PAKET INFORMASI TERSELEKSI
kesehatan Seri: AIDS
S
alah satu alasan kenapa masih rendahnya jumlah dan mutu karya ilmiah Indonesia adalah karena kesulitan mendapatkan literatur ilmiah sebagai sumber informasi.Kesulitan mendapatkan literatur terjadi karena masih banyak pengguna informasi yang tidak tahu kemana harus mencari dan bagaimana cara mendapatkan literatur yang mereka butuhkan. Sebagai salah satu solusi dari permasalahan tersebut adalah diadakan layanan informasi berupa Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT). Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) adalah salah satu layanan informasi ilmiah yang disediakan bagi peminat sesuai dengan kebutuhan informasi untuk semua bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam berbagai topik yang dikemas dalam bentuk kumpulan artikel dan menggunakan sumber informasi dari berbagai jurnal ilmiah Indonesia. Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) ini bertujuan untuk memudahkan dan mempercepat akses informasi sesuai dengan kebutuhan informasi para pengguna yang dapat digunakan untuk keperluan pendidikan, penelitian, pelaksanaan pemerintahan, bisnis, dan kepentingan masyarakat umum lainnya. Sumber-sumber informasi yang tercakup dalam Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) adalah sumber-sumber informasi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan karena berasal dari artikel (full text) jurnal ilmiah Indonesia dilengkapi dengan cantuman bibliografi beserta abstrak.
DAFTAR ISI ANALISIS PENGETAHUAN DAN SIKAP NARAPIDANA TERHADAP TINDAKAN BERISIKO HIV/AIDS DI RUMAH TAHANAN BALIGE
Evariana Juridikti, Vol. 6, No. 1, 2013:127-133
Abstrak : Perilaku berisiko HIV/AIDS tidak hanya terjadi di masyarakat luas tetapi juga pada sub populasi khusus seperti narapidana yang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan rawan tertular HIV. Pada Juli 2008 jumlah narapidana yang ada di Rutan Balige sebanyak 162 orang, 50 % ditahan akibat kasus narkoba dan 50 % dengan bukan narkoba. Melihat keadaan tersebut kemungkinan epidemi HIV di rumah tahanan Balige dapat terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik narapidana dan adanya hubungan pengetahuan serta sikap narapidana dengan tindakan berisiko HIV, dengan menggunakan uji Chi-square dan Uji Regresi Linier ganda. Sampel pada penelitian ini adalah seluruh narapidana sebanyak 120 orang. Data diperoleh dengan menggunakan wawancara dan kuesioner tertutup. Hasil penelitian mayoritas : berumur 20-29 tahun (36%), jenis kelamin laki-laki (96%,) pendidikan SLTA (44,2%), pekerjaan wiraswasta (47 %) dan masa tahanan ≥ 1tahun (51,7%). Hasil uji Chi-square menunjukkan bahwa : ada hubungan signifikan antara tingkat pengetahuan P= 0,020 dan sikap P = 0,011 dengan tindakan beresiko HIV. Hasil Uji Regresi Linier Ganda menunjukkan bahwa : tingkat pengetahuan dan sikap samasama berpengaruh terhadap tindakan berisiko HIV, P < (0,005). Kesimpulan : Variabel yang paling berpengaruh adalah tingkat pengetahuan,( nilai beta pengetahuan 0,308 > nilai beta sikap 0,200 ) dan nilai R.Square sebesar 0,814. Disarankan kepada pimpinan Rutan Balige untuk lebih meningkatkan kerjasama dengan Dinas Kesehatan Toba Samosir ( khususnya Petugas kesehatan di Rutan) dan Komite AIDS HKBP Balige dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap narapidana terhadap faktor-faktor risiko dan pencegahan HIV/AIDS. Petugas rutan diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan di bidang penanggulangan
i
Pilih/klik judul untuk melihat full text
HIV/AIDS sehingga dapat memberikan penyuluhan langsung terhadap narapidana.
ANALISIS POTENSI NANOCURCUMIN TERKAPSULASI APOTRANSFFERIN SEBAGAI INOVASI PENGEMBANGAN TERAPI PADA PENDERITA HIV/AIDS
Surya Wijaya, MuthmainnahArifin Scripta, Vol. 1, No. 2, 2013:45-53
Abstrak : Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) telah menjadi pandemi yang mengkhawatirkan karena belum ditemukan obat dan vaksin untuk pengobatan HIV/AIDS. Salah satu zat poten untuk menghambat replikasi HIV adalah curcumin. Hambatan besar dalam penggunaan curcumin adalah bioavailabilitas yang rendah. Namun hal itu dapat diatasi dengan menggunakan sistem penghantaran obat melalui nanopartikel apotransferrin. Penggunaan nanocurcumin terkapsulasi apotransferrin tidak hanya dapat menghambat siklus replikasi HIV, namun juga dapat memperbaiki gejala yang ditimbulkan oleh infeksi HIV. Hal ini menunjukkan bahwa nanocurcumin terkapsulasi apotransferrin memiliki potensi kuat untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi alternatif terapi HIV/AIDS dengan efek samping dan toksisitas yang rendah.
DAFTAR ISI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGETAHUAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL TENTANG HIV /AIDS DI KOTA GARUT TAHUN 2008
Syafrida Harahaf, Oktoruddin Harun Jurnal Kesehatan Budi Luhur, Vol. 4, No. 1, 2008: 6-14 Abstrak : Dampak penyebaran HIV I AIDS di negara-negara berkembang sungguh menghawatirkan. Populasi angka kesakitan dan kematian penduduk pproduktif meningkat terus sehingga usia harapan hidup menurun. Selain berdampak langsung bagi kehidupan social, ekonomi suatu bangsa dan telah menimbulkan keprihatinan baik di tingkat nasional regional maupun internasional. Selain epidemik HIV / AIDS yang semakin merebak, maka krisis ekonomipun perlu diatasi secara lebih baik lagi, hal ini dikarenakan penyebaran HIV I AIDS tidak dapat dipisahkan dengan masalah kemiskinan, sebagai dampak krisis ekonomi yang berlarut-larut meneybabkan jumlah Pekerja Seks Komersial (PSK) terus bertambah PSK merupakan kelompok rawan terjangkit virus HIV I AIDS, untuk itu mereka harus dibekal pengetahuan dan sikap yang baik ten tang HIV I AIDS agar dapat bertanggung jawab melindungi diri mereka sendiri dari virus HIV I AIDS yang mematikan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktorfaktor yang berhubungan dengan pengetahuan dan sikap PSK tentang HIVI AIDS di kota Garut tahun 2008, dengan variable-variabel penelitian adalah umur, pendidikan pendapatan,lama bekerja, akses informasi, pengaruh rekan kerja, anjuran me dis dan sikap petugas kesehatan. Metode penelitian adalah metode survei dan merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan kros seksional.Populasi dalam penelitian ini adalah para PSK yang berada pada tempat penginapan, warung remang-remang dan yangberoperasi di jalan-jalan. Tehnik pengambilan sampel dengan accidental sampling( responden yang diperoleh pada penelitian dilakukan sebanyak 3 5 orang).Hasil penelitian menunjukkan dari variablevariabel yang diteliti setelah dilakukan uji statstik chi square dan fisher exact pada a = 0,05 ternyata yang ada hubungan dengan pengetahuan PSK ten tang HIV / AIDS adalah variabel pendidikan dan pendapatan.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS HIDUP PENDERITA HIV/AIDS DI KABUPATEN BOYOLALI DAN KOTA SURAKARTA (SOLO) PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2012
Nova Oktavia, Hari Kusnanto, Yanri Wijayanti Subronto Jurnal Kesehatan dan Masyarakat, Vol. 4, No. 1, 2014:1-14 Abstract : The purpose of research comparing domain scores and the differences in quality of life significance of HIV / AIDS based on socio-demographic factors and factors related to HIV infection. Cross sectional survey study was carried out using consecutive sampling method on 32 patients living with HIV. The independent variables were the factors that affect the quality of life of people living with HIV. The dependent variable is the quality of life (physical, psychological, independence, social, environmental and spiritual domain). The research instrument used WHOQOL-HIV-Bref and structured questionnaire. Results were Women had a lower quality of life scores on the domain independence, social, environmental and spiritual; respondent unmarried had lower quality of life scores on the domain independence, social and environmental; respondents with low education, unemployment, low incomes had lower quality of life scores on all domains; respondents with CD4 counts > 200 had higher quality of life scores on the domains of psychology and environment; respondents with asymptomatic infection levels had higher quality of life scores in the psychological domain, social and environmental; respondents adherence therapy had higher quality of life scores in all domains; respondents who have received family support had higher quality of life scores on domain independence, social, environmental and spiritual. In multivariate analysis, the most importantpredictor of the quality of life was level of education, employment and adherence therapy.
DAFTAR ISI FAMILY SUPPORT IS NOT A RISK FACTOR OF NEGATIVE SELF-ESTEEM IN HIV/AIDS WOMEN
Jean Valeria, Surilena, Yanto Budiman, Samsuridjal Djauzi, Haridana Indah Univ Med, Vol. 34, No. 1, 2015: 61-67 Abstrak : Pendahuluan: Perempuan yang terinfeksi HIV/AIDS (ODHA perempuan) memiliki beban psiko-sosial kompleks dan cenderung dengan self-esteem negatif yang dapat berlanjut dengan gangguan mental emosional. Dalam menghadapi infeksi dan beban psikososial HIV/AIDS, ODHA perempuan membutuhkan dukungan keluarganya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dukungan keluarga, self-esteem, dan depresi pada perempuan dengan HIV/AIDS, serta hubungan antara dukungan keluarga dengan selfesteem dan depresi. Metode: Desain penelitian ini adalah cross-sectional pada 99 perempuan yang terinfeksi HIV dari suami/pasangannya, tidak ada riwayat penyalahgunaan Napza, secara consecutive sampling dari uji dua proporsi di RS Kanker Dharmais, November 2013 – Januari 2014. Instrumen penelitian adalah kuesioner demografi, Rosenberg Self-Esteem, Hamilton Depression Rating Scale (HDRS), dan dukungan keluarga (keluarga suami/pasangannya). Data dianalisis dengan binary logistic regression. Hasil: Terdapat 99 responden dengan rerata usia 36 tahun, 44,4% pendidikan SMA, 54.5% tidak bekerja (ibu rumah tangga), dan 91,9% menderita infeksi HIV/AIDS lebih dari satu tahun. Analisis binary logistic regression menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara dukungan keluarga dengan self-esteem (p=0,700) dan depresi (p=0,396). Dukungan keluarga yang baik memiliki efek protektif sebesar 1,3 kali (OR=0,772; 95%CI: 0,138-3,770) terhadap peningkatan self esteem dan dukungan keluarga yang buruk meningkatkan resiko untuk terjadinya depresi sebesar 1,5 kali. (OR=1,477; 95%CI: 0,598-3,645) pada ODHA perempuan yang terinfeksi dari pasangan suaminya. Kesimpulan: Dukungan keluarga yang baik cenderung memiliki efek protektif terhadap peningkatan self esteem dan dukungan keluarga
yang buruk meningkatkan resiko akan terjadinya depresi pada ODHA perempuan yang terinfeksi dari pasangan suaminya.
GIANT CONDYLOMA ACUMINATUM IN A WOMAN WITH AIDS
Laila Nuranna, Tricia D. Anggraeni, Tofan W. Utami, Denny Khusen Indones J Obstet Gynecol, Vol. 36, No. 4, 2012: 207-210 Abstrak : Tujuan: Untuk menggambarkan kasus Kondiloma Akuminata Raksasa dengan aspek HIV dan beberapa kekhawatiran mengenai CD4.Hasil: Kami menjelaskan 2 kasus, kasus pertama adalah Kondiloma raksasa pada pasien HIV dan kasus kedua adalah kondiloma raksasa pada perempuan hamil. Pasien kasus pertama adalah seorang perempuan 40 tahun dengan AIDS (CD4 = 290) yang menjalani terapi anti-retroviral. Pasien ditemukan memiliki kondiloma akuminata raksasa pada vulva. Eksisi elektrokauter dilakukan, setelah itu kualitas hidupnya meningkat secara signifikan. Pasien kasus kedua adalah seorang perempuan 30 tahun G4P3A0 dengan kondiloma akuminata raksasa, pasien hamil 30 minggu dengan janin tunggal. Pada alat kelamin ekstemal tampak massa kondiloma raksasa di vulva menyebar menuju daerah perianal menghalangi daerah introitus. Eksisi elektrokauter dilakukan. Pasien keluar dari rumah sakit pada hari kedua dalam kondisi baik dan ia mampu melahirkan spontan aterm. Kesimpulan: Meskipun dalam kasus ini kondiloma akuminata raksasa disertai dengan HIV, tapi tidak sesulit yang dibayangkan karena basis tumor tidak lebar, tapi berbentuk seperti jamur terbalik dan tidak perlu dilakukan rekonstruksi flap lokal.
DAFTAR ISI HIV/AIDS DI INDONESIA : FENOMENA GUNUNG ES DAN PERANAN PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
Hardisman Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol. 13, No. 5, 2009:236-240 Abstrak: Masalah HIV/AIDS di Indonesia diyakini bagaikan fenomena gunung es karena laporan resmi jumlah kasus tidak mencerminkan masalah yang sebenarnya. Prediksi besar masalah HIV/AIDS tersebut didasarkan atas jumlah penyalahgunaan narkotika suntik dan prostitusi yang tinggi. Keduanya merupakan faktor utama yang berperan sangat besar dalam penyebaran dan penularan HIV. Berbagai faktor risiko tersebut tidak hanya berkaitan dengan pelayanan kesehatan tetapi juga dengan masalah sosial ekonomi. Permasalahan tersebut perlu diatasi dengan pendekatan pelayanan kesehatan primer komprehensif yang langsung menyentuh akar permasalahan mencakup masalah sosial ekonomi dan lingkungan kultural. Strategi tersebut dilakukan melalui berbagai langkah yang bersifat menyeluruh, meliputi preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif dengan partisipasi dan kerja sama yang luas yang melibatkan berbagai sektordan organisasi non pemerintah dan masyarakat. Beberapa langkah yang harus dilakukan meliputi edukasi dan promosi, pelayanan kesehatan yang merata dan terjangkau. Selain itu yang juga tidak kalah pentingnya adalah pengentasan kemiskinan melalui peningkatan lapangan kerja dan kelibatan partisipasimasyarakat.
HUBUNGAN ANTARA PEMANTAUAN ORANG TUA DENGAN PRACTICE MAHASISWA STIKES-ABI YANG TIDAK BERISIKO TERHADAP TRANSMISI HIV/ AIDS
Sri Wilujeng Jurnal Sain Med, Vo. 4, No. 2, 2012:80-85
Abstrak : Dewasa muda merupakan usia yang sangat berisiko terjadi penularan Acquired Immune Defi ciency Syndrome (AIDS), sebab pada usia ini merupakan usia mencari identitas diri. Kemampuan mengendalikan seksual dan pemantauan orang tua akan mempengaruhi perkembangannya. Didasarkan pada kenyataan sebagian besar mereka berasal dari daerah dengan berbagai budaya yang diasumsikan mengalami keterbatasan dalam mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS. Perubahan lingkungan antara daerah asal dengan lingkungan baru dan jauhnya pengawasan orang tua berisiko bagi mahasiswa baru melakukan tindakan yang berisiko tertular HIV/AIDS. Practice mahasiswi dihubungkan dengan pemantauan orang tua. Pemantauan orang tua yang baik terhadap mahasiswi diperlukan untuk mencegah tindakan yang berisiko tertular HIV/AIDS. Penelitian tentang hubungan pemantauan orang tua dengan practice mahasiswi yang tidak berisiko terhadap transmisi HIV/AIDS penting untuk dilakukan pada mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Artha Bodhi iswara STIKES-ABI. Penelitian ini merupakan analitik observasional. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh mahasiswi STIKESABI Surabaya tahun ajaran 2008/2009 berjumlah 145 mahasiswi. Sampel diambil dengan cara simple random sampling. Pengambilan data dengan cara pembagian kuesioner kepada 106 mahasiswi tentang tindakan dan pemantauan orang tua. Melalui uji Chi Square dengan tingkat signifi kan 0,05. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar pemantauan orang tua baik (77,36%) dan sebagian besar practice mahasiswi baik (87,74%). Mereka dengan pemantauan orang tua yang kurang baik 25% adalah mempunyai practice kurang baik, lebih besar dari pada pemantauan baik. Hasil uji menggunakan Fisher’ Exact p = 0,041 yang berarti ada hubungan antara pemantauan orang tua dengan practice mahasiswi yaitu practice mahasiswi tidak berisiko terhadap HIV/AIDS lebih baik pada mereka yang mendapat pemantauan orang tua baik dibanding yang mendapat pemantauan kurang baik.
DAFTAR ISI HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG HIV/AIDS DENGAN SIKAP DAN TINDAKAN PENGGUNAAN KONDOM PADA WANITA PEKERJA SEKS DI WILAYAH LOKALISASI KM 12 PALANGKARAYA TAHUN 2013
Fransisca Diana Alexandra, Fatmaria, Angeline Novia Toemon Jurnal Ilmu Sosial, Politik Dan Pemerintahan: JISPAR, Vol. 5, 2014:102-122 Abstrak: HIV / AIDS merupakan penyakit dengan angka kejadian yang terus meningkat di Indonesia. Epidemi HIV / AIDS teljadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Salah satu cara pencegahan HIV adalah dengan menggunakan kondom saat berhubungan seksual dengan pasangan berisiko (Riskesdas, 2010:280). Berdasarkan data riskesdas tahun 20 I 0, prevalensi nasional penduduk yang mengetahui cara pencegahan yang benar bahwa HIV dapat dicegah salah satunya dengan menggunakan kondom saat berhubungan seksual dengan pasangan berisiko adalah sebesar 41,9% dimana Kalimantan Tengah memiliki persentase sebesar 36,7% (penduduk usia 15 tahun ke atas) (Riskesdas, 2010:7,282). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan sikap dan tindakan penggunaan kondom pada wanita pekerja seks di wilayah lokalisasi km 12 PalangkaRaya. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Teknik pengumpulan data secara wawancara menggunakan instrumen kuesioner. Kuesioner terdiri dari tiga bagian yaitu penilaian pengetahuan responden mengenai HIV/ AIDS dan kondom, penilaian sikap responden dalam mencegah HIV/AIDS dengan penggunaan kondom dan penilaian tindakan responden dalam penggunaan kondom. Populasi penelitian ini adalah para wanita pekerja seks di lokalisasi km 12 Palangka Raya sebanyak 140 orang. Sampel penelitian ini berjumlah 65 orang yang dipilih dengan pendekatan acak sederhana namun mengalami drop out sebanyak 5 orang sehingga
jumlah responden menjadi 60 orang. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan software SPSS for windows versi 11.5 dan menggunakan metode analisis univariat dan bivariat. Hasil anaIisis penelitian menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan responden tentang HIV/AIDS dan kondom terhadap sikap dan tindakan responden dalam penggunaan kondom (chi-square hitung > chisquare tabel).
DAFTAR ISI HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG HIV/AIDS DENGAN STIGMA ORANG DENGAN HIV/AIDS DI KALANGAN PELAJAR SMA
Ossie Sosodorol, Ova Emilia, Budi Wahyuni, Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 25, No.4, 2009:210-217 Abstract : Background: Stigma of people living with HIV/AIDS is an aspect which disrupts the program of HIV/ AIDS Infection prevention. Some studies show that the widespread of stigma of people living with HIV/ AIDS Is related to knowledge about methods of HIV/AIDS Infection. One most effective method to Improve knowledge about HIV/AIDS Is education at schools. This study Is carried out at Surakarta Municipality whereby knowledge about HIV/AIDS and the presence of stigma of people living with AIDS among school age teenagers have never been observed.ObJective: To identify the relationship between knowledge about HIV/AIDS and stigma of people living with HIVI/AIDS among senior high school students at Surakarta Municipality.Method: The study was qualitative observational with cross sectional design to get deeper explanation and offer input for policy making in introducing relevant intervention. Subject of the study were as many as 558 students of 4 junior high schools of Surakarta Municipality. Quantitative data analysis used univariable, bivariable with chi square test and multivariable with logistic regression and stratification.Result: The result of test on knowledge about H1V/AIDS showed that mean was 15.40 from maximum score of 20, whereas the result of test on stigma of people living HIV/AIDS showed that mean was 15.70 from maximum score of 21. The result of qualitative study showed that there was misunderstanding about methods of HIV/ AIDSinfection and the presence of stigma of people living with HIV/AIDS, either among the students or teachers. The result of bivariable analysis showed that the stigma was 3.37 times stronger among students with limited knowledge about HIV/AIDS than among those with good knowledge about HIV/ AIDS.Conclusion: Students with limited knowledge
about HIV/AIDS had higher risk for stigma of people living with HIV/AIDS that those with good knowledge.
KAJIAN ANALISIS KECENDERUNGAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT HIV/AIDS PADA ANAK SEKOLAH DI KABUPATEN JAYAWIJAYA PROPINSI PAPUA
Deny Tuhumury dan Rohani Sumitro Best, Vol.6 No.3, 2012:15-19
Abstrak : Di Indonesia pertama kali diketahui adanya kasus AIDS pada bulan April tahun 1987, pada seorang warga negara Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah Bali. Namun sejak awal tahun 1991 telah mulai adanya peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi dua kali lipat kurang dari setahun sebelumnya. HIV adalah virus penyebab AIDS. AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yang merupakan dampak atau efek dari perkembang biakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup. Cara Penularan lewat cairan darah, lewat cairan sperma dan cairan vagina, Lewat Air Susu Ibu. Masa lnkubasi dari penularan hingga berkembang atau terdeteksinya antibodi, biasanya 1 - 3 bulan, namun waktu dari tertular HIV hingga terdiagnosa sebagai AIDS sekitar < 1 tahun hingga 15 tahun atau lebih. Tanda - Tanda Tertular HIV/AIDS : Berat badan menurun lebih dari 10% dalam waktu singkat, Demam tinggi berkepanjangan, Diare berkepanjangan, Batuk berkepanjangan, Kelainan kulit dan iritasi, lnfeksi jamur pada mulut dan kerongkongan, Pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh, seperti di bawah telinga leher, ketiak dan lipatan paha. Cara Pencegahan HIV/AIDS : Gunakan selalu jarum suntik yang steril, menerapkan kewaspadaan mengenai seks aman. Mengatahui faktor-faktor risiko penularan HIV/AIDS, Pengetahuan tentang HIV/AIDS, Penggunaan NAPZA suntik, Perilaku Seksual dengan keiadian penvakit HIV/AIDS pada Anak Sekolah SMA/SMK di Kabupaten Jayawijaya Propinsi Papua. Besar sampel yang diambil 100 Responden dan semuanya hasilnya negatif.
DAFTAR ISI KAJIAN KEMAMPUAN MASYARAKAT DALAM MENGIDENTIFIKASI MASALAH KESEHATAN LOKAL (HIV/AIDS)
Tri Lestari, Sri Sugiarsi Profesi, Vol. 12, No. 1, 2014:1-7
Abstrak : Masalah yang dihadapi dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Kecamatan Tasikmadu Karanganyar adalah masih rendahnya kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan local (HIV/AIDS). Tujuan penelitian ini mengkaji dan mengidentifikasi faktor – faktor yang berhubungan dengan kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal pada program penanggulangan HIV/AIDS di Kecamatan Tasikmadu Karanganyar. Jenis penelitian adalah observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kader kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Tasikmadu Karanganyar. Besar sampel adalah 90 orang yang diambil dengan teknik cluster random sampling. Variabel bebasnya adalah tingkat pendidikan, akses informasi, survey mawas diri, kepemimpinan dan sebagai variable terikat adalah kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal (HIV/AIDS). Instrumen penelitian ini adalah kuesioner yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian. Analisis penelitian ini dengan mengggunakan regresi linier berganda. Hasil menunjukkan bahwa tingkat pendidikan, akses informasi kesehatan, survey mawas diri dan kepemimpinan memberikan kontribusi terhadap meningkatnya kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal (HIV/ AIDS) sebesar 74%. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa ada pengaruh secara simultan dan signifikan tingkat pendidikan, akses informasi kesehatan, survey mawas diri dan kepemimpinan terhadap kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal (HIV/ AIDS) pada nilai p=0,000.
KAJIAN PERSEPSI KEPARAHAN TERTULAR HIV/AIDS MEMPENGARUHI TINDAKAN PERAWAT DALAM PELAKSANAAN UNIVERSAL PRECAUTION
Nana Noviana Jurnal Kebijakan Pembangunan, Vol.8, No. 1, 2013:55-64 Abstrak: -
DAFTAR ISI KARAKTERISTIK REMAJA PENGGUNA NARKOBASUNTIK DAN PERILAKU BERISIKO HIV/AIDS DIKECAMATAN CILEDUG KOTA TANGERANG
penasun yang mempunyai tingkat pengetahuan kurang, mempunyai risiko tertular HIV/AIDS 6,9 kali dibandingkan yang mempunyai tingkat pengetahuan baik.
Fauzi Syarif, Zarfiel Tafal Kesmas, Vo.3, No.2, 2008:70-75
Abstrak : Prevalensi penderita HIV/AIDS di Kota Tangerang yang merupakan daerah industri dari tahun ke tahun meningkat tajam. Kecenderungan peningkatan kemungkinan disebabkan oleh letak strategis Kota Tangerang yang berbatasan langsung dengan Jakarta serta dengan geografi dan demografi yang hampir sama dengan Jakarta. Bersamaan dengan itu kasus peredaran dan pemakaian narkotika di wilayah Tangerang dari tahun ke tahun meningkat tajam. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik remaja pengguna narkoba suntik (penasun) dengan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS di Kecamatan Ciledug Kota Tangerang Tahun 2007. Data yang dikumpulkan secara cross sectional dilakukan pada 206 sampel responden remaja berusia 15–24 tahun yang menggunakan narkoba suntik melalui wawancara langsung dengan berpedoman pada kuesioner. Karakterisitk remaja tersebut meliputi karakteristik: pribadi (pengetahuan tentang HIV/AIDS, jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, status ekonomi, posisi urutan dalam keluarga, status orang tua, dengan siapa tinggal), lingkungan sosial (keterpaparan pergaulan dengan pengguna narkoba, pola asuh orang tua, lingkungan tempat tinggal) dan karakteristik budaya (masyarakat fanatisme agama, daerah pendatang/campur, kegiatan di luar rumah). Penelitian menunjukkan gambaran perilaku remaja penasun yang berisiko tertular HIV/AIDS mencapai angka 55,3%. Terdapat 8 (delapan) variabel yang berhubungan erat (p < 0,05) dengan perilaku penasun berisiko yaitu tingkat pengetahuan, umur, tingkat pendidikan, status ekonomi, status orang tua, pola asuh orang tua, lingkungan tempat tinggal dan kegiatan di luar rumah. Variabel yang paling dominan adalah tingkat pengetahuan dimana remaja
KEBIJAKAN PENGENDALIAN HIV/AIDS DI DENPASAR
Tri Rini Puji Lestari Kesmas, Vol.8, No.1, 2013:45-48
Abstrak: Secara nasional, Indonesia telah mengantisipasi epidemi HIV/AIDS, tetapi jumlah kasus HIV/AIDS di Provinsi Bali dari tahun ke tahun memperlihatkan peningkatan yang semakin mengkhawatirkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan jumlah kasus dan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Denpasar. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang dilakukan di Denpasar pada tanggal 11-17 September 2011. Sampel penelitian ini menggunakan informan terpilih yaitu kepala bappeda, pejabat Dinas Kesehatan Kabupaten Denpasar, direktur rumah sakit, puskesmas, ketua komisi penanggulangan AIDS di kabupaten/kota dan pemerhati HIV/AIDS termasuk ODHA. Penelitian menemukan jumlah kasus HIV/AIDS di Kota Denpasar yang tertinggi dan penularan terbesarnya melalui hubungan seks. Namun, dukungan pemerintah daerah dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/ AIDS terlihat belum maksimal. Padahal kebijakan penanggulangan HIV/AIDS sangat ditentukan oleh cara pandang pemerintah terhadap penyakit HIV/AIDS. Untuk itu, perlu peningkatan pemahaman tentang HIV/AIDS serta pencegahan dan penanganan semua pihak terkait sehingga penanggulangan HIV/AIDS dapat lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran.
DAFTAR ISI KECEMASAN PERAWAT DALAM TINDAKAN OPERASI PENDERITA HIV/AIDS RSUD RADEN MATTAHERJAMBITAHUN 2012
Nurbaity, Aguspairi, Fx. Suharto Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4, 2013: 411-414 Abstrak : Latar Belakang: Di Indonesia walaupun belum ada data yang pasti, namun jika melihat pengendalian infeksi di rumah sakit yang masih lemah, maka risiko penularan infeksi termasuk HIV terhadap perawat bisa dikatakan cukup tinggi. Dengan semakin meluasnya kejadian kasus HIV ke berbagai daerah termasuk Kota Jambi, perasaan cemas dan takut akan tertular menjadi stressor bagi perawat khususnya perawat yang bertugas diruang operasi.Metode: Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan pendekatan fenomenologi yang bertujuan untuk memahami berbagai pengalaman kecemasan perawat yang ikut membantu tindakan operasi pada pasien dengan HIV/ AIDS. Penelitian akan dilakukan di ruang operasi RSUD Raden Mattaher Jambi pada bulan Januari 2012 dengan jumlah sampel sebanyak enam partisipan. Sampel penelitian ini yaitu pasien HIV/ AIDS yang menjalankan operasi. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara deepth interview (wawancara mendalam) dan proses analisis data menggunakan metode colaizzis.Hasil: Hasil wawancara pada tanggal 12 September 2011 terhadap perawat di ruang operasi RSUD Raden Mattaher Jambi ditemukan bahwa semua perawat menyatakan takut dan cemas ketika mengikuti tindakan operasi pada pasien ODHA. Kecemasan perawat dalam melakukan tindakan operasin pasien HIV/AIDS sangat tinggi.Mekanisme koping yang dimiliki perawat pada saat membantu operasi pasien HIV/AIDS dapat diketahui melalui gejala yang dirasakan perawat seperti berkeringat dan gemetar. Namun, Informan mengatakan dapat mengatasi rasa cemas mereka.
KINERJA APARATUR TERHADAP PELAYANAN BAGI PASIEN HIV/AIDS DI UNIT KERJA PADA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
Mirnawati Jurnal Ilmiah Santina, Vol. 1, No.4, 2014:30-37 Abstrak: Dalam penelitian ini penulis menggunakan dasar penelitian survey dengan tipe deskriptif kualitatif. Lokasi penelitian pada Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu. Jumlah populasi dalam penelitian 35 orang, dengan teknik penarikan sampel jenuh sehingga populasi juga menjadi sampel sebanyak 35 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator responsivitas, akuntabilitas dapat dinilai baik. Kualitas layanan, ketepatan, serta kecepatan dalam pelayanan dapat dinilai kurang baik. Selanjutnya pelayanan murah dan ramah dapat dikategorikan baik, karena hubungan aparat dengan pelanggan dilakukan dengan sopan, murah senyum, dan mendapat perhatian khusus dari petugas. Faktor penghambat adalah kemampuan dalam pelayanan seringkali mengalami keterlambatan, sedangkan faktor pendukung secara keseluruhan aparat dapat memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam melaksanakan tugas.
DAFTAR ISI PEMAKNAAN OBAT ANTIRETROVIRAL BAGI SEKELOMPOK ORANG DENGAN HIV–AIDS DI KOTA BANDUNG, CIMAHI, DENPASAR DAN KABUPATEN BADUNG
Rini Sasanti Handayani, Yuyun Yuniar, dan Ully Adhie Mulyani Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Vol. 16 No. 3, 2013:227–235 Abstrak : Latar belakang: Antiretroviral (ARV) adalah obat HIV–AIDS yang berfungsi mengurangi varemia dan meningkatkan jumlah sel-sel CD4+. Meskipun tidak untuk menyembuhkan, ARV meningkatkan harapan hidup ODHA (orang dengan HIV–AIDS). Tingkat kepatuhan sangat memengaruhi keberhasilan terapi ARV, padahal ARV harus digunakan seumur hidup. Akibatnya sering menyebabkan kebosanan/kejenuhan, dan pada akhirnya menjadi drop out. Pemaknaan ARV oleh ODHA merupakan salah satu faktor yang menentukan kepatuhan ODHA menggunakan ARV. Metode: Penelitian dilakukan di Kota Bandung, Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat dan Kota Denpasar, Kabupaten Badung Provinsi Bali pada bulan Maret sampai dengan November 2011. Sampel 17 penderita HIV–AIDS, 9 wanita dan 8 pria. Usia 20 sampai dengan 42 tahun. Pengumpulan data dengan wawancara mendalam. Hasil wawancara dianalisis dengan metode content analysis.Hasil:Makna ARV bagi ODHA yang berdampak positif tidak hanya berfungsi secara medis sebagai obat umumnya, tetapi memiliki makna terkait fungsi spritual/psikologis (mukjizat, andalan, sebagai pemberi kekuatan), perubahan pola hidup (dinikmati/dibawa enjoy, kebiasaan, pasrah dijalani, seperti air mengalir), harapan hidup (memperpanjang umur, penolong untuk bertahan hidup, vitamin penyambung hidup, kesempatan hidup kedua). Makna ARV bagi ODHA yang berdampak negatif terhadap kepatuhan terkait dengan stigma/diskriminasi (malu minum obat, takut diketahui status HIV sehingga minum obat harus sembunyi-sembunyi), perubahan pola hidup (beban karena harus minum obat selama hidup).
Saran: Agar memasukkan unsur pemaknaan terkait fungsi spiritual/psikologis, perubahan pola hidup dan harapan hidup dalam konseling terhadap ODHA pengguna ARV, selain pengertian yang berhubungan dengan fungsi medis dan penanggulangan efek samping.
DAFTAR ISI PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN OLEH PEREMPUAN TERINFEKSI HIV/AIDS
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KOTA SALATIGA
Rialike Burhan Kesmas, Vol. 8, No. 1, 2013:33-38
Betty W ahyu Nilla Sari, Sri Suwartiningsih Kritis, Vol. 12, No. 2, 2013:118-135
Abstrak: Perempuan terinfeksi human immunodeficiency virus dan acquired immune deficiency syndrome (HIV/AIDS) mempunyai permasalahan yang kompleks sehubungan dengan penyakit dan statusnya, sehingga mereka mempunyai kebutuhan yang khusus. Kebutuhan perawatan, dukungan dan pengobatan tersebut dapat diperoleh dengan mengakses pelayanan kesehatan yang tersedia untuk dapat mengoptimalkan kesehatan mereka sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis hubungan faktor predisposisi yang meliputi pengetahuan, sikap, stigma, faktor pemungkin yang meliputi jarak ke pelayanan kesehatan dan faktor penguat berupa dukungan sosial dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan pada perempuan terinfeksi HIV/AIDS. Rancangan penelitian menggunakan pendekatan potong lintang. Penelitian dilaksanakan di Kelompok dukungan Sebaya Female Plus Kota Bandung pada bulan Juni sampai Juli 2012. Sampel penelitian berjumlah 40 orang perempuan terinfeksi HIV/ AIDS. Data di analisis secara univariat, bivariat, dan multivariat. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan secara statistik yaitu usia, pendidikan, status perkawinan, status pekerjaan, faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, stigma), faktor penguat (dukungan sosial), dan faktor pemungkin yaitu jarak ke pelayanan kesehatan tidak berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Pengetahuan merupakan faktor penentu dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan berpeluang 60,1 kali untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.
Abstrak : Nowadays, Human Immunodeficiency Virus spreads not only among prostitute women worker but also housewife. The condition due to gender gap so that women depend to men to access scarcity. It makes women have to obey men as a compensation. Further, it makes woman have no right of their reproduction health. Therefore, the condition asks for strategies to empowered women to save them from HIVI AIDS. This essay tries to compose women empowering strategies to cope with the spreading of HIV/ AIDS.
DAFTAR ISI PEMERIKSAAN CRYPTOCOCCAL ANTIGEN ANTARA METODE SISTEM AGLUTINASI LATEKS ANTIGEN KRIPTOKOKUS DAN LATERAL FLOW ASSAY DI PASIEN AIDS
Artiti Aditya, Indrati AR, Ganiem AR Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 21, No. 1, 2014:45–49 Abstrak : Kriptokokosis merupakan infeksi oportunistik terbanyak keempat di pasien Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Kematian pasien meningitis kriptokokus dilaporkan 100% terjadi dalam dua minggu tanpa pengobatan. Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui bandingan periksaan Cryptococcal antigen (CrAg) antara Cryptococcus Antigen Latex Agglutination System (CALAS) dan Lateral Flow Assay (LFA) di pasien AIDS. Penelitian ini merupakan analisis perbandingan dengan rancangan potong silang terhadap 56 serum pasien AIDS yang berobat di klinik Teratai RSUP Dr. Hasan Sadikin yang belum mendapat pengobatan anti retroviral (ARV) dan belum didiagnosis meningitis Kriptokokus. Pemeriksaan untuk mendeteksi CrAg dilakukan dengan aglutinasi CALAS (Meredien, EIA) dan LFA (IMMY,USA) di setiap sampel. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik Dr. Hasan Sadikin/Laboratorium Penelitian Pengabdian Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (LPPM FK UNPAD) pada masa waktu antara bulan Desember 2012 dan Maret 2013. Analisis statistik menggunakan uji X2 (chi –square). Pada pemeriksaan antara metode CALAS dan LFA tidak terdapat perbedaan bermakna [p=0,596 (p>0,05)] dan peluang mendapat hasil positif untuk mendeteksi CrAg dengan yang metode LFA 0,75 kali dibandingkan dengan cara yang pertama. Dalam kajian pemeriksaan CrAg antara menggunakan metode CALAS dan LFA tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Di samping itu pemeriksaan LFA memiliki peluang untuk mendapatkan hasil positif dalam mendeteksi CrAg 0,75 kali dibandingkan dengan metode CALAS untuk serum pasien AIDS.
PENERAPAN UNIVERSAL PRECAUTION UNTUK PENCEGAHAN PENULARAN HIV-AIDS
Lusi Andriani Jurnal Media Kesehatan, Vol. 7 No. 1, 2014: 01- 99 Abstrak: Sosialisasi mengenai Universal Precaution (UP) pada bidan di kota Bengkulu telah dilakukan sejak tahun 2000 melalui pemberian informasi Pencegahan Infeksi (PI), namun pada kenyataannya praktik UP tidak dilaksanakan secara baik dan benar, sehingga resiko penularan HIV & AIDS semakin besar. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui penerapan UP oleh bidan dalam pertolongan persalinan untuk pencegahan penularan HIV & AIDS. Penelitian ini menggunakan metode explanatory research dengan pendekatan potong silang. Sampel adalah total populasi yang masuk dalam kriteria inklusi yaitu 220 orang bidan, pengumpulan data menggunakan kuesioner dan untuk data Crosscheck dilakukan melalui indepth interview terhadap 6 orang informan. Data dianalisa secara deskriptif dan analisis isi. Terdapat 5 variabel yang berpengaruh yaitu : pengetahuan tentang HIV OR= 16.990, pengetahuan terhadap UP OR= 3.214, sikap terhadap HIV OR= 9.719, sarana prasarana OR= 28.416 dan kebijakan OR=4.847.
DAFTAR ISI PENGARUH KONSELING GIZI DAN PENAMBAHAN MAKANAN TERHADAP ASUPAN ZAT GIZI DAN STATUS GIZI PASIEN HIV/AIDS
Yuniarti, Martalena Br Purba, Retno Pangastuti Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 9, No. 3, 2013: 132-138 Abstrak : Latar belakang: Acquired Immuno Defi ciency Syndrome (AIDS) adalah sindrom dengan gejala penyakit oportunistik akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi Human Immunodefi ciency Virus (HIV). Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) umumnya mengalami penurunan berat badan drastis dan berstatus gizi rendah disertai infeksi oportunistik sehingga dibutuhkan pendekatan khusus pada pasien ODHA melalui konseling. Tujuan: Mengetahui pengaruh konseling gizi dan penambahan makanan (konseling gizi plus) dibandingkan yang hanya mendapat konseling gizi terhadap asupan zat gizi (energi dan protein) dan status gizi ODHA.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain non-randomized control group pretest-postest design yang dilakukan di RSUP Dr. Sardjito pada bulan Januari - Maret 2012. Subjek dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kelompok konseling gizi plus (konseling gizi dan penambahan makanan) dan kelompok konseling gizi saja. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi. Data asupan zat gizi dan status gizi dianalisis dengan uji paired t-test dan uji regresi linier.Hasil: Asupan energi kelompok konseling gizi plus secara bermakna lebih tinggi dibandingkan kelompok konseling gizi saja (ada perubahan sebesar 141,40 kcal vs 15,99 kcal; OR=4,96) demikian juga dengan asupan protein meskipun secara statistik tidak bermakna (ada perubahan sebesar 6,28 g vs 5,11 g; OR=1,94). Berat badan dan status gizi pada kelompok konseling gizi plus menunjukkan perubahan yang lebih rendah dibandingkan kelompok konseling gizi saja meskipun secara
statistik tidak bermakna (ada perubahan berat badan sebesar 0,46 kg vs 0,75 kg; OR=1,21 dan perubahan IMT sebesar 0,18 kg/m2 vs 0,32 kg/ m2; OR=1,25).Simpulan: Konseling gizi plus dapat meningkatkan asupan energi tetapi tidak dapat meningkatkan asupan protein, berat badan, dan indeks massa tubuh.
DAFTAR ISI PENGARUH MEDIA WAYANG BALIINOVATIF DALAM MEMPROMOSIKAN PENCEGAHAN HIV/ AIDS DI KABUPATEN BANGLI
I Gst Gd Ngurah Kursista, Yayi Suryo Prabandari, Rendra Widyatama Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 25, No.4, 2009:202-209 Abstrak : Background: HIV/AIDS still becomes a pandemic that attacked million of people in the world and the cases increasing every year including among household. This condition was possibly caused by the low of knowledge and perception of community regarding HIV/AIDS, Head of family is a target group of health promotion for HIVI/AIDS prevention. Health promotion with innovative Bali puppet media was expected could improve knowledge and perception of head of family in HIV/AIDS prevention. Objective: This research was aimed to find out the influence of health promotion through innovative Bali puppet media compared to speech method toward head of family in HIV/AIDS prevention effort. Method: This was a quasi experimental research that used equivalent control group design with pre test and post test. The sample was head of family in the sub district of Kintamani and Susut. The sample was selected purposively and the data was collected by using questionaire, Analysis was done by using independent t test, paired t test and descriptive. Indeed, the statistic was based on the significance level of p=0,05.Result: The method of innovative Bali puppet and speech had Significant influence in knowledge improvement. After one month given health promotion on HIV/AIDS, there was an improvement on perception in the group of innovative Bali puppet which was better than speech group.Conclusion: Health promotion method by using innovative Bali puppet media and speech method could improve knowledge and perception of head of family in HIV/AIDS prevention, however innovative Bali puppet media which was high in improve knowledge and perception of head family in HIV/AIDS prevention.
PENGARUH PENYULUHAN DENGAN METODE PEER EDUCATION TENTANG HIV/AIDS TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR KEBUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2013
Siti Aminah, Ratna Sari Dewi, Asmanidar Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4, 2013: 341-346 Abstrak : Latar Belakang: Saat ini HIV/AIDS telah menyebar luas di hampir seluruh bagian dunia. Faktor yang memungkinkan tingginya penyebaran HIV/ AIDS adalah hubungan seks tidakaman pada heteroseksual, penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun, penularan dari ibu (positif HIV) ke anak dan LSL (Lelaki Seks Lelaki). Sebanyak 0.8 % orang dengan usia 15-49 tahun di seluruh dunia hidup dengan HIV/AIDS bahkan sebagian masih ada dalam usia sekolah.Tujuan: Mengetahui pengaruh penyuluhan dengan metode Peer Education tentang HIV/AIDS terhadap tingkat pengetahuan pada siswa/siswi SMA di Kecamatan Sungai Bahar Kabupaten Muaro Jambi tahun 2013.Metoda: Jenis penelitian pra experiment dengan rangcangan onegroup pre test-post test design dengan jumlah sampel sebanyak 20 orang dipilih secara purposive. Pengumpulan data menggunakan kuisioner untuk mengukur pengetahuan siswa SMA. Analisa data diolah menggunakan Uji t-test dengan tingkat signifikansi 5 %.Hasil: Hal ini terbukti dari hasil statistik yang sudah dianalisis menunjukan hasil yang sangat signifikan dengan probabilitas di bawah 0,05 yaitu 0,001. Ada pengaruh yang signifikan dalam peningkatan nilai pengetahuan siswa SMA sebelum dan setelah diberi penyuluhan kesehatan dengan metode Peer Education.Kesimpulan: Penyuluhan kesehatan dengan metode Peer Education efektif meningkatkan pengetahuan siswa SMA tentang Penyakit HIV/AIDS.
DAFTAR ISI PENGARUH PENYULUHAN KESEHATAN TENTANG HIV/AIDS TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN SISWA DI SMA NEGERI 1 SELUPU REJANG TAHUN 2013 Derison Marsinova Bakara, Farida Esmianti, Chyntamie Wulandari
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Vol. 17 No. 3, 2014:227–231 Abstrak : Latar Belakang: Persentase infeksi HIV pada kelompok umur 20–24 tahun (14%) dan Persentase kumulatif Kasus: AIDS tertinggi pada kelompok umur 20–29 tahun (30,7%), kemudian pada kelompok umur 15–19 tahun (3,3%). Angka kejadian pada anak sekolah atau mahasiswa sebanyak 1.086 orang dan HIV/AIDS terjadi pada remaja yang berusia 15–29 tahun. Prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduk berdasarkan propinsi, Propinsi Bengkulu menduduki peringkat ke-19 dari 33 provinsi di Indonesia, di mana terdapat angka prevalensi kasus AIDS 9,33. Data ini mengindikasikan bahwa usia muda, 15–29 tahun merupakan populasi yang rentan dan perlu menjadi sasaran dalam program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian Pre eksperimen dengan Design One Group Pretest Posttest.Sampel penelitian ini menggunakan Total Sampling, seluruh siswa kelas XI SMA Negeri 1 Selupu Rejang sebanyak 167 orang. Pengumpulan data diperoleh dari data primer langsung dari obyek penelitian, melalui kuesioner. Untuk menguji hasil penelitian menggunakan uji statistik non parametrik yaitu uji wilcoxon dengan taraf kepercayaan α 0,05. Hasil: menunjukkan perbedaan rerata nilai pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan kesehatan dengan nilai p value 0,000. Hal ini berarti penyuluhan kesehatan tentang HIV/AIDS berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan siswa. Kesimpulan: Penyuluhan kesehatan tentang HIV/AIDS dapat meningkatkan pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS.
DAFTAR ISI PENGETAHUAN DAN SIKAP WANITA RAWAN SOSIAL EKONOMI (WRSE) TENTANG PENCEGAHAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KOTA PEKALONGAN TAHUN 2014
Ida Baroroh, Nur Hidayati, Dian Kusumawardani Jurnal Litbang Kota Pekalongan, Vol. 7, No. 1, 2014:22-29 Abstrak : Human Immunodeficiency Virus (HIV) is the virus that causes Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), which is a global health problem in both developed and developing countries. HIV / AIDS is a sexually transmitted disease that can be transmitted throughout society from infants to adults both male and female. Women’s socioeconomic prone included into the vulnerable groups because of poor health status, durability and family welfare would have the potential to perform high-risk of HIV infection and AIDS. The purpose of the research is to analyze the knowledge and attitudes of women’s socio-economic prone on the prevention of transmission of HIV / AIDS in Pekalongan. This research method is quantitative and qualitative. The samples of this research are 47 WRSE in Pekalongan, taken 4 WRSE study subjects aged 18-50 years with criteria, are married and have children, widows live / dead widow who becomes the primary breadwinner families or married to a husband who worked at sea for long periods (return 3 months or more), working as a bus driver Inter-City Inter-Province (AKAP), truck drivers, or work outside the city without clarity, have dependents by more than 3 people, stay in Pekalongan. Collecting data through in-depth interviews and analysis with content-analysis. The results showed WRSE knowledge about STDs, HIV / AIDS as well as an overview of HIV disease AIDS is still very limited, limited knowledge society is due to the lack of dissemination to the public of information relating to HIV / AIDS and VCT clinics presence in Pekalongan by the Government. Negative attitudes towards PLHIV community committed (People Living with HIV / AIDS) is caused by ignorance of the community clearly.
It is recommended to promote coordination among agencies in providing public education, socialization expanded, the type of information plus, especially socialization related to the prevention of disease transmission, forming an organization engaged in the protection and prevention of HIV/AIDS.
DAFTAR ISI PENGETAHUAN SISWA TENTANG HIV/AIDS SEBELUM DAN SESUDAH PENYULUHAN
Rachel Dwi Wilujeng Jurnal kebidanan, Vol. 2, No. 1, 2015:30-38
Abstrak: Pendahuluan: The Joint United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS) dan World Health Organization (WHO) mengindikasikan epidemi HIV di Indonesia adalah paling cepat penyebarannya di Asia. Hasil survei pendahuluan kepada 18 siswa responden di SMAN 1 Bandung menunjukkan 9 orang responden berpengetahuan kurang (50%), 5 orang responden berpengetahuan cukup (28%), dan 4 orang responden berpengetahuan baik (22%). Tujuan penelitian mengetahui gambaran pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS sebelum dan sesudah penyuluhan di SMAN 1 Bandung. Metode : Metode penelitian menggunakan metode quasi eksperimental type pre-test and post-test design without control. Jenis data adalah data primer diperoleh dari kuesioner pengetahuan siswa. Populasinya yaitu seluruh murid SMAN 1 sebanyak 1120 siswa. Sampelnya diambil secara stratified random sampling sebanyak 243 siswa. Hasil: Pengetahuan tentang HIV/AIDS siswa SMAN 1 sebelum diberikan penyuluhan terbanyak adalah berpengetahuan kurang (50,2%), (7,0%) mempunyai kategori pengetahuan baik, (42,8%) mempunyai kategori pengetahuan cukup. Tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS dari 243 responden siswa SMAN 1 sesudah diberikan penyuluhan sebagian besar baik. Sebanyak 214 responden (88,1%) mempunyai kategori pengetahuan baik, 26 responden (10,7%) mempunyai kategori pengetahuan cukup, dan 3 responden berpengetahuan kurang (1,2%). Diskusi: Hasil penelitian rata-rata nilai pengetahuan pada 243 responden siswa SMAN 1 tentang HIV/ AIDS didapatkan perbedaan dengan taraf bermakna (p<0,05).
SISTEM PAKAR UNTUK MENDIAKNOSIS PENYAKIT AIDSDENGAN METODE DEMSPTER – SHAFER
Muhammad Rino Prayogi Siahaan Majalah Ilmiah Informasi dan Teknologi Ilmiah (INTI), Vol. 5, No. 3, 2015:79-84 Abstrak : HIV atau Human Immunodeficiency Virus menjadi hal yang mengerikan bagi semua negara didunia, baik negara maju maupun negara berkembang. HIV tidak hanya menjangkiti orang tua, dewasa atau remaja, seorang anak kecil bahkan balita sekalipun dapat terinfeksi virus ini. Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah suatu virus yang dapat menyebabkan penyakit AIDS. Virus ini menyerang manusia dan menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh, sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi. Dengan kata lain, kehadiran virus ini dalam tubuh akan menyebabkan defisiensi (kekurangan) sistem imun. Sehingga orang – orang yang menderita penyakit ini kemampuan untuk mempertahankan dirinya dari serangan penyakit menjadi kurang. Sistem pakar bukanlah untuk menggantikan fungsi dokter, akan tetapi hanya digunakan sebagai pelengkap dan alat bantu. Sistem pakar adalah sistem berbasis komputer yang menggunakan pengetahuan, fakta dan teknik penalaran dalam memecahkan masalah yang biasanya hanya dapat dipecahkan oleh seorang pakar hanya dalam bidang tertentu. Dempster – Shafer adalah suatu teori matematika untuk pembuktian. Hal ini memungkinkan seseorang untuk menggabungkan bukti dari sumber yang berbeda dan tiba pada tingkat kepercayaan (diwakili oleh fungsi keyakinan) yang memperhitungkan semua bukti yang tersedia.
DAFTAR ISI STIGMA DAN DISKRIMINASI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) PADA PELAYANAN KESEHATAN DI KOTA PEKANBARU TAHUN 2014
Riri Maharani Jurnal Kesehatan Komunitas, Vol. 2, No. 5, 2014:225-232 Abstrak : Stigma dan diskriminasi masih sering terjadi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Wawancara yang dilakukan kepada beberapa orang yang bergerak di lembaga penggagas ODHA di kota Pekanbaru ( sebagian dari mereka adalah ODHA) mengatakan bahwa mereka pernah mengalami adanya stigma dan diskriminasi. Penelitian ini bertujuan untuk diketahuinya informasi tentang stigma dan diskrimiasi terhadap ODHA pada palayanan kesehatan di Kota Pekanbaru tahun 2014. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan rancangan pendekatan fenomenologi. Informan dalam penelitian ini adalah ODHA sebanyak 3 orang dan petugas kesehatan sebanyak 5 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan telusur dokumen. Hasil penelitian diperoleh bahwa isu stigma penyakit HIV/AIDS yang didengar oleh ODHA pada pelayanan kesehatan adalah jenazah pasien HIV/AIDS dibungkus dengan plastik dan dimasukkan kedalam peti, kasur dan semua peralatan bekas pasien HIV/AIDS dibuang dan dibakar, penggunaan alat pelindung diri yang berlebihan. Diskriminasi terhadap ODHA meliputi dilecehkan secara lisan, pemberian kode pada status pasien HIV, tempat pembuangan sampah yang masih dibedakan, pelayanan kesehatan yang tidak memadai/lambat, pelayanan yang berbeda, penggunaan alat pelindung yang berlebihan, diisolasi, serta melakukan tindakan medis tanpa memberikan informed consent. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah stigma dan diskriminasi terhadap ODHA pada pelayanan kesehatan masih sering terjadi, stigma dan diskriminasi ODHA pada pelayanan kesehatan dimulai dari pendaftaran/IGD, rawat inap, ruang operasi sampai di ruang jenazah. Peningkatan promosi kesehatan yang terencana dan berkesinambungan dalam upaya penghilangan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA pada pelayanan kesehatan dan
kegiatan advokasi kepada pemegang kebijakan di sektor kesehatan.
TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG HIV / AIDS DI KOTA PEKALONGAN
Dwi Edi Wibowo, Saeful Marom Jurnal Litbang Kota Pekalongan, Vol. 7, No. 1, 2014:11-21 Abstrak : Adolescence is a transitional stage between the children with adulthood. Often teens begins when a child is sexually mature and ends when the ripe age. Adolescence this happen some changes or developments that occur, among others, physical development, emotional development and sexual development. With the existence of sexual development, adolescent curiosity about sex become larger and increased sex drive (Hurlock, 1999). Free sex rampant in Semarang city, to look out for by teenagers who live in the region. Because, if they are not careful they could become infected with one of the deadly HIV/AIDS virus.Based on data from the Indonesia family planning Association (PKBI), there are currently as many as 4.472 people have been infected with HIV/AIDS, problems in this research is “how Adolescent level of knowledge About HIV/ AIDS in the town of Pekalongan?”. The purpose of the research is to know the level of understanding is the teens about HIV/AIDS knowledge, knowing the source of information about HIV/AIDS adolescent, knowing the level of understanding about adolescent attitudes towards HIV/AIDS, knowing the level of knowledge about the behavior of teens who are at risk of contracting HIV/AIDS. The research method used was survey methods, namely data collection includes primary data and secondary data. In this primary data retrieval, researchers conduct interviews using a structured questionnaire, with the selection of the sample using the method of random sampling. Secondary data collection is done using the data – data that has been there before.
DAFTAR ISI UPAYA PENCEGAHAN PENYEBARAN HIV / AIDS DI MASYARAKAT MELALUI SOSIALISASI PENERAPAN KEWASPADAAN UNIVERSAL PADA PETUGAS KESEHATAN
Hems Mslini, Mira Susanti dan Zulkarnain Edware Warta Pengabdian Andalas, Vol. 15, No. 23, 2009:94-102 Abstrak: The emerging new health cases such as HIV / AIDS nowadays has become a real threatening for everyone include the health team in hospital and community. Based on research conducted by Malini and Susanti (2008), it showed the description of knowledge, behaviour and attitudes of health team in hospital are good enough. Tbis can be happened since there was a maximum effort from the hospital in socializing the universal precaution. However, it does not happen for the health team in community, thus a socialization program about the importance application for universal precaution is needed. The socialization program conducted in Puskesmas Nanggalo with 38 people consists of nurses and health team, midwifery and student. This program also suply some booklet in order to maximize the information gathered. It is suggested that this kind of program should be continued in the future within involving the Dinas Kesehatan, thus Dinas Kesehatan can provide more complete resources toward the application of universal precaution.
Analisis Pengetahuan Dan Sikap Narapidana Terhadap Tindakan Berisiko HIV/AIDS Di Rumah Tahanan Balige Evarina Universitas Sarimutiara Indonesia, Medan Abstract Perilaku berisiko HIV/AIDS tidak hanya terjadi di masyarakat luas tetapi juga pada sub populasi khusus seperti narapidana yang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan rawan tertular HIV. Pada Juli 2008 jumlah narapidana yang ada di Rutan Balige sebanyak 162 orang, 50 % ditahan akibat kasus narkoba dan 50 % dengan bukan narkoba. Melihat keadaan tersebut kemungkinan epidemi HIV di rumah tahanan Balige dapat terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik narapidana dan adanya hubungan pengetahuan serta sikap narapidana dengan tindakan berisiko HIV, dengan menggunakan uji Chi-square dan Uji Regresi Linier ganda. Sampel pada penelitian ini adalah seluruh narapidana sebanyak 120 orang. Data diperoleh dengan menggunakan wawancara dan kuesioner tertutup. Hasil penelitian mayoritas : berumur 20-29 tahun (36%), jenis kelamin laki-laki (96%,) pendidikan SLTA (44,2%), pekerjaan wiraswasta (47 %) dan masa tahanan ≥ 1tahun (51,7%). Hasil uji Chi-square menunjukkan bahwa : ada hubungan signifikan antara tingkat pengetahuan P= 0,020 dan sikap P = 0,011 dengan tindakan beresiko HIV. Hasil Uji Regresi Linier Ganda menunjukkan bahwa : tingkat pengetahuan dan sikap sama-sama berpengaruh terhadap tindakan berisiko HIV, P < (0,005). Kesimpulan : Variabel yang paling berpengaruh adalah tingkat pengetahuan,( nilai beta pengetahuan 0,308 > nilai beta sikap 0,200 ) dan nilai R.Square sebesar 0,814. Disarankan kepada pimpinan Rutan Balige untuk lebih meningkatkan kerjasama dengan Dinas Kesehatan Toba Samosir ( khususnya Petugas kesehatan di Rutan) dan Komite AIDS HKBP Balige dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap narapidana terhadap faktor-faktor risiko dan pencegahan HIV/AIDS. Petugas rutan diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan di bidang penanggulangan HIV/AIDS sehingga dapat memberikan penyuluhan langsung terhadap narapidana.
Kata Kunci: HIV/AIDS, perilaku, narapidana,rumah tahanan Pendahuluan Epidemi HIV/AIDS telah melanda dunia, tidak terkecuali Indonesia. Virus ini menyebar cepat tanpa mengenal batas negara dan lapisan penduduk. Epidemi HIV/AIDS akan menimbulkan dampak buruk terhadap pembangunan nasional secara keseluruhan, karena selain berpengaruh terhadap kesehatan juga terhadap ekonomi, politik dan keamanan (Maas, dkk 2004). Perilaku berisiko tidak hanya terjadi di masyarakat luas tetapi juga pada sub
populasi tertentu seperti narapidana / penghuni lembaga pemasyarakatan (Lapas) juga cukup memprhatinkan. Narapidana yang menjalani hukuman di Lapas merupakan salah satu sub populasi khusus yang rawan tertular HIV. Meskipun pengawalan sangat ketat, suasana Rutan/ Lapas,sangat memungkinkan penyebaran HIV. Perilaku dipenjara dan kondisinya membuat risiko lebih besar daripada didunia luar. Perilaku yangmembuat narapidana/tahanan rawan HIV telah umum terjadi, yaitu akibat
JURIDIKTI, Vol.6 No.1, April 2013. ISSN LIPI: 1979-9640
perilaku berisiko yang meliputi praktik seksual tidak aman (narapidana dengan narapidana sesama jenis kelamin dan sesama narapidana dengan beda jenis kelamin) penggunaan bersama peralatan suntik,tato, kekerasan lain termasuk pemerkosaan dan kekerasan berdarah umum lainnya (Dep Hukum dan HAM, RI, Dirjen Pemasyarakatan, 2005) Menurut Shakarashvili (2005) dikebanyakan negara tingkat infeksi HIV dikalangan penghuni penjara cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum, prevalensi HIV dipenjara Rusia diperkirakan 4 kali lebih tinggi dari populasi umum. Menurut UNAIDS (2005) yang mengutip pendapat Montano et al (2005) bahwa di penjara Moskow, dikalangan tahanan laki-laki 2,9% positip HIV, perempuan muda 4% dan perempuan tuna Wisma 1,8%. Dibeberapa penjara lainnya juga masih banyak prevalensi HIVnya yang cukup tinggi terutama tahanan laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan sejenis ditemukan di Brasil, Yunani, Prancis, Bangkok, Thailand, India dan lain-lain. Prevalensi HIV pada narapidana di Indonesia dari beberapa propinsi juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun yaitu Lapas/Rutan DKI Jakarta pada tahun 2002 sebesar 7,55% meningkat pada 2003 menjadi 17,65%, Jawa Barat pada tahun 2002 sebesar 5% menjadi 21,1% pada tahun 2003, dan Banten pada tahun 2002 sebesar 10,8% menjadi 21,3% pada tahun 2003, Jakarta Timur pada tahun 2000 (10%) menjadi 22% pada tahun 2004 ((Dep Hukum dan HAM, RI, Dirjen Pemasyarakatan, 2005). Salah satu penyebab tingginya tingkat perilaku berisiko HIV karena tingkat pengetahuan mereka yang rendah tentang HIV/ AIDS dan kurang mengetahui tentang penularan HIV. seperti rendahnya angka penggunaan
kondom pada seks berisiko, dan tingginya angka berbagi jarum suntik dikalangan pengguna Napza suntik. Sedangkan tentang persepsi, umumnya menganggap AIDS sebagai penyakit menular yang berbahaya atau mematikan, namun hanya kurang lebih 30%-75% yang merasa dirinya rawan tertular HIV. Melihat gambaran dari beberapa lembaga pemasyarakatan yang ada serta tingginya prevalensi HIV/AIDS di penjara, maka kemungkinan masalah tersebut juga dapat terjadi di rumah tahanan Balige Kabupaten Toba Samosir. Dari Kabupaten yang ada di provinsi Sumatera Utara bahwa prevalensi HIV/AIDS yang tinggi juga ditemukan di Kabupaten Toba Samosir,setelah Medan dan Deli Serdang. Jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Toba Samosir hingga Mei 2007 ada sebanyak 42 orang terdiri dari,HIV (+) sebanyak 26 orang (62%) dan 16 orang AIDS (38%). Menurut faktor resiko HIV/AIDS, pengguna suntik narkoba (65%),perilaku seksual (29,4%) dan tidak diketahui (5,9%),perinatal (0,07%) (Sumber : Komite HIV/AIDS HKBP BALIGE, Mei 2008). Hasil studi pendahuluan peneliti di rutan Balige dengan wawancara kepada kepala Rutan, hingga July 2007 jumlah narapidana/tahanan yang ada berjumlah 162 orang, hampir (50%) ditahan akibat kasus narkoba dan 50% dengan berbagai kasus yang bukan narkoba, narapidana/tahanan laki-laki 89% dan perempuan 11%, narapidana/tahanan lakilaki hampir 50% dengan kasus narkoba yaitu perdagangan narkoba dan pemakai narkoba. Rutan Balige menampung narapidana yang akan disidangkan untuk menentukan masa tahanannnya dan juga menampung narapidana yang telah ditentukan masa tahanannya untuk menjalani hukumannya. Narapidana
JURIDIKTI, Vol.6 No.1, April 2013. ISSN LIPI: 1979-9640
dengan berbagai kasus ditempatkan dalam rutan/lapas tidak ada pemisahan antara narapidana dengan kasus narkoba dan bukan dengan kasus narkoba (Sumber: Hasil wawancara peneliti dengan kepala rutan Balige, July 2008). Bila dilihat dari keadaan narapidana yang ada dirumah tahanan tersebut maka kemungkinan narapidana tersebut sebelum masuk rumah tahanan sudah memiliki latar belakang perilaku berisiko terinfeksi HIV dari berbagai cara Metode Penelitian Jenis penelitian ini merupakan explanatory research dengan pendekatan cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap narapidana dengan tindakan risiko HIV/AIDS di Rumah Tahanan Negara Balige Kabupaten Toba Samosir. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penghuni rumah tahanan di Balige Kabupaten Toba Samosir Tahun 2008, sebanyak 120 orang. Keseluruhan populasi tersebut dijadikan responden atau merupakan sampel didalam penelitian ini (total sampling). Hasil dan Pembahasan Setelah dilakukan penelitian terhadap narapidana/tahanan di Rutan Balige,Kabupaten Toba Samosir, maka didapatkan hasil sebagai berikut. Karakteristik narapidana mayoritas : berumur 20-29 tahun (36%), jenis kelamin laki-laki (96%,) pendidikan SLTA (44,2%), pekerjaan wiraswasta (47 %) dan masa tahanan ≥ 1tahun (51,7%). Pengetahuan narapidana / tahanan tentang faktor-faktor risiko penularan, cara penularan HIV dan cara pencegahannya, mayoritas kurang yaitu : 71 orang ( 59,2 % ). Hal ini dapat diketahui dari hasil jawaban responden terhadap 10 pertanyaan yang telah
penularan. Apabila tindakan berisiko tersebut masih dilakukan oleh narapidana/tahanan di rumah tahanan Balige maka hal ini dapat memicu terjadinya epidemi HIV/AIDS dirumah tahanan Balige Kabupaten Toba Samosir. Berdasarkan uraian tersebut peneliti ingin menganalisa pengetahuan dan sikap narapidana terhadap tindakan berisiko HIV/AIDS di Rumah Tahanan Negara Balige di Kabupaten Toba Samosir.
