The Role of Knowledge Management in Organization: A Survey of Banking and Insurance Companies in Central Java, Journal of Human Capital, Vol 1 No. 1 Oktober 2008 Maharani, Anita, 2009, The Emotion Preferences of Early Adolescent Employees: A Case Study on Film Distribution SerVices Industry in Jakarta, Journal of Human Capital, Vol 1 No. 3 Juni 2009 Maman, U Kh, 2009, Mengidenti/ikasi Unsur-unsur Kompetensi Wirausaha Santri di Beberapa Pesantren di Jawa Barat dan Banten, Journal of Human Capital, Vol 1 No. 3 - Juni 2009 Ma ngestuti, Retno, 2009, Pengaruh Tipe Kepribadian, Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan terhadap Prokrastinasi pada Karyawan Universitas Islam Negeri Malang, Journal of Human Capital, Vol 1 No. 3 - Juni 2009
Journal of Human Capital - Vol.2 No.2 - Februari 2010
183
Indeks
Mayasari, lin, 2009, Managing Career Plateau Professionally in Organization Setting, Journal of Human Capital, Vol 1 No. 2 - Februari 2009 Rahmadi, Yosephus Endra, Benedictus K. Budiprasetyo, 2009, Studi Sinergi Pengembangan Manajemen Pengetahuan dan Soft Skill Berdasarkan Lator Belakang Sosial Ekonomi, Journal of Human Capital, Val l No. 3 - Juni 2009 Riady, Hanes, 2009, Meningkatkan Kamitmen Karyawan atas Organisasi Melalui Pengeloloan "Quality Work of Life", Journal of Human Capital, Vol 1 No. 2 - Februari 2009 Sukwadi, Ronald, Hotma A. Hutahaean, and Ching Chow Yang, 2009, Perancangan Sistem Karir Berdasarkan Analisis Kompetensi Pendekatan Manajemen Talenta (Studi Kasus : PT. TCN, Jakarta), Journal of Human Capital, Vol 2 No. 1 - Oktober 2009 Sutikno, Bayu, Refius Pradipta Setyanto, A Multilevel Study of Perceived Organizational Support and Perceived External Prestige, Journal of Human Capital, Vol 2 No. 1 - Oktober 2009 Tarjono, Hermawan, 2008, Relationship Between Social Desirability and Ability-Personality Variables Within Job Applicants, Journal of Human Capital, Vol 1 No. 1 - Oktober 2008 -------------, 2009, Antecedents of Overconfidence Bias: An Analysis af Job Appliconts' Metacognitive Process, Journal of Human Capital, Vol 2 No. 1 - Oktober 2009 Uno, Indra, 2008, Spirituality, Spiritual Values Treatment, and Firm Performance, Journal of Human Capital, Val l No. 1 -- Oktober 2008 Widodo, 2009, Peningkatan Kinerja Sumberdaya Manusia Melolui Pengalaman dan Pengetahuan Prosedur, Journal of Human Capital, Vol 1 No. 2 - Februari 2009
184
Journal of Human Capital - Vol.2 No.2 - Februari 2010
PENERAPAN MANAJEMEN PENGETAHUAN DI IM TELKOM: STRATEGI MENINGKATKAN KUALITAS TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
Oleh: Citra Kusuma Dewi SE., MBA 3 ABSTRAK
Kunci dad pelak,an""n tri dharma perguruan tinggi adalah ilmu pengetahuan yang secara konsisten diperbaharui, disebarkan dan diimplementasikan ke dalam setiap kegiatan perguruan tinggi melalui konsep manajemen pengetahuan. 1M Telkom sebagai perguruan tin ggi dituntut untuk terus mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas dalam pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi. Tahapan penerapan manajemen pengetahuan di 1M Telkom dimulai dengan pemilihan dennisi manajemen pengetahuan yang jelas dan sesuai dengan i n titusi. Tahap kedua yaitu proses konversi pengetahuan yang dijelaskan dengan pendekatan SEC! Process yaitu proses Sosialization, Externalization, Combination dan Internalization. Tahap ketiga antara lain proses Pemetaan Pengetahuan, Akuisisi Pengetahuan, Penyimpanan Pengetahuan, Distribusi Pengetahuan dan Pemanfaatan Pengetahuan. Kemudian, 1M Telkom juga perlu memperhatikan faktor- faktor penting yang akan mempengaruhi kesuksesan penerapan manajemen pengetahuan yaitu Manusia. Kepemimpinan, Teknologi, Organisasi dan Pembelajaran. Kata Kunci: Manajemen Pengetahuan, Tri Dharma Perguruan Tinggi, Konversi Pengetahuan
3
Dosen Tetap Program studi Administrasi Bisnis Institut Manajemen Telkom
PENDAHULUAN
Institut Manajemen Telkom (1M Telkom) adalah perguruan tinggi yang dikelola oleh Yayasan Pendidikan Telkom (YPT). merupakan 1M Telkom pengembangan kelembagaan dari Master Business Administration (MBA) Bandung ( 1 990), menjadi Sekolah Tinggi Manajemen Bandung ( 1 993), kemudian berubah menjadi Sekolah Tinggi Manajemen Bisnis Telkom (2006), dan perubahan terakhir menjadi Institut Manajemen Telkom pada tahun 2008. 1M Telkom memiliki peran dalam realisasi tri dharma perguruan tinggi. Hal ini tercermin dari misi 1M Telkom yang tercantum daJam STATUTA 1M Telkom 20 1 0 (1M Telkom, 20 I 0: 3), yaitu: a.
Menyelenggarakan pendididikan tinggi yang unggul, dan menghasilkan lulu san yang mandiri sesuai kebutuhan industri dalam bidang manajemen.
b.
Menyelenggarakan penelitian unggulan dan relevan bagi kebutuhan industri
C,
Menyelenggarakan pengabdian kepada masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup. Kualitas perguruan tinggi salah satunya dinilai dari baik atau tidaknya pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi. Semakin baik kualitas tri dharma perguruan tinggi maka semakin bagus juga kualiatas perguruan tinggi tersebut. Idealnya, realisasi tri dharma perguruan tinggi dilaksanakan secara bersamaan, saling mendukung satu dengan Jainnya dan secara seimbang diterapkan pada semua program studi yang ada di 1M Telkom. Oleh karena itu, perlu ada strategi yang nantinya akan meningkatkan kualitas pelaksanaan tri dharma perguruan dnggi di 1M Telkom. Kunci dari pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi adalah ilmu pengetahuan yang secara konsisten diperbaharui, disebarkan dan diimplementasikan ke dalam tinggi. setiap kegiatan perguruan Keberhasilan pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi bukan bergantung semata-
mata pada satu orang saja, namun dari kerjasama seluruh bagian yang ada di perguruan tinggi. OJeh karena itu, perguruan tinggi harus memiliki pengelolaan yang baik atas pengetahuan yang dimiliki, atau biasa disebut sistem Manajemen Pengetahuan (MP). Ranjan (2007: 1 6) mengemukakan bahwa prinsip MP bila diterapkan pada pengelolaan di industri pendidikan akan meningkatkan proses belajar mengajar. Menurut Mulyanto (2008:7), sebagian perguruan tinggi tidak mengelola pengetahuannya dengan baik, sehingga transfer pengetahuan tidak terjadi. MP pada dasarnya adalah konsep pengelolaan pengetahuan yang dimilik, oleh organisasi. Untuk memperoleh manfaat dari MP yang sebesar�besarnya, organisasi jUgcl harus aktif dalam mengidentifikasi dan mengakuisisi pengetahuan-pengetahuan berkualitas yang ada di lingkungan eksternal organisasi. Sejak dipopulerkan pada pertengahan tahun 80-an, MP kini semakin sering dibicarakan di antara para akademisi dan praktisi manajemen. Sudah banyak perusahaan yang menerapkan prinsip. metod e, dan perangkat MP, terutama di luar negeri. Perguruan Tinggi, dalam hal im khususnya 1M Telkom sebagai wadah proses ilmu penyebaran dan pendidikan dasarnya telah pada pengetahuan, dalam MP prinsip menerapkan kesehariannya, hanya saja penerapannya selama ini dirasa masih kurang intensif dan maksimal. Berdasarkan uraian diatas, maka dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana prlns,p Manajemen Pengetahuan (MP) diterapkan dengan mekanisme yang baik d, 1M Telkom sebagai strategi meningkatkan kualitas Tri Dharma Perguruan Tinggi. MANAJ EMEN P E N G ETAHUAN I Pengetahuan Sebagai Keunggulan Bersaing Menurut Awad dan G haziri (2004 dalam Ranjan, 2007), pengetahuan adalah pemahaman yang diperoleh melalui proses pengalaman dan studi yang layak. Sedangkan menurut Turban (2004 dalam Munir, 2008),
pengetahuan adalah informasi yang telah dianalisis dan diorganisasi sehingga dapat dimengerti dan digunakan untuk memecahkan masalah serta mengambil keputusan. Drucker ( 1 988 dalam Tobing. 2007) mendefinisikan pengetahuan sebagai informasi yang mengubah sesuatu atau seseorang. Hal itu terjadi ketika informasi tersebut meniadi dasar untuk bertindak, atau ketika informasi tersebut memampukan seseorang atau institusi untuk mengambil tindakan yang lebih efektif dari sebelumnya. Tobing (2007: 1 7) mengemukakan bahwa ban yak pendapat yang mengartikan pengetahuan sebagai informasi yang dapat ditindak lanjuti atau informasi yang digunakan sebagai dasar untuk bertindak, uncuk mengambil kepucusan dan untuk menempuh arah atau strategi tertentu. Mulyanto (2008:2) mengemukakan pembagian pengetahuan sebagai berikut: I ) Pengetahuan Tacit: Terdapat pada orang sebagai model mental. pengalaman. pemahaman. dan bakat. Pengetahuan tacit ini kadang susah kita ungkapkan atau kita culis. 2) Pengetahuan Eksplisit: Pengetahuan yang tertulis, terarsip. tersebar (cecak maupun elektronik) dan bisa sebagai bahan pembelajaranlreferensi untuk orang lain. Pengetahuan eksplisit dapat dikomunikasikan secara eksternal dan ditangkap dalam bentuk model formal, aturan�aturan, dan prosedur�prosedur. Barney ( 1 99 1 dalam Munir. 2008) mengemukakan bahwa pengetahuan bisa membuat keunggulan bersaing bagi sebuah perusahaan karena memiliki em pat kriteria yang tidak dimiliki sumber daya lainnya. yaitu berharga. langka. sulit didru dan sulit akan semakin digantikan. Pengetahuan berharga bila bersifat contextRspecific atau pengetahuan terbatinkan (pengetahuan tacit). Pengetahuan tersebut tentu saia dapat dituangkan dalam bentuk manual atau prosedur operasional standar, namun pengalaman yang diperoleh kedka mengaplikasikan pengetahuan tersebut tak
ternilai dan sulit diperoleh tanpa melalui pengalaman yang sama. Menurut Nonaka dan Takeuchi ( 1 995 dalam Sedarso, 2009), penciptaan pengetahuan tercapai melalui pemahaman atau pengakuan terhadap hubungan sinergis dari pengetahuan tacit ke pengetahuan eksplisit dalam organisasi, serta melalui desain proses sosial yang menciptakan pengetahuan baru dengan mengalihkan pengetahuan tacit ke dalam pengetahuan eksplisit, berdasarkan proses pembelajaran. Organisasi perlu terampil dalam mengalihkan pengetahuan tacit ke pengetahuan eksplisit dan kembali ke tacit yang dapat mendorong inovasi dan pengembangan produk baru. Kedua jenis informasi tersebut dapat dikonversi melalui empat jenis proses konversi, yaitu: Sosialisasi, Eksternalisasi, Kombinasi dan Internalisasi. Keempat jenis proses konversi ini disebut SECf Process (S: Sociafization, E: C: Externafization, Combination, dan I: Internalization) seperti yang digambarkan pada gambar I dibawah ini.
Empat model konversi pengetahuan. yaitu: I ) Sosialisasi merupakan proses penciptaan dan berbagi pengetahuan tacit melalui interaksi dan pengalaman langsung merupakan 2) Eksternalisasi pengartikulasian pengetahuan tacit menjadi pengetahuan eksplisit melalui proses dialog dan refleksi 3 ) Kombinasi merupakan proses konversi pengetahuan eksplisit meniadi pengetahuan eksplisit yang baru melalui sistemasi dan pengaplikasian pengetahuan eksplisit dan informasi
4)
lnternalisasi merupakan proses pembelajaran dan akuisi pembelajaran yang dilakukan aleh anggota organisasi terhadap yang eksplisit pengetahuan disebarkan ke seluruh organisasi melalui pengalaman sendiri sehingga menjadi pengetahuan tacit anggata organisasi.
2 Manajemen Pengetahuan dalam Organisasi Hera wati (Herawao, 2008: 1 -2) mengemukakan bahwa istilah Manajemen (MP) kali Pengetahuan pertama diperkenalkan pada tahun 1 986, dalam Konferensi Manajemen Eropa (American Productivfty and Qualfty Center, 1 996). Kansep ini kemudian berkembang secara cepat dan menarik perhatian banyak pihak. Secara umum, MP dapat dijelaskan sebagai langkahlangkah sistemastis untuk mengelola pengetahuan dalam organisasi, untuk menciptakan nilai dan meningkatkan produktivitas organisasi. Dalam hal lnl, MP merupakan proses sistematik untuk menemukan, memilih, m engorganisasikan, menyarikan dan menyajikan informasi dengan cara tertentu, sehingga para karyawan mampu memanfaatkan dan meningkatkan penguasaan pengetahuan daJam suatu bidang yang spesifik untuk kemudian menginstitusionalkannya menjadi pengetahuan arganisasi. MP fakus kepada eksploitasi dan pengembangan pengetahuan, sebagai aset organisasi yang digunakan untuk tujuan organisasi. Definisi tentang MP sendiri sangat beragam, menurut Tabing (2007, 23) dalam perancangan MP di dalam suatu perusahaan maka faktor subjektif para perancangnya turut mempengaruhi pemilihan definisi yang akan diadopsi, disamping kesesuaian dengan strategi dan kerangka yang digunakan dalam penerapan MP. Telkom mengadapsi definisi MP yang agak mirip dengan definisi Tiwana dalam Tabing, 2007), yaitu (200 I pengelolaan pengetahuan perusahaan dalam menciptakan nilai bisnis (business value) dan
menghasilkan keunggulan kampetitif yang berkesinambungan (sustainable comf)etitive advantage) dengan mengaptimalkan prases penciptaan, pengkomunikasian dan pengaplikasian semua pengetahuan yang dibutuhkan dalam rangka pencapaian tujuan bisnis. Rabert Buckman (2004 dalam Tabing, 2007) yang terjun langsung dalam memimpin implementasi MP di perusahaan Buckman Labs, memilih definisi MP dari American Productivfty and Quality Centre (APQC), yaitu systematic approaches to help information and knowledge emerge and flow to the right people at the right time to create value. Sedangkan IBM Consuking Group mendefinisikan MP sebagai a set of practices that allows/enables organization to better create, understand, and utilize what they know. Terminologi pembagian pmsesproses utama dalam MP sangat bervariasi. Tiwana (2000 dalam Tobing 2007) membaginya dalam tiga prases utama, yakni akuisisi, sharing dan utilisasi knowledge. Sementara berbagai literaeur memberikan pembagian proses utama MP sebagai berikut: know/edge creation, knowledge retention, knowledge sharing dan knowledge utilization (Tabing, 2007). Pada dasarnya, prases pengelolaan pengetahuan meliputi proses identifikasi, berbagi dan penciptaan pengetahuan. Menurut Nonaka dan Takeuchi ( 1 995 dalam Setiarsa, 2009), untuk mencapai organisasi yang inovatif, diperlukan membangun budaya berbagi upaya pengetahuan, dan kunci utama pelakunya adalah manusia. Keuntungan dad orang yang berbagi pengetahuan adalah mereka mampu meresp on kesempatan secara cepat dan inovasi dapat diciptakan agar mencapai kesuksesan di dunia bisnis secara cepat dengan penekanan biaya aperasianal. Oleh karena leu, organisasi membueuhkan sistem untuk menciptakan dan memelihara pengetahuan serta menyediakan fasilitas untuk proses berbagi pengetahuan dan organizational /earning. Banyak pihak yang menyarnakan pengertian MP dengan teknalagi infarmasi.
Memang benar teknologi informasi dapat sangat mendukung keberhasilan MP, namun tanpa teknologi informasi pun MP dapat eksis di berbagai organisasi dan tidak berarti dengan adanya teknologi informasi pasti ada MP. Strategi teknologi informasi di organisasi berfokLls pada poJa investasi pada infrastruktur dan aplikasi teknologi informasi sebagai pemungkin (enabler) bagi operasi organisasi. Sedangkan isu utama MP adalah perilaku, yaitu anggota organisasi aktif berbagi pengetahuan dan meningkatkan kualitas pengetahuan dirinya serta unit kerjanya dengan mengkombinasikan pengetahuan yang sudah ada dengan pengetahuan baru. MP membuat manusia sistemas tis mengidentifikasi secara pengetahuan yang dibutuhkan nya, dan melakukan akuisisi serta mengasimilasi pengetah uan yang dibutuhkan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki. MANAJEMEN PEN ERAPAN PENGETAHUAN DI 1M TELKOM Sebagai institusi yang berbasis pengetahuan, 1M Telkom telah melakukan proses MP dalam kaitannya dengan proses tri dharma perguruan tinggi. Akan tetapi, konsep MP belum didefinisikan secara jelas dan proses pelaksanaan belum ditetapkan oleh institusi sehingga arah pelaksanaan MP belum jelas dan belum tersebar secara merata kepada semua bagian dari institusi. Konsep MP yang diterapkan dengan mekanisme yang baik dapat dipergunakan sebagai strategi bagi 1M Telkom untuk terus meningkatkan kualiras tri dharma perguruan tinggi. 3 . 1 Definisi Manajemen Pengetahuan versi 1M Telkom Tahapan pertama yang harus dilakukan tentu saja menentukan definisi dad MP yang akan dipakai oleh 1�1 Telkom, yang disesuaikan dengan nilai-nilai yang dianut, visi misi serra tujuan dari penerapan MP oleh 1M Telkom. Tujuan mendasar penerapan MP oleh 1M Telkom sebagai institusi pendidikan adalah bagaimana pengetahuan yang dimiliki
selama ini tidak hilang begitu saja, akan tetapi dapat disebarkan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh seluruh bagian dari 1M Telkom. Tujuan akhir dari penerapan MP di 1M Telkom adalah peningkatan kualitas Tri Dharma Perguruan Tinggi. Berdasarkan hal-hal di atas, maka pengertian dari MP yang dapat diterapkan oleh 1M Telkom yaitu MP sebagai proses pengelolaan pengetahuan sehingga pengetahuan dapat didptakan, dibagi, dipahami, dan dimanfaatkan bersama-sama demi terlaksananya Tri Dharma Perguruan Tinggi yang baik. 3.2 Konve"si Pengetahuan di 1M Telkom Institusi dapat memanfaatkan bagian-bagian yang ada dl institusi yaitu antara lain sekolah, program studi, Kelompok Bidang Keahlian (KBK), dan tim dibahas Seperti telah pengajaran. sebelumnya saat ini 1M Telkom memiliki 7 program studi, yang terdiri dari Prodi S I Manajemen Bisnis Telekomunikasi dan 03 Informati ka, Prodi Manajemen Pemasaran, Prodi S I Akuntansi, Prodi S I Administrasi Niaga, Prodi S I Desain Komunikasi Visual, Prodi SI IImu Magister Komunikasi dan Program Manajemen. Kemudian, sejak I Februari 20 I I , 1M Telkom membentuk unit (KBK). Kelompok Keahlian Bidang Kehadiran KBK diharapkan sebagai wadah representative untuk mengawal seluruh rangkaian penelitian yang melibatkan seluruh tenaga pengajar 1M Telkom. Bahkan menurut Sitorus (20 I I ) kedka diwawancara oleh majalah eyber, KBK diharapkan bisa menjadi anchor atau jangkar yang menguatkan pendidikan, pengajaran serta konsultasi serta diharapkan mendukung tri dharma perguruan tinggi. Sebagai langkah awal, secara struktural KBK dibagi dalam empat unit sebagai berikut: • Unit Manajemen Telekomunikasi dan SDM, Media: Bidang Bidang Entrepreunership, Bidang Informasi dan Teknologi
•
Unit Pasca Sarjana: Bidang Strategi dan Centre Telecommunication Business Studies (CTBS), Bidang Keuangan, Program Pe[atihan dan Pe[ayanan Bisnis, serra. Modeling dan Analisis Kua[itatif
•
Unit Administrasi Bisnis dan Keuangan: IImu Bidang Akuntansi, Bidang Administrasi, Bidang Pemasaran • Unit Manajemen Desain dan Komunikasi: Bidang Komunikasi dan Dasar Proses konversi pengetahuan yang terjadi bila ada budaya berbagi pengetahuan dipaparkan me[a[ui SECI Process berikut inl: (1) Sosialisasi (Socialization) Proses sosialiasi dapat terwujud melalui pengetahuan dan berbagi proses penciptaan pengetahuan tacit dapat terwujud melaJui interaksi antar anggota dari sekolah, program studi, KBK atau team teaching dengan cara diskusi dan bahkan berkumpul bersama. Bila salah satu yang memiliki pengetahuan tacit tertentu melakukan proses berbagi pengetahuanmaka anggota yang lain akan memiliki pengetahuan tacit yang baru. Salah satu contoh proses sosialisasi yang telah dilakukan antara lain diskusi dian tara anggota team teaching mengenai materi yang akan diberikan kepada mahasiswa. (2) Eksternal isasi (Eksternalization) Proses eksternalisasi merupakan proses perubahan pengetahuan tacit menjadi pengetahuan eksplisit. Melalui cara ini, terkristalkan menjadi pengetahuan sehingga dapat didistribusikan ke pihak lain dan menjadi basis bagi pengetahuan baru. Dalam proses eksternalisasi, pengetahuan tacit diekspresikan dan menjadi konsep, diterjemahkan hipotesis, diagram, atau model sehingga dapat dimengerti pihak lain (Munir, Misalnya 2009:3 1 ). presentasi pengalaman sewaktu menjadi pembicara, di depan rekan-rekan prodi, KBK dengan ataupun team teaching menggunakan power point yang
dilengkapi dengan bagan, gambar. tabel dan sebagainya. (3) Kombinasi (Combination) Kombinasi merupakan proses konvers! menjadi pengetahuan eksplisit pengetahuan eksplisit yang baru, dimana pengetahuan dipertukarkan dan dikombinasikan, sehingga terbentuk dokumen tertt/lis. Menurut Munir (2008: kombinasi dalam praktiknya 32), bergantung pada tiga proses. Pertama, pengetahuan eksplisit dikumpulkan dari dalam dan [uar institusi. kemudian dikombinasikan. Kedua, pengetahuan eksplisit disunting atau diproses agar dapat lebih bermanfaat bagi institusL Ketiga, pengecahuan eksplisit tersebut disebarkan ke seluruh perusahaan melalui berbagai media. Media yang dapat d ipakai institusi antara lain melalui majalah internal, portal pengetahuan institusi, jurnal dan lain-lain. Selama ini 1M Telkom telah menggunakan media internet (web site) dan majalah (M Bizz. sebagai bentuk dokumen Cyber) tertu lis dari pengetahuan agar dapat dipahami oleh anggota institusi yang lain. (4) Internalisasi (Internalization) Proses Inl merujuk pada konvers! menjadi pengetahuan eksplisit pengetahuan tacit. Munir (2008: 3 3 ) menyatakan bahwa cara I n l mirip dengan kegiatan yang disebut learning by doing. Dosen muda yang belum pernah melakukan penelitian akan men cob a melakukan penelitian dengan merujuk kepada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Atau misalkan ketua prodi yang baN belajar menjalankan program merujuk kepada prosedur studi prosedur ISO yang telah dibuat oleh para pendahulunya. Bila internalisasi terjadi pada banyak orang, maka pengetahuan eksplisit akan terdistribusi ke seluruh bagian dari institusi. 3 Proses Manajemen Pengetah uan di 1M Tellw m
Tahapan selanjutnya adalah proses MP yang akan diadopsi oleh 1M Telkom. Proses MP yang dapat diterapkan di 1M Telkom antara lain proses Pemetaan Akuisisi Pengetahuan, Pengetahuan, Pengetahuan, Distribusi Penyimpanan Pengetahuan dan Pemanfaatan Pengetahuan, yang dipaparkan dalam uraian berikut ini: I . Pemetaan Pengetahuan Tujuan dad pemetaan pengetahuan adalah mengetahui dengan jelas pengetahuan (sebagai aset) apa saja yang dimiliki oleh 1M Telkom, serta pengetahuan tersebut bagaimana menjadi berdaya guna sehingga dapat dipergunakan sebagai strategi untuk meningkatkan kualitas tri dharma perguruan Institusi harus tinggi. melakukan identifikasi pengetahuan ke dalam dua jenis yaitu pengetahuan tacit dan pengetahuan eksplisit. Jenis pengetahuan tacit antara lain: • Berkaitan dengan bidang pendidikan dan pengajaran: kemampuan dan Pengataman mengajar di berbagai kelas, pengalaman membimbing seminar mahasis'Na, pengalaman menjadi pembimbing magang dan tugas akhir, pengataman menguji sidang, sebagai pembina pengalaman kegiatan mahasiswa, pengalaman sel·ta kemampuan mengembangkan program kuliah, pengalaman dan kemampuan mengembangkan bahan pengajaran, pengalaman mengikuti seminar dan petatihan, dan lain�lajn. • Berkaitan dengan bidang penelitian: Pengalaman menghasilkan karya (baik individu atau ilmiah kelompok), pengalaman dan kemampuan menerjemahkan/menyadur buku ilmiah, pengalaman mengedit karya pengalaman itmiah, membuat rancangan dan karya teknologi, pengalaman menyajikan penelitian dalam seminarlsimposium
•
2.
bidang dengan Berkaitan pengabdian kepada masyarakac Pengalaman menduduki jabatan lembaga pimpinan pad a pemerintahan, pengalaman melaksanakan pengembangan hasil pendidikan dan penelitian yang oleh dimanfaatkan dapat masyarakat, pengalaman membeli pelati han/penyul uhan! pelayan an kepada masyarakat, pengalaman membuat karya pengabdian pada masyarakat. Sedangkan pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang tertulis dan dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran bagi orang lain. Bentuk pengetahuan ini antara lain bahan ajar, buku ajar, silabus, satuan acara perkuliahan (SAP), buku pedoman, jurnal, taporan, karya ilmiah, prosedur operasi stan dar, petunjuk petaksanaan dan lain-lain. Akuisisi Pengetahuan Sasaran dad proses inj adalah untuk memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang dibutuhkan oleh organisasi. Proses perolehan dan pengumpulan pengetahuan harus disesuaikan dengan jenis pengetahuan yang dimiliki serta dari mana pengetahuan tersebut dapat diperoleh (internal atau eksternal). Pengetahuan tacit dapat diperoleh dengan pelatihan, pengalaman dan pemahaman akan suatu pengetah uan. Sedangkan pengetahuan eksplisit dapat diperoleh dengan merubah pengetahuan tacit menjadi dokumen tertulis dan dokumen-dokumen mengumpulkan yang berisi pengetahuan tersebut. Pada Inl konversi proses tahapan pengetahuan yang terjadi ada dua yaitu proses sosialisasi dan eksternatisasi. Di lingkup internal, pad a dasamya 1M Telkom sebagai ins"tusi pendidikan dapat melakukan proses akuisisi pengetahuan dengan mudahnya dalam setiap aktivitasnya. Setiap sekolah, prodi
3,
dan KBK tentunya memiliki agenda kerja dan pertemuan rutin, dalam setiap pertemuan tersebut. anggota yang tertentu memiliki pengetahuan diwajibkan untuk berbagi pengalaman atau pengetahuan terbaru. Hal ini menunjukkan fungsi sekolah, prodi, team teaching dan KBK sebagai tempat konversi pengetahuan. Selain memperoleh pengetahuan dari pihak internal. organisasi juga harus memperoleh pengetahuan dari pihak eksterna!. (2008, Munir 77) menyatakan bahwa di tingkat organisasi, perluasan batas-bacas pengetahuan dengan cara mengakuisisi pengetahuan pengetahuan �in yang berada di luar perusahaan (eksplorasi) memang suatu adanya Dengan keharusan. pengetahuan-pengetahuan dari luar organisasi yang dikombinasikan dengan pengetahuan-pengetahuan yang telah dimiliki organisasi, akan terbentuk pengetahuan baru, Tentu saja proses ini sangat penting bagi semua institusi pendidikan dalam hal ini khususnya 1M Telkom sebagai institusi pendidikan berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Pengetahuan tersebut dapat diakuisisi oleh 1M Telkom melalui misalnya kegiatan berbagai carat kerjasama dengan pelatihan riser. perguruan tinggi atau dengan pihak industri, mendatangkan staf pengajar praktisi, mendatangkan konsultan, mengikuti berbagai pelatihan/seminar, dan lain-lain. Penyimpanan Pengetahuan Pengetahuan tacit yang sudah berubah menjadi pengetahuan eksplisit harus disimpan. dipelihara serta dibuat sehingga mudah diakses oleh siapapun yang membutuhkan pengetahuan tersebut. Menurut Munir (2008: 85) kegiatan ini juga termasuk memetakan pemilik pengetahuan yang ada di organisasi, baik individu maupun unit kerja. Tentunya tidak seluruh
pengetahuan harus disimpan. institusi harus memilih dari begitu banyak pengetahuan dari kejadian. orang dan proses yang berharga untuk disimpan. kernudian ditentukan pula cara menyimpan. Pada tahap ini. organisasi harus memanfaatkan teknologi serra sumber daya manusia yang nantlnya akan mendukung proses penyimpanan data pengetahuan . Proses konvers! pengetahuan yang terjadi pada tahapan ini adalah kombinasi, terjadi proses konversi pengetahuan eksplisit menjadi pengetahuan eksplisit yang baru melalui sistemasi pengaplikasian dan pengetahuan eksplisit dan informasi. Selama inl proses penyimpanan pengetahuan yang telah dilakukan oleh 1M Telkom antara lain dengan adanya Jurnal Manajemen Indonesia. Jurnal Promark, Majalah MBizz, Majalah Cyber serta website institusi. Untuk setiap jurnal, majalah serta website 1 M Telkom dikelola oleh bagian yang terpisah dan berdiri sendiri, sehingga seringkali timbul kesulitan dalam mengakses pengetahuan yang dibutuhkan. Oleh karena itu, alangkah lebih balknya 1M Telkom sebaiknya apabila mempunyai bagian tertentu yang bertanggung jawab penuh dalam proses penyimpanan pengetahuan. 1M Tolkom dapat membuat portal pengetahuan yang dapat diakses dengan mudah oleh seluruh sivitas akademika. Portal inl berisi beragam (older dan menu pengetahuan yang reievan. [sinya bisa menyangkut artikel-artikel ten tang manajemen praktis. paper mengenai dinamika pengetahuan yang digeluti, materi-materi pelatihan internal, ataupun juga berupa paper pengalaman dari dosen/peneliti dalam menger'jakarl sebuah projek. Kemudian, harus ada seorang knowledge officer yang nantinya mengidentifikasi. bertugas mengkodifikasi dan menata beragam sumber pengetahuan yang relevan.
Orang ini tentu mesti dibantu oleh tim IT untuk menyiapkan infrastruktur, database dan portal tersobut. IMT sudah memiliki unit SISFO yang biasa menangani berbagai hal yang berkaitan dengan sistem informasi, sehingga IMT dapat menunjuk SISFO untuk unit yang bertanggung jawab dalam pengelolaan portal pengetahuan ini ataupun membentuk unit lain yang khusus bertanggung jawab dalam proses ini. Hal lain yang dapat dilakukan untuk melestarikan pengetahuan yang dimiliki adalah seperti yang telah dilakukan oleh PPM Manajemen yang mungkin dapat dicontoh oleh 1M Telkom. Di PPM Manajemen, dua tahun sebelum seorang anggota institusi akan pensiun, maka seluruh soft copy dokumen hasil karyanya, baik hasil riset, konsultasi maupun bahanMbahan mengajar yang dikembangkannya dimasllkkan ke dalam satu tempat khusus yang dapat diakses oleh anggota lainnya. Kemudian, diabadikan pula video momen saat yang bersangkutan mengajar, menyajikan hasH riset dan membedkan pandanganpandangan konstruktif yang bersangkutan mengenai organisasi. Akhirnya pengetahuan yang tersimpan ini-suatu ingatan organisasi- diperbarui secara berkala oleh anggota lain yang mengembangkan bidang keahlian serupa. 4. Distribusi Pengetahuan Munir (2008: 8 1 ) menyatakan bahwa sasaran dad proses ini adalah menyebarkan pengetahuan yang dikuasai oleh saw orang ke sebanyak mungkin orang di organisasi. Penyebaran pengetahuan dari saw orang ke orang yang lain, atau dad saw unit kerja ke unit kerja lain diharapkan dapat meningkatkan kualitas pengetahuan yang dimiliki oleh individu, unit kerja dan akhirnya organisasi. Untuk memudahkan perlu pengetahuan, penyebaran dilakukan lIpaya untuk sebanyak mungkin mengubah pengetahuan yang
S.
akan disebarkan dalam bentuk eksplisit, misalnya dalam bentuk dokumen, formula, prosedur operasi stan dar, petunjuk pelaksanaan, gambar, bagan. Sebagai contoh, orang yang sudah mengikuti pelatihan harus membuat laporan atau ringkasan dari pengalaman dia selama mengikuti pelatihan. Laporan kemudian dapat atau ringkasan diserahkan kepada unit knowledge storage, untuk kemudian disebarkan melalui portal pengetahuan atau dipublikasikan ke dalam jurnal dan majalah internal institusi. Pemanfaatan Pengetahuan Setelah pengetahuan didistribusikan kepada seluruh bagian dad institusi, maka tahapan proses konversi pengetahuan selanjutnya adalah bagaimana pengetahuan tersebut dibaca, dipelajari serta diserap sehingga menjadi pengetahuan tacit bagi seluruh anggota dari institusi atau disebut proses internalisasi. Pengetahuan yang sudah diserap oleh seluruh civitas akademika dapat dimanfaatkan bagi institusi. Pada tahapan ini Munir (2009: 83) menyatakan bahwa proses pemanfaatan untuk bertujuan pengetahuan mengasimilasi atau mengkobinasikan pengetahuan bart! dengan pengetahuan yang sudah dimiliki dalam bentuk cara pan dang baru, cara kerja baru atau kebijakan baru. Dalam tahap ini, penerima akan disibukkan dengan upaya-upaya untuk mengidentifikasi dan mengatasi berbagai masalah yang merintangi kemampuannya untuk mencapai bahkan melebihi kinerja yang diharapkan dari adanya penularan Institusi dapat pengetahuan. memanfaatkan pengetahuan yang baru dalam kegiatan tri dharma perguruan tinggi berikut ini: • Bidang Pendidikan dan Pengajaran Pengetahuan baru yang didapat dan telah diserap dapat dimanfaatkan dalam kegiatan perkuliahan,
•
•
pembimbingan, pengujian, pembinaan dan bahkan dimanfaatkan untuk pengembangan program kuliah dan bahan Sehingga kualitas pengajaran, pendidikan dan pengajaran meningkat. Bidang Penelitian Pengetahuan yang baru dapat dalam bidang dimanfaatkan penelitian dengan menghasilkan penelidan yang kualitasnya lebih baik, karena ada proses berbagi pengetahuan, juga proses coaching dari peneliti senior kepada penel iti junior. HasH penelitian bisa dipresentasikan dalam berbagai forum serra dan seminar secara dipublikasikan internal melalui portal pengetahuan dan media lainnya. Pengabdian Kepada Bidang Masyarakat Berbekal pengetahuan baru yang dimiliki dan juga kemampuan menghasilkan penelidan yang baik, selanjutnya dapat maka bagi dimanfaatkan kegiatan pengabdian kepada masyarakat, pengabdian kepada Bentuk masyarakat antara lain dengan melakukan atau mengambangkan hasil pendidikan dan penelitian sehingga dapat dimanfaatkan oleh melakukan masyarakat, pembi naanl pelatihan/penyu I u han baik kepada masyarakat umum maupun masyarakat kampus, membed kan pelayanan seperti konsultasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Penting dalam 4 Faktor-Faktor Penerapan Manajemen Pengetahuan di 1M Telkom
Penerapan MP di lingkungan 1M Telkom harus mempercimbangkan berbagai
faktor penting yang akan mempengaruhi kesuksesan penerapan MP. Tobing (2007, 28-32) mengemukakan bahwa terdapat berbagai faktor pendng yang harus dipertimbangankan dalam penerapan MP:
I)
2)
Manusia Pada hakekatnya pengetahuan berada di dalam pikiran manusia berupa pengetahuan tacit. Disamping sebagai sumber pengetahuan, manusia pada hakekatnya juga merupakan pelaku dad proses-proses yang ada di daJam MP. Jika proses berbagi pengetahuan dan penciptaan pengetahuan tidak dapat berjalan, maka persoalan utamanya adalah karena tidak adanya kemauan dan kemampuan manusia untuk melakukannya. Semua prosesHproses tersebut dapat berjalan, selama manusia untuk terdorong memang melakukannya, walaupun tanpa bantuan teknologi. Manusia dalam hal ini seluruh sivitas akademika 1M Telkom, memiliki dua peran. yaitu sumber sebagai pengetahuan ataupun sebagai penerima pengetahuan. 1M Telkom perlu membangun mental dikalangan sivitas akademikanya bahwa semakin banyak berbagi maka sebenarnya ilmu semakin bertambah dan dibangun kepercayaan an tar mereka. sehingga manusia mall berbagi pengetahuan dan dengan suka rela menerima. menyerap dan menggunakan pengetahuan. Kepemimpinan Untuk suksesnya implementa5i MP, para pemimpin harus mengerahkan kapasitas intelektual dan sumber daya yang dibawah kendalinya dalam menginspirasi, menyusun dan terju n langsung mengkonduktari penerapan MP. Pad a hakekatnya pemimpin memiliki kapabilitas untuk memulal pembentukan budaya atau tradisi baru dengan menggalalang dan mengarahkan pasrtisipasi semua anggota organisasinya dalam mewujudkan visinya ..
proses
bawahnya
seseorang
untuk
penerapan
MP.
d i lakukan berbagi
3)
mau Hal
demi
terlibat dalam ini
b udaya
pengetahuan agar kualiras td
kemampuan
dan
menguasai
dapat
untuk
5)
Pembelajaran Proses
pembelajaran
menjadi
dharma perguruan tinggi d i 1M Telkom
sangat penting dalam MP, karena melalui
semakin meningkat.
proses inilah diharapkan muncul ide-ide, inovasi dan pengetahuan
Teknologi Teknologi sebagai
disini
kunci
utama
penerapan
dalam MP. Untuk itu 1M Telkom perlu
MP,
mendorong
proses penyimpanan MP dan distribusi
belajar
MP.
Tujuan
utama
internet
dari dalam
dan
dengan
individu berkolaborasi dan melakukan pembagian pengetahuan secara optimal.
adalah
Pemimpin dengan
internetlintranet
harus melengkapi organ isasi lingkungan
yang memungkinkan pengetahuan yang
karakter
dimiliki
terbentuknya
dan
ters ebar secara luas
karyawannya
yang
hambatan
Telkom
organisasi,
sebagai
institusi
infokom
sumber
daya
pendidikan
karakter· untuk serta
solusi
dalam
mengatasi
belajar
yang
dihadapi
memiliki
tentu
dan
dan
d i butuhka n
learning organization,
memberi kan
dan menjadi milik
kolektif perusahaan atau organisasi. 1M berbasis
proses individu
MP
untuk menyimpan dan mendistribusikan
perusahaan
memfasilitasi memastikan
penggunaan
pengetahuan
melalui
baru, yang
menjadi komoditas utama yang dip roses
buka n dipandang
tetap i hanya sebagai pendukung dalam
tekn ologi
teknologi
yang
KES I M P U LAN
memadai untuk mendukung penerapan
4)
menghargai
lebih
belajar
pengetahuan baru.
semata-mata
terciptanya
yang
kompensasi
Para pemimpin di 1M Telkom harus mengarahkan sumber daya yang ada di
MP.
Semakin
baik kualitas tri
dharma
perguruan tinggi. maka semakin baik juga
Or'ganisasi
kualitas sebuah perguruan tinggi,
Organisasi
berkaitan
dengan
pelaksanaan
penanganan aspek operasional dari aset
adalah
aset knowledge, ter masuk fungsi-fungsi,
konsi sten
struktur
p roses-p roses, formal
dan
indikator
informal,
ukuran
pengendalhn,
penyempurnaan bisnis,
organisasi
Agar
dan
lebih
pengelolaan
proses
rekayasa
proses
kondusif terhadap
MP,
implementasi
dan
llmu
dharma
pengetahuan
diperbaharui,
Kunci dari
perguruan yang
tinggi secara
di sebarkan
dan
diimplementasikan ke dalam setiap kegiatan perguruan
tinggi.
Oleh
karena
itu,
perguruan tinggi harus memiliki pengelolaan yang baik atas pengetahuan yang dimiliki, atau
biasa
disebut
dengan
Manajemen
Pengetahuan (MP).
sebaiknya
1M Tel kom sebagai perguruan tinggi
dimunculkan, Fungsi-fungsi MP tersebut
yang sedang berkembang dan memiliki misi
akan
pengetahuan
fungsi·fungsi
tri
fungsi
dalam melaksanakan tri dharma perguruan
fungsi lainya di dalam suatu organ isasi.
menjadi
integrator
dad
tinggi, dituntut untuk terus mengembangkan
1M Telkom harus mempersiapkan diri
diri
dan merancang posisi-posisi baru yang
pelaksanaan
mendukung MP, seperti dengan adanya
melalui
posisi CKO (Chief of Knowledge Officer), Senior M anager MP atau Officer MP. Hal
penerapan MP di 1M Telkom dimulai dengan pemilihan definisi MP yang jelas dan sesuai
lain
dengan intitusi,
yang
harus
di perhatikan
seiring
dan
meningkatkan trl
dharma
penerapan
kual itas
dalam
perguruan
tinggi
sistem
MP.
Tahapan
tahap kedua yaitu proses
dengan imp lemenrasi M P dalam suatu
konversi knowledge yang dijelaskan dengan
organisasi
SEC!
adalah
perubahan
sistem
Process
yaitu
proses
Sosialization,
Externalization, Combination dan Internalization. Tahap ketiga adaJah proses MP yang dapat diterapkan di 1M Telkom antara lain proses Pemetaan Pengetahuan. Akuisisi Penyimpanan Pengetahuan, Pengetahuan, Distribusi Pengetahuan dan Pemanfaatan Pengetahuan. Kemudian, 1M Telkom juga perlu memperhatikan faktor faktor penting yang akan mempengaruhi kesuksesan penerapan MP yaitu Manusia, Kepemimpinan, Teknologi, Organisasi dan Pembelajaran. DAFTAR RUJUKAN
Cyber: Inspirasi Kreasi Management ICT. 02/April 20 I I . Bandung: 1M Telkom Hera wati. Augustin Rina. (2008). "Knowledge dan Talent Management Dalam Rangka Meningkatkan Kinerja Organisasi Publik". jurnal limu Administrasi. 5 ( 1 ). 1 - 1 4. Institut Manajemen Telkom. STATUTA. Bandung: 1M Telkom
(20 I 0).
Mulyanto. Agus. (2008). Implementasi Knowledge Management untuk Meningkatkan Kinerja Perguruan Tinggi. Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi- 1ST AKPRIND Yogyakarta Munir. NigkY. (2008). Knowledge Management Audft: Pedoman Evaluosi Kesiapan Organisasi Menge/ola Pengetahuan. Penerbit PPM: Jakarta Ranjan. Jayanthi .. Khalil. Saani. (2007). "Application of Knowledge Management in Management Education: A Conceptual Framework". journal of Theoretical and Applied Information Technology. 1 5 -25 Setiarso, Bambang " Harjanto, Nazir., Triyono.. Subagyo. Hendro. (2009). Penerapon Knowledge Management Poda Organisasi. Graha IImu: Yogyakarta
Tobing. Paul L (2007). Knowledge Management: Konsep. Arsitektur dan Implementasi. Graha Ilmu: Yogyakarta
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom Sutarman .:
PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN STRATEGI IMPLEMENTASI TERHADAP KEBERHASILAN MANAJEMEN PENGETAHUAN DI PT TELKOM Sutarman Indonesia Quality Award, Jl. Jenderal Sudirman 44-46 Jakarta, Telepon: (021) 5752405, Email: [email protected], [email protected] The Influence of Organization Culture and Implementation Strategy on the Achievement of Knowledge Management at PT TELKOM Knowledge Management Systems are expanding across all types of organizations worldwide. The competitive benefits of KM efforts have been demonstrated in industries, governments and in the academic worlds. However, recent global analyses of such implementations highlight the fact that not all of them are successful. The main barriers relate to organizational culture and the importance of the implementation strategy. The purpose of this research is to explore relationships between the successful implementation of knowledge management and specific organizational cultural orientations and implementation strategy. Organizational culture is assessed through organizational trust and organizational solidarity variables, in addition, through collecting and connecting strategy. Depending on the degree of integration of these two cultural and strategy factors determination, we demonstrated that specific KM are more or less likely to succeed. The research findings were accomplished through a validated questionnaire distributed within PT Telkom and their units. Though limited in terms of variable, this study has the potential to assist other researchers in refining and modifying such approaches to maximize knowledge in this field. Keywords: Knowledge Management implementation’ Success, Organizational Culture and KM implementation strategy
A.
