PAKET INFORMASI TERSELEKSI
PETERNAKAN Seri: Sapi Potong
S
alah satu alasan kenapa masih rendahnya jumlah dan mutu karya ilmiah Indonesia adalah karena kesulitan mendapatkan literatur ilmiah sebagai sumber informasi.Kesulitan mendapatkan literatur terjadi karena masih banyak pengguna informasi yang tidak tahu kemana harus mencari dan bagaimana cara mendapatkan literatur yang mereka butuhkan. Sebagai salah satu solusi dari permasalahan tersebut adalah diadakan layanan informasi berupa Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT). Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) adalah salah satu layanan informasi ilmiah yang disediakan bagi peminat sesuai dengan kebutuhan informasi untuk semua bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam berbagai topik yang dikemas dalam bentuk kumpulan artikel dan menggunakan sumber informasi dari berbagai jurnal ilmiah Indonesia. Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) ini bertujuan untuk memudahkan dan mempercepat akses informasi sesuai dengan kebutuhan informasi para pengguna yang dapat digunakan untuk keperluan pendidikan, penelitian, pelaksanaan pemerintahan, bisnis, dan kepentingan masyarakat umum lainnya. Sumber-sumber informasi yang tercakup dalam Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) adalah sumber-sumber informasi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan karena berasal dari artikel (full text) jurnal ilmiah Indonesia dilengkapi dengan cantuman bibliografi beserta abstrak.
i ADOPSI ANGGOTA KELOMPOK TANI TERNAK SAPI POTONG TERHADAP PEMANFAATAN JERAMI PADI MENJADI FERMENTASI JERAMI DI KECAMATAN MADAPANGGA KABUPATEN BIMA PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT
Nurlailah; Untung Subekti; Wahyu Windari; Sunarto Jurnal Penelitian Terapan Bidang Sosial, Ekonomi Dan Pertanian, Vol. 8, No. 2, 2009: 97-114 Abstrak: -
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHA TERNAK SAPI POTONG BERBASIS AGRIBISNIS DI KECAMATAN WATANG PULU KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG Muh. Yasin Patihong Jurnal Agribisnis, Vol. 2, No. 2, 2010: 134-145 abstrak: -
ANALISIS PENDAPATAN PETERNAK SAPI POTONG DI KECAMATAN HAMPARAN PERAK KEBUPATEN DELI SERDANG
Eniza Saleh; Yunilas; Yanda Habib Sofyan Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol. 2, No. 1, 2006: 36-42 Abstrak: Penelitian ini dilaksanalkan di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa pendapatan peternak sapi potong di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan unit analisis keluarga yang memelihara ternak sapi potong. Metode penarikan sampel yang digunakan adalah proportional stratified random sampling yaitu degan cara memilih 3 buah desa berdasarkan populasi ternak sapinya, yaitu Desa BuLuh Cina (populasi tertinggi), Desa Tandam Hilir I (populasi sedang), dan Desa Hamparan Perak (populasi rendah). Sampel dalam penelitian ini berjumlah 49 keluarga peternak sapi potong yang didapat dari 30% peternak, masing-masing dari Desa Buluh Cina (31 peternak),
Pilih/klik judul untuk melihat full text
Desa Tandam Hilir I (16 peternak), dan Desa Hamparan Perak (2 peternak). Parameter yang diamati meliputi: pendapatan, skala usaha (jumlah ternak), umur peternak, tingkat pendidikan, pengalaman peternak, jumlah tanggungan keluarga, motivasi beternak, dan jumlah tenaga kerja yang mempengaruhi pendapatan peternak sapi potong di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Berdasarkan penelitian diperoleh bahwa skala usaha (jumlah ternak sapi), motivasi beternak berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap pendapatan peternak sapi potong. Adapun umur peternak, tingkat pendidikan, pengalaman beternak, jumlah tanggungan keluarga, dan jumlah tenaga kerja tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pendapatan peternak sapi potong.
ANALISIS PENDAPATAN PETERNAK SAPI POTONG DI KECAMATAN STABAT, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA
Surya Amri Siregar Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol. 4, No. 3, 2008: 96106 Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pendapatan peternak sapi potong di Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan unit analisis keluarga yang memelihara ternak sapi potong. Metode penarikan sampel yang digunakan adalah Proportianal Stratified Random Sampling yaitu dengan cara memilih 3 buah desa berdasarkan populasi ternak sapinya, yaitu Desa Bariyumas (populasi tinggi), Desa Perdamean (populasi sedang), dan Desa Kwala Begumit (populasi rendah). Sampel dalam penelitian ini berjumlah 53 keluarga peternak sapi potong yang didapat dari 30% peternak masing-masing desa, yaitu Desa Banyumas (30 peternak), Desa Perdamean (17 peternak), dan Desa Kwala Begumit (6 peternak). Karakteristik sosial peternak yang diamati meliputi : skala usaha (jumlah ternak sapi), umur peternak, tingkat pendidikan, pengalaman beternak, jumlah tanggungan keluarga, motivasi beternak, dan jumlah tenaga kerja yang mempengaruhi pendapatan peternak sapi potong di Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh bahwa skala usaha (jumlah ternak sapi) berpengaruh sangat
nyata (P<0,01) terhadap pendapatan peternak sapi potong. Adapun umur peternak, tingkat pendidikan, pengalaman beternak, motivasi beternak, jumlah tanggungan keluarga dan jumlah tenaga kerja tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap pendapatan peternak sapi potong. Namun, dari uji F diperoleh skala usana, umur peternak, tingkat pendidikan, pengalaman beternak, jumlah tanggungan keluarga, motivasi beternak, dan jumlah tenaga kerja secara bersama berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap pendapatan peternak sapi potong. Disimpulkan bahwa skala usaha (jumlah ternak sapi) merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam meningkatkan pendapatan peternak sapi potong di Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.
ANALISIS STRATEGI BISNIS SAPI POTONG PADA PT LEMBU JANTAN PERKASA, JAKARTA Parimartha, K. W.; Cyrilla, L.; Perjaman, H.P. Majalah Ilmiah Peternakan, Vol. 8, No. 3, 2005
Abstrak: Analisis lingkungan merupakan hal penting yang harus dilakukan perusahaan terutama dalam mengantisipasi perubahan yang terjadi agar tetap mampu mengembangkan usahanya. Strategi yang dijalankan perusahaan merupakan reaksi atas perubahan lingkungan yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal perusahaan sapi potong, sekaligus memformulasikan strategi bisnis sapi potong khususnya untuk PT Lembu Jantan Perkasa (PT LJP), Jakarta. Analisis data penelitian ini menggunakan matriks SWOT dan matriks portofolio General Electric. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa prioritas utama perusahaan adalah meningkatkan kemampuan produksi dan pemasaran untuk memanfaatkan peluang meningkatnya permintaan akan daging sapi dan mengantisipasi perkembangan volume produksi perusahaan. Formulasi strategi mengindikasikan bahwa usaha yang dijalankan PT LJP berada pada kategori usaha selektif. Pada kondisi tersebut, perusahaan disarankan untuk melakukan identifikasi pertumbuhan segmen, spesialisasi pada bidang penggemukan dan perdagangan sapi potong, serta menanamkan modal secara selektif.
ANALISIS TINGKAT PERKEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN DESA PERPAT KABUPATEN BELITUNG BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN TERNAK SAPI POTONG
Suyitman; S.H. Sutjahjo Jurnal Peternakan Indonesia, Vol. 13, No. 2, 2011: 131140 Abstrak: -
BEBERAPA FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP RESPONS MASYARAKAT BETERNAK SAPI POTONG DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG
Rusdin Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian, Vol. 16, No. 4, 2009: 301308 Abstrak: -
DINAMIKA DAN KEBIJAKAN PEMASARAN PRODUK TERNAK SAPI POTONG DI INDONESIA TIMUR
Helena J. Purba; Prajogo Utomo Hadi Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 10, No. 4, 2012: 361373 Abstrak: Sapi bali adalah jenis sapi yang dominan dikembangkan di berbagai wilayah di Indonesia, terutama di Indonesia Timur, namun perkembangannya dipengaruhi oleh dinamika pemasarannya. Tulisan ini bertujuan untuk melihat dinamika pemasaran sapi bali di Indonesia timur berdasarkan data dan informasi yang berasal dari hasil pengamatan penulis langsung di lapangan, berbagai publikasi dan data statistik. Hasil kajian menunjukkan bahwa: (i) Ada hubungan positif antara tingkat pendapatan per kapita dan konsumsi daging sapi per kapita dan jumlah konsumsi; (ii) Preferensi masyarakat konsumen di wilayah Jakarta dan sekitarnya sudah bergeser dari daging sapi lokal (sapi bali, dll) ke daging asal ternak sapi dan daging sapi impor; (iii) Kemampuan wilayah timur Indonesia
dalam memasok ternak sapi untuk pemotongan lokal dan perdagangan antar provinsi, sudah menurun, utamanya NTT; (iv) Volume impor sapi bakalan dan daging sapi secara nasional terus meningkat; (v) Ternak sapi di wilayah timur Indonesia dipasarkan secara lokal dan antar pulau antara lain ke Jakarta dan Kalimantan dengan rantai pasok dari peternak hingga konsumen akhir yang tidak terlalu panjang; (vi) Dewasa ini, daerah pemasaran ternak sapi hidup dari wilayah NTT dan NTB diperluas ke Kalimantan karena harga jualnya lebih menarik dibanding ke Jakarta; dan (vii) Permasalahan krusial yang dihadapi antara lain adalah alat angkutan ternak dan pelabuhan bongkarmuat ternak masih belum kondusif, pemotongan ternak sapi betina produktif makin banyak, dan kondisi rumah pemotongan hewan (RPH) jauh dari standar higienis. Disarankan agar pemerintah menyediakan fasilitas pelabuhan bongkar-muat yang lebih kondusif, meningkatkan pengawasan terhadap pemotongan ternak sapi betina produktif, pemberian insentif yang memadai bagi peternak untuk melakukan tunda-jual ternak sapinya yang sedang bunting, dan pengendalian impor ternak sapi bakalan dan daging sampai batas tertentu sehingga harga ternak sapi dalam negeri tidak merugikan peternak.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG RAKYAT DI KECAMATAN KALIORI KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH
Mukson; S. Marzuki; P.I. Sari; H. Setiyawan Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis,Vol. 33, No. 4, 2008: 305-312 Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji 1) Potensi pengembangan usaha ternak sapi potong rakyat di Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang dan 2) Faktor-faktor yang mempengaruhi potensi pengembangan ternak sapi potong rakyat. Penelitian dilakukan pada bulan Pebruari sampai Maret 2007, di Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Penelitian dilakukan dengan metode survai. Penentuan sampel lokasi desa ditentukan secara Stratified Random Sampling didasarkan pada tingkat populasi ternak diambil sebanyak 6 desa (tinggi, sedang dan kurang). Sampel peternak sapi potong diambil secara Random Sampling. Masing desa-
desa diambil sebanyak 15 peternak, sehingga secara keseluruhan ada 90 sampel. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer bersumber dari hasil wawancara dengan petani ternak sapi potong dengan bantuan kuesioner yang telah disiapkan. Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait dengan materi penelitian. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan secara statistik. Untuk mengetahui potensi pengembangan digunakan analisis LQ (Location Quotient), sedangkan analisis statistik dengan model regresi berganda digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi potensi pengembangan sapi potong rakyat, dengan persamaan regresi sbb : Y = a b1x1+b2x2+b3x3+b4x 4+b5x5+b6x6+b7x7+e, dimana Y = adalah populasi ternak sapi potong dan x1 sampai dengan x7, masingmasing adalah x1 (luas lahan), x2 (ketersediaan pakan), x3 (curahan tenaga kerja), x4 (modal), x5 (perilaku zooteknik usaha), x6 (tingkat pendidikan) dan x7 (lama beternak). Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi pengembangan ternak sapi potong untuk Kecamatan Kaliori tergolong potensial (LQ = 1,12), sedangkan 6 lokasi sampel desa menghasilkan tingkat potensi sbb : Desa Maguan potensial (1,23), Dresi Wetan potensial (1,22), Meteseh potensial (1,20) Sendang Agung potensial (1,20), Banyudono seimbang (1,00) dan Tasikharjo kurang potensial (0,87). Secara bersama-sama faktor x1 (luas lahan), x2 (ketersediaan pakan), x3 (curahan tenaga kerja), x4 (modal), x5 (perilaku zooteknik usaha), x6 (tingkat pendidikan) dan x7 (lama beternak) berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap pengembangan ternak sapi potong rakyat dengan persamaan regresi sebagai berikut : Y = -1,746 + 0,008x1 + 0,139x2 + 0,023x3 + 0,011X4 + 0,018x5 + 0,025x6 + 0,022x7 + e dengan nilai R2 = 0,923. Secara parsial faktor yang berpengaruh adalah : luas lahan, ketersediaan pakan hijauan, tenaga kerja dan modal, sedangkan factor perilaku zooteknis, tingkat pendidikan dan lama beternak pengaruhnya tidak nyata.
HIDROLISIS ZAT MAKANAN PAKAN OLEH ENZIM CAIRAN RUMEN SAPI ASAL RUMAH POTONG HEWAN
Budiansyah, Agus; Suhartono, MT.; Wiryawan, Komang G; Widiastuti, Y. AGRINAK, Vol. 1, No. 1, 2011: 17-24 Abstrak: -
IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA PENDAPATAN PETERNAK SAPI POTONGG DI DESA TRENTEN KECAMATAN CANDIMULYO KABUPATEN MAGELANG Dedi Suprianto Agrica Ekstensia, Vol. 6, No. 2, 2012: 90-106 Abstrak: -
KARAKTERISTIK ENZIM PROTEASE CAIRAN RUMEN SAPI ASAL RUMAH POTONG HEWAN
Budiansyah, Agus Jurnal Agribisnis dan Industri Peternakan AGRINAK, Vol. 2, No. 1, 2012: 22-28 Abstract: The aim of this experiment was conducted to characterize protease enzyme of rumen liquor from abbatoir: determination of optimum temperature and pH, examination of the resistance to heating at optimum temperature, and the effect of metal ions and chemical substances on enzyme activity to utilize as feed additive to increase the quality of broiler diets based on local feed materials. An enzyme was extracted through the methods such as filtration, centrifugation, and precipitation with ammonium sulphate, and then charachterized based on optimum temperature and pH of enzyme, the resistance to heating at optimum temperature, and the effect of metal ions and chemical substances on enzyme activity. The results of the experiment showed that 1) general characteristics of protease rumen liquor enzyme especially from local cattle had an optimum temperature at 70 °C, range of temperature at 60 up
to 80 oC, optimum pH at 6, range of pH at 5 up to 9, resistance to heating at temperature of incubation for 150 minutes, needed Mn2+ ion as activator. Protease enzyme in the rumen liquor from imported cattle had an optimum temperature at 70 °C, range of temperature at 39 up to 70 oC, optimum pH at 7, range of pH at 4 up to 9, resistance to heating up to 150 minutes at optimum temperature of incubation. The protease enzyme from local cattle needed Mn2+ ion as activator, no chemical compounds which inhibited the enzyme activity, 2) activity of the protease enzyme in rumen liquor of imported cattle was higher than those of local cattle. It is concluded that protease enzymes from cattle rumen liquor obtained abbatoir were able to use as feed additive to improve quality of poultry diets.
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG DI WILAYAH SENTRA PRODUKSI BERBASIS TANAMAN PANGAN (SIPT) DI INDONESIA
Muslim, Chairul; Nurasa, Tjetjep Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian Soca Jurnal SosialEkonomi Pertanian Soca, Vol. 8, No. 3, 2008: 250-255 Abstrak: Program SIFT (sistem intergrasi padi-Ternak) adalah bagian dari program pengembangan kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan. Sedangkan kegiatan lokasi SIFT itu bagian dari kegiatan PTT (pengelolaan Tanaman Terpadu). Awal pelaksanaan kegiatan SIFT ini dilaksanakan pada tahun 2002 di 11 propinsi hingga sekarang (tahun 2003) mencakup 14 propinsi wilayah sentra produksi sapi potong. Sedangkan tujuan pokok dari program SIPT adalah mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal seperti pemanfaatan jerami sebagai pakan ternak dan kotoran sapi diolah menjadi pupuk organik guna memperbaiki unsur hara tanaman (Zero Waste). Inti kinerja program SIFT ini adalah mengupayakan peningkatan produksi daging sapi sebagai alternatif program terobosan yang diharapkan dapat memenuhi tantangan dan tuntutan pembangunan peternakan yang berkecukupan (berswasembada) daging tahun 2005. Untuk melihat berbagai permasalahan tersebut, tulisan naskah ini bertujuan mempelajari program-program pemerintah mengenai pengembangan sapi potong di Indonesia yang salah satunya adalah program SIFT serta
meriview dari berbagai hasil penelitian mengenai pengembangan peternakan sapi potong,khususnya diwilayah komoditas unggulan.
KELEMBAGAAN PEMASARAN TERNAK SAPI POTONG DI TIMOR BARAT, NUSA TENGGARA TIMUR
Yusuf; J. Nulik Jurnal Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 11, No. 2, 2008: 133-145 Abstrak: -
dan subsidi ekspor yang dilakukan negara pengekspor. Dengan cara ini, harga sosial komoditas impor akan menggambarkan harga sosial yang sebenarnya sehingga bisa mengembalikan kondisi comparative disadvantage yang terjadi saat ini menjadi comparative advantage seperti pada tahun 1987.
KINERJA AGRIBISNIS SAPI POTONG RAKYAT DI PROVINSI JAWA TIMUR: DAMPAK KRISIS MONETER DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH Mayrowani, Henny Soca, Vol. 6, No. 3, 2006
KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHA TERNAK SAPI POTONG DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL Nandang Sunandar Jurnal Ilmiah Ilmu Pertanian, Vol. 8, No. 1, 2006: 43-54
Abstrak: Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui keunggulan komparatif usaha ternak sapi potong. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang dikumpulkan dengan cara survei di Kabupaten Gunung Kidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penentuan lokasi dilakukan secara purposif atas dasar jumlah populasi sapi potong. Lokasi yang dipilih adalah Kecamatan Karang Mojo dan Semanu. Jumlah sampel ditentukan secara kuota yaitu 240 orang peternak sapi potong, masing-masing 120 orang peternak sapi potong di Karang Mojo dan Semanu. Pemilihan sampel dilakukan secara simple random sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha ternak sapi potong di Gunung Kidul tidak memiliki keunggulan komparatif (Comparative Disadvantage) karena memiliki KBSD>1. Comparative disadvantage yang dialami usaha ternak sapi potong domestik pada saat ini, tidak terlepas dari adanya distorsi harga sapi potong akibat dumping atau subsidi ekspor oleh negara pengekspor produk sapi potong ke Indonesia. Pemerintah perlu menerapkan tarif impor untuk sapi potong (siap potong), minimal menciptakan harga yang seimbang (balancing price) antara sapi potong impor dan sapi potong domestik. Langkah ini dilakukan untuk mengurangi ekses negatif dumping
Abstract : In the period of 1995 - 2002, domestic cattle agribusiness in East Java has indicated an unpleasant condition, the growth of production, consumption and trade tend to decrease around 1.5 - 4.7 percent a year. Meanwhile, nominal price of feed and livestock products have increased more than 8 percent. Although, the real prices were increasing only around 0.5 - 1.4 percent a year. Economic crisis affect significantly the decreasing of the house hold income, it has an impact in reducing of the volume of East Java cattle distribution to outer region. This condition become worse by reduction of cattle population growth and competition with live cattle import and their products. In 1995-2002 and during the regional autonomy policy implementation process, cattle population growth has decreased - 1.71 and - 24.85 percent a year respectively. Generally, decreasing of cattle population growth has related to reduction of cattle herd that no longer used in intensification of paddy field. Decreasing of cattle population growth during the regional autonomy policy implementation process were caused by three reasons, such as: (1) Lack of local government ability to increase the development of breeding and fattening business that related to the budget and government management problems; (2) Market demand of cattle from outer region was decreasing; and (3) The real price of breed and fattening cattle was not attractive for farmers to carry on in their business. Based on those problems above, in order to develop domestic cattle agribusiness, it is necessary to develop: (1) The policy which able to consolidate the central, province, and district government in implementing integration
programs; (2) Reducing market distortion policies; (3) Provide protection and special treatment for small scale farmers to face global trade liberalization; and (4) Institutional reform of domestic cattle agribusiness.
KONTRIBUSI SISTEM KEMITRAAN KELOMPOK PETERNAK SAPI POTONG DENGAN PT. SARANA BALI VENTURA DI DESA CATUR KEC. KINTAMANI KABUPATEN BANGLI
I Dewa Gede Rastana Majalah Ilmiah Universitas Tabanan, Vol. 9, No. 2, 2012: 160-169
system include transaction cost and (2) to analyze factors influencing the input use, output, income generation and expenditures of household farmers. A survey was used to gather and collect information of 194 household farmers that sampling by simple random. Simultaneous equations model with to SLS method was used to estimate the parameter. The result showed that household economy model could describe promptly the impact of transaction cost. The transaction cost significantly affected the farmers behavior on production decision, the use of production input and family labor as well as consumption expenditures. A change on the policy of increasing output price transaction costs of the cattle intermediaries and corn transport cost have affected the farmer’s household economic performances.
Abstrak: -
KORELASI UKURAN VITAL TUBUH TERNAK TERHADAP PERSENTASE KARKAS SAPI POTONG PADA BERBAGAI UMUR Diwi Acita Irawati Media Informasi Dan Inovasi Bidang Peternakan, Vol. 14, No. 1, 2009: 936-946 Abstrak : -
PENGARUH BIAYA TRANSAKSI TERHADAP PERILAKU EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI PETERNAK SAPI POTONG DI KABUPATEN MINAHASA
Femi Hadidjah Elly; Sri Utami Kuntjoro; Nunung Kusnadi Forum Pascasarjana, Vol. 32, No. 3, 2009: 195-213 Abstract : Household farmers have allocated the family labor resources to their cattle farming that contribute to farmers’ income generation and distributed to their household expenditures. Household farmers face the transaction cost during the production process. The highest transaction cost, the least income allocation. The objectives of the study were (1) to develop household economy model in the corn-cattle farming
PENGARUH CAMPURAN FESES SAPI POTONG DAN FESES KUDA PADA PROSES PENGOMPOSAN TERHADAP KUALITAS KOMPOS
Hidayati, Yuli Astuti; Marlina, Eulis Tanti; Benito AK, Tb; Harlia, Ellin Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan JIIP, Vol. XIII, No. 6 2010: 299-303 Abstract: This study aims to determine compost quality (content of N, P2O5, K2O) generated from various mixtures of beef cattle feces and the feces of horses. The method used in this study is the experimental method in the laboratory using a completely randomized design with 3 treatments, ie P1 = C / N ratio of 25, P2 = C / N ratio of 30 and P3 = C / N ratio of 35 and replications 6 times. To determine the effect of treatments, data were analyzed with ANOVA and Duncan test. The results showed that the mixture of feces of beef cattle and horse feces with various C / N ratio did not significantly affect the quality of compost. N content in compost produced = 0.7867 to 0.8000%, P2O5 content = 0.5883 to 0.6000%, K2O = 0.5733 to 0.5883%.
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN WARU (HIBISCUS TILIACEUS) PADA PAKAN SAPI POTONG LOKAL TERHADAP PRODUKSI VFA TOTAL DAN NH₃ SECARA IN VITRO Arum, Isti; Rahayu, Sri; Bata, Muhamad Jurnal Ilmiah Peternakan, Vol. 1, No. 1, 2013
Abstrak: Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun waru terhadap produksi VFA total dan NH₃ secara in vitro. Penelitian menggunakan metode eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri atas lima blok. Sebagai blok adalah periode pengambilan cairan rumen yang berasal dari tiga ekor sapi potong yang diambil dari Rumah Potong Hewan (RPH) Mersi, Purwokerto. Perlakuan yang diuji adalah level ekstrak daun waru (Hibiscus tiliaceus) dalam konsentrat (mg/kg BK). Level pemberian ekstrak daun waru tersebut adalah 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, dan 150 ppm masing-masing untuk R₁, R₂, R₃, dan R₄. Imbangan bahan kering pakan komplit yang digunakan terdiri atas 45% jerami padi amoniasi (amoniasi menggunakan urea 5% dan onggok 2,5%) dan 55% konsentrat. Peubah yang diukur adalah konsentrasi VFA total dan N-NH₃. Analisis variansi menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun waru berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap konsentrasi VFA namun tidak berpengaruh (P > 0,05) pada produksi NH₃. Peningkatan konsentrasi daun waru (ppm) menyebabkan penurunan VFA secara kuadrater ( P < 0,05 ) dengan konsentrasi VFA terendah dicapai pada level 96,209 ppm. Rataan produksi VFA yaitu 318,6 ± 77,34 ; 253,60 ± 36,00 ; 261,10 ± 64,48 ; 266,40 ± 70,32 (mM/1) dan NH₃ yaitu 16.84±3.55 ; 17.68±3.34 ; 16.80±2.58 ; 16.60±3.93 (mM/1). Dari hasil tersebut disimpulkan suplementasi ekstrak ethyl acetate daun waru hingga level 150 ppm tidak mengganggu aktivitas metabolisme rumen sapi potong secara in vitro.
PENGARUH POLA KREDIT PENGADAN SAPI POTONG PADA PETERNAK KECIL DI PROVINSI JAMBI Hasnah Jamal Jurnal Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 10, No. 2, 2007: 149-158 Abstrak : -
PENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI POTONG BERORIENTASI AGRIBISNIS DENGAN POLA KEMITRAAN
Andi Ferawati Media Informasi Dan Komunikasi, Vol. 41, 2011: 46-56 Abstrak:
PENGUATAN MODAL SOSIAL DALAM UPAYA MENINGKATKAN PENDAPATAN PETERNAK SAPI POTONG DI KABUPATEN BANJARNEGARA Dyah Panuntun Utami, Priyono Dan Surya Agritama - Fakultas Pertanian, Vol. 1, No. 1, 2012
Abstrak: Usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Banjarnegara sebagian besar di dominasi oleh peternakan rakyat yang sebagian besar masih bersifat tradisional. Meskipun dengan kondisi terbatas, usaha ternak sapi potong memiliki arti yang sangat besar bagi peternak.Kelompok peternak sapi potong di Banjarnegara berjumlah 57 kelompok. Kelompok tersebut memegang peranan yang penting dalam meningkatkan keberdayaan ekonomi individu peternak. Peningkatan pendapatan dan efisiensi ekonomi usaha ternak sapi potong menjadi hal yang wajib dalam pengembangan usaha. Disamping membutuhkan adanya modal finansial, juga dibutuhkan modal sosial yang langsung berkaitan dengan sumberdaya manusia peternak. Kebersamaan dalam kelompok peternak merupakan modal sosial yang sangat signifikan dalam peningkatan output kelompok maupun individu secara teknis dan ekonomis.Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui tingkat modal sosial peternak
sapi potong yang terdiri dari hubungan kekerabatan, norma, tingkah laku dan interaksi, (2) Mengetahui tingkat pendapatan usaha ternak sapi potong, (3) Menganalisis keterkaitan antara modal sosial dengan pendapatan dan efisiensi ekonomi usaha ternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara.Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 3 Februari 2008 sampai dengan 2 April 2008 di Kecamatan Karangkobar, Bawang, Wanadadi dan Purwonegoro.Metode penelitian yang digunakan adalah survey. Responden diambil sebanyak 69 orang dengan pengambilan sampel secara acak (simple random sampling) dari total populasi peternak yang tergabung dalam 11 kelompok. Variabel yang diamati adalah modal sosial yang terdiri dari hubungan kekerabatan, norma, tingkah laku dan interaksi. Sebagai variabel terikat yaitu pendapatan peternak sapi potong.Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat modal sosial peternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara tergolong sedang, hal tersebut ditunjukkan dengan kemampuan peternak yang cukup tinggi untuk bekerja sama dalam mewujudkan tujuan kelompok. Pendapatan peternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara rata-rata Rp.2.546.783,- per tahun. Hasil analisis korelasi rank spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara variabel ikatan sosial dengan pendapatan peternak sapi di Kabupaten Banjarnegara dengan tingkat keeratan hubungan sebesar 0,426. Hal tersebut menunjukkan dengan adanya penguatan modal sosial melalui kelompok ternak, maka pendapatan yang diterima oleh peternak akan meningkat. Penguatan modal sosial dapat dilakukan melalui pelatihan intensif terhadap peternak dengan memasukkan unsur teknologi dengan didampingi penyuluh bidang peternakan.
PERBEDAAN PENGGUNAAN LIMBAH TANAMAN PANGAN SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG ANTARA PETERNAK ANGGOTA DAN NON ANGGOTA KELOM[OK TANI TERNAK DI KECAMATAN NGARINGAN KABUPATEN GOROBOGAN
Awang Wirendra; Rudy Hartanto Buletin Sintesis, Media Informasi Ilmiah Dalam Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian, Vol. 12, No. 2, 2008: 39-42 Abstrak: -
RENTABILITAS USAHA TERNAK SAPI POTONG SKALA KECIL DI KECAMATAN SABANGAU KOTA PALANGKARAYA
Mega Marlina; Yansen Noky; Wilson Daud Journal Socio Economics Agricultural, Vol. 4, No. 2: 2009: 99-105 Abstrak: -
STRATEGI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG BERWAWASAN AGRIBISNIS DI PROVINSI ACEH
Hendra Saputra; Arief Daryanto; Dudi S. Hendrawan Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol. 6, No. 2, 2009: 152-162 Abstrak: -
STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI POTONG DALAM MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU TAHUN 2014
Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, Vol. 30, No. 3, 2011: 108-116 Abstrak : -
STUDI POTENSI KAWASAN LORE TENGAH UNTUK PENGEMBANGAN SAPI POTONG
Rusdin, Rusdin; Ismail, Moh.; Mustaring, Mustaring; Purwaningsih, Sri; Andriana, Atik; Dewi, Sri Utami Media Litbang Sulteng, Vol. 2, No. 2, 2009 Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tentang potensi padang penggembalaan alam, khususnya tentang kapasitas tampung (caryng capacity), komposisi botanis hijauan dan komposisi nutrient hijauan padang penggembalaan alam serta uji kecocokan lahan untuk pengembangan jenis hijauan makanan ternak dilaksanakan di Kecamatan Lore
Tengah Kabupaten Poso Sulawesi Tengah di laksanakan pada tanggal 15 April 2009 sampai dengan 10 Oktober 2009. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Menggunakan metode Deskriptif dan Eksploratif. Penentuan sampel dilakukan dengan teknik purporsive sampling. Keberadaan padang penggembalaan alam di Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Poso seluas ±1800 Ha hanya didominasi oleh satu jenis rumput yaitu rumput Themeda digantae, berpotensi menunjang kegiatan peternakan sapi potong dalam hal ini untuk mendukung peningkatan populasi dan produktivitas ternak sapi potong, walaupun hingga kini belum ada upaya perbaikan mutu padang penggembalaan untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitasnya. Untuk itu perlu adanya sentuhan untuk perbaikan agronomis dan manajemen pemanfaatannya. Selain itu perlu adanya introduksi tanaman baru (rumput gajah, rumput raja, rumput benggala dll) dan legume (lamtoro, gamal, turi dll) yang lebih produktif, dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan sasaran, persisten, dan tahan tekanan (intensitas) penggembalaan. Hasil dari analisa tanah memberikan gambaran tentang manfaat tanah untuk pertumbuhan tanaman hijauan makanan ternak sesuai sifat-sifat fisiknya, kandungan bahan organik, dan komposisi kimianya. Sehingga direkomendasikan untuk penggunaan pupuk dan atau penanaman leguminosa untuk membantu menyuburkan tanah terutama untuk meningkatkan unsur Nitrogen tanah.
TITIK IMPAS (BEP) USAHA BUDIDAYA TERNAK SAPI POTONG: STUDI KASUS DI KEC. JATINOM KAB. KLATEN
Nina Woelan Soebroto Majalah Ilmiah Pengembangan Rekayasa Dan Sosial, Vol. 5, No. 1, 2009: 92-95 Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan finansial usaha budi daya ternak sapi potong dan menyediakan informasi bagi investor yang akan menanamkan modalnya pada beternak sapi. Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel sebanyak 52 peternak di Kecamatan Jatinom, Klaten. Analisis kelayakan usaha diukur dengan indikator titik impas dan Benefit Cost Ratio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa budi daya ternak sapi potong yang layak ditunjukkan dengan titik impas (Break Event Point) Rp 15.200.000,- dan Benefit Cost Ratio sebesar 1,126.
UPAYA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS TERNAK SAPI POTONG MELALUI PENGENDALIAN MIKROFAUNA RUMEN DENGAN PEMBERIAN EKSTRAK TANIN GAMBIR Sujatmiko; Ramaiyulis Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, 2009: 224-231
Abstract : Defaunation technology has been applied for fattening cow population at Sei. Talang farmer group in East Payakumbuh, Payakumbuh City West Sumatra. The objectives of this application technology was to increase growth of body weight through microfauna control with adding gambir tannin extract in their food. This activity has done by extension and discussion, demonstration and guidance methods. This technology was applied for ten cows as a model to point out the benefit of defaunation technology to target public. Evaluation of model outcome indicated increasing growth of body weight after giving gambir tannin extract (0.924g. cow-1 day-1) than the control (0.53 7g.cow-1 day-1). Periods of fattening have been shortening from 9 months to 6 month. Farmers profit was rising from Rp277,470.00 cow-1 months to Rp394,970.00 cow-1 months. Partly of target public have adopt this technology particularly demonstrator farmers and they hoped to dissiminate it to other members.
AOHIEKSTENSIA VOL. 8 No.2 J ULI 2009, HLM. 97-1 14
ADOPSI ANGGOTA KELOMPOK TANI TERNAK SAPI POTONG TERHADAP PEMANFAATAN JERAMI PADI MENJADI FERMENTASI JERAMI DI KECAMATAN MADAPANGGA KABUPATEN BIMA PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT
Nurlailah" Untung Subekti 2, Wahyu Windari 2, dan Sunarto2 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adopsi anggota kelompok tani dan faktor faktor apa yang mempengaruhi adopsi anggota kelompok tani terhadap teknologi fermentasi jerami. HasH penelitian mcnunjukkan adanya pengaruh antara variabel dependen terhadap variabel independen. Variabel umur, pendidikan, pengetahuan, dan frekuensi penyuluhan mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap adopsi. Sedangkan variabel jumlah kepemilikan ternak mempenyai pengaruh yang signifikan terhadap adopsi. Hasil kajian tersebut digunakan sebagai pedoman dalam penentuan model penyuluhan. Berdasarkan hasil evaluasi penyuluhan terjadi peningkatan pengetahuan anggota kelompok tani sebesar 65,51%. Kata kunci : adopsi, fermentasi jerami, karakteristik anggota kelompok tani, penyuluhan ABSTRACT This research is aimed to find out the degrees of farmer group member adoption and what factors influencing farmer group member adoption to hay ferment technology. The results of' the research show the existence of influence between variable of dependen to independent variable. Age variable, education, knowledge, frequenties of extension have influence which very significant to adoption. While variable of amount of the ownership of livestock have influence which significant to adoption. Result of the study used as guidance in determination of counselling model. Pursuant to result of counselling evaluation happened the improve ment. of knowledge of farmer group member equal to 65,51%. Keyword: adoption, hay ferment, farmer group member characteristics, extension
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumber limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalahjerami padi. Tetapi penggunaan jerami padi sebagru palcan ternak meng alami kendala, terutama disebabkan adanya faktor pembatas dengan nilai I
Alumni STPP Ma1ang, ' Dosen STPP Ma1ang
nutrisi yang rendah yaitu kandungan protein rendah, serat kasar tinggi, serta kecernaan rendah. Untuk memanfaat kan jerami padi sebagai pakan ternak secara optimal perlu dilakukan pengo lahan dengan sentuhan teknologi untuk meningkatkan kualitasnya, bruk pengo lahan secara fisik, kimiawi maupun biologis. Salah satu upaya untuk mening katkan kualitas jerami adalah dengan melakukan fermentasi. Fermentasi 97
dapat meningkatkan nilai cerna dari
luasan lanah sawah. Sclain hal Lersebut
schingga selulosa yang tcrkandung
keccndrungan untuk lebih ccpat mene
jerami, yaitu dad �W% mcnjarli 55%,
anggota keloll1pok iani mcmiliki
dalam jermni padi dapaL dimanf�laLkan
rilna adopsi inovasi jika dibanding"kan
nlch icmak.
petani temak yang ticlak tergabung
KccamaLan .l\1adapangga mCll1iliki
elalam kelompnk Umi. l'erubahan peri
hn.ll.,ahun, schingga dapai 111cnghasilkan
akiif dalam kcgiatan kelompok. Dcmi kian pula dalam hal pcnyebaran clan pc
lahan perianian yaiLu sckiiar ;12,95% dari kcscluruhan luas wilayah, Padi yang dihasilkan scbanyak 21.758,5 Toni
lakupctani secanl inc1ividu lebih Imnbai
jcrall1i pad1 sebcsar ± 37, 1 ��7 ,75 ion/hal iahun, Melihat kondisi ini lcnLunya
nerapan inovasi petani yang tcrgabung
jika dibundingkan clcngan pet ani yang
hasil pcrLanian dan limbah pcrianian
daimll kelompok tani pacta umumnya lebih cepat dan jangkauannya lebih luas.
juga cukup banyak, namun Iimbah pcria
Ilerdasarkan kondisi terscbut, maIm
nian tcrscbut bclull1 scpenuhnya diolah
pcrlu adanya pcngkqjian teniang adopsi
sebagai pakan ternak sapi pot.ong.
anggoia kelompok iani iernak terhadap
Pada muslm komarau, jCl' ami padi Ckcring) mcrupakan pakan tornak ulama
pembuaian fCr111cntasi jcrami scbagai pakan icrnak sapi poiong eli Kccamaian
eli Kceamaian Madapangga. P a d a umumnya jcrami padi Iebih banyak
Madapllngga Kabllpatcn Ilima Nusa Tenggara Barat.
digunakan oloh anggoia kelo111pok tani scbagai pakan Lernak sapi potong, Namun jcrami padi tersebut Iangsung dibcrikun pada temak tan])a diolah terlebih elahulu, sehingga bcrdampak pada pertu111buhan maupun porlam
TUJUAN Pencliiian ini bcrtujuan unt.uk:
1, Uniuk mengctahui adopsi anggoia
kelompok iani ternak sapi poiong tcrhadap pC111anfaaian jcrami padi
Lahan bobo!. badan yang iidak 111aksinlul,
mcnjadi fcrment.asi jcrami eli Kcca
Tcknologi fcrmenLasi jcrami bclum scpenuhnya ciiterapkan oloh anggola
mat.an Bima
kelompok Lani di Kecamaian Mada pang-ga, hanya sebagian kC'cii dad
2. LJnLuk
nnt.ara
inclividu
dan karaktcristik sosial (penyu lompok ian1 tcrnak sapi pot.ong
lcrhaelap pmnanfaaian jeran1i paeli n1cnjadi I" ermentasi matan Madapangga Kabupaicn
mcnganggap ballwa fermcnLasi joran1i merupakan suaLu tcknologi batu yang sulit. eli aplikasikan olch nWl'cka,
98
pcngaruh
luhan) dcngan adopsi anggoLa kc
karcna anggoia kelo111pok tani ]nasih
pada jumlah kepcmilikan lcrnak dan
menget.ahui karaklcrisLik
dan jumlah kepcmilikan tcrnak)
jera111i tcrscbuL. Hal ini discbabkan
mcnjadi formentasi jcrami didasarkan
Nusa Tenggara
(umur, pcndidikan, pengciahuan,
elipcrolch eli lapangan, tclah aela pcnyu luhan l1lcngcnai ieknologi f'cfmeniasi
ternak tcntang pC'manf�latan jcn-uni pacli
Pl'opinsi
Kabupatcn
Barat
a11nya, padahal bcrclasal'kal1 dala yang
Pomilihan kelnmpok iani pada kajian mcngcnai actopsi ang-gota kclom[Jok iani
lVlaelapangga
lEma Propinsi BaraL
3.
Nusa
Tcnggara
Untuk mcnyusun program pcnyu luhan teniang pcmanfaaian jcrami pacIi menjaeli fermeniusi jCl'ami pacti, Nurlaifah, dhh
4. Untuk mengetahui efektifitas pro gram penyuluhan dan efektifitas perubahan pengetahuan tentang pemanfaatan jerami padi menjadi fermentasi jerami padi. METODOLOGI
Lokasi dan Waktu
Lokasi kajian dan penyul uhan dilaksanakan di Keeamatan Mada pangga Kabupaten Bima Propinsi Nusa Tenggara Barat. Pelaksanaan kajian sosial dilakukan pada tanggal 29 Maret 2009 sampai tanggal 20 April 2009, sedangkan pelaksanaan penyu luhan dilakukan pada hari Rabu tanggal 29 April 2009 dan hari Minggu tanggal 17 Mei 2009. Pelaksanaan penyuluhan dilakukan di tempat ketua Kelompok Tani Bolo Utama dan ketua Kelompok Tani Tani Utama di Keea matan Madapangga Kabupaten Bima Propinsi N usa Tenggara Barat. Pendekatan Kajian
Penyusunan Program penyuluhan dilakukan dengan pendekatan: (a) Metode pengambilan data menggu nakan metode survey, (b) metode peneli tian menggunakan metode study kasus (e) Kajian studi pustaka yaitu mengumpulkan, mengkaji, dan memperdalam literatur yang dijadikan sumber dan landasan teori yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi sasaran. (d) Kaji terap digunakan untuk memperdalam materi yang akan disuluhkan pada anggota kelompok tani. Metode Pengurnpulan Data
Data yang terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diper oleh langsung dari anggota kelompok
tani dengan menggunakan angket (kuesioner) dan wawaneara. Pengisian kuesioner dilaksanakan dua tahap yaitu : (a) tahap pertama sebelum diadakan penyuluhan (pre test), (b) tahap kedua sesudah diadakan penyuluhan (pos test). Data sekunder diperoleh dari lembaga lembaga atau instansi terkait di wilayah penelitian. Metode Pengarnbilan Sarnpel
Populasi dalam kajian mengenai adopsi anggota kelompok tani ternaksapi potong tentang pemanfaatanjerami padi menjadi fermentasijerami adalah anggota kelom pok tani ternak sapi potong sebanyak 196 anggota kelompok tani. Teknik pengambilan sampel meng gunakan stratified sample. Untuk me nentukan jumlah anggota kelompok tani yang akan dijadikan sampel, maka diten tukan jumlah sampel seeara proporsional yaitu sebesar 15% dari jumlah populasi dari masing-masing kelompok tani yang bersangkutan. Responden yang diambil sebagai sampel dalam penelitian adalah 30 orang. Rineian j umlah masing-masing anggota kelompok tani yang dijadikan sanlpel dalam penelitian adalah: (1) Kelom pok Tani Bolo Utama sebanyak 11 orang, (2) Kelompok Tani Cinta Manis sebanyak 7 orang, (3) Kelompok Tani Tani Utama sebanyak 5 orang, (4) Kelompok Tani Kalatinggapi sebanyak 7 orang. Variabel Yang Diamati
Variabel yang diamati dalam penelitian adalah : 1. Variabel bebas (independen) X, meli puti: a. Umur dengan klasifikasi: mud a, sedang, dan tua b. Pendidikan dengan klasifikasi: rendah, sedang, dan tinggi e. Pengetahuan dengan klasifikasi:
Pemanfaatan Jerami Pa[li Menjadi Fermentasi Jerarni
99
Reliabiliias Alai ukur
rendah, scdang, dan tinggi d. Jumlah leepemililean
temale:
sedikii, sedang, dan banyak. c. Frckucnsi penyuluhan: rendah, sedang, dan iinggi.
2.
Untuk menghitung reliabiliias instrulllen yaiit! clengan mcnggunakan runIUS alpha yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
Variabel terikat (dependen) Y
Variabel terikat Y adalah tingkat
adopsi anggota kelompok tani sapi
potong tontang pembuatan fermentasi jorami padi.
Keterangan: rll
nilai reabilitas
=
2:Si::;;; junllah varians skor tiap-tiap
Uji Validitas dan Realibilitas Alai Ukur Validitas Alat Ukur Uji validitas dilakukan untuk menge tahui apakah alat ukur yang telah
itmu 8i
=
k
=
varian total jUllllah item
8uatu instrumen clikatakan reliabel
apabila harga koefi sien fhittlllg >
disusun dapat digunakan untuk meng
Metode Analisis Data
ukur apa yang hcndak diulcur secm'a tepat (8udarmanto,
2005:79).
Untuk monguji tingkat validitas instnllnen pencliti�m atau alat pcngukur data, dapat digunakan toknik korolasi product monlcnt dad Pearson dcngan anglca kasar yang rumusnya sebagai
0,800.
Metoda analisis data menggunakan analisis regresi linear ganda clengan menggunakan program statistical product and service solutions (81'88). Persamaan rcgresi linear ganda dapat dirumuskan sebagai berikui:
borikut:
11(L: x)' )-12::XXL:» 12::
'i"",,,,, �
80lanjutnya dihiiung dengan uji-t
dengan rUll1US:
tIIIIIIII!!,
-
r�
Keterangan : t
f
n
=
nilai t hitung
=
kocfisien korelasi hasil rhitung
=
jumlah responclcn
Kesimpulan: Apabila r XY hitung >0,3 maIm item
tersebut dinyatakan culmp valid (8urya brata, 2000).
1 00
Keiarangan :
Y a
=
tingkai ado psi inovasi (skor)
=
interscp (konstanta)
b l.. 5 .
...
=
koefisien arah
Xl
=
=
pendidikan
X3
=
pengaiahuan kepelll ilikan tcrnak
X5
= =
X2 X1
umur
frekuensi ponyul uhan
Metoda Evaluasi lJntuk mengukur adopsi anggota kclompok Lani adalah dengan mcnggu nakan rlunus sebagai bcrikui:
� �k.?� �/:t�?¥g!=_� ���,. _.�/��_��!:/� __
3
..
kategori
Nl/dC/ilaIL, dhh
1. Jumlah skor tertinggi = 100 Jumlah skor terendah 20 2. Interval =
Interval
=
3
Interval = 26;67 Kategori perhitungan tingkat adopsi adalah: 1. Tingkat ado psi rendah bila skor <46,67. 2. Tingkat ado psi sedang bila skor 46,68�73,34. 3. Tingkat adopsi tinggi bila skor >73,35.
potensi wilayah dan karakteristik sasaran yang meliputi: umur, pendidik an, pengetahuan, jumlah kepemilikan ternak, dan karakteristik sosial yaitu penyuluhan. Evaluasi Kegiatan Penyuluhan
Menurut Ismulhadi (2006:33), untuk mengevaluasi kegiatan penyuluhan digunakan rumus sebagai berikut: Efektivitas Perubahan Pengetahuan
Perubahan pengetahuan xIOO% kesenjangan Efektifitas Program
jllmlah skor postest target program
PROGRAM PENYULUHAN
Penetapan Materi
Materi yang disampaikan dalam penyuluhan adalah pengertian fermen tasi jerami padi, manfaat dan tujuan pembuatan jerami fermentasi, bahan dan alat dalam pembuatan fermentasi jerami padi, cara pemberian fermentasi jerami padi pada ternak.
Media, Metode dan Teknik Penyuluhan
Metode penyuluhan yang digunakan pendekatan kelompok dan pendekatan individu. Teknik penyuluhan yang dilak sanakan menggunakan teknik ceramah, diskusi dan demonstrasi cara. Media yang digunakan dalam penyuluhan ada lah menggunakan folder dan VCD. Pemi lihan media, metode, dan teknik penyu luhan ini berdasarkan hasil identifikasi
100%
Ismulhadi (2006:33) menyatakan bahwa untuk mengetahui efektifitas program dan efektifitas perubahan perilaku (pengetahuan) dapat di ketahui dengan tiga kategori sebagai berikut: Efektif skor >66,6% Cukup Efektif skor 33,33�66,66% Kurang Efektif skor <33,33%
Sasaran Penyuluhan
Sasaran penyuluhan adalah anggota kelompok tani ternak sapi potong di Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima Propinsi Nusa Tenggara Barat yang dipilih secara stratified sample Jumlah sasaran sebanyak 30 orang.
x
HASIL DAN PEM BAHASAN
Gambaran Umum Kegiatan Penyuluhan di Kelompok Tani Ternak Kecamatan Madapangga
Kegiatan penyuluhan di kelompok tani ternak Kecamatan Madapangga dilakukan oleh dinas peternakan dan penyuluh lapang. Kegiatan penyuluhan mengenai pemanfaatan jerami padi menjadi fermentasi jerami padi hanya dilakukan dua kali pada tahun 2004 dan tahun 2005. Keadaan Responden
Keadaan responden yang diamati
meliputi umur, pendidikan, pengetahu-
Pemanfaatan Jerami Padi Menjadi Fermentasi Jerami
101
an, jumlah kcpcnlilikan tcrnak, dan f1'ckucnsi pcnyuluhan.
katcgori pcngctahuan scdang, yaitu scbanyak 22 orang.
Tabel 1 mcnjelaskan bahwa 1'cspon dcn yang mculi1iki katcgori U111ur scdang InC111iliki jumlah rcspondcn yang paling banyak yaitu l:J orang, clibanclingkan clengan responclen clengan katego1'i umur mucla clan katego1'i Ul1lur tua.
Tabel'i menjclaskan bahwa sebagian bcsar responden mcmiliki juul1ah kcpe milikan ternak sedikit yaitu sebanyak 26 orang. Hal ini menunjukkan bahwa usaha petcruakan sapi poiong l11crupa kan usaha saI11pingan.
Bcrdasarkan data pada Tabel2 dapat clinyatakan bahwa scbagian besar 1'C8ponden atau sekitar 66,67 1'esponden masih clalam kategori pendiclikan ren dab, bal ini disebabkan karena scbagian besar rcsponden tidak mengikuti wajib belajar scmbilan Lahun.
Bcrdasarkan 'l'abel5 dapat dijelaskan bahwa anggota kelompok tani dengan ka(egori penyuluhan sedang sebanyak 13 orang. Sedangkan pada !categori penyuluhan rendah sebanyak 10 orang dan !ca(egori pcnyuluhan tinggi seba nyak 7 orang.
Berdasarkan Tabel3 dapat dijclaskan baltwa scbagian besar anggota kelol1lpok (ani (dari 30 1'csponden) masih pad a
Tabel 1. Keadaan Responden Berdasarkan Umur No
Katcgori um ur
2 3
Muda Sedang Tua
(Xl)
Kritoria
N
%
<'10 4 1- 5 5 > 55
12 13 5
40,00 43 ,33 16,67
30
1 00,OQ
Sumher : Analisis data primer j;ahun 2009
Tabcl 2. Koadaan Rcspondcn Berdasarkan Pcndidikan No
2 3
Katogol'i pencliclikan (th) Tinggi Scdang Renclah
(X) %
Kritcria
N
> 12 12-8 <8
3 7 20
10,00 23 ,33 66,67
30
100,00
Sumbcr : Annlisis data primer tahun 2009.
102
Nurlailalt, dhh
Tabe! 3. Keadaan Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan No
1 2 3
Kategori karakteristik Sosia! {skor}
Kriteria
Rendah Sedang Tinggi
<18,67 18,68-29,34 >29,34
(X,)
N
%
10 13 7
33,33 43,33 23,33
30
100,00
Sumber: Analisis data primer tahun 2009.
Tabe! 4. Keadaan Responden Berdasarkan Jum!ah Kepemilikan Ternak {X, } No
Kategori Jumlah
Kl'iteria
N
%
>13 13-8 <7
2 2 26
6,67 40,00 86,67
30
100,00
Kepemilihan Ternak (Th)
1 2 3
Banyak Sedang Se diki t Jum!ah
Sumber : Analisis data primer tahun 2009
Tingkat Adopsi Anggota Kelompok Tani Ternak Sapi Potong
Tabe! 6 menunjukkan bahwa seea r·a garis besar tingkat adopsi anggota kelompok tani ternak terhadap peman faatan jerami padi menjadi fermentasi jerarni di Kec arnatan Madapangga Kabu paten Bima pada kategori adopsi ren dab yaitu sebanyak 15 orang {50%} dengan rata-rata skor adopsi 34,66. Pada kate gori adopsi sedang sebanyak 12 orang (40%) dengan rata-rata skor adopsi 49 91 dan pada kategori adopsi tinggi seban�ak 3 orang (1O%) dengan rata-rata skor adopsi 74,00. Berdasarkan Tabel 6 dapat disimpulkan ballwa secara umum adopsi anggota kelompok tani ternak terhadap pemanfaatan jerami pa di
menjadi fermentasi jerami masih pada kategori adopsi rendah. Hal ini dise babkan karena anggota kelompok tani masih berpikir seeara tradisional dan kolot terhadap inovasi baru, faktor lain yang mempengaruhi rendabnya adopsi adalab karena keterbatasan modal yang mereka miliki. Anggota kelompok tani yang masih berpikir secara tradisional dan kolot lebih lambat dalam meng adopsi inovasi, hal ini disebabkan karena anggota kelompok tani agak sulit untuk mengubah d.irinya dengan hal-hal yang baru. Anggota kelompok tani pada kategori adopsi rendah memerlukan waktu dan proses yang lama untuk bisa memutuskan apakab akan menerapkan inovasi atau menolak inovasi tersebut. Mereka membutuhkan pertimbangan yang matang dan akan menerapkan
Pemanfaatan Jerami Padi Menjadi Fermentasi Jerami
103
Tabel 5. Ke adaan Responden Berdasarkan Frekuensi Penyuluhan (Xs) No
%
N
Kriteria
Kategori pengetahuan
(Skor) 1 2 3
<73,35 46,68-73,34 <46,68
Tinggi Sedang Rendah
3 22 5
10,00 73,33 16,66
30
100,00
Sumber : Analisis data primer tahun 2009
Tabel 6. Tingkat Adopsi Anggota Kelompok Tani Ternak Sapi Potong Terhadap Pemanfaatan Jerami Padi Menjadi Fermentasi Jerami di Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima No
1 2 3
Kategori adopsi
Rendah Sedang Tinggi
N
Kriteria <46,67 46,68-73,34 >73,35
%
15 12 3
50,00 40,00 10,00
30
100,00
Sumber : Analisis data primer tahun 2009
inovasi tersebut apabila inovasi memi liki keunggulan dan nilai tambah yang dapat membantu perkembangan usaha. Faktor lain yang menyebabkan ren dahnya adopsi anggota kelompok tani ternak terhadap pemanfaatan jerami padi menjadi fermentasi jerami adalah karena keterbatasan waktu yang mereka miliki dan adanya kepuasan terhadap teknologi yang lama. Pada umumnya peternakan hanya meru pakan pekerjaan sampingan atau inves tasi bagi anggota kelompok tani, sehingga sabagian besar waktu yang dimiliki oleh anggota kelompok tani lebih banyak untuk pekerjaan utama yaitu bertani. Hal ini menyebabkan anggota kelompok tani tidak memiliki waktu untuk membuat fermentasi jerami, sehingga jerami padi langsung diberikan pada ternak sapi potong.
