PAKET INFORMASI TERSELEKSI
LINGKUNGAN Seri: Kebakaran Hutan
S
alah satu alasan kenapa masih rendahnya jumlah dan mutu karya ilmiah Indonesia adalah karena kesulitan mendapatkan literatur ilmiah sebagai sumber informasi.Kesulitan mendapatkan literatur terjadi karena masih banyak pengguna informasi yang tidak tahu kemana harus mencari dan bagaimana cara mendapatkan literatur yang mereka butuhkan. Sebagai salah satu solusi dari permasalahan tersebut adalah diadakan layanan informasi berupa Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT). Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) adalah salah satu layanan informasi ilmiah yang disediakan bagi peminat sesuai dengan kebutuhan informasi untuk semua bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam berbagai topik yang dikemas dalam bentuk kumpulan artikel dan menggunakan sumber informasi dari berbagai jurnal ilmiah Indonesia. Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) ini bertujuan untuk memudahkan dan mempercepat akses informasi sesuai dengan kebutuhan informasi para pengguna yang dapat digunakan untuk keperluan pendidikan, penelitian, pelaksanaan pemerintahan, bisnis, dan kepentingan masyarakat umum lainnya. Sumber-sumber informasi yang tercakup dalam Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) adalah sumber-sumber informasi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan karena berasal dari artikel (full text) jurnal ilmiah Indonesia dilengkapi dengan cantuman bibliografi beserta abstrak.
DAFTAR ISI ANALISIS SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN TERHADAP TINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
Suaibatul Aslamiah Rimba Kalimantan : jurnal ilmiah kehutanan, Vol. 14, No. 2, 2009:47-52
i
Pilih/klik judul untuk melihat full text
affected by meteorological parameters showed that pollutant concentrations varied between day and night time.
ASPEK HUKUM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DI INDONESIA.
Abstrak : -
Eka Puspitasari, Dinarjati Mimbar hukum : jurnal berkala Fakultas Hukum UGM, Vol. 19, No. 1, 2007:67-81
ANALISIS TRAYEKTORI ASAP KEBAKARAN HUTAN DI KALIMANTAN TAHUN 2006 MENGGUNAKAN THE AIR POLLUTION MODEL (TAPM)
Abstract: Land and forest fires are the phenomenon that are happen every year, both in big and small scale. That fires pounded in almost all of the Indonesia Provinces. The impact of the land and forest fires bring a lot of detriments, such as economy, social, ecology, and education as well. This article examines the legal aspect of the land and forest fires handling in Indonesia, which covers administrative, civil, and criminal sanctions. Although the handling of the land and forest fires covers these three sanctions, in fact its law enforcement is still weak.
Guswanto; Dicky Fajar Anugrah; Ana Turyanti; Eko Heriyanto Megasains : bulletin meteorologi, kualitas udara, dan lingkungan, Vol. 1, No. 4, 2010:189-208 Abstract: Wildfires can be a major source of some air pollutants, such as carbon dioxide (CO2), carbon monoxide (CO), nitrogen oxide (NOx), sulfur dioxide (SO2) and particles (PM10 and PM2.5). Meteorological parameters played significant role on affecting pollutant concentration. Air temperature, wind speed, wind direction, humidity, precipitation, and mixing height were among the parameters that influenced how air pollutants affected the ambient air. The aim of this research was to estimate the emission rate of each air pollutant in certain months of 2006 by using The Air Pollution Model (TAPM). Data being used were developed by GFEDv 2. Trajectory of these pollutants was also simulated by TAPM. Results showed that the highest emission rate was occured in September 2006, with rates for PM2.5, NOx, and CO were 81.18 g S-1, 17.06 g S-1, and 144.65 g S-1, respectively. September 2006 became the month which wildfire reached its peak. Meanwhile, May and December 2006 were marked as the lowest emission rate due to high precipitation that reduced the hotspot number. Atmospheric stability and mixing height that were
DAFTAR ISI DAMPAK DAN ANTISIPASI KEBAKARAN HUTAN
Lestari, Sri JURNAL TEKNOLOGI LINGKUNGAN, Vol. 1, No. 2, 2000:171-175 Abstract: The frequent accurrences of forest fire causes air pollution. Concentration Sulfur Oxides, particulate SO4= and smoke endangers the inhabitant’s health, and also decreases amount of rainfall. The result of observation by BMG (Institute of Meteorological and Geophisical in Indonesia) on concentration pollutant Sulfur Oxides, particulate SO4= and smoke in accurrences of forest fire for September 1997 in Kalimantan and Sumatera showed the increase to 700 % pollutant smoke, 313 % molecular cation NH4++ , Ca+ , Mg++ and 540 % anion Cl- , NO- and SO4— And UPT-HB, BPPT to do rainmaking for disperse the smoke.
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP BIOTA TANAH
Wida Darwiati; Faisal Danu Tuheteru; Eva Prihatiningtyas Mitra hutan tanaman, Vol. 3, No. 2, 2008:113-121 Abstrak : -
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP PERTUMBUHAN VEGETASI
Wida Darwiati; Faisal Danu Tuheteru Tekno hutan tanaman, Vol. 3, No. 1, 2010:29-35
Abstrak: Salah satu faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap laju degradasi hutan dan deforestasi serta menurunnya kualitas lingkungan hidup di Indonesia adalah kebakaran hutan.Secara ekologis, kebakaran hutan berdampak terhadap menurunnya kualitas ekosistem.Salah satu unsur penting ekosistem hutan yang turut menerima dampak kebakaran hutan adalah vegetasi hutan.Tingkat kerusakan vegetasi hutan sangat dipengaruhi oleh karakteristik kebakaran hutan. Kebakaran hutan dapat menyebabkan kematian vegetasi pada berbagai tingkat pertumbuhan dan perkembangannya.Vegetasi mempunyai mekanisme respon dan adaptasi yang berbeda terhadap kejadian kebakaran hutan. Beberapa bentuk adaptasi vegetasi/tanaman terhadap api di antaranya perlindungan tunas, stimulasi pembungaan dan retensi benih. Jenis - jenis yang resisten terhadap kebakaran di antaranya puspa (Schima wallichii), tembesu (Fragraea fragrans), sungkai (Peronema canescens), Eucalyptus sp. dan laban (Vitex pubescens), Larix occidentalis, Pseudotsuga menziesii dan Pinus ponderosa.
DAFTAR ISI DYNAMICAL LAND/FOREST FIRE HAZARD MAPPING OF KALIMANTAN BASED ON SPATIAL AND SATELLITE DATA (PEMETAAN KEBAKARAN LAHAN/HUTAN DINAMIS PULAU KALIMANTAN BERDASARKAN DATA SPASIAL DAN SATELIT)
Adiningsih, E. S.; Tejasukmana, B. S.; Khomarudin, M. R. Jurnal Agromet Indonesia, Vol. 20, No. 1, Juni, 2006:1-9 Abstract: Early warning system is an important component in land/forest fire management. Since Kalimantan is one of prone areas to fires in Indonesia, land/ forest fire hazard mapping for the area is essential to provide early warning information. Methods on static fire hazard mapping have been established using geographic information system. Land/ forest fire hazard mapping could be established based on spatial biophysical parameters such as rainfall, vegetation condition, land cover, and land type. Since most parameters can be derived from satellite data and some of them are predictable, a dynamical land/forest fire hazard maps can be generated. The objective of this research was to construct a model of forest fire hazard mapping for Kalimantan. Spatial data used consisted of spatial rainfall maps, Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) maps derived from NOAA-AVHRR data, land cover maps from Landsat TM data, and land type map. The results show that contributions of rainfall and NDVI to fire hazards should be higher than land cover and land type. The weights of NDVI, rainfall, land cover, and land type are 0.35, 0.30, 0.20, and 0.15 respectively. For the case study of 1997 – 2002 periods, it has been shown that most hotspots are located in areas with forest fire hazard of high level.
Forest fire database technologies: study case in Indonesia
Dinar Mutiara K. Jurnal techno science, Vol. 3, No. 2, 2009:388-396 Abstract: Geographic Information System (GIS) are used to collect, model, store and analyse information describing physical properties of the geographical world. A key concept in GIS is one map layers or themes. GIS can represent in two format vector and raster. This paper present GISdata format, how designing the Geographic Database in ArcGIS 3.8 of ESRI and theadvantages of using geographic database. In addition, this paper also represents designing forstudy case forest fire in Indonesia.
DAFTAR ISI HUBUNGAN KARAKTERISTIK SOSIAL-EKONOMI DENGAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KECAMATAN GAMBUT
Rianawati, Fonny;Fauzi, Hamdani Rimba Kalimantan : jurnal ilmiah kehutanan, Vol. 13, No. 1, 2008:35-41 Abstract: One of several problems in forest managing and the protecting is the forest fire. Perception of the communitings around forested area in forest protecting and using of them not optimum yet. Even the communities can be reason the occuring of forest and land fire, especially their behavior to open forested area to do the shifting cultivation. Land mangement system by local communnities for their farming in an area is one of the important components that play role to influence the forest and land fire hazzart level. The land preparation for their cultivation by slash burning if it is not managed by using the right way it will cause the uncontrolling forest and land fire, all the more it is done in the peat land, so that most difficult to overcome the fire in the area. Based on this phenomenon, this research had been conducted to study the communities social-ekonomic characteristic in the pet land area be related (0 their perception in controlling the forest and land fire. The result of the research show that there is not relationship between the communities sosialeconomic characteristic to their perception, and 93,06 percent of the respondents say that the controlling of forest and land fire is needed to be realized and noticed by communities in using the peat land around them.
IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR KERENTANAN TERHADAP BENCANA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KECAMATAN LIANG ANGGANG KOTA BANJARBARU
Latifah, Rosmayani Noor; Pamungkas, Adjie Jurnal Teknik ITS, Vol. 2, No. 2, 2013: C207-C210 Abstrak: Fenomena bencana kebakaran hutan dan lahan beserta dampak yang telah ditimbulkan di Kecamatan Liang Anggang Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan mengindikasi kurangnya kewaspadaan dan kesiapan menghadapi ancaman bahaya kebakaran hutan dan lahan berpengaruh terhadap meningkatnya kerentanan akan terjadinya bencana kebakaran hutan dan lahan dengan dampak yang lebih besar dan luas. Kerentanan merupakan suatu kondisi masyarakat yang tidak dapat menyesuaikan perubahan yang disebabkan oleh ancaman tertentu, oleh karena itu perlunya suatu identifikasi terhadap faktorfaktor yang mempengaruhi kerentanan akan terjadinya bencana kebakaran hutan dan lahan. Dalam mencapai tujuan penelitian, dilakukan analisa terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kerentanan (vulnerability) menggunakan analisa skala likert, uji validitas dan reliabilitas dan analisa deskriptif untuk mendapatkan faktor-faktor kerentanan yang berpengaruh terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan. Dari penelitian ini didapatkan identifikasi faktor kerentanan yang mempengaruhi bencana kebakaran hutan dan lahan di Kecamatan Liang Anggang Kota Banjarbaru.
DAFTAR ISI IDENTIFIKASI KEBAKARAN HUTAN MELALUI PEMANTAUAN TITIK PANAS DAN INDEKS VEGETASI DARI SATELIT MULTI TEMPORAL
Sri Adiningsih, Erna Majalah Lapan, Vol. 18, No. 71, 1994:13-20
Abstrak: Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan melalui pemantauan titik-titik panas yang digabungkan dengan indeks vegetasi, yang diperoleh dari data AVHRR satelit NOAA.Tampaknya teknik ini dapat diterapkan dengan baik, terbukti dari data hasil pengolahan titik-titik panas di Kalimantan yang dapat ditentukan lokasi-lokasi geografisnya. Namun, agar teknik memberikan hasil yang akurat, maka perlu dilakukan kalibrasi dengan data permukaan di permukaan.
INFORMASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERDASARKAN INDEKS KEKERINGAN DAN TITIK PANAS DI KABUPATEN SAMOSIR
Abadi, Pardamean; Rahmawaty, Rahmawaty; Afifuddin, Yunus Peronema Forestry Science Journal, Vol. 2, No. 2, 2013: 6-12 Abstract: Samosir District is one of the very prone to forest fire and land. This study aimed to determine the level of fire danger in forest and land use data Samosir regency with the maximum temperature, rainfall and hot spots daily, monthly and yearly 2009, 2010 and 2011. Data analysis was performed at the Laboratory of the Faculty of Forest Inventory Forestry Department of Agriculture using exel Spreadsheet software and Arc. View 3.3. The number of hot spots are detected and the high drought index obtained occur when rainfall is low and did not even rain. Low rainfall occurred in March-July, so in the many forest fires and land. While high rainfall occurred in August-
February. Hot spots and drought indices can be used together as an early warning system for the prevention of fire and forest fire management and land on Samosir District. The research showed that the level of the fire crisis in Samosir Regency tend to to lower where fire was only became of the certain months during the year that is during the month of Maret-Juli. The prediction of fire Danger in Regency of Samosir be at the month of Maret-Juli, where very low rainfall value so that assess the high KBDI with the value make an index to the dryness be at the scale high-extreme that it’s among 1500-1749 and 1750-2000.
INTERPRETASI KANDUNGAN AIR TANAH UNTUK INDEKS KEKERINGAN: IMPLIKASI UNTUK PENGELOLAAN KEBAKARAN HUTAN
Muh Taufik;Budi Indra Setiawan Jurnal manajemen hutan tropika : JMHT, Vol. 18, No. 1, 2012:31-38 Abstrak : -
KAJIAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KEBAKARAN HUTAN DAN DEFORESTASI DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT
Nanin Anggraini; Bambang Trisakti Jurnal penginderaan jauh dan pengolahan data citra digital, Vol. 8, 2011:11-20 Abstrak : -
DAFTAR ISI KAJIAN FAKTOR SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA PENYEBAB TERJADINYA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN: KASUS DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CEREMAI
Epi Syahadat; Apul Sianturi Info sosial dan ekonomi kehutanan, Vol. 9, No. 1, 2009:47-62 Abstrak: Hutan dan lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat potensial untuk dimanfaatkan bagi pembangunan nasional.Kendati demikian terhadap hutan dan lahan sering terjadi ancaman dan gangguan sehingga upaya pelestariannya sering terhambat. Salah satu bentuk ancaman dan gangguan tersebut adalah kebakaran hutan dan lahan.Kebakaran hutan dan lahan mempunyai dampak yang buruk terhadap flora dan fauna, sosial ekonomi masyarakat dan lingkungan hidup. Oleh karena itu kebakaran hutan dan lahan bukan saja berakibat buruk terhadap hutan dan lahannya itu sendiri, tetapi lebih jauh mengakibatkan terganggunya proses pembangunan. Berkaitan dengan hal tersebut maka kajian ini dilakukan, untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menjadi faktor pendorong terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Dari hasil kajian diketahui bahwa 99 % penyebab kebakakaran hutan dan lahan disebabkan oleh ulah manusia baik disengaja maupun tidak disengaja.Adapun faktor yang mendorong adalah faktor sosial, ekonomi dan budaya.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya pengaruh yang ditimbulkan oleh ulah manusia (unsur disengaja maupun unsur tidak disengaja) terhadap terjadinya kebakaran hutandan lahan. Selain itu, kajian ini juga bertujuan untuk mengetahui unsur mana diantara kedua unsur tersebut di atas yang mempunyai pengaruh yang paling dominan, serta faktor apa yang paling utama yang mendorong terjadinya kebakaran hutan (secara deskriptif). Hasil kajian menunjukkan bahwa unsur tidak disengaja mempunyai pengaruh yang lebih dorninan, serta faktor ekonomi mempunyai pengaruh yang paling utama sebagai penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
KANDUNGAN EMISI GAS RUMAH KACA PADA KEBAKARAN HUTAN RAWA GAMBUT DI PELALAWAN RIAU
Nurhayati, Ati Dwi; Aryanti, Ervina; Saharjo, Bambang Hero Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, Vol. 15, No. 2, 2010:78-82 Abstract: Peat land in the east coast of Sumatera (Riau, Jambi, South Sumatera) and Kalimantan (South Kalimantan, Central Kalimantan and West Kalimantan) has being used for agricultural crops such as rice field, palm oil and coffee plantation. land preparation practiced is slash and burn method. Smoke haze that produce from peat fires were caused by these method. To determine the impact of such practice to atmospheric quality, a study was conducted at Pelalawan Province Riau. Four plots on peat land were prepared at sapric and hemic, each plot was 20 m x 20 m (0,04 ha). Before burning vegetation was cleared off, then the plots were circularly burned (ring fire) and greenhouse gases emitted were measured. The average of greenhouse gases emitted from sapric plot burning were 273 ppm CH4, 10.395 ppm C02 and 1.223 ppm CO. Greenhouse gasses emitted from hemic plot burning were 306 ppm CH4, 10.678 ppm C02 and 2176 ppm CO. The high CO emission from peat burning indicate there has been an incomplete burning at the fuel, due to high fuel moisture. The largest single atmospheric emission from peat burning was C02 and the smallest was CH4. The increase of greenhouse gases emission will contribute to global climate change, especially the global temperature increase through greenhouse effect of the gases.
DAFTAR ISI KARAKTERISTIK EKOLOGI LOKASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI DESA RANTAU BAIS KECAMATAN TANAH PUTIH KABUPATEN ROKAN HILIR
Vembrianto, Nino; Yoza, Defri; Sribudiani, Evi Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Pertanian, Vol. 2, No. 1, 2015:1-9 Abstract: Forest is a gift of nature that have the potential and function to maintain the environmentalbalance. Land and forest fires may degrade the quality of the environment. Rokan Hilir is aregency in Riau region that often happen forest fires. The purpose of this study was todetermine the ecological characteristics which include temperature and humidity, rainfall, thevolume and the water content of fuel and also the soil at the location of land and forest fires.This research was conducted in Rantau Bais Tanah Putih Rokan Hilir. The method of datacollection by means of surveys. Data obtained during the study presented in a table based onthe type of activities that can be taken to a conclusion. The results of this study showed thatthe average value of the temperature and humidity are 32.50C and 64.5%, rainfall is 212.62mm, and the volume of forest fuel moisture content is 16.8 million m3and 12.59%, the watercontent of soil is 279.64%, bulk density was 0.1975, particle density is 1.0975, total porespace is 82.33%, permeability is 169 625 cm/h and C-Organic is 47.66%.
KARAKTERISTIK KIMIA AIR HUJAN SAAT KEBAKARAN HUTAN DI PROPINSI KALIMANTAN BARAT DAN SUMATERA SELATAN
Sheila Dewi Ayu Kusumaningtyas Jurnal meteorologi dan geofisika, Vol. 14, No. 1, 2013:1-9 Abstrak: Permasalahan kebakaran hutan di berbagai
propinsi di Indonesia terutama di Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan mulai marak seiring dengan meningkatnya laju penebangan hutan serta tingginya tekanan penduduk akan pemenuhan kebutuhan hidup melalui sumber daya kawasan hutan. Kebakaran hutan berpengaruh terhadap lingkungan berupa penurunan kualitas udara. Untuk mengetahui dampak kebakaran hutan terhadap karakterisitik kimia air hujan dan kondisi partikulat di Pontianak dan Palembang dilakukan analisa parameter anion, kation, dan pH air hujan serta Suspended Particulate Matter (SPM) selama periode 2002 hingga 2008. Data kimia air hujan dan SPM diperoleh dari pengamatan Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak dan Stasiun Klimatologi Kenten, Palembang, sedangkan analisanya dilakukan di BMKG Pusat menggunakan Kromatografi Ion. Untuk mengetahui jumlah kebakaran hutan digunakan parameter titik api dari Satelit Terra dan Aqua MODIS yang dikumpulkan dan dikelola oleh Stasiun Bumi Satelit NOAA, Kementerian Kehutanan. Dari hasil kajian diketahui bahwa kenaikan jumlah titik api baik di daerah Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan diiringi oleh kenaikan konsentrasi deposisi asam dan SPM beberapa saat kemudian. Baik di Pontianak dan Palembang telah terjadi hujan asam dengan presentasi kejadian berturut-turut adalah 61,1 % dan 71,8 %. Komposisi kimia penyusun air hujan di Pontianak dan Palembang baik pada saat titik api tinggi ataupun rendah didominasi oleh unsur Cl-, NH4 +, Ca2+, dan Na+. Tingginya konsentrasi NH4 +, Ca2+, dan Na+ selama kurun waktu 2002 hingga 2008 berperan sebagai faktor penetral keasaman air hujan sehingga kecenderungan pH mengalami kenaikan. Baik di Pontianak dan Palembang, kenaikan titik api diiringi dengan kenaikan konsentrasi SPM dengan koefisien korelasi masing-masing 0,836 dan 0,678.
DAFTAR ISI KEBIJAKAN MITIGASI BENCANA KEBAKARAN HUTAN GAMBUT DI KALIMANTAN TENGAH
Kisno Hadi Jurnal pembangunan masyarakat dan desa, Vol. 11, No. 1, 2010:78-89 Abstrak: Terdapat dua macam bencana yang terjadi di Kalimantan, yaitu banjir di musim hujan serta kebakaran hutan gambut di musim kemarau. Bencana yang terjadi setiap tahun itu akibat ulah manusai serta kesalahan kebijakan dalam memanfaatkan sumber daya alam. Untuk bencana kebakaran hutan gambut eli Kalimantan Tengah, menyebarnya isu perubahan iklim global telah membuat pemerintah daerah tergerak menanggulanginya dalam beberapa tahun terakhir. Apa korelasi kebakaran hutan gambut dengan perubahan iklim global dan bagaimana kebijakan pemerintah daerah menanggulangni ya, merupakan pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini. Ada dua tujuan yang hendak dicapai, 1) mengetahui kerelasi kebakaran hutan gambut dengan perubahan iklim global; 2) mengetahui kebijakan pemerintah daerah dalam mitigasi bencana kebakaran hutan gambut serta bagaimana dukungan swasta dan masyarakat Dayak terhadap kebijakan itu.Metode yang digunakan deskriptif kualitatif dengan memanfaatkan data observasi, dokumen, dan interview.Analisisnya menggunakan pendekatan kelembagaan yang merupakan salah satu model dalam studi kebijakan. Hasil penelitian menemukan, 1) ada korelasi signifikan antara kebakaran hutan gambut dengan perubahan iklim, di mana kebakaran hutan gambut terjadi akibat ulah manusia dan minimnya proteksi dari pemerintah daerah; 2) pemerintah daerah telah membuat kebijakan mitigasi bencana kebakaran hutan gambut.
KEKERINGAN CUACA DAN KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL BERBAK, SUMATERAWEATHER DROUGHT INDEX AND FIRE IN BERBAK NATIONAL PARK, SUMATERA
Asril, A.; Murdiyarso, Daniel; Saharjo, Bambang Hero Jurnal Agromet Indonesia, Vol. 17, No. 1 & 2, 2003 Abstrak : -
MEKANISME TERGANGGUNYA PROSES FOTOSINTESIS PADA BERBAGAI KONDISI VEGETASI PASCA KEBAKARAN HUTAN
Wahyu Catur Adinugroho; Sri Utami Mitra hutan tanaman, Vol. 4, No. 3, 2009:101-110 Abstrak : -
DAFTAR ISI MEMAHAMI PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN SERTA UPAYA PENANGGULANGANNYA: KASUS DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT
PENGARUH KABUT ASAP AKIBAT KEBAKARAN HUTAN, PENANGGULANGAN, DAN PENEGAKAN HUKUMNYA
PASARIBU, SAHAT M.; FRIYATNO, SUPENA SOCA (SOCIO-ECONOMIC OF AGRICULTURRE AND AGRIBUSINESS), Vol. 8, No. 1, Februari 2008:1-23
T. Nazaruddin Suloh : jurnal penelitian dan pengkajian hukum, Vol. 6, No. 3, 2008:175-190
Abstract: Land and forest fire have grabbed much concern and been considered as national issue. The event occurs repeatedly year by year, specifically in Sumatra and Kalimantan islands. Government institutions and local community, including farmers and estate enterprises have a very close linkage in such disaster. The smoke produced by the fire has been transformed into a widespread of thick cloud and immediately affects health conditions of the community. The smoke also directly interfere river, land, and air transport systems, thus influencing basic socio-economic life of human being. This paper is aimed at understanding about how forest fire occurs and its effect on agricultural sector. With rapid rural appraisal method, this paper eventually comes to main results and findings as follows: (a) elaboration of five identified typologies of land and forest fire, (b) analysis of direct and indirect impacts of the fire on agricultural sector, (c) identification of who and why land and forest fire occur, and (d) recommendation of programs to persuasively eliminate land and forest fire. Many parties have its own share and proportion to contribute to land and forest fire. Imbalanced-nature occurs and causes specific disaster with environment degradation. People have many difficulties to recover from such situation. The successful to get rid of land and forest fire is heavily depending on how alternative applied technologies can easily be adopted and law enforcement can widely be implemented.
Abstract: This report is aimed to analyze the side effect of smog caused by forest fire, the prevention and the low enforcement also to analyze the effort which should be done by parties. This report shown that the extensive of forest fire occurred couples times in Indonesia. In 1991, the fire has burn about 500.000 acres and almost 5 billion acres in 1994. The smog that caused by the forest fire has influenced Singapore and Malaysia, also Indonesia. The smog has intruded on air and marine travel, also cause the huge pollution. There are sanctions toward criminal offense on the environmental regulation; nevertheless the law enforcement seems could not be upheld. In fact, in 1997-1998 - there are no official action taken by the government to execute the industrialist which involved in forest fire.
PENGATURAN KEWENANGAN LEMBAGA PENGENDALI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN Suryaningsih Vidya : jurnal ilmiah, Vol. 13, No. 3, 2005:63-69 Abstrak : -
DAFTAR ISI PENYEBARAN POLUTAN DARI KEBAKARAN HUTAN DAN ISU PENCEMARAN UDARA DI MALAYSIA
Iis Sofiati Berita dirgantara : majalah ilmiah semi popular, Vol. 11, No. 2, 2010:42 – 46 Abstrak: Berbagai studi mengenai kebakaran hutan sudah dilakukan dan belum banyak kemajuan yang dicapai untuk mengatasi masalah ini di Indonesia. Alasan-alasannya antara lain adalah kerancuan kebijakan, keterbatasan pemahaman tentang dampaknya terhadap ekosistem, dan kekaburan tentang berbagai penyebab kebakaran hutan sebagai akibat ketidakpastian tanggapan secara ekonomi dan kelembagaan terhadap kebakaran hutan. Masalah kebijakan yang terkait dengan kebakaran hutan/lahan adalah pencemaran kabut asap, degradasi hutan, dan deforestasi beserta hasil hutan dan jasanya yang juga hilang, dan dampak negatifnya bagi sektor pedesaan akibat emisi polutan yang ditimbulkan dari kebakaran hutan tersebut. Oleh sebab itu, sangat perlu adanya pengawasan ketat dari pemerintah daerah di Indonesia dalam upaya mengurangi dan menanggulangi kebakaran hutan termasuk pengembangan kerja sama antarinstansi terkait.
PERLINDUNGAN ENVIRONMENTAL RIGHTS UNTUK KORBAN DAMPAK KERUSAKAN LINGKUNGAN STUDI KASUS: KEBAKARAN HUTAN INDONESIA (1998) DAN LUAPAN LUMPUR SIDOARDJO-LAPINDO BRANTAS (2006)
Linda Yanti Sulistiawati Mimbar hukum : jurnal berkala Fakultas Hukum UGM, Vol. 21, No. 1, 2009:1-21 Abstract: It is clear that environmental rights are among the most important basic rights in human’s life. Although embedded in more than several international treaties, there is yet an independent treaty which focusing solely on environmental rights. This is very unfortunate to developing countries such as Indonesia, whose most environmental problems are caused by human and/or development activities and with victim unprotected of their environmental rights. This research unfolds two case studies in Indonesia regarding to the protection of three basic rights: the right to be free from hunger, the right to security, and the right to health. In principle these case studies pictures environmental rights protection in Indonesia, which is already protected on the legal basis, but lack of implementation in the field.
DAFTAR ISI PERTANGGUNGJAWABAN INDONESIA DALAM PENYELESAIAN KASUS TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION AKIBAT KEBAKARAN HUTAN BERDASARKAN KONSEP STATE RESPONSIBILITY
Dinarjati Eka Puspita Mimbar hukum : jurnal berkala Fakultas Hukum UGM, Vol. 19, No. 3, 2007:471-485 Abstract: Forest fire problem in Indonesia is not only the internal problem for Indonesian people become a regional problem that resulted transboundary haze pollution with several neighbor countries, which have directly by Indonesian forest fires such as haze pollution. This problem has some consequences for Indonesian government when the forest fires have direct impact to other countries. The responsibilities of Indonesian government to transboundary haze pollutions that caused by Indonesian forest fire are: the first, the regime of responsibility of state for this case is liability; second, responsibility criteria for this case is by strict liability concept; and third, Indonesian government is the one party that have full responsibilities to handling forest fires and all impact caused by Indonesian forest fires problems. The two importance steps that must be accomplished by Indonesian government to restoring liability are ratifying the ASEAN Agreement Transboundary Haze Pollution (AATHP) and involve in the Clear Development Mechanism (CDM) as regulated in Kyoto Protocol.
SIMULASI TRAYEKTORI POLUTAN DARI KEBAKARAN HUTAN DENGAN THE AIR POLLUTION MODEL (TAPM-V3.1) BERDASARKAN DATA HOTSPOT DARI NOAA-18 DI PROVINSI RIAUSUMATERA
Iis Sofiati Lingkungan tropis, Edisi khusus, 2008:197-207
Abstrak: Kebakaran hutan dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan bekelanjutan karena efeknya secara /angsung bagi ekosistem (United Nations International Strategy for Disaster Reduction, 2002).Oleh karena itu dalam mendukung pengelolaan sumber daya hutan yang lebih baik, perlu kajian lebih dalam dengan melakukan penelitian diantaranya dengan mengetahui estimasi trayektori polutan dari kebakaran hutan.Berdasarkan data hotspot (titik panas) dari kebakaran hutan dan lahan sebagai sumber polutan, dianalisa simulasi trayektori polutan dengan menggunakan software TAPM V.3.1. Dari hasil terlihat bahwa pada bulan Agustus penyebaran polutan bisa mencapai Semenanjung Malaysia, karena pada pagi dan sore hari angin rata-rata bertiup dari arah Selatan menuju Utara dan Timur, sedangkan pada malam hari angin berasal dari arah Timur dan Tenggara dengan kecepatan rata-rata 4 m/det sehingga polutan berbelok arah kembali mendekati sumber. Sebaliknya, pada bulan Februari karena angin dominan bertiup dari arah Timur laut, maka rata-rata polutan bergerak ke arah Barat daya. Sedangkan pada bulan April dan Oktober angin rata-rata bertiup dari arah Timur dan Tenggara, sehingga polutan rata-rata bergerak menuju arah Timur laut Prov. Riau. Dengan diketahuinya arah sebaran polutan dari kebakaran hutan untuk setiap musim, maka diharapkan isu yang terkait dengan metodologi yang muncul dalam makalah ini akan bermanfaat bagi studi serupa di wilayah lain.
DAFTAR ISI STUDI EMISI CO2AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DI PROVINSI RIAU (STUDI KASUS DI KABUPATEN SIAK)
Nasution, A.Z. Bumi Lestari Journal of Environment, Vol. 13, No. 1, 2013:27-36 Abstract: This research was aimed to analyze the CO emissions due to forest fires that occurred in Siak Regency, Riau Province Indonesia in 2010 and to analyze the probability of forest fire occurrence in Siak Regency using the available data. Fire and CO2 emissions in the area of plantation forests are greater than in the area of natural forests. The amount of CO2 emissions due to forest fires in 2010 varied between 107.260 Ton CO2 yr-1 in natural forests and 151.600 Ton CO2 yr-1 in plantation forests. The amount of CO2 emissions due to forest fires in the peat land was 2.176 Ton CO2 yr-1. This value is mainly depending on the extent of the burned area in the year of 2010. Results of the logistic regression show the forest fires are more likely to occur in degraded forests.
STUDI SUMBER PENYEBAB TERJADINYA KEBAKARAN DAN RESPON MASYARAKAT DALAM RANGKA PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN GAMBUT DI AREAL MAWAS KALIMANTAN TENGAH
Akbar,hadi,sabarudin, Acep, Sumardi, Ris, Purwanto, M.Sambas Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, Vol. 8, No. 5, 2011:287-300 Abstrak: Aktivitas pencegahan kebakaran hutan rawa gambut perlu didasari oleh adanya pengetahuan tentangprofil manusia pengguna api rutin di lahan yang identik dengan sumber-sumber api pemicu kebakaran.Pengetahuan tersebut berguna untuk mengarahkan pembinaan pencegahan kebakaran yang dilakukanoleh pemerintah sehingga tepat sasaran. Respon masyarakat terhadap jenis-jenis inovasi pencegahankebakaran yang diterapkan perlu digali agar tercipta peluang kolaborasi antara pihak pemerintah ataupengelola dengan masyarakat target sehingga proses peningkatan kesadaran, kesiagaan dan difusi inovasidapat berjalan secara cepat. Melalui penelitian survey opini publik di lima desa contoh sekitar hutankonservasi Mawas di KalimantanTengah diketahui bahwa sumber api rutin berasal dari petani ladang danpenangkap ikan, sedangkan pengguna api lain bersifat tidak rutin yaitu petani rotan, pencari rotan, pencarikulit gemor, dan pencari madu, pengayu, penambang emas, dan pengrajin perahu klotok. Kegiatanpencegahan yang mendapat respon masyarakat adalah semua pola penyuluhan dan penerapan teknologiyang umum dilakukan dalam pencegahan kebakaran kecuali persiapan lahan tanpa bakar dan pola tanamagroforestry.Disimpulkan bahwa aktivitas pencegahan kebakaran jika dilakukan melalui kolaborasiantara pemerintah dengan masyarakat sekitar hutan terutama dengan petani ladang dan penangkap ikanberpotensi menurunkan frekuensi terjadinya kebakaran.
DAFTAR ISI ZONASI DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN KUBU RAYA PROVINSI KALIMANTAN BARAT
Jawad, Abdul; Widiastuti, Tri Jurnal Hutan Lestari, Vol. 3, No. 1, 2015:88-97
Abstract: Kubu Raya district has common place of forest fire every dry season. Based from Unit Penanggulangan Hutan dan Lahan (UPKHL) of forestry of Ministry West Kalimantan Province data up to October 2013, there is 349 hotspots in Kabupaten Kubu Raya. Kubu Raya indeed susceptible of forest fires, it is cause by the terrain that dominated by peatlands that easily combusted. The purpose of this research is to identified and maping forest fire spot in Kubu Raya district based on parameter analysis of peat depth, elevation and land cover. Forest fire zone in Kubu Raya district identified using Geographic Information System application is done overlaying land cover data, elevation and peat depth wich has scoring. After analyzed, data suitable with danger level of spot/zone that base of combination divided into 5 level wich is save, low, medium, high and very high. The result of this analysis shown that Kubu Raya district area is 829,969.17 Ha, consist of 92,804,54 Ha (11.18%) very high, 349,681.47 Ha (42,13%) high zone, 339,352.39 Ha (40.8% ) medium zone, 38,271.98 Ha (4.61% ) low zone and 9,858.79 Ha (1.19%) save zone.
DAMPAK DAN ANTISIPASI KEBAKARAN HUTAN Oleh : Sri Lestari
*)
Abstract The frequent accurrences of forest fire causes air pollution. Concentration Sulfur = and smoke endangers the inhabitant’s health, and also Oxides, particulate SO4 decreases amount of rainfall. The result of observation by BMG (Institute of Meteorological and Geophisical in Indonesia) on concentration pollutant Sulfur Oxides, particulate SO4= and smoke in accurrences of forest fire for September 1997 in Kalimantan and Sumatera showed the increase to 700 % pollutant smoke, 313 % molecular cation NH4++ , Ca+ , Mg++ and 540 % anion Cl- , NO- and SO4— And UPTHB, BPPT to do rainmaking for disperse the smoke. Kata kunci : Kebakaran hutan, kabut asap dan debu, polusi udara, inversi, modifikasi cuaca. 1. PENDAHULUAN Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini,• hampir setiap tahunnya terjadi kebakaran hutan dan lahan yang sering menimbulkan kerugian besar. Bahkan pada tahun 1997/98 akibat kebakaran hutan dan lahan, bencana yang diakibatkan telah dikategorikan sebagai bencana nasional. Hal tersebut disebabkan karena besarnya kerugian materil yang mencapai 34 milyard• dolar US, dengan kurun waktu berlangsung yang mencapai 9 bulan (Juni 97 –Maret 98) dan wilayah yang mendapat musibah hampir• meliputi seluruh wilayah Republik Ibdonesia, bahkan menyeberang sampai ke Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) Departemen Kehutanan tanggal 16 Juni 1998 luas hutan yang terbakar di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 1997 adalah 263.992 Ha, sedang hutan yang terbakar sebagian besar adalah hutan produksi, dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa peristiwa kebakaran hutan merupakan suatu tindakan yang memang disengaja. Kesengajaan tersebut disebabkan karena tindakan membakar hutan merupakan cara yang paling mudah, cepat dan murah dalam mengelola hutan dibandingkan dengan cara yang lainnya. Akibat yang ditimbulkan dengan adanya kebakaran hutan dan lahan adalah terjadinya pencemaran udara karena munculnya polutan asap dan debu yang melayang di udara dalam waktu yang relatif *)
lama dan dalam area wilayah yang sangat luas sehingga dapat menjadikan : Polusi udara, yaitu dengan terakumulasinya debu dan asap, konsentrasi kation NH4++, Ca+, Mg++ dan anion Cl- , NO3-- dan SO4= di dalam suatu kolom udara dengan jumlah di atas ambang batas yang telah ditetapkan sehingga dapat membahayakan kesehatan baik bagi manusia, hewan dan tanaman, serta penurunan derajat keasaman udara. Jarak pandang yang sangat pendek sehingga dapat mengganggu lalu lintas perhubungan udara, laut dan darat. Berkurangnya jumlah curah hujan, hal ini disebabkan karena dengan adanya asap yang mengambang di udara dalam waktu yang relatif agak lama maka proses pertumbuhan awan dan penguapan dapat terhambat, sehingga peluang untuk terjadinya hujan tidak ada. Antisipasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mencegah adanya kebakaran hutan adalah dengan menerapkan Undang-Undang No 23 tahun 1997 tentang pengendalian praktek pembakaran hutan dan dampaknya yang disertai dengan pasal-pasal yang mengatur juga mengenai sangsi hukuman bagi yang melakukan pelanggaran. Selain itu, UPT Hujan Buatan BPPT juga melakukan pengkajian modifikasi cuaca yang bertujuan untuk pemadaman kebakaran hutan, yaitu dengan mengupayakan pencucian atmosfer misalnya dengan mengusahakan untuk menurunkan lapisan asap yang tebal sehingga memberi peluang untuk pertumbuhan awan dan hujan. 2. DAMPAK KEBAKARAN HUTAN
Peneliti UPT Hujan Buatan, BPP Teknologi. Jl. M.H. Thamrin No. 8 , Jakarta.
Dampak Dan Antisipasi Kebakaran Hutan (Sri Lestari)
171
Dengan munculnya kabut asap dan debu hasil pembakaran hutan dan lahan akan dapat menimbulkan pencemaran udara yang sangat membahayakan kesehatan manusia terutama pada sistem pernafasan. Bila dicermati dengan sungguh-sungguh ternyata bahaya yang ditimbulkan karena pencemaran udara lebih besar dan memprihatinkan bila dibandingkan dengan pencemaran air dan makanan Mengatasi pencemaran air dan makanan dapat dilakukan relatif lebih mudah dibandingkan dengan pencemaran udara. Satusatunya jalan untuk menghindari resiko yang disebabkan pencemaran udara adalah dengan jalan tidak menghirup udara di daerah tersebut yaitu dengan meninggalkan jauh-jauh tempat yang terkena pencemaran lingkungan. Konsentrasi polutan kabut asap dan debu yang sangat pekat dapat berbahaya bagi pernafasan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh WHO atas pengaruh pencemaran udara bagi kesehatan dapat dilihat dalam lampiran tabel 1. Dari tabel tersebut disebutkan bahwa konsentrasi ion SO4 sebesar 0.05 ppm pada udara dalam waktu lama (lebih dari 2 jam selama per hari) dapat membahayakan bagi kesehatan yang berupa gangguan penyakit ispa (inpeksi saluran pernafasan atas, bronchitis dan asma. Dampak yang ditimbulkan karena adanya asap dari kebakaran hutan adalah polusi udara, jarak pandang yang makin pendek dan menurunnya intensitas curah hujan. 2.1. Polusi Udara Pada bulan September 1997 BMG telah mengadakan pemantauan polusi udara di daerah yang terkena bencana asap kebakaran hutan dan lahan yaitu di Pontianak, Palangkaraya dan Jambi. Adapun parameter-parameter yang dipantau adalah ; (a) Konsentrasi debu (SPM), (b) Derajat keasaman air hujan dan (c) Konsentrasi + ++ ++ kation (NH4 , Ca Mg ) serta Konsentrasi = anion (Cl , NO , SO4 ) 2.1.a. Konsentrasi Debu Dari penelitian yang telah dilakukan BMG diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa konsentrasi debu selama kebakaran hutan meningkat antara 300 % hingga 700 % dibandingkan dengan konsentrasi debu sebelum terjadi kebakaran hutan. Dari tabel no 2 dapat dilihat bahwa peningkatan konsentrasi debu di Jambi Sumatera lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan konsentrasi debu di Pontianak dan Palangkaraya Kalimantan, hal ini disebabkan karena jumlah 172
luas hutan yang terbakar di Sumatera lebih kecil bila dibandingkan dengan luas hutan yang terbakar di Kalimantan. Tabel 2 : Lokasi, Jumlah konsentrasi debu dan sebelum dan saat kejadian kebakaran hutan. Sebelum Saat Kenaik Lokasi (ppm) Keba -an Karan (ppm) Pontianak 69.64 500.96 7x Palangkaraya 62.55 504.92 7x Jambi 91.92 297.03 3x 2.1.b. Penurunan Derajat Keasaman Udara. Dari hasil pengukuran Derajat Keasaman (pH) udara menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan pH udara pada saat terjadi kebakaran bila dibandingkan dengan saat sebelum adanya kebakaran hutan dan lahan. Tabel 3 : Lokasi, Derajat Keasaman (pH) sebelum dan saat kejadian kebakaran hutan. Sebelum Saat Penu Lokasi Keba runan Karan Pontianak 5.82 4.96 - 0.66 Palang Karaya 6,25 5.92 - 0.32 Jambi 6.19 6.03 - 0.16 2.1.c. Konsentrasi kation (NH4+, Ca++ Mg++) dan anion (Cl-, NO- , SO4=) Kation NH4+ Ca++ Mg++ Peningkatan Konsentrasi kation NH4+ Ca++ Mg++ di Jambi adalah yang tertinggi di bandingkan dengan peningkatan di Pontianak dan Palangkaraya. Peningkatan Amonium (NH4+ ,) antara 30 % hingga 79 % (0.95 ppm – 1.7 ppm) , peningkatan unsur Calsium (Ca++ ) berkisar 45% hingga 180% (0.245 ppm – 0.685 ppm) sedangkan peningkatan Magnesium antara 5 % hingga 313 % (0.115 ppm – 0.475 ppm). Anion (Cl-, NO- , SO4=) Peningkatan anion (Cl-, NO-, SO4=) ini bervariasi, untuk peningkatan Clorida (Cl-) berkisar tertinggi di Jambi 18 kali dari 0.12 ppm hingga 2.19 ppm demikian pula peningkatan ion NO- tertinggi juga di Jambi yaitu sebesar 540 % ( 0.075 ppm menjadi 0.480 ppm) sedangkan untuk peningkatan SO4= tertinggi terjadi di Palangkaraya yakni sebesar 260 % ( 0.025 ppm – 0.09 ppm),
Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.1, No. 2, Januari 2000 : 171-175
2.2. Jarak Pandang (Visibility) Akibat pekatnya konsentrasi asap dan debu yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan menjadikan jarak pandang yang semakin pendek. Bila udara bersih jarak pandang dapat mencapai lebih dari 5 (lima) kilometer namun dengan adanya asap dan debu, mengakibatkan jarak pandang menjadi sangat terbatas bahkan pernah hanya mencapai 50 – 100 meter. Menurut Silverman dalam bukunya “Weather and Climate Modification” bahwa jauhnya jarak pandang sangat dipengaruhi oleh jumlah atau konsentrasi seluruh partikel yang ada pada per satuan volume udara, dan jari-jari partikel tersebut. Semakin banyak jumlah partikel apalagi dengan jari-jari yang semakin besar maka akan semakin pendek jarak pandang. Hasil pencatatan monitoring jarak pandangbaik di Pontianak, Palangkaraya dan Jambi menunjukkan bahwa secara rata-rata pada pagi hari hingga jam 10.00 jarak pandang berkisar 300 m – 700 m, jam 10.00-14.00 jarak pandangdapat mencapai 1000 m bahkan kadang sampai 2000 m namun setelah jam 14.00 jarak pandang menurun dengan cepatnya hingga kurang dari 500 m. Bahkan pada minggu-minggu pertama bulan September 1997, jarak pandang sangat pendekrata-rata kurang dari 500 m dari pagi hingga sore, sehingga sampai terjadi evakuasi penduduk dari Pekanbaru Riau ke Medan. Dari pengamatan visual mengenai keberadaan asap menunjukkan bahwa asap umumnya berada dekat permukaan pada malam hari hingga pagi hari, yang kemudiannaik setelah matahari terbit. Hal ini memperkuat dugaan bahwa fluktuasi naik turunnya ketebalan asap sangat dipengaruhi oleh profil suhu udara ke atas. 2.3.
Penurunan Intensitas Curah Hujan.
Pembakaran hutan yang terus menerus dilakukan menyebabkan kabut asap semakin pekat sehingga mengganggu proses pemanasan matahari ke permukaan bumi. Hal ini menyebabkan kurangnya penguapan di wilayah sekitarnya sehingga mengakibatkan awan dan hujan sulit terjadi. Kabut asap yang bertahan cukup lama menjadikan lapisan udara yang disekitarnya akan cenderung bersifat stabil dan sulit terbentuk uap air atau awan sehingga hujan tidak terjadi yang akibat selanjutnya justru mungkin akan menimbulkan gangguan pola aliran udara, yaitu kondisi suhu permukaan lebih rendah dibandingkan dengan suhu di lapisan udara di atasnya maka akan terjadi lapisan inversi. Dengan adanya lapisan inversi ini menyebabkan partikel dari bawah
tidak dapat terangkat, dan tertahannya polutan yang akan keluar dari sumber ke udara, kondisi inilah yang justru mengakibatkan terjadinya penumpukan yang lebih awet di udara. 3. ANTISIPASI TIMBULNYA KEBAKARAN HUTAN 3.1. Undang-Undang Nomor : 23 tahun 1997 Dengan melihat besarnya kerugian yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan dan sulitnya penanggulangan, maka mulai tahun 1997 pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan Undang-Undang no 23 tahun 1997 tentang pengendalian praktek pembakaran hutan dan dampaknya, yang intinya antara lain : Kebijakan Tanpa Bakar (“Zero Burning Policy”). Pembukaan hutan dan penyiapan lahan dengan pembakaran yang dilakukan oleh Badan Usaha dilarang sama sekali. Pembakaran dengan ijin (Fire Scribed Burning). Ijin ini diperuntukkan bagi kegiatan pengendalian kebakaran hutan, pemberantasan hama dan penyakit tanaman, perbaikan habitat kehidupan liar serta pembakaran sampah domestik dan limbah industri. Pembakaran secara terkendali (Pemisible control burning). Peraturan ini dikhususkan kepada masyarakat peladang berpindah, dengan tujuan untuk penyiapan ladang dan padang penggembalaan. Dalam hal ini masyarakat yang akan membakar cukup lapor kepada Kepala Desa setempat. Pemberian sangsi hukuman dan denda bagi para pelaku yang secara sengaja melanggar ketentuan. 3.2. Modifikasi Cuaca Konsentrasi polutan seperti asap dan debu akan lebih cepat bergerak dan menghilang apabila di lapisan udara tersebut terdjadi angin dengan kecepatan tinggi atau adanya pencucian atmosfer melalui hujan dan pembersihan asap. Untuk mengusahakan agar kondisi angin yang tadinya calm/lemah berubah menjadi kecepatan tinggi dalam cakupan wilayah yang luas sampai saat ini belum dapat dilakukan. Sedangkan untuk mengadakan pencucian atmosfer dapat dilakukan dengan melalui teknologi modifikasi cuaca yang ditujukan untuk menurunkan lapisan kabut asap dan debu sehingga memungkinkan untuk dapat terjadinya pertumbuhan awan dan hujan. Teknologi modifikasi cuaca, yang dilakukan adalah dengan menyemai serbuk Cuicklime (CaO) yang berdiameter 40 mikron, ke dalam
Dampak Dan Antisipasi Kebakaran Hutan (Sri Lestari)
173
lapisan asap. Penyemaian CaO akan dapat menimbulkan reaksi yang berbentuk pengikatan unsur-unsur gas H2O, CO2 dan SO2 oleh CaO sehingga kepekatan (viskositas) dari udara asap akan berkurang dan akibatnya radiasi matahari dapat menembus ke permukaan bumi. Kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya arus konveksi yang akan memanaskan dengan molekul-molekul H2O dan CO2 demikian akan timbul pemanasan lokal pada kolom udara yang dipanasi oleh reradiasi tersebut sehingga akan terjadi gangguan pada sistem dinamika udara dari asap tebal yang berupa adanya perubahan kecepatan angin, suhu udara dan visibility di lokasi penyemaian. 3.3. Pengendalian kebakaran di Malaysia. Pemerintah Malaysia pada saat ini sangat memperhatikan pengendalian kebakaran hutan. Bagi para pelaku pembakar hutan yang melanggar peraturan benar-benar diberi sangsi hukuman atau denda tanpa pandang bulu. Pembakaran hanya dibenarkan apabila dilakukan dilahan pertanian untuk memberantas penyakit, serangga, bangkai dan pembakaran dengan tujuan penelitian. Usaha-usaha dalam menangani pengendalian kebakaran hutan adalah dengan jalan antara lain : a. Mengedarkan pamlet-pamlet kepada masyarakat umum mengenai pentingnya mencegah terjadinya kebakaran, informasi dan peraturan mengenai larangan membakar berikut bentuk sangsi hukumannya serta dampak pembakaran terbuka terhadap bahaya pencemaran udara. b. Selalu mengadakan pemantauan bila ada kebakaran hutan setiap hari terutama pada musim panas/kering. Dalam pemantauan terjadinya pembakaran terbuka dilakukan dengan cara-cara menindak lanjuti pengaduan, pengawasan lapangan (rondaan zone), pengamatan melalui udara dan penggunaan satelit.
BPPT sebagai lembaga penelitian tidak boleh berhenti dalam mengkaji teknologi modifikasi cuaca dalam kaitannya dengan kebakaran hutan. DAFTAR PUSTAKA 1. Agus Paulus.W. 2000, Pembakaran Lahan Mengurangi Curah Hujan, Harian Kompas 20 Maret 2000, Jakarta. 2. Ahmad Sasmito, 1998, Karakteristik Sebaran Polutan Saat Terjadi Kebakaran Hutan Di Daerah Kalimantan Dan Sumatera, Bulan September 1997, Buletin Meteorologi dan Geofisika No 1 Tahun 1998, BMG Jakarta. 3. Samsul Bahri dan Baginda P. Sitorus, 1999, Peranan Teknologi Modifikasi Cuaca Dalam Upaya Penanggulangan Asap Kebakaran Hutan, Prosiding Konferensi Energi, Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Kedeputian Bidang TPSA, BPPT, Jakarta. 4. Tuty MHW, dkk, 1998, Hasil Analisis Kimia Debu di Beberapa Tempat Yang Terkena Bencana Asap 1997, Buletin Meteorologi dan Geofisika No 1 Tahun 1998, BMG Jakarta 5. UPT Hujan Buatan, 1997, Modifikasi Cuaca Untuk Penanggulangan Asap Akibat Kabakaran Hutan dan Lahan Di Wilayah Sumatera dan Kalimantan, BPPT, Jakarta. RIWAYAT PENULIS Sri Lestari lahir di Yogyakarta, Tanggal 5 Februari 1954. Menyelesaikan pendidikan S1 Di Universitas Gadjah Mada, Fakultas Geografi. Sejak tahun 1980, bekerja sebagai staf UPTHB BPPT.
4. PENUTUP 1. Mengingat dampak kebakaran hutan dapat menimbulkan pencemaran udara yang sangat membahayakan kesehatan manusia maka pemerintah Indonesia harus serius dalam menangani masalah pengendalian pembakaran hutan. 2. Meskipun sudah dikeluarkan UU No 23 th 1997 tentang pengendalian praktek pembakaran hutan dan dampaknya, namun
174
Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.1, No. 2, Januari 2000 : 171-175
LAMPIRAN Tabel 1. Akibat polusi pencemaran udara bagi kesehatan Pollutan
Kosentrasi
Lama
Akibat
Sulfur Oxida dan partikel SO2
1.6.ppm 0.2 ppm
Rata-rata 1 jam dalam sepanjang hari
Berjangkitnya penyakit batuk dan ispa (infeksi pernapasan saluran atas)
Sulfur Oxida dan partikel lain
0.05 ppm
Dalam waktu yang sangat lama
Anak-anak mudah terserang penyakit batuk berdahak yang berkepanjangan
0.2 ppm SO2 disertai dengan debu hitam 200 ug/m3
Sepanjang hari
Memburuknya penyakit bronchitis bagi penderita yang sudah kronik.