LATAR BELAKANG Era pengetahuan telah mengubah cara berpikir orang bahwa permasalahan ekonomi baru tidak terletak pada aset tangible tetapi pada ekonomi yang dilandasi pengetahuan. Pekerjaan yang semula mengandalkan manufacture berubah menjadi mentofacture. Organisasi yang semula mengandalkan sumberdaya kapital dan personil bergeser ke pengetahuan sebagai cara pandang baru (Marquart, 1994). Sementara itu Davenport (1998) menegaskan bahwa implementasi manajemen pengetahuan yang berhasil, harus menempatkan kepemimpinan yang kuat, budaya organisasi yang sehat dan teknologi yang tepat sebagai faktor pendorong utama manajemen pengetahuan. Manajemen pengetahuan di Indonesia sendiri telah mulai dikenal dan banyak perusahaan telah mengimplementasikan serta mengikuti
North American Most Admired Knowledge Enterprise (MAKE) Awarding. PT Telkom sebagai salah satu perusahaan berbasis teknologi yang sarat dengan kecepatan perubahan dan persaingan, permulaan tahun 2005 mengimplementasikan manajemen pengetahuan yang disebut Kampiun. Saat ini Kampiun menjadi bagian alami dari proses bisnis Telkom yang memiliki tujuan: (a) Sebagai sarana kolaborasi dan komunikasi yang informal, transparan dan pendorong gairah berkomunikasi dan berbagi pengetahuan; (b) Sebagai system yang dapat menyediakan dan mengelola pengetahuan yang dimilki dan atau dibutuhkan karyawan untuk lebih efektif bekerja. Road map keberhasilan implementasi Kampiun dibuat dalam tiga pentahapan yang dimulai sejak tahun 2004. Tahap pertama yang dimulai tahun 2004 merupakan suatu tahap untuk menentukan strategi dan mengidentifikasi 128
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom :. Sutarman
dan mengevaluasi pengetahuan yang dibutuhkan oleh perusahaan yang disebut sebagai sebagai tahap Knowledge evaluation & Strategy. Tahap kedua pada tahun 2005 disebut sebagai tahap Infrastructural Deployment yaitu merupakan tahap untuk menentukan infrastruktur sebagai indikasi bahwa telah mulai diterapkan manajemen pengetahuan sebagai bagian dari proses bisnis perusahaan. Tahap ketiga pada tahun 2006 merupakan tahap penggenapan dalam mewujudkan manajemen pengetahuan dapat berfungsi sebagaimana diharapkan perusahaan yang disertai indikasi adanya dukungan para manajemen senior. Tahap yang terakhir ini disebut sebagai tahap Leadership, Change Management, Measurement & Refinement. Tahap yang terakhir juga merupakan tahap yang menentukan karena merupakan semua persyaratan fungsi keberhasilan harus terpenuhi secara menyeluruh. Dua tahun sebelum Kampiun dibangun, Telkom telah meletakkan budaya organisasi sebagai landasan etika bisnis perusahaan. Budaya organisasi yang dimaksud diberi nama The TELKOM WAY 135 di mana setiap insan Telkom harus menjiwai nilai yang terkandung didalamnya sebagai landasan bertindak. Tujuan dari peletakan dasar tersebut adalah membentuk Telkom yang tanggap terhadap perubahan dan kompetitif pada lahan yang multi bisnis. The Telkom Way 135 dibangun dengan tiga komponen dasar yaitu : (i) hati yang teguh yang selalu mengutamakan komitmen terhadap pelanggan sebagai asumsi dasar (Commited 2U), (ii) Rajut pikiran yang terdiri tiga nilai dalam melayanai yaitu nilai pelanggan (customer value), pelayanan yang prima (excellent service), petugas yang mumpuni (competence people), (iii) langkah yang serasi yang dinyatakan dalam lima prinsip yaitu stretch the goals, simplify; Involve everyone, quality is my job dan rewards the winners. Dalam upaya peningkatan penghayatan, pemahaman, dan penerapan nilai-nilai budaya sebagai dasar bertindak melakukan pekerjaan sehari-hari, maka nilai-nilai tersebut dijabarkan menjadi 129
tujuh nilai etika bisnis yang dikenal dengan nama Salam Patriot 135 (SP 135). Untuk mencapai sasaran tersebut ketujuh nilai SP 135 dikeluarkan suatu kebijakan yang dituangkan dalam Keputusan Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT Telekomunikasi Indonesia Nomor KD 43/ PR.180/SDM-30/2006 sebagai pedoman implementasi Etika Bisnis. Ketujuh nilai yang dimaksud adalah: Kejujuran, Transparan, Komitmen, Kerjasama, Disiplin, Peduli, dan Tanggung jawab. Dalam evaluasi penerapan budaya The TELKOM WAY 135, pernyataan Direksi Sumber Daya Manusia Telkom yang diperkuat dengan hasil Sidang Makalah Angkatan Kursus Staf dan Pimpinan Telkom Angkatan ke sepuluh tahun 2006, dinyatakan bahwa budaya The TELKOM WAY 135 belum terimplementasi dengan baik di kalangan pimpinan Telkom. Kedua kondisi ini, budaya organisasi The TELKOM WAY 135 maupun manajemen pengetahuan (Kampiun), dihadapkan pada permasalahan tentang perilaku orang baik bersifat individu ataupun kelompok termasuk pimpinan dalam merealisasikan kebijakan perusahaan. Berdasarkan kenyataan ini, penulis ingin menggali hubungan keberhasilan manajemen pengetahuan yang dipengaruhi oleh budaya dan peran manjemen senior di PT Telkom. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat dirumuskan tiga pokok permasalahan. Pertama, bagaimana kesesuaian nilai-nilai budaya organisasi mendukung implementasi Manajemen Pengetahuan di PT Telkom. Kedua, bagaimana peran strategi implementasi terhadap keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT Telkom. Ketiga, nilai budaya dan faktor dominan apa yang mempengaruhi keberhasilan manajemen pengetahuan. Adapun penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai: (a) Nilai budaya organisasi di PT Telkom mempunyai kesesuaian dengan implementasi Manajemen Pengetahuan; (b) Strategi implementasi mempunyai pengaruh
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom Sutarman .:
terhadap keberhasilan Manajemen Pengetahuan; dan (c) Nilai budaya dan faktor dalam strategi implementasi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi keberhasilan manajemen pengetahuan. B.
LANDASAN TEORITIS Pada bagian ini akan disajikan beberapa konsep dan teori yang akan dibahas secara singkat berikut ini. 1.
Pengetahuan Dalam Oxford Dictionary 2003, pengetahuan atau knowledge didefinisikan sebagai: “Awareness or familiarty gained by experience, person’s range of information, a theortical or practical understanding of a subject, language, ect, the sum of what is known, true, justified belief, certain understanding as opposed to opinion”. Kemudian Nonaka (1995) membagi jenis pengetahuan dalam dua kategori yaitu pengetahuan yang terstruktur dan pengetahuan yang tidak terstruktur. Pengetahuan yang terstruktur adalah pengetahuan yang dengan mudah disebarluaskan, sedangkan pengetahuan yang tidak terstruktur adalah pengetahuan yang dapat dipahami melalui penjelasan oleh pemilik pengetahuan. Pengetahuan yang terstruktur disebut explicit dan pengetahuan yang tidak terstruktur disebut pengetahuan tacit yang berada dalam pikiran orang. Dalam suatu organisasi, pengetahuan tacit cenderung dipakai sebagai dasar untuk penciptaan pengetahuan sedangkan pengetahuan explicit cenderung untuk dasar phisik untuk sharing. Sebagi contoh dalam menentukan strategi visi, dengan pengetahuan tacit dapat untuk menentukan tujuan dan manfaat visi, namun untuk kejelasan tujuan tersebut perlu dinyatakan secara explicit. Pengetahuan tacit merupakan pengetahuan implicit yang diperagakan untuk melaksanakan pekerjaan dan melakukan penalaran dalam memahami dunia kerja. Pengetahuan ini dinyatakan secara verbal, diekspresikan melalui keahlian sebagai
dasar bertindak. Pengetahuan tacit bersifat subjektif, dan kognitif berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari proses pembelajaran baik formal ataupun non formal. Pengetahuan explicit adalah pengetahuan tacit yang telah dikodekan secara formal dalam simbol dan dengan mudah dikomunikasikan atau disebarkan. Pengetahuan explicit dinyatakan atas dasar sasaran dan aturan. Pengetahuan explicit mempunyai keterkaitan dan dekat dengan peristiwa orang melakukan saling berbagi pengetahuan. Pengetahuan explicit bersifat objektif, rasional dan teknis. Sebagai contoh adalah: kebijakan, prosedur, perijinan dan dokumen. 2.
Manajemen Pengetahuan Manajemen pengetahuan merupakan pengembangan dari sistem manajemen sebelumnya seperti Business Proccess Engineering (BPR), Total Quality Management (TQM) dan sebagainya. Willard (2000) memaknai manajemen pengetahuan sebagai berikut: Knowledge management is making better decisions by understanding the knowledge ingredients for decision making, is the composite management of people, processes and information, is process of developing knowledge and accumulating it in the organizational capital wherever possible, is helping all managers to establish knowledge resource management as part of their toolkit, is creating a culture of learning, innovating, sharing and achievingand most effectively implemented as part of change management. Kemudian Morriseey dan Schoemaker (2005) mendefinisikan manajemen pengetahuan sebagai berikut: The field of knowledge management is the study of how firms manage the tacit and explicit knowledge and know-how their employees have about its products, services, organizational system and intelectual property. Specifically, knowledge management embodies the strategies and processes that a firm employs to identify, capture and leverage the knowledge contained within ‘corporate memory. Sementara itu Rutherford dan Tait (2004) menyatakan: ‘Knowledge management (KM) involes business, cultural and 130
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom :. Sutarman
technological approaches that support the development and exploitation of knowledge assets”. Sedangkan menurut Abdullah et al (2005): “Knowledge management (KM) is systemic a phrase that is used to describe the creation of knowledge repositories, improvement of knowledge access and sharing as well as communication through collaboration, enhancing the knowledge environment and managing knowledge as an asset for an organization”. Dari beberapa definisi di atas, sistem manajemen pengetahuan adalah merupakan suatu proses yang sistemik, pendekatan yang sistematik yang digunakan untuk mengelola penciptaan pengetahuan dan menyimpannya dalam repositor, sehingga mudah untuk diakses pegawai. 3.
Proses Manajemen Pengetahuan Ketersediaan pengetahuan organisasi baik pengetahuan yang berada dalam pikiran pegawai maupun pengetahuan yang didokumentasikan, baik yang berasal dari internal perusahaan maupun yang berasal dari lingkungan sekitarnya termasuk dari kompetitor perlu dikelola sedemikian rupa sehingga dapat disebarluaskan agar bisa dipakai sebagai referensi bekerja pegawai dan dikembangkan lagi masuk kembali ke dalam pikiran pegawai untuk menghasilkan pengetahuan baru. Proses penciptaan yang demikian akan berulang terus menerus membentuk spiral. Penciptaan pengetahuan Untuk mengubah pengetahuan yang ada dalam pikiran orang menjadi pengetahuan yang dapat didokumentasikan, menurut Nonaka (1995), pengetahuan tersebut akan melewati empat tahapan perubahan atau konversi yang disebut model SECI, berturut-turut mulai dari S = Socialization, E = Externalization, C = Combination dan I = Internalization seperti terlihat padaGambar 1.
131
1)
2)
3)
4)
Socialization (konversi pengetahuan dari tacit ke tacit). Proses ini merupakan perpaduan pengetahuan tacit di antara individu, rekan sekerja atau di kalangan pelanggan. Tahap ini merupakan perkembangan dari pengetahuan personal. Dalam tahap ini terjadi perpindahan pengetahuan dari satu individu ke individu yang lain dalam lingkungan organisasi. Externalization (konversi pengetahuan dari tacit ke explicit). Proses ini merupakan penterjemahan pengetahuan tacit kedalam bentuk yang bisa dipahami dalam individu lain kemudian dikodekan untuk dibahas dalam kelompok. Proses ini akan terjadi dialog dan merupakan explicitasi pengetahuan yang secara formal berada dalam organisasi. Combination (konversi pengetahuan dari explicit ke explicit) merupakan penyempurnaan pengetahuan explicit dikombinasikan dengan pengetahuan explicit yang relevan lainnya. Dengan demikian dalam tahap ini dihasilkan kumpulan pengetahuan explicit yang telah dianalisis berdasarkan pengetahuan explicit yang sudah ada sehingga siap untuk disebar-luaskan. Internalization ((konversi pengetahuan dari explicit ke tacit) merupakan konversi pengetahuan explicit hasil analisis untuk dipraktekkan dalam dunia nyata. Pengetahuan explicit ini tersimpan dalam repositor dan siap untuk diakses oleh orang yang membutuhkan. Berdasarkan hasil penerapan akan merangsang kembali bagi penggunanya sehingga akan menjadi pengetahuan tacit yang baru.
Dalam bentuk bagan, keempat tahap tersebut dapat dilihat dalam Gambar 1.
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom Sutarman .:
Tacit Knowledge
Tacit Knowledge
Socialization
Externalization
i
i i
i
i
E
g
o
i
i i
i
E
g
i
g
g
g g
Internalization
Combination
Explicit Knowledge
Explicit Knowledge
Explicit Knowledge
Tacit Knowledge
Explicit Knowledge
Tacit Knowledge
Gambar 1 Konversi Model SECI (Sumber: Nonaka et al 1998, Densten et al, 2005)
Dilihat dari sumber terjadinya pengetahuan, Nonaka & Konno (1998) membagi empat sumber pentransferan pengetahuan yang merefer pada model SECI, yang disebut dengan model Ba (catatan: Ba adalah bahasa Jepang yang
Face to face
On the site
berarti tempat). merujuk pada pengetahuan dikembangkan, Gambar 2.
Originating ba
Interacting ba
Existential
Reflective
Exercising ba
Cyber ba
Synthetic
Systemic
Konversi model ini teknik dan proses dilahirkan dan seperti terlihat pada
Peer to peer
Group to group
Gambar 2 Konversi Pengetahuan Model Ba (sumber : Nonaka & Konno, 1998)
132
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom :. Sutarman
Originating ba, yaitu proses dan tempat yang mendorong orang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya untuk melakukan berbagi perasaan dan pengalaman, melalui pertemuan fisik antar individu. Interacting ba adalah proses dan tempat yang merangsang pegawai berbagi pengetahuan melalui dialog dan metaphor, secara individu dalam kelompok. Cyber ba adalah proses dan tempat yang dapat mendorong terjadinya kombinasi pengetahuan explicit baru dan explicit lama untuk membangkitkan pengetahuan explicit terbaru dari kelompok ke kelompok secara virtual. Exercising ba adalah proses dan tempat yang mendorong pengetahuan explicit terbaru diuji dalam kehidupan nyata sehingga berguna bagi pegawai. Penyediaan pengetahuan Menyediakan dan mempertahankan pengetahuan agar tetap tinggal dalam organisasi merupakan inti dalam manajemen pengetahuan karena pengetahuan merupakan aset yang intangibel yang mempunyai kekuatan daya saing organisasi. Oleh karena itu pengetahuan organisasi harus disimpan dan dipelihara serta dijamin kemutakhirannya agar siap dimanfaatkan oleh pegawai yang tepat pada waktu yang tepat. Bahkan Newman dan Contrad 1999, menambahkan bahwa penjaminan pengetahuan termasuk juga aktifitas untuk memelihara keberadaan pengetahuan yang tersimpan dalam database, sumber data, dan cara pendokumentasiannya terjamin sama dengan yang ada dalam pikiran kelompok diskusi dan pekerja pengetahuan termasuk bentuk format, aturan, catatan kasus, model, bahasa dan tatabahasa. Penyebarluasan pengetahuan Menurut Malhotra (2003), dalam manajemen pengetahuan yang baik, harus mampu menjamin bahwa pengetahuan yang tersimpan dapat merangsang pegawai berinovasi dan menumbuhkan semangat melahirkan gagasan baru. Untuk memiliki keunggulan daya saing, 133
pengalaman dan pengetahuan terbaik pegawai yang berasal dari luar perusahaan sedapat mungkin dipindahkan ke dalam organisasi. Untuk melakukan pemindahan dapat ditempuh dengan cara membentuk tim benchmark, best practice, dan jaringan informal. Penggunaan pengetahuan Pengetahuan merupakan aset perusahaan yang rumusannya perolehannya mengikuti pola perolehan aset tangible. Penciptaan pengetahuan baru dianggap sebagai penanaman aset sebab diciptakan dari pengetahuan yang telah ada. Perbedaannya dengan aset tangible terletak pada proses penciptaannya, karena dalam proses penciptaan aset intangibel rentan terhadap kemungkinan timbulnya konflik, sebelum melahirkan pengetahuan baru, disamping menimbulkan perbedaan dan tumpang tindih persepsi. Oleh karena itu diperlukan suatu unit khusus yang dibentuk manajemen untuk menentukan bahwa pengetahuan baru tersebut benar-benar dibutuhkan oleh perusahaan. Untuk mengelola pengetahuan yang telah ditetapkan sebagai pengetahuan organisasi seperti best practice dan hasil pengalaman keberhasilan dibutuhkan expert yang jumlahnya memadai yang aktif dan bertanggung jawab terhadap kemutakhiran pengetahuan. Penyediaan keberadaaan expert merupakan strategi implementasi manajemen pengetahuan gaya baru (Maholtra, 2000). Dengan tersedianya expert yang setiap saat siap dihubungi oleh orang yang memerlukan pendalaman pengetahuan yang diakses akan menambah keyakinan untuk menunjang keberhasilan bisnis. Pemutakhiran pengetahuan Nonaka (2004) menguraikan bahwa pengetahuan yang telah diaplikasikan dan terbukti menghasilkan produk yang tidak dapat ditiru serta dapat dipakai sebagai alt solusi permasalahan, perlu dikonfigurai ulang. Pengetahuan dan pengalaman baru yang diperoleh perlu diakomodir untuk menciptakan pengetahuan yang lebih
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom Sutarman .:
baru, lebih spesifik untuk dikombinasikan dengan realita di dunia nyata. Usaha untuk memelihara kemutakhiran pengetahuan baru ini dapat dilakukan melalui pembentukan kelompok kerja atau tim. Dalam konteks ini tim harus mempunyai pekerjaan dan waktu yang khusus. Disebut khusus karena mempunyai urutan aktivitas khusus dan diperintahkan secara khusus. Ketika pekerjan khusus ini selesai, tim membandingkannya dengan pengalaman keberhasilan sebelumnya sebagai penterjemahan pengalaman ke dalam pengetahuan. Selain itu, tim harus melakukan koreksi dan memodifikasi berdasarkan pengetahuan baru yang mereka dapat. Dengan berpandangan bahwa pengalaman akan menjurus pada keahlian, maka tim harus mempertimbangkan pengetahuan dapat digunakan di masa mendatang. Adapun rangkaian kegiatannya dapat dilihat pada Gambar 3. 4.
Strategi Implementasi Manajemen Pengetahuan Implementasi dari manajemen pengetahuan akan menyebabkan perubahan dalam perusahaan secara signifikan (T.H. Davenport & L. Prusak, 1998). Dennis dan Vesseley 2005, dalam
Knowledge Hierarchies, Knowledge Markets and Knowledge Communities, membuat klasifikasi strategi implementasi manajemen pengetahuan menjadi tiga pendekatan yang umum dipraktikkan dalam manajemen pengetahuan, yaitu: pendekatan hirarki, pendekatan pasar, dan pendekatan komunitas. Dalam organisasi bisnis, pendekatan yang sering digunakan pada umumnya adalah pendekatan hirarkis. Untuk pendekatan hirarki ini, Hansen et al. 1999, mengklasifikasikan dalam dua cara yaitu implementasi yang didasarkan pada pentingnya proses hubungan orang dan yang kedua adalah proses pengumpulan pengetahuan explicit. Proses hubungan orang adalah interaksi antar orang dalam penciptaan, penyebaran dan penggunaan pengetahuan (personalization atau connecting). Dalam proses ini pengetahuan banyak yang tersimpan dalam pikiran orang. Jika pengetahuan akan digunakan oleh orang lain, maka langkah pertama adalah menghubungi expert yang telah ditentukan oleh perusahaan. Strategi ini perlu menyediakan banyak expert agar pengguna mudah mendapatkan dan mendalami pengetahuan yang dikehendakinya khususnya pada waktu mendapatkan jalan buntu dalam
Pengetahuan awal Suatu pekerjaan diselesaikan oleh tim
Hasil bermanfaat yang direalisasikan Hasil dibandingkan terhadap pelaksanaan
Pengalaman baru atau pengetahuan yang didapat Pengetahuan baru dapat digunakan kembali oleh Tim di masa mendatang
Pengetahuan diambil dan dikodekan dapat digunakan orang lain
Gambar 3 Pemutakhiran Pengetahuan (sumber : Nonaka, 2004)
134
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom :. Sutarman
pekerjaannya. Strategi yang lain adalah strategi pengkodean atau pendokumentasian yaitu pengumpulan pengetahuan yang telah dikodekan secara formal yang selanjutnya disimpan dalam repositor sistem manajemen pengetahuan. Orang dapat menggunakan dengan cara mengakses dan mempelajari sendiri sebelum dipraktekkan. Pendekatan proses ini disebut Codification atau Collecting. Connecting Keberadaan manusia dalam organisasi bukan sebagai alat melainkan aset yang intangibel di mana pengetahuan yang dimiliki disumbangkan untuk kemajuan organisasi. Organisasi memfasilitasi sharing pengetahuan yang berguna untuk penyelesaian masalah. Untuk memastikan bahwa pengetahuan dapat digunakan untuk memcahkan permasalahan, organisasi harus selalu merekonfigurasi dan menularkan pengetahuan sesuai dengan realita. Dalam proses ini akan terjadi interaksi antara teknologi, metodologi dan pengguna yang menentukan kesahihan pengetahuan. Interaksi individu merupakan faktor yang paling penting karena setiap individu mempunyai latar belakang, teknologi dan metodologi yang berbeda. Dalam pendekatan connecting, pengetahuan ditransfer dari expert kepada pengguna secara personal melalui telepon, e-mail, diskusi dan sebagainya. Keuntungan dari pendekatan ini adalah expert dapat langsung berhubungan dengan pengguna untuk membantu memilih dan menentukan pengetahuan yang diperlukan. Kerugiannya adalah waktu expert terlalu banyak terbuang sehingga diperlukan banyak asisten mengingat akan memerlukan waktu dan frekuensi yang cukup banyak dan secara teratur membimbing pekerjaan pengguna. Collecting Dalam praktik, dapat terjadi pengetahuan yang dimiliki perusahaan kurang efektif pemanfaatannya, karena kebutuhan dan persediaan pengetahuan tidak seimbang. Pengetahuan yang 135
disajikan cukup banyak, namun tingkat kepentingannya rendah atau sebaliknya, kepentingan cukup tinggi tetapi pengetahuan yang dibutuhkan tidak tersedia. Keberadaan pengetahuan tergantung pada konteks dan waktu, apa yang diketahui sekarang belum tentu merupakan pengetahuan di masa mendatang. Penjajian pengetahuan mempunyai kerahasiaan dan keotentikan, keberadaan dan integritas karena pengetahuan mempunyai nilai daya saing. Dalam pendekatan collecting, organisasi harus yakin bahwa pengetahuan yang ada didalamnya otentik, dipercaya dan aman dari kompetitor. Dalam pendekatan collecting, manajemen pengetahuan menyediakan pengetahuan secara paket dalam bentuk dokumen dan pengguna dapat mengakses dokumen tersebut dengan tidak harus berhubungan langsung expert atau pencipta pengetahuan. Keuntungan dari pendekatan ini adalah waktu expert tidak terbuang banyak dan pengetahuan dapat digunakan berulang-ulang tanpa melibatkan expert. Kerugiannya adalah setiap pengguna harus jeli memilih sendiri pengetahuan mana yang sesuai dengan kebutuhan. Oleh karena itu perlu disajikan dalam berbagai bentuk sesuai jenis pengguna dan dukungan teknologi yang kuat. 5.
Budaya Organisasi Budaya menurut Schein (1992) adalah sebagai berikut: “A pattern of shared basic assumption that the group learned as its problems of external adaption and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, thing, and feel in relation to these problems”. Share basic assumption di sini terdiri atas empat tingkatan yaitu: share things, shared sayings, shared doing, dan shared feelings. Sedangkan menurut Hofstede (1992), budaya didefinisikan sebagai collective programming of the mind. Kemudian Ada tiga jenis mental programming yait: universal, kolektif dan individual. Ketiganya menjadi sumber nilai, yang berada pada
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom Sutarman .:
artifact, espaused value dan basic underlaying assumption (trust, persepsi, perasaan). Dari aspek hubungan sosial, budaya merupakan integrasi hubungan antar anggota organisasi maupun hubungan untuk menyesuaikan dengan lingkungan di sekitarnya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut oleh Sithi (1989) budaya didefinisikan sebagai: “A set of basic assumptions and beliefes that are shared by members of an organization, being developed as they learn to cope with problems of external adaption and internal integration” Berkaitan dengan budaya, beberapa pemikir telah mengadopsi tiga sudut pandang organisasi sebagai berikut: Pertama, budaya merupakan produk konteks pasar di tempat organisasi beroperasi, peraturan yang menekan, dan sebagainya. Kedua, budaya merupakan produk struktur dan fungsi yang ada dalam organisasi, misalnya organisasi yang tersentralisasi berbeda dengan organisasi yang terdesentralisasi. Ketiga, budaya merupakan produk sikap orang dalam pekerjaan, yaitu produk perjanjian psikologis antara individu dengan organisasi. Dalam konteks organisasi, terdapat budaya yang disebut budaya organisasi atau budaya perusahaan (corporate culture). Budaya perusahaan sering juga disebut budaya kerja, karena tidak bisa dipisahkan dengan kinerja (performance) sumber daya manusia. Semakin kuat budaya perusahaan, semakin kuat pula dorongan untuk berprestasi. Pada dasarnya tidak mudah untuk mendefinisikan budaya perusahaan. Namun demikian, budaya suatu organisasi/perusahaan dapat teramati dari adanya suasana yang khas dan “lain dari pada yang lain”, bila dibandingkan dengan perusahaan lainnya. Walaupun sulit didefinisikan secara tegas, untuk memahami apa yang dimaksudkan dengan budaya perusahaan ada beberapa “batasan” atau pernyataan yang dapat membantu penyamaan persepsi. Schein (1998) mencoba memberikan beberapa pengertian umum mengenai budaya perusahaan: Pertama,
keteraturan-keteraturan perilaku yang teramati apabila orang berinteraksi (observed behavioral regularities when people interact). Kedua, norma-norma yang berkembang dalam kelompok kerja. (The norms that evolve in workin group). Ketiga, nilai-nilai yang dominan yang didukungoleh suatu organisasi (The dominant values espoused by an organization). Keempat, filosofi yang mengarahkan kebijaksanaan organisasi (The philosophy directing the organization policy). Kelima, aturan permainan yang harus ditaati untuk dapat diterima sebagai anggota di dalam organisasi (The rule of the game for getting along inthe organization). Keenam, perasaan atau iklim dalam suatu organisasi. (The feeling or climate in an organization). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa budaya perusahaan merupakan aturan main yang ada di dalam perusahaan yang akan menjadi pegangan pegawai dalam menjalankan kewajibannya dan nilai-nilai untuk berperilaku di dalam organisasi. Internalisasi budaya dapat mengalir dari dalam keluar atau dari luar ke dalam. Untuk mengukur aliran tersebut dapat dianalisis dengan cara: Pertama, pengamatan artifak, dimana pengamatan ini dapat dilakukan dari lingkungan fisik organisasi, arsitektur, teknologi, tata letak kantor, cara berpakaian, perilaku yang dilihat atau didengar dan dari dokumendokumen umum yang dipelajari dari kalangan anggotanya. Kedua, wawancara tentang kedalaman nilai, apakah artifak diterima apa adanya (taken for granted) atau masih diperdebatkan. Ketiga, penghayatan asumsi dasar dari: (a) Keterkaitan hubungan pegawai dan lingkungannya; (b) Fakta dan kebenaran ditentukan atau ditemukan; (c) Sifat baik, buruk, atau netral, tetap atau berubah; (d) Proaktif, reaktif, atau harmoni; (e) Kekuasaan atau cinta, kooperatif atau kompetitif; individualistik atau komunal; (f) Berfokus masa lalu, kini, atau masa mendatang, bersifat linear atau siklikal, mempergunakan satuan yang relevan atau tidak; dan (g) Status atau untuk komunikasi formal-informal.
136
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom :. Sutarman
3.
Budaya Organisasi dan Manajemen Pengetahuan Budaya organisasi dalam manajemen pengetahuan adalah jembatan untuk membangun komunikasi. Von Krogh et al, 2000, menyatakan bahwa keberhasilan penciptaan pengetahuan ditentukan oleh faktor budaya yaitu hubungan kemanusiaan. Nonaka dan Takeuchi (1995) menjelaskan bahwa orientasi budaya organisasi yang modern bertujuan sebagai pembangkit tim untuk menggalakkan pembentukan pengetahuan yang mengarah pada keunggulan daya saing yaitu sharing pengetahuan tacit karena pengetahuan diperoleh dari pembelajaran dan pengalaman. Menurut De Long et al (2000) budaya bisa mendukung dan bisa juga menghalangi penciptaan pengetahuan. Ada empat cara budaya organisasi mempengaruhi penciptaan pengetahuan: Pertama, cara memandang manajemen pengetahuan. Kedua, Hubungan individu dan manajemen pengetahuan. Ketiga, interaksi sosial terhadap perlakuan manajemen pengetahuan. Keempat, proses bagaimana pengetahuan diciptakan. Lebih lanjut Gupta et. al, 2000, menguraikan bahwa ada enam faktor budaya yang mempengaruhi aktivitas di dalam manajemen pengetahuan yaitu: sistem informasi, struktur organisasi, sistem penghargaan, proses-proses, people, dan kepemimpinan.
Budaya organisasi di suatu perusahaan, mempunyai karakter yang berbeda-beda. Untuk mengetahui kekuatan dapat dianalisis melalui dimensi sosial (trust) dan dimensi solidaritas. Dengan dua dimensi ini akan didapatkan empat karakter budaya yaitu: Networked, Fragmented, Mercenary atau Communal (Goffee dan Jones 1999), seperti terlihat pada Gambar 4. Masing-masing karakter mempunyai kekuatan dan kelemahan tersendiri tergantung pada penggunaan nilai yang dipahaminya. Budaya Organisasi Networked adalah gambaran budaya yang anggotanya mempunyai trust tinggi dan solidaritasnya rendah.. Solidaritas yang rendah terindikasikan dari kerjasama yang sering bermasalah. Cirinya kurang komit, lomba ukuran kinerja dan prosedural. Berbagi pengetahuan tacit dilakukan dengan cara yang bertele-tele, pertanyaan diekspresikan dengan raut mukanya. Budaya organisasi Fragmented adalah gambaran budaya yang anggotanya sukar untuk dipercaya dan solidaritas rendah. Budaya ini mempunyai kecenderungan pegawai bekerja untuk masing-masing. Anggotanya terdiri dari kumpulan para profesional. Mereka menaruh rahasia dengan teman sekerjanya, mau menyampaikan informasi hanya kalau ditanya. Solidaritas yang rendah mengindikasikan kurang suka terhadap pentargetan sasaran. Orang belajar dari
Solidaritas
Network
Communal
Rendah
Fragmented
Mercenary
Rendah
Tinggi
Trust
Tinggi
Gambar 4 Karakteristik Budaya Organisasi (sumber : Goffee & Jones, 1998)
137
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom Sutarman .:
pengalamannya sendiri. Kreativitas hanya untuk dirinya sendiri dan tidak ditularkan Budaya Communal menggambarkan kondisi yang solidaritasnya kuat dan anggotanya layak dipercaya. Budaya ini mengambarkan adanya rasa bangga terhadap perusahaan dan saling percaya antar sesama anggota. Budaya Mercenary menggambarkan solidaritasnya kuat tetapi anggotanya sulit dipercaya. Cirinya adalah orang bekerja karena latar belakang imbalan dan jabatan serta tidak menghiraukan hubungan kawan. Untuk mengetahui dimensi trust dan solidaritas lebih rinci, perlu dipahami pengertian trust dan solidaritas. Salah satu definisi trust menurut Kamus Webster adalah “to rely on truthfulness or accuracy of ...” yang berarti bersandar pada atau mengandalkan kebenaran dari seseorang. Trust adalah ukuran emosional yang konteksnya dapat dilihat dari ada atau tiadanya persahabatan. Trust adalah kepastian, bukan hanya sekedar tetapi harus diwujudkan dalam tindakan. Dengan refleksi dan interaksi, orang belajar memahami struktur, mekanisme dan proses dasar hidup. Trust adalah ibarat pelumas yang baik bagi aktifitas sosial. Ia merupakan jembatan, mempromosikan sesuatu yang dapat diprediksi, harmonisasi perilaku dan melibatkan para pelaku. Tanpa trust akan rentan dan menimbulkan perdebatan dan konflik dan untuk mengukur derajad trust, dapat diamati melalui lima perilaku (De Funia 1997). Derajat Trust = SI + PP + KM + KB + PH Sharing Informasi (SI) yaitu perilaku seseorang cenderung mudah atau sulit untuk berbagi informasi. Pengurangan Pengawasan (PP) yaitu perilaku seseorang cenderung senang atau tidak senang terhadap ketentuan seperti prosedur, kriteria kinerja, pemantauan kinerja. Kesempatan Mempengaruhi (KM) yaitu perilaku seseorang cenderung ingin mendapatkan atau membuang kesempatan untuk menentukan keputusan bersama. Klarifikasi Bersama (KB) yaitu
perilaku seseorang cenderung untuk diam atau aktif mengklarifikasi kinerja bersama. Pemenuhan Harapan (PH) yaitu perilaku seseorang cenderung mengabaikan atau memenuhi harapan orang lain. Dalam konteks budaya, manusia harus dipandang dari aspek yang menyeluruh atau holistik yang tidak lepas dari karakter manusia itu sendiri dan pengaruh lingkungan yang mengelilingi di sekitarnya yang bergerak secara alami ( Haryo, 2006) Dalam konteks berbagi pengetahuan, Davenport dan Prusak (198) mengindikasikan empat ciri orang berbagi pengetahuan sebagai berikut: (a) Berbagi adalah Kebahagiaan (Altruisme), yang menggambarkan bahwa berbagi pengetahuan dilakukan karena orang ingin membagikan pengetahuannya dengan niat membantu orang lain tanpa mengharapkan balas jasa (tanpa pamrih). Kebanggaan dan kebahagiaannya adalah mendapat kesempatan untuk berbagi pengetahuan; (b) Berbagi karena pamrih (Reciprocity), yaitu orang menaruh percaya karena prinsip: (1) sepanjang saling menguntungkan, (2) tidak membantu orang yang membutuhkan bantuan berarti penghukuman, (3) Orang yang dibantu akan membantu, (4) penjual pengetahuan untuk berbagi pengetahuan karena adanya suatu persyaratan; (c) Berbagi karena Reputasi (Repute), berbagi karena mengharapkan penghargaan bahwa dirinya adalah orang yang berpengetahuan dan berpengalaman. Orang yang mempunyai reputasi merupakan sumber pengetahuan yang bernilai dan dapat membimbing untuk mendapatkan manfaat bagi perusahaan. Penularan pengetahuannya dianggap sebagai soko guru perusahaan; dan (d) Berbagi karena Percaya (Trust), yaitu orang menganggap sesuatu merupakan hal positif yang dapat mempengaruhi efektifitas dan efisiensi pengetahuan. Berbagi pengetahuan berdasarkan trust yang didukung oleh teknologi dan semangat yang tinggi akan efektif untuk penularan pengetahuan. Tanpa Trust, Manajemen Pengetahuan akan gagal. 138
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom :. Sutarman
Menurut Morrissey (2005) terdapat dua faktor penting yang menentukan keberhasilan manajemen pengetahuan yaitu: teknik implementasi dan teknologi implementasi. Ditinjau dari sudut pandang teknik implementasi, keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan, dilihat dari cara pandang bagaimana pengetahuan itu mengalir dan dipraktekkan, yaitu (1) Pengetahuan dapat mengalir kepada komunitas praktisi; (2) Ada peninjauan ulang pengetahuan untuk perbaikan terus-menerus, dan (3) Ada pertemuan reguler yang mempelajari hasil yang dipraktekkan. Sedangkan dilihat dari cara organisasi mendudukan teknologi dan informasi, keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan ditentukan oleh pendekatan bagaimana organisasi memfasilitasi ketersediaan pengetahuan dan memberi dukungan agar manajemen pengetahuan efektif digunakan sebagai bagian bisnis perusahaan. Fasilitas dukungan ini dapat dilihat dari berbagai aspek seperti: (1) Teknologi penyimpanan dan software pencari pengetahuan; (2) Lokasi para expertise untuk mudah didapat dan selalu siap; (3) Evaluasi manfaat pengetahuan yang benar benar dapat direalisasikan; (4) Penyelesaian tantangan yang berkaitan dengan adanya pengembangan manajemen pengetahuan
dalam praktek budaya sharing dan dukungan dari pimpinan senior. 7.
Definisi Operasional Variabel dan Indikator Budaya organisasi merupakan variabel bebas (X1), yang indikatornya terdiri dari nilai-nilai Salam Patriot TW 135 yang dikemas dalam indikator Trust (X 11 ) dan solidaritas (X 12 ) yang dikembangkan De Funia 1997 dan yang dipakai oleh Davenport untuk mengakses karakter kekuatan budaya. Tujuh nilai etika bisnis Telkom yaitu kejujuran, transparan, komitmen, disiplin, kebersamaan, peduli, dan tanggung jawab merupakan indikator budaya karena merupakan nilai yang menggambarkan perilaku setiap individu. Ke tujuh nilai ini diklasifikasikan dalam dua indikator (ukuran) yang dikembangkan Goffee dan Jones 1999 yaitu trust dan solidaritas seperti terlihat pada Tabel 1, yaitu: Pertama, ukuran solidaritas terdiri atas tiga nilai yaitu disiplin, kebersamaan dan kepedulian Item untuk solidaritas mengacu pada empat ukuran yaitu komunikasi antar pegawai, pegawai dengan pimpinan, komunikasi antar unit dan komunikasi dalam organisasi, yang masing-masing dengan tiga pertanyaan.
Tabel 1: Ukuran Trust dan Solidaritas
Trust Ada sharing informasi Ada diskusi, tukar pendapat Taat pada aturan Tidak saling curiga Berpandangan positif Solidaritas Komunikasi antar pegawai Komunikasi pegawai dan pimpinan Komunikasi dalam Tim Komunikasi dalam organisasi
(diolah dari Goffee dan Jones 1998)
139
Peduli
Tanggungjawab
Disiplin
Kerjasama
Komitmen
Kejujuran
Trust dan solidaritas
Transparan
7 Nilai Salam Patriot 135
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom Sutarman .:
Kedua, ukuran trust terdiri atas empat nilai yaitu kejujuran, transparan, komitmen dan tanggung jawab. Item untuk trust didasarkan pada pertanyaan yang dikembangkan oleh De Funia 1997, dan Goffe 1998, yang disebut dengan Organizational Trust Survey (OTS) yang terdiri dari lima ukuran dengan jumlah pertanyaan masing-masing ukuran lima pertanyaan. Kelima ukuran yang dimaksud adalah sebagai berikut: (a) Sharing Informasi (SI) mengukur kecenderungan kemudahan orang untuk berbagi informasi yang relevan; (b) Pengurangan Pengawasan (PP) mengukur kecenderungan orang untuk senang terhadap ketentuan selama melakukan kegiatan yang diberikan kepadanya; (c) Kesempatan Mempengaruhi (KM) mengukur kecenderungan orang untuk memanfaatkan kesempatan dalam mencapai tujuan bersama; (d) Klarifikasi Bersama (KB) mengukur kecenderungan orang untuk aktif mengklarifikasi kinerja yang ditargetkan kepadanya; dan (e) Pemenuhan Harapan (PH) mengukur kecenderungan orang untuk memenuhi harapan orang lain atas informasi / pengetahuan yang dimilikinya. Strategi implementasi manajemen pengetahuan merupakan variabel bebas (X 2 ) yang indikatornya terdiri dari pendekatan yang dikembangkan oleh Hansen 1999, yang terdiri dari dua jenis indikator yaitu connecting yaitu strategi hubungan orang (X21), dan collecting yaitu strategi yang mengutamakan penyediaan pengetahuan (X22). Efektifitas Strategi implementasi diukur melalui dua ukuran yang saling mengikat yaitu ukuran hubungan orang (connecting) dan ukuran pendokumentasian (collecting) (Hansen et al, 1999). Collecting adalah ukuran usaha perusahaan membangun hubungan orang dalam mencari atau menggunakan pengetahuan yang disediakan dalam repositor.
Connecting adalah ukuran membangun hubungan orang dengan orang dalam hal ini pengguna pengetahuan melalui pengetahuan yang disediakan expert dalam manajemen pengetahuan. Keberhasilan Implementasi Manajemen Pengetahuan adalah variabel terikat (Y) yang merupakan fungsi dari ke dua variabel bebas (independen) tersebut. Seperti diuraikan Stankosky, 1999, keberhasilan manajemen pengetahuan ditentukan oleh ukuran yang diukur dari peran manajemen dalam memberi dukungan (bukan outcome manajemen pengetahuan) yang dinyatakan dalam empat pilar pendukung keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan yaitu Kepemimpinan, Organisasi, Teknologi dan Pembelajaran. C.
MODEL PENELITIAN Root Cause Analysis Model (RCA), adalah suatu model penelitian yang dikembangkan oleh Srinivasan et. al (2004) dengan teknik Partial Linear Square (PLS) yang dipraktekkan dalam manajemen pengetahuan. Model RCA ini merupakan pengembangan dari bentuk generiknya yaitu Structural Equation Model (SEM). Untuk penelitian ini, gambaran model RCA yang digunakan adalah seperti terlihat pada Gambar 5. Konstruks digambarkan sebagai bulatan oval (elips) adalah permasalahan kritis yang dihubungkan dengan garis panah sebagai jalur yang menggambarkan arah kausalitas. Ukuran masing-masing konstruks digambarkan dalam kotakkotak yang berada di bawah setiap konstruks sebagai penyebab masalah. Ada tiga kriteria yang digunakan untuk menyatakan adanya hubungan kausal yaitu: (a) Hubungan yang cukup kuat; (b) Urutan kejadian dari penyebab ke akibat; dan (c) Tidak ada atau kurangnya penyebab yang lain.
140
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom :. Sutarman
Strategi Implementasi KM X21
Collecting
X22
Connecting
Trust
X12
Solidaritas
casual path
Y
Indikator Keberhasilan Implementasi KM
H1
Internalisasi Budaya Organisasi X11
X2
casual path
Ada dukungan pimpinan Formulasi yang jelas
X1
Evaluasi yang konsisten
Gambar 5 Model RCA Penelitian
Untuk menilai bahwa model ini baik, diuji melalui nilai koefisien determinan R 2 dan untuk lebih menyakinkan bahwa model lebih baik lagi, R2 yang dipakai adalah nilai rata-rata tertinggi dari seluruh variabel. Untuk mengetahui kualitas model, R 2 yang dipakai sebagai output Partial Linear Square (PLS) adalah berdasarkan hasil persepsi responden yang didapat dari hasil penelitian.
