PAKET DISEMINASI INFORMASI TERSELEKSI
BELITUNG Seri: Potensi Daerah
S
alah satu alasan kenapa masih rendahnya jumlah dan mutu karya ilmiah Indonesia adalah karena kesulitan mendapatkan literatur ilmiah sebagai sumber informasi. Kesulitan mendapatkan literatur terjadi karena masih banyak pengguna informasi yang tidak tahu kemana harus mencari dan bagaimana cara mendapatkan literatur yang mereka butuhkan. Sebagai salah satu solusi dari permasalahan tersebut adalah diadakan layanan informasi berupa Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT). Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) adalah salah satu layanan informasi ilmiah yang disediakan bagi peminat sesuai dengan kebutuhan informasi untuk semua bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam berbagai topik yang dikemas dalam bentuk kumpulan artikel dan menggunakan sumber informasi dari berbagai jurnal ilmiah Indonesia. Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) ini bertujuan untuk memudahkan dan mempercepat akses informasi sesuai dengan kebutuhan informasi para pengguna yang dapat digunakan untuk keperluan pendidikan, penelitian, pelaksanaan pemerintahan, bisnis, dan kepentingan masyarakat umum lainnya.
Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jl. Jend. Gatot Subroto kav. 10 Jakarta 12710 Telp: 021 5733465; 021 5250719 Fax: 021 5733467 Email:
[email protected] Website: www.pdii.lipi.go.id
Sumber-sumber informasi yang tercakup dalam Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) adalah sumber-sumber informasi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan karena berasal dari artikel (full text) jurnal ilmiah Indonesia. Selain Paket Diseminasi Informasi Terseleksi , PDII-LIPI juga menyediakan jasa dokumentasi dan informasi lain, yaitu: (1) Penelusuran informasi dalam dan luar negeri, (2) Penyusunan indeks, abstrak dan tinjauan literatur, (3) Penggandaan dokumen, (4) Konsultasi bidang dokumentasi dan informasi, dan (5) Reprografi.
DAFTAR ISI
i
Pilih/klik judul untuk melihat full text
1.
Analisa sektor-sektor potensial Propinsi Kepulauan Bangka-Belitung
2.
Analisis tingkat perkembangan kawasan agropolitan desa perpat Kabupaten Belitung berbasis komoditas unggulan ternak sapi potong
3.
APLIKASI GEOMAGNET UNTUK EKSPLORASI BIJIH BESI DI DAERAH KACANG BOTOR, KABUPATEN BELITUNG BARAT
4.
BLUE OCEAN STRATEGY PENGEMBANGAN PARIWISATA DI PROPINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
5.
Efisiensi produksi komoditas lada di Propinsi Bangka Belitung
6.
Faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi lada di Kabupaten Belitung
7.
Identifikasi dan Karakterisasi Manggis di Provinsi Bengkulu dan Bangka-Belitung
8.
JENIS DAN KELIMPAHAN IKAN PADA KARANG BRANCHING DI PERAIRAN PULAU LENGKUAS KABUPATEN BELITUNG
9.
KAJIAN IDENTIFIKASI POTENSI DAN PERMASALAHAN SUMBER DAYA AIR
10. Karakteristik desain kapal perikanan bottom gillnet di Pelabuhan Perikanan Nusantara Sungailiat, Bangka Belitung 11. Keanekaragaman dan kelimpahan sumberdaya ikan di teluk Klabat, perairan Bangka Belitung 12. Keanekaragaman Jenis Ikan Karang di Perairan Belitung Barat, Kepulauan Bangka Belitung
DAFTAR ISI
i
Pilih/klik judul untuk melihat full text
13. Keanekaragaman tumbuhan obat di Bukit Batu Malang Lepau Kabupaten Belitung Timur, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung 14. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG 15. kELIMPAHAN dan sebaran horizontal fitoplankton di perairan Pantai Timur Pulau Belitung 16. KELIMPAHAN SERTA PREDASI Acanthaster planci di PERAIRAN TANJUNG KELAYANG KABUPATEN BELITUNG 17. Klasifikasi sentra industri perikanan berbasis pelabuhan perikanan kasus di Kabupaten Belitung 18. Kondisi terumbu karang dan biota lainnya di perairan Kecamatan Selat Nasik Kabupaten Belitung Tahun 2007-2008 19. Mercusuar-mercusuar di Perairan Bangka Belitung 20. Model Bisnis Industri Tambang Timah Berkelanjutan (Studi Kasus Bangka Belitung) 21. Model Micro-Macro Link pengembangan kebijakan Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung 22. Nilai ekonomi terumbu karang di Kecamatan Selat Nasik, Kabupaten Belitung 23. Optimalisasi Produksi Usaha Pembuatan Tempe di Kabupaten Bangka Propinsi Kepulauan Bangka Belitung 24. Pemetakan lahan kritis Kabupaten Belitung Timur menggunakan sistem informasi grafis
DAFTAR ISI
i
Pilih/klik judul untuk melihat full text
25. POLA DISEMINASI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU PADI DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG 26. Pola sebaran, kondisi habitat dan pemanfaatan siput gonggong (Strombus turturella) di Kepulauan Bangka Belitung 27. POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG 28. POTENSI ENDAPAN TIMAH SEKUNDER DI DAERAH KECAMATAN SIJUK, KABUPATEN BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG 29. SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS OBJEK WISATA PROPINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG BERBASIS WEB 30. Stabilitas statis kapal bottom gillnet di Pelabuhan Perikanan Nusantara Sungailiat, Bangka Belitung 31. STAKEHOLDER MANAGEMENT CONFLICT AND INTEREST IN TIN MINING INDUSTRY INDONESIA (CASE STUDY BANGKA BELITUNG) 32. STRATEGIC MODEL OF TIN MINING INDUSTRY IN INDONESIA (Case Study Bangka Belitung Province) 33. STUDY OF SUPERIOR COMMODITIES AND ITS SPATIAL DISTRIBUTION IN BANGKA BELITUNG ARCHIPELAGO PROVINCES 34. Study of Socio Economic and Environment Impacts of Inconventional Tin Mining 35. Tumbuhan paku berkhasiat obat di Bukit Batu Malang Lepau, Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung
Jurnal Peternakan Indonesia, Juni 2011 ISSN 1907-1760
Vol. 13 (2)
Analisis Tingkat Perkembangan Kawasan Agropolitan Desa Perpat Kabupaten Belitung Berbasis Komoditas Unggulan Ternak Sapi Potong Analysis of Area Development of Perpat Agropolitan Village, District of Belitung Based on Beef Cattle Commodities Suyitman1 dan S.H. Sutjahjo2 1
Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Kampus Limau Manis Padang, 25163 2 Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga Bogor e-mail:
[email protected] (Diterima: 14 Maret 2011; Disetujui: 2 Mei 2011) ABSTRACT
This study aims to analyze the level of area development of Perpat Agropolitan Village - District of Belitung-Province of Bangka Belitung based on beef cattle commodity in terms of 5 (five) dimensions agropolitan level of area development, namely: the dimensions of agribusiness, agro-industry, marketing, infrastructure and superstructure. This study use a method of analysis of Multidimensional Scaling (MDS) called Rap-agrop and the results are expressed in index form and the status of sustainability. The result of MDS analysis shows the level of development area of Perpat agropolitan village, based on beef cattle farm commodities, was still low, ie: including Pre Regions Agropolitan. This region has an index value of Rapagrop dimensional good enough for agribusiness (50.57%), infrastructure (64.49%), and the superstructure (57.23%), while the dimensions of agro-industries (6.52%) and marketing (9.98%) had an index value that is poorly. The key factors that strongly affected the level of development of the region agropolitan Perpat-Belitung, namely: 1) the production of beef cattle and 2) the production of processed meat. To enhance the development of this area is to do a thorough improvement of all attributes that are sensitive, so that all dimensions in the region agropolitan Perpat become enhanced and more sustainable. Keywords: agropolitan, beef cattle, sustainability index, Belitung district
PENDAHULUAN Pengembangan kawasan agropolitan di Indonesia, yang diuji coba mulai tahun 2002 merupakan salah satu upaya dalam merealisasikan pembangunan ekonomi berbasis pertanian pada kawasan pertanian terpilih dengan pendekatan pertanian industri. Kawasan pertanian yang terpilih ini dapat merupakan kawasan atau sentra produksi pertanian berbasis tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perternakan atau komoditas campuran. Kawasan agropolitan adalah kawasan terpilih dari kawasan agribisnis atau sentra produksi pertanian terpilih, dimana pada kawasan tersebut terdapat Kota Pertanian (agropolis) yang merupakan pusat pelayanan agribisnis yang melayani, mendorong, dan memacu pembangunan pertanian kawasan dan 130
wilayah-wilayah sekitarnya (Deptan, 2004; Moe, 2004). Pengembangan kawasan agropolitan adalah bertujuan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pembangunan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing. Sasaran pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan, melalui: 1) pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi, produktivitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisien; 2) penguatan kelembagaan petani; 3) pengembangan kelembagaan agribisnis, seperti: penyedia agroinput,
Tingkat Perkembangan Kawasan Agropolitan (Suyitman dan S.H. Sutjahjo)
Vol. 13 (2)
pengelolaan hasil, pemasaran, dan penyedia jasa; 4) pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu; dan 5) pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi (Warner, 2002 dan Rustiadi et al., 2006). Untuk menilai tingkat perkembangan kawasan agropolitan harus berdasarkan pada ukuran-ukuran ideal dimensi kawasan agropolitan yang meliputi dimensi agribisnis, agroindustri, pemasaran, infrastruktur, dan suprastruktur (Evans, 2006; Suyitman et al., 2009). Suatu kawasan tergolong menjadi kawasan agropolitan, jika kawasan tersebut sudah memiliki: 1) komoditas unggulan dan olahannya; 2) dapat menampung hasil dari kawasan agropolitan dan luar kawasan; 3) terdapat kelompok tani dan koperasi tani; 4) Kelembagaan Balai Penyuluh Pertanian (BPP) sebagai penyuluh agribisnis dan pembangunan; 5) sarana dan prasarana umum sudah memadai (Deptan, 2004). Kawasan Agropolitan Desa Perpat terletak di Kecamatan Membalong, terletak di bagian Barat Daya Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung dengan luas seluruhnya 909,55 ha yang meliputi 12 desa termasuk Desa Perpat yang mempunyai luas ±
108,68 ha atau sekitar 11,93% dari luas wilayah Kecamatan Membalong. Kawasan agropolitan ditentukan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Kabupaten Belitung No.316/IV/2003 di Kecamatan Membalong dengan Desa Pusat Pertumbuhan (DPP) berada pada wilayah Desa Perpat. Lokasi tersebut telah mengalami pertumbuhkembangan yang cepat seiring dengan masuknya introduksi program pemerintah seperti pembukaan lahan pertanian, pembangunan unit terpadu ternak, pembangunan irigasi dan insfrastruktur jalan yang sudah memadai. Pada mulanya lokasi tersebut merupakan basis trasmigrasi yang didominasi oleh Suku Jawa. Seiring dengan penetapan kawasan agropolitan, maka pemerintah juga memberikan bantuan berupa subsidi pupuk, bantuan ternak dan bibit sapi potong, program bantuan pembiayaan kelompok tani, subsidi bibit padi sampai dengan subsidi saprotan. Tujuannya adalah akan mampu mengembangkan kawasan tersebut secara mandiri dan bersinergi dengan pasar yang akan segera dibuka termasuk teknologi pasca panennya (BPS Kabupaten Belitung, 2009).
Gambar 1. Lokasi penelitian kawasan agropolitan Desa Perpat Kecamatan Membalong Kabupaten Belitung Tingkat Perkembangan Kawasan Agropolitan (Suyitman dan S.H. Sutjahjo)
131
Vol. 13 (2)
Tujuan dari kegiatan studi ini adalah untuk menganalisis tingkat perkembangan kawasan agropolitan Desa Perpat yang berbasis komoditas unggulan peternakan sapi potong melalui pendekatan pengembangan kawasan yang komprehensif dan berkelanjutan (comprehensive and sustainable development approach). MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilaksanakan di Kawasan Agropolitan Desa Perpat, Kecamatan Membalong, Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung yang berbasis peternakan sapi potong. Penetapan Kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Kabupaten Belitung No.316/IV/2003. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Desember 2009 sampai Mei 2010. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Teknik Penentuan Responden Teknik penentuan responden dalam rangka menggali informasi dan pengetahuannya ditentukan/dipilih secara sengaja (purposive sampling) dari aspek jumlah ternak yang dimiliki. Pemilihan responden disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan jumlah responden yang akan diambil yaitu responden yang dapat dianggap mewakili dan memahami permasalahan yang diteliti. Penentuan responden dilakukan dua cara: Pertama. Responden dari peternak untuk survei sosial ekonomi di lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan metode purposive random sampling. Data sosial ekonomi tersebut digunakan untuk analisis perilaku peternak dan menentukan status serta indeks tingkat perkembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong. Jumlah responden (n) dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: N n = ---------------1 + Ne2 132
Keterangan: n = Jumlah responden N = Jumlah populasi (kepala keluarga peternak) e = Galat yang dapat diterima (10%) Responden sebanyak 200 (dua ratus) orang diambil dari 5 (lima) kecamatan yang berada di Kabupaten Belitung, yaitu: Kecamatan Membalong, Tanjung Pandan, Badau, Sijuk, dan Selat Nasik. Penentuan responden ditentukan secara acak untuk masing-masing kecamatan. Responden dikelompokkan menjadi 3 (tiga) skala usaha, yaitu: peternak skala usaha kecil (1-3 ekor sapi), peternak skala usaha sedang (4-10 ekor sapi), dan peternak skala usaha besar (>10 ekor) sapi. Kedua. Responden dari kalangan pakar. Responden pakar sebanyak 30 orang dipilih secara sengaja (purposive sampling). Responden yang terpilih memiliki kepakaran sesuai dengan bidang yang dikaji. Syaratsyarat responden pakar antara lain: (a) Mempunyai pengalaman yang kompeten sesuai bidang yang dikaji. (b) Memiliki reputasi, kedudukan/ jabatan dalam kompetensinya dengan bidang yang dikaji dan telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai ahli atau pakar pada bidang yang diteliti. (c) Mempunyai komitmen terhadap permasalahan yang dikaji. (d) Bersifat netral dan bersedia menerima pendapat responden lain. (e) Memiliki kredibilitas yang tinggi dan bersedia dimintai pendapat. Kerangka Analisis Analisis tingkat perkembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong dilakukan dengan pendekatan Multi dimensional Scaling (MDS) yang disebut dengan pendekatan Rap-agrop (Rapid appraisalPengembangan Agropolitan) yang merupakan pengembangan dari metode Rapfish yang digunakan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap (Kavanagh, 2001). Analisis tingkat perkembangan ini, dinyatakan dalam Indeks Keberlanjutan Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Peternakan Sapi Potong.
Tingkat Perkembangan Kawasan Agropolitan (Suyitman dan S.H. Sutjahjo)
Vol. 13 (2)
Tabel 1. Analisis dimensi dan atribut perkembangan kawasan agropolitan Desa Perpat Kabupaten Belitung berbasis peternakan sapi potong No. Dimensi dan Atribut (Elemen)
0
Kriteria 1
2
tidak mencukupi
sedang
mencukupi
tidak mencukupi Satu Rendah Tradisional
sedang dua sedang sedang
mencukupi >dua tinggi Maju
Rendah sedikit: <25%)
sedang sedang: 25-50%
tinggi tinggi: >50%
Minoritas
sedang
dominan
Buruh
penggarap
pemilik
tidak dilakukan <1 Kurang
ringan 1 sedang
Dilakukan baik >1 lebih dari cukup
belum ada Primer rumah tangga
jarang skunder industri kecil
tidak ada sedikit: <25%
satu sedang: 25-50%
biasa dilakukan skunder-tertier perusahaan menengah-besar >satu tinggi: >50%
tidak ada <1
sebagian 1
seluruhnya >1
tidak ada
ada
memadai, modern
2 3
Agribisnis Ketersediaan sarana produksi peternakan Ketersediaan alat untuk peternakan Komoditas unggulan Nilai ekonomi komoditas unggulan Teknologi budidaya komoditas unggulan Produktivitas komoditas unggulan Masyarakat yang telibat dalam usahatani komoditas unggulan Luas kawasan usahatani komoditas unggulan Akses mayoritas peternak terhadap lahan Pengelolaan pasca panen Kelayakan usahatani (R/C) Ketersediaan permodalan usaha ternak Agroindustri Pengolahan hasil peternakan Produk yang dihasilkan agroindustri Skala industri pengolahan komoditas unggulan Jumlah jenis produk olahan Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam agroindustri Pengolahan limbah agroindustri Kelayakan usaha agroindustri Pemasaran Terminal agribisnis (SubTerminal Agribisnis) Ketersediaan pasar sarana produksi Sistem pemasaran
4 5 6
Produk yang dipasarkan Tujuan pemasaran Standarisasi mutu
7 1
Penggunaan teknologi informasi Infrastruktur Jalan usahatani
2 3 4
Jalan poros Jalan penghubung desa-kota Jaringan irigasi
5
Jaringan air bersih
tidak ada
6
Jaringan drainase permukiman
tidak ada
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 1
tidak ada tidak ada Primer Lokal tidak ada Ada
ada memadai, modern ada tapi tidak ada, berfungsi, berfungsi memadai primer > olahan olahan > primer regional nasional, eksport untuk produk untuk seluruh tertentu produk sedikit cukup banyak
tidak ada
ada, setapak
jalan tanah pengerasan batu tidak ada
pengerasan batu aspal ada, tidak memadai ada, tidak memadai ada, tidak
Tingkat Perkembangan Kawasan Agropolitan (Suyitman dan S.H. Sutjahjo)
bisa dilalui kendaraan aspal hotmix mencukupi mencukupi mencukupi 133
Vol. 13 (2)
No. Dimensi dan Atribut (Elemen)
0
7
Jaringan listrik
tidak ada
8
Jaringan telekomunikasi
tidak ada
9
Bangunan penyuluh pertanian
tidak ada
10
Bangunan penunjang pertanian
tidak ada
1 2
Suprastruktur Kualitas SDM masyarakat Ketersediaan Kelompok Tani
3
Ketersediaan Koperasi
tidak ada
4
tidak ada
5
Ketersediaan Lembaga Keuangan atau Bank Ketersediaan Lembaga Penyuluhan
6
Ketersediaan Lembaga Sosial
tidak ada
7
Ketersediaan Lembaga Konsultasi Agribisnis Badan Pengelola Kawasan Agropolitan
tidak ada
8
mayoritas SD tidak ada
Analisis dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu: (a) penentuan atribut tingkat perkembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan yang mencakup lima dimensi yaitu: agribisnis, agroindustri, pemasaran, infra struktur, dan suprastruktur; (b) penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria tingkat perkembangan setiap dimensi; dan (c) penyusunan indeks dan status keberlanjutan kawasan berbasis peternakan sapi potong (Dubrovsky, 2004). Analisis MDS ditujukan untuk menilai tingkat perkembangan kawasan agropolitan berdasarkan pada ukuran-ukuran ideal dimensi kawasan agropolitan yang meliputi dimensi agribisnis, agroindustri, pemasaran, infra struktur, dan suprastruktur (Barlas, 1996). Adapun atribut (elemen) dari masingmasing dimensi dapat dilihat pada Tabel 1. Setiap atribut pada masing-masing dimensi diberikan skor berdasarkan scientific judgment dari pembuat skor. Rentang skor berkisar antara 0 – 2 atau tergantung pada 134
tidak ada
tidak ada
Kriteria 1 memadai ada, tidak memadai
2 mencukupi
ada, tidak memadai ada, tidak memadai ada, tidak memadai
mencukupi
SMP ada, tidak berfungsi ada, tidak berfungsi ada, tidak berfungsi ada, tidak berfungsi ada, tidak berfungsi ada, tidak berfungsi ada, tidak berfungsi
SMA ada, berfungsi, memadai ada, berfungsi, memadai ada, berfungsi, memadai ada, berfungsi, memadai ada, berfungsi, memadai ada, berfungsi, memadai ada, berfungsi, memadai
mencukupi mencukupi
keadaan setiap atribut yang diartikan mulai dari yang buruk (0) sampai baik (2). Nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multidimensional scaling (MDS) untuk menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan pengembangan kawasan berbasis peternakan yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good) dan titik buruk (bad). Adapun nilai skor yang merupakan nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi terdapat pada Tabel 2. Tabel 2. Kategori status keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakansapi potong berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-agrop Nilai Indeks 0-25 26-50 51-74 75-100
Kategori Buruk Kurang Cukup Baik
Tingkat Perkembangan Kawasan Agropolitan (Suyitman dan S.H. Sutjahjo)
Vol. 13 (2)
Buruk 0%
Buruk 50%
0%
Gambar 2. Ilustrasi indeks keberlanjutan pengembangan kawasan berbasis peternakan sebesar 50% (berkelanjutan) Melalui metode MDS, maka posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Dengan proses rotasi, maka posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai indeks keberlanjutan diberi nilai skor 0% (buruk) dan 100% (baik). Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan lebih besar atau sama dengan 50%, maka sistem dikatakan berkelanjutan (sustainable) dan tidak berkelanjutan jika nilai indeks kurang dari 50%. Ilustrasi hasil ordinasi nilai indeks keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 2. Nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) seperti Gambar 3. Untuk melihat atribut yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan dilakukan analisis sensivitas dengan melihat bentuk perubahan Root Mean Square (RMS) ordinasi pada sumbu X. Semakin besar perubahan nilai RMS, maka semakin sensitif atribut tersebut dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan. Dalam analisis tersebut di atas akan terdapat pengaruh galat yang dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kesalahan dalam pembuatan skor karena kesalahan pemahaman terhadap atribut atau kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna, variasi skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti, proses analisis MDS yang berulang-ulang, kesalahan pemasukan data atau ada data yang hilang, dan tingginya nilai stress, yaitu nilai stress dapat diterima jika nilai <25% (Kavanagh, 2001). Untuk mengevaluasi pengaruh galat
pada pendugaan nilai ordinasi pengembangan kawasan berbasis peternakan digunakan analisis Monte Carlo. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang diperlukan dalam analisis adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa atribut-atribut yang terkait dengan tingkat perkembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong pada lima dimensi yaitu: dimensi agribisnis, agroindustri, pemasaran, infrastruktur, dan suprastruktur. Data primer bersumber dari para responden dan pakar yang terpilih, serta hasil pengamatan langsung di lokasi penelitian. Data sekunder seperti data produksi peternakan, komoditas unggulan, jumlah penduduk, kegiatan utama masyarakat di sektor peternakan, aksesibilitas kawasan ke kawasan/daerah lainnya, kedekatan dengan pasar, kelengkapan sarana dan prasarana pendukung, potensi lahan untuk mendukung pe-ngembangan kawasan agropolitan, dan perolehan PDRB, fasilitas pendidikan latihan dan penyuluhan, fasilitas kesehatan hewan dan IB, fasilitas ibadah, fasilitas olah raga, fasilitas keamanan, fasilitas ekonomi seperti ketersediaan pasar dan koperasi unit desa (KUD). Data sekunder ini diperoleh dari instansi-instansi terkait di Kabupaten Belitung, seperti: Bappekab, Dinas Peternakan, Dinas Pertanian, Badan Pusat Statistik (BPS), Kecamatan dan Desa dalam wilayah Kecamatan Membalong, Tanjung Pandan, Badau, Sijuk, dan Selat Nasik. Metode Pengumpulan Data Dilakukan melalui wawancara, diskusi, kuesioner, dan survey lapangan dengan responden di wilayah studi yang terdiri atas berbagai pakar dan stakeholder yang terkait dengan topik penelitian ini. HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Perkembangan Kawasan Agropolitan Kawasan Agropolitan Desa Perpat yang berada di Kecamatan Membalong, Kabupaten
Tingkat Perkembangan Kawasan Agropolitan (Suyitman dan S.H. Sutjahjo)
135
Vol. 13 (2)
Belitung ditentukan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Kabupaten Belitung No.316/IV/2003 dengan Desa Pusat Pertumbuhan (DPP) berada di wilayah Perpat. Lokasi tersebut telah mengalami pertumbuhkembangan yang cepat seiring dengan masuknya introduksi program pemerintah, seperti: pembukaan lahan pertanian, pembangunan unit terpadu ternak sapi potong, pembangunan irigasi, dan insfrastruktur jalan yang sudah memadai. Pada mulanya lokasi tersebut merupakan basis trasmigrasi yang di dominasi oleh Suku Jawa. Seiring dengan penetapan kawasan agropolitan Desa Perpat pada tahun 2003, maka pemerintah juga memberikan bantuan berupa subsidi pupuk, bantuan ternak dan bibit sapi potong, program bantuan pembiayaan kelompok tani, subsidi bibit padi sampai dengan subsidi saprotan. Tujuannya adalah agar petani mampu mengembangkan kawasan agropolitan tersebut secara mandiri dan bersinergi dengan pasar yang akan segera dibuka termasuk teknologi pasca panennya. Hasil analisis multidimensi scaling (MDS) tingkat perkembangan kawasan agropolitan menunjukkan bahwa kawasan Agropolitan Desa Perpat Kabupaten Belitung yang berbasis komoditas unggulan ternak sapi potong masih tergolong dalam tingkat pra kawasan agropolitan, yaitu dengan nilai indeks 34,18 (Tabel 3 dan Gambar 3). Komoditas ternak sapi potong yang dinyatakan sebagai komoditas unggulan di kawasan ini pada kenyataannya populasinya sangat rendah, yaitu: 703 ekor di Kawasan Perpat dan di Kabupaten Belitung sebanyak 1.398 ekor (BPS Kabupaten Belitung, 2009), sehingga sangat sulit untuk dijadikan komoditas unggulan dan sebagai komoditas penggerak perekonomian wilayah. Kondisi ini mengakibatkan tingkat perkembangan kawasan ini tergolong rendah, yaitu: Pra Kawasan Agropolitan. Sebenarnya ada beberapa komoditas lain di kawasan ini yang berpotensi menjadi komoditas unggulan, seperti: lada dan nenas. Namun demikian, sejauh ini tidak dimasukkan sebagai komoditas unggulan kawasan. Pembangunan infrastruktur di kawasan ini lebih diarahkan 136
pada pembangunan infrastruktur pendukung ternak sapi potong. Tabel 3. Hasil analisis MDS untuk menentukan tingkat perkembangan kawasan agropolitan Desa Perpat Kabupaten Belitung Dimensi Indeks Agropolitan Rap-agrop Bobot Agribisnis 50,47 0,49 Agroindustri 6,52 0,16 Pemasaran 9,98 0,25 Infrastruktur 64,49 0,06 Suprastruktur 57,23 0,03 Indeks Gabungan
Indeks Terboboti 24,74 1,07 2,50 4,00 1,87 34,18
Agribisnis 100 80 6050.47 Suprastruktur
40 57.23
Agroindustri
20 0
6.52 9.98
64.49 Infrastruktur
Pemasaran
Gambar 3. Diagram layang-layang tingkat perkembangan kawasan agropolitan Desa Perpat Kabupaten Belitung Berdasarkan nilai indeks Rap-agrop (Tabel 3 dan Gambar 3), menunjukkan bahwa dimensi agribisnis (50,47%), infrastruktur (64,49%), dan suprastruktur (57,23%) pada kawasan agropolitan Desa Perpat sudah cukup baik, sedangkan dimensi agroindustri (6,52%) dan pemasaran (9,98%) masih tergolong kurang baik. Agar nilai indeks ini di masa yang akan datang dapat terus meningkat sampai mencapai status berkelanjutan, maka perlu perbaikanperbaikan terhadap atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi agroindustri dan pemasaran. Terkait dengan perbaikan dan peningkatan nilai indeks dimensi agroindustri dan pemasaran, maka faktor jumlah populasi sapi potong yang dipelihara oleh peternak di kawasan ini merupakan faktor kunci utama selain pembangunan agroindustri peternakan. Rendahnya populasi sapi potong di kawasan
Tingkat Perkembangan Kawasan Agropolitan (Suyitman dan S.H. Sutjahjo)
Vol. 13 (2)
agroplitan Perpat ini, mengakibatkan agroindustri peternakan dan pemasaran yang terkait dengan produk sapi potong juga tidak berkembang. Namun demikian, infrastruktur yang mendukung sistem agribisnis dan agroindustri sapi potong sudah cukup memadai, seperti kandang ternak kolektif, rumah potong hewan, dan instalasi pengolahan limbah sekalipun kurang berfungsi optimal. Suprastruktur terkait sistem agribisnis ternak sudah cukup baik. Kelompok tani, penyuluh dan aktivitas lembaga penyuluhan ternak sudah berfungsi cukup baik di kawasan ini. Analisis Faktor Kunci Tingkat Perkembangan Kawasan Agropolitan Faktor-faktor yang terkait dalam perkembangan kawasan agropolitan Desa Perpat Kabupaten Belitung dapat diidentifikasi sebagaimana Tabel 4. Berdasarkan analisis pengaruh langsung antar faktor (Gao dan Nakamori, 2003) sebagaimana disajikan pada Gambar 4, dari ke-25 faktor tersebut didapatkan sebanyak 2 (dua) faktor yang mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan antar faktor tidak terlalu kuat, yaitu: (1) produksi sapi potong dan (2) produksi olahan daging. Tabel 4. Elemen yang terkait dengan perkembangan kawasan agropolitan Desa Perpat Kabupaten Belitung No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Faktor (Elemen) Produksi sapi potong Produksi olahan daging Ketersediaan tenaga kerja Peningkatan pasar daging Peningkatan pendapatan peternak Peningkatan daya saing Pembangunan daerah Jalan usaha tani Bangunan industri pakan Rumah potong hewan Pos Keswan Bangunan penyuluh peternakan Jalan poros Packing house/cold storage Industri pengolah daging Bangunan industri kulit
No. 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Faktor (Elemen) Industri pupuk organik Jalan penghubung desa/kota Transportasi antar kota Bangunan pasar Sub Terminal Agribisnis/pasar ternak Drainase Sanitasi Pengolahan limbah Jaringan listrik
Produktivitas sapi potong di kawasan ini relatif rendah, hal ini disebabkan para peternak masih belum sepenuhnya melaksanakan Panca Usaha Ternak Potong (PUTP) yang selama ini telah dianjurkan oleh pemerintah. Program PUTP yang meliputi: perbaikan mutu bibit ternak, pakan, pemeliharaan, reproduksi, dan penanganan kesehatan ternak, belum sepenuhnya dilaksanakan di kawasan ini. Pemberian pakan yang seadanya, penyediaan bibit ternak yang umumnya masih menggunakan ternak sapi lokal, dan pemeliharaan ternak sebagian besar masih tradisional dan semi intensif, demikian juga mengenai penanganan kesehatan ternak yang seadanya, menghasilkan produktivitas ternak sapi potong yang dipeliharanya menjadi rendah. Penggunaan bibit sapi potong lokal mengakibatkan pertumbuhan dan per tambahan bobot badan harian agak lambat yang pada akhirnya mengakibatkan produktivitas ternak menjadi rendah. Dalam rangka meningkatkan produktivitas sapi potong dan populasi sapi potong serta pendapatan peternak, sudah seharusnya di daerah ini diperkenalkan bibit-bibit ternak sapi potong unggul, seperti: Simmental, Limousine, Hereford, Brahman, dan lainlainnya yang mempunyai bobot badan dewasa mencapai 1.000 kg lebih. Penggunaan bibitbibit sapi potong unggul yang mempunyai produktivitas tinggi akan membantu meningkatkan pendapatan peternak. Namun demikian, penggunaan bibit unggul akan sangat ditentukan oleh sistem pemeliharaan ternak dalam memperoleh atau meningkatkan produktivitas ternak. Jika sistem
Tingkat Perkembangan Kawasan Agropolitan (Suyitman dan S.H. Sutjahjo)
137
Vol. 13 (2)
pemeliharaannya masih tradisional, maka produksi sapi potong tidak akan optimal produktivitasnya. Dalam rangka meningkatkan produksi sapi potong di kawasan ini, perilaku peternak dalam melakukan kegiatan usaha budidaya sapi potong menjadi salah satu kunci keberhasilan. Perilaku peternak meliputi: cara memelihara ternak, jenis pakan yang diberikan, cara pemberian pakan, vaksinasi, pemberian obat cacing, vitamin, kondisi kandang yang dimiliki, pemanfaatan kotoron ternak untuk pupuk organik, tempat menjual ternak, aktivitas kegiatan penyuluhan, aktivtas kelompok tani ternak, dan lainlainnya. Penyediaan pakan hijauan di daerah ini masih mengandalkan rumput alam, sehingga kondisi ternak sangat tergantung kepada
musim. Pada saat musim hujan ketersediaan pakan hijauan cukup melimpah, sehingga kondisi ternak pada umumnya banyak yang gemuk. Namun, sebaliknya pada musim kemarau ketersediaan pakan hijauan sangat berkurang sehingga ternak sapi banyak yang kurus. Pemanfaatan teknologi pakan di daerah ini masih belum berkembang. Limbah pertanian, seperti: jerami padi yang banyak tersedia di daerah ini belum sepenuhnya dimanfaatkan. Potensi jerami padi yang cukup banyak tersedia di daerah ini, sebenarnya dapat diolah dengan cara fermentasi maupun amoniasi untuk meningkatkan gizi jerami padi dan diberikan pada saat musim kemarau. Dalam rangka membantu meningkatkan produktivitas sapi potong di kawasan ini, faktor penyediaan pakan hijauan perlu di
3.50 Produksi sapi potong
3.00 Prod. Olahan daging
2.50 Pengaruh
Peningkt pasar daging
2.00 1.50 1.00
peningkt daya saing
-
Pembangunan daerah
Bangunan industri pakan
0.50
Rumah potong hewan
Jalan poros
Jalan usahatani Packing house/cold storg Banguana industri kulit Bangunan pasar Ketersediaan tng kerja Bngn penyuluh peternk Pengolhan limbah Drainase Pos Keswan Transportasi antar kota Sanitasi Jalan pnghbung desa/kota STA/pasar ternak
-
Jaringan listrik 0.50 1.00
1.50
Industri pengolah daging peningkt pendapatn ptrnk
2.00
2.50
Industri pupuk organik Ketergantungan
Gambar 4. Hasil analisis pengaruh langsung antar faktor terkait kawasan agropolitan Desa Perpat Kabupaten Belitung berbasis peternakan sapi potong 138
Tingkat Perkembangan Kawasan Agropolitan (Suyitman dan S.H. Sutjahjo)
Vol. 13 (2)
masyarakatkan, misalnya melalui program gerakan menanam rumput raja secara serentak (GEMARRAMPAK). Penyediaan pakan hijauan melalui budidaya rumput unggul sangat membantu dalam meningkatkan produktivitas ternak sapi potong. Hal ini disebabkan rumput unggul (rumput raja) mempunyai produksi segar (1.076 ton/ha/tahun) dan kandungan gizi yang cukup tinggi, sehingga sangat membantu dalam meningkatkan produktivitas ternak dan dapat membantu menekan biaya yang dikeluarkan peternak dalam penyediaan pakan. Program GEMARRAMPAK sangat cocok untuk kawasan ini, karena lahan yang dimiliki peternak di kawasan ini cukup luas dan juga masih banyak lahan-lahan yang belum dimanfaatkan oleh masyarakat. Demikian juga pemanfaatan teknologi pakan, seperti: hay, silase, fermentasi, dan amoniasi perlu dimasyarakatkan, agar limbah pertanian dan agroindustri yang tersedia di lokasi ini dapat dimafaatkan dan kekurangan pakan pada musim kemarau dapat dicukupi, sehingga pakan hijauan cukup tersedia sepanjang tahun. Ketersediaan industri pengolahan daging akan membutuhkan bahan baku ternak sapi potong yang cukup banyak, selain itu juga akan membutuhkan dan menyerap tenaga kerja di kawasan ini. Keberadaan industri hasil ternak ini juga akan berdampak terhadap perkembangan kawasan dan yang pada akhirnya akan meningkatkan produk domestik regional bruto (PDRB). Oleh sebab itu, ketersediaan industri pengolahan daging sangat membantu kawasan ini dalam rangka memajukan pertumbuhan kawasan dan meningkatkan PDRB daerah ini. Keberadaan industri pengolahan daging akan meningkatkan agribisnis komoditas unggulan lokal, yang saling mendukung dan menguatkan termasuk industri kecil, pengolahan hasil, jasa pemasaran dan agrowisata dengan mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam, secara efisiendan ekonomis, sehingga tidak ada limbah yang terbuang atau yang yang tidak dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat (usaha pertanian terpadu tanpa limbah).
KESIMPULAN Tingkat perkembangan kawasan agropolitan Desa Perpat, Kecamatan Membalong, Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung yang berbasis komoditas unggulan peternakan sapi potong, tergolong masih rendah, yaitu: termasuk Pra Kawasan Agropolitan. Kawasan ini mempunyai nilai indeks Rap-agrop cukup baik untuk dimensi agribisnis, infrastruktur, dan suprastruktur, sedangkan dimensi agroindustri dan pemasaran mempunyai nilai indeks yang kurang baik. Faktor-faktor kunci yang berpengaruh kuat terhadap tingkat perkembangan kawasan agropolitan Desa Perpat Kabupaten Belitung, yaitu: (1) produksi sapi potong dan (2) produksi olahan daging. Untuk meningkatkan perkembangan kawasan ini adalah dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh terhadap semua atribut yang sensitif, sehingga semua dimensi di kawasan agropolitan Desa Perpat Kabupaten Belitung menjadi lebih baik dan berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA Barlas, Y. 1996. Multiple test for validation of system dynamics type of simulation models. European Journal of Operational Research, 42(1), 59-87. Badan Pusat Statistik. 2009. Belitung Dalam Angka 2009. Pemerintah Kabupaten Belitung Kerjasama BPS dan BAPPEKAB Belitung, Belitung. Departemen Pertanian. 2004. Penerapan Konsep Kawasan Agropolitan. Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia (SDM) Pertanian, Jakarta. Dubrovsky, V. 2004. Toward System Principles: General system theory and the alternative approach. J. System Research, 21 (2), 109-123. Evans, P. 2006. Government action, social capital and development: Reviewing the evidance of synergy. World Development, 24 (6), 1119-1132.
Tingkat Perkembangan Kawasan Agropolitan (Suyitman dan S.H. Sutjahjo)
139
Vol. 13 (2)
Gao, F., M. Li and Y. Nakamori. 2003. Critical systems thinking as a way to manage knowladge. System Dynamics Review, 20(1), 3-19.
Rustiadi, E., Hadi, S., Muttaqien, W.A. 2006. Kawasan Agropolitan Konsep Pembangunan Desa-Kota Berimbang. Crestpent Press. IPB, Bogor.
Kavanagh, P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (Rapfish) Project. Rapfish Software Description (for Microsoft Exel). University of British Columbia, Fishries Centre. Vancouver.
Suyitman, S.H. Sutjahjo, C. Herison dan Muladno. 2009. Status keberlanjutan wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo untuk pengembangan kawasan agropolitan. Jurnal Agroekonomi, 27 (2), 165-191.
Moe, T.M. 2004. The news economics of organizations. American Journal of Political Science, 28 (4), 739-777.
140
Warner, M. 2002. Social capital construction and the role of the local state. Rural Sociology, 64 (3), 373-393.
Tingkat Perkembangan Kawasan Agropolitan (Suyitman dan S.H. Sutjahjo)
APLIKASI GEOMAGNET UNTUK EKSPLORASI BIJIH BESI DI DAERAH KACANG BOTOR, KABUPATEN BELITUNG BARAT Moh. Zaidan, Wahyu Hidayat, Teguh Prayogo Peneliti Pusat Teknologi Sumberdaya Mineral - BPPT Abstract Iron ore is one of commodity of metallic mineral that is located in Belitung Barat, Bangka Belitung Province. Existence of iron ore can be detected by applying a technology of geomagnet exploration using a magnetic characteristic of iron ore at study area. In this paper, it will be discussed about application of geomagnet for exploring iron ore at Kacang Botor area. Based on result of Geomagnet measurement and data processing, it can be interpretated that Kacang Botor area has prospect of iron ore (Fe) reserve, where contur of magnetic anomaly has a value of about 500 nT - 4000 nT. In a ddition, it can be predicted that iron ore at this area point to type of vein with direction of its distribution is west – east. This fact is suitable with commonly linement of iron ore deposit in belitung island. Kata kunci : geomagnet, iron ore, kacang botor
1. PENDAHULUAN Bijih besi merupakan salah satu komoditi mineral logam yang terdapat di daerah Kabupaten Belitung Barat Propinsi Babel. Daerah potensi yang ada salah satunya ada di desa Kacang Botor Kecamatan Badau. Areal ini diketahui mengandung bijih besi setelah dilakukan eksplorasi sebelumnya oleh geologis yang meneliti keberadaan bijih besi tersebut geomagnet. Kegiatan eksplorasi bijih besi meningkat dikarenakan adanya respon peningkatan permintaan bijih besi dalam negeri maupun luar negeri. Kegiatan eksplorasi bijih besi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara untuk meneliti keberadaannya. Setelah melakukan survei eksplorasi awal yang menggambarkan geologi secara garis besar adanya endapan bijih besi di sekitar lokasi, maka untuk mendapatkan lebih rinci keadaan bijih besinya selanjutnya harus dilakukan kegiatan eksplorasi detail. Eksplorasi detail yang dilakukan adalah berupa penyelidikan kerberadaan bijih besinya secara detail, yaitu penelitian sampai detail dari jumlah luas dan kedalaman posisi persis penyebaran dan batas-batas keberadaan dari bijih besi. Cara penelitian detail ini yaitu dengan beberapa cara seperti pengeboran dan cara beberapa metode geofisika. Salah satu cara penelitian eksplorasi detail yang digunakan adalah dengan metoda eksplorasi geomagnet. Lokasi bijih besi di desa
Kacang botor ini adalah salah satu lokasi yang sudah dilakukan penyelidikan keberadaan dan penyebaran bijih besi dengan metoda eksplorasi Metode eksplorasi geomagnet. Penerapan metode eksplorasi geomagnet ini prinsipnya menggunakan daya kemagnetan bijih besi yang ada didaerah yang mencari anomali kemagnetan yang lebih besar dari sekitarnya. Adapun alat yang digunakan untuk pengukuran daya kemagnetan adalah magnetometer yang terdiri dari main unit GSM 19T Magnetometer, Tabung sensor berisi cairan elektrolit, dan stick alluminium sebagai tempat dan pengarah dari tabung sensor. Cara kerja pengukurannya adalah setelah main unit diaktifkan dan disetting waktu tanggal bulan dan tahun, posisikan stick pada titik yang diukur, hadapkan sensor ke arah utara, untuk pengukurannya tekan tombol F pada GSM 19T Magnetometer secara bersamaan dengan GPS , yang gunanya untuk tracking dan koreksi waktu pengukuran. (lihat gambar). Kegiatan penambangan daerah ini dilakukan dengan sistem tambang terbuka, yaitu penambangan pengambilan bijihbesinya dengan menggunakan bantuan peralatan alat berat yang bijihnya dikumpulkan untuk dicuci atau dipisahkan sesuai dengan diameter ukurannya masingmasing. Alat-alat berat yang digunakan pada penambangan antara lain untuk pengupasan dan penggalian dengan bulldozer dan back hoe, untuk pengangkutan dengan dump truk. Pada lokasi, bijih besi yang sudah ditambang diangkut dan dikumpulkan di stockfile yang berjarak sekitar 2
___________________________________________________________________________________ Aplikasi Geomagnet Untuk Eksplorasi...............(Moh.Zaidan, Wahyu Hidayat, Teguh Prayogo) Diterima 11 Mei 2009; terima dalam revisi 18 Juni 2009; layak cetak; 21 Juli 2009
133
km. Bijih besi sudah ada di stockfile dicuci, dan dibagi ukurannya. Mineral dressingnya meliputi proses pengolahan pencucian dan proses pemisahan ukuran (size). Proses pencuciannya dilakukan pada saat bersamaan dengan proses pemisahan ukuran bijihnya. Pemisahan bijih besinya menggunakan sistem magnet bijih besinya dengan hasil pemisahan berbagai macam ukuran yang ukuran diameter kurang dari 10 cm. Sumber air untuk pencuciannya diperoleh dari danau sekitar area dan limbah bekas pencuciannya dibuang pada pond2 yang dibuatkan di sebelah area penambangan. Di lokasi terdapat peralatan Magnetic Separator untuk sizing atau pemisahan type ukuran bijih besinya, namun tidak ada peralatan chrushing plant (penghancuran atau pengecilan ukuran). Untuk ukuran bijih besi dengan diameter lebih dari 20 cm sudah dihancurkan terlebih dahulu dengan breaker back hoe, sehingga bijih yang diambil untuk dicuci sudah berukuran kecil-kecil. sehingga mudah dimuat ke Magnetic Separator atau dimuat ke papan palong pencucian untuk selanjutnya dikarungi / dipacking pada ukuran-ukuran tertentu. 2. BAHAN DAN METODE Adapun tujuannya adalah untuk mengetahui penyebaran bijih besi dilokasi tersebut dan seberapa besar potensi sumberdaya bijih besinya apabila dilakukan penambangan. Hal ini diusahakan untuk memberikan gambaran keadaan dari sumberdaya bijih besi kepada pihak tertentu untuk inventarisasi data potensi bijih besi di Indonesia. Desa Kacang Botor ini terletak dipinggir jalan jalur tengah yang menuju Manggar Belitung timur. Dengan melalui jalan kabupaten beraspal lokasi lokasi ini berjarak sekitar 27.5 km dari kota tanjung pandan dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Lokasi didapat setelah berbelok di simpang desa Kacang Botor dari jalan aspal masuk sekitar 3 km melewati jalan tanah berbatu melalui jalan tanah berbatu milik perkebunan kelapa sawit. Posisi lokasi berada sekitar 8 km dari bandara H.AS. Hanandjoeddin Belitung, dan sekitar 29 km dari pelabuhan tanjung pandan (lihat gambar)
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
2.1. Topografi dan Geologi Kondisi topografi Lokasi tambang bijih besi pada umumnya bergelombang dan berbukit-bukit daerahnya relatif datar dengan kemiringan berkisar 20 sampai 40 derajat, terdiri dari lembah sedang dan perbukitan kecil, dimana daerah yang paling tinggi dengan ketinggian + 100 m dari permukaaan laut. Sedangkan keadaan geologi lokasi pada umumnya didominasi oleh kwarsa dan pasir, batuan alluvial, dan batuan granit dengan intrusi mineralisasi bijih besi di antara batuan alluvial. Vegetasi pada lokasi terdiri dari tumbuhan pepohonan khas daerah pulau belitung dan semak belukar, dan sebahagian berupa lahan perkebunan kelapa sawit. (lihat gambar).
Gambar 2. Topografi lokasi penelitian
2.2. Pertambangan Saat disurvei penambangan di lokasi ini tidak ada kegiatannya. Luas area penambangan yang sudah dikerjakan sekitar 20 Ha. Tampak sekitar area penambangan tidak ada lagi alat-alat berat yang membantu operasional tambang. Yang masih tampak adalah tumpukan bijih besi hasil penggalian yang sudah dilakukan. Aktifitas penambangan saat disurvei tidak ada, begitu pula kehidupan buruh. Dilihat dari bekas –bekas penggalian dan bekas pencucian, diperkirakan tambang ini berhenti sudah sekitar 2 atau 3 tahun, dimana terlihat sebuah rumah pondokan karyawan
___________________________________________________________________________________ 134
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 11 No. 2 Agustus 2009 Hlm.133-138
atau penunggu tambang yang sudah tidak dihuni lagi dan kosong. Dari penglihatan di lapangan dan dari bekas penggaliaan bijih besi di lokasi diperoleh info bahwa penambangan dilakukan dengan sistim Quarry (Gambar 3)
2.3. Metodologi Adapun metodologi yang dilakukan ada dua perlakuan, yaitu : 1. Untuk perlakuan area yang luas. Setting Magnetometer base station (station) Setting GSM magnetometer (Mobile) Pengukuran lapangan Data Proses Data Magnetik Total&Delta Magnetik Peta Area Magnetik 2. Untuk perlakuan area yang kecil. Setting GSM Magnetometer (mobile) Pengukuran Data Proses Data Magnetik Total&Delta Magnetik Peta Area Magnetik
Gambar 3. Bekas penggalian Bijih besi
P E R S IA P A N LIN T AS AN
Karena areal bekas penggalian membuat bekas lobang-lobang besar yang kedalamanya kecil. Penggalian ini dilakukan langsung dengan alat berat back hoe. Di lokasi tidak terlihat alat-alat pengolahan seperti chrusher, Magnetic Separator atau Flotasi. Yang terlihat hanyalah bekas proses pencucuian atau sizing plant yang digunakan memisahkan ukuran-ukuran bijih yang diinginkan dari ukuran diameter 1 cm sampai dengan sekitar 10 cm. Ada juga yang berukuran besar sekitar diatas 20 cm diameternya dari hasil penggaliannya berupa boulder-boulder dan krakal-krakal.Untuk ukuran yang besar ini dilakukan dengan back hoe langsung, yang kemudian dikecilkan ukurannya dengan breakers back hoe, yang selanjutnya di muat untuk dicuci. Proses pencuciannya menggunakan papan palong yang berdasarkan sistem berat/gravitasi bijih besi untuk memperloleh ukuran-ukuran tertentu, dan ditumpuk membentuk beberapa gunungan-gunungan kecil pada sisi sebelah kanan dan kiri papan palong pencucian atau washing plant. Pencucian ini kebutuhan airnya didapat dari danau kecil sebelah tambang dan air bekas pencuciannya dialirkan pada kolam penampungan (pond) disebelah tambang.
S E T T IN G G S M M AG N ET OM E T E R S T A T IO N S
S E T T IN G G S M M AG N ET OM E T E R M O B IL E
P EN G U K U R A N
D AT A C O LL EC T
D AT A PR OC E SS
M A G N E T IK T O T A L D A N AN OM A LI M E G N E T IK
PE T A A R EA M A G N E T IK
Gambar 5. Metodologi Penelitian
Dalam proses pengolahan data Geomagnet diperlukan langkah-langkah dari :
Gambar 4. Tumpukan Bijih besi Hasil penggalian
•
Penyiapan lintasan Geomagnet (studi literatur, peta, lokasi survey).
•
Akuisisi data pengukuran (pengambilan data, pengumpulan data, persiapan untuk pengolahan).
•
Pengolahan data (penyiapan data agar menjadi suatu bentuk peta/penyajian yang bisa dibaca untuk diinterpretasi.
___________________________________________________________________________________ Aplikasi Geomagnet Untuk Eksplorasi...............(Moh.Zaidan, Wahyu Hidayat, Teguh Prayogo)
135
3. HASIL DAN PEMBAHAAN 3.1. Penelitian lapangan Luas area penelitian dengan geomagnet ini sekitar 10 Ha. Keadaan lapangan sebagian besar sudah berupa lobang yang besar karena penggalian atau penambangan pada lapisan urat yang diduga ada bijih besinya. Dan dibagian lainnya lubangnya sudah berisi air, dengan masih meninggalkan sisa endapan bijih besi yang masih akan diambil di kemudian harinya. Adapun operator pengukuran dilakukan 2 orang dengan masing-masing alatnya yang terbagi seorang dengan magnetometer dan satu lagi dengan GPS dan pemandu pola lintasan yang sudah dirancanakan tersebut. (lihat Gambar). Proses penelitian dilakukan dengan melakukan pengukuran menggunakan Geomagnetometer, Pola pengukuran dilakukan membuat lingkaran berupa polygon yang mencakup area yang sudah kita rencanakan lintasannya. (Gambar 6).
(anomali) berada dalam latar belakang medan yang relatif besar. Variasi intensitas medan magnetik yang terukur kemudian di tafsirkan dalam bentuk distribusi bahan magnetik di bawah permukaan yang kemudian di jadikan dasar bagi pendugaan keadaan geologi bawah permukaan. Di dalam survey potensi bijih besi, yang diharapkan dari hasil survey geomagnet adalah adanya pola anomali magnetik yang relatif lebih tinggi dari sekitarnya untuk mendelineasi daerah prospek bijih besi sebagai acuan untuk eksplorasi lanjutan.
Gambar 8. Alat Geomagnet
Sebelum melakukan proses pengolahan geomagnet, terlebih dahulu kita persiapkan datadata mentah dari hasil akuisisi pengukuran, datadata tersebut adalah sebagai berikut : 1. Data akuisisi pengukuran geomagnet di Base Station dan geomagnet Mobile. Tabel 1. Format data geomagnet yang siap diolah Gambar 6. Aktivitas pengukuran geomagnet
Keterangan :
Gambar 7. Pola Hasil pengukuran
3.2. Proses Pengolahan Data Geomagnet Metode Eksplorasi Geomagnet adalah eksplorasi dengan menggunakan alat magnetometer (Gambar 8) untuk pengukuran yang didasarkan pada pengukuran variasi intensitas medan magnetik di permukaan bumi yang disebabkan oleh adanya variasi distribusi benda termagnetisasi di bawah permukaan bumi. Variasi yang terukur
ID Time X Y H MT Accuracy Diurnal MT teroreksi
: : : : : : : : :
Kode Titik Waktu Pengukuran Posisi Di Sumbu X Posisi Di Sumbu Y Elevasi Magnetik Total Akurasi Delta Magnetik Pengukuran Harian Magnetik Total terkoreksi
___________________________________________________________________________________ 136
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 11 No. 2 Agustus 2009 Hlm.303-308
MFTI
:
M
:
Nilai Magnetik bumi (Data kontur Magnetik bumi) Magnetik Total – Magnetik koreksi (Pengukuran Base station)
2. Pengolahan data hasil pengukuran geomagnet menggunakan software GEM magnetometer dan software ArcView. Adapun langkahlangkah pengolahan data adalah : Project Baru : (View – New – Bentuk DBF) Di blok Save as DBF Save tutup Memasukkan Titik dari Tabel : (Tabel – ADD – (data DBF)) Klik Tutup tabel View - Project Baru : (View – ADD EVEN TEMPT) Tabel X, W, Z Add Tempt Tabel – ADD Tabel. Membuat Poligon : (View – New Tempt – Poligon – Tempat simpan nama) Tempt Stop Editing Buat Kontur : (File Extention , Image Analisis, 3D analisis) Surface – create Countur (IDW) 2 values Interval Countur Croop Data Kontur : (Theme – new temp – polygon) Theme – stop editing File Ext Geoprocesing result Clip Theme Convert to SHP file Convert counter DBF – SHP View – Geoprocesing – CLIP Warna klik 2x Uniq Value Value Countur Add point Pilih point, letakkan ukuran grafik dan posisi Theme Convert to SHP File.
Gambar 9. Hasil Peta Anomali dari pengolahan data Software Arc View.
3.2.1.
Hasil Aplikasi Pengukuran dan Pemodelan Geomagnet di Kacang Botor
Setelah mempersiapkan data excel seperti yang telah kita lihat pada akuisisi data, lalu data tersebut kita olah menjadi peta kontur berdasarkan angka anomaly berdasarkan nilai Anomali Magnetiknya (M), dimana : M = Magnetik Total – Magnetik
koreksi (Pengukuran Base station), dalam hal ini membuat konturing Anomali Magnetik pada daerah desa Kacang Botor. Dari langkah-langkah kegiatan penelitian yang dilaksanakan di lokasi desa Bacang Botor, Kabupaten Belitung Induk, dengan luas area penelitian seluas 4,8 ha, didapatkan hasil data pengukuran berupa peta kontur anomali 2D dan 3D berdasarkan anomali magnetik, anomali akurasi pengukuran dan ketinggian. Pada konturing data Anomaly Magnetik (M), yang dapat kita lihat pada (Gambar.6), berdasarkan peta Anomali Magnetik (M) bisa kita ambil kesimpulan bahwa daerah yang memiliki kontur anomaly Magnetik berkisar 500 nT - 4000 nT, merupakan daerah yang memiliki potensi cadangan bijih besi (Fe).
Gambar 10. Peta Kontur Anomali Magnetik (M) Kacang Botor
Bijih besi pada daerah ini bijih besi diinterpretasikan sebagai tipe vein dengan arah sebaran vein Fe di permukaaan yang tersebar relative memanjang mengarah barat-timur, sesuai dengan kelurusan umum (dominant) yang terbentuk di pulau belitung. seperti yang terlihat pada kontur Anomaly Magnetik (M), seperti terlihat pada gambar diatas. Data ini juga didukung dengan peta kontur 3D permukaan berdasarkan Anomaly Magnetik (M), Anomaly Akurasi Pengukuran dan Ketinggian dimana juga memiliki kecendrungan pola yang sama (Gambar 7Gambar 11, Gambar 12, dan Gambar 13), akurasi saat melaksanakan pengukuran juga dipengaruhi oleh ganguan langsung dari benda atau material di sekitar daerah /titik pengamatan, dalam hal ini mineral/material besi (Fe).
___________________________________________________________________________________ Aplikasi Geomagnet Untuk Eksplorasi...............(Moh.Zaidan, Wahyu Hidayat, Teguh Prayogo)
137
N
4. KESIMPULAN
Gambar 11. Peta Kontur 3D Anomali Magnetik (M) Kacang Botor N
Berdasarkan pekerjaan pengukuran di lapangan, proses pengolahan data dan hasil interpretasi, dapat disimpulkan sebagai berikut : • Daerah yang memiliki potensi cadangan bijih besi (Fe) memiliki kontur anomaly Magnetik berkisar 500 nT - 4000 nT. • Bijih besi pada daerah ini bijih besi diinterpretasikan sebagai tipe vein dengan arah sebaran vein Fe di permukaaan yang tersebar relative memanjang mengarah barat-timur, sesuai dengan kelurusan umum (dominant) yang terbentuk di pulau belitung. • Adanya keterbatasan alat geomagnet dalam melakukan pengukuran pada saat alat mendekati atau kontak langsung dengan objek benda (bijih besi) yang telah terekspose di permukaan, sehingga terjadi penurunan akurasi pengukuran sampai angka tak hingga. DAFTAR PUSTAKA Breiner, S., 1973. Application Manual for Portable Magnetometers, Geometrics, California
Gambar 12. Peta Kontur 3D Anomali Akurasi Pengukuran Kacang Botor
Cooper, G.R.J., 2003. Freeware- Mag2dc for Windows. Milsom , J.,1989. Field Geophysics, Open University Press, John Wiley & Son, New York.
N
Sheriff, R.E., 1982. Encyclopedic Dictionary of Exploration Geophysics, Society of Exploration Geophysicist, Tulsa , Oklahoma. Telford, W.M.,Geldart, L.P., Sheriff, R.E., Keys, .A, 1990. Applied Geophysics. Cambridge University Press, London.
Gambar 13. Peta Kontur 3D Anomali Ketinggian Kacang Botor
Seperti yang kita lihat di atas ini ditampilkan perbandingan layout peta anomali yang disusun, antara Anomaly Magnetik (M) dan anomali berdasarkan Akurasi Pengukuran, dan Ketinggian seperti yang kita lihat adanya hubungan berbanding lurus diantara ketiganya.
___________________________________________________________________________________ 138
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 11 No. 2 Agustus 2009 Hlm.303-308
Hamsani dan Valeriani, Blue Ocean Strategy....
ISSN: 1412-5366
BLUE OCEAN STRATEGY PENGEMBANGAN PARIWISATA DI PROPINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Hamsani1 Devi Valeriani2 Abstract As an area which has long been known as a tin, almost all economic activity depends on the tin industry. It is natural resources are not renewable, therefore, it should be thought for economy sector in support of the Bangka Belitung. Tourism is one of the sectors which have the potential for regional Bangka Belitung, bearing numerous tourist objects can be developed and packed; expected to contribute through tourist visits. The study is to analyze the development of tourism in the blue ocean strategy, is expected to provide inputs and become priority for stabilizing regional economy in the future. Things to be carried out, i.e. by the way subtract, create and enhance within the framework of a step in developing tourism in Bangka Belitung. The analysis method is applicable in the strategy is the ocean or the blue ocean namely creating the market without competitive and to let the no longer relevant. Keywords: the development of tourism, blue ocean strategy 1. PENDAHULUAN Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan provinsi baru yang lahir di era otonomi daerah. Provinsi ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000 tentang penetapan wilayah Kepulauan Bangka Belitung sebagai daerah otonom provinsi dengan Ibukota Pangkalpinang. Sebagai Provinsi yang lahir di era otonomi daerah, Kepulauan Bangka Belitung dituntut untuk mampu mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi daerah dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sejak masih merupakan bagian dari provinsi Sumatera Selatan, penghasilan utama daerah ini adalah dari sektor primer khususnya pertambangan timah. Bahkan hasil pertambangan timah daerah provinsi kepulauan Bangka Belitung mampu menguasai sekitar 30% kebutuhan akan timah dunia, yang memberikan penghasilan yang besar bagi devisa serta menyumbang jumlah yang tidak sedikit terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Sampai saat ini sektor pertambangan umum khususnya timah yang termasuk kelompok sektor primer masih merupakan andalan Pemerintah daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.Tahun 2005 sektor ini mampu memberikan sumbangan terhadap PDRB sebesar 41,51%.Sedangkan 1 2
Fakultas Ekonomi Universitas Bangka Belitung Fakultas Ekonomi Universitas Bangka Belitung
41
Hamsani dan Valeriani, Blue Ocean Strategy.....
ISSN: 1412-5366
sektor Pariwisata yang termasuk kelompok sektor tersier hanya memberikan sumbangan terhadap PDRB sebesar 28,03% (BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung). Pemerintah provinsi Kepulauan Bangka Belitung sudah menyadari untuk tidak terlalu bergantung pada sektor pertambangan, mengingat sifat dari sektor pertambangan sebagai sumber daya yang tidak dapat diperbaharui.Dengan hanya berfokus pada sektor pertambangan menyebabkan perekonomian provinsi Kepulauan Bangka Belitung rentan terhadap goncangan. Langkah Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadikan sektor pariwisata sebagai salah satu sektor andalan dalam menopang perekonomian merupakan langkah yang tepat.Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memang memiliki banyak obyek wisata yang menarik untuk dikembangkan, seperti wisata alam, wisata sejarah, wisata seni dan budaya atau wisata lainnya.Berikut proyeksi jumlah wisatawan Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2005-2014 Tabel 1.1 Proyeksi Jumlah Wisatawan Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2005-2014 Tahun 2001 2002 2003 2004 Komposisi 2005 2006 2007 Komposisi 2008 2009 2010 2011 2012 Komposisi 2013 2014
Wisnus Jumlah 77,192 57,984 40,549 70,636 97% 72,661 75,131 77,686 95% 80,192 84,523 89,087 93,898 98,968 90% 100,322 107,345
% -24.9% -30.1% 74.2% 2.9% 3.4% 3.4% 3.2% 5.4% 5.4% 5.4% 5.4% 1.4% 7.0%
Wisman Jumlah 799 126 578 1,808 3% 2,247 2,324 2,403 5% 4,221 4,449 4,689 4,924 5,209 10% 11,147 11,927
% -84.2% 358.7% 212.8% 24.3% 3.4% 3.4% 75.7% 5.4% 5.4% 5.0% 5.8% 114.0% 7.0%
Wisatawan Jumlah % 77,991 58,110 -25.5% 41,127 -29.2% 72,444 76.1% 100% 74,908 3.4% 77,455 3.4% 80,089 3.4% 100% 84,413 5.4% 88,972 5.4% 93,776 5.4% 98,822 5.4% 104,177 5.4% 100% 111,469 7.0% 119,272 7.0%
Sumber: RIPPDA Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2007-2012), 2005 Masih terbatasnya jumlah wisatawan baik wisatawan nusantara maupun wisatawan manca negara yang datang ke Provinsi Kepulauan Bangka Belitung disebabkan oleh pengelolaan yang belum optimal, tenaga ahli dibidang pariwisata masih minim, promosi masih sangat kurang, pengalokasian dana pada sektor ini juga masih sangat terbatas. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi pariwisata di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung agar temuan-temuan dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi upaya pengembangan pariwisata sebagai sektor unggulan dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli
42
Hamsani dan Valeriani, Blue Ocean Strategy.....
ISSN: 1412-5366
Daerah (PAD), dapat membuka lapangan kerja baru serta meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, maka penelitian mengenai Penerapan Blue Ocean Strategy dalam mengembangkan Pariwisata di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini sangat penting untuk dilaksanakan. Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah Bagaimana Blue Ocean Strategy dalam mengembangkan pariwisata di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung? Penelitian ini akan menganalisis Blue Ocean Strategy pengembangan pariwisata di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 2. LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Pariwisata Pariwisata sebenarnya merupakan suatu kegiatan yang sudah ada sejak zaman dahulu. Dalam bentuknya yang sederhana pariwisata dahulu dikenal sebagai “bertamasya”, akan tetapi sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka bentuk kegiatan pariwisata berkembang menjadi suatu kegiatan yang bersifat lebih luas. Menurut Oka A. Yoeti (1996:21) Pariwisata adalah: Suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu yang diselenggarakan dari suatu tempat ketempat lain dengan tujuan bukan untuk berusaha (business) atau mencari nafkah ditempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata menikmati perjalanan tersebut. Pada prinsipnya kepariwisataan dapat mencakup semua perjalanan, asal saja perjalanan tesebut untuk bertamasya atau berekreasi.Jadi Pariwisata merupakan suatu perjalanan, tetapi tidak semua perjalanan dapat dikatakan sebagai kegiatan pariwisata. Dalam pengertian pariwisata terdapat beberapa faktor penting yang menjadi ciri dari pariwisata yaitu: a. Perjalanan itu dilakukan untuk sementara waktu b. Perjalanan itu dilakukan dari suatu tempat ke tempat lainnya c. Perjalanan itu walaupun apa bentuknya harus dilakukan dengan tamasya atau rekreasi d. Orang yang melakukan perjalanan tersebut tidak mencari nafkah ditempat yang dikunjungi dan semata-mata sebagai konsumen ditempat tersebut. Perjalanan wisata mempunyai berbagai macam motif dan tujuan tertentu, perbedaan motif tersebut menyebabkan adanya berbagai macam atau jenis pariwisata. Menurut Nyoman S. Pendit (2002:38) jenis pariwisata yang dikenal saat ini antara lain: wisata budaya, wisata kesehatan, wisata olahraga, wisata komersil, wisata industri, wisata politik, wisata konvensi, wisata sosial, wisata pertanian, wisata maritim, wisata cagar alam, wisata buru, wisata pilgrim, wisata bulan madu dan wisata petualangan, serta jenis wisata lainnya tergantung kepada kondisi dan situasi perkembangan dunia kepariwisataan di suatu daerah atau negara yang memang mendambakan industri pariwisatanya dapat maju dan berkembang. Menurut Freddy Rangkuti (2002:3) sebagaimana mengutip pendapat Chandler, strategi merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut serta prioritas alokasi sumber daya. Selanjutnya Gamal Suwantoro (1997:56) menyatakan ada beberapa langkah pokok dalam melakukan strategi pengembangan pariwisata yaitu: a. Dalam Jangka pendek dititikberatkan pada optimasi b. Dalam Jangka menengah dititikberatkan pada konsolidasi c. Dalam Jangka panjang dititikberatkan pada pengembangan dan penyebaran 43
Hamsani dan Valeriani, Blue Ocean Strategy.....
ISSN: 1412-5366
Menurut Happy Marpaung (2002:19) perkembangan kepariwisataan bertujuan memberikan keuntungan baik bagi wisatawan maupun warga setempat.Pariwisata dapat memberikan kehidupan yang standar kepada warga setempat melalui keuntungan ekonomi yang didapat dari tempat tujuan wisata. Dalam perkembangan infrastruktur dan fasilitas rekreasi, keduanya menguntungkan wisatawan dan warga setempat, sebaliknya kepariwisataan dikembangkan melalui penyediaan tempat tujuan wisata. Menurut Aditiawan Chandra (2007), upaya kegiatan mempromosikan tempat kunjungan wisata di daerah tidak semudah dengan kegiatan serupa yang dilakukan untuk produk-produk perusahaan. Disamping karakternya yang berbeda, tempat wisata perlu dijual dengan memanfaatkan jasa kegiatan public relations di pasar internasional.Promosi tempat tujuan wisata sangat diperlukan oleh daerah-daerah yang banyak potensi ditanah air termasuk Kepulauan Bangka Belitung. Upaya ini menjadi sangat penting dalam kerangka penyelenggaraan otonomi daerah, promosi tempat wisata yang dirancang dengan baik akan memberikan tambahan penerimaan asli daerah, dan mendorong proses multiflier perkembangan ekonomi lokal disekitar daerah tujuan wisata. Dalam penelitiannya tentang Analisis pengembangan ekonomi dan investasi provinsi Maluku tahun 2000-2004, Agus tri Basuki (2006) menemukan dalam pengembangan pariwisata diperlukan pola keterkaitan regional dengan kawasan sekitarnya, yang dalam hal ini adalah kawasan Asia Pasifik. 2.2.
Blue Ocean Strategy (Strategi Samudera Biru) Dalam pengembangan pariwisata, sebaiknya suatu daerah harus menerapkan suatu strategi baru yang harus keluar dari Status Quo, harus menciptakan strategi masa depan yang gemilang, menerapkan penjauhan dari kompetisi. Harus menekankan penciptaan ruang pasar yang belum ada pesaingnya, fokus pada penumbuhan permintaan dan gerak menjauh dari kompetisi dalam bidang pariwisata yang sangat ketat saat ini baik antar daerah dalam negara Indonesia maupun dengan negara lain. Pujono Agus Suhendro (2007) dalam pengamatannya tentang pariwisata Bengkulu, menyatakan bahwa dunia kepariwisataan Bengkulu tidak berkembang disebabkan kekeliruan dalam menentukan positioning.PositioningBengkulu sebagai Bumi Rafflesia adalah salah besar. Kebiasaan masyarakat feodal yang selalu mengagung-agungkan masa lalu masih melekat pada masyarakat Bengkulu.Tidak berani membuat perubahan secara signifikan. Raffesia adalah masa lalu, bukan masa depan, oleh karena itu pemerintah dan masyarakat Bengkulu harus melakukan perubahan yang berarti, terutama positioning sebagai Bumi Raflesia. Bagi Bengkulu untuk memenangkan persaingan dengan daerah tujuan wisata lain sama tanpa memiliki senjata andalan adalah sama dengan memasuki samudera merah (Red Ocean), oleh karena itu Bengkulu harus memiliki sesuatu yang berbeda dari dari daerah lain, harus berani menciptakan peluang pasar tanpa pesaing, mengemas strategi masa depan gemilang yaitu dengan melakukan Blue Ocean Strategy ( strategy samudera biru). Selanjutnya W.Chan Kim dan Renee Mauborgne (2006:10) menyatakan bahwa Blue ocean strategy menantang perusahaan untuk keluar dari samudera merah persaingan berdarah dengan cara menciptakan ruang pasar yang belum ada pesaingnya, sehingga kata kompetisipun menjadi tak relevan. Dalam hal ini pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menciptakan ruang pasar baru atau 44
Hamsani dan Valeriani, Blue Ocean Strategy.....
ISSN: 1412-5366
sasaran wisatawan tertentu yang dijadikan target utama yaitu wisatawan yang memiliki keterkaitan dengan etnis tertentu yaitu cina atau tionghoa, sehingga yang harusnya menjadi target sasaran adalah Negara-negara yang banyak didiami oleh etnis tionghoa misalnya Negara Republik Rakyat Cina, singapura, malaysia, dan lainlain. Zarmawis Ismail (2005) dalam penelitiannya tentang Daya Saing Ekonomi Indonesia:studi kasus pariwisata menemukan bahwa dalam upaya peningkatan daya saing industri pariwisata dimasing-masing daerah, penting dirumuskan upaya-upaya untuk mendapatkan kondisi biaya yang rendah dalam pengembangan usaha pariwisata. 2.3.
Kerangka Penelitian
Berikut kerangka penelitian Blue Ocean Strategy Pengembangan Pariwisata Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.Hal-hal yang harus dilakukan yaitu hapuskan, kurangi, ciptakan dan tingkatkan dalam bentuk kerangka kerja empat langkah dalam mengembangkan pariwisata di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Gambar 1: Kerangka Kerja Empat Langkah Hapuskan Faktor-faktor apa yang harus dihapuskan dari faktor-faktor yang telah diterima begitu saja oleh sektor pariwisata Kurangi Faktor-faktor apa yang harus dikurangi hingga di bawah standar Sektor Pariwisata?
Kurva nilai Baru Pengembangan pariwisata
Ciptakan Faktor-faktor apa yang belum pernah ditawarkan sektor pariwisata sehingga harus diciptakan?
Tingkatkan Faktor-faktor apa yang harus ditingkatkan hingga diatas standar untuk mengembangkan sektor pariwisata? Sumber : Dimodifikasi oleh peneliti, 2013
45
Hamsani dan Valeriani, Blue Ocean Strategy.....
ISSN: 1412-5366
2.4.
Penelitian Terdahulu Widianto (2008), dalam penelitiannya berjudul Pengembangan Pariwisata Pedesaan, dengan menggunakan analisis SWOT.Hasil yang didapatkan dari penelitian bahwa pengembangan pariwisata pedesaan di desa wisata Ketingan mengandalkan daya tarik alam, yaitu habitat burung. Strategi yang akan dikembangkan adalah meningkatkan pemasaran, kualitas SDM, kualitas pelayanan, memelihara mutu dari apa yang menarik dan ditawarkan dari obyek tersebut. Hastuti (2005) dalam penelitianya yang berjudul Analisis Potensi Wisata Alam di Daerah Pesisir Selatan Kabupaten Gunung Kidul,memiliki tujuan potensi wisata daerah pantai dan faktor pembeda kunjungan wisatawan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey dan analisis data sekunder dengan observasi dan didapat hasil: 1) Daerah penelitian mempunyai tiga potensi yaitu tinggi, sedang dan rendah. 2) Faktor yang berpengaruh terhadap perbedaan kunjungan wisata adalah industri pariwisata dan sarana pengunjung. 3. METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dirancang sebagai penelitian survei yang bersifat deskriptif kualitatif. Variabel yang akan disoroti dalam penelitian ini adalah pengembangan pariwisata. Kajiannya akan dilakukan pada strategi pengembangan pariwisata ditinjau dari sektor pemasarannya dan potensi pariwisata di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 3.2. Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi Penelitian Waktu penelitian, dilakukan selama 1 tahun mulai bulan maret 2013 sampai dengan Februari 2014.Tempat penelitian dilaksanakan di 4 Kabupaten dalam provinsi Kepulauan Bangka Belitung yaitu pada obyek-obyek wisata yang ada, Dinas-Dinas Pariwisata baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota, serta badan atau lembaga-lembaga yang ada kaitannya dalam bidang pariwisata yang ada dalam Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh obyek wisata yang ada di kabupaten/kota dan Badan atau lembaga yang ada hubungannya dengan bidang Pariwisata diProvinsi Kepulauan Bangka Belitung. 3.3. Metode Pengumpulan Data 1. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari obyek penelitian, dengan cara: a. Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara melakukan tanya jawab langsung kepada pihak-pihak yang terlibat dalam obyek penelitian, dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Dinas Pariwisata kabupaten atau kota serta lembaga-lembaga atau badan yang ada keterkaitannya dalam bidang pariwisata dalam provinsi Kepulauan Bangka Belitung. b. Observasi adalah pengumpulan data dengan melakukan pengamatan langsung terhadap obyek-obyek wisata yang ada dalam provinsi Kepulauan Bangka Belitung. c. Kuisioner adalah pengumpulan data dengan cara menyebarkan angket/daftar pertanyaan kepada wisatawan.
46
Hamsani dan Valeriani, Blue Ocean Strategy.....
ISSN: 1412-5366
d. Dokumentasi adalah pengumpulan data dari dokumen-dokumen yang terdapat pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Dinas Pariwisata kabupaten atau kota serta lembaga-lembaga atau badan yang ada ketekaitannya dalam bidang pariwisata dalam provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 2. Data sekunder yaitu metode pengumpulan data yang diperoleh dengan cara membaca buku-buku serta literatur-literatur yang erat kaitanya dengan permasalahan yang diteliti. 3.4. Metode Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode analisis Blue Ocean Strategy atau strategi samudera biru yaitu menciptakan ruang pasar tanpa pesaing dan membiarkan kompetisi tak lagi relevan. 3.5. Langkah Kerja Dalam memasarkan potensi pariwisata yang ada, perlu dilakukan dengan membangun strategi samudera biru dalam rangkaian utilitas wisatawan sebagai pembeli, harga, biaya dan pengadopsian. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung perlu membangun strategi samudra biru dalam rangkaian utilitas konsumen yaitu wisatawan baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari mancanegara, selanjutnya adalah harga, biaya dan pengadopsian. Titik awalnya adalah utilitas para wisatawan.Apakah produk yang akan ditawarkan memberikan utilitas istimewa? Adakah alasan menarik bagi wisatawan untuk berkunjung ke Provinsi kepulauan Bangka Belitung? Jika tidak, maka tidak ada potensi bagi pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk mulai melakukan startegi samudera biru. Di sini hanya ada tersisa dua pilihan. Menyingkirkan ide ini sementara atau memikiran kembali hingga mendapatkan jawaban Ya. Saat jawaban Ya sudah didapatkan terhadap pertanyaan utilitas istimewa dari produk pariwisata yang akan dipasarkan, kita bisa melangkah pada tahap kedua: menetapkan harga strategis yang tepat. Yang menjadi persoalan dalam hal ini pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tidak ingin semata-mata mengandalkan harga untuk menarik minat kunjungan para wisatawan. Pertanyaan kuncinya adalah: Apakah harga yang ditawarkan akan mampu menarik para wisatawan untuk melakukan kunjungan ? Jika tidak, ini berarti bahwa wisatawan tidak mampu membelinya. Jadi produk-produk wisata yang ditawarkan tidak akan mampu menciptakan kehebohan pasar. Kedua langkah tadi berkaitan dengan sisi pemasaran dari potensi pariwisata yang ada, kedua langkah tersebut memastikan bahwa pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah menciptakan lompatan dalam menarik minat para wisatawan untuk berkunjung, dimana pelayanan yang didapatkan sama dengan kepuasan yang didapatkan dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh para wisatawan selama melakukan kunjungan. Mengamankan sisi penerimaan membawa kita memasuki tahap ketiga yaitu biaya. Bisakah pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menciptakan biaya yang ditargetkan dan tetap mendapatkan penerimaan yang berupa Pendapatan Asli Daerah yang memadai. Bisakah pemerintah provinsi Kepulauan Bangka Belitung
47
Hamsani dan Valeriani, Blue Ocean Strategy.....
ISSN: 1412-5366
dan segenap pelaku pariwisata yang ada mendapatkan pendapatan pada harga yang strategis dengan biaya yang terjangkau oleh para calon wisatawan yang menjadi sasaran. Langkah terakhir adalah menghadapi rintangan-rintangan pengadopsian. Apa saja rintangan-rintangan pengadopsian dalam menggulirka ide untuk memasarkan potensi pariwisata yang ada. Sudahkah pemerintah daerah beserta pelaku-pelaku pariwisata yang ada menghadapi rintangan-rintangan yang ada secara langsung? Jika pemerintah daerah beserta pelaku-pelaku pariwisata yang ada dapat menghadapi rintangan-rintangan yang ada secara langsung, maka dapat dikatakan bahwa strategi samudera biru (Blue Ocean strategy) layak diterapkan dalam memasarkan pariwisata di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Langkah selanjutnya adalah menentukan indeks ide strategi samudra biru. Meskipun perusahaan harus membangun strategi samudra biru dalam rangkaian utilitas, harga, biaya, dan pengadopsian, yang menjamin sukses komersil. Indeks ide samudra biru (Blue Ocean Strategy Idea) memberikan tes sederhana tapi handal, masing-masing kriteria diberikan penilaian yang akan diisi pada titik-titik yaitu positif atau negatif dalam tabel berikut ini: Tabel 3.1 : Indeks Ide Strategi Samudra Biru Pengembangan Pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Utilitas Apakah ada utilitas istimewa? Apakah ada alasan kuat ………… untuk menikmati produkproduk wisata yang ditawarkan? Harga Apakah harga yang ditawarkan bisa menarik …………. kebanyakn calon wisatawan? Biaya Apakah struktur biaya sesuai dengan biaya …………. sasaran? Pengadopsian Apakah sudah menangani hambatan-hambatan …………. pengadopsian secara langsung? Ket: Jawaban untuk titik-titik diatas adalah positif (+) atau negative (-) Mengeksekusi Strategi Samudera Biru (Blue Ocean Startegy) Setelah mengembangkan samudera biru, suatu organisasi dalam hal ini pemerintah provinsi Kepulauan Bangka Belitung harus melaksanakan startegi yang telah direncanakan tersebut.Setiap strategi memiliki kesulitan tersendiri untuk dieksekusi. 1. Strategi samudrera biru melambangkan langkah yang signifikan dalam meninggalkan status quo.
48
Hamsani dan Valeriani, Blue Ocean Strategy.....
ISSN: 1412-5366
2. Rintangan kedua yang harus diatasi adalah keterbatasan sumber daya, semakin besar pergeseran dalam strategi yang akan dilakukan, maka akan semakin besar sumber daya yang dibutuhkan dalam mengeksekusi strategi ini. 3. Rintangan ketiga adalah motivasi. Bagaimana Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memotivasi pelaku-pelaku sektor pariwisata yang merupaka pemain-pemain kunci untuk bergerak cepat dan tangkas meninggalkan status quo yang telah terjadi selama ini yang menyebabkan industri Pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung jalan ditempat. 4. Rintangan terakhir adalah rintangan politis, tantangan-tantangan kepentingan dan aturan-aturan yang tidak mendukung juga harus diatasi. 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Objek penelitian ada di 4 (empat) lokasi Penelitian yaitu : Kota Pangkalpinag, Kabupaten Bangka, Kabupaten Belitung dan Kabupaten Belitung Timur. Sedangkan yang menjadi responden penelitian ini adalah responden (pelaku pariwisata) baik yang di Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka, Kabupaten Belitung maupun yang berada di Kabupaten Belitung Timur dengan unsur-unsur sebagai berikut: a. Wisatawan b. Hotel c. Restoran d. Biro Perjalanan e. Pusat cinderamata f. Pusat penjualan makanan oleh-oleh 4.2. Pengujian Strategi Samudra Biru sudah diterapkan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung? Straetegi samudera biru memiliki tiga kualitas yang saling melengkapi, yaitu fokus, gerak menjauh (divergensi), dan motto utama yang memikat. Tanpa tiga kualitas ini, strategi samudera biru akan tampak kabur dan sulit dikomunikasikan sehingga tidak menjadi berbeda dari pesaing. Namun topik kita mengenai pariwisata, perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan umum bukanlah menunjukkan keunikan potensi yang dimiliki oleh daerah wisata tersebut. Pertama fokus, profil strategis yang dibuat harus menunjukkan adanya kejelasan dan kefokusan. Dalam pembuatan profil strategis, perhatikan hal-hal yang direspon oleh wisatawan terkait dengan berbagai fasilitas, baik fasilitas inti maupun fasilitas pendukung, Dari hasil kuesioner, semua elemen pelaku bisnis pariwisata (hotel, biro perjalanan, restoran, galery cinderamata, toko makanan khas) belum fokus 100% terhadap target wisata yaitu pengunjung (wisatawan) dari luar Pulau Bangka dan Belitung. Rata-rata hanya 60% (21 orang), wisatawan menganggap bahwa fasilitas hotel, restoran, biro perjalanan, pusat cinderamata, makanan khas Bangka Belitung memadai, sedangkan selebihnya (15 orang) menganggap belum memadai. Perlu terus diupayakan peningkatan berbagai fasilitas agar benar-benar mampu menciptakan suasana nyaman bagi wisatawan. Kualitas yang kedua adalah divergensi, dinas pariwisata dan instansi terkait (hotel, restoran, biro perjalanan dll) sebaiknya menjauhi persaingan dan menawarkan
49
Hamsani dan Valeriani, Blue Ocean Strategy.....
ISSN: 1412-5366
sesuatu yang bukan umum ditawarkan oleh industri pariwisata dan mencari tahu halhal yang dianggap penting dan unik bagi wisatawan. Hanya mengandalkan keindahan panorama alam tanpa ada variasi yang signifikan dianggap masih hal-hal yang umum. Perlu juga menonjolkan pariwisata olah raga (sport tourism), pariwisata untuk urusan dagang (business tourism), pariwisata budaya (culture tourism), disamping menawarkan pariwisata menikmati perjalanan (tourism pleasure) atau pariwisata rekreasi (recreation tourism). Kualitas yang ketiga adalah motto yang memikat. Hal ini menjadi dasar untuk mengkomunikasikan pemahaman strategi yang dibuat. Motto harus menggambarkan strategi yang akan dilakukan dan tujuan yang hendak dicapai oleh Pelaku Wisata di Provinsi Bangka Belitung. Strategi yang dibuat harus diuji melalui empat hal secara berurutan yaitu utilitas pembeli dalam hal ini adalah wisatawan, harga/tarif strategis, biaya sasaran, dan rintangan pengadopsian. Pengujian yang pertama adalah masalah utilitas, banyak wisatawan tidak mengenal paket wisata atau sudah mengenal tetapi tidak memanfaatkan fasilitas paket wisata, baik yang ditawarkan oleh hotel-hotel maupun oleh biro perjalanan. Wisatawan lebih suka pergi ke lokasi wisata bebas tanpa terpaku oleh paket wisata, sehingga wisatawan lebih bebas baik mengenai lokasi yang akan dikunjungi maupun mengenai space waktu yang digunakan. Dari 35 orang responden, baru 56,62% yang menganggap semua fasilitas, keamaan, kebersihan, parkir, pusat galeri, pusat makanan khas, hotel dan restoran menyatakan cukup bermanfaat, sedangkan sisanya 43,38% menganggap belum bermanfaat maksimal. Berarti ada peluang blue ocean terkait dengan masalah utilitas. Meskipun angka ini belum menunjukkan angka yang maksimal, perlu berbagai upaya agar wisatawan merasa nyaman dan betah untuk tinggal lebih lama di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Jika wisatawan bersedia mencoba produk wisata yang ditawarkan, rangkaian uji dilanjutkan pada uji harga strategis. Jika tidak, maka tidak ada peluang blue ocean dalam strategi yang dibuat karena wisatawan belum merasakan sesuatu yang istimewa dan yang berbeda dari produk yang ditawarkan pesaing (wisata daerah lain). Dari kuesioner yang kita sebarkan ke wisatawan, terkait dengan harga paket wisata dan kesesuaian antara harga dengan kualitas yang diterima, 15 responden (42,86%) setuju bahwa harga paket wisata yang ditawarkan terjangkau oleh wisatawan dan 20 responden (57,14%) merasa harga masih terlalu tinggi. Sedangkan kesesuaian antara harga dengan kualitas yang mereka terima, 17 orang (48,47%) yang merasa puas dan 18 orang (51,43 %) masih merasa kecewa. Belum optimalnya harga dan kualitas menunjukkan sebenarnya masih peluang untuk mengembangkan Blue Ocean Strategy. Pengujian yang ketiga adalah biaya sasaran. Para pelaku bisnis wisata harus mampu memproduksi dengan biaya sasaran untuk mengamankan laba yang akan diperoleh. Ada tiga cara untuk mencapai biaya sasaran, yaitu merampingkan proses operasional, bermitra dan mengubah model pemberian harga. Jawaban responden yang menganggap bahwa harga yang ditawarkan, 51,43% masih mahal, hal ini menunjukkan bahwa para pelaku bisns belum melakukan pengelolaan biaya sasaran. Starategi samudera biru belum dapat dilakukan jika para pelaku bisnis wisata belum melakukan analisis biaya sasaran dalam penentuan harga starategis.
50
Hamsani dan Valeriani, Blue Ocean Strategy.....
ISSN: 1412-5366
Terakhir, pengujian mengenai rintangan pengadopsian model. Dari ketiga pengujian yang telah dilakukan di atas, jelaskan sekali bahwa para pelaku bisnis belum menerapkan starategi samudera biru, oleh karena itu, pengujian rintangan pengadopsian model tidak perlu dilakukan, karena jelas sekali strategi samudera biru belum pernah dilakukan, meskipun ada beberapa unsur mengarah ke samudera biru, misalnya perbaikan fasilitas, dan pelayanan. Berbagai uraian di atas sekali lagi menegaskan bahwa Pelaku Bisnis pariwisata di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ternyata belum menerapkan Strategi Samudera Biru. 4.3. Penerapan Strategi Samudera Biru dalam mengembangkan pariwisata di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Untuk mengembangkan pariwisata di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, perlu menerapkan Strategi Samudera Biru. Gambar berikut memberikan panduan dalam melaksanakan Strategi Samudera Biru. Gambar 3: Strategi Pengembangan Pariwisata di Provinsi Bangka Belitung Pelaku Bisnis -
Hotel Travel Restoran Galeri Pusat oleh-oleh
Peningkatan utilitas
Strategi harga Analisis biaya sasaran
Dinas Budaya dan Pariwisata
Kualitas BOS Fokus Divergensi
Wisnu dan Mancanegara
BOS Menghilangkan (elimate) Mengurangi (reduce) Menambahkan (raise) Menciptakan (create)
Motto menarik
Sumber : Soebagyo, 2012 dimodifikasi
51
Hamsani dan Valeriani, Blue Ocean Strategy.....