0.25 ppm SO2 disertai dengan debu hitam 750 ug/m3
Sepanjang hari
Meningkatnya penyakit kejiwaan.
.
Dampak Dan Antisipasi Kebakaran Hutan (Sri Lestari)
175
J. Agromet Indonesia 20 (1) : 1 – 9, 2006
DYNAMICAL LAND/FOREST FIRE HAZARD MAPPING OF KALIMANTAN BASED ON SPATIAL AND SATELLITE DATA (Pemetaan Kebakaran Lahan/Hutan Dinamis Pulau Kalimantan Berdasarkan Data Spasial dan Satelit) E. S. Adiningsih, B.S. Tejasukmana, M.R. Khomarudin Center for Remote Sensing Application and Technology Development – LAPAN ABSTRAK Sistim deteksi dini merupakan komponen penting dalam pengelolaan kebakaran lahan /hutan. Kalimantan merupakan salah satu daerah yang rawan kebakaran di Indonesia. Pemetaan bencana kebakaran lahan/hutan pada daerah tersebut sangat penting untuk memberikan informasi deteksi dini. Metode untuk pemetaan bencana kebakaran yang bersifat statis telah banyak dilakukan dengan menggunakan Sistim Informasi Geografis. Pemetaan kebakaran lahan hutan dapat dilakukan dengan menggunakan parameter biofisik seperti curah hujan, kondisi vegetasi, penutupan lahan dan jenis lahan. Peta bencana kebakaran lahan/hutan tersebut dapat diperbaharui, karena sebagaian besar parameter diperoleh dari data satelit dan beberapa parameter merupakan hasil prediksi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun model pemetaan bencana kebakaran lahan/hutan untuk Pulau Kalimantan. Data spasial yang digunakan terdiri atas data NOAA-AVHRR, peta penutupan lahan dari Landsat TM, dan peta jenis lahan Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumbangan curah hujan dan NDVI terhadap bencana kebakaran lebih besar dari pada penutupan lahan dan jenis lahan dengan bobot berturut-turut 0.35, 0.30, 0.20, and 0.15. Untuk studi kasus periode 1997 – 2002, sebagian besar hotspot terdapat di daerah dengan kejadian bencana kebarakan hutan yang tinggi. Kata Kunci : Bahaya kebakaran, Curah hujan, Indeks vegetasi, Penutupan lahan, Peta dinamis. ABSTRACT Early warning system is an important component in land/forest fire management. Since Kalimantan is one of prone areas to fires in Indonesia, land/forest fire hazard mapping for the area is essential to provide early warning information. Methods on static fire hazard mapping have been established using geographic information system. Land/forest fire hazard mapping could be established based on spatial biophysical parameters such as rainfall, vegetation condition, land cover, and land type. Since most parameters can be derived from satellite data and some of them are predictable, a dynamical land/forest fire hazard maps can be generated. The objective of this research was to construct a model of forest fire hazard mapping for Kalimantan. Spatial data used consisted of spatial rainfall maps, Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) maps derived from NOAA-AVHRR data, land cover maps from Landsat TM data, and land type map. The results show that contributions of rainfall and NDVI to fire hazards should be higher than land cover and land type. The weights of NDVI, rainfall, land cover, and land type are 0.35, 0.30, 0.20, and 0.15 respectively. For the case study of 1997 – 2002 periods, it has been shown that most hotspots are located in areas with forest fire hazard of high level. Keywords: Dynamical map, Fire hazard, Land cover, Rainfall, Vegetation index, Penyerahan naskah : 12 Maret 2006 Diterima untuk diterbitkan : 8 Mei 2006
1
J.Agromet Indonesia : 20 (1) 2006
INTRODUCTION Kalimantan in one of main island in Indonesia which is prone to land and forest fires. Early warning system for this island then becomes an important component in land and forest fire management since preventive efforts is relatively cost effective than fire suppression and its damaging impacts. Beside other climate elements, rainfall is one of important factors in determining forest fire hazards in prone areas. Meanwhile, rainfall in Kalimantan has been known to be affected by extreme climate events such as El Nino/La Nina and the Southern Oscillation (ENSO) (Alan et al., 2001; Avia and Hidayati, 2001; Harger, 1995; Sulistya et al., 1998; Winarso dan McBride, 2002). Beside climate, fuel availability and biomass are other factors determining forest fire hazards. Fuel availability and biomass are related to land use and land cover. Tacconi (2003) suggested that forest fire in many parts of Indonesia was caused by land use and changes. Based on burned areas during 1997/1997 fires in Indonesia it has been found that logged forest are the pronest area to fires in Kalimantan. Second prone areas to fires are swamp and peatland, followed by lowland forest, bush and grassland, plant forest and plantation. According to Murdiyarso et al. (2002), forest fire hazards are related to accessibility to reach an area and vegetation or fuel types. Highest fire frequency (indicated by hotpot cumulative frequency) was found in areas which could be accessed through secondary roads. They also suggested that although most fires were prescribed, fire spreads were strengthened by prolonged drought or dry weather. Several methods have been developed to determine forest fire hazards. Anderson et al. (1999) has developed a parameter of Soil Dryness Index (SDI) as an indicator of forest fire hazards. Hidayat (1997) and Junaidi (2001) used vegetation indices (Normalized Difference Vegetation Index or NDVI) as forest fire hazards indicator. Canadian Forest Department has used Fire Weather Index (FWI) as forest fire hazards indicator (Dimitrakopoulos and Bemmerzouk, 1996). In those previous works fire hazards referred to fuel condition or fuel flammability and fire spread. Nevertheless, those works have not integrated essential biophysical factors in fire hazard determination. Considering the importance of forest fire hazard mapping in Kalimantan, it is necessary to develop a dynamical forest fire hazard mapping quantitatively, so that preventive plans could be established effectively. The role of geographic information system is essential in the work. Therefore, research on combining factors of climate, vegetation condition and land management practices in predicting forest fire hazard is necessary. The objectives of this research are: (1) to establish and test forest fire hazard prediction model for Kalimantan based on rainfall, vegetation indices, land use, and land type; (2) to analyze the effect of ENSO on fire hazard in Kalimantan. MATERIAL AND METHOD Location and Time Satellite data collection and processing were accomplished at Centre for Remote Sensing Application and Technology Development, National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN), Pekayon – Pasar Rebo, East Jakarta. Meanwhile field observation was also done in West Kalimantan and Central Kalimantan in 2004. 2
Adiningsih et al :Dynamical Land/Forest Fire Hazard Mapping
Material Data collected from various sources include monthly rainfall from 21 stations in Kalimantan for the period of 1991-2002; monthly NDVI, hotspot location and number of all provinces in Kalimantan for the period of 1996-2002 derived from NOAA-AVHRR satellite data; monthly tropical Pacific sea surface temperature anomaly (SSTA) of Nino 3.4 area, monthly Southern Oscillation Index (SOI), and monthly Dipole Mode Indices (DMI) for the period of 19912002 acquired from NOAA website, land use and land type maps of Kalimantan from UNEP (2002). Field data include land use condition, vegetation and fuel condition in West Kalimantan and Central Kalimantan. This research used a set of PC with Sea Scan software to process NOAA-AVHRR data, Arc View for geographical information processing and mapping, and statistical software for statistical processing and analyses. For field survey we used GPS (Global Positioning Satellite) to determine geographical location and camera for documentation. Methods Forest fire hazard analyses are made based on criteria of rainfall, NDVI, land use, and land type were set and weighing method was also applied as seen on Table 1 and Table 2. A weight value is taken into account, then the calculation of parameter score is established as follows: Parameter score = weight * score Since there have been several previous works on forest fire factors, scoring method was based on previous related works (expert approach). Total score was obtained by summing all parameter scores. Forest fire hazard classification could be established by dividing total score range into 5 intervals or classes which describe fuel availability and flammability. The five classes of forest fire hazards are very low, low, moderate, high, and very high as seen on Table 3. Table 1. Criteria and intervals of monthly NDVI and rainfall, land use and land type and their scores to determine forest fire hazard in Kalimantan. Score/Parameter Score = 1 Score = 2 Score = 3 Score = 4 Score = 5 Score = 6
Monthly NDVI (1)
Monthly Rainfall (mm) (2)
> 0.55 0.46 - 0.55 0.36 - 0.45 0.26 - 0.35 0.16 - 0.25 0.06 - 0.15
> 250 200 - 250 151 - 200 101 - 150 51 - 100 0 - 50
Land use Type (3)
Settlement Paddy Field Cropland Plantation Forest Swamp, Bush
Land type (4)
Dry Peat
Note: 1) Based on Hidayat (1997), Junaidi (2001) and NDVI analyses for the period of 1996-2002, 2)Based on criteria of wet and dry months according to Schmidt and Fergusson, isohyet analyses and hotspot distribution maps of Kalimantan in 1996-2002, 3) Based on Tacconi (2003), Murdiyarso et al. (2002), hotspot frequency analyses according to land use type in Kalimantan for the period of 1996-2002, 4) Based on hotspot frequency analyses according to land type in Kalimantan for the period of 1996-2002.
Four combinations of factor scores are applied and analyzed to determine the most appropriate combination of weights for the factors. Analyses on each combination are done by 3
J.Agromet Indonesia : 20 (1) 2006
computing total hotspot frequency of each fire hazard level and the results for all combinations were compared. Some assumptions are made to justify each combination. For combination 1 it was assumed that the contributions of all factors to fire hazards are the same. For combination 2 it is assumed that NDVI and rainfall were dominant factors. On contrary, for combination 3 it is assumed that land use and land types were dominant factors. The three combinations and their weights are presented in Table 2. Table 2. The weight of each factor applied in the study Weight Combination Weight 1 Weight 2 Weight 3
Monthly NDVI(1) 25 % 35 % 15 %
Parameter Monthly Rainfall Land use Type (3) (mm) (2) 25 % 25 % 35 % 15 % 15 % 35 %
Land type (4) 25 % 15 % 35 %
Interpretation After giving scores and weights, fire hazards are then classified based on total scores. Forest and land fire hazards were divided into five levels into very low, low, moderate, high, and very high according to the vulnerability of an area to fires. Each level is then described as follows: Table 3. Description of land and forest fire hazard level Fire Hazard Level Very low Low Moderate High Very high
Total Scores < 2.00 2.00 – 2.99 3.00 – 3.99 4.00 – 4.99 > 5.00
Description Available fuels are very difficult to burn and/or spread Available fuels are difficult to burn and/or spread Available fuels are rather easy to burn and/or spread Available fuels are easy to burn and/or spread Available fuels are very easy to burn and/or spread
Total score can be computed by the sum of all factor scores. As an example, the total score of an area with NDVI of 0.3, rainfall of 175 mm, cropland over peat land for weight combination 1 will be ((0.25*4)+(0.25*3)+(0.25*3)+(0.25*6) or 4 and classified into high fire hazard, and so on. After score computation and fire hazard classification accomplished, the results were processed using Geographic Information System (GIS) and Arc View software to provide fire hazard maps and their predictions. Maps were made for the following periods: strong El Nino and strong positive Dipole Mode Event (DME) in 1997, strong La Nina and strong negative DME in 1998, normal in 2000, weak El Nino and weak positive DME in 2002. Since the highest frequency of hotspot in Kalimantan occurred in September, sample maps were made for September. Further analyses of fire hazard maps were made for the whole island in certain years with pronounced hotspot frequencies during 1996-2003. The optimum combination of weight factors were determined by computing hotspot frequency over fire hazard maps to obtained total number of hotspots over fire hazard levels. The results were then compared. 4
Adiningsih et al :Dynamical Land/Forest Fire Hazard Mapping
After optimum combination of weight factor was obtained, similar maps were also made for prediction of 2001. The maps of observed data were compared with predicted data. Predictions were made for monthly NDVI and rainfall. However, predictions for land use and land type were not made since their changes were relatively slow. The predictions of NDVI and rainfall were based on model obtained by previous study using Southern Oscillation Index (SOI), Sea Surface Temperature Anomaly (SSTA) of Nino 3.4 area and DMI as predictors (Adiningsih et al., 2003). The model provides predictions of NDVI and rainfall for time lags of 1 to 6 months with adequate accuracy. RESULT AND DISCUSSION Based on analyses of hotspot number identified for each land use type, the most pronounced hotspot number in the two provinces occurs in September. Sample maps of fire hazards of Kalimantan were therefore made based on observation data for September 1997 (strong El Nino), 1998 (La Nina), 2000 (normal), and 2002 (weak El Nino) using weighing method 1, 2, 3 as described in previous section. During strong ENSO, as indicated in August 1997, most Kalimantan has very high forest hazard, but during La Nina, as indicated in 1998, most areas are in lowest forest fire hazard. However, land/forest fire hazards during low-moderate ENSO in 2002 were higher than in 1997. During normal year, as indicated in 2000, most Kalimantan were in moderate land/forest fire hazard. Analyses and comparison on fire risk maps of Kalimantan were accomplished by calculating hotspot numbers over fire risk levels or classes. Total number of hotspots in West Kalimantan reached maximum for moderate fire risk level using the three methods. Hotspot number of this level was the highest among levels of fire hazards. Accordingly hotspot number in Central Kalimantan reached maximum for moderate level using all methods. However, the highest number of hotspot identified for very high risk level was reached by the results of method 3. The results imply that method 3 was relatively appropriate to map fire hazards in Kalimantan. Since weighing method 3 is the most appropriate one, mapping of fire hazards was made using this method. Maps of fire risk for Kalimantan are presented in Figure 1. From this figure we can see that forest fire hazards are categorized into moderate to high during El Nino year, especially along east coast of the island. During La Nina year forest fire risk is lower than El Nino year. However, during La Nina year forest fire risk along coastal areas is almost high. During normal year fire risk relatively varies among the areas, but most of Riau has moderate to high fire hazards. Unlikely, during weak El Nino year forest fire hazards are lower than other years. This was caused by weakening effect of sea surface slight warming at eastern Indian Ocean on El Nino effect. Predicted forest fire hazards in Kalimantan in July 2002 is almost the same as actual forest fire risk, but predicted fire risk map for August 2002 indicates areas having high actual fire risk predicted to be moderate fire risk. The maps of predicted land/forest fire hazard are presented in Figure 2. It is shown that prediction of land/forest fire hazard in Kalimantan tends to generate lower hazard than observation. This is due to lower response of rainfall and NDVI in Kalimantan to ENSO parameter. However, calculation of fire risk areas for all classes was done both for predicted data and observed data. The results reveal that ENSO parameters can predict fire risk accurately for moderate risk, but overestimate for low risk, high risk and very high risk.
5
J.Agromet Indonesia : 20 (1) 2006
6
July 1997
August 1997
July 1998
August 1998
July 2000
August 2000
Adiningsih et al :Dynamical Land/Forest Fire Hazard Mapping
July 2002
August 2002
Figure 1. Land/Forest Fire Hazard Maps of Kalimantan in Dry Seasons of 1997, 1998, 2000, and 2002 Based on Weighing Method 3.
Prediction for July 2002 Figure 2.
Prediction for August 2002
Predicted Land/Forest Fire Hazard Maps of Kalimantan in Dry Seasons of 2002 Based on ENSO Parameters and Weighing Method 3. CONCLUSION
ENSO has impact on land/forest fire hazard over most Kalimantan areas. Analyses on three weighing methods indicate that the contributions of rainfall and NDVI to fire hazards are higher than land use and land type. Hotspots were concentrated in areas with moderate to high fire risk levels. For the case of Kalimantan, ENSO parameters can predict fire risk accurately for moderate risk, but overestimate for low risk, high risk and very high risk. ACKNOWLEDGEMENT We would like to thank RUT-X for the funding of this research. We also thank our colleagues in RUT Team Work, Dr. P.A. Winarso, Z.L. Dupe and A. Buono for their contribution in this research, and Avivah and Mushthofa for their help in data processing. 7
J.Agromet Indonesia : 20 (1) 2006
REFERENCES Anderson IP, Imanda ID, Muhnandar. 1999. Vegetation Fires in Sumatera, Indonesia: A First Look At Vegetation Indices and Soil Dryness Indices In Relation To Fire Occurence. Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Wilayah II dan Kanwil Kehutanan dan Perkebunan. Palembang. Avia LQ, Hidayati R. 2001. Dampak Peristiwa ENSO terhadap Anomali Curah hujan di wilayah Indonesia selama periode 1890-1989. Majalah Lapan. 3 (2): 62-68. Dimitrakopoulos, A.P. and A.M. Bemmerzouk. 1996. Evaluation of the Canadian Forest Fire Danger Rating System in the Mediterranean-type Environment of Greece. Proceedings of International Symposium on Applied Agrometeorology and Agroclimatology, Volos, Greece, 24-26 April 1996. Fuller, M. 1995. Forest Fires: An introduction to Wildland Fire Behaviour, Management, Firefighting, and Prevention. John Wiley & Sons, Inc. Toronto. Hair, Joseph F. Jr., Rolph E. Anderson, Ronald L. Tatham. 1995. Multivariate Data Analysis. 5th ed. Macmillan Publishing Company. New York. Harger, J.R.E. 1995. ENSO variations and drought occurrence in Indonesia and the Philippines. Atmospheric Environment, 29 (16): 1943-1955. Hidayat A. 1997. Membangun sistem pemantauan kekeringan vegetasi untuk peringatan dini kebakaran hutan menggunakan data penginderaan jauh. Laporan Riset. Riset Unggulan terpadu III Bidang Teknologi Perlindungan Lingkungan (th.1995 –1997). Dewan Riset Nasional Kantor Meteri Negara Riset dan Teknologi Junaidi. 2001. Hubungan Indeks Vegetasi dengan Kadar Air pada Lahan Terbakar di Jambi. Tesis sarjana. Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor. Johnson, RA dan Wichern DW. 1998. Applied Multivariate Statistical Analysis. 4th edition. Prentice – Hall International Inc. Murdiyarso, D, Widodo M. and Suyamto, D. 2002. Fire risks in forest carbon project in Indonesia. J. Science in China 5, 65-74. Murtugudde R, McCreary JP, and Busalacchi AC. 2000. Oceanic processes assosiated with anomalous events in the indian ocean with relevance to 1997-1998. J. Geophys. Res., 105: 3295-3305 Saji NH, Goswani BN, Vinayachandran PN, Yamagata T. 1999. A Dipole Mode In The Tropical Indian Ocean. Nature 401: 360-363. Sulistya W, YS Swarinoto, A Zakir, H Riyanto and B Ridwan. 1998. The Impact of 1997/1998 Over Indonesia Region. Bulletin of Meteorology and Geophys. 4:40-51. 8
El Nino
Adiningsih et al :Dynamical Land/Forest Fire Hazard Mapping
Tacconi, L. 2003. Fires in Indonesia: Causes, costs and policy implications. Occasional Paper No. 38. Center for International Forestry Research, Bogor. Vinayachandran PN, Iizuka S, Yamagata T. 2001. Indian Ocean Dipole Mode Events in an Ocean general Circulation Model ( in press) Webster PJ. Andrew WM, Loschnigg JP, and Lebon RR. 2000. Coupled ocean atmosphere dynamics in the Indian Ocean during 1997-1998. Nature, 40: 356-360. Winarso PA dan McBride J. 2002. Iklim. Dalam: Partridge IJ dan Ma’shum M, editor. Kapan Hujan Turun? Dampak Osilasi Selatan dan El Nino di Indonesia. Queensland: Department of Primary Industries. Hal. 1-11.
9
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
C-207
Identifikasi Faktor-Faktor Kerentanan Terhadap Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di Kecamatan Liang Anggang Kota Banjarbaru Rosmayani Noor Latifah dan Adjie Pamungkas Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia e-mail:
[email protected] Abstrak— Fenomena bencana kebakaran hutan dan lahan beserta dampak yang telah ditimbulkan di Kecamatan Liang Anggang Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan mengindikasi kurangnya kewaspadaan dan kesiapan menghadapi ancaman bahaya kebakaran hutan dan lahan berpengaruh terhadap meningkatnya kerentanan akan terjadinya bencana kebakaran hutan dan lahan dengan dampak yang lebih besar dan luas. Kerentanan merupakan suatu kondisi masyarakat yang tidak dapat menyesuaikan perubahan yang disebabkan oleh ancaman tertentu, oleh karena itu perlunya suatu identifikasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan akan terjadinya bencana kebakaran hutan dan lahan. Dalam mencapai tujuan penelitian, dilakukan analisa terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kerentanan (vulnerability) menggunakan analisa skala likert, uji validitas dan reliabilitas dan analisa deskriptif untuk mendapatkan faktor-faktor kerentanan yang berpengaruh terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan. Dari penelitian ini didapatkan identifikasi faktor kerentanan yang mempengaruhi bencana kebakaran hutan dan lahan di Kecamatan Liang Anggang Kota Banjarbaru. Kata Kunci—, Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan, Faktor Kerentanan.
B
I. PENDAHULUAN
encana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia, dan/atau keduanya yang mengakibatkan korban manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan prasarana [1]. Kecamatan Liang Anggang merupakan kawasan yang rawan akan bencana kebakaran di Kalimantan Selatan. Dengan kondisi eksisting wilayah yang sebagian besar adalah kawasan hutan dan lahan gambut yang mudah terbakar. Kecamatan Liang Anggang memiliki jumlah penduduk 34.568 jiwa (berdasarkan hasil pencacahan penduduk 2010, BPS Banjarbaru) dengan berbagai macam kegiatan dan fungsi penting yang terdapat di kawasan tersebut. Laju Pertumbuhan penduduk Kota Banjarbaru selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir yaitu 2000 hingga tahun 2010 cukup tinggi yaitu sebesar 4,87 % per tahun. Jika dilihat menurut kecamatan, laju pertumbuhan yang paling tinggi terjadi di Kecamatan Liang Anggang yaitu sebesar 6,46 % pertahun [2]. Kerugian terbesar pada tahun 2012 akibat kebakaran hutan dan lahan di kecamatan Liang Angang terjadi pada bulan Oktober tahun 2012 yang telah mengakibatkan terbakarnya ± 221.5 Ha lahan gambut dan lahan hutan kayu
galam serta menghanguskan 24 rumah penduduk dengan 8 luka ringan dan 2 luka berat, hingga 5 orang korban meninggal. Dan pada bulan September 2012 kebakaran telah melahap ± 252.5 Ha dan 23 rumah penduduk terbakar habis [3]. Kecamatan Liang Anggang merupakan kawasan dengan kondisi eksisting yang sebagian besar berupa kawasan hutan dan lahan gambut yang mudah terbakar, hal tersebut jika tidak diimbangi dengan meningkatkan kewaspadaan dengan mengenali kerentanan dalam menghadapi bencana kebakaran dikhwatirkan dampak dan kerugian akibatnya menjadi lebih besar. Jika kondisi yang terjadi di Kecamatan Liang Anggang terus-menerus dibiarkan tanpa ada usaha untuk mewaspadai ataupun upaya pencegahan yang dilakukan dapat menjadi tolak ukur bahwa tingkat ketahanan masyarakat selama ini dalam menghadapi bencana masih rendah. Karena hingga saat ini upaya-upaya yang telah dilakukan masyarakat untuk mengurangi resiko yang ada sebagai bentuk ketahanan dari masyarakat sendiri masih bersifat responsif pada kegiatan pemadaman api saja seperti menyiapkankan alat pemadam kebakaran yang murni dari hasil swadaya masyarakat sendiri, untuk jangka menengah ataupun jangka panjang usaha dengan memadamkan api saja jelas kurang efektif karena belum menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya yaitu ketahanan masyarakat dalam hal pencegahan dan kesiapan menghadapi musim kemarau, peringatan dini, ataupun upaya pengendalian kebakaran yang aktif melibatkan masyarakat masih minim dilakukan. Maka jika kerentanan terhadap bahaya kebakaran terus meningkat dikhawatirkan akan menimbulkan kerugian yang lebih besar tidak hanya berakibat kerusakan lingkungan, fisik bangunan rumah dan sarana prasarana umum, tetapi juga terganggunya aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat. II. URAIAN PENELITIAN Untuk menghasilkan identifikasi faktor-faktor kerentanan terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan maka diperlukan beberapa tahapan analisis. Tahapan pertama yang dilakukan adalah pengumpulan data dengan survei primer dan survei sekunder, selanjutnya adalah melakukan sintesa tinjauan teori untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan terhadap bencana dan pembuatan kuisioner skala likert, kemudian penentuan sampling sebagai responden kuisioner yang digunakan dalam skala likert, uji validitas, uji
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) reliabilitas, pembobotan analisa skala likert kemudian analisa deskriptif. A. Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data, dilakukan survei primer dan survei sekunder. Survei primer terdiri dari observasi langsung ke wilayah penelitian untuk mengetahui kondisi eksisting. Survei sekunder terdiri dari survei terhadap beberapa instansi yaitu Pemerintah Kota Banjarbaru, UPT Badan Pemadam Kebakaran Banjarbaru, Dinas Kehutanan Banjarbaru, Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Banjarbaru, Manggala Agni Daops Tahura Sultan Adam, BKSDA (Balai Konservasi Sumberdaya Alam) Banjarbaru, Badan Pusat Statistik Kota Banjarbaru, dan Pemerintah daerah setempat (Kecamatan Liang Anggang). Eksplorasi literatur atau kepustakaan dilakukan dengan meninjau isi dari literatur yang mempunyai relevansi dengan topik penelitian ini, di antaranya berupa buku, jurnal, hasil penelitian, dokumen rencana tata ruang, tugas akhir, serta artikel di internet dan media massa. B. Menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kerentanan bencana kebakaran hutan dan lahan Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kerentanan bencana kebakaran hutan dan lahan ditinjau dari teori-teori terkait kerentanan bencana kebakaran. Pembuatan kuisioner skala likert berdasarkan faktor-faktor yang telah ditentukan dengan skor tidak berpengaruh, kurang berpengaruh, berpengaruh dan sangat berpengaruh. C. Penentuan Sampling sebagai Responden Uji Skala Likert Metode sampling yang ditempuh dalam penelitian ini adalah probability sampling. Probability Sampling adalah sampel yang kesempatan terpilihnya setiap anggota sampel dalam populasi diketahui sebelum sampel tersebut diambil dengan mengambil 100 responden masyarakat di wilayah penelitian yang berasal dari 4 kelurahan yang terdapat di Kecamatan Liang Anggang. D. Analisa Skala Likert Analisis skala likert digunakan untuk menentukan masing-masing bobot faktor yang berpengaruh berdasarkan dari hasil kuisioner 100 responden masyarakat dan analisis deskriptif untuk penentuan faktor yang berpengaruh terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan. E. Uji Validitas Uji Validitas digunakan untuk mengukur ketepatan atau kecermatan skala likert dalam mengukur apa yang ingin diukur. Melalui data survei pendahuluan dilakukan uji validitas untuk masing-masing faktor pada tiap dimensi. Jenis validitas yang digunakan adalah validitas konstruksi, dimana validitas ini untuk mengetahui apakah pertanyaan yang diajukan telah mengukur aspek yang sama atau tidak. Pengujian validitas konstruksi dilakukan dengan analisa faktor yaitu dengan mengkorelasikan skor faktor dengan skor total. F. Uji Reliabilitas Uji Reliabilitas adalah derajat dimana pengukuran bebas dari kesalahan acak dari hasil skala likert terhadap faktorfaktor yang mempengaruhi kerentanan terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan agar dapat memberikan hasil yang
C-208
konsisten. Analisis reliabilitas juga dapat diketahui dengan menilai alpha lebih besar dari r tabel maka instrumen reliabel. Dan data telah valid dan reliabel maka rancangan kuisioner tersebut dapat digunakan sebagai survei penelitian. G. Analisa Deskriptif Analisa deskriptif digunakan untuk menentukan faktorfaktor yang berpengaruh dari kerentanan bencana kebakaran di wilayah penelitian. Faktor-faktor yang telah ditentukan berdasarkan sintesa kajian pustaka akan dibandingkan dengan teori-teori terkait bencana kebakaran atau kondisi eksisting di lapangan sehingga akan didapatkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kerentanan. III. PENDEKATAN PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan rasionalisme yang bersumber pada teori dan kebenaran empirik. Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif. Dalam persiapan penelitian, terlebih dulu dirumuskan teori pembatasan lingkup dan definisi secara teoritik dan empiris yang berkaitan dengan peningkatan ketahanan masyarakat terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan di wilayah penelitian. Kemudian dilakukan analisa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketahanan masyarakat tersebut berdasarkan kerentanan dan pola adaptasi kebencanaan di wilayah penelitian. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kerentanan bencana kebakaran hutan dan lahan Berdasarkan hasil tinjauan teori didapatkan 13 faktor yang dapat dijadikan parameter penilaian kerentanan di wilayah penelitian. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah iklim, kegiatan penduduk, kepadatan bangunan, pengadaan prasarana pemadam kebakaran, ketersediaan pasokan air, vegetasi gambut, vegetasi kayu, jaringan jalan, hidrologi, mata pencaharian, peningkatan jumlah penduduk, hasil hutan dan hasil pertanian. B. Hasil uji validitas dan reliabilitas faktor kerentanan Sebelum melakukan analisis identifikasi faktor yang mempengaruhi kerentanan bencana kebakaran dengan menggunakan skala likert, dilakukan uji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu. pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS 16. Uji ini dilakukan untuk mendapatkan konsistensi dan ukuran yang tepat pada setiap faktor. Berdasarkan uji validitas dan reliabilitas pada tabel 4.6 dikatakan reliable apabila nilai cronbach alpha > 0.6 dan untuk mengetahui faktor tersebut valid atau tidak maka nilai pada kolom corrected item-total correlation di tabel itemtotal statistics bernilai >0.3 kriteria ini merupakan kriteria uji validitas secara singkat (rule of tumb). Hasil dari uji validitas dan reliabilitas pada faktor yang diujikan menyebutkan bahwa semua faktor yang diujikan memiliki nilai cronbach alpha lebih dari 0.6 sehingga dapat dikatakan sudah reliable dan valid karena semua faktor memiliki nilai corrected item-total correlation lebih dari 0.3,
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) sehingga 13 faktor tersebut sudah dapat dilakukan analisis selanjutnya. C. Analisa pembobotan faktor kerentanan berdasarkan skala likert Analisa Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan bencana kebakaran dilakukan dengan cara pembobotan skala likert. Dari hasil uji validitas dan reliabilitas, setelah itu dilakukan pembobotan dengan responden 100 penduduk yang terdapat di wilayah penelitian. Berikut ini merupakan nilai hasil dari pembobotan skala likert. Berdasarkan hasil analisis dengan scala likert terdapat 8 faktor yang memiliki nilai diatas indeks rata-rata yaitu 72.29. Faktor-faktor tersebut antara lain ialah faktor iklim dengan nilai indeks tertinggi sebesar 85, kemudian kegiatan penduduk dengan nilai 82.5, kepadatan bangunan dengan nilai 78.5, selanjutnya ialah faktor pengadaan prasarana pemadam kebakaran, ketersediaan pasokan air, vegetasi gambut, vegetasi kayu, jaringan jala. Sedangkan faktor-faktor yang memiliki nilai yang kurang dari indeks rata-rata ialah faktor hidrologi, mata pencaharian, peningkatan jumlah penduduk, hasil hutan dan hasil pertanian. Berdasarkan hasil pembobotan faktor kerentanan, faktor yang memiliki nilai indeks ≥ nilai rata- rata maka faktor tersebut ialah faktor yang pengaruhnya signifikan terhadap kerentanan. Sedangkan, faktor yang nilai indeksnya ≤ ratarata ialah faktor yang kurang signifikan pengaruhnya terhadap kerantanan.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Tabel 1.1 Tingkat Pengaruh Faktor Kerentanan Berdasarkan Hasil Analisa Skala Likert Faktor Tingkat pengaruh Iklim Signifikan Kegiatan penduduk Signifikan Kepadatan bangunan Signifikan Pengadaan prasarana pemadam Signifikan kebakaran Ketersediaan pasokan air Signifikan Vegetasi gambut Signifikan Vegetasi kayu Signifikan Jaringan jalan Signifikan Hidrologi Kurang Signifikan Mata pencaharian Kurang Signifikan Peningkatan jumlah penduduk Kurang Signifikan Hasil hutan Kurang Signifikan Hasil pertanian Kurang Signifikan
Sumber: Hasil Analisa 2013
Berdasarkan hasil pembobotan faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan maka, faktor yang memiliki pengaruh signifikan dalam penelitian ini adalah 8 faktor yaitu faktor iklim, kegiatan penduduk, kepadatan bangunan, Pengadaan prasarana pemadam kebakaran, ketersediaan pasokan air, vegetasi gambut, vegetasi kayu, dan jaringan jalan. Sedangkan untuk 5 faktor yang lainnya seperti faktor hidrologi, mata pencaharian, peningkatan jumlah penduduk, hasil hutan dan hasil pertanian tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kerentanan bencana kebakaran.
C-209
D. Analisa deskriptif faktor yang mempengaruhi kerentanan terhadap bencana kebakran hutan dan lahan Berdasarkan hasil analisa deskriptif dengan mengkomparasikan hasil skala likert, kemudian membandingkan kondisi eksisiting dan studi literatur didapatkan hasil sebagai berikut. E. Ketersediaan pasokan air Berdasarkan studi literatur menyatakan bahwa Pembuatan kanal-kanal dan parit di lahan gambut telah menyebabkan gambut mengalami pengeringan yang berlebihan di musim kemarau dan mudah terbakar [4]. Berdasarkan kondisi eksisting ketersediaan pasokan air pada wilayah penelitian Riam Kanan yang sangat dibutuhkan warga ketika kegiatan pemadaman, sehingga faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap kerentanan bencana kebakaran. F. Vegetasi gambut Dalam literatur diyatakan bahwa faktor pemicu yang menjadi penyebab semakin hebatnya kebakaran hutan dan lahan ialah lahan gambut yang menyimpan panas [5]. Kondisi eksisting lahan gambut di wilayah penelitian ialah seluas 500 ha/m2 dari total luas wilayah 1.764,1 ha/m2 dengan keadaan lahan gambut yang mudah terbakar ketika musim panas menjadikan faktor tersebut menjadi sangat berpengaruh. G. Vegetasi kayu Berdasarkan studi literatur menyatakan bahwa kegiatan pembalakan kayu menjadi pemicu meningkatnya kerawanan kebakaran hutan dan lahan. Kegiatan memanen kayu yang tidak menerapkan asas kelestarian juga dapat menjadi pemicu terjadinya bencana kebakaran hutan dan lahan [6]. Kondisi eksisting wilayah penelitian seringkali terjadi kegiatan pembalakan vegetasi kayu yang dilakukan oleh penebang liar. H. Jaringan jalan Dengan jaringan jalan yang cukup memadai akan memudahkan mobilisasi peralatan dan juga tenaga untuk penanggulangan kebakaran yang terjadi [7]. Di wilayah penelitian terdapat tim fire brigade menyatakan bahwa kondisi jaringan jalan yang kurang memadai untuk menuju akses titiktitik rawan terjadinya bencana kebakaran seringkali menghambat proses pemadaman api secara cepat, sehingga faktor tersebut menjadi berpegaruh terhadap kerentanan bencana kebakaran. I. Iklim Kondisi iklim yang ekstrim seperti musim kemarau yang panjang menyebabkan kerentanan terhadap bencana kebakaran semakin meningkat [8]. Berdasarkan pantauan satelit NOAA seringkali terdapat peningkatan titik hotspot yang sangat signifikan ialah ketika bulan juni hingga oktober menjadi waktu yang rentan terhadap bencan kebakaran. J. Kegiatan penduduk Kegiatan-kegiatan penyiapan lahan untuk berbagai macam bentuk usaha pertanian dan kehutanan dapat menimbulkan bencana kebakaran [8]. Menurut fire brigade Manggala Agni di wilayah penelitian menyatakan bahwa kegiatan penduduk seperti halnya membakar lahan,
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) membuang puntung rokok atau membakar api unggun ketika berkemah seringkali menjadi penyebab bencana kebakaran. K. Kepadatan bangunan Diperlukannya penataan kepadatan bangunan dan lahan serta memperjelas kepemilikan lahan agar dapat dengan mudah melakukan controling serta evaluasi jika terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan [5]. Kondisi eksisting kepadatan banguna di wilayah penelitian berbentuk linier yaitu padat di area jalan arteri primer dan berdasarkan pengalaman kebencanaan di wilayah tersebut kepadatan dengan bentuk linier memberikan pengaruh yang cukup kuat akan terjadinya bencana kebakaran. L. Pengadaan prasarana pemadam kebakaran Pendayagunaan sarana dan prasarana yang telah ada diperlukan inventarisasi terhadap peralatan yang diperlukan berdasarkan skala prioritas [8]. Di wilayah penelitian minimnya penyediaan prasarana pemadam masyarakat menginisiasi dengan dana swadaya untuk membeli peralatan pemadaman kebakaran. M. Hidrologi Pengembangan sistem informasi kebakaran mencakup data iklim dan data hidrologis [6]. Di wilayah penelitian kejadian bencana kebakaran hutan dan lahan sangatlah sulit diprediksi hanya berdasarkan curah hujan saja, karena kejadian tersebut dapat terjadi sewaktu-waktu tanpa diduga dan dapat dilihat dari fakta dimana terjadi bencana kebakaran hampir setiap bulan menjadikan faktor tersebut menjadi kurang berpengaruh. N. Mata pencaharian Masyarakat yang menggantungkan mata pencaharian dari hasil hutan seringkali lalai membakar vegetasi [6]. Berdasarkan kondisi eksisting faktor mata pencaharian masyarakat yang menggantungkan terhadap hasil hutan sangat sulit untuk dideteksi karena bukan menjadi mata pencaharian pokok sehingga faktor tersebut tidak digunakan. O. Peningkatan jumlah penduduk Peningkatan jumlah penduduk berpengaruh terhadap pembukaan hutan dan lahan dimana api digunakan sebagai teknik dalam persiapan lahan [6]. Berdasarkan kondisi eksisting peningkatan jumlah penduduk tidak memberikan pengaruh terhadap kerentanan terjadinya bencana kebakaran karena selama ini peningkatan jumlah penduduk hanya terpusat di sepanjang jalan arteri sedangkan untuk di daerah hutan dan lahan jumlah penduduk masih tergolong rendah. P. Hasil hutan Kurangnya insentif dan disinsentif terhadap perusahaan perhutani menyebabkan kurang diperhatikannya managemen kebakaran oleh dapat menjadi kerentanan bencana kebakaran hutan dan lahan [6]. Berdasarkan kondisi eksisting diwilayah penelitian masyarakat tidak merasakan langsung pengaruh hasil hutan terhadap kerentanan bencana kebakaran, hal tersebut disebabkan sebagian besar hasil hutan dikelola oleh perusahaan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.
C-210
Q. Hasil pertanian Pembakaran hutan dan lahan secara sengaja untuk pertanian juga merupakan penyebab kebakaran yang utama [6]. Kondisi eksisting di wilayah penelitian faktor hasil pertanian tidak memberikan pengaruh terhadap kerentanan bencana kebakaran dikarenakan sebagian besar wilayah penelitian merupakan lahan gambut yang memiliki sifat asam sehingga tidak cocok untuk lahan pertanian. V. KESIMPULAN/RINGKASAN Berdasarkan penelitian ini, Kesimpulan yang dapat diambil adalah terdapat 8 faktor yang mempengaruhi kerentanan terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan di Kecamatan Liang Anggang Kota Banjarbaru yakni faktor iklim, kegiatan penduduk, kepadatan bangunan, pengadaan alat-alat pemadam kebakaran, ketersediaan pasokan air, vegetasi gambut dan kayu serta jaringan jalan. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8]
BAKORNAS Penanggulangan Bencana.Pengenalan Karakter Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. (2007) Kota Banjarbaru Dalam Angka 2010, Badan Pusat Statistik Kota Banjarbaru. Laporan UPTD Pemadam Kebakran Kota Banjarbaru, 2012 Wetlands International-Indonesia Programme (2004). Seri Pengelolaaan Hutan dan Lahan Gambut : Strategi Pencehanan Kebakaran Hutan dan lahan Gambut. Akurnain, (2005). Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut : Karakteristik dan Penanganannya. Suyanto, (2001). Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Aktivitas Sosial Ekonomi dalam Kaitannya dengan Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. Akar penyebab dan dampak kebakaran hutan dan lahan di Sumatra (2001). Prosiding Seminar Sehari Bandar Lampung, 11 Oktober 2001. Tacconi, L (2003). CIFOR Occasional Paper No. 38 (i) Kebakaran Hutan di Indonesia : Penyebab, Biaya dan Implikasi kebijakan.
INFORMASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERDASARKAN INDEKS KEKERINGAN DAN TITIK PANAS DI KABUPATEN SAMOSIR Forest and Land Fire Information Based on Dryness Index and Hotspots at Samosir District Perdamean Abadi Pa, Rahmawatya, Yunus Afiffudina, aProgram
Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Jl. Tri Dharma Ujung No. 1 Kampus USU Medan 20155 (Penulis Korespondensi, E-mail:
[email protected]) Abstract
Samosir District is one of the very prone to forest fire and land. This study aimed to determine the level of fire danger in forest and land use data Samosir regency with the maximum temperature, rainfall and hot spots daily, monthly and yearly 2009, 2010 and 2011. Data analysis was performed at the Laboratory of the Faculty of Forest Inventory Forestry Department of Agriculture using exel Spreadsheet software and Arc. View 3.3. The number of hot spots are detected and the high drought index obtained occur when rainfall is low and did not even rain. Low rainfall occurred in March-July, so in the many forest fires and land. While high rainfall occurred in August-February. Hot spots and drought indices can be used together as an early warning system for the prevention of fire and forest fire management and land on Samosir District. The research showed that the level of the fire crisis in Samosir Regency tend to to lower where fire was only became of the certain months during the year that is during the month of Maret-Juli. The prediction of fire Danger in Regency of Samosir be at the month of Maret-Juli, where very low rainfall value so that assess the high KBDI with the value make an index to the dryness be at the scale high-extreme that it’s among 1500-1749 and 1750-2000 Keywords : Forest and Land Fire Information, fire crisis, Dryness Index, Hotspot
PENDAHULUAN Bencana kebakaran hutan dan lahan akhirakhir ini sudah semakin mengganggu, baik ditinjau dari sudut pandang sosial maupun ekonomi. Pada tahun 1997/1998 sekitar 10 juta hektar hutan, semak belukar dan padang rumput terbakar, sebagian besar dibakar dengan sengaja. (CIFOR, 2006) menyebutkan bahwa kebakaran hutan paling besar terjadi sebanyak lima kali dalam kurun waktu sekitar 30 tahun (1966-1998), yakni tahun 1982/1983 (3,5 juta ha), 1987 (49.323 ha), 1991 (118.881 ha), 1994 (161.798 ha) dan 1997/1998 (383.870 ha). Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sering mengalami kebakaran, hal ini dapat dilihat dari terjadinya kebakaran hutan dan lahan setiap tahunnya. Hal ini juga terlihat dari jumlah persentase titik api sebagai indikator kejadian kebakaran hutan dan lahan. Pada periode 1998–2006, jumlah titik api tahunan di Provinsi Sumatera Utara berfluktuasi sekitar 2.116 titik. Jumlah titik api terendah sebesar 1.037 pada tahun 1999 dan jumlah tertinggi yaitu 3.900 titik api pada tahun 2005 (ITTO, 2010). Sumatera Utara merupakan salah satu propinsi yang rawan kebakaran di Indonesia yang mengalami kejadian kebakaran hutan dan lahan setiap tahunnya. Hal ini ditunjukkan dengan kehadiran hotspot sebagai indikator kejadian kebakaran hutan dan lahan. Pada periode tahun 2000-2008, jumlah hotspot tahunan di Sumatra Utara berfluktuasi dengan jumlah rata-rata sebesar 1.723 hotspot. Jumlah hotspot terendah terjadi pada tahun 2000 dengan jumlah 100 dan yang tertinggi terjadi pada tahun 2005 dengan jumlah 3.830 hotspot. Hotspot kebanyakan ditemukan
di luar kawasan hutan. Data dari propinsi rawan kebakaran di Indonesia menunjukkan bahwa hanya 24% hotspot ditemukan di kawasan hutan, sedangkan 76% dari hotspot yang ada ditemukan di luar kawasan hutan (Departemen Kehutanan, 2007). Di provinsi Sumatera Utara, sekitar 60 sampai 70% hotspot ditemukan di luar kawasan hutan pada periode 20022006 dan meningkat menjadi 76% pada tahun 2006 (Akbar, 2007). Sistem informasi kebakaran merupakan sistem yang bertujuan untuk mendukung upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan dan lahan yang efektif dan efisien melalui kegiatan pengumpulan, pengolahan dan penyebaran informasi. Sistem ini meliputi 3 aspek penting di dalam pengelolaan kebakaran hutan dan lahan, yaitu: peringatan dini, pemantauan kebakaran dan penilaian dampak kebakaran. Sistem informasi kebakaran sebenarnya sudah mulai dikembangkan sejak 1994 oleh berbagai proyek bantuan luar negeri khususnya di dalam upaya peringatan dini dan pemantauan kebakaran (Solichin dkk, 2007) Kebakaran yang terjadi di Kabupaten Samosir merupakan ancaman utama bagi program rehabilitasi lahan. Kebakaran ini terjadi akibat dari menjalarnya api dari lahan-lahan milik penduduk yang kemudian membakar lahan yang direhabilitasi. Penjalaran api sangat cepat dan mudah, disebabkan oleh vegetasi yang tumbuh di areal tersebut merupakan jenis rumput-rumputan seperti alang-alang, sanggar, dan pinpin yang sangat mudah terbakar. Penjalaran api akan sangat cepat disebabkan oleh hembusan angin dari danau yang kemudian mempercepat penjalaran api searah dengan arah
6
angin sehingga kebakaran menjadi tidak terkontrol. Hal tersebut terjadi karena kurangnya kesadaran dan kewaspadaan masyarakat akan bahaya kebakaran yang terjadi di areal yang ditumbuhi jenis rumputrumputan yang mudah terbakar (Ginting, 2009). METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Samosir pada bulan Agustus sampai dengan bulan November 2012 Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer, Microsoft office exel, Arcview 3.3, printer, alat tulis dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta administrasi, data curah hujan, data titik panas dan data suhu maksimum. Pengumpulan Informasi Dasar Penelitian Sebelum semua pekerjaan dimulai, dilakukan satu tahap awal yaitu pengumpulan informasi dasar. Informasi yang dikumpulkan adalah data-data seperti data kebakaran hutan, titik panas (hotspot), curah hujan dan suhu serta perangkat lunak dan perangkat keras yang mendukung kegiatan penelitian. Pengolahan Data Perhitungan Indeks Kekeringan KBDI Indeks kekeringan menggambarkan tingkat/nilai defisiensi kelembaban tanah dan lahan yang dihitung berdasarkan data cuaca harian. Salah satu indeks yang digunakan adalah Keetch Byram Drought Index (KBDI). Untuk menghitung KBDI diperlukan beberapa data yaitu: suatu daerah harus memiliki data curah hujan tahunan yang berdasarkan rata-rata selama kurang lebih 20 tahun. diperlukan data curah hujan harian dan suhu maksimum harian, sehingga kualitasnya tergantung dari kualitas data cuaca tersebut. Sedangkan mengenai informasi yang dihasilkan hanya untuk cakupan wilayah tertentu (50 – 100 km), sehingga diperlukan beberapa stasiun cuaca. Terdapat 4 kelas/tingkat kekeringan yang mudah dimengerti yaitu: rendah (0 – 1000), sedang (1000 – 1499), tinggi (1500 – 1799) dan ekstrim (1750 – 2000). Perhitungan nilai indeks kekeringan ini dilakukan pada stasiun pengamat hujan yang mewakili kabupaten Samosir yaitu di Kecamatan Pangururan, Simanindo, Palipi dan Sitio tio. Menurut Deeming (1995) dalam Rheidahari (2001) Formula yang digunakan untuk menghitung nilai indeks kekeringan KBDI dijelaskan sebagai berikut: KBDI hari ini =(∑ KBDI kemarin- (10*CH)+DF hari ini
Keterangan :
CH
: Curah Hujan Bersih
DF : Faktor kekeringan yang telah dimodifikasi dan dapat digunakan untuk perkiraan bahaya kebakaran adalah, dengan formulasi sebagai berikut : DF= (2000-YKBDI)*(0.9676*exp(0.0875*Tmax.+1.552)8.229)*0.001 (1+10.88*exp(-0.00175*ann.rain))
Keterangan: Tmax
: Suhu maksimum
Ann Rain : Rata-rata curah hujan tahunan YKBDI
: KBDI kemarin
Tmax adalah suhu maksimum harian dan Ann Rain adalah rata-rata curah hujan tahunan dan YKBDI adalah Kaeetch/Byram Drougth Indeks Kemarin. Tmax, AnnRain dan YKBDI merupakan variable, sedangkan angka-angka yang ada merupakan konstanta yang menunjukkan evapotranspirasi dan keberadaan vegetasi . Penyusunan data dasar dimulai dari pengumpulan data dari Badan Meteorologi dan Geofisika dan penyajian skala sifat untuk setiap tingkat kebakaran. Setelah semua data cuaca terkumpul kemudian dimasukkan ke komputer untuk mendapatkan format digitalnya. Berdasarkan perhitungan KBDI menunjukkan kemungkinan terjadinya kebakaran, yang diekspresikan melalui nilai indeks yang berkisar 0-2000. Analisis Data Analisa Kebakaran dengan Data Hotspot Analisis kebakaran dengan data hotspot dilakukan dengan cara menghitung jumlah titik hotspot yang terdapat pada daerah Kabupaten Samosir yang terjadi setiap hari sepanjang tahun 2009, 2010 dan 2011. Data tersebut akan ditampilkan pada peta dan grafik. Hubungan Kejadian Hujan dan Sebaran Titik Panas Data sebaran titik panas yang dianalisis dan telah diketahui bulan yang terdapat titik panas kemudian dikorelasikan dengan curah hujan bulanan, dimana korelasi antara jumlah sebaran titik panas dan kejadian hujan disajikan dalam tabel dan grafik. Hubungan Titik Panas dan Indeks Kekeringan KBDI Data sebaran titik panas yang telah dianalisis dan telah diketahui bulan yang terbanyak terdapat titik panas kemudian dikorelasikan dengan indeks kekeringan KBDI bulan yang sama, dimana korelasi
7
antara jumlah sebaran titik panas dan indeks kekeringan disajikan dalam bentuk tabel. HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah hotspot
Sebaran Titik Panas Bulanan Di Kabupaten Samosir Tahun 2009, 2010 dan 2011 Sebaran titik panas yang dianalisis melalui perangkat sistem informasi geografis dari data satelit, menunjukkan adanya perbedaan jumlah titik panas yang terdeteksi pada tiap bulannya. Pada tahun 2009 jumlah titik panas yang terdeteksi sebanyak 14 titik. Titik panas tertinggi terdeteksi pada bulan Maret sebanyak 12 titik, sedangkan pada bulan JanuariFebruari dan April-Juni serta Agustus-Desember tidak terdeteksi adanya titik panas. Sebaran titik panas pada tahun 2009 relatif tinggi yang terjadi pada bulan Maret. Tahun 2010 jumlah titik panas yang terdeteksi sebanyak 5 titik. Titik panas terdeteksi pada bulan Maret sebanyak 1 titik, bulan Agustus sebanyak 1 titik, bulan September sebanyak 1 titik dan bulan Oktober sebanyak 2 titik. Titik panas tertinggi terdeteksi pada bulan Oktober. Sedangkan pada bulan Januari, Februari, April, Mei, Juni, Juli, Nopember, dan Desember tidak terdeteksi adanya titik panas. Titik panas pada tahun 2011 yang terdeteksi sebanyak 12 titik panas. Sebaran titik panas terdeteksi pada bulan Januari dan Juni-Oktober. Dimana jumlah tertinggi terdeteksi pada bulan Juli sebanyak 7 titik. Sedangkan pada bulan Februrai-Mei dan Nopember-Desember tidak terdeteksi titik panas. Jumlah sebaran titik panas di Kabupaten Samosir pada tahun 2009, 2010 dan 2011 mengalami fluktuasi yang berbeda, yaitu jumlah titik panas yang terdeteksi pada tiap tahunnya terjadi pada bulan-bulan yang berbeda seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
kering dimana jumlah hari hujan pada umumnya sangat sedikit, sedangkan pada bulan OktoberDesember merupakan bulan basah dengan jumlah hari hujan lebih besar. Titik panas menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Samosir hampir setiap tahun. Sebaran titik panas pada tahun 2009, 2010 dan 2011 disajikan dalam bentuk peta pada Gambar 7 . Dari peta sebaran titik panas tersebut dapat dilihat bahwa hampir di Seluruh kecamatan di Kabupaten Samosir terdapat titik panas. Hal ini disebebkan karena Penduduk di Kabupaten Samosir dominan adalah petani. Para petani melakukan pembersihan lahan dengan cara membakar semak belukar sehingga ,menyebabkan timbulnya titik Hotspot. Curah Hujan dan Titik Panas di Kabupaten Samosir Tahun 2009, 2010 dan 2011 Curah hujan dan titik panas mempunyai hubungan yang sangat erat, dimana semakin tingginya curah hujan maka kemungkinan terjadinya titik panas semakin rendah dan sebaliknya, apabila curah hujan rendah maka kemungkinan terjadinya titik panas akan tinggi. Tabel 4. Curah hujan dan titik panas di Kabupaten Samosir Tahun 2009, 2010 dan 2011 Tahun
2009 CH
T P
1
120,00
2
248.50
3 4
2011
CH
T P
CH
T P
0
170.75
0
168.25
1
90,00
0
193.75
0
227,00
0 1 2
207,00
1
238,00
0
157.50
0
196.50
0
239.50
0
5
24.75
0
81.75
0
121.80
0
CH/TP
Bln
2010
6
87.75
0
93.25
0
34.25
1
2009
7
48,00
2
161.75
0
2.50
7
2010
8
154.75
0
75.50
1
213.25
1
2011
9
135.50
0
234.25
1
99.50
1
10
163.75
0
94.75
2
167.75
1
11
188.25
0
207,00
0
227.25
0
12
198.50
0
242.25
0
118,00
0
Bulan
Gambar 3. Sebaran titik panas bulanan Kabupaten Samosir tahun 2009, 2010 dan 2011 Gambar 3 di atas menunjukkan, bahwa sebaran titik panas terdeteksi mulai bulan JanuariOktober, titik panas relatif tinggi terjadi pada bulan Maret dan Juli, sedangkan jumlah titik panas mengalami penurunan pada bulan Oktober-Desember. Tingginya jumlah Hotspot pada bulan Maret-Juli disebabkan karena bulan Maret-Juli merupakan bulan
Keterangan : CH= Curah Hujan, TP= Titik Panas.
Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2009 dengan jumlah curah hujan yang terjadi berkisar antara 24-248 mm/bln, titik panas hanya dijumpai pada bulan Maret sebanyak 12 titik dan bulan Juli sebanyak 2 titik. Pada tahun 2010 titik panas terdeteksi pada bulan Maret, Agustus, September dan Oktober. Dimana jumlah curah hujan berkisar antara
8
Inde ks KBDI Curah Hujan
81-242mm/bln dan Merata sepanjang tahun. Pada tahun 2011, titik panas terdeteksi pada bulan Januari, Juni, Juli, Agustus, September dan Oktober. Dimana curah hujan berkisar antara 2.5-239mm/bln dan merata sepanjang tahun. Menurut Thoha (2008) kecenderungan terjadinya titik panas menunjukkan bahwa curah hujan mempunyai pengaruh terhadap titik panas meskipun dari segi jumlah titik panas yang terpantau tidak memiliki kecenderungan yang tetap. Keberadaan titik panas akan ditemukan pada suatu daerah, bila curah hujan menurun, sebaliknya bila curah hujan mulai meningkat di suatu daerah maka titik panas akan makin menurun bahkan tidak ditemukan titik panas. Hal ini menunjukkan hubungan yang negatif antara terdeteksinya titik panas dan besarnya kejadian hujan. Kecenderungan yang tidak tetap akan naik dan turunnya jumlah titik panas dengan curah hujan yang terjadi diduga akibat aktifitas manusia berupa pembakaran dalam hal pembukaan lahan yang dilakukan secara tidak terkontrol serta waktu pelaksanaan kegiatan pengolahan lahan yang berbeda di lapangan. Seperti yang dikatakan Irwanto (2005), kebakaran hutan semula dianggap terjadi secara alami, tetapi kemungkinan manusia mempunyai peran dalam memulai kebakaran di milenium terakhir ini, pertama untuk memudahkan perburuan dan selanjutnya untuk membuka petak-petak pertanian di dalam hutan.
Bulan
Gambar 6. Kejadian hujan dan indeks kekeringan di stasiun pengamat hujan Pangururan tahun 2009, 2010 dan 2011 Indeks kekeringan KBDI yang dihitung dari rata-rata curah hujan yang diperoleh dari pengukuran di stasiun pengamat hujan Pangururan berada antara rendah sampai dengan tinggi dengan nilai indeks 0 1749., tidak ada ditemui tingkat kekeringan yang ekstrim. Hal ini disebabkan karena curah hujan dan jumlah hari hujan relatif tinggi sehingga tingkat kekeringan semakin rendah. Seperti yang di nyatakan Borger, dkk (2007), nilai KBDI akan semakin tinggi dengan semakin rendahnya nilai curah hujan, begitu pula sebaliknya nilai KBDI akan semakin menurun dengan naiknya jumlah curah hujan. Indeks kekeringan di Kabupaten Samosir dapat dilihat berdasarkan curah hujan rata-rata tahunan.
2011 Bulan
Gambar 5. Rata-rata curah hujan bulanan di Kabupaten Samosir tahun 2009, 2010 dan 2011. Indeks kekeringan harian di Kabupaten Samosir tahun 2009, 2010 dan 2011 diwakili oleh 4 stasiun pengamat hujan yaitu di Kecamatan Pangururan, Simanindo, Palipi, Sito-tio. Besarnya indeks kekeringan di suatu daerah di pengaruhi oleh faktor cuaca seperti curah hujan, suhu, dan kelembaban. Berdasarkan analisis yang dilakukan, indeks kekeringan yang diekspresikan berkisar dari 02000 di Kabupaten Samosir ditampilkan dalam bentuk grafik pada masing-masing stasiun pengamat hujan.
C ur ah H uj an
Inde ks KBD I
2010
CH
n
Curah Hujan
2009
KBDI
Bulan
Gambar 7. Kejadian hujan dan indeks kekeringan di stasiun pengamat hujan Simanindo tahun 2009, 2010 dan 2011 Indeks kekeringan KBDI yang dihitung berdasarkan curah hujan dan jumlah hari hujan pada stasiun pengamat hujan Simanindo cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan indeks kekeringan yang dihitung berdasarkan curah hujan di stasiun pengamat hujan Pangururan. Pada stasiun pengamat hujan Simanindo terlihat jelas pada grafik bahwa tingginya pengaruh curah hujan terhadap Indeks kekeringan KBDI. Apabila curah hujan dan hari hujan rendah maka secara otomatis tingkat kekeringan KBDI akan meningkat.
9
Indek s KBDI
Cura h Huja n
CH
KBDI
Bulan
Gambar 8. Kejadian hujan dan indeks kekeringan di stasiun pengamat hujan Palipi tahun 2009, 2010 dan 2011 Indeks kekeringan KBDI pada stasiun pengamat hujan Palipi menunjukkan besarnya pengaruh jumlah hari hujan terhadap tingginya tingkat kekeringan KBDI. Semakin sering hujan terjadi maka tingkat kekeringan akan menjadi rendah. Hal ini jelas ditunjukkan pada Gambar di atas dimana intensitas hujan pada tahun 2009 sangat besar sehingga tingkat kekeringan sangat rendah dengan skala sifat kekeringan rendah dengan nilai antara 0 – 600.
Gambar 9. Kejadian hujan dan indeks kekeringan di stasiun pengamat hujan Sitiotio tahun 2009, 2010 dan 2011 Grafik tersebut menunjukkan fluktuasi yang berbeda pada keempat stasiun pengamat hujan dalam menggambarkan hubungan keadaan indeks kekeringan dan curah hujan. Pada stasiun pengamat hujan Pangururan, grafik cenderung tinggi pada saat skala indeks kekeringan tinggi-ekstrim dengan curah hujan yang rendah bahkan tidak terjadi hujan. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Mei sampai Agustus dan mengalami penurunan pada bulan September sampai Januari. Pada stasiun pengamat hujan Simanindo grafik juga cenderung tinggi pada saat skala indeks kekeringan tinggi-ekstrim dengan curah hujan yang rendah bahkan tidak terjadi hujan. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Juni sampai Juli dan mengalami penurunan pada bulan Agustus sampai April, sedangkan pada stasiun pengamat hujan Palipi dan Sitio-tio, indeks kekeringan dan hujan menunjukkan fluktuasi naik turun yang terjadi pada hampir setiap bulannya.
Keempat gambar tersebut dapat menjelaskan secara umum indeks kekeringan yang terjadi di Kabupaten Samosir tahun 2009 adalah berada di skala sifat tinggi. Tingginya indeks kekeringan yang didapatkan di sebabkan curah hujan yang terjadi pada tahun tersebut relatif rendah. Pada tahun 2010 indeks kekeringan terendah dengan curah hujan tertinggi sehingga titik api hanya sedikit. Tahun 2011 indeks kekeringan mulai meningkat dengan curah hujan yang rendah sehingga titik api kembali meningkat yaitu sebanyak 12 titik. Analisis yang dilakukan menunjukkan indeks kekeringan mencapai nilai tertinggi pada bulan Maret dan Juli, hal ini mengindikasikan daerah tersebut berada dalam kondisi kering. Deeming (1995) dalam Thoha (2008) bila KBDI menunjukkan nilai 2000 mendeskripsikan sama sekali tidak ada kelembaban tanah, sehingga bila tanah kering tentunya tidak ada daya dukung yang cukup untuk menumbuhkan tanaman di atasnya. Pada kondisi tanah dan vegetasi kering, menyebabkan pasokan bahan bakar api menjadi lebih besar. Kondisi ini dapat mendukung dugaan bahwa peningkatan jumlah hotspot yang terpantau oleh satelit disebabkan kondisi kekeringan yang meningkat. Perhitungan indeks kekeringan yang dihubungkan dengan kejadian hujan, dapat diketahui dengan jumlah curah hujan yang tinggi >5mm/hari dapat menurunkan nilai indeks kekeringan, sedangkan apabila tidak terjadi hujan atau jumlah curah hujan <5mm/hari akan menaikkan nilai indeks kekeringan yang terjadi. Besarnya nilai indeks kekeringan di Kabupaten Samosir terjadi pada bulan dengan curah hujan yang rendah yaitu bulan Maret dan Juli, dan nilai indeks kekeringan mengalami penurunan pada bulan dengan curah hujan yang tinggi yaitu pada bulan Oktober-Desember. Hal ini menunjukkan hubungan negatif antara besarnya indeks kekeringan dan jumlah hujan yang terjadi. Hubungan sebaran titik panas dan indeks kekeringan KBDI titik panas yang terdeteksi di bulan Juli terjadi pada saat tingkat kekeringan berada pada skala sifat tinggi-ekstrim. Hal ini menunjukkan pada saat kondisi daerah dalam keadaan kering (indeks kekeringan tinggi-ekstrim) jumlah titik panas yang terdeteksi banyak namun pada skala indeks kekeringan rendahsedang sedikit ditemukan adanya titik panas bahkan tidak ada ditemukan. Hal ini menunjukkan bahwa titik panas yang mengindikasikan terjadinya kebakaran mempunyai kecenderungan yang tidak tetap. Dimana pada saat indeks kekeringan mencapai kisaran tinggiekstrim pada tanggal tertentu pada bula Juli tidak ditemukannya titik panas. Informasi sebaran titik panas dan indeks kekeringan KBDI pada umunya disajikan hanya untuk melihat secara umum hubungan sebaran titik panas dan indeks kekeringan. Titik panas yang diperoleh dari
10
pengamatan satelit berupa suatu titik yang mengindikasikan terjadinya suatu kebakaran dan indeks kekeringan yang menggambarkan bahwa kondisi fisik daerah dalam keadaan kering. Besarnya nilai indeks kekeringan pada bulan-bulan tertentu dapat memprediksi munculnya titik panas, dimana terdeteksinya titik panas di suatu daerah terjadi pada saat indeks kekeringan berada dalam tingkat tinggiekstrim. Dengan mengetahui bulan-bulan yang mempunyai indeks kekeringan dan titik panas yang tinggi di suatu daerah dapat digunakan sebagai suatu peringatan dini terhadap besarnya kemungkinan terjadinya kebakaran dan kesiapsiagaan dalam pencegahan dan penanggulangan. Menurut Solichin (2004) data titik panas sebaiknya diartikan sebagai indikasi adanya kemungkinan kebakaran yang harus dianalisa, dimonitor, dan terkadang perlu di chek di lapangan untuk mengetahui apakah perlu dilakukan tindakan penanggulangan dini (initial attack), khususnya saat musim kering, dimana penyebaran api akan sangat cepat. Hal tersebut merupakan tindakan penting dalam penanggulangan kebakaran. Prediksi ancaman kebakaran berdasarkan Indeks KBDI dan titik panas. Hubungan indeks KBDI dan titik panas mempunyai peran yang penting dalam terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran umumnya terjadi pada saat curah hujan rendah yang secara otomatis meningkatnya nilai KBDI. Peningkatan nilai indeks KBDI tersebut mempunyai arti bahwa kondisi bahan bakar yang kering sehingga sangat mudah terbakar. Secara umum nilai KBDI berbanding lurus dengan jumlah titik api. Semakin tinggi nilai KBDI maka jumlah titik api pun semakin banyak di temukan. Hal tersebut berkaitan dengan kondisi bahan bakar yang semakin kering apabila nilai KBDI tinggi. Hubungan antara nilai indeks KBDI dengan kondisi bahan bakar dapat dilihat pada tabel berikut: Nilai KBDI umumnya juga berpengaruh terhadap ditemukannya titik panas. Nilai KBDI yang tinggi menyatakan bahwa kondisi bahan bakar yang cukup kering sehingga mudah timbul titik-titik api baik yang berasal dari pembakaran yang dilakukan secara sengaja ataupun yang terjadi secara alami. Titik api umumnya terjadi pada saat nilai KBDI berada pada skala sifat tinggi-ekstrim dengan nilai antara 1500-1749 dan 1750-2000. Kebakaran di Kabupaten Samosir umumnya terjadi pada bulan Maret-Juli, dimana pada bulan tersebut merupakan musim kemarau yang lumayan panjang sehingga curah hujan dan kelembaban sangat rendah. Rendahnya curah hujan dan kelembaban memnyababkan secara otomatis nilai KBDI menjadi tinggi sehingga mudah timbul titik-titik api baik yang terjadi secara alami atau karena perbuatan manusia. Nilai KBDI pada bulan Maret-Juli dominan berada pada tingkat tinggi-ekstrim yaitu dengan nilai antra 1500-
1749 dan 1750-2000. Hal ini dapat dilihat dari grafik yang menunjukkan hubungan curah hujan dan suhu, dimana pada saat curah hujan rendah maka suhu menjadi naik dan sebaliknya, apabila curah hujan tinggi maka suhu akan menjadi turun dan dapat juga dilihat dari grafik hubungan curah hujan dan KBDI, dimana pada saat curah hujan rendah maka nilai KBDI akan tinggi. Curah hujan dan jumlah hari hujan bukan menjadi faktor utama dalam munculnya titik-titik api di Kabupaten Samosir. Titik api juga banyak muncul pada saat masyarakat Kabupaten Samosir yang dominan berprofesi sebagai petani melakukan penyiapan lahan dengan cara pembakaran. Penyiapan lahan dengan cara pembakaran sering kali tidak terkontrol sehingga api merambat ke areal hutan sehinga memicu terjadinya kebakaran yang besar. Kebakaran di Kabupaten Samosir umumnya terjadi akibat pembakaran yang dilakukan para petani terhadap lahan semak belukar dengan tujuan untuk pembersihan lahan untuk melakukan kegiatan pertanian. Kebakaran yang terjadi secara alami sangat jarang terjadi bahkan hampir tidak ditemui. Pembakaran lahan yang dilakukan petani pada lahan semak belukar sering kali merambat secara tidak terkontrol sehingga terjadi kebakaran yang besar. Kebakaran inilah yang kemudian menjadi titik-titik api yang terekam dalam Satelit luar angkasa. Syaufina dan Sukmana (2008) menegaskan bahwa kebakaran hutan yang terjadi berulang-ulang setiap tahun di Indonesia disebabkan karena ketiadaan skema insentif/disinsentif ekonomi dari pelaksanaan dan aturan pelaksanaan pengendalian kebakaran. Nilai KBDI yang tinggi dan terdapatnya jumlah titik api yang tinggi merupakan prediksi awal dari terjadinya bahaya kebakaran yang meluas. Perlu diadakan antisipasi dan pencegahan awal agar tidak terjadi kebakaran yang meluas dan tidak terkontrol. Pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan pemadaman titik-titik api yang terdapat pada lahan yang kering serta lahan yang banyak mengandung bahan bakar yang mudah terbakar. Menurut BMG (2007) pada skala tingkat bahaya kebakaran hutan dan lahan, skala sifat rendah yang menunjukkan material bakar mengandung cukup air (lembab), mudah mencegah penyabaran api, skala sifat sedang menunjukkan api pada permukaan dan asapnya bisa menyebar, kebakaran dapat dikendalikan dengan peralatan tangan (hard tools). Skala sifat tinggi menunjukkan bahan bakar kering dan mudah terbakar, kebakaran akan menyebar dengan cepat perlu penanggulangan dini untuk menahan penyebaran, sedangkan skala sifat ekstrim menunjukkan penyebaran api sangat cepat dan intensif.
11
Sistem informasi kebakaran di Kabupaten Samosir. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai suatu sistem informasi kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Samosir, sebagai upaya untuk meminimalisasi terjadinya kebakaran. Data suhu maksimum harian dan curah hujan harian yang merupakan data yang digunakan untuk menghitung indeks kekeringan. Data dapat bersumber dari BMKG provinsi maupun BPP (Balai Penyuluhan Pertanian) yang ada di daerah. Data kemudian dikelola dan ditentukan skala sifat bahaya kebakarannya, hal ini dapat dilakukan pemerintahan setempat (baik provinsi dan kabupaten) yang kemudian data tersebut dapat didistribusikan dalam bentukbentuk peta lokasi rawan kebakaran, grafik, dan kalender siaga api kepada masyarakat yang secara tidak langsung dapat diwakilkan pada pemerintah desa dan perusahaan dan instansi lainnya. Dinas kehutanan daerah secara langsung sebagai badan yang bertanggungjawab terhadap pencegahan dan penanggulangan kebakaran serta badan yang tertinggi dalam pengambilan keputusan mendistribusikan secara langsung kepada regu siaga api untuk melakukan patroli dan monitoring ke lokasi dengan rawan kebakaran dengan menggunakan data titik panas digunakan sebagai data awal yang tercepat terhadap lokasi yang terdeteksinya adanya kebakaran. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1. Tingkat kerawanan kebakaran di Kabupaten Samosir cenderung rendah dimana kebakaran hanya terjadi pada bulan-bulan tertentu sepanjang tahun yaitu antara bulan Maret-Juli. 2. Prediksi bahaya kebakaran di Kabupaten Samosir berada pada bulan Maret-Juli dimana nilai curah hujan sangat rendah sehingga nilai KBDI tinggi dengan nilai indeks kekeringan berada pada skala tinggi-ekstrim yaitu antara 1500-1749 dan 17502000. SARAN Informasi kerawanan kebakaran hutan dan lahan dapat digunakan untuk memprediksi ancaman bahaya kebakaran di Kabupaten Samosir sehingga informasi tersebut hendaknya dapat digunakan untuk meminimalisir terjadinya bahaya kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Samosir. DAFTAR PUSTAKA Akbar, A. 2007. Pengendalian Kebakaran Hutan Berbasis Masyarakat sebagai Statu Upaya Mengatasi Resiko dalam REDD. Makalah Workshop Nasional IFCA-REDD tanggal 56 Nopember 2007. Jakarta. [BMG] Badan Meteorologi dan Geofisika. 2007. Interpretasi Bahaya Kebakaran.
http://72.14.235.104/search?q=cache:ePn7 LzLP4cJ:meteo.bmg.go.id/fdrs/interpretation _fd.html+kebakaran&hl=id&ct=clnk&cd=5&g l=id. (25 Oktober 20011) Boorger, B, Medy, S, dan Liam, F. 2007. Sistem Peringatan Dini dan Penentuan Tingkat Bahaya Kebakaran di PT. Inhutani I (Early Warning System and Fire Danger Rating in Inhutani I). Berau Forest Management Project Ministry of Forestry and Estate Crops. http://www.dephut.go.id/INFORMASI/PH/BF MP/ffm14.pdf.(15 November 2011) CIFOR. 2006. Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. http://www.cifor.org. Dikutip tanggal 9 September 2011 Departemen Kehutanan. 2007. Upaya Departemen Kehutanan dalam Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan serta penanggulangan Bencana Asap tahun 2007. Makalah dalam Workshop Pencegahan Kebakaran Hutan di Indonesia. Kerjasama antara JICA dan Fakultas Kehutanan IPB. 30 Agustus 2007. Ginting, T, 2009. Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Melalui Partisipasi Masyarakat:Prosiding. Workshop Tehnik Pencegahan Kebakaran Hutan Melalui Partisipasi Masyarakat. Kabanjahe Irwanto, 2005. Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia. http://www.irwantoshut.com. Dikutip tanggal 20 Oktober 2012. ITTO, 2010. Tinjauan Penyebab Utama Kebakaran Hutan di Daerah tangkapan Air Danau Toba. ITTO PD 394/06 Rev. I (F) Solichin. 2004. Hotspot Tidak Selalu Titik Kebakaran (Mengenal Hotspot Bagian 1). Palembang. South Sumatera Forest Fire Management Project (SSFFMP) Newsletters Hotspot. (Februari 2004) Solichin, Tarigan,L., Kimman,P., firman, B., Bagyono, R., 2007. Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran. South Sumatera Forest Fire Management Project. Syaufina, L. dan Sukmana, A. 2008. Kajian Penyebab Utama Kebakaran Hutan di Daerah Tangkapan Air Danau Toba. Laporan Akhir Studi Program ITTO PD 394/06 Rev. 1 (F). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Konservasi Alam. Bogor. Thoha, A. S, 2008. Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan dan Lahan Di Indonesia. Medan: Universitas Sumatera Utara
12
KARAKTERISTIK EKOLOGI LOKASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI DESA RANTAU BAIS KECAMATAN TANAH PUTIH KABUPATEN ROKAN HILIR ECOLOGICAL CHARACTERISTICS OF LAND AND FOREST FIRES IN THE RANTAU BAIS VILLAGE, TANAH PUTIH SUB – DISTRICT ROKAN HILIR DISCTRICT Nino Vembrianto1, Defri Yoza2, Evi Sribudiani2 (Department of Forestry, Faculty of Agriculture, University of Riau) Address Bina Widya, Pekanbaru, Riau Email:
[email protected] ABSTRACT Forest is a gift of nature that have the potential and function to maintain the environmental balance. Land and forest fires may degrade the quality of the environment. Rokan Hilir is a regency in Riau region that often happen forest fires. The purpose of this study was to determine the ecological characteristics which include temperature and humidity, rainfall, the volume and the water content of fuel and also the soil at the location of land and forest fires. This research was conducted in Rantau Bais Tanah Putih Rokan Hilir. The method of data collection by means of surveys. Data obtained during the study presented in a table based on the type of activities that can be taken to a conclusion. The results of this study showed that the average value of the temperature and humidity are 32.50C and 64.5%, rainfall is 212.62 mm, and the volume of forest fuel moisture content is 16.8 million m3 and 12.59%, the water content of soil is 279.64%, bulk density was 0.1975, particle density is 1.0975, total pore space is 82.33%, permeability is 169 625 cm/h and C-Organic is 47.66%. Keyword: Forest, Land and Forest Fire, Ecology. PENDAHULUAN Hutan adalah karunia alam yang memiliki potensi dan fungsi untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Potensi dan fungsi tersebut mengandung manfaat bagi populasi manusia bila dikelola secara benar dan bijaksana. Kelestarian manfaat yang timbul karena potensi dan fungsi di dalamnya dapat diwujudkan selama keberadaannya dapat dipertahankan dalam bentuk yang ideal. Hutan juga memberikan pengaruh kepada sumber alam lain. Pengaruh ini
melalui tiga faktor lingkungan yang saling berhubungan, yaitu iklim, tanah, dan pengadaan air bagi berbagai wilayah, misalnya wilayah pertanian. Pepohonan hutan juga mempengaruhi struktur tanah dan erosi, jadi mempunyai pengaruh terhadap pengadaan air di lereng gunung (Soeriatmadja, 1997). Hutan mengontrol fluktuasi debit air pada sungai sehingga pada saat musim hujan tidak meluap dan pada saat musim kemarau tidak kering. Di sini hutan
1. Mahasiswa Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Riau
2. Faperrta Staf Pengajar Fakultas Pertanian, Universitas Riau. Jom Vo;l.Jurusan 2 No. Kehutanan, 1 Februri 2015
Jom Faperta Vol. 2 No. 1 Februari 2015
berfungsi sebagai pengatur hidro-orologis bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Selain banjir dan kekeringan, masih banyak lagi dampak negatif dari kerusakan hutan. Kerusakan lingkungan hutan seperti ini merupakan kerusakan akibat ulah manusia yang menebang pohon pada daerah hulu sungai bahkan pembukaan hutan yang dikonversi dalam bentuk penggunaan lain. Kerusakan-kerusakan hutan tersebut diantaranya disebabkan oleh kebakaran hutan yang merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya yang mengganggu kesehatan masyarakat, serta sarana transpportasi baik darat, perairan maupun udara. Kebakaran hutan di Indonesia sangat sering terjadi, bahkan setiap tahunnya terjadi kebakaran hutan. Kebakaran hutan ini akan mengakibatkan kerugian dari segi ekologi dan lingkungan sekitar kawasan terjadinya kebakaran hutan. Ekosistem lingkungan kawasan tersebut akan terganggu keseimbangannya akibat adanya kebakaran hutan. Kondisi ini mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan. Riau merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana, baik bencana alam maupun sosial. Bencana alam yang sering terjadi di Riau adalah kebakaran hutan dan banjir, namun bencana alam yang sering terjadi di Riau adalah kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan timbulnya kerugian baik dari segi ekologi maupun sosial masyarakat. Asap kebakaran hutan Jom Faperta Vol. 2 No. 1 Februari 2015
tersebut menyebar ke negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Rokan Hilir adalah salah satu kabupaten di Riau yang daerahnya sering terjadi kebakaran hutan. Luas wilayah Kabupaten Rokan Hilir adalah 8.881,59 km2. Berdasarkan data Satgas Tanggap Darurat Asap di Pekanbaru, pantauan satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) -18 menunjukkan jumlah titik api tanggal 10 Maret 2014 mencapai 145 titik. Sedangkan, total hotspot di Sumatera mencapai 259. Sebaran hotspot antara lain di Kabupaten Rokan Hilir 46 titik, Kota Dumai 17, Kabupaten Bengkalis 27, Kepulauan Meranti 22, Siak 12, Pelalawan 16, Indragiri Hulu 1, dan Indragiri Hilir 27 (Anonimb, 2014) Dampak negatif yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan terhadap kondisi ekologis dilokasi kebakaran diantaranya struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka. Kebakaran hutan dapat membunuh organisme (makroorganisme dan mikroorganisme) tanah yang bermanfaat dalam meningkatkan kesuburan tanah. Kebakaran hutan juga akan memusnahkan sebagian spesies dan merusak kesimbangan alam sehingga spesies-spesies yang berpotensi menjadi hama tidak terkontrol. Selain itu, terbakarnya hutan akan membuat hilangnya sejumlah spesies, selain membakar aneka flora, kebakaran hutan juga mengancam kelangsungan hidup sejumlah binatang. Setiap daerah memiliki kondisi ekologi berbeda, kondisi ekologi tersebut memiliki ciri dan terkait dengan kebakaran hutan menjadikan suatu daerah dapat mudah terbakar atau tidak. Kondisi ekologi yang terkait dengan kebakaran hutan
adalah suhu, kelembaban udara, curah hujan, kondisi tanah dan bahan bakar hutan. Secara ekologi wilayah kabupaten Rokan Hilir memiliki jenis tanah gambut yang hampir merata di wilayah Kabupaten Rokan Hilir. Suhu di Kabupaten Rokan Hilir berkisar antara 22° C - 32° C. Sementara untuk curah hujan dari hasil pengukuran pada periode Januari-Juni 2013 dapat diketahui bahwa curah hujan tertinggi, yaitu 9,77 mm³ terjadi di bulan Juni dan curah hujan terendah, yaitu 5,78 mm³ terjadi pada bulan Mei. Rokan Hilir merupakan kabupaten yang rawan terjadinya kebakaran hutan terutama di Desa Rantau Bais yang setiap tahunnya terjadi kebakaran hutan. Berdasarkan uraian latar belakang, fokus penelitian dan permasalahan di atas, maka pertanyaan penelitian dapat dirumuskan yaitu bagaimana karakteristik ekologi lokasi yang sering dan rawan terjadinya kebakaran hutan di Desa Rantau Bais Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Rokan Hilir. Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah Mengetahui karakteristik curah hujan, suhu dan kelembaban udara lokasi terjadinya kebakaran hutan serta volume dan kadar air bahan bakar pada lokasi kebakaran hutan dan karakteristik tanah lokasi terjadinya kebakaran hutan di Desa Rantau Bais dan Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Rohil
BAHAN DAN METODE Tempat penelitian adalah Desa Rantau Bais Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir. Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2014. Tempat penelitian adalah Desa Rantau Bais Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan
Jom Faperta Vol. 2 No. 1 Februari 2015
Hilir. Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2014. Bahan penelitian yang digunakan adalah sampel tanah dan seresah di lokasi terjadinya kebakaran hutan. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah ring sampel, bor belgi, pisau lipat, parang, cangkul, plastik, karet pengikat, timbangan, alat mengukur suhu dan kelembaban udara, buku dan alat tulis, serta kamera. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey, dimana pelaksanaannya terdiri dari tahap persiapan, pengambilan sampel, analisis tanah dan pengolahan data. Teknik pengumpulan data suhu dan kelembaban udara diukur langsung pada lokasi penelitian. Pengukuran menggunakan thermohygrometer. Pengukuraan suhu dan kelembaban udara dilakukan 3 kali dalam satu hari yaitu pada waktu pagi hari, siang hari dan sore hari. Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan selama 1 minggu. Lokasi pengambilan contoh tanah (site sample) ditentukan secara “purposive random”. Data jenis dan sifat fisika-kimia tanah diperoleh dengan melakukan pengeboran tanah dengan bor tanah. Sampel yang diambil terdiri dari sampel tidak terganggu dan sampel terganggu pada kedalaman 0 – 20 cm. Sampel tidak terganggu diambil menggunakan ring sampel yang akan digunakan untuk analisis sifat-sifat fisik tanah, diantaranya permeabilitas tanah, kadar air tanah, bulk density (BD), particle density (PD), dan total ruang pori (TRP), sedangkan sampel terganggu diambil menggunakan bor belgi yang digunakan untuk analisis tekstur tanah dan analisis sifat-sifat kimia tanah, diantaranya Corganik.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Suhu dan Kelembaban Udara Suhu udara merupakan kondisi yang dirasakan di permukaan bumi sebagai panas, sejuk atau dingin. Kelembaban udara adalah tingkat kebasahan udara karena udara air selalu terkandung dalam bentuk uap air. Suhu udara rata-rata maksimum pada lokasi kebakaran hutan adalah 32.50o C, suhu tersebut tergolong tinggi yang membuat proses kebakaran hutan dapat lebih mudah terjadi. Menurut Saharjo (1997), pada pagi hari dengan suhu yang cukup rendah sekitar 200C ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat titik api tidak berkembang sehingga terkonsentrasi pada satu titik. Sementara siang hari suhu 300C-350 C, sedangkan kadar air bahan bakar cukup rendah (<30%) membuat proses pembakaran berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak satu titik, tapi berubah-ubah karena pengaruh angin. Pada lokasi terjadinya kebakaran hutan sangat berpotensi terjadi kebakaran, suhu siang hari pada lokasi kebakaran dapat mencapai 360 C hal ini akan berpengaruh terhadap suhu bahan bakar dan mengakibatkan proses pembakaran dapat mudah terjadi. Kelembaban udara berasal dari evaporasi air tanah, badan air dan transpirasi tumbuh-tumbuhan. Ketika kandungan air di udara sama dengan besarnya penguapan air, maka terjadilah kondisi jenuh udara. Umumnya kandungan air di udara lebih kecil dari penguapan yang terjadi, dan kondisi ini disebut udara tak jenuh. Para ahli metereologi menggambarkan kelembaban udara sebagai relative humidity (kelembaban relatif) yang didefinisikan sebagai rasio antara kandungan air dalam udara pada suhu tertentu dengan Jom Faperta Vol. 2 No. 1 Februari 2015
kandungan air maksimum yang dapat dikandung pada suhu dan tekanan yang sama. Kelembaban udara di dalam hutan sangat mempengaruhi pada mudah atau tidaknya bahan bakar untuk mengering yang berarti mudah tidaknya terjadi kebakaran. Kelembaban udara rata-rata minimum pada lokasi kebakaran hutan adalah 61.25%, kelembaban udara tersebut tergolong rawan terhadap kebakaran hutan. Saharjo (1997), kelembaban relatif yang tinggi di pagi hari yaitu sekitar 90%-95% ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak berkembang sehingga terkonsentrasi pada satu titik. Sementara siang hari dengan kelembaban relatif 70%-80% dan kadar air bahan bakar cukup rendah (<30%) membuat proses pembakaran berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak satu titik, tapi berubah-ubah karena pengaruh angin. B. Curah Hujan Curah hujan merupakan faktor alam yang dapat mempengaruhi peristiwa kebakaran pada suatu wilayah. Kondisi curah hujan di suatu tempat akan mempengaruhi tingkat kekeringan bahan bakar untuk menyala, kemudahan bahan bakar untuk menyala, penjalaran api dan lain-lain. Lokasi kebakaran hutan memiliki nilai rata-rata curah hujan dalam 5 tahun adalah 212.62 mm termasuk ke dalam katagori rawan sangant tinggi terhadap bahaya kebakaran. Curah hujan berpengaruh terhadap kelembaban bahan bakar, dimana pada saat curah hujan tinggi maka kelembaban bahan bakar juga akan meningkat sehingga menyulitkan terjadinya kebakaran. Solichin (2004), iklim atau perubahan cuaca bukanlah penyebab utama terjadinya kebakaran.
Namun tingkat kekeringan yang terjadi akibat perubahan iklim sangat berpotensi meningkatkan terjadinya kebakaran di wilayah tertentu yang menggunakan api untuk pengelolaan lahan atau yang memiliki potensi penyulutan api lainnya. C. Bahan Bakar Kadar air dan berat bahan bakar hutan pada lokasi kebakaran hutan dan lahan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kadar air bahan bakar hutan pada lokasi kebakaran hutan No 1 2 3
Kode Serasah Serasah A Serasah B Serasah C
Berat (gr) 47.4 43.5 46.2
Kadar air (%) 12.59 12.40 12.68
Kriteria Kering Kering Kering
Luas hutan dan lahan yang terbakar pada lokasi penelitian adalah 4.200 Ha atau 4.200.000 m2, sedangkan kedalaman gambut pada lokasi penelitian adalah 4 meter. Sehingga volume bahan bakar pada lokasi kebakaran hutan dan lahan mencapai 16.800.000 m3. Volume bahan bakar dalam jumlah besar akan menyebabkan api lebih besar, termperatur sekitar lebih tinggi, sehingga terjadi kebakaran yang sulit dipadamkan. Sedangkan volume bahan bakar yang lebih sedikit akan terjadi sebaliknya yaitu api yang terjadi kecil dan mudah dipadamkan. Hal ini didukung oleh hasil penelitina McArthur (1973) dalam Rioardi (2009) menyatakan bahwa kecepatan penjalaran api meningkat secara langsung dan proporsional dengan meningkatnya volume bahan bakar tersedia. Kadar air bahan bakar berpengaruh terhadap perilaku kebakaran terutama dalam hal kemudahan dari bahan bakar tersebut untuk menyala, kecepatan proses pembakaran, kecepatan penjalaran api, dan
Jom Faperta Vol. 2 No. 1 Februari 2015
kemudahan usaha pemadam kebakaran (Ismail, 2005). Tabel 4 menunjukkan kadar air bahan bakar permukaan pada lokasi penelitian kandungan kadar air tersebut adalah 12.40%, 12.59% dan 12.68%. Hasil tersebut menunjukkan kandungan bahan bakar tergolong dalam kategori kering, sehingga sangat berpotensi terjadinya kebakaran. Lebih sedikit kandungan air bahan bakar maka lebih mudah bahan bakar terbakar (Clar dan Chatten, 1954). Bahan bakar sulit untuk terbakar oleh api apabila kadar air yang terkandung oleh bahan bakar melebihi 12%. Faktor cuaca seperti curah hujan, kelembaban, dan suhu merupakan faktor iklim yang dapat mempengaruhinya (Ismail, 2005). D. Tanah Hasil pengamatan kadar air tanah pada lokasi kebakaran hutan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai kadar air tanah pada lokasi kebakaran hutan Kadar Air No Kode Tanah (%) 1 Tanah 1 138.20 2 Tanah 2 276.90 3 Tanah 3 224.66 4 Tanah 4 478.79 Rata-rata 279.64 Bahan organik tanah gambut yang terbakar menjadi kering, kemampuan menyerap dan menahan air menjadi kurang akibat dari panas dan sesuai dengan sifaat gambut yang kering tak balik. Hasil penelitian Armaini (2004) menunjukkan bahwa gambut yang terbakar pada kedalaman 0-20 cm kadar air cenderung menurun 300%-400%. Hal ini disebabkan tanah gambut di bagian permukaan menerima panas akibat dari kebakaran
yang menyebabkan bahan organik menjadi kering dan berkurangnya kemampuan memegang air. Menurut Djajakirana (2002), bila tanah gambut terbakar maka tanahnya habis terbakar, dampak langsung yang terjadi adalah pemanasan bahan organik yang tidak terbakar. Rembesan panas ini dapat menurunkan kemampuan bahan organik memegang air, kekeringan pada bahan organik, dan muncul sifat penolakan terhadap air. Hal ini dapat mengakibatkan tanah gambut yang sudah terbakar cenderung lebih mudah untuk terbakar karena kadar air tanah tersebut menjadi lebih rendah dan kemampuan memegang air sudah berkurang. Bulk density merupakan berat suatu massa tanah per satuan volume tertentu. Hasil pengamatan BD tanah pada lokasi kebakaran hutan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai BD tanah pada lokasi kebakaran hutan BD Kode No Kriteria Tanah (g/cm3) 1 Tanah 1 0.26 Rendah 2 Tanah 2 0.20 Rendah 3 Tanah 3 0.17 Rendah 4 Tanah 4 0.16 Rendah Rata-rata 0.1975 Rendah Tabel 3 menunjukkan bahwa ratarata bobot isi tanah gambut adalah 0,1975 g/cm3. Peningkatan bobot isi pada tanah gambut terbakar, terkait dengan adanya perubahan sifat fisik tanah gambut akibat kebakaran. Perubahan fisik yang mempengaruhi tanah gambut antara lain dehidrasi, penyusutan dan perubahan organik menjadi abu. Kebakaran tanah gambut menyebabkan penyusutan volume tanah. Penyusutan volume tanah terkait
Jom Faperta Vol. 2 No. 1 Februari 2015
dengan panas yang dihasilkan dari proses kebakaran. Menurut Hardjowigeno (1997) bahwa bila terjadi dehidrasi pada tanah gambut maka volume tanah gambut jadi menyusut, tanah menjadi lebih padat dan terjadi pengkerutan, dan berkurangnya rongga udara di sekitar bahan penyusun tanah, sehingga bobot isi menjadi meningkat. Hasil pengamatan PD tanah pada lokasi kebakaran hutan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai PD tanah pada lokasi kebakaran hutan PD No Kode Tanah (Cm3) 1 Tanah 1 1.15 2 Tanah 2 1.10 3 Tanah 3 1.07 4 Tanah 4 1.06 Rata-rata 1.095 PD tanah pada lokasi kebakaran hutan rendah, hal ini berkaitan dengan berkurangnya bahan organik tanah sehingga mengakibatkan nilai PD tanah menjadi rendah. Bahan organik tersebut berasal dari abu akibat dari kebakaran hutan lahan gambut. Hillel (1996) dalam Khoiri (2013) menyatakan bahwa dengan adanya bahan organik akan memperkecil particle density. Hasil pengamatan TRP tanah pada lokasi kebakaran hutan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai TRP tanah pada lokasi kebakaran hutan TRP Kode No Kriteria Tanah (%) 1 Tanah 1 77.66 Tinggi 2 Tanah 2 82.19 Tinggi 3 Tanah 3 84.44 Tinggi 4 Tanah 4 85.04 Tinggi Rata-rata 82.33 Tinggi
Tabel 5 menunjukkan rata-rata total ruang pori tanah pada lokasi kebakaran hutan adalah 82,33%. Total ruang pori tanah pada lokasi kebakaran hutan tergolong kedalam kriteria tinggi. Total ruang pori dipengaruhi oleh bahan organik tanah. Firmansyah (2003) dalam Khoiri (2013) menyatakan bahwa bahan organik dapat memperbaiki sifat fisik tanah berupa peningkatan total ruang pori, perbaikan aerasi tanah, pori air tersedia, permeabilitas tanah dan menurunnya ketahanan penetrasi. Saribun (2007) dalam Khoiri (2013) menyatakan bahwa bahan organik tanah mampu meningkatkan porositas tanah dan menurunkan tingkat kepadatan tanah. Total ruang pori tanah dan bulk density penting artinya dalam penilaian kepadatan atau kesarangan tanah. Donahue et al. (1977) dalam Simatupang (1999) menyatakan bahwa tanah yang bulk densitynya meningkat berarti ruang porinya semakin rendah dan tanah semakin padat. Tanah yang mempunyai bulk density besar, maka semakin padat tanah tersebut yang berarti sulit untuk meneruskan air atau ditembus akar tanaman. Hasil pengamatan permeabilitas tanah pada lokasi kebakaran hutan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai permeabilitas tanah pada lokasi kebakaran hutan Permeabilitas Kode No Kriteria (Cm/Jam) Tanah 1
Tanah 1
51.52
2
Tanah 2
62.08
3
Tanah 3
153.36
4
Tanah 4
411.54
Rata-rata
169.625
Sangat cepat Sangat cepat Sangat cepat Sangat cepat Sangat cepat
Jom Faperta Vol. 2 No. 1 Februari 2015
Nilai rata-rata permeabilitas areal yang terbakar adalah 169,625%. Permeabilitas tanah 4 memiliki nilai yang cukup tinggi dibanding 3 sampel tanah yang lain, hal ini karena kondisi tanah tersebut lebih berair sehingga nilainya cukup signifikan dibanding dengan sampel tanah yang lain. Permeabilitas tanah pada lokasi kebakaran hutan tergolong sangat cepat, hal ini dikarenakan tanah gambut tidak memiliki tekstur dan struktur tanah. Sehingga kemampuan meloloskan air juga sangat cepat dan mengakibatkan lokasi tersebut cenderung lebih mudah terbakar. Karena tanah tidak dapat menahan air lebih lama. Penurunan bulk density dan peningkatan nilai total ruang pori tanah, terutama ruang pori makro akan mampu melewatkan air dalam jumlah yang banyak per satuan waktu. Yulnafatmawita et al. (2010) dalam Khoiri (2013) menyatakan bahwa penurunan bulk density dan peningkatan total ruang pori tanah mengakibatkan peningkatan laju permeabilitas tanah. Hasil pengamatan C-Organik tanah pada lokasi kebakaran hutan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai c-organik tanah pada lokasi kebakaran hutan C-Organik No Kode Tanah (%) 1 Tanah 1 47.36 2 Tanah 2 46.37 3 Tanah 3 48.42 4 Tanah 4 48.52 Rata-rata 47.66 Tabel 7 menunjukkan nilai rata-rata C-Organik tanah pada lokasi kebakaran hutan adalah 47,66%. Bahan organik yang terbakar pada tanah gambut menyebabakan
C-Organik yang berada di atas permukaan akan menjadi karbon dioksida (CO2) dan karbonat (CO3), CO2 dilepas dalam bentuk gas, sedangkan CO3 akan terakumulsi dalam abu. Penambahan abu pada tanah yang terbakar juga mempengaruhi bahan penyusun tanah gambut sehingga Corganik semakin berkurang terutama di lapisan atas permukaan. Hasil penelitian Armaini (2004) menunjukkan bahwa tanah gambut yang terbakar kandugan COrganiknya menurun 33,19-36,99% pada kedalaman 0-20 cm. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut Rata-rata curah hujan pada lokasi kebakaran dalam kurun waktu 5 tahun terakhir adalah 212,62 mm. Rata-rata suhu harian tertinggi adalah 32,50 C dan terendah adalah 31,750 C. Rata-rata kelembaban udara harian minimum adalah 64,5% dan maksimum adalah 70%. Kondisi tersebut mengakibatkan lokasi penelitian berpotensi terjadi kebakaran hutan dan lahan. 2. Volume bahan bakar tergolong besar yakni 16.800.000 m3, sedangkan kadar air bahan bakar pada lokasi kebakaran hutan tergolong kering yakni 12,59%, 12,50%, 12,68%. Nilai tersebut menunjukkan lokasi tersebut berpotensi terjadi kebakaran hutan dan lahan. 3. Kadar air tanah memiliki nilai rata-rata sebesar 279,64%. Bulk density (BD) tanah memiliki nilai rata-rata adalah 0.1975, nilai tersebut tergolong rendah. Nilai rata-rata Particle density (PD) tanah pada lokasi kebakaran Jom Faperta Vol. 2 No. 1 Februari 2015
hutan 1.095. Total ruang pori tanah memiliki nilai rata-rata 82,33% yang tergolong tinggi. Permeabilitas tanah memiliki nilai rata-rata 169,625 cm/jam yang tergolong sangat cepat. Kandungan C-Organik tanah pada lokasi kebakaran hutan adalah 47,66 %. B. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai karakteristik ekologi lokasi kebakaran hutan khususnya mengenai sifat kimia tanah yang akan berkaitan dengan kesuburan tanah. Pembukaan lahan dengan membakar hutan dan lahan tidak dianjurkan untuk menjaga kualitas tanah dan mencegah pencemaran lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Anonimb. 2014. Jumlah Titik Hot Spot Riau. https://id.berita.yahoo.com. Diakses pada tanggal 6 Mei 2014. Armaini. 2004. Perubahan Fisik dan Kimia Tanah Gambut Pasca Kebakaran dan Peranserta Masyarakat dalam Sistem Pengendalian Penyebabnya (Tesis). Padang:Program Pascasarjana, Universitas Andalas. Clar, C.R dan L.R Chatten. 1954. Principle of Forest Fire Management Departement of Natural Resources Devision of Forestry. California. Djajakirana, G. 2002. Kerusakan Tanah Sebagai Dampak Pembangunan Pertanian.Sleman.
Hardjowigeno, S. 1997. Klasifikasi Tanah. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merr) varietas Willis. Institut Pertanian Bogor.
Ismail, AY. 2005. Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Potensi Kandungan Karbon pada Tanaman Acacia mangium Wild di Hutan Tanaman Industri(tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjanan, Institut Pertanian Bogor.
Soeriaatmadja, R.E. 1997. Dampak Kebakaran Hutan Serta Daya Tanggap Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam Terhadapnya. Prosiding Simposium: “Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan”. Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta. hal: 36-39.
Khoiri, Al. 2013. Perubahan Sifat Fisik Berbagai Jenis Tanah di Bawah Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis jacq.) yang Diaplikasi Tandan Kosong Kelapa Sawit (tkks) di PT. Salim Ivomas Pratama [skripsi].Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Riau. Pekanbaru. Rioardi. 2009. Faktor Ketersediaan dan Jenis Bahan Bakar Hutan. wordpress.com/2009/02/26/faktorketersediaan-dan-jenis-bahanbakar-terhadap-terjadinyakebakaran-hutan/. Diakses pada tanggal 10 Desember 2014. Saharjo, B.H. 1997. Mengapa Hutan dan Lahan Terbakar. http;//www.harianrepublika.com/29-September- 1997. Diakses pada tanggal 10 Nopember 2014. Simatupang, Y. M. A. 1999. Pengaruh Pemberian Bokashi Kotoran Ayam dan Bokashi Rumput Terhadap Beberapa Sifat Fisik Tanah Podsolik Merah Kuning Gajrug dan Pertumbuhan Jom Faperta Vol. 2 No. 1 Februari 2015
Solichin. 2004. Kecenderungan Kebakaran Hutan di Sumatera Selatan : Analisis Data Historis Hotspot NOAA dan MODIS. South Sumatera Forest Fire Managemen Project. Palembang.
KARAKTERISTIK KIMIA AIR HUJAN SAAT KEBAKARAN HUTAN DI PROPINSI KALIMANTAN BARAT DAN SUMATERA SELATAN CHEMICAL CHARACTERISTIC ON RAINWATER DURING FOREST FIRE IN WEST KALIMANTAN AND SOUTH SUMATERA Sheila Dewi Ayu Kusumaningtyas
Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG, Jl. Angkasa I No.2 Kemayoran 10720 Jakarta E-mail:
[email protected] Naskah masuk: 11 Maret 2013; Naskah diperbaiki: 30 September 2013; Naskah diterima: 10 Oktober 2013
ABSTRAK Permasalahan kebakaran hutan di berbagai propinsi di Indonesia terutama di Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan mulai marak seiring dengan meningkatnya laju penebangan hutan serta tingginya tekanan penduduk akan pemenuhan kebutuhan hidup melalui sumber daya kawasan hutan. Kebakaran hutan berpengaruh terhadap lingkungan berupa penurunan kualitas udara. Untuk mengetahui dampak kebakaran hutan terhadap karakterisitik kimia air hujan dan kondisi partikulat di Pontianak dan Palembang dilakukan analisa parameter anion, kation, dan pH air hujan serta Suspended Particulate Matter (SPM) selama periode 2002 hingga 2008. Data kimia air hujan dan SPM diperoleh dari pengamatan Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak dan Stasiun Klimatologi Kenten, Palembang, sedangkan analisanya dilakukan di BMKG Pusat menggunakan Kromatografi Ion. Untuk mengetahui jumlah kebakaran hutan digunakan parameter titik api dari Satelit Terra dan Aqua MODIS yang dikumpulkan dan dikelola oleh Stasiun Bumi Satelit NOAA, Kementerian Kehutanan. Dari hasil kajian diketahui bahwa kenaikan jumlah titik api baik di daerah Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan diiringi oleh kenaikan konsentrasi deposisi asam dan SPM beberapa saat kemudian. Baik di Pontianak dan Palembang telah terjadi hujan asam dengan presentasi kejadian berturut-turut adalah 61,1 % dan 71,8 %. Komposisi kimia penyusun air hujan di Pontianak dan Palembang baik pada saat titik api tinggi ataupun rendah didominasi oleh unsur Cl-, NH4+, Ca2+, dan Na+. Tingginya konsentrasi NH4+, Ca2+, dan Na+ selama kurun waktu 2002 hingga 2008 berperan sebagai faktor penetral keasaman air hujan sehingga kecenderungan pH mengalami kenaikan. Baik di Pontianak dan Palembang, kenaikan titik api diiringi dengan kenaikan konsentrasi SPM dengan koefisien korelasi masing-masing 0,836 dan 0,678. Kata kunci: deposisi asam, hujan asam, titik api, kebakaran hutan
ABSTRACT Forest fire which occurs in many provinces in Indonesia especially in West Kalimantan and South Sumatera increases along with the high and rapid deforestation and people demand. Forest fire affects directly to environment such as decreasing of air quality condition. To study the impact of forest fire on chemical characteristic of rainwater and Suspended Particulate Matter (SPM) from 2002 to 2008, analyses has been conducted. Rainwater and SPM samples in Pontianak and Palembang were obtained respectively from Supadio Meteorological Station and Kenten Climatological Station; while the analyses were conducted at BMKG using Ion Chromatography. Hotspot parameter was derived from Terra satellite and Aqua MODIS which were collected by NOAA Earth Satellite Station, , Ministry of Forestry. The study showed that the increase of hotspot number was followed with the increase of acid deposition and SPM concentrations in a few moments later both in West Kalimantan and South Sumatera. Acid rain also occured in that region with percentages of 61.1 % and 71.8 %, respectively. Chemical composition of rainwater in West Kalimantan and South Sumatera during highest and lowest hotspot is dominated with Cl-, NH4+, Ca2+, and Na+. High concentration of NH4+, Ca2+, and Na+ played important role in neutralizing the acidity of rainwater so that the pH tends to increase during period of 2002 to 2008, both in Pontianak and Palembang. The coefficient correlations of the increase of hotspot number followed by the increase of SPM concentration are 0,836 and 0,678, respectively. Keywords: acid deposition, acid rain, hotspot, forest fire
Karakteristik Kimia Air Hujan Saat Kebakaran Hutan............................................................Sheila Dewi Ayu Kusumaningtyas
1
1. Pendahuluan Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, kebakaran hutan mendapatkan perhatian khusus baik di dunia internasional maupun di Indonesia karena kian mengancam lingkungan dan ekonomi terutama setelah bencana El Nino (ENSO) pada tahun 1997/1998 yang telah memusnahkan lahan hutan seluas kurang lebih 25 juta hektar di seluruh dunia dan 9,8 juta hektar di Indonesia[1]. Permasalahan kebakaran hutan dan lahan di berbagai propinsi di Indonesia terutama di Pulau Kalimantan dan Sumatera mulai marak seiring dengan meningkatnya laju penebangan hutan serta tingginya tekanan penduduk akan pemenuhan kebutuhan melalui kawasan hutan. Menurunnya kondisi penutupan hutan tropis yang basah dan cenderung tahan terhadap kebakaran menjadi lahan terbuka dan lebih kering sehingga menyebabkan kondisi lahan lebih mudah untuk terbakar. Selain itu juga diperkuat oleh meningkatnya aktivitas penduduk disekitar kawasan hutan yang membawa konsekuensi meningkatnya kebutuhan lahan, akibatnya kegiatan pembukaan lahan semakin marak terjadi, yang umumnya ditempuh dengan metode tebang dan bakar. Faktor iklim seperti kemarau panjang dan petir juga turut serta memicu kebakaran hutan[2]. Kementerian Kehutanan mencatat bahwa jumlah kejadian kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan terjadi hampir tiap tahunnya dan meningkat terutama di musim-musim kemarau. Kejadian kebakaran hutan dapat ditandai dengan adanya jumlah titik api. Parameter ini sudah digunakan secara umum di berbagai negara untuk memantau kebakaran hutan dan lahan melalui satelit.
melalui tetes air hujan, kabut, embun, salju, butiran-butiran cairan (aerosol) ataupun jatuh bersama angin. Jenis-jenis deposisi asam antara lain adalah deposisi kering dan deposisi basah. Deposisi kering adalah terendapkannya asam-asam yang ada di udara dan mengenai tanah, benda, dan makhluk hidup tanpa melalui air hujan. Biasanya deposisi jenis ini terjadi di area perkotaan dengan tingkat pencemaran udara yang cukup tinggi yang diakibatkan oleh kepadatan lalu lintas di daerah tersebut dan maupun di sekitarnya. Deposisi basah adalah turunnya asam-asam yang ada dalam udara melalui tetes air hujan, kabut, embun atau butiranbutiran cairan. Hal ini terjadi bila asam-asam di dalam udara larut ke dalam butiran-butiran air di awan. Jika turun hujan dari awan ini, maka air hujannya akan bersifat asam. Peristiwa ini biasa disebut dengan wash-out. Selain itu deposisi basah juga terjadi bila hujan turun melalui udara yang mengandung asam sehingga asam terlarut kedalam air hujan hingga sampai di permukaan bumi. Deposisi semacam ini biasa disebut rain-out. Deposisi basah dapat terjadi di daerah yang sangat jauh dari sumber pencemaran[5]. Propinsi Kalimantan Barat merupakan propinsi keempat terluas setelah Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Propinsi ini berada pada posisi geografis 3o 05’ LS – 2o 05’ LU dan 108o 30’ BT - 114o 10’ BT. Karena letaknya yang unik, Propinsi ini dilalui oleh garis khatulistiwa tepat di atas kota Pontianak. Data terakhir dari Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa pada tahun 2009, wilayah kehutanan di Kalimantan Barat adalah seluas 6.501.011 hektar atau mencapai 43,94 % dari luas seluruh wilayah Propinsi Kalimantan Barat[6].