Variabel Independen
Variabel Dependen
X11
X12
X1
X21
X22
X2
X1
X2
Y
X11 Solidaritas
Dalam kasus penelitian ini, model RCA digambarkan dalam tiga konstruks, yang terdiri dari dua kontruks yang menjelaskan varian kontruks bebas, dan satu kontruks yang menjelaskan varian konstruks terikat sebagai MAIN. Partial Linear Square (PLS) digunakan untuk menentukan urutan dan penetapan kepentingan kausal. PLS ini dipakai untuk membuat persamaan linear dari model RCA yang telah ditetapkan, Y = f(X) + error di mana Y adalah tantangan dan X adalah akar permasalahananya. Causal Path Diagram
X11
X1 Internalisasi Budaya
X12 Trust X21 Connecting
X2 Strategi Implementasi
X22 Collecting
Y
Indikasi KM Berhasil
Gambar 6 Hubungan Kausal Keberhasilan
141
X12
X21
X1
X22
X2
Y
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom Sutarman .:
Var. Endogen
Y X1 X2
Var. Endogen
x1
x3
x2
Var. Endogen
x4
y1
y2
y3
X1
b1+x 1 + b2+x 2
Error
X2
Y
b3+X2 + b4+Y b5+x 2 + b6+x 2
b7+X 1 +
b8+Y
b9+y1 + b10+y2+ b11+y3+ b12+X+ 1 b13+X 2
Y
Gambar 7 Persamaan Model struktural RCA
Populasi data yang dipakai adalah data hasil survey dalam bentuk kuesioner yang dirancang dengan skala Likert (angka minus dua berarti sangat tidak setuju diberi bobot 1 dan plus dua berarti sangat setuju diberi bobot 5). Urutan langkah penerapan model ini adalah sebagai berikut : 1. Langkah pertama, model RCA dibuat beserta signifikansi statistiknya. 2. Langkah kedua, berdasarkan signifikansi statistiknya ditetapkan model yang lebih baik. 3. Setelah model secara tegas dinilai baik (confirmed), maka model dianggap sebagai model yang akan dipakai untuk penelitian. Jalur kausal digunakan untuk menggambaran secara visual hubungan kausal antar konstruks, dan semua hubungan diasumsikan mempunyai fungsi linear. Konstruks diklasifikasikan dalam dua jenis yaitu konstruks eksogen dan konstruks endogen. Konstruks eksogen, adalah merupakan variabel yang independen (bebas), yang tidak dipengaruhi oleh variabel lain. Sedangkan konstruk endogen adalah variabel yang dependen (terikat) yang dipengaruhi oleh konstruk lain. Untuk membuat model struktural, konstruk endogen dibuat dalam persamaan variabel dependen. Konstruk eksogen dan endogen yang memiliki panah dan mengarah ke konstruk endogen menjadi variabel independen. Setelah model pengukuran dibuat, dilakukan pengukuran reliabilitas indikator konstruk, dengan estimasi empiris. Data input merupakan matriks
variansi-kovariansi berupa matriks korelasi. Untuk memahami pola hubungan antar konstruk digunakan skala pengukuran interval korelasi Pearson. Model Persamaan Struktural untuk penelitian ini, adalah seperti terlihat pada Gambar 7. Variabel endogen terdiri atas variabel bebas dan variabel eksogen merupakan variabel terikat. Berdasarkan diagram jalur pada Gambar 7, terdapat delapan hipotesis yang terdiri dari empat hipotesis dan empat hipotesis nol nya. 1. Hipotesis pertama tentang pengaruh Budaya Organisasi terhadap Strategi Implementasi 2. Hipotesis kedua tentang pengaruh budaya organisasi terhadap implementasi manajemen pengetahuan 3. Hipotesis ketiga tentang pengaruh strategi Implementasi terhadap keberhasilan manajemen pengetahuan 4. Hipotesis keempat tentang pengaruh budaya organisasi bersama-sama dengan strategi implementasi terhadap keberhasilan manajemen pengetahuan. Trust ini diuji dari hubungan antara individu dengan individu, antara individu dengan pimpinan dan individu dalam organisasi. a. Semakin banyak orang yang mau sharing pengalamannya, semakin mendukung implementasi manajemen pengetahuan. b. Semakin dilakukan pengurangan pengawasan terhadap tugasnya, orang semakin bebas menciptakan gagasan baru. c. Semakin banyak diberi delegasi
142
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom :. Sutarman
d.
e.
untuk memutuskan sendiri permasalahan yang dihadapi semakin merangsang orang banyak memunculkan inovasi baru. Semakin banyak orang berani terbuka mengeluarkan gagasan, semakin mudah orang melakukan sharing. Semakin banyak orang memperhatikan bahwa orang lain merupakan bagian dari tugasnya, semakin rela orang untuk berbagi pengetahuan
Solidaritas diuji dari indikator banyaknya orang peduli terhadap sesama dan tugasnya yang disertai dengan rasa kebersamaan. a. Semakin orang mau bertanggung jawab terhadap tugasnya untuk hasil terbaik, semakin peduli untuk mengimplementasi manajemen pengetahuan. b. Semakin terketuk hatinya untuk membantu orang lain semakin mudah untuk berbagi pengetahuan. c. Semakin bermental tidak mau menang sendiri semakin mudah mengeluarkan gagasan baru. d. Semakin cenderung untuk tidak saling menyalahkan orang lain di antara teman sekerjanya, semakin mudah melakukan sharing pengetahuan. Untuk hipotesis budaya organisasi, ada dua pengaruh terhadap keberhasilan implementasi, yang pertama melalui strategi implementasi dan yang kedua langsung terhadap manajemen pengetahuan sebagai berikut: H 1: Budaya organisasi mempunyai pengaruh positif terhadap strategi implementasi. Untuk mendukung hipotesis ini diuji melalui hipotesis nol : H 01: Budaya organisasi tidak mempunyai pengaruh positif terhadap strategi implementasi manajemen pengetahuan
143
Terhadap manajemen pengetahuan : H2: Budaya organisasi mempunyai pengaruh positif terhadap keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan Untuk mendukung hipotesis ini diuji melalui hipotesis nol : H 02: Budaya organisasi tidak mempunyai pengaruh positif terhadap keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan H3: Strategi implementasi manajemen mempunyai pengaruh positif terhadap keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan H03 : Strategi implementasi manajemen tidak mempunyai pengaruh positif terhadap keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan Faktor Connecting diuji melalui indikasi bagaimana perusahaan meletakkan manajemen pengetahuan sebagai sarana komunikasi layaknya individu atau kelompok melakukan diskusi dan sharing pengetahuan baru. a. Semakin banyak expert yang disediakan dalam manajemen pengetahuan dan berperan sesuai dengan fungsinya, semakin mendukung keberhasilan implementasi manajemen b. Semakin mudah pengguna menghubungi dan mendapatkan expert, dalam pekerjaannya seharihari, semakin mendukung keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan Faktor Collecting diuji melalui banyaknya pengetahuan yang diciptakan dan tersimpan dalam repositor yang mudah didapat dan selalu mutakhir untuk digunakan oleh penggunanya. a. Semakin banyak expert system yang tersedia, semakin banyak pengetahuan tersedia dalam manajemen pengetahuan. b. Semakin banyak yang melakukan download dokumen pengetahuan yang digunakan.
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom Sutarman .:
c.
d.
Semakin banyak tersedia best practice, yang dipakai sebagai nara sumber dalam manajemen pengetahuan. Semakin sedikit template atau dokumen cerita kesaksian keberhasilan dalam manajemen.
Dalam penelitian ini, dirumuskan pula hipotesis mengenai pengaruh simutan variabel-variabel X terhadap varibel Y sebagai berikut: H4 : Nilai Budaya Organisasi dan strategi implementasi bersama-sama mempunyai pengaruh positif terhadap keberhasilan manajemen pengetahuan. H 04: Nilai Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi bersama- sama tidak mempunyai pengaruh positif terhadap keberhasilan manajemen pengetahuan Keberhasilan merupakan suatu istilah yang menggambarkan terlampauinya suatu tujuan atau target yang dinyatakan sebagai pencapaian. Suatu tujuan dikatakan berhasil jika target bisa diraih atau dilampaui. Indikator keberhasilan dalam manajemen pengetahuan dapat dilihat dari keterlibatan peran pemimpin, adanya dukungan manajemen, evaluasi kinerja dan peran teknologi informasi (Davenport dan Prusak 1999). Untuk teknologi informasi dalam penelitian ini dianggap telah memadai mengingat Telkom mempunyai core business teknologi dan informasi, disamping penelitian ini dilihat dari aspek administrasi. Pencapaian manajemen melakukan promosi diukur dari niat manajemen senior terhadap pengembangan manajemen pengetahuan, apakah manajemen pengetahuan dipakai sebagai bagian dari srategi manajemen secara keseluruhan ataukah hanya sekedar suatu proyek. Praktek manajemen melakukan formulasi yang diukur dari bagaimana visi dikomunikasikan, pengelolaan
ketersediaan pengetahuan dan keterlibatan komunitas praktisi dalam manajemen pengetahuan. Ketersediaan ukuran keberhasilan implementasi yang diukur dari adanya evaluasi peningkatan pertumbuhan pengetahuan yang dihasilkan dan indikator jumlah pengetahuan yang dimanfaatkan oleh pengguna. Untuk menguji management promotion dilihat dari indikasi bagaimana sistem kepemimpinan mendorong dan mempengaruhi anggotanya untuk memanfaatkan manajemen pengetahuan sebagai sumber inspirasi dalam menyelesaikan pekerjaan yang dihadapi. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut: (1) Semakin konsisten rewards diimplementasikan dalam pengembangan manajemen pengetahuan, semakin mendukung keberhasilan; (2) Semakin banyak keputusan pimpinan dihasilkan dari manajemen pengetahuan mempunyai indikasi keberhasilan implementasi; (3) Semakin banyak manajemen senior melakukan sosialisasi semakin mendukung keberhasilan implementasi; (4) Semakin besar usaha pengembangan manajemen pengetahuan semakin mendorong keberhasilan implementasi; (5) Semakin banyak pegawai yang memahami manfaat manajemen pengetahuan berindikasi keberhasilan implementasi. Untuk menguji seberapa besar dukungan manajemen dalam implementasi manajemen pengetahuan dilihat dari kelengkapan dan kesungguhan menyediakan fasilitas untuk pendaya gunaan manajemen pengetahuan. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut: (1) Semakin jelas bisnis proses manajemen pengetahuan, semakin mendukung keberhasilan implementasi; (2) Semakin disediakan fasilitas untuk komunikasi informal semakin mendukung keberhasilan implementasi; (3) Semakin jelas fungsi manajemen pengetahuan semakin menunjukkan keberhasilan implementasi; (4) Struktur organisasi semakin mendorong pertumbuhan pengetahuan menunjukkan keberhasilan implementasi. 144
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom :. Sutarman
Untuk menguji adanya evaluasi kinerja manajemen pengetahuan dilihat dari indikasi bagaimana perusahaan menyediakan sistem pengukuran yang merangsang orang untuk aware terhadap manajemen pengetahuan. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut: (1) Semakin jelas ukuran evaluasinya semakin menunjukkan hubungan implementasi terhadap keberhasilan perusahaan; (2) Semakin berpengaruh terhadap kinerja organisasi berindikasi implementasi manajemen pengetahuan berhasil; (3) Semakin sering diadakan pertemuan reguler yang mempelajari kinerja manajemen pengetahuan, menunjukkan indikasi keberhasilan implementasi Dari ketiga faktor tersebut terlihat bahwa keberadaan suatu unit yang mengelola manajemen pengetahuan sangatlah penting.
D.
METODE Jenis penelitian ini diklasifikasikan sebagai penelitian korelasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif (positivis), di mana pengumpulan datanya dilakukan melalui survei dengan menggunakan kuesioner dan wawancara. Penelitian ini dapat juga diklasifikasikan sebagai penelitian suatu kasus yang menggambarkan korelasi kondisi maupun tingkat keberadaan korelasi antara dua variabel atau lebih. Tinjauan literatur merupakan metode yang terutama. Kerangka pengukuran menggunakan ukuran Dapenvort dan Prusak 1998, untuk menganalisis hubungan perilaku orang dalam organisasi. Target populasi dalam penelitian ini adalah peserta SUSPIM 135 baik yang sedang maupun yang telah menyelesaikan program. Populasi diambil secara porpusive mengingat para peserta dan mantan peserta SUSPIM adalah para pimpinan yang merupakan bagian dari fungsi knowledge worker dan mempunyai peran terhadap keberhasilan manajemen pengetahuan. Untuk menentukan jumlah sampel, dipakai rekomendasi RCA yaitu jumlah 145
sampel disarankan bahwa banyaknya sampel berada pada 5 sampai dengan 10 kali jumlah pertanyaan yang digunakan dalam penelitian. Dengan mengambil asumsi model RCA, jumlah sampel yang diambil berada di antara (5*36) atau 180 orang sampai dengan (10*36) atau 360 orang. Dalam penelitian ini peneliti mengambil batas yang moderat dengan jumlah sampel 7.5 kali yaitu (7.5*36) atau 270 orang. Dalam melakukan analisis data, digunakan tiga jenis alat analisis yaitu: (a) Analisis diskripsi digunakan untuk pemetaan profil responden dan tempat bekerjanya; (b) Analisis inferensial dipakai untuk menerima atau menolak hipotesis. Setiap kasus manajemen pengetahuan dipetakan dalam kisi-kisi organisasi. Setiap kuadran budaya dipetakan berdasarkan persepsi keberhasilan manajemen pengetahuan dari responden; dan (c) Analisis regresi linear dipakai untuk memvalidasi keberadaan hubungan antara strategi implementasi yang dipilih dengan pencapaian hasil implementasi manajemen pengetahuan. Kriteria penolakan hipotesis akan dibedakan melalui signifikan statistiknya. Berdasarkan kuadran budaya tertentu akan dipetakan dengan referensi kisi terhadap jenis strategi implementasi dan tingkat keberhasilannya. Analisis data dilakukan dengan prosedur Partial Least Square (PLS) dengan menggunakan PLS graph. Teknik stastistik ini cocok untuk menganalisis model yang menggunakan pengukuran formatif dan reflektif (Srinivas, 2004). Secara khusus PLS mempunyai fasilitas analisis yang konkuren tentang hubungan antara ukuran dengan konstruksnya yang berkaitan dan yang secara empirik telah dinyatakan dengan tegas untuk hipotesis teori. Semua jalur kausal diuji dengan prosedur resampling (Cotterman & Senn, 1992). Peneliti juga menguji pengukuran model sesuai dengan standar, path loading dari konstruks ke ukuran yang diperlukan lebih besar 0.7. Secara internal ukuran diverifikasi secara konsisten
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom Sutarman .:
N ila i Ex is t in g N ila i Id e a l M in im a l K- 1 5
K-23
4 .17 8 0 9 10 2 8
4 .5
K- 2 2
K- 3
3 .5 7 4 2 5 2 7 2 7 3 .5 9 13 8 3 3 0 8 4
3 .6 17 0 0 5 4 8 5
K-21
K-2
3 .5
3 .4 7 8 2 4 2 7 6 5
3
3 .8 6 8 8 6 2 0 6 7
K-4
3 .7 3 3 2 5 2 4
2 .5
-20
K-5
2
3 .6 7 2 6 5 9 8 7
3 .3 3 4 9 8 5 3 6
1 .5 1
3 .4 0 5 8 3 7 4 5 2
3 .3 3 0 3 6 18 18
0 .5 0
3 .7 0 4 4 0 2 8 4 1
3 .8 8 6 2 3 7 7 7 1.8 6 6 6 3 5 4 6 3 .6 4 2 6 2 9 9 4 8
-17
K-9 3 .8 0 9 10 3 2 13
3 .8 3 7 4 9 6 9 15
3 .3 5 5 8 3 6 8 0 9
K-16 3 .9 6 6 4 5 4 7 4 5
K- 1 5
K-10
3 .4 8 7 0 4 9 5 0 3 4 .0 4 2 8 7 9 13
K- 1 1
3 .9 15 2 10 4 6
K-14
K-12 K- 13
Gambar 8 Profil Hasil Survey Kampiun 2005 (sumber Telkom, 2006)
menggunakan reliabilitas E.
komposisi
ukuran
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Data awal penelitian diperoleh melalui interview, observasi dan mempelajari dokumen organisasi yang terkait dengan implementasi KM., didapatkan gambaran bahwa: (1) Inisiatif program dimulai pada tahun 2002 dengan pembangunan infrastruktur pendukung knowledge management; (2) Setelah infrastruktrur terbangun, manajemen senior menetapkan secara resmi implementasi manajemen pengetahuan melalui surat keputusan direksi perusahaan Nomor: KD 09/PS100ICTG-00/ 2005; (3) Dalam perjalannya pembangunan infrastruktur pendukung knowledge management ini, dirasakan kurang memberikan hasil seperti yang diharapkan bagi lingkungan perusahaan; (4) Bertepatan dengan restrukturisasi perusahaan, untuk pengelolaan knoweledge management dibentuk unit pengelolaan secara khusus yaitu dengan pengangkatan AVP KM (Assistant Vice President Knowledge Management) setingkat Band posisi II, pada 1 Maret 2006. yang
bertanggung jawab dalam implementasi knowledge management; dan (5) Triwulan ke IV tahun 2006 dilakukan survey tentang praktek Manajemen Pengetahuan (Kampiun) selama periode tahun 2005 sampai 2006, hasilnya terlihat seperti Gambar 8. Gambar tersebut menunjukkan bahwa Job insecurity (K-17) adalah faktor yang yang paling tidak diharapkan. Berdasarkan data ini, ada indikasi ketakutan dan kekhawatiran pegawai kehilangan posisinya jika ia melakukan berbagi pengetahuan. Profil Budaya Organisasi dilihat dari dua perspektif, yaitu berdasarkan unit dan corporate wide. Untuk mengukur budaya organisasi tingkat unit digunakan parameter trust unit dan solidaritas. Sedangkan untuk mengukur budaya organisasi tingkat korporasi digunakan parameter trust tingkat korporasi dan solidaritas. Profil budaya organisasi digambarkan berdasarkan penjumlahan skor persepsi responden yang diperoleh melalui penjumlahan skor setiap pernyataan. Perhitungan skor persepsi responden diperoleh berdasarkan salah satu dari lima pilihan yang disediakan dengan ketentuan sebagai berikut:
146
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom :. Sutarman
75 60
Networked
Communal
Fragmented
Mercenary
45 30 15 12
24
36
48
60
Gambar 9 Budaya Korporasi.
Sangat setuju mempunyai skor 5, Setuju mempunyai skor 4, Netral mempunyai skor 3, Kurang setuju mempunyai skor 2 dan Tidak setuju mempunyai skor 1.
bangga terhadap perusahaan dan saling percaya antar sesama anggota. Budaya Mercenary menggambarkan solidaritasnya kuat tetapi anggotanya sulit dipercaya. Cirinya adalah orang bekerja karena bermotf imbalan dan jabatan tanpa menghiraukan hubungan kawan. Kombinasi communal dan mercenary, berarti menggambarkan kondisi solidaritasnya kuat, tetapi tingkat trust sedikit lemah. Kondisi ini menunjukkan indikasi pegawai bekerja semata-mata berlatar belakang imbalan karena dikejar target dan mempertahankan jabatan tanpa menghiraukan hubungan sesama anggotanya. (Goffee and Jones 1998). Persepsi responden atas budaya organisasi secara unit berdasarkan perolehan skor trust unit maksimum 50 dengan skor solidaritas maksimum 60.
Berdasarkan ketentuan tersebut, hasil persepsi responden, praktek budaya organisasi secara korporasi merupakan kombinasi perolehan skor faktor dan solidaritas, seperti terlihat pada gambar 9. Dari gambar 9 tersebut, ada hal yang sangat menarik untuk diperhatikan yaitu dari kajian teori tujuh etika bisnis Telkom yang menurut peneliti berada di daerah commnal ternyata menurut persepsi responden berada pada praktek communal yang cenderung pada mercenary. Budaya Communal menggambarkan kondisi yang solidaritasnya kuat dan anggotanya layak dipercaya, ada rasa 50
Networked Networked 40
Communal Communal 30
20
Fragmented Fragmented
Mercenary Mercenary
10 12
24
36
Gambar 10 Budaya Unit
147
48
60
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom Sutarman .:
Tabel 2: Trust Pegawai Faktor
Deskripsi
Indikator
Pertanyaan Lampiran B
Persepsi Setuju
SI
Sharing Informasi
Mudah berbagi informasi
1, 2, 3, 4, 5
51%
PP
Pengurangan
Tidak perlu pengawasan
6, 7, 8, 9, 10
64%
Pengawasan
ketat
Kesempatan
Manfaatkan kesempatan
11, 12, 13, 14, 15
57%
Mempengaruhi
menentukan tujuan
Klarifikasi Bersama
Aktif klarifikasi tujuan
16, 17, 18, 19, 20
66%
21, 22, 23, 24, 25
52%
KM KB
bersama PH
Pemenuhan Harapan
Mau memenuhi harapan orang lain.
Sangat menarik perhatian hasilnya, menurut hasil penelitian ini, diperoleh gambaran budaya organisasi dipraktekkan di daerah communal dan networked seperti terlihat pada Gambar 10. Networked adalah gambaran budaya yang anggotanya mempunyai trust tinggi dan solidaritas rendah. Solidaritas yang rendah terindikasikan dari kerjasama yang sering bermasalah karena kurang komit, lomba ukuran kinerja dan prosedural. Terhadap ketentuan ada indikasi kurang suka terhadap pentargetan sasaran dan pengawasan yang berlebihan. Kombinasi communal, networked menggambarkan bahwa orang belajar dari pengalamannya sendiri, kreativitas hanya untuk dirinya sendiri dan tidak ditularkan serta kurang komitmen dan cenderung bertele-tele. Untuk mengetahui lebih jauh tentang tingkat trust, peneliti mencoba melakukan analisis melalui lima faktor yang terkandung dalam trust berdasarkan teori De Funia 1997 dengan formula Derajad trust = SI + PP + KM + KB + PH, dimana : Kecenderungan pegawai untuk melakukan berbagi pengetahuan (Sharing Informasi = SI). Kecenderungan pegawai tidak suka diawasi dengan ketat selama bekerja (Pengurangan Pengawasan = PP). Kecenderungan pegawai memanfaatkan peluang untuk memperbaiki tujuan bersama (Kesempatan Mempengaruhi = KM).
Kecenderungan pegawai untuk memilih diam, tidak ambil pusing (Klarifikasi Bersama = KB). Kecenderungan harapan pegawai untuk dapat dipenuhi atau memenuhi harapan informasi sesama anggotanya (Pemenuhan Harapan = PH).
Melalui pernyataan yang sesuai dengan masing-masing faktor trust diperoleh hasil seperti terlihat pada Tabel 2. Ada dua kondisi yang menarik untuk diperhatikan yaitu yang berada di sekitar angka 50 % adalah SI dan PH yaitu masingmasing 51% dan 52%. Dengan demikian ada suatu indikasi bahwa pegawai enggan berbagi pengetahuan dan kurang peduli terhadap kebutuhan orang lain yang padahal sangat diharapkan oleh rekannya untuk dapat membantu dalam menyelesaikan tugas. Namun demikian indikasi lainnya yang sangat menarik dalam penelitian ini adalah solidaritas sesama pegawai adalah cukup signifikan yaitu sebesar 96%. Dapat disimpulkan bahwa hubungan komunitas pegawai cukup positif dalam memandang secara obyektif manfaat pengetahuan dan juga sadar bahwa berbagi pengetahuan adalah sangat dibutuhkan untuk kepentingan perusahaan. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap strategi implementasi manajemen pengetahuan, responden cenderung memandang bahwa startegi implementasi yang memfokuskan pada 148
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom :. Sutarman
management promotion
Formulation
Berhasil Tidak berhasil
Evaluation
Gambar 12 Persepsi terhadap Management Promotion
Berhasil
Berhasil
Tidak berhasil
Tidak berhasil
80%
81%
91%
Gambar 13 Persepsi Formulation
hubungan orang atau connecting adalah lebih baik daripada hubungan orang terhadap dokumen. Hal ini memperkuat teori bahwa hubungan orang dengan orang dalam arti pegawai dengan para expert yang disediakan dalam manajemen pengetahuan lebih unggul karena pegawai dapat mengklarifikasi dan memperdalam pengetahuan yang disediakan dalam sistem manajemen pengetahuan. Seperti terlihat pada Gambar 11 bahwa semua responden memilih di bawah 50% untuk hubungan orang dengan dokumen, sedangkan untuk hubungan orang dengan orang, dan hampir semua responden memilih connecting sebagai pilihannya. Pendekatan ini menurut Davenport, 1998, cocok untuk jenis pengetahuan yang cepat berubah yang sasarannya mensubstitusi pengetahuan yang dimiliki expert untuk dipakai oleh orang yang belum atau kurang pengalaman melalui kebijakan perusahaan yang mendorong terjadinya sharing sebagai sumber daya komunal. Perusahaan mengelola, mengembangkan dan menyiapkan untuk digunakan kembali dengan jalur informal yang didasarkan pada trust individu dalam suatu kelompok. Pilihan ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang ada mempunyai sifat tidak terlalu lambat atau terlalu cepat berubah. Sedangkan kalau ditinjau menurut teori Hansen et al. 1999, yang disebut dengan proses hubungan orang atau interaksi antar orang dianggap penting karena pengetahuan banyak yang 149
9%
20%
19%
Gambar 14 Persepsi terhadap Evaluation
tersimpan dalam pikiran orang. Jika pengetahuan hendak digunakan oleh orang lain, maka langkah pertama adalah menghubungi expert yang telah ditentukan oleh perusahaan. Namun dalam strategi ini perusahaan perlu menyediakan banyak expert agar pengguna mudah mendapatkan dan mendalami pengetahuan yang dikehendakinya khususnya pada waktu mendapatkan jalan buntu dalam pekerjaannya. Dalam penelitian ini ada tiga indikator keberhasilan yang dipakai yaitu dari sudut pandang management promotion, formulation dan evaluation. Hasil analisis dari ketiga indikator tersebut terlihat pada Gambar 12, Gambar 13 dan Gambar 14. Keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan dipandang dari gencarnya manajemen melakukan sosialisasi, menurut persepsi responden adalah 81 %. Keberhasilan implementasi dilihat dari kebijakan manajemen untuk memasukkan manajemen pengetahuan sebagai bagian dari keberhasilan perusahaan atau formulation, menurut persepsi responden sebesar 80%. Sedangkan keberhasilan dilihat dari perawatan dan pengelolaan sistem manajemen pengetahuan atau evaluation menurut persepsi responden sebesar 91%, adalah angka yang paling dominan dari ketiga indikator tersebut. Dengan gambaran ini, diperoleh kesimpulan bahwa pengelolaan dalam implementasi manajemen pengetahuan sangat penting. Dari aspek kompetensi dan perilaku,
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom Sutarman .:
X2
X2X 1
X1
YX2 YX1
Y
Gambar 15 Diagram Jalur Sebab Akibat
knowledge sharing belum dipahami sebagai alat yang mendukung keberhasilan bisnis. Para pimpinan pada umumnya mendukung fungsi manajemen pengetahuan yang bertujuan untuk menambah kemampuan. ilai-nilai perusahaan dalam kaitannya dengan manajemen pengetahuan mendukung untuk keberhasilan implementasi. 1.
menggambarkan hubungan antar variabel bebas dan persamaan struktur 2 menggambarkan hubungan antara kedua variabel bebas dengan variabel terikat sebagai berikut: a) Struktur 1, menggambarkan pengaruh antar variabel bebas, yaitu budaya organisasi dan strategi implementasi dengan persamaan X2 = ρX2X1 X1 + ε1 ………………………………….. (1)
Pengujian Hipotesis Penelitian Dengan menganggap Y sebagai konstruks yang laten, maka ada empat Hipotesis yang diajukan untuk penelitian ini yaitu : Budaya Organisasi H1: Faktor mempunyai pengaruh positif terhadap Strategi Implementasi H2: Budaya organisasi mempunyai pengaruh positif terhadap keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan H3: Strategi Implementasi mempunyai pengaruh positif terhadap keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan H4: Faktor Budaya Organisasi dan strategi implementasi mempunyai pengaruh positif terhadap keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan
Y X1 X2 ρX2X1
ε1
=
Keempat hipotesis di atas, membentuk dua model persamaan struktural yaitu persamaan struktur 1
ε2
=
b)
Struktur 2, menggambarkan pengaruh variabel bebas budaya organisasi dan strategi implementasi terhadap manajemen pengetahuan dengan persamaan Y = ρYX1 X1+ ρYX2 X2+ ε2 ....………………….. (2)
Dimana = = = =
ρYX1 =
ρYX2 =
Keberhasilan manajemen pengetahuan Nilai Budaya Organisasi Strategi Implementasi Koefisien jalur yang menunjukkan pengaruh dari Nilai budaya organisasi terhadap Strategi Implementasi Koefisien jalur yang menunjukkan pengaruh budaya organisasi terhadap Keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan Koefisien jalur yang menunjukkan pengaruh dari Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan manajemen pengetahuan Pengaruh dari faktor lain yang tidak diamati atau kekeliruan penelitian pada sub struktur 1 Pengaruh faktor lain yang tidak diamati atau kekeliruan penelitian pada sub struktur 2
150
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom :. Sutarman
Dengan memasukkan banyaknya data n = 270, perkalian jumlah skor X1*X2 = 1509558,86, total skor X1= 35.089,20 dan total skor X2 = 1.140,35 kedalam persamaan koefisien korelasi di atas, maka hasilnya didapat sebagai berikut:
Untuk mendapatkan nilai pengaruh variabel Budaya Organisasi terhadap Strategi Implementasi, dicari dengan menghitung coefficien corelation square dari koefisien jalur yaitu dengan mengkuadratkan nilai koefisien jalur yang diperoleh (R2) = (ρX2X1)2 = (0,543)2 = 0,295 = 29,5% Dengan demikian faktor pengaruh lain, selain Budaya Organisasi terhadap variabel Strategi Implementasi adalah sebesar : 100% - 29,5% = 70,5%. Untuk menguji seberapa signifikans pengaruh variabel X 1 terhadap X 2 digunakan uji t dengan formula sebagai berikut:
Dengan memasukkan nilai koefisien korelasi r = 0.5430, dan (n-2) = (270-2) = 268 kedalam persaamaan t-hitung didapatkan hasil sebagai berikut :
Selanjutnya untuk mendapatkan nilai ttabel, dicari pada tabel distribusi t student, dengan α = 5% dan derajad kebebasan df = n-2 = (270 – 2) = 268, diperoleh ttabel = 1,995.
151
Dengan membandingkan nilai thitung dan nilai ttabel, jika hasilnya thitung lebih besar dari t tabel maka pengaruh variabel budaya organisasi adalah signifikan. Ternyata didapat bahwa : thitung > ttabel, sehingga disimpulkan variabel Budaya Organisasi berpengaruh signifikan terhadap variabel Strategi Implementasi Adapun hipotesis kedua yang berkaitan dengan budaya organisasi adalah: H2 : Budaya organisasi mempunyai pengaruh positif terhadap keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan Untuk menghitung pengaruh budaya organisasi terhadap manajemen pengetahuan ada dua lajur yaitu pengaruh Langsung variabel Budaya Organisasi (X1) terhadap Keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan (P YX1) dan melalui jalur strategi implementasi. Dengan program LISREL 8.71, besarnya pengaruh langsung diperoleh sebesar 0.2684 atau 7,21%. Berarti variabel Budaya Organisasi mempengaruhi Keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan secara langsung sebesar 7,21%. Dan pengaruh Tak Langsung, variabel Budaya Organisasi terhadap Keberhasilan Implementasi Manajemen Pengetahuan melalui X2, diperoleh dari hasil perhitungan sebagai berikut: X 2 = 0,2684* 0,543*0,5611 = 0,0818 = 8,18%
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom Sutarman .:
Total Pengaruh Langsung dan Tak Langsung Budaya Organisasi, terhadap keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan adalah baik yang berasal dari dirinya sendiri X1 adalah sebesar 7,21%.dan yang berasal dari X 2 sebesar 8.18%. PX1T = 7,21% + 8,18%, = 15,39%. Dengan demikian pengaruh lain yang tak teramati dan kesalahan ukur sebesar 10.1539 = 0.8461 Pengaruh Strategi Implementasi Untuk mengetahui bagaimana pengaruh strategi implementasi terhadap keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan, akan dilakukan pengujian hipotesis berikut ini. H 3 : Strategi Implementasi mempunyai pengaruh positif terhadap keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan. Dengan program LISREL 8.71, besarnya pengaruh langsung pengaruh Langsung variabel Strategi Implementasi (X2) terhadap Keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan (P YX2) adalah sama dengan 0.5610 atau 31,48%. Artinya variabel Strategi Implementasi mempengaruhi Keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan secara langsung sebesar 31,48%. Pengaruh Tidak Langsung variabel Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan yang berasal dari Budaya Organisasi sebesar: X 2 = 0,5610*0,543*0,2684 = 0,0818 = 8,18% Pengaruh langsung dan tak langsung Strategi Implementasi, terhadap Keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan adalah pengaruh langsung sebesar 31,48% ditambah yang berasal dari budaya organisasi adalah sama dengan : PX2T = 31,48% + 8,18% = 39,66% Pengaruh secara simultan Untuk mengetahui bagaimana pengaru budaya organisasi dan strategi implementasi terhadap keberhasilan
implementasi manajemen pengetahuan akan dilakukan pengujian terhadap hipotesis berikut ini yang dilakukan melalui bantuan software LISREL 8.71 H4 : Faktor Budaya Organisasi dan strategi implementasi mempunyai pengaruh positif terhadap keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan Untuk mencari koefisien jalur variabel bebas Budaya Organisasi (X1) dan Strategi Implementasi (X 2) yang secara simultan terhadap Keberhasilan manajemen pengetahuan (Y) dengan langkah-langkah sebagai berikut : Tahap pertama mendapatkan matriks korelasi kedua variabel bebas Budaya Organisasi (X 1 ) dan Strategi Implementasi (X2) terlebih dahulu. Dengan bantuan software LISREL 8.71, diperoleh matriks korelasi antar variabel bebas (X) :
R=
X1
X2
X1
1
0,543
X2
0,543
1
Tahap kedua : menghitung matriks invers-nya R-1 dari matriks korelasi di atas, dan diperoleh : X1 R = -1
X2
X1
1,4189 -0,771
X2
-0,771 1,4189
Tahap ketiga : mencari matriks korelasi antara variabel bebas (X) terhadap variabel tidak bebas (Y). Dengan bantuan software LISREL 8.71, diperoleh matriks korelasi antar variabel bebas X dengan Y: Y -1
R=
X1
0,5733
X2
0,7069
Tahap keempat : menghitung koefisien jalur nya dengan cara matriks invers korelasi variabel bebas X1 dengan variabel bebas X 2 dikalikan dengan matriks korelasi antar variabel bebas X terhadap variabel tidak bebasY, sebagai berikut: 152
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom :. Sutarman
P YX1 P YX2
1,4189 -0,771
P YX1 P YX2
0,26842 0,56109
-0,771 1,4189
0,5733 0,7069
Dengan demikian maka besarnya koefisien jalur yang disebabkan dari faktor lain yang tidak termasuk dalam spesifikasi ini adalah:
Dengan demikian koefisien jalur dari masing-masing variabel bebas adalah: - Koefisien jalur X1 terhadap Y adalah = PYX1 = 0,26842 - Koefisien jalur X2 terhadap Y adalah = PYX2 = 0,56109 Untuk menguji seberapa signifikan pengaruh koefisien jalur seperti yang dimaksud dalam persamaan (iv) dan (v) yaitu besar nya pengaruh Budaya Organisasi (X1) dan besarnya pengaruh Strategi Implementasi (X2) secara bersamasama terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan (Y). Kalau dihitung pengaruhnya secara simultan dengan formula : R2Y(X1X2) =[Matriks koefisien jalur]*[matriks korelasi variabel ], di mana Matriks koefisien jalur sebagai matriks korelasi variabel sebab X dan Matriks korelasi variabel sebagai matriks korelasi akibat Y, diperoleh : 2
R Y(X1X2)
P YX1 PYX2
R YX1 R YX2
Dengan memasukkan nilai PYX1, PYX2, RYX1, RYX2 , didapatkan hasil signifikansi pengaruhnya:
2
R Y(X1X2)
Signifikansi Pengaruh Koefisien Jalur R2Y(X1X2) = 0,5505 atau 55,05%
0,26843 0,56108
0,5733 0,70694
Pyå= 1 - 0,5505 = 0,4495 didapat
Untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh yang benar-benar berasal dari masing-masing variabel, dihitung dari yang langsung dan tak langsung mempengaruhi baik yang berasal dari Budaya Organisasi maupun dari Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan, dilakukan penghitungan yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3. Pengaruh total dari kedua variabel bebas budaya organisasi dan strategi implementasi terhadap keberhasilan manajemen pengetahuan adalah: PXT= PX1T+ PX2T = 15,39% + 39,66% = 55,0541% Dari tabel tersebut terlihat bahwa faktor yang memberikan pengaruh paling besar terhadap Keberhasilan Implementasi Manajemen Pengetahuan adalah Strategi Implementasi (X2) yaitu sebesar 39,66%. Kemudian dengan menggunakan koefisien jalur, diperoleh hasil sebagai berikut: a. Budaya Organisasi X 1, mempunyai pengaruh positif terhadap Strategi implementasi X2 sebesar 0.5434 atau 29,53%.
Tabel 3. Total Pengaruh Keberhasilan dalam % Variabel
X1 X2
153
Koefisien Jalur
0,2684 0,5611
Pengaruh Langsung
7,2056 31,4809
44,95%
Pengaruh Tidak Langsung (melalui)
Total
X1
X2
8,1838
8,1838 -
15,3894
Total Pengaruh
55,0541
39,6647
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom Sutarman .:
b. Budaya Organisasi X1, mempunyai pengaruh positif langsung terhadap keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan Y 0.2685 atau 7.20%. c. Strategi implementasi X2 mempunyai pengaruh positif terhadap keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan sebesar 0.5610 atau 31.47%. d. Budaya organisasi X1 dan Strategi Implementasi X2 bersama-sama secara simultan mempunyai pengaruh positif terhadap keberhasilan manajemen pengetahuan sebesar 0.7420 atau 55.05%. X2
Untuk menguji hipotesis nol secara simultan ini, digunakan uji statistik F dengan tahapan, pertama mencari nilai Fhitung H 0 = PYX1 = PYX2 = 0 Hi = sekurang-kurangnya ada sebuah PYxi ≠ 0, i = 1,2
Dengan memasukkan nilai n = 270, k = 2 dan dengan signifikansi pengaruh = 0.5505, maka diperoleh Fhitung :
0,7047
0,5434 1,0000
X1
0,5610 0,2585 Y
0,4495
Dari hasil hitungan tentang pengaruh simultan telah didapat bahwa budaya organisasi dan manajemen pengetahuan yang secara bersama-sama berpengaruh sebesar 55,05%. Perhitungan ini adalah perhitungan statistik yang tidak lepas dari pengaruh lain selain yang dilakukan perhitungan dalam pnelitian ini sebesar Pyå. Dengan demikian maka besarnya koefisien jalur yang disebabkan dari faktor lain yang tidak termasuk dalam spesifikasi ini adalah: Pyε = 1 - 0,5505 = 0,4495 didapat 44,95%. Kemudian, untuk menguji penolakan Hipotesis Nol, dilakukan melalui dua tahapan pengujian yaitu: tahap pertama, menguji pengaruh secara simultan, dan tahap kedua, mencari signifikansi pengaruh secara parsial dari masing-masing variabel, untuk mendapatkan variabel mana yang lebih kuat mempengaruhi keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan.
Mencari nilai Ftabel Dengan menelusuri distribusi FSnodecor untuk α = 5%, derajat kebebasan (db1) = 2, dan (db2) = 270-2-1 = 267, diperoleh nilai F tabel = 3,030. Dari perolehan kedua hasil perhitungan Fhitung dan Ftabel di atas, dapat kesimpulan bahwa : Fhitung > Ftabel yaitu (163,52 > 3,030) Dengan demikian sesuai dengan kriteria uji simultan, maka H0 ditolak, artinya variabel Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap Keberhasilan Implementasi Manajemen Pengetahuan. Setelah melakukan uji hipotesis nol secara simultan dan hasilnya ditolak, yang berarti bahwa pengaruhnya cukup signifikan, maka untuk melihat variabel mana saja yang signifikan, dilakukan uji hipotesis nol secara parsial untuk melihat signifikansi pengaruh masing-masing variabel Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap.
154
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom :. Sutarman
11,5542
X1
5,4887 0,5610
Y
11,5542
11,4900 11,5542
X2
Chi-square = 0,00; df = 0; P-value = 1,00000; RMSEA = 0,000 Gambar 16 Nilai t-hitung
Keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan menggunakan uji t. Dari hasil perhitungan uji Hipotesis Nol melalui uji t, diperoleh bahwa hasil thitung dan ttabel masing-masing koefisien jalur terlihat seperti Gambar 32 dan Tabel 22. Berdasarkan hasil Uji Hipotesis Nol pada Tabel 23, didapatkan kesimpulan bahwa : Budaya Organisasi berpengaruh signifkan terhadap Keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan (thitung = 5,49) > (t-tabel =1,97), berarti Hipotesis nol pengaruh budaya organisasi ditolak. Strategi Implementasi manajemen berpengaruh signifkan terhadap Keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan (t-hitung =11,48) > (t-tabel =1,97), berarti hipotesis nol untuk pengaruh Strategi Implementasi ditolak.
terbangun infrastruktrur manajemen pengetahuan bukan didasarkan pada strategi bisnis perusahaan. Kedua, dari hasil survey pertama tentang implementasi manajemen pengetahuan menunjukkan bahwa ada indikasi pegawai ketakutan dan kekhawatiran kehilangan posisi jika ia melakukan berbagi pengetahuan. Ketiga, tujuh nilai etika bisnis Telkom dipraktikan menurut persepsi responden dalam penelitian ini berada pada kombinasi communal dan mercenary untuk level korporasi dan kombinasi communal dan Networked untuk level unit. Keempat, dukungan manajemen dan keberadaan unit pengelola manajemen pengetahuan yang mempunyai otoritas yang memadai merupakan sesuatu yang menentukan keberhasilan manajemen pengetahuan. Kelima, kombinasi strategi implementasi untuk membangun hubungan manusia dan strategi dokumentasi pengetahuan adalah merupakan strategi implementasi yang diperlukan. Kemudian berdasarkan analisis inferensial diperoleh informasi sebagai berikut: Pertama, terdapat pengaruh positif dan signifikan Budaya Organisasi
2.