104
Selain itu anggota kelompok tani masih beranggapan bahwa pemberian jerami padi pada ternak sapi potong akan tetap dapat meningkatkan bobot badan ternak sapi potong, sehingga mereka berpendapat bahwa pembuatan fermen tasi jerami tidak mendatangkan ke untungan pada usaha peternakannya. Sebagian kecil anggota kelompole tani ternale di Kecamatan Madapangga (10% dari keseluruhan jumlah responden) telah mengetahui manfaat dan keun tungan dari pemanfaatan jerami padi menjadi ferlllentasi jerallli sebagai pakan ternak sapi potong. Oleh karena itu ada sebagian anggota leelompok tani yang telah memanfaatkan dan membuat jeralni padi menjadi fermentasi jerami. Hal ini terbukti dari 30 responden yang dijadikan objele penelitian adopsi anggota kelompok tani ternak terhadap pelllanNu rZailah, dhk
faatan jerami padi menjadi fermentasi jerami, sebanyak 3 orangtelah membuat fermentasi jerami pada usaha peter nakannya. Sedangkan pada kategori adopsi sedang (40% dari 30 respond en) masih dalam tahap menilai dan men coba. Pada umumnya anggota kelompok tani pada kategori adopsi sedang masih mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai tujuan dan kegunaan peman faatan jerami padi menjadi fermentasi jerami, sehingga mereka dapat menilai apakah inovasi tersebut dapat meng untungkan atau tidak apabila dite rapkan pada usaha yang merekajalankan. Pada kategori adopsi sedang mereka masih membandingkan apakah telmologi baru yang disampaikan bisa diterapkan atau tidak pada usaha yang merekajalankan. Anggota kelompok tani pada kategori ado psi sedang mempunyai beberapa pertimbangan sebelum mengadopsi inovasi. Beberapa pertimbangan terse but misalnya apakah inovasi tersebut cocok dan bermanfaat jika dikembang kan pada usaha yang merekajalankan, inovasi tersebut mudah untuk dilaksa nakan dan mudah memperoleh bahan bahan dasar yang diperlukan untuk pembuatan fermentasi jerami. Sedang kan anggota kelompok tani pada kategori adopsi rendah sebagian besar pada tahapan mengetahui dan menaruh minat pada pembuatan fermentasi jerami, namun mereka belum sepenuh nya mau melakukan perubahan pad a pola usaha yang merekajalankan, khu susnya dalam pemberian pakan. Pada kategori adopsi rendah anggota kelom pok tani susah untuk menerima inovasi baru sebelum mereka benar -benar mengetahui keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan jerami padi menjadi fermentasijerami. Pada kategori adopsi rendah secara umum sudah mengetahui tentang fermentasi jerami, namun
anggota kelompok tani ternak belum sepenuhnya menaruh minat untuk pembuatan fermentasi jerami. Hal ini disebabkan karena keterbatasan waktu yang mereka miliki, sehingga mereka hanya sebatas mengetahui dan menaruh minat tanpa ada pengaplikasian tekno logi lebih lanjut. Berdasarkan analisis data dapat dinyatakan bahwa terjadi perbedaan tingkat adopsi anggota kelompok tani ternak sapi potong mengenai peman faatan jerami padi menjadi fermentasi jerami. Perbedaan tingkat adopsi terse but dipengaruhi oleh karakteristik individu (umur, pendidikan, penge tahuan, danjumlah kepemilikan ternak) dan karakteristik sosial (frekuensi penyuluhan). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Setiana (2005:25) yang menyatakan bahwa tahapan adopsi inovasi pada setiap individu berbeda beda karena berbagai faktor, salall satu faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan tahapan dalam proses adopsi inovasi adalah perbedaan karakter individu yang bersangkutan. Pengaruh Antara Variabel Independent dengan Dependent
Dari hasil analisis statistik menggu nakan statistic program for social scienses (SPSS) dengan menggunakan analisis regresi linear ganda mengenai pengaruh antara variabel umur (Xl), variabel pendidikan (X2), variabel penge tahuan (X3), variabel j umlah kepe milikan ternak (X4), dan variabel fre kuensi penyuluhan (X5) terhadap tingkat adopsi anggota kelompok tani ternak sapi potong tentang pemanfaatan jerami padi menjadi fermentasi jerami di Kecamatan Madapangga (Y) dapat dijelaskan pada Tabel 7.
Pemanfaatan Jerami Padi Menjadi Fermentasi Jerami
105
Tabel 7. Analisis Regresi Linear Ganda Mengenai Pengaruh Variabel Independen terhadap Variabel Dependen. Variabcl Konstanta (a) Umur Pendidikan Pengetahuan
Parameter estimasi
Standar Error
Nilai t hitung
Nilai prababilitas t
-1 1.396 00401 0.271 0.369
4.074 0.132 0.111 0 . 13 8
- 4 . 707 3 .3 72 4.754 1.806
0 0.014 0.001 0.037
Sumber : Analisis Data Primer tahun 2009
Model Regresi Berdasarkan analisis menggunakan regresi linear ganda diperoleh nilai probabilitas F sebesar 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa nilai probabilitas F <0,05 (0,00 <0,05), artinya bahwa model regresi yang diperoleh dapat digu nakan untuk mengetahui atau mem prediksi pengaruh karakteristik individu dan karakteristik sosial terhadap adopsi anggota kelompok tani ternak sapi potong tentang pemanfaatan jerami padi Dlenjadi ferDlentasi jermni.
pulkan bahwa, kemampuan variabel independen Xl, X2, X3, X4 dan X5 untuk menjelaskan variasi pada variabel depen den adalah sebesar 71,4%, sedangkan sisanya sebesar 28,6% dipengaruhi oleh variabel lain di luar model.
Koefisien Korelasi Berdasarkan analisis yang dilakukan, diperoleh harga koefisien karelasi yaitu R=0,945, karena harga R>O, maim dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh antara variabel Xl, X2, X3, X4 dan X5 terhadap Y.
Koefisien Determinasi Hasil analisis menunjukan harga koefisien 1'2 hit ung (koefisien deter minasi), yaitu sebesar 0,714. Besaran ini menunjukkan pada evektivitas garis regresi yang diperoleh dalam menje laskan variasi pada variabel dependen. Hasil analisis tersebut dapat disim-
Persamaan Garis Regresi Berdasarkan hasil analisis menggu nakan statistic program for social scienses (SPSS) diperoleh persamaan garis regresi yaitu :
Tabel 8. Penentuan Rcspanclcn Berdasarkan Hasil Analisis Menggunakan Hegresi Linier Ganda Variabel X Pengetahuan
106
Jumlah responden N 30
Tingkat skar pengetahuan
100
Pre test ------------------
Skor
Rata-rata
1579
52,63
Nurlailah, dhh
Y = -11,396+0,401 Xl+0,271 X2+0,369 X3 +0,072 X4+0,49l X5 Berdasarkan persamaan garis regresi yang diperoleh, maka perubahan pada variabel Y yang terjadi di objek peneli tian akan searah dengan perubahan yang terjadi pada variabel Xl, X2, X3, X4 dan X5.
Koefisien Regresi
Berdasarkan ringkasan hasil perhi tungan tersebut menunjuklmn ada satu variabel independenyang memiliki sinifi kansi lebih besar dari 0,05, yaitu vari abel X4 ( 0 , 5 3 8 > 0 ,05), se dangkan variabel independen lainnya memiliki signifikansi lebih kecil (signifikansi variabel X l , X2, X3 , dan X5<0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa variabel independen Xl, X2, X3, dan X5 memiliki daya ramal yang nyata terhadap variabel dependen Y, sedang kan variabcl X4 seeara signifikan tidak berpengaruh. Pembahasan Pengaruh Variabel Independen terhadap Variabel Dependen Umur
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan regresi linear ganda dapat dinyatakan bahwa nilai thitung 3,372 lebih besar dari nilai signifikansi dan bertanda positif. Hal ini berarti bahwa umur mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dan positif terhadap tingkat adopsi anggota kelompok tani ternak sapi potong terhadap pemanfaatan j erami padi menjadi fermentasi jerami. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi un1 ur sescorang maka akan senlakin tinggi pula tingkat ado psi anggota kelompok tani terhadap pemanfaatan jerami padi Inenjadi fermentasijerami.
Hal ini berbeda dengan pendapat Mardi kanto (1992:72) yang menyatakan bahwa semakin tua umur seseorang maka semakin lambat dalam mengadopsi inovasi, dan eenderung hanya melak sanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh masyarakat setempat. Berdasarkan kondisi anggota kelompok tani di Kecamatan Mada pangga dapat dinyatakan bahwa anggota kelompok tani yang memiliki kategori umur muda lebih susah untuk meng adopsi inovasi ferrnentasijerami, hal ini disebabkan karena rncreka lebih ter tarik pada hal-hal yang lebih praktis dan rnudah untuk dikerjakan. Selain itu pada kategori umur muda lebih lambat untuk lllenerinla inovasi teknologi fernlentasi jerami disebabkan karena keterbatasan modal yang dirniliki, mereka lebih beroreantasi pada hal-hal lain yang memirut mereka lebih menguntungkan. Sedangkan untuk kategori umur sedang dan kategori umur tua mereka lebih cenderung untuk mengadopsi inovasi fermentasi jerami, hal ini disebabkan karena mereka sudah memiliki kesa daran dan kemauan untuk berusaha meningkatkan usaha yang mereka jalankan. Tingkat Pendidikan
Berdasarkan hasil anaHsis meng gunakan regresi linear ganda diperoleh bahwa nilai thitung sebesar 4,754 lebih besar dari nilai signifikansi dan berianda positif. Hal ini berarti bahwa terdapat pengaruh yang sangat signifikan dan positifantam pendidikan dengan adopsi anggota kelompok tani ternak sapi potong tentang pellianfaatanjerami padi mcnjadi fcrmentasi jerami. Semakin tinggi tingkat pcndidikan maka semakin tinggi tingkat ado psi inovasi, dimana pada situasi seperti iiu anggota kelom pok tani ternak mam pu menganalisa manfaat dan keuntungan jika meman-
Peman{aatan Jerami Padi Menjadi B'ermentasi Jerami
107
faatkanjerami padi menjadi fermentasi jerami. Selain itu pendidikan akan mempengaruhi ear a berpikir angota kelompok tani, semakin tinggi pendi dikan maka akan semakin dinamis sikapnya terhadap hal-hal yang baru. Hal ini diperkuat oleh pendapat Soekar taw; (1988:71) yang menyatakan bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi relatiflebih eepat melaksanakan adopsi inovasi, sebaliknya seseorang yang berpendidikan rendah agak sulit untuk melaksanakan adopsi inovasi dengan eepat. Pada umumnya anggota kelompok tani di Keeamatan Madapangga mempu nyai pendidikan yang rendah. Hal ini menyebabkan adopsi inovasi mengenai pamanfaatan jerami padi menjadi fermentasi j erami padi berada pada kategori lambat (tingkat adopsi rendah). Anggota kelompok tani yang memiliki pendidikan yang rendah lebih sulit untuk menerima informasi baru karena keterbatasan pengetahuan yangmereka miliki khususnya mengenai fermentasi jerami, sehingga mereka lebih sulit untuk menerapkan teknologi yang tepat untuk perkembangan usahanya. Sedang kan anggota kelompok tani dengan kategori pendidikan tinggi, sudah bisa membandingkan keuntungan fermen tasijerami denganjerami tanpa [ermen tasi. Hal ini disebabkan karena anggota kelompok tani dengan kategori pendi dikan tinggi mempunyai pola pikir yang lebih maju jika dibandingkan dengan kategori pendidikan rendah. Anggota kelompok tani dengan kategori pendi dil
keeepatan adopsi inovasi. Walaupun ang gota kelompok tani tidak mendapatkan informasi yang berkaitan dengan tekno logi fermentasijerami pada pendidikan formal, namun melalui pendidikan formal akan membentuk sikap mental yang positifsehingga anggota kelompok tani lebih eepat menerima inovasi fer mentasi jerami. Pengetahuan
Dari hasil analisis menggunakan regresi linear ganda diperoleh bahwa nilai t-hitung sebesar 1,806 lebih besar dari nilai signifikansi dan bertanda positif. Hal ini berarti bahwa terdapat pengaruh yang sangat signifikan dan positif antara tingkat pengetahuan dengan adopsi anggota kelompok tani ternak sapi potong tentang pemanfaatan jerami padi menjadi fermentasijerami. Semakin tinggi tingkat pengetah uan maka semakin tinggi pula tingkat adopsi anggota kelompok tani terhadap peman faatan jerami padi menjadi fermentasi jerami. Hal ini disebabkan karena ang gota kelompok tani dengan kategori pengetahuan tinggi sudah bisa mema hami telmologi mana yang paling baik dan bermanfaat bagi perkembangan usaha mereka sehingga mereka lebih eepat mengadosi inovasi teknologi jika dibandingkan dengan kategori pendi dikan rendah. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Roger dan Shoemaker (1986: 160) menyatakan bahwa tingkat pengetahuan pada suatu sistem sosial menunjukkan besarnya informasi yang dimiliki oleh sistem sosial tersebut, jika tingkat informasi yang diperoleh masih rendah akan menyebabkan tidak diadop sinya suatu inovasi. Dengan pengeta huan dan wawasan yang tinggi anggota kelompok tani memiliki pemikiran yang lebih maju, dan memiliki kesadaran yang tinggi untuk berubah sehingga mereka memiliki motivasi yang besar untuk menerima inovasi. Nurlailah, dkh
Jumlah Kepemilikan Ternak
Dari analisis regresi linear ganda diperoleh bahwa nilai t-hitung sebesar 0,625 1ebih besar dari nilai signifikansi. Hal ini berarti bahwa bahwa terdapat pengaruh signifikan antara jumlah kepemilikan ternak dengan tingkat adopsi anggota kelompok tani ternak terhadap pemanfaatanjerami padi men jadi fermentasi j erami. Berdasarkan hasil wawancara dengan anggota kelom pok tani di Kecamatan Madapangga dapat dinyatakan bahwa anggota kelom pok tani yang memiliki jumlah ternak yang relatif banyak (>13 ekor) belum tentu nlcnerima dengan cepat inovasi yang diberikan, mereka memerlukan waktu untuk mempertimbangkan apa kah akan menolak atau menerima ino vasi tersebut. I-Ial ini disebabkan karena anggota kelompok tani dengan kategori jumlah kepemilikan ternak banyak ber pendapat bahwa, pembuatan fermentasi jerami memerlukan waktu yang lama untuk bisa diberikan pada ternak sapi potong. Karakteristik 80sial (Frekuensi Penyuluhan)
Hasi! analisis menggunakan regresi linear ganda diperoleh nilai thitung se besar 1,0521ebih besar dari nilai signifi kansi dan bertanda positif. Hal ini me nunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang sangat signifikan dan positi!' antara frekuensi penyuluhan dengan tingkat adopsi anggota kelompok tani ternak terhadap pemanfaatan jerami padi menjadi [ermentasijerami. Hal tersebut menunjukkan bahwa [rekuensi penyu luhan lllempengaruhi adopsi anggota kelompok tani ternak terhadap peman faatan jerami padi menjadi fermentasi jerami. Semakin banyak frekuensi penyuluhan malta semakin cepat pula proses adopsi inovasi. Hal tersebutdiper-
kuat oleh pcrnyataan Soekartawi (1988:65) yangmenyatakan bahwa sema kin banyak penyuluhan yang diperoleh petani ternak maka semakin cepat untuk mcngadopsi inovasi. Dengan adanya penyuluhan anggota kelompok tani dapat menerima informasi yang lebih lengkap, dan dapat membantu mereka untuk lebih bisa mengetahui manfaat, keuntungan, dan cara pembu atan fermentasijerami. Dari penyuluhan tersebut maka akan timbul keinginan dari anggota kelompok tani untuk men coba dan menerapkan inovasi tersebut pada usaha yang dijalankan. Sejalan dengan hal tcrscbut Van den ben dan hawkins (1999:127) menyatakan bahwa petani yang banyak mengadopsi inovasi adalah petani yang sering mclakukan kontak dcngan agen penyuluh. HASIL DAN PEMBAHASAN PENYULUHAN
Alasan Penetapan Program Penyuluhan
Program penyuluhan yang telah di susun disesl1aikan atas dasar pertim bangan (a) rencana kegiatan penyuluhan pertanian Kecamatan Madapangga tahun 2009, dimana berdasarkan hasi! pcndataan dinas peternakan Kccamatan Madapangga dikctahl1i bahwa sebesar 72% dari kcseluruhan petani ternak di Kecanlatan Madapangga bclum lllcnye diakan pakan ternak. Bcrdasarkan informasi tersebut, dapat dijadikan seba gai dasar pembuatan program penyu luhan mengenai penlanfaatan jeranli padi menjadi fermentasijerami. (b) Hasi! identifikasi lapangan menggunakan angket, sehingga diperoleh data menge nai permasalahan anggota kelompok tani ternak, yaitu belum memanfaatkan jcrami padi luenjadi fermenLasijerami.
Peman{aatan Jerami Padi Me/ljadi Fermelltasi Jerami
109
(c) hasil kajian tentang adopsi anggota kelompok tani ternak tentang peman faatan jerami padi menjadi fermentasi jerami. Dari hasil kajian tersebut dike tahui bahwa adopsi anggota kelompok tani ternak sapi potong tentang peman faatan jerami padi menjacli fermentasi jerami masih pada kategori rendah. Hal tersebut merupakan informasi utama bagi penyuluh untuk mengetahui sampai tahapan adopsi mana kondisi sasaran. Informasi tersebut digunakan sebagai pedoman clalam menentukkan materi, media, teknik maupun metode penyu luhan yang cligunakan. Hal ini disebab kan karena setiap tahapan atau proses adopsi memerlukan materi, media, telmik maupun metode penyuluhan yang berbeda-beda. Lokasi dan Waktu
Lokasi pelaksanaan penyuluhan dilaksanakan di Kecamatan Mada pangga Kabupaten Bima Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu di tempat ketua Kelompok Tani Bolo Utama dan Ketua Kelompok Tani Tani Utama. Penyu luhan clilaksanakan pada tanggal 27 April 2009 dan tanggal 16 mei 2009. Penetapan lokasi dan waktu penyuluhan clidasar kan pada pada kondisi sasaran penyu luhan, di mana sebagian besar kegiatan kelompok dilaksanakan di tempat ketua kelompok. Sasaran Penyuluhan
penjelasan penentuan responden ber dasarkan hasH analisis menggunakan regresi linoar ganda dapat dijelaskan pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8 dapat dijelaskan bahwa anggota kelompok tani ·yang memiliki kategori umur tua memiliki tingkat adopsi tinggi, anggota kelompok tani dengan kategori pendidikan tinggi akan memiliki tingkat adopsi yang 110
tinggi, anggota kelompok tani dengan kategori pengetahuan tinggi akan memiliki tingkat adopsi tinggi, anggota kelompok tani dengan j umlah kepemilikan tern ak banyak akan memiliki tingkat adopsi tinggi, dan anggota kelompok tani dengan frekuensi penyul uhan tinggi akan memiliki tingkat adopsi yang tinggi pula. Berdasarkan analisis menggunakan regresi linear ganda menunjukkan bahwa nilai thitung untuk variabel Xl, X2, X3, X4 dan X5 mempunyai nilai thitung yang lebih besar terhadap nilai signifikansi. Hal ini berarti bahwa variabel Xl, X2, X3, dan X5 mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap adopsi anggota kelompok tani ternak sapi potong tentang pemanfaatan jerami padi menjadi fermentasijerami, sedangkan variabel X4 mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap adopsi anggota kelompok tani ternak sapi potongtentang pemanfaatanjerami padi menjadi fermentasi j erami. Sehingga variabel Xl, X2, X3, X4 dan X5 dijadikan pedoman dalam penentuan sasaran penyuluhan. Dari hasil analisis tersebut maka ditentukkan jumlah responden yang dijadikan sasaran utama untuk penyuluhan sebanyak 12 orang. Penentuan sasaran utama berdasarkan hasil analisis dengan kriteria anggota ke1ompok tani dengan kategori : 1) umur tua, 2) pendidikan tinggi, 3) pengetahuan tinggi, dan 4 ) frekuensi penyuluhan tinggi. Sedangkan sisanya sebanyak 18 orang merupakan sasaran penunjang. Penentuan sasaran utama dan sasaran penunjang penyuluhan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karak teristik dari masing-masing sasaran, dimana sasaran utama mempunyai kecenderungan untuk lebih cepat meng adopsi inovasi fermentasi j erami. Sehingga untuk mempercepat proses adopsi inovasi fermentasi jerami maka NurZailah, dkk
penyuluhan lebih difokuskan pada sasaran utama. Hal tersebut bertujuan agar penyuluhan yang dilakukan dapat efektif dan e lisien. Sasaran utama dalam penyuluhan juga berfungsi sebagai motivator bagi sasaran penunjang. Hal ini berarti bahwa dalam kegiatan penyul uhan yang dilaksanakan, sasaran utama digunakan untuk memberi motivasi pada anggota kelompok tani yang belum mengadopsi teknologi fermentasi jerami. Sedangkan untuk sasaran penunjang tetap dilakukan penyuluhan, namun dalam pelaksa naannya dibantu oleh anggota kelompok tani yang sudah menerapkan teknologi fermentasi jerami sehingga akan menimbulkan motivasi dan minat bagi anggota kelompok tani yang belum mengadopsi teknologi fermentasi jerami. Materi Penyuluhan
Setiap tingkatan adopsi mempunyai materi yang berbeda-beda, hal tersebut disebabkan karena kemanlpuan masing masing tingkatan untuk menyerap informasi yang disampaikan berbeda pula, selain itu anggota kelompok tani mempunyai kebutuhan materi yang berbeda untuk masing-masing tingkat adopsi. Agar penyul uhan berjalan efektif dan e lisien maka penyampaian materi penyuluhan disesuaikan dengan ting katan adopsi. Pada tingkat adopsi rendall materi yang disampaikan adalah: 1) pengertian fermentasi, 2) M anfaat, . kegunaan, dan tujuan pembuatan fer mentasijerami, 3) alat dan bahan dalam pembuatan fermentasi jerami, 4) Cara pembuatan fermentasi jerami, 5) Cara pemberian fermentasi jerami pad a ternak sapi poto ng. Berdasarkan analisis menggunakan regresi linear ganda, dapat dinyatakan bahwa angota kelompok tani dengan
tingkat pengetalluan yang rendah akan memiliki tingkat adopsi yang rendah pula. Tingkat pengetahuan anggota kelompok tani tersebut berkaitan .langsung dengan pemilihan materi. Apabila tingkat pengetahuan anggota kelompok tani masih dalam kategori rendah, maka anggota kelompok tani akan memiliki kecendrungan untuk menolak inovasi tersebut. Sehingga anggota kelompok tani pada tingkat adopsi rendah diberikan materi dasar yng bisa meningkatkan pengetahuan anggota kelompok tani mengenai fermentasi jerami. Dengan pemberian materi tersebut diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan anggota kelompok tani mengenai fermentasi jerami. Materi yang diberikan pada anggota kelompok tani pada kategori adopsi rendah harus mampu menjelaskan keuntungan yang diper oleh dengan pembuatan fermentasi jerami, sehingga hal tersebut dapat menumbuhkan motivasi anggota kelompok tani untuk mencoba teknologi fermentasi jerami. Sedangkan pada tingkat adopsi sedang, materi penyuluhan yang disampaikan adalah: 1) Alat dan bahan dalam pembuatan fermentasijerami, 2) Cara pembuatan fermentasi jerami, 3) Cara pemberian fermentasijerami pada ternak sapi potong. Alasan penetapan materi pada tingkat adopsi sedang adalall, karena anggota kelompok tani pada tingkat adopsi sedang sudah memiliki pemahaman mengenai tekno logi fermentasi jerami, sehingga untuk meningkatkan adopsi maka materi yang disampaikan mengenai teknik dan aplikasi dari fermentasijerami tersebut. Materi penyuluhan tersebut diharapkan dapat membangkitkan kesadaran anggota kelompok tan ; untuk mengem bangkan teknologi fermentasi jerami pada usalla peternakan yang dijalankan.
Pemanfaatan Jerami Padi Menjadi Fermentasi Jerami
III
Pada tingkat adopsi tinggi mated penyuluhan yang disampaikan adalah: 1) Cara pemberian fermentasi jerami pada ternak sapi potong, 2) Manfaat penambahan urea dan EM4 dalam pembuatan fermentasi jerami. Pene tapan mate"; tersebut didasarkan pada tingkat adopsi anggota kelompok tani dan keadaan anggota kelompok tani di lapangan. Dimana anggota kelompok tani pada tingkat adopsi tinggi sudah memilild pengetahuan dan pemahaman yang cukup mengenai fermentasi jerami. Pemberian mated tersebut diha rapkan dapat lebih meyaldnkan anggota kelompok tani untuk lebih mengem bangkan telmologi fermentasi jerami pada skala pembuatan yanglebih besar. Metode Penyuluhan
Metode penyuluhan yang digunakan adalah menggunakan pendekatan kelompok dan pendekatan individu. Pemilihan metode tersebut disesuaikan dengan hasil kajian tingkat adopsi, dimana sasaran pada tingkat adopsi rendah menggunakan metode pende katan individu. Pendekatan individu digunakan untuk lebih meyakinkan anggota kelompok tani ternak tentang manfaat dan kegunaan pembuatan fermentasi jerami. Sedangkan pada tingkat adopsi sedang dan tinggi metode yang sesuai adalah menggunakan metode pendekatan kelompok. Penen tuan metode penyuluhan yang sesuai dengan kondisi sasaran akan mernper cepat proses ado psi (Kusnadi, 199:22). Menurut Van den ben dan dan Hawkins (1998:165) menyatakan bahwa metode penyuluhan kelompok lebih mengun tungkan dibandingkan dengan rnetode penyuluhan massa, karena pada metode penyuluhan kelompok terjadi umpan balik sehingga dapat rnengurangi kesalahpaharnan yang bisa terjadi antara penyuluh dengan petani. Perni112
lihan metode tersebut disesuaikan dengan tujuan penyuluhan yang ingin dicapai, karakteristik sasaran, maupun kemarnpuan dari penyuluh. Dalam penyuluhan untuk mencapai efektivitas program dan efektivitas perubahan pengetahuan metode yang digunakan merupakan gabungan dari beberapa rnetode, sehingga rnetode tersebut sesuai dengan tingkat adopsi sasaran. Teknik Penyuluhan
Teknik penyuluhan yang digunakan adalah ceramah, diskusi, dan demons trasi cara. Telmik diskusi digunakan untuk mernbantu rnenumbuhkan kesadaran anggota kelompok tani dalam proses pengarnbilan keputusan serta rnembantu anggota kelompok tani lainnya dalam pernecahan masalah. Ceramah digunakan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan anggota kelornpok tani. Sedangkan demonstrasi cara digunakan untuk menumbuhkan kemauan anggota kelornpok tani untuk mencob a inovasi baru. Media Penyuluhan
Media penyuluhan yang digunakan adalah folder dan VCD. Penggunaan media VCD bertujuan untuk rnembe rikan motivasi bagi responden untuk mempelajad lebih mendalam tentang inovasi tesebut, tampilan yang nlenarik rnernbantu responden untuk lebih mudah memahami maksud penyuluhan yang disampaikan. Folder berisi mated yang disampaikan dalam penyuluhan, sehingga responden dapat mempelajari . kembali materi yang diberikan. Evaluasi Penyuluhan
Dad hasil penelitian dengan meng gunakan alat pengumpul data berupa angket diperoleh data pre test dan pos test, yang dapat dilihat sebagai berikut:Nurlailah, dhh
a. b. c. d. e.
Target : 100 Skor rata-rata pre test: 52,63 Skor rata-rata pos test: 70,33 Kesenjangan: 100-52,63 47,37 Efektivitas Perubahan Pengetahu an 65,51 f. Efektivitas Program 83,66% Dari hasil evaluasi diperoleh skor efektifitas peningkatan pengetahuan sebesar 65,51 %, hal ini termasuk dalam kategori sedang. Efektifitas pengetahuan dikatakan sedang karena dalam pelak sanaan penyuluhan dengan menggu nakan metode pendekatan kelompok dan individ u, telmik ceramah, diskusi dan demonstrasi cara, media folder dan VCD dan materi mengenai pemanfaatan jerami padi menjadi fermentasi jerami padi dapat meningkatkan pengetahuan petani ternak mencapai 65,51 %. =
=
=
KES IMPULAN
1. Berdasarkan hasil kajian 30 respon den tentang tingkat adopsi petani ternak terhadap pemanfaatan jeI'a mi padi menjadi fermentasi jerami di Kecamatan Madapangga Kabu paten Bima Propinsi N usa Teng gara Barat, diperoleh bahwa tingkat adopsi anggota kelompok tani lnasih rendah, dengan rincian scba gai berikut: kategori adopsi I'endah yaitu sebanyak 15 orang (50,00%) dengan rata-rata skor adopsi 34,66. Pada kategori adopsi sedang seba nyak 12 orang (40,00%) dengan rata-rata skor adopsi 49,9 1 , dan pada kategori adopsi tinggi seba nyak 3 orang (10%) dengan rata rata skor adopsi 74,00. 2. Hubungan antara variabel del' en den dengan variabel independen (adopsi) sebagai berikut: a. Variabel Xl (umur) mempunyai pengaruh yang signifikan terha dap tingkat adopsi anggota
kelompok tani ternak sapi 1'0tong tentang pemanfaatan jera mi padi menjadi fermentasi jerami di Kecamatan Mada pangga Kabupaten Bima yaitu sebesar 30,90%. b. Variabel X2 (pendidikan) mem punyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat adopsi anggota kelompok tani ternak sapi potong tentang pemanfaatan jerami padi menjadi {'ermentasi jerami di Kecamatan Mada pangga kabupaten bima yaitu sebesar 34,77%. c. Variabel X3 (pengetahuan) mem punyai pengaruh yang signifikan terhaclap tiilgkat adopsi anggota kelompok tani ternak sapi po tong tentang pemanfaatan jerami padi menjadi fermentasi jerami di Kecamatan Mada pangga kabupaten bima yaitu sebesar 20,18%. d. Variabel X4 (jumlah kepemilikan ternak) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat adopsi anggota kelompok tani ternak sapi po tong tentang pe manfaatan jerami padi menjadi [ermentasi jerami di Kecamatan Maclapangga kabupaten bima yaitu sebesar 1,06%. e. Variabel X5 (karakteristik sosiall mempunyai pengaruh yang signi fikan terhaclap tingkat adopsi anggota kelompok tani ternak sapi potong ten tang peman faatan jerami padi menjadi fer mentasi jerami di Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima yaitu sebesar 14,99%. Dari hasil evaluasi penyuluhan di 3. peroleh efektivitas program sebesar 83,66% (kategori efektif). Sedang kan efektivitas peningkatan penge tahuan adalah 65,51. Hal ini berarti
Pemanfaatan Jerami Padi Menjadi Fermentasi Jerami
113
bahwa penggunaan metode pende katan kelompok, teknik ceramah, diskusi, dan denlonstrasi cara, me dia folder dan VCD, serta materi penyuluhan p e m a nfaatan jerami p a d i menjadi fermentasi jerami, dapat meningkatkan pengetahuan petani sebesar 65,51 %. DAFTAR P USTAKA Ancok, D. 1997. Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM. Anonymous. 1993. Petunjuk Beternak Sapi Potong dan Kerja. Kanisius. Yogyakarta. Anonymous. http://pandeibesi. blog s p o t . c o m! 2 0 0 8 ! 0 8!j e r a m i - fe r mentasi-untuk-pakan-ternak.html Anonymous. http://www.deptan .go.id/ portalpenyuluhan Anonymous. http: www.ruu.ttg.sp3k komiv10-10-2006 Anonymous.http://pandeibesi. blog spot. com!20 0 8!08!j er ami -fermen tasi-untuk-pakan-ternak.html Anonymous. 2001.BPTP.Jawa Barat Azwardi, D . 2001. Kajian Tingkat Tek nologi Pembenihan Ikan Mas (Cyprinus carpio) pada Sentra Benih Ikan di Sumatera Barat. Thesis, Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta. Djuarnani, dkk. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. Agromedia Pustaka. Jakarta Dasmin, S . , 2002. Perilaku Masya rakat Tani dalam Konservasi Tanah Dan Ail" di Kawasan Hulu DAS Winongo Kabupaten Sleman Dae rah Istimewa Yogyakarta. Thesis, Pasca Surjana UGM. Yogyakarta. Ismulhadi. 2006. Diktat programa dan evaluasi penyuluhan pertanian. STpP. Malang.
114
Banafi, Abdillah. 1986. Memasyarakat kan Ide-ide Baru. Usaha Nasiona!. Surabaya. Kusnadi. 1999. Metode Penyuluhan Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sura karta: Sebelas Maret University Press. Narimawati, U dan Munandar, D.2008. Teknik Sampling Teori dan Praktik dengan Menggunakan SPSS. Gava Media. Yogyakarta. Ray. G.L ., 1998. Manajement dan Komunikasi Penyuluhan. Jakarta: Naya Prokash. Riduwan. 2004. Belajar Mudah Peneli tian Untuk Guru, Karyawan dan Peneliti Pemula. Alfabeta. Ban dung. Setiana, Lucie. 2005. Teknik Penyu luhan dan Pemberdayaan Masyara kat. Ghalia Indonesia. Bogor. Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Universitas Indonesia Jakarta. Sudarmanto, Gunawan .2005. Analisis Regresi Linear Ganda dengan SPSS. Graha Ilmu.Yogyakarta. Sutanto, Rachman. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius. Yogyakarta. Suyanto, B dan Sutinah.2005. Metode Penelitian Sosia!' Prenada Media Grup. Jakarta. Usman, H dan Akbar, Setiadi .2006. Metodologi Penelitian Sosia!' Bumi Aksara. Jakarta. Van den Ban, W.A. dan Hawkins, 1999. Penyuluhan· Pertanian. Kanisius. Yogyakarta.
Nurlailah, dkk
ANALISIS STRATEGI BISNIS SAPI POTONG PADA PT LEMBU JANTAN PERKASA, JAKARTA K. W. PARIMARTHA1), L. CYRILLA2), DAN H.P. PERJAMAN 2) 1) Program Studi Sosial Ekonomi dan Agribisnis, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana 2) Departemen Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor RINGKASAN Analisis lingkungan merupakan hal penting yang harus dilakukan perusahaan terutama dalam mengantisipasi perubahan yang terjadi agar tetap mampu mengembangkan usahanya. Strategi yang dijalankan perusahaan merupakan reaksi atas perubahan lingkungan yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari faktorfaktor lingkungan internal dan eksternal perusahaan sapi potong, sekaligus memformulasikan strategi bisnis sapi potong khususnya untuk PT Lembu Jantan Perkasa (PT LJP), Jakarta. Analisis data penelitian ini menggunakan matriks SWOT dan matriks portofolio General Electric. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa prioritas utama perusahaan adalah meningkatkan kemampuan produksi dan pemasaran untuk memanfaatkan peluang meningkatnya permintaan akan daging sapi dan mengantisipasi perkembangan volume produksi perusahaan. Formulasi strategi mengindikasikan bahwa usaha yang dijalankan PT LJP berada pada kategori usaha selektif. Pada kondisi tersebut, perusahaan disarankan untuk melakukan identifikasi pertumbuhan segmen, spesialisasi pada bidang penggemukan dan perdagangan sapi potong, serta menanamkan modal secara selektif. Kata kunci : Strategi bisnis, matriks SWOT, matriks General Electric, penggemukan.
BUSINESS STRATEGY ANALYSIS OF PT LEMBU JANTAN PERKASA, JAKARTA SUMMARY Feedlotters face a never-ending task. They are continually bombarded by new information that affects how their business is organized. Successful managers cannot simply memorize answers to problems. They must learn to continually rethink their decisions as economics and environmental conditions change. This research aimed to study both internal and external factors which affect feedlot business like PT Lembu Jantan Perkasa (PT LJP) Jakarta. This information will be used in business strategic formulation. Data was analyzed using SWOT matrix and General Electric portfolio matrix. The results showed that main priorities are to increase the production capacity and to expand the market by taking the opportunity as meat demand increases. Strategic formulation indicated that PT LJP business can be categorised as a selective business.
According to this condition, PT LJP is suggested to indentify segment growth, more specialized in fattening dan trading business, and more selective in funds investment Key words : Business strategy, SWOT matrix, General Electric matrix, fattening. PENDAHULUAN Kondisi perekonomian Indonesia yang belakangan ini semakin membaik mendorong masuk dan berkembangnya berbagai perusahaan penggemukan sapi potong. Terbukanya peluang investasi di bidang ini disebabkan oleh belum terpenuhinya kebutuhan akan daging dari dalam negeri dan relatif stabilnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika.
Perusahaan penggemukan skala besar umumnya lebih
memilih mengimpor sapi bakalan dari Australia, karena produksi daging sapi impor tersebut lebih baik daripada daging sapi lokal. Bahkan, studi kelayakan seperti yang telah dilakukan oleh Sidauruk (2001) menunjukkan bahwa pengusaha mampu memperoleh keuntungan walaupun sapi bakalan masih diimpor dari Australia. Bertambahnya jumlah perusahaan dan industri sapi potong di Indonesia berdasarkan data Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo tahun 2002), akan menimbulkan perubahan dalam struktur persaingan. Bagi beberapa perusahaan, perubahan lingkungan ini dapat diartikan sebagai kesempatan atau peluang, tetapi bagi perusahaan lain justru dapat menjadi ancaman. Daya saing produk serta pangsa pasar yang semakin besar menyebabkan peningkatan persaingan dalam suatu industri. Setiap perusahaan dituntut untuk siap mengembangkan keunggulan yang dimiliki agar dapat mengantisipasi perubahan lingkungan yang dinamis (David, 1997). Keunggulan yang dimiliki perusahaan misalnya dalam hal budaya perusahaan, adanya tujuan yang jelas, dan kualitas sumberdaya manusia yang baik, merupakan bagian dari lingkungan internal yang harus dikembangkan. Demikian juga halnya dengan lingkungan eksternal perusahaan seperti kondisi persaingan dengan perusahaan lain, atau
kemampuan
tawar-menawar
dengan
pemasok,
harus
terus
diwaspadai
perubahannya. PT Lembu Jantan Perkasa (PT LJP), Jakarta sebagai salah satu produsen yang bergerak dalam bidang penggemukan dan perdagangan sapi potong dituntut untuk beradaptasi dengan lingkungan bisnis saat ini dan merumuskan strategi baru yang dapat membantu perusahaan mencapai tujuannya.
2
METODE PENELITIAN Penelitian ini didesain sebagai suatu studi kasus yang bersifat analisis deskriptif. Lokasi penelitian yang dipilih adalah PT Lembu Jantan Perkasa yang berlokasi di Jl. Tarum Barat E 11-12 No.8, Kali Malang, Jakarta Timur sebagai kantor pusat, sedangkan feedlot berlokasi di desa Bojong, kecamatan Kedung Waringin, Bekasi, Jawa Barat. Data yang dikumpulkan adalah data perusahaan selama tahun 2002 sebagai berikut: 1). Data lingkungan internal, terdiri atas: data keadaan umum perusahaan, visi, misi, dan tujuan perusahaan, struktur organisasi, budaya perusahaan, kondisi sumberdaya manusia, pemasaran, produksi, keuangan, dan data kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang). 2). Data lingkungan eksternal, terdiri atas : kondisi persaingan perusahaan, pelanggan, dan pemasok. Data primer dikumpulkan dengan wawancara mendalam (indepth interview) dengan pihak pimpinan PT LJP terutama untuk data elemen keputusan. Data sekunder diperoleh dari laporan manajemen PT LJP, instansi terkait seperti BPS, Dinas Peternakan DKI Jakarta dan Jawa Barat, serta Apfindo. Metode analisis yang digunakan adalah: 1). Matriks SWOT: menghasilkan empat set strategi alternatif yang ditunjukkan pada Gambar 1. 2). Analisis Portofolio General Electric:
digunakan untuk mengetahui secara
rinci kekuatan dan kelemahan perusahan dengan menggunakan lebih banyak variabel untuk menentukan kekuatan usaha dan daya tarik industri (Gambar 2). 3). Penentuan Bobot Prioritas Strategi: dilakukan dengan menyusun matriks pendapat untuk menentukan tingkat kepentingan dari setiap elemen keputusan yang ada pada setiap tingkat hirarkhi keputusan. Penilaian pendapat menggunakan skala komparasi Saaty (Tabel 1).
3
Faktor Internal Faktor Eksternal Opportunities (O) Faktor-faktor Peluang perusahaan Threats (T) Faktor-faktor Ancaman perusahaan Sumber: Rangkuti (2000)
Strengths (S)
Weaknesses (W)
Faktor-faktor Kekuatan perusahaan Strategi SO Strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang Strategi ST Strategi yang menggunakan kekuatan untuk menghindari ancaman
Faktor-faktor Kelemahan perusahaan Strategi WO Strategi yang meminimalkan kelemahan untuk mendapatkan peluang Strategi WT Strategi untuk meminimalkan dan menghindari ancaman
Gambar 1. Matriks SWOT
5,00 Tumbuh Selektif
Investasi untuk tumbuh
Lindungi posisi
Tumbuh terbatas/ Panen
Selektif / Kelola Untuk laba
Tumbuh Selektif
Lepaskan
Tumbuh terbatas / Panen
3,67
2,33
1.00
2,33
Lindungi dan Alihkan pusat perhatian 3,67
5,00
Sumber : Kotler (1997)
Gambar 2.
Matriks Daya Tarik Industri (General Electric Matrix)
Tingkat Kepentingan 1 3 5 7 9 2,4,6,8 1/(1 sampai 9)
Definisi Sama penting Sedikit lebih penting Jelas lebih penting Sangat jelas lebih penting Pasti/mutlak lebih penting Jika ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1-9
Sumber : Saaty (1991)
Tabel 1. Skala Komparasi Saaty
4
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Lingkungan Internal Lingkungan internal dianalisis dengan menggunakan analisis fungsional dengan memperhatikan tiga hal penting, yaitu struktur organisasi PT LJP, budaya yang berlaku di perusahaan, serta berbagai fungsi yang ada di perusahaan. Struktur organisasi pada perusahaan yang berbentuk struktur fungsional memiliki kemudahan dalam koordinasi antarbagian. Pembagian tugas disusun dan dilakukan secara jelas tanpa menghilangkan kelenturan manajemen perusahaan dalam melakukan koordinasi. Misi PT LJP adalah menjadi pemasok sapi potong untuk Indonesia, secara khusus memenuhi permintaan akan daging sapi potong untuk wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat, sedangkan tujuan perusahaan adalah sebagai profit maker. Kombinasi produk yang ada di perusahaan adalah berupa penjualan sapi dalam bentuk sapi hidup dan karkas. Budaya perusahaan yang diterapkan pada tingkat staf terutama karyawan baru adalah budaya serba bisa, yang berarti bahwa staf harus mengetahui semua lini dan dapat menangani juga hal-hal lain di luar pekerjaan utamanya. Hal ini merupakan kekuatan perusahaan karena dapat menciptakan efisiensi dalam manajemen perusahaan dan kelenturan dalam birokrasi. Sistem produksi yang diterapkan di PT LJP adalah sistem penggemukan (fattening) dan sistem trading. Bakalan yang digunakan dalam penggemukan adalah sapi kategori feeder dengan bobot badan 250–375 kg dengan lama pemeliharaan 90–120 hari, sedangkan sistem trading menggunakan sapi kategori slaughter dengan bobot lebih dari 375 kg dan lama pemeliharaan 1–4 minggu. Bangsa sapi bakalan adalah Persilangan Brahman (Brahman Cross) yang diimpor dari Australia dengan harga beli pada tahun 2002 US$ 1–2 per kilogram.
Populasi sapi rata-rata setiap periode
penggemukan adalah 1341 ekor. Berdasarkan kondisi pada tahun 2002, perusahaan optimis bahwa tahun 2003 akan mampu mengimpor sebanyak 6800 ekor sapi bakalan. Biaya produksi sistem penggemukan bervariasi antara Rp. 5000,--Rp. 7000,- per ekor per hari dan besarnya tergantung kepada lama pemeliharaan. Komponen biaya terdiri atas biaya bakalan (93.29 persen), pakan (5,37 persen), tenaga kerja (0.80 persen), dan overhead (0.54 persen). Konsentrat yang digunakan diproduksi sendiri di pabrik pakan PT LJP yang berlokasi di Tambun dengan harga Rp. 400,--Rp. 500,- per
5
kg. Harga ini jauh lebih murah jika dibandingkan dengan harga beli pakan dari pabrik lain yaitu Rp. 900,- per kg. Pemasukan perusahaan bersumber dari penjualan sapi potong (sapi sehat, sapi Under Performance Condition (UPC), dan sapi afkir) yang menyumbang penerimaan sebesar 99.85 persen, dan dari penjualan kompos (0.15 persen). Tabel 2 menunjukkan volume dan nilai penjualan sapi potong PT LJP dari feedlot Bojong hingga Juni 2002. Harga jual ternak berdasarkan kondisi ternak diperlihatkan pada Tabel 3. Informasi perubahan harga diperoleh perusahaan dari survai pasar dan pelanggan yang selalu memberikan masukan berupa informasi harga yang ditawarkan oleh pesaing. Tahun 2000
Volume Penjualan (ekor) 5745
Nilai Penjualan (Rupiah) 24 629 083 535.22
2001
5909
30 280 599 816.00
2002*)
2598
16 212 160 846.00
Keterangan : *) data sampai dengan bulan Juni 2002 Sumber : PT Lembu Jantan Perkasa
Tabel 2. Volume dan Nilai Penjualan PT LJP Tahun 2000 2001 2002 1)
Harga (Rp/kg) Sehat 10255 12091 13144
Reject 9899 11976 12608
UPC 13059
Karkas 19318
Sabri 2) 13144
Keterangan: 1) Data sampai dengan bulan Juni 2002 2) Sapi yang bunting atau telah beranak
Tabel 3. Harga Jual Ternak dan Produk Ternak di PT LJP Sistem distribusi yang dijalankan perusahaan adalah sistem tidak langsung karena konsumen PT LJP adalah pedagang daging (konsumen lembaga) bukan konsumen rumah tangga.
Lokasi perusahaan yang dekat dengan pasar potensial sapi potong
seperti Jakarta, Bekasi, Bogor, dan Sukabumi merupakan kekuatan perusahaan. Akan tetapi di sisi lain, ketergantungan pemasaran karena hanya mengutamakan pasar domestik merupakan kelemahan perusahaan karena adanya perbedaan nilai tukar mata uang.
6
Sumberdaya manusia khususnya karyawan di PT LJP dilihat dari segi kuantitas dinilai cukup memadai, tetapi dari segi kualitas masih perlu ditingkatkan.
Total
karyawan yang dipekerjakan di perusahaan adalah 66 orang yang terdiri atas 6 orang di kan-tor pusat dan 57 orang di feedlot Bojong. Pendidikan sebagian besar karyawan hanya Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Karyawan yang memiliki latar belakang pen-didikan Diploma Tiga (D-3) dan Sarjana (S-1) hanya 19.7 persen dari total karyawan, dan umumnya mereka adalah karyawan pada tingkat staf ke atas. Dari jumlah tersebut, belum ada staf yang memiliki spesialisasi bidang pemasaran. Hal ini juga merupakan kelemahan PT LJP, karena itu perusahaan berusaha memaksimalkan strategi pemasaran dengan melakukan bauran pemasaran. Upaya meningkatkan kualitas karyawan sudah dilakukan perusahaan antara lain dengan
mengirimkan
karyawan
untuk
mengikuti
pelatihan
eksternal
yang
diselenggarakan Apfindo serta berbagai seminar yang mampu memotivasi karyawan untuk berkembang. Analisis Lingkungan Eksternal Lingkungan eksternal perusahaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan makro dan lingkungan industri. Lingkungan makro terdiri atas faktor yang berada di luar kendali perusahaan, meliputi faktor sosial, ekonomi, teknologi, ekologi, politik, dan hukum.
Salah satu contoh jelas faktor sosial di masyarakat Indonesia adalah
pemanfaatan daging sapi untuk hampir semua keperluan perayaan, resepsi atau perhelatan. Hal ini merupakan peluang bagi perusahaan untuk memperluas pemasaran. Peluang pemasaran juga didukung oleh data jumlah penduduk perkotaan di wilayah Jawa Barat dengan tingkat pengeluaran lebih dari Rp. 150.000,00 per kapita per bulan adalah 82,48 persen dari total penduduk di wilayah tersebut (BPS, 2001). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat dengan tingkat penghasilan menengah ke atas merupakan konsumen daging sapi yang potensial. Di samping potensi sebagai peluang, perusahaan juga perlu mewaspadai adanya opini masyarakat akan bahaya kolesterol yang terkandung dalam daging sapi bagi kesehatan, sehingga sebagian masyarakat memilih produk substitusi daging sapi. Selain itu, adanya isu tentang penyakit yang menyerang ternak potong seperti penyakit sapi
7
gila (mad cow), penyakit mulut dan kuku (PMK), dan anthraks semuanya dapat menyebabkan keraguan konsumen untuk membeli daging sapi. Faktor lain yang berpengaruh dari segi makro adalah faktor ekonomi. Hasil survai BPS (2001) terhadap kondisi bisnis pada triwulan II tahun 2002 (April-Juni) menunjukkan perkembangan dibandingkan dengan triwulan I.
Kondisi tersebut
diperlihatkan oleh adanya peningkatan PDB sektor pertanian sebesar 1.62 persen, dan peningkatan pengeluaran konsumsi rumah tangga sebesar 1.16 persen. Meningkatnya kredit perbankan dan menurunnya suku bunga juga mengindikasikan perekonomian di sektor riil yang sudah semakin baik Menurut BAPPENAS (2001), pada akhir Juli 2001 nilai saham yang dimiliki pihak asing naik dari Rp. 54,2 triliun (akhir Juni) menjadi Rp. 56,7 triliun. Keadaan demikian diharapkan terus berlangsung dan merupakan peluang bagi perusahaan untuk mengembangkan usahanya. Keberadaan PT LJP khususnya di Jawa Barat sangat didukung oleh Pemda setempat baik pusat maupun daerah. Salah satu bentuk dukungan yang diberikan adalah pengembangan kawasan andalan Cipamatuh yang
berbasis pada pengembangan
Kawasan Ternak Sapi Potong. Program ini sangat penting karena Jawa Barat baru dapat memenuhi sekitar 20,72 persen kebutuhan akan sapi potong di wilayah ini. Peluang perusahaan untuk mengembangkan usaha sapi potong terkait dengan kemampuan perusahaan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi. Penggunaan teknologi selain dapat meningkatkan efisiensi juga dapat meningkatkan produktivitas.
PT LJP telah menggunakan suplemen pakan yang dapat memacu
pertambahan bobot badan sapi yang dipelihara. Pertambahan bobot badan sapi penggemukan di feedlot Bojong rata-rata 1.4 kg per ekor per hari. Faktor ekologi industri peternakan sapi potong cukup memberikan peluang bagi perusahaan mengingat ternak sapi menghasilkan kotoran yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang bagi tanaman yang tidak membahayakan lingkungan. Hal ini sesuai dengan tuntutan masyarakat dewasa ini, yaitu penggunaan teknologi yang ramah lingkungan. Pengaruh politik dan hukum terhadap industri sapi potong dapat dinilai dari berbagai peraturan maupun kesepakatan berbagai pihak yang terkait, misalnya kesepakatan WTO dan AFTA yang berskala internasional, atau Peraturan Daerah (Perda) yang lingkupnya lebih sempit. Pemda Bekasi hingga saat ini belum memiliki
8
Perda yang mengatur masalah perijinan, retribusi maupun kewenangan Pemda dalam industri sapi potong sebagai penjabaran Kepmendagri 2002 tentang pelimpahan wewenang pusat kepada daerah untuk sektor pertanian yang seharusnya berlaku sejak bulan Februari 2002.