Metode Pengumpulan Data dengan Wawancara dan dengan menggunakan kuesioner tertutup kepada seluruh responden Tehnik analisis yang digunakan adalah : Univariat, dilakukan untuk mendeskripsikan tiap variabel yang akan diteliti.. Bivariat, dilakukan dengan menggunakan uji Chi –square pada tingkat kepercayaan 95 %. Multivariat, dilakukan dengan menggunakan uji regresi linier ganda dengan tingkat kepercayaan 95%
diajukan kepada narapidana,seperti berikut ini : pemahaman responden tentang penularan HIV melalui penggunaan suntik secara bergantian dan alat suntik yang tidak steril dapat menularkan HIV sebanyak 82,5 % menjawab dengan benar, tetapi ketika digali tentang penularan HIV melalui alat suntikan lainnya seperti membuat tatto yang sudah digunakan oleh orang lain 72% narapidan yang tidak tahu, resiko tertular HIV melalui jarum tindik bekas pakai orang lain 71% narapidana yang tidak mengetahuinya, resiko tertular HIV melalui pisau cukur bekas pakai penderita HIV orang (67%) narapidana yang tidak mengetahuinya,
JURIDIKTI, Vol.6 No.1, April 2013. ISSN LIPI: 1979-9640
dan resiko tertular HIV melalui wadah/tempat air bekas cuci spuit pada pemakai suntik (72,5%) narapidana yang menjawab salah. Penularan HIV melalui hubungan seksual ( 54%) narapidana yang yang tidak tahu. Penularan HIV melalui hubungan seksual dengan sesama jenis (54%) narapidana yang tidak mengetahuinya Mengurangi resiko tertular HIV dengan tidak melakukan hubungan seksual melalui anal/anus (54%) nara pidana yang tidak tahu. Mengurangi resiko tertular HIV dengan menggunakan kondom bila berhubungan seks dengan bukan pasangan tetap(54%) yang menjawab salah. Sikap narapidana tentang faktorfaktor risiko penularan / cara penularan HIV dan cara pencegahannya mayoritas yang kurang yaitu (45%). Berdasarkan hasil jawaban yang diperoleh dari masingmasing item pertanyaan maka dapat diketahui gambaran sikap narapidana/ tahanan secara menyeluruh tentang faktor-faktor risiko/ cara penularan dan cara pencegahan resiko penularan HIV di Rumah tahanan negara Balige dapat dilihat sebagai berikut: Penggunaan suntik secara bergantian sesama pengguna narkoba setuju sebanyak 62 %, Mengurangi risiko penularan melalui jarum suntik bekas pakai teman dengan menggunakan air bersih, setuju 67 orang ( 56,8%). Hubungan seks dengan bukan pasangan tetap setuju 63%, Hubungan seks dengan membayar sesorang, setuju 48 orang ( 40%). Hubungan seks dengan sesama jenis setuju 56 orang (46,6%). Seseorang yang berhubungan seks dengan bukan pasangan tetapnya, tidak diharuskan memakai kondom ,setuju 48 orang ( 40 % ) Seseorang yang sudah terinfeksi HIV sebaiknya diasingkan /dijauhkan dari keluarga atau dari masyarakat, setuju 75 orang (61,7%). Penggunaan alat tindik
bekas pakai orang lain,setuju 67 orang (55,8%). Penggunaan jarum tatto bekas pakai orang lain, setuju 73 orang (60,8%). Penggunaan pisau cukur secara bergantian sesama teman, setuju : 74 orang (61,7%). Tindakan berisiko berisiko tinggi terhadap terjadinya infeksi HIV yang telah dilakukan narapidana baik sebelum masuk rutan dan setelah masuk rutan ada (50,8 %).Hal ini dapat diketahui berdasarkan tindakan berisiko HIV yang telah dilakukan sebelum masuk rutan sebagai berikut : Melakukan hubungan seks dengan bukan pasangan tetap, sering (33,3%). Membayar seseorang untuk berhubungan seks,sering (37,5%) Menggunakan kondom bila berhubungan seks dengan bukan pasangan tetap, tidak pernah ( 40%). Melakukan seks dengan sesama jenis, sering (7,5%) dan pernah 4 orang (3,3%). Menggunakan narkoba suntik, pernah (10%), dan sering 6 orang (5%). Menggunakan narkoba suntik pakai alat secara bergantian, sering: (6,6%) dan pernah (1,66%). Membersihkan jarum suntik dengan pemutih (desinfektan), tidak pernah (80%).Menggunakan pisau cukur secara bergantian, sering (67,5%) dan pernah(10%). Menggunakan jarum tatto secara bergantian, sering : (17,5%) dan pernah (21,7%). Menggunakan jarum tindik secara bergantian, sering (21,7%) dan pernah (17,5%). Tindakan berisiko HIV yang telahdilakukan narapidana/tahanan selama di dalam rutan, adalah sebagai berikut : Melakukan hubungan seks dengan seseorang yang bukan pasangan tetap, pernah: (1,7%) dan sering : (1,7%). Menggunakan kondom bila berhubungan seks dengan yang bukan pasangan tetap, pernah (3,3%). Melakukan hubungan seks dengan sesama jenis, pernah: (19%) dan sering: (17%). Menggunakan narkoba suntik, pernah : (3 %). Menggunakan narkoba suntik bersama
JURIDIKTI, Vol.6 No.1, April 2013. ISSN LIPI: 1979-9640
teman secara begantian, pernah : (2,5%).Membersihkan jarum suntik dengan menggunakan pemutih, tidak pernah (3,25%). Menggunakan jarum tatto secara bergantian bersama teman,pernah (30%) dan sering orang (6,7%).Menggunakan pisau cukur secara Hasil analisis Bivariat : Hubungan Pengetahuan Narapidana / Tahanan dengan Tindakan Berisiko HIV/ AIDS di Rutan Balige. Dari hasil uji Chi-Square diperoleh hasil bahwa : Ada hubungan tingkat pengetahuan dengan tindakan berisiko HIV, dengan nilai P = 0,020 (P < 0,05). Nilai ini menunjukkan bahwa narapidana yang mempunyai tingkat pengetahuan yang kurang tentang faktor risiko / cara penularan dan cara pencegahan HIV/AIDS akan lebih besar melakukan tindakan berisiko tinggi HIV, sebaliknya bila narapidana/tahanan memiliki pengetahuan yang baik maka narapidana/tahanan tersebut lebih kecil kemungkinan untuk melakukan tindakan yang berisiko HIV/AIDS. Pengetahuan yang rendah tentang cara penularan /faktor risiko HIV dan pencegahannya ditunjukkan dengan tidak tahunya narapidana/tahanan bahwa hubungan seksual dengan sesama jenis dapat menimbulkan penularan virus HIV. Hal ini tentunya akan membawa risiko penularan HIV. Pengetahuan responden tentang penggunaan alat cukur, secara bergantian juga masih sangat kurang. Dari hasil wawancara didapat bahwa sebagian besar narapidana sering menggunaan alat cukur secara bersamaan, karena menurut mereka bagaimana mereka bisa membeli alat cukur dan menggunakan alat cukur sekali pakai kalau situasi mereka ada di rumah tahanan. Dari beberapa narapidana yang diwawancarai menyebutkan bahwa hal yang tidak mungkin bagi mereka untuk
bergantian sesama teman,pernah (11,7%) dan sering (80,8%).Menggunakan jarum tindik secara bergantian bersama teman,pernah : (24,2%) dan sering (7,5%). menggunakan alat cukur sekali pakai, selain itu menurut mereka dengan menggunakan alat cukur tidak akan mungkin berisiko untuk tertularnya virus HIV. Demikian juga halnya tentang penggunaan jarum tatto dan tindik, menunjukkan banyak pemahaman narapidana/tahanan yang kurang atau tidak mengetahui bahwa melakukan tindik dan tatto dengan menggunakan alat yang tidak steril dapat beresiko untuk menularkan HIV. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Liliane (2001) yang dikutip oleh Isfandari (2005), di Lembaga Pemasyarakatan Penfui, Kupang, berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan bahwa pengetahuan narapidana tentang cara penularan dan pencegahan terhadap PMS dan HIV relatif rendah sekitar 33 % menjawab dengan benar, mereka juga memiliki perilaku beresiko tinggi baik sebelum masuk ke Lapas maupun sesudah menjadi penghuninya. Menurut Liliana bahwa di Lembaga Pemasyarakatan Penfui, Kupang akibat kurangnya pengetahuan narapidana tentang penggunaan jarum tatto, ada 50 % narapidana pernah membuat tatto selama didalam rutan. Hubungan Sikap narapidana Terhadap Tindakan Beresiko HIV AIDS di Rutan Balige Hasil uji statistik juga didapat bahwa: Ada hubungan sikap narapidana /tahanan dengan tindakan berisiko HIV,dengan hasil uji Chi Square yang diperoleh nilai P = 0,011 (P < 0,05). Hal ini berarti bahwa narapidana yang mempunyai sikap yang
JURIDIKTI, Vol.6 No.1, April 2013. ISSN LIPI: 1979-9640
kurang tentang faktor risiko / cara penularan dan cara pencegahan HIV/AIDS akan lebih besar melakukan tindakan beresiko tinggi HIV,sebaliknya bila narapidana / tahanan memiliki sikap yang baik maka narapidana/tahanan tersebut lebih kecil kemungkinan untuk melakukan tindakan yang berisiko HIV/AIDS. Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui bahwa kecenderungan sikap responden yang kurang akan memberi peluang besar terhadap penularan HIV/AIDS di Rutan Balige. Dari Sikap narapidana/tahanan yang kurang tersebut terlihat masih dilakukannya beberapa tindakan berisiko HIV didalam rutan antara lain seperti yang diuraikan berikut ini: Hubungan seksual sesama jenis untuk memuaskan kebutuhan biologis beberapa narapidana. Alasan yang disebutkan adalah karena situasi dan kondisi rutan yang memaksa perilaku itu dilaksanakan mereka. Secara manusiawi menurut beberapa responden kebutuhan biologis secara naluriah tidak akan bisa ditolak untuk dialihkan ke kegiatan lain. Dari hasil wawancara peneliti terhadap 5 informan bahwa ada 3 orang yang pernah melakukan hubungan seks sesama jenis di rutan Balige. Sikap narapidana yang ditunjukkan di atas didukung oleh pendapat Thursonte yang dikutip Ahmadi (2002) yang menyatakan bahwa sikap sebagai tindakan kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang berhubungan dengan objek psikologi. Sikap positif yaitu sikap yang menunjukan atau memperlihatkan, menerima, mengakui, menyetujui serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada. Sedangkan sikap negatif adalah sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada
Hal ini sejalan dengan pendapat Niven (2002), sikap seseorang adalah kompenen yang sangat penting dalam perilaku kesehatannya, yang kemudian diasumsikan bahwa adanya hubungan langsung antara sikap dan perilaku seseorang. Sikap positif seseorang terhadap kesehatan kemungkinan tidak otomatis berdampak pada perilaku seseorang menjadi positif, tetapi sikap yang negatif terhadap kesehatan hampir pasti berdampak negatif pada perilakunya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Edy Suyanto (2000) yang dikutip oleh Isfandari (2005) mengenai perilaku seksual narapidana di Lembaga Pemasyarakatan di Yogyakarta, yang mengatakan bahwa selama menjalani pidana di penjara, para narapidana di lapas mengalami deprivasi termasuk deprivasi hubungan heteroseksual yang membuat mereka menderita, kemudian melakukan budaya prisonisasi, diantaranya dalam bentuk perbuatan homoseksual. Bagi narapidana dan orang dewasa, kebutuhan seksual merupakan kebutuhan biologis essensial yang tidak mungkin dihambat walaupun tidak ada lawan jenis. Cara yang paling sering dilakukan adalah melalui homoseksual. Dari 53 narapidana ada 49 orang (92%) napi menjadi homoseksual setelah menjalani hukuman di lapas. Berbagai alasan membuat mereka untuk melakukannya, diantaranya untuk kebutuhan biologis, psikologis,ekonomi dan rasa aman. Informasi yang diperoleh dari informan menyebutkan bahwa banyak waktu yang terbuang karena aktifitas di rutan tidak dimanfaatkan dengan kegiatankegiatan yang dapat menyibukan para tahanan. Kondisi ini membuat waktu kumpul sesama narapidana jadi semakin banyak dan waktu untuk berbagi cerita tentang kondisi mereka semakin banyak
JURIDIKTI, Vol.6 No.1, April 2013. ISSN LIPI: 1979-9640
pula. Menurut Atkinson (2004) bahwa seseorang yang memiliki situasi dan kondisi yang sama dalam situasi yang sama pula akan cenderung mempunyai perilaku kearah yang sama pula. Berdasarkan teori ini maka dapat diartikan bahwa para narapidana yang memiliki permasalahan yang sama akan bertindak sama dalam meringankan beban masingmasing. Sikap negatif narapidana lainnya yang dapat menimbulkan tindakan resiko HIV dalam penelitian ini adalah tentang pemakaian alat suntik narkoba, masih ditemukannya narapidana yang menggunakan jarum suntik bergantian dalam pemakaian narkoba dan tidak membersihkan jarum suntik bekas pakai dengan desifektan sebelum digunakan yang lainnya. Dari hasil wawancara peneliti terhadap 5 informan dan 120 responden lainnya, bahwa ada 6 orang yang mengungkapkan pernah melakukan suntik narkoba secara bergantian didalam rutan. Walupun angka tersebut kecil jika dibandingkan dengan tindakan beresiko HIV lainnya, hal ini menjadi pemicu resiko HIV diantara penghuni rutan tersebut karena semua narapidana/tahanan tidak diketahui status HIV. Hal ini sesuai menurut pendapat Baby (2005) yang mengatakan meskipun angka penyalahgunaan narkoba suntik di Lapas/Rutan lebih kecil dari penyalahgunaan narkoba suntik di Kesimpulan : 1.Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan tindakan berisiko HIV di Rumah tahanan negara (Rutan Balige dimana nilai P = 0,020 ( P < 0,05 ). 2. Ada hubungan sikap narapidana/tahanan dengan tindakan berisiko HIV di dalam
masyarakat, namun hal ini tetap sangat berbahaya. Hal ini disebabkan karena langkanya peralatan setiap kali menyuntik, dan jarum yang sama biasanya akan digunakan bersama dan bergantian. Hal tersebut sebagai faktor utama terjadinya kasus baru HIV di dalam Lapas/Rutan. Hasil Analisis Multivariat : Dari hasil uji regresi berganda dapat diketahui bahwa tingkat pengetahuan dan sikap narapidana/tahanan secara sama-sama berpengaruh terhadap tindakan risiko terjadinya HIV (P < 0,05), tetapi variabel yang paling berpengaruh adalah tingkat pengetahuan, hal ini ditandai dengan perbedaan besaran nilai signifikansi dan nilai beta pada pengetahuan yaitu sebesar 0,308 (lebih besar dari nilai sikap ). Pengaruh tingkat pengetahuan dan sikap narapidana/tahanan terhadap tindakan risiko HIV/AIDS sebesar 81,4 %, sedangkan 17,6 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Hal ini berarti bahwa pengetahuan dan sikap narapidana/tahanan sangat mempengaruhi narapidana / tahanan untuk melakukan tindakan berisiko HIV dan sebagian disebabkan faktor lainnya seperti kondisi rumah tahanan, peran petugas rutan dan petugas kesehatan Rutan Balige, dimana nilai P = 0,011 ( P = 0,05). 3. Pengaruh tingkat pengetahuan dan sikap narapidana/ tahanan terhadap tindakan berisiko HIV sebesar 81,4% sedangkan 17,6 % dipengaruhi oleh faktor lain,dalam hal ini kondisi rutan, peran petugas rutan dan peran petugas kesehatan
JURIDIKTI, Vol.6 No.1, April 2013. ISSN LIPI: 1979-9640
Daftar Pustaka : 1. Ahmadi,Abu, 2002. Psikologi Sosial, Edisi Revisi,Cetakan kedua, Jakarta: Rineka Cipta 2. Azrul, Azwar., dan Joedo Prihartono., 2003.Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat, Jakarta : Binarupa Aksara. 3. Arikunto.Suharsimi., 2005. Manajemen penelitian, Jakarta : Rineka cipta 4. Ahmad dan Emiyanty Sri, 2004. Langkah-langkah Strategi Penanggulangan HIV/AIDS. 5. Baby Jim.A, 2005,Ribuan Napi di penjara jakarta berisiko terinfeksi HIV, Jakarta, Suara Merdeka Cybernews –Nasional. 6. Chin James,2000, Manual pemberantasan Penyakit Menular, editor penerjemah I Nyoman Kandun, Edisi 17, Jakarta. 7. David J Cooke, 2008. Menyingkap Dunia Gelap Penjara, Jakarta, Gramedia Pustaka Umum. 8. Depkes,RI., 2006.Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk Narkotika, Psikotropika Dan Zat Adiktif (NAPZA), Jakarta. 9. ................” 2006. Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS secara sukarela (Voluntary Counseling and Testing, Jakarta, Dirjen P2 & PL 10. -----------” 2003. Pedoman Advokasi Untuk Pencegahan HIV Yang Efektif Pada Pengguna NAPZA Suntik, Jakarta. Ditjen PPM & PL.
11. Depertemen Hukum dan HAM, RI, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan ,2005. Strategi Penanggulangan Narkoba dan HIV/AIDS di dalam Rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan untuk tahun 20052009, Jakarta., 12. Isfandari, Siti, Sedyaningsih R.Endang dan Mahamit, 2005.Kajian Penelitian Sosial dan Perilaku yang berkaitan dengan Infeksi menular Seksual, HIV/AIDS Di Indonesia, Jakarta: Dep Kes RI bekerjasama dengan KPAN. 13. Maas T.Linda, 2004. Dukungan Pelayanan Kesehatan , Psikologis Dan Sosial Bagi ODHA Di Sumatera Utara, Medan : KPNAD. 14. Notoatmojo Soekijo, 2007. Promosi Kesehatan , &Ilmu perilaku , Jakarta: Rineka Cipta. 15. -------------, 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan , Jakarta : Rineka Cipta. 16. Neil Niven, alih bahasa Agung Waluyo, 2002, Psikologi Kesehatan Pengantar Untuk Perawat & Profesional Kesehatan,Edisi Kedua, Jakarta, EGC. 17. Shakarasvilli A,et al (2005), Sex Worker,Drugs Use, HIV Infection and Speread Of Sexually Transmitted Infection in Moscow, Rusian, Federation the ancet,366 18. Stubblefield, Elisabeth dan Whol David, 2001. HIV di Penjara Seluruh Dunia 19. UNAIDS / WHO, 2005. Info Terkini Epidemi AIDS
JURIDIKTI, Vol.6 No.1, April 2013. ISSN LIPI: 1979-9640
SCRIPTA
Analisis Potensi Nanocurcumin Terkapsulasi Apotransfferin sebagai Inovasi Pengembangan Terapi pada Penderita HIV/AIDS Surya Wijaya*, Muthmainnah Arifin* *Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
ABSTRAK Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) telah menjadi pandemi yang mengkhawatirkan karena belum ditemukan obat dan vaksin untuk pengobatan HIV/AIDS. Salah satu zat poten untuk menghambat replikasi HIV adalah curcumin. Hambatan besar dalam penggunaan curcumin adalah bioavailabilitas yang rendah. Namun hal itu dapat diatasi dengan menggunakan sistem penghantaran obat melalui nanopartikel apotransferrin. Penggunaan nanocurcumin terkapsulasi apotransferrin tidak hanya dapat menghambat siklus replikasi HIV, namun juga dapat memperbaiki gejala yang ditimbulkan oleh infeksi HIV. Hal ini menunjukkan bahwa nanocurcumin terkapsulasi apotransferrin memiliki potensi kuat untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi alternatif terapi HIV/AIDS dengan efek samping dan toksisitas yang rendah. Kata kunci: HIV/AIDS, curcumin, nanocurcumin, nanopartikel, apotransferrin.
ABSTRACT Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) has become a worrying pandemy because there are no vaccine and treatment for HIV/AIDS. One of potent substances to inhibit HIV replication is curcumin. But, the big challenge of curcumin application is its low bioavailability. Nevertheless, it can be overcome by using apotransferrin nanoparticle as drug delivery system. The application of apotransferrin-encapsulated nanocurcumin not only can inhibit HIV replication cycle, but also can treat HIV-associated symptoms. It shows that apotransferrin-encapsulated nanocurcumin has a great potency for future development of HIV/AIDS alternative therapy with minimal side effect and toxicity. Keywords: HIV/AIDS, curcumin, nanocurcumin, nanoparticle, apotransferrin.
PENDAHULUAN Upaya memerangi HIV (Human Immunodeficiency Virus) / AIDS (Acquired lmmunodeficiency Sydrome) dan penyakit menular lainnya merupakan salah satu target MDGs (Millennium Development Goals).1 Meski telah banyak usaha pencegahan yang dicetuskan untuk mengontrol angka kejadian HIV/AIDS, namun kenyataannya sampai sekarang penyakit ini masih menyebar dengan pesat di seluruh dunia.2 Jumlah penduduk global yang tertular HIV berdasarkan WHO (2006) berjumlah 46,7 juta jiwa.3 Pada tahun 2009, jumlah orang yang menderita AIDS diseluruh dunia sudah mencapai 33,3 juta jiwa dengan jumlah kejadian baru sebanyak 2,6 juta jiwa dan angka kematian 1,8 juta jiwa.4 AIDS adalah suatu penyakit yang sangat berbahaya mengingat penyakit ini mempunyai case fatality rate 100% dalam 5 tahun, artinya dalam waktu 5 tahun setelah diagnosa AIDS di tegakkan maka semua penderita akan meninggal.5 Di Indonesia, HIV/AIDS juga masih menjadi masalah dalam bidang kesehatan. Angka kejadian HIV/AIDS masih meningkat setiap tahun dengan rata-rata pertambahan sebanyak 40.00050.000 setiap tahunnya hingga pada tahun 2009
SCRIPTA | Vol. 1 Ed. 2 | Agustus 2013
telah mencapai 310.000 orang.6 Berdasarkan laporan Depkes hingga September 2009, jumlah rata-rata kasus AIDS di Indonesia ialah 8,15 per 100.000 penduduk. Bahkan, beberapa wilayah memiliki angka kumulatif yang jauh lebih tinggi dari jumlah rata-rata kasus AIDS nasional. Contohnya saja, di Papua angka kesakitan akibat AIDS terhitung sebanyak 17,9 kali lebih tinggi dari angka nasional, Bali 5,3 kali, DKI Jakarta 3,8 kali, Kepulauan Riau 3,4 kali, dan Kalimantan Barat 2,2 kali.1 Perkembangan epidemik HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di kawasan Asia. Dalam 10 tahun terakhir, proporsi terbesar pada kelompok umur 20-29 tahun (50,82%), diikuti kelompok umur 30-39 tahun (29,36%).7 AIDS telah menjadi pandemi yang mengkhawatirkan karena disamping belum ditemukan obat dan vaksin untuk pencegahan, penyakit ini juga memiliki window period dan fase asimptomatik yang relatif panjang sehingga menyebabkan iceberg phenomenon.8,9 Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut HIV.10 HIV adalah sejenis Retrovirus RNA. Penyakit AIDS merupakan suatu sindrom/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Retrovirus yang menyerang sistem kekebalan atau pertahanan tubuh. Dengan rusaknya sistem
45
SCRIPTA kekebalan tubuh, maka orang yang terinfeksi mudah diserang penyakit-penyakit lain yang berakibat fatal, dikenal dengan infeksi oportunistik.11 AIDS juga menyebabkan beban ekonomi yang berat. Di Amerika, rata-rata tiap pasien preAIDS memerlukan dana sebesar US$ 17.600 dan tiap pasien AIDS memerlukan dana sebesar US$ 24.900 pertahunnya. Sampai saat ini, belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit HIV/AIDS.12 Pada tahun 1996, ditemukan antiretroviral yang mendorong suatu revolusi dalam perawatan penderita HIV/AIDS. Namun, pengobatan ARV pada pasien hanya bertujuan untuk mengurangi laju penularan HIV, menurunkan angka kesakitan dan kematian karena HIV, memperbaiki kualitas hidup penderita HIV/AIDS, memulihkan dan/atau memelihara fungsi kekebalan tubuh, serta menekan replikasi virus secara maksimal dan terus-menerus.13 Kendala yang dihadapi untuk pengobatan menggunakan ARV adalah biaya yang mahal untuk penyediaan obat sehingga di Indonesia pasien yang telah menerima terapi antiretroviral hanya 6.600 orang atau hanya 2.44% dari jumlah total penderita.14,15 Selain itu, ARV juga menimbulkan banyak efek samping, di antaranya keluhan gastrointestinal, hepatotoksisitas, nefrotoksisitas, pankreatitis, dislipidemia, anemia, neuropati perifer, mialgia, resistensi insulin, dan lain-lain.16,17 Melihat masalah yang diakibatkan oleh ketidakefektifan pengobatan HIV/AIDS dengan menggunakan ARV yang ada saat ini, solusi mengenai cara lain pengobatan HIV/AIDS sangatlah diperlukan. Salah satu zat poten untuk menghambat replikasi HIV adalah curcumin. Curcumin terbukti dapat menghambat siklus replikasi HIV melalui suatu mekanisme, yaitu inhibitor integrase, inhibitor protease, inhibitor NF-kB, inhibitor LTR, dan represi topoisomerase. Selain itu, beberapa efek dari curcumin dapat memperbaiki gejala HIV/AIDS, seperti infeksi oportunistik jamur dan bakteri, diare terkait HIV/AIDS, dan limfoma non-Hodgkin karena curcumin berpotensi sebagai antimikroba, antikanker, dan antiinflamasi.12,18 Hambatan besar dalam penggunaan curcumin adalah sifat insolubilitasnya dalam air sehingga memiliki bioavailabilitas yang rendah. Pada curcumin bebas, untuk menjadi efektif sebagai obat, kelarutan sangat penting agar dapat diserap oleh usus dan memasuki aliran darah. Namun, karena dikeluarkan dari usus, pasien dengan terapi curcumin harus mengkonsumsi 12 sampai 20 g per oral, di mana dosis yang sangat besar yang diberikan lebih dari 10 g akan meninggalkan sisa rasa yang tak tertahankan. Oleh sebab itu, para ilmuwan mengembangkan mekanisme pengantaran baru atau kombinasi curcumin dengan senyawa lain
46
untuk membuat curcumin lebih tepat dalam penggunaan klinis.19 Nanopartikel merupakan material dengan dimensi keseluruhan dalam skala nano. Dalam beberapa tahun terakhir, material ini telah muncul sebagai pemain penting dalam kedokteran modern, dengan aplikasi klinis mulai dari agen kontras dalam pencitraan untuk obat-obatan dan pembawa gen yang dikirimkan ke tumor.20 Nanocurcumin adalah salah satu sarana utama untuk meningkatkan bioavailabilitas karena karakteristiknya yang menguntungkan.21 Sifat hidrofilik pada bagian luar memungkinkan nanocurcumin akan larut dalam air dan memungkinkan untuk memasuki aliran darah.19 Salah satu bahan untuk mengkapsulasi curcumin menjadi nanocurcumin adalah apotransferrin. Apotransferrin menunjukkan sifatsifat polimer biomedis seperti nontoksik, biokompatibel, dan biodegradabel. Apotransferrin diketahui secara luas sebagai molekul sistem penghantaran obat yang baik.22 Selain itu, apotransferrin dapat berikatan dengan reseptor transferrin pada sel yang terinfeksi oleh HIV-1 yang memungkinkan penghantaran curcumin yang diperantarai ligan ke dalam sel yang terinfeksi HIV lebih efisien.18
PEMBAHASAN Mekanisme Ekstraksi dan Enkapsulasi Curcumin dengan Nanopartikel Apotransferrin Permasalahan utama pada penggunaan curcumin yaitu rendahnya bioavailabilitas yang dimiliki. Oleh karena itu, metode penghantaran yang efektif mutlak diperlukan sehingga mampu meningkatkan bioavailabilitas curcumin. Metode penghantaran obat berbasis polimer nanopartikel semakin banyak digunakan sebagai penghantar obat yang mampu mengatasi permasalahan yang berhubungan dengan berbagai rute administrasi obat. Dari berbagai jenis nanopartikel, apotransferrin merupakan kandidat nanopartikel yang sesuai karena material obat yang dikonjugasikan dengan apotransferrin/protein transferrin diekspresikan berlimpah pada sel yang Enkapsulasi dengan aktif membelah.22 apotransfferin memungkinkan obat dapat masuk ke sel target melalui endositosis yang diperantarai dengan reseptor tertentu. Sistem penghantaran obat dengan nanopartikel apotransferin memberikan beberapa manfaat, yaitu memungkinkan ukuran yang tepat untuk uptake seluler, mempunyai dispensabilitas yang baik terhadap air, dan meningkatkan kadar intraseluler obat-obatan tersebut. Enkapsulasi dengan apotransfferin juga memblok berbagai jalur metabolisme curcumin.23
SCRIPTA | Vol. 1 Ed. 2 | Agustus 2013
SCRIPTA Sel yang terinfeksi oleh HIV-1 akan mengekspresikan reseptor transferrin yang dapat mengikat apotransfferin. Reseptor ini menjadi target yang memungkinkan transpor curcumin yang diperantarai ligan ke dalam sel yang terinfeksi
HIV.18 Oleh karena itu, apotransferrin dipilih sebagai nanopartikel untuk curcumin sehingga terbentuk nanocurcumin terkapsulasi apotransferrin.
Gambar 1 a. Nanocurcumin b. Nanoapotransferrin
Proses enkapsulasi curcumin dengan apotransferrin dilakukan dengan metode soil-oil. Proses ini diawali dengan melarutkan 10 mg apotransferrin ke dalam 100 ml phosphate-buffered saline dengan pH 7,4 dan melarutkan 3,6 curcumin ke dalam 100 ml DMSO (100 mM). Selanjutnya, kedua larutan tersebut dicampurkan secara perlahan dan diinkubasi dalam es selama 5 menit. Campuran apotransferin dan curcumin ditambahkan dengan 15 ml minyak zaitun pada suhu 40C, lalu didispersi
secara berkelanjutan dengan vorteks manual. Campuran ini disonikasi 15 kali menggunakan homogenizer ultrasonik pada suhu 40C. Campuran ini selanjutnya dibekukan pada nitrogen cair selama 10 menit dan ditransfer ke es dan diinkubasi selama 4 jam. Partikel yang terbentuk selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 6000 x/menit selama 10 menit, lalu dicuci dengan dietil eter dan PBS yang terdispersi. Dari metode ini dihasilkan nanosfer berukuran 55-75nm.18,22
Nanocurcumin Terkapsulasi Apotransferrin Menghambat Siklus Replikasi HIV-1
DNA untai ganda yang berhasil dibentuk oleh HIV ke genom sel T CD4+ membentuk provirus. Apabila enzim ini dihambat, proses pembentukan provirus akan terganggu sehingga kecepatan siklus replikasi HIV juga akan berkurang.12,18 Nanocurcumin berperan juga sebagai inhibitor protease. Enzim protease merupakan enzim penting yang mengkatalisasi proses modifikasi prekursor protein virus yang diintegrasikan ke dalam membran plasma menjadi protein-protein yang diperlukan untuk replikasi HIV secara proteolitik. Apabila enzim ini dihambat, proses pembentukan protein HIV akan terganggu sehingga kecepatan siklus replikasi HIV juga akan berkurang.12,18 Nanocurcumin berperan inhibitor NF-kB yang diperantarai lipopolisakarida. NF-kB merupakan salah satu faktor yang berperan dalam aktivasi dan replikasi virus HIV-1 sehingga apabila faktor ini dihambat, siklus replikasi HIV juga akan terhambat.12 HIV juga berperan sebagai inhibitor LTR (Long Terminal Repeat) dengan menghambat transaktivasi LTR HIV yang diperantarai protein
Nanocurcumin terkapsulasi apotransferrin terbukti dapat menghambat replikasi virus HIV-1. Percobaan secara invitro, sel SUPT1 atau PBMC terstimulasi yang terinfeksi oleh HIV menunjukkan nanocurcumin dapat menghambat 80% replikasi HIV-1 pada dosis 10 mM dengan Inhibitory Concentration50 (IC50) sebesar 1,75 mM pada sel SUPT1 dan 2,4 mM pada sel PBMC terstimulasi. Sementara, solcurcumin menghambat hanya 70% replikasi virus HIV-1 pada konsentrasi yang sama dengan IC50 masing-masing 5,1 mM. Hal ini menunjukkan nanocurcumin hampir 3 kali lipat lebih poten dibandingkan solcurcumin.18 Nanocurcumin menghambat replikasi virus melalui berbagai mekanisme. Nanocurcumin berperan sebagai inhibitor integrase, inhibitor protease, inhibitor NF-kB (Nuclear Faktor Kappa B), inhibitor LTR (Long Terminal Repeat), dan represi topoisomerase.12,18 Nanocurcumin berperan sebagai inhibitor integrase. Enzim integrase merupakan enzim penting yang mengkatalisasi proses penyisipan
SCRIPTA | Vol. 1 Ed. 2 | Agustus 2013
47
SCRIPTA Tat. LTR adalah sekuens dari DNA HIV yang menghasilkan antigen p24, sering dideskripsikan sebagai sakelar on/off yang mengaktifkan dan menginaktifkan genom HIV dan berperan penting pada aktivasi virus laten. Gen ini memerlukan bantuan sinar ultraviolet dan protein Tat apabila akan diekpresikan. Penghambatan pada LTR menyebabkan HIV menjadi tidak terstimulasi dan tidak dapat melakukan replikasi.12,18 Mekanisme lainnya adalah represi topoisomerase dengan menggunakan inhibitor atau nukleotida antisense juga menyebabkan
terganggunya replikasi HIV-1. Enzim topoisomerase II pada host di-upregulasi oleh virus karena diperlukan pada tahap awal replikasi virus. Enzim ini juga mengenali topologi DNA, seperti kurvatura DNA, fleksibilitas, rigiditas, dan distrosi yang mempengaruhi proses integrasi virus HIV. Nanocurcumin menurunkan secara drastis ekspresi level topoisomerase IIa sehingga menghambat sintesis DNA proviral pada HIV.18,42 Nanocurcumin juga menurunkan ekspresi gen Gag, salah satu gen yang dibutuhkan untuk replikasi virus HIV.18
Gambar 2. Perbandingan Daya Hambat Replikasi HIV-1 antara Soluble-Curcumin, Nanocurcumin, Nanocurcumin Terkapsulasi Apotransferrin, Azidotimidin (AZT) dalam berbagai Konsentrasi18
Gambar 3. Perbandingan Ekspresi Gen Enzim Topoisomerase II dan Gen Gag pada Sel Normal dan Sel yang Terinfeksi HIV Tanpa Pengobatan dan dengan Pengobatan AZT, Nano-AZT, Nanocurcumin, dan Soluble-Curcumin18
48
SCRIPTA | Vol. 1 Ed. 2 | Agustus 2013
SCRIPTA Nanocurcumin Terkapsulasi Apotransferrin Memperbaiki Gejala Klinis HIV/AIDS Nanocurcumin tidak hanya dapat menghambat siklus replikasi HIV, namun juga dapat memperbaiki gejala yang ditimbulkan oleh infeksi HIV. Nanocurcumin dapat memperbaiki gejala yang ditimbulkan oleh infeksi HIV karena berpotensi sebagai antimikroba, antikanker, dan antiinflamasi. Nanocurcumin sebagai Antimikroba Aktivitas curcumin sebagai antifungal telah terbukti dapat melawan 23 strain jamur, antara lain Cryptococcus neoformans, Sporothrix schenckii, Aspergillus sp. sama baik dengan aktivitasnya terhadap Candida albicans, yakni dapat menghambat adhesi jamur dalam BEC (Buccal Epithelial Cell) manusia.24,25 Selain itu, curcumin juga lebih poten sebagai antijamur daripada flukonazol dalam menghambat adhesi Candida sp. pada BEC yang umumnya terisolir pada mukosa pasien AIDS.25 Sebagai antibakteri, curcumin dapat menekan pertumbuhan beberapa bakteri, antara lain
Streptococcus, Staphylococcus, Lactobacillus, strain Helicobacter pylori CagA, dan lain-lain.24 Dalam penelitian invitro lain, curcumin juga memiliki aktivitas antiprotozoal dan menghambat beberapa protozoa, seperti Leishmania dan Curcumin juga Plasmodium falciparum.26 menunjukkan aktivitas sebagai antivirus. Selain HIV, curcumin juga merupakan penghambat yang efisien untuk Epstein-Barr Virus (EBV).24 Nanocurcumin sebagai Antikanker Nanocurcumin memiliki efek antiproliferasi melalui penghentian siklus sel pada fase M2 dan G dengan menurunkan kadar siklin D1, penekanan ekspresi dekarboksilase ornitin, dan peningkatan Nrf2. Nanocurcumin menginduksi apoptosis sel kanker melalui aktivasi kaspase-8, 9, dan 3, pelepasan sitokrom C, penghambatan ekspresi protein antiapoptosis (Bcl-2 dan Bcl-x), peningkatan ekspresi p53 dan HSP70, serta downregulasi NF-kB, AP-k, dan JNK. Nanocurcumin mencegah pertumbuhan dan metastase sel tumor dengan menurunkan kadar Fibroblast Growth Factor (FGF), Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Matrix Metalloproteinase (MMP) serta melalui efek inhibisi molekul adhesi sel.27,28
Gambar 4. Mekanisme Nanocurcumin sebagai Antikanker28
Nanocurcumin sebagai Antiinflamasi Nanocurcumin telah terbukti memiliki aktivitas antiinflamasi. Nanocurcumin menurunkan tingkat inflamasi dengan menghambat siklus siklooksigenase-2 (COX-2) dan lipooksigenase serta men-down-regulasi pelepasan sitokin proinflamasi, seperti IL1-β.27 Hal ini menunjukkan bahwa nanocurcumin menghambat respons inflamasi yang diperantarai HIV-1 secara efektif dan selanjutnya mempengaruhi sintesis cDNA virus terkait dengan perubahan ekspresi topoisomerase IIb, IL-1β, dan COX-2.18
SCRIPTA | Vol. 1 Ed. 2 | Agustus 2013
Pada penelitian yang dilakukan oleh Conteas, et.al, 8 pasien dengan HIV-associated diarrhea telah diberi dosis harian 1,862 mg curcumin secara teratur dalam 41 minggu. Hasilnya, seluruh pasien telah teratasi diarenya dan memiliki feses yang normal dalam waktu 13±9,3 hari. Tujuh dari delapan pasien telah meningkat berat badannya (10,8±8,9 pon). Lima dari enam pasien telah teratasi penyakit kembung dan nyeri perutnya. Terapi curcumin berhubungan dengan kecepatan dan resolusi sempurna untuk diare, peningkatan berat badan, perbaikan dalam mengurangi kembung dan nyeri perut.29
49
SCRIPTA
Gambar 5. Perbandingan Daya Hambat Ekspresi Berbagai Gen Sitokin Proinflamasi (a), IL-1β (b), COX-2 (c), TNF-α (d) antara Curcumin, AZT, Nanocurcumin pada Sel yang Terinfeksi HIV18
Analisis Potensi Terapi dan Toksisitas Nanocurcumin Terkapsulasi Apotransferrin Toksisitas suatu zat menjadi salah satu hal yang diperhitungkan dalam pembuatan suatu obat menggunakan zat tersebut. Banyak dari zat-zat kimiawi yang memiliki potensi untuk digunakan sebagai modalitas terapi, namun tidak dapat diproduksi dan digunakan pada manusia karena memiliki toksisitasnya yang tinggi pada dosis efektifnya.30 Suatu penelitian klinis pada manusia dengan curcumin dosis tinggi (8-12 gram) menunjukkan sedikit efek samping, antara lain diare dan nausea sedang. Akhir-akhir ini, curcumin dilaporkan menyebabkan anemia defisiensi besi. Tidak ada bukti yang jelas mengenai efek curcumin pada ibu hamil, tetapi pada percobaan tikus dan babi terbukti tidak ada efek samping obstetri, baik kecepatan lahir maupun jumlah embrio yang lahir atau mati.31 Studi pada manusia ditemukan bahwa pada diet mencapai 8000 mg per hari tidak ditemukan efek samping. Namun, pada studi lain disebutkan bahwa diet dosis tinggi pada curcumin dapat menyebabkan iritasi lambung. Selain itu, manusia bisa mentoleransi curcumin dengan dosis tinggi tanpa efek samping yang signifikan dibandingkan dengan tikus, yang diakibatkan adanya perbedaan metabolisme pada manusia dibandingkan pada tikus yang lebih rentan.28,31
50
Namun, kemasan nanopartikelapotransferin menurunkan toksisitasnya. Penelitian yang dilakukan oleh Gandapu, et.al, nanocurcumin sangat aman dan dapat ditoleransi hingga 12 g/hari. Percobaan invitro pada sel SUPT1 dan PBMC membuktikan bahwa toksisitas nanocurcumin hingga 10% dibandingkan dengan solcurcumin.18 Selain itu, nanocurcumin juga lebih aman dibandingkan dengan dosis tinggi AZT. Dosis tinggi AZT dapat menyebabkan miopati, kardiomiopati, dan hepatotoksisitas. Sebagai komponen dari Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART), AZT dapat menyebabkan sitopenia dan lipodistrofi.16,32 Keamanan dan efikasi dari curcumin menjadikannya sebagai senyawa yang berpotensi untuk dijadikan pengobatan dan pencegahan berbagai macam penyakit. Hanya saja, curcumin belum disetujui sebagai agen terapi dikarenakan bioavailabilitasnya yang rendah. Permasalahan bioavailabilitas pada curcumin meliputi rendahnya kadar serum, distribusi terhadap jaringan yang terbatas, metabolisme yang cepat, dan waktu paruh yang pendek.31 Integrasi curcumin dengan nanopartikel dapat mengatasi masalah tersebut karena kedua senyawa membentuk nanocurcumin dengan bioavailabilitas yang lebih tinggi dibandingkan tanpa menggunakan nanopartikel. Aplikasi nanopartikel mampu menurunkan frekuensi administrasi dan dosis sehingga menurunkan
SCRIPTA | Vol. 1 Ed. 2 | Agustus 2013
SCRIPTA Gambar 6. Perbandingan Toksisitas Nano-apotransferrin, Nanocurcumin, Soluble-curcumin, dan AZT18
estimasi harga terapi jika dibandingkan tanpa nanopartikel.33 Ketersediaan bahan baku menjadi faktor utama yang berperan penting dalam produksi obatobatan. Bahan baku yang tidak memadai akan menyebabkan produksi obat tidak dapat memenuhi kebutuhan pasien terhadap obat tersebut dan mengakibatkan harga obat menjadi sangat tinggi.9 Salah satu sumber utama curcumin yang cukup tinggi, yaitu kunyit (Curcuma longa). Kunyit mengandung kadar curcuminoid 3-8%.28 Kunyit merupakan tumbuhan yang sangat mudah tumbuh di daerah tropis pada wilayah dataran rendah hingga ketinggian 2.000 m di atas permukaan laut. Hal ini menjadikan kunyit sangat mudah untuk dibudidayakan di Indonesia yang merupakan negara dengan iklim tropis dengan intensitas cahaya matahari penuh dan curah hujan lebih 1.000 mm/tahun sepanjang tahun dan tanah yang subur.34 Saat ini saja di Indonesia, sentra penanaman kunyit di Jawa Tengah menghasilkan produksi mencapai 12.323 kg/ha. Hal ini diperkuat dengan harga yang relatif murah.35 Penerapan nanoteknologi untuk menghasilkan nanocurcumin pun masih dimungkinkan. Beberapa ilmuwan Indonesia telah menunjukkan kemampuannya ikut mengembangkan teknologi nano. Sumber daya alam Indonesia pun dapat dijadikan sumber bahan baku teknologi nano.36
KESIMPULAN Nanocurcumin terkapsulasi apotransferrin berpotensi sebagai terapi alternatif HIV/AIDS karena tidak hanya menghambat replikasi virus melalui berbagai mekanisme dengan berperan sebagai inhibitor integrase, inhibitor protease, inhibitor NF-kB (Nuclear Faktor Kappa B), inhibitor LTR (Long Terminal Repeat), dan represi topoisomerase, tetapi juga memperbaiki gejala klinis pada pasien HIV/AIDS seperti infeksi
SCRIPTA | Vol. 1 Ed. 2 | Agustus 2013
oportunistik jamur dan bakteri, diare terkait HIV, dan limfoma non-Hodgkin karena curcumin berpotensi sebagai antimikroba, antikanker, dan antiinflamasi. Terapi ini memiliki efektivitas dan efisiensi yang tinggi, toksisitas dan efek samping yang rendah, mudah dijangkau, tersedianya bahan baku, dan telah mulai dikembangkannya teknologi nanopartikel di Indonesia.
SARAN Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk menentukan dosis terapi dan mekanisme administrasi nanocurcumin terkapsulasi apotransferrin yang efektif dan aman untuk digunakan pada manusia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Katinah E. Ancaman HIV/AIDS kian Serius.
2.
3.
2010. Available from URL: http://www.aidsindonesia.or.id/ancamanhivaids-kian-serius.html, Bertozzi S, Padian NS, Wegbreit J, DeMaria LM, Feldman B, Gayle H, et al. HIV/AIDS Prevention and Treatment. Available from URL:: www.dcp2.org/pubs/DCP/18/ Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Data Kasus HIV & AIDS. 2009. Available from URL: http://www.aidsindonesia.or.id/
4. WHO. Global Summary of The AIDS
5. 6.
Epidemic. 2009. Available from URL: http://www.who.int/hiv/data/2009_global_sum mary.png Siregar FA. AIDS dan Upaya Penanggulangannya di Indonesia. Medan: USU Digital Library. 2004; 1-13. WHO. Data on the size of the epidemic, Number of people (all ages) living with HIV.
51
SCRIPTA
7.
8. 9.
2011. Available from URL: http://apps.who.int/ghodata Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Lingkungan HIV Dan AIDS Situasi Epidemic Perilaku Risiko Tertular Situasi Pengobatan. Jakarta: Depkes RI; 2009. Departemen Kesehatan RI. Situasi HIV/AIDS di Indonesia Tahun 1987-2006. Jakarta: Depkes RI; 2006. WHO. Human Immuno Deficiency Virus. 2006. Available from URL: http://www.who.int/csr/disease/human_immun odificiency_virus.html,.
20. Sekarwati,
21.
22.
10. Manji, Miller. The Neurology of HIV Infection.
23.
11.
24.
12.
13. 14. 15.
16. 17. 18.
19.
52
J Neural Neurosurg Psychiatry. 2004. Available from URL: http://www.jnpp.bmj.com Siregar, Fadizah A. Pengenalan dan Pencegahan AIDS. USU: Digital Library; 2004. p. 2-4. Anugrahini, Irawati, M. Rafdi Amadis, dan Agung Dwi WW. Potensi Curcumin dalam Kunyit (Curcuma longa) sebagai Suplemen Terapi untuk Pasien HIV/AIDS. Juxta Vol. 2 No.1 Juli-Desember 2010. Hlm. 44-49. Murtiastutik, D. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Surabaya: Airlangga University Press; 2008. p. 211-222. Sasongko, A. Acquired Immunodeficiency Syndrome. 2006. Available from URL: http://www.petra.ac.id/science/aids/aids6a.htm WHO. Epidemiological Fact Sheet on HIV and AIDS Core Data on Epidemiology and Response Indonesia. 2008. Available from URL:www.who.int/globalatlas/predefinedRepo rts/EFS2008/full/EFS2008_ID.pdf McNicholl, I. Adverse Effects of Antiretroviral Drugs. 2007. Available from URL: http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=ar-05-01 Noble, R. Antiretroviral Drug Side Effects. 2008. Available from URL: http://www.avert.org/aids-drug-side-effect.htm Upendhar G, R. K. Chaitanya, Golla K, Raju CR, Anand K. Curcumin-Loaded Apotransferrin Nanoparticles Provide Efficient Cellular Uptake and Effectively Inhibit HIV-1 Replication In Vitro. Plos One; August 2011 Volume 6 Issue 8 e23388. p. 1-11. Singh, S. From Exotic Spice to Modern Drug. 2007. Available from URL: http://www.sciencedirect.com/science?_ob=MI mg&_imagekey=B6WSN-4PKPNW831&_cdi=7051&_user=10&_pii=S0092867407 010884&_origin=&_coverDate=09%2F07%2F 2007&_sk=998699994&view=c&wchp=dGLb VzzzSkWW&md5=a57df9b697bd304d1ec8f4 d5f287df83&ie=/sdarticle.pdf.
25.
26. 27.
28.
29.
30.
31.
32.
KA. Pengembangan Metode Analisis Tekstur untuk Kanker Serviks. 2010. Available from URL: http://openstorage.gunadarma.ac.id/~mwiryana /KOMMIT/per-artikel/04-01-002.pdf Mishra, VK. Mohammad, G. Mishra, SK. Downregulation of Telomerase Activity May Enhanced by Nanoparticle Mediated Curcumin Delivery. Digest Journal of Nanomaterials and Biostructures; 2008. Vol 3. No 4. Pp 163-169. Athuluri DSK, Raj KM, Golla K, Anand KK. An Efficient Targeted Drug Delivery through Apotransferrin Loaded Nanoparticles. Plos One October 2009 Volume 4 Issue 10 e7240. p.1-12. Qian ZM, Li H, Sun H, Ho K. Targeted drug delivery via the transferrin receptor-mediated endocytosis pathway. Pharmacol Rev 2002 54: 561–587. Chattopadhyay I, Biswas K, Bandyopadhyay U, Banerjee RK. Turmeric and curcumin: biological actions and medicinal applications. Current Science 2004. Vol. 87. p. 44-53. Martins CVB, et.al. 2008. Curcumin as A Promising Antifungal of Clinical Interest. Available from URL: http://jac.oxfordjournals.org/cgi/content/full/dk n488. Koide T, et.al. Leshmanicidal effect of curcumin in vitro. Bio Pharm Bull; 2002. Vol. 25. p.131-3. Bharat B. Aggarwal, Anushree Kumar, Alok C. Bharti. Anticancer Potential of Curcumin: Preclinical and Clinical Studies. Anticancer Research; 2003. 23: 363-398. H. Hatchera, R. Planalpb, J. Chob, F. M. Tortia, S. V. Tortic. Curcumin: From ancient medicine to current clinical trials. Life Sci; 2008.1-22. Conteas CN, Panossian AM, Tran TT, Singh HM. Treatment of HIV-associated Diarrhea with Curcumin. Dig Dis Sci; 2008. Vol. 54 No. 10, p. 2188-91. Elin Yulinah Sukandar. Tren dan Paradigma Dunia Farmasi: Industri-Klinik-Teknologi Kesehatan. 2004. Available from URL: http://www.itb.ac.id/focus/focus_file/orasiilmiah-dies-45.pdf Estefanı´a Burgos-Moro´n, Jose´ Manuel Caldero´n-Montan˜o, Javier Salvador, Antonio Robles and Miguel Lo´pez-La´zaro. The dark side of curcumin. Int. J. Cancer; 2010: 126, 1771–1775. Moh R, Danel C, Sorho S, Sauvageot D, Anzian A, et al. Haematological changes in adults recieving a zidovudine-containing HAART regimen in combination with
SCRIPTA | Vol. 1 Ed. 2 | Agustus 2013
SCRIPTA
33.
34. 35.
36.
cotrimoxazole in Cote d’lvoire. Antivir Ther; 2005. 10: 615–624. Hans, M.L., Lowman, A.M., Biodegradable nanoparticles for drug delivery and targeting. Current Opinion Solid State Matter Science; 2002, 6, 319-327. Mono Rahardjo dan Otih Rostiana. Budidaya Tanaman Kunyit. 2005; Sirkuler No. 11, hlm. 2-6. Anonim. Kunyit (Curcuma domestica Val.). Available from URL: http://lc.bppt.go.id/ttg/Data/bididaya%20pertan ian/obat/kunyit.pdf Trenggono, A. Ilmu dan Teknologi Nano di Indonesia. 2010. Available from URL: http://nano.or.id/index.php?option=com_conte nt&task=view&id=30&Itemid
SCRIPTA | Vol. 1 Ed. 2 | Agustus 2013
53
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGETAHUAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL TENTANG HIV/AIDS DI KOTA GARUT TAHUN 2008
Syafrida Harahaf *, Oktoruddin Harun ** ABSTRAK Dampak penyebaran HIVIAIDS di negara-negara berkembang sungguh menghawatirkan. Populasi angka kesakitat dan kematian penduduk pproduktif meningkat terus sehingga usia harapan hidup menurun. Selain berdampal lan�sung bagi kehidupan social, ekonomi suatu bangsa dan telah menimbulkan keprihatinan baik di tingkat nasional
regional maupun internasional. Selain epidemic HIVI AIDS yang semakin merebak, maka krisis ekonomipun perlt
diatasi secara lebih baik lagi, hal ini dikarenakan penyebaran HIV I AIDS tidak dapat dipisahkan dengan kemiskinan, sebagai dampak krisis ekonomi yang berlarut-larut meneybabkan jumlah Pekerja Seks Komersial terus bertambah PSK merupakan kelompok rawan terjangkit virus HIV I AIDS, untuk itu mereka harus dibekal pengetahuan dan sikap yang baik ten tang HIV I AIDS agar dapat bertanggung jawab melindungi diri mereka sendir dari virus HIVI AIDS yang mematikan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pengetahuan dan sikap tentang HIVIAIDS di kota Garut tahun 2008, dengan variable-variabel penelitian adalah umur, pendapatan,lama bekerja, akses informasi, pengaruh rekan kerja, anjuran medis dan sikap petugas kesehatan Metode penelitian adalah metode survei dan merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan kros Populasi dalam penelitian ini adalah para PSK yang berada pada tempat penginapan, warung remang-remang dan yang beroperasi di jalan-jalan. Tehnik pengambilan sampel dengan accidental sampling( responden yang diperoleh pada saa�penelitian dilakukan ) sebanyak 3 5 orang. Hasil penelitian menunjukkan dari variable-variabel yang diteliti setelah dilakukan uji statstik chi square dan fisher exact pada a = 0,05 ternyata yang ada hubungan dengan pengetahuan PSK tentang HIV IAIDS adalah variabel pendidikan dan pendapatan.
PENDAHULUAN
Pemberdayaan Perempuan, 2002)
Penyakit Human Immunodeficiency Virus/ Acquired
Di banyak negara epidemic AIDS masih dianggap
Im m u n o
Deficiency
Syndrome
(H I V /A I D S )
'\
rendah " atau " terkonsentrasi ". Terutama di dalam
merupakann salah satu penyakit menular yang
kelompok-kelompok yang mempunyai risiko
disebabkan oleh Virus HIV dan secara kilinis untuk
termasuk didalamnya kaum lelaki yang melakukan
pertama kali dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun
hubungan seksual dengan sesame jenisnya, kelompok
1981 (Kementrian Pemberdayaan Perempuan, 2002)
menggunakan narkoba suntik dan mereka yang berada di
Berdasarkan laporan UN-AIDS tahun 2003, epidemic
dalam perdagangan seks. Sebuah epidemic dianggap "
HIVI AIDS global sampai saat ini masih mengancam dan
terkonsentrasi " ketika jumlah orang yang terinfeksi
kasus-kasus
meningkat pesat. Setiap hari
kurang dari 1 (satu ) persen populasi umum dan lebih dari
diperkirakan 14.000 orang terinfeksi HIV, dan ini berarti
5 (lima) persen infeksi terjadi pada kelompok" berisiko
baru
terdapat penmabahan
1 ( satu) kasus baru HIV I AIDS
setiap
dunia. Hingga akhir tahun 2003
6 detik diseluruh
diperldrakan terdapat 40 jut a orang dengan HIVI AIDS ( ODHA ) diseluruh dunia. Dan lebih dari 95
%
ODHA
tersebut berada di negara berkembang ( Kementerian
tinggi ".. Di Eropa Timur dan Asia Tengah, hampir semuanya melaporkan penularan HIV berhubungan
dengan
penyuntikan narkoba dan telah menyebar luas dikalangan anak-anak muda,
terutama kaum pemudanya.
Di
yang Berhu/Jwrgan dengan Pengctahuan Pckerja Seks /(onrcrsial Ten tang HJV/AIDS di K(lta Garut Talrun 2008
eberapa bagian wilayah Amerika Latin dan Asia dan .Janyakm negara-negara maju, epidemik terkonsentrasi pria yang berhubungan seksual dengan sesama enisnya, beberapa negara ini juga mempunyai mnsentrasi epidemik hetero seksual dikalangan anak mudanya yang menjajakan seks dan pria-pria yang seks dari mereka, Di beberapa negara Asia enggara seperti Nepal dan Vietnam, epidemik meledak kalangan pemakai narkoba yang menggunakan jarum untik dan para pekerja seks dengan mayoritas usia ,:libawah 25 tahun. Di Cina, dimana sepertiga masyarakat junia hidup, konsentrasi epidemik telah muncul :iibeberapa Provinsi, dan HIV dengan cepat meluas masuk k e d a l a m kelo m p o k-k e l o m p o k baru ( UNICEF/ UN-AIDS, 2002 ). 0 Indonesia, kasus pertama ditemukan di Bali sekitar April Tahun 1987 pada seorang wisatawan Belanda. Erdwar Hop yang meninggal di RS. Sanglah Bali. ,Sementara itu, orang Indonesia yang pertama kali �eninggal akibat AIDS terjadi pada Juni 1998, juga terjadi di Bali ( Syafruddin Anwar, 2006 ) .
�erkembangan kasus HIVIAIDS di Indonesia juga sudah 5ampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Menurut catatan Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI ( Ditjen PP & PL ), sampai dengan 30 Juni 2006 kasus HIV secara Kumulatif telah mencapai angka 10.859 kasus dengan rincian 6.332 penderita AIDS dan 4.5 27 pengidap HIV. Adapun ratio kasus AIDS antara pria dan wanita adalah 4.5 : 1. Kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat,Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Sulawesi Selatan, dan awaTengah. ,Kondisi diatas semakin memprih atinkan karena persentase tertinggi terdapat pada usia produktif (54i diatas semakin memprihatinkan karena persentase tertinggi terdapat pada usia produktif (54,12 % ) yaitu elompok usia 20-29 tahun dan sekitar 26,41% pada kelompok usia 30-39 tahun diikuti kelompok umur 40-49 tahun sekitar 8,42%. Disamping itu, telah terjadi pergeseran dalam cara penularannya yang semula hubungan seksual menjadi pcnyebab utama, kini kasus enularan terbanyak ( 50,5% ) melalui penggunaan jarum suntik oleh kelompok pengguna narkoba dengan jarum suntik ( Injecting Drugs Users- IDU ), sedangkan penularan melalui heteroseksual sebesar 38,7% dan homoskesua14, 7% ( SyafruddinAmir, 2006 )
Ditjen PP & PL juga menyampaikan bahwa rate kumulatif kasus AIDS Naasional sampai dengan 31 Maret 2006 adalah 3,15 per 100.000 penduduk ( Sensus, 2000) Rate kumulatif kasusAIDS tertinggi dilaporkan dari Provinsi Papua ( 15,88 kali angka nasional ), Maluku ( 2,71 kali angka nasional, Kalimantan Barat ( 1,97 kali angka nasional ), Riau dan Kepualauan Riau ( 1,82 kali angka nasional ), Sulawesi Utara ( 1,62 kali angka nasional ) dan Bangka Belitung ( 1,55 kali angka nasional ). Sedangkan proporsi kasus AIDS yang dilaporkan telah meninggal adalah 23,8% ( SyafruddinAmir, 2006 ) Meskipun data diatas merupakan data resmi dari pemerintah, namun data sesungguhnya tida ada yang tahu berapa persisnya, karena HIVIAIDS seperti fenomena gunung es, apa yang telihat hanyalah puncak yang menyembul di permukaan tanpa diketahui seberapa dalam dan berapa besar kasus yang sebenarnya terjadi. Saat ini diperkirakan jumlah pengidap HIVIAIDS di Indonesia adalah 13.00 - 90.000 orang ( Syafruddin Amir, 2006 ) Tingkat penyebaran HIV dan AIDS sudah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan. Dari tahun ke tahun jumlah penderita HIVIAIDS mengalami peningkatan pesat. Dari catatan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, penyebarannya terutama ditularkan melalui seks berisiko dan penggunaan jarum suntik yang tidak steril pada pengguna narkoba suntik. Selain itu diperkirakan ada 13 juta orang berisiko terinfeksi ·HIV yang disebabkan perilaku berisiko, baik penggunaan penjaja seks, isteri pelanggan seks, serta pengguna narkoba suntik dan pasangan seksnya ( Syafruddin Amir, 2006 ) Secara global, perempuan lebih rentan tertular HIV daripada laki-laki. Kerentanan kaum perempuan untuk tertular HIV pada umumnya karena kurangnya pengetahuan mereka ten tang HIVIAIDS atau pun kurangnya akses untuk men dapatkan layanan pengetahuan HIV . Selain itu secara biologis perempuan lebih berisiko untuk tertular HIV jika melakukan hubungan seksual tanpa kondom dibandingkan dengan laki-laki. lronisnya, perempuan lebih sulit melindungi dirinya dari infeksi HIV karena pasangan seksualnya tidakmau menggunakan kondom. Berdasarkan data Depkes RI tahun 2002 disebutkan bahwa hanya 10% yang bersedia menggunakan kondom dari sekitar 10 juta pasangan seks ( Kampanye AIDS Sedunia, 2004 ) Adapun stigma masyarakat terhadap HIV/AIDS sendiri
]umal Kesehatan Budi Luhur Vo/4. No.1, 20
8
lebih cenderung menganggap HIVIAIDS hanya dialami
pekerjaannya, pelanggan yang ditemui selalu berbed
oleh perempuan Pekerja Seks Komersial ( PSK )
dating dari mana saja dengan berbagai latar belakang fisi�
menambah berat masalah social yang dialarni odha
social budaya, biologis dan lingkungan yang tida
perempuan, meskipung
PSK merupakan kelompok
diketahui asal usulnya,dengan satu tujuan untu
rentan "berisiko tinggi" untuk tertular HIVIAIDS, tetapi
memenuhi dan memuaskan kebutuhan seks para lela
tidak. menutup kemungkinan bahwa perempuan yang
hidung belang. Fenomena himpitan ekonomi orangtu
tidak. melak.ukan perilaku berisikopun bias saja terinfeksi
terpak.sa membuat mereka menjalani pekerjaan di duni
HIV dari pasangan tetapnya ( suami)
pelacuran, karena merupakan cara pintas mendapatka
Pekerja Seks Komersial atau PSK, kata-kata itu sudah
uang banyak., atau karena diperkosa, terjebak penjualan
tidak. asing lagi terdengar di masyarak.at kita. Istilah PSK
trafficking ) atau bahkan terjebak pergaulan bebas (
yang dianggap sebagai penghalusan bahasa ( eufimisme )
seks) dan berbagai macam motif lainnya kenapa
dari istilah pelacur atau " lonte ", tanpa disadari seolah
menjadi seperti itu ( LSM Mitra Perempuan
olah menjadikan perbuatan itu legal karena disebut
2006 ).
sebagai pekerja. Adapun sebagai pekerja, dikhawatirkan
Ketika mereka telah terjebak didalamnya, akan sanga
sulit bagi mereka untuk keluar dari situasi tersebut. Ha mer. eka ak.an menuntut legitimasi dan hak-haknya sebagai pekerja yang memberikan pelayanan kepada mereka yang
ini disebabkan karena ketiadaan bentuk
membutuhkannya. Meskipun sampai dengan saat ini
alternative atau pengganti yang sesuai dengan lata
keberadaannya masih menjadi kontroversi, karena
belakang pendidikan dan keteranpilan yang dimiliki
mereka dianggap tidak. pantas atau " dipandang hina "
yang dapat menandingi jumlah pendapatan
oleh sebagian masyarakat kita untuk berbaur bersama
ketika bekerja sebagai PSK. Mereka akan terus menjad
komunitas masyarak.at yang hidup normal lainnya.
objek seks " sugar daddy " ( laki-laki yang
Padahal mau tidak mau, suka tidak. suka kita tidak dapat
kompesnasi uang tunai untuk melakukan
menutup mata terhadap keberadaan mereka dan mereka
seksual ) yang hamper tidak pernah menawarkan
juga merupak.an bagian dari masyarak.at yang mempunyai
perlindungan terhadap HIV I AIDS
hak dan kewajiban yang sama dengan yang lainnya (
UNAIDS, 2002 )
SyafruddinAmir, 2006)
Mereka sering bergonta-ganti pasangan, tergantung
(
Pandangan sinis yang datang dari masyarakat, membuat
kepada siapa yang memakainya. Konsumennyapun
me�:eka menutup diri dari masyarakat yang hidup normal,
berbagai macarn kalangan dari tingkat ekonomi. Ada yang
seh�ngga pada akhirnya kebanyakan dari mereka
menjajakan birahinya di pinggir jalan, di rel-rel kereta api,
berkumpul menjadi kominitas yang tinggal dalam suatu
panti pijat, warung remang-remang, salon-salon
lokalisasi dan baru beraksi pada malam hari ditengah
terselubung1 dan di taman-taman kota yang siap sedia
hingar bingarnya kehidupan dunia gemrlap rnalam untuk
dibawa kemana pun sipemakai mengajaknya. Ada
menjajakan cinta dan seks kepada konsumennya yang
yang mejeng di mall-mall, di tempat-tempat kos,
justru sebagian besar dating dari komunitas masyarak.at
dilokalisasi bahkan ada yang gentayangan mencari
yang mengak.u berasal dari masyarak.at yang hidup
mangsa di hotel-hotel melati dan berbintang ( Syafruddin
normal. Suatu fenomena kemunafikan atau mungkin juga
Amir, 2006 )
merupakan degradasi moral atau gaya hidup ( LSM Mitra
Kehidupan yang dijalani oleh PSK tersebut bukan hanya
Perempuan, 2006 )
milik kota-kota besar saja seperti Jakarta, Surabaya dan
Hal ini juga ditunjang dengan maraknya industry seks di
Bandung, tetapi juga sudah merambah ke kota-kota kecil
Indonesia yang ikut mengantarkan peluang tebesar
lainnya termasuk Garut. Kenyataan kehidupan yang
meningkatnya kasus HIVIAIDS dikalangan pekerja seks
demikian sudah menjadi keseharian di kota Garut yang
koll)ersial . Di Provinsi Papua sampai dengan tanggal 8
konon sangat relegius ini ( LSM Mitra Perempuan
Sep�ember 2007 telah ditemukan 14 pekerja seks
Mandiri1 2006 )
komersial yang positif HIVI AIDS ( Info papua.com,
Berdasarkan laporan Dlnas Tenaga Kerja, Sosial dan
2008 )
Transmigrasi ( DISNAKERSOSTRAN ) tahun 2006
PSK dan HIVIAIDS merupak.an dua hal yang tidak dapat
terdapat 158 PSK yang beroperasi di kota Garut
dipisahkan.
Meskipun upaya meminimalisir jumlah PSK dalam
Hal ini dikarenakan dalarn menjalankan
1ktor-Faktor yang Bedwbw1gan dwgan Pengctahuan Pckerja Seks Komersial Ten tang I 1/VIAIDS di Kota Garut Talum 2008
erbagai program rehabilitasi yang dilakukan oleh macam LSM, DISNAKERSOSTRAN bekerja ama dengan POLRES dan KESBANG ( SATPOL PP) -dak dapat dilakukan dalam waktu singkat, paling tidak nembekali mereka pengetahuan yang benar tentang IVIAIDS dan kesehatan reproduksi penting untuk nenekan bertambah tingginya kasus HIVIAIDS di kelompok " risiko tinggi " dengan tindakan Jr eventif b agi m ereka d a l a m melayani para >elanggannya. Karena bagaimanapun juga PSK adalah ,>erempuan yang pada mereka terdapat hak-hak ·eproduksi sama seperti perempuan" normal" lainnya. perdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis tertarik nnelakukan penelitian tentang fakto-faktor yang erhubungan dengan pengetahuan pekerja seks
Penelitian ini menggunakan metode deksriptif korelasi yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk mengentahui hubungan umur PSK, pendidikan PSK, pendapatan PSK, lama bekerja PSK, akses informasi tentang HIVI AIDS, anjuran medis, pengaruh rekan kerja PSK dan sikap petugas kesehatan dengan pengetahuan PSK tentang HIVI AIDS di kota Garut . Waktu penelitian dilakukan dari tanggal 01 Juni sampai dengan tanggal 19 Juli 2008. Rancangan penelitian yang digunakan adalah kros seksional. Populasi da1am penelitian ini adalah semua PSK yang berada di kota Garut, yang diperk:irakan berjumlah sek:itar 158 PSK.. Sampel yang digunakan adalah sebagian dari PSK yang ada di kota Garut. Tehnik pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling yaitu pengambilan responden PSK yang kebetulan ada atau tersedia pada waktu penelitian, adapun jumlah sampel 35 orang PSK. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner dengan pertanyaan tertutup. HASIL PENELITIAN Hasil Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengctahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Tehnik dalam analisis ini adalah tabulasi silang dengan uji statistic Kai Kuadrat dengan derajat kemaknaan pada a = 0,05 dan uji Fisher Exact karena dari hasil penelitian
pada tabel 2 X 2 yang mempunyai satu atau lebih sel mempunyai nilai harapan kurang dari 5. 1.