Pembahasan Hasil dan Keterbatasan Penelitian Setelah melakukan analisis baik secara diskripsi maupun inferensial didapatkan hasil penelitian sebagai berikut: Pertama, unit pengelola manajemen pengetahuan dibentuk setelah Tabel 4. Hasil Uji Hipotesis Nol Koefisien Jalur
thitung
ttabel
Kesimpulan
PYX1 = 0,2684
5,49 11,48
1,97 1,97
H0 ditolak
PYX2 = 0,5611 155
H0 ditolak
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom Sutarman .:
terhadap Strategi Implementasi, dengan besar pengaruh sebesar 29,5%. Kedua, terdapat pengaruh positif yang signifikan budaya organisasi terhadap keberhasilan manajemen pengetahuan, dengan besar pengaruh 15,39%. Ketiga, terdapat pengaruh positif yang signifikan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan, dengan besar pengaruh 0.5610 atau 31.47%. keempat, terdapat pengaruh positif yang signifikan dari Faktor Budaya Organisasi (X1) dan Strategi Implementasi (X2) secara bersama-sama terhadap Keberhasilan Implementasi Manajemen Pengetahuan, dengan besar pengaruh sebesar 55,05%. Besar pengaruh tersebut diberikan oleh Budaya Organisasi (X1) sebesar 15,39% dan Strategi Implementasi (X2) 39,66%. Kelima, budaya organisasi di level unit merupakan kombinasi communal, dan networked menggambarkan bahwa pegawai belajar dari pengalamannya sendiri, kreativitas hanya untuk dirinya sendiri dan tidak ditularkan. Oleh karena itu keberadaan fungsi yang memfasilitasi agar orang mau berbagi pengetahuan perlu diintensifkan untuk memicu budaya pembelajaran individu maupun organisasi. Keenam, budaya Organisasi di level korporasi merupakan kombinasi budaya communal dan mercenary menggambarkan bahwa kondisi solidaritasnya kuat, tetapi tingkat trust sedikit lemah.adalah suatu kondisi yang menunjukkan pegawai bekerja sematamata berlatar belakang imbalan karena dikejar target dan mempertahankan jabatan tanpa menghiraukan hubungan sesama anggotanya. (Goffee and Jones 1998).Dalam kondisi yang demikian strategi kombinasi penyediaan best practice dan expert akan sangat mendukung keberhasilan manajemen pengetahuan di tingkat korporasi. Selain itu, hasil analisis data memberikan informasi sebagai berikut: Pertama, pengaruh yang paling besar atau dominan diberikan untuk keberhasilan manajemen pengetahuan adalah pengaruh yang diberikan oleh variabel Strategi Implementasi (X2) dengan total pengaruh
sebesar 39,66%. Kedua, dalam mengimplementasikan Manajemen Pengetahuan Telkom cenderung menekankan pada aspek teknologi, aspek lain cenderung kurang mendapat perhatian pimpinan karena lebih dari lima puluh prosen pegawai masih enggan untuk berbagi pengetahuan, berarti permasalahan bukan terletak pada teknologi tetapi pada faktor sosial. Ketiga, Keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan, perlu dukungan dari manajemen agar:pengetahuan mengalir kepada komunitas praktisi, ada perbaikan terus-menerus dan pembelajaran hasil yang dipraktekkan dan budaya sharing. Untuk realisasi ini dukungan dapat berupa dorongan dari pimpinan, formulasi sasaran dan evaluasi manajemen pengetahuan. Keempat, dari aspek kompetensi dan perilaku, knowledge sharing belum dipahami sebagai alat yang mendukung keberhasilan bisnis. Para pimpinan pada umumnya mendukung fungsi manajemen pengetahuan untuk menambah kemampuan nilai-nilai perusahaan. Keterbatasan Penelitian Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan. Karena waktu yang terbatas, hanya beberapa faktor saja yang diteliti dalam penelitian ini yaitu faktor-faktor yang oleh peneliti dianggap mempunyai pengaruh yang dominan terhadap keberhasilan manajemen pengetahuan, yaitu budaya organisasi dan strategi implementasi. Konsisten dengan formula dalam perhitungan statistik, masih terdapat faktor lain yang tidak dipertimbangkan dalam penelitian ini yang mempengaruhi keberhasilan manajemen pengetahuan sebesar Pyå. Dengan demikian maka besarnya koefisien jalur yang tidak diperhitungkan adalah Pyε besar pengaruhnya sama dengan : Pyε= 1 - 0,5505 = 0,4495 didapat 44,95% Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan manajemen pengetahuan bisa berasal dari teknologi informasi, 156
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom :. Sutarman
struktur organisasi dan faktor lainnya yang tidak dimasukkan dalam perhitungan dalam penelitian ini. E.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang dilakukan pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi sangat berpengaruh pada strategi implementasi manajemen pengetahuan dan mendukung keberhasilan manajemen. Demikian pula penetapan strategi implementasi dalam penerapan manajemen pengetahuan. Nilai-nilai budaya organisasi yang sesuai mendukung implementasi Manajemen Pengetahuan di PT Telkom dapat dibagi menjadi dua yaitu tingkat korporasi dan tingkat unit. Tingkat korporasi berupa Trust yang diungkapkan dalam perilaku berbagi informasi, diskusi pendapat, disiplin adalah nilai yang mendukung keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan. Sedangkan pada tingkat unit berupa Solidaritas yang diungkapkan melalui komunikasi antar pegawai, komunikasi pegawai dan pimpinan dan komunikasi dalam organisasi mendukung keberhasilan manajemen pengetahuan. Nilai budaya seperti trust organisasi dan solidaritas mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya organisasi yang diterapkan sebagai etika bisnis PT Telkom. Oleh karenanya faktor ini dominan mempengaruhi baik strategi implementasi maupun keberhasilan manajemen pengetahuan. Sedangkan peran yang menentukan keberhasilan implementasi Manajemen Pengetahuan adalah peran strategi implementasi yang mengedepankan pembangunan hubungan pegawai dengan para expert untuk penyelesaian masalah perusahaan. Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang diperoleh di atas, maka peneliti memberikan tiga saran sebagai berikut: Pertama, budaya organisasi yang berlaku mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap startegi implementasi 157
untuk keberhasilan implementasi manajemen pengetahuan. Oleh karena itu internalisasi budaya organisasi perlu dipahami sampai pada tahap yang tidak perlu diperdebatkan lagi oleh anggota organisasi. Kedua, memberi peran yang memadai kepada pengelola manajemen pengetahuan, fungsi riset dan teknologi, pemasaran, dan diklat menjadi pemeran utama dalam terjadinya sharing pengetahuan agar peran manajemen pengetahuan lebih maksimal dalam strategi bertahan dan berkembang yang mempunyai keunggulan daya saing. Ketiga, bagi organisasi yang akan menerapkan manajemen pengetahuan disarankan perlu memperhatikan faktorfaktor infrastruktur manajemen pengetahuan seperti budaya, organisasi, dan kepemimpinan secara komperehenshif dan membentuk fungsi pengelola yang mempunyai otoritas yang memadai agar fungsi manajemen pengetahuan lebih bermakna. Kemudian penulis merekomendasikan agar penelitian ini dapat dikembangkan selanjutnya dengan penelitian yang lebih luas lagi dengan mempertimbangkan faktor pengaruh teknologi informasi dalam strategi implementasi secara bersama-sama dengan infrastruktur manajemen pengetahuan. REFERENSI
Abdullah R and Selamat MH. 2005.A Framework For Knowledge Management System Implementation to Collaborate Environment For Higher Learning Instituition. Journal of Knowledge Management Practice, March 2005 . Malaysia: Universiti Teknologi Malaysia. Bellinger G. 2004. The Effective Organization : Getting from Objectives to Results, The way of Systems Feedback Musings, (http://www.system thinking.org) Covey SR. 2005. The 8 th Habits Melampaui Efektifitas, Menggapai Keagungan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pengaruh Budaya Organisasi dan Strategi Implementasi terhadap Keberhasilan Manajemen Pengetahuan di PT. Telkom Sutarman .:
Davenport T and Laurence P. 2000. Working Knowledge: How Organization manage What They Know. Massachusetts: Havard Business School Press. De Funia GL. 1997. A Behavioral Model of Interpersonal Trust. Springfield: St John’s University. Goffee R and Jones G. 1999. What Holds the Modern Company Together?. United States of America: Havard Business Review on Managing People. Malhotra Y. 2003. Why Knowledge Management Fail?, Enablers and Constraints of Knowledge Management in Human Enterprisees. New York: Syracuse University. Malhotra Y. 2003. Is Knowledge The Ultimate Competitive Advantage, Business Management Asia. New York: Syracuse University, Malhotra Y. 2000. Knowledge Management and New Business Models : Rethinking Information Strategy” The Executives Journal Summer 2000, 16, (4) 5-16 Marquart Mand Angus R. 1994. The Global Learning Organization, Gaining Competitive Advantage Through Continous Learning., Canada. Nonaka, I. 2005 A Dynamic Theory of Organizational Knowledge Creation, Organization Science, vol. 5
Nonaka I. 1998. Knowledge Creation & Knowledge Sharing, Knowledge Management Sustain Life Cycle Nonaka I. dan Takeuchi H. 1995 The Knowledge-Creating Company. Oxford: University Press, Nonaka I. 2004, Acquiring the Knowledge Management System, Knowledge Architecture (http://turing.une.edu.au/ Schein EH. 1992.Organizational Culture and Leadership. San Francisco: Jossey Bass. Srinivasan A and Horowitz B. 2004. Use of Simulation Experiments To Evaluate Knowledge Management Modeling Quality. Journal of Knowledge Management Practice. October 2004. University of Virginia. Telkom. 2006. Lampiran Keputusan Direksi Nomor .05/PS140/CTG-20/2005, perihal: Etika Bisnis Telkom. 2005 Model Knowledge Management Telkom (CHAMPIUN) . Lampiran Surat Keputusan Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Telkom. 2006. Implementasi budaya the TELKOM WAY 135, Makalah Angkatan Kursus Staf dan Pimpinan Angkatan ke sepuluh
158
ISSN: 2302-8556 E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 6.1 (2014):1-16
PENGARUH KECANGGIHAN TEKNOLOGI INFORMASI, PARTISIPASI MANAJEMEN, DAN PENGETAHUAN MANAJER AKUNTANSI PADA EFEKTIVITAS SISTEM INFORMASI AKUNTANSI Kadek Indah Ratnaningsih1 I Gusti Ngurah Agung Suaryana2 1
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana (Unud), Bali, Indonesia e-mail: [email protected] / telp: +62 85737691441 2 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana (Unud), Bali, Indonesia ABSTRAK
Efektivitas sistem informasi akuntansi merupakan suatu keberhasilan yang dicapai oleh sistem informasi akuntansi dalam menghasilkan informasi secara tepat waktu, akurat, dan dapat dipercaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kecanggihan teknologi informasi, partisipasi manajemen, dan pengetahuan manajer akuntansi terhadap efektivitas sistem informasi akuntansi. Penelitian ini dilakukan pada hotel berbintang di Kabupaten Badung. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling sebanyak 44 manajer akuntansi pada hotel bintang tiga dan empat. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Hasil Penelitian menunjukkan kecanggihan teknologi informasi, partisipasi manajemen, serta pengetahuan manajer akuntansi berpengaruh positif dan signifikan terhadap efektivitas sistem informasi akuntansi (SIA). Kata Kunci: kecanggihan teknologi informasi, partisipasi manajemen, pengetahuan manajer akuntansi, efektivitas sistem informasi akuntansi
ABSTRACT
Effectiveness of the accounting information system is a success achieved by the accounting information system to produce timely, accurate, and reliable. This study aimed to determine the effect of information technology sophistication, management participation, as well as the accounting manager's knowledge of the effectiveness of accounting information systems. The research was conducted at five-star hotels in Badung regency. Samples were taken by purposive sampling technique as much as 44 accounting manager in three and four star hotels. Analysis using multiple linear regression analysis. Research results showed sophistication of information technology, management participation, as well as knowledge of accounting managers positive and significant impact on the effectiveness of accounting information systems (AIS). Keywords: information technology sophistication, management participation, accounting manager knowledge, accounting information systems effectiveness
1
K. Indah Ratnaningsih dan I G.N. Suaryana. Pengaruh Kecanggihan Teknologi Informasi...
PENDAHULUAN Peningkatan penggunaan teknologi komputer merupakan dampak dari perkembangan teknologi informasi. Dampak yang diperoleh adalah teknologi informasi telah memberikan kemudahan bagi karyawan dalam melakukan pemrosesan data. Teknologi merupakan alat yang berguna untuk membantu individu dalam penyelesaian pekerjannya (Handayani,2010). Al Eqab dan Adel (2013) menemukan hubungan yang positif dan signifikan antara kecanggihan teknologi informasi dengan karakteristik informasi akuntansi. Teknologi informasi digunakan untuk mengubah data mentah menjadi suatu informasi yang diperlukan oleh pihak internal dan eksternal. Informasi akuntansi dapat membantu manajemen untuk memperjelas
tugas-tugas
mereka
sebelum
mengambil
keputusan
(Chong
dalam
Jawabreh,2012). Stales dan Selldon (dalam Putra,2012) menyatakan tujuan dari dilakukannya penelitian pada bidang teknologi informasi adalah pengguna akhir dapat dengan mudah dan efektif dalam menggunakan teknologi informasi. Kecanggihan teknologi di masa kini memiliki perkembangan yang pesat bahkan mampu menghasilkan beraneka ragam teknologi sistem yang dirancang untuk membantu pekerjaan manusia dalam menghasilkan kualitas informasi terbaik. Kenanekaragaman teknologi tersebut memberikan kemudahan bagi para pengguna teknologi dalam implementasi. Perusahaan yang memiliki teknologi informasi yang canggih (terkomputerisasi dan terintegrasi) dan didukung oleh aplikasi pendukung teknologi moderen, diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi kelangsungan kinerja perusahaan dengan menghasilkan laporan keuangan yang tepat waktu, akurat, dan dapat dipercaya. Sementara itu, bisnis yang kompetitif menuntut perusahaan untuk memanfaatkan kemampuan semaksimal mungkin agar mampu menunjukkan keunggulannya. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah membuat sistem informasi akuntansi menjadi suatu 2
ISSN: 2302-8556 E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 6.1 (2014):1-16
alat penting dalam
dunia bisnis yang sangat kompetitif (Ogah,2013). Penerapan sitem
informasi akuntansi merupakan investasi yang penting untuk perusahaan (Raupeliene,2003). Penggunaan sistem informasi dapat meningkatkan daya saing perusahaan agar tidak tersisih dalam lingkungannya (Kustono,2011) Keefektifan sistem informasi akuntansi dapat mengukur keunggulan daya saing yang dapat diciptakan oleh perusahaan. Peningkatan efektivitas sistem informasi akuntansi memerlukan adanya peran dan partisipasi manajemen dalam mendukung implementasi dan pengembangan sistem informasi akuntansi. Pengetahuan manajer akuntansi terhadap sistem informasi juga merupakan faktor yang tidak kalah penting dalam aplikasi serta pengembangan sistem informasi akuntansi . Komala (2012) menyatakan bahwa manajer akuntansi (controller) merupakan eksekutif yang mengkoordinasikan partisipasi manajemen dalam perencanaan dan pengendalian untuk mencapai target perusahaan, khususnya untuk menentukan efektivitas implementasi kebijakan dan mengembangkan struktur dan prosedur organisasi.. Manajer akuntansi merupakan eksekutif tertinggi yang memiliki tanggung jawab atas keberlangsungan segala aktivitas dalam departemen akuntansi. Tanggung jawab besar yang dijalankan menuntut seorang manajer akuntansi untuk memiliki pengetahuan yang tinggi terhadap implementasi sistem informasi akuntansi. Keluaran yang dihasilkan dari sistem informasi akuntansi adalah berupa laporan keuangan yang akan diserahkan kepada pihak manajemen dan akan digunakan sebagai alat pengambilan keputusan. Sistem informasi akuntansi merupakan bagian yang sangat penting untuk meningkatkan efisiensi organisasi dan mendukung daya saing dengan menyediakan informasi keuangan dan akuntansi bagi manajemen (Alsarayreh et al.,2011). Kualitas informasi yang baik merupakan salah satu keunggulan yang dimiliki oleh perusahaan (Soudani,2012). Sistem dapat dikatakan efektif apabila sistem mampu menghasilkan informasi yang dapat diterima
3
K. Indah Ratnaningsih dan I G.N. Suaryana. Pengaruh Kecanggihan Teknologi Informasi...
dan mampu memenuhi harapan informasi secara tepat waktu (timely), akurat (accurate), dan dapat dipercaya (reliable) (Widjajanto,2001). Onaolapo dan Odetayo (2012) mengatakan bahwa sistem informasi akuntansi berpengaruh terhadap efektivitas organisasi. Efektivitas sistem informasi akuntansi sangat tergantung pada keberhasilan kinerja antara sistem, pemakai (user), dan sponsor. Faktorfaktor penting yang dapat mempengaruhi efektivitas sistem informasi akuntansi diharapkan dapat memberikan pengaruh positif yang dapat menunjukkan tingkat keberhasilan sistem dalam menjalankan fungsinya. Penelitian mengenai sistem informasi akuntansi sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Ismail dan King (2007) menemukan hubungan yang positif dan signifikan antara pengaruh kecanggihan teknologi informasi terhadap keselarasan atau kesesuaian teknologi informasi dengan strategi bisnis. Ekayani,dkk. (2005) menyatakan bahwa fasilitas teknologi informasi mampu menciptakan hubungan yang baik dengan pihak eksternal perusahaan dan mempengaruhi daya saing perusahaan. Keberhasilan sistem juga tidak terlepas dari keterlibatan manajemen. Ismail (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa partisipasi manajer dapat mempengaruhi pengguna untuk mengembangkan perilaku positif yang akan meningkatkan efektivitas sistem. Manajemen perlu mengontrol dan mengetahui pentingnya sistem informasi sebagai sumber daya strategis perusahaan (Widarno,2008). Dwitrayani
(2012) mengungkapkan bahwa kecanggihan TI dan partisipasi
manajemen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap efektivitas SIA. Begitu juga dengan penelitian Susilastri, dkk (2010) yang menunjukkan kuatnya pengaruh dukungan manajemen terhadap sistem informasi akuntansi. Tingkat dukungan yang diberikan oleh manajemen puncak bagi sistem informasi organisasi dapat menjadi suatu faktor yang sangat penting
4
ISSN: 2302-8556 E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 6.1 (2014):1-16
dalam menentukan keberhasilan semua kegiatan yang berkaitan dengan sistem informasi (Raghunathan dalam Septriani,2010). Sementara itu, Kouser, et al (2011) dalam penelitiannya menemukan bahwa pengetahuan manajer akuntansi dan
partisipasi manajer dalam pelaksanaan dan
pengembangan SIA memiliki hubungan yang kuat dengan efektivitas sistem informasi akuntansi. Komala (2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa pengetahuan manajer akuntansi berpengaruh terhadap sistem informasi akuntansi dan memberikan dampak yang signifikan terhadap kualitas informasi. Berbeda dengan penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti mengenai efektivitas SIA. Dalam penelitian ini peneliti memilih hotel sebagai lokasi penelitian. Hotel yang dipilih adalah hotel-hotel yang memiliki klasifikasi bintang tiga dan empat. Mengingat keterbatasan waktu dalam penelitian, peneliti membatasi sampel dengan tidak mengikutsertakan hotel bintang satu, dua dan lima. Hotel bintang tiga dan empat dianggap mewakili populasi dimana hotel-hotel ini memiliki fasilitas yang lebih lengkap dari bintang satu dan dua serta mendekati kelengkapan fasilitas yang dimiliki hotel bintang lima. Hotel berbintang tiga dan empat telah menerapkan sistem informasi yang terintegrasi sebagai alat untuk mempermudah jalannya segala aktivitas. Sistem informasi terintegrasi merupakan sistem yang memproses seluruh proses pelayanan dalam bentuk koordinasi, pelaporan, dan prosedur administratif untuk mendukung kinerja dan dapat memperoleh informasi secara cepat, tepat, dan akurat. Pengertian Sistem Sistem adalah unsur yang bekerja secara berkelompok dan berhubungan erat satu sama lain sehingga dapat bekerja sama dalam menjalankan fungsi untuk mencapai tujuan (Mulyadi,2000:1). Secara umum, sebuah sistem terdiri dari input, pemrosesan, dan output.
5
K. Indah Ratnaningsih dan I G.N. Suaryana. Pengaruh Kecanggihan Teknologi Informasi...
Hall (2001) mengungkapkan sistem sebagai sekelompok komponen yang saling berkaitan satu sama lain dan yang bergabung mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pengertian Informasi Informasi didefinisikan sebagai data yang diolah dan dapat digunakan sebagai alat pembuatan keputusan (Bodnar dan William,2000:5). Gordan dalam Jogiyanto (2000:25) menyebutklan bahwa informasi dikatakan sebagai data yang diolah menjadi sesuatu yang berguna bagi para penerimanya atau dapat berupa sesuatu yang berguna dan dapat dipahami sebagai dasar pengambilan keputusan. Pengertian Akuntansi Jusup
(2005:4)
mendefinisikan
akuntansi
sebagai
proses
pencatatan,
pengkalsifikasian, penjurnalan, pengikhtisaran, dan penganalisisan data keuangan suatu organisasi. Menurut American Intitute of Certified Public Accounting (AICPA) akuntansi adalah suatu proses mencatat, mengklasifikasi, meringkas, mengolah dan menyajikan data transaksi serta kejadian yang berhubungan dengan keuangan sehingga mudah dimengerti untuk pengambilan suatu keputusan. Pengertian Sistem Informasi Akuntans Bodnar dan William (2000:1) mendefinisikan sistem informasi akuntansi sebagai komponen sumber daya, yang digunakan untuk mengolah data menjadi informasi yang berguna. Menurut, Jogiyanto (2000:49), sistem informasi akuntansi merupakan gabungan dari manusia dan sumber daya lainnya yang bertanggungjawab dalam menyediakan informasi keuangan serta informasi yang diperoleh melalui pengumpulan dan pengolahan data transaksi dalam suatu organisasi.
6
ISSN: 2302-8556 E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 6.1 (2014):1-16
Kecanggihan Teknologi Informasi Hussin et al.(2012) menjelaskan bahwa kecanggihan teknologi mencerminkan keanekaragam jumlah teknologi yang digunakan sedangkan kecanggihan informasi ditandai oleh sifat portofolio penerapannya. Raymond dan Pare (dalam Cragg et al.,2010) mendefinisikan bahwa kecanggihan teknologi informasi sebagai suatu konstruksi yang mengacu pada penggunaan alam, kompleksitas dan saling ketergantungan teknologi informasi dan manajemen dalam suatu organisasi. Partisipasi Manajemen Partisipasi manajemen dikonseptualisasikan sebagai keterlibatan dan partisipasi eksekutif atau manajemen di bidang Teknologi Informasi (TI) / Sistem Informasi (Igbaria et al.,1996). Partisipasi manajemen adalah keterlibatan manajemen dalam melaksanakan sistem informasi dan strategi pengembangan untuk sistem informasi yang akan diimplementasikan. Partisipasi manajemen dalam memberikan dukungan merupakan suatu panduan mengenai komitmen dan dukungan atas segala sumber daya yang diperlukan oleh perusahaan (Ann Mooney,2008). Pengetahuan Manajer Akuntansi Manajer Akuntansi juga sering disebut sebagai controller. Gerrion (2009) menyatakan bahwa controller merupakan salah satu anggota manajemen puncak yang berperan aktif dalam perencanaan, pengendalian dan pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi perusahaan secara keseluruhan. Anwar (2012) di dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa pengetahuan manajer memiliki pengaruh positif signifikan pada kesuksesan penerapan sistem informasi akuntansi. Efektivitas Sistem Informasi Akuntansi Secara umum, efektivitas diartikan sebagai alat ukur tercapainya kesuksesan atas tujuan yang ditetapkan. Menurut Siagian (2001:24), efektivitas merupakan sumber daya, 7
K. Indah Ratnaningsih dan I G.N. Suaryana. Pengaruh Kecanggihan Teknologi Informasi...
sarana, dan prasarana yang digunakan pada jumlah yang telah ditentukan untuk menghasilkan barang atas jasa kegiatan yang dilaksanakan. Efektivitas adalah kesuksesan harapan atas hasil yang diperoleh dari pekerjaan yang telah dilakukan (Kristiani,2012). Ompusunggu (2002) memberikan definisi efektivitas sebagai suatu keberhasilan kualitas, kuantitas, dan waktu yang digunakan dan hasil kerja yang telah dicapai. Sistem Informasi Akuntansi Pada Hotel Cecil Gillepsi dalam Widanaputra,dkk. (2009:32) menyebutkan bahwa sistem informasi akuntansi pada hotel secara teori terdiri dari 5 subsistem yaitu (1) Sistem akuntansi utama merupakan sistem akuntansi dalam perusahaan jasa yang terdiri atas formulir atau dokumen, jurnal buku besar,buku pembantu, jurnal, bukti transaksi, dan laporan. Manajemen merancang unsur sistem informasi tersebut menjadi informasi keuangan yang digunakan bagi pihak internal dan eksternal (2) Sistem akuntansi penjualan/piutang merupakan sistem akuntansi yang dirancang untuk mencatat terjadinya transaksi piutang dan berkurangnya piutang. Terjadinya piutang berasal dari penjualan kredit dan menurunnya piutang berasal dari transaksi retur penjualan dan penerimaan kas dari piutang (3) Sistem akuntansi pembelian/hutang, sistem ini dirancang untuk mencatat transaksi terjadinya hutang dan berkurangnya hutang. Terjadinya hutang berasal dari transaksi pembelian kredit dan berkurangnya hutang berasal dari transaksi retur pembelian dan pelunasan hutang (4) Sistem pencatatan waktu dan penggajian, sistem ini dirancang untuk menangani transaksi perhitungan gaji dan upah karyawan serta pembayarannya (5) Sistem produksi dan biaya produksi, sistem ini dirancang untuk mencatat terjadinya order produksi dan mengawasi persediaan produksi perusahaan. Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, teori-teori yang mendukung, dan hasil penelitian sebelumnya, adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu:
8
ISSN: 2302-8556 E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 6.1 (2014):1-16
H1 :
Kecanggihan teknologi informasi berpengaruh positif dan signifikan pada efektivitas sistem informasi akuntansi hotel berbintang di Kabupaten Badung.
H2 :
Partisipasi manajemen berpengaruh positif dan signifikan pada efektivitas sistem informasi akuntansi hotel berbintang di Kabupaten Badung.
H3 :
Pengetahuan manajer akuntansi berpengaruh positif dan signifikan pada efektivitas sistem informasi akuntansi hotel berbintang di Kabupaten Badung.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif yang bersifat asosiatif kausalitas. Penelitian dilaksanakan pada hotel berbintang di Kabupaten Badung.
Jenis data dalam
penelitian ini adalah data kuantitatif yang meliput data skor jawaban kuesioner yang terkumpul. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini tergolong data primer yaitu hasil jawaban kuesioner dari responden. Seluruh manajer akuntansi pada hotel berbintang di Kabupaten Badung digunakan sebagai populasi dalam penelitian ini yang berjumlah 98 orang. Metode penentuan sampel menggunakan metode non probability sampling dengan teknik purposive sampling. Respondennya meliputi manajer akuntansi yang bekerja di hotel bintang 3 dan bintang 4 sehingga sampel berjumlah 51 orang . Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan teknik kuesioner. Analisis regresi linier berganda digunakan sebagai teknik analisis dalam penelitian ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji analisis regresi linear berganda yang dihitung memakai program Statistical Package for The Social Sciences (SPSS). Analisis regresi linear berganda dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh kecanggihan 9
K. Indah Ratnaningsih dan I G.N. Suaryana. Pengaruh Kecanggihan Teknologi Informasi...
teknologi informasi, partisipasi manajemen, dan pengetahuan manajer akuntansi pada efektivitas sistem informasi akuntansi hotel berbintang di Kabupaten Badung. Berikut hasil analisis regresi linear berganda yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Analisis Regresi Linear Berganda
Model (Constant) Kecanggihan teknologi informasii (X1) Partisipasi manajemen (X2) Pengetahuan manajer akuntansi (X3)
Unstandardized Coefficients Std. B Error 1,083 2,525
Standardized Coefficient
0,281
0,112
0,355 0,598
T
Sig.
0,429
0,670
0,312
2,291
0,027
0,163
0,287
2,174
0,036
0,264
0,292
2,264
0,029
Beta
R
0,715
R2
0,511
Adjusted R Square
0,475
F Hitung Signifikansi F
13,943 0,000
Sumber: Data Primer Diolah, 2013 Koefisien Determinasi (Adjusted R Square) Adjusted R square digunakan untuk mengetahui kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Berdasarkan hasil perhitungan SPSS, didapatkan nilai adjusted R square sebesar 0,475. Ini berarti 47,5 persen variabel efektivitas sistem informasi akuntansi dapat dijelaskan oleh variabel kecanggihan teknologi informasi, partisipasi manajemen, dan pengetahuan manajer akuntansi. Sisanya sebesar 52,5 persen variabel efektivitas sistem informasi akuntansi dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian.
10
ISSN: 2302-8556 E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 6.1 (2014):1-16
Hasil Uji Kelayakan Model (Uji F) Uji kelayakan model atau uji F menunjukkan pengaruh secara serempak dari variabel bebas terhadap variabel terikatnya (Utama,2012: 67). Berdasarkan hasil perhitungan reegresi linier berganda menunjukkan bahwa Sig. F = 0,000 < 0,05. Hal ini beararti model yang digunakan dalam penelitian ini adalah layak (fit). Kecanggihan teknologi informasi (X1), partisipasi manajemen (X2), dan pengetahuan manajer akuntansi (X3) secara serempak berpengaruh signifikan terhadap efektivitas sistem informasi akuntansi (Y) pada hotel berbintang di Kabupaten Badung. Hasil Uji Hipotesis (Uji t) Uji hipotesis menggunakan uji t (t-test) untuk mengetaui pengaruh satu variabel bvebas secara individual untuk menerangkan variasi variabel terikat (Ikhsan, 2008:248). Uji ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara individu terhadap variabel terikat. Apabila Sig. < 0,05, maka variabel bebas berpengaruh pada variabel terikat. Pengaruh kecanggihan teknologi informasi (X1) pada efektivitas sistem informasi akuntansi (Y) Berdasarkan hasil olahan data SPSS yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan kecanggihan teknologi informasi memiliki Sig. = 0,027 < α = 0,05 , dengan demikian H 1 diterima. Ini berarti bahwa kecanggihan teknologi informasi secara parsial memberikan pengaruh positif signifikan terhadap efektivitas sistem informasi akuntansi (Y). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Dwitrayani (2012) yang menyatakan bahwa kecanggihan teknologi informasi berpengaruh signifikan terhadap efektivitas sistem informasi akuntansi. Jadi, kecanggihan teknologi informasi perlu dipertimbangkan dalam perencanaan dan pengembangan sistem informasi akuntansi karena kecanggihan teknologi informasi yang tinggi akan meningkatkan kualitas informasi.
11
K. Indah Ratnaningsih dan I G.N. Suaryana. Pengaruh Kecanggihan Teknologi Informasi...
Pengaruh partisipasi manajemen (X2) pada efektivitas sistem informasi akuntansi (Y) Berdasarkan hasil olahan data SPSS yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan partisipasi manajemen memiliki Sig. = 0,036 < α = 0,05 , dengan demikian H2 diterima. Ini berarti bahwa partisipasi manajemen secara parsial memberikan pengaruh yang
positif
signifikan terhadap efektivitas sistem informasi akuntansi (Y). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Kouser et al. (2011) menemukan adanya pengaruh signifikan antara partisipasi manajer terhadap efektivitas SIA. Jadi, keterlibatan manajemen dalam implementasi dan pengembangan sistem informasi akuntansi menjadi satu faktor penting dalam keberhasilan sistem informasi akuntansi untuk menghasilkan ualitas informasi yang tepat waktu, akurat, dan dapat dipercaya. Pengaruh pengetahuan manajer akuntansi (X3) terhadap efektivitas sistem informasi akuntansi (Y) Berdasarkan hasil olahan data SPSS yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan pengetahuan manajer akuntansi memiliki Sig. = 0,029 < α = 0,05 , dengan demikian H3 diterima. Ini berarti pengetahuan manajer akuntansi secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap efektivitas sistem informasi akuntansi (Y). Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Komala (2012) yang membuktikan terdapat pengaruh yang signifikan antara pengetahuan manajer akuntansi dengan efektivitas sistem informasi akuntansi. Jadi, Tingkat pengetahuan seorang manajer akuntansi akan memberikan pengaruh yang kuat terhadap kualitas informasi yang dihasilkan dari sistem informasi akuntansi. Manajer akuntansi dengan pengetahuan yang tinggi terhadap teknik akuntansi dan teknik sistem informasi akuntansi dapat membantu perusahaan dalam menghasilkan informasi yang tepat waktu dan akurat sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai.
12
ISSN: 2302-8556 E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 6.1 (2014):1-16
SIMPULAN DAN SARAN Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah variabel kecanggihan teknologi informasi, partisipasi manajemen, dan pengetahuan manajer akuntansi memberikan pengaruh yang positif dan signifikan pada efektivitas sistem informasi akuntansi hotel berbintang di Kabupaten Badung. Ini memberikan bukti bahwa perusahaan yang memiliki kecanggihan teknologi informasi, partisipasi manajemen, dan pengetahuan manajer yang tinggi akan meningkatkan efektivitas sistem informasi akuntansi perusahaan. Hotel telah menggunakan teknologi yang canggih dalam menunjang aktivitasnya. Keterlibatan Manajemen dalam implementasi dan pengembangan sistem memiliki tingkat partisipasi yang tinggi., begitu juga dengan manajer akuntansi memiliki pengetahuan yang tinggi di bidang akuntansi keuangan, akuntansi manajemen, dan penguasaannya terhadap sistem informasi akuntansi. Saran yang dapat diberikan adalah penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi positif bagi hotel berbintang yang ada di Kabupaten Badung untuk meningkatkan efektivitas sistem informasi akuntansinya. Manajemen perlu mempertahankan dan terus meningkatkan kualitas teknologi informasi yang digunakan sesuai dengan kebutuhan serta mengikuti perkembangan teknologi. Selain itu, keterlibatan manajemen dan pengetahuan manajer akuntansi terus dievaluasi dan ditingkatkan untuk pencapaian tujuan perusahaan secara maksimal. Penelitian selanjutnya disarankan agar memperluas sampel dan menambah variabel lain yang dapat mempengaruhi efektivitas sistem informasi akuntansi diluar variabel yang telah digunakan dalam penelitian ini.
13
K. Indah Ratnaningsih dan I G.N. Suaryana. Pengaruh Kecanggihan Teknologi Informasi...
REFERENSI Alsarayreh M.N., Jawabreh O.A., Jaradat M.F., and Alamro S.A. 2011. Technological Impact on Effectiveness of Accounting Information System (AIS) Applied by Aqaba Tourist Hotels. European Journal of Scientific Research, 59(3), pp: 361-369. Al Eqab, Mahmod., and Dalia Adel. 2013. The Impact of IT Sophistications on The Perceived Usefulness Of Accounting Information Characteristics among Jordanian Listed Companies. International Journal of Business and Social Science. 4(3), pp: 143-155. Ann Mooney, Michael Mahoney, and Barbara Wixom. 2008. Achieving Top Management Support in Strategi Technology Initiatives. Howe School Alliance For Technology Management, 12 (2), pp: 1-3 Anwar, Adli. 2012. Pengaruh Komitmen Organisasional dan Pengetahuan Manajer terhadap Keberhasilan Sistem Informasi Akuntansi dan Dampaknya terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan (Survey pada BUMN di Indonesia). Jurnal SNA. Universitas Pekalongan. Pekalongan. Bodnar, George H. dan William Hopwood S. 2000. Sistem Informasi Akuntansi. Jakarta: Salemba Empat. Cragg, P., Mills.A., Suraweera,T. 2010. Understanding IT Management in SMEs. Electronic Journal Information Systems Evaluation, 13 (1), pp: 27-34. Dwitrayani, Made Christin. 2012. Pengaruh Kecanggihan TI dan Partisipasi Manajemen terhadap Efektivitas Sistem Informasi Akuntansi BPR di Kabupaten Badung. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Udayana Denpasar. Dinas Pariwisata Provinsi Bali. 2012. Data Hotel Bintang 2012. Denpasar,Bali. Ekayani, Ni Nengah Sri., Ghozali, Imam.,dan Zulaekha. 2005. Analisis Kontribusi Nilai Teknologi Informasi Terhadap Efektivitas Proses Bisnis Dan Dinamika Bersaing. Jurnal SNA VIII. h: 820-835. Gerrion, Noreen, Brewer. 2009. Managerial Accounting, 11th Edition. Boston: McGraw Hill Hall, James. A. 2001. Sistem Informasi Akuntansi. Jakarta: Salemba Empat Handayani, Ririn. 2010. Analisis Faktor-Faktor yang Menentukan Efektivitas SI pada Organisasi Sektor Publik. Jurnal Akuntansi Dan Keuangan, 12 (1), h: 26-34. Hussin, H., King. M. and Cragg, P.B. 2002. IT Alignment in Small Firms. European Journal of Information Systems, 11 (1), pp: 108-127. Igbaria, M., Baroudi, J. & Parasuraman, S. (1996). A motivational model of microcomputer usage. Journal of Management Information Systems, 13 (1), pp: 127-143.
14
ISSN: 2302-8556 E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 6.1 (2014):1-16
Ismail, N.A. and King. M. 2007. Factors Influencing the Alignment of Accounting Information Systems in Small and Medium Sized Malaysian Manufacturing Firms. Journal of Information Systems and Small Business, 1 (1-2), pp: 1-19. Ismail, N.A. 2009. Factors Influencing AIS Effectiveness Among Manufacturing Smes: Evidence From Malaysia. The Electronic Journal on Information Systems in Developing Countries, 38 (10), pp: 1-19. Jawabreh, Omar A.A. 2012. The Impact of Accounting Information System in Planning, Controlling and Decisiom Making Processes in Jodphur Hotels. Asian Journal of Finance and Accounting. 4 (1), pp:173-188. Jusup, Al.Haryono. 2005. DasarDasar Akuntansi. Yogyakarta: STIE YKPN. Jogiyanto. 2000. Sistem Informasi Berbasis Komputer. Edisi Kedua. Yogyakarta: BPFE. Kustono, Alwan Sri. 2011. Pengaruh Keahlian Pengguna Terhadap Kinerja Sistem Informasi dengan Variabel Intervening Partisipasi, Kecemasan, Kepuasan, Derajat Penerimaan, dan Ketidakpastian Kerja. Jurnal Ilmiah Ekonomi Manajemen dan Kewirausahaan “Optimal”.5 (1), pp: 3-50. Komala, Adeh Ratna. 2012. The Influence Of The Accounting Manager Knowledge And The Top Management Support To The Accounting Information System And It’s Impact On The Quality Of Accounting Information: Survey In Management Institution Of Zakat In Bandung. 3rd International Conference On Business And Economic Research ( 3rd Icber 2012 ) Proceeding. Kouser, Rehana., Gul e Rana., Farasat Ali Shahzad. 2011. Determinants of AIS Effectiveness: Assessment thereof in Pakistan. International Journal of Contemporary Business Studies, 2 (12), pp: 6-21. Kristiani, Wahyu. 2012 Analisis Pengaruh Efektivitas Teknologi Sistem Informasi Akuntansi Terhadap Kinerja Individual. Jurnal Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma. Mulyadi. 2001. Sistem Informasi Akuntansi. Jakarta: Salemba Empat. Ogah, Idagu Joseph. An Evaluation of the Relevance of Accounting Systems as a Management Decision Tool in Union Bank of Nigeria Plc, Uyo Branch of Akwa Ibom. Greener Journal of Business and Management Business Study, 3 (1), pp: 38-45. Ompusunggu, Halomuan. 2002. Pengaruh Penerapan Sistem Informasi Akuntansi terhadap Efektivitas Pelaksanaan Sistem Pengendalian Internal. Jurnal Akuntansi, 1 (2), h: 1-9. Onaolapo A.A., and Odetayo T.A. 2012. Effect of Accounting Information System on Organi sational Effectiveness. American Journal of Business and Management, 1 (4)., pp: 183-189.
15
K. Indah Ratnaningsih dan I G.N. Suaryana. Pengaruh Kecanggihan Teknologi Informasi...
Putra, Nugraha Pramana. 2012. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Sistem Informasi Akuntansi (Studi Kasus PT. Citra Indonesia Feedmill. Jurnal Ilmiah. Universitas Gunadarma, Jakarta. Raupeliene, Asta. 2003. Development of A Model For Evaluating The Effectiveness of Accounting Information Systems. Journal of Lithuanian University, pp: 339-345. Siagian, Sondang P. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara. Septriani, Evy. 2010. Pengaruh Kinerja Sistem terhadap Kepuasan Pengguna Pada PT.Bank Muamalat Indonesia (Tbk). Jurnal Ilmiah. Universitas Gunadarma, Jakarta. Susilastri., Tanjung, Amris Rusli., Pebrina, Surya. 2010. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Sistem Informasi Akuntansi Pada Bank Umum Pemerintah Di Kota Pekanbaru. Jurnal Ekonomi, 18 (2), h: 121-132. Soudani, S.N. 2012. The Usefulness of an Accounting Information System for Effective Organizational Performance. International Journal of Economics and Finance, 4 (5), pp: 136-145. Widanaputra, A.A.G.P., Herkulanus Bambang Suprasto., Dodik Aryanto., dan M.M Ratna Sari. 2009. Akuntansi Perhotelan (Pende katan Sistem Informasi). Cetakan Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. Widarno, Bambang. 2008. Efektivitas Perencanaan dan Pengembangan Sistem Informasi. Jurnal Akuntansi dan Sistem Teknologi Informasi, 6 (1), h: 1-13. Widjajanto, Nugroho. 2001. Sistem Informasi Akuntansi. Jakarta: Erlangga.
16
Artikel Penelitian
PENGETAHUAN, ASUPAN, STATUS GIZI SISWA DAN MANAJEMEN PENYELENGGARAAN MAKANAN DI SMA NEGERI 2 TINGGIMONCONG KABUPATEN GOWA PROVINSI SULAWESI SELATAN
THE KNOWLEDGE, INTAKE, THE STUDENTS NUTRITION STATUS AND FOOD MANAGEMENT IN SMAN 2 TINGGIMONCONG, GOWA REGENCY, SULAWESI SELATAN PROVINCE Asrina1, Teti1,2, Apni Puspitasari1,3, Carlos Lolo Tonapa1, Djunaedi M.Dachlan1, Yustini4 *E-mail : [email protected] 1
Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar 2 Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe Utara 3 RSUD Massenrengpulu, Kabupaten Enrekang 34 RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar Abstract
Implementation of school meals is one alternative that can be done to overcome the problems associated with food at school-age children. This study aimed to determine how the knowledge, intake, nutritional status, and the management of food at Tinggi moncong’s SMAN 2. Type of researches were descriptive and qualitative survey. Survey conducted qualitative in-depth interviews to determine the management of the food. Samples totaling were 97 people, drawn by simple random sampling. The data was collected primary data collection in the form of a questionnaire concerning the knowledge, intake, and the management of food, as well as secondary data from a general school and the number of students of class X-XI were analyzed by univariate. The results showed that the nutritional status (BMI for age) of respondents categorized as normal / good (89.7%), and nutritional status of very thin (1.0%). Respondents with amounted to sufficient intake of energy 71.1%, higher intake of protein 92.8%, enough intake of fat 55.7%, and adequate intake of KH 91.8%. For quality appearance and taste of the food were good. For the satisfaction of the student, most students are satisfied only on the lunch menu, while for the taste, satisfied students only to the smell of food. The cost analysis did not correspond to the calculation of the cost analysis conducted by researchers. However, the nutritional value of food is in compliance with the existing standard rates. Keywords: knowledge, intake, nutritional status, management operation food
sedangkan status gizi remaja untuk umur 16–18 tahun adalah sangat kurus 2,1%, kurus 10,6%, normal 86,4%, dan gemuk sebesar 0,9%.
Pendahuluan Usia remaja merupakan usia peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada usia remaja, banyak perubahan yang terjadi. Selain perubahan fisik karena bertambahnya otot, bertambahnya jaringan lemak dan tubuh, juga terjadi perubahan hormonal. Perubahan-perubahan itu mempengaruhi kebutuhan gizi dan makanan kelompok remaja.1
Masa remaja merupakan suatu periode dalam rentan kehidupan manusia.Pada kondisi ini, berlangsung proses-proses perubahan secara biologis juga perubahan psikologis yang dipengaruhi berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain masyarakat, teman sebaya, dan juga media massa. Remaja termasuk golongan individu yang sedang mencari identitas diri, mereka suka ikut-ikutan, dan terkagum-kagum pada idola yang berpenampilan menarik. Akibatnya, remaja putri
Data Riskesdas tahun 20101 menunjukkan, bahwa prevalensi status gizi remaja umur 13-15 tahun berdasarkan IMT/U untuk wilayah provinsi Sulawesi Selatan adalah sangat kurus 3,5%, kurus 10,1%, normal 84,8%, dan gemuk 1,6%, 90
Pengetahuan, Asupan, Status Gizi Siswa (Asrina,dkk)
rentan terhadap gangguan makan (eating disorder) karena terobsesi untuk menjaga atau bahkan menurunkan berat badannya.2 Gizi lebih dan obesitas pada remaja berhubungan dengan penyakit degeneratif pada umur yang lebih muda dan kecenderungan remaja obesitas untuk tetap obesitas pada masa dewasa. Merokok dan minum minuman alkohol merupakan bagian dari gaya hidup remaja di kota maupun di desa yang dapat menyebabkan penyakit degeneratif.2
energi, perlu diperhatikan variasi makanan, kesukaan anak, dan jumlah makanan yang disediakan.5 Beberapa penelitian sejenis dalam penyelenggaraan makanan di berbagai institusi, antara lain di rumah sakit, ada 5 dimensi yang mempengaruhi perasaan kepuasan pasien, di antaranya mutu makanan, ketepatan waktu penyajian, reliabilitas pelayanan, temperatur makanan, serta sikap petugas yang menyajikan makanan.6
Banyak hal yang mempengaruhi status gizi anak, di antaranya adalah aktifitas fisik. Anak sekolah pada umumnya berada pada masa pertumbuhan yang sangat cepat dan aktif.Dalam kondisi ini anak harus mendapatkan makanan bergizi dalam jumlah dan mutu yang sesuai dengan kebutuhan serta sesuai dengan karakteristik anak.Kebutuhan gizi untuk golongan ini diutamakan untuk pembentukan dan pemeliharaan jaringan baru serta untuk memenuhi aktifitas fisik yang meningkat. Dengan pemberian gizi yang baik, pertumbuhan berat badan dan tinggi badan akan sesuai.3
Penyelenggaraan makanan institusi dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan keadaan gizi warganya bila institusi tersebut dapat menyediakan makanan yang memenuhi prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan makanan institusi. Prinsip-prinsip itu antara lain menyediakan makanan yang sesuai dengan macam dan jumlah zat gizi yang diperlukan konsumen, disiapkan dengan cita rasa yang tinggi serta memenuhi syarat hygiene dan sanitasi.7 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengetahuan, asupan, status gizi siswa dan manajemen penyelenggaraan makanan di asrama SMA Negeri 2 Tinggimoncong (sekolah andalan Sul-Sel).