ISSN: 1412-5366
Sebelum menerapkan strategi samudera biru perlu melakukan hal-hal sebagai berikut : 1. Masing-masing pelaku bisnis (Hotel, Travel, Restoran, Galeri, Pusat OlehOleh) harus meningkatkan utilitas termasuk semua fasilitas inti dan pendukung, kebersihan, keamanan, area parkir dan sebagainya. 2. Penetapan harga starategisperlu dilakukan dan dianalisis, disamping harga strategis dapat menarik minat wisatawan, harga strategis juga mampu menutupi biaya-biaya operasional tentunya dapat menghasilkan keuntungan juga. 3. Perlu efisiensi dalam segala hal, perampingan (down sizing) struktural jika dapat menekan biaya struktural, promosi harus efisien dan tetap menjaga kualitas layanan. Jika semua telah memenuhi syarat, maka langkah berikutnya adalah menerapkan langkah-langkah dalam melaksanakan strategi samudera biru yaitu : 1. Menghilangkan (elimate), komponen-komponen yang dianggap tidak efektif harus dihilangkan, seperti prosedur pemesanan (dipersingkat dengan via online), uang jaminan, ketatnya identitas pelanggan (misalnya tidak harus KTP, boleh SIM atau bentuk identitas lainnya). Komponen biaya yang dapat menimbulkan kesan mahal yang kurang relevan harus dihilangkan seperti biaya keamanan dan biaya kebersihan. 2. Mengurangi (reduce), komponen-komponen pariwisata yang dianggap mengganggu keefektifan strategi samudera biru, misalnya dari segi pajak hotel dan restoran, pajak/restribusi atau parkir yang terlalu tinggi, paketpaket wisata yang dianggap kurang efektif, promosi yang tidak tepat, dan lain-lain. 3. Menambahkan (raise), fasilitas yang ada di hotel, restoran, tempat wisata yang dianggap di bawah standar, perlu ditambahkan agar wisatawan merasa nyaman termasuk pelayanan yang sudah baik perlu terus ditingkatkan 4. Menciptakan (create), selama ini Dinas Budaya dan Pariwisata terlalu fokus ke wisata bahari/alam (pleasure tourism) dan rekreasi (recreation tourism), sedangkan pariwisata budaya (culture tourism), pariwisata olah raga (sport tourism), pariwisata bisnis (business tourism) dan pariwisata konvensi (convention tourism) belum dimunculkan. Contohnya, wisatawan mancanegara, David Shaleh (Australia), dia datang ke Bangka Belitung ingin mengunjungi situs budaya/sejarah, namun wisatawan tersebut merasa kurang memuaskan, karena kondisi situs sejarah yang dikunjunginya kurang perawatan dan ditambah lagi dengan fasilitas yang kurang mendukung. Langkah-langkah dalam strategi samudera biru akan efektif jika memperhatikan tiga hal penting yaitu : 1. Fokus, semua pelaku bisnis harus fokus pada tujuan inti yaitu memuaskan wisatawan baik wisatawan nusantara (wisnu) maupun wisatawan mancanegara. 2. Divergensi, tetap mencari keunikan atau ciri khas tertentu yang tidak dimiliki oleh wisata daerah lain. Keunikan bebatuan yang besar-besar, berupa burung garuda (di Belitung), pasir putih bersih, wisata budaya/sejarah perlu terus ditingkatkan agar wisatawan datang ke
52
Hamsani dan Valeriani, Blue Ocean Strategy.....
ISSN: 1412-5366
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung karena keunikan tersebut, yang tidak dimiliki oleh daerah lain. 3. Motto yang menarik, tidak perlu merubah motto, tetapi motto tersebut harus mencerminkan “roh” pariwisata yang di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tetapi motto “come and explore”, sudah baik namun harus diiringi dengan berbagai upaya agar wisatawan dengan senang hati datang lokasi wisata di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dan terus bereksplorasi dengan keindahan alam dan bahari, atau karena situs budaya/sejarah, yang dimiliki. 4.4 Fakta tentang Pariwisata di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 4.4.1 Pariwisata masih tersendat Pariwisata di Bangka Belitung sejak lama digadang-gadangkan menjadi sektor andalan Bangka Belitung pasca timah, bahkan Pulau Belitung sudah ditetapkan sebagai destinasi wisata ketiga setelah Bali dan Lombok. Upaya pengembangan masih tersendat. Selain belum ada payung hukum berupa keputusan Presiden untuk pengembangan destinasi wisata Belitung, pengembangan potensi Pariwisata Bangka Belitung belum terkoordinir dan terencana dengan baik. Justeru yang terjadi, beberapa objek wisata rusak dan ada pula yang terancam hancur. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Yusri Liputo, mengakui koordinasi antara pemerintah Provinsi dengan kabupaten/kota serta lintas sektoral belum berjalan maksimal. Tahapan pengembangan potensi pariwisata baru sebatas promosi, itupun bentuk promosinya belum terkoordinir dengan baik. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki banyak objek wisata potensial untuk digarap. Objek wisata tersebut terdiri dari 56 wisata bahari, 8 wista sejarah, 45 wisata budaya dan religi, dan 20 wisata agro wisata. Selain keterbatasan dana dan infrastruktur pariwisata yang belum memadai, pengembangan objek wisata tesebut masih terkendala sumber daya manusia. 4.4.2
Pariwisata Provinsi Pembenahan
Kepulauan
Bangka
Belitung perlu
banyak
Beberapa pelaku pariwisata di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menyatakan bahwa kawasan wisata di Bangka Belitung belum terpoles dengan baik, dan harus dilakukan pembenahan baik infrastruktur maupun fasilitas penunjang lainnya. Masih minimnya kerajinan khas Bangka Belitung seperti souvenir, gantungan kunci, kaos dll sehingga banyak wisatawan pulang ke daerah asalnya tanpa membawa sesuatu yang terkesan. Kalaupun ada, harganya masih relatif mahal jika dibandingkan dengan souvenir dari daerah lain. Penambahan fasilitas penunjang seperti tempat relaksasi, permainan outbound, dan fasilitas lainnya perlu sediakan agar para wisatawan betah berada di lokasi wisata Bangka Belitung.
53
Hamsani dan Valeriani, Blue Ocean Strategy.....
ISSN: 1412-5366
Harga tiket yang masih relatif mahal, menjadi salah satu kendala bagi wisatawan untuk berkunjung ke Bangka Belitung selain jumlah maskapainya yang masih relatif kurang. Tidak tersedianya angkutan umum dan taksi di malam hari, menjadi kendala bagi turis untuk pergi berkeliling di seputar Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 5. PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dari bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Dinas Budaya dan Pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung belum sepenuhnya menerapkan Strategi Samudera Biru dalam mengembangkan pariwisata. 2. Dinas Budaya dan Pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, memiliki potensi yang besar untuk menerapkan strategi samudera biru dalam mengembangkan pariwisata. 3. Untuk menerapkan Strategi Samudera Biru belum sepenuhnya didukung oleh semua pelaku bisnis pariwisata. 4. Dalam menghilangkan (elimate), mengurangi (reduce), menambahkan (raise) dan menciptakan (create) faktor-faktor pariwisata, Dinas Budaya dan Pariwisata belum sepenuhnya memperhatikan non-potensi dan potensi faktorfaktor pariwisata yang dimiliki. 5.2. Saran 1. Perlu ada kesungguhan dari semua pihak khususnya Dinas Budaya dan Pariwisata dan pelaku bisnis (hotel, restoran, travel, galeri, pusat jajanan) untuk menerapkan strategi samudera biru dalam mengembangkan pariwisata 2. Perlu kajian ekonomi dan sosial yang mendalam dalam menerapkan strategi samudera biru. 3. Diperlukan inovasi dan kreativitas dalam mengembangkan pariwisata sehingga mampu menampilkan keunikan dan kekhasan yang dimiliki oleh Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang mampu menarik wisatawan untuk berkunjung Ke Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. DAFTAR PUSTAKA Bappeda, 2009. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2007-2012 Blue Ocean Strategy, W. Chan Kim 2006, PT Serambi Ilmu Semesta BPS, 2009. Bapeda, Bangka Belitung Dalam Angka 2009, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Pangkalpinang. BPS, 2009, PDRB Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2009, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Pangkalpinang.
54
Hamsani dan Valeriani, Blue Ocean Strategy.....
ISSN: 1412-5366
Hastuti, Retno (2009), Analisis Potensi Wisata Alam di Daerah Pesisir Selatan Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Soebagy (2012). Strategi Pembangunan Pariwisata di Indonesia. Jurnal liquidity, Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila. Widianto (2008). Pembangunan Pariwisata Pedesaan. Jurnal Ekonomi Sekolah Tinggi Pariwisata Bali. Yoeti, Oka A, 1990. Pemasaran Pariwisata, Angkasa, Bandung. ----------, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan.
55
EFISIENSI PRODUKSI KOMODITAS LADA DI PROPINSI BANGKA BELITUNG AMIRUDDIN SYAM1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara Jalan Prof. Moch.Yamin No.1 Puwatu Kendari, Sulaewesi Tenggara
ABSTRACT Most of Pepper farming in Indonesia is dominantly managed by small holders plantation that resulted its production currently tends to be low and stagnant. This condition has brought the producing Pepper as an export commodity to a question. Research on the Pepper production efficiency analyses and its factors influence was conducted to answer the question. The objective of the research is to study the Pepper farming performance and its production function included its production possibility frontier and which variables might influence the production function. The result shows that the Pepper farming is still profitable for the farmers. The Technical Efficiency (TE)) average of the sampled farmers is 0.71, means that to increase the Pepper production is still prospective. Meanwhile, the distribution of the TE shows that the Pepper does not have normal distribution. It means that there is still an opportunity to enhance its managerial capability as an internal factor influencing the Pepper production (process). In addition to the physical factors such as production inputs that influence the Pepper production, some other uncontrollable external factors i.e. climate and price are also involved in the Pepper production. Key words: Production, Efficiency, and Pepper. PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sektor yang paling tangguh dalam menghadapi krisis ekonomi. Pada saat ekonomi secara nasional mengalami kontraksi sebesar 13,68 persen pada tahun 1998 dan penyerapan tenaga kerja nasional menurun 2,13 persen, sektor pertanian secara keseluruhan masih tetap mengalami pertumbuhan sebesar 0,22 persen (Biro Pusat Statistik, 1999). Pertumbuhan positif tersebut diperoleh karena adanya windfaal profit pada subsektor perkebunan dan perikanan akibat melemahnya nilai rupiah terhadap dollar Amerika sehingga mendorong peningkatan
exspor
oriented,
sehingga
kondisi
pasar
internasional
sangat
mempengaruhi kinerja produksi dan perdagangan komoditi perkebunan di Indonesia. ___________________________________________________ 1).
Peneliti Pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian dan Kepala BPTP Propinsi Sulawesi Tenggara, Jalan Muh. Yamin No. 1 Puwatu Kendari, Sulawesi Tenggara
1
Salah satu komoditas perkebunan yang menjadi andalan ekspor Indonesia adalah komoditas lada. Diantara negara-negara produsen lada dunia, Indonesia termasuk salah satu produsen utama dunia bersama-sama dengan India, Malaysia dan Brazil. Pangsa pasar internasional dari keempat produsen utama tersebut mencapai lebih dari 90 persen (International Pepper Community, 2001). Indonesia sendiri memiliki pangsa pasar sekitar 35 persen dan pertumbuhan produksi lada dari produsen lainnya yang juga semakin meningkat. Kebijakan pembangunan perkebunan saat ini pada dasarnya diarahkan untuk meningkatkan ekspor dan memenuhi kebutuhan industri dalam negeri. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti: peremajaan, rehabilitasi, perbaikan mutu tanaman,
penganekaragaman
jenis
dan
pemanfaatan
lahan
transmigrasi
perkebunan, lahan kering dan rawa yang ditangani secara intensif. Tujuannya adalah meningkatkan pendapatan taraf hidup petani. Selama dasawarsa terakhir ini, walaupun di beberapa komoditas perkebunan telah terjadi peningkatan produksi yang berarti; namun pada umumnya di barisan perkebunan rakyat, peningkatan produksi tersebut belum dirasakan. Kalau peningkatan produksi (baik kuantitas maupun kualitas) belum dapat terlaksana sepenuhnya, maka petani perkebunan sebagai pengelola, belum merasakan adanya peningkatan pendapatan dan taraf hidup yang berarti. Seperti komoditas lada. Selama ini sering dikatakan bahwa komoditas lada kita kalah bersaing atau masih menempati posisi raw material saja dalam pasar ekspor. Untuk meningkatkan daya saing dan mengalami proses “olahan”, dperlukan pengetahuan dasar tentang produksi dari komoditas perkebunan yang bersangkutan. Justifikasi memilih komoditas perkebunan lada adalah karena hampir seluruhnya komoditas ini dikelola dan dikuasai oleh rakyat (perkebunan rakyat). Selama ini produksi perkebunan rakyat tersebut dapat dikatakan rendah dan stagnant. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi hal tersebut adalah melalui peningkatan produktivitas dan efisiensi Penelitian yang dapat menunjukkan keadaan perkebunan rakyat komoditi lada sangatlah diperlukan untuk mengkonfirmasikan sampai dimana state of the art secara sistematik produksi dan efisiensi komoditi lada di Indonesia saat ini. Hal ini dibutuhkan untuk mengetahui starting point atau titik awal kebijakan ke depan yang mencakup seluruh subsistem perkebunan lada rakyat. Awal dari semua sistem adalah subsistem produksi dan melihat efisiensinya.
2
Komoditas ekspor khususnya lada akan berhubungan langsung dengan ekonomi dan perdagangan internasional yang mempunyai ciri bahwa gejolak harga dapat terjadi setiap saat dan secara tiba-tiba. Dengan kondisi demikian, apakah lada sebagai komoditas ekspor masih layak diusahakan ?. Untuk menjawabnya diperlukan analisis efisiensi produksi dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat produksi lada. Penelitian ini bertujuan untuk melihat keragaan usahatani lada dan melihat fungsi produksi lada termasuk (production possibility frontier) serta peubah mana saja yang mempengaruhi fungsi produksi tersebut.
METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Bangka-Belitung (dahulu bagian dari Sumatra Selatan) . Pilihan daerah ini dilakukan atas dasar potensi produksi lada dari propinsi tersebut adalah sebesar 47,00 persen dari produksi nasional (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2000). Sedangkan lokasi kabupatennya adalah Kabupaten Bangka dengan pertimbangan sama dengan pilihan propinsi, demikian juga untuk pilihan desa. Metode Pengumpulan Data Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor pada tahun 2002 dengan judul “Analisis Efisiensi Produksi Komoditi Perkebunan” (Lokollo, et al .2002). Salah satu obyek penelitian tersebut adalah keragaan usahatani komoditi lada dan fungsi produksi dari komoditi lada serta peubah mana saja yang mempengaruhi fungsi produksi tersebut. Data utama yang digunakan adalah data sekunder diperoleh dari instansi pemerintah yang menangani komoditas tersebut (Dinas Perkebunan, Kantor Statistik, Kantor Kecamatan, Kantor Desa, dan lain-lain) baik di tingkat pusat maupun daerah/propinsi dan kabupaten. Data primer diperoleh dari petani lada melalui pengamatan langsung di lapangan dengan teknik wawancara melalui pengisian daftar pertanyaan/kuesioner yang telah dipersiapkan. Jumlah petani contoh adalah sebanyak 121 sampel yang dipilih dari lokasi sentra produksi (kabupaten, kecamatan ditetapkan berdasar potensi). Sedangkan untuk informasi umum dan kebijakan dilakukan wawancara group kepada informan kunci mulai dari tingkat propinsi sampai ke tingkat desa. 3
Metode Analisis Data base input-output dikumpulkan melalui wawancara dengan petani langsung. Analisa regresi dan model ekonometrik akan dipergunakan untuk menduga fungsi produksi komoditas lada . Model yang sama akan dipergunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi komoditas yang bersangkutan. Efisiensi teknis biasanya dapat pula diestimasi dengan memakai fungsi produksi frontier stokastik seperti yang dilakukan oleh Aigner, at al (1977). Banyak peneliti-peneliti lain baik yang berasal dari perguruan tinggi maupun lembaga penelitian dalam dan luar negeri mengembangkan pendekatan Aigner tersebut. Salah satu diantaranya yang paling menonjol adalah Battese dan Coelli (1988, 1992, 1995). Bentuk umum fungsi produksi frontier stokastik adalah sebagai berikut: Yi = f(X1i β)εεi dimana:
………………………………………… (1)
i
= 1 ……………….n
I
= 1 ……………….L
Yi = keluaran yang dihasilkan oleh observasi ke-i X1i = vektor masukan L yang digunakan oleh observasi ke-i β = vektor koefisien parameter εi = “galat khusus” dari observasi ke-i = vi – ui …………………………………………… (2) Fungsi produksi frontier stokastik mempunyai galat khusus εi sehingga model menggunakan fungsi produksi tersebut disebut composed error model. Sifat kekhususannya adalah bahwa galat ini terdiri dari 2 unsur galat vi dan ui yang masing-masingnya mempunyai sebaran yang berbeda. Galat vi menangkap kesalahan variasi keluaran yang disebabkan oleh faktor-faktor internal yaitu faktorfaktor yang dapat dikelola oleh produsen. Sebarannya diasumsikan asimetris dan distribusinya setengah normal. Dengan demikian ragam totalnya adalah: σ2 = σ2v + σ2u
………………………………………… (3)
σu λ = ----σv
4
Menurut Battese dan Corra (1977) variasi total keluaran aktual terhadap frontier-nya adalah: σ2v γ = ----σ Sedangkan Joundrow, et.al (1982) mengukur tingkat efisiensi teknis (technical efficiency – TE) sebagai berikut: TE = exp (-E [ui / εi]) ………………………………….
(4)
σuσ v f(εi λ / σ) (εi λ) dengan E [ui / εi] = ------- ------------------ - ------σ σ 1-F(εi λ / σ) dimana: f (• ) = fungsi densitas standar normal F ( • ) = fungsi distribusi standar normal O < TEi < 1 TEi = E (Yi* ⏐μi , xi) ⁄ E (Yi* ⏐μi = 0, xi ) Dalam penelitian ini model operasional yang dipakai adalah model fungsi produksi frontier stokastik Cobb-Douglass sebagai berikut: n ln yi = α0 + Σ βi ln Xei +O Di + (vi – ui) i=1
………………… (5)
dimana: yi = produksi (kw) i
= 1 ….. n = jumlah petani setiap komoditas
I
= 1 ….. 6 = jenis masukan yang dipakai petani
X1 = benih (kg) X2 = pupuk Urea X3 = pupuk TSP X4 = pupuk KCl X5 = pupuk ZA X6 = tenaga kerja D = peubah boneka untuk varietas Parameter dari model tersebut di atas diduga dengan metoda maximum likelihood (MLE) dengan memakai program komutasi frontier versi 4.1 yang 5
dikembangkan oleh Coelli (1996). Program ini mengikuti 3 langkah prosedur pendugaan yaitu: 1. OLS, untuk memperoleh semua nilai parameter dugaan (kecuali intersep – α0) yang tidak bias. 2. Grid search nilai γ. 3. Nilai yang diperoleh dari langkah 2 dipakai sebagai nilai awal pada prosedur iterativ untuk memperoleh nilai penduga maximum likelihood. Untuk mengetahui sejauhmana sebaran tingkat efisiensi teknis diantara petani diamati juga bentuk sebaran TE dengan menghitung ukuran kemiringan (skewness) distribusi TE.
ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI KOMODITAS LADA Keragaan Pengembangan Lada Kebijakan Nasional Pengembangan Komoditas Lada Sebagaimana telah diketahui bahwa tanaman lada yang paling banyak diusahakan oleh rakyat adalah merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia yang peranannya cukup penting, karena selain sebagai penghasil devisa negara juga menjadi sumber pendapatan utama dengan melibatkan banyak petani di pedesaan. Berdasar pada kondisi tersebut dan peran Indonesia sebagai produsen utama di pasaran dunia dalam hal ini termasuk ke dalam kelompok produsen tradisional (Indonesia, Malaysia, India dan Brazil), pada akhir-akhir ini juga sudah mulai adanya negara penghasil lada yang baru seperti Thailand, Srilangka, Madagaskar
dan
Vietnam.
Oleh
sebab
itu
dalam
upaya
mengantisipasi
perkembangan lada internasional yang semakin ketat persaingannya, maka keberadaan sistim produksi lada Indonesia perlu ditingkatkan sehingga dapat lebih kuat daya saing di pasaran internasional. Dan salah satu upaya tersebut adalah meningkatkan efisiensi produktivitas usahatani lada rakyat dengan mutu hasil yang meningkat serta upaya memperpanjang umur produktif pertanaman lada, terutama di daerah sentra lada Indonesia (lada hitam di Lampung dan lada putih di Bangka Belitung).
Mengenai
perkembangan
luas
pertanaman
lada,
produksi
dan
produktivitasnya selama satu dasa warsa terakhir adalah sebagai berikut pada Tabel 1.
6
Dengan melihat Tabel 1, tampak bahwa peran perkebunan rakyat sangat dominan dan sejalan dengan posisi Indonesia sebagai pemasok utama produksi lada putih (khususnya dari Propinsi Bangka-Belitung) di pasar internasional dan berdasar sumber dari IPC (International Pepper Community) bahwa untuk tahun 2002 telah diproyeksikan produksi lada putih dunia sebesar 65.000 ton dan volume ekspor dunia sekitar 41.000 ton. Oleh sebab itu, maka perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan agribisnis
mulai
dari
sub-sistem hulu sampai ke sub-sistem
penunjangnya model pengembangannya seperti pada Gambar Lampiran 1. Lebih lanjut perlu diketahui bahwa dalam pelaksanaan selama ini masih dihadapkan pada permasalahan, antara lain seperti: (a) Pengelolaan usahatani di tingkat petani belum optimal sehingga penerapan teknologi budidya lada masih kurang mendukung bagi peningkatan hasil yang memadai. (b) Tingkat harga hasil yang relatif rendah dan di lain pihak harga sarana produksi (pupuk dan pestisida) relatif tinggi/mahal. (c) Gangguan organisme tanaman lada yang bersifat epidemik sehingga kelayakan umur lada menjadi terbatas dan sejalan itu penerapan PHT (Pengendalian Hama Terpadu) masih terbatas. (d) Mutu hasil belum memenuhi standar karena sarana dan prasarana pengolahan yang memadai keberadaannya masih terbatas sedangkan di tingkat petani dilakukan secara konvesional. (e) Informai pemasran hasil terbatas serta rantai pemasran/tataniaga lda relatif panjang dan kelembagaan petani masih lemah. (f) Sumberdaya
petani
baik
pengetahuan
maupun
permodalan
masih
lemah/terbatas ketersediaannya. Berdasar pada permasalahan tersebut di atas maka sebagai upaya dari pemerintah sejalan dengan program tersebut, meliputi upaya: 1. Peningkatan produktivitas, mutu hasil dan efisiensi usaha melalui penerapan teknologi tepat guna dan hasil guna. 2. Pengembangan sarana prasarana pengolahan hasil lada serta pengembangan produk. 3. Pengembangan
informai
pasar
serta
didukung
dengan
pemberdayaan
kelembagaan tani dan pengembangan kawasan industri masyarakat perkebunan lada.
7
Tabel 1. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Lada Indonesia Sepuluh Tahun Terakhir (1991-2000). Tahun 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000*)
Perkebunan rakyat 126.540 126.706 130.086 127.185 134.287 126.292 110.957 130.611 130.724 130.178
Luas areal (hektar)
Selama
Produksi (ton)
Perke-bunan swasta
Total
Perke-bunan rakyat
Perke-bunan swasta
Total
243 494 590 488 402 340 306 380 379 379
126.783 127.200 130.676 127.673 134.689 126.632 111.263 130.991 131.403 131.403
62.479 64.886 65.669 53.952 58.847 52.080 46.644 64.469 64.621 75.145
70 128 113 91 108 88 64 69 82 82
62.549 65.014 65.782 54.043 58.955 52.168 46.708 64.538 64.703 62.227
Sumber : Dirjen Perkebunan, 2000 Keterangan: *) angka sementara
Perkembangan Lada di Propinsi Bangka Belitung Propinsi Bangka Belitung yang merupakan wilayah propinsi baru yang sumber pendapatan daerahnya diperoleh dari sektor perkebunan cukup besar dan potensial disamping timah. Karena dari total luas lahan usaha pertanian sebagian besar digunakan sebagai lahan perkebunan, terutama komoditas lada, karet dan kelapa. Dilihat dari perkembangan usahatani lada yang menjadi sumber pendapatan utama petani, selama kurun waktu 5 (lima) tahun yaitu dari tahun 1996 – 2000 menunjukkan pertumbuhan yang positif dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 7,01 persen untuk luas areal dan 7,66 persen untuk produksinya. Sedangkan pertumbuhan rata-rata per tahun untuk tingkat hasil/produktivitas lada (kg/ ha/tahun) adalah sebesar 1,95 persen (Tabel 2). Tabel 2.
No.
Perkembangan Komoditas Lada dan Pertumbuhannya Selama 5 (Lima) Tahun (Periode 1996-2000) di Propinsi Bangka Belitung. Uraian
1996
1997
Tahun 1998
1999
2000
1.
Luas areal (Ha)
41.445
41.885
46.347
47.344
57.388
2.
Produksi (ton)
23.865
21.211
24.429
20.107
30.556
3.
Produktivitas (kg/ha)
1.039
912
924
735
1.105
Sumber: Dinas Perkebunan Propinsi Bangka Belitung.
Dengan melihat pada Tabel 2, telah terjadi peningkatan luas areal yang rataan pertumbuhan selama lima tahun tersebut (periode 1996-2000) adalah sebesar 7,01 persen. Sedangkan untuk produksi ladanya diperoleh pertumbuhan sebesar 7,66 persen, sehingga untuk tingkat produktivitas lada yang dicapai hanya sebesar 1,95 8
persen. Perkembangan keadaan komoditas lada di wilayah Propinsi Bangka Belitung ini, jika dilihat dari potensi wilayah tingkat kabupatenakan terfokus pada satu kabupaten yaitu Kabupaten Bangka dengan kontribusi sebesar 85 persen untuk luas areal dan 87 persen pada produksinya (Tabel 3) serta potensi pengembangan-nya pada Tabel 4. Tabel 3. Keragaan Perkembangan Komoditas Lada Berdasar Wilayah Kabupaten di Propinsi Bangka Belitung, Tahun 2000. No.
Uraian
1.
Luas areal (Ha)
2.
Produksi (ton)
3.
Produktivitas (kg/ha/th)
Kab. Bangka 48.919 (85,24%) 26.781 (87,65%) 1.097
Kab. Belitung 8.434 (14,70%) 3.765 (12,32%) 1.204
Kota P.Pinang 35 (0,06%) 10,5 (0,03%) 808
Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutanan Propinsi Bangka Belitung, 2002.
Propinsi 57.388 (100) 30.556 (100) 1.036
Tabel 4. Keragaan Luas Areal Pertanaman, Areal Potensial dan Produksi Tanaman Lada di Propinsi Bangka-Belitung, Tahun 2001. No. I.
Uraian Luas Pertanaman (Ha) 1. Tanaman menghasilkan 2. Tanaman belum menghasilkan 3. Tanaman tua/rusak 4. Total pertanaman
II.
Luas areal potensial (Ha)
III.
Produksi lada (ton)
IV.
Produktivitas (ton/ha/th)
Kab. Bangka
Kab. Belitung
Kodya P.Pinang
Propinsi Bangka Belitung
20.066 26.203
5.607 4.742
-
25.673 30.945
6.199 52.468
1.719 12.068
35
7.918 64.536
-
14.483
-
14.483
29.802
4.341
24
-
0,98
0,96
0,70
0,98
Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutanan Propinsi Bangka Belitung, 2002.
Keragaan Usahatani Komoditas Lada Karakteristik Petani Contoh Pada dasarnya, tingkat keberhasilan rumah tangga petani di dalam suatu proses produksi usahatani yang dikelolanya tidak terlepas dari kondisi rumah tangga petani sendiri yang mempengaruhinya (faktor internal) yang muncul dari dalam keluarga petani maupun dari petani sendiri, antara lain seperti: umur petani, tingkat pendidikan, pengalaman bertani, jumlah nggota rumah tangga, lahan milik dan luas garapannya. Dan kesemuanya itu sebagai pencerminan dari karakteristik yang 9
dimiliki rumah tangga petani dan sebagai tolok ukur terhadap sikap penerimaan dari berbagai masukan teknologi uahatani. Namun disamping faktor internal tersebut di atas juga akan dipengaruhi oleh adanya dukungan faktor luar (eksternal faktor) seperti: ketersediaan paket teknologi dengan sarana produksinya secara lokalitas di tingkat usahatani, kredit produksi, harga input produksi dan hasil produksi yang memadai, lembaga pemasaran serta lembaga penyuluhan di wilayah kerjanya. Dengan mengacu pada kondisi yang demikian maka untuk memahami petani lada di wilayah penelitian dan tampilan, keragaan karakteristik yang dimilikinya adalah sebagai berikut: Umur dan pendidikan petani. Hakekatnya kodisi fisik yang dimiliki seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat umur sedangkan sikap dan motivasi terhadap berbagai keputusan yang diambil tidak terlepas dari latar belakang pendidikan yang telah dicapainya. Jika dilihat dari segi umur, petani lada umumnya termasuk ke dalam kelompok usia produktif dengan demikian dapat diartikan bahwa secara fisik adalah cukup potensial dalam menjalankan berbagai aktifitas usahatani, karena rataan umurnya adalah 44,2 tahun. Kisaran umur dari petani lada yang termuda berumur 23 tahun dan yang tertua berumur 62 tahun. Selanjutnya dilihat berdasar tingkat pendidikan formal yang dimiliki petani lada dari hasil penelitian tampak bahwa sebagian besar setara sekolah dasar yaitu sekitar 68 persen. Akan tetapi kondisi tersebut tidak berpengaruh secara nyata dalam berbagai aktivitas usahatani yang dikelolanya karena dengan pengalaman bertani yang relatif lama serta adanya dukungan pendidikan non-formal seperti adanya penyuluhan dan program-program pemerintah terhadap perkembangan teknologi. Keadaan Anggota Rumah Tangga/ART. Keberadaan anggota rumah tangga petani berupa jumlah serta usianya dapat dijadikan sebagai sumber tenaga kerja keluarga potensial yang tersedia dan potensi tersebut, tergantung dari keterlibatan anggota rumah tangga terhadap berbagai aktifitas usahatani keluarganya. Untuk petani contoh dalam usahatani lada di wilayah Kabupaten Bangka pada setiap rumah tangga rataan jumlah anggotanya adalah sebanyak 4,7 jiwa yaitu dengan kisaran 3 – 8 jiwa yang terdiri dari ART >15 tahun = 1,5 jiwa dan ART <15 tahun 3,2 jiwa. Dan dari jumlah tersebut yang membantu kegiatan usahatani lada adalah sebanyak 2,3 jiwa yaitu laki-laki 1,4 jiwa dan perempuan 0,9 jiwa. Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa pada dasarnya setiap petani akan memanfaatkan tenaga kerja sendiri (dalam keluarga) pada setiap kegiatan usahatani, kecuali pada kegiatan yang membutuhkan tenaga banyak dengan waktu yang relatif singkat (tanam, panen) 10
maka digunakan tenaga kerja dari luar rumah tangganya. Berdasar kondisi lapang dan hasil wawancara memberi gambaran bahwa kegiatan usahatani lebih dominan dikerjakan oleh tenaga keluarga. Oleh karena itu, dari anggota rumah tangga yang potensial dan layak sebagai sumber tenaga kerja keluarga (tersedia sebanyak 2,6 jiwa) akan tetapi sebesar 2,3 jiwa sudah terserap dalam usahatani sendiri. Berarti di wilayah penelitian tenaga kerja keluarga benar-benar sangat mendukung kegiatan usahatani lada. Penerapan Teknologi Budidaya Tanaman Lada Pola dan sistim pertanaman. Dalam kegiatan budidaya lada yang secara tradisi turun temurun sebagai komoditas pokok dan diusahakan pada lahan milik sendiri secara monokultur. Ada kondisi yang menarik yaitu terjadinya rotasi lahan untuk usahatani lada, karena areal lada terserang penyakit kuning yang epidemik dan dari pengalaman petani tanahnya harus diistirahatkan. Di wilayah penelitian lahan yang akan diistirahatkan ditanami dengan tanaman karet lokal dengan bibit sendiri,
karena
yang
diutamakan
pada
saat
ditebang
kayunya
cukup
menguntungkan. Akan tetapi bagi petani yang pemilikan lahannya terbatas yaitu kurang dari 0,50 hektar umumnya tidak melakukan rotasi lahan akan tetapi pemeliharannya lebih intensif dan untuk tanaman yang terserang langsung dieradikasi. Sistim rotasi lahan atau pengistirahatan lahan biasanya selama 6 – 10 tahun (tergantung kebutuhan, jika harus segera ditanami lagi lada maka secepatnya tanam lada kembali. Akan tetapi menurut pengalaman petani paling cepat adalah selama 5 (lima) tahun istirahat dan tanaman karetpun jika ditebang cukup memberikan hasil. Oleh sebab itu rumah tangga petani lada umumnya mempunyai dua persil lahan, yaitu satu persil ditanami pada dan satu persil lagi ditanami karet. Persiapan pertanaman. Dengan adanya pola/sistim rotasi lahan, maka dalam kegiatan persiapan pada usahatani lada selalu diawali dengan pembukaan lahan baru (ditanami karet) yang pelaksanaannya menjelang musim penghujan tiba. Dalam pembukaan lahan juga dominan dikerjakan oleh tenaga dalam keluarga dan pada saat hujan mulai turun sudah selesai disemprot herbisida. Kegiatan pengolahan tanah juga umumnya dilakukan secara manual dengan alat cangkul dan pencangkulan lahan untuk kebun ladan ini umumnya dikerjakan sebanyak 2 (dua) kali cangkul sejalan dengan larikan yang setiap larikan merupakan bagian dari jarak tanam komoditas lada yang diusahakan yaitu sekitar 2 (dua) meter antar larikan dan 1,5 – 1,75 meter dalam larikan. Perlu dikemukakan bahwa budidaya lada di Bangka 11
ini untuk tajarnya dipakai tajar mati dari kayu, oleh sebab itu tidak ada perlakuan tanam tajar hidup. Periode lamanya tajar dapat digunakan sangat tergantung jenis kayu yang dipakai, untuk penggunaan kayu gelam dapat dipakai sampai sepuluh tahun lebih dan harga per batangnya sebesar Rp 8.000 – Rp 9.000. Akan tetapi dengan kayu biasa yang harganya sebesar Rp 2.000 – Rp 2.500 per batang dapat dipakai sekitar 2 – 3 tahun. Oleh karena itu, dalam usahatani lada pengeluaran biaya untuk pengadaan tajar adalah cukup besar dan dilakukan pada awal kegiatan usahatani. Pemasangan tajar utama ini dilakukan setelah umur stek lada sekitar 6 – 7 bulan, dengan mengganti ajir bambu yang dipakai pada saat tanam stek lada. Tanam. Kegiatan tanam stek lada dilakukan pada awal musim penghujan dengan jarak tanam sekitar 2 x 2 meter. Varietas lada yang ditanam petani adalah jenis lada Lampung berdaun lebar dan pengadaan bibit lada ini umumnya bersumber dari petani sendiri atau petani sekitar yang memproduksi bibit stek. Harga satu buah stek lada adalah sebesar Rp 1.200 sampai Rp 1.500 per setek batang lada dengan panjang 3-4 bula. Sehingga dengan panduan umum yang dianjurkan oleh penyuluh bahwa kebutuhan stek per hektar sebanyak 2500 batang, untuk itu diperlukan biaya pengadaan bibit stek lada sebesar 3,0 juta sampai 3,8 juta rupiah per hektarnya. Dilihat dari jumlah tanaman per hektar di tingkat petani rataannya adalah sebanyak 1.856 pohon lada. Penyulaman dan pangkas. Dalam usahatani lada kegiatan penyulaman dan pangkas batang merupakan kegiatan pemeliharaan tahap awal untuk membentuk pertanaman yang baik menjelang pembungaan. Di lokasi penelitian, kegiatan ini dikerjakan sebanyak dua kali sampai tanaman memiliki ketinggian sekitar dua meter untuk pola julur naik turunnya. Kegiatan ini umumnya dikerjakan oleh tenaga kerja keluarga sendiri yang dikerjakan secara bertahap setiap hari, kecuali hari Jum’at petani tidak ada aktifitas di kebun. Jumlah curahan kerja untuk kegiatan pemangkasan berkisar sebanyak 14,5 – 24 HOK per hektarnya. Kegiatan pemeliharaan. Pada tahap pertanaman pra produksi (tahun pertama) meliputi kegiatan penyiangan, penyulaman, pembumbunan, pemupukan dan penyemprotan. Penyiangan pertanaman dilakukan sebanyak tiga kali yaitu setiap empat bulan dan umumnya dikerjakan secara manual oleh tenaga kerja dalam keluarga dengan jumlah curahan tenaga kerja sebanyak 20 – 22 HOK untuk satu kali penyiangan
dan
biasanya
bersamaan
pembumbunan.
12
dengan
kegiatan
penyulaman
dan
Pemupukan. Kegiatan pemberian pupuk pada pertanaman adalah bertujuan untuk memacu pertumbuhan tanaman dan sekaligus meningkatkan produksi tanaman sesuai dengan potensinya. Pemupukan pada tanaman lada di lokasi penelitian umumnya menggunakan pupuk buatan/anorganik seperti Urea, TSP, KCl, ZA dan NPK. Sedangkan pemakaian pupuk organik (pupuk kandang) oleh petani lada masih jarang dilakukan karena selain ketersediaannya sangat terbatas juga jumlah kebutuhan pupuk kandang cukup banyak, sehingga bagi petani dianggap kurang praktis. Namun demikian perlu diketahui bahwa lada termasuk tanaman hutan danbiasanya menghendaki kondisi tanah yang kaya akan humus dengan pH tanah sekitar 5,5 – 6,5, sehingga pada kondisi kesuburan tersebut sangat mendukung terhadap perkembangan perakarannya. Oleh sebab itu pemberian pupuk dalam budidaya lada diperlukan dari pra-produksi sampai pada tahap tanaman berproduksi. Berdasar pedoman akan kebutuhan pupuk anorganik untuk setiap hektar per tahunnya, sekurang-kurangnya adalah sekitar 450 kg Urea, 150 kg TSP dan 200 kg KCl atau ZK dalam setiap aplikasi dengan jumlah populasi tanaman lada sebanyak 2000 pohon. Dalam hal pemberian pupuk pabrik/anorganik oleh petani di lokasi penelitian, pada tahap pra-produksi umumnya diberikan sebanyak 3 (tiga) kali aplikasi yaitu setiap empat bulan sekali. Akan tetapi pada saat pertanaman sudah berproduksi yaitu dari umur lada pada tahun ketiga sampai ketujuh biasanya diberikan pupuk sebanyak dua kali aplikasi. Berdasar cara pemberian pupuk pabrik tersebut, baik pada tahap pra-produksi maupun tahap berproduksi sebagian besar petani melakukannya dengan cara ditabur (86,7%), sistim ring (5,9%) dan cara ditugal dengan larikan sebesar 7,4 persen petani penggunanya. Hasil penelitian memberi gambaran akan keragaman
jenis pupuk
yang
digunakan petani dalam budidaya tanaman lada, baik sebelum menghasilkan (praproduksi) dan sesudah berproduksi. Untuk jenis pupuk Urea, TSP/SP-36 dan ZA penggunaannya sudah menjadi keharusan karena selain ketersediaannya di tingkat usahatani lebih mudah diperoleh juga tingkat harganya lebih rendah dibanding pada jenis pupuk KCl atau NPK (Rustica Yellow, atau Nitrophoska hijau) yang ketersediaannya lebih terbatas. Dalam hal pengadaan sarana produksi pupuk pada kegiatan usahatani lada di daerah penelitian semuanya dengan biaya murni dari swadana petani, karena tidak ada paket kredit program dari pemerintah demikian pula pola kemitraan dengan pengusaha. Oleh sebab itu, tingkat penggunaan pupuk dilihat dari jumlahnya (dosis/takaran pupuk) akan sangat dipengaruhi oleh tingkat 13
harga jual ladanya.
Karena dengan tingkat harga yang baik, tanaman akan terpelihara dan pupuk yang diberikan cukup banyak pula, akan tetapi harga jatuh biasanya pemberian pupuk juga menjadi terbatas. Berdasar hasil lapang, menurut petani tingkat penggunaan pupuk untuk tahun berjalan terjadi penurunan dibanding tahun sebelumnya yaitu pada saat harga jual lada putih di tingkat petani sebesar Rp 35.000 – Rp 45.000 per kg lada kering. Sedangkan pada kondisi kegiatan penelitian, harga lada adalah Rp 14.500 – Rp 17.000 setiap kilogramnya dan menurut petani dengan tingkat harga tersebut pengelolaan usahatani lada terhadap petani belum memperoleh keuntungan yang memadai jika dilihat dari jumlah biaya usahataninya. Mengenai besaran jumlah pupuk buatan dan alam yang digunakan petani dalam usahatani lada disajikan pada Tabel 5. Dari Tabel 5 memberi gambaran bahwa dalam hal pemakaian pupuk pabrik dilihat dari jumlah takaran dari setiap jenis pupuk yang digunakan pada dasarnya sudah sesuai dengan paket anjuran. Jadi dalam penerapan teknologi pupuk, petani sudah menerapkan sepenuhnya baik dari segi keragaman jenis pupuk maupun dalam hal takarannya. Akan tetapi dari wawancara dengan petani terungkap bahwa tingkat harga pupuk cukup memberatkan karena harga sarana tersebut terus meningkat sedangkan harga jual lada pada saat survey relatif masih rendah. Tabel 5. Keragaan Tingkat Pemakaian Pupuk per Hektar Usahatani Lada Menurut Umur Tanaman, Tahun 2002. Uraian jenis pupuk I II 1. Pupuk pabrik a. Urea 125 150 b. TSP/KCl-36 98 114 c. KCl 70 75 d. ZA 120 120 e. NPK 45 45 f. PPC 1,5 1,5 2. Pupuk kandang 1.710 1.820 3. Kapur 1.600 Sumber: Data Primer Lada, 2002 No.
III 286 170 120 119 98 2,10 -
Umur pertanaman lada pada tahun ke: IV V VI VII 283 188 127 120 106 2,60 -
315 188 161 150 108 2,95 -
334 195 194 130 108 2,90 -
284 200 197 118 104 2,90 -
VIII
IX
268 167 160 112 94 2,80 -
250 120 100 100 56 2,40 -
Proteksi tanaman. Dalam kegiatan budidaya tanaman lada untuk mellindungi pertanaman dari gangguan hama dan penyakit yang menyerang, pada umumnya petani melakukan pemberantasan atau perlindungan tanaman dengan cara penyemprotan terhadap hama yang merusak pertanamannya dengan insektisida baik yang berupa cair ataupun tepung. Dilihat dari frekuensi penyemprotan (jumlah aplikasi) dalam periode setahun, tergantung dari pola pengendalian dan jenis hamanya. Apabila dilakukan secara berkala (reguler) adalah sebanyak 6 – 8 kali, tetapi jika sewaktu-waktu karena adanya gejala serangan adalah sekitarr 4 – 5 14
kali. Dengan semakin mahalnya harga pestisida (yang sangat berat bagi pembiayaan usahatani) seharusnya konsep penerapan PHT (Pengendalian Hama Terpadu) sudah menyebar luas di tingkat petani. Akan tetapi, kenyataan lapang telah menunjukkan baru sekitar 15 persen petani yang mengetahuinya (Tabel 6). Sedangkan mengenai tingkat pemakaian obat-obatan (pestisida dan herbisida) ditampilkan pada Tabel 7. Tabel 6.
Persentase Petani Dalam Melakukan Kegiatan Perlindungan Tanaman pada Usahatani Lada di Bangka Belitung, Tahun 2002.
No.
Uraian
1.
Sistim penggunaan pestisida a. Setiap ada gejala b. Berkala/rutin c. Konsep PHT
2. 3.
Peserta PHT Penggunaan musuh alami: a. Dilakukan di lapang b. Baru dikenalkan c. Tidak/belum tahu
Katagori pertanaman lada Pra-produksi
Fase produksi
Rataan (n=121)
42,7 44,9 12,4
40,9 40,8 18,3
41,8 42,9 15,3
4,1
18,2
11,2
93,9 6,1
83,1 16,9
88,5 11,5
Sumber: Data Primer, 2002.
Tabel 7. No. I.
2.
Keragaan Tingkat Penggunaan Pestisida dan Herbisida per Hektar dalam Usahatani Lada di Propinsi Bangka Belitung, Tahun 2002.
Uraian Pra-Produksi: Tahun I Tahun II
Pestisida (lt)
Herbisida (lt)
1,28 1,56
5,20 2,65
2,07 2,80 3,00 2,90 3,14 2,50 1,88
3,97 4,30 4,90 4,50 4,10 3,90 3,40
Phase Produksi: Tahun I Tahun II Tahun III Tahun IV Tahun V Tahun VI Tahun VII
Panen dan pasca panen. Kegiatan panen lada untuk wilayah penelitian umumnya dikerjakan oleh tenaga kerja keluarga yang dilakukan secara bertahap, kecuali bagi petani yang areal lahan usahataninya seluas satu hektar biasanya setengahnya dari luar keluarga.Tingkat upah panen, juga tergolong cukup mahal yaitu sebesar Rp 25.000 per hari kerja. Pemetikanlada umumnya setelah matang 15
yaitu sekitar 8 – 9 bulan dari pembungaan, malai lada setelah terkumpul selanjutnya direndam untukproses pembuahan lada putih yang berlangsung selama satu bulan dan dikerjakan oleh tenaga keluarga. Pemasaran hasil. Dalam pemasaran hasil lada di tingkat petani, walaupun saat ini sudah ada assosiasi petani lada tetapi masih belum dapat berperan secara penuh dan aktif membela petani lada dalam menetapkan harga jual lada. Akan tetapi dari versi assosiasi bahwa jatuhnya atau rendahnya harga lada juga dikarenakan harga jual di pasar dunia juga sedang anjlok, sehingga tingkat harga ke petani pun menjadi rendah yaitu sekitar Rp 14.000 sampai Rp 17.000 untuk per kilogram lada putih kering petani. Secara umum rantai pemasaran lada putih di Bangka ini masih berjenjang yaitu: dari petani kepada pedagang pengumpul desa (biasanya memiliki hubungan dengan pedagang kabupaten) dan tingkat kemampuan pengumpulannya adalah sekitar 4 – 5 ton lada (yang dapat ditangani untuk setiap pengadaan transaksi atau setiap siklusnya). Selanjutnya dijual kepada pedagang besar. Analisis Finansial Usahatani Lada Pada dasarnya suatu kebijakan yang akan dikembangkan dalam program pengembangan suatu komoditas harus sejalan dengan kondisi lingkungan dengan mempertimbangkan berbagai aspek keunggulannya. Dalam hal tesrebut sudah harus menggunakan suatu paket teknologi yang mampu meningkatkan produksi dan hasilnya mampu bersaing dengan komoditas lain serta dapat dilaksanakan oleh petani setempat secara lebih efisien. Dan salah satu ukuran untuk tingkat kelayakan tersebut, adalah mengukur nilai imbangan biaya dan pendapatan yang diterima oleh petani dalam suatu proses produksi (analisis “gross B/C”). Dalam analisis ini, pola pengukuran dari usahatani lada dilihat dalam satu periode atau siklus produksi (pra produksi dan masa berproduksi) secara optimal selama 9 (sembilan) tahun dan mulai berproduksi/menghasilkan pada tahun ketiga. Mengenai besaran alokasi biaya usahatani lada selama kurun waktu kegiatan (Tabel 8) memberi gambaran dari total biaya setiap tahapan. Untuk kegiatan praproduksi diperlukan biaya usahatani sebesar 25 juta rupiahatau sekitar 35,5 persen dari total biaya sampai pertanaman direhabilitasi/ diremajakan kembali. Besarnya nilai biaya usahatani tersebut karena adanya biaya pengadaan kayu untuk tajar mati dan biaya tenaga kerja. Sedangkan pengeluaran biaya usahatani pada phase berproduksi (selama tujuh tahun) berkisar antar 4,4 juta sampai 7,8 juta rupiah. Akan 16
tetapi jika dilihat dari total biaya secara keseluruhan/biaya investasi dan operasional selama kurun waktu kegiatan usahatani, biaya terbesar adalah untuk tenaga kerja(57,7%) selanjutnya diikuti biaya pengadaan pupuk (20,3%) danbiaya pembelian tajar mati sekitar 12,4 persen. Tabel 8. Keragaan Alokasi Curahan Tenaga Kerja Usahatani Lada (HOK per hektar) di Wilayah Propinsi Bangka-Belitung, Tahun 2002. No.
Uraian
Praproduksi
Phase produksi tahun ke: I
II
III
IV
V
VI
VII
Total biaya investasi
……………………………………………….(ribuan rupiah)…………………………………………………. 3.428
1.
Bibit lada
2.
Pupuk
3.
Obat-obatan
4.
Tajar mati
8.752
5.
Tenaga kerja
6.
Lain-lain
3.610
1.418
1.506
1.668
1.747
1.872
1.460
1.097
588
265
323
356
386
339
291
237
-
-
-
-
-
-
-
8.325
4.270
4.880
4.950
5.625
5.280
4.450
3.030
386
39
39
39
39
39
39
39
25.099 5.753 (35,48) (8,13) Keterangan: ( ) adalah angka persentase
6.748 (9,54)
7.013 (9,91)
6.240 (8,82)
4.403 (6,22)
7.797 (11,02)
7.330 (10,36)
3.438 (4,86) 14.378 (20,32) 2.735 (3,87) 8.752 (12,37) 40.810 (57,69) 629 (0,88) 70.742 (100,00)
Mengenai analisis biaya dan pendapatan yang ditanam petani selama satu siklus produksi usahatani lada jika dilihat berdasar imbangan-nya pada setiap tahapan menunjukkan bahwa pada tahap pra-produksi masih belum diperoleh hasil sehingga negatif sebesar 25 juta rupiah. Dengan mengukur berdasar setiap tahap/tahunan biaya dan pendapatan usahatani telah diperoleh besaran nilai Gross B/C pada tahun pertama berproduksi sebesar 1,80 dan terus meningkat sampai tahune ke-IV yaitu sebesar 2,72 dan pola ini sesuai dengan pendapatan bersih usahatani vanili yang tersaji pada Tabel 4.15 sebelumnya. Selanjutnya keragan Gross B/C dari phase produksi tahun ke-V mulai menunjukkan penurunan pada tahun ke-VII sebesar 1,58, walaupun masih memberikan keuntungan tetapi dari penampilan pertanaman dan tingkat hasil di bawah tahun pertama, maka berdasar pengalaman petani sebagai batas untuk diremajakan kembali. Untuk jelasnya analisis imbangan biaya dan pendapatan kotor usahatani lada disajikan pada Tabel 9 dan 10.
17
Tabel 9.
No.
Keragaan Tingkat Hasil dan Pendapatan Usahatani Lada Selama Berproduksi di Wilayah Propinsi Bangka-Belitung, Tahun 2002. Uraian
I.
Pra-Produksi
II.
Phase Produksi: - Tahun I - Tahun II - Tahun III - Tahun IV - Tahun V - Tahun VI - Tahun VII Total Produksi
Tabel 10.
No. I. II.
Produktivitas (kg/ha)
Nilai produksi (Rp.000)
-
-
Biaya produksi (Rp.000) 25.099
617 783 916 1.306 860 700 435 5.617
10.180 12.920 15.114 21.549 14.190 11.550 6.960 92.463
5.753 6.748 7.013 7.797 7.330 6.240 4.403 70.383
Pendapatan ushatani (Rp.000) -25.099 5.527 6.172 8.101 13.752 6.860 5.310 2.557 22.080
Analisis Imbangan Biaya dan Pendapatan per Hektar Usahatani Lada Hektar Berdasar Kurun Waktu Berproduksi di Wilayah Propinsi Bangka-Belitung, Tahun 2002.
Uraian phase usahatani Pra-Produksi Masa Produksi: - Tahun I - Tahun II - Tahun III - Tahun IV - Tahun V - Tahun VI - Tahun VII Total selama usahatani lada
Pendapatan kotor (Rp.000) -
Biaya produksi (Rp.000) 25.099
10.180 12.920 15.114 21.549 14.190 11.550 6.960
5.753 6.748 7.013 7.797 7.330 6.240 4.403
1,80 1,91 2,16 2,72 1,94 1,85 1,58
92.463
70.383
1,31
Gross B/C -
Dengan mengacu pada analisis imbangan biaya dan pendapatan tersebut di atas dan diperoleh nilai gross B/C sebesar 1,58 sampai 2,72 selama proses berproduksi optimalnya sekitar 7 (tujuh) tahun, memberi gambaran bahwa usahatani lada secara ekonomis dengan tingkat harga sebesar Rp 16.000/kg biji lada putih kering adalah cukup layak dikembangkan karena masih memberi keuntungan bagi petani pengelola-nya. Dan jika diukur dari satu siklus produksi lada (phase praproduksi dan produksi yaitu selama sembilan tahun), nilai gross B/C-nya masih lebih dari satu yaitu 1,31. Sedangkan dilihat dari kumulatif biaya investasi dan pendapatan dari tahun ke tahun, maka titik impasnya baru dapat didekati pada tahun ke-IV (Tabel 11). akan tetapi kondisi keragaan tersebut sebagai dampak karena tingkat harga lada yang normal belum dicapai yang menurut petani adalah sebesar Rp 20.000 sehingga dengan harga normal tersebut biaya investasi dalam usahatani lada akan 18
tercapai titik impasnya pada masa lada berproduksi tahun ke-III dan pada kondisi tersebut akan lebih memotivasi para petani untuk memelihara pertanaman ladanya secara lebih intensif untuk memperoleh tingkat hasil yang lebih baik demikian pula masa berproduksinya dapat lebih diperpanjang sekitar 2-3 tahun.
Tabel 11.
No.
Keragaan Imbangan Biaya dan Pendapatan Secara Kumulatif Berdasar Investasi Total Tahunan dalam Usahatani Lada di Wilayah Propinsi Bangka-Belitung, Tahun 2002. Uraian
I.
Pra-Produksi
II.
Phase Produksi: - Tahun I - Tahun II - Tahun III - Tahun IV - Tahun V - Tahun VI - Tahun VII Total selama usahatani padi
Pendapatan kotor (Rp.000)) 10.180 23.100 38.214 59.763 73.953 85.503 92.463 92.463
25.099
Keuntungan usahatani (Rp.000) -25.099
30.852 37.600 44.613 52.410 59.740 65.980 70.383 70.383
-20.672 -14.500 -6.399 7.353 14.213 19.523 22.088 22.088
Biaya produksi (Rp.000)
Gross B/C 0,33 0,61 0,86 1,14 1,24 1,30 1,31 22.080
FUNGSI PRODUKSI, FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN ESTIMASI TINGKAT EFISIENSI TEKNIS Selama ini yang dihadapkan pada kita adalah bahwa komoditas perkebunan mempunyai tingkat produktivitas yang rendah. Kemudian diikuti dengan tingkat efisiensi yang rendah. Secara empiris, petani tidak selalu dapat mencapai tingkat efisiensi yang tinggi. Hasil yang dicapai merupakan resultante dari pengaruh faktorfaktor yang sifatnya eksternal (tidak dapat dikendalikan oleh petani) dan faktor-faktor yang sifatnya internal (dapat dikendalikan oleh petani, sehingga karenaya dapat diperbaiki). Secara garis besar, proses produksi tidak efisien karena dua hal tersebut.
Pertama,
karena
secara
teknis
tidak
efisien.
Ini
terjadi
karena
ketidakberhasilan mewujudkan produktivitas maksimal, artinya permintaan paket masukan dan keluaran tertentu, proporsi penerimaan marjinal (marginal revenue product) tidak sama dengan biaya marjinal (marginal cost) masukan yang digunakan (Sumaryanto, 2001). Dan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengestimasi tingkat efisiensi teknis adalah melalui pendekatan dengan stochastic production frontier seperti telah dibahas pada metodologi.
19
Keragaan Fungsi Produksi Komoditas Lada Hasil estimasi fungsi produksi dari komoditas lada tertera pada Tabel 12 di bawah ini. Tabel 12. Hasil Dugaan Parameter Fungsi Produksi Frontier Stokastik Komoditas Lada di Propinsi Bangka Belitung
Koefisien (t ratio) 5,8684 (5.8684) 0.00012 (-0.0412) 0.0237 (0.0237) 0.0010 (0.0005) 0.0762 (0.0076) 0.0010 (0.0002) 0.1242 (0.1242) 0.0001 (0.0001) 0.3042 (0.3042) 0.7200 (0.2896) -0.6062 4.9820
Faktor Produksi Intersep Benih Pupuk Urea Pupuk TSP Pupuk KCl Pupuk ZA Pupuk NPK Tenaga kerja σ2 γ Log likelihood function LR test of one sided error
*** : nyata pada taraf α = 0.01 ** : nyata pada taraf α = 0.05 • : nyata pada taraf α = 0.10
Dari Tabel 12 di atas dapat diikuti bahwa tidak ada satupun peubah yang nyata mempengaruhi fungsi produksi, walaupun di dalam penelitian ini dapat dilihat bahwa tenaga kerja dan pupuk merupakan dua komponen terbesar biaya yang dikeluarkan dalam usahatani lada. Keduanya memiliki proporsi sekitar 78,01 persen dari biaya total. Nilai dugaan yang positif menunjukkan bahwa penggunaan input masih dapat ditingkatkan untuk peningkatan produksi, tetapi dapat dikatakan tidak signifikan atau tidak nyata mempengaruhi produksi. Pada Gambar 2 di bawah sebaran TE yang terbesar adalah sekitar 48,4 persen dan terlihat masih ada peluang peningkatan TE di sebaran petani yang 20
memiliki TE lebih kecil daripada 0.7. Rataan TE dari keseluruhan sampel petani adalah 0.71. 60,0 40,0 20,0 0,0 =< 0,3 0,3-0,4 0,4-0,5
0,5-0,6 0,6-0,7 0,7-0,8
0,8-0,9
Kelompok TE
Gambar 2. Kelompok TE (Technological Efficiency) Petani Responden Lada di Bangka Belitung KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN Kesimpulan Usahatani
lada
masih memberikan keuntungan bagi petani yang
mengusahakan. Hal ini terlihat pada nilai gross benefit yang lebih besar dari nilai korbanan (cost) yang dikeluarkan. Selain faktor fisik (seperti sarana produksi) yang mempengaruhi fungsi produksi lada , masih ada faktor lain yang eksternal (yang tidak dapat dikendalikan petani), yang mempengaruhi produksi tanaman perkebunan lada. Faktor-faktor itu dapat berupa iklim dan harga. Tetapi hal ini masih perlu diteliti atau dikonfirmasi dengan hasil penelitian lainnya. Rataan TE (Technological Efficiency) untuk petani sampel lada adalah 0,71. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada peluang untuk meningkatkan produksi lada. Dari segi sebaran TE (Technological Efficiency), komoditas lada tidak memiliki sebaran yang merata . Ini berarti bahwa masih ada peluang untuk meningkatkan kapabilitas
managerial
sebagai
faktor
proses/fungsi produksi lada.
21
internal
yang
dapat
mempengaruhi
Jika dilihat dari segi umur, petani lada umumnya termasuk ke dalam kelompok usia produktif dan untuk itu cukup potensial dalam menjalankan berbagai aktifitas usahatani. Rataan umurnya adalah 44,2 tahun dengankisaran dari petani lada contoh berumur 23 tahun sampai dengan yang tertua yaitu berumur 62 tahun. Untuk petani contoh dalam usahatani lada, pada setiap rumah tangga rataan jumlah anggotanya sebanyak 4,7 jiwa dengan kisaran 3 – 8 jiwa yang terdiri dari ART >15 tahun = 1,5 jiwa dan ART <15 tahun 3,2 jiwa. Dan dari jumlah tersebut yang membantu kegiatan usahatani lada adalah sebanyak 2,3 jiwa yaitu laki-laki 1,4 jiwa dan perempuan 0,9 jiwa. Pada dasarnya setiap petani akan memanfaatkan tenaga kerja sendiri (dalam keluarga pada setiap kegiatan usahatani, kecuali pada kegiatan yang membutuhkan tenaga banyak dengan waktu yang relatif singkat (tanam, panen) maka digunakan tenaga kerja dari luar rumah tangganya. Dalam kegiatan budidaya lada yang secar tradisi turun temurun sebagai komoditas pokok dan diusahakan pada lahan milik sendiri secara monokultur. Ada kondisi yang menarik yaitu terjadinya rotasi lahan untuk usahatani lada, karena areal lada terserang penyakit kuning yang epidemik dan dari pengalaman petani tanahnya harus diistirahatkan. Di wilayah penelitian lahan yang akan diistirahatkan ditanami dengan tanaman karet lokal dengan bibit sendiri, karena yang diutamakan pada saat ditebang kayunya cukup menguntungkan. Berdasar cara pemberian pupuk pabrik tersebut, baik pada tahap pra-produksi maupun tahap berproduksi sebagian besar petani melakukannya dengan cara ditabur (86,7%), sistim ring (5,9%) dan cara ditugal dengan larikan sebesar 7,4 persen
petani penggunakannya. Hasil
penelitian
memberi
gambaran
akan
keragaman jenis pupuk yang digunakan petani dalam budidaya tanaman lada, baik sebelum menghasilkan (pra-produksi) dan sesudah berproduksi. Untuk jenis pupuk Urea, TSP/SP-36 dan ZA penggunaannya sudah menjadi keharusan.
saran Berdasar analisis biaya dan pendapatan usahatani komoditas lada putih di wilayah Propinsi Bangka-Belitung, dengan tingkat harga jual lada putih sebesar Rp 16.000/kg, walaupun telah memberikan keuntungan akan tetapi dari hasil persepsi petani tingkat harga jual lada putih yang ideal adalah sebesar Rp 18.000/kg sehingga pada tahap produksi tahun ke II sudah mencapai titik impas biaya investasi
22
usahatani dan kondisi yang demikian akan lebih mendorong serta memotivasi petani lada dalam kegiatan pemeliharaan yang lebih intensif, terutama dalam hal pemakaian pupuk sesuai dengan anjuran. DAFTAR PUSTAKA Aigner, D.J., Lovell, C.A.K. and Schmidt, P. 1977. Formulation and Estimation of Stochastic Frontier Production Function Models Journal of Economics. Battese, G.E and Coelli, T.J. 1988. Prediction of Firm - level Technological Efficiency Wite a Generalized Frontier Production Function and Panel Data. Journal of Econometrics, 38:387-399. _______________. 1992. Frontier Production Functions, Technical Efficiency and Panel Data: With Application to Paddy Farmers in India. Journal of Productivity Analysis, 3:153-169. _______________. 1995. A Model for Technical Inefficiency Effects in a Stochastic Production Function for Panel Data. Empirical Economics, 20:325-332. Biro Pusat Statistik. 1999. Buletin Statistik Bulanan dan Indikator Ekonomi. Jakarta. Coelli, T. 1996. A. Guide to Frontier Version 4.1: A Computer Program For Stochastic Production Function For panel Data. Empirical Economics, 20:325-332. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 2000. Statistik Perkebunan Indonesia 1998-2000. Lada. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. ________________. 1998. Statistik Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta.
Indonesia 1997-1999. Lada.
Departemen Pertanian. 2001. Pembangunan Sistem Agribisnis Sebagai Penggerak Ekonomi Nasional. Draft 2. Departemen Pertanian RI. Jakarta. Dinas Perkebunan. 2001. Laporan Tahunan 2000. Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Propinsi Bangka Belitung. International Pepper Community. 2001. Annual Pepper Statistik (1985-1998). Pepper Community Secretariat, Jakarta. Jondrow, J. Lovell, C., Materov I.S, and Schmidt, P. 1982. On Estimation of Technical Efficiency in the Stochastic Frontier Production Function Model. Journal of Econometrics, 6:21-37. Lokollo, E. M, Amar Kadar Zakaria, Amiruddin Syam, Herman Supriyadi, Ari Murtiningsih, dan Khaerina, M.N. 2002. Analisis Effisiensi Produksi Komoditi Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Sumaryanto. 2001. Estimasi Tingkat Effisiensi Usahatani Padi Dengan Fungsi Produksi Frontir Stokastik. Jurnal Agro Ekonomi. Volume 19. Nomor 1.
23
Model
Pengembangan
SARANA
PRODUKSI
Usahatani keluarga berbasis komoditas tertentu berorientasi produksi dengan: • teknologi spesifik • skalakecil
PERTANIAN
(Produk primer)
Sebelum berkembang
menghasilkan TINGKAT MIKRO
(Rumah Tangga)
TINGKAT MAKRO
(desa dan wilayah)
Sesudah berkembang
PENGO-
LAHAN
PEMA-
SARAN
Usaha berbasis pertanian (tanaman, ternak) berwawasan agribisnis dengan: • teknologi spesifik lokasi dan ramah lingkungan • skala besar (dalam hamparan) • mengacu pada permintaan pasar menghasilkan
Pendapatan usahatani (A0)
Pendapatan usahatani (A1)
Kesejahteraan hidup keluarga petani (B0)
Kesejahteraan hidup keluarga petani (B1)
Pembangunan ekonomi Pedesaan dan wilayah (C0) • pendapatan masyarakat • lapangan kerja • penyediaan pangan • bahan baku industri • kegiatan non pertanian
Pembangunan ekonomi Pedesaan dan wilayah (C0) • pendapatan masyarakat • lapangan kerja • penyediaan pangan • bahan baku industri • kegiatan non pertanian
Gambar 1. Tingkat Perkembangan Pertanian kaitannya dengan Tingkatan Mikor dan Makro
24
J. Hort. Vol. 17 No. 2, 2007 J. Hort. 17(2):118-126, 2007
Identifikasi dan Karakterisasi Manggis di Provinsi Bengkulu dan Bangka-Belitung Mansyah, E., M. Jawal A.S, I. Muas, Hendri, dan F. Usman
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Jl. Raya Solok-Aripan Km 8, Solok. 27301 Naskah diterima tanggal 3 Juli 2006 dan disetujui untuk diterbitkan tanggal 4 Desember 2006 ABSTRAK. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2003 sampai Agustus 2004 pada sentra produksi manggis di Provinsi Bengkulu dan Bangka-Belitung. Tujuan dari penelitian ini mengetahui keragaman aksesi manggis di Provinsi Bengkulu dan Bangka-Belitung. Penelitian dilaksanakan dengan metode eksplorasi. Pengamatan dilakukan terhadap karakter morfologi dan genetik. Pengamatan morfologi dilakukan terhadap karakter kualitatif dan kuantitatif serta pengamatan secara genetik dilakukan menggunakan teknik RAPD pada 8 aksesi contoh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aksesi manggis di Provinsi Bengkulu dan Bangka-Belitung menunjukkan variasi morfologi dan genetik, yaitu dalam bentuk kanopi tanaman dan bentuk buah. Bentuk kanopi terdiri atas piramid, elips, dan semisirkuler, sedangkan bentuk buah terdiri atas bulat, agak gepeng, seperti jantung, dan tidak beraturan. Berdasarkan data analisis RAPD menggunakan primer OPH-13 (CACGCCACAC) dan OPN-16 (AAGCGACCTG) dari 8 aksesi diketahui bahwa manggis dari Provinsi Bengkulu dan Bangka-Belitung mempunyai koefisien kesamaan genetik antara 0,781,0 dan terbagi ke dalam 2 kelompok. Kelompok pertama terdiri dari 6 aksesi yang terpisah ke dalam 2 genotip yang berbeda dengan tingkat kesamaan genetik sekitar 0,90. Kelompok kedua terdiri dari 2 aksesi dengan tingkat kemiripan sebesar 0,87. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kedelapan aksesi contoh tersebut terdiri dari 4 genotip berbeda yaitu (1) BLT-03, BKL-01, dan BKL-06, (2) BLT-08, BLT-12, dan BKL-09, (3) BLT-10, dan (4) BKL-07. Pengelompokan aksesi belum mencerminkan perbedaan secara morfologi. Hasil analisis ini masih perlu dilanjutkan untuk semua aksesi dengan primer yang berbeda. Informasi hasil penelitian ini memperkuat data tentang adanya keragaman pada manggis. Katakunci: Garcinia mangostana; Aksesi; Identifikasi; Karakterisasi; Kesamaan genetik. ABSTRACT. Mansyah, E., M. Jawal A.S, I. Muas, Hendri, and F. Usman. 2007. Identification and Characterization of Mangosteen at Bengkulu and Bangka-Belitung Provinces. The research was conducted by exploration at mangosteen production center at Bengkulu and Bangka-Belitung Provinces from August 2003 to August 2004. The objective of this study was to find out the variability of mangosteen at Bengkulu and Bangka-Belitung Provinces. The parameters observed were morphology and genetic characters. Morphology characters observed were qualitative and quantitative while genetic observation was conducted by using RAPD technique. The results showed that mangosteen accessions at Bengkulu and Bangka-Belitung have morphology variations. The variations were on canopy and fruit shape. The canopy could be devided into 3 forms of pyramid, elliptical, and semicircular. Fruit shape described as round, flattened, ovoid, and irregular. RAPD analysis of 8 mangosteen accessions by using 2 primers OPH-13 (CACGCCACAC) and OPN-16 (AAGCGACCTG) showed that the accessions devided into 2 main groups with genetic similarity coefficient 0.78 to 1.0. First group consist of 8 genotypes which separated into 2 different genotypes with genetic similarity coefficient of 0.90. The second group consist of 2 genotypes with genetic similarity coefficient about 0.87. In general the 8 accessions could be separated into 4 different genotypes (1) BLT03, BKL-01, and BKL-06, (2) BLT-08, BLT-12, and BKL-09, (3) BLT-10, and (4) BKL-07. Accessions grouping based on RAPD bands were not in accordance with morphology characters. Further evaluation by molecular marker was needed to clarify the genetic variability. This results strengthened the support about the presence of genetic variability on mangosteen. Keywords: Garcinia mangostana; Accession; Identification; Characterization; Genetic similarity.
Manggis (Garcinia mangostana L.) dikenal sebagai tanaman buah yang mengalami reproduksi secara apomiksis dan mempunyai keragaman genetik yang sempit atau kurang bervariasi, baik secara morfologi maupun genetik. Richards (1990) menyebutkan dengan istilah agamospermy dan manggis tergolong ke dalam agamospermy obligat. Hasil penelitian terakhir di Pulau Jawa dan Sumatera Barat tahun 2002 menunjukkan bahwa manggis mempunyai variasi 118
baik secara morfologi maupun genetik. Variasi morfologi terlihat dari bentuk kanopi dan bentuk buah. Kanopi terdiri dari 3 bentuk yaitu piramid, elips, dan semisirkuler. Sedangkan bentuk buah terdiri dari 3 jenis, yaitu bulat, bulat dengan dasar buah agak runcing (seperti jantung), dan agak gepeng. Variasi genetik terlihat dari perbedaan pola pita DNA pada 23 aksesi yang berasal dari Pulau Jawa dan Sumatera Barat serta variasi pola pita DNA antara 3 tanaman induk dengan
Mansyah, E. et al.: Identifikasi dan karakterisasi manggis di Provinsi Bengkulu dan Babel keturunannya melalui teknik RAPD (Mansyah et al. 2003a, 2004). Asker dan Jerling (1992) menyatakan bahwa variasi di dalam klon bukanlah suatu hal yang tidak mungkin. Autosegregasi, mutasi somatik, dan instabilitas genetik mungkin sebagai penyebab variasi bahkan pada apomiksis obligat. Oleh karenanya, seleksi alami pada apomiktik dan tanaman yang diperbanyak secara klonal dapat dilakukan. Pada apomiksis obligat, seleksi pertama sekali dilakukan di antara klon. Informasi tersebut perlu dikembangkan dan dievaluasi lebih lanjut. Melalui pengamatan fenotip dan analisis genetik antaraksesi. Analisis genetik dengan teknik RAPD (random amplified polymorphyc DNA) mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan metode lain, di antaranya membutuhkan DNA yang lebih sedikit (10–25 ng), tidak membutuhkan informasi urutan primer, tidak bersifat radioaktif, pelaksanaannya relatif lebih mudah, dan menghasilkan estimasi yang lebih tinggi untuk kesamaan interspesifik (Powell et al. 1996, Gupta et al. 1996). Walaupun demikian teknik RAPD juga mempunyai beberapa keterbatasan, antara lain tidak dapat membedakan individu homozigot dan heterozigot karena bersifat sebagai penanda dominan (Williams et al. 1990). Perubahan kecil dalam kondisi reaksi, dengan nyata dapat mengubah jumlah dan intensitas produk amplifikasi sehingga hasil yang sama sulit untuk dipertahankan apabila diulangi. Dilaporkan juga kesulitan untuk memperoleh pita yang identik dari set primer dan material yang sama antarlaboratorium yang berbeda. Manggis merupakan salah satu tanaman apomiksis alami di samping jeruk dan mangga (van Dijk dan van Damme 2000). Apomiksis alami dapat dimanfaatkan melalui koleksi dan isolasi biotip apomiktik, berbeda dengan menguji stabilitas dan nilai agronomiknya. Pada apomiksis obligat, metode perbaikan tanaman adalah melalui seleksi di antara ekotip yang terjadi pada spesies tersebut (Asker dan Jerling 1992). Sebelum kegiatan seleksi dilakukan, perlu didahului oleh tahapan identifikasi, karakterisasi, dan evaluasi pada populasi indigenous. Indonesia merupakan daerah asal dan pusat penyebaran tanaman manggis dan Provinsi Bengkulu serta Bangka-Belitung termasuk salah satu daerah penanaman manggis yang cukup potensial. Pada tahun 2003 luas panen manggis untuk
kedua daerah tersebut berturut-turut adalah 88 dan 359 ha dengan produksi masing-masing 508 dan 1.161 t (Harisno 2004). Tujuan penelitian adalah mengetahui keragaman manggis di Provinsi Bengkulu dan Bangka-Belitung. Perkiraan manfaat dan dampak hasil penelitian adalah meningkatnya jumlah aksesi manggis terkarakterisasi yang dapat digunakan sebagai materi pemuliaan selanjutnya serta memperkuat informasi tentang adanya keragaman pada manggis. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2003 sampai Agustus 2004 pada sentra produksi manggis di Provinsi Bengkulu dan Bangka-Belitung. Langkah pertama adalah melakukan studi untuk memperoleh informasi jenis-jenis manggis kepada petani/pengumpul atau penyuluh dari instansi setempat. Informasi ini kemudian dikembangkan pada waktu melaksanakan eksplorasi ke lokasi sasaran. Pengambilan contoh diutamakan untuk aksesi yang memperlihatkan perbedaan fenotipik. Observasi dilakukan terhadap karakter morfologi dan genetik. Observasi secara morfologi dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu saat berbuah dan musim panen. Observasi genetik dilakukan melalui teknik RAPD menggunakan 2 primer yaitu OPH-13 (CACGCCACAC) dan OPN-16 (AAGCGACCTG). Sampel tanaman yang digunakan adalah 8 aksesi manggis yang berasal dari Provinsi Bengkulu dan Bangka-Belitung. Tahapan pelaksanaan analisis DNA terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu isolasi, pemurnian, penetapan kuantitas DNA, reaksi amplifikasi, dan elektroforesis. Isolasi, Pemurnian, dan Penetapan Kuantitas DNA Metode isolasi DNA dilakukan mengikuti prosedur Doyle dan Doyle (1987) yang dimodifikasi dengan penambahan 1% Polyvinil pyrolidone (PVP). DNA diisolasi dari ± 0,3 g daun muda (pucuk) yang masih berwarna merah muda atau merah kecoklatan dan berukuran 2-5 cm. Bila pada tanaman sampel tidak ada daun muda, dapat digunakan daun tua dengan meningkatkan bobot daun yang diekstrak sampai 2 g dan penambahan RNAase pada tahap pemurnian. Pemurnian DNA dilakukan mengikuti metode Sambrook et al. (1989). 119
J. Hort. Vol. 17 No. 2, 2007 Kuantitas DNA yang diperoleh diestimasi dengan gel elektroforesis dan dibandingkan dengan standar DNA lamda. Sebanyak 5 ml masing-masing larutan DNA dicampur dengan 1ml loading dye dan dielektroforesis bersama-sama dengan DNA lamda pada 1% (b/v) gel agarose, dengan voltase konstan 50 volt selama 30 menit. Setelah elektroforesis, gel diwarnai dengan 0,5 mg/ml etidium bromida dan divisualisasikan pada UV transiluminator, kemudian dipotret menggunakan kamera dan film polaroid 667. Konsentrasi DNA ditentukan dengan membandingkan ketebalan DNA sampel dengan DNA lamda. DNA yang diperoleh kemudian diencerkan sampai konsentrasi 25 ng dan siap digunakan untuk reaksi amplifikasi.
UV transiluminator dan didokumentasikan dengan kamera dan film polaroid 667. Pengamatan dilakukan terhadap pita-pita yang tegas dengan menghitung jumlah pita setiap primer. Untuk analisis gerombol, penilaian (skoring) dilakukan terhadap pita-pita yang jelas dan tajam secara konsisten. Pita-pita yang dimiliki bersama diberi skor 1 (ada) dan jika tidak diberi skor 0. Analisis gerombol pada program NTSYS-pc versi 2.10 dilakukan menggunakan metode UPGMA dengan fungsi SIMQUAL. Matriks kesamaan genotipik dihitung berdasarkan koefisien Jaccard (Jaccard 1908 dalam Mohammadi dan Prasanna 2003) dengan rumus :
Reaksi Amplifikasi dan Elektroforesis
N11 = Jumlah pita-allel yang terdapat pada ke-2 individu
Amplifikasi DNA manggis dilakukan menurut metode Williams et al. (1990) menggunakan 2 primer terseleksi, yaitu OPH-13 (CACGCCACAC), dan OPN-16 (AAGCGACCTG). Reaksi amplifikasi dilakukan menggunakan tabung PCR volume 0,5 ml yang berisi 25 ml campuran larutan yang terdiri dari 18,8 ml air bebas ion, 2,5 ml buffer mix, 0,5 ml dNTP 0,2 mM, 1ml primer (10 p mol), 1 unit Taq DNA polimerase (Promega, Madison WI, USA), dan 50 ng (2 ml) DNA. Untuk mencegah penguapan selama proses amplifikasi, ke dalam setiap tabung ditambahkan 20 ml minyak mineral. Selanjutnya tabung PCR dimasukkan ke dalam blok mesin PCR Thermolyne Amplitron 1 yang diprogram dengan tahapan sebagai berikut. (1) Denaturasi awal (pra-PCR) pada suhu 94°C selama 2 menit sebanyak 1 siklus, (2) PCR didenaturasi pada suhu 94°C selama 1 menit , annealing (penempelan primer) pada suhu 36°C selama 1 menit, dan perpanjangan 72°C selama 2 menit sebanyak 45 siklus, dan (3) Perpanjangan akhir pada suhu 72°C selama 4 menit sebanyak 1 siklus. Setelah reaksi amplifikasi berakhir, produk amplifikasi diberi 5 ml loading dye, dielektroforesis pada 1,4% gel agarose dengan voltase konstan 50 volt selama lebih kurang 1 jam di dalam alat elektroforesis yang berisi buffer TAE 1 X. Hasil elektroforesis divisualisasikan di atas 120
GDj = 1 – [N11 / (N11+ N10 + N01) GDj = Koefisien kesamaan genetik Jaccard
N10 = Jumlah pita-allel yang terdapat hanya pada i N01 = Jumlah pita-allel yang terdapat hanya pada j. HASIL DAN PEMBAHASAN Observasi Morfologi Hasil eksplorasi diperoleh 23 aksesi manggis, masing-masing 9 aksesi dari Provinsi Bengkulu dan 14 aksesi dari Bangka-Belitung (Tabel 1). Pada observasi pendahuluan, sebagian besar aksesi tanaman sedang berbuah dan observasi selanjutnya dilakukan pada saat panen. Walaupun demikian tidak semua aksesi contoh dapat diperoleh sampel buahnya. Oleh sebab itu tidak semua aksesi dapat diamati morfologinya secara lengkap. Tanaman manggis di daerah Pal VIII, Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu ada yang diberi nama lokal manggis Puting Susu berdasarkan kepada bentuk morfologinya. Di Provinsi Bangka-Belitung nama lokal manggis lebih banyak, di antaranya manggis Hijau (BLT-04, 09, dan14), manggis Kuning (BLT 05,06,07,08, dan12), manggis Kutu (BLT-03, BLT-11), Burik (BLT-02), Jumbo (BLT10), dan manggis Isi Banyak LT-13). Manggis Hijau dan manggis Kuning diberi nama demikian berdasarkan warna buah muda. Manggis Kutu menurut informasi adalah berdasarkan ukuran buahnya yang kecil, tetapi pada saat pengamatan tanaman tidak berbuah. Penampilan dari aksesi-
Mansyah, E. et al.: Identifikasi dan karakterisasi manggis di Provinsi Bengkulu dan Babel aksesi yang berbeda secara morfologi ditampilkan pada Gambar 1 dan 2. Bentuk buah dibedakan atas bulat yaitu BKL04, BKL-05, dan BKL-08 (Gambar 1a), seperti jantung yaitu BKL-06 dan 07 (Gambar 1d, e, f, dan g), tidak beraturan yaitu BLT-13 (Gambar 2f dan g), dan yang lainnya agak gepeng (Gambar 1b dan c, serta 2a, b, c, dan e). Bentuk buah yang tidak beraturan pada aksesi BLT-13 dijumpai dengan persentase ±50% dalam 1 pohon, bercampur dengan buah normal. Buah tidak beraturan keluar dari ranting yang merupakan gabungan dari 2-6 ranting menjadi satu dengan bentuk menyerupai kipas. Pada waktu flush, jumlah daun yang keluar dari setiap ranting abnormal tersebut mencapai 4-6 pasang. Dari ranting normal keluar buah yang normal. Nama lokal dari manggis ini adalah manggis Isi Banyak karena pada buah yang tidak beraturan jumlah segmen buahnya mencapai 20-23 buah, sedangkan buah normal jumlah juringnya kebanyakan 9 buah (Gambar 2f dan g). Aksesi
manggis ini diduga merupakan kimera hasil mutasi yang terjadi secara alami. Adanya kimera diketahui dari adanya bentuk buah yang tidak beraturan dan bercampur dengan buah normalnya dalam 1 pohon. Pratt (1983) menyatakan bahwa kimera secara eksternal dapat dikenali melalui bunga dan buah yang berukuran besar pada tipe 2X-2X-4X, dan buah besar dan tidak beraturan pada sitokimera yang lain. Kimera adalah individu yang mempunyai organ atau bagian tanaman yang terdiri dari konstitusi genetik berbeda. Kimera dapat terbentuk karena mutasi somatik akibat kehilangan gen atau perubahan konstitusi genetik. Berdasarkan hasil pengamatan ini, terdapat 1 tambahan bentuk buah yang tidak dijumpai pada lokasi lain sebelumnya, yaitu tidak beraturan. Hasil penelitian terdahulu (Mansyah et al. 2003b) dijumpai 3 bentuk buah pada manggis, yaitu bulat, gepeng, dan jantung. Dengan bertambahnya 1 bentuk buah ini berarti bentuk buah manggis dapat dibedakan menjadi 4 macam.
Tabel 1. Aksesi manggis hasil eksplorasi di Provinsi Bengkulu dan Bangka-Belitung (Mangosteen accessions from Bengkulu and Bangka-Belitung Provinces) Kode aksesi Nama lokal (Accession code) (Local name) Prov. Bengkulu (Bengkulu Province) BKL-01 BKL-02 BKL-03 BKL-04 BKL-05 BKL-06 Manggis Puting Susu BKL-07 Manggis Puting Susu BKL-08 Manggis Curup BKL-09 Prov. Bangka-Belitung (Bangka-Belitung Province) BLT-01 Manggis Hijau BLT-02 Manggis Burik BLT-03 Manggis Kutu BLT-04 Manggis Hijau BLT-05 Manggis Kuning BLT-06 Manggis Kuning BLT-07 Manggis Kuning BLT-08 Manggis Kuning BLT-09 Manggis Hijau BLT-10 Manggis Jumbo BLT-11 Manggis Kutu BLT-12 Manggis Kuning BLT-13 Manggis Isi Banyak, Manggis Kipas BLT-14 Manggis Hijau
Daerah asal (Origin) Kel Surabaya, Kota Bengkulu Kel Surabaya, Kota Bengkulu Durian Demang Durian Demang Sukarami, Bengkulu Utara Pal VIII, Rejang Lebong Pal VIII, Rejang Lebong Dataran tapus, Rejang Lebong Air Napal Kec. Badau Pelulusan Air malik, Bantan Perawas 2, Buluh Tumbang Perawas 2, Buluh Tumbang Perawas 2, Buluh Tumbang Perawas 2, Buluh Tumbang Perawas 2, Buluh Tumbang Perawas 2, Buluh Tumbang Senyubur-Kelapa Kampit, Mentawak-Kelapa Kampit Mentawak-Kelapa Kampit Buding, Kelapa Kampit Buding, Kelapa Kampit
121
J. Hort. Vol. 17 No. 2, 2007
a
c
b
e
d
g
f
Gambar 1. Penampilan buah beberapa aksesi manggis dari Provinsi Bengkulu (a) Manggis Curup (BKL-08), (b) BKL-03, (c) BKL-09, (d) BKL-06 muda, (e) BKL 06 matang, (f) BKL-07 muda, dan (g) BKL- 07 matang (Performance of several mangosteen accessions from Bengkulu Province (a) Mangosteen Curup (BKL-08), (b) BKL-03, (c) BKL-09, (d) BKL-06 (young fruits), (e) BKL-06 (mature fruits), (f) BKL-07 (young fruits), and (g) BKL- 07 (mature fruits))
a
c
b
e
f
d
g
Gambar 2. Penampilan beberapa aksesi manggis dari Provinsi Bangka-Belitung (a) BLT-02 (Burik), (b) BLT06 (Kuning), (c) BLT-09 (Hijau), (d) dan (e) BLT-10 (Jumbo), (f) dan (g) manggis Isi Banyak atau manggis Kipas (BLT-13) dengan bentuk buah tidak beraturan dan normal (Performance of several mangosteen accessions from Bangka-Belitung Provinces (a) BLT-02 (Burik), (b) BLT-06 (Kuning), (c) BLT-09 (Hijau), (d) and (e) BLT-10 (Jumbo), (f) and (g) Kipas (BLT-13))
122
Mansyah, E. et al.: Identifikasi dan karakterisasi manggis di Provinsi Bengkulu dan Babel Selanjutnya pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa dari sampel buah yang ada rerata ukuran buahnya, dari 23 aksesi tersebut umumnya berukuran kecil (< 90 g) sampai sedang (90-140 g), jumlah segmen buah 5-7, dan panjang tangkai buah sedang (1,5-2,5 cm). Untuk buah berbentuk jantung tangkai buahnya lebih panjang ( >2,5 cm). TSS tertinggi dijumpai pada aksesi BKL-03 (18,3 °Brix), dan porsi dapat dimakan tertinggi pada BKL-09 (31,94%). Observasi Genetik Hasil analisis RAPD dari 8 aksesi yang berhasil diekstrak DNA-nya menggunakan primer OPH-13 dan OPN-16 ditampilkan pada Gambar 3. Berdasarkan data analisis RAPD pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa aksesi manggis yang diuji di antaranya ada yang berbeda secara genetik. Primer OPH-13 menghasilkan 4 sampai 6 pita DNA dan membagi aksesi menjadi 3 kelompok. Ketiga kelompok tersebut adalah aksesi BLT-03, BLT-08, BLT-12, dan BKL-09 dengan 6 pita DNA yang sama, aksesi BKL-01 dan BKL-06 dengan 5 pita DNA yang sama, serta aksesi BLT-10 dan BKL-07 dengan 4 pita DNA yang sama. Untuk primer OPN-16 hanya terdapat 1 aksesi yang berbeda yaitu BLT-10, sedangkan yang lainnya menunjukkan pola pita DNA yang sama. Perbedaan yang menonjol aksesi BLT10 dari yang lain adalah tangkainya yang lebih pendek dibandingkan yang lainnya. Hasil analisis ini masih perlu dilanjutkan untuk semua aksesi dengan primer yang berbeda. Selanjutnya dendogram dari kedelapan aksesi tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan dendogram pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa aksesi manggis dari Provinsi Bengkulu dan Bangka-Belitung mempunyai koefisien kesamaan genetik antara 0,78-1,0. Tingkat kemiripan aksesi manggis di kedua Provinsi ini hampir sama dengan manggis di Jawa dengan koefisien kemiripan 0,75-1,0 (Mansyah et al. 2003b). Kedelapan aksesi tersebut terbagi ke dalam 2 kelompok. Kelompok pertama terdiri dari 6 aksesi yang terpisah ke dalam 2 genotip yang berbeda dengan tingkat kesamaan genetik sekitar 0,90. Genotip pertama adalah BLT-03, BKL-01, dan BKL-06 yang identik secara genetik, dan genotip kedua adalah BLT-08, BLT-12, dan BKL09 yang juga identik. Kelompok kedua terdiri dari
Gambar 3. Hasil analisis RAPD 8 aksesi manggis dari Provinsi Bengkulu dan Bangka-Belitung menggunakan primer OPH-13 dan OPN16. Keterangan (1) BLT-03, (2) BLT-08, (3) BLT-10, (4) BLT-12, (5) BKL-01, (6) BKL09, (7) BKL-06, dan (8) BKL-07. (RAPD banding patterns of 8 mangosteen accessions from Bengkulu and BangkaBelitung Provinces (1) BLT-03, (2) BLT-08, (3) BLT-10, (4) BLT-12, (5) BKL-01, (6) BKL09, (7) BKL-06, and (8) BKL-07))
2 aksesi yaitu BLT-10 dan BKL-07 dengan tingkat kemiripan sebesar 0,87. Jika dilihat dari nama lokal yang diberikan di Provinsi Bangka-Belitung, terlihat yang didasarkan pada ukuran atau warna buah bahwa manggis Kutu (BLT-03) berbeda secara genetik dengan manggis Kuning (BLT-08 dan BLT-12). Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kedelapan aksesi contoh tersebut terdiri dari 4 yang genotip berbeda yaitu (1) BLT-03, BKL-01, dan BKL-06, (2) BLT-08, BLT-12, dan BKL-09, (3) BLT-10, dan (4) BKL-07.