Hubungan antara umur dengan pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS Tabell
Hubungan Antara Umur Dengan Pengetahuan PSK Tentang HIV AIDS Di Kota Garut Tahun 2008
Tinggi
Umur Muda
14
Tua
8
Total
22
n
Rendah
% 60 9 66 7 62,9
f 9 4
% 39 I 33 3 37.1
13
23 12 35
Nilai P
100 100 100
1.00
Hasil ana lisis hubungan antara umur dengan pengetahuan PSK ten tang HIVI AIDS pada table cliatas diperoleh sebanyak 14 orang ( 60,9 %) dari 23 responden termasuk dalam kategori umur muda memiliki pengetahuan tinggi dan 9 orang ( 39,1%) mernilik:i pengetahuan rendah. Sedangkan pada kategori umur tua terdapat 8 orang ( 66,7%) dari 1 2 responden yang mmemilik:i pengetahuan tinggi dan sisanya 4 orang lagi memiliki pengetahaun rendah. Hasil uji Fisher Exact pada a = 0,05 ternyata tidak ada hubungan antara umur responden dengan pengetahuan PSKtentangHIVIAIDS ( P >0,05) 2.
Hubungan antara pendidikan dengan pengetahuan PSKtentang HIVIAIDS Tabel2
Hubungan Antara Pendidikan Dengan Pengetahuan PSK Ten tang HIV AIDS Di Kota Garut Tahun 2008
Pendidikan
Rendah Total
Nilai
n
Rendah
p
f
%
f
%
10
43 5
13
56,5
23
12
100
0
22
12
100
62,9
13
0 37.1
35
100
100
0,001
Hasil analisis hubungan antara pendidikan dengan pengetahuan PSK tentang HIVI AIDS pada tabel diatas diperoleh sebanyak 10 orang ( 43,5% %) dari 23 responden termasuk dalam kategori pendidikan tinggi memiliki pengetahuan tinggi dan 13 orang (56,5 %) memilik:i pengetahuan rendah. Sedangkan pada kategori pendidikan rendah 1 2 orang (100 %) dari 12 responden yang memiliki pengetahuan tinggi dan tidak ada yang pengetahaun rendah. Hasil uji Fisher Exact pada a = 0,05 ternyata ada hubungan antara pendidikan responden dengan pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS ( P < 0,05).
10
Jumal Ke.�ehatan Budi Luhur Vo/4. No.1, 2 pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS ( P > 0,05 )
3. }Jubungan antara pendapatan dengan pengetahuan
5. Hubungan antara akses informasi denga
PSK tentang HIVIAIDS
pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS TabelS
Tabel3 Hubungan Antara Pendapatan Dengan Pengetahuan
Hubungan Antara Akses Informasi Dengan Pengetahua PSK Tentang HIV /AIDS
PSK Tentang HIV AIDS Di Kota Garut Tahun
Pendapatan
Rendah Total
2008 Nilai p
Akses lnformasi
0,013
Pemah Tidak Pernah Total
Rendah
f II II
% 91,7 47,8
f I 12
% 83 52 2
22
62,9
13
37.1
12 23 35
100 100 100
Hasil analisis hubungan antara pendapatan dengan pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS pada tabel diatas diperoleh sebany�k
2008
Di Kota Garut Tahun
1 1 orang ( 91,7 %) dari 1 2 responden
%
13
61 9
9
22
Nilai
n
Rendah
f
643
f 8 5
% 3 8,1 35 7
62 9
13
37.1
p
100 100 100
21
14 35
1,00
Hasil analisis hubungan antara akses informasi denga pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS pada tabel diat diperoleh sebanyak
13 orang ( 61,9 %) dari 2 1 responde
termasuk dalam kategori pendidikan tinggi memiliki
termasuk dalam kategori pernah mengakses informas
pengetahuan tinggi dan
1
memiliki pengetahuan tinggi dan
pengetahuan
Sedangkan
rendah.
orang
memiliki
( 8,3 %) pada
kategori
orang
9 orang (64,3 %) da
tidak pernah mengakses informasi
yang pengetahaun rendah.
orang (35,7 %) yang pengetahuan rendah.
11
Hasil uji Fisher Exact pada a =
0,05
hubungan antara pendapatan
responden dengan
ternyata
ada
(38,1 %
memiliki pengetahuan rendah. Sedangkan pada katego
(47,8 %) dari 23 responden yang memiliki pengetahuan tinggi dan 13 orang (37,1 %) pendidikan rendah
orang
8
14
responden yang memiliki pengetahuan tinggi dan
Hasil uji Kai Kuadrat pada a =
0,05 ternyata
hubungan antara lama kerja
tidak ad
responden denga
pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS ( P < 0,05 )
pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS ( P > 0,05 )
4. Hubungan antara lama kerja dengan pengetahuan
6. Hubungan a n t a r a anjuran medis d e n g aJf
PSKtentang HIVIAIDS
pengetahuan PSK ten tang HIVI AIDS
Tabel4 Hubungan Antara Lama Kerja Dengan Pengetahuan PSK Tentang HIVIAIDS Di Kota Garut Tahun
Lama
f
%
f
%
Lama Baru Total
2
66,7
I
33 3
3
13
37 . 1
35
62
62, 9
5
32
Hasil analisis hubungan
antara
Di Kota Garut Tahun Nilai
n
Rendah
22
PSK Tentang HIV IAIDS
2008
Kerja
20
p 100 100 100
1,00
lama kerja
2
orang
( 66,7 %) dari 3
responden
termasuk dalam kategori sudah lama bekerja memiliki pengetahuan tinggi dan 1 orang
( 33,3 %)
memiliki
pengetahuan rendah. Sedangkan pada kategori baru bekerja
20
orang
( 62,5 %)
dari
memiliki pengetahuan tinggi dan
32
responden yang
1 2 orang (37,5%) yang
pengetahaun rendah.
antara
Nilai p
Rendah
f
Pernah
8
% 80
Tidak Pemah Tota l
14 22
56 62,9
f 2
% 20
10
100
II 13
44 37.1
25 35
100 100
0,259
Hasil analisis hubungan antara an·uran medis dengan pengetahuan PSK tentang HIVI AIDS pada tabel diperoleh sebanyak
8
orang
(80%)
dari
10
resp
termasuk dalam kategori pernah mendapat anjuran memiliki pengetahuan tinggi dan
2
orang
(20%)
memiliki pengetahuan rendah. Sedangkan pada kategori tidak pernah mendapat anjuran medis
14
orang
(56 %)
dari 25 responden yang memiliki pengetahuan tinggi
Hasil uji Fisher Exact pada a = hubungan
n
Anjuran
Medis
2008
dengan
pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS pada tabel diatas diperoleh sebanyak
Tabel6 Hubungan Antara Anjuran Medis Dengan Pengetahuan
lama
0,05
kerja
ternyata
responden
tidak ada dengan
1 1 orang (44%) yang
pengetahuan rendah.
aktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pengetahuan Pekerja Seks Komerstal Tentang IIJV/AIDS dt Kota Garut Taltun 2008
asil uji Fisher Exact pada
a =
0,05 ternyata tidak ada
ubungan anjuran medis dengan pengetahuan PSK
kategori yang rnenyatakan petugas tidak ramah sebanyak
12 orang (60 %) dari 20 responden yang memiliki %) yang
pengetahuan tinggi dan 8 orang ( 40
entang HIVIAIDS ( P>O,OS ).
pengetahuan rendah. •
Hubungan p e ngaruh rekan kerja dengan
Hasil uji Kai Kuadrat pada
a =
0,05 ternyata tidak ada
hubungan antara sikap petugas kesehatan
pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS
dengan
pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS ( P >0,05 )
Tabel7 Hubungan Antara Penganth Rekan Kerja Dengan Pengetahuan PSK Tentang HIV IAIDS
PEMBAHASAN 1.
Di Kota Garut Tahun 2008
Hubungan antara umur dengan pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS
Pengaruh
n
Rendah
Rekan
f
%
f
%
Positif
17
73,9
6
26,1
5
4 1 ,7
7
Total
22
62 9
13
Nilai
p
23
100
58.3
12
1 00
37. 1
35
1 00
0,079
dengan pengetahuan PSK ten tang HIVI AIDS pada tabel diatas diperoleh sebanyak 17 orang (73,9 %) dari 23 responden termasuk dalam kategori pernah rnendapat rnerniliki pengetahuan
tinggi dan 6 orang ( 26,1 %) rnerniliki pengetahuan rendah. Sedangkan pada kategori
pernah rnendapat
pengaruh negatif 5 orang (41,7 %) dari 12 responden yang memiliki pengetahuan tinggi dan 7 orang (5813 %) yang pengetahuan rendah. Hasil uji Fisher Exact pada
a =
0,05 ternyata tidak ada
hubungan antara pengaruh rekan kerja dengan pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS ( P > 0,05 ) 8.
dengan pengetahuan PSK ten tang HIVIAIDS sebanyak
14 orang ( 60,9%) dari 23 responden yang terrnasuk dalam kategori urnur rnuda meiliki pengetahuan tinggi,
Hasil analisis hubungan antara pengaruh rekan kerja
pengaruh positif rekan kerja
Dari hasil penelitian didapat hasil hubungan antara urnur
dan 9 orang ( 39, 1% ) memiliki pengetahuan rendah. Sedangkan pada kategori umur tua terdapat 8 Or
66,7% ) dari 12 responden yang merniliki pengetahuan tinggi dan sisanya 4 responden rnemiliki pengetahuan rendah. Hasil uji statistic did apat hasil tidak ada hubungan antara urnur dengan pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS. Berdasarkan t e o ri, umur dapat rnempengaruhi pengetahuan salah satunya diperoleh dari pengalaman seseorang. Seorang yang berurnur lebih berpengalarnan dan pengalaman yang diperoleh dapat rnernperluas pengetahuan seseorang ( Notoatmodjo, 2003 ) . Selanjutnya dalam penelitian disebutkan bahwa sebanyak
270.000 PSK yang ada di Indonesia, sekitar 60% diantaranya berusia 24 tahun atau kurang dan hanya 30%
Hubungan sikap petugas kesehatan dengan
pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS
saja yang memiliki pengetahuan yang baik tentang HIVIAIDS ( www.antaranews.co.id, 2007 )
Tabel8
Tetapi dalam penelitian ini1 tidak ditemukan bahwa umur
Hubungan Antara Sikap Petugas Kesehatan Dengan
P S K y a n g l e b i h t u a d a p a t m e rn p e n g a r u h i
Pengetahuan PSK Tentang HIV /AIDS
pengetahauannya ten tang HIVIAIDS, Justru PSK
Di Kota Garut Tahun 2008
Sikap
dengan umur rnuda, pengetahuan dan pemahamannya Nilai
n
Rendah
p
Petugas
f
%
f
%
Ramah Tidak Ramah Total
10
66,7
5
33 3
15
100
12
60
8
40
20
1 00
22
62,9
13
37. 1
35
100
0,960
Hasil analisis hubungan antara sikap petugas kesehatan dengan pengetahuan PSK ten tang HIVIAIDS pada Tabel diatas diperoleh sebanyak 10 orang ( 66,7 %) dari 15 responden termasuk dalarn kategori yang rnenyatakan sikap petugas kesehatan ramah dalarn memberikan pelayanan memiliki pengetahuan tinggi dan 5 orang (
33,3 %) memiliki pengetahuan rendah. Sedangkan pada
ten tang HIVI AIDS lebih baik. Selain itu dari 35 responden PSK yang diteliti, responden yang berurnur tua hanya 2 orang lebih sedikit dibandingkan responden PSK yang berusia muda. Ada beberapa factor lain yang berkaitan dengan tingginya pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS pada responden yang berusia muda. Diantaranya pendidikan serta akses inforrnasi yang rnereka dapatkan selain dari faktor umur. Makin berkembangnya dunia teknologi di era globalisasi seperti sekarang ini membuat siapapun dengan �epat mernperoleh informasi tentang apa saja yang diperlukan. Tetapi tentunya hal ini tergantung dari kernauan individu
12
Jumal Kesehatan Budi Luhur Vv/4. No.1, 20
tersebut untuk dapat mencari, membuka dan menerima
Pendapatan
informasi yang didapat apakah berguna atau tidak untuk
selama bekerja. Dalam penelitian ini pendapatan ya
kepentingan dirinya.
dimaksud adalah pendapatan rata-rata PSK selama seh
merupakan
penghasilan yang diperol
mereka bekerja melayani para tamu/pelanggan, ja 2.
�ubungan antara pend idikan d engan pengetahuan
bukan pendapatan kumulatif per bulan yang mere
PSK tentang HIV/AIDS
peroleh.
Seseorang
dengan pendidikan
yang lebih tinggi
mempunyai pengetahuan yang lebih baik daripada mereka yang berpendidikan rendah. Karena pendidikan merupakan proses pembelajaran, yang berarti di dalam
Hal
responden
ini
dilakukan karena sebagian da
t i d a k setiap
tamu/pelanggan
hari
bisa
mendapatka
yang diharapkan. Jika tidak ad
tamu/pelanggan praktis mereka tidak akan mendapatka pendapatan.
pendidikan terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan kearah yang lebih dewasa dan lebih matang pada individu, kelompok atau masyarakat ( Notoatmodjo, 2003
)
sebanyak
10
orang
diperoleh
tentang HIV/AIDS
( 43,5% %)
dari
23
responden
termasuk dalam kategori pendidikan tinggi memili.ki pengetahuan tinggi dan pengetahuan
rendah.
pendidikan rendah
PSKtentangHIV/AIDS Hasil penelitian hubungan antara lama kerja denga
Hasil penelitian hubungan antara pendidikan dengan pengetahuan PSK
4. Hubungan antara lama kerja d engan pengetahua
13
orang (
56,5 %)
Sedangkan
pada
memiliki kategori
12 orang ( 100 %) dari 12 responden
yang memiliki pengetahuan tinggi dan tidak ada yang pengetahaun rendah.
pengetahuan P S K sebanyak
2
( 66,7 %)
orang
hubungan antara pendidikan
0,05
ternyata
responden
ada
dengan
HIV IAIDS
3
dari
diperole
responden termasu
dalam kategori sudah lama bekerja memiliki pengetahua tinggi dan
1
orang (
33,3 %)
memiliki pengetahua
rendah. Sedangkan pada kategori baru bekerja
( 62,5 %)
dari
20 oran
32 respond en yang memiliki pengetahua
tinggi dan 12 orang ( 3 7 ,S% ) yang pengetahaun rendah. Hasil uji Fisher Exact pada a = hubungan antara
Hasil uji Fisher Exact pada a =
ten tang
lama
0,05
ternyata tidak ad
responden denga
kerja
pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS (P > 0,05 ) Lama bekerja dapat berkaitan dengan pengalaman yan
pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS ( P < 0,05 )
telah diperoleh P S K selama
Dari hasil penelitian ternyata sesuai dengan teori yang
p ek e r j a a n n y a ,
ada, dimana pendidikan merupakan hal yang penting
m e m u n g k i n k an
semakin mereka
m er e k a
mereka
lama
untuk
tentang
menjalankax
m e reka
bekerj
meningkatka
untuk terbentuknya pengetahuan seseorang terhadap
p en g e t a h u a n
segala sesuatu dengan baik. Dengan pendidikan yang
bahanyanya yang setiap saat dapat mengancam merek
HIV/AID S
da
tinggi pula seseorang dapat meraih apa yang dia inginkan,
sehingga mereka dapat lebih waspada dalam melindung
meskipun untuk hal ini harus ditunjang dengan situasi dan
diri. Lama kerja juga bisa berkaitan dengan banyakny
konaisi yang dan memungkinkan.
pengalaman yang
mereka
dapatkan.
merupakan sumber pengetahuan dan merupakan cara
3. Hubungan antara pend apatan d engan pengetahuan
mempeeroleh kebenaran pengetahuan
(
Notoatmodjo,
2003 )
PSK tentang HIV/AIDS Hasil penelitian hubungan antara pendapatan dengan pengetahuan sebanyak
PSK ten tang
HIV IAIDS
diperoleh
1 1 orang ( 91,7 %) dari 12 responden termasuk
5. Hubungan antara akses informasi
d engan
pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS
dalam kategori pendidikan tinggi memiliki pengetahuan
Hasil penelitian hubungan antara akses informasi dengan
1 orang ( 8,3 %) memiliki pengetahuan rendah. Sedangkan pada kategori pendidikan rendah 1 1 orang (47,8 %) dari 23 responden yang memiliki pengetahuan tinggi dan 1 3 orang (37,1%) yang pengetahaun rendah.
pengetahuan
tinggi dan
Hasil uji Fisher Exact pada a =
0,05
hubungan
responden
antara
pendapatan
ternyata
pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS ( P < 0,05
ada
dengan
)
sebanyak
PSK
ten tang
HIV/AIDS
diperoleh
13 orang ( 61,9 %) dari 21 responden termasuk
dalam kategori pernah mengakses informasi memiliki pengetahuan tinggi dan
8
orang
( 38,1 %)
memiliki
pengetahuan rendah. Sedangkan pada kategori tidak pernah mengakses informasi
9 orang (64,3 %) dari 14
responden yang memiliki pengetahuan tinggi dan S orang
yang Berh11bungan dengan Pengetahuan Pekerja Seks Komersial Tentang HIV/AIDS di Kota Garut Tahun 2008
35,7 %) yang pengetahuan rendah. asil uji Kai Kuadrat pada a = 0,05 ternyata tidak ada tubungan antara lama kerja responden dengan engetahuan PSK tentang HIVI AIDS ( P > O,OS ) al ini dapat dipengaruhi oleh seberapa banyak frekuensi kses yang mereka dapatkan1 apakah hanya sekali atau :ering. Semakin sering akses informasi mereka dapatkan emakin baik pengetahuan mereka ten tang HIVI AIDS an sebaliknya. 5 . Hubungan antara anj uran med is d engan
pengetahuan PSKtentang HIVIAIDS
t\.njuran medis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mjuran yang diberikan oleh petugas kesehatan tentang .egala hal yang berhubungan dengan HIVI AIDS. �juran medis juga berhubungan dengan terbentuknya ?engetahuan PSK yang baik ten tang HIVIAIDS. Tetapi 1asil penelitian hubungan antara anjuran medis dengan ?engetahuan PSK tentang HIV IAIDS diperoleh
(
8 orang 80 %) dari 10 responden termasuk ':lalam kategori pernah mendapat anjuran me dis memiliki ,?engetahuan tinggi dan 2 orang ( 20 %) memiliki pengetahuan rendah. Sedangkan pada kategori tidak '?ernah mendapat anjuran medis 14 orang (56 %) dari 25 responden yang memili.ki pengetahuan tinggi dan 11 orang 44 %) yang pengetahuan rendah.
(
fiasil uji Fisher Exact pada a = 0105 ternyata tidak ada ubungan anjuran medis dengan pengetahuan PSK
Hasil uji Fisher Exact pada a = O,OS ternyata tidak ada hubungan antara pengaruh rekan kerja dengan pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS ( P > O,OS ) Seperti halnya dengan anjuran medis, pengaruh rekan kerja j uga b erhubungan dengan terbentu nya pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS. Informasi yang diperoleh atau disampaikan oleh rekan kerja dapat mempengaruhi pengetahuan mereka. Dukungan atau ajakan yang bersifat positif dari rekan kerja dapat membentuk pengetahuan yang bai.k bagi PSK tentang segala hal yang berhubungan dengan HIVIAIDS. Seharusnya cara ini lebih efektif dalam menyampaikan informasi, karena masing-masing mereka s\udah mengenal karakter masing-masing rekan sekerja, sehingga memudahkan dalam menyampaikan melalui bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Dan tidak terkesan menggurui karena mereka berasal dari jenis pekerjaan yang sama. Tentunya dihara kan informasi yang disampaikan haruslah benar ·agar pengetahuan yang diperoleh baik.
k
p
Tidak ada hubungan antara pengaruh rekan kerja dalam pengetahuan dari hasil penelitian ini, karena masing masing responden yang diteliti tidak terlalu mengenal rekan sekerja dan juga disebabkan mobilitas diantara PSK yang tinggi menyebabkan mereka sering berpindah pindah lokalisasi ataupun tempat mereka beroperasi, sehingga rekan yang ditemui tidak tetap.
entang HIVIAIDS ( P > O,OS ) Anjuran medis sendiri merupakan salah satu factor pen �at dalam ter�entuknya perilaku seseorang. Bisa posthf dan negative tergantung dari banyak hal diantaranya adalah factor internal yang meliputi pengetahuan ( Notoatmodjo, 2003 )
�
. Hubungan antara pengaruh rekan kerja d engan pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS
asil penelitian hubungan antara pengaruh rekan kerja dengan pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS diperoleh ebanyak 17 orang ( 73,9 %) dari 23 responden termasuk dalam kategori pernah mendapat pengaruh positif rekan � miliki pengetahuan tinggi dan 6 orang 2611 %)
�
(
pada kategori Fem1hki pengetahuan rendah. Sedangkan S orang ( 41,7 %) dari pernah mendapat pengaruh negatif 12 responden yang memiliki pengetahuan tinggi dan 7 orang ( 58,3%) yang pengetahuan rendah.
8.
Hubungan antara sikap petugas kesehatan d engan pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS
Hasil penelitian hubungan antara sikap petugas kese4atan dengan pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS diperoleh sebanyak 1 0 orang 66,7 %) dari 15 responden termasuk dalam kategori yang menyatakan sikap petugas kesehatan ramah dalam memberikan pelayanan memiliki pengetahuan tinggi dan S orang ( 33,3 %) memiliki pengetahuan rendah. Sedangkan pada kategori yang menyatakan petugas tidak ramah sebanyak 12 orang ( 60
(
%) dari 20 respond en yang memiliki pengetahuan tinggi dan 8 orang 40 %) yang pengetahuan rendah.
(
O,OS ternyata tidak ada hubungan antara sikap petugas kesehatan dengan pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS ( P > O,OS ) Hasil uji Kai Kuadrat pada a
=
Keramahan petugas kesehatan pada saat memberikan pelayanan sangat mempengaruhi mereka dalam menerima informasi dari petugas kesehatan yang pada
14
Jurnal Kesehatan Budi Luhur Vo/ 4. Nu.l, 20
akhirnya akan meningkatkan pengetahuan mereka tentang HIVIAIDS.
Burns, August dkk.2000. Pemberdayaan Wanita Dala Bidang Kesehatan. Yogjakarta: Yayasan Essens Medika.
KESIMPULAN
Depkes Rl.2003. Informasi Tentang AIDS Waspadala, TerhadapAIDS
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.
Tidak ada hubungan antara umur PSK dengan pengetahuan tentang HIVIAIDS
,2003. Pedoman Nasional, Perawata Dukungan dan Pengobatan Bagi ODHA
______
2. Ada hubungan antara pendidikan PSK dengan pengetahuan tentang HIVIAIDS
Depsos Rl.200S. Pendidikan Sebaya, Prevention an Allevation ofHIV Impact to Indonesia.
3. Ada hubungan antara pendapatan PSK dengan pengetahuan tentang HIVIAIDS
200S.Strategi Penanggulangan HIVIAID Bidang So sial Tahun 2005-2009
4. Tidak ada hubungan antara lama berkerja PSK dengan pengetahuan tentang HIVIAIDS
Dinsos ProvinsisJawa Barat.2007. Kebijakan dan Strate Dinas Sosial Dalam Penanggulangan HIVAIDS. 2007. Pedoman PenanggulanganAIDS.
S. Tidak ada hubungan antara akses informasi yang diperoleh PSK dengan pengetahuan tentang HIVIAlDS
Hutapea, Ronald.2003. AIDS & PMS dan Pemerkosaa Jakarta Rineka Cipta
6. Tidak ada hubungan antara anjuran medis dengan pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS
Kementerian Koordinator Bidang Kesra RI.200S HIVIAIDS Sekilas Pandang.
7. Tidak ada hubungan antara pengaruh rekan kerja dengan pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS
Kementerian P e m b e rdayaa n P e rempuan.2002 Pemberdayaan Perempuan Dalam Pencegaha HIVIAIDS.
8. Tidak ada hubungan antara sikap petugas kesehatan dengan pengetahuan PSK tentang HIVIAIDS. SARAN
I. Meningkatkan upaya promosi kesehatan dikalangan PSK tentang kesehatan reproduksi wanita dan penyakit menular seksual ( HIVIAIDS ) 2. Meningkatkan kerja sama dengan semua sector terkait dalam melaksanakan penyuluhan dan penyebarluasan informasi tentang HIVIAIDS 3. Meningkatkan pelayanan kesehatan kepada PSK, �erutama di daerah tempat berkumpul dan beroperasi paraPSK. *
Penulis merupakan stafpengajar STIKes Garut
.,..Penulis merupakan stafpengajar STIKes Budi Luhur DAFTARPUSTAKA
Amir, Syafruddin.2006. HIV AIDS Dalam Solusi Islam. Bandung. Idea Publishing Amri, Zarni, Setiawan Budiningsih dan A.Samudra. 2002. Kesehatan Reproduksi, Program Kesehatan Reproduksi .Jakarta FKM-UI Badan KB Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Garut. 2007 .Materi Kesehatan Reproduksi Remaja ( KRR).
2004. Hak-HakReproduksi 2004. Pedoman Pelaksanaan Kampany Nasional HIVIAIDS Sedunia Tahun2004. Machfoed, Ircham.2006. Metodologi Penelitian Yogjakarta Fitramaya Notoatmodjo, Soekidjo.2003. Metoodologi Kesehatan.Jakarta Rineka Cipta Nursalam dan Ninuk Dian.2007. Asuhan Keperawata Pada Pasien Te rinfeksi HIVIAIDS. Jakarta Salemba Medika Sudjana. 2002. Metoda Statistika. Bandung. Tarsito UNICEF, UNAIDS. WHO. 2002. Generasi Muda HIVIAIDS, Peluang Dalam Krisis Wahyunadi, Arif dkk.2004. Penelitian Partisipatori, An Yang Dilacurkan di Surakarta Dan Idramayu. Jakarta. UNICEF Winkjosastro, Hanifa . l 999. Ilmu Kebidanan. J akarta.Yayasan Bin a Pustaka Sarwono P www.antaranews.co.id. UU Pornografi Perlu Cepat
Diselesaikan. Diakses 24 Oktober 2007 www.wikipediaindonesia.com. Pornografi. Diakses 24
Oktober2007.
Jurnal
Kesehatan dan Kemasyarakatan
ISSN : 2087-5150
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS Di Kabupaten Boyolali Dan Kota Surakarta (Solo) Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 Nova Oktavia, Hari Kusnanto, Yanri Wijayanti Subronto Akademi Kesehatan Sapta Bakti Bengkulu The purpose of research comparing domain scores and the differences in quality of life significance of HIV / AIDS based on socio-demographic factors and factors related to HIV infection. Cross sectional survey study was carried out using consecutive sampling method on 32 patients living with HIV. The independent variables were the factors that affect the quality of life of people living with HIV. The dependent variable is the quality of life (physical, psychological, independence, social, environmental and spiritual domain). The research instrument used WHOQOL-HIV-Bref and structured questionnaire. Results were Women had a lower quality of life scores on the domain independence, social, environmental and spiritual; respondent unmarried had lower quality of life scores on the domain independence, social and environmental; respondents with low education, unemployment, low incomes had lower quality of life scores on all domains; respondents with CD4 counts > 200 had higher quality of life scores on the domains of psychology and environment; respondents with asymptomatic infection levels had higher quality of life scores in the psychological domain, social and environmental; respondents adherence therapy had higher quality of life scores in all domains; respondents who have received family support had higher quality of life scores on domain independence, social, environmental and spiritual. In multivariate analysis, the most important predictor of the quality of life was level of education, employment and adherence therapy. Keywords: Cross-sectional Survey, Quality of Life, People Life with HIV/AIDS
PENDAHULUAN Human immunodeficiency virus atau HIV ialah suatu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Adanya infeksi HIV menjadikan tubuh rentan terhadap infeksi yang berpotensi mengancam jiwa dan kanker. HIV bersifat menular, bisa ditularkan dari seorang ke orang lain (UNAID, 2004). Dengan melemahnya sistem kekebalan tubuh maka akan meningkatkan kerentanan terhadap berbagai infeksi dan penyakit yang menyerang, walaupun infeksi tersebut dapat diatasi jika menyerang pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang sehat (WHO, 2012). Kualitas hidup merupakan istilah untuk menyampaikan rasa kesejahteraan, termasuk aspek kebahagiaan dan kepuasan hidup secara keseluruhan (CDC, 2000). Kualitas hidup berkaitan dengan suatu kecukupan tentang keadaan materi bagaimana seorang individu puas dengan keadaan hidup. Biasanya mengacu pada Vol. 4 No. 1, Juni 2013 : 1 – 14
sejauh mana kehidupan seseorang yang diinginkan atau yang tidak diinginkan Folasire et al., 2012). Kualitas hidup memiliki hubungan sosial yang baik, membantu dan mendukung, tinggal di rumah dan lingkungan yang dianggap memberikan kesenangan, merasa aman, bertetangga dan memiliki akses ke fasilitas pelayanan dan transportasi lokal, terkait hobi dan kegiatan rekreasi serta mempertahankan kegiatan sosial dan peran dalam masyarakat; memiliki pandangan psikologis positif dan penerimaan keadaan yang tidak dapat diubah, memiliki kesehatan dan mobilitas yang baik, memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhan dasar, untuk berpartisipasi dalam masyarakat, menikmati hidup dan mempertahankan kebebasan seseorang dan mengendalikan kehidupan (Gabriel and Bowling, 2004). Pandemi HIV/AIDS terus menyebar cepat dengan infeksi baru sebesar 15.000 setiap hari. Program HIV/AIDS bersama PBB UNAIDS (United Nations 1
Jurnal
Kesehatan dan Kemasyarakatan
Programme on HIV and AIDS) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa pada akhir tahun 2000, terdapat 60 juta orang telah terinfeksi HIV di seluruh dunia. Indonesia merupakan negara yang mempunyai tingkat prevalensi lebih dari 5% pada populasi risiko tinggi. Pada tahun 2010 terdapat 192.076 orang pada layanan VCT yang menjalani tes, terdapat 20.028 orang dinyatakan positif HIV. Kumulatif kasus AIDS sampai dengan desember 2012 sebesar 24.131 kasus (Kemenkes RI, 2011). Di Jawa Tengah kumulatif kasus HIV/AIDS dari tahun 1993-september 2011 berjumlah 4.299, meninggal 555 dengan CFR (29,23%). Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali merupakan kota/kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki kasus HIV/AIDS meningkat dalam waktu tiga tahun terakhir (Dinkes Jateng, 2010; RS Dr. Moewardi, 2011; Dinkes Kabupaten Boyolali, 2011) . WHO-QOL breif berisi sebanyak 31 item pertanyaan yang mengandung 29 aspek yang ada pada 6 domain dan 2 pada aspek umum (O’Connell et al., 2012 ; WHO, 2002). Domain kualitas hidup meliputi: Kesehatan fisik terdiri dari nyeri dan ketidaknyamanan, energi dan kelelahan, tidur dan istirahat. Psikologi mengukur perasaan positif, berfikir, belajar, memori dan konsentrasi, harga diri, citra tubuh dan pengalaman dan perasaan negatif. Kemandirian mengukur mobilitas, aktifitas sehari-hari, ketergantungan pada obat atau perawatan dan kemampuan bekerja. Sosial meliputi hubungan personal, support sosial, dan aktifitas seksual. Lingkungan mengukur keamanan dan keselamatan fisik, sumber pendapatan, kesehatan dan kepedulian sosial, kualitas dan hal yang dapat dicapai, kesempatan memperoleh informasi baru dan keterampilan, berpartisipasi dan berkesempatan rekreasi dan aktifitas waktu luang dan lingkungan fisik (polusi, kebisingan, lalu-lintas, iklim dan Vol. 4 No. 1, Juni 2013 : 1 – 14
ISSN : 2087-5150
transport). Spiritual meliputi pengampunan dan menyalahkan, kekhawatiran terhadap masa depan, kematian dan sekarat/ajal. Faktor-faktor yang mempengaruhi QOL : Ko-Infeksi, terapi antiretroviral, dukungan sosial, jumlah CD4, kepatuhan pengobatan, pekerjaan, gender, gejala, depresi dan dukungan keluarga. Infeksi oportunistik telah terbukti menyebabkan kematian lebih dari 90% pasien dengan AIDS. Infeksi oportunistik yang paling umum pada pasien baru dengan AIDS adalah kandidiasis, diikuti oleh tuberkulosis dan infeksi oportunistik lain seperti infeksi jamur, herpes, toksoplasmosis dan Cytomegalovirus (CMV). Pengetahuan tentang spektrum klinis AIDS menunjukkan bahwa infeksi oportunistik terkait dengan jumlah sel CD4 (Pohan, 2006). Cara pengobatan dan kepatuhan yang tepat terhadap ART merupakan faktor terpenting untuk hasil yang baik. Berbagai faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien terhadap ART dan dapat mempengaruhi hasil pengobatan diantaranya usia, pendidikan, status pekerjaan, pendapatan, tipe keluarga, jarak dari klinik dan ketersediaan transportasi, biaya pengobatan, rasa tidak nyaman dengan pengungkapan status HIV, pengetahuan memadai tentang penyakit dan pengobatan, penggunaan alkohol dan obat-obatan, agama dan keyakinan spiritual, ada atau tidak adanya gejala AIDS, tingkat pendidikan kesehatan dan kepuasan kesehatan, dan adanya kondisi terkait co-morbid. Kompleksitas beberapa obat (pil terlalu banyak) dan dosis juga dapat menyebabkan mempengaruhi kepatuhan pengobatan, yang mungkin lebih lanjut diperparah oleh efek samping yang tidak diinginkan. Dukungan sosial dan psikologis juga sangat penting memotivasi faktor kepatuhan pengobatan (Bhat et al., 2010). Dukungan sosial mengacu pada kenyamanan yang dirasakan, perawatan, harga diri, atau seseorang menerima 2
Jurnal
Kesehatan dan Kemasyarakatan
bantuan dari orang lain atau kelompokkelompok seperti pasangan, kekasih, teman, keluarga, rekan kerja atau dokter. Anggota keluarga, pasangan tertentu, muncul menjadi sumber yang paling penting dari dukungan sosial. Penyakit kronis dapat menurunkan kualitas hidup, khususnya pada penderita HIV dan AIDS. Penurunan kualitas hidup pada penderita HIV disebabkan oleh diskriminasi dan keterpurukan serta kemungkinan penolakan dari keluarga (Folasire et al., 2012). Penyakit HIV berdampak terhadap kesehatan sehingga VL dan jumlah CD4 erat kaitannya dengan kualitas hidup. Jumlah CD4 merupakan indikator yang lebih baik untuk memantau perkembangan penyakit dibandingkan dengan VL (Chandra et al., 2006). Sebagai seorang yang menderita HIV/AIDS menyesuaikan diri hidup dengan penyakit kronis, muncul sebagai tantangan baru dan masalah pada fungsi kerja dan pekerjaan (Li et al., 2009). Untuk individu yang bekerja, pekerjaan tidak hanya menyediakan keuntungan finansial tetapi juga dapat menjadi sebuah dukungan sosial, identitas peran, dan makna (Blalock et al., 2002). Kebanyakan penelitian kualitas hidup terhadap perbedaan gender, dimana pria memiliki skor lebih baik kualitas hidup pada domain lingkungan sedangkan perempuan memiliki skor lebih tinggi pada domain spiritualitas (agama) dan keyakinan pribadi, karena perempuan lebih cenderung memelihara kerohanian daripada pria (Folasire et al., 2012). Kualitas hidup dapat terkait dengan pengobatan, gejala fisik, adanya efek samping dan tingkat keparahan gejala penyakit. Penelitian kualitas hidup di India, sebagian besar penderita HIV datang ke pelayanan kesehatan jika merasakan masalah pada kesehatannya. Adanya deteksi dini dan pengobatan, banyak penderita HIV/AIDS hidup lebih Vol. 4 No. 1, Juni 2013 : 1 – 14
ISSN : 2087-5150
lama dan sehat dengan gejala fisik yang lebih sedikit (Chandra et al., 2006). Peranan keluarga dalam perawatan ODHA di rumah selain dalam hal pengobatan juga membantu kebutuhan sehari-hari baik moral maupun materi. Hal-hal yang perlu dipahami oleh keluarga ODHA diantaranya: cara membantu ODHA dalam keadaan darurat, makanan atau diet yang sesuai, kegiatan olahraga yang boleh dilakukan ODHA, waktu untuk pemeriksaan selanjutnya atau kontrol ke dokter, rekreasi untuk mengurangi stres atau kejenuhan, hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan ODHA, mengingatkan ODHA agar selalu menjaga kebersihan dan kesehatan gigi dan mulut setiap hari, keteraturan dan kepatuhan meminum obat (Depkes RI, 2003). Dukungan keluarga berkontribusi secara signifikan terhadap penggunaan pelayan kesehatan (Parslow et al., 2004). METODE PENELITIAN Penelitian dengan rancangan Cross sectional survey, dengan menggunakan cara pengambilan sampel consecutive sampling (Sastroasmoro, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang terdaftar di klinik VCT Rumah Sakit di Kabupaten Boyolali dan Kota Surakarta (Solo). Besar sampel menggunakan rumus perbedaan dua rata-rata ((Lemeshow, 1997; Dahlan, 2009), didapatkan jumlah sampel pada tiap populasi yaitu 16 orang (n1=n2=n), sehingga jumlah sampel keseluruhan yaitu 32 orang yang memenuhi kriteria inklusi yaitu ODHA yang pernah mengunjungi klinik VCT, telah didiagnosis dokter HIV positif dan bersedia menjadi responden. Kriteria eksklusi ODHA yang berusia < 19 tahun. Variabel bebas penelitian yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup ODHA meliputi karakteristik sosiodemografi (jenis kelamin, status nikah, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan) 3
Jurnal
Kesehatan dan Kemasyarakatan
dan karakteristik infeksi HIV (terapi ARV, kepatuhan berobat, jumlah CD4, tingkatan infeksi HIV dan dukungan keluarga). Variabel terikat penelitian kualitas hidup. Instrumen kualitas hidup diadopsi dari Organisasi Kesehatan Dunia (2002) yaitu WHOQOL-BREF yang berjumlah 31 pertanyaan versi bahasa Inggris. Sebelum dilakukan penelitian instrumen ini dilakukan uji coba kuesioner versi bahasa Indonesia terhadap 25 responden HIV positif di RSUP Dr. Sarjito Yogyakarta dengan metode wawancara. Uji reliabilitas dengan Cronbach’s Alpha dapat diterima jika ≥ konstanta 0,6 (Rwidikdo, 2009).
ISSN : 2087-5150
Hasil reliabilitas terhadap 6 domain kualitas hidup didapatkan 0,724 Analisa data dalam penelitian ini terdiri dari: Analisa Univariat dengan menggunakan distribusi frekuensi, mean, dan standar deviasi dalam bentuk tabel dan narasi. Analisa Bivariat, dilakukan untuk membuktikan hipotesis perbedaan mean domain kualitas hidup terhadap kelompok faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup dengan menggunakan uji t independent (tidak berpasangan) untuk data yang berdistribusi normal dan Mann Whitney untuk data tidak berdistribusi normal (Dahlan, 2009). Analisa data menggunakan software STATA 11.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Frekuensi Sosio-demografi dan Karakteristik infeksi HIV (Tabel 1). Tabel 1. Distribusi Responden HIV/AIDS Berdasarkan Sosio-Demografi di Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali Tahun 2012 Karakteristik Umur ≤ 35 tahun > 35 tahun Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Status Sendiri Menikah Berpisah Duda Janda Pendidikan Rendah Tinggi Pekerjaan Tidak bekerja Bekerja Pendapatan Rendah Tinggi
Responden HIV/AIDS yang terbanyak secara berurutan yaitu berumur ≤ 35 tahun 19 (59,37%), jenis kelamin perempuan 19 (59,4%), berstatus janda 12
Vol. 4 No. 1, Juni 2013 : 1 – 14
N (32)
Frekuensi (%)
19 13
59,37 40,63
13 19
40,6 59,4
7 9 2 2 12
21,87 28,12 6,25 6,25 37,5
14 18
43,8 56,3
13 19
40,6 59,4
23 9
71,9 28,1
(37,5%), pendidikan tinggi 18 (56,3%), memiliki pekerjaan 19 (59,4%) dan pendapatan rendah 23 (71,9%).
4
Jurnal
Kesehatan dan Kemasyarakatan
ISSN : 2087-5150
Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik yang Berhubungan dengan Infeksi HIV di Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali Tahun 2012 Karakteristik Terapi ARV Ya Tidak/Menunggu ARV Lama Mengkonsumsi ARV < 3 bulan 3-6 bulan 7-12 bulan > 12 bulan Patuh terhadap pengobatan Ya Tidak Jumlah CD4 awal diagnosis ≤ 200 mm3 > 200 mm3 Tingkat Infeksi awal diagnosis (menurut WHO) Simptomatik/AIDS Asimptomatik Status diketahui & dukungan keluarga Tahu & didukung Tidak tahu & didukung Tahu & tidak didukung Tidak tahu & tidak didukung
6.25
31.25
Lingkungan Kemandirian Fisik 0
20
%
28 4
87,5 12,5
4 6 4 14
12,5 18,7 12,5 43,7
26 2
81,2 6,3
21 11
65,6 34,4
24 8
75 25
22 6 1 3
68,7 18,8 3,1 9,4
simptomatik 24 (75%), status diketahui dan mendapat dukungan keluarga 22 (68,7%), Proporsi tinggi atau rendah kualitas hidup mengunakan median sebagai cut-off point dari skor kualitas hidup (Gambar 1).
Penderita HIV/AIDS yang terbanyak secara berurutan yaitu mengkonsumsi ARV 28 (87,5%), lama mengkonsumsi ARV > 12 bulan 14 (43,7%), patuh terhadap pengobatan 26 (81,2%), CD4 ≤ 200 mm3 21 (65,6%), tingkat infeksi Persepsi QOL
n (32)
59.37 40.63 59.37 40.63 53.12 46.88 59.37 40.63 50 50 56.26 43.74
40
60
68.75
93.75
QOL Rendah QOL Tinggi 80
100
Persen
Gambar 1. Proporsi Responden Memiliki Tinggi atau Rendah Skor QOL Dari Gambar 5 didapatkan mayoritas responden memiliki kualitas hidup yang rendah pada semua domain QOL dan persepsi secara umum. Proporsi responden dengan kualitas hidup rendah secara berurutan dengan median tertinggi yaitu persepsi kesehatan 30 (93,75%), persepsi kualitas hidup 22 (68,75%), domain Vol. 4 No. 1, Juni 2013 : 1 – 14
kemandirian, lingkungan dan spiritual 19 (59,37%), fisik 18 (56,26%), sosial 17 (53,13%) dan psikologis 16 (50%). a. Perbedaan Rerata Domain Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Faktor Sosio-Demografi dan Karakteristik Infeksi HIV 52
Jurnal
Kesehatan dan Kemasyarakatan
Skor domain yang menunjukkan arah positif (skor yang lebih tinggi menandakan kualitas hidup yang lebih tinggi). Skor masing-masing domain didapat dari menjumlahkan skor item pertanyaan, membaginya dengan jumlah pertanyaan dan mengalikannya dengan 4, sehingga skor berkisar dari 4
ISSN : 2087-5150
(minimum) sampai 20 (maksimum), skor yang lebih tinggi menunjukkan lebih baik Kualitas hidup (WHO, 1996). Tingkat signifikansi statistik ditetapkan pada p <0,05. Rata-rata skor kualitas hidup menurut sosio-demografi dan karakteristik infeksi HIV tersaji pada Tabel 3-13.
Tabel 3. Analisis Perbedaan Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin Domain 1. Fisik 2. Psikologi 3. Kemandirian 4. Sosial 5. Lingkungan 6. Spiritual p value t independent test
Jenis Kelamin (Mean±SD) Perempuan (19) Laki-laki (13) 15,84±2,69 14,31±3,57 12,47± 2,27 12±1,96 12±2,31 12,77±2,31 13,26±3,13 14,08±4,11 14,16±2,93 14,54±2,22 14,89±2,92 16,46±2,57
Pada Tabel 3 didapatkan bahwa responden berjenis kelamin perempuan memiliki skor kualitas hidup lebih rendah pada domain kemandirian, sosial, lingkungan dan spiritual tetapi tidak berbeda bermakna pada semua domain. Namun skor kualitas hidupnya lebih tinggi pada domain fisik dan psikologi. Hal ini dikarenakan dari 32 responden, 12 diantaranya berstatus janda, 14 wanita tertular HIV dari suaminya dan responden penelitian ini lebih banyak perempuan daripada laki-laki yaitu 19 orang. Dari hasil wawancara wanita mengatakan mereka bertahan untuk hidup dengan semangat mengikuti pengobatan karena
p value (t) 0,0878 0,2726 0,1813 0,2704 0,3474 0,0644
anak yang masih membutuhkan kasih sayang dan berusaha mencukupi kebutuhannya. Pada domain kemandirian, sosial, lingkungan dan spiritual didapatkan bahwa laki-laki memiliki kualitas hidup lebih tinggi dibanding perempuan, hal ini dikarenakan laki-laki jarang bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dan bekerja diluar tempat tinggalnya. Wanita menunjukkan skor kualitas hidup lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki di hampir semua domain dan secara signifikan lebih tinggi pada tingkat domain kemandirian (Folasire et al, 2004; Fatiregun et al., 2009).
Tabel 4. Analisis Perbedaan Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Status Pernikahan Status (Mean±SD; Median,min-max) Belum/pernah menikah (23) Menikah (9) 17 (6-19) 16 (13-19) Fisik 12,48±2,33 11,78±1,48 Psikologi Kemandirian 12,13±2,44 12,78±1,99 Sosial 13,04±3,78 15±2,87 Lingkungan 14,30±2,57 14,33±2,96 16 (10-19) 16 (10-19) Spiritual p value t independent test (t); Mann Whitney (m-w) Domain
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Vol. 4 No. 1, Juni 2013 : 1 – 14
T
0,1613 0,2422 0,0864 0,4891 -
p value
m-w 0,6261 0,4094
62
Jurnal
Kesehatan dan Kemasyarakatan
ISSN : 2087-5150
belum/pernah nikah. Hal ini dikarenakan pasangan responden dapat berusaha bersama mencari nafkah, saling menguatkan jika ada tekanan/stigma yang ada dilingkungan sekitar dan mendekatkan diri pada sang pencipta untuk menjadi individu yang lebih baik dari kesalahan yang pernah dibuat di masa lalu. Hasil penelitian Nojomi et al. (2008), pasien yang menikah memiliki kondisi lebih baik pada domain sosial dan lingkungan dibanding pasien yang tidak menikah (sendiri, janda dan berpisah).
Pada Tabel 4 didapatkan bahwa responden berstatus belum/pernah nikah (sendiri/berpisah/duda/janda) memiliki skor kualitas hidup lebih rendah pada domain kemandirian, sosial dan lingkungan tetapi tidak berbeda bermakna pada semua domain. Namun pada domain fisik dan psikologi memiliki skor kualitas hidup lebih tinggi. Pasien menikah memiliki kualitas hidup lebih tinggi pada domain kemandirian, sosial, lingkungan dan spiritual dibanding kelompok
Tabel 5. Analisis Perbedaan Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Pendidikan Domain 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pendidikan (Mean±SD; Median,Min-Max)
Rendah (14) 15 (9-19) 11,64±1,45 11,57±2,24 12,57±3,59 12,93±2,70 14,5 (10-19)
Tinggi (18) 17 (6-19) 12,78±2,46 12,89±2,25 14,39±3,53 15,39±2,06 17 (10-19)
Fisik Psikologi Kemandirian Sosial Lingkungan Spiritual p value t independent test (t); Mann Whitney (m-w)
Pada Tabel 5 didapatkan responden berpendidikan rendah memiliki skor kualitas hidup lebih rendah pada semua domain. Tingkat pendidikan mempengaruhi kualitas hidup terutama pada domain kesehatan mental, sosial dan lingkungan (Nojomi et al., 2008). Pendidikan penting bagi kesehatan karena menciptakan kesempatan untuk mendapatkan kondisi hidup yang lebih baik. Orang berpendidikan lebih kecil kemungkinan menjadi pengangguran, dan lebih cenderung bekerja penuh waktu, memiliki pekerjaan yang memuaskan, dan tinggi penghasilan (Regidor et al., 2002). Menurut (Astoro et al., 2007; Razavi et al., 2012), tingkat pendidikan formal secara statistik tidak mempengaruhi QOL (p = 0,127). Namun hasil penelitian ini didapatkan tingkat pendidikan berbeda bermakna pada domain lingkungan dan
p value T
0,0574 0,0550 0,0810 0,0033* -
m-w 0,2999 0,0091*
spiritual. Hal ini dikarenakan kemampuan responden menghadapi masalah kesehatannya dengan rutin mengunjungi fasilitas kesehatan terutama VCT di rumah sakit untuk memperoleh ARV dan pada saat wawancara mayoritas responden mengatakan tidak takut atau cemas dengan kematian karena berserah diri pada sang pencipta dan mereka menyadari kesalahan dimasa lalu. Responden berpendidikan rendah dan tinggi mendapatkan pelayanan gratis ARV secara gratis. Menurut Kuonda et al. (2010), tingkat pendidikan merupakan faktor bermakna dikaitkan dengan akses gratis pengobatan ARV. Pasien tidak berpendidikan lebih mungkin untuk menerima pengobatan gratis dibandingkan dengan pendidikan dasar, menengah atau tinggi dengan OR 2,7 (95% CI 1,3-5,2).
Tabel 6. Analisis Perbedaan Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Pekerjaan Vol. 4 No. 1, Juni 2013 : 1 – 14
7 1
Jurnal
Kesehatan dan Kemasyarakatan
Domain
Pekerjaan (Mean±SD; Median,min-max) Tidak bekerja (13) Bekerja (19) 14 (6-19) 17 (9-19) 11,54±2,02 12,78±2,09 10,38±1,80 13,63±1,57 11±3,69 15,37±2,29 12,69±2,43 15,42±2,19 15 (10-17) 17 (10-19)
ISSN : 2087-5150
t
p value
m-w 0,0154* 0,0035*
1. Fisik 0,0517 2. Psikologi 0,0000* 3. Kemandirian 0,0001* 4. Sosial 0,0012* 5. Lingkungan 6. Spiritual p value t independent test (t); Mann Whitney (m-w); *bermakna p<0,05 (1-tailed)
Dari Tabel 6 didapatkan responden yang tidak bekerja memiliki skor kualitas hidup lebih rendah pada semua domain. Pasien bekerja memiliki kondisi lebih baik dan berperan positif dalam meningkatkan kualitas hidup terutama pada domain kesehatan mental, sosial dan lingkungan (Nojomi et al., 2008). Responden pada penelitian ini mayoritas memiliki pekerjaan yaitu 19 (59,4%) dari 32 responden, hal ini menunjukkan bahwa responden secara fisik masih kuat bekerja untuk mendapatkan penghasilan dan memenuhi kebutuhan hidup seperti biaya trasportasi mengambil ARV di rumah sakit, rekreasi bersama anak dan pasangan mereka. Responden pada penelitian ini mayoritas mengkonsumsi ARV dan patuh terhadap pengobatan sehingga responden memiliki kekuatan untuk bekerja. Hasil penelitian ini berbeda bermakna pada domain fisik, kemandirian,
sosial, lingkungan dan spiritual yang memiliki kesamaan dengan penelitian lain. Pasien yang tidak bekerja memiliki kualitas hidup rendah dan signifikan secara keseluruhan (p=0,01), kemandirian (p=0,004), lingkungan (p=0,001) dibanding pasien yang bekerja (Razavi et al., 2012). Berbeda juga dengan penelitian lain yang menyatakan tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok bekerja dengan tidak bekerja terhadap fungsi psikologis secara keseluruhan hal ini karena 40% HIV/AIDS dipekerjakan (Blalock et al., 2003). Mayoritas dari mereka kerja paruh waktu dan lebih dari setengah yang menganggur sedang mempertimbangkan untuk kembali bekerja atau aktif mencari pekerjaan. Hal ini menunjukkan pekerjaan merupakan keprihatinan utama bagi orang dengan HIV/AIDS.
Tabel 7. Analisis Perbedaan Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Pendapatan Domain
Pendapatan (Mean±SD; Median,Min-Max) Rendah (23) 15 (6-19) 11,69±1,96 11,74±2,18 12,87±3,52 13,65±2,53 16 (10-19)
Tinggi (9) 17 (14-18) 13,78±1,85 13,78±2,05 15,44±3,36 16±2,18 18 (10-19)
p value t
1. Fisik 0,0052* 2. Psikologi 0,0110* 3. Kemandirian 0,0347* 4. Sosial 0,0103* 5. Lingkungan 6. Spiritual p value t independent test (t); Mann Whitney (m-w); *bermakna p<0,05 (1-tailed)
Dari Tabel 7 didapatkan, responden dengan pendapatan rendah memiliki skor Vol. 4 No. 1, Juni 2013 : 1 – 14
m-w 0,0420* 0,0792
kualitas hidup lebih rendah pada semua domain Hal ini dikarenakan mayoritas 8 2
Jurnal
Kesehatan dan Kemasyarakatan
responden memiliki pendapatan rendah dan hanya 9 (28,1%) dari 32 responden yang memiliki pendapatan tinggi. Meskipun mayoritas responden memiliki pekerjaan, namun penghasilan mereka per bulan tergolong rendah (dibawah UMR kota/kabupaten). Sehingga 19 dari 32 responden dalam memenuhi kebutuhannya dibantu oleh keluarga, terutama memberi biaya selama pengobatan seperti pemeriksaan laboratorium (CD4 dan pemeriksaan lainnya), biaya transportasi ke rumah sakit. Namun bagi responden yang memiliki pekerjaan mereka masih mengharapkan bantuan biaya pemeriksaan CD4 dari LSM/Kelompok Dukungan
ISSN : 2087-5150
Sebaya (KDS) untuk mengontrol perkembangan/imunitas. Hasil penelitian ini berbeda bermakna pada domain fisik, psikologi, kemandirian, sosial, dan lingkungan. Menurut Razavi at al. (2012), responden yang memiliki pendapatan sebulan menunjukkan lebih baik QOL pada domain kemandirian dengan kemaknaan statistik (p=0,009). Adanya hubungan signifikan antara pendapatan bulanan dan kualitas hidup. Orang yang memiliki penghasilan bulanan tinggi lebih mungkin untuk memiliki kualitas hidup yang lebih baik (Kuonda et al., 2010; Khumsaen et al., 2012).
Tabel 8. Analisis Perbedaan Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Jumlah CD4 Awal Terdiagnosis Domain
Jumlah CD4 (Mean±SD); Median (Min-Max) ≤ 200 (21) > 200 (11) 16 (6-18) 16 (9-19) 12,09 (± 2,05) 12,64 (± 2,33) 12,48 (± 2,40) 12 (± 2,19) 13,90 (± 3,39) 13 (± 4,12) 14,19 (± 2,64) 14,54 (± 2,73) 16,28 (± 2,30) 14,09 (± 3,33)
t
1. Fisik 0,2518 2. Psikologi 0,2937 3. Kemandirian 0,2553 4. Sosial 0,3617 5. Lingkungan 0,0182* 6. Spiritual p value t independent test (t); Mann Whitney (m-w); *bermakna p<0,05 (1-tailed)
Dari Tabel 8 didapatkan responden dengan jumlah CD4 > 200 memiliki skor kualitas hidup lebih tinggi pada domain psikologi dan lingkungan. Namun pada domain kemandirian, sosial dan spiritual memiliki skor kualitas hidup lebih rendah. Hal ini dikarenakan responden merasa memiliki imunitas yang baik, dari 11 orang responden yang memiliki CD4 > 200, delapan diantaranya tidak memiliki infeksi oportunistik yang secara fisik/citra tubuh tidak terlihat sakit oleh orang lain yang berada di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Mayoritas (28 dari 32 responden) yang ikut dalam penelitian ini sudah mendapat terapi ARV. Sedangkan jumlah CD4 ≤ 200 lebih tinggi pada domain kemandirian, sosial dan spiritual hal ini dikarenakan domain kemandirian Vol. 4 No. 1, Juni 2013 : 1 – 14
p value
m-w 0,4225 -
menyangkut ketergantungan pada obat yaitu ARV dan keinginan yang kuat dari responden untuk pulih. CD4 rendah hanya mempengaruhi domain fisik dan CD4 tidak berpengaruh pada faktor emosional dan sosial (Hasanah et al., 2010). Jumlah CD4 penderita HIV berbeda bermakna hanya pada domain spiritual. Hal ini berkaitan dengan perasaan bersalah dan kekhawatiran responden terhadap kondisi kesehatannya, yang mana pada saat wawancara didapatkan 14 (43,75%) responden mengakui kesalahannya dan khawatir kesalahannya akan terulang oleh anak-anakanya, ada juga responden yang mengatakan takut untuk menikah/berumah tangga. CD4 > 200 sell/mm3 memiliki skor rata-rata signifikan pada domain fisik dan kemandirian (Imam et al., 2011). 9 2
Jurnal
Kesehatan dan Kemasyarakatan
ISSN : 2087-5150
Tabel 9. Analisis Perbedaan Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Tigkat Infeksi Awal Diagnosis Tingkat Infeksi (Median, Min-Max) Simptomatik (24) Asimptomatik (8) 1. Fisik 16 (6-19) 16 (11-19) 2. Psikologi 12,04 (± 2,09) 13 (± 2,20) 3. Kemandirian 12,37 (± 2,24) 12,12 (± 2,64) 4. Sosial 13,46 (± 3,75) 14 (± 3,38) 5. Lingkungan 14,08 (± 2,73) 15 (± 2,33) 6. Spiritual 15,71 (± 2,91) 15 (± 2,78) p value t independent test (t); Mann Whitney (m-w) Domain
Pada Tabel 9 didapatkan responden dengan tingkat infeksi asimptomatik memiliki skor kualitas hidup lebih tinggi pada domain psikologi, sosial dan lingkungan. Namun pada domain kemandirian dan spiritual memiliki skor kualitas hidup lebih rendah. Responden pada penelitian ini mayoritas memiliki tingkat infeksi simtomatik 24 (75%) pada awal di diagnosis. Meskipun memiliki gejala hingga timbulnya infeksi oportunistik, responden berkeinginan kuat untuk pulih dengan mengikuti aturan pengobatan ARV dan berusaha mematuhinya. Hal ini juga didukung oleh motivasi dari petugas VCT kepada responden dan keluarga yang mengetahui status responden. Hasil penelitian ini tidak terdapat perbedaan bermakna pada tingkat infeksi
t
p value
0,1386 0,3977 0,3601 0,2013 0,2758
m-w 0,6600 -
di semua domain. Pasien HIV asimptomatik memiliki skor signifikan lebih tinggi pada domain fisik, psikologi (Folasire et al., 2012). Pasien asimptomatik memiliki skor rata-rata signifikan pada domain fisik dan kemandirian daripada responden dengan gejala/AIDS. Mereka yang sakit dibebani dengan gejala fisik penyakit yang mengalami perubahan dan mengganggu HQOL (Imam et al., 2011). Pasien HIV yang memiliki tingkat infeksi simptomatik 3,31 kali lebih rendah kualitas hidupnya dibanding tingkat infeksi asimptomatik.33 Pasien tanpa gejala dilaporkan memiliki kualitas hidup baik dibandingkan dengan gejala atau diagnosis AIDS (Smith et al., 2004).
Tabel 10. Analisis Perbedaan Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Terapi ARV Domain 1. Fisik 2. Psikologi
Terapi ARV (Median,Min-Max) Tidak ARV (4) ARV (28) 12 (6-13) 16,5 (9-19) 10 (10-14) 13 (8-16)
9,5 (8-11) 13 (7-17) 3. Kemandirian 12,5 (8-16) 13,5 (5-20) 4. Sosial 13 (12-16) 15 (8-19) 5. Lingkungan 15 (15-16) 16 (10-19) 6. Spiritual p value Mann Whitney; *bermakna p<0,05 (1-tailed)
Vol. 4 No. 1, Juni 2013 : 1 – 14
p value (m-w) 0,0048* 0,1900 0,0099* 0,2869 0,3734 0,3883
10 1
Jurnal
Kesehatan dan Kemasyarakatan
Pada Tabel 10 didapat responden mengkonsumsi ARV memiliki skor kualitas hidup lebih tinggi pada semua domain. Responden pada penelitian ini mayoritas mengkonsumsi ARV yaitu 28 (87,5%) dari 32 responden dan hanya 4 responden yang belum mengkonsumsi ARV dikarenakan 1 responden belum mengurus kepindahan daerah domisili, 2 orang pada saat penelitian sedang mengambil ARV dan 1 orang sedang dalam kondisi alergi terhadap makanan sehingga ARV dihentikan sementara. Terdapat perbedaan bermakna responden mengkonsumsi ARV pada domain fisik dan kemandirian. Hal ini terkait ketergantungan responden terhadap
ISSN : 2087-5150
ARV yang harus dikonsumsi secara rutin seumur hidup dan mayoritas responden mengkonsumsi ARV > 12 bulan 14 (43,7%). Tidak ada perbedaan bermakna kualitas hidup pada penderita HIV yang menggunakan terapi ARV dengan yang tidak menggunakan ART.28 Hal ini dikarenakan relatif kecil jumlah peserta perempuan dan pasien dengan AIDS sehingga ART tidak dapat mempengaruhi kualitas hidup. Pasien yang menerima ARV selama 3 bulan atau lebih menunjukkan 10,27 kali memiliki kualitas hidup lebih baik dibanding pasien yang tidak menerima ARV selama < dari 3 bulan (Astoro et al., 2007).
Tabel 11. Analisis Perbedaan Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Kepatuhan Obat Domain 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Fisik Psikologi Kemandirian Sosial Lingkungan Spiritual
Kepatuhan Obat ARV (Median- Min-Max) Tidak patuh (2) Patuh (26) 11 (9-13) 17 (9-19) 10,5 (10-11) 13 (8-16) 11,5 (10-13) 13 (7-17) 11 (5-17) 13,5 (5-20) 13,5 (12-15) 15 (8-19) 11,5 (11-12) 16,5 (10-19)
p value (mw) 0,0265* 0,1739 0,3614 0,6522 0,5005 0,0868
p value Mann Whitney; *bermakna p<0,05 (1-tailed)
Pada Tabel 11 didapatkan responden patuh pada pengobatan ARV memiliki skor kualitas hidup lebih tinggi pada semua domain dan berbeda bermakna hanya pada domain fisik. Hal ini dikarenakan pada saat wawancara pasien mengatakan ARV merupakan penyambung hidup agar mereka memiliki energi untuk beraktifitas, selain itu semua pasien yang datang ke VCT mendapatkan pelayanan ARV secara gratis, ketersediaan ARV yang cukup, pasien merasa nyaman berada di dalam ruang VCT, lebih privasi dan petugas VCT memberikan pelayanan dengan baik, tidak ada stigma yang dirasakan pasien. Masalah kesehatan mental di kalangan orang yang terinfeksi HIV mungkin memiliki efek negatif yang Vol. 4 No. 1, Juni 2013 : 1 – 14
cukup besar pada kualitas hidup, mempengaruhi kebutuhan dan penggunaan pelayanan kesehatan, kepatuhan terhadap pengobatan, dan mempengaruhi hasil kesehatan (Smith et al., 2004). Meskipun pada awal mengkonsumsi ARV pasien mengalami beberapa efek samping namun pasien tetap mengkonsumsi ARV sesuai aturan. Dari 28 orang responden yang mengkonsumsi ARV hanya 2 responden yang tidak patuh terhadap pengobatan dengan alasan lupa dan sibuk bekerja. Rata-rata lebih dari 96 minggu, pasien yang terus-menerus mengikuti aturan pengobatan dari awal menunjukkan peningkatan dalam kualitas hidup (Nieuwkerk et al., 2001). 11 1
Jurnal
Kesehatan dan Kemasyarakatan
ISSN : 2087-5150
Tabel 12. Analisis Perbedaan Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Dukungan Keluarga Dukungan Keluarga (Mean±SD) Tidak (10) Ya (22) 17 (9-19) 16 (6-19) 1. Fisik 13±2,26 11,95±2,03 2. Psikologi 12,6±3,02 12,18±1,97 3. Kemandirian 12,5±5,13 14,09±2,69 4. Sosial 14±2,79 14,45±2,61 5. Lingkungan 15,2±3,01 15,68±2,83 6. Spiritual p value t independent test (t); Mann Whitney (m-w) Domain
Pada Tabel 12 didapatkan responden yang mendapatkan dukungan keluarga lebih tinggi kualitas hidupnya pada domain kemandirian, sosial, lingkungan dan spiritual tetapi tidak berbeda bermakna pada semua domain. Responden memiliki kualitas hidup lebih tinggi pada domain lingkungan (sumber pendapatan dan kesehatan), didukung oleh peran keluarga terhadap kebutuhan responden seperti memberi biaya berobat 19 (59,4%), domain kemandirian (ketergantungan pada obat), keluarga mengingatkan minum obat 22 (65,6%), domain sosial (hubungan personal, suport sosial), 15 dari 32 responden telah mengikuti kegiatan KDS.
t
0,1014 0,3211 0,1871 0,3291 0,3325
p value
m-w 0,2672 -
Mayoritas responden pada penelitian ini mengungkapkan status penyakitnya dan mendapat dukungan dari keluarga yaitu 22 (68,7%) responden. Tidak ada perbedaan bermakna dukungan keluarga terhadap kualitas hidup penderita HIV, penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian lain. Secara keseluruhan ada hubungan yang kuat antara fungsi keluarga dan kualitas hidup individu. Hal ini dikarenakan secara tradisional, Cina adalah masyarakat yang sangat berorientasi pada keluarga yang mana individu jarang membuat keputusan tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan keluarga mereka (Li et al., 2009).
Tabel 13. Analisis Multivariat Regresi Linier Ganda Terhadap Enam Domain Kualitas Hidup Variabel Independen Pendidikan Pekerjaan Kepatuhan pengobatan ARV Dukungan keluarga Tingkat infeksi
Dari Tabel 25 didapatkan pendidikan, pekerjaan dan kepatuhan terhadap pengobatan merupakan faktor terkuat mempengaruhi kualitas hidup penderita HV/AIDS. Kepatuhan ART berkontribusi terhadap hasil perbaikan klinis HIV, yang bisa menghasilkan kualitas hidup lebih baik (Mannheimer et al., 2005). Tingkat klinis penyakit Vol. 4 No. 1, Juni 2013 : 1 – 14
P value 0,0141 0,0321 0,0285 0,0823 0,0808
merupakan prediktor paling penting dari kualitas hidup (Nojomi, 2008). Pendidikan penting bagi kesehatan karena menciptakan kesempatan untuk mendapatkan kondisi hidup yang lebih baik. Orang berpendidikan lebih tinggi kemungkinan tidak akan menjadi pengangguran, dan lebih cenderung bekerja penuh waktu, memiliki pekerjaan 12 1
Jurnal
Kesehatan dan Kemasyarakatan
yang memuaskan, dan penghasilan tinggi (Regidor et al., 2002). SIMPULAN Tingkat pendidikan berbeda bermakna pada domain lingkungan dan spiritual. Pekerjaan berbeda bermakna pada domain fisik, kemandirian, sosial, lingkungan dan spiritual. Pendapatan berbeda bermakna pada domain fisik, psikologi, kemandirian, sosial dan lingkungan. Jumlah CD4 berbeda bermakna pada domain spiritual. Terapi ARV berbeda bermakna pada domain fisik dan kemandirian. Kepatuhan terhadap pengobatan ARV berbeda bermakna pada domain fisik. SARAN Mengembangkan keterampilan yang dimiliki responden terutama pada wanita untuk melatih kemandirian guna menunjang kondisi ekonominya. Meningkatkan peran keluarga dalam mendukung kebutuhan pasien seperti mendampingi ke pelayanan kesehatan dan mengingatkan minum obat. Memotivasi ODHA untuk aktif mengikuti kegiatan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS). ODHA diharapkan bersikap terbuka kepada petugas kesehatan yang ada di ruang VCT untuk mengungkapkan perasaan, keinginan, harapan dan kebutuhan serta tetap mempertahankan kepatuhan terhadap pengobatan ARV. DAFTAR PUSTAKA Astoro,
N.W., Djauzi, S., Djoerban, Z., Prodjosudjadi, W. Quality of life of HIV patients and influential factors. Acta Med Indones. Jan–Mar 2007; 39(1):2-7. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/172 97202 [accessed] Blalock, A.C, Mcdaniel, J.S and Farber, E.W. Effect of Employment on Quality of Life and Psychological Functioning in Patients With HIV/AIDS Academy of
Vol. 4 No. 1, Juni 2013 : 1 – 14
ISSN : 2087-5150
Psychosomatics Medicine SeptemberOctober 2002. 43:5, Bhat, V.G., Ramburuth, M., Singh, M., Titi, O., Antony, A.P., Chiya, L., Irusen, E.M., Mtyapi, P.P., Mofoka, M.E., Zibeke, A., Chehre-sao, A., Gwadiso, N., Sethathi, N.C., Mbondwana, S.R., Msengana, M. Factors associated with poor adherence to anti-retroviral therapy in patients attending a rural health centre in South Africa Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2010. 29:947– 953 Chandra, P.S., Gandhi, C., Satishchandra, P., Kamat, A., Desai, A., Ownby, R.L., Subbakrishna, D.K & Kumar, M. Quality of life in HIV subtype C infection among asymptomatic subjects and its association with CD4 counts and viral loads – a study from South India. Quality of Life Research. Journal of Psychosomatic Research. 2006. 15:1597–1605 Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Measuring Healthy Days Population Assessment of Health-Related Quality of Life. CDC Atlanta, Georgia. 2000 Dinas Kesehatan Jateng. Profil Kesehatan Jawa Tengah Tahun 2010. Provinsi Jawa Tengah. 2010 Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali, Profil Kesehatan Kabupaten Boyolali Tahun 2011, Kabupaten Boyolali. 2012 Departemen Kesehatan, R.I. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan Bagi ODHA. Jakarta. 2003. Dahlan, S. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 2. Jakarta: 2009. Salemba Medika: 65-69 Dahlan. S. 2009. Tiga Belas Penyakit Statistik. Edisi 4. Jakarta Folasire, O.F., Irabor, A.E., Folasire, A.M. Quality of life of People living with HIV and AIDS attending the Antiretroviral Clinic, University College Hospital, Nigeria. 2012 Fatiregun., Mofolorunsho., Osagbemi. Quality Of Life Of People Living With Hiv/Aids In Kogi State, Nigeria. Benin Journal of Postgraduate Medicine. Vol. 11 No. 1 December, 2009. Gabriel, Z and Bowling, A. Quality of life from the perspectives of older people. Cambridge University Press. 2004 Hasanah, C.I., Zaliha, A.R., Mahiran, M. Factors Influencing the quality of Life in patients with HIV in Malaysia. Quality of Life Research Springer Science+Business Media. 2010.
