PAKET INFORMASI TERSELEKSI
LINGKUNGAN Seri: Kerusakan Alam
S
alah satu alasan kenapa masih rendahnya jumlah dan mutu karya ilmiah Indonesia adalah karena kesulitan mendapatkan literatur ilmiah sebagai sumber informasi.Kesulitan mendapatkan literatur terjadi karena masih banyak pengguna informasi yang tidak tahu kemana harus mencari dan bagaimana cara mendapatkan literatur yang mereka butuhkan. Sebagai salah satu solusi dari permasalahan tersebut adalah diadakan layanan informasi berupa Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT). Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) adalah salah satu layanan informasi ilmiah yang disediakan bagi peminat sesuai dengan kebutuhan informasi untuk semua bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam berbagai topik yang dikemas dalam bentuk kumpulan artikel dan menggunakan sumber informasi dari berbagai jurnal ilmiah Indonesia. Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) ini bertujuan untuk memudahkan dan mempercepat akses informasi sesuai dengan kebutuhan informasi para pengguna yang dapat digunakan untuk keperluan pendidikan, penelitian, pelaksanaan pemerintahan, bisnis, dan kepentingan masyarakat umum lainnya. Sumber-sumber informasi yang tercakup dalam Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) adalah sumber-sumber informasi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan karena berasal dari artikel (full text) jurnal ilmiah Indonesia dilengkapi dengan cantuman bibliografi beserta abstrak.
DAFTAR ISI ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN UNTUK PENGENDALIAN EROSI TANAH DI SUB-DAS WURYANTORO DTA WADUK GAJAH MUNGKUR, WONOGIRI, JAWA TENGAH
Senawi Jurnal ilmu kehutanan, Vol. 3, No. 2, 2009:95-107 Abstract: The research aims to recommend optimum land use allocation that can control soil surface erosion in Wuryantoro sub-watershed. The research was done using land evaluation approach to land unit and analyzed based on area function allocation, land capability classification, and erosion hazard rate. Optimization analysis on land use allocation was done statistically through linear program simplex method using QSB software. The results showed that actual land use caused actual soil surface erosion (A) of Wuryantoro sub watershed was higher than tolerable erosion (T) threshold. Optimization analysis recommends that to control actual soil surface erosion (A) to be lower than tolerable erosion (T) threshold, it is needed to convert all actual land uses of groves and croplands to forest. Actual land uses of production forests, community forests, irrigated farmlands, rain feed farmlands, and residential s could still be kept remain as they were.
ASPEK EROSIVITAS HUJAN DALAM KONSERVASI TANAH DAN AIR
Jeanne E. lengkong; Rafli I. Kawulusan Soil environment, Vol. 7, No. 1, 2009:69-72
Abstract: Erosion is the loss of soil or eroding of soil and transported from one place to other place. In wet tropical zone, cause of the happening of erosion is rain, where rain breaks the soil aggregate and transports it. Nature of rain influencing erosion is rain intensity, sum up the rainfall, speed fall the rain item, form the item of rain and kinetic energy of rain.
i
Pilih/klik judul untuk melihat full text
BAHAYA LONGSOR & CARA PENANGGULANGANNYA
Surendro, Bambang . Jurnal Penelitian Inovasi, Vol. 21, No. 1, 2004: 105-117 Abstract: Whenever a mass of soil has an inclined surface, the potential always exists for part of the soil mass slide from a higher location to lower location. Sliding will accur if shear stresses developed in the soil exceed the corresponding shear strength of the soil. This phenomenon is of importance in the case. The principle stated above, that sliding will accur if sher stresses developed in the soil exceed the corresponding shear strength the soil possesses is the simple theory, but certain practical consederations make precise stability analysis of slopes difficult in practice. In the first place, sliding may occur along a number of possible surfaces. in the second place, the shear strength of a given soil generally varies throughout time, as soil moisture and aother factor change. Obvioussly, stability analysis should be done using the smallest shear strength the soil will ever have in the future There are two techniques available for stability analysis i.e analysis of soil mass resting on an inclined layer of impermeable soil and the other analysis of stability for homogeneous soil. The first is known as the Culmann method, and the second might be called the stability number methode.
DAFTAR ISI BENCANA TANAH LONGSOR DI KECAMATAN LEMBAH GUMANTI, KABUPATEN SOLOK, SUMATERA BARAT
Suryana Prawiradisastra Alami : jurnal air, lahan, lingkungan dan mitigasi bencana; Vol. 12, No. 2, 2007:66-71 Abstrak: Pada tanggal 15 Desember 2006, terjadi bencana alam gerakan tanah (longsor) dan banjir bandang di Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat. Gerakan tanah tejadi berupa longsoran yang disertai aliran bahan rombakan (debris flow). Longsoran terjadi pada lereng selatan Sungai Batang Sarasah, panjang gawir longsoran sekitar 100 m dengan lebar 50 m. Aliran bahan rombakan terjadi sepanjang aliran Batang Sarasah, akibat adanya akumulasi material longsoran membendung sungai dan jebol akibat derasnya volume air Sungai Batang Sarasah membawa material longsoran melanda daerah permukiman dan persawahan. Akibat gerakan tanah, 18 orang meninggal dunia, 8 orang lukaluka, 8 rumah dan 1 masjid hancur, dan sekitar 20 ha sawah rusak tertimbun serta puluhan rumah lainnya yang terdapat dekat aliran Batang Sarasah terancam gerakan tanah susulan.
BREAKWATER SALAH SATU ALTERNATIF PENANGGULANGAN ABRASI DI PANTAI BALONGAN KABUPATEN INDRAMAYU
Suryana Prawiradisastra Alami : jurnal air, lahan, lingkungan dan mitigasi bencana, Vol. 16, No. 2, 2011:113-120 Abstrak: -
DAMPAK BANJIR TERHADAP EKOSISTEM PESISIR
Muhammad Ilyas; Adi Slamet Riyadi Alami : jurnal air, lahan, lingkungan dan mitigasi bencana; Vol. 12, No. 1, 2007:84-87 Abstract: Flood has being a very seriously national problem. It has induced damage to many water ecosystems, on the other hand the attentions how to solve are still rarely done. During flood event, the volume of fresh water increased from the land to the sea. As consequences, the water salinity and temperature were altered, it also increased nutrients concentration, solid or liquid pollutions, waste and plastic debris, and sediment into the ocean. The input of fresh water and other substances may induce disturbances to the ocean habitat led to changes of the marine ecosystems. High input of sediment will change its structure followed by altering of the benthic structure of organisms. In addition, it will increase; water pollutants, organic and an organic nutrients, damage coral reef, sea grass bed, and mangrove ecosystems. Moreover if can cause the losses of endanger species and the sensitive species of the environmental. This paper is review for the giving illustrations of flood and its impact to the coastal ecosystems.
DAFTAR ISI DAMPAK PERAMBAHAN HUTAN TAMAN NASIONAL LORE LINDU TERHADAP FUNGSI HIDROLOGI DAN BEBAN EROSI (STUDI KASUS DAERAH ALIRAN SUNGAI NOPU HULU, SULAWESI TENGAH)
Hidayat, Yayat; Sinukaban, Naik; Pawitan, Hidayat; Tarigan, Suria Darma Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, Vol. 12, No. 2, 2007:84-92 Abstract: The research was proposed to identify rainforest conversion impact on hydrologic function and soil erosion, and its simulation using ANSWERS model. Surface runoff and soil erosion were measured in soil erosion plots and outlet of Nopu Upper Catchment. Rainforest conversion to agricultural lands were significantly increased soil erosions and surface runoffs. Soil erosion from maize and peanut rotation was higher 2061.8% than natural forest. It higher value also in intercroping young age cocoa, maize and cassava and maize were 2023.8% and 2012.3 % respectively. While surface runoffs increased up to 761.7 % on bare plot, 567.5 % on medium age cocoa, 446.8 % on young age cocoa, 415.1 % on intercroping young age cacao, maize and cassavas, 405.9 % on old cocoa, and 329.5 % on intercroping young age cacao and cassavas. Crop and management factor (C factor) value is significantly corelated with outputs of ANSWERS model. Using daily daily C factors, the ANSWERS model performs well in predicting soil erosion which is showed by determination coefficent (R2 = 0.89), model efficiency (0.86), and average of percentage model deviations (24.1 %). Whereas using USLE C factor, model accuracy lower which represented by model coefficient (0.40) and average of percentage model deviations (63.6%). Using daily C factors, ANSWERS model simulation indicates rainforest conversion into agricultural lands on Nopu Upper Catchment has caused soil and water loss 3190.5 ton/year and 115441.0 m3/year, respectively. Agroforestry system practices in agricultural lands which in line with reforestation in stream line and steep agricultural areas (slope> 40 %) was effective to reduce soil erosions up to 77.6 %.
DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP EROSI DAN HIDROLOGY DI DAS BESAI-LAMPUNG BARAT
Jamartin Sihite Jurnal penelitian dan karya ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, Vol. 17, No. 3, 2005:37-56 Abstract: Many conflicts over the use of land resources involve competing interest group with various different reasons. These different interests cause conflict in upstream and down stream management in watershed. In upstream, population pressure on land causes land use changes. Changes from forest to coffee plantation cause increase in soil erosion run-off and fluctuation in stream dis-charge. In 1975 when 42.6% of watershed area are forested, soil erosion was low (12.08 ton/ha/year), stream discharge had not fluctuated. In 1997 when forest area decreased to only 8.4% and coffee plantation become 71.2% of watershed area, erosion was 49.93 ton/ha/year and stream discharge greatly fluctuated. Research showed the impact of landuse changes could be managed by using soil and water conservation. This practice decreased soil erosion more than 80%.
DAFTAR ISI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DI INDONESIA FOREST DEFORESTATION AND DEGRADATION IN INDONESIA
Nursanti Jurnal Agronomi Jurnal Agronomi, Vol. 12, No. 1, 2008:54-58 Abstract: Forest deforestations in Indonesia most of them have been effected of economic and political system that corrupt, which thinking that natural resources, especially forest is income source for exploited to themselves. Forest deforestation and degradation in Indonesia was caused by : 1) TPTI (Indonesian Planting and Selected Cut ) silviculture practices in management of natural forest, 2) conversion of natural forest to timber estate (HTI), 3) conversion of natural forest to palm oil plantation, 4) illegal logging, 5) shifting cultivation, and 6) forest fire.
EROSI TANAH AKIBAT OPERASI PEMANENAN HUTAN (SOIL EROSION CAUSED BY FOREST HARVESTING OPERATIONS)
Suwarna, Ujang; Arief, Harnios; Ramadhon, Mohammad Jurnal Manajemen Hutan Tropika, Vol. 15, No. 2, 2009:61-65 Abstract: Forest harvesting operation has been known as an activity that should be considered as the main cause of soil erosion. Indonesia, the second largest owner of tropical forest, should have a serious consideration to the operation. Therefore, the study was conducted in logged over area of a natural production forest. The objectives of the study was to examine level of soil erosion caused by forest harvesting operations and to analyze a strategy to control level of the erosion based on its influencing factors. The study showed that forest harvesting operations caused soil
erosion. Factors that influenced the high level of the erosion were high level of precipitation, lack on planning of forest harvesting operations, no applying treatment of cross drain and cover crop in the new skidding roads, no culture of carefulness in the operations, and low human resource capacity in applying environmentally friendly forest harvesting techniques.
IDENTIFIKASI ABRASI PANTAI PERAIRAN TELUK LASOLO KENDARI SULAWESI TENGGARA
B. Rachmat;Y. Noviadi;L. Arifin Jurnal geologi kelautan : media hasil penelitian geologi kelautan, Vol. 7, No. 3, 2009:123-134 Abstrak: Berdasarkan hasil pengamatan, abrasi pantai yang terjadi di perairan Teluk Lasolo disebabkan oleh aksi gelombang laut yang menjalar dari laut dalam disebelah timur daerah telitian ke arah perairan teluk. Aktifitas gelombang ini menyebabkan terangkutnya sedimen/batuan dari pantai ke arah laut melalui gerakan arus sejajar pantai dan arus tegak lurus pantai. Sedimen yang terangkut akan terbawa terus ke arah laut dalam oleh pergerakan arus laut yang dominan berarah tenggara. Kondisi ini menyebabkan pantai di sekitar perairan Teluk Lasolo mengalami defisit material/sedimen sehingga pantai mengalami abrasi secara kontinyu. Cara yang paling efektif untuk penanganan abrasi pantai di sekitar perairan Teluk Lasolo adalah dengan cara membuat tipe bangunan penahan pantai yang berbentuk groin sejajar dan disesuaikan dengan kondisi hidrooseanografi, morfologi dasar laut dan garis pantainya.
DAFTAR ISI KAJIAN EROSI PENDANGKALAN EMBUNG DI PULAU TIMOR-NTT : STUDI KASUS EMBUNG OEMASI DAN EMBUNG LEOSAMA
Widiyono, W. Limnotek : perairan darat tropis di Indonesia, Vol. 13, No. 2, 2006:21-28 Abstrak: Telah dilaksanakan penelitian untuk menduga erosi daerah tangkapan (DTA) dan sedimentasi embung - istilah lokal untuk telaga buatan sebagai penampungan air di wilayah Nusa Tenggara Timur - yaitu di Embung Demasi - Kupang untuk kajian erosi, Embung Demasi dan Embung Leosama Belu untuk kajian sedimentasi. Dari hasil penelitian dengan metoda USLE dapat diduga erosi daerah tangkapan air Embung Demasi sebesar 10,22 ton/ ha/tahun (2001), 7,56 ton/ha/tahun (2002), dan 11,35 ton/ha/tahun (2003). Dari hasil pengukuran penampang melintang, pendangkalan embung Demasi (2005) tidak terlihat nyata, karena pada tahun 2004 dilakukan pengerukan sedimen oleh Pemda NIT. Tanpa pemeliharaan lingkungan terlihat sedimentasi Embung Leosama mengakibatkan penurunan kedalaman embung dari 8 m (1995/1996) menjadi 2 m (2005), atau terjadi pendangkalan rata-rata 0,6 m setiap tahun. Hasil penelitian erosi dan sedimentasi akan digunakan sebagai dasar penelitian neraca air Embung dan pengelolaan Embung secara terpadu.
KARAKTERISTIK PANTAI DAN PROSES ABRASI DI PESISIR PADANG PARIAMAN, SUMATERA BARAT
Tb. Solihuddin Globe : majalah ilmiah, Vol. 13, No. 2, 2011: 113-121 Abstrak: -
LAJU EROSI TAHUNAN SUATU DAS DAN CARA ANALISANYA (STUDI KASUS DAS MANIKIN KABUPATEN KUPANG NTT)
Richardson, Aleksius D.;Handajani, Novie Jurnal aksial : jurnal ilmiah teknik sipil, Vol. 5, No. 3, 2003:89-94 Abstrak: DAS Manikin sebagai salah satu potensi sumberdaya alam di wilayah NTT dimana airnya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan baik irigasi, air minum dan air untuk konservasi lahan saat ini telah mengalami kerusakan yang sangat serius. Salah satu masalah muncul kawasan DAS Manikin dan dampaknya terhadap kerusakan ekologi DAS adalah laju erosi tahunan yang telah menyebabkan meningkatnya sedimentasi secara signifikan dan membahayakan keberlangsungan beberapa bendungan yang ada di dalam DAS Manikin. Adapun permasalahan yang dapat dirumuskan adalah kerusakan ekosistem dalam kawasan resapan sehingga berdampak terhadap erosi permukaan dan sedimentasi yang tak terkendali. Dengan tujuan untuk memprediksi laju erosi tahunan DAS Manikin serta memperkirakan sejauhmana dampak erosi yang terjadi terhadap tingkat kerusakan DAS. Metode yang digunakan untuk menganalisa adalah metode USLE, sedangkan pengaruh dampak erosi terhadap kerusakan DAS dipakai pendekatan kualitatif level kelas kerusakan berpedoman pada tingkat bahaya erosi (TBE). Dari hasil analisa didapatkan bahwa erosi yang terjadi dalam DAS Manikin termasuk dalam klasifikasi erosi sangat berat yaitu 510, 982 ton/ha/tahunan.
DAFTAR ISI MODEL PENGEMBANGAN DAN PENATAAN RUANG KAWASAN PESISIR RAWAN ABRASI
Subeni; S.Y. Jatmiko; Melulosa A.S. Agros : jurnal ilmiah ilmu pertanian, Vol. 10, No. 2, 2008:123-133 Abstrak: Kawasan pantai merupakan daerah dengan proses dinamis, dipengaruhi dinamika laut dan perubahan tata guna lahan. Akibatnya, timbul masalah seperti erosi, tanah timbul, dan pendangkalan muara. Erosi terjadi secara alami oleh gelombang dan pasang surut tinggi. Kerusakan lingkungan pesisir saat ini belum tertanggulangi optimal, bahkan makin luas. Penelitian ini bertujuan mendapatkan model penanganan kawasan pesisir rawan abrasi. Sebagai model, dipilih Pantai Widuri di Kabupaten Pemalang. Metode penelitian menggunakan cara survei. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) kondisi fisik pantai Widuri sudah mengkhawatirkan, sedangkan kondisi geomorfologi berpasir hitam; 2) arah angin dipengaruhi angin barat yang dikhawatirkan menyebabkan erosi pantai sangat tinggi dengan transpor sedimen 3.096.477 m3/th; 3) manfaat pengamanan pantai merupakan prioritas tertinggi, diikuti penataan warung, pengembangan agrobisnis, pengembangan jalan alternatif, dan pengembangan pelabuhan; 4) skala prioritas direncanakan bangunan pengaman pantai pada lokasi kajian dan pengembangan aspek wisata; 5) penanganan rencana teknis di pantai Widuri perlu dibangun groin tipe I (pendek), sedangkan di kawasan wisata sebelah barat dan timur direncanakan dermaga tipe jetty.
MORFOLOGI DASAR LAUT KAITANNYA DENGAN PROSES ABRASI PANTAI DI PERAIRAN PULAU MARORE, SULAWESI UTARA
Beben Rachmat ;Catur Purwanto Jurnal geologi kelautan : media hasil penelitian geologi kelautan, Vol. 9, No. 1, 2011:29-43 Abstrak: -
PEMBANGUNAN, DEFORESTASI DAN PERUBAHAN IKLIM (DEVELOPMENT, DEFORESTATION AND CLIMATE CHANGE)
Siswoko, Bowo Dwi Jurnal Manajemen Hutan Tropika, Vol. 14, No. 2, 2008:88-95 Abstract: Natural resources utilities to fulfill human’s needs have been occurring massively since a concept of “progress” became human’s dreams. To achieve the progress, development concept that means as serious efforts to avoid damage and strive into betterment has emerged. The first development ideology that was emerged and developed was modernization. Industrialization as main character of modernization caused improvement in various aspects of life. From environmental aspect, economic improvement achieved has caused various environmental impacts that harmful to human’s life, such as deforestation, forest degradation and climate change. Since 1980’s, deforestation has extended to a very complex environmental issue globally. Deforestation could be seen as a side effect of a particular policy or political action. On the other hand, deforestation caused other various environmental problems, such as global warming. Global warming occurred since there was an increase of greenhouse gases concentration in the atmosphere. The relation among development, deforestation, and climate change was analyzed through analysis on power relation and conflict of interest among actors involved. The analysis showed that various strategies in development and environmental impact mitigations that conducted by developing countries were actually a form of powerand knowledge domination of developed countries. Through international institutions, they are offering atonementconcepts in various schemes which imply particular missions that basically they still want to obtain profits from developing countries without taking the risks from the execution of the schemes.
DAFTAR ISI PEMEKARAN DAERAH DAN KRISIS LINGKUNGAN: SUATU TELAAH KRITIS ATAS KERUSAKAN ALAM
Leo Agustino;Mohammad Agus Yusoff Jurnal kebijakan dan administrasi publik : JKAP, Vol. 13, No. 2, 2009:142-162 Abstract: This paper discusses decentralization and its impact on the environment. It states that decentralization has emerged environmental degradation. Since decentralization took place, illegal logging, illegal mining and many other natural resources exploitation had occurred worse than ever before. Local elites (political, bureaucracies, and industries) together with the local community engage to exploit the natural resources for increase their prosperity. This is pushed for four reason: 1) legacy from the New Order period that earn money through easy way; 2) return for their campaign fund for the elected official such governor or regent; 3) patron-client relationship between the elected official and their supporters which is the former give the material resources (licenses, contract, etc) and the latter give their loyalties; and 4) revenge for poverty that they have ever around as marginalized local people in New Order period. To figure out this problem, the writers argue for four alternatives: 1) enhance the legal consciousness and raise the awareness for preserve the environment; 2) increase in controlling mecanism and give strict sanction for the disobediences; and 4) involve the third parties (NGO, both local and international) for overcoming the environmental crisis.
PENCEMARAN AIR DAN TANAH DI KAWASAN PERTAMBANGAN BATUBARA DI PT. BERAU COAL, KALIMANTAN TIMUR
Dyah Marganingrum, Rhazista Noviardi Riset Geologi dan Pertambangan, Vol. 20, No. 1, 2010:11-20 Abstrak: Studi ini bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab pH air sungai sepanjang Sungai Lati mengalami fluktuasi dan cenderung asam. Metode yang digunakan adalah mengambil dan menganalisa sampel air dan tanah di sekitar lokasi studi. Berdasarkan hasil analisis di hulu Sungai Lati pH air masih menunjukkan nilai yang normal yaitu 6,5. Namun sepanjang perjalanannya, pH mengalami fluktuasi. Nilai pH di hilir Sungai Lati menjadi asam yaitu sebesar 4,6. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa pH tanah disekitar lokasi studi bersifat asam (< 6). Sementara tekstur tanah yang didominasi oleh debu dan curah hujan yang relatif tinggi menyebabkan tanah disekitar lokasi mudah mengalami erosi. Proses run off dengan membawa material sulfida (pirit) hasil erosi, baik dari disposal maupun hutan sekitar, diduga sebagai penyebab pH air sungai sepanjang Sungai Lati dibawah normal. Oleh karena itu berbagai upaya untuk konservasi air dan tanah bekas tambang maupun tanah sekitar penambangan batubara yang umumnya kaya akan mineral sulfida seharusnya menjadi bagian dari aktivtas penambangan.
DAFTAR ISI PENCEMARAN AIR PERMUKAAN DAN AIR TANAH DANGKAL DI HILIR KOTA CIANJUR
PENDUGAAN EROSI DAN NERACA AIR EMBUNG DI WILAYAH PERBATASAN KABUPATEN BELU NUSA TENGGARA TIMUR
M. Rachman Djuwansah;Ade Suriadarma;Dadan Suherman;Anna Fadlian Rusydi;Wilda Naily Riset geologi dan pertambangan, Vol. 19, No. 2, 2009:109-121
Wahyu Widiyono Majalah teknologi lingkungan, Vol. 4, No. 1, 2008:1-14
Abstrak: Air permukaan dan air tanah dangkal pada sumursumur gali di sepanjang ruas-ruas sungai yang melintasi kota Cianjur ke arah hilir telah dianalisis untuk mengetahui tingkat pencemarannya. Air permukaan dan air tanah dangkal di Hilir kota Cianjur telah mengalami pencemaran pada tingkat yang berbeda. Pada air permukaan pencemaran ditandai dengan kandungan BOD tinggi sehingga air tidak dapat langsung dimanfaatkan sebagai bahan baku air minum, tetapi masih dapat dimanfaatkan sebagai air irigasi dan perikanan. Proses pemurnian kembali air di daerah studi tampaknya tidak akan terjadi karena jumlah ratarata limbah yang masuk secara acak lebih besar daripada daya pulih aliran di daerah tersebut. Gejala pencemaran Nitrogen telah tampak pada air tanah dangkal, tetapi air masih dapat digunakan sebagai sumber air minum. Untuk mengantisipasi memburuknya keadaan di masa mendatang, perlu mulai dipikirkan untuk mengelola sumber daya air daerah ini dengan pendekatan hidrologi urban.
Abstract: Embung as a man made water reservoir is one of methods to overcome the water shortage in the border area, Belu District, East Nusa Tenggara Province. A number of 27 Embung were built by Regional Government in this area. Embung water and environment management is the main problem to sustain water resource. The research to inventory and identify of vegetation, to predict erosion, to monitor water balance, and to optimize water utilization were conducted, in 20052008. The research was undertaken in Embung Leosama. Methods were survey, observation, monitoring and analysis. Results were: (1). There were 7 species and 90 individual number of tree; (2). Prediction of erosion was 97.383 ton/ha/ year; (3). Water depth as indicator of Embung water balance was decrease due to a little rainfall volume in rainy season 2006/2007; but it was increase in 2007/2008; (4). Embung water can be optimized for drinking cattle, horticulture, nursery and regreening irrigation.
DAFTAR ISI PENGARUH EROSIVITAS DAN TOPOGRAFI TERHADAP KEHILANGAN TANAH PADA EROSI ALUR DI DAERAH ALIRAN SUNGAI SECANG DESA HARGOTIRTO KECAMATAN KOKAP KABUPATEN KULONPROGO
Tarigan, Dela Risnain; Mardiatno, Djati Jurnal Bumi Indonesia, Vol. 1, No. 3, 2012:411-420 Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui pengaruh erosivitas dan kelerengan terhadap perkembangan erosi alur dan untuk (2) mengetahui faktor pengontrol perkembangan alur erosi di DAS Secang. Metode perhitungan erosivitas harian menggunakan metode Bols, perhitungan kelerengan menggunakan metode Wischmeir dan Smith dan metode kehilangan tanah menggunakan rumus modifikasi Hudson serta Stocking dan Murnaghan. Pengaruh antara erosivitas dan kelerengan terhadap kehilangan tanah dianalisis menggunakan regresi linier melalui regresi akan diperoleh nilai korelasi (r). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pengontrol kehilangan tanah di DAS Secang adalah topografi dengan rerata nilai korelasi sebesar 0,93 dan rerata nilai korelasi erosivitas adalah sebesar 0,37. Nilai ini menunjukkan bahwa topografi memiliki pengaruh yang lebih tinggi terhadap kehilangan tanah dari faktor erosivitas.
PENGARUH KABUT ASAP AKIBAT KEBAKARAN HUTAN, PENANGGULANGAN, DAN PENEGAKAN HUKUMNYA
T. Nazaruddin Suloh : jurnal penelitian dan pengkajian hukum, Vol. 6, No. 3, 2008:175-190 Abstract: This report is aimed to analyze the side effect of smog caused by forest fire, the prevention and the low enforcement also to analyze the effort
which should be done by parties. This report shown that the extensive of forest fire occurred couples times in Indonesia. In 1991, the fire has burn about 500.000 acres and almost 5 billion acres in 1994. The smog that caused by the forest fire has influenced Singapore and Malaysia, also Indonesia. The smog has intruded on air and marine travel, also cause the huge pollution. There are sanctions toward criminal offense on the environmental regulation; nevertheless the law enforcement seems could not be upheld. In fact, in 1997-1998 - there are no official action taken by the government to execute the industrialist which involved in forest fire.
PENGENDALIAN KERUSAKAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN KAWASAN PANTAI PULAU MIANGAS DENGAN PENCEGAHAN EROSI DAN ABRASI
Sarbidi Jurnal permukiman, Vol. 5, No. 2, 2010:58-66 Abstrak: -
DAFTAR ISI PERLINDUNGAN ENVIRONMENTAL RIGHTS UNTUK KORBAN DAMPAK KERUSAKAN LINGKUNGAN STUDI KASUS: KEBAKARAN HUTAN INDONESIA (1998) DAN LUAPAN LUMPUR SIDOARDJO-LAPINDO BRANTAS (2006)
Linda Yanti Sulistiawati Mimbar hukum : jurnal berkala Fakultas Hukum UGM, Vol. 21, No. 1, 2009:1-21 Abstract: It is clear that environmental rights are among the most important basic rights in human’s life. Although embedded in more than several international treaties, there is yet an independent treaty which focusing solely on environmental rights. This is very unfortunate to developing countries such as Indonesia, whose most environmental problems are caused by human and/or development activities and with victim unprotected of their environmental rights. This research unfolds two case studies in Indonesia regarding to the protection of three basic rights: the right to be free from hunger, the right to security, and the right to health. In principle these case studies pictures environmental rights protection in Indonesia, which is already protected on the legal basis, but lack of implementation in the field.
POLITIK PENEBANGAN KAYU DAN KEBIJAKAN PENANGANAN PEMBALAKAN LIAR: STUDI KASUS DI PROVINSI JAWA TIMUR DAN JAMBI
Hariyadi Kajian : menjembatani teori dan persoalan masyarakat dalam perumusan kebijakan, Vol. 13, No. 2, 2008:255-282 Abstract: Deforestation in Indonesia has entered a daunting phase and represents one of the worst environmental degradation in the world. Illegal logging becomes a main factor which is responsible for the degradation which causes potential loss of state revenue and natural disasters due to the deteriorating environmental capacity or ecological destruction such as floods, land dislocations, and an extreme climate change. Policies of good logging have been so far directed by the government, but the results still could not fully fulfill what have been since the beginning expected. Therefore, the writer argues that a new approach is needed by the government although this will claim considerable social and political cost.
REVEGETASI MANGROVE PENYANGGA JALUR TRANSPORTASI DARAT SEBAGAI PENANGKAL ABRASI DI PESISIR PANTAI SUNGAI DURI
Muh. Ishak Jumarang, Muliadi, Andi Ihwan Jurnal pengabdian kepada masyarakat Universitas Tanjungpura, Vol. 5, No. 1, 2008:385-393 Abstrak: -
DAFTAR ISI STUDI EMISI CO2 AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DI PROVINSI RIAU (STUDI KASUS DI KABUPATEN SIAK)
Nasution, A.Z. Bumi Lestari Journal of Environment, Vol. 13, No. 1, 2013:27-36 Abstract: This research was aimed to analyze the CO emissions due to forest fires that occurred in Siak Regency, Riau Province Indonesia in 2010 and to analyze the probability of forest fire occurrence in Siak Regency using the available data. Fire and CO2 emissions in the area of plantation forests are greater than in the area of natural forests. The amount of CO2 emissions due to forest fires in 2010 varied between 107.260 Ton CO2 yr-1 in natural forests and 151.600 Ton CO2 yr-1 in plantation forests. The amount of CO2 emissions due to forest fires in the peat land was 2.176 Ton CO2 yr-1. This value is mainly depending on the extent of the burned area in the year of 2010. Results of the logistic regression show the forest fires are more likely to occur in degraded forests.
STUDI PENANGGULANGAN ABRASI PANTAI KALIANDA
Cahya Sujatmiko Jurnal sains dan inovasi, Vol. 5, No. 1, 2009:6-16 Abstrak: Kerusakan kawasan pantai akan mengakibatkan hilangnya lahan potensi dengan nilai ekonomis dan ekologi yang sangat besar. Salah satu kawasan pantai yang telah mengalami kerusakan adalah Pantai Kalianda yang terletak di Teluk Lampung Kabupaten Lampung Selatan. Kawasan ini sudah tidak terlindungi oleh hutan bakau dan mengalami abrasi pantai yang cukup tinggi. Pantai ini juga telah mengalami erosi akibat perubahan arah gelombang oleh iklim musson. Untuk mengatasi kerusakan pantai, akibat abrasi dan erosi harus dilakukan perlindungan. Memperhatikan asas-asas konservasi, perlindungan yang akan mampu menanggulangi dampak kerusakan dan tidak menimbulkan dampak
negatif di tempat lain seperti kerusakan ekologi dan perubahan fungsi pantai. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan solusi/penyelesaian atas permasalahan abrasi, erosi dan sedimentasi yang terjadi di Pantai Kalianda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan menggunakan data dari hasil survei di lokasi penelitian. Survei yang dilakukan yaitu survei topografi, survei bathymetri, survei hidrometri, survei dan uji laboratorium mekanika tanah, survei sosial ekonomi. Berdasarkan hasil survei dan analisis data didapatkan yang terjadi pada lokasi penelitian dapat dikatagorikan sebagai Pasang Campuran Dominan Ganda, dan untuk mengetahui perubahan garis pantai direkomendasikan untuk alternatif ke IV dengan bangunan Revetmen 8 buah dan Groin 1 buah digunakan sebagai dasar penanganan pengamanan pantai di Guci Batu Kapal, Pantai Canti Indah dan Pantai Banding Resort. Untuk lokasi pantai-pantai pembenihan udang (Rajabasa) memberikan alternatif penanganan pengamanan pantai, yaitu dibuatkan bangunan pemecah gelombang (Breakwater) pada daerah sejajar garis pantai untuk melindungi daerah yang selama ini terkena abrasi pantai.
TANAH LONGSOR PENYEBAB DAN REKOMENDASI SOLUSI
Tri Warso Mulyono Jurnal auditor, Vol. 6, No. 12, 2013:47-53 Abstrak: -
THE EFFECT OF RAINFALL INTENSITY ON SOIL EROSION AND RUNOFF FOR LATOSOL SOIL IN INDONESIA
Sukartaatmadja, Sukandi Buletin agronomi, Vol. 31, No. 2, 2003:71-79 Abstrak: -
ISSN 1410-1939
DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DI INDONESIA FOREST DEFORESTATION AND DEGRADATION IN INDONESIA Nursanti Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat – Jambi 36361 Telp./Fax: 0741-583051 Abstract Forest deforestations in Indonesia most of them have been effected of economic and political system that corrupt, which thinking that natural resources, especially forest is income source for exploited to themselves. Forest deforestation and degradation in Indonesia was caused by : 1) TPTI (Indonesian Planting and Selected Cut ) silviculture practices in management of natural forest, 2) conversion of natural forest to timber estate (HTI), 3) conversion of natural forest to palm oil plantation, 4) illegal logging, 5) shifting cultivation, and 6) forest fire
PENDAHULUAN Deforestasi di Indonesia sebagian besar merupakan akibat dari suatu sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan untuk dieksploitasi bagi kepentingan dan keuntungan pribadi. Pertumbuhan industri pengolahan kayu dan perkebunan di Indonesia sangat menguntungkan selama bertahun-tahun, dan keuntungannya digunakan sebagai alat penghargaan dan alat kontrol terhadap teman, keluarga dan mitra potensialnya. Selama lebih dari 30 tahun terakhir, negara secara dramatis meningkatkan produksi hasil hutan dan hasil perkebunan yang ditanam di lahan yang sebelumnya berupa hutan. Dewasa ini Indonesia adalah produsen utama kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, pulp dan kertas, disamping beberapa hasil perkebunan, misalnya kelapa sawit, karet dan coklat. Pertumbuhan ekonomi ini dicapai tanpa memperhatikan pengelolaan hutan secara berkelanjutan ataupun hak-hak penduduk lokal, sehingga timbullah deforestasi dan degradasi hutan. Deforestasi mulai menjadi masalah penting di Indonesia sejak dekade awal tahun 1970-an, ketika penebangan hutan secara komersial mulai dibuka secara besar-besaran walaupun konsesi pembalakan hutan itu pada mulanya bertujuan untuk mengembangkan sistem produksi kayu untuk kepentingan jangka-panjang, tindakan ini ternyata sering mengarah pada degradasi hutan yang serius, yang diikuti oleh pembukaan lahan dan konversi menjadi bentuk penggunaan lahan
lainnya, menurut hasil survai RePPProT (1990), tutupan hutan pada tahun 1985 mencapai 119 juta ha, yang menunjukkan penurunan luas hutan pada tahun 1950. Antara tahun 1970-an dan 1990-an, laju deforestasi diperkirakan antara 0,6 sampai 1,2 juta ha. Namun demikian pemetaan tutupan hutan yang dilakukan pada tahun 1999 oleh Pemerintah Indonesia dengan bantuan dari Bank Dunia (GOI/World Bank, 2000 dikutip dalam FWI – GFW, 2001) menyimpulkan bahwa laju deforestasi rata-rata dari tahun 1985 – 1997 besarnya mencapai 1,7 juta ha. Pulau-pulau yang mengalami deforestasi terbesar selama periode ini adalah Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan. Jika kecenderungan deforestasi ini berlangsung terus, hutan dataran rendah non-rawa akan lenyap dari Sumatera pada tahun 2005, dan Kalimantan setelah tahun 2010 (Holmes, 2000). Lebih dari setengah kawasan hutan Indonesia dialokasikan untuk produksi kayu berdasarkan sistem tebang pilih oleh perusahaan hak Pengusahaan Hutan (HPH). Kurangnya unsur pengawasan menyebabkan banyak hutan produksi yang telah dieksploitasi secara berlebihan. Menurut klasifikasi pemerintah, pada saat ini hampir 30 persen dari konsesi HPH yang telah disurvai, masuk dalam kategori “sudah terdegradasi”. Hutan tanaman industri telah disubsidi sebagai upaya menyediakan pasokan kayu bagi industri pulp, tetapi cara ini mendatangkan tekanan terhadap hutan alam. Hampir 9 juta ha lahan sebagian besar adalah hutan alam, dan telah dialokasikan untuk pembangunan HTI, namun hanya 2 juta ha yang baru ditanam.
54
Jurnal Agronomi Vol. 12 No. 1, Januari - Juni 2008
Lonjakan pembangunan perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit, merupakan penyebab deforestasi. Hampir 7 juta ha hutan sudah disetujui untuk dikonversi menjadi perkebunan sampai akhir tahun 1997. PENYEBAB DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DI INDONESIA A. Ekstraksi Kayu oleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Walaupun HPH pada mulanya dimaksudkan untuk mempertahankan lahan-lahan hutan sebagai hutan produksi permanen, ternyata sistem konsesi
inilah yang sebenarnya menjadi penyebab utama deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. Undang-Undang Kehutanan tahun 1967 memberikan dasar hukum pemberian hak pemanenan kayu, dan banyak HPH besar mendapatkan hak untuk mengelola lahan hutan selama 20 tahun. Dari tahun 1969 sampai 1974, hampir 11 juta ha konsesi HPH diberikan hanya di satu provinsi, yaitu Kalimantan Timur. Pada tahun 1977 total produksi kayu bulat naik menjadi sekitar 28 juta m3, dan paling sedikit 75 persen diantaranya diekspor. Pada tahun 1979 Indonesia menjadi produser kayu bulat tropis terbesar di dunia.
Luas dan Status HPH Tabel 1. Status dan Luas Kawasan HPH, yang dilaporkan pada tahun 2000 Status HPH HPH selama 20 tahun dan masih beroperasi
Jumlah Unit 293
Luas (ha) 33.950.000
288
29.980.000
71 652
5.470.000 69.400.000
HPH selama 20 tahun sudah habis masa berlakunya HPH yang sudah habis masa berlakunya dan secara formal telah diserahkan dibawah kontrol negara TOTAL Sumber : Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 2000. Pada bulan Januari 2001, Departemen Kehutanan telah mengeluarkan 11 ijin HPH baru, seluruhnya seluas 599.000 ha. Semuanya, kecuali dua buah diantaranya, berlokasi di Kabupaten Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur dan kebanyakan luasnya antara 40.000 dan 50.000 ha. Kesalahan Pengelolaan dan Kondisi Hutan Hubungan yang erat antara Pemerintah saat ini dengan sebagian besar kelompok usaha perkayuan utama merupakan akibat lemahnya pengawasan dan transportasi, yang menjadi satu alasan buruknya pengelolaan hutan. Para pemegang HPH
tidak begitu peduli dengan tanggung jawab dalam hal praktek-praktek kehutanan di lapangan. Pada awal tahun 2000, Departemen Kehutanan melaporkan bahwa “sebagian besar” hutan yang berada dibawah HPH berada dalam “kondisi rusak”. Laporan Departemen Kehutanan pada bulan Juli 2000 menunjukkan bahwa dalam sebuah survei pada lahan hutan seluas hampir 47 juta ha yang berada di areal HPH aktif atau yang habis masa berlakunya, sekitar 30 persen areal mengalami degradasi, kualitasnya turun menjadi semak atau dikonversi menjadi lahan pertanian (Tabel 2).
Tabel 2. Kondisi hutan di 432 HPH (Hak Pengusaha Hutan) yang ada dan habis masa berlakunya (menurut Analisa Citra Landast Tahun 1997-1999).