Menurut penelitian Ahmawati tahun 2008,4 konsumsi rata-rata zat gizi responden relatif sama pada putra dan putri. Lebih dari separuh responden (51,7%) memiliki tingkat konsumsi energi normal dengan rata-rata konsumsi 2122 kkal, 53,3% tingkat konsumsi protein di atas kecukupan ratarata konsumsi 72 g, 53,3% tingkat konsumsi vitamin A dengan rata-rata konsumsi 540 RE. Sebagian besar responden (96,7%) defisit konsumsi vitamin C dengan rata-rata konsumsi 22,9 mg. 56,7% tingkat konsumsi kalsium normal dengan rata-rata konsumsi 1046,1 mg. Sebesar 65% tingkat konsumsi zat besi normal dengan ratarata konsumsi 24,1 mg. Namun, terdapat 53,3% responden putri mengalami defisit konsumsi zat besi. Sebagian besar responden (75%) memiliki status gizi normal dan 11,6% memiliki status gizi kurus.
Bahan dan Metode Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 2 Tinggimoncong, desa Parigi, kabupaten Gowa, provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian dilakukan pada bulan April tahun 2012. Desain dan Variabel Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif. Adapun variabel dalam penelitian ini adalah pengetahuan gizi, asupan zat gizi, status gizi, mutu hidangan, dan kepuasan. Penelitian mengenai analisis biaya makanan dan nilai gizi bersifat kualitatif dengan variabel asupan energi, zat gizi makro, dan analisis biaya.
Penyelenggaraan makanan disekolah merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan makanan pada anak usia sekolah. Di Amerika Serikat, program penyelenggaraan makanan di sekolah (the national school lunch program) sudah mulai dirintis sejak tahun 1946. Makanan yang disajikan dalam penyelenggaraan makanan harus dapat menyumbangkan energi 1/3 dari total kebutuhan energi anak. Selain kebutuhan
Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X dan XI. Adapunsampel berjumlah 97 orang, yang ditarik dengan metode simple random sampling (acak sederhana)yaitu dengan mengundi anggota populasi (lottery technique). Semua 91
Artikel Penelitian
Tabel 1. Distribusi Asupan Zat Gizi Siswa Zat Gizi Energi Cukup Kurang Protein Cukup Lebih Lemak Cukup Kurang Lebih KH Cukup Kurang Kalsium Kurang Fe Cukup Kurang Lebih Vit.C Kurang
54
n =97
%
69 28
71,1 28,9
7 90
7,2 92,8
24 19
55,7
24,7 19,6
89 8
91,8 8,2
97
100
28 51 18
28,9 52,6 18,6
97
100
data asupan zat gizi dilakukan dengan program “CD Menu” Status gizidianalisis dengan menggunakan WHO antro-plus tahun 2007 . Data harga bahan makanan yang digunakan disajikan dalam bentuk narasi, sedangkan nilai gizi dianalisis dengan software CD Menu disajikan dalam bentuk tabel perhitungan nilai gizi menu persajian makanan dan narasi.
anggota populasi di daftar dan dibuat dalam bentuk secarik kertas kemudian dimasukan ke dalam kotak undian selanjutnya dilakukan pengundian sampai jumlah sampel yang diinginkan terpenuhi. Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder.Data primer diperoleh melalui wawancara langsung menggunakan kuesioner, mengenai pengetahuan, asupan, serta cita rasa makanan, serta wawancara mendalam mengenai manajemen penyelenggaraan makanan dengan pihak pengelolah. Tinggi badan diukur dengan microtoice yang mempunyai tingkat ketelitian 0,1 cm, sedangkan berat badan diukur dengan timbangan injak dengan tingkat ketelitian 0,1 kg. Sementara data sekunder adalah data yang diperoleh dari bagian Tata Usaha sekolah, berupa gambaran umum, visi, misi, tujuan umum sekolah, serta jumlah siswa-siswi kelas X,dan XI.
Hasil Penelitian Karakteristik Siswa Sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak59 responden (60,8%) dan laki-laki 38 responden (39,2%). Responden paling banyak berumur 16 tahun, yaitu 48 responden (49,5%), dan paling banyak berasal dari kelas X, yaitu 51 orang (52,6%). Asupan Zat Gizi Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan asupan energi yang cukup, berjumlah 71,1% (69 siswa), asupan protein yang lebih 92,8% (90 siswa), asupan lemak cukup 55,7% (54 siswa),dan asupan KH yang cukup 91,8% (89 siswa). Sementara itu, untuk asupan Kalsium dan Vitamin C, semua responden memiliki asupan
Analisis Data Analisis data menggunakan program SPSS dengan analisis univariat untuk tiap variabel.Pengolahan
92
Pengetahuan, Asupan, Status Gizi Siswa (Asrina,dkk)
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala dapur, diperoleh bahwa anggaran makan pagi, siang, dan malam sebesar Rp 7.500,00. Biaya ini meliputi biaya makan dalam sehari dengan snack 2 kali, pagi dan sore. Tetapi belum termasuk biaya produksi, tenaga kerja, dan biaya pengadaan alat. Total biaya perminggu menurut hasil wawancara adalah Rp.22.299.500,-.
yang kurang, dan asupan Fe, pada umumnya responden memiliki asupan yang kurang (Tabel I). Status Gizi Status gizi (IMT menurut umur) responden termasuk kategori normal/baik yaitu 89,7% (87 orang), sedangkan yang berstatus gizi sangat kurus 1,0% (1 orang) (Tabel 2).
Analisis Nilai Gizi
Pengetahuan Gizi
Berdasarkan menu minggu pertama, dapat dilihat bahwa nilai energi terbesar didapatkan dari menu hari Jumat yaitu 1750,8 kkal dan yang paling rendah yaitu pada hari Minggu, sebesar 1376,8 kkal. Angka ini didapatkan dari perhitungan nilai gizi lauk pauk, buah, serta kudapan yang disediakan oleh pihak penyelenggara.Namun, perhitungan nilai gizi untuk sayuran dan makanan pokoknya dianalisis berdasarkan rata-rata konsumsi siswa.Protein hewani dan nabati tersedia paling banyak pada menu hari Rabu yaitu 58,36 gr, dan palingrendah pada hari Sabtu yaitu 43,11 gr, padahal hari Minggu para siswa tidak melakukan latihan apapun.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang cukup 95,9% (Tabel 3). Kepuasan Hasil penelitian menunjukkan tingkat kepuasan yang berbeda dari responden pada tiap menu. Untuk menu pagi, diperoleh semua kategori berada kurang dari 3 (<3). Ini berarti, tidak ada responden yang puas terhadap penampilan makanan pada menu pagi. Hampir sama dengan menu makan malam, dari semua aspek, responden hanya puas dengan satu, yaitu tekstur sayuran. Sebaliknya, untuk menu siang, responden tidak puas hanya pada porsi makanan dan tekstur lauk hewani. Hasil penelitian untuk kategori rasa menunjukkan responden hanya merasa puas pada aroma makanan untuk semua menu (Tabel 4).
Pembahasan Dari hasil penelitian, diketahui bahwa rata-rata asupan energi untuk laki-laki sebanyak 2403 kkal (92%AKG), sedangkan untuk perempuan sebesar 2101 kkal (96%AKG). Jikadibandingkan dengan angka kecukupan gizi rata-rata di Indonesia untuk umur 16-19 tahun, maka asupan energi siswa dalam penelitian ini, sudah sesuai dengan rata-rata AKG yang anjurkan di Indonesia, yakni untuk lakilaki 2600 kkal dan untuk perempuan 2200 kkal. Terjadi perbedaan antara jumlah asupan antara laki-laki dan perempuan yang disebabkan karena porsi makan laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan.
Mutu Hidangan Menurut responden, penampilan makanan dari segi warna dan bentuk dinilai cukup baik pada menu pagi (47,4%) dan malam (46,4%), dan menu siang dinilai menarik (57,7%). Dari segi porsi, semua responden menilai sedang pada setiap menu dengan persentase menu pagi 56,7%, siang 61,9%, dan malam 69,1%, dan aspek tekstur semua jenis makanan pada setiap menu, berada pada kategori cukup empuk atau empuk. Selanjutnya untuk kategori rasa, semua responden menyukai aroma makanan di setiap menu, namun lebih banyak menilai dingin pada suhu lauk hewani dan nabati (Tabel 5).
Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya responden memiliki asupan protein yang lebih yaitu 92,8% (90 siswa). Hal ini sejalan dengan penelitian yangdilakukan oleh Dessy Febrianti (2009), bahwa sebagian besar responden
Analisis Biaya 93
Artikel Penelitian
Tabel 2. Distribusi Status Gizi (IMT menurut Umur) Siswa Status Gizi (IMT menurut Umur) Gemuk Normal Kurus Sangat kurus
n = 97
%
4 87 5 1
4,1 89,7 5,2 1,0
Mengenai status gizi, tidak ditemukan masalah yang serius pada status gizi remaja karena persentasi gizi kurang (kurus) dan gemuk masih rendah.Hanya terdapat satu orang siswa dengan status gizi sangat kurus.
(62,5%) mengkonsumsi protein antara 66,7% dan 100% (cukup), sisanya ialah 25% responden mengkonsumsi protein lebih dari 66,7% (kategori lebih) dan 12,5% mengkonsumsi protein kurang dari 100% (kategori kurang). Hal ini disebabkan sebagian besar responden mengkonsumsi makanan sumber protein dalam jumlah yang cukup setiap hari, seperti daging, ayam, telur, tempe, tahu dan bubur kacang hijau. Sementara untuk asupan KH, memiliki hasil yang berbeda, di mana Dessy (2009)8 menyebutkan bahwa mayoritas responden (97,5%) mengkonsumsi KH lebih dari 70%, sisanya ialah responden yang mengkonsumsi KH antara 60-70% (2,5%).
Hasil penilaian mutu hidangan di sekolah dilakukan dengan mengikuti menu selama 7 hari. Sekolah tidak memiliki siklus menú, disebabkan karena pemenuhan bahan makanan yang mereka butuhkan bersifat musiman. Berdasarkan penelitian yang dilakukan selama 2 minggu, tidak ada siklus menu yang berulang pada sekolah. Hasil penelitian tingkat kepuasan terhadap penampilan makanan, menunjukkan bahwa tidak ada responden yang puas terhadap menu makanpagi. Untuk menu makan siang, 65% responden menyatakan puas terhadap warna makanan. Hal ini sejalan dengan penelitian Gobel Sri (2011)9 yang menyatakan bahwa warna makanan yang menarik atau kombinasi warna yang menarik antara lauk hewani, nabati, dan sayuran akan meningkatkan kepuasan.
Selain itu, didapatkan bahwa semua responden memiliki asupan vitamin C yang kurang. Jika asupan vitamin C semua responden dirata-ratakan, maka dapat diketahui jumlah untuklaki-laki sebesar 29,5 mg sedangkan untuk perempuan 32,3 mg. Kurangnya asupan vitamin C disebabkan karena responden kurang mengkonsumsi buah serta sayuran.Begitu juga dengan Fe (52,6%). Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa penyebabnya, adalah responden yang kurang mengkonsumsi daging yang dikenal mempunyai sistem penyerapan yang baik (besi heme) dibandingkan dengan zat besi yang bersumber dari sayur-sayuran (besi non-heme) yang paling sering dikonsumsi oleh responden. Kurangnya konsumsi daging dan ikan disebabkan karena kondisi geografis sekolah yang tidak mendukung untuk menyediakan bahan makanan tersebut secara rutin. Hal ini dilihat dari komposisi susunan menu yang umumnya lauk hewani diberikan hanya 2x seminggu.
Demikian pula dengan rasa makanan, hasil penelitian menunjukkan bahwa responden puas terhadap aroma makanan pada makan pagi (90%), siang (96%), dan malam (92,8%). Pihak sekolah menyediakan anggaran makanan sebesar Rp.7.500,-/siswa.Selanjutnya, untuk penyelenggaraan makanan, sekolah mengeluarkan biaya belanja sebesar Rp. 22.299.500,-.Dari analisis biaya ini, diperolehanggaran yang seharusnya disediakan oleh pihak sekolah sebesar Rp. 10.619,-, untuk tiga kali makan ditambah dengan snack. Tetapi, jumlah ini belum termasuk dengan biaya produksisebesar 20% dan biaya tenaga pembantu sebesar 10%. Sehingga jika diperhitungkan segala biaya penyelenggaraan
Hasil analisis pengetahuan tentang gizi menunjukkan bahwa hampir semua responden telah memiliki pengetahuan yang cukup (95,9%). 94
Pengetahuan, Asupan, Status Gizi Siswa (Asrina,dkk)
Tabel 3. Distribusi Status Gizi berdasarkan Pengetahuan Siswa Pengetahuan
Kurang Cukup
Sangat Kurus n % =1 =1 0 0,0 1 1,1
Status Gizi Over weight % n % = 5,15 =4 = 4,12 0,0 0 0,0 5,3 4 4,3
Kurus n =5 0 5
Normal n % =87 =89,6 4 100,0 83 89,2
Total n % =97 =100 4 93
4,1 95,9
menunjukkan, jumlah anggaran yang disediakan (Rp.7.500,- sehari dengan 3 kali makan ditambah dengan snack 2 kali), tidak sesuai dengan perhitungan analisis biaya yang dilakukan oleh peneliti. Analisis gizi terhadap penyelenggaraan makanan di asrama SMA Negeri 2 Tinggimoncong memiliki nilai gizi yang sesuai dengan standar harga yang disajikan. Disarankan kepada pihak sekolah agar lebih memperhatikan gizi menu yang disediakan agar dapat memenuhi asupan zat gizi siswa, terutama asupan vitamin dan mineral. Selain itu, perlu adanya variasi menu makanan setiap hari, agar siswa tidak jenuh. Diperlukan manajemen pengelolaan keuangan yang baik, agar penyelenggaraan makanan sesuai dengan standar penyelenggaraan makanan di asrama pada umumnya, termasuk pengaturan siklus menu.
makanan ini, maka jumlah yang harus dibebankan pada siswa-siswi sekolah, adalah sebesar Rp. 15.000,- perorang. Berdasarkan menu minggu pertama di asrama,dapat dilihat bahwa nilai energi terbesar didapatkan dari menu hari Jumat yaitu1750,8 kkal dan yang paling rendah yaitu pada hari Minggu, sebesar 1376,8 kkal. Hal ini didapatkan dari perhitungan nilai gizi lauk pauk, buah dan kudapan yang disediakan oleh pihak penyelenggara, namun perhitungan nilai gizi untuk sayuran dan makanan pokoknya dianalisis berdasarkan rata-rata konsumsi siswa siswi. Protein hewani dan nabati tersedia paling banyak pada menu hari Rabu yaitu 58,36 gr dan paling rendah pada hari Sabtu yaitu 43,31 gr, padahal hari Minggu para siswa-siswi tidak melakukan latihan apapun. Hal ini secara langsung dapat mempengaruhi kemampuan belajar dan aktifitas lain para siswa dan siswi pada saat mereka berlatih.
Daftar Pustaka 1. Badan Litbangkes Departemen Kesehatan RI. Riskesdas. Provinsi Sulawesi Selatan. 2. Anonim. Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Praktek Gizi Remaja Kota dan Kab.Bogor. IPB. Tersedia di: http://repositori.IPB.ac.id. Diakses pada 29 Februari 2012. 3. Widyastuti S., Soedjatmiko.,& Agus F. Growth and Development Profile of Children at Two Day Care Centers in Jakarta. Pediatrica Indonesiana 2005;41(11); 27-59. 4. Ahmawati. Konsumsi Pangan, Status Gizi, dan Prestasi Belajar pada Siswa-Siswi SMA AsSalam Surakarta. 2008. Tersedia di:http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/ 1389. Diakses pada 1 maret 2012. 5. Mahan LK, Stump SE. Krause’s Food, Nutrition, & Diet Therapy 11th Edition. USA : Elsevier.2004. 6. Rezeki, Sri. Pengaruh Pelayanan Makanan terhadap Kepuasan Pasien Rawat Inap di RSUD
Kesimpulan dan Saran Pada umumnya responden memiliki asupan energi, lemak, dan KH yang cukup, asupan protein yang lebih, vitamin C dan mineral yang kurang. Pengetahuan responden pada umumnya cukup, dengan status gizi normal/baik. Untuk kualitas penampilan makanandan rasa makanan pada umumnya baik. Untuk kepuasan siswa, sebagian besar siswa merasa puas pada menu makan siang, sementara untuk menu makan malam, siswa hanya puas terhadap tekstur sayuran. Untuk rasa, siswa menyatakan puas terhadap aroma makanan pada setiap menu. Hasil analisis biaya di sekolah
95
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.2, Februari 2013 : 90-97
di SMA Negeri Ragunan Jakarta. Bogor.2009.Tersediadi:http://repository.ipb.ac.i d/handle/123456789. Diakses pada 1 juni 2012. 9. Gobel Sri, dkk. Menu Pilihan Diet Nasi yang Disajikan Berpengaruh terhadap Tingkat Kepuasan Pasien VI di RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 2011: 7 (3): 1-10.
Kab. Aceh Tamiang(Tesis). Medan: Universitas Sumatera Utara: 2011. 7. Nursiah. A. Mukrie, dkk. Manajemen Pelayananan Gizi Institusi Dasar. Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Gizi Pusat Bekerjasama dengan AKZI Depkes R.I. Jakarta, 1990. 8. Desi Febrianti. Penyelenggaraan Makanan, Tingkat Konsumsi dan Analisis Preferensi Atlet
Tabel 4. Distribusi Siswa terhadap Kepuasan Makanan yang Dikonsumsi
Tingkat Kepuasan
Penilaian Menu Pagi Kategori n
%
Menu Siang kategori N %
Menu Malam Kategori n %
Penampilan makanan Warna makanan
<3
52
53,6%
≥ 3
63
65
< 3
50
51,5
Bentuk makanan
< 3
53
54,6
≥ 3
Porsi makanan
< 3
91
94
<3
60
62
< 3
55
56,7
70
72,2
< 3
84
Tekstur nasi
< 3
56
57,7
≥ 3
86,6
49
50,5
< 3
57
58,8
Tekstur lauk hewani
0
0
0
< 3
56
57,7
< 3
66
68
Tekstur lauk nabati
< 3
53
54,6
≥ 3
52
53,6
0
0
0
0
0
0
≥ 3
59
60.8
≥ 3
62
64
Aroma makanan
≥ 3
93
96
≥ 3
93
96
≥ 3
90
92,8
Suhu nasi
< 3
83
85,6
< 3
91
93,8
< 3
94
97
Suhu lauk hewani
0
0
0
< 3
92
94,8
< 3
96
99
Suhu lauk nabati
< 3
93
96
< 3
80
82,5
0
0
0
0
0
0
< 3
90
92,8
< 3
93
96
Tekstur sayuran Rasa makanan
Suhu sayuran Ket :>3 : Puas <3 : Tidak Puas 0 : Makanan tidak tersedia
96
Pengetahuan, Asupan, Status Gizi Siswa (Asrina,dkk) Tabel 5. Distribusi Siswa terhadap Mutu Hidangan yang Dikonsumsi Aspek
Kategori
Penampilan Makanan Membosankan Cukup Warna makanan Menarik Sangat menarik Membosankan Cukup Bentuk makanan Menarik Sangat menarik Kecil Porsi makanan Sedang Besar Keras Cukup empuk Tekstur nasi Empuk Terlalu empuk Keras Tekstur lauk Cukup empuk hewani Empuk Terlalu empuk Keras Tekstur lauk Cukup empuk Empuk nabati Terlalu empuk Keras Cukup empuk Tekstur sayuran Empuk Terlalu empuk Rasa Makanan Sangat tidak suka Tidak suka Aroma makanan Suka Sangat suka Dingin Hangat Suhu Nasi Panas Sangat panas Dingin Suhu Lauk Hangat Hewani Panas Dingin Hangat Suhu lauk nabati Panas Sangat panas Dingin Hangat Suhu sayuran Panas Sangat panas
Menu Pagi n %
Menu Siang n %
6 46 43 2 5 48 42 2 36 55 6 2 54 41 0 0 0 0 0 1 52 43 1 0 0 0 0
6,1 47,4 44,3 2,1 5,2 49,5 43,3 2,1 37,1 56,7 6,2 2,1 55,7 42,3 0 0 0 0 0 1,03 53,6 44,3 0,14 0 0 0 0
2 32 56 7 2 35 53 7 10 60 27 1 47 49 1 5 51 40 1 6 34 42 1 1 28 67 1
2,1 33 57,7 7,2 2,1 36,1 54,6 7,2 10,3 61,9 27,8 1,03 48,5 50,5 1,03 5,2 52,6 41,2 1,03 6,2 35,1 43,3 1,03 1,03 28,9 69,1 1,03
5 45 45 1 5 50 41 2 17 67 13 3 54 40 1 7 59 30 1 0 0 0 0 7 37 52 2
5,2 46,4 46,4 1,03 5,2 51,5 42,3 2,1 17,5 69,1 13,4 3,1 55,7 41,2 1,03 7,2 60,8 30,9 1,03 0 0 0 0 7,2 38,1 53,6 2,1
0 3 89 5 40 42 14 0 0 0 0 65 28 4 0 0 0 0 0
0 3,1 91,8 5,2 41,2 43,3 14,4 0 0 0 0 67 29 4,1 0 0 0 0 0
1 3 79 14 26 65 6 0 49 42 5 48 31 3 0 26 64 6 1
1,03 3,1 81,4 14,4 26,8 67,01 6,2 0 50,5 43,2 5,2 49,4 32 3,1 0 47,4 66 6,2 1,03
1 17 86 3 49 45 3 0 71 25 1 0 0 0 0 40 54 3 0
1,03 17,5 88,7 3,1 50,5 46,3 3,1 0 73,2 25,8 1,03 0 0 0 0 41,2 57 3,1 0
Ket : 0 : makanan tidak tersedia
97
Menu Malam n %
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.2, Februari 2013 : 90-97
98
Reka Integra – ISSN : 2338-5081
Jurnal Online Institut Teknologi Nasional
©Jurusan Teknik Industri Itenas | No.01 | Vol. 02 Juni 2014
Pengukuran Performansi Berdasarkan MBCFPE Pada Kategori Proses Pengukuran, Analisis dan Manajemen Pengetahuan Serta Kategori Hasil Item Kinerja Anggaran, Keuangan dan Pasar Di Perguruan Tinggi X* Devi Lisnawati, Ambar Harsono, Sugih Arijanto Jurusan Teknik Industri, Institut Teknologi Nasional (Itenas), Bandung
Email: [email protected] ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah mengukur kinerja salah satu kategori dari 6 kategori Malcolm Baldrige Criteria for performance Excellence (MBCfPE) pada Perguruan Tinggi X agar mengetahui level kinerja secara menyeluruh, untuk mengingkatkan daya saing. Tahapan pengukuran dilakukan dengan membuat dokumen aplikasi, review proses dengan ADLI dan membuat review hasil dengan LeTCI guna memperoleh strength dan OFI. Kemudian membuat scoring untuk kedua review dan akhirnya didapatkan score untuk kategori yang diteliti sebesar 33.75 poin dari 90 poin dan score dari seluruh kategori adalah sebesar 350 poin dari 1000 poin, sehingga kinerja perguruan tinggi X berada pada level “early results”. Kata kunci: Pengukuran Kinerja, Malcolm Baldrige, MBCfPE ABSTRACT
The purpose of this paper is to measuring performance one of the categories from the 6 categories of Malcolm Baldrige Criteria for performance Excellence (MBCfPE) at College X for knowing thoroughly the performance level, for improving competitiveness. Stages of the measurement is done by making the application documents, the review process with ADLI and makes review results with LeTCI in order to gain strength and OFI. Then make the scoring for both review and eventually obtained score to a category examined by 33.75 points from 90 points and score from all categories amounted to 350 points from 1000 points, so the performance of College X is at the level of "early results". Keywords: Performance Measurement, Malcolm Baldrige, MBCfPE * Makalah ini merupakan ringkasan dari Tugas Akhir yang disusun oleh penulis pertama dengan pembimbingan penulis kedua dan ketiga. Makalah ini merupakan draft awal dan akan disempurnakan oleh para penulis untuk disajikan pada seminar nasional dan/atau jurnal nasional.
Reka Integra - 57
Lisnawati, dkk
1. PENDAHULUAN 1.1 Pengantar Pada saat ini agar suatu organisasi mampu bersaing maka organisasi tersebut perlu melakukan pengukuran kinerja untuk melakukan perbaikan pada aspek yang memerlukan perbaikan. Pada penelitian ini pengukuran kinerja yang digunakan adalah Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excellence (MBCfPE), metode ini digunakan karena memiliki kategori penilaian yang menyeluruh sehingga perbaikan dapat dilakukan diberbagai aspek penting organisasi. Menurut Indonesian Quality Award Foundation (IQAF), MBCfPE merupakan alat pemandu pengukuran kinerja untuk mengetahui seberapa ekselen kinerja organisasi yang dapat digunakan untuk organisasi profit ataupun non-profit. Level kinerja ekselen tersebut dinilai berdasarkan 7 kategori diantaranya kepemimpinan; perencanaan staregis; fokus pelanggan; pengukuran, analisis dan manajemen pengetahuan; fokus tenaga kerja, fokus operasi dan hasil (haisl proses pembelajaran siswa, hasil fokus pelanggan, hasil fokus tenaga kerja, hasil kepemimpinan dan tata kelola dan hasil penganggaran, keuangan dan pasar). MBCfPE dapat membantu Perguruan Tinggi X dalam memperbaiki kinerjanya untuk mencapai level kinerja ekselen berdasarkan MBCfPE. Pengukuran kinerja kategori pengukuran, analisis dan manajemen pengetahuan perlu dilakukan agar Perguruan Tinggi X dapat memperbaiki hal mendasar seperti adanya kesesuaian pengumpulan dan penyebaran data pada setiap level kerja serta agar data-data yang akan diperlukan pada proses di Perguruan Tinggi X akan dapat terorganisir lebih baik. Dengan demikian proses kerja yang terjadi di Perguruan Tinggi X akan berjalan lebih baik, lancar dan lebih effektif. 1.2 Identifikasi Masalah Daya saing merupakan kunci keberhasilan dalam mempertahankan eksistensi suatu organisasi seperti Perguruan Tinggi X. Daya saing akan berhasil dipertahankan jika perusahaan selalu menyadari tingkatan level kinerjanya untuk melakukan perbaikanperbaikan yang berarti. Jadi Perguruan Tinggi X akan dapat mempertahankan daya saingnya jika Perguruan Tinggi X mengetahui tingkal level kinerjanya, namun pada kenyataannya terdapat dugaan bahwa Perguruan Tinggi X belum mengetahui tingkat level kinerjanya. Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka Perguruan Tinggi X perlu melakukan pengukuran kinerja dengan menggunakan metode MBCfPE agar Perguruan Tinggi X dapat mengetahui tingkatan level kinerja dan kemudian melakukan perbaikan diseluruh aspek yang diperlukan. Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan dokumen aplikasi dari proses pengukuran, analisis dan manajemen pengetahuan serta menghasilkan usulan untuk mempertahankan strength dan perbaikan Opportunity for Improvement (OFI) di Perguruan Tinggi X berdasarkan hasil pengukuran kinerja pada kategori pengukuran, analisis dan manajemen pengetahuan dengan menggunakan metode MBCfPE. Pengukuran Kategori MBCFPE lainnya dilakukan oleh tim, diantaranya kepemimpinan (Ismoyojati; 2013), perencanaan strategis (Prayitno; 2013), fokus pelanggan (Fikri; 2013), fokus tenaga kerja (Ratum; 2013), fokus operasi (Wardiani; 2013) dan kategori hasil dilakukan oleh seluruh tim.
Reka Integra - 58
Pengukuran Performansi Berdasarkan MBCFPE Pada Kategori Proses Pengukuran, Analisis dan Manajemen Pengetahuan Serta Kategori Hasil Item Kinerja Anggaran, Keuangan dan Pasar Di Perguruan Tinggi X Bandung
2. STUDI LITERATUR 2.1 Pengukuran Kinerja Pengukuran kinerja adalah bagian dari analisa atau diagnosa terhadap proses untuk mengidentifikasi aktivitas mana yang diprioritaskan untuk diperbaiki. (Blog Trisakti ; 2012). Pada tahun 2002 Amaratunga dan David dalam Wikipedia menyatakan bahwa fungsi utama dari sistem pengukuran kinerja adalah untuk mengontrol operasi dalam organisasi. Disamping tujuan utama, pengukuran kinerja juga memiliki beberapa manfaat diantaranya mengevaluasi, mengendalikan, menganggarkan, memotivasi, merayakan, untuk bisa Belajar dan mengembangkan. Pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excellence (MBCfPE), Balance Scorecard dan Six Sigma. 2.2 Malcolm Baldrige Criteria For Performace Excellence (MBCFPE) Malcolm Baldrige Criteria for Performace Excellence (MBCfPE) merupakan salah satu alat
yang dapat digunakan untuk mendiagnosa dan mengevaluasi kinerja organisasi atau unitunit kerja baik yang berorientasi profit atau non-profit (Letmi-ITB;2012). MBCfPE dikembangkan dengan beberapa tujuan (Tumpal Siregar-IQAF;2008), diantaranya membantu organisasi dalam memperbaiki kinerja, memperbaiki kinerja proses-proses, kapabilitas dan hasil-hasil organisasi, memfasilitasi komunikasi dan bernagi pengalaman dan alat untuk pemahaman dan pengelolaan kinerja baik pada tingkat organisasi ataupun nasional. Pada dasarnya metode untuk memeperbaiki kinerja tidak hanya Malcolm Baldrige Criteria for Performace Excellence (MBCfPE), tetapi terdapat beberapa alasan dari penggunaan Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excellence (MBCfPE) (Jurnal online Kuspijani-ITS), diantaranya kerangka kategori yang fleksibel, kategori yang inklusif, kategori berfokus pada persyaratan umum, kategori yang Adaktif, kebaruan Kategori.
Malcolm Baldrige Criteria for Performace Excellence (MBCfPE) dibangun berdasarkan
landasan dari 11 nilai inti dan konsep berikut (IQAF;2011-2012) yaitu kepemimpinan visioner, keunggulan yang dikendalikan pelanggan, pembelajaran organisasi dan pribadi, menghargai karyawan dan mitra kerja, ketangkasan, berfokus masa depan, mengelola untuk inovasi, manajemen berdasarkan fakta, tanggung jawab sosial, berfokus pada hasil-hasil dan penciptaan nilai dan perspektif sistem.
Pengukuran kinerja dengan menggunakan metode Malcolm Baldrige Criteria for Performace Excellence (MBCfPE) didasarkan pada 7 kategori kinerja ekselen, dintaranya kepemimpinan; perencanaan staregis; fokus pelanggan; pengukuran, analisis dan manajemen pengetahuan; fokus tenaga kerja, fokus operasi dan hasil.
2.3 Profil Organisasi Profil organisasi adalah potret organisasi yang menetapkan konteks bagaimana organisasi dioperasikan atau dijalankan (IQAF;2011-2012). Lingkungan, tata hubungan kerja utama, tantangan serta keunggulan strategis berfungsi sebagai pemandu arah sistem manajemen kinerja organisasi. Profil organisasi terdiri dari dua bagian utama, yaitu: deskripsi organisasi dan tantangan-tantangan organisasi. Reka Integra - 59
Lisnawati, dkk
2.4 Knowledge Management Manajemen pengetahuan adalah kumpulan perangkat, teknik, dan strategi untuk mempertahankan, menganalisis, mengorganisasi, meningkatkan, dan membagikan pengertian dan pengalaman. Tujuan dari manajemen pengetahuan adalah meningkatkan kemampuan organisasi untuk melaksanakan proses inti lebih efisien. Manajemen pengetahuan diterapkan oleh beberapa organisasi karena organisasi tersebut memiliki motivasi-motivasi sebagai berikikut membuat pengetahuan terkait pengembangan produk dan jasa menjadi tersedia dalam bentuk eksplisit. mencapai siklus pengembangan produk baru yang lebih cepat. memfasilitasi dan mengelola inovasi dan pembelajaran organisasi. mengelola lingkungan bisnis dan memungkinkan para karyawan untuk mendapatkan pengertian dan gagasan yang relevan terkait pekerjaan mereka dan mengelola modal intelektual dan aset intelektual di tempat kerja. (Wikipedia;2012). Dalam Wikipedia, Birkinsaw dan Cut Zurnali (2008) juga menggaris bawahi tiga keadaan yang sangat memengaruhi berhasil atau tidaknya knowledge management yaitu: penerapannya tidak hanya menghasilkan pengetahuan baru, tetapi juga untuk mendaurulang pengetahuan yang sudah ada, teknologi informasi belum sepenuhnya bisa menggantikan fungsi-fungsi jaringan sosial antar anggota organisasi. Dan sebagian besar organisasi tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya mereka ketahui, banyak pengetahuan penting yang harus ditemukan lewat upaya-upaya khusus, padahal pengetahuan itu sudah dimiliki sebuah organisasi sejak lama. 2.5 Sistem Penilaian Penilaian pada Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excellence (MBCfPE) didasarkan pada dua dimensi, yaitu proses dan hasil. Organisasi yang menggunakan Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excellence (MBCfPE). Penilaian Proses mengacu pada metode yang digunakan dan diperbaiki oleh organisasi dalam menjawab persyaratan bidang pada kategori 1-6. Empat faktor yang digunakan untuk mengevaluasi proses sebagai berikut (IQAF ;2011-2012) Approach, Deployment, Learning dan Integration. Penilaian proses terlebih dahulu dilakukan dengan menggunakan sistem KPKU (Kriteria Pengukuran Kinerja Unggul) Jasa Marga yang kemudian dikonversi kedalam sistem IQAF. Proses konversi dapat dilakukan dengan cara seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Proses Konversi KPKU – IQAF Nilai KPKU Nilai IQAF 1
0% Atau 5%
2
10%, 15%, 20% Atau 25%
3
30%, 35%, 40% Atau 45%
4
50%, 55%, 60% Atau 65%
5
70%, 75%, 80% Atau 85%
6
90%, 95% Atau 100%
Penilaian pada hasil mengacu pada output dan keluaran (Outcomes) organisasi dalam persyaratan di kategori 7. Empat faktor yang digunakan untuk mengevaluasi hasil, diantaranya (IQAF; 2011-2012) Level, Trend, Comparative dan Integration. Reka Integra - 60
Pengukuran Performansi Berdasarkan MBCFPE Pada Kategori Proses Pengukuran, Analisis dan Manajemen Pengetahuan Serta Kategori Hasil Item Kinerja Anggaran, Keuangan dan Pasar Di Perguruan Tinggi X Bandung
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Identifikasi Masalah Masalah yang diangkat pada penelitian tugas akhir ini yaitu mengenai Perguruan Tinggi X yang diduga belum mengetahui tingkat level kinerjanya sehingga perlu dilakukan pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excellent (MBCfPE). 3.2 Studi Literatur Studi literatur merupakan suatu tahap penelitian yang membantu dalam pencarian solusi. Studi literatur yang digunakan dapat berupa teori, metode yang dapat membantu untuk melakukan pengukuran kinerja. Studi literatur pun digunakan untuk melakukan analisis terhadap hasil dari penelitian ini. Literatur yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dalam penelitian ini adalah Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excellent (MBCfPE). 3.3 Pengumpulan Data Tahap ini merupakan tahap untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam penyelesaian penelitian tugas akhir. Pada pelaksanaannya data-data yang dibutuhkan tersebut didapatkan dengan menggunakan wawancara serta melakukan pemeriksaan terhadap dokumen. Daa-data yang diperlukan berasal pada criteria requirement yang terdapat pada buku IQAF versi pendidikan Tahun 2011-2012. 3.4 Pembuatan Profil Organisasi dan Dokumen Aplikasi Profil organisasi berisi tentang lingkungan operasi, tata-hubungan penting organisasi, lingkungan persaingan dan konteks strategis, serta pendekatan untuk perbaikan kinerja organisasi. Profil organisasi dibuat secara bersama oleh tim berdasarkan criteria requirement profil yang terdapat pada buku IQAF versi pendidikan Tahun 2011-2012. Dokumen aplikasi yang dibuat pada tahap ini terdiri dari dokumen aplikasi proses pengukuran, analisis dan manajemen pengetahuan serta dokumen aplikasi hasil anggaran, keuangan dan pasar. Dokumen aplikasi proses dibuat dengan menjawab criteria requirement pada buku IQAF 2011-2012, yang dibantu dengan menggunakan worksheet pada buku John Latham.
Review Review yang dibuat pada tahap ini terdiri dari review proses yang dilakukan dengan review ADLI (Approach, Deployment, Learning, Integration) serta review hasil yang dilakukan dengan review LeTCI (Level, Trend, Comparisons, Integration ). Review ADLI dilakukan sesuai format pada Tabel 2 sedangkan review LeTCI dilakukan sesuai format Tabel 3.
3.5
Tabel 2. Review ADLI Key Factor
Strengths / OFI
As Evidence By
A
D
L
I
No 4.1.a ... 4.2.b
Reka Integra - 61
Kriteria
Requirement
Link
Lisnawati, dkk
Tabel 3. Review LeTCI Lagging
EQUAL
Comparison (Competitor / Bencmark)
Leading
Advers
C
Flat
Sustain
Favourable
T
Poor
Good
>= 3 th
EVIDENT
Le
Excellent
STRENGTHS/OFI
< 3 th
Periode
I
Requirements
3.6 Scoring Setelah tahap review ADLI (Approach, Deployment, Learning, Integration) dan review LeTCI (Level, Trend, Comparisons, Integration), langkah selanjutya adalah melakukan scoring dengan panduan penilaian proses dengan menggunakan paduan penilaian KPKU seperti yang kemudian dikonversi panduan penilaian IQAF. Sedangkan panduan penilaian hasil dilakukan sesuai panduan penilaian pada buku IQAF. 3.7 Analisis Tahap ini merupakan proses analisis terhadap hasil review ADLI (Approach, Deployment, Learning, Integration) dan review LeTCI (Level, Trend, Comparisons, Integration) untuk mendapatkan most strength dan most OFI. Selain itu dilakukan analisis terhadap hasil pengukuran kinerja yang pernah dilakukan oleh Perguruan Tinggi X, analisis kategori pengukuran, analisis dan manajemen pengetahuan dan analisis terhadap score keseluruhan. 3.8 Kesimpulan Dan Saran Usulan perbaikan yang diberikan kepada Perguruan Tinggi X berdasarkan hasil penilaian kinerja organisasi. Kinerja organisasi ini dilihat berdasarkan tujuh kategori termasuk kategori proses dan kategori hasil. Usulan perbaikan diberikan agar Perguruan Tinggi X melakukan tindakan perbaikan sehingga kinerja Perguruan Tinggi X menjadi lebih baik dan mampu bersaing kedepannya. 4. PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA 4.1 Pengumpulan Data Proses pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara kepada pihak-pihak terkait diantaranya Ex-Rektor, Wakil Rektor Bidang Keuangan dan Umum, Kepala Biro Akademik, Kepala Bagian Biro Perencanaan dan Kerjasama, Kepala Lembaga Penjaminan Mutu, Tim Penyususn Sistem Informasi Perguruan Tinggi X, Kepala Unit TIK serta melakukan pemeriksaan dokumen terhadap Renstra. Pengumpulan data dilakukan dengan membuat profil organisasi, dokumen aplikasi proses dan dokumen aplikasi hasil. Pembuatan Profil organisasi membutuhkan data-data mengenai program dan layanan pendidikan, visi dan misi, profil tenaga kerja, aset, persyaratan regulasi, struktur organisasi, siswa dan stakeholder, pemasok dan mitra, posisi persaingan, perubahan daya saing, data pembanding, konteks strategis dan sistem perbaikan kinerja. Sedangkan untuk pembuatahn dokumen aplikasi proses dibutuhkan data-data mengenai pengukuran kinerja, data pembanding, data pelanggan, kelincahan pengukuran, analisis dan tinjauan kinerja, perbaikan kinerja, kinerja kedepan, perbaikan terus menerus dan inovasi, sifat data dan informasi, ketersediaan data dan informasi, manajemen pengetahuan, sifat hadware dan software, pencegahan untuk mengatasi keadaan darurat, dan dalam Reka Integra - 62
Pengukuran Performansi Berdasarkan MBCFPE Pada Kategori Proses Pengukuran, Analisis dan Manajemen Pengetahuan Serta Kategori Hasil Item Kinerja Anggaran, Keuangan dan Pasar Di Perguruan Tinggi X Bandung
pembuatan dokumen aplikasi hasil dibutuhkan data-data hasil pengukuran kinerja keuangan dan pasar dari Perguruan Tinggi X.
Review 4.2 Proses Review yang dilakukan terdiri dari review proses yang dibuat berdasarkan dokumen aplikasi proses dan review hasil yang dibuat berdasarkan dokumen aplikasi hasil. 4.2.1 Review dan Scoring Poses Review proses pengukuran , analisis dan manajemen pengetahuan dilakukan dengan menggunakan ADLI dan berdasarkan review ADLI, contoh review ADLI yang dibuat terdapat pada Tabel 4 sedangkan scoring proses pengukuran, analisis dan manajemen pengatahuan terdapat pada Tabel 5. Tabel 4. Contoh Review ADLI Key Factor
Strengths / OFI
As Evidence By
Menyeleksi --> Strength : Perguruan Tinggi X telah memiliki metode dalam melakukan penyeleksian data dan informasi untuk pengukuran kinerja dengan cara mengidentifikasi ukuran-ukuran kinerja yang ada dan metode tersebut dilakukan oleh setiap unit, dari proses penyeleksian tersebut dilakukan suatu penyempurnaan terhadap sistem pengukuran yaitu adanya sistem manajemen kinerja yang dibentuk pada tahun 2013 oleh LPM. Upaya yang telah dilakukan mengakibatkan Perguruan Tinggi X mendapatkan data dan informasi yang benar bagi pengukuran kinerja sehingga hasil dari pengukuran kinerja dapat mendukung pengambilan keputusan dengan benar.
A D L
I
Penyeleksian data dan informasi dilakukan untuk pengukuran kinerja pada proses-proses bisnis Perguruan Tinggi X yakni kinerja akademik, kinerja dosen, kinerja keuangan, kinerja sarana dan prasaran serta kinerja karyawan. Hasil dari penyeleksian data dan informasi tersebut terlaksananya √ pengukuran-pengukuran kinerja diantaranya hasil kinerja dosen , hasil kinerja karyawan,hasil kinerja proses pembelajaran dan hasil kinerja sarana dan prasarana, hasil kinerja keuangan. Hasil pembelajaran dari proses penyeleksian data dan infromasi dengan adanya sistem majemen kinerja.
√
√
√
5
4
3
2
No
Kriteria Requirement
Bagaimana Anda menyeleksi, mengumpulkan, menyelaraskan dan mengintegrasikan data dan informasi untuk menelusuri 4.1.a.1(1) operasi harian dan untuk menelusuri kinerja menyeluruh dari organisasi termasuk kemajuannya relatif dibandingkan dengan sasaran strategis dan rencan kerja?
Link
2.2.a.5, 3.1.a.1, 3.1.a.2
Tabel 5. Rekapitulasi Penialian No 4.1a 4.1b 4.1.c 4.1 4.2a 4.2b 4.2
A 3-4 4 3 3-4 3-4 3 3-4
D 3-4 3-4 3 3-4 3 3 3
L 3 2-3 2-3 2-3 2-3 2 2-3
I 2 1-2 1-2 2 2 1 1-2
Berdasarkan nilai scoring dengan sistem KPKU pada Tabel 1, maka dapat diketahui bahwa nilai sistem IQAF untuk Item 4.1 adalah A = 50%-65%, D = 30%-45%, L = 30%-45% dan I = 10%-25%. Berdasarkan nilai skor tersebut dilakukan proses penentuan skor dengan menggunakan judgement 15 dan judgement 5 sehingga untuk item 4.1 didapatkan skor sebesar 45% dari 45 poin yaitu 20,25 poin sedangkan untuk item 4.2 didapatkan skor sebesar 30% dari 45 poin yaitu 13,5 poin. Sehingga nilai total untuk kategori pengukuran, analisis dan manajemen pengetahuan adalah 20,25 + 13,5 = 33,75 poin. 4.2.2 Review dan Scoring Hasil Review hasil dilakukan dengan menggunakan pendekatan LeTCI ( Level, Trend, Comparisons dan Integration), sedangkan cara skoring dilakukan dengan cara seperti pada Tabel 4.6.