13 2
Jurnal
Kesehatan dan Kemasyarakatan
Imam, Karim, Ferdous, Akhter. Health related quality of life among the people living with HIV. Bangladesh Med Res Counc Bull 2011; 37: 1–6 Kementerian Kesehatan R.I. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2010. Kementerian Kesehatan R.I. Jakarta. 2011 Kouanda, S., Bocouma F.Y., Doulougoua B., Bilaa B., Yame´ogo, M., Sanou, M.J., Sawadogo, M., Sondo, B., Msellatid, P and Desclauxd, A. User fees and access to ARV treatment for persons living with HIV/AIDS: implementation and challenges in Burkina Faso, a limitedresource country. AIDS Care Vol. 22, No. 9, September 2010, 1146–1152 Khumsaen, N., Aoup-por, W., Thammachak, P. Factors Influencing Quality of Life Among People Living With HIV (PLWH) in Suphanburi Province, Thailand. Journal of The Association of Nurses in AIDS Care. 2012. 23: 63–72. Lemeshow, S., Hosmer, Jr. D. W., Klar, J., Lwanga, S. K (1997) Besar sampel dalam penelitian kesehatan, Pramono, D. (terjemahan), Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Li, L., Lin, C., Ji, G., Sun, S., Rotheram-Borus, M.J. Parents Living with HIV in China: Family Functioning and Quality of Lif.e J Child Fam Stud. 2009. 18:93–101 Nojomi, M., Anbary K., Ranjbar, M. HealthRelated Quality of Life in Patients with HIV/AIDS. Archives of Iranian Medicine, Volume 11, Number 6, 2008: 608 – 612. Nieuwkerk P, Gisolf E, Reijers M, Lange J, Danner S, Sprangers M, NATIVE Study Group, PROMETHEUS Study Group, ADAM Study Group. Long-term quality of life outcomes in three antiretroviral treatment strategies for HIV-1 infection. AIDS 2001; 15:1985–91 O’Connell, K.A and Skevington, S.M. An International Quality of Life Instrument to Assess Wellbeing in Adults Who are HIV Positive: A Short Form of the WHOQOLHIV (31 items). AIDS Behav. 2012. 16:452–460 Pohan, H.T. Opportunistic Infection of HIVinfected/AIDS Patients in Indonesia: Problems and Challenge. Acta Med Indones-Indones J Intern Med. 2006. Vol 38, Number 3 Parslow, R., Jorm, A., Christensen, H., Jacomb, P., Rodgers, B. Gender differences in factors
Vol. 4 No. 1, Juni 2013 : 1 – 14
ISSN : 2087-5150
affecting use of health services: an analysis of a community study of middleaged and older Australians. Elsevier. Social Science & Medicine 2004. 59: 2121-2129 Ruutel, K., Pisarev, H., Loit, H.M., Uuskula, A. Factors Influencing Quality of Life of People Living With HIV in Estonia: A Cross-sectional survey. Journal of the International AIDS Society. 2009. 12:13. Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta. Profil Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2011. Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta In Press. 2012 Rwidikdo, H. Statistik Kesehatan. Mitra Cendikia Press. Yogyakarta: . p.151–161. Regidor, E., de Mateo, S., Calle M.E, Domínguez, V. Educational level and mortality from infectious diseases. J Epidemiol Community Health 2002;56:682–683 Razavi, P., Hajifathalian, K., Saeidi, B., Djavid, G.E., Rasoulinejad, M., Hajiabdolbaghi, M. et al. Quality of Life among Persons with HIV/AIDS in Iran: Internal Reliability and Validity of an International Instrument and Associated Factors. AIDS Research and Treatment. 2012. Available from: http://www.hindawi.com/journals/art/2012 /849406/. [accessed] Sastroasmoro, S dan Ismael, S. (Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ketiga. Jakarta: 2010. Sagung Seto: 95. Smith, B.D and Bride, B.E. Positive Impact: A Community-Based Mental Health Center for People Affected by HIV. 2004. Health and Social Work. Available from: http://www.questia.com/googleScholar.qst ?docId=5006267729. [accessed] United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAID). Hidup Bersama HIV dan AIDS: Informasi Bagi Karyawan di Semua Badan PBB Beserta Keluarganya. Jakarta. 2004 World Health Organization. HIV/AIDS Fact and Sheet, Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheet s/fs360/en/index.html [accessed]. 2011 World Health Organization. WHOQOL-HIV Bref, Mental Health Evidence and Research. Departement of Mental Health and Substance Dependence. Geneva. 2002 World Health Organization. WHOQOL-Bref, Field Trial Version. Geneva. 1996
14 3
UNIVERSA MEDICINA January-April, 2015
Vol.34 - No.1
Family support is not a risk factor of negative self-esteem in HIV/AIDS women Jean Valeria*, Surilena**, Yanto Budiman***, Samsuridjal Djauzi****, and Haridana Indah**** ABSTRACT *Medical Profession Program, Faculty of Medicine, Atma Jaya Catholic University of Indonesia, Jakarta **Department of Psychiatry, Faculty of Medicine, Atma Jaya Catholic University of Indonesia, Jakarta ***Department of Radiology, Faculty of Medicine, Atma Jaya Catholic University of Indonesia, Jakarta ****Dharmais Cancer Hospital, Jakarta Correspondence Jean Valeria Medical Profession Program, Faculty of Medicine, Atma Jaya Catholic University of Indonesia Jl. Pluit Raya No.2 Jakarta Utara 14440 Mobile: +6285641332222 Email:
[email protected] Univ Med 2015;34:61-7 DOI: 10.18051/UnivMed.2015.v34.061
BACKGROUND Women with HIV/AIDS (WLWHA) have a complex psychosocial burden and a tendency to negative self-esteem, possibly resulting in mental and emotional problems. They need family support to deal with the HIV/AIDS infection and its psychosocial burden. The purpose of this study was to determine chacteristics of family support, self-esteem, and depression of WLWHA and the relationship between family support and self-esteem and depression. METHOD This was a cross-sectional study of 99 WLWHA infected through their husbands/partners, with no history of drug abuse. The data was taken by a consecutive sampling of two proportions test at Dharmais Cancer Hospital from November 2013 – January 2014. The instruments comprised a demographic questionnaire, the Rosenberg Self-Esteem questionnaire, the Hamilton Depression Rating Scale (HDRS), and a family support questionnaire. The data was analyzed by binary logistic regression. RESULTS There were 99 respondents with mean age of 36 years, of whom 44.4% were high school graduates, 54.5% unemployed, and 91.9% had HIV/ AIDS for more than a year. Binary logistic regression analysis showed no significant relationship between family support and self-esteem (p=0.700) and depression (p=0.396). Good family support has a protective effect of 1.3 times (OR=0.772; 95%CI: 0.138-3.770) towards increasing self-esteem, whereas poor family support increases the risk of depression 1.5 times (OR=1.477; 95%CI: 0.598-3.645) in WLWHA infected with HIV/AIDS from their husband/partner. CONCLUSIONS Good family support tend to have a protective effect towards increasing self-esteem, whereas poor family support increases the risk of depression in WLWHA infected with HIV/AIDS from their husband/partner. Keywords: HIV/AIDS, self-esteem, depression, family support, women
61
Valeria, Surilena, Budiman, et al
Negative self-esteem in HIV/AIDS women
Dukungan keluarga bukan merupakan faktor resiko terhadap self-esteem pada perempuan dengan HIV/AIDS ABSTRAK PENDAHULUAN Perempuan yang terinfeksi HIV/AIDS (ODHA perempuan) memiliki beban psiko-sosial kompleks dan cenderung dengan self-esteem negatif yang dapat berlanjut dengan gangguan mental emosional. Dalam menghadapi infeksi dan beban psikososial HIV/AIDS, ODHA perempuan membutuhkan dukungan keluarganya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dukungan keluarga, self-esteem, dan depresi pada perempuan dengan HIV/AIDS, serta hubungan antara dukungan keluarga dengan self-esteem dan depresi. METODE Desain penelitian ini adalah cross-sectional pada 99 perempuan yang terinfeksi HIV dari suami/pasangannya, tidak ada riwayat penyalahgunaan Napza, secara consecutive sampling dari uji dua proporsi di RS Kanker Dharmais, November 2013 – Januari 2014. Instrumen penelitian adalah kuesioner demografi, Rosenberg Self-Esteem, Hamilton Depression Rating Scale (HDRS), dan dukungan keluarga (keluarga suami/pasangannya). Data dianalisis dengan binary logistic regression HASIL Terdapat 99 responden dengan rerata usia 36 tahun, 44,4% pendidikan SMA, 54.5% tidak bekerja (ibu rumah tangga), dan 91,9% menderita infeksi HIV/AIDS lebih dari satu tahun. Analisis binary logistic regression menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara dukungan keluarga dengan self-esteem (p=0,700) dan depresi (p=0,396). Dukungan keluarga yang baik memiliki efek protektif sebesar 1,3 kali (OR=0,772; 95%CI: 0,1383,770) terhadap peningkatan self esteem dan dukungan keluarga yang buruk meningkatkan resiko untuk terjadinya depresi sebesar 1,5 kali (OR=1,477; 95%CI: 0,598-3,645) pada ODHA perempuan yang terinfeksi dari pasangan /suaminya. KESIMPULAN Dukungan keluarga yang baik cenderung memiliki efek protektif terhadap peningkatan self esteem dan dukungan keluarga yang buruk meningkatkan resiko akan terjadinya depresi pada ODHA perempuan yang terinfeksi dari pasangan /suaminya. Kata kunci: HIV/AIDS, self-esteem, depresi, dukungan keluarga, perempuan
INTRODUCTION Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) is an end stage manifestation of human immunodeficiency virus (HIV) infection which causes opportunistic infection due to immune deficiency.(1) World Health Organization data for 2011 show that 49% of people living with HIV/ AIDS (PLWHA) worldwide are women, with the highest mode of transmission being sexual intercourse.(2) In Indonesia, the highest mode of 62
transmission in 2012 was 48.7% through sexual intercouse and 42.4% through injection. In 2012, the Indonesian Health Minister stated that housewifes are threatened with HIV/AIDS infection because the majority of men using the services of sexual workers do not use condoms. (3) The United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) report that 34 million people worldwide are infected with HIV/AIDS, among whom 16.7 million women, while 22% of new cases are women.(4)
Univ Med
According to WHO criteria, HIV/AIDS stages are determined from the severity of the disease. The first stage is asymptomatic, the second shows a decrease in immune system functioning, and clinical manifestations begin to start, such as weight loss (<10%), recurrent pulmonary infection, herpes zoster, oral ulcer, etc. In the third stage, the symptoms grow worse, with weight loss of >10%, persistent diarrhea, persistent fever, persistent oral candidiasis, hairy leukoplakia, tuberculosis, anemia (<8 g/dL), etc. The fourth stage is the final stage, with wasting syndrome, pneumocystis pneumonia, extrapulmonary tuberculosis, chronic herpes simplex, Kaposi’s sarcoma, toxoplasmosis, encephalopathy, meningitis, etc.(4) HIV/AIDS causes physical and psychosocial impacts which vary between individuals. Women living with HIV/AIDS (WLWHA) have a heavier psychosocial burden compared to men. The psychosocial burden faced by WLWHA is complex, comprising changes in self-esteem, care of HIV/AIDS-infected family members, death of family members, and working to financially support the family if their husband dies, losing their custody, infecting their children and guilt. Women living with HIV/AIDS also face the stigma and discrimination from the neighbourhood and family, and other issues regarding social aspects such as social relations with their friends and family.(5,6) The psychosocial burden of WLWHA may cause a negative selfesteem, mental and emotional health problems which could lead to a mental emotional disorder.(7-9) Depression is one of the mental disorders encountered in WLWHA, with an incidence of around 5% - 48%.(10) Family support has a role in self-esteem development in WLWHA. The family plays a role in giving emotional support in the form of empathy, affection, affording treatment, motivating a healthy life style, and encouraging them to take their medicine regularly.(11) Research shows that family support in WLWHA is needed in several conditions, such as decision making, going through treatment and rehabilitation,
Vol. 34 No.1
facing infection and the psychosocial impact of HIV/AIDS, and facing their future.(12) Li et al.(11) stated that family support gives a positive impact to WLWHA in various forms, the most significant coming from their partner and siblings. The aim of the present research was to determine the relationship between family support and self-esteem and between family support and depression, in women infected with HIV/AIDS from their partner/husband. METHODS Research design The design used in this research was a cross sectional and the research was conducted between November 2013 – January 2014 at Dharmais Cancer Hospital, Jakarta. Research subjects The subjects were 99 women infected with HIV/AIDS from their partner/husband, aged 1660 years, with no history of drug abuse, with family, able to read and write, never having engaged in sexual intercourse with others than their husband/partner. They were excluded if they had a record of serious mental health issues, such as psychosis and mental retardation. The diagnoses had been established previously by a specialist in internal medicine and stated in the medical records. The sample were obtained through consecutive sampling by two proportions test. Measurements The instruments used in this research were a demographic questionnaire on age, educational, marital, and occupational status, number of children, and number of children with HIV/ AIDS, economic status, duration of illness, HIV/ AIDS stage, and CD4+ titer. Self-esteem was measured by the Rosenberg Self-Esteem questionnaire of ten questions with four response options, with a different score on each option, giving one total score; self-esteem was positive if the total score was >15 and negative if the 63
Valeria, Surilena, Budiman, et al
score was <15. (13) The Hamilton Depression Rating Scale (HDRS) of 17 questions was used to measure depression, with each question having a different score. Total scores are interpreted as follows: 0-7 = no depression (normal mental state); 8-13 = mild depression; 14-18 = moderate depression; 19-22 = severe depression; and >23 = very severe depressions. A family support questionnaire of 20 questions with five different response options was used to measure family support, stated as supportive if the total score is >60, and not supportive if the total score is <60. Statistical analysis The data were analyzed using binary logistic regression analysis for the relationship between family support and self-esteem, and between family support and depression. Multiple logistic regression analysis was used to examine the relationship between determinant factors and family support. Ethical clearance This research had been approved by Ethical Clearance Committee Faculty of Medicine of Atma Jaya Catholic University of Indonesia at April 29th, 2014. RESULTS The results showed that the 99 women infected with HIV/AIDS from their partner/ husband had a mean age of 36 years, 44.4% were graduated from high school, 54.5% were unemployed (housewife), 98% were married, 82.8% had children, and 57.6% had a satifactory economical status with an income of more than Rp 2,200,000 per month. The research also showed that 91.9% respondents had been infected with HIV/AIDS for more than a year, 39.4% were in the third stage, and 92.9% had a CD4+ count of <200 cell/mm3 (Table 1). The results of this research indicate that as many as 93.9% of respondents have a positive
64
Negative self-esteem in HIV/AIDS women
Table 1. Demographic characteristics, selfesteem, family support, and depression of HIV/AIDS women
Univ Med
Vol. 34 No.1
Table 2. Relationship between family support and self-esteem and between family support and depression in WLWHA
self-esteem. The depression status showed that 72.7% had depression, with 32.3% having mild depression, 17.2% moderate depression, 13.1% severe depression, and 10.1% very severe depression The family support data showed that 57.6% of respondents had a supportive family. The results of the binary logistic test showed no significant relationship (p=0.700) between family support and self-esteem and between family support and depression (p=0.396) in WLWHA. Good family support has a protective effect of 1.3 times (OR=0.772; 95%CI, 0.1383.770) towards an increase in self-esteem and poor family support increases the risk of depression 1.5 times (OR=1.477; 95%CI, 0.5983.645) in WLWHA infected with HIV/AIDS from their husband/partner (Table 2). DISCUSSION The results of this study indicate that as many as 93.9% of respondents have a positive self-esteem. These results differ from other studies, which showed that 84.62% injecting drug users (IDU) with HIV/AIDS had a negative self-esteem.(14,15) A study on 48 HIV/AIDS inpatients (30 males and 18 females) in Brazil showed that both genders had depression and anxiety. (16) Another study was conducted in Thailand on 409 people living with HIV, consisting of 112 (27.4%) men and 297 (72.6%) women, among whom there were 207 couples (married or living together) with on average 1.4 children aged 6 to 17 years. The study confirmed the importance of family support for people living with HIV in Thailand.(17) The present study showed that 72.7% of the respondents had depression, with 32.3%
having mild depression, 17.2% having moderate depression, 13.1% having severe depression, and 10.1% very severe depression. Another study stated that HIV/AIDS poses a complex problem, comprising physical, social, and emotional problems. A weak physical condition, threats of death, and the psychosocial burden of people living with HIV are likely to cause mental emotional or psychosocial problems. (18) The psychosocial burden of WLWHA is greater than that of men. Douaihy stated that one of the greatest emotional issues experienced by WLWHA was depression. Their number was higher than the general population prevalence of depression, which was about 5-10%. (19) Mascolini (20) stated that 17.9% of women and 14.3% of men living with HIV/AIDS suffered from depression. WLWHA must be a care giver for their husband or children infected with HIV/ AIDS, become the “head of the family”, and face social stigma and discrimination. Another research showed that 54% of WLWHA had a psychopathological disorder, 20% had major depression, 18% had a maladaptive behavior, and 74% had drug abuse.(21) Holmes et al.(22) showed that depression affects patient self care. Depression can contribute to a decrease in physical and mental health, causes a reluctance to perform daily self-care routines and to undergo treatment, lack of appetite, lack of excercise, and insomnia that may cause complications aggravating the disorders. Li et al.(11) stated that depression can lead to reluctance to seek help in the form of treatment, care, and to look for information about the disease, which in turn could exacerbate the degree of health. The results of our research showed that 57.6% of respondents had good family support.
65
Valeria, Surilena, Budiman, et al
These results are consistent with those of a previous research in 2012 which showed that PLWHA had good family support.(16,19) Jones and Weissmam (21) stated that family support is necessary for PLWHA as a major support system so that they may develop adaptive responses in dealing with stressors and/or infection-related impacts in facing HIV/AIDS. Li et al,(11) reported that family support can have a positive impact on the quality of life of PLWHA. Our results are consistent with other research showing that there was no significant relationship between family support and selfesteem in WLWHA.(13) This might be because 93.9% of the respondents of the present research had a positive self-esteem and 57.6% had good family support. These results are consistent with Unnikrishnan et al. (23) study showing that there was no significant relationship between family support and depression. Li et al. (11) suggested that PLWHA experiencing life situations where they often face their own condition without the support of friends or family, could suffer from anxiety, depression, guilt, and suicidal behavior or thoughts. Li et al.(11) also stated that significant HIV/AIDS -related stigma and discrimination had a negative impact on psychological wellbeing, and that social support was shown to lower the level of depression in PLWHA after controlling for gender, age, economic status, and level of education. Family support had a positive influence toward the psychosocial aspect as a whole.(24) A limitation of this study was the short time for interview with each respondent, since most of them could give only a little of their time for the interview, so in-depth interviews were not possible. In addition, there was no private room for the interviews, so that some of them had to be done in open space where people passed by. This uncomfortable situation made the respondents feel insecure to give information about their health status and related problems. This study hopes for the comprehensive treatment of WLWHA, on either physical or 66
Negative self-esteem in HIV/AIDS women
emotional aspects. WLWHA need support from their family, partner, friends, and social relations to deal with HIV/AIDS infection, medication, and psychosocial impact. Family support of WLWHA today is still low. This condition can lead to mental emotional problems among WLWHA, such as depression and anxiety, and can reduce their treatment adherence and quality of life. (25,26) Further studies should be done on WLWHA infected for less than a year and on the assessment of support from the women’s family, so increasing the probability of determining the true relationship between family support, self-esteem, and depression. CONCLUSION Family support is an important factor needed by WLWHA in their recovery process. Good family support has a protective effect towards increasing self-esteem, whereas poor family support increases the risk of depression in WLWHA infected with HIV/AIDS from their husband/partner. ACKNOWLEDGMENT The authors would like to thank the Dharmais Cancer Hospital for the opportunity to carry out this research. REFERENCES 1.
2.
3. 4.
Komisi Penanggulangan AIDS. Strategi dan rencana aksi nasional penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2010-2014. Jakarta: Komisi Penanggulangan AIDS;2010. United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). Global AIDS response: country progress report. Reporting period January 2010 to December 2011. Geneva: United Nations Programme on HIV/AIDS; 2011. Djoerban Z. Problematika perempuan terinfeksi HIV. Support 2010;80:11-4. World Health Organization. Antiretroviral therapy for HIV infection in adult and adolescents towards universal access.
Univ Med
5.
6. 7.
8.
9.
10.
11. 12.
13.
14. 15.
Recommendations for a public health approach. 2010, Revision. Geneva: World Health Organization; 2010. Pearson CR, Micek MA, Pfeiffer J, et al. One year after ART initiation: psychosocial factors associated with stigma among HIV-positive Mozambicans. AIDS Behav 2009;13:1189-96. Schweitzer AM, Mizwa MB, Ross MW. Psychosocial aspects of HIV/AIDS adults. Baylor Int Ped AIDS Initiative 2010;334-49. Cornet M. Overcoming barriers in ART adherence: the role of social support and counselling in antiretroviral treatment in Kayunga, Uganda. Clin Infect Dis 2009;33:705– 10. Handajani YS, Djoerban Z, Irawan H. Quality of life people living with HIV/AIDS: out patient in Kramat 128 Hospital, Jakarta. Acta Med Indones 2013;10:122-7. Mazzafero KE, Murray PZ. Depression, stress, and social support as predictors of HIV/AIDS in young women. J Adolesc Health 2009;39:33744. Surilena. Efek terapi pendekatan perilaku emosi rasional pada kepatuhan pengobatan anti retroviral perempuan yang terinfeksi HIV/AIDS [disertasi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2012. Li L, Wu S, Wu Z, et al. Understanding family support for people living with HIV/AIDS in Yunnan, China. AIDS Behav 2006;10:509-17. Tamplin A, Goodyer IM. Family functioning in adolescents at high and low risk for major depressive disorder. Eur Child Adolesc Psychiatry 2001;10:170-9. Ramiro MT, Teva I, Bermúdez MP, et al. Social support, self-esteem and depression: relationship with risk for sexually transmitted infections/HIV transmission. Int J Clin Health Psychol 2013;13: 181-8. Asante KO. Social support and the psychological well-being of people living with HIV/AIDS in Ghana. Afr J Psychiatry 2012;15:341-5. Rosenberg J. HIV stigma is linked to lack of HIVrelated knowledge. Int Perspec Sexual Reprod Health 2009;35:112.
Vol. 34 No.1 16. Capitao CG, Finotelli I Jr, de Macena CS. Evaluation of depression and anxiety on HIV/ AIDS in-patient. J AIDS HIV Res 2011;3:2406. 17. Rotheram-Borus MJ, Stein JA, Jiraphongsa C, et al. Benefits of family and social relationships for Thai parents living with HIV. Prev Sci 2010; 11:298–307. 18. Palmer AK, Duncan KC, Ayalew B, et al. “The way I see it”: the effect of stigma and depression on self-perceived body image among HIVpositive individuals on treatment in British Columbia, Canada. AIDS Care 2011;23:145666. doi: 10.1080/09540121.2011.565021. 19. Douaihy R. The association between self-esteem and anxiety. Am J Psychiatry 2005;1:135-9. 20. Mascolini M. More depression in HIV+ women than men, regardless of ART, in 15-country Study. 2nd International Workshop on HIV & Women. Maryland; 2012. 21. Jones MJ, Weissmam M. Anxiety greatly impairs treatment adherence. Am J Psychiatry 2008;127: 118-22. 22. Holmes BD, Marzillier EBC, Ulman G,et al. Self care, psychological distress and HIV diseases. J Assoc Nurse AIDS Care 2007;4:1514-20. 23. Unnikrishnan B, Jagannath V, Ramapuram JT, et al. Study of depression and it’s associated factors among women living with HIV/AIDS in coastal South India. Retrovirol 2012;9 Suppl 1:S137. doi:10.1186/1742-4690-9-S1-P137. 24. Hartzell JD, Janke IE, Weintrob AC. Impact of depression on HIV outcomes in the HAART era. J Antimicrob Chemother 2008;62:246-55. 25. Kusuma H. Hubungan antara depresi dan dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang menjalani perawatan di RSUPN Cipto Mangunkusumo [tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2010. 26. Ria HT, Wirawan HE. Gambaran stres perempuan yang terinfeksi HIV dalam menjalani perannya berumah tangga. Arkhe 2007;12:12632.
67
EPIDEMIOLOGI
HIV/AIDS di Indonesia : Fenomena Gunung Es dan Peranan Pelayanan Kesehatan Primer
Hardisman*
Abstrak Masalah HIV/AIDS di Indonesia diyakini bagaikan fenomena gunung es karena laporan resmi jumlah kasus tidak mencerminkan masalah yang sebenarnya. Prediksi besar masalah HIV/AIDS tersebut didasarkan atas jumlah penyalahgunaan narkotika suntik dan prostitusi yang tinggi. Keduanya merupakan faktor utama yang berperan sangat besar dalam penyebaran dan penularan HIV. Berbagai faktor risiko tersebut tidak hanya berkaitan dengan pelayanan kesehatan tetapi juga dengan masalah sosial ekonomi. Permasalahan tersebut perlu diatasi dengan pendekatan pelayanan kesehatan primer komprehensif yang langsung menyentuh akar permasalahan mencakup masalah sosial ekonomi dan lingkungan kultural. Strategi tersebut dilakukan melalui berbagai langkah yang bersifat menyeluruh, meliputi preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif dengan partisipasi dan kerja sama yang luas yang melibatkan berbagai sektor dan organisasi non pemerintah dan masyarakat. Beberapa langkah yang harus dilakukan meliputi edukasi dan promosi, pelayanan kesehatan yang merata dan terjangkau. Selain itu yang juga tidak kalah pentingnya adalah pengentasan kemiskinan melalui peningkatan lapangan kerja dan kelibatan partisipasi masyarakat. Kata kunci : HIV/AIDS, pelayanan kesehatan komprehensif Abstract HIV/AIDS problem in Indonesia is considered as iceberg phenomenon, where the reported cases in the government official record do not represent the real situation. This prediction is based on high number of vulnerable groups such as sexual workers and injecting drug users. These factors are not only related to healthcare services but also social economic structure. Therefore, to address this problem, comprehensive Primary Health Care (PHC) must be implemented. The comprehensive PHC concerns on underlying problem which includes socioeconomic issues and environment problems. This strategy is conducted through holistic activities from preventive, promotive, curative and rehabilitative through collaboration with other sectors and community involvement. Based on underlying HIV/AIDS problem in Indonesia, there are several strategies that should be done to address the problem, such as education campaign, addressing poverty issue, equitable health services and community participation. Key words : HIV/AIDS, comprehensive PHC *Pendidikan Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Jl.Perintis Kemerdekaan Padang Sumatera Barat (e-mail:
[email protected])
236
Hardisman, HIV/AIDS di Indonesia
HIV/AIDS telah berkembang menjadi salah satu masalah kesehatan dan sosial yang besar dan penting di seluruh Indonesia. Sejak tahun 1999, kasus HIV positif dan AIDS yang ditemukan memperlihatkan kecenderungan yang terus meningkat. Jumlah kasus yang dilaporkan relatif rendah, tetapi dari berbagai studi dilaporkan diperkirakan bahwa jumlah kasus yang sesungguhnya jauh lebih besar. 1-3 Departemen Kesehatan memperkirakan bahwa jumlah kasus HIV positif di seluruh Indonesia lebih dari 110.000 kasus dan jumlah tersebut cenderung terus meningkat. Angka yang tinggi tersebut diperkirakan berdasarkan pertimbangan jumlah kelompok masyarakat yang berisiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS seperti para pecandu narkoba dan prostitusi yang berperan sangat penting pada penularan HIV/AIDS.1 HIV/AIDS di Indonesia memerlukan perhatian yang serius untuk segera dilakukan berbagai upaya pencegahan yang dapat menghambat penyebaran penyakit tersebut secara lebih luas. Berbagai upaya pencegahan dan pengendalian yang dilakukan harus dapat menyentuh akar permasalahan yang secara nyata ditemukan di dalam masyarakat. Permasalahan tersebut mencakup perilaku, struktur sosial, kebijakan kesehatan dan politik yang perlu diintegrasi dalam suatu paket pelayanan kesehatan yang bersifat komprehensif. Artikel ini mencoba menyoroti berbagai permasalahan HIV/AIDS di Indonesia serta peranan dan kontribusi fasilitas pelayanan kesehatan primer yang sangat diperlukan dalam upaya pemecahan masalah secara cepat dan tepat. Besar Masalah HIV HIV/AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan global yang penting karena frekuensi dan tingkat kematian yang tinggi. Penyakit ini telah tersebar secara luas hampir di seluruh negara di berbagai belahan bumi. Itu berarti bahwa sampai sedemikian jauh hampir tak ada negara di belahan dunia manapun yang luput dari jangkauan masalah HIV/AIDS. Secara menyeluruh, sampai sedemikian jauh, di seluruh dunia diperkirakan sekitar 36 juta penduduk telah terkena infeksi HIV atau menderita penyakit AIDS yang ganas dan mematikan tersebut.4,5 Di Indonesia, kasus HIV/AIDS yang dilaporkan secara resmi relatif lebih rendah daripada kasus yang dilaporkan oleh beberapa negera di Asia Pasifik seperti Thailand, India, Cina, Kamboja dan Papua Nugini. Namun demikian, infeksi HIV/AIDS di Indonesia tersebut telah berkembang menjadi ancaman nasional berdasarkan dua fakta yang meyakinkan. Pertama, sejak dekade terakhir jumlah kasus yang ditemukan memperlihatkan kecenderungan yang terus meningkat. 3,5-7 Kedua, jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan tersebut ternyata tidak mencerminkan kondisi yang sesung-
guhnya di dalam masyarakat Indonesia. 1,2,8 Kecenderungan jumlah HIV/AIDS yang ditemukan di Thailand dan negara-negara di sub-Sahara Afrika seperti Kenya dan Zimbabwe, pada lima tahun terakhir terlihat terus menurun. Lain halnya di Indonesia, kecenderungan tersebut justru terlihat terus meningkat dan menyebar di wilayah yang luas.5 Sampai tahun 1994, pemerintah hanya mencatat 55 kasus penderita AIDS dan 213 kasus HIV positif,6 selanjutnya, pada periode 1994-1999 pemerintah mencatat sekitar 100 kasus infeksi HIV. 9 Sampai tahun 1998, prevalensi HIV positif pada kelompok dewasa (15-49 tahun) kurang dari 0,1% dan pada periode 1999 dan 2005, prevalens tersebut telah meningkat sekitar sepuluh kali lipat menjadi lebih dari 1%.3 Dengan demikian, selama periode tahun 1999 -2004, di Indonesia telah terjadi peningkatan prevalensi kasus HIV positif sekitar 48%.7 Organisasi kesehatan dunia (WHO) dan UNAIDS meyakini bahwa jumlah kasus yang tercatat tersebut tidak mencerminkan besar masalah HIV/AIDS yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Misalnya, pada tahun 1999, angka HIV postif yang tercatat dan dilaporkan Departemen Kesehatan Indonesia hanya sekitar 1000 kasus. Namun, WHO dan UNAIDS memperkirakan bahwa jumlah kasus tersebut perlu mendapat perhatian yang lebih serius karena jauh lebih besar daripada yang dilaporan, yaitu sekitar 26.000 kasus.5,8 Pada tahun 2003, berdasarkan angka pengguna narkoba dan prostitusi, Departemen Kesehatan,1 memperkiraan jumlah kasus HIV di Indonesia sekitar 110.000 orang. Hal yang sama dilaporkan Linquist,2 bahwa dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta dan angka pengguna narkoba suntik dan prostitusi, diperkirakan jumlah kasus HIV positif sekitar 120.000. Fakta tersebut perlu dijadikan peringatan yang perlu ditanggapi secara sangat serius oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia, sehingga lebih memperhatikan secara lebih serius masalah HIV/AIDS yang kompleks tersebut. Indonesia perlu belajar dari pengalaman berbagai negara lain di seluruh dunia yang karena kelalaian membiarkan masalah HIV/AIDS sampai menjadi masalah yang sangat parah yang sulit dikendalikan. Dengan demikian, pemerintah dan masyarakat negara ini dapat secara jernih melakukan berbagai upaya yang efisien dan efektif untuk mencegah penyebaran penyakit lebih lanjut. Berbagai data HIV/AIDS dan estimasi HIV positif tersebut dapat dijadikan pertimbangan tentang besar masalah yang senyatanya ditemukan di Indonesia. Semua pihak yang berkepentingan yang mencakup komponen pemerintah, politikus dan organisasi kemasyarakatan tidak perlu mempermasalahkan lagi tentang frekuensi penyakit HIV/AIDS yang cenderung semakin tinggi dan terus tersebar semakin luas. Menolak kenyataan dan menelantarkan masalah tersebut justru 237
KESMAS, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 3, No. 5, April 2009
akan menjadikan HIV/AIDS bencana besar yang semakin sulit untuk dikendalikan. Penanganan masalah tersebut tidak dapat hanya digantungkan pada sematamata pada orang-orang yang sadar dan mau memeriksakan dirinya. Namun, semua pihak dipelopori oleh pemerintah harus aktif melakukan upaya pencegahan dan promosi kesehatan pada semua lapisan masyarakat terutama berbagai kelompok yang tergolong berisiko tinggi. Pelayanan Kesehatan Primer Komprehensif Pelayanan kesehatan primer yang komprehensif (Comprehensive Primary Health Care) adalah strategi untuk meningkatkan kesehatan masyarakat secara menyeluruh. Hal tersebut dilakukan dengan memandang penting berbagai masalah sosial yang berpengaruh terhadap masalah kesehatan, melibatkan masyarakat dan menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan secara merata yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.10 Pelayanan kesehatan primer yang komprehensif pada dasarnya adalah strategi meningkatkan derajat kesehatan individu dan masyarakat melalui aktifitas menyeluruh yang mencakup promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Hal tersebut dilakukan dengan memfokuskan perhatian pada upaya mengentaskan masalah mendasar (underlying) yang menjadi penyebab masalah kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan primer yang komprehensif tersebut dilakukan melalui kerja sama berbagai sektor serta keterlibatan pemerintah, kekuatan politik dan partisipasi masyarakat.11 Strategi pelayanan kesehatan primer yang komprehensif perlu memperhatikan mekanisme mendasar yang menjadi penyebab munculnya masalah HIV/AIDS tersebut. Selanjutnya, dilakukan berbagai langkah edukasi dan promosi kesehatan pada seluruh lapisan masyarakat, khususnya kelompok yang berisiko sangat tinggi. Selain itu, juga perlu dilakukan pengobatan dan rehabilitasi terhadap para penderita HIV/AIDS. Akar Permasalahan Banyak faktor yang berperan penting sebagai penyebab peningkatan kasus HIV/AIDS antara lain penggunaan narkotika suntik, prostitusi dan status sosial ekonomi. Berbagai faktor saling berkaitan antara satu dengan yang lain.12 Penyebaran utama HIV/AIDS di Indonesia secara lebih jelas terlihat pada para pengguna narkotika suntikan dan prostitusi. Kelompok masyarakat tersebut terkenal sebagai kelompok yang sangat rentan untuk tertular virus HIV dan menderita AIDS. Mereka bukan saja mudah terinfeksi, tetapi juga mudah menularkan penyakit tersebut pada kelompok rentan yang lain.13,14 Berdasarkan laporan WHO,8 diketahui bahwa prevalensi HIV positif pada para pengguna narkotika suntik di Jakarta (48%), di Bali (53%) dan Papua 238
(26%) terbukti sangat tinggi. Penyalahgunaan narkotika yang telah menyebar pada berbagai kelompok meliputi kelompok umur, pendidikan dan strata sosial dan telah menjadikan infeksi HIV/ AIDS masalah sosial yang sangat besar dan serius di Indonesia.14 Pada tahun 2004, pemerintah memperkirakan jumlah kasus pengguna narkotika adalah sekitar 150.000 orang.3 Namun, diyakini bahwa jumlah yang sebenarnya di dalam masyarakat jauh lebih besar daripada angka yang dilaporkan tersebut. Hal yang lebih mengejutkan adalah bahwa laporan USAID tentang pengguna narkotika berdasarkan hasil survei pada sekolah menengah di Jakarta tahun 2002 adalah 34%. Berdasarkan jumlah kasus yang ditemukan dan penyebarannya di berbagai wilayah, diperkirakan bahwa pengguna narkotika suntik (Injecting Drug Users: IDU) berada pada kisaran 145.000 - 170.000. Di Indonesia, prostitusi yang bersifat ilegal dan sangat tidak dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Namun, prostitusi dapat ditemukan hampir di setiap kota besar di seluruh Indonesia. Angka pekerja seks di beberapa kota besar di Indonesia memperlihatkan kecenderungan yang tinggi dan diperkirakan berada pada kisaran 190.000 - 270.000 orang.1,15 Dengan jumlah pengguna jasa seks komersial tersebut berada pada kisaran 7 juta sampai 10 juta setiap tahun tersebut dapat dibayangkan kecepatan penularan yang terjadi. Dengan angka prostitusi yang tinggi dan diperkirakan bahwa sekitar 33-50% dari penjaja seks komersial yang terinfeksi HIV, dapat diperkirakan besarnya risiko kejadian penularan HIV di Indonesia. Rantai penularan HIV akan semakin panjang, karena sebagian besar pria ‘pengguna’ jasa prostitusi tersebut mempunyai istri yang secara resmi merupakan pasangan tetap.16 Para pekerja seks yang terinfeksi akan menularkan penyakit kepada para ‘pemakai,’ selanjutnya para pemakai akan menularkan penyakit yang sama kepada istri mereka. Berdasarkan laporan suatu lembaga penelitian HIV/AIDS (Monitoring the AIDS Pandemic: MAP), prostitusi berperan besar terhadap perluasan daerah penyebaran HIV/AIDS di seluruh wilayah Indonesia.16 Hal tersebut terjadi, karena lebih dari separoh pekerja seks di Indonesia berpengalaman melakukan prostitusi secara berpindah-pindah di lebih dari satu wilayah dan pulau di Indonesia.17,18 HIV/AIDS relatif sangat mudah ditularkan melalui prostitusi karena mereka dengan prostitusi tersebut tidak menyadari penularan HIV/AIDS yang mungkin terjadi. Selain itu, pekerja seks di Indonesia tidak mempedulikan risiko penularan HIV/AIDS karena sebagian besar berasal dari keluarga miskin yang melakukan kegiatan tersebut sebagai mata pencaharian untuk bertahan hidup.18 Dengan demikian, pengentasan kemiskinan melalui pembukaan dan ketersediaan lapangan kerja merupakan faktor penting dalam mengatasi masalah HIV/AIDS. Kegagalan program kesehatan sering terjadi akibat pe-
Hardisman, HIV/AIDS di Indonesia
rencanaan dan pelaksanaan yang sering mengabaikan masalah kemiskinan yang terkait secara sangat erat dengan masalah kesehatan tersebut. Promosi Kesehatan Salah satu strategi penting yang dilakukan untuk mencegah penularan HIV/AIDS lebih lanjut adalah promosi kesehatan. Berbagai studi melaporkan bahwa masyarakat yang terlibat dengan penggunaan narkotika dan prostitusi tidak tahu atau bahkan tidak peduli terhadap infeksi HIV/AIDS.1,18 Usaha promosi dan edukasi tersebut telah cukup lama dilakukan di Indonesia. Misalnya sejak tahun 1994, pemerintah melakukan upaya mengatasi epidemik HIV/AIDS melalui program edukasi HIV/AIDS yang masuk dalam Strategi Nasional yang menjadi acuan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, lembaga penelitian, keluarga dan individu dalam menangulangi masalah HIV/AIDS. 6 Strategi tersebut kembali diperbarui pada tahun 2003.9 Beberapa kegiatan promosi kesehatan dapat dilakukan melalui komunikasi, edukasi dan promosi khususnya untuk kelompok risiko tinggi AIDS.6 Pemerataan dan Keterjangkauan Masalah HIV/ AIDS juga telah menjadi beban berat bagi fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia. 12 Dengan demikian, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan merupakan komponen penting yang harus diupayakan secara sungguh-sungguh dan terusmenerus guna mendukung upaya pengobatan dan rehabilitasi bagi penderita. Untuk itu, langkah nyata yang perlu dilakukan antara lain meliputi berbagai upaya preventif, pendekatan risiko, diagnosis dini HIV melalui tes yang sensitif dan spesifik, melakukan konseling dan pengobatan bagi seluruh penderita.6 Dilaporkan bahwa upaya proporsi terhadap para penderita infeksi HIV/ AIDS yang mendapat pengobatan terbukti teramat sangat kecil. Dari sekitar 90.000-130.000 penderita HIV positif di seluruh Indonesia, diperkirakan hanya sekitar 3.000 penderita yang mendapatkan pengobatan, sisanya tidak terjangkau oleh fasilitas pelayanan kesehatan yang melaksanakan program tersebut.8 Hal tersebut disebabkan oleh upaya yang lebih terfokus pada pengendalian dan pencegahan penularan HIV/ AIDS, tetapi melupakan hak pengobatan dan pelayanan sosial bagi para penderita.2 Hal tersebut pada stigma sosial dan pandangan hukum yang dialami oleh para penderita HIV/AIDS dan kelompok-kelompok yang berisiko tinggi. Misalnya, pengguna narkotika suntik dipandang sebagai pelaku kriminal yang perlu mendapat kejar dan dihukum, bukan sebaliknya sebagai korban yang perlu mendapat pengayoman. Akibatnya, mereka sering terpinggirkan, diabaikan dan jauh dari jangkauan dari berbagai upaya pencegahan penularan HIV/AIDS yang dilakukan mela-
lui promosi kesehatan dengan pendekatan perubahan perilaku. Oleh sebab itu, upaya pemecahan masalah HIV/AIDS harus dilakukan secara menyeluruh termasuk pemberian pelayanan kesehatan bagi penderita dan kelompok masyarakat yang berisiko tinggi. Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat dalam ikut serta mengatasi berbagai masalah kesehatan pada prinsipnya sangat diperlukan. Kegagalan upaya pelayanan kesehatan primer dalam mengatasi masalah kesehatan antara lain karena mengabaikan partisipasi masyarakat tersebut.19 Upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat harus dilakukan dengan melibatkan berbagai kelompok yang ada di dalam masyarakat. Upaya pengendalian masalah HIV/AIDS di Indonesia harus memberikan tempat yang layak bagi partisipasi masyarakat secara luas. Tanpa itu, dapat dipastikan bahwa strategi nasional penanggulangan HIV/ AIDS akan mengalami kegagalan yang menyakitkan. Sebagai contoh, pemerintah tidak dapat memaksakan program pemberian kondom gratis pada kelompok masyarakat yang berisiko tinggi karena akan mendapat penolakan dari masyarakat luas. Sebagian besar kelompok masyarakat terutama yang beragama muslim dan katolik meyakini bahwa pemberian kondom justru akan lebih berbahaya bagi masyarakat karena secara tidak langsung membiarkan perilaku amoral dan seks bebas berkembang dan mencederai masyarakat ramai.2 Hal tersebut mengindikasikan secara nyata bahwa upaya pemberantasan HIV/AIDS harus mengikutsertakan partisipasi masyarakat lengkap dengan para tokohnya. Kesimpulan Masalah HIV/AIDS di Indonesia belum menjadi bagian masalah endemik global dunia mengingat jumlah kasus yang relatif lebih kecil dari negara-negara di Asia Pasifik. Namun, kecenderungan peningkatan dan perkiraan jumlah kasus yang terus meningkat jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan membuat masalah HIV/ AIDS di Indonesia tersebut menjadi tidak sederhana dan perlu mendapat perhatian yang serius. Masalah HIV/ AIDS di Indonesia bagaikan fenomena gunung es, jumlah kasus yang ditemukan belum mencerminkan masalah yang sesunggunya yang jauh lebih besar di dalam masyarakat. Masalah HIV/AIDS diyakini jauh lebih besar dari yang dilaporkan karena jumlah kelompok berisiko tinggi di dalam masyarakat seperti prostitusi dan pecandu narkotika suntik terbilang tinggi. Dalam mengatasi masalah HIV/AIDS perlu dilakukan upaya pelayanan kesehatan primer yang komprehensif dengan melakukan upaya yang menyeluruh meliputi preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif. Upaya pelayanan kesehatan primer yang komprehensif tersebut dilakukan melalui strategi dan langkah nyata yang antara lain mempertimbangkan seca239
KESMAS, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 3, No. 5, April 2009
ra sungguh-sungguh masalah sosial ekonomi, pemberian layanan kesehatan yang merata dan memberikan peluang keterlibatan untuk berpartisipasi secara lebih nyata.
10. Werner D. The challenge to health for all. In Lighten the Burden of
Daftar Pustaka
11. Baum F. Health for all now, reviving the spirit of Alma Ata in twenty
eng/StranasEng.php. Third World Health. Proceeding of International Conference 29-31 January 1997. South Africa: Cape Town; 1997: 7-18.
1. Ministry of Health of Indonesia. National estimates of adult HIV infection, Indonesia 2002. Jakarta: Directorate General of Communicable Diseases of Ministry of Health; 2003. 2. Linquist J. Organizing AIDS in the borderless world: a case study from Indonesia-Malaysia-Singapore growth triangle. Asia Pacific Viewpoint. 2005; 46(1): 49-63.
first century: an introduction to Alma Ata Declaration. Social Medicine. 2007; 2(1): 34-41. 12. Lampstey PR, Johnson JL & Khan M. The global challenge of HIV/AIDS. Population Bulletin. 2006; 61(1): 1-24. 13. Pisani E. Estimating the number of drug injectors in Indonesia. International Journal of Drug Policy. 2006; 17: 35-40.
3. USAID (United States Agency for International Development). Health
14. Pisani E, Garnett GP, Brown P, Stover P, Grassly NC, Hanskins C, et al.
profile Indonesia: HIV/AIDS [edisi 2005, diakses tanggal 1 Juni 2008].
Back to basic in HIV prevention: focus on exposure. British Medical
Diunduh dari: http://www.usaid.gov/our_work/global_health/aids /Countries/ane/indonesia_05.pdf. 4. Simon V, Ho DD & Karim QA. HIV/AIDS epidemiology, pathogenesis, prevention and treatment. The Lancet. 2006; 368: 489-504. 5. UNAIDS (Joint United Nations Programme on HIV/AIDS). Report on
Journal (BMJ). 2003; 326: 1384-7. 15. UNDP (United Nations for Development Programs). Indonesia at a glance-HIV and AIDS in Indonesia.The HIV Portal for Asia PacificUNDP-UNAIDS; 2006 [edisi 2006, diakses tanggal 5 Juni 2008]. Diunduh dari: http://www.youandaids.org.
the global AIDS epidemic [edisi 2006, diakses tanggal 5 Juni 2007].
16. Thorpe L, Ford K, Fajans P & Wirawan DN. Correlates of condom use
Diunduh dari: http://www.unaids.org/en/HIV_data/2006GlobalReport
among female prostitutes, tourist clients in Bali Indonesia. AIDS Care.
/default.asp.
1997; 9(2): 181-98.
6. Coordinating Minister for People’s Welfare (Menkokesra). National
17. MAP (Monitoring for AIDS Pandemic). The status and the trends of
strategy of combating AIDS in Indonesia. Jakarta: Office of the
HIV/AIDS/STI epidemic in Asia and the Pacific. Washington, DC:
Coordinating minister for People’s Welfare; 1994.
International Program Centre, Population Division, US Centre Bureau;
7. Riono P & Jazant S. The current situation of HIV/AIDS epidemic in Indonesia. AIDS Education & Prevention. 2004; 16(supl. A): 78-90.
2001 [edisi 2001, diakses tanggal 1 Juni 2008]. Diunduh dari: http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PNACM798.pdf.
8. WHO (World Health Organization). Indonesia: country profile for
18. Ford K, Wirawan DN, Reed, BD, Muliawan, P & Sutarga, M. AIDS and
HIV/AIDS scale-up [edisi 2005, diakses tanggal 1 Juni 2008]. Diunduh
STD knowledge, condome use ad HIV/STD infection among female sex
dari: http://www.who.int/hiv/HIVCP_IDN.pdf.
workers in Bali Indonesia. AIDS Care. 2000; 12(5): 523-35.
9. Coordinating Minister for People’s Welfare (Menkokesra). National
19. Segall M. District health systems in neoliberal world: a review of five by
HIV/AIDS strategy 2003-2007. Jakarta: Office of the Coordinating min-
policy areas. International Journal of Health Policy and Management.
ister for People’s Welfare - National AIDS commission; 2003 [diakses
2003; 18: S5-S26.
tanggal 5 Juni 2007]. Diunduh dari: http://www.spiritia.or.id/
240
80
Hubungan antara Pemantauan Orang Tua dengan Practice Mahasiswa STIKES-ABI yang Tidak Berisiko terhadap Transmisi HIV/AIDS (The Correlation between Parental Monitoring and Practice of STIKES-ABI Female Student with No Risk of HIV/AIDS Transmission) Sri Wilujeng STIKES Artha Bodhi Iswara Surabaya
ABSTRAK
Dewasa muda merupakan usia yang sangat berisiko terjadi penularan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), sebab pada usia ini merupakan usia mencari identitas diri. Kemampuan mengendalikan seksual dan pemantauan orang tua akan mempengaruhi perkembangannya. Didasarkan pada kenyataan sebagian besar mereka berasal dari daerah dengan berbagai budaya yang diasumsikan mengalami keterbatasan dalam mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS. Perubahan lingkungan antara daerah asal dengan lingkungan baru dan jauhnya pengawasan orang tua berisiko bagi mahasiswa baru melakukan tindakan yang berisiko tertular HIV/AIDS. Practice mahasiswi dihubungkan dengan pemantauan orang tua. Pemantauan orang tua yang baik terhadap mahasiswi diperlukan untuk mencegah tindakan yang berisiko tertular HIV/AIDS. Penelitian tentang hubungan pemantauan orang tua dengan practice mahasiswi yang tidak berisiko terhadap transmisi HIV/AIDS penting untuk dilakukan pada mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Artha Bodhi iswara STIKES-ABI. Penelitian ini merupakan analitik observasional. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh mahasiswi STIKES-ABI Surabaya tahun ajaran 2008/2009 berjumlah 145 mahasiswi. Sampel diambil dengan cara simple random sampling. Pengambilan data dengan cara pembagian kuesioner kepada 106 mahasiswi tentang tindakan dan pemantauan orang tua. Melalui uji Chi Square dengan tingkat signifikan 0,05. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar pemantauan orang tua baik (77,36%) dan sebagian besar practice mahasiswi baik (87,74%). Mereka dengan pemantauan orang tua yang kurang baik 25% adalah mempunyai practice kurang baik, lebih besar dari pada pemantauan baik. Hasil uji menggunakan Fisher’ Exact p = 0,041 yang berarti ada hubungan antara pemantauan orang tua dengan practice mahasiswi yaitu practice mahasiswi tidak berisiko terhadap HIV/ AIDS lebih baik pada mereka yang mendapat pemantauan orang tua baik dibanding yang mendapat pemantauan kurang baik. Kata kunci: pemantauan orang tua, practice, mahasiswi ABSTRACT
Young adults are very vulnerable to Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), because it is the age of self-identification. Therefore, the ability to control sexual desire and the support of parents and relatives will influence their personal development. Based on the fact that most young adults came from various regions with different cultures, it is assumed that they have limited knowledge on HIV/AIDS. The environmental change when they arrive at the city and be far away from parental monitoring has brought a risk of being transmitted with HIV/AIDS. A female student practice is connected with parental monitoring. Good parental monitoring towards female student is crucial to avoid high risk practice with a risk of being transmitted by HIV/AIDS. This study is conducted towards Surabaya STIKES-ABI female students. This study aims to discover the correlation between parental monitoring and practice of STIKES-ABI female students with zero risk of HIV/AIDS transmission. This is an analytic observational study. Population was all female students of Surabaya STIKES-ABI in calendar year 2008/2009 amounting to 145 students. Sample was taken by simple random sampling. Data collection was done through questionnaires to 106 female students covering students’ practice and parental monitoring. The Chi square test was used with 0.05 significance level. The result showed most of parental monitoring was good (77.36%) and most of female students’ practice was good (87.74%). Those with less parental monitoring showed 25% had less practice. The analysis revealed probability value was 0.041 (less than 0.05) which meant there was a correlation between parental monitoring and female students’ practice. The conclusion showed that the practice of STIKES-ABI female students with zero risk of HIV/AIDS transmission was better with parental monitoring compared to those with less parental monitoring. Keywords: parental monitoring, practice, female student
PENDAHULUAN
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sindrom yang terdiri dari berbagai gejala dan infeksi sebagai akibat dari kerusakan spesifik sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi virus
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Apabila HIV ini masuk ke dalam peredaran darah seseorang, maka HIV tersebut akan menyerang sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih ini adalah bagian dari sistem kekebalan tubuh yang berfungsi melindungi tubuh dari serangan penyakit. HIV secara berangsur-angsur merusak sel darah putih
Wilujeng: Hubungan antara pemantauan orang tua dengan practice mahasiswa STIKES-ABI
hingga tidak berfungsi dengan baik (Depkes RI, 1997, Rasmaliah, 2007). Virus HIV yang pertama diidentifikasi oleh Luc Montainer di Paris tahun 1983. Transmisi HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga cara, yaitu: (1) secara vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak (selama mengandung, persalinan, dan menyusui); (2) secara transeksual (homoseksual maupun heteroseksual); (3) secara horizontal yaitu kontak antar darah atau produk darah yang terinfeksi (asas sterilisasi kurang diperhatikan terutama pada pemakaian jarum suntik bersamasama secara bergantian, tato, tindik, transfusi darah, transplantasi organ, tindakan hemodialisis, perawatan gigi). Transmisi secara efisien terjadi melalui darah, cairan semen, cairan vagina dan serviks (Nasronudin, 2007). Menurut data statistik Komisi Penanggulangan AIDS sampai dengan Maret 2008, di Indonesia dalam enam tahun terakhir jumlah kasus AIDS terus meningkat. Yaitu dari 345 jumlah kasus pada tahun 2002 menjadi 2947 pada tahun 2008. Jawa Timur menduduki urutan ke-4 kasus AIDS terbanyak setelah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Papua. Kota Surabaya menduduki peringkat pertama jumlah kasus AIDS di Jawa Timur yaitu sebesar 42,8% dari jumlah 1159 kasus AIDS. Proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun (53,62%), kelompok umur 30–39 tahun (27,79%) dan kelompok umur 40–49 tahun (7,89%). Sedangkan menurut jenis kelamin, dari 11868 kasus AIDS yang dilaporkan, sebanyak 2466 (20,7%) adalah perempuan. Dari angka tersebut menurut cara penularannya terbanyak melalui Injecting Drug Use (IDU) 49,2%, heteroseksual 42,8% dan homoseksual 3,8% (Dep. Kes. RI, 2008). Tingkat usia yang paling dominan terkena Napza yaitu usia 15–25 tahun (Asliati, 2006). Meskipun jumlah perempuan penderita HIV/AIDS di Indonesia lebih sedikit dibandingkan laki-laki, dampak pada perempuan akan selalu lebih besar baik dalam masalah kesehatan maupun di bidang ekonomi. Perempuan lebih rentan tertular dan lebih menderita akibat infeksi ini. Penularan HIV/AIDS dari laki-laki ke perempuan melalui hubungan seks dua kali lipat dibandingkan dari perempuan kepada laki-laki. Penularan pada perempuan dapat berlanjut dengan penularan pada bayi jika terjadi kehamilan (Dep. Kes. RI, 2006). Juga lemahnya kedudukan dan peran perempuan di sebagian besar budaya masyarakat Indonesia menyebabkan mereka rentan tertular. Lemahnya posisi sosial dan ekonomi membuat perempuan tidak punya posisi tawar untuk melindungi diri (Meutia, 2004). Dari angka tersebut tampaknya usia remaja sangat rentan terhadap HIV AIDS. Hal ini karena usia remaja merupakan usia untuk mencari identitas diri. Sejauh mana remaja dapat mengenali maupun mengendalikan dorongan seksual dan dukungan orang tua atau keluarga akan mempengaruhi perkembangan pribadinya. Bila hal itu meragukan, maka remaja akan terjebak dalam perkembangan pribadi yang lemah dan rentan
81
penyalahgunaan Napza (Sawitri, 2006). Selain itu hormon-hormon seksual mulai bekerja. Pada remaja pria dapat mulai terangsang seksual bila berdekatan secara fisik saling memegang serta menyentuh atau meraba. Bila remaja perempuan tidak waspada, ia akan terlibat dalam hubungan seks, terlebih bila remaja laki-laki mengatakan untuk membuktikan cintanya, yang sebenarnya hanya untuk melepaskan ketegangan seksual (Maramis, 2006). Sesuai dengan proses perkembangannya, remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama teman-teman sebaya sebagai kelompok yang merupakan dunia nyata bagi kaum muda. Kelompok sebaya terdiri dari temanteman yang dapat menerimanya. Pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar dari pada pengaruh keluarga. Misalnya anggota kelompok mencoba minum alkohol, obat-obat terlarang atau rokok, maka remaja cenderung mengikutinya. Hanya sedikit remaja yang berharap bahwa seluk-beluk tentang seks dapat dipelajari dari orang tuanya. Sehingga remaja mencari pelbagai sumber informasi yang mungkin dapat diperoleh, misalnya bukubuku tentang seks, ataupun mengadakan percobaan dengan bercumbu maupun bersenggama (Hurlock, 1980). Dalam keadaan seperti ini tidak sedikit orang tua yang merasa kewalahan kemudian menyerah dalam ketidakmampuan mengasuh anak. Seringkali mereka hanya pasrah dan berharap bahwa waktu dan kedewasaan anak akan mampu menyadarkan sekaligus mengubah anak dengan sendirinya (Jung, 2003). Hasil penelitian Ety (2007) menyatakan tidak ada perbedaan perilaku seks pranikah pada remaja ditinjau dari pola komunikasi keluarga pada siswa (Lembaga Bimbingan Belajar) LBB Dasa Pratama Kertosono. Sedangkan hasil penelitian Murniati (2004) tentang hubungan pajanan media komunikasi massa dengan pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS pada siswa SMA dan SMK di Jakarta Timur didapatkan bahwa 41,4% siswa SMA dan 56,5% siswa SMK memiliki pengetahuan yang kurang tentang HIV/AIDS, kemungkinan merupakan faktor yang mempengaruhi kemampuan remaja dalam melakukan upaya pencegahan (Notoatmojo, 2003). Dalam upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di kalangan remaja berkaitan erat dengan peran orang tua. Orang tua merupakan pengawas bagi remaja, mereka berkewajiban merawat, memperhatikan dan mengawasi setiap perilaku anak-anaknya (Population Council South and Asia Indonesia Office, 1998). Dan keluarga merupakan lingkungan pertama bagi remaja yang berperan dalam memberikan fasilitas untuk meningkatkan pengetahuan tentang HIV/AIDS. Adanya saling keterbukaan dalam berkomunikasi antara remaja dengan keluarga sedini mungkin diharapkan akan mencegah risiko remaja tertular HIV/AIDS (Friedman, 1998). Dalam hal ini mahasiswa baru Keperawatan dan Kebidanan merupakan remaja yang juga berisiko untuk tertular HIV/AIDS. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar mereka berasal dari daerah
82
dengan berbagai budaya yang diasumsikan mengalami keterbatasan dalam mendapatkan informasi tentang HIV/ AIDS. Perubahan lingkungan antara daerah asal dengan lingkungan baru dan jauhnya pengawasan orang tua berisiko bagi mahasiswa baru melakukan tindakan yang berisiko tertular HIV/AIDS. Perhatian orang tua diharapkan dapat dilakukan seefektif mungkin dalam membina remaja. Situasi yang berkembang di masyarakat, tentang dampak kemajuan teknologi untuk kalangan remaja merupakan dilema yang saling bertolak belakang, di satu sisi untuk meningkatkan kreativitas, tapi di sisi lain mendorong untuk berbuat halhal yang negatif. Sehingga perlu pemantauan orang tua terhadap remaja. Dalam Kompas (2006) beberapa perilaku yang dianggap berisiko terhadap penggunaan Napza, antara lain sering tidak masuk kuliah tanpa izin (bolos), sering pulang malam, dan kebiasaan menghabiskan uang sekolah. Berdasarkan data peserta Ujian Semester di STIKES-ABI masih terdapat mahasiswi yang tidak dapat mengikuti ujian salah satunya karena kehadiran kuliah yang kurang memenuhi syarat. Hal ini penting untuk dilakukan peninjauan lebih lanjut. Namun demikian sejauh ini belum ditemukan studi yang menggambarkan tentang hubungan pemantauan orang tua dengan practice mahasiswi yang tidak berisiko terhadap transmisi HIV/ AIDS. Penelitian tentang hubungan pemantauan orang tua dengan practice mahasiswi yang tidak berisiko terhadap transmisi HIV/AIDS penting untuk dilakukan pada mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Artha Bodhi Iswara STIKES-ABI dengan sejumlah alasan. Pertama mahasiswi Keperawatan maupun Kebidanan merupakan calon ibu yang apabila tidak mampu melakukan pencegahan akan berisiko tertular dan menularkan HIV AIDS. Kedua, mereka adalah calon tenaga kesehatan yang harus mampu memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang penularan dan cara pencegahan HIV AIDS. Ketiga, untuk membandingkan dengan hasil penelitian terdahulu yaitu tidak ada perbedaan perilaku seks pranikah pada remaja ditinjau dari pola komunikasi keluarga. Hasil penelitian ini akan memberikan informasi sebagai dasar untuk melakukan modifikasi tindakan dalam mempersiapkan remaja perempuan untuk menjadi ibu yang bebas HIV/AIDS dan sebagai tenaga kesehatan yang diharapkan mampu memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat. Metodologi Penelitian
Jurnal Sain Med, Vol. 4. No. 2 Desember 2012: 80–85
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa perempuan STIKES-ABI Tahun Ajaran 2008/2009, dengan populasi 145 orang. Dengan kriteria sampel masih duduk di Tingkat satu dan usia kurang dari 21 tahun. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan simple random sampling yaitu berjumlah 106 sampel. Variabel bebas pada penelitian ini adalah pemantauan orang tua. Variabel tergantung (dependent) dan variabel tergantung adalah practice mahasiswi yang tidak berisiko terhadap transmisi HIV/AIDS. Variabel perancu (confounding) antara lain media massa dan lingkungan (keluarga, teman bermain). Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan adalah kuesioner. Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang diperoleh dari sampel sebesar 106 meliputi pemantauan orang tua, Practice Mahasiswi dan Pemantauan Orang tua dengan Practice Mahasiswi. 1. Pemantauan Orang tua Tabel 1. Distribusi frekuensi klasifikasi pemantauan orang tua No Pemantauan Orang tua 1. Kurang Baik 2. Baik Jumlah
Frekuensi 24 82 106
Persentase (%) 22,64 77,36 100
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa sebagian besar (77,36%) pemantauan orang tua baik dan sebagian kecil (22,64%) pemantauan orang tua kurang baik. 2. Practice Mahasiswi Tabel 2. Distribusi frekuensi Practice Mahasiswi No Practice Mahasiswi 1. Kurang Baik 2. Baik Jumlah
Frekuensi 13 93 106
Persentase (%) 12,26 87,74 100
Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar (87,74%) practice mahasiswi baik dan sebagian kecil (12,26%) practice mahasiswi kurang baik. 3. Pemantauan Orang tua dengan Practice Mahasiswi
METODOLOGI PENELITIAN
Practice Mahasiswi Pemantauan Kurang Baik Baik Persentase Orang tua Frekuensi (%) N (%) N (%) 1 Kurang 6 (25%) 18 (75%) 24 100 Baik 2 Baik 7 (8,54%) 75 (91,46%) 82 100 Jumlah 13 (12,26%) 93 (87,74%) 106 100 No
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik korelasional dengan pendekatan Cross Sectional. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis tentang hubungan antara pemantauan orang tua dengan practice mahasiswi STIKES-ABI yang tidak berisiko terhadap transmisi HIV/AIDS.
Wilujeng: Hubungan antara pemantauan orang tua dengan practice mahasiswa STIKES-ABI Fisher’s Exact Test p = 0,041 (2 tailed test)
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa mereka dengan pemantauan kurang baik 25% adalah mempunyai practice kurang baik, lebih besar daripada pemantauan baik 8,54%. Hasil uji menggunakan Fisher’s Exact Test p = 0,041 yang berarti ada hubungan antara pemantauan orang tua dengan practice mahasiswi yaitu practice mahasiswi tidak berisiko terhadap HIV/AIDS lebih baik pada mereka yang mendapat pemantauan orang tua baik dibanding yang mendapat pemantauan kurang baik.