Luas (ha) 18.300.000
% 45
Kondisi yang habis Masa berlakunya dan dikelola PT. Inhutani I-V (112 Unit) Luas (ha) % 600.000 11
11.100.000
27
2.500.000
Kawasan HPH (320 Unit) Kondisi Hutan Hutan primer Hutan yang dibalak dan baik-sedang
44
Total Luas (ha) 18.900.000
% 41
13.600.000
29
55
Nursanti: Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia
Kawasan HPH (320 Unit) Kondisi Hutan Hutan yang terdegradasi semak dan lahan pertanian TOTAL
Luas (ha) 11.600.000
% 28
41.000.000
Kondisi yang habis Masa berlakunya dan dikelola PT. Inhutani I-V (112 Unit) Luas (ha) % 2.600.000 45
10 5.700.000 0 Sumber : Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 2000. Meningkatnya aktivitas lingkungan dan maraknya protes dari masyarakat, mulai memberi tekanan pada pemerintah agar mengambil tindakan terhadap pelanggar. Pada tanggal 5 Mei 1999, Departemen Kehutanan dan Perkebubnan mencabut 39.000 ha areal HPH yang diartikan pada tahun 1992 kepada Perusahaan Medan Remaja Timber di Provinsi Aceh. Jumlah dan luas total kawasan HPH sudah berkurang sejak pertengahan tahun 1990-an. Namun, hampir separuh tahun tropis yang tersisa di Indonesia masih berada dibawah izin pembalakan dan mengalami degradasi, atau berisiko untuk mengalami degradasi, kecuali praktek-praktek yang sekarang berlangsung segera dibenahi. Ancaman lainnya juga datang dari kebijakan baru mengenai otonomi daerah, yang memberikan kewenangan yang lebih banyak kepada pihak pemerintah daerah untuk mengeluarkan izin konsesi pengusahaan hutan. Tanpa kerangka kerja kelembagaan yang kuat dan perencanaan yang bertanggung jawab, lebih banyak lagi hutan yang dibalak dengan lebih intensif hanya untuk kepentingan jangka pendek. B. Ekstraksi Kayu : Pembalakan Ilegal Pembalakan ilegal terjadi secara luas dan sistematis dibanyak wilayah Indonesia, dan pada tahun 2000, memasuki sekitar 50 sampai 70 persen kebutuhan kayu Indonesia. Pembalakan ilegal terjadi secara luas di Indonesia, di kawasan HPH, kawasan-kawasan hutan yang belum dialokasikan penggunaannya, di kawasan HTI, beberapa konsesi hutan negara, beberapa kawasan hutan yang ditebang habis untuk konversi lahan, dan di kawasan konversi dan hutan lindung. Pembalakan ilegal bahkan meningkat jumlahnya di kawasan konversi, karena ini lebih baik daripada di hutan produksi. Para pelaku pembalakan ilegal adalah : a) para pekerja dari masyarakat di kawasan-kawasan hutan dan juga banyak orang yang dibawa ke tempat itu dari tempat lainnya; b) para investor, termasuk
100
Total Luas (ha) 14.200.000
% 30
46.700.000
10 0
para pedagang, pemegang HPH, atau pemegang Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) legal, dan pembeli kayu ilegal dari industri pengolahan; dan c) para pejabatan pemerintah (sipil dan militer), para penegak hukum, dan para register penentu. Pembalak ilegal adalah semua praktek atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengolahan dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia. Pada dasarkan ada dua jenis pembalakan ilegal. Pertama, yang dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin yang dimilikinya. Kedua, melibatkan pencuri kayu, dimana pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon. Pembalakan ilegal di HPH yang terkait dengan sistem dan fasilitas pengolahan kayu (Natural Resources Management – USAID, 2000 dikutif DALAM Forest Watch Indonesia – Global Forest Watch, 2001) : • Pemanenan kayu lebih dari jatah tebangan tahunan • Pemanenan kayu di kawasan-kawasan hutan lindung lereng yang curam dan bantaran sungai) • Volume panenan yang dilaporkan lebih kecil sehingga pajak yang dibayar juga lebih sedikit • Mengabaikan panduan tebang pilih • Pemanenan diluar batas HPH • Pemalsuan dari dokumen transportasi kayu Pembalakan ilegal di HTI yang terkait dengan pabrik pulp : • Menebang habis hutan alam kemudian tidak melakukan penanaman kembali • Tidak menanam pada tingkat yang diperlukan untuk mempertahankan produksi jangka panjang • Menanami kembali dengan spesies yang berkualitas rendah • Menanami kembali dengan kerapatan yang rendah
56
Jurnal Agronomi Vol. 12 No. 1, Januari - Juni 2008
• Memenuhi kekurangan pasokan dari tahun tanaman dengan “pasokan antara” dari hutan konversi • Menerima dokumen-dokumen transportasi kayu yang diperlukan • Pemanenan sedikit kayu bulat dari hutan setiap minggu oleh operator skala kecil, dan menjualnya ke operator yang lebih besar dan sah. Tim pembalak ilegal ini didukung dana dan diatur oleh perusahaan yang besar. Kesenjangan Antara Pasokan dan Permintaan : Pencetus Timulnya Pembalakan Ilegal Indonesia telah mendorong suatu kebijakan ekspansi yang agresif dalam sektor hasil-hasil hutan tanpa mengindahkan pasokan yang berkelanjutan dalam jangka panjang. Produksi kayu bulat Indonesia meningkat dari sekitar 11 juta m3 pada tahun 1970-an hingga puncaknya sekitar 36 juta m3 pada awal tahun 1990-an. Industri pulp dan kertas meningkat lebih dramatis. Sejak akhir tahun 1980-an, kapasitas produksi pulp meningkat hampir 700 persen. Sementara itu penanaman secara besar-besaran HTI pada tahun 1990 dan 1991 hanya dapat memasok sekitar 5 persen dari total konsumsi kayu. Brown (1999) dikutip dalam FWI dan Gobal Forest Watch (2001), mengungkapkan sesungguhnya kesenjangan antara pasokan yang diketahui dan ilegal dengan keluaran pabrik mendekati 21 juta m3. C. Hutan Tanaman Industri (HTI) Konversi Hutan Menjadi HTI Peraturan tahun 1990 jelas menyatakan bahwa HTI hanya diberikan untuk kawasan hutan permanen non produktif dan tidak akan diberikan di kawasan yang sudah berada dibawah sebuah HPH. Namun dalam prakteknya, konsesi HTI sering dibangun dilahan hutan yang masing produktif. Menurut perhitungan yang dibuat berdasarkan studi kelayakan perusahaan HTI, pada bulan Juni 1998, 22 persen lahan yang dikelola sebagai HTI adalah lahan yang sebelum pembangunan HTI merupakan hutan alam produktif (Kartodihardjo dan Supriono, 2000 dikutif oleh FWI-GFW, 2001). Kasus pembangunan hutan tanaman industri di hutan alam produksi (studi Kelayakan yang disiapkan oleh setiap perusahaan sebagai syarat untuk mendapat izin dikutip oleh Fwi dan GFW, 2000) : • Seluruh kawasan HTI milik PT. Rimba equator Permai, yang luasnya 21.010 ha, semula adalah sebuah HPH milik PT. Barito Pacifik Timber,
1586 ha diantaranya adalah hutan perawan (Virgin Forest) • Dari total kawasan HPH seluas 73.153 ha yang dimiliki oleh PT. Sinar Kalbar Raya, 28.065 ha diantaranya semula adalah HPH hutan produksi yang dimiliki oleh PT. Persada Kawi ITC, dan 3.250 ha berasal dari kawasan HPH milik PT. Porti Jaya. • Seluruh kawasan HTI milik PT. Tanjung Redeb Lestari yang luasnya 180.900 ha, semula adalah sebuah kawasan hutan produksi HPH. Potensi panen kayu dari pohon-pohon yang berdiameter lebih besar dari 30 cm dbh lebih besar dari 25 m3. • Seluruh kawasan HTI milik PT. Riau Andalan pulp and paper, yang luasnya 121.000 ha, semula adalah hutan produksi dari sembilan perusahaan HPH dengan potensi produksi kayu komersil hingga 24 m3/ha. Perkembangan Industri Pulp dan Kertas Suatu faktor kunci yang mendasari pembangunan konsesi HTI adalah pesatnya perkembangan industri pulp dan kertas dalam dekade yang lalu. Kapasitas terpasang produksi pulp meningkat dari 1 juta ton pada tahun 1990 menjadi hampir 5 juta ton pada tahun 2000, dan diharapkan melebihi 6 juta ton pada tahun 2001 (Direktorat Hutan Tanaman Industri, Departemen Kehutanan, 2001). Akibatnya, alokasi dan penanaman aktual HTI untuk produksi kayu pulp jauh melebihi areal HTI untuk produksi kayu pertukangan. Disisi lain, HTI ini baru dapat memasok hanya sebagian kecil bahan baku yang mengalami lonjakan pesat. Untuk memproduksi satu ton pulp diperlukan antara 4,9 dan 5,4 m3 kayu bulat. Jadi produksi pulp pada tahun 2000 saja memerlukan antara 23 – 25 juta m3 kayu. Pada saat yang sama produksi kayu pulp dari HTI hanya 3,8 juta m3 (Departemen Kehutanan, 2001). Oleh karena itu, 85 persen kebutuhan kayu untuk industri pulp masih berasal dari konversi hutan alam terutama konversi hutan alam yang terletak di dalam areal konsesi HTI. Dengan berlajunya ketidakseimbangan yang begitu parah antara pasokan HTI, kayu pulp, tampaknya tidak dapat dihindarkan bahwa industri pulp akan menjadi mensin penyebab deforestasi yang sangat kuat selama dekade mendatang. Akibatkan adalah deforestasi yang lebih intensif, merosotnya fungsi keanekaragaman hayati dan fungsi hidrologis, dan bertambahnya areal lahan yang mengalami degradasi.
57
Nursanti: Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia
D. Perkebunan Kelapa Sawit dan Perkebunan Skala Besar Lainnya Produksi minyak kelapa sawit mengalami lonjakan di beberapa negara berkembang, karena kelapa sawit relatif murah untuk ditanam dan berproduksi hingga lima kali lebih besar daripada tanaman penghasil minyak lainnya. Pembangunan perkebunan selama 30 tahun terakhir jelas merupakan faktor utama penyebab deforestasi. Menurut analisis baru-baru ini, total kawasan lahan hutan yang dikonversi menjadi perkebunan antara tahun 1982 dan 1999 adalah 4,1 juta ha (Casson, 2000). Suatu studi kasus tentang lahan HPH yang dimanfaatkan secara ilegal untuk perkebunan kelapa sawit di Sumater Utara dan Aceh dipaparkan oleh Yayasan Leuser Lestari tahun 2000. Yayasan Leuser Lestari yang berbasis di Medan melakukan investigasi di 13 HPH di Sumatera Utara dan Aceh, dan menemukan bahwa areal HPH secara aktif di konversi menjadi perkebunan kelapa sawit di delapan HPH.
KESIMPULAN Deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : 1. Sistem konversi HPH dengan praktek silvikultur tebang pilih, pelanggaran HPH terhadap pola-pola tradisional hak kepemilikan, serta pengawasan yang sangat lemah terhadap pengelolaan hutan. 2. Konversi hutan alam menjadi hutan tanaman industri dengan praktek silvikultur tebang habis yang tidak diimbangi dengan penanaman,
sehingga jutaan hektar lahan menjadi terbuka dan terlantar. 3. Pembalakan ilegal setiap tahun, 50 – 70 persen pasokan kayu untuk industri hasil hutan ditebang secara ilegal. 4. Lonjakan praktek pembangunan perkebunan kelapa sawit yang tidak disertai pengawasan yang ketat oleh pemerintah, sehingga sebagian pengusaha hanya menebang habis hutan untuk diambil kayunya, tetapi lahan dibiarkan terlantar.
DAFTAR PUSTAKA Casson. 2000. “The Hositant Boom : Indonesia’s Oil Palm Sub – Sector in an of Economic Boom and Political Change”. CIFOR. Bogor. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 2000. Penataan Kembali Pengelolaan Hutan Produksi di Luar Pulau Jawa Melalui Restrukturalisasi Kelembagaan Usaha di Bidang Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2001. Data Pasokan Kayu Dari Semua Sumber Legal. Jakarta. Direktorat Hutan Tanaman Idustri, Departemen Kehutanan. 2001. Alokasi dan Penanaman Hutan Tanaman Industri Hingga Desember 2000. Jakarta. Forest Watch Indonesia – Global Forest Watch. 2001. Fotret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia : Forest Watch Indonesia dan Washington D.C. : Global Forest Watch. Holmes, Derek. 2000. Deforestation in Indonesia ; A. Review of the Situation in 1999. Consultant Report to the World Bank. Jakarta. RePPProT. 1990. The Land Resources of Indonesia. Goverment of U.K. (London) and Ministry of Transmigration (Government of Indonesia). Jakarta.
58
JMHT Vol. XV, (2): 61-65, Agustus 2009 ISSN: 0215-157X
Artikel Ilmiah
Erosi Tanah Akibat Operasi Pemanenan Hutan (Soil Erosion Caused by Forest Harvesting Operations) Ujang Suwarna1*, Harnios Arief 2, dan Mohammad Ramadhon3 2
1* Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor 3 Alumni Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
Abstract Forest harvesting operation has been known as an activity that should be considered as the main cause of soil erosion. Indonesia, the second largest owner of tropical forest, should have a serious consideration to the operation. Therefore, the study was conducted in logged over area of a natural production forest. The objectives of the study was to examine level of soil erosion caused by forest harvesting operations and to analyze a strategy to control level of the erosion based on its influencing factors. The study showed that forest harvesting operations caused soil erosion. Factors that influenced the high level of the erosion were high level of precipitation, lack on planning of forest harvesting operations, no applying treatment of cross drain and cover crop in the new skidding roads, no culture of carefulness in the operations, and low human resource capacity in applying environmentally friendly forest harvesting techniques. Keywords: soil erosion, forest harvesting, logged over area, skidding road *Penulis untuk korespondensi, e-mail:
[email protected]
Pendahuluan Indonesia memiliki kawasan hutan seluas 137,09 juta hektar dengan luas areal berhutan sebesar 98,46 juta hektar (Dephut 2008). Iklim di wilayah Indonesia merupakan iklim tropis dengan curah hujan yang tinggi, sehingga mengkibatkan wilayah ini rentan terhadap terjadinya erosi tanah. Kegiatan pemanenan hutan dilaksanakan secara intensif dengan cara-cara yang masih menyebabkan tingginya dampak negatif terhadap lingkungan, terutama erosi tanah. Tingkat erosi tanah menjadi semakin tinggi akibat tingginya tingkat kerentanan struktur dan sifat tanah hutan terhadap kegiatan pemanenan hutan yang intensif. Erosi tanah adalah kejadian pengikisan lapisan tanah (umumnya yang terletak di permukaan lahan) oleh biang erosi (air hujan) yang melibatkan dua proses berurutan yang terpisah, yaitu pemecahan tanah yang diikuti oleh pengangkutan bahan-bahan tanah terpecah dan pengendapannya (Purwowidodo 1999). Tahapan erosi tanah meliputi benturan butir-butir hujan dengan tanah, percikan tanah oleh butiran hujan ke segala arah, penghancuran bongkahan tanah oleh butiran hujan, pemadatan tanah, penggenangan air di permukaan, pelimpasan air karena adanya penggenangan dan kemiringan lahan, dan pengangkutan partikel terpercik dan/atau masa tanah yang terdispersi oleh air limpasan (Rahim 2003). Hujan akan menimbulkan erosi jika intensitasnya cukup tinggi dan jatuhnya dalam waktu yang cukup lama. Ukuran-ukuran butir hujan juga sangat
berperan dalam menentukan terjadinya erosi tanah karena energi kinetik merupakan penyebab utama dalam penghancuran agregat-agregat tanah. Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi tanah meliputi hujan, angin, limpasan permukaan, jenis tanah, kemiringan lereng, penutupan tanah baik oleh vegetasi atau lainnya, dan ada atau tidaknya tindakan konservasi. Erosi tanah merupakan suatu akibat dari hasil interaksi kerja antara faktor-faktor iklim, vegetasi, topografi, tanah, dan manusia. Faktor-faktor yang dapat diubah antara lain cara kerja manusia, vegetasi yang tumbuh di atas tanah, serta sebagian sifat-sifat tanah yaitu kesuburan tanah, ketahanan agregat dan kapasitas infiltrasi. Faktorfaktor yang tidak dapat diubah antara lain iklim, tipe tanah, dan kecuraman lereng (Arsyad 2006). Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan kajian mengenai erosi tanah akibat operasi pemanenan hutan dengan tujuan untuk mengetahui besarnya erosi tanah akibat operasi pemanenan hutan, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya erosi tanah akibat operasi pemanenan hutan, dan menganalisis strategi pengendalian erosi tanah akibat operasi pemanenan hutan.
Metode Pengukuran erosi tanah dilakukan di suatu areal konsesi hutan alam produksi di Kalimantan Tengah pada bulan Juli sampai bulan September 2008 dengan menggunakan metode pengukuran bak erosi. Metode
JMHT Vol. XV, (2): 61-65, Agustus 2009 ISSN: 0215-157X
pengambilan contoh dilakukan melalui pengukuran erosi dengan menggunakan metode bak erosi dilakukan di 5 lokasi yaitu: (1) pada areal bekas tebangan di blok RKT 2008 TPTI, (2) pada areal bekas TPN di blok RKT 2007 TPTI, (3) pada areal bekas tebangan di blok RKT 2007 TPTI, (4) pada areal jalur tanam di blok RKT 2007 TPTII/ SILIN, dan (5) pada areal hutan di kawasan lindung (KPPN) sebagai kontrol. Pengukuran erosi dilakukan sebanyak 3 kali ulangan di masing-masing lokasi pengukuran erosi. Pengumpulan data dilakukan dengan metode pengukuran bak erosi. Pada Metode ini pertama-tama dilakukan pengadukan air yang tererosi dalam bak penampung. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar air yang masuk ke dalam bak penampung menjadi homogen dan memiliki konsentrasi yang sama. Setelah itu, air sebanyak 600 ml yang telah diaduk dimasukkan ke dalam botol untuk diketahui konsentrasi air tersebut dilakukan proses pengovenan untuk mengetahui berat basah dan berat sampel. Besar erosi dapat diketahui jika konsentrasi air telah diketahui. Proses pengumpulan data ini dilakukan setiap minggu. Bak erosi terdiri dari dua bagian (Gambar 1). Bagian pertama dibuat dengan papan kayu yang ditutupi plastik agar lebih awet, memiliki panjang 22 m, tinggi 25 cm dan lebar 2 m. Bak bagian kedua berukuran panjang 40 cm, tinggi 25 cm, dan lebar 2 m. Pada bagian bawah bak ke-2 dilubangi dengan 5 buah lubang sejajar. Pada lubang ke3 atau lubang tengah dipasang pipa paralon sepanjang 50 cm yang berujung di bak penampung. Bak erosi ditempatkan di lokasi dengan kelerengan yang relatif homogen dan tidak memiliki lekukan kontur yang sulit. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pengendapan tanah sebelum masuk ke dalam bak penampung.
Artikel Ilmiah
Selanjutnya contoh larutan sebanyak 600 ml dibawa ke laboratorium untuk diendapkan selama 24 jam. Setelah itu, contoh air tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring yang sebelumnya telah dioven selama 2 jam dalam suhu 60 oC dan telah diketahui berat awalnya. Contoh tanah yang disaring tersebut, selanjutnya dioven selama 2 jam dalam suhu 100 oC. Setelah dioven, didiamkan sesaat, untuk kemudian ditimbang dan dicatat beratnya sebagai berat akhir. Nilai indeks bahaya erosi (IBE) merupakan rasio antara nilai erosi yang terjadi dengan nilai T (tolerable soil erosion) atau nilai erosi yang diperbolehkan. Nilai IBE kurang dari 1,00 dikategorikan sebagai tingkat bahaya erosi rendah, artinya laju erosi yang terjadi tidak membahayakan produktivitas tanah yang bersangkutan, nilai IBE 1,00-4,00 dikategorikan sedang, nilai IBE 4,0010,00 dikategorikan tinggi, dan nilai IBE lebih dari 10,00 dikategorikan sangat tinggi (Hammer 1981 yang diacu dalam Pokja Erosi dan Sedimentasi 2002). Nilai T pada masing-masing satuan lahan dapat ditentukan dengan cara merujuk pedoman penetapan nilai T untuk tanah-tanah di Indonesia (Arsyad 1989 yang diacu dalam Pokja Erosi dan Sedimentasi 2002). Tanah sangat dangkal (< 25 cm) di atas batuan memiliki nilai T sebesar 0 ton ha-1 tahun-1. Tanah sangat dangkal (< 25 cm) di atas bahan telah melapuk (tidak terkonsolidasi) memiliki nilai T sebesar 4,8 ton ha-1 tahun-1. Tanah dangkal (25-50 cm) di atas bahan telah melapuk memiliki nilai T sebesar 9,6 ton ha-1 tahun-1. Tanah dengan kedalaman sedang (50-90 cm) di atas bahan telah melapuk memiliki nilai T sebesar 14,4 ton ha-1 tahun-1. Tanah yang dalam (> 90 cm) dengan lapisan bawah yang kedap air di atas substrata yang telah melapuk memiliki nilai T sebesar 16,8 ton ha-1 tahun-1. Tanah yang dalam (> 90 cm) dengan lapisan bawah berpermeabilitas lambat, di atas substrata telah melapuk memiliki nilai T sebesar 19,2 ton ha-1 tahun-1. Tanah yang dalam (> 90 cm) dengan lapisan bawah berpermeabilitas sedang, di atas substrata telah melapuk memiliki nilai T sebesar 24,0 ton ha-1 tahun-1. Tanah yang dalam (> 90 cm) dengan lapisan bawah yang permeabel, di atas substrata telah melapuk memiliki nilai T sebesar 30,0 ton ha-1 tahun-1.
Hasil dan Pembahasan
Gambar 1 Contoh plot pengamatan metode bak erosi. Pengukuran erosi di lapangan dilakukan seminggu sekali atau setelah hujan. Apabila terdapat air dalam bak penampung, maka air dan tanah yang ada pada bak penampung diaduk secara merata, kemudian volume air yang terdapat pada bak penampung diukur secara teliti.
62
Laju erosi tanah dan faktor yang mempengaruhinya Berdasarkan data dan informasi lapangan diperoleh bahwa jenis tanah di areal penelitian sebagian besar adalah podsolik merah kuning yang sangat rentan terhadap erosi. Studi ini merujuk pada hasil penelitian kelompok kerja (Pokja) erosi dan sedimentasi (2002) yang menyatakan bahwa jenis tanah podsolik merah kuning memiliki nilai T (tolarable soil erosion) atau nilai erosi yang diperbolehkan adalah sebesar 9,6 ton ha-1 tahun-1. Berdasarkan data yang telah diolah dari data hasil pengukuran bak erosi, besar erosi yang terjadi pada areal blok RKT 2008 TPTI di bawah tegakan yang baru selesai
JMHT Vol. XV, (2): 61-65, Agustus 2009 ISSN: 0215-157X
Artikel Ilmiah
selesai dilakukan kegiatan operasional pemanenan kayu dan pada areal tersebut tidak segera dilakukan perlakuan konservasi tanah, misalnya pembuatan cross drain dan penanaman cover crop. Areal bekas TPN di blok RKT 2007 TPTI memiliki laju erosi tanah yang tinggi karena areal tersebut memiliki keterbukaan yang tinggi akibat ketiadaan tajuk yang menutupi areal ini dan pada areal tersebut tidak segera dilakukan perlakuan konservasi tanah, misalnya penanaman cover crop. Areal hutan bekas tebangan di blok RKT 2007 TPTI telah ditinggalkan lebih dari setahun yang lalu dari kegiatan operasional pemanenan hutan sehingga erosi yang terjadi lebih kecil jika dibandingkan dengan areal hutan bekas tebangan di blok RKT 2008 TPTI. Areal hutan bekas tebangan di blok RKT 2007 TPTI sudah memiliki lebih banyak tumbuhan yang tumbuh dan menaungi lantai hutannya. Walaupun tidak semua areal di lokasi ini ditutupi oleh pohon dan hanya ditutupi oleh rumput-rumputan
kegiatan penebangan adalah sebesar 27,81, besar erosi di areal blok RKT 2007 TPTI di bawah tegakan bekas penebangan adalah sebesar 1,70 ton ha-1 tahun-1. Sedangkan besar erosi pada areal blok RKT 2007 TPTI yang berada di bekas TPN adalah sebesar 16,75 ton ha-1 tahun-1. Pada bak erosi di RKT 2007 TPTII/Silin di jalur tanam, besar erosi yang terjadi adalah 4,76 ton ha-1 tahun-1. Jumlah erosi terkecil pada pengukuran dengan menggunakan metode bak erosi berada pada kawasan lindung (KPPN) di bawah tegakan yaitu sebesar 1,19 ton ha-1 tahun-1 (Tabel 1). Berdasarkan data pada Gambar 2, areal hutan bekas tebangan pada blok RKT 2008 TPTI dan areal bekas TPN pada blok RKT 2007 TPTI memiliki laju erosi yang lebih besar dibandingkan areal yang lain. Kedua areal tersebut memiliki indeks bahaya erosi antara 1,00-4,00 yang dikategorikan sebagai tingkat bahaya erosi sedang. Areal hutan bekas tebangan di blok RKT 2008 TPTI memiliki laju erosi tanah yang tinggi karena pada areal tersebut baru
Tabel 1 Laju erosi tanah pada areal hutan bekas tebangan Lokasi pengukuran erosi
4 5
-1
3
-1
2
RKT 2008 TPTI (petak bekas tebangan) RKT 2007 TPTI (bekas TPN) RKT 2007 SILIN (jalur tanam) RKT 2007 TPTI (petak bekas tebangan) Kawasan Lindung (KPPN)
Laju erosi (ton ha tahun )
1
Laju erosi (ton ha-1 tahun-1)
Nilai T (ton ha-1 tahun-1)
27,81
9,6
IBE (Indeks Bahaya Erosi) 2,90
TBE (Tingkat Bahaya Erosi) Sedang
16,75
9,6
1,74
Sedang
4,76
9,6
0,50
Rendah
1,70
9,6
0,18
Rendah
1,19
9,6
0,12
Rendah
RKT 2007 SILIN (bekas tanam
RKT 2007 TPTI (petak bekas tebangan)
30 25 20 15 10 5 0 RKT 2008 TPTI RKT 2007 TPTI (petak bekas (bekas TPN) tebangan)
Kawasan Lindung (KPPN)
Lokasi pengamatan Gambar 2 Laju erosi tanah pada areal hutan bekas tebangan.
63
JMHT Vol. XV, (2): 61-65, Agustus 2009 ISSN: 0215-157X
tetapi ini lebih efektif menanggulangi erosi. Meskipun air hujan yang jatuh tidak dapat tereduksi oleh tajuk namun rumput-rumputan dapat menahan laju erosi, sehingga bahan organik yang ada pada permukaan tanah tidak akan kemana-mana.Dengan lantai hutan yang tertutupi naungan tegakan hutan maka lantai hutan pada lokasi pengamatan ini jadi terhindar dari erosi tanah. Areal hutan bekas tebangan pada jalur tanam di blok RKT 2007 SILIN memiliki laju erosi yang lebih besar jika dibandingkan dengan RKT 2007 TPTI. Walaupun samasama telah ditinggalkan dari kegiatan operasional pemenenan kayu selama setahun, namun terdapat perbedaan sistem pemanenan kayu berdasarkan teknik silvikultur yaitu TPTI dengan SILIN (TPTI Intensif). Silvikultur TPTI menerapkan sistem tebang pilih permudaan alami. Silvikultur TPTI Intensif menerapkan sistem tebang habis permudaan buatan pada jalur tanam selebar 3 meter dan sistem tebang pilih permudaan alami pada jalur antara selebar 17 meter. Jalur tanam memiliki syarat bahwa sepanjang jalur tanam diharuskan bersih dari tajuk, sehingga lantai hutan mendapatkan sinar matahari penuh. Tetapi jika jalur ini terkena hujan, maka erosi yang terjadi pun akan menjadi besar, yang dapat menyebabkan erosi pada areal ini lebih besar dibandingkan areal hutan bekas tebangan pada blok RKT 2007 TPTI. Areal hutan di kawasan lindung memiliki laju erosi tanah yang paling kecil dibandingkan areal yang lain. Nilai erosi pada areal ini digunakan sebagai kontrol, dimana pada areal ini tidak dilakukan kegiatan pemanenan hutan. Kawasan lindung memiliki banyak pohon-pohon yang membentuk strata tegakan hutan. Strata yang berlapislapis dapat mereduksi kekuatan air hujan yang turun, sehingga erosi yang terjadi pada kawasan ini lebih kecil. Strategi penanggulangan erosi tanah. Terdapat beberapa alternatif strategi penanggulangan erosi tanah yang efektif untuk mengurangi laju erosi yang terjadi akibat kegiatan pemanenan hutan. Strategi penanggulan erosi tanah dikembangkan melalui analisis yang dilakukan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi tanah. Faktor-faktor tersebut antara lain: kegiatan pemanenan hutan tidak didasari dengan teknik pemanenan hutan yang benar dan ramah lingkungan, tidak adanya perencanaan jalan sarad sehingga banyak merusak tegakan dan menyebabkan keterbukaan lantai hutan, kurang adanya penanganan segera terhadap areal bekas tebangan pasca kegiatan pemanenan hutan misalnya penanaman cover crop dan pembuatan cross drain, serta adanya kondisi kelerengan lapangan yang cukup curam. Alternatif strategi penanggulangan erosi tanah akibat kegiatan pemanenan hutan yang bisa dilakukan antara lain melakukan konservasi tanah sedini mungkin dengan pembuatan cross drain pada jalan sarad yang baru ditinggalkan sehingga dapat mengurangi laju erosi di jalan sarad tersebut, terutama pada jalan sarad yang memiliki
64
Artikel Ilmiah
kelerengan cukup curam. Pembuatan cross drain di lapangan sebagian sudah dilakukan, namun masih memerlukan perbaikan sehingga dapat lebih efektif. Alternatif konservasi tanah yang lain adalah melakukan penanaman cover crop atau tumbuhan penutup tanah pada areal bekas tebangan, areal bekas jalan sarad dan areal bekas TPN. Sebagian besar arealareal ini hanya dibiarkan dan tidak dilakukan penanaman cover crop. Penanaman cover crop akan lebih efektif jika ditumbuhi oleh tanaman-tanaman pioneer cepat tumbuh yang berasal dari areal setempat. Perlakuan konservasi tanah yang dilakukan segera setelah kegiatan pemanenan hutan dapat dikombinasikan antara pembuatan cross drain dan penanaman cover crop. Kombinasi ini akan lebih efektif untuk mengurangi laju erosi tanah pada areal bekas tebangan, areal bekas jalan sarad dan areal bekas TPN. Alternatif strategi yang lain adalah perbaikan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihanpelatihan. Perbaikan kemampuan sumber daya manusia ditujukan agar mereka mampu menerapkan teknik pemanenan hutan yang benar dan ramah lingkungan, menyusun perencanaan pemanenan hutan dan perencanaan jalan sarad secara benar, dan mengaplikasikan teknik konservasi tanah secara benar, seperti pembuatan cross drain dan penanaman cover crop.
Kesimpulan Areal hutan bekas tebangan pada blok RKT 2008 TPTI dan areal bekas TPN pada blok RKT 2007 TPTI memiliki tingkat bahaya erosi yang sedang. Areal hutan bekas tebangan pada blok RKT 2007 TPTI dan pada blok RKT 2007 TPTI Intensif memiliki tingkat bahaya erosi yang rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya erosi di areal hutan bekas tebangan akibat kegiatan pemanenan hutan antara lain kurangnya penerapan teknik pemanenan hutan yang benar dan kurangnya tindakan konservasi tanah. Alternatif strategi penanggulangan erosi tanah yang mungkin diterapkan antara lain pembuatan cross drain dan penanaman cover crop di areal bekas jalan sarad yang telah ditinggalkan dan penerapan teknik pemanenan hutan yang benar.
Saran 1 2
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk lebih mengembangkan hasil penelitian ini. Perlu dilakukan kegiatan monitoring secara terusmenerus pada kegiatan pemanenan hutan dan kegiatan pengukuran erosi tanah di areal bekas tebangan.
JMHT Vol. XV, (2): 61-65, Agustus 2009 ISSN: 0215-157X
Daftar Pustaka Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2008. Buku Statistik Kehutanan Indonesia. Jakarta. Kelompok Kerja Erosi dan Sedimentasi. 2002. Kajian Erosi dan Sedimentasi Pada DAS Teluk Balikpapan
Artikel Ilmiah
Kalimantan Timur, Laporan Teknis Proyek Pesisir, TE-02/13-I, CRC/URI, Jakarta. Purwowidodo. 1999. Konservasi Tanah di Kawasan Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor: IPB Press. Rahim SE. 2003. Pengendalian Erosi Tanah dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Jakarta: Bumi Aksara.
65
IDENTIFIKASI ABRASI PANTAI PERAIRAN TELUK LASOLO KENDARI SULAWESI TENGGARA Oleh : B. Rachmat, Y. Noviadi dan L. Arifin Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Jl. Dr. Junjunan 236 Bandung-40174 Diterima : 02-03-2009; Disetujui : 13-11-2009
SARI Berdasarkan hasil pengamatan, abrasi pantai yang terjadi di perairan Teluk Lasolo disebabkan oleh aksi gelombang laut yang menjalar dari laut dalam disebelah timur daerah telitian ke arah perairan teluk. Aktifitas gelombang ini menyebabkan terangkutnya sedimen/batuan dari pantai ke arah laut melalui gerakan arus sejajar pantai dan arus tegak lurus pantai. Sedimen yang terangkut akan terbawa terus ke arah laut dalam oleh pergerakan arus laut yang dominan berarah tenggara. Kondisi ini menyebabkan pantai di sekitar perairan Teluk Lasolo mengalami defisit material/sedimen sehingga pantai mengalami abrasi secara kontinyu. Cara yang paling efektif untuk penanganan abrasi pantai di sekitar perairan Teluk Lasolo adalah dengan cara membuat tipe bangunan penahan pantai yang berbentuk groin sejajar dan disesuaikan dengan kondisi hidrooseanografi, morfologi dasar laut dan garis pantainya. Kata kunci : abrasi, pantai, arus, gelombang, sedimen
ABTRACT Based on observation result, coastal abration that happened in waters of Teluk Lasolo due to action of sea wave propagating from deep sea in eastside the research area into the waters bay. This wave activity causes transporting of sedimen from coast to the sea by the longshore and rip currents movement. Transported sedimen will be brought to the deep sea by the movement of dominan south-eastern. This condition causes coastal waters around Teluk Lasolo of deficit sedimen will affected the coastal abration in continue. The most effective way to handle coastal abration around territorial waters of Teluk Lasolo is build the breakwater in form of parallel groin and according to the hydrooceanography, morphology of sea floor and coastline conditions. Keyword : abration, coastal, current, wave, sediment
PENDAHULUAN Wilayah perairan Teluk Lasolo terletak pada koordinat 122o 12’ 00’’- 122o 27’ 00’’ BT dan 3o 30’ 00’’- 3o 45’ 00’’ LS secara administratif termasuk kedalalam wilayah Kabupaten Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara. Daerah ini dapat dicapai melalui jalan darat sekitar 3 jam dan jalur laut sekitar 10 jam dari Kendari.