Reka Integra - 63
Lisnawati, dkk
Persentase rencana anggaran terhadap penerimaan.
Hasil pengukuran persentase rencana anggaran terhadap penerimaan memiliki trend advers karena pada tahun 2010 hingga 2012 hasil kinerjanya menurun.
1
Hasil pengukuran persentase keterserapan anggaran dari Persentase rencana memilki level baik karena level pada tahun 2010keterserapan 2012 berada pada nilai batas baik kinerja yaitu 90% dan anggaran dari rencana trend dari inerja ini adalah advers karena mengalami penurunan.
1
1
1
Lagging
Comparison (Competitor/ Bencmark)
Leading
Flat
C
Advers
Sustain
T
Favourable
Poor
Excellent
< 3 th
EVIDENT
>= 3 th
STRENGTHS/OFI
Good
Le
Periode
EQUAL
Tabel 4.6 Skoring LeTCI
I
1
1
1
1
Kinerja Keuangan Hasil pengukuran pendapatan dari mahasiswa memiliki trend sustain karena dari tahun 2010 hingga 2012 jumlah pendapatannya selalu meningkat .
1
Persentase anggaran Hasil pengukuran persenatae anggaran penelitian penelitian dari total memiliki trend sustain karena dari tahun 2010 hingga anggaran tahun 2012 pesentasenya terus meningkat.
1
1
Persentase anggaran Hasil pengukuran persenatae anggaran penelitian pengabdian memiliki trend flat karena dari tahun 2010 hingga tahun masyarakat dari total 2012 pesentasenya tatap. anggaran
1
1
Pertumbuhan Pasar
Hasil pengukuran pertumbuhan pasar.
1
1
1
1
Pangsa Pasar
Hasil Pengukuran Pangsa Pasar.
1
1
1
1
Pendapatan dari mahasiswa
1
1
1
1
1
1
Total
0
7
0
2
5
7
0% 100% 0% 29% 71%
11
0%
64% 0% 18% 45%
4
0
1
2
57% 0% 14% 29% 36% 0%
Seperti apa level dan trend saat ini dari ukuran atau indikator utama kinerja anggaran dan penganggaran, termasuk ukuranukuran agregat tingkat penahanan biaya, kecukupan keuangan atau kinerja penganggaran?
1
Kinerja Pasar
Kinerja yang Dilaporkan Kinerja Seharusnya
Requirements
9% 18%
0
0
0
0
Seperti apa level dan trend saat ini dari ukuran atau indikator utama kinerja pasar termasuk pangsa pasar atau posisi persaingan, pertumbuhan pasar dan pasar baru yang dimasuki?
7
0%
0% 0% 0% 100%
0%
0% 0% 0% 64%
Berdasarkan scoring LeTCI yang telah dilakukan didapatkan Total skor untuk Item 7.5 adalah 30% x 80 = 24 poin. 4.2.4 Skor Keseluruhan Skor Keseluruhan kategori yang didapatkan Perguruan Tinggi X terdapat pada Tabel 4.7. Tabel 4.7 Skor Keseluruhan Kategori Kepemimpinan Perencanaan Strategis Fokus Pelanggan Pengukuran, Analisis dan Manajemen Pengetahuan Fokus Tenaga Kerja Fokus Operasi Hasil Proses dan Pembelajaran Siswa Hasil Fokus Pelanggan Hasil Fokus Tenaga Kerja Hasil Kepemimpinan dan Tata Kelola Hasil Anggaran, Keuangan dan Pasar Total
Skor Total Skor yang Didapat Persentase 120 48 40% 85 34 40% 85 21,5 25% 90 33,75 38% 85 27,25 32% 85 34,25 40% 120 69,25 58% 90 18 20% 80 20 25% 80 20 25% 80 24 30% 1000 350
5. ANALISIS 5.1 Analisis Terhadap Hasil Pengukuran Kinerja Yang Telah Dilakukan Oleh Perguruan Tinggi X Perguruan Tinggi X telah melakukan pengukuran kinerja terhadap kinerja akademik, kinerja dosen, kinerja proses pembelajaran berdasarkan kuisioner, kinerja keuangan, kinerja pasar, kinerja kepuasan pelanggan dan stakeholder, kinerja karyawan, kinerja kerekatan karyawan Reka Integra - 64
Pengukuran Performansi Berdasarkan MBCFPE Pada Kategori Proses Pengukuran, Analisis dan Manajemen Pengetahuan Serta Kategori Hasil Item Kinerja Anggaran, Keuangan dan Pasar Di Perguruan Tinggi X Bandung
serta kinerja sarana dan prasarana. Berdasarkan data-data 3 tahun terakhir yang telah didapatkan diketahui terdapat kinerja yang mengalami penurunan diantaranya pendapatan dari unit usaha, pendapatan dari hibah, serta kinerja proses pembelajaran beradasarkan kuisioner. Kinerja pendapatan dari unit usaha profesional menurun sebesar 3,819 Milyar Rupiah untuk tahun 2010-2011 dan pada tahun 2011-2012 pendapatan kembali menurun sebesar 0,33 Milyar Rupiah. Penurunan kinerja pendapatan dari unit usaha dapat disebabkan oleh menurunnya jumlah realisasi kerjasama yang dilakukan oleh unit-unit Perguruan Tinggi X, seperti salah satunya terjadinya penurunan kerjasama yang dilakukan oleh laboratoriumlaboratorium dengan pihal luar. Kinerja keuangan lainnya yang mengalami penurunan adalah pendapatan dari hibah. Penurunan tersebut terjadi pada tahun 2010-2011 sebesar 0,529 Milyar Rupiah dan pada tahun 2011-2012 pendapatan hibah menurun sebesar 1,321 Milyar Rupiah. Penurunan tersebut dapat dikarenakan oleh kurang aktifnya Perguruan Tinggi X dalam mencari program-program hibah yang dilaksanakan oleh Dikti. Penurunan dua indikator kinerja ini dapat berakibat pada penurunan dana untuk melakukan perbaikan penyelenggaraan kegiatan akademik. Kinerja proses pembelajaran yang diukur melalui kuisioner mengalami penurunan dari 3,37 (skala 1-4) menjadi 3,30 (skala 1-4) dan pada akhirnya ditahun 2012 menjadi 3,26 (skala 14), walaupun demikian kinerja tersebut masih baik karena hasilnya sudah diatas 3. Jika semakin tahun nilai kinerja tersebut berkurang dikhawatirkan tingkat retensi mahasiswa Perguruan Tinggi X semakin tinggi, karena dengan menurunnya nilai kinerja tersebut mencerminkan kenyamanan mahasiswa dalam melaksanakan proses pembelajaran di Perguruan Tinggi X. 5.2 Analisis Kategori Pengukuran, Analisis dan Manajemen Pengetahuan Berdasarkan pengumpulan data yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa beberapa criteria requirement dapat direspon dengan baik namun disamping itu terdapat criteria requirement yang tidak direspon dengan baik. Secara keseluruhan criteria requirement proses dapat direspon oleh Perguruan Tinggi X, namun pada proses pengukuran dengan menggunakan review ADLI pada beberapa criteria requirement masih ditemukan approach yang tidak sistematis, deployment yang tidak dilakukan secara seragam pada seluruh unit kerja di Perguruan Tinggi X, tetapi yang lebih mendominasi adalah criteria requirement yang tidak merespon learning dan integration. Oleh karena itu score untuk kategori pengukuran, analisis dan manajemen pengetahuan tidak sempurna yaitu hanya sebesar 33,75 poin dari 90 poin. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui jika Perguruan Tinggi X ingin meningkatkan score pada proses pengukuran, analisis dan manajemen pengetahuan maka perlu dilakukan perbaikan dalam penggunaan data pembanding dan pengelolaan pengetahuan organisasi menjadi memiliki metode yang sistematis agar penggunaan data pembanding dan pengelolaan pengetahuan organisasi lebih terorganisir sehingga Perguruan Tinggi X menjadi dapat mempertahankan posisi persaingan diantara para pesaing dan agar keberlanjutan organisasi lebih terjamin karena pengetahuan organisasi dikelola dengan baik. Selain itu Perguruan Tinggi X perlu lebih memperhatikan penyempurnaan dari metodemetode yang telah digunakan agar Perguruan Tinggi X lebih banyak melakukan inovasi yang dapat meningkatkan kinerja organisasi.
Criteria requirement hasil yang dapat direspon dengan baik yaitu mengenai kinerja pasar yang terdiri dari pertumbuhan pasar dan pangsa pasar sedangkan criteria requirement hasil yang belum dapat direspon dengan baik adalah mengenai kinerja keuangan. Perguruan Tinggi X baru memiliki indikator kinerja keuangan berupa persentase rencana anggaran Reka Integra - 65
Lisnawati, dkk
terhadap penerimaan dan persentase keterserapan anggaran dari rencana. Indikatorindikator tersebut sudah mewakili mengenai kecukupan dana dalam menjalankan proses bisnis namun, indikator tersebut belum bisa meng-cover mengenai perencanaan keuangan dimasa depan. Oleh karena itu Perguruan Tinggi X perlu membuat perencanaan indikator keuangan jangka panjang untuk menjamin ketercapaian Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Induk Pengembangan (RIP) misalnya dalam peningkatan kesejahteraan karyawan. 5.3 Analisis Most Ofi Dan Most Strength 5.3.1 Most Strength Criteria requirement yang memiliki scoring paling tinggi akan dijadikan sebagai most srength. Berdasarkan proses scoring yang dilakukan, dapat diketahui bahwa most strength yang dimiliki Perguruan Tinggi X dalam proses pengukuran, analisis dan manajemen pengetahuan adalah criteria requirement 4.1.a.1(1) yaitu mengenai pengukuran kinerja. Hal tersebut terjadi karena pengukuran kinerja yang dilakukan Perguruan Tinggi X telah memiliki metode yang sistematis untuk melakukan pengukuran kinerja. Proses tersebut berjalan secara sistematis karena Perguruan Tinggi X telah memiliki unit yang menangani pengukuran kinerja yaitu Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) dan Fakultas, sehingga sistem pengukuran kinerja lebih terorganisir dan selalu mengalami penyempurnaan. Upaya dalam sistem pengukuran kinerja yang telah dilakukan oleh Perguruan Tinggi X menyebabkan pengambilan keputusan untuk melakukan perbaikan selalu berdasarkan pada fakta, hal tersebut dapat meminimasi peluang terjadinya kesalahan dalam pengambilan keputusan, dengan demikian perbaikan kinerja Perguruan Tinggi X akan berjalan dengan baik. 5.3.2 Most OFI Criteria requirement yang memiliki nilai paling rendah dan perbaikan terhadap kriteria
tersebut secara signifikan akan meningkatkan kinerja Perguruan Tinggi X dijadikan sebagai
most OFI. Berdasarkan scoring yang telah dilakukan, diketahui bahwa most OFI yang dimiliki
Perguruan Tinggi X pada proses pengukuran, analisis dan manajemen pengetahuan terdapat pada criteria requirement 4.1.a.2 mengenai penggunaan data pembanding. Nilai criteria requirement tersebut rendah karena Perguruan Tinggi X tidak memiliki metode yang sistematis dalam penggunaan data pembanding sehingga belum cukup memiliki data pembanding yang relevan. Maksud dari metode yang tidak sistematis adalah Perguruan Tinggi X belum melakukan identifikasi data pembanding yang dibutuhkan, proses pengumpulan data serta tidak adanya penanggung jawab dalam proses tersebut. Penggunaan data pembanding akan dapat meningkatkan kinerja Perguruan Tinggi X karena dengan digunakannya data pembanding maka Perguruan Tinggi X akan menyadari posisi persaingan diantara para pesaingnya, sehingga ketika Perguruan Tinggi X menyadari kinerja Perguruan Tinggi X berada dibawah para pesaing maka Perguruan Tinggi X akan melakukan perbaikan agar kinerjanya meningkat, selain itu data pembanding dapat pula dijadikan sebagai acuan untuk menentukan target kinerja agar kinerja Perguruan Tinggi X berada pada level atau bahkan melebihi pesaing. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa jika Perguruan Tinggi X tidak menggunakan data pembanding maka Perguruan Tinggi X tidak menyadari kondisi kemajuan yang telah dicapai oleh para pesaing sehingga mengakibatkan Perguruan Tinggi X merasa Reka Integra - 66
Pengukuran Performansi Berdasarkan MBCFPE Pada Kategori Proses Pengukuran, Analisis dan Manajemen Pengetahuan Serta Kategori Hasil Item Kinerja Anggaran, Keuangan dan Pasar Di Perguruan Tinggi X Bandung
puas dengan kinerja yang dicapainya saat ini, walaupun kondisi sebenarnya mungkin masih berada dibawah para pesaing. 5.4 Analisis Score Keseluruhan Total skor yang didapatkan dalam pengukuran kinerja dengan menggunakan Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excellence (MBCfPE) terhadap kinerja Perguruan Tinggi X adalah sebesar 350 poin dari 1000 poin yang seharusnya diraih. Poin yang didapatkan mengakibatkan level kinerja Perguruan Tinggi X berada pada level “early results” Hal pada kategori yang diteliti yang secara signifikan mempengaruhi hasil level kinerja yang didapatkan berada pada kategori hasil, karena pada kategori hasil yang diteliti banyak persyaratan Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excellence (MBCfPE) yang tidak dipenuhi, oleh karena itu skor pada hasil yang diteliti memiliki skor yang kecil sehingga mempengaruhi skor keseluruhan Perguruan Tinggi X. 6. KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan Kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian diantaranya : 1. Hal yang dapat dijadikan sebagai kekuatan Perguruan Tinggi X adalah menganai sistem pengukuran kinerja yang selalu mengalami penyempurnaan sedangkan hal dapat diperbaiki adalah mengenai penggunaan data pembanding dan pengumpulan pengetahuan organisasi untuk tenaga kerja. 2. Skor untuk proses pengukuran, analisis dan perbaikan organisasional adalah sebesar 20,25 poin dari 45 poin dan skor untuk proses pengelolaan informasi, pengetahuan dan teknologi informasi adalah sebesar 13,5 poin dari 45 poin, sehingga skor total untuk kategori pengukuran, analisis dan manajemen pengetahuan adalah sebesar 33,75 poin dari 90 poin. 3. Skor kategori hasil anggaran, keuangan dan pasar adalah sebesar 24 poin dari 80 poin. 4. Skor Total proses dan hasil adalah sebesar 350 poin dari 1000 poin, sehingga kinerja Perguruan Tinggi X terdapat pada level early result yang berada pada daerah kinerja poor. 6.2 Saran Saran yang dapat disampaikan untuk Perguruan Tinggi X berdasarkan hasil penelitian diantaranya : 1. Perguruan Tinggi X disarankan untuk memiliki jabatan yang bertanggung jawab atas data pembanding agar Perguruan Tinggi X dapat membandingkan kinerjanya dengan kinerja para peasing. 2. Perguruan Tinggi X disarankan untuk dapat melakukan pengumpulan dan pengelolaan pengetahuan organisasi tenaga kerja agar keberlanjutan organisasi dapat terjamin. 3. Saran untuk penelitian berikutnya, untuk pengumpulan data diusahakan menggunakan metode yang sistematis, misalnya untuk mengumpulkan data harapan stakeholder, walaupun Perguruan Tinggi X tidak memiliki metode tersebut tetapi sebaiknya data-data dapat dikumpulkan melalui metode yang sistematis bukan berdasarkan analisa agar data-data yang dikumpulkan memiliki tingkat validasi yang cukup akurat.
Reka Integra - 67
Lisnawati, dkk
REFERENSI
Pengukuran Kinerja, Trisakti. Dewayana,Triwulandari, 2012, http://blog.trisakti.ac.id/triwulandarisd/2012/01/04/pengukuran-kinerja/, Februari, 2013.
Diakses tanggal
dalam 20
Fikri, 2013, Pengukuran Performansi Berdasarkan MBCFPE Pada Kategori Proses Fokus Pelanggan dan Kategori Hasil Item Fokus Pelanggan Di Perguruan Tinggi X Bandung, Draft Tugas Akhir Itenas. Bandung http://letmi-itb.com/malcolm-baldrige-criteria-for-performance-excelence-mbcfpe/ , diakses 19 Februari, 2013. Indonesian Quality Award Foundation, 2011, Kriteria Kinerja Ekselen 2011-2012, Yayasan Indonesia Quality Award, Jakarta. Ismoyojati, 2013, Pengukuran Performansi Berdasarkan MBCFPE Pada Kategori Proses Kepemimpinan dan Kategori Hasil Item Kepemimpinan dan Tata Kelola Di Perguruan Tinggi X Bandung, Draft Tugas Akhir Itenas. Bandung Jasa Marga, 2012, Kriteria Pengukuran Kinerja Unggul (KPKU), Jakarta. Kuspijani, DR. Ir. Indung Sudarso, MT. Pengukuran Kinerja Fakultas Teknik Universitas Bhayangkara Surabaya ( Ubhara ) Surabaya Dengan Menggunakan Kriteria Malcolm Baldrige dari ITS-Master Paper, diakses 19 Februari, 2013. Latham John, Vinyard John, 2011, Organization Diagnosis, Design and Transformation , ePAC Technologies, USA. Prayitno, 2013, Pengukuran Performansi Berdasarkan MBCFPE Pada Kategori Proses Perencanaan Strategis dan Kategori Hasil Item Proses dan Pembelajaran Siswa, Draft Tugas Akhir Itenas. Bandung Ratum, 2013, Pengukuran Performansi Berdasarkan MBCFPE Pada Kategori Proses Fokus Tenaga Kerja dan Kategori Hasil Item Fokus Tenaga Kerja, Draft Tugas Akhir Itenas. Bandung Wardiani, 2013, Pengukuran Performansi Berdasarkan MBCFPE Pada Kategori Proses Fokus Operasi dan Kategori Hasil Item Proses dan Pembelajaran Siswa, Draft Tugas Akhir Itenas. Bandung www.wikipedia.org, kategori manajemen kinerja, diakses 20 Februari, 2013. www. wikipedia.org, kategori manajemen pengetahuan, diakses 20 Februari 2013.
Reka Integra - 68
Artawan Eka Putra & Djuwita
Vol. 1 No. 2 : 98-108
PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN PENERAPAN MANAJEMEN TERPADU BAYI MUDA OLEH BIDAN DESA DI KABUPATEN TEMANGGUNG TAHUN 2012
1
I Wayan Gede Artawan Eka Putra1, Ratna Djuwita2 Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana 2 Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Email : [email protected] ABSTRAK
Rendahnya penerapan manajemen terpadu bayi muda (MTBM) oleh bidan di desa (53,6%) merupakan hambatan utama untuk menurunkan angka kematian neonatal (AKN) dan angka kematian bayi . Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan penerapan MTBM oleh bidan setelah menerima pelatihan dan bimbingan teknis (intervensi). Penelitian operasional ini merupakan penelitian non eksperimental dengan desain pretestdi 4 dari 24 pusat kesehatan masyarakat yang dipilih secara acak. Penelitian ini mendapatkan bahwa intervensi dapat meningkatkan pengetahuan bidan dan penerapan MTBM. Perlu pelatihan dan sosialisasi terus menerus untuk mendorong para bidan untuk menerapkan MTBM secara berkelanjutan. Kata kunci: pengetahuan, penerapan, manajemen terpadu bayi muda, bidan.
ABSTRACT The low implementation of integrated management of young infants (IMYI) by a midwife in the village (53.6%) is a major barrier to reduce neonatal mortality rate (NMR) and infant mortality rate (IMR). This study aimed to increase knowledge and implementation of IMYI by the midwife after receiving training and technical guidance (intervention). midwives in Temanggung District 2011. The sample was midwife in 4 of 24 public health centers that randomly selected. The study found that the intervention can improve midwife knowledge and implementation of IMYI. Need training and continuous socialization to advocate the midwives to sustainable implementation of IMYI. Keywords: knowledge, implementation, integrated management of young infants, midwife.
98
Arc. Com. Health • Desember 2012
Vol. 1 No. 2 : 98-108
ISSN: 9772302139009
PENDAHULUAN
B
erdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung, angka kematian bayi di Kabupaten Temanggung dalam 3 tahun terakhir terjadi peningkatan dan lebih tinggi dari kabupaten lainnya di Provensi Jawa tengan. AKB di Kabupaten Temanggung pada tahun 2009 sebesar 11,57 per 1.000 KH, meningkat bila dibandingkan tahun 2008 yang sebesar 9,98 per 1.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2010 meningkat cukup tajam menjadi 15,68 per 1000 KH. Sebagian besar (75%) kasus kematian bayi pada tahun 2010 di Kabupaten Temanggung terjadi pada masa neonatus dengan AKN sebesar 11,78 per 1000 KH (DKK Temanggung, 2009-2010). Sementara AKB Propinsi Jawa Tengah tahun 2008 sebesar 9,17 per 1000 KH dan tahun 2009 sebesar 10,25 per 1000 KH. Kejadian kematian bayi pada umur muda khususnya umur 1 hari sampai 2 bulan relatif lebih tinggi dari umur yang lebih tua baik pada kondisi tanpa penyulit maupun dengan penyulit seperti BBLR, asfiksia, hipotermia, diare, sepsis dan lain sebagainya. Sehingga memerlukan pemeriksaan dan penanganan yang lebih baik, menyeluruh dan sistematis. Metode penatalaksanaan yang dipakai dalam menangani bayi muda dikenal dengan nama manajemen terpadu bayi muda (MTBM). Sebelum menerapkan MTBM bidan akan terlebih dahulu mendapat pedoman dan pelatihan tentang MTBM. Dan dalam melaksanakan MTBM bidan diwajibkan mengisi formulir bayi muda supaya penerapannya menjadi lebih sistematis. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap penanganan BBLR di Kabupaten Temanggung ternyata baru sebesar 53,6% bidan melaksanakan MTBM dan mengisi formulir bayi muda dengan baik. Seharusnya semua bidan (100%) wajib menerapkan MTBM dan mengisi formulir bayi muda
99
setiap menolong persalinan. Berdasarkan hasil observasi terhadap langkah-langkah penanganan bayi baru lahir oleh bidan di Kabupaten Temanggung, ternyata baru sebesar 54,2% yang seharusnya 100% mendapat nilai diharapkan, yaitu 12 (Artawan, 2011). Berdasarkan data evaluasi terhadap tenaga bidan desa di Kabupaten Temanggung ternyata hanya sepertiga atau 33,3% dari semua bidan desa yang sudah mengikuti pelatihan MTBM, sedangkan yang lainnya belum sama sekali (Artawan, 2011). Untuk itu penting untuk dilakukan penelitian operasional dalam bentuk intervensi pelatihan dan pemberian petunjuk teknis MTBM untuk meningkatkan pengetahuan dan penerapan MTBM oleh bidan desa. Penelitian ini bertujuan agar terjadi peningkatan pengetahuan dan penerapan MTBM oleh bidan desa di Kabupaten Temanggung Tahun 2012 setelah mendapat pelatihan tentang MTBM dan diberikan petunjuk teknis MTBM (intervensi). METODE Penelitian operasional ini termasuk penelitian non eksperimental dengan (Andrew et al, 2001). Dilaksanakan selama 3 bulan, mulai bulan Januari sampai dengan bulan Maret 2012 di Kabupaten Temanggung Provinsi Jawa Tengah. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bidan desa yang bertugas di wilayah Kabupaten Temanggung pada tahun 2011 dengan jumlah keseluruhan 257 orang. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus dari Jannifer L. Kelsey didapatkan jumlah sampel minimal 44 orang (Kalsey et al, 1996) yang dipilih menggunakan metode simple random sampling, terhadap 4 puskesmas dari 24 puskesmas yang ada. Intervensi berupa pelatihan disertai pemberian petunjuk teknis
Artawan Eka Putra & Djuwita
Vol. 1 No. 2 : 98-108
akan dilakukan terhadap semua bidan desa yang berada di puskesmas tersebut. Dipilih 4 puskesmas karena jumlah bidan desa pada masing-masing puskesmas di Kabupaten Temanggung berkisar 12 sampai dengan 20 orang sehingga akan mencukupi jumlah sampel minimal yang diperlukan. Proses pelatihan dibagi menjadi 2, yaitu pemberian materi dan praktek penerapan MTBM termasuk mengisi formulir bayi muda. Pemberian materi dilaksanakan selama 1 hari di ruang pertemua masing-masing puskesmas terpilih oleh bidan koordinator kabupaten dan mahasiswa FETP (peneliti). Sedangkan praktek dilakukan secara mandiri di tempat tugas masing-masing bidan desa (PKD, polindes dan pustu). Pelatihan dilaksanakan selama bulan Januari. Evaluasi dilaksanakan terhadap pengetahuan bidan tentang MTBM antara sebelum (pretest) dan sesudah (postest) pemberian materi. Terhadap penerapan MTBM, evaluasi dilaksanakan dengan membandingkan penerapan sebelum intervensi (bulan desember 2011) dengan setelah intervensi (bulan Februari dan Maret 2012). Variabel pengetahuan diukur dengan cara memberikan kuesioner yang berisikan identitas dan 10 pertanyaan untuk mengukur pengetahuan bidan desa tentang MTBM. Kuesioner untuk mengukur pengetahuan sebelum intervensi sama dengan kuesioner sesudah intervensi. Pada saat mengisi kuesioner bidan desa diwajibkan mengisi sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan sendiri serta tidak boleh membuka buku atau mendapatkan jawaban dari orang lain. Variabel pengetahuan yang sebelumnya merupakan variabel dengan skala data ratio diubah menjadi kategorikal (nominal) berdasarkan nilai rata-ratanya. Termasuk pengetahuan baik sebelum intervensi bila nilai pengetahuan sebelum intervensi lebih besar atau sama dengan rata-rata
nilai pengetahuan sebelum intervensi dan termasuk pengetahuan kurang sebelum intervensi bila nilai pengetahuan sebelum intervensi kurang dari rata-rata nilai pengetahuan sebelum intervensi. Ketentuan tersebut juga berlaku untuk pengetahuan setelah intervensi dengan nilai acuan adalah rata-rata nilai pengetahuan yang sama. Untuk menilai pengaruh intervensi terhadap penerapan MTBM dilihat apakah setelah menolong persalinan bidan sudah mengiisi formulir bayi muda atau belum. Termasuk menerapkan MTBM sebelum intervensi bila minimal ada 1 bayi yang ditolong telah terisi formulir bayi muda. Termasuk tidak menerapkan MTBM sebelum intervensi bila sama sekali tidak melakukan pengisian formulir MTBM terhadap bayi yang ditolong. Ketentuan tersebut juga berlaku untuk penerapan MTBM setelah intervensi. Pengaruh intervensi dinilai dengan membandingkan penerapan sebelum intervensi dengan sesudah intervensi. Penerapan bulan Desember digunakan untuk menilai sebelum intervensi sedangkan penerapan setelah intervensi dinilai 2 bulan, Februari dan Maret. Penilaian selama 2 bulan dimaksudkan agar dapat menilai kesinambungan efek intervensi. Analisis data dilakukan dalam 2 tahap. Pertama dilakukan analisis univariat untuk mendapatkan gambaran (deskripsi) dari nilai masing-masing variabel penelitian dimana data yang telah didapat akan ditampilkan menggunakan tabel distribusi frekuensi. Tahap kedua dilakukan analisis bivariat menggunakan uji Chi Square dari Mc Nemar untuk mengetahui pengaruh intervensi berupa pelatihan dan pemberian petunjuk teknis terhadap tingkat pengetahuan bidan desa tentang MTBM sertapengaruh tingkat pengetahuan tersebut terhadap penerapan MTBM.
100
Arc. Com. Health • Desember 2012
Vol. 1 No. 2 : 98-108
ISSN: 9772302139009
HASIL Berdasarkan pemilihan terhadap 4 puskesmas dari 24 puskesmas secara acak maka terpilih Puskesmas Bulu, Kedu, Kledung dan Pringsurat sebagai sampel dalam penelitian ini. Tiga puskesmas yang disebutkan pertama adalah puskesmas tanpa perawatan sedangkan Puskesmas Pringsurat merupakan satu-satunya puskesmas perawatan dari 3 puskesmas perawatan yang ada di Wilayah Kabupaten Temanggung. Jumlah bidan desa yang menjadi target untuk diberikan intervensi pada keempat puskesmas tersebut sebanyak 63 orang akan tetapi oleh karena berbagai alasan ada 10 yang tidak berhasil diberikan intervensi sehingga yang berhasil diberikan intervensi sebanyak 53 orang. Dari 53 orang bidan desa yang mendapat intervensi ada 50 orang yang mengisi kuesioner pretest dan postest secara lengkap sedangkan 3 orang lainnya hanya mengisi kuesioner pretest saja
karena harus meninggalkan acara sebelum berakhir. Puskesmas yang terbanyak mengikutkan bidan desa untuk mengikuti penelitian ini adalah Puskesmas Bulu dengan jumlah 16 orang (32%). Puskesmas Kedu diikuti oleh 13 oang (26%), Puskesmas Kledung 11 orang (22%) dan Puskesmas Pringsurat 10 orang (20%). Karakteristik subjek penelitian yang ditelii meliputi umur pendidikan dan lama bekerja. Umur dibuat kategori berdasarkan rata-rata umur bidan yang mengikuti penelitian operasional ini, kategori dibagi menjadi lebih atau sama dengan rata-rata dan kurang dari rata-rata. Rata-rata umur adalah 34,3 tahun dengan standar deviasi (SD) 8 tahun, bidan termuda berumur 22 tahun dan tertua berumur 53 tahun. Pendidikan bidan desa sebagian besar telah memenuhi kriteria minimal pendidikan yaitu diploma 3 (D3) kebidanan sebesar 68% sedangkan yang lainnya dengan tingkat
Tabel 1 Hasil Analisis Pertanyaan Pengetahuan Bidan Desa Tentang MTBM Antara Sebelum dengan Sesudah Intervensi di Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Pretest benar,
Pretest salah,
Pretest benar,
Pretest salah,
(%)
(%)
(%)
(%)
24 (48)
25 (50)
0 (0)
1 (2)
<0,001
40 (80)
10 (20)
0 (0)
0 (0)
0,002
43 (86)
6 (12)
1 (2)
0 (0)
0,125
29 (58)
15 (30)
2 (4)
4 (8)
0,002
5 (10)
38 (76)
0 (0)
7 (14)
<0,001
13 (26)
22 (44)
0 (0)
15 (30)
<0,001
36 (72)
9 (18)
3 (6)
2 (4)
0,146
45 (90)
5 (10)
0 (0)
0 (0)
0,063
36 (72)
12 (24)
0 (0)
2 (4)
<0,001
49 (98)
1 (2)
0 (0)
0 (0)
1,000
Item pengetahuan Definisi bayi muda berdasarkan umur Kewajiban mengisi form bayi muda Langkah pertama dalam MTBM Langkah ketiga dalam MTBM Klasifikasi hipotermi pada bayi muda Klasifikasi diare pada bayi muda Akibat perdarahan tali pusat yanga tidak ditangani secara cepat Tindakan pada bayi muda dengan hipotermi Klasifikasi diare yang perlu dirujuk Klasifikasi ikterus yang perlu dirujuk
Nilai p
101
Artawan Eka Putra & Djuwita
Vol. 1 No. 2 : 98-108
pendidikan D1 kebidanan. Seperti halnya umur lama bekerja juga dibagi berdasarkan rata-rata. Rata-rata masa kerja bidan yang mengikuti penelitian ini adalah 11 tahun dengan SD 7,5 tahun, masa kerja tersingkat 1 tahun dan terlama 27 tahun. Pengaruh intervensi terhadap tingkat pengetahuan Analisis terhadap data pengetahuan tentang MTBM dilakukan pada 50 bidan desa yang lengkap mengisi kuesioner pretest dan postest, antara sebelum dan sesudah intervensi. Hasil analisis terhadap jawaban bidan terhadap semua pertanyaan tersebut antara sebelum dan sesudah intervensi dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini. Pada Tabel 1 terlihat bahwa ada 3 pertanyaan yang saat sebelum intervensi ada lebih dari 50% bidan salah menjawabnya, yaitu petanyaan no. 1 tentang difinisi bayi muda, pertanyaan no. 5 tentang klasifikasi hipotermi pada bayi muda dan pertanyaan no. 6 tentang klasifikasi diare pada bayi muda. Pertanyaan yang paling banyak salah dijawab oleh bidan pada saat pretest adalah pertanyaan no. 5, dimana 45 bidan (90%) salah menjawab saat sebelum intervensi. Tetapi 38 diantaranya telah benar menjawab pada saat setelah intervensi sehingga masih ada 7 (14%) bidan yang masih salah. Sedangkan pertanyaan yang paling banyak salah dijawab oleh bidan setelah intervensi adalah pertanyaan no. 6. Sebelum intervensi ada 37 (74%) bidan yang salah menjawab dan setelah intervensi masih ada 15 bidan (30%) yang salah. Secara umum dari 10
pertanyaan tersebut terlihat bahwa sebagian besar bidan yang salah menjawab saat sebelum intervensi, benar menjawab saat setelah intervensi. Nilai pengetahuan tentang MTBM dihitung dengan menjumlahkan nilai yang didapatkan dimana setiap pertanyaan yang dijawab benar akan mendapat nilai 1. Didapatkan rata-rata pengetahuan bidan desa tentang MTBM sebelum intervensi sebesar 6,54 dan setelah pelatihan meningkat menjadi 9,26. Peningkatan tersebut secara statistik bermakana (nilai p<0,001). Tabel 2 dibawah ini menunjukkan hasil analisis setelah variabel pengetahuan yang sebelumnya merupakan variabel dengan skala data ratio diubah menjadi nominal. Didapatkan proporsi pengetahuan bidan sebelum intervensi kurang menjadi baik setelah intervensi sebesar 50% (25 orang) sedangkan proporsi pengetahuan bidan sebelum intervensi baik menjadi kurang setelah intervensi 0% (tidak ada). Perbedaan tersebut dinyatakan bermakna secara statistik dengan nilai p<0,001. Pengaruh intervensi terhadap penerapan MTBM Hasil penelitian menunjukkan tidak semua bidan yang mendapat intervensi selalu pernah menolong persalinan selama bulan evaluasi. Untuk itu dipilih bidan yang minimal pernah menolong 1 (satu) persalinan selama bulan Desember 2011, Februari dan Maret 2012. Berdasarkan hasil observasi maka diketahui jumlah bidan yang data penerapannya dapat dianalisis
Tabel. 2 Hasil Analisis Pengetahuan Bidan Tentang MTBM sebelum dengan Sesudah Intervensi Di Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Pengetahuan MTBM Sebelum Intervensi
Pengetahuan MTBM Setelah Intervensi Baik (%)
Kurang (%)
Total (%)
Baik
25 (50)
0 (0)
25 (50)
Kurang
25 (50)
0 (0)
25 (50)
Total
50 (100)
0 (0)
50 (100)
102
Arc. Com. Health • Desember 2012
Vol. 1 No. 2 : 98-108
ISSN: 9772302139009
sebanyak 23 orang (46%) sisanya sebanyak 27 orang (54%) tidak dapat dianalisis karena selama bulan penelitian tidak menolong persalinan. Hasil analisis terhadap data tersebut dapat dilihat pada tabel 3 dan 4 dibawah ini. Tabel 3 menunjukkan bahwa ada 11 orang (47,8%) bidan desa yang sebelum intervensi tidak menerapkan MTBM menjadi menerapkan setelah intervensi pada bulan pertama setelah intervensi dan hanya ada 1 orang (4,4%) bidan desa yang sebelum intervensi menerapkan MTBM menjadi tidak menerapkan setelah intervensi. Perbedaan tersebut bermakna secara statistik dengan nilai p=0,004. Tabel 4 menunjukkan bahwa pada bulan kedua setelah intervensi ada 12 orang (52,2%) bidan desa yang sebelum intervensi tidak menerapkan MTBM menjadi menerapkan setelah intervensi dan hanya ada 1 orang (4,4%) bidan desa yang sebelum intervensi menerapkan MTBM menjadi tidak menerapkan setelah intervensi. Perbedaan tersebut bermakna secara statistik dengan nilai p=0,002. Hal ini menunjukkan ada konsistensi peningkatan
penerapan MTBM pada bulan pertama dan bulan kedua setelah intervensi. Untuk memperoleh bahan masukkan yang lebih banyak dan lengkap terhadap program KIA dalam meningkatkan penerapan MTBM pada bidan desa maka perlu diketahui perbedaan penerapan MTBM berdasarkan karakteristik bidan. Hal ini penting agar dikemudian hari dapat lebih difokuskan bidan mana yang perlu diprioritaskan mendapatkan intervensi dan perhatian lebih agar peningkatan penerapan MTBM dapat lebih cepat tercapai. Pada Tabel 5 dibawah ini dibuat tabel silang distribusi penerapan MTBM setelah intervensi berdasarkan karakteristik bidan. Pada Tabel 5 terlihat bahwa kelompok umur lebih atau sama dengan 34 tahun sebagian besar (78,6%) menerapkan MTBM sedangkan kelompok umur kurang dari 34 tahun hanya 55,6% yang menerapkan MTBM pada bulan pertama setelah intervensi. Perbedaan pada kelompok umur tersebut cendrung meningkat pada bulan kedua setelah intervensi. Hasil yang hampir sama didapatkan pada variabel lama bekerja bidan. Pada kelompok lama bekerja lebih
Tabel 3 Hasil Analisis Penerapan MTBM Sebelum dengan Bulan Pertama Setelah Intervensi Di Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Menerapkan MTBM sebelum intervensi
Menerapkan MTBM bulan pertama setelah intervensi Ya (%)
Total (%)
Tidak (%)
Ya
5 (21,7)
1 (4,4)
6 (26,1)
Tidak
11 (47,8)
6 (26,1)
17 (73,9)
Total
16 (69,5)
7 (30,5)
23 (100)
Tabel 4 Hasil Analisis Penerapan MTBM Sebelum dengan Bulan Kedua Setelah Intervensi Di Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Menerapkan MTBM sebelum intervensi
Menerapkan MTBM bulan kedua setelah intervensi Ya (%)
Total (%)
Tidak (%)
Ya (%)
5 (21,7)
1 (4,4)
6 (26,1)
Tidak (%)
12 (52,2)
5 (21,7)
17 (73,9)
Total
17 (73,9)
6 (26,1)
23 (100)
103
Artawan Eka Putra & Djuwita
Vol. 1 No. 2 : 98-108
Tabel 5. Distribusi Penerapan MTBM Setelah Intervensi Berdasarkan Karakteristik Bidan di Kabupaten Temanggung Tahun 2012 No.
1. 2. 3.
Karakteristik
Umur Pendidikan Lama bekerja
Kategori
Menerapkan MTBM bulan pertama
Menerapkan MTBM bulan kedua
Tidak (%)
Ya (%)
Tidak (%)
Ya (%)
< 34 thn
4 (44,4)
5 (55,6)
4 (44,4)
5 (55,6)
≥ 34 thn
3 (21,4)
11 (78,6)
2 (14,3)
12 (85,7)
D1
1 (9,1)
10 (90,9)
1 (9,1)
10 (90,9)
D3
6 (50,0)
6 (50,0)
5 (41,7)
7 (58,3)
< 11 thn
3 (37,5)
5 (62,5)
3 (37,5)
5 (62,5)
≥ 11 thn
4 (26,7)
11 (73,3)
3 (20,0)
12 (80,0)
atau sama dengan 11 tahun sebagian besar (73,3%) menerapkan MTBM sedangkan kelompok lama bekerja kurang dari 11 tahun hanya 62,5% yang menerapkan MTBM pada bulan pertama setelah intervensi. Perbedaan pada kelompok lama bekerja tersebut cendrung meningkat pada bulan kedua setelah intervensi. Hasil yang berbeda didapatkan pada karakteristik pendidikan bidan. Kelompok bidan dengan pendidikan D1 justru hampir semuanya (90,9%) menerapkan MTBM sedangkan pada kelompok pendidikan D3 hanya sebagian (50%) yang menerapkan MTBM pada bulan pertama setelah intervensi. Pada bulan kedua kelompok pendidikan D3, proporsi bidan yang menerapkan MTBM baik meningkat menjadi 58,3% sedangkan pada kelompok pendidikan D1 tetap. PEMBAHASAN Pengaruh Intervensi Terhadap Pengetahuan Bidan Tentang MTBM Analisis jawaban bidan terhadap 10 pertanyaan yang digunakan untuk mengukur pengetahuan mereka didapatkan bahwa sebagian besar yang salah menjawab saat pretest (sebelum intervensi), benar Hal ini menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan mampu meningkatkan pengetahuan mereka tentang MTBM.