PEMBAHASAN
Pemantauan Orang tua
Tabel 1 menunjukkan sebagian besar (77,36%) pemantauan orang tua baik dan sebagian (22,64%) pemantauan orang tua kurang baik. Pemantauan orang tua terhadap remaja berkaitan dengan peran pengasuhan orang tua sebagai pengawas. Sebagai pengawas, orang tua memperhatikan, mengamati tingkah laku anak Gunarsa (2002 dikutip dalam Ety, 2007). Mereka mengawasi anak agar tidak melanggar peraturan di rumah maupun di luar rumah. Menurut UU RI no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Sehingga sebelum remaja melakukan kegiatan di luar rumah remaja telah berinteraksi dengan anggota keluarga. Beberapa pengetahuan yang diperolehnya dari lingkungan di dalam rumah menjadi bekal dalam melakukan kegiatan selama di luar lingkungan rumah. Burgess dkk (1963, dikutip dalam Friedman, 1998) mendefinisikan tentang keluarga, di antaranya sebagai berikut: 1. Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan ikatan adopsi. 2. Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam peran-peran sosial keluarga seperti suami-istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan, saudara dan saudari. 3. Keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang diambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri. Sedangkan menurut Duvall dan Miller (1985) tugas perkembangan keluarga ketiga yang mendesak adalah berkomunikasi secara terbuka antar para anggota keluarga, khususnya orang tua dan remaja. Karena adanya kesenjangan antar generasi sering terjadi saling tolakmenolak antara orang tua dan remaja menyangkut nilai dan gaya hidup. Sehingga komunikasi terbuka seringkali sulit diwujudkan. Komunikasi sebagai salah satu cara yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk melakukan pemantauan
83
atau pengawasan kepada anak yaitu remaja. Hasil interaksi antar anggota keluarga khususnya remaja dan orang tua pada hasil penelitian Ety (2007) menyatakan tidak ada perbedaan perilaku seks pranikah pada remaja ditinjau dari pola komunikasi keluarga pada siswa (Lembaga Bimbingan Belajar) LBB Dasa Pratama Kertosono. Perilaku seks pranikah pada remaja merupakan salah satu perilaku yang dapat menyebabkan remaja tersebut berisiko terhadap transmisi HIV/AIDS. Sehingga selain komunikasi antara remaja dan orang tua yang baik juga diperlukan pemantauan yang baik orang tua kepada remaja. Pemantauan yang dilakukan oleh orang tua yang mempunyai pengetahuan baik tentang penyakit HIV/AIDS kemungkinan dapat melakukan pemantauan yang baik pula kepada remaja. Practice Mahasiswi
Tabel 2 menunjukkan sebagian besar (87,74%) practice mahasiswi baik atau kurang berisiko dan sebagian kecil (12,26%) practice mahasiswi kurang baik atau lebih berisiko terhadap transmisi HIV/AIDS. Mahasiswa adalah orang yang belajar di Perguruan tinggi. Sedangkan mahasiswi adalah mahasiswa wanita (Departemen Pendidikan Nasional, 2002). Menurut Undang-Undang No. 4 1979 mengenai kesejahteraan anak, remaja adalah individu yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum menikah (Nancy, 2002). Perkembangan kognitif pada masa remaja akhir (17–20 tahun) telah mencapai stadium berpikir secara operasional formal. Dalam perkembangan menuju kedewasaan seorang remaja perlu mengembangkan suatu sistem penilaian individual. Sistem penilaian ini bukan saja mencakup penilaian tentang benar atau salah tetapi juga strategi pengambilan keputusan tentang bagaimana seseorang memberikan respons terhadap stimulasi yang meragukan (Nancy, 2002). Remaja dapat memikirkan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai tugas perkembangannya. Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi remaja mempunyai peranan yang cukup penting bagi perkembangan kepribadiannya. Hasil penelitian Hans Sebald (Sigelman & Shaffer, 1995) dikutip Syamsu (2009) bahwa teman sebaya memberikan pengaruh dalam memilih: cara berpakaian, hobi, perkumpulan (club), dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Peranan kelompok teman sebaya bagi remaja adalah memberikan kesempatan untuk belajar tentang: (1) bagaimana berinteraksi dengan orang lain, (2) mengontrol tingkah laku sosial, (3) mengembangkan keterampilan, dan minat yang relevan dengan usianya, (4) saling bertukar perasaan dan masalah. Namun di sisi lain, tidak sedikit remaja yang berperilaku menyimpang, karena pengaruh teman sebayanya. Terungkap dari hasil-hasil penelitian antara lain Healy dan Browner bahwa 67% dari 3.000 anak nakal di Chicago, ternyata karena mendapat pengaruh dari teman sebayanya, dan Glueck & Glueck menemukan bahwa 98,4% dari anak-anak nakal adalah
84
akibat pengaruh anak nakal lainnya, hanya 74% dari anak yang tidak nakal berkawan dengan yang nakal (M. Arifin, 1978 dikutip Syamsu, 2009). Menurut Havighurst (1961) dalam Hurlocck (1980), tugas-tugas perkembangan remaja sebagai berikut: a) Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita. b) Mencapai peran sosial pria dan wanita. c) Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif. d) Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab e) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya. f) Mempersiapkan karier ekonomi. g) Mempersiapkan perkawinan dan keluarga. h) Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi. Agar dapat mencapai tugas-tugas tersebut remaja perlu mempunyai pengetahuan yang baik tentang penyakit HIV/AIDS. Mahasiswi adalah orang yang belajar di Perguruan Tinggi khususnya mahasiswi di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan dimungkinkan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan pengetahaun tentang penyakit HIV/ AIDS. Sesuai dengan tahap perkembangan kepribadian menurut Sullivan dalam Alwisol (2004) pada periode adolesens akhir (usia 16- awal 20 an) berakhir sampai pemuda mengenal kepuasan dan tanggung jawab dari kehidupan sosial dan warga negara dewasa. Selama periode ini, pengalaman semakin banyak terjadi pada tingkat berpikir sintaksis. Apakah orang bekerja atau melanjutkan kuliah, mereka harus memperluas pemahamannya mengenai sikap hidup orang lain, pemahamannya mengenai tingkat saling ketergantungan dalam hidup, dan cara menangani berbagai jenis masalah interpersonal. Tahap ini ditandai dengan pemantapan hubungan cinta dengan satu pasangan. Namun hal itu bukan tujuan utama kehidupan, tetapi sekedar sumber utama kepuasan hidup. Prinsip dasar pendekatan Skinner (1976) yaitu tingkah laku disebabkan dan dipengaruhi oleh variabel eksternal. Tidak ada sesuatu di dalam diri manusia dan tidak ada bentuk internal, yang mempengaruhi tingkah laku. Namun betapapun kuatnya stimulus dan penguat eksternal, manusia masih dapat mengubahnya melalui proses kontrol diri yaitu bagaimana diri mengontrol variabel-variabel luar yang menentukan tingkah laku. Tingkah laku tetap ditentukan oleh variabel luar. Namun dengan berbagai cara kontrol diri, pengaruh variabel itu dapat diperbaiki atau dikontrol. Antara lain dengan memindahkan/menghindar dari situasi pengaruh, atau menjauhkan situasi pengaruh sehingga tidak lagi diterima sebagai stimulus. Pengaruh buruk teman sebaya yang jahat dihindarkan dengan menghindar atau menjauh dari pergaulan dengan mereka.
Jurnal Sain Med, Vol. 4. No. 2 Desember 2012: 80–85
Hal ini juga sesuai dengan teori tindakan yang beralasan (theory of reasoned action) Yang selanjutnya lebih dikenal sebagai teori tingkah laku terencana (theorry of planned behavior) yang pertama kali dinyatakan oleh Ajzen (1991) dan Fishbein (1980) bahwa keputusan untuk menampilkan tingkah laku tertentu adalah hasil dari proses rasional yang diarahkan pada suatu tujuan tertentu dan mengikuti urutan-urutan berpikir. Seorang mahasiswi akan berpikir sebelum melakukan suatu tindakan yaitu tindakan berisiko atau tidak berisiko terhadap transmisi HIV/AIDS. Pemantauan Orang tua dengan Practice Mahasiswi
Tabel 3 menunjukkan mereka dengan pemantauan kurang baik 25% adalah mempunyai practice kurang baik, lebih besar dari pada pemantauan baik 8,54%. Hasil uji menggunakan Fisher’s Exact p = 0,041 yang berarti ada hubungan antara pemantauan orang tua dengan practice mahasiswi yaitu practice mahasiswi tidak berisiko terhadap HIV/AIDS lebih baik pada mereka yang mendapat pemantauan orang tua baik dibanding yang mendapat pemantauan kurang baik. Terdapat beberapa pola sikap atau perlakuan orang tua terhadap anak yang masing-masing mempunyai pengaruh tersendiri terhadap kepribadian anak. Pola perlakuan orang tua antara lain overprotection (terlalu melindungi), permisiveness (pembolehan), rejection (penolakan), acceptance (penerimaan), domination (dominasi), submission (penyerahan), punitiveness/overdisipline (terlalu disiplin). Pola perlakuan “acceptance” merupakan yang baik untuk dimiliki atau dikembangkan oleh orang tua. Sikap tersebut yaitu (1) memberikan perhatian dan cinta kasih tulus kepada anak, (2) menempatkan anak dalam posisi yang penting di dalam rumah, (3) mengembangkan hubungan yang hangat dengan anak, (4) bersikap respek terhadap anak, (5) mendorong anak untuk menyatakan perasaan atau pendapatnya, (6) berkomunikasi dengan anak secara terbuka dan mau mendengarkan masalahnya. (Hurlock, 1956; Schneiders, 1964; Lore, 1970 dikutip Syamsu, 2009). Sesuai modifikasi tingkah laku dari Skinner (1976) dikutip Alwisol (2004) strategi terapi untuk memperbaiki tingkah laku anak dengan melibatkan figur di sekeliling anak sehari-hari, khususnya orang tua dan guru. Bila remaja telah berhasil melakukan tindakan yang baik, maka akan mendapat hadiah dan terus dilakukan pemantauan. Pemantauan kurang baik kemungkinan menjadi salah satu sebab practice kurang baik yang lebih berisiko terhadap transmisi HIV/AIDS. Pengaruh kelompok teman sebaya terhadap remaja berkaitan dengan iklim keluarga remaja itu sendiri. Remaja yang memiliki hubungan yang baik dengan orang tuanya (iklim keluarga sehat) cenderung dapat menghindarkan diri dari pengaruh negatif teman sebayanya, dibandingkan dengan remaja yang hubungan dengan orang tuanya kurang baik. Judith Brook dan koleganya menemukan bahwa hubungan orang tua dan remaja yang sehat dapat melindungi remaja tersebut
Wilujeng: Hubungan antara pemantauan orang tua dengan practice mahasiswa STIKES-ABI
dari pengaruh teman sebaya (Sigelman & Shaffer, 1995 dikutip Syamsu, 2009). Sedangkan sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu siswa agar mampu mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek moralspiritual, intelektual, emosional, maupun sosial. Hurlock (1986) dikutip Syamsu (2009) mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak (siswa), baik dalam cara berpikir, bersikap maupun cara berperilaku. Sekolah berperan sebagai substitusi keluarga dan guru sebagai substitusi orang tua. Beberapa alasan sekolah memainkan peranan yang berarti bagi perkembangan kepribadian anak, yaitu (a) para siswa harus hadir di sekolah, (b) sekolah memberikan pengaruh kepada anak secara dini seiring dengan perkembangan, (c) anak-anak banyak menghabiskan waktunya di sekolah daripada di tempat lain di luar rumah, (d) sekolah memberikan kesempatan kepada siswa untuk meraih sukses, dan (e) sekolah memberi kesempatan pertama kepada anak untuk menilai dirinya, dan kemampuannya secara realistik.
KESIMPULAN
1. Sebagian besar (77,36%) pemantauan orang tua baik. 2. Sebagian besar (87,74%) practice mahasiswi baik. 3. Ada hubungan antara pemantauan orang tua dengan practice mahasiswi yaitu practice mahasiswi tidak berisiko terhadap transmisi HIV/AIDS lebih baik pada mereka yang mendapat pemantauan orang tua baik.
SARAN
1. STIKES-ABI: a. Membentuk Ikatan Orang tua Mahasiswa (IKOMA) dan lebih terjalin lagi hubungan antara orang tua (wali mahasiswa) dengan pihak Akademik demi lancarnya proses pendidikan. b. Memberikan materi tentang HIV/AIDS kepada semua mahasiswa untuk meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan dalam bertingkah laku sehingga terhindar dari risiko terhadap transmisi HIV/AIDS. c. Meningkatkan kualitas hubungan guru (pegajar)siswa secara harmonis dan stimulatif sebagai faktor yang berpengaruh positif terhadap kemajuan belajar.
85
2. Peneliti selanjutnya: perlu dilakukan penelitian kepada siswa ataupun mahasiswa selain sekolah kesehatan dan untuk diberikan tindakan yang lebih lanjut agar semua remaja tidak berisiko terhadap transmisi HIV/ AIDS.
DAFTAR PUSTAKA Adhi DJUANDA (2007) Ilmu Penyakit kulit dan Kelamin, jakarta: Universitas Indonesia. Alex Sobur (2003) Psikologi umum, Bandung: CV Pustaka Setia. Alwisol (2004) Psikologi Kepribadian edisi revisi, Malang: Universitas Muhammadiyah malang. Aziz Alimul Hidayat (2007) Metode Penelitian Keperawatan Teknik Analisis Data, Jakarta: Salemba medika. Bimo Walgito (2003) Psikologi Sosial (Suatu pengantar), Yogyakarta: Andi Offset. Cochran William G (1991) Teknik Penarikan Sampel, Universitas Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pusat pendidikan Tenaga Kesehatan bekerja sama dengan The Ford Foundation Stodio Driya media (1997), AIDS dan Penanggulangannya. Duvall, E.M & bret, C.M (1985) Marriage and Family development. New York Harper. Ety Kusumaningtyas (2007) Perbedaan Perilaku Seks Pranikah pada Remaja ditinjau dari Pola Komunikasi Keluarga, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Friedman Marilyn M (1998) Keperawatan Keluarga, Teori dan Praktik, Jakarta: Penerbit EGC. Heri Purwanto (1999) Pengantar Perilaku Manusia untuk Keperawatan, Jakarta: EGC. Hurlock, E.B. (1991) Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (terjemahan oleh Istiwidayanti dan Soedjarwo). Edisi kelima, Jakarta: Penerbit Airlangga. Maramis (2004) Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Airlangga University Press. Maramis (2006) Ilmu Perilaku dalam Pelayanan Kesehatan, Airlangga University Press. Moersintowarti (2002) Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, Jakarta: Sagung Seto. Moh. Nasir (2003) Metode Penelitian, Ghalia Indonesia. Mohammad Al-Migrawi (2006) Psikologi Remaja bagi Guru dan Orang Tua, Pustaka Bandung. Nasronudin (2006) HIV dan AIDS, Airlangga University Press. Notoatmodjo Soekidjo (2002) Metode penelitian Kesehatan, Rineka Cipta. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2002) Kamus Besar Bahasa Indodesia, Jakarta: Balai Pustaka. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI (2006) Situasi HIV/ AIDS di Indonesia Tahun 1987–2006. Santrock, J.W. (2003) Adolescence, perkembangan Remaja, Jakarta: penerbit Airlangga. Sinolungan A.E. (1996) Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: Gunung Agung. Sjamsuhidayat (2005) Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC. Spiritia (2006) Pasien Berdaya, Yayasan Spiritia. Lemeshow Stanley (1997) Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan, Gadjah Mada University Press. Sudjana (1975) Metode Statistika, Tarsio Bandung. Syahlan (1997) AIDS dan Penanggulangannya, Pusat Pendidikan Tenaga kesehatan, Departemen Kesehatan RI, for Foundation dan Studio Driya Media, Jakarta. Sylvia (1995) Patologi Konsep Klinis Proses-Proses penyakit, EGC. Departemen kesehatan Republik Indonesia (2008) Komisi Penanggulangan AIDS-Statistik Kasus s.d. maret 2008 diakses 3 November 2008.
HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG HIV/AIDS DENGAN SIKAP DAN TINDAKAN PENGGUNAAN KONDOM PADA WANITA PEKERJA SEKS D I WILAYAH LOKALISASI K M 1 2 PALANGKARAYA TAHUN 2013 Oleh : Fransisca Diana Alexandra, Fatmaria, Angeline Novia Toemon Abstrak HlYIAIDS merupakan penyakit dengan angka kejadian yang terus meningkat di Indonesia. Epidemi HIV/AIDS teljadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Salah satu cara pencegahan HIV adalah dengan menggunakan kondom saat berhubungan seksual dengan pasangan berisiko (Riskesdas, 20 I 0 :280). Berdasarkan data riskesdas tahun 20 I 0, prevalensi nasional penduduk yang mengetahui eara peneegahan yang benar bahwa HIY dapat dieegah salah satunya dengan menggunakan kondom saat berhubungan seksual dengan pasangan berisiko adalah sebesar 4 1 ,9% dimana Kalimantan Tengah memiliki persentase sebesar 36,7% (penduduk usia 1 5 tahun ke atas) (Riskesdas, 2010:7,282). Penelitian ini bertujuan untuk mengelahui apakab terdapat bubungan pengetahuan tentang HIY/AIDS dengan sikap dan tindakan penggunaan kondom pada wanita pekerja seks di wilayah lokalisasi km 1 2 Palangka Raya. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Teknik pengumpulan data secara wawancara menggunakan instnllnen tiga bagian yaitu penilaian pengetahuan responden kuesioner. Kuesioner terdiri dari mengenai HIV/AIDS dan kondom, penilaian sikap responden dalam mencegah HIV/AIDS dengan penggunaan kondom clan penilaian tindakan responden dalam penggunaan kondom. Populasi penelilian ini adalah para wanita pekerja seks di lokalisasi km 1 2 Palangka Raya sebanyak 140 orang. Sampel penelitian ini berjumlah 65 orang yang dipilih dengan pendekatan acak sederhana namun rnengalami drop out sebanyak 5 orang sehingga jumlah responden rnenjadi 60 orang. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan software SPss for windows versi 1 1 .5 dan rnenggunakan metode analisis univariat dan bivariat. HasH anaIisis penelitian menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan responden tentang HlV/AIDS dan kondom terhadap sikap dan tindakan responden dalam penggunaan kondom (chi-square hitung > chi-square tabel). kata kunci: pengetahuan, sikap, tindakan, wanita pekerja seks, HIV/AIDS, penggunaan kondom A. Pendahuluan Salah satu dari delapan strategi pembangunan milenium semesta (Millennium Development Goa/s; MDGs) mengisyaratkun semua negara di dunia unhlk memerangi penularan HIV/AIDS. Pada tahun 2008 di selurnh dunia jumlah orang yang hidup dengan HIY/AIDS terus meningkat dan diperkirakan telah mencapai angka 33,4 jutajiwa. 1umlah ini lebih banyak 20% dibandingkan data pada tahun 2000 dan angka prevalensinya telah meningkat tiga kali lipat sejak tahun 1990 (UNAIDS, 2009). Di Indonesia, HIV/AIDS yang merupakan new emerging diseases telah menjadi pandemi di semua kawasan (Depkes, 2001 ). Penyakit ini beberapa tahun terakhir menunjukkan kejadian peningkatan yang mengkhawatirkan sampai dengan talull1 2009 jumlah kUIllulatif kasus AIDS yang dilaporkan meneapai angka 1 9.973 kasus dan tersebar di 32 provinsi di Indonesia. Selain peningkatan jumlah kumulatif, jumlah kasus baru HlV/AIDS yang dilaporkan juga tems meningkat. Pada tahun 2008 jumlah kasus bam yang dilaporkan adalah 4.969 orang meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 2006 sebesar 2.873 orang (Spiritia, 2009). Berdasarkan data riskesdas tahun 2007, prevalensi nasionaI pemah mendengar HIY/AIDS adalah 44,4%. Sebanyak 1 7 provinsi mempunyai prevalensi pemah mendengar HIV/AIDS dibawah prevalensi nasional salah satunya adalah Kalimantan Tengah dengan 102
persentase 40,5% (penduduk usia 1 0 tahun ke atas). Prevalensi nasional berpengetahuan benar tentang penularan HIV/AIDS (diantara penduduk yang pemah mendengar HN/AIDS) adalah 13,9%. Sebanyak 1 6 provinsi mempunyai prevalensi berpengetahuan benar tentang penularan HIV/AIDS (dIantara penduduk yang pernah mendengar HlV/AIDS) dibawah prevalensi nasional salah satunya adalah Kalimantan Tengah dengan persentase 10,9% (penduduk usia 1 0 tahun ke atas) (Riskesdas, 2007:200). Menurut riskesdas tahun 2010, prevalensi nasional penduduk yang mengetahui eara pencegahan yang benar bahwa HIV dapat dicegah salah satunya dengan menggunakan kondom saat berhubungan seksual dengan pasangan berisiko adalah sebesar 41,9% dimana Kalimantan Tengah memiliki perselltase sebesar 36,7% (penduduk usia 15 tahun ke atas) (Riskesdas, 201 0:7,282). Kementerian Kesehatan juga meneatat beberapa faktor penyebab AIDS, yaitu: heteroseksual (53%), homo-biseksual (3%), injecting drug user (IDU) (38%), dan transmisi perinatal (3%) (Ditjen PPM & PL Kemkes RI, 201 1). Faktor yang menyebabkan kasus HIV/AIDS terus melonjak, disebabkan karena adanya perilaku menyimpang dari perilaku wanita pekerja seks (WPS), homoseks, dan pengguna narkoba suntik yang saling bergantian. Berdasarkan data dari Dinas Sosial Kalimantan Tengah tahun 2013, jumlah wanita peketja seks di kota Palangka Raya adalah 239 orang dan penderita HN/AIDS 20 orang (Kaltengpos, 2013). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan penyakit HIV/AIDS adalah melalui penggunaan kondom. Negara Thailand tercatat berhasil menunmkan tingkat penularan HIV sampai 83 % dengan program penyediaan kondom. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ridayanti terhadap 3 1 waria di Medan, hanya I waria yang selalu menggunakan kondom dalam aktivitas seksualnya. Demikian juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rumaseuw terhadap wanita penjaja seks di Kabupaten Wamena Irian Jaya, tidak seorangpun wanita pekerja seks yang menggunakall kOlldom dalam melayani pelanggannya. Hal ini menunjukkall bahwa penggunaan kondom belum dilakukan sebagaiman. yang diharapkan untuk mencegah menulamya penyakit HIV/AIDS (Kenderweis, 2010:22). Untuk itu dilakl.lkan penelitian mengenai hubungan pengetahu.n tentang HIV/AIDS dengan sikap dan tindakan penggunaan kondom pada wanita pekerja seks di wilayah lokalisasi km 1 2 Palangka Raya. B. Tinjauan Pustaka 1. HIV/AIDS 1.1 Definisi HIV adalah singkatan Human lmmunodejisiency Virus yaitu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga membuat tubuh rentan terhadap berbagai penyakit . AIDS adalah singkatan Acquired immune Deficiency Syndrome yaitu suatu penyakit retrovirus yang disebabkan oleh HIV dan ditandai dengan imunosupresi berat yang menimbulkan infeksi opportunistik, neoplasma sekunder dan manifestasi neurologis. HIV telah ditetapkan sebagai agens penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang mempakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV. Apabila jumlah CD4 kurang d.ri 200 sebagai kriteria ambang batas maka dikategorikan AIDS dimana sel CD4 adalah bagian dari limfosit dan satu target sel dari infeksi HIV ( Price, 2006). 1.2 Etiologi Penyebab AIDS adalah sejenis vims yang tergolong retrovirus yang discbut HIV. HIV merupakall retrovirus RNA. Dalam bentuk aslinya mempakan partikel yang inert, tidak dapat berkcmbang atau mclukai sampai masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel limfosit T karena sel ini mempunyai reseptor untuk vims HIV yaitu scI CD4. Didalam sel limfosit T, vims dapat berkembang dan tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun 103
demikian virus dalam tubuh pengidap HlV selalu dianggap infectiolls yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut. Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrofag dan sel glia jaringan (Siregar, 2004). 1.3 Car. Penular.n HIV/AIDS Vims HIV menyerang sel limfosit T dan sel otak sebagai organ sasarannya. Vims HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang dapat menularkan diantaranya semen, cainm vagina atau servik dan darah penderita. Adapun cara penularan HIV adalah melalui : 1 . Transmisi seksual Penularan melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun heteroseksual mempakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dcngan semen dan cairan vagina. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV. 2. Transmisi non seksual • Transmisi parenteral Terjadi akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya yang telah terkontaminasi. • Produk darah Penularan mclalui donor darah dimana darah mengandung virus HlV. 3. Transmisi Transpiasentai Penularan dari ibn yang mengandung HIV positif ke anak. Penularan dapat terjadi scwaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui (Siregar, 2004). 1.4 Peneegaban HIV/AIDS Cara penccgahan HIV antara lain sebagai berikut: bcrhubungan seksual hanya dengan satu pasangan tetap yang tidak bcrisiko, berhubungan Seksual dengan suami/istri saja, tidak melakukan hubungan seksual sama sekali, menggunakan kondom saat berhubungan seksual dengan pasangan berisiko, tidak menggunakan jarum suntik bersama, melakukan sunat/sirkumsisi (Riskcsdas, 20 I 0 :280). 1.5 Tanda dun Gejala HIV/AIDS I . Adanya HIV dalam tubuh orang tidak akan tampak dari penampilan luar. Orang terinfeksi HIV tidak akan menunjukkan gejala apapun dalam jangka waktu yang relative lama (7-1 0 tahun) 2. Tanda dan gejala AIDS : a. Gejala mayor o Berat badan menunm lebih dari 1 0% dalam waktu singkat. o Demam berkepanjangan selama lebih dari satu bulan. o Diare berkcpanjangan Iebih dari satu bulan. b. GejaJa minor o Batuk berkepanjangan selama lebih dari satu bulan Kelainan kulit dan iritasi o Herpes simpJck yang mcnyebar dan bertambah parah o Infcksijmnur pada multlt dan kerongkongan o 1 04
o
Pembengkakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh yang teraba dibawah telinga, leher, ketiak dan lipat paha. (Siregar, 2004).
2. Kondom 2.1 Deftnisi MenUlut sejarah kondom sudah diketahui sejak jaman Mesir Kuna dan dibuat dari kulit atau usus binatang. Atas perintah raja Charles II Inggris, dokter Condom membuat kondom dari kulit binatang dengan panjang 190 rnm, diameter 60 mm, dan tebal 0,038 rnm. Teknik dan biaya pembuatannya cukup mahal dan keberhasiIannya rnasih rendah sebagai alat kontrasepsi. Dokter Fallopio dad Italia memhuat kondom dari linen dengan tujuan utama untuk rnenghindari infeksi hubungan seks tahun 1 564. Dokter Hercule Saxonia pada tahun 1597 membuat kondom dari kulit binatang yang bila hendak dipakai direndam dulu. Kondom terbuat dari karet dikembangkan oleh dokter Hancock pada tahun 1944 dan Goodyer 1970 (Manuaba, 2010). Kondom merupakan selubung atau sarong karet yang dapat terbuat dad berbagai bahan diantaranya lateks (karet), plastik (vini/) atau bahan alami (produksi hewani) yang dipasallg pada penis saat berhubungan seksual. Kondom terbuat dad karet sintesis yang tipis. berbentuk siIinder, dengan muaranya berpinggir tebal, yang bila digulung berbentuk rata atau mempunyai bentuk seperti puting susu, berbagai bahan telah ditambahkan pada kondom baik untuk meningkatkan efektifttasnya (misalnya penambahan spermisida) maupun sebagai aksesoris aktifitas seksual (Syaifudin, 2003). Kondom merupakan salah satu alat kontrasepsi pria yang paling mudah dipakai dan diperoleh baik di apotik maupun di toko-toko obat dengan berbagai merek dagang (BKKBN, 2005). 2.2 Fungsi Kondom Kondom mempunyai tiga fungsi yaitu : a. Sebagai alat KB b. Mencegah penularan PMS termasuk HIV/AIDS c. Membantu pria atau suami yang mengalami ejakulasi dini (BKKBN,2005). 2.3 Kelebihan Kondom Kelebihan kondom antara lain : efektif sebagai alat kontrasepsi bila dipakai dengan baik dan bellar, murah dan mudah didapat tanpa resep dokter, praktis dan dapat dipakai sendiri, tidak ada efek honnonal, dapat mencegah kemungkinan penularan penyakit menular seksual (PMS) termasuk HlV/AIDS antara suami-isteri, mudah dibawa (BKKBN,2005). 2.4 Penggun.an Kondom a. Bila hubungan seksual dilakukan pada saat isteri sedang dalam masa subur b. Bila isteri tidak cocok dengall semua jellis alatlmetode kontrasepsi c. Setelah vasektomi, kondom perlu dipakai sampai 1 5 kali ejakulasi d. Sementara menunggu penggunaan metode/alat kontrasepsi lain e. Bagi semua yang isterinya calon peserta pil KB sedang menunggu haid f. Apabila lupa minum pil KB dalam jangka \Vaktu lebih dari 36 jam g. Apabila salah satu dari pasangall suami-isteri menderita penyakil menular seksual termasuk HIV/AIDS h. Dalam keadaan tidak ada kontrascpsi lain yang tersedia atau yang dipakai pasangan suami-isteri i. Sementara menunggu peneabutan implant/susuk KB/alat kontrasepsi bawah kulit, bila batas waktll pemakaian implant sudah habis (BKKBN,2005). 105
2.5 Efeklivilas Kondom a. Kondom efektif sebagai kontrasepsi bila dipakai dengan baik dan benar b. Angka kegagalan teoritis 3%, praktis 5-20% c. Sangat efektif jika digunakan pada waktu isteri dalam periode menyusui, akan lebih efektif (BKKBN,2005). 2.6 Cara Penggunaan kondom yang benar a. Perhatikan tanggal kadaluwarsa, bila telah kadaluwarsa jangan digunakan. b. Buka dengan hali-hali dari bungkusnya. c. Tekan ujung kondom dengan 2 jari d. Setelah alat kelamin laki-Iaki menegang pasangkan kondom pada ujung alat kelamin dan lepaskan gulungannya ke pangkal. e. Lepas kondom setelah ejakulasi dengan hati-hati agar cairan sperma tidak tumpah. f. Bungkus kondom seteJah dipakai lalu dibuang ditempat sampah. g. Jang.n menggunakan pelumas bahan dari rninyak, misalnya hand body, lotion, dU. Bahan ini dapat memsak kondom sebaiknya gunakan pelumas dengan bahan cairo (BKKBN,2005) 3. Penelilian rnengenai hubung.n anlara pengelahu.n lenlang 1IIV/AIDS dengan sikap dan tindakan pcnggunaan kondom. 3.1 PeneJitian yang diIakukan oleh kcnderweis mcngcnai tingkat pcngetahuan pekerja seks komersi.l di kabupalen langkat Sumaiera Utara Dalam hal ini merupakan segal a sesuatu yang diketahui responden tentallg kondom rnaupun HlV/AIDS. Hasil penelitian menunjukkan hanya 24% dari 104 responden yang pengetahuannya tentang HIV/AIDS dalam kategori baik dan sebanyak 59,6% dalam kategori buruk. Sejumlah 29,8% responden menyatakan setuju terhadap pemyataan berhubungan seks dengan bukan pasangan resmi sebaiknya memakai kondom supaya tidak tertular HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya, 30,8% menyatakan setuju bahwa pelanggan yang dilayani harus menggunakan kondol11. 19,2% menyatakan setuju bahwa peJanggannya dipaksa menggunakan kondom karena telah mengetahui kegunaan kondol11, 8,7% responden yang tidak akan melayani pcIanggannya jika pelanggan tersebut menolak menggunakan kondom, dan 3 1 ,7% responden menyatakan merasa lebih aman jika menggunakan kondom (Kenderweis, 20 I 0:24). n.
Faktor pengelnhunn Hasil peneiitian membuktikan bahwa pengetahuan PSK berpengaruh terhadap kernampuan tawar penggunaan kondom oleh PSK kepada pelanggannya. Pekerja Seks Kornersial (PSK) yang beroperasi di Kabupaten Langkat belum mem.hami seeara baik tentang kondom dan manfaatnya; hanya 1 7,3% yang mengatakan bahwa kondom dapat mengurangi risiko penularan HIV/AIDS. Hal ini berarti infOimasi tentang pentingllya kondom untuk mencegah terjadinya penularan HIV/AIDS belum tersosialisasi dengan baik. Peningkatan penget.huan PSK tentang kondom terutarna terkait dengan fungsinya sebagai peneegah penularan penyakit HIV/AIDS diproyeksikan dapat meningkatkan kemampuan tawar penggunaan kondom kepada pelanggannya. Oleh karena itu penguatan kapasitas PSK melalui pembelajaran dengan berbagai bentuk perlu lebih banyak dilakukan, sehingga nantinya mereka dapat memberikan penjeJasan dan alasan-alasan yang kuat agar pelanggannya mau menggllnakan kondolU. Green menyatakan penyebab perilaku seseorang adalah karena adanya alasan pemikiran dan perasaan daIam bentuk pengetahuan. Pengetahuan dapat membcntuk keyakinall tertclltu sehingga seseorang berperilakll sesuai dCllgall keyakinan tcrsebut. Sumbcr pCllgetahuan dapat diperoleh dari bcnnacam-macam sumber misaillya media 1 06
cetak, media elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan, media poster, brosur, teman, dan sebagainya. Upaya-upaya untuk meningkatkan pengetahuan PSK tersebut dapat dilakukan dengan cara penyuluhan secara rutin dengan melibatkan berbagai komponen, baik pemerintah, swasta, LSM maupun masyarakat lingkungan lokalisasi. Penyuluhan atau penyampaian informasi untuk meningkatkan pengetahuan PSK tentang kondom ini. dapat dilakukan secara langsung, yaitu dengan cara mendatangi lokalisasi tempat beroperasinya PSK tersebut, atau seperti yang dinyatakan oleh WHO yaitu dengan eara memanfaatkan media massa berupa buku, majalah, koran, brosur, leaflet atau media massa Iainnya. (Kenderweis, 20 I 0:25) b. Faktor Sikap Berdasarkan hasil penelitian ini variabel sikap berpengaruh terhadap kemampuan tawarpenggunaan kondom oleh PSK kepada pelanggannya. Hal ini mengandung arti jika PSK mempunyai sikap positif, diproyeksikan akan menawarkan kondom kepada pelanggannya. Sikap mau menawarkan kondom akan terbentuk apabila PSK mempunyai pengetahuan yang positif tentang manfaat kondom bagi dirinya atau pelanggannya. Oleh karena itu, agar dalam diri PSK terbenntk sikap positif terhadap penggunaan kondom, harus dilakukan upaya-upaya peningkatan pengetahuan PSK tentang penggUl1aan kondom dan manfaat-manfaatnya, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi pelanggannya. Hal ini dapat dilakukan dcngan pcnyuluhan secara terus-menems dan konsisten. Upaya perbaikan sikap ini sangat diperiukan, karena berdasarkan hasil penelitian, sikap PSK di Kabupaten Langkat terhadap penggunaan kondom masih belum baik; hanya 27,9% PSK yang mempunyai sikap baik. Kegiatan untuk perbaikan sikap ini juga dapat dilakukan dengan cara seperti yang diungkapkan oleh Pakpahan pada lokalisasi yang disebut "warung bebek" di Kabupaten Serdang Bedagai, yaitu dengan cara melakukan pendidikan sebaya, di lllana PSK yang dididik kemudian berfungsi sebagai pendamping lapangan bagi PSK yang lainnya. Dengan demikian PSK tersebut dapat dengan mudah memberikan transjer ilmu tentang kondom dan pencegahan HIV/AIDS kepada kawan kawannya. (Kenderweis, 20 I 0:26). 3.2 Penelitian yang dilakukan oleh Andi Fadhali dkk mengenai Faktor yang Berhubungan dengan Pencegahan HIV dan AIDS di Kalangan Pramusaji Kafe di Tanjung Bira Kabupaten Bulukumba. Hasil penelitian Hubungan Pengetahunn dengan praktek pencegahan HIV dan AIDS di Kalangan Pramusaji Hasil uji analisis bivariat uji chi-square (nilai p � 0,002 < 0,05) ada hubungan yang berrnakna antara pengetahuan dengan praktek peneegahan. Secara proporsi menunjukkan bahwa pramusaji melakukan praktek pencegahan secara baik lebih besar pada pramusaji yang memiliki pengetahuan tinggi dibandingkan dengan pramusaji yang memiliki pengetahuan rendah. Artinya semakin tinggi pellgetahuan pramusaji maka semakin baik pula dalam mencegah penularan HIV dan AIDS, seperti tidak melakukan hubullgan seks bebas kepelanggan atau konsisten menggunakan kondom. Semakin rendahnya pengetahuan pramusaji maka semakin rendah pula dalam melakukan pencegahan. Hal ini terjadi karena berdasarkan hasH penelitian menunjukkan rata-rata pramusaji mampu menjawab benar pertanyaan tentang HIV dan AIDS. Pengertian HlV dan AIDS 48,7 %, yang diserang HIV dan AIDS 47,4 %, pengertian HIV 7 1 , 1 %, media penularan HIV 59,2%, orang yang bisa terinfeksi HIV 60,5 % dan penggunaan janull suntik 67,%. (Fadhali, 2012).
107
3.3 Penelitian yang dilakukan oleh Juliastika dkk mengenai Hubungan Pengetahuan tentang HIY/AIDS dengan Sikap dan Tindakan Penggunaan Kondom Pria pad a Wanita Pekerja Seks di Kota Manado. Populasi pcnelitian adalah selumh wanita pekerja seks yang ada di Manado pada tahun 20 I I dengan jumlah sebanyak 250 orang. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 7 1 responden. Hasil lUi statistik Chi Square deugan batas kemaknaan 0,05 (p = 0,05) diperoleh nilai p = 0,022 yang menunjukkan bahwa adanya hubungan bemlakna antara pengetahuan responden tentang HIY/AIDS dengan tindakan penggunaan kondom plia pada wanita pekerja seks. Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian di Soelistijani (2003) di Bali bahwa hubungan antara pengetahuan tentang HIY/AIDS dengan tindakan penggunaan kondom menunjukkan hubungan yang bermakna (p = 0,008). Demikian pula hasil penelitian oleh Supardi (20 J 0) di Kabupaten Merauke menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kedua variabel tersebut. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Green dalam Notoatmodjo (2010) bahwa perilaku seseorang tentang kesehatan dalam hal ini tindakan terhadap penggunaan kondom pria salah satunya dipengaruhi olch pengetahuan (faktor predisposisi) ( Juliastika, 20 I I). C. Tujuan Penelitian Tujuan umum : Untuk mengetahui hubungan pengetahuan tentang HIY/AIDS dengan sikap dan tindakan penggunaan kondom pada wanita pekerja seks di wilayah lokalisasi km 1 2 Palangka Raya. Tujuan khusus : o Mengetahui persentase pengetahuan wanita pekerja seks di wilayah lokalisasi km 12 Palangka Raya tentang HIY/AIDS. • Mengetahni persentase sikap wanita pekerja seks di wilayah lokalisasi km 1 2 Palangka Raya dalam menggunakan kondom. " Mcngetahui persentase tindakan wanita pckcrja seks di wilayah lokalisasi km 12 Palangka Raya dalam menggunakan kondoIn. • Menganalisis hubungan pengetahuan tentang HIY/AIDS dengan sikap penggunaan kondom pada wanita pekerja seks di wilayah lokalisasi km 12 Palangka Raya . .. Menganalisis hubungan pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan tindakan penggunaan kondom pada wanita pekcrja seks di wilayah lokalisasi km 12 Palangka Raya. -
D. Metode A. Tab.pan-tabapan Penelitian Penelitiall ini terdiri dari bebcrapa tahapall antara lain : 1. Tahap Persiapan Tahap persiapan ini meliputi : a. Persiapan proposal penclitian melalui studi pustaka. b. Sosialisasi dcngan pihak pengelola lokalisasi km 1 2 Palangka Raya. c. Penentuan WPS yang akan menjadi responden melalui survey data identitas yang kemudian akan ditentukan jumlah responden. 2. Tahap Pelaksan.an a. Tim Peneliti datang ke lokasi penelitian untuk memberikan pengarahan dan informasi kepada Wanita Pekcrja Seks sebagai responden mengenai penelitian yang akan dilakukan. b. Pembagian kuesioner kcpada respondcn tentang pengetahuan pencegahall HIV/AIDS, sikap dalam penggunaan kondom dan tindakan/praktik penggunaan kondom. 108
c. Pengisian kuesioner yang dilakukan oleh responden tentang pengetahuan pencegahan HIV/AIDS, sikap dalam penggunaan kondom dan tindakanlpraktik penggunaan kondom. d. Wawancaralinterview mendalam mengenai HIY/AIDS dan praktik penggunaall kondom. 3. Tahap Pengolahan data dan Pelaporan a. Kuesioner yang !elah lengkap diisi oleh respondendiclah datanya sesuai definisi operasional yang telah ditetapkan. b. Dilakukan anaiisa data dengan uji Chi-square dengan tingkat kema10aaan 95% (p < 0,05) menggunakan program SPSS 1 1 .5 for windows. c. Interpretasi data, pernbahasan hasil penelitian dan penarikan kesimpulan penelitian sesuai tujuan penelitian. Pembuatan laporan hasil penelitian dan publikasi melalui jumal lokal yang d. mempunyai ISSN. B. Lokasi Penelitian Lokalisasi km 1 2 Palangka Raya. C. Kerangka Konsep Yariabel Beb.s
1 . Karakteristik Wanita Pekerja Seks Umur Masa Kerja Tingkat Pendidikan
V.riabel Terikat
1 . Sikap Wanit. PekClja Seks dalmn penggunaan kondom
2. Tindakan Wanita Pekerja Seks dalam penggunaan kondom Seks tentang HIY/AIDS dan kondom
Variabel bebas pada kerangka konsep penelitian ini yang akan diteliti adalah pengetahuan responden yang meliputi tentang HIY/AIDS dan kondolll. D. Hipotcsis Penelitian • Terima Ho : tidak terdapat perbedaan persentase yang bermakna antara WPS berpengetahuan baik tentang HlY/AIDS dengan WPS berpengetahuan buruk dengan sikap dan tindakan penggunaan kondom. • Terima H I : terdapat perbedaan persentase yang bermakna antara WPS berpengetahuan baik tentang HIV/AIDS dengan WPS berpengetahuan buruk dengan sikap dan tindakan penggunaan kondom. E. Definisi Opcrasional l . Umur : penggolongan usia WPS dalam tahun, dihitung mulai dari tanggal lahir sampai dengan pada saat wawancara. Skala : Ordinal
109
Kategori
2.
3.
4.
: Muda, usia 1 5-25 tahun Dewasa, usia 26-34 tahun Tua, usia � 35 talmo Masa kerja WPS adalah jUllllah tahun WPS yang bekerja di lokalisasi klll 1 2 Palangka Raya. Skala : Ordinal Kategori : Baru, < 1 tahun Sedang, 1-5 tahun Lama, > 5 tahun Tingkat pendidikan adalah tingkat sekolah fonnal yang pernah diikuti WPS berdasarkan ijazah terakhir yang dimiIiki. : Ordinal Skala : Tidak sekolah, SD, SLTP, SLTA, Sarjana Kategori Pengetuhuan WPS tentang HIV/AIDS dan kondolll adalah kelllampuan responden dalam menjawab pertanyaan yang meliputi pengertian, tanda dan gejaia, cara mencegah HIV/AIDS, cara lllenggunakan kondom serta manfaat dan dalllpak jika tidak lllenggunakan kondolll. Cara pemberian skor, bila jawaban benar skor I dan bila jawaban salah skor O. lumlah pernyataan pengetahuan sebanyak 1 6 pernyataan dengan skala ordinal dan tingkat pengetahuan dibagi dalam tiga tingkatan yaitu baik, sedang dan burnk. Kategori : Baik, bila lJ + Y, SD Sedang, bila ' ± Y, SD Bumk, bila LJ Y, SD Sikap WPS terhadap cara mencegah HIV/AIDS dengan menggunakan kondom adalah tanggapan atau responden dalam menjawab pcmyataan yang meliputi pengertian, tanda dan gejala, cara mencegah HIV/AIDS, cara menggunakan kondom serta manfaat dan dampak jika tidak menggunakan kondom. Cara pemberian skor untuk pernyataan positif sangat setuju skor 2, setuju skor 1 , tidak sctuju skor 0, setuju skor 1 , tidak setuju skar setuju skor O. Pernyataan negatif sangat 2. lumlah pemyataan sikap sebanyak 10 pernyataan dengan skala ordinal dan tingkat sikap WPS dibagi dalam tiga tingkatan yaitu baik, sedang, buruk. Kategori : Baik, bila n + y, SD Sedang, bila : ± Y, SD Buruk, bila C - Y, SD Tindakan atau praktik WPS dalam penggunaan kondom adalah aksi atau kegiatan WPS yang meliputi pengenalan kondom pada pelanggan dengan cara memberikan penjelasan tentang manfaat kondom dan informasi tentang HIV/AIDS, menawarkan kondam pada pelanggan dengan cara mengajak pelanggan menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksuai. Cara pemberian skar, bila jawaban selalu skor 2, bila jawaban kadang-kadang skor I , bila jawaban tidak pemah skar O. lumlah pemyataan tindakan WPS dalam penggunaan kandam sebanyak 6 pertlyataan dengan skala ordinal dan tingkat tindakan WPS dibagi dalam dua tingkatan baik dan bumk. Kategori : Baik, bila :0: median Bumk, bila < median -
5.
6.
F. Jenis PeneJitian PencIitian ini merupakan ExplanatOfY Research yang menjelaskan hubungan antam variabel bebas dengan variabeI terikat melalui pengujian hipotesa yang telah dinulluskan.
1 10
G. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey sampel yaitu penelitian yang mellgambil sampel dari suatu populasi dengan menggunakan knesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok. H. Populasi, sampel dan besar sampel l . Populasi Populasi penelitian adalah para WPS yang bekerja di lokalisasi km 12 Palangka Raya. 2. Sampel Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah WPS yang ada dilokalisasi km 1 2 Palangka Raya dengan kriteria inklusi yaitu WPS yang telah mempunyai masa kerja minimal I bulan. 3. Besar Sampel lumlah responden yang digunakan penentuannya diIakukan dengan teknik sampling menggunakan rumus slovin N n I + Nd' Dimana : Ukuran Sampel n = Ukuran Populasi N d & e = Tingkat kesalahan pengambilan sampel yang dapat ditolerir (presisi), dengan presisi 10% lumlah WPS dilokalisasi km 12 Palangka Raya ad.lah 140 orang ( KPA, 2013) dengan teknik sampling menjadi 59 orang, ditambah toleransi 10% untuk mengantisipasi responden yang drop oul sehingga jumlah responden menjadi 65 orang. =
=
I. Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel dilakukan secara aeak sederhana (Simple Random Sampling) yaitu semua WPS yang ada dilokalisasi km 12 Palangka Raya sebanyak 140 orang didaftar dan dibuat nomor unltnya. Berdasarkan daftar terscbut dipilih secara random sehingga mcndapatkan jumlah 65 orang. Caranya dimulai dengan memilih sampel yang pertama kali kemudian pengambilan sampel berikutnya dilakukan dengan cara membagi jumlah populasi dengan jumlah sampel ( 140 : 65 = ± 2). Dengan cara mengumtkan setiap 2 orang responden akan diperoleh satu sampel. Kegiatan ini dilakukan terus secara berurutan sampai memperoleh sampel sejumlah 65 orang. J. Sumber Data Penelitian/Teknik Pengumpulan Data Data yang digullakan dalam analisis dan untuk menarik kcsimpulall dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer yaitu data yang diperoieh langsung dari surnbernya, diamati dan dieatat untuk pertama kalinya. Data primer ini dikumpulkan melalui wawaneara dCllgan mcnggunakan kuesioner yang telah disiapkan scsuai ttljuan penclitian. K. Pengolahan data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan SPSS 1 1 .5. Adapun Jangkah langkah pengolahan data sebagai berikut : 1 . Editing yaitu langkah yang dilakukan untuk memeriksa kclcngkapan, konsistensi maupun kesalahan jawaban pada kuesioner.
III
2. Koding dilakukan untuk memudahkan dalam proses pengolahan data. 3. Tabulasi merupakan lanjutan langkah koding untuk mengelompokkan data kedalam suatu data tertentl1 menurut sifat yang dimiliki sesuai dengan tujuan penelitian. 4. Penyajian data dilakukan dengan lllenggunakan tabel, grafik dan narasi. L. Anolisis Data Data diolah dan dianalisis dengan bantuan SPSS 1 l .5 berupa tabulasi data dan untuk mengetahui hubungan variabel bebas dengan variabel terikat dalam pernyataan hipotesis. Analisis yang digunakan adalah analisis univariat dan analisis bivariat. 1 . Analisis univariat DBakukan untuk memberikan gambaran secara ut11um terhadap variabel karakteristik responden berupa umur. masa kerja dan tingkat pendidikan. Analisis data responden menggunakan persentase sehingga penyajiannya dalam bentuk tabel dan distribusi frekuensi. 2. Analisis bivariat a. Tabulasi silang Dilakukan untuk menyajikan data dalam bentuk tabel yang llleliputi baris dan kolom. Analisis ini untuk melihat pola atau kecenderungan hubungan dua variabel yang diteliti dan dibuat dalam bentuk tabel distribusi dari variabc1 penelitian yang dikelompokkan sesuai dengan pengelompokkan skor. b. Uji Hipotesis Analisis bivariat ini dilakukan dengan analisis statistik chi square ( p < 0.05). Tujuan analisis ini adalah untuk mengetahui ada hubungan yang signifikan antara masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat. Dasar pengambilan keputusan (berdasarkan tingkat kelllaknaan) : • Jika tingkat kernaknaan (p) > 0.05 atau chi-square hitung < chi-square tabel maka Ho diterima. • Jika tingkat kemaknaan (p) < 0.05 atau chi-square hitung > chi-square tabel maka Ho ditolak. M. Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Uji validitas dan reliabilitas dilakukan untuk lllelihat scjauh mana alat ukur dapat dipercaya dan dapat diandalkan untuk digunakan sebagai alat pengulllpul data. I . Uji Validitas Uji vaIiditas dilakukan untuk mengetahui sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat dalam melakukan fu ngsi ukumya. Uji validitas kuesioner dilakukan terhadap 30 responden yang dilakukan diluar daerah penelitian yang mempunyai spesifitas yang hampir sama. Dalam uji validitas, setiap item pertanyaan diIakukan uji validitas terhadap total skor seluruh pertanyaan tersebut dengan menggunakan uju Person Product Moment. Apabila basil uji tersebut untuk setiap item pertanyaan temyata signifikan (p vallie < 5%) maka item pertanyaan tersebut sudah valid dan bisa digunakan. Apabila tidak signifikan (p vallie > 5%) maka item pertanyaan tersehut tidak valid dan harus didrop dari kuesioner (Arikunto, 2006). Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini mengadopsi kuesioner Tri Susilo Hadi dalam tesisnya yang berjudul " Faktor-faktor yang mempengaruhi praktik Negosiasi Penggunaan Kondom Untuk Mencegah IMS dan HIV/AIDS pada WPS di Resosialisasi Argorejo Kelurahan Kalibanteng Kulon Kecamatan Semarang Barat Kota Semarang". HasH lUi validitas item pertanyaan kuesioncr pengetahuan pencegahan HIV dan AIDS dari 98 pernyataan yang diuji dengan korelasi product moment menunjukkan 1 6 pernyataan pengetahuan pencegahan HIVIAIDS yang valid. Hasil uji validitas sikap WPS tentang
112
penggunaan kondom dari 14 item pemyataan sikap yang diuji dengan korelasi product moment menunjukkan 1 0 pemyataan yang valid ( Hadi, 2004). 2. Uji Reliabilitas Pengukuran reliabilitas berarti mengukur sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipereaya. HasiI pengukuran dapat dipereaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama diperoleh hasil yang relative sama selama aspek yang diukur dalam arti subyek belum berubah. Dalam uji reliabilitas, item-item pertanyaan yang sudah valid diuji reliabilitasnya dengan menggunakan koefisien alpha. Apabila alpha yang diperoleh dari uji reliabilitas ini lebih besar dari 0,75 maka instlUmen penelitian tersebut telah reliable atau termasuk kriteria kesepakatan sangat baik. Apabila alpha lebih besar dari 0,4 dan kurang dari 0,75 termasuk kriteria kesepakatan eukup baik (Arikunto, 2006). Hasil uji reliabilitas yang dilakukan Tri Susilo dalam penelitian tesisnya diperoleh angka untuk variabel pengetahuan peneegahan HIV/AIDS sebesar 0,9173 (kesepakatan sangat baik), variabel sikap WPS dalam penggunaan kondom 0,6 1 13 (kesepakatan eukup baik) dan variabel praktikltindakan penggunaan kondom sebesar 0,6106 (kesepakatan eukup baik) (Hadi, 2004). E. Hasil dan Pembahasan A. Hasil Penelitian Penelitian dilakukan dengan metode survey sampel pada wanita pekerja seks di lokalisasi km 12 Palangka Raya. Data dikumpulkan melalui proses wawaneara menggunakan kuesioner yang diberikan kepada 60 responden. Berdasarkan hal terscbut didapatkan data berupa data umum dan data khusus. Data umum yang diperoleh berupa umur responden, masa kerja dan tingkat pendidikan. Data khusus yang diperoleh antara lain identifikasi pengetahuan responden mengenai HIV/AIDS dan kondom, identifikasi sikap responden dalam mencegah HIV/AIDS menggunakan kondom, identifikasi tindakan responden dalam mcnggunakan kondom, analisis hubungan antara pengetahuan responden mengenai HIVIAIDS dan kondom dengan sikap responden dalum mencegah HIV/AIDS menggunakan kondom serta analisis hubungan antara pengetahuan responden mengenai HIV/AIDS dan kondom dengan tindakan responden dalam menggunakan kondom. 5.1 Data Umum/Karakteristik Responden 5.1.1 Umur Responden Umur wanita pekerja seks yang menjadi responden terbanyak pada umur 26-34 tahun yaitu 3 1 orang (51 ,7%), umur 15-25 tahun sebanyak 20 orang (33,3%) dan terkeeil usia 2: 35 tahun sebanyak 9 orang ( 1 5%). Hal ini menunjukkan umur responden yang semakin dewasa akan membuat individu yang bersangkutan melakukan adaptasi perilaku terhadap lingkungan. Penyebab yang sering dikemukakan seseorang memilih menjadi wanita pekerja seks karena lingkungan atau sekitamya yang mempengaruhi untuk memilih profesi tersebut yaitu pengamh oleh temall atau tetangganya yang lebih dahulu sudah menjadi wanita pekerja seks. Proscntase Jumlah Umur 33,3% 20 1 5-25 tahun 5 1 .7% 31 26-34 tahun 15% 9 > 35 tahun 100% 60 Total Tabe1 5. 1 Dlstnbusl frekuens] responden bcrdasarkan umur wamta pekerJa seks dl lokahsasl km 12 Palangka Raya No 1 2 3
113
5.1.2 Masa Kerja Responden
Masa kerja wanita pekerja seks yang menjadi responden terbanyak dengan masa kerja 1 tahun yaitu 32 orang (53,3%), masa kerja 1-5 tahun sebanyak 28 orang (46,7%) dan tidak ada (0%) yang memiliki masa kerja > 5 tahun. Hal illi menunjukkan proses rotasi wanita pekerja seks dad satu tempat ke tempat lain sangat tinggi. Rotasi ini biasanya dipengaruhi oleh banyak sedikitnya pelanggan yang dilayani selama wanita pekerja seks berada dilokalisasi. <
1 2 3
Jumlah
Masa
No
Prosentase
<
1 tahun 53,3% 32 1-5 tahun 28 46,7% >5 tahun 0 0% Total 60 100% Tabel 5.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan masa kerja wanita pekerja seks dl lokalisasi km 1 2 Palangka Raya 5.1.3 Tingkat Pendidikan Responden
Tingkat pendidikan yang pemah ditempuh wanita pekerja seks yang menjadi responden terbanyak adalah SLTP yaitu 32 orang (53,3%), SD sebanyak 1 6 orang (26,7%), SLTA sebanyak 12 orang (20%) dan sisanya tidak sekolah dan sarjana sebanyak 0 orang (0%). RendalInya tingkat pendidikan yang pemah ditempuh menimbulkan kurangnya pengertian dan keterampilan sehingga rnembuat individu mcnghindar dari kesulitan hidup dan mencari kesenangan melalui jalan pendek salah satunya dengan menjadi wanita pekerja seks. No
I 2 3 4 5
Umur
Jumlah
Prosentase
0 16 32 12 0
0% 26,7% 53,3% 20% 0%
Tidak Sekolah SD SLTP SLTA
Total 60 100% Tabel 5.3 DlstnbuSI frekuensl responden berdasarkan tmgkat pendldlkan wamta pekerJ3 seks di lokalisasi km 12 Palangka Raya .
.
5.2 Data Khusus
5.2.1 Pengetahuan Respondell mengenai HIV/AIDS dan kondom
Kuesioner yang berisi pemyataan mengenai pengetahuan responden terkait HIV/AIDS dan kondom dilakukan penilaian dan didapalkan 0 = 1 3 dan SD = 2,255. Dari nilai lersebul dapat ditentukan kategori pengetahuan sebagai berikut : • Baikjika nilai responden > 1 5,255 • Sedangjika nilai responden = 1 1 ,255-15,255 • Buruk jika nilai responden < 1 1 ,255 1
2
3
4
114
Skor
13 13 12 10 12
23
24 25 26 27
Skor 9
16 15 15 15
45 46
47
48 49
Skor
10 14 13 14 13
6 7 8 9 10 11 12 13 14
IS 28 IS 50 10 14 29 IS 51 5 1! 30 IS 52 IS 16 31 14 53 7 13 32 13 54 10 14 33 13 55 II 14 34 14 56 14 16 35 14 57 16 15 36 14 58 13 IS 15 37 16 59 13 16 12 38 13 60 10 17 14 39 13 18 13 40 13 19 13 41 14 20 14 42 II 21 14 43 10 22 9 44 13 Tabel 5.4 Rekapan Pentlalan Pengetahuan Responden mengenat HIV/AIDS dan kondom Pengetahuan wanita pekerja seks yang menjadi responden mengenai HIV/AIDS dan kondom sebanyak 43 orang (7 1 ,7 %) memiliki pengetahuan sedang, 1 2 orang (20%) memiliki pengetahuan buruk dan sisanya 5 orang (8,3%) memiliki pengetahuan baik. Juml.h Prosentase 5 8,3% 43 7 1 ,7% 12 Buntk 20% 100% 60 Total Tabel 5.5 Dtstnbust frekuenst kategon pengetahuan wamta peker)a seks dt lokahsast km 12 Palangka Raya mengenai HIV/AIDS dan kondom No I 2 3
Baik
5.2.2 Sikap Responden d.l.m meneegah HIV/AIDS deng.n penggunaan kondom Kuesioner yang berisi pernyataan mengenai sikap responden dalam mencegah HIV/AIDS dengan penggunaan kondom dilakukan penilaian dan didapatkan L.I � 1 5 , 1 8 dan SD � 5,074. Dari nilai tersebut dapat ditentukan kategori sikap responden sebagai berikut : • Baikjika nilai responden > 20,3 • Sedang jika nil.i responden � 10,1-20,3 • Burukjika nilai responden < 10,1 I
2 3 4 5 6 7 8
Skor 10 20 18 0 18 18 16 II
23 24 25 26 27 28 29 30
Skor 2 20 18 18 20 18 18 18
45 46 47 48 49 50 51 52
Skor 12 17 17 17 12 16 2 12
115
53 14 31 17 54 1 5 32 20 55 IS 33 20 It 56 IS 34 16 12 57 35 14 20 13 14 58 36 17 14 59 20 37 18 15 60 IS 38 20 16 39 IS 17 17 13 40 19 18 18 41 20 19 16 42 16 20 43 16 16 21 14 44 0 22 Tabel 5.6 Rekapan Pemlamn S!kap Responden dalam mencegah HlV/AIDS dengan penggunaan kondom 9 10
0 20 12 14 20 14 18 IS
Sikap wanita pekerja seks yang menjadi responden dalam menggunakan kondom untuk mencegah HlV/AIDS terbanyak memiliki sikap sedang yaitu 54 orang (90%), sikap buruk sebanyak 6 orang ( 10%) dan tidak ada (0%) wanita pekerja seks yang memiliki sikap baik dalam menggunakan kondom. Prosentase Jumlah 0 0% 54 90% 10% 6 Buruk 100% 60 Total Tabel 5.7 DlStnbus! [rekuens! k.tegon s!kap wamta peker)a seks d! lokahsaSI km 12 Palangka Raya dalam mencegah HIV/AIDS menggunakan kondom No I 2 3
Baik
5.2.3 Tindakan Responden dahlin penggunaan kondom Kuesioner yang berisi pemyataan mengenai tindakan responden dalam penggunaan kondom dilakukan penilaian dan didapatkan nilai median = 1 1 . Dari nilai tersebut dapat ditentukan katcgori tindakan responden sebagai berikut : • Baikjika nilai responden � 1 I • Burukjika ni1ai responden < I I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
116
Skor 6 7 8 10 10 II 12 1I 8 12
23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Skor 12 12 II II 12 II II II II 1I
45 46 47 48 49 50 51 52 53 54
Skor 7 10 12 12 II 3 12 9 6 10
11 12 33 11 55 12 12 34 11 56 13 12 35 11 57 14 10 36 11 58 15 10 37 12 59 16 12 38 II 60 17 10 39 II 18 40 12 II 19 41 12 12 42 20 12 9 21 12 43 8 22 44 12 7 Tabel 5.8 Rekapan Pemlalan Tmdakan Responden dalam penggunaan kondom
5 II 12 II II 9
Tindakan wanita pekerja seks yang menjadi responden dalam penggunaan kondom terbanyak memiliki tindakan baik yaitu 40 orang (66,7%) dan sisanya memiliki tindakan buruk yaitu 20 orang (33,3%). Prosentase Jumlah 66.7% 40 Baik 33,3% Bumk 20 100% 60 Total . Tabel 5.9 D!stnbus! frekuellS! kategon tmdakan wamta peke!]a seks d! lokahsas! km 1 2 Palangka Raya dalam penggunaan kondom No I 2
.
5.2.4 Analisis hubungan pengetahuan responden dengan sikap responden dalam mencegah HIV/AIDS menggunakan kondom Setelah dilakukan perhitungan silang antara pengetahuan responden dengan sikap responden dalam mencegah I-IIV/AIDS menggunakan kondom diperoleh hasil bahwa wanita pekerja seks dengan pengetahuan sedang sebanyak 42 orang (70%) memiliki sikap sedang dalam menggunakan kondom, I orang ( 1 ,7%) memiliki sikap buruk dan tidak ada yang memiliki sikap baik dalam menggunakan kondorn (0%). Responden dengan pengetahuan buruk sebanyak 7 orang ( 1 1 ,7%) memiliki sikap sedang dalam menggunakan kondom, 5 orang (8,3%) memiliki sikap buruk dan tidak ada yang memiliki sikap baik dalam menggllnakan kondom (0%). Responden dengan pengetahuan baik sebanyak 5 orang (8,3%) memiliki sikap sedang dalam menggunakan kondom dan tidak ada yang memiliki sikap baik dan sikap buruk dalam menggunakan kondom (0%). Berdasarkan uji chi-square dengan tingkat kemaknaan 95% (nilai chi-square hitllng > chi-square tabel) didapatkan nilai 1 6,740 > 5,991 sehingga Ho ditolak yaitll terdapat perbedaan persentase yang bermakna antara wanita pekerja seks berpengetahuan baik tentang HIV/AIDS dengan wanita pekerja seks berpengetahuan bumk dalam menentukan sikap untuk menggunakan kondom atau terdapat hubtmgan antara pengetahUa!! wanita pekeIja seks mengenai HIV/AIDS dengan sikap wanita peketja seks dalrun menggunakan kondom.
No.
I
Pengetahuan responden ttg HIV/AIDS dan kondom baik
dalam
naan kondom Total
baik 0 (0%)
buruk 5 (8,3%)
5 (8,3%)
117
43 I 42 2 12 (20%) 5 7 buruk 3 54 (90%) 60 ( 1 00,0%) 6 Total .. (hasll UJI chi-square, mla! chi-square hltung > clrl-square tabel, dlperoleh mla! 1 6,740 > 5,991) Tabel 6.0 Distribusi frekuensi hubungan antara pengetahuan wanita pekerja seks mengenai HIV/AIDS dan kondom dengan sikap wanita pekelja seks dalam mencegah HIV/AIDS menggunakan kondom di lokalisasi km 12 Palangka Raya 5.2.5 Analisis hubungan pcngetahuan responden dengan tindakan respondcn dalam mencegah IIIV/AIDS menggunakan kondom Setelah dilakukan pcrhitungan silang antara pengetahuan responden dengan tindakan responden dalam mencegah HIV/AIDS menggunakan kondom diperoleh hasil bahwa wanita pekerja seks dengan pengelahuan sedang sebanyak 33 orang (55%) memiliki tindakan baik dal_m menggunakan kondom dan 1 0 orang ( 16,7%) memiliki tindakan baik dalam menggunakan kondom. Responden dengan penget_huan buruk sebanyak 9 orang ( 15%) memiliki tindakan buruk dalam menggunakan kondom dan 3 orang (5%) memiliki tindakan baik dalam menggunakan kondom. Responden dengan pengetahuan baik sebanyak 4 orang (6,7%) memiliki tindakan baik dal_m menggunakan kondom dan I orallg ( 1 ,6%) memiliki tindakan buruk dalam menggunakan kondom. Berdasarkan uji chi-square dengan tingkat kemaknaan 95% (Ililai chi-square hitung > chi-square tabel) didapatkan nilai 1 1,740 > 5,991 sehingga Ho ditolak yaitu terdapat perbedaan persentase yang bermakna antara wanita pekerja seks berpengetahuan baik tentang HIV/AIDS dengall wanita pekerja seks berpengetahuan buruk dalam menentukan tindakan untuk menggunakan kondom atau terdapat hubungan anllua pengetahuan wanita pekeIja seks mengenai HlVlAIDS dengan tindakan wanita pekeIja seks dalam men kondom No. Pengetahuan responden Tindakan responden dalam Total ttg I-lIV/AIDS dan kondom kondom Tindakan baik Tindakan Buruk 1 baik 4 (6,7%) I (1 ,6%) 5 (8,3%) 2 10 33 (55%) 43 (71 ,7%) bumk 3 3 9 12 Total 40 (66,7%) 20 60 (1 00,0%) .. (hasil UJ I chi-square, mIal chI-square hltung > chI-square tabel, dlperoieh mlal 1 1 ,740 > 5,99 1 ) Tabel 6.1 Distribusi frekuensi hubungall antara pengetahuan wanita pekerja seks mengenai HIV/AIDS dan kondom dengan tindakan wanita pekerja seks dalam mencegah HlV/AIDS menggunakan kondom di lokalisasi km 12 Palangka Raya B.
Pembahasan Perilaku merupakan hasil segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungan yang terwujud dalam bentuk pengetahuan dan tindakan manusia sebagai makhluk hidup yang dilengkapi dengan akal yang berfungsi untuk mengontrol dan mengendalikan perilaku agal" sesuai dengan yang diharapkan. Perilaku dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis sebagai berikut : • Perilaku dalam benhlk pengetahuan yaitu mengetahui situasi atau rangsangan dari !uar.
118
• •
Perilaku dalan: bentuk sikap yaitu tanggapan batin terhadap keadaan atau rangsangan dan luar dm SI subyek yang menimbulkan perasaan suka atau tidak suka. Perilaku dalam bentuk tindakanJpraktik yang sudah nyata yaitu perbuatan terhadap sltunSI atau rangsangan dad luar.(Notoatmodjo,2003).