Kondisi tersebut cukup merugikan pengusaha sapi potong
khususnya PT LJP karena belum adanya kepastian hukum. Analisis Lingkungan Industri Aspek persaingan merupakan hal penting dalam menganalisis strategi bisnis sapi potong. Perusahaan pendatang baru terutama yang tergolong skala menengah dan besar dapat merupakan ancaman bagi perusahaan yang sudah beroperasi. Ancaman tersebut berbentuk perebutan pangsa pasar yang dapat mempengaruhi kestabilan harga. Besar kecilnya ancaman dari masuknya pendatang baru itu tergantung pada barrier to entry yang ada dan reaksi dari para anggota industri sapi potong yang telah mapan. Selain pendatang baru dalam negeri, ancaman juga datang dari daging impor. Impor berupa daging segar, daging olahan, dan hasil ikutan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan akan protein untuk dalam negeri. Tingginya impor Indonesia akan produk-produk tersebut menyiratkan bahwa produksi dalam negeri belum mampu mencukupi permintaan pasar. Tabel 4 memperlihatkan data impor daging sapi dan hasil ikutannya di DKI Jakarta. Jenis
1998
1999
2000
2001
2002*
Daging segar
14 396 482
2 454 335
10 944 044
23 244 088
10 971 064
Daging olahan
2 108 627
1 340 122
7 279 606
9 369 382
5 468 793
509 520
311 943
1 785 557
3 418 746
5 094 981
7 147
14 947
337 406
142 757
17 021 776 4 121 347 20 346 613 Total Keterangan : * data sampai dengan September 2002 Sumber : Dinas Peternakan DKI Jakarta (2002)
36 174 973
Hati sapi Jeroan
21 534 838
Tabel 4. Impor Daging Sapi dan Hasil Ikutan di DKI Jakarta (dalam kg) Daging sapi memiliki banyak produk substitusi seperti daging ayam, daging babi, dan daging kambing. Daging ayam merupakan pilihan utama konsumen dalam usaha memenuhi kebutuhan akan protein hewani karena harga daging ayam yang lebih murah jika dibandingkan dengan daging sapi. Produksi daging ayam di wilayah DKI Jakarta selama kurun waktu tahun 1998 hingga 2001 menunjukkan peningkatan jika
9
dibandingkan dengan daging sapi (Tabel 5).
Dengan demikian, produk pengganti
(substitut) terutama daging ayam dapat menjadi ancaman untuk daging sapi. Jenis Ternak 1998 1999 2000 Sapi 36 875 520 27 539 776 21 838 754 Kerbau 1 459 040 1 289 250 989 160 Kambing 2 144 846 1 101 784 1 014 531 Domba 1 134 826 585 134 568 324 Babi 12 166 718 12 047 296 10 018 746 Ayam 83 475 000 50 283 479 71 427 034 Sumber: Dinas Peternakan DKI Jakarta (2002)
2001 14 282 372 839 237 794 870 313 790 8 584 550 86 382 259
Tabel 5. Produksi Daging Beberapa Jenis Ternak di DKI Jakarta(dalam kg) Pembeli dapat menjadi ancaman bagi industri sapi potong melalui tawar menawar harga. Pembeli berusaha memaksa produsen menurunkan harga jual, tetapi meminta kualitas produk yang lebih tinggi dan pelayanan yang lebih baik. Pembeli pada industri sapi potong umumnya adalah pembeli antara seperti pedagang pengumpul dan jagal sapi yang selanjutnya akan menjual karkas atau daging sapi ke konsumen akhir. Posisi kelompok pembeli ini relatif kuat karena alasan sebagai berikut ini: 1. 2. 3. 4.
Produsen yang bergerak dalam penggemukan sapi potong umumnya mengunakan bangsa sapi Brahman Cross sehingga pembeli memiliki cukup banyak alternatif bila tidak tercapai kesepakatan harga dengan PT LJP. Pembeli hanya diharuskan membayar biaya pengalihan yang rendah bila berkeinginan untuk beralih dari PT LJP. Pembeli mudah memperoleh informasi tentang perkembangan harga sapi potong yang ditawarkan oleh para produsen. Kelompok pembeli terpusat atau membeli dalam jumlah relatif besar dari jumlah yang ditawarkan PT LJP.
Ancaman lain juga datang dari pemasok sapi bakalan dalam bentuk kekuatan tawar menawar para pemasok dengan cara menaikkan harga sapi atau menurunkan kualitas sapi bakalan. Hal ini berpengaruh besar pada perusahaan penggemukan karena harga dan kualitas sapi bakalan sangat menentukan keuntungan yang akan dicapai. Posisi pemasok juga cukup kuat karena alasan berikut ini: 1. 2.
Pasokan sapi impor sebagai bakalan yang merupakan bahan baku PT LJP hanya dapat digantikan oleh sapi lokal pada saat situasi persaingan sedang tidak baik. PT LJP harus mengeluarkan biaya yang tinggi bila akan beralih ke pemasok lain; selain itu, mutu sapi bakalan dan kesinambungan pasokan tidak terjamin.
10
Persaingan antarperusahaan dalam industri sapi potong akan saling mempengaruhi perusahaan yang ada dalam industri tersebut. Jumlah perusahaan penggemukan sapi potong yang ada pada tahun 2002 di wilayah Jawa Barat adalah 16 buah, sedangkan untuk wilayah di luar Jawa Barat berjumlah 17 buah (Apfindo, 2002).
Jumlah ini
belum termasuk peternakan rakyat yang berproduksi dalam skala kecil. Persaingan dalam industri sapi potong dapat berbentuk usaha untuk mendapatkan pembeli dan dalam pelayanan. Kekuatan bersaing PT LJP dalam industri sapi potong digambarkan dengan Model Porter seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Kekuatan Tawar Menawar Pemasok • Posisi pemasok bakalan kuat karena industri sapi potong tidak memiliki banyak alternatif • Produk pemasok bakalan merupakan input penting yang telah terdiferensiasi
Ancaman Pendatang baru • Pendatang baru semakin banyak karena iklim usaha yang kondusif • Pendatang baru masuk ke dalam industri dengan skala yang beragam (besar, menengah, kecil)
Pendatang Baru Potensial
Persaingan Antara Perusahaan • Jumlah pesaing meningkat Pemasok
Ancaman Produk Pengganti • Selain mendapat ancaman dari produk daging ternak lain seperti unggas, kambing dan babi, juga ancaman dari daging sapi impor
Pembeli
• Pesaing beragam
Produk Pengganti
Kekuatan Tawar Menawar Pembeli • Pembeli menghadapi biaya pengalihan yang kecil. • Produk yang dibeli dari industri adalah produk standar • Kelompok pembeli terpusat atau membeli dalam jumlah relatif besar
Gambar 3. Persaingan PT LJP dalam Industri Sapi Potong
11
Analisis SWOT Berdasarkan informasi mengenai berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan bisnis perusahaan, selanjutnya dilakukan perumusan strategi. Analisis matriks SWOT terhadap PT LJP menghasilkan 4 (empat) alternatif strategi sebagai berikut ini: a. Strategi SO 1. Meningkatkan kemampuan produksi dan pemasaran untuk memanfaatkan peluang permintaan pasar yang relatif belum terpenuhi. 2. Memanfaatkan kemajuan teknologi untuk perbaikan proses produksi serta teknologi telekomunikasi, transportasi, dan pengolahan data untuk memperlancar proses produksi. 3. Mempertahankan dan meningkatkan kualitas dan citra produk untuk mempertahankan pangsa pasar yang ada saat ini serta melakukan diversifikasi produk dalam upaya pengembangan dan penetrasi pasar. 4. Melakukan joint venture dengan pihak investor yang tertarik berusaha di industri sapi potong. b. Strategi ST 1. Meningkatkan daya saing produk. 2. Mengevalusi secara berkala pelaksanaan strategi bauran pemasaran yang dijalankan. 3. Memanfaatkan fasilitas keanggotaan Apfindo untuk melakukan tawar menawar dengan pemerintah. c.
Strategi WO 1. Meningkatkan kerjasama dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan sapi potong terutama dalam hal riset dan pengembangan. 2. Memanfaatkan peluang yang ditimbulkan oleh globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan dunia dengan menyesuaikan kebutuhan pasar terhadap produk perusahaan. 3. Mengoptimalkan kegiatan periklanan. 4. Restrukturisasi organisasi agar kinerja manajemen perusahaan optimal.
d. Strategi WT 1. Memasarkan produk yang dihasilkan ke pasar lokal. 2. Mengoptimalkan produksi dengan memanfaatkan kapasitas yang ada. Perusahaan perlu menentukan prioritas strategi dengan mempertimbangkan tingkat kepentingan dan kondisi perusahaan saat ini. Pembobotan dengan menggunakan pairwise comparison menghasilkan prioritas strategi sebagai berikut ini:
12
Prioritas 1 dengan bobot 0,412 : Meningkatkan kemampuan produksi dan pemasaran untuk memanfaatkan peluang meningkatnya permintaan akan daging sapi dan mengantisipasi perkembangan volume produksi perusahaan.
Prioritas 2 dengan bobot 0,365 : Meningkatkan daya saing produk yang telah ada untuk mempertahankan pangsa pasar saat ini serta melakukan diferensiasi produk dalam upaya pengembangan pasar. Prioritas 3 dengan bobot 0,224 : Meningkatkan kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian dan melakukan joint venture dengan investor, dan bekerjasama dengan pemasok sapi bakalan. Analisis Matriks General Electric Hasil pembobotan oleh pihak manajemen PT LJP terhadap faktor daya tarik industri menunjukkan bahwa faktor ukuran pasar, margin laba, dan lingkungan memiliki bobot tertinggi yang berarti memiliki pengaruh sangat penting terhadap daya tarik industri. Faktor yang berpengaruh penting terhadap kekuatan usaha adalah kualitas produk, efisiensi produksi, biaya per ekor ternak, dan pasokan bahan baku.
Nilai
dimensi daya tarik industri (3,34) dan dimensi kekuatan usaha (3,38) pada Gambar 4 menunjukkan bahwa PT LJP berada pada posisi usaha selektif.
13
5,00 Tumbuh Selektif
Investasi untuk tumbuh
Lindungi posisi
Selektif / Kelola Untuk laba
Tumbuh Selektif
3,67 3,34
Tumbuh terbatas/ Panen
2,33
1.00 Gambar 4.
Lindungi dan Alihkan pusat perhatian
Tumbuh terbatas / Panen
Lepaskan
2,33
3,38
3,67
5,00
Matriks Daya Tarik Industri PT Lembu Jantan Perkasa
SIMPULAN Posisi PT LJP dalam industri sapi potong adalah usaha selektif. Kondisi demikian mengharuskan PT LJP untuk menerapkan strategi yang meliputi identifikasi pertumbuhan segmen dan mengelola modal secara selektif. Perusahaan tidak perlu mengurangi skala usaha atau menarik diri dari industri sapi potong. PT LJP masih memiliki peluang untuk lebih berkembang dan memaksimalkan keuntungan sesuai dengan tujuan perusahaan sebagai profit maker.
DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia. 2002. http://www.apfindo.com. Badan Pusat Statistik. 2001. Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Jakarta BAPPENAS. 2001. Perkembangan Ekonomi Makro sampai dengan Triwulan III/2001 dan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2002. http://www.bappenas.go.id. David, F.R. 1997. Strategic Management. Sixth Edition. Prentice Hall International, New Jersey.
14
Kotler, P. 1995. Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian. Jilid 1. Erlangga, Jakarta. Porter, M.E. 1992. Strategi Bersaing : Teknik Menganalisa Industri dan Pesaing. Edisi 5. Erlangga, Jakarta. Rangkuti, F. 2000. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi, Konsep, Strategi untuk Menghadapi Abad 21. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sidauruk, R. 2001. Analisis Efisiensi Pola Usaha Sapi Potong pada PT Lembu Jantan Perkasa Bekasi, Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi Industri Peternakan Fakultas Peternakan IPB.
15
DINAMIKA DAN KEBIJAKAN PEMASARAN PRODUK TERNAK SAPI POTONG DI INDONESIA TIMUR Beef-Cattle Product Marketing Dynamics in Eastern Indonesia Helena J. Purba dan Prajogo Utomo Hadi Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 Email : [email protected]
Naskah masuk : 12 Januari 2012
Naskah diterima : 20 November 2012 ABSTRACT
Bali cattle is the major cattle breed raised for a long time in many parts of the country, especially in eastern Indonesia, but its development is influenced by its marketing dynamics. This paper aims to describe the dynamics of Bali cattle marketing in eastern Indonesia on the basis data and information gathered from field observations, publications and statistics. The results show that: (i) there are positive relationships between per capita income level and per capita beef consumption; (ii) consumers’ preference in Jakarta and its surroundings has shifted from local beef (Bali cattle, etc) to beef from imported cattle and imported beef; (iii) capacity of the eastern Indonesia in supplying cattle for slaughter and inter-provincial trade has been declining, particularly in East Nusa Tenggara (NTT); (iv) quantity of imported live cattle (feeder steer) and beef meat at the national level has been increasing; (v) cattle from eastern Indonesia is sold to local markets as well as to other provinces or islands, especially Jakarta and Kalimantan with relatively short supply chains; (vi) more recently, destinations of cattle markets from West Nusa Tenggara (NTB) and NTT have been expanded to Kalimantan due to its more attractive price compared to that in Jakarta market; and (vii) the crucial problems found in cattle marketing are insufficient cattle transportation means and cattle loading and unloading facilities available in the seaports, an increase in productive females slaughter, and less hygienic conditions of slaughtering houses. It is suggested that the government has to provide better sea port facilities for cattle loading and unloading, to intensify control on the slaughter of productive female cattle, to provide financial incentives for farmers to postpone selling of their pregnant cattle, and to determine the number of imported live cattle and beef volume to such an amount that the domestic cattle price will decrease such that it prevents farmers from losses. Key words: beef cattle, consumers’ preference, supply chains, marketing problems ABSTRAK Sapi bali adalah jenis sapi yang dominan dikembangkan di berbagai wilayah di Indonesia, terutama di Indonesia Timur, namun perkembangannya dipengaruhi oleh dinamika pemasarannya. Tulisan ini bertujuan untuk melihat dinamika pemasaran sapi bali di Indonesia timur berdasarkan data dan informasi yang berasal dari hasil pengamatan penulis langsung di lapangan, berbagai publikasi dan data statistik. Hasil kajian menunjukkan bahwa: (i) Ada hubungan positif antara tingkat pendapatan per kapita dan konsumsi daging sapi per kapita dan jumlah konsumsi; (ii) Preferensi masyarakat konsumen di wilayah Jakarta dan sekitarnya sudah bergeser dari daging sapi lokal (sapi bali, dll) ke daging asal ternak sapi dan daging sapi impor; (iii) Kemampuan wilayah timur Indonesia dalam memasok ternak sapi untuk pemotongan lokal dan perdagangan antar provinsi, sudah menurun, utamanya NTT; (iv) Volume impor sapi bakalan dan daging sapi secara nasional terus meningkat; (v) Ternak sapi di wilayah timur Indonesia dipasarkan secara lokal dan antar pulau antara lain ke Jakarta dan Kalimantan dengan rantai pasok dari peternak hingga konsumen akhir yang tidak terlalu panjang; (vi) Dewasa ini, daerah pemasaran ternak sapi hidup dari wilayah NTT dan NTB diperluas ke Kalimantan karena harga jualnya lebih menarik dibanding ke Jakarta; dan (vii) Permasalahan krusial yang dihadapi antara lain adalah alat angkutan ternak dan pelabuhan bongkar-muat ternak masih belum kondusif, pemotongan ternak sapi betina produktif makin banyak, dan kondisi rumah pemotongan hewan (RPH) jauh dari standar higienis. Disarankan agar pemerintah menyediakan fasilitas pelabuhan bongkar-muat yang lebih kondusif, meningkatkan pengawasan terhadap pemotongan ternak sapi betina DINAMIKA DAN KEBIJAKAN PEMASARAN PRODUK TERNAK SAPI POTONG DI INDONESIA TIMUR Helena J. Purba dan Prajogo Utomo Hadi
361
produktif, pemberian insentif yang memadai bagi peternak untuk melakukan tunda-jual ternak sapinya yang sedang bunting, dan pengendalian impor ternak sapi bakalan dan daging sampai batas tertentu sehingga harga ternak sapi dalam negeri tidak merugikan peternak. Kata kunci: sapi potong, preferensi konsumen, rantai pasok, permasalahan pemasaran
PENDAHULUAN Kegiatan pemasaran hasil sangat diperlukan untuk mendorong ekspansi produksi suatu komoditas hingga melampaui batas subsistensi. Peternakan sapi bali, yang sangat mendominasi peternakan sapi potong di Indonesia timur, tidak mungkin berkembang jika hasilnya hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga peternak sendiri atau daerah setempat. Pada umumnya para peternak termasuk peternak sapi potong hampir dapat dikatakan tidak pernah mengkonsumsi ternak yang dipeliharanya, tetapi untuk dijual dan uang hasil penjualan digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Daging sapi termasuk komoditas yang bersifat high income elastic sehingga daging sapi bukan/belum menjadi kebutuhan konsumsi keluarga, terutama yang berpendapatan rendah. Kegiatan pemasaran juga merupakan komersialisasi hasil produksi yang dapat meningkatkan nilai tambah dan jangkauan pasar, baik secara vertikal ke segmen pasar yang lebih hilir maupun secara horizontal/spasial ke daerah tujuan yang lebih jauh. Jangkauan spasial berarti mencapai daerah yang jauh dari pusat produksi, yaitu pasar di kota-kota besar di luar daerah, di luar pulau, dan bahkan di luar negeri. Dengan jangkauan spasial yang lebih jauh, maka ada peluang yang lebih besar untuk meningkatkan jumlah produksi dan harga ternak sapi bali. Karena itu, kegiatan pemasaran memerlukan suatu kompetensi akses pasar yang memadai. Wilayah Indonesia bagian timur telah lama dikenal sebagai salah satu sentra produksi sapi di Indonesia, utamanya bangsa sapi bali, yang merupakan sapi potong. Banyak sapi potong yang dikirim dari wilayah timur tersebut ke wilayah barat, utamanya ke wilayah Jabodetabek dan Jawa Barat, untuk dipotong, dan dagingnya dijual di pasar. Disamping itu, ada juga ternak sapi potong yang dipasarkan ke wilayah barat lainnya (Sumatera dan Kalimantan) sebagai ternak bibit untuk menghasilkan anak. Di wilayah Indonesia timur sendiri terjadi pemasaran ternak sapi potong dan dagingnya dijual di pasar lokal. Dalam pemasaran produk ternak sapi potong, baik dalam bentuk ternak hidup maupun daging, masih dijumpai berbagai permasalahan yang menyebabkan kegiatan pemasaran menjadi kurang efisien dan terhambat, utamanya ke wilayah Jabodetabek. Tulisan ini bertujuan untuk melihat dinamika pemasaran sapi bali di Indonesia timur, yang menyangkut: (1) Karakteristik permintaan daging sapi; (2) Rantai pasok, penentuan harga dan perluasan pasar; dan (3) Permasalahan yang dihadapi. Data dan informasi yang disampaikan berasal dari pengamatan penulis langsung di lapangan, berbagai publikasi tulisan dan data statistik. KARAKTERISTIK PERMINTAAN DAGING SAPI Hubungan Konsumsi Daging dengan Pendapatan dan Harga Sendiri Masyarakat membeli daging sapi dalam bentuk segar dan olahan. Secara teoritis, jumlah konsumsi dipengaruhi oleh minimal tiga faktor ekonomi, yaitu pendapatan konsumen (positif), harga daging sapi itu sendiri (negatif) dan harga barang subsitusi (positif). Hubungan antara jumlah konsumsi dan tingkat pendapatan masyarakat ditunjukkan oleh kurve Engel pada Gambar 1. Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa penduduk dengan pendapatan (diproksi dari pengeluaran) kurang dari Rp 150.000 per kapita per bulan (kelompok A dan B) tidak mengkonsumsi daging sapi, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Konsumsi mulai dilakukan oleh penduduk berpenghasilan Rp 150.000 atau lebih. Konsumsi meningkat cepat pada kelompok F hingga H. Namun pada kelompok H konsumsi di daerah perkotaan meningkat lebih Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 10 No. 4, Desember 2012 : 361-373
362
cepat lagi, sedangkan di daerah perdesaan meningkat lebih lambat. Karena pendapatan masyarakat di daerah perkotaan meningkat lebih cepat dibanding di daerah perdesaan, maka konsumsi di daerah perkotaan akan meningkat lebih cepat. Secara rata-rata (nasional) hubungan antara konsumsi dan pendapatan mengikuti pola di daerah perkotaan. Implikasinya adalah bahwa pengiriman ternak sapi potong akan lebih mengarah ke daerah perkotaan untuk dikonsumsi. Di daerah perkotaan, konsumsi daging di luar rumah (eating out) dalam bentuk olahan di warung/restoran cepat saji seperti rendang, empal, soto, bakso, hamburger, steak dan hoka-hoka bento, baik dilakukan sendiri-sendiri maupun bersama keluarga, telah menjadi makin populer. Dinamika konsumsi seperti ini berarti menambah jumlah konsumsi daging sapi per kapita atau per keluarga di masa datang.
Sumber: Susenas 2009 (BPS), diolah
Gambar 1. Kurva Konsumsi Daging Sapi Segar menurut Kelompok Pengeluaran per Kapita per Bulan, 2009 (kg/kapita/th) 1 Hasil analisis Saliem (2002) mengenai elastisitas konsumsi daging sapi terhadap pendapatan dan harga daging sapi sendiri dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, elastisitas konsumsi terhadap pendapatan dan harga sendiri di daerah perkotaan lebih rendah dibanding di daerah perdesaan. Ini berarti bahwa persentase kenaikan pendapatan dan harga daging yang sama akan kurang berpengaruh di daerah perkotaan dibanding di daerah perdesaan. Kedua, makin tinggi tingkat pendapatan konsumen, elastisitas konsumsi daging terhadap pendapatan dan harga daging sendiri makin kecil. Artinya, persentase kenaikan pendapatan dan harga daging yang sama akan kurang berpengaruh bagi konsumen berpendapatan tinggi dibanding konsumen berpendapatan rendah. Dengan kecenderungan makin banyaknya penduduk perkotaan dan makin banyaknya penduduk yang kaya, maka konsumsi daging sapi akan meningkat di masa datang. Terbukti bahwa laju pertumbuhan konsumsi daging sapi selama 2002-2006 cukup cepat, yaitu rata-rata 5,50 persen/tahun, jauh lebih cepat dibanding laju pertumbuhan konsumsi daging ayam, kambing dan domba yang masing-masing adalah 3,93 persen, 2,31 persen dan 2,00 persen per tahun (Kustiari et al., 2009). Ini berarti diperlukan pasokan daging sapi lebih banyak lagi di masa datang. 1
Kelompok pengeluaran per kapita per bulan: A=kurang dari Rp 100.000; B=Rp 100.000-Rp 199.999; C=Rp150,000-Rp1999,999; D=Rp200,000-Rp299,999; E=Rp300,000-Rp499,999; F=Rp500,000Rp749,999; G=Rp750,000-Rp999,999; H=Rp1,000,000+
DINAMIKA DAN KEBIJAKAN PEMASARAN PRODUK TERNAK SAPI POTONG DI INDONESIA TIMUR Helena J. Purba dan Prajogo Utomo Hadi
363
Jumlah konsumsi daging sapi rata-rata di Indonesia masih sangat rendah karena rendahnya daya beli masyarakat terhadap komoditas hasil peternakan dan rendahnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya protein hewani bagi kesehatan tubuh (Nuhung, 2001). Salah satu hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi - Pola Pangan Harapan adalah bahwa untuk mencukupi protein asal ternak sebanyak 6 gram/kapita/hari diperlukan produk ternak setara dengan konsumsi protein yang berasal dari 3,87 gram daging, 1,54 gram telur dan 0,59 gram susu per kapita per hari (Soedjana et al., 1998). Komposisi tersebut setara dengan 10,1 kg daging, 4,7 kg telur dan 6,1 kg susu per kapita per tahun. Karena itu, konsumsi per kapita masih berpotensi besar untuk meningkat. Jika demikian, maka jumlah konsumsi daging nasional maupun di Indonesia Timur diperkirakan juga akan naik. Naiknya konsumsi daging sapi di daerah produsen sapi bali sendiri (Bali, NTT, NTB, Sulsel), yang tidak diimbangi oleh naiknya jumlah kelahiran yang memadai telah menyebabkan jumlah ternak yang tersedia bagi daerah-daerah lain makin terbatas. Dulu banyak ternak sapi jantan dengan berat hidup 400-450 kg per ekor, tetapi sekarang sudah sulit untuk mendapatkan sapi jantan dengan berat hidup 300 kg saja karena ternak yang berukuran besar dan berkualitas bagus dijadikan prioritas untuk dikirim ke Jakarta dan Jawa Barat (Hadi dan Purba, 2009). Akibatnya, untuk mendapatkan tonase daging yang sama diperlukan jumlah ternak lebih banyak. Hotel-hotel berbintang di NTB bahkan sudah menggunakan daging beku impor (Ilham, 2001). Hal ini pasti juga terjadi di kota-kota besar lainnya di Indonesia Timur (Denpasar, Makassar, Manado, dan lain-lain), apalagi ada perusahaan asing seperti PT New Mont di NTB, PT Freeport di Papua, dan lain-lain. Fluktuasi Permintaan Jumlah permintaan akan daging sapi setiap tahun berfluktuasi karena adanya hari-hari besar keagamaan dan adat. Jumlah permintaan meningkat drastis pada hari-hari besar seperti idulfitri, idul-adha, natal, tahun baru, pesta adat dan lain-lain. Menjelang hari-hari besar tersebut, utamanya idul-fitri dan idul-adha, para pedagang ternak sudah mengumpulkan stok sapi dalam jumlah besar. Jumlah pemotongan sapi menjelang hari raya idul-fitri menjadi tiga kali lipat dari hari-hari biasa. Impor sapi bakalan dalam jumlah besar juga sudah terjadi 1-3 bulan sebelumnya untuk mengantisipasi lonjakan permintaan tersebut. Demikian pula impor daging sapi sudah dilakukan 1-2 bulan sebelum hari “H”. Harga daging sapi selalu naik pada hari raya idul-ftri, dan tidak pernah turun setelah itu walaupun permintaan sudah kembali normal. Preferensi Pasar Alasan utama konsumen mengkonsumsi daging sapi bukan karena kandungan proteinnya yang tinggi, melainkan rasanya yang khas (Ilham, 2001). Namun preferensi pasar daging sapi tergantung pada lokasi/daerah dan jenis pengguna daging. Di daerah-daerah dimana sapi impor dan daging sapi impor belum banyak, utamanya di Indonesia timur yang merupakan sentra produksi sapi bali, konsumen masih menyukai daging sapi bali karena atributnya yang khas (rasa dan tekstur daging). Sebaliknya, di daerah-daerah yang sapi impor dan daging sapi impornya sudah banyak dan bahkan mendominasi pasar, utamanya di Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi (Jabodetabek), konsumen sudah beralih ke daging sapi asal sapi impor dan daging impor. Pergeseran preferensi tersebut disebabkan oleh makin terbatasnya pasokan dan makin mahalnya harga sapi lokal termasuk sapi bali (Hadi dan Purba, 2009). Tukang bakso, sebagai pengguna utama daging sapi, yang semula fanatik terhadap daging sapi lokal akhirnya mau menerima juga daging sapi asal sapi impor dengan alasan yang sama. Namun konsumen dan tukang bakso akan kembali mengkonsumsi daging sapi bali jika pasokan daging sapi bali pulih kembali dan harganya cukup kompetitif.
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 10 No. 4, Desember 2012 : 361-373
364
Hotel dan restoran bertaraf lokal di wilayah Indonesia timur masih menggunakan daging sapi lokal termasuk sapi bali. Sedangkan hotel dan restoran bertaraf internasional, baik di Jabodetabek maupun Indonesia Timur, lebih banyak menggunakan daging sapi beku impor yang mutunya tidak dapat dipenuhi oleh daging sapi bali. Industri pengolahan daging sapi berskala besar yang memproduksi sosis, burger, bakso dan lain-lain, hanya menggunakan daging impor (kelas dua) dengan alasan harganya yang lebih murah, lebih higienis dan lebih mudah diperoleh dalam jumlah sesuai dengan kebutuhan dalam waktu lebih singkat (tepat waktu) (Hadi dan Purba, 2009). Selain daging sapi, di pasar juga terdapat jenis-jenis daging lainnya yaitu ayam, itik, kerbau, kuda, kambing/domba, babi dan ikan. Produksi jenis-jenis daging lain tersebut meningkat, utamanya ayam ras, yang harganya lebih murah dibanding daging sapi. Substitusi daging sapi oleh jenis-jenis daging lain tersebut pasti ada, terutama karena harga, tetapi tidak akan mencapai 100 persen. Hal ini disebabkan daging sapi mempunyai beberapa atribut yang tidak bisa digantikan oleh jenis-jenis daging lain, yaitu rasa yang khas, status sosial (gengsi) konsumen, dan kegunaannya terutama sebagai bahan untuk membuat rendang, rawon, empal, bakso dan soto, yang merupakan makanan khas masyarakat Indonesia, disamping untuk steak dan hamburger, yang merupakan makanan khas masyarakat barat. Di tempat pesta pernikahan, menu daging sapi selalu muncul karena kalau tidak, maka terasa kurang nikmat bagi tamu dan kurang bergengsi bagi tuan rumahnya. Dinamika dalam masyarakat dan perubahan gaya hidup rumah tangga membawa dampak pada meningkatnya minat masyarakat terhadap produk-produk olahan yang siap saji karena keterbatasan waktu dan kesibukan para ibu rumah tangga terutama di daerah perkotaan (Nuhung, 2001). Jenis makanan termasuk produk hewani yang mudah disimpan dan tidak memerlukan banyak ruang dan siap disajikan secara fleksibel setiap saat telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat perkotaan. Segmentasi Pasar Di Indonesia, termasuk Indonesia Timur, sebagian besar daging sapi dijual di pasar tradisional, dan sebagian kecil di pasar modern bertaraf internasional (Carrefour, Hypermart/Matahari, Giant/Hero, Makro) dan bertaraf lokal. Mutu daging di pasar modern lebih baik dan lebih higienik dibanding di pasar tradisional, sehingga harga di pasar modern menjadi lebih mahal. Karena itu, para pembeli (konsumen) daging sapi di pasar modern pada umumnya adalah golongan ekonomi menengah keatas, sedangkan di pasar tradisional adalah golongan ekonomi menengah kebawah. Di Indonesia Timur, perkembangan pasar modern masih lambat, kecuali di beberapa kota besar (Denpasar, Mataram, Makassar, Manado) sehingga pasar tradisonal masih sangat dominan. Alasan utama konsumen membeli daging sapi di pasar modern adalah mutu daging lebih baik, lebih higienik, dan lingkungannya lebih nyaman dan aman. Sedangkan alasan utama membeli daging di pasar tradisional adalah harganya lebih murah dan lebih dekat dengan rumah (banyak pasar-pasar kecil yang dekat dengan pemukiman penduduk) (Tim PSEKP-ACIAR, 2009). Segmen pasar produk agroindustri peternakan sangat luas dan mencakup berbagai kelas dalam masyarakat mulai dari rumah tangga, kafe hingga supermarket, baik di wilayah elit perkotaan maupun di wilayah perdesaan. Hal ini dapat dilihat dari menu yang dihidangkan baik dalam acara formal maupun informal dalam masyarakat, yang didukung oleh beberapa faktor di antaranya citarasa yang menarik, harga yang cukup terjangkau dan jaringan distribusi yang telah mencakup berbagai wilayah secara luas. Pemotongan dan Pengeluaran Sapi Jumlah pemotongan dan pengeluaran sapi mencerminkan jumlah pemakaian ternak di suatu daerah. Tabel 1 menunjukkan perkembangan jumlah pemotongan dan pengeluaran ternak DINAMIKA DAN KEBIJAKAN PEMASARAN PRODUK TERNAK SAPI POTONG DI INDONESIA TIMUR Helena J. Purba dan Prajogo Utomo Hadi
365
sapi potong di dua wilayah sentra produksi ternak sapi potong di Indonesia Timur, yaitu NTB dan NTT. Di NTB, jumlah pemotongan sapi cenderung menurun selama 2004-2007 tetapi meningkat cepat pada tahun 2008, dan kemudian menurun lagi pada tahun 2009 dan 2010. Sementara jumlah pengeluaran sapinya selama 2004-2008 cenderung meningkat tetapi pada tahun 2009 dan 2010 menurun. Akibatnya, total penggunaan (pemotongan dan pengeluaran) sapi cenderung meningkat selama 2004-2008, kemudian turun cepat pada tahun 2009 dan naik sedikit pada tahun 2010. Tabel 1. Jumlah Pemotongan dan Pengeluaran Sapi Potong di NTB dan NTT, 2004-2010 (ekor) Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Laju (%/th)
NTB Potong 35.823 33.776 33.475 32.342 43.157 38.512 39.667 2,94
NTT
Keluar
Total
Potong
18.251 26.158 28.640 27.210 29.931 21.141 21.775 0,53
54.074 59.934 62.115 59.552 73.088 59.653 61.442 1,92
33.426 34.115 40.157 40.959 61.280 54.051 41.471 7,11
Sumber: Statistik Peternakan 2008 dan 2010 (Ditjen Peternakan), diolah.
Keluar 44.901 48.519 61.279 63.036 57.000 58.392 40.000 -0,17
Total 78.327 82.634 101.436 103.995 118.280 112.443 81.471 3,17
Di NTT, jumlah pemotongan selama 2004-2008 terus meningkat dengan peningkatan yang drastis pada tahun 2008, dan selanjutnya terus menurun selama 2009-2010. Sementara itu, jumlah pengeluaran terus meningkat selama 2004-2008, tetapi selanjutnya cenderung menurun pada tahun 2009-2010, dimana penurunan pengeluaran pada tahun 2010 cukup cepat. Dengan demikian total penggunaan (pemotongan dan pengeluaran) ternak sapi di NTT selama 2004-2008 terus meningkat tetapi kemudian menurun selama 2009-2010 dengan penurunan yang cukup cepat pada tahun 2010. Turunnya jumlah pemotongan dan pengeluaran ternak sapi di NTB dan NTT selama 20092010 mengindikasikan dua kemungkinan penyebabnya. Kemungkinan pertama adalah stok ternak sapi potong di kedua wilayah tersebut sudah menurun, sedangkan kemungkinan kedua adalah terlalu rendahnya harga ternak sapi hidup di wilayah sentra konsumen daging yaitu Jabodetabek. Rendahnya harga sapi potong di wilayah sentra konsumen tersebut diduga kuat disebabkan oleh kelebihan pasokan ternak hidup di wilayah Jabodetabek sebagai akibat impor sapi bakalan dan impor daging sapi yang terlalu besar pada tahun 2009 yang kemudian berimbas sampai tahun 2010. Perkembangan total penggunaan ternak selama 2004-2010 di NTT jauh lebih cepat dibanding di NTB yaitu 3,17 persen versus 2,94 persen per tahun. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah laju pertambahan alami sapi potong di kedua provinsi sentra produksi sapi potong tersebut lebih besar dibanding laju penggunaan ternaknya. Jika tidak, maka akan terjadi pengurasan ternak sapi potong makin serius di kedua daerah tersebut. Impor Ternak dan Daging Sapi Sejak tahun 1991, impor sapi bakalan dari Australia dan impor daging sapi dari Australia, New Zealand, dan lain-lain terus meningkat, kecuali pada tahun 1998 yang anjlok karena krisis ekonomi (BPS, 1985-2010). Menurut Nuhung (2001), masuknya produk impor dari luar negeri dapat menjadi ancaman bagi produk yang sama dan sejenis yang diproduksi di dalam negeri. Pernyataan tersebut sebenarnya kurang cocok untuk sapi potong. Peningkatan impor sapi bakalan dan daging sapi sampai tingkat tertentu masih diperlukan karena dua alasan. Pertama, pasokan Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 10 No. 4, Desember 2012 : 361-373
366
sapi lokal tidak lagi mencukupi kebutuhan yang terus meningkat sebagai akibat dari meningkatnya pendapatan masyarakat dan jumlah penduduk, berkembangnya industri pengolahan daging sapi untuk memproduksi jenis produk yang lebih bervariasi (misalnya sosis, burger, bakso, dll) sesuai dengan dinamika preferensi konsumen dan berkembangnya industri pariwisata (utamanya hotel dan restoran). Kedua, untuk mencegah terjadinya pengurasan ternak sapi lokal lebih lanjut karena tingkat pertambahan alaminya (natural increase) yang lebih lambat dibanding perkembangan jumlah permintaan. Dengan demikian, sapi bakalan dan daging yang diimpor bukan merupakan pesaing bagi daging sapi lokal, melainkan untuk menutup kekurangan sekaligus menyelamatkan populasi ternak sapi lokal termasuk sapi bali. Karena itu, tarif impor yang dikenakan terhadap impor sapi bakalan dan impor daging sangat rendah yaitu masing-masing 0 persen dan 5 persen. Hadi et al. (2002) menegaskan bahwa swasembada daging sapi pada saat itu (2002) dapat dicapai hanya jika tarif impor sapi bakalan dan daging adalah 150 persen. Tarif impor yang sangat tinggi ini bisa menjadikan harga daging sapi menjadi sangat mahal sehingga jumlah konsumsi akan turun drastis. Melambungnya harga daging sapi pada saat krisis ekonomi pada tahun 1998 yang menurunkan jumlah pemotongan sapi secara drastis merupakan bukti yang kuat tentang dampak meningkatnya harga daging sapi terhadap permintaan akan daging sapi. Perkembangan volume dan nilai impor sapi bakalan (feeder steer) dan daging sapi selama 2003-2009 terus meningkat cepat dengan rata-rata laju peningkatan masing-masing 17,64 persen dan 31,44 persen per tahun (Tabel 2). Sementara itu, volume impor hati/jeroan sapi terus meningkat selama 2003-2007, lalu menurun selama 2008 dan 2009. Peningkatan volume impor sapi bakalan dan daging sapi yang sangat cepat pada tahun 2008 dan 2009 berdampak negatif terhadap harga sapi hidup di wilayah sentra konsumsi Jabodetabek sehingga menghambat masuknya ternak sapi dari wilayah Indonesia timur (NTB dan NTT). Volume impor hati/jeroan sapi pada tahun 2009 dan 2010 menurun drastis karena pemerintah makin membatasi impor kedua produk sapi tersebut. Tabel 2. Volume Impor Produk Ternak, Daging dan Hati Sapi Indonesia, 2003-2010 Volume Impor Tahun
Sapi Bakalan (000’ ekor)
Daging Sapi (ton)
Nilai Impor (US$’000) Hati Sapi (ton)
Sapi Bakalan
Daging Sapi
Hati Sapi
Total
2003
208,8
10.671,4
35.778,5
66.543,8
18.566,0
23.142,3
108.252,1
2004
215,8
11.772,0
36.277,2
88.989,6
27.113,0
24.837,9
140.940,5
2005
256,2
21.484,5
34.436,4
107.731,3
43.646,4
31.090,2
182.467,9
2006
265,7
25.949,2
36.107,7
108.596,7
49.077,2
35.759,8
193.433,7
2007
414,2
39.400,0
40.203,4
217.730,5
92.846,6
56.650,5
367.227,6
2008
570,1
45.708,5
5.776,0
378.106,6
126.146,9
8.774,9
513.028,4
2009
657,3
67.908,2
3.392,1
464.104,2
202.838,1
5.131,5
672.073,8
2010
521,5
90.505,7
4.727,7
445.079,7
289.495,0
8.937,0
743.511,7
Laju (%/th) 17,64 31,44 -37,22 30,98 39,42 Sumber: Statistik Peternakan 2008 dan 2010 (Ditjen Peternakan), diolah.
-21,29
29,81
Dari Tabel 2 tersebut juga dapat diketahui bahwa rata-rata laju peningkatan nilai impor per tahun lebih cepat dibanding laju peningkatan volume impornya yaitu 33,30 persen versus 20,94 persen untuk sapi bakalan, dan 39,30 persen versus 31,68 persen untuk daging sapi. Untuk hati/jeroan sapi, laju penurunan nilai impor lebih lambat dibanding laju penurunan volume impornya, yaitu 21,43 persen versus 37.81 persen. Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa DINAMIKA DAN KEBIJAKAN PEMASARAN PRODUK TERNAK SAPI POTONG DI INDONESIA TIMUR Helena J. Purba dan Prajogo Utomo Hadi
367
harga impor ketiga produk sapi tersebut meningkat masing-masing 12,71 persen, 7,61 persen dan 16,39 persen per tahun. RANTAI PASOK, PENENTUAN HARGA DAN PERLUASAN PASAR Rantai Pasok Secara komersial, ternak sapi bali dipasarkan mulai dari peternak sebagai produsen ternak sapi hidup hingga konsumen akhir sebagai pengguna daging 2. Rantai pemasaran mulai dari peternak hingga konsumen akhir disebut rantai pasok (supply chain). Panjangnya rantai pasok sangat dipengaruhi oleh jangkauan pemasaran secara spasial dan secara vertikal. Ternak sapi yang dijual hingga keluar pulau mempunyai rantai pasok lebih panjang dibandingkan dengan yang dijual di pasar lokal. Gambar 2 memberikan informasi tentang rantai pasok sapi bali di Indonesia Timur (utamanya daerah-daerah sentra produksi sapi bali yang mencakup Bali, NTB, NTT dan Sulawesi Selatan). KONSUMEN AKHIR
RESTORAN/HOTEL
PASAR SWALAYAN
RPH
PASAR TRADISIONAL
PENGOLAH
SUPLIER/JAGAL
PEDAGANG ANTAR-PULAU
PASAR HEWAN
PEDAGANG ANTAR KAB/BANDAR
PEDAGANG PENGUMPUL
PETERNAK
Gambar 2. Rantai Pasok Sapi Bali di Indonesia Timur (Tim ACIAR-PSEKP, 2009) 2
Selain dipasarkan secara komersial, sapi bali juga dikirim dari daerah sumber bibit (Bali, NTB, NTT dan Sulsel) ke daerah-daerah lain oleh pemerintah dalam rangka program pemberian bantuan bibit sapi potong kepada petani. Distribusi ternak oleh pemerintah tersebut tidak dicakup dalam tulisan ini.
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 10 No. 4, Desember 2012 : 361-373
368
Peternak pada umumnya menjual sapinya kepada pedagang pengumpul (di Jawa disebut “blantik”). Dalam hal ini, pihak pedagang mendatangi rumah petani, dan biasanya seluruh biaya yang terkait dengan jual-beli sapi (angkutan, retribusi) ditanggung oleh pedagang tersebut. Rantai pasok selanjutnya tergantung pada jangkauan pasar secara spasial, yaitu apakah lokal (di kabupaten asal sapi) atau provinsi/pulau lain. Jika sapi dijual hanya di pasar lokal, pedagang pengumpul pada umumnya menjual sapinya kepada suplier/jagal di tempat pedagang tersebut atau di RPH. Pihak yang menanggung biaya angkutan tergantung pada kesepakatan di antara kedua belah pihak. Jika ternak sapi dijual keluar provinsi/pulau lain, maka sebelum sapi sampai ke tangan jagal, perlu melewati pedagang sapi antar kabupaten dan/atau pedagang sapi antar provinsi/pulau. Sebagai contoh, sapi dari Bali, NTB dan NTT harus melewati pedagang antar provinsi/pulau yang membawa sapi ke provinsi/pulau lain, misalnya Jawa Barat, Jakarta, Kalimantan Barat, Papua, dan lain-lain. Hal yang sama juga berlaku bagi sapi dari Sulawesi Selatan yang dikirim ke Kalimantan Timur dan provinsi-provinsi lain di pulau Sulawesi. Sapi yang sudah berada di tangan suplier/jagal kemudian dipotong di RPH yang ada di daerah dimana supplier/jagal itu berada. Sebagian besar daging dijual oleh jagal kepada pedagang pengecer daging di pasar tradisional, dan sebagian kecil daging dijual ke pasar modern, restoran dan hotel di kota-kota besar seperti Denpasar, Mataram, Makassar dan Jabodetabek. Pedagang pengecer di pasar tradisional kemudian menjual daging ke konsumen akhir dan industri pengolah berskala rumah tangga (pembuat bakso, warung makan dan katering). Di pasar tradisional dan pasar modern di wilayah Indonesia Timur, daging sapi bali masih dominan. Sebaliknya, di daerah Jabodetabek, sebagian besar (80%) pasokan daging di wilayah itu berasal dari sapi impor dan daging impor karena daging sapi lokal termasuk sapi bali makin sulit diperoleh (Hadi dan Purba, 2009). Di Surabaya, pasokan daging sapi lokal (PO, PO-cross, sapi madura dan sapi bali) sampai dengan tahun 2009 juga terbatas, sehingga daging asal sapi impor mulai masuk ke pasar-pasar di kota tersebut (Hadi dan Helena, 2009). Penentuan Harga Penjualan ternak sapi pada umumnya masih menggunakan taksiran berat karkas dari sapi yang bersangkutan (di Jawa disebut jogrogan, di NTB disebut cawangan). Cara penentuan harga yang kurang eksak seperti ini memang dikehendaki oleh para pedagang yang membeli ternak dari petani agar mereka bisa lebih leluasa dalam bermain untuk mendapatkan margin yang lebih besar dari penaksiran berat yang bias kebawah. Di pasar hewan yang dilengkapi dengan alat timbangan ternakpun penentuan harga tetap dengan cara taksiran. Penimbangan baru dilakukan baik di pasar hewan maupun di kandang karantina pada saat ternak sapi akan dikirim ke Jakarta dan sekitarnya. Di RPH, pembelian sapi oleh jagal dari pedagang ternak didasarkan atas berat karkas yang sudah ditimbang, rendemen daging dan harga daging eceran di pasar tradisional. Pedagang eceran di pasar tradisional membeli karkas atau daging dari jagal berdasarkan harga jual yang berlaku dikurangi marjin pedagang pengecer yang bersangkutan. Di pasar tradisional, pedagang pengecer daging dan jagal sendiri menjual dengan harga yang sama kepada pembeli (tukang bakso, konsumen, warung, dll) untuk kualitas daging yang sama. Harga eceran daging sapi di pasar tradisional pada umumnya lebih murah dibanding di pasar modern karena biaya penanganan dan pemasaran (handling & marketing cost) yang lebih sedikit dibanding pasar modern. Perluasan Daerah Pemasaran Dengan makin banyaknya daging asal sapi impor dan daging impor yang masuk ke pasar Jabodetabek, maka pedagang sapi bali di Indonesia Timur berusaha mencari terobosan pasar baru DINAMIKA DAN KEBIJAKAN PEMASARAN PRODUK TERNAK SAPI POTONG DI INDONESIA TIMUR Helena J. Purba dan Prajogo Utomo Hadi
369
yang lebih prospektif seperti Kalimantan Barat, yang kemudian dikirim ke wilayah Malaysia timur (Sabah, Serawak). Di pasar-pasar baru ini, harga sapi bali jauh lebih tinggi dibanding di Jabodetabek. Sapi madura juga banyak yang dikirim dari Jawa Timur ke wilayah tersebut dengan alasan ekonomi yang sama. Munculnya daerah pemasaran baru tersebut berpotensi meningkatkan jumlah pengiriman ternak keluar daerah produsen. Dilihat dari segi ekonomi, hal ini di satu dapat meningkatkan perolehan devisa negara, tetapi di pihak lain dapat mempercepat pengurasan sapi potong di Indonesia Timur. PERMASALAHAN PEMASARAN Fasilitas Pendukung Pemasaran Ternak di Indonesia Timur Jarak dari daerah produksi ke daerah konsumsi dan pelabuhan interinsuler cukup jauh yang dihubungkan oleh jalan darat yang kondisinya kurang memadai. Di wilayah Indonesia Timur yang terdiri dari banyak pulau, pelabuhan dan kapal angkut menjadi sangat vital, namun fasilitas pelabuhan untuk muat dan bongkar ternak masih jauh dari memadai. Di pelabuhan Kupang misalnya, pemuatan ternak sapi keatas kapal tidak menggunakan ram tetapi derek yang dapat menyiksa ternak sapi yang dapat menimbulkan risiko luka dan bahkan patah kaki (Hadi dan Purba, 2008). Hal yang sama juga terjadi di Mataram (Ilham, 2001). Fasilitas untuk muat dan bongkar ternak ke/dari atas truk di seluruh pelabuhan di Indonesia Timur memang masih sangat minim. Angkutan ternak dari Indonesia timur menuju Cibitung (Bekasi/Jawa Barat) dilakukan melalui jalur laut sampai ke pelabuhan Kali Mas di Surabaya yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan truk atau gerbong kereta api menuju Jakarta dan sekitarnya (Ilham, 2001; Hadi et al., 2002; Budisantoso et al., 2008). Namun penggunaan gerbong kereta api sekarang tidak ada lagi karena biayanya terlalu mahal. Tidak adanya layanan angkutan langsung lewat laut ke Jakarta karena risiko yang lebih besar sebagai akibat ternak terlalu lama di dalam kapal. Kondisi kapal juga kurang bagus. Kapal terbuat dari kayu, tidak dirancang khusus untuk ternak dan dicampur dengan barang-barang lainnya (Ilham, 2001; Budisantoso et al., 2008). Ruang kapal untuk ternak sangat sempit dan tidak dilengkapi dengan air minum, pakan, kandang bersekat dan fasilitas bongkar-muat. Keberangkatan kapal juga tidak reguler lagi disamping frekuensi yang lebih sedikit. Pengangkutan sapi lewat darat dari pelabuhan Kali Mas Surabaya menuju Cibitung juga menggunakan truk gandengan yang tidak dirancang khusus untuk ternak. Untuk pengiriman ternak antar pulau diperlukan karantina hewan yang ditempatkan di dekat pelabuhan. Dalam penanganan ternak di karantina, pada umumnya kondisi kandang sudah baik tetapi fasilitasnya kurang, seperti air minum dan pakan terbatas (Ilham, 2001; Budisantoso et al., 2008). Di Surabaya (Kalimas), kondisi kandang karantina bagi sapi dari Bali, NTB dan NTT yang akan dibawa ke Cibitung (Jawa Barat) cukup bagus, pasokan pakan cukup dan kesehatan ternak terpelihara secara baik, tetapi pasokan air minum kurang memadai (Budisantoso et al., 2008). Waktu tunggu di kandang penampungan (holding ground) di pelabuhan keberangkatan dan di tempat tujuan (Cibitung) dan di kandang karantina di pelabuhan keberangkatan dan di Surabaya cukup lama yang secara keseluruhan mencapai sekitar 15 hari. Penanganan ternak yang kurang optimal tersebut diatas menyebabkan terjadinya penyusutan ternak sapi (susut berat dan mati) sampai tempat tujuan cukup besar yaitu 7-10 persen untuk sapi dari NTB (Ilham, 2001) dan 10-12 persen untuk sapi dari NTT (Budisantoso et al., 2009). Biaya susut tersebut sudah pasti dibebankan kepada peternak sehingga harga sapi di tingkat peternak menjadi lebih rendah dari yang seharusnya.
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 10 No. 4, Desember 2012 : 361-373
370
Pengawasan Perdagangan Antar Pulau dan Pemotongan Ternak Wilayah Indonesia Timur yang terdiri dari banyak pulau, pengawasan terhadap perdagangan ternak ke provinsi lain melalui pesisir tanpa dermaga dengan menggunakan kapalkapal dari daerah asal pedagang yang membeli ternak ke daerah itu sangat kurang. Sebagai contoh adalah pengiriman ternak sapi melalui pesisir utara pulau Sumbawa dengan menggunakan kapalkapal asal Banyuwangi dan Makassar (Ilham, 2001). Pemotongan ternak sapi yang tidak tercatat cukup besar, terutama di luar Jawa yang banyak acara adat dengan menggunakan daging sapi untuk konsumsi, tetapi pengawasan masih kurang. Sebagai contoh, di NTB pada tahun 2000 jumlah pemotongan sapi tidak tercatat adalah sebesar 31,35 persen (Disnak NTB, 2000)3. Selain itu, pemotongan sapi betina produktif makin besar, yang dipacu oleh tiga alasan bisnis, yaitu: (1) Ternak sapi jantan sudah sulit dicari, sedangkan para pedagang ternak dan daging sapi harus terus berjalan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga bisnis jual-beli sapi betina produktif terpaksa dilakukan; (2) Harga sapi betina hidup lebih murah dibanding sapi jantan tetapi harga dagingnya sama mahalnya; dan (3) Petani memerlukan dana segera untuk membiayai kebutuhannya (Hadi dan Purba, 2008). Alasan lainnya adalah Pemerintah Daerah setempat tidak kuasa melarang pemotongan sapi betina produktif di RPH milik pemerintah tersebut walaupun sudah ada Perda tentang pelarangan pemotongan sapi betina produktif. Di RPH Kupang, pada tahun 2008 sebanyak 80 persen sapi yang siap dipotong adalah sapi betina, dan 90 persen di antaranya masih produktif. Pemotongan sapi betina produktif jelas menguras sumberdaya ternak sebagai sumber sapi potong, yang akan menyebabkan tingkat pengurasan ternak makin cepat. Kondisi Rumah Potong Hewan Kondisi Rupah Potong Hewan (RPH) milik pemerintah di Indonesia Timur pada umumnya kurang baik. Hal ini tercermin pada kondisi bangunan yang pada umumnya sudah tua, rusak dan kotor, dan proses pengolahan limbah yang jauh dari standar, sebagai indikator kondisi yang tidak higienis. Kurangnya pemasukan (PAD) bagi pemerintah daerah sebagai akibat makin berkurangnya jumlah ternak yang dipotong di RPH adalah salah satu faktor penyebab kondisi tersebut, disamping budaya masyarakat yang kurang memperhatikan aspek kebersihan dan kesehatan. Peralatan/teknologi baru juga tidak digunakan karena dinilai kurang efisien sebagai akibat kecilnya skala usaha (jumlah pemotongan per pedagang) dan adanya tim tenaga pengolah yang dibawa oleh masing-masing pedagang/jagal. Pada bulan Mei-Juni 2011, muncul gerakan larangan ekspor ternak sapi hidup dari Australia ke Indonesia yang dimotori oleh LSM Australia. Alasan pelarangan tersebut adalah bahwa cara pemotongan sapi di Indonesia tidak memperhatikan aspek animal welfare. Pada saat itu sempat terjadi kehebohan di dalam negeri dan pemerintah Indonesia dengan cepat mempersiapkan langkah-langkah antisipatif terhadap dampak negatif dari pelarangan tersebut. Boikot ekspor tersebut telah terjadi selama beberapa minggu dan harga ternak sapi hidup di tingkat petani sempat naik sekitar 20 persen (Hadi dan Purba, 2008). Namun akhirnya kran ekspor kembali dibuka pada bulan Juli 2011 sehingga harga sapi hidup di tingkat petani turun lagi. Jika penghentian ekspor sapi ke Indonesia dilaksanakan dalam jangka panjang, maka akan berdampak negatif terhadap peternakan sapi potong di Australia karena 70 persen ekspor sapi potong bakalan (feeder steer) ditujukan ke Indonesia. Langkah tersebut juga akan berdampak negatif terhadap populasi sapi potong di Indonesia karena jumlah ternak sapi yang lahir dan hidup tidak akan bisa lagi mengimbangi jumlah pemotongan yang meningkat cepat. Jika demikian, maka target swasembada daging sapi tidak akan pernah tercapai. Karena itu, pembukaan kembali keran ekspor sapi ke Indonesia perlu disambut baik, namun jumlahnya perlu dikendalikan sehingga 3
Di Jawa Tengah, rata-rata jumlah pemotongan sapi betina produktif adalah 46.000 ekor/tahun (Kholiq, 2011).