Kebakaran hutan berpengaruh pada penurunan kualitas udara, jarak pandang yang makin pendek hingga penurunan intensitas air hujan. Ketika proses pembakaran biomassa terjadi, polutanpolutan pencemar berupa partikel debu, gas SOx, NOx, COx, CH4 dan senyawa hidrokarbon lainnya akan terlepas ke udara. Menurut beberapa peneliti diantaranya Samsonov et. al.[3], pembakaran biomassa menghasilkan emisi gas CO2, CO, CH4 yang cukup besar. Sedangkan menurut Muraleedharan et. al.[4], asap dari pembakaran vegetasi mengandung uap air, gas-gas permanen, VOC, SVOC dan juga partikulat. Terbebasnya polutan-polutan tersebut ke udara dapat menyebabkan beberapa permasalahan diantaranya hujan asam.
Propinsi Sumatera Selatan terletak di bagian selatan Pulau Sumatera dan berada pada posisi geografis antara garis 5º 10' - 1º 20' LS dan 101º 40' - 106º 30' BT. Sumatera Selatan merupakan propinsi terkaya kelima di Indonesia dengan potensi sumber daya alam yang melimpah seperti minyak bumi, gas alam, batu bara dan mineral lainnya. Selain itu Sumatera Selatan juga memiliki kekayaan pertanian dan perkebunan sebagai andalan seperti kelapa sawit, karet, kopi, dan kelapa[7]. Kondisi kawasan hutan di Sumatera Selatan seluas 3.236.143 hektar. Luas tersebut belum termasuk adanya hutan primer, hutan sekunder, semak belukar/rumput, dan kawasan non hutan. Dari total luas kawasan hutan di Sumatera Selatan, sebesar 50,06% adalah hutan rawa (rawa gambut, rawa lebak, payau/mangrove) dan 49,94% adalah hutan dataran rendah dan pegunungan[8].
Hujan asam atau yang lebih tepat dikatakan deposisi asam adalah jatuhnya senyawa asam yang ada di atmosfer, baik dalam bentuk gas maupun cairan ke tanah, sungai, hutan dan tempat lainnya
Melalui kajian ini dapat diketahui dampak kebakaran hutan yang diwakili oleh parameter titik api terhadap kandungan karakteristik kimia air hujan dan konsentrasi SPM.
2
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 14 NO. 1 TAHUN 2013 : 1 - 9
Keterangan: Deposisi: fluks deposisi basah (meq/m2/th atau mmol/m2/th) VWM: volume weight mean (rata-rata berat volume) CH: curah hujan (mm) Sedangkan untuk menghitung konsentrasi aktual ion sulfat dan kalsium yang dihasilkan dari proses antropogenik, perlu diperhitungkan nss-nya (nonsea salt) terutama di area yang dekat dengan laut, karena selain dihasilkan dari aktifitas manusia, ion sulfat dan kalsium terdapat pula dalam garam laut (sea salt). Kemudian data pH, konsentrasi deposisi basah serta SPM yang diperoleh diplot dalam grafik jumlah titik api.
3500
30000
3000
25000
2500
20000
2000
15000
1500
10000
1000
5000
500
0
Curah hujan per thn (mm/th)
35000
0 2002
2003
2004
2006
2007
2008
Jumlah curah hujan/tahun (mm/th) Total Jumlah hotspot/tahun
Gambar 1. Grafik titik api terhadap curah hujan di daerah Pontianak, Kalimantan Barat 25000
2500
20000
2000
15000
1500
10000
1000
5000
500
0
jumlah curah hujan (mm/th)
(1)
DEPOSISI = VWM X CH VWM = volume sampel x kons.ion
Selain jumlah titik api, pada Gambar 3 dan 4 berikut ditampilkan grafik jumlah titik api dan curah hujan dalam variasi bulanan selama periode 2002 hingga 2008 masing-masing untuk daerah Pontianak dan Palembang.
0 2002
2004
2005
2006
Jumlah curah hujan/tahun (mm/th)
2007
2008
Jumlah hotspot/tahun
Gambar 2. Grafik titik api terhadap curah hujan di daerah Palembang, Sumatera Selatan
700
25000
600 20000 500 15000
400
10000
300 200
Data jumlah titik api Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan diperoleh dari Satelit Terra dan Aqua MODIS yang dikumpulkan dan dikelola oleh Stasiun Bumi Satelit NOAA, Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam,
5000 100 0
0 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 2002
2003
2004
CH (mm/bln)
2006
2007
2008
hotspot
Gambar 3. Variasi bulanan titik api dengan curah hujan di Pontianak
Karakteristik Kimia Air Hujan Saat Kebakaran Hutan............................................................Sheila Dewi Ayu Kusumaningtyas
3
curah hujan (mm/bulan)
Dari hasil analisis kimia air hujan dengan kromatografi dapat diperoleh data deposisi basah anion (SO42-, NO3-, dan Cl-) dan kation (NH4+, Ca2+, Na+, Mg2+, dan K+). Dalam kajian ini hanya dilakukan pengamatan terhadap deposisi basah. Untuk menghitung deposisi basah digunakan persamaan sebagai berikut:
Hasil pengumpulan data curah hujan di Pontianak dan Palembang terhadap jumlah titik api periode 2002 hingga 2008 masing-masing ditampilkan dalam Gambar 1 dan 2. Baik di Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan, titik api tertinggi tercatat terjadi pada tahun 2006 dimana pada tahun tersebut, peristiwa El Nino melanda beberapa kawasan di Indonesia.
Hotspot/thn
Data yang digunakan dalam kajian ini berupa data air hujan, jumlah titik api, dan jumlah suspended particulate matter (SPM). Data air hujan dan SPM daerah Kalimantan Barat diperoleh dari hasil sampling tiap minggu oleh Stasiun Meteorologi Supadio – Pontianak, sedangkan di Sumatera Selatan diperoleh dari Stasiun Klimatologi Kenten Palembang. Kedua stasiun tersebut dikelola oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Sampling air hujan dan SPM masingmasing dilakukan menggunakan alat Automatic Rain Water Sampler dan HV Sampler. Untuk mengetahui pH air hujan diukur dengan pH meter, pengukuran konsentrasi anion dan kation digunakan alat Kromatografi Ion.
3. Hasil dan Pembahasan
hotspot
2. Metode Penelitian
Kementerian Kehutanan. Data harian yang diperoleh kemudian dibuat menjadi data bulanan.
hotspot
Tujuan kajian ini adalah mengidentifikasi pengaruh dampak kebakaran hutan melalui sejumlah titik api di propinsi Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan terhadap karakteristik kandungan kimia air hujan selama periode 2002 hingga 2008.
hotspot
400 6000 300 4000
200
2000
100
0
curah hujan (mm/bln)
2006
2007
Dari hasil analisis dengan kromatografi ion diperoleh konsentrasi anion penyusun air hujan antara lain SO42-, Cl-, dan NO3-, sedangkan analisis terhadap kation NH4+, Na+, K+, Mg2+, dan Ca2+ dilakukan untuk mempertimbangkan faktor netralisir. Ion sulfat, nitrat, dan klorida merupakan pembawa sifat keasaman dalam air hujan sehingga dapat menyebabkan hujan asam atau yang lebih tepat dikatakan sebagai deposisi basah. Deposisi basah memiliki dua pengertian. Pengertian pertama, diartikan sebagai proses pencucian partikel-partikel dan gas di atmosfer melalui media air atau kristal es. Pengertian kedua, deposisi basah diartikan sebagai suatu massa material yang terdeposit ke bawah permukaan akibat hujan pada suatu waktu dengan luas area tertentu[10]. Pada Gambar 5 dan 6 ditampilkan grafik titik api terhadap deposisi nss-sulfat dan curah hujan untuk daerah Pontianak dan Palembang.
10000 5000 0
0 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11
hotspot
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa puncak titik api terpantau mengalami kenaikan tiap tahunnya pada bulan-bulan kering mulai Juli hingga Oktober baik di daerah Pontianak maupun Palembang. Sedangkan pada bulan-bulan dimana titik api terpantau rendah, curah hujan terukur cukup tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian Anggraini et al.[9] yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya intensitas curah hujan berpengaruh pada jumlah kejadian kebakaran hutan dan lahan yang diidentifikasi dengan adanya titik api. Semakin rendah intensitas curah hujan maka semakin meningkat jumlah titik api yang terjadi dan sebaliknya. Berkurangnya curah hujan juga mempengaruhi kadar air pada bahan bakar dan juga pada vegetasi sehingga peristiwa kebakaran menjadi lebih cepat terjadi. Pembukaan lahan dengan cara pembakaran turut menyumbang jumlah kejadian titik api.
4
15000 30000
2008
Gambar 4. Variasi bulanan titik api dengan curah hujan di Palembang
20000
40000
10000
2002
2003
2004
hotspot
2006
2007
2008
Deposisi nss-sulfat *10 (umol/m2)
Gambar 5. Variasi bulanan titik api dengan deposisi nss-SO4 di Pontianak 120000
160000 140000
100000
120000 hotspot
2005
25000
20000
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 2004
30000
60000 50000
0
2002
70000
deposisi nss-sulfat
500
80000
100000
60000
80000 60000
40000
40000 20000
20000 0
0 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 2002
2004
hotspot*10
2005
2006
2007
2008
Deposisi nss-sulfat* 10(umol/m2)
Gambar 6. Variasi bulanan titik api dengan deposisi nss-SO4 di Palembang
Dari grafik dapat dilihat bahwa kenaikan puncakpuncak titik api diiringi dengan kenaikan konsentrasi deposisi sulfat. Konsentrasi sulfat yang terlarut dalam air hujan berasal dari hasil oksidasi gas-gas yang mengandung sulfur (H2S, CS2, COS, DMS) menjadi SO2 yang kemudian teroksidasi lagi membentuk ion sulfat. Menurut Hobbs[11], gas-gas yang mengandung sulfur sebagian besar berasal dari proses natural alam dan sisanya berasal dari antropogenik. Selain dari oksidasi gas-gas yang mengandung sulfur, pembakaran biomassa menghasilkan polutan SO2. Selanjutnya, menurut Oden[12], pembentukan ion sulfat dalam air hujan dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti laju oksidasi fotokimia SO2, dan efek kimia dari O3. Namun yang menarik diamati dari series data titik api dan deposisi sulfat selama kurun waktu 2002 hingga 2008 adalah terdapatnya lag atau selang waktu mundur selama 2 bulan baik di daerah Kalimantan Barat maupun Sumatera Selatan. Di Kalimantan Barat pada tahun 2006, puncak titik api tertinggi teramati pada bulan Agustus, sedangkan kenaikan konsentrasi sulfat terukur paling tinggi pada bulan Oktober. Bila diamati pada Gambar 3 grafik antara titik api dengan curah hujan diketahui juga adanya selang waktu selama 2 bulan. Pada bulan Agustus, jumlah curah hujan yang terukur cukup rendah bila dibandingkan 2 bulan setelahnya sehingga menyebabkan konsentrasi polutan SO2 yang teramati rendah dan baru terukur sangat tinggi pada Oktober dimana curah hujannya lebih tinggi. Selain itu, polutan SO2 mungkin tidak tercuci secara efektif melalui proses deposisi basah.
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 14 NO. 1 TAHUN 2013 : 1 - 9
deposisi nss-sulfat
600
8000
hotspot
700
10000
curah hujan (mm/bln)
12000
Sebagaimana diketahui bahwa selain deposisi basah, proses pembersihan atmosfer dari polutanpolutan bisa melalui deposisi kering. Memungkinkannya transport polutan SO2 dalam aerosol dari sumber lain juga dapat meningkatkan konsentrasi. Untuk daerah Sumatera Selatan, selang waktu juga terjadi pada September ke Nopember.
Namun demikian, emisi NO2 dari kebakaran lahan/hutan potensial dihasilkan karena proses pembakaran vegetasi membutuhkan O2, dimana O2 yang diambil dari udara ambien akan berkorporasi dengan N2 bebas di udara menghasilkan emisi NO2. Menurut Samuelsen[14], pembentukan senyawa NO2 diperoleh melalui reaksi berikut:
Gambar 7 dan 8 di bawah ini menyajikan pola deposisi nitrat terhadap titik api di daerah Pontianak dan Palembang. Untuk daerah Kalimantan Barat, sama halnya dengan pola konsentrasi sulfat, lag pada konsentrasi deposisi nitrat juga teramati. Rendahnya curah hujan pada bulan Agustus 2006 menyebabkan lonjakan konsentrasi nitrat baru teramati di bulan Oktober.
N2 + O NO + N, N + O2 NO + O. Sama halnya dengan polutan sulfat, selang waktu atau lag juga terjadi pada bulan September dimana titik api paling tinggi, kandungan nitrat dalam air hujan ditemukan lebih rendah dan kembali terpantau naik pada bulan Nopember 2008. Pada September 2008 curah hujan terpantau cukup rendah yaitu hanya 42,9 mm sedangkan curah hujan cukup tinggi terjadi pada Nopember sebesar 633,8 mm. Tingginya konsentrasi pada bulan September mungkin juga dipengaruhi oleh pergerakan polutan nitrat dari sumber polutan lain seperti PLTA dan Pabrik Semen yang terdapat di daerah Palembang dimana polutan NO2 juga dihasilkan dari sektor industri.
Di daerah Sumatera Selatan terutama pada tahun 2008, pola kandungan nitrat hampir sama dengan deposisi nss-sulfat kecuali pada bulan Juni. Konsentrasi nitrat dalam air hujan hasil monitoring (pengamatan) di daerah Kenten, Palembang menunjukkan kenaikan seiring dengan kenaikan jumlah titik api. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jumlah titik panas dengan peningkatan konsentrasi deposisi nitrat. Menurut Lazaridis et al.[13], kebakaran hutan berkontribusi menyumbang 0,5% dari total emisi NOx. Kontribusi ini sangat kecil apabila dibandingkan dengan hasil emisi NOx dari gas buangan kendaraan bermotor, sektor industri, dan pembangkit listrik.
40000 30000 20000 10000 0
70000
70000
60000
60000
50000
50000
40000
40000
30000
30000
20000
20000 10000
10000
0
0 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 2002
2003
2004
2006
2007
deposisi klorioda (umol/m2)
hotspot
50000
hotspot
60000
deposisi nitrat (umol/m2)
20000 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
70000
Gambar 9 dan 10 berikut ditampilkan grafik antara titik api dengan deposisi klorida. Adanya lag juga berlaku pada deposisi klorida di Kalimantan Barat.
2008
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11
hotspot 2003
2004
hotspot
2006
2007
Deposisi Klorida*10 (umol/m2)
2008
Gambar 9. Variasi bulanan titik api dengan deposisi Cl- di Pontianak
Deposisi nitrat *10 (umol/m2)
Gambar 7. Variasi bulanan titik api dengan deposisi NO3- di Pontianak
200000 180000 160000 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0
120000 100000
40000 35000
hotspot
80000
30000 25000
60000
20000 40000
15000 10000
20000
5000 0
0 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 2002
2004
2005
hotspot*10
2006
2007
Deposisi nitrat* 10(umol/m2)
Gambar 8. Variasi bulanan titik api dengan deposisi NO3- di Palembang
2008
80000 hotspot
45000 100000
deposisi nitrat (umol/m2)
50000
120000
60000 40000 20000 0 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 2002
2004
2005
hotspot*10
2006
2007
2008
Deposisi klorida* 10(umol/m2)
Gambar 10. Variasi bulanan titik api dengan deposisi Cl- di Palembang
Karakteristik Kimia Air Hujan Saat Kebakaran Hutan............................................................Sheila Dewi Ayu Kusumaningtyas
5
deposisi klorida (umol/m2)
2002
70000
60000
60000
50000
hotspot
50000
40000
40000
30000
30000
20000
20000
Pada Gambar 11 dan 12 ditampilkan fluktuasi konsentrasi deposisi nss-Ca2+ terhadap titik api masing-masing di Pontianak dan Palembang. Untuk Pontianak - Kalimantan Barat, lag pada konsentrasi deposisi nss-Ca2+ juga ditemukan. Adanya lag atau masa tenggang mundur dikarenakan pada saat kebakaran hutan, curah hujan lebih rendah dan baru terjadi hujan beberapa bulan setelahnya, sehingga konsentrasi polutan dalam air hujan terukur lebih tinggi dibanding pada saat kebakaran terjadi. Pada awal tahun 2008 konsentrasi nss-Ca2+ terpantau meningkat. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pencemaran dari sumber lain.
10000
10000
0
0 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 2002
2003
2004
hotspot
2006
2007
2008
Deposisi ammonium *10 (umol/m2)
180000
120000
160000
100000
140000 120000
hotspot
80000
100000
60000
80000
40000
60000 40000
Sedangkan pada Gambar 13 dan 14 ditampilkan pola konsentrasi deposisi amonium terhadap titik api. Baik di daerah Pontianak dan Palembang terutama tahun 2006, kenaikan jumlah titik api diiringi dengan kenaikan konsentrasi amonium. Sumber-sumber emisi gas NH3 antara lain berasal dari proses amonifikasi tanah dan penggunaan fertilizer berbasis NH315. Sehingga dengan adanya kejadian kebakaran hutan dan lahan menyebabkan gas-gas NH3 yang ada dalam tanah terbebas ke udara dan tercuci dalam air hujan membentuk ion amonium. Selain tercuci dalam air hujan, emisi amonia juga dapat terukur dalam debu partikulat yang dihasilkan dari kebakaran hutan.
20000
0
0 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 2002
2004
2005
hotspot*10
60000
50000
50000
40000
40000
30000
30000
20000
20000 10000
10000
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 2002
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 2002
2003
2004
hotspot
2006
2007
2008
Deposisi nss-kalsium*10 (umol/m2)
120000
60000
100000
50000
80000
40000
60000
30000
40000
20000 10000
2003
2004
2006
2007
2008
Linear (pH)
Gambar 15. Fluktuasi nilai pH air hujan di Pontianak
Gambar 15 di atas memperlihatkan kecenderungan nilai pH air hujan di kota Pontianak tepatnya di Bandara Supadio yang menunjukkan tren kenaikan. Hal ini disebabkan adanya faktor penetralan dari parameter kation seperti amonium, kalsium, dan natrium. Salah satu sumber keberadaan amonium adalah (NH4)2SO4 atau NH4NO3 dari aerosol hasil pembakaran biomassa, sedangkan kalsium dan natrium berasal dari debu tanah yang terbawa oleh angin akibat peristiwa kebakaran hutan dan lahan. Kecenderungan kenaikan pH air hujan yang serupa di Kalimantan Barat pada periode 2004 hingga 2009 juga diamati oleh Budiwati et al.[15]. Namun demikian, sejak kurun waktu 2002 hingga 2008 kejadian hujan asam dengan pH dibawah 5,6 adalah 61,1% dengan rata-rata pH 5,46.
0
0 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 2002
2004
2005
hotspot*10
2006
2007
Deposisi nss-kalsium* 10 (umol/m2)
Gambar 12. Variasi bulanan titik api dengan deposisi nss-Ca2+ di Palembang
6
Deposisi nss-Ca (umol/m2)
hotspot
Gambar 11. Variasi bulanan titik api dengan deposisi nss-Ca2+ di Pontianak
20000
2008
7 6,5 6 5,5 5 4,5 4 3,5 3
0
0
2007
Gambar 14. Variasi bulanan titik api dengan deposisi NH4+ di Palembang
Deposisi nss-kalsium (umol/m2)
hotspot
70000
2006
Deposisi amonia* 10(umol/m2)
pH
60000
2008
deposisi ammonium (umol/m2)
Gambar 13. Variasi bulanan titik api dengan deposisi NH4+ di Pontianak
20000
70000
deposisi amonium (umol/m2)
Selain pengukuran terhadap anion sulfat, nitrat, dan klorida dilakukan pula pengukuran terhadap ion-ion yang dapat menyebabkan kebasaan antara lain Ca2+, Na+, NH4+, dan K+.
Pada Gambar 16 berikut diperlihatkan komposisi dan karakteristik kimia air hujan berdasarkan ratarata bulanan selama periode 2002 hingga 2008 di kota Pontianak. Pada tahun 2006 dimana jumlah titik api paling tinggi yang juga dipicu oleh kemarau panjang, kandungan deposisi asam pun
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 14 NO. 1 TAHUN 2013 : 1 - 9
Deposisi Basah (umol/m2/bln)
20000
5,6
8000
5,4
6000
5,2
4000
5
2000
4,8
0
nss-SO4
2003 NO3
Cl
2004 NH4
2006 Mg
2007 K
nss-Ca
15000
10000 8000
10000
6000 4000
5000
2000 0 2004 NO3
Cl
2005 NH4
2006 Mg
K
2007
2008
Na
nss-Ca
hotspot
Gambar 18. Komposisi kimia air hujan di Palembang
2008
Na
12000
nss-SO4
4,6 2002
20000
14000
2002
pH
Deposisi basah (umol/m2/th)
5,8
10000
16000
0
Kecenderungan kenaikan pH air hujan juga terjadi di wilayah Palembang, Sumatera Selatan yang ditunjukkan oleh Gambar 17 berikut. Kenaikan pH air hujan terutama di tahun 2006 dan akhir tahun 2007 yang merupakan dampak dari berkurangnya jumlah titik api di tahun tersebut. Selama kurun waktu 2002 hingga 2008 telah terjadi hujan asam dengan pH dibawah 5,6 sebanyak 71,8% dengan rata-rata pH 5,22. Adapun komposisi kimia penyusun air hujan di Palembang mirip dengan Pontianak dimana unsur NH4+, Cl-, dan Na lebih dominan. 12000
25000
18000
pH
Gambar 16. Komposisi kimia air hujan di Pontianak
Selain kimia air hujan, dilakukan pula analisa terhadap SPM di Pontianak dan Palembang yang ditampilkan dalam gambar 19 dan 20. Dari gambar terlihat bahwa kenaikan jumlah titik api diiringi oleh kenaikan konsentrasi SPM terutama pada tahun 2006 dimana terjadi kebakaran hutan dan lahan secara besar-besaran. Pola konsentrasi SPM hampir menyerupai pola kejadian titik api baik di Pontianak dan Palembang. Menurut Heil dan Goldammer[16], partikel debu yang terilis ke udara akibat kebakaran hutan merupakan polutan dominan yang mempengaruhi kondisi kualitas udara hingga skala regional. Selain itu, walaupun efek terhadap atmosfer akibat pencemaran udara oleh partikel cukup rendah, namun sangat berpengaruh terhadap kesehatan. Tingginya konsentrasi partikulat di udara dapat meningkatkan angka kematian[17]. Adapun hubungan antara kenaikan jumlah titik api sebagai indikasi kebakaran hutan dan lahan terhadap konsentrasi SPM di Pontianak memiliki koefisien korelasi (r) sebesar 0,836. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan tersebut cukup nyata, sedangkan untuk Palembang koefisien korelasinya sebesar 0,678.
7 6,5 6 5,5 5 4,5 4 3,5 3 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 2002
2004
2005
pH
2006
2007
2008
Menurut Seinfeld dan Pandis[18], coarse particle yang terkandung di SPM banyak mengandung unsur-unsur Ca2+, K+, Mg2+, dan Na+ dimana unsurunsur ini membawa sifat kebasaan sehingga dapat menetralkan pH air hujan. Namun demikian, untuk membuktikannya lebih jauh diperlukan analisa mengenai kandungan SPM.
Linear (pH)
Gambar 17. Fluktuasi nilai pH air hujan di Palembang
Karakteristik Kimia Air Hujan Saat Kebakaran Hutan............................................................Sheila Dewi Ayu Kusumaningtyas
7
hotspot
terpantau paling tinggi. Pada tahun 2006, kandungan air hujan didominasi oleh Cl- dengan konsentrasi sebesar 2255,86 µmol/m2 kemudian diikuti oleh ion NH4+ dan nss-Ca2+ masing-masing sebesar 2183,8 µmol/m2 dan 1709,15 µmol/m2. Tingginya konsentrasi pembawa sifat kebasaan pada NH4+ dan nss-Ca2+ berasal dari partikel kasar berupa debu baik yang berasal dari tanah maupun debu asap kebakaran. Ion amonium di udara dapat menetralkan ion sulfat membentuk garam amonium sulfat. Adanya kontribusi ion-ion NH4+, nss-Ca2+, dan Na+ yang cukup tinggi pada tahun 2006 akan menurunkan tingkat keasaman pH air hujan (Gambar 16).
60000 hotspot
50000 40000 30000 20000 10000 0
Ucapan Terima Kasih Konsentrasi SPM
1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
70000
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 2002
2003
2004
hotspot
2006
2007
2008
Konsentrasi SPM (mg/m3)
12000
600
10000
500
8000
400
6000
300
4000
200
2000
100
0
0 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 2002
2004
hotspot
2005
2006
2007
2008
Konsentrasi SPM (mg/m3)
Gambar 20. Fluktuasi Konsentrasi SPM terhadap titik api di Palembang
4. Kesimpulan Kenaikan jumlah titik api baik di daerah Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan akan diiringi oleh kenaikan konsentrasi deposit asam dan SPM beberapa saat kemudian. Baik di Pontianak dan Palembang telah terjadi hujan asam dengan presentasi kejadian berturut-turut adalah 61,1% dan dan 71,8%. Komposisi kimia penyusun air hujan di Pontianak dan Palembang baik pada saat titik api tinggi ataupun rendah didominasi oleh unsur Cl-, NH4+, Ca2+, dan Na+. Tingginya konsentrasi NH4+, Ca2+, dan Na+ selama kurun waktu 2002 hingga 2008 berperan sebagai faktor penetral keasaman air hujan sehingga kecenderungan pH mengalami kenaikan. Selain kenaikan pada konsentrasi deposisi asam, meningkatnya jumlah titik api juga berpengaruh terhadap konsentrasi SPM. Baik di Pontianak dan Palembang, Kenaikan titik api diiringi dengan kenaikan konsentrasi SPM dengan koefisien korelasi masing-masing 0,836 dan 0,678. Namun demikian, untuk mengkaji lebih lanjut tentang pengaruh jumlah kejadian titik api dengan kondisi kualitas udara diperlukan analisa parameter unsur SO42- dan NO3- melalui deposisi kering, analisa kandungan SPM, serta pengamatan konsentrasi CO2 dan CH4.
8
konsentrasi SPM
hotspot
Gambar 19. Fluktuasi Konsentrasi SPM terhadap titik api di Pontianak
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG – Dr. Edvin Aldrian, APU yang telah memberi bimbingan dan saran demi kesempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini serta kepada rekan-rekan Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG antara lain Rima Novianti, S.Si; Riri Indriyani, SKM; Eka Suharguniyawan, SKM; Suryanti, S.Si; Arika Indri, S.Si; dan Siti Wulan Khodijah, S.Si.
Daftar Pustaka [1] Kebakaran Liar.(http://id.wikipedia.org/wiki/Kebaka ran_liar), diakses tanggal 10 Januari 2013. [2] Franky, P. (1999). Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Perubahan Sifat-sifat Tanah Histosol di Hutan Rawa Gambut. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. [3] Samsonov, Yuri Koutsenogii, Konstantin P., Makarov, V.I., Ivanov, Andrey V. (2005). Particulate Emissions form Fires in Central Siberian Scots Pine Forests. Canadian Journal of Forest Research, 35, 2207-2217. [4] Muraleedharan, T.R., Radojevic, M., Waugh, A., Caruana, A. (2000). Emissions from the Combustion of Peat: An Experimental Study. Atmospheric Environment, 34, 3033-3035. [5] Sumahamijaya, I. (2009). Deposisi Asam, Lebih dari Sekedar Hujan Asam. http://majarimagazine.com/2009/03/depo sisi-asam-lebih-dari-sekedar-hujanasam/., diakses tanggal 13 April 2010. [6] Sukaryadi, et al. (2011). Potret Hutan Propinsi Kalimantan Barat. Jakarta: Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan. [7] Profil dan Potensi Sumatera Selatan (2013). (http://www.sumselprov.go.id), diakses 10 Januari 2013. [8] Proposal REDD Sumatera Selatan. (2011). (http://forestclimatecenter.org/redd/2011 %20South%20Sumatra%20Proposal%2 0as%20a%20REDD+%20Pilot%20Prov ince.pdf). diakses tanggal 10 Januari 2013. [9] Anggraini, N. & Trisakti, B. (2011). Kajian Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kebakaran Hutan dan Deforestasi di Propinsi Kalimantan Barat. Jurnal Penginderaan Jauh, 8, 11-20.
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 14 NO. 1 TAHUN 2013 : 1 - 9
[10] Allan, M. A. (2004). Manual for The GAW Precipitation Chemistry Programme No. 160. Swiss: World Meteorological Organization Global Atmosphere Watch. [11] Hobss, P. V. (2000). Introduction to Atmospheric Chemistry. New York: Cambridge University Press. [12] Oden, Svante. (1976). The Acidity Problem – An Outline of Concepts. Water, Air, and Soil Pollution 6, 137-166. [13] Lazaridis, M., Latos, M., Aleksandropoulou, V., Hov, Ø., Papayannis, A., Tørseth, K. (2008). Contribution of Forest Fire Emissions to Atmospheric Pollution in Greece. Air Quality Atmospheric Health, 1, 143-158. [14] Samuelsen, G.S. (1994). The Emission and Control of Nitrogen Oxides from Combustion Sources. IUPAC, The Chemistry of the Atmosphere: Its Impact on Global Change. Oxford: Blackwell Scientific Publications. [15] Budiwati, T., Setyawati, W., Cahyono, W.E., Ambarsari, N., & Indrawati, A.. (2010).
Penentuan kenaikan tingkat keasaman air hujan sebagai dampak kebakaran hutan di Kalimantan Barat. Laporan Penelitian Program Riset Terapan, Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim. Bandung: LAPAN. [16] Heil A & Goldammer JG. (2001). Smoke-haze Pollution: a review of the 1997 episode in South-east Asia. Regional Environmental Change, 2, 24-37. [17] Heil, A., Langmann, B., & Aldrian, E. (2006). Indonesian peat and vegetation fire emissions: Study on factors influencing large-scale smoke haze pollution using a regional atmospheric chemistry model. Mitigation Adaptation Strathosphere Global Change Vol 12, 113-133. [18] Seinfeld J.H & Pandis, S.N., (1998). Atmospheric Chemistry and Physics from Air Pollution to Climate Change. New York: John Wiley and Sons Inc.
Karakteristik Kimia Air Hujan Saat Kebakaran Hutan............................................................Sheila Dewi Ayu Kusumaningtyas
9
Kebijakan Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan Gambut di Kalimantan Tengah Kisno Hadi Kampus Tunjung Nyaho Jl. Damang Salilah I Gedung F, Jurusan Ilmu Sosial Politik, Fa kultas Ekonomi, Universitas Palangkaraya, Palangka Raya, Kalimantan Tengah 73111 Email:
[email protected]
Abstract There are two kinds of disastersin Kalimantan: floods in the rainy season and peat moss forest fires in the dry season. Both of the disasters, which happen every year; are caused by human and inappropriate policy in exploiting natural resources. Concerning peat moss forest fires in Central Kalimantan, the global climate change issue has driven the local government to cope with the problems seriously in recent years. This study aims to find out what the correlation between peat moss forest fires and global climate change is and how the local government's � overcome peat moss forest fires. There are two goals to achieve, namely 1) to find out the correlation between peat moss forest fires and global climate change; 2) to find out local government policies on disaster mitigation of peat moss forest fires and how private people's and Dayak society's support to the policies is. The method applied is descriptive qualitative by using observation data, do cuments, and interviews. The analysis uses an institutional approach, a model of policy studies. The research discovers that 1) there is a significant correlation between peat moss forest fires and climate change, i.e. peat moss forest fires happen because of hu man errors and lack of protection from the government; 2) local government has made the necessary policies on � mitigation ofpeat moss forest fires in cooperation with private people and Dayak society. Keywords: peat moss forest fires, climate change, disaster mitigation, community �. Abstrak
Terdapat dua macam bencana yang terjadi di Kalimantan, yaitu banjir di musim hujan serta kebakaran hutan gambut di musim kemarau. Bencana yang terjadi setiap tahun itu akibat ulah manusia serta kesalahan kebijakan dalam memanfaatkan sumber daya a/am. Untuk bencana kebakaran hutan gambut eli Kalimantan Tengah, menyebarnya isu peru bahan iklim global telah membuat pemerintah daerah tergerak menanggulanginyadalam beberapa tahun terakhir. Apa korelasi kebakaran hutan gambut dengan perubahan iklim global dan bagaimana kebijakan pemerintah daerah menanggulanginya, merupakan per tanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini. Ada dua tujuan yang hendak dicapai, 1) mengetahui kerelasi kebakaran hutan gambut dengan perubahan iklim global; 2) menge tahui kebijakan pemerintah daerah dalam mitigasi bencana kebakaran hutan gambut serta bagaimana dukungan swasta dan masyarakat Dayak terhadap kebijakanitu. Metode yang digunakan deskriptif kualitatif dengan memanfaatkan data observasi, dokumen, dan interview. Analisisnya menggunakan pendekatan kelembagaan yang merupakan salah satu model dalam studi kebijakan. Hasil penelitian menemukan, 1) ada korelasi signifi kan antara kebakaran hutan gambut dengan perubahan iklim, di mana kebakaran hutan
Jurnal Pembangunan Masyarakat dan Desa
79
gambut terjadi akibat ulah manusia dan minimnya proteksi dari pemerintah daerah; 2) pemerintah daerah telah membuat kebijakan mitigasi bencana kebakaran hutan gambut dengan melakukan kerjasama dengan swasta dan masyarakat Jokal Dayak. Kata-Kata Kunci: kebakaran hutan gambut, perubahan iklim, mitigasi bencana, peran masyarakat.
Pendahuluan
kabut asap menyelimuti seluruh wilayah
Tulisan Walter North (Koran Tem
Kalimantan selama satu bulan lebih.
28 November 2009, AS) tentang
Jarak pandang 1 meter tidak kelihatan
"Pemanasan Global: dari Komitmen ke
sepanjang hari, aktivitas publik lumpuh,
Tindakan" menarik untuk didiskusikan
gerakan ekonomi mikro terhambat, asap
lebih mendalam berkaitan dengan pi
bahkan "diekspor" ke Malaysia, Brunei
date. Presiden SBY pada pertemuan
Darussalam dan Singapura, serta pe
G-20 di Pittsburgh 29 September 2009.
nyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut
North menulis "Indonesia bertekat me
(ISPA) mewabah. Kejadian serupa ter
ngurangi emisi yang menyebabkan per
ulang pada musim kemarau tahun 2006,
ubahan ikJim global sebesar 26% tanpa
yang menjadi tahun "tergelap" Provinsi
bantuan internasional tahun 2020 dan
Kalteng sepanjang dekade 2000 an ka
menurunkan lagi 41% dengan bantuan
rena terselimuti kabut asap. Setiap tahun
internasional." North diantaranya her
sejak dekade 1990an sebenarnya terjadi
tanya "apa yang perlu diwujudkan un
kebakaran hutan gambut yang memun
po,
tuk memenuhi janji penurunan emisi
culkan kabut asap, bahkan terjadi pada
26% dan 41% itu"? Fokus kita menurut
tahun 2009, tetapi tidak sebesar dan
North "(diantaranya) mesti tertuju pada
separah tahun 1997 dan 2006.
penyumbang emisi terbesar yaitu keba karan hutan dan lahan gambut."
Diakui
bahwa
kebakaran
hutan
gambut sangat merugikan masyarakat
Menarik mengaitkan pandangan
lokal Dayak, yang ternyata masyarakat
North dengan posisi pulau Kalimantan
Dayak pun turut membakar kebun karet
yang dilanda oleh dua jenis bencana yaitu
dan rotan yang menjadi mata pencaha
kebakaran hutan di musim kemarau dan
rian utama. Dalam penelitian ini beru
banjir di musim hujan. Kehadiran ben
saha mengetahui bagaimana kebijakan
cana kebakaran hutan dan banjir adalah
pihak otoritas di daerah setempat dalam
akibat kebijakan salah urus dalam me
menanggulangi kebakaran hutan gam
ngelola sumber daya alam di masa lalu.
but itu? Adakah peran aktif pemerintah
Fase kebakaran gambut pada 15 tahun
daerah, swasta dan masyarakat lokal un
terakhir mencapai titik paling parah. Ta
tuk menanggulanginya? Tujuan tulisan
hun 1997 terjadi kebakaran hutan gambut
ini diketengahkan adalah untuk menge
yang luar biasa besar dan menyebabkan
tahui kebijakan pemerintah daerah da-
Kebijakan Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan Gambut .
80
...........
, Kisno Hadi
lam mitigasi bencana kebakaran hutan,
studi kelembagaan (institutional studies),
dan mengetahui peranserta masyarakat
yaitu menitikberatkan analisis pada insti
swasta (investor) dan masyarakat lokal
tusi atau lembaga (pemerintah daerah,
Dayak dalam mitigasi bencana keba
swasta dan masyarakat) yang menjadi
karan hutan. Fokus penelitian ini untuk
obyelk serta proses formal yang dikerjakan
mendeskripsi kebijakan mitigasi keba
oleh institusi tersebut. Studi kelembagaan
karan hutan gambut oleh lembaga Pe
merupakan salah satu model dalam studi
merintah Provinsi Kalteng yang materi
kebijakan yang memandang kebijakan
kebijakannya diadopsi dari kearifan lokal
sebagai kegiatan lembaga pemerintah,
masyarakat Dayak untuk diimplementasi
swasta dan masyarakat. Tiga ciri pokok
swasta sejalan dengan kegiatan investa
model ini adalah: 1) pemerintah mem
sinya serta oleh masyarakat Kalteng se
beri legitimasi terhadap kebijakan publik;
hari-hari. Kebijakan mitigasi ini diharap
2) kebijakan yang dibuat oleh lembaga
kan dapat menyumbang bagi mitigasi
pemerintah bersifat universal; 3) peme
bencana perubahan iklim global.
rintah memiliki hak memonopoli peng gunaan paksaan untuk mengimplemen tasikannya (Purwanto, 2009).
Metode Penelitian Metode penelitian yang diguna kan adalah kualitatif untuk memahami
Fokus utama studi kelembagaan adalah
peraturan
legal
formal,
peta
fenomena apa yang dialami subjek pene
perencanaan institusi, pengawasan, ke
litian seperti perilaku, persepsi, motivasi,
seimbangan peran dan fungsi para aktor
tindakan secara holistik dan dengan cara
yang terlibat (Kaho dan Lay, 2009). Per
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan ba
anan institusi dalam realitas sosial adalah
hasa, pada suatu konteks khusus yang
sebagai hal yang membatasi perilaku in
alamiah dan dengan memanfaatkan ber
dividu dalam berinteraksi, seperti norma
bagai metode ilmiah (Moeloeng, 2005:
sosial, keyakinan, aturan formal, dan
6). Penelitian kualitatif berusaha untuk
sistem nilai yang disepakati masyarakat
mengangkat secara ideografis berbagai
dan institusi bersangkutan. Dalam kon
fenomena dan realitas sosial, teori yang
teks mitigasi kebakaran hutan gambut,
dihasilkan mendapatkan pijakan yang
peran institusi baik pemerintah daerah,
kuat pada realitas, bersifat kontekstual
swasta dan masyarakat adalah sebagai
dan historis (Somantri, 2005: 64).
aktor yang membuat kebijakan, saling be
Data dan informasi berasal dari
kerjasama dan melaksanakan kebijakan
hasil penelitian sejak tahun 2005. Data
untuk mencegah terjadinya kebakaran.
diperoleh dengan wawancara dengan
Jadi jelas, peran lembaga pemerintah
informan kunci, data sekunder yaitu ber
daerah, swasta dan masyarakat lokal
asal dari dokumentasi, dan obersari ter
Dayak sarna-sarna penting dalam mitigasi
hadap kejadian yang sedang berlangsung.
bencana kebakaran hutan gambut.
Pendekatan
analisisnya
menggunakan
81
Jumal Pembangunan Masyarakat dan Desa
pan 17 miliar ton C02. Sementara un
Hasil Penelitian dan Pembahasan Tanah gambut adalah tanah yang
tuk seluruh Kalimantan, luasan hutan
elemen-ele
secara keseluruhan (meliputi juga hutan
men campuran tumbuhan seperti kayu,
gambut} diperkirakan 53.583.400 Ha;
strukturnya
mengandung
dedaunan serta ranting yang sudah lapuk
yang masih alami 1 1 .094.915 Ha; su
dan kering, yang terkubur selama puluh
dah terdegradasi 20.537.897 Ha; dan
an bahkan ratusan tahun di atas permu
sudah gundul mencapai 4.270.221 Ha.
kaan tanah hingga mencapai kedalaman
Berpatokan pada luasan hutan alami se
tertentu. Tanah gambut rentan terbakar.
luas 1 1 juta Ha, berarti hutan gambut
Berdasarkan penelitian dari Universitas
(bercampur dengan hutan biasa} di Kali
Palangkaraya, tanah gambut berupa hu
mantan hanya murni bisa menyerap dan
tan maupun bukan yang memiliki keda
menyimpan C02 sebesar 64 miliar ton.
laman mencapai 1 meter terdapat di
Setiap tahun seiring meluasnya degrada
Daerah Aliran Sungai (DAS) Kahayan.
si dan penggundulan hutan akibat keba
Jika terjadi kebakaran tanah gambut su
karan, luasannya terus menyempit.
lit ditanggulangi. Penyiraman air untuk
Hingga kini ada tiga permasalah
memadamkan api tidak efektif karena air
an yang penting perannya dalam me
hanya menyentuh permukaan tanah
nyumbang
se
kebakaran
hutan
gambut
mentara api menyala dalam kedalaman
di Kalteng, yakni: pertama, minimnya
tertentu.
dukungan dana lembaga donor inter
BOS Foundation (2008) mencatat
nasional kepada lembaga lokal untuk
sejak tahun 1860 suhu udara rata-rata
memfasilitasi pemberdayaan masyarakat
di seluruh permukaan bumi meningkat
di sekitar hutan. Sumbangan donor in
0, 7°C per tahun. Sementara di Indone
ternasional justru dialirkan ke LSM asing
sia sejak tahun itu suhu udara mening
yang justru asing bagi masyarakat lokal
kat rata-rata 0,3°C. Hal ini disebabkan
dan tidak memahami kondisi sosial bu
karena luasan hutan gambut sebagai
daya masyarakat. Untuk pengelolaan hu
penyerap dan penyimpan terbaik C02
tan gambut di DAS Kapuas dan Barito,
semakin menyempit. Kalimantan adalah
misalnya, pemerintah setempat menge
salah satu pulau terbesar di dunia yang
luh karena yang menerima dana donor
disebut sebagai paru-paru dunia, memi
internasional untuk pemberdayaan ma
liki hutan gambut paling luas di Indone
syarakat sekitar hutan dan pengelolaan
sia. Untuk wilayah Kalteng saja, menurut
hutan gambut adalah lembaga asing dan
805-F (2008), terdapat hutan gambut
tenaga asing, bukannya lembaga lokal
seluas 3.000.010 Ha, setiap hektarnya
dan masyarakat lokal (wawancara de
diperkirakan
dan
ngan pejabat Dinas Kehutanan di Kuala
menyimpan C02 sebesar 5.800 ton,
Kapuas, 3 Maret 2009}. Padahal lemba
mampu
menyerap
sehingga hutan gambut seluruh wilayah
ga lokal seperti lembaga adat dan tenaga
Kalteng bisa menyerap dan menyim-
dari masyarakat lokal jauh lebih mengerti
Kebijakan � Bencana Kebakaran Hutan Gambut
82
.....
. .. , Kisno Hadi ...
.
pengelolaan hutan gambut berdasarkan
hadiran investor, maupun oleh investor
kearifan yang mereka miliki.
dalam membuka lahan-lahan investasi.
Kedua, paradoks kebijakan yang
Dari hasil wawancara secara men
tidak berkeadilan, yakni pelarangan eks
dalam diketahui bahwa di Kalteng, baru
ploitasi hutan yang ketat bagi masyarakat
pemerintah provinsi yang berkomitmen
adat sekitar hutan yang menggantungkan
terhadap mitigasi bencana kebakaran
hidupnya dari sumber daya hutan. Me
hutan gambut. Sedangkan pemerintah
reka dicap pelaku iUegal Joging. Padahal
kabupaten/kota belum memiliki niat.
mereka mengambil kayu dari hutan adat
Padahal dalam konteks otonomi daerah,
sendiri secara tidak berlebihan dan digu
kabupaten/kota mestinya memiliki inisi
nakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
atif dan lebih aktif dalam merespons ben
sehari-hari seperti untuk ramuan mem
cana
bangun rumah. Tetapi eksploitasi kayu
nyumbang bagi perubahan iklim global.
oleh perusahaan HPH (hak penguasaan
Alih-alih memiliki inisiatif, pemerintah
hutan) justru dianggap legal. Kebijakan
kabupaten/kota justru hanya melaksana
semacam ini disebut sebagai kebijakan
kan kebijakan pemerintah provinsi.
kebakaran hutan gambut yang me
yang pragmatis, hanya menekankan pada
Terdapat sedikitnya empat kebi
mekanisme pasar atau melalui intervensi
jakan mitigasi kebakaran hutan gambut
negara tanpa melihat dampaknya bagi
oleh Pemprov Kalteng, yaitu: kampanye,
masyarakat lokal (Marijan, 2007: 103).
program pembinaan peladang menetap,
Ketiga, di kawasan hutan rentan
program pemanfaatan lahan untuk ke
terjadi konflik masyarakat adat dengan
makmuran rakyat, dan tataran teknis
perusahaan HPH dan perusahaan lain
perijinan pembuka�m dan pembersihan
yang mengeksploitasi hutan untuk mem
lahan. Kampanye Pencegahan Keba
buka industri baru. Hal ini disebabkan
karan Hutan dan Lahan dimulai sejak ta
oleh ketidaksinkronan kebijakan peme
hun 2004 dan pada tahun 2007 diting
rintah pusat dengan pemerintah dae
ka�n dengan cara penyebaran brosur
rah, antar lembaga pemerintahan serta
dan penyuluhan.
pemerintah dengan masyarakat sekitar
Penyuluhan dilakukan oleh Dinas
hutan dalam memberi konsensi pembu
Kehutanan Provinsi Kalteng berkaitan
kaan hutan. Tanpa melihat kondisi riil
dengan penyebab kebakaran, daerah
di lapangan, pemerintah "menjual" be
rawan kebakaran, dampak kebakaran
gitu saja kawasan hutan kepada investor
dan himbauan pengendalian kebakaran.
perkebunan kelapa sawit dan tambang
Kebakaran akibat ulah manusia,
batu bara, sehingga berbuah resistensi
perti peternak membakar ilalang untuk
masyarakat yang memiliki hak atas hutan
peremajaan rumput yang kemudian api
dan tanah atas dasar adat istiadat. Keba
nya membesar dan menyebar tidak ter
karan hutan sering terjadi disengaja oleh
kendali, penyiapan lahan untuk berladang
masyarakat yang "murka" terhadap ke-
atau bertani, membuat api unggun pada
se
Jumal Pembangunan Masyarakat dan Desa
83
saat berburu dan mencari ikan di hutan
kebijakan
mengikat untuk mencegah
atau di sungai kemudian apinya tidak
melakukan pembakaran. Selain itu, ajak
dipadamkan ketika pergi, membuang
an terhadap masyarakat masih bersifat
puntung rokok sembarangan di sekitar
berceramah top-down. Tidak memberi
ilalang kering, dan iseng memainkan api
kesempatan kepada masyarakat untuk
untuk membakar ilalang, dan lain-lain.
mempresentasikan alasan kenapa me
Daerah/wilayah rawan kebakaran
reka membuka lahan dengan
cara
diba
yaitu hutan yang sudah dibuka dan ba
kar. lni yang membuat masyarakat seo
nyak sisa-sisa bekas tebangan, ilalang
lah "buta tuli" terhadap kampanye itu,
kering dan semak belukar, hutan dan !a
sebab pemerintah tidak memahami ke
han gambut yang kering. Dampak yang
napa mereka membakar, dan dukungan
ditimbulkan akibat kebakaran hutan dan
dana untuk membina masyarakat agar
lahan, yaitu kualitas udara menurun aki
tidak membuka lahan dengan membakar
bat asap, sakit mata akibat asap, serang
masih sangat minim.
an wabah infeksi saluran pernapasan
Program Pembinaan Peladang Me
akut (ISPA), gangguan pada paru-paru,
netap Melalui Budidaya Karet di Lahan
terganggu atau hilangnya fungsi hutan
Terlantar. Program ini merupakan tang
sebagai pengatur iklim, kesuburan ta
gung jawab sosial setiap perusahaan
nah, penyaring udara, tata air dan ker
swasta di wilayah Provinsi Kalteng meta
agamaan hayati, udara semakin panas,
lui Program Corporate Social Responsi
banjir pada saat musim hujan, kekering
bility (CSR) atau Community Develop
an pada saat musim kemarau, penyebar
ment (CD). Setiap perusahaan swasta
an asap mengganggu hingga ke negeri
wajib melaksanakan program CSR/CD
tetangga.
di wilayah operasinya masing-masing untuk
berdasarkan Surat Pemyataan Pimpinan
melakukan pembakaran secara terken
Perusahaan dalam Dokumen AMDAL
dali dengan cara musyawarah desa sebe
Setiap perusahaan juga wajib memi
lum melakukan pembakaran lahan untuk
liki desa binaan di sekitar areal produk
Himbauan
dan
ajakan
dijadikan tempat berladang, membuat
sinya. Gubernur Kalteng melalui Surat
sekat bakar sebagai pembatas, melaku
Gubernur, antara lain: a) No. 660/253/
kan pencagaan secara bersama-sama
BPPLHD/2006 tanggal 20 Maret 2006;
dengan warga desa saat melakukan
b) No. 660/160/II/BLH/2008 tanggal
pembakaran, menghindari penggunaan
31 Januari 2008; c) No. 660/-633/11/
jenis api dalam bentuk apapun di areal
BLH/2008 tanggal 31 Juli 2008 me
yang rawan terjadi kebakaran seperti
minta dukungan perusahaan terhadap
merokok, menyalakan korek api, me
pembinaan
mainkan api, dan lain-lain.
lui Program Community Development.
peladang menetap
mela
Upaya tersebut di atas belum mak
Selain itu, Gubernur Kalteng juga men
simal ditaati sebab belum diiringi dengan
canamgkan�erakan Bersama .Meman-
KebijakanMitigasi Bencana Kebakaran Hutan Gambut ..
84
...
.......