5.2.6 Pengetahuan responden mengenai HIV/AIDS Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan wanita pekerja seks yang menjadi responden mengenai HIV/AIDS dan kondom sebanyak 43 orang (71,7 %) memiliki pengetahuan sedang, 12 orang (20%) memiliki pengetahuan buruk dan sisanya 5 orang (8,3%) memiliki pengetahuan baik. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang tCIjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan kognitif merupakan domain yang sangat penting l.mtuk tcrbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan yang ada tcrsebut bertujuan untuk menjawab permasalahan kchidupan manusia yang dihadapi sehari hari dan digunakan untuk kemudahan-kemudahan tertentu. Pengetahuan dapat diperolch melalui melihat, mendengar atau mengalami suatu kejadian yang nyata selain itu dapat pula diperoleh melalui belajar di bangku pendidikan baik bersifat fonnal maupun infonnal. Pengetahuan wanita pekeIja seks yang masih sedikit berada dalam kategori baik bisa disebabkan berbagai hal yaitu rendahnya tingkat pendidikan yang pemah ditempuh wanita pekcrja seks dan kurangnya penyuluhan dan sosialisasi mengenai HIV/AIDS kcpada wanita pekeIja seks sebagai pelaku utarna dalam prostitusi. 5.2.7 Sikap Respondcll dalam rncnggunakan kondom Basil penelitian menunjukkan sikap wanita pekcrja seks yang mcnjadi responden dalam menggunakan kondom untuk mencegah HlV/AIDS terbanyak memiliki sikap sedang yaitu 54 orang (90%), sikap buruk sebanyak 6 orang (10%) dan tidak ada (0%) wanita pekerja seks yang memiliki sikap baik dalam menggunakan kondom. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap 8uatu stimulus atau obyek. Sikap sering diperoieh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat. (Notoatmodjo,2003). Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu : menerima, merespon, menghargai dan bertanggung jawab. Sikap yang utuh dipengaruhi oleh pengetahuan, keyakinan dan emosi seseorang. Sikap wanita pekerja seks yang tidak ada masuk dalam kategori baik dapat disebabkan karena pengetahuannya Illasih kurang mengenai HIV/AIDS yang dapat dicegah dengan menggunakan kondom. Sikap merupakan faktor salah satu faktor predisposisi untuk terbentuknya perilaku baru. Untuk mendapatkan sikap wanita pekcrja seks yang baik dapat dilakukan dengan mcngadakan pelatihan tentang penggunaan kondom secara rutin. 5.2.8 Tind.kan responden dal.m menggunakan kondom Hasil penelitian menunjukkan tindakan wanita pekerja seks yang menjadi responden dalam penggunaan kondom terbanyak rnemiliki tindakan baik yaitu 40 orang (66,7%) dan sisanya memiliki tindakan buruk yaitu 20 orang (33,3%). Tindakan merupakan salah satu dari tiga perilaku berbentuk perbuatan terhadap situasi atau rangsangan dari luar. Tindakan seseorang berkaitan dengan sikap dan keyakinan yang dimiliki terhadap suatu obyek dalam hal ini rnengenai penggunaan kondom. Tindakan wanita pekerja seks terbesar berada dalam kategori baik hal ini menunjukkan wanita pekerja seks mempunyai keyakinan yang positif mengenai penggunaan kondom sehingga menimbulkan tindakan yang positif pula. Keyakinan yang positif ini dapat terbentuk melalui informasi dan komunikasi yang berkesinambungan dan terus menerus dari berbagai sumber.
119
5.2.9 Hubungan pengetahu:m responden dengan sikap responden dalam penggunaan kondom Berdasarkan uji chi-square dengan tingkat kemaknaan 95% (nilai chi-square hitung > chi-square tabel) didapatkan nilai 16,740 > 5,991 sehingga Ho ditolak yaitu terdapat perbedaan persentase yang bennakna antara wanita pekerja seks berpengetahuan baik tentang HIV/AIDS dengan wanita pekerja seks berpengetahuan buruk dalam menentukan sikap untuk menggunakan kondom atau terdapat hubungan antara pengetahuan wani�, pekClja seks mengenai HIV/AlDS dengan sikap wanita pekClja seks dalam menggunaksn kondom Hal ini sesuai dengan teOli notoabnodjo lnengenai sikap yang utuh dipengaruhi oleh pengelahuan, keyakinan dan emosi seseorang. Pengetahuan seseomng yang buruk akan membnat siksp seseorang juga buruk dalam hal ini mengenai pencegahan HIV/AlDS dengan nx:nggunaksn kondom Untnk itu perlu diberikan stimulus berupa infonnasi mengenai H[VlAIDS dan penggunaan kondom agar tetbentuk pengetahuan dan keyakinan yang positif sehingga nantinya dapat meruba11 siksp wanita pekClja seks menjadi positifdalam menggunakan kondom. 5.3.0 Hubnngan pengetahuan responden dengan tindakan responden dalam pengguna.'n kondom Berdasarkan uji chi-square dengan tingkat kemaknaan 95% (nilai chi-square hitung > chi-square tabel) didapatkan nilai 1 1,740 > 5,991 sehingga Ho ditolak yaitu terdapat perbedaan persentase yang bennakna antara wanita pekerja seks berpengetahuan baik tentang HIV/AIDS dengan wanita pekerja seks betpengetahuan buruk dalam menentukan tindakan untuk menggunakan kondom atau terdapat hubungan antara pengetahuan wanita pekClja seks mengenai HIV/AIDS dengan � wanita peketja seks dalam menggunakan kondom. Pengetahuan kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Da[am hal ini terbukti pengetahuan wanita pekerja seks yang baik mengenai HIV/AIDS dan kondom akan membentuk tindakan yang baik pula dari wanita pekerja seks untuk menggunakan kondom. Pengetahuan ini dapat dipero[eh mela[ui penyu[uhan dan sosialisasi yang rutin dan berkesinambungan kcpada wanita pekcrja seks untuk memberikan informasi sekaligus komunikasi mengenai HIY/AIDS dan kondom. Me[a[ui pengetahuan yang dimiliki dapat membentuk keyakinan dan sikap yang positif sehingga mendorong wanita pekerja seks memiliki tindakan yang positif pula dalam menggunakan kondom. F. Kesimpulan dan Saran 6.1 Kesimpulan Dari hasil pene[itian yang te[ah dilakukan pada wanita pekerja seks di loka[isasi km [2 Pa[angka Raya dapat disimpulkan : • Persentase pengetahuan wanita pekcrja seks yang menjadi responden mengenai HlY/AIDS dan kondom sebanyak 43 orang (71,7 %) memi[iki pengetahuan sedang, 1 2 orang (20%) memiliki pengetahuan buruk dan sisanya 5 orang (8,3%) memiliki pengetahuan baik. • Persentase sikap wanita pekerja seks yang menjadi responden dalam menggunakan kondom untuk mencegah HIV/AIDS terbanyak memi[iki sikap sedang yaitu 54 orang (90%), sikap buruk sebanyak 6 orang (10%) dan tidak ada (0%) wanita pekcrja seks yang rnemiliki sikap baik dalam menggunakan kandom. • Persentase tindakan wanita pekerja seks yang menjadi responden dalam penggunaan kondom terbanyak memiliki tindakan baik yaitu 40 orang (66,7%) dan sisanya memiliki tindakan buruk yaitu 20 orang (33,3%). • Hasil uji chi-square dengan tingkat kcmuknaan 95% (nilai chi-sqllare hitung > chi-square tabe[) didapatkan nilai 1 6,740 > 5,991 sehingga Ho ditolak yaitu lerdapat perbedaan persentase yang bermakna antara wanita pekelja seks berpcngctahuan baik tentang HTV/ATDS dengan wanita pckcrja seks
[20
•
berpengetahuan burnk dalam menentukan sikap untnk menggunakan kondom atau terdapat hubungan anlala pengetahuan wanita pekeIja seks mengenai HIV/AIDS den;,'lli sikap wanita pekeIja seks dalam mengglll1akankondom. Hasil uji chi-square dengan tingkat kemaknaan 95% (nilai chi-square hitung > chi-square tabel) didapatkan nilai 1 1 ,740 > 5,991 sehingga Ho ditolak yaitu terdapat pcrbedaan persentase yang bermakl1a autara wanita pekcrja seks berpengetahuan baik tentang HIV/AIDS dengan wanita pekerja seks berpengetahuan burnk dalam menentukan tindakan untuk menggllnakan kondom atau terdapat hubungan anlala pengetahlk'Ul wanita pekeIja seks mengenai HIV/AIDS dengan tindakan wanita pekeIja seks dalam menggunakan kondom.
6.2 Saran B.gi pengelola lok.lisasi km 12 Palangka Raya : • Mcngadakan pembinaan kcpada w31lita pekcrja seks dengall sosialisasi ataupun penyuluhan melalui dinas kesehatan kota Palangka Raya mengenai HlV/AIDS dan kondom. • Mcngadakan pelatihan penggunaan kondom secara mtin. • Menyediakan kondom bagi wanita pekerja seks. • Membuat reguJasi untuk mendisiplinkan penggunaan kondom dengan memberikan sanksi bagi wanita pekcrja seks maupun pclanggan yang tidak bersedia menggunakan kondom. Bagi wanita pekerja seks : • Meningkatkan pengetahuannya secara pribadi dengan aktif bertukar informasi sesama wanita pekerja seks mengenai HlV/AIDS dan penggnnaan kondom. • Rutin memcriksakan kesehatan terutama apabila mengalami salah satl! tanda dan gejala dari HlV/AIDS untuk mendapatkan pengobatan dini dan meneegah penyebaran HlV/AIDS. • Disiplin untuk menggunakan kondom selama melayani pelanggan. Referensi I . Arikunto S, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. PT Rineka Cipta. Jakarta 2. BKKBN.2005. Peningkatan Partisipasi Pria dalam KB & KR.Jakarta. 3 . Depkes Rl.2001 . Profil Kesehatan Indonesia Tahun 200l .Jakarta. 4. Depkes RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta. 5. Depkes RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta. 6. Ditjen PPM & PL Kementerian Kesehatan. 20 I I . Statistik Kasus HIVIAIDS di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan. 7. Fadhali Andi, et al. 2012. Faktor yang Berhubungan dengan Peneegahan HIV dan diakses 30 Mei 2013). AIDS cli, 8. Hadi TS. 2004. Faktor-faktor yang Mempengarnhi Praktik Negosiasi Penggunaan Kondom Untuk Meneegah Ims dan HIV/AIDS pada WPS di Resosialisasi Argorejo Kelurahan Kalibanteng Kulon Kecamatan Semarang Barat Kota Semarang. (Online), (http://eprints.undip.ac.idlI45 1 4!l/2004MPK3579.pdf, diakses I Juni 2013). 9. Juliastika, et al. 20 1 1 . Hubungan Pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan Sikap dan Tindakan Penggnnaan Kondom Pria pada Wanita Pekelja Seks di Kota Manado.
121
(Online), diakses 30 Mei 2013). 10. Kaltengpos. 2013. Jumlah PSK terbanyak ada di Kotim.(Online), (http: www.kaltengpos.co.id. di akses 1 6 Juni 201 3 ) . I I . Kenderweis, Yustina I . 2 0 1 0. Kemampuan Tawar Pekerja Seks Komersial dalam Penggunaan Kondom Untuk Mencegah Penularan HIV/AIDS di Jalan Lintas Sumatera Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara, Berita Kedakteran Masyarakat. (Online), Volume 26 No.1 diakses 25 Januari 2013). 12. Manuaba, dkk. 20 I O. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, & Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan edisi 2. Jakarta : EGC. 13 . Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. PT Rineka Cipta. Jakarta. 14. Price Sylvia A, LOiTaine Wilson.2006. Patofisiologi. Volume I . Jakarta : EGC. 1 5. Siregar FA. 2004. Pengenalan dan Pencegahan AIDS. (Online) diakses 30 Mei diakses 25 Januari 16. Spritia. 2009. (Online) 2013). 17. Syaifudin. 2003. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 1 8. UNAJDS, 2009. AIDS Epidemic Update, Geneva, UNAIDS.
1 22
Kaian FaktOr "RJsil
BESTVo1.6 No.3 [)esember 2012
HIVIAJOS dl ...
Kajian Analisis Kecenderungan Faktor Risiko Penyakit HIV/AIDS Pada Anak Sekolah di Kabupaten Jayawijaya Propinsi Papua Deny Tuhumury & Rohani Sumitro (Seksi Surveilans Epidemiologi & ADKL) Ringkasan Di Indonesia pertama kali diketahui adanya kasus AIDS pada bulan April tahun 1987, pada seorang warga negara Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah Bali. Namun sejak awal tahun 1991 telah mulai adanya peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi dua kali lipat kurang dari setahun sebelumnya. HIV adalah virus penyebab AIDS. AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yang merupakan dampak atau efek dari perkembang biakan virus hiv dalam tubuh makhluk hidup. Cara Penularan lewat cairan darah, lewat cairan sperma dan cairan vagina, Lewat Air Susu I bu.
Masa lnkubasi dari penularan hingga berkembang atau terdeteksinya antibodi, biasanya 1 waktu dari tertular HIV hingga terdiagnosa sebagai AIDS sekitar Tanda - Tanda
<
3 bulan, namun
1 tahun hingga 15 tahun atau lebih.
Tertular HIV/AIDS : Berat badan menurun lebih dari 10% dalam waktu singkat, Demam ting
berkepanjangan, Diare berkepanjangan, Batuk berkepanjagan, Kelainan kulit dan iritasi, lnfeksi jamur pada
mulut dan kerongkongan, Pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh, seperti di bawah telinga leher, ketiak dan lipatan paha. Cara Pencegahan HIV/AIDS : Gunakan selalu jarum suntik yang steril, Se menerapkan kewaspadaan mengenai seks aman. Mengatahui faktor-faktor risiko penularan HIVIAIDS, Pengetahuan tentang HIVIAIDS, Penggunaan NAPZA
suntik, Perilaku Seksual dengan keiadian penvakit HIV/AIDS pada Anak Sekolah SMA/SMK di Kabupat Jayawijaya Propinsi Papua. Besar sam pel yang diambil 100 Responden dan semuanya hasilnya negatif. Pendahuluan
Data Dinas Kesehatan Provinsi Papua triwulan pertama
Acquired
Immunodeficiency Sydrome adalah
per Maret 2009, jumlah kasus HIV-AIDS di Papua ada
syndromelkumpulan gejala penyakit yang disebabkan
4.745
oleh Retrovirus yang menyerang system kekebalan
sebanyak 2.276 kasus. Epidemi HIV-AIDS di Papua
pertahanan
kali
menyebar dalam populasi umum atau generalized epi
ditemukan pada tahun 1981 di Amerika Serikat dan
demic dan lebih dari 90 persen penularannya melalui
tubuh.
Penyakit
ini
pertama
kasus.
HIV
sebanyak
2.469
kasusdan
AIDS
sampai saat ini telah menyerang sebagian besar
hubungan seks. Terus, bagi penduduk yang berusia
negara didunia. Penyakt ini telah menjadi masaalah
15-49 tahun, prevalensi HIV di Papua mencapai 2,4
lnternasional karena dalam waktu relatif singl
persen. lebih jauh diungkapkan, dari jumlah data,
terjadi peningkatan jumlah penderita dan melanda
Papua menduduki posisi ke-4 dengan jumlah 2605
semakin
kasus
banyak
negara.
Disamping
itu
belum
(data
per 30 juni
2009). Dinas
Kesehatan
ditemukan vaksin yang efektif Mengingat besam masalah yang dapat ditimbulkan oleh penyebar
Pegunungan Tengah terdapat 70 persen dari mereka
virus HIVIAIDS ini, maka pemerintah dalam hal ini
yang terinveksi itu berusia 24 tahun, kemudian yang
Depkes Rl telah melakukan berbagai upaya untuk
sangat disayangkan adalah, yang terbanyak kalangan
menekan
usia 15-19 tahun (usia anak sekolah SMNSMK).
penularan
HIVIAIDS.
Upaya
Kabupaten
terse but
Jayawijaya,
di
8
kabupaten
wilayah
diantaranya melalui kegiatan pemeriksaan sampel
darah secara rutin kepada mereka yang bere tinggi mengidap HIVIAIDS, melaksanakan kegia1
Teknik pengambilan adalah Cross sectional yi
penyuluhan
survey penyakit dan faktor risiko secara bersama.
serta
menyebarluaskan
Metode
informasi
tentang AIDS, penularan dan pencegahan se�
Variabel terikat penderita HIVIAIDS, Variabel bebas
pemakaian kondom bagi mereka yang terlibat dengan
yaitu
perilaku hubungan seksual.
napza suntik dan Perilaku Seksual
15
pengetahuan tentang
HIVIAIDS,
penggunaan
Hasil 1. Konclsl Gec)lrafls Kabupaten Jayawijaya adalah salah satu kabupaten di provinsi Papua. lbukota kabupaten ini terletak di Wamena yang terletak di Lembah Baliem. Dalam literatur asing Lembah Baliem juga sering disebut sebagai Lembah Agung. Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Jayawijaya sebagai berikut : Sebelah Utara : Kab. Mamberamo Tengah dan Kab. Yalimo, Sebelah Selatan : Kab. Yahukimo, Sebelah Barat : Kab. Lanny Jaya dan Kab. Tolikara, Sebelah Timur : Kab. Pegunungan Bintang 2. Topocraft dan lkllm Kabupaten Jayawijaya berada di hamparan Lembah Baliem, sebuah lembah aluvial yang terbentang pada areal ketinggian lSOC - 2000 m di atas permukaan laut. Temperatur udara bervariasi antara 14,5 derajat Celcius sampai dengan 24,5 derajat Celcius. Lembah Baliem dikelilingi oleh Pegunungan Jayawijaya yang terkenal karena puncak-puncak salju abadinya, antara lain : Puncak Trikora (4.750 m), Puncak Mandala (4.700 m) dan Puncak Yamin (4.595 m). 3. Democraft dan Budaya Orang Dani di lembah Baliem biasa disebut sebagai "Orang Dani Lembah". Rata-rata kenaikan populasi orang Dani sangat rendah dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, salah satu penyebabnya adalah keengganan pada ibu untuk mempunyai anak lebih daripada dua yang menyebabkan rendahnya populasi orang Dani di Lembah Baliem. Sikap berpantang pada ibu selama masih ada anak yang masih disusui, membuat jarak kelahiran menjadi jarang. 4. Transportasi Transportasi Kabupaten Jayawijaya hingga saat ini masih mengandalkan perhubungan udara, misalnya trayek Wamena-Jayapura,. Semua jenis barang, baik barang kebutuhan pokok masyarakat
5.
Kasus HIV/AIDSTahun 2007 s/d 31 Maret 201 1 Kabupaten Jayawijaya
19ll 11Dl lbti·Qti ot�l
IIV 149
AIDS 568
717
�
915
1218
1S4
347
501
Sumber Data : Subdin P2PL Dinkes Kab. Jayawijaya
IIIV UIOS �
Sumber Data : Subdin P2PL Dinkes Kab. Jayawijaya
Vnbll��lerdlslrbn lt.tamltlnAsllDillinK*fllln
maupun kendaraan dan bahan bangunan seperti semen dan lainnya diangkut dari Jayapura ke Wamena menggunakan pesawat terbang. Sejumlah perusahaan penerbangan yang selalu melayani penumpang maupun barang dari Jayapura ke Wamena, yaitu: PT. Trigana Air Service, Manunggal Air Service, Aviastar dan penerbangan Hercules TNI AURI. Sedangkan transportasi yang menghubungkan Wamena dengan sebelas distrik di kabupaten Jayawijaya, sudah dapat dijangkau dengan kendaraan beroda em pat.
IIIV I NOS IMATI
Sumber Data : Subdin P2PL Dinkes Kab. Jayawijaya 16
IHIV IAIOS I MATI
Sumber Data: Subdin P2PL Dinkes Kab. Jayawijaya
00)
1500
11m
IHIV
11m 500
500
I AIDS
0 2007
2Q1
2009
2010
2011
Total
I Jr.t.
I HIV IAIDS IJK
Twl l
Sumber Data : Subdin P2PL Dinkes Kab. Jayawijaya
Sumber Data : Subdin P2PL Dinkes Kab. Jayawijaya
e HJV
IAIOS eJt.t
Sumber Data : Subdin P2PL Dinkes Kab. Jayawijaya 17
Hastl Keclatan Tabel l. Distrlbusl Responden Berdasarkan Varlabel
Jumlah
Responden No
Variabel
S M A2 NEGERI WAMENA "
1
2.
3
5
6
7
"
"
Jenis Kelamin Laki - Laki Perempuan
0 0
0 0
53 47
53,0 47,0
53 47
53,0 47,0
Umur 15 Tahun 16 Tahun 17 Tahun 18 Tahun
0 0 0 0
0 0 0 0
13 53 23 11
13,0 53,0 23,0 11,0
13 53 23 11
13,0 53,0 23,0 1 1,0
Melalui Kontak Darah/Jarum Suntik/Sex
0 0 0
0 0 0
51 15 34
51,0 15,0 34,0
51 15 34
51,0 15,0 34,0
Cara Penularan Sex banyak pasangan Tranfusi darah
0 0
0 0
61 39
61,0 39,0
61 39
61,0 39,0
Tidak menggunakan jarum suntik bergantiar
0 0 0 0
0 0 0 0
30 20 25 25
30,0 20,0 25,0 25,0
30 20 25 25
30,0 20,0 25,0 25,0
Penggunaan Narkoba/Napza Ya Tidak
0 0
0 0
2 98
2,0 98,0
2 98
2,0 98,0
Jenis Narkoba/Napza Ganja Tidak Pernah
0 0
0 0
0 100
0 100
00 100 100
Pergertian HIV/AID Penyakit Kelamin Penyakit Yang bisa disembuhkan
4
Nega1
N
Cara Pencegahan Tidak berhubungan sex Hubungan sex 1 pasangan Menggunakan Kondom
S11111ber : Dt1t11 Pri111er
18
Pembahasan
Kesimpulan
Berdasarkan Jenis Kelamin responden terbanyak pada
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas
kelompok Laki-Laki (53,0%), sedangkan Perempuan
dapat simpulkan beberapa hal sebagai berikut :
(47,0%). Dari hasil pemeriksaan Laboratorium tida
1.
ada yang positif HIVIAIDS. Berdasarkan kelorr
Tahun (13,0%) dan kelompok umur 18 Tahun (11,0%).
Dari hasil pemeriksaan Laboratorium tidak ada yang positif HIVIAIDS. lni menunjukkan bahwa pada umu produktif masih bebas dari HIVIAIDS. Berdasarl Pegertian HIVIAIDS responden terbanyak yang tal tentang pengertian HIVIAIDS adalah Penyakit Kelamin
2.
yang sudah tahu tentang peng1
responden
Berdasarkan
terbanyak
yang
cara
tahu
penularan
tentang
2 Wamena
SMU
pengetahuan tentang manfaat kondom. Penggunaan Narkoba/Napza pada anak sekolah SMU
2
Wamena
2
rata-rata
%
hanya
menggunakan Narkoba/Napza.
3.
Perilaku
Seksual pada
Wamena
tengtang
anak
sekolah
hubungan
sex
SMU
2
terlarang
presentase 5,0 %
4.
(34,0%). Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak HIV/AIOS.
sekolah
cara penularan, cara pencegahan HIV/AIDS dan
(51,0%), Penyakit Yang disembuhkan (15,0%), dan
penyakit melalui kontak darahljarum suntil
tentang
anak
presentase 80 % sudah mengetahui pengertia
umur responden terbanyak pada kelompok umur 16 Tahun (53,0%), umur 17 Tahun (23,0%), umur 15
siswa-siswi
Pengetahuan
tentang HIV/AIDS sangat baik ini terlihat dengan
5.
Dari hasil pemeriksaan Laboratorium terhadap 100
responden 100 % negatif mengidap virus HIV
Saran
cara
I.
penularan HIV adalah hubungan sex dengan banyak
Perlu adanya penyuluhan tentang bahaya HIV/
AIDS secara insentif kepada semua anak sekolah di
pasangan (61,0%), tranfusi darah (39,0%). Hal ini
Kabupaten Jayawijaya terlebih khusus di Kota
menunjukkan bahwa hubungan sex dengan banyak
Wamena.
2.
pasangan dan melalui tansfunsi darah adalah cara penularan
HIV.
Berdasarkan
cara
pencegahan
Perlu dilakukan sosialisasi dan simulasi tentang perlunya penggunaan kondom dalam melalukan
responden yang tahu tentang cara pencegahan HIV
adalah tidak berhubungan sex (30,0%), menggunakan kondom saat hubungan sex (25,1 menggunakan jarum suntik secara bergantian ( 25 ,0%)
3.
hubungan seks Melakukan kerjasama lintas sektor dan program dalam
rangka
penanggulangan
HIV/AIDS
di
Kabupaten Jayawijaya
dan berhubungan sex dengan satu pasangan (20,0%). Hal ini menunjukkan bahwa cara yang paling terbaik
DAFTAR PUSTAKA
untuk tidak tertular HIV adalah tidak berhungan sell secara
bebas
dan
menggunakan
kondom
saat
Depkes Rl,
berhubungan sex. Responden yang menggunakan
Narkoba/Napza suntik secara bersama adalah (2,' responden dan yang tidak menggunakan narko napza adalah (98,0) responen. Presentase yang positif mengidap HIVIAIDS tidak ada. Salah satu r penularan HIVIAIDS adalah penggunaan jarum suntik
Depkes Rl,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
menunjukkan
Sehat dan Positif
llntuk ODHA, Jakarta 2008
Berdasarkan jenis Narkoba/Napza responden yang ini
Pedoman Pelaksanaan Hari AIDS
Sedunia, Jakarta 2007
paling banyak belum pernah menggunakan Narkoba/ Hal
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Ungkungan,
secara bersamaan. Hasil kajian ini menunjukan bahwa
(100%).
Pedoman Surveilens
Sentil HIV, Jakarta 2004
yang tidak menggunakan narkoba/napza s bergantian tidak ada yang positif tertular HIVIAIDS.
Napza
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Ungkungan,
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Ancaman HIV/AIDS di
bagaimana
Indonesia Semakin Nyata Pertu Penanggulangan Lebih Nyata,
perilaku siswa - siswi pada kehidupan masa remaja
Jakarta 2002
yang sudah dapat mengatahui bagaimana bahaya menggunakan Narkoba/Napza
19
PROFESI, Volume 12, Nomor 1, September 2014 KAJIAN KEMAMPUAN MASYARAKAT DALAM MENGIDENTIFIKASI MASALAH KESEHATAN LOKAL (HIV/AIDS) STUDY ON THE ABILITY IN IDENTIFYING LOCAL HEALTH PROBLEMS (HIV/AIDS) Tri Lestari dan Sri Sugiarsi APIKES Mitra Husada Karanganyar
[email protected] ABSTRACT Problems encountered in the prevention and treatment of HIV/AIDS in Tasikmadu Karanganyar is the poor ability of the community to identify local health issues (HIV/AIDS). The purpose of this study is to examine and identify the factors related to the ability of communities to identify local health problems in HIV/AIDS in Tasikmadu Karanganyar. The study was observasonal analytic cross sectional design. The population in this study were all health cadres in Puskesmas Tasikmadu Karanganyar. The sample was 90 people taken by cluster random sampling technique. Independent variable was the level of education, access to information, the survey introspective, leadership and the dependent variable was the ability of communities to identify local health issues (HIV/AIDS ). The research instrument was questionnaire used to collect data. The analysis of this study used regression multiple linear. The results showed that the level of education, access to health information, surveys introspective and leadership contributed to the increased capacity of communities to identify local health issues (HIV/AIDS) by 74%. The conclusions in this study is no significant effect simultaneously and education level, access to health information, surveys introspective and leadership to the ability of communities to identify local health issues (HIV/AIDS) at p = 0.000. Keywords: Identification, Health Issues, Local, HIV/AIDS ABSTRAK Masalah yang dihadapi dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Kecamatan Tasikmadu Karanganyar adalah masih rendahnya kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan local (HIV/AIDS). Tujuan penelitian ini mengkaji dan mengidentifikasi faktor – faktor yang berhubungan dengan kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal pada program penanggulangan HIV/AIDS di Kecamatan Tasikmadu Karanganyar. Jenis penelitian adalah observasonal analitik dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kader kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Tasikmadu Karanganyar. Besar sampel adalah 90 orang yang diambil dengan teknik cluster random sampling. Variabel bebasnya adalah tingkat pendidikan, akses informasi, survey mawas diri, kepemimpinan dan sebagai variable terikat adalah kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal (HIV/AIDs/. Instrumen penelitian ini adalah kuesioner yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian. Analisis penelitian ini dengan mengggunakan regresi linier berganda. Hasil menunjukkan bahwa tingkat pendidikan, akses informasi kesehatan, survey mawas diri dan kepemimpinan memberikan kontribusi terhadap meningkatnya kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal (HIV/AIDS) sebesar 74%. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa ada pengaruh secara simultan dan signifikan tingkat pendidikan, akses informasi kesehatan, survey mawas diri dan kepemimpinan terhadap kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal (HIV/AIDS) pada nilai p=0,000. Kata Kunci: Identifikasi, Masalah Kesehatan, Lokal, HIV/AIDS
1
PROFESI, Volume 12/September 2014 - Pebruari 2015 integrasi pelaksanaan kegiatan belum berjalan optimal. Departemen Kesehatan (2007) melaporkan hasil penelitiannya bahwa terdapat lima belas faktor yang menentukan keberhasilan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan melalui pendekatan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa, yaitu (a) sifat kegotongroyongan, (b) kepemimpinan, (c) pelatihan, (d) kebebasan mengungkapkan pendapat masyarakat, (e) pengikutsertaan masyarakat, (f) kesediaan masyarakat menerima perubahan, (g) menitikberatkan pada perbaikan mutu hidup, (h) menyediakan pendidikan formal dan non formal, (i) peranan lembaga-lemabaga sosial di desa, (j) bimbingan teknis dan supervisi, (k) koordinasi dan bimbingan kerja, (l) penggunaan tenaga-tenaga kesehatan tradisional, (m) kebijakan pemerintah, (n) stabilitas politik dan keamanan negara. Proses kemampuan masyarakat mengandung 2 (dua) kecenderungan. Pertama, proses kemampuan masyarakat menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarkat agar individu yang bersangkutan menjadi lebih berdaya (survival of the fittes). Proses ini dapat dilengkapi dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi (Oakley dan Marsden, 1984 dalam Hikmat, 2004). Kedua, menekankan pada proses menstimulasi, mendorong, atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Menurut Suyono (Krianto, 2005) paling tidak ada tiga syarat dalam proses kemampuan masyarakat, yaitu (1) kesadaran, kejelasan, dan pengetahuan tentang apa yang akan dilakukan, (2) pemahaman yang baik tentang keinginan berbagai pihak (termasuk masyarakat) tentang hal-hal apa, dimana, dan kesiapan yang akan diberdayakan, serta (3) adanya kemauan dan keterampilan target sasaran/klien untuk menempuh proses kemampuan. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal (hiv/aids).
PENDAHULUAN Perkembangan epidemi HIV/AIDS di Indonesia sudah semakin meluas dan menyebar keseluruh penjuru Nusantara dan sudah mulai terkonsentrasi, sehingga dibutuhkan suatu penanganan yang komprehensif dari semua sektor yang terkait sehingga dalam proses penanggulangan dan Pencegahan HIV-AIDS akan dapat berjalan secara maksimal. Menghadapi kenyataan tersebut peran serta dan komitmen bersama dari pimpinan sebagai pengambil kebijakan dan pembuat kebijakan memiliki peranan yang penting dalam upaya penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS di wilayahnya masingmasing, pencegahan berbasis masyarakat merupakan hal penting yang seharusnya dilakukan karena keluarga yang merupakan bagian dari masyarakat mempunyai peran penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIVAIDS. Hasil penelitian yang dilakukan oleh TIM B2P3KS Yogyakarta (2009), menunjukkan bahwa tingkat wawasan masyarakat terhadap masalah HIV/AIDS dan penanggulangannya ternyata masih rendah. Meskipun mereka pernah memperoleh informasi mengenai penyakit tersebut baik dari media massa, maupun penyuluhan sosial. Dalam pengkajian tersebut diketemukan pula bahwa kemampuan masyarakat dalam penanggulangan HIV/AIDS ternyata juga rendah, yang dapat dilihat dari aspek pengetahuan, sikap kepedulian, dan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan HIV/AIDS. Jumlah penderita HIV/AIDS di Kecamatan Tasikmadu Karanganyar dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tribulan terakhir tahun 2012 meningkat 35 kasus. Masalah yang dihadapi dalam penanggulangan HIV/AIDS di Kecamatan Tasikmadu Karanganyar adalah: Pertama, kegiatan kemampuan masyarakat bidang kesehatan masih tergantung pada aktivitas dan upaya pemerintah (DKK), serta belum tumbuh inisiatif dan kreativitas masyarakat. Hal tersebut tampak, bila upaya DKK dalam penanggulangan HIV/AIDS) giat, maka masyarakatpun mengikuti saat itu. Kedua, Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) belum berjalan optimal dan belum menjadi kebutuhan masyarakat. Ketiga, masyarakat masih belum memahami adanya kewajiban untuk turut serta memajukan kesehatan masyarakat. Keempat, koordinasi lintas sektor masih terbatas dan
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di wilayah kerja puskesmas Tasikmadu Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar pada bulan Maret
2
PROFESI, Volume 12, Nomor 1, September 2014 2. Hasil Analisis Kuantitatif
sampai dengan Agustus 2014. Jenis penelitian adalah obeservasional analitik yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara observasi dan survey kepada masyarakat dengan menggunakan kuesioner, dimana hasil obeservasi akan dianalisis dengan menggunakan uji statistik. Rancangan penelitian ini adalah cross sectional yaitu pengumpulan data dimana variable bebas dan terikat dikumpulkan dalam periode waktu tertentu secara bersamaan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kader kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Tasikmadu Karanganyar. Besar sampel adalah 90 orang yang diambil dengan teknik cluster random sampling. Variabel bebasnya adalah tingkat pendidikan, akses informasi, survey mawas diri, kepemimpinan dan sebagai variable terikat adalah kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal (HIV/AIDs/. Instrumen penelitian ini adalah kuesioner yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian. Analisis penelitian ini dengan mengggunakan regresi linier berganda.
Tabel 2. Faktor – Faktor Berhubungan dengan Kemampuan Masyarakat dalam Mengidentifikasi Masalah Kesehatan Lokal Pada Program Penanggulangan HIV/AIDS Varia bel
Akses Informa si (X2) Survei 15 17 Mawas Diri (X3) Kepemi 10 11 mpinan (X4) Kemam 15 17 puan Masyara kat(Y)
Tabel 1. Karakteristik Kader Kesehatan No
2.
3
N
Karakteristik
f
Persentase
Umur (tahun) 20 – 35 36 – 51 >51
42 35 13
46,6 38,9 14,5
Tingkat Pendidikan SMP SMA D3 S1
12 61 15 2
13,3 67,8 16,7 2,2
10 25 35 20 90
11,1 27,8 38,9 22,2
Lama sebagai Kader < 1 tahun 1-2 tahun 3 tahun > 3 tahun
Katagori Cukup Baik
Total
n 49
% 54
n % n 26 28,9 90
% 100
65
72
10 11,1 90
100
61
68
19 21,1 90
100
67
74
8
100
9,9
90
Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar akses informasi berkatagori cukup, sebesar 49 (54,4%) dan berkategori kurang sebesar 15 (16,7%). Kader kesehatan sebanyak 65 orang (72,2%) menilai bahwa survey mawas diri pada katagori cukup dan 10 orang (11,1) menilai survey mawas diri pada katagori baik. Kepemimpinan atau Perilaku dari pimpinan yang mempengaruhi dan menggerakan aktivitas seseorang atau kelompok masyarakat untuk mencapai tujuan program penanggulangan HIV/AIDS pada katagori cukup sebanyak 61(67,8) dan kurang sebanyak 10 (11,1). Sebanyak 67 orang(74,4%) menilai cukup pada kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal pada program penanggulangan HIV/ AIDS, dan pada katagori baik hanya 8 orang(9,9%)
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian 1. Karakteristik Responden/ Kader Kesehatan
1.
Kuran g N % 15 17
3. Uji Hipotesis Tabel 3. Hasil Uji Normalitas No 1 2
Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar kader adalah berumur >3 tahun sebanyak 35 orang (38,9%), berpendidikan SMA sebanyak 61 orang(67,8%), lama sebagai kader 3 tahun sebanyak 20 orang (22,2%).
3 4
3
Variabel
Nilai p 0,13
Akses Informasi Survei Mawas 0.13 Diri Kepemimpinan 0,19 Kemampuan Masyarakat
0,13
Keterangan Distribusi normal Distribusi normal Distribusi normal Distribusi normal
PROFESI, Volume 12/September 2014 - Pebruari 2015 pada program penanggulangan HIV/AIDS dapat dijelaskan oleh variabel X1, X2, X3, X4. Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa nilai Fhitung 24,907> Ftabel=4,00 atau nilai p<0,05 sehingga Ho ditolak artinya variabel X1, X2, X3, X4 berhubungan secara simultan atau bersama – sama dan signifikan dengan variabel Y (kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal pada program penanggulangan HIV/ AIDS). Persamaan model dari hasil penelitian ini adalah: Y = 3,79 + 1,243X1 + 1,282X2 + 0,304X3 + 0,303X4
Tabel 3 menunjukkan bahwa semua variabel (akses informasi, survey mawas diri, kepemimpinan, kemampuan masyarakat) mempunyai nilai p > 0,05. Hal ini berarti Ho ditolak atau data berdistribusi normal. Tabel 4. Hasil Uji Pearson Corelation No 1 2 3 4
Variabel Pendidikan (X1) Akses Informasi (X2) Survei Mawas Diri (X3) Kepemimpinan (X4)
Nilai r (korelasi) 0,493 0,583
Nilai p 0,000 0,000
0,540
0,000
0,565
0,002
Tabel 5. Hasil Uji Hipotesis dan Analisis Regresi Linier Berganda Variabel X1 X2 X3 X4
B
1,243 1,282 0,304 0,118 Konstanta 3,79
Beta
Nilai t
Nilai P
0,260 0,444 0,387 0,118
6,234 2,282 2,446 5,348 2,441
0,005 0,000 0,000 0,043 0,017
Tabel 4 menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif, cukup kuat dan signifikan antara pendidikan, akses informasi, survey mawas diri dan kepemimpinan dengan kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan Pencegahan dan penanggulangana HIV/AIDS. Hal ini ditunjukkan pada nilai r(korelasi) yang positif dan nilai p < 0,05. Tabel 5 menunjukkan bahwa secara uji hipotesis secara partial ditunjukkan oleh nilai t, pada variabel tingkat pendidikan (X1) nilai p=0,005 sehingga Ho ditolak yang berarti ada pengaruh secara partial dan signifikan tingkat pendidikan terhadap kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal pada program penanggulangan HIV/ AIDS. Demikian juga pada variabel akses informasi(X2), survei mawas diri(X3), Kepemimpinan (X4) secara partial dan signifikan berpengaruh terhadap kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal pada program penanggulangan HIV/AIDS (Y). R Square = 74% berarti sebesar 74% kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal
Nilai F 24,91
Nilai P 0,000
R2 0,74
Pembahasan 1. Pengaruh Tingkat Pendidikan dengan Kemampuan Masyarakat dalam Mengidentifikasi Masalah Kesehatan Lokal pada Program Penanggulangan HIV/AIDS. Tingkat pendidikan juga akan berpengaruh terhadap pengetahuan. Goodman (2008) memasukkan faktor pengetahuan masyarakat dalam pemeberdayaan masyarakat. Menghargai pengetahuan lokal adalah komponen esensial dalam kemampuan masyarakat, dengan gagasan “masyarakat yang paling tahu”. Warga masyarakat mempunyai memiliki pengalaman, tentang kebutuhan dan masalah-masalahnya, kekuatan dan kelebihannya. Dan hasil uji regresi linier juga menunjukkan bahwa nilai p<0,005 yang sehingga Ho ditolak. Hal ini berarti ada pengaruh secara partial dan signifikan tingkat pendidikan dengan kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal pada program penanggulangan HIV/AIDS. Sebagian besar responden berpendidikan SMA sebanyak 37 61 orang (67,8%). Berdasarkan hasil wawancara tidak terstruktur bahwa hampir semua informan sepakat bahwa
4
PROFESI, Volume 12, Nomor 1, September 2014 berpendapat bahwa akses iformasi kesehatan meliputi pengetahuan tentang kesehatan, perawatan kesehatan, kemampuan untuk meminta perawatan kesehatan yang tepat dan membuat keputusan secara kritis termasuk kemampuan memahami dan bertindak pada determinan sosial dan ekonomi dari kesehatan. Akses informasi kesehatan di Kecamatan Tasikmadu Karanganyar masih dinilai kurang atau belum cukup, dari segi kemudahan maupun keterjangkauan. Masyarakat sangat jarang mendapatkan informasi terkait HIV/AIDS, informasi itu ada ketika ada kasus baru, setelah itu tidak ada lagi. Kader kesehatan khusus HIV/AIDS belum ada. Pokja HIV/AIDS, WPA juga telah terbentuk, namun belum berfungsi dengan baik. Sebagian besar masyarakat memperoleh informasi HIV/AIDS dari televisi dan radio.
tingkat pendidikan berhubungan dengan kemampuan mengidentifikasi masalah kesehatan lokal. Informan menyampaikan bahwa semaikin tinggi tingkat pendidikan, semakin mampu mengidentifikasi masalah kesehata, termasuk terkait HIV/AIDS. Sebaliknya, tingkat pendidikan rendah, kurang mampu mengidentifikasi masalah kesehatan lokal. Jika tingkat pendidikan di bawah SMA, sulit untuk diberikan penyuluhan kesehatan, sebaliknya orang yang berpendidikan tinggi akan mudah untuh diarahkan. Warga masyarakat yang berpendidikan tinggi akan merespon adanya masalah kesehatan, sementara yang berpendidikan menengah ke bawah lebih bersifat pasif, seolah tidak butuh akan kesehatan. Hasil penelitian ini sejalan dengan kesimpulan WHO (2005) bahwa pendidikan dan melek huruf mempengaruhi kesehatan. Demikian pula pendapat Blau et al (2002) menyatakan bahwa pendidikan berpengaruh langsung terhadap kesehatan dan berpengaruh tidak langsung terhadap kesehatan melalui pekerjaan, pendapatan. Selanjutnya Beneria (2004) berpendapat bahwa kemampuan membaca dan menulis adalah kebutuhan yang paling dasar untuk meningkatkan peluang kemampuan untuk mengatasi masalah kesehatan.
3. Pengaruh Survei Mawas Diri(SMD) dengan Kemampuan Masyarakat dalam Mengidentifikasi Masalah Kesehatan Lokal pada Program Penanggulangan HIV/AIDS Hasi uji hipotesis menunjukkan bahwa Survei Mawas Diri (SMD) (X3) mempunyai nilai p=0,000 (<0,05) sehingga Ho ditolak yang berarti ada pengaruh secara partial dan signifikan Survei Mawas Diri (SMD) terhadap kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal pada program penanggulangan HIV/AIDS. Secara umum kader kesehatan Kecamatan Tasikmadu Karanganyar telah melakukan survei mawas diri pada katagori cukup baik sebanyak 65 orang (72,2%). Pelaksanaan SMD di Kecamatan Tasikmadu Karanganyar bisa diintegrasikan dengan musrenbang (Musyawarah Rencana Pembanguan) yang dilaksanakan tiap tahun secara berjenjang dari tingkat pokja, RT, RW, desa sampai ke kabuapaten. Dalam musrenbang juga dilakukan identifikasi masalah, termasuk masalah kesehatan. Manfaat SMD terungkap dalam studi kasus sebagai berikut: (1) masyarakat dapat menyampaikan masalah kesehatan; (2) masyarakat dapat mengenal masalah kesehatan dan mempunyai keberanian untuk menyampaikan masalah kesehatan; (3) menginventarisasi masalah kesehatan di setiap pokja/ RT/RW; (4) masyarakat menjadi mengetahui harus berbuat apa; (5) masyarakat mampu mengidentifikasi kebu-
2. Pengaruh Akses Informasi Kesehatan dengan Kemampuan Masyarakat dalam Mengidentifikasi Masalah Kesehatan Lokal pada Program Penanggulangan HIV/AIDS Berdasarkan analisis regresi Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa akses informasi kesehatan (X2) mempunyai nilai p=0,000 sehingga Ho ditolak yang berarti ada pengaruh secara partial dan signifikan akses informasi kesehatan terhadap kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal pada program penanggulangan HIV/AIDS. Taruna (2010) menyebutkan lima faktor yang menentukan keberhasilan kemampuan masyarakat. Salah satunya melalui transfer pengetahuan dan informasi. Transfer pengetahuan dan informasi artinya memberikan pemahaman yaang kuat melalui penjelasan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat dengan tanpa mengesampingkan budaya setempat.Sependapat dengan hal tersebut, Rootman et all (2009)
5
PROFESI, Volume 12/September 2014 - Pebruari 2015 komponen yang mendukung keberhasilan perubahan sosial hanya 30% dari reputasi pemimpin. Selanjutnya Lassey menegaskan bahwa untuk meningkatan kompetensi kepemimpinan komonitas, harus difokuskan pada hal-hal sebagai berikut: (1) pengambilan keputusan dilakukan secara partisipasif mencakup memperluas partisipasi publik; (b) melakukan perencanaan perubahan sosial; (3) prosse perubahan yang diren-canakan harus dimengerti dan bisa dilak-sanakan secara luas oleh masyarakat, serta (4) potensi kemampuan kepemimpinan diperluas pada populasi melalui kecakapan pengetahuan, pelatihan ketrampilan, dan pengalaman kepemimpinan. Mar’at (2008) berpandangan bahwa kepemimpinan adalah salah satu kunci keberhasilan kemampuan masyarakat. Bila kepemimpian desa/desa iu peduli, jujur dan tulus hati, bertanggung jawab, amanah dan tanggap, maka program kemampuan masyarakat bidang kesehatan akan berhasil. Berdasarkan hasil penelitian Sumardjo(20012003) di Jawa Barat dan Jawa Tengah menemukan fakta bahwa kepemimpinan lokal yang efektif mengembangkan kelompok masyarakat setidaknya apabila memiliki empat prasyarat yaitu terpercaya, kompeten, komonikatif dan memiliki komitmen kerjasama yang tinggi dalam pengembangan kelompok untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan anggotanya secara berkeadilan.
tuhan akan kesehatan. Peserta SMD adalah kader, perangkat desa, pengurus UKBM (PKD, UKS, pokja, posyandu balita/ lansia, PKK, dll). SMD sebagai metode yang digunakan untuk evaluasi internal dan mawas diri adalah cara yang tampaksederhana namun bermanfaat untuk mengukutsertakan warga masyarakat dan menagkap ide – ide yang berbeda dalam kelompok masyarakat.Menurut Stanfield (2002) metode membangun konsensus seperti SMD meningkatkan kepedulian, tekad warga masyarakat untuk melakukan transformasi, memungkinkan warga untuk menghormati dan memahami sudut pandang dan pengalaman setiap warga masyarakat. Selain itu metode SMD sebagai metode lokakarya konsensus sangat transparan, melayani, melindungi kepentingan dan mengungkap keprihatinan warga masyarakat. 4. Pengaruh Kepemimpian dengan Kemampuan Masyarakat dalam Mengidentifikasi Masalah Kesehatan Lokal pada Program Penanggulangan HIV/AIDS Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa kepemimpinan (X4) mempunyai nilai p=0,043 (<0,05) sehingga Ho ditolak yang berarti ada pengaruh secara partial dan signifikan kepemimpian dengan kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal pada program penanggulangan HIV/ AIDS. Secara umum kepemimpinan kader kesehatan di Kecamatan Tasikmadu Karanganyar cukup baik;61orang (67,8%). Dan berdasarkan penelitian studi kasus bahwa peran kepemimpinan sangat menentukan dalam keberhasilan dalam penanggulangan HIV/AIDS.Kepemimpinan desa dijalankan secara kolektif antara aparat pemerintahan desa, RW, RT. Sementara itu menurut Sarwono (2007) pada umumnya seorang pemimpin bertugas untuk mengatur prosedur kerja untuk mencapai tujuan, menentukan tugas – tugas untuk setiap jabatan/posisi, menjelaskan kepada para anggota/warga agar tetap sesuai dengan rencana pencapaian tujuan. Dengan demikian kepemimpinan merupakan suatu kepandaian/ketrampilan untuk mengatur orang lain. Penelitian Gamson terhadap delapan belas komonitas, menyimpulkan bahwa
5. Pengaruh secara simultan variable (pendidikan, akses informasi, survey mawas diri, kepemimpinan) terhadap Kemampuan Masyarakat dalam Mengidentifikasi Masalah Kesehatan Lokal pada Program Penanggulangan HIV/AIDS Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda, maka diperoleh model persamaam Y= 3,79 + 1,243X1 +1,282X2 +0,304X3 + 0,303X4. Hal ini dapat diartikan ada pengaruh secara simultan antara tingkat pendidikan, akses informasi kesehatan, survei mawas diri, kepemimpinan terhadap kemampuan masyarakat dalam penanggulangan HIV/AIDS pada nilai p=0,000. Nilai R Square = 0,740, yang berarti variabel bebas (X1, X2, X3, X4) memberikan kontribusi terhadap kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal pada program penanggulangan HIV/AIDS sebesar 74% sedangkan
6
PROFESI, Volume 12, Nomor 1, September 2014 sisanya (100%-74%=26%) adalah variabel lain. Tingkat pendidikan akan memberikan sumbangan efektif terhadap meningkatnya kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan sebesar = 12,82%. Angka ini diperoleh dari hasil perkalian antara nilai β dengan nilai r (korelasi person) = 0,260 x 0,493 x 100% = 12,82%. Akses informasi kesehatan akan memberikan sumbangan efektif terhadap meningkatnya kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan sebesar 28,18%. Dan Survei mawas diri akan memberikan sumbangan efektif terhadap meningkatnya kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan sebesar 15,96%. Serta kepemimpinan akan memberikan sumbangan efektif terhadap meningkatnya kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan sebesar 17%.
6. Tingkat pendidikan, akses informasi, survey mawas diri, dan kepemimpinan mempunyai kontribusi sebesar 74% terhadap kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal pada program penanggulangan HIV/AIDS.
SIMPULAN 1. Ada pengaruh tingkat pendidikan terhadap kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal pada program penanggulangan HIV/AIDS; 2. Ada pengaruh akses informasi kesehatan terhadap kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal pada program penanggulangan HIV/AIDS; 3. Ada pengaruh survei mawas diri terhadap kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal pada program penanggulangan HIV/AIDS; 4. Ada pengaruh kepemimpinan terhadap kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal pada program penanggulangan HIV/AIDS; 5. Ada pengaruh secara simultan variabel X1, X2, X3, X4 terhadap variabel Y (kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan lokal pada program penanggulangan HIV/AIDS);
Kaleher, H and C. MacDougall.2009. Understanding Health A Determinants Approach. Australia and New Zealand: Oxfoard University Press
DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan RI. 2009. Kesehatan Nasional. Jakarta.
Sistem
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2011. Standarisasi Pemberdayaan Masysrakat Provinsi Jawa Tengah. Semarang Hikmat, H. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Penerbit Humaniora Utama Kementrian Kesehatan.2010. Roadmap Reformasi Kesehatan Masyarakat. Jakarta
Sarwono, S.2007. Sosiologi Kesehatan Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Taruna, T. 2010. Desains of Community Development Planing. Surakarta: Pascasarjana Universitas Sebelas Maret World Health Organizaion. 2009. Primary Health Care Now More Than Ever. The World Health Report World Bank. 2009. Social Capital and Health, Nutrition and Population. Diunduh Februari 2012
7
PENDIDIKAN KESEHATAN ILMU PERILAKU
Karakteristik Remaja Pengguna Narkoba Suntik dan Perilaku Berisiko HIV/AIDS di Kecamatan Ciledug Kota Tangerang
Fauzi Syarif* Zarfiel Tafal**
Abstrak Prevalensi penderita HIV/AIDS di Kota Tangerang yang merupakan daerah industri dari tahun ke tahun meningkat tajam. Kecenderungan peningkatan kemungkinan disebabkan oleh letak strategis Kota Tangerang yang berbatasan langsung dengan Jakarta serta dengan geografi dan demografi yang hampir sama dengan Jakarta. Bersamaan dengan itu kasus peredaran dan pemakaian narkotika di wilayah Tangerang dari tahun ke tahun meningkat tajam. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik remaja pengguna narkoba suntik (penasun) dengan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS di Kecamatan Ciledug Kota Tangerang Tahun 2007. Data yang dikumpulkan secara cross sectional dilakukan pada 206 sampel responden remaja berusia 15–24 tahun yang menggunakan narkoba suntik melalui wawancara langsung dengan berpedoman pada kuesioner. Karakterisitk remaja tersebut meliputi karakteristik: pribadi (pengetahuan tentang HIV/AIDS, jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, status ekonomi, posisi urutan dalam keluarga, status orang tua, dengan siapa tinggal), lingkungan sosial (keterpaparan pergaulan dengan pengguna narkoba, pola asuh orang tua, lingkungan tempat tinggal) dan karakteristik budaya (masyarakat fanatisme agama, daerah pendatang/campur, kegiatan di luar rumah). Penelitian menunjukkan gambaran perilaku remaja penasun yang berisiko tertular HIV/AIDS mencapai angka 55,3%. Terdapat 8 (delapan) variabel yang berhubungan erat (p < 0,05) dengan perilaku penasun berisiko yaitu tingkat pengetahuan, umur, tingkat pendidikan, status ekonomi, status orang tua, pola asuh orang tua, lingkungan tempat tinggal dan kegiatan di luar rumah. Variabel yang paling dominan adalah tingkat pengetahuan dimana remaja penasun yang mempunyai tingkat pengetahuan kurang, mempunyai risiko tertular HIV/AIDS 6,9 kali dibandingkan yang mempunyai tingkat pengetahuan baik. Kata kunci : Pengguna narkoba suntik, remaja, HIV/AIDS. Abstract Prevalence of HIV-AIDS in Tangerang City—an industrial area, continues to increase. The increase may be caused by location of Tangerang which is directly bordered to Jakarta and having similar geographical and demographical characteristics to Jakarta. At the same time, there is a significant increase of drugs distribution and abuse. This study aims at investigating the relationship between injection-drug-user (IDU) teenager’s characteristics and HIV-AIDS high risk behavior in Ciledug Sub-district, Tangerang City in 2007. Data were collected through a cross-sectional survey conducted among 206 samples of IDU teenagers age 15-24 years old using questionnare administered in face-to-face interview. The study results show that HIV-AIDS risk behavior prevalence reached 55,3% among respondents and there were 8 variables with significant relationship (p < 0,05). Those 8 variables were knowledge, age, education level, economic status, parent status, parental care pattern, living environment, and outside home activity. The most dominant variable was knowledge where teenagers with low level of knowledge has 6,9 times higher risk of having HIV-AIDS risk behavior compared to those with higher level of knowledge. Key words : IDU, teenagers, HIV-AIDS. *Puskesmas Karang Tengah Kota Tangerang, Jl. Ciremai Raya Komplek Departemen Keuangan Kec. Karang Tengah Kota Tangerang Banten (e-mail:
[email protected]) **Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Gd. D Lt. 1 FKM UI, Kampus Baru UI Depok 16424 (e-mail:
[email protected])
70
Syarif & Tafal, Remaja Pengguna Narkoba Suntik dan Perilaku Berisiko HIV/AIDS
HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/ Acquire Immuno Deficiency Syndrome) telah menjadi momok bagi masyarakat. Pada kurun waktu Januari – Juli 2000, penyakit HIV memperlihatkan kecenderungan yang semakin meningkat dan menjadi ancaman bagi masyarakat.1 Jumlah kasus baru memperlihatkan kecenderungan yang semakin meningkat. Pada tahun 1999 kasus HIV (178) dan AIDS (47), pada tahun 2000 meningkat jadi HIV (192) dan AIDS (106).2 Di berbagai negara sekitar 50% Pengguna Narkoba Suntik (Penasun) hidup dengan HIV/AIDS. Bahkan di beberapa wilayah di dunia, sekitar 90% pemakai narkotik dengan jarum suntik hidup dengan HIV/AIDS. Lebih dari 95% Penasun dengan HIV/AIDS terdapat di negara berkembang. Di seluruh dunia, AIDS telah menjadi penyebab kematian terbesar keempat pada orang dewasa. Kemungkinan lebih dari sepuluh juta paling sedikit satu juta Pengguna Narkoba Suntik (Injecting Drug User/IDU) di seluruh dunia menderita HIV atau AIDS. Penggunaan narkoba suntik telah dilaporkan oleh 129 negara, 103 diantaranya juga melaporkan infeksi HIV pada IDU.2 Saat ini HIV/AIDS telah menginfeksi sekitar 60 juta orang di seluruh dunia dan lebih dari 21 juta diantaranya telah meninggal dunia. Setiap hari, orang yang terinfeksi bertambah sekitar 14.000 dan separuh diantaranya kelompok berusia muda antara 15-24 tahun. Di Afrika, setiap hari diperkirakan terjadi 5.500 kematian akibat AIDS.2 Kasus HIV pertama dilaporkan di Indonesia pada tahun 1987, ketika seorang laki-laki warga negara asing yang homoseksual meninggal dunia di Pulau Bali karena pneumonia dan sarkoma kaposi.3 Menurut Koordinator Program Akses Diagnosis Kelompok Studi Khusus (Pokdisus) AIDS FKUI/RSCM, Dr. Samsuridjal Djauzi SpPD, kasus baru yang datang ke Pokdisus AIDS sekitar 70% terkena HIV positif adalah pengguna narkotik suntik. Mereka kebanyakan termasuk golongan usia produktif (15-24 tahun). Saat ini status Indonesia telah meningkat dari status negara berprevalensi rendah (low prevalensi) menjadi berstatus epidemi terkonsentrasi (concentrated epidemic). Itu berarti bahwa di beberapa wilayah tertentu, lebih dari 5% populasi berisiko telah terjangkit HIV/AIDS. Seluruh propinsi di Indonesia telah tersentuh oleh infeksi HIV/AIDS dan 6 propinsi dinyatakan harus mendapat prioritas dan perhatian khusus, akibat jumlah kasus HIV/AIDS yang tinggi. Wilayah tersebut adalah Papua, DKI Jakarta, Riau, Jawa Barat, Bali dan Jawa Timur. Jakarta menduduki tempat teratas sebagai propinsi dengan jumlah pengidap HIV/AIDS terbanyak. Penelitian menunjukkan bahwa 85% pengidap HIV/AIDS adalah kelompok usia produktif (20-49 tahun) oleh kaum pria memperlihatkan tren bepergian, meminum alkohol dan mengkonsumsi narkoba yang
tinggi.2 Kota Tangerang yang berbatasan langsung dengan Jakarta (termasuk Bandara Sukarno Hatta seluas 19,69 km 2 ) mempunyai luas wilayah 183,78 km 2 . Kota Tangerang berjarak sekitar 80 km dari ibu kota Propinsi Banten dan 27 km dari DKI Jakarta. Jumlah penduduk pada tahun 2006 adalah 1.547.137 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi (1,94% per tahun). Kota Tangerang yang sedang berkembang pesat berpotensi rentan terhadap transmisi penyakit HIV/AIDS, mengingat potensi dan daya tarik Kota Tangerang sebagai daerah penyangga Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan sebagai daerah industri yang meningkat tajam merisaukan banyak orang tua.4 Hal tersebut terlihat pada kasus narkotika yang melibatkan pelajar terus bertambah dengan rata-rata hampir 100% setiap tahun. Berdasarkan data Polres Metro Tangerang, dalam kurun waktu enam bulan terakhir tercatat 1.148 kasus narkotika, yang melibatkan 1.519 tersangka dan memperlihatkan kecenderungan yang terus meningkat. Pada tahun 2000, jumlah kasus dan tersangka (76 dan 104), pada tahun 2005 (239 dan 345) terlihat meningkat sangat pesat. Wilayah dengan kasus narkotika tertinggi antara lain meliputi Kecamatan Tangerang, Jatiuwung, Cipondoh dan Ciledug. Dampak sosial ekonomi yang terjadi akibat infeksi HIV/AIDS ternyata sangat memprihatinkan. Mulai dari biaya pengobatan mahal yang harus ditanggung keluarga, sampai penurunan produktifitas pada segala bidang secara nasional. Pengidap HIV/AIDS yang berasal dari keluarga miskin menjadi semakin miskin. Anak yatim piatu keluarga penderita AIDS harus merasakan penderitaan sosial yang berkepanjangan dengan menghilangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat.5 Penularan HIV/AIDS paling tinggi terjadi melalui hubungan seksual dan IDU (Penasun). Dengan demikian, perilaku berperan penting dalam penularan HIV/AIDS.6 Oleh sebab itu, selain penanggulangan infeksi melalui tindakan medik, perlu ditanamkan perilaku aman melalui kampanye atau penyuluhan. Perubahan perilaku memerlukan bantuan perubahan emosional dan pengetahuan melalui proses yang mendorong nurani dan logika serta membutuhkan pendekatan individual.7 Metode Rancangan penelitian yang dipakai adalah non eksperimental. Data dikumpulkan secara cross sectional, yang mengukur variabel independen dan variabel dependen dalam waktu yang bersamaan. Pendekatan kuantitatif yang dilakukan dengan kuesioner terstruktur. Sasaran penelitian adalah remaja yang pernah/pengguna narkoba suntik yang tergabung dalam komunitas remaja peduli 71
KESMAS, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 3, No. 2, Oktober 2008
HIV/AIDS di bawah binaan Yayasan Pelita Ilmu yang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota Tangerang yang berada di Wilayah Kecamatan Ciledug Kota Tangerang. Populasi dalam penelitian ini adalah para remaja di Wilayah Kecamatan Ciledug Kota Tangerang yang pernah/menggunakan narkoba suntik. Jumlah sampel minimal dihitung dengan rumus disain studi cross sectional sampel satu kelompok. Dengan nilai α = 0,05, p = 10% dan nilai d = 0,064; didapatkan jumlah sampel minimal 197. Pada penelitian ini semua subjek yang memenuhi kriteria disertakan dalam penelitian. Adapun yang termasuk kriteria populasi sebagai subjek penelitian adalah terbatas pada seluruh komunitas remaja peduli HIV/AIDS yang menggunakan narkoba suntik berusia 15 – 24 tahun, yang berada di bawah pembinaan Yayasan Pelita Ilmu bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota Tangerang yang berada di Kecamatan Ciledug Kota Tangerang. Remaja pengguna narkoba suntik di Kecamatan Ciledug Kota Tangerang berdasarkan laporan Yayasan Pelita Ilmu berjumlah 215 orang. Pengolahan data dilakukan melalui empat tahap, (editing, coding, entry, cleaning data).8 Data diolah serta dianalisis dengan menggunakan program paket statistik, untuk melihat hubungan antara variabel-variabel independen dengan variabel dependen. Analisis univariat untuk melihat distribusi frekuensi masingmasing variabel bebas. Analisis bivariat untuk melihat hubungan antara variabel independen dan variabel dependen dengan uji statistik chi square dan derajat kemaknaan α = 0,05. Apabila hasil pengujian menghasilkan nilai p < 0,05 maka hubungannya secara statistik bermakna dan bila nilai p > 0,05 maka secara statistik tidak bermakna. Hasil analisis bivariat dengan regresi logistik dipakai untuk menentukan variabel yang layak secara statistik diikutsertakan dalam model analisis selanjutnya (multivariat). Kandidat yang diikutsertakan dalam analisis multivariat mempunyai nilai p ≤ 0,25. 8 Analisis multivariat dengan tujuan untuk melihat keeratan hubungan antara variabel independen secara bersama-sama dengan variabel dependen dan untuk menyertakan variabel yang paling dominan yang berhubungan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS. Uji interaksi dilakukan pada model terbaik dan terakhir untuk melihat adanya interaksi dari variabel independen yang ada dalam model. Interaksi adalah suatu keadaan dimana hubungan satu variabel bebas dengan variabel terikat akan berbeda pola dan hubungannya pada tiap perubahan nilai variabel bebas yang lain. Dari nilai p-value, dapat dilihat bila nilai p < 0,05 maka terjadi interaksi antar variabel. Variabel tersebut diikutkan dalam model, hingga diperoleh model matematik regresi logistik. 72
Hasil Uji Univariat
Hasil uji univariat dapat diperoleh gambaran perilaku penasun. Responden dengan perilaku berisiko sebesar 55,3% (Gambar 1). Responden yang berisiko merupakan responden pengguna narkoba suntik (injecting drug user/IDU) yang pernah berbagi jarum (menggunakan jarum bekas). Distribusi responden penasun menurut pengetahuan HIV/AIDS, responden dengan pengetahuan kurang 95 (46,1%), pria 145 (70,4%). Distribusi menurut umur < 23 tahun 124 (60,2%), tingkat pendidikan tinggi 176 (85,4%), status ekonomi mapan 39 (18,9%), ekonomi menengah 89 (43,2%), ekonomi kurang 78 (37,9%), anak tunggal 22 (10,7%), anak sulung 64 (31,0%), anak tengah 70 (34,0%), anak bungsu 50 (24,3%), orang tua kandung 164 (79,6%), tinggal dengan orang tua 128 (62,1%), tidak terpapar dengan pengguna narkoba 177 (85,9%), pola asuh Tabel 1. Frekuensi Distribusi Responden Berdasarkan Katagori Variabel yang Diamati Variabel
Katagori
Perilaku Pengetahuan Jenis kelamin Umur Pendidikan Status Ekonomi
Berisiko Kurang Pria < 23 tahun Tinggi (>SMU) Mapan Menengah Sulung Tengah Bungsu Tiri Cerai Bukan Orang Tua Tak Terpajan Otoriter Tidak Elit Tidak Pendatang Mengurung Diri
Urutan dalam Keluarga
Status Orang Tua Tinggal Bersama Pajanan Pengguna Narkoba Pola Asuh Orang Tua Lingkungan Tempat Tinggal Fanatisme Agama Masyarakat Daerah Pendatang/Campuran Kegiatan Luar Rumah
% 55,3 46,1 70,4 60,2 85,4 18,9 43,2 31,0 34,0 24,3 5,8 14,8 62,1 14,1 28,6 75,2 52,9 89,8 18,9
Tabel 2. Analisis Bivariat Variabel
Katagori
Nilai p
Pengetahuan Jenis Kelamin Umur Pendidikan Status Ekonomi Urutan dalam Keluarga Status Orang Tua Tinggal Bersama Pajanan Pengguna Narkoba Pola Asuh Orang Tua Lingkungan Tempat Tinggal Fanatisme Agama Masyarakat Kegiatan Luar Rumah
Kurang Pria < 23 th Tinggi Mapan Tunggal Bungsu Tiri/cerai Bukan Orang Tua Terpajan Otoriter Tidak Elit Ya Bergaul
0.000 0.191 0.009 0.000 0.001 1,000 0.046 0.923 0,856 0,000 0,000 0,075 0.000
Syarif & Tafal, Remaja Pengguna Narkoba Suntik dan Perilaku Berisiko HIV/AIDS
Tabel 3. Analisis Multivariat Variabel Pengetahuan Status Ekonomi Pola Asuh Orang Tua Kegiatan luar Rumah Constan
β 1,427 1,076 1,102 1,042 - 2,805
OR
95% CI OR
Nilai-p
4,18 0,341 3,011 2,835
2,10-8,24 1,5 – 0,79 1,42-6,39 1,15-6,99
0.000 0,012 0,044 0,24
Gambar 1. Perilaku Pengguna Narkoba Suntik
luar rumah (p > 0,05) setelah dikeluarkan dalam model nilai OR > 10%, maka variabel tersebut tetap dipertahankan untuk masuk kedalam model. Selanjutnya dilakukan uji interaksi antara keempat variabel bebas tersebut. Apabila nilai p < 0,05 berarti terjadi interaksi antar variabel bebas untuk terjadinya variabel terikat, sebaliknya bila nila p > 0,05 berarti tidak terjadi interaksi antara variabel bebas untuk terjadinya variabel terikat (Lihat Tabel 3). Uji Interaksi
demokratis 147 (71,4), tinggal dilingkungan tidak elit 155 (75,2%), masyarakat fanatis agama 97 (47,1%) tidak fanatis agama 109 (52,9%), tinggal di lingkungan yang mempunyai masyarakat pendatang/campur 185 (89,8%), mempunyai kegiatan di luar rumah 167 (81,1%) (Lihat Tabel 1). Analisis Bivariat
Analisis bivariat dengan uji Chi square memperlihatkan hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dengan membandingkan nilai p value dan nilai α < 0,25. Variabel bebas yakni variabel pengetahuan, jenis kelamin, umur, pendidikan, status ekonomi, status orang tua, pola asuh, posisi urutan dalam keluarga, masyarakat fanatisme agama dan memiliki nilai p-value yang lebih besar dari nilai α (Lihat Tabel 2). Uji Multivariat
Uji multivariat dilakukan dengan metode Backward Wald yang tidak menyatukan semua variabel yang mempunyai nilai p > 0,05 dalam model. Pada akhirnya diperoleh model yang mengikutkan variabel bebas dengan nilai p < 0,05 (ada empat), yaitu tingkat pengetahuan, status ekonomi, pola asuh orang tua dan kegiatan di luar rumah yang secara bersama-sama berhubungan dengan perilaku pengguna narkoba suntik berisiko tertular HIV/AIDS. Untuk variabel kegiatan di
Hasilnya tidak ada interaksi ketiga variabel tersebut, yaitu antara tingkat pengetahuan, status ekonomi, pola asuh dan kegiatan di luar rumah, (dimana p-value semuanya > 0,05). Dengan demikian hasil penelitian menunjukkan empat variabel bebas yang dominan dan secara bersama-sama berhubungan dengan variabel terikat atau perilaku pengguna narkoba suntik berisiko tertular HIV/AIDS, yaitu variabel tingkat pengetahuan, status ekonomi, pola asuh orang tua dan kegiatan di luar rumah (p < 0,05). Dalam bentuk model matematika, maka persamaan model regresi logistik yang menjelaskan perilaku remaja pengguna narkoba suntik berisiko tertular HIV/AIDS di Kecamatan Ciledug Kota Tangerang adalah: 1 Y (Perilaku Penasun) = 1+ exp - (-2.805 + 1.427 Tk.Peng - 1.076St.Ek + 1.102 pola asuh + 1.042 keg di luar rmh
Dalam bentuk transformasi logit sebagai berikut: Logit (perilaku pengguna narkoba jarum suntik) = -2.805 + 1,427 (tingkat pengetahuan) - 1,076 (status ekonomi) + 1,102 (pola asuh) + 1.042 (keg. di luar rumah) Persamaan ini mempunyai arti bahwa apabila tingkat pengetahuan naik 1 (satu) satuan maka perilaku pengguna narkoba jarum suntik akan naik 1,427 satuan, apabila tidak ada perubahan pada sosial ekonomi dan pola asuh dan kegiatan di luar rumah. Begitu juga jika pola asuh naik 1 (satu) satuan maka perilaku pengguna narkoba jarum suntik akan naik 1,102 satuan, apabila tidak ada perubahan pada tingkat pengetahuan dan status ekonomi dan kegiatan diluar rumah. Nilai -2,805 merupakan nilai konstan yang merupakan titik potong garis persa73
KESMAS, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 3, No. 2, Oktober 2008
maan pada sumbu Y. Pembahasan Keterbatasan penelitian terjadi pada saat pelaksanaan penelitian yang dipengaruhi oleh kesalahan non sampling (non sampling error). Hal ini terjadi pada saat pelaksanaan di lapangan baik dari petugas wawancara dalam mengajukan pertanyaan atau kesalahpahaman responden atau salah tafsir akan maksud dari aspek yang ditanyakan pewawancara. Masalah ini bisa terjadi juga karena penggantian sampel atau karena responden dengan sengaja memberikan jawaban yang salah. Kesalahan non sampling sangat sulit dihindarkan, sehingga dalam pelaksanaan harus dengan perencanaan yang matang terutama bagi petugas pewawancara sendiri.9 Bias informasi dapat terjadi karena tingkat akurasi responden dalam mengingat riwayat faktor risiko berbeda pada setiap responden atau disebut juga bias recall. Kurang mendetailnya pertanyaan pada kuesioner dapat mengakibatkan bias informasi dalam penelitian ini. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner bersifat sangat subjektif, sehingga kebenaran dan akurasi data sangat bergantung kepada kejujuran responden pada saat pengisian kuesioner. Lebih-lebih pada subjek penelitian (responden) adalah pengguna narkoba yang sulit untuk diharapkan kejujurannya. Untuk mengatasi keterbatasan kuesioner, beberapa variabel lain dilakukan pertanyaan pendukung sebagai validasi atas jawaban responden dan dilakukan uji validitas dan reliabilitas dengan melakukan wawancara kepada 30 responden dan dilakukan revisi kuesioner setelah ditemukan adanya kekurangan pada saat uji coba. Selain itu, peneliti dibantu oleh lima orang tenaga penjangkau (outreach) dari Yayasan Pelita Ilmu (YPI), sehingga responden tidak merasa asing kepada pewawancara dalam memberikan informasi. Hasil analisis data menunjukkan bahwa variabelvariabel yang berhubungan dengan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS adalah tingkat pengetahuan, status ekonomi, pola asuh orang tua dan kegiatan di luar rumah, (p < 0,05). Variabel yang paling dominan ialah tingkat pengetahuan responden yang kurang. Hal ini kemungkinan karena kurangnya informasi atau penyuluhan baik dari pihak petugas kesehatan maupun pihak-pihak yang berwenang dalam penanggulangan narkoba. Variabel status ekonomi, didapatkan bahwa yang lebih berisiko tertular ialah responden dengan status ekonomi menengah ke bawah. Hal ini dapat disebabkan oleh lapangan pekerjaan bagi para penasun yang kurang sehingga banyak diantara penasun yang mengambil risiko berbagi jarum dalam menggunakan narkoba. Variabel pola asuh orang tua, penelitian menunjukkan bahwa pola asuh demokratis ternyata lebih berisiko dibanding pola asuh otoriter. Hal ini kemungkinan karena kebanyakan para orang tua dengan pola asuh demokratis mem74
berikan kebebasan tanpa batas kepada anak-anaknya, sehingga anaknya tidak terkontrol dalam berperilaku dalam pergaulannya. Untuk variabel kegiatan di luar rumah, penelitian menunjukkan ternyata anak yang suka bergaul luar rumah lebih berisiko dibanding anak yang cenderung mengurung diri. Hal ini kemungkinan karena anak yang bergaul dengan kontrol orang tua yang lemah, ekonomi kurang dan pengetahuan yang kurang tidak mempunyai pertahanan diri yang kuat dalam menerima arus pergaulan yang negatif sehingga membawa pengaruh untuk mengikuti pergaulan yang bersifat negatif. Kemungkinan lebih ialah di luar rumah peluang terpapar narkoba dan jarum suntik lebih besar. Kesimpulan Responden yang pernah menggunakan narkoba suntik pernah berbagi jarum atau menggunakan jarum bekas pakai. Karakteristik pribadi yang berhubungan bermakna secara statistik adalah: pengetahuan, umur, tingkat pendidikan dan status ekonomi. Karakteristik lingkungan sosial yang berhubungan bermakna adalah pola asuh orang tua dan lingkungan tempat tinggal. Karakteristik budaya yang berhubungan bermakna adalah kegiatan di luar rumah. Variabel-variabel yang berhubungan dengan perilaku pengguna narkoba suntik berisiko adalah tingkat pengetahuan kurang, status ekonomi kurang, pola asuh orang tua yang demokrasi dan kegiatan di luar rumah. Saran Dinas Kesehatan Kota Tangerang disarankan meningkatkan promosi kesehatan dan penyuluhan tentang narkoba kepada para remaja khususnya. Program surveilans perilaku kesehatan atau Risk Behavioral Surveillance Survey (BSS) pada remaja pengguna narkoba suntik di lingkungan Lembaga Permasyarakatan (LP) Pemuda dan komunitas remaja lainnya yang bergabung dalam LSM peduli AIDS perlu dilakukan. Pemerintah Daerah Kota Tangerang disarankan berkoordinasi dengan KPAD (Komisi Penanggulangan AIDS Daerah) dan lembaga legislatif (DPRD). Menyediakan lapangan kerja bagi para remaja perilaku berisiko yang lebih luas, disamping membuat undang-undang yang dapat memberikan efek jera kepada para pengguna narkoba. Lembaga Swadaya Masyarakat disarankan melakukan penyuluhan yang intensif tentang bahaya narkoba dan bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam penanggulangan remaja korban penyalahgunaan obat-obatan khususnya narkoba. Para peneliti disarankan mengadakan penelitian lanjut dengan memperluas daerah/area penelitian, tidak terbatas pada satu kecamatan dan antara lain dengan metode kualitatif. Para orang tua disarankan lebih waspada dan mendampingi anak remajanya, terutama yang menerapkan pola asuh demokratis.