DINAMIKA DAN KEBIJAKAN PEMASARAN PRODUK TERNAK SAPI POTONG DI INDONESIA TIMUR Helena J. Purba dan Prajogo Utomo Hadi
371
harga sapi hidup di tingkat petani tetap atraktif sehingga petani tetap bersemangat untuk melakukan usaha peternakan sapi potong, baik pembiakan/ pembibitan untuk memproduksi anak (cow-calf) maupun penggemukan untuk memproduksi daging (fattening). PENUTUP Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar merupakan pasar daging sapi yang potensial. Ini merupakan peluang pasar yang sangat bagus untuk mengembangkan usaha peternakan sapi bali di Indonesia Timur yang sudah sejak lama dikenal sebagai gudang sapi potong nasional. Apalagi pemeliharaan sapi di wilayah ini merupakan cara hidup (way of life) sebagian besar masyarakat petani. Karena itu, pengembalian posisi sapi bali sebagai salah satu sumber daging sapi bermutu bagus dan disukai masyarakat, akan menjadi fokus perhatian yang makin besar dari pemerintah. Ke depan, kesadaran masyarakat akan pentingnya makanan yang bercitarasa gurih, bergizi, sehat dan aman untuk dikonsumsi akan terus meningkat. Karena itu, konsumen dan pengguna daging sapi lainnya akan terus menuntut kualitas daging sapi yang dapat memenuhi keempat dimensi kualitas tersebut. Di pasar Jabodetabek terdapat daging sapi yang berasal dari beberapa bangsa sapi lain, utamanya jenis brahman cross (BX) dari Australia, disamping dari hasil persilangan sapi PO, sapi bali dan sapi madura dengan sapi Limousin, Simmental, Brahman, dan lain-lain, yang mutu dagingnya lebih bagus. Ini berarti konsumen, hotel, restoran dan industri pengolahan mempunyai banyak pilihan bahan baku daging sapinya. Impor sapi bakalan dan daging beku tidak perlu dilarang tetapi dikendalikan sehingga harga sapi lokal tidak jatuh. Disamping itu untuk menghidupkan kembali industri sapi potong di dalam negeri adalah dengan memperbaiki distribusi/transportasi sapi potong dari wilayah produsen ke wilayah konsumen dengan menyediakan sarana yang sesuai keperluan, dan dengan cara menyediakan sistem insentif bagi peternak sapi potong sehingga mereka dapat melepaskan ternaknya pada saat mencapai bobot potong, tidak menahannya sampai adanya kebutuhan mendesak rumah tangga. Faktor krusial yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah pusat dan daerah adalah pemotongan ternak sapi betina produktif. Selama ini, pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak dalam menghadapi persoalan ini karena terbatasnya dana untuk membeli ternak sapi betina produktif tersebut. UU dan Perda mengenai pelarangan pemotongan sapi betina produktif sudah ada tetapi tidak efektif karena kuatnya posisi bisnis pedagang besar. Salah satu cara untuk mengatasi masalah itu adalah pemerintah pusat membeli sapi-sapi betina produktif untuk disebarluaskan ke berbagai daerah dalam rangka program bantuan bibit sapi untuk usaha pembibitan dengan sistem bagi hasil dan bergulir. Di wilayah Indonesia barat, daerah-daerah transmigrasi mempunyai potensi besar untuk lokasi program tersebut. Langkah lainnya adalah pemberian insentif yang memadai bagi peternak untuk menunda penjualan ternak betina produktifnya, utamanya yang sudah bunting, hingga melahirkan dan anaknya sudah mencapai umur sapih. Fasilitas pemasaran seperti ram untuk bongkar-muat ternak perlu dibangun di pasar-pasar hewan dan pelabuhan antar pulau. Hal ini sangat penting untuk mencegah terjadinya stress dan kecelakaan pada ternak yang berakibat menambah biaya yang pada akhirnya dibebankan kepada peternak sehingga harga sapi di tingkat peternak lebih rendah dari yang seharusnya. Selain itu, kapal pengangkut ternak sapi antar pulau sedapat mungkin menggunakan kapal khusus ternak, sebagaimana yang dilakukan oleh pedagang ternak antar pulau dalam pengiriman sapi ke Kalimantan, sehingga risiko kematian dan susut bobot ternak dapat diperkecil. Jumlah impor sapi bakalan dan impor daging perlu dikendalikan sedemikian rupa sehingga harga sapi potong di tingkat peternak tetap menarik. Dengan harga sapi hidup yang cukup baik, maka peternak akan tetap bergairah untuk menjalankan usaha peternakan sapi potong, baik usaha pembiakan/pembibitan untuk menghasilkan anak (cow-calf) maupun penggemukan untuk Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 10 No. 4, Desember 2012 : 361-373
372
menghasilkan daging (fattening). Dengan demikian, maka harapan akan tercapainya swasembada daging sapi akan dapat terwujud. Akhir-akhir ini, pengendalian impor ternak sapi bakalan dan daging sapi berdampak meningkatkan harga ternak sapi di tingkat produsen. DAFTAR PUSTAKA Ashari, P.U. Hadi, N. Ilham dan B. Winarso. 2001. Usaha Sapi Potong Rakyat Sebagai Model Prospektif dan Berpola Industri: Sebuah Kasus Sapi Potong Rakyat di Provinsi Lampung. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Viteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Hal:404-417. BPS. 2009. Survey Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2009. Badan Pusat Statistik. Jakarta. BPS. 1985-2010. Statistik Impor Volume I Tahun 1985-2010. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Budisantoso, E., J. Triastono, P. Fernandez, H. Marawali and C. Deblitz. 2008. Strategies to Reduce Weight Loss in Inter-Island Trade. ACIAR SMAR 2007/202. Australia Indonesia Partnership. Hadi, P.U. dan H.J. Purba. 2009. Laporan Hasil Kajian Pemasaran Sapi Potong di Indonesia Timur Tahun 2009. Kerjasama Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian dengan ACIAR. Hadi, P.U. dan H.J. Purba. 2008. Laporan Hasil Kajian Pemasaran Sapi Potong di Indonesia Timur Tahun 2008. Kerjasama Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian dengan ACIAR. Hadi, P.U., H.P. Saliem dan N. Ilham. 1999. Pengkajian Konsumsi Daging Sapi dan Kebutuhan Impor Daging Sapi. Monograph Series No. 20. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. ISBN 9798094-56-5, hal. 289-312. Hadi, P.U. 2003. Impacts of the Globalization on Indonesian Agricultural Production and Marketing. Proceedings of the Second Session of the Workshops on the Achievement of the World Food Summit Action Plan – Impacts of Globalization on Agricultural Production and Marketing with Focus on Food Quality. Japan-FAO Association. Tokyo, Japan, pp. 131-146. Hadi, P.U., N. Ilham, A. Thahar, B. Winarso, D. Vincent and D. Quirke. 2002. Improving Indonesia’s Beef Industry. ACIAR Monograph Series. Canberra, Australia. ISBN 86320-354-0. Ilham, N. 2001. Prospek Pasar dan Sistem Tataniaga Ternak dan Daging Sapi di Nusa Tenggara Barat. Wartazoa – Buletin Ilmu Peternakan Indonesia – 11(2):32-43. Kholiq, N. 2011. Tinggi Pemotongan Sapi Betina Produktif di Jateng. Suara Merdeka Cybernews 24 Maret 2011, http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011. Kustiari, R., DKS Swastika, Wahida, H.J. Purba, Tj. Nurasa, P. Simatupang dan A. Purwoto. 2009. Model Proyeksi Jangka Pendek Permintaan dan Penawaran Komoditas Pertanian Utama: Angka Ramalan 2009-2014. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian. Nuhung, I.A. 2001. Potensi dan Peluang Pengembangan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Viteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Hal:11-16. Saliem, H.P. 2002. Analisis Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi 20(2):64-91. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Tim PSEKP-ACIAR. 2009. Preferensi Konsumen Daging Sapi di Wilayah Jabodetabek, NTB, NTT dan Sulawesi Selatan. Laporan Hasil Survey Lapangan. Kerjasama Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian dengan ACIAR.
DINAMIKA DAN KEBIJAKAN PEMASARAN PRODUK TERNAK SAPI POTONG DI INDONESIA TIMUR Helena J. Purba dan Prajogo Utomo Hadi
373
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG RAKYAT DI KECAMATAN KALIORI KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH [Factors Affecting Development Potency of Household Livestock in Kaliori District Rembang Regency Central Java] Mukson, S. Marzuki, P.I. Sari dan H. Setiyawan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Kampus drh. Soejono Koesoemowardojo Tembalang-Semarang 50275 Received August 27, 2008; Accepted November 12, 2008
ABSTRACT The aims of the research were to study 1) Potency of beef cattle farming development in Kaliori District Rembang Regency and 2) Factors affecting potency of beef cattle farming development. Research has been conducted from February to March 2007. Six villages were chosen using Stratified Random Sampling, i.e. those with high, medium and low population of livestock. Livestock farmer samples were chosen by Random Sampling. Every village was representated by 15 farmers, so there were 90 samples of farmers. Data was collected based on the primary and secondary data. Primary data were collected from result of interview with livestock farmer using of questionaire that has been prepared. Secondary data were collected from institution that related to the research matter. Data were analyzed descriptively and statistically. L/Q (Location Quotient) was used to know expansion potency. Statistic analysis was done by using multiple regression model, in which to know factors affecting the development potency of public livestock, using the equation of regression are : Y = a +b1x1+b2x2+b3x3+b4x4+b5x5+b6x6+b7x7+e, where Y = population of livestock, x1: land space, x2 : the availability of forage, x3 :labour effusing, x4 : capital, x5: behavior of zootechnic business, x6 : level of education and x7: farming experience. The result showed that potency of livestock development for level of district pertained potential (LQ = 1,12), while 6 location of village yields potential storey of : Maguan (1,23; potential), Dresi Wetan (1,22; potential), Meteseh (1,20; potential) Sendang Agung (1,20; potential), Banyudono (1,00; balance) and Tasikharjo (0,87; less potential). Factors of x1 (farm wide), x2 (the availability of forage), x3 (labour effusing), x4 (capital), x5 (behavior of zooteknik business), x6 (level of education) and x7 (farming experience)were highly significantly different (P<0,01) on development of public livestock, with regression equation : Y = -1,746 + 0,008x1 + 0,139x2 + 0,023x3 + 0,011X4 + 0,018x5 + 0,025x6 + 0,022x7 + e and R2 value = 0.923. Parsially, factor having effect was farm wide, feed availability of forage, labour and capital, while behavior of zootechnic, level of education and farming stripper, factors were not significant. Keywords: Development potency, Livestock. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji 1) Potensi pengembangan usaha ternak sapi potong rakyat di Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang dan 2) Faktor-faktor yang mempengaruhi potensi pengembangan ternak sapi potong rakyat. Penelitian dilakukan pada bulan Pebruari sampai Maret 2007, di Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Penelitian dilakukan dengan metode survai. Penentuan sampel lokasi desa ditentukan secara Stratified Random Sampling didasarkan pada tingkat populasi ternak diambil sebanyak 6 desa (tinggi, sedang dan kurang). Sampel peternak sapi potong diambil secara Random Sampling. Masing desa-desa diambil sebanyak Factors Affecting Development Potency of Household Livestock (Mukson et al.)
305
15 peternak, sehingga secara keseluruhan ada 90 sampel. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer bersumber dari hasil wawancara dengan petani ternak sapi potong dengan bantuan kuesioner yang telah disiapkan. Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait dengan materi penelitian.. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan secara statistik. Untuk mengetahui potensi pengembangan digunakan analisis LQ (Location Quotient), sedangkan analisis statistik dengan model regresi berganda digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi potensi pengembangan sapi potong rakyat, dengan persamaan regresi sbb : Y = a +b1x1+b2x2+b3x3+b4x4+b5x5+b6x6+b7x7+e, dimana Y = adalah populasi ternak sapi potong dan x1 sampai dengan x7, masing-masing adalah x1 (luas lahan), x2 (ketersediaan pakan), x3 (curahan tenaga kerja), x4 (modal), x5 (perilaku zooteknik usaha), x6 (tingkat pendidikan) dan x7 (lama beternak). Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi pengembangan ternak sapi potong untuk Kecamatan Kaliori tergolong potensial (LQ = 1,12), sedangkan 6 lokasi sampel desa menghasilkan tingkat potensi sbb : Desa Maguan potensial (1,23), Dresi Wetan potensial (1,22), Meteseh potensial (1,20) Sendang Agung potensial (1,20), Banyudono seimbang (1,00) dan Tasikharjo kurang potensial (0,87). Secara bersama-sama faktor x1 (luas lahan), x2 (ketersediaan pakan), x3 (curahan tenaga kerja), x4 (modal), x5 (perilaku zooteknik usaha), x6 (tingkat pendidikan) dan x7 (lama beternak) berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap pengembangan ternak sapi potong rakyat dengan persamaan regresi sebagai berikut : Y = -1,746 + 0,008x1 + 0,139x2 + 0,023x3 + 0,011X4 + 0,018x5 + 0,025x6 + 0,022x7 + e dengan nilai R2 = 0,923. Secara parsial faktor yang berpengaruh adalah : luas lahan, ketersediaan pakan hijauan, tenaga kerja dan modal, sedangkan faktor perilaku zooteknis, tingkat pendidikan dan lama beternak pengaruhnya tidak nyata. Kata kunci : Potensi pengembangan, Sapi potong. PENDAHULUAN Sektor pertanian masih merupakan sektor strategis dan andalan dalam menopang perekonomian nasional. Ketangguhan sektor pertanian termasuk sub sektor peternakan ditunjukkan oleh masih besarnya potensi sumberdaya lokal baik ternak, teknologi, kelembagaan, modal, maupun potensi lainnya, sehingga apabila potensi ini dapat dikembangkan dengan optimal akan mampu berperan dalam pemberdayaan ekonomi dan peningkatan usaha peternakan termasuk petani ternak sapi potong. Peluang usaha ternak sapi potong rakyat secara intensif dan komersial sangat terbuka, karena adanya dorongan dari konsumen daging di perkotaan demand side (Scheper, 1992 dalam Kuswaryan et. al, 2006). Hal ini menjadi peluang bagi peternak sapi potong rakyat untuk terus mengembangkan usahanya. Menurut Diwyanto dan Priyanti (2006) tantangan utama dalam pengembangan usaha peternakan adalah digelarnya program revitalisasi pertanian dan ketahanan pangan yang akan meningkatkan produktivitas pertanian (termasuk peternakan) melalui optimalisasi sumberdaya lokal. Untuk itu perlu ada upaya-upaya yang strategis dan berkesinambungan
306
utamanya dalam pengelolaan usaha agar dicapai produktifitas dan efisiensi yang tinggi. Program kecukupan daging tahun 2010 yang telah dirancang oleh Direktorat Jenderal Peternakan yang terdiri dari program pengembangan agribisnis, peningkatan kesejahteraan petani dan program ketahanan pangan, diharapkan produksi daging sapi dalam negeri mampu memberikan kontribusi sebesar 90 -95%. Saat ini diperkirakan kemampuan produksi daging dalam negeri baru mampu memberikan kontribusi sebesar 70-75% terhadap kebutuhan nasional (Tawaf dan Kuswaryan, 2006). Hal ini berarti dalam waktu dekat pemerintah bersama peternak harus mampu meningkatkan rata- rata produksi minimum sebesar 20% dari kondisi saat ini. Melihat kondisi tersebut, perlu adanya pengembangan berbagai potensi yang ada pada petani sapi potong baik dari aspek sosial (tingkat pendidikan, lama beternak, tenaga kerja, perilaku zooteknis usaha), ekonomi (modal) maupun teknis (lahan dan ketersediaan pakan), sehingga keberadaan usaha ternak sapi potong dapat dikembangkan secara optimal. Upaya dan langkah strategis lain untuk peningkatan peran sub sektor peternakan antara lain dapat dilakukan melalui pengembangan dan
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 33 [4] December 2008
peningkatan populasi, produksi dan produktivitas ternak. Untuk mendukung upaya tersebut perlu diperhatikan berbagai faktor lingkungan strategis usaha baik yang bersifat mikro maupun makro (Dinas Peternakan Propinsi Jawa Tengah, 2005). Jumlah peternak sapi potong masih sangat dominan dibanding dengan peternak lainnya, yaitu mencapai 55% sedangkan sisanya adalah peternak sapi perah, kerbau, unggas, domba dan kambing, babi dan kuda (Direktorat Jenderal Peternakan, 2000). Namun demikian eksisting kondisi peternakan sapi potong pada umumnya produktivitasnya masih sangat rendah yang ditunjukkan oleh kemampuan kenaikan berat badan berkisar antara 0,7-1,0 Kg/ekor/hari pada usaha penggemukan. Skala usaha 2 -4 ekor, pola tradisional belum berorientasi ekonomi (Tawaf dan Kuswaryan, 2006). Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang merupakan salah satu wilayah Kecamatan yang mempunyai populasi ternak sapi potong cukup banyak. Keberadaan usaha ternak sapi pada umumnya masih dilakukan secara tradisianal. Kondisi ini perlu ada pemberdayaan yang mengarah pada pengembangan potensi dan sumberdaya yang ada baik sosial, ekonomi dan teknis. Berdasarkan kondisi dan permasalahan tersebut di atas maka sangat perlu dilakukan suatu kajian untuk mengetahui seberapa jauh potensi pengembangan ternak sapi potong rakyat dan faktorfaktor apa saja yang mempengaruhinya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang komprehensif terutama kaitannya dengan faktor sosial, ekonomi, dan teknis untuk pengembangan sapi potong rakyat.
dengan metode “Simple Random Sampling”, diambil 15 peternak sapi potong pada masing-masing desa sehingga jumlah keseluruhan ada 90 sampel peternak. Data primer diperoleh dari hasil observasi dan wawancara dengan peternak sapi potong dengan berpedoman pada kuesioner. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait yaitu Kantor Kecamatan Kaliori, Dinas Peternakan dan Badan Pusat Statistik (BPS) setempat. Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang terkumpul ditabulasi, kemudian dianalisis secara deskriptif dan secara statistik. Analisis potensi pengembangan ternak sapi potong rakyat di Kecamatan Kaliori digunakan analisis LQ (Location Quotient) sesuai petunjuk Arsyad (1999) dan Hendarto (2000) sebagai berikut : LQ =
PSKc: PSKb PTKc: PTKb
Keterangan : Σ PSKc = Jumlah populasi sapi potong di Kecamatan. Σ PSKb= Jumlah populasi sapi potong di Kabupaten. Σ PTKc= Jumlah populasi ternak di Kecamatan. Σ PTKb= Jumlah populasi ternak di Kabupaten. Kriteria LQ : Apabila LQ > 1 = sektor basis/potensial Apabila LQ = 1 = seimbang/cukup potensial Apabila LQ < 1 = non basis/kurang potensial Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi potensi pengembangan ternak sapi potong di Kecamatan Kaliori, maka data dianalisis dengan menggunakan model regresil linier berganda sesuai petunjuk Gujarati (1997) dan Ghozali (2005), METODE PENELITIAN sebagai berikut : Penelitian dilakukan di Kecamatan Kaliori Y : a + b1x1 + b2x2 + b3x3 + b4x4 + b5x5 + b6x6 + b7x7 + Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Penelitian e, dimana : dilaksanakan pada bulan Pebruari sampai Maret 2007. Y= Pengembangan populasi sapi potong (UT) Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah a = Konstanta metode survei, yaitu penelitian dengan mengambil b = Koefisien regresi sampel dari suatu populasi dengan menggunakan x = Luas tahan (m2) kuesioner sebagai alat pengumpul data (Singarimbun x2 = Ketersediaan pakan hijauan (UT) dan Effendi, 1995). Metode pengambilan sampel desa x3 = Curahan tenaga (HKP) dilakukan dengan cara Stratified Random Sampling, x4 = Modal Operasional (Rp) yaitu dari 23 desa di Kecamatan Kaliori diambil 6 desa, x5 = Perilaku zooteknik usaha (skor) yang mewakili desa dengan populasi ternak sapi potong x6 = Tingkat pendidikan (tahun) tinggi, sedang, rendah. Sampel peternak diambil x7 = Lama betemak (tahun) Factors Affecting Development Potency of Household Livestock (Mukson et al.)
307
e = Simpangan stokastik Uji F digunakan untuk menguji model regresi linier berganda faktor-faktor yang mempengaruhi potensi pengembangan ternak sapi potong rakyat di Kecamatan Kaliori dengan taraf signifikan 5%. Uji t digunakan untuk mengetahui secara parsial pengaruh variabel independen (faktor sosial, ekonomi dan teknis) terhadap variabel dependen (pengembangan sapi potong). HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Kaliori merupakan salah satu kecamatan dari 14 kecamatan di Kabupaten Rembang. Secara geografis, letak Kecamatan Kaliori berada pada ketinggian 7 – 65 Km di atas permukaan laut. Curah hujan rata-rata sebanyak 32,88 mm/tahun, dan hari hujan sebanyak 46 hari/tahun. Luas lahan sekitar 6.149,970 Ha, terdiri dari lahan sawah 3.587,88 Ha (58,33%) dan lahan kering seluas 2.562,07 Ha (41,67%). Lahan sawah sebagian besar (40,48%) beririgasi teknis dengan ditanami padi, jagung, kacang tanah, kacang hijau dan kedelai. Potensi tanaman bahan pangan yang cukup banyak dan beragam dapat diandalkan untuk menghasilkan limbah pertanian untuk mendukung kebutuhan pakan ternak terutama pada musim kemarau. Jumlah penduduk Kecamatan Kaliori pada tahun 2006 sebanyak 38.322 jiwa, terdiri dari laki-laki 19.016 jiwa (49,62%) dan perempuan 19.306 jiwa (50,38%), dengan usia produktif (umur 10 – 59 tahun) sebanyak 80,12%. Kondisi ini menunjukkan bahwa penduduk
Kecamatan kaliori sangat potensial untuk mendukung pengembangan peternakan. Hal ini sesuai pendapat Mubyarto (1993) bahwa usia produktif (10-59 tahun) merupakan tenaga kerja produktif dan sangat berperan dalam kegiatan usaha pertanian. Tingkat pendidikan sebagian besar masih rendah yaitu tidak tamat SD dan tamat SD sebanyak (54,71%), tamat SMP (19,02%) dan tamat SMA (16,82%) sisanya, PT (0,53%) dan belum sekolah dan tidak pernah sekolah (8,92%). Tingkat pendidikan yang rendah dapat mempengaruhi terhadap pola pikir dan wawasan usaha ternak. Mata pencaharian yang banyak dilakukan adalah sebagai petani dan juga sebagai peternak sebanyak (63,78%), dan yang lain adalah nelayan (2,02%), pedagang (5,25%), PNS dan TNI Polri (0,88%), buruh (4,38%) dan sisanya lain-lain (23,72%). Keadaan peternakan di Kecamatan Kaliori menunjukkan bahwa populasi ternak sapi potong sebanyak 8.216 UT, kuda 88 UT, kambing sebanyak 948,57 UT, domba 353 UT, ayam kampung 277,65 UT, ayam pedaging 500 UT dan itik 5,39 UT. Jenis dan jumlah populasi ternak secara lengkap di Kecamatan Kaliori dapat dilihat pada Tabel 1. Gambaran Identitas Responden Peternak Sapi Potong Keadaan umum responden peternak sapi potong di Kecamatan Kaliori menunjukkan bahwa berusia 25–29 th (8,89%), usia 30-50 th (52,22%), dan usia 51-69 th (38,89%). Pekerjaan yang dilakukan responden sebagian besar sebagai petani (76,67%), nelayan/petani tambak (17,78%), dan lain-lain seperti pedagang, pensiunan, buruh sebanyak (5,55%).
Tabel 1. Populasi Ternak Di Kecamatan Kaliori Tahun 2006. Jenis Ternak Sapi potong Kuda Kambing Domba Ayam kampung Ayam pedaging Itik Total
Populasi Ternak ----------(UT)-----------8.216 88 948,57 353 277,65 500 5,39 10.388,61
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Rembang (2006).
308
Persentase -------------(%)------------79,08 0,84 9,13 3,39 2,67 4,81 0,04 100,00
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 33 [4] December 2008
desa tersebut merupakan basis pengembangan dan sumber ekonomi wilayah. Peranan peternakan khususnya ternak sapi potong dapat menjadi sumber penghasilan keluarga petani dan pengembangan ekonomi wilayah. Hasil penelitian Mukson, et al (2005) dengan mengambil sampel 17 Kabupaten di Jawa Tengah menunjukkan nilai rata-rata LQ berdasarkan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) adalah sebesar 1,33. Kondisi ini berarti Propinsi Jawa Tengah merupakan daerah yang potensial untuk pengembangan peternakan. Hasil penelitian Mubyarto (1989) menunjukkan bahwa sumbangan pendapatan petani miskin dapat mencapai 34%, petani sedang 22% dan petani kaya 14%. Hal lain yang penting dalam pengembangan sapi potong adalah peningkatan produksi dan produktivitas ternak serta nilai tambah komoditi peternakan. Di samping itu ternak sapi potong merupakan sumber penyedia tenaga kerja ternak untuk kegiatan pertanian, penghasil pupuk kandang Potensi Pengembangan Sapi Potong di Lokasi yang dibutuhkan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan (“sustainable agricultural”). Penelitian Menurut Ichsan (1993) ada 3 hal penting dalam Gambaran potensi pengembangan sapi potong di Kecamatan Kaliori dapat dilihat dari Nilai LQ. Hasil konsep pertanian berkelanjutan yaitu : 1) penelitian menunjukkan bahwa nilai LQ berdasarkan menguntungkan petani dalam jangka panjang, 2) indikator jumlah populasi ternak sapi potong di mencegah terjadinya kerusakan lingkungan, menjaga Kecamatan Kaliori adalah sebesar l,l2. Hal ini konservasi tanah, air dan sumber alam lain dan 3) menunjukkan bahwa secara relatif populasi ternak sapi menjamin suplai bahan pangan yang cukup. Dengan potong di Kecamtan Kaliori lebih dominan atau melihat sumber kehidupan masyarakat di Kecamatan merupakan sektor basis (LQ>1) dan mempunyai Kaliori yang masih dominan di sektor pertanian, maka potensi pengembangan. Besarnya nilai LQ pada potensi ternak yang ada perlu terus dikembangkan. masing-masing desa penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa Desa Meteseh, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Potensi Sendang Agung, Maguan dan Dresi Wetan secara Pengembangan Sapi Potong di Lokasi Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel relatif merupakan sektor basis. Kondisi ini menunjukkan bahwa ternak sapi potong pada ke 4 independen yang terdiri dari luas lahan (x1),
Tingkat pendidikan responden sebagian besar tamat SD sebanyak (76,67%), Tidak lulus SD/tidak sekolah (12,23%), SMP (10,0%) dan SMA (1,10%). Jumlah anggota keluarga 1-2 orang (2,52%), 3-4 orang (72,22%) dan 5-6 orang (25,56%). Pengalaman beternak 1-5 tahun (2,52%), 6-10 tahun (28,89%) dan diatas 10 tahun (2,22%). Jumlah kepemilikan ternak sapi 1-2 ekor (11,11%), 3-5 ekor (64,44%) dan diatas 5 ekor (24,25%). Luas lahan rata-rata yang dimiliki untuk usaha ternak sapi potong 69,68 m2. Berdasarkan kondisi umum identitas responden menunjukkan bahwa umur sebagian besar produktif, SDM terutama pendidikan masih rendah, Jumlah anggota keluarga terutama sebagai pengelola usaha ternak masih banyak mengandalkan anggota keluarga. Kepemilikan ternak masih relatif kecil, yaitu sebanyak 3 – 5 ekor. Luas lahan masih cukup untuk pengembangan usaha ternak sapi potong.
Tabel 2. Potensi Sektor Basis Ternak Sapi Potong Berdasarkan Nilai LQ pada Masing-masing Desa Penelitian Desa Meteseh Sendang Agung Maguan Dresi Wetan Tasikharjo Banyudono Kecamatan Kaliori
LQ 1,206 1,201 1,230 1,226 0,875 1,000 1,12
Factors Affecting Development Potency of Household Livestock (Mukson et al.)
Keterangan Sektor Basis Sektor Basis Sektor Basis Sektor Basis Non Basis Seimbang Sektor Basis
309
ketersediaan pakan (x2), curahan tenaga kerja (x3), Tabel 3. modal operasional (x4), perilaku zooteknis (x5), tingkat 1. Variabel ketersediaan pakan (x2) : dihasilkan koefisien regresi sebesar = 0,139; dan positif, pendidikan (x6) dan lama beternak (x7) secara artinya dengan penambahan jumlah ketersediaan bersama-sama berpengaruh sangat nyata (P<0,01) pakan sebesar 1 unit (UP=unit pakan) akan terhadap pengembangan ternak sapi potong. Hasil ini Tabel 3. Uji Statistik Faktor-faktor yang Mempengaruhi Potensi Pengembangan Ternak Sapi Potong di Kecamatan Kaliori Variabel Konstanta Luas lahan (x1) Ketersediaan Pakan Hijauan (x2) Curahan Tenaga Kerja (x3) Modal (x4) Perilaku Zooteknik Usaha (x5) Tingkat Pendidikan (x6) Lama Beternak (x7) F hitung R2
Koefisien Regresi -1,746 0,008 0,139 0,023 0,011 0,018 0,025 0,022 141,331 0,923
t- hitung -1,093 2,009 2,479 2,513 6,010 0,856 0,786 0,644
Signifikansi 0,277 ns) 0,048 *) 0,015 *) 0,015 *) 0,000**) 0,394 ns) 0,434 ns) 0,552 ns) 0,000 **)
Keterangan : *) nyata pada taraf 5%; **) sangat nyata pada taraf 1%.
mempengaruhi pengembangan populasi sapi mengindikasikan bahwa untuk pengembangan ternak potong sebesar 0,139 UT. Berdasarkan sapi potong perlu diperhatikan variabel-variabel ketersediaan pakan yang dihasilkan dari lahan tersebut. Hasil penelitian Sumarjono et al. (2008), di pertanian berupa limbah masih belum mencukupi, Kabupaten Blora menunjukkan bahwa penerapan sehingga upaya pengembangan pakan baik lewat kebijakan pengembangan sapi potong dapat dilakukan pengolahan jerami, dll perlu dilakukan terutama melalui jalur peningkatan potensi lahan, potensi untuk mengantsipasi kekurangan pakan di musim sumberdaya manusia, pakan dalam sistem pertanian, kemarau. Disamping itu juga perlu dilakukan pola pakan dan tanpa pakan dari luar sistem pertanian. penanaman hijaun pakan untuk mendukung Secara parsial variabel yang berpengaruh adalah : ketersediaan pakan. luas lahan, ketersediaan pakan, tenaga kerja dan modal. Hasil ini menunjukkan bahwa pada petani 2. Variabel tenaga kerja (x3) : dihasilkan koefisien regresi sebesar = 0,023; dan positif, artinya dengan peternak sapi potong masalah pengembangan ternak penambahan 1 unit curahan tenaga kerja dapat perlu dipikirkan lahan usaha, ketersediaan pakan, mempengaruhi pengembangan populasi sapi modal dan tenaga kerja. Kondisi ini betul betul perlu potong sebesar 0,023 UT. Tenaga kerja pada dipikirkan agar pengembagan yang diharapkan usaha peternakan sapi potong pada umumnya khususnya dalam menopang peningkatan produksi dan masih menggunakan tenaga kerja keluarga dan produktivitas ternak dapat tercapai. Hasil penelitian banyak digunakan untuk kegiatan mencari pakan, Fariani (2008), menunjukkan bahwa pengembangan dan biasanya dilakukan bersama-sama dengan ternak ruminansia harus didukung ketersediaan pakan kegiatan pertanian. dan tenaga kerja. Penelitian Mukson et. al. (2005) menunjukkan bahwa pengembangan ternak 3. Variabel modal (x4) : dihasilkan koefisien regresi sebesar = 0,011; dan positif, artinya dengan ruminansia secara sangat nyata (P<0,01) dipengaruhi penambahan modal operasional sebesar 1 unit akan oleh variabel-variabel independen yaitu PDRB, luas dapat memperbesar pengembangan ternak sapi lahan sawah, luas lahan kering, jumlah penduduk, potong sebesar 0,011 UT. Modal sangat perlu untuk jumlah kelompok tani ternak dan ketersediaan pakan. pengembangan usaha. Pada petani ternak pada Sedangkan secara parsial dipengaruhi oleh luas lahan umumnya modal masih menjadi kendala utama. kering (P<0,05) dan ketersediaan pakan (P<0,01). Oleh karena itu paket program bantuan untuk Secara uji statistik hasil penelitian dapat dilihat pada 310
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 33 [4] December 2008
petani perlu terus diberikan, dengan tetap dilakukan pembinaan dan pengawasan yang memadai. 4. Variabel perilaku zooteknis Usaha (x5) : dihasilkan koefisien regrsi sebesar = 0,018; dan positif, artinya dengan peningkatan kemampuan perilaku zooteknik usaha ternak sapi potong sebesar 1 unit, maka pengembangan ternak akan meningkat sebesar 0,018 UT. Perilaku zooteknis secara parsial tidak berpengaruh. Kondisi ini dimungkinkan karena kebiasaan mengusahakan ternak yang masih bersifat tradisional. 5. Variabel tingkat pendidikan (x6) : dihasilkan koefisien regresi sebesar = 0,025; dan positif, artinya dengan penambahan tingkat pendidikan 1 unit, akan mempengaruhi pengembangan ternak sapi potong sebesar 0,025 UT. Secara parsial tingkat pendidikan tidak berpengaruh. Kondisi ini dimungkinkan karena pada umumnya pengaruh pendidikan formal yang ditempuh masih relatif rendah, sehingga perlu adanya tambahan pendidikan yang bersifat informal berupa penyuluhan atau ketrampilan teknis peternakan yang langsung dibutuhkan oleh petani. 6. Variabel lama beternak (x7) : dihasilkan koefisien regresi sebesar = 0,022; dan positif, artinya dengan penambahan 1 unit lama beternak akan mempengaruhi pengembangan ternak sapi potong sebesar 0,022 UT. Variabel lama beternak pengaruhnya tidak nyata, hal ini dimungkinkan karena usaha ternak yang dilakukan hanya bersifat sambilan sehingga dengan berjalannya waktu belum banyak diperoleh peningkatan kegiatan usaha ternak sapi potong. Nilai R2 (koefisien determinasi) dihasilkan sebesar 0,923; artinya sebanyak 92,30% faktor pengembangan ternak sapi potong secara bersama-sama dipengaruhi oleh faktor independen yang terdiri dari luas lahan, ketersediaan pakan, tenaga kerja, modal, perilaku zooteknis, tingkat pendidikan dan lama beternak, sedangkan sisanya sebanyak 7,70% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dianalisis dalam model.
KESIMPULAN Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Kecamatan Kaliori merupakan salah satu wilayah kecamatan di Kabupaten Rembang merupakan
sektor basis ternak sapi potong dan mempunyai potensi pengembangan sebagai sumber ekonomi wilayah. Kajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi potensi pengembangan ternak sapi potong dihasilkan bahwa secara serempak variabel independen (luas lahan, ketersediaan pakan , curahan tenaga kerja, modal, perilaku zooteknik usaha, tingkat pendidikan, dan lama beternak) berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap variabel dependen (pengembangan ternak sapi potong), sedangkan secara parsial variabel luas lahan, ketersediaan pakan hijauan dan curahan tenaga kerja berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap pengembangan populasi sapi potong, modal berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) sedangkan perilaku zooteknik usaha, tingkat pendidikan, dan lama beternak tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap pengembangan ternak sapi potong. Faktor pengembangan ternak sapi potong sebesar 92,30%, dipengaruhi oleh luas lahan, ketersediaan pakan, tenaga kerja, modal, perilaku zooteknis, tingkat pendidikan dan lama beternak sedangkan sisanya sebanyak 7,70% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dianalisis dalam model. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, L. 1999. Ekonomi Pembangunan Edisi Keempat. Bagian Penerbit. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, Yogyakarta. Badan Pusat Statistik Kabupaten Rembang. 2006. Rembang dalam Angka 2006. Badan Pusat Statistik, Rembang. Dinas Peternakan Propinsi Jawa Tengah. 2005. Rencana Strategis 2006 – 2009. Dinas Peternakan Propinsi Jawa Tengah, Tarubudaya – Ungaran, Jawa Tengah. Direktorat Jenderal Peternakan. 2000. Menggali Potensi Ternak Lokal untuk Mencukupi Kebutuhan Protein Hewani. Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Diwyanto, K dan A. Priyanti, 2006. Kondisi, Potensi dan Permasalahan Agribisnis Peternakan Ruminansia dalam Mendukung Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar Nasional 3 Agustus 2006 Tema : Pemberdayaan Masyarakat Peternakan di Bidang Agribisnis untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Penerbit BP UNDIP, Semarang.
Factors Affecting Development Potency of Household Livestock (Mukson et al.)
311
Fariani, A. 2008. Pengembangan Ternak Ruminansia Berdasarkan Ketersediaan Lahan Hijauan dan Tenaga Kerja di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. J. Pengembangan Peternakan Tropis. Fakultas Peternakan UNDIP. Vol. 33 No. 2 : 145 – 157. Ichsan, M. 1993. Model Pengembangan Peternakan Menuju Sistem Pertanian Berkelanjutan. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada dan Direktorat Jenderal Peternakan, Yogyakarta. Kantor Kecamatan Kaliori, 2006. Laporan Potensi Desa Tingkat Kecamatan. Kantor Kecamatan Kaliori, Kaliori. Kuswaryan, S, C. Firmansyah dan A. Fitriani. 2006. Analisis Permintaan Faktor Produksi pada Usaha Ternak Sapi Potong Rakyat dengan Pola Pemeliharaan Intensif. Prosiding Seminar Nasional 3 Agustus 2006 Tema : Pemberdayaan Masyarakat Peternakan di Bidang Agribisnis untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Penerbit BP UNDIP, Semarang. Ghozali, I. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Gujarati, D. 1997. Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga, Jakarta. Hendarto, R.M. 2000. Analisis Potensi Daerah dalam
312
Pembangunan Ekonomi. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang. Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES, Jakarta. Mubyarto. 1993. Peluang Kerja dan Berusaha di Pedesaan. Cetakan ke-2. LP3ES, Jakarta. Mukson, E. Prasetyo, B.M. Setiawan dan H. Setiyawan. 2005. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Peternakan di Jawa Tengah. J. Sosial Ekonomi Peternakan. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Vol 1 (1) 31 – 38. Singarimbun, M dan S. Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Cetakan ke-2. LP3ES, Jakarta. Sumarjono, D., Sumarsono dan Sutiyono. 2008. Penerapan Analisis Jalur untuk Pengembangan Sapi Potong Berbasis Potensi Lahan Usahatani di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. J. Pengembangan Peternakan Tropis. Fakultas Peternakan UNDIP. Vol. 33 No. 3 : 231– 237. Tawaf. R dan S. Kuswaryan. 2006. Kendala Kecukupan Daging 2010. Prosiding Seminar Nasional 3 Agustus 2006 Tema : Pemberdayaan Masyarakat Peternakan di Bidang Agribisnis untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Penerbit BP UNDIP, Semarang.
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 33 [4] December 2008
A G R I N A K . V o l . 01 N o . 1 S e p t e m b e r 2 01 1 : 1 7– 2 4
I S S N : 2 0 8 8- 8 6 43
HIDROLISIS ZAT MAKANAN PAKAN OLEH ENZIM CAIRAN RUMEN SAPI ASAL RUMAH POTONG HEWAN (Hidrolysis of feed nutrient by cow rumen liquid enzymes from slaughterhouse) A. Budiansyaha*, Resmia, Nahrowib, K.G. Wiryawanb, M.T. Suhartonoc dan Y. Widyastutid Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Jambi b Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB, Bogor c Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor d Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong *Alamat Kontak: Jl. Jambi-Ma. Bulian KM 15 Mendalo Darat Jambi 36361 email: [email protected] (Diterima: 20-01-2011, disetujui: 05-06-2011) a
ABSTRACT The objectives of this experiment were to identify enzymes in rumen liquor of local and imported cattle obtained from abattoir and evaluate the application of enzymes from rumen liquor of cattle against several local feedstuffs for broiler. Enzymes were extracted by combination method of filtration, centrifugation, and precipitation with ammonium sulphate. Doses of enzyme were used at level of 0% (without rumen liquor enzyme), 0.5%, 1.0%, 1.5%, 2.0%, 2.5% and 3.0% (v/w). Optimum precipitation of the enzymes from local and imported cattle were reached at the concentration of 60 and 70 % of ammonium sulphate, respectively. Results showed that the enzymes were able to hydrolyze local feedstuffs and optimum level of enzymes for hydrolysis of rice bran, full fat soybean meal and copra meal was 2.5%, for cassava leaf meal and palm kernel meal was 2.0%, and optimum level of enzymes for broiler diet based on corn-soya was 1.0%. It is concluded that rumen liquor of cattle from abattoir contained cellulase, xylanase, mannanase, amylase, phytase and protease and the enzymes were able to hydrolyze local feedstuffs to improved quality of broiler diet composed of local feedstuffs. Keyword: Rumen liquor enzymes, local feedstuffs and broiler chickens PENDAHULUAN
efisiensi penggunaan pakan pada ternak ruminansia lebih tinggi dibanding ternak unggas, terutama penggunaan bahan pakan berserat kasar tinggi. Penambahan enzim cairan rumen pada bahan pakan lokal atau ransum unggas diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan. Kemampuan enzim hasil ekstraksi dari cairan rumen sapi asal RPH dalam mendegradasi pakan perlu dikaji, terutama kemampuannya dalam mendegradasi karbohidrat agar penggunaan optimum enzim pada pakan ternak, terutama pada pakan ternak lokal berkualitas rendah yang mengandung serat kasar tinggi dapat diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi enzim-enzim dalam cairan rumen sapi, baik sapi lokal maupun sapi impor asal rumah potong hewan dan mengkaji kemampuan enzim cairan rumen sapi dalam menghidrolisis bahan pakan lokal dari ransum unggas.
Produksi pakan ternak di Indonesia tahun 2008 mencapai 8,156 juta ton dari kapasitas terpasang 12 juta ton. Sekitar 83% dari jumlah ini diprioritaskan guna pemenuhan kebutuhan ternak unggas (Ditjennak 2010). Sekitar 50 sampai 60% bahan baku pakan ternak seperti bungkil kedelai, tepung ikan, pollard, corn gluten meal, meat and bone meal, dan poultry meat meal masih harus diimpor. Penggunaan pakan lokal sebagai bahan baku pakan sering terkendala oleh kualitas pakan yang rendah. Kandungan serat kasar yang tinggi dan adanya senyawa anti nutrisi tertentu menyebabkan kecernaan dan ketersediaan zat-zat makanan menjadi rendah. Salah satu usaha untuk mengatasinya adalah penggunaan enzim pencerna serat. Sumber enzim yang murah dan dapat dimanfaatkan dengan mudah adalah enzim dari cairan rumen sapi asal rumah potong hewan (RPH). Berdasarkan laporan Lee et al. (2002) diketahui bahwa cairan rumen mengandung enzim selulase, amilase, protease, xilanase, mannanase, dan fitase. Enzim-enzim ini dalam rumen menyebabkan efektivitas pencernaan dan
MATERI DAN METODE PENELITIAN Ekstraksi dan Indentifikasi enzim Persiapan Enzim Cairan Rumen Isi rumen sapi diambil dari RPH Bogor. Isi rumen berasal dari sapi-sapi lokal yang diberi 17
Agrinak 2011 Vol1(1): 17 - 24
makan lebih banyak hijauan dan sapi-sapi impor yang mendapat lebih banyak konsentrat. Sapi lokal adalah sapi-sapi peranakan ongole (PO) yang didatangkan oleh pedagang sapi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, sedangkan sapi impor adalah sapi-sapi asal Australia (Australian Commercial Cross/ACC) yang dipelihara dan digemukkan oleh perusahaan penggemukan di Kecamatan Rumpin, Bogor. Masing-masing dilakukan dalam dua kali ulangan dan setiap ulangan diambil dari sampel sapi gabungan sebanyak 3-5 ekor.
Cairan rumen sapi diambil dari isi rumen sapi dengan cara filtrasi (penyaringan dengan kain katun) dibawah kondisi dingin. Cairan rumen hasil filtrasi disentrifuse dengan kecepatan 10.000 x g selama 10 menit pada suhu 4oC untuk memisahkan supernatan dari sel-sel dan isi sel mikroba (Lee et al. 2000). Supernatan kemudian diambil sebagai sumber enzim kasar. Alur kerja ekstraksi dan identifikasi enzim cairan rumen disajikan pada Gambar 1.
RPH Diambil 2 kali ulangan 3-5 ekor sapi lokal/ulangan 3-5 ekor sapi impor/ulangan
Cairan rumen Sapi Disaring 4 lapis kain katun Endapan
Sentrifugasi dengan kecepatan 10.000g 10 menit pada Suhu 4 oC
Supernatan
Di tambah Amonium sulfat dengan tingkat kejenuhan : (0, 40, 50, 60, 70 dan 80) % Kadar protein (Bradford)
Enzim Selulase (FPase) Enzim xilanase Enzim mannanase Enzim amilase Enzim Protease Enzim Fitase
Sentrifuse 10.000g 15 menit
Identifikasi enzim
Endapan + buffer fosfat pH 7,0
Ukur Aktivitas Enzim
Gambar 1. Alur kerja ekstraksi dan identifikasi enzim dari cairan rumen sapi asal RPH pH 7,0) tanpa dilakukan pemurnian. Enzim dalam buffer kemudian disimpan pada lemari pendingin untuk diukur aktivitasnya. Hasil pengujian terbaik antara sapi lokal dan sapi impor digunakan untuk pengujian hidrolisis zat makanan pakan.
Penentuan Persentase Pemakaian Amonium Sulfat Supernatan yang terdiri atas enzim-enzim selanjutnya direaksikan dengan amonium sulfat pada beberapa level konsentrasi dan diaduk menggunakan magnetik stirer selama kurang lebih 1 jam dan didiamkan semalam pada suhu 4oC. Tingkat kejenuhan amonium sulfat yang dicobakan adalah 40, 50, 60, 70 dan 80 % (w/v). Supernatan kembali disentrifuse dengan kecepatan 10.000g selama 15 menit pada suhu 4oC. Endapan (enzim) yang diperoleh diambil kemudian dilarutkan dalam buffer fosfat pH 7,0 pada konsentrasi 0,05 M dengan perbandingan 10:1 (endapan dari setiap 100 ml supernatan cairan rumen dilarutkan dalam 10 ml 0,05 M buffer fosfat
Uji aktivitas enzim Enzim-enzim pada cairan rumen yang diuji aktivitasnya adalah selulase (Fpase), xilanase, amilase, mannanase, protease dan fitase. Aktivitas selulase (Fpase), xilanase, dan amilase diukur mengikuti metode Moharrery dan Das (2002), aktivitas mannanase diukur dengan metode Hossain et al. (1996), aktivitas protease diukur dengan metode Bergmeyer et al. (1983), sedangkan pengukuran aktivitas enzim fitase 18
A. BUDIANSYAH et al. Hidrolisis Zat Makanan Pakan oleh Enzim Cairan Rumen Sapi
dilakukan mengikuti metode Greiner et al. (1997). Substrat yang digunakan dalam pengukuran aktivitas enzim masing-masing adalah kertas saring (filter paper) Whatman No. 1 untuk substrat selulase (Fpase), oats spelt xilan untuk substrat xilanase, pati untuk substrat amilase dan locus bean gum untuk substrat mananase, casein hammerstein untuk protease dan asam fitat untuk fitase. Aktivitas enzim dinyatakan dalam µg produk yang dapat dihasilkan oleh 1 mL enzim cairan rumen per menit. Sebagai standard digunakan larutan glukosa untuk selulase, xilosa untuk xilanase, mannosa untuk mannanase, maltosa untuk amilase, P2O5 untuk fitase dan asam amino tirosin untuk protease. Penentuan kadar protein enzim cairan rumen dilakukan dengan metode Bradford (1976). Data aktivitas enzim yang diperoleh dilakukan analisis statitistik secara deskriftif.
merupakan karbohidrat yang terhidrolisis selama inkubasi dengan taraf enzim cairan rumen yang ditambahkan. Pengukuran setiap perlakuan dilakukan 3 kali dan data yang diperoleh dilakukan analisis statitistik secara deskriftif. Tabel 1. Komposisi bahan pakan ransum penelitian periode starter dan periode finisher (%) Periode Periode Bahan pakan starter finisher Jagung kuning 31,5 40 Dedak halus 5 6 Kacang kedelai 27 22 Tepung ikan 10 9 Bungkil kelapa sawit 5 5 Bungkil kelapa 6 6 Tepung daun ubi kayu 11 7,5 Minyak sayur 3 3 DCP 0,4 0,4 CaCO3 0,5 0,5 Premix 0,4 0,4 DL-Metionin 0,1 0,1 L-Lisin 0,1 0,1 Jumlah 100 100
Pengujian Hidrolisis Zat Makanan Pakan Metode Penelitian Pengujian hidrolisis pakan dilakukan terhadap beberapa bahan pakan lokal (dedak padi, bungkil kelapa, bungkil kelapa sawit, daun ubi kayu dan kacang kedelai) dan ransum ayam broiler periode starter dan periode finisher (Tabel 1) dengan mengukur hidrolisis karbohidrat oleh enzim cairan rumen melalui uji in vitro. Pengujian dilakukan mengikuti metode Boisen dan Egum (1991) dan Aslamyah (2006). Sebanyak 25g bahan pakan ditimbang dan ditempatkan dalam wadah plastik bertutup. Pakan contoh ini ditambah enzim cairan rumen dan diaduk merata. Dosis enzim yang digunakan adalah 0% (tanpa enzim cairan rumen), 0,5%, 1,0%, 1,5%, 2,0%, 2,5% dan 3,0% (v/w). Volume larutan untuk setiap perlakuan enzim disamakan dengan dengan penambahan aquades sebelum diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang. Pengukuran hidrolisis karbohidrat pakan. Pengukuran hidrolisis karbohidrat pakan oleh enzim dilakukan dengan mengukur total gula terlarut dengan metode Dubois et al. (1956) setelah dilakukan inkubasi. Sebanyak 1g contoh ransum dan bahan-bahan pakan lokal yang telah diinkubasi dengan enzim cairan rumen ditimbang dan dimasukkan kedalam tabung reaksi. Ke dalam tabung kemudian ditambahkan aquades sebanyak 5 mL dan kemudian di vortek selama kurang lebih 1 menit. Tabung kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit, supernatan yang dihasilkan digunakan untuk mengukur kadar total gula terlarut pakan atau ransum mengikuti metode Dubois et al. (1956). Selisih antara kadar total gula terlarut sebelum dan sesudah inkubasi
Tabel 2. Komposisi zat makanan ransum penelitian periode starter dan periode finisher (berdasarkan bahan kering) Periode Periode Zat makanan starter finisher 4319,2 3619,1 Gross energi (Kkal / kg)1) 2623,8 Energi Metabolis (Kkal/ kg)2) 3131,4 21,50 19,50 Protein kasar (%)3) 12,00 11,50 Lemak (%)3) 7,55 7,22 Serat kasar (%)3) 6,47 6,86 Abu (%)3) 4,49 3,54 Acid detergen fiber (ADF)1) 1,91 1,72 Selulosa1) Ket: 1 Hasil analisis di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fapet IPB; 2 Hasil perhitung ME = 0,725GE; 3 Hasil analisis Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas Enzim dan Persentase Amonium Sulfat dalam Pengendapan Enzim Hasil pengendapan enzim cairan rumen dengan amonium sulfat (teknis) disajikan pada Tabel 3. Ekstraksi enzim-enzim cairan rumen dilakukan dengan mengendapkan enzim-enzim dengan menambahkan sedikit demi sedikit garam 19
Agrinak 2011 Vol1(1): 17 - 24
netral konsentrasi tinggi yaitu amonium sulfat pada cairan rumen. Penggunaan amonium sulfat dalam pengendapan enzim dilakukan karena
amonium sulfat mempunyai kelarutan yang tinggi, relatif murah, tidak beracun dan dapat menstabilkan enzim (Chaplin dan Bucke 1990).