Penelitian abrasi pantai di perairan Teluk Lasolo telah dilakukan oleh tim Puslitbang Geologi Kelautan pada bulan Nopember tahun 2003. Salah satu permasalahan yang sangat penting yang perlu ditanggulangi secara cepat adalah masalah abrasi pantai. Abrasi pantai di sekitar perairan Teluk Lasolo sudah berlangsung sejak lama, masyarakat di sekitar
JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 7, No. 3, Desember 2009
123
tinggi maksimum terutama pada saat musim timur, yaitu sekitar Bulan Juli sampai September. Dilihat dari potensi sumberdaya alam, daerah sekitar perairan Teluk Lasolo mempunyai potensi yang sangat besar, terutama nikel yang telah ditambang secara besarbesaran oleh beberapa perusahaan tambang, salah satunya PT Aneka Tambang. Permasalahan abrasi pantai telah menyebabkan tidak adanya sarana untuk pengangkutan hasil tambang melalui jalur laut karena tidak adanya pelabuhan. Puslitbang Geologi Kelautan mencoba untuk membantu menyelesaikan permasalahan abrasi ini dengan melakukan pengukuran parameter hidrooseanografi di Gambar 1. Lokasi penelitian wilayah perairan Teluk Lasolo, yang terdiri atas kegiatan pengamatan pasang surut, pengamatan pantai Teluk Lasolo baik secara swadaya trayektori arus (float tracking), pengukuran arus maupun dengan dana bantuan dari pemerintah statis dan pengamatan gelombang. Tujuan dari daerah Kabupaten Kendari telah berusaha kegiatan ini adalah menyediakan data dasar membuat tanggul-tanggul buatan (bangunan parameter hidroosenografi dan memberikan penahan gelombang). Penahan gelombang yang saran secara teknis kepada Pemerintah Daerah sederhana seperti menumpuk batu-batuan setempat terhadap upaya penanggulangan abrasi maupun dengan membuat tanggul dari beton pantai di sepanjang perairan Teluk Lasolo. sudah dilakukan, namun upaya tersebut belum mampu mengurangi resiko bahaya abrasi terhadap sarana infra struktur yang ada. METODE PENELITIAN Pemukiman penduduk, pelabuhan nelayan, Metode penelitian yang dilakukan yaitu; sekolah dan fasilitas umum lainnya terkena pengamatan pasang surut, pengamatan dampak abrasi tersebut. Penyebab abrasi yang trayektori arus, pengukuran arus stasioner, dan paling utama adalah gelombang laut yang datang pengamatan gelombang. dari arah timur. Gelombang ini menyebabkan adanya arus sejajar pantai dan tegak lurus pantai Pengamatan Pasang Surut yang membawa material dari pantai terutama Pengamatan pasang surut pada penelitian pasir ke arah laut, sehingga daerah pantai ini dilakukan dengan menggunakan alat rambu mengalami depisit material dan terjadilah abrasi ukur pasang surut yang ditempatkan di Dermaga di sekitar pantai. Tinggi gelombang mencapai Desa Laimeo, Kecamatan Sawa dengan posisi
124
JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 7, No. 3, Desember 2009
122o 25’ 24.09” BT dan 3o 44’ 56.90” LS selama 15 hari mulai dari tanggal 24 Juli sampai dengan 8 Agustus 2004. Pembacaan dilakukan secara menerus dengan selang waktu pembacaan setiap 1 jam. Data hasil pengukuran ini selanjutnya diuraikan menjadi komponen harmonik pasang surut yang terdiri atas 9 komponen (M2, S2, N2, K1, O1, M4, MS4, K2 dan P1) melalui perhitungan dengan menggunakan metode British Admiralty. Komponen pasang surut ini digunakan untuk menghitung kedudukan muka air laut rata-rata (MSL), air rendah terendah (LWS), air tinggi tertinggi (HWS) dan menentukan tipe pasang surut. Pengamatan Trayektori Arus Pengamatan trayektori arus dilakukan untuk mengetahui pergerakan massa air yang menyangkut arah dan kecepatan gerak massa air. Peralatan trayektori arus terdiri atas 2 (dua) buah “Cruciform” untuk mengukur arus permukaan (1 m) dan arus bawah (5 m). Untuk mengetahui pola pergerakan arah dan kecepatan arus, dipasang Global Positioning System (GPS) pada setiap bouy (pelampung) dan waktunya diset setiap 10 menit secara bergiliran untuk setiap kedalaman. Berdasarkan data posisi yang dicatat selanjutnya dilakukan pengabungan vectorvektor arah dan kecepatan pada satu siklus pasang surut. Harga kecepatan arus dengan menggunakan metode float tracking ini hanya di dasarkan pada jarak dan waktu yang ditempuh oleh cruciform selama pengamatan. Oleh karena itu metode ini biasanya dititikberatkan untuk mengetahui pola arus di suatu lokasi perairan tertentu, sedangkan harga kecepatannya dipakai sebagai pembanding dengan harga kecepatan yang diperoleh dengan alat ukur currentmeter. Pengukuran Arus Stasioner Pengukuran arus stasioner dimaksudkan untuk mengetahui kecepatan dan arah arus absolute di lokasi perairan Teluk Lasolo. Pengamatan arus ini dilakukan di satu lokasi, yaitu disebelah timur Tanjung Taipa atau tepatnya pada posisi 122o 25’ 4.9” BT dan 3o 44’ 37.8” LS. Pengukuran ini dilakukan pada dua kedalaman berbeda yaitu kedalaman 2 m untuk arus permukaan dan kedalaman 10 m untuk arus bawah. Pengukuran arus ini dilakukan secara
kontiyu selama 25 jam dari tanggal 24 sampai dengan 25 Juli 2004 dengan selang pengamatan setiap 1 jam dengan menggunakan peralatan Electronic Currentmeter Tipe Doppler. Data arus ini selanjutnya diolah dengan melakukan perhitungan matematis untuk menghitung komponen arah arus pasang surut dan non pasang surut, pengklasifikasian arus berdasarkan arah dan kecepatan untuk mengetahui arah arus dominan dan penggambaran hubungan arus dengan pasang surutnya. Pengamatan Gelombang Laut Pengamatan gelombang laut dilakukan secara visual dengan menggunakan rambu ukur pada beberapa lokasi. Pembacaan harga tinggi dan periode gelombang dilakukan setiap jam selama 12 jam dari jam 6:00 sampai jam 18:00 pada tanggal 26 Juli 2004 dengan cara merataratakan harga pembacaan dari 10 gelombang datang yang mengenai rambu, sedangkan arah datang gelombang diukur dengan menggunakan kompas. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan Pasang Surut Karakteristik pasang surut di perairan Teluk Lasolo diperlihatkan pada Gambar 2 sedangkan hasil perhitungan dengan metode Admiralty diperlihatkan pada Tabel 1. Dapat dilihat bahwa tipe pasang surutnya adalah campuran ganda dengan lama waktu posisi air pasang cukup lama. Hal ini diperkuat oleh hasil perhitungan berdasarkan perbandingan antara amplitude (tinggi gelombang) unsur-unsur pasut tunggal utama (O1 dan K1) dengan amplitude unsur-unsur pasut ganda utama (M2 dan S2) diperoleh harga indeks Formzahl sebesar 0.52378. Harga F = 0.52378 termasuk kedalam tipe campuran (dominan ganda), yaitu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam waktu sehari semalam. Waktu posisi air pasang yang cukup lama akan berkorelasi dengan lama dan luasnya penetrasi gelombang ke arah pantai pada saat angin berhembus di permukaan laut, karena zona gelombang pecah di laut akan mendekati pantai pada saat posisi air pasang. Sedangkan perbedaan muka air laut pada saat pasang maksimum dan surut minimum untuk daerah pengamatan sebesar 23,8 dm. Posisi air saat
JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 7, No. 3, Desember 2009
125
Gambar 2. Kurva pasang surut di Dermaga Laimeo, Kecamatan Sawa Kendari
Tabel 1. Hasil perhitungan konstanta harmonik pasang surut di Dermaga Desa Laimeo, Sulawesi Tenggara. A(cm)
S0
M2
S2
N2
K2
K1
O1
P1
M4
154.8
59.3
30.2
3.7
6.9
25.4
21.4
8.4
0.2
1.3
-177.8
100.0
173.8
100.0
101.7
287.8
101.7
34.2
-55.1
G
pasang maksimum dan surut minimum adalah pada saat bulan purnama. Pengamatan Trayektori Arus Pengamatan trayektori arus ini dilakukan untuk mengetahui pergerakkan kecepatan dan arah arus dominan yang paling berpengaruh di perairan Teluk Lasolo terhadap proses terjadinya abrasi pantai dan transport sedimen pantai di sepanjang perairan Teluk Lasolo. Pengamatan trayektori arus ini dilakukan pada kondisi saat pasang dan saat surut, yaitu tanggal 29 dan 30 Juli 2004. Gambar 3 memperlihatkan trayektori arus saat pasang dan Gambar 4 memperlihatkan trayektori arus saat surut. Dari bentuk trayektori arus terlihat bahwa kondisi arus pada saat pasang maupun surut di perairan Teluk Lasolo dominan berarah tenggara dengan kecepatan arus pada saat surut lebih besar dari pada saat pasang. Untuk arus permukaan pada saat surut kecepatannya mencapai 0.416 m/det sedangkan pada saat
126
JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 7, No. 3, Desember 2009
MS4
pasang kecepatannya 0.087 m/det. Sementara itu untuk arus menengah pada saat surut kecepatannya mencapai 0.238 m/det, sedangkan pada saat pasang kecepatannya 0.205 m/det. Sementara itu dilihat dari jarak trayektori arus yang ditempuh pada saat pasang maupun pada saat surut terlihat bahwa pada saat surut kecepatan arus lebih besar daripada saat pasang. Pada saat surut arus permukaan lebih cepat daripada arus menengah sebaliknya pada saat pasang arus permukaan lebih lambat daripada arus menengah. Hal yang unik terjadi pada arah arus, dimana pada saat pasang maupun surut arah arus menuju ke arah tenggara. Keunikan pola pergerakan arus diperairan Teluk Lasolo ini dipengaruhi oleh keadaan teluk yang merupakan perairan semi tertutup, keadaan global sistem arus di perairan sekitarnya dan keadaan morfologi dasar lautnya. Salah satunya adalah pengaruh arus lintas Indonesia (arlindo) yang mengalir dari Samudra Pasifik (sebelah utara)
Gambar 3. Trayektori arus pada saat pasang di perairan Teluk Lasolo
Gambar 4. Trayektori arus pada saat surut di perairan teluk Lasolo
JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 7, No. 3, Desember 2009
127
menuju arah Samudra India (sebelah selatan). Arlindo di perairan Indonesia melintasi perairan sebelah barat dan sebelah timur Sulawesi. Di sebelah barat arlindo mengalir melalui Selat Makassar, kemudian massa air ini sebagian masuk ke Samudra India melalui Selat Lombok sebagian lagi berbelok ke arah timur menuju Laut Banda. Sedangkan di sebelah timur laut Sulawesi arus ini mengalir melalui Laut Halmahera menuju ke selatan menyusur pantai dan laut sepanjang perairan timur Sulawesi sampai Laut Banda bertemu dengan arlindo yang melalui bagian barat, selanjutnya arus ini berbelok menuju ke arah timur masuk ke Samudra India melalui Selat Flores dan Selat Timor (Syamsudin, 2002). Berdasarkan dari fenomena arus global, terlihat bahwa kondisi hidro-oseanografi perairan pantai timur Sulawesi sangat dipengaruhi oleh adanya arlindo, termasuk diantaranya kondisi hidro-oseanografi di perairan Teluk Lasolo. Di perairan Teluk Lasolo pengaruh arlindo ditandai dengan masuknya massa air dari perairan sebelah utara, selanjutnya massa air ini berbelok menuju arah tenggara sesuai dengan kondisi morfologi dasar laut dan garis pantai perairan Teluk Lasolo. Hal inilah yang menyebabkan arah arus dominan ke arah tenggara pada saat pasang maupun surut. Kondisi trayektori arus ini menjadi salah satu faktor pendukung terhadap percepatan proses abrasi pantai di perairan Teluk Lasolo. Arus ini akan mengangkut material hasil erosi oleh gelombang (rip current dan longshore current) di pantai ke arah laut lepas tanpa adanya imbangan dari arus pasang yang biasanya berlawanan dengan arus surut di daerah teluk, sehingga arah transpor sedimen di perairan ini berlangsung satu arah yaitu ke arah laut lepas. Kesetimbangan antara material sedimen yang keluar dan suplai sedimen yang masuk menjadi tidak seimbang, dimana sedimen yang keluar lebih besar daripada suplai sedimen yang masuk, kondisi ini yang menyebabkan terjadinya kemunduran garis pantai yang kontinyu di sepanjang pantai bagian barat Teluk Lasolo. Pengukuran Arus Perhitungan Arus Pasang Surut: Perhitungan arus pasang surut ini bertujuan untuk memisahkan komponen arus pasang surut
128
JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 7, No. 3, Desember 2009
dengan komponen arus non pasang surutnya. Harga kecepatan dan arah arus hasil pemisahan arus pasang surut dan non pasang surut adalah merupakan harga rata-rata. Berdasarkan hasil perhitungan arus pasang surut di lokasi pengukuran diperoleh hasil sebagai berikut : Arus permukaan: Arah arus dominan pasang surut cenderung berarah tenggara-selatan dan timur dengan kecepatan arus menuju tenggara-selatan lebih besar yaitu sebesar 0.118 m/det dan yang menuju timur sekitar 0.013 m/det, sedangkan untuk arus non pasang surut arah dominannya menuju tenggara dengan kecepatan 0.119 m/det. Arus Bawah: Arah arus dominan pasang surut cenderung berarah selatan-baratdaya dan barat dengan kecepatan arus menuju selatan-baratdaya lebih besar yaitu sebesar 0.069 m/det dan yang menuju barat sekitar 0.012 m/det, sedangkan untuk arus non pasang surut arah dominannya menuju selatan dengan kecepatan 0.070 m/det. Diagram Bunga Arus: Pembuatan diagram bunga arus ini dilakukan untuk mengetahui arah arus dominan, khususnya di lokasi titik pengukuran. Pembuatan diagram bunga arus ini didasarkan pada pengklasifikasian arus menurut arah dan kecepatannya pada lokasi titik pengukuran. Berdasarkan diagram bunga arus permukaan arah dominan berarah tenggara-selatan baik pada saat pasang maupun surut (Gambar 5 dan Gambar 6), sedangkan untuk arus bawah arah arus dominan berarah selatan-baratdaya (Gambar 7 dan Gambar 8). Berdasarkan harga distribusi kecepatannya, arus yang berarah tenggara-selatan cenderung mempunyai kecepatan lebih besar daripada arus yang berarah selatan-baratdaya. Kecepatan arus rata-rata berdasarkan data hasil pengukuran untuk arus permukaan adalah 0.126 m/det dan untuk arus bawah adalah 0.096 m/det, sedangkan kecepatan arus maksimum untuk arus permukaan adalah 0.222 m/det dengan arah tenggara dan arus bawah adalah 0.166 m/det dengan arah timur. Harga kecepatan arus yang diperoleh dari hasil pengukuran dengan currentmetre berbeda dengan hasil pengukuran dengan cara floattracking. Untuk menentukan harga arus
Gambar 5. Diagram bunga arus permukaan saat pasang
Gambar 6. Diagram bunga arus bawah saat pasang
JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 7, No. 3, Desember 2009
129
Gambar 7. Diagram bunga arus permukaan saat surut
Gambar 8. Diagram bunga arus bawah saat surut
130
JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 7, No. 3, Desember 2009
absolut harga pengukuran yang diambil adalah harga pengukuran arus hasil pengukuran dengan currentmetre karena mempunya ketelitian yang lebih akurat. Adapun harga kecepatan arus yang diperoleh dengan cara floattracking hanyalah sebagai pembanding dan pengukuran ini lebih dititikberatkan pada pola arusnya bukan pada harga kecepatanmya. Hubungan Pola Arus dengan Pasang Surut: Penggambaran pola arus dan pasang surut dilakukan untuk melihat fenomena hubungan antara gerakan naik turunnya air laut (pasang surut) pengaruhnya terhadap pola arus di sekitar daerah telitian. Hasil penggambaran pola arus dan pasang surut menunjukkan bahwa di titik pengukuran pola arus menunjukkan adanya korelasi antara perubahan kondisi pasang surut dengan pola arusnya. Kecepatan arus maksimum terjadi pada saat surut minimum untuk arus permukaan, sedangkan pada saat pasang maksimum kecepatan arus permukaan dan arus bawah hampir sama. Gambaran hubungan antara pasang surut dengan arah dan kecepatan arus di perairan Teluk Lasolo, Sulawesi Tenggara diperlihatkan pada Gambar 9 dan Gambar 10. Pengamatan Gelombang Pengamatan gelombang dilakukan dibeberapa lokasi dengan cara pengamatan visual. Lokasi-lokasi tersebut adalah pantai Molawe, pantai Banda Eha, Tanjung Taipa dan sebelah timur pantai Laimeo. Secara umum arah penjalaran gelombang di sekitar perairan Teluk Lasolo selama pengamatan berasal dari timurlaut-timur dengan tinggi gelombang ratarata antara 20 – 50 cm dan periode gelombang 5 – 8 detik pada keadaan normal. Kondisi ini bisa berubah secara ekstrim hingga mencapai tinggi gelombang 1 – 2 meter saat angin bertiup kencang khususnya pada saat musim timur berlangsung, berdasarkan data iklim dari Bandar Udara Kendari sepanjang tahun angin timur bertiup antara 6 - 8 bulan. Gelombang yang timbul di perairan ini selain yang dibangkitkan oleh angin juga gelombang yang ditimbulkan karena alun dari laut lepas, dimana gelombang ini juga cukup signifikan berpengaruh terhadap proses terjadinya abrasi pantai di sepanjang pantai Teluk Lasolo. Pada keadaan normal tipe gelombang yang dominan adalah tipe plunging, sedangkan pada
saat terjadi gelombang besar tipe gelombang yang terjadi adalah tipe surging dengan arah datang gelombang dominan tegak lurus pantai. Proses terjadinya abrasi pantai oleh gelombang di perairan Teluk Lasolo sebagian besar terjadi pada tipe pantai berpasir. Pada saat gelombang pecah sebagian besar energi gelombang dihancurkan dalam turbulensi. Butir pasir digerakkan dari dasar dan tersuspensi oleh turbulensi. Pecahnya gelombang tersebut menghempaskan massa air ke pantai dengan membawa material pasir ke laut. Massa air tersebut menghancurkan sisa energinya dengan runup ke pantai sebagian air yang naik tersebut akan kembali ke laut dengan cara perkolasi melalui pantai, dan sebagian besar lainnya kembali ke laut melalui permukaan pantai. Air yang kembali tersebut cukup turbulen, sehingga pasir yang terangkut ke laut cukup signifikan (Triatmodjo, 1999). Pasir yang terbawa ke laut tidak kembali kedarat oleh gerakan gelombang berikutnya karena pada daerah ini lebar surf zonenya cukup pendek dengan morfologi dasar lautnya yang curam sehingga material pasir yang terbawa akan terus ke laut oleh gerakan arus tegak lurus pantai (rip current). Hal ini menganggu sistem kesetimbangan suplai sedimen antara darat dan laut sehingga terjadi kekosongan suplai sedimen pasir ke arah pantai yang menyebabkan secara perlahan-lahan terjadi kemunduran garis pantai. Kondisi ini akan lebih parah lagi pada saat terjadi gelombang besar dimana gelombang pecah sudah diluar garis pantai dan gempuran gelombang akan mengerosi daratan pantai termasuk rumahrumah yang ada disekitar pantai tersebut, selanjutnya membawa material pantai yang cukup besar itu ke arah laut. Daerah yang parah terkena abrasi pantai yaitu mulai dari Tanjung Taipa hingga pantai Mandiodo. Daerah abrasi ini dicirikan dengan banyaknya pohon-pohon disepanjang pinggir pantai yang tumbang, mundurnya garis pantai dan rusaknya infra suktur lainnya disepanjang pantai Teluk Lasolo. Penduduk di sekitar pantai telah berupaya untuk menangulangi abrasi pantai dengan cara membuat tumpukan batu di pinggir pantai, seperti terlihat di pantai Molawe dan pantai Lembo Bajo, namun hasilnya tidak efektif dan proses abrasi masih terus berlangsung. Di beberapa lokasi telah dibuat tanggul-tanggul penahan gelombang berupa jetty seperti di JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 7, No. 3, Desember 2009
131
Gambar 9. Kurva yang menunjukan hubungan antara pasang surut dan kecepatan arus di perairan Teluk Lasolo
Gambar 10. Kurva yang menunjukan hubungan antara pasang surut dan Teluk Lasolo
132
JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 7, No. 3, Desember 2009
arah arus di perairan
Gambar 11. Peta abrasi pantai di sekitar pantai Teluk Lasolo
Molawe dan Tinobu, namun fungsi bangunan ini hampir tidak ada malah sebaliknya menyebabkan terjadinya abrasi pantai yang lebih parah pada daerah sekitarnya seperti kasus di Tinowu. Gambar 11 memperlihatkan peta abrasi pantai di sekitar pantai Teluk Lasolo. Melihat karakteristik dari hidrooseanografinya gelombang laut di perairan ini menyebabkan terjadinya arus sejajar pantai (longshore current) dan arus tegak lurus pantai (rip current). Gelombang yang menyebabkan arus tegak lurus pantai terjadi mulai Tanjung Taipa sampai Tinobu sedangkan gelombang yang menyebabkan arus sejajar pantai terjadi di
sekitar perairan Desa Matamoy sampai Desa Molawe. Berdasarkan karakteristik arus disekitar pantai tersebut di atas pembuatan jetty tunggal tidak efektif untuk menanggulangi proses abrasi pantai di daerah Tinowu dan sekitarnya. Pembuatan jetty cukup efektif kalau gelombang yang menuju pantai membentuk arus sejajar pantai sehingga pembuatan jetty ini diharapkan dapat memerangkap sedimen pantai. Kenyataannya di sekitar perairan ini arus yang dominan di pantai adalah arus yang tegak lurus pantai sehingga sedimen yang terbawa tidak di transport sejajar pantai tapi langsung di bawa ke JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 7, No. 3, Desember 2009
133
laut, akibatnya proses abrasi pantai disekitar perairan ini terus berlansung. Bentuk bangunan pantai yang cocok untuk penangulangan bahaya abrasi sekitar perairan Tinowu adalah bangunan pemecah gelombang lepas pantai. Untuk melakukan pembuatan bangunan tipe ini harus dilakukan studi khusus yang menyeluruh dan detil sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penanggulangan abrasi di daerah ini. Kejadian sebaliknya terjadi di perairan Molawe dan sekitarnya dimana gelombang laut dominan menyebabkan arus sejajar pantai. Arus sejajar pantai di perairan ini bergerak ke arah baratlaut dan membawa material hasil erosi dari pantai sebelah timur sehingga menyebabkan majunya garis pantai di sebelah timur Dermaga Molawe, sedangkan di sebelah barat dermaga terjadi abrasi yang parah. Kondisi ini menyebabkan dermaga di Desa Molawe yang dibangun Pemda setempat tidak berfungsi sama sekali karena terjadi pendangkalan dan letaknya yang salah sehingga kapal-kapal tidak bisa merapat karena gelombang. Untuk menanggulangi permasalahan abrasi di sekitar perairan ini bentuk bangunan pantai yang cocok adalah groin berjajar yang berfungsi untuk memerangkap sedimen yang terbawa oleh arus sejajar pantai. Untuk pembuatan groin ini perlu dilakukan kajian lebih dalam terutama terhadap pengukuran arus detil dan model transport sedimennya. KESIMPULAN Kondisi regional perairan di luar perairan Teluk Lasolo sangat mempengaruhi kondisi hidrooseanografi di dalam perairan Teluk Lasolo. Kondisi ini berpengaruh terhadap pola pergerakkan arus dan tinggi gelombang datang di dalam perairan sekitar Teluk Lasolo. Pola pergerakkan arus di dalam perairan teluk dominan berarah tenggara, hal ini sangat dipengaruhi oleh keadaan perairan teluk yang semi tertutup dan arus global (adanya arlindo), sedangkan kondisi gelombang yang terjadi di dalam perairan teluk tidak hanya dibangkitkan oleh kondisi angin lokal, tetapi juga disebabkan karena penjalaran gelombang dari laut dalam di luar perairan teluk. Tingginya gelombang yang terjadi didalam teluk disebabkan gelombang
134
JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 7, No. 3, Desember 2009
yang menjalar dari laut dalam mengalami difraksi dan gesekan akibat perubahan morfologi dasar laut sehingga daerah pantai akan senantiasa dihantam gelombang setiap saat, dan kejadian paling parah terjadi pada saat musim tenggara. Aktifitas gelombang ini menyebabkan terangkutnya sedimen/batuan dari pantai ke arah laut melalui gerakan arus sejajar pantai dan arus tegak lurus pantai. Sedimen yang terangkut akan terbawa terus ke arah laut dalam oleh pergerakan arus laut yang dominan berarah timur. Kondisi ini menyebabkan pantai mengalami defisit material/sedimen, sehingga pantai akan mengalami abrasi secara kontinyu. Penanganan abrasi pantai di sekitar perairan Teluk Lasolo hanya mungkin dilakukan pada beberapa daerah vital saja yang bernilai ekonomi, yaitu dengan cara membuat tipe bangunan penahan pantai yang berbentuk groin sejajar yang disesuaikan dengan kondisi hidrooseanografi, kondisi morfologi dasar laut dan garis pantainya. UCAPAN TERIMAKASIH Kami mengucapkan terimakasih kepada Kapuslitbang Geologi Kelautan, Bapak Ir. Subaktian Lubis, M.Sc. yang telah menugaskan tim untuk melakukan penelitian di perairan Teluk Lasolo, Kendari, Sulawesi Tenggara. Tidak lupa kepada rekan-rekan yang telah memberikan saran dan masukan sehingga makalah ini diterima dan dapat terbit. ACUAN Rachmat, B., Yogi Noviadi., Indra, A., Noor Cahyo, D.A., 2003, Penelitian Abrasi Pantai Perairan Lasolo, Kendari Sulawesi Tenggara, Puslitbang Geologi Kelautan, Laporan intern, Tidak dipublikasi. Syamsudin, F., 2002, Arus Lintas Indonesia dan Fenomena ENSO, Laboratorium Ocean-Atmosphere, Universitas Hiroshima. Triatmodjo, B., 1999, Teknik Pantai, Gramedia, Jakarta
JMHT Vol. XIV, (2): 88-95, Agustus 2008 ISSN: 0215-157X
Pemikiran Konseptual
Pembangunan, Deforestasi dan Perubahan Iklim Development, Deforestation and Climate Change
Bowo Dwi Siswoko*
Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta
Abstract Natural resources utilities to fulfill human’s needs have been occurring massively since a concept of “progress” became human’s dreams. To achieve the progress, development concept that means as serious efforts to avoid damage and strive into betterment has emerged. The first development ideology that was emerged and developed was modernization. Industrialization as main character of modernization caused improvement in various aspects of life. From environmental aspect, economic improvement achieved has caused various environmental impacts that harmful to human’s life, such as deforestation, forest degradation and climate change. Since 1980’s, deforestation has extended to a very complex environmental issue globally. Deforestation could be seen as a side effect of a particular policy or political action. On the other hand, deforestation caused other various environmental problems, such as global warming. Global warming occurred since there was an increase of greenhouse gases concentration in the atmosphere. The relation among development, deforestation, and climate change was analyzed through analysis on power relation and conflict of interest among actors involved. The analysis showed that various strategies in development and environmental impact mitigations that conducted by developing countries were actually a form of power and knowledge domination of developed countries. Through international institutions, they are offering atonement concepts in various schemes which imply particular missions that basically they still want to obtain profits from developing countries without taking the risks from the execution of the schemes. Keywords: development, modernization, deforestation, global warming, power relation *Penulis untuk korespondensi, e-mail:
[email protected]
Pendahuluan Tulisan ini bermaksud untuk menguraikan dan menganalisis keterkaitan antara konsep dan aktivitas pembangunan dengan berbagai isu lingkungan. Kedua hal tersebut diduga memiliki hubungan fungsional yang kuat terutama jika ditinjau dari sudut pandang teori politik lingkungan. Banyak ilmuwan pemerhati lingkungan yang mencoba menguraikan hubungan kausal diantara keduanya berdasarkan kenyataan empiris melalui analisis terhadap data lapangan. Beberapa diantaranya berupaya untuk mengkompromikan keduanya agar tidak saling kontraproduktif. Sebagian lagi membahas tentang munculnya berbagai kebijakan negara tentang penyelamatan lingkungan sebagai bentuk respon dari berbagai problem lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas pembangunan. Tulisan ini menyajikan sisi lain dari hubungan tersebut, yaitu dari sudut pandang relasi kuasa yang terjadi diantara aktor yang terlibat dalam berbagai proses pembangunan dan dampak yang ditimbulkan. Konsep politik selalu berkaitan dengan aktor, kepentingan dan kekuasaan. Usaha dari setiap aktor untuk mewujudkan keinginan atau kepentingannya
sering diartikan sebagai politik. Lasswel (dalam Varma 2003) mengartikan politik sebagai sebuah perjuangan untuk meraih sesuatu dalam keterbatasan sumberdaya. Dengan demikian, setiap bentuk pemanfaatan sumberdaya alam oleh manusia untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya akan selalu bersentuhan dengan dimensi-dimensi politik. Hal ini dikarenakan sebagian sumberdaya alam bersifat terbatas dan dibutuhkan oleh sekian banyak manusia, sehingga dimungkinkan terjadi perebutan untuk mendapatkannya. Siapa yang memiliki kekuatan dan kekuasaan akan mendapatkan bagian lebih banyak dibandingkan mereka yang tidak memilikinya. Dari sinilah sering muncul adanya ketidakadilan dalam mendapatkan kemanfaatan dari sumberdaya alam yang ada. Di sisi lain, manusia sering berbuat rakus dan hilang kendali dalam aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam, sehingga kadang melebihi kapasitas daya dukung sumberdaya tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya degradasi sumberdaya alam yang kemudian diikuti dengan munculnya dampak negatif yang dapat merugikan manusia. Dari sinilah muncul berbagai usaha manusia untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya ataupun upaya 88
JMHT Vol. XIV, (2): 88-95, Agustus 2008 ISSN: 0215-157X
penanggulangan dampak negatif yang ditimbulkan. Dikarenakan hal ini menyangkut kepentingan banyak pihak dan melibatkan sekian banyak aktor, maka kedua usaha tersebut tidak mudah dilakukan, dan bahkan sering terjadi konflik di dalamnya. Deforestasi, degradasi hutan dan perubahan iklim (climate change) telah menjadi isu lingkungan yang menarik perhatian banyak pihak dalam empat dekade terakhir, dan diprediksi akan terus menjadi topik pembicaraan kedepannya karena kompleksitas yang dimilikinya. Kerusakan hutan dengan berbagai komponen biofisiknya dianggap berkontribusi pada peningkatan pemanasan global (global warming) yang merupakan salah satu varian dari perubahan iklim. Pemanasan global diyakini akan memiliki sekian dampak negatif yang membahayakan kehidupan manusia. Peningkatan emisi gas rumah kaca yang menjadi salah satu penyebabnya merupakan fenomena yang hampir tak tertanggulangi dalam suasana kehidupan modern yang bersifat konsumtif seperti saat ini. Kepunahan beberapa jenis makhluk hidup, munculnya badai tropika, kekeringan dan banjir, hilangnya keragaman hayati (biodiversity) serta degradasi lahan menjadi ancaman yang menakutkan sehingga memaksa manusia berfikir keras untuk menahan laju degradasi hutan dan pemanasan global. Negara maju maupun berkembang, lembaga-lembaga internasional, dan berbagai civil society telah terlibat dalam upaya penanggulangan tersebut. Dalam perjalanan negosiasi, kerjasama, dan implementasi dari berbagai bentuk kebijakan penyelamatan dari deforestasi, degradasi hutan dan pemanasan global, masing-masing aktor akan berinteraksi dan melakukan tawar-menawar untuk menyepakati sebuah konsensus yang dianggap mampu mengakomodir kepentingan masing-masing. Pada titik inilah dinamika politik mulai berlangsung dan berkembang. Dalam dinamika ini akan terjadi berbagai bentuk relasi kuasa yang terjadi baik antar aktor yang dominan (pemilik kekuasaan) maupun antara aktor dominan dengan aktor yang terpinggirkan (lemah). Relasi kuasa tersebut terkadang berjalan tidak adil dan cenderung merugikan pihak tertentu. Pihak yang dirugikanpun seringnya tidak menyadari bahwa dia sedang dijajah oleh pihak lain, sehingga dia akan terus menikmati penjajahan tersebut. Berangkat dari latar belakang di atas, tulisan diarahkan untuk menjelaskan relasi kekuasaan yang terjadi dalam kancah politik lingkungan untuk penyelamatan dunia dari kejahatan deforestasi dan perubahan iklim global. Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia diungkap dan dianalisis lebih lanjut guna mendukung argumentasi dan tendensi-tendensi yang didapatkan nantinya. Dalam melakukan pembacaan dan analisis terhadap fenomena tersebut, penulis akan memanfaatkan berbagai kerangka pemikiran dalam sebuah teori pembangunan yang bernama postmodernisme.
Pemikiran Konseptual
Postmodernisme Postmodernisme lebih dikenal sebagai gerakan pemikiran dan bukan merupakan suatu teori perubahan sosial. Namun analisis postmodernisme terhadap modernisme termasuk kritik. Analisis tentang diskursus (discourse), kekuasaan (power), dan pengetahuan (knowledge) merupakan sumbangan yang besar terhadap kritik pembangunan yang merupakan diskursus yang menyiratkan dominasi pendisiplinan dan normalisasi Dunia Pertama (negara maju) terhadap Dunia Ketiga (negara berkembang). Dari Foucault kita belajar bahwa diskursus pembangunan adalah alat untuk mendominasi. Dalam empat dekade terakhir, diskursus pembangunan menjadi strategi dominasi, dan digunakan sebagai alasan untuk memecahkan masalah ‘keterbelakangan’ yang dirancang setelah Perang Dunia Kedua. Padahal, keterbelakangan rakyat adalah akibat dari kolonialisme yang panjang (Fakih 2006). Esensi dari pemikiran kaum postmodernis adalah bahwa mereka melihat konsep-konsep atau gagasan pembangunan merupakan sebuah pengetahuan, dan pengetahuan tersebut tidak pernah lepas dari kekuasaan. Jadi menurut mereka, pengetahuan adalah sebuah kekuasaan. Pengetahuan merupakan produk dari sebuah relasi kekuasaan tertentu. Namun kekuasaan tidak semata-mata hasil dari pengetahuan. Oleh karena itu untuk dapat melihat atau menemukan pola-pola hubungan kekuasaan dalam sebuah pengetahuan perlu dilakukan diskursus terhadap pengetahuan tersebut. Kaum postmodernis menganggap bahwa pembangunan merupakan sebuah konsep untuk membentuk atau mengatur sebuah masyarakat atau negara sesuai dengan keinginan dari pemilik kekuasaan. Negara-negara maju sebagai pemilik kekuasaan menyadari bahwa kelangsungan kekuasaan mereka juga bergantung kepada negara-negara berkembang. Untuk melanggengkan kekuasaan tersebut perlu dilakukan proses subordinasi terhadap negara-negara berkembang menjadi negara dalam kategori abnormal. Sedangkan apa yang ada di negaranegara maju dianggap sebagai sesuatu yang normal. Berbagai konsep pembangunan kemudian ditawarkan oleh negara maju untuk mengubah kondisi negara berkembang dari abnormal menjadi normal. Proses pendisiplinan dengan penetapkan siapa yang dianggap normal dan abnormal serta usaha-usaha yang harus dilakukan agar yang abnormal menjadi normal itulah yang sering dimaknai sebagai sebuah relasi kekuasaan. Analisis terhadap kekuasaan dan kemajuan pengetahuan memungkinkan kita untuk memahami peran pengetahuan pembangunan dalam melanggengkan dominasi terhadap kaum marjinal. Pembangunan di negara berkembang adalah contoh sempurna tentang tempat berbagai kekuasaan dunia, sekaligus adanya hubungan penting tentang bagaimana kekuasaan ditolak di negara berkembang dan di negara maju. Praktek kekuasaan dapat dilihat, tetapi sulit 89
JMHT Vol. XIV, (2): 88-95, Agustus 2008 ISSN: 0215-157X
diidentifikasi, yakni di dalam diskursus tempat bersatunya kekuasaan dan pengetahuan (Fakih 2006).
Relasi Kuasa di Balik Eksploitasi Sumberdaya Alam Pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia berjalan dengan masif semenjak konsep progress (kemajuan) telah menjadi cita-cita setiap manusia. Konsep ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap ajaran teologis tentang life cycle yang menyatakan bahwa siklus kehidupan manusia terdiri dari tiga fase, yaitu born, adult dan dead. Ajaran ini dianggap melemahkan semangat manusia untuk berkarya dan berjuang dalam hidup ini, karena nantinya manusia akan mati. Sehingga dimunculkanlah ajaran baru tentang siklus hidup untuk mengkounter efek negatif dari ajaran tersebut yaitu born, adult dan progress. Dalam ajaran ini progress akan menjadi citacita akhir yang selalu akan dikejar dan diperjuangkan oleh manusia. Konsep progress tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam tiga macam kriteria, yaitu rationality (ilmu pengetahuan dan teknologi), prosperity (ekonomi) dan liberty (politik). Untuk memperoleh kemajuan tersebut maka muncullah konsep pembangunan (development), artinya sebuah upaya serius untuk menghindari kehancuran atau kerusakan menjadi sesuatu yang lebih baik (betterment). Pembangunan juga dikonsepsikan sebagai upaya untuk mengubah dari masyarakat tradisional (dengan karater statis, dikuasai alam, dan irasional) menjadi masyarakat modern (dengan karakter menguasai alam, dinamis, dan rasional), sehingga teori pembangunan yang pertama kali muncul dan berkembang adalah teori modernisasi. Pada intinya, berbagai pemikiran dalam teori ini berupaya untuk mengubah masyarakat terbelakang menjadi masyarakat modern dengan indikator kemajuan yang utama berupa pertumbuhan fisik dan ekonomi. Sejak saat itulah setiap negara berlomba-lomba untuk mencapai kemajuan tersebut dengan salah satunya melakukan eksploitasi terhadap sumberdaya alam. Bagi negara-negara negara berkembang, proses kolonialisasi dari negara-negara barat (negara maju) kepada mereka selama berabad-abad selalu menyebabkan rakyat di negara terjajah kehilangan hak dan kesempatan menikmati sumberdaya alam yang mereka miliki. Pada awalnya, penjajahan dilakukan secara fisik dengan menguras kekayaan alam dan tenaga manusia di negara terjajah, namun dalam perkembangannya kolonialisasi berubah bentuknya menjadi adanya penetrasi teknologi dan ilmu pengetahuan yang menyebabkan negara-negara berkembang tetap terpinggirkan dan dirugikan. Salah satu bentuk dominasi negara barat tersebut adalah keberhasilan mereka menjadikan modernisasi sebagai sebuah ide dasar dalam pembangunan yang harus dilaksanakan oleh negara berkembang guna
Pemikiran Konseptual
memperoleh kemajuan sebagaimana yang telah diraih oleh negara-negara maju. Ide dasar dari konsep pembangunan yang dimunculkan oleh negara barat tersebut sebenarnya merupakan sebuah upaya untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya secara kontinyu dari kemajuan pengetahuan dan industri yang mereka miliki, sebagaimana tersirat dalam pernyataan Presiden Amerika Serikat Harry Truman pada tahun 1949 (dalam Banerjee 2003), yang kemudian dikemas dalam berbagai skema pembangunan di negara-negara berkembang (terbelakang). Landasan pemikiran tersebut mengharuskan adanya pemisahan dan penetapan kategori siapa negara maju yang harus ditiru dan siapa negara berkembang yang harus dilaksanakan pembangunan padanya. Kemudian melalui lembagalembaga internasional, diciptakanlah kategori-kategori dengan indikator yang diciptakan oleh negara maju yang menyebabkan negara berkembang dan terbelakang masuk ke dalam kategori underdevelopment. Pengkategorian ini mengakibatkan negara berkembang berusaha sedemikian rupa untuk mencapai kemajuan sebagaimana yang telah diraih oleh negara maju dengan skema-skema tertentu yang dalam prakteknya cenderung merupakan sebuah bentuk eksploitasi negara maju kepada mereka. Masyarakat di negara berkembang akan berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan eksploitasi sumberdaya alam yang mereka miliki untuk mendapatkan uang guna meningkatkan perekonomian mereka. Tindakan ini dalam kenyataannya cenderung tidak terkontrol dan mengabaikan kelestarian alam. Ini disebabkan karena mereka tergiur oleh janji-janji pembangunan melalui skema modernisasi yang dianggap bisa mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup mereka. Dalam skema ini, pertumbuhan ekonomi menjadi sesuatu yang mutlak harus dicapai dalam pembangunan. Industrialisasi sebagai ciri utama dari abad modernisasi telah melahirkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan. Namun demikian, pembangunan dengan label ini masih menyisakan kemiskinan di berbagai negara yang oleh mereka dianggap sebagai negara berkembang. Perbedaan antara si kaya dan si miskin juga semakin tajam serta beberapa masyarakat pinggiran tetap kehilangan hak dan kemerdekaan untuk memperoleh manfaat secara lebih adil dari pembangunan. Jika dilihat dari aspek lingkungan, kemajuan yang berhasil dicapai secara ekonomis dari pembangunan telah melahirkan berbagai dampak lingkungan yang berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia, antara lain adalah pemanasan global (global warming), hilangnya keragaman hayati, erosi dan banjir, penipisan lapisan ozon, serta polusi udara dan air.
90
JMHT Vol. XIV, (2): 88-95, Agustus 2008 ISSN: 0215-157X
Deforestasi dan Perubahan Iklim sebagai Isu Politik Global Isu lingkungan mulai masuk dalam pembicaraan politik semenjak terdeteksinya berbagai macam penurunan kualitas lingkungan yang dapat mengancam keselamatan kehidupan manusia. Kerusakan hutan, hilangnya kesuburan tanah, pengotoran udara, kelangkaan air, dan berbagai problem lingkungan lainnya menyebabkan manusia menjadi sadar akan perlunya upaya untuk menyelamatkan lingkungan. Berbagai aktivitas fisik dan budaya manusia dalam mencukupi kebutuhan hidup dianggap sebagai penyebab utama kerusakan tersebut. Hal ini dikarenakan perilaku manusia tersebut tidak mematuhi norma dan etika lingkungan dan cenderung berbuat sewenang-wenang terhadap berbagai sumberdaya alam demi meraih kemajuan terutama dalam bidang ekonomi yang merupakan tujuan utama dari pembangunan dengan label modernisasi. Pada prinsipnya, ada tiga hal yang menyebabkan terjadinya degradasi atau kerusakan lingkungan. Yang pertama adalah adanya eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui, yang meliputi eksploitasi bahan bakar fosil, eksploitasi hutan untuk bahan bakar kayu, dan alih fungsi hutan untuk lahan pertanian dan industri. Yang kedua adalah terjadinya pembebanan terhadap alam yang melebihi kapasitas atau daya dukungnya, misalnya adanya akumulasi berlebih dari logam berat di tanah dan terlalu tingginya konsentrasi gas rumah kaca di udara. Yang ketiga adalah terus berlangsungnya pengrusakan ekosistem untuk berbagai kepentingan manusia, misalnya untuk lahan pemukiman penduduk, tanaman industri dan berbagai pembangunan infrastruktur (Bruhl dan Simonis 2001). Dampak dari adanya over eksploitasi terhadap sumberdaya alam yang akan diuraikan lebih lanjut dalam tulisan ini adalah terjadinya deforestasi, degradasi hutan dan pemanasan global. Menurut Humphreys (1996), deforestasi terjadi ketika areal hutan ditebang habis dan diganti dengan bentuk penggunaan lahan lainnya. Sedangkan degradasi hutan merupakan penurunan kualitas hutan, dan terjadi ketika diversitas dari spesies tertentu dan potensi biomassa mengalami penurunan yang signifikan dikarenakan sebab tertentu misalnya karena adanya pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang tidak dilakukan secara lestari. Sejak tahun 1980-an, deforestasi telah menjadi isu lingkungan global yang sangat kompleks. Kompleksitas tersebut muncul karena dua faktor. Yang pertama adalah bahwa isu deforestasi telah melibatkan sekian banyak aktor politik mulai dari negara sampai dengan masyarakat sipil (civil society) baik nasional maupun internasional yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung terhadap pemanfaatan hutan. Yang kedua adalah karena keterkaitan erat dari isu deforestasi tersebut dengan isu-isu politik dan lingkungan lainnya.
Pemikiran Konseptual
Deforestasi bisa dianggap sebagai produk dari sebuah kebijakan atau tindakan politik tertentu, dan disisi lain deforestasi menjadi penyebab munculnya berbagai permasalahan lingkungan lainnya, seperti pemanasan global, erosi tanah, dan kerusakan biodiversitas (Humphreys 1996). Di Indonesia, deforestasi sering terjadi antara lain karena adanya program-program pembangunan tertentu, misalnya pembukaan hutan untuk lahan pemukiman dan pertanian di areal transmigrasi. Selain itu juga banyak terjadi alih fungsi hutan untuk kegiatan pertambangan dan perindustrian yang seringkali hal ini memunculkan konflik baik antara masyarakat dengan pengusaha maupun antara pengusaha dengan berbagai lembag swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang penyelamatan lingkungan. Sedangkan degradasi hutan di Indonesia disebabkan oleh antara lain adanya kesalahan dalam manajemen hutan seperti penebangan yang melebihi etat dan permudaan yang selalu gagal. Selain itu juga karena adanya pencurian kayu dan hasil hutan lainnya secara masal oleh masyarakat sekitar hutan yang merasa tidak mendapat keadilan dalam memanfaatkan sumberdaya hutan dan terhimpit oleh persoalan ekonomi keluarga. Menurut Bank Dunia (dalam Handadhari 1999), hutan tropika di Indonesia mengalami kerusakan sekitar 1 juta hektar pertahunnya. Salah satu dampak utama dari deforestasi adalah terjadinya penurunan kualitas atmosfer. Deforestasi berkontribusi pada pemanasan global yang terjadi karena adanya peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (greenhouse gases) yang menyebabkan kenaikan suhu udara global. Proses tersebut kemudian dikenal dengan istilah radiative forcing. Ada empat gas rumah kaca utama yang berkontribusi dalam proses tersebut, yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O) dan klorofluorokarbon (CFCs). Pemanasan global tersebut berpotensi untuk mendatangkan bencana yang sangat membahayakan. Diprediksikan bahwa pemanasan global yang terus bertambah akan dapat menyebabkan perubahan pola produksi pertanian global, mencairnya es di kutub Artic dan Antartic, peningkatan suhu air laut dan peningkatan permukaan air laut yang dapat mengancam kehidupan di berbagai pantai di dunia (Humphreys 1996). Perhatian dunia internasional terhadap isu perubahan iklim (climate change) bermula dari adanya Climate Convention yang ditandatangani di Rio de Janiero pada tahun 1992. Bodansky (1996) mengidentifikasi adanya tiga faktor yang menyebabkan isu perubahan iklim berkembang dari permasalahan ilmu pengetahuan menjadi isu politik internasional. Yang pertama adalah bahwa isu ini telah menyebabkan sekian banyak ilmuwan dan non-govermental organization (NGO/LSM) melaksanakan berbagai konferensi dan workshop guna membahas isu tersebut. Pada pertengahan tahun 1980, berbagai kebijakan tentang iklim mendapatkan momentum untuk 91
JMHT Vol. XIV, (2): 88-95, Agustus 2008 ISSN: 0215-157X
berkembang ketika berbagai konsensus dari para ilmuwan tentang isu pemanasan global telah berhasil masuk ke dalam agenda pembahasan dari para komunitas politik. Yang kedua adalah penemuan adanya lubang ozon pada tahun 1987 telah menarik perhatian dunia terhadap isu lingkungan atmosfer tersebut. Dan yang ketiga adalah terjadinya musim panas yang aneh (luar biasa) yang terjadi di Amerika pada tahun 1988, yang kemudian para ilmuwan menjelaskan bahwa hal itu akibat dari aktivitas manusia, telah menarik perhatian publik dan memberikan tekanan kepada ranah politik atau para pengambil kebijakan untuk memperhatikan isu lingkungan tersebut (Wilenius 1999). Sejak saat itulah isu perubahan iklim menjadi pembicaraan hangat oleh dunia internasional dengan munculnya berbagai aktor nasional maupun internasional yang senantiasa bernegosiasi dan berdiskusi mengenai bagaimana upaya untuk mencegah dan menanggulangi semakin parahnya tingkat pemanasan global maupun cara untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan. Negosiasi tersebut merupakan cerminan dari upaya politis dari masingmasing aktor tersebut untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing terkait dengan isu ini. Berbagai konvensi internasional berhasil disepakati berkaitan dengan isu ini, antara lain yang terkenal adalah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC, 1992) dan Kyoto Protocol (1997). Berbagai konvensi yang ada telah memaksa negara maju dan negara berkembang untuk menjalankan kebijakan tertentu guna menanggulangi dampak perubahan iklim tersebut.