Syarif & Tafal, Remaja Pengguna Narkoba Suntik dan Perilaku Berisiko HIV/AIDS
Daftar Pustaka 1. Clatts MC, Giang Ie M, Goldsamt LA, Yi H. Novel heroin injection practices: implications for transmission of HIV and other bloodborne pathogens. Am J Prev Med. 2007; 32(6 Suppl): S226-33. 2. Departemen Kesehatan RI Ditjen PPM &PL. Rencana strategi penanggulangan HIV/AIDS Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2002. 3. Iskandar, Meiwita D; Ariawan, Iwan; Dharmaputra Nick G. Analisis situasi HIV/AIDS dan dampaknya terhadap anak-anak, wanita, keluarga di Indonesia. Jakarta: Puslitkes UI; 1996. 4. Dinas Kesehatan Kota Tangerang. Laporan hasil kegiatan surveilans subdin P2M-PL dinas kesehatan kota Tangerang. Tangerang: Dinas Kesehatan Kota Tangerang; 2006.
5. Save the Children. HIV/AIDS, the risk to indonesia’s children and young people. Jakarta; 2004. 6. Hennink M, Abbas Z, Choudhri Y, Diener T, Lloyd K, Archibald CP, Cule S. Risk behaviours for infection with HIV and hepatitis C virus among people who inject drugs in Regina, Saskatchewan. Can Commun Dis Rep. 2007; 33(5): 53-9. 7. Komisi Penanggulangan Aids Nasional. Peta pelayanan perawatan, dukungan dan pengobatan untuk ODHA di Indonesia. Jakarta: KPA dan Tim; 2006. 8. Sabri, Luknis dan Sutanto Priyo Hastono. Statistik kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada; 2006. 9. M, Singarimbun dan Effendi S. Metode penelitian survei. LP3ES. 1989; ix: 336.
75
Artikel Penelitian
Kebijakan Pengendalian HIV/AIDS di Denpasar
Control Policy of HIV/AIDS in Denpasar
Tri Rini Puji Lestari Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI
Abstrak Secara nasional, Indonesia telah mengantisipasi epidemi HIV/AIDS, tetapi jumlah kasus HIV/AIDS di Provinsi Bali dari tahun ke tahun memperlihatkan peningkatan yang semakin mengkhawatirkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan jumlah kasus dan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Denpasar. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang dilakukan di Denpasar pada tanggal 11-17 September 2011. Sampel penelitian ini menggunakan informan terpilih yaitu kepala bappeda, pejabat Dinas Kesehatan Kabupaten Denpasar, direktur rumah sakit, puskesmas, ketua komisi penanggulangan AIDS di kabupaten/kota dan pemerhati HIV/AIDS termasuk ODHA. Penelitian menemukan jumlah kasus HIV/AIDS di Kota Denpasar yang tertinggi dan penularan terbesarnya melalui hubungan seks. Namun, dukungan pemerintah daerah dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS terlihat belum maksimal. Padahal kebijakan penanggulangan HIV/AIDS sangat ditentukan oleh cara pandang pemerintah terhadap penyakit HIV/AIDS. Untuk itu, perlu peningkatan pemahaman tentang HIV/AIDS serta pencegahan dan penanganan semua pihak terkait sehingga penanggulangan HIV/AIDS dapat lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran. Kata kunci: HIV/AIDS, kebijakan, pengendalian Abstract Nationally, Indonesia anticipated HIV/AIDS epidemic, but the number of cases of HIV/AIDS in Bali province from year to year showed an increase in the increasingly alarming. This study aimed to determine the number of cases and the development of policies on HIV / AIDS in Denpasar. This research was conducted using qualitative methods in Denpasar on 11-17 September 2011. The study sample was selected using the informant is head of planning, Denpasar District health officers, the director of the hospital, health center, chairman of the commission on AIDS in the district/city and observer of HIV / AIDS, including people living with HIV. The study found the number of cases of HIV / AIDS in the city of Denpasar is the highest and greatest transmission through sexual intercourse. However, the support of local go-
vernments in efforts to prevent and control HIV/AIDS looks not maximized. In fact the policy of HIV/AIDS is largely determined by the government perspective on HIV / AIDS. To that end, should be an increased understanding of HIV/AIDS as well as prevention and treatment of all parties concerned. So that HIV/ AIDS can be more effective, efficient, and targeted. Keywords: HIV/AIDS, policy, control
Pendahuluan Setiap tahun, penyebaran HIV/AIDS memperlihatkan kecenderungan yang cepat dan meluas. Kasus HIV/AIDS pertama ditemukan di Provinsi Bali, pada tahun 1987, penderita adalah warga Belanda yang dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Pada periode 1987 – 1999, kasus HIV masih tergolong rendah, sebagai akibat sosialisasi konseling dan pemeriksaan sukarela belum dilakukan secara optimal. Pada tahun 2000, jumlah kasus mulai memperlihatkan kecenderungan yang meningkat. Sebagian besar penduduk yang kehilangan kekebalan daya tahan tubuh tersebut (4.314; 79,88%) adalah kelompok usia produktif yang meliputi usia 20 – 29 tahun (1.932; 44,78%) dan usia 30 – 39 tahun (1.514; 35,10%). Di Bali, penderita HIV yang tercatat berjumlah 1.163 kasus meliputi laki-laki 652 kasus dan perempuan 511 kasus. Kelompok usia 30 – 39 tahun mencapai 1.514 kasus yang meliputi AIDS 851 kasus yang terdiri atas laki-laki 705 kasus dan perempuan 146 kasus, serta HIV 663 kasus meliputi lakilaki 417 kasus dan perempuan 246 kasus.1 Jumlah kasus HIV/AIDS yang meningkat setiap tahun, Alamat Korespondensi: Tri Rini Puji Lestari, Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data Informasi Setjen DPR RI, Gedung Nusantara I Lt. 2, Jl. Gatot Subroto Jakarta Pusat 10270, Hp. 081382312169, e-mail:
[email protected]
45
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 1, Agustus 2013
mengantarkan Indonesia menjadi salah satu negara dengan epidemi HIV/AIDS tercepat di Asia Tenggara. Pada tahun 1987 – 2007, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional hanya mencatat 5 dan 44 kasus penderita AIDS, tetapi sejak 2007, jumlah dan penyebaran kasus melonjak menjadi 2.947 kasus. Pada Juni 2009, jumlah tersebut meningkat delapan kali lipat menjadi 17.699 kasus dengan kematian 3.586 kasus. Sejak tahun 2004, Indonesia berada dalam tahap bahaya karena enam dari 33 provinsi yang meliputi Jakarta, Papua, Bali, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Riau, berada dalam tahapan epidemi HIV/AIDS. Selama tiga tahun terakhir, tiga provinsi yang lain meliputi Kalimantan Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara, memperlihatkan tren epidemi HIV.1 Di tingkat daerah, tidak kalah memprihatinkan, pada tahun 2014, diprediksi sekitar 501.400 kasus HIV/AIDS. Meskipun di Papua, prevalansi HIV/AIDS masih yang tertinggi, tetapi jumlah kasus HIV/AIDS tidak lagi yang terbanyak.2 Upaya penanggulangan menjadi target MDGs, HIV/AIDS telah menyebar di 33 provinsi dan 300 kabupaten/kota di Indonesia. Di Indonesia, Strategi Nasional 2007 – 2010 merupakan upaya antisipasi yang dijabarkan dalam Strategi Penanggulangan HIV/AIDS. Upaya tersebut meliputi peningkatan cakupan pencegahan; perawatan, dukungan dan pengobatan, serta pengurangan dampak negatif epidemi. Upaya tersebut dilakukan dengan meningkatkan akses program mitigasi sosial; menguatkan kemitraan, sistem kesehatan dan sistem masyarakat; meningkatkan koordinasi dan mobilisasi dana; mengembangkan intervensi struktural; serta menerapkan perencanaan, prioritas dan implementasi program berbasis data. Strategi penanggulangan mencakup upaya pencegahan, pengobatan, mitigasi dampak dan pengoptimalan lingkungan kondusif. masyarakat berada pada posisi yang sangat penting. Pada era otonomi daerah, dana APBN tidak mungkin lagi diandalkan sehingga Pemda, LSM, tokoh agama dan adat harus berperan aktif mendidik masyarakat untuk memahami dampak HIV/AIDS.3 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan jumlah kasus dan kebijakan penanggulangan HIV/ AIDS di Denpasar. Metode Penelitian dengan metode kualitatif ini mengumpulkan data melalui observasi dan wawancara mendalam, serta data sekunder dokumen dan profil kesehatan.4,5 Wawancara mendalam dilakukan pada informan terpilih di kabupaten/kota meliputi kepala Bappeda, dinas kesehatan, direktur rumah sakit, puskesmas, serta ketua Komisi Penanggulangan AIDS, ODHA dan pemerhati HIV/AIDS. Analisis dilakukan secara deskriptif dengan memperhatikan poin kunci reduksi data dan intepretasi. Reduksi data dilakukan dengan memilah-milah data menjadi potongan-potongan yang lebih teratur dengan menyusun kategori, dan merangkum menjadi pola dan susunan yang se46
derhana. Interpretasi dilakukan untuk mendapatkan makna dan pemahaman terhadap ucapan dan tindakan para informan dengan menampilkan konsep dan teori berdasar generalis yang menjelaskan temuan di lapangan.6 Hasil Perkembangan Kasus HIV/AIDS
Menurut informan dari dinas kesehatan pada tahun 1999 dan 2000, jumlah kasus HIV/AIDS di provinsi Bali adalah 59 dan 108 kasus. Pada akhir Oktober 2008, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS mencapai 2.413 kasus yang meliputi 1.107 kasus AIDS dan 1.306 kasus HIV. Kasus tertinggi ditemukan di Kota Denpasar diikuti Bandung dan Buleleng. Sampai Juli 2011, tercatat 4.631 kasus, sekitar 78,94% kasus menular melalui hubungan seks, terbanyak melalui hubungan heteroseks (73,35%) dan melalui jarum suntik pengguna narkoba (16,71%) (Tabel 1). Kecamatan yang termasuk berisiko tinggi penularan HIV/AIDS meliputi Denpasar Selatan terutama wilayah Sanur, Denpasar Timur Pasiran dan Padang Galak, serta Denpasar Utara wilayah Carik dan Lumintang. Lokasi wanita penjaja seks (WPS) yang terbesar di Kota Denpasar adalah wilayah Sanur meliputi Danau Tempe Barat dan Timur, Danau Poso, Bungalow Sanur, wilayah Padang Galak dan Pasiran serta Carik dan Lumintang. Sekitar 4.000 WPS ditemukan di delapan lokasi langsung dan tidak langsung, tidak termasuk yang bertransaksi tertutup. Pada 1987 – 2008, jumlah penderita AIDS mencapai 413 kasus dengan jumlah kematian 105 kasus, sedangkan dan penderita HIV (+) berjumlah 804 orang. Jumlah seluruh penderita HIV/AIDS adalah 1.217 orang, terbanyak adalah kelompok usia 20 – 29 tahun. Kasus tertinggi dilaporkan pada Juli 2011, dengan jumlah penderita HIV/AIDS adalah 2.051 kasus (44,29%), dengan jumlah kasus HIV dan AIDS adalah 1.140 dan 1.090. Pada Juli 2011, prevalensi penderita dilaporkan 44,29%, merupakan yang tertinggi dengan kasus HIV dan AIDS berjumlah 1.140 dan 1.090. Kebijakan Penanggulangan HIV/AIDS
Sejak tahun 2006, Pemda Provinsi Bali memberlakukan Tabel 1. Data Situasi Kasus HIV/AIDS di Kota Denpasar dari Tahun 2002_2009 AIDS
HIV
Jumlah
Tahun
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Total Kasus
Mati
Kasus
Mati
Kasus
Mati
11 27 64 140 183 279 413 481 780
4 17 33 42 63 105 129 162
95 175 262 426 475 612 804 916 922
0 0 0 0 0 0 0 0 1
106 202 326 566 658 891 1217 1526 1702
3 4 17 33 42 63 105 129 163
106 202 326 566 658 891 1217 1526 1702
Lestari, Kebijakan Pengendalian HIV/AIDS
Tabel 2. Hasil kegiatan CST di RSUD Wangayah Bali 2007
2008
2009
Uraian n Kunjungan ke VCT Klien yang ditest Hasil test klien HIV (+) ODHA yang dirujuk ke ARV Pasien HIV dengan co infeksi TB
699 237 73 21 27
perda No. 3 tahun 2006 tentang Penanggulangan HIV/ AIDS. Perda tersebut mengatur upaya penanggulangan HIV/AIDS yang meliputi promosi, pencegahan, konseling dan tes sukarela rahasia, pengobatan, serta perawatan dan dukungan. Pemerintah provinsi menyediakan sarana prasarana yang terjangkau, meliputi pendukung pengobatan, pengadaan obat anti retroviral, obat anti infeksi oportunistik dan obat IMS. Gubernur dan bupati/walikota berkoordinasi dan mengawasi upaya penanggulangan yang meliputi aspek pengaturan dan pelaksanaan. Pemerintah menciptakan suasana yang mendukung melalui “Gerakan Penanggulangan HIV dan AIDS” terutama pada kelompok risiko tinggi. Kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi juga dilakukan untuk mendorong perilaku hidup sehat pada anak sekolah, remaja, dan masyarakat umum. Materi termasuk pengguna kondom pada setiap hubungan seks berisiko dan upaya melepaskan ketergantungan pada kalangan pengguna narkoba suntik secara berkala. Menurut informan dari Dinas Kesehatan pada tahun 2009, dilakukan pemeriksaan darah sero dan sentinel yang ditargetkan 850 sampel, namun yang terealisasi hanya 747 sampel (87,88%) (Tabel 2). Menurut informan dari rumah sakit, sejak Juli 2004 upaya penemuan, pengobatan dan pemantauan penderita di Provinsi Bali, NTT, dan NTB dilakukan di RSP Sanglah, yang merupakan pelayanan unggulan yang bersifat sosial. Pada periode 2004 – 2010, jumlah pasien yang melakukan konseling adalah 5.802 kasus dengan pasien reaktif adalah 1.435 kasus (25%). Rata-rata penderita yang melakukan tes adalah 117 kasus dengan kasus reaktif sekitar 25%. Penderita AIDS dengan pengobatan ARV berjumlah 783 kasus dan sekitar 25 pasien menggunakan pengobatan lini 2. Operasi caesar dilakukan terhadap 70 kasus dengan bayi/anak yg menderita HIV dan pengobatan ARV pada 28 kasus. Setiap tahun, jumlah pasien yang dirawat adalah 315 kasus dan sekitar 40% merupakan pasien baru. Menurut informan dari rumah sakit sejak 2004, pasien yang dirawat berjumlah 2.250 kasus dengan jumlah kematian 400 kasus (17,8%) dan pasien TB-HIV berjumlah 60 kasus. Faktor risiko yang terbanyak adalah heteroseksual, umur 15 – 49 tahun, dan jenis kelamin lakilaki. Pada tahun 2010 kinik methadon melaporkan 78 pasien yang mendapat terapi ARV10 kasus dan yang
%
33,9 30,8 28,77 36,99
n
%
n
%
622 334 91 27 31
53,69 27,25 29,67 34,07
833 427 144 35 43
51,26 33,72 24,31 29,86
mendapat pengobatan TB adalah satu kasus. Pada tahun 2009, menurut informan di puskesmas II Denpasar Selatan telah dilakukan sosialisasi PMTCT dengan sasaran 240 ibu hamil, pengambilan darah sero survei dilakukan pada kelompok risiko tinggi dan 747 ibu hamil serta pemberian pengobatan presumptif berkala terhadap 1.750 WPS. Kendala yang dihadapi upaya penanggulangan HIV/AIDS antara lain adalah stigma dan diskriminasi, penolakan, pengingkaran, dan ketidakpedulian kelompok marginal dan ODHA. Selain itu, menurut informan migrasi dan mobilitas penduduk tergolong tinggi, respons berbagai kalangan terhadap epidemi HIV/AIDS bervariasi dan pembiayaan yang diberikan terlalu kecil dibandingkan dengan kebutuhan. Kemitraan dengan LSM yang secara khusus menangani HIV/AIDS masih belum ada, pengamatan penyakit melalui sistem informasi kesehatan sangat terbatas. Cakupan populasi kunci rendah karena keterbatasan informasi dan berbagai hambatan akses. Informan dari pemerhati HIV/AIDS mengatakan bahwa mobilisasi WPS tergolong tinggi, tetapi keterlibatan kelompok masyarakat tergolong rendah. Ada kesenjangan yang tinggi antara pengetahuan tentang IMS, HIV/AIDS, dan penggunaan kondom. Cakupan pelayanan VCT masih rendah, sementara informan dari ODHA berpendapat kalau konselor sangat terbatas dengan mobilitas yang sangat tinggi.8 Pembahasan Jumlah kasus HIV/AIDS di Kota Denpasar merupakan yang tertinggi. Denpasar termasuk wilayah yang berisiko tinggi penularan HIV/AIDS, karena banyak tempat hiburan malam yang rawan transaksi penjaja seks komersial atau lokalisasi dan buruh migran. Hal tersebut didukung pula oleh laporan KPA bahwa penularan terbanyak melalui hubungan seks (78,94%). Menurut Achmadi9, strategi pengendalian penyakit menular pada dasarnya menghilangkan sumber penyakit dengan cara menemukan dan mencari kasus secara proaktif, kemudian melakukan pengobatan hingga sembuh. Intervensi faktor risiko misalnya lingkungan dan intervensi terhadap perilaku. Selain itu, menurut Suesen dalam Soelistijani,10 pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual memerlukan penyuluhan yang intensif 47
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 1, Agustus 2013
dan ditujukan untuk mengubah perilaku seksual masyarakat sehingga mengurangi kemungkinan penularan HIV sehingga diharapkan pengetahuan yang diterima WPS nantinya mampu merubah sikap dan perilaku untuk mencegah HIV/AIDS. Terkait kebijakan pengendalian HIV/ AIDS, pemda Provinsi Bali telah memperlihatkan komitmen terhadap penanggulangan HIV/AIDS, terbukti dengan dikeluarkan perda tentang penanggulangan HIV/ AIDS, tetapi beberapa kabupaten/kota belum membuat dan melaksanakan Perda tersebut. Kebijakan penanggulangan HIV/AIDS sangat ditentukan oleh cara pandang pemerintah terhadap penyakit HIV/AIDS.1 Namun, pemerintah daerah kabupaten/ Kota Denpasar belum berpihak pada upaya penanggulangan HIV/AIDS, Rencana Strategis Dinas Kesehatan Kota Denpasar tahun 2010 – 2015, belum memasukkan rencana dana Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menuar HIV/AIDS. Dana upaya penanggulangan HIV/AIDS baru berasal dari Provinsi Bali. Semangat kebijakan lebih terfokus pada penanganan kasus, penegasan tugas, kewajiban dan tanggung jawab serta sanksi bagi lembaga kesehatan. Di Kota Denpasar, penanggung jawab utama pelayanan HIV/AIDS serta mekanisme koordinasi partisipasi warga, masih rendah. Padahal, penanggulangan dan penanganan kasus HIV/ AIDS telah menjadi prioritas kinerja pemerintah di semua tingkatan. Klinik IMS dan VCT diharapkan berkontribusi pada penemuan kasus HIV/AIDS dini, edukasi HIV dan AIDS, penurunan kasus HIV/AIDS, serta peningkatan angka kesembuhan kasus HIV/AIDS. Namun, berbagai klinik tersebut baru dibentuk, berbagai kegiatan belum dievaluasi. Perlu upaya keras mengubah citra bahwa HIV/AIDS merupakan penyakit “kutukan” untuk mendorong keterbukaan ODHA dan mendekonstruksi resistensi cara bepikir masyarakat.4 Upaya penanggulangan HIV/AIDS harus memperhatikan nilai agama, budaya, norma kemasyarakatan, menghormati harkat dan martabat manusia, serta keadilan dan kesetaraan gender. Upaya penanggulangan harus diintegrasikan ke dalam program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Upaya penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan meliputi peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, perawatan, dukungan dan pengobatan penanggulangan HIV/AIDS dilakukan oleh masyarakat sipil dan pemerintah, berdasarkan prinsip kemitraan. Dukungan kepada ODHA dan mereka yang terdampak HIV/AIDS bertujuan untuk memberdayakan dan mempertahankan kehidupan sosial ekonomi yang layak dan produktif. KPA Kota Denpasar dapat mengoptimalkan sumber daya untuk peningkatan klinik IMS, klinik VCT dan CST, serta kesadaran dan kepedulian berbagai pihak dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS.
48
Kesimpulan Provinsi Bali menunjukkan peningkatan kasus HIV/ AIDS, sebagian besar penularan terjadi melalui hubungan seks. Masyarakat semakin mudah mengakses layanan VCT sehingga semakin banyak yang melakukan pemeriksaan HIV. Keterlibatan berbagai komponen masyarakat meliputi pemerintah dan swasta. Belum semua Kabupaten/Kota Provinsi Bali yang memiliki Perda tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Berakibat pada dukungan dana dan kerjasama multisektor. Penanggulangan HIV/AIDS di Denpasar sebagian besar merupakan program nasional dan belum ada program khusus pemerintah daerah. Evaluasi kegiatan program belum dilakukan secara berkala. Saran Perlu peningkatan pemahaman tentang HIV/AIDS serta pencegahan dan penanganan semua pihak terkait. Perencanaan dan pengawasan diperlukan agar penanggulangan HIV/AIDS dapat lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui tingkat efektivitas klinik-klinik IMS dan VCT dalam penanganan HIV/AIDS di Denpasar Provinsi Bali. Daftar Pustaka 1. Anonimous. Epidemi HIV/AIDS di Indonesia dalam bahaya. Harian Kompas tanggal 17 April 2004. 2. Widodo TR. Raperda penanggulangan HIV/AIDS setengah hati. Harian Bernas tanggal 6 Maret 2010. 3. Komisi Penanggulangan Aids. Strategi nasional HIV/AIDS 2007-2010 [online]. 2010 [diakses 27 Mei 2011]. Diunduh dalam:
http://www.
undp.or.id/programme/pro-poor/ The % 20 National %20HIV %20 & % 20AIDS %20 Strategy % 202007-2010%20% 28 Indonesia29.pdf. 4. Sumantri Arif. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group; 2011. 5. Suryana Asep. Tahap-tahapan penelitian kualitatif. Jakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia; 2007. 6. Daymone C, Holloway I. Metode-metode riset kualitatif. Astuti SI, penyunting. Yogyakarta: Bentang; 2008. 7. Anonimous. Tiga kabupaten di Bali belum punya perda HIV [Diakses tanggal 13 Juli 2011]. Diunduh dalam: http://wap.vivanews.com/news/read/229879-tiga-kabupaten-di-bali-belum-punya-perda-hiv. 8. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Strategi dan rencana aksi nasional penanggulangan HIV dan aids 2010-2014. Jakarta: KPAN; 2010. 9. Fahmi AU. Manajemen penyakit berbasis wilayah. Jakarta: Penerbit Buku Kompas; 2005. 10. Ariani DP, Hargono . Analisis hubungan antara pengetahuan, sikap dengan tindakan berdasarkan indikator surveilans perilaku HIV/AIDS pada wanita pekerja seks (studi penelitian di klinik IMS Puskesmas Putat Jaya Surabaya). Jurnal Berkala Epidemiologi [online]. 2012: 1: 1 [diakses tanggal 3 Desember 2013]. Diunduh dalam: http://www.journal. unair.ac.id/filerPDF/001_putu_001.doc.
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4 Desember 2013
411
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4, Desember 2013
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4 Desember 2013
412
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4, Desember 2013
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4 Desember 2013
413
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4, Desember 2013
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4 Desember 2013
414
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4, Desember 2013
Mirnawati
Kinerja Aparatur Terhadap Pelayanan ...
KINERJA APARATUR TERHADAP PELAYANAN BAGI PASIEN HIV/AIDS DI UNIT KERJA PADA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
Oleh: MIRNAWATI ABSTRAK Dalam penelitian ini penulis menggunakan dasar penelitian survey dengan tipe deskriptif kualitatif. Lokasi penelitian pada Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu. Jumlah populasi dalam penelitian 35 orang, dengan teknik penarikan sampel jenuh sehingga populasi juga menjadi sampel sebanyak 35 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator responsivitas, akuntabilitas dapat dinilai baik. Kualitas layanan, ketepatan, serta kecepatan dalam pelayanan dapat dinilai kurang baik. Selanjutnya pelayanan murah dan ramah dapat dikategorikan baik, karena hubungan aparat dengan pelanggan dilakukan dengan sopan, murah senyum, dan mendapat perhatian khusus dari petugas. Faktor penghambat adalah kemampuan dalam pelayanan seringkali mengalami keterlambatan, sedangkan faktor pendukung secara keseluruhan aparat dapat memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam melaksanakan tugas Kata Kunci: Kinerja Aparatur, Pelayanan I.
PENDAHULUAN Pada era globalisasi, pelayanan prima merupakan elemen utama di Rumah Sakit. Rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan yang memenuhi standar pelayanan yang optimal. Rumah Sakit adalah bentuk organisasi pelayanan kesehatan yang bersifat komprehensif, mencakup aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, serta sebagai pusat rujukan kesehatan masyarakat.
30 | P a g e
Jurnal Ilmiah Santina Vol.1 No.4 April 2014 : 30-37
ISSN 2302-4844
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan perseorangan, keluarga kelompok ataupun masyarakat. Oleh karena itu Rumah Sakit dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang ditetapkan dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat (Keputusan Menteri Kesehatan No. 228/2002). Rumah Sakit adalah bentuk organisasi pengelola jasa pelayanan kesehatan individual secara menyeluruh. Dalam memenuhi kebutuhan pasien tersebut, pelayanan prima menjadi utama dalam pelayanan di Rumah Sakit. Pelayanan prima bahwa setiap Rumah Sakit harus melakukan pendekatan mutu yang berorientasi pada kepuasan pasien, agar tetap eksis, ditengah pertumbuhan industri pelayanan kesehatan yang semakin kuat. Di dalam organisasi terdapat banyak aktifitas, yang diselenggarakan oleh petugas berbagai jenis profesi, baik profesi pendidik, paramedik maupun non medik. Untuk dapat menjalankan fungsinya, diperlukan suatu sistem manajemen menyeluruh yang dimulai dari proses Perencanaan Strategik (RENSTRA), baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek. Suatu RENSTRA dapat disebut baik apabila perencanaan tersebut dapat ditindak lanjuti secara praktis kedalam program-program operasional yang berorientasi kepada economic, equity, dan quality. Artinya Rumah Sakit dikelola secara efektif dan efisien, melayani segala lapisan masyarakat dan berkualitas. Kepuasan pasien tergantung pada kualitas pelayanan. Pelayanan adalah semua upaya yang dilakukan petugas untuk memenuhi keinginan pelanggannya dengan jasa yang akan diberikan. Suatu pelayanan yang dikatakan baik oleh pasien, ditentukan oleh kenyataan apakah jasa yang diberikan bisa memenuhi kebutuhan pasien, dengan menggunakan persepsi pasien tentang pelayanan yang diterima
31 | P a g e
Mirnawati
Kinerja Aparatur Terhadap Pelayanan ...
(memuaskan atau mengecewakan, juga termasuk lamanya waktu pelayanan). Kepuasan dimulai dari penerimaan terhadap pasien dari pertama kali datang, sampai pasien meninggalkan Rumah Sakit. Pelayanan dibentuk berdasarkan 5 prinsip Service Quality yaitu kecepatan, ketepatan, keramahan, dan kenyamanan layanan. Keunggulan layanan tersebut tidak akan terwujud jika ada salah satu prinsip pelayanan ada yang dianggap lemah. Sistem pelayanan yang dapat memuaskan masyarakat merupakan gambaran sistem administrasi publik yang diharapkan. Oleh karena itu, pelayanan birokrasi harus mengubah posisi dan peran yang selama ini dilakukan. Pelayanan yang selama ini suka mengatur dan meminta dukungan harus diubah menjadi suka melayani, mendengarkan tuntutan kebutuhan dan harapan masyarakat. Sistem pelayanan publik oleh aparatur pemerintah yang masih berorientasi pada kekuasaan yang tidak mampu menangkap tuntutan kebutuhan dan harapan publik atau masyarakat perlu diperhatikan. Peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat utamanya masyarakat yang mengidap penyakit HIV–AIDS perlu ada perhatian khusus dari Pemerintah Daerah.
II. METODE PENELITIAN Dasar penelitian ini yaitu tipe survey adalah suatu proses yang dilakukan untuk melihat langsung lapangan atau objek penelitian sehingga peneliti mudah mengidentifikasi kondisi objek penelitian dan peneliti tidak mengada-ngada dalam menyusun laporan, Masri Singarimbun dan Sofyan Efendi (1997:4). Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Jumlah populasi dalam penelitian ini sebanyak 35 orang. Sampel adalah bagian dari populasi yang memiliki karakteristik yang dapat mewakili
32 | P a g e
Jurnal Ilmiah Santina Vol.1 No.4 April 2014 : 30-37
ISSN 2302-4844
populasi, sehingga generalisasi yang diambil lebih akurat (dapat dipercaya) hasilnya, Sugiyono (2004:3). Oleh karena populasi tidak cukup besar jumlahnya, maka penulis menggunakan teknik penarikan sampel dengan “sampling jenuh” yaitu semua populasi dijadikan sampel yaitu sebanyak 35 orang.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Objek penelitian penulis pada bagian Paviliun Bougenvile Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu. Setiap indikator memerlukan gambaran baik dari aspek solusi, dari sumber masalah, maupun ukuranukuran tersebut menjadi pembahasan utama sebagai berikut: Responsivitas yang dimaksud adalah kemampuan aparat unuk mengenali kebutuhan masyarakat atau pasien yang sedang dirawat, serta salah satunya ukuran kinerja aparatur baik dan tidaknya dalam menjalankan atau melaksanakan misi dan tujuannya. Pada aspek ini penulis menganalisis pelayanan untuk mengenali kebutuhan pelanggan atau pasien yang dirawat di Paviliun Bougenvile pada Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu. Yang interen seperti sarana dan prasarana, penampilan petugas serta fasilitas lainnya. Responden menjawab sangat baik berjumlah 11 orang (31,42%), menjawab baik berjumlah 14 orang (40,00%), selanjutnya yang menjawab kurang baik berjumlah 7 orang (20,00%), serta menjawab tidak baik berjumlah 3 orang (8,57%). Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa aparat menjalankan atau melaksanakan tugas dengan mengenali kebutuhan pasien dengan kategori baik. Akuntabilitas menunjukkan seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik harus mampu mempertanggungjawabkan seluruh operasional pelayanan. Responden menjawab sangat baik berjumlah 9 orang (25,71%), kemudian menjawab baik 15 orang
33 | P a g e
Mirnawati
Kinerja Aparatur Terhadap Pelayanan ...
(42,85%), selanjutnya menjawab kurang baik berjumlah 6 orang (17,14%) serta menjawab tidak baik berjumlah 5 orang (14,28%). Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa aparat melaksanakan tugas pokok, tanggung jawab dengan kategori baik. Kualitas layanan yang dimaksud adalah yang dimaksud adalah kualitas layanan yang cenderung menjadi semakin penting dalam menjelaskan kinerja aparat dalam pelayanan publik muncul puas atau tidaknya pelayanan yang dirasakan oleh pasien atau pelanggan. Kelompok responden yang menjawab sangat puas berjumlah 5 orang (14,28%), kemudian yang menjawab puas 9 orang (25,71%), selanjutnya yang menjawab kurang puas berjumlah 18 orang (51,42%), serta kelompok responden yang menjawab tidak puas 3 orang (8,57%). Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa dari proses awal sampai hasil yang diinginkan dikategorikan kurang baik. Pelayanan tepat yaitu memberikan atau melakukan pelayanan sesuai apa yang diinginkan/dibutuhkan oleh pasien dalam hal pelayanan pasien yang dirawat, maksudnya jika pasien membutuhkan perawatan pada saat pasien membutuhkan sesegera mungkin aparat melaksanakannya. Adapun kelompok responden yang menjawab sangat baik 9 orang (25,71%), yang menjawab baik berjumlah 10 orang (28,57%), selanjutnya yang menjawab kurang baik berjumlah 16 orang (45,71%), serta yang menjawab tidak baik kosong. Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa pelayanan tepat dalam arti tepat waktu dalam melayani pelanggan dapat dikategorikan kurang baik. Pelayanan cepat merupakan kehandalan aparat dalam melayani pasien dalam hal perawatan, seperti kemampuan dalam memecahkan masalah dan tidak melakukan kesalahan dalam melayani pelanggan melihat sejauh mana aparat Paviliun Bougenvile Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu memiliki kemampuan untuk menepati janji secara
34 | P a g e
Jurnal Ilmiah Santina Vol.1 No.4 April 2014 : 30-37
ISSN 2302-4844
tepat waktu dan tidak menunda-nunda pekerjaan tersebut. Diperoleh gambaran bahwa kelompok responden yang menjawab sangat baik berjumlah 5 orang (14,28%), kemudian yang menjawab baik berjumlah 9 orang (25,71%), selanjutnya menjawab kurang baik berjumlah 17 orang (48,57%), serta kelompok responden yang menjawab tidak baik berjumlah 4 orang (11,42%). Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa pelayanan cepat dalam kategori kurang baik, karena hasil wawancara dengan responden bahwa kemampuan aparat Paviliun Bougenvile Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu dalam melayani pasien belum begitu maksimal karena pelayanan cepat adalah merupakan kehandalan aparat dalam melayani pasien atau pelanggan. Pelayanan murah merupakan kemampuan yang memberikan kenyamanan kepada pelanggan/pasien untuk menerapkan suatu tindakan kebijakan yang positif dilingkungan Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu khususnya di Paviliun Bougenvile yang ekonomi lemah dan berarti perawatan gratis, karena bagi pasien yang mengidap penyakit HIV/IDS pengobatannya harus gratis sampai pasien merasa sehat, kalau untuk kesembuhan penyakit tersebut tidak akan pernah sembuh. Penyakit tersebut hanya mendapatkan perawatan, pengobatan untuk kekebalan tubuh saja, karena itulah pengobatan untuk pasien HIV/AIDS dari pemerintah gratis walaupun pasien mampu untuk membiayai pengobatan tersebut. Dengan demikian untuk menciptakan suatu kerjasama yang baik antara pimpinan dengan pasien atau pelanggan persyaratan utama yang perlu ditingkatkan oleh suatu organisasi adalah keinginan pasien/pelanggan. Kelompok responden yang menjawab sangat baik berjumlah 10 orang (28,57%), kemudian menjawab baik berjumlah 23 orang (65,71%), selanjutnya yang menjawab kurang baik berjumlah 2 orang (5,71%), serta kelompok
35 | P a g e
Mirnawati
Kinerja Aparatur Terhadap Pelayanan ...
tidak baik kosong. Dengan demikian penulis menyimpulkan pelayanan murah di kategorikan baik. Setiap aparat mampu memberikan perhatian yang bersifat pribadi kepada pelanggan, kenyamanan mempelajari kebutuhan pelanggan sebelum mengambil tindakan apapun. Jadi ramah yaitu hubungan antara petugas dan pelanggan/pasien dilakukan dengan sopan berpedoman pada etika profesi, sama halnya dengan empaty yakni perhatian dan atensi individu yang diberikan kepada pelanggan/pasien, bahwa pasien merasa puas dengan pelayanan aparat yang menyenangkan, selalu memberikan sapaan yang ramah, santun, murah senyum, serta bertutur kata yang baik. Responden yang menjawab sangat baik berjumlah 10 orang (28,57%), kemudian yang menjawab baik berjumlah 20 orang (57,14%), selanjutnya yang menjawab kurang baik berjumlah 5 orang (14,28%), serta kelompok tidak baik kosong. Dengan demikian tanggapan responden tentang keramahan aparat terhadap pelayanan pasien/pelanggan dinilai baik. Faktor penghambat meliputi dimana aparat kurang mampu melakukan pelayanan yang cepat dan tepat pada saat pelanggan/pasien pelayanan yang prima. Faktor pendukung yang dapat diberikan rekomendasi pada pelaksanaan aktifitas aparat Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu khususnya Paviliun Bougenvile meliputi hasil kerja yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan prosedural administratif sehingga aparat Rumah Sakit dapat memberikan pelayanan gratis dari Pemerintah Daerah untuk pasien mengidap penyakit AIDS dengan cara efektif sehingga berpengaruh pada faktor pelayanan yang ramah dan responsif.
36 | P a g e
Jurnal Ilmiah Santina Vol.1 No.4 April 2014 : 30-37
ISSN 2302-4844
IV. KESIMPULAN Kemampuan aparat dalam mengenali kebutuhan dari indikator responsivitas dinilai baik sama halnya dengan akuntabilitas dapat dinilai baik pula karena kebijakan dan kegiatan dapat dipertanggung jawabkan. Lain lagi dengan kualitas layanan, ketepatan, serta kecepatan dalam pelayanan dapat dinilai kurang baik. Selanjutnya pelayanan murah dan ramah dapat dikategorikan baik, karena hubungan aparat dengan pelanggan dilakukan dengan sopan, murah senyum, dan mendapat perhatian khusus dari petugas. Faktor penghambat adalah kemampuan dalam pelayanan sering kali mengalami keterlambatan, sedangkan faktor pendukung secara keseluruhan aparat dapat memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam melaksanakan tugas. Agar aparat Rumah Sakit dapat meningkatkan pelayanan yang cepat dan pelayanan yang tepat dalam melayanai pelanggan/pasien agar seluruh keinginan pelanggan dapat dilayani dengan cepat dan tepat. Untuk meningkatkan pelayanan cepat dan tepat untuk pelanggan, dapat disarankan agar aparat melakukan pelayanan yang baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, 1997, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Yogyakarta Sugiyono, 2004, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung Keputusan Menteri Kesehatan No. 228/2002
.
37 | P a g e
PEMAKNAAN OBAT ANTIRETROVIRAL BAGI SEKELOMPOK ORANG DENGAN HIV–AIDS DI KOTA BANDUNG, CIMAHI, DENPASAR DAN KABUPATEN BADUNG (The Meaning of Antiretroviral for People Living with HIV–AIDS in Bandung, Cimahi, Denpasar, and Badung Districts) Rini Sasanti Handayani1, Yuyun Yuniar1, dan Ully Adhie Mulyani2 Naskah Masuk: 20 April 2013, Review 1: 25 April 2013, Review 2: 25 April 2013, Naskah layak terbit: 28 Juli 2013
ABSTRAK Latar belakang: Antiretroviral (ARV) adalah obat HIV–AIDS yang berfungsi mengurangi varemia dan meningkatkan jumlah sel-sel CD4+. Meskipun tidak untuk menyembuhkan, ARV meningkatkan harapan hidup ODHA (orang dengan HIV–AIDS). Tingkat kepatuhan sangat memengaruhi keberhasilan terapi ARV, padahal ARV harus digunakan seumur hidup. Akibatnya sering menyebabkan kebosanan/kejenuhan, dan pada akhirnya menjadi drop out. Pemaknaan ARV oleh ODHA merupakan salah satu faktor yang menentukan kepatuhan ODHA menggunakan ARV. Metode: Penelitian dilakukan di Kota Bandung, Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat dan Kota Denpasar, Kabupaten Badung Provinsi Bali pada bulan Maret sampai dengan November 2011. Sampel 17 penderita HIV–AIDS, 9 wanita dan 8 pria. Usia 20 sampai dengan 42 tahun. Pengumpulan data dengan wawancara mendalam. Hasil wawancara dianalisis dengan metode content analysis. Hasil: Makna ARV bagi ODHA yang berdampak positif tidak hanya berfungsi secara medis sebagai obat umumnya, tetapi memiliki makna terkait fungsi spritual/psikologis (mukjizat, andalan, sebagai pemberi kekuatan), perubahan pola hidup (dinikmati/dibawa enjoy, kebiasaan, pasrah dijalani, seperti air mengalir), harapan hidup (memperpanjang umur, penolong untuk bertahan hidup, vitamin penyambung hidup, kesempatan hidup kedua). Makna ARV bagi ODHA yang berdampak negatif terhadap kepatuhan terkait dengan stigma/diskriminasi (malu minum obat, takut diketahui status HIV sehingga minum obat harus sembunyi-sembunyi), perubahan pola hidup (beban karena harus minum obat selama hidup). Saran: Agar memasukkan unsur pemaknaan terkait fungsi spiritual/psikologis, perubahan pola hidup dan harapan hidup dalam konseling terhadap ODHA pengguna ARV, selain pengertian yang berhubungan dengan fungsi medis dan penanggulangan efek samping. Kata kunci: ARV, antiretroviral, ODHA ABSTRACT Background: Antiretroviral (ARV) is the drug to reduce varemia and enhances CD4+ level. ARV cannot cure HIVAIDS but it increases the life expectancy of people living with HIV-AIDS (PLHA). ARV is a lifetime treatment that needs a high adherence. The meaning of ARV which vulnerable to low adherence is related to stigma and discrimination. It is also related to the changing of life pattern in which taking ARV is considered as a burden. This research suggests the need to include the meaning of ARV for a successful therapy. Because using ARV for a long time can make PLHAs feel boring and sometimes they drop out the treatment. Method: The research was conducted in Bandung, Cimahi, Denpasar and Badung districts in 2011. The subjects were 17 PLHAs consist of 9 females and 8 males, aged 20-42 years. Data were collected by doing in depth interview which then analyzed with content analysis method. Results: The meanings of ARV which give positive impact on adherence including the function of ARV that not merely as medical stuff but also have the function related to psychological or spiritual meaning (miracle); the changing on life pattern (consider as a habit); and the hope for life (the second chance) Recommendations: The study recommends to include the meaning of ARV related to the
1 2
Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Badan Litbang Kesehatan, KemenKes RI, Jl. Percetakan Negara 29 Jakarta Pusat Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Badan Litbang Kesehatan, Kemenkes RI, Jl. Percetakan Negara 29 Jakarta Pusat. Alamat E-mail:
[email protected]
227
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 3 Juli 2013: 227–235 function on spiritual/psychological matter, the changing on life pattern and the hope for life other than just give councelling on medical function of ARVs and handling side effects. Key words: ARV, antiretroviral, PLHA
PENDAHULUAN Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan Kementerian Kesehatan RI menyatakan Kasus HIV-AIDS di Indonesia mengalami peningkatan. Secara kumulatif jumlah pengidap HIV dari bulan Januari 1987 hingga Maret 2012 mencapai 82.870 kasus HIV dan 30.430 kasus AIDS (Antara news, 2012). Saat ini telah dikembangkan obat antiretroviral (ARV) untuk melawan HIV yang terus-menerus menggerogoti kekebalan tubuh orang dengan HIVAIDS (ODHA). Terapi ARV mengubah HIV-AIDS dari penyakit “mematikan” menjadi penyakit “kronis”. Penyakit kronis tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikendalikan seperti diabetes, hipertensi, dan asma. ARV efektif menekan replikasi HIV di dalam tubuh ODHA, karena ARV langsung melawan HIV sehingga memperpanjang umur ODHA. ARV bekerja melawan infeksi dengan cara memperlambat reproduksi HIV dalam tubuh melalui pengurangan viraemia, (jumlah HIV dalam darah) dan meningkatkan jumlah sel CD4+, (sel darah putih yang penting bagi sistem kekebalan tubuh) (KPAN, 2010). ARV diberikan dalam bentuk kombinasi dan harus digunakan terus-menerus agar efektif, tetapi hal ini sangat rentan terhadap kejadian kasus non adherence, (ketidakpatuhan obat). Berbagai penyebab kegagalan terapi pada ODHA antara lain ketidakpatuhan, efek samping obat serta resistensi HIV. Hal ini menyebabkan terapi harus dimodifikasi atau diubah (Riyarto et al., 2010). Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah sesuatu keadaan di mana pasien mematuhi pengobatannya atas dasar kesadaran sendiri, bukan hanya karena mematuhi perintah dokter. Hal ini penting karena diharapkan akan lebih meningkatkan tingkat kepatuhan minum obat. Adherence atau kepatuhan harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap kunjungan (Kementerian Kesehatan RI, 2011b). Di Indonesia pelayanan pengobatan ODHA telah dimulai sejak tahun 2005. Pada akhir 2005, jumlah ODHA yang masih dalam pengobatan ARV sebanyak 2.381 orang, sedangkan pada Maret 228
2011 terdapat 20.069 ODHA yang masih menerima ARV. Sebanyak 80% ODHA masih menggunakan regimen lini pertama. Yang termasuk ARV lini pertama yaitu zidovudin, lamivudin, nevirapin, efavirenz dan tenofovir. Sebanyak 16,7% telah substitusi salah satu ARV nya diganti dengan obat ARV lain tetapi masih pada kelompok lini pertama dan 4% diganti 1 atau 2 jenis ARV-nya diganti dengan obat ARV lini kedua. Yang termasuk ARV lini kedua antara lain ritonavir dan lopinavir (Kementerian Kesehatan RI, 2011a, Kementerian Kesehatan RI, 2011b). Salah satu faktor utama yang dapat menurunkan tingkat kematian ODHA adalah kepatuhan terhadap ARV. Untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal, setidaknya 95% dari semua dosis ARV harus diminum (Kementerian Kesehatan RI, 2011b). Akan tetapi penggunaan ARV yang terus-menerus seringkali menyebabkan ketidakpatuhan, baik karena efek samping medis, masalah psikologis seperti rasa, putus asa atau merasa akan mati. Sedangkan alasan ODHA sering melewatkan dosis ARV secara tidak sengaja adalah lupa (Blackstone et al., 2012, Chandwani et al., 2012, Enriquez and McKinsey, 2011, Felix and Ceolim, 2012). Pemahaman ODHA terhadap fungsi ARV sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan terhadap ARV. Oleh karena itu perlu diketahui bagaimana ODHA memaknai ARV sehingga mereka patuh/tidak patuh terhadap penggunaan ARV. Pada makalah ini akan dibahas bagaimana sekelompok ODHA di kota Bandung, Cimahi, Denpasar dan Kabupaten Badung memaknai ARV sehingga mereka patuh atau tidak patuh menggunakan ARV. METODE Makalah ini merupakan bagian dari penelitian ”Peningkatan Tingkat Kepatuhan Minum Obat ARV pada ODHA berbasis pada Kondisi Sosial Budaya Masyarakat” dengan sumber dana insentif Kementerian Riset dan Teknologi. Persetujuan etik diperoleh dari Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan Badan Litbangkes pada tanggal 22 Agustus 2011. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif/deskriptif yang dilakukan
Pemaknaan Obat Antiretroviral (Rini Sasanti Handayani, Yuyun Yuniar, dan Ully Adhie Mulyani)
pada bulan Maret–November 2011 di 4 kabupaten/ kota yaitu Kota Bandung dan Kota Cimahi (Jawa Barat) serta Kota Denpasar dan Kabupaten Badung (Bali). Populasi penelitian adalah ODHA di Kota Bandung, Kota Cimahi, Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Responden ODHA yang diwawancarai sebanyak 17 orang terdiri dari 5 ODHA di Kota Bandung, 5 ODHA di Kota Cimahi dan 5 ODHA di Kota Denpasar serta 2 ODHA di Kabupaten Badung. Jumlah sampel pada penelitian ini tidak ditentukan secara pasti mengingat jenis penelitian adalah penelitian kualitatif. Kriteria cukup tidaknya sampel tergantung pada kedalaman informasi yang diperoleh. Diharapkan dengan jumlah sampel minimal 3 kasus per kota maka informasi yang diperoleh sudah cukup. Responden adalah ODHA yang masih menggunakan ARV baik pernah putus maupun tidak pernah putus berobat, lama pengobatan dengan ARV minimal 3 bulan, berusia 17 tahun ke atas dan yang sedang menjalani pengobatan rawat jalan serta bersedia diwawancarai. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap ODHA yang berobat melalui RSUD dan yang dijaring dari LSM. Mengingat sensitivitas status ODHA maka pendekatan terhadap ODHA oleh tenaga LSM yang telah memiliki kedekatan emosional. Jika responden menyetujui maka wawancara dilakukan oleh peneliti pada waktu dan lokasi yang disetujui responden. Analisis data dengan metode content analysis meliputi tahap pembuatan transkrip wawancara, koding data (tema hasil data), verifikasi, penarikan pola dan penyimpulan. Analisis data dilakukan dengan manual. HASIL Berikut ini (Tabel 1) adalah matriks hasil wawancara dengan ODHA mengenai pernyataan atau pemaknaan mereka terhadap ARV. Berdasarkan hasil wawancara mendalam tersebut, pemaknaan terhadap ARV dapat dikelompokkan sebagai berikut (Tabel 2). PEMBAHASAN Sekelompok ODHA di Kota Bandung, Cimahi, Denpasar dan Kabupaten Badung memaknai ARV
menjadi 5, 4 makna positif dan 1 makna negatif. Pemaknaan positif ARV terkait dengan fungsi medis, fungsi spiritual, perubahan pola hidup, harapan hidup. Sedangkan pemaknaan negatif terkait dengan perubahan pola hidup dan stigma/diskriminasi. Seperti telah diketahui, ARV bekerja melawan infeksi dengan cara menghambat reproduksi HIV dalam tubuh melalui pengurangan varemia dan meningkatkan jumlah sel-sel CD4+ (KPAN, 2010). Pengobatan ARV yang efektif seperti HAART (highly active antiretroviral therapy) telah tersedia secara meluas di dunia barat sejak akhir tahun 1990an dan memberikan harapan bagi ODHA di Afrika. UNAIDS memperkirakan bahwa paling banyak hanya 1 dari 10 ODHA di Afrika yang mendapat ARV pada pertengahan 2005. Terlepas dari efek samping yang ditimbulkan seperti ruam kulit, hepatitis yang mengancam nyawa, mual, sakit kepala, hipertensi dan lainnya, akan tetapi ARV mengurangi jumlah virus sehingga memungkinkan ODHA kembali ke dalam pola kehidupan yang hampir normal. Di negara maju, ARV telah mengubah HIV menjadi penyakit kronis yang bisa dikendalikan seperti diabetes, sedangkan di negara berkembang kehadiran ARV membawa optimisme yang luar biasa. Akan tetapi harapan tersebut dibatasi oleh kenyataan bahwa ARV hanya memperpanjang harapan hidup, bukan obat yang menyembuhkan. Selain itu harga ARV juga mencuat sebagai masalah terutama di negara berkembang yang biaya kesehatan per kapita hanya sekitar 6–10 USD. ARV mempunyai keterbatasan jika diharapkan sebagai solusi meluas dan jangka panjang karena masalah distribusi, dukungan dan meningkatnya jumlah orang yang akan membutuhkan ARV setiap tahun (Simpson, 2006). Sebuah penelitian yang dipublikasikan pada majalah Lancet (12 Juni 2010), menunjukkan bahwa ODHA yang minum ARV akan mengurangi penularan kepada pasangan heteroseksualnya sebanyak 92%. Penelitian yang dilakukan di sebuah rumah sakit di Jakarta Pusat menyatakan pada 77, 2% ODHA yang minum ARV menunjukkan peningkatan CD4 hingga di atas 200, pada 88, 7% ODHA kadar virus HIV dalam darahnya tidak terdeteksi lagi. ODHA yang memiliki kualitas hidup dan kondisi psikologis baik masing-masing lebih dari 70%. Oleh karena itu kepatuhan yang tinggi terhadap konsumsi ARV menjadi hal yang sangat penting dalam 229
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 3 Juli 2013: 227–235
Tabel 1. Matriks Hasil Wawancara dengan ODHA Responden Dw, perempuan, 34 tahun Ag, laki-laki, 29 tahun Mi, perempuan, 35 tahun Yn, perempuan, 20 tahun Ek, laki-laki, 38 tahun Ta, laki-laki, 36 tahun Ti, perempuan, 47 tahun No, laki-laki, 41 tahun Cp, laki-laki, 24 tahun Ag, laki-laki, 36 tahun Vn, perempuan, 24 tahun
Fa, perempuan, 24 tahun Wy, perempuan, 31 tahun El, perempuan, 20 tahun Hn, laki-laki, 41 tahun Wi, laki-laki, 32 tahun As, perempuan, 42 tahun
Pernyataan tentang makna ARV “Menurut dokter mah menyembuhkan nggak, menekan virus aja, menekan jumlah virus dalam darah kita [dan] meningkatkan daya tahan tubuh.” “[ARV] menyehatkan, bukan menyembuhkan.” “ARV bukan penyembuh. Konsumsi, tidak sembunyi-sembunyi minum obat dan membawa obat secukupnya.” “Menahan virus tidak kemana-mana.” “[Saya] tidak sembunyi-sembunyi kalau minum obat, kalau ditanya teman bilang sakit kepala.” “ARV adalah obat yang dapat menekan agar virus tidak berkembang biak dan pelindung untuk tetap menjaga kekebalan.” “Meskipun tidak menyembuhkan ARV sangat bagus dan bermanfaat untuk menekan perkembangan virus.” “ARV adalah obat yang bagus dan menjadi andalan karena dapat menekan perkembangan virus. Harapan akan ada obat yang lebih bagus diminum tidak harus setiap hari.” “ARV sangat penting untuk menghindari keganasan. Tidak ada rasa beban, yang penting dijalani.” “Seperti pake batere, lama-lama jadi kebiasaan, anggap aja vitamin, jadi ga ada beban.” “Kesel juga sih, kaya punya beban. Kalau pagi-pagi belum minum obat kaya dikejar-kejar.” “[Dengan ARV] terasa lebih PD, yang tadinya mikir mau mati sekarang jadi 10 tahun lagi, kalau bisa lebih panjang.” “Seperti air mengalir, seperti makan vitamin, kalau kena jam minum obat ditanya teman jawab aja vitamin.” ”Dulu beban, sekarang bawa enjoy, kalau dipikirin terus ga ada habisnya.” ”ARV untuk menekan si virus biar tidak berkembang biak dan menjalar ke mana-mana.” “Lebih tenang lah, dulu kan penyakit ini tidak ada obatnya. Dari diri sendiri harus tenang, dibawa relaks aja.” “Obat ARV sangat menolong dan dianggap sebagai vitamin penyambung hidup.” “Minum obat didepan orang tidak masalah, tetapi status HIV belum pernah dibuka kepada mereka.” “Tidak bisa menyembuhkan, memperpanjang umur. [Saya] malu, takut ketahuan punya penyakit HIV AIDS.” ”Beban karena harus selalu diminum.” “Mukjizat karena menolong dan memperpanjang hidup.” ”Seperti penolong untuk bertahan hidup, ada semangat hidup dengan adanya ARV. Ternyata masih ada obat, masih ada obat sementara.”(Wiwi) “ARV adalah andalan, tetapi Tuhanlah obat yang paling manjur.” “ARV hanya dapat menahan agar virus tidak berkembang, bukan penyembuh.”
penanggulangan HIV–AIDS. (Djoerban, 2012, Kambu and Rachmadi, 2012) Seorang ODHA di Zambia yang memiliki dua anak laki-laki positif HIV menyampaikan testimoni tertulis: “Mengabaikan pengobatan berarti memilih untuk mati, meskipun kita tahu bahwa semua orang akan mati. Tetapi ketika ada pilihan untuk hidup lebih lama, maka kita harus menggunakan akal sehat 230
dan memilih hidup. Ini seperti seseorang yang melepas alat pembantu pernapasan dan memulai napas dengan terengah-engah untuk bertahan hidup. Itu sama saja bunuh diri, dan saya pikir kita dapat berbuat lebih baik untuk menghargai hidup kita dan usaha orang lain untuk membuat kita hidup lebih lama daripada berbuat lainnya. Sejauh ini dunia medis belum menemukan penyembuh untuk HIV. Terapi terbaik yang ada dan sudah
Pemaknaan Obat Antiretroviral (Rini Sasanti Handayani, Yuyun Yuniar, dan Ully Adhie Mulyani)
Tabel 2. Hasil Wawancara mendalam tentang Pemaknaan terhadap ARV Pemaknaan Positif Makna ARV yang terkait dengan fungsi • medis ARV • • • • Makna ARV yang terkait dengan fungsi • spiritual/psikologis ARV • • Makna ARV yang terkait dengan • perubahan pola hidup • • Makna ARV yang terkait dengan • harapan hidup • • • • • Negatif Makna ARV yang terkait dengan • perubahan pola hidup Makna ARV yang terkait dengan • stigma/diskriminasi •
Penjelasan Tidak menyembuhkan, hanya menekan jumlah virus Meningkatkan daya tahan tubuh Menyehatkan bukan menyembuhkan Menghindari keganasan Pelindung, kekebalan Mukjizat Obat andalan, obat bagus–tapi Tuhan obat paling manjur Obat sebagai pemberi kekuatan Dinikmati (dibawa enjoy) Kebiasaan Dulu beban sekarang pasrah dijalani, seperti air mengalir Memperpanjang umur Penolong untuk bertahan hidup Semangat hidup Vitamin penyambung hidup Obat sementara Kesempatan hidup kedua Beban (harus selalu diminum setiap hari) dan seperti dikejar-kejar kalau belum minum obat Malu minum obat Takut diketahui status HIV sehingga minum obat harus sembunyisembunyi
terbukti adalah ARV. Meskipun tidak membunuh virus tetapi bisa menekan multiplikasinya agar tidak merusak sistem imun tubuh. Itulah yang mempertahankan hidup banyak orang di dunia” (Phiri, 2012). Seorang peer educator yang juga ODHA di Zambia menyatakan bahwa ARV seperti mukjizat untuknya. “Kamu tidak akan dapat membayangkan betapa bahagianya aku. Aku hanya berterima kasih pada Tuhan karena di sana ada banyak perempuan yang tidak seberuntung aku.” (Geloo, 2012) ARV merupakan keajaiban yang dicari oleh para ODHA di Afrika, meskipun mulai mengonsumsi ARV juga berarti peringatan bahwa ARV harus diminum seumur hidup. Tetapi tidak ada yang menjamin ketersediaan ARV karena sejauh ini ARV didanai dari pemerintah Amerika melalui program PEPFAR atau Rakai. Seorang ODHA mengungkapkan bahwa jika program berhenti, maka mereka akan bersiap menuju lubang kuburan mereka sendiri (Simpson, 2006).