, Kisno Hadi
faatkan Lahan Terlantar (GRBER-ML11
tang Perijinan, Tatacara Pembakaran,
tanggal 23 Mei 2009. Tujuan program
Pencegahan, Penanggulangan dan Pe
ini adalah untuk mendukung program
mulihan. Tujuan dilaksanakannya pro
memanfaatkan lahan terlantar sehingga
gram ini ialah memberi.kan solusi/arah
dapat dikurangi daerah rawan keba
an umum
karan, terbangunnya usaha petani men
dalam melakukan aktivitas pembukaan
etap melalui kebun karet, dan mening
lahan dan pekarangan, memberikan pe
katkan pendapatan dan kesejahteraan
doman umum bagi Kabupaten/Kota.
�gi petani/peladang Dayak
Yang diatur �. program
petani karet.
ini,
Lahan
ialah: a) membuka lahan dan pekarang
Untuk Kemakmuran Rakyat terselengga
an adat sesuai dengan hukum yang ber
ra berdasarkan Peraturan Gubernur (Per
laku dengan memperhatikan Rencana
gub) Kalimantan Tengah No. 52 Tahun
Tata Ruang; b) membuka lahan dan
2008 tentang Pedoman Pembukaan La
pekarangan pada lahan yang pernah di
han dan Pekarangan Bagi Masyarakat di
garap sebelumnya yang dibuktikan surat
Kalimantan Tengah. Program ini meru
penguasaan tanah; c) pembukaan lahan
pakan buah kerjasama antara Pemerin
dan pekarangan diutamakan cara pem
tah Provinsi Kalimantan Tengah dengan
bukaan lahan tanpa bakar; d) pembu
PT. Samudera Rejeki Perkasa. . Ada pun
kaan lahan dan pekarangan dengan cara
dasar hukum untuk menaungi program
bakar, harus terbatas dan terkendali dan
tersebut adalah Peraturan Daerah (Perda)
mendapat izin; e) setiap orang melaku
maupun Pergub di tingkat Provinsi yang
kan pembukaan lahan dan pekarangan
dibuat berdasarkan UU No. 41 tahun
pada lahan gambut ditetapkan sebagai
1999 tentang Kehutanan dan PP No. 4
berikut: gambut pantai dengan lapisan
tahun 2001 tentang Pengendalian Keru
gambut tipis yaitu pembukaan awal di
sakan/Pencemaran Lingkungan Hidup
lakukan pembakaran terbatas dan terk
yang Berkaitan dengan Kebakaran Hu
endali tetapi tidak dilak� pada fl1USim
tan dan Lahan. Perda tersebut ialah Per
kemarau, gambut pedalaman yaitu teru
da Provinsi No. 5 tahun 2003 tentang
tama lapisan gambut dengan ketebalan
Pengendalian Kebakaran Hutan dan La
lebih dari SOcm, tidak diperkenankan
han; serta Pergub No. 52 tahun 2008
pembakaran; f) pembersihan lahan dan
tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan
pekarangan tetapi bukan untuk sawah,
Pekarangan Bagi Masyarakat di Kaliman
ladang atau kebun, tetap menerapkan
tan Tengah. Di tingkat Kabupaten/Kota,
cara pembakaran terbatas dan terkenda
hanya ada 1 Kabupaten dan 1 Kota yang
li, tidak dilakukan pada musim kemarau.
membuat Perda serupa yaitu Kabupaten
Dalam hal perizinan pembukaan la
Program
Memanfaatkan
Kotawaringin Timur (Perda No. 7 tahun
han dan pekarangan dengan pembakaran
2003) dan Kota Palangka Raya (Perda
terbatas dan terkendali harus menda
No. 7 tahun 2003) yang mengatur ten-
patkan izin dari pajabat yang berwenang
Jurnal Pembangunan Masyarakat dan Desa
85
Kewenangan
bat keluar lahan, tidak diperkenankan
pemberian izin dengan luas lahan di
meninggalkan lahan dan pekarangan
bawah 2,5 Ha dilimpahkan kepada
yang sedang dibakar sebelum api be
yaitu
Bupati/Walikota.
Camat (0,5 - 2,5 Ha), Lurah/Kepala
nar-benar padam, menggunakan dan
Desa (0,1 - 0,5 Ha), Ketua RT (0,1
mengutamakan tata cara tradisional/
Ha). lzin pembakaran secara kumulatif
budaya/kearifan
pada wilayah dan hari yang sama da
adat setempat.
leluhur
masyarakat
pat dilakukan melalui Kecamatan (maks
Hak dan kewajiban pembuka la
100 Ha) atau Kelurahan/Desa (10 Ha).
han. Hak yang dimiliki oleh pembuka
Pemberian ijin memperhatikan data in
lahan adalah memperoleh bantuan dan
deks resiko kebakaran dan atau hotspot
pembinaan dari pemerintah provinsi,
(titik panas), indeks peringkat numerik
kabupaten/kota dan dunia usaha terkait
cuaca kebakaran atau Fire Weather In
pembukaan lahan tanpa bakar dan me
dex (FWO, atau peringkat numerik po
kanisasi pertanian. Mendapat informasi
tensi kekeringan dan asap atau Drought
indeks resiko kebakaran, titik api, teknik
Code (DC), dan jarak pandang. Semua
dan tata cara pembakaran secara ter
perijinan pembakaran terbatas dan ter
batas dan terkendali, pembukaan lahan
kendaJi dinyatakan tidak berlaku apabila
tanpa bakar dengan mekanisasi pertani
Gubernur mengumumkan status "ber
an. Memperoleh bantuan pemadam ke bakaran pada instalasi terkait dan satuan
bahaya." Tata cara pembukaan lahan dan
pengendali kebakaran, apabila terjadi
pekarangan dengan cara pembakaran,
kebakaran lahan dan pekarangan tidak
wajib melaksanakan tata cara dan tek
terkendali.
Sementara
kewajibannya
nik pembakaran terbatas dan terken
adalah melaporkan kejadian kebakaran
dali. Tata cara dan teknik pembakaran
tidak terkendali, melakukan penanggu
ialah: daun/ranting tidak menumpuk di
langan awal terhadap kebakaran lahan
bagian tepi, membuat sekat bakar, me
dan pekarangan yang tidak terkendali,
nyediakan bahan dan peralatan pem
memelihara dan membersihkan lahan
adam api, memberitahukan pemilik }a
dan pekarangannya pada musim peng
han yang berbatasan, dilakukan secara
hujan dan menjaga dari ancaman keba
bergiliran untuk lokasi yang berkelom
karan pada musim kemarau.
pok dan berdekatan, dilakukan secara
Berkaitan dengan tanggungjawab
15.00-
mencakup, antara lain: Bupati/walikota,
bergotong-royong mulai jam
18.00 WIB, dimulai dari tepi lahan yang
camat, Eurah/kepala desa atau ketua RT
berlawanan arah angin dan setelah api
bertanggung jawab terhadap penyam
bergerak jauh ke arah dalam pemba
paian informasi indeks risiko kebakaran
karan dilakukan dari bagian tepi lahan
dan indeks terkait lainnya, pengenda
searah angin, dijaga secara bersamaan
lian pembukaan lahan/pekarangan bagi
dan teliti agar tidak ada api yang teram-
masyarakat dengan cara membakar
se-
Kebijakan Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan Gambut . . .. . . .. , Kisno Hadi
86
.
cara terbatas dan terkendali di wilayah
.
.
.
jadi tertuduh penyebabnya. Pada tahun
nya. Setiap orang bertanggung jawab
2009 tercatat oleh Bagian Deteksi Dini
terhadap pengendalian kebakaran lahan/
Manggala Agni Balai Konservasi Sumber
pekarangan yang dimiliki/digarapnya.
Daya Alam (BDDMA-BKSDA) Provinsi
Pada tataran teknis perijinan pem
Kalteng, ada 2.222 hot spot di seluruh
bukaan dan pembersihan lahan dengan
wilayah Kalteng (Kalteng Pos, 2 Okto
cara pembakaran dapat dilaksanakan
ber 2009). Di Jakarta telah disahkan
berdasarkan Pergub No. 52 tahun 2008.
UU Perlindungan dan Pengelolaan Ung
Formulir terdiri dari 2 jenis, yaitu Formu
kungan Hidup (PPLH) yang melarang
lir Permohonan lzin Pembukaan Lahan
aktivitas pembakaran hutan dan lahan
dan Pekarangan sebagai formulir per
oleh siapa pun, termasuk petani Dayak
mohonan yang diisi dan ditandatangani
di Kalimantan. Di Kalteng, pemerintah
oleh petani/peladang Dayak, dan Surat
provinsi menginstruksikan aparat kepoli
lzin Pembukaan Lahan dan Pekarangan
sian untuk menangkap dan mempidana
Dengan Cara Pembakaran Terbatas dan
kan siapa saja yang melakukan aktivitas
Terkendali sebagai formulir pemberian
pembakaran hutan dan lahan. Majelis
izin yang diisi dan ditandatangani pejabat
Ulama Indonesia (MUn se-Kalimantan
berwenang
(Kalteng Pos, 9 September 2009), se
(Bupati/Walikota/Camat/
Rn.
Hanya
jak tahun 2006 sudah membuat "fatwa
para pejabat tersebutlah yang memiliki
haram" terhadap aktivitas pembakaran
wewenang memberi izin pembukaan la
hutan dan lahan.
Kepala Desa/Lurah/Ketua
han dengan cara dibakar. Hasil dari em
Dalam konteks lokal, baik produk
pat program kebijakan tersebut pada
hukum formal maupun fatwa tersebut
tahun 2010 tidak lagi terjadi kebakaran
secara langsung mengena kepada petani
hutan di musim kemarau.
Dayak. Hanya saja ketika pelarangan itu
Masyarakat Dayak memiliki tradisi
terjadi, lebih-lebih bila sudah terlegitimasi
dalam setiap pembersihan lahan ladang,
dalam bentuk UU atau peraturan lainnya,
baik membuka hutan perawan atau pun
maka bagaimana aktivitas kebudayaan
lahan bukan hutan dengan cara diba
berladang masyarakat Dayak? Yang per
kar. Demikian sentralnya ladang bagi
lu dicermati bahwa tidak hanya aktivitas
kehidupan orang Dayak, tidak berlebi
pembakaran lahan ladang oleh petani
han jika ada yang menyebut kebudayaan
Dayak saja yang mengakibatkan bencana
mereka sebagai kebudayaan huma atau
kebakaran hutan, aktivitas pembakaran
kebudayaan ladang (Salim, 2005: 31;
lahan oleh perusahaan perkebunan kela
Rini, 2005: 25). Ketika bencana keba
pa sawit dalam skala besar dinilai banyak
karan hutan terjadi yang mengakibatkan
kalangan sebagai penyumbang terbesar
kabut asap melanda pulau Kalimantan
penyebab kebakaran (Hadi, 2007: 9;
yang membuat terganggunya ruang so
wawancara dengan Petani Dayak di Ka
sial masyarakat luas, petani Dayak men-
tingan, 30 Juli 2007).
87
Jurnal Pembangunan Masyarakat dan Desa
petani
anserta masyarakat Dayak dalam mence
Dayak sebenarnya tidak membuat ke
gah kebakaran hutan dan lahan yang
Aktivitas yang
dilakukan
bakaran hutan dan kabut asap separah
luas. Aktivitas tersebut adalah aktivitas
seperti selama ini. Aktivitas pembakaran
adat yang sudah terlegitimasi sejak lama
bisa menciptakan kebakaran hutan yang
secara turun temurun, jauh sebelum isu
luas dan menimbulkan kabut asap bila
besar perubahan iklim muncul. Jadi da
dilakukan secara tidak terkendali dengan
lam konteks kelembagaan masyarakat
membakar hutan atau lahan dalam jum
Dayak, hukum informal berupa hukum
lah besar dan luas yang dilakukan secara
adat
sengaja oleh segelintir orang di lahan dan
pembakaran dalam perladangan men
hutan yang bukan dijadikan tempat ber
jadi penting perannya dalam mencegah
Dayak yang mengatur aktivitas
ladang. Petani Dayak memiliki kearifan
kebakaran hutan dan lahan. Ada sanksi
dalam aktivitas pembakaran lahan, dan
adat yang akan diberlakukan bagi setiap
hanya dilakukan untuk membuka lahan
individu atau keluarga peladang yang lalai
ladang, tidak boleh yang lain. Sehingga
menjaga api di saat aktivitas pembakaran
kecil kemungkinan menimbulkan kabut
dilakukan, atau juga !alai melaksanakan
asap dan kebakaran hutan yang maha
tahap demi tahap dalam persiapan pem
luas.
bakaran lahan. Tentu saja sanksi tersebut aktivitas
tetap dalam konteks adat yang berlaku.
pembakaran lahan dalam siklus berla
Aturan adat dalam aktivitas pembakaran
dang masyarakat Dayak di desa-desa
lahan itu, adalah kebijakan mitigasi ter
banyak diadopsi Pemprov Kalteng untuk
hadap kebakaran.
Kenyataannya,
kearifan
dimuat dalam materi peraturan formal baik Perda maupun Pergub. Peraturan
Simpulan
formal tersebut kemudian menjadi pan
Kebijakan mitigasi oleh Pemprov
duan atau pedoman umum bagi aktivi
Kalteng terhadap bencana kebakaran hu
tas pembukaan dan pembakaran lahan
tan gambut di Kalteng adalah kebijakan
di Kalteng. Sebab itu dalam konteks ini
yang materinya diadopsi dari aturan adat
penulis hendak menegaskan bahwa per
masyarakat Dayak yang dalam aktivitas
anserta masyarakat Dayak dalam upaya
berladangnya
mitigasi kebakaran hutan dan perubahan
pembakaran. Pembakaran lahan ladang
iklim sudah berlangsung jauh sebelum
oleh petani Dayak sudah menjadi bagian
isu besar perubahan iklim global muncul.
tak terpisahkan dari aktivitas berladang
Upaya mitigasi mereka praktikkan dalam
dan merupakan satu siklus dari kegiatan
penanggulangan kebakaran hutan dan
berladang secara keseluruhan. Secara
melaksanakan
kegiatan
lahan gambut di sekitar mereka dalam
langsung atau tidak petani Dayak di Kal
setiap aktivitas perladangan.
teng berperan serta dalam mitigasi keba
Dari aktivitas perladangan dapat
karan hutan gambut dan perubahan iklim
dilihat bagaimana sumbangan dan per-
global. Di saat bersamaan, peran swasta
KebijakanMitigasi Bencana Kebakaran Hutan Gambut
88
yang hadir di Kalteng dapat dimanfaat kan pemerintah daerah melalui program CSR/CD untuk mendorong serta men dukung kebijakan mitigasi bencana ke bakaran hutan gambut sejalan dengan kegiatan investasi. Walaupun masih ter
......
. . ..
..
, Kisno Hadi
Daftar Pustaka
Hadad, Ismid. 2010. Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan. Majalah Prisma. Vol. 29, April:
6-8.
dapat kekurangan, kebijakan mitigasi ini
Hadi, Kisno. 2007. Kearifan Berladang.
sudah dapat berjalan dan memperoleh
Majalah Kalimantan Review.
dukungan berkat adanya kerjasama (part
No. 147, Tahun XVI, November: 9.
nersip} yang baik antara pemda, swasta dan masyarakat Dayak. Kebijakan lokal adalah kebijakan otonomi daerah telah memberi ruang bagi pemerintah di tingkat lokal (teruta ma provinsi) dalam membuat kebijakan strategis yang diperlukan daerah. Tidak
Edisi
Kaho, Josef Riwu dan Cornelis Lay.
2009. Modul Kuliah Politik Desen tralisasi dan Pemerintahan Daerah. Program S2 PLOD UGM. Tidak Dipublikasi. Marijan, Kacung. 2007. Industrial Poli
terkecuali kebijakan yang bersumber dari
cy, Industrialisation and Cluster In
kearifan lokal masyarakat di mana materi
dustries in Indonesia: An Overview.
kebijakan yang dibuat berasal (diadopsi)
Jurnal Omu-/lmu Sosial, Vol. XXX,
dari nilai-nilai yang sudah berlaku dalam
No. 64: 103.
masyarakat. Dengan demikian, tidak suUt bagi pemerintah daerah untuk mengim plementasinya sebab masyarakat me mang sudah melaksanakan kebijakan itu sesuai perintah hukum informal (hukum
Moleong. Lexy J. 2005. Metodologi
Penelitian
Kualitatif.
Bandung:
ROSDA. North, Walter. 2009. Pemanasan Glo
adat) jauh sebelum dibuatkan kebijakan
bal: dari Komitmen ke Tindakan.
hukum formal oleh pemerintah daerah.
Koran Tempo, 28 November.
Kehadiran swasta (investor}, yang ke banyakan lalai dimanfaatkan oleh ke banyakan pemerintah daerah di tempat lain, ternyata di Kalteng dapat maksimal
Patus, Sikur. 1986. Hukum Adat dan
Kebudayaan Dayak Dusun. Naskah tidak diterbitkan.
menjalankan misi sosial melalui program
Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2001
CSR/CD membantu masyarakat lokal
tentang Pengendalian Kerusakan/
dan pemerintah daerah sejalan dengan
Pencemaran
kegiatan investasinya.
yang Berkaitan dengan Kebakaran
Lingkungan Hidup
Hutan dan Lahan.
Jurnal Pembangunan Masyarakat dan Desa
89 2009.
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan
Bahan Kuliah Kebijakan
Tengah No. 5 tahun 2003 tentang
Publik. Program 52 llmu Pemerin
Pengendalian
tahan STPMD "APMD". Tidak Di
Kebakaran
Hutan
publikasi.
dan Lahan. Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah
Rini,
Kartika.
2005.
Tempun Petak
No. 52 Tahun 2008 tentang Pe
Nana Sare: Klsah Dayak Kadorl,
doman Pembukaan Lahan dan Pe
Komunitas Peladang dl Plnggiran.
karangan Bagi Masyarakat di Kali
Yogyakarta: INSIST Press.
mantan Peraturan Daerah Kabupaten Kotawa
Salim HS, Hairus. 2004. Masyarakat Dayak Meratus, Agama Resmi, dan
Jurnal Kebudayaan
ringin Timur No. 7 tahun 2003
Emansipasi.
tentang Perijinan, Tatacara Pem
Kandil. Edisi 7, Tahun II Nopember
bakaran, Pencegahan, Penanggu
2004-Januari 2005, 3 1 .
langan dan Pemulihan. Peraturan Daerah Kota Palangka Raya
Somantri, Gumilar Rusliwa. 2005. Me mahami Metode Kualitatif. Jurnal
No. 7 tahun 2003 tentang Perijin
Sosial Humaniora Makara, Volume
an, Tatacara Pembakaran, Pence
IX, 2, Desember: 57-65.
gahan, Penanggulangan dan Pe mulihan Purwanto, Erwan Agus.
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
MEKANISME TERGANGGUNYA PROSESFOTOSINTESIS PADA BERBAGAI KONDISI VEGETASI PASCA KEBAKARAN HUT AN
Disturbance Mechanism of Photosyntesis Process on Various Condition of Vegetation after Forest Fire 1> > Wahyu Catur Adinugroho dan Sri Utame ') Balai Penelitian Kehutanan Samboja
11. Soekarno-Hatta Km 38, Semboja Po Box 578, Balik Papan 76112 Te1p. (0542) 7217663, Fax. (0542) 7217665 Z) Balai Pene1itian Kehutanan Palembang Jl. Kol. H. Burlian Km 6,5, Kotak Pos 179, Puntikayu Palembang Telp./Fax. (0711) 414864
I.
PENDAHULUAN
Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi. Kebakaran hutan di Indonesia merupakan permasalahan yang cenderung berkembang setiap tahunnya sebagai akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang irasional. Beberapa tahun terakhir kebakaran hutan terjadi hampir setiap tahun, khususnya pada musim kering. Kebakaran yang cukup besar terjadi di Kalimantan Timur yaitu pada tahun 1982/1983 dan tahun 19971 1998. Sejak kebakaran hutan yang cukup besar tahun 1982/1983 di Kalimantan Timur, intensitas kebakaran hutan makin sering terjadi dan sebarannya makin meluas. Tercatat beberapa kebakaran cukup besar berikutnya yaitu tahun 1987, 1991, 1994, 1997, 2003, hingga 2006 (Effendi & Effendi, 2002). Pada tahun 1982/1983 kebakaran telah menghanguskan hutan sekitar 3,5 juta ha di Kalimantan Timur dan merupakan rekor terbesar kebakaran hutan dunia setelah kebakaran hutan di Brazil yang mencapai 2 juta ha pada tahun 1963. Kemudian rekor tersebut dipecahkan lagi oleh kebakaran hutan Indonesia pada tahun 1997-1998 yang telah menghanguskan seluas I I , 7 juta ha. Kebakaran terluas terjadi di Kalimantan dengan total lahan terbakar seluas 8, 13 juta ha, disusul Sumatera, Papua Barat, Sulawesi, dan Jawa masing-masing 2,07 juta ha, I juta ha, 400 ribu ha, dan 100 ribu ha. Selanjutnya kebakaran hutan Indonesia terus berlangsung setiap tahun meskipun luas areal yang terbakar dan kerugian yang ditirnbulkannya relatif kecil dan umumnya tidak terdokumentasikan dengan baik. Data dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam menunjukkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun sejak tahun 1998 hingga tahun 2002 tercatat berkisar antara 3 ribu ha sampai 515 ribu ha (Departemen Kehutanan, 2003). Pada tahun 2002 dan 2005, kebakaran hutan dan lahan terjadi kembali dengan skala yang cukup besar terutama diakibatkan oleh konversi hutan di lahan gambut.
101
I
Mitra Hutan Tanaman Vo/.4 No.3, November 2009, 101- 110
Selain dampak langsung kejadian kebakaran yaitu adanya peningkatan suhu di sekitar lokasi kebakaran, kejadian kebakaran hutan juga menghasilkan gas emisi seperti C02 serta asap tebal yang mengandung gas-gas dan partikel yang mempunyai dampak negatif terhadap menurunnya kualitas udara serta berbahaya terhadap kesebatan. Pada kejadian kebakaran berskala besar di tahun 1997-1998, diestimasi sekitar I 0 juta ba Iahan yang rusak atau terbakar sekaligus melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK.) sebanyak 0,81-2,57 gigaton karbon ke atmosfer (setara dengan 13-40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahunnya) yang berarti menambah kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global. Tercatat sekitar 70 juta orang di 6 negara di ASEAN terganggu kesebatannya karena menghirup asap dari kebakaran di Indonesia pada tabun 1997-1998. Seperti yang telah diuraikan di atas, kebakaran hutan telab mengakibatkan terganggunya kondisi lingkungan baik secara fisik maupun kimia yang berdampak pada kehidupan makhluk bidup termasuk vegetasi. Kerusakan vegetasi akibat kebakaran merupakan dampak yang paling terasa karena dapat diamati langsung secara kasat mata, baik yang menyebabkan kematian maupun hanya menyebabkan kerusakan pada pobon atau vegetasi lainnya. Selain menyebabkan kerusakan vegetasi secara fisik, kebakaran butan juga berdampak pada proses-proses fisiologi vegetasi, misalnya proses fotosintesis. Dengan terganggunya proses fotosintesis ini maka akan berpengaruh pada metabolisme vegetasi pasca kebakaran dan secara luas terbadap proses-proses lain yang memanfaatkan basil dari proses fotosintesi�. Kozlowski ( 1992) melaporkan bahwa 30-60% produk harian fotosintesis digunakan oleh tumbuhan untuk melangsungkan proses respirasi. Fotosintesis sering dikatakan sebagai proses kimia satu-satunya di bumi yang sangat penting berdasarkan beberapa alasan; makanan manusia dan seluruh binatang (b�terotrof) tergantung langsung atau tidak langsung pada tumbuhan (autotrof); stabilitas konsentrasi oksigen dan karbondioksida atmosfir tergantung pada fotosintesis di lautan dan daratan; selain itu kita mengambil keuntungan dari simpanan energi fotosintesis p_ada abad geologis masa lalu bila menggunakan gas alam, minyak bumi dan batu bara sebagai sumber bahan bakar. Sebagai tambahan, kita memakai serat kayu (satu diantara sedikit sumber daya alam yang dapat diperbarui) untuk berbagai kebutuhan dan kita tentu saja harus menyadari babwa fotosintesis merupakan landasan penting untuk kebidupan manusia di bumi. Berdasarkan uraian tersebut diatas terlihat bahwa fotosintesis merupakan salah satu fungsi fisiologis yang mempunyai peranan penting baik untuk kehidupan vegetasi itu sendiri maupun makhluk hidup lainnya termasuk manusia, sehingga terganggunya proses ini akan berdampak luas terbadap kehidupan makhluk bidup. Untuk menambah wacana dalam memahami gangguan kebakaran terhadap vegetasi, pada tulisan ini akan diuraikan lebih detail mengenai terganggtmya proses fotosintesis akibat kebakaran butan dan laban.
102
Mekanisme Terganggunya Proses Fotosintesis pada � Kondisi Vegetasi Pasca Kebakaran Hutan Wahyu Catur Acinugrohodan Sri Utami
II.
I
PEMBAHASAN
Tidak selamanya tanaman dapat selalu melakukan proses fotosintesis dengan normal. Keadaan dimana tanaman dapat melakukan proses fotosintesis dengan normal dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor dari tanamannya itu sendiri dan juga lingkungan. Faktor tanaman itu sendiri dapat dipengaruhi oleh perilaku stomata, variasi fotosintesis netto dalam pohon, umur daun, posisi pohon, perbedaan fotosintesis netto antara kelas tajuk, penyesuaian kondisi terbuka dan naungan, perbedaan genotip dan perbedaan antara daun Iebar dan konifer. Sedangkan dari faktor lingkungannya, fotosintesis dipengaruhi oleh cahaya, suhu dan ketersediaan air, dimana kejadian kebakaran hutan telah mempengaruhi beberapa faktor tersebut Kondisi vegetasi pasca kejadian kebakaran berbeda-beda, hal ini sangat tergantung pada tingkat kejadian kebakaran dan tingkat perkembangan vegetasi itu sendiri. Bagi semai atau anakan pohon yang memiliki jaringan tanaman yang masih muda, api akan menyebabkan kematian secara langsung. Apabila terjadi high-severity burn (terbakar berat) dapat langsung mengakibatkan kematian vegetasi. Tetapi apabila tingkat kebakarannya ringan (low-severity burn) maka terdapat vegetasi yang masih bisa bertahan hidup. Pada beberapa jenis vegetasi yang masih bisa bertahan hidup terdapat beberapa vegetasi yang bergantung pada api sehingga untuk jenis-jenis kebakaran tertentu dapat melestarikan keberadaannya (Syaufina, 2008). Hal ini ditunjukkan dengan adanya sifat adaptasi vegetasi terhadap api yang dikenal dengan istilah fire adaptive traits. Beberapa contoh adaptasi tersebut adalah ketebalan kulit kayu, tunas yang terlindung, pertunasan yang distimulasi oleh api, penyebaran biji oleh api, dan perkecambahan biji yang dibantu oleh api. 1. Vegetasi yang Mati
Organ dan jaringan tanaman khususnya daun dan bagian lainnya dari tanaman yang terbakar mengakibatkan matinya jaringan sehingga bagian-bagian tanaman menjadi mengering dan berakibat pada tanaman tidak bisa melakukan fungsi fotosintesis untuk mendukung pemulihan dan pertumbuhannya. Dengan tidak berlangsungnya proses fotosintesis maka tidak dihasilkan fotosintat yang dibutuhkan oleh organ atau jaringan untuk pertumbuhan dan melangsungkan proses fisiologis lainnya sehingga berakibat pada matinya vegetasi dan hal ini tentu saja akan menghambat proses regenerasi hutan.
2. Vegetasi yang Hidup
Setelah kebakaran, vegetasi yang hidup akan mengalami gangguan fisiologis dan anatomi antara lain adanya perubahan warna pada organ tanaman serta layunya bagian tubuh tanaman. Hal ini mempengaruhi kecepatan dan kuantitas produk fotosintesis dan dapat menyebabkan kemampuan (relatit) tumbuhan untuk berkembang dalam lingkungannya rendah serta akan mempunyai efek terhadap pertumbuhan dan perkembangannya dalam proses
103
I
Mitra Hutan Tanaman Vo/.4 No.3, November 2009, 101- 110
regenerasi hutan. Pada uraian di bawah ini akan dijelaskan mekanisme terganggunya vegetasi yang masih hidup setelah kebakaran.
a.
Pengaruh gas-gas polutan dan partikel basil pembakaran terhadap fotosintesis
Seperti diuraikan di atas, proses pembakaran yang sernpurna menghasilkan C02 dan uap air. Sedangkan pembakaran yang tidak sempurna akan menghasilkan gas-gas dan partikel, seperti CO, NOx, SOx, hidrokarbon, rnethan, particulate matter (PM), dan lain-lain. Produksi gas-gas dan partikel tersebut merupakan bahan pencemar. Apabila jumlahnya di atmosfer melebihi ambang batas, baik secara sendiri-sendiri atau kombinasi, akan menyebabkan kerusakan dan perubahan fisiologi tanaman (Kozlowski, 1991 dafam Siregar, 2005). Gas-gas dan partikel tersebut menyebabkan perubahan pada tingkatan biokimia sel kernudian diikuti oleh perubahan fisiologi pada tingkat individu hingga tingkat komunitas tanaman. Gas-gas dan partikel yang dihasilkan dari proses pembakaran dapat mengakibatkan kerusakan pada tanaman, yang meliputi kerusakan makroskopis daun, anatomi daun dan klorofil. Dengan berpijak dari kerusakan yang diderita oleh tanaman maka hal tersebut akan menganggu fisiologi tanaman, dalam hal ini terganggunya proses fotosintesis, baik secara langsung maupun tidak langsung. Suratin (1991) melaporkan bahwa daun menjadi bagian yang paling menderita, karena sebagian besar bahan-bahan pencemaran udara rnempengaruhi tanaman melalui daun, yaitu masuk melalui stomata dengan proses difusi molekuler terutama bahan pencemar yang berupa gas. Lebih lanjut dikernukakan bahwa terdapat kecenderungan antara kerusakan daun tersebut dengan tingkat pencemaran karena melepaskan gas SOx, NOx dan partikel. Gas CO, N02 dan S02 pada konsentrasi tertentu dapat mengakibatkan klorosis dan nekrosis. Terjadinya nekrosis dapat merusak jaringan tanaman. Masih menurut Suratin (1991), berdasarkan basil penelitiannya diketahui bahwa kerusakan daun kebanyakan terjadi pada bagian mesofil. Jaringan rnesofil (daging daun) yang tersusun diantaranya oleh jaringan palisade akan rusak. Lapisan palisade merupakan bagian dari daun yang paling banyak mempengaruhi produk fotosintesis. Kerusakan pada mesofil daun terutama pada jaringan palisade akan memperlambat laju fotosintesis. Daun yang mengalami nekrosis lama kelamaan bisa gugur dan hal ini tentu akan berpengaruh terhadap aktivitas fotosintesis tanaman. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa laju fotosintesis dipengaruhi salah satunya oleh jumlah kloroplas. Apabila kloroplas yang terdapat pada jaringan palisade mengalami kerusakan bahkan akhirnya mengalami penurunan jumlah tentu saja akan menghambat laju aktivitas fotosintesis. Pengaruh S02 terhadap pigmen fotosintesis (klorofil) sangat besar dibandingkan gas yang lainnya. Penghambatan terhadap aktivitas fotosintesis seringkali dipertimbangkan sebagai satu pengaruh utama SOz terhadap tanaman dan kloroplas, karena kloroplas dianggap sebagai tempat utama dari banyak gangguan yang disebabkan oleh S02 atau produknya dalam bentuk larutan. Selain itu pengaruh gas NOx pada tanaman antara lain timbulnya bintik-bintik 104
Mekanisme Terganggunya Proses Fotosintesis pada Berbagai Kondisi Vegetasi Pasca KebakaranHutan Wahyu CaturAdinugroho dan Sri Utami
I
hitam pada permukaan daun. Dalam keadaan seperti ini daun tidak dapat berfungsi sempurna sebagai tempat terbentuknya karbohidrat melalui proses fotosintesis. Konsentrasi NO sebanyak
I 0 ppm sudah dapat menurunkan
kemampuan fotosintesis daun sampai sekitar 60% hingga 70% (Suratin, 1991 ).
Selain gas hasil reaksi pembakaran, partikel juga mempengaruhi aktivitas fotosintesis. Partikulat yang terdeposisi di permukaan daun tanaman dapat
menghambat
proses
fotosintesis
berkurangnya intensitas cahaya yang melangsungkan proses fotosintesis.
akibat tersumbatnya dibutuhkan
oleh
stomata
turnbuhan
dan
untuk
b. Pengaruh gas-gas emisi basil pembakaran terhadap fotosintesis
Peristiwa kebakaran menghasilkan beberapa gas dan partikel. Diantara berbagai gas yang dihasilkan dalam kebakaran hutan dan lahan, terdapat gas rumah kaca, seperti C02, C�, dan N20. Ketiga jenis gas rumah kaca tersebut merupakan penyumbang paling besar bagi emisi gas rumah kaca. Sementara untuk gas rumah kaca lainnya hanya menyumbang kurang dari 1%. Pembakaran secara sengaja dalam rangka penyiapan lahan adalah sumber utama terjadinya peningkatan gas rumah kaca.
Peningkatan gas rumah
kaca
di
atmosfer
mengakibatkan apa yang disebut dengan efek rumah kaca. Efek rumah kaca menyebabkan terjadinya akumulasi panas (atau energi) di atmosfer bumi. Dengan adanya akumulasi yang berlebihan tersebut, iklim global melakukan penyesuaian. Kerusakan hutan yang tidak terkendali atau terjadinya kebakaran hutan akan menyebabkan berkurangnya sumber oksigen dan peningkatan konsentrasi C02 di atmosfer serta dapat menaikkan suhu permukaan bumi. Peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi merupakan bentuk
penyesuaian,
yang
akhirnya
mengakibatkan
pemanasan
global.
Pemanasan global akan mengakibatkan perubahan iklim global. Iklim mempengaruhi laju fotosintesis melalui konsentrasi C02
ambient,
radiasi matahari, lengas, suhu, dan ketersediaan hara.. Pohon-pohon berdaun Iebar umumnya memiliki laju fotosintesis yang lebih besar daripada pohon berdaun jarum karena bobot daunnya, tetapi pohon berdaun jarum sebaliknya juga melakukan fotosintesis aktif yang lebih lama terutama di daerah lintang tinggi. Meskipun demikian, variabilitas C02 tidak berakibat langsung terhadap variabilitas fotosintesis karena adanya pengaruh variabilitas cahaya, lengas, suhu, dan hara. Oleh karena itu, variabilitas C02 ambient menyebabkan respon yang berbeda terhadap komponen-komponen ekosistem hutan. Secara umum kecepatan fotosintesis jangka pendek dapat dinaikkan oleh konsentrasi C02 sampai I 0 kali normal dan pertumbuhan dapat dinaikan 20 sampai level C02 yang tinggi tetap bisa menjadi racun tumbuhan (Daniel
50%. Namun et.al., 1987).
Ada beberapa respon yang dapat dihubungkan dengan meningkatnya kadar C02 di udara diantaranya, respon daun dan respon stomata terhadap peningkatan C02. •
Respon daun terhadap peningkatan kadar C02 di udara Kemampuan respon fotosintesis daun terhadap peningkatan kadar C02 di udara tergantung pada limit internal dan eksternal untuk dapat menyerap C02 tersebut, hal ini juga tergantung pada konsentrasi C02 dan interaksinya dengan faktor lingkungan lainnya.
105
I
Mitra Hutan Tanaman VolA No.3, November 2009, 101 - 110
•
Respon stomata terhadap peningkatan kadar C02 di udara Kegiatan membuka pada stomata akan menurun, apabila kadar
C02 di
udara meningkat. Dengan tidak membukanya stomata pada epidermis daun, maka makin sedikit kadar
C02 yang diserap. Hal ini juga sangat
berpengaruh pada kegiatan fotosintesis. Para ilmuwan dari Swiss mematahkan anggapan bahwa kecepatan tumbuh tanaman sebanding dengan konsentrasi karbondioksida yang diambilnya. Studi yang mereka lakukan membuktikan bahwa meningkatnya konsentrasi karbondioksida tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman secara signifikan. Studi yang dilakukan di hutan dekat Basel,
Swiss menunjukkan
bahwa
penyemprotan sejumlah karbon dioksida di hutan yang tengah berganti daun, tidak menunjukkan tanda kesuburan lebih banyak.
c.
Pengaruh panas yang dihasilkan pembakaran terbadap fotosintesis
Kebakaran hutan akan mengakibatkan kenaikan suhu yang tinggi, sehingga akan mempengaruhi aktivitas fotosintesis, dimana suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju fotosintesis. Dengan bertambahnya suhu, proses enzimatis semakin banyak dipengaruhi sehingga kecepatan fotosintesis menurun karena enzim-enzim yang bekerja dalam proses fotosintesis hanya dapat bekerja pada suhu optimalnya. Jika peningkatan suhu yang terjadi melebihi batas toleransi enzim, hal ini justru akan mengakibatkan penghambatan
°
aktivitas fotosintesis. Pada suhu tinggi mendekati 40 C, turnbuhan mulai menderita kerusakan panas Jangsung yang diakibatkan oleh koagulasi protein dalam protoplasma (Daniel et a/., 1987). Temperatur yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menyebabkan penurunan laju fotosintesis (Larcher, 1995), sehingga terjadinya kebakaran hutan dimana menghasilkan suhu yang tinggi akan mematika_n protoplasma, bila protoplasma mati maka proses fotosintesis akan tidak berlangsung.
d.
Pengaruh
terhadap berkurangnya atau
hilangnya
organ tanaman
a kibat pembakaran terhadap fotosintesis
Api merusak pohon dengan berbagai kombinasi, yaitu kerusakan pada tajuk, akar dan kambium. Pohon dapat saja kehilangan 20-30% dari tajuk aslinya, dengan begitu, hal ini juga dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan mereka. Karena tanaman memerlukan energi yang dihasilkan oleh proses fotosintesis, dan proses ini berlangsung pada daun. Apabila sebatang pohon kehilangan tajuknya, maka pohon itu akan mengalami penurunan kecepatan fotosintesis, sehingga pertumbuhannya juga akan melambat.
106
Mekanisme ��Proses Fotosintesis pada Berbagai Kondisi Vegetasi Pasca Kebakaran Hutan
Wahyu CaturAdinugrohodan Sri Utami
e.
Pengaruh Berkurangnya
Simpanan
Air Tanah
I
Akibat Kebakaran
terhadap Fotosintesis
Dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap air secara langsung merupakan dampak terhadap faktor intersepsi, evapotranspirasi, infiltrasi, dan simpanan air tanah (Syaufina, 2008). Dampak kebakaran hutan terhadap hidrologi secara langsung merupakan dampak terhadap hilang dan/atau rusaknya vegetasi, menurun dan/atau hilangnya serasah serta menurunnya kualitas tanah. Kondisi ini akan mempengaruhi proses-proses dalam fungsi hidrologi, yaitu : menurun dan atau hilangnya daya intersepsi dan infiltrasi sehingga meningkatkan run off yang mengakibatkan terjadinya banjir, erosi serta penurunan kualitas dan simpanan air tanah. Selain itu akan mengakibatkan menurunnya evapotranspirasi yang berdampak pada menurunnya curah hujan sehinga terjadi penurunan sediaan air tanah. Gambar I menunjukkan persediaan air di atmosfer.
INPUT Hutan. salju, �
II
OUTPUT (cair�)
Gambar I . Siklus hidrologis DAS (dari Anderson et a/. : 1 976 da/am De Bano a/. , 1998 da/am Syaufma, 2008)
et
107
I
Mitra Hutan Tanaman Vo/ 4 No 3, November 2009, 101 - 110
Api memanaskan udara di atas tanah yang menyebabkan kelembaban nisbinya turun. Pemanasan tanah bersamaan dengan penurunan kelembaban nisbi udara mendorong laju penguapan air tanah (soil water) yang dapat berlanjut mengeringkan tanah. Pacta tanah gambut, kondisi ini bahkan dapat menyebabkan irreversible drying dimana kemampuan tanah menyerap dan menyimpan air hilang selamanya. Koloid-koloid tanah mineral karena terbakar mengalami dehidrasi yang kuat sehingga memungkinkan terbentuknya konsistensi tanah keras yang tak terbalik.kan walaupun dengan pembasahan, akibatnya infiltrasi air terhalang (Notohadinegoro, 2006). Dari gambar I tersebut di atas terlihat adanya hubungan antara air dan aktivitas fotosintesis. Air merupakan salah satu senyawa penting yang dibutuhkan oleh tumbuhan dimana 70% - 90% penyusun tubuh tumbuhan adalah air. Di dalam tumbuhan air berfungsi sebagai pelarut dan medium reaksi biokimia, media transpor senyawa, memberikan turgor bagi sel, bahan baku fotosintesis dan menjaga suhu tanaman supaya konstan. Adanya cekaman kekeringan akan berdampak pacta terganggunya pertumbuhan dan produksi suatu tumbuhan. Ketersediaan air tanah akan mempengaruhi kondisi suatu tanaman dimana kekurangan dan kelebihan air mengakibatkan tanaman mengalami stres. Tanaman yang sangat peka terhadap stres air, laju fotosintesisnya akan menurun seiring dengan penurunan derajat stres air. Kekeringan pasca kebakaran yang mengakibatkan pemadatan tanah akan menganggu proses fotosintesis. Kekurangan air atau kekeringan akan mengakibatkan stomata menutup sehingga menghambat penyerapan karbondioksida yang berakibat laju fotosintesis menurun. 3. Vegetasi yang Terserang Hama dan Penyakit
Jika panas yang dihasilkan masih memungkinkan vegetasi untuk hidup maka akan menyisakan luka-luka akibat kebakaran yang akan merangsang pertumbuhan hama dan penyakit atau menghasilkan cacat permanen. Kebakaran bisa meningkatkan serangan hama dan penyakit. Hal ini karena dari batang dan ranting yang patah dan masih tersisa setelah terbakar terjadi luka yang menimbulkan serangan penyakit. Selain itu pasca kebakaran timbul regenerasi dengan timbulnya kuncup dan cabang-cabang. Hal ini akan mengakibatkan serangan hama akan meningkat apalagi jika terubusan tanaman tersebut adalah inang utama hama. Karena pacta umumnya serangga hama lebih menyukai daun tanaman muda/pucukltunas tanaman. Pada tanaman yang terserang hama, terjadi penghilangan bagian tanaman seperti daun. Hal ini akan mengakibatkan total luasan daun (leaf area) dari suatu tanaman akan mengalami penurunan, sehingga bisa menurunkan efektivitas fotosintesis pacta suatu tanaman. Demikian juga apabila tanaman terserang penyakit (baik yang disebabkan oleh cendawan, bakteri, ataupun virus) akan mengakibatkan terhambatnya proses fotosintesis. Miselium cendawan atau sel-sel bakteri akan merusak jaringan tanaman, tidak terkecuali juga jaringan palisade, dimana disitu ditemukan kloroplas, sehingga .hal ini akan menganggu aktivitas fotosintesis.
108
Mekanisme Terganggunya Proses Fotosintesis pada Berbagai Kondisi Vegetasi Pasca Kebakaran Hutan Wahyu Catur Adinugroho dan Sri Utami
Ill.
I
KESIMPULAN
I.
Kebakaran hutan dan lahan mempunyai dampak yang sangat luas dan berat terhadap berbagai segi kehidupan, baik biofisik, ekonomi dan sosial. Dampak biofisik berkaitan dengan pelepasan asap, pelepasan gas-gas dan partikel, suhu tinggi, bahkan berakibat kematian vegetasi.
2.
Kebakaran yang mengakibatkan kematian vegetasi menyebabkan terhentinya aktivitas fotosintesis, sedangkan pada vegetasi yang masih hidup mengakibatkan terganggunya aktivitas fotosintesis.
3.
Asap kebakaran dan partikulat yang dihasi1kan dapat mengha1angi radiasi matahari sampai ke vegetasi sehingga jum1ah cahaya yang diterima o1eh vegetasi berkurang, akibatnya mengurangi efektivitas fotosintesis.
4.
Gas-gas po1utan dan partike1 yang dihasi1kan o1eh pembakaran dapat menyebabkan penyumbatan stomata serta menimbu1kan k1orosis dan nekrosis pada tanaman. Hal ini akan mengakibatkan terhambatnya proses fotosintesis.
5.
Peningkatan suhu yang terjadi setelah kebakaran dapat menghambat kerja enzim-enzim yang berperan da1am fotosintesis sehingga aktivitas fotosintesis juga terganggu.
6.
Kekeringan yang disebabkan oleh kebakaran mengakibatkan stomata menutup sehingga laju fotosintesis terhambat.
7.
Kebakaran secara 1angsung dapat berakibat berkurangnya atau hilangnya organ tanaman yang memi1iki fungsi da1am proses fotosintesis
8.
Terganggunya aktivitas fotosintesis akibat kebakaran ini dapat memicu timbulnya serangan hama dan penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyono, W.E. 2008. Jangan Biarkan Bumi Jadi Venus. Rubrik Sain dan Tekno1ogi. AuraCMS v2.0 - I ndonesian Opensource CMS. [6 Mei 2009). Danang, H. 2008. Fotosintesis. Mei 2009). Daniel, T.W., J.A. Helms., F.S. Baker. 1 987. Prinsip-prinsip Silvikultur (Terjemahan). Gadjah Mada University Press. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2003. Titik Panas (Hotspot) dan Kebakaran. 790 02.html. [4April 2009). Effendi, Y H dan Effendi A T. 2002. Dampak Kebakaran Hutan terhadap Gangguan Kesehatan Masyarakat. Disampaikan da1am Pelatihan
1 09
I
Mitra Hutan Tanaman Vo/4 No.3, November 2009, 101 - 110
Penilaian Kerusakan Hutan Akibat Pembakaran Hutan dan Lahan BIOTROP. Bogor : 22-3 1 Juli 2002. Kozlowski, T.T. 1 992. Carbohydrate sources and sinks in woody plants. Bot. Rev. 58, pp. 1 07-222. Lakitan, B. 2008. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Rajawali Press. Jakarta. Larcher, W. 1995. Physiological Plant Ecology. 3rd ed. Berlin : Springer-Verlag. Notohadinegoro, K. T. 2006. Pembakaran dan Kebakaran Lahan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. [ 1 4 April 2009]. Purbowaseso, B. 2006. Pengendalian Kebakaran Hutan (Suatu Pengantar). Rineka Cipta. Jakarta. Salisbury, F. B. Ross. C. W. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. ITB Bandung. Bandung. Siregar, E.B.M. 2005. Pencemaran Udara, Respon Tanaman, dan Pengaruhnya pada Manusia. Fakultas Pertanian. Program Studi Kehutanan. Universitas Sumatera Utara. Medan. Suratin. 199 1 . Studi Kerusakan Anatomi Daun Bauhinnia purpurea sebagai Tanaman Tepi Jalan di Kota Bogor. Jurusan Konservasi dan Sumberdaya Hutan. lnstitut Pertanian Bogor. Bogor. Syaufina, L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Perilaku Api, Penyebab, dan Dampak Kebakaran. Bayumedia Publishing. Malang. Wikipedia. 2009. Fotosintesis. 2009].
Mei
Zubayr, M. 1994. Struktur Lima Jenis Daun di Jalan Iskandardinata Kotamadya Bogor. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB.
1 10
MEMAHAMI PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN SERTA UPAYA PENANGGULANGANNYA: KASUS DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT SAHAT M. PASARIBU DAN SUPENA FRIYATNO
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor Badan Litbang pertanian, Bogor Email:
[email protected] [email protected]
ABSTRACT Land and forest fire have grabbed much concern and been considered as national issue. The event occurs repeatedly year by year, specifically in Sumatra and Kalimantan islands. Government institutions and local community, including farmers and estate enterprises have a very close linkage in such disaster. The smoke produced by the fire has been transformed into a widespread of thick cloud and immediately affects health conditions of the community. The smoke also directly interfere river, land, and air transport systems, thus influencing basic socio-economic life of human being. This paper is aimed at understanding about how forest fire occurs and its effect on agricultural sector. With rapid rural appraisal method, this paper eventually comes to main results and findings as follows: (a) elaboration of five identified typologies of land and forest fire, (b) analysis of direct and indirect impacts of the fire on agricultural sector, (c) identification of who and why land and forest fire occur, and (d) recommendation of programs to persuasively eliminate land and forest fire. Many parties have its own share and proportion to contribute to land and forest fire. Imbalanced-nature occurs and causes specific disaster with environment degradation. People have many difficulties to recover from such situation. The successful to get rid of land and forest fire is heavily depending on how alternative applied technologies can easily be adopted and law enforcement can widely be implemented. Keywords: Smoke, Peat Soil, Environment Degradation, Law Enforcement, Food and Estate Crops, Hot Spot ABSTRAK Masalah kebakaran hutan telah menjadi isu nasional yang patut mendapat perhatian serius dari pemerintah. Kejadian ini terjadi setiap tahun secara berulang, khususnya di Pulau Sumatera bagian selatan dan di Pulau Kalimantan. Perlu dipahami bahwa, instansi pemerintah dan masyarakat, termasuk petani, perusahaan-perusahaan perkebunan dan HTI, merupakan mata rantai yang tidak terputus yang terkait langsung dengan kebakaran hutan dan lahan ini. Dampak kebakaran hutan dan lahan yang paling menonjol adalah terjadinya kabut asap yang merugikan kesehatan masyarakat dan terganggunya sistem transportasi sungai, darat, laut, dan udara serta mempengaruhi sendi-sendi perekonomian lainnya. Tulisan ini dimaksudkan untuk menggali pemahaman dan dampak dari kebakaran hutan serta lahan terhadap sektor pertanian. Dengan metodologi rapid rural appraisal, observasi dan wawancara serta dengan menganalisis data primer dan sekunder, maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: (a) dipahami ada sekitar lima tipologi kebakaran hutan dan lahan, (b) diketahui dampak langsung dan tidak langsung terhadap sektor pertanian, (c) diketahui siapa penyebab dan alasan melakukan pembakaran, (d) dihasilkan beberapa rekomendasi persuasif penanggulangan kebakaran. Semua pihak memiliki andil menurut proporsinya masingmasing sebagai penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Ketidakseimbangan alam telah terjadi yang mengakibatkan bencana yang sulit dipulihkan dalam waktu singkat serta sudah merusak kelestarian lingkungan hidup. Keberhasilan penanggulangan kebakaran hutan 1
dan lahan sangat tergantung pada kemampuan menerapkan alternatif teknologi dan menegakkan hukum. Kata kunci : Kabut Asap, Lahan Gambut, Pencemaran Lingkungan, Penegakan Hukum, Tanaman Pangan dan Perkebunan,Titik Api PENDAHULUAN Latar Belakang Bencana kebakaran hutan dan lahan akhir-akhir ini sudah semakin mengganggu, baik ditinjau dari sudut pandang sosial maupun ekonomi. Pencemaran lingkungan tidak dapat dihindarkan, bahkan sudah mempengaruhi hubungan politik antar negara tetangga. Luas wilayah yang terbakar saat ini seolah mengingatkan semua pihak pada kejadian yang sama sekitar sepuluh tahun yang lalu. CIFOR (2006) melaporkan bahwa pada 1997/1998 sekitar 10 juta hektar hutan, semak belukar dan padang rumput terbakar, sebagian besar dibakar dengan sengaja. Di lain pihak, Setyanto dan Dermoredjo (2000) menyebutkan bahwa kebakaran hutan paling besar terjadi sebanyak lima kali dalam kurun waktu sekitar 30 tahun (1966-1998), yakni tahun 1982/1983 (3,5 juta ha), 1987 (49.323 ha), 1991 (118.881 ha), 1994 (161.798 ha) dan 1997/1998 (383.870 ha). Terdapat perbedaan data yang sangat mencolok antara kedua laporan tersebut diatas, namun tanpa meniadakan perlunya informasi tentang luas areal hutan dan lahan yang terbakar, satu hal yang sangat penting adalah bahwa kebakaran ini telah merugikan banyak pihak. Dampak kebakaran hutan dan lahan yang paling menonjol adalah terjadinya kabut asap yang sangat mengganggu kesehatan masyarakat dan sistem transportasi sungai, darat, laut, dan udara.
Secara sektoral dampak kebakaran ini mencakup sektor perhubungan,
kesehatan, ekonomi, ekologi dan sosial, termasuk citra bangsa di mata negara tetangga dan dunia (Hermawan, 2006). Dampak kebakaran terhadap produksi di sektor pertanian diduga tidak terlalu besar karena pembakaran dilakukan untuk penyiapan/pembersihan lahan, bukan dalam masa pertanaman, kecuali jika kebakaran menjalar secara tidak terkendali pada lahan yang sedang berproduksi. Kebakaran hutan dan lahan terjadi setiap tahun dengan luas cakupan dan jumlah titik api (hot spot) yang bervariasi.
Kejadian ini sebenarnya telah diantisipasi, namun tidak
berdaya melakukan pencegahan. Menurut berbagai hasil kajian dan analisis (CIFOR, 2006 dan Walhi, 2006), penyebab kebakaran hutan dan lahan berhubungan langsung dengan perilaku manusia yang menginginkan percepatan penyiapan lahan (land clearing) untuk persiapan penanaman komoditas perkebunan. Para pihak yang berkepentingan ingin segera menyiapkan lahan dengan biaya yang serendah-rendahnya dan sekaligus mengharapkan kenaikan tingkat kemasaman (pH) tanah (dari sekitar 3 sampai 4 menjadi 5 sampai 6) agar 2
tanaman perkebunan (sawit dan akasia, misalnya) dapat tumbuh dengan baik.