Bentuk Dominasi Kekuasaan dan Pengetahuan Kasus pengelolaan hutan tropika di Indonesia. Setelah Bangsa Indonesia lepas dari kolonialisme, pemerintah mulai melakukan berbagai pembenahan dan perbaikan di setiap sektor kehidupan, baik sosial, politik maupun ekonomi. Ketika bangsa ini kemudian rela untuk menggunakan indikator-indikator fisik dan ekonomi untuk menentukan arah dan cita-cita pembangunan, maka modernisasi menjadi pilihan ideologi yang tak terelakkan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa modernisasi merupakan produk negara maju untuk melanggengkan dominasi kekuasaannya atas negara berkembang dalam bentuk lain. Negara maju telah memiliki sarana dan prasarana serta pengetahuan yang lengkap untuk berlangsungnya proses modernisasi, sehingga setiap bangsa manapun yang membutuhkannya harus mengimpornya dari mereka. Sebagai contoh adalah bahwa dalam bingkai modernisasi, maka ada dual hal pokok yang harus tersedia, yaitu modal dan strategi pembangunan. Kedua hal ini pada awalnya tidak dimiliki oleh Bangsa Indonesia, sehingga bangsa ini perlu upaya untuk mendapatkannya. Modal pembangunan bisa didapatkan
Pemikiran Konseptual
dari pinjaman luar negeri dan kemudian digunakan untuk mengeksploitasi sumberdaya alam yang dipunyai (salah satunya adalah hutan) untuk mendapatkan dana segar pembangunan. Kemudian untuk ilmu pengetahuan tentang strategi pembangunan mau tidak mau kita harus mengimpornya dan yang terpilih adalah teori dari Rostow yang kemudian diwujudkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa awal kemerdekaan di bawah pemerintahan Presiden Sukarno, sektor kehutanan masih menjadi sektor ekonomi pinggiran dan pengusahaan hutan skala besar belum berkembang. Setelah Orde Lama tumbang, untuk mengatasi kesulitan ekonominya, rezim Orde Baru berupaya menggenjot pertumbuhan devisa sebesar-besarnya melalui eksploitasi sumber daya alam termasuk diantaranya adalah hutan. Pemanfaatan sumber daya hutan terutama terhadap hutan tropika (di luar Jawa) untuk menyokong devisa negara tersebut dimulai sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 68 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan untuk merangsang usaha di bidang kehutanan dengan sasaran hutan alam di Luar Jawa. Sejak saat itulah sektor kehutanan menjadi andalan dalam mempercepat pertumbuhan devisa negara (Nurrochmat 2005). Dengan kebijakan tersebut, negara berhasil mendapatkan keuntungan yang cukup besar sehingga mendapatkan dana segar guna melaksanakan pembangunan di berbagai sektor dan dapat melunasi hutang-hutang luar negerinya baik kepada Bank Dunia maupun dari negara-negara maju lainnya. Bahkan sampai dengan awal tahun 1990-an, Indonesia berhasil menguasai pasar produk kayu dari hutan tropika, baik berupa kayu mentah (log) maupun kayu olahan (kayu lapis), dan mampu mengalahkan pesaing-pesaing dari negara Asia lainnya maupun negara maju. Hal ini cukup membanggakan, meskipun yang terjadi adalah bahwa prestasi tersebut harus dibayar dengan adanya kerusakan hutan tropika yang cukup signifikan dan terus meningkat dari tahun ketahun. Menurut Nurdjana dkk. (2005), dampak dari kerusakan hutan di Indonesia menurut data Departemen Kehutanan tahun 2003 menyebutkan bahwa luas hutan di Indonesia yang rusak mencapai 43 juta hektar dari total 120,35 juta hektar, dengan laju degradasi hutan dalam tiga tahun terakhir mencapai 2,1 juta hektar pertahun. Kemudian pada tahun 2004, data dari Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta hektar dan negara telah kehilangan Rp 8,3 miliar perhari akibat illegal logging. Berangkat dari realitas tersebut, negara-negara maju yang sebenarnya telah mengalami proses industrialisasi dengan mengorbankan sumberdaya 92
JMHT Vol. XIV, (2): 88-95, Agustus 2008 ISSN: 0215-157X
hutan yang mereka miliki kemudian menuduh bahwa proses penggundulan hutan tropika mempunyai andil cukup besar pada proses penambahan pemanasan global (global warming), sehingga mereka mendesak negara-negara berkembang yang memiliki hutan tropika termasuk Indonesia, untuk melakukan penanganan terhadap masalah ini. Tuduhan ini sebenarnya telah dibantah oleh negara berkembang dengan menyatakan bahwa hal tersebut merupakan pernyataan sepihak dari negara-negara maju, karena kalau ingin membahas isu global warming harus melihat hutan secara global, yaitu hutan tropika dan juga hutan temperate yang umumnya ada pada negaranegara maju, sehingga jangan hanya menyalahkan negara berkembang. Konflik kepentingan ini kemudian dalam berbagai kasus dimenangkan oleh negara maju melalui berbagai skema politik yang dimainkannya. Ketika Indonesia mengalami krisis moneter dan ekonomi misalnya, pada saat itu kemudian International Monetary Fund (IMF) menawarkan berbagai macam bantuan untuk menyelesaikan krisis tersebut dengan syarat Indonesia harus mentaati butirbutir kesepakatan yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI). Dalam LoI inilah kekuasaan dan kontrol negara maju dimainkan agar mereka dapat terhindar dari ancaman adanya monopoli di pasar kayu hutan tropika, terutama oleh Indonesia. Salah satu butir kesepakatan itu adalah harus dibubarkannya Badan Pemasaran Bersama (BPB) dalam penjualan produk kayu lapis Indonesia. Padahal sebenarnya lembaga ini telah berhasil mengatur dan mengelola sirkulasi ekspor kayu lapis dari Indonesia dengan baik. Dengan pembubaran badan ini maka setiap industri kayu lapis Indonesia bisa langsung memasarkan produknya ke luar negeri dalam jumlah dan dengan harga berapapun, sehingga suplai kayu lapis di pasaran meningkat tajam dan negara-negara maju dapat membelinya dengan harga yang relatif murah. Kemudian terkait dengan dampak kerusakan hutan tropika, maka untuk menyelamatkan negara-negara maju dari ancaman kerusakan lingkungan, mereka mengeluarkan sebuah strategi yang dinamakan ekolabel eco-labelling, sebagai upaya untuk mengerem laju eksploitasi dan pengrusakan hutan tropika. Menurut Prakosa (1996), para konsumen produk perkayuan di negara-negara Eropa dan Amerika Utara memiliki kecenderungan akan memilih produk yang proses pembuatannya tidak merusak lingkungan. Karena selera konsumen merupakan unsur pokok dalam pemasaran, maka para produsen umumnya mengantisipasi ini dengan mencantumkan pada produk mereka bahwa barang yang mereka jual sejak awal proses pembuatannya tidak merusak lingkungan, dalam bentuk label yang kemudian dikenal dengan istilah ecolabelling. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Khakim (2005) bahwa isu sistem labelisasi atau eco-labelling mulai digulirkan oleh beberapa negara maju setelah mereka menilai atau bahkan mencurigai
Pemikiran Konseptual
adanya pengrusakan hutan tropika secara besar-besaran yang berdampak terhadap kerusakan lingkungan global secara serius berupa pemanasan global. Akibatnya, labelisasi terhadap hasil hutan menjadi suatu kewajiban bagi negara produsen kayu hutan tropika seperti Indonesia, dimana pengelolaan hutan harus dilakukan secara berkesinambugan. Pertarungan kepentingan dalam isu Climate Change. Perdebatan tentang isu perubahan iklim hingga saat ini masih berkembang terutama dalam hal siapa yang paling berkontribusi dalam peningkatan pemanasan global dan siapa yang harus bertanggung jawab menanggulanginya. Negara-negara maju dengan aktivitas industrinya tentu akan menjadi sasaran paling mudah untuk dicap sebagai penghasil gas rumah kaca terbesar di atmosfer, sehingga negara majulah yang mestinya bertanggung jawab. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Wilenius (1999), bahwa faktor paling utama yang menyebabkan meningkatnya emisi gas rumah kaca adalah tingkat konsumsi yang tinggi dari individu dan masyarakat terutama di negaranegara maju sebagai ciri dari kehidupan modern, sehingga akan sangat sulit untuk mencari upaya penanggulangannya kecuali dengan mengubah gaya hidup modern tersebut. Namun negara maju juga melemparkan tuduhan kepada berbagai negara yang memiliki sumberdaya hutan tropika besar yang sebenarnya adalah negaranegara berkembang seperti Indonesia, bahwa deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi di negara tersebutlah yang menyebabkan pemanasan global. Dalam kasus lain, saat ini sejumlah negara telah menandatangani Protokol Kyoto tentang perubahan iklim yang merupakan tindak lanjut upaya mencegah terjadinya pemanasan global. Protokol Kyoto adalah sebuah kesepakatan internasional yang bertujuan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) rata-rata sebesar 5,2% pada tahun 2008-2012, di bawah tingkat emisi GRK rata-rata tahun 1990 (Susandi 2007). Dalam salah satu bentuk mekanisme dari Protokol Kyoto yaitu Clean Development Mechanism (CDM), padanya terdapat berbagai upaya dan kesepakatan agar negara-negara maju mampu menurunkan tingkat emisi gas rumah kacanya sampai pada level tertentu. Dalam mekanisme CDM ini negara berkembang diminta untuk berkontribusi dalam membantu negara maju dalam menurunkan emisinya. Sebagai bentuk operasionalisasi dari kesepakatan tersebut adalah bahwa bagi negara berkembang yang memiliki kekayaan alam berupa hutan tropika yang relatif luas, maka negara-negara berkembang harus melakukan pengelolaan dan pemanfaatan hutan sebaikbaiknya agar tidak terjadi degradasi hutan atau bahkan deforestasi. Kemudian, negara maju harus bersedia untuk membayar dalam jumlah tertentu atau melakukan transfer teknologi tertentu sebagai kompensasi dari upaya negara berkembang tersebut. 93
JMHT Vol. XIV, (2): 88-95, Agustus 2008 ISSN: 0215-157X
Kompensasi tersebut merupakan bentuk penghargaan atau balas jasa kepada negara berkembang yang telah bersedia untuk memelihara dan mengelola dengan baik sumberdaya hutan yang dimilikinya sehingga mampu mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Sekilas tampaknya kesepakatan tersebut berjalan adil, namun jika dicermati lebih dalam maka sebenarnya terlihat upaya negara maju untuk senantiasa melakukan kontrol dan penetrasi iptek terhadap negara berkembang. Teknologi industri yang ramah lingkungan serta mekanisme mitigasi dari dampak pemanasan global diduga telah dipersiapkan sejak awal oleh negara maju yang kemudian harus diadopsi oleh negara berkembang sesuai dengan kesepakatan tersebut. Ilmu pengetahuan tentang bagaimana menghitung emisi karbon dan sejauh mana tingkat bahayanya memang masih menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan, namun tampaknya negara maju sudah lebih siap dalam hal pengetahuan tersebut. Implikasinya adalah bahwa ukuran-ukuran tingkat emisi gas rumah kaca yang merupakan informasi dasar untuk sebuah negosiasi atau perjanjian mengenai mekanisme mitigasi yang harus dilaksanakan baik oleh negara maju maupun berkembang akan selalu mengacu pada pendapat atau temuan mereka. Harus disadari bahwa angka-angka tersebut sangat rawan untuk dimanipulasi demi tujuan politis atau kepentingan tertentu. Sementara itu, Amerika Serikat yang notabene adalah penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar menyatakan keluar dari Protokol Kyoto tersebut karena dianggap akan merugikan perekonomiannya. Hal ini merupakan satu bentuk pelarian dari tanggung jawab untuk kemudian melemparkan tanggung jawab itu kepada pihak lain.
Suap Balik Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sebenarnya negara-negara maju memiliki tangantangan kekuasaan yang mampu melakukan intervensi dan kontrol terhadap apa yang harus dilakukan oleh negara-negara berkembang. Pertama yang mereka lakukan adalah membuat suatu pernyataan dan justifikasi bahwa ada yang salah dalam proses pembangunan yang terjadi di negara berkembang, dan itu perlu segera diperbaiki. Kemudian, melalui berbagai institusi internasional yang dimilikinya mereka menawarkan konsep-konsep perbaikan dalam berbagai skema. Dalam konsep-konsep yang mereka tawarkan itulah sebenarnya terkandung misi-misi tertentu yang pada dasarnya mereka ingin tetap mendapatkan keuntungan dari negara berkembang tanpa harus menerima resiko dari dilaksanakannya konsep tersebut. Sebagai contoh bukti adalah melalui butir-butir kesepakatan dalam LoI dan isu ecolabelling, negara maju berusaha untuk tetap melanggengkan kontrol dan dominasinya kepada bangsa Indonesia melalui media pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan.
Pemikiran Konseptual
Belajar dari pengalaman tersebut, maka sebenarnya bangsa Indonesia harus lebih bijaksana dalam memilih strategi pembangunan yang akan dilaksanakan. Bangsa Indonesia tidak boleh terlalu percaya terhadap tawaran ataupun provokasi dari negara lain yang seolah-olah ingin membantunya. Bangsa Indonesia juga tidak harus selalu mengadopsi berbagai pemikiran negara maju untuk menyelesaikan berbagai persoalan di negeri ini. Bangsa Indonesia harus yakin bahwa bangsa ini memiliki nilai-nilai dan budaya luhur yang harus dilestarikan dan tidak perlu mengimpor nilai dan budaya negara lain yang belum tentu lebih baik. Segala persoalan yang ada di negeri ini hanya bangsa Indonesia sendiri yang paling mengetahuinya, dan paling mengerti bagaimana upaya yang harus ditempuh untuk mengatasinya. Sebagai contoh, dalam pembangunan sektor kehutanan, diperlukan strategi yang sangat berbeda dengan strategi pembangunan konvensional dengan unsur universal berupa modal, tenaga kerja, dan investasi. Strategi pembangunan kehutanan memiliki ciri khas yang harus senantiasa diwarnai dan dibatasi oleh dimensi-dimensi ekologis yang sangat spesifik. Selain itu ke depannya, strategi pembangunan kehutanan juga harus mampu mengakomodir partisipasi dan kepentingan dari seluruh pihak terkait serta senantiasa memperhatikan nilai-nilai budaya masyarakat lokal. Jadi pada intinya Bangsa Indonesia tidak perlu mencari citra atau warna masa depan kehutanannya pada konsep dan pemikiran dari negara lain, tetapi kita harus mampu menetapkan visi dan misi pembangunan kehutanan sesuai dengan kondisi ekologi dan tata nilai serta budaya bangsa Indonesia sendiri.
Daftar Pustaka Banerjee, S.B. 2003. Who Sustains Whose Development? Sustainable Development and the Reinvention of Nature. SAGE Publications, London. http://www.colby.edu/personal/t/thtieten/susdevg en.html. Agustus 2007. Bruhl, T. dan Simonis, U.E. 2001. World Ecology and Global Environmental Governance. Science Center Berlin D-10785, Jerman. http://skylla.wzberlin.de/pdf/2001/ii01-402.pdf. Juli 2008. Escobar, A. 1995. Encountering Development (Making and Unmaking of Third World). Princetown University Press, Princetown, New Jersey. http://www.ebookmall.com/ebook/111022ebook.html. April 2008. Fakih, M. 2006. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 250hlm.
94
JMHT Vol. XIV, (2): 88-95, Agustus 2008 ISSN: 0215-157X
Handadhari, T. 1999. Membenahi Manajemen Pengusahaan Hutan. Di dalam: Prosiding Seminar Menempatkan Kembali Ilmu Kehutanan dalam Pembangunan Kehutanan Masa Depan, Reuni Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta, 34 Desember 1999. Hlm.75-80. Hettne, B. 2001. Teori Pembangunan dan Tiga Dunia. PT Gramedia, Jakarta. 526hlm. Humphreys, D. 1996. Forest Politics. Earthscan Publication Ltd., London. 299hlm. Khakim, A. 2005. Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 302hlm. Nurdjana, I.G.M., Prasetyo T., dan Sukardi. 2005. Korupsi & Illegal Logging dalam Sistem Desentralisasi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 239hlm.
Pemikiran Konseptual
Nurrochmat, D.R. 2005. Strategi Pengelolaan Hutan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 178hlm. Prakosa, M. 1996. Rencana Kebijakan Kehutanan. Aditya Media, Yogyakarta. 142hlm. Susandi, A. 2007. Emisi Karbon dan Potensi CDM dari Sektor Energi dan Kehutanan Indonesia. Departemen Geofisika dan Meteorologi, ITB, Bandung. http://armisusandi.com/index.php? lang=&action=article.detail&kategori=working_ paper&IDArtikel.pdf. Maret 2008. Varma, S.P. 2003. Teori Politik Modern. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 516hlm. Wilenius, M. 1999. Sociology, Modernity and the Globalization of Environmental Change. International Sociology, London. http://www. unites.uqam.ca/aep/devdur_revues.htm. Maret 2008.
95
PEMEKARAN DAERAH DAN KR.ISIS LINGKUNGAN: SUATU TELAAH KRITIS ATAS KERUSAKAN ALAM Leo Agustino Dosen Fakultas Ilmu Sosial clan Ilmu Polirik, Universitas Sultan AgengTirtayasa (Unrirta), Indonesia. clan
Mohammad Agus Yusoff
Associateproftssor, ketua program sains politik clan closen di Pusat Kajian Sejarah, Politik clan Strategi, Universiti Kebangsaan Mafaysia (UKM), Mafaysia.
Diterima: 12 Aguustus 2009
Diproses: 25 Agustus 2009
Abstract
This paper discusses decentralization and its impact on the environment. It states that decentralization has emerged environmental degradation. Since decentralization took place, illegal logging, illegal mining and many other natural resources exploitation had occurred worse than ever before. Local elites (political, bureaucracies, and industries) together with the local community engage to exploit the natural resources for increase their prosperity. This is pushed for four reason: 1) legacy from the New Order period that earn money through easy way; 2) return for their campaignfund for the elected official such governor or regent; 3) patron-client relationship between the elected official and their supporters which is the former give the material resources (licenses, contract, etc) and the latter give their loyalties; and 4) revenge for poverty that they have ever around as marginalized local people in New Order period. Tofigure out this problem, the writers argue for four alternatives: 1) enhance the legal consciousness and raise the awareness for preserve the environment; 2) increase in controlling medzanism and give strict sanction for the disobediences; and 4) involve the third parties (NGO, both local and international) for overcoming the environmental crisis. Keywords: decentralization, environmental d egradation, local elites.
PENDAHULUAN
Makalah ini akan mendiskusikan clan menganalisis pemekaran claerah clan krisis lingkungan sebagai konsekuensi atas tuntutan otonomi claerah pacla era Reformasi. Mengapa makalah ini penting? Pertama, harapan akan perubahan (politik) pacla 'Reformasi' ticlak selamanya clapat tercapai clengan mulus. Salah satu ha! yang 142
Jurnal Kebijakan danAdministrasi Publik ©MagisterAd1ninistrasi P1tblik Universitas Gadjah Mada Volu1ne 13, Nomor 2 (November 2009) Leo Agustino & MohammadAgus Ynsoff, bal 142� 162
tampaknya jauh dari harapan tersebut adalah implementasi kebijakan otonomi daerah yang dilaksanakan secara serampangan, khususnya pada pelaksanaan pemekaran daerah.
Kedtta,
selain berdampak negatif terhadap anggaran belanja
negara (Anggaran Pendapatan clan belanja Negara, APBN), pemekaran daerah juga telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan.
Penjualan pasir ke
negara jiran, pembalakan hutan, penambangan batu bara besar-besaran secara liar clan eksploitasi alam dalam bentuk lain adalah sedikit dari banyak akibat pemekaran daerah yang mengatasnamakan isu putra-daerah.
Ketiga,
keberhasilan
seseorang menduduki jabatan kepala daerah melalui mekanisme Pilkada tidak jarang mendorong seseorang untuk melakukan penetrasi clan ekspolitasi pada sumber daya alam, dalam rangka mengembalikan biaya yang telah dikeluarkannya selama proses Pilkada. Kompensasi atas 'kawasan tertentu' kepada para investor ataupun biroktat yang menyokong selama kampanye merupakan aktivitas pasca pelantikan yang sering dilakukan guna memelihara loyalitas clan soliditas diantara mereka. Terakhir, lemahnya pemerintah pusat dalam memberikan sanksi pada daerah sehingga mengakibatkan kemerosotan lingkungan yang lebih drastis daripada masa sebelumnya patut mendapat perhatian lebih. Oleh karena itu, untuk membahas dinaruika politik lokal yang berkait dengan pemekaran daerah, pertarungan elite clan eksploitasi lingkungan, maka makalah ini akan dibagi ke dalam beberapa bagian untuk mensistematisasikan urutan
Pertama, pembahasan akan difokuskan pacla sentralisasi, desentralisasi clan pemekaran daerah. Ked11a, elaborasi mengenai kerusakan lingkungan yang terjadi di daerah-daerah pemekaran. Ketiga, analisis mengenai upaya untuk mencari analisisnya.
jalan keluar clari pelbagai masalah ini.
DARI SENTRALISASI, DESENTRALISASI HINGGA PEMEKARAN DAERAH Sentralisasi merupakan kebalikan clari sistem clesentralisasi, di mana kekuasaan dipegang oleh pemerintah pusat tanpa memberikan kewenangan pada pemerintah claerah.
Pemerintah Indonesia sejak Orcle Lama, terlebih la1,>i pacla masa Orcle
Baru telah menjalankan sistem ini dengan clua tujuan yakni menciptakan kesta
bilan, ketertiban clan keteraturan politik di satu sisi, demi mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi pacla sisi yang lain.
Kedua hal ini saling terkait clengan
icleologi pembangunan Orcle Baru, yaitn modernisasi model Barat. Model pem bangunan ini menjadi
trade tJJark pemerintah Soeharto karena model
sosialisme/
komunisme ala Soekarno tidak berhasil direalisasikan.
Dalam pemahaman teori modernisasi, pemerintah memainkan peranan sentral dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang dibantu oleh pengusaha lokal clan
]KAP Vo!tttne 13, Notnor 2 (NoV11111ber 2009)
143
Leo Agustino & �ifohamroad Agus Yussof
intemasional. Namun, untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh modal dalam dan luar negeri, ha! pertama yang mesti dipersiapkan oleh pemerintah fa.lab kestabilan clan keteraturan politik. Hal ini dapat dipahami ter utama jika menengok sejarah lahirnya negara-negara merdeka baru yang mengha dirkan realitas pertikaian antar-elite clan perebutan kuasa. Tidak dapat disangkal bahwa ketidakstabilan ini mengecilkan keinginan investor untuk menanamkan modalnya di negara-negara yang baru merdeka tersebut. Kondisi ini hanya dapat dihindari jika keteraturan clan ketertiban dapat diciptakan. Pemerintah Indonesia tanpa mau kehilangan momentum modernisasi meng ambil kesempatan ini. Agar tercipta keteraturan clan kestabilan, pemerintah mene rapkan konsep sentralisasi pembangunan. Disini pemerintah mengambil semua peran mulai dari formulasi, implementasi hingga evaluasi pembangunan, bahkan kebijakan. Akibatnya, komunikasi antara rakyat dengan pemerintah terputus. Pemerintah tidak tahu mengenai konsep pembangunan yang sesungguhnya dike hendaki warga karena semua bersifat top-down. Pandangan kritis terhadap pembangunan di Indonesia mulai diutarakan oleh Mortimer yang menyatakan bahwa pembangunan di Indonesia hanya menjalankan fungsinya sebagai komprador para pemilik modal (dalam Vedi R. Hadiz 2005:175). Namun, negara Orde Baru tidak menghiraukan kritikan tersebut. Bahkan mereka menjalankan semua aktivitasnya tanpa merisaukan perasaan rakyat yang ditinggalkan, ditindas bahkan merasa dikhianati. Tidak jarang dalam pembangunan selama Orde Baru berkuasa dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Kasus pembangunan Tapos, misalnya, menggam barkan bagaimana kekerasan negara terhadap rakyat dengan mengedepankan isu 1 Kekerasan clalam pembangunan Tapos terjadi mulai tahun 1971. Petani yang memiliki tanah diintimiclasi clan cliteror agar mau pinclah clari tempat asalnya oleh pihak pengembang, aparatur birokrasi setempat, hingga tentara (Lucas 1997:47-66; Dianto Bachriadi 1997:67-94). Beberapa mekanisme sistematis dalam menggusurwarga pemilik tanah di Tapos, diantaranya: penggusuran dimulai dengan menjaclikan lahan pertanian mercka sebagai ladang penggcmbalaan sapi-sapi milik PT. Rejo Sari Bwni (pengembang). Dengan dijadikannya lahan-lahan pertanian warga menjadi ladangpenggembalaan,sapi-sapi merusak ladangpertanian ra1.-yat Petani sendiri ticlak berani mengusir sapi-sapi tersebut karcna dikatakan bah,va sapi itu milik presiden. Suatu saat bahkan kotoran kotoran ternak clari ranch Tapos (yang bisa mencapai 40 truk per hari) ditebarkan begitu saja di lahan lahan rakyat, clcngan alasan agar tanahnya menjadi subur. Tetapi pacla kenyataanya n hal ini membuat \Varga menjadi tidak nyaman clan segera pindah dari tanah milik mereka. Cara lain, clikerahkannya pasukan berkucla (kuat indikasi mereka aclalah pasukan berkucla tentara Angkatan Darat) yang _ _ desa. lntmudasi berkehlling semakin menjadi-jadi manakala lahan-lahan petani mulai diratakan clengan bulldozer yang dikendarai oleh kesatuan Yon Zipur yang bersenjata bekerja sama clengan Departeme_n Pekeqaan Umum (Dianto Bachriadi & Lucas 2001:9, 12).Akibat dari pembangunan di _ warga yang kehilangan tempat tinggal, kehilangan mata pencaharian clan Tapos 1ll1 ttdak sedikit (yanglebih mmgerikan adalah) kehilangan masa clepan.
144
]KAP Vo/nine 13, Nomor 2 (November 2009)
Pcmekaran Daerah dan Krisis Lingkungan: Suatu Telaah Kritis Atas Kerusakan Alam
kepentingan umum.1 Demikian pula halnya dengan kasus pembangunan waduk
Kedung Ombo.2 Masih banyak lagi kasus kekerasan dalam pembangunan yang dilakukan oleh negara Orde Baru dalam konteks lainnya. Ringkasnya, selama periode 1 966-1998, bisa dikatakan bahwa negara adalah sebuah enritas yang sangat kuat, otoritarian clan sentralisrik. Beberapa sarjana berupaya memotret bagaimana sentralisasi negara Orde Baru dalam kehidupan bernegara clan bermasyarakat di Indonesia diantaranya Crouch (1 978; 1 979); Jackson & Pye (1978); King (1 982); Robison (1 989); Macintyre (1990); clan masih banyak lagi. Mengikuri Crouch (1978), walaupun negara Orde Baru berbeda dengan rejim Orde Lama Soekarno, tetapi pelanggengan sentralisasi kekuasaan masih menjadi sifat utama. Crouch mengkritik model modernisasi Orde Baru sebagai patri111011ial state (Crouch 1 979). Dalam model ini, elit berusaha untuk mendapat banyak keun tungan dari jabatan yang dipegangnya. Karena itu, untuk mempertahankan kuasa nya, satu cara yang kerap clilakukannya adalah menebar proyek pada patron patronnya agar tercipta loyalitas, soliditas clan yang terpenting kekekalan 'kerajaan kecilnya'. Sejalan dengan Crouch,]ackson & Pye (1978) menyatakan bahwa sistem pemerintahan di Indonesia lebih bersifat
bureaucraticpolity.
Disini, proses pengam
bilan keputusan dalam sistem pemerintahan hanya clilakukan oleh segelinrir elit yang berkuasa saja. Mereka adalah birokrat senior, teknokrat clan pejabat militer yang berpartisipasi dalam pembuatan keputusan yang otoritatif. Ini bertentangan 2
Kasus ini muncul ketika upaya sosialisasidan realisasi ganti-rugi tanah tidak berhasil dilakukan. Biaya ganti-rugi yang ditetapkan oleh pihak pemetintah, berpedoman pada Surat Keputusan Gubernur No.
593.8/135/1987 dengan biaya (ganti-rugi) sebesar Rp. 730/MZ. Di sarnping biaya ganti-rugi
tersebut, warga pun mendapat ongkos relokasi bangunan rumah, serta ganti-rugi tanaman yang mereka miliki (pologoro). Sementata itu, warga berpedoman pada Surat Keputusan Bupati No. 592.I/06/273/87 yang menetapkan bahwa biaya ganti-rugi tanah adalah Rp. 5,000/MZ. Perbedaan
harga inilah yang kemudian menimbulkan penolakan atas biaya ganti-rugi clan relokasi (Lane
2007:137).
Penolakan warga didasarkan pada keperluan mereka untuk membeli tanah di tempat
lain, membangun rumah, clan akhinya dapat bertani lagi seperti sediakala (dengan modal yang ada yang diperoleh dari biaya ganti-rugi). Penolakan yang awalnya hanya dilakukan di beberapa desa, tetapi kemudian menyebar ke desa lainnya yang menimbulkan keresahan bagi aparat pemerint.ahan.
Melihat penolakan yang begitu bergelombang, maka Bupati Boyolali memberikan ultimatum ag
ganri-rugi harus sudah diselesaikan pada bulanJuni 1988, dengan kesedi:man ataupun ridak kesediaan warga. Narnun warga tetap menolak. Penolakan terus berlanjut bahkan hingga Presiden Soeharto meresmikan Tasik Kedung Ombo, pada tanggal 24 Maret 1989. Beberapa warga, bahkan, berniat
tetap ringgal di daerahnya walau daerah itu sudah digenangi air. Mereka bahkan bersedia mati di
daerahnya sarnpai waduk itu benar-benar menenggelamkan mereka. Akhirnya, penggenangan air secara besar-besaran nyata-nyata dilakukan pada bulan April
1989.
Pada puncak karnpanye
pembangunan waduk Kedung Ombo, Soeharto, mengatakan bahwa para petani adalah orang yang 'keras kepala'. Lebih lanjut, untuk menarnbah keberhasilan projek pembangunan tersebut Soeharto mengatakan bahwa daerah Kedung Ombo pada masa lalu merupakan basis pendukung PKT. Ketika simbolisasi PKI telah disematkan kepada para petani, maka tidak ada kata bagi penuntutan atas hak asasi mereka.
]KAP Vo/mm 13, Nomor 2 (November 2009)
1 45
Leo Agustino & Mohanunad Agus Yussof
dengan istilah demokrasi yang ditawarkan oleh Demokrasi Pancasila. Sebab, demoktasi semestinya menyodorkan ruang yang luas bagi keterlibatan rakyat dalam proses kebijakan publik (formulasi, implementasi, evaluasi dan terminasi).
Sentralisasi kckuasaan tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi ini adalah gejala
umum di negara yang tengah melakukan modernisasi. Demikian yang di utarakan oleh O'Donnell
dalam bukunya
Modernization and B11rea11cracy Attthoritarianism:
Stttdies in So11th American Politics (1973) jauh sebelum analisis Jackson dan Crouch. Model b11reat1cratic authoritarian O'Donnell, tidak dikembangkan lebih lanjut oleh kedua sarjana yang disebut di atas untuk menjelaskan modernisasi di Indonesia, tetapi dikembangkan oleh King (dalam Anderson & Kahin 1 982) yang menye butnya sebagai
burea11cratic attthoritarianism with limited pl11ra!ity.
Model ini
menjelaskan bahwa sebuah sistem pemerintahan dipegang oleh tentara yang berko laborasi dengan teknokrat sipil clan pengusaha besar (dalam ataupun luar negeri).
Dominasi pemerintah dalam konteks ini tidak dapat dielakkan bahkan cenderung menguat serta mengarah pada perilaku yang otoritarian. Sedangkan keterlibatan rakyat sengaja dibatasi melalui mekanisme korporatisasi organisasi-organisasi sosial yang diatut secara vertikal dalam kontrol dan hegemoni negara. Pengamatan Robison (1989) mengenai rejim Orde Barn sedikit berbeda de ngan pandangan Crouch-yang menyatakan peran serta tentara sangat dominan. Robison menitikberatkan pada kolaborasi tentara dan sipil yang dinamai otori
tarianisme-teknokratis. Model ini mengasumsikan pembangunan dan kekuasaan negara dipegang oleh kalangan militer dan dari sini pulalah mereka mendapat posisi ekonomi strategis (Robinson 1989: 1 1) Pembangunan itu sendiri dirancang .
clan dijalankan oleh para teknokrat. Sementara itu, berbeda dengan konsep
j>l11rality
limited
clan juga otoritarianisme-teknokratis, Macintyre (1990) melibat bahwa
sesungguhnya yang berlaku semasa Orde Barn ialah suatu model pemerintahan di mana kelompok bisnis memainkan peranan dominan dalam pembuatan kepu tusan. Dari paparan di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa negara Orde Barn bukanlah negara yang demoktatil<. Semuanya dijalankan secara sentralistik atau komando. Akibatnya, otonomi daerah yang dijanjikan melalui kebijakan desen tralisasi tidak pernah melembaga seperti yang dikehendaki. Pengawasan, kontrol, penentuan kepala daerah, kebijakan yang bersifat top-down, clan kekerasan melem baga dalam negara 'Demokrasi Pancasila'. Oleh karena itu, mulai pertengahan tahun 1 970-an beberapa kelompok masyarakat (khususnya yang terpelajar) mulai melakukan unjuk rasa terhadap pelbagai kebijakan dan aktivitas negara, termasuk perilaku para aktor di dalamnya. Mereka mengkritik gurita korupsi, badan usaha milik negara (BUMN) yang
146
]KAP Volume
13, Nomor 2
(l\lovember 2009)
Pemekaran Daerah dan Krisis Lingkungan: Suatu Telaah Kritis Atas Kerusakan Alam
dijadikan 'sapi perahan' pemerintah, pembalakan hutan oleh kroni penguasa, kekerasan tentara dalam pembangunan dan pelbagai pelanggaran lainnya. Demonstrasi dan tuntutan itu terus berlangsung hingga tahun 1 980-an (Aspinall 2005). Namun, unjuk rasa tahun 1 970-an dan 1 980-an lebih bersifat penuntuL�n atas irasionalitas berpikir pemerintah dalam mengambill kebijakan clan mengelola negara. Ini berbeda dengan demonstrasi pada tahun 1990-an yang lebih menjurus pada suksesi kepemimpinan nasional hingga akhirnya berhasil me-lengser-kan Soeharto dari kursi kepresidenan.3 Kejatuhan Soeharto menjadi momen penting bagi banyak pihak untuk meninjau kembali perundangan, baik untuk direvisi atau diterminasi. Sentralisasi Orde Baru yang menghasilkan ketimpangan antara pusat-daerah, Jawa-luar Jawa, Jakarta (non-penghasil SDA) -daerah (penghasil SDA) dan varian lainnya, memunculkan tuntutan atas pelembagaan desentralisasi. Desentralisasi yang dimak sud bukan otonomi yang selama ini diselenggarakan oleh rejim Orde Baru, di mana formalitas lebih menonjol daripada kenyataannya. Beberapa contoh penye lenggaraan otonomi sepanjang Orde Baru diantaranya adalah pemcrintah daerah tidak bisa menjalankan kebijakannya sendiri karena kebijakan telah ditentukan 3
Keberanian rakyat untuk mengkritik pemerintah bukan saja disebabkan oleh pelaksanaan clan formulasi kebijakan yang buruk tetapi juga didorong oleh keberhasilan beberapa penggulingan penguasa yang otoriter dan diktator. Mohammad Reza Pahlevi (Shah Iran) yang berkuasa dan sangat ditakuti oleh rah-yat Iran karena kekejarnan tentata rahasianya, Savak, terjungkal dari kursinya setelah revolusi Islam pada April 1979. Ferdinand Marcos yang korup dan dikator tumbang pada tahun 1986 manakala rakyat Filipina menyerbu Istana Malacanang. Nicolae Cauccscu yang sangat otoriter dan nepotis--dibanding semua negara komunis Eropa-digantung olch rcvolusi sosial yang berlaku di Romania pada Desember 1989. Tahun 1997, Mobutu Sese Seka clipaksa melarikan diri dari negara kelahirnnya Zaire setelah berkuasa dengan tangan besi selarna 32 tahun. Demikian pula halnya dengan pemimpin Haiti yang dinastik, Fancois Duvalier (Papa Doc) dan Jcan-Claude Duvalier (Baby Doc), dipaksa bertekuk lutut pada gerakan massa yang bergelombang. Melalui banyak contoh gerakan massa inilah, rakyat Indonesia yakin dapatmenggulingkan Soeharto manakala kesadaran bersarna (yang dilakukan oleh epistemic community) diupayakan dan diusahakan melalui gerakan bergelombang menuntun pada perubahan yang prinsip. Apalagi momcn krisis moneter telah melunturkan legitimasi penguasa dan kepercayaan publik pada pemerintah. Akhirnya, tanggal 21 Mei 1998 diistana negara, Soeharto membacakan teks pengundurandirinya scbagai wujud dari keinginan rakyat. Sementara itu, setidaknya ada dua versi atas mundurnya Soeharto yang banyak diyakini orang. Pertama, dilandaskan pada tesis PhD Denny]. Ali, Democratization from below: protest events and regime changein Indonesia 1997-1998 (2001), yang menyatakan bahwa tindakan clan aksi-massa mahasis\va clan rakyat yang mcngadakan demonsttasi bagi menyuarakan aspirasi mcngenai mendcsaknya rcformasi telah berhasil mcrubah lanskap politlk Indonesia. Kedua, pandangan Indoncsianis dari Princeton University, Emmerson (2001:526), yang menggariskan empathipotesis yang sating berkait atas mundurnya Soeharto, yakni: (i) Soeharto meletakkan jabatan karena inisiatifdirinya sendiri tanpa tekanan dari siapa pun, (ii) Soeharto 1nundur karena tekanan dan desakan mahasiswa dan massa rakyat, (iii) Soeharto mundur karena pe1pecahan elite (terutama penolakan 14 orang menteri untuk bergabung dengannya lagi), dan (iv) Soeharto mundur karena tekanan dari luar.
]KAP Vo/111m 13, No111or 2 (November 2009)
1 47
Leo Agustino & Mohammad Agus Yussof
oleh pusat, hasil eksplorasi alam tidak langsung clirasakan oleh daerah penghasil karena pendapatannya langsung mengalir ke]akarta, kepala daerah (karena divping pusat) lebih mencerminkan sebagai abdi negara-wakil pemerintah pusat di daerah-daripada abdi masyarakat, clan kepala daerah di bawah pengawasan clan
kendali institusi komando territorial militer di semua lini.
Desentralisasi, secara teoritis, menurut Rondinelli & Cheema (1 983:18) adalah: ... the transfer ofplanning, decision making, or adminsitrative authoril:tjfrom the central govern ment to itsfield organization, local adminsitrative units, semi-autorwmous and parastatal orga nization, local government, or non-governmental organization.
Definisi di atas menekankan akan pentingnya pemindahan kekuasaan yang tidak semata-mata bersifat adminsitrastif, tetapi juga termasuk proses perencanaan, pembuatan keputusan clan juga pertanggungjawaban kewenangan. Ungkapan Rondinelli & Cheema sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Edmonds
(2001:18), bahwa desentralisasi adalah: ... a political and administrative process that implies the transfer ofJunctions and resources to subnational government unit characterized by legal status, their own capital (expressed in an autonomously executed budget), and authorities elected directly-not designated by the central adminsitrahon.
Berdasarkan definisi yang diungkapkan oleh sarjana di atas, maka desen tralisasi dapat dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu desentralisasi administratif clan desentralisasi politik. Tetapi, jika merujuk pada analisis Wunsch (2001) dalam tulisannya di Jurnal
P11blic Administration and Development, diterangkan bahwa
pembagian konsepsual desentralisasi meliputi empat bidang, yaitu: (i) desentralisasi politik, yaitu pemberian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dari segi formulasi kebijakan, implementasinya clan pertanggungjawab annya; (ii) desentralisasi administrasi, terkait dengan jenis clan aktivitas pemerin
tahan yang diserahkan kepada daerah serta derajat kuasa penyerahan kewenangan
tersebut; (iii) desentralisasi fiskal, berhubungan dengan pemberian sumber pcndapatan yang bisa dipungut oleh daerah seperti pajak clan restribusi, yang berada dibawah kewenangan pemerintahan daerah tersebut (dalam konteks ini pembagian
keuangan pusat-daerah merupakan salah satu bagiannya); clan (iv) desentralisasi ekonomi, ialah pemberian tanggungjawab pelbagai fungsi sektoar umum kepada swasta melalui swastanisasi.
148
]KAP Vol11me
13, Nomor 2
(November 2009)
Pcmekaran Dacrah dan IUisis Llngkungan: Suatu Telaah Kritis Atas Kcrusakan Alam
Di luar definisi di atas, tuntutan Reformasi atas perubahan otonomi daerah direalisasikan melalui Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Intinya memberikan otonomi kepada daerah setingkat kabupaten clan kota untuk menjalankan pemerintahannya secara otonom. Undang-undang ini tidak sertamerta dapat diimplementasikan ketika telah dilembarkan dalam lembaran negara. Ini disebabkan oleh beberapa alasan, diantaranya adalah masih diperlukannya waktu untuk sosialisasi, kebutuhan untuk menyesuaikan dengan cara pandang aparatur daerah clan pusat, serta perlu disiapkannya beberapa regulasi pendukung atas UU No. 22/1999 agar berjalan mantap. Setelah dua tahun diper siapkan, pada Januari 2001 undang-undang itu dilaksanakan. Salah satu bagian yang juga diamanatkan oleh undang-undang otonomi ialah aturan mengenai (kemungkinan dilakukannya) pemekaran daerah (redistricting). Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan clan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, clan Penggabungan Daerah.4 Tujuan dari pemekaran daerah, menurut PP No. 129/2000 pasal 2 adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui (i) peningkatan pelayanan kepada masyarakat, (ii) percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, (iii) percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, (iv) percepatan pengelolaan potensi daerah, (v) peningkatan keamanan danb ketertiban, clan (vi) peningkatan hubungan yang serasi antara pusat clan daerah. Melalui UU No. 22/1999 termasuk juga UU No. 32/2004 clan PP No. 129/ 2000 tersebut, maka 'daerah' dapat melakukan pemekaran daerah. Untuk kepen tingan itu, 'daerah' dapatmenggunakan jasa Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ataupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mengajukan proposal pemekaran. Dengan kemudahan ini, terbuka kesem patan yang sangat besar bagi elit daerah untuk menggunakan pelbagai 'pintu' agar proposal yang diajukannya dapat dengan mudah 'bergerak' ketika ditolak pada salah satu 'pintu'. Tidak heran apabila proposal pemekaran berserakan di tiga lembaga tersebut. Misalnya, sampai dengan Agustus 2006, Depdagti setidaknya telah menerima 90 usulan atau proposal pemekaran kabupaten/kota clan 21 provinsi (Ko11ipas 10 Agustus 2006). DPR menerima 39 proposal pemekaran kabupaten clan kota barn. Demikian pula halnya dengan DPD yang menerima 50 proposal pemekaran kabupaten/kota clan 1 provinsi baru. Dampak dari 'Politik Pintu Terbuka' ini adalah jumlah pemekaran di Indonesia membengkak. Pada tahun 2007, misalnya, terdapat 173 daerah pemekaran baru 4
D i re vis i ole hPeraturan Pemerin ta hNo. 78 tahu n2007 tenrang Tara Ca ra Pemben tuk an , Peng hapus an danPengg abung an D ae ra hmemberik an nu ans abaru yang mungkin d apatme nah an laju pemekaran wilayah.
]KAP
Vo/mm
13,
Nomor 2 (November 2009)
1 49
I..eo Agustino & Mohammad A.:, &Us Yussof
yang tercliri clari 7 provinsi, 135 kabupaten clan 31 Kota. Tingkat proliferasi daerah baru mulai tahun 1 999 hingga 2007, menunjukkan angka peningkatan yang berarti. Dari 303 kota/kabupaten yang ada pacla tahun 1999, mcningkat menjadi 440 kota/kabupatcn di tahun 2006, demikian pula halnya dengan bilangan provinsi (lihat Gambar 1):
Gambar 1 Jtunlah kabupaten/kota dan provinsi, 1999-2006
440
Jumlah kabupatenfkota 326 26 1999
26 2000
341 30 2001
30
30
32
32
440
33
Jumlah propinsi
2002
2003
2004
2005
2006
Sumber:Leo A.gustino & Muhammad Agus Yusoff (2008:48).