Hasil lain yang mendukung pernyataan tersebut adalah penelitian ini mendapatkan adanya pengaruh yang signifikan dari efek dilaksanakannya intervensi. Pada saat sebelum intervensi hanya sebagian bidan desa dengan pengetahuan MTBM baik sedangkan setelah diberikan intervensi semua bidan desa telah memiliki pengetahuan dengan kategori baik. Berdasarkan penelusuran terhadap berbagai penelitian sebelumnya belum ditemukan penelitian operasional yang khusus mempelajari pengaruh pelatihan dan pemberian petunjuk teknis sebagai intervensi untuk meningkatkan pengetahuan dan penerapan MTBM oleh bidan desa. Untuk itu pembahasan akan dilakukan dengan membandingkan hasil pada penelitian ini dengan penelitian lain sejenis walaupun tidak persis sama membahas tentang pengetahuan dan penerapan MTBM. Penelitian sebelumnya yang mendukung hasil penelitian ini diantaranya sebuah studi evaluasi tentang pengaruh pelatihan APN terhadap keterampilan dan kepatuhan bidan mengisi partograf dan pengetahuan pengambilan keputusan klinis, oleh Ali Zazri di Kabupaten Cirebon, Kuningan dan Kota Cirebon, Jawa Barat, Tahun 2003. Penelitian tersebut mendapatkan bahwa dilakukannya pelatihan APN berhubungan dengan tingkat pengetahuan bidan dalam hal pengambilan keputusan
104
Arc. Com. Health • Desember 2012
Vol. 1 No. 2 : 98-108
ISSN: 9772302139009
klinis dengan OR sebesar 3,3 dan nilai p=0,001. Hasil yang berbeda didapatkan oleh Soetimah yang meneliti tentang pengaruh pelatihan berdasar kompetensi terhadap kepatuhan bidan melaksanakan pencegahan infeksi pada persalinan normal di rumah bersalin puskesmas di Kecamatan Jakarta Timur tahun 2004. Pada penelitian ini bidan yang sudah mendapat pelatihan tentang pencegahan infeksi sebanyak 36,1% memiliki tingkat pengetahuan yang baik, sedangkan yang belum dilatih justru mendapatkan angka proporsi yang lebih besar, yaitu sebanyak 45,7% memiliki tingkat pengetahuan baik. Walaupun demikan setelah diuji secara statistik hasil tersebut tidak bermakna (p=0,384) (Ali Zazri, 2003). Hasil penelitian ini sangat penting karena mampu menunjukkan pengaruh positif dari pelaksanaan intervensi berupa pelatihan MTBM dan pemberian petunjuk teknis untuk meningkatkan pengetahuan bidan desa tentang MTBM yang secara statistik bermakna. Hasil ini juga akan dapat memberikan masukan terhadap program peningkatan kapasitas (capacity bulding) bidan yang ada di Kabupaten Temanggung khususnya dalam penanganan bayi muda. Berdasarkan informasi dari bidan koordinator pelatihan yang sampai saat ini lebih sering dilaksanakan adalah pelatihan tentang asuhan persalinann normal (APN). Selain itu beberapa kali juga pernah dilaksanakan pelatihan tentang asfiksia BBLR. Sedangkan untuk pelatihan MTBM dan MTBS baru frekuensinya masih sangat sedikit yang sudah dilaksanakan. Pengaruh Intervensi Terhadap Penerapan MTBM Selain temuan tentang pengaruh intervensi terhadap tingkat pengetahuan penelitian ini juga mempelajari pengaruh intervensi terhadap penerapan MTBM. Didapatkan bahwa intervensi meningkatkan
penerapan MTBM dengan OR yang tinggi, lebih dari penelitian-penelitian sebelumnya yang mempelajari pengaruh pelatihan terhadap suatu penerapan. Hal ini dapat dijelaskan karena adanya bias instrumen yang menyebabkan timbulnya nilai over estimate atau bias dengan arah ke kanan menjauhi nul. Walaupun demikian hasil ini sangat penting karena mampu menunjukkan pengaruh positif dari pelaksanaan intervensi untuk meningkatkan penerapan MTBM oleh bidan desa yang secara statistik bermakna. Hasil ini juga dapat memberikan masukan terhadap program peningkatan penerapan MTBM oleh bidan desa dalam penanganan bayi muda di Kabupaten Temanggung. Penelitian sebelumnya yang mendukung hasil ini diantaranya adalah pengaruh pelatihan penatalaksanaan ISPA kepada bidan puskesmas dan dampaknya terhadap kepuasaan ibu bayi yang dilaksanakan oleh Hilman Taufik Wijayasoemantri di Kabupaten Sumedang, Tahun 2003. Penelitian tersebut mendapatkan bahwa bidan puskesmas yang mendapat pelatihan penatalaksanaan ISPA akan 5,8 kali mematuhi tatalaksana ISPA tersebut dari pada yang tidak mendapat pelatihan dan hasil tersebut secara statistik bermakna dengan nilai p=0,0001 (Hilman Taufik Wijayasoemantri, 2003). Selain itu Ali Zazri di Kabupaten Cirebon, Kuningan dan Kota Cirebon, Jawa Barat, Tahun 2003 juga mendapatkan bahwa dilakukannya pelatihan APN berhubungan dengan kepatuhan bidan dalam menerapkan dan mengisi partograf. Dengan hasil OR sebesar 7,7 dan nilai p<0,001 (Ali Zazri, 2003). Hasil yang didapatkan oleh Soetimah yang meneliti tentang pengaruh pelatihan berdasar kompetensi terhadap kepatuhan bidan melaksanakan pencegahan infeksi pada persalinan normal di rumah bersalin puskesmas di Kecamatan Jakarta Timur tahun 2004, juga mendukung. Pada penelitian ini bidan yang sudah mendapat
105
Artawan Eka Putra & Djuwita
Vol. 1 No. 2 : 98-108
pelatihan tentang pencegahan infeksi akan 2,6 kali berpeluang menerapkan prosedur pencegahan infeksi dari pada yang belum pernah mendapat pelatihan dan secara statistik bermakna dengan p=0,039 (Soetimah, 2004). Kelemahan Penelitian Penelitian ini adalah studi intervensi nonexperimental dengan menggunakan desain . Kelemahan dari desain penelitian seperti ini adalah tidak adanya kelompok pembanding sehingga tidak mampu mengontrol confounding (variabel perancu). Intervensi hanya dilakukan pada 1 kelompok kemudian diukur dan dibandingkan keluaran yang diharapkan antara sebelum dengan sesudah intervensi. Hal ini akan menyebabkan kemampuan penelitian ini lemah untuk menjelaskan apakah intervensi yang dilakukan memang benar meningkatkan pengetahuan dan penerapan MTBM. Ada kemungkinan peningkatan pengetahuan dan penerapan MTBM terjadi karena kelompok yang diintervensi sudah pintar, pendidikannya tinggi dan sudah berpengalaman dibidangnya. Untuk menjawab keraguan ini, maka untuk variabel peningkatan pengetahuan pengukuran dilakukan segera setelah dilakukan intervensi sehingga dapat diyakinkan memang benar intervensi itulah yang menyebabkan peningkatan pengetahuan karena kecil kemungkinanan terjadi sesuatu hal lain dalam waktu singkat yang dapat meningkatkan pengetahuan bidan selain intervensi itu sendiri. Untuk pengaruh intervensi terhadap peningkatan penerapan MTBM pengukuran tidak bisa dilakukan segera sehingga dalam penelitian ini digambarkan distribusi penerapan MTBM setelah intervensi berdasarkan karakteristik bidan seperti pada Tabel 5 hasil penelitian diatas. Tabel tersebut menunjukkan bahwa memang peningkatan penerapan MTBM
terjadi pada semua kelompok umur, pendidikan dan lama kerja sehingga dapat disimpulkan bahwa intervensi memang mampu meningkatkan penerapan MTBM. Dilihat dari cara pengambilan sampel, penelitian ini mengambil seluruh bidan sebagai sampel pada 4 puskesmas dari 24 puskesmas yang dipilih secara acak. Pemilihan puskesmas secara acak dimaksudkan agar setiap puskesmas mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendapat intervensi sehingga untuk kepentingan generalisasi sudah dapat dikatakan memenuhi syarat. Walaupun demikian subjek penelitian sebenarnya adalah bidan desa sehingga tidak adanya bidan yang mewakili 20 puskesmas lainnya merupakan salah satu kelemahan dalam melakukan generalisasi. Untuk mengetahui apakah sampel benar-benar dapat mewakili semua populasi perlu digambarkan karakteristik bidan yang mendapat intervensi dengan bidan di puskesmas lain yang tidak mendapatkan intervensi. Kelemahan lain berkaitan dengan kemungkinan adanya bias instrumen yaitu bias yang sering timbul pada penelitian pretest dan akibat penggunaan instumen yang sama terhadap orang yang sama antar sebelum dengan sesudah intervensi. Responden akan lebih mudah menjawab pertanyaan yang sama pada saat postest karena mendapat pengetahuan yang baru saja didapat pada saat intervensi. Bias jenis ini sering menberikan hasil pengukuran pengetahuan yang lebih tinggi dari nilai sebenarnya pada saat postest. Pada penelitian ini sangat mungkin terjadi bias tersebut sebagai salah satu kelemahan. Hasil analisis akan mendapatkan nilai yang over ekspektasi atau bias dengan arah ke kanan menjauhi null.
106
Arc. Com. Health • Desember 2012
Vol. 1 No. 2 : 98-108
ISSN: 9772302139009
SIMPULAN Intervensi yang diberikan berupa pelatihan dan pemberian petunjuk teknis tentang MTBM mampu meningkatkan pengetahuan bidan desa tentang MTBM di Kabupaten Temanggung. Selain peningkatan pengetahuan, intervensi juga diikuti dengan peningkatan penerapan MTBM dalam 2 bulan berturut-turut setelah intervensi. SARAN Agar bidan desa mengikuti pelatihan pengetahuan tentang MTBM secara berkala dan meningkatkan kempuan melaksanakan MTBM dengan berpedoman pada petunjuk teknis (juknis) yang ada. Agar pemegang program KIA mensosialisasikan secara terus menerus tentang pentingnya penerapan MTBM dalam menangani bayi muda. Agar Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung mewajibkan semua bidan desa menerapkan MTBM dalam menangani bayi muda sebagai cara untuk mendeteksi dini bayi muda risiko tinggi sehingga tujuan menurunkan AKN dan AKB lebih cepat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA Ali, Z. (2003). Pengaruh Pelatihan APN Terhadap Keterampilan Dan Kepatuhan Bidan Mengisi Partograf Dan Pengetahuan Pengambilan Keputusan Klinis di Kabupaten Cirebon, Kuningan dan Kota Cirebon, Jawa Barat. Tesis: FKMUI, Depok. Andrew, A.F., et al. (2001). Handbook for Family Planning Operations Research Design. Population Council: New York. Artawan, I.W.G. (2011). Analisis Situasi Kesehatan Kabupaten Temanggung Tahun
2010. Tugas Analisis Situasi: FKM UI, Depok. Artawan, I.W.G. (2011). Evaluasi Sistem Surveilans BBLR di Kabupaten Temanggung Tahun 2011. Tugas Evaluasi Sistem Surveilans: FKM UI, Depok. Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung. (2009). Profil Kesehatan Kabupaten Temanggung Tahun 2008. Temanggung. Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung. (2010). Profil Kesehatan Kabupaten Temanggung Tahun 2009. Temanggung. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. (2009). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2008. Semarang. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. (2010). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2009. Semarang. Wijayasoemantri, H.T. (2003). Pengaruh Pelatihan Penatalaksanaan ISPA Kepada Bidan Puskesmas Dan Dampaknya Terhadap Kepuasaan Ibu Bayi Di Kabupaten Sumedang. Tesis: FKM UI, Depok. Kalsey, J.L., et al. (1996). Methods In Observational Epidemiology. Oxford University Press: New York. Kementrian Kesehatan RI, Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. (1999). Pedoman Teknis Pelayanan Kesehatan Dasar, Pelayanan Kesehatan Neonatal tahun 1999. Jakarta. Kementrian Kesehatan RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2007). Riset Kesehatan Dasar 2007, Jakarta. Kementrian Kesehatan RI. (2009). Buku Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu Dan Anak Edisi Tahun 2009. Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat: Jakarta. Kementrian Kesehatan RI. (2010). Panduan Pelayanan Kesehatan Bayi Baru Lahir
107
Artawan Eka Putra & Djuwita
Vol. 1 No. 2 : 98-108
Berbasis Perlindungan Anak. Direktorat Kesehatan Anak Khusus: Jakarta. Kementrian Kesehatan RI. (2010). Pedoman Mamanjemen Terpadu Bayi Muda. Direktorat Kesehatan Anak Khusus. Jakarta. Notoatmodjo, S. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar. PT Rineka Cipta: Jakarta. Soetimah. (2004). Pengaruh Pelatihan Berdasar Kompetensi Terhadap Kepatuhan Bidan Melaksanakan Pencegahan Infeksi Pada Persalinan Normal Di Rumah Bersalin Puskesmas Di Kecamatan Jakarta Timur. Tesis: FKMUI, Depok.
108
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
PENYULUHAN MENINGKATKAN PENGETAHUAN KEPALA DESA DAN BPD TENTANG MANAJEMEN PENGELOLAAN DAN PENGAWASAN KEUANGAN DESA DI KECAMATAN NATAR KABUPATEN LAMPUNG SELATAN Oleh : Agus Hadiawan, Syafarudin, Amantoto Dwijono, Arizka Warganegara, dan Darmawan Purba. Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila ABSTRACT Extension took place on July 10, 2012 at district hall Natar, South Lampung regency. Participants came from 22 villages in the district Natar. Village heads were 18 people present, who have as a deputy 4 people (sekdes or staff). While BPD was attended by the chairman or members of the BPD. The results and conclusions of this service activities are: (a) counseling given was to increase the knowledge and attitude of the head of the village head and the village of BPD on financial management as set forth in Permendagri 37 of 2007 as well as their efforts to resolve the conflict management and financial control of the village by way of dialogue or deliberation; (b) the level of knowledge of the head of the village head and BPD financial management of the village as provided in Permendagri 37 of 2007 initially low, but after the extension increases the level of their knowledge, (c) the attitude of the village head and BPD attitude that prioritizes dialogue and deliberation to resolve the conflict management and financial control of the village of approval than before held counseling. Keywords: Financial Management of Rural Management, APBDesa PENDAHULUAN Hasil- hasil penelitian mahasiswa yang dibimbing dosen FISIP Unila 1 terakhir ini menunjukan bahwa ada problem dalam manajemen pengelolaan keuangan desa sebagaimana diamanatkan UU 32/2004, PP 72/2005, dan Permendagri 37/2007. Problem tersebut antara lain, belum dipahaminya pengertian keuangan desa, azas pengelolaan keuangan desa, sumber pendapatan desa, sumber pendapatan asli desa, pelaksanaan APBDes, perubahan APBdes, penatausahaan penerimaan, penatausahaan pengeluaran, pertanggungjawaban penggunaan dana, pertanggungjawaban pelaksanaan APBDes, dan pembahasan bersama antara kepala desa dan BPD tentang Perdes Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBDes. Hasil wawancara pra pengabdian (dengan Camat Natar Ibu Bayana, tanggal 12 Maret 2012, di Kec. Natar, Kabupaten Lampung Selatan) mengungkapkan bahwa memang ada problem manajemen pengeloaan keuangan desa di beberapa 1
Misalnya penelitian Arif Hidayat Pratama. 2012. “Pola Pengawasan BHP Terhadap Pelaksanaan APBDes (Studi di Desa Sukamara Kec. Bulok, Kabupaten Tanggamus)”. Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Un ila. Skripsi. Tidak Dipublikasikan.
17
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
desa di kecamatan Natar, terutama terkait pungutan desa dan anggaran penerimaan dan belanja desa. Kekurangmengertian kepala desa dan BPD terhadap manajemen pengelolaan keuangan desa bukan hanya karena kurangnya sosialisasi, namun juga karena perkembangan pemerintahan desa dan perubahan regulasi yang demikian cepat. Bila kita telusuri sejarah perkembangan regulasi yang mengatur tentang desa maka terlihat jelas bahwa desa berkembang cukup dinamis. Pada zaman kolonial Belanda (1906-1942), desa di Jawa dan Madura diatur dalam Inlandse Gemeente Ordonantie (IGO) stbl 83 tahun 1906 dan desa di luar Jawa dan Madura diatur dalam Inlandse Gemeente Ordonantie Buitengeweesten (IGOB) stbl 490 tahun 1938. Pada masa militer Jepang (1942-1945), IGO dan IGOB masih berlaku, namun diberlakukan pula UU No.1 tahun 1942 Osamu Seirei yang juga mengatur tentang desa. Masa kemerdekaan hingga berakhirnya rezim orde lama, desa sempat diatur dalam UU 22/1948, UU 1/1957, dan UU 19/1965. Zaman orde baru, makin parah. Mulailah timbul penyeragaman dan penggerusan otonomi desa dengan diberlakukan UU No.5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Kondisi pemerintahan dan masyarakat desa dari zaman Belanda hingga orde baru tumbang, sangat memprihatinkan. Pemerintah dan masyarakat desa identik dengan ketidakberdayaan, kaum marginal, lemah, miskin, bodoh, dan terbelakang. Era reformasi membawa peluang perubahan mewujudkan otonomi desa melalui terbitnya UU No.22/1999 yang kemudian diubah dengan UU 32/2004. Bahkan PP 72/2005 tentang Desa sudah pula diterbitkan dan dapat segera menjadi payung hukum bagi pemerintah daerah menyusun peraturan daerah mengenai desa. Ada perubahan paradigma pemerintah pusat dalam memandang kelembagaan pemerintahan dan masyarakat desa. Bila semula dipandang lembaga sosial, kini diharapkan menjadi ujung tombak pemerintahan yang profesional. Syarat dasar otonomi, yakni adanya kewenangan, dana, sdm, sarana, dan manajemen pemerintahan-- mulai ingin dipenuhi dan diwujudkan pemerintah. Kewenangan desa saat ini tidak sebatas urusan pemerintah yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa. Namun meliputi pula urusan pemerintahan kewenangan kabupaten yang diserahkan pengaturannnya kepada desa, tugas pembantuan, dan urusan pemerintah lain yang diserahkan kepada desa (Pasal 7 PP 72/2005). Sumber keuangan atau pendapatan desa berasal dari pendapatan asli desa; bagi hasil pajak daerah; bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten; hibah dan sumbangan pihak ketiga. Yang saat ini dinantidan sudah terealisasi adalah bersumber dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota untuk desa paling sedikit 10%, yang pembagian untuk setiap desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa (Pasal 68 PP 72/2005). Desa dimungkinkan membentuk badan usaha atau BUMDes (Pasal 78-81 PP 72/2005), sekretaris desa selaku motor penggerak administrasi, pelayan publik, dan pembangunan di desa diharapkan adalah seorang PNS (Pasal 25 PP 72/2005). Berangkat dari analisis situasi ini maka kami memandang perlu untuk melakukan penyuluhan meningkatkan pengetahuan Kepala Desa dan BPD tentang manajemen pengelolaan dan pengawasan keuangan desa bagi 22 desa di lingkungan kecamatan Natar. TUJUAN
18
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
(a) Mensosialisasikan pedoman pengelolaan keuangan desa sebagaimana diatur dalam Permendagri 37 Tahun 2007. (b) Meningkatkan pengetahuan dan sikap kepala kepala desa dan BPD mengenai pedoman pengelolaan keuangan desa sebagaimana diatur dalam Permendagri 37 Tahun 2007. (c) Meningkatkan harmonisasi peran kepala desa, BPD, dan pihak kecamatan Natar dalam pengelolaa keuangan desa, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat desa. (d) Mendorong pentingnya dialog dan musyawarah mufakat antara kepala desa dan BPD dalam menyelesaikan konflik pengelolaan keuangan desa. (a) Mengukur tingkat pengetahuan dan sikap (awal dan akhir) kepala kepala desa dan BPD mengenai pedoman pengelolaan keuangan desa sebagaimana diatur dalam Permendagri 37 Tahun 2007. (b) Mengukur tingkat keberhasilan atau tingkat kegagalan penyuluhan yang diberikan dosen Unila mengenai pedoman pengelolaan keuangan desa sebagaimana diatur dalam Permendagri 37 Tahun 2007. MODEL KONSEPTUAL: KERANGKA PEMECAHAN MASALAH Keuangan desa dikelola berdasarkan azas-azas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran. Pengelolaan keuangan desa dikelola dalam masa 1 (satu) tahun anggaran yakni mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Kepala Desa sebagai Kepala Pemerintah Desa adalah Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa dan mewakili Pemerintah Desa dalam kepemilikan kekayaan desa yang dipisahkan. Kepala Desa sebagaimana dimaksud diatas, mempunyai kewenangan: a. menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBDesa b. menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang desa c. menetapkan bendahara desa d. menetapkan petugas yang melakukan pemungutan penerimaan desa; dan e. menetapkan petugas yang melakukan pengelolaan barang milik desa. Kepala Desa dalam melaksanakan pengelolaan keuangan desa, dibantu oleh Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD). Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD) adalah Perangkat Desa, terdiri dari:Sekretaris Desa; dan Perangkat Desa lainnya. Asumsi persoalan dalam kasus ini yakni ada problem dalam manajemen pengelolaan keuangan desa sebagaimana diamanatkan UU 32/2004, PP 72/2005, dan Permendagri 37/2007. Problem tersebut antara lain, belum dipahaminya pengertian keuangan desa, azas pengelolaan keuangan desa, sumber pendapatan desa, sumber pendapatan asli desa, pelaksanaan APBDes, perubahan APBdes, penataausahaan penerimaan, penataausahaan pengeluaran, pertanggungjawaban penggunaan dana, pertanggungjawaban pelaksanaan APBDes, dan pembahasan bersama antara kepala desa dan BPD tentang Perdes Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBDes. Kerangka pemecahan masalah dalam hal ini adalah melakukan penyuluhan dan mendorong agar masing- masing pihak memperbaiki perencanaan dan 19
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
pelaksanaan pengelolaan keuangan desa dalam rangka meningkatkan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Kerangka pemecahan masalah ini melibatkan pula unsur kecamatan dan camat melakukan pembinaan terhadap dalam rangka memediasi serta membina aparat pemerintahan desa, baik dari unsur pelaksana dan pengawas. Kerangka pemecahan masalah ini berpedoman kepada teori AAGN Dwipayana dkk (2003), yang menekankan langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk mewujudkan harmonisasi pelaksanaan peran kelembagaan di desa yakni: 1. kelembagaan di desa perlu memahami tugas dan peran sebagaimana telah diatur dalam berbagai ketentuan; 2. masing- masing kelembagaaan di desa perlu mewujudkan prinsip tata pemerintaha yang baik yang meliputi transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. 3. Mengutamakan dialog dalam setiap perencanaan dan pembahasan persoalan yang muncul. 4. Meningkatkan koordinasi secara horisontal dan vertikal serta me ningkatkan koordinasi secara internal dan eksternal kepada pihak-pihak terkait. Kerangka pemecahan dalam kasus ini difokuskan kepada dua hal yakni : (a) kelembagaan di desa perlu memahami tugas dan peran mereka terkait pengelolaan keuangan di desa sebagaimana telah diatur dalam berbagai ketentuan melalui kegiatan penyuluhan; (b) melalui penyuluhan yang dilakukan dosen Unila ini maka kepala desa dan BPD diharapkan pula mengutamakan dialog dan kerja sama dalam dalam setiap perencanaan dan pembahasan persoalan yang muncul. Kerangka pemecahan masalah dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 1. Kerangka Pemecahahan Masalah KONDIS I S EKARANG Kades dan BPD: Pengetahuan manajemen pengelolaan keuangan desa rendah, kadang konflik, belum mengutamakan dialog./ musyarwarah mufakat
KONDIS I YANG DIHARAPKAN Kades dan BPD: Pengetahuan manajemen pengelolaan keuangan desa men ingkat, jarang konflik,mengutamakan dialog./ musyarwarah
PENYULUHAN DOS EN UNILA: 1. Sosialisasi UU 32/2004, PP 72/ 2005, Permendagri 37/2007 tentang pengelolaan keuangan desa 2. Mengutamakan d ialog atau musyawarah mufakat dalam memecahkan persoalan. 3. Mengutamakan pembangunan, pelayananan, dan kesejehteraan masyarakat. 4. Mendiskusikan persoalan dan mencari solusi
20
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
METODE Dalam memecahkan masalah atau menggeser dari kondisi yang kurang baik menuju kondisi yang lebih baik lagi, selain menggunakan metode penyuluhan se arah (one way), maka dilakukan juga kegiatan diskusi (two way) serta kegiatan penilaian (assesment) melalui pemberian lembar tes awal (pre test) dan tes akhir (post test). Bahkan pada beberapa waktu sebelumnya (12 Maret 2012) dilakukan juga kegiatan koordinasi, konfirmasi dan interview dengan pihak kecamatan mengenai kondisi saat ini dan kondisi ideal yang hendak dicapai. Sasaran penyuluhan ini adalah 22 kepala desa dan 22 ketua BPD seKecamatan Natar, kabupaten Lampung Selatan. Mediator penyuluhan ini adalah Camat Natar yakni Ibu Bayana. Penyuluhan berlangsung di Aula Kecamatan Natar, pada tanggal 10 Juli 2012. HASIL DAN PEMBAHASAN Meningkatkan Pengetahuan tentang Azas Pengelolaan Keuangan Desa Dari 44 responden (n=44) diketahui bahwa pengetahuan tentang azas pengelolaan keuangan desa mengalami peningkatan dapat dilihat pada tabel berikut ini . Tabel 1. Pengetahuan tentang azas pengelolaan keuangan desa PRE TES T Apakah anda tahu Jawaban azas pengelolaan a. sangat tahu keuangan desa ? b. tahu c. cukup tahu d. kurang tahu e. tidak tahu
% 27,3 59 9,1 4,6 0
POST TES T Apakah anda tahu Jawaban azas pengelolaan a. sangat tahu keuangan desa ? b. tahu c. cukup tahu d. kurang tahu e. tidak tahu
Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuisioner, 2012
% 31,7 63,7 4,6 0 0
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa terjadi peningkatan dari kategori “sangat tahu” semula 27,3% menjadi 31,7% atau meningkat sebanyak 4,4%. Sedangkan kategor “tahu” semula 59% menjadi 63,7% atau meningkat sebanyak 4,7%. Ini berarti unsur pemerintahan desa di Natar umumnya sudah tahu mengetahui azas pengelolaan keuangan desa. Meningkatkan Pengetahuan tentang Fungsi Kepala Desa sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa Dari 44 responden (n=44) diketahui bahwa pengetahuan tentang fungsi kepala desa sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa mengalami peningkatan dapat dilihat pada tabel berikut ini
21
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
Tabel 2. Pengetahuan tentang Fungsi Kepala Desa sebagai Pe megang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa PRE TES T Apakah anda tahu Jawaban Fungsi Kepala Desa a. sangat tahu sebagai Pemegang b. tahu Kekuasaan c. cukup tahu Pengelolaan d. kurang tahu Keuangan Desa? e. tidak tahu
% 9,1 72,7 9,1 9,1 0
POST TES T Apakah anda tahu Jawaban Fungsi Kepala Desa a. sangat tahu sebagai Pemegang b. tahu Kekuasaan c. cukup tahu Pengelolaan d. kurang tahu Keuangan Desa? e. tidak tahu
Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuisioner, 2012
% 13,7 77,2 9,1 0 0
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa terjadi peningkatan dari kategori “sangat tahu” semula 9,1% menjadi 13,7% atau meningkat sebanyak 4,6%. Sedangkan kategor “tahu” semula 72, 7% menjadi 77,2% atau meningkat sebanyak 4,5%. Ini berarti unsur pemerintahan desa di Natar umumnya sudah tahu mengetahui fungsi kepala desa sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa. Meningkatkan Pengetahuan tentang Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Dari 44 responden (n=44) diketahui bahwa pengetahuan tentang struktur anggaran pendapatan dan belanja desa mengalami peningkatan dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 3. Pengetahuan tentang Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa PRE TES T Apakah anda tahu Jawaban tentang struktur a. sangat tahu anggaran b. tahu pendapatan dan c. cukup tahu belanja desa ? d. kurang tahu e. tidak tahu
% 18,1 72,7 4,6 4,6 0
POST TES T Apakah anda tahu Jawaban tentang struktur a. sangat tahu anggaran pendapatan b. tahu dan belanja desa ? c. cukup tahu d. kurang tahu e. tidak tahu
Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuisioner, 2012
% 18,1 77,2 4,6 0 0
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa terjadi peningkatan dari kategori “tahu” semula 72,7% menjadi 77,2% atau meningkat sebanyak 4,5%. Ini berarti unsur pemerintahan desa di Natar umumnya sudah tahu tentang struktur anggaran pendapatan dan belanja desa. Meningkatkan Pengetahuan tentang Hubungan antara RAPBDes dengan RPJMDes dan RKPDes Dari 44 responden (n=44) diketahui bahwa pengetahuan tentang hubungan antara RAPBDes dengan RPJMDes dan RKPDes mengalami peningkatan dapat dilihat pada tabel berikut ini.
22
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
Tabel 4. Pengetahuan tentang Hubungan antara RAPBDes dengan RPJMDes dan RKPDes PRE TES T Apakah anda tahu Jawaban tentang hubungan a. sangat tahu antara RAPBDes b. tahu dengan RPJMDes c. cukup tahu dan RKPDes? d. kurang tahu e. tidak tahu
% 18,1 59 18,1 4,6 0
POST TES T Apakah anda tahu Jawaban a. sangat tahu tentang hubungan antara RAPBDes b. tahu dengan RPJMDes c. cukup tahu dan RKPDes? d. kurang tahu e. tidak tahu
Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuisioner, 2012
% 22,8 72,7 4,6 0 0
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa terjadi peningkatan dar i kategori “sangat tahu” semula 18,1% menjadi 22,8% atau meningkat sebanyak 4,7%. Sedangkan kategor “tahu” semula 59% menjadi 72,7% atau meningkat sebanyak 13,7%. Ini berarti unsur pemerintahan desa di Natar umumnya sudah tahu tentang hubungan antara RAPBDes dengan RPJMDes dan RKPDes. Meningkatkan Pengetahuan tentang Cara Merubah APBDesa Dari 44 responden (n=44) diketahui bahwa pengetahuan tentang cara merubah APBdesa mengalami peningkatan dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 5. Pengetahuan tentang Cara Merubah APBDesa PRE TES T Apakah anda tahu Jawaban cara merubah APB a. sangat tahu desa ? b. tahu c. cukup tahu d. kurang tahu e. tidak tahu
% 4,6 50 27,3 13,63 0
POST TES T Apakah anda tahu Jawaban cara merubah APB a. sangat tahu desa? b. tahu c. cukup tahu d. kurang tahu e. tidak tahu
Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuisioner, 2012
% 4,6 77,2 18,1 0 0
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa terjadi peningkatan dari kategori “tahu” semula 50% menjadi 77,2% atau meningkat seba nyak 27,2%. Ini berarti unsur pemerintahan desa di Natar umumnya sudah tahu cara merubah APBdesa. Meningkatkan Pengetahuan tentang Mekanisme Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBDesa Dari 44 responden (n=44) diketahui bahwa pengetahuan tentang mekanisme pertanggungjawaban pelaksanaan APBDesa mengalami peningkatan dapat dilihat pada tabel berikut ini.
23
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
Tabel 6. Pengetahuan tentang mekanis me pertanggungjawaban pelaksanaan APBDesa PRE TES T Apakah anda tahu Jawaban a. sangat tahu mekanis me pertanggungjawaban b. tahu pelaksanaan c. cukup tahu APBDesa? d. kurang tahu e. tidak tahu
% 4,6 45,4 27,2 22,7 0
POST TES T Apakah anda tahu Jawaban a. sangat tahu mekanis me pertanggungjawaban b. tahu pelaksanaan c. cukup tahu APBDesa? d. kurang tahu e. tidak tahu
Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuisioner, 2012
% 9,2 77,2 13,63 0 0
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa terjadi peningkatan dari kategori “sangat tahu” semula 4,6% menjadi 9,2% atau meningkat sebanyak 4,6%. Sedangkan kategor “tahu” semula 45,4% menjadi 77,2% atau meningkat sebanyak 31,8%. Ini berarti unsur pemerintahan desa di Natar umumnya sudah tahu mekanisme pertanggungjawaban pelaksanaan APBDesa. Meningkatkan Pengetahuan tentang Penggunaan 30 Pe rsen ADD untuk Belanja Operasional Peme rintah Desa Dari 44 responden (n=44) diketahui bahwa pengetahuan tentang Penggunaan 30 Persen ADD untuk belanja operasional Pemerintah Desa mengalami peningkatan dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 7. Pengetahuan tentang Penggunaan 30 Persen ADD untuk belanja operasional Pemerintah Desa PRE TES T Apakah anda tahu Jawaban bahwa penggunaan a. sangat tahu 30 Persen ADD b. tahu untuk belanja c. cukup tahu operasional d. kurang tahu Pemerintah Desa? e. tidak tahu
% 9,1 70,7 9,1 9,1 0
POST TES T Apakah anda tahu Jawaban bahwa penggunaan a. sangat tahu 30 Persen ADD b. tahu untuk belanja c. cukup tahu operasional d. kurang tahu Pemerintah Desa? e. tidak tahu
Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuisioner, 2012
% 13,7 75,2 9,1 0 0
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa terjadi peningkatan dari kategori “sangat tahu” semula 9,1% menjadi 13,7% atau meningkat sebanyak 4,6%. Sedangkan kategor “tahu” semula 70, 7% menjadi 75,2% atau meningkat sebanyak 4,5%. Ini berarti unsur pemerintahan desa di Natar umumnya sudah tahu bahwa penggunaan 30 Persen ADD untuk belanja operasional Pemerintah Desa. Meningkatkan Pengetahuan tentang 70 Persen ADD untuk Biaya Pemberdayaan Masyarakat Dari 44 responden (n=44) diketahui bahwa pengetahuan tentang 70 persen ADD untuk biaya pemberdayaan masyarakat mengalami peningkatan dapat dilihat pada tabel berikut ini. 24
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
Tabel 8. Pengetahuan tentang 70 persen ADD untuk biaya pemberdayaan masyarakat PRE TES T Apakah anda tahu Jawaban a. sangat tahu bahwa 70 persen ADD untuk biaya b. tahu pemberdayaan c. cukup tahu masyarakat? d. kurang tahu e. tidak tahu
% 18,1 70,7 4,6 4,6 0
POST TES T Apakah anda tahu Jawaban a. sangat tahu bahwa 70 persen ADD untuk biaya b. tahu pemberdayaan c. cukup tahu masyarakat? d. kurang tahu e. tidak tahu
Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuisioner, 2012
% 18,1 75,2 4,6 0 0
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa terjadi peningkatan dari kategori “tahu” semula 70,7% menjadi 75,2% atau meningkat sebanyak 4,5%. Ini berarti unsur pemerintahan desa di Natar umumnya sudah tahu bahwa 70 persen ADD untuk biaya pemberdayaan masyarakat. Mengutamakan Sikap Dialog dan Musyawarah dalam Penyelesaian Konflik Pengelolaan Keuangan Desa Dari 44 responden (n=44) diketahui bahwa sikap mengutamakan dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan konflik pelaksanaan dan pengawasan APBDesa antara kepala desa dan BPD mengalami peningkatan dapat dilihat pada tabel berikut ini Tabel 9. Sikap Mengutamakan Dialog dan Musyawarah dalam Menyelesaikan Konflik Pelaksanaan dan Pengawasan APBDesa antara Kepala Desa dan BPD
PRE TES T Sikap mengutamakan Jawaban dialog dan musyawarah a. sangat setuju dalam menyelesaikan b. setuju konflik pelaksaaan dan c. cukup setuju pengawasan APBdesa d. kurang setuju antara Kepala Desa dan e. tidak setuju BPD
% 45,4 45,4 9,2 0 0
POST TES T Sikap mengutamakan Jawaban dialog dan musyawarah a. sangat setuju dalam menyelesaikan b. setuju konflik konflik c. cukup setuju pelaksaaan dan d. kurang setuju pengawasan APBdesa e. tidak setuju antara Kepala Desa dan BPD
Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuisioner, 2012
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa terjadi peningkatan dari kategori sikap “sangat setuju” semula 45,4% menjadi 54,6% atau meningkat sebanyak 9,2%. Sedangkan kategor “setuju” semula 45,4% tetap sebesar 45,4%. Ini berarti unsur pemerintahan desa di Natar umumnya sangat setuju menguta makan sikap berdialog dan bermusyawarah untuk menyelesaikan konflik pelaksanaan dan pengawasan APBdesa antara kepala desa dan BPD bila sewaktu-waktu muncul konflik tersebut. Selanjutnya, dari 44 responden (n=44) diketahui bahwa sikap mengutamakan dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan konflik pelaksanaan dan pengawasan APBdesa yang melibatkan masyarakat, kepala desa dan mengalami peningkatan dapat dilihat pada tabel berikut ini
25
% 54,6 45,4 0 0 0
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
Tabel 10. Sikap Mengutamakan Dialog dan Musyawarah dalam Menyelesaikan Konflik antara masyarakat, kepala desa dan BPD PRE TES T Sikap mengutamakan Jawaban dialog dan musyawarah a. sangat setuju dalam menyelesaikan b. setuju konflik pelaksanaan c. cukup setuju dan pengawasan d. kurang setuju APBdesa antara e. tidak setuju masyarakat, Kepala Desa dan BPD
% 50 45,4 4,6 0 0
POST TES T Sikap mengutamakan Jawaban dialog dan musyawarah a. sangat setuju dalam menyelesaikan b. setuju konflik pelaksanaan c. cukup setuju dan pengawasan d. kurang setuju APBdesa antara e. tidak setuju masyarakat, Kepala Desa dan BPD
Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuisioner, 2012
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa terjadi peningkatan dari kategori sikap “sangat setuju” semula 50% menjadi 54,6% atau meningkat sebanyak 4,6%. Sedangkan kategor “setuju” semula 45,4% tetap sebesar 45,4%. Ini berarti unsur pemerintahan desa di Natar umumnya sangat setuju mengutamakan sikap berdialog dan bermusyawarah untuk menyelesaikan konflik pelaksanaan dan pengawasan APBdesa antara masyarakat, kepala desa dan BPD bila sewaktuwaktu muncul konflik tersebut. Pembahasan Dari pelaksanaan penyuluhan dan hasil pre test dan post test sebagaimana dipaparkan di atas maka dapat diketahui sebagai berikut: (a) Tingkat pengetahuan kepala kepala desa dan BPD mengenai pengelolaan keuangan desa sebagaimana diatur dalam Permendagri 37 Tahun 2007 awalnya rendah, namun setelah dilakukan penyuluhan maka tingkat pengetahuan mereka meningkat. (b) Sikap kepala desa dan BPD agar mengutamakan sikap berdialog dan bermusyawarah untuk menyelesaikan konflik pelaksanaan dan pengawasan APBDesa semakin mendapat persetujuan ketimbang sebelum diadakan penyuluhan. (c) Dengan demikian, penyuluhan yang diberikan dosen Unila dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap kepala kepala desa dan BPD mengenai pengelolaan keuangan desa sebagaimana diatur dalam Permendagri 37 Tahun 2007 serta meningkatkan upaya mereka menyelesaikan konflik pengelolaan dan pengawasan keuangan desa dengan cara berdialog atau bermusyawarah. Selanjutnya, apabila dikaitkan dengan pandangan AAGN Dwipayana dkk (2003) mengenai langkah- langkah yang bisa dilakukan untuk mewujudkan harmonisasi pelaksanaan peran kelembagaan di desa, maka sebenarnya penyuluhan ini baru menyentuh 2 langkah atau 2 aspek saja yakni (a) kelembagaan di desa memang perlu memahami tugas dan peran sebagaimana telah diatur dalam berbagai ketentuan; (b) mengutamakan dialog dalam setiap perencanaan dan pembahasan persoalan yang muncul. Oleh karena itu, pada masa mendatang memang perlu ditambah penyuluhan mengenai mewujudkan prinsip tata pemerintahan yang baik yang meliputi 26
% 54,6 45,4 0 0 0
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas di desa. Selanjutnya kelembagaan pemerintahan desa mesti didorong untuk meningkatkan koordinasi secara horisontal dan vertikal serta meningkatkan koordinasi secara internal dan eksternal kepada pihak-pihak terkait. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan (1) Penyuluhan yang diberikan dosen Unila telah dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap kepala kepala desa dan BPD mengenai pengelolaan keuangan desa sebagaimana diatur dalam Permendagri 37 Tahun 2007 serta upaya mereka menyelesaikan konflik dengan cara berdialog atau bermusyawarah. (2) Tingkat pengetahuan kepala kepala desa dan BPD mengenai pengelolaan keuangan desa sebagaimana diatur dalam Permendagri 37 Tahun 2007 awalnya rendah, namun setelah dilakukan penyuluhan maka tingkat pengetahuan mereka meningkat. (3) Sikap kepala desa dan BPD agar mengutamakan sikap berdialog dan bermusyawarah untuk menyelesaikan konflik pengelolaan dan pengawasan keuangan desa semakin mendapat persetujuan ketimbang sebelum diadakan penyuluhan. Saran (1) Untuk Camat Natar, agar kepala desa dan BPD lebih harmonis dalam pengelolaan dan pengawasan keuangan desa maka kiranya pihak kecamatan perlu mengimbau dan membimbing unsur pemerintahan desa menerapkan prinsip tata pemerintahan yang baik yang meliputi transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Selanjutnya kelembagaan pemerintahan desa mesti didorong untuk meningkatkan koordinasi secara horisontal dan vertikal serta meningkatkan koordinasi secara internal dan eksternal kepada pihak-pihak terkait. (2) Untuk FISIP Unila, kiranya dapat menampung dan menindaklanjuti usul dari pihak kecamatan Natar bahwa kegiatan asistensi pengisian buku administrasi desa di lingkungan kecamatan Natar yang pernah dilakukan mahasiswa dan dosen FISIP Unila pada tahun 2011 bisa kembali dilanjutkan pada tahun 2012 ini dengan cara menerjunkan mahasiswa ke 22 desa di Kecamatan Natar. DAFTAR PUSTAKA AAGN Ari Dwipayana dan Sutoro (Ed). 2003. Membangun Good Governance di Desa. IRE Press. Yogyakarta. Bambang Purwanto. 2007. Ekonomi dan Demokrasi Desa dalam Perspektif Sejarah. Pasca Sarjana PLOD UGM. Yogyakarta. Makalan workshop ”Desentralisasi dan Good Governance di Tingkat Desa”. Dawam Raharjo. 2007. Ekonomi Desa dan Manajemen Pemerintahan Desa. Pasca Sarjana PLOD UGM. Yogyakarta. Makalan workshop ”Desentralisasi dan Good Governance di Tingkat Desa”.
27
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
Denden Kurnia Drajat dkk. 2006. Peran Pemerintah dan Masyarakat Desa dalam Mengelola HKm di Hutan Lindung (Studi di Pekon Tri Budi Syukur dan pekon Gunung Terang Kabupaten Lampung Barat). Hasil Penelitian. Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila dan LSM Watala. Bandar Lampung. M.Iqbal Yudhistira. 2011. “Koordinasi Kepala Desa dan BPD dalam Penetapan APBDes (Studi di Desa Marga Kaya Kabupaten Pesawaran)”. Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Syafarudin, ”Memberdayakan Pemerintahan Desa”, Artikel di Lampung Post, 25 September 2010. Sadu Wasistiono dan Irwan Tahir, Irwan. 2006. Prospek Pengembangan Desa. Penerbit Fokusmedia. Jakarta. Peraturan-Peraturan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa
28
Perancangan Model Manajemen Pengetahuan menggunakan Model Nonaka Takeuchi (Studi Kasus Administrasi Akademik) Robby Tan Jurusan S1 Teknik Informatika Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Kristen Maranatha Jl. Prof. Drg. Suria Sumantri no. 65 Bandung 40164 email: [email protected] Abstract Education quality is one of the main factors in executing education process. This value can be measured from the quality of the educators, curriculum, books, and many more. On the other hand, there is other determining factor that is equally important, which is the service of the place of education. In order to create good service, there should be a standard of service and equality of information from all the stakeholders. With the increase of the knowledge and information, the service should be faster and the decision process should be more effective. Meanwhile, not all of the knowledge and information inside an organization is in explicit forms, and still many tacit knowledge and information. Author proposes the design model of knowledge management so that the tacit knowledges can be collected and transform into explicit forms. The design model will use the model from Nonaka Takeuchi, in which the creation of knowledge is sourced from each individuals and then is transmitted and externalized, collected and transformed into a new knowledge. Keywords: knowledge management, knowledge management portal model, SOP
1. Pendahuluan Saat ini teknologi informasi sudah dimanfaatkan dan berkembang dalam segala aspek kehidupan manusia. Hal itu juga berarti dalam bidang akademik atau pendidikan. Dalam bidang pendidikan, teknologi informasi itu terwujud dalam sebuah sistem yang bernama sistem informasi akademik. Sistem informasi akademik kini sudah banyak dikembangkan oleh banyak perguruan tinggi untuk menunjang kebutuhan akan informasi akademik dan meningkatkan pelayanan bagi mahasiswa dan seluruh civitas akademika. Dalam sistem informasi tersebut terdapat beberapa bagian yang dapat dibahas secara luas. Di sini penulis mengkhususkan pada bagian sistem informasi akademik. Sistem informasi akademik mencakup pelayanan kepada mahasiswa dan kepada dosen, khususnya kepada sivitas akademika. Pelayanan ini mencakup apa saja yang harus dilakukan dalam sebuah kegiatan, dokumen-dokumen yang dipakai, dan bagaimana pertanggungjawaban kegiatan-kegiatan tersebut. Untuk memenuhi standar mutu sebuah pelayanan yang baik maka diperlukan sebuah Standard Operating Procedures (SOP). Untuk membuat sebuah SOP yang baik diperlukan berbagai macam pengetahuan yang terdapat dalam sistem tersebut. Saat ini prosedur-prosedur yang ada sudah dibuat akan tetapi belum dibakukan menjadi bentuk SOP. Selain itu juga masih banyak pengalaman-pengalaman dan pengambilan keputusan yang sifatnya masih berupa tacit knowledge yang berarti pengetahuan tersebut masih bersifat personal dan masih terdapat di pikiran individu-individu yang terlibat dalam sistem 53
Jurnal Informatika, Vol.6, No.1, Juni 2010: 51 - 64
tersebut. Untuk dapat menghasilkan SOP yang baik yang sesuai dengan standar mutu adminstrasi akademik setiap perguruan tinggi maka tacit knowledge yang berupa pengalaman-pengalaman individu tersebut akan disatukan bersama dengan prosedur-prosedur sehingga menjadi sebuah explicit knowledge yang dapat diketahui oleh semua pihak sehingga dapat menjadi aset yang berharga bagi organisasi dan dapat dikembangkan lebih luas lagi sehingga tercipta sebuah standar kerja yang baik. Secara umum, SOP adalah sebuah penetapan tertulis mengenai apa yang harus dilakukan, kapan, di mana, dan oleh siapa, beserta dengan cara yang paling efektif. SOP diperlukan karena seringkali banyak organisasi yang melakukan kerja dengan prosedur kerja yang tidak jelas dan tidak transparan. Atau mungkin saja sebuah organisasi sudah mempunyai sebuah prosedur kerja yang jelas, namun prosedur kerja tersebut mungkin saja berbeda-beda (tidak standar) meski untuk pelayanan tersebut menghasilkan output yang sama. Dengan prosedur kerja yang berbeda-beda, hal tersebut dapat mempersulit bagi mahasiswa maupun dosen untuk lebih memahami prosedur yang benar secara utuh. Atau dapat saja terjadi peraturan-peraturan non tertulis yang masih dimiliki oleh individu, sehingga memungkinkan terjadinya sebuah pengambilan keputusan yang salah karena pengetahuan tersebut masih bersifat personal. Di sisi lain, meskipun output yang dihasilkan sama, tetapi mutu pelayanan mungkin saja berbeda. Dapat saja terjadi bahwa seseorang mendapatkan informasi yang berbeda dari orang-orang yang terlibat dalam organisasi sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman mengenai pelayanan tersebut. Atau mungkin saja dengan birokrasi yang terlalu berbelit-belit, tujuan akhir dari pelayanan tersebut tidak tersampaikan kepada mahasiswa. 2. Landasan Teori Secara umum, knowledge dalam padanan kata bahasa Indonesia berarti pengetahuan. Akan tetapi pengertian lebih luas dari pengetahuan yaitu penggunaan secara menyeluruh dari informasi dan data yang diselaraskan dengan kemampuan potensial, kompetensi, ide/pikiran, komitmen dan motivasi seseorang. Atau dengan kata lain pengetahuan merupakan pemahaman manusia terhadap sesuatu yang telah didapatkan melalui proses pembelajaran dan pengalamannya. Saat ini, pengetahuan dipandang sebagai komoditas dari aset intelektual yang mempunyai komoditas yang berbeda dengan komoditas-komoditas lainnya. Hal-hal yang membedakan pengetahuan dengan komoditas-komoditas lainnya adalah: a. Penggunaan dari pengetahuan tidak akan menghabiskan pengetahuan itu sendiri. b. Penyampaian pengetahuan kepada pihak lain tidak akan membuat pemberi pengetahuan kehilangan pengetahuan tersebut. c. Kemampuan untuk menggunakan pengetahuan masih sangat sedikit sedangkan pengetahuan sendiri sangat luas. d. Kebanyakan dari pengetahuan berharga dari sebuah organisasi berakhir sama seperti berakhirnya hari. Pengetahuan terbagi menjadi dua jenis yaitu tacit knowledge dan explicit knowledge. Tacit knowledge merupakan pengetahuan dari para pakar baik individu 54
Perancangan Model Manajemen Pengetahuan menggunakan Model Nonaka Takeuchi (Studi Kasus Administrasi Akademik) (Robby Tan)
maupun masyarakat beserta dengan pengalaman-pengalaman. Tacit knowledge sangat sulit untuk dibagikan kepada orang lain sehingga muncullah sebuah ungkapan “Kita lebih tahu dari apa yang dapat kita katakan”. Sedangkan explicit knowledge merupakan sesuatu yang dapat diekspresikan dengan kata-kata maupun angka serta dapat disampaikan dalam bentuk ilmiah, spesifik, manual, dan sebagainya. Sebagai contoh pembanding tacit dan explicit knowledge yaitu: seorang anak dapat menemukan gambar ayah atau ibunya di dalam sebuah foto yang berisi puluhan orang. Akan tetapi, jikaanak tersebut sudah menerangkan ciriciri dari orang tuanya belum tentu orang lain dapat menemukannya. Siklus manajemen pengetahuan merupakan sebuah fase yang menjelaskan penangkapan (capture), penciptaan (creation), kodifikasi (codification), penyebarluasan (sharing), pengaksesan (accessing), aplikasi, dan penggunaan kembali pengetahuan yang berada dalam sebuah organisasi. Sintesis dari pendekatan yang akan dijabarkan akan dibangun menjadi kerangka kerja dalam mengubah sebuah informasi menjadi aset pengetahuan yang berharga untuk organisasi. G e t
U s e
A s s e s s
K n o w le d g e
B u ild / S u s ta in
O r : d iv e s t L e a rn
C o n tr ib u te
Gambar 1. Siklus Manajemen Pengetahuan Bukowitz and Williams Siklus manajemen pengetahuan Bukowitz dan Williams menjelaskan sebuah kerangka kerja dari proses manajemen pengetahuan yaitu bagaimana organisasi menghasilkan, memelihara, dan menyebarkan suatu strategi yang benar untuk menciptakan nilai terhadap pengetahuan yang sudah ada. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing proses pada siklus ini: a. Get adalah proses mencari informasi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan, pemecahan masalah atau untuk inovasi. b. Use adalah bagaimana menggunakan informasi untuk berinovasi (baik individual maupun kelompok) c. Learn adalah bagaimana organisasi dapat belajar dari pengalamannya, baik dari kesuksesan (best practice) maupun dari kegagalan (lesson learned) untuk menciptakan keunggulan persaingan (competitive advantage). d. Contribute adalah memberikan pengetahuan yang diperoleh dari hasil pembelajaran (learning) untuk individu lainnya. e. Assess adalah evaluasi dari manusianya (kompetensi), pelanggan (hubungan pelanggan), modal perusahaan (dasar-dasar pengetahuan, proses bisnis, infrastruktur teknologi, nilai, norma, budaya) dan modal intelektual (hubungan antara manusia, pelanggan dan modal organisasi).