Koefisien kesamaan genetik (Genetic similarity coefficient)
Gambar 4. Dendogram 8 aksesi manggis dari Provinsi Bengkulu dan Bangka-Belitung. (Dendogram of 8 mangosteen accessions from Bengkulu and Bangka-Belitung Provinces)
123
J. Hort. Vol. 17 No. 2, 2007
Disini tabel 2 miring
124
Mansyah, E. et al.: Identifikasi dan karakterisasi manggis di Provinsi Bengkulu dan Babel Pengelompokan berdasarkan pita RAPD ini belum mencerminkan perbedaan secara morfologi. Genotip yang mempunyai morfologi sama di antaranya ada yang termasuk ke dalam 1 kelompok yang sama (manggis Kuning BLT08 dan BLT-12), dan ada yang terpisah pada kelompok berbeda (BKL-06 dan BKL-07). Hal ini berarti bahwa pengelompokan aksesi belum mencerminkan perbedaan secara morfologi. Kondisi ini dapat disebabkan oleh primer yang belum cocok dan jumlah pita yang dianalisis masih sangat sedikit, sehingga pengelompokan aksesi belum akurat. Vidal et al. (1999) menyatakan bahwa jumlah minimal pita RAPD untuk memperoleh estimasi kesamaan genetik yang akurat adalah sebanyak 200 pita dan bergantung kepada jumlah primer yang digunakan. Hasil yang sama dilaporkan oleh Pillay et al. (2001) yang tidak memperoleh pemisahan yang jelas antara profil RAPD pada kultivar pisang olahan. Alasan yang mungkin untuk ketidaksesuaian ini adalah bahwa primer yang digunakan tidak menempel pada daerah genom yang bertanggungjawab terhadap variasi morfologi serta masih sedikitnya jumlah primer yang digunakan.
3. Dari aksesi yang dianalisis melalui teknik RAPD disimpulkan bahwa 8 aksesi tersebut terdiri dari 4 genotip yang berbeda yaitu (1) BLT-03, BKL-01, dan BKL-06, (2) BLT-08, BLT-12, dan BKL-09, (3) BLT-10, dan (4). BKL-07.
KESIMPULAN
PUSTAKA
1. Aksesi manggis di Provinsi Bengkulu dan Bangka-Belitung menunjukkan variasi morfologi, yaitu bentuk kanopi tanaman dan bentuk buah. Bentuk kanopi tanaman sama dengan yang dijumpai di daerah lain yaitu piramid, elips, dan semisirkuler. Bentuk buah terdiri atas bulat, agak gepeng, dan seperti jantung serta ditambah dengan bentuk tidak beraturan yang belum pernah dijumpai sebelumnya. 2. Berdasarkan data analisis RAPD menggunakan 2 primer dari 8 aksesi diketahui bahwa manggis dari Provinsi Bengkulu dan Bangka-Belitung mempunyai koefisien kesamaan genetik antara 0,78 -1,0 dan terbagi ke dalam 2 kelompok. Kelompok pertama terdiri dari 6 aksesi yang terpisah ke dalam 2 genotip yang berbeda dengan tingkat kesamaan genetik sekitar 0,90. Kelompok kedua terdiri dari 2 aksesi dengan tingkat kemiripan sebesar 0,87.
4. Jika dilihat dari nama lokal yang diberikan di Provinsi Bangka-Belitung terlihat bahwa manggis Kutu (BLT-03) berbeda secara genetik dengan manggis Kuning (BLT-08 dan BLT-12). Perbedaan morfologi antara ketiga aksesi tersebut adalah berdasarkan ukuran dan warna buah.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh RUSNAS tahun 2003/2004 yang dikelola oleh Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika (PKBT), Lembaga Penelitian-Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih disampaikan kepada Prof. Dr. Roedhy Poerwanto M.Sc. beserta segenap staf PKBT atas segala bantuan dan kerjasama yang baik dalam pelaksanaan penelitian ini.
1.
Asker, S.E., and L. Jerling. 1992. Apomixis in Plants. CRC Press. London. 297 pp.
2.
Doyle, J.J. and J.L. Doyle. 1987. Isolation of Plant DNA from Fresh Tissues. Focus 12:13-15
3.
Gupta, P.K., H.S. Balyan, P.C. Sharma, and B. Ramesh. 1996. Microsatellites in Plants : A New Class of Molecular Markers. Current Science 70(1):45-54.
4.
Harisno (Ed). 2004. Statistik Pertanian. Pusat Data dan Informasi Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta. 280 hlm.
5.
Mansyah, E., A. Baihaki, Ridwan Setiamihardja, Juliati S. Darsa, dan Sobir. (2003a). Analisis Variabilitas Genetik Manggis (Garcinia mangostana L.) di Jawa dan Sumatera Barat Menggunakan Teknik RAPD. Zuriat. 14(1):35-44
6.
__________________________________________ ___________, dan R. Poerwanto. 2003b. Variabilitas Fenotipik Manggis pada Beberapa Sentra Produksi di Pulau Jawa. J. Hort. 13(3):147-156.
7.
___________, M. Jawal Anwarudin Syah, Firdaus Usman, Titin Purnama. 2004. Variabilitas Genetik Antara Tanaman Induk Manggis (Garcinia mangostana L.) dan Keturunannya. J. Hort. 14(4):229-237.
125
J. Hort. Vol. 17 No. 2, 2007 8.
Mohammadi, S.A. and B.M. Prasanna. 2003. Analysis of Genetic Diversity in Crop Plants-Silent Statistical Tools and Considertion. Crop. Sci. 43(1):235-248.
12. Richards, A.J. 1990. Studies in Garcinia, dioecious tropical fruit trees : Agamospermy. Botanical Journal of the Linnean Society. 103:233-250.
8.
Pillay, M., E. Ogundiwin, D.C. Nwakanma. G. Ude, and A. Tenkouano. 2001. Analysis of Genetic Diversity and Relationships in East African Banana Germplasm. Theor Appl Genet 102:965-970.
13. Sambrook, J., E.F. Fritsh and T. Maniatis. 1989. Molecular cloning. Cold Spring Harbor Laboratory Press. New York. p.568-600.
9.
Powell, W., M. Morgante, C. Andre, M. Hanafey, J. Vogel, S. Tingey, and A. Rafalski. 1996. The Comparison of RFLP, RAPD, AFLP, and SSR (Microsatellite) Markers for Germplasm Analysis. Molecular Breeding 2:225–238.
10. Pratt, Charlotte. 1983. Somatic Selection. In J.N. Moore and J. Janick (Ed). Fruit Breeding. Purdue University Press. West Lafayette Indiana. p.172-185. 11. Ramage, C.M., Sando L., Peace C.P., Caroll B.J., and Drew R.A. (2004). Genetic Diversity Revealed in the Apomictic Fruit Species Garcinia mangostana L. (mangosteen). Euphytica. 136(1):1-10.
126
14. van Dijk, P., and Jos van Damme. 2000. Apomixis Technology and the Paradox of Sex. Trends in Plant Sci. 5(2):81–84. 15. Vidal, J.R., M. Coarer, and A. Defontaine. 1999. Genetic Relationships Among Grapevine Varieties Grown in Different French and Spanish Region Based on RAPD Markers. Euphytica 109:161-172. 16. Williams, J.G.K., A.R. Kubelik., K.J. Livak , J.A. Rafalski and S.V. Tingey. 1990. DNA Polymorphysms Amplified by Arbitrari Primers are Useful as Genetic Markers. Nucleic Acid Research 18(22):6531-6535.
Volume 3, Nomor 3, Tahun 2014, Halaman 52-57
DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares JENIS DAN KELIMPAHAN IKAN PADA KARANG BRANCHING DI PERAIRAN PULAU LENGKUAS KABUPATEN BELITUNG Type and Abundance of Fish on Branching Coral in Lengkuas Island Waters District of Belitung Aga Yuspriadipura, Djoko Suprapto*), Suryanti Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah – 50275, Telp/Fax. +6224 7474698 Email :
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan kelimpahan ikan yang terdapat di Karang Branching, Pulau Lengkuas Kabupaten Belitung. serta mengetahui Indeks Keanekaragaman dan Keseragaman ikan yang terdapat di Karang Branching, Pulau Lengkuas Kabupaten Belitung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2013 di Pulau Lengkuas Kabupaten Belitung. Berdasarkan hasil penelitian terdapat 17 jenis ikan karang yaitu Siganus gulatus (baronang), Epibulus msidlator (tikus-tikus), Scarus rivulatus (kakak tua), Hemigymnus melapterus (nori merah), Halichoeres hortulanus (piso-piso), Caesio cuning (platak), Cheilimus fasciatus (betok biru), Pomacentrus coelestis (ekor kuning), Heniochus varuis (kepe-kepe monyong), Scarus iwulatus (keling tanduk), Celiscus strigatus (betok sri gunting), Scolopsis margarefiter (kepe-kepe susu), Chelmon rostrastus (keling perak), Hovaculichthys taeniorys (tanda-tanda), Lutjanus fulvilamma (nori monyong), Chaetodon kleini (kakak tua merah), Paraglyphidodon nogoris (kepe-kepe tanduk). Nilai indeks keanekaragaman (H’) Ikan Karang di lokasi sebesar 2,553, dan nilai indeks keseragaman (e) 0,901, hal tersebut menunjukkan bahwa di perairan tersebut ada dominasi salah satu spesies yaitu Pomacentrus coelestis. Kata Kunci: Ikan; Karang Branching; Pulau Lengkuas ABSTRACT This research aims to find out the type and abundance of fish in Branching Coral, Lengkuas Island in Belitung Regency. The method that was used in this research was a survey method. Was carried out in June until August 2013 at the Lengkuas Island of Belitung Regency. Based on the research results there were 17 types of coral fish namely Siganus gulatus (Rabbitfish), Epibulus msidlator (rats), Scarus rivulatus (parrot), Hemigymnus melapterus (red nori), Halichoeres hortulanus (piso-piso), Caesio cuning (platak), Cheilimus fasciatus (blue anabas), Pomacentrus coelestis (yellow tail), Heniochus varuis (monyong butterflyfish), Scarusi wulatus (rivet horns), Celiscus strigatus (sri gunting anabas), Scolopsis margarefiter (butterfly milk) Chelmon rostrastus (Silver-rivet), Hovaculichthys taeniorys (signs), Lutjanus fulvilamma (nori monyong), Chaetodon kleini (red parrot), Paraglyphidodon nogoris (Horn butterflyfish). Value of diversity index (H’) coral fish in the research location of 2,553, and uniformity index value (e) 0,901, it showed that in the water, there was a one predominance species of Pomacentrus coelestis. Keywords: Fish; Branching Coral; Lengkuas Island *) Penulis Penanggungjawab 1.
PENDAHULUAN Pulau Belitung merupakan bagian dari wilayah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung yang juga merupakan wilayah kepulauan yang memiliki luas wilayah daratan 4.800 km2, luas laut 29.606 km2, luas wilayah pesisir 1.900 km2, panjang garis pantai 195 km dan jumlah pulau kecil sebanyak 189 buah. Kabupaten Belitung merupakan wilayah kepulauan yang secara geografis dikelilingi oleh laut dan selat dengan kondisi daerah pesisir berupa hamparan pasir putih, bebatuan granit dengan mozaik nan indah dan deburan air laut yang jernih dengan terumbu karang dan pulau-pulau kecil (BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan, 2005). Ikan karang membutuhkan habitat hidup untuk bersarang dan mencari makan. Umumnya ikan karang memiliki mobilitas yang rendah, karenanya sarang sebagai tempat bertahan hidup dan berlindung sangat penting untuk keberlanjutan fungsinya didalam area otoritas yang telah dipertahankannya. Semua kebutuhan akan karang telah disediakan oleh terumbu karang sebagai ekosistem yang secara co-evolution telah berkembang bersama-
DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES
Volume 3, Nomor 3, Tahun 2014, Halaman 52-57
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares sama dengan ikan karang. Asosiasi ikan karang dan terumbu karang sangat erat, sehingga eksistensi ikan karang disuatu wilayah terumbu karang sangat rapuh ketika terjadi pengrusakan habitatnya (Hartati dan Edrus, 2005). Di perairan laut Kabupaten Belitung ditemukan 76 jenis ikan hias yang mewakili 18 genera. Dalam BAPPEDA Kabupaten Belitung (2005) memuat bahwa terdapat potensi terumbu karang Pulau Lengkuas yang terletak di Desa Tanjung Binga Kecamatan Sijuk. Pemanfaatan ekosistem terumbu karang yang terdapat di pulau tersebut disebabkan belum tersedianya data mengenai potensi terumbu karang dan ikan karang serta kondisi perairan, dikarenakan saat ini lokasi tersebut hanya sebatas tempat untuk mencari ikan bagi nelayan setempat dan tempat pariwisata. Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu adanya suatu penelitian untuk mengungkap potensi bahari di Pulau Lengkuas tersebut khususnya yang terdapat di ekosistem terumbu karang, sehingga bisa diketahui kondisi ekosistem terumbu karang yang meliputi penutupan karang hidup, jenis karang, jenis dan kelimpahan ikan karang yang terdapat di pulau tersebut. Dengan adanya data tentang jenis dan kelimpahan ikan karang yang terdapat di pulau tersebut, maka diharapkan akan dapat memberikan informasi dan masukan sebagai pertimbangan untuk membuat perencanaan pengembangan dan pengelolaan kawasan tersebut. Menurut Supriharyono (2000), daerah pantai yang mempunyai ekosistem terumbu karang, hewan-hewan laut yang beraneka ragam dan pantai pasir putih secara alamiah akan memberikan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Namun pengembangan pariwisata bahari di suatu tempat apabila aktivitas wisatawannya tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan masalah bagi daerah tersebut, seperti turunnya keanekaragaman hayati. Pemanfaatan suatu daerah konservasi untuk tujuan wisata yang dikelola oleh agen-agen pariwisata biasanya terlalu mementingkan keuntungan dari pada harapan konservasi, yaitu pelestarian sumberdaya alam. Jumlah kunjungan wisata dibatasi, tidak perlu banyak akan tetapi kualitas wisatawan yang berkunjung diharapkan tinggi baik dari segi keuangan maupun kepedulian terhadap lingkungan. Dengan kata lain konsep kunjungan wisata tersebut lebih diarahkan ke ekowisata laut daripada wisata massa. Walaupun konsep tersebut cenderung deskriminatif, hanya untuk orang kaya dan pendidikan tinggi saja yang menikmati kawasan konservasi, sedangkan masyarakat biasa cukup di lokasi wisata di luar kawasan konservasi, tetapi pelestarian alam diharapkan menjadi lebih terjaga. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis, kelimpahan ikan, indeks keanekaragaman dan keseragaman ikan yang terdapat di karang branching, Pulau Lengkuas Kabupaten Belitung. 2. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Materi Penelitian Materi penelitian yang digunakan adalah ikan yang ditemukan di daerah karang branching Perairan Pulau Lengkuas Kabupaten Belitung. Data parameter lingkungan yang diamati meliputi kecerahan, suhu, salinitas, kedalaman dan pH. B. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah metode survei yang bersifat deskriptif. menurut Notoatmodjo (2002), metode survei penelitian tidak dilakukan terhadap seluruh objek yang dikaji tetapi hanya mengambil sebagian dari populasi (sampel), sedangkan deskriptif merupakan penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk membuat gambaran atau deskripsi suatu keadaan objektif. Tahap Persiapan Tahap persiapan meliputi survei lokasi sampling dengan melihat penyebaran dan kondisi ikan pada karang branching dengan cara diving atau bersnorkling. Lokasi yang digunakan adalah di perairan Pulau Lengkuas yaitu pada sisi utara daerah Tanjung Kelayang Kabupaten Belitung. Teknik Pengambilan Sampel 1. Pemasangan line transek dengan panjang tali transek yang digunakan adalah 10 meter pada kedalaman 5 meter. 2. Pencatatan data ikan dilakukan secara Visual Sensus, dengan cara diving disepanjang garis transek sepanjang 10 meter, dengan jarak pandang sejauh 2,5 meter ke kanan dan 2,5 meter ke kiri. 3. Pengamatan dilakukan dengan cara mencatat jenis ikan sampai tingkat genus, dan mencatat jumlah ikan. Penentuan genus berdasarkan bentuk tubuh dan warna ikan, dengan cara pengamatan secara langsung, kemudian dicocokkan dengan gambar ikan karang dan foto dokumentasi. 4. Pengukuran parameter kualitas air meliputi suhu, salinitas, kecerahan, kedalaman dan pH. 5. Untuk lebih jelasnya bisa lihat gambar dibawah ini
53
Volume 3, Nomor 3, Tahun 2014, Halaman 52-57
DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares
Gambar 1. Ilustrasi Pengambilan Data Ikan Karang Secara Visual Sensus Analisa Data Tabulasi data hasil penghitungan di tulis dalam bentuk tabel, kemudian hitung : 1. Kelimpahan Relatif Menurut Odum (1971), untuk menghitung kelimpahan relatif, maka menggunakan rumus sebagai berikut : 𝑛𝑛𝑖𝑖 KR = x 100% 𝑁𝑁 Keterangan : KR : Kelimpahan Relatif ni : jumlah individu spesies ke-i N : Jumlah total individu spesies 2. Indeks Keanekaragaman Perhitungan Indeks Keanekaragaman dilakukan dengan menggunakan formulasi Shannon-Wiener ( Pieolu 1966 dalam Odum 1971), yaitu : 𝑛𝑛𝑖𝑖 Pi = ′
𝐻𝐻 ൌ
𝑁𝑁
−𝑃𝑃𝑖𝑖𝑃𝑃𝑖𝑖
Keterangan : H’ : Indeks Keanekaragaman Pi : Perbandingan individu jenis ke-i dengan individu total ni : Jumlah individu spesies ke-i N : Jumlah total individu spesies 3. Indeks Keseragaman Indeks Keseragaman dapat dihitung dengan menggunakan rumus indeks Evennes (Odum, 1971), yaitu : 𝐻𝐻′ 𝐻𝐻 𝑚𝑚𝑎𝑎𝑥𝑥 ൌ E= 𝐻𝐻𝑚𝑚𝑎𝑎𝑥𝑥 Keterangan : e : Indeks Keseragaman H’ : Indeks Keanekaragaman S : Jumlah total spesies 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kabupaten Belitung terletak antara 107°08 BT sampai 107°58 BT dan 02°30 LS sampai 03°15 LS dengan luas seluruhnya 229.369 ha atau ±2.293,69 km2. Pada peta dunia Pulau Belitung dikenal dengan nama BILLITON yang bergaris tengah dari timur kebarat ±79 km dan garis tengah dari Utara ke Selatan ±77 km. Dengan batas wilayah sebagai berikut : − Sebelah utara berbatasan dengan laut Cina Selatan − Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Belitung Timur − Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Belitung Timur − Sebelah barat berbatasan dengan Selat Gaspar Kabupaten Belitung merupakan bagian dari wilayah provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang juga merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 98 buah pulau besar dan kecil. Lokasi penelitian dilakukan di daerah terumbu karang Tanjung Kelayang yang terletak di Kecamatan Sijuk sekitar 27 km dari Tanjungpandan ibukota Kabupaten Belitung. Tanjung Kelayang memiliki pesisir sepanjang ±1,5 km dengan lebar pantai ±7 m pada saat pasang tertinggi dan ±10 m pada saat pasang terendah. Pantai Tanjung Kelayang meliputi area seluas 60 ha. Penelitian dilakukan disebelah utara daerah Tanjung Kelayang yaitu di sekitar pulau Lengkuas, yang terletak pada titik koordinat 2 032’16” LS - 107037’13”.
54
DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES
Volume 3, Nomor 3, Tahun 2014, Halaman 52-57
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares A. Kelimpahan Ikan Karang Adapun data Kelimpahan Ikan Karang yang didapatkan selama pengamatan di Pulau Lengkuas tersaji pada tabel 1. Tabel 1. Jenis dan Kelimpahan Ikan Karang di Pulau Lengkuas. Jenis ikan Line 1 Line 2 Line 3 ni Siganus gulatus (baronang) 8 3 4 15 Epibulus msidlator (tikus-tikus) 3 2 5 Scarus rivulatus (kakak tua) 2 2 4 8 Hemigymnus melapterus (nori merah) 1 2 3 Halichoeres hortulanus (piso-piso) 3 2 1 6 Caesio cuning (platak) 4 3 7 Cheilimus fasciatus (betok biru) 2 3 5 Pomacentrus coelestis (ekor kuning) 17 8 5 30 Heniochus varuis (kepe-kepe monyong) 2 1 3 Scarus iwulatus (keling tanduk) 3 1 4 Celiscus strigatus (betok sri gunting) 2 2 Scolopsis margarefiter (kepe-kepe susu) 3 1 2 6 Chelmon rostrastus (keling perak) 2 3 5 Hovaculichthys taeniorys (tanda-tanda) 1 4 2 7 Lutjanus fulvilamma (nori monyong) 4 4 Chaetodon kleini (kakak tua merah) 2 1 3 Paraglyphidodon nogoris (kepe-kepe tanduk) 2 2 3 7 Jumlah 52 31 37 120 Menurut Nybakken (1992), ikan karang merupakan organisme yang jumlahnya banyak dan juga merupakan organisme besar yang dapat ditemui pada ekosistem terumbu karang. Kecenderungan dari ikan-ikan karang adalah tidak berpindah-pindah, selalu berada pada daerah tertentu dan sangat terlokalisasi walaupun masih banyak luasan terumbu lainnya. Dari hasil pengamatan ikan karang yang didapatkan pada daerah karang branching yaitu terdapat 17 jenis spesies ikan karang, pada line 1 terdapat 52 jumlah individu ikan, pada line 2 terdapat 31 jumlah individu ikan, dan pada line 3 terdapat 37 jumlah individu ikan, total jumlah keseluruhan individu ikan yaitu 120 individu ikan. Jenis-jenis ikan karang tersebut didapatkan pada kedalaman 5 meter. Pada pengamatan kali ini metode yang digunakan yaitu metode line transek untuk menghitung kelimpahan ikan karang tersebut. Ikan karang dari famili Labridae memiliki genera paling banyak ditemui pada lokasi pengamatan, hal ini senada dengan Choat dan Bellwood (1991) yang mengatakan ikan karang dari famili Labridae merupakan genera ikan karang yang besar meliputi 50 genera, dan terdapat lebih dari 500 jenis ikan karang yang masuk dalam famili ini. Kemudian famili yang mendominasi lainnya pada pengamatan kali ini adalah Pomacentridae. Jenis ikan dari famili Pomacentridae merupakan ikan yang paling banyak ditemui diperairan terumbu karang. Terdapat lebih dari 300 jenis ikan karang yang termasuk dalam famili ini. Dari sekian banyak jenis ikan dalam famili Pomacentridae beberapa jenis merupakan herbivora yang memiliki wilayah kekuasaan, diantaranya dari genera Dischitodus (Choat and Bellwood, 1991). B. Keanekaragaman dan Keseragaman Adapun dari hasil keanekaragaman dan keseragaman tersaji pada tabel 2. Data indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (e) di kawasan Pulau Lengkuas. Tabel 2.Hasil dari data indeks Keanekaragaman (H’) dan indeks Keseragaman (e). Indeks Nilai H’ 2,553 E 0,901 Hasil pengamatan dan perhitungan yang dilakukan, didapatkan nilai indeks keanekaragaman (H’) yaitu memiliki nilai 2,553 yang berarti bahwa keanekaragaman Ikan Karang yang berada di sekitar Pulau Lengkuas Tinggi. Hal ini didasarkan pada jumlah spesies yang ditemukan sebanyak 17 spesies pada kedalaman 5 meter. Indeks keseragaman merupakan gambaran secara sitematika tentang jumlah dan organisme yang menghuni suatu komunitas atau habitat tertentu. Nilai keseragaman dipengaruhi oleh kelimpahan setiap spesies. Semakin kecil indeks keseragaman suatu komunitas maka ada dominasi oleh salah satu spesies tertentu (Nybakken, 1992). Hasil pengamatan dan perhitungan yang dilakukan, didapatkan nilai indeks keseragaman (e) yaitu memiliki nilai 0,901 yang berarti bahwa jenis Ikan Karang yang terdapat di Pulau Lengkuas rendah, dan nilai (e) 0,901 menunjukkan bahwa di perairan tersebut ada dominasi salah satu spesies yaitu Pomacentrus coelestis sehingga dapat disimpulkan bahwa Pomacentrus coelestis lebih mendominasi perairan sekitar Pulau Lengkuas.
55
DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES
Volume 3, Nomor 3, Tahun 2014, Halaman 52-57
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares C. Kondisi Perairan Kondisi Pulau Lengkuas merupakan perairan dengan dasar berupa pasir dan Terumbu karang yang kebanyakan merupakan karang hidup. Kondisi perairan di Pulau Lengkuas pada line 1, 2 dan 3 dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Kondisi perairan disekitar kawasan Pulau Lengkuas. Parameter Kualitas Air Nilai Suhu Air 25 oC Salinitas 32 o/oo Kecerahan ≈ (sampai dasar) Kedalaman 5m Dasar perairan Pasir, Terumbu Karang Suhu air pada saat melakukan pengamatan adalah sebesar 25oC. Ditinjau dari kisaran suhu tersebut dapat diketahui bahwa suhu air memenuhi persyaratan bagi kelangsungan hidup Ikan Karang. Hal ini sesuai dengan referensi Hutabarat dan Evans (1985) yaitu suhu di laut adalah salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut. Salinitas pada saat melakukan pengamatan adalah 32 o/oo yang merupakan nilai salinitas yang sesuai bagi kehidupan Ikan Karang. Salinitas mempunyai peran penting dan memiliki ikatan erat dengan kehidupan organisme perairan termasuk ikan, dimana secara fisiologis salinitas berkaitan erat dengan penyesuaian tekanan osmotik ikan tersebut. Setelah saya melihat beberapa penelitian yang sudah ada, kisaran salinitas yang baik untuk kelangsungan hidup ikan karang yaitu berkisar 30 – 36 ‰ (Rizka, 2006). Kecerahan pada saat melakukan pengamatan yaitu tak terhingga dikarenakan substrat dasar masih terlihat. Sinar matahari dapat menembus hingga ke dasar perairan. Air sangat kuat menyerap cahaya. Akibatnya, cahaya yang masuk ke air hanya dapat menembus sampai kedalaman tertentu, sebelum cahaya terserap secara sempurna, dengan demikian sebagian besar volume air di lautan dalam keadaan tanpa cahaya. Penyerapan cahaya oleh air sangat berbeda-beda terutama bergantung pada panjang gelombang. Akibatnya, panjang gelombang tertentu menembus lebih dalam daripada yang lain (Nybakken, 1992). Ikan Karang ditemui di daerah yang kedalamannya berkisar 5-10 m atau bahkan lebih dan merupakan penghuni sejati laut dengan batas toleransi salinitas antara 30 - 35 ‰. Pengukuran kedalaman dilakukan pada titik lokasi pengamatan yaitu pada kedalaman 5 meter. Kedalaman sangat berkaitan dengan suhu, kecerahan dan topografi dasar perairan. Kedalaman dapat diukur dengan memasukkan tongkat berskala secara vertikal dalam air atau dengan menggunakan tali berskala yang diberi pemberat. Kedalaman berkaitan erat dengan banyaknya air yang masuk ke dalam perairan tersebut (Nontji, 1993). Substrat batu menyediakan tempat bagi spesies yang melekat sepanjang hidupnya, juga digunakan oleh hewan yang bergerak sebagai tempat perlindungan terhadap predator. Substrat dasar yang halus seperti pasir, maupun pecahan karang menjadi tempat makanan dan perlindungan bagi hewan dasar (Lalli dan Parsons, 1993). Dasar perairan pada saat melakukan pengamatan yaitu berupa pasir dan terumbu karang. Sedangkan ikan karang yang ditemukan berada pada daerah sela-sela karang dan sebagian berenang disekitar karang-karang tersebut. Hubungan antara ikan karang dan substrat dasar pada umumnya ikan karang lebih menyukai substrat berpasir maupun pecahan-pecahan karang karena substrat tersebut adalah salah satu tempat bagi ikan karang untuk bertahan hidup. 4.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh pada Karang Branching di perairan Pulau Lengkuas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Jenis Ikan Karang yang ditemukan yaitu Siganus gulatus (baronang), Epibulus msidlator (tikus-tikus), Scarus rivulatus (kakak tua), Hemigymnus melapterus (nori merah), Halichoeres hortulanus (piso-piso), Caesio cuning (platak), Cheilimus fasciatus (betok biru), Pomacentrus coelestis (ekor kuning), Heniochus varuis (kepe-kepe monyong), Scarus iwulatus (keling tanduk), Celiscus strigatus (betok sri gunting), Scolopsis margarefiter (kepe-kepe susu), Chelmon rostrastus (keling perak), Hovaculichthys taeniorys (tanda-tanda), Lutjanus fulvilamma (nori monyong), Chaetodon kleini (kakak tua merah), Paraglyphidodon nogoris (kepekepe tanduk). 2. Dari nilai indeks keanekaragaman (H’) yang didapatkan, menunjukan bahwa keanaekaragaman Ikan Karang tergolong tinggi dengan nilai yang didapat sebesar 2,553, dan nilai indeks keseragaman (e) 0,901, menunjukkan bahwa di perairan tersebut ada dominasi salah satu spesies yaitu Pomacentrus coelestis sehingga dapat disimpulkan bahwa Pomacentrus coelestis lebih mendominasi perairan sekitar Pulau Lengkuas.
56
DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES
Volume 3, Nomor 3, Tahun 2014, Halaman 52-57
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih ditujukan kepada Ir. Ruswahyuni, MSc, Dra. Niniek Widyorini, MS, Ir. Anhar Solichin, MSc, dan Dr. Ir. Pujiono Wahyu P., MS, selaku penguji dan panitia ujian akhir program yang telah memberikan masukan dalam perbaikan jurnal ini. Kepada Ir. H.A. Toni Batubara, SE, MT, selaku Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung yang telah membantu memberikan fasilitas selama penulis melakukan penelitian. DAFTAR PUSTAKA BAPPEDA Kabupaten Belitung a.2005, Master Plan Etalase Perikanan dan Kelautan di Kabupaten Belitung. Tanjungpandan: BAPPEDA Kabupaten Belitung. BAPPEDA Kabupaten Belitung b.2005, Propinsi Kepulauan Bangka-Belitung dan P2O-LIPPI Tanjungpandan. Laporan Akhir : Studi Potensi Sumberdaya Ikan dan Lingkungan Kelautan Kabupaten Belitung. BAPPEDA Kabupaten Belitung. Choat, J.H. and D.R. Bellwood. 1991. Reef Fishes, Their History and Evolution. In Sale P. F (Ed), The Ecology Of Fish On Coral Reef. Academic Press. San Diego, California Hartati, S. T. and Edrus, I. N., 2005. ‘’Komunitas Ikan Karang di Perairan Pantai Pulau Rakiti dan Pulau Taikabo, Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat’’ Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi Sumber Daya dan penangkapan. Volume 11. Nomor 2. Hutabarat, S. dan Evans, M. S. 1985. Pengantar Oseanografi. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Lalli, C.M. and T.R. Parsons. 1993. Bioligical Oceanographi : An Introduction. New York: Perganon Press. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Notoadmodjo, S. 2002. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. (Diterjemahkan oleh: M. Eidman, D.G. Bengen, Malikusworo, dan Sukristiono) Odum, E.P. 1971. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh: T. Samingan dan B. Srigandono. Fundamental of ecology. Gadjah Mada University Press. Rizka, L.S. 2006. Struktur Komunitas Ikan Karang pada Daerah Terumbu Karang Alami dan Transplantasi di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Universitas Diponegoro. Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta.
57
J U R N A L
KAJIAN IDENTIFIKASI POTENSI DAN PERMASALAHAN SUMBERDAYA AIR (Studi Kasus : Kabupaten Belitung)
1
Oleh : Asep Hariyanto, 2 K. Herry Iskandar
1
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Islam Bandung Jl. Tamansari No. 1 Bandung, 40116 2 Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Islam Bandung Jl. Tamansari No. 1 Bandung, 40116 ABSTRACT This study aims to provide an overview of potential and problems of water resources contained in Belitung District, as well as inputs for the Government Belitung Regency in order management and utilization of water resources. The method used is the primary method of survey and secondary survey methods. Primary survey methods include: surveys of ground water, spring surveys, and surveys of surface water. While the method of secondary survey conducted through secondary data collection and is a confirmation of the results of previous studies or Based on the information from the agencies related to water resource management. The method of analysis used in this study is "Mock method". Mock The method is a method for estimating the presence of water based on the concept of water balance. Overall discharge calculations with Method Mock refers to water balance, where the volume of total water on earth is fixed, only the circulation, and distribution varied. Based on the results of the analysis has been done, can know the potential water resources are owned Belitung Regency include: watershed and river discharge that has a large enough reliable; under-mined under the savings used as raw water sources as ponds that use river water reservoir and water rain; and groundwater. In addition to the potential, there are some problems related to water resources management in Belitung District include: water pollution; flooding problems; dryness; as well as deterioration of water quality problems. Key words: identification, potential and problems, water resources
1.
Pendahuluan
Berdasarkan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, yang dimaksud dengan Sumberdaya Air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung didalamnya, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang. Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumberdaya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial,
lingkungan hidup, dan ekonomi secara selaras. Pendayagunaan Sumberdaya Air adalah upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumberdaya air secara optimal agar berhasil guna dan berdaya guna. Kesulitan pemanfaatan sumberdaya air dan layanan air bersih sudah sangat terasa terutama di pusat – pusat pertumbuhan kota yang terus mengalami pertumbuhan penduduk mengikuti laju deret ukur. Salah satu faktor belum efektifnya pengelolaan sumberdaya air di Kabupaten Belitung adalah belum dimilikinya informasi tentang
31
J U R N A L sumberdaya air di daerah, kalaupun ada, data masih kurang lengkap dan belum terintegrasi dengan baik, selain itu informasi –informasi tersebut masih tersebar di berbagai institusi. Selain itu, perusakan sumberdaya alam khususnya lahan dan air tidak dapat dihindari. Air sungai yang semula dapat digunakan untuk keperluan sehari – hari oleh penduduk, sekarang telah mengalami pelumpuran (sedimentasi debris) yang parah, terkontaminasi oleh limbah industri, limbah perumahan, limbah tambang, dan limbah pertanian sehingga penurunan kualitas air tidak terhindarkan. Secara umum laju pembangunan yang selalu meningkat, mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam dan lingkungan sebagai konsekuensi yang sangat kompleks. Khususnya sumberdaya air yang merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat vital bagi kelangsungan hidup dan kehidupan di berbagai sektor, dan perlu mendapat perhatian sebelum kondisinya semakin parah. Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti merasa tertarik untuk melakukan kegiatan penelitian mengenai potensi dan permasalahan sumberdaya air di Kabupaten Belitung, sebagai langkah awal untuk mengetahui potensi dan permasalahan sumberdaya air yang dapat digunakan sebagai masukan bagi pengembangan sumberdaya air lebih lanjut. Berdasarkan uraian diatas, permasalahan yang ingin diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana mengidentifikasi potensi dan permasalahan sumberdaya air di Kabupaten Belitung ? dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran potensi dan permasalahan sumberdaya air yang terdapat di Kabupaten Belitung, serta sebagai masukan bagi Pemerintah Kabupaten Belitung dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya.air. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey primer dan metode survey sekunder. Metode survey primer meliputi : survey air tanah yang dilakukan dengan cara mengamati/mengunjungi sumur penduduk atau badan yang memanfaatkan air tanah dangkal (sumur gali), survey mata air dilakukan melalui pengukuran debit mata air dengan metoda pengukuran kecepatan arus dalam saluran segi empat atau
pembuatan bendung ukur takik-V, survey air permukaan (air sungai / hidrometri) dilakukan dengan mengamati elevasi bekas banjir yang terdapat di batuan tepi danau/sungai maupun informasi dari penduduk setempat akan sangat membantu dalam mengecek hasil perhitungan banjir teoritas. Sedangkan metode survey sekunder dilakukan melalui pengumpulan data sekunder dan bersifat konfirmasi terhadap hasil studi terdahulu ataupun berdasakan informasi dari instansi yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya air, seperti Dinas PU, PDAM, dan lain – lain. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah “Metode Mock”. Metode Mock adalah suatu metode untuk memperkirakan keberadaan air berdasarkan konsep water balance. Keberadaan air yang dimaksud di sini adalah besarnya debit suatu daerah aliran sungai. Data yang digunakan untuk memperkirakan debit ini berupa data klimatologi dan karakteristik daerah aliran sungai. Metode Mock dikembangkan oleh Dr. F. J. Mock berdasarkan atas daur hidrologi. Metode Mock merupakan salah satu dari sekian banyak metode yang menjelaskan hubungan rainfall-runoff. Metode Mock dikembangkan untuk menghitung debit bulanan rata-rata. Data-data yang dibutuhkan dalam perhitungan debit dengan Metode Mock ini adalah data klimatologi, luas, dan penggunaan lahan dari catchment area. Pada prinsipnya, Metode Mock memperhitungkan volume air yang masuk, keluar, dan yang disimpan dalam tanah (soil storage). Volume air yang masuk adalah hujan. Air yang keluar adalah infiltrasi, perkolasi, dan yang dominan adalah akibat evapotranspirasi. Perhitungan evapotranspirasi menggunakan Metode Aritmatik. Sementara soil storage adalah volume air yang disimpan dalam pori-pori tanah, hingga kondisi tanah menjadi jenuh. Secara keseluruhan perhitungan debit dengan Metode Mock ini mengacu pada water balance, dimana volume air total yang ada di bumi adalah tetap, hanya sirkulasi, dan distribusinya yang bervariasi. 2.
Studi Literatur
Menurut Undang – Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, air adalah
32
J U R N A L semua air yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang dimanfaatkan di darat. Daya air menurut Undang – Undang No. 7 Tahun 2004 adalah potensi yang terkandung dalam air dan atau sumber air yang dapat memberikan manfaat ataupun kerugian bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta lingkungannya, sedangkan sumber air adalah tempat/wadah air baik yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah. Sumberdaya air adalah kemampuan dan kapasitas potensi air yang dapat dimanfaatkan oleh kegiatan manusia untuk kegiatan sosial ekonomi, dan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang. Sumberdaya air adalah sumberdaya berupa air yang berguna atau potensial bagi manusia. Dalam Garis – Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 – 2004 disebutkan bahwa sumberdaya air diarahkan sebesar – besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang yang pengusahaannya diatur dengan undangundang. Sumberdaya air merupakan salah satu sumberdaya terpenting bagi kehidupan manusia dalam melakukan berbagai kegiatan, termasuk kegiatan pembangunan. Meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan pembangunan mengakibatkan meningkatnya kebutuhan sumberdaya air. Dilain pihak, ketersediaan sumberdaya air semakin terbatas, bahkan dibeberapa tempat dapat dikatakan berada dalam kondisi kritis. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti pencemaran, penggundulan hutan, kegiatan pertanian yang mengabaikan kelestarian lingkungan, dan perubahan fungsi daerah tangkapan air. Terdapat berbagai jenis sumberdaya air yang umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat, seperti air hujan, air tanah, dan air permukaan. Dari jenis air tersebut, sejauh ini air permukaan merupakan sumber air
tawar yang terbesar digunakan oleh masyarakat. Untuk itu, air permukaan yang umumnya dijumpai di sungai, danau, dan waduk buatan akan menjadi perhatian utama dalam penelitian ini. Secara garis besar sumberdaya air terdiri atas 2 kelompok yakni : A. Air Permukaan Air permukaan adalah air yang berada di permukaan tanah dan dapat dengan mudah dilihat oleh mata kita, merupakan wadah air yang terdapat di permukaan bumi. Air permukaan dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu : Perairan Darat Perairan darat adalah air permukaan yang berada di atas daratan misalnya seperti danau, sungai, dan lain sebagainya Gambar 1
-
Skema Aliran Air Permukaan
Danau
Danau adalah cekungan besar di permukaan bumi yang dikelilingi oleh daratan dan digenangi oleh air tawar atau air asin. Definisi lain menyebutkan danau adalah sejumlah air (tawar atau asin) yang terakumulasi di suatu tempat yang cukup luas, yang dapat terjadi karena mencairnya gletser, aliran sungai, atau karena adanya mata air. Biasanya danau dapat dipakai sebagai sarana rekreasi, dan olahraga. Ada banyak sekali tipe danau, dan umumnya dikelompokkan menurut asal usulnya. Sejumlah besar danau di dunia terbentuk oleh gletser dan lembaran es.
33
J U R N A L Beberapa danau terbentuk oleh angin atau air hujan, sedang lainnya oleh gerakan bumi atau kegiatan vulkanik. Danau memiliki ukuran luas dan dalam yang berbeda, tergantung pada cara terbentuknya.Air danau dapat berasal dari berbagai sumber yakni: 1) Air sungai yang mengalir ke dalam basin dan sebagai inflow. 2) Air yang berasal dari hasil pencairan salju dan es. 3) Air hujan yang tertangkap langsung oleh basin danau. 4) Air dari aliran permukaan (over land flow) yang berasal dari air hujan jatuh. 5) Air yang berasal dari dalam tanah (air tanah) yang permukaannya lebih tinggi dari pada permukaan air danau sehingga air mengalir ke dalam danau. 6) Air yang berasal dari mata air atau spring. Sesuai dengan daur hidrologis, air hujan sebagian akan mengisi danau dan situ, baik secara langsung atau tidak langsung seperti melalui mata air dan aliran sungai. -
Sungai
Sungai adalah air hujan atau mata air yang mengalir secara alami melalui suatu lembah atau diantara dua tepian dengan batas jelas, menuju tempat lebih rendah (laut, danau atau sungai lain). Dengan kata lain sungai merupakan tempat terendah dipermukaan bumi yang terbentuk secara alamiah, berbentuk memanjang dan bercabang tempat mengalirnya air dalam jumlah besar. Sungai terdiri dari 3 bagian, yaitu bagian hulu, bagian tengah dan bagian hilir. 1) Bagian hulu sungai terletak di daerah yang relatif tinggi sehingga air dapat mengalir turun. 2) Bagian tengah sungai terletak pada daerah yang lebih landai. 3) Bagian hilir sungai terletak di daerah landai dan sudah mendekati muara sungai. Jenis-jenis sungai dibagi menjadi 5, yaitu : 1) Sungai hujan adalah sungai yang berasal dari hujan. 2) Sungai gletser adalah sungai yang airnya berasal dari gletser atau bongkahan es yang mencair.
3) 4) 5) -
Sungai campuran adalah sungai yang airnya berasal dari hujan dan salju yang mencair. Sungai permanen adalah sungai yang airnya relatif tetap. Sungai periodik adalah sungai dengan volume air tidak tetap. Cekungan Air
Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung. Sebagian air hujan juga akan masuk ke cekungan air tanah. B. Perairan Laut Perairan laut adalah air permukaan yang berada di lautan luas. Contohnya seperti air laut yang berada di laut -
Air Tanah
Air tanah adalah air yang terdapat di dalam tanah dan atau berada di bawah permukaan tanah. Air tanah berasal dari salju, hujan atau bentuk curahan lain yang meresap ke dalam tanah dan tertampung pada lapisan kedap air. Air tanah terbagi lagi menjadi dua yakni :
Air Tanah Preatis Air tanah preatis atau air tanah dangkal adalah air tanah yang letaknya tidak jauh dari permukaan tanah serta berada di atas lapisan kedap air/impermeable. Air Preatis sangat dipengaruhi oleh resapan air di sekelilingnya. Pada musim kemarau jumlah air preatis berkurang. Sebaliknya pada musim hujan jumlah air preatis akan bertambah. Air preatis dapat diambil melalui sumur atau mata air.
Air Tanah Artesis Air tanah artesis atau air tanah dalam letaknya sangat jauh di dalam tanah serta berada di antara dua lapisan kedap air. Lapisan diantara dua lapisan kedap air tersebut disebut lapisan akuifer. Lapisan tersebut banyak menampung air. Jika lapisan kedap air retak, secara alami air akan keluar ke permukaan. Air
34
J U R N A L yang memancar ke permukaan disebut mata air artesis. Air artesis dapat diperoleh melalui pengeboran. Sumur pengeborannya disebut sumur artesis. Gambar 2 Skema Air Tanah (Dalam – Dangkal)
mempunyai harga koefisien refleksi sebesar 40%. Mock telah mengklasifikasikan tiap permukaan bumi dengan nilai koefisien refleksinya masing-masing. Koefisien refleksi untuk masing-masing permukaan bumi seperti terlihat dalam Tabel 2. Tabel 2 Koefisien Refleksi, r No
Permukaan
1
Rata-rata permukaan bumi Air salju yang jatuh diakhir musim – masih segar Spesies tumbuhan padang pasir dengan daun berbulu Rumput, tinggi dan kering Permukaan padang pasir Tumbuhan hijau yang membayangi seluruh tanah Tumbuhan muda yang membayangi sebagian tanah Hutan musiman Hutan yang menghasilkan buah Tanah gundul kering Tanah gundul lembab Tanah gundul basah Pasir, basah – kering Air bersih, elevasi matahari 450 Air bersih, elevasi matahari 200
2 3 4 5
3.
6
Hasil Penelitian
7
A. Parameter Mock Secara umum, parameter-parameter yang akan dijelaskan ini mempengaruhi besarnya evapotranspirasi, Infiltrasi, groundwater storage dan storm run off. Exposed surface (m), yaitu asumsi proporsi permukaan luar yang tidak tertutupi tumbuhan hijau pada musim kering dan dinyatakan dalam persen. Besarnya harga m ini, tergantung daerah yang diamati. Mock mengklasifikasikan menjadi tiga bagian daerah, yaitu hutan primer atau sekunder, daerah tererosi dan daerah ladang pertanian. Besarnya harga exposed surface ini berkisar antara 0% sampai 50% dan sama untuk tiap bulan. Harga m untuk ketiga klasifikasi daerah ini dapat dilihat dalam Tabel 1 berikut Tabel 1 Exposed Surface, m No 1 2 3
m 0% 10 – 40 % 30 – 50 %
Daerah Hutan primer, sekunder Daerah tererosi Daerah ladang pertanian
Sumber: ...................
Koefisien refleksi (r), yaitu perbandingan antara jumlah radiasi matahari yang dipantulkan oleh suatu permukaan dengan jumlah radiasi yang terjadi, yang dinyatakan dalam persen. Koefisien refleksi ini berbeda-beda untuk tiap permukaan bumi. Menurut Mock, rata-rata permukaan bumi
8 9 10 11 12 13 14 15
Koefisien Refleksi [r] 40 % 40 – 85 % 30 – 40 % 31 – 33 % 24 – 28 % 24 – 27 % 15 – 24 % 15 – 20 % 10 – 15 % 12 – 16 % 10 – 12 % 8 – 10 % 9 – 18 % 5% 14 %
Sumber: ...................
Koefisien Infiltrasi (if), adalah koefisien yang didasarkan pada kondisi porositas tanah dan kemiringan daerah pengaliran. Koefisien Infiltrasi mempunyai nilai yang besar jika tanah bersifat porous, sifat bulan kering dan kemiringan lahanya tidak terjal. Karena dipengaruhi sifat bulan maka if ini bisa berbeda-beda untuk tiap bulan. Harga minimum koefisien infiltrasi bisa dicapai karena kondisi lahan yang terjal dan air tidak sempat mengalami infiltrasi. Konstanta resesi aliran (K), yaitu proporsi dari air tanah bulan lalu yang masih ada bulan sekarang. Pada bulan hujan Nilai K cenderung lebih besar, ini berarti tiap bulan nilai K ini berbeda-beda. Harga K suatu bulan relatif lebih besar jika bulan sebelumnya merupakan bulan basah. Percentage factor (PF), merupakan persentase hujan yang menjadi limpasan. Digunakan dalam perhitungan storm run off pada total run off. Storm run off hanya dimasukkan kedalam total run off, bila P lebih
35
J U R N A L kecil dari nilai maksimum soil moisture capacity. Besarnya PF oleh Mock disarankan berkisar 5%-10%, namun tidak menutup kemungkinan untuk meningkat sampai harga 37,3%. B. Analisis Potensi Sumberdaya Air Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap data curah hujan, klimatologi, topografi, dan geologi menyangkut struktur tanah/jenis tanah, serta tataguna lahan di Kabupaten Belitung, diperoleh hasil potensi sumberdaya air berikut : a.
Air Tanah
Ketersediaan air tanah merupakan hasil perkalian antara base flow dan luas daerah. Sedangkan untuk medapatkan base flow, harus dihitung dahulu parameter berikut berdasarkan metode F. J Mock (1973 ) : 1) Evaporasi potensial 2) Water balance (neraca air) 3) Analisa Groundwater Perhitungan diatas didasarkan pada perhitungan nilai limited evaporation dan besarnya curah hujan dengan data tambahan berupa faktor infitrasi, lengas tanah (soil moisture) dan faktor penyusutan bulanan. Sedangkan output yang dipcroleh berupa Ground Water Storage yang didasarkan atas hasil perhitungan infiltrasi baik dari air hujan maupun dari air sungai. Tabel 3 No 1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Ambong Jamang Nurah Besar Penjilin
No 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Lokasi
Badau Badau Badau Badau Sub Total Kec. Badau Bajur Membalong Bakil Membalong Blantu Membalong Engkelas Membalong Kembiri Membalong Klobong Besar Membalong Ludai Membalong Membalong Membalong
Lokasi
Meran Membalong Merguntung Membalong Munum Membalong Pala Membalong Pinang Membalong Dudat Membalong Tebel Membalong Terik Membalong Ulim Besar Membalong Sub Total Kec. Membalong Blagak Belah Sijuk Padang Sijuk Pangarun Sijuk Sengkali Sijuk Sijuk Sijuk Cengap Sijuk Sub Total Kec. Sijuk Kubu Sijuk, Tanjung Pandan Sub Total Kec. Tanjung Pandan
23 24 25 26 27 28 29
2,948
Sumber : Hasil Analisis 2010
Dengan demikian potensi air tanah yang terdapat di Kabupaten Belitung adalah sebagai berikut : Tabel 4 Ketersediaan Air Tanah Kabupaten Belitung No 1 2 3 4
Tampungan Air Tanah Infiltrasi (liter/detik) GS (groundwater storage) 2,426 0,491 0,441 1,235 4,593 1,317 1,248 1,455 1,025 13,430 0,893 1,164 7,551
Nama
Infiltrasi (liter/detik) GS (groundwater storage) 2,390 0,614 0,450 16,227 0,589 5,734 2,426 0,476 0,687 57,674 1,890 5,364 1,040 7,166 3,175 2,218 20,852 2,948
Kecamatan Badau Menbalong Sijuk Tanjungpandan JUMLAH
Debit (liter/detik) 4,593 57,674 20,852 2,948 86,067
Sumber : Hasil Analisis 2010
b.
Sungai dan Daerah Aliran Sungai
Secara statistik, debit pada outlet dinyatakan dengan peluang kejadian yang dihubungkan dengan jenis pengambilan, misal debit 90% terlampaui (Q90) untuk pengambilan DMI (Domestik, Municipal, Industri), debit 80% terlampaui (Q80) untuk keperluan Irigasi dan debit 50% terlampaui (Q50) untuk pengeluaran dengan waduk/tampungan. Dari perhitungan debit, untuk kepentingan analisis selanjutnya, dinventarisir debit andal 80% dan 90% dari
36
J U R N A L Tabel 7 Debit Andal DAS di Kabupaten Belitung
kelompok DAS dan Sungai tersebut. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5 Sebaran DAS di Kabupaten Belitung 1 2
Brang Buding
Luas (KM2) 183 483
3
Cerucuk
551
No
Nama Das
Sungai Utama Brang Buding Cerucuk
Membalong Sijuk, Badau Badau, Sijuk, Tanjung Pandan
Tabel 6 Sebaran Sungai di Kabupaten Belitung No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Nama Ambong Jamang Ngurah Besar Penjilin Bajur Bakil Blantu Brang Engkelas Kembiri Klobong Besar Ludai Membalong Meran Merguntung Munum Pala Pinang Dudat Tebel Terik Ulim Besar Blagak Belah Padang Pangarun Sengkali Sijuk Cengap Buding Cerucuk
Nama
1
Buding
Lokasi
Sumber : Inventarisasi Kondisi Sungai dan Muara di Belitung, 2006 dan Hasil Survey, 2010
Panjang (km) 18,6 4,3 3,2 6,1 3,4 4,9 3,8 7,2 9,2 15,9 4,9 7,5 6,8 12,2 5,1 2,9 16,7 2,7 15,1 15,7 3,9 6,0 6,0 3,9 4,4 29,2 14,0 12,5
No
Lokasi
Badau Badau Badau Badau Membalong Membalong Membalong Membalong Membalong Membalong Membalong Membalong Membalong Membalong Membalong Membalong Membalong Membalong Membalong Membalong Membalong Membalong Sijuk Sijuk Sijuk Sijuk Sijuk Sijuk Sijuk, Badau 21,7 Badau, Sijuk, Tanjung Pandan 32 Kubu 3,6 Sijuk, Tanjung Pandan 33 Uncar 3,9 Membalong, Badau Sumber: Inventarisasi Kondisi Sungai dan Muara di Belitung, 2006 dan Hasil Survey, 2010
2
3
Lokasi
Sijuk, Badau Cerucuk Badau, Sijuk, Tanjung Pandan Brang Membalong JUMLAH
50% 410,64
Debit Andal 80% 90% 279,38 210,94
462,95
314,97
237,82
153,70 1.027,29
104,57 698,92
78,95 527,71
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Tabel 8 Debit Andal Sungai-Sungai di Kabupaten Belitung N o 1 2 3
Nama
Lokasi
Ambong Jamang Nurah Besar Penjilin Bajur Bakil Blantu Engkelas Kembiri
Badau Badau Badau
50% 32,40 5,56 4,63
Badau Membalong Membalong Membalong Membalong Membalong
12,96 17,59 15,28 19,44 14,35 151,85
Klobong Besar Ludai Membalong Meran Merguntung Munum Pala
Membalong
12,50
Membalong Membalong Membalong Membalong Membalong Membalong
15,28 84,72 31,94 6,94 6,02 170,37
Pinang Dudat Tebel Terik Ulim Besar Blagak Belah Padang Pangarun Sengkali Sijuk Cengap Kubu
Membalong Membalong Membalong Membalong Membalong Sijuk
Sijuk Sijuk Sijuk Sijuk Sijuk Sijuk, Tanjung Pandan 30 Uncar Membalong, Badau JUMLAH Sumber : Hasil Analisis, 2010
4 5 6 7 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Debit Andal 80% 22,05 3,78 3,15
90% 16,65 2,85 2,38
8,82 11,97 10,40 13,23 9,76 103,3 1 8,50
6,56 9,04 7,85 9,99 7,37 78,00
7,85 43,52 16,41 3,57 3,09 87,52
7,87 64,35 32,41 6,48 9,26 23,15
10,39 57,64 21,73 4,72 4,09 115,9 1 5,35 47,78 22,05 4,41 6,30 15,75
60,65 13,80 81,02 38,89 29,63 36,11
41,26 9,45 55,12 26,46 20,16 24,57
31,15 7,13 41,62 19,98 15,22 18,55
5,56
3,78
2,85
1.011,01
691.89
519.31
6,42
4,04 33,06 16,65 3,33 4,76 11,89
37
J U R N A L Dari hasil analisa diperoleh: o Debit rata-rata = 462.95 liter/detik o Q90 = 314.97 liter/detik o Q80 = 237.82 liter/detik o Total potensi sumberdaya air Kabupaten Belitung adalah 1.047,02 liter/detik. o Total potensi sumberdaya air untuk irigasi sebesar 1.390,81 liter/detik o Total potensi sumberdaya air jika ditampung baik melalui bendungan. Danau, atau kolong sebesar 2.038,30 liter/detik. c.
Kolong Serkuk I Kolong Serkuk II Kolong Dukong Untuk lebih jelasnya, sebaran kolong di Kabupaten Belitung dapat dilihat pada tabel 9 berikut ini : Tabel 9
1
Kecamatan
2
Tanjungpandan
3
Badau
4
Sijuk
Danau dan Kolong
Potensi sumberdaya air yang berasal dari danau atau kolong, dalam pemanfaatannya tidak terlepas dari sungai yang menjadi salah satu in flow pengisian basinnya. Hal ini bermakna bahwa setiap kali air danau atau kolong dimanfaatkan, maka basin danau atau kolong tersebut akan terisi kembali dengan air yang berasal dari sungai yang mempunyai akses dengan kolong atau danau dimaksud. Dari ratusan kolong kolong yang terdapat di Kabupaten Belitung, 3 kolong diantaranya dimanfaatkan sebagai sumber air yang dikelola oleh PDAM. Dan ada beberapa yang dijadikan tempat rekreasi dan pemancingan. Adapun kolong yang dimanfaatkan sebagai sumber air bagi PDAM tersebut adalah :
No
No
Sebaran Danau / Kolong di Kabupaten Belitung
Kecamatan Membalong
Kawasan Kolong Kolong Membalong Kolong (Sungai Kebangnungsai I) Kolong (Sungai Belian) Kolong Perepat Kolong (Sungai Dudat) Kolong (Sungai Merah) Kolong (Sungai Batang) Kolong (Sungai Jukut) Kolong Cangkok IV Kolong Cangkok II
Kawasan Kolong Kolong Cangkok III Kolong Cangkok (Sungai Barwaja) Kolong (Sungai Kebangnungsai II) Kolong (Sungai Bakil) Kolong (Sungai Merguntung) Kolong Perawas I Kolong Perawas II Kolong Lesung Batang Kolong Dukong Kolong Serkuk II Kolong Juru Seberang Kolong Raya (Sungai Raya) Kolong (Sungai Kubu) Kolong Keramik Kolong Serkuk I Kolong (Sungai Patah) Kolong Badau Kolong (Sungai Julang) Kolong (Sungai Batu) Kolong (Sungai Ranggau) Kolong Aik Seruk Kolong Terong I Kolong Terong II Kolong Air Selumar I Kolong Air Selumar II Kolong Air Selumar III Kolong Aik Balong Kolong (Sungai Sengkeli I) Kolong (Sungai Sengkeli II) Kolong (Sungai Batutiti) Kolong (Sungai Sengkeli III) Kolong (Sungai Bansi) Kolong (Sungai Dulang) Kolong Aik Blangsatan Kolong (Sungai Sengkeli) Kolong Sijuk Kolong (Sungai Rajah)
Sumber : Hasil Survey, 2010
Hasil analisis yang didasarkan atas data yang diperoleh, dapat diketahui besaran potensi sumberdaya air danau atau kolong yang tersebar disetiap kecamatan pada Kabupaten Belitung. Akan tetapi dari sekian banyak danau dan kolong, hanya beberapa saja yang diambil sebagai gambaran untuk menunjukkan besar potensi dari sumberdaya air danau atau kolong tersebut.
38
J U R N A L Tabel 10 N o 1 2
Nama
Ketersediaan Air Danau Atau Kolong Kecamata n
Danau Badau Kolong Badau X: 809580 Y: 9686650 Jumlah ketersediaan air Kecamatan Badau 3 Kolong Membalon Cangkok I – g IV (S. Brang) X: 795414 Y: 9678845 X: 797010 Y: 9680480 X: 795930 Y: 9677200 4 Danau (S. Membalon Kembiri) g Jumlah ketersediaan air Kecamatan Membalong 5 Kolong (Ds. Tanjungpa Ls. Btg) ndan X: 799425 Y: 9694910 6 Kolong Tanjungpa Serkuk II ndan (S.Cerucuk) X: 790300 Y: 9692400 7 Kolong (Ds. Tanjungpa Juru ndan Sebrang) X: 792100 Y: 9692500 8 Kolong Tanjungpa Dukong (S. ndan Cerucuk) X: 793920 Y: 9691700 Jumlah ketersediaan air Kecamatan Tanjungpandan 9 Kolong Aik Sijuk Balong I dan II (S. Buding) X: 806208 Y: 9715633 X: 804965 Y: 9713217 10 Kolong Sijuk Terong I – II (S. Cengap) X: 799300 – Y: 9705200 X: 800734 Y: 9707774
Inflow (liter/deti k)
Volume (M³) 140.000 610.000 750.000
38.43
2.857.500
N o
175.000 3.032.500 5.350.000
231.48
4.800.000
1.300.000
231.48
1.686.000
13.136.000
205.32
3.445.000
14.82
18.066.00 0
Kecamata n
11
Kolong Aik Sijuk Seru (S. Cengap) X: 804280 Y: 970846 Jumlah ketersediaan air Kecamatan Sijuk 12 Danau Selat Nasik Jumlah ketersediaan air Kecamatan Selat Nasik Sumber: Hasil Analisis 2010
d.
151,85
Nama
Inflow (liter/deti k) 14.82
Volume (M³) 9.925.000
31.436.000
564.000 564.000
Daerah Irigasi
Di Pulau Belitung terdapat 24 daerah irigasi yang tersebar di masing – masing kecamatan yang ada di Kabupaten Belitung maupun Belitung Timur. Salah satu daerah irigasi yang besar adalah di daerah Irigasi Selingsing yang sumber airnya berasal dari Bendung Pice Besar yang terdapat di Sungai Linggang (Belitung Timur). Sedangkan untuk daerah irigasi yang terdapat di Kabupaten Belitung diantaranya adalah : 1. D.I. Kelapa Kera di Kecamatan Sijuk 2. D.I. Juru Seberang I di Kecamatan Tanjungpandan 3. D.I. Juru Seberang II di Kecamatan Tanjungpandan 4. D.I. Lesung Batang di Kecamatan Tanjungpandan 5. D.I. Air Baik di Kecamatan Tanjungpandan 6. D.I. Hibui di Kecamatan Badau 7. D.I. Cendil di Kecamatan Badau 8. D.I. Air Gendang di Kecamatan Membalong 9. D.I. Perepat di Kecamatan Membalong 10. D.I. Air Betik di Kecamatan Membalong 11. D.I. Membalong I di Kecamatan Membalong 12. D.I. Membalong II di Kecamatan Membalong 13. D.I. Rusa di Kecamatan Membalong 14. D.I. Seliu di Kecamatan Membalong 15. D.I. Selat Nasik di Kecamatan Selat Nasik
39
J U R N A L C. Analisis Permasalahan Sumberdaya Air a.
Pencemaran Air
Pencemaran terhadap air permukaan dan air tanah di Kabupaten Belitung pada umumnya bersumber dari kegiatan pertambangan, industri, pertanian dan rumah tangga. Berdasarkan hasil observasi diketahui kegiatan pertambangan dan industri (besar dan menengah), merupakan kegiatan yang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Selain dari pertambangan dan industri, penggunaan pupuk dan insektisida di sektor pertanian dan perkebunan juga berpotensi mencemari air terutama air permukaan. Sumber pencemaran lainnya adalah limbah dari rumah tangga terutama rumah tangga yang tidak mempunyai fasilitas tempat buang air besar. b.
Masalah Banjir
Gambar 3 Penampang Memanjang Das Cerucuk
DAS Cerucuk memiliki karakter unik, dimana terdapat perbedaan yang alur sungai yang begitu mencolok yaitu dari sungai yang relatif landai hingga sungai terjal dengan diapit bukit-bukit. Masalah-masalah penyebab banjir terjadi dapat diinventarisir sebagai berikut: 1) Penggerusan Sebagian besar (hampir 70%) DAS Cerucuk memiliki kemiringan sungai di atas 10% sehingga arus di sungai sangat deras. Kecepatan aliran terutama saat banjir akan mengakibatkan penggerusan dan tidak sedikit di beberapa lokasi mengakibatkan longsoran pada tebingtebing sungai. 2)
Sedimen dari DAS Akibat lain dari penurunan kualitas DAS adalah erosi yang tinggi di daerah DAS. Jika pada saat kondisi hutan lebat aliran
3)
air hujan di DAS lambat, sehingga tidak cukup kuat untuk mengangkut butiranbutiran sedimen, maka akibat aliran air permukaan yang cepat karena hutan gundul (tidak ada yang menahan laju aliran air) maka akan terjadi erosi. Butiran hasil erosi ini terbawa ke sungai (air sungai keruh), dan akhirnya sebagian besar mengendap di bagian hilir sungai yang landai (0.77%), sehingga penampang sungai mengecil. Kapasitas sungai menjadi lebih kecil dan akhirnya menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir. Masalah Kekeringan Batuan tertua di daerah Pulau Belitung berupa Formasi Kelapa Kampit (PCks) yang terdiri dari batuan sedimen sedimen flysch, batupasir, batusabak dan batulumpur. Selanjutnya Formasi Tajam (PCTm) yang terdiri dari batupasir kuarsa bersisipan dengan batulanau dan terlipat sedang hingga kuat dan juga sebagian termalihkan. Kedua formasi diatas berumur Permo-Karbon. Bersamaan dengan pembentukan Formasi Kelapa Kampit (PCks) dan Formasi Tajam (PCTm) pada PermoKarbon terdapat aktifitas magmatik yang menghasilkan endapan lava basalt dan breksi gunung api yakni Formasi Siantu (PCsp). Satuan ini berumur PermoKarbon dan berhubungan dengan Formasi Kelapa Kampit.
Pada masa Mesozoikum terjadi beberapa aktifitas magmatik yang dimulai pada Zaman Trias yang menghasilkan Granit Tanjungpandan (Trtg), pada Zaman Jura yang menghasilkan Granit Adamelit Baginda (Jma) yang tidak menghasilkan endapan timah sampai pada Zaman Kapur yang menghasilkan 2 jenis batuan beku, yaitu Granodiorit Burungmandi (Kbg) dan Diorit Kuarsa Batubesi (Kbd). Sejak akhir Kapur sampai Kuarter berlangsung proses denudasi dan erosi serta menghasilkan endapan pasir karbonatan dan endapan alluvium (Baharuddin dan Sidarto, 1995). Lokasi paling dominan dari jenis bebatuan ini banyak terdapat di Kecamatan Sijuk dan Kecamatan Membalong, serta terdapat sebagian kecil di Kecamatan Tanjungpandan. Hal ini menyebabkan wilayah ini menjadi wilayah kritis air, yang
40
J U R N A L diartikan bahwa keberadaan air tanah sangat terbatas bahkan kemungkinan langka. Air tanah di daerah ini hanya memiliki kuantitas yang cukup pada musim hujan. 4)
Kualitas Sumberdaya Air Untuk mendapatkan hasil kualitas sesuai dengan Standar Kualitas yang dikeluarkan oleh Menkes yakni Kepmenkes 907 tahun 2002 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum, maka sumberdaya air yang dipergunakan bagi kepentingan masyarakat harus dikelola dan disaring terlebih dahulu. Tabel 11 Kualitas Air Sungai Dan Kolong Param eter
E. Coli Temba ga Nitrat Amonia Besi Manga n pH
Kepmen kes 907/200 2 0 2 mg/ltr 50 mg/ltr 1,5 mg/ltr 0,3 mg/ltr 0,1 mg/ltr 6,5 – 8,5
Air tan ah
Das ceruc uk 4,3
Sun gai blan tu 4,3
Kolo ng duko ng 3
Kolon g cangk ok 2
0,34
0,85
0,31
6,12
6,13
6,35
0,1 5,9 – 6,2 5
5,38
Seng 3 mg/ltr Warna 15 TCU Kekeru 5 NTU han Sumber : Hasil Uji Lab., 2010
4.
Penutup
Mengacu pada hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu terhadap masyarakat di beberapa tempat di Indonesia, dimana didapat hasil bahwa kebutuhan air bagi masyarakat Indonesia berkisar antara 100 liter sampai dengan 145,2 liter per hari. Dengan demikian kebutuhan air bersih untuk masyarakat Kabupaten Belitung jika pengambilan pemakaian paling banyak, adalah sebesar ± 24.145.017,6 liter/hari. Kebutuhan ini belum termasuk kebutuhan untuk industry,
pariwisata, pertanian, pertambangan dan aktivitas lainnya. Melihat dari kenyataan tersebut dan berdasarkan hasil analisis potensi sumberdaya air yang telah dilakukan, maka untuk memenuhi kebutuhan air bagi kepentingan masyarakat serta aktivitas lainnya DI Kabupaten Belitung dapat diperoleh melalui beberapa potensi sumber sumberdaya air yang dimiliki Kabupaten Belitung antara lain : 1. DAS dan Sungai yang memiliki debit andal cukup besar. Jumlah ketersediaan air per hari yang dapat disediakan oleh DAS adalah sebesar 60.386.688 liter. Jumlah ketersediaan air per hari yang dapat disediakan oleh Sungai adalah sebesar 36.376.128 liter. Dengan demikian air baku yang dapat disediakan berjumlah 96.762.816 liter/hari. 2. Kolong-kolong bekas tambang, dimana secara topografi bagus untuk dimanfaatkan sebagai tabungan sumber air baku sebagai embung penampung yang memanfaatkan air sungai dan air hujan. Namun keberadaan kolong sebagai sumber bahan baku air, untuk saat ini belum dapat direkomendasikan karena keberadaan logam berat yang terkandung dalam air kolong tersebut seperti Pb, Zn, sehingga perlu penanganan khusus dalam pengolahan limbah, pH air masih berada di bawah 6,5, warna air berada diatas 15 TCU. Untuk rekomendasi dari kolong-kolong ini hanya untuk cadangan air baku yang biasanya berfungsi untuk pengolontoran. Dari data kolong-kolong yang ada dan kemampuan suplesi dari debit andal dipergunakan debit andal 50%, karena pada umumnya kolong-kolong tersebut mempunyai akses langsung ke sungai terdekat. 3. Air Tanah, dimana berdasarkan hasil analisis diketahui potensi air tanah yang terdapat di Kabupaten Belitung adalah sebesar 86,067 liter/detik. Selain potensi tersebut diatas, terdapat beberapa permasalahan terkait dengan pengelolaan sumber daya air di Kabupaten Belitung antara lain : 1. Pencemaran air yang menyebabkan kualitas air sungai dan kolong yang terus menurun akibat dari kegiatan
41
J U R N A L penambangan, industri, pariwisata, pertanian, dan rumah tangga 2. Masalah banjir yang disebabkan oleh factor alamiah seperti penggerusan dan sedimentasi dari DAS, serta factor berubahnya fungsi lahan akibat berbagai aktivitas yang menyebabkan air tidak dapat meresap lagi sehingga mengakibatkan banjir atau genangan air di beberapa wilayah. 3. Masalah kekeringan yang disebabkan karena kondisi bebatuan yang terdapat di daerah ini sebagai mana telah diuraikan diatas yang menyebabkan wilayah ini menjadi wilayah kritis air, yang diartikan bahwa keberadaan air tanah sangat terbatas bahkan kemungkinan langka. Air tanah di daerah ini hanya memiliki kuantitas yang cukup pada musim hujan terutama di Kecamatan Sijuk, Kecamatan Membalong, serta sebagian kecil di Kecamatan Tanjungpandan. 4. Masalah penurunan kualitas air dimana air sungai yang semula dapat digunakan untuk keperluan sehari – hari oleh penduduk sekarang telah mengalami pelumpuran (sedimentasi debris) yang parah, terkontaminasi oleh limbah industri, limbah perumahan, limbah tambang, dan limbah pertanian sehingga penurunan kualitas air tidak terhindarkan. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut : 1. Perlu adanya manajemen sumber daya air untuk mengantisipasi kelangkaan air di masa depan. 2. Untuk mengatasi banjir dapat dilakukan melalui penanganan lunak, yaitu pembuatan peraturan-peraturan yang mengatur hal-hal yang terkait dengan penataan DAS dan badan sungai; pengendalian kolam air dan sedimen di DAS; waduk pengendali banjir (Flood Control Reservoir); retarding di sekitar badan sungai; normalisasi sungai atau saluran; tanggul/tembok banjir; reklamasi; pengelak banjir 3. Untuk mengatasi masalah kekeringan, pada wilayah kekeringan ini perlu dibangun embung-embung penangkap air, sumur resapan, dan menutupi lahan-
lahan yang rusak akibat penambangan dengan vegetasi yang dapat menahan air.
Daftar Pustaka Baharuddin dan Sidarta. (1995). Geological Map Of the Belitung Sheet, Sumatera (1212, 1213, 1312, 1313) Scale 1 : 250.000, Geological Research and Development Centre, Bandung. [Departemen PU Direktorat Sumberdaya Air]. (2006). “Inventarisasi Kondisi Sungai dan Muara di Belitung”, Provinsi Bangka Belitung.. Mock FJ. (1973). “Land Capabilty Appraisal Indonesia, Water Availability Appraisal”. Bogor. M.R. Djuwansah. Pendugaan Potensi Sumberdaya Air di Wilayah Pesisir, Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI. Mulyanto. (1992) Manajemen Perairan, luwUnibraw-Fish, Fisheries Project Unibraw, Malang. Odum, EP. (1993). “Dasar-dasar Ekologi”, Edisi Ketiga, Alih Bahasa : Samingan, T. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sutardi. (2003). Water Resources Management Towards Enhacement of Effective Water Governance in Indonesia, Country Report for the 3-rd Word Water Forum, Kyoto Japan, pp 1 – 108. Suroso dan Hery A.S. (2006). Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Debit banjir Daerah Aliran Sungai Banjaran, Jurnal Teknik Sipil, Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto, Vol. 3 No. 2. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004, tentang Sumberdaya Air. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 907/ Menkes/ SK/VII/ 2002, Tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum.
42
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG (Policies and Developing Tourism in Province Bangka Belitung) Devi Valeriani
[email protected] ABSTRACT
The research started with Provincial Government of Bangka Belitung committed to realize tourism sector to be a superior one. Being a province known for a tin producer, Bangka Belitung has relied almost all economic activities on the tin industry. This policy has created a negative effect, that is, excessive exploitation which generates environment degradation. It should be realized that the tin reserve is getting less and will run out. Basinct on the fact, the writer intended to analyze another sector ,namely, tourism sector (hotel, restaurant, entertainment and recreation sectors) as a reliable sector expected to balance economic stability in the future. Therefore, the research aimed to study performance of the tourism sector related to policies to develop tourism. It is conducted by analysing the SWOT (strengths, weaknesses, threats and opportunities), and its connectivity to the backward and forward. . The SWOT analysis was used to find out strategies and policies in developing tourism with analysis internal factor and eksternal factor, consist of strength, weakness, opportunity, treatment. Input ouput model this analysis used input output table of Bangka Belitung Province 2005, which was created by classifying 45 sectors based on domestic transaction table on producer’s prices. Its purpose was to discover the relationship among sectors either backward or forward. The tourism sector was connected to the backward or the spreadth was above the average. This means that it had high enough potentials to attract the growth of upper industrial output. It would grow other supporting sectors. Meanwhile, the connectivity to the forward or sensitivity degree of hotel, entertainment and recreation sectors was still under the average. The sectors failed to push lower sector above the average of sensitivity degree. Yet, restaurant sector had high connectivity in pushing other sectors. This pictured that it was relatively potential to serve demands of other sectors. Key words : Tourism, SWOT analisys, Input Output Model, Backward Linkage, Forward Linkage.