KERUSAKAN LINGKUNGAN DAN PEMEKARAN DAERAH Bagian sebelumnya telah disinggung mengenai sentralisasi clan clesentralisasi, serta suburnya pemekaran claerah setelah jatuhnya Orcle Baru. Satu ha! yang jarang clidiskusikan pasca pemekaran claerah aclalah dampaknya terhadap lingkungan. Celakanya, setelah pemekaran claerah, eksploitasi alam-khususnya SDA yang tidak clapat diperbaharui-terjadi dengan kasat mata dan brutal di beberapa daerah. Di Kalimantan, sebagai contoh, pembalakan semakin menjadi-jadi pasca Orde Baru. Mengutip McCarthy (2007:189), pengiriman kayu hasil pembalakan d.ila kukan secara terang-terangan dengan menggunakan transportasi ait yang sangat terbuka yakni Sungai Barito. Walaupun d.ilakukan kasat mata, tetapi tidak acla satu aparat pun yang mengambil tindakan nyata atas kayu ilegal tersebut. Pengi riman kayu gelondongan hasil pembalakan itu oleh masyarakat dan banyak pihak lain sering disebut sebagai 'ekspedisi' yang tidak kurang berjumlah 1 23.000 m' sekali 'ekspeclisi'-walau clokumen pembabatan hutan dan ekspedisi tersebut kadang-kaclang berkuantitas 30.000 m3-dengan biaya 60 juta/hari. Menurutnya, bukan ticlak ada aparat yang mau menangkap para penjarah hutan tersebut, tetapi ada beberapa sebab yang membuat mereka enggan melakukannya: (i) jumlah
150
]KAP Volume 13, Nomor 2 (November 2009)
Pemekaran Daer;th dan Krisis Lingkungan: Suatu Telaah Kritis Atas Kerusakan Alam
pengamanan 'ekspedisi' yang berjumlah lebih-kurang 300 orang 'preman'-bisa jadi aparat tentara dan polisi terlibat di dalamnya--dengan dipersenjatai dengan senjata lengkap, (tl) pemilik kayu gelondongan itu adalah 'orang-orang besar' dan (iii) tidak jarang aparat yang sudah terlanjur terbeli-setelah disodorkan uang, pelacur, mariyuana, dan lainnya--oleh pemilik ekspedisi. Namun, karena tidak ada tindakan nyata terhadap para pelaku ini, maka efek turunannya ialah semakin beraninya masyarakat 'kecil' untuk melakukan pembalakan yang sama di hutan hutan lindung. Tidak kalah berbahayanya adalah adanya para cukong kelas rendah dan klas menengah yang mengelola 'masyarakat-masyarakat kecil' ini untuk membalak secara berkelompok dengan hasil jarahan yang tidak sedikit. Pert:a nyaannya, mengapa ha! ini bisa terjadi? Secara teoretis, pembalakan atau eksploitasi alam besar-besaran selama oto nomi daerah ataupun pasca pemekaran daerah disebabkan oleh adanya 'akses' terhadap alam itu sendit:i. Mengikut MacPherson (1978:3), akses adalah: "a right in the sense of an C!ifbrceable claim to son1e 11se or benefit of son1ething." Hal ini berbeda dengan definisi yang diutarakan oleh Merriam-Webster (1993:6) yang menyatakan bahwa akses adalah: "freedom or ability to obtain or make 11se of'. Dalam pendangan penulis, terdapat perbedaan mendasar atas kedua termonologi tersebut: right (hak) dan ability (kemampuan). Yang disebutkan terakhir menunjukan pada upaya para aktor untuk merambah, mengekplorasi hingga mengeksploitasi alam tanpa mempedulikan apakah mereka berhak untuk melakukannya atau tidak. Kemampuan mendominasi untuk mengeksploitasi alam menjadi variabel penting dalam merealisasikan penggunaan sekaligus pemanfaatan akses ini. Selain itu, ability terhadap alam atau SDA sangat dipengaruhi oleh beberapa ha!, seperti: koneksi dengan pejabat pusat dan lokal, hubungan dengan komunitas lokal, 'peman faatan' kerangka legal-formal, koersi dan kontrol atas informasi (Ribot 1998:307). Ini berbeda dengan right atau hak, yang disebutkan pertama. Hak lebih pada aspek legalitas merambah, mengekplorasi dan mengeksploitasi alam. Namun malangnya, definisi ability-lab yang lebih menggerakkan para pengeksplotasi alam ini. Apalagi dalam iklim otonomi daerah, khususnya lagi dalam zona pemekaran daerah, jargon putra-daerahisme menjadi akses (tiket masuk) untuk melakukan eksploitasi hutan, penambangan pasir laut dan sumber tan1bang lainnya. Walaupun sebenarnya variabel seperti uang dan kekuasaan tidak dapat dinafikan. Karenanya, selepas dari cengkraman Orde Baru yang korup, kini daerah memiliki akses yang terbuka unmk menentukan pemanfaatan sumberdaya alamnya. Dulu mereka (elit politik lokal, bos lokal dan sejenisnya) memprotes tindakan pemerintah pusat yang menjarah sumberdaya alam mereka. Mereka menyatakan bahwa 'pusat' bisanya hanya menguras sumber alam daerah tanpa memberikan ]KAP Vol11!11e 13, No1t1or 2 (Nove!llber 2009)
151
Leo Ao �stino & Mohammad Agus Yussof
dana yang memadai untuk pembangunan infrastruktur di wilayah mereka. Namun, ketika Reformasi berlaku, tindakan yang dijalankan oleh pemerintah pusat ternyata mereka lakukan juga (Erwiza Erman 2007; McCarthy 2007).5 Kajian Erwiza Erman (2007), menunjukkan bagaimana perlawanan 'daerah' terhadap 'pusat' dalam konteks otonomi, terlebih pada era pemekaran daerah. Di Provinsi Bangka Belitung misalnya (pemekaran dari provinsi Sumatera Se!atan), bupati menjadi pusat dari sebuah rejim pertambangan timah yang melimpah di daerah tersebut. Bupati dalam ha! ini tidak saja dapat memformulasi kebijakan yang berkait dengan penambangan timah, tetapi juga memiliki kekuasaan untuk mengontrol sumber alam itu lebih jauh. Dominannya kendali ini disebabkan oleh kemampuan sang bupati untuk menerbitkan peraturan daerah (Perda) dalam ha! ijin penambangan, perdagangan antar-daerah dan yang terpenting ekspor pasir timah yang selama ini dikuasai oleh pusat melalui PT. Tambang Timah. Pelbagai cakupan yang biasanya dimainkan oleh 'pusat', pasca Orde Baru diambilalih oleh orang-orang daerah, mulai dari birokrat, politisi, polisi, tentara, preman dan juga lembaga swadaya masyarakat tertentu (LSM). Untuk memperbesar keuntungan dan mempermudah cara kerja penambangan, kelompok ini mem bangun aliansi yang korporatis untuk melipatgandakan pendapatan atas setiap aktivitas yang bisa dilakukan. Birokrat menyediakan perijinan, politisi memberikan lcgalitas, polisi dan tentara mempersiapkan keamanan selama penambangan dan LSM mengaudit secara serampangan atas kondisi alam yang sebenarnya. Melalui korporatisme ini, semua piliak mendapat untung tanpa ada yang merasa dirugikan termasuk juga alam, karena selepas penilaian LSM tidak ada eksploitasi yang mengancam ckosistem seluruh kehidupan mahluk hidup. Mekanisme itu diperburuk lagi oleh perilaku masyarakat yang memanfaatkan penambangan-penambangan legal dan liar untuk kepentingan pribacli, kampung atau desanya. Oleh karenanya, ketika masyarakat menangkap truk-truk pasir timah yang berjumlah 42,75 ton, tidak ada satupun sanksi yang diberikan pada penambang yang menambang diluar batas ketentuan, setelah negosiasi Rp 30 juta pada masya rakat kampung yang menangkap (Erwiza Erman 2007:246). Dampak langsung dari berkelindannya korporatisme elite dan keinginan masyarakat kecil di daerah 5
Para politikus lokal mcnggunakan 'sentimen putra-daerah' sebagai instrumen legal untuk mengeksploitasi afam demi keunmngan masyarakat lokal yang sefama ini dibiarkan dan dimarjinalkan pusat. Dcngan dcmikian, maka otonorni clan pcmekaran daerah mcnciptak:an raja-raja (baru) besar di wilayah yang kecil. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa dampak alam saat ini jauh lebih parah d1bandingkan dengan pada era Orde Barn. ]ilea pada Orde Barn eksploitasi itu dilakukan oleh beberapa orangdengan calrupan wilayah yangdapat diperkirakan, maka sekarang ini yang mefaknkan eks�loirasi berjumfah banyak dengan luas jarahanyang semakin tidak dapat dihitung. Oleh katenanya, pen1arahan cenderung merungkat sebagai konsekuensi dari pelembagaan pelbagai kebijakan yang . membetikan keuntungan pada putra daerah (Semiarto A. Purwanto 2005; McCarthy 2007).
152
]KAP Volume 13, Nomor 2 (November 2009)
Pcmekaran Dacrah dan Krisis Lingkungan: Suatu Telaah Kritis Atas Kerusakan Alam
untuk mendapatkan bagian dari penambangan ialah tidak adanya pengawasan penambangan timah di sana. Akibatnya, kerusakan alam lebih sebagai akibat . clan eksplo1tas1 yang dilakukan oleh semakin banyak elite, baik orang asli daerah maupun orang daerah yang menjadi tangan-tangan elite pusat, penambang liar. Lain di Bangka Belitung, lain pula di Kabupaten Lebong (salah satu
kabupaten pemekaran baru di Provinsi Bengkulu). Kabupaten Lebong yang berada
di kawasan Taman Nasional Kerinci Selebat (TNKS) Provinsi Bengkulu (pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan Undang-Undang No. tahun
2003),
39
terjadi aktivitas yang serupa, eksploitasi alam. Ini disebabkan olch
ketidakmampuan pemerintah daerah untuk dapat merealisasikan kesejahteraan setelah berpisah dengan kabupaten induk. penebangan liar
(illegal logging),
yang biasa di TNKS.
Akibatnya, pembukaan hutan,
maupun pencurian hasil hutan menjadi aktivitas
Implikasinya, fungsi TNKS sebagai hutan lindung, cagar
alam clan taman nasional lambat laun beralih menjadi tumpuan kehidupan
masyarakat kabupaten baru ini. Hal ini diperburuk dengan dikeluarkannya Perda Kabupaten Lebong tentang Ijin Pemanfaatan Kayu di Tanah Milik (IPK/IPKTM), untuk memenuhi kebutuhan kayu bagi pembangunan perkantoran Pemda yang baru clan kebutuhan masyarakat.
23
Merujuk siaran pers Walhi
Agustus
merusak TNKS.
2009), kerusakan TNKS akibat kebutuhan kayu clan 106.846,58 Ha atau 77,95% dari total keseluruhan lahan
lahan telah di kawasan
Dapat dipastikan, dengan meningkatnya kebutuhan kayu yang cliikuti
dengan adanya legalitas penebangan di taman nasional, dapat dipastikan krisis lingkungan menjadi topik utama di Bengkulu pada beberapa tahun ke depan. Eksploitasi alam secara ugal-ugalan tidak hanya terjadi di Sumatera, provinsi di ujung Timur pun mengalami hal yang sama dengan tujuan clan motif yang serupa. Provinsi Irian Jaya Barat, sebuah provinsi hasil pemekaran dari provinsi Papua, memberikan gambaran lain mengenai kerusakan lingkungan. Seperti yang diutarakan di atas bahwa kemampuan mendominasi ditambah dengan koneksi dengan pejabat pusat maupun lokal, hubungan dengan komunitas lokal, pemanfaatan kerangka legal-formal, koersi clan kontrol atas informasi adalah sumber akses (sekaligus penjarahan) pada sumberdaya alam. Merujuk penelitian Timmer
(2007)
di Irian Jaya Barat, berbagai kelompok elit turut terlibat dalam
terjadinya degradasi lingkungan.6 6
Dalam konteks ini,
perilaku yang mengarah pada penggunaan akses jabatan untuk memperbesar kekayaan pribadi atm keluarga-yang penulis sebut sebagai elitist graft (korupsi elitis)-digunakan untuk menjelaskan fcnomena di Papua. Dalam kapasitasnya sebagai legislator, kepala claerah, kepala dinas clan posisi penting lainnya, misalnya, pacla elit lokal di Irian Jaya Barat ticlak mau keringgalan untukmengambilkesempatan clafam periocle otonomi yang penuh keuntungan bagi claerah. Melalui perusahaan milik mereka ataupun pcrusahaan hasil kongsi para elite ini, mereka pun melakukan eksploitasi secata besar-besaran clan serampangan terhaclap kayu, sumber mineral, minyak clan ikan.
]KAP Vo/ll!ne 13, Not11or 2 (Novet11ber 2009)
153
Leo Agustino & Mohanunad Agus Yussof
Contoh yang menonjol, menurut Tirnrner, adalah penebangan hutan dan perdagangan ilegal kayu besi (merbau) yang begitu massif sehingga mengancam kelestarian hutan (Timmer 2007:621). Pembalakan ini dilakukan bukan hanya oleh orang di sekitar kayu itu tumbuh, tetapi juga oleh elit Irian Jaya Barat, Papua dan juga elit di pusat. Mereka melakukan ini karena akses yang dimilil
]KAP Volume 13, Nomor 2 (November 2009)
Pemekaran Daerah dan Krisis Lingb."llngan: Suatu Telaah Kritis Atas Kerusakan Alam
triliunan rupiah.' Dalam panclangan publik awam, kekayaan itu diperoleh clengan cara yang muclah. Misalnya clengan menjadi broker, pengelola hutan, pengelola pert.ambangan clan lainnya. Tanpa bekerja keras, hanya menggunakan hak yang . ��ya mereka clapat mengeksploitasi alam secara besar-besaran. Walaupun penambangan, penebangan hutan atau lainnya dilakukan di luar ketentuan yang berlaku, pemerintah ticlak mengambil sanksi apapun.
Kalaupun acla tinclakan
yang dibuat, tapi pacla akhirnya keputusan pemerintah pusat selalu lebih clominan karena legitimasi clan kekuasaannya yang begitu hegemonik. Dari proses pembelajaran cara kerja yang memanfaatkan perkoncoan, korporatisme terselubung, katabelece, !obi hingga koersi, kita clapat melihat gambar an bagaimana eksotisnya kegiatan tersebut apabila mereka terapkan juga dikemu dian hari.
Akibatnya ketika elit di claerah memiliki kesempatan untuk menjadi
pemimpin di claerah (layaknya Soeharto di zaman Orcle Baru), maka otomatis mereka mengamalkan ajaran tersebut clengan beragam harapan keuntungan yang bisa mereka clapatkan. Siapa yang pernah mengira clan menyangka bahwa otonomi clan pemekaran claerah telah memberikan peluang yang sangat lebar bagi pengapli kasian ilmu yang telah mereka pelajari cukup lama clari Orcle Baru tersebut? Oleh sebab itu, tanpa membuang waktu, ketika kekuasaan begitu besar pacla claerah, maka penjualan pasir ke negara tetangga clengan jumlah besar, penambangan timah tanpa mempeclulikan kuantitas ijin penambangan, pembalakan hutan clan lainnya sekaclar menyebutkan beberapa cara muclah untuk menclapatkan uang clengan jumlah yang sangat besar-merupakan pengulangan clan atau peniruan clari perilaku yang telah acla sebelumnya.
7
Beberapa data yang menunjukkan kekayaan Soeharto. Merujuk data Michael Vatik.iotis, seorang koresponden Far Eastern Economic fuvieiv, (FEER 4 Oktober 1990:63), total kekayaan clan bunga bank dari tiga yayasan Soeharto saja, adalah: (i) Yayasan Supersemar, memiliki kek.'lyaan scnilai Rp.222 milyar clan mencrimabunga bankscriap tahun Rp.24 miliar; (n) Yayasan Dharmais, memiliki kekayaan total senilai Rp.60,8 miliar clan menerima bunga bank setiap tahun senilai Rp.9 miliar; clan (iii) Yayasan Dakab, memiliki total kekayaan senilai Rp.43 miliar clan ridak diketahui berapa nilai bunga bank setiap tahunnya. Data ini, menurut Vatikiotis, belum termasuk saham-saha.m yang � oleh Socharto di perusahaan-perusahaan besar, scperri: kilang Indocemcnt, kilangBogasati, kilang Pupuk Kujang, clan lain-lain. Jeffrey Winters dalam disertasinya, Stn1ct11ra/power and investor mobility: capitalcontrolandstatepolicy i11 I11do11esia, 1965-1990 (1991), menyatakan bahwa total kekayaan Soeharto mencapai US$15 juta. Harian Guardian & Mail yang tcrbit di Inggris (1 Agnstus 1996) mcmperkirakan nilai kekayaan tak teraudit dari beberapa yayasan Soeharto sekitar US$5 miliar. Greg Earl, korespondcn Austra!ia11 Fina11cia!Reuie1v, menaksir kekayaan yangcfil.-uasaioleh yayasan-yayasan Soeharto adalah RpSO triliun, dalam kurs pasca-krisis (dalam George]. Aditjondro 1998:66). Majalah Time edisi Mei 1999 menerbitkan laporan utama (special report) bertajuk 'Socharto Inc' yang menilai kekayaan Soeharto sekitar Rp.135 triliun. UnitedNations dan Bank Dunia pada 17 September 2007 (melalui publikasi 'Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative') menyatakan bahwa kekayaan Soeharto sekitar US$15-35 miliar-sebenarnya data ini data Tra11spam1ry Intemationaltahun 2004.
]KAP Vo/11111e 13, Nov1or 2 (N'ove111ber 2009)
155
Leo Agustino & Mohammad Agus Yussof
Alasan kedua untuk melakukan eskploitasi terhadap alam adalah motif mengembalikan modal politik, khususnya pasca Pilkada.
Otonomi daerah dan
pemekaran telah memberikan ruang yang cukup luas terhadap elit politik lokal melakukan korupsi. Pilkada merupakan sebuah sistem kontrak politik baru antara pemilih dan yang dipilih secara langsung. Mekanisme ini menggeser pola lama
pembelian suara (moneypolitics) dari 'dalam ruangan' ke 'luar ruangan' (Leo Agustino
2005). Modal untuk membeli suara para anggota dewan 'di dalam ruangan' boleh dikatakan terhitung, tetapi ketika pemilihan kepala daerah bergeser 'keluar ruangan' maka keterhitungan menjadi kabur. Akibatnya, dana yang diperlukan dalam pemilihan langsung jauh lebih besar dibandingkan dengan pemilihan tidak langsung. Banyak dana yang telah dikeluarkan selama persiapan pemilihan, kam panye politik dan masa pemilihan itu sendiri, tentu memberikan dampak terhadap upaya pengembalian dana tersebut. Eksploitasi alam, seperti pembalakan hutan dengan dukungan surat ijin asli tapi palsu (aspal), penjualan pasir dengan jumlah yang tidak masuk aka!, penambangan batu hara tanpa kendali, telah mengun tungkan kepala daerah untuk memenuhi hajatnya mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya atau dipinjamnya
Motif ketiga adalah upaya menghidupi client (menepati janji politik). Hal ini
berkait dengan perihal kedua, di mana tidak s edikit calon kepala daerah menjanjikan (akan memberikan) 'kehidupan' kepada pendukungnya dan atau koleganya apabila mereka dapat menunjukkan dan memberikan dukungan konkret selama proses Pilkada. Pemberian suara oleh para simpatisan yang telah dikumpul kan dan dikaderisasi oleh kolega dekat bukan tanpa tujuan. Balas jasa atas dukung an dan sokongan dari para pengikut atau kolega, berimplikasi pada 'pertukaran hadiah' yang pantas bagi tiap client. Maka dari itu, logika sederhana atas perilaku
ini adalah semakin banyak clie11tyang dilindungi, maka semakin banyak pula konsesi
yang harus disediakan oleh kepala daerah terpilih. Konsesi politik itu dapat berupa hak penguasaan hutan, hak penebangan hutan, hak untuk menjual titik ik:lan, ijin penambangan mineral, ijin ekspor dan lain sebagainya.
N amun
malangnya,
pemberian ijin ini tidak dipandu oleh aturan dan pengawasan yang optimal. Hal
ini memang diaral1kan agar tidak terawasi, sehingga penebangan yang berlebihan,
penambangan yang ekploitatif, titik ik:lan yang menutup daerah resapan dan seterusnya telah memicu munculnya krisis sumberdaya alam. Lebih berbahaya lagi, apabila kerusakan itu terjadi pada SDA yang tidak dapat diperbaharui. Terakhir, alasan mengeskploitasi alam terkait dengan balas dendam atas 'kemiskinan' yang pernah dirasakan. Model pembangunan yang meminggirkan orang daerah selama Orde Baru telah mencetuskan ide (model) pembalasan atas kemiskinan di masa lalu. Para elit, dan juga warga, tidak mau lagi merasakan
156
]KAP Vo/11me 13, Nomor 2 (November 2009)
Pemekaran Daerah dan Krisis Lingkungan: Suatu Telaah Kritis Atas Kerusakan Alam
pahit clan getirnya kehiclupan. Mereka yang tinggal di claerah kaya sumberdaya alam, clengan cara berpikir rasional seclerhana akan mengatakan bahwa ticlak ada kata lain untuk menjadi kaya selain clengan memanfaatkan kelebiha n sumberclaya alam yang climilikiclaerahnya. Pemanfaatan itu clapat berbentuk eksplorasi maupun
eksploitasi alam, sehingga manakala otonomi claerah clan pemekaran wilayah direalisasikan clalam bentuk peratutan negara, maka pelbagai aktivitas dilalmkan
oleh warga claerah. Tiket putra-claerah clan otonomi claerah/desentralisasi clalam masa ini telah menjadi instrumen penting bagi pembalasan clenclam atas kemiskinan yang pernah mereka rasakan clulu.
MENGINTIP KEMUNGKINAN }ALAN KELUAR
Pemekaran wilayah, seperti diutarakan di atas, telah menimbulkan permasalahan baru. Banyak aparat pemerintahan yang belum mampu secara kualitas dipaksakan menempati jabatan tertentu karena kekurangan sumberclaya manusia. Akibatnya aparat pemerintahan ticlak memiliki kemampuan untuk menetapkan keputusan clan meninclak tegas pelanggaran yang timbul setelahnya.
Apalagi jika masalah
itu muncul sebagai akibat clari perila1.-u rekan sejawat Oleh sebabitu, penyiapan kemam
puan aparat clengan cara meningkatkan kualitas clan moral aparat clalam penge
lolaan sebuah claerah baru melalui mekansime pemekaran daerah perlu dila1.-ukan agar pembangunan clan pengelolaan kawasan menjadi lebih efektif clan efisien. Kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini ditanclai clengan aclanya kerusakan hutan akibat pembalakan liar, penurunan luas wilayah akibat penambangan pasir clan kerusakan lingkungan yang lain. Ini terjadi karena kegiatan pengolahan alam ticlak diikuti clengan kegiatan pengawasan clan tinclakan sanksi yang tegas. Apabila
ha! ini dibiarkan terns, maka lama kelamaan akan menyebabkan clegraclasi alam.
Untuk menghinclari terjadinya clegraclasi alam, maka beberapa langkah yang clapat dilaksanakan aclalah: (i) peningkatan kesaclaran hukum clan peningkatan pema haman akan pentingnya menjaga lingkungan, (ii) pengawasan dan pemberlakuan sanksi yang tegas clan keras, (iii) peningkatan ekonomi masyarakat clengan membentuk kawasan inclustri clan perclagangan, clan (iv) melibatkan campur tangan pihak ketiga clalam menyelesaikan krisis lingkungan. Peningkatan kesaclaran hukum clan peningkatan pemahaman akan pentingnya menjaga lingkungan merupakan langkah vital clalam mencegah clegraclasi alam. Kesaclaran akan sesuatu ha! menjacli perkara yang sangat penting clalam masyarakat berpendidikan clan masyarakat informasi.
Oleh sebab itu, untuk mengeliminasi
kerusakan lingkungan, usaha menclorong sekaligus mempromosikan kesaclaran hukum masyarakat atas apa yang dilakukan oleh warga (telah sesuai atau melanggar
hukum) mesti terus dilaksanakan. Sejauh usaha clan upaya itu tidak pernah dilaku-
]KAP Vo/ll!llC 13, Nomor 2 (November 2009)
157
Leo Agustino & Mohammad Agus Yussof
kan, maka selama itu pula kerusakan alam akan berlangsung. Kesadaran hukum, bukan hanya berkenaan dengan pemahaman masyarakat atas aturan clan kebijakan yang bersinggungan dengan penambangan yang dilakukannya, penebangan hutan yang dibuat ataupun lainnya, tetapi juga hams mencakup sanksi yang akan mereka terima manakala mereka malanggar aturan clan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Di samping itu, selain kesadaran hukum, pentingnya menjaga lingkungan pun patut diinformasikan secara luas clan besar-besaran. Kerusakan hutan, pantai clan alam (pada umumnya), di beberapa negara, telah memberikan gambaran bagaimana dampak dari ketidakpedulian masyarakat terhadap ling kungan. Pemanasan global merupakan salah satu wujud dari ket:idakpedulian kita terhadap krisis lingkungan clan kerusakan alam. Jika prediksi lembaga internasional menjadi kenyataan, maka dalam waktu 20 tahun ke depan bibir pantai akan bergeser cukup jauh dari tempatnya semula menutupi daerah-daerah yang selama ini terbuka. Ini artinya, mempersempit ruang gerak mahluk hidup karena semakin sempitnya lahan yang t:idak ditutupi oleh laut. Langkah kedua yang perlu dilakukan adalah pengawasan clan pemberlakuan sanksi yang tegas. Beberapa ha! yang berkait dengan perkara ini adalah memper siapkan kelengkapan clan instrumen pengawasan. Termasuk kelengkapan penga wasan diantaranya adalah personil yang ditambah, pos penjagaan diperbanyak, kendaraan patroli, alat komunikasi satelit, kelengkapan keamanan dan keselamatan bagi aparatur lapangan clan beberapa lagi lainnya. Kasus pembalakan liar yang dikawal oleh
300
preman bersenjata lengkap tentu mengerdilkan keberanian
pengawas hutan. Oleh sebab itu, agar dapat mengant:isipasi terulangnya kejadian
tersebut, maka kelengkapan ini perlu disiapkan secara baik agar ketakutan pengawas
tidak pernah lagi terjadi. Sementara instumen pengawasan adalah alat ukur yang clapat digunakan oleh pengawas dalam menilai sejauh mana sebuah perusahaan
perlu dibatasi hak-haknya. Perkara lain yang juga penting clalam bagian ini yaitu
adanya sanksi tegas clan keras kepacla para aktor yang melanggar ketentuan berlaku, termasuk bagi aparat yang bekerjasama clengan perusak lingkungan. Ketiga, peningkatan ekonomi masyarakat dengan membentuk kawasan industri tepat guna clan perdagangan perlu dilakukan. Peningkatan ekonomi masyarakat dengan pembentukan kawasan-kawasan industri tepat guna clan perclagangan, penciptaan lapangan pekerjaan yang sesuai clengan angkatan kerja clan pengelolaan sumber daya lokal secara profesional serta bertanggungjawab merupakan langkah penting dalam mencegah eksploitasi alam lebih lanjut. Ticlak dapat dipungiri bahwa beberapa daerah di Indonesia, khususnya yang merancang pemekaran, tericlent:ifikasi sebagai claerah kaya clan termarjinalkan. Oleh karena itu, jalan keluar agar akt:ivitas pemekaran yang berujung pada perusakan ling-
1 58
]KAP Volume 13, Nomor 2 (November 2009)
Pcmckaran Daerah dan Krisis Lingkungan: Suatu Telaah Kritis Atas Kerusakan Alam
kungan adalah dengan cara meningkatkan keseimbangan ekonomi antara 'pusat daerah' dengan 'daerah daerah'. Guna menumbuhkan serta meningkatkan penda patan ekonomi di 'daerah daerah', maka kebijakan pembentukan kawasan industri tepat guna tidak dapat ditawar lagi. Pelbagai ketimpangan yang menyebabkan munculnya keinginan untuk berpisah tentu akan dipersempit kemungkinannya dengan penciptaan lapangan pekerjaan yang berujung pada pertumbuhan ekonomi. Hal lain yang perlu juga dipikirkan dalam konteks ini ialah pembentukan
bo11nded industry antar-daerah, penciptaan iklim investasi yang kondusif agar mampu menarik penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) untuk menjamin jalannya roda perekonomian di daerah. Dengan berkem bangnya sentra ekonomi di kawasan terpencil tentu akan mendorong investasi ke dalam. Tetapi yang paling penting dari itu semua adalah terciptanya lapangan pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat untuk mengaktualisasikan
hidupnya. Pekerjaan selama ini yang merusak lingkungan hidup seperti pembalakan
hutan, penambangan mineral, penyaringan biji emas dengan menggunakan merkuri dan lain sebagainya dengan cara eksploitatif tentu mulai ditinggalkan oleh masyarakat jika tersedia pekerjaan yang lebih positif dan tidak merusak linglnmgan hidup di sekeliling tempat tinggal mereka. Langkah keempat adalah melibatkan campur tangan pihak ketiga dalam menyelesaikan krisis lingkungan. LSM dalam dan luar negeri perlu diikutsertakan dalam proses penyadaran dan pengawasan pemanfaatan lingkungan hidup oleh warga, terlebih lagi LSM internasional yang memang memfokuskan dirinya pada pengawasan dan pemulihan lingkungan.
Laporan-laporan lembaga ini perlu
ditindaklanjuti dengan segera dan tegas oleh pemerintah daerah dan pusat.
Di
samping itu, dukungan pemerintah daerah dan pusat pada LSM di daerah, khususnya dalam ha! menjaga keselamatan anggota LSM tersebut perlu dilakukan agar pantauan mereka tidak meredup setelah koersi dilakukan oleh aktor perusak lingkungan.
PENUTUP
Pembahasan dalam makalah ini menunjukkan bahwa pemekaran yang tidak diawasi secara seksama dan baik, entah oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, NGO ataupun lembaga pendidikan tinggi dan masyarakat umum, hanya akan melahirkan raja-raja besar dalam teritori yang kecil. Menjadi raja di daerah sangat dimungkinkan karena kekuasaan telah bergeser dari pusat ke daerah. Pemekaran daerah yang diasumsikan dapat menciptakan kesejahteraan setelah lepas dari daerah induk ternyata dimaknai sebagai mengekploitasi sumberdaya alamnya secara berlebihan.
Artinya, kekayaan alam yang dimiliki daerah
]KAP Vo/u111e 13, No111or 2 (Nove1nber 2009)
1 59
Leo Agustino & Mohammad Agus Yussof
dieksploitasi habis-habisan oleh elit lokal (clan pusat) serta aktor lainnya sebagai bentuk realisasi penciptaan kesejahteraan. Motif seperti mengikuti budaya pemimpin Orde Baru yang rakus, mengambalikan modal selama berkompetisi dalam Pilkada, menghidupi klien yang menyokongnya secara loyal clan lain sebagainya, turut memicu eksplotasi sumberdaya alam di daerah. Beberapa kasus seperti pembalakan hutan, penambangan pasir clan batu bara secara brutal, telah menirnbulkau kerusakan alam yang genting. Jalan keluar yang ditawarkan dalam makalah ini adalah peningkatan kesadaran hukum clan peningkatan pemahaman akan pentingnya menjaga lingkungan, pengawasan clan pemberlakuan sanksi yang tegas clan keras, peningkatan ekonomi masyarakat dengan membentuk kawasan industri clan perdagangan, clan melibatkan campur tangan pihak ketiga dalam menyelesaikan krisis lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA protllise, resistance, and regitJ1e change in Aspinall, E. 2005. Opposing Soeharto: Cotll Indonesia. Stanford: Stanford University Press. Crouch, H. 1978. The Amry andpolitics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press. Crouch, H. 1979. 'Patrimonialism and military rule in Indonesia'. World Politics, 31: 571-578. Denny]. Ali. 2001. Democratization from below: Protest events and regime change in Indonesia 1997-1998. Disertasi PhD. Ohio State University. Dianto Bacluiadi. 1997. Pembangunan, Konflik Pertanian, clan Resistensi Petani. Dim. Noer Fauzi (pnyt.). Tanah dan PetJ1bang1man, 67-94. Jakarta: Sinar Harapan. Dianto Bachriadi & Lucas, A. 2001. Meratnpas Tanah Rakgat. Jakarta: KPG. Edmonds, E. 2001. 'Decentralization and local autonomy in Mexico'. Disertasi PhD. University of Colorado. Emmerson, D.K. 2001. Krisman clan lengser: Kemelut tahun 1997-1998. Dalam Donald K. Emmerson (ed.). Indonesia bryond Soeharto: Negara, ekonotlli, tlla!Jarakat, transisi, 521-613. Terj. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama clan The Asia Foundation. Erwiza Erman. 2007. Deregulasi tata niaga timah clan pembuatan negara banyak lokal: Studi kasus Bangka. Dalam Henk S. Nordholt & Gerry van Klinken (ed.). Po/itik lokal di Indonesia, 225-266. Terj. Jakarta: Yayasan Obor In donesia clan KITLV-Jakarta. Jackson, K.D. & Pye, L.W. (eds.). 1978. Politicalpo1ver and cotlltmmication in Indone sia. Berkeley: Cambridge University Press.
160
]KAP Vo/11me
13,
Nomor 2 (November 2009)
Pemckatan Daetah dan Krisis Lingkungan: Suatu Telaah Krltis Atas Kerusakan Alam
1983.
King, D.Y.
Indonesia's New Order as a bureaucratic polity, a neo patrimo
nial regime or a bureaucratic authoritarian regime: What difference does it
Interpreting Indo nesian politics: Thirteen contribution to the debate, interi111 report series. Cornell
make? Dalam Ben Anderson & Audrey Kahin, A., (eds.).
Modern Indonesia Project. Ithaca: Cornell University Press. Lane, M.
2007. Bangsa yang be/um selesai: Indonesia, sebelu111 dan sesudah Soeharto.
Jakarta: Reform Institute.
2005. 'Pilkada 33(3): 185-197.
Leo Agustino.
langsung: Beberapa catatan kritis'.
Leo Agustino & Mohammad Agus Yusof£
2008.
Analisis CSIS
'Pemekaran daerah di Indone
sia: Proliferasi dan etno-nasionalisme daripada pemberdayaan'. Jurnal Ilmt1 Administrasi dan Organisasi 15(1): 47-52 Lucas, A. 1997. Penindasan dan perlawanan: Ciri khas sengketa tanah di Indo nesia. Dalam Noer Fauzi (pnyt.). Tanah dan pembangunan, 47-66. Jakarta: Sinar Harapan. Macintyre, A.J.
1990.
'Politics, policy and participation: Business government
relations in Indonesia'. Disertasi PhD. Australian National University. MacPherson, C.B.
1978. Property: Mainstream and criticalpositions.
Toronto: Uni
versity of Toronto Press. McCarthy, J.P.
2007.
Dijual ke hilir: Merundingkan kembali kekuasaan publik
atas alam di Kalimantan Tengah. Dalam Henk S. Nordholt & Gerry van Klinken (ed.).
Politik lokal di Indonesia, 154-188.
Terj. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta. Merriam-Webster.
1993. Merriat!l-Webster's collegiate dictionary. Springfield: Merriam
Webster Inc.
1973. Modernization and b11reaucracy a11thoritarianism: Studies in South American politics. Berkeley: Institute for International Studies, University
O'Donnell, G.
of California. Ribot, J.C.
1998.
'Theorizing access: forest profits along Senegal's charcoal com
Development and Change 29(1998): 307-341. Robison, R. 1986. Indonesia: The rise of capital. Sydney: Allen & Unwin. Rondinelli, D.A., & Cheema. 1983. Decentralization in developing co1111tries. Califor modity chain'.
nia: Sage Publications. Semiarto A. Purwanto.
2005.
Forest resources management and self-governance
in regional autonomy Indonesia. Sulistiyanto & Carole Faucher.
225. Timmer, ].
Dim. Maribeth Erb, Priyambudi
Regionalism in post-S11harto Indonesia, 211-
London: RoutledgeCurzon.
2007.
Desentralisasi salah kaprah dan politik elit di Papua. Dalam
Henk S. Nordholt & Gerry van Klinken (ed.).
]KAP Volflme 13, Nomor 2 (Nove111ber 2009)
Politik lokal di Indonesia, 161
Leo Agustino & Mohammad Agus Yussof
595-625. Vedi R. Hadiz.
Terj. Jakarta: Yayasan Obar Indonesia dan KITLV-Jakarta.
2005. Dina111ika kekuasaan: Ekonomi-politik Indonesiapasca-Soeharto.
Jakarta: LP3ES.
162
]KAP Volume 13, Nomor 2 (November 2009)
Marganingrum D & Noviardi R / Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 11-20.
PENCEMARAN AIR DAN TANAH DI KAWASAN PERTAMBANGAN BATUBARA DI PT. BERAU COAL, KALIMANTAN TIMUR Dyah Marganingrum dan Rhazista Noviardi ABSTRACT The aim of this study is to determine any factors that may cause the pH of water along the Lati River fluctuates and tends to be acid. The method used is to take and to analyze same water and soil samples from the study area. The pH analysis of water from upstream of Lati River shows normal value (pH=6.5). However, along the Lati River, the pH value fluctuated. The pH value of water from downstream Lati is more acid, which is of 4.6. Results of soil analysis show that pH of the soil in the study location is acid (pH<6). The land that is dominated by dust and relatively has high rainfall caused the soil at this area is eroded easily. Run off processes, which brought sulfide (pyrite) material as erosion product from disposal and forest, is suspected as the cause of pH of water along the Lati River is under the normal value. Therefore, various efforts for conservation of water and soil of used mine that is generally rich of sulfide mineral ought to be a part of mining activities. Keywords : mining, coal, pH, acid mine drainage, conservation Naskah masuk: 1 April 2009 Naskah diterima: 27 Juni 2009 Dyah Marganingrum Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Kompleks LIPI, Jl. Sangkuriang Bandung 40135 Email :
[email protected] Rhazista Noviardi UPT Loka Uji Teknik Penambangan Jampang Kulon Jl. Cihaur No. 2 Desa Kertajaya, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi Email: rhazista72@ yahoo.com
ABSTRAK Studi ini bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab pH air sungai sepanjang Sungai Lati mengalami fluktuasi dan cenderung asam. Metode yang digunakan adalah mengambil dan menganalisa sampel air dan tanah di sekitar lokasi studi. Berdasarkan hasil analisis di hulu Sungai Lati pH air masih menunjukkan nilai yang normal yaitu 6,5. Namun sepanjang perjalanannya, pH mengalami fluktuasi. Nilai pH di hilir Sungai Lati menjadi asam yaitu sebesar 4,6. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa pH tanah disekitar lokasi studi bersifat asam (< 6). Sementara tekstur tanah yang didominasi oleh debu dan curah hujan yang relatif tinggi menyebabkan tanah disekitar lokasi mudah mengalami erosi. Proses run off dengan membawa material sulfida (pirit) hasil erosi, baik dari disposal maupun hutan sekitar, diduga sebagai penyebab pH air sungai sepanjang Sungai Lati dibawah normal. Oleh karena itu berbagai upaya untuk konservasi air dan tanah bekas tambang maupun tanah sekitar penambangan batubara yang umumnya kaya akan mineral sulfida seharusnya menjadi bagian dari aktivtas penambangan. Kata kunci : penambangan, batubara, pH, air asam, konservasi
PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambangan merupakan suatu bidang usaha yang karena sifat kegiatannya pada dasarnya selalu menimbulkan perubahan pada alam lingkungannya (BPLHD Jabar, 2005). Aktivitas pertambangan selalu membawa dua sisi. Sisi pertama adalah memacu kemakmuran ekonomi negara.
11
Marganingrum D & Noviardi R / Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 11-.20.
Sisi yang lainnya adalah timbulnya dampak lingkungan yang memerlukan tenaga, pikiran, dan biaya yang cukup signifikan untuk proses pemulihannya.
rendah, air asam tambang juga akan mengandung logam-logam dengan konsentrasi tinggi, sehingga dapat berakibat buruk pada kesehatan lingkungan maupun manusia (Juari, 2006).
Salah satu komoditi tambang yang banyak diusahakan saat ini, untuk memenuhi kebutuhan energi di Indonesia, adalah batubara. Pada saat ini Indonesia memiliki potensi sumberdaya batubara sekitar 60 miliar ton dengan cadangan 7 miliar ton (Witoro, 2007). Di lain pihak, tambang batubara di Indonesia umumnya dilakukan dengan cara tambang terbuka, walaupun ada beberapa yang menggunakan tambang bawah tanah (underground mining), sehingga akan berdampak terhadap perubahan bentang alam, sifat fisik, kimia, dan biologis tanah, serta secara umum menimbulkan kerusakan pada permukaan bumi. Dampak ini secara otomatis akan mengganggu ekosistem diatasnya, termasuk tata air (Subardja, 2007).
Kegiatan penambangan batubara di Lati telah dilengkapi dengan sistem pengolahan air limbah menggunakan metode pengendalian aktif. Penetralan pH dilakukan dengan mencampurkan Kalsium Hidroksida (CaOH) secara langsung ke air asam tambang yang ada pada kolam pengendapan dengan menggunakan sistem kincir (Subardja, 2007). Jumlah CaOH yang diberikan disesuaikan dengan aliran (debit) air asam. Cara ini cukup efektif untuk menurunkan tingkat keasaman air secara drastis hingga mencapai pH normal – basa (pH > 6-7) sebelum masuk ke badan sungai. Meskipun demikian, data yang diperoleh dari pengambilan kualitas air di sepanjang Sungai Lati (dari hulu – hilir) memperlihatkan nilai pH yang berfluktuasi dan cenderung asam. Kondisi seperti ini mencerminkan bahwa sepanjang perjalanan aliran sungai terjadi suplai substrat (mineral sulfida) sebagai pemicu terbentuknya air asam tambang yang menyebabkan naiknya keasaman air. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian sumber utama yang menyebabkan fluktuasi nilai pH sehingga dapat didisain sistem penanganan air asam tambang dengan lebih tepat.
Permasalahan lingkungan dalam aktivitas pertambangan batubara umumnya terkait dengan Air Asam Tambang (AAT) atau Acid Mine Drainage (AMD). Air tersebut terbentuk sebagai hasil oksidasi mineral sulfida tertentu yang terkandung dalam batuan oleh oksigen di udara pada lingkungan berair (Sayoga, 2007). Artikel ini berbasis kepada riset di lingkungan pertambangan PT. Berau Coal yang terletak di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur (Gambar 1). Metoda penambangan yang dilakukan pada PT. Berau Coal sampai saat ini adalah tambang terbuka (open pit mining) dengan menggunakan alat mekanis truck dan shovel (Subardja, 2007). Pengupasan tanah penutup (overburden), penggalian batubaranya sendiri, serta waste material menyebabkan tersingkapnya tanah/batuan yang mengandung mineral sulfida, antara lain berupa Pirit (Pyrite) dan Markasit (Marcasite). Mineral sulfida tersebut selanjutnya bereaksi dengan oksidan dan air membentuk air asam tambang. Air asam tambang ini akan mengikis tanah dan batuan yang berakibat pada larutnya berbagai logam seperti besi (Fe), cadmium (Cd), mangan (Mn), dan seng (Zn). Dengan demikian, selain dicirikan oleh pH yang 12
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sumber utama yang berpotensi sebagai pencemar Sungai Lati yang terdapat di lokasi Kuasa Penambangan PT. Berau Coal, yang menyebabkan kadar ion H+ berfluktuasi sepanjang sungai. Dengan mengetahui sumber potensi pencemar utama, sehingga dapat diterapkan teknologi pengendalian air asam tambang dengan lebih tepat dan efektif. Hasil penelitian ini diharapkan dapat melokalisasi dan meminimalisasi produksi air asam tambang di lokasi penambangan batubara secara umum. Dengan demikian perlindungan terhadap sumberdaya air dan tanah di sekitar lokasi penambangan batubara tersebut dapat dicapai dan diterapkan di tempat lain.
Marganingrum D & Noviardi R / Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 11-20.
LOKASI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di PT. Berau CoalKalimantan Timur. Data primer berupa kualitas air dan tanah diambil dari sekitar lokasi studi sedangkan analisis sampel dilakukan di lapangan (insitu) maupun di laboratorium. Untuk analisis kualitas air dilakukan di Laboratorium Puslit Geoteknologi – LIPI sedangkan untuk analisis tanah di Puslitbang Tanah, Bogor.