Tabel 3. Aktivitas enzim cairan rumen sapi sebelum dan sesudah pengendapan dengan amonium sulfat Enzim
Pengendapan optimum (%)
Aktivitas Enzim Cairan Rumen1) Sebelum Sesudah
Aktivitas akhir menjadi (kali lipat)
Sapi Lokal Selulase 60 8,8±2,2 38,5±17,0 4,40 kali Xilanase 60 76,4±2,8 182,3±59,4 2,38 kali Mannanase 70 657,0±214,9 1 054,8±494,7 1,61 kali Amilase 60 543,6±14,4 902,7±154,0 1,67 kali Fitase 60 48,4±25,0 143,7±56,8 2,97 kali Protease 80 3,2±1,3 7,3±3,5 2,28 kali Sapi Impor Selulase 70 7,7±2,5 16,9±8,8 2,19 kali Xilanase 60 50,9±25,8 186,2±88,0 3,65 kali Mannanase 50 439,2±262,9 1 110,0±506,7 2,53 kali Amilase 50 429,3±301,6 1 118,7±492,6 2,61 kali Fitase 70 29,0±13,8 128,4±28,8 4,43 kali Protease 80 4,6±2,4 12,7±8,0 2,79 kali Ket: 1)Aktivitas enzim selulase, xilanase, mannanase dan amilase dinyatakan dalam produksi µg gula pereduksi/mL/menit, sedangkan fitase adalah produksi µg P2O5/mL/menit dan protease adalah produksi µg asam amino tirosin/mL/menit. Pemilihan konsentrasi optimum amonium sulfat dilakukan berdasarkan pengukuran aktivitas enzim tertinggi. Pengendapan optimum cairan rumen sapi (CRS) lokal paling banyak terjadi pada konsentrasi garam amonium sulfat 60%, yaitu pada enzim selulase, xilanase, amilase dan fitase, sedangkan pengendapan optimum CRS impor paling banyak terjadi pada konsentrasi garam amonium sulfat 50% (mananase dan amilase), 60% (xilanase), 70% (selulase dan fitase), dan 80% (protease) (Tabel 3). Aktivitas enzim setelah perlakuan pengendapan mengalami peningkatan. Pada enzim-enzim CRS lokal peningkatan karbohidrase tertinggi terjadi pada selulase dengan aktivitas akhir sebesar 4,40 kali dibanding aktivitas enzim sebelum pengendapan, diikuti berturut-turut fitase 2,97 kali, xilanase 2,38 kali, protease 2,28 kali, amilase 1,66 kali dan mannanase 1,61 kali; sedangkan pada enzim-enzim CRS impor peningkatan aktivitas enzim tertinggi adalah pada fitase dengan aktivitas akhir sebesar 4,43 kali dibanding aktivitas enzim sebelum pengendapan, diikuti berturut-turut xilanase yaitu 3,65 kali, protease 2,79 kali, amilase 2,61 kali, mannanase
2,53 kali, dan selulase 2,19 kali dibandingkan aktivitas enzim sebelum perlakuan pengandapan (Tabel 3). Gambar 2 menunjukkan aktivitas enzimenzim cairan rumen pada berbagai konsentrasi garam amonium sulfat. Morgavi et al. (2000) melaporkan bahwa taraf optimum amonium-sulfat dalam pengendapan enzim CRS adalah 80% untuk selulase dan xilanase, baik sapi yang diberi makan ransum rendah serat maupun tinggi serat. Namun demikian, Pantaya (2003) mendapatkan aktivitas optimum xilanase CRS pada pengendapan dengan amonium sulfat adalah pada tingkat kejenuhan 70% dari sapi-sapi impor asal Australia (Australian Commercial Cross) yang diberi makan 70% konsentrat. Perbandingan komposisi hijauan dan konsentrat yang diberikan dalam pakan sapi terlihat memberikan pengaruh pada tingkat kejenuhan optimum enzim CRS terhadap garam amonium sulfat. Sapi-sapi lokal umumnya diberi makan lebih banyak hijauan yang mengandung serat kasar tinggi, sedangkan sapi-sapi impor diberi makan lebih banyak konsentrat sebagai sumber karbohidrat mudah tersedia.
20
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
200 Aktivitas (ug xilosa/mL/menit)
Aktivitas (ug glukosa/mL/menit)
A. BUDIANSYAH et al. Hidrolisis Zat Makanan Pakan oleh Enzim Cairan Rumen Sapi
150 100 50 0
0
20 40 60 80 Taraf amonium sulfat (%)
100
0
20 40 60 80 Taraf amonium sulfat (%)
(b)
1200
1200
1000
1000
Aktivitas (ug maltosa/ml/menit)
Aktivitas (ug mannosa (ml/menit)
(a)
800 600 400 200 0
800 600 400 200 0
0
20 40 60 80 Taraf amonium sulfat (%)
100
0
20 40 60 80 Taraf amonium sulfat (%)
(c) 14,0
140
12,0
120 100 80 60 40 20 0 0
20
40
100
(d)
160 Aktivitas (ug asam amino tirosin/ml/menit)
Aktivitas (ug P2O5/ml/menit)
100
60
80
10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0 0
100
20
40
60
80
100
Taraf amonium sulfat (%)
Taraf amonium sulfat (%)
(e) (f) Gambar 2. Aktivitas enzim-enzim cairan rumen sapi lokal (▲) dan sapi impor (■) pada pengendapan dengan berbagai taraf amonium sulfat : (a) selulase, (b) xilanase, (c) mannanase, (d) amilase, (e) fitase, dan (f) protease Pengendapan dengan amonium sulfat didasarkan pada persamaan sifat kepolaran dari amonium sulfat dan air. Penambahan garam amonium sulfat ke dalam larutan protein akan merusak mantel dan menarik molekul air dari sekitar permukaan molekul protein, akibatnya protein tidak lagi terlindungi molekul air melainkan beragregasi dengan sesamanya dan kemudian mengendap (Scope 1987). Dengan demikian semakin banyak jumlah protein di dalam larutan akan semakin banyak garam amonium sulfat yang dibutuhkan untuk menarik molekul air dan mengendapkan protein. Hasil pengukuran
terhadap jumlah rendeman menunjukkan CRS impor lebih tinggi yaitu 13,5 mL dibandingkan dengan CRS lokal yaitu 13,2 mL. Demikian juga kandungan protein CRS impor didapatkan lebih tinggi yaitu 0,3427 mg/mL dibanding kandungan protein CRS lokal yaitu sebesar 0,2651 mg/mL. Hal ini diduga disebabkan kecepatan pembentukan protein enzim pada CRS impor lebih tinggi dari CRS lokal. Selain itu protein pakan yang terlarut dalam CRS impor lebih tinggi dari CRS lokal. Pakan konsentrat lebih mudah terdegradasi. Akibatnya protein pakan yang terlarut lebih banyak, pembentukan protein mikroba lebih cepat dan 21
Agrinak 2011 Vol1(1): 17 - 24
jumlah protein mikroba lebih banyak di dalam cairan rumennya, sehingga protein enzim yang dihasilkan juga lebih banyak. Sebaliknya hijauan dan makanan kasar lainnya, lebih sulit terdegradasi sehingga protein pakan yang terlarut lebih sedikit, pembentukan protein mikroba akan lebih lambat dan jumlah protein mikroba lebih sedikit di dalam cairan rumennya, sehingga protein enzim yang dihasilkan juga lebih sedikit. Oleh karena itu kandungan protein pada CRS impor lebih tinggi dan jumlah garam amonium sulfat yang dibutuhkan dalam pengendapan lebih banyak dibandingkan dengan CRS lokal. Lee et al. (2002) melaporkan bahwa cairan rumen sapi yang diberi pakan ransum berbasis hay alfalfa mengandung selulase sebesar 362,7±12,8 IU/L, xilanase sebesar 528,6±29,03 IU/L, amilase sebesar 439,0±16,53 IU/L, dan protease sebesar 84,8±2,52 IU/L. Aktivitas enzim cairan rumen sapi asal RPH yang dihasilkan pada penelitian ini lebih rendah dari aktivitas enzim cairan rumen sapi yang dilaporkan oleh Lee et al. (2002). Hal ini disebabkan sapi yang akan dipotong umumnya dipuasakan sehingga jumlah dan kualitas enzim yang dihasilkan akan berbeda (lebih rendah) dibandingkan dengan sapi-sapi yang tidak akan dipotong. Aktivitas enzim selulase cairan rumen sapi lokal adalah sebesar (38,5±17,0 µg gula pereduksi/ mL/menit) terlihat lebih tinggi dari aktivitas enzim selulase cairan rumen sapi impor (16,9±8,8 µg gula pereduksi/mL/menit) (Tabel 3). Enzim tersebut diperlukan untuk menghdrolisis selulosa yang banyak terdapat pada bahan pakan lokal berkualitas rendah yang tinggi serat kasar. Enzimenzim cairan rumen yang lain kecuali fitase (xilanase, mannanase, amilase dan protease) terjadi sebaliknya, pada sapi impor lebih tinggi dibanding pada sapi lokal, enzim tersebut diperlukan untuk menghidrolisis substrat yang banyak terdapat pada bahan pakan biji-bijian atau konsentrat. Oleh karena itu penelitian tahap berikutnya dalam pengujian hidrolisis pakan maka enzim yang digunakan adalah enzim cairan rumen sapi yang berasal dari sapi lokal dan pengendapan dengan garam amonium sulfat dilakukan pada konsentrasi 60 %.
Total gula terlarut (mg/g pakan)
bungkil kelapa, bungkil inti sawit, dedak halus, sedangkan bahan pakan yang paling sedikit kandungan total gula terlarutnya adalah daun ubi kayu (Gambar 3). Walaupun belum dilakukan penambahan enzim cairan rumen kandungan total gula terlarut kacang kedelai sudah dalam keadaan tinggi, oleh karena itu bahan pakan kacang kedelai selain sebagai sumber protein juga sebagai sumber energi. Choct (1997) mengemukakan bahwa kacang kedelai mengandung Non-Starch Polysaccharide (NSP) atau karbohidrat bukan pati sebesar 19,2% dan sebanyak 16,5% adalah bagian yang dapat larut dalam air, sedangkan NSP dedak padi sebesar 21,3% dan bagian yang dapat larut dalam air hanya sebesar 0,5%. Pada bahan pakan bungkil kelapa 45-60% NSP didominasi oleh mannan (galaktomannan dan mannan) dan sekitar 30% larut dalam air hangat. 100 80 60 40 20 0 Daun ubi Dedak halus kayu
Kacang kedele
Bungkil Kelapa
Bungkil inti sawit
Bahan pakan
Total gula terlarut (mg/g ransum)
Gambar 3. Total gula terlarut beberapa bahan pakan lokal yang diinkubasi dengan enzim cairan rumen pada taraf 0% (■), 0,5% (■), 1,0% (□), 1,5% (■), 2,0% (■), 2,5% (■), dan 3,0% (■) 60 50 40 30 20 10 0 Ransum starter
Ransum finisher
Ransum ayam broiler
Hidrolisis Zat Makanan Pakan oleh Enzim Cairan Rumen Hasil pengujian in vitro pengaruh taraf enzim cairan rumen terhadap kadar total gula terlarut pada beberapa bahan pakan lokal, ransum starter dan finisher ditunjukkan pada Gambar 3 dan 4. Bahan pakan yang mengandung total gula terlarut paling banyak adalah kacang kedelai, diikuti
Gambar 4. Total gula terlarut ransum starter dan finisher yang diinkubasi dengan enzim cairan rumen pada taraf 0% (■), 0,5% (■), 1,0% (□), 1,5% (■), dan 2,0% (■) NSP merupakan fraksi karbohidrat, dalam analisis proksimat termasuk dalam kelompok serat kasar yang sulit dicerna oleh enzim saluran 22
A. BUDIANSYAH et al. Hidrolisis Zat Makanan Pakan oleh Enzim Cairan Rumen Sapi
pencernaan ternak unggas. NSP tersusun dari selulosa dan hemiselulosa yang merupakan penyusun dinding sel yang tingkat kelarutannya rendah (Broz dan Ward 2007). Hemiselulosa terdiri dari campuran arabinoxilan yang terikat pada βglukan, mannan, galaktan, xiloglukan dan fruktan (Khattak et al. 2006). NSP juga terdiri dari polisakharida pektat yang sebagian larut dalam air, terdiri dari asam poligalakturonat, arabinan, galaktan dan arabinogalaktan (Khattak et al. 2006). Pengaruh taraf enzim cairan rumen terhadap kadar total gula terlarut pada beberapa bahan
pakan, ransum starter dan finisher menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Pada beberapa bahan pakan, yaitu pada daun ubi kayu dan bungkil inti sawit kadar total gula terlarut yang tertinggi diperoleh pada taraf enzim cairan rumen 2,0 persen dengan peningkatan sebesar 55,97% dan 6,15%, sedangkan pada dedak halus, kacang kedelai dan bungkil kelapa kadar total gula terlarut yang tertinggi diperoleh pada taraf enzim cairan rumen 2,5 persen dengan peningkatan masing-masing sebesar 24,54%, 26,15% dan 26,81% (Tabel 4).
Tabel 4. Peningkatan kadar total gula terlarut pada ransum starter, finisher dan beberapa bahan pakan lokal yang diinkubasi dengan enzim cairan rumen Taraf enzim 0,5% 1,0% 1,5% 2,0% 2,5% 3,0%
Ransum starter 14,56±2,45 22,06±4,11 16,59±6,32 13,48±10,27
Peningkatan total gula terlarut setelah inkubasi dengan enzim cairan rumen(%) Ransum Bungkil inti Daun ubi kayu Dedak halus Kacang kedelai Bungkil Kelapa finisher sawit 3,56±10,93 48,45±19,12 9,14±9,90 12,30±5,39 17,28±7,28 3,90±4,33 15,30±6,04 50,38±22,89 12,67±7,71 14,42±12,41 9,35±12,67 4,97±0,86 10,80±10,69 54,70±10,03 11,75±5,63 11,29±10,64 12,73±22,02 3,80±2,23 14,22±11,88 55,97±17,92 17,77±6,97 23,93±8,99 16,71±15,01 6,15±3,43 45,34±6,75 24,54±8,67 26,15±6,72 26,81±12,54 4,17±9,89 40,03±15,28 10,67±9,98 13,09±15,09 13,09±21,44 2,86±3,51
Pada ransum starter dan finisher kadar total gula terlarut tertinggi diperoleh pada taraf enzim 1,0 % dengan peningkatan masing-masing sebesar 22,06% dan 15,30% (Tabel 4). Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa pakan yang berserat tinggi membutuhkan enzim cairan rumen yang lebih banyak untuk dapat didegradasi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa bahan pakan yang sulit untuk didegradasi oleh enzim cairan rumen adalah bungkil inti sawit. Hal ini terlihat dari presentase peningkatan kadar total gula terlarut yang rendah (<7%) dibandingkan dengan bahan pakan lain. Bahan pakan yang paling mudah didegradasi oleh enzim cairan rumen adalah daun ubi kayu dengan peningkatan kadar total gula terlarut tertinggi (>40%) dibanding bahan pakan lain. Tingginya peningkatan kadar total gula terlarut pada daun ubi kayu karena bahan tersebut mengandung total gula terlarut paling rendah dibanding bahan pakan lain sehingga peningkatannya secara proporsional relatif tinggi. Pada kacang kedelai dan bungkil kelapa peningkatan kadar total gula terlarut relatif tinggi disebabkan karena bahan tersebut mempunyai kelarutan NSP yang cukup tinggi dibandingkan bahan lain seperti dedak halus (Choct 1997). Meng et al. (2005) melaporkan bahwa degradasi NSP pada bahan pakan kacang kedelai oleh multi enzim karbohidrase dapat mencapai 26%.
KESIMPULAN 1. Cairan rumen sapi baik sapi lokal maupun sapi impor mengandung enzim selulase, xilanase, mannanase, amilase, fitase dan protease. 2. Pengendapan optimum enzim-enzim cairan rumen sapi lokal diperoleh dengan tingkat kejenuhan amonium sulfat 60 %, sedangan enzim-enzim cairan rumen sapi impor diperoleh pada tingkat kejenuhan 70 %. 3. Cairan rumen sapi lokal asal rumah potong hewan yang mengandung enzim selulase, xilanase, mannanase, amilase, protease dan fitase mampu menghidrolisis karbohidrat bahan pakan lokal. Taraf optimum penambahan enzim cairan rumen untuk menghasilkan total gula terlarut tertinggi pada ransum starter dan finisher dicapai pada taraf 1,0 %, pada daun ubi kayu dan bungkil inti sawit adalah pada taraf 2,0 %, sedangkan pada dedak halus, kacang kedelai dan bungkil kelapa diperoleh pada taraf 2,5 %. DAFTAR PUSTAKA Aslamyah S. 2006. Penggunaan Microflora Saluran Pencernaan sebagai Probiotik untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan Bandeng. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
23
Agrinak 2011 Vol1(1): 17 - 24
Bergmeyer H.U., J. Bergmeyer, and M. Grassl. 1983. Methods of Enzimatic Analysis, Enzymes 3: Peptidases, Proteinases and Their Inhibitors. Volume V. VCH Verlagsgesellschaft MBH. Weinheim.
Lee S.S., J.K. Ha and K.J. Cheng. 2000. Relative contributions of bacteria. protozoa and fungi to in vitro degradation of orchard grass cell walls and their interactions. Appl. Environ. Microbiol. 6(9): 3807 - 3813.
Boisen S. and B.O. Eggum. 1991. Critical evaluation of in vitro methods for estimating digestibility in simple-stomach animal. Nutr. Res. Rev. 4:141-162.
Lee S.S, C.H. Kim, J.K. Ha, Y.H. Moon, N.J. Choi, and K.J. Cheng. 2002. Distribution and activities of hydrolytic enzymes in the rumen compartements of hereford bulls fed alfalfa based diet. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 15(12): 1725 – 1731.
Bradford M.M. 1976. A rapid and sensitive method for quantification of microgram quantities of protein utilizing the principles of protein dyebinding. Anal. Biochem. 72: 234 - 254.
Meng X., B.A. Slominski, C.M. Nyachoti, L.D. Campbell and W. Guenter. 2005. Degradation of cell wall polysaccharides by combinations of carbohydrase enzymes and their effect on nutrient utilization and broiler chicken performance. Poult. Sci. 84:37-47.
Broz J. and N.E. Ward. 2007. The role of vitamins and feed enzymes in combating metabolic challenges and disorders. J. Appl. Poult. Res.16: 150-159.
Meng X. and B.A. Slominski. 2005. Nutritive value of corn, soybean meal, canola meal, and peas for broiler chickens as affected by a multicarbohydrase preparation of cell wall degrading enzymes. Poult. Sci. 84: 1242-1251.
Chaplin M.F and C. Bucke. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University Press. Cambridge. Choct M. 1997. Feed non-starch polysaccharides: Chemical structures and nutritional significance. Feed Milling International, June Issue pp. 13-26.
Moharrery A. and Tirta K. Das. 2002. Correlation between microbial enzyme activities in the rumen fluid of sheep under different treatments. Reprod. Nutr. Dev. 41: 513 - 529.
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. 2010. Statistik Peternakan 2009. http://www.ditjennak.go.id. [4 Januari 2010].
Morgavi D.P., K.A. Bauchemin, V.L. Nsereko, L.M. Rode, A.D. Iwaasa, W.Z. Yang, T.A. McAlister and Y. Wang. 2000. Synergy between ruminal fibrolytic enzymes and enzymes from Trichoderma longibrachiatum. J. Dairy Sci. 83: 1310-1321.
Dubois M., K.A. Gilles, J.K. Hamilton, P.A. Rebers and F. Smith. 1956. Colorimetric method for determination of sugar and related substance. Anal. Chem. 28(3): 350-356.
Pantaya D. 2003. Kualitas ransum hasil pengolahan steam pelleting berbasis wheat pollard yang mendapat perlakuan enzim rumen pada broiler. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Scopes RK. 1987. Protein Purification. Springer Verlag. New York .
Greiner R., E. Haller, U. Konietzny and K.D. Jany. 1997. Purification and characterization of a phytase from Klebsiella terrigena. Arch Biochem. Biophys. 341 (2): 201-206. Hossain H.Z., J. Abe and S. Hizukuri. 1996. Multiple forms of β -mannanase from Bacillus sp KK01. Enzyme Microb. Technol. 8: 25-28. Khattak F.M, T.N. Pasha, Z. Hayat and A. Mahmud. 2006. Enzymes in poultry nutrition. J. Anim. Sci. 16(12): 1-7.
24
▲
■
■
▲)
□
■
■
▲
KINERJA AGRIBISNIS SAPI POTONG RAKYAT DI PROVINSI JAWA TIMUR: DAMPAK KRISIS MONETER DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH HENNY MAYROWANI Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang, Departemen Pertanian ABSTRACT In the period of 1995 - 2002, domestic cattle agribusiness in East Java has indicated an unpleasant condition, the growth of production, consumption and trade tend to decrease around 1.5 - 4.7 percent a year. Meanwhile, nominal price of feed and livestock products have increased more than 8 percent. Although, the real prices were increasing only around 0.5 - 1.4 percent a year. Economic crisis affect significantly the decreasing of the household income, it has an impact in reducing of the volume of East Java cattle distribution to outer region. This condition become worse by reduction of cattle population growth and competition with live cattle import and their products. In 1995-2002 and during the regional autonomy policy implementation process, cattle population growth has decreased - 1.71 and - 24.85 percent a year respectively. Generally, decreasing of cattle population growth has related to reduction of cattle herd that no longer used in intensification of paddy field. Decreasing of cattle population growth during the regional autonomy policy implementation process were caused by three reasons, such as: (1) Lack of local government ability to increase the development of breeding and fattening business that related to the budget and government management problems; (2) Market demand of cattle from outer region was decreasing; and (3) The real price of breed and fattening cattle was not attractive for farmers to carry on in their business. Based on those problems above, in order to develop domestic cattle agribusiness, it is necessary to develop: (1) The policy which able to consolidate the central, province, and district government in implementing integration programs; (2) Reducing market distortion policies; (3) Provide protection and special treatment for small scale farmers to face global trade liberalization; and (4) Institutional reform of domestic cattle agribusiness. Key Words : Economic Crisis; Regional Autonomy; Agribusiness; Cattle.
PENDAHULUAN Provinsi Jawa Timur termasuk sebagai salah satu wilayah sentra produksi sapi potong di Indonesia. Pemasaran komoditas sapi potong dari Provinsi ini menjangkau ke wilayah-wilayah lain di Indonesia. Pangsa pasar untuk DKI Jakarta dan Jawa Barat mencapai 70 - 85 persen, sedangkan sisanya 15 - 30 persen tersebar ke Provinsi Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, dan Kalimantan Selatan. Pasokan untuk Pulau Kalimantan umumnya bersumber dan Madura. Pada periode 1997 - 2002 telah terjadi berbagai fenomena historik di dalam negeri yang dimulai dengan depresiasi rupiah sedemikan rupa yang mengakibatkan terjadinya krisis moneter yang berlanjut menjadi krisis ekonomi. Kemudian pada periode 2001-2002 merupakan awal
1
dimulainya proses implementasi otonomi daerah selaras dengan diberlakukannya UU No. 22/1999 mengenai pemerintah daerah dan UU No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang diberlakukan sejak 1 Januari 2001. Perubahan-perubahan kondisi ekonomi dan politik tersebut memberikan dampak yang tidak kecil terhadap kondisi kinerja agribisnis sapi potong rakyat di Jawa Timur. Berdasarkan hal tersebut, makalah ini bertujuan untuk menganalisis dinamika yang terjadi terhadap peubah-peubah kinerja agribisnis sapi potong rakyat di Jawa Timur selama periode 1995 2002 yang meliputi aspek produksi, perdagangan, dan konsumsi. Diharapkan keluaran dan makalah ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan pengembangan agribisnis sapi potong rakyat di masa datang.
METODA PENELITIAN Sumber Data Data utama yang terkait dengan aspek agribisnis petemakan sapi potong bersumber dari laporan dan informasi Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur, yang didukung dengan referensi dan berbagai sumber termasuk data primer hasil wawancara dengan pelaku agribisms sapi potong di lokasi contoh. Sedangkan data nilai tukar rupiah ,
anggaran pendapatan dan belanja daerah
bersumber dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei yang dilaksanakan path bulan Juli Agustus 2003 untuk menggali data sekunder dan informasi kualitatif di lapang yang dilakukan melalui wawancara dengan stake holder pembangunan daerah di tingkat provinsi dan beberapa kabupaten di Jawa Timur, yang terdiri dari para pejabat dinas-dinas terkait, seperti Dinas Peternakan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan dinas-dinas di lingkup Pemerintah Daerah lainnya. Selanjutnya pada bulan September 2003 survei dilakukan di Kabupaten Magetan sebagai lokasi contoh untuk penggalian data primer. Kabupaten Magetan termasuk daerah pengembangan dan sentra pemasaran ternak sapi potong di Jawa Timur bagian selatan yang memperdagangkan ternak yang berasal dan daerah sekitarnya dengan tujuan Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Metode Analisis Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan fakta dan temuan hasil survei. Analisis statistik digunakan untuk mengidentifikasi hubungan perubahan nilai tukar rupiah terhadap peubahpeubah indikator agribisnis dan dampak impor terhadap perdagangan sapi potong Jawa Timur ke luar daerah.
2
Hubungan perubahan nilai tukar rupiah terhadap peubah-peubah indikator agribisnis diformulakan dengan persamaan sebagai berikut: Y = aX b ...................................................................................................... (1) Dimana, Y = peubah indikator agribisnis, seperti produksi, konsumsi, perdagangan, dan harga-harga. X = nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika a, dan b = Koefisien regresi Dampak impor terhadap perdagangan sapi potong Jawa Timur ke luar daerah dipostulatkan dengan persamaan sebagai berikut : Y = a + bX1 + cX2 ……………………………………………………. (2) Dimana, Y = Volume pengeluaran temak sapi potong Jawa Timur (ekor) X1 = Volume impor sapi hidup Indonesia (kg) X2 = Volume impor daging sapi Indonesia (kg) a, b, dan c = Koefisien regresi HASIL DAN PEMIBAHASAN Posisi Jawa Timur dalam Perdagangan Ternak Sapi Potong Dilihat dan sebaran populasi ternak sapi potong antar provinsi yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu daerah sentra produksi utama ternak sapi potong di Indonesia. Rata-rata populasi per tahun ternak sapi potong Jawa Timur selama periode 1990 - 1999 mencapai sekitar 3,2 juta ekor atau menyumbang sekitar 28,45 persen populasi ternak sapi potong Indonesia.
Sumbangan Provinsi Jawa Timur dalam memasok ternak sapi potong ke luar daerah juga cukup besar, yaitu selama periode 1990-1999 rata-rata mencapai 207,3 ribu ekor per tahun atau sekitar 30,01 persen dari total ternak sapi potong yang diperdagangkan ke luar daerah oleh provinsi-provinsi produsen (Tabel 2). Provinsi Jawa Tengah dan Lampung masing-masing menduduki peringkat kedua dan ketiga, dan merupakan pesaing potensial bagi provinsi Jawa Timur, karena tingkat pertumbuhan pengeluaran ternak kedua provinsi tersebut cukup tinggi, yaitu masing-masing sebesar 6,3 dan 31,5 persen per tahun, sedangkan Provinsi Jawa Timur justru mengalami laju pertumbuhan yang menurun sebesar - 59,4 persen per tahun. Di Provinsi Jawa Timur, proporsi temak sapi potong yang diperdagangkan ke luar daerah dibandingkan dengan populasi yang tersedia adalah sebesar 6,4 persen, sedangkan di Provinsi Jawa Tengah dan Lampung masing-masing mencapai 9,6 dan 19,3 persen.
3
Tabel 1. Rata-rata populasi ternak sapi potong di beberapa provinsi di Indonesia, 1990-1999 Provinsi
Rataan (ekor)
Pangsa (%)
3.218.933 1.218.793 912.902 739.950 571.275 496.942 457.733 388.682 420.336 401.128 2.488.645
28,45 10,77 8,07 6,54 5,05 4,39 4,05 3,44 3,71 3,54 21,99
11.315.318
100
Jawa Timur Jawa Tengah Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur D.I. Aceh Bali Sumatra Selatan Lampung Nusa Tenggara Barat Sumatra Barat Lainnya Indonesia
Sumber : Statistik Peternakan 1992, 1996, 1999, Dirjen Peternakan. Dikutip dari Ilham et al., 2001, diolah.
Menurut Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur, pangsa pasar untuk DKI Jakarta dan Jawa Barat mencapai 70 - 85 persen, sedangkan sisanya 15 - 30 persen tersebar ke Provinsi Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Pasokan untuk Pulau Kalimantan umumnya bersumber dan Madura. Berdasarkan data pemasukan ternak dan Dirjen Peternakan yang disajikan path Tabel 3 tampak bahwa DKI. Jakarta dan Jawa Barat merupakan daerah pemasaran ternak sapi potong terbesar dari provinsi-provinsi produsen. Total penyerapan ternak untuk kedua provinsi tersebut mencapai pangsa 73,17 persen, yang tersebar 42,13 persen untuk Jawa Barat dan 31,04 persen untuk DKI. Jakarta.
Tabel 2.
Rata-rata pengeluaran ternak sapi potong di beberapa provinsi di Indonesia, 1990-1999
Provinsi
Jawa Timur
Rataan (ekor)
Pangsa (%)
207.263
30,01
4
Pertumbuhan (%/th) -59,4
Proporsi terhadap populasi (%) 6,4
Jawa Tengah Lampung Nusa Tenggara Timur Bali Jawa Barat Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Barat D.I. Yogyakarta Sulawesi Tengah Lainnya Indonesia
116.978 74.993 62.380 45.291 37.803 33.029 29.619 29.613 11.879 41.829 690.675
16,94 10,86 9,03 6,56 6,06 5,47 4,78 4,29 4,29 1,72 100
6,3 31,5 -2,5 8,4 -65,7 -11,7 -1,1 2,3 -2,1 12,6 -1,7
9,6 7 7 9,1 19,3 7,1 6,1
Sumber : Statistik Peternakan 1992, 1996, 1999, Dirjen Peternakan. Dikutip dari Ilham et al., 2001, diolah.
Melihat dari besarnya pangsa pasar ternak Provinsi Jawa Timur yang ditujukan untuk Provinsi DKI. Jakarta dan Jawa Barat mencerminkan besarnya keterikatan perdagangan temak sapi potong Jawa Timur terhadap porsi penyerapan ternmak Provinsi DKI. Jakarta dan Jawa Barat. Munculnya pesaing baru sebagai pemasok ternak ke Provinsi DKI. Jakarta dan Jawa Barat dapat menjadi ancaman potensial bagi keberlangsungan perdagangan ternak sapi potong rakyat Provinsi Jawa Timur antar wilayah dan ke luar daerah. Impor ternak hidup dan produk turunannya menjadi bagian dari ancaman tersebut, karena pengadaan daging sapi di Jakarta dan Jawa Barat yang bersumber dan impor telah mencapai 43 persen (Yusdja et.al., 2001). Selanjutnya Yusdja et.al., (2001) juga menyebutkan bahwa sebagian besar sapi yang dikirim dari Provinsi Lampung (sebagai pesaing potensial bagi Jawa Timur) adalah sapi impor, dimana selama periode 1991-1995 pengiriman sapi impor mengalami laju peningkatan sebesar 109 persen/tahun, sedangkan pengiriman sapi lokal justru mengalami penurunan dengan laju sebesar -14,0 persen/tahun. Jika pola tersebut terus berlanjut pada masa pasca krisis ekonomi, maka dapat diduga bahwa penurunan permintaan sapi di Jakarta dan Jawa Barat terhadap sapi lokal Jawa Timur disebabkan oleh masuknya pasokan sapi impor dari Lampung dan pasokan sapi impor dari perusahaan besar (feedlot) di Jawa Timur sendiri. Menurut petugas pasar hewan Kabupaten Magetan, penurunan jumlah pengiriman ternak ke Jakarta dan Jawa Barat saat mi mengakibatkan penurunan jumlah transaksi ternak dan rata-rata 600 ekor menjadi 400 ekor atau turun sekitar 30 persen per hari pasaran.
Tabel 3.
Rata-rata pemasukan ternak sapi potong di beberapa provinsi di Indonesia, 1990-1999 Provinsi
Jawa Barat DKI Jakarta Lampung
Rataan (ekor)
Pangsa (%)
325.808 240.055 50.696
42,13 31,04 6,55
5
Pertumbuhan (%/th) 1,61 0,94 35,8
Jawa Tengah Kalimantan Timur D.I. Yogyakarta Sumatra Selatan Kalimantan Tengah Sumatra Barat Riau Lainnya Indonesia
38.029 28.613 16.942 9.617 7.915 6.959 5.019 43.769 773.423
4,92 3,7 2,19 1,24 1,02 0,9 0,65 5,66 100
-6,52 -9,24 12,24 -66,13 1,81 19,98 10,16 -2,94 0,55
Daerah Sentra Produksi dan Pengirim Ternak Terbesar ke Luar Daerah Daerah-daerah sentra produsen sapi potong di Provinsi Jawa Timur berdasarkan data rataan populasi sapi potong tahun 1996 - 2002 (Tabel 4) mencakup kabupaten-kabupaten di Wilayah Madura, Kabupaten Jember, Tuban, Lumajang, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Nganjuk, Bojonegoro, dan Kediri. Pada umumnya kabupaten-kabupaten tersebut memiliki nilai koefisien keragaman yang tinggi. Hal ini antara lain disebabkan oleh laju penurunan pertumbuhan populasi yang tinggi. Kabupaten yang dimaksud adalah Kabupaten Probolinggo, Bojonegoro, Lumajang, Malang, dan beberapa kabupaten lainnya. Sementara itu, daerah-daerah pengirim terbesar berdasarkan data rataan pengeluaran ternak sapi potong ke luar Provinsi Jawa Timur tahun 1999- 2002 (Tabel 5) adalah Kabupaten Magetan, Pamekasan, Bangkalan, Ngawi, Probolinggo, dan beberapa kabupaten lainnya. Di antara kabupaten-kabupaten pengirim terbesar tersebut terdapat beberapa kabupaten yang populasi ternaknya termasuk di bawah rataan populasi provinsi Jawa Timur, tetapi jumlah pengirimannya ke luar Provinsi termasuk dalam golongan 10 besar, seperti Kabupaten Magetan, Ngawi, dan Bojonegoro. Kondisi tersebut antara lain disebabkan oleh adanya lalu lintas perdagangan sapi potong antar wilayah di Jawa Timur.
Tabel 4. Populasi ternak sapi potong di Provinsi Jawa Timur Menurut Urutan 14 Kabupaten yang Memiliki Populasi Ternak Terbanyak di Jawa timur, 1996-2002 No.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kabupaten
Sumenep Jember Sampang Tuban Bangkalan Lumajang
Rataan (ekor)
Koef. Keragaman (%)
Pertumbuhan (%/th)
236.678 195.503 174.120 170.809 162.905 157.572
12,43 1,89 2,62 7,38 17,4 18,37
0,64 0,03 -0,28 -1,23 -1,89 -3,26
6
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Malang Probolinggo Situbondo Bondowoso Nganjuk Bojonegoro Pamekasan Kediri Lainnya (15 kabupaten) Total
Sumber : Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur, diolah Keterangan : *) Bervariasi antar kabupaten
147.885 139.253 134.029 129.868 126.536 121.544 111.078 97.468 961.472 3.066.717
17,96 35,22 8,6 13,34 13 20,71 136 16,52 *) 12,83
-3,17 -6,56 -1,43 -2,33 -2,31 -3,68 -1,56 -3,14 *)
Dapat dikatakan bahwa tiga kabupaten tersebut termasuk sebagai daerah pusat pemasaran sapi potong untuk wilayah sekitarnya untuk tujuan pemasaran ke luar Jawa Timur. Sebaliknya, ada beberapa kabupaten yang populasi ternak sapi potongnya tinggi, tetapi jumlah pengirimannya ke luar Jawa Timur rendah. Kabupaten-kabupaten ini kemungkinan banyak memasok untuk wilayah Jawa Timur atau wilayah di luar Jawa Timur melalui daerah-daerah pusat pemasaran. Pengiriman sapi potong keluar wilayah Jawa Timur selama periode 1999-2002 mengalami penurunan dengan laju sebesar - 2,45 persen (Tabel 5). Daerah-daerah sentra pengiriman ternak ke luar Jawa Timur yang menunjukkan laju penurunan pengiriman yang cukup tinggi adalah Kabupaten Kediri, Banyuwangi, dan Bangkalan. Sebaliknya, ada beberapa daerah yang mengalami peningkatan cukup besar, yaitu Kabupaten Lumajang, Probolinggo, dan Bojonegoro. Pada tahun 2000 - 2002, Kabupaten Probolinggo ternyata juga menerima pasokan ternak dari luar wilayah Jawa Timur dalam jumlah yang besar, yaitu sebesar 2.000 ekor pada tahun 2000, meningkat menjadi 16.098 ekor pada tahun 2001, dan 15.302 ekor pada tahun 2002. Pangsa pasokan ternak dari luar Jawa Timur ke Kabupaten Probolinggo masing-masing untuk tahun tersebut adalah sebesar 28,6; 86,6; dan 56,5 persen. Diduga ternak sapi yang masuk ke Kabupaten Probolinggo adalah sapi bakalan impor. Tabel 5. Pengiriman Ternak Sapi Potong ke Luar Provinsi Jawa Timur Menurut Urutan 10 Kabupaten Memiliki Populasi Terbanyak, Jawa Timur, 1996- 2006 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kabupaten Magetan Pamekasan Bangkalan Ngawi Probolinggo Sampang Banyuwangi Bojonegoro Lumajang
Rataan (ekor) 23.842 13.447 12.357 11.339 10.201 6.826 6.206 5.323 4.464
7
Koef. Keragaman (%) 19,6 26,2 49,0 17,6 40,9 15,3 51,1 94,4 86,6
Pertumbuhan (%/th) -5,29 2,20 -12,16 -5,42 13,37 1,14 -22,55 7,64 14,99
10. 11
Kediri Lainnya (15 kabupaten) Total
Keterangan : *) Bervariasi antar kabupaten
4.217 31.051 129.272
52,8 *) 7,9
-21,70 *) -2,45
Kinerja agribisnis Sapi Potong Selama periode 1995 -2002 Perkembangan agribisnis sapi potong Jawa Timur selama periode tahun 1995 - 2002 menunjukkan kinerja yang kurang menggembirakan. Dari Tabel 6 tampak bahwa peubah-peubah yang berkaitan dengan aspek produksi temak, perdagangan, dan konsumsi hasil ternak memperlihatkan indikasi perkembangan yang menurun. Populasi sapi potong selama penode tahun 1995-2002 mengalami laju penurunan sebesar - 1,71 persen/tahun, pengeluaran ternak ke luar provinsi turun sebesar - 4,78 persen/tahun, pemotongan temak turun - 1,58 persen/tahun, dan produksi daging juga mengalami penurunan sebesar - 2,41 persen/tahun. Dari segi harga ternak, daging, bibit, dan pakan konsentrat, secara nominal menunjukkan peningkatan yang cukup besar, yaitu mencapai lebih dan 8,0 persen per tahun, tetapi jika dibandingkan dengan peningkatan harga-harga barang konsumsi lainnya, harga riil dari komoditas petemakan itu hanya mengalami peningkatan sekitar 0,5 - 1,4 persen/tahun, dimana peningkatan harga riil daging adalah yang terkecil dan harga riil sapi bibit yang terbesar. Dari trend rasio harga ternak sapi dengan harga daging menunjukkan indikasi bahwa peningkatan harga ternak sapi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga daging, dan sebaliknya terhadap harga sapi bibit dan katul, meskipun terhadap harga katul perbedaannya tidak begitu signifikan. Ketidakseimbangan perkembangan harga output dengan harga input ini merupakan salah satu faktor penjelas menurunnya kinerja agribisnis sapi potong rakyat di Jawa Timur Selama periode tahun 1997 - 2002 telah terjadi berbagai fenomena historik di dalam negeri yang dimulai dengan depresiasi rupiah sedemikan rupa yang mengakibatkan terjadinya krisis moneter dan berlanjut menjadi krisis ekonomi. Kemudian pada 2001 - 2002 merupakan awal dimulainya proses implementasi otonomi daerah. Perubahan-perubahan kondisi ekonomi dan politik tersebut memberikan dampak yang tidak kecil terhadap kinerja agribisnis sapi potong di Jawa Timur.
8
9
Aspek Populasi Pengeluaran ternak Pemotongan ternak Produksi daging Harga Nominal Daging sapi murni Ternak sapi potong Bibit sapi PO Katul/dedak halus Harga Riil 3) Daging sapi murni Ternak sapi potong Bibit sapi PO Katul/dedak halus Rasio harga riil Ternak sapi vs daging Ternak sapi vs bibit Ternak sapi vs katul
Tabel 6. Perkembangan Sub Sektor Peternakan Sapi Potong Provinsi Jawa Timur, 1995-2002 Satuan 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 ekor 3.202.426 3.316.832 3.382.670 3.223.055 3.380.547 3.312.015 2.514.341 2.515.439 ekor 328.293 230.757 176.483 160.567 170.578 154.424 154.592 122.555 ekor 435.679 437.796 440.040 501.558 338.421 398.636 399.542 332.144 ton 94.545 95.614 96.105 98.054 66.161 77.933 78.110 64.934
r 1) -1,71 -4,78 -1,58 -2,41
Rp/kg Rp/kg b.h. 2) 000 Rp/ekor Rp/kg
9.760 4.035 936 299
10.529 4.194 1.046 296
10.500 4.132 1.038 332
15.093 5.752 1.357 522
22.534 8.690 2.069 734
23.617 10.056 2.411 807
27.591 11.925 3.000 833
29.960 12.632 3.393 965
8,01 8,42 8,91 8,47
Rp/kg Rp/kg b.h. 2) 000 Rp/ekor Rp/kg
10.484 4.334 1.005 321
10.529 4.194 1.046 296
10.344 4.071 1.023 327
7.605 2.898 684 263
11.327 4.368 1.040 369
10.748 4.576 1.097 367
11.002 4.755 1.196 332
10.827 4.565 1.226 349
0,50 0,91 1,39 0,95
0,41 4,31 13,49
0,40 4,01 14,17
0,39 3,98 12,45
0,38 4,24 11,02
0,39 4,20 11,84
0,43 4,17 12,46
0,43 3,98 14,32
0,42 3,72 13,09
0,41 -0,49 -0,04
Sumber : Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur dan Kantor Statistik Provinsi Jawa Timur Keterangan : 1) r = laju pertumbuhan (%/th); 2) b.h. = berat hidup; 3) di deflasi dengan indeks umum harga konsumen Kota Surabaya (1996 = 100)
10
Tabel 7. Keragaan Kinerja Agribisnis Sapi Potong Provinsi Jawa Timur Sebelum Krisis Moneter, saat Krisis Moneter, dan saat Proses Implementasi Otonomi Daerah
Aspek Populasi Pengeluaran ternak Pemotongan ternak Produksi daging Harga nominal Daging sapi murni Ternak sapi potong Bibit sapi PO Katul/dedak halus Harga riil Daging sapi murni Ternak sapi potong Bibit sapi PO Katul/dedak halus
Populasi Pengeluaran ternak Pemotongan ternak Produksi daging Harga nominal Daging sapi murni Ternak sapi potong Bibit sapi PO Katul/dedak halus Harga riil Daging sapi murni Ternak sapi potong Bibit sapi PO Katul/dedak halus
Sebelum Krismon 1995-1996
Saat krisis moneter Setelah Awal Krismon Krismon 1997-1998 1999-2000
Saat OTDA 2001-2002
3.309.629 279.525 436.738 95.080
3.302.863 168.525 496.573 97.080
3.346.281 162.501 368.529 72.047
2.514.890 138.574 365.843 71.522
10.145 4.115 991 298
12.797 4.942 1.198 427
23.076 9.373 2.240 771
28.776 12.279 3.197 899
10.506 8.975 4.264 3.484 1.025 853 309 295 Perubahan (%/tahun) 1997-1998 vs 1995-1996 -0,20 -39,71 2,10 13,70
11.037 4.472 1.069 368
10.914 4.660 1.211 340
1999-2000 vs 1997-1998 1,31 -3,57 -25,79 -25,79
2001-2002 vs 1999-2000 -24,85 -14,72 -0,73 -0,73
26,14 20,11 20,87 43,53
80,33 89,66 87,06 80,44
24,70 31,00 42,70 16,68
-14,58 -18,28 -16,80 -4,39
22,98 28,35 25,25 24,76
-1,12 4,20 13,34 -7,52
Aspek perdagangan ternak tampak pada Tabel 7, memperlihatkan bahwa pengeluaran ternak sapi potong ke luar Jawa timur pada awal krisis moneter mengalami penurunan yang cukup besar dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis moneter, yaitu mencapai sebesar -39,71 persen. Kondisi ini berlanjut pada periode pasca krisis moneter (- 3,57%) dan saat otonomi daerah (14,72%). Hal ini menunjukkan antara lain: (1) terjadinya penurunan permintaan sapi potong dari pelanggan potensial di luar Jawa Timur, seperti DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat; (2) masuknya kompetitor sapi potong khususnya dari Provinsi Lampung; (3) kemungkinan terjadinya peningkatan biaya angkut antar daerah atau wilayah, karena adanya biaya retribusi sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah.
1
Dari aspek konsumsi daging di tingkat lokal (di Wilayah Jawa Timur) pada awal kondisi krisis ekonomi masih menunjukkan peningkatan, yang ditandai oleh peningkatan produksi daging dan pemotongan ternak Di Jawa Timur masing-masing sebesar 2,10 dan 13,7 persen dari kondisi sebelum krisis ekonomi. Tetapi, pada pasca krisis ekonomi (1999-2000) permintaan daging di tingkat lokal justru mengalami penurunan yang cukup besar, yang diindikasikan oleh penurunan produksi daging dan pemotongan ternak di Jawa Timur masing-masing sebesar - 25,79 persen dari kondisi saat awal krisis ekonomi. Kondisi yang demikian dipicu oleh peningkatan harga-harga (nominal) yang membumbung tinggi, yang mencapai lebih dan 80 persen, baik itu harga daging, harga ternak, harga bibit, maupun harga konsentrat. Peningkatan harga ternak sapi potong adalah yang tertinggi, yaitu mencapai 89,66 persen. Dari aspek pengembangan ternak, kondisi pada masa proses implementasi otonomi daerah adalah yang terburuk. Hal ini ditandai oleh turunnya populasi ternak yang mencapai sebesar 24,85 persen. Padahal sebelumnya, pada masa pasca krisis ekonomi, populasi ternak telah mengalami peningkatan sebesar 1,31 persen, dan pada awal krisis moneter mengalami penurunan sebesar - 0,20 persen. Peningkatan populasi ternak sapi potong pada masa pasca krisis moneter disebabkan oleh tingginya harga ternak sapi potong dan sapi bibit, baik harga nominal maupun harga riil. Peningkatan harga yang signifikan pada saat itu memberikan dorongan yang kuat bagi peternak untuk mengusahakan pembibitan temak yang menghasilkan bakalan bibit dan bakalan peng-gemukan serta usaha kereman yang menghasilkan sapi siap potong. Selain itu, permintaan ternak sapi potong dan luar Jawa Timur relatif stabil dibandingkan dengan pada masa awal krisis ekonomi. Perkembangan populasi sapi potong yang mengalami penurunan yang cukup tinggi (24,85%) pada masa proses implementasi otonomi daerah dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu: (a) Kinerja Pemerintah Daerah dalam upaya penumbuhan usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong mengalami penurunan, karena masih masih berkonsentrasi pada masalah struktur organisasi; (b) Permintaan pasar dan luar Jawa Timur terhadap ternak sapi potong mengalami penurunan, hal ini di indikasikan oleh penurunan pengeluaran sapi potong ke luar Jawa Timur yang mencapai - 14,72 persen; (c) masuknya kompetitor sapi potong dari daerah lain khususnya dari Provinsi Lampung, yang sebagian besar menggunakan bibit sapi bakalan impor; dan (d) ketidakseimbangan peningkatan harga masukan dengan peningkatan harga sapi potong dan daging sapi.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Agribisnis Sapi Potong Banyak faktor penghambat yang mempengaruhi kinerja agribisnis sapi potong selama periode 1995 - 2002, sehingga kondisinya cenderung kurang menggembirakan. Beberapa faktor
2
yang berpotensi sebagai penghambat kinerja pengembangan agribisnis dan perdagangan ternak sapi potong di Jawa Timur akan dibahas dalam uraian berikut: Kondisi Krisis Moneter Kondisi krisis ekonomi yang dimulai pada pertengahan tahun 1997 ditandai dengan penurunan mlai tukar rupiah yang semakin tajam terhadap dollar Amerika yang disertai dengan koefisien keragamannya yang besar. Pada Tabel 8 terlihat bahwa rataan bulanan nilai tukar rupiah terhadap dolar pada kondisi sebelum krisis ekonomi (1995 dan 1996) hanya mencapai sekitar Rp 2.350/US$ dengan koefisien keragaman kurang dari 1,2 persen. Sementara itu pada kondisi awal krisis moneter tahun 1997, rataan bulanan nilai tukar rupiah mulai menurun mendekati Rp 3.000/US$ dengan koefisien keragaman sebesar 28,85 persen. Tahun 1998, nilai tukar rupiah mengalami penurunan tajam, yaitu rata-rata Rp 10.53 8/US$ per bulan dengan koefisien keragaman sebesar 21,69 persen. Selanjutnya pada tahun 1999 - 2002, nilai rupiah berfluktuasi antara Rp 7.969 - Rp 10.3 19/US$ dengan koefisien keragaman 6,24 - 9,45 persen. Penurunan nilai tukar rupiah pada tahun 1997 terhadap tahun 1996 mencapai 26,12 persen dan tertinggi terjadi pada tahun 1998 tenhadap tahun 1997, yaitu mencapai 256,70 persen. Dampak krisis moneter secara langsung adalah meningkatnya harga-harga, baik harga masukan maupun keluaran. Sementara itu, dampak tidak langsung adalah turunnya tingkat pendapatan peternak, karena kenaikan harga input lebih tinggi daripada kenaikan harga output. Disamping itu, krisis moneter juga menyebabkan pendapatan riil masyarakat menurun. Menurut Ilham et.al., (2001), pendapatan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi permintaan daging sapi di Indonesia. Harga daging sapi sendiri berpengaruh negatif terhadap permintaan daging sapi, tetapi pengaruhnya tidak nyata. Tabel 8. Rataan Koefisien Keragaman Nilai Tukar Rupiah Bulanan Terhadap Dolar Amerika, 1995-2002 Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Rataan nilai bulanan (Rp/US$) 2.256 2.342 2.954 10.583 7.959 8.460 10.319 9.438
Koefisien keragaman (%) 1,19 0,75 28,85 21,69 9,45 9,06 7,55 6,24
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Perubahan nilai (%/tahun) 3,82 26,12 256,70 -24,38 6,17 21,97 -8,54
Kenyataan terjadinya penurunan tingkat pendapatan masyarakat akibat krisis moneter ini berpengaruh terhadap permintaan ternak sapi potong di DKI Jakarta dan Jawa Barat dan daerah lainnya, sehingga mengakibatkan pengeluaran ternak Jawa Timur pada awal krisis moneter (19971998) mengalami penurunan hingga - 39,7 1 persen dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis moneter (1995 - 1996). Peningkatan mlai tukar dolar terhadap rupiah pada periode tersebut secara
3
rata-rata mencapai 193 persen (Tabel 9). Secara kumulatif pengeluaran ternak Jawa Timur pada periode 1999 - 2000 dan 2001 - 2002 terus mengalami penurunan masing-masing sebesar - 48,28 dan - 58,01 persen dibandingkan dengan periode 1995-1996. Pengeluaran temak pada periode 2001-2002 semakin turun sebesar - 14,72 persen dibandingkan pada periode 1999 - 2000 karena diikuti dengan penurunan populasi sebesar - 24,85 persen (Tabel 7). Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Ilham et. al. (2001) bahwa penurunan populasi temak sapi memiliki pengaruh negatif terhadap penawaran daging sapi potong.