1
PENDAHULUAN Menurut ahli pembangunan ekonomi (Schumpeter 2000:198) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan diikuti oleh perubahan-perubahan. Perubahan tersebut tidak hanya kenaikan produksi barang dan jasa, namun mencakup juga peningkatan pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan sebagainya (Robiani, 2006:2). Pembangunan merupakan kegiatan untuk mengembangkan perekonomianan taraf hidup masyarakat bukan hanya bagaimana menaikkan GNP (Gross National Product) per tahun. Dikaitkan dengan pembangunan ekonomi daerah, Arsyad (1999: 298) mengemukakan bahwa pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses, dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada melalui suatu pola kemitraan untuk menciptakan lapangan kerja atau kesempatan kerja baru dan merangsang pertumbuhan ekonomi. Terkait dengan pembangunan daerah, maka upaya untuk mewujudkan keberhasilan pelaksanaan pembangunan ekonomi di suatu daerah sangat tergantung dengan kualitas perencanaan pembangunan. Pemanfaatan serta pengelolaan sumberdayasumberdaya yang dimiliki secara optimal dan efisien dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dalam usaha mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tersebut diperlukan penentuan prioritas pembangunan (Sjafrizal, 1997:35-36). Pembangunan ekonomi daerah harus dirancang sedemikian rupa sehingga menjamin penggunaan faktorfaktor produksi yang ada dengan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan. Pemilihan kebijakan pembangunan harus ditentukan atas dasar sifat dan tujuan yang berbeda-beda yang hendak dicapai (Suparmoko dan Irawan, 2002:334) Pembangunan yang dilakukan harus dapat menggali seluruh potensi yang ada pada masing-masing daerah untuk diolah sehingga bermanfaat secara riil. Potensi tersebut terdiri dari potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, potensi cultural dan potensi lainnya yang harus diupayakan dan diberdayakan secara optimal. Diantara potensi-potensi tersebut, kekayaan alam dan kultur budaya dapat dioptimalkan perannya dalam pembangunan melalui pariwisata. Sektor pariwisata dewasa ini merupakan salah satu sektor industri terbesar di dunia yang merupakan andalan penghasil devisa di berbagai negara. Sektor ini mampu menyediakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam kesempatan kerja, pendapatan, taraf hidup dan mampu mengaktifkan sektor produksi lain di dalam negara penerima wisatawan, misalnya indutsri kerajinan tangan dan industri cinderamata, penginapan/perhotelan, transportasi dan sebagainya (Wahab,1992:5). Negara-negara seperti Thailand, Singapore, Filipina, Fiji, Maladewa, Hawai, Kepulauan Karibia, dan lain-lain sangat tergantung pada devisa yang didapatkan dari kedatangan wisatawan. Bagi negara-negara di Kepulauan Karibia, pariwisata telah menciptakan 2,5 juta kesempatan kerja atau sekitar 25 persen dari total kesempatan kerja pada tahun 2001 (Monsen, 2004 dalam Pitana, et al, 2005:1). Pariwisata bagi Fiji, telah menjadi penghasil devisa kedua. Pendapatan dari pariwisata pada tahun 1991 mencapai sekitar 35 persen dari total nilai ekspor negara ini. Dengan pentingnya peranan pariwisata dalam pembangunan ekonomi di berbagai negara, maka pariwisata sering disebut sebagai akses pembangunan (passport to development). Data dari World Trade Organization (WTO tahun 2004), kedatangan turis lokal dan mancanegara memberi sumbangan pada GDP( Gross Domestic Product) lebih dari 15% dan angka ini lebih besar lagi pada negara-negara yang mencanangkan negara kunjungan wisata seperti Negara Malaysia dengan slogan `Malaysia–Truly of Asia`. Pada tahun 2000 Indonesia pernah mencanangkan Visit Indonesian Year yang menjadikan pariwisata sebagai tulang punggung perekonomian negara, dan pada saat itu industri pariwisata dapat memberi sumbangan sebesar 19.84% terhadap GDP (Gross 2
Domestic Product) negara tahun 2001 (Biro Pusat Statistik 2002). WTO melukiskan bahwa salah satu dari delapan pekerja di dunia, kehidupannya tergantung langsung atau tidak langsungdari pariwisata. Pada tahun 2001, pariwisata telah menciptakan kesempatan kerja bagi 207 juta orang atau lebih dari 8 persen kesempatan kerja di seluruh dunia, dan diprediksikan menjadi mesin penggerak dalam penciptaan lapangan kerja pada abad ke 21 (UNEP, 2002 dalam Pitana et al, 2005:2). Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berdiri pada tahun 2000, sesuai dengan Undang-undang Nomor 27 tahun 2000, sebagai provinsi yang ke-31 setelah pisah dari provinsi induknya Sumatera Selatan. Pada awalnya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung hanya terdiri dari dua kabupaten yaitu Kabupaten Bangka, Kabupaten Belitung dan satu kota yaitu Kota Pangkalpinang sebagai Ibukota Provinsi. Pada tahun 2003 terjadi pemekaran wilayah menjadi enam kabupaten dan satu kota. Sebagai provinsi yang terbilang muda Bangka Belitung mulai melangkahkan derap pembangunan dengan menempatkan empat sektor unggulan dalam memprioritaskan pembangunannya berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 25 Tahun 2002, dengan menetapkan empat sektor unggulan, yaitu: (i) sektor kelautan dan perikanan, (ii) sektor pertanian dan perkebunan, (iii) sektor industri dan perdagangan, dan (iv) sektor pariwisata. Keempat sektor unggulan di atas dijadikan prioritas dan penggerak perekonomian dalam pembangunan dan pengembangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dalam penulisan ini permasalahan yang akan dikedepankan adalah pengembangan sektor pariwisata. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sudah menyadari bahwa kekayaan alam untuk ditambang sudah akan habis dalam waktu dekat dan merumuskan visinya dengan menempatkan pariwisata sebagai sektor andalan masa depan. (Gunawan, 2005) Sebagai daerah yang telah lama dikenal sebagai daerah penghasil timah, wilayah daratan Bangka Belitung banyak mewariskan lubang-lubang bekas galian tambang darat. Terlebih lagi pasca reformasi, masyarakat terjun langsung ikut menambang. Semula masyarakat diizinkan menambang secara tradisional (mendulang) sebagai kompensasi masa krisis ekonomi. Ternyata kemudian berkembang dengan menggunakan alat- alat berat (eskavator) dan mesin semprot air, yang dikenal dengan istilah Tambang Inkonvensional (TI). Bahkan tidak hanya didarat, daerah pantai pun tak luput dari sasaran penggalian. Permasalahan lingkungan belakangan ini mendapat perhatian yang besar di Bangka Belitung. Masalah tersebut timbul karena perubahan lingkungan akibat kegiatan penambangan yang menyebabkan lingkungan itu tidak sesuai lagi untuk mendukung kehidupan manusia (degradasi lingkungan). Masalah lingkungan yang dihadapi diantaranya berkaitan dengan persoalan produksi barang dan jasa terutama industri timah yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam memproduksi barang dan jasa kurang memperhatikan dampak yang ditimbulkan terhadap kerusakan lingkungan, terlihat masih banyak dalam memproduksi barang dan jasa hanya mempertimbangkan faktor ekonomi. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan provinsi penghasil timah terbesar di dunia (Bangka Pos:2008), timah sebagai sebuah produk sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui tentu dengan bergulirnya waktu akan menuju kepada satu tahap dimana ketersediaan sumber daya alam tersebut akan menjadi berkurang bahkan menjadi langka. Hal ini akan sangat berdampak terhadap perekonomian wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang memfokuskan perekonomiannya pada pertambangan timah. Gambaran kontribusi sektor pertambangan dan pariwisata dalam pembentukan PDRB provinsi Kepulauan Bangka Belitung dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2008, dapat dilihat pada Tabel berikut: 3
Tahun 2005 2006 2007 2008
Tabel Kontribusi Sektor Pertambangan dan Pariwisata dalam Pembentukan PDRBBangka Belitung Tahun 2005-2008 (persen) Dengan Migas Pertambangan
Pariwisata
Tanpa Migas Pertambangan
Pariwisata
22,99 22,04 20,39 18,08
2,54 9,75 10,14 10,30
24,08 22,93 21,15 18,50
3,43 9,35 9,84 10,10
Sumber : BPS Kepulauan Bangka Belitung dalam angka 2009
Tabel diatas menggambarkan kontribusi sektor pertambangan terus mengalami penurunan dari tahun 2005 hingga tahun 2008, dimana pada tahun 2005 kontribusi sektor pertambangan dengan migas sebesar 22,99 % dan tanpa migas sebesar 24,08 %. Pada tahun 2008 kontribusi sektor pertambangan dengan migas sebesar 18,08 % dan tanpa migas sebesar 18,50 %. Cadangan timah yang kian menipis, yang diperkirakan hanya tinggal beberapa tahun kedepan. Serta demi penyelamatan lingkungan yang rusak akibat eksplorasi penambangan yang semakin memprihatinkan, maka ketergantungan terhadap penambangan harus segera ditinggalkan. Sektor lain yang perlu dibangun dan dijadikan alat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Pariwisata merupakan salah satu pilihan alternatif dalam pengembangan wilayah yang diharapkan dapat memacu perkembangan sektor-sektor lainnya, sekaligus mengurangi konflik antar sektor. Sebagaimana yang dijelaskan dalam pedoman penyusunan neraca satelit pariwisata (Departemen Budaya dan Pariwisata, 2005) sektor pariwisata bukanlah sektor yang berdiri sendiri, tetapi merupakan industri multi sektor yang terdiri dari sektor hotel, sektor restoran dan sektor jasa hiburan dan rekreasi. Karena itu maka dampak ekonomi yang ditimbulkan pariwisata juga berdimensi multi sektor. Dampak ekonomi tersebut dapat berupa pertumbuhan industri/usaha yang terkait dengan pariwisata atau industri/usaha yang berkarakteristik pariwisata, peningkatan pendapatan penduduk, kesempatan kerja dan investasi. Sektor pariwisata berkaitan secara langsung dan tak langsung dengan berbagai sektor perekonomian yang memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang sebagian atau seluruhnya dikonsumsi oleh wisatawan, baik itu wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara. Dengan demikian berarti pertumbuhan sektor pariwisata dapat dianggap sebagai pendorong laju pertumbuhan sektor-sektor lain termasuk pertanian, perdagangan dan sektor lainnya. Dampak ekonomis pariwisata yang lintas sektor ini bahkan juga melintas multi sektor dalam bentuk pemerataan pendapatan, kesempatan kerja dan investasi. Sektor pariwisata sebagai suatu industri jasa merupakan salah satu bidang yang diharapkan dapat memberikan andil yang cukup besar dalam pembangunan daerah Bangka Belitung. Kegiatan pariwisata ini bila dikelola dengan baik dapat menjadi salah satu penyumbang pendapatan yang potensial dalam pertumbuhan ekonomi daerah maupun nasional. Pariwisata bukan hanya sebagai sumber devisa tetapi juga dapat memperluas kesempatan kerja yang ditimbulkan dari sejumlah keterlibatan sektor-sektor lain di dalamnya. Menurut Dahuri (2003:56) salah satu tipologi pariwisata yang menjadi alternatif kegiatan bahari saat ini adalah kegiatan ekoturisme (wisata alam) yang mengandalkan keindahan alam. Dari dimensi ekologis, kegiatan ini jelas mengandalkan keindahan alam sehingga kegiatan ini akan mendorong tindakan konservasi untuk mempertahankan daya 4
tarik agar keuntungan ekonomi dari kegiatan wisata ini dapat dipertahankan. Sementara itu aspek sosial masyarakat setempat dimana kegiatan ekoturisme ini berlangsung, sering mendapat manfaat ekonomi dari pengembangan kegiatan jasa pendukung wisata, selain itu juga gangguan terhadap kehidupan tradisional masyarakat umumnya sangat kecil sekali. Sebagai alternatif bagi perekonomian wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, pariwisata adalah salah satu sektor yang dapat diandalkan untuk mengantisipasi era pasca pertambangan timah yang selama ini masih menjadi unggulan di Bangka Belitung, karena selain letaknya strategis, pariwisata juga memberikan multiplier effects yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Menyadari hal ini, maka secara perlahan pemerintah propinsi mulai memberdayakan sektor parwisata sebagai sektor yang akan dijadikan sumber penghasilan daerah dan penghasilan masyarakat Bangka Belitung. Dipilihnya sektor ini dikarenakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki objekobjek wisata yang sangat natural dan bagus. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah : 1. Bagaimana implementasi kebijakan pengembangan pariwisata di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung . 2. Bagaimana keterkaitan sektor pariwisata dengan sektor-sektor lainnya dalam perekonomian daerah sebagai dampak dari kebijakan pengembangan pariwisata di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah
Tujuan dari penelitian ini berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah 1. Untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan pengembangan pariwisata di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 2. Untuk mengetahui bagaimana keterkaitan sektor pariwisata dengan sektorsektor lainnya dalam perekonomian sebagai dampak dari kebijakan pengembangan pariwisata di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. TINJAUAN PUSTAKA
Teori Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi yang diselenggarakan oleh suatu negara dewasa ini harus dilihat sebagai upaya terencana, terprogram, sistematik, dan berkelanjutan dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan mutu hidup seluruh warga masyarakat. Pada gilirannya pembangunan ekonomi yang berhasil akan berakibat positif pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pembangunan ekonomi merupakan prioritas pembangunan bagi negara-negara sedang berkembang (Siagian,2003:77-78). Keberhasilan pembangunan menurut Todaro dalam Arsyad (1999:11) dapat ditunjukkan oleh 3 hal pokok, yaitu : pertama, berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Kedua, meningkatnya rasa harga diri (self esteem) masyarakat sebagai manusia. Ketiga, meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude), yang merupakan salah satu hak azazi manusia. Dengan adanya batasan tersebut, pembangunan ekonomi dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan perbaikan pendapatan riil per kapita pada suatu negara dalam jangka panjang yang disertai perbaikan sistem kelembagaan. 5
Teori Pembangunan Ekonomi Daerah Masalah pokok dalam pembangunan daerah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogeneous development) dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan kita kepada pengambilan inisiatif-insisatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi. Dalam kaitan dengan hal penciptaan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi. Dalam kaitannya dengan hal penciptaan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi, maka pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses, yang mencakup pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industriindustri alternativ, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru (Arsyad, 1999: 298) Selanjutnya Arsyad (1999:298), mengemukakan bahwa tujuan utama setiap pembangunan ekonomi daerah adalah untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam upaya mencapai tujuan itu pemerintah daerah dan masyarakat harus secara bersama-sama mengambil insiatif membangun daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah beserta partisipasi masyarakatnya dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada, harus mampu menaksir potensi sumberdaya - sumberdaya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah. Teori pertumbuhan jalur cepat (Turnpike) yang diperkenalkan oleh Samuelson (1955:98) mengatakan bahwa setiap wilayah perlu melihat sektor / komoditi apa yang memiliki potensi besar dan dapat dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi alam maupun karena sektor itu memiliki competitive advantage untuk dikembangkan. Artinya, dengan kebutuhan modal yang sama sektor tersebut dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar, dapat berproduksi dalam jangka waktu tertentu dan volume sumbangan untuk perekonomian wilayah cukup besar. Perencanaan Pembangunan Daerah Pembangunan daerah walaupun secara eksplisit dapat memiliki tujuan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Secara umum tujuan pembangunan akan meliputi satu atau lebih tujuan-tujuan pembangunan yang saling berkaitan, sebagai berikut: (1) Mengurangi disparatis atas ketimpangan pembangunan antar daerah dan antar sub daerah serta antar warga masyarakat; (2) Memberdayakan masyarakat dengan mengentaskan kemiskinan; (3) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat desa; dan (4) Mempertahankan dan menjaga kelestarian sumberdaya alam agar bermanfaat bagi generasi sekarang dan generasi mendatang (Arsyad, 2002:298). Dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut diperlukan suatu tahap perencanaan. Perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah atau daerah tertentu dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh dan lengkap (Bratakusumah, et al., 2004:7). 6
Perencanaan pembangunan, oleh karena itu mencakup upaya yang sistematik dari berbagai pelaku (aktor), baik umum (publik) atau pemerintah, swasta maupun kelompok masyarakat lainnya dengan cara-cara terus menganalisis kondisi dan kebijaksanaan pembangunan daerah, merumuskan tujuan dan kebijakan-kebijakan pembangunan daerah, menyusun konsep strategi bagi pemecahan masalah dan melaksanakannya dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang tersedia, sehingga adanya peluang-peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dapat ditangkap secara berkelanjutan (Arsyad, 2002:298). Pembangunan Ekonomi Dan Pariwisata Departemen Budaya dan Pariwisata (2005) menyatakan pariwisata sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi perekonomian. Dengan ekonomi yang maju pariwisata akan berkembang karena didukung oleh kesejahteraan penduduk dan fasilitas daerah tujuan wisata yang memadai. Hal sebaliknya juga dapat terjadi yaitu pariwisata dapat mendorong perekonomian regional dan nasional. Kegiatan pariwisata akan menimbulkan demand akan barang dan jasa yang selanjutnya akan merangsang pertumbuhan produksi. Menurut Spillane (1994:132) ada beberapa elemen dalam menentukan hubungan pariwisata dengan pembangunan ekonomi, yaitu: (a) jenis pariwisata, (b) struktur ekonomi nasional, (c) hubungan antara perpindahan modal dan migrasi tenaga kerja. Hal ini mengisyaratkan bahwa pariwisata dalam pembangunan ekonomi nasional tergantung secara parsial pada organisasi permodalan dan khususnya kemampuan modal dari luar negeri untuk ditanamkan di dalam negeri. Pariwisata memainkan peranan yang sangat penting dalam strategi ekonomi di berbagai negara. Menurut World Travel and Tourisme Council (WTTC) 1992 dalam pengembangan usaha pariwisata merupakan salah satu upaya yang ditempuh oleh negara-negara sedang berkembang untuk mempercepat pertumbuhan dan perkembangan ekonominya. Industri pariwisata merupakan alternatif bagi negaranegara terbelakang dan sedang membangun dalam meningkatkan perekonomiannya. Usaha pariwisata merupakan usaha yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu penopang perekonomian daerah. Untuk memperbesar andilnya dalam perekonomian daerah, maka program pengembangan dan pendayagunaan sumberdaya dan potensi pariwisata daerah diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam kegiatan ekonomi (Unsri dan Bappeda Mura, 2004: II-6). Secara luas pariwisata dipandang sebagai kegiatan yang mempunyai multidimensi dari rangkaian suatu proses pembangunan. Pembangunan usaha pariwisata menyangkut aspek sosial budaya, ekonomi dan politik (Spillane, 1994: 14). Hal tersebut sejalan dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1990 tentang kepariwisataan yang menyatakan bahwa penyelenggaraan kepariwisataan ditujukan untuk meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, memperkenalkan dan mendayagunakan obyek dan daya tarik wisata di Indonesia. Serta memupuk rasa cinta tanah air dan mempererat persahabatan antar bangsa. Gunn (1988; 34) mendefinisikan pariwisata sebagai aktivitas ekonomi yang harus dilihat dari dua sisi yakni sisi permintaan (demand side) dan sisi pasokan (supply side). Lebih lanjut dia mengemukakan bahwa keberhasilan dalam pengembangan pariwisata di suatu daerah sangat tergantung kepada kemampuan perencana dalam mengintegrasikan kedua sisi tersebut secara berimbang ke dalam sebuah rencana pengembangan pariwisata. Dari sisi permintaan misalnya, harus dapat diidentifikasikan segmen-segmen pasar yang 7
potensial bagi daerah yang bersangkutan dan faktor-faktor yang menjadi daya tarik bagi daerah tujuan wisata yang bersangkutan. Untuk itu diperlukan penelitian pasar dengan memanfaatkan alat-alat statistik multivariate tingkat lanjut, sehingga untuk masing-masing segmen pasar yang sudah teridentifikasikan dapat dirancang strategi produk dan layanan yang sesuai. David Ricardo (1917;45) mengatakan bahwa faktor-faktor yang membuat suatu daerah memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) dapat berupa kondisi alam, yaitu karena kondisi alam akhirnya wilayah itu memiliki keunggulan untuk menghasilkan suatu produk tertentu. Pemberian alam, antara lain deposit bahan tambang (minyak, gas, emas, bijih besi, timah dan lain-lainnya), pemandangan alam yang indah (danau, pantai , laut dan lain-lain), serta potensi alam. Konsep Keterkaitan Antar Sektor (Input-Output) A. Analisa Keterkaitan Ke Belakang Jenis keterkaitan ini menghitung total output yang tercipta akibat meningkatnya output suatu sektor melalui mekanisme penggunaan input produksi. Adanya peningkatan output sektor tertentu mendorong peningkatan output sektor-sektor lainnya. Peningkatan output akan meningkatkan permintaan input sektor itu sendiri. Input sektor tersebut ada yang berasal dari sektor itu sendiri, ada pula yang berasal dari sektor lain. Oleh karena itu, sektor tersebut akan meminta output sektor lain lebih banyak daripada sebelumnya (untuk digunakan sebagai input proses produksi). Ukuran ini digunakan untuk melihat keterkaitan ke belakang (backward linkage) atau daya penyebaran. Nilai keterkaitan ke belakang atau indeks daya penyebaran (IDP) ini menunjukkan efek yang ditimbulkan oleh suatu sektor karena adanya peningkatan output sektor tersebut terhadap output sektor-sektor lain yang digunakan sebagai input oleh sektor tersebut secara langsung maupun tidak langsung atau kemampuan suatu sektor untuk menarik industri hulunya. B. Analisa Keterkaitan Ke Depan Jenis keterkaitan ini menghitung total output yang tercipta akibat meningkatnya output suatu sektor melalui mekanisme distribusi output dalam perekonomian. Jika terjadi peningkatan output produksi sektor tertentu, maka tambahan output tersebut akan didistribusikan ke sektor-sektor produksi dalam perekonomian, termasuk pada sektor itu sendiri. Dalam prakteknya ukuran ini digunakan untuk melihat keterkaitan ke depan (forward linkage) atau derajat kepekaan. Nilai keterkaitan ke depan atau indeks derajat kepekaan (IDK). Nilai indeks ini menunjukkan efek relatif yang disebabkan oleh perubahan sektor lain yang menggunakan output tersebut atau kemampuan suatu sektor mendorong perkembangan industri hilirnya. Oleh karena itu pengembangan pariwisata harus: a. Dikaitkan dan diselaraskan dengan sektor ekonomi dasar yang berkembang atau berpotensi didaerah yang bersangkutan. b. Secara kreatif menggali potensi, baik yang tangible maupun intangible dari potensi sumber daya sektor-sektor lain di suatu daerah. c. Bekerja sama dan berkoordinasi dengan sektor lain, dalam berbagai tahapan perencanaan, implementasi dan pengawasan pembangunan, serta dengan jelas menguraikan ’siapa melakukan apa’ di antara sektor-sektor yang ada dalam pemerintahan, industri pariwisata, masyarakat, dan pemangku kepentingan pariwisata lainnya. Dengan konsep ini pariwisata menjadi alat pemersatu sektorsektor pembangunan wilayah dan mengurangi potensi konflik antar kepentingan. 8
Industri Pariwisata Dalam konteks pariwisata sebagai industri, Pendit (2006:40) telah memperkenalkan beberapa istilah seperti industry of the invisible export (industri eksport tidak nyata), hospitality industry (industri ramah tamah), atau service industry (industri jasa pelayanan). Adapun batasan tentang industri pariwisata menurut Yoeti (1990:56) adalah kumpulan dari bermacam perusahaan yang secara bersama menghasilkan barangbarang dan jasa-jasa (goods and service) yang dibutuhkan para wisatawan pada khususnya dan traveller pada umumnya, selama dalam perjalanannya. Sebagai sebuah industri, Wardiyanta (2006:78) menyatakan pariwisata mempunyai sifat yang khas, tidak hanya melibatkan banyak industri, yakni transportasi, akomodasi, jasa boga, atraksi, retail, tetapi bersifat menyerap banyak tenaga kerja yang pada akhirnya juga memiliki implikasi politis yang besar. Dalam pengembangan pariwisata, sangat diperlukan sebuah kebijakan untuk dapat meminimalisasi dampak negatif yang sering timbul. Menurut Prajogo (1976:57) pariwisata sebagai industri mempunyai beberapa sifat khusus, yang membedakannya dengan industri lain. Sifat khusus tersebut adalah: (a) produk wisata mempunyai ciri bahwa ia tidak dapat dipindahkan. Orang tidak dapat membawa produk wisata pada langganan, tetapi langganan itu sendiri harus mengunjunginya, mengalami dan datang untuk menikmati produk wisata itu, (b) dalam pariwisata produksi dan konsumsi terjadi pada saat yang sama. Tanpa langganan yang sedang mempergunakan jasa-jasa itu tidak akan terjadi produksi, (c) sebagai suatu jasa, maka pariwisata memiliki berbagai ragam bentuk, oleh karena itu dalam pariwisata tidak ada standar ukuran yang obyektif, (d) langganan tidak dapat mencicipi, mengetahui atau menguji produk itu sebelumnya, yang dapat dilihat hanya brosur-brosur, gambar-gambar, (e) dari segi usaha, produk wisata merupakan usaha yang mengandung resiko besar. Industri pariwisata memerlukan modal yang besar, sedangkan permintaan sangat peka terhadap perubahan situasi ekonomi, politik, sikap masyarakat, kesenangan wisatawan dan sebagainya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi industri pariwisata menurut Spillane (1987 :89) adalah: (a) pertumbuhan pendapatan nyata dan wisatawan yang bersangkutan, semakin tinggi pendapatan nyata semakin bertambah juga pendapatan yang dapat disisihkan untuk perjalanan wisata, (b) wisatawan yang bersangkutan termasuk golongan orang-orang memperoleh pembiayaan cuti yang diambil (pad vacation), (c) besar kecilnya kurs mata uang dari negara penghasil wisatawan terhadap mata uang negara tujuan mereka. Semakin tinggi nilai mata uang negara penghasil wisatawan terhadap mata uang negara tujuan mereka, semakin besar pula daya tarik negara tujuan bagi wisatawan yang bersangkutan, (d) perbandingan antara daya tarik suatu negara tujuan wisatawan dengan kebutuhannya untuk berkunjung ke sana, (e) kemudahan pencapaian dan tersedianya fasilitas transportasi. Berapapun besarnya suatu daerah tujuan wisata, jika sulit untuk dicapai dan fasilitas tidak memadai, maka keinginan wisatawan untuk ke sana pun pudar, (f) faktor-faktor penting lainnya adalah air travel policies, landing rights dan tarif penerbangan, yaitu intensitas usaha usaha promosi dan pemasaran yang dilakukan oleh negara tujuan wisata di negara penghasil wisatawan, dan yang sangat penting adalah sikap dari negara-negara tujuan wisata terhadap pariwisata itu sendiri, baik sikap pemerintah maupun sikap masyarakatnya. Permintaan dan Penawaran Pariwisata Damanik (2006:12) menyatakan dari sisi ekonomi, pariwisata muncul dari empat unsur pokok yang saling terkait erat atau menjalin hubungan dalam suatu sistem, yakni (a) permintaan atau kebutuhan; (b) penawaran atau pemenuhan kebutuhan berwisata itu 9
sendiri; (c) pasar dan kelembagaan yang berperan untuk memfasilitasi keduanya; dan (d) pelaku atau aktor yang menggerakkan ketiga elemen tadi. Keterkaitan antar empat unsur tersebut di atas sebagai sistem pariwisata seperti tergambar di bawah ini: Gambar.Sistem Kepariwisataan
KEBIJAKAN PARIWISATA a
c
b
d
e
PRODUK
PERMINTAAN
PENAWARAN
c
PASAR/PELAKU PARIWISATA
Keterangan: a) mendorong; b) mengendalikan; c) mempengaruhi;
Sumber: Damanik (2006), Perencanaan d) mengembangkan & memasarkan; e) Ekowisata membeli
Kebijakan sektor pariwisata dilakukan untuk mendorong potensi wisata yang ada menjadi produk yang siap dikonsumsi. Untuk itu perlu dilakukan pengendalian supaya produk yang ada tidak saling bersaing, namun dapat bersinergi dalam satu kemasan produk yang ditawarkan menjadi paket-paket wisata. Sehingga kebijakan yang dibuat mampu menciptakan penawaran berbagai atraksi wisata. Dengan demikian produk wisata harus peka dan mampu menangkap permintaan dari wisatawan terhadap kualitas dan kuantitas produk yang ditawarkan. Kontribusi Pariwisata Terhadap Pendapatan Daerah Dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan pada pasal 157 bahwa sumber pendapatan daerah terdiri atas: (a) pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu: (1) hasil pajak daerah; (2) hasil retribusi daerah; (3) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan (4) lain-lain PAD yang sah; (b) dana perimbangan; dan (c) lain-lain pendapatan daerah yang sah. Kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya sangat ditentukan atau tergantung dari sumber-sumber PAD. Pemerintah daerah dituntut untuk dapat menghidupi dirinya sendiri dengan mengadakan pengelolaan terhadap potensi yang dimiliki, untuk itu usaha untuk mendapatkan sumber dana yang tepat merupakan suatu keharusan. Terobosan-terobosan baru dalam memperoleh dana untuk membiayai pengeluaran pemerintah daerah harus dilakukan, salah satunya adalah sektor pariwisata. PAD adalah salah satu sumber pendapatan daerah yang dituangkan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dan merupakan sumber murni penerimaan daerah yang selalu diharapkan peningkatannya. Pada tahun 2008 PAD 10
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang disumbangkan dari pajak hotel, restoran dan jasa hiburan sebesar 2,56 Milyar Rupiah (Dipenda, 2009). Artinya ada manfaat ekonomi yang diberikan oleh sektor pariwisata, selain menambah pemasukan dan pendapatan daerah juga memberikan manfaat masyarakat. Penambahan ini bisa dilihat dari meningkatnya pendapatan dari kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat, berupa penginapan, restoran, dan rumah makan, pramuwisata, biro perjalanan dan penyediaan cinderamata. Bagi daerah sendiri kegiatan usaha tersebut merupakan potensi dalam menggali PAD, sehingga perekonomian daerah dapat ditingkatkan, (a) membuka kesempatan kerja, industri pariwisata merupakan kegiatan mata rantai yang sangat panjang, sehingga banyak membuka kesempatan kerja bagi masyarakat di daerah tersebut, (b) menambah devisa negara. Dengan makin banyaknya wisatawan yang datang, maka makin banyak devisa yang akan diperoleh, (c) merangsang pertumbuhan kebudayaan asli, serta menunjang gerak pembangunan daerah. Pariwisata dan Dampak Ekonomi Daerah Perkembangan pariwisata juga mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kegiatan pariwisata menciptakan permintaan, baik permintaan konsumsi maupun investasi yang pada gilirannya akan menimbulkan kegiatan produksi barang dan jasa, baik barang konsumsi maupun barang modal. Dengan demikian produksi barang dan jasa, serta nilai tambahnya meningkat. Selama berwisata, wisatawan dengan pengeluaran belanjaannya, secara langsung menimbulkan permintaan (Tourism Final Demand) pasar barang dan jasa. Selanjutnya Final Demand wisatawan secara tidak langsung menimbulkan permintaan akan barang modal dan bahan baku (Investment Derived Demand) untuk berproduksi memenuhi permintaan wisatawan akan barang dan jasa tersebut. Untuk memenuhi permintaan wisatawan diperlukan investasi di bidang transportasi dan komunikasi, perhotelan dan akomodasi lain, industri kerajinan dan industri produk konsumen, industri jasa, rumah makan dan restoran, karenanya pasar barang modal dan bahan baku membesar dan meluas. Secara tidak langsung pula, pariwisata juga menciptakan efek konsumsi rumah tangga. Kegiatan berproduksi yang ditimbulkan oleh tourism demand dan derived investment demand, menciptakan kesempatan kerja produktif yang memberikan pendapatan pada pekerja dan rumah tangga. Pada gilirannya pekerja dan anggota rumah tangga penerima pendapatan akan membelanjakan untuk membeli barang dan jasa yang diperlukan. Pengeluaran konsumsi rumah tangga ikut pula memperbesar pasar, yang akan mendorong peningkatan produksi dan akhirnya meningkatkan pendapatan daerah. Menurut Kuswara (2006:18) pariwisata yang memiliki keterkaitan lintas sektor dan usaha mampu membangkitkan dampak ekonomi multi ganda (multiplier effect) yang sangat signifikan bagi tumbuhnya mata rantai usaha lintas skala, terutama usaha kecil dan menengah (UKM) sehingga membantu penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat.
11
Gambar. Dampak Ekonomi Pariwisata
Sumber: Kuswara (2006), Kepariwisataan dalam Perspektif pengembangan Kota
Pariwisata dan Pembangunan Berwawasan Lingkungan Menurut Yakin (1997:11) dalam konsep dasar pembangunan yang berwawasan lingkungan ada dua aspek penting yang menjadi perhatian utama yaitu lingkungan (ekologi, the environment) dan pembangunan (development). Oleh karena itu pembangunan yang berwawasan lingkungan berarti pembangunan yang baik dari titik pandang ekologi atau lingkungan. Pembangunan berkelanjutan telah menjadi isu penting dalam pembangunan ekonomi dunia dalam beberapa dekade terakhir ini. Ini disebabkan masyarakat dunia telah menyadari akan pentingnya menjaga lingkungan dari aktifitas ekploitasi sumberdaya alam yang berlebihan untuk kepentingan sesaat yang akan mengakibatkan degradasi lingkungan. Selanjutnya Yakin (1997:29) mengatakan pertumbuhan sektor jasa khususnya pariwisata bukannya tidak membawa dampak negatif terhadap sosial dan lingkungan. Membludaknya turis di lokasi-lokasi pariwisata utama menimbulkan banyak masalah seperti kepadatan penduduk, kemacetan, degradasi sumberdaya alam (natural environment) dan objek-objek buatan manusia (manmade environment) sekitar lokasi, serta masalah yang muncul karena terjadinya pembenturan antara budaya lokal dan budaya pendatang dan sebagainya. Oleh karenanya perlu dilihat juga bagaimana dampak pengembangan pariwisata ini terhadap lingkungan fisik dan sosial. Menurut Hadiono (1996:43) kualitas lingkungan perlu diperimbangkan, karena sangat diperhatikan oleh wisatawan mancanegara. Mengenai ekoturisme, pariwisata berkelanjutan, pariwisata alternatif sehingga syarat pertama untuk pengembangan pariwisata adalah formulasi dan penempatan rencana fisik komprehensif menyajikan suatu kerangka acuan bagi promosi dan pengembangan pariwisata harus memuat antara lain tiga kriteria:
12
1. Batas daya dukung lingkungan, yaitu identitas kontruksi yang dapat didukung oleh panorama dan kota. 2. Fisik batas perluasan wisata sesuai dengan sumberdaya kawasan (darat, perairan, termasuk sumberdaya wisata alami). 3. Kenyamanan: batas-batas dari kepadatan wisata terhadap lahan, kepadatan penduduk dan kesediaan fisik akan ruang untuk menghindarkan kepenuhsesakan dan menurunnya mutu sumberdaya. Peneliti Terdahulu Widianto (2008), dalam penelitiannya berjudul Pengembangan Pariwisata Pedesaan, dengan menggunakan analisis SWOT. Hasil yang didapatkan dari penelitian bahwa pengembangan pariwisata pedesaan di desa wisata Ketingan mengandalkan daya tarik alam, yaitu habitat burung. Strategi yang akan dikembangkan adalah meningkatkan pemasaran, kualitas SDM, kualitas pelayanan, memelihara mutu dari apa yang menarik dan ditawarkan dari obyek tersebut. Hastuti (2005) dalam penelitianya yang berjudul Analisis Potensi Wisata Alam di Daerah Pesisir Selatan Kabupaten Gunung Kidul, memiliki tujuan potensi wisata daerah pantai dan faktor pembeda kunjunga n wisatawan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey dan analisis data sekunder dengan observasi dan didapat hasil: 1) Daerah penelitian mempunyai tiga potensi yaitu tinggi, sedang dan rendah. 2) Faktor yang berpengaruh terhadap perbedaan kunjungan wisata adalah industri pariwisata dan sarana pengunjung. Kesumawardhana (2004) dalam penelitiannya yang berjudul Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Kopeng, dengan menggunakan SWOT Analysis menemukan bahwa Kawasan Wisata Kopeng, merupakan potensi wisata tinggi yang menawarkan beragam aktivitas ekowisata namun memiliki kelemahan yaitu pangsa pasar yang masih rendah akibat kurangnya promosi yang dilakukan oleh pemerintah setempat. Alavalapati (2000) dalam penelitiannya tentang interaksi antara kepariwisataan, sektor-sektor ekonomi dan lingkungan dalam konteks suatu wilayah mengemukakan bahwa aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan kepariwisataan akan mempengaruhi perekonomian regional. Pengaruh tersebut akan berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain tergantung struktur ekonominya. Model yang digunakan adalah model keseimbangan umum sederhana. METODE ANALISIS DATA Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis SWOT dan Input Output. Analisis SWOT digunakan untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang ada di kepariwisataan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sehingga dapat diketahui strategi pengembangan pariwisata. Analisis Input Output digunakan untuk melihat keterkaitan sektor pariwisata dengan sektor-sektor lainnya. Analisis SWOT (SWOT Analysis). Analisis SWOT (Strenght, Weakness, Opportunitis, Threat) adalah suatu metode yang berusaha mempertemukan seluruh aspek-aspek kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang ada di dalam sektor pariwisata yang terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sehingga dapat disusun strategi pengembangan pariwisata di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
13
Analisis Keterkaitan Antar Sektor Tabel Input Output Data yang disajikan dalam tabel input output merupakan informasi rinci tentang input dan output sektoral yang mampu menggambarkan keterkaitan antar sektor dalam kegiatan perekonomian. Sesuai dengan asumsi dasar yang digunakan dalam proses penyusunannya Tabel I-O bersifat statis dan terbuka. Asumsi dasar dalam penyusunan Tabel I-O adalah sebagai berikut (BPS,1999): 1. Keseragaman (homogeneity), yaitu asumsi bahwa setiap sektor hanya memproduksi satu jenis output (barang dan jasa) dengan struktur input tunggal (seragam) dan tidak ada substitusi otomatis antar output dari sektor yang berbeda. 2. Kesebandingan (proportionality), yaitu asumsi bahwa kenaikan/ penurunan jumlah input yang digunakan oleh suatu sektor akan sebanding dengan kenaikan/penurunan output yang dihasilkan. 3. Penjumlahan (additivity), yaitu asumsi bahwa jumlah pengaruh kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan penjumlahan dari pengaruh pada masing-masing sektor tersebut. Secara sederhana kerangka dari Tabel I-O dapat dilihat pada Tabel berikut : Tabel Kerangka Tabel Input Output Kuadran I Membuat arus transaksi antar sektor
Kuadran 2 Merupakan permintaan akhir dan output total yang dirinci menurut sektor
Kuadran 3
Kuadran 4
Semua input primer yang Berisi jumlah input primer yang juga dipergunakan maupun output yang merupakan jumlah permintaan akhir dan output total dihasilkan masing-masing sektor Sumber: BPS, Kerangka Teori dan Analisis Tabel Input-Output, 1999 Klasifikasi Sektor
Klasifikasi sektor tidak saja menjadi basis dalam proses penyusunan Tabel Input Output tetapi juga berguna untuk tujuan-tujuan analisis, sebab dampak suatu sektor terhadap perkembangan ekonomi nasional ataupun regional atau sebaliknya, tidak akan dapat diketahui kalau sektor tersebut berdiri sendiri dalam klasifikasi yang dipakai. Prinsip utama dalam penyusunan klasifikasi sektor adalah keseragaman (homogenitas) dari setiap kelompok/sektor. Maksudnya, barang dan jasa atau kegiatan perekonomian yang dicakup oleh suatu sektor harus memiliki sifat yang relatif homogen/seragam. Klasifikasi sektor yang diperlukan untuk Tabel I-O adalah suatu klasifikasi yang mampu merekam semua aspek yang berkaitan dengan kegiatan produksi dan distribusi barang dan jasa. Tabel I-O Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2005 terdiri dari 45 (empat puluh lima) sektor, yang bila dikelompokkan dalam empat sektor yang digunakan oleh Chenery dan Syrquin yang terdiri dari sektor primer, sektor industri, sektor utiliti dan sektor jasa (Susanti, 2000). Pada sektor jasa, sektor 32 (Hotel), sektor 33 (Restoran) dan sektor 43 (Jasa hiburan dan rekreasi), dikelompokkan sebagai sektor Pariwisata, yang akan menjadi perhatian pada penelitian ini.
14
Untuk melihat struktur permintaan, struktur output, struktur input antara dan NTB, 45 sektor pada Tabel I-O Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diklasifikasikan ke dalam 10 sektor seperti terlihat pada Tabel berikut: Tabel Klasifikasi Tabel Input Output Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2005 (45 sektor kedalam 10 sektor) Kod e 1 2 3
Nama Sektor
Klasifikasi
Padi Tanaman Bahan Makanan Lainnya Lada
Pertanian
4 5 6 7 8 9
Karet Kelapa Sawit Tanaman Perkebunan Lainnya Walet Peternakan dan Hasil-hasilnya Kayu dan Hasil Hutan lainnya
10 11 12
Perikanan Penambangan Timah Pertambangan dan Penggalian Lainnya
13
28 29 30 31
Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan Industri Minyak dan Lemak Industri Penggilingan Padi Industri Penggilingan Lada Industri Kerupuk Industri Makanan, Minuman & Tembakau Industri Barang dari Kayu & Hasil Hutan Industri Kertas dan Barang Cetakan Industri Kimia Pengilangan Minyak Bumi Industri Batu Bata & Genteng dari tanah liat Industri Semen dan Barang-barang dari semen Industri Besi dan Baja Industri Peleburan Timah Industri Mesin, Alat angkutan & perbaikannya Industri Barang lainnya Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan
32 33
Hotel Restoran
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
43
Kode
Nama Sektor
Klasifikasi Pengangkutan dan Komunikasi
44 45 180
Angkutan Jalan Raya Angkutan Udara Angkutan laut, Sungai, Danau & Penyeberangan Jasa Penunjang Angkutan Komunikasi Bank & Lembaga Keuangan Usaha Bangunan dan Jasa Perusahaan Pemerintahan Umum dan Pertahanan Jasa Pendidikan, Kesehatan, Sosial Kemasy Jasa Perorangan & Rumahtangga Kegiatan yang tak jelas batasannya Jumlah Permintaan Antara
190
Jumlah Input Antara
200 201 202 203 204
Impor Upah dan Gaji Surplus Usaha Penyusutan Pajak Tak Langsung
205
Subsidi
209 210 301 302
Nilai Tambah Bruto Jumlah Input Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Pengeluaran Konsumsi Pemerintah
303
Pembentukan Modal Tetap Bruto
304 305 309
Perubahan Stok Ekspor Barang dan Jasa Jumlah Permintaan Akhir
310 409 509 600
Jumlah Permintaan Impor Barang dan Jasa Jumlah Margin Perdagangan dan Biaya Pengangkutan Jumlah Output
700
Jumlah Penyediaan
34 35 36 37 38 39 40 41 42
Pertambang an dan Penggalian Industri Pengolahan
LGA Bangunan Perdaganga n Pariwisata
Keuangan dan Jasa Pers Jasa-Jasa
Jasa Hiburan & Rekreasi
Sumber : BPS, Tabel Input Output, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2005, diolah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis SWOT Kekuatan (Strenght) Kekuatan yang dimiliki oleh pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah sebagai berikut: 1. Memiliki bandara udara bertaraf nasional, dengan penerbangan 10 – 15 Trip per hari dan jarak penerbangan Jakarta – Pangkalpinang dapat ditempuh hanya dengan waktu 55 menit. 15
2. Mempunyai 8 Pelabuhan laut besar untuk penumpang dan barang 3. 4. 5.
Jalan-jalan utama yang terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung kondisinya sangat baik sehingga sangat membantu kelancaran mobilitas wisatawan menuju objek wisata dan tidak pernah terjadi kemacetan lalulintas. Lokasi pendirian pusat pembangkit listrik dan suplai batubara untuk bahan bakar energi pembangkit listrik dengan lokasi strategis dan dekat pantai / pelabuhan. Hotel-hotel yang ada di objek wisata sangat bagus dengan pemandangan alam pantai yang sangat indah.
Kelemahan (Weakness) Kelemahan yang dimiliki oleh pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah sebagai berikut : 1. Pemanfaatan pelabuhan penumpang belum optimal, karena keterbatasan armada transportasi laut dan jalur pelayaran belum menjangkau seluruh pelabuhan yang ada serta pelabuhan yang dimanfaatkan untuk transportasi penumpang hanya ada 3, yaitu pelabuhan Pangkal Balam, pelabuhan Mentok dan pelabuhan Tanjung Pandan. 2.
Aksesbilitas menuju objek wisata dan pusat kota dari pelabuhan dan bandara masih sulit, karena keterbatasan jumlah angkutan umum serta keadaan jalan Provinsi dan kabupaten kerikil 95,07 Km, jalan tanah 269,20 Km dengan kriteria kondisi jalan sedang 1.004,47 Km, rusak 790,19 Km, dan rusak berat 184,97 Km.
3.
Kondisi Bandara Depati Amir saat ini adalah bandara yang hanya dapat digunakan untuk pendaratan pesawat tipe Boeing 737-200 dan jalur penerbangan masih terbatas Jakarta – Pangkalpinang , Pangkalpinang –Jakarta dan Palembang – Pangkalpinang, Pangkalpinang – Palembang. 4. Penyediaan air bersih sangat bergantung pada perusahaan air minum daerah karena keterbatasan dalam memperoleh sumber air lainnya seperti sumur galian, dan masih banyak daerah objek wisata yang belum memiliki jaringan air bersih, keberadaan air di Bangka Belitung secara umum mempunyai kadar keasaman yang tinggi, ( PH air rata-rata dibawah 6). 5. Adanya keterbatasan pasokan listrik di beberapa kawasan wisata sehingga listrik sering padam dan mengganggu kenyamanan wisatawan dan lampu jalan menuju objek wisata belum berfungsi secara optimal sehingga menyulitkan untuk berwisata di malam hari.
Peluang (Oportunity) Peluang yang dimiliki oleh pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah sebagai berikut : 1. Membuka rute pelayaran dan penerbangan yang baru untuk penumpang dan menambah jumlah armada angkutan udara dan laut. 2. Menyediakan transportasi angkutan darat dari bandara, pelabuhan dan terminal ke berbagai tujuan objek wisata. 3. Memperbaiki jalan-jalan yang dalam kondisi rusak dan membangun akses jalan baru menuju objek wisata. 4. Memanfaatkan sumber sumber air yang tersedia dengan menggunakan teknologi pengolahan air untuk mendapatkan jumlah dan kualitas air yang bersih dan sehat. 16
5.
Membangun pembangkit listrik dengan fasilitas yang lengkap, dan dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata
sekaligus
Ancaman (Threat) Ancaman yang dimiliki oleh pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah sebagai berikut : 1. Jumlah kunjungan wisatawan akan berkurang karena fasilitas bandara, pelabuhan dan terminal belum dikelola dan dimanfaatkan untuk kebutuhan wisata. 2. Wisatawan akan kecewa karena fasilitas listrik dan air tidak memadai, sehingga enggan untuk mengulangi berwisata ke Bangka Belitung. 3. Jumlah kunjungan wisatawan akan berkurang jika jumlah hotel yang mereka inginkan sangat terbatas. 4. Apabila bila kemasan masakan tidak sesuai dengan selera para wisatawan, maka restoran akan terancam tidak laku / tutup, dan menimbulkan kesan tidak baik bagi para wisatawan. 5. Jika kerajinan yang dijual harganya mahal, maka usaha tersebut akan mengalami kesulitan dan munculnya produk pesaing dari daerah lain. Strategi Pengembangan Pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Berdasarkan Analisa SWOT, Strategi Pengembangan Pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung meliputi: 1. Mengoptimalkan pemanfaatan pelabuhan penumpang dan barang dengan penambahan armada transportasi laut dan menambah jalur pelayaran yang dapat menjangkau seluruh pelabuhan. 2. Membuka jalur angkutan darat dari berbagai terminal ke objek wisata dan mengoperasikan angkutan kota sampai malam hari. 3. Meningkatkan kualitas jalan Provinsi dan Kabupaten, jalan kerikil menjadi jalan aspal 95,07 Km, jalan tanah menjadi jalan aspal 269,20 Km, memperbaiki jalan rusak sedang 1.004,47 Km, memperbaiki jalan rusak 790,19 Km dan perbaikan jalan rusak berat 184,97 Km. 4. Meningkatkan panjang landasan Bandara Depati Amir agar dapat digunakan untuk pendaratan pesawat tipe Boeing 737-400, serta menambah jalur penerbangan, secara nasional maupun asia tenggara utamanya, jalur Pangkalpinang-Jakarta-Singapura dan Pangkalpinang-Jakarta-Bali. Program Pengembangan Pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Program-program Pengembangan pariwisata yang ditetapkan adalah: 1. Pengembangan segitiga pertumbuhan Sungailiat- Mentok- Pangkalpinang, yang terdiri dari: - Program pemeliharaan dan pengembangan objek wisata sehingga mempunyai daya tarik dan menarik minat wisatawan untuk berkunjung - Program pengembangan pusat bisnis cindermata dan makanan khas Bangka Belitung. - Program pengembangan seni budaya cina dan melayu. - Program pengembangan paket wisata kota. Tujuan pengembangan program diarahkan pada pengembangan wisata budaya untuk memunculkan kekhasan budaya Kepulauan Bangka Belitung dan meningkatkan rasa cinta, rasa memiliki, serta kebanggaan terhadap budaya daerah. 2. Pengembangan wisata alam pantai terpadu, yang terdiri dari: 17
-Program peningkatan infrastruktur listrik, air dan fasilitas penunjang pariwisata kawasan pantai, dengan upaya peningkatkan penyediaan pasokan listrik dengan sebanyak 9 daya terpasang 7.002 kilowatt yang berasal dari 80 buah pembangkit listrik menjadi lebih besar dan menyediakan fasilitas air bersih di setiap objek wisata. - Program peningkatan jalan-jalan menuju objek wisata dengan meningkatkan kualitas jalan provinsi dan kebupaten. − Program peningkatan penyediaan perlengkapan dan informasi untuk pengembangan wisata pantai. Tujuan pengembangan program diarahkan pada menggalakkan wisata alam pantai sebagai tema pengembangan, untuk menumbuhkan wilayah- wilayah potensi dengan memanfaatkan kondisi alam lingkungan pantai. 3. Pengembangan industri kecil,yang terdiri dari: - Program pelatihan dan pembinaan usaha kecil kerajinan khas Bangka Belitung - Program pengembangan pemasaran dan promosi. Tujuan pengembangan program diarahkan pada pengembangan industri kecil pengusaha kerajinan, makanan khas dan peningkatan jumlah pasar wisatawan nusantara dan mancanegara, terutama yang tertarik pada industri kerajinan rakyat. Kegiatan Pengembangan Pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Beberapa kegiatan yang juga telah diagendakan diantaranya: Pekan Pameran Pembangunan dan Investasi Bisnis, Mengadakan kegiatan Seminar/Lokakarya Nasional, Pasar Malam dan hiburan masyarakat, Pentas Musik Kaula Muda dan Musik Jazz, Pertemuan Dunia Melayu Dunia Islam dan Festival Kesenian Melayu, Mengadakan pelatihan bagi peningkatan SDM di bidang pariwisata. Serta direncanakan event-event berskala nasional maupun internasional yang akan digelar secara masing-masing atau bersama-sama seperti : o o o o
Event Grass Track diagendakan sebanyak 6 ettape Event Olahraga Volley Pantai sebanyak 3 ettape Perlombaan Catur Tingkat Nasional dan Antar Grand Master Event Pertandingan Bola Kaki bertaraf nasional sebanyak 3 kali dan Internasional 1 kali dan sebagainya
Struktur Ekonomi Bangka Belitung Secara umum, struktur ekonomi provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang tergambar dalam tabel Input Output Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2005 transaksi domestik atas dasar harga produsen didominasi oleh sektor industri dengan persentase 39,81 persen atau sekitar Rp 11,702 triliyun. Demikian juga terhadap permintaan akhir sektor industri mendominasi sebesar 56,09 persen atau sekitar 10,187 tiliyun. Jika diperhatikan dari komposisi permintaan antara dan permintaan akhir sektor-sektor dalam perekonomian daerah, maka permintaan akhir memberikan kontribusi yang lebih besar yaitu sekitar 56,79 persen, sementara permintaan antara hanya sebesar 13,49 persen, artinya output yang dihasilkan dalam perekonomian lebih sedikit yang digunakan dalam proses produksi sektor-sektor perekonomian daerah. Hal ini dapat dipahami, karena output yang dihasilkan oleh sektor-sektor yang dominan lebih banyak diekspor seperti output sektor timah, sektor karet, sektor lada, kelapa sawit dan sektor sektor perikanan. 18
Sedangkan sektor pariwisata (gabungan dari sektor hotel, sektor restoran dan sektor hiburan dan rekreasi) yang akan dilihat, dalam perekonomian hanya berperan sebesar 1,3 persen dari total permintaan perekonomian daerah. Dari total permintaan akhir perekonomian, sektor pariwisata berperan sebesar 1,54 persen dan dari total permintaan antara sektor pariwisata hanya berperan 0,91 persen. Perbandingan terhadap sektor–sektor lainnya dalam perekonomian dapat dilihat pada Tabel dibawah ini. Tabel Struktur Permintaan Sektor-Sektor Perekonomian Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2005 (Juta Rp) Sektor
Deskripsi
Permintaan Antara Jumlah Persen
Permintaan Akhir Jumlah Persen
Total Permintaan Jumlah Persen
1 Pertanian Pertambangan dan 2 Penggalian
1,333,120 11.86
1,791,768 9.87
3,124,888 10.63
5,539,782 49.30
797,243 4.39
6,337,025 21.56
3 Industri Pengolahan Listrik Gas dan Air 4 Bersih
1,515,505 13.49
5 Bangunan 6 Perdagangan 7 Pariwisata Pengangkutan dan 8 Komunikasi Keu Persewaan dan 9 Jasa Perusahaan 10 Jasa-Jasa Jumlah Impor Total
110,464 0.98
10,186,597 56.09 93,433 0.51
11,702,103 39.81 203,897 0.69
286,084 2.55
1,898,464 10.45
2,184,548 7.43
1,314,934 11.70
1,365,536 7.52
2,680,470 9.12
102,808 0.91
280,312 1.54
383,120 1.30
497,091 4.42
576,515 3.17
1,073,606 3.65
468,067 4.17
214,894 1.18
682,961 2.32
68,433 0.61
955,191 5.26
1,023,624 3.48
18,159,954 100.00 2,552,932 20,712,885
29,396,241 100.00 7,073,488 36,469,730
11,236,288 100.00 4,520,557 15,756,844
Sumber: Tabel IO Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2005, diolah
Analisa Keterkaitan Ke Belakang Jenis keterkaitan ini menghitung total output yang tercipta akibat meningkatnya output suatu sektor melalui mekanisme penggunaan input produksi. Adanya peningkatan output sektor tertentu mendorong peningkatan output sektor-sektor lainnya. Peningkatan output akan meningkatkan permintaan input sektor itu sendiri. Input sektor tersebut ada yang berasal dari sektor itu sendiri, ada pula yang berasal dari sektor lain. Oleh karena itu, sektor tersebut akan meminta output sektor lain lebih banyak daripada sebelumnya (untuk digunakan sebagai input proses produksi). Ukuran ini digunakan untuk melihat keterkaitan ke belakang (backward linkage) atau daya penyebaran. Nilai keterkaitan ke belakang atau indeks daya penyebaran (IDP) ini menunjukkan efek yang ditimbulkan oleh suatu sektor karena adanya peningkatan output sektor tersebut terhadap output sektor-sektor lain yang digunakan sebagai input oleh sektor tersebut secara langsung maupun tidak langsung atau kemampuan suatu sektor untuk menarik industri hulunya. Berdasarkan Tabel 4.28. dapat dilihat sektor-sektor yang mempunyai daya penyebaran tertinggi yaitu sektor pemerintahan umum dan pertahanan dengan nilai indeks 19
penyebaran 1,5957 artinya apabila permintaan akhir seluruh sektor naik 1 unit maka akan meyebabkan output sektor sektor pemerintahan umum dan pertahanan meningkat 1,5957 unit atau adanya kenaikan 1 unit sektor ini mengakibatkan penggunaan sektor lainnya sebagai input sebesar 1,5957 unit. Diikuti oleh sektor karet dengan IDP 1,2666, sektor industri minyak dan lemak 1,2535, serta sektor industri batu bata dan genteng dari tanah liat, sektor bangunan, sektor jasa pendidikan, kesehatan, sosial kemasyarakatan, sektor industri peleburan timah, sektor industri kerupuk, sektor industri pengolahan dan pengawetan ikan dan sektor penggilingan padi. Pada nilai IDP ini terlihat sektor-sektor pariwisata menempati peringkat 11 oleh sektor hotel, 14 oleh sektor jasa hiburan dan rekreasi dan 23 oleh sektor restoran. Namun sektor-sektor ini memiliki nilai indek diatas satu atau diatas rata-rata daya penyebaran. Ini memiliki arti bahwa sektor-sektor pariwisata mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk menarik pertumbuhan output industri hulunya, yaitu sebesar 1,1685 oleh sektor hotel, 1,1117 oleh sektor jasa hiburan dan rekreasi dan 1,0105 oleh sektor restoran. Ini menunjukkan bahwa sektor-sektor pariwisata akan menumbuhkan sektor-sektor pendukungnya seperti sektor restoran, sektor perikanan, sektor perdagangan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor tanaman bahan makanan, sektor usaha bangunan dan jasa perusahaan, sektor angkutan jalan raya, dan sektor industri kerupuk. Tabel. Indek Keterkaitan Output Ke belakang Sepuluh Sektor Terbesar danSektor Pariwisata dalam Perekonomian Daerah Tahun 2005 KODE 41 4 14 23 30 42 26 17 13 15 32 43 33
NAMA SEKTOR Pemerintahan umum dan Pertahanan Karet Industri Minyak dan Lemak Industri Batu bata dan genteng dari Tanah Liat Bangunan Jasa Pendidikan, Kesehatan, Sosial Kemsyarakatan Industri Peleburan Timah Industri Kerupuk Industri pengolaha dan pengawetan ikan Industri Penggilingan Padi Hotel Jasa Hiburan dan Rekreasi Restoran
IDP 1.5957 1.2666 1.2535 1.2457 1.2402 1.2280 1.2238 1.2057 1.1976 1.1729 1.1685 1.1117 1.0105
RANK 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 14 23
Sumber: Tabel IO Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2005, diolah Analisa Keterkaitan Ke Depan Jenis keterkaitan ini menghitung total output yang tercipta akibat meningkatnya output suatu sektor melalui mekanisme distribusi output dalam perekonomian. Jika terjadi peningkatan output produksi sektor tertentu, maka tambahan output tersebut akan didistribusikan ke sektor-sektor produksi dalam perekonomian, termasuk pada sektor itu sendiri. Dalam prakteknya ukuran ini digunakan untuk melihat keterkaitan ke depan (forward linkage) atau derajat kepekaan. Nilai keterkaitan ke depan atau indeks derajat kepekaan (IDK). Nilai indeks ini menunjukkan efek relatif yang disebabkan oleh perubahan sektor lain yang menggunakan output tersebut atau kemampuan suatu sektor mendorong perkembangan industri hilirnya.
20
Berdasarkan Tabel dibawah dapat diketahui bahwa sektor yang mempunyai IDK tertinggi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah sektor perdagangan dengan 3,0931 pada tipe perekonomian tertutup (tipe II). Nilai ini menunjukkan bahwa kenaikan 1 unit permintaan akhir sektor perdagangan akan menyebabkan naiknya output sektorsektor lain termasuk sektornya sendiri secara keseluruhan sebesar 3,0931 unit. Peringkat kedua yaitu sektor perikanan dengan IDK sebesar 2,4823. Diikuti sektor usaha bangunan dan jasa perusahaan 1,2487, sektor bangunan 1,1549, sektor tanaman bahan makanan lainnya 1,0718 serta sektor padi, sektor pertambangan dan penggalian lainnya, sektor industri dan pengawetan ikan, dan sektor angkutan jalan raya. Pada sektor pariwisata ternyata sektor hotel dan sektor jasa hiburan dan rekreasi kemampuannya mendorong sektor hilir masih berada dibawah rata-rata derajat kepekaan, hal ini terlihat dari nilai yang masih dibawah 1 (satu). Namun sektor restoran memiliki keterkaitan yang tinggi dalam mendorong sektor-sektor lain dengan nilai diatas satu. Hal ini menggambarkan sektor restoran relatif mampu melayani permintaan sektor-sektor lain. Melihat dearajat kepekaan sektor-sektor pariwisata yang berbeda, maka terhadap sektor yang nilainya masih berada dibawah rata-rata diperlukan perhatian terhadap permintaan pada sektor tersebut. Terlihat keberadaan sektor hotel dan sektor jasa hiburan dan rekreasi yang rendah, artinya pengembangan ODTW dan masuknya wisatawan perlu ditingkatkan, sehingga permintaan akan sektor hotel dan sektor jasa hiburan dan rekreasi akan lebih meningkat. Tabel Indek Keterkaitan Output Ke depan Sepuluh Sektor Terbesar dan Sektor Pariwisata dalam Perekonomian Daerah Tahun 2005 KODE 31 10 40 30 2 1 12 13 34 33 32 43
NAMA SEKTOR Perdagangan Perikanan Usaha Bangunan an Jasa Perusahaan Bangunan Tanaman Bahan Makanan Lainnya Padi Pertambangan dan penggalian lainnya Industri pengolaha dan pengawetan ikan Angkutan Jalan Raya Restoran Hotel Jasa Hiburan dan Rekreasi
IDK 3.0931 2.4823 1.2487 1.1549 1.0718 1.0567 1.0396 1.0141 1.0087 1.0063 0.5490 0.5413
RANK 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 37 40
Sumber: Tabel IO Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2005, diolah
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat ditarik kesimpulan : 1. a. Kebijakan Pengembangan Pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung difokuskan pada pengembangan kawasan wisata unggulan dengan memperhatikan unsur pendukung industri pariwisata seperti usaha jasaboga, usaha retail, atraksi serta menetapkan tema pengembangan produk wisata yang unik dan memunculkan wisata bahari, wisata sejarah, wisata religi, kekhasan alam, seni budaya masyarakat Kepulauan Bangka Belitung sehingga saling melengkapi dan 21
meningkatkan daya tarik wisata KepulauanBangka Belitung secara keseluruhan. b. Kebijakan pengembangan kepariwisataan Kepulauan Bangka Belitung difokuskan pada aspek perwilayahan pariwisata, aspek pengembangan produk wisata, pengembangan pasar dan pemasaran, pengembangan transportasi, hotel, infrastruktur listrik dan air bersih, serta pengembangan sumberdaya manusia kepariwisataan. 2 a. Nilai IDP sektor-sektor pariwisata memiliki daya penyebaran di atas rata-rata. Ini memiliki arti bahwa sektor-sektor pariwisata mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk menarik pertumbuhan output industri hulunya. Dengan demikian sektor-sektor pariwisata akan menumbuhkan sektor-sektor pendukungnya. Sektorsektor yang memberikan dukungan pada ketiga sektor pariwisata adalah sektor perikanan, sektor perdagangan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor tanaman bahan makanan, sektor usaha bangunan dan jasa perusahaan. b. Nilai IDK sektor pariwisata ternyata sektor hotel dan sektor jasa hiburan dan rekreasi kemampuannya mendorong sektor hilir masih berada di bawah rata-rata derajat kepekaan. Namun sektor restoran memiliki keterkaitan yang tinggi dalam mendorong sektor-sektor lain. Hal ini menggambarkan sektor restoran relatif mampu melayani permintaan sektor-sektor lain. Sektor-sektor yang mampu didorong oleh ketiga sektor pariwisata adalah sektor pemerintahan umum dan pertahanan, sektor angkutan udara, sektor jasa pendidikan, kesehatan, sosial kemasyarakatan, sektor bank dan lembaga keuangan dan sektor komunikasi. c. Berdasarkan IDP dan IDK sektor pariwisata ini memiliki kemampuan menarik dan mendorong pertumbuhan output sektor-sektor lainnya dalam perekonomian daerah, namun output sektor pariwisata masih rendah akibat permintaan yang masih rendah. Artinya, perlu ditumbuhkan sektor-sektor yang telah memiliki dukungan sektor-sektor pariwisata namun belum merata, sehingga permintaan akan meningkat dan akan mengangkat IDK sektor pariwisata sehingga menjadi sektor unggulan. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka penulis memberi masukan sebagai berikut: 1.a. Promosi kepariwisataan untuk menarik minat wisatawan melalui penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang bertaraf nasional dan internasional dapat menjadi salah satu cara yang efektif dalam rangka peningkatan jumlah kunjungan wisatawan agar berkunjung ke Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. b.
Program Visit babel Archi 2010 dapat dijadikan sebagai upaya sektor pariwisata sebagai sektor unggulan, dengan melakukan investasi baik pemerintah maupun swasta pada peningkatan infrastruktur pendukung sektor pariwisata seperti hotel, infrastruktur jalan, sistem transportasi, bandara dan listrik, dan penggelaran event berskala nasional maupun internasional, maka akan dapat menarik banyak jumlah wisatawan sehingga mampu memberikan kontribusi yang lebih besar lagi terhadap perekonomian daerah.
2. Sektor yang dapat dikembangkan dalam meningkatkan permintaan sektor pariwisata yaitu:
22
a. b.
Sektor yang memiliki keterkaitan langsung yang menjadi prioritas, seperti: sektor hotel, sektor restoran, sektor jasa hiburan dan rekreasi, sektor angkutan udara, sektor jalan raya, sektor bank dan lembaga keuangan dan sektor komunikasi. Sektor yang memiliki keterkaitan tak langsung seperti sektor pemerintahan umum dan pertahanan, sektor perdagangan, dan sektor-sektor industri yang menggunakan sarana hotel, restoran dan tempat hiburan sebagai sarana berkonvensi seperti pertemuan, perjalanan insentif, konferensi dan pameran. Daftar Pustaka
Alavalapati, R Janalni R, 2000. Tourisn Impact Modeling For Resource Extraction Regions, Annals of Tourism Research, Vol 27 No. 1, 188-207. Arsyad,Lincolin,2002, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan :Ekonomi Daerah, BPFE, Yogyakarta. Bappeda, 2009. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2007-2012. BPS, 2009. Bappeda, Bangka Belitung Dalam Angka 2009, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Pangkalpinang. BPS, 2009, PDRB Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2009, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Pangkalpinang. Bratakusumah, Deddy S. dan Riyadi, 2004, Perencanaan Pembangunan Daerah, Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah, Cetakan kedua, Gramedia Pustaka Utama ,Jakarta. Dahuri, R, 2003. Paradigma baru pembangunan Indonesia berbasis kelautan, Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor Damanik, Janianton dan Helmut F.Weber,2006, Perencanaan Ekowisata: Dari Teori ke Aplikasi, Andy, Yogyakarta. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2005. Pedoman Peyusunan Neraca Satelit Pariwisata Daerah. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2006. Rencana Strategis Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 2005-2009. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2006. Statistik Kebudayaan dan Pariwisata, Pusdatin Dep.Budpar, Jakarta. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2006. Dampak Ekonomi Pariwisata 2004, disampaikan pada Workshop Neraca Satelit Pariwisata Daerah, Pusdatin Dep.Budpar, Jakarta. Dinas Perhubungan dan Pariwisata, 2006. Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2007-2013. Fakultas Pertanian Unsri dan Bappeda Kabupaten Musi Rawas, 2004, Studi Pengembangan “Ecotorism” di kawasan TNKS Kabupaten Musi Rawas, Laporan Akhir.
23
Gerry Johnson dan Kevan Scholes, 'Exploring Corporate Strategy"' New York: Prentice Hall, 1989. Gunawan, Myra P. 2005. Pendekatan Kepariwisataan dalam Perencanaan Kota. Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21 Buku 1, Konsep da Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia. URDI-LPFE UI, Jakarta Gunn, Soekadijo, R.G. 1988, Anatomi Pariwisata, Memahami Pariwisata Sebagai System Linkages, Penerbit P.T.Gramedia Pustaka Utama Jakarta. Hastuti, Retno (2005), Analisis Potensi Wisata Alam di Daerah Pesisir Selatan Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Jhinghan, M.L, 1990, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Rajawali Pers, Jakarta. Kartajaya, Hermawan, 2005. Attracting Tourist, Traders, Investors Strategi Memasarkan Daerah di Era Otonomi, MarkPlus&Co, Jakarta. Kesumawardhana, Galuh (2004), Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Kopeng. Jurnal, Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Kuswara, Ukus, 2006. Kepariwisataan dalam Perspektif Pengembangan Kota, www.budpar.go.id Mulyono, Sri,2004, Riset Operasi, LPFE-UI, Jakarta. Purwowibowo, 1998, Pengantar Pariwisata Indonesia, Penerbit Dirjen Pariwisata Jakarta. Ricardo, David.1951. On The Principles of Political Economy and Taxation Yang diterbitkan sebagai buku I dari Work and Correspondence of David Ricardo, editor Pierro Sraffa dan Maurice Dobb. Robiani, Bernadette, 2006, Prosfek Ekonomi Daerah Sumatera Selatan, Makalah Seminar Economic & Business Oulook Indonesia 2007:Dimensi Nasional dan Daerah. Kerjasama Bank Indonesia dan Fakultas Ekonomi Program Studi Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Padjajaran. Saifullah, 2000. Kajian Pengembangan Pariwisata Bahari dan Kontribusinya Pada Kesejahteraan masyarakat pesisir di Pulau Weh (sabang). Program Pascasarjana IPB, Bogor. (tidak dipublikasikan) Samuelson, Paul A.1995. Economics. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc. Siagian, Sondang P, 2003, Administrasi Pembangunan, Konsep, Dimensi, dan Strateginya, Cetakan Ketiga, April, Bumi Aksara, Jakarta. Spillane, J James, 1987. Ekonomi Pariwisata Sejarah dan Prospeknya, Kanisius, Yogyakarta. Spillane, James, 1994 . Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Cetakan Pertama Penerbit Kanisius , Yogyakarta. Syafrijal (1997).”Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian Barat”,Prisma,LP3ES, No 3 Tahun XXVI:27-38. 24
Sugiyono, 2000, Metode Penelitian Bisnis, Cetakan kedua, Alfabeta, Bandung. Sukirno, Sadono, 1994, Beberapa Aspek dalam Pembangunan Daerah. PPFE-UI, Jakarta Suparmoko, M dan Irawan (2002). Ekonomi Pembangunan, Edisi keenam, BPFE Yogyakarta Wahab, s.1992. Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan Prosfeknya. Kanisius, Yogyakarta. Widianto (2008). Pengembangan Pariwisata Pedesaan. Jurnal Ekonomi Sekolah Tinggi Pariwisata Bali. Widodo, T, 2006, Perencanaan Pembangunan: Aplikasi Komputer (Era Otonmi Daerah), PPP STIM YKPN, Yogyakarta. Yakin, A. 1997. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan. Penerbit Akademika Presindo, Jakarta. Yoeti, Oka A, 1990. Pemasaran Pariwisata, Angkasa, Bandung. _______, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan
25
26
27
JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman 212-218 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares KELIMPAHAN SERTA PREDASI Acanthaster planci di PERAIRAN TANJUNG KELAYANG KABUPATEN BELITUNG Anugrah Dwi Fahreza, Pujiono Wahyu P., Boedi Hendrarto*) Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Jl. Prof. H. Soedharto, SH, Tembalang Semarang. 50275 Telp/Fax (024) 7474698 Abstrak Kabupaten Belitung khususnya pantai Tanjung Kelayang memiliki potensi ekosistem terumbu karang dengan kondisi yang alami. Sedikitnya penelitian tentang kondisi terumbu karang di kawasan ini, menyebabkan sedikitnya informasi kondisi terumbu karang yang ada, sehingga pengelolaannya menjadi kurang diperhatikan. Pemanfaaatan terumbu karang yang kurang diperhatikan menyebabkan kerusakan terumbu karang menjadi tidak terkontrol, termasuk berkembangnya Acanthaster planci. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui kelimpahan dari Acanthaster planci pada daerah terumbu karang di perairan Tanjung Kelayang, serta mengetahui predasi atau pemangsaan Acanthaster planci pada karang. Metode dalam penelitian ini adalah metode survei dengan Line Intercept Transect (LIT) dan Kuadran Transect ( ukuran 2,5 x 2,5 cm2) digunakan untuk pengambilan data tutupan terumbu karang dan kelimpahan Acanthaster planci serta untuk pengambilan data predasi Acanthaster planci. Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Lengkuas Kabupaten Belitung, mulai bulan Juni sampai Agustus 2012. Pengamatan yang dilakukan terhadap penutupan karang hidup pada stasiun I adalah 5228cm2 dan pada stasiun II adalah 4070cm2. Untuk kelimpahan Acanthaster planci didapatkan pada masing-masing stasiun adalah 7 dan 5 individu, yang dikategorikan mempunyai ancaman lemah karena mempunyai kepadatan kurang dari 14 ind/1000m2 (0,014 individu/m2). Predasi Acanthaster planci yang diamati pada 2 stasiun, dimana pada masing-masing stasiun didapatkan ukuran rata-rata dan tingkat pemangsaan individu, yaitu pada stasiun I 17,8 cm dan stasiun II 19,3 cm dengan predasi rata-rata 176,6 dan 221,3 cm2. Predasi yang terjadi di stasiun II lebih tinggi dari stasiun I dimana tingkat predasi juga dipengaruhi oleh ukuran dari individu yang berbeda pada stasiun I dan II, dengan preferensi utama pemangsaan adalah jenis Acropora Sp. Kata Kunci : Acanthaster planci, predasi, Belitung. Abstract Belitung Regency especially in coastal regions of Kelayang cape have a coral reef with natural condition. The lack of research about that condition cause less information about the coral reefs, so that the management has become less aware of. Coral reefs is important habitat for a wide variety of marine organisms and coastal protection, economically also utilized as building materials, raw material for pharmaceutical and tourism activities. Economic utilization can cause damage to coral reefs, including the increase of Acanthaster planci population. This research purpose was to know A. planci abundance in coral reefs of the area of Kelayang cape waters, as well as its predation on coral reef. The methods used a survey method with Line Intercept Transect (LIT) and Quadrant Transect (2,5 x 2,5 cm 2) was used to collect data of coral cover and abundance of A. planci where as the quadrant transect was used to collect data of predation of A. planci. The research obtained a total cover of the living coral on the station I was 5228cm 2 and the station II was 4070cm2. A. planci abundance of each stations was 7 and 5 individual, and the abundance can be categorized as weak thread condition, which less than 14 ind/1000m2 (0,014 ind/m2). Size and predation rate in each stations were 17,8 - 19,3 cm2 and 176,6 221,3 cm2/3 days, respectively. The predation on station II is higher than station I which may be caused by size, with the main preferention of predation was Acropora sp. Keywords : Acanthaster planci, Predation, Belitung
212
PENDAHULUAN Kabupaten Belitung khususnya pantai Tanjung Kelayang memiliki potensi ekosistem terumbu karang dengan kondisi yang alami. Sedikitnya penelitian terhadap terumbu karang di kawasan ini, menyebabkan sedikitnya informasi mengenai kondisi terumbu karang yang ada sehingga pengelolaannya menjadi kurang diperhatikan. Terumbu karang selain berfungsi sebagai habitat berbagai biota laut dan pelindung pantai, secara ekonomi juga dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, bahan baku farmasi dan kegiatan pariwisata. Pemanfaaatan secara ekonomi ini dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang (Suharsono, 1996), termasuk berkembangnya Acanthaster planci. A.planci adalah jenis biota yang hidup pada daerah terumbu karang, bintang laut yang mempunyai lebih dari 21 lengan pada seluruh permukaan tubuhnya bagian atas penuh dengan duri-duri beracun, A.planci hidup dengan memangsa karang, sehingga hidupnya sangat bergantung pada karang yang ada diperairan. Di antara pemangsa karang yang ada, A.planci adalah pemangsa karang yang paling berbahaya ketika terjadi peledakan populasi (outbreak), sehingga hampir seluruh karang hidup dimangsa oleh A.planci (Moran, 1986). Kondisi terumbu karang di perairan pantai Tanjung Kelayang yang masih alami, mempengaruhi kelimpahan dari biota yang hidup di daerah tersebut termasuk diantaranya adalah A.planci. Keberadaan A.planci pada terumbu karang mempengaruhi kondisi karang itu sendiri, dengan memangsa karang. Dalam hal ini, apabila populasi A.planci cukup besar, maka memungkinkan akan terjadi kerusakan karang yang sangat tinggi. Hal ini terjadi apabila meningkatnya kompetisi perolehan makan dan mengakibatkan lebih banyak lagi jenis karang yang di makan, termasuk jenis Porites sp, yang dalam keadaan normal tidak biasa dimakan (Moran, 1990). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui kelimpahan dari A.planci pada daerah terumbu karang di perairan Tanjung Kelayang, serta mengetahui laju dari predasi atau pemangsaan A.planci pada karang. MATERI DAN METODE Materi pada penelitian ini adalah A.planci dan kondisi tutupan karang. Metode pada penelitian ini yaitu metode survei. Dalam metode survei, penelitian tidak dilakukan pada seluruh objek yang dikaji, tetapi hanya mengambil sample dari objek penelitian (Notoatmodjo, 2002). Pengambilan data dilakukan dengan melihat dan kemudian dilakukan pencatatan terhadap objek penelitian. Penilaian kondisi terumbu karang dilakukan dengan menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) (English et al, 1997), dimana terdapat 2 stasiun yang masing-masing stasiun terdapat 3 transek yang diletakkan sejajar garis pantai sepanjang 30 meter pada setiap stasiun. Pengambilan data dilakukan dengan mengukur panjang tutupan dasar terumbu dengan ketelitian 1 cm. Pengamatan kelimpahan A.planci untuk mendapatkan data jumlah A.planci di lokasi terumbu karang. Pengambilan data dilakukan dengan memantau secara langsung dan mencatat jumlah A.planci yang ditemukan disepanjang garis transek dengan area pemantauan 2,5 meter di sisi kiri dan kanan line transek dengan total luas area 150 m2. Untuk pengamatan laju predasi atau pemangsaan dari A.planci digunakan kuadran dengan luasan 2,5 x 2,5 m2 yang diletakkan pada luasan area line transek dengan titik yang telah ditentukan, yaitu 2 titik dimana terdapat 3 biota A.planci didalam masing-masing kuadran. Hal ini untuk memudahkan dalam pengamatan dari laju predasi A.planci, yang pelaksanaannya dilakukan dengan mencatat luasan karang (cm) yang dimangsa, pencatatan dilakukan selama 3 hari berturut-turut.
70 Tutupan dasar perairan (%)
60
58.1 Karang Hidup Karang Mati
50 40 30 20 10
Pasir Karang Mati Beralga Pecahan 11.1 10.9 10.5 Karang 4.8 Alga 3.1 1.5
0
Stasiun I Gambar 1. Persentase penutupan dasar perairan Stasiun I
Penutupanutupan Karang hidup (%)
HASIL a. Penutupan karang hidup di Stasiun I Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, didapatkan data penutupan dasar perairan serta persentase penutupan jenis karang hidup di Stasiun I. 40 35 30
35.6 Porites sp.
26.1
25 20 15 10
11.9 9.9 11.2 5.3
5 0
Acropora sp. Stylopora sp. Hydnopor a sp. Pocillopor a sp.
Stasiun I Gambar 2. Persentase penutupan jenis karang hidup Stasiun I
213
penutupan dasar perairan (%)
Penutupanutupan Karang hidup (%)
Berdasarkan data penutupan jenis karang diatas, dapat dilihat pada stasiun I terdapat 6 jenis karang yaitu Porites sp.; Acropora sp.; Stylopora sp.; Hydnopora sp.; Pocillopora sp.; dan Fungia sp. dimana untuk persentase jenis karang yang mendominasi adalah karang dari jenis Acropora sp. dengan persentase 35,6%. b. Penutupan karang hidup di Stasiun II Pada pengamatan yang dilakukan pada stasiun II didapatkan hasil untuk penutupan dasar perairan serta persentase penutupan jenis karang hidup. 50 45 45.2 40.9 Karang 45 Hidup 40 40 35 Karang 35 Porites sp. 31.2 Mati 30 24.9 30 Acropora sp. Pasir 25 25 Stylopora sp. 20 20 Karang Hydnopora sp. 12.2 15 Mati 15 8.8 8.5 Pocillopora sp. 10 9.5 Beralga 8.2 4.7 Pecahan 10 Fungia sp. 5 Karang 3.1 5 1.6 1.2 0 0
Stasiun II
Stasiun II
Gambar 4. Persentase penutupan jenis karang hidup Gambar 3. Persentase penutupan dasar perairan Stasiun II Stasiun II Dari data diatas dapat dilihat pada stasiun II juga memiliki 6 jenis tutupan karang hidup yaitu jenis Porites sp.; Acropora sp.; Stylopora sp.; Hydnopora sp.; Pocillopora sp.; dan Fungia sp. Dimana jenis Acropora sp. merupakan jenis dengan persentase tutupan terbesar yaitu 40,9%. c. Kelimpahan dan predasi Acantaster planci Dari pengamatan yang dilakukan, didapatkan jumlah individu A. planci pada gambar 5, dan untuk pengamatan predasi atau pemangsaan A. planci dilakukan pada satu kuadran dengan luas kuadran 2,5m x 2,5m (6,25 m2), dimana pada kuadran terdapat 3 individu A. planci yang telah ditentukan sebelumnya, pengamatan dilakukan selama 3 hari yaitu pada stasiun I dan stasiun II.
A. planci (ind)
4
4 3
3 2
2
2 Line I Line II Line III
1
1
0
0 I
Stasiun
II
Gambar 5. Individu A. planci yang ditemukan di stasiun I dan II Dari pengamatan dengan luasan area yang sama pada stasiun I dan II, jumlah individu A. planci yang ditemukan berbeda tiap stasiunnya. Dimana stasiun I berada pada sebelah tenggara pulau dan stasiun II di sebelah Barat daya.
214
206207
187195183
150
250
15 ,1
200
18
192
223215 202
230 207209
Diameter (cm)
18,1 18,4
150
100 50
260
254
Diameter (cm)
165
Predasi(cm2)
200
300 217 193
Predasi(cm2)
250
21,4
100
36
50 0
0 1
2
1
3
2
Hari ke-
3
Hari ke-
Gambar 6. Predasi A. planci stasiun I per individu pada pengamatan bulan juli 2012 (selama 3 hari) di perairan Tanjung Kelayang
Gambar 7. Predasi A. planci stasiun II per individu pada pengamatan bulan juli 2012 (selama 3 hari) di perairan Tanjung Kelayang
Dari Stasiun I dan II, terlihat pemangsaan A. planci per individu dimana pada tiap stasiun terdapat 3 individu dengan ukuran diameter yang berbeda. Dapat dilihat bahwa perbedaan ukuran dari individu juga mempengaruhi dari tingkat predasi individu itu sendiri, dari data tersebut juga dapat diketahui rata-rata pemangsaan yang terjadi selama 3 hari. 250
Rata-rata predasi(cm2)
200
221.3 176.6
150
Diameter (cm)
17 ,8 19 ,3
100 50 0 I
II Stasiun
Gambar 8. Ukuran dan predasi rata-rata individu per hari tiap stasiun Dari ukuran rata-rata individu A. planci dimana pada stasiun II memiliki ukuran yang lebih besar dari stasiun I, memiliki tingkat predasi atau pemangsaan rata-rata yang lebih besar pula. d. Penutupan karang hidup pada kuadran tiap stasiun. Pada pengamatan penutupan karang hidup yang dilakukan di lokasi yang sama saat pengamatan laju predasi A. planci yaitu pada stasiun I dan II yang diamati selama 3 hari.
215
Stasi un I Stasi un II
57.7
Persentase karang hidup
60 50
45.8
30 25
Persentase karang hidup
70
20 15
40 30
Stasiu nI
25.4 23.9 17.7
16.9 12.6
10
25.4 23.9 17.7
20
16.9 12.6
10
5 0
0
Gambar 9. Persentase karang hidup sebelum pemangsaan di lokasi pengamatan
Gambar 10. Persentase karang hidup setelah pemangsaan (selama 3 hari)
Dari dua gambar diatas dapat dilihat terjadinya penurunan persentase dari jenis Acropora setelah 3 hari pengamatan. Terlihat juga bahwa A. planci pada pengamatan hanya melakukan pemangsaan pada jenis karang Acropora, dimana dapat dilihat untuk jenis karang lainnya memiliki persentase yang sama setelah 3 hari pengamatan. e. Analisa regresi dari predasi Acanthaster planci Berdasarkan data dari laju predasi A. planci yang kemudian dilakukan uji regresi dari predasi A. planci di Stasiun I dan II dengan grafik pada Gambar 11 dan Gambar 12. 1000 y = 193.3x - 48.66 R² = 0.825
Luasan predasi (cm2)
750 500 250 0 0
1
2
3
4
Waktu (hari) Gambar 11. Luasan predasi A. planci selama 3 hari di Stasiun I
Gambar 12. Luasan predasi A. planci selama 3 hari di Stasiun II
PEMBAHASAN Pada data hasil penelitian didapatkan 6 jenis penutupan karang hidup pada stasiun I dan II yaitu Porites sp.; Acropora sp.; Stylopora sp.; Hydnopora sp.; Pocillopora sp.; dan Fungia sp., dengan total penutupan karang hidup pada stasiun I adalah 5228cm2 dan pada stasiun II adalah 4070cm2, dari 9000m2 total luasan masing-masing stasiun. Dari angka tersebut maka didapatkan persentase penutupan karang hidup pada masing-masing stasiun adalah stasiun I 58,1% dan stasiun II 45,2%. Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 47 Tahun 2001, kondisi penilaian ekosistem terumbu karang dengan persentase tutupan 25 - 49,9% merupakan kategori sedang dan 50 - 74,9% merupakan kategori baik. Sedangkan menurut pendekatan Gomez dan Yap (1988), tutupan karang hidup dengan persentase 50 – 74,9% tergolong dalam kondisi baik dan 25 – 49,9% dalam kondisi sedang, sehingga pada stasiun I kondisi tutupan karangnya masih tergolong baik dan pada stasiun II tergolong sedang. Kondisi ekosistem terumbu karang dapat digambarkan
216
melalui prosentase tutupan karang hidup yaitu proporsi koloni karang keras (hard coral) dalam keadaan hidup yang menyusun ekosistem terumbu karang (English et al, 1997). Dari data yang tersaji pada hasil juga didapatkan persentase dari masing-masing jenis karang pada tiap stasiun, dimana pada stasiun I persentase tutupan masing-masing jenis adalah Porites sp. 26,1%; Acropora sp. 35,6 %; Stylopora sp. 9,9%; Hydnopora sp. 11,9%; Pocillopora sp. 11,2%; dan Fungia sp. 5,3%, dan persentase tutupan pada stasiun II adalah Porites sp. 24,9%; Acropora sp. 40,9%; Stylopora sp. 8,5%; Hydnopora sp. 12,2%; Pocillopora sp. 4,7%; dan Fungia sp. 8,8%. Hal ini menunjukkan adanya kesamaan antara stasiun I dan II yaitu dengan persentase tutupan dari jenis Acropora sp. yang lebih tinggi dibanding jenis lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada perairan Tanjung Kelayang mempunyai kondisi perairan yang stabil, sehingga karang yang mempunyai tipe pertumbuhan bercabang dapat berkembang dengan baik, dimana karang tersebut merupakan salah satu kelompok karang yang dominan pada suatu perairan (Thamrin, 2006). Menurut Suharsono (1996), Jenis-jenis karang bercabang (branching) lebih rentan terhadap arus dan gelombang yang kuat karena mudah patah. Selain itu, karang dengan bentuk pertumbuhan bercabang merupakan jenis karang yang paling cepat dalam pertumbuhannya, karena tumbuh dan berkembang ke atas sehingga lebih banyak menerima cahaya daripada koloni-koloni dibawahnya (Barnes dan Hughes,1988). Selain jenis Acropora sp, karang dengan bentuk pertumbuhan bercabang yang ditemukan di lokasi penelitian dari jenis Stylophora sp dan Pocillopora sp. Karang dari jenis Pocillopora sp ini merupakan salah satu jenis karang perintis yang mampu hidup menempel pada substrat baru dan tumbuh dengan cepat (Endean dan Cameron, 1990). Pada lokasi penelitian yaitu stasiun I dan II didapatkan kelimpahan masing-masing stasiun adalah 7 individu dan 5 individu, A. planci dikategorikan alami jika kurang dari 14 ind/1000m2 dan ancaman jika lebih dari 14 ind/1000m2. Sehingga pada masing-masing stasiun didapatkan jumlah A. planci yang ditemukan, 7 individu pada stasiun I dan 5 individu untuk stasiun II. Hal ini menunjukkan bahwa kelimpahan A. planci pada kedua stasiun masih tergolong dalam kondisi alami, walaupun begitu kelimpahan stasiun I cenderung mengarah pada kondisi ancaman karena nilai kelimpahannya sedikit lebih besar. Menurut Moran (1990), A. planci pada umumnya menyukai daerah terumbu karang dengan persentase tutupan karang yang tinggi, sedangkan anakan A. planci lebih menyukai tempat yang terlindung dengan cara bersembunyi di bawah bongkah-bongkah karang atau pecahan karang. Hal ini menunjukkan bahwa ditemukannya perbedaan kelimpahan pada tiap stasiun tidak terlalu dipengaruhi oleh perbedaan dari persentase tutupan karang. Dimana pada stasiun I dengan persentase tutupan karang hidup 58,1% dan stasiun II 45,2%, namun pada stasiun II A. planci yang ditemukan lebih banyak dibandingkan pada stasiun I. Pada pengamatan laju predasi A. planci yang diamati pada kuadran 2,5 x 2,5 meter selama 3 hari, laju predasi pada stasiun II lebih tinggi dibanding stasiun I. Hal ini dipengaruhi oleh berbedanya ukuran individu pada kedua stasiun, dimana rata-rata ukuran pada stasiun I yaitu 17,8 cm dan pada stasiun II 19,3 cm dengan laju predasi rata-rata yaitu 176,6 dan 221,3 cm2. Menurut Moran (1990), Satu individu dewasa A. planci dapat memangsa rata-rata 5 - 6 m2 koloni karang/tahun dan juga mengatakan bahwa A. planci dapat bertahan tanpa makanan selama 6 - 9 bulan. Dari aktifitas makan individu A. planci juga menunjukkan adanya preferensi makanan terhadap jenis karang tertentu. Adanya preferensi makanan tersebut ditunjukkan dari berkurangnya persentase jenis karang Acropora setelah 3 hari pengamatan. Hal disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain yaitu kondisi A. planci, morfologi karang, dan ketersediaan makanan (Moran, 1990). De’ath dan Moran (1998) mengatakan bahwa bentuk pertumbuhan karang juga turut mempengaruhi preferensi makanan dari A. planci, bentuk pertumbuhan yang paling disukai pada semua genera karang adalah tabular dan yang kurang disukai adalah bentuk pertumbuhan masif. Lebih lanjut De’ath dan Moran (1998) mengemukakan bahwa genera karang yang paling disukai untuk dimangsa oleh A. planci adalah dari genera Acropora dan yang paling tidak disukai adalah genera Porites. Dalam hal ini diperoleh keterangan bahwa A. planci mempunyai preferensi terhadap jenis-jenis tertentu dari karang. Dalam hal ini jenis-jenis karang yang dimangsa adalah bentuk tabulate dan bercabang seperti jenis dari kelompok Acropora sp. Keberadaan A. planci mengakibatkan jenis Acropora sp. hampir habis dalam periode 1 tahun, berkurangnya jenis-jenis dari karang ini menyebabkan berkurangnya populasi dari A. planci, dan individu yang tersisa dari biota tersebut kemudian memangsa jenis-jenis dari karang masif. Pada penelitian yang dilakukan, laju predasi A. planci mempunyai pola linier baik di Stasiun I maupun Stasiun II dengan model masing-masing Y1 = 193,3x - 48,66 (R² = 0,825) dan Y2 = 221,5x - 5 (R² = 0,982) dengan Y merupakan luas karang yang dimangsa A. planci dan x merupakan waktu (hari) (Gambar 11 dan 12). Dari hasil regresi keduanya dapat dilihat peningkatan predasi selama 3 hari pemangsaan yang dilakukan A. planci di lokasi pengamatan stasiun I dan II, dimana tingkat predasi pada kedua lokasi tersebut hampir sama, namun demikian meskipun tidak berbeda, kecenderungan laju pada stasiun II lebih tinggi. Pemangsaan yang terjadi juga dipengaruhi oleh berbedanya ukuran dari individu A. planci yang ditemukan, Moran (1986) juga mengatakan bahwa tingginya laju predasi di kawasan terumbu diduga disebabkan oleh arus dan pengaruh kondisi perairan lainnya, meskipun pada kawasan ini memiliki tingkat tutupan karang hidup yang lebih rendah dibandingkan terumbu lainnya.
217
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kelimpahan individu A. planci untuk masing-masing stasiun adalah 7 individu pada stasiun I dan 5 individu pada stasiun II. Biota yang ditemukan pada kawasan penelitian ini dipengaruhi oleh kondisi dari perairan dan juga lokasi tersebut merupakan daerah kawasan wisata, sehingga mempengaruhi dari kondisi biota perairan disekitar. Predasi A. planci terhadap terumbu karang pada kedua stasiun memiliki tingkat pemangsaan yang tidak berbeda berdasarkan uji regresi, dimana dari hasil pengamatan untuk predasi diketahui bahwa rata-rata individu A. planci memiliki hubungan antara pemangsaan dengan ukuran diameternya, dengan jenis dari koloni karang yang lebih sering dimangsa adalah dari jenis Acropora sp. SARAN Perlu adanya pengambilan data secara kontinyu, sehingga diketahui dampak dari kerusakan ekosistem terumbu karang secara menyeluruh selain dari akibat pemangsaan A. planci. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai penanggulangan dari kerusakan karang akibat pemangsaan A. planci serta penyebab lainnya. Ucapan Terimakasih Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Dr. Ir. Pujiono Wahyu P., MS selaku pembimbing utama dan Drs. Ign. Boedi Hendrarto, MSc, Ph.D selaku pembimbing anggota yang telah membimbing dan membantu dalam penyusunan penulisan ini, serta keluarga dan teman–teman yang turut berpartisipasi dalam penelitian dan terus memberikan dukungan. DAFTAR PUSTAKA Barnes, R. S. K and Hughes, R. N. 1988. An Introduction To Marine Ecology Scientific Publication, Oxford. De’ath, G. and P. J. Moran, 1998. Factors affecting the behaviour of crown of thorns starfish (Acanthaster planci L.) on The Great Barrier Reef: 2: Feeding preferences. J. Exp. Mar. Biol. Ecol 220:107-126. Endean, R. and A. M. Cameron. 1990. Trends and New Prespective in Coral Reef Ecology. In : Ecosystem of World. Vol. 25. Coral Reef. Z. Dubinsky (Ed). Elsevier. Amsterdam English, S.C. Wilkinson and V Baker, 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources 2nd, Australian Institute of Marine Science, Townsville. Gomez, E.D and H.T. Yap. 1988. Monitoring Reef Condition dalam Coral Reef Management Hand Book, Second Edition. R.A. Kenchington dan Brydget E.T. Hudson (Editor). Unesco Regional Officer For Science and Tecnology Fot South East Asia. Jakarta. Gomez, K.A dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi ke-2. UI, Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup. 2001. Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengendalian Dampak Lingkungan Era Otonomi Daerah. Jakarta. 737-739 hal. Moran, P. J., 1986 a. A Close Look: The Crown of Thorns Starfish. The Crown of Thorns Starfish, Australian Science Magazine, Issue 3. GBRMPA, Queensland. Moran, P. J., 1990. The Acanthaster planci (L.); Biographical data. Coral Reefs 9; 95-96. Notoatmodjo, S. 2002. Metode Penelitian Kesehatan. Rineke Cipta, Jakarta, 207 hal. Sorokin, Y.I, 1995. Coral reef Ecology. Springer-Verlag, Berlin. Suharsono. 1996. Jenis-Jenis Karang yang Umum di Jumpai di Perairan Indonesia. Puslitbang Oseonologi. LIPI. Jakarta. Thamrin. 2006. Karang. Biologi Reproduksi dan Ekologi. Minamandiri Press. Pekanbaru.