Gambar 1. Lokasi Penelitian. Gambaran Umum Lokasi Penambangan Lati Formasi pembawa lapisan batubara pada daerah potensi batubara konsesi PT. Berau Coal adalah Formasi Berau dan Formasi Lati. Formasi ini terdiri dari satuan batupasir, mudstone, batulanau, batulempung, batubara dan batugamping. Ketebalan Formasi Berau atau Formasi Lati berkisar 600 meter hingga 1.600 meter, umur Miosen Tengah hingga Miosen Atas dan diendapkan dalam lingkungan delta dan laut dangkal. Formasi ini jari jemari dengan Formasi Sterile di bagian bawahnya dan tidak selaras dengan Formasi Labanan di bagian atasnya (Subardja, 2007). Letak Geografis Kabupaten Berau yang dekat dengan garis katulistiwa menjadikan daerah ini memiliki iklim tropis dengan curah hujan tinggi dan hari hujan merata sepanjang tahun. Intensitas penyinaran matahari yang tinggi menjadikan suhu udara relatif tinggi sepanjang tahun dengan kelembaban udara yang tinggi pula. Sebagai daerah dengan iklim tropis
Kabupaten Berau memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Kedua musim tersebut diselingi dengan masa peralihan dengan curah hujan masih relatif banyak (Subardja, 2007). Namun demikian kondisi alam Kabupaten Berau yang masih dikelilingi oleh hutan tropis yang masih lebat menjadikan daerah ini berkarakter hutan hujan tropis dengan curah hujan yang relatif merata sepanjang tahun. Hal ini didorong oleh kelembaban udara yang tinggi dan daerah perairan yang masih luas. Curah hujan cenderung tinggi sepanjang tahun, berkisar antara 91 - 246 mm perbulan (Subardja, 2007). Metoda penambangan yang dilakukan pada PT. Berau Coal di Lati menggunakan pola penambangan box-cut contour mining. Pola penambangan box cut contour mining dilakukan pada areal-areal yang memiliki kemiringan lapisan relatif landai dan dengan luas areal timbunan di luar areal tambang yang relatif sangat terbatas. Pemakaian pola penambangan ini salah satunya adalah bertujuan agar luas areal yang terganggu oleh kegiatan penambangan tidak terlalu luas. Areal untuk penimbunan tanah penutup diusahakan tidak terlalu jauh dari areal bukaan dan sedapat mungkin dengan memanfaatkan kembali bekas areal bukaan (Subardja, 2007). Pengambilan Data Kualitas Air dan Tanah Data yang diambil meliputi air dan tanah. Sampel air diambil dari air sungai Lati (hulu hingga hilir) dan air limbah. Sedangkan data tanah diambil dari sampel tanah pelapukan di kawasan hutan serta tanah dari disposal (lokasi pembuangan/ penimbunan limbah). Gambar 2 menunjukkan peta lokasi pengambilan sampel air dan tanah. Lima belas titik sampling air dan enam titik sampling tanah di lokasi yang dilalui aliran sungai digunakan untuk mendapatkan parameter tertentu yang dibutuhkan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dan menyebabkan rendahnya pH air di Sungai Lati. Tabel 1 menunjukkan lokasi pengambilan sampel air (yang diberi notasi A). Ada 13 titik lokasi, namun dua titik tidak diperlihatkan pada Gambar 2 yaitu titik 12 (A12) dan 13 (A13). 13
Marganingrum D & Noviardi R / Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 11-.20.
Gambar 2. Lokasi Pengambilan Sampel (PT. Berau Coal).
Tabel 1. Lokasi dan Kode Conto Pengambilan Sampel Air Kode Lokasi A1 Hulu Sungai Lati A2 Inlet Pengolahan Settling Pond WMP 7 (hujan) A2a Inlet pengolahan Settling Pond WMP 7 (tidak hujan) A3 Outlet Pengolahan Settling Pond WMP 7 (hujan) A3a Outlet pengolahan Settling Pond WMP 7 (tidak hujan) A4 200 m Outlet Settling Pond WMP 7 A5 Aliran air dari Disposal Q8 A6 Aliran dari WMP 5 A7 500 m outlet SP WMP 7 A8 1 km outlet SP WMP 7 A9 Saluran dlm Disposal 565 A10 Aliran dari WMP 4 A11 Run-off dari Hutan Dr36 A12 Aliran dari Disposal 500 A13 Hilir Sungai Lati Catatan : Q = quarry (area penambangan); D/d = disposal (area timbunan tanah kupasan; dR = area disposal (d) yang direvegetasi (R); d565 = disposal 565 (565 menunjukkan kode lokasi dalam peta)
14
Titik lokasi pada kolam pengendapan (settling pond) diambil di dua musim, yaitu saat hujan (2A dan 3A) dan tidak hujan (2Aa dan 3Aa). Hal ini dilakukan untuk mengetahui adanya faktor pengenceran dan pengaruhnya terhadap nilai pH pada kondisi sebelum dan sesudah masuk kolam pengendapan. Dari 13 titik lokasi pengambilan sampel air, delapan diantaranya diambil di badan sungai, satu sampel air run off dari hutan dan sisanya adalah sampel air run off dari disposal. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada lokasi disposal dan hutan di sekitar lokasi. Jumlah sampel tanah (soil), diberi notasi S, diambil sebanyak enam sampel. Tabel 2 menunjukkan kode lokasi pengambilan sampel tanah. Tabel 2 . Kode dan Lokasi Pengambilan Sampel Tanah (S) Kode S1 S2 S3 S4 S5 S6
Lokasi Disposal Q8 Disposal Q3 Hutan samping disposal Q3 Disposal d565 Hutan dR 36 Disposal D500
Marganingrum D & Noviardi R / Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 11-20.
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitas air dan tanah yang diambil dari lokasi di sekitar pertambangan Lati, Berau. Analisis dilakukan dengan melakukan korelasi penurunnya pH dengan parameter lain yang dapat digunakan sebagai data proxy sumber pencemar di lokasi studi yang secara umum mengandung mineral sulfida. Reaksi-reaksi yang terjadi sebagai akibat terjadinya kontak mineral sulfida (pirit) dengan udara dan air di lapangan digambarkan sebagai berikut (lihat reaksi i). Reaksi pertama adalah oksidasi pirit oleh oksigen. Sulfur dioksidasi menjadi sulfat dan melepaskan besi ferro. Reaksi ini menghasilkan 2 mol asiditas untuk setiap satu mol pirit yang dioksidasi. 2+
2-
+
2FeS + 7O2 +2H2O → 2Fe + SO4 + 4 H ............ (i) Pyrite + Oksigen + air → besi ferro + sufat + asiditas
Reaksi kedua adalah reaksi konversi besi ferro menjadi besi ferri dengan mengkonsumsi satu mol asiditas. Laju reaksi ini bergantung pada pH dengan diawali oleh reaksi yang berjalan sangat lambat pada kondisi asam (pH 2 – 3). Reaksi ini dianggap sebagai tahap penetapan laju (rate determining step) dalam produksi asam secara keseluruhan. 4Fe3+ + 02 + 4H+ → 4Fe3+ + 2H2O...................(ii) Besi ferro + oksigen + asiditas → Besi ferri + air
Reaksi ketiga merupakan reaksi terjadinya hidrolisa besi. Hidrolisa adalah reaksi pemisahan molekul air. Tiga mol asiditas yang dihasilkan sebagai produk samping (by product). Bentuk ferohidroksida tergantung pada pH. Ferri hidroksida dalam bentuk padatan akan banyak terbentuk pada pH diatas 3,5. Pada nilai pH dibawah itu maka ferri hidroksida solid sedikit
yang terbentuk bahkan mungkin tidak mengalami presipitasi. 4Fe3+ + 12H2O → 4Fe(OH)3→ + 12H+.......... (iii) Reaksi keempat adalah oksidasi penambahan pirit oleh besi ferri. Besi ferri dihasilkan pada reaksi satu dan dua. Ini merupakan siklus pembelahan sendiri dari reaksi secara keseluruhan. Reaksi ini terjadi sangat cepat dan terus menerus sampai besi ferri atau pirit habis. Dalam reaksi ini besi bertindak sebagai agen pengoksidasi. FeS2 + 14 Fe3+ + 8H2O → 15 Fe2+ + 2 SO42- + 16 H+..............................(iv)
HASIL PENELITIAN/DISKUSI Hasil analisa kualitas air selengkapnya, baik yang dilakukan di lapangan (in situ) maupun yang dilakukan di laboratorium ditampilkan pada Tabel 3 meliputi: suhu, pH, dan daya hantar listrik (DHL) dan seterusnya. Sedangkan hasil analisis sampel tanah selengkapnya ditampilkan pada Tabel 4. Berdasarkan hasil analisa, air hulu Sungai Lati memiliki nilai pH mendekati netral yaitu 6,5. Besarnya oksigen terlarut (DO) pada lokasi ini adalah 3,26 mg/l, sedangkan konsentrasi Fe dan Mn yaitu masing-masing 0,47 mg/l dan 0,04 mg/l. Standar KepMenkes menyebutkan konsentrasi Fe dan Mn masing-masing tidak boleh lebih dari 0,3 mg/l dan 0,1 mg/l (Keputusan Menteri Kesehatan, 2002). Standar PerMenkes juga menyebutkan kandungan Fe dan Mn masing-masing tidak boleh lebih dari 1 mg/l dan 0,5 mg/l (Peraturan Menteri Kesehatan, 1990). Dengan demikian air Sungai Lati pada segmen hulu secara umum masih memenuhi kualitas sebagai air baku air minum dari segi keamanan kandungan Fe dan Mn.
15
Marganingrum D & Noviardi R / Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 11-.20.
Gambar 3a. Settling Pond WMP 7, Lati. Gambar 3b. Outlet Pengolahan Aktif (CaOH). Kandungan DO, Fe, dan Mn pada titik lokasi ini juga memperlihatkan indikasi adanya recovery (pemulihan) sungai. Kehadiran oksigen terlarut diperlukan untuk proses oksidasi Fe dan Mn dan atau dekomposisi bakteri. Oksidasi ferro (Fe2+) menjadi ferri (Fe3+) menyebabkan presipitasi besi di bagian hilir sungai dan berkurangnya kandungan besi. Demikian halnya dengan Mn. Data dan informasi ini dapat dijadikan sebagai data awal (initial data) yang menyatakan bahwa kondisi Sungai Lati secara alami tidak tercemar oleh unsur atau zat atau materi yang bersifat asam. Gambar 3a adalah kolam pengendapan WMP 7, Lati. Titik 2 adalah salah satu titik yang mewakili saluran masuk (inlet) kolam pengendapan. Namun sebenarnya ada lebih dari satu inlet yang masuk ke settling pond. Sedangkan Gambar 3b adalah lokasi pengambilan titik sampel air nomor 3 yaitu outlet dari pengolahan aktif. Adanya faktor pengenceran diperlihatkan dengan pengambilan sampel pada saat kondisi hujan dan tidak hujan, masing-masing A2 dan A2a pada inlet serta A3 dan A3a pada outlet. Nilai pH di titik inlet setting pond pada dua kondisi (hujan dan tidak hujan) memiliki nilai yang hampir sama. Namun pada titik outlet, artinya setelah mengalami pengolahan secara aktif menggunakan CaOH, nilai pH pada musim hujan dibawah normal (pH < 6,3) sementara pada saat kondisi cerah nilai pH
16
di atas normal bahkan cenderung basa (pH > 9,7). Dengan asumsi bahwa Jumlah CaOH yang diberikan tepat disesuaikan dengan aliran (debit) air asam, maka dengan volume yang lebih besar akan membutuhkan CaOH yang lebih banyak. Dengan demikian pH yang keluar dari outlet tidak akan dipengaruhi oleh perubahan volume aliran. Namun pH hasil pengolahan pada kondisi hujan ternyata lebih rendah daripada kondisi cerah. Ini memberikan indikasi adanya material terlarut yang mengandung mineral sulfida (pirit) terbawa masuk ke settling pond melalui proses run off. Hal ini menyebabkan kandungan asam meningkat. Berdasarkan pengamatan, pada saat hujan memang terdapat aliran air masuk dari daerah sekitarnya, baik dari disposal maupun tanah asli. Pengenceran secara teoritis akan menurunkan kadar besi sulfat atau asam sulfat yang terbentuk. Namun karena masukan dari beberapa disposal tersebut juga memiliki pH rendah, maka pH di settling pond juga tetap rendah. Lingkungan tanah di sekitar settling pond diwakili oleh hasil analisis tanah dengan kode S1 yaitu dari Disposal Q8. Hasil analisis pH H2O untuk S1 memberikan nilai pH = 3,6 sampai kedalaman lebih dari 20 cm dan pH = 3,75 pada kedalaman kurang dari 20 cm. Dengan demikian kontribusi lahan di sekitar kolam pengendapan (aliran run off) memberikan potensi peningkatan keasaman.
Marganingrum D & Noviardi R / Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 11-20.
No.
Parameter
Satuan
A1
A2
A2a
A3
A3a
A4
A5
Hasil Analisis A6 A7
A8
A9
A10
A11
A12
A13
Sifat Fisika 1
Keasaman (pH)
2
Daya Hantar Listrik (DHL)
S/cm
3
Kekeruhan
NTU
4
Temperatur (oC)
o
6.5
3.12
3,5
6.32
9,7
6,76
3.87
4
3.86
6.8
7.8
4.35
6.0
2.8
4,6
330
1520
830
1230
750
126
786
483
456
520
3100
392
250
2900
1020
-
7.4
-
39.9
-
-
116
25.9
94.3
13.2
538
24.8
22.5
24
C
30.2
26
29,7
28.4
30,3
29
29.6
358
26
26
26
50
52.5
294
28
Sifat Kimia 5
Kalsium (Ca)
mg/l
7,27
43.12
10,18
101.02
46,54
-
18.48
24.64
24.64
22.18
171.25
16.02
8.62
80.08
21,82
6
Magnesium (Mg)
mg/l
9,73
46.82
18,96
40.13
6,29
-
22.15
26.75
21.19
27.55
153.93
24.34
9.36
105.03
23,68
7
Natrium (Na)
mg/l
3,95
10.05
3,2
10.05
4,7
-
5.72
5.97
6.42
6.21
18.9
5.14
2.84
8.77
5,45
8
Kalium (K)
mg/l
4,49
7.38
3,48
7.48
4,49
-
3.57
3.9
4.26
4.05
15.12
3.33
1.35
6.29
5,17 -
9
Hidrogen (H+)
mg/l
-
5.48
-
0.2
-
-
3.37
0.63
1.26
-
0.63
0.63
46.33
32.4
10
Karbon dioksida (CO2)
mg/l
-
176
-
8.8
-
-
9.27
27.8
18.53
27.8
152.89
12.64
12.85
180.69
-
11
Sulfat (SO4)
mg/l
64
220
172
220
208
-
270
150
125
125
920
340
28.5
1720
425
12
Ammonium (NH4-N)
mg/l
-
2.78
-
3.14
-
-
1.35
1.16
1.28
0.86
3.84
0.51
0.81
2.21
-
13
Nitrat (NO3-N)
mg/l
-
4.58
-
3.1
-
-
8.05
3.69
1.75
1.45
13.86
0.12
0.92
21.02
-
14
Nitrit (NO2-N)
mg/l
0,34
ttd
0,08
Ttd
0,19
-
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
15
Zat Organik
mg/l
-
1.97
-
1.83
-
-
11.04
5.52
18.15
7.09
11.04
18.68
18.68
11.83
-
16
Disolve Oxygen (DO)
mg/l
3,26
5.69
2,93
6.9
3,36
-
5.69
4.06
7.11
-
0.81
5.69
-
7.92
3,84
17
Besi (Fe)
mg/l
0,47
13.19
0,18
7.59
0,06
-
12.29
11.15
11.06
6.13
19.24
4.18
0.9
16.95
0,04
18
Mangan (Mn)
mg/l
0,04
4.05
0,07
2.6
0,03
-
0.88
1.7
1.57
3
2.71
1.7
0.29
6.2
0,09
19
Pospat (PO4)
mg/l
ttd
0.043
0,01
0.012
ttd
-
0.016
0.047
0.012
0.07
0.034
0.014
0.13
0.051
ttd
Keterangan : (-) tidak dianalisa Sumber : Hasil analisis
17
17
Marganingrum D & Noviardi R/ Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 11-.21
Tabel 3. Hasil Analisa Laboratorium Sifat Fisika dan Kimia Air
18
Marganingrum D & Noviardi R / Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 11-.20.
KTK Cmol/kg
Kedalaman
3,75
3,70
1,55
0,13
14,26
0 – 20 cm
8,27
0,96
0,16
2,18
14
48
38
Lempung liat berdebu
4,5
3,66
3,42
0,69
0,05
11,85
> 20 cm
3,59
0,43
0,10
4,98
15
47
38
Lempung liat berdebu
3
S2
5,0
3,99
3,37
2,77
0,23
14,24
0 – 2 cm
4,38
0,97
0,25
5,48
5
53
42
Liat berdebu
4
S2
4,5
3,49
3,17
3,15
0,24
16,59
2 – 40 cm
5,28
1,60
0,28
4,94
6
50
44
Liat berdebu
5
S2
4,0
3,28
3,06
1,59
0,15
19,42
> 40 cm
0,00
0,09
0,16
3,51
5
38
57
Liat
6
S3
5,4
4,08
3,69
0,83
0,07
10,10
0 – 20 cm
5,53
0,44
0,04
4,65
21
41
38
Lempung berliat
pH
N (%)
5,0
S1
C-Org (%)
pH lapangan
S1
2
KCl
Kode Conto
1
pH H2O
No
Al3+
KDT cmol(+)/kg
Total (%)
Tekstur (%)
H+
Fe
S
Pasir
Debu
Tekstur Tanah Liat
7
S3
5,2
4,07
3,73
0,65
0,05
10,66
20 – 60 cm
4,83
0,44
0,03
3,86
22
41
37
Lempung berliat
8
S3
5,0
4,05
3,57
3,86
0,31
16,38
> 60 cm
7,50
1,03
0,12
4,79
13
42
45
Liat berdebu
9
S4
5,2
3,70
3,25
3,89
0,33
19,10
0 – 40 cm
4,40
0,93
0,24
5,50
16
48
36
Lempung liat berdebu
10
S4
5,8
4,80
4,45
1,23
0,11
14,10
> 40 cm
0,17
0,12
0,14
8,28
11
41
48
Liat berdebu
11
S5
5,5
5,49
4,68
1,85
0,15
8,85
0 – 20 cm
0,02
0,08
0,01
3,30
34
39
27
Lempung berliat
12
S5
4,8
5,45
4,65
0,96
0,08
9,61
20 – 40 cm
0,00
0,06
0,01
3,75
25
40
35
Lempung berliat
13
S5
5,0
5,82
5,12
0,72
0,06
11,06
> 40 cm
0,00
0,02
0,01
5,08
33
32
35
14
S6
-
4,87
3,6
0,62
Ttd
-
0 – 20 cm
-
-
-
-
-
-
Keterangan : KTK = Kapasitas Tukar Kation
Sumber: Hasil Analisa
18
-
Lempung berliat -
Marganingrum D & Noviardi R/ Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 11-.21
Tabel 4. Hasil Analisa Tanah (Insitu dan Laboratorium)
Marganingrum D & Noviardi R / Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 11-20.
Gambar 4. Skematisasi lokasi pengambilan sampel air dan perubahan pH sepanjang sungai lati Pemahaman di atas dapat diterapkan berdasarkan teori perhitungan beban polutan dari berbagai sumber titik sebagai berikut :
Q1C1 +Q2C2 = Q3C3 Q1 +Q2 dimana Q1 = debit inlet, C1 = pH inlet, Q2 = debit aliran dari run off, C2 = pH run off, Q3 = debit gabungan C3 = pH campuran. Dengan demikian, seharusnya pemberian CaOH pada sistem pengolahan aktif tidak hanya didasarkan pada debit (aliran) air asam melainkan beban polutan hasil pencampuran dalam settling pond. Secara teknis hal ini akan sulit dilakukan manual pada kodisi hujan. Nilai pH dari run off akan sangat bervariasi sehingga diperlukan penyesuaian CaOH yang bervariasi juga agar pengolahan berjalan secara efektif dan ekonomis. Untuk itu, sistem pengolahan berbasis elektrik dan otomatis sangat diperlukan. Hasil analisis sampel tanah menunjukkan bahwa tanah di sekitar lokasi studi memang bersifat asam seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4. Oleh karena itu diduga bahwa selain disebabkan oleh pembuangan limbah pengolahan batu-bara, penuruhan pH Sungai Lati juga disebabkan
karena terjadinya erosi dan material hasil erosi terbawa oleh proses run off dari daerah sekitar. Kepekaan tanah terhadap erosi disebut erodibilitas tanah (Suripin, 2004). Nilai erodibilitas tanah ( E ) diformulasikan sebagai berikut : E =
% pasir + % debu % liat
Debu dengan ukuran 0,002 – 0,05 mm sangat mudah dihanyutkan oleh air, penurunan kapasitas infiltrasinya sangat cepat, dan kemantapan strukturnya rendah. Tanah pasir lebih tahan erosi karena kaya akan pori-pori yang besar, tetapi kemantapan strukturnya rendah. Sedangkan tanah liat paling tahan terhadap erosi karena kemantapan strukturnya tinggi dan kapasitas penampungan airnya tinggi pula. Oleh karena itu tanah yang banyak mengandung debu paling mudah tererosi (Suripin, 2004). Data Tabel 4 menunjukkan bahwa tekstur tanah di lokasi studi memang didominasi oleh debu. Dengan kata lain, tanah di sekitar lokasi studi sangat peka terhadap erosi. Nilai erodibilitas tanah di lokasi studi ditampilkan pada Tabel 4. Gambar 4 menunjukkan skema pola aliran dari pengambilan sampel air dan perubahan pH sepanjang Sungai Lati. 19
Marganingrum D & Noviardi R / Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 11-.20.
Aliran run off dari lokasi hutan (titik sampel S11) menunjukkan nilai pH yang hampir normal (pH=6). Kondisi ini menggambarkan bahwa serasah-serasah yang terdapat di hutan masih mampu melindungi tereksposnya kandungan mineral sulfida oleh udara dan hujan (air). Namun karena ada masukan debit runoff dari lokasi S12 dengan pH sebesar 2.9, maka pH yang terukur di hilir juga menunjukkan keasaman air (pH = 4.6).
KESIMPULAN Fluktuasi pH sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 4 memberikan gambaran adanya dampak lingkungan baik secara alami maupun pengaruh dari limbah penambangan. Hasil analisis data yang diperoleh baik di lapangan maupun analisis laboratorium, baik dari sampel air maupun sampel tanah, menunjukkan bahwa keasaman air di sepanjang Sungai Lati lebih disebabkan oleh faktor lingkungan di sekitar penambangan batubara, daripada pencemaran dari limbah hasil pengolahan batubara. Hal ini ditunjukkan dengan pH sampel air dari outlet pengolahan sebesar 6,3 pada saat hujan dan 9,7 pada saat tidak hujan. Setelah mendapatkan masukan dari aliran sungai yang berasal dari disposal (A5), pH Sungai Lati kembali turun pada nilai 4. Oleh karena itu pengelolaan lahan bekas tambang perlu dilakukan secermat mungkin untuk menghindari kontak dengan udara dan air dari luar. Untuk meminimalisir polutan dari lokasi bekas tambang ataupun tanah disekitar penambangan batubara yang kaya akan mineral sulfida, bisa diakukan dengan tiga cara. Sistem penanganan yang dimaksud adalah sistem mekanis/teknis, agronomis, dan kemis. Ketiga sistem tersebut bertujuan sama yaitu menghindari kontak langsung antara mineral sulfida dengan udara dan air serta pengikatan besi dan asam sulfat yang terbentuk sebagai hasil dari proses oksidasi. Polutan dari proses pengolahan
20
batubara dapat diantisipasi pengolahan aktif.
dengan
sistem
DAFTAR PUSTAKA Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa Barat. 2005. Status Lingkungan Hidup Provisi Jawa Barat. Juari, S. S. 2006. Potensi Penggunaan Hidrotalsit dalam Remediasi Air Asam Tambang di Lahan Gambut. Seminar Nasional RPKLT Pertanian UGM, 1 Februari 2006. Keputusan Menteri Kesehatan. 2002. Syaratsyarat dan Pengawasan Kuanitas Ar Minum. KepMenKes RI No. 907/MENKES/SK/VII/ 2002. Mason, C.F. 1993. Biology of Freshwater Pollution. Second Edition. Longman Scientifis and Technical, New York. 351 p. Peraturan Menteri Kesehatan. 1990. Air Minum. Permenkes No. 41/MenKes/Per/IX/1990. Sayoga, R. G. 2007. Pengelolaan Air Tambang: Aspek Penting dalam Pertambangan yang Berwawasan Lingkungan. Pidato Ilmiah, majelis Guru Besar ITB. Jurusan Teknik Pertambngan ITB. Subardja, A et al. 2007. Pemulihan Kualitas Lingkungan Penambangan Batubara: Karakterisaasi dan Pengendalian air asam Tambang di Berau. Laporan Teknis, Proyek DIPA Puslit Geoteknologi – LIPI TA 2007. Suripin. 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. ANDI – Yogyakarta. Witoro, S. S. 1997. Pengelolaan Lingkungan Pertambangan. Disampaikan pada seminar LINGKUNGAN: Peran Pendidikan Teknik Lingkungan dalam Pembanguan Bangsa, Lustrum IX Pendidiakan Teknik Lingkungan ITB, 15 Desember 2007, Dirjen Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Departemen ESDM.
PENGARUH EROSIVITAS DAN TOPOGRAFI TERHADAP KEHILANGAN TANAH PADA EROSI ALUR DI DAERAH ALIRAN SUNGAI SECANG DESA HARGOTIRTO KECAMATAN KOKAP KABUPATEN KULONPROGO THE INFLUENCE OF EROSIVITY AND TOPOGRAPHY ON SOIL LOSS ON RILL EROSION AT SECANG WATERSHED HARGOTIRTO VILLAGE, KOKAP SUB-DISTRICT, KULONPROGO REGENCY
Dela Risnain Tarigan
[email protected] Djati Mardiatno
[email protected]
Abstract The objectivities of this research are to determine the influence of erosivity and slope length to the soil loss and to know controlling the progress of rill erosion in the Secang watershed. Daily erosivity was calculated using Bols method, slope factor was calculated using Wischmeir and Smith method and soil loss was calculated using modification Hudson with Stocking and Murnaghan method. The influence of erosivity and topographic on soil loss can be determined by regression linier through the regression can be determined the correlation value. The result of this study is the factors controlling the soil loss in the Secang watershed is erosivity factor. Erosivity factor value is the average correlation of 0.37 while the mean correlation of 0,93 is the slope index. The influence of topography is more higher than erosivity on soil losses. If the topography higher so the loss soil will be higher too. Keywords: rill erosion, erosivity, topography Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui pengaruh erosivitas dan kelerengan terhadap perkembangan erosi alur dan untuk (2) mengetahui faktor pengontrol perkembangan alur erosi di DAS Secang. Metode perhitungan erosivitas harian menggunakan metode Bols, perhitungan kelerengan menggunakan metode Wischmeir dan Smith dan metode kehilangan tanah menggunakan rumus modifikasi Hudson serta Stocking dan Murnaghan. Pengaruh antara erosivitas dan kelerengan terhadap kehilangan tanah dianalisis menggunakan regresi linier melalui regresi akan diperoleh nilai korelasi (r). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pengontrol kehilangan tanah di DAS Secang adalah topografi dengan rerata nilai korelasi sebesar 0,93 dan rerata nilai korelasi erosivitas adalah sebesar 0,37. Nilai ini menunjukkan bahwa topografi memiliki pengaruh yang lebih tinggi terhadap kehilangan tanah dari faktor erosivitas Kata kunci: kehilangan tanah, erosivitas, topografi
411
Kulonprogo. Berdasarkan batas administrasi pada Gambar 1.1. maka DAS ini termasuk ke dalam Kecamatan Kokap. DAS Secang merupakan perbukitan yang mengalami proses pengangkatan oleh tenaga endogen dan mengalami proses eksogen cukup lama dan bersifat menelanjangi (proses denudasional) (Siddik, 2010). DAS ini memiliki kemiringan lereng yang bervariatif yaitu berupa datar hingga landai, agak miring, miring, terjal dan sangat terjal (Tim Peneliti PSLH-UGM, 2009). Jenis erosi yang terdapat di daerah penelitian seperti adanya pedestal, erosi lembar, erosi alur, erosi parit. Erosi sangat intensif terjadi di daerah penelitian. Sehingga kecepatan pembentukan tanah dengan kehilangan tanah tidak seimbang.
PENDAHULUAN Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung – punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak, 2001). DAS merupakan suatu ekosistem yang terdiri dari komponen abiotik dan biotik yang saling mempengaruhi. Dalam mengelola suatu DAS harus memperhatikan komponen – komponen yang terdapat di dalam DAS sehingga dapat diketahui tingkat kemampuan DAS terhadap bahaya erosi. Erosi merupakan peristiwa berpindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian – bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami (Arsyad, 1989). Faktor – faktor yang mempengaruhi erosi tanah adalah hujan, tanah, kemiringan, vegetasi dan manusia (Utomo, 1994). Hujan yang jatuh ke permukaan tanah memiliki energi yang dapat dibagi menjadi dua, yaitu energi potensial dan energi kinetik. Energi kinetik merupakan energi yang terjadi ketika hujan jatuh ke permukaan tanah dengan kecepatan dan butir hujan tertentu sehingga dapat menghancurkan agregat – agregat tanah. Peningkatan energi dalam penghancuran agregat tanah ini didukung oleh faktor kemiringan lereng. Pinczes (1981) menyatakan bahwa parameter kelerengan dapat dibagi menjadi dua yaitu sudut lereng dan energi lereng. Sudut lereng adalah sudut yang terbentuk terhadap bidang horizontal. Energi lereng adalah besarnya energi potensial yang dipengaruhi oleh topografi di wilayah tersebut. Zachar (1982) menyatakan bahwa apabila tekuk lereng semakin besar maka koefisien aliran dan daya angkut meningkat, kestabilan tanah dan kestabilan lereng menurun, erosi percik meningkat dan perpindahan material tanah lebih besar. Kedua faktor tersebut merupakan pemicu terjadinya erosi. DAS Secang merupakan salah satu DAS yang terletak di Kabupaten
Gambar 1.1 Peta Batas Administrasi DAS Secang Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengaruh erosivitas dan kelerengan terhadap kehilangan tanah
412
Jenis erosi ini merupakan hasil dari percikan atau benturan air hujan secara langsung pada partikel tanah dalam keadaan basah. Curah hujan yang jatuh ke permukaan tanah memiliki diameter yang berbeda – beda sehingga memiliki energi tumbukan yang berbeda. Energi tumbukan ini bergantung dari kecepatan jatuhnya tetesan air, diameter butiran tetesan hujan dan intensitas hujan.
2. Untuk mengetahui perbandingan pengaruh erosivitas dan kelerengan terhadap kehilangan tanah a. Proses Erosi rosiE tanah dapat terjadi secara alamiah dan non - alamiah. Secara alamiah, erosi dapat terjadi secara alamiah pada tanah dengan melalui tahapan penghancuran, pengangkutan dan pengendapan. Erosi non – alamiah dapat diakibatkan adanya faktor dari manusia. Utomo (1994) menyatakan bahwa erosi terjadi dengan 3 proses yaitu penghancuran, pengangkutan dan pengendapan. Air hujan yang mengenai permukaan tanah dengan energi tertentu akan menghancurkan agregat tanah. Agregat tanah yang hancur akan menutup pori – pori tanah yang akan mengurangi kemampuan tanah dalam menyerap air hujan (infiltrasi). Dengan adanya peningkatan intensitas hujan maka akan meningkatkan aliran permukaan sehingga daya angkut akan partikel – partikel tanah yang telah terlepas tersebut semakin banyak dan akan menyebabkan hasil sedimentasi tinggi.
2) Erosi lembar (sheet erosion) Terjadi karena terlepasnya tanah dari lereng dengan tebal lapisan yang tipis. Erosi ini tidak dapat terlihat oleh mata karena perubahan permukaan tanah yang terjadi hanya dalam bentuk yang kecil. Jenis erosi dapat terlihat dengan jelas pada saat laju erosi semakin bertambah dengan tidak ditemukannya vegetasi di permukaan tanah tersebut. 3) Erosi alur (rill erosion) Tipe erosi ini terjadi karena adanya pengikisan tanah oleh aliran air yang membentuk parit atau saluran kecil, parit tersebut mengalami konsentrasi aliran air hujan yang akan mengikis tanah. Alur – alur tersebut akan mengalami pendangkalan pada permukaan tanah dengan arah yang memanjang dari atas ke bawah. Suatu erosi dikelompokkan menjadi erosi alur apabila memiliki lebar kurang dari 50 cm dan memiliki kedalaman kurang dari 30 cm.
Intensitas hujan dan kemiringan lereng dapat meningkatkan aliran permukaan. Intensitas hujan yang tinggi akan memiliki energi yang besar dalam menghancurkan agregat tanah. Kecepatan aliran akan meningkat sejalan dengan semakin besarnya nilai dari kemiringan lereng dan daya angkut partikel – partikel tanah yang telah hancur akan semakin tinggi sehingga proses erosi semakin besar yang dinyatakan oleh Banuwa (2001, dalam Martono, 2004).
4) Erosi parit (gully erosion) Jenis erosi ini merupakan keberlanjutan dari erosi alur. Erosi parit ini terjadi apabila alur – alur mengalami pendangkalan yang semakin lebar dan dalam hingga membentuk parit.
b. Jenis – Jenis Erosi Menurut Hardiyatmo (2006), jenis erosi dengan sumber berupa air hujan dapat dikelompokkan menjadi 5 macam yaitu: 1) Erosi percikan (splash erosion)
5) Erosi sungai / saluran (stream / channel erosion) 413
kemampuan untuk mengangkut butir – butir tanah (Morgan, 1996). Arsyad (1989), menjelaskan bahwa faktor lain dari topografi yang dapat berpengaruh terhadap erosi adalah konfigurasi lereng, keseragaman lereng dan arah lereng. Konfigurasi lereng berpengaruh pada kecepatan aliran permukaan dalam mengangkut partikel – partikel tanah. Keseragaman lereng berpengaruh pada tingkat erosi yang terjadi.
Erosi sungai dapat terjadi karena adanya permukaan tanggul sungai yang terkikis dan gerusan sedimen di sepanjang dasar saluran. c. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Erosi Proses erosi yang terjadi di alam tidak hanya terjadi karena adanya faktor dari hujan dan kepekaan tanah melainkan juga dipengaruhi oleh vegetasi, kemiringan dan manusia sehingga menurut Utomo (1994), erosi dinyatakan dalam rumus sebagai berikut: E = f (i,r,v,t,m) E adalah erosi, i (iklim), r (topografi), v (vegetasi), t (tanah) dan m (manusia) 1. Iklim Faktor utama yang mempengaruhi terjadinya erosi pada daerah beriklim tropis seperti Indonesia adalah hujan. Hujan yang jatuh pada permukaan tanah akan menyebabkan terjadinya penghancuran pada agregat tanah yang disebabkan karena adanya daya penghancuran dan daya urai dari air hujan tersebut. Agregat tanah yang telah hancur tesebut akan menutup pori – pori tanah sehingga jumlah air yang terinfiltrasi lebih sedikit. Sehingga akan meningkatkan aliran permukaan (run off). Aliran ini akan mengikis dan mengangkut partikel – partikel tanah yang telah hancur. Apabila aliran ini sudah tidak memiliki energi untuk mengikis maka aliran ini akan membawa partikel tanah yang telah hancur ke daerah yang lebih datar, sehingga menyebabkan daerah tersebut memiliki tingkat sedimentasi yang lebih tinggi.
3. Vegetasi Pengaruh vegetasi terhadap erosi adalah: 1) melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan (menurunkan kecepatan terminal dan memperkecil diameter air hujan), 2) menurunkan kecepatan dan volume air larian, 3) menahan partikel – partikel tanah pada tempatnya melalui sistem perakaran dan seresah yang dihasilkan serta 4) mempertahankan kemantapan kapasaitas tanah dalam menyerap air. Semakin padat pertanaman maka semakin besar hujan yang terintersepsi sehingga erosi akan menurun. Selain itu, sistem perakaran dapat mengurangi erosi yaitu sistem perakaran yang luas dan padat dapat mengurangi erosi (Utomo, 1994). 4. Tanah Sifat – sifat tanah yang berpengaruh pada erosi adalah tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman tanah, sifat lapisan tanah dan tingkat kesuburan tanah (Arsyad,1989). Sifat tanah yang mempengaruhi erosi adalah erodibilitas. Morgan (1996) menyatakan bahwa erodibilitas adalah daya tahan terhadap pengurai dan pengangkutan oleh tenaga erosi. Apabila nilai erodibilitas semakin besar maka tanah tersebut semakin mudah tererosi. Utomo (1994) berpendapat bahwa kepekaan suatu tanah terhadap erosi atau nilai erodibililtas suatu tanah ditentukan oleh ketahanan tanah terhadap daya rusak dari luar dan kemampuan tanah untuk menyerap air.
2. Topografi Faktor topografi yang berpengaruh pada erosi adalah kemiringan lereng, panjang lereng dan bentuk lereng (Utomo, 1994). Semakin curam kemiringan lereng akan semakin meningkatkan jumlah dan kecepatan aliran permukaan, sehingga memperbesar energi kinetik dan meningkatkan 414
daan kedalam man alur padda penampaang alur yaang disajikkan pada G Gambar 1.2 dengan peersamaan : A = ½π ½ *l*d V = (A1 + A2) * p Volum me tanah yaang hilang per p m2 = V / LC L Massa tanah pper m2 = volume tanahh yang hilang per m2 * kerappatan butir tanah (g/cm3) Kehillangan tanaah = selisih h antara massaa tanah padda tiap pengu ukuran
5. Maanusia Maanusia meemiliki peran dalaam memppercepat daan menekann laju erosi. Laju erosi dappat diperccepat ketika a dengan manussia mengekksploitasi alam cara penebangan p n hutan, caara bercocook tanam m yang salah d dsb. Selaain memppercepat lajju erosi, manusia m juga dapat menekan laju erosi yaitu dengan l sepertti reboisasi.. mengkkonservasi lahan ODE METO Metode pennelitian yanng digunakan adalah survey denngan teknik pengambilan rposive samppling. Teknnik sampel adalah purp ini diggunakan unntuk megettahui tingkkat kehilangan tanahh pada beerbagai jennis satuan lahan denngan faktor pengontrrol yang saama. Tahapp awal dalaam penelitian ini adaalah pembuuatan peta satuan lahan yang diperoleh d daari hasil ovverlay antaara peta keemiringan leereng, peta bentuklahaan, peta peenggunaan lahan dann peta tanaah. Jumlah satuan lahaan yang diperoleh adalah 18 satuuan lahan dan d jumlah satuan lahan yang dijadikan d saampel adallah 10 yanng disebabbkan bahwaa erosi alur hanya terjaadi pada satuan lahan l tersebut yanng dikarennakan bahwa pengukurran dilakukan pada awal a musim m hujan seehingga pada beberappa satuan lahan tidak ditemukan adanya satuan lahaan.
Gambar G 1.2 Penampang P g Erosi Alurr Perhitunggan erosivitas mengg gunakan metode m Bolss (1978) denngan mengg gunakan daata hujan deengan persaamaan : Rd = 2,467 * (P Pd)2 / 0,02727 * Pd + 0,725 diimana Rd adalah a erossivitas hujan n harian daan Pd adalaah curah hujan harian (ccm). Perhitunggan inddeks kellerengan menggunaka m an metode Wischmeeir dan Sm mith (19788) dengan m menggunak kan data keemiringan lereng dengaan persamaan : LS = (X/22,1)0,6 * (S/9)1,4 S = (00,43 + 0,30s + 0,043s2) / 6,613 diimana X adalah a panjang lereng (m), S ad dalah fakttor kemirinngan lereng g dan s ad dalah nilai kecuraman k llereng (%) Pengaaruh antarra erosivittas dan in ndeks keleerengan terrhadap keh hilangan taanah mengggunakan grrafik regressi linier yaang akan diperolehh nilai r yang merupakan m n nilai untuk mengetahu ui besar keecilnya penngaruh antaar variabel tersebut yaang disajikaan pada Tabbel 1.1
Data hassil pengukkuran yanng dilapaangan addalah jarak diperoleeh horizonntal lereng,, data perrubahan allur berupa kedalaman, panjang dan d lebar allur dan haasil laborattorium untuuk kerapatan massa. Sedangkann data sekkunder yanng diperoleeh yaitu datta hujan darri tanggal 6 – 15 Deseember 2011. Perubahan pola alur dappat digambbarkan dalam m milimeteerblok dengan mengguunakan dataa lebar dan panjang p alurr. Perhitungann kehilanngan tanah mengguunakan mettode modifi fikasi Hudsoon (1993) serta Stoocking dann Murnaghan (2001) dengan menggunaka n data lebbar m 415
erosivitas. Indeks erosivitas merupakan pengukur kemampuan suatu hujan untuk menimbulkan suatu erosi. Indeks erosivitas dapat diketahui melalui tebal curah hujan. Semakin tebal hujan yang terjadi maka nilai erosivitas juga akan tinggi yang berarti bahwa kemampuan hujan untuk menimbulkan erosi sangat besar. Data tebal hujan di daerah penelitian diperoleh melalui alat pencatat otomatis dari stasiun hujan Sermo dan Kokap. Data hujan yang digunakan adalah data hujan harian selama 10 hari yang diperoleh dari tanggal 4 hingga 13. Selama 10 hari terjadi 8 kali kejadian hujan dan 2 kali tidak terjadi hujan. Data hujan harian ini digunakan satuan lahan D.02.a/VI/KTT-TE/Tg, D.02.a/VI/TE/Pm, D.02.c/IV/KTTTE/K, D.02.c/IV/KTT-TE/Pm dan D.02.a/VI/KTT-TE/Pm. Data hujan yang tercatat di stasiun Sermo tersebut disajikan dalam bentuk Tabel 1.1. Tabel 1.1 Indeks Erosivitas di Stasiun Sermo Tgl Pengukuran Pd Rd 4 Desember 2011 0,07 7,06 5 Desember 2011 0,14 13,39 7 Desember 2011 0,51 46,86 9 Desember 2011 0,03 3,44 10 Desember 2011 0,03 3,44 11 Desember 2011 0,4 36,91 12 Desember 2011 0,18 17,01 13 Desember 2011 0,34 31,48 Pd : Curah hujan harian (cm/hari) Rd : Erosivitas hujan harian (ton/ha/hari) Sumber : Alat Perekam Hujan Otomatis di Stasiun Sermo Data hujan yang tercatat di stasiun Kokap tersebut disajikan dalam bentuk Tabel 4.2 yang diambil pada tanggal 4 hingga 13. Selama 10 hari telah terjadi 6 kali kejadian hujan dan 4 kali tidak terjadi hujan. Data hujan harian ini digunakan untuk satuan lahan D.02.b/V/KTT-TE/K,
Tabel 1.1 Parameter Besar Kecilnya Korelasi Nilai r Korelasi 0,90 – 1,00 Hubungan sangat tinggi 0,78 – 0,89 Hubungan tinggi 0,64 – 0,77 Hubungan sedang 0,46 – 0,63 Hubungan rendah 0,00 – 0,45 Hubungan sangat rendah HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Erosi Alur Erosi alur merupakan erosi yang terjadi karena adanya pengikisan oleh aliran air yang membentuk saluran kecil dimana saluran kecil tersebut mengalami konsentrasi aliran air hujan yang akan mengikis tanah. Perkembangan pada suatu erosi alur dapat terjadi karena adanya faktor-faktor erosi yaitu iklim, vegetasi, tanah dan manusia. Setiap satuan lahan memiliki karakteristik lahan yang berbedabeda. Dengan adanya perbedaan karakteristik tersebut menyebabkan adanya perbedaan perkembangan erosi alur. Pengamatan perkembangan erosi alur dilakukan selama 10 hari. Perkembangan erosi ini dapat diidentifikasi melalui perubahan pada lebar, panjang dan kedalaman erosi. Erosi yang terjadi pada satuan lahan ini dibagi menjadi 3 segmen. Data yang mengalami perubahan pola dapat dilihat pada 4 hari saja. Hal ini terjadi karena adanya nilai yang sama dengan hari sebelumnya dan tidak ada kejadian hujan di satuan lahan ini. Faktor Erosivitas (R), Kelerengan (LS) dan Kehilangan Tanah 1. Faktor Erosivitas (R ) Erosi yang terjadi pada daerah yang beriklim tropis pada umumnya disebabkan karena hujan. Hal ini terjadi karena intensitas hujan di daerah tropis lebih tinggi dari daerah lainnya. Tebal hujan, intensitas hujan dan distribusi hujan mempengaruhi terjadinya peningkatan erosi. Kemampuan suatu hujan untuk dapat menimbulkan suatu erosi disebut 416
awal terjadi erosi hingga titik akhir terjadi erosi.