Tabel 9. Rataan dan Perubahan Besaran Nilai Peubah-Peubah Agribisnis Sapi Potong Provinsi Jawa Timur Sebelum Krisis Moneter, Saat Krisis Moneter dan Saat Implementasi Otonomi Daerah. Aspek
Nilai tukar (Rp/US$) Populasi Pengeluaran ternak Pemotongan ternak Produksi daging Harga nominal Daging sapi murni Ternak sapi potong Bibit sapi PO Katul/dedak halus
Nilai tukar Populasi Pengeluaran ternak Pemotongan ternak Produksi daging Harga nominal Daging sapi murni Ternak sapi potong Bibit sapi PO Katul/dedak halus
Sebelum Krismon 1995-1996 2299 3.309.629 279.525 436.738 95.080
Saat krisis moneter Awal Setelah Krismon Krismon 1999-2000 1997-1998
Rataan 6746 3.302.863 168.525 496.573 97.080
Saat OTDA 2001-2002
8215 3.346.281 162.501 368.529 72.047
9879 2.514.890 138.574 365.843 71.522
10.145 12.797 23.076 4.115 4.942 9.373 991 1.198 2.240 298 427 771 Perubahan (%)-tahun dasar 1995-1996 1997-1998 1999-2000 vs vs 1995-1996 1997-1998 193 257 -0,20 1,11 2,10 -24,22 -39,10 -41,87 7,80 -15,62
28.776 12.279 3.197 899
26,14 20,11 20,87 43,53
127,47 127,80 126,09 158,99
2001-2002 vs 1999-2000 330 -24,01 -24,78 -50,43 -16,23 183,66 198,42 222,63 202,18
Dampak krisis ekonomi terhadap penurunan konsumsi daging sapi (peubah pemotongan ternak dan produksi daging) di Jawa Timur sendiri tampak nyata pada periode 1999 - 2000, sedangkan pada periode 1997 - 1998 masih mengalami peningkatan dan periode 2001 - 2002 penurunannya relatif kecil dibandingkan dengan periode 1999 - 2000 (Tabel 9).
4
Perubahan nilai tukar dolar terhadap rupiah terlihat nyata pengaruhnya pada peubah hargaharga nominal (daging, ternak sapi, bibit, dan pakan) dengan elsatisitas sekitar 0,5943 - 0,6577 (Tabet 10), dimana elastisitas tertinggi dicapai oleh peubah pakan. Aspek agribisnis yang nyata dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar dolar adalah aspek perdagangan temak keluar daerah, dimana elastisitasnya mencapai - 0,3592. Untuk aspek produksi dan konsumsi domestik tidak menunjukkan pengaruh nyata.
Tabel 10. Elastisitas Perubahan Nilai Tukar Dolar Terhadap Peubah-Peubah Agribisnis Sapi Potong di Jawa Timur, 1995-2002 Peubah agribisnis Populasi ternak sapi Produksi daging Pengeluaran ternak Pemotongan ternak Harga nominal Harga daging sapi murni Harga ternak sapi Harga bibit PO Harga katul/dedak halus
Elastisitas
Probabilitas
-0,0979 -0,1503 -0,3593* -0,0703
0,1836 0,1117 0,0118 0,3978
Koefisien determinan terkoreksi (adj R2 ) 0,1523 0,2609 0,6260 0,0251
0,5943** 0,6061** 0,6180* 0,6577**
0,0041 0,0074 0,0107 0,0015
0,7331 0,6782 0,6375 0,8065
Keterangan : * nyata pada taraf α < 5%; ** nyata pada taraf α < 1%
Kondisi Proses Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah A. Aspek Manajemen Kepemerintahan Pelaku usaha dalam pengembangan ternak sapi potong di Indonesia pada umumnya dan Jawa Timur pada khususnya terdiri dan para peternak skala kecil yang memiliki kemampuan aksesibilitas yang sangat terbatas, baik dalam hal permodalan, sumber informasi teknologi, informasi pasar (harga, tujuan pasar, dan daya serap pasar), dan lemahnya pengetahuan manajerial serta kewirausahaan. Kondisi ini sangat memerlukan peran pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah dalam mendorong para peternak untuk mengembangkan usahanya melalui pemberian kemudahan dalam akses permodalan, peningkatkan pengetahuan dalam teknik produksi maupun manajemen, pelayanan terhadap kebutuhan informasi pasar, bahkan perlindungan terhadap kondisi harga yang bersifat distortif, akibat adanya struktur pasar yang bersifat oligopolistik dimana perusahaan besar mempunyai posisi yang dominan. Dari uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa pengembangan ternak sapi potong selama proses otonomi daerah (tahun 200l - 2002) mengalami penurunan populasi terbesar, yaitu mencapai - 24,85 persen. Kondisi ini, salah satunya dapat disebabkan oleh berkurangnya perhatian Pemerintah Daerah dalam memberikan iklim yang kondusif untuk pengembangan peternakan sapi potong sebagai akibat terpecahnya konsentrasi Pemenntah Daerah dalam melakukan penyesuaian-
5
penyesuaian manajemen kepemerintahan dari yang bersifat sentralistik (seragam sesuai perintah dan pusat) menjadi desentralistik (mengikuti kebutuhan daerah). Nuansa tersebut terlihat jelas dari aktivitas Pemerintah Daerah dalam melakukan perubahan-perubahan struktur organisasi (reorganisasi) dari dinas-dinas yang ada yang disertai dengan mutasi pegawai, baik pegawai di tingkat bawah maupun di tingkat atas. Penempatan pegawai tersebut menurut penilaian berbagai pihak terkadang tidak sesuai dengan motto “the right man in the right place” dilihat dari sisi pendidikan maupun keahliannya. Energi Pemerintah Daerah yang tersita untuk tersebut tentu akan berdampak pada berkurangnya perhatian pada kegiatan pelaksanaan pembangunan riil di lapangan. Kewenangan yang begitu besar yang diberikan oleh UU no 22/1999 kepada daerah otonom, yaitu kabupaten dan kota, untuk mengatur urusan pemerintahannya, selain diterjemahkan menjadi keleluasaan menetapkan berbagai peraturan daerah yang lebih banyak bersifat distortif bagi pengembangan ekonomi lokal (Newsletter KPPOD, 2001), juga berakibat terhadap lemahnya konsolidasi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah kabupaten/kota dalam mengimplementasikan dan mengem bangkan program terpadu yang dapat mengakomodasikan kepentingan nasional maupun daerah. Semakin menurunnya tingkat koordinasi antara ketiga level pemerintahan tersebut tercermin pula dalam paparan Rencana Strategis (Renstra) Petemakan Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2005 (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur, 2001), yang menyebutkan “diperlukan pengaturan yang jelas antara kewenangan pusat dan daerah. khususnya yang menyangkut batas-batas tanggung/awab dalam melaksanakan penga wasan, pembinaan, dan pelaporan”. Permasalahan pembinaan ini menjadi sangat relevan dalam menentukan maju dan mundurnya pengembangan usaha peternakan sapi potong. Selain faktor-faktor yang terkait dengan aspek manajemen kelembagaan yang menjadi penghambat, terdapat faktor lain yang cukup dominan dalam menentukan du kungan Pemeritah Daerah terhadap pengembangan sub sektor petemakan sapi potong, yaitu yang terkait dengan aspek ekonomi, di antaranya adalah masalah pendapatan daërah. Dari Tabel 11 tercermin bahwa meskipun pada tahun anggaran 2001 realisasi pendapatan Provinsi Jawa Timur secara nominal telah mengalami peningkatan sekitar 27,9 persen dari pendapatan pada tahun anggaran 1997/1998, tetapi nilai riil dan tingkat pendapatan itu sebenarnya lebih rendah sekitar 57,9 persen. Kondisi yang demikian jelas mempengaruhi kinerja Pemerintah Daerah dalam mendukung pendanaan bagi proyek proyek pengembangan sub sektor petemakan sapi potong, baik proyek-proyek yang bersifat pembinaan, seperti penyuluhan, bimbingan dan pelatihan, serta demonstrasi demonstrasi maupun proyek-proyek yang bersifat pengadaaan sarana dan prasarana. Meskipun porsi anggaran pembangunan terhadap total anggaran belanja pada tahun anggaran 2001 relatif lebih baik dibandingkan pada tahun anggaran 1997/1998, yaitu masing-masing sebesar 61,8 dan 20,8 persen, tetapi nilai riilnya hanya meningkat sebesar 25,1 persen dari kondisi anggaran pembangunan tahun 1997/1998. Sementara itu, Perolehan Provinsi Jawa Timur dan Pendapatan
6
Asli Daerah (PAD) hanya mencapai sekitar 49,3 persen dari total anggaran pendapatan yang terealisasi pada tahun 2001. Tabel 11. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur Menurut Nilai Nominal dan Riil, Tahun 1995/1996 - 2001 1995/ 1996 I. Nilai nominal (000.000.000 Rp) a. Anggaran Pendapatan b. Pendapatan Asli Daerah (PAD) c. Anggaran belanja d. Anggaran Pembangunan II. Nilai riil (000.000.000 Rp) 1) a. Anggaran Pendapatan b. Pendapatan Asli Daerah (PAD) c. Anggaran belanja d. Anggaran Pembangunan
1996/ 1997
1656,9
1859
1522,5
1800,1
1767,3
1859
1623,9
1800,1
1997/ 1998
1998/ 1999
1999/ 2000
2000
2001 2708,8 1310,5 1906,1 1178,6
2118,4 568,3 2045,6 426,5
852,3
971,9
1296,3
770,9
846,8
852,2
2000,3 536,6 1931,5 402,7
450,7
480,5
627,9
407,7
418,6
412,8
Sumber : Biro Keuangan Gubernur Jawa Timur. Dikutip dari BPS, Jawa Timur dalam angka 1995-2001, diolah. Keterangan : 1) Nilai riil = nilai nominal dideflasi dengan indeks umum harga konsumen kota Surabaya (1996 = 100)
B. Aspek Kebijakan dan Peraturan Pemerintah Daerah Peraturan daerah merupakan instrumen penting dalam memberikan sumbangan pada pertumbuhan ekonomi daerah. Namun demikian dalam perkembangannya, terdapat kecenderungan sejumlah peraturan daerah dibuat semata-mata dengan tujuan untuk sesegera mungkin memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah. Hal tersebut ditandai dengan munculnya berbagai peraturan daerah mengenai pungutan, khususnya pungutan mengenai dunia usaha (Pambudhi et al., 2002). Pungutan yang berlebihan dan tidak pada tempatnya sesungguhnya berpotensi mendistorsi ikiim usáha yang pada akhirnya akan merusak pertumbuhan ekonomi daerah dan menimbulkan beban “biaya ekonomi tinggi” bagi masyarakat, baik di kalangan produsen maupun konsumen. Berdasarkan basil wawancara dengan kalangan pelaku usaha perdagangan sapi dan hasil produknya di lokasi contoh Kabupaten Magetan ditemukan berbagai jenis pungutan/retribusi yang terkait dengan perdagangan sapi dan hasil produknya, yang ber potensi sebagai tambahan beban biaya pemasaran, yang pada gilirannya akan menjadi tanggungan peternak produsen maupun konsumen akhir. Retribusi atau pungutan pungutan (resmi dan tidak resmi) tersebut di antaranya adalah: (1) Retribusi memasuki wilayah Jawa Barat. Dipungut di Losari - Cirebon sebesar Rp 5.000 per ekor. Setiap pengiriman memuat 16 - 17 ekor sapi, sehingga nilai retribusi tersebut mencapai sebesar Rp 80.000 - Rp 85.000 per rit. (2) Retribusi kesehatan hewan (Surat Keterangan Pemeriksaan Kesehatan Hewan - SKPKIT). Dipungut di pasar hewan setempat. Besarnya pungutan mencapai Rp 5.000 per ekor. Berdasarkan Peraturan Daerah, seluruh ternak yang dipasarkan diwajibkan membayar,
7
1158,1 560,3 814,9 503,9
tetapi hal itu diprotes oleh para pedagang temak. Akhirnya terdapat kesepakatan antara Pemda Provinsi dengan para pedagang ternak, yaitu yang wajib dibayar hanya sample, untuk jumlah ternak yang di pasarkan di atas 14 ekor, jumlah sample yang wajib membayar adalah sebanyak 6 ekor, sedangkan untuk jumlah ternak yang dipasarkan di bawah 12 ekor, jumlah sample yang wajib membayar adalah sebanyak 4 ekor. Hasil pungutan disetorkan untuk PAD Pemda Provinsi. Berdasarkan pengamatan di lapang, pemeriksaan kesehatan hewan tersebut tidak benar-benar dilaksanakan. Artinya, pelaksanaan retribusi tersebut hanya bersifat administratif, tidak ada jasa pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan dan perlindungan konsumen dan Pemerintah Daerah pemungut retribusi. (3) Retribusi pasar. Dipungut di pasar setempat. Besarnya retribusi berdasarkan Perda adalah Rp 1.750 per ekor, tetapi pedagang hanya bersedia membayar Rp 1.000 - Rpl.500 perekor. (4) Pungutan-pungutan di Pos Pemeriksaan Kesehatan Hewan. Ada tiga tempat, yaitu di Mantingan, Banaran, dan Tanjung masing-masing besarnya pungutan Rp 3.000 per rit (5) Pungutan di Jembatan Timbang. Ada tiga tempat, yaitu di Ngawi-Jawa Timur, Sragen Jawa Tengah, dan satu lagi di Jawa Barat. Rata-rata besarnya pungutan Rp 6.000 per rit apabila muatan tidak melebihi bobot 7,5 ton. Apabila muatan melebihi tonase tersebut, kelebihan muatan didenda Rp 15.000 per tonnya. Beban denda ditanggung oleh jasa angkutan. (6) Retribusi penggunaan jalan. Dipungut di TPR-TPR di jalan lintasan. Ada 2 tempat, yaitu di Ngawi-Jawa Timur dan Pemalang-Jawa Tengah. Rata-rata besarnya pungutan untuk masing-masing TPR adalah Rp 1.000 per rit. Beban pungutan ditanggung oleh jasa angkutan. (7) Pungutan polisi. Bervaniasi antara Rp 2.000 - Rp 30.000. (8) Retribusi pemotongan hewan, dipungut di TPH, besarnya pungutan Rp 15.000 per ekor. (9) Retribusi kios penjualan daging, di pungut di pasar setempat, besarnya pungutan Rp 2.500 per kios. Selain Retnibusi resmi yang didasari oleh Perda dan adanya pungutan-pungutan ilegal tersebut di atas, kebijakan impor sapi hidup dan produk-produk hasil ternak sapi secara bebas, yang tidak memperhatikan kemampuan daya saing peternak domestik dan tidak adanya keterpaduan koordinasi antar Pemerintah Daerah akan menyebabkan “matinya” upaya pengembangan usaha peternakan sapi potong rakyat. Kenyataan ini telah dibuktikan dengan semakin turunnya angka-angka peubah indikator agribisnis peternakan sapi potong Jawa Timur selama periode 1995 - 2002. Kondisi yang demikian apabila tidak diantisipasi secara serius akan
8
menyebabkan lesunya usaha peternakan sapi potong domestik, baik usaha di bidang pembudidayaan maupun perdagangannya, yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat pendapatan masyarakat pedesaan dan meng hilangkan salah satu peluang usaha di sektor pertanian.
Dampak Impor Ternak Sapi Hidup dan Produk Turunannya Hingga saat ini Indonesia masih menjadi net importir ternak sapi potong dan produknya. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan (2002), menunjukkan bahwa net impor daging sapi Indonesia pada tahun 2001 mencapai sekitar 16,3 ribu ton, sedangkan net impor sapi hidup mencapai 172,7 ribu ekor (Tabel 12), yang terdiri dan sapi bibit dan sapi bakalan. Perkembangan impor sapi hidup dan daging sapi selama tahun 1995 - 2002 disajikan pada Tabel 13. Dari tabel tersebut tampak bahwa impor daging sapi dan sapi hidup terbesar terjadi selama tahun 1996 dan 1997, sedangkan yang terendah terjadi pada tahun 1998 dan 1999. Pada tahun 2000 mulai tampak gejala peningkatan impor, meskipun pada tahun 2001 dan 2002 terjadi trend menurun. Selain daging dan sapi hidup, Indonesia juga mengimpor produk jeroan yang cukup besar, seperti hati dan lidah sapi. Tabel 12. Neraca Impor dan Ekspor Daging dan Ternak Sapi Indonesia, Tahun 2001 Uraian 1. Daging (ton) 2. Sapi hidup (000 ekor) 1)
Ekspor 175,1 0,003
Sumber : Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan (2002) Keterangan : 1) impor terdiri dari sapi bibit dan sapi bakalan
Impor 16.516 172,7
Net impor 16.341 172,7
Tabel 13. Perkembangan Impor Daging dan Ternak Sapi Indonesia, 1995-2002 Tahun
Volume (000 ton)
Nilai (CIF-000 US$)
Nilai per unit (US$/kg)
7,259 15,773 23,315 8,813 10,549 26,962 16,446 11,454
14,534 32,434 36,522 10,327 15,239 41,019 23,626 18,572
2 2,06 1,57 1,17 1,44 1,52 1,44 1,62
76,345 119,079 131,128 32,763 41,461 93,84
112,313 184,953 179,702 37,421 39,477 92,668
1,47 1,55 1,37 1,14 0,95 0,99
I. Daging 1) 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 II. Sapi hidup 2) 1995 1996 1997 1998 1999 2000
9
2001 2002
60,441 51,854
59,956 47,572
0,99 0,92
Sumber : BPS, Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri, Impor. 1995-2002 Keterangan : 1) terdiri dari daging segar dan beku dalam bentuk karkas, setengah karkas dan bentuk pemotongan lain dengan dan tanpa paha, serta daging murni 2) terdiri dari sapi bibit, sapi bakalan dan lainnya
Hasil analisis regresi antara volume impor daging dan volume impor sapi hidup sebagai peubah bebas terhadap volume pengeluaran ternak sapi Jawa Timur ke luar daerah sebagai peubah tak bebas menunjukkan adanya keterkaitan, dimana nilai koefisien korelasinya mencapai sebesar 0,76 89 dan nilai koefisien determinan terkoreksinya (adjusted R2) mencapai sebesar 0,3868. Koefisien determinan tersebut menunjukkan bahwa keragaman data dan peubah tak bebas yang dapat diterangkan oleh kedua peubah bebas tersebut adalah sebesar 38,68 persen. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen dari keragaman data volume pengeluaran ternak di Jawa Timur dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar impor daging dan impor sapi hidup. Impor sapi hidup berpengaruh positif dan nyata secara statistik terhadap volume pengeluaran ternak Jawa Timur keluar daerah pada taraf α = 0,10. Hal ini logis karena sebagian besar impor sapi hidup terdiri dari sapi bibit dan sapi bakalan yang menyum bang terhadap pertambahan populasi ternak sapi potong. Dari koefisien regresinya menunjukkan bahwa setiap peningkatan 1 ton berat hidup impor sapi (setara dengan 3 - 4 ekor sapi hidup) akan menyumbang peningkatan pengeluaran ternak ke luar Jawa Timur sebesar 0,976 ekor. Sebaliknya impor daging berpengaruh negatif terhadap pengeluaran ternak Jawa Timur, nyata pada taraf α = 0,20 (Tabel 14).
Tabel 14. Analisis regresi antara volume impor daging dan sapi hidup terhadap volume pengeluaran ternak sapi potong Jawa Timur ke luar daerah, 1995-2002 Peubah bebas Koefisien regresi Probabilitas Intercept 153,191 0,004792 Volume impor sapi hidup (kg b.h.) 0,000976 0,075756 Volume impor daging (kg) -0,003710 0,190143 R = 0,7689 R 2 = 0,5912 Adjusted R 2 = 0,3868
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Agribisnis peternakan sapi potong rakyat di Provinsi Jawa Timur selama periode 1995 2002 menunjukkan indikasi kinerja yang menurun, dimana tingkat pertumbuhan produksi,
10
konsumsi, dan perdagangan memperlihatkan laju penurunan sekitar 1,5 - 4,7 persen per tahun. Sementara itu, harga-harga nominal produk ternak dan pakan menga lami peningkatan lebih dan 8 persen per tahun, tetapi harga riilnya hanya meningkat sekitar 0,5 - 1,4 persen per tahun. Kondisi kriisis ekonomi, dimana terjadi fluktuasi dan penurunan tajam nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika memberikan pengaruh nyata dalam menurunkan tingkat pendapatan masyarakat yang akhirnya berdampak pada penurunan volume pengeluaran ternak sapi potong Jawa Timur ke luar daerah. Kondisi perdagangan ternak sapi potong rakyat ini diperparah pula dengan semakin turunnya tingkat populasi dan persaingan dengan sapi impor dan produk turunannya. Perkembangan populasi sapi potong mengalami penurunan dengan laju - 1,71 persen per tahun selama periode 1995 - 2002 dan - 24,85 persen pada masa proses implementasi otonomi daerah. Secara umum, penurunan populasi sapi potong dapat disebabkan oleh semakin menurunnya pemeliharaan ternak kerja akibat intensifikasi lahan sawah dan kurang berkembangnya penumbuhan petemak pembibitan maupun penggemukan. Sementara itu dalam proses implemetasi otonomi daerah, proporsi penurunan populasi sapi potong yang semakin besar dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu: (1) Kinerja Pemerintah Daerah dalam upaya penumbuhan usaha pembibitan dan penggemukan mengalami penurunan, karena masalah dana anggaran dan manajemen kepemerintahan, (2) Permintaan pasar dari luar daerah mengalami penurunan, (3) Masuknya kompetitor utama khususnya dari Provinsi Lampung yang sebagian besar hasil penggemukan sapi impor, dan (4) Peningkatan harga riil sapi potong dan sapi bibit yang tidak memberikan rangsangan yang cukup bagi peternak untuk mengusahakannya. Meningkatnya jumlah pungutan dalam kegiatan agribisnis sapi potong selama proses implementasi otonomi daerah, baik dari segi jenis dan nilai pungutan yang ditimbulkan oleh kebijakan Pemerintah Daerah maupun pungutan yang bersifat illegal, berpotensi untuk mendistorsi pasar dan menyebabkan ekonomi biaya tinggi yang akhirnya akan melemahkan daya saing usaha sapi potong domestik dan merugikan konsumen.
Implikasi Kebijakan Berdasarkan beberapa permasalahan dalam pengembangan agribisnis sapi potong rakyat tersebut, diperlukan upaya-upaya sebagai berikut: (1) kebijakan yang mampu mengkonsolidasikan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten dalam mengimplemen tasikan program terpadu; (2) Perlu menekan kebijakan-kebijakan yang bersifat mendistorsi pasar, (3) Dalam menghadapi globalisasi diperlukan perlindungan dan perlakuan khusus untuk peternak skala kecil; dan (4) Reformasi kelembagaan agnibisnis sapi potong rakyat.
11
DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2002. Buku Statistik Peternakan Tahun 2002. Jakarta. Dinas Peternakan Propinsi Jawa Tirnur. 2001. Rencana Strategeis (RENSTRA) Tahun2001 - 2005. Surabaya. Ilham, N., B. Wiryono, I.K. Kariyasa, M.N Kirom, dan Sri Hastuti. 2001. Analisis Penawaran dan Permintaan Komoditas Peternakan Unggulan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. KPPOD New. Februari 2002. Pungutan berganda : Keragaman objek, pelanggaran kewenangan. Jakarta. P. 16. Jakarta. Pambudhi, P.A., A. Widodo, Arisman, K.P. Tarigan, E. Jaweng, S. Murwito. 2002. Kajian peraturan Daerah. Makalah disampaikan dalam Seminar Implementasi UU No. 3 4/2000 dan Implikasinya Terhadap lklim Usaha, Jakarta, Agustus 2002. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Yusdja, Y., H. Malian, B. Winarso, R. Sayuti, dan A. S. Bagyo. 2001. Analisis Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Peternakan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor
12
KONTRIBUSI SISTEM KEMITRAAN KELOMPOK PETERNAK SAPI POTONG DENGAN PT.SARANA BALI VENTURA DI DESA CATUR KEC.KINTAMANI KABUPATEN BANGLI I DEWA GEDE RASTANA Fakultas Ekonomi Universitas Tabanan ABSTRAK Subsektor peternakan memainkan peranan penting dalam pembangunan pertanian. Pada tahun 2006 pertumbuhan sektor pertanian tercapai melalui peningkatan Produksi Domentik Bruto untuk tanaman pangan sebesar 1,0 persen dan peternakan 4,3 persen, karenanya subsektor peternakan diharapkan dapat menjadi sektor pertumbuhan baru, baik dalam bidang pertanian maupun pertumbuhan ekonomi nasional. Di Bali saat ini terdapat 1.019 kelompok peternak sapi potong, namun kredit perbankan di Bali pada sektor peternakan hanya berkisar 1,43 persen dari total kredit 9,5 triliun. Hal tersebut karena persepsi perbankan terhadap pembiayaan di sektor pertanian beresiko tinggi, dan sektor peternakan sapi potong kurang menjanjikan. Subsektor peternakan khususnya peternak sapi masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah sehingga pembangunan disektor pertanian belum maksimal, apalagi dalam situasi ekonomi petani (peternak) yang sulit, sangat membutuhkan sumber pembiayaan yang dapat diakses dalam rangka mengembangkan usaha ternak secara maksimal. Berkembangnya berbagai model pembiayaan, baik dari lembaga perbankan maupun lembaga keuangan bukan bank memiliki peran dalam sistem keuangan yang memberikan berbagai kemudahan kepada pihak yang membutuhkan. PT Sarana Bali Ventura merupakan perusahaan Modal Ventura, memiliki komitmen yang tinggi untuk ikut berpartisipasi mengembangkan usaha kecil, Menengah dan Koperasi (UKM). Kelompok Tani Ternak Mekar Sari yang terletak di Banjar Lampu, Desa Catur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, merupakan salah satu kelompok peternak yang dibiayai oleh perusahaan dengan bantuan sapi bakalan sebanyak 70 ekor dengan total pembiayaan Rp. 383.800.000,00. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah berapakah besarnya kontribusi pendapatan peternak sapi di kelompok tani ternak Mekar Sari yang diperoleh dalam satu periode melalui sistem kemitraan dengan PT.Sarana Bali Ventura Denpasar, dan apakah sistem kemitraan antara kelompok peternak sapi Mekar Sari di Banjar Lampu, Desa Catur dengan PT. Sarana Bali Ventura Denpasar, efektif sehingga perlu dilanjutkan dan dikembangkan ?. Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui besarnya kontribusi pendapatan kelompok ternak sapi Mekar Sari melalui pola kemitraan dengan PT.Sarana Bali Ventura Denpasar, serta efektifitas pola kemitraan antara PT. Sarana Bali Ventura dengan kelompok ternak sapi Mekar Sari di Banjar Lampu, Desa Catur, Kecamatan Kintamani. Analisis data yang digunakan adalah analisis kuantitatif dengan menggunakan rumus : TRi = Yi x Pyi dimana TRi = Total pendapatan, Yi = Produksi, Pyi = Harga dan untuk mengetahui biaya produksi digunakan rumus : TC = FC + VC, dimana TC = Total cost/biaya keseluruhan, FC = Fexed cost/biaya tetap, dan VC = Varibel cost/biaya variabel. Berdasarkan hasil analisis bahwa proses penggemukan ternak sapi dengan menerapkan pakan jadi utuh dengan berat awal rata-rata 304,38 kg. Dengan umur 2,5 – 3 tahun. Sistem penggemukan sapi yang dilakukan para petani ternak adalah sistem kereman yang selama proses penggemukan ternak sapi ditempatkan pada kandang secara terus menerus dan tidak dipekerjakan, setelah sapi dipelihara selama satu siklus produksi, sapi siap dijual dengan berat rata-rata 407 kg. dengan harga jual rata-rata per kg. adalah Rp. 18.050,00 Proses penggemukan menggunakan pakan tradisional (hijauan makanan ternak dan rumput)
Biaya produksi per ekor selama 8 bulan besarnya Rp. 6.498.475,00 dengan pendapatan kotor rata-rata Rp. 7.346.350,00 sehingga keuntungan bersih besarnya Rp. 847.875,00. Dilihat dari ratio pendapatan dan biaya didapatkan sebesar R/C ratio = 1,13. Angka ini memberikan makna bahwa sistem kemitraan antara PT Sarana Bali Ventura dan Kelompok peternak sapi Mekar Sari di Desa Catur, Kintamani, Bangli menguntungkan. Keyword : Sistem kemitraan, Pendapatan Kelompok Tani Ternak, dan R/C Ratio.
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity), dengan kekayaan alam yang melimpah dapat dimanfaatkan sebagai sumber plasma nutfah/genetik dan/atau sebagai sumber potensi pengembangan pembangunan pertanian dalam arti luas yang mencakup sub sektor pertanian rakyat, kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Diantara berbagai jenis komoditas unggulan ternak yang ada di Indonesia, sapi potong merupakan salah satu komoditas yang memiliki prospek sangat baik mengingat di pasar dalam negeri, pertumbuhan konsumsi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan populasi dan produksi daging selama ini. Produksi masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan seluruh kebutuhan, sementara harga daging dalam negeri jauh menunjukkan peningkatan yang relatif tinggi. Di Bali saat ini terdapat 1.019 kelompok peternak sapi potong, dan kredit perbankan di Bali pada sektor peternakan hanya berkisar 1,43 persen dari total kredit 9,5 triliun . Hal tersebut karena persepsi perbankan bahwa pembiayaan di sektor pertanian beresiko tinggi, dan sektor peternakan sapi potong kurang menjanjikan. Dalam rangka membangun usaha peternakan yang berorientasi pasar tentunya sangat memerlukan sumber daya manusia yang profesional dalam mengelola usaha ternak, disamping itu faktor pendukung berupa modal sangat dibutuhkan. Berkembangnya berbagai model pembiayaan, baik dari lembaga perbankan maupun lembaga keuangan bukan bank memiliki peran dalam sistem keuangan/permodalan, yang memberikan berbagai kemudahan kepada pihak yang membutuhkan. Cara ini salah satu alternatif yang secara mikro diharapkan dapat meningkatkan pendapatan peternak dan dalam skala makro memacu perkembangan sektor peternakan nasional. PT. Sarana Bali Ventura merupakan perusahaan Modal Ventura Daerah yang didirikan pada tanggal 10 Desember 1994 atas prakarsa Menteri Keuangan Indonesia, merupakan salah satu dari 26 perusahaan serupa yang didirikan di seluruh provinsi di Indonesia memiliki komitmen yang tinggi untuk ikut berpartisipasi mengembangkan usaha kecil, menengah, dan koperasi (UKM). Peternak sapi potong telah dibiayai oleh PT. Sarana Bali Ventura sejak tahun 1995 sampai sekarang dengan sistem penyertaan modal ventura pada usaha peternakan khususnya sapi potong yang berbentuk kelompok dengan anggota antara 15 – 30 orang dan wajib memiliki anggaran dasar/anggaran rumah tangga serta beberapa persyaratan lain yang harus dipenuhi. Kelompok tani ternak Mekar Sari yangb terletak di Banjar Lampu, Desa Catur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli merupakan salah satu kelompok peternak yang dibiayai oleh perusahaan dengan bantuan sapi bakalan sebanyak 70 (tujuh puluh) ekor dengan total jumlah pembiayaan Rp. 383.800.000,00. Pola
pembiayaan ini bersumber dari Modal Ventura dengan sistem bagi hasil antara peternak dengan pihak perusahaan, untuk itu perlu dilakukan analisis untuk mengetahui berapa besarnya tingkat pendapatan petani ternak sapi potong, dan keefektipan pola kemitraan yang dilaksanakan oleh kelompok peternak sapi potong khususnya di kelompok ternak sapi Mekar Sari di Banjar Lampu, Desa Catur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
Rumusan Masalah : Berdasarkan latar belakang pendahuluan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Seberapa besar tingkat kontribusi pendapatan peternak sapi potong di kelompok Mekar Sari yang diperoleh dalam satu siklus/periode melalui sistem kemitraan dengan PT. Sarana Bali Ventura, Denpasar. 2. Apakah sistem kemitraan antara PT. Sarana Bali Ventura dengan Kelompok Tani Ternak Sapi Potong Mekar Sari di Banjar Lampu, Desa Catur, Kecamatan Kintamani tersebut efektif, sehingga perlu dilanjutkan dan dikembangkan ?. Tujuan Penelitian : Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1. Besarnya kontribusi pendapatan kelompok peternak sapi potong Mekar Sari melalui pola kemitraan dengan PT. Sarana Bali Ventura, Denpasar. 2. Efektifitas sistem kemitraan antara PT. Sarana Bali Ventura dengan Kelompok Ternak Sapi Potong Mekar Sari di Banjar Lampu, Desa Catur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Manfaat Penelitian : Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perusahaan sebagai referensi dan informasi dalam mengambil langkah-langkah dan kebijakan lebih lanjut mengenai pengembangan sistem kemitraan yang lebih baik dan bagi petani ternak sapi potong dapat mengetahui informasi tentang kelebihan dan kekurangan pengembangan ternak sapi potong melalui sistem kemitraan dengan PT. Sarana Bali Ventura. METODELOGI PENELITIAN Hipotesis 1. Sistem kemitraan memberikan kontribusi positif terhadap pendapatan petani ternak sapi pada kelompok ternak Mekar Sari, dengan PT. Sarana Bali Ventura Denpasar. 2. Sistem kemitraan PT. Sarana Bali Ventura dengan kelompok ternak Mekar Sari di Banjar Lampu, Desa Catur, Kecamatan Kintamani, efektif sehingga perlu dilanjutkan dan dikembangkan.
METODELOGI PENELITIAN Lokasi dan obyek penelitian : Lokasi penelitian dilakukan di Banjar Lampu, Desa Catur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli dan di PT. Sarana Bali Ventura yang berlokasi di Jln. Diponegoro No. 150 Denpasar (Komplek IDT/Ruko Genteng Biru Blok B 23-24). Lokasi penelitian dipilih secara sengaja, dengan dasar pertimbangan sebagai berikut : a. Perusahaan PT.Sarana Bali Ventura satu-satunya perusahaan yang ada di Bali yang melakukan kerjasama kemitraan dengan peternak sapi. b. Kelompok ternak sapi potong Mekar Sari yang ada di Banjar Lampu, Desa Catur, Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli, merupakan salah satu dari 7 (tujuh) kelompok ternak sapi potong yang sampai saat ini masih berjalan dengan baik. Metode pengumpulan data : Pengumpulan data dalam penelitian ini, dengan mengambil sebagai populasi/responden seluruh peternak yang tergabung dalam kelompok ternak sapi potong Mekar Sari sebanyak 39 Orang dengan metode sensus, dan penelitian dilaksanakan mulai bulan Pebruari 2012. Pengumpulan data dilakukan sebagai berikut : 1. Observasi, dilakukan dengan cara mengunjungi dan mengamati secara langsung ke lokasi penelitian. 2. Melalui wawancara, merupakan salah satu bentuk komunikasi yang dilakukan dengan tanya jawab secara langsung kepada responden yang diteliti untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap. 3. Dokumentasi, yaitu pengumpulan data dengan melihat dan mencatat dokumen atau catatan yang berhubungan dengan penelitian ini. Dalam menghitung biaya produksi, menggunakan rumus : TC = FC + VC dimana TC = Total Cost (total biaya), FC = Fixed Cost (biaya tetap) dan VC = Variabel Cost (biaya variabel), dan dalam menghitung total pendapatan menggunakan rumus : TRi = Yi x Pyi, dimana : TRi = Total Revenue (total pendapatan), Yi = Produksi, dan Pyi = Harga. HASIL DAN PEMBAHASAN Banjar Lampu, Desa Catur, Kecamatan Kintamani terletak pada ketinggian 1.340 m diatas permukaan laut dengan suhu udara rata-rata 210 C dengan luas desa 746 Ha, terletak 18 Km dari Kecamatan Kintamani, dan 48 Km dari Ibu kota Kabupaten. Adapun batas-batas Desa Catur, sebelah utara : Desa Pengejaran, sebelah selatan : Desa Belok/Sidan, sebelah timur : Desa Belantih, dan sebelah barat : Desa Tambakan, Kabupaten Buleleng. Sebagian besar penduduk desa Catur bermata pencaharian sebagai petani dan memiliki usaha sampingan peternakan sapi, babi, dan ayam kampung. Jumlah penduduk desa Catur adalah 1.987 orang yang terdiri dari 1.034 oarng laki-laki dan 923 orang perempuan dengan jumlah kepala keluarga (KK) 447 orang dan rata-rata jumlah anggota keluarga terdiri atas 4 orang.
Dilihat dari segi pendidikan formal di desa Catur yang menamatkan Sekolah Dasar sebanyak 371 orang (18,95 %), menamatkan sekolah setingkat SLTP sebanyak 268 orang (13,70 %), menamatkan sekolah setingkat SLTA sebanyak 303 orang (15,5 % ), dan yang menamatkan sekolah setingkat Program Diploma sampai Sarjana sebanyak 50 orang (2,55 %). Dilihat dari segi mata pencaharian, sebagian besar sebagai petani, yaitu sebanyak 1.047 orang (77,7 %), pegawai swasta sebanyak 184 orang (13,6 %), pedagang sebanyak 43 orang (3,2 %) dan sisanya tersebar sebagai PNS (1,7 %), ABRI (0,7 %), tukang (1,4 %), buruh tani (1,0 %) dan pensiunan (0,7 %). Profil kelompok ternak Mekar Sari, merupakan pengembangan kelompok subak abian yang semula usaha kelompok hanya dalam bidang pertanian hortikultura, selanjutnya dikembangkan ke bidang usaha peteernakan sapi dimana seluruh anggota subak menjadi anggota kelompok ternak Mekar Sari. Kelompok ini didirikan atas kesadaran dan persamaan kepentingan antara para anggotanya untuk mendapatkan akses informasi teknologi, pemasaran, dan akses permodalan. Kelompok Mekar Sari ini didirikan pada tanggal 23 Pebruari 2003, sebagaimana tertuang pada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga kelompok ternak Mekar Sari serta dituangkan dalam berita acara pengukuhan kelompok tani ternak Mekar Sari Banjar Dinas Lampu, Desa Catur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Adapun susunan kepengurusan organisasi, pelindung : Kepala Desa Catur, pembina : PPL wilayah binaan Desa Catur ( I Ketut Ngetis), ketua : I Made Puja, sekretaris : I Wayan Pancakrama, dan anggota : 38 orang. Tujuan PT. Sarana Bali Ventura dalam mengadakan kerjasama melalui pola kemitraan, antara lain untuk membantu UKM dan Koperasi dalam hal : (a) mengembangkan penemuan baru, (b) mengembangkan berbagai penggunaan teknologi baru dan alih teknologi baik dari dalam maupun luar negeri, (c) mengembangkan perusahaan yang mempunyai prospek bagus yang pada tahap awal mengalami kesulitan dana, (d) membantu perusahaan yang berusaha dalam produk barang yang dimaksudkan untuk di ekspor, (e) mengembangkan pangsa pasar. Manfaat dengan bergabungnya PT. Sarana Bali Ventura sebagai sumber pembiayaan akan memberi manfaat bagi perusahaan yang bersangkutan sebagai alternatif pembiayaan yang fleksibel dimana sistem penyertaan dengan pola bagi hasil dalam hal pembayaran, baik bagi hasil maupun pokoknya dengan cashflow dengan Perusahaan Pasangan Usaha (PPU) dalam hal ini Kelompk Ternak Mekar Sari. Meningkatnya kemampuan untuk melakukan pinjaman, bergabungnya PT. Sarana Bali Ventura dalam perusahaan yang bersangkutan akan meningkatkan kepercayaan calon kreditur pada perusahaan tersebut. Demikian juga mempunyai mitra usaha yang reputasinya baik dan berpengaruh, disamping bekerja sama dengan instansi maupun asosiasi, baik pemerintah, swasta maupun asing, perusahaan pasangan usaha tidak tetutup kemungkinan mendapat bantuan teknis, manajemen, maupun akses dari instansi maupun asosiasi yang bekerjasama tersebut dan memperoleh akses jaringan usaha yang luas dari mitra usaha baru, serta meningkatkan kinerja manajemen perusahaan, sehingga lebih profesional. Skema Pola Kemitraan PT. Sarana Bali Ventura dengan Kelompok Tani Ternak Mekar Sari : PT. SBV
MOU
PEMDA
BINTEK
intruksi
Pembiayaan Kelompok Ternak
Rekomendasi
DISNAK
Sebelum perusahaan melakukan kerjasama, pihaknya melakukan survey kelapangan serta mengkaji dan mempertimbangkan kelayakannya, antara lain : 1. Peternak sapi sudah berbentuk kelompok serta telah mendapat rekomendasi dari Dinas Peternakan Provinsi Bali. 2. Kelompok ternak sapi Mekar Sari bersedia mentaati perjanjian-perjanjian yang telah ditetapkan baik persyaratan financial maupun persyaratan legal. 3. Kelompok ternak telah memiliki pengetahuan dan pengalaman dibidang usaha peternakan sapi potong. Adapun ketentuan-ketentuan dan persyaratan yang harus disepakati terlebih dahulu, adalah sebagai berikut : 1. Persyaratan teknis a. Kelompok menyiapkan kandang yang memadai sesuai dengan anjuran dari Dinas Peternakan. b. Kelompok menyetujui pelaksanaan pengadaan sapi dilakukan bersama-sama di Pasar Beringkit sesuai dengan jadwal yang direncanakan bersama dengan memperhatikan pertimbangan dari kelompok PT.Sarana Bali Ventura dan Dinas Peternakan. c. Berat sapi sekitar 300 kg, umur sekitar 2 tahun, plafon per ekor kurang lebih Rp. 4.800.000,00 (atau ditetapkan kemudian sesuai dengan harga pasar). d. Kelompok bersedia dan sanggup mengadakan pemeliharaan terhadap ternak sapi yang diterimanya, memberikan hijauan pakan ternak dan pakan tambahan sesuai dengan anjuran Dinas Peternakan, serta penanggulangan sedini mungkin apabila ada sapi yang sakit. e. Pemeliharaan sapi dilaksanakan selama 7(tujuh) bulan namun sapi dapat dijual sebelum atau setelah masa pemeliharaan tersebut, sepenuhnya tergantung pertimbangan PT. Sarana Bali Ventura. f. Pelaksanaan penjualan sapi akan diupayakan melalui “bursa” bertempat di lokasi CPPU, serta penjualan sapi dilakukan bersama-sama dan sekaligus melibatkan semua pihak yaitu kelompok tani ternak Mekar Sari, PT. Sarana Bali Ventura, dan Dinas Peternakan. Apabila penjualan melalui bursa tidak memungkinkan, maka penjualan akan dilakukan ditempat lain tidak terkecuali di pasar hewan. 2. Persyaratan finansial : a. Kelompok menyetujui seluruh biaya-biaya yang akan dikeluarkan terkait dengan rencana kerjasama penggemukan sapi kereman yang meliputi harga beli sapi bakalan, biaya transport pengadaan, biaya eartag, biaya konsultan pengadaan, biaya pengikatan/perjanjian, biaya provisi dan administrasi, serta biaya pemeliharaan kesehatan ternak. Apabila penjualan sapi dilakukan di pasar hewan, maka seluruh biaya seperti surat Desa, transport penjualan,retribusi pasar, dan
surat jual beli ditanggung bersama-sama oleh kelompok dan PT. Sarana Bali Ventura. b. Kelompok sanggup mentaati awig-awig kelompok yang merupakan lampiran AD/ART Kelompok. c. Kelompok sanggup menanggung segala akibat dari persetujuan ini secara tanggung renteng seperti yang tertuang dalam surat pernyataan tanggung renteng. d. Kelompok memberi kuasa kepada pengurus kelompok untuk mewakili kelompok didalam mengadakan perjanjian pembiayaan dengan PT. Sarana Bali Ventura termasuk didalamnya menandatangani surat-surat, dokumen-dokumen yang berhubungan dengan perjanjian tersebut termasuk juga menandatangani bukti penerimaan uang dan lain-lain tanpa ada yang dikecualikan demi sempurnanya tindakan hukum tersebut. ANALISIS KONTRIBUSI PENDAPATAN USAHA SAPI POTONG Perbandingan penerapan Pakan Jadi Utuh dan Pakan Tradisional : Pada proses penggemukan ternak sapi dengan menerapkan pakan jadi utuh, berat awal rata-rata per ekor sapi adalah 305 kg dengan umur 2,5 – 3 tahun. Sistem penggemukan dilakukan dengan sistem kereman yang selama proses penggemukan ternak sapi ditempatkan dalam kandang dan tidak dipekerjakan, dan setelah sapi dipelihara dalam satu siklus produksi (± 8 bulan) sapi siap dijual dengan berat rata-rata 407 kg. Sedangkan dalam proses penggemukan dengan menggunakan pakan tradisional (hijauan dan rumput), berat bobot awal rata-rata 300 – 410 kg. Selama proses penggemukan peternak memanfaatkan tanah tegalannya terutama di selasela dan pinggiran tanaman perkebunannya ditanami rumput gajah dan tanaman hijauan pakan ternak, untuk memenuhi kebutuhan makanan ternaknya sehingga peternak tidak menemui kendala dalam memenuhi pakan ternak. Responden dalam melakukan pemeliharaan terhadap ternak sapinya hanya membutuhkan waktu 1 – 4 jam setiap hari secara terus menerus sampai proses penjualan selama kurun waktu ± 8 bulan. Biaya produksi : Biaya produksi merupakan sejumlah biaya yang dikeluarkan dalam suatu usaha ternak, dimana biaya ini terdiri dari biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variabel). Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan sekali untuk sarana produksi dan dapat dipergunakan berkali-kali, dan biaya tidak tetap (variabel) adalah biaya yang dikeluarkan berulang-ulang seperti pakan ternak, upah tenaga kerja, obat-obatan, vaksinasi dan biaya varabel lainnya. Jumlah rata-rata biaya yang dikeluarkan Petani Ternak per ekor selama 8 bulan : Harga Total Biaya No. Jenis Biaya Volume Satuan /Unit (Rp.) (Rp.) A. Biaya Tetap : Biaya kandang Unit 137.500,137.500,Sekop Unit 60.000,7.500,Ember Unit 10.200,10.200,Cangkul Unit 40.000,5.000,Jumlah A 160.200,B.
Biaya tidak tetap : Pembelian sapi bakalan
1 ekor
5.482.875,-
5.482.875,-
Transport Eartag Obat-obatan Provisi dan Administrasi Surat-Surat Upah tenaga kerja Jumlah B Jumlah A + B Sumber : Data primer diolah.
1 unit 1 unit 1 ekor 1 ekor 1 Orang -
50.000,15.000,40.500,62.500,5.000,85.300,-
50.000,15.000,40.500,62.500,5.000,682.400,6.338.275,6.498.475,-
Total biaya pemeliharaan sapi potong per ekor selama 8 (delapan) bulan adalah : TC = FC + VC TC = Rp. 160.200,- + Rp. 6.338.275,TC = Rp. 6.498.475,Hasil Produksi : Bobot sapi awal bakalan yang dipelihara oleh petani ternak sapi potong rata-rata memiliki berat 305 kg., dan setelah selama proses penggemukan sapi selama kurun waktu 8 (delapan) bulan, petani bersama-sama mitra usahanya yakni PT. Sarana Bali Ventura, melakukan transaksi penjualan melalui sistem bursa. Dari hasil pemeliharaan sapi diperoleh hasil berupa kenaikan bobot/berat sapi per ekor selama 8 (delapan ) bulan adalah 407 kg. dengan harga jual rata-rata per kg. sebesar Rp. 18.050,-. Sehingga hasil penjualan kotor didapat sebesar Rp. 7.346.350,- dan keuntungan didapat sebesar Rp. 847.875,-. Dilihat dari perbandingan R/C ratio didapat 1,13 yang berarti setiap satu satuan rupiah yang dikeluarkan oleh petani ternak, menghasilkan pendapatan sebesar 1,13, ini menunjukkan bahwa pemeliharaan sapi potong kelompok Mekar Sari di Banjar Lampu, Desa Catur, Kecamatan Kintamani adalah menguntungkan dan layak untuk dikembangkan dan diteruskan. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan : Dari hasil pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai beikut : Dari hasil penelitian dan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Sistem kemitraan ini, menguntungkan dalam pelaksanaanya dengan R/C ratio 1,13 yang berarti bahwa setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh petani ternak sapi potong, menghasilkan pendapatan sebesar 1,13 rupiah. Rata-rata biaya yang dikeluarkan peternak sapi potong, per ekor selama 8 (delapan) bulan adalah Rp. 6.498.475,- dan rata-rata pendapatan kotor yang diperoleh adalah sejumlah Rp. 7.346.350,-, sehingga besarnya kontribusi pendapatan bersih adalah Rp. 847.875,- dan besarnya kontribusi pendapatan yang diterima oleh petani peternak per ekor adalah Rp. 466.331,25 ( 55 % dari pendapatan bersih) dan yang diterima oleh PT. Sarana Bali Ventura adalah Rp. 381.543,75 (45 % dari pendapatan bersih). 2. Sistem kemitraan dapat berjalan dengan baik dan layak dikembangkan lebih lanjut. Hal ini disebabkan adanya penguasaan yang cukup baik dari aspek teknis pemeliharaan serta pengetahuan dalam membudidayakan ternak sapi
potong, juga dengan adanya pembinaan-pembinaan dari petugas pendamping (PPL) dari wilayah binaan Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
Saran-saran : 1. Kerjasama melalui sistem kemitraan ini, hendaknya lebih ditingkatkan lagi, khususnya bagi PT. Sarana Bali Ventura untuk lebih meningkatkan pembinaan dan penyuluhan melalui kerjasama dengan Dinas Peternakan dan PPL kepada peternak sapi potong, supaya produksi ternak sapi potong dapat ditingkatkan dengan kualitas yang lebih baik. 2. Mengingat potensi Desa Catur yang besar dan kemampuan petani ternak sapi potong yang cukup baik, maka kelompok petani ternak sapi potong ini supaya dikembangkan lebih intensif lagi. Daftar Pustaka : Abidin Zacnai, 2002. Penggemukan Sapi Potong, Agropedia Pustaka, Jakarta. Amara Made, 2004. Pola Pengembangan Agribisnis, Modul Mata Kuliah Manajemen Agribisnis dan Ekonomi Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana. Departemen Pertanian, 2007. Pemanfaatan Modal Ventura untuk Agribisnis. hhtp//wwwdeptan.go.id/pembiayaan/direktorat pembiayaan htm. Guntoro Suprio, 2002. Membudidayakan Sapi Bali, Jakarta Kanesius. Hafsah, M Jafar, 2003. Kemitraan Usaha Konsep dan Strategi, Pustaka Sinar harapan, Jakarta. Kadarsan, W. Halimah, 1992. Keuangan Pertanian dan Pembiayaan Perusahaan Agribisnis, PT.Gramedia Pustaka, Utama Jakarta. Martodireso dan Suryanto, 2001. Agribisnis Kemitraan Usaha Bersama, Jakarta Kanesius. Murtijo, Bambang Agus, 1990. Beternak Sapi Potong, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Santoso, Undang, 2008. Mengelola Peternakan Sapi Secara Profesional, Jakarta, Penebar Swadaya. Sulistyowati, Ayu, 2006. Upaya Mendongkrak Kembali Populasi Sapi Bali, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Mei, 2010, Vol. XIII, No. 6
Pengaruh Campuran Feses Sapi Potong dan Feses Kuda Pada Proses Pengomposan Terhadap Kualitas Kompos Yuli Astuti Hidayati, Eulis Tanti Marlina, Tb.Benito A.K, Ellin Harlia1 Intisari Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas kompos (kandungan N, P2O5, K2O) yang dihasilkan dari berbagai campuran feses sapi potong dan feses kuda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen di laboratorium dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3 perlakuan, yaitu P1=C/N rasio 25, P2=C/N rasio 30 dan P3=C/N rasio 35 dan diulangan 6 kali. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan, data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan uji Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa campuran feses sapi potong dan feses kuda dengan berbagai C/N rasio berpengaruh tidak nyata terhadap kualitas kompos . Kandungan N dalam kompos yang dihasilkan = 0,7867 – 0,8000 %, kandungan P2O5 = 0,5883 – 0,6000 %, K2O = 0,5733 – 0,5883 % Kata Kunci : Feses Sapi Potong, Feses Kuda, Pengomposan, Kompos, N, P2O5, K2O
Effect of Mixed Cattle Feces and Feces Composting Process Of Horses On Quality Compost Abstract This study aims to determine compost quality (content of N, P2O5, K2O) generated from various mixtures of beef cattle feces and the feces of horses. The method used in this study is the experimental method in the laboratory using a completely randomized design with 3 treatments, ie P1 = C / N ratio of 25, P2 = C / N ratio of 30 and P3 = C / N ratio of 35 and replications 6 times. To determine the effect of treatments, data were analyzed with ANOVA and Duncan test. The results showed that the mixture of feces of beef cattle and horse feces with various C / N ratio did not significantly affect the quality of compost. N content in compost produced = 0.7867 to 0.8000%, P2O5 content = 0.5883 to 0.6000%, K2O = 0.5733 to 0.5883% Key Words: Feces of Beef Cattle, Horse Feces, Composting, Compost, N, P2O5, K2O
1
Staf Pengajar Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung, Bandung Pengaruh Campuran Feses Sapi Potong dan Feses Kuda Pada Proses Pengomposan Terhadap Kualitas Kompos
299
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Mei, 2010, Vol. XIII, No. 6
Pendahuluan Feses kuda merupakan limbah padat dari proses metabolism ternak kuda, feses kuda seperti feses ternak pada umumnya berpotensi menyebabkan pencemaran lingkungan, untuk itu perlu dilakukan pengolahan terhadap feses tersebut. Salah satu pengolahan yang dapat dilakukan adalah dengan proses pengomposan. Proses pengomposan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu C/N rasio, kadar air, suhu, derajat keasaman (pH), oksigen dan aktivitas mikroorganisme. C/N rasio digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi mikroorganisme untuk melakukan aktivitasnya dalam merombak substrat. Karbon digunakan sebagai sumber energy dan Nitrogen untuk membangun struktur sel mikroorganisme. Perbedaan kandungan C dan N akan menentukan kelangsungan proses pengomposan yang pada akhirnya memmpengaruhi kualitas kompos yang dihasilkan. Feses kuda mengandung karbon yang tinggi dan nitrogen rendah. Sementara itu feses sapi potong yang diberi pakan konsentrat, mempunyai C/N rasio rendah. Pencampuran antara feses kuda dan feses sapi potong akan menghasilkan C/N rasio yang dapat memenuhi kebutuhan proses pengomposan. Menurut Markel (1981) C/N rasio proses pengomposan antara 26 – 35. Penelitian kualitas kompos yang dihasilkan tercermin pada kandungan nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K) . Standar kualitas kompos berdasarkan SNI 19-7030-2004 minimum mengandung Nitrogen (N) 0,40%, Fosfor (P2O5) 0,1% dan Kalium (K2O) 0,20% (Eulis 2009). Kandungan N dalam kompos
berasal dari bahan organik komposan yang didegradasi oleh mikroorganisme, sehingga berlangsungnya proses degradasi (pengomposan) sangat mempengaruhi kandungan N dalam kompos (Yuli A.H. et al., 2008a). Kandungan (P2O5) dalam komposan diduga berkaitan dengan kandungan N dalam komposan. Kalium (K2O) tidak terdapat dalam protein, elemen ini bukan elemen langsung dalam pembentukan bahan organik, kalium hanya berperan dalam membantu pembentukan protein dan karbohidrat. Kalium digunakan oleh mikroorganisme dalam bahan substrat sebagai katalisator, dengan kehadiran bakteri dan aktivitasnya akan sangat berpengaruh terhadap pengingkatan kandungan kalium. Imbangan feses sapi potong dan sampah organik 25 : 75 (P1) menghasilkan kualitas kompos terbaik (N = 2.18%; P = 1,17% dan K = 0,95% ) (Yuli et al., 2010d). Materi dan Metode Bahan penelitian yang digunakan adalah feses kuda, feses sapi potong, zat kimia untuk menganalisis kandungan Nitrogen (N), Fosfor (P2O5) dan Kalium (K2O). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen di laboratorium. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 macam perlakuan, yaitu P1=C/N rasio 25,P2=C/N rasio 30 dan P3=C/N rasio 35 dan 6 ulangan. Peubah yang diamati adalah kandungan Nitrogen (N), Fosfor (P2O5) dan Kalium (K2O), suhu dan pH selama proses pengomposan sebagai data pendukung. Untuk mengetahui pengaruh
Pengaruh Campuran Feses Sapi Potong dan Feses Kuda Pada Proses Pengomposan Terhadap Kualitas Kompos
300
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Mei, 2010, Vol. XIII, No. 6
4. Setelah proses pengomposan selesai, perlakuan, data yang diperoleh dianalisis dilakukan analisis kandungan dengan sidik ragam dan uji Duncan. Prosedur Pembuatan Kompos Pada Nitrogen (N), Fosfor (P2O5) dan Campuran Feses Kuda dan Feses Sapi Kalium (K2O). Potong : 1. Penentuan campuran feses kuda dan Hasil dan Pembahasan feses sapi potong sesuai perlakuan, Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Unsur Hara Nitrogen (N). volume komposan setiap perlakuan Berdasarkan hasil pengamatan dan sebanyak 0,5m3 pengukuran selama penelitian diperoleh 2. Kemudian kedua bahan dicampur data rata-rata kandungan unsur hara sampai rata dan dibuat tumpukan 1 x 1 Nitrogen (N) kompos yang disajikan pada x 0,50 m, lalu dikomposkan selama 35 Tabel 1. hari 3. Dilakukan pembalikan pada komposan setiap 3 hari sekali sampai hari ke 14 Tabel 1. Data rata-rata kandungan unsur nitrogen (N) kompos feses kuda dan feses sapi potong . Kandungan Nitrogen (N) Perlakuan Signifikansi 0,05 ……%...... P1 0,7867 a P2 0,7633 a P3 0,8000 a Keterangan : Huruf yang sama kearah vertical pada kolom signifikansi menunjukkan tidak berbeda nyata
Berdasarkan tabel 1, terlihat bahwa ada perbedaan hasil rata-rata kandungan N. Perlakuan P1 menghasilkan rata-rata terendah, yaitu 0,7867% diikuti P2 sebesar 0,7633% dan tertinggi P3 sebesar 0,8000%. Untuk mengetahui besarnya pengaruh perlakuan, dilakukan analisis sidik ragam dan uji Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa campuran feses kuda dan feses sapi potong berpengaruh tidak nyata terhadap kandungan nitrogen (N) dalam kompos, hal ini diduga proses pengomposan tidak hanya dipengaruhi oleh C/N rasio komposan tetapi dipengaruhi juga oleh aktivitas mikroorganisme dalam komposan. Pada penelitian ini mikroorganisme yang berperan merupakan mikroorganisme
indigenus dalam feses sapi potong saja yang dominan sehingga proses degradasi komposan kurang optimal. Hal ini sejalan dengan pendapat Yuli A.H., dkk (2008a) yang menyatakan bahwa kandungan N dalam kompos berasal dari bahan organik komposan yang didegradasi oleh mikroorganisme, sehingga berlangsungnya proses degradasi (pengomposan) sangat mempengaruhi kandungan N dalam kompos.Namun demikian C/N rasio komposan dalam penelitian ini memenuhi persyaratan pada proses pengomposan. Hal ini sejalan dengan pendapat Markel (1981) dan Lin, Chitsan. (2008) yang menyatakan bahwa pada proses pengomposan diperlukan nisbah C/N 25 – 35. Semua perlakuan dalam
Pengaruh Campuran Feses Sapi Potong dan Feses Kuda Pada Proses Pengomposan Terhadap Kualitas Kompos
301
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Mei, 2010, Vol. XIII, No. 6
penelitian ini menghasilkan kandungan unsur hara N antara 0,7867 – 0,8000%, hal ini masih sesuai dengan standar yang ditentukan SNI yang mensyaratkan bahwa kompos mengandung unsure N minimal 0,40%. Pengaruh Perlakuan terhadap kandungan unsur hara Fosfor (P2O5). Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran selama penelitian diperoleh
data rata-rata kandungan unsur hara Fosfor (P2O5) kompos yang disajikan pada tabel 2. Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa ada perbedaan hasil rata-rata kandungan P2O5. Perlakuan P1 menghasilkan rata-rata terrendah, yaitu 0,5883% diikuti P2 sebesar 0,5733% dan tertinggi P3 sebesar 0,6000%.