218
Model Bisnis Industri Tambang Timah Berkelanjutan (Studi Kasus Bangka Belitung)
Model Bisnis Industri Tambang Timah Berkelanjutan (Studi Kasus Bangka Belitung) R. Rudy Irawan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Ujang Sumarwan Budi Suharjo Institut Pertanian Bogor Setiadi Djohar PPM School of Management Abstract: Bangka Belitung province’s economy has a very high dependence on the tin. BPS data of 2013 showed tin contributed 33.60% PDRB and expected of more than 70% if the multiplier effect applied (Megawandi, 2013). But the tin mining industry is currently facing complex problems including undeveloped downstream (Widyatmiko, 2012), environmental damage (Sapanli, 2009; Inonu, 2010; Walhi, 2013), illegal small scale mining (Elfida, 2007; Sapanli 2010), and overlap of licensing and laws (Purba, 2007; Hayati, 2011; Bastida and Paramita, 2013), social issues (Aziz and Salim, 2005; Zulkarnain et al 2005; Erman, 2007; Resosudarmo and Subiman, 2010), damage of the forest (Sidabukke, 2011) and other problems. This study aims to design a business model of tin mining industry in Bangka Belitung so the sustainable issues can be resolved. The methodology used in this study was in-depth structured interview of expert stakeholders. The results of the study showed a chart which was interrelated relationship between elements which were created and delivered value for the industry and the state. The study of tin business model is a flow chart of the mining process to the trade. Keywords: business model, tin mining industry, sustainable Abstrak: Perekonomian Provinsi Bangka Belitung memiliki ketergantungan terhadap timah sangat tinggi. Data BPS 2013 menunjukkan timah menyumbang 33.60% PDRB dan diperkirakan lebih dari 70% bila dengan efek multiplier (Megawandi, 2013). Akan tetapi industri tambang timah saat ini menghadapi permasalahan yang kompleks diantaranya hilirisasi belum berkembang (Widyatmiko, 2012), kerusakan lingkungan (Sapanli, 2009; Inonu, 2010; Walhi, 2013), tambang inkonvensional liar (Elfida, 2007; Sapanli, 2010), hukum dan perizinan yang tumpang tindih (Purba, 2007; Hayati, 2011; Bastida dan Paramita, 2013), permasalahan sosial (Aziz dan Salim, 2005; Zulkarnaen, et al., 2005; Erman, 2007; Resosudarmo dan Subiman, 2010), kerusakan hutang lindung (Sidabukke, 2011) dan permasalah lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk merancang model bisnis industri tambang timah di Bangka Belitung yang berkelanjutan sehingga permasalahn tersebut dapat diselesaikan. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah in-depth interview terstruktur stakeholder pakar. Hasil kajian menunjukkan bagan yang merupakan hubungan yang saling terkait terhadap elemen-elemen yang menciptakan dan memberikan nilai bagi industri maupun Negara. Model bisnis timah kajian ini berupa bagan yang merupakan alur dari proses penambangan hingga perdagangan. Kata Kunci: model bisnis, industri tambang timah, berkelanjutan Alamat Korespondensi: R.Rudy Irawan, Sekolah Pascasarjana Manajemen Bisnis Institut Pertanian Bogor, E-mail: rudyirawan127@ yahoo. com TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011 197
ISSN: 1693-5241
197
R. Rudy Irawan, Ujang Sumarwan, Budi Suharjo dan Setiadi Djohar
Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi kekayaan alam yang sangat besar. Potensi kekayaan alam tersebut berupa yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Kekayaan alam yang tidak dapat diperbaharui adalah minyak bumi, gas alam, batubara, barang tambang dan mineral lainnya yang memberikan kontribusi yang cukup besar pada perekonomian Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan pada tahun 2012 kontribusi barang tambang dan mineral memiliki kontribusi 11,93% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2011 (BPS 2012). Tingginya kontribusi barang tambang mineral dalam perkembangan perekonomian Indonesia ke depan sehingga perlu dijaga dan dioptimalkan. Potensi barang tambang dan mineral di Indonesia terdiri dari batubara, bauksit, nikel, emas, perak, granit, biji besi, konsentrat timah dan kosentrat tembaga. Barang tambang dan mineral tersebut berguna sebagai potensi pemasukan negara untuk keberlanjutan pembangunan di Indonesia. Data dari BPS menyebutkan terjadi peningkatan yang signifikan terhadap PDB dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2011 sebesar empat kali lipat lebih dari tahun 2004. Peningkatan PDB menggambarkan pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sejalan dengan kajian Brunnschweiler (2008) menyatakan adanya hubungan positif antara kelimpahan sumber daya alam dengan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, kelimpahan barang tambang dan mineral memiliki peran penting dalam perkembangan Indonesia kedepan dalam menghadapi era globalisasi dan persaingan perdagangan bebas. Berdasarkan data WEF 2013 Indonesia berada di peringkat 38 masih tertinggal dari Negara-negara ASEAN. Peringkat daya saing negara tersebut memberikan informasi agar industi di Indonesia harus terus berupaya mengembangkan daya saingnya. Salah satu cara mengembangkan model bisnis yang sesuai untuk kondisi pilar-pilar daya saing Indonesia yang belum terbangun dengan baik. Pengembangan model bisnis tersebut agar mampu menghadapi dunia bisnis yang sangat kompleks, cepat berubah dan banyak ketidakpastian. Dalam mengembangkan model bisnis yang sesuai, industri perlu memperhatikan berbagai aspek yang mempengaruhi keberlanjutan bisnis. Perlunya industri membentuk model bisnis yang dapat membangun keberlanjutan di masa akan datang. 198
Model bisnis yang dikembangkan juga harus mampu menjawab berbagai masalah yang di hadapi industri tambang timah di Indonesia saat ini yaitu hilirisasi industri yang belum berkembang (Widyatmiko 2012), kerusakan lingkungan (Sapanli 2009; Inonu 2010; BLHD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2012; Walhi 2013), tambang inkonvensional liar (Elfida 2007; Sapanli 2010), hukum dan perizinan tambang timah yang tumpang tindih (Purba, 2007; Hayati, 2011; Bastida dan Paramita, 2013), permasalahan sosial (Aziz dan Salim, 2005; Zulkarnaen, et al., 2005; Erman 2007; Resosudarmo dan Subiman 2010), kerusakan hutang lindung (Sidabukke, 2011) dan permasalah lainnya. Permasalahan yang komplek tersebut saling berhubungan dan terkait antar pemangku kepentingan satu dengan yang lainya dalam industri tambang timah di Indonesia. Desain model bisnis yang ada diharapkan mampu mengakomodasikan berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholder) sehingga dapat menyelesaikan permasalahan yang ada di industri tambang timah di Indonesia. Selain hal tersebut model bisnis perlu juga meningkatkan potensial keuntungan, peningkatan nilai dalam industri, menghindari konflik yang terjadi antar stakeholder, peningkatan ekonomi, peningkatan penjualan, dan pengurangan risiko industri yang besar. Selanjutnya diharapkan model bisnis industri tersebut menciptakan nilai keberlanjutan, kesejahteran maupun daya saing industri. Untuk itu perlu kajian yang komprehensif untuk mendesain model bisnis yang tepat. Dengan demikian pertanyaan manajemen dalam kajian ini adalah bagaimana model bisnis yang tepat dalam industri tambang timah di Indonesia? Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka tujuan penelitian ini adalah membandingkan dan merancang model bisnis yang sesuai di industri tambang timah di Indonesia untuk meningkat potensial keuntungan industri dengan peningkatan nilai industri. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah model bisnis industri berguna untuk meningkatkan potensial keuntungan industri dengan peningkatan nilai di industri tambang timah. Desain model bisnis tersebut diharapkan dapat digunakan oleh berbagai pihak yang berkepentingan atau industri untuk menjalankan binis yang berkelanjutan. Ruangan lingkup penelitian dibatasi pada industri tambang timah di Indonesia studi kasus Provinsi Bangka
JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 12 | NOMOR 2 | JUNI 2014
Model Bisnis Industri Tambang Timah Berkelanjutan (Studi Kasus Bangka Belitung)
Belitung. Kebaharuan dari penelitian ini adalah menghasilkan terobosan baru dalam mengatasi permasalahan dengan model bisnis yang terintegrasi di industri tambang timah di Indonesia Nenoen dan Storbacka (2010) mengkaji perbedaan definisi model bisnis dari beberapa literatur terdahulu. Hasil kajian menyimpulkan terdapat beberapa makna model bisnis. Secara garis besar terdapat empat definisi model bisnis dari berbagai literatur terdahulu yaitu: (a) Definisi model bisnis adalah penciptaan nilai pelanggan sebagai salah satu elemen inti. Penciptaan nilai pelanggan dibahas dalam berbagai istilah yang berbeda seperti desain penciptaan nilai (value creation design), nilai proposisi (value proposition) atau menciptakan nilai (create value). (b) Definisi model bisnis berkaitan dengan logika laba yang disebutkan dengan berbagai istilah seperti potensi keuntungan (profit potential), logika pendapatan (revenue logic), atau formula keuntungan (profit formula). Model bisnis adalah bagaimana perusahaan menghasilkan keuntungan dari operasinya. (c) Definisi model bisnis berkaitan dengan struktur rantai nilai (structure of value chain), jaringan mitra (partner network) atau jaringan nilai (value network). Tinjauan ini menunjukkan bahwa model bisnis juga berorientasi eksternal dan hubungan dengan berbagai aktor dalam jaringan nilainya. (d) Definisi model bisnis berkaitan dengan sumber daya dan kemampuan yang dimiliki perusahaan seperti kompetensi inti (core competency), sumber daya (resources) atau proses. Kerangka model bisnis yang komprehensif harus mampu menggambarkan sumber daya dan kemampuan dasar perusahaan. Berbeda dengan Nenon dan Storbacka (2009), Osterwalder (2004), Osterwalder dan Pigneur (2010) menyajikan model bisnis yang terdiri dari sembilan blok bangunan terdiri dari segmen pelanggan, proposisi nilai, saluran, hubungan pelanggan, aliran pendapatan, sumber daya inti, aktivitas inti, kunci kemitraan. Model blok bangunan tersebut sesuai untuk produk retail. Bisnis model yang dikembangkan oleh Osterwalder dan Pigneur (2012) menitikberatkan pada efisiensi dan penciptaan nilai. Bisnis model kanvas berguna untuk menggambarkan model bisnis perusahaan dan menggambarkan kemungkinan untuk adaptasi. Pengetahuan terkait prinsip desain model bisnis berguna untuk industri dalam meningkatkan keuntungan
secara maksimal. Salah satu cara yang lebih mudah untuk merancang model bisnis adalah dengan membandingkan model bisnis yang telah ada sehingga industri hanya perlu modifikasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan perusahaan. Ada beragam model bisnis yang ada di industry mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks. Ada berbagai macam bentuk model bisnis yang diterapkan dalam bisnis atau industri. Berikut ini berbagai model bisnis yang diperoleh dari literatur. (1) Model bisnis berbiaya rendah (low-cost business model). Model bisnis biaya rendah mengalami perkembangan yang signifikan pada negara berkembang dimana perusahaan lokal dan multinasional berupaya mengembangkan desain model bisnis baru untuk melayani segmen pelanggan yang memiliki keterbatasan finansial. Model biaya dengan berupaya menekan harga murah diseluruh rantai nilai yang ada. Organisasi berupaya untuk membatasi biaya overhead pada lowcost business model. Salah satu contoh low-cost business model adalah dalam industri penerbangan yang dikenal penerbangan low-cost carrier (Daft dan Albers 2013) yang banyak berkembang pada beberapa tahun ini. (2) Model bisnis harbor and fleet dikemukan oleh Purdy et al (2012). Pada model bisnis ini satu perusahaan (sebagai pelabuhan-harbor) yang mampu menyediakan wadah bagi perusahaan lain sehingga keuntungan ekonomi dapat diperoleh. Salah satu contoh model bisnis adalah yang dilakukan oleh perusahan internet Amazon sebagai harbor (pelabuhan) yang mampu efisiensi dalam manajemen gudang dan manajemen pengadaan barang. Selain itu berkembangnya perusahaan outsourcing di Indonesia merupakan penerapan dalam model bisnis ini. (3) Model bisnis demand forum disampaikan oleh Purdy et al (2012). Pada model bisnis ini menciptakan akses lebih besar dan lebih baik pada permintaan pelanggan. Keuntungan model bisnis adalah meningkatkan pengenalan pasar, meningkatkan informasi permintaan dan membangun reputasi. Salah satu contoh model bisnis ini adalah situs collective-buying. Salah satu model bisnis yang berkembang di Indonesia saat ini situs jual-beli yang merupakan tempat permintaan dan penjualan. (4) Model bisnis multivalent sourcing oleh Purdy, et al. (2012). Model bisnis merupakan refleksi berbagai hubungan ikatan yang terbentuk dalam stakeholder. Salah satu keuntungan utamanya adalah
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011
ISSN: 1693-5241
199
R. Rudy Irawan, Ujang Sumarwan, Budi Suharjo dan Setiadi Djohar
menawarkan jasa group-buying kepada usah kecil dan menengah. (5) Customer-integrated business model. Konstruksi model bisnis terintegrasi dengan pelanggan disampaikan oleh Ple, et al. (2010). Pada model bisnis ini adanya partisipasi pelanggan dalam proses desain, produksi, atau pengiriman dan sebagainya. (6) Model bisnis inovasi (inovation business model). Model bisnis inovasi merupakan model bisnis yang banyak diterapkan oleh perusahaan berbasis teknologi informasi atau jasa. Menurut Leavy (2010) model bisnis inovasi merupakan sebuah proses yang terus menerus bukan titik waktu dalam penciptaan. (7) Model bisnis jaringan global (Global network business model). Keuntungan model bisnis jaringan global adalah mengurangi biaya produksi dan lebih fleksibel dalam pemilihan pemasok. Salah satu contoh industri yang menggunakan model bisnis jaringan dilakukan pada pakain jadi. Perusahaan besar di Amerika dan Eropa melakukan subkontrak pembuatan pakaiannya di negara-negara berkembang seperti Bangladesh, Indonesia dan Vietnam. (8) Model bisnis sosial. Menurut Michelini dan Fiorentino (2011) keuntungan dengan model bisnis sosial adalah mudahnya akses ke pasar lokal, mudahnya jaringan produksi dan distribusi lokal, adanya hubungan yang positif dengan masyarakat lokal dan pemerintah, dan pengembangan CSR yang lebih tepat guna. (9) Model bisnis industri tambang timah Indonesia. Kajian The Sustaibale Trade Initiative dengan artikel Supporting Sustainable Tin Production in Bangka yang disampaikan dalam ITRI Indonesia Tin Forum pada tanggal 11 Desember 2013 menjelaskan model bisnis industri timah di Indonesia dalam Gambar 1. IDH (2013) melaporkan permasalahan yang muncul dari model bisnis tersebut bagi pemerintah yaitu: (a) Beberapa aktivitas pertambangan tidak memiliki legalitas yang pasti. (b) Status hukum dari banyak penambang TI tidak jelas. (c) Peraturan yang tidak lengkap atau belum ada. (d) Kurangnya tata kelola dalam kapasitas institusi yang terbatas pada level lokal. (e) Koordinasi antar kementerian pemerintah kurang optimal. Berbagai kajian terkait model bisnis juga telah banyak dilakukan oleh peneliti seperti terlihat dalam Tabel 1. Model bisnis merupakan hubungan yang saling terkait terhadap elemen-elemen yang menciptakan dan memberikan nilai bagi industri maupun perusahaan.
200
Penciptaan nilai bagi industri atau perusahan tersebut dapat meningkatkan potensial keuntungan bagi industri maupun perusahaan serta bagi negara. Pada kajian ini berupaya mencari model bisnis yang sesuai di industri tambang timah di Bangka Belitung. ?
Po li si
Kew enang an sec ara adat
?
P ara pen amba ng ink onv esi on al (t idak res mi)
P ara pen amba ng skal a bes ar ( res mi )
Peng um pul
Sm elt er In depen den
Smel ter t eri nteg ras i
P eny edia j asa Per us ahaan so lder Para p enamb ang in kon ves ion al ( resmi)
I NAT IN
Gudang penyimpanan
Bur sa Efek Jak art a
Gudang penyimpanan
Peru sah aan pe mur nian asi ng
Gudang penyimpanan
L ond on Met al E xchan ge
Gudang penyimpanan
Per usahaan sol der dan manu fakt ur
Guda ng penyimpanan
Gambar 8. Model Bisnis Industri Tambang Timah di Indonesia Saat Ini Sumber: IDH (2013)
METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif dan eksploratif. Metodologi yang digunakan dengan indepth-interview pakar timah. Responden dipilih dengan cara sengaja (purposive sampling) dengan menentukan terlebih dahulu responden ahli yang akan diwawancara. Responden yang dipilih dengan teknik non-probability sampling dengan convience sampling. Adapun responden pakar terlihat dalam Tabel 2. Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Bangka Belitung yang merupakan tempat penghasil timah dan Jakarta. Penelitian dilakukan selama tujuh bulan dari bulan September 2013–Maret 2014. Desain penelitian merupakan studi kasus (case study) yang dirancang khusus untuk mempelajari secara rinci dan mendalam kasus industri tambang timah di Bangka Belitung.
JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 12 | NOMOR 2 | JUNI 2014
Model Bisnis Industri Tambang Timah Berkelanjutan (Studi Kasus Bangka Belitung)
Tabel 1. Penelitian Terdahulu Model Bisnis Penulis Panag iotopoulus et al. (2012) Nenonen dan Storbacka (2010) Chen dan Yung (2004) Richter (2013) Dunford, et al. (2010)
Palo dan Tahtinen (2013) Kindstrom (2010)
Judul Business model perspective for ICTs in public engagement Business model design: conceptualizing networked value co-creation Business model for exploration of travel Websites in Taiwan Business model innovation for sustainable energy: German utilities and renewable energy Business Model Replication for Early and Rapid Internationalisation The ING Direct Experience Networked business model development for emerging technology-based services Towards a service-based business model – Key aspects for future competitive advantage
Metode Semi stuktur wawancara pada informan int i pada internal dan eksternal stakeholder yang mempengaruhi sistem Melakukan interview untuk memahami padangannya dan focus group discussion untuk membentuk sistemat is model bisnis dengan kombinasi literatur empiris Survei dengan kuesioner Ekploratif kualitatif dengan wawancara mendalam Data primer dari wawancara semi terstruktur dengan semua stakeholder dan pimpinan puncak perusahaan Kajian ini mengunakan metode longitudinal dan indetifikasi dokumen secara empiris. Data empiris dari dua sumber yaitu wawancara dan focus group discussion.
Tabel 2. Responden In-depth Interview Terstruktur Stakeholder Pakar Nama H. Erzaldi Rosman, SE, MM Petrus Chandra MBA Ir.Sukrisno Irjen Polisi (Purn) Drs. Iskandar Hasan, SH, MH Ir. Sutriono Edi, MBA Ir. Wahid Usman, MBA Ir. Surawadi Nazar, MSc Ir. Suryadi Saman Dr. Ir. Bambang Setiawan Dr. Erwiza Erman, MA Drs. Hudarni Rani, SH Ir. Marwan Batubara, MSc
Institusi/Jabatan Bupati Bangka Tengah CEO PT Refined Bangka Tin Dirut PT. Timah Tbk Mantan Kapolda Bangka Belitung Kepala BAPPEBTI Kemendag Mantan Dirut PT. Timah Tbk/ Ketua SC INATIN-BKDI Mantan Dir Operasional PT. Timah Tbk/ Direktur PT. Mitra Stania Prima Mantan Wakil Gubenur Bangka Belitung/ Komisaris PT. Timah Tbk. Mantan Dirjen Minerba ESDM/ Komisari PT Kideco Jaya Agung dan tambang lainnya LIPI/Peneliti Timah Mantan Gubenur Bangka Belitung Direktur IRESS (Indonesian Resources Studies)
HASIL DAN PEMBAHASAN Model bisnis industri tambang timah ini dibentuk dari ekstraksi wawancara mendalam, tinjaun pustaka dan model bisnis terdahulu. Model bisnis dalam kajian ini adalah bagan yang merupakan hubungan yang saling terkait terhadap elemen-elemen yang
menciptakan dan memberikan nilai bagi industri maupun negara. Gambar 2 menjelaskan model bisnis industri tambang timah. Adapun model bisnis terdahulu terlihat dalam gambar 1, sedangkan model bisnis kajian ini merupakan pengembangan dari model bisnis terdahulu. Secara garis besar perbedaan model bisnis
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011
ISSN: 1693-5241
201
R. Rudy Irawan, Ujang Sumarwan, Budi Suharjo dan Setiadi Djohar
yang ada (exisiting) dan model bisnis kajian ini terlihat dalam Tabel 3.
untuk mengatur bisnis timah diperlukan. Dalam bidang hukum yang jelas dan tegas menjadi landasan patok
Tabel 3. Perbedaan Model Bisnis Saat Ini dan Hasil Kajian
alur tata niaga timah perantara TI Pengawasan/ penindakan
melalui INATIN; langsung ke pengguna; LME; smelter swasta melalui pengepul pengawasan/penindakan yang lemah; kurang kordinasi
melalui BUMD/koperasi peningkatan pengawasan/ penindakan dari pemerintah pusat; pemda; lembaga penegak hukum Pe ngaw asan Pe negak hukum, Pe merinta h Pusa t dan Da erah
1a
1c
1b
BUMN
B UM D/ Kope rasi
Prose s Pe nam ba nga n Tima h
Swasta
2 Smelt er Swast a
Timah balok
Ti ma h solder dan be nt uk la inny a
Prose s Pengol ahan
Smelt er BUMN/ BUM D
Pe ngo laha n fini sh p roduct
3 I NATIN-BKDI Pe rda gan gan
202
klusterisasi wilayah pertambangan berdasarkan teknologi dan modal satu pintu melalui INATIN
Penamba ng sk al a be sar (BU M N/ B UM D / Swa sta)
Model bisnis timah kajian ini berupa bagan yang merupakan alur dari proses penambangan hingga perdagangan. Dalam proses penambangan hanya ada swasta, BUMN, BUMD/koperasi dan penambang inkonvensional. Penambang inkonvensional harus di bawah koordinasi BUMN/BUMD atau koperasi sedangkan swasta langsung menambang sendiri. Kemudian dalam proses pengolahan dapat dilakukan di smelter BUMN/BUMD atau smelter swasta yang dimiliki. Produknya bisa dalam bentuk timah balok, timah dalam bentuk lainnya dan barang jadi. Produk barang jadi bisa di jual langsung ke pengguna sedangkan produk timah balok atau timah dalam bentuk lainnya harus melalui bursa timah INATIN-BKDI yang kemudian dijual ke pengguna. Model ini diharapkan dapat diterapkan di industri tambang timah Bangka Belitung. Model bisnis industri tambang timah memerlukan prsayarat terbentuknya model tersebut. Ada beberapa prasyarat terbentuknya model tersebut diperoleh dari ekstraksi wawancara mendalam dari faktor-faktor yang mempengaruhi model bisnis. Prasayarat tersebut menjamin proses model bisnis Industri tambang timah dapat diterapkan. Prasyarat model bisnis industri timah adalah sebagai berikut: (a) Prasyarat pertama adalah berkaitan dengan lingkungan strategis industri tambang timah. Hasil wawancara mendalam menunjukkan bahwa a) politik dan hukum, b) ekonomi dan bisnis dan c) sosial, budaya dan kepemimpinan memiliki pengaruh yang penting berjalannya model bisnis. Dalam bidang politik maka perlu politik yang stabil dan kemauan politik (political will) dari pemerintah
Model Kajian BUMN; swasta; BUMD/ koperasi; TI
Pe nam ba nga n i nkonves iona l
wilayah tambang
Model Eexisiting (ITRI) BUMN; swasta, TI legal maupun ilegal; pengepul pasir timah sesuai dengan IUP darat dan laut
Pengol aha n fi ni sh product
Identitas pelaku tambang timah
Pengguna (end-use r)
Gambar 2. Model Bisnis Industri Tambang Timah di Bangka Belitung
duga (benchmark). Dalam ekonomi dan bisnis dijelaskan bahwa model bisnis dapat berjalan bila kondisi ekonomi dan bisnis stabil, model ini mungkin tidak dapat diterapkan bila perekonomian sedang krisis yang berkepanjangan. Dalam bidang sosial, budaya dan kepemimpinan, model ini perlu kondisi sosial dan budaya yang stabil serta kepemimpinan yang kuat untuk mengatur model bisnis ini. (b) Prasyarat kedua adalah stakeholder utama dalam model
JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 12 | NOMOR 2 | JUNI 2014
Model Bisnis Industri Tambang Timah Berkelanjutan (Studi Kasus Bangka Belitung)
bisnis. Hasil wawancara mendalam didapatkan tiga stakeholder utama yang sangat berpengaruh terhadap model bisnis yaitu pemerintah daerah, pemerintah pusat dan lembaga penegak hukum. Dengan demikian model bisnis ini dapat diterapkan bila ada koordinasi yang integral antar ketiga stakeholder tersebut sehingga model ini dapat diterapkan. (c) Prasyarat ketiga adalah aktivitas inti dalam industri tambang timah. Berdasarkan wawancara mendalam diketahui bahwa regulasi dan perizinan serta pengawasan dan penindakan merupakan hal mendesak dalam pertimahan di Bangka Belitung. Kedua aktivitas inti tersebut perlu dibenahi terkait kinerja maupun integritas kedua aktor dalam aktivitas inti tersebut Model bisnis ini terbentuk merupakan ekstraksi wawancara mendalam dari strategi campuran yang diterapkan dalam menyelesaikan permasalahn pertimahan di Bangka Belitung. Strategi campuran yang diperoleh merupakan kolaborasi strategi audit dan pengawasan, strategi standardisasi, strategi tata niaga, dan strategi hilirisasi sehingga terbentuknya dalam kerangka model bisnis. Adapun penjelasan strategi campuran yang terdapat dalam model bisnis industri tambang timah sebagai berikut: (a) Strategi audit dan pengawasan industri tambang timah terlihat dalam kolom kotak diatas berupa pengawasan penegak hukum, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Strategi integratif, lintas sektoral, dan koordinatif oleh lembaga yang berwenang ataupun ditunjuk. Stategi ini digunakan untuk mengawasi aturan hukum yang telah ada agar berjalan dengan baik dan benar. Dalam penerapan strategi ini perlu juga ditingkatkan integritas, kualitas dan jumlah dari aktor audit dan pengawasan tersebut. Kerjasama lintas sektoral dalam audit dan pengawasan oleh penegak hukum, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu dilakukan. (b) Strategi standardisasi pertimahan terlihat dapat dilakukan dengan klusterisasi wilayah pertambangan dan standarisasi produk timah. Kolom 1a, 1b, dan 1c menandakan dalam pertambangan timah perlu dilakukan klusterisasi wilayah pertambangan timah. Selama ini belum ada klusterisasi wilayah pertambangan timah bagi penambang rakyat, swasta maupun BUMN. PP No.22/2010 tetang wilayah pertambangan belum mengatur terkait klusterisasi pertambangan. Dengan klusterisasi dibedakan dengan tingkat teknologi dan modalnya sehingga wilayah pertambangan dangkal atau aluvial
diserahkan ke penambang rakyat sedangkan wilayah penambangan dalam dan laut diserahkan ke swasta atau BUMN/BUMD. Strategi standarisasi pertimahan juga dalam bentuk standar produk seperti standar timah solder atau timah dalam bentuk lainnya yang harus diperjelas dengan membuat standar SNI atau merujuk ISO tertentu. (c) Strategi tata niaga pertimahan terlihat dari INATIN-BKDIN yang mengatur timah balok dan timah solder atau timah dalam bentuk lainnya. Tata niaga tersebut perlu diatur oleh bursa timah tersebut dengan regulasi yang sesuai. Selain itu pemerintah perlu menaikan biaya keluar (royalti) yang selama ini hanya 3% dari nilai jual timah. (d) Strategi pembentukan kelembagan terlihat dalam kotak BUMD/koperasi. Tujuan pembentukan BUMD/ koperasi berguna untuk mengakomodir tambang rakyat yang ada Bangka Belitung. Keberadaannya perlu diatur dalam satu lembaga yang bertanggung jawab terhadap kegiatan pertambangan. Strategi tersebut juga terlihat adanya kelembagaan bursa timah INATIN-BKDI sebagai wadah dalam ekspor timah dan turunannya. (e) Strategi hilirisasi terlihat dalam pengolahan produk jadi timah yang dihasilkan yang dapat dijual langsung ke pengguna. Hilirisasi perlu ditunjang dengan persiapan infrastruktur yang memadai dan royalti yang tinggi untuk mendorong hilirisasi pertimahan. Strategi campuran tersebut merupakan solusi untuk menyelesaikan pertimahan di Bangka Belitung. Berbagai strategi tersebut memiliki gap yang masih ada. Perlu tindaklanjut berikutnya untuk menyelesaikan gap tersebut. Pembentukan model bisnis tersebut diharapkan dapat meningkatkan kinerja industri pertambangan timah di Bangka Belitung. Adapun peningkatan kinerja industri tambang timah secara kualitatif sebagai berikut: (a) Tambang inkonvesional. Dengan diaturnya tambang inkonvesional dibawah BUMD/koperasi memiliki keuntungan bagi industri maupun negara diantaranya a) penambangan rakyat lebih terkoordinir sehingga ada lembaga yang bertanggung jawab, selain itu dapat dikenakan pajak, kewajiban reklamasi, dan kewajiban tambang lainnya b) berkurangnya tambang rakyat yang illegal dan merusak lingkungan, c) terkendalinya tambang rakyat sehingga produksi pasir timah dapat dikendalikan jangan sampai kelebihan pasokan, dan d) rakyat memliki hak untuk menambang
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011
ISSN: 1693-5241
203
R. Rudy Irawan, Ujang Sumarwan, Budi Suharjo dan Setiadi Djohar
secara legal sehingga mereka tidak kehilangan mata pencaharian di tambang timah. (b) Adanya klusterisasi wilayah pertambangan swasta, BUMN dan BUMD/ koperasi. Klusterisasi wilayah pertambangan memberikan keuntungan bagi pelaku usaha untuk berkompetisi secara sehat. Pertambangan dalam dan laut diberikan untuk pemodal besar seperti BUMN dan swasta sedangkan penambang dangkal oleh koperasi/ BUMD. Hal tersebut juga melindungi tambang rakyat untuk dapat bersaing dengan tambang skala besar. Dengan klusterisasi juga mempermudah pengawasan terhadap tambang timah tersebut. (c) Strategi tata niaga timah dengan kenaikan biaya keluar yang tinggi. Saat ini biaya keluar 3% dalam bentuk royalti sedangkan untuk tambang batubara royalti telah mencapai 11%. Kenaikan biaya keluar dapat memberikan keuntungan bagi pendapatan daerah Bangka Belitung, pembangunan infrastruktur daerah, dan mendorong hilirisasi produk timah. Strategi tata niaga timah dalam bentuk lain harus melalui bursa INATIN. Saat ini terjadi kecurangan pelaku industri timah dengan membentuk timah dalam bentuk lain (tin solder) yang dapat diekspor langsung ke luar negeri. Dengan diaturnya melalui bursa timah maka dapat dikenakan biaya keluar (royalti) dan pajak terkait ekspor tersebut. Dengan diaturnya melalui bursa tersebut juga dapat diketahui secara tepat jumlah ekspor timah Indonesia sehingga lebih mudah dalam pengawasan industri tersebut. (d) Standardisasi timah dalam bentuk lain. Belum adanya standardisasi timah dalam bentuk lain (tin solder) sehingga pelaku industri membuat tin solder tidak standar. Upaya tersebut merupakan bentuk kecurangan dalam menghindari royalti, pajak dan menghilangkan asal usul pasir timah yang diperoleh. Dengan dibuat standar timah dalam bentuk lain dapat diketahui spesifikasi timah dalam bentuk lain yang jelas sehingga kerugian negara dapat ditekan. Selain itu menyebabkan persaingan dalam industri tersebut berjalan sehat dan menguntungkan pemerintah. (e) Hilirisasi timah. Dengan melakukan hilirisasi pertimahan meningkatkan nilai tambang industri tambang timah tersebut. Hilirisasi juga menciptakan multiplier effect yang tinggi sehingga tidak perlu menjual timah dengan harga murah. Dengan hilirisasi juga menciptakan lapangan pekerjaan yang luas bagi masyarakat. (f) Dengan strategi audit dan pengawasan dapat meningkatkan kepatuhan pelaku industri terhadap regulasi 204
yang berlaku. Hal tersebut menguntungkan pemerintah dan masyarakat sekitar, serta terciptanya kepastian hukum. Audit dan pengawasan menyebabkan kinerja industri berkelanjutan dan berkesinambungan. Dengan diterapkan model bisnis dengan strategi campuran tersebut di industri tambang timah dapat meningkatkan kinerja industri tambang timah tersebut. Kinerja yang lebih baik tersebut akan menguntungkan semua pihak yang berkepentingan terutama negara, industri yang berkelanjutan dan masyarakat Bangka Belitung.
IMPLIKASI MANAJERIAL Model bisnis dibentuk dari ekstrasi wawancara mendalam dan kajian pustaka dari berbagai sumber yang diperoleh. Ada beberapa implikasi manajerial yang dihasilkan dari kajian ini sebagai berikut: (a) Prasyarat model bisnis terkait politik dan hukum yang memiliki peranan penting. Oleh karena itu pemerintah harus menciptakan politik yang stabil serta keinginan politis (political will) untuk mengatur pertimahan serta hukum yang jelas dan tegas. (b) Prasyarat model bisnis memberitahukan terkait regulasi dan perizinan. Pemerintah perlu mendorong regulasi yang jelas dan koordinatif. Pengawasan dan penindakan menjadi penting sehingga pemerintah perlu membangun pengawasan yang lebih ketat, jumlah aparat yang memadai dan menjaga integritas pegawai negeri tersebut. (c) Banyaknya aktor regulator dan lembaga penegak hukum yang bermain di pertimahan. Oleh karena itu pemerintah perlu melakukan restrukturisasi birokrat pemerintahan dan pengendalian internal perlu ditingkatkan. (d) Standardisasi timah dalam bentuk lainnya sehingga berimplikasi pemerintah perlu membuat regulasi SNI dalam bentuk lainnya seperti SNI timah solder, SNI tin plate dengan merujuk standar internasional yang berlaku. (e) Klusterisasi wilayah pertambangan berimplikasi pemerintah perlu merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang wilayah pertambangan dengan membatasi tambang dalam dan laut untuk swasta dan BUMN sedangan tambang dangkal untuk koperasi/BUMD atau membuat petunjuk teknis terkait PP No.22/2010 berupa klusterisasi tambang timah memiliki dengan koordinasi dinas terkait dan pemda. (f) Tata niaga timah terhadap timah dalam bentuk lainnya (tin solder) berimplikasi dengan pemerintah perlu merevisi Perdagangan
JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 12 | NOMOR 2 | JUNI 2014
Model Bisnis Industri Tambang Timah Berkelanjutan (Studi Kasus Bangka Belitung)
Nomor 32/M-DAG/PER/6/ 2013 tentang Ketentuan Ekspor dengan mewajibkan diperdagangakan di bursa timah INATIN. (g) Kenaikan bea keluar timah batangan berimplikasi dengan pemerintah perlu mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan terkait bea keluar timah yang lebih tinggi dengan koordinasi dengan dinas terkait. (h) Hilirisasi berimplikasi pemerintah perlu segera menyiapakan infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, listrik, air dan telokomunikasi yang baik di Bangka Belitung. Penrsiapan infrastruktur dan penunjang industri perlu segera dilakukan. (i) Audit dan pengawasan berimplikasi terhadap pemerintah perlu menyiapkan jumlah, kualitas dan meningkatkan integritas petugas atau aparat hukum di lapangan yang lebih baik. (j) Pembentukan kelembagaan BUMD/ koperasi berimplikasi pemerintah perlu menyiapkan perangkat hukum dan modal yang memadai untuk lembaga tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Model bisnis diperoleh dari wawancara mendalam responden pakar dan kajian. Berdasarkan hasil kajian ini telah didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: (a) Diketahui stakeholder utama dalam model bisnis yaitu pemerintah daerah, pemerintah pusat dan lembaga penegak hukum. Selain itu diketahui lingkungan strategi dalam model bisnis yang memiliki peranan penting yaitu i) politik dan hukum, ii) ekonomi dan bisnis dan iii) social, budaya dan kepemimpinan. Diketahui pula aktivitas industri yang perlu diperbaiki yaitu i) regulasi dan perizinan dan pengawasan dan penindakan. (b) Model bisnis yang dibentuk menggambarkan strategi campuran yang diterapkan dalam industri tambang timah yaitu (1) strategi audit dan pengawasan industri pertambangan timah, (2) strategi standardisasi industri pertambangan timah, (3) strategi tata niaga pertimahan, (4) strategi pembentukan kelembagan timah dan (5) strategi hilirisasi industri pertambangan timah. (c) Model bisnis dalam kajian ini adalah bagan yang merupakan hubungan yang saling terkait terhadap elemen-elemen yang menciptakan dan memberikan nilai bagi industri maupun negara. Model bisnis timah tersebut merupakan alur dari proses penambangan hingga perdagangan. Dalam proses penambangan hanya ada swasta, BUMN, BUMD/
Koperasi dan penambang inkonvensional. Penambang inkonvensional harus di bawah koordinasi BUMN/ BUMD atau koperasi sedangkan swasta langsung menambang sendiri. Kemudian dalam proses pengolahan dapat dilakukan di smelter BUMN/BUMD atau smelter swasta yang dimiliki. Produknya bisa dalam bentuk timah balok, timah dalam bentuk lainnya dan barang jadi. Produk barang jadi bisa di jual langsung ke pengguna sedangkan produk timah balok atau timah dalam bentuk lainnya harus melalui bursa timah INATIN-BKDI yang kemudian dijual ke pengguna. (d) Dengan diterapkan model bisnis dan strategi industri tersebut meningkatkan kinerja industri tambang timah. Kinerja industri yang diharapkan adalah peningkatan pendapatan daerah dan negara, persaingan yang sehat di industri tambang timah, keberlajutan industri tambang timah, daya saing industri, kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat serta industri timah yang tertata lebih baik.
Saran Dalam penelitian ini ada beberapa saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya. Adapun saran yang diberikan adalah sebagai berikut: (a) Perlu analisis mendalam pengaruh masalah pengawasan dan penindakan lemah terhadap kepatahuan pelaku bisnis terhadap regulasi yang ada. (b) Model bisnis menunjukkan bahwa pemerintah daerah, pemerintah pusat dan lembaga penengak hukum memiliki kepentingan yang tinggi sehingga perlu dianalisis konstestasi aktor dan jaringannya tersebut dalam mempengaruhi pertimahan di Bangka Belitung. (c) Perlu mengkaji efektivitas regulasi, perizinan dan pengawasan di industri pertambangan timah yang telah ada dan perlu mengkaji ekonomi politik yang terjadi di industri pertambangan timah.
DAFTAR RUJUKAN Azis, I.J., Salim, E. 2005. Development Performance and Future Scenarios in the Context of Sustainable Utilisation of Natural Resources. Di dalam: Resosudarmo BP editor. The Politics and Economics of Indonesia’s Natural Resources, hlm 125–144. Singapura: ISEAS. [BPS] Badan Pusat Statistika. 2012. Perkembangan Penerimaan PDB dari Barang Tambang dan Mineral Tahunan. http://www.bps.go.id/tab_sub/view. php? tabel= 1&daftar =1&id_ subyek= 11& notab=1
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011
ISSN: 1693-5241
205
R. Rudy Irawan, Ujang Sumarwan, Budi Suharjo dan Setiadi Djohar
[Akses 15 Mei 2012] _______. 2013. Statistika Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2013. Bangka (ID): BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Bastida, A.E., Parmita, D. 2013. Legal Baseline Review Tin Mining Sector in Indonesia. Di dalam: ITRI Bangka Tin Forum; 2013 Des 11; Bangka, Indonesia. [BLHD] Badan Lingkungan Hidup Daerah Bangka Belitung. 2012. Kondisi Bangka Belitung.http://blhd. babelprov.go.id/index.php?r=dokumen [Akses 16 Mei 2012]. Brunnschweiler, C.N. 2008. Cursing the Blessing? Natural Resource Abudance, Institutions, and Economic Growth. World Development. Vol.36(3):399–419. Daft, J., Albers, S. 2013. A Conceptual Framework for Measuring Airline Business Model Convergence. Journal of Air Transport Management. Vol.28:47–54. http:/ /dx.doi.org/10.1016/j.jairtraman.2012.12.010. Dunford, R., Palmer, I., Benveniste, J. 2010. Business Model Replication for Early and Rapid Internationalisation The ING Direct Experience. Long Range Planning. Vol.43:655–674. doi:10.1016/j.lrp.2010.06. 004. Elfida. 2007. Analisis Pola Spasial Tambang Timah Rakyat Sebagai Masukan dalam Penentuan Kebijakan Tata Ruang di Kabupaten Bangka. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Erman, E. 2007. Rethinking of Legal and Illegal Economy: A Case Study of Tin Mining in Bangka Island [internet] [waktu dan tempat tidak diketahui]. [diunduh 2013 Juni 15]. Tersedia pada: http://globetrotter. berkeley.edu/GreenGovernance/papers/Erman 2007.pdf _______. 2007. Deregulation of Tin Trade and Creation of Local Shadow State, A Bangka Case Study. Di dalam: Nordholt NS, Klinken G, editor. Renegotiating Boundaries Local Politics in Post-Suharto Indonesia; Leiden: KITLV Press. hlm 177–202. _______. 2010. Tambang, Perempuan dan Negara Gagal. Di dalam: Kuliah Umum Universitas Mulawarman Jatam-Kaltim; 2010 Mar 9; Samarinda, Indonesia. _______. 2013. Dampak Penambangan Timah dan Respon Masyarakat Lokal. Di dalam: ITRI Indonesia Tin Forum; 2013 Des 11; Bangka, Indonesia. Hayati, T. 2011. Perizinan Pertambangan di Era Reformasi Pemerintah Daerah Studi tentang Perizinan Pertambangan Timah di Pulau Bangka. Disertasi. Depok: Universitas Indonesia. [IDH] The Sustainable Trade Initiative. 2013. Supporting Sustainable Tin Production in Bangka Belitung, Indonesia. Di dalam: ITRI Bangka Tin Forum; 2013 Des 11; Bangka, Indonesia.
206
Inonu I. 2010. Pengelolaan Lahan Pascatambang Timah di Pulau Bangka: Sekarang dan Yang Akan Datang. Makalah pada Bintek Reklamasi Lahan Pasca Tambang Kabupaten Bangka Tengah tanggal 12-10010 di Muntok. Kindstrom, D. 2010. Towards A Service-based Business Model-Key Aspects for Future Competitive Advantage. European Management Journal. Vol.28:479– 490. doi:10.1016/j.emj.2010.07.002 Leavy, B. 2010. A System for Innovating Business Models for breakaway growth. Strategy & Leadership. Vol.38: (6)5–15. doi:10.1108/10878571011088014. Megawandi, Y. 2013. Transformasi Pembangunan Ekonomi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Di dalam: ITRI Indonesia Tin Forum; 2013 Des 11; Bangka, Indonesia. Michelini, L., Fiorentino, D. 2011. New Business Model for Creating Shared Value. Social Responsibility Journal. Vol.8(4):561–577. doi: 10.1108/17471111211272129. Nenonen, S., Storbacka, K. 2010. Business Model Design: Conceptualizing Networked Value Co-creation. International Journal of Quality and Service Sciences. Vol.2(1):43-59. http://dx.doi.org/10.1108/17566691011 026595. Osterwalder, A. 2004. The Business Model Ontology A Proposition in A Design Science Approach. Tesis. France: ’Université de Lausanne. Osterwalder, A., Pigneur, Y. 2010. Business Model Generation. New Jersey: John Wiley & Son Inc. _______. 2012. Business Model You A One Page Method for Reinventing Your Career. New Jersey: John Wiley & Son Inc. Palo, T., Tahtinen, J. 2013. Networked Business Model Development for Emerging Technology-based Services. Industrial Marketing Management. Vol.42:773–782. http://dx.doi.org/10.1016/j.indmarman.2013.05.015 Panagiotopoulos, P., et al. 2012. A business Model Perspective for ICTs in Public Engagement. Government Information Quarterly. Vol.29:192–202. doi:10.1016/ j.giq.2011.09.011 [Permendag]. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia. 2013. Permendag No 23 Perubahan atas Permendag No.78/M-Dag/PER/12/2012 tentang Ketentuan Ekspor Timah. Jakarta: Kementerian Perdagangan RI. [PP] Peraturan Pemerintah. 2010. PP No.22 tentang Wilayah Pertambangan. Jakarta: Sekretariat Negara RI. Ple, L., et al. 2010. Customer-integrated Business Models: A Theoritical Framework. Management. Vol.13(4):226– 265. Purba, D.P. 2007. Penegakan Hukum Pidana terhadap
JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 12 | NOMOR 2 | JUNI 2014
Model Bisnis Industri Tambang Timah Berkelanjutan (Studi Kasus Bangka Belitung)
Tindak Pidana di Bidang Pertambangan Studi Pada Pertambangan Timah di Provinsi Bangka Belitung. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara. Purdy, M., et al. 2012. Three New Business Models for The Open Firm. Strategy & Leadership. Vol.40(6):35– 41. doi:10.1108/10878571211278877. Resosudarmo, B.P., Resosudarmo, I.A.P., Sarosa, W., Subiman, N.L. 2009. Socioeconomic Conflicts in Indonesia’s Mining Industry. Di dalam: Cronin R, Pandya A, editor. Exploiting Natural Resources: Growth, Instability, and Conflict in the Middle East and Asia; Washington: The Henry L. Stimson Center. hlm 33–48. Resosudarmo, B.P., Subiman, N.L. 2010. Tambang untuk Kesejahteraan Rakyat: Konflik dan Usaha Penyelesaiannya. Di dalam: Aziz IJ, editor. Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm 426–449. Richter, M. 2013. Business Model Innovation for Sustainable Energy: German Utilities and Renewable Energy. Energy Policy. http://dx.doi.org/10.1016/j.enpol. 2013. 05.038i.
Sapanli, K. 2009. Analisis Kebijakan Pembangunan Ekonomi Kelautan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sidabukke, M. 2011. Penambangan Timah Tanpa Izin Pada Kawasan Hutang Lindung Studi Kasus Kawasan Hutan Lindung Gunung Sepang Kabupaten Bangka Belitung. Tesis. Depok: Universitas Indonesia. [Walhi] Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. 2013. Mari Buat Bangka-Belitung Lebih Baik. Di dalam: ITRI Indonesia Tin Forum; 2013 Des 11; Bangka, Indonesia. Widyatmiko, R.B. 2012. Pengembangan Wilayah Berkelanjutan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Studi Kasus Transfromasi Perekonomian Wilayah Berbasis Pertambangan Timah. Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Zulkarnaen, I., et al. 2005. Konflik di Kawasan Pertambangan Timah Bangka Belitung: Persoalan dan Alternatif Solusi. Jakarta (ID): LIPI Press.
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011
ISSN: 1693-5241
207
Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol 1. No 1. November 2010: 61-69
ISSN 2087-4871
MODEL MICRO-MACRO LINKPENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN BELITUNG
(Macro-Micro Linkage Model for the Development ofFishery Policy in Belitung) M. Nizar Dahlan1,2, B. Wiryawanl, B. Murdiyantol, M. S. Baskorol, A. FauzP JI. Kutai Blok G, No. 9, Cileodek Iodah, Ciputat - Tanggeraog Selatan,Jakarta
E-mail:
[email protected] ABSTRACT
Bordmd with tht South Chna i Sea, which has pountial sustanable i fishery mourn equal to 1.06 million fonu/year, Befitting still not emplqyedfishery as i'nrome generating sectorsfor the regency. The aim of this research si tofarmulate strategicpolicies on the development of capture fisheries, th11s Juhery sector m'!} mve as one econornic basisfar Belitung. Ana/ysis 11sedfar ths i research was descriptive ana!Jsis and macro-mii:ro linkage I/eve/oped thro11gh stmct11ral equation modelling (SEM). Research results showed a significant nfluence i between fisheries effort with fishing gro11nd area {P = 0.008), betweenfiscal condition with market growth (P = 0,002) andfishing gro11ndarea (P = 0,005), between nationalpolicy wiJh monetary tmdenq (P = 0,002) andfishng i trade (P = 0,007), betweenfishn i g trade with regional econofl(J (P = 0,003), and between regional econofl(J with supporting strfors (P = 0,000). Thmfare, the developmentpoli9 sector should employ existing mource � and spatial nfmnct. 0Jher lliewpoint rtlated ll-;Jh Jhe semri!J of Such marlettproduct andprtmtumfishery basis whenn.'t1' then is global � and condition appliu to anticipale fhallenging� situation and � applied nationalpolifl unsuitablefor the local condiliofl. Dn'tlopment tradr routu iJ exptcttd, as weUas ensunng the continuation of� that ��ent. Keywords:fisheries, policy, development, micro-macro link, Belirung ABSTRAK Perairao Laut Cina Selatan dengan potensi lestari 1,06 juta ton/tahuo dan masih belum menjadikao sektor perikanao sebagai kontributor ekonomi utama di kawasan cermasuk di Kabupaten Belituog. Penelitian ini bertujuao merumuskan kebijakan pembangunao perikanan tangkap sehingga meojadi basis ekonomi Kabupateo Belitung. Analisis yang digunakan dalain penelitian ini terdiri dari analisis deskriptif dao aoalisis micro-macro link yang dikembangkan deogan metode stmcJural equation modelling (SEM). Hasil analisis menunjukkan � signifikan terjadi pada usaha perikanan Belitung terhadap wilayah basis (P=0,008), koodisi fiskal terhadap perrumbuhan market output (P 0,002) dan wilayah basis (P=0,005), kebijakan nasional terhadap moneter (P=0,002) clan tratk (P=0,007), tradt terhadap ekonomi regional (P=0,003), dan ekooomi regional terhadap sektor penunjang (P=0,000). Terkait dengan ini, maka kebijakan pembangunan perikanan dapat diarahkan pada pengembaogan usaha perikanan tangkap yang berbasis potensi dan prospek kewilayahan, sert.a penyclamatan pemasaran produk perikanan daerah dao usaha perikanan unggulan ten1cama bila kondisi ekooomi dao keuangan global tidak stabil. Hal ini unruk antisipasi terhadap konclisi yang tidak mendukung bila suatu kebijakan nasional diberlakukan cli kawasan yang tidak sesuai deogan kondisi kedaerahao. Dan perlu pengembangan jalur-jalur perdagangan produk perikanan yang permanen clan jangka panjang serta jamioao kondusifiw kegiatan pelayanan jasa yang mendukung pembangunan perikanan. =
Kata kunci: kebijakan, micro-macro link, perikanan, signi.fikan yang ada
I. PENDAHULUAN
bupaten Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor PER.01/MEN/2009, perairan
Kabupaten
Belitung
tennasuk
dalam Wilayah Pengelolaan Pera1ran Repub lik Indonesia (WPP-RI) 7 1 1 , dimana pada
di setiap daerah. Selama ini, Ka Belitung
berkembangnya kawasan,
namun
tergolong
ekonomi
masih
lokasi
dan
belum
utama.
kalah
utama
perikanan
pengelolaannya
sederhana
kontributor ikanan
menjadi usaha
di masih
menjadi
Sektor
per
dengan
sektor
pariwisata
dalam
tahun 2006 diperkirakan memiliki potensi
pertambangan
lestari sebesar 1,06 juta ton/ tahun, dengan
memberi kontribusi ekonomi bagi Kabupaten
produksi sebesar 379,9 ribu ton/tahun atau
Belitung
baru
Kabupaten
dimanfaatkan
sebesar
35,9
%.
dan
(Dinas
Kelautan
Belitung,
Pengelolaan potensi tersebut dilakukan oleh
tentu
masyarakat melalui usaha perikanan
UU No. 45 Tahun 2009
belum
dan
2009) .
Perikanan Kondisi
ini
bersesuaian dengan amanat
1 Corresponding author
2 3
Anggota Komsi i VII DPR RI Sta/pengajar Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. FPIK-IPB
Jumal Tebwlogi Perik.anan dan Kelautan, IPB
E-mail :
[email protected]
tentang
Pe�an,
menyebutkan
yaitu
usaha
Pasal
perikanan
25
yang
dilaksa
nak:m �alam sistem bisnis perikanan yang
mehputi
pra-produksi,
lahan, dan pemasaran. Tujuan
yang
produksi,
penelitian
kebijakan
adalah
pe�an, dengan
kebijakan
kebijakan
kebijakan
kondisi
untuk
pembangunan
nasional
yang
moneter,
lainnya
dengan perikanan tangkap.
teknis
usaha
bersesuaian
fiskal
dan
yang
dikumpulkan
sekunder,
mencakup
dalam
usaha
dan
kelem�agaan perikanan tangkap, data potens1 dan kondisi sosial wilayah basis perikanan,
data
perdagangan,
sampai
dimulai
dengan
lapang
Kecamatan
April
bulan
201 O
di
adalah
Kecamatan
Tanjung
Pandan,
Sijuk,
Kecamatan
Badau, dan Kecamatan Membalong.
sektor
baga-lembaga yang mendukung produksi
dan pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten
Belitung.
Jumlah
responden
dari setiap kelompok stakeholders tersebut ditetapkan 5 % dari populasinya.
2.4.
Metode Analiaia
penunjang, data pengaruh kebijakan' dan lain-lain.
2.4.1. Analisis Deskriptif
2.3. Metode Pengumpulan Data
pada iden¥si beberapa aspek (Sevilla,
Metode
digunakan
pengumpulan
teknik
structure interview)
data
wawancara
dengan
yang
(semi
pengamatan
dan survei ke instansi/ lembaga lokasi penelitian. Pengamatan
langsung yang dilakukan meliputi kondisi
fisik lokasi penelitian, serta pengamatan
62
1O
Juli
Lokasi pengambilan
Kabupaten Belitung.
data
dari
terhadap keberadaan dan aktivitas lem
penelitian ini terdiri dari data primer dan
data
2009
bulan
1 . Lokasi Penelitian
2.2. Jenis Data yang Dikumpulka.n yang
Penelitian ini dilaksanakan selama
(sepuluh)
terkait
Gambar
Data
2.1. Waktu dan Lokaai Penelitian
pengo
tangkap di Kabupaten Belitung
mencakup
II. METODOLOGI
Analisis deskriptif ini juga difokuskan
al, 19.93),
potens1
dan
kebijakan,
et
yaitu kelembagaan perikanan, pasar
kondisi
perikanan,
sosial
interaksi
regional
dan
sektor penunjang di wilayah pesisir Kabu
paten
dapat
Belitung.
Analisis
mengindentifikasi
ini
diharapkan
beberapa
kom
ponen kebijakan penting yang dibutuhkan
Jurnal Telmo/ogi Perikanan dan Kelautan. Vol /. No I. November 2010: 61-69
untuk penyusunan model micro-macro link (MML). 2.4.2. Analisis Micro-Macro Link (MML)
Pengembangan konsep micto-macro link (MML) Analisis Micro-Macro Link (Fauzi, 2006) ini digunakan untuk memudahkan penyusunan konsep kebijakan pem bangunan perikanan tangkap di Kabu paten Belitung dan mengetahui korela sinya dengan arah pengembangan eko nomi kawasan dan kebijakan pem bangunan nasional. Keterkaitan mikro makro ini sangat penting dalam peren cananan pembangunan perikanan kedepan karena dengan diketahuinya keterkaitan mikro-makro tersebut perencanaan ke depan akan lebih terarah dan tepat mengenai sasaran. 1)
2)
Ana.lisis struktur micro-macro link
(MML)
Analisis struktur MML ini dikem bangkan dengan menggunakan metode structural equation modelling (SEM). Menu rut Ghozali (2006), SEM dapat digunakan untuk menganalisis tingkat peran kom ponen yang berinteraksi dalam sistem, menetapkan komponen yang berpengaruh signifikan dan tidak signifikan, mem berikan arahan pemilihan variabel yang menjadi perhatian dalam pengembangan kebijakan. Analisis multi-variat yang mem punyai kemampuan untuk menganalisis tingkat dan sifat pengaruh interaksi (link) antar komponen pada suatu sistem nyata dengan menggunakan data lapang yang bersifat multi-variabel dan multi-hubu ngan. Untuk meningkatkan keakuratan hasil analisis, metode SEM juga mem punyai alat uji yang dikenal dengan kriteria goodness-of-fit yang dapat digunakan seca ra terintegrasi. III. HASIL PENELITIAN 3.1. Model Micro-Macro Link I
Model micro-macro link I ini meru pakan model awal yang dirancang untuk mengembangkan kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung. Modifikasi yang dilakukan pada tahap ini hanya untuk mengakomodasi pola data lapang sehingga nilai interaksi (link) dalam model bisa dibaca. Model micro-macro link ini dan hasil pengembangannya disusun mengikuti pola interaksi nyata komponen terkait di lokasi.
Berdasarkan hasil identifikasi, kom ponen-komponen yang terkait dengan pengelolaan perikanan tangkap dalam lingkup mikro maupun makro adalah : (a). Dalam lingkup usaha perikanan tangkap dapat mencakup faktor produksi, tenaga kerja, profit, produktifitas, dan wilayah basis; (b). Dalam lingkup pasar dapat mencakup pasar barang-barang kebu tuhan produksi perikanan tangkap dan barang-barang hasil produksi perikanan tangkap; (c). Dalam lingkungan kebijakan nasional terutama di bidang keuangan dapat mencakup kebijakan moneter dan kebijakan fiskal; (d). Dalam lingkup per dagangan produk skala lokal, regional maupun yang lebih luas lagi dapat men cakup pertumbuhan dan interaksinya dengan komponen kebijakan; (e). Dalam lingkup ekonomi regional, Provinsi Bangka Belitung dapat mencakup basis komponen sumberdaya, wilayah basis dan basis komponen jasa penunjang. Hasil analisis model micro-macro link I pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung disajikan pada Gambar 2. Untuk mengukur apakah model micro-macro link pembangunan perikanan tangkap tersebut sudah ideal (fi� atau belum, maka terhadap model tersebut perlu dilakukan analisis kesesuaian menggu nakan kriteria goodness-of-fit dalam ana lisis structural equation modelling (SEM) (Ferdinand, 2002). Tabel 1 menyajikan hasil uji kesesuaian model micro-macro link tersebut dengan kriteria goodness-of-fit me nurut SEM. Berdasarkan Tabel 1, Chi-square menyatakan jumlah simpangan pada model, CMIN/DF adalah perbandingan chi square dengan derajat bebas, sangkaan (probability) menyatakan tingkat kemiripan model dengan sistem nyata. RMSEA menyatakan kedekatan angka model dengan angka sistem nyatanya (ditunjukan oleh data responden) GFI menyatakan perbandingan varian (perbedaan angka komponen sejenis) pada model dengan sistem nyatanya. TLI dan CFI menyatakan incremental fit index (indeks kesesuaian) model dengan sistem nyatanya (ditunjukan oleh sampel/data responden) Ternyata hasil CMIN/DF, RMSEA mempunyai perbedaan yang cukup besar dengan nilai yang diper syaratkan. Hal ini berarti bahwa model micro-macro link I ini belum ideal (fi� .
Model Micro-Macro Pengembangan . .. . (DAHLAN, WIRYAWAN, MURDIYANTO, BASKORO, dan FAUZI) . ...
.
63
Ol�Square=233.395 R-obabilly= .000 ct.'11¥CF=4.404 RMSEA = .137 GA= .825 lll=.643 CA= .7S7
1.15
-.10
MACRO
MICRO
Keterangan : Xl• faktor produksi, X2"' tenaga kerja, X3=profit, X4=produktifitas, X5,.market output, X6=market input. Gambar Tabel
1.
2.
Model
micro-macro link I
Hasil uji kesesuaian model
pembangunan perikanan tangkap
micro-macro link I
Kriterla
Diharapkan Kecil Significance probability :i::0,05 CMIN/DF s 2,50 s 0,08 RMSEA 2: 0,80 GFI TLI 2: 0,90 CFI 2: 0,90 Sumber: Hasil analisis model (2010)
micro-macro link II ini
pakan
model
basil
model
micro-macro link I
meru
pengembangan dengan
dari
meng
embangkan link lanjutan untuk hubungan
Cukup baik Cukup baik Kurang baik
233,395 0,000 4,404 0,137 0,825 0,643 0,757
komponen
3.2. Model Micro-Macro Link II
64
goodness-of-fit
Model
Chi-square
Model
terhadap kriteria
model
Kurang baik Baik Kurang baik Cukup baik
yang
mempunyai
nilai
modification index (Ml) tinggi. Hasil analisis model micro-macro link II pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung disajikan pada Gambar 3.
Jurnaf Teknologi Perikanan don Kefautan. Vol 1. No I. November 2010: 61-69
= .000 �"2.600 RMSEA = .094
MACRO
MICRO
Keterangan : Xl= faktor produksi, X2= tenaga kerja, X3=profit, X4=produktifitas, XS=market output, X6=market input Gambar Tabel
2.
3.
Model
micro-macro link II
Hasil uji kesesuaian model
pembangunan perikanan tangkap
micro-macro link II Syarat
Krlterla Goodness-of-Fit
terhadap kriteria
Kinerja Model
Keterangan
1 14,403 0,000 2,600 0,094 0,915 0,832 0,905
Baik Cukup baik Cukup baik Cukup baik Baik Cukup baik
Chi-square Diharapkan Kecil � 0,05 Significance probabil.ity s 2,50 CMIN/DF s 0,08 RMSEA � 0,80 GFI � 0,90 TL! � 0,90 CF! Sumber: Hasil analisis model (2010) Bila dibandingkan dengan model I, maka
micro-macro
model
dimodifikasi
lanjut
link
dengan
II
ini
mengem
goodness-of-fit
Baik
goodness-of-fit lainnya, yaitu 2,600, RMSEA = 0,094, dan TLI
nilai kriteria CMIN/DF =
=
maka model yang di.kembangkan
0,832,
bangkan lima link antar komponen model dalam bentuk kovarian dan tiga link antar
dapat dikatakan sudah berada pada jalur
komponen
dari nilai
model
dalam
bentuk
Hasil uji terhadap kriteria yang dipersyaratkan
macro
link
II
untuk
goodness-of-fit model micro
pembangunan
tangkap ini disaji.kan pada Tabel Berdasarkan Tabel
2,
regresi.
perikanan
2.
temyata basil
Chi-square sebagai salah satu kriteria fit menunjukkan penurunan dari 233,935 pada model micro-macro link I menjadi 1 14,403 pada model micro-macro link II yang berarti lebih baik dari
model
sebelumnya.
kesesuaian (fitting). maka
model
memenuhi
Sedangkan bila dilihat
GFI = 0,915 yang
kriteria
dan CFI
=0,905,
dikembangkan
sudah
goodness-of-fit
yang
dipersyaratkan. Oleh karena secara umum, model
micro-macro link II ini sudah masuk (fitting) dan sudah mem
jalur kesesuaian punyai
keserupaan
yang
tinggi
dengan
sistem nyatanya, maka model relatif dapat diterima.
Selain itu, jika dilihat dari
Model Micro-Macro Pengembangan ......... (DAHLAN, WlRYAWAN, MURDIYANTO, BASKORO, dan FAUZI)
65
3.3. Pengembangan Kebijakan Strategia Pembangunan Perikanan Tangkap
dipengaruhi
secara tidak langsung oleh usaha perikanan di Kabupaten Belitung
yaitu dengan koefisien 0,07, sedangkan yang dipengaruhi secara langsung memiliki
3.3.1. Pengembangan Kebijakan Telmia Uaaha Perikanan Tangkap Kuatnya
basis
usaha
perikanan
tangkap ini diharapkan dapat mengangkat kontribusi sektor perikanan dalam lingkup lebih luas yang kemudian menjadi prima dona dan sektor andalan utama di regional
Trade-off ekono
Provinsi Bangka Belitung. m1
mi
bukan
pengelolaan secara
suatu
perikanan
maksimal
mustahil, dapat
dengan
bila
dilakukan menjadikan
wilayah yang memiliki potensi sebagai basis pengembangannya dan pelaksanaannya didukung oleh kebijakan teknis perikanan yang tepat, serta tidak deskriminatif terhadap sektor lainnya yang ada di lokasi.
II
Hasil analisis model micro-macro link menunjukkan ada satu komponen yang
dipengaruhi tidak
secara langsung dan secara
langsung
berbasis
terkait
kewilayahan
kebijakan ini,
yaitu
teknis faktor
produksi (Xl). Faktor Produksi (Xl} yang Tabel 3. Probabilitas pengaruh interaksi <--
X4
<--
X3
<--
X2
<--
Xl
< --
Wilayah Basis
koefisien -0,359. Kemudian ada 4 (empat} komponen yang hanya dipengaruhi secara langsung terkait kebijakan teknis berbasis kewilayahan, yaitu tenaga kerja (X2), profit (X3), produktifitas (X4) dan wilayah basis, masing-masing 0,378,
0,425,
sung merupakan pengaruh yang langsung
link
atau interaksinya dengan komponen
sistem lainnya, dimana pengaruh tersebut terlihat dan terasa secara langsung.
Oleh
karena sifat pengaruhnya yang demikian,
link
maka
tersebut
menjadi
perhatian
dominan. Menurut Ferdinand (2002}, suatu pengaruh atau
langsung
berdampak
probabilitas
<
dikatakan
serius
0,05.
signifikan
bila mempunyai
Tabel 3 menyajikan
probabilitas pengaruh interaksi
(Zink)
usaha
perikanan di Kabupaten Belitung. usaha perikanan di Kabupaten Belitung
Estimate
S.E.
C.R.
p
Label
Usaha_Perikanan_Belitung Usaha_Perikanan_Belitung
0.378
0.246
1.541
0.123
par-1
Usaha_Perikanan_Belitung
0.425
0.235
1 .806
0.071
par-2
Usaha_Perikanan_Belitung
-0.359
0.255
- 1 .406
0.16
par-3
-2.114
0.794
-2.664
0.008
par-4
Usaha_Perikanan_Belitung
Berdasarkan Tabel 3, usaha peri kanan di Kabupaten Belitung mem
1.000
Dalam model dapat
pengaruh (kp} 0,008 pada probabilitas (P)
terkait
<
micro-macro link II
dikembangkan (Gambar 2),
pengaruhi wilayah basis dengan koefisien 0,05.
koefisien,
diterima oleh suatu komponen sistem dari
(Zink}
Link
dengan
1 ,000 dan - 2 , 1 1 4 . Pengaruh lang
mempengaruhi dengan
yang
kondisi fiskal
beberapa hal yang
pembangunan
perikanan
sedangkan pengaruh terhadap tiga
tangkap di Kabupaten Belitung, sedangkan
komponen lainnya mempunyai probabilitas
kondisi moneter tidak mempunyai penga
>0,05.
ruh langsung.
Hal ini menunjukkan bahwa hanya
wilayah basis yang dipengaruhi signifikan oleh usaha Belitung.
perikanan
di
Kabupaten
3.3.2. Pengembangan Kebijakan Terkait Moneter clan Fiakal
ket output
(XS}, pertumbuhan
market input
(X6), dan wilayah basis di Kabupaten Belitung, yaitu dengan koefisien pengaruh masing-masing 0,079, 0,30 1 , dan -0,073. Tabel 4 menyajikan probabilitas pengaruh inter-aksi
Tabel 4. Probabilitas pengaruh interaksi
(link)
kebijakan fiskal.
(Zink} kondisi fiskal
Estimate
S.E.
C.R.
Label
XS
<--
Fiskal
0.301
0.099
3.059
0.002
par-14
X6
<--
Fiskal
0.079
0.134
0.591
0.555
par-15
-0.073
0.026
-2.816
0.005
Basis
66
Kebijakan fiskal Indonesia
berpengaruh terhadap pertumbuhan mar
<--
Fiskal
Jurnal Teknologi Perikanan dan Keloutan. Vol I. No 1. November 2010: 61-69
Tabel
Probabilitas pengaruh intera.ksi (li.nk) kebijakan nasional
5.
Estimate
S.E.
C.R.
p
Label
Kebijakan_Nasional
-0.398
0.291
- 1 .369
0.171
par-7
Kebijakan_Nasional Kebijakan_Nasional Kebijakan_Nasional
1 1.088 0.963
0.358 0.36
3.041 2.675
0.002 0.007
Link
Usaha_Perikanan_
<--
Fiskal
<--
Belitung
<-<--
Moneter Trade
Berdasarkan
Tabel
5,
kebija.kan
Fix
sebagian
besar
bersifat
par-6 par-31
tida.k
langsung
nasional yang ada saat ini berpengaruh
(indirect effec�.
0.002) dan
regional Bangka Belitung merupakan yang
signifikan terhadap kondisi moneter (P =
terhadap
trade (P
dua
0.007), sedangkan
=
komponen
lainnya
tida.k
langsung
tersebut
koefisien
pengaruh
3.3.3. Peqemban1an Kebijakan Terkait Trade Produk
terhadap
- 1 ,787.
negatif
berpengaruh positif dan langsung terhadap
produk
meru
yaitu dengan koefisien
dalam
langsung
suatu kegiatan bisnis tennasuk di bidang
terhadap
perikanan.
(perdagangan}
dagangan
Menurut Wahlund (1992), per merupa.kan
nentukan
dari juga
trade
ekonomi regional provinsi Bangka Belitung,
(perdagangan)
kembangnya
Terlepas
tersebut,
pa.kan kegiatan yang sangat vital
Trade
ekonomi
paling tinggi, namun bersifat negatif, yaitu dengan
signifikan.
Diantara pengaruh tidak
kegiatan
keberhasilan
tolok bisnis
ukur dan
lainnya
growth
itu
sendiri,
koefisien 1 ,000. Tabel
me
bilitas
di
Pengaruh adalah
trade
(pertumbuhan) dari
ber
pembangunan
1 ,846.
dari
pengaruh
6
yaitu
trade
dengan
menyajikan proba
(link)
interaksi
trade
produk di Kabupaten Belitung.
Berdasarkan hasil analisis
suatu wilayah.
model Gambar 2, pengaruh Tabel
6.
<--
Ekonomi_Regional Babel
trade
Trade Trade
6,
ma.ka pengaruh
terhadap ekonomi
(link) trade produk S.E.
Estimate
<--
Bila melihat Tabel
produk
Probabilitas pengaruh interaksi
Growth
positif langsung
trade
1 1 .846
0.625
a.komodasi regional
C.R.
P
Label
2.952
Fix 0.003
par-22
intera.ksi
dengan
komponen
ekonomi
komponen lainnya yang
regional provinsi Bangka Belitung bersifat
mempunyai koefisien pengaruh yang tinggi
signifikan
dan bersifat signifikan.
{P
=
Hal ini berarti,
0,003).
disamping ada dampak negatif, bangan
trade
perikanan
di
Hasil
pengem
Kabupaten
model
Belitung memberi manfaat yang besar dan terasa bagi perbaikan ekonomi masyara.kat
(indirect effec�
di regional Provinsi Bangka Belitung.
dalam interaksi kan
3.3.4. Pengembangan Kebijakan Terkait Ekonomi Regional Bila pada bagian sebelumnya, eko nomi
regional
menerima
menjadi
pengaruh
komponen
dari
tersebut kawasan,
mempengaruhi
terhadap
yang
tangkap.
link
apa.kah
produk,
komponen lainnya dalam interaksi
macro
kebija.kan
resource base,
regional
menjadi
pembangunan
micro
perikanan
Kebutuhan kebijakan pada bagi
micro-macro link. Sedang langsung (direct effec�
terjadi hanya terhadap empat komponen , yaitu
trade
ini
11
link
dengan komponen lainnya
pengaruh
ekonomi
maka pada bagian komponen
yang
micro-macro
menunjukkan bahwa ekonomi regional mempunyai pengaruh tida.k langsung
dampa.k tentang
nasional,
service base,
dan wilayah basis.
pengaruh
ekonomi
mempunyai ataukah
dampa.k justru
komponen serius
dan
probabilitas
Namun regional
serius
di
berpengaruh
lainnya
yang
signifikan,
ber
Tabel
menunjukkan
7
hal
tersebut.
an ini akan dikembangkan dengan meng:-
Model Micr<>-Macro Pengembangan ...... . (DAHLAN, WIRYAWAN, MURDrYANTO, BASKORO, dan FAUZI) . .
67
Tabel 7. Probabilitas pengaruh interaksi (link) ekonomi regional Ser Base Wilayah Basis
Res Base Kebijakan_ Nasional
<--
<--
<--
Ekonomi_Regional Babel Ekonomi_Regional Babel Ekonomi_Regional Babel
<--
Ekonomi_Regional Babel
Berdasarkan Tabel 7, pengaruh eko nomi regional provinsi Bangka Belitung berpengaruh signifikan terhadap basis komponen jasa penunjang (seroice base) (probabilitas = 0,000), sedangkan terhadap tiga komponen lainnya tidak signifikan. IV. PEMBAHASAN Dalam tataran teknis perlu diberikan perhatian serius terhadap pengembangan wilayah basis. Koefisien pengaruh dengan nilai -0,359 (Tabel 3) menunjukkan peng embangan perikanan yang ada saat ini cenderung meninggalkan usaha perikanan lokal unggulan bila tidak ada kebijakan teknis yang mengatur dan mengenda likannya. Usaha perikanan unggulan dan wilayah basis di Kabupaten Belitung adalah pancing tonda, sero dan bubu dengan wilayah basis Kecamatan Sijuk, payang dan jaring insang hanyut (JIH) dengan wilayah basis Kecamatan Tanjung Pandan, trammel net dengan wilayah basis Kecamatan Badau, dan pukat pantai dengan wilayah basis Kecamatan Membalong. Bila hal m1 dilakukan, usaha perikanan tangkap dapat menjadi primadona Kabupaten Belitung maupun Provinsi Bangka Belitung, karena bersesuaian dan mendapat dukungan pe nuh dari masyarakat nelayan. Kebijakan moneter lebih mengarah pada pengaturan jumlah uang yang beredar di Kabupaten Belitung, sehingga intervensi kebijakan pemerintah di bidang moneter tidak berpengaruh di lokasi. Namun di bidang fiskal (Tabel 4), kebijakan tersebut mempengaruhi secara signifikan pemasaran produk perikanan serta cenderung mendis kreditkan kepentingan usaha perikanan yang berkembang dengan basis wilayah dan lokal. Sedangkan Nikijuluw (2002) dan Fauzi (2005), menyatakan bahwa kebijakan perikanan perlu mengayomi kepentingan utama perikanan yang ada di kawasan perikanan sehingga lebih membawa man faat di lokasi. Menurut Sen (1991), masyarakat kecil termasuk dari kalangan nelayan umumnya tekun menjalankan suatu pekerjaan selama kebutuhan keluarganya layak dan kegiatan
68
Label
Estimate
S.E.
C.R.
0.555 0.255 1
0.156 0.408
3.56 0.624
0 0.533 Fix
par- 1 3
-0.059
0.953
par-30
- 1 7.072 289.418
par-5
perikanan di Kabupaten Belitung akan berkembang pesat dan secara nyata menjadi andalan perekonomian kawasan. Menurut Makino, et al. (2009) dan Soenarno, et al. (2007), masyarakat kecil di pesisir merupakan kunci utama keber hasilan pembangunan kawasan, dan diha rapkan Pemerintah Daerah perlu mengem bangkan kebijakan untuk mengantisipasi kondisi yang tidak kondusif atas berlaku nya suatu kebijakan nasional, bila kebijakan tersebut diberlakukan di kawa san. Meskipun pada analisis sebelumnya kondisi moneter tidak mempengaruhi interaksi mikro kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung, tetapi secara regio nal (makro) hal ini harus tetap diantisipasi sehingga dampaknya tidak meluas. Kabupaten Belitung merupakan peng hasil utama (tertinggi) produk perikanan di regional Provinsi Bangka Belitung, dimana pada 2008 nilai produksinya mencapai Rp 441.500.690.000 (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung, 2009). Terkait dengan ini, kebijakan dalam hal perdagangan produk harus dilakukan dengan mengembangkan jalur-jalur perda gangan produk perikanan yang permanen dan jangka panjang, dimana Pemerintah Daerah harus mengambil peran lebih banyak dalam pengawasan perdagangan produk per-ikanan, namun seharusnya juga dapat membuat MoU atau kesepakatan perdagangan produk dengan pasar-pasar strategis seperti di Singapura, Batam, dan Menurut Panorel (2000) dan Jakarta. Muchtar ( 1 985), jalur dan tujuan per dagangan yang permanen penting agar semua usaha perikanan yang ada baik besar maupun kecil, mempunyai kepastian pasar terhadap produk perikanan yang dihasilkannya. V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Keaimpulan Hasil dan pembahasan yang dila kukan, kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung dapat men cakup: (a). pengembangan usaha perikanan
Jurnal Tekno/ogi Perikanan dan Ke/autan. Vol 1. No 1. November 20/0: 61-69
tangkap hendaknya berbasis po�ensi dan prospek ke-wilayahan; (b). pengembangan kebijakan oleh pemerintah daerah untuk mengantisipasi kondisi yang tidak kondusif atas berlakunya suatu kebijakan nasional bila diberlakukan di kawasan; (c). pengem bangan jalur-jalur perdagangan produk per ikanan yang permanen, dimana Pemenntah Daerah mengambil peran aktif sebagai pengawas dan penggagas dari kesepakatan perdagangan yang dilakukan dengan pasar pasar strategis; dan (d). pengembangan kebijakan yang menjamin terciptanya kon disi kondusif terhadap kegiatan pelayanan jasa yang mendukung pemban�an peri kanan, baik jasa pelabuhan, transportasi udara, darat, dan laut, jasa komunikasi, dan jasa pelayanan lainnya, dan bukan mustahil usaha perikanan tangkap Kab upaten Belitung menjadi penggerak ekonomi regional Provinsi Bangka Belitung.
Ferdinand, A.
2002.
Structural Equation
dalam Penelitian Mana jemen. Fakultas Ekonomi Universi tas Diponegoro. Semarang. Modeling
Ghozali, I.
2006. Structural Equation Modeling Metode Alternatif dengan Partial Least Square (PLS) . Badan Penerbit Universitas Semarang. 21 4 hal.
Diponegoro.
Makino, M, Matsuda, H, dan Sakurai, Y.
2009. Expanding Fisheries Co-mana gement to Ecosystem-Based mana gement : A case in the Shiretoko World Natural Heritage Area, Japan. Journal of Matine Policy. P 207 -
2014.
Nikijuluw, V. P. H. 2002. Rezim Penge lolaan Sumberdaya Perikanan. P3R. Jakarta.
5.2. Saran Dalam mengembangkan perikanan harus melihat trade-off antara situasi mikro industri perikanan dengan situasi makro regional/nasional, pengembangan perikanan juga harus memperhatikan kebijakan menyangkut produksi dan kebijakan menyangkut fiskal, agar hal tersebut dapat diaplikasikan secara nyata dalam kebijakan pembangunan perikanan tangkap yang telah dirwnuskan dan dilakukan secara bertahap berdasarkan kebutuhan kondisi ril kawasan.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung. 2009. Statistik Perikanan Tahun 2008 Kabupaten Belitung. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung. Tanjung Pan dan. Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan PT. Gramedia Pustaka Kelautan. Utama. Jakarta. Fauzi, A. 2006. Mikro-Makro Link dalam Perikanan. Paper disampaikan pada Seminar Perikda Provinsi Banten.
Panorel, A.R. 2000. Forging A Unified Fishe ries Ordinance in Murcielagos Bay: Lessons in Satkeholders Cooperation, Philipina, Leaming Regional News letter in CBCRM, p6-14.
Sevilla, C. G., Ochave J.A., Punsalan T.G., Regala B.P., and Uriarte G.G. 1993. Introduction "An Research to Methods•. University of the Philippine. Diliman, Quezon City.
Sen, A. 1991. Masih Adakah Harapan Bagi kaum Miskin?: Sebuah Perbincang an Tentang Etika dan llmu Ekonomi Di Fajar Milenium Barn, Pustaka Mizan. Jakarta.
D. R., Soenarno, S. M., Monintja, Tarumengkeng, R. C., Hubeis, A. V. S. 2007. Analisis Gender Terhadap Kegiatan Perikanan Pantai Kabu paten Subang, Jawa Barat. Buletin PSP Vol. XVI. 1 : 105-119.
Wahlund,
R. 1992. Tax changes and economic behavior: The case of tax evasion. Journal of Economic Psychology, 13, 657-677.
Model Micro-Macro Pengembangan ......... (DAHLAN, WIRYAWAN, MURDIYANTO, BASKORO, dan FAUZI)
69
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2010) 36(1): 97- 109
ISSN 0125-9830
NILAI EKONOMI TERUMBU KARANG DI KECAMATAN SELAT NASIK, KABUPATEN BELITUNG oleh
NURUL DHEWANI MIRAH SJAFRIE Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI
Received 29 Januari 2010, Accepted 20 April 2010
ABSTRAK Ekosistem terumbu karang adalah ekosisistem pesisir yang kaya akan keanekaragaman hayati. Ekosistem ini memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan di dalamnya, juga bagi kebutuhan manusia. Oleh karena itu sudah selayaknya jika nilai ekonomi ekosistem terumbu karang dievaluasi. Tujuan penelitian ini untuk menghitung nilai ekonomi terumbu karang di Kecamatan Selat Nasik. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Selat Nasik, Kabupaten Belitung pada tahun 2006. Data yang digunakan berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer diambil dengan menggunakan metoda wawancara mendalam terhadap beberapa responden kunci. Data sekunder diperoleh dari pustaka yang ada di Kecamatan Selat Nasik dan Kabupaten Belitung. Penghitungan nilai ekonomi dilakukan dengan pendekatan fungsi dan manfaat dari ekosistem terumbu karang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ekonomi terumbu karang di perairan Kecamatan Selat Nasik adalah sebesar Rp 112.624.393/tahun/ha atau 27.387 $ US/tahun/ha. Kontribusi terbesar diperoleh dari nilainya sebagai bahan bangunan diikuti oleh produksi perikanan, habitat ikan dan sebagai pelindung pantai. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh para pengambil keputusan di Kabupaten Belitung, khususnya di Kecamatan Selat Nasik untuk perencanaan pengelolaan. Kata kunci :
Nilai ekonomi, terumbu karang, kecamatan Selat Nasik, Kabupaten Belitung.
ABSTRACT ECONOMIC VALUE OF CORAL REEF AT SUB DISTRICT OF SELAT NASIK, BELITUNG DISTRICT. Coral Reef ecosystem is rich in biodiversity. This ecosystem functions to support marine flora and fauna and has great value to fullfil human needs. Therefore, the economic value of coral reef ecosystem should be evaluated. The purpose of the research is to calculate the economic value of
SJAFRIE
coral reef at Selat Nasik Sub District. This research was conducted at Sub District of Selat Nasik, Belitung District in 2006. Primary and secondary data were gathered. Primary data was collected using interviewed with some key respondents. Secondary data were gathered from literature that was collected in the government offices of Selat Nasik Sub District and Belitung District. The value of coral reef ecosystem was calculated using the benefit and function of coral reef approach. The result shows that coral reef economic value at Selat Nasik Sub District is IDR 112.624.393/year/ha or 27.387 $ US/year/ha. Maximum contribution to the value originated from the usage of coral as building material, followed by fisheries production, nursery ground and coastal protection. This result could be used by all stakeholders in Belitung District and Selat Nasik Sub District to set up management plan. Keywords : economic value, coral reef, Selat Nasik Sub District, Belitung District.
PENDAHULUAN Terumbu karang merupakan salah satu dari beberapa ekosistem yang ada di laut yang kaya akan keanekaragaman hayati dan memiliki manfaat yang besar di sektor perikanan. Berbagai jenis hewan dan tumbuhan yang hidup di ekosistem terumbu karang. Ada sekitar 350 jenis karang batu, >2000 jenis ikan, 1500 jenis moluska, 10 jenis teripang ekonomis dan 555 jenis alga yang hidup di ekosistem ini (NONTJI 1993). Ekosistem ini merupakan sumber nutrisi untuk kehidupan biota yang ada di laut. Banyak hewan yang mencari makan, berbiak, mengasuh dan membesarkan anak-anak di tempat ini. Manfaat lain dari ekosistem terumbu karang adalah sebagai penahan gelombang, sumber benih budidaya, serta memiliki potensi untuk pengembangan wisata bahari. Ditinjau dari aspek ekonomi, terumbu karang memberikan sumbangan yang cukup besar untuk sektor perikanan. CAESAR (1996) menyatakan bahwa terumbu karang yang termasuk dalam kategori sangat baik dapat menyumbangkan 18 ton ikan per km2 per tahun, sedangkan yang termasuk dalam kategori baik dan cukup adalah sebesar 13 ton/km2/tahun dan 8 ton/km2/tahun. Apabila dikalkulasikan secara ekonomi, nilai terumbu karang yang ada di perairan Indonesia adalah sebesar 4,2 milyar $US dari aspek perikanan, wisata dan perlindungan laut. Nilai ini belum termasuk nilai manfaat terumbu karang sebagai pelindung pantai, bahan bangunan, sumber pangan serta obat-obatan. Hasil penelitian mengenai nilai ekonomi terumbu karang dari berbagai aspek telah dilakukan oleh beberapa peneliti. OHMAN & CAESAR (2000) telah menghitung nilai ekonomi terumbu karang sebagai bahan tambang di Lombok dan Srilanka. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai ekonomi terumbu karang di Lombok adalah sebesar 762 $ US/km2, sedangkan di Srilangka nilainya sebesar 6.610.000 $ US /km2. SAWYER pada tahun 1992 seperti yang disitir dalam
98
NILAI EKONOMI TERUMBU KARANG DI KECAMATAN SELAT NASIK
SUHARSONO (2007) telah menghitung nilai ekonomi terumbu karang dari hasil perikanan di Takabonerate, Sulawesi Selatan dan memperoleh nilai ekonomi sebesar 777 $ US/km2. Nilai ekonomi terumbu karang di Great Barrier Reef dari hasil perikanan juga telah dilakukan oleh DRIML (1999), sedangkan dari hasil pariwisata oleh MULLER (2000). Nilai ekonomi terumbu karang dari hasil perikanan di Great Barrier Reef adalah sebesar 143 juta $ US /tahun, sedangkan nilai ekonomi dari hasil pariwisata berkisar antara 106-144 juta $ US/tahun. Sebaliknya MOORE & BEST pada tahun 2001 yang disitir dalam SITUMORANG (2004) telah melakukan penghitungan mengenai kerugian yang disebabkan oleh kerusakan terumbu karang dilihat dari fungsinya sebagai pelindung pantai. Hasil penelitian mereka menyatakan bahwa setiap kerusakan 1 km2 terumbu karang akan mengakibatkan kerugian antara 137.000 sampai 1.200.000 $ US. Kecamatan Selat Nasik termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Belitung. Kecamatan ini merupakan wilayah kepulauan yang terdiri atas 26 pulau, namun demikian hanya ada tujuh pulau yang dihuni. Kecamatan ini terdiri dari empat desa, yaitu Desa Selat Nasik, Desa Petaling, Desa Suak Gual dan Desa Gersik. Dari sektor perikanan, kecamatan Selat Nasik memberikan kontribusi paling besar, yaitu 30% terhadap PAD Kabupaten Belitung dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Hal ini tentunya akan berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan kecamatan tersebut, terutama dengan kondisi terumbu karangnya. Oleh sebab itu perlu kiranya nilai ekonomi terumbu karang di Kecamatan Selat Nasik dihitung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai ekonomi terumbu karang di perairan Kecamatan Selat Nasik, Kabupaten Belitung, sehingga dapat dilakukan pengelolaan secara bijaksana.
BAHAN DAN METODE Luas terumbu karang di perairan kecamatan Selat Nasik adalah 4111,88 ha (SJAFRIE 2007). Dari keempat desa yang ada, Desa Gersik memiliki terumbu karang terluas, yaitu 1214,242 ha. Luas terumbu karang di tiga desa lainnya berturut-turut adalah: 1095,941 ha, 1039,438 ha dan 765,261 ha untuk Desa Petaling, Selat Nasik dan Suak Gual. Kondisi terumbu karang di perairan Kecamatan Selat Nasik tergolong dalam kategori baik dengan persentase tutupan karang hidup rata-rata sebesar 68,68%. Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2006 di Kecamatan Selat Nasik, Kabupaten Belitung (Gambar 1). Data yang digunakan untuk menghitung nilai ekonomi terumbu karang berasal dari data sekunder dan primer. Data sekunder diperoleh dari publikasi instansi dan dinas terkait, sedangkan data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan para pelaku pasar. Misalnya data harga ikan diperoleh langsung dari para pengumpul ikan yang ada di ke empat desa di Kecamatan Selat Nasik. Demikian pula dengan produksi rajungan dan teripang. Jumlah responden dan jenis responden disarikan dalam Tabel 1.
99
SJAFRIE Tabel 1. Jumlah dan jenis responden. Table 1. Type and number of respondent. No 1 2 3 4 5
Type of respondent Government staff Fishermen Fish collector Lime maker Break water maker Total
Number of respondent (person) 3 6 3 3 2 17
Gambar 1. Peta Kecamatan Selat Nasik, Kabupaten Belitung. Figure 1. Map of Selat Nasik Sub District, Belitung District.
Penilaian terumbu karang dilihat dengan pendekatan manfaat dan fungsi yang berlangsung di Kecamatan Selat Nasik. Nilai ekonominya dilihat dari penggunaan langsung dan penggunaan tidak langsung. Di dalam penghitungan nilai nominal (uang), mengacu pada metode valuasi ekonomi yang digunakan oleh SUPARMOKO et.al (2005b) dan UNEP (2007a) dengan beberapa modifikasi. Gambar 2 memperlihatkan pemanfaatan terumbu karang di Kecamatan Selat Nasik secara langsung maupun tidak langsung.
100
NILAI EKONOMI TERUMBU KARANG DI KECAMATAN SELAT NASIK
Gambar 2. Diagram Pemanfaan Terumbu Karang di Kecamatan Selat Nasik. Figure 2. Diagram of the Uses of Coral Reef at Selat Nasik Sub District.
Cara Penghitungan Nilai Ekonomi Perikanan Nilai ekonomi aspek perikanan ini dihitung dari jumlah ikan, rajungan dan teripang yang tertangkap dikalikan dengan harga pasar (UNEP 2007a). Jumlah ikan yang ditangkap oleh nelayan di Kecamatan Selat Nasik diperoleh dari data statistik perikanan kecamatan tahun 2006, sedangkan data hasil tangkapan rajungan dan teripang diperoleh dari nelayan. Karang sebagai Bahan Bangunan Penghitungan nilai ekonomi karang sebagai bahan bangunan meliputi beberapa tahapan (Tabel 2.) Penelitian Beberapa penelitian yang berhubungan dengan perairan Selat Nasik telah dilakukan. Dari hasil wawancara dengan Ketua Bappeda Kabupaten Belitung dan staffnya dapat diketahui nilai nominal masing-masing penelitian yang telah dilakukan. Penahan Pantai Penghitungan nilai terumbu karang sebagai penahan pantai dilakukan meliputi beberapa tahapan (Tabel 3).
101
SJAFRIE Tabel 2. Tahapan penghitungan nilai ekonomi terumbu karang sebagai bahan bangunan. Table 2. Calculation step to estimate economic value of coral reef as bulding material. Tahap 1
Kegiatan Mencari informasi tentang kebiasaan masyarakat yang melakukan penggalian karang. Pada umumnya masyarakat yang menggali karang melakukan penggalian karang sedalam 30 cm.
2
Mencari informasi luasan terumbu karang di perairan Kecamatan Selat Nasik. Dari hasil penelitian sebelumnya telah diketahui luasan terumbu karang di kecamatan Selat Nasik yaitu 4111,88 ha.
3
Menghitung volume karang yang dapat diambil. Dengan mengetahui luasan dan kedalaman karang yang digali maka akan diperoleh volume karang yang diambil.
4
Mencari informasi harga karang per meter kubik. Nilai terumbu karang diperoleh dengan mengalikan volume karang yang dapat diambil dengan harga karang per meter kubik.
Tabel 3.Tahapan penghitungan nilai ekonomi terumbu karang sebagai penahan pantai. Table 3. Calculation step to estimate economic value of coral reef as coastal protection. Tahap 1
Kegiatan Menghitung panjang garis pantai pulau-pulau yang dihuni di wilayah Kecamatan Selat Nasik. Di Kecamatan ini ada 26 pulau, yang dihuni hanya 7 pulau.
2
Mengalikannya panjang garis pantai pulau yang dihuni dengan lebar penahan pantai (0,5 meter). Menghitung volume penahan pantai. Umumnya ketinggian penahan pantai adalah 1 meter. Mencari informasi biaya pembuatan penahan pantai per meter kubik. Nilai terumbu karang diperoleh dengan mengalikan panjang penahan pantai per meter kubik dengan harga pembuatannya/meter3
3 4
Habitat Ikan Penghitungan nilai terumbu karang sebagai habitat ikan didekati dengan biaya pembuatan tambak. Terumbu karang yang masih utuh yang berfungsi sebagai nursery ground bernilai Rp. 8.000.000/ha (SUPARMOKO et al.2005b).
102
NILAI EKONOMI TERUMBU KARANG DI KECAMATAN SELAT NASIK
HASIL DAN BAHASAN Nilai Penggunaan Langsung Penggunaan langsung yang dimaksudkan adalah bahwa terumbu karang dianggap memberikan manfaat langsung kepada masyarakat, misalnya sebagai sumber penghasilan. Nilai ekonomi terumbu karang berdasarkan penggunaan langsung hanya dilihat dari aspek perikanan (Tabel 4). Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa hasil tangkapan ikan memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan teripang, cumi-cumi dan rajungan. Nilai terumbu karang di kabupaten Sikka dari aspek yang sama adalah Rp. 49,87 milyar/tahun untuk luasan 7250 ha (SUPARMOKO et al. 2005a) atau Rp. 6.878.620/ha. Jika nilai terumbu karang dari aspek perikanan di kedua lokasi ini dibandingkan maka nilai terumbu karang di Kecamatan Selat Nasik > 3,5 kali. Keadaan ini memberikan gambaran bahwa walaupun luasan terumbu karang di Kecamatan Selat Nasik (4111,88 ha) lebih kecil daripada luasan terumbu karang di Kabupaten Sikka (7250 ha) namun nilainya dari aspek perikanan lebih tinggi. Informasi ini dapat dijadikan bahan pertimbangan apabila pemerintah daerah Kabupaten Belitung akan melakukan usaha yang dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan perairan terutama terumbu karang di Kecamatan ini, misalnya perubahan tata guna lahan, penambangan dan sebagainya. Nilai Penggunaan Tidak Langsung Penggunaan tidak langsung yang dimaksudkan adalah bahwa terumbu karang mempunyai nilai-nilai tertentu, akan tetapi belum tereksploitasi. Nilai ekonomi terumbu karang berdasarkan penggunaan tidak langsung dibedakan menjadi empat yaitu : karang sebagai bahan bangunan, penelitian, penahan pantai dan habitat ikan. Karang sebagai Bahan Bangunan Penggunaan karang sebagai bahan bangunan di Kecamatan Selat Nasik terlihat berpotensi. Sebagian penduduk melakukan usaha penambangan karang untuk dibuat kapur, walaupun dalam skala kecil (ANONIM 2007). Hal ini disebabkan oleh sulitnya mendapatkan bahan kapur di daerah kepulauan Bangka Belitung. Penghitungan nilai terumbu karang sebagai bahan bangunan dirangkum dalam Tabel 5. SUPARMOKO et al. (2005a) telah menghitung nilai ekonomi terumbu karang di Kabupaten Sikka. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa nilai terumbu karang sebagai bahan bangunan di Kabupaten Sikka adalah sebesar Rp. 11,6 milyar yang dihitung dari volume karang lebih kurang 23.200.000 m3 atau Rp. 500/m3. Selanjutnya di Pulau Kangean, nilai terumbu karang sebagai bahan bangunan yang dihitung dari volume karang sebesar 24.400.000 m3 adalah Rp. 995,32 milyar (Rp. 40.700/m3). Nilai terumbu karang di ketiga lokasi tersebut bervariasi, hal ini dipengaruhi oleh harga karang/m3 yang berbeda di setiap lokasi.