D.02.a/VI/TT/K, D.02.b/V/TE/K, D.02.b/V/TT/K dan D.02.c/IV/TT/Pm. Tabel 1.2 Indeks Erosivitas di Stasiun Kokap Tgl Pengukuran Pd Rd 5 Desember 2011 0,22 20,63 7 Desember 2011 0,4 36,91 8 Desember 2011 0,6 55,00 11 Desember 2011 0,41 37,82 12 Desember 2011 0,1 9,77 13 Desember 2011 0,26 24,25 Pd : Curah hujan harian (cm/hari) Rd : Erosivitas hujan harian (ton/ha/hari) Sumber : Alat Perekam Hujan Otomatis di Stasiun Kokap
3. Kehilangan Tanah Erosi merupakan peristiwa terkikisnya bagian tanah sehingga menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah. Analisis kehilangan tanah pada setiap satuan lahan dilakukan selama 10 hari dan selama 10 hari terdapat anomali kehilangan tanah yaitu terdapat hari dimana terjadinya hujan tetapi tidak ada kehilangan tanah dan sebaliknya. Hal ini dapat terjadi karena kehilangan tanah tidak hanya dipengaruhi oleh hujan tetapi oleh faktor lain seperti topografi, vegetasi, tanah dan manusia. Kehilangan tanah pada setiap satuan lahan disajikan pada Tabel 1.3. Melalui tabel tersebut dapat dianalisis bahwa kehilangan tanah pada setiap satuan lahan di setiap harinya berbeda-beda. Hal ini dapat terjadi karena erosi tidak hanya dipengaruhi oleh hujan tetapi oleh faktor lainnya seperti topografi, vegetasi, tanah dan manusia
2. Faktor Kelerengan (LS) Faktor kelerengan yang mempengaruhi terjadinya erosi adalah kemiringan lereng, panjang lereng. Selain itu, faktor lainnya yang dapat mempengaruhi terjadinya erosi adalah konfigurasi, keseragaman dan arah lereng. 2.1 Sudut lereng Kemiringan lereng akan mempengaruhi besarnya limpasan permukaan. Hal ini dapat terjadi karena semakin besar kemiringan lereng maka akan meningkatkan jumlah dan kecepatan aliran. Dengan adanya peningkatan jumlah dan kecepatan aliran ini akan memperbesar energi kinetik sehingga kemampuan untuk mengangkut butir – butir tanah juga akan meningkat. Kemiringan lereng ini digunakan untuk menghitung faktor kelerengan dalam menganalisis kehilangan tanah. Untuk mengetahui nilai faktor kelerengan ini menggunakan metode Wischmeier dan Smith. Kemiringan lereng erosi ini diperoleh dengan menghitung jarak horizontal dan tinggi. Pengukuran ini dilakukan pada 417
Tabel 1.3 Kehilangan Tanah Satuan lahan Hari 1 D.02.b/V/KTT-TE/K D.02.a/VI/TT/K D.02.b/V/TE/K D.02.b/V/TT/K D.02.c/IV/TT/Pm D.02.a/VI/KTT-TE/Tg D.02.a/VI/TE/Pm D.02.c/IV/KTT-TE/K D.02.c/IV/KTT-TE/Pm D.02.a/IV/KTT-TE/Pm -
Kehilangan tanah (ton/ha/hari) Hari Hari Hari Hari Hari Hari 2 3 4 5 6 7 1,80 0 3,47 0,61 0 0 2,06 0,25 3,06 3,77 0 0 1,35 0 3,73 1,13 0 0 1,85 0,08 3,40 1,20 0 0,41 0,94 0 2,01 3,32 0 0 2,60 0,06 3,65 2,67 0 0 1,88 0,10 2,97 2,91 0 0 1,49 0 3,48 0 0 0 1,11 0 4,87 0 0 0 1,83 0 4,15 0 0 0
Hubungan antara Faktor Erosivitas (R ) dan Kehilangan Tanah Hubungan antara faktor erosivitas dan kehilangan tanah pada setiap satuan lahan akan berbeda-beda. Hal ini dapat terjadi karena setiap satuan lahan memiliki karakteristik lahan yang berbeda-beda seperti kemiringan lereng, vegetasi, pengaruh dari aktivitas manusia, dsb. Besar kecilnya hubungan antar variabel ini dipeoleh melalui nilai korelasi dengan menghubungan antara erosivitas sebagai sumbu absis dan kehilangan tanah sebagai sumbu ordinat. Hubungan antar variabel ini memiliki tingkat dari sangat rendah hingga rendah. Hubungan antara Faktor Kelerengan (LS) dan Kehilangan Massa Tanah Hubungan antara faktor kelerengan dan kehilangan tanah pada setiap satuan lahan akan berbeda-beda. Hal ini dapat terjadi karena setiap satuan lahan memiliki karakteristik lahan yang berbeda-beda seperti kemiringan lereng, vegetasi, pengaruh dari aktivitas manusia, dsb. Besar kecilnya hubungan antar variabel ini dipeoleh melalui nilai korelasi dengan menghubungan antara erosivitas sebagai sumbu absis dan kehilangan tanah sebagai sumbu ordinat. Hubungan antar variabel ini memiliki tingkat dari tinggi hingga sangat tinggi.
Perbandingan Pengaruh antara Erosivitas dan Topografi terhadap Kehilangan Tanah Pengaruh antara faktor topografi dan erosivitas terhadap kehilangan tanah menggunakan grafik regresi. Melalui grafik akan diperoleh nilai korelasi untuk mengenai besar hubungan kedua faktor tersebut terhadap kehilangan tanah Perbandingan nilai korelasi antara erosivitas dan kelerengan terhadap kehilangan tanah disajikan pada Tabel 1.4. Tabel 1.4. Tabel Perbandingan Nilai Korelasi Antara Rd dan LS Nilai korelasi dengan kehilangan Satuan lahan tanah Rd LS D.02.b/V/KTT-TE/K 0,36 0,93 D.02.a/VI/TT/K 0,24 0,76 D.02.b/V/TE/K 0,34 0,93 D.02.b/V/TT/K 0,33 0,91 D.02.c/IV/TT/Pm 0,27 0,96 D.02.a/VI/KTT-TE/Tg 0,40 0,95 D.02.a/VI/TE/Pm 0,36 0,92 D.02.c/IV/KTT-TE/K 0,50 0,97 D.02.c/IV/KTT-TE/Pm 0,41 0,98 D.02.a/IV/KTT-TE/Pm 0,52 0,96 Sumber : Hasil Perhitungan Melalui Tabel 1.4 tersebut dapat dianalisis bahwa pada faktor yang 418
Hari Hari Hari 8 9 10 2,52 0 2,47 3,53 0,65 3,20 2,83 0 3,19 2,85 0 2,63 3,10 0,43 3,45 4,13 0,84 3,24 3,26 0,92 2,14 2,51 1,18 3,13 3,35 0 4,33 3,37 0 3,48
berpengaruh terhadap perkembangan erosi alur di setiap satuan lahan adalah lereng. Adanya perberdaan nilai korelasi ini disebabkan karena adanya perbedaan pada nilai kehilangan tanah di setiap satuan lahan. Selain itu juga didukung adanya pengaruh dari faktor-faktor pendukung lainnya yang mempengaruhi terjadinya erosi. Melalui Gambar 1.2 tersebut dapat dilihat bahwa ada setiap satuan lahan dimana perkembangan erosi hanya dipengaruhi oleh lereng dengan tingkat pengaruh yang berbeda-beda. Meningkatnya kehilangan tanah di daerah penelitian ini terjadi karena meningkatknya kemiringan lereng.
pengaruh erosivitas dan kelerengan terhadap kehilangan tanah dapat diketahui melalui nilai rata - rata korelasi antar variabel yaitu pengaruh erosivitas terhadap kehilangan sangat rendah sedangkan pengaruh kelerengan sangat tinggi. Penelitian ini akan lebih baik jika menggunakan pengamatan selama satu bulan. Konservasi lahan dapat mengurangi terjadinya erosi yang intensif di daerah penelitian dan adanya usaha agar lahan dapat tertutupi oleh vegetasi yang dapat mengurangi tanah terkikis oleh hujan
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor : IPB
Gambar 1.3 Peta Kehilangan Tanah
Faktor
Asdak, Chay. 2001. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Bandung: Gadjah Mada University Press Hardiyatmo, Hary Christady. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Martono. 2004. Pengaruh Intensitas Hujan dan Kemiringan Lereng terhadap Laju Kehilangan Tanah pada Tanah Regosol Kelabu. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro Morgan, R. P. C. 1996. Soil Erosion and Conservation (second edition). England: Longman Pinczes, Z. 1981. Judgement of The Danger of Erosion through the Evaluation Regional Condition. New York: John Wiley and Sons Siddik, Fajar. 2010. Analisis Stabilitas Lereng untuk Zonasi Daerah Rawan Longsor di DAS Secang Kulonprogo dengan Menggunakan Model Deterministik. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM. Tim Peneliti PSLH-UGM. 2009. Pemanfaatan Lahan Miring Kaitannya dengan Degradasi
Pengaruh
KESIMPULAN Pengaruh kelerengan terhadap kehilangan tanah memiliki pengaruh dari tinggi hingga sangat tinggi. Adapun pengaruh erosivitas terhadap kehilangan tanah memiliki pengaruh dari sangat rendah hingga rendah. Perbandingan 419
Lahan Akibat Erosi di DAS Secang Kabupaten Kulonprogo. Yogyakarta: Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM. Utomo, Wani Hadi. 1994. Erosi dan Konservasi Tanah. Malang: Penerbit IKIP Malang Zachar, D. 1982. Soil Erosion. Elsevier Scientific Publishing Company : Forest Research Institute, Zvolen, Czechoslovakia.
420
Pengendalian Kerusakan Lingkungan… (Sarbidi)
PENGENDALIAN KERUSAKAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN KAWASAN PANTAI PULAU MIANGAS DENGAN PENCEGAHAN EROSI DAN ABRASI Sarbidi Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan Cileunyi Wetan-Kabupaten Bandung Email:
[email protected] Diterima: 28 Juli 2009; Disetujui: 22 Juni 2010
ABSTRAK Pulau Miangas adalah pulau kecil terluar di wilayah bagian utara Negara Indonesia berbatasan dengan wilayah Negara Filipina. Oleh karena itu, setiap meter pengikisan pantai Pulau Miangas akan menggeser pula wilayah laut beserta seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya dari klaim penguasaan teritorial Negara Indonesia. Penelitian menyoroti kerusakan pantai Pulau Miangas yang diakibatkan oleh erosi dan abrasi. Kajian mencakup identifikasi permasalahan, pengumpulan data batimetri, data pasang surut, peta Miangas dari citra satelit, peramalan gelombang signifikan dari data angin lima tahunan dan observasi kawasan pantai secara langsung. Gelombang signifikan dianalisis dengan metode SverdrupMunk Bretschneider. Kerusakan pantai menggunakan gambar jaring elemen yang disimulasikan dengan program Surface Water Modeling System dan pembacaan peta citra satelit. Kajian menyimpulkan pantai Pulau Miangas sebelah Utara, sebelah Barat-Barat Laut, sebelah Selatan ke arah Barat dan Selatan ke arah Timur sudah mengalami kerusakan akibat erosi dan abrasi. Lahan pantai bagian Barat -Barat Laut dikikis sekitar 3 m per tahun. Kerusakan pantai bagian Utara, Barat-Barat Laut dan Selatan ke arah Barat dan bagian sebelah kanan dermaga dapat dikendalikan dengan penerapan beberapa pemecah gelombang sejajar pantai dan penanaman pohon bakau; bagian Selatan ke arah Timur, khususnya di sebelah kiri dermaga dapat menerapkan konstruksi tembok laut atau revetmen di sepanjang pantai yang mengalami kerusakan. Kata Kunci: Erosi, abrasi, pengendalian, pemecah gelombang, tembok laut, pohon bakau
ABSTRACT Miangas Island is the most outside of a small island in northern of the Indonesia which is border to the Philippines. Therefore every meter erosion and abrasion of shoreline will shift the offshore area and the natural ocean resources from the authority of the Indonesian territorial. The research explored destruction of beach of Miangas Island caused by erosion and abrasion. The research involves the problems identification, bathymetry, tidal, map of Miangas Island, significant wave hind casting by the five years wind data and observation of the coastal area. Significant wave analyzed by Sverdrup -MunkBretschneider method. The coastal destruction used the drawing of net elements simulated by Surface Water Modeling System and the satelite image map. The research concludes that the beach in North, West to the Northwest, South to the West and South to the East direction have already destructed by erosion and abrasion. The beach land in West to the Northwest eroded about 3 meters per year. Destruction control of North, West to the Northwest, and South to the West coastal line, and the right side of port apply some of detached breakwaters combined with mangrove trees; south to the East direction apply seawall or revetment is precisely in the destruction beach area. Keywords: Erosion, abrasion, control, detached breakwater, revertment, mangrove trees
PENDAHULUAN Latar Belakang Pulau Miangas adalah pulau kecil terluar dari wilayah bagian Utara Republik Indonesia. Pulau ini berbatasan dengan wilayah Negara Filipina. Karena posisinya tersebut maka Pulau Miangas ditetapkan sebagai wilayah khusus yang dikenal dengan “checkpoint border crossing area”.
Pulau Miangas mempunyai luas sekitar 3,15 km2, dihuni oleh sebanyak 678 jiwa dan merupakan bagian dari Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, Propinsi Sulawesi Utara.
Jarak Pulau Miangas terhadap Nanusa (gugusan kepulauan terdekat di wilayah Indonesia) sekitar 145 mil laut, sedangkan jarak Pulau Miangas dengan Filipina hanya 48 mil laut. Oleh karena itu, 58
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Agustus 2010: 58-66
interaksi kehidupan sosial, ekonomi dan budaya dengan Filipina tidak dapat dihindarkan terutama untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Letak Pulau Miangas sangat strategis dalam menjaga luas dan keutuhan wilayah Republik Indonesia. Eksistensi pulau ini harus dipertahankan dengan sungguh-sungguh. Dengan letaknya yang spesifik sebagai pulau terluar, maka erosi pantai Pulau Miangas harus ditangani dengan baik. Setiap meter pengikisan pantai Pulau Miangas terluar akan menggeser pula wilayah laut beserta seluruh kekayaan yang terkandung didalamnya dari klaim penguasaan teritorial Negara Republik Indonesia. Kerusakan pantai pulau ini bukan hanya menjadi isu lokal akan tetapi menjadi isu nasional.
Secara teoritis, erosi pantai dapat disebabkan faktor alam dan artifisial. Faktor alam didorong oleh hantaman gelombang laut yang terusmenerus. Faktor artifisial dipicu oleh perbuatan manusia, yang secara tidak terkendali mengeksploitasi kawasan pantai, misalkan membangun permukiman yang masuk dalam sempadan pantai, membangunan struktur pantai yang tidak memenuhi persyaratan teknis, merusak kawasan penyanggah (buffer zone) hutan bakau, dan lain-lain. Teknik pencegahan erosi pantai dapat melalui pendekatan teknis dan non teknis secara terpadu. Pendekatan teknis, antara lain membuat bangunan pengaman pantai yang sesuai untuk kondisi gelombang sekitar Pulau Miangas, menempatkan permukiman di luar garis sempadan pantai dan menjaga kelestarian hutan bakau. Secara non teknis adalah memberikan pemahaman pada masyarakat mengenai dampak negatif erosi pantai, bagi kelestarian pulau dan kehidupan mereka sendiri. Rumusan Masalah Energi yang dikandung oleh ombak, yang terus menerus menghantam pantai dapat menyebabkan erosi pada pantai dan abrasi pada tebing pantai batuan padat yang masif. Erosi dan abrasi dapat dicegah dengan membangun infrastrukstur peredam energi gelombang, membangun pemecah gelombang dan menanam tumbuhan pereduksi ombak di sekitar pantai (biasanya hutan bakau). Peristiwa pasang surut turut pula mempengaruhi garis pantai, meskipun kadarnya kecil dibanding ombak dan arus laut. Pasang surut berpengaruh terhadap dinamika air di sekitar pantai. Vegetasi atau hutan bakau yang tumbuh subur di sepanjang pantai dapat berfungsi sebagai penangkap sedimen (sediment trap) di kawasan pantai, sehingga membantu pertumbuhan pantai. 59
Aktifitas manusia yang memanfaatkan pantai untuk berbagai kepentingan, juga dapat merubah morfologi atau bahkan merusak lingkungan di kawasan pantai.
Permasalahannya, bagaimana menentukan teknik konstruksi yang tepat untuk mencegah kerusakan pantai Pulau Miangas. Tulisan ini akan membahas metode teknik struktural pencegah kerusakan kawasan pantai pulau tersebut. Data dan informasi diambil dari survei investigasi dan desain pengaman pantai Pulau Miangas, Ditjen Sumber Daya Air tahun 2005.
METODOLOGI
Identifikasi Masalah Lingkungan di kawasan pantai Pulau Miangas, sangat rentan erosi dan abrasi, karena letaknya jauh dari kawasan pulau besar, juga berada pada perairan Samudra Pasifik yang berombak besar. Seberapa besar kejadian erosi dan abrasi ini, sangat dipengaruhi oleh tinggi gelombang, periode gelombang dan gelombang dominan. Biasanya parameter-parameter gelombang tadi diperoleh dari model transformasi gelombang, yaitu transformasi gelombang dari laut dalam menuju laut dangkal atau daerah pantai. Pemodelan menggunakan analisis numerik, dengan kombinasi refraksi dan defraksi gelombang.
Metode Pelaksanaan Pelaksanaan kajian dibagi dalam tiga kegiatan, yaitu identifikasi permasalahan kawasan pantai, pengumpulan data sekunder (kajian pustaka) dan data primer (observasi lapangan), penetapan titik pemodelan numerik (penentuan area perairan dan daratan yang akan dan tidak terkena model). Dalam tulisan ini terdapat tiga lokasi penting yang memerlukan penanganan erosi pantai. Pengumpulan Data Sekunder Data sekunder dikumpulkan dari berbagai hasil studi yang pernah dilaksanakan oleh institusi berwenang dan data pustaka lainnya, antara lain: peta Pulau Miangas, peta bathimetri, data angkutan litoral, data pasang surut, dan lain-lain.
Pengumpulan Data Primer Data primer adalah angin, yaitu data angin dari stasiun terdekat. Data angin berasal stasiun Naha di Pulau Sangihe. Selanjutnya dilakukan analisis windrose, fetch dan gelombang signifikan.
Pengolahan Data Data angin yang ada diolah dengan metode matematik menghasilkan windrose, fetch dan dengan menggunakan metode Sverdrup-MunkBretschneider (SMB) didapatkan nilai gelombang signifikan, selanjutnya menggunakan statistik Gumbel didapatkan nilai gelombang maksimum.
Pengendalian Kerusakan Lingkungan… (Sarbidi)
Pemodelan gelombang pada perairan Pulau Miangas menggunakan model gelombang, yang dikembangkan oleh University of Maine bekerjasama dengan U.S. Army Corps of Engineers, Waterways Expriment Station. Model gelombang adalah model finit elemen yang dihubungkan dengan model SMS (Surface Water Modeling System).
Analisis dan Pembahasan Analisis dan pembahasan ditujukan untuk penentuan prioritas pengembangan infrastruktur pencegahan erosi dan abrasi pantai Pulau Miangas pada area pemodelan.
KAJIAN PUSTAKA
Pantai (shore) adalah daerah di tepi perairan laut, yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Shore dapat dibagi dalam tiga zona (Hang Tuah, S, 2003), yaitu: 1. Back shore zone adalah bagian pantai, yang hanya tergenang pada saat pasang tertinggi dan pada saat badai. 2. Fore shore zone adalah bagian pantai berbatasan dengan backshore zone, yaitu bagian yang tergenang pada saat air pasang sampai dengan pada air surut. 3. Offshore zone bagian pantai yang dibatasi oleh pantai yang sedikit di bawah muka air surut sampai ke batas kedalaman, dimana interaksi gelombang dengan dasar tidak ada lagi.
Garis pantai tidak akan mengalami perubahan bila arah gelombang datang dari lepas pantai adalah tegak lurus garis pantai. Kondisi ini hampir tidak mungkin terjadi, karena adanya hidrodinamika air laut, yang menyebabkan garis pantai akan selalu berubah, kecuali garis pantai yang berada di antara dua headland, itupun setelah berbentuk logarithmic and parabolic (Silvester dan Shu, 1993).
Wind Stress Factor Gelombang laut terbentuk karena faktor tekanan air yang bertiup dari laut dalam menuju laut dangkal. Perhitungan tinggi gelombang atau yang disebut dengan hindcasting atau pembangkitan gelombang menggunakan data angin dari stasiun Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) atau lapangan terbang terdekat. Data angin yang diperoleh, biasanya adalah data angin harian yang isinya adalah: Urata-rata: kecepatan angin rata-rata harian. Uterbesar: kecepatan angin maksimum harian. Arah angin: arah datangnya angin bertiup.
Langkah pertama menganalisis data angin adalah mendapatkan nilai Wind Stress Factor (UA), yaitu sebagai nilai yang akan digunakan dalam melakukan peramalan gelombang (Bambang, Triatmojo, 1999). Namun sebelumnya perlu
melakukan koreksi-koreksi terhadap elevasi pengukuran angin, kecepatan angin rata-rata, pengaruh stabilitas temperatur antara udara dan air laut, lokasi pengamatan dan koefisien seret.
Fetch Efektif Fetch adalah daerah bangkitan gelombang di laut. Ruang fetch dapat dibatasi oleh suatu pulau atau daratan yang mengelilingi laut tersebut (Bambang, Triatmojo, 1999). Fetch diperlukan untuk hindcasting. Kecepatan dan arah angin dalam fetch konstan. Panjang fetch efektif untuk masing-masing arah angin dapat dihitung dengan rumus matematik.
Gelombang Signifikan Berdasarkan Shore Protection Manual, Volume-1, tinggi gelombang signifikan dihitung menggunakan persamaan atau rumus Sverdrup-MunkBretschneider (SMB). Penggunaan rumus tersebut didasarkan pada perhitungan durasi kritis (tc).
Apabila diperoleh durasi kritis (tc) < data durasi (t) disebut fetch limited. Kondisi demikian biasa disebut dengan non-fully developed seas dan perhitungan tinggi gelombang (H) dan periode gelombang (T) menggunakan data gelombang signifikan dengan nilai fetch yang telah diketahui. Apabila durasi kritis (tc) > data durasi (t) disebut duration limited dan perhitungan tinggi gelombang (H) dan periode gelombang (T) menggunakan data gelombang signifikan dengan nilai fetch minimum yang dihitung dengan rumus matematik.
Prosedur Simulasi Gelombang Merujuk pada Surface Water Modeling System, simulasi gelombang dibagi ke dalam beberapa tahap sebagai berikut: 1. Penentuan konsep model, yaitu penentuan batas area daratan dan perairan, yang akan dan tidak dimasukkan dalam pemodelan. 2. Pembangkitan jaringan elemen. 3. Menginput data amplitudo, arah dan periode gelombang, gravitasi, jumlah iterasi dan ketelitian yang akan dicapai. 4. Eksekusi simulasi model gelombang. Keluaran pemodelan dapat berupa grafik, gambar kontur perambatan gelombang atau jaring elemen segitiga dan animasi. Kerusakan Pantai Akibat Erosi dan Abrasi Erosi pantai adalah kerusakan garis pantai akibat dari terlepasnya material pantai, seperti pasir atau lempung yang terus menerus dihantam oleh gelombang laut, atau dikarenakan oleh terjadinya perubahan keseimbangan angkutan sedimen di perairan pantai (Hang Tuah, S, 2003).
Erosi menyebabkan kedudukan semula.
mundurnya
pantai
dari 60
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Agustus 2010: 58-66
Erosi dapat terjadi akibat dari: pembuatan bangunan pantai yang menjorok ke laut yang mengubah keseimbangan pantai penebangan hutan pantai (bakau/ mangrove) matinya karang pantai dan hutan bakau yang berfungsi sebagai pemecah gelombang, akibat pencemaran perairan pantai pengambilan material pantai (pasir atau karang pantai) dan material di sungai (pasir dan batu) Abrasi pantai adalah erosi pada jenis pantai yang masif seperti cadas, batu atau lapisan beton. Erosi dan abrasi dapat menyebabkan kerusakan lahan dan properti atau aset yang berada di dekat pantai.
Penanggulangan Erosi dan Abrasi Pantai Pada pantai yang seimbang, proses alami membentuk suatu sistem perlindungan terhadap erosi pantai. Untuk pantai berpasir perlindungan tersebut dapat berupa timbunan pasir di sisi belakang pantai.
Pada daerah tropis, pantai berpasir seringkali terlindungi dari gempuran ombak oleh terumbu karang yang hidup di sepanjang pantai. Selain itu, di daerah belakang pantai (back shore) tumbuhan pantai seperti pandan dan rumput membantu menjaga agar pasir yang terdapat di gundukan pasir tidak terbawa oleh angin keluar dari daerah pesisir.
Pada daerah pantai berlumpur, perlindungan alam berupa tumbuhan bakau atau pohon api-api dan lapisan lumpur yang tebal dapat pula meredam energi gelombang yang datang.
Pola penangguhan erosi pantai dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu: Bertahan dan melindunginya, dengan cara membatasi erosi yang terjadi supaya tidak bertambah parah. Membiarkan erosi yang terjadi, mundur dari pantai, merelokasi atau memindahkan aset sumber daya pantai yang berharga menjauhi pantai, serta mempersiapkan daerah belakang pantai supaya aman terhadap erosi atau dengan menyesuaikan peruntukan lahannya. Maju dan bekerja sama dengan alam, mengembalikan garis pantai ke posisi semula dengan cara memasang bangunan pengaman pantai, melakukan reklamasi, melakukan penghijauan pantai, penumbuhan terumbu karang, atau perlakuan yang terpadu. Pola menangani erosi tergantung pada beberapa aspek seperti: - Tujuan yang akan dicapai - Keadaan gelombang, arus dan angkutan sedimen - Keadaan bathimetri dan material dasar 61
-
Bahan bangunan yang tersedia Keadaan mekanika tanah Keadaan lingkungan Peruntukan lahan dan rencana pengembangan daerah - Kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat - Pendanaan
Jenis bangunan pengaman pantai yang biasa diterapkan (US Army Corps of Engineers, 1992): Tembok laut (seawall): Jenis konstruksi pantai yang masif dan ditempatkan sejajar dengan garis pantai, menempel pada tebing pantai dan membatasi secara langsung bidang daratan dengan air laut; dapat digunakan sebagai pengaman pada pantai berlumpur atau berpasir. Fungsi utama: mencegah erosi pantai bagian darat, yang secara langsung terkena hantaman gelombang dan arus laut, melindungi langsung pantai bagian darat di belakang struktur, serta berfungsi juga sebagai tembok penahan tanah yang ada di belakang konstruksi. Bahan konstruksi yang dipergunakan berupa pasangan batu dan beton.
Revetment: Jenis konstruksi yang tidak masif. Fungsinya untuk melindungi langsung pantai bagian darat di belakang struktur. Bahan konstruksi yang digunakan yaitu batu kosong, blok-blok beton, plat beton, pasangan batu dan beton. Susunan batu kosong atau blok-blok beton dengan kemiringan tertentu, disebut konstruksi tipe rubble mound, yang mempunyai lapis pelindung luar disebut armor. Antara pantai yang dilindungi dan revetment harus ada lapisan filter yang berfungsi mencegah hanyutnya material pantai yang halus. Groin: Jenis konstruksi pengaman erosi pantai yang dipasang tegak lurus garis pantai. Fungsinya untuk menjaga keseimbangan angkutan pasir sejajar pantai (longshore sand drift). Groin tegak lurus pantai berfungsi menahan atau mengurangi besarnya angkutan pasir sejajar pantai. Groin hanya cocok untuk pantai yang berpasir saja. Bahan konstruksi yang dipergunakan antara lain susunan batu kosong, pasangan batu, tiang pancang beton atau baja dan balok-balok beton. Dengan dipasangnya groin maka gerakan sedimen sejajar pantai akan tertahan dibagian hulu (updrift) dan sebaliknya akan terjadi erosi dibagian hilir (downdrift). Proses erosi dan sedimentasi pantai antara dua groin yang berurutan akan terhenti (tercapai keseimbangan) bila garis pantai membentuk sudut 90 derajat dengan arah gelombang yang dominan dan apabila tidak dikehendaki terjadi erosi maka perlu penambahan pasir atau filling the groins.
Pengendalian Kerusakan Lingkungan… (Sarbidi)
Detached Breakwater. Jenis konstruksi pengaman erosi pantai dipasang pada bagian laut, yang relatif jauh dari pantai, posisi bangunan sejajar garis pantai. Fungsinya untuk menambah garis pantai yang berada antara pantai dan breakwater itu sendiri. Bahan konstruksi yang dipergunakan antara lain susunan batu kosong, pasangan batu, tiang pancang beton atau baja dan balok-balok beton. Tanggul laut: Jenis konstruksi pantai yang masif dibuat sejajar dengan garis pantai tetapi tidak menempel pada tebing pantai. Jika pada breakwater, diantara breakwater yang satu dengan lainnya dibuat celah, maka pada tanggul laut struktur dibuat menerus. Lokasi tanggul laut tergantung keperluan, pada umumnya terletak antara 10 sampai 30 m dari garis pantai.
Pengisian pasir: merupakan usaha pengaman pantai yang tidak menimbulkan dampak negatif, sehingga dipandang sebagai usaha pengaman pantai yang terbaik dibandingkan bangunan pengaman pantai yang lain (Syamsudin, 2001). Dengan adanya pengisian pasir maka pantai akan maju dari kedudukan semula. Majunya garis pantai diharapkan sesuai dengan keperluan. Agar pasir yang diisikan tidak cepat hilang maka pengisian pasir umumnya dikombinasikan dengan groin. Penanaman bakau: pada erosi yang diakibatkan oleh adanya penebangan bakau maka usaha pengaman pantai dapat dilakukan dengan penanaman bakau kembali. Agar bakau tidak rusak oleh gelombang maka penanaman bakau dapat dikombinasikan dengan struktur pemecah gelombang (Hang Tuah, S, 2003), sehingga bakau dapat tumbuh dan tidak hanyut oleh gelombang.
HASIL KAJIAN LAPANGAN
Pulau Miangas Secara geografis, Pulau Miangas terletak pada 6o8’ – 4o35’ Lintang Utara dan 127o11’ – 126o24’ Bujur Timur. Luas wilayah 3,2 Km2. Pada sisi sebelah Barat, umumnya berupa dataran rendah, pada beberapa tempat terdapat bukit batu karang/ kapur serta goa; daerah dataran didominasi oleh tanaman kelapa dengan hamparan pasir putih terdapat hampir seluruh pantai. Wilayah Pulau Miangas terdiri dari daerah dataran dan perbukitan, dimana di tengah pulau terdapat rawa berupa cekungan dengan kedalaman mencapai 50 – 100 cm ditumbuhi oleh tanaman galuga yang merupakan salah satu konsumsi bagi masyarakat. Secara administratif, Pulau Miangas termasuk dalam wilayah Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, Propinsi Sulawesi Utara. Letak pulau ditampilkan pada Gambar 1.
Pulau Miangas adalah pulau kecil terluar bagian Utara dari wilayah Negara Republik Indonesia. Pulau ini berbatasan dengan wilayah Negara Filipina. Karena itu ditetapkan sebagai wilayah khusus yang dikenal dengan “checkpoint border crossing area”. Pulau Miangas
Lokasi Stasiun Angin Naha
Pulau Miangas
Gambar 1 Letak Pulau Miangas (Laporan Tim Survei 2006)
Pada bagian Utara-Timur Pulau Miangas terdapat bukit menyusuri pantai kurang lebih 2 kilometer, yang mana dibagian Utara mulai landai.
Bagian Selatan-Barat terdapat bangunan dermaga yang saat ini berfungsi sebagai tambatan kapalkapal yang bersandar. Pada bagian ini terdapat permukiman penduduk yang menjorok masuk ke tengah pulau. Bagian Barat-Utara merupakan batas Pulau Miangas yang mengarah ke batas wilayah terluar Republik Indonesia bagian Utara. Bagian Utara merupakan daerah yang perlu diamankan karena telah terjadi pergeseran garis pantai.
Bagian Barat-Selatan yang merupakan daerah permukiman. Disini sudah terjadi erosi pantai. Disini beberapa bangunan sudah sangat dekat dengan garis pantai. Pada saat ini, gelombang yang datang memang tidak langsung masuk ke dalam permukiman penduduk, tetapi akibat erosi pantai terus berkelanjutan akan mendorong, permukiman penduduk terkena gangguan gelombang. Bagian pantai Timur-Selatan tepatnya di daerah dermaga sudah terdapat pengaman pantai namun sudah rusak.
62
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Agustus 2010: 58-66
Tahun 2005 berpenduduk 645 jiwa dan rumah 132 buah. Pulau Miangas merupakan pulau kecil terluar di wilayah Utara Indonesia. Jarak Miangas dengan kota kabupaten 185 mil, dengan kota kecamatan Nanusa 75 mil dan dengan Tibanban Filipina hanya 50 mil.
Kejadian Gelombang Kejadian gelombang diramalkan berdasarkan data angin harian time series 5 lima tahunan, antara tahun 2000 sampai tahun 2004. Data angin diperoleh dari Stasiun Meteorologi kelas III Naha yang berada pada lokasi bandar udara di Pulau Sangihe. Posisi stasiun pada 03o41’ Lintang Utara dan 125o31’ Bujur Timur, tinggi stasiun 8 meter. Lokasi stasiun ditampilkan pada Gambar 1. Data angin digunakan untuk peramalan gelombang (hindcasting). Kejadian gelombang di sekitar Pulau Miangas berasal dari seluruh arah angin, seperti diperlihatkan pada Tabel 1.
Kejadian gelombang yang paling berpengaruh terhadap seluruh pantai Miangas, terbesar berasal dari arah Barat Daya 26,67%; dari arah Timur Laut 21,78%; arah Timur 15,45%; arah Utara 12,36%; arah Selatan 7,58%; arah Barat 5,96%. Gelombang yang merambat dari Barat Laut dan Tenggara kurang dari 5%. Secara visual ditampilkan pada Gambar 2. Tabel 1 Persentase Kejadian Gelombang
(tahun 2000 sampai tahun 2004) Jumlah Tinggi Gelombang (m) (%) 0 - 1 1 - 2 2 - 3 3 - 4 > 4 CALM Utara 9.93 2.13 0.22 0.00 0.07 0.00 12.36 Timur Laut 18.25 2.80 0.47 0.00 0.00 0.00 21.78 Timur 10.23 4.78 0.37 0.07 0.00 0.00 15.45 Tenggara 2.21 0.66 0.00 0.00 0.00 0.00 2.87 Selatan 3.53 3.24 0.81 0.00 0.00 0.00 7.58 Barat Daya 13.98 10.15 3.09 0.44 0.00 0.00 27.67 Barat 3.24 1.40 0.88 0.37 0.07 0.00 5.96 Barat laut 2.94 0.88 0.22 0.00 0.00 0.00 4.05 CALM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.28 2.28 Jumlah 64.31 26.05 6.33 0.88 0.14 2.28 100 Sumber: Hasil Analisis Pembangkitan Gelombang Arah Gelombang
U BL
TL
B
T 0% 10% 20% 40%
BD
60%
TG
S
Gambar 2 Wave Rose Tahunan Pantai Pulau Miangas (Hasil Analisis)
63
Gelombang Signifikan Nilai perkiraan untuk gelombang signifikan dihitung dengan metode statistik analisa frekuensi. Hasil perhitungan dengan error terkecil adalah nilai gelombang signifikan yang mungkin terjadi pada perioda ulang tertentu. Gelombang signifikan yang mungkin terjadi pada perairan laut sekitar Pulau Miangas untuk periode ulang 2, 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun ditampilkan pada Tabel 2.
Batimetri Pemetaan situasi batimetri Pulau Miangas untuk keperluan pemodelan ditetapkan pada elevasi +1,0m; 0m; -5m sampai dengan -63,0m (Ditjen SDA, 2005). Tabel 2 Tinggi dan Periode Gelombang Signifikan Tinggi Gelombang Periode Ulangan (Return Period), (m) Tahunan Arah H,T 2 5 10 25 50 100 Hs 2,20 3,33 4,13 5,19 6,02 6,88 Utara Ts 8,24 9,66 10,5 11,5 12,2 12,83 Hs 2,39 2,73 2,82 2,86 2,86 2,86 Timur Laut Ts 8,44 8,91 9,03 9,07 9,08 9,08 Hs 1,96 2,06 2,09 2,13 2,14 2,15 Timur Ts 7,80 7,95 8,02 807, 8,08 8,10 Hs 1,48 1,61 1,71 1,83 1,93 2,03 Tenggara Ts 6,95 7,20 7,37 7,59 7,76 7,92 Hs 2,09 2,37 2,54 2,73 2,86 2,98 Selatan Ts 8,00 8,41 8,64 8,87 9,03 9,19 Hs 2,79 3,39 3,66 3,90 4,02 4,12 Barat Daya Ts 8,98 9,71 10,0 10,3 10,4 10,49 Hs 3,04 4,13 4,69 5,30 5,69 6,04 Barat Ts 9,09 10,6 11,4 12,3 12,8 13,31 Hs 1,59 1,90 2,09 2,30 2,45 2,60 Barat Laut Ts 7,12 7,58 7,89 8,28 8,57 8,86
Sumber: Hasil Analisis Pembangkitan Gelombang Hs: tinggi gelombang siginifikan Ts: perioda gelombang
Pasang Surut Tipe pasang surut yang terjadi pada perairan Pulau Miangas adalah jenis campuran. Posisi muka air terendah (Low Water Surface, LWL) = 0,00; muka air rata-rata (Mean Sea Level, MSL) = +1,30 dan muka air tinggi (High Wáter Surface, HWL = 2,62 (Ditjen SDA, 2005).
Kerusakan Lingkungan Pantai Simulasi kerusakan (erosi dan abrasi) pantai Pulau Miangas menggunakan pemodelan gelombang di 3 lokasi pantai. Lokasi 1 pantai Utara (pertanian), lokasi 2 pantai Selatan-Barat (permukiman), lokasi 3 pantai Selatan-Timur (dermaga). Posisi lokasi pemodelan ditampilkan pada Gambar 3. Masukan data adalah gelombang signifikan periode ulang 25 tahun, posisi batimetri dan pasang surut. Hasil pemodelan kerusakan pantai Pulau Miangas ditampilkan pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Pengendalian Kerusakan Lingkungan… (Sarbidi)
Wilayah pulau yang terkena erosi dan abrasi merupakan kawasan pertanian, permukiman penduduk dan sekitar dermaga, sebagaimana ditampilkan pada Gambar 6. Oleh karena itu pencegahan erosi dan abrasi sangat penting bagi Pulau Miangas.
Keterangan: Erosi pantai pada lokasi 1, lokasi 2 dan lokasi 3.
Erosi
1
Erosi
Erosi Erosi
3
2
Gambar 3 Sketsa Lokasi Pemodelan Kerusakan Pantai Pulau Miangas (Tanpa Skala) (Ditjen SDA 2005, hal 7-14)
Pulau Miangas relatif datar (kurang dari 5%). Berdasarkan observasi diketahui bahwa pada titiktitik simulasi telah terjadi erosi dan abrasi yang disebabkan oleh gelombang laut. Menurut penduduk setempat, gelombang besar dapat merendam permukiman dan telah mengurangi lahan di kawasan pantai. Abrasi mampu mengikis areal kelapa sekitar 3 m per tahun.
Erosi
(a) Hasil pada lokasi 1
Erosi
Erosi
(b) Hasil pada lokasi 2 dan 3
Gambar 4 Sketsa Hasil Pemodelan Jaring Elemen pada Pantai Pulau Miangas (tanpa skala), Tahun 2005 (Ditjen SDA 2005, hal 7-35)
Gambar 5 Sketsa Geometri Pantai Pulau Miangas (Tanpa Skala), Tahun 2005 (Ditjen SDA 2005, hal 7-34)
Keterangan: Erosi pada lokasi 1, lokasi 2 dan lokasi 3. Permukiman
Erosi Erosi Erosi
Dermaga
Gambar 6 Kerusakan (Erosi dan Abrasi) Pantai Kawasan Permukiman Pulau Miangas (Iconos, skala 1:3,500)
Pencegahan Kerusakan Lingkungan Pantai Kerusakan pantai Pulau Miangas sudah mulai terjadi pada bagian Utara, Selatan-Barat dan Selatan-Timur. Sampai saat ini belum ada upaya untuk mencegah abrasi, padahal gelombang besar hampir terjadi sepanjang tahun.
Teknik pencegahan kerusakan pantai Pulau Miangas, yang sebaiknya dilakukan khususnya pada bagian Utara, Selatan-Barat dan SelatanTimur adalah sebagai berikut: - Bagian Utara, bagian Selatan-Barat dan bagian Barat-Barat Laut: dipasang detached breakwaters karena model ini dapat menambah pantai (tombolo) yang berada di bagian
64
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Agustus 2010: 58-66
-
belakangnya. Model dikombinasi dengan penanaman pohon bakau (mangrove). Bagian Selatan-Timur: khusus sebelah kiri dermaga, dibangun konstruksi tembok laut atau revetment sepanjang pantai yang rusak. Model dikombinasi dengan penanaman pohon bakau (mangrove). Sedangkan bagian sebelah kanan dermaga dipasang detached breakwaters, dikombinasi dengan penanaman pohon bakau (mangrove).