Juga
dilaporkan bahwa perladangan tradisional yang menerapkan sistem usahatani gilir balik tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena jumlah wilayah yang terbakar pada lahan-lahan tersebut hanya sekitar 20 persen dari total keseluruhan yang terbakar. Dari jumlah ini, kurang dari separuhnya terjadi pada lahan-lahan pertanian milik masyarakat yang menerapkan rotasi usahatani sementara sisanya pada kawasan bekas konsesi yang ditinggalkan para pemiliknya yang kemudian digunakan oleh masyarakat. Ketidakseimbangan alam telah terjadi dan mengakibatkan bencana yang sulit dipulihkan dalam waktu singkat.
Untuk mempelajari dampak negatif yang ditimbulkan
kebakaran hutan dan lahan terhadap produksi pertanian, suatu kajian yang didasarkan atas observasi dan wawancara profesional perlu dilakukan ditengah maraknya kobaran api tersebut. Kajian yang bersifat studi kasus ini dilakukan di Provinsi Kalimantan Barat, pada musim kemarau 2006, untuk melihat dan mempelajari secara lebih mendalam sejumlah kejadian yang terkait langsung dengan proses produksi pertanian sebagai konsekuensi logis dari bencana kebakaran di wilayah yang bersangkutan. Maksud dan Tujuan Kajian studi kasus ini dimaksudkan untuk memahami fenomena kebakaran hutan dan lahan yang sering terjadi di Indonesia dan mencari alternatif penanggulangannya baik berupa pencegahan maupun pengendaliannya. Secara umum, tujuan dari kajian ini adalah untuk memperoleh data, informasi dan pengetahuan tentang dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap produksi pertanian. Secara khusus, kajian ini ditujukan untuk: 1. Mempelajari situasi terkini bencana kebakaran dan kaitannya dengan produksi pertanian. 2. Mempelajari kegiatan usaha pertanian yang berdampak timbulnya kebakaran hutan dan lahan. 3. Menganalisis dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap produksi pertanian. 4. Menyiapkan bahan masukan untuk penyempurnaan kebijakan terkait dengan pencegahan kebakaran hutan dan lahan.
Keterbatasan Kajian ini dirancang untuk mencakup kejadian kebakaran hutan dan lahan di satu wilayah dengan memerhatikan fenomena yang terjadi pada usahatani berbagai komoditas pertanian pangan dan perkebunan. Karena kajian ini dilakukan mengikuti kaidah studi kasus, maka analisisnya akan dilakukan secara mendalam dan komprehensif dengan mengandalkan 3
data dan informasi yang dapat dikumpulkan. Kajian ini dilakukan dalam waktu yang relatif singkat dan oleh karena itu, sangat dimungkinkan terjadinya bias analisis. Namun demikian, telah diusahakan sedapat mungkin menghindari bias analisis tersebut dengan mempersempit tetapi memperdalam pokok bahasan. METODOLOGI Metodologi pelaksanaan kajian ini akan mengikuti metode rapid rural appraisal dengan satu kali kunjungan lapangan. Pengumpulan data dan informasi (primer dan sekunder) dilakukan secara cepat dan mengandalkan teknik observasi langsung, wawancara informal dengan sejumlah tokoh/pejabat terkait, dan diskusi profesional dengan beberapa ilmuwan profesi yang relevan. Kunjungan ke instansi terkait juga dilakukan sebagaimana halnya dengan kunjungan ke lapangan untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap. Lokasi yang dipilih secara purposif untuk kegiatan ini adalah Provinsi Kalimantan Barat dengan pusat perhatian di Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Pontianak. Pemilihan lokasi ini didasarkan atas fakta bahwa lokasi manapun dipilih di wilayah yang terkena bencana kebakaran, maka permasalahan yang dihadapi pada umumnya adalah sama. Kerjasama kegiatan dilakukan dengan Dinas Pertanian dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian setempat. Data sekunder yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan dilakukan di tingkat pusat dan daerah. Data kuantitatif ditampilkan dalam bentuk tabeltabel dan ditempatkan pada lampiran sebagai bahan pendukung analisis yang dilakukan. Analisisnya sendiri disajikan secara deskriptif dengan mengandalkan kekritisan berpikir atas data dan informasi yang dikumpulkan. Makalah ini ditulis secara ringkas dan padat dengan mencantumkan deskripsi yang mengandung makna sesuai dengan tujuan kegiatan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemahaman Konsep dan Tipologi Terkait Kebakaran Hutan dan Lahan Beberapa terminologi. Terminologi yang diuraikan berikut ini perlu diketahui untuk memahami kejadian kebakaran di wilayah ini: (a) Kebakaran pada kajian ini adalah kegiatan yang menyebabkan adanya api dan atau asap pada suatu kawasan baik disengaja, seperti membakar hasil tebasan pada (pem)bukaan lahan baru atau bukan (pem)bukaan lahan baru, maupun tidak disengaja, seperti karena percikan api dari lahan yang bersebelahan atau karena hal lain (seperti membuang puntung rokok secara sembarangan). Berbeda dengan pengertian kebakaran secara umum, kata dasar kebakaran adalah bakar yang mendapat imbuhan ke dan an, sehingga memiliki makna kegiatan yang menimbulkan api atau asap yang tidak disengaja atau adanya api dan asap yang tidak diharapkan. Sebagai contoh, kebakaran rumah yang 4
apinya berasal dari tungku. Api pada tungku tidak dikategorikan kebakaran karena keberadaan apinya diharapkan dan terkendali, sedangkan api yang sudah membakar rumah disebut kebakaran, karena api tersebut tidak diharapkan dan keberadaannya tidak terkendali; (b) Tebas (pem)bukaan adalah memotong/menebas kayu-kayu kecil atau semak dan akar pada lahan yang sudah tidak ditanami dan sudah menjadi hutan belukar; (c) Tebas bukan (pem)bukaan adalah memotong rerumputan pada lahan yang biasa ditanami setiap musim; (d) Lahan gambut adalah lahan yang tanahnya berasal dari tumpukan bahan organik bercampur ranting dan akar kayu dengan kedalaman antara 2 hingga 10 meter, berwarna hitam, tidak dapat menahan air (bersifat porous) dan mudah terbakar; dan (e) Lahan bukan gambut adalah lahan mineral yang terbentuk dari pelapukan batuan seperti aluvial, podsolik atau grumosol. Tipologi kebakaran. Tipologi kebakaran ini penting diketahui dan dicermati, karena memiliki implikasi terhadap pemahaman dan pendekatan yang akan diterapkan dalam penanggulangannya. Tipologi kebakaran yang terjadi di Provinsi Kalimantan Barat dapat dibagi kedalam lima tipologi, yaitu : (a) Kebakaran pada kawasan hulu dengan jenis tanah bukan gambut (aluvial atau podsolik), (b) Kebakaran pada kawasan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan dengan jenis lahan bukan gambut, (c) Kebakaran pada kawasan HGU perkebunan dengan jenis lahan gambut, (d) Kebakaran pada kawasan pertanian pangan menetap dengan jenis lahan bukan gambut dan gambut, dan (e) Kebakaran pada kawasan pertanian pangan tidak menetap pada jenis lahan gambut. Waktu dan Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan Waktu terjadinya kebakaran. Pada semua tipologi kebakaran, waktu kebakaran umumnya terjadi pada bulan Juni sampai dengan Agustus, sedangkan pada bulan September titik api sudah mulai berkurang, karena hujan sudah mulai turun. Beberapa alasan, kenapa terjadi kebakaran pada rentang bulan tersebut adalah : (a) masyarakat sudah selesai melakukan penebasan semak yang biasanya dilakukan selama sekitar 40 hari, yaitu sekitar bulan April dan Mei, dan sejak bulan Juni semak yang ditebas sudah mengering, (b) pada periode tersebut sedang terjadi kemarau yang sangat terik dan panas, sehingga mendorong masyarakat untuk membakar semak belukar atau rumput/serasah yang sudah ditebas sebelumnya, (c) jika pembakaran sudah dimulai, maka terjadilah rentetan kebakaran yang tidak diharapkan dan seringkali tidak terkendali terutama pada lahan-lahan tidur yang kepemilikannya tidak terdata atau pemiliknya bertempat tinggal di luar lokasi/dikota (lahan guntai). Penyebab kebakaran. Berdasarkan keterangan yang dikumpulkan, diketahui bahwa sulit menentukan siapa sebenarnya penyebab kebakaran dan siapa yang bertanggungjawab 5
terhadap terjadinya kebakaran tersebut. Umumnya, masing-masing instansi saling melemparkan bola api kepada pihak lain dan cenderung melindungi sektor atau petani/pengusaha/kelompok masyarakat binaannya. Yang pasti adalah bahwa kebakaran hutan dan lahan terjadi setiap musim kemarau dan harus ditanggulangi untuk mengurangi dampak buruk yang diakibatkannya. Namun harus diakui bahwa dalam urusan kebakaran hutan dan lahan, instansi pemerintah dan masyarakat, termasuk petani, perusahaan-perusahaan perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI), merupakan mata rantai yang tidak terputus sebagaimana telah dibuktikan melalui pemeriksaan di lapangan. Dari kejadian ini, dapat disimpulkan bahwa semua pihak memiliki andil menurut proporsinya masing-masing sebagai penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran di kawasan hulu dengan jenis tanah bukan gambut (aluvial atau podsolik). Kebakaran di kawasan ini disebabkan oleh aktivitas masyarakat pedalaman (berbagai suku) yang membuka lahan secara berpindah setelah digunakan dalam periode tertentu. Lahan yang dulu digunakan dan ditinggalkan selama 2 sampai 3 tahun akan ditumbuhi semak belukar, termasuk pepohonan kecil seperti akasia, kini didatangi kembali untuk ditanami tanaman pangan. Kebakaran pada lahan ini relatif terkendali, karena secara sosial mereka sudah memiliki aturan-aturan menurut adat mereka sendiri.
Sebagai contoh, pembakaran
dilaksanakan oleh sekelompok orang (sampai sekitar 10 orang) di lahan seluas 4 hingga 5 ha. Pembakaran dilakukan secara terkendali (tidak keluar dari luasan 5 ha tersebut) dengan cara memerhatikan arah angin, dan atau teknik pembakaran pada beberapa titik di bagian pinggir lahan dan mengarah ke bagian tengah. Sebelumnya, batas-batas lahan yang akan dibakar dengan lahan kelompok yang lain diamankan dengan membersihkan semak selebar kira-kira 4 meter sehingga api tidak menjalar ke lahan tetangga. Jika terjadi perambatan/penjalaran api ke lahan tetangga, maka secara adat, aturan atau hukuman/sanksi akan diberlakukan secara langsung yang biasanya berupa denda, seperti 100 kg beras, 1 lusin mangkuk, dll. Informasi ini menunjukkan bahwa kelompok masyarakat tidak sembarangan melakukan pembakaran hutan pada usahatani tumpang gilir (slash-and-burn) dan hukum adat benar-benar dapat dijalankan bagi pelanggar menurut aturan adat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada tipologi kebakaran di kawasan hulu dengan jenis tanah bukan gambut (aluvial atau podsolik), penyebab kebakaran adalah aktivitas masyarakat pedalaman namun aktivitas kebakaran tersebut terkendali dengan menggunakan teknik tebas dan bakar secara tradisional dengan mengindahkan aturan dan peraturan adat. Kebakaran di kawasan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan dengan jenis lahan gambut dan bukan gambut. Dari beberapa informasi yang dikumpulkan tampak bahwa pada subsektor perkebunan pun terjadi kebakaran lahan dan kebun/tanaman. Pada tahun 2006, 6
sampai dengan 30 Agustus telah terjadi kebakaran lahan seluas 135 hektar yang terjadi pada lokasi empat perusahaan, yaitu: PT. Wilmar Sambas Plantation (50 ha), PT. Buluh Cabang Plantation (30 ha), PT. Mitra Inti Plantation (30 ha), PT. Putra Makmur Lestari (25 ha) dan kebakaran kebun seluas 136 hektar pada dua perusahaan yaitu : PT. Bumi Pratama Khatulistiwa (36 ha) dan PT. Harapan Sawit Lestari Group (100 ha), lihat Tabel 1. Hal ini merujuk pada kesimpulan bahwa api melalap lahan dan kebun/tanaman dan mengakibatkan terjadinya gumpalan asap tebal. Kebakaran pada tanaman yang masih hijau akan mengeluarkan asap lebih besar dibandingkan dengan tanaman yang sudah meranggas, termasuk pelepah atau daun kering. Lebih jauh lagi, kebakaran pada lahan gambut bisa terjadi secara tidak terduga karena lahan tersebut dapat menyimpan panas bahkan api yang menjalar dan menyebar secara luas pada kedalaman tertentu di bagian permukaan lahan. Tabel . Luas Kebakaran Kebun dan Lahan Perkebunan di Provinsi Kalimantan Barat, Sampai dengan Agustus 2006 No
1
Kabupaten/Kecamatan
Pontianak/Sei Ambawang
Perusahaan
PT. Bumi Pratama
Luas kebakaran (ha) Kebun
Lahan
Total
Penanganan
36
-
36
Pemadaman
-
50
50
Pemadaman
-
30
30
Pemadaman
-
30
30
Pemadaman
-
25
25
Pemadaman
Khatulistiwa 2
Sambas/Galing
PT. Walmar Sambas Plantation
3
Sambas/Paloh
PT. Buluh Cawang Plantation
4
Bengkayang/Ledo
PT. Mitra Inti Plantation
5
Bengkayang/Samalantan
PT. Putra Makmur Lestari
6
Ketapang/Manis Mata
PT. Harapan Sawit
99.98
-
99.98
Pemadaman
Lestari Group Jumlah
136
135
271
Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat, 2006
Penyebab terjadinya kebakaran di kawasan lahan perkebunan atau Hutan Tanaman Industri (HTI). Kebakaran pada kawasan ini dapat disebabkan oleh dua pihak yaitu secara langsung oleh masyarakat/petani dan secara tidak langsung oleh perusahaan perkebunan. Dari hasil pemantauan udara yang dilakukan dinas kehutanan setempat, dapat ditemukan/diketahui sejumlah titik api di kawasan perkebunan, khususnya pada sejumlah enclave (kelompok masyarakat lokal yang bermukim dan melakukan aktivitas sosial ekonomi di wilayah pedalaman) yang ada di dalam kawasan perkebunan atau HTI. Lahan enclave biasanya dikelola oleh masyarakat untuk ditanami padi gogo atau tanaman pangan lainnya. Sangatlah sulit mengendalikan sekitar 1000 enclave yang terdapat pada kawasan HTI Pilantara. Sementara menurut informasi yang dikumpulkan, perusahaan perkebunan atau HTI secara 7
tidak
langsung
dapat
mengakibatkan
kebakaran
melalui
mekanisme
pasar
upah
pembukaan/penyiapan lahan HTI. Perusahaan perkebunan menerapkan dua standar harga borongan untuk penyiapan lahan (land clearing), yakni jika hasil land clearing masih kotor, maka harga borongannya lebih rendah (kurang dari Rp 750.000 per hektar) dibandingkan dengan harga borongan untuk penyiapan lahan yang bersih (mencapai Rp 1 juta/ha). Dengan sistem borongan seperti ini, buruh yang memborong pekerjaan penyiapan lahan umumnya melakukan cara yang paling mudah dan murah (yakni dengan cara membakar untuk memperoleh harga/keuntungan yang tinggi). Selain itu, sistem pengerjaanya juga berantai dari mulai penunjukan pekerjaan oleh manajer produksi kepada manajer lapangan dan selanjutnya, manajer lapangan menugaskan dan menawarkan pelaksanaannya kepada kepala kampung setempat dan dari kepala kampung kepada kelompok masyarakat. Merunut informasi ini, pada saat dilakukan penelusuran terhadap pelaku kebakaran, maka kelompok masyarakat atau petani/buruh tani biasanya menjadi tertuduh/pelaku pembakaran. Dengan demkian, masyarakat tani kini berada pada posisi yang tidak menguntungkan bahkan selalu mendapat kecaman. Petani/buruh mungkin tidak sepenuhnya benar, meskipun tidak seluruhnya salah, tetapi sistem yang berlaku dan dianut sudah menjadikan kerugian secara agregat yang tidak sedikit bagi masyarakat. Dalam kaitan ini kebutuhan penyuluhan pertanian dan kehutanan menjadi sangat penting sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka pembukaan/penyiapan lahan yang tidak merugikan dan sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem. Data pendukung menunjukkan bahwa potensi penyiapan lahan pada enclave yang sudah diijinkan untuk perluasan Hak Guna Usaha (HGU) dan potensi kebakaran di Provinsi Kalimantan Barat adalah sekitar 540.000 hektar. Secara rinci angka ini diperoleh dari selisih jumlah luas HGU dan lahan yang telah diberi ijin dengan jumlah luas kebun yang sudah ditanami (lihat Tabel 2). Informasi ini mengarah pada kesimpulan bahwa pada kawasan perkebunan atau HTI: (a) kebakaran secara langsung dilakukan oleh orang/masyarakat baik sebagai petani pada enclave atau buruh pada perusahaan perkebunan/HTI; (b) sistem upah borongan pada kegiatan penyiapan lahan secara tidak langsung dapat mendorong terjadinya kebakaran hutan dan lahan; dan (c) belum jelas adanya aturan formal yang mengatur teknis pelaksanaan penyiapan/pembukaan
lahan (land clearing) jika tidak menggunakan cara
pembakaran (walaupun dikatakan ada aturannya, tetapi itu masih pada tataran undang-undang yang belum ditindaklanjuti dengan peraturan yang operasional).
8
Tabel 2. Jumlah Potensi Land Clearing pada HGU Perkebunan di Provinsi Kalimantan Barat, 2006 No
Kabupaten
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pontianak Landak Sambas Bengkayang Sanggau Sekadau Sintang Melawi Ketapang Kapuas Hulu Jumlah
Jumlah perusahaan
Ijin lahan (ha)
HGU (ha)
Ditanami (ha)
5 9 0 2 10 4 2 1 13 2 48
19.579 76.800 31.000 109.650 95.667 14.600 22.500 216.596 25.000 611392
7.879 26.159 19.385 83.946 27.119 3.754 4.075 76.124 5.272 253713
6.500 22.820 12.770 113.073 36.254 11.113 14.000 101.716 7.460 325705,58
Potensi land clearing/kebakaran (ha)
20.958 80.139 37.615 80.523 86.532 7.241 12.575 191.004 22.812 539,399
Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat, 2006 (diolah)
Kebakaran pada kawasan pertanian pangan menetap dengan jenis lahan bukan gambut dan gambut. Kebakaran di kawasan ini biasanya terjadi pada daerah-daerah pertanian pangan seperti pada daerah transmigrasi yang kegiatan pertaniannya sudah menetap pada luasan sekitar 1 sampai 2 ha per kepala keluarga. Aktivitas pembukaan/penyiapan lahan adalah dengan melakukan penebasan pada lahan pertanian bekas musim gadu sebelumnya untuk persiapan musim tanam rendengan berikutnya. Walaupun pembakaran lahan pertanian dilaksanakan secara terkendali, namun jika perlakuannya secara serentak maka asap yang ”diproduksinya” tetap saja menyumbangkan pencemaran lingkungan yang tidak sedikit. Angka-angka pada Tabel 3 menunjukkan telah terjadi kebakaran terkendali pada lahan pertanian pangan seluas 364 ha yang terdapat di enam desa di Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Pontianak dan diduga dilakukan oleh 256 petani. Hal ini menjadi perhatian banyak pihak dan bahkan dapat dijadikan isu nasional, karena daerah transmigrasi Rasau Jaya terletak pada lintasan pesawat komersial domestik yang akan mendarat dan lepas landas di dan dari Bandara Supadio. Asap yang membubung tinggi didorong oleh tiupan angin yang kuat pada bulan Juli-Agustus dari arah Tenggara ke Utara, telah mengakibatkan kumpulan asap yang menebal di udara dan mengganggu kegiatan penerbangan. Jadwal penerbangan akan berubah-ubah dan merugikan banyak pihak, sementara isu kebakaran ini mudah mencuat menjadi isu nasional karena diberitakan secara luas dan bahkan telah membuat negara tetangga (Singapura, Malaysia atau Brunei Darussalam) melayangkan protes kepada pemerintah Indonesia.
9
Tabel 3. Luas Kebakaran pada Lahan Pertanian Menetap di Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Pontianak, Akhir Agustus 2006 No 1 2 3 4 5 6
Desa
Jumlah petani (KK)
Luas kebakaran (ha)
Rasau Jaya I Rasau Jaya II Rasau Jaya III Rasau Jaya Umum Bintang Mas Pematang Tujuh
27 48 64 70 30 20
27 64 86 105 48 34
Jumlah
259
364
Sumber : Kantor Cabang Dinas Pertanian Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Pontianak, 2006
Dari hasil wawancara dengan para penyuluh dan petani, diperoleh informasi bahwa masyarakat yang melakukan pembakaran lahan bukan tidak mengetahui akan terjadinya bahaya kebakaran atau asap, tetapi karena selain alasan modal usahatani, juga belum ada alternatif lain yang lebih murah untuk melakukan pembersihan lahan dari rumput dan semak belukar (terutama batang pakis yang mengandung zat tulang, sehingga sulit dan membutuhkan waktu lama untuk melapuk).
Kenyataan ini telah mendorong mereka
melakukan pembakaran rumput dan semak tersebut dan mencobanya dengan teknik pembakaran terkendali. Namun, sering juga terjadi kebakaran diluar kemampuan mereka sebagai manusia karena adanya percikan api dari lahan/kebun yang dibakar, diterbangkan dan singgah di lahan/kebun disekitarnya. Percikan api ini bisa terjadi diluar pengamatan mereka. Walaupun secara sosial sudah ada aturan untuk segera melaporkan adanya kebakaran kepada pihak yang berwenang dan secara formal, menurut SK Bupati Kabupaten Pontianak sudah ada tim Satgas Penanggulangan Kebakaran termasuk PPL dan 2 orang lainnya per desa untuk memantau dan melaporkan kepada yang lebih berwenang diatasnya (Brigade Pemadam Kebakaran atau Tim Manggala Agni dari Kehutanan), ternyata mekanisme ini tidak berjalan efektif.
Pada tahun 2006, SK Bupati Kabupaten Pontianak yang mengatur mekanisme
pelaporan ini bahkan tidak diketahui keberadaannya. Kebakaran pada kawasan pertanian pangan tidak menetap dengan jenis lahan gambut. Pada tipologi ini, kebakaran lebih disebabkan oleh aktivitas para penggarap yang mengolah lahan tidur milik orang-orang kota (lahan guntai) yang ada di sekitar Kabupaten Pontianak. Lahan-lahan tidur ini pada umumnya adalah lahan gambut dengan ketebalan berkisar 2 hingga 3 meter dan terletak dikawasan hilir dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas. Dari keterangan yang dikumpulkan dapat diketahui bahwa penyebab kebakaran kawasan lahan gambut di sekitar perkotaan di Kabupaten Pontianak disebabkan oleh ketidaksengajaan (utamanya puntung rokok yang masih menyala dan dibuang secara sembarangan). Jumlah 10
penduduk yang padat disekitar lintasan jalan menuju ke Bandara Supadio memungkinkan pernyataan adanya ketidaksengajaan seperti diatas. Namun, berdasarkan hasil observasi di lapangan, cukup sulit untuk menyimpulkan bahwa penyebab kebakaran sepenuhnya karena ketidaksengajaan, tetapi faktanya sebagian disebabkan oleh kesengajaan aktivitas para petani pangan (termasuk aktivitas mereka sebagai penggarap lahan tidur). Dapat dibuktikan bahwa sejumlah petani melakukan pembakaran lahan (termasuk pada lahan tanaman pangan di sekitar Bandara Supadio) dan pada setiap areal yang terbakar selalu tampak lahan persemaian padi yang tingginya ditaksir baru kira-kira 10 sampai 15 cm yang diperkirakan akan ditanam pada akhir September 2006 (walaupun dapat dilihat bahwa sebagian lahan sudah atau sedang ditanami). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa (a) penyebab kebakaran pada lahan pertanian tidak menetap adalah adanya ketidaksengajaan (puntung rokok) dan juga oleh kesengajaan aktivitas pembukaan lahan pertanian para penggarap lahan tidur/terlantar, (b) kepemilikan lahan guntai yang diterlantarkan merupakan salah satu pemicu terjadinya kebakaran pada lahan gambut, (c) perlu ada penertiban penguasaan lahan-lahan gambut, baik hak kepemilikkannya maupun pengelolaannya. Permasalahan yang sangat perlu mendapat perhatian di Provinsi Kalimantan Barat adalah kebakaran pada lahan gambut baik pada kawasan perkebunan atau lahan HTI maupun pada pertanian pangan menetap dan berpindah. Penyebaran kawasan gambut di Provinsi Kalimantan Barat terluas berada di sekitar Kabupaten Pontianak dan Ketapang. Beberapa alasan mengapa kebakaran pada lahan gambut berbahaya dapat dijelaskan untuk dipahami, sebagai berikut: (a) Jika kebakaran terjadi di bawah permukaan lahan gambut, tidak ada alat yang mampu memadamkannya. Lahan gambut sangat sempurna menahan bara api. Pengalaman tim pemadam kebakaran Manggala Agni bersama-sama dengan tim asing dari Korea dan Jepang telah berusaha keras memadamkan titik api di Kabupaten Ketapang, namun mereka tidak mampu dan api terus menjalar. Hanya guyuran hujan yang turun dengan deras yang mampu memadamkan titik api karena adanya genangan air pada lahan tersebut. (b) Jiika hujan yang turun relatif kecil (tidak sampai menggenangi lahan gambut), maka kebakaran lahan gambut akan semakin mengeluarkan asap yang lebih besar lagi (seperti menyiram air ke setrika yang sangat panas). (c) Api cepat menjalar pada bagian dalam lahan gambut yang kering, sehingga sering menyebabkan munculnya titik api baru di beberapa tempat. Berdasarkan kesepakatan yang dicapai dalam The Riau Declaration on Peatlands and Climate Change yang dihadiri oleh para ahli dari 12 negara, telah dihasilkan beberapa 11
rekomendasi berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan, diantaranya: menghentikan konversi lahan gambut, melakukan upaya rehabiliasi dan pemanfaatan lahan gambut tropis secara bertanggungjawab. Hal ini sangat beralasan baik secara faktual maupun teoritis. Koalisi LSM yang melakukan pemantauan dalam proyek Eyes on the Forest, mengungkapkan bahwa di Provinsi Riau dan Kalimantan Barat terdapat masing-masing 56% dan 30% titik api yang terdeteksi pada lahan gambut pada periode Juli 2006. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Tanaman Pangan dan Perkebunan Tanaman pangan. Perkembangan luas panen komoditas tanaman pangan utama di Kabupaten Pontianak dan di Provinsi Kalimantan Barat, masing-masing dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5. Pada tingkat kabupaten, angka-angka Tabel 4 menunjukkan kecenderungan penurunan luas panen dan produksi tanaman pangan utama (padi, kedele dan kacang tanah) secara signifikan.
Hanya komoditas jagung yang mengalami kenaikan luas panen dan
produksi dalam kurun waktu enam tahun terakhir (tahun 2000 hingga 2005). Ada dugaan kuat bahwa penurunan luas panen ini disebabkan oleh perubahan kepemilikan (menjadi lahan tidur/terlantar karena tidak diusahakan) atau terkonversi oleh desakan penanaman komoditas perkebunan. Situasi yang sama juga terlihat pada komoditas padi dan kedele di tingkat provinsi. Tabel 4. Perkembangan Luas Panen dan Produksi Tanaman Pangan Utama di Kabupaten Pontianak, 2000-2005 Tahun
Luas panen (ha) Padi
Produksi (ton)
Jagung
Kedele
K.Tanah
Padi
Jagung
Kedele
K.Tanah
2000
112.853
4.882
476
527
306.755
8.427
478
1.923
2001
54.743
1.521
204
114
175.307
2.724
215
1.433
2002
54.146
2.656
153
220
183.095
4.582
161
2.385
2003
53.935
4.003
74
327
179.850
7.627
80
1.854
2004
59.045
5.730
78
224
190.790
10.587
89
1.992
2005
47.422
5.915
73
197
155.086
10.699
81
2.746
Trend : Fisik
(8.985)
547
(71)
(35)
(20.433)
1.086
(70)
150
%
(14,11)
13,28
(40,05)
(12,92)
(10,29)
14,59
(37,95)
7,31
Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Kalimantan Barat, 2006
Angka-angka pada Tabel 5 memberikan informasi bahwa luas panen untuk komoditas padi dan kedele menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun, masingmasing – 0,21% dan – 15,42% atau setara dengan penurunan luas panen padi dan kedele masing-masing sebesar 753 ha dan kedele 230 ha per tahun. Sementara luas panen yang semakin meningkat adalah komoditas jagung (17,77% yang setara dengan 4.700 ha per tahun), kacang tanah dan kacang hijau masing-masing 5,2% dan 5,8% (masing-masing setara 12
dengan 100 ha dan 88 ha per tahun). Dalam hal keterkaitan dengan kemungkinan terjadinya kebakaran lahan, bukan berarti bahwa pada lahan padi dan kedele tidak terjadi kebakaran, tetapi kebakaran pada tanaman pangan adalah kebakaran yang terkendali setiap tahun dan dilakukan untuk membersihkan rumput dan semak belukar. Namun demikian, kebakaran terkendali tetap harus menganut azas kewaspadaan karena pada kenyataannya, pembakaran lahan pada skala luas mengakibatkan terjadinya percikan api dan menimbulkan asap tebal yang sulit dihindarkan. Tanaman perkebunan. Salah satu cara membuktikan bahwa pengusaha perkebunan termasuk sebagai pelaku pembakaran hutan dapat dilakukan dengan membandingkan spektrum kebakaran tahun sebelumnya dengan perkembangan luas tanaman perkebunan pada tahun berikutnya. Sebagai ilustrasi, dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2005 luas perkebunan di Provinsi Kalimantan Barat meningkat sebesar 20.636 hektar atau rata-rata 10.500 hektar per tahun yang terdiri dari tanaman karet, kelapa dalam, kelapa hibrida, kelapa sawit, kakao, lada, kopi dan aneka tanaman. Sedangkan perkembangan produksi menunjukkan kenaikan yang cukup berarti sebesar 16,56 persen atau 263.000 ton. Peningkatan produksi tersebut bukan disebabkan oleh pertambahan luas areal tahun sebelumnya, tetapi lebih disebabkan oleh penggunaan teknologi pertanian dan pertambahan luas areal beberapa tahun lalu (sekitar 3 sampai 4 tahun). Peningkatan luas areal tanam yang paling dominan terjadi pada tanaman karet (14.000 ha selama kurun waktu tersebut atau ratarata meningkat 7000 ha per tahun) dan komoditas kelapa sawit (32.000 hektar dalam kurun waktu yang sama atau rata-rata 16.200 ha per tahun). Ini berarti bahwa untuk komoditas karet dan kelapa sawit saja kegiatan penyiapan lahan dilakukan pada luasan rata-rata 23.000 hektar per tahun.
Sangat besar kemungkinan bahwa penyiapan lahannya dilakukan dengan
membakar semak belukar. Angka-angka perkembangan luas dan produksi dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 6.
13
Tabel 5. Perkembangan Luas Panen dan Produksi Tanaman Pangan Utama di Provinsi Kalimantan Barat, 2000-2005 Tahun
Padi 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Trend : Fisik %
Luas panen (ha) Jagung Kedele
K.tanah
K.hijau
Padi
Jagung
Produksi (ton) Kedele
K.tanah
K.hijau
361.163 361.531 346.572 353.434 365.218 352.305
18.237 16.540 20.496 31.438 35.747 37.743
2.248 1.785 1.635 1.020 1.064 1.194
1.885 1.426 2.220 1.690 1.755 2.492
965 1.422 1.905 1.394 1.923 1.383
903.491 962.816 985.488 1.027.137 1.060.652 1.023.684
31.631 35.502 46.813 84.582 102.571 127.460
2.342 1.922 1.823 1.341 1.231 1.349
1.923 1.433 2.385 1.854 1.992 2.746
649 969 1.310 997 1.336 996
(753) (0,21)
4,746 17,77
(230) (15,42)
100 5,22
88 5,88
26,746 2,69
20,518 28,73
(215) (12,88)
150 7,31
72 6,91
Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Kalimantan Barat, 2006
Tabel 6. Perkembangan Luas dan Produksi Perkebunan di Provinsi Kalimantan Barat, 2003-2005 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Komoditas Karet Kelapa Dalam Kelapa Hibrida Kelapa Sawit Kakao Lada Kopi Aneka Tanaman Jumlah
2003 464.274 95.143 14.207 349.101 10.268 9.370 16.209 6.668 965.240
Luas areal (ha) 2004 466.445 97.676 13.681 367.619 10.345 9.759 14.673 6.678 985.876
2005
478.281 96.704 13.269 381.566 8.559 9.869 14.812 7.036 1.010.096
Perubahan Ha %
14.007 1.561 (938) 32.465 (1.709) 499 (1.397) 368 20.636
1,51 0,82 (3,30) 4,65 (8,32) 2,66 (4,31) 2,76 2,14
Produksi (ton) 2003 2004
201.394 58.222 5.567 517.090 2.009 4.516 4.581 1.554 794.933
200.332 66.701 6.860 626.181 1.995 4.397 4.092 1.848 912.406
Perubahan %
2005
ton
225.042 67.140 5.535 746.919 1.955 4.419 4.630 2.613 1.058.253
23.648 8.918 (32) 229.829 (54) (97) 49 1.059 263.320
5,87 7,66 (0,29) 22,22 (1,34) (1,07) 0,53 34,07 16,56
Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat, 2006 (http://disbun.kalbar.go.id/printout/statisik/.rand=016)
14
Situasi Terakhir Kebakaran Hutan dan Lahan dan Kaitannya dengan Produksi Pertanian Ada kesan bagi kalangan pemerintah daerah dan masyarakat di Pontianak bahwa kebakaran yang terjadi disekitar Bandara Supadio merupakan indikator besarnya kebakaran di Provinsi Kalimantan Barat. Hal ini dapat dimaklumi karena asap yang tebal akan mengganggu kegiatan penerbangan pesawat udara (untuk mendarat dan lepas landas). Pada akhirnya, sektor ekonomi memang akan terganggu dan isu ini menjadi berita yang cukup menarik untuk diturunkan karena akan menyoroti kinerja instansi terkait di daerah dan sedikit banyak akan membuat merosotnya citra pemerintah daerah, terutama jika penanggulangan kebakaran memakan waktu cukup lama. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika satuan pemadam kebakaran hutan dan lahan pemerintah daerah setempat berusaha sekuat tenaga untuk mencegah dan menjaga terjadinya kebakaran disekitar lokasi bandara tersebut. Pencegahan dan penjagaan ini dilaksanakan sejak terjadinya kebakaran hingga mulai turunnya hujan dan memastikan bahwa titik api dapat dikendalikan dengan baik. Kebakaran hutan pada musim kemarau mulai terjadi sekitar bulan Juni di beberapa tempat di Provinsi Kalimantan Barat hingga puncaknya pada akhir bulan Agustus dan awal September (menjelang mulai turun hujan). Penyebaran titik api terus merambat sejalan dengan semakin meningkatnya panas bumi yang membuat tanaman dan semak belukar semakin kering, meranggas dan mudah terbakar. Lokasi sebagian wilayah di Provinsi Kalimantan Barat yang dilalui garis katulistiwa membuat daerah ini menjadi lebih panas dibandingkan dengan wilayah lain di Pulau Kalimantan. Lahan gambut yang tidak dapat menahan air ternyata menyimpan panas yang sangat besar dan selalu turut terbakar ketika kebakaran terjadi. Data yang dikumpulkan di Kecamatan Rasau Jaya (Tabel 3) menunjukkan bahwa luas areal lahan pertanian yang terbakar hingga akhir Agustus 2006 cukup signifikan (364 ha di enam desa dengan jumlah petani penggarap 259 kepala keluarga). Menurut observasi, meski dinyatakan bahwa kebakaran ini dapat dikendalikan karena dikawal secara langsung oleh petani, bukan berarti bahwa tidak terjadi penyebaran kebakaran sebab angin yang bertiup kencang dapat menerbangkan percikan api ke lokasi di sekitarnya yang mengakibatkan titik api baru. Karena lokasi pertanian ini berada di wilayah permukiman penduduk, maka seseorang yang membuang
15
puntung rokok secara sembarangan dan tidak disengaja telah menimbulkan kebakaran diluar kendali para petani. Puntung rokok yang tertiup angin mampu menyebarkan percikan api pada radius tertentu. Terkendali atau tidak, yang pasti adalah bahwa asap yang ditimbulkan kebakaran ini telah ikut menyumbang pencemaran lingkungan dan udara serta mengakibatkan terganggunya kesehatan, geliat ekonomi, dan hubungan bilateral dengan negara tetangga. Hujan yang mulai mengguyur dan tersebar merata pada minggu kedua September 2006 di wilayah Kalimantan Barat telah secara cepat mengurangi hot spot dan asap di daerah ini. Pada tanggal 14 September 2006, hujan yang turun cukup deras dan cukup lama hampir di semua wilayah Provinsi Kalimantan Barat sudah semakin mengurangi kebakaran. Yang menarik dari kejadian ini adalah bahwa sampai saat ini, hanya hujan yang turun secara alami dan teratur yang dapat memadamkan kebakaran di wilayah ini. Hujan buatan telah dicoba dilakukan sebelumnya dan ternyata mengalami kegagalan karena butir-butir awan yang tersedia tidak mencukupi untuk mengikat semburan garam dan nitrogen guna menghasilkan hujan. Kegiatan Usaha Pertanian yang Berdampak Timbulnya Kebakaran Hutan dan Lahan Secara makro, kebakaran di Provinsi Kalimantan Barat terjadi disebabkan oleh: Pertama, kondisi alam, yaitu terbukanya lahan gambut sebagai akibat kebijakan masa lalu yang memungkinkan diberikannya ijin pengelolaan lahan melalui konsesi HPH. Para pengusaha hutan melakukan pembabatan habis hutan dan tidak melakukan penanaman kembali atau tidak meninggalkan hutan sebagai reservasi tata air (hal demikian dikenal dengan istilah praktek pengelolaan hutan yang buruk). Kedua, sebagian besar kawasan merupakan lahan gambut (terutama di wilayah hilir DAS) yang mudah kering dan mudah terbakar. Ketiga, letak geografis wilayah dimana sebagian wilayah Provinsi Kalimantan Barat terletak pada garis katulistiwa yang membuat temperatur udara di wilayah ini sangat berbeda nyata dibandingkan dengan daerah lain. Keempat, kuat dugaan bahwa hukum adat setempat tidak sesuai dengan sistem alokasi lahan oleh pemerintah, sementara tidak jelasnya status kepemilikan lahan akan mengakibatkan semakin meluasnya kebakaran dan dengan frekuensi yang semakin meningkat. Kelima, insentif
16
ekonomi yang berkaitan dengan perubahan peruntukan hutan menjadi perkebunan telah mendorong usaha-usaha pembersihan hutan secara cepat yang juga berarti membuat kegiatan penyiapan/pembukaan lahan semakin meningkat. Keenam, kurangnya penerangan/penyuluhan tentang bahaya pencemaran karena kebakaran dan perlunya pelestarian lingkungan telah membuat masyarakat kurang memiliki rasa memiliki (sense of belonging) alam tempat dimana mereka bermukim. Melanjutkan deskripsi diatas, informasi yang dikumpulkan juga merujuk pada kesimpulan bahwa faktor-faktor pendorong yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan adalah: (a) Kurangnya kesadaran masyarakat/petani akan adanya eksternalitas emisi asap dan kebakaran yang tidak terkendali. (b) Tidak tersedianya teknologi alternatif untuk pembersihan dan pembukaan lahan terutama pada semak belukar yang ditumbuhi oleh tumbuhan sejenis ”pakis” yang perakarannya sulit lapuk. (c) Adanya dorongan melakukan pembakaran karena alasan ekonomi, bahwa dengan tidak tersedianya modal, maka cara yang paling mudah, murah dan menguntungkan untuk menyiapkan lahan adalah dengan melakukan pembakaran rumput dan semak belukar. Alasan ini juga diduga dijadikan sebagai pendekatan ekonomi oleh para pengusaha konsesi hutan dengan cara menerapkan variasi harga borongan pembukaan lahan yang ditawarkan kepada masyarakat. (d) Rendah atau tidak adanya penegakan hukum yang tegas (poor law enforcement), yang membuat masyarakat dan pengusaha tidak merasa jera atau tidak bertanggungjawab terhadap kebakaran yang terjadi pada lahan/ kawasan yang dikuasainya. (e) Diduga ada inkonsistensi antara aturan dan peraturan yang satu dengan lainnya berkaitan dengan pemberian ijin mengusahakan hutan, misalnya perijinan HTI dan HPH dengan otonomi daerah, sehingga ada kesan terjadinya dualisme otoritas antara pusat dan daerah, misalnya dualisme dalam pemberian ijin atau dalam hal pengendalian dan penindakan. Sangat erat kaitan antara undang-undang yang berlaku yang belum dijabarkan secara lebih opersional, baik sebagai peraturan
17
pemerintah, peraturan daerah atau keputusan menteri, yang membuat aparat penegak hukum menjadi gamang dan mengalami kesulitan untuk bertindak. (f) Ketidak-jelasan status kepemilikan dan garapan lahan banyak ditemui pada lahanlahan gambut yang ada disekitar hilir DAS (di wilayah Kabupaten Pontianak) yang disebut lahan guntai.
Situasi ini telah menyulitkan pendataan dan
pembinaan, termasuk penerapan sanksi apabila terjadi kebakaran. Penggunaan herbisida yang lebih aman dan efektif untuk mengendalikan gulma dan rerumputan/tanaman pengganggu sebenarnya dianjurkan oleh dinas pertanian setempat, tetapi petani membutuhkan biaya jika akan mengikuti saran tersebut. Menurut perhitungan petugas pertanian setempat, untuk membersihkan lahan seluas satu hektar dibutuhkan tenaga kerja sebanyak 40 HOK dengan upah rata-rata Rp. 25.000/HOK, sehingga untuk ini diperlukan biaya sebesar Rp. 1 juta. Jika menggunakan bahan kimia untuk membersihkan luasan yang sama, dibutuhkan tenaga kerja 3 HOK dan 5 liter herbisida (seharga Rp. 40.000/liter), sehingga total biaya yang dibutuhkan sebesar Rp. 275.000. Di sini terlihat perbedaan yang signifikan antara penggunaan tenaga kerja manusia dengan penggunaan herbisida (selisih sekitar Rp. 725.000). Tetapi masalahnya adalah bahwa petani tidak memiliki modal kerja yang memadai dan oleh karena itu, tidak memilih menggunakan tenaga kerja manusia atau herbisida karena masing-masing membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jadi, fokus masalah bukan kepada efektivitas atau alternatif keuntungan, tetapi ketersediaan modal kerja untuk membuka/menyiapkan lahan. Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Produksi Pertanian Sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1, 2, dan 3, hutan dan lahan yang terbakar ternyata cukup luas dengan kemungkinan kebakaran yang diduga sangat berpotensi menghasilkan gumpalan asap yang tebal, mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan makhluk hidup. Dampak kebakaran hutan terhadap produksi tanaman pangan mungkin tidak terlalu besar, tetapi akan sangat signifikan pada lahan perkebunan apabila kebakaran terjadi pada areal kebun yang telah ditanami komoditas perkebunan. Bagi lahan tanaman pangan, pembakaran dilakukan untuk menyiapkan lahan dan dilakukan pada musim kemarau. Umumnya tidak terdapat tanaman pangan pada waktu pembakaran
18
dilakukan dan oleh karena itu, sangat kecil kemungkinan pengaruhnya terhadap produksi tanaman pangan.
Sebaliknya bagi lahan tanaman perkebunan yang diatasnya telah
ditumbuhi tegakan atau komoditas perkebunan tertentu, apabila terjadi kebakaran di wilayah sekitar kebun, sangat besar kemungkinan nyala atau percikan api menjalar/meluas dan membakar komoditas yang bersangkutan dan lahan yang bersangkutan. Jika demikian yang terjadi, maka kerugian yang signifikan bukan saja karena kehilangan komoditas, tetapi juga karena pencemaran lingkungan (karena membakar tanaman/pohon hidup/dedaunan hijau). Untuk pengembangan luas lahan komoditas perkebunan, Provinsi Kalimantan Barat sebenarnya telah mengeluarkan arahan pemanfaatan ruang wilayah sesuai dengan Perda No. 5 tahun 2004. Luas perkebunan lahan kering (PLK) di setiap kabupaten telah didata dan mencapai luas sekitar 6 juta hektar lebih (di 12 kabupaten dan kota) ditambah dengan kira-kira 523.000 ha potensi pemanfaatan PLK pada lima kabupaten di daerah perbatasan (Tabel 7 dan 8). Khusus untuk wilayah perbatasan, alokasi luas lahan yang tersedia diarahkan untuk perusahaan perkebunan besar swasta. Memperhatikan informasi ini, sangat beralasan untuk mengatakan bahwa perusahaan perkebunan yang diberi ijin berusaha pada lokasi ini dapat dipantau dan dibina untuk berpartisipasi mencegah kebakaran hutan dan lahan. Teknik pembukaan/penyiapan harus diubah dari cara tradisional dengan membakar ke cara modern yang menggunakan herbisida untuk semak belukar dan pembabatan kayu-kayu kecil di areal yang bersangkutan. Sistem borongan untuk penebasan/pembersihan yang pada akhirnya melakukan pembakaran sebagai cara paling cepat dan murah harus dihindari.
19
Tabel 7. Arahan Pemanfaatan Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun 2004 (RTRWP) No
Kabupaten
Luas Wilayah (ha)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Ketapang Kapuas Hulu Sintang Sanggau Melawi Landak Pontianak Sambas Bengkayang Sekadau Kt Singkawang Kt Pontianak Jumlah
3.580.900 2.984.200 2.163.820 1.285.780 1.064.080 990.910 826.210 639.570 539.630 544.420 50.400 10.780 14.680.700
Luas PLK (ha)
Luas perbatasan (ha)
1.247.318 568.038 860.328 725.741 299.330 715.567 409.901 442.605 380.567 391.748 45.990 10.780 6.097.913
Luas PLK (ha) 141.546 216.516 44.426 57.238 64.139 523.865
1.564.537 406.622 128.742 166.811 106.840 2.373.552
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat, 2006
Tabel 8. Luas potensi dan Pemanfaatan PLK pada Daerah Perbatasan Lini 1 No
Kabupaten
Luas PLK (ha)
Diarahkan ke PBS Jumlah
Luas (ha)
1.
Kapuas Hulu
141.546
7
123.000
2.
Sintang
216.516
5
108.000
3.
Sanggau
44.426
4
62.850
4.
Sambas
57.238
5
68.000
5.
Bengkayang
64.139
7
94.700
523.865
28
456.550
Jumlah
Keterangan - Di Sambas belum termasuk pertambangan - PLK=perkebunan lahan kering - PBS=perkebuan besar swasta
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat, 2006
Satu hal menarik berkaitan dengan kualitas lahan gambut untuk tanaman pangan adalah semakin menurunnya kemampuannya menahan air. Hal ini diduga terjadi karena perilaku manusia yang dengan sengaja membuka lahan dan membuat parit-parit kecil sebagai saluran khusus untuk melarungkan kayu tebangan di bagian hulu ke arah sungai besar. Ini dilakukan untuk memudahkan transportasi kayu dari bagian dalam hutan ke sungai terdekat. Di sisi lain, pembukaan kanal-kanal ini ternyata telah menguras air yang tersimpan di dalam lahan gambut dan mengakibatkan mengeringnya permukaan sampai dengan kedalaman tertentu. Lahan yang mengering ini mudah menyimpan panas dan api dan menjadi ancaman tersembunyi bagi kebakaran hutan dan lahan. Sementara itu, lahanlahan tanaman pangan akan kekurangan air yang membuat semakin rendahnya kualitas 20
lahan yang bersangkutan. Pelajaran yang dapat ditarik dari kejadian ini adalah kerugian dua kali yang diakibatkan oleh tingkah laku manusia sendiri, yakni kerugian karena kerusakan ekosistem lahan gambut dan kerugian karena akan menyebabkan penjalaran api semakin meluas pada musim kemarau.
Dalam kaitan ini, penyuluhan untuk
menyadarkan para pelaku dari akibat yang ditimbulkannya perlu segera disosialisasikan. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan 1. Secara mendasar perambahan hutan menyeybabkan
ketidak seimbangan alam
(kerusanan hutan) menyebabkan terjadinya kebakaran pada lahan gambut dan bukan gambut. Disusul oleh perkembangan pengelolaan lahan yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip konesrvasi dan dorongan ekonomi juga memperparah terjadinya kebakaran lahan danhutan. 2. Setiap upaya peningkatan pemanfaatan lahan untuk keperluan pemenuhan kebutuhan pangan (seperti pemanfaatan ex-lahan gambut) hendaknya difikirkan aspek konservasi yang tidak menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, sehingga koordinasi vertikal dan horizontal menjadi sangat penting adanya. Implikasi Kebijakan 1. Perlu adanya kemauan politik (political will), seperti melakukan investasi berupa penelitian untuk mencari inovasi baru (teknologi tepat guna) yang dapat digunakan untuk memberikan alternatif tidak membakar kebun/semak, seperti teknologi Tanpa Olah Tanah (TOT) berikut alat-alat pendukungnya, teknologi pembusukan (decomposed), teknologi pemanfaatan lahan gambut sebagai media tanaman, dll untuk meningkatkan efisiensi dan nilai tambah produk pertanian. 2. Perlu ada deregulasi dan sinkronisasi peraturan-peraturan yang ada, untuk menghindari terjadinya saling melempar tanggungjawab, khususnya status hukum kepemilikan lahan dan penggarapan lahan. 3. Perlu ada law enforcement secara tegas dan konsekuen terhadap para pelaku dan pihak yang menyebabkan terjadinya kebakaran, termasuk pencegahan timbulnya
21
biaya transaksi (transaction cost) yang dapat menyebabkan semakin leluasanya pihak tertentu melakukan pembakaran. 4. Perlu difikirkan adanya instrumen kebijakan berbasis ekonomi (economic-based policies) seperti: (a) memberikan insentif kepada sekelompok atau seseorang yang mempu menjaga kawasannya dari kebakaran dan memberikan disinsentif kepada yang tidak mampu menjaga kawasannya dari kebakaran, (b) menciptakan programprogram yang dapat menghambat dilakukannya pembakaran hutan dan lahan dan menyebarluaskannya kepada masyarakat, seperti menggandengkan upaya pencegahan pembakaran dengan kredit usahatani atau kredit ketahanan pangan (KKP), kredit P4K atau kegiatan Program PRIMATANI. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2006. Padamkan Kebakaran dengan Menghentikan Konversi Lahan Gambut: Laporan Eyes on the Forest Report Mengenai Kebakaran Hutan. http://www.globalcarbonproject.org/activities/riau%20declaraton%20revised pdf. Dikutip tanggal 6 September 2006. CIFOR. 2006. Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. http://www.cifor.org. Dikutip tanggal 5 September 2006. Dinas Perkebunan. 2006. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Perkebunan Propinsi Kalimantan Barat Menurut Jenis Tanaman dan Tahun. http:// disbun.kalbar.go.id/ printout/statistik/.rand=016. Dikutip tanggal 7 September 2006. ______________. 2006. Rekapitulasi Luas Areal, Produksi dan Petani Perkebunan Propinsi Kalimantan Barat (2005). http://disbun.kalbar.go.id/printout/statistik/. rand=016. Dikutip tanggal 7 September 2006. ______________. 2006. Perkembangan Perizinan Perkebunan Besar di Provinsi Kalimantan Barat s/d Semester II Tahun 2005 (Desember 2005). Dinas Perkebunan, Pontianak. ______________. 2006. Data Kebakaran Kebun dan Lahan Perkebunan Keadaan s/d 30 Agustus 2006. Dinas Perkebunan, Pontianak. Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 2005. Luas Panen dan Produksi Padi-Palawija Per Sub Round Tahun 2000-2004. Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Pontianak. ___________________________. 2005. Luas Panen dan Produksi Padi-Palawija Per Sub Round Tahun 2005. Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Pontianak Hermawan, W. 2006. Dampak Kebakaran Kebun dan Lahan terhadap Lingkungan Hidup. Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat.
22
Setiyanto, A. dan S. K. Dermoredjo. 2000. Institutional Strengthening for Forest and Land Fire Prevention and Control in Indonesia. In Land Use Change and Forest Management (Proceeding). Indonesian Association of Agricultural Meteorology (PERHIMPI). Bogor. pp. 255-261. WALHI. 2006. Musim Pembakaran Hutan, Siklus Tahunan Bencana Indonesia. http://www.walhi.or.id/kampanye/bencana/bakarhutan/060808_kbkrnhtn_sp/. Dikutip tanggal 6 September 2006.