103
SJAFRIE Tabel 4. Nilai ekonomi perikanan terumbu karang di Kecamatan Selat Nasik. Table 4. Economic value of coral reef fisheries at Sub District of Selat Nasik. Sum (tons)
Price/kg**
Value (Rp)
Family of Fishes* Sphyraenidae/Spanish mackerel Scombridae/Skipjack tuna Clupeidae/Sardine
851,04
19.573.920.000
880,27
8.000
7.042.160.000
5.458,27
2.000
10.916.540
13,09
25.000
327.250.000
255,87
17.000
4.349.790.000
Lutjanidae/Snapper Carangidae/ Trevally
23.000
Lethrinidae/Sea-bream
12,08
10.000
120.800.000
958,29
10.000
9.582.900.000
1.380,88
5.000
6.904.400.000
Serranidae/Grouper
113,16
85.000
9.618.600.000
Engraulidae/Ancovy
161,24
5.000
805.200.000
94,44
7.000
661.080.000
Scombridae (Rastrelliger sp) Carangidae/Yellowtail
Nemipteridae/Threadfin -bream Ariidae/Catfish
15,87
7.000
111.09.000
Others
1.293,79
7.000
9.056.530.000
Total
11.579,83
Swimming Crab** Sea cucumber**
79.070.260.000
10,08
21.000
211.680.000
163,68
200.000
32.736.000.000
98,32
15.000
1.474.800.000
Total value
113.492.740.000/year
Average value
27.554.272/year/ha
Squid
*ANONIM (2006d). ** Data primer yang diolah *** Luas total terumbu karang 4118,88 ha.
Tabel 5. Nilai ekonomi terumbu karang sebagai bahan bangunan di Kecamatan Selat Nasik. Table 5. Economic value of coral reef as building materials at Sub District of Selat Nasik.
Area of coral reef Volume of coral reef that can be exploited
Price
Value (Rp)
70.000/m3
86.349.522.000 or 21.000.000/ha
4111,882 ha = 4111,882 x 10.000 x 0,3 = 1.233.564,60 m3
Penelitian Beberapa penelitian yang berhubungan dengan terumbu karang telah dilakukan di Kecamatan Selat Nasik. Tabel 6 memperlihatkan jumlah dan nilai nominal masing-masing penelitian yang dilakukan di propinsi, Kabupaten dan lainnya.
104
NILAI EKONOMI TERUMBU KARANG DI KECAMATAN SELAT NASIK
Tabel 6. Nilai ekonomi terumbu karang di Kecamatan Selat Nasik dari aspek penelitian. Table 6. Economic value of coral reef from research aspect at Selat Nasik Sub District. Location Province Regency Others
Number of Report 1 report 2 report 5 report
Price/Report (Rp) 100.000.000 60.000.000 100.000.000
Value (Rp) 100.000.000 120.000.000 500.000.000
Tabel 7.
Nilai ekonomi terumbu karang sebagai penahan pantai di Kecamatan Selat Nasik. Table 7. Economic value of coral reef as beach protection at Sub District of Selat Nasik. Parameter Length of coastal line of inhabitant island volume = 88.019,149532 x 0,5 x 1 m3
Magnitudes
Price of beach protection/ m3 (Rp)
Value (Rp)
300.000
13.213.671.000
88.019,149532 m 44.045,57 m3
Penahan Pantai Salah satu fungsi terumbu karang adalah sebagai benteng pertahanan pelindung fisik dari tekanan gelombang dan badai. Bila terumbu karang dirusak atau dihancurkan akibatnya pantai akan terkikis oleh hempasan ombak yang dampaknya mengancam lokasi pemukiman serta pola tata guna lahan setempat (NONTJI 1993). Di Kecamatan Selat Nasik terdapat 26 pulau dan hanya 7 pulau yang berpenghuni. Pulau-pulau tersebut sangat berpotensi untuk terkena abrasi. Hal ini didukung dengan adanya alokasi dana dari Pemerintah Kabupaten Belitung untuk pembuatan penahan pantai/talud di Desa Gersik dan Suak Gual. Penghitungan nilai terumbu karang sebagai penahan pantai dirangkum pada Tabel 7. Habitat Ikan Fungsi lain dari terumbu karang adalah sebagai nursery ground (NONTJI 1993). Di Kecamatan Selat Nasik, fungsi ini didukung oleh hasil penelitian Pusat Penelitian Oseanografi LIPI tahun 2007 di perairan Kecamatan Selat Nasik. Pengamatan yang dilakukan di 12 stasiun menunjukkan bahwa kelimpahan ikan karang adalah sebesar 220.988 individu/ha (SJAFRIE 2007). Kelimpahan ikan di perairan Selat Nasik relatif lebih tinggi dibandingkan beberapa perairan lainnya. Di perairan Kota Batam, kelimpahan ikan karang yang tercatat adalah 30.067 individu/ha (ANONIM 2006a), sementara itu di perairan Kabupaten Nias 23.181 individu / ha (ANONIM 2006b) dan di perairan Natuna 20.118 individu / ha
105
SJAFRIE Tabel 8. Nilai ekonomi terumbu karang sebagai habitat ikan di Kecamatan Selat Nasik. Table 8. Economic valuation of coral reef as fish habitat at Sub District of Selat Nasik. Parameter Area of coral reef Percentage of live coral cover Price of coral reef as nursery ground Coral reef as fish fish habitat
Value (Rp)
4111,882 ha 68,68% Rp. 8.000.000 68,68% x 4111,882 ha x Rp. 8.000.000
22.592.320.000
Tabel 9. Nilai ekonomi terumbu karang di perairan Kecamatan Selat Nasik dari aspek penggunaan tidak langsung. Table 9. Economic value of coral reef from indirect use at Sub District of Selat Nasik. Indirect use Building material Research Beach protection
Value (Rp) 863.495.220.000 720.000.000 13.213.671.000
Fish habitat
22.592.320.000
Total value
900.021.211.000
(ANONIM 2006c). Hal ini menunjukkan betapa besarnya potensi ikan yang ada di perairan Kecamatan Selat Nasik. Nilai terumbu karang sebagai habitat ikan didekati dengan biaya pembuatan tambak. Tabel 8 memperlihatkan nilai ekonomi terumbu karang dari fungsinya sebagai habitat ikan. Bila dibandingkan dengan nilai terumbu karang di Pulau Kangean dari aspek yang sama yang besarnya Rp.3.200.000,-/ha (UNEP 2007b), terlihat bahwa nilai terumbu karang sebagai habitat ikan di Kecamatan Selat Nasik (Rp. 5.494.390,-/ha) relatif lebih tinggi. Secara umum nilai terumbu karang dari penggunaan tidak langsung adalah Rp. 900.021.211.000 atau Rp. 218.883.141/ha (Tabel 9), dengan kontribusi terbesar diberikan oleh nilai terumbu karang sebagai bahan bangunan. Di Kangean nilai ekonomi terumbu karang dari penggunaan tidak langsung adalah sebesar Rp. 200.000.000/ha (UNEP 2007b). Nilai Ekonomi Terumbu Karang di Perairan Kecamatan Selat Nasik Penghitungan nilai ekonomi terumbu karang di perairan kecamatan Selat Nasik diperoleh dari penambahan nilai penggunaan langsung dan nilai tidak langsung. Nilai ekonomi terumbu karang Kecamatan Selat Nasik adalah sebesar Rp.1,013 trilyun/tahun atau setara dengan 112.624.393 $ US/tahun. Untuk mengetahui nilai terumbu karang setiap hektar, maka nilai tersebut dibagi dengan luasan terumbu karang yang ada (4111,88 ha), akan diperoleh nilai terumbu karang sebesar Rp. 246.484.320/ha/tahun, atau setara dengan 27.387 $ US /ha/tahun. Nilai ekonomi terumbu karang di berbagai lokasi di Indonesia bervariasi. SUPARMOKO et al. (2005a) telah menghitung nilai ekonomi terumbu karang di Kabupaten Sikka dan memperoleh nilai sebesar Rp.325.253.790/ha/tahun. Selanjutnya SUPARMOKO et al. (2005b) juga menghitung nilai ekonomi terumbu karang di Kabupaten Kangean dan memperoleh nilai sebesar Rp 166.393.442/ha/tahun.
106
NILAI EKONOMI TERUMBU KARANG DI KECAMATAN SELAT NASIK
Dibandingkan dengan nilai terumbu karang di Pulau Kangean, nilai terumbu karang di Kecamatan Selat Nasik relatif lebih tinggi. Hal ini diduga karena kondisi terumbu karang di kecamatan Selat Nasik yang tergolong baik. Namun jika dibandingkan dengan nilai terumbu karang di Kabupaten Sikka, maka nilainya relatif lebih rendah.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa manfaat karang sebagai bahan bangunan memberikan kontribusi yang paling besar terhadap penghitungan nilai ekonomi terumbu karang diikuti dengan aspek perikanan dan habitat ikan. Nilai ekonomi terumbu karang di Kacamatan Selat Nasik relatif tinggi. Nilai tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah Kabupaten Belitung dalam melakukan usaha yang berdampak terhadap lingkungan perairan terutama terumbu karang di Kecamatan Selat Nasik. Terumbu karang di perairan ini perlu dijaga dan dimanfaatkan secara bijaksana dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutannya.
PERSANTUNAN Penulis mengucapkan terima kasih kepada UNEP/GEF South China Sea Project yang telah mendanai penelitian ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu baik moril dan materiil.
DAFTAR PUSTAKA ANONIM. 2006a. Baseline ekologi Batam. CRITC-COREMAP II-LIPI. Jakarta: 104 hal. ANONIM. 2006b. Baseline ekologi Nias. CRITC-COREMAP II-LIPI. Jakarta: 92 hal. ANONIM. 2006c. Baseline ekologi Natuna. CRITC-COREMAP II-LIPI. Jakarta: 95 hal.
107
SJAFRIE
ANONIM. 2006d. Kecamatan Selat Nasik dalam angka tahun 2006. Koordinator Data Statistik Kecamatan Selat Nasik: 85 hal. ANONIM. 2007. Sumber daya alam Selat Nasik: Potensi, pemanfaatan dan kehidupan masyarakat. Indonesian Coral Reef Committe For South China Sea Project. Jakarta: 142 hal. CAESAR, H. 1996. Economic analysis of Indonesian coral reef. Working Paper Series “Work in Progress”. World Bank, Washington DC: 97 pp. DRIML, S. M. 1999. Dollar values and trend of major direct uses of the Great Barrier Reef Marine Park. GBRMPA, Townsville: 56 pp. MULLER, J.; S. BETTENCOURT and R. GILLET. 2000. A comparative study of socio-economic and management issues related to coastal resources in Pasific Island. In: H.S.J. CESAR (ed.) Collected essay on economic of coral reef. CORDIO. 166-182. NONTJI, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 367 hal. OHMAN, M. C and H.S.J CAESAR. 2000. Cost and benefit of coral mining. In: H.S.J. CESAR (ed.) Collected essay on economic of coral reef. CORDIO. 85-93. SITUMORANG, B. 2004. Valuasi ekonomi terumbu karang Kepulauan Seribu. Thesis Sekolah Pasca Sarjana IPB: 89 hal. SJAFRIE, N.D.M. 2007. Survei ekologi di perairan kecamatan Selat Nasik Kabupaten Belitung. Indonesian Coral Reef Committe For South China Sea Project. Jakarta: 43 hal. SUHARSONO 2007. Pengelolaan terumbu karang di Indonesia. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Ilmu Oseanografi. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta: 112 hal. SUPARMOKO, M; SUWARSO; E. HENDARTO; Y SETYARKO dan G. WIDYANTARA. 2005a. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Laut Kabupaten Sikka. Dalam Neraca Sumber Alam (Natural Resource Accounting. Suparmoko (ed.) : BPFE-Yogyakarta. 125 – 151. SUPARMOKO, M.; M. RATNANINGSIH; Y. SETYARKO dan G. WIDYANTARA 2005b. Valuasi ekonomi sumberdaya alam laut dan pesisir Pulau Kangean. Dalam : SUPARMOKO (ed.) Neraca Sumber Alam (Natural Resource Accounting. BPFE-Yogyakarta: 153-173.
108
NILAI EKONOMI TERUMBU KARANG DI KECAMATAN SELAT NASIK
UNEP 2007a. Guidelines for conducting economic valuation of coastal ecosystem goods and services. UNEP/GEF/SCS Technical Publication No.8: 36 pp. UNEP 2007b. Reversing environmental degradation trends in the South China Sea and Gulf of Thailand. Report of the Seventh Meeting of The Regional Task Force on Economic Valuation. UNEP/GEF/SCS/RTF-E. 7/3.:15 pp + 10 app.
109
Optimalisasi Produksi Usaha Pembuatan Tempe di Kabupaten Bangka Propinsi Kepulauan Bangka Belitung Optimalization of Industries of Tempe Production in Bangka Regency The Province of Bangka Belitung Islands Iwan Setiawan1, Yudi Sabto Pranata1 1
Program Studi Agroteknologi-FPPB, Universitas Bangka Belitung. Jl. Diponegoro No.01 Sungailiat Bangka Kep. Bangka Belitung 33215
ABSTRACT This research tried to know the generally condition of tempe production as small industry. Besides finding out optimum level of tempe production and maximum profit could be obtained by tempe producers , this research also efforted to know the efficiency of small industries of tempe producer. Field surveys were carried out in two sub regencies of Bangka, namely Kecamatan Sungailiat and Kecamatan Pemali. Sub regencies were purposively chosen becaused in the locations were found many tempe producers were found and have been in place long time ago. Primary and secondary data for this research included costs, quantities and price of tempe, and other relevant data. The results indicated that industries of tempe production were still simply managed. This condition may be reflected from the by appliances used in tempe production process. There was no one tempe producers reached the optimum level of tempe production yet. In this time tempe producers couldn’t obtain maximum profit by only managing their production inputs. The deficit in quantities of tempe was 34 % than the average optimum tempe production indicated that industries of tempe production didn’t work efficiently yet. The maximum profit of Rp 7.364.992,- could be obtained tempe producers while quantities by tempe achieved 16.083 batch. Key words : Optimalization, Tempe, Production, Bangka, Maximum Profit. PENDAHULUAN Industri-industri rumah tangga khususnya yang ada di Kabupaten Bangka Propinsi Kepulauan Bangka Belitung saat ini masih memiliki prospek yang cerah untuk dikembangkan. Salah satu industri rumah tangga yang hingga kini masih berkembang di Kabupaten Bangka adalah usaha pembuatan tempe yang ada di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali. Penurunan ataupun peningkatan harga input, seringkali menyebabkan para pengusaha pembuatan tempe di kedua kecamatan tersebut cenderung mengurangi atau menambah input untuk membuat tempe mereka. Akibatnya, jumlah produksi tempe sangat ditentukan oleh ketersediaan input-input tersebut. Di sisi lain pengusaha pembuatan tempe hanya bertindak sebagai penerima harga (price taker). Pengelolaan usaha yang dilakukan dengan cara seperti ini seringkali hanya akan memberikan keuntungan apa adanya bagi para pengusaha pembuatan tempe. Hasil kajian yang dilakukan terhadap usaha kecil atau industri rumah tangga pada sub sektor agroindustri menunjukkan bahwa umumnya pengelolaan usaha tersebut belum dilakukan secara efisien. Sebagai contoh, Adnan et.al. (2004) dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa tingkat produksi optimal pada industri rumah tangga gula aren di Kabupaten Lombok Tengah ternyata belum tercapai.
Kesimpulan yang hampir sama juga dibuat oleh Sari (2006) yang menyimpulkan bahwa input-input produksi yang digunakan pada usaha pembuatan tempe di Kecamatan Sungailiat dan Pemali belum sepenuhnya dimanfaatkan secara efisien. Memilih tingkat produksi optimum yang dapat memaksimumkan keuntungan pada usaha kecil atau industri rumah tangga sangat penting dilakukan. Setiawan (2005) telah membuktikan bahwa hasil penghitungan terhadap tingkat produksi optimum kebun kelapa sawit milik petani plasma di Kabupaten Musi Banyuasin ternyata mampu memberikan informasi yang berarti bagi petani plasma di daerah tersebut dalam meningkatkan produksi kelapa sawit mereka. Sejalan dengan hal tersebut, Arsyad (1999) menyatakan bahwa di dalam ekonomi moderen saat ini perlu adanya upaya untuk memperoleh skala ekonomis yang efisien (economics of scale) yaitu dengan cara meminimumkan biaya untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Keuntungan yang diperoleh para pengusaha pembuatan tempe di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali selama ini hanya didasari oleh harga tempe dan banyaknya tempe yang dihasilkan. Jumlah tempe yang dihasilkan pada setiap periode produksi adakalanya naik ataupun turun mengikuti jumlah input yang tersedia. Dikarenakan harga tempe yang berlaku hanya didasarkan pada penawaran dan permintaan pasar, maka keuntungan yang diperoleh
pengusaha pembuatan tempe pada akhirnya hanya merupakan keuntungan apa adanya. Keuntungan maksimum sesungguhnya dapat diperoleh pengusaha pembuatan tempe asalkan mereka mengetahui berapa banyak produksi tempe yang semestinya mereka hasilkan untuk setiap periode produksi berdasarkan harga tempe yang mereka terima. Kendala yang timbul adalah bahwa mereka tidak memahami cara menentukan tingkat produksi tempe yang dapat memberikan keuntungan maksimum bagi mereka. Kondisi ini semakin memperkuat dugaan bahwa usaha pembuatan tempe yang dilakukan oleh para pengusaha pembuatan tempe yang ada di kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali belum dilaksanakan secara efisien. Pemenuhan target produksi yang optimum seringkali tidak tercapai sehingga keuntungan yang diperoleh masih belum maksimum. Penelitian ini bertujuan : (1) Untuk mendapatkan gambaran umum mengenai usaha pembuatan tempe yang ada di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka, (2) Untuk mengetahui berapa banyak tempe yang semestinya dihasilkan oleh para pengusaha pembuat tempe dalam satu periode produksi agar mereka memperoleh keuntungan maksimum, dan (3) Untuk mengetahui berapa besar keuntungan maksimum yang dapat diperoleh para pengusaha pembuat tempe dalam satu periode produksi. Manfaat Penelitian. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat yang luas yaitu : (1) Memberi gambaran umum mengenai kondisi dari usaha pembuatan tempe skala industri rumah tangga sehingga akan memudahkan dalam memberikan alternative kebijakan pengembangan usaha tersebut ke depan, dan (2) Sebagai masukan yang berharga bagi upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi usaha yang akan memberikan keuntungan maksimum bagi pengusaha pembuatan tempe khususnya dan industri rumah tangga umumnya. BAHAN DAN METODE Pelaksanaan Penelitian. Dua Kecamatan yang menjadi tempat pelaksanaan penelitian yaitu Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja mengingat di kedua wilayah tersebut banyak terdapat usaha pembuatan tempe sehingga sesuai dengan permasalahan penelitian. Pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Mei 2008 dan berakhir pada bulan Desember 2008. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei, dimana contoh dalam penelitian ini diambil sebanyak 30 orang pengusaha pembuatan tempe yang ada di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali. Untuk menjawab permasalahan penelitian, maka proses diawali terlebih dahulu dengan melakukan
penghitungan statistik dan matematik terhadap data yang telah dikumpulkan dari contoh penelitian. Selanjutnya terhadap data yang telah diolah ini dilakukan analisis bersifat deskriptif guna memberi jawaban terhadap permasalahan penelitian yang telah dirumuskan. Metode Pengumpulan Data. Metode pengumpulan data penelitian dilakukan dengan menggunakan metode observasi dan wawancara langsung terhadap 30 orang pengusaha pembuatan tempe yang ada di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi biaya produksi total yang telah dikeluarkan dan jumlah tempe yang diproduksi selama satu periode. Di samping itu dikumpulkan juga data mengenai harga tempe yang diterima oleh para pengusaha pembuatan tempe selama periode tersebut. Sedangkan data sekunder yang dikumpulkan adalah berupa data-data yang bersifat mendukung penelitian yang sedang dilakukan yang diperoleh dari dinas / instansi terkait. Metode Pengolahan Data dan Analisis. Metode yang digunakan untuk maksud pengolahan data dan analisis, sesuai dengan tujuan penelitian adalah sebagai berikut : Untuk dapat memecahkan masalah penelitian dan menjawab tujuan penelitian, maka data yang telah diperoleh dari lapangan selanjutnya diolah secara statistik dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS (statistical product and service solution). Ini dimaksudkan untuk mendapatkan suatu persamaan regresi yang cocok yang akan digunakan dalam penelitian ini. Model persamaan yang dimaksud adalah :
TC = a + bQ - cQ2 + dQ3 …………..(1) TC MC b 2cQ 3dQ2 = 0 ……….(2) Q
MC 2TC 2c 6dQ > 0………..(3) Q Q 2 Keterangan : TC Q a b,c,d MC
= biaya total (Rp/periode) =produksitempe bgks/periode) = Intersep = koefisien regresi (slope) = biaya marjinal (Rp/bgks).
Untuk perusahaan penerima harga (price taker), maka tingkat produksi optimum (Q) dapat ditentukan apabila memenuhi persyaratan : P = MR = MC. Persyaratan ini dapat dipenuhi dengan cara mensubstitusikan harga produk ke dalam persamaan (2) sehingga :
P b 2cQ 3dQ 2 = 0………(4) keterangan : P = harga produk (Rp/bgks/periode) Selanjutnya, persamaan (4) dapat ditulis kembali sehingga menjadi persamaan baru, yaitu :
(b P) 2cQ 3dQ 2 0 …..(5) Tingkat produksi optimum pada akhirnya dapat ditentukan dengan memasukkan nilai koefisienkoefisien pada persamaan (5) ke dalam rumus a,b,c yaitu :
Q1.2 keterangan :
b b 2 4ac …(6) 2a
Q1.2 = tingkat produksi optimum dan yang tidak
optimum (Kg/periode). Jika tingkat produksi tempe (Q) tersebut dimasukkan ke dalam persamaan (3), maka yang memberikan hasil lebih besar dari nol (0) dianggap sebagai tingkat produksi optimum.
Keuntungan maksimum diperoleh dengan cara memasukkan tingkat produksi optimum, harga aktual produk dan biaya total untuk masing-masing periode produksi ke dalam persamaan :
P.Q (TC ) ……....(7) Keterangan : = Keuntungan maksimum (Rp/periode) P = harga produk (Rp/bgks/periode) Keterangan : = Keuntungan maksimum (Rp/periode) P = harga produk (Rp/bgks/periode) Q = produksi optimum (bgks/periode) (TC) = biaya total (Rp/periode) Selanjutnya, untuk mengetahui bagaimana kondisi efisiensi suatu usaha, maka dilakukan pembandingan terhadap harga produk (P) yang diterima untuk setiap periode dengan biaya marjinal (MC) yang dikeluarkan. Menurut Lipsey et al. (1989) apabila ditemukan bahwa P > MC artinya alokasi sumberdaya untuk suatu produk belum efisien, dan apabila P = MC artinya alokasi sumberdaya untuk suatu produk adalah efisien, sedangkan apabila P < MC artinya alokasi sumberdaya untuk suatu produk tidak efisien. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Daerah Penelitian. Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali hanya berjarak 2,5 km hingga 3 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Bangka. Di sekitar pusat pemerintahan ini terdapat satu kawasan pasar dimana intensitas transaksi perdagangan sangat tinggi. Penjualan produk yang terjadi di pasar ini tidak hanya berasal dari wilayah Kecamatan Sungailiat, namun juga salah satunya berasal dari wilayah Kecamatan Pemali. Tersedianya sarana perbelanjaan sekaligus sebagai tempat hiburan di Kecamatan Sungailiat, mengakibatkan semakin banyak masyarakat yang datang ke lokasi ini. Hal ini merupakan potensi yang besar untuk dijadikan sebagai peluang pemasaran produk khususnya tempe yang berasal dari Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali. Sungailiat yang juga merupakan Ibu Kota Kabupaten Bangka, tidak hanya potensial sebagai tempat memasarkan produk tetapi juga potensial dalam melayani pendanaan untuk pengembangan usaha, sarana perbelanjaan dan hiburan yang menarik. Kondisi ini dapat disaksikan dengan berdirinya beberapa lembaga perbankan baik milik pemerintah seperti ; Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Pembangunan Daerah Sumatera Selatan (BPD-SS), dan Bank Nasional Indonesia (BNI). Di samping itu terdapat juga Bank milik swasta seperti ; Bank Central Asia (BCA) dan Bank Syariah. Berdirinya beberapa lembaga perbankan di pusat Ibu Kota Kabupaten Bangka ini sangat mendukung perekonomian masyarakat terutama dalam menyediakan kredit usaha khususnya bagi usaha-usaha kecil berskala industri rumah tangga yang ada di Kabupaten Bangka. Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali masing-masing memiliki kepadatan penduduk yang relatif tidak terlalu padat. Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangka (2005), kepadatan penduduk rata-rata di wilayah Kecamatan Sungailiat adalah 439 jiwa/km2, sedangkan untuk Kecamatan Pemali hanya 30 jiwa/km2. Kondisi ini tentunya masih memberi peluang bagi pengembangan usaha pembuatan tempe ke depan mengingat persaingan usaha masih relatif kecil. Profil Pengusaha Pembuatan Tempe. Umumnya usaha pembuatan tempe yang ada di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali dikerjakan oleh masyarakat yang berasal dari Pulau Jawa dan Lampung. Keahlian dalam membuat tempe yang secara turun temurun mereka miliki terus menerus dilanjutkan walaupun diantara mereka ada yang sudah menetap di Pulau Bangka cukup lama. Para pengusaha pembuatan tempe di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali rata-rata berusia antara 27 tahun hingga 74 tahun. Usaha pembuatan tempe baik yang ada di Kecamatan Sungailiat maupun yang ada di Kecamatan Pemali lebih banyak didominasi oleh pengusaha yang berusia antara 27
tahun hingga 45 tahun. Jika diselaraskan dengan rentang usia produktif (25 tahun hingga 55 tahun) dengan usia para pengusaha pembuatan tempe ini, jelas bahwa mereka masih sangat potensial untuk terus mengembangkan usahanya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Mubyarto et.al (1979), bahwa di samping faktor pendidikan formal, usia merupakan salah satu faktor sosial dalam menentukan berkembangnya usaha industri kecil. Secara psikologis usia sangat menentukan kegairahan dan kreatifitas kerja seseorang. Semakin meningkatnya usia seseorang, maka kreatifitas dan semangat kompetisinya akan semakin menurun (Tabel 1). Tabel 1. Sebaran usia pengusaha pembuatan tempe di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali. Jumlah pengusaha Usia Jumlah Persentase (tahun) Sungailiat Pemali (orang) (%) 27-35 6 3 9 30,00 36-45 7 4 11 36,67 46-55 1 1 2 6,67 56-65 3 2 5 16,66 66-74 2 1 3 10,00 Jumlah 19 11 30 100,00
Pendidikan formal yang dimiliki para pengusaha pembuatan tempe juga akan sangat berperan dalam menentukan pengembangan usaha seperti yang telah dikemukan sebelumnya (Tabel 2). Tabel 2. Sebaran tingkat pendidikan formal pengusaha pembuatan tempe di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali. Tingkat Pendidikan < SD SD SLTP SLTA Sarjana Jumlah
Jumlah pengusaha Sungailiat Pemali 6 1 3 6 3 1 6 3 1 0 19 11
Jumlah (orang) 7 9 4 9 1 30
Persentase (%) 23,33 30,00 13,33 30,00 3,33 100,00
Apabila dilihat dari tingkat pendidikan formalnya, tingkat pendidikan formal para pengusaha pembuatan tempe di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali relatif masih rendah. Hal ini dapat diketahui dari total persentase Tamatan Sekolah Dasar dan yang Tidak Tamat Sekolah Dasar yaitu sebesar 53,33 persen. Jumlah ini bahkan melebihi total persentase Tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Sarjana yang hanya sebesar 33,33 persen. Walaupun tingkat pendidikan formal ini dimaksudkan sebagai faktor eksternal formal (Mubyarto 1979) yang mencerminkan pengaruh terhadap cara pemecahan masalah dan berfikir kritis-kreatif, namun tidak berarti bahwa dengan kondisi tingkat pendidikan yang rendah ini mengakibatkan usaha yang sudah mereka jalankan akan mengalami kemunduran ataupun kebangkrutan. Adanya tradisi dan pengalaman turun temurun yang dimiliki oleh para pengusaha pembuatan tempe ini
tentunya akan cukup membantu agar usaha yang sudah ada tetap bisa bertahan. Hal ini terbukti dengan masih adanya usaha pembuatan tempe di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali yang masih tetap bertahan hingga lebih dari 20 tahun. Profil dan Kelangsungan Hidup Usaha Pembuatan Tempe. Usaha pembuatan tempe yang ada di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali umumnya masih dikerjakan secara sederhana, walaupun terdapat beberapa pengusaha yang sudah menjalankan usahanya secara lebih moderen. Beberapa gambaran kesederhanaan usaha pembuatan tempe ini terlihat jelas dari kapasitas produksi yang dihasilkan, penggunaan peralatan, serta pemanfaatan tenaga kerja di luar tenaga kerja keluarga. Kapasitas Produksi tempe rata-rata setiap bulan yang dihasilkan oleh pengusaha tempe di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali rata-rata sebanyak 5.542 bungkus. Variasi kapasitas produksi diantara para pengusaha tempe ini cukup besar. Banyaknya tempe yang diproduksi dari yang terendah hingga yang tertinggi berkisar antara 642 bungkus hingga ada yang mencapai 18.428 bungkus per bulan. Variasi kapasitas produksi yang cukup besar ini tidak hanya disebabkan adanya perbedaan kemampuan pembiayaan produksi, namun juga disebabkan pemenuhan bahan baku berupa kedelai yang relatif sulit diperkirakan. Dalam hal penggunaan alat-alat pada usaha pembuatan tempe baik dalam jumlah maupun kualitas masih memberi kesan apa adanya, seolah tanpa sentuhan kemajuan teknologi pembuatan tempe yang dapat mengefisienkan kerja dan meningkatkan keuntungan usaha. Proses pembuatan tempe masih banyak dilakukan secara manual dimana salah satu contohnya adalah pada saat proses pengupasan kulit dan pemecahan biji kedelai. Padahal saat ini mesin pemecah kulit kedelai sudah tersedia di pasaran. Bagi beberapa pengusaha pembuatan tempe yang ada di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali harga mesin ini masih dianggap tinggi, dan penggunaannya masih dapat digantikan secara manual. Dalam proses pembuatan tempe, umumnya pengusaha pembuatan tempe masih menggunakan tenaga kerja dalam keluarga, dan hanya ada beberapa pengusaha saja yang sudah sanggup mengupah tenaga kerja dari luar keluarga. Hal ini didasari pada alasan bahwa masih cukup tersedia tenaga kerja pada keluarga masing-masing pengusaha untuk membantu pekerjaan pembuatan tempe. Di samping itu, mengingat bahwa usaha ini bagi kebanyakan pengusaha pembuatan tempe merupakan usaha rutin dalam keluarga, maka penggunaan tenaga kerja dalam keluarga ini pun dianggap bermanfaat dalam mengisi aktivitas keluarga sehari-hari dan juga bermanfaat dalam mengurangi pengangguran. Beberapa pengusaha pembuatan tempe di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali telah membuktikan
bahwa usaha yang selama ini mereka jalankan masih tetap layak dipertahankan (Tabel 3). Ada beberapa alasan yang mudah dipahami mengenai penyebab mengapa pada umumnya usaha pembuatan tempe dapat bertahan cukup lama. Adapun alasan yang dimaksud tersebut adalah : 1. Usaha yang dijalankan merupakan mata pencaharian rutin yang umumnya ditekuni oleh para wanita yang tidak memiliki banyak kesibukan dalam mengisi aktivitas keseharian mereka sehingga relatif sulit untuk dihentikan. 2. Pengelolaan usaha didasari pada pengalaman panjang yang dilakukan secara turun temurun sehingga sangat mudah dikerjakan. 3. Tidak semua orang mau membuat tempe atau tidak memahami cara membuat tempe sehingga tidak banyak menimbulkan persaingan yang akan mengakibatkan tutupnya usaha.
4. 5. 6.
Usaha dapat dikerjakan dalam skala kecil sehingga mudah menyesuaikan terhadap perubahan permintaan pasar. Produk yang dihasilkan relatif masih banyak disukai konsumen dan mudah dipasarkan. Walaupun keuntungan usaha yang diperoleh relatif kecil, namun dirasakan cukup untuk menambah penghasilan keluarga.
Tabel 3. Masa kelangsungan hidup usaha pembuatan tempe di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali. Lama Usaha (tahun) 1-5 6-10 11-15 16-20 21-25 Jumlah
Jumlah pengusaha
Sungailiat
Pemali
Jumlah (orang)
13 1 3 1 1 19
3 3 3 1 1 11
16 4 6 2 2 30
Persen tase (%) 53,33 13,33 20,00 6,67 6,67 100,00
Tabel 4. Prediksi keuntungan yang potensial diperoleh dari usaha pembuatan tempe di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali No.
Harga tempe aktual (Rp)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Keterangan :
Produksi (Bgks)
Biaya Total (Rp)
1400 5,000 5,329,359 6,000 1400 6,151,722 7,000 1400 6,914,085 1400 8,000 7,640,448 9,000 1400 8,354,811 10,000 1400 9,081,174 1400 11,000 9,843,537 12,000 1400 10,665,900 13,000 1400 11,572,263 1400 14,000 12,586,626 15,000 1400 13,732,989 1400 15,151,208 16,083* 1400 17,000 16,517,715 18,000 1400 18,204,078 19,000 1400 20,118,441 1400 20,000 22,284,804 * = Tingkat produksi tempe optimum ** = Tingkat keuntungan maksimum
Alokasi Biaya Produksi pada Usaha Pembuatan Tempe. Komponen biaya produksi pada usaha pembuatan tempe ada yang bersifat langsung dan ada juga yang bersifat tidak langsung. Di samping itu, ada juga komponen biaya yang dikelompokkan ke dalam biaya penyusutan. Biaya produksi yang dikeluarkan pada usaha pembuatan tempe dibagi dalam beberapa jenis. Biaya yang dikeluarkan untuk pembelian jenis-jenis bahan seperti; kedelai, ragi, daun pembungkus, plastik pembungkus,
Biaya Marjinal (Rp/bgks) 860 788 740 716 716 740 788 860 956 1,076 1,220 1,403 1,580 1,796 2,036 2,300
Keuntungan (Rp) 1,670,641 2,248,278 2,885,915 3,559,552 4,245,189 4,918,826 5,556,463 6,134,100 6,627,737 7,013,374 7,267,011 7,364,992** 7,282,285 6,995,922 6,481,559 5,715,196
Biaya Ratarata (Rp/bgks) 1,066 1,025 988 955 928 908 895 889 890 899 916 942 972 1,011 1,059 1,114
dan kayu bakar dimasukkan ke dalam komponen biaya variable langsung, dikarenakan sifatnya yang langsung berhubungan dengan proses pembuatan tempe. Selain itu, komponen biaya yang termasuk ke dalam biaya variable langsung ini adalah tenaga kerja. Besarnya biaya variable langsung pada usaha pembuatan tempe rata-rata sebesar Rp 5.036.761,- per bulan. Selain biaya variable yang bersifat langsung, ada juga biaya yang dimasukkan ke dalam komponen
keuntungan sehingga nilai keuntungan nominal menjadi kecil.
2,500
Biaya Rata-rata (BR)
2,000 BIAYA DAN HARGA 1,500 TEMPE (Rp/BGKS) 1,000 500
Biaya Marjinal (BM) Daerah Keuntung an Maksimu m
0 5, 00 0 8, 00 11 0 ,0 0 14 0 ,0 0 17 0 ,0 0 20 0 ,0 00
biaya variable tidak langsung. Komponen biaya ini meliputi beberapa jenis antara lain biaya untuk sewa tempat usaha, sewa petak tempat berjualan, transportasi, bahan bakar (bensin), listrik dan retribusi pasar. Adapun besarnya biaya variable tidak langsung ini rata-rata sebesar Rp 447.333,- per bulan. Biaya lainnya yang ikut dihitung sebagai komponen biaya produksi pada usaha pembuatan tempe adalah biaya penyusutan alat. Terdapat 26 jenis alat yang umumnya digunakan pada usaha pembuatan tempe yang dihitung penyusutannya. Dalam jangka pendek biaya alat ini dianggap sebagai biaya tetap, sedangkan dalam jangka panjang biaya alat dimasukkan ke dalam komponen biaya variable. Biaya produksi total atau biaya total merupakan keseluruhan biaya yang dikeluarkan pada proses pembuatan tempe dalam periode satu bulan proses produksi. Komponen biaya ini merupakan penjumlahan dari keseluruhan biaya variabel langsung dan tidak langsung serta biaya penyusutan alat. Pada usaha pembuatan tempe rata-rata biaya total yang dikeluarkan selama satu bulan adalah sebesar Rp 5.560.904,-. Sesuai penggunaannya, informasi mengenai besarnya biaya total ini akan bermanfaat khususnya dalam menentukan model persamaan regresi yang akan dipakai untuk menghitung tingkat produksi optimum dan keuntungan aktual serta keuntungan maksimum pada usaha pembuatan tempe. Tingkat Keuntungan Usaha Pembuatan Tempe. Secara rata-rata keuntungan aktual yang diterima oleh para pengusaha pembuatan tempe setelah dikurangi 10 persen resiko kegagalan adalah sebesar Rp 1.978.526,- per bulan. Nilai keuntungan ini diperoleh dari hasil penjualan tempe baik secara langsung kepada konsumen akhir, maupun yang melalui penjualan kepada pedagang-pedagang perantara yang ada di tingkat kecamatan maupun di tingkat kabupaten. Harga penjualan tempe rata-rata Rp 1.400,-./bungkus. Dalam kenyataannya usaha pembuatan tempe yang dilakukan tidak selalu memberikan keuntungan positif bagi para pengusahanya. Beberapa pengusaha pembuatan tempe di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali memperoleh keuntungan negatif dari usaha yang mereka lakukan. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan pengusaha pembuatan tempe memperoleh keuntungan negatif. Hasil analisis mengindikasikan bahwa beberapa faktor yang menyebabkan beberapa pengusaha pembuatan tempe memperoleh keuntungan negatif ini adalah : 1. Usaha yang dijalankan masih baru sehingga pengalaman dalam mengelola usaha pembuatan tempe relatif masih kurang. 2. Produksi tempe yang dihasilkan relatif sedikit dan tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. 3. Biaya tenaga kerja dalam keluarga telah dimasukkan ke dalam penghitungan nilai
PODUKSI TEMPE (BGKS/BULAN)
Gambar 3. Kurva Produksi Optimum dan Keuntungan Maksimum Usaha Pembuatan Tempe di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali
Produksi Tempe Optimum dan Tingkat Keuntungan Maksimum. Jumlah tempe yang dihasilkan selama satu bulan oleh masing-masing usaha pembuatan tempe di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali sangat bervariasi. Variasi jumlah tempe yang dihasilkan ini lebih banyak disebabkan oleh adanya perbedaan kapasitas produksi pada masing-masing usaha tersebut. Harga kedelai yang dapat berubah sewaktuwaktu menyebabkan banyak pengusaha yang harus mengurangi ataupun menambah pembelian kedelai mereka. Demikian juga jika terjadi perubahan terhadap permintaan tempe di pasaran. Produksi tempe yang terendah hanya mencapai 642 bungkus, sedangkan produksi tertinggi dapat mencapai 18.428 bungkus. Tempe yang dapat dihasilkan oleh para pengusaha pembuatan tempe di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali setiap bulan rata-rata mencapai 5.542 bungkus. Produksi rata-rata tempe sebesar 5.542 bungkus per bulan yang dihasilkan oleh para pengusaha pembuatan tempe di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali rata-rata hanya memberi keuntungan sebesar Rp 1.978.526,- per bulan. Hasil penghitungan mengindikasikan bahwa penambahan produksi tempe hingga mencapai 16.083 bungkus dapat memberikan tingkat keuntungan maksimum sebesar Rp 7.364.992,-. Dari hasil penghitungan statistik untuk melihat pola hubungan antara jumlah tempe yang dihasilkan dengan biaya total yang dikeluarkan menunjukkan adanya hubungan yang erat antara keduanya. Hubungan yang terjadi ini lebih mendekati kepada model persamaan pangkat tiga yang dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan biaya total (TC) yaitu : TC = -522.456,4 + 1.580,363Q – 0,102Q2 + 0,000004Q3
Apabila jumlah tempe yang dihasilkan setiap bulan meningkat atau bahkan berkurang, maka dengan
menggunakan rumus biaya total di atas besarnya biaya total yang harus dikeluarkan dapat diprediksi. Tabel 4 secara umum memberi gambaran bahwa kondisi usaha pembuatan tempe di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali belum dikerjakan secara efisien. Indikasi ini terlihat dari jumlah tempe yang diproduksi masih relatif sedikit dari yang seharusnya mereka produksi untuk mendapatkan keuntungan maksimum. Peningkatan produksi tempe sesungguhnya masih dapat dilakukan asalkan penambahan biaya (marginal cost) untuk meningkatkan produksi tempe tersebut sama dengan atau tidak melebihi harga tempe yang berlaku. Dengan demikian, usaha pembuatan tempe dikatakan efisien apabila tambahan biaya untuk memproduksi tambahan setiap bungkus tempe sama dengan harga tempe yang berlaku saat itu. Biaya marjinal yang merupakan tambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh para pengusaha pembuatan tempe guna menambah setiap bungkus tempe yang mereka produksi masih dapat dikeluarkan. Agar usaha pembuatan tempe berjalan secara efisien, maka biaya marjinal ini besarnya harus sama atau setidaknya tidak melebihi harga tempe yang berlaku. Apabila biaya marjinal ini telah mencapai tingkat yang sama dengan harga tempe yang berlaku, maka produksi tempe yang dihasilkan pada saat itu dapat dikatakan sebagai tingkat produksi yang optimum. Produksi tempe optimum sebesar 16.083 bungkus, dapat saja dicapai oleh para pengusaha pembuatan tempe. Namun demikian, implikasi dari upaya ini mengakibatkan biaya total yang harus dikeluarkan adalah sebesar Rp 15.151.208,- atau ratarata biaya produksi tempe sebesar Rp 942,-/ bungkus. Bagi beberapa pengusaha pembuatan tempe, besarnya biaya total ini tidak terlalu menjadi persoalan, sebab biaya total yang mereka keluarkan selama ini untuk memproduksi tempe sudah hampir mendekati angka tersebut dan bahkan ada yang sudah berlebih. Permasalahannya hanya pada pengaturan tingkat produksi agar biaya marjinal produksi sama dengan harga tempe yang berlaku. Persoalan untuk mencapai tingkat produksi optimum ini justru akan banyak dihadapi oleh para pengusaha pembuatan tempe yang hanya memiliki modal pas-pasan. Persoalan yang muncul untuk maksud tersebut tidak hanya pada bagaimana menambah modal usaha, namun juga bagaimana meningkatkan produksi hingga mencapai produksi tempe sebesar 16.083 bungkus. Kesimpulan. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut (1) Rutinitas usaha pembuatan tempe yang kebanyakan masih dilakukan secara sederhana dan secara turun temurun umumnya masih memberikan keuntungan bagi para pengusahanya sehingga mampu bertahan hidup hingga waktu yang relatif lama, (2) Usaha pembuatan tempe yang ada di
Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka secara umum belum dijalankan secara efisien sehingga proses produksi belum mampu mencapai tingkat produksi yang dapat memberikan keuntungan maksimum kepada pengusaha pembuatan tempe di lokasi tersebut. Saran. Mengingat bahwa dengan rata-rata produksi sebesar 5.542 bungkus per bulan sangat sulit untuk mencapai tingkat produksi tempe optimum sebesar 16.083 bungkus per bulan, maka disarankan agar para pengusaha pembuatan tempe dapat menjaga kestabilan produksi dan selalu mengupayakan adanya efisiensi produksi melalui pemanfaatan teknologi yang lebih efisien dan efektif DAFTAR PUSTAKA Arsyad L. 1999. Ekonomi Pembangunan. Bagian Penerbitan STIE YKPN, Yogyakarta, Indonesia. Adnan M., Masyuri, dan Dwidjono HD. 2004. Agrosains 17(4)/2004: 543-562. Hirshleifer J and Hirshleifer D. 1998. Price Theory and Applications (Sixth Edition). Prentice-Hall, Inc., Upper Saddle River, New Jersey, USA. Jehle GA and Reny PJ. 1998. Advanced Microeconomic Theory. Addison-Wesley, Inc. Sari J. 2006. Tingkat Alokasi dan Efisiensi Penggunaan Input pada Pengusaha pembuatan Tempe di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka. Skripsi Program Studi Pertanian Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung (tidak dipublikasikan). Koutsoyiannis A. 1979. Modern Microeconomics (Second Edition). The Macmillan Press. LTD., London, England. Lipsey RG., Steiner PO, and Purvis DD. 1989. Ekonomi Mikro (Edisi keempat). Terjemahan oleh : Tim Asisten Pengantar Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor, MISETA-IPB, Bogor, Indonesia. Mubyarto, Sudarsono dan Daryanto. 1979. Industri Pedesaan di Jawa Tengah Daerah Istimewa Yogyakarta. Suatu Studi Evaluasi, Kerjasama Proyek BIPIK Departemen Perindustrian dan Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Pindyck RS. and Rubinfeld DL. 1998. Mikroekonomi Jilid 1 (Edisi keempat). Terjemahan oleh : Aldi Jenie. Prenhallindo, Jakarta, Indonesia. Sukirno S. 2004. Pengantar Teori Mikroekonomi (Edisi ketiga). PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Indonesia. Seitz WD., Nelson GC. and Halcrow HG. 1994. Economics of Resources, Agriculture and Food. MacGraw-Hill, Inc., New York, USA.
Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Edisi Revisi. Rajawali Pers. Jakarta, Jakarta. Simatupang dan Purwanto. 1990. Pengembangan Agroindustri sebagai Penggerak Pembangunan Desa. Badan Litbang. Bogor.
Globe Volume 15 No. 1Juni 2013 : 30 - 38
PEMETAAN LAHAN KRITIS KABUPATEN BELITUNG TIMUR MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Critical Land Mapping of East Belitung Regency Using Geographic Information System) 1
1
Yatin Suwarno Badan Informasi Geospasial (BIG), Jalan Raya Jakarta Bogor KM 46 Cibinong Bogor 16911 E-mail:
[email protected]
Diterima (received): 30 Januari 2013;
Direvisi (revised): 21 Maret 2013;
Disetujui untuk dipublikasikan (accepted): 15 Mei 2013
ABSTRAK Pulau Belitung dikenal sebagai pulau timah, dimana aktivitas penambangan timah telah dimulai sejak tahun 1852, sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Permasalahan penambangan timah adalah lahan bekas penambangan timah yang banyak ditinggalkan begitu saja sehingga lahan menjadi rusak, terbuka bahkan banyak yang menjadi kolong. Kondisi tersebut merupakan indikasi bahwa lahan kritis telah terjadi di seluruh Pulau Belitung. Tujuan penelitian adalah melakukan inventarisasi lahan kritis dengan melakukan pemetaan lahan kritis. Sistem informasi geografis telah digunakan untuk mengetahui luas lahan kritis yang ada di Kabupaten Belitung Timur. Metode yang digunakan yaitu analisis spasial atas berbagai parameter dengan menggunakan sistem informasi geografis. Hasil pemetaan lahan kritis Kabupaten Belitung Timur diperoleh bahwa Lahan Kritis 30.865,75 ha (12%), Lahan Agak Kritis 109.862,05 ha (43%), Lahan Potensial Kritis 72.864,58 ha (28%), dan Lahan Tidak Kritis 44.271,03 ha (17%). Kata Kunci: Lahan Kritis, Sistem Informasi Geografis, Kabupaten Belitung Timur. ABSTRACT Belitung Island is known as the tin island, where tin mining activity began in 1852, during the Dutch colonial era upto the present day. Problems on the tin mining land happen when former tin mining land abandoned the lot resulting in an open damage land, and eventually turned into pit. The condition indicated that critical land has occurred in the entire island of Belitung. The purpose of this research is to conduct an inventory of critical land areas through critical land mapping using geographic information systems, in order to know the extent of critical lands in East Belitung Regency. The method used is a spatial analysis that was applied in a various parameters using a geographic information system. The results of the critical land mapping of East Belitung Regency werw obtained as follows: Critical Lands 30,865.75 ha (12%), Near Critical Lands 109,862.05 ha (43%), Potential Critical Lands 72,864.58 ha (28%), and Non Critical Lands 44,271.03 ha (17%). Keywords: Critical Land, Geographic Information Systems, East Belitung Regency. PENDAHULUAN Latar Belakang Pulau Belitung seperti halnya Bangka, Karimun, Kundur, dan Singkep dikenal sebagai pulau timah. Wilayah tersebut merupakan bagian dari The Indonesian Tin Belt yang membentang dari utara ke selatan sejauh kurang lebih 800 km. Aktivitas penambangan timah di Indonesia telah berlangsung lebih dari 200 tahun, adapun di Belitung sendiri dimulai sejak tahun 1852. Pada awalnya aktivitas penambangan timah lebih banyak dilakukan di Pulau Bangka, Belitung, dan Singkep. Kegiatan penambangan timah di pulau-pulau ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang (PT. Timah, 2006). Permasalahan penambangan timah yang telah berlangsung ratusan tahun itu belum mampu melahirkan kesejahteraan bagi rakyat, sebaliknya cadangan timah yang ada semakin menipis. Persoalan lain adalah lahan bekas penambangan timah yang banyak ditinggalkan begitu saja sehingga menjadi 30
rusak, lahan menjadi terbuka bahkan banyak yang menjadi danau (istilah lokalnya kolong). Keadaan tersebut nampak tidak hanya pada lahan bekas penambangan rakyat, namun dijumpai pula pada areal yang statusnya milik PT. Timah. Kondisi tersebut sebagai indikasi bahwa telah terjadi lahan kritis dimana-mana di seluruh Pulau Belitung. Tinjauan Lahan Kritis Lahan kritis didefinisikan sebagai lahan yang mengalami proses kerusakan fisik, kimia dan biologi karena tidak sesuai penggunaan dan kemampuannya, yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, permukiman dan kehidupan sosial ekonomi dan lingkungan (Puslittanak, 1997). Lahan kritis merupakan lahan atau tanah yang saat ini tidak produktif karena pengelolaan dan penggunaan tanah yang tidak atau kurang memperhatikan syarat-syarat konservasi tanah dan air, sehingga lahan mengalami kerusakan, kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang
Pemetaan Lahan Kritis Kabupaten Belitung Timur.....................................................................................................................................(Suwarno, Y.)
telah ditentukan atau diharapkan (Romenah, dkk., 2010). Secara umum lahan kritis merupakan salah satu indikator adanya degradasi lingkungan sebagai dampak dari berbagai jenis pemanfaatan sumber daya lahan yang kurang bijaksana (Nugroho dan Prayogo, 2008). Ciri utama lahan kritis adalah gundul, terkesan gersang dan bahkan muncul batu-batuan di permukaan tanah dan pada umumnya terletak di wilayah dengan topografi lahan berbukit atau berlereng curam (Prawira, dkk., 2005; Herdiana, 2008). Tingkat produksi rendah yang ditandai oleh tingginya tingkat keasaman, rendahnya unsur hara (P, K, Ca, dan Mg), rendahnya kapasitas tukar kation, kejenuhan basa dan kandungan bahan organik, serta tingginya kadar Al dan Mn yang dapat meracuni tanaman dan peka terhadap erosi. Selain itu pada umumnya lahan kritis ditandai dengan vegetasi alang-alang dan memiliki pH tanah relatif rendah yaitu 4,8 hingga 5,2 karena mengalami pencucian tanah yang tinggi serta ditemukan rhizoma dalam jumlah banyak yang menjadi hambatan mekanik dalam budidaya tanaman (BP DAS Tondano, 2011). Lokasi Penelitian Lokasi penelitian meliputi seluruh wilayah daratan Kabupaten Belitung Timur seluas 250.691 ha. Secara geografis Kabupaten Belitung Timur terletak antara 107°45‟ sampai 108°18‟ BT dan 02°30‟ sampai 03°15‟ LS (BPS Kabupaten Belitung Timur, 2012). Pada awalnya Kabupaten Belitung Timur terdiri dari 4 kecamatan, yaitu: Manggar, Dendang, Gantung, dan Kelapa Kampit, kemudian mengalami pemekaran bertambah 3 kecamatan yaitu Simpang Pesak, Simpang Renggiang, dan Damar. Lokasi penelitian ditunjukkan dalam peta pada Gambar 1. Maksud dan Tujuan Maksud dari penelitian adalah melakukan pemetaan lahan kritis di Kabupaten Belitung Timur, sehingga diketahui dimana lokasi dan berapa luas masing-masing klas kekritisan lahan yang ada. Adapun tujuannya adalah memberikan informasi terutama bagi pemerintah daerah setempat sebagai bahan masukan didalam pengelolaan lahan.
METODE Secara umum metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperti yang disajikan pada Gambar 2. Kriteria Penilaian Lahan Kritis Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak) (1997) mengklasifikasikan lahan kritis menggunakan 4 parameter yaitu (1) penutupan vegetasi, (2) tingkat torehan/kerapatan drainase, (3) penggunaan lahan dan (4) kedalaman tanah. Berdasarkan parameter-parameter tersebut, lahan kritis dibedakan menjadi 4 tingkat kekritisan lahan, yaitu potensial kritis, semi kritis, kritis, dan sangat kritis. Kriteria penilaian lahan kritis tersebut ditunjukkan pada Tabel 1. Data spasial lahan kritis diperoleh dari hasil analisis terhadap beberapa data spasial yang merupakan parameter penentu kekritisan lahan. Parameter penentu kekritisan lahan berdasarkan SK Dirjen RRL No. 041/Kpts/V/1998 meliputi kondisi tutupan vegetasi, kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi dan singkapan batuan (outcrop), serta kondisi pengelolaan (manajemen). Penyiapan Data Geospasial Data Geospasial Liputan Lahan Informasi tentang liputan lahan diperoleh dari hasil interpretasi citra penginderaan jauh ALOS AVNIR IB tahun 2010, path/row ALAV2A229753650_ O1B2G_U_04, ALAV2A229753- 660_O1B2G_U_04, ALAV2A229753670_O1B2G_U_ 04. Citra ini dapat digunakan sebagai sumber data yang terpercaya untuk pemetaan liputan lahan pada skala 1: 50.000. Kondisi tutupan lahan dinilai berdasarkan prosentase tutupan tajuk pohon dan diklasifikasikan menjadi lima kelas. Masing-masing kelas tutupan lahan selanjutnya diberi skor untuk keperluan penentuan lahan kritis. Dalam penentuan kekritisan lahan, parameter liputan lahan mempunyai bobot 50%, sehingga nilai skor untuk parameter ini merupakan perkalian antara skor dengan bobotnya (skor x 50). Klasifikasi tutupan lahan dan skor untuk masingmasing kelas ditunjukkan pada Tabel 2. Data Geospasial Kemiringan Lereng
Gambar 1. Peta lokasi penelitian.
Kemiringan lereng adalah perbandingan antara beda tinggi (jarak vertikal) suatu lahan dengan jarak mendatarnya. Besar kemiringan lereng biasanya o dinyatakan dengan satuan persen (%) dan derajat ( ). Data spasial kemiringan lereng dapat dibuat dari hasil pengolahan data ketinggian (garis kontur) dari peta topografi atau peta rupabumi. Pengolahan data kontur untuk menghasilkan informasi kemiringan lereng dapat dilakukan secara manual maupun dengan bantuan komputer. Klasifikasi lereng dan skoring untuk penentuan Lahan Kritis disajikan pada Tabel 3.
31
Globe Volume 15 No. 1Juni 2013 : 30 - 38
Citra Satelit ALOS
Peta RBI Skala 1:50.000
Peta Tanah Skala 250.000
Kem/Dinas Pertanian
Kem/Dinas Kehutanan
Pengolahan Citra
Klasifikasi Kemiringan Lereng
Klasifikasi Tingkat Erosi
Klasifikasi Produktivitas Pertanian
Klasifikasi Manajemen Hutan
Data Spasial Liputan Lahan
Data Spasial Kem Lereng
Data Spasial Tingkat Erosi
Data Spasial Produktivitas Produktivitas
Data Data Spasial Spasial Manajemen Manajemen
Skoring (1-5)
Pembobotan (50%)
Pembobotan (5%)
Pembobotan (5%)
Pembobotan (30%)
Pembobotan (10%)
Klasifikasi Lahan Kritis
Peta Lahan Kritis
Gambar 2. Bagan Alir Tahapan Pemetaan Lahan Kritis. Tabel 1. Kriteria Penilaian Lahan Kritis. Parameter Penutupan Tingkat torehan/kerapatan drainase Penggunaan lahan/vegetasi Kedalaman tanah
Potensial Kritis Vegetasi
Agak Kritis > 75 %
Agak tertoreh Cukup tertoreh
Cukup tertoreh Sangat tertoreh
Hutan, kebun campuran, belukar, perkebunan Dalam (>100 cm)
Pertanian, lahan kering, semak belukar, alangalang Sedang ( 60-100 cm )
Kritis 50-75 % Sangat tertoreh Sangat tertoreh sekali
Sangat Kritis 25-50 % Sangat tertoreh
Pertanian, lahan kering, rumput semak
Gundul, rumput semak
Dangkal ( 30-60 cm)
Sangat dangkal (< 30 cm )
Sumber : Puslittanak (1997).
Tabel 2. Klasifikasi Liputan Lahan dan Skoring Penentuan Lahan Kritis. Kelas
Sangat Baik Baik Sedang Buruk Sangat Buruk
Tutupan Tajuk (%)
Skor
Skor x Bobot (50)
> 80
5
250
Datar
61 - 80 41 - 60 21 - 40
4 3 2
200 150 100
< 20
1
50
Sumber: Puslittanak (1997).
32
Tabel 3. Klasifikasi Lereng dan Penentuan Lahan Kritis. Kelas
Skoring
Kemiringan Lereng (%) <8
Skor
Landai
8 - 15
4
Agak Curam
16 - 25
3
Curam
26 - 40
2
> 40
1
Sangat Curam Sumber: Puslittanak (1997).
5
Pemetaan Lahan Kritis Kabupaten Belitung Timur.....................................................................................................................................(Suwarno, Y.)
Data Geospasial Tingkat Erosi
Data Geospasial Kriteria Manajemen Hutan
Tingkat erosi pada suatu lahan dalam penentuan lahan kritis dibedakan menjadi 4 kelas yaitu: ringan, sedang, berat dan sangat berat seperti pada Tabel 4 (Puslittanak, 1997).
Manajemen merupakan salah satu kriteria yang dipergunakan untuk menilai kekritisan lahan di kawasan hutan lindung, yang dinilai berdasarkan kelengkapan aspek pengelolaan yang meliputi keberadaan tata batas kawasan, pengamanan dan pengawasan serta dilaksanakan atau tidaknya penyuluhan. Klasifikasi manajemen dan scoring penentuan lahan kritis, ditunjukkan pada Tabel 6.
Data Geospasial Kriteria Produktivitas Berdasarkan SK Dirjen RRL No. 041/Kpts/V/1998, data produktivitas merupakan salah satu kriteria yang dipergunakan untuk menilai kekritisan lahan di kawasan budidaya pertanian, dinilai berdasarkan rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional. Tabel 5 memperlihatkan klasifikasi produktivitas dan skoring penentuan lahan kritis. Sesuai dengan karakternya, data tersebut merupakan data atribut. Di dalam analisis spasial, data atribut tersebut harus dispasialkan dengan satuan pemetaan sistem lahan.
Perhitungan Lahan Kritis Perhitungan lahan kritis dilakukan terhadap setiap parameter yang sudah ditentukan dengan menggunakan sistem skoring dan pembobotan (Scoring and Weighting) seperti pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7, skor dikalikan bobot memiliki nilai tertinggi 500 dan terendah 100. Dengan mengacu pada Tabel 1, maka klasifikasi lahan kritis berdasarkan skoring dan pembobotan seperti yang disajikan pada Tabel 8.
Tabel 4. Klasifikasi Tingkat Erosi dan Skoring Penentuan Lahan Kritis. Kelas
Ringan
Sedang
Berat Sangat Berat
Besaran
Tanah dalam Tanah dangkal Tanah dalam Tanah dangkal Tanah dalam Tanah dangkal Tanah dalam Tanah dangkal
Sumber : Puslittanak (1997).
Deskripsi <25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak 20 – 50 m <25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak >50 m 25 – 75 % lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak kurang dari 20 m 25 – 50 % lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur dengan jarak 20 - 50 Lebih dari 75 % lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi parit dengan jarak 20-50 m 50 – 75 % lapisan tanah atas hilang Semua lapisan tanah atas hilang >25% lapisan tanah bawah dan/atau erosi parit dengan kedalaman sedang pada jarak < 20 m >75 % lapisan tanah atas telah hilang, sebagian lapisan tanah bawah telah tererosi
Skor 5
4
3
2
Tabel 5. Klasifikasi Produktivitas dan Skoring Penentuan Lahan Kritis. Kelas Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Besaran / Deskripsi rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : > 80% rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : 61 – 80% rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : 41 – 60% rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : 21 – 40% rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : < 20%
Skor
Skor x Bobot (30)
5
150
4
120
3
90
2
60
1
30
Sumber : Puslittanak (1997).
Tabel 6. Klasifikasi Manajemen Hutan dan Skoring Penentuan Lahan Kritis. Kelas Baik Sedang Buruk
Besaran / Deskripsi Lengkap *) Tidak Lengkap Tidak Ada
Skor 5 3 1
Skor x Bobot (10) 50 30 10
*) - Tata batas kawasan ada - Pengamanan pengawasan ada - Penyuluhan dilaksanakan
33
Globe Volume 15 No. 1Juni 2013 : 30 - 38
Tabel 7. Skoring dan Pembobotan Parameter Lahan Kritis. Parameter Lahan Kritis Liputan Lahan Kemiringan Lereng Tingkat Erosi Produktivitas Pertanian Manajemen Hutan Jumlah
Terendah 1 1 1 1 1
Skor
Tertinggi 5 5 5 5 5
Bobot (%) 50 5 5 30 10
Skor x Bobot Terendah Tertinggi 50 250 5 25 5 25 30 150 10 50 100 500
Tabel 8. Klasifikasi Lahan Kritis berdasarkan Nilai. Klasifikasi Nilai Lahan Kritis (Skor x Bobot) Potensial Kritis
400 - 500
Agak Kritis
300 - 400
Kritis
200 -300
Sangat Kritis
100 - 200
HASIL DAN PEMBAHASAN Penutup Lahan Data penutup lahan diperoleh dari hasil interpretasi citra ALOS AVNIR IB tahun 2010, yang dilengkapi dengan survei lapangan pada bulan Juli 2012. Dari hasil interpretasi diperoleh 10 (sepuluh) klas penutup lahan, yaitu: semak belukar, sawah, permukiman, perkebunan, lahan terbuka, ladang/tegalan, hutan lahan kering, hutan lahan basah, rawa, dan tubuh air, seperti tersaji pada Tabel 9. Untuk perhitungan lahan kritis dengan menggunakan SIG, parameter penutup lahan diberi bobot tertinggi yaitu 50% (Puslittanak, 1997). Kemiringan Lereng Data kemiringan lereng Wilayah Kabupaten Belitung Timur diturunkan dari Peta Rupabumi Indonesia (RBI) Skala 1:50.000. Pembuatan peta klas lereng mengacu pada Kerangka Acuan Kerja dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Belitung Timur. Peta klas lereng dibuat ke dalam 5 (lima) klas, yaitu: datar (<8%), landai (8-15%), agak curam(16-25%), curam (26-40%), dan sangat curam (>40%) seperti pada Tabel 10. Untuk perhitungan lahan kritis dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis, parameter kemiringan lereng ini diberi bobot 5% (Puslittanak, 1997). Ketertorehan/Tingkat Erosi Tanah Data ketertorehan tanah atau tingkat erosi tanah diturunkan dari Peta Satuan Lahan dan Tanah Lembar Belitung Sumatera skala 1:250.000 yang diterbitkan oleh Puslittanak 1990. Tingkat erosi tanah ditentukan
34
berdasarkan kedalaman tanah dan persentase lapisan tanah atas yang hilang atau tererosi alur pada jarak tertentu (Puslittanak, 1997). Klas tingkat erosi dibedakan menjadi 4 (empat), yaitu: tidak tertoreh, agak tertoreh, cukup tertoreh, dan sangat tertoreh, seperti disajikan pada Tabel 11. Dalam analisis spasial menggunakan Sistem Informasi Geografis, tingkat erosi tanah diberi bobot 5% (Puslittanak, 1997). Manajemen Hutan Manajemen hutan dinilai berdasarkan kelengkapan aspek pengelolaan, yang meliputi keberadaan tata batas kawasan, pengamanan dan pengawasan serta dilaksanakan atau tidaknya penyuluhan. Klasifikasi manajemen hutan adalah relatif dan sifatnya kualitatif, sehingga klasnya hanya dibedakan menjadi buruk, sedang, dan baik, seperti disajikan pada Tabel 12. Dalam perhitungan lahan kritis, parameter manajemen hutan diberi bobot 10% (Puslittanak, 1997). Tingkat Produktivitas Pertanian Berdasarkan SK Dirjen RRL No. 041/Kpts/V/1998, data produktivitas merupakan salah satu kriteria yang digunakan untuk menilai kekritisan lahan di kawasan budidaya pertanian, berdasarkan rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional. Data produktivitas pertanian tidak tersedia sesuai yang diharapkan, sehingga untuk penelitian ini data produktivitas pertanian diolah dari data penutup lahan dan data kawasan hutan. Dalam perhitungan lahan kritis, parameter tingkat produktivitas pertanian ini diberi bobot cukup tinggi yaitu 30% seperti tersaji pada Tabel 13.
Pemetaan Lahan Kritis Kabupaten Belitung Timur.....................................................................................................................................(Suwarno, Y.)
Tabel 9. Penutup Lahan Kabupaten Belitung Timur. Penutup % Tutupan Skor Bobot Lahan 26 - 50 3 50 Semak Belukar Sawah Permukiman Perkebunan Lahan Terbuka Ladang/Tegalan Hutan Lahan Kering Hutan Lahan Basah Rawa Tubuh Air
Skor X Bobot
1 - 25 51 - 75
2 4
50 50
51 - 75 0 26 - 50
4 1 3
50 50 50
150 100 200 200 50 150
> 75 > 75 1 - 25 0
5 5 2 4
50 50 50 50
250 250 100 200
Sumber: Hasil interpretasi citra satelit ALOS AVNIR IB tahun 2010.
Tabel 10. Klas Lereng Kabupaten Belitung Timur. Klas Kemiringan Skor Bobot Lereng (%) Datar <8 5 5 Landai 8 - 15 4 5 Agak Curam 16 - 25 3 5 Curam 26 - 40 2 5 Sangat Curam > 40 1 5
Skor x Bobot 25 20 15 10 5
Sumber: Puslittanak (1990).
41.795,96 9.867,52 4.832,67 230,08
Luas (ha) 244.818,14 3.829,14 5.853,27 3.780,93 98,88
Sumber: Hasil Perhitungan dari Peta Rupabumi Indonesia skala 1:50.000.
Tabel 11. Klas Ketertorehan Tanah di Kabupaten Belitung Timur. Tingkat Skor Bobot Skor X Bobot Ketertorehan Tidak tertoreh 5 5 25 Agak tertoreh 4 5 20 Cukup tertoreh 3 5 15 Sangat tertoreh 2 5 10
Luas (ha) 105.263,44 508,46 6.654,08 59.776,55 28.868,19 5.357,26
Luas (ha) 63.590,01 107.522,51 85.493,15 1.257,74
Tabel 12. Manajemen Hutan di Kabupaten Belitung Timur. Manajemen Skor x Skor Bobot Luas (ha) Hutan Bobot Buruk 1 10 10 196.614,99 Sedang 3 10 30 39.766,36 Baik 5 10 50 21.482,05 Sumber: - Peta Kawasan Hutan Kabupaten Belitung Timur (2010). - Hasil Wawancara (2012).
Tabel 13. Tingkat Produktivitas Pertanian di Kabupaten Belitung Timur. Tingkat Skor Bobot Skor x Bobot Luas (ha) Produktivitas Sangat Rendah 1 30 30 96.371,27 Rendah 2 30 60 58.552,49 Sedang 3 30 90 51.848,93 Tinggi 4 30 120 4.810,64 Sangat Tinggi 5 30 150 45.953,01 Sumber: Diolah dari data penutup lahan dan data kawasan hutan (2012).
35
Globe Volume 15 No. 1Juni 2013 : 30 - 38
Pemetaan Lahan Kritis Hasil pemetaan lahan kritis Kabupaten Belitung Timur diperoleh sebagai berikut: 1. Klas Lahan Sangat Kritis seluas 30.865,75 ha (12%), tersebar luas di Kecamatan Gantung, kemudian di Damar, Kelapa Kampit dan Simpang Renggiang. Faktor utama adalah penutup lahan, pada umumnya lahan terbuka bekas tambang, atau masih diusahakan tambang sehingga tingkat erosinya tinggi. Untuk itu perlu upaya rehabilitasi, yaitu penanaman kembali areal yang sudah tidak ditambang dengan tanaman keras. 2. Klas Lahan Kritis seluas 109.862,05 ha (43%), tersebar luas di Kecamatan Gantung, kemudian Kelapa kampit, Dendang dan Simpang Renggiang. Faktor utama adalah lahan terbuka bekas tambang namun sebagian sudah ada yang dimanfaatkan untuk pertanian. Diperlukan upaya reboisasi dengan tanaman keras atau difungsikan sebagai lahan pertanian.
3. Klas Lahan Agak Kritis seluas 72.864,58 ha (28%), tersebar antara lain di Kecamatan Dendang, Kelapa Kampit, dan Simpang Renggiang. Wilayah ini pada umumnya merupakan lahan pertanian dengan tanaman musiman. Produktivitas pertanian perlu ditingkatkan agar tidak berubah menjadi lahan kritis. 4. Klas Lahan Potensial Kritis seluas 44.271,03 ha (17%), tersebar sangat luas di Kecamatan Kelapa Kampit, kemudian agak signifikan di Kecamatan Simpang Renggiang dan Dendang. Pada umumnya wilayah ini merupakan hutan lindung dan hutan produksi. Manajemen hutan yang baik menyebabkan lahan di wilayah ini berada pada status potensial kritis atau mendekati tidak kritis. Untuk itu manajemen hutan yang sudah baik perlu dipertahankan agar tidak berubah menjadi lahan kritis. Luas masing-masing klas lahan kritis Kabupaten Belitung Timur disajikan pada Tabel 14, sedangkan distribusi klas lahan kritis ditampilkan pada Tabel 15. Adapun Peta Lahan Kritis Kab. Belitung Timur disajikan pada Gambar 3.
Tabel 14. Luas Klas Lahan Kritis di Kabupaten Belitung Timur. Total Klasifikasi Luas Skor X Bobot Lahan (ha) 100-200 Sangat Kritis 30.865,75 200-300 Kritis 109.862,05 300-400 Agak Kritis 72.864,58 400-500 Potensial Kritis 44.271,03 Jumlah 257.863,41
Luas (%) 12 43 28 17 100
Sumber: Hasil Analisis (2012).
Tabel 15. Distribusi Lahan Kritis Kabupaten Belitung Timur. Agak Kecamatan Sangat Kritis Kritis Kritis Damar 5.560,62 6.570,14 6.626,42 Dendang 759,61 18.013,87 15.519,59 Gantung 11.822,85 32.215,56 6.613,05 Kelapa Kampit 5.128,44 19.563,14 15.000,43 Manggar 716,01 5.322,24 9.776,49 Simpang Pesak 2.723,56 10.650,76 8.824,72 Simpang Renggiang 4.154,65 17.526,35 10.503,89 Jumlah 30.865,75 109.862,05 72.864,58
Sumber: Hasil Analisis (2012).
36
Potensial Kritis 3.432,29 8.156,75 5.865,98 13.330,49 2.990,91 1.680,70 8.813,90 44.271,03
Pemetaan Lahan Kritis Kabupaten Belitung Timur.....................................................................................................................................(Suwarno, Y.)
Gambar 3. Peta Lahan Kritis Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. KESIMPULAN Dari hasil pemetaan lahan kritis Kabupaten Belitung Timur dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) diketahui kondisi lahan sebagai berikut: Lahan Sangat Kritis seluas 30.865,75 ha (12%), Lahan Kritis seluas 109.862,05 ha (43%), Lahan Agak Kritis seluas 72.864,58 ha (28%), dan Lahan Potensial Kritis seluas 44.271,03 ha (17%). Lahan sangat kritis dan lahan kritis tersebar di seluruh wilayah kecamatan, dimana di Kecamatan Gantung merupakan yang paling luas yaitu 11.822,85 ha untuk lahan sangat kritis dan seluas 32.215,56 ha untuk lahan kritis. Lahan potensial kritis dan lahan agak kritis tersebar di seluruh kecamatan, dimana lahan potensial kritis terluas terdapat di Kecamatan Kelapa Kampit yaitu 13.330,49 ha, sedangkan lahan kritis terluas di Kecamatan Dendang seluas 15.519,59 ha dan Kecamatan Kelapa Kampit seluas 15.000,43 ha. Parameter penentuan lahan kritis yang digunakan adalah tutupan lahan, kemiringan lereng, tingkat erosi tanah, manajemen hutan, dan produktivitas pertanian. Parameter tutupan lahan merupakan kontribusi yang paling besar dengan bobot 50%, selanjutnya produktivitas pertanian dengan bobot 30%. Untuk mengurangi lahan kritis maka perlu peningkatan tutupan lahan seperti reklamasi areal
bekas penambangan terbuka untuk tambang timah, kaolin, pasir kuarsa, dsb. Untuk kawasan hutan perlu peningkatan manajemen hutan seperti dilengkapinya tata batas, dilakukannya peningkatan pengamanan dan pengawasan, serta peningkatan penyuluhan. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada Ir. Khaidir Lutfi, Hendani S.Hut, dan Toto Cahyono, SE dari Dinas Kehutanan dan Pertanian Kabupaten Belitung Timur, yang telah membiayai penelitian ini. Begitu pula kepada Dr. Wiwin Ambarwulan dan Dr. BJ. Pratondo dari Badan Informasi Geospasial, yang telah memberikan arahan dan dukungan moril. Iman Sadesmesli, Sularsana dan Mustopa dari Badan Informasi Geospasial, yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Balai Pengelolaan DAS Tondano. (2011). Data Spasial Lahan Kritis Kabupaten Kepulauan Sangihe. Manado. BPS Kabupaten Belitung Timur. (2012). Belitung Timur Dalam Angka 2012. Katalog BPS: 1403.1906. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal Kabupaten Belitung Timur. Belitung. Departemen Kehutanan. (1998). Parameter Penentu Kekritisan Lahan. Departemen Kehutanan. SK Dirjen RRL No.041/Kpts/V/1998. Jakarta.
37
Globe Volume 15 No. 1Juni 2013 : 30 - 38
Herdiana, D. (2008). Identifikasi Lahan Kritis dalam Kaitannya dengan Penataan Ruang dan Kegiatan Rehabilitasi Lahan di Kabupaten Sumedang. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nugroho, S.P. dan Prayogo, T. (2008). Penerapan SIG untuk Penyusunan dan Analisis Lahan Kritis pada Satuan Wilayah Pengelolaan DAS Agam Kuantan, Provinsi Sumatera Barat. Pusat Teknologi Sumberdaya Mineral. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. Prawira, A.Y., Wikantika, K. dan Hadi, F. (2005). Analisis Lahan Kritis di Kota Bandung Utara Menggunakan Open Source GRASS. Prosiding PIT MAPIN XIV. Bogor.
38
PT. Timah. (2006). Sejarah Pertambangan Timah di Indonesia.http://www.bluefame.com/index.php?showtopic=214 750. [Diakses 23 Januari 2013] Puslittanak. (1990). Peta Satuan Lahan dan Tanah Lembar Belitung Sumatera skala 1:250.000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Puslittanak. (1997). Panduan Pemetaan Lahan Kritis. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Romenah, Eko Tri Rahardjo dan Asih Priati. (2010). Lahan Potensial dan Lahan Kritis. Materi Kuliah. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Pola Diseminasi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi …
(Muhammad Fajri dkk.)
POLA DISEMINASI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU PADI DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Muhammad Fajri1*, Minas T Panggabean2 dan Mamik Sarwendah2 1 Balai Pengkajian Tekonologi Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta Jl. Stadion Baru No. 22, Wedomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung Jl. Mentok KM 4 Pangkalpinang 33134 *
Email :
[email protected]
Abstrak PTT atau Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi adalah suatu pendekatan yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian RI dalam rangka meningkatkan produksi beras secara nasional. Dalam rangka menyebarkan inovasi ini, Badan Litbang Pertanian bekerjasama dengan berbagai lembaga melalui berbagai media diseminasi. Lembaga-lembaga tersebut adalah lembaga penelitian (BPTP), lembaga pengaturan dan pelayanan (Dinas Pertanian), lembaga penyuluhan (Badan Penyuluhan, BPP, PPL) dan Kelompok Tani. Pengkajian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai sistem diseminasi PTT Padi dan tingkat adopsi petani di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pengkajian dilakukan di Kabupaten Belitung (Desa Perpat), Kabupaten Bangka (Desa Tanah Bawah) dan Kabupaten Bangka Selatan (Desa Rias) pada bulan Februari-Oktober 2011. Metode penelitian yang dilakukan adalah studi pustaka, survey, wawancara dan FGD . Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pola diseminasi PTT Padi dipengaruhi oleh berbagai faktor baik fisik maupun nonfisik. Faktor-faktor tersebut adalah karakteristik petani, partisipasi petani, kelembagaan kelompok tani, kemampuan penyuluh, metode diseminasi, media komunikasi dan informasi, dukungan pemerintah, infrastruktur pertanian, iklim dan cuaca serta kearifan lokal. Kata kunci: PTT Padi, Pola diseminasi, Adopsi
PENDAHULUAN Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan provinsi yang terletak di sebelah timur Provinsi Sumatera Selatan berupa gugusan pulau-pulau dengan Pulau Bangka dan Pulau Belitung sebagai pulau paling besar. Sebagai daerah kepulauan, provinsi ini menggantungkan sebagian besar kebutuhan pokok penduduknya dari pasokan daerah lain. Kegiatan pertanian di tingkat lokal, hasilnya masih jauh dari mencukupi kebutuhan penduduk. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, kemampuan suplai beras dari produksi padi di tingkat lokal masih sekitar 12% dari kebutuhan konsumsi beras sebanyak 200 ribu ton per tahun. Sementara 88% sisanya didatangkan dari luar provinsi (Anonimus, 2010). Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam pembangunan di Kepulauan Bangka Belitung, terlihat dari kontribusinya sekitar 20% terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (Anonimus, 2004). PTT atau Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi merupakan suatu pendekatan untuk meningkatkan hasil dan atau sekaligus menciptakan efisiensi masukan produksi padi dengan memperhatikan kondisi lingkungan dan penggunaan sumberdaya alam secara bijak. Produktivitas padi dapat ditingkatkan 16-36% dan penggunaan pupuk anorganik berkurang hingga 35% (Las dkk., 2002). Pendekatan ini dapat diterapkan sesuai dengan kondisi spesifik lokasi (Sirappa dkk., 2006). Hasil penelitian dan pengkajian oleh delapan BPTP menunjukkan produktivitas padi pada areal sawah pengembangan model PTT berkisar antara 5,1-8,5 ton/ha. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan hasil intensifikasi yang dilakukan oleh petani pada umumnya, yaitu berkisar antara 3,7-8,1 ton/ha (Sembiring dan Abdulrachman, 2008). PTT memiliki prinsip partisipatif, interaksi, integrasi, dinamis dan spesifik lokasi. Di dalam teknologi PTT Padi, ada 2 komponen teknologi yang perlu diperhatikan, yaitu komponen dasar dan komponen pilihan. Komponen dasar meliputi varietas unggul baru, benih bermutu dan berlabel, pemberian bahan organik, pengaturan populasi tanaman, pemupukan berdasarkan status hara tanah dan kebutuhan tanaman dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dengan pengendalian hama terpadu (PHT). Komponen pilihan meliputi pengolahan tanah sesuai musim
48
ISBN 978-602-99334-2-0
A.9
dan pola tanam, penggunaan bibit muda, tanam bibit 1-3 batang per rumpun, pengairan secara efektif dan efisien, penyiangan dengan gasrok dan panen tepat waktu (Sarwendah dkk., 2010). Pemanfaatan teknologi belum berjalan secara optimal dalam meningkatkan daya saing komoditas pertanian. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya petani yang belum tahu atau tidak menerapkan inovasi teknologi hasil penelitian. Menurut Paryono dkk (2001) faktor penyebabnya antara lain adalah (a) inovasi tidak sampai kepada petani, (b). inovasi tidak sesuai dengan kebutuhan petani, (c). inovasi belum dipahami dan diyakini petani, (d) kesulitan memperoleh sarana produksi anjuran dan (e) keterbatasan modal petani. Menurut Simatupang (2004), Badan Litbang Pertanian memiliki peran sebagai penghasil inovasi (generating subsystem). Sementara penyampai inovasi (delivery subsystem) belum dilaksanakan secara maksimal sehingga penerimaan inovasi (receiving subsystem) tidak terlihat secara nyata. Oleh karena itu, sistem alih teknologi (diseminasi) dari penghasil kepada pengguna perlu ditingkatkan agar teknologi dapat diterapkan secara efisien dan efektif. METODOLOGI Kegiatan pengkajian dilaksanakan di Kabupaten Bangka (Desa Tanah Bawah dan Banyuasin), Kabupaten Belitung (Desa Perpat) dan Kabupaten Bangka Selatan (Desa Rias). Waktu pelaksanaan adalah bulan Maret – November 2011. Metode yang digunakan adalah studi literatur, survey, wawancara dan focus group discussion (FGD). Sampel yang digunakan adalah para penyampai inovasi (Dinas Pertanian, Badan Pelaksana Penyuluhan, Balai Penyuluhan Pertanian dan PPL) berjumlah 20 orang per kabupaten sampel dan penerima inovasi (Kelompok Tani, Petani) berjumlah 30 orang per kabupaten sampel. Bahan dan alat yang digunakan untuk penelitian terdiri atas kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data, alat tulis dan komputer. Data yang dikumpulkan berupa informasi mengenai varietas padi yang digunakan, cara tanam, penggunaan pupuk, ketersediaan sarana penunjang, lembaga penangkar, pola penyampaian informasi, media komunikasi penyuluhan, karakteristik sosial ekonomi petani. Data yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif dan eksplanatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Data primer dan sekunder yang diperoleh baik melalui desk study, kuesioner maupun FGD diolah dan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu (1) Mengetahui pola penyebaran inovasi teknologi PTT Padi (2) Mengetahui faktor penentu keberhasilan penyebaran inovasi PTT Padi. Penyebaran inovasi PTT Padi Penggunaan varietas unggul baru di 3 kabupaten sampel berbeda sesuai kondisi spesifik masing-masing wilayah. Di Kabupaten Belitung, varietas yang sudah diadopsi oleh petani adalah Aek Sibundong (15 ha), Towuti (20 ha), Ciherang (17 ha), IR64 (10 ha), Ciliwung (112 ha) dan Situ Bagendit (60 ha). Varietas yang paling banyak ditanam adalah Ciliwung dan areal tanam terbesar terdapat di Kecamatan Membalong. Di Bangka Selatan, varietas yang sudah ditanam oleh petani adalah Mekongga (875 ha) dan Ciherang (625 ha) dengan areal tanam terbesar berada di Kecamatan Toboali (1.075 ha) untuk varietas Mekongga. Sementara di Bangka, varietas yang sudah diterapkan oleh petani adalah Towuti (313 ha), IR 64 (285 ha), Ciliwung (217 ha), Ciherang (110 ha) dan Inpari 4 (160 ha). Varietas IR 64 paling banyak ditanam petani, terutama di Kecamatan Merawang. Dalam penerapan varietas unggul baru ini, terdapat kendala berkaitan dengan adanya serangan hama dan penyakit. Hal ini disebabkan karena varietas tersebut belum pernah ditanam sebelumnya sehingga belum beradaptasi secara baik. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan secara jangka panjang, perlu dilakukan uji adaptasi terhadap varietasvarietas unggul baru untuk mengetahui varietas padi yang paling adaptif untuk kondisi setempat. Penggunaan benih bermutu dan berlabel sudah dilaksanakan di tingkat petani yang difasilitasi oleh Dinas Pertanian setempat. Seluruh petani sudah menggunakan benih berlabel. Benih yang disebarkan kepada petani berlabel biru dan diadakan melalui program Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU). Sebelum ditanam, benih perlu diperlakukan sedemikian rupa untuk menghilangkan butir gabah hampa dan mengantisipasi adanya serangan hama pada masa pertumbuhan. Penghilangan butir gabah hampa dilakukan dengan perendaman dalam larutan garam dan antisipasi serangan hama dilakukan dengan memberi agensia Regent. Dari sampel petani Prosiding SNST ke-4 Tahun 2013 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang
49
Pola Diseminasi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi …
(Muhammad Fajri dkk.)
kooperator diketahui bahwa belum semua petani menerapkan perlakuan benih. Dari sampel petani, di Belitung masih ada sebanyak 6% petani yang tidak melakukan perlakuan benih dan di Bangka Selatan masih sebanyak 13%. Hal lain yang menjadi masalah di lapangan adalah waktu pengadaan benih yang tidak tepat waktu sehingga waktu tanam mengalami pengunduran. Hal ini dikarenakan benih tersebut perlu didatangkan dari luar Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang terkendala masalah transportasi dan jarak yang jauh. Oleh karena itu, pemberdayaan petani sebagai penangkar benih padi sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan benih. Dinas Pertanian perlu bekerjasama dengan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi sebagai penghasil benih pokok maupun BPTP sebagai Unit Pelaksana Teknis Badan Litbang Pertanian di provinsi serta Balai Pengawasan dan Sertifikasi Mutu Benih Provinsi sebagai pemegang otoritas sertifikasi dan labelisasi benih. Hal ini perlu didukung dengan penguatan pembinaan kemampuan petani calon penangkar benih dalam melaksanakan budidaya padi secara lebih ketat. Pemberian bahan organik dalam budidaya padi sangat diperlukan di Provinsi Bangka Belitung mengingat kondisi tanah dengan kemasaman yang tinggi, kandungan unsur hara tanah yang kurang memadai serta sifat tanah yang porosif. Secara umum, komponen ini sudah diterapkan oleh petani, meskipun dengar kadar atau dosis yang belum ideal. Namun ada pula yang belum bisa menerapkan. Hal ini dikarenakan karena ketersedian pupuk organik yang belum mencukupi kebutuhan seluruh petani yang ada di Bangka Belitung. Salah satu penyebabnya adalah populasi ternak yang masih relatif sedikit sehingga belum memenuhi secara kuantitas untuk memproduksi pupuk organik secara mandiri. Dari sampel petani, di Belitung, 60% petani menggunakan pupuk kandang dan 40% pupuk organik granul. Sebanyak 67% petani menggunakan dosis di bawah 2 ton/ha dan 37% di atas 2 ton/ha. Sementara di Bangka dan Bangka Selatan para petani belum bisa maksimal menggunakan pupuk organik karena sulitnya mencari pupuk organik ataupun pupuk kandang. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah daerah mampu memfasilitasi bantuan ternak bagi para petani sehingga para petani dapat menyediakan pupuk organik secara mandiri. Di samping itu, perlu juga ditumbuhkan adanya pabrik – pabrik pembuat pupuk organik untuk memenuhi kebutuhan petani secara lebih luas. Pengaturan populasi tanaman melalui penerapan cara tanam legowo sudah diterapkan di tingkat petani, baik legowo 4 : 1 maupun 2 : 1. Cara tanam ini memiliki keunggulan yaitu lebih mudah dalam melakukan penyiangan, pemupukan dan pemeliharaan tanaman padi. Di beberapa tempat memang belum bisa menerapkan cara tanam legowo ini secara maksimal karena adanya kendala. Dari petani sampel di Belitung, 100% sudah menerapkan legowo, di Bangka 30% menerapkan legowo dan di Bangka Selatan 30 % menerapkan. Kendala yang masih dirasakan terutama pada saat penanaman, yaitu membutuhkan biaya tenaga yang lebih besar. Oleh karena itu, pengadaan alat atau mesin tanam sangat diperlukan untuk menanam bibit padi secara lebih efisien. Pemupukan tanaman dilakukan dengan mempertimbangkan status hara tanah dan kebutuhan tanaman. Para petani di 3 kabupaten telah menerapkan cara pemupukan yang diawali dengan pengujian terlebih dahulu terhadap kondisi tanah persawahan. Alat atau perangkat tersebut adalah PUTS (Perangkat Uji Tanah Sawah) dan BWD (Bagan Warna Daun). PUTS digunakan untuk menguji status hara tanah, seberapa kandungan N, P dan K dalam tanah. Sementara, BWD digunakan untuk mengetahui seberapa besar kebutuhan N dengan melihat intensitas warna daun tanaman padi. Namun, masih terdapat kendala di lapangan mengenai ketersediaan kedua perangkat tersebut. Dari sampel petani, di Belitung, baru 20% yang menggunakan PUTS dan baru 30% yang menggunakan BWD. Di Bangka Selatan baru 6% memakai PUTS dan baru 16% memakai BWD. Sementara di Bangka masih belum banyak yang menggunakan. Oleh karena itu, dukungan dari Dinas Pertanian setempat sangat diperlukan berupa pengadaan perangkat uji dengan jumlah yang memadai. Dengan jumlah perangkat yang memadai, diharapkan akan memperbaiki cara pemupukan sehingga penggunaan pupuk bisa lebih efisien. Pengolahan tanah dilakukan secara manual dan mekanik, menggunakan traktor dan cangkul. Di Belitung, seluruh petani sudah menggunakan hand tractor. Sementara di Bangka, baru 13 % yang menggunakan hand tractor dan di Bangka Selatan sebesar 67%. Pengolahan tanah dilakukan menyesuaikan dengan pola tanam dan kondisi musim serta cuaca. Kebanyakan para petani di Bangka menanam padi sekali dalam satu tahun, yaitu pada musim penghujan (Oktober). Sementara di Belitung, sudah banyak yang dapat menanam padi 2 kali dalam satu tahun, yaitu pada bulan Oktober dan bulan April. Kendala yang dihadapi adalah kurangnya air pada musim kemarau akibat 50
ISBN 978-602-99334-2-0
A.9
debit air yang kecil sehingga pengolahan tanah mengalami kesulitan. Solusinya adalah pembuatan embung dan pengaturan air bagi para petani melalui kelompok. Bibit padi yang ditanam oleh petani rata-rata sudah mengikuti anjuran, yaitu di bawah umur 21 hari setelah semai dengan 1 – 3 bibit per rumpun. Menanam bibit tua memiliki resiko berupa jumlah anakan padi yang sedikit pada masa pertumbuhan. Dari sampel petani, di Belitung hanya 10% yang belum menggunakan bibit muda, di Bangka dan Bangka Selatan 6 %. Di wilayah tertentu, terdapat kendala berupa serangan keong mas yang memakan bibit padi yang muda. Pengendalian perlu dilakukan agar keong mas bisa diatasi. Namun, ada pula yang menanam bibit agak tua untuk memperkecil resiko serangan hama keong mas dengan jumlah bibit per rumpun ditambah. Pengairan di areal pertanaman padi belum dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Hal ini disebabkan oleh belum adanya bendungan atau embung yang mampu menampung cukup air dan belum idealnya saluran irigasi di lahan persawahan. Kondisi ini mengakibatkan petani belum dapat mengoptimalkan lahan untuk menanam padi sehingga produksi padi belum meningkat secara baik. Di musim kemarau, khususnya di wilayah Bangka, petani tidak menanam padi karena air tidak mencukupi. Namun, di wilayah Belitung, sebagian areal sawah dengan irigasi yang lebih baik, dapat menanam padi pada musim kemarau. Dari sampel petani, di Belitung, 57% petani melakukan pengairan berselang dan sisanya belum melakukan. Di Bangka seluruh petani belum melakukan pengairan berselang, begitu pula di Bangka Selatan. Oleh karena itu, pembuatan embung dan perbaikan sarana irigasi merupakan prasyarat penting untuk melakukan kegiatan budidaya dengan pendekatan teknologi PTT. Penyiangan gulma yang dianjurkan adalah dengan menggunakan gasrok atau landak. Komponen ini belum dapat dilakukan secara merata, mengingat masih ada petani-petani yang menanam padi secara acak (tidak memakai jarak tanam). Untuk tanam jajar legowo, penggunaan gasrok sangat sesuai dan memudahkan dalam pemeliharaan. Namun, karena membutuhkan tenaga lebih, maka banyak petani yang tidak menyiang dengan gasrok, tetapi menggunakan herbisida (penyemprotan). Dari sampel petani, baik di Belitung, Bangka maupun Bangka Selatan hampir semuanya melakukan penyiangan dengan penyemprotan herbisida. Panen padi dilakukan secara tepat waktu dengan kondisi hamparan tanaman 95% menguning. Panen dilakukan dengan menggunakan sabit dan dirontok dengan mesin perontok. Namun, karena jumlah mesin yang belum mencukupi, sebagian petani melakukan secara manual (dipukul-pukulkan). Dari sampel petani, di Belitung, semuanya sudah menggunakan power thresher, sementara di Bangka dan Bangka Selatan masih banyak yang menggunakan gebot. Kondisi ini tentunya dapat menimbulkan resiko kehilangan hasil panen. Oleh karena itu penggunaan terpal sangat dianjurkan untuk mengurangi kehilangan hasil. Dukungan pemerintah sangat dibutuhkan dalam penyediaan mesin perontok dan mesin lainnya melalui bantuan alsintan. Pola dan alur penyebaran inovasi teknologi PTT Padi bersifat secara formal maupun informal. Secara formal, inovasi PTT disampaikan oleh Badan Litbang Pertanian kepada Dirjen Tanaman Pangan, kemudian diteuskan ke Dinas Pertanian di tiap provinsi dan kabupaten. Di tingkat daerah, Dinas Pertanian berkoordinasi dengan Badan Koordinasi Penyuluhan/Badan Pelaksana Penyuluhan untuk mengorganisir para PPL di tiap Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) sebagai ujung tombak penyebaran inovasi PTT Padi. Para PPL yang telah dididik dan dilatih mengenai PTT Padi kemudian menyampaikan inovasi kepada petani melalui kelompok tani. Salah satu bentuk kegiatan penyebaran inovasi PTT Padi adalah melalui Sekolah Lapang PTT (SL-PTT). Melalui SLPTT, para petani belajar secara langsung mengenai budidaya padi dengan teknologi PTT di lahan sawah yang dipandu oleh para PPL. Dalam hal ini, BPTP berperan sebagai pendamping teknologi bagi lembaga teknis daerah maupun petani. Secara informal, informasi mengenai PTT Padi dapat diakses melalui media komunikasi dan informasi, misalnya brosur, leaflet, koran pertanian, internet dan sebagainya. Faktor penentu keberhasilan penyebaran inovasi teknologi PTT Padi Penyebaran inovasi teknologi PTT Padi dari penghasil (Badan Litbang Pertanian) kepada pengguna (petani) dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya : a. Karakteristik petani Prosiding SNST ke-4 Tahun 2013 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang
51
Pola Diseminasi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi …
(Muhammad Fajri dkk.)