Tabel 2. Data rata-rata kandungan unsure Fosfor (P2O5) kompos Feses Kuda dan Feses Sapi Potong. Signifikansi 0,05 Perlakuan Kandungan Fosfor (P2O5) ……%....... P1 0,5883 a P2 0,5733 a P3 0,6000 a
Keterangan : Huruf yang sama kearah vertical pada kolom signifikansi menunjukkan tidak berbeda nyata
Untuk mengetahui besarnya pengaruh perlakuan, dilakukan analisis sidik ragam dan uji Duncan. Semua perlakuan menghasilkan kandungan unsur hara P2O5 yang tidak berbeda, hal ini diduga kandungan P2O5 sejalan dengan kandungan N dalam komposan. Hal ini sejalan dengan pendapat Yuli et al., (2008) dan Stofella dan Kahn, (2001) yang menyatakan kandungan (P2O5) dalam komposan diduga berkaitan dengan kandungan N dalam komposan. Semakin besar nitrogen yang dikandung maka multiplikasi mikroorganisme yang merombak fosfor akan meningkat, sehingga kandungan fosfor dalam bahan
komposan juga meningkat. Kandungan fosfor dalam bahan komposan akan digunakan oleh sebagian besar mikroorganisme untuk membangun selnya. Perombakan bahan organik dan proses asimilasi fosfor terjadi karena adanya enzim fosfatase yang dihasilkan oleh sebagian mikroorganisme Pengaruh Perlakuan terhadap kandungan unsure hara Kalium (K2O). Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran selama penelitian diperoleh data rata-rata kandungan unsure hara Kalium (K2O) kompos yang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Data rata-rata kandungan unsure Kalium (K2O) kompos Feses Kuda dan Feses Sapi Potong Signifikansi 0,05 Perlakuan Kandungan Kalium (K2O) ……%....... P1 0,5733 a P2 0,5633 a Pengaruh Campuran Feses Sapi Potong dan Feses Kuda Pada Proses Pengomposan Terhadap Kualitas Kompos
302
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Mei, 2010, Vol. XIII, No. 6
P3
0,5883
a
Keterangan : Huruf yang sama kea rah vertical pada kolom signifikansi menunjukkan tidak berbeda nyata
Berdasarkan Tabel 3, terlihat bahwa ada perbedaan hasil rata-rata kandungan K2O. Perlakuan P2 menghasilkan rata-rata terendah, yaitu 0,5633% diikuti P1 sebesar 0,5733% dan tertinggi P3 sebesar 0,5883%. Untuk mengetahui besarnya pengaruh perlakuan, dilakukan analisis sidik ragam dan uji Duncan, semua perlakuan menghasilkan kandungan unsur hara K2O yang tidak berbeda, hal ini diduga kandungan K2O kompos berasal dari bahan komposan yang banyak mengandung hijauan yang didalamnya banyak terdapat unsur K2O yang pada proses pengomposan akan dimanfaatkan oleh bakteri untuk aktivitasnya. Kandungan K2O pada penelitian ini masih sesuai dengan standar yang ditentukan SNI yang mensyaratkan bahwa kompos mengandung unsure K2O minimal 0,20%. Kesimpulan 1. Campuran feses kuda dan feses sapi potong dengan berbagai C/N rasio (25 – 35) berpengaruh tidak nyata terhadap kualitas kompos . 2. Kandungan N dalam kompos yang dihasilkan berkisar 0,7867 – 0,8000 %, kandungan P2O5 berkisar 0,5883 – 0,6000 %, K2O berkisar 0,5733 – 0,5883 %
Daftar Pustaka Eulis T.M., 2009. Biokonversi Limbah Industri Peternakan. UNPAD PRESS.Bandung. Chitsan L., 2008. A negative-pressure aeration system for composting food wastes. Bioresource Technology. Vol 99 Issue 16. P7651-7656,6p. Markel,J.A.1981. Managing Livestock Wastes. AVI Publishing Company, INC, Westport, Connecticut. Stofella,P.J. dan B. A. Kahn, 2001. Compost Utilization in Holticultural Cropping Systems. Lewis Publishers.USA Yuli A.H., H. Ellin dan T.M. Eulis, 2008a, Analisis Kandungan N, P dan K Pada Lumpur Hasil Ikutan Gasbio (Sludge) Yang Terbuat Dari Feses Sapi Perah, Semnas Puslitbangnak – Bogor, Yuli A.H., H. Ellin, dan T.M. Eulis., 2008b, Analisis Kualitas Kompos Dari Limbah Organik Pasar Tradisional Tanjungsari Sumedang, PATPI – Palembang Yuli A.H., H. Ellin, dan T.M Eulis., 2010d, Pengaruh Imbangan Feses Sapi Potong dan Sampah Organik pada Proses Pengomposan terhadap Kualitas Kompos, Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains Vol 12, No 3 Bulan Agustus.
Pengaruh Campuran Feses Sapi Potong dan Feses Kuda Pada Proses Pengomposan Terhadap Kualitas Kompos
303
Isti Arum dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):31-38, April 2013
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN WARU (Hibiscus tiliaceus) PADA PAKAN SAPI POTONG LOKAL TERHADAP PRODUKSI VFA TOTAL DAN NH₃ SECARA IN VITRO "EFFECT OF EXTRACTED WARU LEAVES (Hibiscus tiliaceus) IN FEEDING LOCAL BEEF CATTLE TO THE PRODUCTION OF TOTAL VFA AND NH₃ IN IN VITRO" Isti Arum, Sri Rahayu, Muhamad Bata* Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto *) corresponding author : [email protected] ABSTRAK Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun waru terhadap produksi VFA total dan NH₃ secara in vitro. Penelitian menggunakan metode eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri atas lima blok. Sebagai blok adalah periode pengambilan cairan rumen yang berasal dari tiga ekor sapi potong yang diambil dari Rumah Potong Hewan (RPH) Mersi, Purwokerto. Perlakuan yang diuji adalah level ekstrak daun waru (Hibiscus tiliaceus) dalam konsentrat (mg/kg BK). Level pemberian ekstrak daun waru tersebut adalah 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, dan 150 ppm masing-masing untuk R₁, R₂, R₃, dan R₄. Imbangan bahan kering pakan komplit yang digunakan terdiri atas 45% jerami padi amoniasi (amoniasi menggunakan urea 5% dan onggok 2,5%) dan 55% konsentrat. Peubah yang diukur adalah konsentrasi VFA total dan N-NH₃. Analisis variansi menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun waru berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap konsentrasi VFA namun tidak berpengaruh (P > 0,05) pada produksi NH₃. Peningkatan konsentrasi daun waru (ppm) menyebabkan penurunan VFA secara kuadrater ( P < 0,05 ) dengan konsentrasi VFA terendah dicapai pada level 96,209 ppm. Rataan produksi VFA yaitu 318,6 ± 77,34 ; 253,60 ± 36,00 ; 261,10 ± 64,48 ; 266,40 ± 70,32 (mM/1) dan NH₃ yaitu 16.84±3.55 ; 17.68±3.34 ; 16.80±2.58 ; 16.60±3.93 (mM/1). Dari hasil tersebut disimpulkan suplementasi ekstrak ethyl acetate daun waru hingga level 150 ppm tidak mengganggu aktivitas metabolisme rumen sapi potong secara in vitro. Kata Kunci : in vitro, ekstrak daun waru, cairan rumen, VFA, NH₃ ABSTRACT The aim of this research was to determine level of extract of waru leaf on the production of total VFA and NH₃ in vitro. The research was designed according to randomized block design with five groups. Grouping wasbased on the time period of rumen fluid collections from trhee beef cattle taken from slaughter house Mersi, Purwokerto. Treatments tested were Hibiscus tiliaceus leaves extract supplemented to concentrate (DM 87,95%), its consist of 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, and 150 ppm for R1, R2, R3, and R4, respectivenly. Complete feed dry matter ration consisted of 45% amoniated rice straw (amoniated with urea 5% and onggok 2,5%) and 55% concentrate. The variables measured were concentrations of total VFA and NH₃. Analysis of variance showed that Hibiscus leaf extract significantly affect (P<0,05) to the total VFA concentrations and had no effect (P>0,05) on the production of NH₃. Increasing concentration of waru leaf (ppm) causes a decrease in kuadrater VFA (P< 0.05). The average of total VFA production are 318.6 ± 77.34; 253.60 ± 36.00; 261.10 ± 64.48; 266.40 ± 70.32 (mM /1) and NH ₃ is 16.84 ± 3:55; 17.68 ± 3:34 ; 16.80 ± 2:58; 16.60 ± 3.93 (mM / 1). Result showed that supplementation of ethyl acetate extract of Hibiscus tiliaceus leaves to level 150 ppm did not interfere the rumen metabolic activity of beef cattle in vitro. Key words : in vitro, extracted Hibiscus tiliaceus leaves, rumen fluid, VFA, NH₃
31
Isti Arum dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):32-38, April 2013
PENDAHULUAN Usaha peternakan sapi potong di peternakan rakyat menghadapi kendala penyediaan pakan berkualitas untuk menghasilkan pertambahan bobot badan optimal. Upaya pemberian pakan lokal seperti jerami padi amoniasi, dapat digunakan sebagai alternatif. Bata dan Rustomo (2009) melaporkan bahwa penggunaan 40-55% jerami padi amoniasi pada ransum sapi potong lokal dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian sebesar 0,9-1,3 kg. Namun penggunaan pakan jerami padi amoniasi masih menghasilkan gas metan (CH₄) yang tinggi. Sektor peternakan telah menyumbang gas metan (CH₄) sebesar 37%, bahkan menurut Martin, et al. (2008) sekitar 66 % emisi gas metan berasal dari peternakan, terutama ternak ruminansia. Emisi gas metan (CH₄) ruminansia berasal dari proses metanogenesis di dalam rumen, jumlahnya sebesar 80 – 95 %. Gas ini dikeluarkan melalui mulut ke atmosfir dan mempengaruhi pemanasan global (global warming) (Aluwong et al., 2011). Pembentukan gas metan juga berpengaruh negatif terhadap ternak ruminansia itu sendiri, yaitu menyebabkan kehilangan energi hingga 15% dari total energi kimia yang tercerna. Untuk mengeliminasi produksi gas metan yang berasal dari ternak ruminansia ada beberapa cara yang dapat dilakukan seperti : penambahan senyawa halogen analog metan, pemberian ionophor (monensin), meningkatkan propionat, pemberian oksidator metan, probiotik dan defaunasi (Moss et al., 2000). Produksi gas metan berbanding lurus dengan jumlah protozoa, artinya produksi gas metan berkurang bila populasi protozoa rumen menurun (Thalib , 2008). Sebesar 30% bakteri penghasil metan (metanogenik) diketahui bersimbiosis dengan protozoa. Oleh karenanya dengan mengurangi populasi protozoa akan menyebabkan penurunan gas metan dan peningkatan jumlah bakteri rumen, karena protozoa adalah pemangsa bakteri. Populasi protozoa di dalam rumen dapat dikurangi dengan memberikan agen defaunasi seperti saponin. Mekanisme kerja saponin dalam defaunasi adalah mempengaruhi tegangan permukaan dinding sel protozoa. Peningkatan permeabilitas dinding sel, menyebabkan cairan di luar sel akan masuk ke dalam sel protozoa. Masuknya cairan dari luar sel menyebabkan pecahnya dinding sel sehingga protozoa mengalami kematian atau lisis. Daun Waru (Hibiscus tiliaceus) diketahui mengandung senyawa saponin. Penggunaan 10% daun waru dari bahan kering konsentrat mampu menurunkan populasi protozoa dan menghasilkan konsentrasi VFA sebesar 168,81mM dan NH3 sebesar 37,96 mg/100ml pada imbangan hijauan : konsentrat 70:30 (Istiqomah dkk, 2011). Pada penelitian ini saponin daun waru diekstrak menggunakan pelarut ethyl acetate, sehingga konsentrasi saponin meningkat. Konsentrasi yang tinggi dari saponin, akan menekan populasi protozoa lebih besar. Pengurangan protozoa tersebut akan mempengaruhi populasi bakteri metanogenik dan bakteri pendegradasi serat (selulolitik). Penggunaan ekstrak etil asetat daun waru (Hibiscus tiliaceus) dalam pakan akan mempengaruhi produksi VFA dan mempertahankan konsentrasi N-NH₃. METODE Penelitian menggunakan metode eksperimental yang dirancang menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang terdiri atas lima blok. Sebagai blok adalah sumber inokulum yang diperoleh dari 3 ekor sapi jantan sesaat setelah dipotong yang diambil pada tanggal 22, 24, dan 27 Februari 2012 dan 23, 27 April 2012 di Rumah Potong Hewan (RPH) Mersi. Perlakuan yang diuji adalah
32
Isti Arum dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):33-38, April 2013
pengaruh pemberian ekstrak daun waru (Hibiscus tiliaceus) yang dicampur dalam konsentrat (BK konsentrat 87,95%). Ekstrak daun waru diperoleh dari hasil ekstraksi tepung daun waru kecil menggunakan pelarut ethyl acetate sesuai metode Wettasinghe et al.(2002) yang dimodifikasi, yaitu tepung daun waru sebanyak 10 gram yang diperoleh dari penggilingan daun waru kecil yang telah dikeringkan dengan sinar matahari selama ± 2 hari diekstraksi menggunakan 100 ml pelarut ethyl acetate dan dihomogenisasi dengan magnetic stirrer pada suhu ruang selama 24 jam. Larutan disaring dengan kertas saring. Filtrat dipekatkan menggunakan vacuum rotary evaporator dengan temperatur 40°C sampai volumenya tersisa ± 10 ml. Ekstrak dimasukkan ke dalam desikator sampai bebas dari ethyl acetate atau dikeringanginkan ± 2 hari sampai berbentuk serbuk. Level pemberian ekstrak daun waru tersebut adalah 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, dan 150 ppm masing-masing untuk R₁, R₂, R₃, dan R₄. Imbangan bahan kering konsentrat dan jerami padi amoniasi adalah 55:45. Jerami padi diamoniasi menggunakan urea dan onggok masing-masing 5% dan 2,5% dari berat jerami. Komposisi pakan komplit beserta total kandungan nutrien pakan selengkapnya tersaji pada Tabel 1. Penelitian dilakukan dengan eksperimental in vitro menggunakan metode Tilley and Terry (1963). Supernatan hasil in vitro disimpan di dalam botol plastik yang ditutup rapat kemudian diletakkan pada lemari es dengan suhu 0-4°C. Peubah yang diukur adalah produksi VFA total dengan metode destilasi uap (AOAC 1999) dan N-NH₃ menggunakan metode difusi conway (Conway, 1957). Data yang diperoleh setelah penelitian dianalisis menggunakan analisis variansi dan dilanjutkan dengan uji orthogonal polinomial. Tabel 1. Komposisi Pakan Komplit dan Total Nutrien Pakan Proporsi Dalam Ransum Bahan Pakan (%) PK Jerami Padi Amoniasi 45 3.6 Tepung Kelapa 12 2.56 Bungkil Kedelai 10.5 4.93 Dedak Padi 20 2.3 Pollard 10 1.64 Mineral Mix 1.5 0 Garam 1 0.00 Total Nutrien 100 15.03
Kandungan Nutrien (%) SK LK 13.50 0.53 1.77 1.25 0.62 0.28 2.78 1.73 1.10 0.39 1.13 0.00 0.00 0.00 20.90 4.17
TDN 20.87 9.44 8.74 11.10 7.48 0.00 0.00 57.63
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis variansi menunjukkan bahwa suplementasi ekstrak etil asetat daun waru berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap produksi VFA total akan tetapi tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap produksi NH₃. Berdasarkan hasil uji lanjut orthogonal polynomial, menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak daun waru (ppm) menyebabkan penurunan VFA secara kuadrater ( P < 0,05 ) dan produksi VFA terendah dicapai pada pemberian ekstrak daun waru dengan dosis 96.2 ppm dengan hasil VFA sebesar 249.79 (mM), kemudian selanjutnya naik pada penambahan ekstrak daun waru. Namun kenaikan tersebut pada R₄ tidak lebih tinggi dari konsentrasi VFA pada kontrol (R₁). Persamaan kuadratik dari analisis variansi tersebut adalah Y=314.865 - 1.3527 X + 0.00703 X2 R2 =14.92 % terlihat pada gambar 1.
33
Isti Arum dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):34-38, April 2013
400
VFA (mM)
300
200
100
0 0
50
100
150
Penambahan ekstrak daun waru (ppm)
Gambar 1. Pengaruh ekstrak daun waru terhadap produksi VFA VFA dihasilkan dari fermentasi pakan oleh bakteri selulolitik. Menurunnya produksi VFA pada R₂ (100 ppm) menunjukkan penurunan aktivitas bakteri selulolitik. Daun waru mengandung saponin dan quinoline yang merupakan agen defaunasi. Peningkatan pemberian ekstrak daun waru menyebabkan penurunan protozoa dan populasi bakteri metanogenik yang bersimbiosis dengannya. Restiti (2012) melaporkan pemberian ekstrak ethyl acetate daun waru dalam pakan sapi potong lokal dengan level 0-150 ppm berpengaruh nyata terhadap populasi protozoa rumen dimana dicapai titik minimum populasi protozoa pada pemberian ekstrak daun waru sebanyak 106.69 ppm dengan populasi protozoa sebanyak 5.752,86 sel/ml. Hal ini selaras dengan pengamatan Pertiwi (2012), menginformasikan dengan suplementasi ekstrak ethyl acetate daun waru dalam pakan sapi potong lokal pada level 0-150 ppm menurunkan produksi gas methan secara kuadratik, walaupun pengaruhnya tidak nyata. Penurunan jumlah protozoa ini disebabkan oleh dua kemungkinan, yang pertama adalah karena efek agen defaunasi protozoa dan kedua karena pH cairan rumen yang juga mengalami penurunan sehingga protozoa tidak tahan hidup. Perubahan pH R₁ hingga R4 (0-150 ppm) adalah 5.90 ; 5.79 ; 5.86 ; 5.85. Sunaryadi (1999) menyatakan bahwa pada pH cairan rumen lebih kecil dari 6,2 maka kecernaan serat mulai terganggu. Penurunan pH diduga karena perlakuan defaunasi mengurangi populasi protozoa, padahal protozoa berperan menjaga stabilitas pH rumen dengan menyimpan karbohidrat tersebut sehingga tidak terfermentasi. Dengan penurunan protozoa tersebut mengakibatkan ketersediaan karbohidrat yang mudah terfermentasi di dalam rumen menjadi meningkat, karena protozoa mengonsumsi karbohidrat fermentable untuk hidupnya. Dalam penelitian ini, penambahan ekstrak daun waru menurunkan produksi VFA hingga titik minimum produksi VFA yaitu 249,79 (mM) dengan penambahan ekstrak daun waru sebanyak 34
Isti Arum dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):35-38, April 2013
96,2 ppm yang kemudian naik lagi dengan peningkatan level ekstrak daun waru. Restiti (2012) melaporkan populasi protozoa mencapai titik minimum 5.752,86 sel/ml pada penambahan 106.69 ppm. Penurunan protozoa akibat defaunasi mengakibatkan jumlah bakteri metanogenik yang juga bersifat selulolitik menjadi turun, sehingga mengakibatkan produk fermentasinya menurun. Disaat produksi VFA terukur mencapai titik minimum, populasi protozoa masih mengalami penurunan. Protozoa dalam hidupnya memanfaatkan karbohidrat fermentabel untuk makanannya. Sehingga dengan penurunan protozoa, ketersediaan karbohidrat fermentabel di dalam rumen akan meningkat. Disaat yang bersamaan, diduga bahwa dengan penurunan protozoa, mengakibatkan bakteri rumen khususnya selulolitik menjadi meningkat. Sehingga produksi VFA menjadi meningkat. Banyaknya VFA yang dihasilkan di dalam rumen sangatlah bervariasi yaitu antara 200 – 1500 mg/100 ml cairan rumen. Hal ini tergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi (McDonald et al; 2002). Populasi protozoa yang menurun adalah akibat agen defaunasi (saponin) yang terdapat dalam ekstrak daun waru. Saponin dapat mengganggu perkembangan protozoa dengan terjadinya ikatan antara saponin dengan sterol pada permukaan membran sel protozoa, menyebabkan membran pecah, sel lisis dan mati. Keberadaan kolesterol pada membran sel eukariotik (termasuk protozoa) tetapi tidak terdapat pada sel bakteri prokariotik, memungkinkan protozoa rumen lebih rentan terhadap saponin karena saponin mempunyai daya tarik menarik terhadap kolesterol. Populasi bakteri rumen tidak mengalami gangguan karena disamping bakteri tidak mempunyai sterol yang dapat berikatan dengan saponin, bakteri mempunyai kemampuan untuk memetabolisme faktor antiprotozoa tersebut dengan menghilangkan rantai karbohidrat (Suparjo, 2009). Peningkatan level ekstrak daun waru tidak menyebabkan perubahan terhadap konsentrasi NH3, namun konsentrasinya relatif tinggi. Rataan produksi NH3 dari R₁-R₄ adalah 16.84±3.55, 17.68±3.34, 16.80±2.58, 16.60±3.93. Menurut Sutardi (1979) konsentrasi ideal N-NH₃ di dalam rumen berkisar 4-12 mM. Tingginya konsentrasi NH3 ini menggambarkan tingginya aktifitas bakteri di dalam rumen dan menggambarkan bahwa protein pakan mempunyai kelarutan tinggi sehingga mudah didegradasi oleh mikroba rumen. Konsentrasi optimum NH3 di dalam rumen antara 85 – 300 mg/l 1 atau 6-21 mM (McDonald et al, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi NH3 yang dihasilkan pada penelitian ini masih dalam kisaran ideal yang tidak mempengaruhi aktivitas metabolisme di dalam rumen. Kemungkinan lain tingginya konsentrasi NH3 adalah oleh adanya agen defaunasi protozoa, yang menurunkan populasi protozoa sehingga meningkatkan populasi sejumlah bakteri. Dalam hal ini diduga peningkatan populasi bakteri yang menonjol adalah bakteri selulolitik dan proteolitik. Seperti dinyatakan oleh Sutardi (1979) bahwa kurang lebih 35% mikroba rumen adalah bakteri proteolitik yang mampu mendegradasi protein pakan menjadi NH3 yang selanjutnya dimanfaatkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya dan sisanya didaur ulang menjadi urea darah ataupun saliva atau diekskresikan ke urin. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi NH3 antara lain tingkat degradasi protein, pemanfaatan NH3 oleh bakteri dan kandungan protein pakan. Dalam hal ini, kandungan protein pakan substrat yang digunakan pada penelitian ini sama, karena dengan penambahan ekstrak daun waru dalam pakan, tidak mempengaruhi kandungan protein pakan, sehingga diduga menjadi faktor
35
Isti Arum dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):36-38, April 2013
yang juga menyebabkan konsentrasi NH3 tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan pemberian ekstrak daun waru. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penambahan ekstrak ethyl acetate daun waru hingga level 150 ppm tidak mengganggu aktivitas metabolisme rumen sapi potong secara in vitro. UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini dapat terlaksana atas dukungan dan bantuan dari riset kerjasama Internasional Unsoed dengan Universiti Putra Malaysia (UPM). DAFTAR PUSTAKA Association of Official Analytical Chemist (AOAC). 1999. Official Methods of Analysis. Ed ke-16. Washington. AOAC International. Aluwong, T., P.A. Wuyep, and L. Allam. 2011. Livestock-enviroment interactions: Methane emissions from ruminants. African J. Biotechnology. 10 (8): 1265-1269 Arora,S.P. 1995. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Bannink, A.J. Kogut, J. Dijkstra, J. France, S. Tamminga, and A. M Vanvuuren. 2000. Modelling Production and Portal Appearance of Volatile Fatty Acids in Dairy Cows. Institute for Animal Science and Health. University of Reading Earley Gate. UK Bata, M dan B.Rustomo. 2009. Peningkatan Kinerja Sapi Potong Lokal Melalui Rekayasa Amoniasi Jerami Padi Menggunakan Molasses dan Limbah Cair Tapioca. Laporan Hasil Penelitian. Riset Strategis Nasional Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Purwokerto. Birk,Y. dan I. Peri. 1980. Saponin. Toxic Constituents of plants foodstuffs. Academic Press. New York. Conway EJ. 1957. Microdiffusion of Analysis of Assosiation Official Anahtycal Chemist: Goergia Press. Environment Canada, 2002. Canada’s Greenhouse Gas Inventory 1990-2000 Greenhouse Division Environment Canada. http:/www.ec.gc.ca/pdb/ghg/1990_00_report/acknow_e.cfm Fracis, G., Z. Kerem, H.P.S. Makkar and K. Becker. 2002. The Biological Action of Saponins in Animals Systems : a Rivew. Br.J. Nutr.88:587-605. Hanim, C., LM. Yusiati, and S. Alim. 2009. Effect of Saponin as Defaunating Agent on In vitro Ruminal Fermentation of Forageand Concentrate. J.Indonesian. Trop. Anim. Agric. 34 (4): 231-235. Haryanto, B 2009. Inovasi Teknologi Pakan Ternak Dalam Sistem Integrasi Tanaman Ternak Bebas Limbah Mendukung Upaya Peningkatan Produksi Daging.Pengembangan Inovasi Pertanian 2(3), 2009 :163-176 Hobson, P.N. 1998. The Rumen Microbial Ecosystem El Sevier Applied Science. London and New York. Hungate, R.E. 1988. The Rumen and Its Microbs. Applied Science. Academic Press. New York.
36
Isti Arum dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):37-38, April 2013
Istiqomah, L., H. Herdian, A. Febrisantosa and D. Putra. 2011. Waru Leaf (Hibiscus tiliaceus) as Saponin Source on In Vitro Ruminal Fermentation Characteristic. J. Indonesian Trop.Anim.Agric.36(1):43-49 Klita, P.T. , G.W. Mathison, T.W. Fenton, and R.T. Hardin. 1996. Effects of Alfalfa Root Saponin on Digestive Function in Sheep. J.Anim.Sci. 74:1144-1156 Martin C,, J Rovel, J.P Jouny,M. Doreau, and Y. Chiliard. 2008. Methane Output and Diet Digestibility in Response to Feeding Dairy Cows Crude Linseed, Extruded Linseed, of Linseed Oil. J. Anim.Sci. 86:2642-2650. McDonald, P.R. Edwards and J.Greenhalgh.2002. Animal Nutrition. 6th edition. New York. Moss, A.R., Jean-Piere Jouany, and J. Newbold. 2000. Methane Production by Ruminating : Its Contribution to Global Warming. Ann.Zootech.49:231-253. Newbold, C.J. S.M. El Hassan, J. Wang, M.E. Ortega and R.J. Wallace. 1997. Influence of Foliage from African Multipurpose Tress on Activity of Rumen Protozoa and Bacteria. Br.J.Nutr. 78:237-249. Putra, S., 1999. Peningkatan Performans Sapi Bali melalui Perbaikan Mutu Pakan dan Suplemenasi Seng Asetat. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Putra, S. 2006. Pengaruh Suplementasi Agensia Defaunasi dan Waktu Inkubasi terhadap Bahan Kering, Bahan Organik Terdegradasi dan Produk Fermentasi secara In Vitro. Animal Production. 8(2): 121-130 Putra, D. T. B. 2010. Pengaruh Suplementasi Daun Waru (Hibiscus tiliaceus) Terhadap Karakteristik Fermentasi dan Populasi Protozoa Rumen Secara In Vitro. Digital Skripsi. Perpustakaan.uns.ac.id Pertiwi, Septianty Sari. 2012. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Waru (Hibiscus Tiliaceus) Sebagai Pakan Tambahan dalam Ransum Sapi Potong Lokal Terhadap Produksi Gas Total dan Propionat Secara In Vitro. Skripsi. Fakultas Peternakan Unsoed. Rahayu, D. 2010. Limbah Ternak Sebagai Pencemar Lingkungan. Universitas Muhammadiyah Malang, Malang. Restiti, Riris. 2012. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Waru (Hibiscus tiliaceus) Sebagai Pakan Tambahan dalam Ransum Sapi Potong Lokal Terhadap Populasi Protozoa dan Kecernaan Bahan Kering (KBK) Secara In Vitro. Skripsi. Fakultas Peternakan Unsoed. Rika, I K. 2003.Hibiscus. Tanaman Multiguna. Artikel. Pusat Pengembangan dan Pengadaan Bibit Tanaman, Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Udayana (LPMUNUD), Bali. Siregar, S.B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya. Jakarta. Sunaryadi. 1999.Ekstraksi dan Isolasi Saponin Buah Lerak (Sapindus rarak) Serta Pengujian Daya Defaunasinya. Tesis Sekolah Pasca Sarjana IPB. Suparjo. 2009. Saponin: Peran dan Pengaruhnya bagi Ternak dan Manusia. Artikel. Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Jambi. Sutardi,T. 1979. Ketahanan Protein Bahan MakananmTerhadap Degradasi oleh Mikroba Rumen dan Manfaatnya bagi Peningkatan Produktivitas Ternak. Pros.Seminar Penelitian dan Penunjang Peternakan. LPP. Deptan vol.2: 91-103. Bogor Thalib, A. 2008. Buah Lerak Mengurangi Emisi Gas Metana Pada Hewan Ruminansia. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 30 N0 2. 37
Isti Arum dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):38-38, April 2013
Tilley, J.M.A. Valdes, and Terry, Ra. 1963. A Two Stage Technique For The In Vitro Digestion of Forage Crops. J.Brit. Grassland Soc. 18 : 104
38
SURYA AGRITAMA Volume I Nomor 1 Maret 2012
PENGUATAN MODAL SOSIAL DALAM UPAYA MENINGKATKAN PENDAPATAN PETERNAK SAPI POTONG DI KABUPATEN BANJARNEGARA Priyono dan Dyah Panuntun Utami Dosen Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Purworejo ABSTRAK Usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Banjarnegara sebagian besar di dominasi oleh peternakan rakyat yang sebagian besar masih bersifat tradisional. Meskipun dengan kondisi terbatas, usaha ternak sapi potong memiliki arti yang sangat besar bagi peternak. Kelompok peternak sapi potong di Banjarnegara berjumlah 57 kelompok. Kelompok tersebut memegang peranan yang penting dalam meningkatkan keberdayaan ekonomi individu peternak. Peningkatan pendapatan dan efisiensi ekonomi usaha ternak sapi potong menjadi hal yang wajib dalam pengembangan usaha. Disamping membutuhkan adanya modal finansial, juga dibutuhkan modal sosial yang langsung berkaitan dengan sumberdaya manusia peternak. Kebersamaan dalam kelompok peternak merupakan modal sosial yang sangat signifikan dalam peningkatan output kelompok maupun individu secara teknis dan ekonomis. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui tingkat modal sosial peternak sapi potong yang terdiri dari hubungan kekerabatan, norma, tingkah laku dan interaksi, (2) Mengetahui tingkat pendapatan usaha ternak sapi potong, (3) Menganalisis keterkaitan antara modal sosial dengan pendapatan dan efisiensi ekonomi usaha ternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara. Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 3 Februari 2008 sampai dengan 2 April 2008 di Kecamatan Karangkobar, Bawang, Wanadadi dan Purwonegoro. Metode penelitian yang digunakan adalah survey. Responden diambil sebanyak 69 orang dengan pengambilan sampel secara acak (simple random sampling) dari total populasi peternak yang tergabung dalam 11 kelompok. Variabel yang diamati adalah modal sosial yang terdiri dari hubungan kekerabatan, norma, tingkah laku dan interaksi. Sebagai variabel terikat yaitu pendapatan peternak sapi potong. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat modal sosial peternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara tergolong sedang, hal tersebut ditunjukkan dengan kemampuan peternak yang cukup tinggi untuk bekerja sama dalam mewujudkan tujuan kelompok. Pendapatan peternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara rata-rata Rp.2.546.783,- per tahun. Hasil analisis korelasi rank spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara variabel ikatan sosial dengan pendapatan peternak sapi di Kabupaten Banjarnegara dengan tingkat keeratan hubungan sebesar 0,426. Hal tersebut menunjukkan dengan adanya penguatan modal sosial melalui kelompok ternak, maka pendapatan yang diterima oleh peternak akan meningkat. Penguatan modal sosial dapat dilakukan melalui pelatihan intensif terhadap peternak dengan memasukkan unsur teknologi dengan didampingi penyuluh bidang peternakan.
Kata Kunci : Modal Sosial, Pendapatan, Usaha Sapi Potong, Peternak Sapi Potong
Penguatan Modal Sosial.... – Priyono dan Dyah Panuntun Utami
1
SURYA AGRITAMA Volume I Nomor 1 Maret 2012 PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam melimpah dengan potensi penduduk yang beraneka ragam ternyata masih memiliki angka kemiskinan yang cukup tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) (dalam Susenas, 2011) menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2011 sebesar 29,89 juta orang (12,36 persen). Jumlah penduduk miskin Banjarnegara berdasarkan statistik dari BPS Banjarnegara ( 2010) adalah sebanyak 166.300 atau sekitar 19,17% dari total penduduk Banjarnegara yakni sebanyak 932.668 Jiwa. Usaha ternak sapi potong dapat menjadi salah satu cara yang efektif dan efisien untuk memecahkan permasalahan, karena usaha ternak sapi potong merupakan bagian dari subsektor peternakan yang berpotensi dijadikan sumber pertumbuhan baru pada sektor pertanian. Jumlah ternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara bertambah dari 37.158 ekor tahun 2003 menjadi 38.501 ekor tahun 2007 dengan kenaikan 3,62 persen dan pertumbuhan rata-rata 0,91 persen per tahun. Populasi ternak sapi potong di Banjarnegara sebesar 34.320 ekor pada tahun 2011 (Dinas Pertanian Kabupaten Banjarnegara, dalam BPS Kabupaten Banjarnegara, 2011). Melihat dari perkembangan tersebut, maka usaha ternak sapi potong dapat dijadikan alat untuk melakukan revitalisasi pertanian. Keberlangsungan usaha ternak sapi potong membutuhkan adanya modal (capital) yang merupakan pondasi suatu usaha. Hal tersebut dibuktikan dengan sering dibahasnya modal (capital) oleh para ekonom, khususnya modal ekonomi atau finansial (financial capital). Selain modal finansial, modal yang dapat dijadikan untuk investasi di masa depan adalah modal sosial (Suharto, 2007). Modal sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi melalui beragam mekanisme, seperti meningkatnya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan (Blakeley dan Suggate, 1997 dalam Suharto, 2007). Usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Banjarnegara sebagian besar di dominasi oleh peternakan rakyat yang sebagian besar masih bersifat tradisional. Meskipun dengan kondisi terbatas, usaha ternak sapi potong memiliki arti yang sangat besar bagi peternak. Peternak dalam mengusahakan ternak sapi potong mempunyai tujuan untuk mendapatkan keuntungan guna menambah pendapatan keluarga atau memenuhi kebutuhan hidupnya. Peningkatan pendapatan dan efisiensi ekonomi usaha ternak sapi potong menjadi hal yang wajib dalam pengembangan usaha (Gusasi dan Saade, 2006). Kebersamaan dalam kelompok peternak merupakan modal sosial yang sangat signifikan dalam peningkatan output kelompok maupun individu secara teknis dan ekonomis (Eko, 2003). Keterikatan sosial antar anggota mendorong rasa saling asah, asuh dan asih antar anggota dalam berusaha ternak. Namun demikian, kajian terhadap hubungan antara modal sosial dengan pendapatan dan efisiensi ekonomi usaha ternak sapi potong belum banyak dikembangkan dan dieksplorasi secara luas khususnya di wilayah penelitian Kabupaten Banjarnegara. Tujuan dari penelitian ini antara lain: (1) Mengetahui tingkat modal sosial peternak sapi potong; (2) Mengetahui tingkat pendapatan dan efisiensi ekonomi usaha ternak sapi Penguatan Modal Sosial.... – Priyono dan Dyah Panuntun Utami
2
SURYA AGRITAMA Volume I Nomor 1 Maret 2012
potong; (3) Menganalisis keterkaitan antara modal sosial dengan tingkat pendapatan ternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara. Manfaat dari penelitian ini antara lain: (1) Memberikan informasi kepada peternak sapi potong tentang kegunaan modal sosial dalam menunjang keberhasilan usaha ternak sapi potong; (2) Bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan pengembangan dan perkuatan (revitalisasi) kelompok tani ternak sapi potong terutama ditinjau dari dimensi modal sosial (social capital) peternak sapi potong; dan (3) Bahan acuan bagi peneliti lain yang akan mengembangkan penelitian terkait dengan masalah modal sosial yang dimiliki oleh peternak dan kelompoknya. Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan yang erat dan positif antara modal sosial dengan tingkat pendapatan peternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara.
METODE PENELITIAN Penelitian di laksanakan di di Kecamatan Karangkobar, Bawang, Wanadadi dan Purwonegoro Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah 3 Februari 2008 sampai dengan 2 April 2008. Penelitian dilakukan dengan metode survei. Pengambilan sampel menggunakan metode simple random sampling, yaitu mengambil secara acak sebanyak 20 persen dari jumlah kelompok tani ternak yang ada di Kabupaten Banjarnegara. Selanjutnya, pada masing-masing jumlah kelompok tani ternak terpilih, dipilih 30 persen peternak sebagai responden. Kabupaten Banjarnegara memiliki 57 kelompok tani ternak sapi potong, sehingga setelah dirandom sebanyak 20 persen maka diperoleh 11 kelompok tani ternak. Jumlah total responden yang diteliti setelah dilakukan random sebanyak 30 persen dari masingmasing kelompok tani ternak terpilih adalah 69 peternak. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan dan wawancara langsung dengan responden mengenai karakteristik peternak dan karakteristik usaha ternak. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dengan penelitian ini, yaitu BPS Kabupaten Banyumas serta Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan secara statistik. Analisis usaha meliputi analisis cash dan non cash (Hernanto, 1996) dan (Widjaja, 2003). Analisis pendapatan dan efisiensi ekonomi suatu usaha, dapat dihitung menggunakan rumus: Pendapatan = Total Penerimaan –Total Biaya... (1) Efisiensi (R/C) =
Total Penerimaan ...... (2) Total Biaya
Pengukuran tingkat modal sosial terhadap tingkat pendapatan usaha ternak sapi potong dilakukan dengan menggunakan skala likert. Modal sosial (social capital) merupakan penggabungan skor dari komponen hubungan kekerabatan, norma, tingkah laku dan interaksi dengan menggunakan skala likert. Penguatan Modal Sosial.... – Priyono dan Dyah Panuntun Utami
3
SURYA AGRITAMA Volume I Nomor 1 Maret 2012
Skala likert menggunakan kategori jawaban yang mempunyai skor 1 sampai dengan 5. Skala likert dinyatakan dengan ”sangat setuju” mendapat skor 5, ”setuju” mendapat skor 4, ”ragu-ragu” mendapat skor 3, ”tidak setuju” mendapat skor 2 dan ”sangat tidak setuju” mendapat skor 1 (Sugiyono, 2003). Analisis Validitas dan Reliabilitas dilakukan menggunakan teknik korelasi product moment (Sugiyono, 2002). r=
n(∑ XY ) − (∑ X ∑ Y )
( n∑ X 2 − (∑ X ) 2 ( n∑ Y 2 − ( ∑ Y ) 2
..(3)
Keterangan: R = Nilai korelasi product moment X = Nilai dari item (pertanyaan responden) Y = Nilai dari total (pertanyaan responden) N = Jumlah responden Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui apakah kuesioner dapat diterima dan dipahami oleh responden atau tidak (Azwar, 2003). 2rb ..... (4) ri = 1 + rb Keterangan: ri = Koefisien reliabilitas rb = Koefisien korelasi product moment Korelasi rank spearman digunakan untuk menguji signifikansi hipotesis asosiatif bila masing-masing variabel yang dihubungkan berbentuk ordinal dan sumber data antar variabel tidak harus sama (Sugiyono, 2003). Tes korelasi rank spearman berfungsi untuk mengetahui signifikansi hubungan antara pendapatan peternak sapi potong (Y1) dengan modal sosial (X) yang meliputi hubungan kekerabatan, norma, tingkah laku dan interaksi. N
6∑ di 2 rs = 1 -
i =1
N3 − N
..... (5)
Keterangan: rs = Korelasi rank spearman d = Selisih variabel terikat dengan variabel bebas N = Jumlah sampel Sugiyono (2003) menyatakan bahwa untuk memberi interpretasi seberapa kuat hubungan, maka digunakan taksiran korelasi antara 0 sampai 1 yang terbagi atas beberapa kategori, meliputi: 0.00 – 0.19 = Korelasi sangat rendah 0.20 – 0.39 = Korelasi rendah 0.40 – 0.59 = Korelasi sedang 0.60 – 0.79 = Korelasi tinggi 0.80 – 1.00 = Korelasi sangat tinggi.
Penguatan Modal Sosial.... – Priyono dan Dyah Panuntun Utami
4
SURYA AGRITAMA Volume I Nomor 1 Maret 2012 HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu bagian wilayah dengan 20 Kecamatan di Propinsi Jawa Tengah atau terletak di antara 109020’10’’ - 109045’50’’ Bujur Timur dan 7012’ – 7031’ Lintang Selatan. Kabupaten Banjarnegara memiliki luas wilayah 106.970,997 Ha atau sekitar 3,29 persen dari luas wilayah Propinsi Jawa Tengah (3.254 juta Ha). Kabupaten Banjarnegara merupakan daerah Kabupaten yang memiliki iklim tropis dengan suhu udara berkisar antara 20 – 26 0C. Kecamatan di Kabupaten Banjarnegara yang paling sering terjadi hujan adalah Kecamatan Madukara sebanyak 4.736 mm per tahun dengan 191 hari hujan dan kecamatan yang paling sedikit terjadi hujan adalah Kecamatan Pejawaran sebanyak 1.258 dengan 174 hari hujan. Keadaan topografi wilayah Kabupaten Banjarnegara terletak pada jalur pegunungan di bagian tengah Jawa Tengah sebelah barat yang membujur dari arah barat ke timur. Ketinggian wilayah sebagian besar berada pada kisaran 100 – 500 m dpl sebesar 37,04 %, 500 – 1.000 m dpl sebesar 28,74 %, lebih besar dari 1.000 m dpl sebesar 24,4 % dan sebagian kecil terletak kurang dari 100 m dpl sebesar 9,82 %. 2.
Karakteristik Usaha Sapi Potong Jumlah ternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara bertambah dari 37.158 ekor tahun 2003 menjadi 38.501 ekor tahun 2007 dengan kenaikan 3,62 persen dan pertumbuhan rata-rata 0,91 persen per tahun. Populasi ternak sapi potong di Banjarnegara sebesar 34.320 ekor pada tahun 2011 (Dinas Pertanian Kabupaten Banjarnegara, dalam BPS Kabupaten Banjarnegara, 2011). Populasi ternak sapi potong yang terbesar di Kabupaten Banjarnegara terdapat di kecamatan Wanayasa yaitu sebesar 7.909 ekor (21,31%). Kegiatan kelompok tani ternak di Kabupaten Banjarnegara terdiri dari kegiatan rutin dan kegiatan insidental. Kegiatan rutin kelompok terdiri dari pertemuan bulanan dan biasanya dilakukan sebanyak 35 hari sekali. Pertemuan tersebut umumnya dilakukan di rumah ketua kelompok, dan sebagian mengadakan pertemuan bergilir di rumah anggota serta bertempat di balai desa setempat. Pertemuan umumnya dilakukan setiap minggu pahing atau selasa kliwon dan biasanya diisi oleh ketua kelompok maupun Petugas Penyuluh Lapangan (PPL). Sedangkan kegiatan insidental umumnya dilakukan jika ada hal-hal penting yang perlu di bahas bersama, misalnya ada penyuluh yang akan menyampaikan program-program pemerintah, dan ada penemuan teknologi baru untuk pengembangan ternak. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Herdiawan (2007) yang menyatakan bahwa kegiatan kelompok tani ternak terdiri dari kegiatan rutin dan insidental seperti anjangsana.
Penguatan Modal Sosial.... – Priyono dan Dyah Panuntun Utami
5
3.
SURYA AGRITAMA Volume I Nomor 1 Maret 2012
Keragaan Modal Sosial Sebagian besar peternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara memiliki modal sosial sedang. Hal tersebut ditunjukkan dengan 59,42 persen peternak memiliki modal sosial sedang, yaitu peternak mempunyai kemampuan cukup tinggi untuk bekerjasama dalam mewujudkan tujuan kelompok. Namun demikian, kelompok tani ternak lembu handini dan ngudi rejeki 2 sebanyak 80 persen anggotanya memiliki ikatan sosial yang tinggi. Hal tersebut ditunjukkan dengan kemampuan peternak yang sangat tinggi dalam melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan kelompoknya. Pada kelompok lembu handini dan ngudi rejeki 2 juga ditemukan adanya hubungan kekerabatan yang tinggi antar peternak, pemahaman dan pelestarian nilai-nilai norma, tingkah laku peternak bersahabat serta terjalinnya interaksi yang baik antar peternak. Ikatan sosial lahir karena adanya kebutuhan dan keinginan yang sama dari peternak dalam kehidupan sosial masyarakat sedangkan ikatan sosial merupakan salah satu komponen dasar dari modal sosial. Dilain pihak, saat ini modal sosial merupakan hal penting yang dibutuhkan dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik, sehingga peternak membutuhkan modal sosial. Modal sosial merupakan modal non finansial yang dapat dijadikan sebagai modal investasi dan usaha (Suharto, 2007). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Blakeley dan Suggate, 1997 dalam Suharto (2007) yang menyatakan bahwa modal sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi melalui beragam mekanisme, seperti meningkatnya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan. Peternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara tidak ada yang memiliki tingkat ikatan sosial yang rendah. Hal ini sangat membanggakan, sebab saat ini peternak sudah memiliki pola pikir akan pentingnya ikatan sosial. Peternak sudah memiliki kesadaran yang cukup tinggi akan pentingnya hubungan kekerabatan, norma, tingkah laku dan interaksi dalam keberlangsungan usaha ternak sapi potong. Sehingga ikatan sosial dapat dijadikan modal untuk meningkatkan usaha dengan harapan kesejahteraan peternak akan semakin meningkat.
4.