23
STUDI EMISI CO2 AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DI PROVINSI RIAU (STUDI KASUS DI KABUPATEN SIAK) Nasution, A.Z.1), Mubarak2), Zulkifli2) Alumni Pascasarjana Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Riau, Jl. Pattimura No.09.Gobah, 28131. Telp 0761-23742. 2) Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Riau, Pekanbaru, Jl. Pattimura No.09.Gobah, 28131. Telp 0761-23742. Email :
[email protected];
[email protected];
[email protected] 1)
Abstract This research was aimed to analyze the CO emissions due to forest fires that occurred in 2 Siak Regency, Riau Province Indonesia in 2010 and to analyze the probability of forest fire occurrence in Siak Regency using the available data. Fire and CO2 emissions in the area of plantation forests are greater than in the area of natural forests. The amount of CO emissions 2 due to forest fires in 2010 varied between 107.260 Ton CO2 yr-1 in natural forests and 151.600 Ton CO2 yr-1 in plantation forests. The amount of CO emissions due to forest fires in the peat land was 2.176 Ton CO2 yr-1. This value is mainly 2depending on the extent of the burned area in the year of 2010. Results of the logistic regression show the forest fires are more likely to occur in degraded forests. Key words: Forest fires, CO emissions, fire occurrence, Riau, Siak. 2
1.
Pendahuluan Bumi kita mengalami peningkatan suhu yang signifikan pada dekade akhir-akhir ini, yang oleh para ilmuan dinyatakan bahwa hal tersebut disebabkan oleh aktivitas manusia. Penyebab utama pemanasan global adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Emisi CO dari waktu ke waktu terus meningkat 2 baik pada tingkat global, regional, nasional pada suatu negara maupun lokal untuk suatu kawasan. Peningkatan Emisi CO tersebut diduga akibat semakin meningkatnya 2penggunaan energi dari bahan organik (fosil), perubahan tataguna lahan dan kebakaran hutan, serta peningkatan kegiatan antropogenik lainnya. Emisi GHG (greenhouse gases) di Indonesia telah mencapai pada tingkat yang mengkhawatirkan (Kusumawardani, 2009). Perubahan iklim yang menyebabkan kerusakan lingkungan akibat pemanasan global karena peningkatan gas rumah kaca (GRK) merupakan contoh dari eksternalitas negatif (Nurzal dan Suminto, 2010).
Penggunaan dan perubahan tutupan lahan terutama deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi di daerah tropis, memiliki konstribusi yang signifikan (hingga 25 %) dengan jumlah total CO2 dan emisi gas rumah kaca lainnya disebabkan oleh aktifitas manusia (Fearnside, 2000; Fearnside and Laurance, 2004; Karakaya, 2005). Disamping itu perluasan perkebunan kelapa sawit, terutama bila mengonversi hutan primer, berpotensi menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca (Herman et al, 2009). Departemen Pertanian (2007) menyatakan tahun 1994 tingkat emisi CO di Indonesia sudah lebih tinggi 2 dari tingkat penyerapannya. Apabila emisi GRK terus terjadi peningkatan, para ahli memprediksi konsentrasi CO akan meningkat hingga 3x lipat pada 2 awal abad ke 22 bila dibandingkan dengan kondisi pra-industri (Hairiah, 2007). Kebakaran hutan dan lahan telah menjadi masalah tahunan yang serius di Provinsi Riau, terutama pada musim kemarau. Kebakaran hutan dan lahan tidak hanya berdampak pada daerah kejadian saja, tetapi juga berdampak kepada negara tetangga. Dipilihnya Kabupaten Siak sebagai lokasi penelitian 27
Jurnal Bumi Lestari, Volume 13 No. 1, Februari 2013, hlm. 27 -36 karena kejadian kebakaran hutan sering terjadi dan juga sebagian besar wilayah Kabupaten Siak merupakan lahan gambut. Sampai saat ini jumlah emisi CO yang dihasilkan sebagai akibat kebakaran 2 hutan di wilayah Kabupaten Siak belum jelas. Oleh sebab itu, jumlah emisi CO yang dihasilkan akibat kebakaran hutan baik dari2 pembakaran biomassa maupun pembakaran lahan gambut perlu untuk diketahui sebagai informasi bagi semua pihak dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya, beberapa faktor yang berpengaruh pada kemungkinan terjadinya kebakaran hutan juga perlu di ketahui dan dianalisis. Sampai saat ini informasi maupun penelitian tentang pengaruh faktor-faktor terhadap terjadi atau tidaknya kebakaran masih sangat minim. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis emisi CO akibat kebakaran hutan yang 2 terjadi di Kabupaten Siak Provinsi Riau dan untuk menganalisis kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dengan menggunakan data yang tersedia, dengan tujuan spesifik adalah untuk memperkirakan emisi CO akibat pembakaran biomassa yang disebabkan2 oleh kebakaran hutan di Kabupaten Siak, untuk memperkirakan emisi CO akibat pembakaran 2
lahan gambut yang disebabkan oleh kebakaran hutan di Kabupaten Siak dan untuk menganalisis hubungan antara beberapa faktor (jarak ke jalan, penduduk, jenis tanah, dan indeks kehijauan vegetasi (NDVI)) dengan terjadinya kebakaran hutan. 2.
Metode Penelitian
2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan. Wilayah kajian mencakup seluruh Kabupaten Siak, Provinsi Riau (Gambar 1). 2.2
Bahan dan Alat Penelitian Perkiraan emisi CO2 akibat kebakaran hutan di Kabupaten Siak ini dilaksanakan untuk tahun 2010 dengan menggunakan data sekunder. Untuk itu, ada beberapa data yang diperlukan yaitu : lokasi dan luasnya wilayah yang terbakar, beban bahan bakar tersedia per satuan luas, efisiensi pembakaran (fraksi bahan bakar yang terbakar selama kebakaran), dan faktor emisi (jumlah CO2 yang dihasilkan per unit bahan bakar dibakar). Selain data utama tersebut, data tutupan lahan
Gambar 1. Lokasi Penelitian di Kabupaten Siak 28
Nasution, dkk. : Studi Emisi CO2 Akibat Kebakaran Hutan di Provinsi Riau ..... juga diperlukan untuk membedakan kebakaran yang terjadi dikawasan hutan dan yang terjadi di wilayah non hutan. Karena studi ini menganalisis emisi CO2 untuk Kabupaten Siak, maka digunakan peta batas Kabupaten. Sebuah peta lahan gambut di Riau digunakan untuk menganalisis apakah kebakaran terjadi dilahan gambut atau lahan non gambut. Informasi mengenai beban bahan bakar yang tersedia dihitung berdasarkan data sekunder dari inventarisasi hutan. 2.3 Pengolahan dan Analisis Data Mengingat data yang tersedia untuk daerah penelitian terbatas, maka penelitian ini memperkirakan emisi CO 2 akibat kebakaran hutan dengan menggunakan metode Tier1. Metode ini layak ketika negara tertentu tidak memiliki data perkiraan kegiatan dan faktor emisi tidak tersedia. Dalam metode Tier 1, emisi diperkirakan sebagai fungsi dari jumlah bahan bakar, efisiensi pembakaran dan faktor emisi. Jumlah beban bahan bakar yang tersedia yang benarbenar dibakar dalam api dihitung sebagai produk daerah terbakar, beban bahan bakar, dan kelengkapan pembakaran, terpadu atas waktu dan skala ruang. Ini menggunakan nilai default yang disediakan dalam Pedoman IPCC (2006). Jika intensitas kebakaran cukup untuk menghilangkan sebagian dari tegakan hutan, di metodologi ini, karbon yang terkandung dalam biomassa yang hilang diasumsikan segera dilepaskan ke atmosfir. Jumlah bahan bakar yang dapat dibakar dihasilkan oleh bidang terbakar dan kepadatan bahan bakar yang terdapat di daerah itu. Efisiensi pembakaran adalah ukuran proporsi bahan bakar yang sebenarnya dibakar. Faktor emisi memberikan jumlah gas rumah kaca tertentu emisi per unit bahan kering dibakar, yang dapat bervariasi sebagai fungsi dari kandungan karbon biomassa dan kelengkapan pembakaran. Faktor Emisi didefinisikan sebagai jumlah gas tertentu yang keluar per jumlah bahan bakar yang dikonsumsi dinyatakan dalam gram dari senyawa gas per kilogram dari bahan kering (Palacios-Orueta et al, 2005). Model yang menghubungkan emisi dengan jumlah dan jenis bahan bakar yang dikonsumsi dan dengan karakteristik pembakaran diusulkan oleh Seiler dan Crutzen (1980). Jumlah biomassa dibakar dapat didekati dengan menggunakan persamaan berikut:
M = A *B * β (1) dimana : M = jumlah biomassa dibakar setiap tahunnya (ton/tahun) A = total luas lahan terbakar setiap tahun (ha/ tahun) B = beban bahan bakar (biomassa) yang tersedia per satuan luas (ton/ha) β = efisiensi pembakaran, pecahan dari rata-rata biomasa di atas tanah yang sebenarnya dibakar (Seiler dan Crutzen, 1980). Untuk menghitung beban bahan bakar (biomassa) yang tersedia digunakan rumus yang diperkenalkan oleh Brown et all (1989), yaitu : B = VOB * WD * BEF
(2)
dimana : VOB = Volume rata-rata/hektar (m3/ha) WD = Wood density (volume kepadatan berat kering kayu) BEF = Biomass Expansion Factor, yaitu rasio dari biomassa kering diatas permukaan tanah terhadap biomasa kering dari hasil inventarisasi. Selanjutnya, emisi CO 2 dihitung dengan menggunakan persamaan yang disediakan oleh Pedoman IPCC 2006 (IPCC, 2006) yaitu : M (CO2) = M * faktor emisi
(3)
dimana : M (CO2)
= jumlah tahunan emisi CO 2 dari pembakaran biomassa (gr/tahun) Faktor emisi = yaitu jumlah CO2 yang dikeluarkan per unit biomassa yang terbakar. 2.4 Masukan Data 2.4.1 Areal yang terbakar di Kabupaten Siak Dalam studi ini, data areal yang terbakar digunakan untuk menganalisis tingkat dan lokasi kebakaran. Hal ini perlu dilakukan overlay dengan data tutupan lahan dan lahan gambut data untuk mendeteks ikebakaran terjadi di lahan gambut atau lahan non-gambut dan di daerah hutan atau nonhutan. 29
Jurnal Bumi Lestari, Volume 13 No. 1, Februari 2013, hlm. 27 -36 2.4.2 Bahan Bakar Tersedia di atas Permukaan Tanah. Biomassa terbakar akibat kebakaran hutan memainkan peran penting pada emisi gas CO2 dan gas lainnya ke atmosfer (Kasischke dan Penner, 2004). Bahan bakar yang tersedia untuk kebakaran di atas tanah didekati dengan menggunakan biomassa di atas tanah pada daerah tertentu yang dihitung dari data inventarisasi hutan yang diperoleh dari Dinas Kehutanan Provinsi Riau. Data inventarisasi hutan menunjukkan potensi rata-rata standing stock yang potensial pada masing-masing fungsi hutan di Kabupaten Siak dalam volume (m3/ ha). 2.4.3
Ketersediaan Beban Bahan Bakar pada Kebakaran Gambut Gambut terbakar rata-rata dihitung dengan mengalikan tingkat daerah gambut dengan ketebalan rata-rata tanah gambut terbakar dan kepadatan gambut. Nilai gambut yang terbakar yang digunakan dalam perhitungan adalah 510 Mg bahan kering per hektar (Page et al, 2002). Nilai ini juga digunakan ketika melakukan penelitian serupa untuk Sumatera dan Kalimantan (Heil et al, 2007).
2.4.4 Efisiensi Kebakaran Efisiensi kebakaran berkaitan dengan jumlah beban bahan bakar yang tersedia yang sebenarnya dikonsumsi selama kebakaran. Nilai default IPCC digunakan dalam analisis. Berdasarkan Pedoman 2006 IPCC efisiensi pembakaran hutan tropis primer adalah 0,32 (IPCC, 2006). 2.5 Hubungan Antara Kebakaran yang Terjadi Dengan Jarak ke Jalan, Penduduk, Jenis Tanah, Nilai NDVI. Regresi logistik digunakan untuk menganalisis hubungan antara kejadian kebakaran dan faktorfaktor yang disebutkan. Model statistik untuk regresi logistik adalah: (4) dimana p adalah proporsi binomial dan x adalah variabel penjelas. Parameter dari model logistik â0 dan â1 (Moore dan McCabe, 2006). Terjadinya kebakaran (terjadi atau tidak terjadi) adalah variabel respon. Kepadatan penduduk dan jarak ke jalan digunakan sebagai variabel penjelas
Gambar 2. Lokasi kebakaran hutan dan lahan Kabupaten Siak 2010 30
Nasution, dkk. : Studi Emisi CO2 Akibat Kebakaran Hutan di Provinsi Riau .....
Gambar 3. Lokasi kebakaran pada lahan gambut di Kabupaten Siak 2010 yang memiliki hubungan dengan kegiatan manusia. Selain faktor-faktor, jenis tanah (gambut atau nongambut) dan MODIS NDVI untuk tahun 2010 digunakan (diasumsikan bahwa faktor-faktor ini memiliki hubungan erat dengan beban bahan bakar yang tersedia di bawah dan di atas biomassa tanah). MODIS NDVI yang dikenal sebagai salah satu indikator kehijauan vegetasi dapat digunakan sebagai faktor yang berhubungan dengan kondisi hutan (Huete et al, 2002). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Kumar et al, kepadatan hutan memiliki korelasi positif dengan nilai NDVI. (Kumar et al, 2007). 3
Hasil
3.1 Lokasi Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Siak 2010 Data tutupan lahan di peroleh dari data Dinas Kehutanan Provinsi Riau. Data tutupan lahan tersebut diklasifikasikan kedalam 3 kelas yaitu Hutan,
Hutan Tanaman dan Non Hutan. Areal yang terbakar diperoleh dari hasil pemantauan satelit NOAA. Dari hasil tumpang susun (overlay) data tutupan lahan dan areal yang terbakar tersebut maka diperoleh informasi lokasi kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Siak tahun 2010. Peta areal yang terbakar Kabupaten Siak 2010 sebagaimana disajikan pada Gambar 2 (diatas). Selama kejadian kebakaran hutan pada tahun 2010, dijumpai 28,43 % (29 titik) kebakaran terjadi di lahan gambut. Areal hutan yang terbakar di kawasan hutan gambut dapat dilihat pada Gambar 3. Sementara itu, untuk luas dan presentase areal yang terbakar 2010 untuk masing-masing tutupan lahan dan dapat dilihat pada Gambar 4. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa persentase kebakaran terbesar terjadi di areal non hutan yaitu 69 %, sementara pada areal hutan persentase kebakaran sebesar 31 %. Resolusi pixel dari areal yang terbakar adalah 1 km2 sehingga total areal yang terbakar sama dengan jumlah pixel areal yang terbakar.
31
Jurnal Bumi Lestari, Volume 13 No. 1, Februari 2013, hlm. 27 -36
Gambar 4. a. Luas areal yang terbakar di Kabupaten Siak. b. Luas areal yang terbakar di Kabupaten Siak 3.2 Bahan yang terbakar Bahan yang terbakar di atas permukaan areal yang terbakar dalam penelitian ini digunakan data Neraca Sumber Daya Hutan yang berasal dari kegiatan inventarisasi hutan di Kabupaten Siak. Selanjutnya digunakan metode yang sudah tersedia untuk mengkonversi volume biomasa di atas permukaan tanah ke berat keringnya. Perhitungan biomassa ini dibedakan menurut fungsi hutan kawasan hutan. Selanjutnya, dari rata-rata volume Tabel 1.
(m3/ha), total volume kayu di atas permukaan tanah (m3) dari hasil inventarisasi dan Biomasa diatas permukaan tanah (Ton/ha) dari hasil pengolahan data per fungsi kawasan hutan di lokasi penelitian diperoleh volume rata-rata perhektar tertinggi adalah di kawasan Hutan Bakau diikuti Hutan Produksi Terbatas, Hutan Konservasi, dan Hutan Produksi secara berurutan. Jumlah biomassa bervariasi diantara fungsi kawasan hutan tersebut.
Potensi rata-rata per hektar, potensi kayu berdiri dan biomassa berdasarkan fungsi kawasan hutan 2009
No. Fungsi/Nama Kawasan Hutan
1. Hutan Produksi Tetap 2. Hutan Produksi Terbatas 3. Hutan konservasi 4. Kawasan Hutan Bakau 5. Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK) Jumlah
Hutan Alam Luas (Ha)
Hutan Tanaman
Potensi Potensi rata-rata Potensi rata-rata Potensi Biomassa Luas (Ha) per per (M3) (M3) (Ton/ha) hektar hektar (M3/Ha) (M3/Ha)
Biomassa (Ton/ha)
92.470,58
23,84
2.204.067
96,23
28.531,35
137,49
3.922.775
228,70
31.024,91
27,49
852.760
81.597
81.596,66
154,92
12.640.955
242,59
64.170,77 101,50
57,31 79,77
3.677.632 8.097
-
-
-
-
33.824,76
15,00
507.371
-
-
-
-
221.592,52
32,72
7.249.927 110.128 110.128,01
150,40
16.563.730
239,07
Sumber : Data Neraca Sumber Daya Hutan (Dinas Kehutanan Provinsi Riau, 2009) dan hasil pengolahan data.
32
Nasution, dkk. : Studi Emisi CO2 Akibat Kebakaran Hutan di Provinsi Riau ..... 3.3 Emisi CO2 akibat kebakaran hutan di Kabupaten Siak 2010 Setelah mendapatkan areal hutan yang terbakar, bahan bakar yang dapat terbakar per hektar, efisiensi bahan bakar, dan faktor emisi diketahui, Emisi CO2 akibat kebakaran hutan di Kabupaten Siak dapat dihitung. Hasilnya disajikan di Tabel 2. Perhitungan telah dilakukan pada masing-masing fungsi kawasan hutan di Kabupaten Siak. Jumlah emisi CO2 akibat kebakaran hutan pada tahun 2010 bervariasi pada umumnya bergantung pada luas areal yang terbakar dan potensi bahan bakar. Kebakaran terluas dan emisi CO2 terbesar berada di Hutan Tanaman yang terjadi pada kawasan hutan Hutan Produksi Tasik Besar Serkap diikuti oleh HPT Minas. Selanjutnya Emisi CO2 yang terjadi di Hutan Alam terbesar berada di HPT Rangau, di ikuti oleh HPT Minas, dan HP Tasik Besar Serkap. Emisi CO2 akibat kebakaran di lahan gambut Emisi CO2 akibat kebakaran hutan pada lahan gambut di Kabupaten Siak dapat dilihat pada Tabel 2. Perhitungan telah dilakukan pada masing-masing fungsi kawasan hutan di Kabupaten Siak. Jumlah emisi CO2 akibat kebakaran hutan pada lahan gambut
di Kabupaten Siak tahun 2010 bervariasi pada umumnya bergantung pada luas areal yang terbakar dan potensi bahan bakar. Total emisi CO2 adalah sebesar 2.176 Ton/tahun yang berada di kawasan hutan Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Konversi. 3.4. Hubungan antara terjadinya kebakaran dengan jarak ke jalan, populasi, dan tipe tanah dan kondisi vegetasi. Analisis hubungan antara terjadinya kebakaran dengan jarak ke jalan, populasi, dan tipe tanah dan kondisi/kerapatan vegetasi telah dilakukan dengan menggunakan regresi logistik. Faktor-faktor seperti jarak ke jalan, populasi, dan tipe tanah dan kondisi vegetasi tersebut dihubungkan dengan ada atau tidaknya kejadian kebakaran. Dari titik sampel yang diamati, dihubungkan dengan masing-masing faktor tersebut. Dari hasil analisa dengan menggunakan SPSS diperoleh hasil yang menunjukkan empat faktor yang berkaitan dengan terjadinya kebakaran yaitu jarak, penduduk, biofisik (jenis tanah), dan kondisi vegetasi. Dari hasil uji statistik tersebut, terlihat bahwa Nilai Chi-Square sebesar 19,438 dan mempunyai Signifikansi 0,01 (0,001 < 0,05) yang
Tabel 2. Emisi CO2 dari Kebakaran Hutan di Kabupaten Siak 2010
Sumber : Hasil pengolahan data. 33
Jurnal Bumi Lestari, Volume 13 No. 1, Februari 2013, hlm. 27 -36 signifikan. Berarti penambahan variabel bebas mampu memperbaiki model sehingga dapat dinyatakan fit, atau dengan kata lain model boleh digunakan. Berdasarkan hasil analisa juag diperoleh bahwa nilai Nagelkerke R square adalah sebesar 0.323 yang berarti bahwa keempat variable bebas mampu menjelaskan varians terjadinya kebakaran hutan sebesar 32,3 % dan sisanya sebesar 67,7 % dijelaskan oleh faktor-faktor lain. Berdasarkan hasil statistik diatas menunjukkan bahwa dari ke empat variable bebas tersebut kondisi vegetasi paling berpengaruh terhadap terjadinya kebakaran hutan, yang memiliki signifikansi sebesar 0,001 (< 0,1) yang berarti signifikan. Sehingga dapat disimpulkan pada areal yang memiliki vegetasi yang rendah cenderung lebih besar kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Informasi lain yang dapat diketahui adalah pada areal yang memiliki vegetasi rendah kemungkinan terjadi kebakaran hutan cenderung lebih besar 4,094 kali dari pada areal yang memiliki vegetasi yang padat. 4.
Pembahasan
4.1 Emisi CO 2 akibat kebakaran hutan di Kabupaten Siak tahun 2010 Estimasi emisi CO2 akibat kebakaran hutan di Kabupaten Siak yang terjadi pada 2010 dapat dihitung menggunakan data sekunder yang tersedia dari beberapa sumber. Emisi CO2 akibat kebakaran hutan di wilayah Kabupaten Siak bervariasi antara 107.260 Ton CO2/thn pada Hutan Alam dan 151.600 Ton CO2/thn pada Hutan Tanaman. Hal ini tergantung pada luasnya area yang terbakar dan beban bahan bakar yang tersedia pada area tertentu. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa emisi CO2 yang dipancarkan oleh kebakaran hutan dari pembakaran lahan gambut di Kabupaten Siak adalah sebesar 2.176 Ton CO2/thn. Besarnya emisi yang dihasilkan dari pembakaran lahan gambut ini sangat dipengaruhi oleh luasnya area yang terbakar. CO 2 merupakan Gas Rumah Kaca yang banyak mendapat sorotan pada saat ini. Selain kontribusinya yang cukup besar dalam penyebab efek rumah kaca, CO2 di hasilkan dari dampak kegiatan pembakaran lahan gambut ataupun pembakaran hutan. Hutan pada lahan gambut mempunyai peranan penting dalam penyimpanan karbon. Oleh sebab itu, perlu mendapat perhatian. Bila pembukaan lahan
gambut dibiarkan, apalagi diikuti dengan pembakaran hutan dan lahan, maka dapat dibayangkan berapa banyak karbon yang terlepas ke atmosfer dan pemanasan global ataupun perubahan iklim menjadi lebih cepat terjadi, sekaligus dampak ikutan seperti asap dan lainnya akan terus dirasakan oleh masyarakat setiap tahunnya. Kebakaran di wilayah Kabupaten Siak Provinsi Riau tahun 2010 telah membakar areal seluas 109 km2 atau sebesar 10.900 hektar. Frekuensi tertinggi kebakaran hutan di Kabupaten Siak lebih banyak terjadi di areal non hutan. Selanjutnya apabila memperhatikan fungsi kawasan hutan, dari hasil penelitian menunjukkan terjadinya kebakaran hutan lebih banyak terjadi di Hutan Tanaman. Hasil ini mungkin terkait dengan adanya fakta bahwa sejak tahun 2000 konversi hutan dari hutan alam ke hutan tanaman terjadi peningkatan di Provinsi Riau, khususnya di Kabupaten Siak. Pembukaan lahan untuk pembangunan hutan tanaman ini umumnya berada di lahan gambut dan dilakukan dengan land clearing sehingga lebih memicu terjadinya kebakaran hutan dibandingkan dengan Hutan Alam. Pembuatan drainase dengan skala besar pada hutan tanaman dapat mengganggu keseimbangan hidrologi pada kawasan ruling gambut pada musim kemarau. 4.2 Hubungan antara terjadinya kebakaran dengan jarak ke jalan, populasi, dan tipe tanah dan kondisi vegetasi. Analisis regresi logistik terhadap empat faktor yang berhubungan dengan kemungkinan terjadinya kebakaran hutan di Kabupaten Siak yaitu jarak ke jalan, populasi, dan tipe tanah dan kondisi vegetasi. Akan tetapi model ini hanya dapat memprediksi secara benar 32,3 % dari terjadinya kebakaran hutan berdasarkan empat faktor di atas. Dari keempat faktor tersebut, faktor vegetasi lebih berpengaruh sehingga kemungkinan kebakaran yang terjadi di areal yang mengalami degradasi dari pada areal hutan dengan kerapatan vegetasi yang tinggi. Sebuah studi oleh Langner et al, 2007 menunjukkan bahwa ada korelasi yang kuat antara kebakaran dan degradasi hutan di beberapa bagian dari Indonesia. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa kebakaran hutan biasanya mulai dari tepi kawasan hutan di mana aktivitas manusia yang lebih intens (Langner et al, 2007). Hal ini juga didukung 34
Nasution, dkk. : Studi Emisi CO2 Akibat Kebakaran Hutan di Provinsi Riau ..... oleh penelitian yang juga dilakukan oleh Langner et al. (2007) yang menyimpulkan bahwa sebagian besar kebakaran hutan terjadi di hutan yang mengalami degradasi. Hutan rawa gambut ketika dalam kondisi baik dapat menyimpan sejumlah besar karbon. Drainase lahan gambut yang mengarah keoksidasi menghasilkan emisi CO2, dan kebakaran dilahan gambut terdegradasi menghasilkan emisi CO2 lebih lanjut. Mekanisme pertama (drainase lahan gambut) akan meningkatkan kemungkinan terjadinya api. Oleh sebab itu, konservasi hutan rawa gambut dapat mengurangi terjadinya kebakaran di Siak dan dengan demikian mengurangi emisi CO2. Hal ini dapat dipulihkan dengan pengelolan air/tata air yang baik. Karena kemungkinan terjadinya kebakaran hutan lebih tinggi di hutan terdegradasi, pilihan lain untuk mengurangi terjadinya kebakaran adalah untuk menerapkan pengelolaan hutan berkelanjutan sehingga luasnya hutan yang rusak dapat diminimalkan. Reboisasi lahan terdegradasi akan meningkatkan kerapatan hutan dan karenanya akan mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran. 5.
Simpulan dan Saran
5.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, kebakaran hutan memancarkan sejumlah besar CO2 selama 2010 di Provinsi Riau khususnya di Kabupaten Siak. Kebakaran dan emisi CO2 yang barada di areal Hutan Tanaman lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi di Hutan Alam, hal ini dipengaruhi dengan banyaknya tingkat kejadian kebakaran dan bahan bakar yang terbakar. Frekuensi tertinggi kebakaran hutan di Kabupaten Siak lebih banyak terjadi di areal non hutan. Hal ini juga diperkuat dengan beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa terjadinya kebakaran di Provinsi Riau lebih banyak terjadi di areal open akses dan semak belukar. Kondisi kerapatan vegetasi memiliki korelasi dengan terjadinya kebakaran di Kabupaten Siak. Hasil regresi logistik menunjukkan bahwa kondisi kerapatan vegetasi berkorelasi dengan terjadinya kebakaran. Ini berarti bahwa kebakaran hutan lebih sering terjadi pada hutan bervegetasi rendah atau yang telah mengalami degradasi.
Selanjutnya, dari hasil penelitian dan pengolahan data tersebut dapat disimpulkan bahwa emisi CO2 karena kebakaran hutan dari pembakaran biomassa di Kabupaten Siak pada tahun 2010 adalah 107.260 Ton CO2/tahun untuk hutan alam dan 151.600 Ton CO2/tahun untuk hutan tanaman. Selanjutnya emisi CO2 karena kebakaran hutan dari kebakaran gambut di Kabupaten Siak pada tahun 2010 adalah 2.176 Ton CO2/tahun. Selanjutnya pengaruh dari beberapa faktor terkait dengan ada tidaknya kejadian kebakaran hutan seperti jarak ke jalan, penduduk, jenis tanah dan kehijauan vegetasi diperoleh hasil bahwa kehijauan vegetasi mempunyai korelasi dengan terjadinya kebakaran hutan. Ini berati bahwa kebakaran hutan umumnya terjadi pada areal yang bervegetasi rendah atau yang telah mengalami degradasi. 5.2 Saran Untuk meningkatkan akurasi dari estimasi emisi CO2, penelitian lanjutan diperlukan khususnya untuk mendapatkan efesiensi kebakaran dari daerah penelitian sehingga didapatkan hasil yang lebih akurat. Selanjutnya penghitungan berat kering biomassa yang diikutsertakan pada inventarisasi hutan yang akan datang akan menurunkan ketidakpastian dari estimasi emisi CO2 terkait bahan bakar yang tersedia dalam kebakaran hutan. Selain itu regulasi untuk menghindari atau menurunkan terjadinya kebakaran hutan telah dikeluarkan oleh pemerintah, namun demikian penegakan hukum masih tetap diperlukan untuk menurunkan terjadinya kebakaran hutan. Terkait dengan tingginya kejadian kebakaran hutan di Provinsi Riau, perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan menerapkan program-program pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang tepat sasaran sehingga kejadian serupa tidak terulang kembali di masa yang akan datang. Ucapan Terima Kasih Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Mubarak, M.Si. dan Dr. Zulkifli, S.Pi, M.Si. yang telah membantu dan membimbing penelitian ini, serta yang telah banyak memberikan arahan dan saran serta masukan dalam memperbaiki penulisan penelitian ini.
35
Jurnal Bumi Lestari, Volume 13 No. 1, Februari 2013, hlm. 27 -36 Daftar Pustaka Brown, S., A. J. R. Gillespie, and A. E. Lugo. 1989. Biomass estimation methods for tropical forests with applications to forest inventory data. Forest Science 35:881-902. Fearnside, P. M. 2000. “Global warming and tropical land-use change: Greenhouse gas emissions from biomass burning, decomposition and soils in forest conversion, shifting cultivation and secondary vegetation”. Journal Climatic Change, 46 (1-2): 115-158. Fearnside, P. M. and W. F. Laurance. 2004. “Tropical Deforestation And Greenhouse-Gas Emissions”. Journal Ecological Applications, 14 (4): 982-986. Hairiah.2007.Perubahan Iklim Global: Dampak dan Bahayanya, Universitas Brawijaya, Malang. Herman, Agus, F, dan Las, I. 2009. “Analisis Finansial Dan Keuntungan Yang Hilang Dari Pengurangan Emisi Karbon Dioksida Pada Perkebunan Kelapa Sawit”. Jurnal Litbang Pertanian, 28 (4), 2009. Heil, A., B. Langmann and E. Aldrian. 2007. “Indonesian peat and vegetation fire emissions: Study on factors influencing large-scale smoke haze pollution using a regional atmospheric chemistry model”. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change Journal 12 (1): 113-133. Huete, A., K. Didan, T. Miura, E. P. Rodriguez, X. Gao and L. G. Ferreira. 2002. “Overview of the radiometric and biophysical performance of the MODIS vegetation indices”. Remote Sensing of Environment 83 (1-2): 195-213. IPCC.2006. Pedoman IPCCuntuk Inventarisasi Nasional Gas Rumah Kaca , National Greenhouse Gas Inventories Program. Jepang. Karakaya, Etem, and Ozcag, Mustafa. 2005.”Driving Forces of C02 Emission In Central Asia: A Decomposition Analysis of Air Pollution From Fossil Fuel Combustion”Arid Ecosystems Journal, Vol. 11, No. 26-27, August 2005, Pages 49-57. Kasischke, E. S. and J. E. Penner. 2004. “Improving global estimates of atmospheric emissions from biomass burning”. Journal of Geophysical Research-Atmospheres, 109(D14). Kumar, A., S. K. Uniyal and B. Lal. 2007. “Stratification of forest density and its validation by NDVI analysis in a part of western Himalaya, India using Remote sensing and GIS techniques”. International Journal of Remote Sensing, 28(11): 2485-2495. Kusumawardani, D. 2009. “Emisi CO2 dari Penggunaan Energi di Indonesia: Perbandingan Antar Sektor”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol. 8, No. 3, Desember 2009 : 176–187 . Langner, A., J. Miettinen and F. Siegert. 2007. “Land cover change 2002 - 2005 in Borneo and the role of fire derived from MODIS imagery”. Global Change Biology 13: 2329-2340. Moore, D. S. and G. P. McCabe. 2006. Pengenalan dan Aplikasi Statistik. Nurzal, E.R dan Suminto.2010. “Penerapan Standar Manajemen Energi Untuk Mitigasi Perubahan Iklim Di Indonesia”. Jurnal Standardisasi Vol. 12, No. 3 Tahun 2010: 174 – 185 Page, S. E., F. Siegert, J. O. Rieley, H.-D. V. Boehm, A. Jaya and S. Limin. 2002. “The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997”. Nature 420 (6911): 61-65. Palacios-Orueta, A., E. Chuvieco, A. Parra and C. Carmona-Moreno. 2005. Biomass Burning Emissions: A Review of Models Using Remote-Sensing Data. Journal Environmental Monitoring and Assessment 104 (1): 189-209. Seiler, W. and P. J. Crutzen. 1980. “Estimates of gross and net fluxes of carbon between the biosphere and the atmosphere from biomass burning”. Journal Climatic Change 2(3): 207-247.
36
STUDI SUMBER PENYEBAB TERJADINYA KEBAKARAN DAN RESPON MASYARAKAT DALAM RANGKA PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN GAMBUT DI AREAL MAWAS KALIMANTAN TENGAH (Study of fire sources and community respond for peat swamp forest fire control in Mawas area Central Kalimantan) 1)
2)
2)
Acep Akbar , Sumardi , Ris Hadi, Purwanto dan/and M. Sambas Sabarudin 1)
2)
Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, 2) Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada 1) Jl. Ahmad Yani Km. 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru Telp./Fax. 0511-4707872 2) Jl. Bulaksumur, Yogyakarta Naskah masuk : 5 Januari 2011; Naskah diterima : 7 November 2011
ABSTRACT Fire prevention activity in peat swamp forest might have supported by a continually knowledge of user in the field. As well as for be a guidance for preventing of fire. This knowledge can constructing achievement suitable target. Public opinion about innovation necessary to study for compromise between government and local people to formulate the reliable fire prevention method, hence innovative diffusion will be proceed quickly. Public opinion survey at five villages in the vicinity of Mawas Konservation Forest, resulted a routine fire come from arable land farmer and fisherman, while incidentally fire come from rattan farmer, illegal logger, gold mineworker, and boat maker. Fire prevention activity that were responsived well by society are education patterns and applied technology of fire prevention, except implementation of zero burning agriculture and agroforestry planting system. In short, colaboration between government and forest dwelling especially arable land farmer and fishermen in fire prevention tend to decrease forest fire insident. Keyword: Land fire source, Fire prevention, Peat swamp forest
ABSTRAK Aktivitas pencegahan kebakaran hutan rawa gambut perlu didasari oleh adanya pengetahuan tentang profil manusia pengguna api rutin di lahan yang identik dengan sumber-sumber api pemicu kebakaran. Pengetahuan tersebut berguna untuk mengarahkan pembinaan pencegahan kebakaran yang dilakukan oleh pemerintah sehingga tepat sasaran. Respon masyarakat terhadap jenis-jenis inovasi pencegahan kebakaran yang diterapkan perlu digali agar tercipta peluang kolaborasi antara pihak pemerintah atau pengelola dengan masyarakat target sehingga proses peningkatan kesadaran, kesiagaan dan difusi inovasi dapat berjalan secara cepat. Melalui penelitian survey opini publik di lima desa contoh sekitar hutan konservasi Mawas di Kalimantan Tengah diketahui bahwa sumber api rutin berasal dari petani ladang dan penangkap ikan, sedangkan pengguna api lain bersifat tidak rutin yaitu petani rotan, pencari rotan, pencari kulit gemor, dan pencari madu, pengayu, penambang emas, dan pengrajin perahu klotok. Kegiatan pencegahan yang mendapat respon masyarakat adalah semua pola penyuluhan dan penerapan teknologi yang umum dilakukan dalam pencegahan kebakaran kecuali persiapan lahan tanpa bakar dan pola tanam agroforestry. Disimpulkan bahwa aktivitas pencegahan kebakaran jika dilakukan melalui kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat sekitar hutan terutama dengan petani ladang dan penangkap ikan berpotensi menurunkan frekuensi terjadinya kebakaran. Kata kunci: Hutan rawa gambut, pencegahan kebakaran, sumber kebakaran lahan
287
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.5, Desember 2011, 287 - 300
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebakaran yang terlanjur besar sangat sulit dipadamkan sekalipun menggunakan peralatan pemadam berteknologi tinggi. Api hanya padam setelah bahan bakar habis (Heikkila et al, 1993). Chandler et al. (1983) mengatakan bahwa pengetahuan sumber api merupakan faktor kunci dalam meningkatkan keberhasilan pencegahan kebakaran. Bila sumber-sumber penyebab kebakaran diketahui maka akan mudah dilakukan kegiatan (Chandler et al, 1983; Suratmo et al, 2003). Peristiwa kebakaran pada umumnya sangat sulit dibuktikan karena selalu dimulai dengan adanya api kecil yang berawal dari kelalaian pengguna api rutin saat pembakaran lahan, peristiwa yang bersifat insidentil seperti pembakaran akibat tujuan kriminal, puntung rokok, dan peristiwa alam. Data hotspot dari citra satelit NOAA-AVHR dapat menunjukkan kejadian kebakaran di suatu tempat (Saharjo, 2004), tetapi belum bisa menentukan profil manusia mana yang menjadi pemicu insiden kebakaran tersebut. Sumber api dihasilkan oleh profil manusia yang dalam matapencahariannya selalu menggunakan api sehingga sumber api tersebut bersifat rutin. Penyuluhan sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan kesadaran melakukan pencegahan, memperoleh pengetahuan kerugian akibat kebakaran serta menentukan pola kolaborasi pencegahan kebakaran dengan masyarakat sekitar hutan. Arah dan sasaran penyuluhan akan lebih tepat jika ditujukan kepada masyarakat pengguna api lahan secara langsung. Oleh karena itu pertanyaan yang timbul adalah bagaimana cara memperoleh pengetahuan tentang profil-profil manusia yang diyakini sebagai pengguna api lahan secara rutin. Jenis-jenis kerjasama apa yang dapat dijalin antara pemerintah dengan masyarakat sekitar hutan yang diindikasikan oleh komitmen masyarakat dalam menerima jenis-jenis aktivitas pencegahan kebakaran yang ditawarkan. Masyarakat sekitar hutan seyogyanya memiliki pengetahuan tentang profil-profil manusia pengguna api rutin setiap tahun di lingkungan komunitas desanya dan yang mengetahui lebih awal api liar yang terjadi serta memiliki juga rasa ketertarikan dengan pola-pola pencegahan kebakaran tertentu baik yang akan maupun yang sudah dilakukan oleh pemerintah. Rasa ketertarikan biasanya timbul karena cara
288
baru tentang sesuatu dipandang sangat praktis dan efektif oleh kalangan masyarakat. Peran masyarakat sekitar hutan sangat penting dalam pengelolaan kebakaran karena selain mereka dapat berperan sebagai penyebab juga dapat berperan sebagai pencegah dan pemadam api awal sebelum api besar (Marbyanto, 2003). Strategi manajemen kebakaran hutan berbasis masyarakat telah menjadi solusi alternatif khususnya di negara-negara Afrika dan Asia dengan harapan agar bencana kebakaran dalam skala luas dapat dicegah (Karki, 2002). Salah satu kebutuhan dalam menerapkan pencegahan kebakaran berbasis masyarakat adalah pendidikan dan penyuluhan (Moore dan Haase, 2002). Topik penyuluhan dan pendidikan yang diperlukan masyarakat adalah pendidikan lingkungan dan kebakaran hutan, penerapan teknologi pencegahan kebakaran, dan sosialisasi peraturan yang berhubungan dengan kebakaran hutan dan lahan. Salah satu cara untuk menselaraskan antara minat pemerintah dengan minat masyarakat dalam hal pencegahan kebakaran adalah dengan cara menawarkan jenis-jenis aktivitas pencegahan yang telah umum dilakukan kepada masyarakat. Dalam upaya mengetahui adanya pilihan yang dapat merepresentasikan kehendak masyarakat diperlukan suvey opini publik (public opinion survey) pada masyarakat sasaran. Dengan cara demikian, inovasi-inovasi pencegahan sebagai bahan pembinaan kepada masyarakat akan sesuai dengan keinginan masyarakat sekitar hutan sehingga dapat mempercepat proses difusi inovasi. Hipotesis deskriptif yang muncul adalah bahwa masyarakat memiliki pengalaman dan pengetahuan lokal tentang sumber-sumber api rutin setiap tahun di masing-masing desanya sehingga pemikiran-pemikiran baru diperlukan agar tradisi negatif yang berkembang di masyarakat desa.dapat diperbaiki menuju arah lingkungan yang aman dan tertib khususnya dalam hal menggunakan api lahan. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis sumber penyebab terjadinya kebakaran dan peluang kolaborasi dalam pengendalian kebakaran berdasarkan pendapat masyarakat tentang pola-pola penyampaian inovasi yang tepat dalam penyuluhan dan penerapan teknologi sederhana di masyarakat sehingga meningkatkan efektivitas pencegahan kebakaran hutan dan lahan.
Studi Sumber Penyebab Terjadinya Kebakaran dan Respon Masyarakat dalam Rangka Pengendalian Kebakaran Hutan Gambut di Areal Mawas Kalimantan Tengah Acep Akbar, Sumardi, Rishadi dan Sambas S.
II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan November 2009 sampai dengan Januari 2010 di kawasan hutan konservasi Mawas yang merupakan bagian dari kawasan eks PLG (Proyek Pengembangan Lahan Gambut). Kawasan hutan konservasi Mawas yang terletak di bagian tenggara Provinsi Kalimantan Tengah merupakan zone inti (INPRES no. 2/2007) yang dikelola oleh Yayasan Borneo Orangutan Survival Fondation (BOSF) Mawas Kalimantan Tengah sejak tahun 2001 pada koordinat 114o25” - 115o00” BT dan 1o45” 2o16” LS. Sampel lokasi dilakukan pada 5 (lima) desa yang berada di sekitar wilayah unit manajemen hutan konservasi Mawas. Desa-desa tersebut adalah Mantangai Hilir, Katunjung, Lawang Kajang, Madara, dan Batampang. Penentuan desa sampel dengan pertimbangan letak terhadap kawasan mawas, kerawanan kebakaran, dan sub suku dayak yang bermukim di desa tersebut (terdiri dari Dayak Ngaju (Dayak Kapuas), Ma'anyan, dan Bakumpay). Penentuan desa berdasarkan letak geografis dalam peta wilayah, tingkat kerawanan kebakaran, perbedaan sub suku Dayak dan kondisi pertanian. B. Bahan danAlat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari kuesioner. Perlengkapan utama di lapangan adalah speedboat dan klotok (perahu kecil bermesin) digunakan untuk menjangkau ke 5 (lima) desa terpilih (Desa Mantangai Hilir, Katunjung, dan Lawang Kajang, Desa Madara dan Batampang), kamera digital dan timbangan analitik. C. Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode survey (Nawawi, 1994) dengan pendekatan rancangan secara berjenjang ganda (multistage sampling). Terdapat 48 Desa di lokasi penelitian, sementara sebanyak 5 (lima) desa diambil sebagai sampel. Pengambilan sampel secara purposive dilakukan pada saat menentukan 5 (lima) desa contoh agar menggambarkan representativitas terhadap seluruh desa yang ada di sekitar kawasan hutan Mawas. Teknik pengambilan sampel dalam satuan kelompoknya dilakukan secara acak dimana masing-masing desa diambil responden sebanyak 48 orang dengan pertimbangan keterwa-
kilan antara 10-35%. Jumlah responden seluruhnya adalah 240 orang. Responden dan sampel penduduk desa dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok mata pencaharian yaitu : (1) Petani ladang (PTL), (2) Penangkap/nelayan ikan (PI), dan (3) Mata pencaharian Non-Petani dan Non-Penangkap ikan (PLL) yang terdiri dari pegawai negeri, pedagang, pendulang emas, peternak, penarik kelotok, pengrajin rotan, petani rotan, dan tukang. Sebagai data penunjang dalam penelitian ini diuji juga pengaruh sikap individu dari masyarakat terhadap kondisi kerawanan atau risiko kebakaran pada ladangnya. Risiko kebakaran diantaranya ditentukan oleh parameter muatan (bobot segar) bahan bakar dan tingginya (Saharjo, et al, 2000). Bahan bakar tersebut adalah berupa vegetasi yang tumbuh pada lahan ladang. Dengan menggunakan uji multivariat, akhirnya dapat diketahui adanya pengaruh atau tidak dari sikap responden terhadap kerawanan kebakaran. Ukuran jumlah sampel didasarkan pada pertimbangan interval kepercayaan antara 5-10% dengan mempergunakan tabel interval kepercayaan (Vockell, 1983) dengan rumus sebagai berikut : 1,96 2.500 N n x N 1 n
x 100%
dimana : 1,96 = Nilai Z setara dengan taraf signifikansi 5% 2.500 = Bilangan konstan n = Jumlah anggota sampel N = Jumlah populasi Uji validitas dalam penelitian ini mengikuti prosedur content validity dan construct validity (Nurgiyantoro et al. 2000). Content validity mensyaratkan adanya kesesuain antara instrumen dengan deskripsi masalah yang akan diteliti, sedangkan construct validity berhubungan dengan pertanyaan yang harus sesuai dengan konsep keilmuan kebakaran. Uji reliabilitas menggunakan teknik stabilitas yaitu dengan mencobakan sebuah instrumen lebih dari satu kali dalam waktu yang berbeda. Hasil keduanya dikorelasikan, dan jika korelasi > 50% maka instrumen dinyatakan reliable (Nurgiyantoro, 2000). D. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth interview) dan observasi lapangan di lima desa contoh.
289
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.5, Desember 2011, 287 - 300
Informasi sumber-sumber api rutin lahan diperoleh dengan cara menanyakan pengalaman secara langsung kepada masyarakat yang dipandu dengan daftar pertanyaan terstruktur (quesioner). Demikian juga informasi respon masyarakat terhadap jenis-jenis aktivitas pencegahan dilakukan dengan cara yang sama dengan informasi sumber api. Pengumpulan data wawancara mengikuti metode Muhadjir (1992) yaitu subyek mendatangi secara langsung responden dan mengambil kesempatan yang memudahkan. Responden yang diambil harus sesuai dengan kapasitasnya. Wawancara dilakukan dengan cara bertatap muka dengan responden sehingga diperoleh gambaran secara lengkap tentang obyek yang diteliti (Bungin, 2003) dan dilakukan secara formal dan informal sesuai dengan situasi yang dihadapi untuk menghindari adanya nonrespon error dan respon error. Pertanyaan yang dibuat bersifat open questions, multiple choice questions, dan dichotomous questions (Marzuki, 2005). Wawancara ditujukan kepada Kepala Keluarga (KK) yang umumnya pria, sedangkan jika dalam keluarga, suami sudah meninggal dunia maka isteri menggantikan kepala keluarga. Muatan bahan bakar dihitung dari bobot bahan bakar bawah ladang berupa vegetasi hidup dan mati termasuk serasah, yaitu dengan cara mengambil contoh bahan bakar per m² sebanyak 4 (empat) kali yang dilakukan secara acak. Selanjutnya ditimbang berat segarnya dengan timbangan analitik.
Pertanyaan dan tawaran tersebut terdiri dari unsur pendidikan dalam prinsip pencegahan kebakaran hutan dan rekayasa teknologi untuk kepentingan pencegahan kebakaran. Variabel pendidikan yang ditawarkan terdiri dari 8 variabel yaitu : (1) Penyuluhan kontak langsung, (2) pelatihan dengan ceramah dan praktek, (3) penyuluhan dengan pemutaran film dan video,(4) pelajaran di sekolah, (5) pemberiam pesan lewat khotbah Jum'at di Mesjid atau khotbah di Gereja, (6) pemberian pesan melalui Tokoh-Tokoh Adat,(7) kampanye kebakaran lewat publikasi, dan (8) kampanye kebakaran melalui TVRI dan RRI. Variabel rekayasa teknologi yang ditawarkan terdiri dari 8 variabel yaitu: (1) pembuatan sekat bakar, (2) reduksi bahan bakar, (3) pelaksanaan patroli bahaya kebakaran, (4) mengatur sistem pembakaran, (5) pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB), (6) teknik pembakaran terkontrol, (7) pengembangan pola tanam agroforestry, (8) bantuan alat pemadam sederhana. Tes independensi terdiri atas dua faktor yaitu kelompok matapencaharian dan respon (fokus kepada ingin mengetahui pengaruh kelompok matapencaharian terhadap sikap suka atau tidak suka dalam merespon setiap inovasi aktivitas pencegahan yang ditawarkan). Penghitungan Chi-square (X²), data observasi tersebut diolah lebih lanjut untuk mendapatkan expected value atau nilai yang diharapkan dari data observasi dengan rumus sebagai berikut (Gaspersz, 1991; Singgih, 2001):
E. Analisis Data Analisis data penelitian lebih bersifat deskriptif dengan cara menarasikan semua fakta yang diperoleh di lapangan. Analisis sumber api lahan dilakukan dengan membuat nilai presentase dari jumlah responden yang menyatakan ada sumber api tertentu dari seluruh responden yang diwawancarai. Analisis respon masyarakat terhadap inovasi pencegahan kebakaran dilakukan dengan menggunakan uji frekuensi Chi-square (uji independensi) untuk mengetahui pengaruh mata pencaharian terhadap sikap menerima atau tidak responden terhadap opsi pencegahan kebakaran yang ditawarkan (Gasperz, 1995, Singgih, 2001). Satuan dalam variabel yang diukur adalah jumlah orang (frekuensi) dalam kelompok responden yang telah merespon semua pertanyaan dan tawaran yang diberikan pewawancara.
290
RiXCj N Nilai yang diharapkan pada baris ke-i kolom ke-j Jumlah total baris Jumlah total kolom ke-j Jumlah total sampel Eij
Dimana : Eij = Ri = Cj = N =
Nilai X² hitung akan dibandingkan dengan nilai X² tabel prekuensi. Jika X² hitung lebih besar daripada X² tabel, maka berarti terjadi perbedaan antara nilai observasi (observation value) dengan nilai harapan (expected value). Analisis multivariat biasa digunakan untuk mengetahui hubungan variabel yang datanya berkatagori ordinal sebagai variable faktor atau kovariat dengan data kuantitatif berskala rasio untuk variable dependen (Priyatno. 2009). Data katagori ordinalnya adalah sikap masyarakat terhadap pelatihan kebakaran seperti tertera pada Tabel 1.
Studi Sumber Penyebab Terjadinya Kebakaran dan Respon Masyarakat dalam Rangka Pengendalian Kebakaran Hutan Gambut di Areal Mawas Kalimantan Tengah Acep Akbar, Sumardi, Rishadi dan Sambas S.
Tabel (Table) 1. Observasi sikap masyarakat terhadap pelatihan kebakaran (Observation of people atitude on fire training No
1 2
Observasi (Observation) Respon/sikap responden Sikap Suka Tidak suka Total
Petani (PTL) 1 O11 O21
Penangkap ikan (PI) 2 O12 O22
Variabel dependennya yang berskala rasio adalah, tinggi bahan bakar (cm), dan muatan bahan bakar (gram/m²). Kedua jenis variable tersebut digambarkan dalam skema berikut (Gambar 1). Asumsi analisis multivariat menurut
Variabel Faktor
Mata pencaharian (Livelihood) Non-petani&Nonpenangkap ikan (PLL) 3 O13 O23
Total
Priyatno (2009) dan Wijaya (2009) adalah data memiliki varian dan kovarian yang sama, untuk menguji ini dilakukan uji asumsi homogenitas yaitu uji Laven's dan uji kesamaan kovarian (Uji Box's).
Variabel Dependen
Tinggi Bahan Bakar
Respon terhadap inovasi pendidikan (Sangat suka, Suka, tidak suka, sangat tdk suka)
Muatan Bahan Bakar Hidup dan mati
Muatan Serasah
Gambar (Figure) 1. Skema hubungan antara respon masyarakat dengan risiko kebakaran ladang (Scheme of correlation among society responses to arable land fire risk)
Uji multivariate ini terdiri dari Uji Pillai's Trace, Wilk's Lambda, Hotelling's Trace, dan Roys Largest Roat. Analisis data kualitatif dilakukan untuk menarasikan hasil-hasil analisis data baik yang bersifat kualitatif maupun yang kuantitatif. Analisis data kualitatif hasil penelitian kebakaran, sistematikanya mengikuti unsur-unsur prinsip dalam pencegahan kebakaran, sedangkan dalam masing-masing unsur, prosesnya melalui tahapan penyederhanaan data yang terdiri dari pengujian, pengkatagorian, pentabulasian, dan pengkombinasian bukti-bukti yang menunjukkan proposisi (Singarimbun, 1989; Yin, 2006, Suryabrata, 1998, Marjuki,
2005). Satu hal lagi dalam analisis data kualitatif adalah penampilan data (display data) yang impormatif setelah penyederhanaan (reduksi data). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sumber-Sumber Kebakaran Lahan Sumber api lahan di 5 (lima) desa sekitar kawasan hutan mawas berdasarkan pengalaman responden cukup bervariasi seperti yang ditunjukan dalam Tabel 2.