Karakteristik petani dan rumah tangganya turut menentukan tingkat adopsi teknologi PTT yang diintroduksikan. Komoditas yang diusahakan petani juga bervariasi. Di samping bertani padi, petani juga berkebun, beternak, berdagang dan usaha lainnya. b. Partisipasi aktif masyarakat/petani dalam mengikuti penyuluhan Petani adalah aktor utama dalam penerapan inovasi PTT Padi. Partisipasi aktif dan keterlibatan para petani adalah modal utama kesuksesan peningkatan produksi padi. Sikap pasif terhadap teknologi akan menghambat proses adopsi atau alih teknologi dari para peneliti kepada para petani. Respon positif akan memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menggali berbagai permasalahan yang ada di lapangan sekaligus menemukan solusinya. Intinya, dari petani, oleh petani dan untuk petani. c. Kelembagaan kelompok tani yang kuat sebagai cerminan kekompakan petani Kelompok tani merupakan modal sosial yang sangat penting untuk meningkatkan kapasitas para petani. Dengan adanya kelompok tani, maka akses terhadap teknologi, permodalan, pasar dan sebagainya menjadi lebih mudah. Melalui kelompok tani, masing-masing anggota dapat bertukar pikiran mengenai penerapan inovasi PTT Padi. Dengan demikian, petani menjadi kompak dalam setiap kegiatan budidaya padi sehingga kesuksesan dalam mengelola usaha tani dapat diraih secara bersama-sama. d. Kemampuan penyuluh pertanian yang melakukan pendampingan dalam kegiatan diseminasi inovasi PTT Padi Penyuluh pertanian sebagai ujung tombak penyampaian inovasi PTT Padi adalah orang kunci yang memfasilitasi antara penghasil teknologi (peneliti) dengan pengguna (petani). Dengan kemampuan kognisi dan komunikasi yang baik dan tepat, maka inovasi dapat diterima secara baik oleh petani. Namun, apabila para PPL tidak mampu berkomunikasi dan tidak memiliki bekal pemahaman yang baik tentang inovasi PTT, tingkat penerimaan para petani pun rendah sehingga mempengaruhi kemauan mereka untuk menerapkan teknologi. Oleh karena itu, para PPL perlu secara periodik dibekali dengan pemahaman dan keterampilan baru agar senantiasa segar dalam mengemban tugas penyuluhan. e. Media komunikasi dan transfer informasi yang digunakan (langsung dan tak langsung) Sebagai sebuah hasil invensi, teknologi PTT merupakan materi yang perlu disampaikan melalui media yang tepat. Secara langsung, penyebaran inovasi dilakukan oleh para penyuluh kepada petani melalui tatap muka. Sedangkan, secara tidak langsung, inovasi PTT dapat disampaikan melalui media cetak (brosur, leflet, buku panduan, dan lain-lain) maupun elektronik (TV, internet, multimedia, dan lain-lain). Beragam media yang digunakan memiliki manfaat untuk menjadikan petani semakin kaya dan tidak mengalami kejenuhan. Dengan demikian, petani dapat menerima inovasi dengan penuh rasa senang. f. Metode diseminasi inovasi PTT Padi yang tepat (demfarm, sekolah lapang, dan lain-lain) Metode diseminasi atau penyebaran inovasi perlu dipilih yang tepat. Salah satu yang sudah menjadi andalan adalah Sekolah Lapang PTT (SL-PTT). Dengan adanya SL-PTT, petani dapat secara langsung belajar dan menerapkan sendiri komponen-komponen teknologi PTT Padi. g. Dukungan pemerintah dalam memfasilitasi ketersediaan sarana produksi. Benih, pupuk, obat pengendali hama/penyakit dan alsintan perlu dijamin ketersediaannya untuk mendukung penerapan inovasi PTT Padi. Apabila ketersediaan sarana produksi terhambat, maka petani akan enggan untuk mengikuti anjuran atau inovasi yang akan diintroduksikan. Di sinilah peran pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk menjaga ketersediaan berbagai sarana produksi tersebut. Tujuannya adalah agar petani mudah mengaksesnya sehingga petani dapat cepat menerapkan komponen-komponen teknologi PTT dalam usaha taninya. h. Ketersediaan sarana infrastruktur pertanian yang memadai, khususnya jaringan irigasi. Infrastruktur pertanian adalah hal penting dalam menyokong kegiatan usaha tani, khususnya mengenai sarana irigasi pertanian. Untuk mengatasi kekurangan air pada musim kemarau, perlu dibangun embung atau bendungan yang akan menampung air dari sumbernya maupun dari air hujan sehingga ada cadangan air. Di samping itu perlu dilakukan perbaikan saluran irigasi menuju lahan persawahan, termasuk saluran-saluran pembagi serta perlunya pengaturan air melalui kelompok tani agar air dapat terbagi secara merata. Dalam hal ini, perlu ada koordinasi dengan dinas terkait, seperti Dinas Pekerjaan Umum.
52
ISBN 978-602-99334-2-0
A.9
i. Faktor iklim dan cuaca selama berlangsungnya kegiatan diseminasi. Kondisi iklim dan cuaca turut mempengaruhi pelaksanaan penerapan inovasi PTT. Kondisi iklim yang cenderung tidak menentu dapat berdampak pada tingkat serangan hama penyakit yang tidak dapat diprediksi. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan pemahaman yang baik kepada para petani untuk melakukan antisipasi. Kondisi-kondisi ekstrem bisa mengakibatkan banjir atau sebaliknya kekeringan. Oleh karena itu, disarankan untuk digalakkan kegiatan Sekolah Lapang Iklim (SLI) bekerjasama dengan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofifika (BMKG). j. Kearifan lokal (local wisdom) berkaitan dengan kondisi spesifik lokasi setempat. Situasi dan kondisi tiap daerah tidak lah sama. Setiap tempat memiliki kekhususan, baik dari aspek fisik, sosial budaya maupun ekonomi. Penerapan inovasi perlu mempertimbangkan aspekaspek tersebut agar dapat mencapai titik keberhasilan yang diinginkan. Oleh karena itu, pelaksanaan di lapangan perlu dilakukan secara arif dan bijaksana dengan mengutamakan pada kekompakan bersama. KESIMPULAN Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi merupakan hasil inovasi Badan Litbang Pertanian RI yang diciptakan untuk meningkatkan produksi dan produktifitas padi secara nasional. Penyebaran inovasi PTT Padi dari penghasil teknologi kepada pengguna (petani) perlu dilakukan secara intensif melalui pendampingan di lapangan. Pola dan peta distribusi penerapan komponen inovasi PTT Padi berbeda untuk satu daerah dengan daerah yang lain. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, baik fisik maupun non fisik. Faktor-faktor tersebut perlu diperhatikan oleh para penyampai informasi teknologi agar kinerja diseminasi semakin meningkat dan adopsi teknologi oleh petani semakin tinggi. DAFTAR PUSTAKA Anonimus. Produksi Padi Babel 12 Persen dari Kebutuhan Sesungguhnya. www. bangka.tribunnews.com. Diakses : 22 Desember 2010, jam 08.30. Anonimus, (2004), Bangka Belitung Dalam Angka, BPS, Pangkalpinang. Las, I., Makarim, A.K.., Toha, H.M., dan Gani, A., (2002), Panduan Teknis Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu Padi Sawah Irigasi. Badan Litbang Pertanian. Paryono, T.J., Kartaatmaja, S., dan Kushartanti, E., (2001), Revitalisasi Penyuluhan Pertanian Pada Era Otonomi Daerah. Makalah Seminar Hasil Pengkajian BPTP Jawa Tengah. Sarwendah, M., Wirasti, A., dan Poppy, A., (2010), Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah. Petunjuk Agroinovasi BPTP Bangka Belitung. Sembiring, H dan Sarlan A, (2008), Potensi Penerapan dan Pengembangan PTT dalam Upaya Peningkatan Produksi Padi. Iptek Tanaman Pangan Vol. 3 N0. 2-2008. Hal 145-155. Simatupang P, (2004), Prima Tani Sebagai Langkah Awal Pengembangan Sistem dan Usaha Agribisnis Industrial. Publikasi Analisis Kebijakan Pertanian Vol. 2 No. 3, Jakarta. Sirappa, M. P., Susanto, A. N., dan Tolla, Y., (2006), Kajian Usahatani Padi Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB) dengan Pendekatan PTT. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 9, No.1, Maret 2006: 18-28
Prosiding SNST ke-4 Tahun 2013 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang
53
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2011) 37(2): 339-353
ISSN 0125 – 9830
POLA SEBARAN, KONDISI HABITAT DAN PEMANFAATAN SIPUT GONGGONG (Strombus turturella) DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG oleh SAFAR DODY Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta
Received 21 January 2011, Accepted 8 August 2011
ABSTRAK Kondisi populasi siput gonggong (Strombus turturella) di perairan Kepulauan Bangka Belitung dalam beberapa tahun terakhir ini semakin menurun akibat eksploitasi yang intensif serta pengrusakan habitat oleh aktivitas penambangan timah di laut. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret hingga Oktober 2007 yang bertujuan untuk mengamati pola sebaran dan kondisi habitat serta pola pemanfaatan siput gonggong di Kepulauan Bangka Belitung. Pola sebaran diamati dengan menggunakan metode transek kuadrat, sedangkan pola pemanfaatan dan pengolahan pasca panen dilakukan dengan cara pengamatan langsung di lapangan serta wawancara dengan nelayan, pengumpul dan pengolah siput gonggong. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaran siput gonggong di Teluk Klabat tergolong tipe mengelompok dengan kepadatan rata-rata antara 3-5 individu/m2. Kerusakan habitat dan eksploitasi tertinggi terjadi di perairan Teluk Klabat, sedangkan di perairan Pulau-pulau Lepar Pongok kondisi habitatnya relatif masih baik dan eksploitasi siput gonggong masih tergolong rendah. Eksploitasi siput gonggong oleh nelayan di Teluk Klabat secara efektif berlangsung mulai bulan Februari hingga bulan Juni dengan produksi tertinggi terjadi pada bulan Maret, sedangkan di Pulau-pulau Lepar Pongok eksploitasi dapat dilakukan sepanjang tahun. Untuk mencegah terjadinya kepunahan akibat eksploitasi yang intensif dan pengrusakan habitat, maka perlu dilakukan penentuan lokasi suaka kekerangan serta pola pemanfaatan yang tepat. Kata kunci : Siput gonggong, sebaran, habitat, Kepulauan Belitung.
Bangka
DODY
ABSTRACT DISTRIBUTION PATTERN, HABITAT CONDITION AND UTILIZATION OF DOG CONCH (Strombus turturella) IN BANGKA BELITUNG ISLANDS. Dog conch (Strombus turturella) is one of alternative food sources in Bangka Belitung Islands. As a result of intensive exploitation and habitat destruction by traditional tin mining activities, the population of dog conch is decreasing. The objective of this study to determine the distribution patterns and habitat conditions of dog conch and its utilization rate in Bangka Belitung Islands. Observation on the distribution patterns and habitat conditions have been carried out using square transect method, while the utilization patterns and post-harvest processing is done by direct observation and interviews with local people. The results showed that the distribution of dog conch in Teluk Klabat including clustered with density between 3-5 individu/m2. The exploitation of dog conch in Teluk Klabat waters is highest than other locations. At this location dog conch’s habitat was also damaged by the traditional mining activities. The opposite occurred in the Lepar Pongok Islands where exploitation is still low. Exploitation of dog conch by fishers in Teluk Klabat starts from February to June with the highest production occurred in March, while in Lepar Pongok Islands exploitation can be done any time within a year. To prevent extinction by intensive exploitation and habitat destruction, it is necessary to set up protected areas and setting up the proper utilization patterns. Key words: Dog conch, distribution, habitat, Bangka Belitung Islands.
PENDAHULUAN Sumberdaya perikanan di Kepulauan Bangka Belitung telah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai salah satu penopang hidup mereka. Sumberdaya perikanan tersebut terdiri atas berbagai jenis ikan, udang, cumi dan biota sesil lainnya seperti siput dan kerang (siput gonggong, kerang darah dan tiram), cacing laut serta beberapa produk olahan lainnya yang bersumber dari laut. Siput gonggong (Strombus turturella) merupakan salah satu jenis moluska gastropoda yang mendiami areal pasang surut dengan substrat pasir berlumpur yang ditumbuhi lamun (Amini 1986). Sebagai biota sesil yang memiliki pergerakan lambat, siput gonggong relatif mudah dieksploitasi oleh
340
SIPUT GONGGONG (Strombus turturella)
masyarakat pesisir khususnya di Kepulauan Bangka Belitung sebagai sumber protein alternatif dari laut maupun sebagai penambah pendapatan mereka. Sebaran siput gonggong di Kepulauan Bangka Belitung ditemukan di beberapa tempat seperti Teluk Klabat, Pulau-pulau Lepar Pongok (Kabupaten Bangka Selatan), beberapa tempat di Kabupaten Bangka Tengah serta di Tanjung Rusa (Pulau Belitung) dengan tingkat pemanfaatan pada masing-masing lokasi tersebut relatif berbeda sesuai dengan tingkat permintaannya di pasaran lokal. Selain di Kepulauan Bangka Belitung siput gonggong juga ditemukan di Kepulauan Riau terutama di Pulau Batam, Pulau Setoko dan pulau-pulau lain di sekitarnya (Dody, 2008). Sebagai bahan pangan yang sudah dikenal masyarakat bahkan sampai ke mancanegara, siput gonggong sering diburu untuk memenuhi permintaan pasar yang semakin meningkat terutama pada saat perayaan hari-hari besar keagamaan. Perburuan secara intensif serta adanya aktivitas penambangan timah yang berlangsung di habitat siput gonggong merupakan faktor utama terjadinya penurunan populasi siput gonggong di alam. Hal ini sangat memerlukan penanganan yang serius agar tidak terjadi kepunahan biota tersebut, terutama pada lokasi-lokasi potensial lainnya yang memerlukan pola pengelolaan yang tepat agar pemanfaatannya dapat secara optimal dan rasional. Untuk melakukan pengelolaan sumberdaya siput gonggong secara rasional diperlukan langkahlangkah perlindungan dan pola pemanfaatan yang tepat termasuk pengaturan pola eksploitasi dan pengendalian pemanfaatan pascapanen pada daerah-daerah penghasil siput yang melimpah. Sebagai langkah awal untuk mengetahui berbagai aspek tentang siput gonggong di alam, maka penelitian ini bertujuan untuk megetahui pola penyebaran dan kondisi habitat siput gonggong serta pola pemanfataannya di Pulau Bangka dan sekitarnya.
BAHAN DAN METODE Penelitian tentang sebaran dan habitat siput gonggong dilakukan di Teluk Klabat dan dilanjutkan dengan mengetahui pola pemanfaatan dan produksi di Desa Tukak, Kecamatan Pulau-pulau Lepar Pongok, Kabupaten Bangka Selatan. Sedangkan pengamatan tentang cara pengolahan dilakukan di Desa Kuto Panji, Kecamatan Blinyu Kabupaten Bangka dan di Desa Tukak, Pulaupulau Lepar Pongok, Kabupaten Bangka Selatan. Penelitian ini dilakukan selama bulan Maret hingga Oktober 2007. Sebaran spasial dan kepadatan siput gonggong di lokasi penelitian dilakukan dengan metode transek kuadrat menggunakan frame 1 x 1 m yang ditempatkan secara acak di habitat siput gonggong. Stasiun pengambilan contoh ditandai dengan menggunakan GPS Garmin type 60 CSX. Contoh substrat
341
DODY
diambil menggunakan Ekman grab, sedangkan parameter kualitas perairan menggunakan Horiba Type U-10. Pola penyebaran siput gonggong dianalisa menggunakan indeks penyebaran Morisita (Poole, 1974). Secara garis besar, Teluk Klabat dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (I) Teluk Kalabat bagian luar, (II) Teluk Klabat Bagian Tengah dan (III) Teluk Klabat bagian dalam. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengambilan data di Teluk Klabat bagian dalam, karena adanya kendala teknis serta dianggap areanya bukan merupakan habitat siput gonggong yang potensial. Pada lokasi Teluk Klabat bagian luar pengambilan contoh dilakukan pada 14 Stasiun pengamatan dan pada lokasi Teluk Klabat bagian tengah pengambilan contoh dilakukan pada 7Stasiun pengamatan. Titik-titik Stasiun pengamatan di Teluk Klabat adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Lokasi pengambilan contoh siput gonggong di Teluk Klabat, Kepulauan Bangka Belitung, Maret-Oktober 2007. Figure 1. Sampling sites for dog conch study in Teluk Klabat, Bangka Belitung Islands, March to October 2007. Untuk melengkapi data mengenai siput gonggong, juga dilakukan pengambilan data primer (pengamatan langsung) aktivitas nelayan di lapangan dan data sekunder melalui wawancara dengan sejumlah narasumber (nelayan, tokoh masyarakat, pengumpul, pengolah dan lainnya yang terlibat ataupun pernah terlibat secara langsung dalam eksploitasi siput gonggong di alam). Kegiatan ini dilakukan khususnya untuk memantau aktivitas perikanan gonggong di Desa Tanjung Sangkar, Pulau-pulau Lepar Pongok, Kabupaten Bangka Selatan.
342
SIPUT GONGGONG (Strombus turturella)
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Perairan Teluk Klabat Teluk Klabat bagian luar (lokasi I) merupakan alur pelayaran dan lokasi penangkapan ikan. Pada sisi bagian baratnya terdapat aktivitas penambangan timah tradisional (TI apung) yang mengeruk substrat untuk mendapatkan pasir timah. Kedalaman perairan dari lokasi ini berkisar antara 1 hingga 15 meter dengan substrat yang didominasi oleh pasir berlumpur. Tumbuhan darat yang tumbuh di sepanjang pantai berupa cemara dengan kerapatan yang jarang. Teluk Klabat bagian tengah (lokasi II) juga merupakan daerah penangkapan nelayan tradisional dengan kedalaman perairannya antara 2 hingga 5 meter. Kondisi substratnya didominasi oleh lumpur pasiran, sedangkan vegetasi yang tumbuh di sepanjang pantai adalah tumbuhan mangrove dengan kerapatan yang tinggi. Aktivitas penangkapan ikan dengan berbagai alat tangkap seperti pancing, jaring, pintor dan bagan tancap tampak lebih mendominasi lokasi ini. Pada sisi yang berbatasan dengan lokasi I terdapat beberapa buah kapal hisap timah yang sedang beroperasi, namun aktivitas TI apung tidak tampak beroperasi di lokasi ini. Hasil pengukuran rata-rata nilai beberapa parameter kualitas perairan selama penelitian berlangsung pada lokasi I dan lokasi II di Teluk Klabat tertera pada Tabel 1. Nilai kualitas perairan yang terukur tersebut relatif tidak berbeda dengan yang dilaporkan oleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPI (2002). Kondisi substrat pada areal penelitian lebih didominasi oleh lumpur hingga pasir berlumpur. Hamparan tumbuhan lamun jenis Thalassia hemprichii ditemukan di sepanjang pantai Dusun Blembang terutama pada Stasiun 7, 8, 9 dan 10. Keberadaan lamun di habitat siput gonggong cukup penting karena menyangkut ketersediaan pasokan makanan yang berasal dari hancuran daun lamun (serasah) maupun sebagai tempat berlindung bagi anakan siput gonggong. Jones & Stoner (1977) menyatakan bahwa kisaran densitas biomassa lamun yang optimal bagi kehidupan siput Strombus gigas di habitatnya adalah 18-75 gr/m2. Begitupun halnya kondisi perairan dan kondisi substrat daerah penelitian tidak melewati batas toleransi bagi kehidupan siput gonggong di alam seperti yang dikemukakan oleh Amini (1986). Jika ditinjau dari kondisi substratnya, tampak bahwa Stasiun 1 hingga 6 substratnya didominasi oleh pasir kasar hingga pasir berlumpur, sebaliknya Stasiun 7 hingga Stasiun 14 substratnya lebih didominasi oleh pasir berlumpur. Hal ini dapat terjadi akibat pola arus yang berkembang di areal ini yang menyebabkan terjadinya akumulasi substrat (lumpur) lebih banyak terjadi di Stasiun 7 sampai dengan 14.
343
DODY
Tabe 1. Rata-rata nilai kualitas air perairan Teluk Klabat. Table 1. Average value of water quality of Klabat Bay. Position S
Station
E
pH
DO mg/L
Temp o C
Sal o /oo
Depth (m)
1
01o.32'.293
105o.42'.099
7.60
5.60
29.4
33.3
3.0
2
01o.32'.504
105o.42'.402
7.67
6.09
29.7
32.7
1.5
3
01o.33'.800
105o.42'.501
4 5
o
01 .34'.581 o
01 .35'.106 o
7.61
5.58
29.0
31.6
3.0
o
7.61
5.11
29.1
31.6
2.0
o
7.62
4.77
29.5
31.2
2.0
o
105 .42'.901 105 .43'.233
6
01 .35'.467
105 .43'.475
7.60
4.96
29.1
31.4
6.0
7
01o.37'.842
105o.43'.228
7.64
4.78
29.5
32.2
3.0
8
01o.38'.811
105o.40'.870
7.69
7.32
29.9
32.1
1.0
9 10
01o.36'.840 01o.37'.820
105o.38'.499 105o.42'.654
7.70 7.67
5.64 5.04
28.5 28.6
32.9 32.6
3.0 2.5
11 12 13
01o.38'.200 01o.37'.615 01o.38'.181
105o.41'.770 105o.40'.534 105o.39'.541
7.67 7.67 7.67
5.02 5.02 5.02
28.7 28.7 28.7
32.5 32.5 32.5
3.5 5.0 4.0
14
01o.35'.887
105o.39'.077
7.67
5.02
28.7
32.5
3.5
o
o
15 16 17
01 .38'.188 01o.40'.302 01o.42'.637
105 .44'.089 105o.44'.504 105o.44'.615
7.56 7.51 7.53
5.12 4.88 5.05
28.9 29.1 29.2
29.6 30.4 29.5
2.0 2.0 2.0
18 19
01o.42'.719 01o.40'.896
105o.43'.736 105o.42'.153
7.53 7.52
6.93 5.11
29.2 29.2
28.7 29.6
3.0 5.0
20 21
01o.39'.722 01o.38'.568
105o.42'.800 105o.43'.474
7.55 7.62
5.43 5.10
29.3 30.3
30.5 30.7
4.0 2.0
Explanation: s, sand; c, coral; m, mud; sg, seagrass; Semakin maraknya aktivitas penambangan timah rakyat sejak tahun 1984 di perairan Teluk Klabat, terutama pada Stasiun 9, 10, 11, 12, 13 dan 14, telah menyebabkan berubahnya komposisi substrat di areal tersebut. Timbunan lumpur yang dapat membenamkan siput gonggong mendominasi areal tersebut, terutama pada bulan September dan Oktober. Hal ini sangat mempengaruhi kehidupan biota yang ada termasuk siput gonggong. Substrat pasir dengan kandungan lumpur dalam jumlah tertentu merupakan habitat yang ideal bagi
344
SIPUT GONGGONG (Strombus turturella)
kehidupan siput gonggong, namun bila komposisi substrat didominasi oleh lumpur maka akan membahayakan kehidupan siput itu sendiri. Tingginya kandungan lumpur pada substrat dasar perairan akan menyebabkan makin meningkatnya partikel terlarut dan tersuspensi dalam kolom air. Hal tersebut akan berakibat pada rendahnya kadar oksigen dalam sedimen atau hipoksia (Borja et al., 2000). Maraknya penambangan timah rakyat di Teluk Klabat yang merupakan kegiatan ekonomi rakyat yang sulit dicegah, berpotensi merubah komposisi substrat serta merusak habitat biota. Di lain pihak terdapat pula sebagian kelompok nelayan kecil yang hanya mampu mengeksploitasi biota diantaranya kekerangan dari lokasi tersebut. Suatu dilema yang sulit dihindari, namun kedua aktivitas tersebut harus tetap berjalan karena pemenuhan kebutuhan masyarakat yang tidak bisa ditunda. Hal ini tentu dapat melahirkan potensi konflik horizontal yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Bila dilihat dari dampaknya terhadap kerusakan lingkungan serta kelestarian biota, kegiatan penambangan timah di perairan Teluk Klabat jelas memberikan kerusakan yang lebih besar dibandingkan dengan aktivitas nelayan (pancing, jaring, memungut biota laut). Kegiatan penambangan timah berpotensi menurunkan populasi biota perairan, bahkan dapat menuju ke kepunahan jenis-jenis tertentu. Dampak negatif dari penambangan timah di laut menyebabkan meningkatnya siltasi di kolom air yang berdampak pada kematian siput gonggong dan biota laut lainnya serta meningkatkan kekeruhan yang menghalangi sinar matahari untuk proses fotosintesa. Sebaran Dan Kepadatan Siput Gonggong Siput gonggong ditemukan pada setiap lokasi penelitian dengan kepadatan yang berbeda. Siput gonggong dengan kepadatan yang tinggi ditemukan pada Stasiun 7, 8, 10, 12 dan 13 yaitu dengan kepadatan rata-rata antara 4-5 individu/m2, sedangkan pada stasiun lainnya kepadatan siput gonggong ditemukan antara 1-3 individu/m2. Bahkan pada Stasiun 21 siput gonggong tidak ditemukan (Gambar 2). Kondisi ini memberikan indikasi bahwa di Teluk Klabat terdapat areal tertentu sebagai habitat siput gonggong yang ideal, namun pada beberapa tempat bukan merupakan habitat yang cocok bagi kehidupan siput gonggong. Hasil analisis diperoleh nilai indeks penyebaran Morisita adalah 2,2 yang mengindikasikan bahwa sebaran siput gonggong di lokasi penelitian tergolong tipe mengelompok. Andiarto (2011) menyatakan bahwa pola sebaran siput gonggong dipengaruhi oleh musim pemijahan, semakin banyak individu yang memijah maka pola sebarannya semakin mengelompok. Dengan hasil yang telah diperoleh di atas, menunjukkan bahwa habitat siput gonggong di Teluk Klabat tersebar mulai dari Teluk Klabat bagian luar hingga ke teluk bagian tengah. Lokasi yang potensial sebagai habitat siput
345
DODY
gonggong adalah sepanjang pantai sisi barat teluk bagian luar. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal di antaranya pola arus yang berkembang yang dapat menyebabkan terakumulasinya nutrien dan tersebarnya larva di areal tersebut, banyaknya gosong pasir yang membentuk daerah-daerah terlindung bagi siput gonggong. Selain itu habitat siput gonggong yang berada di lokasi tersebut relatif berjauhan dengan lokasi pemukiman. Jassby & Cloem (2000) menyatakan bahwa perairan pesisir merupakan wilayah perairan yang banyak menerima beban masukan bahan organik maupun inorganik. Bahan ini berasal dari berbagai sumber kegiatan seperti pertambakan dan pertanian dan selanjutnya memasuki perairan melalui aliran sungai dan runoff dari daratan. Hal tersebut akan menambah konsentrasi nutrien jenis nitrogen, fosfor dan silikat (Cloern, 2001, Lagus, et al.,2003). Hadirnya siput gonggong pada beberapa lokasi lainnya walaupun dengan kepadatan relatif rendah merupakan informasi penting untuk pengelolaan selanjutnya terhadap upaya pemulihan kondisi populasinya di Teluk Klabat. Sebab lokasi-lokasi tersebut merupakan calon areal yang cukup potensial untuk penebaran bibit maupun induk siput gonggong dalam upaya mempertahankan populasinya di alam.
Gambar 2. Kepadatan siput gonggong/m2 pada tiap stasiun pengamatan. Figure 2. Density of dog conch (ind.m-2) at each station.
346
SIPUT GONGGONG (Strombus turturella)
Pemanfaatan Siput Gonggong Sebaran siput gonggong umumnya berada pada kedalaman 1 hingga 6 meter Eksploitasi siput gonggong yang berada pada kedalaman 2-4 meter hanya dapat dilakukan oleh orang yang benar-benar memiliki kemampuan menyelam yang memadai. Saat ini di Teluk Klabat hanya tersisa delapan orang nelayan pencari siput gonggong yang termasuk dalam kelompok nelayan binaan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangka. Pengambilan siput gonggong di alam dilakukan dengan cara menyelam dan memungut dengan tangan. Hal ini dapat dilakukan jika kondisi perairan sedang surut dan gelombang cukup mendukung. Jika kondisi air pasang, sulit bagi nelayan untuk mendapatkan siput gonggong, begitupun halnya jika kondisi perairan bergelombang yang menyebabkan tingkat kekeruhan semakin tinggi, sehingga membatasi pandangan saat menyelam untuk medapatkan siput gonggong. Waktu pengambilan siput gonggong yang paling efektif adalah pada bulan Februari hingga Juni. Selain bulan-bulan tersebut aktivitas penangkapan tidak maksimal karena kondisi perairan yang bergolak dan menyebabkan meningkatnya kekeruhan air. Hal ini akan menyulitkan nelayan pencari siput gonggong di alam. Selama kondisi perairan tidak memungkinkan untuk penangkapan siput gonggong, maka nelayan akan beralih ke aktivitas lain seperti memancing ikan ataupun melakukan pekerjaan lainnya. Produksi siput gonggong dari Teluk Klabat yang tercatat pada salah seorang pengumpul di Blinyu menunjukkan kecenderungan yang menurun dari tahun ke tahun (Gambar 3). Hal ini sebagai akibat dari meningkatnya permintaan pasar akan siput segar (terutama untuk memenuhi permintaan wisatawan domestik yang makin meningkat kunjungannya ke Bangka Belitung dalam dasawarsa terakhir), serta unit-unit pengolahan pasca panen yang tetap membutuhkan bahan baku daging siput kering untuk pengolahan keripik gonggong sebagai oleh-oleh khas dari Bangka Belitung. Penurunan hasil tangkapan juga terjadi pada spesies komersil lainnya dari dari Famili Strombidae seperti yang dilaporkan oleh Appledoorn (2011) bahwa trend penurunan hasil tangkapan jenis Strombus gigas di Puerto Rico terjadi sejak sepuluh tahun terakhir dan memerlukan penanganan yang cukup serius. Hal yang sama juga terjadi di perairan Bahama, dimana seiring dengan makin meningkatnya permintaan akan daging Strombus spp. sehingga mendorong eksploitasi juga cenderung meningkat. Hal ini berdampak pada kondisi stok di alam yang berfluktuatif serta cenderung menurun di akhir tahun 2000 (Gambar 4), (Anonymous, 2011).
347
DODY
Gambar 3. Jumlah hasil tangkapan siput gonggong selama periode 20032007 di Teluk Klabat, Bangka-Belitung (Sumber: Pengumpul). Figure 3. Harvesting of dog conch from 2003-2007 in Teluk Klabat Waters, Bangka Belitung Islands (Source: collector).
Gambar 4. Total pendaratan siput strombus (stromboid conch) di perairan Bahama, tahun 1970-2000. (Sumber: Anonymous, 2011). Figure 4. Total landings of stromboid conch in the Bahamas, 1970-2000. (Source: Anonymous, 2011).
348
SIPUT GONGGONG (Strombus turturella)
Untuk mencari siput gonggong di alam, dalam sehari nelayan menghabiskan waktunya rata-rata mencapai tujuh jam. Untuk mencapai ke lokasi penangkapan nelayan menggunakan sampan bermotor tempel 8 PK dengan waktu tempuh 2 jam pergi pulang. Dengan demikian waktu efektif untuk operasi penangkapan di lapangan adalah 5 jam. Hasil tangkapan nelayan yang diperoleh setiap kali melaut pada puncak musim penangkapan siput gonggong berkisar antaraRp. 200.000,- hingga Rp. 250.000,- per hari, dengan asumsi harga siput gonggong Rp. 18.000.,/100 ekor setelah dikurangi biaya bahan bakar dan biaya lainnya yang mencapai Rp. 100.000,-. Hasil tangkapan siput gonggong oleh nelayan langsung dijual ke pengumpul dan pengumpul sendiri yang akan menjualnya ke konsumen ataupun diolah setengah jadi untuk dijual kembali kepada pengolah keripik gonggong. Harga siput gonggong segar relatif lebih tinggi dibandingkan dengan siput gonggong yang setengah jadi. Siput yang tidak laku pada hari itu tidak bisa bertahan sampai esok harinya, sehingga pengumpul akan segera mengolahnya dengan cara merebus dan mengupasnya untuk kemudian dijemur menjadi produk olahan setengah jadi. Diversifikasi pengolahan siput gonggong secara terbatas mulai dilakukan oleh beberapa pengolah di Blinyu, Kabupaten Bangka yaitu dengan cara menyajikannya dalam bentuk kering setelah digoreng. Usaha pengolahan siput gonggong ini telah dimulai sejak awal 1985, dan sampai kini hasil olahan tersebut yang merupakan oleh-oleh khas Bangka Belitung bisa dijumpai di beberapa toko setempat. Daya tahan siput gonggong hasil olahan ini bisa mencapai beberapa bulan. Dengan semakin dikenalnya siput gonggong oleh berbagai kalangan, menjadikan biota tersebut sebagai makanan favorit yang sangat diminati bahkan menjadi makanan eksklusif yang disajikan pada saat perayaan hari-hari besar keagamaan. Permintaan akan siput gonggong olahan (keripik gonggong) semakin meningkat seiring dengan hadirnya para turis lokal pada bulan Maret setiap tahunnya untuk melakukan ibadah di Bangka Belitung. Kedatangan mereka ke Bangka Belitung selain untuk beribadah juga ingin mencicipi siput gonggong segar dalam menunya sehari-hari serta keripik siput gonggong yang dibawa pulang sebagai oleh-oleh khas Bangka Belitung. Keripik gonggong telah tersebar luas di beberapa daerah terutama di Jakarta sebagai makanan olahan khas dari Bangka Belitung. Untuk memenuhi permintaan konsumen akan keripik gonggong, para pengolah biasanya mendatangkan siput setengah jadi dari beberapa daerah potensial seperti dari Kalimantan dan Sulawesi Selatan. Sayangnya informasi akurat tentang lokasi yang spesifik dan kuantitas siput gonggong yang masuk ke Bangka Belitung tidak dapat diketahui secara pasti. Pola pemanfaatan siput gonggong di Bangka Belitung diilustrasikan pada Gambar 5.
349
DODY
Consummers
chips
Chips maker Collector Fresh dog conch Fishers Gambar 5. Distribusi dan pola pemanfaatan komoditi siput gonggong dari nelayan hingga ke konsumen. Figure 5. Distribution and utilization patterns of dog conch from fishers to consummers.
Pola Pengelolaan Eksploitasi siput gonggong di Teluk Klabat dapat berlangsung lebih intensif jika kondisi perairan mendukung yang dibarengi dengan makin meningkatnya permintaan. Namun, nelayan sebagai pelaku utama dalam mengeksploitasi siput gonggong tidak berada dalam posisi tawar yang menguntungkan, karena pengumpul memiliki peran yang cukup besar dalam menentukan harga. Sesuai hukum pasar yang berlaku, jika permintaan meningkat sementara ketersediaan barang makin langka maka harga cenderung meningkat, sebaliknya harga akan mengalami penurunan jika jumlah barang yang tersedia melebihi permintaan. Fluktuasi harga siput gonggong segar yang dibeli oleh pengumpul dari tangan nelayan di Teluk Klabat berkisar antara Rp. 15.000,hingga Rp.18.000,- per 100 ekor (+ 1,5 kg). Bila siput telah diolah menjadi keripik gonggong, maka harganya akan mencapai Rp. 400.000,- yang diperjual belikan di beberapa toko di Blinyu maupun kota Pangkalpinang. Untuk mendapatkan satu kilogram keripik gonggong dibutuhkan 3.000 ekor (+45 kg) siput gonggong segar. Masa efektif eksploitasi siput gonggong di Teluk Klabat hanya berlangsung selama lima bulan, berbeda dengan di Pulau-pulau Lepar Pongok yang kondisi perairannya memungkinkan untuk dilakukan eksploitasi selama
350
SIPUT GONGGONG (Strombus turturella)
delapan bulan. Di lokasi ini kelompok penyelam siput gonggong yang terdiri dari delapan orang mampu mendaratkan siput hingga mencapai 1,5 ton per hari pada saat puncak musim penangkapan. Namun besarnya jerih payah nelayan di Pulau-pulau Lepar Pongok tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh seperti halnya nelayan di Teluk Klabat, karena harga siput yang dibeli oleh pengumpul hanya berkisar antara Rp. 3.000,- hingga Rp. 5.000,- per kg. Selanjutnya siput hasil tangkapan tersebut akan dibawa ke pasar Pangkalpinang untuk dijual dengan cara dilelang bersama-sama komoditi perikanan lainnya. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa di Pulau Bangka sendiri terdapat beberapa areal potensial siput gonggong yang belum dieksploitasi secara maksimal seperti halnya di Teluk Klabat. Pemanfaatan siput gonggong dari daerah tersebut hanya dalam bentuk siput segar dan belum ada unit pengolahan pasca panen. Namun demikian tindakan pencegahan secara dini diperlukan agar tidak terjadi tekanan terhadap populasi siput gonggong yang dapat menuju ke arah kepunahan. Pengelolaan sumberdaya perikanan khususnya siput gonggong tidak terlepas dari peran serta seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) yang ada di daerah ini. Para peneliti dari LIPI akan bertindak sebagai fasilitator untuk menunjang program kelautan khususnya pemulihan populasi siput gonggong di alam. Solusi yang ditawarkan untuk menyelamatkan biota yang terancam kepunahannya sementara kegiatan ekonomi nelayan dapat terus berjalan, adalah sebagai berikut: 1. Menentukan daerah suaka perikanan siput gonggong dengan sistem zonasi di Teluk Klabat dan pada setiap daerah potensial penghasil siput gonggong. Penentuan areal suaka tersebut harus dikoordinasikan dengan Pemda setempat untuk mendapat legalitas dalam bentuk Peraturan Daerah yang bersifat mengikat semua pihak. 2. Pelaksanaan pelatihan pengelolaan suaka perikanan siput gonggong bagi para stakeholder yang terdiri dari: nelayan dan penjual (pengumpul dan pengolah), para petugas lapangan instansi terkait dan para pengambil kebijakan di tingkat daerah. 3. Penebaran bibit dan induk secara massal pada areal suaka di Teluk Klabat.
KESIMPULAN DAN SARAN Tingkat eksploitasi siput gonggong di Teluk Klabat relatif lebih intensif dibandingkan di lokasi lainnya di Bangka Belitung. Hal ini karena lokasi eksploitasi lebih dekat dengan konsumen termasuk unit pengolahan pascapanennya, sehingga berapapun jumlah siput yang ada dipastikan semuanya akan terserap oleh pembeli.
351
DODY
Pola sebaran siput gonggong di Teluk Klabat tergolong tipe mengelompok dengan kepadatan rata-rata yang bervariasi antara 3-5 individu/m2. Habitat siput gonggong berada pada perairan yang tenang dengan kedalaman 1-4 meter serta kondisi substrat berupa pasir berlumpur yang ditumbuhi lamun. Untuk mengatasi tingkat eksploitasi yang intensif dan mengurangi tekanan terhadap populasi siput gonggong, maka perlu ditetapkan suatu areal perlindungan (suaka) biota laut di Teluk Klabat. Pemulihan populasi siput gonggong sebaiknya didukung pula oleh kegiatan budidaya sekaligus penebaran induk dan bibit di areal suaka yang dilakukan dan dijaga oleh masyarakat setempat.
DAFTAR PUSTAKA Amini, S. 1986. Studi pendahuluan gonggong (Strombus canarium) di perairan pantai Pulau Bintan-Riau. Jurnal Pen. Perikanan Laut, 36: 23-29. Andiarto, H. 2011 Studi ekologi, morfometri tedong gonggong (Strombus canarium Linne 1758) dan asosiasinya dengan fauna moluska di perairan Pulau Bintan Riau. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/ handle/123456789/39631/C89HAN _abstract.pdf?sequence=2. Diakses 19 Juni 2011. Anonymous. 2011. World markets and industry of selected commerciallyexploited aquatic species Caribbean queen conch (Strombus gigas). FAO Corporate Document Repository, Fisheries and Aquaculture Department. http://www.fao.org/DOCREP/006/Y5261E/y5261e07.htm. Diakses tanggal 12 Agustus 2011. Appledoorn, R. S. 2011. Preliminary calculations of sustainable yield for queen conch (Strombus gigas) in Puerto Rico and the U.S. Virgin Islands. http://www.cavehill.uwi. edu/ FPAS/bcs/courses/Ecology/BL34B/fish81.pdf. Diakses 19 Juni 2011. Borja A, J. Franco & V. Perez. 2000. A marine biotic index to establish the ecological quality of soft-bottom benthos within European estuarine andcoastal environments. Marine Pollution Bulletin : 1100-1114. Cloern, J. E. 2001. Our evolving conceptual model of the coastal eutrophication problem. Review. Mar. Ecol. Prog. Ser., 210: 223-253.
352
SIPUT GONGGONG (Strombus turturella)
Dody, S. 2008. Pemulihan kondisi populasi siput Gonggong (Strombus turturella) di Teluk Klabat, Bangka Belitung. Laporan Akhir. Kegiatan Program Kompetitif LIPI. Dipa Biro Perencanaan dan Keuangan LIPI, dan Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah LIPI (tidak dipublikasikan). Jassby, A. D. & J. E. Cloern. 2000. Organic matter sources and rehabilitation of the Sacramento - San Joaquin Delta (Calivornia, USA). Aquat. Conserv. Mar. Freshw.Ecosyst., 10: 323-352. Jones, R. L. & A. W. Stoner. 1997. The integration of GIS and remote sensing in an ecological study of queen conch, Strombus gigas, nursery habitats. Proceedings of the 49th Gulf and Caribbean Fisheries Institute: 49-62. Lagus, A., J. Suomela, G. Wethoff, K. Heikkila, H. Herminen & J. Sipura. 2003. Speies-specific differences in phytoplankton responses to N and P enrichment and the N:P ratio in the Archipelago Sea, Northern Baltic Sea. Journal of Plankton Researc., 26(7): 779-798. Poole, R. W. 1974. An introduction to quantitative ecology. McGraw-Hill. Kogakusha Ltd, Tokyo: 532 pp. Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI. 2002. Penelitian sumberdaya kelautan di kawasan pengembangan dan pengelolaan laut Cina Selatan, Khususnya perairan Belitung, Bangka dan Kalimantan Barat. Laporan Akhir. Proyek Penelitian IPTEK Kelautan. Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI.
353
BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL DEPUTI PENGEMBANGAN IKLIM PENANAMAN MODAL DIREKTORAT PENGEMBANGAN POTENSI DAERAH
POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG
Wisma Intra Asia, Gedung Annex II
Jl .Prof. Dr. Soepomo, SH No. 58 Jakarta 12870 Telp. (62-21) 8290076, 8314907,Fax. (62-21) 8314907 C O N S U L T
POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG RINGKASAN EKSEKUTIF
Wisata bawah laut merupakan salah satu jenis wisata yang digandrungi saat ini. Keindahan alam bawah laut Indonesia, termasuk wilayah perairan di Kabupaten Belitung menjadi incaran wisatawan lokal dan mancanegara. Terlebih setelah dilaksanakannya sail Komodo Belitung pada tahun 2013. Keindahan wisata bawah laut di Kabupaten Belitung tidak hanya merupakan salah satu destinasi yang dituju oleh wisatawan, akan tetapi daerah yang saat ini dijuluki oleh Kabupaten Laskar Pelangi, sudah sejak tahun 2008 menjadi salah satu destinasi yang didambakan oleh wisatawan. Pesona novel dan film Laskar Pelangi karya Andrea Hirata menjadi magnet yang membawa wisatawan ingin mengunjungi Pulau Belitung. Wisatawan menuju Kabupaten Belitung sejak tahun 2009 terus meningkat. Jika pada tahun 2009 jumlah wisatawan ke Kabupaten Belitung sebanyak 42.233 orang, pada tahun 2010 jumlah wisatawan meningkat menjadi 50.501 orang, tahun 2011 83.893 orang, tahun 2012 111.630 orang dan tahun 2013 131.542 orang. Jumlah tersebut masih didominasi oleh wisatawan lokal yang ingin melihat lokasi shooting laskar pelangi. Akan tetapi, jumlah tersebut tidak diikuti oleh wisatawan mancanegara, yang jumlahnya terus menurun. Penurunan jumlah wisatawan ini diduga karena terbatasnya destinasi wisata yang sesuai dengan minat wisatawan, antara lain adalah kegiatan menyelam atau diving. Kabupaten Belitung pada dasarnya memiliki potensi untuk kegiatan menyelam, akan tetapi belum adanya operator yang menyediakan sarana selam yang terjamin dan bersertifikat menjadi potensi ini belum dapat dioptimalkan. Dalam buku peluang investasi ini, ditampilkan usaha yang dapat menarik para investor untuk berinvestasi usaha wisata bahari yang berkaitan dengan wisata bawah laut yaitu dengan membangun diving resort. Usaha diving resort menjadi salah satu peluang usaha yang menarik, karena belum ada diving resort yang beroperasi di Kabupaten Belitung. Tingginya minat wisatawan serta sedang digalakkannya wisata bahari oleh pemerintah pusat dan daerah menjadi sebuah daya tarik, sehingga usaha ini dapat menjadi salah satu destinasi wisata unggulan di Kabupaten Belitung.
1
POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG I.
GAMBARAN UMUM DAERAH Kabupaten Belitung merupakan bagian wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang
terletak di Pulau Belitung. Secara geografis, Kabupaten Belitung terletak antara 107o08’ BT sampai 107o58’ BTdan 02o30’ LS sampai 03o15’ LS dengan luas seluruhnya 229.369 ha atau kurang lebih 2.293,69 km2. Pada peta dunia Pulau Belitung dikenal dengan nama BILLITONIT yang bergaris tengah Timur-Barat + 79 km dan garis tengah Utara-Selatan + 77 km. Batas wilayah Kabupaten Belitung adalah sebagai berikut : - Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan, - Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Belitung Timur, - Sebelah Selatan berbatasan dengan laut Jawa, dan - Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Gaspar. Kabupaten Belitung merupakan kabupaten kepulauan yang terdiri dari 100 buah pulau besar dan kecil. Pulau yang terbesar adalah Pulau Belitung, dan beberapa pulau lain, yaitu Pulau Seliu, Pulau Mendanau, dan Pulau Nadu. Sedangkan sisanya merupakan pulau kecil.
Gambar 1. Peta Kabupaten Belitung Kabupaten Belitung berada pada daerah pesisir yang cenderung bergelombang dan berbukit. Posisi paling tinggi, yaitu Gunung Tajam, berada pada ketinggian kurang lebih 500 m dari atas permukaan laut. Sedangkan sebagian besar daerah berada pada ketinggian cenderung rendah. Kondisi morfologi Kabupaten Belitung dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian antara lain :
2
POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG a.
Muka Pantai Kondisi hidrografi perairan di sekitar Kabupaten Belitung umumnya tidak terlalu dalam, berkisar antara 1 – 10 m, sedangkan yang agak jauh mencapai 10 – 15 m. Jarak garis kontur 0 – 5 m dari garis pantai berkisar dari 100 m – 200 m, tetapi di beberapa tempat ada yang mencapai 500 m. Material dasar laut berupa pasir dan berlumpur juga berbatu karang. Garis pantai pada umumnya landai dan berkelok.
b.
Pantai Di beberapa bagian wilayah Kabupaten Belitung terdapat muara-muara yang besar yaitu Muara Balok, Muara Sungai Brang, dan Muara Membalong. Daerah Pantai merupakan daerah rawa dengan hutan bakau dan beberapa tempat merupakan pantai berbatu-batu. Keadaan lereng pantai pada umumnya landai dengan tingkat kelandaian sekitar 50 sampai dengan 100.
c.
Belakang Pantai Bentangan alam/relief belakang pantai adalah permukaan tanah dengan dataran yang berbukit-bukit dengan ketinggian maksimum ± 500 mdpl. Sungai-sungai banyak mengalir dengan aliran pelan dan tenang sehingga dapat dimanfaatkan penduduk untuk sarana transportasi. Kegiatan penambangan timah di Indonesia telah berlangsung sejak 178 tahun lalu, berlokasi
di sekitar Kepulauan Bangka, Belitung, Karimun dan Kundur, serta di wilayah pesisir timur Pulau Sumatera. Wilayah ini termasuk dalam jalur timah Indonesia (Indonesian Tin Belt) yang terbentang sepanjang 3.000 kilometer dari Myanmar bagian utara, Thailand, Malaysia, Kepulauan Riau dan membelah Kalimantan Barat. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu daerah penghasil timah terbesar di Indonesia, dengan luas wilayah 16.424,142 km². Selain timah, potensi pertambangan lainnya di Kabupaten Belitung adalah kaolin yang merupakan bahan baku semen dan zircon yang diantaranya merupakan bahan baku keramik. Sungai-sungai yang ada di Kabupaten Belitung umumnya tidak terlalu panjang. Sungai-sungai ini kebanyakan berhulu di perbukitan dan mengalir ke arah laut dengan kemiringan yang tidak terlalu besar. Kondisi daerah pedalaman pulau Belitung yang cenderung berupa perbukitan dengan topografi bergelombang sampai berbukit, telah membentuk pola aliran sungai di daerah ini menjadi pola sentrifugal, dimana aliran sungai berhulu di daerah pegunungan dan mengalir ke
3
POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG daerah pantai, dengan daerah aliran sungai berbentuk dendritik yakni aliran sungai berbentuk seperti pohon. Adapun sumber air bersumber dari 5 buah das, yaitu sebelah utara oleh DAS Budin, sebelah selatan oleh DAS Pala dan Kembiri, sebelah barat oleh DAS Brang dan Cerucuk. Kelima DAS ini mengaliri pada 33 sungai yang terdapat di Kabupaten Belitung. Iklim Kabupaten Belitung secara umum termasuk iklim tropis basah, dengan suhu berkisar 20 0C - 310C. Curah hujan pada tahun 2011 adalah 3.102 mm/tahun (sumber data: Kabupaten Belitung dalam Angka, 2013). Pada tahun 2011, hujan berlangsung hampir terjadi di sepanjang tahun, kecuali bulan November. Hari hujan terpanjang adalah pada bulan Oktober selama 27 hari, dan hari hujan terpendek adalah 7 hari pada bulan Juli. Jumlah Hari Hujan rata-rata 142 hari dalam setahun II.
KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN Berdasarkan data BPS Kabupaten Belitung pada tahun 2013 jumlah penduduk Kabupaten
Belitung berjumlah 172.272 Jiwa yang terdiri dari 88.454 penduduk laki-laki dan 83.818 penduduk perempuan. Sebahagian besar Penduduk Kabupaten Belitung Tinggal di Kecamatan Tanjung Pandan, Kecamatan Sijuk dan Kecamatan Membalong. Kecamatan Tanjung Pandan merupakan kecamatan dengan tingkat kepadatan menduduk terbesar dimana tingkat kepadatannya mencapai 160 penduduk/km. Kecamatan Tanjung Pandan merupakan ibu kota Kecamatan yang merupakan pusat pemerintahan dan pusat perdagangan. Tabel 1. Jumlah Desa, Luas Daerah, Penduduk dan Kepadatan Penduduk Di Kabupaten Belitung Tahun 2013
No (1) 1. 2.
Kecamatan
Jumlah Desa / Kelurahan
Luas Daerah (km2)
Penduduk (jiwa) Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
(2) (3) (4) (5) (6) (7) Membalong 12 909,550 12.762 11.994 24.756 Tanjung 16 378,448 50.218 48.262 98.480 Pandan 3. Badau 7 458,200 7.001 6.405 13.406 4. Sijuk 10 413,992 15.046 14.006 29.052 5. Selat Nasik 4 133,500 3.427 3.151 6.578 Jumlah 49 2.293,690 88.454 83.818 172.272 Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Belitung, Tahun 2014
Kepadatan Penduduk (jiwa / km2) (8) 27 260 29 70 49 75
4
POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG Hasil survei sosial ekonomi tahun 2013 menunjukkan bahwa di Kabupaten Belitung, penduduk yang berumur 15 tahun ke atas yang bekerja berjumlah 124.826 jiwa . Dari 124.826 jiwa yang merupakan angkatan kerja sebanyak 7.064 jiwa, dan yang lainnya bersekolah. Tabel.2.Jumlah Angkatan Kerja dan Jumlah Penduduk Usia 15 Tahun Ke atas tahun 2009-2013 Tahun
Jumlah Angkatan Kerja (Orang)
Jumlah Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas (Orang)
Rasio
(1)
(2)
(3)
(4)
2009
63.107
114.549
550,91
2010
64.496
118.404
544,71
2011
67.294
121.056
555,89
2012
68.519
121.281
564,96
2013 72.064 124.826 577,31 Sumber data : Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Belitung, Tahun 2014, dalam RPJMD Kabupaten Belitung
III.
PEREKONOMIAN Perekonomian Kabupaten Belitung tercermin pada nilai dan pertumbuhan PDRB Kabupaten
Belitung. Berdasarkan data PDRB atas harga konstan tahun 2000, pada tahun 2012 total PDRB kabupaten ini berjumlah Rp 1.426.201 Juta, naik 8 % dari nilai PDRB tahun 2011 sebilai 1.324.077 juta.
PDRB KAB. BELITUNG 2012 keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 3% Pengangkutan dan komunikasi 5% Perdagangan, hotel dan restoran 13%
jasa-jasa 16%
Pertanian 23%
Pertambangan dan Penggalian 7% Industri pengolahan 21%
Bangunan Listrik, gas dan air 11% 1%
Gambar 2. Grafik Sebaran PDRB Kabupaten Belitung Tahun 2012
5
POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG Tahun 2012, laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Belitung mencapai angka 7,71 %, lebih tinggi 1,48 % jika dibandingkan dengan tahun 2011 yang pertumbuhan ekonominya mencapai 6,23 %. Pertumbuhan ekonomi yang sebesar 7,71 % tersebut di atas merupakan akumulasi dari pertumbuhan setiap sektor-sektor lapangan usaha PDRB kabupaten.
Pertumbuhan tertinggi
terjadi pada sektor bangunan sebesar 10,95 %; dan selanjutnya diikuti oleh sektor jasa-jasa sebesar 9,50 %; sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 9,12 %; sektor industri pengolahan sebesar 8,95 %; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar 8,92 %; sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 7,83 %; sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 4,89 %; sektor pertanian sebesar 4,83 %; dan untuk laju pertumbuhan terkecil terjadi pada sektor pertambangan dan penggalian sebesar 3,86 %. Secara umum, jika dibandingkan laju pertumbuhan sektor lapangan usaha PDRB antara tahun 2011 dengan tahun 2012 maka keseluruhan sektor lapangan usaha PDRB mengalami percepatan pertumbuhan.
IV.
SARANA DAN PRASARANA DAERAH Kabupaten Belitung yang memiliki luas wilayah 2.293,69 km2, sebagian wilayahnyanya
merupakan perairan yang berbatasan dengan laut Jawa dan Selat Gaspar dengan luas 29.606 km dan panjang garis pantai 195 km. Salah satu kecamatan, yaitu kecamatan Selat Nasik, terdiri dari perairan dan pulau-pulau besar dan kecil. Di Kecamatan Selat Nasik terdapat 28 pulau, sedangkan di Kecamatan Membalong terdapat 36 pulau. Transportasi laut merupakan salah satu jenis transportasi yang banyak digunakan di Kabupaten Belitung. Pelabuhan laut yang dimiliki daerah yang dipergunakan untuk melayani arus orang dan barang sebanyak 3 unit, yaitu 1) Pelabuhan Tanjung Batu; 2) Pelabuhan Tanjung Ru; dan 3) Pelabuhan Selat Nasik. Selain itu, juga terdapat pelabuhan laut yang dimiliki dan dikelola oleh pihak lain, yaitu Pelabuhan Pelindo yang dikelola Pelindo dan Pelabuhan Tanjung Nyato yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pelabuhan Tanjung Pandan melayani transportasi ke Pangkal Pinang Pulau Bangka dengan menggunakan kapal Ekspress Bahari dan ke Jakarta dengan menggunakan KM Tristar. (sumber : Pemkab Belitung, 2014). Dalam melayani kunjungan melalui udara, Kabupaten Belitung memiliki Bandar udara yaitu HAS Hanandjoedin. Bandara HAS Hanandjoedin semula bernama Bandara Buluh Tumbang, yang
6
POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG merupakan nama desa yang menjadi lokasi bandara. Bandara HAS Hanandjoedin saat ini melayani penerbangan dari dan ke Jakarta serta Pangkal Pinang. Terdapat empat maskapai penerbangan yang melayani transportasi di HAS Hanandjoedin, yaitu Garuda indonesia satu kali penerbangan ke Jakarta, Sriwijaya 3 kali penerbangan ke Jakarta, Citilink 1 kali penerbangan ke Jakarta, dan Wings Air 1 kali penerbangan ke Pangkal Pinang. Tabel 3 Rute Penerbangan di Bandara HAS. Hanandjoedin Kabupaten Belitung NO
Jenis Pesawat
Rote penerbangan
Jadwal Penerbangan 12.15
Keterangan
1
Garuda Air
2
Sriwijaya Air
Belitung-Jakarta Belitung -Jakarta
7.50 12.10 16.05
Setiap Hari
3
Citilink
Belitung-Jakarta
7.30
Setiap Hari
4
Wings Air
Belitung- Pangkal pinang
15.15
Setiap Hari
Sumber : Dinas Perhubungan Kabupaten Belitung, 2014
Setiap Hari
Angkutan umum di Kabupaten Belitung dapat di bagi dalam dua jenis yaitu Angkutan jarak menengah (antar kabupaten) dan angkutan jarak pendek (dalam kabupaten Belitung). Angkutan jarak menengah merupakan bus yang melayani transportasi Belitung (Tanjung Pandan)- Manggar PP. Angkutan jarak pendek dalam kota Tanjung Pandan dilayani oleh angkot untuk jalur tertentu. Saat ini sudah terdapat taksi yang melayani rute Bandara-Tanjung Pandan, dan lokasi tertentu. Hanya saja, taksi ini belum menggunakan argo. Kabupaten Belitung terjangkau oleh telepon seluler dan kabel. Khusus telepon seluler bekerja sama dengan PT Telkom untuk pemakaian menara pemancar. PT Telkom adalah perusahaah perusahaan telekomunikasi yang mengelola prasarana dan sarana telekomunikasi telepon kabel di Tanjung Pandan. Jumlah pelanggan telpon kabel dan speedy di Kabupaten Belitung sebanyak 1.327 pelanggan didominasi oleh pelanggan rumah tangga diikuti oleh pelanggan bisnis dan sisanya pengguna pelayanan pemerintah. Jaringan internet memanfaatkan jaringan Telkom dan penyedia jaringan selular seperti Telkomsel Indosat dan excelcomindo. Energi listrik di wilayah Belitung saat ini disediakan oleh PT (Persero) PLN Ranting Tanjung Pandan dengan sumber diesel dengan pembangkit mesin sebanyak 2 unit dengan total kapasitas produksi mencapai 161.626.683 kVA. Saat ini telah dibangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU)
7
POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG sebanyak 2 unit dengan kapasitas 30 MW. Secara keseluruhan terdapat 63.086 jumlah pelanggan listrik yang dilayani, terdiri dari 57.151 rumah tangga, 3916 bisnis, 432 kantor, 221 penerangan jalan, 60 industri dan 195 layanan khusus. (sumber : PLN Persero Wilayah Tanjung Pandan, Dalam Belitung dalam Angka, 2013). Jaringan air bersih di Kabupaten Belitung dibangun oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Belitung. Sumber air baku pada PDAM Belitung berasal dari 3 sumber, yaitu Air Serkuk, Perawas, dan Pilang. Jumlah pelanggan PDAM Belitung adalah sebanyak 2.140 pelanggan. Untuk membantu dan memperlancar kegiatan ekonomi dan Penanaman Modal terutama yang menyangkut keuangan, peranan Bank sangat penting. Lembaga Perbankan yang ada di Kabupaten Belitung yaitu : Bank Rakyat Indonesia (BRI) Bank Nasional Indonesia (BNI), Bank Mandiri, Bank Danamon, Bank Central Asia, Bank Muamalat, Bank Sinar Mas serta BPD dan Lembaga keuangan Non Bank. Lokais Bank sebagian besar terdapat di Kecamatan Tanjung Pandan yang merupakan ibukota Kabupaten Belitung. Di kabupaten Belitung terdapat 2 Rumah sakit, yang terdiri dari satu rumah sakit umum daerah, satu rumah sakit swasta,
9 buah
PUSKESMAS di tingkat kecamatan, dan 32 unit
puskesmas pembantu. Pada tahun 2014, di Kabupaten Belitung terdapat 39 penginapan sekelas hotel dan motel, 72 homestay, perusahaan tour dan travel sebanyak 62. Ke-39 hotel terdiri dari 2 buah hotel bintang 4, 3 buah hotel bintang 3, 6 buah hotel bintang 2, dan 28 hotel melati. Selain hotel, homestay, dan perusahaan jasa tour travel, terdapat pula rumah makan dan beberapa warung khas makanan daerah. Dalam melengkapi kebutuhan wisata, terdapat satu toko oleh-oleh yang didirikan oleh Dinas Perindustrian Kabupaten Belitung, yaitu UKM Centre yang terletak di pusat kota Tanjung Pandan.
V.
POLA RUANG wILAYAH KABUPATEN BELITUNG
Pola Ruang Kawasan Lindung Kawasan lindung atau kawasan non budidaya yang ada di Kabupaten Belitung meliputi kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat,
8
POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG kawasan suaka alam dan cagar budaya, serta kawasan rawan bencana. Kawasan Lindung atau kawasan non budidaya yang perlu dipertahankan keberadaannya seluas 213.684 Ha atau 48,04 % dari luas wilayah kabupaten. Kawasan yang termasuk kategori kawasan lindung yang ditetapkan tersebut meliputi hutan lindung seluas 180.726 Ha dan Kawasan Suaka Alam seluas 32.958 Ha. Kawasan lindung di Kabupaten Belitung meliputi : hutan lindung; kawasan perlindungan setempat; kawasan hutan konservasi; kawasan cagar budaya; kawasan rawan bencana alam; kawasan lindung geologi; dan kawasan lindung lainnya. Luasan kawasan lindung adalah 41.8696 Ha, terletak di seluruh Kecamatan, yang terdiri dari hutan lindung dan hutan konservasi. Selain kawasan lindung, terdapat pula kawasan cagar budaya yang meliputi bangunan berserjarah yang tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Belitung. Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya a. Kawasan Peruntukan Hutan Produksi Kawasan peruntukan hutan produksi diperuntukan sebagai hutan tanaman industri, hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan desa, dan ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan adalah seluas kurang lebih 41.530 Ha. b. Kawasan Peruntukan Pertanian Kawasan peruntukan pertanian di Kabupaten Belitung meliputi : Pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, dan pengembangan kegiatan peternakan. i.
Pertanian lahan basah terdiri dari lahan persawahan seluas 2.000 Ha. Lahan pertanian basah tersebar di Kecamatan Tanjungpandan, Kecamatan Selat Nasik, Kecamatan Badau, Kecamatan Sijuk, dan Kecamatan Membalong dengan irigasi sepanjang 40 km (400.000 m); dan budidaya hortikultura dengan luas kurang lebih 2.000 (dua ribu) Hektar terletak di Kecamatan Tanjungpandan, Kecamatan Sijuk, Kecamatan Badau, Kecamatan Selat Nasik, dan Kecamatan Membalong, dengan rincian luas lahan pekarangan 1.000 Ha dan luas lahan non pekarangan 1.000 ha.
ii.
Pertanian lahan kering di Kabupaten Belitun: a.
kawasan budidaya tanaman pangan hotikultura dan palawija seluas 3000 Ha.
9
POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG b.
perkebunan besar swasta dengan luas kurang lebih 35.000 Ha yang terdiri dari perkebunan besar swasta komoditas kelapa sawit 30.000 Ha dan perkebunan besar swasta komoditas non sawit 5000 Ha terletak di Kecamatan Badau, Kecamatan Membalong dan Kecamatan Sijuk dan
c.
kawasan perkebunan rakyat dengan luas kurang lebih 31.090 Ha, terletak di Kecamatan Tanjungpandan, Kecamatan Badau, Kecamatan Membalong, Kecamatan Sijuk dan Kecamatan Selat Nasik.
Kawasan Peruntukan Perikanan Kawasan peruntukan perikanan di Kabupaten Belitung terdiri dari : a.
kawasan perikanan tangkap;
b.
kawasan budidaya perikanan;
c.
kawasan pengolahan hasil perikanan; dan
d.
kawasan minapolitan. Kawasan perikanan tangkap terletak di perairan umum daratan tersebar di seluruh
kecamatan, kawasan budidaya perikanan air payau dengan luas lebih kurang 249,78 Ha dengan pengembangan potensi tersebar di seluruh kecamatan dan kawasan budidaya perikanan air tawar dengan luas kurang lebih 179,7 Ha dengan pengembangan potensi tersebar di seluruh kecamatan. Selain kawasan budidaya, juga disiapkan kwasan pengolahan hasil perikanan yang terletak di Kecamatan Tanjungpandan, Kecamatan Sijuk, Kecamatan Badau, Kecamatan Membalong, dan Kecamatan Selat Nasik. Dan Kawasan minapolitan
terletak di zona inti terletak di Kecamatan
Tanjungpandan; dan zona pengembangan terletak di Kecamatan Selat Nasik, Kecamatan Membalong, Kecamatan Sijuk, dan Kecamatan Badau. Kawasan Peruntukan Peternakan Kawasan Pengembangan kegiatan peternakan di Kabupaten Belitung meliputi : budidaya peternakan skala sedang dan besar menurut jenis ternak tersebar di Kecamatan Badau, Kecamatan Membalong, Kecamatan Sijuk dan Kecamatan Selat Nasik; dan Rumah Pemotongan Hewan Terpadu seluas lebih kurang 5 Hektar terletak di Desa Juru Seberang.
10
POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG Kawasan Peruntukan Pertambangan Kawasan peruntukan pertambangan terdiri atas : a.
wilayah pertambangan (WP) yang meliputi mineral logam, non logam, dan batuan; dan
b.
wilayah pertambangan rakyat (WPR) yang meliputi mineral logam, non logam, dan batuan.
Kawasan pertambangan dengan luas kurang lebih 40.464 Ha meliputi wilayah darat terdapat di Kecamatan Tanjungpandan, Kecamatan Badau, Kecamatan Sijuk, Kecamatan Membalong, dan Kecamatan Selat Nasik. Pengelolaan wilayah pertambangan di kawasan pertambangan yang berada di dalam kawasan hutan, di dalam kawasan budidaya pertanian, perkebunan, perikanan, dan kawasan budidaya lainnya dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
Kawasan Peruntukan Industri Kawasan peruntukan industri meliputi : a.
kawasan industri;
b.
area industri berbasis produksi;
c.
pengembangan industri kecil dan menengah; dan
d.
pengembangan industri rumah tangga. Kawasan industri di Kabupaten Belitung disiapkan dengan luas kurang lebih 1.414 Ha
terletak di Desa Sungai Samak, Desa Bantan, dan Desa Pegantungan. Saat ini pemerintah Kabupaten Belitung sedang menyiapkan masterplan bagi Kawasan Industri yang diharapkan dapat dirilis dalam waktu dekat. Adapun area industri berbasis produksi serta industri kecil dan industri rumah tangga disiapkan di seluruh Kecamatan. Kawasan Peruntukan Pariwisata Kawasan peruntukan pariwisata di Kabupaten Belitung, disiapkan dengan luas kurang lebih 11. 602 Ha, meliputi : a.
kawasan pariwisata alam;
b.
kawasan pariwisata budaya;
c.
kawasan pariwisata buatan; dan
11
POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG d. VI.
kawasan agrowisata. POTENSI INVESTASI
Perkebunan
Tanaman perkebunan yang paling banyak diusahakan oleh masyarakat kabupaten Belitung adalah sawit, karet dan lada. Sedangkan untuk perkebunan besar, yang banyak diusahakan adalah sawit dan karet. Dari lahan dan produksi perkebunan rakyat, terlihat komoditi produksi perkebunan yang dihasilkan tidak terlalu besar untuk memasok bahan baku untuk industry pengolahan skala besar. Oleh karena itu maka potensi perkebunan tidak memiliki potensi untuk menciptakan potensi investasi skala besar. Akan tetapi untuk perkebunan skala besar, sudah disiapkan pula industri pengolahan produk perkebunan yang meliputi karet dan sawit. Tabel 4 Luas dan produksi Komoditi Perkebunan Rakyat Di Kabupaten Belitung Luas Lahan Produksi (Ha) (Ton) Karet 3109,5 1565,48 Lada 7003,74 5249,5 Cengkeh 1,3 1,2 Jambu Mete 9,41 1,02 Aren 365,39 102,32 Kelapa 1784,18 622,15 Kelapa Sawit 4862,69 4962,72 Sumber : Kabupaten Belitung Dalam Angka, 2013
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Komoditi
Adapun pada perkebunan kelapa sawit besar, luasan dan produksi pada tahun 2013 adalah 27.546,12 ha dengan produksi tandan buah segar sebanyak 467.883,16 ton (Kabupaten Belitung Dalam Angka, 2013)
Potensi Peternakan Produksi peternakan yang ada di Kabupaten Belitung terdapat pada seluruh kecamatan yang terdiri dari ternak besar dan kecil serta unggas. Ternak besar terdiri dari sapi potong, dan babi. Sedangkan ternak kecil lebih didominasi oleh kambing. Ternak unggas terdiri dari ayam buras, ayam ras, itik. Dari populasi peternakan besar dan kecil di kabupaten Belitung belum menunjukan adalah potensi pengembangan usaha skala besar untuk sektor ini.
12
POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG
Tabel 5. Populasi Peternakan Besar dan Kecil No
Komoditi
1. 2. 3 2. 3. 4. 5. 6. 8.
Sapi Kerbau Kuda Babi Kambing Ayam Kampung Ayam Ras Petelur Ayam Ras Pedaging Itik
Populasi (Ekor) 1.732 0 2 1.892 313 275.176 36.132 1.535.854 2.379
Sumber : Kabupaten Belitung dalam Angka, 2013 Potensi Perikanan dan Kelautan
Jenis kegiatan perikanan yang terdapat di Kabupaten Belitung meliputi perikanan laut dan darat. Namun demikian kegiatan perikanan laut jauh lebih dominan dibandingkan dengan perikanan darat, hal tersebut dapat dilihat dari banyak produksi yang dapat dicapai dari kedua jenis perikanan tersebut. Pada tahun 2012 produksi perikanan laut mencapai berat 35.241 ton . Penangkapan ikan laut di Kabuapaten Belitung diusahakan oleh 9.514 nelayan. Selain potensi perikanan tangkap Kabupaten Belitung juga memiliki potensi pada usaha budidaya dilaut dan di darat. Salah satu potensi terbesar terdapat pada usaha budidaya laut dengan komoditi yang dibudidayakan adalah keramba jaring apung kerapu, dan budidaya rumput laut Potensi sektor kelautan yang dapat dijadikan potensi investasi budidaya laut skala besar adalah budidaya keramba jaring apung dan Budidaya rumput laut. Tabel 6. Potensi Perikanan Tangkap Laut No
Lokasi
Jenis Komoditi
Produksi (Ton) 2012
I
Membalong
Ikan Laut Ikan Air Tawar Udang Rajungan
2179,93 17,6 756,2 945
II
Tanjungpandan
Ikan Laut Ikan Air Tawar Udang
2727,98 8,8 11,9
2013
13
POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG Rajungan (Lanjutan tabel 6) No
Lokasi
Jenis Komoditi
12
Produksi (Ton) 1441,73 8,82 36,2 212,8
III
Badau
Ikan Laut Ikan Air Tawar Udang Rajungan
IV
Sijuk
Ikan Laut Ikan Air Tawar Udang Rajungan
28894,59 23.65 0 0
V
Selat Nasik
Ikan Laut Ikan Air Tawar Udang Rajungan
3921,93 0 0 23,4
Sumber : Kabupaten Belitung Dalam Angka, 2013
Potensi Pertambangan dan Energi
Kegiatan penambangan timah di Indonesia telah berlangsung sejak 178 tahun lalu, berlokasi di sekitar Kepulauan Bangka, Belitung, Karimun dan Kundur, serta di wilayah pesisir timur Pulau Sumatera. Wilayah ini termasuk dalam jalur timah Indonseia (Indonesian Tin Belt) yang terbentang sepanjang 3.000 kilometer dari Myanmar bagian utara, Thailand, Malaysia, Kepulauan Riau dan membelah Kalimantan Barat. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu daerah penghasil timah terbesar di Indonesia, dengan luas wilayah 16.424,142 km. (Bappeda Kabupaten Belitung, 2013). Saat ini selain timah beberapa jenis bahan galian dan mineral yang ada antara lain :, pasir kwarsa, kaolin, granit, batu gunung, tanah Tabel 7. Produksi Pertambangan di kabupaten Belitung Tahun 2012 NO
Jenis
1 2
Kaolin Pasir Kwarsa
3 4 5 6 7
Tanah liat Pasir Bangunan Batu Granit Zircon Timah
Jumlah (ton) 126.337 0 47.450 34.420 0 0 5.650
14
POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG NO
Jenis
Jumlah (ton)
0 8 Hematit Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Belitung. Potensi Pariwisata
Gambar 3. Peta Wilayah Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Belitung
Kondisi alam yang indah merupakan potensi bagi Kabupaten Belitung untuk mengembangkan dan mengemas potensi pariwisata secara optimal yang dapat ditawarkan kepada para wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Pada gambar 3, diperlihatkan mengenai peta potensi pengembangan pariwisata, baik di pesisir maupun di daratan. Terdapat 3 wilayah pengembangan pariwisata, wilayah A meliputi dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sijuk dan Tanjung Pandan dengan potensi utama pesisir, pulau kecil dan bangunan bersejarah, wilayah pengembangan B meliputi satu Kecamatan, yaitu Kecamatan Badau dengan potensi utama adalah Gunung Tajam, air terjun dan kolong ex tambang, dan wilayah C meliputi 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Selat Nasik dan Kecamatan Membalong dengan potensi utama adalah pesisir dan pulau-pulau kecil.
15
POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG VII. PELUANG INVESTASI Dari seluruh potensi investasi yang terdapat di Kabupaten Belitung, sektor pariwisata merupakan potensi utama yang dapat didorong menjadi peluang investasi. Salah satu peluang investasi yang sangat menarik di Kabupaten Belitung adalah wisata bahari diving dengan kegiatan bisnis pembangunan diving resort.
Dari sisi investasi, Kabupaten Belitung saat ini sedang membuka pintu bagi para investor untuk berusaha di Kabupaten Belitung. Daya tarik yang dimiliki oleh Kabupaten Belitung, antara lain sebagai berikut : (1). Dukungan situasi keamanan yang kondusif, (2). Keramahan dan kesantuan masyarakat Belitung, (3). pelayanan perizinan Satu Pintu “One Stop Service” yang cepat, mudah dan murah. Dalam kaitannya dengan investasi di sektor pariwisata, maka beberapa analisis dilakukan seperti di bawah ini : Deskripsi Peluang Investasi Usaha Pariwisata yang menjadi peluang investasi adalah usaha diving resort, yaitu sebuah kawasan penginapan yang dilengkapi dengan fasilitas selam yang terdiri dari tempat pelatihan dan penyewaan. Pemilihan diving resort, karena usaha diving centre secara bisnis tidak dapat dilakukan secara mandiri. Salah satu bentuk bisnis yang secara finansial menguntungkan adalah diving resort. Lokasi pengembangan diving resort yang ditawarkan adalah di wilayah Tanjung Binga Kecamatan Sijuk Kabupaten Belitung. Lokasi resort bisa ditempuh dengan jalur transportasi darat karena tersedianya jalan yang cukup memadai menuju lokasi usaha. Lokasi pengembangan resort ini dekat pantai. Di sekitar lokasi ini telah terdapat beberapa penginapan, dan rumah makan. Mengenai titik penetapan lokasi perlu dikomunikasikan dengan Badan Pertanahan Nasional, Dinas Pariwisata serta Badan Penanaman Modal, sebelum dilakukan pembelian lahan, untuk memperjelas status tanah yang akan dibangun.
16
POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG Lokasi Diving resort
Gambar 4. Lokasi Diving Resort Aspek Pasar Kabupaten Belitung sejak tahun 2008 menjadi incaran para wisatawan
khususnya
wisatawan lokal. Setelah terbitnya novel dan film laskar pelangi, jumlah wisatawan yang datang ke Kabupaten Belitung meningkat drastis. Destinasi wisata di Kabupaten Belitung yang terkenal, diantaranya adalah wisata pantai lokasi shooting film laskar pelangi di Kabupaten Belitung serta beberapa lokasi shooting film laskar pelangi lainnya di Kabupaten Belitung Timur, Data mengenai jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Belitung dapat dilihat pada tabel 8. Tabel 8. Jumlah Kunjungan Wisata Ke Kabupaten Belitung tahun 2009-2013 NO
TAHUN
wISATAwAN MANCANEGARA
NUSANTARA
TOTAL wisatawan (orang)
1
2009
2.734
39.499
42.233
2
2010
1.383
49.118
50.501
3
2011
1.309
82.584
83.893
4
2012
975
110.638
111.613
5
2013
431
131.091
131.542
6.852
412.930
419.782
Jumlah
Sumber : Dinas Pariwisata Kabupaten Belitung, 2014
17
POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG Usaha Pariwisata Terkait Di Kabupaten Belitung hingga tahun 2014 beroperasi 39 hotel dan penginapan serta 62 homestay milik warga. Dari seluruh penginapan, termasuk penginapan di pantai, belum ada yang secara khusus menyediakan perlengkapan selam, termasuk tenaga pelatih yang bersertifikat. Selam menjadi salah satu daya tarik bagi wisata bahari di Kabupaten Belitung dengan terdapatnya taman laut, terumbu karang serta kawasan yang menjadi tempat karamnya beberapa kapal perang. Selain penginapan, di kabupaten Belitung terdapat usaha pendukung pariwisaya antara lain Jasa Tour dan Travel yang melayani wisatawan untuk mengunjungi obyek wisata di Belitung dengan jumlah Usaha Jasa Tour dan Travel sebanyak 62 usaha.
Analisis Finansial a.
Analisa Investasi
Diving resort di Kabupaten Belitung ini membutuhkan biaya investasi sebesar Rp 17.250.000.000 Komponen biaya meliputi: biaya tanah, biaya konstruksi, biaya peralatan, dan biaya-biaya tidaklangsung (perencanaan, perijinan). Modal investasi pembangunan resort ini berasal dari modal sendiri dan pinjaman dari bank. Untuk modal sendiri sendiri 70 % dari biaya investasi. Pengembalian pinjaman ini akan dicicil selama 5 tahun selama masa investasi. b.
Analisa Pendapatan
Pendapatan yang diterima oleh pihak pengelola resort yaitu pendapatan sewa kamar, pendapatan restoran, pendapatan penyewaan kapal, paket diving serta pelatihan diving. Jumlah kamar di resort adalah sebanyak 30 kamar dengan fasilitas bintang 3. Adapun keunggulan yang ditawarkan adalah pemandangan pantai fasilitas diving serta menu makanan dengan konsep restoran di atas laut.
18
POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG Tabel 9. Perkiraan pendapatan hotel per bulan No
Sumber pendapatan
1
Penginapan
Jumlah
Jumlah pengunjun Pendapatan per bulan
Kamar Superior
15
400.000
180
72.000.000
Kamar superior
grand
10
600.000
100
60.000.000
Kamar junior suite
5
900.000
40
36.000.000
50.000
700
35.000.000
50
250.000
1000
250.000.000
5 5
700.000 1.500.000
30 10
21.000.000 15.000.000
2
Restoran
3
Paket diving
4 5
Sewa boat Sewa boat pancing Pendapatan 1 bulan Pendapatan 1 tahun
c.
Rate
489.000.000
5.868.000.000
Analisa Pengeluaran
Pengeluaran Diving Resort berasal dari biaya-biaya operasional, diantaranya biaya karyawan, biaya listrik, biaya air, biaya pemeliharaan, dan biaya pergantian alat (replacement). Adapun tujuan ditentukan biaya-biaya pengeluaran adalah untuk mengetahui pendapatan bersih bisnis dive resort ini, yaitu dengan cara pendapatan kotor dikurangi dengan biaya operasional. d.
Analisis Kelayakan Finansial
Penilaian investasi diketahui dengan menghitung aliran kas masuk dan aliran kas keluar. Dalam pembangunan Diving resort menghabiskan dana investasi sebesar Rp 17.250.000.000. Dengan masa investasi 10 tahun. Dengan mengurangkan biaya pengeluaran (investasi, operasional, pemeliharaan, replacement) terhadap pemasukan (penyewaan ruang kamar, meeting room dan lain-lain), investasi ini dapat menghasilkan NPV sebesar: = Rp. 3.613.622.459,71. Sedangkan dari arus kas tersebut diketahui IRR sebesar 15 % bisa dikatakan bahwa pembangunan Diving resort layak dari analisa finansial.
19
POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG Perizinan Pengembangan Usaha
Resort di Kabupaten Belitung diperlukan Izin Usaha Jasa Penyediaan
Akomodasi Wisata. Dasar hukum perizinan ini adalah Peraturan Daerah Kabupaten Belitung Nomor 3 Tahun 2010 tentang Perubahan atas peraturan bupati belitung nomor 15 tahun 2008 tentang pelimpahan sebagian kewenangan di bidang perizinan dan non perizinsn kepada kantor pelayanan tepadu satu pintu Kabupaten Belitung dan Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 2008 tentang Penyelenggaran dan Retribusi Izin Usaha Kepariwisataan. Persyaratan Pengurusan Izin adalah sebagai berikut 1. Surat permohonan kepada bupati 2. Akta pendirian perusahaan (untuk usaha yang berbadan hokum) 3. Tanda daftar perusahaan (TDP) 4. Penyusunan studi dampak lingkungan (AMDAL) atau dokumen lingkungan berupa 5. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) 6. Izin Prinsip Lokasi 7. 7.Surat keterangan izin tempat usaha (SKITU) / izin gangguan (hinder ordonantie/HO) 8. Surat keterangan laik sehat 9. Salinan nomor pokok wajib pajak (NPWP) 10. Surat rekomendasi dari PHRI Jangka Waktu Penyelesaian Izin Paling lama 14 hari kerja sejak diterimanya berkas dan dinyatakan lengkap. Izin berlaku selama3 (tiga) tahun dan melakukan daftar ulang setiap 3 (tiga) tahun sekali Biaya / Retribusi untuk pengembangan Hotel dan akomodasi lainnya 1. Hotel Bintang 3,4, dan 5
: Rp. 3.000.000
2. Hotel bintang 1 dan 2
: Rp. 2.000.000
3. Sarana wisata tirta
: Rp
500.000
2. Hotel Melati : Rp. 50.000,00 x 0,5 x jumlah kamar 3. Akomodasi lainnya termasuk pondok wisata : Rp. 50.000,00 x 0,25 x jumlah kamar
20
POTENSI DAN PELUANG INVESTASI KABUPATEN BELITUNG INFORMASI LEBIH LANJUT : Badan Penanaman Modal dan Perizinan Kabupaten Belitung Alamat: Jl. Yos Sudarso No 18 Tanjung Pandan Kabupaten Belitung telpon.: +62719-24607
21
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 6, No. 2, Juli 2013
POTENSI ENDAPAN TIMAH SEKUNDER DI DAERAH KECAMATAN SIJUK, KABUPATEN BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Mardiah Mahasiswa Magister Teknik Geologi UPN “ Veteran” Yogyakarta
Abstrak Penelitian tentang potensi endapan timah sekunder ini berada di daerah Kecamatan Sijuk Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Berdasarkan hasil analisa data pemboran terdapat satuan batuan dengan litologi Granit dan Aluvial, granit tersebut merupakan granit tanjungpandan dengan umur 208 – 245 juta tahun, merupakan jenis granit tipe S (membawa mineral cassiterite), dengan tipe greisen yang banyak mengandung cassiterite primer (priem et al, 1975). Lapisan alluvial yang ada didaerah telitian terdiri dari lapisan pasir, lempung dan lumpur. Hasil analisa data pemboran yang didapat adalah kedalaman bedrock daerah sijuk kisaran 20m sampai -40m, dengan kekayaan paling tinggi terdapat di bagian selatan 3 daerah telitian yaitu 0,4 – 4 kg/m , mineral cassiterite berasosiasi dengan litologi pasir berukuran pasirhalus sampai dengan kerikilan. Pendahuluan Mineral pembawa timah di Indonesia sudah diketahui oleh masyarakat luas sejak lama dan keberadaannya hanya terdapat di pulau – pulau timah yang dikenal sebagai ( The Tin Belt), jalur the tin belt membentang mulai dari Myanmar, Thailand, Kamboja, Semenanjung Malaysia dan pulau pulau di Indonesia yaitu pulau – pulau di Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penelitian ini menganalisa data- data pemboran dengan kegiatan pemboran paling banyak dilakukan pada tahun 1996 – 2000. Data – data tersebut merupakan hasil dari kegiatan eksplorasi PT. Timah yang berada di pulau Belitung terutama di Kecamatan Sijuk. Kegiatan eksplorasi ini tidak hanya melakukan pemboran didarat saja tetapi juga dilakukan dilepas pantai, untuk melihat adakah proses transportasi mineral timah ketempat yang lebih jauh bahkan lembah – lembah yang ada di lepas pantai. Pada saat sekarang ini kegiatan penambangan yang dilakukan oleh PT. Timah, Tbk di diwilayah Pulau Belitung dapat dikatakan hampir tidak ada lagi, dikarenakan keterbatasan cadangan mineral cassiterite dan kurang ekonomis beberapa kawasan yang ada, hal ini dikarenakan kondisi geologi pulau Belitung berbeda dengan pulau Bangka maupun kepulauan Riau yang merupakan lumbung endapan mineral timah. Metode Penelitian dan Tahapan Eksplorasi Penelitian ini merupakan hasil dari kegiatan eksplorasi yang terdiri dari data pemboran yang berisi data: nomor lubang bor, koordinat, TLR, kedalaman pemboran, jenis bedrock, TDH (kekayaan lapisan), jenis litologi dan mineral-mineral ikutan. Tahapan pengambilan contoh terutama pada litologi pasir. Data – data inilah
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 6, No. 2, Juli 2013
yang nantinya akan dibuat suatu peta sebaran dan kekayaan untuk melihat keterdapatan dan potensi mineral timah pada daerah telitian. Lokasi Lokasi Penelitian, secara administratif berada di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan masih masuk wilayah IUP milik PT.Timah, Tbk (gambar 1). Geologi Daerah Telitian Berdasarkan data pemboran, litologi daerah telitian berupa Granit dan alluvial, diperkirakan granit tersebut merupakan granit tanjungpandan dengan umur 208 – 245 juta tahun, merupakan jenis granit tipe S (membawa mineral cassiterite), dengan tipe greisen yang banyak mengandung cassiterite primer (priem et al, 1975). Lapisan alluvial yang ada didaerah telitian terdiri dari lapisan pasir, lempung dan lumpur. Lapisan pasir berukuran pasir halus sampai dengan kerikilan yang umumnya berasosiasi dengan mineral cassiterite dan merupakan hasil pengendapan sungai sering juga ditemukan sisa tumbuhan yang sudah mati. Lapisan lempung diendapkan umumnya diatas lapisan pasir sebagai hasil pengendapan laut sering ditemukan sisa – sisa kulit kerang dan lapisan yang paling atas adalah lumpur sebagai endapan sekarang untuk lubang bor yang ada di lepas pantai. Lapisan – lapisan hasil endapan sungai mupun laut beberapa lubang bor ditemukan berulang sehingga dapat diinterpretasikan bahwa mengalami regresi dan transgresi berulang.