Pembangunan konstruksi pengaman pantai berguna untuk melestarikan eksistensi Pulau Miangas dan batas wilayah Negara RI, mencegah gangguan lingkungan permukiman penduduk, lahan pertanian kelapa dan kawasan dermaga (Gambar 6).
Terjadinya kerusakan pantai ditandai adanya perubahan garis pantai. Erosi atau abrasi dapat merusak permukiman dekat pantai, kawasan penyanggah (buffer zone) dan properti lainnya. Pada musim gelombang maksimum atau tinggi, permukiman berada dekat pantai akan mudah terkena jangkauan limpasan gelombang laut (wafe run-up) dan bencana banjir.
Kerusakan lingkungan pantai Pulau Miangas selain dapat dicegah dengan membangun struktur pengaman pantai yang sesuai untuk daerah pantai Miangas, juga dilakukan penataan permukiman dan melarang pendirian perumahan di luar garis sempadan pantai.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Pulau Miangas adalah pulau kecil terluar bagian Utara dan berbatasan langsung dengan wilayah Negara Filipina. Posisi geografis Pulau Miangas sangat penting bagi keutuhan Wilayah Negara Indonesia.
Kejadian gelombang di sekitar Pulau Miangas berasal dari seluruh arah angin. Tinggi gelombang signifikan untuk periode ulang 2 tahun hingga 100 tahun, seperti ditampilkan pada Tabel 2.
Informasi mengenai kondisi gelombang signifikan merupakan hal yang mendasar dan penting untuk mengkaji permasalahan pantai, khususnya untuk mengkaji pengaruh gelombang laut terhadap kerusakan garis pantai. Berdasarkan hasil kajian gelombang signifikan, citra satelit dan observasi lapangan diketahui bahwa di pantai Pulau Miangas sudah terjadi kerusakan atau pengikisan yang disebabkan oleh erosi dan abrasi. Kerusakan tersebut menghantam permukiman penduduk, lahan pertanian kelapa dan kawasan dermaga. 65
Pencegahan kerusakan pantai Pulau Miangas dapat dilakukan dengan beberapa kegiatan sebagai berikut:
Pencegahan Kerusakan Pantai Sebelah Utara Bagian Utara Pulau Miangas terdapat bukit karang dan pantai yang landai di sebelah Barat. Usaha penanggulangan dapat dilakukan dengan membuat detached breakwaters dan penanaman pohon bakau (mangrove). Model dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang, untuk melindungi bukit karang di sebelah Utara serta kawasan pertanian kelapa di sebelah Barat-Barat Laut atau Timur Laut. Detached breakwaters, merupakan stuktur type rubble mound dengan armor dari blok beton (kubus dan tetrapod). Di belakang breakwater diharapkan akan terbentuk endapan pasir membentuk formasi tombolo atau salien. Antara Detached breakwaters diharapkan menjadi pantai yang stabil berpasir putih yang dapat dikembangkan sebagai sarana pariwisata. Pada lahan tombolo ditanam pohon mangrove. Pencegahan Kerusakan Pantai Sebelah Barat Bagian Barat Pulau Miangas terdapat kawasan pertanian kelapa yang terbentang hingga ke kawasan permukiman yang berada di sebelah Selatan pulau. Usaha penanggulangan dengan membuat detached breakwaters dan penanaman pohon bakau (mangrove). Model dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang dan pembentuk formasi tombolo atau salien.
Pencegahan Kerusakan Pantai Bagian Selatan, Sebelah Timur Usaha penanggulangan pantai sebelah Selatan, ke arah Timur sudah dilakukan dengan pembuatan tembok laut (khusus sebelah kiri dermaga), namun sudah rusak sehingga perlu dimodifikasi, tetapi sebelah kanan dermaga belum ada usaha pencegahan. Bangunan pengaman pantai yang baru dapat dibuat dengan tipe revetment dari blok beton bergerigi dari susunan batu kosong atau dengan susunan buis beton diisi siklop.
Tembok laut atau revetment yang baru juga merupakan bangunan masif dengan pasangan batu karang gunung yang berasal dari luar Pulau Miangas, misalnya dari pulau Talaud. Revetment ini dibuat dengan kemiringan 1 : 3 agar memudahkan para pejalan kaki yang akan turun dan naik ke pantai maupun ke darat. Lebar mercu tembok ± 3 m untuk memungkinkan lalu lintas pejalan kaki di sepanjang pantai. Di belakang tembok dipasang saluran drainase untuk menampung limpasan gelombang. Bagian Selatan ke arah Utara dipasang beberapa detached breakwaters.
Pengendalian Kerusakan Lingkungan… (Sarbidi)
Pencegahan Kerusakan Pantai Bagian Selatan dan Sebelah Barat Erosi pantai yang terjadi di daerah permukiman penduduk dan kawasan pertanian kelapa belum ada usaha penanggulangannya. Bangunan pengaman pantai yang disarankan juga merupakan detached breakwaters dan dikombinasi dengan penanaman pohon bakau (mangrove).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan kajian kejadian gelombang signifikan, pemodelan gelombang dan peta citra satelit diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Kerusakan pantai Pulau Miangas yang disebabkan oleh erosi dan abrasi sudah mulai terjadi pada bagian Utara, Selatan-Barat dan Selatan-Timur. 2. Penyebab utama kerusakan kawasan pantai Pulau Miangas adalah hantaman gelombang besar, yang menyebabkan erosi dan abrasi terjadi hampir sepanjang tahun. 3. Erosi dan abrasi telah mampu mengikis pantai pada areal kebun kelapa sekitar 3 m per tahun. 4. Sampai saat ini belum ada upaya-upaya teknis untuk mencegah kerusakan kawasan pantai. 5. Kerusakan kawasan pantai Pulau Miangas dapat dicegah dengan membangun struktur pengaman pantai, seperti detached breakwater, revertment dan tembok laut, yang dikombinasikan dengan penanaman pohon bakau (mangrove).
Saran Untuk mencegah kerusakan kawasan pantai Pulau Miangas disarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Terapkan pencegahan secara terpadu antara struktural dan vegetatif. 2. Gunakan data gelombang ekstrim, periode ulang 25 tahun, dalam perancangan struktur detached breakwater, revertment dan tembok laut. 3. Gunakan batu-batu besar yang berasal dari luar Pulau Miangas ketika membuat struktural pengaman pantai. 4. Libatkan masyarakat penghuni Pulau Miangas dalam membangun struktur dan vegetasi pengaman pantai.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang, Triatmojo. eds (1999). Teknik Pantai, Edisi Kedua. Yogyakarta: Beta Offset. Ditjen Sumber Daya Air. eds 2005. Draft Final Report: SID Bangunan Pengaman Pantai Pulau
Miangas. Satker Sementara Irigasi Sangihe Talaud dan Pulau Kecil Sulawesi Utara. Figlus, Jens., Kobayashi, Nobuhisa., Gralher, Christine, and Iranzo, Vicente. eds 2010. Wave Overtoping and Over Wash of Dunes. Journal of Waterway, Port, and Ocean Engineering. Volume 136, Issue 5. ISSN – 0733 – 950X/eISSN – 1943 – 5460. American Society of Civil Engineering. http://www.google.co.id. Hang Tuah, S. eds 2003. Mekanisme Abrasi dan Sedimentasi di Pantai. Bandung: Program Studi Teknik Kelautan ITB. Hang Tuah, S. eds 2003. Teori Gelombang. Bandung: Program Studi Teknik Kelautan ITB. Hang Tuah, S. eds 2003. Sistem Proteksi Erosi Pantai. Bandung: Program Studi Teknik Kelautan ITB. Kim, Kyuhan., Seo, Henijung, and Kobayashi, Nobuhisa, eds. 2010. Field Assesment of Sea Water Exchange Breakwater. Journal of Waterway, Port, and Ocean Engineering. Volume 136, Issue 5. ISSN – 0733 – 950X/eISSN – 1943 – 5460. American Society of Civil Engineering. http://www.google.co.id. R. Bakhtyar, A. Brovelli, D.A. Barry, and L. Li. eds 2010. Wave-Induced Water Table Fluctuation, Sediment Transport and Beach Profile Change: Modeling and Comparation with Large-Scale Laboratory Expriments. Coastal Engineering Journal. ISSN: 0378 – 3839. Imprint: Elsevier. http://www.google.co.id. Syamsudin. eds 2001. Pengamanan Pantai dengan Cara Pengisian Pasir. Denpasar, Bali: Workshop on Integrated Bali Beach Conservation Program. Suastika, I Ketut, and J.A. Battjes, eds 2009. A Model for Blocking of Periodic Waves. Coastal Engineering Journal. Vol 3 pp 153 – 162. http://www.google.co.id. http://its.ac.id/cgibin/htsearch. Tim Survai. eds 2006. Laporan Survei: Kajian Pembangunan Prasarana dan Sarana PU Perkim Kawasan Pulau-Pulau Kecil. Pulau Miangas Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud Propinsi Sulawesi Utara. Satker Puslitbang Permukiman. Bandung: April 2006. US Army Corps of Engineers. eds (1984). Shore Protection Manual, Volume-1. Washington D.C: Government Printing Office. US Army Corps of Engineers. eds 1992. Enggineering Manual: Coastal Groins and Nearshore Breakwater. Washington D.C: Government Printing Office.
66
STUDI EMISI CO2 AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DI PROVINSI RIAU (STUDI KASUS DI KABUPATEN SIAK) Nasution, A.Z.1), Mubarak2), Zulkifli2) Alumni Pascasarjana Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Riau, Jl. Pattimura No.09.Gobah, 28131. Telp 0761-23742. 2) Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Riau, Pekanbaru, Jl. Pattimura No.09.Gobah, 28131. Telp 0761-23742. Email :
[email protected];
[email protected];
[email protected] 1)
Abstract This research was aimed to analyze the CO emissions due to forest fires that occurred in 2 Siak Regency, Riau Province Indonesia in 2010 and to analyze the probability of forest fire occurrence in Siak Regency using the available data. Fire and CO2 emissions in the area of plantation forests are greater than in the area of natural forests. The amount of CO emissions 2 due to forest fires in 2010 varied between 107.260 Ton CO2 yr-1 in natural forests and 151.600 Ton CO2 yr-1 in plantation forests. The amount of CO emissions due to forest fires in the peat land was 2.176 Ton CO2 yr-1. This value is mainly 2depending on the extent of the burned area in the year of 2010. Results of the logistic regression show the forest fires are more likely to occur in degraded forests. Key words: Forest fires, CO emissions, fire occurrence, Riau, Siak. 2
1.
Pendahuluan Bumi kita mengalami peningkatan suhu yang signifikan pada dekade akhir-akhir ini, yang oleh para ilmuan dinyatakan bahwa hal tersebut disebabkan oleh aktivitas manusia. Penyebab utama pemanasan global adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Emisi CO dari waktu ke waktu terus meningkat 2 baik pada tingkat global, regional, nasional pada suatu negara maupun lokal untuk suatu kawasan. Peningkatan Emisi CO tersebut diduga akibat semakin meningkatnya 2penggunaan energi dari bahan organik (fosil), perubahan tataguna lahan dan kebakaran hutan, serta peningkatan kegiatan antropogenik lainnya. Emisi GHG (greenhouse gases) di Indonesia telah mencapai pada tingkat yang mengkhawatirkan (Kusumawardani, 2009). Perubahan iklim yang menyebabkan kerusakan lingkungan akibat pemanasan global karena peningkatan gas rumah kaca (GRK) merupakan contoh dari eksternalitas negatif (Nurzal dan Suminto, 2010).
Penggunaan dan perubahan tutupan lahan terutama deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi di daerah tropis, memiliki konstribusi yang signifikan (hingga 25 %) dengan jumlah total CO2 dan emisi gas rumah kaca lainnya disebabkan oleh aktifitas manusia (Fearnside, 2000; Fearnside and Laurance, 2004; Karakaya, 2005). Disamping itu perluasan perkebunan kelapa sawit, terutama bila mengonversi hutan primer, berpotensi menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca (Herman et al, 2009). Departemen Pertanian (2007) menyatakan tahun 1994 tingkat emisi CO di Indonesia sudah lebih tinggi 2 dari tingkat penyerapannya. Apabila emisi GRK terus terjadi peningkatan, para ahli memprediksi konsentrasi CO akan meningkat hingga 3x lipat pada 2 awal abad ke 22 bila dibandingkan dengan kondisi pra-industri (Hairiah, 2007). Kebakaran hutan dan lahan telah menjadi masalah tahunan yang serius di Provinsi Riau, terutama pada musim kemarau. Kebakaran hutan dan lahan tidak hanya berdampak pada daerah kejadian saja, tetapi juga berdampak kepada negara tetangga. Dipilihnya Kabupaten Siak sebagai lokasi penelitian 27
Jurnal Bumi Lestari, Volume 13 No. 1, Februari 2013, hlm. 27 -36 karena kejadian kebakaran hutan sering terjadi dan juga sebagian besar wilayah Kabupaten Siak merupakan lahan gambut. Sampai saat ini jumlah emisi CO yang dihasilkan sebagai akibat kebakaran 2 hutan di wilayah Kabupaten Siak belum jelas. Oleh sebab itu, jumlah emisi CO yang dihasilkan akibat kebakaran hutan baik dari2 pembakaran biomassa maupun pembakaran lahan gambut perlu untuk diketahui sebagai informasi bagi semua pihak dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya, beberapa faktor yang berpengaruh pada kemungkinan terjadinya kebakaran hutan juga perlu di ketahui dan dianalisis. Sampai saat ini informasi maupun penelitian tentang pengaruh faktor-faktor terhadap terjadi atau tidaknya kebakaran masih sangat minim. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis emisi CO akibat kebakaran hutan yang 2 terjadi di Kabupaten Siak Provinsi Riau dan untuk menganalisis kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dengan menggunakan data yang tersedia, dengan tujuan spesifik adalah untuk memperkirakan emisi CO akibat pembakaran biomassa yang disebabkan2 oleh kebakaran hutan di Kabupaten Siak, untuk memperkirakan emisi CO akibat pembakaran 2
lahan gambut yang disebabkan oleh kebakaran hutan di Kabupaten Siak dan untuk menganalisis hubungan antara beberapa faktor (jarak ke jalan, penduduk, jenis tanah, dan indeks kehijauan vegetasi (NDVI)) dengan terjadinya kebakaran hutan. 2.
Metode Penelitian
2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan. Wilayah kajian mencakup seluruh Kabupaten Siak, Provinsi Riau (Gambar 1). 2.2
Bahan dan Alat Penelitian Perkiraan emisi CO2 akibat kebakaran hutan di Kabupaten Siak ini dilaksanakan untuk tahun 2010 dengan menggunakan data sekunder. Untuk itu, ada beberapa data yang diperlukan yaitu : lokasi dan luasnya wilayah yang terbakar, beban bahan bakar tersedia per satuan luas, efisiensi pembakaran (fraksi bahan bakar yang terbakar selama kebakaran), dan faktor emisi (jumlah CO2 yang dihasilkan per unit bahan bakar dibakar). Selain data utama tersebut, data tutupan lahan
Gambar 1. Lokasi Penelitian di Kabupaten Siak 28
Nasution, dkk. : Studi Emisi CO2 Akibat Kebakaran Hutan di Provinsi Riau ..... juga diperlukan untuk membedakan kebakaran yang terjadi dikawasan hutan dan yang terjadi di wilayah non hutan. Karena studi ini menganalisis emisi CO2 untuk Kabupaten Siak, maka digunakan peta batas Kabupaten. Sebuah peta lahan gambut di Riau digunakan untuk menganalisis apakah kebakaran terjadi dilahan gambut atau lahan non gambut. Informasi mengenai beban bahan bakar yang tersedia dihitung berdasarkan data sekunder dari inventarisasi hutan. 2.3 Pengolahan dan Analisis Data Mengingat data yang tersedia untuk daerah penelitian terbatas, maka penelitian ini memperkirakan emisi CO 2 akibat kebakaran hutan dengan menggunakan metode Tier1. Metode ini layak ketika negara tertentu tidak memiliki data perkiraan kegiatan dan faktor emisi tidak tersedia. Dalam metode Tier 1, emisi diperkirakan sebagai fungsi dari jumlah bahan bakar, efisiensi pembakaran dan faktor emisi. Jumlah beban bahan bakar yang tersedia yang benarbenar dibakar dalam api dihitung sebagai produk daerah terbakar, beban bahan bakar, dan kelengkapan pembakaran, terpadu atas waktu dan skala ruang. Ini menggunakan nilai default yang disediakan dalam Pedoman IPCC (2006). Jika intensitas kebakaran cukup untuk menghilangkan sebagian dari tegakan hutan, di metodologi ini, karbon yang terkandung dalam biomassa yang hilang diasumsikan segera dilepaskan ke atmosfir. Jumlah bahan bakar yang dapat dibakar dihasilkan oleh bidang terbakar dan kepadatan bahan bakar yang terdapat di daerah itu. Efisiensi pembakaran adalah ukuran proporsi bahan bakar yang sebenarnya dibakar. Faktor emisi memberikan jumlah gas rumah kaca tertentu emisi per unit bahan kering dibakar, yang dapat bervariasi sebagai fungsi dari kandungan karbon biomassa dan kelengkapan pembakaran. Faktor Emisi didefinisikan sebagai jumlah gas tertentu yang keluar per jumlah bahan bakar yang dikonsumsi dinyatakan dalam gram dari senyawa gas per kilogram dari bahan kering (Palacios-Orueta et al, 2005). Model yang menghubungkan emisi dengan jumlah dan jenis bahan bakar yang dikonsumsi dan dengan karakteristik pembakaran diusulkan oleh Seiler dan Crutzen (1980). Jumlah biomassa dibakar dapat didekati dengan menggunakan persamaan berikut:
M = A *B * β (1) dimana : M = jumlah biomassa dibakar setiap tahunnya (ton/tahun) A = total luas lahan terbakar setiap tahun (ha/ tahun) B = beban bahan bakar (biomassa) yang tersedia per satuan luas (ton/ha) β = efisiensi pembakaran, pecahan dari rata-rata biomasa di atas tanah yang sebenarnya dibakar (Seiler dan Crutzen, 1980). Untuk menghitung beban bahan bakar (biomassa) yang tersedia digunakan rumus yang diperkenalkan oleh Brown et all (1989), yaitu : B = VOB * WD * BEF
(2)
dimana : VOB = Volume rata-rata/hektar (m3/ha) WD = Wood density (volume kepadatan berat kering kayu) BEF = Biomass Expansion Factor, yaitu rasio dari biomassa kering diatas permukaan tanah terhadap biomasa kering dari hasil inventarisasi. Selanjutnya, emisi CO 2 dihitung dengan menggunakan persamaan yang disediakan oleh Pedoman IPCC 2006 (IPCC, 2006) yaitu : M (CO2) = M * faktor emisi
(3)
dimana : M (CO2)
= jumlah tahunan emisi CO 2 dari pembakaran biomassa (gr/tahun) Faktor emisi = yaitu jumlah CO2 yang dikeluarkan per unit biomassa yang terbakar. 2.4 Masukan Data 2.4.1 Areal yang terbakar di Kabupaten Siak Dalam studi ini, data areal yang terbakar digunakan untuk menganalisis tingkat dan lokasi kebakaran. Hal ini perlu dilakukan overlay dengan data tutupan lahan dan lahan gambut data untuk mendeteks ikebakaran terjadi di lahan gambut atau lahan non-gambut dan di daerah hutan atau nonhutan. 29
Jurnal Bumi Lestari, Volume 13 No. 1, Februari 2013, hlm. 27 -36 2.4.2 Bahan Bakar Tersedia di atas Permukaan Tanah. Biomassa terbakar akibat kebakaran hutan memainkan peran penting pada emisi gas CO2 dan gas lainnya ke atmosfer (Kasischke dan Penner, 2004). Bahan bakar yang tersedia untuk kebakaran di atas tanah didekati dengan menggunakan biomassa di atas tanah pada daerah tertentu yang dihitung dari data inventarisasi hutan yang diperoleh dari Dinas Kehutanan Provinsi Riau. Data inventarisasi hutan menunjukkan potensi rata-rata standing stock yang potensial pada masing-masing fungsi hutan di Kabupaten Siak dalam volume (m3/ ha). 2.4.3
Ketersediaan Beban Bahan Bakar pada Kebakaran Gambut Gambut terbakar rata-rata dihitung dengan mengalikan tingkat daerah gambut dengan ketebalan rata-rata tanah gambut terbakar dan kepadatan gambut. Nilai gambut yang terbakar yang digunakan dalam perhitungan adalah 510 Mg bahan kering per hektar (Page et al, 2002). Nilai ini juga digunakan ketika melakukan penelitian serupa untuk Sumatera dan Kalimantan (Heil et al, 2007).
2.4.4 Efisiensi Kebakaran Efisiensi kebakaran berkaitan dengan jumlah beban bahan bakar yang tersedia yang sebenarnya dikonsumsi selama kebakaran. Nilai default IPCC digunakan dalam analisis. Berdasarkan Pedoman 2006 IPCC efisiensi pembakaran hutan tropis primer adalah 0,32 (IPCC, 2006). 2.5 Hubungan Antara Kebakaran yang Terjadi Dengan Jarak ke Jalan, Penduduk, Jenis Tanah, Nilai NDVI. Regresi logistik digunakan untuk menganalisis hubungan antara kejadian kebakaran dan faktorfaktor yang disebutkan. Model statistik untuk regresi logistik adalah: (4) dimana p adalah proporsi binomial dan x adalah variabel penjelas. Parameter dari model logistik â0 dan â1 (Moore dan McCabe, 2006). Terjadinya kebakaran (terjadi atau tidak terjadi) adalah variabel respon. Kepadatan penduduk dan jarak ke jalan digunakan sebagai variabel penjelas
Gambar 2. Lokasi kebakaran hutan dan lahan Kabupaten Siak 2010 30
Nasution, dkk. : Studi Emisi CO2 Akibat Kebakaran Hutan di Provinsi Riau .....
Gambar 3. Lokasi kebakaran pada lahan gambut di Kabupaten Siak 2010 yang memiliki hubungan dengan kegiatan manusia. Selain faktor-faktor, jenis tanah (gambut atau nongambut) dan MODIS NDVI untuk tahun 2010 digunakan (diasumsikan bahwa faktor-faktor ini memiliki hubungan erat dengan beban bahan bakar yang tersedia di bawah dan di atas biomassa tanah). MODIS NDVI yang dikenal sebagai salah satu indikator kehijauan vegetasi dapat digunakan sebagai faktor yang berhubungan dengan kondisi hutan (Huete et al, 2002). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Kumar et al, kepadatan hutan memiliki korelasi positif dengan nilai NDVI. (Kumar et al, 2007). 3
Hasil
3.1 Lokasi Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Siak 2010 Data tutupan lahan di peroleh dari data Dinas Kehutanan Provinsi Riau. Data tutupan lahan tersebut diklasifikasikan kedalam 3 kelas yaitu Hutan,
Hutan Tanaman dan Non Hutan. Areal yang terbakar diperoleh dari hasil pemantauan satelit NOAA. Dari hasil tumpang susun (overlay) data tutupan lahan dan areal yang terbakar tersebut maka diperoleh informasi lokasi kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Siak tahun 2010. Peta areal yang terbakar Kabupaten Siak 2010 sebagaimana disajikan pada Gambar 2 (diatas). Selama kejadian kebakaran hutan pada tahun 2010, dijumpai 28,43 % (29 titik) kebakaran terjadi di lahan gambut. Areal hutan yang terbakar di kawasan hutan gambut dapat dilihat pada Gambar 3. Sementara itu, untuk luas dan presentase areal yang terbakar 2010 untuk masing-masing tutupan lahan dan dapat dilihat pada Gambar 4. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa persentase kebakaran terbesar terjadi di areal non hutan yaitu 69 %, sementara pada areal hutan persentase kebakaran sebesar 31 %. Resolusi pixel dari areal yang terbakar adalah 1 km2 sehingga total areal yang terbakar sama dengan jumlah pixel areal yang terbakar.
31
Jurnal Bumi Lestari, Volume 13 No. 1, Februari 2013, hlm. 27 -36
Gambar 4. a. Luas areal yang terbakar di Kabupaten Siak. b. Luas areal yang terbakar di Kabupaten Siak 3.2 Bahan yang terbakar Bahan yang terbakar di atas permukaan areal yang terbakar dalam penelitian ini digunakan data Neraca Sumber Daya Hutan yang berasal dari kegiatan inventarisasi hutan di Kabupaten Siak. Selanjutnya digunakan metode yang sudah tersedia untuk mengkonversi volume biomasa di atas permukaan tanah ke berat keringnya. Perhitungan biomassa ini dibedakan menurut fungsi hutan kawasan hutan. Selanjutnya, dari rata-rata volume Tabel 1.
(m3/ha), total volume kayu di atas permukaan tanah (m3) dari hasil inventarisasi dan Biomasa diatas permukaan tanah (Ton/ha) dari hasil pengolahan data per fungsi kawasan hutan di lokasi penelitian diperoleh volume rata-rata perhektar tertinggi adalah di kawasan Hutan Bakau diikuti Hutan Produksi Terbatas, Hutan Konservasi, dan Hutan Produksi secara berurutan. Jumlah biomassa bervariasi diantara fungsi kawasan hutan tersebut.
Potensi rata-rata per hektar, potensi kayu berdiri dan biomassa berdasarkan fungsi kawasan hutan 2009
No. Fungsi/Nama Kawasan Hutan
1. Hutan Produksi Tetap 2. Hutan Produksi Terbatas 3. Hutan konservasi 4. Kawasan Hutan Bakau 5. Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK) Jumlah
Hutan Alam Luas (Ha)
Hutan Tanaman
Potensi Potensi rata-rata Potensi rata-rata Potensi Biomassa Luas (Ha) per per (M3) (M3) (Ton/ha) hektar hektar (M3/Ha) (M3/Ha)
Biomassa (Ton/ha)
92.470,58
23,84
2.204.067
96,23
28.531,35
137,49
3.922.775
228,70
31.024,91
27,49
852.760
81.597
81.596,66
154,92
12.640.955
242,59
64.170,77 101,50
57,31 79,77
3.677.632 8.097
-
-
-
-
33.824,76
15,00
507.371
-
-
-
-
221.592,52
32,72
7.249.927 110.128 110.128,01
150,40
16.563.730
239,07
Sumber : Data Neraca Sumber Daya Hutan (Dinas Kehutanan Provinsi Riau, 2009) dan hasil pengolahan data.
32
Nasution, dkk. : Studi Emisi CO2 Akibat Kebakaran Hutan di Provinsi Riau ..... 3.3 Emisi CO2 akibat kebakaran hutan di Kabupaten Siak 2010 Setelah mendapatkan areal hutan yang terbakar, bahan bakar yang dapat terbakar per hektar, efisiensi bahan bakar, dan faktor emisi diketahui, Emisi CO2 akibat kebakaran hutan di Kabupaten Siak dapat dihitung. Hasilnya disajikan di Tabel 2. Perhitungan telah dilakukan pada masing-masing fungsi kawasan hutan di Kabupaten Siak. Jumlah emisi CO2 akibat kebakaran hutan pada tahun 2010 bervariasi pada umumnya bergantung pada luas areal yang terbakar dan potensi bahan bakar. Kebakaran terluas dan emisi CO2 terbesar berada di Hutan Tanaman yang terjadi pada kawasan hutan Hutan Produksi Tasik Besar Serkap diikuti oleh HPT Minas. Selanjutnya Emisi CO2 yang terjadi di Hutan Alam terbesar berada di HPT Rangau, di ikuti oleh HPT Minas, dan HP Tasik Besar Serkap. Emisi CO2 akibat kebakaran di lahan gambut Emisi CO2 akibat kebakaran hutan pada lahan gambut di Kabupaten Siak dapat dilihat pada Tabel 2. Perhitungan telah dilakukan pada masing-masing fungsi kawasan hutan di Kabupaten Siak. Jumlah emisi CO2 akibat kebakaran hutan pada lahan gambut
di Kabupaten Siak tahun 2010 bervariasi pada umumnya bergantung pada luas areal yang terbakar dan potensi bahan bakar. Total emisi CO2 adalah sebesar 2.176 Ton/tahun yang berada di kawasan hutan Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Konversi. 3.4. Hubungan antara terjadinya kebakaran dengan jarak ke jalan, populasi, dan tipe tanah dan kondisi vegetasi. Analisis hubungan antara terjadinya kebakaran dengan jarak ke jalan, populasi, dan tipe tanah dan kondisi/kerapatan vegetasi telah dilakukan dengan menggunakan regresi logistik. Faktor-faktor seperti jarak ke jalan, populasi, dan tipe tanah dan kondisi vegetasi tersebut dihubungkan dengan ada atau tidaknya kejadian kebakaran. Dari titik sampel yang diamati, dihubungkan dengan masing-masing faktor tersebut. Dari hasil analisa dengan menggunakan SPSS diperoleh hasil yang menunjukkan empat faktor yang berkaitan dengan terjadinya kebakaran yaitu jarak, penduduk, biofisik (jenis tanah), dan kondisi vegetasi. Dari hasil uji statistik tersebut, terlihat bahwa Nilai Chi-Square sebesar 19,438 dan mempunyai Signifikansi 0,01 (0,001 < 0,05) yang
Tabel 2. Emisi CO2 dari Kebakaran Hutan di Kabupaten Siak 2010
Sumber : Hasil pengolahan data. 33
Jurnal Bumi Lestari, Volume 13 No. 1, Februari 2013, hlm. 27 -36 signifikan. Berarti penambahan variabel bebas mampu memperbaiki model sehingga dapat dinyatakan fit, atau dengan kata lain model boleh digunakan. Berdasarkan hasil analisa juag diperoleh bahwa nilai Nagelkerke R square adalah sebesar 0.323 yang berarti bahwa keempat variable bebas mampu menjelaskan varians terjadinya kebakaran hutan sebesar 32,3 % dan sisanya sebesar 67,7 % dijelaskan oleh faktor-faktor lain. Berdasarkan hasil statistik diatas menunjukkan bahwa dari ke empat variable bebas tersebut kondisi vegetasi paling berpengaruh terhadap terjadinya kebakaran hutan, yang memiliki signifikansi sebesar 0,001 (< 0,1) yang berarti signifikan. Sehingga dapat disimpulkan pada areal yang memiliki vegetasi yang rendah cenderung lebih besar kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Informasi lain yang dapat diketahui adalah pada areal yang memiliki vegetasi rendah kemungkinan terjadi kebakaran hutan cenderung lebih besar 4,094 kali dari pada areal yang memiliki vegetasi yang padat. 4.
Pembahasan
4.1 Emisi CO 2 akibat kebakaran hutan di Kabupaten Siak tahun 2010 Estimasi emisi CO2 akibat kebakaran hutan di Kabupaten Siak yang terjadi pada 2010 dapat dihitung menggunakan data sekunder yang tersedia dari beberapa sumber. Emisi CO2 akibat kebakaran hutan di wilayah Kabupaten Siak bervariasi antara 107.260 Ton CO2/thn pada Hutan Alam dan 151.600 Ton CO2/thn pada Hutan Tanaman. Hal ini tergantung pada luasnya area yang terbakar dan beban bahan bakar yang tersedia pada area tertentu. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa emisi CO2 yang dipancarkan oleh kebakaran hutan dari pembakaran lahan gambut di Kabupaten Siak adalah sebesar 2.176 Ton CO2/thn. Besarnya emisi yang dihasilkan dari pembakaran lahan gambut ini sangat dipengaruhi oleh luasnya area yang terbakar. CO 2 merupakan Gas Rumah Kaca yang banyak mendapat sorotan pada saat ini. Selain kontribusinya yang cukup besar dalam penyebab efek rumah kaca, CO2 di hasilkan dari dampak kegiatan pembakaran lahan gambut ataupun pembakaran hutan. Hutan pada lahan gambut mempunyai peranan penting dalam penyimpanan karbon. Oleh sebab itu, perlu mendapat perhatian. Bila pembukaan lahan
gambut dibiarkan, apalagi diikuti dengan pembakaran hutan dan lahan, maka dapat dibayangkan berapa banyak karbon yang terlepas ke atmosfer dan pemanasan global ataupun perubahan iklim menjadi lebih cepat terjadi, sekaligus dampak ikutan seperti asap dan lainnya akan terus dirasakan oleh masyarakat setiap tahunnya. Kebakaran di wilayah Kabupaten Siak Provinsi Riau tahun 2010 telah membakar areal seluas 109 km2 atau sebesar 10.900 hektar. Frekuensi tertinggi kebakaran hutan di Kabupaten Siak lebih banyak terjadi di areal non hutan. Selanjutnya apabila memperhatikan fungsi kawasan hutan, dari hasil penelitian menunjukkan terjadinya kebakaran hutan lebih banyak terjadi di Hutan Tanaman. Hasil ini mungkin terkait dengan adanya fakta bahwa sejak tahun 2000 konversi hutan dari hutan alam ke hutan tanaman terjadi peningkatan di Provinsi Riau, khususnya di Kabupaten Siak. Pembukaan lahan untuk pembangunan hutan tanaman ini umumnya berada di lahan gambut dan dilakukan dengan land clearing sehingga lebih memicu terjadinya kebakaran hutan dibandingkan dengan Hutan Alam. Pembuatan drainase dengan skala besar pada hutan tanaman dapat mengganggu keseimbangan hidrologi pada kawasan ruling gambut pada musim kemarau. 4.2 Hubungan antara terjadinya kebakaran dengan jarak ke jalan, populasi, dan tipe tanah dan kondisi vegetasi. Analisis regresi logistik terhadap empat faktor yang berhubungan dengan kemungkinan terjadinya kebakaran hutan di Kabupaten Siak yaitu jarak ke jalan, populasi, dan tipe tanah dan kondisi vegetasi. Akan tetapi model ini hanya dapat memprediksi secara benar 32,3 % dari terjadinya kebakaran hutan berdasarkan empat faktor di atas. Dari keempat faktor tersebut, faktor vegetasi lebih berpengaruh sehingga kemungkinan kebakaran yang terjadi di areal yang mengalami degradasi dari pada areal hutan dengan kerapatan vegetasi yang tinggi. Sebuah studi oleh Langner et al, 2007 menunjukkan bahwa ada korelasi yang kuat antara kebakaran dan degradasi hutan di beberapa bagian dari Indonesia. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa kebakaran hutan biasanya mulai dari tepi kawasan hutan di mana aktivitas manusia yang lebih intens (Langner et al, 2007). Hal ini juga didukung 34
Nasution, dkk. : Studi Emisi CO2 Akibat Kebakaran Hutan di Provinsi Riau ..... oleh penelitian yang juga dilakukan oleh Langner et al. (2007) yang menyimpulkan bahwa sebagian besar kebakaran hutan terjadi di hutan yang mengalami degradasi. Hutan rawa gambut ketika dalam kondisi baik dapat menyimpan sejumlah besar karbon. Drainase lahan gambut yang mengarah keoksidasi menghasilkan emisi CO2, dan kebakaran dilahan gambut terdegradasi menghasilkan emisi CO2 lebih lanjut. Mekanisme pertama (drainase lahan gambut) akan meningkatkan kemungkinan terjadinya api. Oleh sebab itu, konservasi hutan rawa gambut dapat mengurangi terjadinya kebakaran di Siak dan dengan demikian mengurangi emisi CO2. Hal ini dapat dipulihkan dengan pengelolan air/tata air yang baik. Karena kemungkinan terjadinya kebakaran hutan lebih tinggi di hutan terdegradasi, pilihan lain untuk mengurangi terjadinya kebakaran adalah untuk menerapkan pengelolaan hutan berkelanjutan sehingga luasnya hutan yang rusak dapat diminimalkan. Reboisasi lahan terdegradasi akan meningkatkan kerapatan hutan dan karenanya akan mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran. 5.
Simpulan dan Saran
5.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, kebakaran hutan memancarkan sejumlah besar CO2 selama 2010 di Provinsi Riau khususnya di Kabupaten Siak. Kebakaran dan emisi CO2 yang barada di areal Hutan Tanaman lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi di Hutan Alam, hal ini dipengaruhi dengan banyaknya tingkat kejadian kebakaran dan bahan bakar yang terbakar. Frekuensi tertinggi kebakaran hutan di Kabupaten Siak lebih banyak terjadi di areal non hutan. Hal ini juga diperkuat dengan beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa terjadinya kebakaran di Provinsi Riau lebih banyak terjadi di areal open akses dan semak belukar. Kondisi kerapatan vegetasi memiliki korelasi dengan terjadinya kebakaran di Kabupaten Siak. Hasil regresi logistik menunjukkan bahwa kondisi kerapatan vegetasi berkorelasi dengan terjadinya kebakaran. Ini berarti bahwa kebakaran hutan lebih sering terjadi pada hutan bervegetasi rendah atau yang telah mengalami degradasi.
Selanjutnya, dari hasil penelitian dan pengolahan data tersebut dapat disimpulkan bahwa emisi CO2 karena kebakaran hutan dari pembakaran biomassa di Kabupaten Siak pada tahun 2010 adalah 107.260 Ton CO2/tahun untuk hutan alam dan 151.600 Ton CO2/tahun untuk hutan tanaman. Selanjutnya emisi CO2 karena kebakaran hutan dari kebakaran gambut di Kabupaten Siak pada tahun 2010 adalah 2.176 Ton CO2/tahun. Selanjutnya pengaruh dari beberapa faktor terkait dengan ada tidaknya kejadian kebakaran hutan seperti jarak ke jalan, penduduk, jenis tanah dan kehijauan vegetasi diperoleh hasil bahwa kehijauan vegetasi mempunyai korelasi dengan terjadinya kebakaran hutan. Ini berati bahwa kebakaran hutan umumnya terjadi pada areal yang bervegetasi rendah atau yang telah mengalami degradasi. 5.2 Saran Untuk meningkatkan akurasi dari estimasi emisi CO2, penelitian lanjutan diperlukan khususnya untuk mendapatkan efesiensi kebakaran dari daerah penelitian sehingga didapatkan hasil yang lebih akurat. Selanjutnya penghitungan berat kering biomassa yang diikutsertakan pada inventarisasi hutan yang akan datang akan menurunkan ketidakpastian dari estimasi emisi CO2 terkait bahan bakar yang tersedia dalam kebakaran hutan. Selain itu regulasi untuk menghindari atau menurunkan terjadinya kebakaran hutan telah dikeluarkan oleh pemerintah, namun demikian penegakan hukum masih tetap diperlukan untuk menurunkan terjadinya kebakaran hutan. Terkait dengan tingginya kejadian kebakaran hutan di Provinsi Riau, perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan menerapkan program-program pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang tepat sasaran sehingga kejadian serupa tidak terulang kembali di masa yang akan datang. Ucapan Terima Kasih Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Mubarak, M.Si. dan Dr. Zulkifli, S.Pi, M.Si. yang telah membantu dan membimbing penelitian ini, serta yang telah banyak memberikan arahan dan saran serta masukan dalam memperbaiki penulisan penelitian ini.
35
Jurnal Bumi Lestari, Volume 13 No. 1, Februari 2013, hlm. 27 -36 Daftar Pustaka Brown, S., A. J. R. Gillespie, and A. E. Lugo. 1989. Biomass estimation methods for tropical forests with applications to forest inventory data. Forest Science 35:881-902. Fearnside, P. M. 2000. “Global warming and tropical land-use change: Greenhouse gas emissions from biomass burning, decomposition and soils in forest conversion, shifting cultivation and secondary vegetation”. Journal Climatic Change, 46 (1-2): 115-158. Fearnside, P. M. and W. F. Laurance. 2004. “Tropical Deforestation And Greenhouse-Gas Emissions”. Journal Ecological Applications, 14 (4): 982-986. Hairiah.2007.Perubahan Iklim Global: Dampak dan Bahayanya, Universitas Brawijaya, Malang. Herman, Agus, F, dan Las, I. 2009. “Analisis Finansial Dan Keuntungan Yang Hilang Dari Pengurangan Emisi Karbon Dioksida Pada Perkebunan Kelapa Sawit”. Jurnal Litbang Pertanian, 28 (4), 2009. Heil, A., B. Langmann and E. Aldrian. 2007. “Indonesian peat and vegetation fire emissions: Study on factors influencing large-scale smoke haze pollution using a regional atmospheric chemistry model”. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change Journal 12 (1): 113-133. Huete, A., K. Didan, T. Miura, E. P. Rodriguez, X. Gao and L. G. Ferreira. 2002. “Overview of the radiometric and biophysical performance of the MODIS vegetation indices”. Remote Sensing of Environment 83 (1-2): 195-213. IPCC.2006. Pedoman IPCCuntuk Inventarisasi Nasional Gas Rumah Kaca , National Greenhouse Gas Inventories Program. Jepang. Karakaya, Etem, and Ozcag, Mustafa. 2005.”Driving Forces of C02 Emission In Central Asia: A Decomposition Analysis of Air Pollution From Fossil Fuel Combustion”Arid Ecosystems Journal, Vol. 11, No. 26-27, August 2005, Pages 49-57. Kasischke, E. S. and J. E. Penner. 2004. “Improving global estimates of atmospheric emissions from biomass burning”. Journal of Geophysical Research-Atmospheres, 109(D14). Kumar, A., S. K. Uniyal and B. Lal. 2007. “Stratification of forest density and its validation by NDVI analysis in a part of western Himalaya, India using Remote sensing and GIS techniques”. International Journal of Remote Sensing, 28(11): 2485-2495. Kusumawardani, D. 2009. “Emisi CO2 dari Penggunaan Energi di Indonesia: Perbandingan Antar Sektor”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol. 8, No. 3, Desember 2009 : 176–187 . Langner, A., J. Miettinen and F. Siegert. 2007. “Land cover change 2002 - 2005 in Borneo and the role of fire derived from MODIS imagery”. Global Change Biology 13: 2329-2340. Moore, D. S. and G. P. McCabe. 2006. Pengenalan dan Aplikasi Statistik. Nurzal, E.R dan Suminto.2010. “Penerapan Standar Manajemen Energi Untuk Mitigasi Perubahan Iklim Di Indonesia”. Jurnal Standardisasi Vol. 12, No. 3 Tahun 2010: 174 – 185 Page, S. E., F. Siegert, J. O. Rieley, H.-D. V. Boehm, A. Jaya and S. Limin. 2002. “The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997”. Nature 420 (6911): 61-65. Palacios-Orueta, A., E. Chuvieco, A. Parra and C. Carmona-Moreno. 2005. Biomass Burning Emissions: A Review of Models Using Remote-Sensing Data. Journal Environmental Monitoring and Assessment 104 (1): 189-209. Seiler, W. and P. J. Crutzen. 1980. “Estimates of gross and net fluxes of carbon between the biosphere and the atmosphere from biomass burning”. Journal Climatic Change 2(3): 207-247.
36