55
Jurnal Informatika, Vol.6, No.1, Juni 2010: 51 - 64
f.
Build and sustain adalah untuk meyakinkan bahwa modal intelektual perusahaan di masa yang akan datang akan membawa perusahaan tetap bertahan dan bersaing. g. Divest adalah tempat pembuangan pengetahuan yang sudah tidak terpakai lagi (tidak bernilai). Untuk mendapatkan sebuah pengetahuan maka perlu diperhatikan dasar dari pengetahuan itu. Dasar dari pengetahuan adalah data yang diolah menjadi informasi kemudian informasi-informasi tersebut diolah kembali menjadi pengetahuan. Data adalah sekumpulan ciri-ciri, fakta atau kejadian. Informasi adalah sebuah pesan yang biasanya dalam bentuk dokumen atau komunikasi yang dapat dilihat atau didengar. Pengetahuan merupakan gabungan pengalaman, nilai, dan informasi kontekstual, pandangan para ahli yang menyediakan suatu kerangka kerja untuk mengevaluasi dan menggabungkan pengalaman-pengalaman baru dan informasi. Menurut Nonaka dan Takeuchi, penciptaan pengetahuan selalu dimulai dari individu. Pengetahuan tersebut dikumpulkan dan kemudian dibakukan dalam sebuah perusahaan sehingga dapat menjadi pengetahuan bagi orang lain. Dalam model ini terdapat empat model konversi pengetahuan yaitu:
Gambar 2. Model Konversi Nonaka Takeuchi a. Tacit knowledge ke tacit knowledge disebut dengan proses sosialisasi Sosialisasi meliputi kegiatan berbagi tacit knowledge antar individu. Istilah sosialisasi digunakan karena tacit knowledge disebarkan melalui kegiatan bersama seperti tinggal bersama, meluangkan waktu bersama dan bukan melalui tulisan atau instuksi verbal. Dengan demikian, dalam kasus tertentu tacit knowledge hanya bisa disebarkan jika seseorang merasa bebas untuk menjadi seseorang yang lebih besar yang memiliki pengetahuan tacit dari orang lain. b. Tacit knowledge ke explicit knowledge disebut dengan proses eksternalisasi. Eksternalisasi membutuhkan penyajian tacit knowledge ke dalam bentuk yang lebih umum sehingga dapat dipahami oleh orang lain. Pada tahap eksternalisasi ini, individu memiliki komitmen terhadap sebuah kelompok dan menjadi satu dengan kelompok tersebut. Dalam prakteknya,
56
Perancangan Model Manajemen Pengetahuan menggunakan Model Nonaka Takeuchi (Studi Kasus Administrasi Akademik) (Robby Tan)
eksternalisasi didukung oleh dua faktor kunci. Pertama, artikulasi tacit knowledge seperti dialog. Kedua yaitu menterjemahkan tacit knowledge dari para ahli ke dalam bentuk yang dapat dipahami seperti dokumen, manual dan sebagainya. c. Explicit knowledge ke explicit knowledge disebut dengan proses kombinasi. Kombinasi meliputi konversi explicit knowledge ke dalam bentuk himpunan explicit knowledge yang lebih kompleks. Dalam prakteknya, fase kombinasi tergantung kepada tiga proses yaitu penangkapan dan integrasi explicit knowledge baru termasuk pengumpulan data eksternal dari dalam atau dari luar institusi kemudian mengkombinasikan kedua data tersebut. Kedua, penyebarluasan explicit knowledge tersebut melalui presentasi atau pertemuan langsung. Ketiga, pengolahan kembali explicit knowledge sehingga lebih mudah dimanfaatkan kembali, misal menjadi dokumen rencana, laporan, manual, dan sebagainya. d. Explicit knowledge ke tacit knowledge disebut dengan proses internalisasi. Internalisasi pengetahuan baru merupakan konversi dari explicit knowledge ke dalam tacit knowledge organisasi. Individu harus mengindentifikasi pengetahuan yang relevan dengan kebutuhannya di dalam pengetahuan organisasi tersebut. Dalam prakteknya, internalisasi dapat dilakukan dalam dua dimensi. Pertama yaitu dengan penerapan explicit knowledge dalam tindakan atau praktek langsung. Kedua yaitu dengan penguasaan explicit knowledge melalui simulasi, eksperimen, atau belajar sambil bekerja. Untuk pengklasifikasian pengetahuan-pengetahuan yang didapat, maka digunakan salah satu cara yaitu dengan menggunakan taksonomi pengetahuan. Taksonomi adalah klasifikasi sistem yang mendasar yang memungkinkan untuk mendeskripsikan konsep dan hubungan antara konsep-konsep tersebut. Semakin tinggi tempat dari konsep tersebut, maka konsep tersebut akan semakin luas atau umum. Dan semakin ke bawah, maka konsep tersebut akan semakin mendetail dan jelas. Setelah dikodifikasi, maka dapat dibentuklah kumpulan-kumpulan pengetahuan tersebut dan disatukan menjadi sebuah SOP. SOP adalah penetapan tertulis mengenai apa yang harus dilakukan, kapan, di mana, oleh siapa, bagaimana cara melakukan, apa saja yang diperlukan, dan lain-lain yang semuanya itu merupakan prosedur kerja yang harus ditaati dan dilakukan. Saat ini banyak perusahaan yang tidak mempunyai SOP, yang mengakibatkan banyak pekerjaan yang tidak terlaksana dengan baik, yang bersangkutan tidak bertanggung jawab, ada kelalaian kerja, kesimpangsiuran, kesalahan, yang mengakibatkan resiko kerugian besar bagi perusahaan/ organisasi. SOP merupakan sebuah set instruksi-instruksi yang tertulis yang mendokumentasi rutinitas atau aktivitas yang berulang yang dilakukan oleh sebuah organisasi. Pembuatan dan penggunaan dari SOP merupakan salah satu bagian dari kualitas sebuah sistem. SOP bukan hanya merupakan pedoman prosedur kerja rutin yang harus dilaksanakan, tetapi SOP juga berfungsi untuk mengevaluasi pekerjaan yang telah dilakukan, apakah pekerjaan tersebut telah dikerjakan dengan baik atau
57
Jurnal Informatika, Vol.6, No.1, Juni 2010: 51 - 64
tidak, kendala apa yang dihadapi, mengapa kendala tersebut terjadi sehingga dapat diambil keputusan yang tepat melalui SOP. 3. Metodologi Penelitian Fokus penelitian ini yaitu memodelkan manajemen pengetahuan pada bagian akademik sehingga pengetahuan-pengetahuan yang ada dapat digunakan ulang sebagai sebuah alat untuk mencapai keunggulan kompetitif. Pengelolaan ini mencakup penangkapan tacit knowledge yang masih ada di individu-individu yang terlibat dan mengolahnya menjadi sebuah explicit knowledge yang berbentuk knowledge base management yang dapat dipakai dan dipercaya sebagai sebuah prosedur kerja yang baku beserta dengan aturan-aturan yang dipakai ataupun pengalaman-pengalaman yang selama ini sudah terkumpul. Pengetahuanpengetahuan yang sudah terkumpul tersebut kemudian dibagikan kepada setiap individu untuk digunakan kembali (reuse) dan untuk dikembangkan agar pengetahuan dalam perusahaan agar tercapai sebuah proses perkembangan yang terus-menerus (continuous improvement). Penelitian dilakukan dengan melakukan terlebih dahulu studi pustaka mengenai hal-hal yang berhubungan dengan manajemen pengetahuan dan SOP. Kemudian dilanjutkan dengan menggali kondisi yang sudah ada saat ini sehingga dimungkinkan mendapatkan bentuk dasar dari sistem manajemen pengetahuan yang diinginkan. Kemudian dibentukan sebuah road map dari manajemen pengetahuan ini. Setelah itu barulah dilakukan tahap knowledge capture dilakukan dengan menggunakan dua buah metode yaitu dengan wawancara dengan para ahli, cerita dan pembelajaran dengan observasi. Tahap berikutnya dilanjutkan dengan membagi pengetahuan-pengetahuan tersebut dengan menggunakan taksonomi pengetahuan, pembuatan sociogram, dan model dari portal manajemen pengetahuan. 4. Hasil Penelitian Dari hasil analisa kondisi didapatkan bahwa pola kerja yang selama ini dilakukan mengacu kepada pola rutin. Untuk penjadwalan kuliah, permintaan kesediaan mengajar, perkuliahan, ujian dan hal-hal lain dilakukan sesuai dengan kalender akademik yang ditentukan setiap semester. Terkadang dalam sebuah proses yang di dalamnya mencakup bermacam-macam prosedur terdapat prosedur yang terlewat. Hal tersebut dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan atau pembelajaran yang diberikan. Ataupun juga terdapat beberapa kegiatan minor yang tidak tercantum pada kalender akademik sehingga kegiatan tersebut masih bersifat tacit karena masih terdapat dalam memori individu masing-masing yang menyebabkan kegiatan tersebut mempunyai potensi untuk terlewat karena belum dibuat secara utuh. Karena terdapat sebuah kegiatan yang tidak dilaksanakan, maka potensi timbulnya masalah semakin besar. Selain itu pencarian dokumen yang memakan waktu yang lama karena tempat penyimpanan yang belum tersusun secara benar dan terkadang terdapat pengetahuan atau pengalaman yang belum dimiliki oleh orang-orang yang terlibat. Pola ini mempunyai masalah jika pada suatu saat orang yang bertanggung jawab untuk tugas tersebut tidak dapat hadir, terkena halangan lainnya atau terjadi pergantian orang dalam masa jabatannya. Dapat saja terjadi bahwa sebuah pekerjaan tidak dapat tuntas karena prosedur kerja yang tidak jelas, kealpaan pengetahuan atau terjadinya sebuah kesalahan 58
Perancangan Model Manajemen Pengetahuan menggunakan Model Nonaka Takeuchi (Studi Kasus Administrasi Akademik) (Robby Tan)
pengambilan keputusan karena tidak adanya pengetahuan yang sama di antara orang-orang yang saat ini terlibat dalam bagian atau proses tersebut. Karena itu dibutuhkan sebuah sistem yang mempunyai kemampuan untuk menyimpan pengetahuan dan berbagi pengetahuan. Seluruh pengetahuan tersebut dapat diakses ataupun diberikan meskipun orang-orang yang mengetahui pengetahuan tersebut tidak berada di tempat. Setiap orang berhak untuk memasukkan ide ataupun pengetahuan mengenai pengetahuan ini terutama jika terjadi kasus-kasus atau masalah yang baru, terjadi perubahan kebijakan akademik sehingga pengetahuan organisasi akan terus berkembang sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Selain itu juga dimaksudkan agar tercipta sebuah standar pelayanan yang sama, prosedur yang sama, dan pengetahuan yang sama di antara para anggota yang terlibat dalam organisasi. Untuk dapat melaksanakan hal di atas, maka tacit knowledge yang masih berada individu-individu tersebut dapat diambil dan dapat disatukan dalam sebuah sistem knowledge base management. Keunggulan pertama dari sistem ini yaitu bahwa pengetahuan yang sudah didapatkan organisasi tidak akan hilang karena tidak disimpan dalam bentuk tacit knowledge. Kedua bahwa semua orang dapat dapat memanfaatkan pengetahuan tersebut agar tercipta sebuah standar prosedur kerja yang sama meskipun orang yang mengetahui pengetahuan tersebut tidak berada di tempat. Ketiga yaitu memungkinkan untuk terjadinya proses pembaharuan pengetahuan sesuai dengan kebijakan yang berlaku untuk saat ini atau berdasarkan kasus-kasus yang sering terjadi. Selain itu juga dapat menghindari keterlambatan pekerjaan rutin, mengatur peraturan-peraturan yang sama untuk semua prosedur kerja, dan memberikan pengetahuan yang sama bagi seluruh staf dan bagian-bagian lain yang terlibat. Dan jika pengetahuan-pengetahuan tersebut sudah disatukan sehingga menjadi sebuah knowledge base management maka pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan cepat dan benar berdasarkan pengetahuan yang ada ataupun dari masalah yang pernah terjadi. Dalam proses mendapatkan pengetahuan tersebut maka penulis melakukan wawancara dengan seluruh pihak yang terkait dengan proses-proses yang ada sehingga penulis mendapatkan gambaran umum tentang proses yang dilakukan beserta dengan penjelasan dari proses yang dilakukan dan dokumen-dokumen yang terkait. Kemudian dilakukan dengan proses observasi terhadap setiap proses yang dilakukan sehingga alur proses yang tadi sudah didapatkan dari hasil wawancara dapat dilengkapi kembali. Observasi terhadap proses-proses ini perlu untuk dilakukan karena pada saat dilakukan wawancara, mungkin saja terdapat tacit knowledge yang secara tidak sadar dilakukan pada saat melakukan sebuah proses. Dengan demikian dikehendaki agar seluruh proses dapat diketahui dengan mendalam dan tepat. Saat ini, seluruh dokumen-dokumen yang terkait sudah dimasukkan dalam sebuah map/ rak, diberi label dan jumlahnya diperiksa secara berkala. Akan tetapi, terkadang ketika jumlah permintaan banyak, maka formulir (dokumen) tersebut dapat habis dan diperlukan waktu untuk memperbanyak dokumen yang dapat menyebabkan keterlambatan pemrosesan. Pembentukkan klasifikasi pengetahuan didasarkan atas hasil wawancara dan observasi. Pengetahuan-pengetahuan tersebut dikelompokkan sesuai dengan
59
Jurnal Informatika, Vol.6, No.1, Juni 2010: 51 - 64
pekerjaan utama yang ada. Berikut adalah contoh klasifikasi pengetahuan yang dibentuk:
Gambar 3. Rancangan Umum Klasifikasi Pengetahuan Bagian Akademik Untuk tahap kodifikasi pengetahuan, dilakukan sesuai dengan pembagian dari taksonomi pengetahuan yang sudah dibentuk. Secara umum, pembagian kode itu adalah sebagai berikut: SOP-01.01 01 01.Kode_Institusi Nomor Bagian Nomor Kegiatan Utama Nomor Kegiatan Nomor Sub Kegiatan
Berikut disertakan pula contoh rancangan SOP: 1. Rancangan cover SOP
60
Perancangan Model Manajemen Pengetahuan menggunakan Model Nonaka Takeuchi (Studi Kasus Administrasi Akademik) (Robby Tan) Kode: SOP-01.0301.Kode_Instansi Pembuat :
Revisi : 00
Tanggal Berlaku: 1 Agustus 2009
STANDARD OPERATING PROCEDURES BAGIAN ADMINISTRASI AKADEMIK TUGAS AKHIR/KERJA PRAKTEK
Kunjungilah situs kami di
Nama Institusi Alamat Institusi
www.alamatwebinstitusi.ac.id
2. Rancangan lembar revisi dan persetujuan SOP Revisi Tanggal Revisi: No.
Tanggal Revisi
Tanggal Revisi Selanjutnya: Perubahan
Persetujuan Dokumen ini memerlukan persetujuan dari: Nama
Penulis
Jabatan
61
Jurnal Informatika, Vol.6, No.1, Juni 2010: 51 - 64
Distribusi Dokumen ini telah didistribusikan kepada: Nama
Jabatan
3. Rancangan lembar revisi dan persetujuan SOP 1. Definisi Merupakan titik akhir dari masa perkuliahan di mana mahasiswa diharuskan untuk membuat tugas akhir atau kerja prakteksebagai salah satu syarat kelulusan baik untuk Program Sarjana maupun Diploma 3. 2. Tujuan Memberikan dosen pembimbing bagi mahasiswa yang baru pertama kali mengambil tugas akhir (untuk program Sarjana) dan Kerja Praktek (untuk program Diploma 3), memvalidasi judul tugas akhir dan kerja praktek yang akan disusun agar tidak terjadi duplikasi, dan mengatur untuk bimbingan bersama bagi para mahasiswa yang baru mengambil tugas akhir. 3. Pelaksana Penanggung jawab dari pekerjaan ini adalah Bagian Administrasi dan Akademik / Koordinator Tugas Akhir. Pihak lain yang terlibat adalah Ketua Jurusan, dosen dan mahasiswa yang mengambil tugas akhir atau kerja praktek. 4.
Standar Waktu Pelaksanaan No. Proses 1
Standar waktu pelaksanaan
Penentuan dosen Pengumuman dosen pembimbing dilakukan pembimbing TA/ KP setelah mahasiswa memasukkan judul TA / KP yang kemudian akan dievaluasi oleh Ketua Jurusan / Koordinator Tugas Akhir.
5. Prosedur Prosedur ini merupakan prosedur yang dilakukan untuk menentukan dosen pembimbing bagi setiap mahasiswa yang mengambil tugas akhir maupun kerja praktek. PENENTUAN DOSEN 01.030101.Kode_Instansi) 1. Prosedur 1 2. Prosedur 2 3. Prosedur 3 4. dst.
62
PEMBIMBING
TA
/
KP
(SOP-
Perancangan Model Manajemen Pengetahuan menggunakan Model Nonaka Takeuchi (Studi Kasus Administrasi Akademik) (Robby Tan)
Setelah penyusunan SOP selesai, langkah selanjutnya adalah untuk memodelkan alur informasi yang terdapat pada bagian administrasi akademik menggunakan sociogram. Pada bagian ini, terdapat beberapa orang yang terlibat yaitu bagian administrasi akademik, dosen, mahasiswa, dan pejabat struktural (Rekrorat, Dekan, Pembantu Dekan, Ketua dan Sekretaris Jurusan). Untuk pembentukan sociogram ini, perlu memperhatikan beberapa hal yaitu: 1. Struktur organisasi 2. Relasi di antara anggota-anggota dalam organisasi Dalam pembuatan sociogram terdapat hal yang perlu diperhatikan yaitu struktur organisasi. Akan tetapi sociogram ini bukanlah struktur organisasi di mana struktur organisasi memperlihatkan hubungan formal melainkan merupakan pemetaan dan alat ukur hubungan, arus yang terjadi antara setiap individu, kelompok, organisasi yang memproses pengetahuan. Dalam sebuah organisasi akademik, tidaklah mungkin untuk menghindari informasi yang berasal dari struktur organisasi karena keputusan biasanya diambil pada rapat atau pemegang keputusan barulah dibagikan kepada unit-unit kerja yang berada di bawahnya. Dari struktur organisasi akan didapatkan alur informasi secara formal di mana informasi biasanya mengalir dari pucuk pimpinan tertinggi kemudian mengalir ke unit-unit yang ada di bawahnya. Akan tetapi terkadang informasi tersebut juga dapat tersebar tanpa melalui hubungan secara formal karena terdapat relasi/ kedekatan di antara anggota-anggota dalam organisasi. Tahap selanjutnya adalah pembentukan portal manajemen pengetahuan. Pada fase ini akan dibentuk sebuah tim yang bertugas mengatur pengetahuanpengetahuan yang ada dan sebagai pelaksana pengembangan portal manajemen pengetahuan ini. Untuk pengembangan portal tentu saja diperlukan pihak pimpinan, pejabat struktural, tim ahli dan end user. Untuk tim ahli yang perlu dilibatkan adalah para personel yang menguasai masalah pada bagian tersebut, pejabat struktural, dan juga dapat melibatkan end user. Selain itu juga perlu diperhatikan sarana penyebaran dari portal ini. Pembangunan model dari portal manajemen pengetahuan ini adalah berbasis web. Karena itu tentu diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Yang termasuk dalam hal ini adalah sumber daya perangkat keras, perangkat lunak, dan juga sumber daya manusia. Portal manajemen pengetahuan ini akan disimpan pada sebuah server sebagai basis dari penempatan portal manajemen pengetahuan ini. Portal ini akan dapat diakses oleh semua pengguna (karyawan, pejabat struktural, pimpinan, dll) melalui komputer yang terhubung dengan jaringan intranet. Desain model ini mengacu kepada tujuan dari manajemen pengetahuan di mana sebuah pengetahuan ditangkap, dikodifikasi dan kemudian dibagikan atau disebarluaskan kepada pengguna. Selain itu juga diperlukan sarana untuk berbagi pikiran atau informasi sehingga timbul sebuah interaksi, dialog dan sharing pengetahuan. Hal ini harus dapat dipenuhi oleh model portal manajemen pengetahuan ini. Pada tampilan awal dari model portal manajemen ini hanya terdapat menu home, form untuk login, dan menu untuk forum beserta tampilan untuk artikel yang sering dibaca dan kalender. Untuk mengakses pengetahuan yang terdapat dalam model portal manajemen pengetahuan ini, setiap user diwajibkan untuk login
63
Jurnal Informatika, Vol.6, No.1, Juni 2010: 51 - 64
terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar hanya user yang telah terdaftar yang berhak untuk menggunakan dan mengetahui pengetahuan dan prosedur yang terdapat dalam knowledge center ini. Setiap user baru dapat mengisi form registrasi yang terdapat pada portal ini (create an account) kemudian dapat memberitahukan kepada administrator portal ini alamat e-mail dan user yang dimasukkan agar account untuk menggunakan portal manajemen pengetahuan ini dapat diaktifkan. Setiap user yang diberikan kepadanya adalah hak akses untuk membaca artikel dan menulis ke dalam forum. Setelah pengguna memasukkan username dan password yang telah didaftarkan, maka menu yang muncul akan bertambah. Menu-menu yang muncul tersebut merupakan gambaran dari taksonomi pengetahuan di Bagian Akademik (Gambar 3). Untuk dapat melihat tingkatan dari taksonomi tersebut cukup arahkan mouse ke menu dan sub-menu yang akan dibuka. Ataupun jika pengguna masih bingung tentang artikel yang harus dicari dapat menggunakan form pencarian (search) yang akan muncul setelah pengguna melakukan proses login. Pada model portal ini juga terdapat sebuah forum yang digunakan untuk saling berbagi pengetahuan mengenai prosedur atau proses yang ada. Untuk dapat menulis atau mengubah artikel ini, akses hanya diberikan kepada kepala bagian dari masing-masing kepala bagian. Hal ini untuk mencegah perubahan pengetahuan secara sembarangan dan menjaga keutuhan dari pengetahuan yang telah ada. Selain kepada kepala bagian, hak akses untuk mengubah atau menulis artikel tersebut juga akan diberikan kepada tim manajemen pengetahuan yang akan dibentuk. Setiap pengetahuan yang dimasukan dalam model portal manajemen pengetahuan ini juga dibatasi aksesnya dalam arti hanya user yang telah terdaftar yang dapat melihat pengetahuan-pengetahuan tersebut. Untuk lebih jelasnya, hak akses setiap user dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Jenis User Super Administrator Administrator Author Registered
Tabel 1. Hak Akses User Hak Akses Akses penuh dan dapat menghapus seluruh artikel Back-End (pengetahuan) dan pengguna yang ada Akses penuh dan dapat menghapus artikel tetapi Back-End tidak dapat menghapus jenis user super administrator Akses diberikan untuk mengubah dan Front-End menambahkan artikel Akses yang diberikan hanya dapat membaca Front-End artikel Group
Berikut adalah beberapa cuplikan implementasi yang sudah dilakukan:
64
Perancangan Model Manajemen Pengetahuan menggunakan Model Nonaka Takeuchi (Studi Kasus Administrasi Akademik) (Robby Tan)
Gambar 4. Tampilan Halaman Plotting
Gambar 5. Tampilan SOP Plotting Dosen Implementasi selanjutnya dari portal ini akan ditambahkan fungsi kalender yang berfungsi untuk mencatat kegiatan-kegiatan akademik dari institusi. Kalender ini pun sudah mempunyai fungsi untuk membagi jenis-jenis kegiatan dan mengirimkan notifikasi kepada setiap anggotanya begitu memasuki kalender kegiatan yang baru. Selain itu akan diberikan sebuah forum sebagai sarana untuk berbagi pikiran dan informasi berdasarkan kasus-kasus yang pernah terjadi atau saat ini sedang terjadi. Jika tim manajemen pengetahuan mendapatkan pengetahuan baru, maka dapat diadakan pertemuan untuk membahas pengetahuan yang baru tersebut. Jika ternyata pengetahuan yang baru tersebut lebih efektif, maka dapat diadakan perubahan pengetahuan (SOP). 5. Kesimpulan Berdasarkan hasil penyusunan model knowledge management system khususnya pada Bagian Administrasi Akademik maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut: 1. Pengetahuan akan dapat dibuat lebih terorganisasi dengan membuat sistem ini dan membuat alur proses yang jelas terhadap proses-proses yang ada. 2. Pengumpulan tacit dan explicit knowledge dapat dilakukan dengan memasukkan informasi atau pengetahuan yang baru pada forum dan
65
Jurnal Informatika, Vol.6, No.1, Juni 2010: 51 - 64
kemudian dapat dibahas dengan lebih detail jika benar-benar ingin dimasukkan ke dalam KMS. 3. Pencarian prosedur atau dokumen dapat dilakukan pada KMS ini sehingga akan meningkatkan waktu pelayanan dan ketepatan dalam melaksanakan prosedur. 4. Terdapat beberapa faktor teknis di dalam melaksanakan prosedur ini yang sulit untuk diungkapkan dalam menyusun KMS ini. Faktor teknis ini antara lain dapat berupa kedekatan dengan dosen atau mahasiswa, kemampuan negosiasi, kemampuan dalam menjelaskan sesuatu, kecerdasan linguistik. Model ini dapat disesuaikan sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing institusi. 6. Daftar Pustaka [Cab03]
[Dal05] [Dav98] [Kla99]
[San05]
[San07] [Sha01] [Tar03] [Twi99]
66
Caballero, Rich, Jim Cook, Chad Fisher, Doug Gantt, Bill Miller, Developing Standar Operating Procedures in Wildland fire Management, Leadership Toolbox Reference SOP Workbook, 2003 Dalkir, Kimiz, Knowledge Management in Theory and Practice, Elsevier, Oxford, 2005 Davenport, Thomas H & Prusak, Working Knowledge: How Organizations Manage What They Know. Boston: Harvard Business School Press, 1998 Klasson, Kirk, Managing Knowledge for Advantage: Content and Collaboration Technologies, The Cambridge Information Network Journal vol. 1, no. 1, 1999 Sanchez, Ron, Knowledge Management and Organizational Learning: Fundamental Concept for Theory and Practice, Lund Institute of Economic Research Working Paper Series, 2005 Sangkala, Knowledge Management, PT RajaGrafindo Persada, 2007 Sharp, Alec and Patrick McDermott, Workflow Modeling Tools For Process Improvement and Application Development, Artech House, 2001 Targowski, Andrew S., Electronic Enterprise : Strategy and Architecture, IRM Press., 2003 Twiwana, Amrit, The Knowledge Management Toolkit, Prentice Hall, 1999
Jurnal e-CliniC (eCl), Volume 2, Nomor 2, Juli 2014
PERBANDINGAN PENGETAHUAN TENTANG MANAJEMEN DIABETES MELITUS PADA MAHASISWA TAHAP SARJANA DAN PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER (P3D) FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO
1
Agustinus Rihando Rumbino 2 Karel Pandelaki 2 Yuanita Asri Langi
1
Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado Email: [email protected]
2
Abstract: Diabetes mellitus (DM) is a health problem that increases the number of events globally. Medical doctor as the first line in the treatment of diabetes are required to have good knowledge about its management. Students of the Faculty of Medicine, University of Sam Ratulangi trained to become medical doctor were had good knowledge about management of diabetes melitus. The problem is what is the description of knowledge about DM management on undergraduate students and professional education programs of medical doctor (P3D) students. Objective: The study was to compared the level of knowledge about DM management among undergraduate students and P3D students of Faculty of Medicine, Sam Ratulangi University. Method: This study is a descriptive analytical with quantitative approach involving 80 subjects were selected based consecutive sampling and was answered the questionnaire about knowledge of DM management. Results: The subjects knowledge about DM management in undergraduate students from 40 subject result 1 subject (2.5%) are included in the category of good knowledge, 7 subject (17.5%) had moderate knowledge and 32 subjects (80%) are included of low knowledge. The subjects of P3D students result 3 subjects (7.5%) including good knowledge category, 25 subjects (62.5%) were categorized moderate knowledge and 12 subjects (30%) is low knowledge category. Conclusion: Knowledge level about DM management undergraduate student is still low. P3D student knowledge level about diabetes management is classified as moderate. Knowledge level about diabetes management on P3D students is better than undergraduate students. Keywords: Knowledge, medical students, management of diabetes mellitus. Abstrak: Diabetes Melitus (DM) merupakan masalah kesehatan yang angka kejadiannya meningkat secara global. Dokter umum sebagai lini pertama dalam penanganan DM dituntut untuk memiliki pengetahuan yang baik tentang manajemennya. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado yang dididik untuk menjadi dokter haruslah memiliki pemahaman yang baik tentang manajemen Diabetes Melitus. Permasalahannya adalah bagaimana gambaran pengetahuan mengenai manajemen DM pada mahasiswa tahap sarjana dan tahap program pendidikan profesi dokter (P3D). Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat pengetahuan mengenai manajemen DM pada mahasiswa tahap sarjana dan tahap P3D Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Metode: Penelitian ini bersifat analitik deskriptif dengan pendekatan kuantitatif melibatkan 80 responden yang menjawab kuesioner pengetahuan mengenai manajemen DM. Hasil: Dari 40 responden mahasiswa tahap sarjana 1 responden (2,5%) termasuk dalam kategori pengetahuan baik, 7 responden (17,5%) termasuk kategori sedang dan 32 reponden (80%) termasuk kategori rendah. Pada 40 responden mahasiswa tahap profesi (P3D) diketahui 3 responden (7,5%) termasuk kategori pengetahuan baik, 25 responden (62,5%) termasuk kategori sedang dan 12 responden (30%)
Jurnal e-CliniC (eCl), Volume 2, Nomor 2, Juli 2014 adalah kategori pengetahuan rendah. Simpulan: Tingkat pengetahuan mahasiswa tahap sarjana mengenai manajemen DM masih rendah. Tingkat pengetahuan mahasiswa P3D mengenai manajemen DM masih tergolong sedang. Tingkat pengetahuan manajemen DM mahasiswa P3D lebih baik dibanding mahasiswa tahap sarjana. Kata kunci: Pengetahuan, mahasiswa kedokteran, manajemen diabetes melitus.
Diabetes Melitus (DM) merupakan masalah kesehatan yang angka kejadiannya meningkat secara global. Data International Diabetes Federation (IDF) tahun 2012, lebih dari 371 juta masyarakat dunia menderita diabetes, setengah dari jumlah tersebut tidak terdiagnosa, dan 4,8 juta orang meninggal dunia akibat diabetes. Lebih dari 471 juta US Dolar dihabiskan untuk pengobatan diabetes. Diperkirakan pada tahun 2030 akan terdapat 550 juta penderita diabetes, 60% berasal dari Asia.1,2 Dalam penanganan masalah tersebut diperlukan kerjasama dari berbagai pihak baik pemerintah maupun swasta mulai dari promosi kesehatan, pencegahan, dan pengobatan diabetes. Tenaga kesehatan memiliki peran penting dalam pengelolaan penyakit DM yaitu sebagai pengelola pasien DM. Dokter umum adalah lini pertama dalam pengelolaan penyakit Diabetes Melitus. Dokter umum haruslah memiliki kemampuan dengan kompetensi 4A sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) dari Konsil Kedokteran Indonesia yaitu lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.3 Sebagai salah satu Institusi pendidikan yang sedang mempersiapkan calon dokter umum, Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado telah menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kurikulum Berbasis bersifat student centered yang menekankan pada fasilitasi pembelajaran mahasiswa. Sejak tahap sarjana mahasiswa telah dibekali dengan pengetahuan tentang Diabetes Melitus yaitu pada modul Gangguan Metabolik di semester 4, dengan waktu kuliah Diabetes Melitus hanya 2 jam efektif dilanjutkan dengan diskusi tutorial. Sedangkan pada tahap profesi mahasiswa telah diperhadapkan langsung dengan pasien-pasien DM.4,5
Gambaran tingkat pengetahuan mengenai manajemen DM pada mahasiswa tahap sarjana dan tahap P3D menjadi salah satu acuan untuk menilai kesiapan mahasiswa sebelum menjadi dokter umum yang menjadi lini pertama penanganan penyandang DM. METODE Penelitian ini bersifat analitik deskriptif dengan pendekatan kuantitatif melibatkan 80 responden yang menjawab kuesioner pengetahuan mengenai manajemen DM. Penelitian ini dilakukan di Kampus Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi & RSUP Prof.Dr.R.D. Kandou Manado. Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan mulai dari bulan November 2013 sampai Januari 2014. Populasi target dari penelitian ini adalah Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Populasi terjangkau penelitian ini adalah Mahasiswa semester V dan VII tahap sarjana tahun 2013 yang telah mendapat teori tentang Diabetes Melitus dan mahasiswa tahap pendidikan profesi dokter (P3D) Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Data dianalisis menggunakan software pengolahan data yaitu SPSS versi 20. Dalam analisis data di hitung skor tertinggi di tiap kelompok dan dikategorikan menjadi tingkat pengetahuan baik jika skor kuesioner ≥80, dikategorikan sedang jika skornya 60-79 dan dikategorikan rendah bila skor kuesioner <60. HASIL Dari 80 responden yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini dan memiliki hasil valid didapatkan responden tahap P3D memiliki nilai yang lebih baik dibanding tahap sarjana. Usia dan angkatan responden tidak menjadi acuan dalam uji
Rumbino, Pandelaki, Langi; Perbandingan Pengetahuan tentang Manajemen...
statistik data penelitian ini. Hasil didasarkan pada skor kuesioner. Tabel 1. Distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik responden ( n = 80 ) Karakteristik Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Angkatan 2008 2009 2010 2011 Tahap Pendidikan Sarjana P3D
Frekuensi
%
37 43
46 54
25 15 20 20
31 19 25 25
40 40
50 50
Pada tabel data demografis responden mahasiswa tahap sarjana berdasarkan jenis kelamin adalah 19 laki-laki dan 21 perempuan, sedangkan pada mahasiswa P3D adalah 21 laki-laki dan 19 perempuan. Data berdasarkan angkatan pada mahasiswa tahap sarjana adalah 20 responden angkatan 2011 dan 20 responden dari angkatan 2010, sedangkan pada mahasiswa P3D diperoleh data 19 responden adalah angkatan 2008 dan 21 responden merupakan angkatan 2009. Tabel 2. Distribusi pengetahuan manajemen DM berdasarkan hasil kuesioner (n=80) Tahap Sarjana Baik Sedang Kurang P3D Baik Sedang Kurang
Frekuensi
%
1 7 32
2,5 17,5 80
3 15 20
7,5 62,5 30
Berdasarkan hasil penelitian dari 40 responden mahasiswa tahap sarjana didapatkan 32 responden (80%) termasuk dalam kategori pengetahuan yang kurang sedangkan 7 responden (17,5%) termasuk dalam pengetahuan yang sedang dan hanya 1 responden (2,5%) yang termasuk kategori pengetahuan yang baik.
Dari 32 responden yang memiliki tingkat pengetahuan kurang, 16 responden (50%) berasal dari angkatan 2011 sama dengan jumlah responden dari angkatan 2010, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna berdasarkan angkatan. Pada 7 responden tingkat pengetahuan sedang diperoleh 4 responden (57%) berasal dari angkatan 2011 dibandingkan dengan 3 responden (43%) dari angkatan 2010, hal ini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara angkatan 2011 dan 2010. Sedangkan pada 1 responden yang memiliki tingkat pengetahuan baik berasal dari angkatan 2010, dalam hal ini tidak memiliki nilai perbedaan yang signifikan dikarenakan jumlah responden yang sedikit. Data menunjukkan 12 responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang kurang 8 responden (66%) berasal dari angkatan 2009, sedangkan 4 responden (34%) berasal dari angkatan 2008, ini menujukkan ada perbedaan berdasarkan angkatan. Pada 25 responden yang memiliki tingkat pengetahuan sedang, 12 responden (48%) berasal dari angkatan 2008 sedangkan sisanya 13 responden (52%) adalah dari angkatan 2009, hal ini menunjukkan perbedaan. Pada 3 responden yang yang memiliki tingkat pengetahuan baik semuanya berasal dari angkatan 2008. Tabel 3. Distribusi perbandingan pengetahuan manajemen DM mahasiswa tahap sarjana dan P3D (n=80) Kategori
Sarjana
P3D
Baik
1 (1,25%)
3 (3,75%)
Sedang
7 (8,75%)
25 (31,25%)
Kurang
32 (40%)
12 (15%)
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan perbedaan yang signifikan dimana hasil kuesioner menunjukkan bahwa mahasiswa tahap P3D memiliki tingkat pengetahuan yang lebih baik (31,5%) dibandingkan mahasiswa tahap sarjana (8,75%).
Jurnal e-CliniC (eCl), Volume 2, Nomor 2, Juli 2014
BAHASAN Berdasarkan hasil kuesioner penelitian persentase responden mahasiswa tahap sarjana didapatkan 80% termasuk dalam kategori pengetahuan kurang sedangkan 17,5% termasuk dalam pengetahuan sedang dan hanya 2,5% yang termasuk kategori pengetahuan baik. Tingkat pengetahuan yang rendah dari mahasiswa tahap sarjana (80%) mungkin dipengaruhi oleh proses berpikir yang hanya sampai tahap mengingat dan memahami saja dan belum sampai pada tahap proses aplikasi.6 Selain itu proses pembelajaran, suasana dan mahasiswa lain juga bisa mempengaruhi pemahaman mahasiswa terhadap materi DM dimana mahasiswa menerima materi dalam kelas besar yang terdiri dari 150 orang bisa mempengaruhi konsenterasi belajar. Antusiasme mahasiswa dalam pembahasan materi DM pada kelas tutorial juga bisa menentukan penerimaan pengetahuan tentang manajemen DM secara maksimal. Tingkat pengetahuan yang sedang (17,5%) dan baik (2,5%) dipengaruhi oleh kemandirian mahasiswa dalam mencari bahan pembelajaran terkait baik textbook, jurnal, video bisa meningkatkan pengetahuan manajemen DM. Pada hasil kuesioner menunjukkan ada perbedaan yang bermakna antara persentase responden mahasiswa P3D dengan persentase responden mahasiswa tahap sarjana, diketahui 13% responden memiliki tingkat pengetahuan kurang, dan 62,5% responden memiliki tingkat pengetahuan sedang serta hanya 7,5% responden memiliki tingkat pengetahuan baik. Terdapatnya perbedaan tingkat pengetahuan mungkin dipengaruhi oleh keadaan mahasiswa P3D yang telah belajar dari kehidupan nyata, dimana pembelajaran berdasarkan pasien-pasien yang ditangani, sehingga dengan dipraktekkannya ilmu tersebut semakin menambah wawasan berpikir ketika harus bersikap dalam manajemen DM. Mengaplikasikan pengetahuan tentang manajemen DM merupakan bagian dari
tahap berpikir yang bisa meningkatkan tingkat pengetahuan mahasiswa.7 Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Sagar AS di Libya (2010) bahwa dari 325 sampel mahasiswa tahun terakhir memiliki tingkat pengetahuan diabetes yang cukup baik.7 SIMPULAN 1.Tingkat pengetahuan mahasiswa tahap sarjana mengenai manajemen Diabetes Melitus masih rendah. 2.Tingkat pengetahuan mahasiswa P3D mengenai manajemen Diabetes Melitus pada umumnya masih tergolong sedang. 3.Tingkat pengetahuan mahasiswa P3D mengenai manajemen Diabetes Melitus lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa tahap sarjana. DAFTAR PUSTAKA 1.Kozlovski P, Foley J,Qing S, Lukashevich V, Kothny W. Vildaglipin-insulin combination improves glycemic control in Asians with type 2 diabetes. World Journal of Diabetes. 2013 August 15;4(4):152. 2.International Diabetes Federation. Diabetes atlas update 2012. Available from : www.idf.org/diabetesatlas/5e/Update2012.htm l [cited 2013 Sep 20] 3.Konsil Kedokteran Indonesia. Standar kompetensi dokter Indonesia. Jakarta,2012. 4.Nurfitri Bustaman, Runinda Pradnyamita, Citra Ayu Aprilia, Wahyukarno. Hubungan kurikulum pendidikan tahap sarjana terhadap kompetensi mahasiswa pada tahap profesi di rumah sakit pendidikan. The Indonesian Journal of Medical Education. 2012 November;1(3):176-7. 5.Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Buku pegangan mahasiswa modul gangguan metabolik. Manado,2013. 6.A Model of Learning Objectives based on A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. Available from : www.celt.iastate.edu/pdf/RevisedBloomsHand out 7.Sagar AS. Practical Diabetes Knowledge of Final Year Medical Students in Tripoli,Libya. Ibnosina Journal of Medicine and Biomedical Science. 2011 January 01.