291
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.5, Desember 2011, 287 - 300
Tabel (Table) 2. Sumber-sumber api berdasarkan pengalaman responden (Land fire sources base on respondent experiences) No. 1 2 3 4. 5 6 7 8 9
Sumber Api (Land fire sources)
Petani Ladang Penangkap ikan Pengayu Pendulang emas Petani rotan Pengrajin perahu Pencari HHBK Peternak sistem lepas Perokok
Mantangai hilir 100 56,2 0 0 0 4,2 10,4 0 4,79
Pernyataan responden merupakan hasil pengalaman yang mereka alami langsung semasa hidupnya di desa masing-masing. Penangkap ikan atau nelayan ikan menghasilkan sumber api ketika mereka membersihkan kolam beje, dan kadang-kadang membuat api untuk memasak ikan hasil tangkapan. Aktivitas pembersihan beje tersebut hampir dilakukan secara rutin pada musim kering saat genangan air rawa mengalami surut. Upaya mempermudah pencarian beje-beje biasanya pencari ikan membersihkan vegetasi rumput dan semak dengan cara membakar seperti persiapan lahan di ladang. Api biasanya digunakan juga untuk membersihkan lahan setelah ditebas. Perlakuan pembakaran paling banyak dilakukan pada saat ladang baru dibuka dari sisa hutan atau semak belukar. Sebagian besar penduduk memiliki disiplin dalam hal membakar, tetapi sebagian kecil sering lalai sehingga dapat menghasilkan api liar. Kearifan local pembersihan lahan yang diterapkan sebagian penduduk adalah tumbuhan ditebas terlebih dahulu, kemudian di rebahkan dan dikumpul ke tengah ladang, dibersihkan sekat bakar, baru kemudian dilakukan pembakaran. Setelah pembakaran dilanjutkan
292
Jumlah Responden (%) di 5 Desa Lawang Katunjung Madara Kajang 95,8 100 100 66,7 62,5 52,1 0 4,2 0 0 4,2 0 4,2 0 0 0 0 0 4,2 0 0 0 0 0 0 0 0
Batampang 56,2 82,2 10,4 0 37,5 4,2 8,7 0 0
dengan pengontrolan dan pemadaman api sisa (bahasa dayak : menyimpuk atau ipanruk) Dengan demikian untuk cara terakhir tidak akan ada api liar. Berdasarkan sistem rotasi, setelah ladang dibuka dari belukar, ladang hanya dapat digunakan antara 3-4 tahun. Setelah itu mereka berpindah ke tempat lain yang masih belukar dan subur, dan ladang yang lama ditanami karet (Hevea braziliensis). Perilaku ini mempunyai kesamaan dengan rotasi berladang berpindah di lahan kering NTT (Foenay, 1999), perbedaannya hanya pada tipe lahan, peladang di NTT melakukannya di lahan miring. B. Pendapat Masyarakat terhadap Inovasi Pendidikan Beberapa inovasi yang ditawarkan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat telah mendapat respon dari masyarakat sekitar hutan. Tiga kelompok masyarakat yang merespon tawaran pola pencegahan dari aspek pendidikan terbagi kedalam petani ladang (PTL), penangkap ikan (PI), dan matapencaharian lain-lain (PLL) sesuai metodologi yang disebut terdahulu.
Studi Sumber Penyebab Terjadinya Kebakaran dan Respon Masyarakat dalam Rangka Pengendalian Kebakaran Hutan Gambut di Areal Mawas Kalimantan Tengah Acep Akbar, Sumardi, Rishadi dan Sambas S.
Tabel (Table) 3. Pendapat responden tentang inovasi pendidikan (Respondent opinion about educational innovation)
No.
1 2 3
4
5 6 7
Jenis inovasi (Kind of innovation) Penyuluhan kontak langsung Pelatihan kebakaran Pesan Lewat Khotbah,gereja, tokoh adat Pendidikan Kebakaran dan lingkungan di S D Kampanye Film dan video Pesan pencegahan di TVRI Pesan lewat leaflet dan brosur
Matapencaharian (orang) (Livelihood) (person ) PTL PI PLL Tida k Tidak Tidak Suka Suka Suka suka suka suka 73 7 77 3 66 14
Xh²
Xt²
8,6
5,99
72 66
8 14
77 71
3 9
65 76
15 4
9,47 6,26
5,99 5,99
64
16
71
9
75
5
7,07
5,99
63
17
72
8
74
6
7,65
5,99
73
7
69
11
62
18
6,07
5,99
68
12
74
6
69
11
7,08
5,99
Keterangan (Remarks) : PTL = Petani ladang (arable land farmer); PI= Penangkap Ikan( fish fisherman); PLL=Pencaharian Lain-lain (selain PTL dan PLL) (non PTL and PLL).
Hasil-hasil respon masyarakat terhadap inovasi pendidikan (Tabel 3) menunjukan bahwa perbedaan matapencaharian berpengaruh nyata terhadap sikap menerima atau menolak pola inovasi pendidikan pencegahan kebakaran yang ditawarkan yaitu antara hasil observasi dengan hasil yang diharapkan. Unsur-unsur pencegahan yang dipengaruhi oleh matapencaharian penduduk adalah penyuluhan kontak langsung, pelatihan pengendalian kebakaran, pesan pencegahan kebakaran melalui khotbah Jum'at, di Gereja, dan tokoh-tokoh adat, pendidikan ekstrakulikuler tentang kebakaran dan lingkungan di Sekolah Dasar, kampanye pencegahan kebakaran melalui pemutaran film dan video, kampanye pencegahan kebakaran di TVRI, dan pencegahan lewat leaflet dan brosur untuk desadesa sekitar hutan Mawas. Secara keseluruhan masyarakat bersedia menerima semua pola pencegahan kebakaran melalui pendidikan dan peningkatan kesadaran terhadap pentingnya mencegah kebakaran. Chandler et al. (1983) mengatakan bahwa jika 7 (tujuh) unsur
pencegahan tersebut dapat diaplikasikan maka proses pencegahan kebakaran dapat berjalan menuju keberhasilan. C. Pengalaman Masyarakat tentang Penegakan Hukum Kebakaran Upaya penegakan hukum oleh pemerintah khususnya tentang kebakaran masih sangat lemah ditandai oleh belum pernah ada orang yang ditangkap atau dinasehati akibat pelanggaran pembakaran. Hal tersebut dinyatakan oleh 96,7% responden (Tabel 4). Hanya 3,3% adanya peneguran atau nasehat untuk tidak melakukan pembakaran lahan sembarangan. Selanjutnya hanya 46,7% penduduk yang pernah mengikuti penyuluhan aturan pembakaran di 5 (lima) desa contoh, sedangkan 53,3% penduduk belum pernah memperoleh penyuluhan tentang aturan membakar lahan. Data tersebut di atas menunjukkan bahwa sosialisasi hukum oleh pemerintah tentang kebakaran dan penindakan pelanggaran pembakaran di desa-desa sekitar kawasan hutan Mawas masih nampak lemah.
293
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.5, Desember 2011, 287 - 300
Tabel (Table) 4. Pengalaman masyarakat tentang penerapan hukum, mengikuti penyuluhan aturan, adanya patroli, dan keberadaan RPK di 5 Desa sekitar Hutan Mawas (Society experient about law enforcement, participate elucidation, patroli, existence of RKP in five villages around Mawas Forest) Tingkat pengalaman (experient) Penerapan hukum Pernah Tidak pernah Mengikuti penyuluhan Pernah Tidak pernah Ada patroli Ada Tidak ada Keberadaan RPK Tahu Tidak Tahu
Mantangai Hilir
Jumlah responden (Orang) Lawang Katunjung Madara Kajang
Total (orang)
Persen (%)
1 47
1 47
0 48
2 46
4 44
8 232
3,3 96,7
25 23
36 12
5 43
16 32
30 18
112 128
46,7 53,3
30 18
32 16
34 14
9 39
41 7
146 94
60,8 39,2
34 14
38 10
43 5
39 9
43 5
197 43
82,1 17,9
Pada bagian lain sekitar 60,8% masyarakat telah mengetahui adanya kegiatan patroli lingkungan yang dimotori Regu Pengendali Kebakaran (RPK) di Desa pada musim kemarau. RPK merupakan organisasi sosial masyarakat yang telah berperan di dalam pengendalian api kecil hingga sedang di wilayah desa. Patroli lingkungan tersebut utamanya diarahkan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan, sementara hanya 39,2% penduduk yang tidak mengetahui adanya kegiatan patroli lingkungan di musim kering. Dari sini nampak bahwa peran RPK di masyarakat telah dikenal. Kondisi tersebut lebih dikuatkan lagi dengan pengetahuan masyarakat tentang RPK Desa yang telah dikenal oleh 82,1% penduduk. Hanya 17,9% penduduk yang tidak mengenal adanya RPK. Atas dasar itu seyogyanya RPK di Desa perlu disinambungkan keberadaannya, dimantapkan programnya, dan dilengkapi peralatan pemadam kebakarannya oleh Pemerintah atau pihak pengelola. D. Respon Masyarakat terhadap Inovasi Rekayasa Teknologi Hasil survey menunjukan terdapat perbedaan nyata antara respon masyarakat
294
Batampang
hasil observasi dengan respon harapan di 5 (lima) desa contoh dalam hal menyukai pembuatan sekat bakar pencegah api liar pada ladang masing-masing. Api liar dimaksud adalah api baik yang dapat meloncat saat melakukan pembakaran terkendali (prescribe burning) maupun api liar yang datang dari luar lokasi ladang. Rata-rata 41 dari 48 responden (85,4%) menyukai pembuatan sekat bakar karena penting untuk mencegah api liar. Hanya 14,6% atau 7 dari 48 responden menyatakan tidak suka karena mereka menganggap sudah aman (Tabel 5). Sebagian besar penduduk menyukai melaksanakan pembersihan bahan bakar di ladang saat menjelang musim kemarau dan sistem pembakaran ladang secara bergiliran serta kegiatan patroli bahaya kebakaran dan lingkungan di desa pada saat musim kering. dengan alasan untuk menjamin keamanan ladangnya masing-masing dari tidak terkendalinya pembakaran dan menjaga kebiasaan yang sudah turun-temurun. Berbeda dengan respon terhadap penerapan teknologi pencegahan kebakaran sebelumnya bahwa untuk sementara masyarakat sekitar hutan mawas sebagian besar
Studi Sumber Penyebab Terjadinya Kebakaran dan Respon Masyarakat dalam Rangka Pengendalian Kebakaran Hutan Gambut di Areal Mawas Kalimantan Tengah Acep Akbar, Sumardi, Rishadi dan Sambas S.
sementara kurang diminati oleh sebagian besar penduduk dengan alasan jika didalam ladang ditanami jenis pohon hutan mereka khawatir ladangnya kembali menjadi hutan.
tidak suka dengan melaksanakan pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) dengan alasan teknologi tersebut tidak praktis dan perlu banyak tenaga dan biaya. Demikian pula pola tanam campuran agroforestry
Tabel (Table) 5. Pendapat masyarakat tentang inovasi rekayasa teknologi (Society opinion about technology engineer inovation)
No
1 2 3 4 5 6 7 8
Mantangai Jenis Inovasi Hilir Tidak Suka suka Pembuatan 28 20 sekat bakar Reduksi 27 21 bahan bakar Patroli 29 19 kebakaran Bakar 26 22 bergiliran PLTB 22 26 Pola tanam agroforestry Peringatan dini Bantuan alat pemadam sederhana
Respoden Desa (orang) Lawang Katunjung Madara Batampang kajang Tidak Tidak Tidak Tidak Suka Suka Suka Suka suka suka suka suka 47 1 46 2 39 9 45 3
Xt²
41,79
9,49
46
2
44
4
41
7
47
1
44,50
9,49
48
0
45
3
40
8
48
0
22,06
9,49
46
2
43
5
39
9
45
3
39,22
9,49
15
33
17
31
19
29
7
41
11,41
9,49
25
23
16
32
16
32
21
27
5
43
20,73
9,49
43
5
48
0
48
0
43
5
48
0
15,65
9,49
48
0
44
4
47
1
48
0
42
6
13,48
9,49
Berdasarkan Tabel 5, pada umumnya penduduk menyenangi adanya peringatan bahaya kebakaran dari pemerintah serta pengharaan Sikap/Komitmen
RESPONDEN
Xh²
adanya bantuan peralatan pemadaman dini sederhana untuk Regu Pengendali Kebakaran (RPK) desa. Argumentasi
Menyetujui Pembuatan Sekat Bakar
Mencegah api liar masuk ladang dan untuk pembakaran terkendali
Menyetujui reduksi bahan bakar
Jika ada api mudah dimatikan
Menolak persiapan lahan tanpa bakar (PLTB)
Membakar itu praktis,murah&mudah dikendalikan
Setuju bantuan alat pemadam sederhana dan Pompa Statis
Untuk pemadaman dini api liar di Desa
Gambar (Figure) 2. Sikap responden terhadap inovasi rekayasa teknologi dan argumentasinya (Respondent's perception on engineering technology innovation and its argument)
295
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.5, Desember 2011, 287 - 300
1. Uji homogenitas
E. Pengaruh Sikap Menerima Inovasi Pendidikan terhadap Tinggi dan Muatan Bahan Bakar Ladang
Asumsi pada analisis ini adalah bahwa data memiliki varian dan kovarian yang sama. Dengan menggunakan uji kesamaan varian Laven's untuk mengetahui kesamaan varian antara kelompok data, diperoleh bahwa signifikansi variabel tinggi bahan bakar adalah 0,084 dan muatan bahan bakar 0,587. Karena signifikansi > 0,05, disimpulkan bahwa varian kelompok data adalah sama untuk kedua variabel tersebut, jadi asumsi homogenitas terpenuhi. Tabel 6 memperlihatkan data dasar sikap menerima dan tinggi serta muatan bahan bakar bawah ladang. Data statistik deskriptif dari sikap, tinggi, dan muatan bahan bakar disajikan dalam Tabel 7.
Data hasil observasi lapangan dan analisis multivariate menunjukan bahwa sikap responden berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi dan muatan bahan bakar di ladangnya. Kelompok responden yang suka inovasi pendidikan/ penyuluhan ternyata memiliki ladang berbahan bakar lebih jarang (ringan) dan rendah dibandingkan dengan responden yang tidak suka dan sangat tidak suka dalam menerima penyuluhan/ pendidikan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kelompok masyarakat yang menerima inovasi berarti memang sudah berdisiplin dalam memelihara ladangnya. Melalui uji yang digunakan dengan asumsi homogenitas, Uji multivariate, dan dan uji hipotesis menggunakan program SPSS diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel (Table) 6. Nilai sikap terhadap Inovasi dari penduduk hubungannya dengan tinggi dan muatan Bahan Bakar pada Ladang (Attitude value of the people on innovation having dial with fuel height and load) No
Sikap Menerima
Tinggi Bahan bakar (cm)
Muatan Bahan Bak ar (gram/m²)
1
3
20
1.000
2
1
155
1.250
3
3
30
1.007
4
3
25
1.005
5
3
27
1.010
6
2
70
1.100
7
3
30
985
8
2
75
1.100
9
3
25
900
10
1
130
1.205
11
3
35
1.005
12
2
55
1.110
13
3
37
990
14
3
40
985
15
2
50
1.115
16
3
40
995
17
3
35
1.010
18
3
40
1.000
19
2
65
1.115
20
1
110
1.230
Keterangan (Remarks): Suka = 3, tidak suka = 2; sangat tidak suka = 1
296
Studi Sumber Penyebab Terjadinya Kebakaran dan Respon Masyarakat dalam Rangka Pengendalian Kebakaran Hutan Gambut di Areal Mawas Kalimantan Tengah Acep Akbar, Sumardi, Rishadi dan Sambas S.
terhadap kondisi bahan bakar. Dari Tabel 8 uji multivariate dapat diketahui bahwa signifikansi sikap menerima pendidikan semuanya lebih kecil dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh sikap/respon responden terhadap kondisi tinggi dan muatan bahan bakar. Sikap-sikap masyarakat yang diperoleh dalam penelitian ini mencerminkan tingginya partisipasi masyarakat dalam ide dan implementasi pencegahan kebakaran hutan.
2. Uji Multivariate Uji ini terdiri dari Pillai's Trace, Wilk's Lambda, Hotelling's Trace, dan Roys Largest Root (Tabel 8). Kriteria yang digunakan jika signifikansi < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh antara komitmen responden terhadap tinggi dan muatan bahan bakar ladangnya. Jika signifikansi > 0,05 maka tidak ada pengaruh nyata antara sikap suka tidak suka
Tabel (Table) 7. Statistik deskriptif hubungan antara sikap menerima inovasi pendidikan dengan tinggi dan muatan bahan bakar ladang (Descriptive statistic of responden's atitude, fuel height and weight in the field)
Tinggi BB
Muatan BB
Sikap Menerima Pendidikan Sangat t idak suka Tidak suka Suka Total Sangat tdk suka Tidak suka Suka Total
Mean
Std. Deviasi
N
131,67 63,00 32,00 54,70 1.228,33 1.108,00 991,00 1.055,85
22,546 10,368 6,809 37,174 22,546 7,583 30,003 93,038
3 5 12 20 3 5 12 20
Keterangan : BB = bahan bakar
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi masyarakat adalah : jenis kelamin, umur, pendidikan, kedudukan, jumlah keluarga, dan luasnya lahan yang dimiliki reponden (Wijayanto, 1999). Hasil analisis ter-
sebut sebagai pelengkap penelitian yang diperoleh dari penelitian partisipasi masyarakat dalam kegiatan reboisasi hutan lindung pasca kebakaran di lereng Gunung Merapi Yogyakarta.
Tabel (Table) 8. Uji multivariat pengaruh komitmen masyarakat terhadap tinggi dan muatan bahan bakar ladang (Multivariate test of community commitment on fuel haight and weight at the Field) Efek Intersep
Sikap_Men Pendidikan
Nilai
F
Pillai’s Trace Wilk’s Lambda Hotelling’s Trace Roy’s Largest Root Pillai’s Trace
0,999 0,001 1610,415 1610,415 1,216
12883,319(a) 12883,319(a) 12883,319(a) 12883,319(a) 13,196
Wilks’ Lambda Hotelling’s Trace Roy’s Largest Root
0,032 22,736 22,386
36,949(a) 85,261 190,283(b)
Hipotesis df 2,000 2,000 2,000 2,000 4,000 4,000 4,000 2,000
Error df
Sig
16,000 16,000 16,000 16,000 34,000
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
32,000 30,000 17,000
0,000 0,000 0,000
Keterangan : a = Exact statistic b = The statistic is an upper bound on F that yield a lower bound on the significance level c = Design: Intercept+Sikap_Men_Pendidikan
297
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.5, Desember 2011, 287 - 300
3. Uji Hipotesis Uji hipotesis digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tinggi dan muatan bahan
bakar antara tingkat suka, tidak suka, dan sangat tidak suka dari responden terhadap inovasi pendidikan (Tabel 9).
Tabel (Table) 9. Uji hipotesis tinggi dan muatan bahan bakar ladang dengan tabel “Test of BetweenSubjects Effects” (Hypothesis test of fuel haight and weight of fields using test of between subject affects) Source Corrected Model Intercept Sikap_Men_Pendidikan Error Total Corrected Total
Depende nt Type III Sum variable of Squares Tinggi_BB 24299,533(a) Muatan_BB 153315,883(b) Tinggi_BB 83315,315 Muatan_BB 17953211,53 Tinggi_BB 24299,533 Muatan_BB 153315,883 Tinggi_BB 1956,667 Muatan_BB 11148,667 Tinggi_BB 86098,000 Muatan_BB 22460849,00 Tinggi_BB 26256,200 Muatan_BB 164464,550
Df 2 2 1 1 2 2 17 17 20 20 19 19
Mean Square 1249,767 76657,942 83315,315 17953211,5 12149,767 76657,942 115,098 655,804
F
Sig
105,560 0,000 116,892 0,000 723,864 0,000 27375,883 0,000 105,560 0,000 116,892 0,000
Keterangan : R² = 0,925 (Adjusted R² = 0,917) R² = 0,932 (Adjusted R² = 0,924)
Ho = Artinya tidak ada perbedaan tinggi dan muatan bahan bakar ladang antara ladang milik responden yang suka, tidak suka, dan sangat tidak suka inovasi pendidikan. Ha = Artinya ada perbedaan tinggi dan muatan bahan bakar ladang milik responden dan yang suka,tidak suka, dan sangat tidak suka dengan inovasi pendidikan. Berdasarkan hasil Test of Between-Subjects Effects (Tabel 9) tentang sikap responden, diketahui signifikansinya sebesar 0,000 atau lebih kecil dari 0,05. Dengan demikian bahwa hipotesis nol ditolak, dengan kata lain ada perbedaan antara sikap responden yang suka, tidak suka, sangat tidak suka inovasi pendidikan dalam hal tinggi dan muatan bahan bakar pada ladangnya akibat perbedaan intensitas pemeliharaan. Data lapangan menunjukkan bahwa mereka yang tidak setuju inovasi pendidikan ternyata memiliki ladang kurang terpelihara ditandai dengan muatan bahan bakar yang berat yang mencerminkan rapat dan tinggi. Jenis-jenis bahan bakar pada ladang umumnya berupa gulma didominasi paku-pakuan, teki-tekian, dan alang-alang. Hubungannya dengan api kebakaran sebenarnya bahan bakar di lahan gambut adalah termasuk lapisan gambut (Aswin, 2005).
298
Pengalaman dan opini masyarakat sekitar hutan tentang pengguna api lahan sangat diperlukan agar sasaran pembinaan ketertiban lingkungan dan pencegahan kebakaran lebih terarah dan efektif. Sekalipun menggunakan angkatan bersenjata (TNI/POLRI), kebijakan kehutanan dan manajemen hutan, sebagian besar pemerintah telah gagal mengelola hutan tanpa masyarakat lokal ikut terlibat di dalamnya (Suyanto et al., 2004). Keterlibatan masyarakat tersebut meliputi kepemilikan lahan yang jelas dan partisipasi masyarakat lokal. Setiap mata pencaharian memiliki pandangan yang berbeda terhadap bahaya kebakaran. Dengan diketahuinya sumber-sumber penyebab kebakaran maka tindakan pembinaan dan penanggulangan akan lebih efektif (Suratmo, 2003, Chandler, 1983). Tidak mudah memperoleh informasi penyebab kebakaran adalah diperlukannya suatu pengakuan pelaku yang berkonsekuensi pada sanksi dalam menegakan hukum, kondisi ini. ditemui juga di Gambia (Dampha, 2001) dan di desa Wenyime, provinsi Yunan di China (Linchang, 2001). Cara pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui sumber-sumber penyebab kebakaran adalah dengan cara menggali informasi sumber-sumber api lahan yang bersifat rutin setiap tahun.
Studi Sumber Penyebab Terjadinya Kebakaran dan Respon Masyarakat dalam Rangka Pengendalian Kebakaran Hutan Gambut di Areal Mawas Kalimantan Tengah Acep Akbar, Sumardi, Rishadi dan Sambas S.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Sumber-sumber api utama lahan di masyarakat yang tertinggi adalah bersumber dari kegiatan petani ladang dan penangkap ikan. 2. Sebagian besar masyarakat tertarik melakukan pencegahan kebakaran hutan melalui pola-pola pendidikan dan penerapan rekayasa teknologi pencegahan kebakaran berupa peringatan dini dan bantuan alat pemadam sederhana (kisaran jumlah responden 42 - 48 orang per desa). 3. Regu Pengendali Kebakaran (RPK) yang telah terbentuk di desa telah diakui keberadaannya oleh sebagian besar masyarakat sehingga jika difungsikan sebagai lembaga kontrol kebakaran di tingkat desa tingkat keberhasilannya cukup tinggi. B. Saran 1. Pencegahan kebakaran hutan rawa gambut berbasis masyarakat perlu segera diterapkan di setiap desa dan kampung sekitar hutan rawa gambut Kalimantan Tengah dan kawasan konservasi Mawas. 2. Regu Pengendali Kebakaran (RPK) perlu dijadikan lembaga kontrol yang bersifat partisipatif sehingga perlu dilakukan fasilitasi pembentukan RPK di seluruh desa dan kampung dan pembinaannya. 3. Seorang Penyuluh pertanian dan kehutanan atau seorang tenaga khusus sebagai fasilitator masyarakat (Community facilitator) diperlukan di setiap desa sebagai inovator dan mediator antara masyarakat dengan pihak pemerintah dan pengelola hutan. DAFTAR PUSTAKA Almami, Dampha. 2001. Menegement of Forest Fire Through the Involvement of Local Communities : The Gambia. Forestry Departement. PO Box 405. Banjul. The Gambia Chandler, G. P. Cheney, P. Thomas, L. Trabaud, and D. Williams. 1983. Fire in Forestry. Forest Fire Management and Organisation. A Wiley-Intersciense Publicatgion. John Wiley & Sons. New York. Esthon L.Foenay.1999. Shifting Cultivation and Fire : A Challenge to NTT's Development.
Fire and Sustainable Agricultural and Forestry Development in Eastern Indonesia and Northern Australia. Aciar proceedings. Canbera. Gaspersz. V. 1991. Metode Perancangan Percobaan untuk Ilmu-Ilmu Pertanian, Ilmu-Ilmu Teknik, dan Biologi. Hal. 439446.(472). PenerbitArmico. Bandung. Heikkila T.V., R. Gronovist, and M. Jurveius. 1993. Hanbook on Forest Fire Control. Forestry Training Programme Publication 21. National Board of Education of The Government of Finland. Karki, S. 2002. Community Involvement and Management of Forest Fires in Southeast Asia. Project Fire Fight Southeast Asia. Bogor.Indonesia. http://www.pffsea.com. Lawrence, D. and W.H. Schlesinger. 2001. Change in Soil Phosphorus During 200 years of Shifting Cultivation in Indonesia. Ecology 82: 2769-80. Linchang, Z., W. Long., Zhao. Y., and L. Caizhen. 2001. Community-Base Forest Fire Management in Wenyime village, Sanchahe Township, Dayao Country, Chuxiong Yi Autonomous Prefecture. Yunnan Province, China. Center for Community Development Studies (CS), Yunnan, China. Marbyanto. 2003. Pengembangan Program Pengelolaan Kebakaran Berbasis Masyarakat. Pengalaman Proyek IFFM di Kalimantan Timur. Prosiding workshop. Kerjasama SCKPFP-EU dan Pemda Kabupaten Banjar. Martapura. Marjuki. 2005. Metodologi Riset. Panduan Penelitian Bidang Bisnis dan Sosial. Penerbit Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII. Yogyakarta. Masihiro, Atsuko. and Sumantri. 1999. Mid-term Assessment of Participatory Green Belt Trials for Follow up development. International symposium. Impact of Fire and Human activities on Forest Ecosystem in the Tropics. TFRC-JICA. Samarinda. Muhadjir, N. 1992. Metodologi Penelitian Kualitatif. Telaah Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, Realisme Metaphisik. Penerbit Rake Sarasin. Yogyakarta.
299
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.5, Desember 2011, 287 - 300
Nawawi, H. dan M. Martini. 1994. Penelitian Terapan. Penerbit Gajah Mada University Press. Yogyakarta (271 Hal). Nurgiyantoro, B., Gunawan, dan Marzuki. 2000. Statistik Terapan untuk Penelitian IlmuIlmu Sosial. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 357 Hal. (20-25). Priyatno, D. 2009. SPSS Untuk Analisis Korelasi, Regresi, dan Multivariate. Penerbit Gaya Media. Hal 119-141 (162). Puspitasari, DE. 2007. Aspek Hukum Penanganan Kebakaran Hutan di Indonesia. Mimbar Hukum. Vol.19 No.1. Saharjo B.H. , Endang A., Husaeni, Kasno, and. Hiroyuki Watanabe. 2000. Management of Fuel and Fire in Preparing Land for Forest Plantation and Shifting Cultivation. ACIAR Proceedings. No.01. Canbera. Saharjo B.H. 2004. Profil Daerah Potensial Penghasil Hotspot dan Sumbernya Menurut RTRWP di Provinsi Kalimantan Selatan periode Juni-Desember 2003. South and Central Kalimantan Production Forest Project (SCKPFP). Draft Prosiding Kampanye Pengendalian Kebakaran Hutan. Banjarmasin. Singgih S. 2001. Aplikasi Excel dalam Statistik Bisnis. Hal. 121-159 (249). Penerbit P.T. Elex Media Komputindo. Kelompok Gramedia. Jakarta. Sungarimbun, M. dan Effendi S. 1985. Metode Penelitian Survey. LP3ES. Jakarta.
300
Suratmo, F.G.; E.A. Husaeni, N. Surati Jaya. 2003. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Pedoman Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan. Fahutan IPB. 503 Hal (55-98). Bogor. Suryabrata S. 1998. Metodologi Penelitian. P.T. Raja Grafindo Persada.115 hal. Jakarta. Suyanto, S., Rizki Pandu Permana, Noviana Khususiyah, and Laxman Joshi. 2004. Land Tenure. Agroforestry Adoption, and Reduction of Fire Hazard in a Forest Zone : A Case Study from Lampung. Sumatra. Indonesia. Tacconi, L. 2003. Fires in Indonesia, Causes, Costs and Policy Implications. Center For International Forestry Research (CIFOR). Booklet. Bogor. Indonesia. Usup, Aswin.2006. Strategi Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Masyarakat. Seminar Nasional tentang Pencegahan, Penanggulangan dan Penindakan Pelaku Pembakaran Hutan, Lahan dan Pekarangan, Palangka raya. Vockell., Edwar, L. 1983. Educational Research. New York. Macmillan Publishing Co. Wijaya, Tony. 2009. Analisis Structural Equation Modeling Menggunakan Amos. Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 196 hal. Yin, R.K. 2006. Studi Kasus: Desain dan Metode (Edisi Revisi, Ed 7). Raja Grafindo Persada. Jakarta.
JURNAL HUTAN LESTARI (2015) Vol. 3 (1) : 88 – 97
ZONASI DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN KUBU RAYA PROVINSI KALIMANTAN BARAT Zoning Area of Forest Fire in Kubu Raya District of West Kalimantan Abdul Jawad, Bachrun Nurdjali, Tri Widiastuti Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Jln. Imam Bonjol Pontianak 78124 E-mail :
[email protected]
ABSTRACT Kubu Raya district has common place of forest fire every dry season. Based from Unit Penanggulangan Hutan dan Lahan (UPKHL) of forestry of Ministry West Kalimantan Province data up to October 2013, there is 349 hotspots in Kabupaten Kubu Raya. Kubu Raya indeed susceptible of forest fires, it is cause by the terrain that dominated by peatlands that easily combusted. The purpose of this research is to identified and maping forest fire spot in Kubu Raya district based on parameter analysis of peat depth, elevation and land cover. Forest fire zone in Kubu Raya district identified using Geographic Information System application is done overlaying land cover data, elevation and peat depth wich has scoring. After analyzed, data suitable with danger level of spot/zone that base of combination divided into 5 level wich is save, low, medium, high and very high. The result of this analysis shown that Kubu Raya district area is 829,969.17 Ha, consist of 92,804,54 Ha (11.18%) very high, 349,681.47 Ha (42,13%) high zone, 339,352.39 Ha (40.8% ) medium zone, 38,271.98 Ha (4.61% ) low zone and 9,858.79 Ha (1.19%) save zone. Keywords: Hotspots, Geographic Information System. PENDAHULUAN Kebakaran hutan dan lahan menimbulkan berbagai dampak bagi kehidupan manusia. Syumanda (2003) mengemukakan dampak dari kebakaran hutan adalah (1) dampak sosial, budaya dan ekonomi, (2) dampak terhadap ekologis dan kerusakan lingkungan, (3) dampak terhadap hubungan antar negara serta (4) dampak terhadap perhubungan dan pariwisata. Kabupaten Kubu Raya telah menjadi langganan kebakaran lahan setiap memasuki musim kemarau. Menurut data Unit Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan (UPKHL) Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat sampai dengan bulan Oktober 2013, jumlah titik panas di Kabupaten Kubu Raya adalah
349 titik panas (hotspot). Kubu Raya memang rentan kebakaran hutan, karena kondisi lahannya didominasi lahan gambut sehingga mudah terbakar. Sesuai dengan keadaan tersebut, maka upaya pencegahan kebakaran merupakan hal yang mutlak diperlukan. Pencegahan kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain melalui : pengembangan sistem peringatan dini kebakaran, meningkatkan teknik pencegahan, pendidikan dan penyuluhan kepada seluruh lapisan masyarakat, penegakan hukum dan lain-lain. Identifikasi daerah bahaya kebakaran hutan dan lahan dengan aplikasi Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Kubu Raya dilakukan dengan tumpang susun
88
JURNAL HUTAN LESTARI (2015) Vol. 3 (1) : 88 – 97
data penutupan lahan, data ketinggian tempat dan data kedalaman gambut yang masing-masing telah diberi nilai skoring. Setelah dilakukan analisis akan terpilih data sesuai skoring tingkat bahaya suatu daerah/wilayah yang ditentukan oleh nilai berbagai kombinasi parameter-parameter tersebut. Tingkat bahaya kebakaran berdasarkan hasil kombinasi berbagai faktor tersebut di atas disajikan dalam lima kelas yaitu tidak rawan, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi Penelitian ini bertujuan untuk identifikasi dan pemetaan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kubu Raya berdasarkan analisis parameter kedalaman gambut, ketinggian tempat dan penutupan lahan. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi, Waktu dan Alat Penelitian Penelitian dilaksanakan di wilayah Kabupaten Kubu Raya. Pengumpulan dan pengolahan data serta analisis spasial dilakukan di kantor Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah III Pontianak. Waktu penelitian 2 (dua) bulan. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : data hotspot, peta penutupan lahan, peta administrasi, peta lahan gambut, data model elevasi digital (DEM), alat tulis menulis, GPS, computer dengan perangkat lunak ArcGIS versi 10, printer dan kertas kwarto untuk bahan pelaporan.
B. Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Data Hotspot Pengumpulan data berupa hotspot diperoleh dari Unit Penangulangan Kebakaran Hutan dan Lahan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat. Data titik panas merupakan hasil interpretasi pada citra satelit NOAA yang berupa titik. Data titik panas yang digunakan meliputi data tahun 2010 sampai dengan dengan bulan Oktober tahun 2013. Format yang digunakan adalah text file sehingga belum dapat digunakan langsung untuk analisis spasial. Untuk itu diperlukan suatu langkah konversi dari text file menjadi shape file. 2. Kelas Penutupan Lahan Data penutupan lahan diperoleh dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah III Pontianak yang merupakan hasil interpretasi Citra Landsat ETM + 7. Untuk tipe vegetasi atau penutupan lahan pemberian bobot dilakukan berdasarkan kepada kepekaan tipe vegetasi yang bersangkutan terhadap terjadinya kebakaran. Nilai bobot 1 diberikan kepada tipe vegetasi yang sangat peka yaitu yang sangat mudah terbakar, sampai nilai 7 untuk sulit terbakar. Di sini pembobotan mengacu pada klasifikasi dan pembobotan yang dilakukan oleh Ruecker 2002 dalam Sabaraji (2005), seperti terlihat pada Tabel 1.
89
JURNAL HUTAN LESTARI (2015) Vol. 3 (1) : 88 – 97
Tabel 1. Skor Kelas Penutupan Lahan (Land Cover Score) No 1
Penutupan Lahan
Skor Keterangan
Semak Belukar, Pertanian Lahan Kering Primer, Pemukiman/Transmigrasi, Sawah
1
Belukar Rawa, Hutan Lahan Kering Sekunder, Hutan Tanaman Industri, Pertanian Lahan Kering + Semak 3 Hutan Rawa Sekunder, Perkebunan 4 Hutan Lahan Kering Primer, Hutan Rawa Primer 5 Hutan Mangrove Sekunder 6 Hutan Mangrove Primer, Pertambangan 7 Tambak, Tanah Terbuka, Bandara, Rawa, Tubuh Air Sumber : Ruecker dalam Sabaraji (2005) 2
3. Kelas Ketinggian Tempat Data ketinggian tempat diturunkan dari DEM dengan menggunakan prosedur Spatial Analysis > Reclasiffy. Pada tempat-tempat yang rendah dikatakan mempunyai potensi yang tinggi untuk mudah terbakar dan diberi
2 3 4 5 6 7
nilai bobot 1, seterusnya pada tempat yang lebih tinggi akan lebih sulit terbakar, sampai pada tempat tertinggi diberi nilai bobot 6 (Ruecker 2002 dalam Sabaraji 2005). Penentuan skor kelas ketinggian tempat ditentukan dengan menggunakan Tabel 2.
Tabel 2. Skor Kelas Ketinggian Tempat (Elevation Score)
No
Ketinggian Tempat
1 < 50m 2 50m – 100m 3 100m – 200m 4 200m – 500m 5 500m – 1.000m 6 > 1.000m Sumber : Ruecker dalam Sabaraji (2005) 4. Tingkat Kedalaman Gambut Data lahan gambut diperoleh dari peta unit lahan yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan peta penyebaran gambut wetland. Gambut tipis akan lebih rawan terbakar bila dibandingkan dengan gambut tebal. Gambut tipis yang terbakar akan lebih mudah sekali rusak dan akan hilang. Sifat ini menyebabkan
Skor
Keterangan
1 2 3 4 5 6 gambut yang dalam keadaan kering bercerai berai dan tidak dapat kembali ke kondisi semula (kompak) walau gambut tersebut dibasahi (Suyanto et. al., dalam Septicorini 2006). Oleh karena itu gambut tipis memiliki potensi yang tinggi untuk terbakar diberi nilai skor 1, dan gambut sangat tebal diberi nilai skor 4.
90
JURNAL HUTAN LESTARI (2015) Vol. 3 (1) : 88 – 97
Tabel 3. Skor Kelas Kedalaman Gambut (Peat Depth Score) No Kedalaman Gambut Skor Keterangan 1 Sangat tipis < 50 cm 1 2 Tipis 50 cm – 100 cm 2 3 Sedang 100 cm –200 cm 3 4 Tebal > 200 cm 4 Sumber : Suyanto et. al., dalam Septicorini (2006) menggunakan fasiltas Geoprosessing 5. Pembuatan Peta Daerah Rawan dengan input data kedalaman gambut, Kebakaran Hutan dan Lahan ketinggian tempat, dan penutupan Peta Rawan Kebakaran merupakan lahan. model spasial yang digunakan untuk mempresentasikan kondisi di lapangan terkait dengan resiko terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Oleh karena itu, memahami faktor-faktor penyebab dan perilaku kebakaran merupakan hal yang sangat utama di dalam melakukan permodelan ini (Solichin, L. dkk, 2007). Model ini dibuat menggunakan aplikasi GIS untuk memudahkan proses overlay antar faktor-faktor penyebab dan perilaku kebakaran merupakan hal yang sangat utama di dalam melakukan permodelan ini. Rawan Kebakaran = {40% x (Penutupan Lahan)} + {30% x (Lahan Gambut)} + {30% x (Elevasi)} Sumber : Solichin, L. dkk, 2007 Untuk memetakan kelas daerah bahaya kebakaran hutan dan lahan
Ketiga data tersebut digabung dengan menggunakan merge theme together, lalu dijumlahkan skoring pada setiap data dengan field calculator, kemudian dilakukan analisis dissolve akan terpilih data sesuai skoring tingkat bahaya kebakaran hutan dan lahan Tingkat bahaya suatu daerah/ wilayah ditentukan dari nilai kombinasi berbagai parameter tersebut. Tingkat bahaya berdasarkan hasil kombinasi berbagai faktor tersebut disajikan dalam lima kelas yaitu tidak rawan, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Kelas bahaya kebakaran hutan dan lahan ditentukan oleh penjumlahan dari semua nilai / bobot parameter penyusunannya dengan kisaran sebagaimana disajikan Tabel 4.
Tabel 4. Skoring Tingkat Bahaya Kebakaran Hutan dan Lahan (Forest Fire Level Score) No Tingkat Bahaya Kebakaran Hutan Nilai 1 Tidak Rawan 5 2 Rendah 4 3 Sedang 3 4 Tinggi 2 5 Sangat Tinggi/Rawan 1 Sumber : Solichin, L. dkk (2007)
91
JURNAL HUTAN LESTARI (2015) Vol. 3 (1) : 88 – 97
6. Evaluasi/Verifikasi Daerah rawan kebakaran dari hasil peta analisa tumpang susun (overlay) kemudian dievaluasi atau verifikasi. Verifikasi menggunakan data hotspot (titik panas) yang diperoleh dari Unit Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat. Selain itu dilakukan pengecekan terhadap kondisi lapangan dari ketebalan gambut, ketinggian tempat dan penutupan lahan setelah pengolahan data dan peta. C. Analisis Data Analisis data secara deskriptif dan tabulasi sesuai data yang diperoleh dari hasil verifikasi menggunakan data titik panas dan pengecekan lapangan berupa kondisi lahan gambut, ketinggian dan penutupan lahan. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk mengetahui zone-zone bahaya kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kabupaten Kubu Raya dilakukan dengan tumpang susun terhadap peta penutupan lahan/vegetasi, peta ketinggian tempat dari permukaan
laut dan peta tingkat kedalaman gambut. Berdasarkan tumpang susun terhadap parameter tersebut di atas menunjukan potensi bahaya kebakaran dalam klasifikasi sangat tinggi/rawan umumnya berada di Kecamatan Kubu, Sungai Kakap dan Sungai Raya. Sedangkan potensi bahaya kebakaran yang tinggi dan sedang umumnya tersebar merata di seluruh kecamatan, sebagian kecil berpotensi tidak rawan yaitu di wilayah Kecamatan Terentang dan Sungai Ambawang. Hasil analisis spasial menunjukkan lebih kurang seluas 92.804,54 ha (11,18%) wilayah Kabupaten Kubu Raya mempunyai potensi bahaya kebakaran hutan dan lahan dengan tingkat sangat tinggi/ rawan, sekitar seluas 349.681,47 ha (42,13%) dengan tingkat bahaya kebakaran tinggi dan sekitar seluas 339.352,39 ha (40,8%) dengan tingkat bahaya kebakaran sedang. Untuk mengetahui sebaran zonasi/daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kubu Raya disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 1.
Tabel 5. Luas Areal Zona Tingkat Bahaya Kebakaran Hutan dan Lahan (Total Area Forest Fire Level Score) Kecamatan Batu Ampar
Tingkat Bahaya Kebakaran (Ha) Tidak Rawan
Rendah
Sedang
Tinggi
Rawan
Luas Areal
827,75
13.330,22
97.040,41
84.164,45
5.598,73
Kuala Mandor
0,00
504,36
15.574,47
19.378,15
4.773,84
40.230,83
Kubu
0,15
14.374,69
55.004,95
67.085,10
24.047,89
160.512,79
Rasau Jaya S. Ambawang S. Kakap S. Raya Teluk Pakedai Terentang Jumlah
200.961,55
0,00
226,40
4.503,97
10.094,79
7.648,53
22.473,69
5.744,28
1.082,31
48.176,56
54.338,91
3.377,48
112.719,54
0,00
1.363,41
7.006,90
21.180,49
22.540,10
52.090,91
671,44
1.600,28
41.672,88
46.280,38
17.741,63
107.966,62
0,00
1.345,54
12.094,41
20.309,12
6.653,67
40.402,73
2.615,17 9.858,79
4.444,77 38.271,98
58.277,83 339.352,39
26.850,09 349.681,47
422,66 92.804,54
92.610,52 829.969,17
92
JURNAL HUTAN LESTARI (2015) Vol. 3 (1) : 88 – 97
Gambar 1. Peta Zonasi Daerah Kebakaran Hutan dan Lahan (Zoning Area of Forest Fire Map)
93
JURNAL HUTAN LESTARI (2015) Vol. 3 (1) : 88 – 97
Untuk mengevaluasi zonasi/daerah rawan kebakaran hutan dan lahan diverifikasi dengan data sebaran hotspot
tahun 2010 sampai dengan bulan Oktober tahun 2013 seperti yang dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Jumlah Hotspot pada Zona Tingkat Bahaya Kebakaran Hutan dan Lahan (Total Hotspot of Forest Fire Level Score) Tingkat Bahaya Kebakaran Tidak Rawan Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi/Rawan Total
2010 2 9 22 5 38
Hotspot 2011 2012 6 6 31 21 56 101 143 209 54 41 290 378
Berdasarkan data tersebut sebaran hotspot pada umumnya terjadi pada wilayah atau zona dengan klasifikasi tingkat bahaya kebakaran hutan dan lahan tinggi (51,76%) dan sedang (26,50%), sedangkan pada klasifikasi tingkat bahaya kebakaran hutan dan lahan rendah dan tidak rawan hanya ditemukan 8,64%. Untuk klasifikasi tingkat bahaya kebakaran hutan dan lahan sangat tinggi/rawan adalah 13,11% dari seluruh jumlah hotspot. Hal ini menunjukkan bahwa zona bahaya kebakaran hutan dan lahan yang dibuat mempunyai hubungan yang positif atau cukup erat dengan terjadi kebakaran vegetasi (hutan dan lahan), terbukti dengan banyaknya ditemukan titik panas (hotspot) pada wilayah atau zona bahaya kebakaran baik pada klasifikasi bahaya sedang sampai dengan sangat tinggi/rawan. Sebaliknya pada zona bahaya kebakaran tidak rawan dan rendah hanya ditemukan sedikit hotspot. Berdasarkan analisis spasial terhadap penutupan lahan, ternyata penutupan
2013 7 18 113 171 38 347
Total 19 72 279 545 138 1.053
Rasio (%) 1,80 6,84 26,50 51,76 13,11 100
lahan/vegetasi Belukar, Sawah dan Pertanian Lahan Kering Sekunder merupakan vegetasi yang paling peka terhadap bahaya kebakaran dibanding jenis penutupan lahan lainnya, hal ini karena jenis penutupan lahan tersebut mengandung banyak bahan bakar ringan dan umumnya relatif kering karena kelembaban lingkungannya rendah. Menurut Anderson dkk (1999) dalam Sabaradji (2005) bahwa jenis vegetasi padang rumput dan semak belukar tingkat bahaya kebakarannya sangat tinggi. Data analisis hotspot pada setiap jenis penutupan lahan tertera pada Tabel 7. Analisis spasial terhadap ketinggian tempat, diketahui bahwa titik panas umumnya terdapat pada ketinggian tempat < 50 m dpl (5,60%) dan pada ketinggian tempat antara 50 m – 100 m dpl (93,73%), sedangkan pada ketinggian tempat di atas 100 m dpl jumlah hotspot sangat kecil. Hal ini menunjukkan pada kisaran ketinggian tempat tertentu ada kecenderungan jumlah hotspot besar, namun semakin besar ketinggian dari permukaan laut jumlah hotspot menjadi semakin menurun, ini 94
JURNAL HUTAN LESTARI (2015) Vol. 3 (1) : 88 – 97
berarti pula ada faktor lain yang berpengaruh lebih kuat dalam peristiwa kebakaran. Data analisis hotspot
berdasarkan tingkat ketinggian disajikan pada Tabel 8.
Tabel 7. Jumlah Hotspot berdasarkan Jenis Penutupan Lahan/Vegetasi (Total Hotspot of Land Cover Score) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Penutupan Lahan Belukar Rawa Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Mangrove Primer Hutan Mangrove Sekunder Hutan Rawa Primer Hutan Rawa Sekunder Perkebunan Pemukiman Pertambangan Pertanian Lahan Kering Primer Pertanian Lahan Kering Sekunder Rawa Sawah Semak/Belukar Tambak Tanah Terbuka Transmigrasi Tubuh air Jumlah
Penutupan lahan pada ketinggian tempat yang rendah umumnya didominasi oleh vegetasi yang peka atau mudah terbakar seperti Semak Belukar, Sawah dan Pertanian Lahan Kering Sekunder.
Kelas/Bobot 2 2 6 5 4 3 3 1 6 1 2 7 1 1 7 7 1 7
Total Hotspot 175 10 14 7 314 120 2 17 117 1 185 2 86 3 1.053
Rasio (%) 16,62 0,95 1,33 0,66 29,82 11,40 0,19 1,61 11,11 0,10 17,57 0,19 8,17 0,28 100
Menurut Solichin (2002) menyatakan faktor ketinggian tempat dan aksesibilitas mempunyai pengaruh yang kuat dalam kejadian kebakaran.
Tabel 8. Jumlah Hotspot berdasarkan Kelas Ketinggian (Total Hotspot of Elevation Score) No. Ketinggian Tempat Kelas/Bobot Total Hotspot Rasio (%) 5,60 1. < 50 m 1 59 93,73 2. 50 m - 100 m 2 987 0,19 3. 100 m - 200 m 3 2 0,19 4. 200 m - 500 m 4 2 0,29 5. 500 m - 1.000 m 5 3 6. > 1.000 m 6 Jumlah 100 1.053
95
JURNAL HUTAN LESTARI (2015) Vol. 3 (1) : 88 – 97
Hasil analisis spasial terhadap tingkat kedalaman gambut, diketahui bahwa titik panas paling banyak terjadi pada tingkat kedalaman gambut sangat tipis yaitu kurang dari 50 cm (47,49%) dan tingkat kedalaman gambut sedang yaitu 100 – 200 cm (30,01%). Kondisi demikian menunjukkan bahwa perbedaan tingkat kedalaman gambut mempengaruhi kemudahan terbakar dan
tingkat kerusakannya. Hal ini sesuai dengan Septicorini, 2006, dimana perbedaan tingkat kedalaman gambut mempengaruhi kemudahan terbakar dan tingkat kerusakannya, gambut tipis akan lebih mudah terbakar bahkan akan habis terbakar. Data analisis hotspot berdasarkan tingkat kedalaman gambut dapat dilihat pada Tabel 9 berikut.
Tabel 9. Jumlah Hotspot berdasarkan Tingkat Kedalaman Gambut (Total Hotspot of Peat Depth Score) No. Kedalaman Gambut Kelas/Bobot Total Hotspot Rasio (%) 1. Sangat Tipis (< 50 cm) 1 500 47,49 2. Dangkal/Tipis (50 -100 cm) 2 105 9,97 3. Sedang (100 - 200 cm) 3 316 30,01 4. Dalam/Tebal ( 200 - 400 cm) 4 89 8,45 5. Sangat Dalam (> 400 cm) 5 43 4,08 Jumlah 1.053 100 KESIMPULAN Dari hasil analisis penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Luas wilayah Kabupaten Kubu Raya 829.969,17 Ha, seluas 92.804,54 Ha (11,18%) adalah daerah/zone dengan tingkat bahaya kebakaran hutan dan lahan sangat tinggi/rawan, seluas 349.681,47 Ha (42,13%) dengan tingkat bahaya kebakaran hutan dan lahan tinggi, seluas 339.352,39 Ha (40,8%) dengan tingkat bahaya kebakaran hutan dan lahan sedang, seluas 38.271,98 ha (4,61%) dengan tingkat bahaya kebakaran hutan dan lahan rendah dan seluas 9.858,79 ha (1,19%) dengan tingkat bahaya kebakaran hutan dan lahan tidak rawan. 2. Daerah/Zona bahaya kebakaran hutan dan lahan pada tingkat sangat tinggi/rawan terluas adalah Kecamatan
Kubu, Kecamatan Sungai Kakap dan Kecamatan Sungai Raya. Untuk zona bahaya kebakaran hutan dan lahan dengan tingkat tinggi, sedang dan rendah tersebar di seluruh wilayah kecamatan Kabupaten Kubu Raya. Zona bahaya kebakaran hutan dan lahan pada tingkat tidak rawan, tidak terdapat di Kecamatan Rasau Jaya, Sungai Kakap dan Teluk Pakedai, hal ini menunjukkan bahwa kecamatan tersebut berada dalam zona bahaya kebakaran hutan dan lahan tingkat rendah sampai dengan sangat tinggi. 3. Terjadi perubahan penutupan lahan dari vegetasi yang sulit terbakar menjadi vegetasi yang lebih peka atau mudah terbakar yang disebabkan oleh pembukaan areal perkebunan dan aktivitas manusia. 4. Aktivitas manusia dalam usaha pemanfaatan lahan menjadi faktor 96
JURNAL HUTAN LESTARI (2015) Vol. 3 (1) : 88 – 97
yang penting dalam terjadinya kebakaran hutan dan lahan, tetapi manusia juga dapat mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kubu Raya. DAFTAR PUSTAKA Dinas Kehutanan Prop. Kalbar, 2012 . Akuntabilitas Titik Panas (Hotspot) Tahun 2012 Propinsi Kalimantan Barat. Pontianak. ESRI, 2002. ArcGIS 9: Using ArcGIS Spatial Analyst. Prahasata, E., 2001. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Informatika. Bandung.
Sabaraji, A, 2005. Identifikasi Zone Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan dengan Aplikasi SIG di Kabupaten Kutai Timur. Universitas Mulawarman. Samarinda. Septicorini, E. P. 2006. Studi Penentuan Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan Di Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Solichin, L. Tarigan, P. Kimman, B. Firman dan R. Bagyono, 2007. Sistem Informasi Kebakaran – Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran. Palembang.
97