Gambar 1. Lokasi Daerah Penelitian
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 6, No. 2, Juli 2013
Analisa Data Pemboran Dilihat dari kedalaman bedrock di daerah penelitian mempunyai kedalaman dengan kisaran 20m sampai dengan -40m dari permukaan laut, dimana kedalaman yang diperoleh merupakan hasil data akhir pemboran bila telah mencapai bedrock yaitu granit (gambar 2. Peta Bedrock daerah Sijuk dan sekitarnya). Kekayaan daerah penelitian juga dapat dilihat dari data TDH kekayaan yang 3 mempunyai kisaran 0,001 sampai dengan 10kg/m ini menandakan tidak semua bagian dari daerah penelitian mempunyai kadar yang ekonomis, lokasi yang 3 ekonomis dengan kandungan kekayaan >0,3 kg/m terdapat pada selatan dari daerah penelitian (gambar 3. Peta Iso TDH daerah Sijuk dan sekitarnya). Diukur dari luasan, kekayaan dan rata-rata tebal endapan yang mengandung timah, diperkirakan cadangan yang ada kurang lebih 3,564 ton. Analisa dengan membuat peta bedrock dan peta kekayaan daerah penelitian dapat menggambarkan sebaran endapan pembawa timah secara horizontal sedangkan pembuatan profil korelasi lubang bor bertujuan untuk mengamati korelasi tiap data pemboran dan kandungan mineral cassiterite pada tiap lapisan secara vertikal. Hasil korelasi yang didapat diharapkan dapat mencerminkan keterkaitan antar lapisan dan ketebalan lapisan yang mengandung mineral cassiterite untuk melihat sebaran endapan pembawa timah pada lapisan litologi daerah telitian (gambar 4 dan 5. Profil B – B’). Kesimpulan Daerah telitian berada di kecamatan Sijuk, merupakan bagian dari kabupaten Belitung, mempunyai litologi Granit Tanjungpandan dan endapan alluvial, dilihat dari analisa data pemboran bahwa keterdapatan endapan mineral timah sekunder pada daerah telitian yang dikategorikan ekonomis hanya berada pada bagian selatan daerah telitian dan perkiraan cadangan hanya sebesar 3,564 ton. Mineral pembawa timah (cassiterite) dijumpai berasosiasi dengan endapan pasir yang berukuran pasirhalus sampai kerikilan. Daftar Pustaka Priem, etal, 1975, Isotope Geology in the Indonesian Tin Belt, Geologie en Mijnbouw, 54, 61-70. U.Margono, dkk, 1995, Peta Geologi Lembar Bangka Selatan, Seri T.503, Bandung, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 6, No. 2, Juli 2013
Gambar 2. Peta Bedrock daerah Sijuk dan sekitarnya
Gambar 3. Peta Iso TDH daerah Sijuk dan sekitarnya
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 6, No. 2, Juli 2013
Gambar 4. Peta lintasan profil
Gambar 5. Profil B – B’
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2007 (SNATI 2007) Yogyakarta, 16 Juni 2007
ISSN: 1907-5022
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS OBJEK WISATA PROPINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG BERBASIS WEB Dewi Soyusiawaty, Rusydi Umar, Rochmat Mantofani Fakultas Teknologi Industri, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Kampus III UAD Jln. Prof. Dr Soepomo Janturan Yogyakarta e-mail:
[email protected] ABSTRAKSI Kemajuan teknologi di bidang komputer yang begitu pesat telah mendorong semakin berkembangnya sebuah informasi. Salah satunya informasi geografis dunia pariwisata. Perkembangan informasi pariwisata di Propinsi Bangka Belitung dari tahun ketahun semakin meningkat, tapi dalam mempromosikan dan memajukan pariwisata Dinas Pariwisata masih menggunakan cara manual yaitu wisatawan yang datang ketempat-tempat objek wisata atau ke Dinas Pariwisata akan diberi booklet atau buku panduan. Informasi yang dibuat oleh Dinas Pariwisata setempat menjadi sangat terbatas karena masyarakat luas tidak bisa mendapatkan informasi tentang kepariwisataan sehingga perlu dibuatkan media alternatif untuk menginformasikan pariwisata Propinsi Kepulauan Bangka Belitung agar bisa dinikmati masyarakat luas, peta lokasi objek wisata juga belum ada, selain itu penyimpanan data yang masih manual membuat pencarian data memerlukan waktu agak lama, maka perlu dirancang sistem informasi geografis yang menarik dalam bidang kepariwisataan di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung yang mampu memberikan informasi bagi masyarakat luas, mampu menampilkan peta, dan mampu menyimpan data Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan pengumpulan data melalui studi literature, wawancara, dan observasi, menganalisa kebutuhan perangkat lunak, melakukan digitasi peta dengan Arc View, membangun database dengan mysql, merancang antar muka menggunakan Macromedia Dreamweaver dan PHP, melakukan pengujian program sebagai tahap akhir dalam pembuatan sistem informasi geografis objek wisata berbasis web. Penelitian ini menghasilkan sebuah sistem informasi geografis di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung yang berbasis web yang didalamnya juga terdapat informasi jenis wisata, fasilitas pendukung dan jarak. Hasil pengujian sistem dengan alpha test dan black box test menunjukan bahwa program ini dinyatakan baik dan siap untuk diimplementasikan. Kata kunci: Pariwisata, Propinsi, Kepulauan, Bangka Belitung, SIG, Web. 1.
LATAR BELAKANG MASALAH Propinsi kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki beraneka ragam obyek wisata baik jenis, bentuk, maupun ciri keunikan tradisional daerah. Propinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan propinsi dengan bentuk geografis wilayah kepulauan, tentu saja wilayah perairan merupakan wilayah yang mendominasi dari keseluruhan luas wilayah propinsi ini. Dari 81.725 km2 luas wilayahnya, 65.301 km2 atau 79.90% adalah merupakan wilayah perairan, sedangkan sisanya adalah daratan yang terdiri dari pulau-pulau dengan jumlah 1.015 buah pulau, dimana termasuk didalamnya dua pulau besar yaitu Pulau Bangka dan Belitung, sehingga sangat realistis apabila potensi ini sebagai motor penggerak sektor kepariwisataan propinsi ini. Tahun 2006 pemerintah setempat mencatat sebanyak 47.315 wisatawan yang berkunjung ke Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Berbagai jenis wisata seperti wisata pantai, wisata alam, budaya, agrowisata maupun wisata sejarah yang dapat dijumpai dengan mudah. Akan tetapi dalam penyampaian informasinya masih manual, seperti pemberian brosur, pamflet, poster, dan buku-buku dilakukan jika ada wisatawan yang
datang berkunjung ke suatu objek wisata yang dikunjunginya. Informasi yang dibuat oleh Dinas Pariwisata setempat menjadi sangat terbatas karena masyarakat luas tidak bisa mendapatkan informasi tentang kepariwisataan sehingga perlu dibuatkan media alternatif untuk menginformasikan pariwisata Propinsi Kepulauan Bangka Belitung agar bisa dinikmati masyarakat luas yaitu dengan melalui fasilitas internet. Selain itu informasi yang diberikan lewat media booklet atau brosur kurang menarik. Penyimpanan data yang masih manual membuat data-data tidak tersusun rapi dan tidak efisien sehingga membutuhkan suatu tempat yang besar seperti almari untuk menyimpannya. Peta wisata yang belum dimiliki Dinas Pariwisata membuat para wisatawan tidak mengetahui secara detail lokasi wisata yang ingin dikunjunginya. Dalam penelitian ini akan dibangun media informasi untuk mengetahui lokasi sekaligus informasi tentang daerah obyek wisata yang terdapat di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung berbasis web. Pemanfaatan sistem informasi geografis ini di dalamnya terdapat informasi lokasi, nama, sample panorama, dan Obyek Wisata, dan juga informasi tentang fasilitas pendukung seperti Hotel, Restoran, K-17
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2007 (SNATI 2007) Yogyakarta, 16 Juni 2007
Biro perjalanan, toko souvenir, sanggar seni, dan hiburan.
ISSN: 1907-5022
2.3 Fasilitas Aplikasi (SIG) Pada sebuah aplikasi SIG, terdapat beberapa fasilitas yang merupakan standar untuk melengkapi peta yang tampil di layer monitor, antara lain: a. Legenda Legenda (legend) adalah keterangan tentang objek-objek yang ada di peta, sepertiwarna hijau adalah hutan, garis merah adalah jalan, symbol buku adalah universitas, dan sebagainya. b. Skala Skala adalah keterangan perbandingan ukuran di layer dengan ukuran sebenarnya. c. Zoom in / out Peta di layar dapat diperbesar dengan zoom in dan diperkecil dengan zoom out. d. Pan Dengan fasilitas pan peta dapat digeser-geser untuk melihat daerah yang dikehendaki. e. Searching Fasilitas ini digunakan untuk mencari dimana letak suatu feture bisa dilakukan dengan menginputkan nama atau keterangan dari feature tersebut.. f. Pengukuran Fasilitas ini dapat mengukur jarak antar titik, jarak rute, atau luas suatu wilayah secara interaktif. g. Informasi Setiap feature dilengkapi dengan informasi yang dapat dilihat jika feature tersebut diklik. h. Link Selain informasi dari database, SIG memungkirkan menghubungakan data feature pada peta dengan data dalam bentuk lain seperti gambar, video, ataupun web.
2. SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) 2.1 Definisi Sistem Informasi Geografis merupakan akronim dari Geographics Information dan System.[1] a. Geografi (geographics) Geografi adalah ilmu yang mempelajari permukaan bumi dengan referensi atau studi mengenai area-area yang berada di permukaan bumu. Area-area atau objek tersebut ditampilkan pada suatu peta untuk memberikan gambaran yang representative dari spasial suatu objek dengan kenyataan di bumi. Simbol, warna dan gaya garis digunakan untuk mewakili setiap spasial yang berbeda pada peta 2 dimensional. b. Informasi (information) Informasi berasal dari pengolahan sejumlah data, dalam GIS, informasi memiliki volume terbesar. Setiap objek geografi memiliki setting data tersendiri karena tidak sepenuhnya data yang ada dapat terwakili dalam peta. Semua data harus diasosiasikan dengan objek spasial yang dapat membuat peta. Menjadi intelligent. Saat data diasosiasikan dengan permukaan geografi yang representative, data tersebut mampu memberikan informasi dengan hanya mengklik mouse pada objek. c. Sistem (system) Sistem adalah kumpulan elemen-elemen yang saling berinteraksi dan beritenterpedensi dalam lingkungan yang dinamis untuk mencapai tujuan tertentu. Istilah ini digunakan untuk mewakili pendekatan system yang digunakan dalam GIS, dengan lingkungan yang kompleks dan komponen yang terpisah-pisah. System digunakan untuk mempermudah pemahaman dan penanganan yang terintegrasi.
2.4 Pengetahuan Peta Peta merupakan suatu representasi konvensional (miniature) dari unsur-unsur (feature) fisik (alamiah dan buatan manusia) dari sebagian atau keseluruhan permukaan bumi di atas media bidang datar dengan skala tertentu. Persyaratan-persyaratan geometric yang harus dipenuhi oleh suatu peta sehingga peta yang ideal adalah: a. Jarak antara titik-titik yang terletak diatas peta harus sesuai dengan jarak aslinya dipermukaan bumi (dengan memperhatikan faktor skala tertentu). b. Luas suatu unsur yang direpresentasikan di atas peta harus sesuai dengan luas sebenarnya c. Sudut atau arah suatu garis yang direpresentasikan diatas peta sesuai dengan luas yang sebenarnya. d. Bentuk suatu unsur yang direpresentasikan di atas peta sesuai dengan bentuk yang sebenarnya.
2.2 Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah informasi mengenai permukaan bumi dan semua objek yang berada di atasnya, yang menjadi kerangka bagi pengaturan dan pengorganisasian bagi semua tindakan selanjutnya. (6) Teknologi Sistem Informasi Geografis mengintegrasikan operasioperasi umum database, seperti query dan analisa statistic, dengan kemampuan visualisasi dan analisa yang unik yang dimiliki oleh pemetaan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dengan Sistem Informasi lainnya yang membuatnya menjadi berguna untuk berbagai kalangan untuk menjelaskan kejadian, merencanakan stategi, dan memprediksi apa yang akan terjadi.
K-18
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2007 (SNATI 2007) Yogyakarta, 16 Juni 2007
Pada kenyataanya, di lapangan merupakan hal tidak mungkin menggambarkan sebuah peta yang dapat memenuhi kriteria di atas, karena permukaan bumi melengkung, sehingga pada saat melakukan proyeksi dari bentuk permukaan bumi yang melengkung tersebut kedalam bidang datar (kertas) akan terjadi distorsi.
ISSN: 1907-5022
4.2 Perancangan Sistem 1. Perancangan Data Flow Diagram (DFD) a. Diagram Konteks
Informasi jarak Informasi wisata
Wisata Restoran Hotel Biro Perjalanan Sanggar Kesenian
Dinas Perhubungan dan Pariwisata
3.
PARIWISATA DI PROPINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Jenis-jenis pariwisata di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung antara lain: 1. Wisata Pantai Wisata Pantai terdiri dari Pantai Bukit Berahu, Pantai Burung Mandi, Pantai Matras, Pantai Nyiur Melambai, Pantai Parai Tenggiri, Pantai Pasir Kuning, Pantai Pasir Padi, Pantai Penyak, Pantai Romodhong, Pantai Serdang, Pantai Tanjung Kalian, Pantai Tanjung Kelayang, Pantai Tanjung Labu, Pantai Tanjung Langka, Pantai Tanjung Pendam, Pantai Tanjung Pesona, Pantai Tanjung Tinggi, Pantai Tanjung Ular, Pantai Tanjung Penyusuk, Pantai Teluk Uber, dan Pantai Tikus. 2. Wisata Alam Wisata Alam terdiri dari Wisata Air Panas Pemail, Air Terjun Sadap, Air Terjun Marsilla, Danau Hijau dan Pemandian Alami. 3. Wisata Pulau Propinsi Kepulauan Bangka Belitung terdiri atas Wisata Pulau Burung, Pulau Babi, Pulau Nanas, Pulau Tinggi, Pulau Lengkuas, dan Kepulauan Memperak. 4. Wisata Sejarah Wisata Sejarah terdiri atas Bendungan Pice, Masjid Al-Ikhlas, Mercusuar Tanjung Kalian, Museum Badau, Museum Tanjung Pandan, Museum Timah, Pha Kak Liang, Rumah Menumbing, Vihara Dewi Kwan Im dan Wisma Ranggam. 5. Wisata Budaya Wisata Budaya terdiri atas Nirak Nanggok, Upacara Lesong Panjang, Upacara Adat Sijuk, Upacara Buang jong dan Perang Ketupat.
Informasi restoran
1 SIG objek wisata bangka belitung
Hiburan Toko souvenir Pengunjung
Informasi hotel Informasi Biro Perjalanan Informasi sanggar kesenian Informasi Hiburan Informasi toko souvenir Informasi pengunjung
Laporan wisata
Gambar 1. Diagram Konteks b. DFD level 0
Gambar 2. DFD Level 0 c. DFD level 1 proses pencarian peta wisata Peta Digital Pariwisata
Peta Digital
1 Pencarian Wisata Alam
Informasi wisata alam
4. PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kebutuhan Sistem a. Sistem mampu memberikan informasi objek wisata di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung yang terbagi menjadi, wisata alam, wisata pantai, wisata pulau, wisata sejarah, wdan wisata budaya. b. Sistem mampu memberikan informasi fasilitas pendukung seperti hotel, restoran, biro perjalanan, hiburan, sanggar seni dan toko souvenir. c. Sistem mampu memberikan informasi tentang jarak, User melakukan interaksi untuk mengetahui jarak.
Peta Digital
2 Pencarian Wisata Pantai
Peta Digital Peta Digital
3 Pencarian Wisata Pulau
Informasi Informasi wisata pantai wisata pulau
4 Pencarian Wisata Budaya
Informasi wisata budaya
Informasi wisata sejarah
user
Gambar 3. DFD level 1
K-19
Peta Digital
5 Pencarian Wisata Sejarah
user
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2007 (SNATI 2007) Yogyakarta, 16 Juni 2007
2.
Perancangan ERD jenis wisata
gambar
nama
id_wisata
kode_hotel
nama
g) Anda tidak bisa mendigitasi beberapa jenis objek sekaligus dalam satu objek. Misalnya anda ingin mendigitasi kota dan jalan maka harus melakukan dua kali digitasi pada theme yang berbeda. h) Untuk buat digitasi kota buat theme baru pilih point. Toolbar yang aktif dan dapatdigunakan
alamat
alamat
telp N
1 ket
hotel
terdapat
wisata 1
jml_kamar
1
berada
i)
fasilitas potensi
fasilitas lokasi
terdapat
kode
memiliki
j)
N kode_toko
ISSN: 1907-5022
toko_souvenir
kota
nama_objekwisata
N restoran nama
kode_restoran
k)
alamat telp
telp
alamat nama
. Toolbar ini digunakan untuk Line” digitasi garis tunggal. Sementara untuk mendigitasi data area/polygon toolbar yang dimanfaatkan adalah “Draw
. Polygon” Toolbar Draw Polygon dipakai denagn mengklik untuk memulai kemudian ikuti dan klik keliling polygon yang didigitasi. Untuk mengkhiri klik dua kali. m) Untuk menyimpan hasil digitasi dengan menu “Theme – save edit”,
Gambar 4. Perancangan ERD
l)
3.
Digitasi Peta Langkah melakukan digitasi peta menggunakan Arc view 3.3 yaitu: a) Buka Program Arc View 3.3 b) File – new, pada kolom “untitled” klikdouble pada view1 c) Pilih view pada menu bar klik “add heme”. d) Pilih file peta yang akan didigitasi, klik OK.
4.3 Implementasi Sistem Pada tahap implementasi program, peta digital dibuat dengan program Arc view3.3. tahap awal pembuatan peta adalah dengan melakukan digitasi peta pada image peta yang didapatkan dari hasil penelitian. Pemasukan data dilakukan melalui form input dengan menggunakan program phpmyadmin dimana terlebih dahulu harus meng-instal program PHPTriad. Proses pembuatan user interface dengan macromedia dreamweaver mx. Berikut tampilan beberapa form. 1. Form Login
Gambar 5. Menampakan peta pada lembar kerja e)
. untuk digitasi adalah “ Draw Point” Klik toolbar tersebut dan posisikan pada objek titik peta, kemudian klik sekali untuk didigitasi. Begitu kita input satu titik, maka atribut pada tabel akan ditambahkan satu record. Apabila akan mendigitasi jalan atau sungai toolbar yangd dapt dimanfaatkan adalah “Draw
Buat satu theme baru “Theme-new theme
Gambar 7. Tampilan menu Login Admin Gambar 6. Kotak dialog pembuatan Theme baru f)
2. Form Input Data Wisata Halaman ini digunakan untuk memasukkan data wisata. Yang kemudian akan langsung ditampilkan pada menu wisata seperti pada gambar 8.
Bergantung pada jenis data yang akan didigitasi, ada tiga pilihan feature yaitu point, line, dan polygon. Msalnya amda akan mendigitasi titiktitik lokasi kota maka Anda pilih “Point”, untuk jalan pilih “line”, dan untuk batas-batas kecamatan, kabupaten menggunkan polygon. K-20
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2007 (SNATI 2007) Yogyakarta, 16 Juni 2007
ISSN: 1907-5022
5. Menu Peta Wisata Gambar di bawah merupakan tampilan jika user menekan tombol “Peta Wisata”. Peta ini telah dibuat menggunakan Arc view dan telah dipublish kedalam html menggunakan svg viewer.
Gambar 8. Tampilan input data wisata 3. Form Edit Data Wisata Halaman ini digunkan untuk mengedit data wisata bila terjadi kekeliruan pengisian, seperti pada gambar 9.
Gambar 11. Peta objek wisata 6. Menu Peghitungan jarak Menu yang akan digunakan untuk mengukur jarak adalah Measure.
Gambar 9. Tampilan edit data wisata 4. Menu Utama Program SIG Objek Wisata Gambar berikut merupakan menu utama. Menu yang berada disamping kiri ada menu admin yaitu untuk masuk ke sistem administrator, menu buku tamu untuk mengisi daftar tamu yang berkunjung ke website ini, menu fasilitas yaitu untuk mengetahui fasilitas-fasilitas yang ada di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, menu galeri untuk melihat koleksi-koleksi ataupun informasi tambahan, menu wisata yaitu untuk mengetahui informasi objek wisata berdasarkan jenisnya.
Gambar 12. Tool measure untuk menghitung jarak Cara untuk mengukur jarak yaitu klik menu measure, kemudian arahkan ke peta, klik satu kali pada daerah tertentu dan klik lagi pada daerah lain, maka akan tergaris secara otomatis dan akan tertampil jarak pada kolom length seperti pada gambar 13.
Gambar 13. Penghitungan jarak
Gambar 10. Menu utama Program K-21
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2007 (SNATI 2007) Yogyakarta, 16 Juni 2007
ISSN: 1907-5022
5. a.
7. Menu wisata
b.
Gambar 14. pilihan menu jenis wisata Misalnya kita pilih jenis wisata pantai maka akan muncul tabel informasi tentang namanama wisata pantai yang ada di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung seperti pada contoh gambar 15.
KESIMPULAN Telah dibuat sistem informasi geografis Pariwisata berbasis web di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung yang mampu menyampaikan informasi wisata dan sarana pendukung yang tersedia secara menarik, informatif, online, cepat dan akurat. Aplikasi yang dihasikan sudah memenuhi unsur-unsur penting dalam sistem informasi geografis, seperti peta, informasi pendukung, jarak, legenda, skala, searching dan lain sebagainya.
PUSTAKA [1] Aziz, Muhammad, 2006, Sistem Informasi Geografis Berbasis Desktop dan Web, UAD, Yogyakarta. [2] E. Rikamaria, Aplikasi SIG Pariwisata Kabupaten Karimun, Skripsi – S1, UAD Yogyakarta [3] Erhans, 2005, Macromedia Dreamweaver mx 2004 Mendesain web, PT. Ercontara Rajawali. [4] Kasiman P, 2006, Aplikasi Web dengan PHP dan MySql, PT. Elex Media Komputindo [5] Nuarsa, I., W., 2004, Mengolah Data Spasial dengan Arc view, Penerbit Andi, Yogyakarta. [6] Nuryaningsih Y., Rekayasa Sistem Informasi Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Berbasis Web, Skripsi – S1, UAD Yogyakarta. [7] Pohan, H.I., Bahri, K.S., 1997, Pengantar Perancang Sistem, Jakarta, Penerbit Erlangga. [8] Pujiyono, W., 2000, Diklat Kuliah Basis Data, UAD Yogyakarta. [9] Pujiyono, Pemanfaatan SIG untuk Pemetaan Fasilitas Umum pada Tata Ruang Kota, Slamet, SKripsi S-1, Universitas Ahmad Dahlan, 2004. [10] Sutarman, 2003, Membangun Aplikasi dengan PHP dan MySQL, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Gambar 15. tampilan nama-nama wisata pantai Jika kita klik salah satu nama pantai pada gambar di atas, maka akan tampil secara detail mengenai panatai tersebut seperti gambar berikut.
Gambar 16. Tampilan detail wisata pantai
Gambar 17. Tampilan Data Pengunjung K-22
European Scientific Journal September 2014 edition vol.10, No.25 ISSN: 1857 – 7881 (Print) e - ISSN 1857- 7431
STAKEHOLDER MANAGEMENT: CONFLICT AND INTEREST IN TIN MINING INDUSTRY INDONESIA (CASE STUDY BANGKA BELITUNG PROVINCE) R. Rudy Irawan, MBA Ujang Sumarwan, Prof. Dr. Budi Suharjo, Dr. Setiadi Djohar, DBA
Doctoral Program of Management and Businees Bogor Agricultural University, Indonesia Abstract The aim of our study was to assess each stakeholder mapping to the role, interest level, power and the impact of the tin mining industries in Indonesia. Specifically, this study was to find a key players which affect the tin mining industries in Bangka Belitung and analyzed the influence and impact on the industries. The problem in tin mining which the existence of interest in tin mining land domination of Bangka Belitung has been going on when the switching between powerful stakeholders (Hendra 2012). The design used in this study was structured in-depth interviews of expert stakeholders in tin mining industries in Bangka Belitung with stakeholder management approach. The results of the study showed that stakeholders not directly involved in tin mining activities but highly affects the sustainability of the tin mining industries in Bangka Belitung. There are seven major stakeholders in tin mining industry; central government, local government, local communities, small scale mining and suppliers, manufacturers and investors as well as law enforcement Keywords: Tin mining, stakeholder management, conflict Introduction Tin mining in Bangka Belitung had been conducting since 1710 which began on Bangka island afterward in 1720 the tin moning was conducted by Dutch businessman who joined the VOC whereas tin mining in Bangka Belitung began in 1851 (Sujitno 1996; Sapanli K 2009). The tin mining is still in progress undertaken by state-owned companies, private 75
European Scientific Journal September 2014 edition vol.10, No.25 ISSN: 1857 – 7881 (Print) e - ISSN 1857- 7431
companies and small scale miners. In general, the Bangka Belitung's economy is highly dependent on the mining sector and the multiplier effect of the tin mining. Based on data from BPS 2013 described the province's economy still supported by the mining and exctraction sector in the amount of 14,58% and industrial processing of 19,02% tin. Most of the district revenue supported by export revenues in the tin mining and tin mining's derivatives. Tin mining activities began conflicts between the interests of stakeholders were become higher when the era of regional autonomy. Then revoked tin as strategic goods into free stuff based on Menperindag Decision No. 146/MPP/Kep/4/1999 caused illegal mining. Then the birth of Bangka local regulations No. 6 in the year of 2001 about General Mining Management and Bangka Regents Decision No. 294/MPP/Kep/10/2001 about the Granting of Mining License for the processing and selling created new companies in the tin mines. The presence of the tin mining on the one side has pushed ahead the economic growth and employment. On the other hand the local community and government stakeholders received the negative impact of the presence of tin mines with environmental damage. Based on data from the Regional Environmental Agency (BLHD) Bangka Belitung province recorded there are 991 pieces of pits in 2006 under a total area of 4.637,85 Ha, while in 2010 about 65% of 657.510 hectares of forest in the Bangka Belitung has been categorized as critical, damaged and concerned. Forest destruction has also occurred in the conservation forest carried by the small scale mining (Sidabukke 2011). In addition, it was also reported that all existing large rivers are already polluted mainly due to the turbidity of soil particles washing tin sand from which was flowing into the rivers (Regional Environmental Agency of Bangka Belitung, 2012). Environmental damage increased especially since the development of small scale mining stakeholders / TI (Inonu 2010). Elfida's study (2007) stated the low of small scale mining stakeholders in the applying for mining permission because there is no meaningful sanction of local government stakeholders associated with the business they did with no business license. In addition of only a few TI filing permits to local governments, as well as the lack of follow-up related to the evaluation of the implementation of local regulations for mining activities such as district regulations regarding of the public mining management and other regulations related to mining activities (Elfida 2007). Purba's research (2007) also confirmed that the law enforcement against criminal acts by stakeholders in tin mining in Bangka have not been going well. Tin mining problems on the central and local government stakeholders because of no coordination in the regulation and licensing 76
European Scientific Journal September 2014 edition vol.10, No.25 ISSN: 1857 – 7881 (Print) e - ISSN 1857- 7431
(Hayati 2011). In addition, mining activities in a variety of places not only suspected not contributed to promoting local community, but also trigger a variety of socio-economic conflicts (Resosudarmo and Subiman 2010; Erman 2013). Tin mining companies were also doubtful in the role of endorsement for the local community (Aziz and Salim 2005) and the mining industry very closely with poverty, especially in areas which was contact directly with mining exploitation activities (Jatam 2005). Many problems began from the era of tranformation from a monopoly to a free market system which has raised a lot of turmoils. The existence of conflicts of interest in monopolizing tin mining land in the Bangka Belitung has been going on when the shifting between powerful stakeholders (Hendra 2012). Conflicts between central departments, between the central and the provincial, between provinces and districts, between tin mining companies and state-owned (BUMN) used to monopolize, the mining by the arising of new companies, and small scale mining (Erman 2007). The conflicts have many layers, not only a business conflict, but as well as political conflicts and power and each of them stated legality of themselves. Looking for the arguments in legal issues and regulation for the sake of power structures and control politics (Erman 2007; Resourdarmo et al 2009). Power struggle between the stakeholders for tin resources got into major problems in the tin mining industry in Indonesia. This study aims to examine each stakeholder mapping to roles to interest level, power, and reconciliation or meeting point for tin mining industries in Indonesia. Literature review The business world today is very complex, rapidly changing and a lot of uncertainty. The complexity of the business world due to the interconnection network of customers, suppliers, communities, employees, and investors are influential for the achievements of the industry (Freeman et al. 2007). The theory describes the interaction and interconnection of the various stakeholders known as the stakeholder theory. Freeman defines stakeholders as groups or individuals who are able to affect or be affected by the achievement of organizational goals (Freeman 1984: 46). The main stakeholder theory focuses on the relationship between business and the groups and individuals who can affect or be affected by it. (Smudde and Coutright 2011). Generally composed of stakeholder is shareholders and other investors, employees, suppliers, customers, communities and the government. According Figar and Figar (2011: 2) "stakeholders followed by two concepts, namely a) the stakeholders as individuals or groups who affect the company or depend on the company, b) the next is the concept of stakeholders to make the burden or bring benefit to the company". 77
European Scientific Journal September 2014 edition vol.10, No.25 ISSN: 1857 – 7881 (Print) e - ISSN 1857- 7431
Freeman et al. (2007: 7) divides stakeholders into two phases, namely the primary stakeholders and secondary stakeholders. Primary stakeholders are those directly related to the company such as customers, investors, employees, suppliers and communities, while secondary stakeholders who are not directly related such as media, government, competitors, consumer organizations and other related groups. As generally known stakeholders recognized as shareholders and other investors, employees, suppliers, customers, communities and the government. The partition is different from classified by Mitchell RK, Agle BA and Wood DJ (1997). They divide the stakeholders based on the attributes possessed by stakeholders. There are three types of attributes possessed by stakeholders, these three attributes are: 1. Power. Power is the ability of stakeholders to influence others to do something. 2. The legitimacy. Legitimacy refers to the acceptance behavior of stakeholders in the field of law and social ethics. 3. Urgency. Defined as the extent where stakeholders have the interest level on other stakeholders. Based on the combination of attributes generated seven typologies of stakeholders according to Mitchell RK, Agle BA and Wood DJ (1997: 874) they are (1) dormant stakeholders who have power but no legitimacy and interests, (2) discretionary stakeholders who have legitimate but do not have the power and interests, (3) demanding stakeholders who have an interest but do not have the power and legitimacy, (4) dominant stakeholders who have the power and legitmasi but have no interest, (5) dangerous stakeholders who have the power and interests but do not have the legitimacy, (6) dependent stakeholders who have the interest and legitimacy but do not have the power, and (7) the definitive stakeholders who have the power, interests and legitimacy. The model attributes provide information to the company to identify the type of stakeholder in the company so that known the influence for the company's activities. In certain circumstances stakeholders have a positive sense and in other situations where stakeholders can be a negative for the company. Appropriate stakeholder management by the company has good implications for the sustainability of the company. Previous studies on stakeholder management much been done by a couple of researchers. The study was adequately related to stakeholder management conceptual studies (Preston and Sapienze 1990; Polonsky 1996; Mitchell et al., 1997; Earl and Clift 1999; Post et al., 2002; McVea and Freeman 2005; Roloff, 2008; Lim et al., 2005; Preble 2006; Zakhem 2008; Hansen and Bunn 2012; Smudde and Coutright 2011; Minoja 2012; Verbeke and Tung 2013). The studies to explore the concept of stakeholder management with a variety of approaches used by researchers. In addition
78
European Scientific Journal September 2014 edition vol.10, No.25 ISSN: 1857 – 7881 (Print) e - ISSN 1857- 7431
there is also a conceptual review of previous empirical studies on stakeholder management in various industries. Some previous empirical studies in the field of stakeholder management of natural resources including Jakson and Gariba (2002) management of water resources in the northern region of Ghana, Koontz and Hoga (2008) under the management of the conservation area case study of wildlife management in the south of Yellowstone, Furstenau et al (2007) examined the use of forest management in eastern Germany with the analysis of forest management utility by multi-criteria analysis method, Leach et al (2002) investigated the stakeholders collaborative partnership in forming of Watershed Management Policy in California and Washington, Mutekanga et al (2013) in DAS Uganda Ngenge by stakeholder analysis method, Borisova et al (2001 focused on the development of the maximum threshold or total maximum daily load (TMDL) and the implication there was a conflict between stakeholders, Hiwasaki (2005) under the conservation management of national parks in Japan, and Lopez (2001) for a conservation project case study of Ream national park in Cambodia with stakeholder analysis, Rastogi et al (2010) under nature safeguarding conservation areas in Corbet national park in India. From several previous studies concluded stakeholder management studies in natural resource management were pretty much done. This is due to a lot of parties involved in the natural resources. Stakeholder management can be use better in forming the policy of natural resources (Stool-Kleemann, M. Welp 2006). Besides in natural resource, the stakeholder management study also implemented in the field of governance and the environment. Several stakeholder management studies in the field or governance and environment including the one performed by Gomez (2006) stakeholder management in local government under decision-making area case study of English Local Government case studies, Lim et al (2007) under stakeholder management in public administration. Oen et al. (2010) conducted a study in environmental remediation projects occured in Norway. Various studies above show examples of prior studies in stakeholder management. Summary of several studies which have conducted with stakeholder analysis methods is shown in Table 1. There are several methods used in the study of stakeholder management. A common method is stakeholder analysis by doing interviews and focus group discussion (FGD). Author Rastogi et al (2010) Lim et al.
79
Table 1. Several studies related to stakeholder management Title Method Assessing the utility of stakeholder analysis to protect areas Stakeholder analysis management the case of Corbett National Park, India Formulating strategies for Stakeholder analysis, retrieval
European Scientific Journal September 2014 edition vol.10, No.25 ISSN: 1857 – 7881 (Print) e - ISSN 1857- 7431
(2005) Mushove dan Vogel (2004) Borisova et al. (2011)
stakeholder management: a casebased reasoning approach Head or tails? stakeholder analysis as a tool for conversation area management Stakeholder analysis of collaborative watershed management process a florida case study
Lopez (2001)
A stakeholder management for conversation projects: A case study of ream national park, Cambodia
Capuot (2013)
Systemic stakeholders’ management for real estate development projects
strategy, revision strategy, and implementation strategy. Stakeholder analysis Stakeholder analysis with qualitative data were collected by focus groups discussions (FGD) with stakeholders Stakeholder analysis, stakeholder mapping, formulation of strategy and work plan along with implementation Identify external stakeholders, presume the needs and interests, analyzing impacts, and evaluate the implementation
The various studies provided relevant information according to the suitable method with stakeholder management study in tin mining industry in Indonesia. Many studies related to natural resource were using management stakeholders which were possible because of many concerned parties, parties who have authority and parties who have legitimacy to control the available natural resources. Method This study used a descriptive and exploratory approach. Descriptive approach in the form of a literature review and eksplorative to provide the information required in accordance with the purpose of research. In this study, primary data collection is done by structured in-depth interviews with expert stakeholders in the tin mining industry in Indonesia, while the secondary data obtained from the available literature study and the data available in the various agencies Respondents were selected intentionally by purposive sampling to determine the first respondent experts who will be interviewed. Respondents were chosen by non-probability sampling technique with sampling convience. Table 2 is an expert respondents in the tin industry. Table 2 Experts Stakeholders Respondents of structured in-depth interviews Name Institution/Position H. Erzaldi Rosman, SE, Regents of Central Bangka MM Petrus Chandra MBA CEO of PT. Refined Bangka Tin Ir.Sukrisno Managing Director of PT. Timah Tbk Irjen Polisi(Purn) Drs. Former Head of Bangka Belitung District Police Iskandar Hasan, SH, MH Ir. Sutriono Edi, MBA Head of BAPPEBTI Ministry of Commerce
80
European Scientific Journal September 2014 edition vol.10, No.25 ISSN: 1857 – 7881 (Print) e - ISSN 1857- 7431
Ir. Wahid Usman, MBA Ir. Surawadi Nazar, MSc Ir. Suryadi Saman Dr. Ir. Bambang Setiawan Dr. Erwiza Erman, MA Drs. Hudarni Rani, SH Ir. Marwan Batubara, MSc
Former Managing Director of PT. Timah Tbk/ Chairman of SC INATIN-BKDI Former Operational Director of PT. Timah Tbk/ Director of PT. Mitra Stania Prima Former Vice Governor of Bangka Belitung/ Commissioner of PT. Timah Tbk. Former Directorate General Minerba ESDM/ Commissioner of PT. Kideco Jaya Agung dan tambang lainnya LIPI/Tin Researcher Former Governor of Bangka Belitung Director of IRESS (Indonesian Resources Studies)
Results and discussion The results of identification obtained seven main stakeholder key stakeholders in the tin mining industry, namely; central government, local governments, communities, manufacturers and investors, suppliers & TI, traders and law enforcement. Then conducted the mapping of the stakeholders in the tin mining industry. The mapping of stakeholder based on the level of interest and the level of stakeholder power. Based on the results of the tin expert respondents questionnaire earned central government, local governments and manufacturers and investors entering the fourth quadrant, while the traders, community, small scale miners & suppliers, and law enforcement in the quadrant II. Figure 1 shows the quadrants of each stakeholder. Quadrant IV stakeholder mapping needs to be maintained intensivelly while the quadrant II remain the needs to be given sufficient information (PMI 2013). Level of Interest High
5
Trader (4&3) TI & supplier (4&3)
1
Community (4&3) Law enforcement Agency (4&3)
5
Local Goverment (4&4) Central Govt (4&4)
High
Level of Power
Low
Low
Producer&invest (4&4)
1
Figure 1 Grid interests / power in the tin mining industry in Bangka Belitung
81
European Scientific Journal September 2014 edition vol.10, No.25 ISSN: 1857 – 7881 (Print) e - ISSN 1857- 7431
After found each stakeholder mapping, stakeholder analysis would be conducted. Analysis of each of the following stakeholders: a.The central government has a high level of importance and level of strong force. The level of interest and high power in accordance with their duties, functions and authority of the central government in managing the tin mining industry. The main basic of the central government in carrying out its duties under the 1945 Constitution, especially clause 33 on the management of natural resources. b.The local government has a strong level of power and a high level of interest as well. The high power and interests of the local government from the existence of regional autonomy laws No. 1999 which later born Bangka Belitung province by Act No.27 of 2000 provided space to local governments of the authority to regulate their own region. One of the roles of local governments in mineral mining regulated under Government Regulation No.38 of 2007. The local government felt the right to issue their own regulations, even though they may conflict with the policies of the central government. The evident were proved by the releasing of Bangka Regency Regulation No. 6 of 2001 on the General Mining and Decision of Bangka Regents No. 294/MPP/Kep/10/2001 on the Granting of Mining License for processing and selling. Bangka Belitung and the regents seem to feel that they have the right to issue a mining business license, including the processing and export (C Aspinall 2001). The existance of regional autonomy created oligarchy regime, primordial, and political clientelism (Jati 2012), a border conflict, capital conflict, debts issue and handover of district assets (Ratnawati 2010). The level of interest and the level of local government high power need to be balanced by vertical agencies in the area (DPRD) and controlled by national legislative institution (Nurcholis 2011). High level of interest also related to district revenue (PAD), which mostly relies on a tin mining and related tin mining sectors. If above things undone there will be chaos, emergence of small king who makes rules arbitrarily and the public only become suffering victim (Nurcholis 2011; Jati 2012). c.Traders have a high interest level and mid-level of power. Tin traders generally come from countries of Singapore, Malaysia and Thailand who are directly affected by the production and export of Indonesia's tin. High level of interest due to directly nudge with the availability of tin in the international market which is almost 80% of supply come from Indonesia and the interests of traders to get a cheap tin prices. Unlike the middlelevel trader’s power from capital possessed capabilities, the influence of traders in the international institutions and the ability to control the price of tin tin the world. The ability of traders affect prices can be seen when the 82
European Scientific Journal September 2014 edition vol.10, No.25 ISSN: 1857 – 7881 (Print) e - ISSN 1857- 7431
tin prices collapsed in 1985 due to pricing policies which do not reflect the global tin fundamental side (Hilman J 2010). Currently, Indonesia has a tin exchange INATIN (physical commodity markets) which are difficult for traders to speculate the price. d.The results of stakeholder analysis of manufacturers and investors show a high level of interest and a high level of power as well. High level of interest from manufacturers as they related to the field of running business especially sustainability of the company in the future while the power level of the manufacturers and investors can be seen by the capital and networking of manufacturers and investors in the local government or even central government law enforcement agencies. The power of the manufacturers and investors are able to create local shadow state in tin mining in Bangka Belitung (Erman 2007). Several companies of tin mining in Bangka Belitung are the hand extension of the foreign investors and manufacturers so that they have high level of interest and power. This is supported by the data ITRI (Kettle 2013) dependence of Indonesia's tin buyer by the companies of Malaysia, Singapore and Thailand to refined and re-smelting tin which obtained in Bangka Belitung. Moreover, the capital ability of large corporations are infinite which mean of high power. e.The results of the community stakeholder analysis show high interest the medium level of power. Interests of the community related to the dependence of Bangka Belitung tin is very high, BPS (National Statistic Agency) 2013 data shows that tin mines and processing accounted for 33.60% PDBR (Province Domestic Bruto Revenue) and will reach more than 70% with the multiplier effect. Nevertheless, the strength of the local community can not be ignored. There are various cases in the Bangka Belitung community to reject the role or support tin mining in Bangka Belitung. f. Analysis of TI stakeholders and suppliers have high level of interest and medium level power. High interest of TI and suppliers more caused caused by factors with higher source of income than tin mining while the intermediate level of force caused by the amount of existing TI in the Bangka Belitung on the amount of 6,030 onshore TI and 3,070 offshore TI in 2009 (Erman 2013). In contrary of the suppliers which has power suppliers caused by the capital owned. Although there were a lot number of TI in Bangka Belitung, but not well organized and were working on their own. One solution to the existence of TI and supplier of tin who has existed in the Bangka Belitung are creating a clear system, making the mining laws for the public and the control of the public mines. Governments also need to regulate the small scale miners, taught them to manage mining, environmental conservation training and requirement to pay taxes. The presence of small scale miners/TI and supplier can not be 83
European Scientific Journal September 2014 edition vol.10, No.25 ISSN: 1857 – 7881 (Print) e - ISSN 1857- 7431
eliminated just as well as ignored them in the tin mining industry stakeholder management. Governments need to embrace and work together to manage tin mining in Bangka Belitung. g. The results of the stakeholder analysis showed high level of law enforcement agencies interest and medium level of power. It becomes interesting because of its interest value is higher than the value of the power possessed by law enforcement agencies. High level of interest in accordance with the duties of law enforcement agencies. In contrast to the middle-level powers, suspected the power was attenuated by unscrupulous officials who did the ignorance to the law violation, even get the role to play into the tin mining. Bangka Belitung community reported to KPK (Corruption Eradication Commision) related to law enforcement agencies officials who has unfair of wealth and expert respondents have confirmed the presence of invovement by law enforcement officials. Similar with Erman's study (2010) stated there was the attempt of ignorance in current tin mining business, especially from law enforcement. Various stakeholders have the difference level of interest and power. The one with the other stakeholders of course there is the possibility of interest opposition which could create a conflict either directly or indirectly. The interest level need to be set to match the corridors. Thus stakeholder management seeks to find an available alternative solution to accommodate all levels of interest and minimize conflicts may occur with also noticing power possessed respectively. The summary of the conflict and the interests shown in Table 3 Tabel 3 stakeholder interests and conflicts in the tin mining industry
Stakeholder Central government Local government Trader
Interest Main duties and fuction of related ministry; mandated by the Constitution clausal 33 Main duties and fuction of district government; increasing local income (PAD) Tin as the speculation comodity; tin with low price
Investor and manufacturer
Source of income; reduce the cost of production
Community
Environment awake; economic driver
TI and supplier
Easy, direct and fast income source
Law enforcement agency
Monitoring and regulatory enforcement of mine; in accordance with the duties and fuction
Conflict
Regional authority; environmental damage Low income; environmental damage Intervention price of tin; price speculation Sand tin of illegal TI; damage the environment; violation of the mining regulations; smuggling Mine damage the environment; source of income depends on the mine Not suitable mine according to the rules; tin ore fencing; illegal and dangerous Officials became patron of TI, suppliers and private smelters
84
European Scientific Journal September 2014 edition vol.10, No.25 ISSN: 1857 – 7881 (Print) e - ISSN 1857- 7431
Opinion of expert respondents stated tin reconciliation must be built in common ground interest which are the same in tin mining. The common ground must be higher than their respective interests. One of the basic interest is national interest, community welfare and the sustainability of tin mining in Bangka Belitung. The results of indepth interviews with tin expert respondents obtained several reconciliation of stakeholders which can be applied are: 1. TI and suppliers need to make an institution which overshadow and can be either cooperative or local government (BUMD)/state-owned enterprises (BUMN) fully responsible of good mining processes. 2. Strengthen and improve the integrity of the tin regulatory system and supervisors in Bangka Belitung. 3. Dialogue between businesses along with regulators in making strategic policy. 4. The need for a roadmap / Long Term Plan of tin industry in Bangka Belitung. Conclusion Based on the results of this study obtained several conclusions as follows: a. Stakeholders mapping based on the level of interest and the level of stakeholders power. The results of the mapping obtained central government (4 & 4), local government (4&4) and the producers & investors (4&4) included in quadrant IV, while the trader (4&3), community (4&3), small scale miners & suppliers (4&3), and law enforcement (4&3) in the second quadrant. b. The reconciliation stakeholder management: i) TI and suppliers need to make an institution which overshadow and can be either cooperative or local government (BUMD)/ state-owned enterprises (BUMN) fully responsible of good mining processes, ii) Strengthen and improve the integrity of the tin regulatory system and supervisors in Bangka Belitung, iii) Dialogue between businesses along with regulators in making strategic policy, iv) The need for a roadmap / Long Term Plan of tin industry in Bangka Belitung. In this study, there are some suggestions that can be given for further research. The advice given is in strakeholder analyzes obtained that the central government, local government and manufacturers and investors have high level of interest power need to be sharpened again. Requirement to analyze each sector as the central government stakeholders need to be analyzed further to the Ministry of Energy, Ministry of Commerce, and so on. Similarly, local governments such as governors and regents.
85
European Scientific Journal September 2014 edition vol.10, No.25 ISSN: 1857 – 7881 (Print) e - ISSN 1857- 7431
References: Azis IJ, Salim E. 2005. Development Performance and Future Scenarios in the Context of Sustainable Utilisation of Natural Resources. Inside of: Resosudarmo BP editor. The Politics and Economics of Indonesia’s Natural Resources; Singapura: ISEAS. 125-144 pages [BLHD] Regional Environmental Agency of Bangka Belitung. 2012. Condition of Bangka Belitung Islands. http://blhd.babelprov.go.id /index.php?r=dokumen [Access May 16, 2012] [BPS] Central Bureau of Statistic. 2013. Provincial Statistics Bangka Belitung 2013. Bangka: BPS Province of Bangka Belitung Borisova T, Raceviskis L, Kipp J. 2011. Stakeholder Analysis of a Collaborative Watershed Management Process: A Florida Case Study. Journal of the American Water Resources Association. 1-20. doi:10.1111/j.1752-1688.2011.00615.x Capuot A. 2013. Systemic Stakeholders’ Management for Real Estate Development Projects. Global Business and Management Research: An International Journal. Vol.5(1):66-82 Earl G, Clift R. 1999. Stakeholder Value Analysis: A Methodology for Integrating Stakeholder Values Into Corporate Environmental Investment Decisions. Bus. Strat. Env.Vol.8:149–162. Elfida. 2007. Spatial Pattern Analysis of Tin Mine For Small Scale Mining as Input Determination of Spatial Policy in Bangka. Thesis. Bogor:Bogor Agricultural University. Erman E. 2007. Rethinking of Legal and Illegal Economy: A Case Study of Tin Mining in Bangka Island [internet] [waktu dan tempat tidak diketahui]. [Download 2013, June 15]. Available at: http://globetrotter.berkeley.edu/ GreenGovernance/papers/Erman2007.pdf 2007. Deregulation of Tin Trade and Creation of Local Shadow State, A Bangka Case Study. Inside of: Nordholt NS, Klinken G, editor. Renegotiating Boundaries Local Politics in Post-Suharto Indonesia; Leiden: KITLV Press. 177-202 pages 2010. Mining, Women and Failure State. Inside of: Lecturer at University of Mulawarman Jatam-Kaltim; 2010 March 9; Samarinda, Indonesia 2013. Impact of Tin Mining and Local Communities. Inside of: ITRI Bangka Tin Forum; 2013 Dcs 11; Bangka, Indonesia. Figar N, Figar V. 2011. Corporate Social Responsibility in The Context of The Satkeholder Theory. Economics and Organization. Vol.8(1):1-13 Freeman RE. 1984. Strategic management: A stakeholder approach. Boston: Pitman
86
European Scientific Journal September 2014 edition vol.10, No.25 ISSN: 1857 – 7881 (Print) e - ISSN 1857- 7431
Freeman et al. 2007. Managing for Stakeholders Survival, Reputation and Succes. New Haven: Yale University Press. Freeman RE, McVea J. 1984. A Stakeholder Aproach to Strategic Management. Working Paper No.01-02. Darden Graduate School of Business Adminstration University of Virginia. Furstenau C et al. 2007. Multiple-use Forest Management in Consideration of Climate Change and The Interests of Stakeholder Groups. Eur J Forest Res. Vol.126: 225–239. doi:10.1007/s10342-006-0114-x Gomez RC. 2006. Stakeholder Management in The Local Goverment Decisin-Making Area: Evidences from Triangulation Study with the English Local Government. Edicao Especial. Vol.77-98. Hansen JD, Bunn MD. 2012. Stakeholder Relationship Management in Multi-Sector Innovations. Journal of Relationship Marketing. Vol. 8:196– 217. doi: 10.1080/15332660902991031 Hilman J. 2010. The International Tin Cartel. London: Routledge Hiwasaki L. 2005. Toward Sustainable Management of National Parks in Japan: Securing Local Community and Stakeholder Participation. Environmental Management. Vol.35(6):753–764. doi: 10.1007/s00267-0040134-6 Hayati T. 2011. Mining Licensing Local Government Reform in the Era of Licensing Studies of Tin Mining in Bangka Island. Disertation. Depok: Universitas of Indonesia Hendra D. 2012. Contestation of Actor in A Seizure of Tin Resource in Bangka. Disertation. Bogor: Bogor Agricultural University. Inonu I. 2010. Post Tin Mining of Land Management Bangka Belitung: Present and Future. Papar at Technical Guide of Reclamation Post-Mining. Central Bangka District date Nov 12th 2010 at Muntok. Jakson ET, Gariba S. 2002. Compexity in Local Stakeholder Coordination: Decentralization and Community Water Management in Northern Ghana. PublicAdministration & Development. Vol.22:135-140. doi: 10.1002/pad215 [JATAM] Jaringan Advokasi Tambang. 2005. Mining and Poverty: Cases of Mining in Indonesia 2001-2003. Jakarta: Jatam Jati WR. 2012. Inconsistency Paradigm Regional Autonomy in Indonesia: Between Centralization or Decentralization. Jurnal Konstitusi. Vol.9(4):743– 773. Ketler P. 2013. Global Tin Outlook. Inside of: ITRI China Tin Forum; 2013 Apr 23-25; Kunming, China. 2013. Indonesia’s Position in The Global Tin Industry. Inside of: ITRI Indonesia Tin Forum; 2013 Dec 11; Bangka, Indonesia. Koontz L, Hoga DL. 2008. Incorporating Institutional Power into The Disparate Stakeholder Management Approach: A Case Study Wildlife
87
European Scientific Journal September 2014 edition vol.10, No.25 ISSN: 1857 – 7881 (Print) e - ISSN 1857- 7431
Management in The Southern Greater Yellowstone Area. International Journal of Organization Theory and Behavior. Vol.11(1):103-124. Leach WD et al. 2002. Stakeholder Partnerships as Collaborative Policymaking: Evaluation Criteria Applied to Watershed Management in California and Washington. Journal of Policy Analysis and Management. Vol.21: (4)645-670. doi:10.1002/pam.10079 Lim ET, Tan CW, Pan SL. 2007. E-Government Implementation: Balancing Collaboration and Control in Stakeholder Management. International Journal of Electronic Government Research. Vol.3(2):1-28 Lopez T. 2001. Stakeholder Management for Conservation Projects: A Case Study of Ream National Park, Cambodia. Environmental Management. Vol.28(1):47– 60. doi: 10.1007/s002670010206 McVea JF, Freeman RE. 2005. A Names and Faces Approach to Stakeholder Management How Focusing on Stakeholders as Individuals Can Bring Ethics and Enterpreneurial Strategy Together. Journal of Management Inquiry. Vol. 14(1):57-69. doi:10.1177/1056492604270779. Minoja M. 2012. Stakeholder Management Theory, Firm Strategy, and Ambidexterity. J Bus Ethics. Vol.109:67–82. doi:10.1007/s10551-012-13809 Mitchell RK, Agle BR, Wood DJ. 1997. Toward A Theory of Stakeholder Identification and Salience: Defining The Principle of Who and What Really Counts. Academy of Management Review. Vol.22(4)853-886. Mushove P, Vogel C. 2004. Heads or Tails? Stakeholder Analysis as a Tool for Conservation Area Management. Global Environmental Change. Vol.15:184–198. doi:10.1016/j.gloenvcha.2004.12.008 Mutekanga FP et al. 2013. The Use of Stakeholder Analysis in Integrated Watershed Management Experiences from the Ngenge Watershed, Uganda. Mountain Research and Development. Vol.33:(2)122-131. http://dx.doi.org/10.1659/MRD-JOURNAL-D-12-00031.1. Nurcholis H. 2011. The relationship between the Central Government and Local Government and the Role of Government Representative. Jurnal Studi Pemerintahan. Vol.2(2):229–330 Oen AM et al. 2010. Sediment and Society: An Approach for Assessing Management of Contaminated Sediments and Stakeholder Involvement in Norway. J Soils Sediments. Vol.10:202–208. doi: 10.1007/s11368-009-0182x [PMI] Project Management Institute. 2013. A Guide to the Project Management Body of Knowledge. Pennsylvania: Project Management Institute, Inc. Polonsky MJ. 1996. Stakeholder Management and the Stakeholder Matrix: Potential Strategic Marketing Tools. Journal of Market Focused Management. Vol.1:209-229. 88
European Scientific Journal September 2014 edition vol.10, No.25 ISSN: 1857 – 7881 (Print) e - ISSN 1857- 7431
Preble JF. 2005. Toward A Comprehensive Model of Stakeholder Management. Business and Society Review. Vol.110(4):407–431 Preston LE, Sapienza HJ. Stakeholder 1990. Management and Corporate Performance. The Journal of Behavioral Economics. Vol.19(4):361-375. Purba DP. 2007. The Criminal Law Enforcement Criminal Actions Mining Study on Tin Mining in Bangka Belitung. Thesis. Medan: University of North Sumatera Ratnawati T. 2010. Regional Expansion decade Era of Reform: Failure of Regional Autonomy? Jurnal Ilmu Politik. Vol.21:122-235 Rastogi A, et al. 2010. Assessing The Utility of Stakeholder Analysis to Protected Areas Management: The Case of Corbett National Park, India. Biological Conservation.Vol. 143:2956–2964. doi:10.1016/j.biocon.2010. 04.039 Resosudarmo BP, Resosudarmo IAP, Sarosa W, Subiman NL. 2009. Socioeconomic Conflicts in Indonesia’s Mining Industry. Inside of: Cronin R, Pandya A, editor. Exploiting Natural Resources: Growth, Instability, and Conflict in the Middle East and Asia; Washington: The Henry L. Stimson Center. 33-48 pages Resosudarmo BP, Subiman NL. 2010. Mining For People's Welfare: Conflict and Business Solved. Inside of: Aziz IJ, editor. Sustainable Development: The Role and Contribution of Emil Salim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 426-449 pages Sapanli K. 2009. Marine Economic Development Policy Analysis in Bangka Belitung Islands. Thesis. Bogor: Bogor Agricultural University. Smudde PM, Coutright JL. 2011. A Holistic Approach to Stakeholder Management: A Rhetorical Foundation. Public Relations Review. Vol.37:137–144. doi:10.1016/ j.pubrev.2011.01.008. Sidabukke M. 2011. Tin Mining without Permit in Conservation Area: Case Study Conservation Sepang Mountain Bangka Belitung District. Thesis. Depok: University of Indonesia Sujitno S. 1996. Indonesia Tin History. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Stool-Kleemann, Welp M. 2006. Stakeholder Dialogues in Natural Resources Management Theory and Practice. Berlin: Springer Verbeke A, Tung V. 2013. The Future of Stakeholder Management Theory: A Temporal Perspective. J Bus Ethics. Vol.112:529–543.doi: 10.1007/s10551-012-1276-8 Zakhem A. 2008. Stakeholder Management Capability: A Discourse– Theoretical Approach. Journal of Business Ethics. Vol.79:395–405. doi: 10.1007/s10551-007-9405-5
89
Reproduced with permission of the copyright owner. Further reproduction prohibited without permission.
ISAHP Article: Irawan, Sumarwan, Suharjo, Djohar/ Business Model of Tin Industry in Indonesia (Case Study Bangka Belitung Province) Proposals To Be Submitted to the International Symposium of the Analytic Hierarchy Process 2014, Washington D.C., U.S.A.
STRATEGIC MODEL OF TIN MINING INDUSTRY IN INDONESIA (CASE STUDY BANGKA BELITUNG PROVINCE)1 R. Rudy Irawan2 Student of Graduate program of Management and Business Bogor Agricultural University Bogor, Indonesia Ujang Sumarwan3 Graduate program of Management and Business Bogor Agricultural University, Indonesia Budi Suharjo3 Graduate program of Management and Business Bogor Agricultural University, Indonesia Setiadi Djohar3 Graduate program of Management and Business Bogor Agricultural University, Indonesia ABSTRACT Indonesia has abundant natural resources such oil, gas and mineral. Bangka Belitung Province is one of abundant tin mineral and was mined in 1668. Beside, tin mining industry created conflict interest among stakeholder in Bangka Belitung. An aim our study was to make strategic model of tin mining industry which solved conflict among stakeholder in Bangka Belitung. Method was used in-depth interview expert in mining industry to create strategic model framework. Then, the study used tool analysis Analytical Network Process (ANP). Keywords: strategic model, tin mining, ANP
1
Paper is part of dissertation Graduate program of Management and Business, Bogor Agricultural University (MB-IPB) 2 Student Doctoral program of Management and Business, Bogor Agricultural University (MB-IPB) 3 Advisor committee of Management and Business, Bogor Agricultural University (MBIPB) International Journal of the Analytic Hierarchy Process
1
Washington, D.C. June 29 – July 2, 2014
IJAHP Article: Irawan, Sumarwan, Suharjo, Djohar/Business Model of Tin Mining Industry in
Indonesia (Case Study: Bangka Belitung Province) Proposal To Be Submitted to the International Symposium of the Analytic Hierarchy Process 2014, Washington D.C., U.S.A.
1. Introduction Brunnschweiler (2008) stated a positive relationship between the abundance of natural resources with economic growth. Indonesia is one of abundant natural resources which can be potential for economic growth. Bangka Belitung is province which has much tin mineral deposit; therefore, most local revenue Bangka Belitung comes from tin mining industry. One of the problems in mining industry is the competition for mineral land use and degradation from mining activities (Casper 2007). Based on data from the Regional Environmental Agency (BLHD) Bangka Belitung province recorded that there are 991 pond in 2006 which comes from mining activity, while in 2010 about 65 percent of forest has been categorized as critical and damaged. Forest destruction has also occurred in the protected area by illegal mining. In addition, it was reported also major rivers are polluted mainly due to the turbidity of soil particles from washing tin ore into the rivers (BLDH 2012). This environmental damage is mainly impact for local communities and local government. Illegal mining is one of problem in tin mining industry. One side, they give workforce for society and the other side, uncontrolled illegal mining cause a huge impact in environmental. Environmental damage caused by illegal tin mining has increased, especially since 1998 (Inonu 2010). Illegal mining affect the miner has no obligation to conduct post-mining land rehabilitation, as one obligation for miner which has mining license (Elfida 2007). Elfida (2007) stated that illegal miner has no interest to get license because there is no meaningful sanction from local government. Stakeholder local government can’t control the presence of the tin miner. Besides an absence of evaluation and supervision of the local regulations relate to mining activities. Other studied stated also confirms that low of law enforcement for illegal mining in Bangka Belitung (Purba 2007). Another problem in the tin mining industry in Indonesia is also linked lack of coordination between the local government and central government in regulation and licensing tin mining. A lot of different interpretation about regulation that make implementation didn’t sync rule at various levels and sectors (Hayati 2011). Furthermore, there is social problem in tin mining. Tin mining company is rarely promote community participation in local (Aziz, Salim 2005) and the mining activity very closely with poverty, especially in areas that were directly related to mining exploitation activities (Jatam 2005). Evaluation from World Bank found that mining activities is lacking to contribute of poverty alleviation of local communities (EIR 2003). Besides, mining activities not only suspected because didn’t contribute in promoting local community, but also triggered a variety of socio-economic conflicts (Resosudarmo, Subiman 2010; Erman 2013). Power and interest between stakeholders for tin resources is also an issue mining industry in Indonesia. Transition era from a monopoly to a free market system has caused a lot of turbulence and conflict between stakeholders (Djaja 2012). Conflicts tin mining industry in Bangka Belitung is that many layers, not just a business conflict, but also political conflicts and power. Each stakeholder is finding arguments on legal issues and regulations for the political power and structures ( Erman 2007; Resourdarmo et al 2009) Varying degrees of interest and power of each stakeholder involved in tin mining industry. Because of that we need a comprehensive strategic model tin mining industry International Symposium of the Analytic Hierarchy Process
2
Washington, D. C. June 29 – July 2, 2014
IJAHP Article: Irawan, Sumarwan, Suharjo, Djohar/Business Model of Tin Mining Industry in
Indonesia (Case Study: Bangka Belitung Province) Proposal To Be Submitted to the International Symposium of the Analytic Hierarchy Process 2014, Washington D.C., U.S.A.
which accommodates a wide range of stakeholders in order to resolve the existing problems in the tin mining industry in Indonesia. The approach of this study conducted with stakeholder management approach with in-depth and comprehensive analysis of the tin mining industry. The benefits of this approach may be to avoid conflict between stakeholders. In developing an appropriate strategic model, the industry needs to pay attention to the various stakeholders that influence the sustainability of the business.
2. Literature Review The origins of the stakeholder theory began in 1984. Stakeholder theory describes the interactions and interconnections of the various stakeholders. At that time, Freeman defines stakeholders as a group or individual who can affect or is affected by the achievement of organizational goals (Freeman 1984:46). Thus, stakeholder theory focuses on the relationship between business and the groups and individuals who can affect or be affected by it. (Smudde and Coutright 2011). Freeman (1984:102) stated that there are five generic strategies to achieve objectives and accommodate the stakeholders. There are specific stakeholder’s strategy, shareholders strategy, and utilitarian strategy rawlsian strategy social harmony strategy. In developing a strategic model, industry need to pay attention to the various stakeholders that affect business sustainability. Based on Freeman et al (2007), business is an interaction with a set of relationships between groups with different interests in shaping the company's activities. Interaction with customers, suppliers, employees, investors, communities, and the other is which created value. Business need to understand how they are working for a business sustainable development.
3. Hypotheses/Objectives An aim our study was to make strategic model of tin mining industry in Indonesia (case study Bangka Belitung) strategies in Indonesia's tin mining industry as solution to avoid conflicts between stakeholders, economic improvement, increasing regional revenue, and competitiveness tin industry.
4. Research Design/Methodology Our methodologies conducted structured-in depth interviews and focus group discussion.. Expert respondents were selected by purposive sampling. Respondents were selected by non-probability sampling technique. Table 1 is a expert respondent to be used in the stakeholder interviews and FGD. Table 1. Expert Respondent in Tin Mining Industry Name Expert Ir. Wahid Usman, MBA Tin expert/Former President Director PT. Timah Tbk Ir. Surawadi, MSc Tin expert/Former Exploration Director PT. Timah Tbk Ir. Suryadi Tin expert/ Former Vice Governor Bangka Belitung Dr. Bambang Setiawan Tin expert/ Former General Directorate of Energy and Mineral (ESDM) Prof. Dr. Syoni Soepriyanto, MSc Tin expert/ academics/lecturer International Symposium of the Analytic Hierarchy Process
3
Washington, D. C. June 29 – July 2, 2014
IJAHP Article: Irawan, Sumarwan, Suharjo, Djohar/Business Model of Tin Mining Industry in
Indonesia (Case Study: Bangka Belitung Province) Proposal To Be Submitted to the International Symposium of the Analytic Hierarchy Process 2014, Washington D.C., U.S.A.
5. Data/Model Analysis Model was confirmed by expert tin mining industry. Framework ANP consists of 6 cluster which there are strategic model, macro-environment strategic, key stakeholder, activity, problem industry, and strategic. Framework ANP can be seen in below.
Figure 1. Framework ANP: Strategic Model of Tin Mining Industry in Indonesia (Case Study Bangka Belitung) Priorities should be concerned in macro-environment is politic and law, key stakeholder is central government, key activities is regulation and license, problem should be finished a coordination, strategic is making institutional. Our model stated that regulation and government are major problem in Indonesia. One of solution is making powerful institutional which handle tin industry from upstream to downstream.
6. Limitations Limitation research is a expert from government which is added. Further research suggests add a new cluster such as value proposition as objective model.
7. Conclusions Our model can be used as solution to solve problem in Bangka Belitung. Major players should be concerned government as regulator. Regulation and license should be reviewed. ANP is a good solution to make model which can be used for practical in Bangka Belitung. Other cluster can be added as enrich model in ANP.
8. Key References Azis IJ, Salim E. (2005) Development Performance and Future Scenarios in the Context of Sustainable Utilisation of Natural Resources. Di dalam: Resosudarmo BP editor. The Politics and Economics of Indonesia’s Natural Resources; Singapura (SG): ISEAS. hlm 125-144 International Symposium of the Analytic Hierarchy Process
4
Washington, D. C. June 29 – July 2, 2014
IJAHP Article: Irawan, Sumarwan, Suharjo, Djohar/Business Model of Tin Mining Industry in
Indonesia (Case Study: Bangka Belitung Province) Proposal To Be Submitted to the International Symposium of the Analytic Hierarchy Process 2014, Washington D.C., U.S.A.
Djaja H. (2012). Contestation of Actor in A Seizure of Tin Resource in Bangka. [Disertation] Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Freeman RE. (1984). Strategic management: A stakeholder approach. Boston(US): Pitman Freeman et al. (2007). Managing for Stakeholders Survival, Reputation and Succes. New Haven (UK): Yale University Press Saaty TL, Vargas LG. (2006). Decision Making with Analytic Network Process Economic, Ploitical, Social and Technological Applications with Benefits, Opportunitis, Cost and Risk. Pittsburgh (US):Springer Science
International Symposium of the Analytic Hierarchy Process
5
Washington, D. C. June 29 – July 2, 2014
The Third Joint Seminar of Japan and Indonesia Environmental Sustainability and Disaster Prevention (3rd ESDP-2015) Institut Teknologi Bandung, Indonesia – November 25th, 2015
STUDY OF SOCIO-ECONOMIC AND ENVIRONMENT IMPACTS OF INCONVENTIONAL TIN MINING (A CASE STUDY: BANGKA BARAT DISTRICT OF BANGKA BELITUNG PROVINCE) Fahrika Erwana1, Kania Dewi2 and Benno Rahardyan3 Program Magister Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10 Bandung 40132 Email :
[email protected],
[email protected]@ftsl.itb.ac.id3 1,2,3
Abstract: This study is a measurement and evaluation of the impact of unconventional tin mining on the social and economic conditions, as well as the environmental damage caused by tin mining in the district of West Bangka of Bangka Belitung province. Data were obtained from questionnaires, observation, and literature review. Firstly, questionnaire need to be tested its validity and reliability before continued to assess awareness and perception. In addition there will be path analysis to observe the influence of variables to perception of social, economic and environment impacts. The study involved 400 randomly selected respondents in the two sub districts in the District of West Bangka, they are Mentokand Jebus. Observation result showed that the unconventional tin mining gives negative impact on the environment and social conditions, but it gives a positive impact on the economic conditions. Based on path analysis, variables of awareness, participation, expectation and support unconventional tin mining have significant effect to perception of social, economic and environment impacts. Keywords: Unconventional tin mining, validity, reliability, path analysis
INTRODUCTION Bangka Island is largest tin producer in Indonesia. From Bangka island area 1.29405 million ha, amount 27.56% of the island's land area is a Tin Mining Authorization. PT. Tambang Timah (a subsidiary of PT. Timah Tbk) control land area of 321 577 ha and PT. Kobatin 35 063 ha (Bappeda Bangka 2000). Beside the two companies, Tin Mining Authorization also be given to private companies. Until mid-2007, the number reached 101 .(Dinas Pertambangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2007). In addition there are a number of other private smelters and traditional miners called unconventional mining (TI) which mines spread over land and sea of Babel. Tin mining issues began to emerge since the number of IT is increasing every year. Mining activities throughout the world, have contributed both positively and negatively on the economic and social aspects of the communities in the mining areas. Visible positive contribution in the form of increased income, employment increase, intense migration and population growth and the provision and maintenance of social facilities. But besides a positive contribution, mining also includes the negative impact of land degradation, increasing levels of crime, the loss of agricultural land and cultural heritage, health hazards and inflation. (Onwuka, et al., 2013). The studies about the impacts of mining activities on the environment and social and economic community have been doneby Kitula (2004), Petkova (2009), Samuel et al (2012), Ocholla et al (2013), Onwuka, et al (2013 ), Sati (2014). But until now the method of the study is still growing. Some studies are very specific to certain types of mining materials and a location 147
The Third Joint Seminar of Japan and Indonesia Environmental Sustainability and Disaster Prevention (3rd ESDP-2015) Institut Teknologi Bandung, Indonesia – November 25th, 2015
on a geographic scale. Only a few studies have used statistical analysis in the study. The purpose of this study was to determine the awareness of the public about the environmental impact of tin mining in Bangka Barat. In addition, this study also aims to determine the public perception of the impact of social and environmental economic society due to unconventional tin mining in Bangka Barat. Ths study is based on the hypothesis that the mining activities have a significant impact on the socio-economic and environmental. (Kitula, 2005). This study reviews both negative and positive impacts of unconventional tin mining. Policies and strategies for the management of post-mining region should sustainability three main dimensions of ecology, economic and social. It is necessary to study the impact of research on unconventional tin mining on the environment and socio-economic communities in West Bangka. METHODOLOGY In this study describes the data that has been obtained from the questionnaire, observation, interview and literature study. The variables of this study are: a. The variable impact on the physical and chemical properties of the environment. 1) Environmental degradation (damage) as a result of tin mining open pit methods. 2) Environmental pollution due to mining activities. b. The variable impact on the social and economic conditions 1) Public awareness of the environmental impacts. 2) Public perception of the social, economic and environmental consequences of tin mining activities. 3) The willingness of the public to participate in environmental management as a result of unconventional mining. 4) Expectations for unconventional mining community. Data collection is obtained by questionnaires, observations and literature study. Stages of data analysis consists of: Test Validity and Reliability Questionnaire Validity and reliability test aims to determine whether the questionnaires valid and accurate to measure the public's awareness and perception. Validity analysis using item-total correlation formula. Item statement or question declared invalid if it has a coefficient of r count larger than the standard r coefficient (can be obtained from table r). r value standard in This study involves 400 respondents with a significance level of 5%. Ifr correlation value is greater than the table, the questionnaire can be said to be valid. To test the reliability coefficient it is obtained or rcalculation consulted with rtablein the significant level of 5%. The test results said to be reliable if rcalculation> rtable and otherwise said to be reliable if or rcalculation < rtable Data Analysis to determine the public awareness against environmental impacts and the 148
The Third Joint Seminar of Japan and Indonesia Environmental Sustainability and Disaster Prevention (3rd ESDP-2015) Institut Teknologi Bandung, Indonesia – November 25th, 2015
public perception of the impact of mining activities on the social and economic conditions and the environment were analyzed quantitatively by scoring method (Dedek Apriyanto, 2012). Awareness assessment carried out with weights with a Likert scale, such as Strongly Disagree (STS) = 1, Disagree (TS) = 2, Neutral (N) = 3, Agree (S) = 4, and 5 = Strongly Agree. Path Analysis Path analysis is a way to study direct and indirect effects number of variables that are hypothesized as a cause variable to result variable. Discriminant Analysis Discriminant analysis is a statistical analysis technique which has uses to classify the object of several groups. Grouping with discriminant analysis is the case because there is the influence of one or more other variables that are independent variables. Linear combination of these variables will establish a discriminant function (Tatham et. al.,1998). RESULT AND DISCUSSION Research samples were taken from is two districts namely: Mentok and Jebus and the community who are randomly selected. Figure 1 presents the distribution of respondents in the Mentok and Jebus. Figure 1. Respondents Distribution Map Inconventional Tin Mining Impacts on the Environment In this study, public awareness of the environmental impact has two questions, namely the question of pollution (Q1), damage (Q2). Distribution of consciousness or awareness of the environmental impact can be seen in Figure 2.
Figure 2. Awareness of the environmental impacts 149
The Third Joint Seminar of Japan and Indonesia Environmental Sustainability and Disaster Prevention (3rd ESDP-2015) Institut Teknologi Bandung, Indonesia – November 25th, 2015
Based on Likert scoring, the percentage of awareness of the environmental impact in the form of pollution is 82% and the damage is 83%. So that public awareness of the environmental impact is very high. Results of a survey on public perception of the environmental impact has 8 questions, namely the question of water pollution (Q13), soil contamination (Q14), air pollution (Q15), changes in the landscape (Q16), noise nuisance (Q17), health problems (Q18) and comfort disruption (Q19) can be seen in Figure 3.
Figure 3. Perception of The Environmental Impacts Based on Likert scoring, the percentage of perceptions of environmental impacts such as water pollution, soil pollution, air pollution, landscape change, increased noise, health problems and comfort disruption each by 83%, 78%, 66%, 71% , 72%, 62% and 68%. It means the public perception of the environmental impact is negative. Inconventional Tin Mining Impacts on Socio-Economic Conditions a. Perceptions of Social Impact Public perception of the social impacts has five questions they are presence of immigrants (Q3), conflict (Q4), the level of crime (Q5), social jealousy (Q6), and changes in social conditions (Q7). Distribution of public perceptions of the social impacts can be seen in Figure 4. 150
The Third Joint Seminar of Japan and Indonesia Environmental Sustainability and Disaster Prevention (3rd ESDP-2015) Institut Teknologi Bandung, Indonesia – November 25th, 2015
Figure 4. Perception of The Social Impacts Based on Likert scoring, the percentage of the perception of social impact in the form of the presence of migrants, conflicts, increased crime rates and social jealousy, respectively 61%, 60%, 67% and 58%. It means the public perception of the social impact of such conflicts and jealousy categorized neutral. While the public perception of the social impact in the form of the presence of immigrants and the increase in crime rate negative categorized. b. Perceptions of Economic Impacts Public perception of the economic impact has five attributes questions that income increase in (Q8), job opportunities (Q9), business opportunities (Q10), land compensation (Q11), and changes in economic conditions (Q12). Distribution of public perceptions of the social impact of this can be seen in Figure 5.
151
The Third Joint Seminar of Japan and Indonesia Environmental Sustainability and Disaster Prevention (3rd ESDP-2015) Institut Teknologi Bandung, Indonesia – November 25th, 2015
Figure 5. Perception of The Economic Impacts Based on Likert scoring, the percentage of the perception of the economic impact of increased income, employment, business opportunities and land compensation, respectively 72%, 80%, 80% and 62%. It means the public perception of social impact is positive. Willingness to Participate in Managing Environment Impacts of Inconventional Tin Mining Composition of the public's willingness to participate in managing environment impacts of un conventional tin mining can be seen in Figure 6.
Figure 6. Willingness To Participate In In Managing Environment Impacts Of Unconventional Tin Mining If expectation compared to willingness to participate, those who are dissatisfied with the unconventional mining, are not willing to participate in environmental management. It means people are not willing to participate in environmental management because in conventional tin mining didn’t meet their expectations. Figure 7. shows the relationship both aspects.
152
The Third Joint Seminar of Japan and Indonesia Environmental Sustainability and Disaster Prevention (3rd ESDP-2015) Institut Teknologi Bandung, Indonesia – November 25th, 2015
Figure 7. Expectations Willingness To Participate Supporting for The Existance of Inconventional Tin Mining People support for the inconventional tin mining can be seen at Figure 8.
Figure 8. People Support For Inconventional Tin Mining Base on the Figure 8, can be seen that some respondents (53%) are not supporting inconventional tin mining. If we compared between respondent support for inconventional mining and environtment pollution awareness, those who have awareness of environment impacts not supporting inconventional tin mining that cause environtment pollution (Figure 9).
153
The Third Joint Seminar of Japan and Indonesia Environmental Sustainability and Disaster Prevention (3rd ESDP-2015) Institut Teknologi Bandung, Indonesia – November 25th, 2015
Figure 9. Awareness Inconventional Tin Mining Support While if we make comparison between inconvetional tin mining support and willingness to participate, those who are not supporting inconventional tin mining, are not willing to participate (Figure 10).
Figure10. Supporting for inconventional tin mining vs willingness to participate Comparison between inconvetional tin mining support and expectation is shown in Figure 11. Those who are not supporting inconventional tin mining said that they are not satisfied.
154
The Third Joint Seminar of Japan and Indonesia Environmental Sustainability and Disaster Prevention (3rd ESDP-2015) Institut Teknologi Bandung, Indonesia – November 25th, 2015
Figure11. Expectations Supporting For Inconventional Tin Mining So, supporting for inconventional tin mining is influence by aspects of awareness, willingness to participate and expectation. Awarenessand Perseption Based on Area Survey shows that 14 out of 18 villages surveyed have very high awareness, 3 out of 18 villages are high categorized and 1 village is middle categorized. The composion of people awareness in each village shown in Figure 12.
155
The Third Joint Seminar of Japan and Indonesia Environmental Sustainability and Disaster Prevention (3rd ESDP-2015) Institut Teknologi Bandung, Indonesia – November 25th, 2015
Figure12. Awareness Mapping Based On Area While composition of social, economic and environment perception shown in Figure 13.
156
The Third Joint Seminar of Japan and Indonesia Environmental Sustainability and Disaster Prevention (3rd ESDP-2015) Institut Teknologi Bandung, Indonesia – November 25th, 2015
Figure 13. Perception Mapping Based On Area If we make comparison between perception and existing environment condition, those who live in middle condition are neutral to the social impact. And those who live in bad environment condition have negative perception of social impact due to inconventional tin mining. For the social impacts, both communities live in very bad, bad and middle environment conditions have positive perception of economic impacts. And both communities live in very bad, bad and middle environment conditions have negative perception of environmental impacts due to inconventional tin mining. Cluster Analysis This study used K-means method to make 2 segment groups based on supporting for inconventional tin mining. In cluster 1, there are 184 respondents who live in bad environment condition, have very high awareness of environment impacts, negative perception of environment impacts, neutral to the social impacts, positive perception of economic impacts, not willing to participate, satisfied and supporting to the inconventional tin mining. In cluster 2, there are 216 respondents who live in bad environment condition, have high awareness of environment impacts, negative perception of environment and impacts, positive 157
The Third Joint Seminar of Japan and Indonesia Environmental Sustainability and Disaster Prevention (3rd ESDP-2015) Institut Teknologi Bandung, Indonesia – November 25th, 2015
perception of economic impacts, willing to participate, dissatisfied and not supporting to the inconventional tin mining. Based on respondents’ attribute, cluster classifying shown in Figure 14.
Figure 14. Cluster classifying based on respondents’ attribute Based on crosstabs analysis in Figure 14, respondents’ characteristic in cluster 1 is dominated by women who are above 60 years old whose education below high school, as housewife with income below 1 millions and used pit lake (kolong) as water source. Respondents’ characteristic in cluster 2 is dominated by men who are 40 – 60 years old whose education high school. They are dominated by people beside civil servants, entrepreneur, housewife, and student. And they used water from PDAM and well.
158
The Third Joint Seminar of Japan and Indonesia Environmental Sustainability and Disaster Prevention (3rd ESDP-2015) Institut Teknologi Bandung, Indonesia – November 25th, 2015
Discriminant Analysis All variables, except perception of environment impacts have role in classifying respondents. Discriminant analysis result in each cluster produces the variable as Table 1. Table 1. Standardized Canonical Discriminant Function Coefficients Variables Function 1 Environment Condition 0.006 Perceptions of Social Impacts 0.247 Perceptions of Economic Impacts 0.031 Willingness to Participate -0.135 Expectation 0.966 By using canonical discriminant function coefficient in Table 1, can be made discriminant function as follow: (I) Discriminant classification result is shown in Table 2. Table 2. Classification result Supporting forInconventional Tin Mining Original Count Yes No % Yes No a. 78.8% of original grouped cases correctly classified.
Predicted Group Membership Total Yes No 140 50 190 35 175 210 73.7 26.3 100.0 16.7 83.3 100.0
So, based on discriminant analysis, variabels of social perception and expectation discriminate respondents’ behavior in deciding supporting for inconventional tin mining with 78.8% of original grouped cases correctly classified. CONCLUSION The study showed that inconventional tin mining gives negative impacts on the environment and social condition, but it gives positive impacts on the economic condition. Based on cluster analysis, there are 2 clusters, they are cluster 1 (negative) and Cluster 2 (positive).Cluster 1 is dominated by women who are above 60 years old whose education below high school, as housewife with income below 1 millions and used pit lake as water source. Cluster 2 is dominated by men who are 40 – 60 years old whose education high school. They are dominated by people beside civil servants, entrepreneur, housewife, and student. And they used water from PDAM and well. 159
The Third Joint Seminar of Japan and Indonesia Environmental Sustainability and Disaster Prevention (3rd ESDP-2015) Institut Teknologi Bandung, Indonesia – November 25th, 2015
REFERENCES
, (2012).: Bangka Barat Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangka Barat, Mentok. Australian Government. (2006): PenutupandanPenyelesaian Tambang, Department of Industry and Tourism, Canberra, Australia. Badan Pembangunan Daerah Kabupaten Bangka. (2000): PemerintahKabupaten Bangka, Sungailiat Bangka. DinasPertambanganProvinsiKepulauan Bangka Belitung. (2007): PemerintahProvinsiKepulauan Bangka Belitung, Pangkalpinang. Henny, Cynthia. (2011): “Kolong” Bekas Tambang Timah di Pulau Bangka: Permasalahan Kualitas Air dan Alternatif Solusi untuk Pemanfaatan, Pusat Penelitian Limnologi-LIPI, Oseanologi dan Limnologi di Indonesia(2011) 37(1): 119-138, Jakarta. Inonu, Ismed. (2013):Pengelolaan Lahan Tailing Timah di Pulau Bangka: Penelitian yang Telah Dilakukan dan Prospek ke Depan, Program Studi Agroteknologi-FPPB, Universitas Bangka Belitung, Sungailiat Bangka Belitung. Kitula, A.G.N. (2004): The environmental and socio-economic impacts of mining on local livelihoods in Tanzania: A case study of Geita District, Journal of Cleaner Production, Vol. 14 (2006), No. 405-414. Nizam, La Ode. (2012): “Inovasi Teknologi Reklamasi Lahan Pertambangan Demi Terciptanya Kelestarian Lingkungan Tambang”, Kompasiana, Jakarta. Ocholla, Gordon O, Martin M. Bunyasi, Gilbert W. Asoka , Ongere Pacha, Henry K. Mbugua , Paul Mbuthi, , Stella Mbiti, Hausner K. Wendo and Peter K. Kamau. (2013): Environmental Issues and Socio-economic Problems Emanating from Salt Mining in Kenya; A Case Study of Magarini District, International Journal of Humanities and Social Science, Vol. 3 No. 3;February 2013. Onwuka, S.U, Duluora, J.O., Okoye C.O. (2013): Socio-Economic Impacts of Tin Mining in Jos, Plateau State, Nigeria. International Journal of Engineering Science, Volume Issue 7 July. 2013. PP.30-34. Pedhazur, J. (1981): Multiple Regression in Behavioral Research, Rinehart and Winston, New York: Holt. Petkova, Vanessa, Stewart Lockie, John Rolfe, and Galina Ivanova. (2010): Mining Developments and Social Impacts on Communities: Bowen Basin Case Studies, Journal of Rural Society, Vol 19:3 No. 211-228. Raden, Ince, M.Soleh Pulungan, Moh. DahlandanThamrin. (2010): KajianDampak Penambangan Batubara terhadap PengembanganSosial Ekonomi Masyarakat dan Lingkungan di Kabupaten KutaiKartanegara, BadanPenelitiandanPengembanganKementerianDalamNegeriRepublik Indonesia, Jakarta. Samuel, Adjei, N.K.Oladejo , I.A. Adetunde. (2012): The Impact and Effect of Illegal Mining (galamsey) towards the Socio-economic Development of Mining Communities: A Case Study of Kenyasi in the Brong Ahafo Region, International Journal of Modern Social Sciences, 1(1): 38-5. Sati, Vishwambhar Prasad. (2015): Socio-economic and Environmental Impacts of Stone Mining in Shivpuri District, Madhya Pradesh, India, Journal of Scientific Research & Reports, 4(1): XX-XX,Article no.JSRR.2015.007. Setiadi, Y. (1999): Status Penelitian dan Pemanfaatan Cendawan Mikoriza arbuskula dan Rizobium untuk Merehabilitasi Lahan Terdegradasi, DalamMakalah Seminar Nasional Mikoriza I, Tanggal15-16 November, Bogor. Sugiyono. (2009): Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung. Supramanra, Maulandhy. (2014): Analisis Tingkat Keberhasilan Kinerja dan Pelayanan Penyapuan, Pewadahan, Pengangkutan Melalui Pengukuran Tingkat Pelayanan Eksisting dan Kepuasan Masyarakat, Tesis Program Magister TeknikLingkungan, InstitutTeknologi Bandung, Bandung.
160