Hubungan Modal Sosial dengan Pendapatan
Sebagian peternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara (43,48 persen) memiliki tingkat ikatan sosial sedang, tapi masih memiliki pendapatan rendah, yaitu kurang dari Rp. 2.700.000.- per tahun atau masih berada di bawah rata-rata Upah Minimum Kerja (UMR) Kabupaten Banjarnegara yang berkisar antara Rp. 400.000.- sampai Rp.500.000.- per bulan. Meskipun memiliki tingkat modal sosial sedang yang ditunjukkan dengan cukup tingginya hubungan kekerabatan, tahu akan nilai norma, memiliki tingkah laku yang baik dan tingkat interaksi peternak yang cukup tinggi, tapi pendapatan yang diperoleh masih rendah. Hal tersebut disebabkan karena skala usahanya masih sangat kecil dengan ratarata kepemilikan ternak 2 ekor (Khrisna dan Manshur, 2006). Hubungan modal sosial dengan pendapatan peternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara, berdasarkan hasil analisis korelasi rank spearman diperoleh koefisien Penguatan Modal Sosial.... – Priyono dan Dyah Panuntun Utami
6
SURYA AGRITAMA Volume I Nomor 1 Maret 2012
korelasi sebesar 0,426 dengan signifikansi sebesar 0,000 atau P<0,05. Hal tersebut menunjukkan ada hubungan yang nyata dan positif antara modal sosial dengan pendapatan peternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara dan memiliki keeratan hubungan sedang (0,40 – 0,59). Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat modal sosial yang tinggi mempunyai peran yang nyata terhadap meningkatnya pendapatan yang diterima oleh peternak. Tabel 1. Tabulasi Silang Modal Sosial dengan Pendapatan Skor Skor Pendapatan Modal Tinggi Sedang Rendah Sosial (>5,3 juta) (2,8 -5,2 juta) (<2,7 juta) Tinggi(118-160) 1 14 11 Proporsi (%) 1,45 20,29 15,94 Sedang (76-117) 0 13 30 Proporsi (%) 0 18,84 43,48 Rendah (32-75) 0 0 0 Proporsi (%) 0 0 0 Total 1 27 41 Proporsi (%) 1,45 39,13 59,42 Sumber: Data primer diolah, 2008
Total 26 37,68 43 62,32 0 0 69 100
Tabel 2. Hasil Analisis Korelasi Rank Spearman Modal Sosial Dengan Pendapatan Variabel Pendapatan Korelasi Kategori Signifikansi Hubungan Kekerabatan 0,375 Rendah ** (Highly Significant) Norma 0,177 Sangat Rendah Non Significant Tingkah Laku 0,292 Rendah) * (Significant) Interaksi 0,319 Rendah ** (Highly Significant) Sumber: Data primer diolah, 2008 Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa hubungan kekerabatan, tingkah laku dan interaksi memiliki hubungan yang nyata dengan pendapatan dengan keeratan hubungan termasuk kategori rendah. Oleh karena itu, diperlukan beberapa hal untuk meningkatkan pendapatan, yaitu pengkajian dan pemahaman untuk membina hubungan kekerabatan yang baik, memiliki tingkah laku yang baik dan sesuai aturan, serta menjalin interaksi yang baik antara peternak sapi potong yang tergabung dalam kelompok. Dilain pihak, norma tidak memiliki hubungan yang nyata dengan pendapatan, hal tersebut dapat disebabkan karena saat ini suatu usaha harus berdasarkan hukum yang sangat mengikat, yang dibuat oleh pihak berwenang dari suatu negara. Sehingga keberadaan norma sudah tertutup oleh hukum yang berlaku di Indonesia, akibatnya peternak kurang menghargai lagi akan keberadaan norma. Namun demikian, secara keseluruhan ikatan sosial memiliki hubungan yang nyata dengan pendapatan sehingga diperlukan modal sosial dalam melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Penguatan Modal Sosial.... – Priyono dan Dyah Panuntun Utami
7
SURYA AGRITAMA Volume I Nomor 1 Maret 2012
Perubahan kearah yang lebih baik merupakan tanggung jawab bersama, sehingga diperlukan kerja sama yang baik antara peternak, pemerintah, elemen masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam mengembangkan usaha ternak sapi potong. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Pratomo (2006) yang menyatakan bahwa perekonomian suatu negara digerakkan oleh pelaku-pelaku kegiatan ekonomi yaitu rumah tangga, swasta, pemerintah dan ekspor impor. Oleh karena itu, modal sosial mutlak diperlukan disamping dukungan finansial untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat miskin dengan cara meningkatkan pendapatan peternak pada khususnya dan masyarakat pada umumnya (Kuswaryan et al., 2005; Otieno et al., 2003). Ikatan sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bermasyarakat, sedangkan hubungan kekerabatan merupakan faktor penting yang menentukan tingginya ikatan sosial suatu masyarakat. Oleh karena itu, pemeliharaan dan pengembangan hubungan kekerabatan dalam kehidupan bermasyarakat dapat menunjang berbagai aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat, salah satunya adalah usaha untuk memperoleh pendapatan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Syahyuti (2006) yang menyatakan bahwa hubungan sosial berada dalam seluruh keterkaitan ekonomi, sosial dan politik serta meyakini bahwa hubungan sosial mempengaruhi bagaimana pasar dan negara bekerja. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan penyeimbangan antara modal finansial dengan modal sosial seperti hubungan kekerabatan, sehingga pendapatan peternak dapat meningkat dan akan menambah kesejahteraan peternak. Norma merupakan sebuah aturan yang sudah menjadi kebiasaan dan melembaga berdasarkan kesepakatan bersama. Pemahaman akan nilai-nilai norma akan menciptakan suatu komunitas yang rukun dan damai, sehingga aktivitas atau usaha yang dijalankan dapat berjalan dengan baik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Syahyuti (2006) yang menyatakan bahwa norma menyediakan kontrol sosial yang efektif, tidak tertulis tapi menjadi panduan untuk menentukan pola perilaku yang diharapkan dari orang-orang dalam suatu masyarakat, yaitu perilaku-perilaku yang dinilai baik di masyarakat. Oleh karena itu, suatu kelompok atau komunitas yang melestarikan nilai-nilai norma memiliki peran terhadap lancarnya kegiatan usaha dan menciptakan kominitas yang baik dalam usaha. Peternak memiliki tingkah laku yang berbeda-beda dalam menjalani kehidupan bermasyarakat maupun dalam kegiatan kelompok tani ternak. Permasalahan yang muncul dalam kelompok adalah aplikasi tingkah laku yang baik dan sesuai dengan aturan belum tercapai secara maksimal. Namun demikian, tingkah laku yang tidak baik dapat dirubah dengan cara mengadakan pengembangan akan kesadaran yang datang dari diri sendiri dan dari lingkungan sehingga kebiasaan berperilaku baik akan membantu merubah tingkah laku suatu masyarakat dan menciptakan stabilitas sosial. Paskarina (2007) menyatakan bahwa produktivitas ekonomi dapat didorong dan diperkuat dengan cara menciptakan kondisi stabilitas sosial. Oleh karena itu, tingkah laku yang baik memegang peranan penting dalam pengembangan suatu usaha, sehingga peternak dapat menjalankan aktivitasnya dengan kesadaran akan hak dan kewajibannya dan hal tersebut akan memotivasi untuk mengembangkan usaha kearah yang lebih baik. Disamping itu, tingkah laku mempunyai hubungan yang nyata dengan pendapatan. Penguatan Modal Sosial.... – Priyono dan Dyah Panuntun Utami
8
SURYA AGRITAMA Volume I Nomor 1 Maret 2012
Berdasarkan hal tersebut, peningkatan tingkah laku yang baik bagi peternak dapat meningkatkan kesejahtraan masyarakat dan menciptakan suatu komunitas yang kondusif. Suatu kegiatan usaha tidak akan maju dan berkembang jika tidak didukung dengan adanya interaksi yang baik antara pemilik, karyawan, pemerintah maupun konsumen. Oleh karena itu, interaksi yang baik akan menyebabkan banyaknya perjanjian kerja sama dan membantu mewujudkan kesejahtraan masyarakat dan merupakan perwujudan dari modal sosial. Syahyuti (2006) menyatakan bahwa pada hakekatnya modal sosial merupakan dasar berpijak yang kokoh, yang apabila digarap secara baik akan meringankan biaya pembangunan. Berdasarkan hal tersebut interaksi yang baik dapat diterapkan pada usaha dibidang peternakan, sehingga dengan semakin tingginya tingkat interaksi peternak maka dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahtraan peternak khususnya dan masyarakat pada umumnya.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. a. b.
c.
d.
2. a.
b.
Kesimpulan Tingkat modal sosial peternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara termasuk kategori sedang. Hubungan kekerabatan, norma, tingkah laku dan interaksi peternak sapi potong yang merupakan variabel modal sosial di Kabupaten Banjarnegara termasuk kategori sedang. Usaha ternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara belum memberikan pendapatan yang optimal, karena rata-rata kepemilikan ternak sapi potong sebagian besar masuk skala kecil. Hal tersebut ditunjukkan dengan pendapatan bersih rata-rata peternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara adalah Rp. 2.546.783,00 per tahun. Modal sosial memiliki hubungan yang nyata, positif dan searah dengan pendapatan usaha ternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara. Saran Petugas Penyuluh Pertanian diharapkan dapat membantu peternak untuk menggeser usaha ternak sapi potong menjadi usaha pokok dengan meningkatkan ikatan sosial peternak. Pemerintah diharapkan tidak salah sasaran dalam memberikan bantuan modal finansial seperti stimulasi pengadaan ternak sapi potong dengan didukung dengan penguatan modal sosial melalui kelompok ternak.
Penguatan Modal Sosial.... – Priyono dan Dyah Panuntun Utami
9
SURYA AGRITAMA Volume I Nomor 1 Maret 2012 DAFTAR PUSTAKA
BPS Kabupaten Banjarnegara. 2011. Kabupaten Banjarnegara Dalam Angka. BPS Kabupaten Banjarnegara dan BAPEDA Kabupaten Banjarnegara. Banjarnegara. Eko,
S. 2003. Modal Sosial, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal. Http://google.com/modal sosial, desentralisasi dan demokrasi lokal.html. Diakses 31 Maret 2008.
Gusasi, A. dan M.A. Saade. 2006. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Usaha Ternak Ayam Potong pada Skala Usaha Kecil. J. Agrisistem. 2 (1): 2-3. Herdiawan, I. 2007. Hubungan Sikap Kewirausahaan Dengan Pendapatan Peternak Sapi Potong di Kabupaten Banyumas. Skripsi. Fakultas Peternakan UNSOED Purwokerto (tidak dipublikasikan). Hernanto, F. 1996. Ilmu Usaha Tani. Penebar Swadaya, Jakarta. Krisna, R. dan E. Manshur. 2006. Tingkat Pemilikan Sapi (Skala Usaha) Peternakan dan Hubungannya dengan Keuntungan Usaha Tani Ternak pada Kelompok Tani Ternak Sapi Perah di Desa Tajur Halang Bogor. J. Penyuluhan Pertanian. 1 (1): 61-64. Kuswaryan, S., C. Firmansyah dan A. Fitriani. 2005. Analisis Permintaan Faktor Produksi pada Usaha Ternak Sapi Potong Rakyat dengan Pola Pemeliharaan Intensif. J. Ilmu Ternak. 4 (1): 1-12. Otieno, D.C.I., D.M. Odhiambo and M.O. Mairura. 2003. Economic Evaluation of Relative Profitability in Small Hold Dairy Farms in Western Kenya. J. Development and Agricultural Economics. 1(2): 49-54. Paskarina, C. 2007. Padjajaran.
Pembangunan Manusia Berbasis Investasi Sosial.
Universitas
Pratomo, W. A. 2006. Buku Ajar Teori Ekonomi Makro. Universitas Sumatera Utara. Medan. Sugiyono. 2003. Bandung.
Statistik Non Parametrik Untuk Penelitian.
Penerbit Alfabeta.
Suharto, E. 2007. Modal Sosial dan Kebijakan Publik. http://www.google.com/modal sosial dan kebijakan publik.html. Diakses 17 September 2007. Syahyuti. 2006. Pengembangan Modal Sosial Masyarakat Dalam Upaya Membangun Kelembagaan dan Pemberdayaan Petani Miskin. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hal 5-7. Widjaja, K. dan S. Abdullah. 2003. Peluang Bisnis Ayam Ras dan Buras. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal. 26, 37-38, 47-48. Penguatan Modal Sosial.... – Priyono dan Dyah Panuntun Utami
10
ISSN : 1979 - 5971
Media Litbang Sulteng 2 (2) : 94–103 , Desember 2009
STUDI POTENSI KAWASAN LORE TENGAH UNTUK PENGEMBANGAN SAPI POTONG Oleh : Rusdin, Moh. Ismail, Mustaring, Sri Purwaningsih, Atik Andriana, Sri Utami Dewi, Penelitian ini bekerjasama dengan Balitbangda Prop. Sulteng dan Tim Peneliti Untad Palu 1)
ABSTRACT Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tentang potensi padang penggembalaan alam, khususnya tentang kapasitas tampung (caryng capacity), komposisi botanis hijauan dan komposisi nutrient hijauan padang penggembalaan alam serta uji kecocokan lahan untuk pengembangan jenis hijauan makanan ternak dilaksanakan di Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Poso Sulawesi Tengah di laksanakan pada tanggal 15 April 2009 sampai dengan 10 Oktober 2009. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Menggunakan metode Deskriptif dan Eksploratif. Penentuan sampel dilakukan dengan teknik purporsive sampling, Keberadaan padang penggembalaan alam di Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Poso seluas ±1800 Ha hanya didominasi oleh satu jenis rumput yaitu rumput Themeda digantae, berpotensi menunjang kegiatan peternakan sapi potong dalam hal ini untuk mendukung peningkatan populasi dan produktivitas ternak sapi potong, walaupun hingga kini belum ada upaya perbaikan mutu padang penggembalaan untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitasnya. Untuk itu perlu adanya sentuhan untuk perbaikan agronomis dan manajemen pemanfaatannya. Selain itu perlu adanya introduksi tanaman baru (rumput gajah, rumput raja, rumput benggala dll) dan legume (lamtoro, gamal, turi dll) yang lebih produktif, dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan sasaran, persisten, dan tahan tekanan (intensitas) penggembalaan. Hasil dari analisa tanah memberikan gambaran tentang manfaat tanah untuk pertumbuhan tanaman hijauan makanan ternak sesuai sifat-sifat fisiknya, kandungan bahan organik, dan komposisi kimianya. Sehingga direkomendasikan untuk penggunaan pupuk dan atau penanaman leguminosa untuk membantu menyuburkan tanah terutama untuk meningkatkan unsur Nitrogen tanah. Kata Kunci : Potensi, Lore Tengah, Sapi Potong
I.
ternak sapi, dipandang sangat tepat pada daerah di wilayah Sulawesi Tengah, karena merupakan salah satu komoditi potensial daerah. Hal ini dimungkinkan, karena melihat potensi dan keadaan wilayahnya serta karateristik masyarakatnya sangat mendukung. Besarnya peran komoditi ternak sapi potong tercermin dari adanya upaya masyarakat untuk mengembangkannya. Hal ini didasarkan pada potensi wilayah di Sulawesi Tengah, khususnya di Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Poso karena dipandang strategis untuk mendukung pengembangannya. Dilain pihak sapi-sapi potong yang berkembang telah lama beradaptasi di wilayah tersebut, sehingga menarik perhatian untuk dilakukan studi potensi pada salah satu wilayah pengembangannya. Mengingat pesatnya pertumbuhan investasi di sub sektor peternakan khususnya sapi potong, maka perlu segera dilakukan pembenahan manajemen dan pemahaman para pelaku (peternak) ini terhadap seluruh aspek yang dapat mendukung keberhasilan
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sub sektor peternakan hingga saat ini masih merupakan salah satu kegiatan dalam pelaksanaan pembangunan yang harus menjadi skala prioritas, karena dengan penggalakkan usaha ini akan dapat mengatasi kekurangan kebutuhan protein hewani. Peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia, yang mampu berpikir berkreasi dalam berkarya, hanya akan dapat dicapai bila masyarakat kita telah terpenuhi kebutuhan proteinnya (terutama protein hewani). Sehingga dengan demikian, seluruh masyarakat sebagai peternak, para investor dan terutama bagi pemerintah daerah sebagai penentu kebijakan dalam pembangunan, harus berbuat bersama untuk kesejahteraan bangsanya. Salah satu upaya yang harus dilakukan, yaitu mengembangkan jenis ternak yang disesuaikan dengan potensi masyarakat dan wilayahnya. Bentuk upaya pengembangan
1)
Kerjasama Balitbangda Prop. Sulteng dan Tim Peneliti Universitas Tadulako Palu.
94
wilayah yang memiliki padang penggembalaan alam yang dianggap potensi.
usahanya pengembangannya. Peluang usaha pada komoditi sapi potong sebagai salah satu jenis ternak ruminansia di daerah ini, harus dilakukan pengkajian kembali terhadap beberapa aspek pendukung dan penyebab perkembangan populasinya. Fokus dan arah pengembangan pada komoditi tersebut disamping untuk kegiatan budidaya (onfarm), namun harus diupayakan pengembangannya secara luas di daerah ini. Menyikapi peluang tersebut, sangat diperlukan upaya-upaya pengembangan yang lebih integratif dan berorientasi bisnis ekonomi kerakyatan, sehingga diharapkan terjadi peningkatan populasi dengan mutu produksi berdaya saing tinggi. Dalam mendukung upaya tersebut sangat diperlukan data base tentang eksistensi ternak sapi potong di Lore Tengah sebagai salah satu bagian kawasan Lembah Napu serta potensi wilayah pengembangannya, sehingga dapat dijadikan dasar dalam menentukan model untuk pengembangan usaha komoditi ternak dimaksud. Permasalahan pengembangan usaha peternakan sapi potong di Sulawesi Tengah khususnya di Kecamatan Lore Tengah yaitu belum di ketahui secara rinci potensi padang penggembalaan, khususnya tentang kapasitas tampung (caryng capacity), komposisi botanis hijauan dan kecocokan lahan untuk pengembangan sesuai jenis hijauan makanan ternak dan belum adanya penetapan wilayah tertentu oleh pemerintah daerah sebagai wilayah sentra produksi ternak, terutama sapi potong. Hal ini dipandang perlu, karena jika tidak dilakukan dan didukung oleh kebijakan tata ruang perwilayahan pengembangan, kemungkinan akan tergeser dan terancam oleh sektor lain. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari tentang potensi padang penggembalaan alam, khususnya tentang kapasitas tampung (caryng capacity), komposisi botanis hijauan dan komposisi nutrient hijauan padang penggembalaan alam serta uji kecocokan lahan untuk pengembangan jenis hijauan makanan ternak di Lore Tengah dan menjadikan hasil penelitian sebagai salah satu rujukan oleh Pemerintah Daerah dalam rencana pengembangan sapi potong, terutama pada
II.
METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai dari 15 April 2009 sampai dengan 10 Oktober 2009 di Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Kegiatan utama difokuskan pada potensi padang penggembalaan alam dataran BEHOA (desa Doda, Lempe, Hanggira, Bariri, dan Baliura). Kegiatan dilanjutkan dengan menganalisis sampel tanah dan hijauan makanan ternak yang diperoleh dari padang penggembalaan alam dataran BEHOA yang dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah dan Nutrisi Makanan Ternak Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. 2.2. Bahan dan Alat Penelitian a. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah; hijauan dan tanah padang penggembalaan alam dataran BEHOA Kecamatan Lore Tengah, aneka tanaman makanan ternak uji pada demplot yang terdiri dari; a) hijauan; rumput gajah (pennisetum purpureum), rumput raja (pennisetum purpurephoides), benggala (panicum sarmentosume), dan setaria (setaria splendida), dan b) leguminosa; taramba, glitoridea ternatea, dan Centrocema pascuorum. b.
Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam selama penelitian adalah; altimeter, termometer, skop, meteran, parang, arit, gunting rumput, amplop sampel, karung goni, kuadran, soil tester, timbangan biasa berkapasitas 5 kg, timbangan digital, berkapasitas 15 kg dengan skala ketelitian 1 g, dan timbangan elektrik berkapasitas 1 kg dengan skala ketelitian 0,01 g. Seperangkat alat untuk analisis proximat di laboratorium untuk mengetahui kandungan zat-zat makanan rumput padang penggembalaan alam dan hijauan demplot untuk mengetahui kandungan bahan keringnya.
95
-
Kuadran dijatuhkan secara acak dipadang penggembalaan - Hijauan di dalam kuadrant dipotong sedekat mungkin dari permukaan tanah - Hijauan hasil pemotongan dimasukkan ke dalam plastik untuk ditimbang - Cuplikan ke dua diukur ke arah kanan dan kiri sejauh 5 langkah sampai 10 langkah - Cuplikan pertama dan kedua disebut satu cluster Pengambilan cluster selanjutnya diukur dengan jarak 100 – 125 meter tergak lurus dengan cluster pertama dan disesuaikan dengan luas padang penggembalaan yang tersedia.
c. Jenis Data a). Data primer yaitu data tentang populasi sapi potong yang dikembangkan masyarakat Lore Tengah, kondisi dan cara beternak (diperoleh dengan cara wawancara langsung kepada kelompok peternak sapi potong, agroklimat (diperoleh dari stasiun klimat STORMA/kerja sama Universitas Tadulako dan Jerman, derajat keasaman tanah (pH tanah), komposisi zat hara tanah, daya tampung, komposisi botanis, dan komposisi nutrisi hijauan padang penggembalaan alam. b). Data sekunder yaitu data yang dikumpulkan dari dokumen-dokumen pada Kantor Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Lore Tengah, Kantor Desa (Doda, Lempe, Hanggira, Bariri, dan Baliura).
d.
Kompisisi Botanis Padang Penggembalaan Alam Komposisi botanis hijauan dihitung berdasarkan berat basah tiap spesies hijauan yang dikelompokkan sebagai rumput (R), legum (L) dan gulma (G) untuk mengetahui persentase komposisi botanis digunakan rumus :
2.3. Teknik Pengumpulan Data Teknik-teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Observasi dan Dokumentasi Teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan langsung dilapangan, terutama terhadap kondisi dan potensi padang penggembalaan alam, serta kondisi dan cara beternak sapi potong.
% Spesies x
e.
rata rata berat basah spesies x ( g / m2) X 100% rata rata berat basah cuplikan ( g / m2)
Teknik Pengambilan Sampel Rumput padang penggembalaan alam dan Tanaman Makanan Ternak Uji Demplot untuk Analisis Proximat Sampel rumput lapangan yang diambil untuk dianalisis proximat untuk mengetahui kandungan zat-zat makanan, adalah rumput yang diambil secara acak dari pengambilan cuplikan klaster dari 5 desa yang mempunyai padang penggembalaan alam yang luas. Untuk pengambilan sampel demplot, (Rumput gajah, setaria, panicum sarmentosum, rumput raja, teramba, dan sentrosema) pada umur 50 hari. Dari setiap hijauan tersebut diambil sampel secara acak dan setiap hijauan diambil 5 sampel untuk dilakukan analisis proksimat dilaboratorium.
b. Wawancara Kegiatan wawancara dilakukan kepada peternak (kelompok peternak sapi potong) yang dilakukan secara terfokus, pada saat kegiatan pendidikan dan pelatihan (DIKLAT) tentang Potensi Padang Penggembalaan dan Teknik Pengembangan Sapi Potong, yang dilaksanakan 5 s/d 7 Juni 2009. Cara ini dilakukan dengan tujuan agar terjadi komunikasi yang baik antara peneliti dengan peternak (kelompok peternak sapi potong) sebagai responden. c. Pengukuran Daya Tampung Padang Penggembalaan Alam Pengukuran kapasitas tampung padang penggembalaan digunakan petunjuk Hall (1964) yang dikutip Susetyo (1980) dalam Koddang dkk (1994), yaitu sebagai berikut :
96
2.4. Teknik Analisis Data Data wawancara kelompok peternak sapi potong, diolah dan dianalisis dengan menggunakan deskriptif kualitatif. Analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik variabel-variabel yang berhubungan dengan kondisi dan cara beternak sapi potong oleh kelompok peternak di Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Poso. Data daya tampung padang penggembalaan alam dari hasil pemotongan hijauan padang penggembalaan selanjutnya dihubungkan dengan rumus Voisin, yaitu :
Tabel 1. Luas wilayah dan Potensi Peternakan di Kecamatan Lore Tengah Kab. Poso
DESA
1
DODA
2
LUA S WIL AYA H 2 KM
165,4 8
JUM LAH PEN DUD UK (JIW A)
PADA NG PENG EMBALA AN (Ha)
877 480
PETERNAKAN (EKOR)
S A PI
K E R B A U
B A BI
7 5
4 0
20 5
1 2
5 2
80
3 0 8 3 5 6
1 5 6 6 8
21 5
LEMPE
96,31
331
3
BARIRI
147,8 8
417
4
HANG GIRA
118,2 4
853
5
BALEU RA ROMP O
152,7
483
67,66
472
200
2
3
17 3
7
TORIR E
92,35
416
-
8 3
6 9
13 3
8
KATU
289,3 3
362
120
1 7
3 2
98
JUMLA H
972,2 5
171,8
1800
8 5 3
4 2 0
11 20
6
(Y-1) S = r, dimana : Y = Angka perbandingan luas tanah yang diperlukan oleh unit ternak setiap tahun dibanding setiap bulan S = Periode merumput (stay) pada setiap unit ternak r = Periode istirahat (rest) yang dibutuhkan agar padang penggembalaan tidak digembalai untuk pertumbuhan kembali (regrowt).
III.
N o
1000
21 6
K M B G
7
7
A Y A M
I T I K
2 5 0
3 5 0 1 0 0 2 1 7 2 1 0
5 2 6 2 6 5 4 0 0 4 6 7 3 4 0 2 2 4 8
6 7 1 7 3 6 6 1 1 8 3
Padang penggembalaan alam masih memegang peranan penting, dan merupakan modal dasar untuk mendukung produksi ternak ruminansia (khususnya sapi potong). Akan tetapi, produksi dan kualitas rumput yang tumbuh pada padang penggembalaan alam Lore Tengah tergolong rendah, yang juga menggambarkan kualitas rumput di daerah tropik. Kenyataan tersebut, menjadi salah satu faktor pembatas utama untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi di daerah ini. Rumput yang tumbuh pada padang penggembalaan alam Lore Tengah, hanya dapat diperuntukkan untuk kebutuhan hidup pokok dan sedikit produksi bagi ternak sapi potong yang memanfaatkannya. Umumnya pakan selama ini yang dimanfaatkan sapi potong di Lore Tengah bersumber dari padang penggembalaan alam, yang hanya berupa rumput padangan yang hanya didominasi oleh satu jenis rumput yaitu rumput Themeda digantae. Hingga kini belum ada upaya perbaikan mutu padang penggembalaan untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitasnya. Hafid (2007) menyatakan bahwa kendala yang dihadapi untuk memperbaiki padang rumput agar mampu menunjang pertumbuhan ternak adalah
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Lore Tengah letak posisinya berada di Kabupaten Poso provinsi Sulawesi Tengah, yang biasanya disebut dataran BEHOA (merupakan salah satu wilayah dataran NAPU), yang terdiri dari 8 desa (Doda, Lempe, Bariri, Hanggira, Baleura, Rompo, Torire dan Katu). Desa Doda sebagai ibukota kecamatan berjarak ±160 km dari Kota Palu dengan ketinggian ± 1200 m dari permukaan laut. Suhu udara dikawasan ini berkisar antara 18o – 22oC antara siang dan malam terjadi perbedaan suhu yang nyata ± 3oC, suhu udara tertinggi terjadi pada pukul 13.00. Kelembaban udara harian berkisar antara 70,9 – 91,2%. Pada pukul 22.00 – 07.00 udara dikawasan ini relatif mencapai titik jenuh sehingga terbentuk kabut, sebaliknya pada siang hari udara menjadi sangat kering. 97
Ongole (PO) dan sapi Bali. Berdasarkan informasi dari masyarakat bahwa populasi sapi potong jumlahnya sangat banyak sebelum terbuka akses transportasi yang disertai dengan masuknya pedagang sapi, sehingga pada saat itu semua kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi umumnya dengan menjual ternak peliharaan, termasuk sapi potong. Terjadinya kecenderungan penurunan populasi selain disebabkan oleh kemudahan memasarkan dengan menjual sapi betina produktif serta mutu ternak yang baik dan manajemen pemeliharaan yang belum dilakukan dengan benar.
budidaya hijauan makanan ternak dan mamajemen pemeliharaan ternak. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu usaha peternakan adalah ketersediaan jumlah makanan dan zat-zat makanan yang terkandung di dalam bahan makanan. Hasan et al. (1997; 2005a; 2005b) menyatakan bahwa hijauan pakan yang berkualitas dapat mempercepat pertumbuhan ternak, sehingga dapat mencapai bobot hidup tertentu pada umur muda serta merangsang terjadinya proses pertumbuhan yang optimal. Kualitas suatu bahan makanan dapat ditentukan melalui tiga cara yaitu : secara 1. fisik, 2. kimia dan 3. biologi. Secara fisik kita bisa melihat warna, bau dan tekstur dari bahan makanan tersebut. Secara kimia dengan menganalisis di laboratorium untuk mengetahui kandungan zat-zat yang terkandung di dalamnya, dan yang ketiga secara biologis dengan menguji bahan makanan, langsung keternak untuk mengetahui kecernaan bahan pakan tersebut (Lubis, 1963) . Dalam penelitian ini untuk menentukan kualitas bahan pakan rumput padang penggembalaan alam yang yang ada di Kecamatan Lore Tengah, sampel rumput yang diambil mewakili 5 desa yang mempunyai padang penggembalaan yang luas yaitu Desa Doda, Bariri, Hanggira, Baliura dan Desa Lempe. Semua sampel rumput selanjutnya dianalisis Proximat untuk menentukan kandungan zat-zat makanan yang meliputi : kadar air untuk mengetahui bahan Kering (BK), Protein Kasar (PK), Lemak Kasar (LK), Serat Kasar (SK), abu dan Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN). Kandungan zat-zat zat ini yang dikonsumsi oleh ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan untuk produksi. Salah satu faktor yang mempengaruhi kebutuhan zat-zat makanan adalah kandungan zat-zat makanan yang tersedia dalam bahan makanan.
3.3. Kapasitas Tampung Padang Pengembalaan dan Komposisi Botanis Daya tampung (carrying capacity) penggembalaan mencerminkan keseimbangan antara hijauan yang tersedia dengan jumlah satuan ternak yang digembalakan di dalamnya per-satuan waktu. Penentuan tekanan penggembalaan berdasarkan produksi ternak merupakan metode yang paling tepat untuk menghasilkan gambaran kapasitas tampung optimum (optimum stocking rate) yang lebih tepat dari suatu padang penggembalaan. Hasil pengukuran cuplikan dan perhitungan bahwa di padang penggembalaan alam di Kematan Lore Tengah rata-rata produksi bahan segar / M2 adalah 500 g (5000 kg/Ha) dan rata-rata produksi bahan kering sebesar 193 g (1930 kg/Ha). Hasil perhitungan kapasitas tampung berdasarkan menurut rumus Voisin kebutuhan luas tanah pertahun untuk 1 unit ternak adalah sebesar 1 : 1,188 Ha = 0,84 Unit Ternak/Ha/Tahun. Hasil kapasitas tampung di padang penggembalaan alam di Lore Tengah ini masih lebih tinggi dibandingkan hasil pengukuran kapasitas tampung padang penggembalaan lembah palu yakni 0,46 Unit ternak/ekor/tahun, beberapa daerah trasmigrasi yang telah diukur kapasitas tampungnya antara lain Dumoguo (sulut), Toli-toli (sulteng), luwuk (Sul-sel) dan Kamali (Sumbar) kapasitas tampungnya berkisar 0,5 – 1,43 ST/ha/tahun (Fapet IPB, 1979). Reksohadiprojo (1981) menyatakan bahwa
3.2. Populasi Sapi Potong dan Manajemen Pemeliharaan Sapi potong yang dikembangkan masyarakat di kecamatan Lore Tengah sampai saat ini hanya berjumlah 853 ekor, umumnya jenis sapi lokal, peranakan 98
suatu padang penggembalaan dinyatakan produktif apabila minimal mempunyai daya tampung 2,5 UT/ha/ tahun dengan demikian bahwa kapasitas tampung padang penggembalaan alam di Lore Tengah masih tergolong rendah (hanya 0.84 UT/ha/tahun), hal ini disebabkan oleh faktor penunjang lainnya seperti komposisi botanis masih didominasi oleh rumput (R) dan tidak ada leguminosae (L) dan Gulma (G). Porsi komposisi botanis termasuk rumput yang tingkat palatabilitas oleh ternak sangat rendah, demikian pula hasil analisis zat-zat makanan memperlihatkan tingginya serat kasar (40,2) dan rendahnya protein kasar (4,30) Sedangkan padang penggembalaan yang dikatagorikan baik bila mempunyai komposisi botanis yang ideal, dalam hal ini memiliki komposisi spesies hijauan rumput 60% dan leguminosa 40%.
1 2 3 4 5
Tabel 3. Kandung zat-zat makanan rumput lapangan di Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Poso. N o
1
2
3
4
5
6 7
8 9 10
Kebutuhan luas tanah pertahun menurut voisin Rumus Voisin (Y – 1 ) S = r Diketahui S = 30 r = 70 Maka (Y – 1 ) 30 = 70 Y = 70/30 + 1 = 3,3
11
Kebutuhan luas tanah pertahun untuk 1 unit ternak = 3,3 x 0,36 ha/UT/tahun Jadi untuk 1 ha lahan dapat menampung 1 : 1,188 ha
12
= = = = =
Hangir a (A) Hangir a (B) Baliura (A) Baliura (B) Bariri (A) Bariri (B) Lempe (A) Lempe (B) Doda (A) Doda (B)
Bahan Kerin g (%)
Protei n Kasar (%)
Lema k Kasar (%)
Serat Kasa r (%)
Kada r Abu (%)
BET N (%)
35,12
3,13
2,30
40,68
6,22
40,55
35,32
3,19
2,04
39,87
6,29
41,29
35,33
4,47
2,60
34,89
4,36
46,35
35,21
4,34
2,52
35,10
5,04
45,79
35,96
5,89
2,99
36,94
5,87
40,35
35,85
5,64
2,87
36,75
6,12
40,77
35,59
4,20
2,40
35,50
6,12
44,19
35,37
4,70
3,00
37,71
5,14
42,03
35,60
4,00
2,90
37,62
4,36
43,52
35,00
3,10
2,50
40,00
4,10
43,30
Keterangan: Hasil analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Universitas Tadulako, 2009
Tabel 2. Perhitungan Daya Tampung Ternak Pada padang penggembalaan Lore Tengah Kab. Poso Berat rata-rata hijauan segar Berata rata-rata hijauan kering Rata rata % bahan kering Berat 1 unit ternak Konsumsi bahan kering 2% dari berat badan 2 x 300 kg Kebutuhan hijauan segar untuk 1 unit ternak 6,0 x 100/40 Untuk menghitung daya tampung ternak Sebagai berikut : * Produksi hijauan segar/m2 * Properuse faktor * Hijauan tersedia 25% x 500 g * Hijauan tersedia untuk 1 ha lahan 10.000 x 125 g Kebutuhan hijauan segar untuk 1 unit ternak selama 1 bulan adalah 15 kg x 30 hari Membutuhakan luas tanah 450/1250
Sampel Desa
Hasil analisis proximat rumput lapangan yang berasal dari padang penggembalaan alam di kecamatan Lore Tengah, terlihat bahwa bahan kering berkisar antara 35,00 – 35,96%, protein kasar 3,10 – 5,89, serat kasar 34,89 – 40,68, lemak 2,00 – 2,99, kadar abu 4,10 – 6,29 dan BETN berkisar antara 40,35 – 46,35. Dilihat dari hasil analisis ini, maka kualitas rumput padang penggemabalaan alam di kecamatan Lore Tengah termasuk kualitasnya rendah. Hal ini disebabkan kandungan protein kasarnya rendah berkisar antara 3,10 – 5,89% dan kandungan serat kasarnya tinggi yaitu berkisar antara 34,89 – 40,68%. Hal ini sesuai dengan pendapat beberapa ahli, mengatakan bahwa rumput di daerah tropis mempunyai kualitas rendah yang ditandai dengan rendahnya kandungan protein kasar dan tingginya kandungan serat kasar. Cara perbaikan yang umum dilakukan adalah : 1. Pemupukan, khususnya unsur-unsur makro seperti nitrogen (N) dan pospor (P) serta unsur lainnya sesuai kebutuhan minimum tanaman.
500 g 193 g 40 % 300 kg 6,0 kg
= 15 kg
= 500 g = 25% = 125 g/m2 = 1.250.000g 1250 kg = 450 kg = 0,36 ha
= 1,188 ha = 0,84 Unit Ternak/ha/tahun
3.4. Kandungan Zat-Zat Makanan Rumput Padang Pengembalaan Alam. Kandungan zat-zat makanan (Bahan kering, Protein Kasar, Serat Kasar, Lemak Kasar, Abu dan BETN) rumput lapangan di 5 desa di Kecamatan Lore Tengah kabupaten Poso dapat dilihat pada Tabel 3.
99
2. Introduksi tanaman baru, rumput (rumput gajah, rumput raja, rumput benggala dll) dan/atau legume (lamtoro, gamal, turi dll) yang lebih produktif, dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan sasaran, persisten, dan tahan tekanan (intensitas) penggembalaan. 3. Penanaman tumbuhan perdu/pohon multiguna (multi-porpose strees) sebagai sumber hijauan tambahan, khususnya pada waktu-waktu hijauan tersedia sangat terbatas, dan berfungsi pula dalam perbaikan gizi ternak. Upaya perbaikan ini merupakan kebutuhan, dan dapat dilakukan pada padang penggembalaan (Amar, 2008) 3.5. Pelatihan:Manajemen Pengembangan Sapi Potong di Lore Tengah Tujuan kegiatan pelatihan kepada masyarakat peternak yang tergabung dari beberapa kelompok peternak (Gapoknak) dari semua desa di Kecamatan Lore Tengah, yakni memberikan pemahaman kepada peternak sapi potong tentang manajemen pengembangan sapi potong dan pemanfaatan potensi padang penggembalaan alam serta limbah pertanian/perkebunan yang dipandang cukup potensial. Jumlah peserta kegiatan pelatihan yang dilaksanakan pada tanggal 5-7 Juni 2009 sebanyak 30 orang dari semua desa di kecamatan Lore Tengah yang merupakan perwakilan dari kelompok peternak. Materi (teori dan praktek) yang disampaikan oleh nara sumber yaitu : 1. Teknologi Pengolahan Pakan dan Teknik Penyusunan Ransum 2. Budidaya Tanaman Makanan Ternak dan Padang Pengembalaan 3. Manajemen Sistem Perkawinan pada Ternak Sapi 4. Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong Teknologi Pengembangbiakan Sapi Potong 3.6. Kebun Percontohan Tanaman Makanan Ternak Pembuatan kebun percontohan tanaman makanan ternak, dilakukan di Desa
Hanggira dan Doda. Penetapan lokasi ini yaitu untuk mengetahui kecocokan pertumbuhan tanaman pakan ternak uji (aneka hijauan dan leguminosa), pada daerah dataran rendah dan daerah perbukitan. Hasil pengamatan pada dua lokasi tersebut diperoleh bahwa pada daerah dataran rendah (desa Doda) pertumbuhan tanaman uji pada kebun percontohan lebih baik dibanding pada daerah perbukitan (desa Hanggira), Tabel 4. Produksi berbagai tanaman dari Demplot Kebun Percobaan No
Jenis Rumput
1
Setaria splendida Panicum sarmentosum King grass
2 3 4 5 6 7
Penisetum purpureum Teramba Glitoridia ternatea Centrosema pubusen
Produksi Segar (ton/ha)
Produksi BK (ton/ha)
% BK
Unit ternak (UT)/ tahun
30.81
4.36
14.2
2.0
22.60
5.21
23.1
2.4
37.22
7.17
19.3
3.3
32.92
7.23
22.0
3.3
4.50
1.44
32.0
0.7
5.07
1.51
29.8
0.7
15.65
4.44
28.4
2.0
Berdasarkan hasil perhitungan produksi hijauan di daerah Lore Tengah , diperoleh kapasitas tampung untuk ternak sapi seberat 300 kg ( 1 UT) dengan asumsi kebutuhan bahan kering sebesar 2% dari berat badan, maka jenis rumput yang paling tinggi diperoleh pada jenis rumput King grass dan Penisetum purpureum yaitu sebesar 3,3 UT/ha/tahun, sementara yang terendah terdapat pada jenis legum Teramba dan Glitoridia ternatea yaitu sebesar 0,7 UT/ha/tahun. Bahar (2008), menyatakan bahwa Leguminosa Glitoria ternatea dapat dipanen beberapa kali saja atau sekitar 3 kali pemotongan sehingga produksinya tinggi dan setelah itu produksinya mulai berkurang pada pemotongan berikutnya. Berdasarkan data tersebut pada dasarnya jenis rumput yang dicobakan masih dapat ditingkatkan produksinya dengan mempertimbangan waktu penanaman (awal musim hujan), pemberian puput dan pengaturan interval devoliasi,
100
serta tinggi pemotongan dari permukaan tanah (± 15 cm) atau tersisa 2 – 3 mata/buku. 3.7. Hasil Pengukuran Komposisi Kimia Tanah Hasil analisa tanah pada Padang Penggembalaan Lore Tengah disajikan pada Tabel 5 dibawah ini . Tabel 5. Analisa contoh tanah Padang Penggembalaan Lore Tengah Kab. Poso Nilai/ulangan
N o.
Parameter
Satuan
1
C- Organik
%
1 3.62
2 5.36
3 2.73
4 4.80
2
N-Total
%
0.40
0.49
0.43
0.32
3
C/N
11.94
14.63
8.43
4
5.4
5.9
5.4
19.9 0 5.4
6
pH H2O (1 : 2.5) pH KCL (1:2.5) P2O5 (Bray I)
7
Ca
8
Mg
9
K
10
Na
11
KTK
12
KB
5
3.9
4.1
4.0
3.9
Ppm
13.92
13.50
17.04
me/100 g me/100 g me/100 g me/100 g me/100 g %
0.78
1.18
3.69
13.8 1 1.07
0.20
0.27
0.28
0.30
0.25
0.35
0.33
0.33
0.10
0.12
0.15
0.12
37.49
44.42
53.11
3.53
4.32
8.38
54.6 6 3.33
Hasil analisa dilaboratorium dilakukan terhadap variabel-variabel kimia dan fisik tanah : bahan organik, tekstur tanah, pH, kapasitas tukar kation, Nitrogen, kalium, fosfor, kalsium, magnesium (hara makro), hara mikro (Fe, Cu, Zn, B, Mo, dll), dan sebagainya. Sumber primer bahan organik adalah jaringan tanaman berupa akar, batang, ranting, daun, dan buah. Bahan organik dihasilkan oleh tumbuhan melalui proses fotosintesis sehingga unsur karbon merupakan penyusun utama dari bahan organik tersebut. Unsur karbon ini berada dalam bentuk senyawa-senyawa polisakarida, seperti selulosa, hemiselulosa, pati, dan bahan- bahan pektin dan lignin. Selain itu nitrogen merupakan unsur yang paling banyak terakumulasi dalam bahan organik karena merupakan unsur yang penting dalam sel mikroba yang terlibat dalam proses perombakan bahan organik tanah. Jaringan tanaman ini akan mengalami dekomposisi dan akan terangkut ke lapisan
bawah serta diinkorporasikan dengan tanah. Tumbuhan tidak saja sumber bahan organik, tetapi sumber bahan organik dari seluruh makhluk hidup. 3.8. Hasil Pengamatan Agroklimat Klimat adalah kombinasi berbagai faktor/elemen temperatur, kelembaban udara, curah hujan, aliran/perpindahan udara, kondisi radiasi, tekanan barometrik dan ionisasi. Dari semua faktor yang mempengaruhi klimat temperatur dan curah hujan adalah yang terpenting. Pada prakteknya, curah hujan efektif yaitu jumlah air hujan yang tersedia bagi tumbuhtumbuhan adalah indeks yang lebih penting dibanding curah hujan total. Stres klimat terhadap ternak di daerah tropik sangat mencolok. Secara umum dapat mempengaruhi kondisi dan pola hidup ternak. Di lain pihak, keadaan klimat memungkinkan tumbuhnya tanaman sehingga hijauan dapat tersedia spanjang tahun. Ternak dalam kehidupannya secara fisik dipengaruhi oleh lingkungannya baik itu lingkungan fisik, lingkungan biologi dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik yang secara langsung diterima oleh ternak antara lain, dari tanah, temperatur, sinar matahari, kelembaban dan juga angin. Ternak untuk mempertahankan diri dari lingkungan yang mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung, akan memproduksi panas. Panas tersebut yang diproduksi oleh ternak akan menggantikan panas yang hilang akibat penyesuaian suhu tubuh ternak. Adapun hasil pengamatan kondisi iklim yang diperoleh di Kecamatan Lore Tengah di sajikan dalam Tabel 6 sebagai berikut : Tabel 6. Data hasil pengamatan kondisi iklim pada daerah penelitian No Uraian Parameter 1 Curah Hujan 147 mm 2 Suhu Udara 18,8 o C – 22,3 o C 3 Kelembaban Udara 70,9 - 91,2 % 4 Ketinggian Tempat 1.200 dpl
3.9. Curah hujan Curah hujan bulanan di lembah Besoa rata-rata mencapai 147 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 16 hari per bulan dengan pola hujan Bimodal. Sebagai contoh
101
perhitungan curah hujan yaitu : pada curah hujan sebesar 1 mm artinya adalah “tinggi” air hujan yang terukur setinggi 1 mm pada daerah seluas 1 m2 (meter persegi). Artinya “banyaknya” air hujan yang turun dengan ukuran 1 mm adalah 1 mm x 1 m2 = 0,001 m3 atau 1 liter. Rata-rata curah hujan di Indonesia adalah 2000-3000 mm/tahun (artinya kalau air hujan "dikumpulkan" selama satu tahun akan setinggi 2-3 meter!). Curah hujan tertinggi ada di daerah Jawa Tengah Baturaden sebesar 7069 mm/thn, dan curah hujan terrendah ada di daerah Palu, Sulawesi tengah sebesar 547mm/tahun. Pada prakteknya, curah hujan efektif yaitu jumlah air hujan yang tersedia bagi tumbuhtumbuhan adalah indeks yang lebih penting dibanding curah hujan total (Reksohadiprodjo., 1995). 3.10. Suhu Udara Suhu udara dikawasan lembah Besoa berkisar antara 18,8o – 22,3o C. Antara siang dan malan terjadi perbedaan suhu yang nyata ± 3oC. Suhu udara tertinggi dicapai pada siang hari pukul 13.00. Kelembaban udara harian 70,9 – 91,2 %. Pada pukul 22.00 – 07.00 udara dikawasan ini relatif mencapai titik jenuh sehingga terbentuk kabut. Sebaliknya pada siang hari udara menjadi sangat kering. Potensi sumber daya lahan dikawasan ini cukup tersedia. Kawasan ini, khususnya padang penggembalaan alam di Lore Tengah merupakan hamparan berbukit dan pada bagian tertentu relatif datar sehingga memiliki potensi untuk pengembangan peternakan sebagai salah satu basis ekonomi masyarakat. Sesuai kondisi iklimnya maka kawasan ini dapat dikembangkan menjadi salah satu sentra produksi peternakan sapi dan kerbau. Maka untuk kepentingan tersebut beberapa hal yang sifatnya sangat strategis yang perlu mendapatkan perhatian stackholder antara lain : a. Perbaikan sifat fisik tanah b. Perbaikan pH tanah c. Pembangunan irigasi dan sistem drainase 3.11.
Ketinggian Tempat
Ketinggian Daerah Kecamatan Lore Tengah (±1200 m dpl), merupakan daerah yang erat hubungannya dengan suhu yang cenderung rendah pada derah tersebut. Hal ini pula mempengaruhi pertumbuhan vegetasi (rumput) yang berkembang pada penggembalaan, terutama ternak yang cocok berkembang dan dapat berproduksi serta berreproduksi dengan baik. Sapi potong yang berkembang pada daerah tersebut masih dalam kategori baik. Ternak sapi yang cocok untuk dikembangkan adalah sapi perah. Selain ternak, pertumbuhan hijauan makanan ternak juga dipengaruhi karena produksinya (kualitas dan kuantitas) selain dipengaruhi oleh genetis juga dipengaruhi lingkungan. Semakin tinggi tempat penanaman maka suhu akan semakin rendah. Makin tinggi suatu tempat variasi temperatur makin besar meskipun variasi temperatur musim pada siang hari tidak besar. IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 4.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dari kegiatan penelitian, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Keberadaan padang penggembalaan alam di Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Poso seluas ±1800 Ha dan hanya didominasi oleh satu jenis rumput yaitu rumput Themeda digantae, berpotensi menunjang kegiatan peternakan sapi potong dalam hal ini untuk mendukung peningkatan populasi dan produktivitas ternak sapi potong, dalam menyahuti program nasional (P2SDS 2014), walaupun hingga kini belum ada upaya perbaikan mutu padang penggembalaan untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitasnya. 2. Kecenderungan penurunan populasi sapi potong di Kecamatan Lore Tengah, selain disebabkan oleh penjualan sapi betina produktif serta mutu ternak yang baik oleh peternak juga disebabkan oleh
102
3.
4.
5.
6.
manajemen pemeliharaan yang belum dilakukan dengan benar. Kualitas rumput lapangan di Kecamtan Lore Tengan sangat rendah, berkisar antara 3,10 – 5,89 untuk itu perlu adanya sentuhan untuk perbaikan agronomis dan manajemen pemanfaatannya. Selain itu perlu adanya introduksi tanaman baru (rumput gajah, rumput raja, rumput benggala dll) dan legume (lamtoro, gamal, turi dll) yang lebih produktif, dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan sasaran, persisten, dan tahan tekanan (intensitas) penggembalaan. Hasil pengukuran cuplikan dan perhitungan bahwa di padang penggembalaan alam di Kematan Lore Tengah rata-rata produksi bahan segar / M2 adalah 500 g (5000 kg/Ha) dan ratarata produksi bahan kering sebesar 193 g (1930 kg/Ha). Hasil perhitungan kapasitas tampung berdasarkan menurut rumus Voisin kebutuhan luas tanah pertahun untuk 1 unit ternak adalah sebesar 1 : 1,188 Ha = 0,84 Unit Ternak/Ha/Tahun. Hasil dari analisa tanah memberikan gambaran tentang manfaat tanah untuk pertumbuhan tanaman hijauan makanan ternak sesuai sifat-sifat fisiknya, kandungan bahan organik, dan komposisi kimianya. Sehingga dapat direkomendasikan untuk penggunaan pupuk dan atau penanaman leguminosa untuk membantu menyuburkan tanah terutama untuk meningkatkan unsur Nitrogen tanah. Faktor yang mempengaruhi agroklimat terhadap ternak dan padang pengembalaan alam adalah kombinasi berbagai faktor/elemen antara lain :
temperatur, kelembaban udara, dan curah hujan, yang ditandai dengan turunnya temperatur rata-rata tahunan dan naiknya variasi temperatur diurnal serta curah hujan yang lebih tinggi. 4.2. Rekomendasi 1. Diperlukan upaya perbaikan padang penggembalaan alam di Kecamatan Lore Tengah, terutama pengembangan beberapa jenis hijauan makanan ternak dan leguminosa., dalam hal ini introduksi tanaman baru (rumput gajah, rumput raja, rumput benggala dll) dan leguminosa (lamtoro, gamal, turi dll) yang lebih produktif. 2. Perlu dilakukan pembinaan yang lebih baik dan dilakukan secara berkesinambungan terhadap masyarakat peternak, terutama menyangkut manajemen pemeliharaan sapi potong. 3. Upaya yang harus dilakukan untuk memperbaiki kesuburan tanah padang penggembalaan alam di Kecamatan Lore Tengah, yaitu dilakukan dengan penggunaan pupuk dan atau penanaman leguminosa untuk membantu menyuburkan tanah terutama untuk meningkatkan unsur Nitrogen tanah.
DAFTAR PUSTAKA Amar, A.L., 2008. Komposisi Botanis Tumbuhan Monerna dan Daya Tampung Pengembalaan Umum di Kelurahan Kawatuna, Lembah Palu Sulawersi Tengah. dalam Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Sapi Potong untuk mendukung percepatan pencapaian swasembada daging sapi 2008 – 2010. Kerjasama Universitas Tadulako Sub Dinas Peternakan, Distanbunak, Sulteng Bahar, S., 2008. Pengembangan Sapi Potong Menuju Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi Nasional”. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Sapi Potong untuk mendukung percepatan pencapaian swasembada daging sapi 2008 – 2010. Kerjasama Universitas Tadulako Sub Dinas Peternakan, Distanbunak, Sulteng Hafid, H., H. Darwis dan M. Jaya. Penggunaan Pupuk Kandang pada Padang Rumput di Lahan Kering Sulawesi Tenggara. Media Peternakan. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan IPB. Bogor. Vol. 30 No. 3 Desember 2007 Hasan, S., A. Natsir, Syahriani, L. Rahim Wemoie & A. Ako. 1997. Peningkatan produktivitas lahan kering/kritis melalui upaya penanaman hijauan pakan sistem bertingkat dan introduksi sapi bali jantan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing I/V Perguruan Tinggi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Ujung pandang. Hasan, S., Y. Masuda, M. Shimojo & A. Natsir. 2005a. Performance of male bali cattle raised in the marginal land with three strata forage system in different seasons. J. Fac. Agr. Kyushu Univ. 50 : 125 – 128. 103 Hasan, S., Y. Masuda, M. Shimojo & A. Natsir. 2005b. Changes in the chemical and physical soil condition of a marginal land planted with three strata forage system under three years of grazing. J. Fac. Agr. Kyushu Univ. 50 : 129 – 133 Kodang, Y. A., Tantu, R., Marsetyo, Tarsono, Darise, S., Sarjuni, S., Babay, S., Latuajo, S., Lahandu, J. dan Labiro, E., 1994. Kapasitas Tampung (Carrying Capacity) Padang Penggembalaan dan Padang Potongan di Taman Ternak Sidera Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Donggala. Balai Penelitian Universitas Tadulako, Palu. Lubis, D.A., 1963. Ilmu Makanan Ternak. PT. Pembangunan, Jakarta
104