Keberadaan ARV di Afrika merupakan harapan bagi ODHA. Seorang dokter pada mobile clinic ARV bernama Gertrude Nakigozi mengungkapkan bahwa sebelum ada ARV kondisi pasien tidak mengalami perbaikan. Sekarang beberapa ODHA yang mendapat terapi ARV datang tanpa keluhan dan hanya meminta ARV. “Dari dalam diri kita sendiri, rasanya sangat puas karena dapat memberikan perubahan dalam kehidupan mereka. Membangkitkan pasien dari tempat tidurnya dan mereka benar-benar dapat berdiri dan bekerja.” Dokter lainnya bernama Ronald Galiwango mengungkapkan: “Mereka menderita banyak penyakit menular dan kualitas hidup mereka sama sekali tidak baik. Mereka datang dalam keadaan berputus asa. Mereka tak menyangka bahwa mereka akan bertahan melewatinya. Tetapi mungkin sekitar 2 bulan kemudian mereka berubah total. Mereka dapat bekerja dan mengurus kebunnya. Bahagia rasanya melihat mereka benar-benar berubah dari 231
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 3 Juli 2013: 227–235
orang yang asalnya tak punya visi atau mimpi” (Simpson, 2006). Meskipun ARV tidak menyembuhkan HIV–AIDS tetapi memiliki makna yang besar khususnya bagi para ODHA. Bagi ODHA, ARV bukan sekedar pengobatan biasa tetapi bermakna semangat dan harapan untuk hidup lebih lama meski dengan HIV di tubuhnya. Bagi sebagian ODHA adanya ARV merupakan penolong keberlangsungan hidup, meskipun pada umumnya mereka mengetahui bahwa ARV hanya obat yang bersifat sementara dan tidak menyembuhkan penyakit mereka. Pemaknaan ARV sebagai vitamin membuat mereka merasa sehat seperti fungsi vitamin yaitu untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Sikap penderita HIV–AIDS memaknai ARV tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk pengembangan metode untuk peningkatan kepatuhan penggunaan ARV. Istilah dan deskripsi lokal tentang terapi ARV di Tanzania, berkaitan dengan pengertian tubuh, sehat, sakit dan efikasi obat. Pemahaman lokal mengenai ARV menggambarkan diskursus mengenai fungsi terapeutik obat dan dimensi klinis HIV–AIDS. Fungsi terapeutik ARV saling tumpang tindih dan kadang-kadang berlawanan dengan pemahaman masyarakat mengenai fungsi klinis obat dalam tubuh. Implikasi ARV terhadap tampilan tubuh dan tandatanda HIV dapat memengaruhi konsep peran sakit, mempertahankan stigma dan memengaruhi strategi lokal dalam pencegahan HIV (Ezekiel et al., 2009). Menurut Schumaker dan Bond, pemahaman asosiasi yang muncul dari bahan farmasi dapat meningkatkan program pengobatan melalui penelaahan hal yang menjadi kepedulian pasien dan masyarakat serta menyentuh tenaga kesehatan hingga pemahaman dari situasi historis dan politis yang mengkondisikan arti ARV (Schumaker & Bond, 2008). Hasil penelitian Kremer menyatakan bahwa di antara ODHA yang menolak pengobatan medis, penyebab utamanya adalah otoritas keputusan pribadi, pertimbangan kualitas hidup, dan kepercayaan mengenai penyakit dan pengobatannya. Selain itu kepuasan pasien terhadap dokter berkaitan dengan perilaku dokter (persuasif atau memaksa) dan persepsi pasien terhadap perilaku dokter apakah menerima atau memaksa (Kremer et al., 2004). Pemahaman fungsi ARV secara medis oleh ODHA dapat meningkatkan kepatuhan penggunaan ARV, oleh karena itu peran tenaga kesehatan dalam 232
memberikan informasi obat ARV yang jelas sehingga dapat dipahami pasien sangat menentukan kepatuhan terapi ARV sehingga terapi ARV dapat berhasil. Selain pemahaman fungsi ARV terkait fungsi medis, memaknai ARV yang terkait dengan fungsi spiritual/ psikologis, perubahan pola hidup, harapan hidup yang bersifat positif dapat sangat berperan dalam meningkatkan kepatuhan penggunaan ARV. Hasil penelitian Conrad pada pasien epilepsi yang memberikan alternatif pemahaman mengenai ”compliance” yang biasanya ditinjau dari perspektif dokter menjadi perspektif pasien. Penelitian yang dilakukan pada pasien epilepsi menunjukkan bahwa ”kepatuhan” lebih merupakan pengaturan diri. Pasien yang menggunakan obat epilepsi memaknai obat antara lain sebagai sebuah tiket menuju kondisi normal meskipun pasien tidak suka menggunakan obat. Sedangkan ketidakpatuhan dalam menggunakan obat disebabkan alasan seperti ingin menguji apa yang terjadi seandainya pasien melewatkan obat, keinginan untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap obat dan destigmatisasi (Conrad, 1985). Kepatuhan terapi ARV telah memberikan perbaikan bagi kualitas hidup ODHA baik secara fisik, psikologis maupun sosial. Secara fisik ODHA merasa lebih segar, tidak lemas. Secara psikologis merasa sehat seperti belum terkena HIV dan lebih percaya diri untuk bisa hidup lebih lama. Secara sosial mereka bisa beraktivitas dengan normal seperti sediakala. Dengan menggunakan ARV, ODHA merasa lebih sehat, tetapi perasaan sehat ini juga bisa menjadi penyebab ketidakpatuhan. Pemaknaan negatif yaitu terkait stigma/diskriminasi dapat menyebabkan ketidakpatuhan selain efek samping, lupa, rasa bosan karena harus menggunakan secara terus menerus. Rasa takut diketahui status oleh pacar atau masyarakat sekitar juga menjadi penghambat kepatuhan minum obat. Ketika ada orang yang bertanya tentang obat yang selalu digunakan pada jam-jam tertentu, ODHA merasa khawatir akan diketahui statusnya, sehingga seringkali harus minum obat secara sembunyi-sembunyi atau melewatkan jadwal pengambilan obat. Rasa takut ini sebenarnya berasal dari kekhawatiran akan munculnya stigma dan diskriminasi jika status HIV nya terbuka, mereka takut akan diusir atau dikucilkan oleh masyarakat. Pemahaman terhadap HIV– AIDS kepada masyarakat untuk menghilangkan stigma/diskriminasi perlu lebih ditingkatkan karena ODHA masih merasa
Pemaknaan Obat Antiretroviral (Rini Sasanti Handayani, Yuyun Yuniar, dan Ully Adhie Mulyani)
khawatir, malu, takut statusnya sebagai penderita HIV–AIDS diketahui masyarakat sehingga harus sembunyi-sembunyi menjalani pengobatan dengan menggunakan ARV. Hal ini tentunya akan meningkatkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan. Penggunaan ARV berbeda dengan minum obat sakit kepala yang bisa dihentikan setelah sakit kepala hilang, tetapi ARV harus digunakan seumur hidup ODHA tersebut. Ini menjadi beban materiil, moril, fisik dan mental bagi ODHA. Hal ini makin memberatkan bila ODHA mengalami efek samping obat ARV seperti diare, mual dan muntah, masalah kulit (ruam, gatal), anemia, neuropati perifer (kesemutan, pegal, mati rasa, sulit jalan kaki), emosi yang labil, insomnia, serta halusinasi (Kabarpositif, 2006). Hal ini dapat menjadi salah faktor ketidakpatuhan. Ketidakpatuhan penggunaan ARV mengakibatkan supresi/penekanan virus tidak sempurna, pengrusakan sistem imun berlanjut –hitung sel CD4 turun, penyakit berlanjut, munculnya strain (jenis) virus yang resisten, pilihan pengobatan masa mendatang terbatas, biaya meningkat bagi individu maupun program ARV (Varella, http://positiverainbow.wordpress.com/2009/07/26/ kepatuhan–adherence–pada–pasien–hiv–positif– atau–odha/, 2012). Secara umum banyak penelitian yang mengungkap penyebab ketidakpatuhan minum obat antara lain lupa dan masalah mental, konteks sosial yang seringkali bertentangan dengan kebutuhan rejimen terapi, aktivitas rutin harian, istirahat dari rutinitas, efek samping obat dan keparahannya, mood psikologis negatif, kendala ekonomi, kendala praktis seperti jarak yang jauh dari apotek atau sumber media. Pada umumnya meliputi permasalahan kejelasan rejimen terapi, pasien tak dapat patuh kecuali mereka tahu dengan jelas rejimen terapi yang harus diikuti. Kemudian dilakukan analisis dan strategi pemecahan masalah perilaku berisiko tak patuh seperti dengan memodifikasi jadwal minum obat, menyederhanakan rejimen terapi, mengenalkan alat untuk mengingat jam minum obat dan merujuk pengobatan (Chesney et al., 2000). Selain itu, keluarga menjadi faktor pendukung penting bagi ODHA yang sudah membuka statusnya kepada keluarga mereka. Biasanya orang tua, suami/istri, anak menjadi orang-orang terdekat yang mengingatkan untuk minum obat. Keluarga dalam hal ini bisa berfungsi menjadi Pengawas Minum Obat (PMO) bagi ODHA. Selain itu keberadaan anak juga
menjadi pendukung karena adanya rasa tanggung jawab dan kasih sayang, masih ingin melihat anaknya tumbuh dewasa. Jika tidak memiliki pemahaman yang benar tentang ARV, maka mungkin ODHA tidak dapat menahan godaan untuk berhenti minum obat. Pemaknaan ODHA terhadap penyakitnya dan terhadap ARV juga memengaruhi bagaimana ia bersikap dan menilai dirinya, yang juga tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial budaya tempatnya berada (Yuniar et al., 2011). Kondisi sosial budaya masyarakat seperti lingkungan, kelompok pertemanan, kebiasaan sehari-hari, stigma, diskriminasi dan pandangan masyarakat terhadap ODHA akan sangat memengaruhi bagaimana ODHA menyikapi penyakit yang ia hadapi sekaligus juga bagaimana ia melakukan terapi dengan ARV. Secara praktis, sikap dan perilaku seseorang dalam berobat disesuaikan dengan persepsinya terhadap kondisi lingkungan sosial yang dihadapi (Conrad & Leiter, 2003). Terlepas dari sisi manfaatnya, ARV juga dinilai bisa menimbulkan efek negatif. Sebuah penelitian di Uganda menyatakan bahwa ada kekhawatiran di masyarakat akan timbulnya peningkatan perilaku seksual berisiko seperti promiskuitas, berkurangnya kepercayaan antar pasangan, berganti-ganti pasangan, prostitusi, praktek seksual tanpa perlindungan, pemerkosaan dan berkurangnya perilaku pantang berhubungan seksual. Selain itu dikawatirkan akan terjadi peningkatan penularan HIV karena semua orang terlihat sehat sehingga masyarakat sulit membedakan antara orang yang positif atau negatif HIV. Hasil penelitian di Tanzania menunjukkan bahwa manfaat ARV secara signifikan terlihat pada keberhasilan menangani infeksi oportunistik dan memperpanjang harapan hidup ODHA, tetapi juga merupakan ancaman terhadap keberadaan dan kesehatan orang yang tidak terinfeksi di masyarakat. Hal ini terkait dengan fungsi ARV yang dianggap membuat ODHA menyebarkan HIV secara sengaja melalui perilaku seksual berisiko (Atuyambe et al., 2008, Ezekiel et al., 2009). Mengingat hal-hal tersebut di atas, terapi ARV memerlukan komitmen yang kuat, oleh karena itu untuk memulai terapi ARV, manajer kasus akan melihat kesiapan ODHA. Sebagian ODHA memerlukan waktu lama meskipun hanya untuk melakukan VCT dan terlebih lagi untuk menjalani terapi ARV. Mengingat terapi ARV merupakan terapi seumur hidup, dikatakan oleh seorang-seorang staf LSM sebagai a lifetime 233
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 3 Juli 2013: 227–235
contract, maka faktor kesiapan sangat penting untuk menghindari terjadinya ketidakpatuhan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pemaknaan positif ARV selain secara medis seperti terkait fungsi spiritual/psikologis, perubahan pola hidup dan harapan hidup dapat dimanfaatkan untuk memotivasi ODHA agar patuh minum ARV. Saran Pet u g a s ke s e h a t a n s e l a i n m e m b e r i k a n pemahaman yang terkait dengan fungsi medis dan penanggulangan efek samping, perlu dimasukkan juga unsur pemaknaan terkait fungsi spiritual/psikologis, perubahan pola hidup dan harapan hidup dalam pemberian konseling terhadap ODHA pengguna ARV untuk meningkatkan kepatuhan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada pihak Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) sebagai penyandang dana hibah serta kepada seluruh pihak yang telah ikut membantu terlaksananya penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Antara news, 2012. Jumlah kasus HIV/AIDS DKI Jakarta paling tinggi. Tersedia pada: http://www.antaranews. com/berita/318025/jumlah-kasus-hivaids-dki-jakartapaling-tinggi [Diakses 28 Juni 2012]. Atuyambe L, Neema S, Otolok-Tanga E, WamuyuMaina G, Kasasa S & Wabmire_Mangen F, 2008. The effects of enhanced access to antiretroviral therapy: a qualitative study of community perceptions in Kampala city, Uganda. African health sciences, vol. 8. Blackstone K, Woods SP, Weber E, Grant I & Moore DJ, 2012. Memory-Based Strategies for Antiretroviral Medication Management: An Evaluation of Clinical Predictors, Adherence Behavior Awareness, and Effectiveness. AIDS Behav. Chandwani S, Koenig LJ, Sill AM, Abramowitz S, Conner LC & D’Angelo L, 2012. Predictors of antiretroviral medication adherence among a diverse cohort of adolescents with HIV. J Adolesc Health, vol. 51, p. 242–51.
234
Chesney MA, Morin M & Sherr L, 2000. Adherence to HIV combination therapy. Social Science & Medicine, vol. 50, p. 1599–605. Conrad P, 1985. The meaning of medications: Another look at compliance. Social Science & Medicine, vol. 20, p. 29–37. Conrad P, Leiter V, 2003. Health and Health Care as Social Problems. Rowman and Littleeld Publisher, Oxford. Djoerban Z. Update HIV/AIDS February 8, 2012. Available at: http://pokdisusaids.wordpress.com/2012/02/08/ update-hivaids/[Accessed 13 November 2012]. Enriquez M & McKinsey DS, 2011. Strategies to improve HIV treatment adherence in developed countries: clinical management at the individual level. HIV/AIDS (Auckland, NZ), 3, 45. Ezekiel MJ, Talle A, Juma JM & Klepp KI, 2009. “When in the body, it makes you look fat and HIV negative”: The constitution of antiretroviral therapy in local discourse among youth in Kahe, Tanzania. Social Science Medicine, vol. 68, p. 957–64. Felix G & Ceolim MF, 2012. The prole of women with HIV/ AIDS and their adherence to the antiretroviral therapy. Rev Esc Enferm USP, vol. 46, p. 884–91. Geloo Z, (2012). ARV treatment can work miracles. Available at: http://panos.org.uk/features/arv-treatment-canwork-miracles/ [Accessed 15 October 2012]. Kabarpositif, 2006. Sobat sebagai Pendorong Kepatuhan Terapi ARV bagi ODHA. Tersedia pada: http:// kabarpositif.blogspot.com/2006/08/sobat-sebagaipendorong-kepatuhan.html. Kambu Y & Rachmadi K, 2012. Pokdi Award: Kebersamaan Odha dan Petugas Kesehatan. Tersedia pada: http:// pokdisusaids.wordpress.com/2012/05/24/pokdi– award/ [Diakses 13 November 2012]. KPAN, 2010. Perawatan. Tersedia pada: http://www. aidsindonesia.or.id/dasar-hiv–aids/perawatan. Kementerian Kesehatan RI, 2011a. Laporan Perkembangan HIV/AIDS Triwulan 1 (Januari-Maret 2011). Tersedia pada: http://www.infopenyakit.org/def_menu.asp? menuID=14&menuType=1&SubID=3&DetId=969 [Diakses 15 mei 2012]. Kementerian Kesehatan RI, 2011b. Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral (ART), Dirjen P2PL, Jakarta. Kremer H, Bader A, O Cleirigh C, Bierhoff H & Brockmeyer N, 2004. The Decision to Forgo Antiretroviral Therapy in People Living with HIV–Compliance as Paternalism or Partnership? European journal of medical research, vol. 9, p. 61–70.
Pemaknaan Obat Antiretroviral (Rini Sasanti Handayani, Yuyun Yuniar, dan Ully Adhie Mulyani) Phiri M. 2012. Reecting on AIDS Stopping ARVs: The story of a family on ARVs. Available at: http://www.postzambia. com/post–read_article.php?articleId=28854 [Accessed 6 November 2012]. Riyarto S, Hidayat B, Johns B, Probandari A, Mahendradhata Y, Utarini A, Trisnantoro L & Flessenkaemper S. 2010. The nancial burden of HIV care, including antiretroviral therapy, on patients in three sites in Indonesia. Health Policy Plan, vol. 25, p. 272–82. Schumaker LL & Bond VA. 2008. Antiretroviral therapy in Zambia: Colours, ‘spoiling’, ‘talk’ and the meaning of antiretrovirals. Social Science & Medicine, vol. 67, p. 2126–34.
Simpson BW. 2006. The Temporary Miracle. Antiretroviral drugs can save lives, but can they solve Africa’s AIDS epidemic? [Online]. Available at: http://magazine. jhsph.edu/2006/spring/africa/temporary_miracle/ [Accessed 15 October 2012]. Varella H. Available: http://positiverainbow.wordpress. com/2009/07/26/kepatuhan-adherence-pada-pasienhiv-positif-atau-odha/.[Accessed 15 October 2012]. Yuniar Y, Handayani RS, Aryastami NK & Mulyani UA. 2011. Peningkatan Tingkat Kepatuhan ODHA dalam Minum Obat ARV Berbasis pada Kondisi Sosial Budaya Masyarakat. Badan Litbangkes. Jakarta.
235
Artikel Penelitian
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan oleh Perempuan Terinfeksi HIV/AIDS Health Service Utilization in Women Living with HIV/AIDS
Rialike Burhan Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Bengkulu
Abstrak Perempuan terinfeksi human immunodeficiency virus dan acquired immune deficiency syndrome (HIV/AIDS) mempunyai permasalahan yang kompleks sehubungan dengan penyakit dan statusnya, sehingga mereka mempunyai kebutuhan yang khusus. Kebutuhan perawatan, dukungan dan pengobatan tersebut dapat diperoleh dengan mengakses pelayanan kesehatan yang tersedia untuk dapat mengoptimalkan kesehatan mereka sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis hubungan faktor predisposisi yang meliputi pengetahuan, sikap, stigma, faktor pemungkin yang meliputi jarak ke pelayanan kesehatan dan faktor penguat berupa dukungan sosial dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan pada perempuan terinfeksi HIV/AIDS. Rancangan penelitian menggunakan pendekatan potong lintang. Penelitian dilaksanakan di Kelompok Dukungan Sebaya Female Plus Kota Bandung pada bulan Juni sampai Juli 2012. Sampel penelitian berjumlah 40 orang perempuan terinfeksi HIV/AIDS. Data di analisis secara univariat, bivariat, dan multivariat. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan secara statistik yaitu usia, pendidikan, status perkawinan, status pekerjaan, faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, stigma), faktor penguat (dukungan sosial), dan faktor pemungkin yaitu jarak ke pelayanan kesehatan tidak berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Pengetahuan merupakan faktor penentu dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan berpeluang 60,1 kali untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan. Kata kunci: HIV/AIDS, pemanfaatan pelayanan kesehatan, perempuan Abstract Women living with HIV/AIDS have a complex problems who connection with the disease and her status, because they have special needs, for care, support and treatment can be obtained by accessing the health services available to optimize their health so as to improve the quality of life. The purpose of this study was to analyze the correlation between three factors, predisposing factors (knowledge, attitudes, stigma), enabling factors (distance
to health services), and reinforcing factors (social support) with health service utilization.This type of research was analytic with cross-sectional research approach. The research was implemented in Female Plus Peer Support Group Bandung from June until July 2012. The sample in this study were 40 women living with HIV/AIDS. Data analysis using univariate, bivariate, and multivariate. The results obtained that there were significant relationship is age, education, marital status, work, predisposing factors (knowledge, attitude, stigma), reinforcing factor (social support), and enabling factors (distance to health services were not correlated with health service utilization). Knowledge was the determinant factor to health service utilization in 60,1 times the chance to utilize health services. Keywords: HIV/AIDS, health service utilization, women
Pendahuluan Penderita human immunodeficiency virus (HIV) dan acquired immune deficiency syndrome (AIDS) terus bertambah dan menyebar luas di seluruh dunia. Pada tahun 2010, ada sekitar 40,3 juta orang dengan HIV/AIDS (ODHA), sedangkan yang terinfeksi HIV baru, berjumlah 2,7 juta jiwa.1 Penanggulangan HIV/ AIDS tersebut menjadi salah satu target Millenium Development Goals (MDGs) keenam yaitu mengendalikan penyebaran HIV/AIDS yang memerlukan perhatian serius dari semua pihak untuk dapat mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan pada tahun 2015. Indonesia termasuk negara di Asia yang mengalami epidemi HIV dan AIDS dengan prevalensi yang meningkat tajam, ketika sudah masuk ke epidemi terkonsentrasi Alamat Korespondensi: Rialike Burhan, Jurusan Kebidanan Poltekkes Kementerian Kesehatan Bengkulu, Jl. Indragiri No. 03 Padang Harapan Bengkulu, Hp. 081317446211, e-mail:
[email protected]
33
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 1, Agustus 2013
dengan lebih dari 5% populasi tertentu di beberapa kota dan wilayah. Bahkan di beberapa kota dan wilayah tertentu, epidemi ini diperkirakan masuk pada populasi umum yang belum menunjukkan penurunan meskipun upaya penanggulangan HIV dan AIDS telah dilaksanakan oleh masyarakat, LSM, dan pemerintah.2 Jumlah kumulatif kasus HIV tahun 1987 – 2011 adalah 76.879 kasus dan jumlah kasus AIDS adalah 29.879 kasus. Jumlah kasus HIV tertinggi dilaporkan di DKI Jakarta, Jawa Timur, Papua, Jawa Barat, dan Sumatera Utara, dengan proporsi kasus pada laki-laki sekitar 70,8% dan perempuan sekitar 28,2%. Jawa Barat merupakan propinsi dengan jumlah ODHA terbanyak keempat di Indonesia. Pada tahun 2009, jumlah ODHA mencapai 3.233 orang dan meninggal 588 orang (18,19%). Di tahun 2010, jumlah ODHA mencapai 3.710 dan sampai dengan September 2011 terdapat 6.297 kasus. Peningkatan ini disebabkan oleh tingginya penggunaan narkotika suntik. Dari 3.710 kasus, 2.695 kasus (72,6%) diantaranya merupakan akibat dari penggunaan jarum suntik bersama. Pada tahun 1991 – 2011, Kota Bandung mempunyai estimasi ODHA sejumlah 3.871 orang. Hingga saat ini kasus yang telah ditemukan sebanyak 2.656 kasus, dengan 1.265 kasus HIV dan 1.391 kasus AIDS.3 Bersamaan dengan berjalannya waktu dan interaksi sosial di dalam masyarakat, HIV/AIDS semakin banyak ditemukan di masyarakat umum terutama pada ibu rumah tangga dan bayi. Kenaikan kasus HIV pada ibu rumah tangga di Indonesia, dari tahun 2006 sebesar 628 kasus, pada tahun 2010, meningkat menjadi 2.045 kasus. Di Kota Bandung, tercatat 265 kasus pada ibu rumah tangga saat ini. Kasus pada perempuan seks komersil sebanyak 122 kasus dan 88 kasus pada anakanak.2 Kegiatan perawatan, dukungan, dan pengobatan (PDP) bagi ODHA dapat diperoleh di rumah sakit, puskesmas dan tempat yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Kota Bandung mempunyai 17 fasilitas pelayanan kesehatan yang menyediakan layanan tes HIV, 8 fasilitas pelayanan kesehatan yang menyediakan PDP dan 5 satelit aktif.3 Pelaksanaan PDP dapat dengan mudah diakses apabila telah melalui Voluntary counselling test (VCT), karena VCT merupakan pintu masuk yang penting untuk pencegahan sekaligus jembatan untuk mengakses layanan manajemen kasus bagi ODHA dengan tujuan agar tidak menularkan kepada orang lain dan untuk dapat meningkatkan kualitas hidupnya.4 Sejak tahun 1993, pemerintah menyediakan klinik VCT tetapi pemanfaatannya masih sangat rendah. Akhir Desember 2006, hanya 8.197 kasus atau sekitar 4% dari perkiraan 193.030 ODHA yang memanfaatkan klinik VCT. 5 Sampai dengan Juni 2011, pemanfaatan untuk obat anti retro viral (ARV) hanya 55,7% dari 55.516 yang seharusnya menggunakan ARV.3 34
Pemanfaatan pelayanan pada penderita HIV/AIDS merupakan salah satu bentuk perilaku mencari pelayanan kesehatan. Pemanfaatan pelayanan kesehatan yang kurang tersebut kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor yang meliputi faktor predisposisi yang dapat terwujud dalam pengetahuan, sikap, stigma, kepercayaan, nilai; faktor pemungkin yang terwujud dalam ketersediaan sarana, prasarana, aksesibilitas dan kemudahan pencapaian pelayanan kesehatan baik dari segi jarak, biaya, ketersediaan sarana transportasi, dan keberadaan peraturan-peraturan dan komitmen masyarakat dalam menunjang perilaku tersebut; serta faktor penguat seperti sikap dan perilaku keluarga, petugas kesehatan, tokoh masyarakat.6 Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor predisposisi faktor pemungkin, faktor penguat yang berhubungan dan faktor yang menjadi penentu pemanfaatan pelayanan kesehatan pada perempuan terinfeksi HIV/ AIDS. Metode Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian potong lintang, dengan sampel perempuan terinfeksi HIV/ AIDS di Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Female Plus Kota Bandung sebanyak 40 orang. Pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling melalui undian, dengan kriteria inklusi yaitu ODHA perempuan berumur ≥ 18 tahun, pernah memanfaatkan layanan kesehatan di Kota Bandung dalam satu tahun terakhir, mengerti bahasa Indonesia, sedangkan kriteria eksklusi yaitu subjek penelitian dalam keadaan berat dan secara fisik tidak mampu mengisi kuesioner. Instrumen pengumpulan data menggunakan kuesioner yang di modifikasi dari perceived social support questionnaire.7,8 Analisis data menggunakan uji kai kuadrat dan regresi logistik ganda. Hasil Distribusi statistik dari berbagai variabel yang diukur dalam penelitian ini dibuat ke dalam dua kategori, yaitu rendah jika nilai skor kurang dari sama dengan median dan tinggi jika nilai skor lebih dari median untuk digunakan pada analisis variabel penelitian selanjutnya (Tabel 1). Perempuan terinfeksi HIV/AIDS yang tinggi dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan berumur > 35 tahun Tabel 1. Deskripsi Statistik Variabel Penelitian Ukuran Statistik Variabel
Skor pemanfaatan pelayanan kesehatan Skor pengetahuan Skor sikap Skor dukungan sosial
Mean
SD
Median
Rentang
25,3 13,9 31,8 14,4
4,7 1,0 3,6 4,7
24 14 32 14
15–36 11–15 26–39 3–22
Burhan, Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan oleh Perempuan Terinfeksi HIV/AIDS
Tabel 2. Karakteristik Subjek dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Karakteristik
Usia Pendidikan
Status perkawinan Status pekerjaan
Kategori
Rendah
21–35 tahun > 35 tahun Dasar Menengah Tinggi Menikah Janda/tidak menikah Tidak bekerja Bekerja
Tinggi
Nilai p
n
%
n
%
19 2 10 6 5 10 14 17 4
70,4 15,4 71,4 30,0 83,3 43,5 82,4 70,8 25,0
8 11 4 14 1 13 3 7 12
29,6 84,6 28,6 70,0 16,7 56,5 17,6 29,2 75,0
0,001
0,013 0,004
Tabel 3. Faktor Predisposisi, Pemungkin, dan Penguat dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Variabel
Predisposisi Pengetahuan Sikap Stigma Pemungkin Jarak pelayanan Penguat Dukungan Sosial
Kategori
Rendah
Tinggi
Nilai p
n
%
n
%
Rendah Tinggi Negatif Positif Tidak ada stigma Ada stigma
17 4 14 7 20 1
73,9 23,5 73,7 33,3 64,5 11,1
6 13 5 14 11 8
26,1 76,5 26,3 66,7 35,5 88,9
0,002
Dekat Jauh
5 16
38,5 59,3
8 11
61,5 40,7
0,217
Tidak mendukung Mendukung
18 3
69,2 21,4
8 11
30,8 78,6
0,004
(84,6%), berpendidikan menengah (70%), berstatus menikah (56,5%), dan bekerja (75%). Usia, tingkat pendidikan, status perkawinan, dan status pekerjaan berhubungan bermakna dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan, hasil ini dibuktikan dengan nilai p < 0,05 (Tabel 2). Perempuan terinfeksi HIV/AIDS dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan yang tinggi mempunyai pengetahuan yang tinggi (76,5%) dan mempunyai sikap positif (66,7%). Sekitar 88,9% ditemukan masih ada stigma di pelayanan kesehatan tetapi memanfaatkan pelayanan kesehatan, yang mendapat dukungan sosial, memanfaatkan pelayanan kesehatan lebih tinggi daripada yang tidak mendapat dukungan. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan, sikap, stigma, dan dukungan sosial dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan (nilai p < 0,05). Kecenderungan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tinggi bagi yang rumahnya dekat ke pelayanan kesehatan, tetapi tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara jarak rumah ke pelayanan kesehatan de-
0,011 0,005
ngan pemanfaatan pelayanan kesehatan (Tabel 3). Pengetahuan menjadi variabel penentu dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan pada perempuan dengan HIV/AIDS. Uji dengan logistik ganda, akurasi model 80%. Nilai p untuk variabel lainnya adalah umur (p= 0,337), pendidikan (p= 0,370), pekerjaan (p= 0,146), dan stigma (p= 0,866) (Tabel 4). Pembahasan Keterbatasan penelitian ini menggunakan rancangan potong lintang dengan jumlah sampel yang kecil dan hanya di lakukan di KDS Female Plus sehingga hasil penelitian tidak dapat menggambarkan seluruh populasi perempuan terinfeksi HIV/AIDS yang ada di Kota Bandung. Ada hubungan bermakna antara usia dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Perempuan terinfeksi HIV/AIDS dengan umur >35 tahun (84,6%) lebih tinggi dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan dibandingkan yang berusia 21 – 35 tahun (70,4%). Penelitian sebelumnya, usia memengaruhi pemanfaatan pelayanan 35
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 1, Agustus 2013
Tabel 4. Analisis Multivariat Model Akhir Status Perkawinan, Pengetahuan, Sikap, Jarak dan Dukungan Sosial dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Variabel
Koefisien
Status Perkawinan Pengetahuan Sikap Jarak Dukungan Sosial
-4,273 4,096 3,275 -2,569 2,986
B
Nilai p
OR
1,842 1,737 1,522 1,421 1,374
0,020 0,018 0,035 0,071 0,030
0,014 60,092 26,454 0,077 19,806
kesehatan dan merupakan determinan dari peningkatan kejadian penyakit dan perubahan pola morbiditas dan menjadi penentu terhadap kebutuhan pelayanan kesehatan.9,10 Ada hubungan yang signifikan dengan kunjungan ke klinik perawatan pada perempuan dengan HIV/AIDS usia <40 tahun karena banyaknya permasalahan ginekologi yang dialami.11 Pada penelitian lain, usia tidak berhubungan bermakna dengan pemanfaatan VCT di Kota Medan.12 Usia, tingkat pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan merupakan faktor sosiodemografi yang selalu ditemukan dan berpengaruh dalam mencari pelayanan kesehatan.10,13 Usia merupakan variabel penting karena secara fisiologis kebutuhan orang yang berusia tua terhadap pelayanan kesehatan lebih tinggi dari orang yang berusia muda. Penelitian menemukan mereka yang memanfaatkan pelayanan kesehatan rata-rata berpendidikan menengah (SMU/sederajat). ODHA yang mempunyai tingkat pendidikan menengah ke atas sampai perguruan tinggi lebih sering mengunjungi fasilitas kesehatan daripada yang berpendidikan rendah.7 Di Nigeria, pendidikan tinggi akan meningkatkan akses terapi ARV.14 Tingkat pendidikan merupakan faktor utama dalam meningkatkan efisiensi dalam permintaan pelayanan kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mungkin seseorang mengenali lebih dini gejala suatu penyakit dan meningkatkan keinginan untuk mencari pengobatan. Tingkat pendidikan sesuai dengan pengetahuan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin tinggi pula tingkat pengetahuannya.13 Penelitian lain menemukan pendidikan tidak berhubungan signifikan dengan akses ke pelayanan kesehatan, yang berhubungan adalah tempat tinggal dan janji temu dengan tenaga kesehatan.15 Perempuan terinfeksi HIV/AIDS yang berpendidikan tinggi ternyata rendah dalam pemanfaataan pelayanan kesehatan. Pemanfaatan yang rendah ini kemungkinan disebabkan oleh faktor lain seperti rasa malu, ketidakterbukaan terhadap status penyakit, sikap terhadap penyakit dan pelayanan kesehatan, dan kurang mendapat dukungan sosial. Perilaku pencarian pengobatan harus didukung oleh faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor pendukung. Pendidikan hanya merupakan satu mata rantai yang dapat memengaruhi persepsi seseorang 36
95% CI 0,000–0,516 1,996–1809,435 1,264–553,621 0,005–1,240 1,340–292,672
dan mendukung perilaku pencarian pengobatan.6 Ada hubungan yang signifikan antara status perkawinan dengan akses terapi ARV di pelayanan kesehatan. Penderita HIV yang menikah cenderung mempunyai sikap yang positif sehingga akses dan kepatuhan pada terapi ARV meningkat.14 Status perkawinan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi individu dalam pencarian pengobatan. Orang yang belum menikah atau diceraikan lebih banyak mencari pengobatan daripada yang berstatus menikah.16 Pemanfaatan yang rendah pada ibu yang berstatus janda atau belum menikah mungkin dipengaruhi oleh faktor lain seperti ketidakterbukaan terhadap status penyakit, faktor ekonomi karena tidak ada penghasilan sejak ditinggal pasangan, dan tidak bekerja. Walaupun obat ARV saat ini sediakan gratis oleh pemerintah, tetapi untuk mengakses pelayanan perawatan lain tetap memerlukan biaya. ODHA yang tidak mempunyai pekerjaan karena diberhentikan/mengundurkan diri dengan terpaksa mencapai 45%.17 Studi lain mengemukakan bahwa banyak yang menutup statusnya karena tidak ingin kehilangan pekerjaan sehingga tetap dapat memenuhi kebutuhan finansial dan perawatan ke fasilitas kesehatan.18 Pada penelitian ini, perempuan terinfeksi HIV/AIDS yang bekerja, umumnya menutupi status penyakit dan sebagian yang mendapatkan bantuan dana untuk modal usaha dari KPA Kota Bandung mengemukakan bahwa bantuan yang diberikan, membuat mereka berwirausaha, terlebih bagi yang berstatus janda dan menjadi tulang punggung keluarga. Mereka harus memenuhi kebutuhan hidup dan keluarga serta kebutuhan perawatan kesehatan mereka. Mereka yang mempunyai pengetahuan tinggi berpeluang 60,1 kali lebih besar untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan. Pengetahuan yang tinggi tentang HIV/AIDS mengubah perilaku dan dapat mengendalikan kondisi penyakit sehingga dapat hidup lebih lama serta cenderung patuh meminum obat ARV.7,19 Pengetahuan tentang ketersediaan pelayanan di fasilitas kesehatan mendorong lebih baik memanfaatkannya. 20 Pemberian pengetahuan tentang HIV diperlukan untuk mencegah infeksi baru dengan mengajarkan cara mencegah penularan virus kepada orang lain. Selain itu, memungkinkan dan memberdayakan penderita HIV/AIDS untuk me-
Burhan, Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan oleh Perempuan Terinfeksi HIV/AIDS
ningkatkan mutu hidup, serta kebutuhan dasar tentang informasi dasar HIV dan pengobatan, supaya orang dengan HIV dapat mengakses layanan medis dan pengobatan HIV.20 Pengetahuan yang tinggi, biasanya berhubungan dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Pengetahuan juga dibutuhkan untuk mendapatkan dukungan emosional dan dukungan praktis. Pengetahuan yang perlu diketahui oleh penderita HIV/AIDS adalah tindakan praktis, cara mendapatkan dan menggunakan kondom, cara menyarankan dan mempraktikkan seks aman, mencegah infeksi dalam lingkungan medis/ ketika menggunakan narkoba suntik.14,20 Sikap yang positif meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan 26,45 kali lebih besar. Penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya, sekitar 77% penderita HIV di Nigeria mempunyai sikap yang positif dengan kepatuhan terapi ARV.14 Di Namibia, sikap yang positif akan meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan.21 Sikap berpengaruh langsung terhadap perilaku, lebih berupa predisposisi perilaku yang hanya akan direalisasikan apabila kondisi dan situasi memungkinkan. Sikap akan berubah dengan akses terhadap informasi melalui persuasif/tekanan dari kelompok sosial, seseorang sering bertindak bertentangan dengan sikap.22 Pengambilan keputusan untuk mencari pengobatan dipengaruhi pula oleh faktor pendorong, yang dapat terjadi secara sendiri/bersama, tergantung dari nilai, kepercayaan, dan sikap berupa tingkat keparahan penyakit, interaksi sosial, keadaan seseorang yang merasa gejala penyakit mengganggu aktivitas sosial, dukungan sosial/ orang lain yang menganjurkan mencari pengobatan, persepsi bahwa gejala tersebut memengaruhi aktivitas fisik, dan memutuskan mencari pengobatan, apabila gejala tidak berkurang dalam waktu tertentu.23 Sekitar 88,9% perempuan terinfeksi HIV/AIDS masih merasakan stigma di pelayanan kesehatan, tetapi tetap memanfaatkan pelayanan kesehatan. Sekitar 64,5% perempuan mengemukakan tidak ada stigma tetapi rendah dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan. Analisis multivariat menemukan hubungan antara stigma dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Stigma tidak menghalangi penderita HIV/AIDS di Namibia untuk tetap menggunakan pelayanan kesehatan berbasis rumah yang didasari oleh pengetahuan yang tinggi mengenai penyakit HIV dan sikap yang positif terhadap tempat pelayanan.21 Di Vietnam, stigma personal memengaruhi frekuensi kunjungan penderita HIV/AIDS ke pelayanan kesehatan setiap bulan. 7 Stigma dipelayanan kesehatan dapat menghambat pemanfaatan pelayanan kesehatan, serta berpengaruh pada kepercayaan, pengetahuan tentang HIV/AIDS dan menurunkan rasa percaya diri.10,23 Pelayanan kesehatan di KDS Female Plus yang tetap dimanfaatkan, kemungkinan dipengaruhi oleh penge-
tahuan yang tinggi tentang penyakit HIV/AIDS, sikap yang positif dan dukungan keluarga dan teman-teman di KDS membuat kesadaran tentang pentingnya mengakses pelayanan kesehatan dan mengabaikan stigma yang mereka rasakan di pelayanan kesehatan. Pemanfaataan pelayanan kesehatan oleh sebagian besar perempuan terinfeksi HIV/AIDS dengan jarak rumah yang dekat dengan tempat pelayanan kesehatan tampak tinggi, tetapi tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara jarak dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan, (nilai p > 0,05). Jarak tempat tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan tidak berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan, semakin jauh tempat tinggal dari tempat pelayanan kesehatan akan semakin mahal. Jarak tidak membatasi kemampuan dan kemauan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan karena Kota Bandung mempunyai sarana transportasi yang lancar. Walaupun jarak jauh, harus mengeluarkan biaya ekstra, dan menempuh perjalanan yang lama, mereka tetap datang minimal satu bulan sekali untuk mengambil obat ARV. Di Afrika Selatan, ODHA di Kwazulu Natal rumah yang berjarak 1 – 20 km dari fasilitas pelayanan kesehatan, pemanfaatan meningkat sekitar 2%, sedangkan untuk yang berjarak 50 km yang mengakses hanya sekitar 50%.24 Jarak biasanya juga berkaitan dengan akses pelayanan yang diinginkan, status sosial ekonomi, penyakit infeksi yang diderita selain HIV dan usia.25 Sekitar 78,6% perempuan terinfeksi HIV/AIDS yang mendapatkan dukungan dari orang-orang disekitarnya memanfaatkan pelayanan kesehatan. Mereka yang mendapat dukungan sosial berpeluang 19,8 kali lebih tinggi untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan. Dukungan sosial membuat penderita HIV/AIDS merasa tidak sendiri dan masih disayangi, mempunyai pengetahuan yang tinggi dengan saling berbagi informasi terkait HIV/ AIDS, meningkatkan kepatuhan terapi ARV. Pada akhirnya, memberdayakan diri sendiri dan meningkatkan mutu hidup.12,20,21 Di Nigeria, penderita HIV/AIDS yang mendapat dukungan dan tergabung di dalam kelompok dukungan cenderung mempunyai sikap yang positif dan teratur mengakses pelayanan kesehatan.14 Dukungan sebaya meningkatkan pengetahuan HIV/AIDS para anggota karena dukungan sebaya memungkinkan terjadi komunikasi dengan ketersediaan tempat belajar dan informasi HIV/AIDS terkini melalui diskusi dengan tenaga kesehatan dan seminar. Keterbukaan dan rasa nyaman membuat mereka lebih mudah menerima informasi.22 Sepanjang hidup perempuan terinfeksi HIV/AIDS harus bersama dengan penyakit yang diderita, perempuan yang mengikuti terapi ARV menjalaninya seumur hidup. Tidak terbayang rasa jenuh yang mungkin timbul dan efek samping obat yang diminum. Mereka memerlukan dukungan sosial dan perawatan dari orang untuk selalu mengingatkan meminum obat, mencegah kega37
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 1, Agustus 2013
galan terapi, infeksi oportunistik serta rutin melakukan pemeriksaan kesehatan.
9. Yagyu F. Factor affecting utilization of facilities caring for HIV/AIDS in Ho Chi Minh City, Vietnam [diakses tanggal 12 Februari 2012]. Diunduh dalam: http://www.hsph.harvard.edu/research/takemi/
Kesimpulan Pengetahuan yang baik tentang penyakit HIV/AIDS dan sikap yang positif terhadap pelayanan kesehatan berhubungan positif dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan, walaupun masih terdapat stigma di pelayanan kesehatan. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima akan meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan pada perempuan terinfeksi HIV/AIDS.
files/RP259.pdf 10. Mbonu NC, Bart VDB, Nanne KDV. The experiences and complexities of care-seeking behavior of people living with HIV/AIDS: a qualitative study in Nigeria. Maastricht University The Netherlands; 2010. 11. Tello MA, Chieh YH, Keller JM, Beach MC, Anderson JR, Moore RD. HIV Women’s Health: A Study of gynecological healthcare service utilization in a US Urban Clinic Population. J Womens Health (Larchmt). 2008; 17(10); 1609–14. 12. Khairurrahmi. Pengaruh faktor predisposisi, dukungan keluarga dan
Saran Pengetahuan para perempuan terinfeksi HIV/AIDS yang berkenaan dengan informasi terbaru tentang penyakit HIV/AIDS dan pelayanan kesehatan reproduksi perlu ditingkatkan. Program untuk menghapus stigma dan diskriminasi pada ODHA, terutama di kalangan tenaga kesehatan dan masyarakat umum perlu dilanjutkan.
level penyakit orang dengan HIV/AIDS terhadap pemanfaatan VCT di kota Medan [tesis]. Medan: USU Repository Universitas Sumatera Utara; 2009. 13. Folland S, Goodman AC, Stanom. The economics of health and health care. 2nd edition. New Jersey: Prentice Hall; 1997. 14. Afolabi MO, Ijadunola KT, Fatusi AO, Olasode O. Knowledge of and attitude towards antiretroviral therapy among people living with HIV/AIDS in Nigeria. TAF Preventive Medicine Bulletin. 2010; 9(3):
Daftar Pustaka
201-8.
1. United Nations Programme on HIV/AIDS. Global Report: UNAIDS
15. Kipgen J, Yesudian CAK, Marrone G, Lundborg CS. Health service uti-
Report on the global AIDS epidemic. WHO Library Cataloguing; 2010.
lization among widows living with HIV/AIDS: an interview survey in
2. Komisi Penanggulangan AIDS. Laporan KPA nasional tahun 2010. Jakarta: Komisi Penanggulangan AIDS; 2011. 3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan situasi perkem-
Manipur India. Asia Europe Journal. 2011; 8: 485-97. 16. Smet B. Psikologi kesehatan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia; 1994.
bangan HIV dan AIDS di Indonesia sampai dengan September 2011.
17. American Psychological Association. HIV/AIDS and sosio economic
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian
status. [cited 2012 Jan 20]. Available from: http://www.apa.org/pi/-
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2012. 4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional perawatan, dukungan dan pengobatan bagi ODHA: buku pedoman untuk
ses/resources/publications/factsheet-hiv-aids.aspx. 18. FACT. HIV and AIDS education [cited 2012 Jan 10]. Available from: http://www.factlv.org/education.htm
petugas kesehatan dan petugas lainnya. Jakarta: Departemen Kesehatan
19. Mahardining AB. Hubungan antara pengetahuan, motivasi dan dukun-
R. I Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
gan keluarga dengan kepatuhan terapi ARV pada ODHA (bimbingan
Lingkungan; 2006.
LSM Graha Mitra Semarang). Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2010; 5(2).
5. South East Asia Region Organization. HIV/AIDS in the South-East Asia
20. Komisi Penanggulangan AIDS. ODHA dan akses pelayanan kesehatan
Region 2007 [diakses tanggal 17 Maret 2012]. Diunduh dalam:
dasar, penelitian partisipatif. Jakarta: Komisi Penanggulangan AIDS;
http://www.searo.who.int/LinkFiles/Publications_HIV_AIDS_Reports 2007.pdf 6. Notoatmodjo S. Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: Rineka Cipta; 2010. 7. Sarason I, Levine H, Basham R, Sarason B. Assessing social support: the social support questionnaire. Journal of Personality and Social Psychology.1983; 44: 127–39. 8. Yadav S. Perceived social support, hope, and quality of life of persons living with HIV/AIDS: a case study from Nepal. Quality of Life Research. 2010; 19(2): 157-66.
38
2006. 21. Oguntibeju OO, Ndalambo KT, Nthabu MM. People living with HIV/AIDS and the utilisation of home based care services. African Journals of Microbiology Research. 2011; 5(20): 2438-46. 22. Spiritia. Peran dukungan sebaya terhadap peningkatan mutu hidup ODHA di Indonesia tahun 2011. Jakarta: Spiritia; 2011. 23. Li L, Sung-Jae L, Panithee T, Chuleepom J, Mary JRB. Stigma, social support and depression among people living with HIV in Thailand. NIH Public Access; 2010.
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PENANGGULANGAN lDV/AIDS DI KOTA SALATIGA Oleh: BettyWahyu NillaSari, Sri Suwartiningsih
Nowadays, Human Immunodeficiency Virus spreads not only among
prostitute women worker but also housewife. The condition due to
gender gap so that women depend to men to access scarcity. It makes women have to obey men as a compensation. Further, it
makes woman have no right of their reproduction health. Therefore,
the condition asks for strategies to empowered women to save them
from HIVIAIDS. This essay tries to compose women empowering strategies to cope with the spreading of HIV/AIDS.
Kata kunci: perempuan, pemberdayaan, HIV/AIDS, strategi
Pendahuluan
Pada hakikatnya, pembangunan merupakan proses mengubah keadaan yang belum ideal menjadi ideal. Masyarakat merupakan salah satu modal dasar dan sekaligus faktor utama pembangunan. Masyarakat memiliki peranan yang sangat penting sebagai obyek sekaligus subyek atau pelaku pembangunan. Meskipun demikian, ada golongan masyarakat yang belum sepenuhnya tersentuh oleh pembangunan. Salah satu golongan masyarakat tersebut adalah kaum perempuan. Hal tersebut disebabkan berbagai hal, khususnya berkaitan dengan faktor sosial budaya.
Maimunah dkk (2008) menyatakan bahwa pemberdayaan potensi perempuan lokal dalam penanggulangan epidemi virus HIVIAIDS di Jayapura, Papua, penting dilakukan mengingat angka prevalensi virus HIVIAIDS di Provinsi Papua tertinggi di Indonesia. Oleh karena itu, ada
beberapa alasan yang membuat pemberdayaan perempuan untuk menanggulangi dan mencegah penularan HIV menjadi menarik untuk diangkat sebagai topik, yaitu:
1. Di Kota Salatiga, jumlah pengidap virus ini dari tahun ke tahun selalu bertambah dan merupakan fenomena gunung es sebagaimana data yang akan ditunjukkan dalam bagian lain tulisan ini; 118
Pemberdayaan Perempuan Dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Salatiga
2. Perempuan adalah pihak. yang dituduh sebagai penyebar virus tersebut, khususnya perempuan yang berprofesi sebagai peketja seks komersial; dan menjadi bukti bahwa 3. Peningkatan jumlah pengidap pembangunan di bidang kesehatan belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan. Kajian ini menjadi penting karena salah satu rekomendasi untuk pencapaian pembangunan MDGs (Millenium Development Goals) adalah meningkatkan peran perempuan dalam proses pembangunan. Program pembangunan ak.an berhasil apabila dapat meningkatkan posisi perempuan dalam masyarakat sesuai dengan salah satu tujuan pembangunan MDGs 2015 yaitu mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Dalam MDGs tersebut, kesehatan merupak.an unsur dominan. Dari delapan agenda MDGs, lima di antaranya berkaitan langsung dengan kesehatan, dan tiga yang lain terkait secara tidak. langsung. Lima tujuan/goals yang berkaitan langsung dengan kesehatan itu adalah Goal ke-1 (Memberantas kemiskinan dan kelaparan), Goal ke-4 (Menurunkan angka kematian anak), Goal ke-5 (Meningkatkan kesehatan ibu), Goal ke-6 (Memerangi HIV dan AIDS, Malaria, dan penyakit lainnya), serta Goal ke-7 (Melestarikan lingkungan hidup), yang untuk mencapai target diperlukan peran dan pemberdayaan perempuan. Hal tersebut selaras dengan Goal ke-3 MDGs yaitu Pengarusutamaan Gender dan Pemberdayaan Perempuan dalam Pembangunan. HIV merupak.an salah satu agenda dalam Goal ke-6. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang dan secara bertahap merusak kekebalan tubuh. HIV terdapat pada darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu. Virus ini dapat menular melalui cairan kelamin, j arum suntik, transfusi darah, luka, dan ASI. HIV/AIDS tidak. menular melalui air ludah, udara, keringat, peralatan mak.an, atau bertukar handuk. Peningkatan jumlah pengidap HIVIAIDS berkorelasi terhadap keberhasilan pelaksanaan pembangunan pada umumnya. Hal ini karena peningkatan jumlah pengidap HIVIAIDS mengandung beberapa akibat yang kontraproduktif terhadap pelaksanaan pembangunan, yaitu: 1 . Peningkatan jumlah pengidap HIV berarti peningkatan pengeluaran negara untuk biaya pengobatan yang mencapai Rp 500.000,00 - Rp 1 19
I
KRITIS, Jumal Studi Pembangunan lnterdisiplin, Vol. XXll No. 2. 2013: 118-135
2.
650.000,00 per orang per bulan untuk obat lini pertama, 2.000.000,00 per orang per bulan untuk obat lini kedua, dan 15.000.000,00 per orang per bulan untuk obat lini ketiga;
Rp Rp
Peningkatan jurnlah pengidap HIV berarti peningkatan jumlah sumber daya manusia yang tidak dapat berpartisipasi aktif dalarn pernbangunan
akibat
perasaan
minder,
takut,
kecewa,
bahkan
ditolak
oleh
lingkungan; dan
3.
Peningkatan
jumlah
pengidap
HIV/AIDS
akan
menyebabkan
produktifitas menjadi rendah dan tingkat harapan hidup rnenjadi pendek sehingga menurunkan daya saing bangsa. Pengidap
virus
HIV bukan hanya kaum laki-laki, tetapi juga kaum
perempuan. Semula kasus HIV dan AIDS didominasi laki-laki. Kini, jumlah penderita perempuan terns meningkat. Fenomena feminisasi epidemi HIV
ini menempatkan ibu rumah tangga berpotensi
menjadi
kelompok
pengidap HIV/AIDS yang besar. Ini akan meningkatkan jumlah bayi yang
tertular HIV (Anonim,
2012)
sehingga dapat memutus rantai generasi
penerus bangsa. Oleh karena itu, sangat diperlukan peningkatan peran, akses, dan kontrol perempuan dalarn pembangunan bidang kesehatan serta
peningkatan manfaat pembangunan kesehatan bagi kaum perempuan. Selanjutnya,
perlu
dirumuskan
strategi
yang
diperlukan
untuk
meningkatkan peran perempuan dalarn pembangunan di bidang kesehatan,
khususnya dalarn penanggulangan penyebaran HN/AIDS. Oleh karena itu, meWui kajian ini diharapkan dapat tersusun strategi pemberdayaan
perempuan untuk menanggulangi dan mencegah penularan HNIAIDS di Kota Salatiga.
lllVdan AIDS di Kata �
Penemuan kasus 1 HIVIAIDS di Kota Salatiga terus meningkat.
Total jumlah penemuan penderita HIV/AIDS yang merupakan warga Kota Salatiga
per
Juli 2013
mencapai
157
penderita.
Gambar
tersebut
menunjukkan betapa pengidap HN sangat rentan untuk terserang infeksi t Penemuan kasus tidak sama dengan penemuan penduduk. Kasus IIlV/AIDS dapat ditemukan di Kota Salatiga meskipun pengidapnya bukan penduduk Kota Salatiga. Tetapi pada karya tulis ini, penemuan kasus yang dikemukakan adalah penemuan penderita yang merupakan warga Kata Salatiga.
120
Pemberdayaan Perempuan Dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Salatiga
ikutan sehingga menjadi pasien AIDS karena dari 157 pengidap
HIV, 90
orang (57 persen) di antaranya menjadi pasien AIDS. Selain itu, 49 orang
penderita HIVIAIDS meninggal dunia.
Menurut data resmi Komisi Penanggulangan AIDS Kota Salatiga, penyebab penularan HIV adalah, 40 persen ditularkan melalui penggunaan
50 persen ditularkan melalui aktivitas heteroseksual, tujuh persen ditularkan melalui aktivitas homoseksual, dan tiga persen ditularkan dari ibu kepada bayinya melalui persalinan (perinatal). Secara umum, kasus penularan HIV/AIDS melalui hubungan narkoba suntik (penasun/IDU's),
seksual ternyata memiliki porsi paling tinggi. Hal ini berarti diperlukan intervensi yang
lebih
ketat untuk
mencegah
bertambahnya
penularan HIVIAIDS melalui hubungan seksual.
kasus
Penularan melalui
heteroseksual yang mencapai angka 52 persen mengindikasikan adanya orang-orang yang sebenarnya tidak berperilaku berisiko tetapi tertular.
Sebagai bukti adalah, ternyata ada ibu rumah tangga 2 yang tertular
HIVIAIDS sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1 . Ibu rumah tangga
yang dimaksudkan
;�
dalam kajian ini adalah ibu rumah tangga murni. ----·------------
30 25
20 15
10 5
0
<{:-
.
��
���
��
��
•
•
Sumber: Komisi Pe��AIDS Kota Salatiga, Juli 2013 Gambar 1. Jumlah Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Peketjaan di Kota Salatiga s.d. Juli 2013 Dari Gambar 1 dapat diketahui bahwa HIV adalah
virus yang tidak
mengenal status sosial maupun profesi. HIV sudah merambah ke semua golongan masyarakat, mulai dari kaum terpelajar, pegawai negeri, dan
tangga adalah perempuan yang benar-benar berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan tidak memiliki � berisilc.o (KPA Kota Salatiga, 2012). 2
Ibu rumah
121
KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan lnterdisiplin, Vol. XXll No. 2, 2013: 1 1 8-135
orang yang tidak mempunyai peketjaan. Orang yang tidak berperilaku berisiko pun dapat tertular, seperti halnya ibu
rumah tangga mumi yang
tertular dari suaminya. Jika demikian, berarti jumlah ibu rum.ah tangga yang tertular HN sebenarnya jauh lebih banyak daripada jumlah yang sudah ditemukan. Hal ini karena setiap ada laki-laki menikah yang tertular HIV maka istrinya pun akan tertular. Pengidap HIV umumnya ditemukan dalam kondisi menderita AIDS. Artinya, masih ada pengidap HIV yang belum ditemukan yang berarti juga masih ada pasangan pengidap HIV yang juga belum ditemukan. Hal inilah yang menyebabkan HIV/AIDS dikatakan sebagai fenomena gunung es. Pengguna narkoba suntik (penasun) memainkan peranan yang
penting dalam penyebaran HIV di Indonesia.3 Kelompok ini bukan saja memiliki risiko tinggi terinfeksi karena perilaku berbagi jarum suntiknya, tetapi juga memiliki risiko akibat hubungan seksual berganti pasangan dan tidak menggunakan kondom.
•
Laki-laki
• Perempuan
s.d 2008
2009
2010
2011
2012
Sumber: Komisi Penanggulangan AIDS Kota Salatiga, Juli 2013.
2013
Jumlah Penderita HIVIAIDS di Kota Salatiga Berdasarkan Jenis Kelamin s.d Juli 2013
Gambar 2.
Pergeseran pola pengidap HIV/AIDS
dari
lebih banyak laki-laki
menjadi lebih banyak perempuan, tampak dari Gambar
2. Menurut gambar
tersebut, jumlah laki-laki penderita HIV/AIDS memang lebih banyak
Hasil penelitian Pusat Penelitian lflV/AIDS Unika Auna Jaya yang dipaparkan dalam Seminar Perilaku Sehat dan Jaringan Seksual Pengguna Napza Suntik: Adakah persoalan Unmet Needs? di Jakarta. 22 Maret 2010. Dikutip dari artikel berjudul Perilalru Selcsual
3
Penasun Rawan �baran AIDS,
122
Pemberdayaan Perempuan Deism Penanggulangan HIV/AIDS di
Kota Salatiga
daripada perempuan, tetapi peningkatan jumlah penderita yang ditemukan cenderung lebih tinggi pada perempuan. Meskipun pada tahun 2011 dan 2012 jumlah penemuan perempuan penderita HIV/AIDS tid.ak lebih banyak daripada jumlah laki-laki penderita HIV/AIDS tid.ak serta merta berarti bahwa jumlah perempuan penderita HIV/AIDS pasti lebih sedikit daripada laki-laki. Hal ini karena HIV/AIDS selalu melibatkan pasangan laki-laki dan perempuan sehingga jika ada satu laki-laki terinfeksi HIV/AIDS, sangat besar peluangnya ada satu bahkan lebih perempuan yang menderita HIV/AIDS. Data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2012 menempatkan ibu rumah tangga pada urutan pertama (622 kasus), karyawan (587 kasus), (544 kasus), petani (273), buruh (25 1), dan PSK hanya pada urutan keenam (140). Kondisi di Kota Salatiga mungkin tid.ak jauh berbeda dengan data nasional pada tahun 2012 tersebut. 60
51
50
40
30 20 10 0
0 - 14th 1 5 - 1 9 ili
20- 24 fu
25 - 29 fu
3 0 - 34 ili
35 - 39 fu
40 - 44 fu
45 - 49 fu
5 0 - 54 > 55 th fu
Sumber: Komisi Penanggulangan AIDS Kota Salatiga, Juli 2013. Gambar 3. Jumlah Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Umur Di Kota Salatiga s.d. Juli 2013
Dari Gambar 3, dapat diketahui bahwa 70 persen penderita HIVIAIDS berusia 20-34 tahun dari seluruh kasus penemuan di Kota Salatiga. Virus HIV memiliki periode jendela. Periode jendela adalah periode di mana virus tersebut tid.ak dapat terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium. Periode jendela virus HIV adalah tiga sampai enam bulan. Seseorang yang tertular virus HIV baru akan diketahui setelah tiga hingga enam bulan terinfeksi virus melalui pemeriksaanantibodi di laboratorium. Pengidap baru juga tidak. akan merasakan atau menunjukkan gejala apa pun. Oleh karena itu, penderita yang ditemukan pada usia 20-34 tahun tersebut sangat mungkin sebenarnya sudah tertular pada usia yang lebih 123
KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan lnterdisiplin, Vol. XXll No. 2, 2013: 1 1 8-135 muda namun baru diketahui satu atau 10 tahun berikutnya dalam keadaan menderita AIDS. Penumpukan jumlah penderita HIV/AIDS pada usia muda tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, perilaku anak muda yang cenderung penasaran dan ingin mencoba, yang diperparah dengan kurangnya informasi dan pengetahuan yang mereka peroleh tentang kesehatan reproduksi. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh hasil penelitian Synovote Research pada tahun 2004 tentang perilaku seksual remaja di empat kota (Surabaya, Jakarta, Bandung, Medan) yang menyatakan 44 % responden mengaku punya pengalaman seksual ketika berusia 16-18 tahun dan 16 % lainnya punya pengalaman seksual ketika berusia 13-15 tahun.• Keadaan ini diperparah dengan adanya informasi dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan HIVIAIDS yang tidak tepat. Remaja yang sedang berada dalam masa pubertas dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dapat melakukan hubungan seks yang tidak aman yang mengakibatkan kehamHan yang tidak diinginkan, HIV/AIDS maupun Infeksi Menular Seksual (IMS) dapat menjerumuskan mereka dalam lingkaran narkoba, termasuk narkoba suntik yang digunakan secara bergantian yang merupakan salah satu media penularan HIV/AIDS.5 Kedua, pengguna narkoba juga memiliki kecenderungan melak:ukan hubungan seksual secara bebas sehingga berisiko tertular HIV/AIDS. Ketiga, pada penderita HIV yang tidak. mendapat pengobatan antiretroviral, rata-rata usia harapan hidup adalah sembilan hingga 1 1 tahun, tergantung fak.tor lain seperti tipe virus HIV dan lain-lain. Namun dengan pengobatan, pemantauan ketat, dan gaya hidup yang benar maka penderita HIV berusia muda di tahap awal memiliki usia harapan hidup 2050 tahun. Bila penderita sudah diketahui dalam keadaan lanjut atau sudah mengidap AIDS, tanpa pengobatan yang benar dan teratur, maka usia harapan hidup individu tersebut adalah antara enam hingga 19 bulan. Namun dengan pengobatan yang teratur, usia harapan hidup dapat meningkat hingga mencapai 10 tahun, tergantung faktor-faktor lain.6 4
Synovote R�ch dalatn Thesis berjudul Pengaruh Faktor Personal dan Lingkungan terhadap Perilaku Seksual � pada Remaja di SMA Negeri 1 Baturraden dan SMA Dewi, Mahasiswa Program Studi Negeri 1 Purwokerto karya Ilea Nur Chaerani Magister Promosi Kesehatan Undip, 2009, h1m: 2.
Tunggal
5 Jbid. 6
Dikntip dari website resmi internis
124
2013.
Pemberdayaan Perempuan Dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Salatiga
Sudah
barang tentu,
keadaan ini menjadi kontra-produktif
terhadap pembangunan di bidang kesehatan. Terlebih, infeksi HIV/AIDS bersifat permanen. Selain itu, biaya yang harus ditanggung negara untuk pengobatan dan perawatan HIV/AIDS juga berpotensi membengkak. Secara
logika, seseorang yang sudah mengidap HIVIAIDS pada usia yang masih sangat muda, dia berpotensi menularkan
virus HIV kepada pasangannya
apabila menikah. Selanjutnya, dari pasangan tersebut juga berpotensi terlahir bayi yang terinfeksi HIV/AIDS (meskipun tidak selalu). Oleh karena itu, penyebaran HIV/AIDS yang tidak terkendali harus dicegah. Perempuan yang cenderung menanggung beban psikologis lebih berat dalain kasus-kasus penularan HIV/AIDS perlu diberdayakan agar mampu melindungi dirinya. Di Kota Salatiga sendiri ditemukan kasus satu keluarga yang terdiri atas seorang bapak, seorang ibu, dan seorang anak meninggal dunia karena HIV/AIDS. Kasus pertama ditemukan pada sang Bapak (sebutlah K)7 yang terinfeksi HIV/AIDS akibat kebiasaannya melakukan hubungan seksual berisiko di luar rumah tangganya. Ketika ditelusuri oleh tim medis, temyata K memiliki istri yang sedang hamil (sebutlah
C). 8 Setelah C
diobservasi, temyata juga telah terinfeksi HIVIAIDS. Ketika anak mereka
lahir, temyata si anak juga terinfeksi HIV/AIDS. Saat ini, ketiganya telah meninggal dunia
tahun
dalam waktu yang tidak bersamaan.
Semakin banyaknya jum.lah pengidap HIVIAIDS dari tahun ke
memang dipengaruhi banyak faktor.
Salah satu faktor yang
berpengaruh adalah pemahaman masyarakat tentang HIV yang kurang tepat. Salah satu pengidap HN/AIDS di Kota Salatiga (sebutlah D) 9 mengakui
bahwa
sebelum
terinfeksi
HIV/AIDS,
yang bersangkutan
menganggap HIV/AIDS sebagai penyakit biasa yang dapat sembuh seperti penyakit lainnya. D baru menyadari bahwa pandangannya salah setelah dia
mengalami sendiri penderitaan sebagai pengidap HIVIAIDS dengan infeksi oportunis tuberkulosis pada tahun
temyata sang istri (sebutlah tertular dari dirinya.
2006. D merasa sangat bersalah karena
Q)10 pun
positif mengidap HIV/AIDS akibat
Bukan inisial nama yang sebenarnya untuk. melindungi identitas yang bersangkutan. a Bukan inisial nama yang sebenamya untuk melindungi identitas yang bersangkutan. 9 Bukan inisial nama yang sebenamya untuk. melindungi identitas yang bersangkutan. 10 Bukan inisial nama yang sebenamya untuk. melindungi identitas yang bersangkutan. 1
125
KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan lnterdlsiplin, Vol. XXll No. 2, 2013: 1 1 8-135
Menurut pengakuan Q, dirinya sudah paham bahwa HIVIAIDS
adalah penyakit yang belum ada obatnya. Dia juga mengetahui bahwa
sebelum menjadi suaminya, D adalah seorang pengguna narkoba suntik
sehingga termasuk golongan berisiko tertular HIVIAIDS. Q tidak pemah
menyangka bahwa temyata penyakit HIV/AIDS begitu dekat dengan
mereka. Namun, pasangan ini masih sangat bersyukur karena, hingga saat ini, buah hati mereka negatif HIV/AIDS. Menyadari betapa berbahayanya HIV/AIDS, pasangan ini sepakat untuk mencegah agar HIV/AIDS yang berdiam di badan mereka tidak menular kepada orang
lain. Baik D maupun
Qsaat ini masih sama-sama menjadi karyawan di perusahaan yang berbeda. Mereka sama-sama belum terbuka kepada perusahaannya karena jika diketahui, belum tentu mereka masih dapat beketja di perusahaan tersebut.
Sementara, bagi D dan Qyang pengidap HIVIAIDS, sulit memperoleh surat
keterangan sehat dari dokter jika mereka harus melamar peketjaan lagi di tempat lain, karena dokter dituntut jujur da1am memberikan keterangan sehat.
Narasumber
lain (sebutlah R) 11 -yang mengaku tidak pemah
berperilaku yang berisiko tertular HIV/AIDS-menyatakan bahwa dirinya memang tidak tahu terlalu mendalam tentang HIV/AIDS. Sejauh yang dia pahami, HIV/AIDS adalah penyakit yang belum ada obatnya. Oleh karena itu, sejak sebelum menikah, hingga sekarang sudah berkeluarga dengan dua orang anak, R menyatakan tidak pemah melakukan hubungan seksual bebas ataupun terlibat narkoba. R juga tidak ingin dekat-dekat dengan
pengidap HIVIAIDS karena k.hawatir tertular. Pemberdayaan Perempuan dan Gender
Isu pemberdayaan perempuan tidak bisa terlepas dari isu gender.
Menurut Rubin,12 gender adalah pembedaan perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh konstruksi sosial dan kebudayaan, jadi bukan karena konstruksi yang dibawa sejak lahir (Nugroho, mendefinisikan
gender sebagai
komponen
201 1 : ix). Chafetz (1990: 28) yang dikonstruksi secara
sosiokultural yang dilekatkan pada masing-masing jenis kelamin . Hal ini
Bukan inisial nama yang sebenarnya untuk melindungi identit.as yang bersangkutan. Gayle Rubin (1975). Rubin tercatat sebagai orang pertama yang memopulerkan konsep gender. 11
12
126
Pemberdayaan Perempuan Dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Salatiga
berbeda dengan jenis
kelamin yang didefinisikan Chafetz
sebagai
perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Ulfah (2010: 16) menyatakan bahwa pemberdayaan perempuan adalah: "Upaya penguatan perempuan dalam berbagai bentuk kehidupan sosial, ekonomi, dan politik berdasarkan keterkaitan antara kebebasan pribadi dan aturan masyarakat yang berlaku."
Selanjutnya Hastuti dan Dyah Respati (2009: 9) menyatakan bahwa pemberdayaan perempuan berhadapan dengan sistem nilai tentang perempuan dan laki-laki di masyarakat terkait distribusi kekuasaan. Budaya patriarki mendominasi masyarakat Jawa menempatkan perempuan dengan ·rugas utama sebagai istri didukung nilai yang dikembangkan melalui agama, kepercayaan, dan kebijakan yang menaungi. Pemberdayaan perempuan merupakan salah satu pendekatan dalam pembangunan, yaitu pendekatan partisipatif, dimana dalam pembangunan partisipatif ��kan
untuk
menumbuhkan
kreativitas
masyarakat
dalam
pembangunan di kawasan atau lingkungannya. Hal tersebut sesuai dengan uraian yang dikemukakan oleh Friedmann dalam Pranarka dkk (1996: 58)
sebagai berikut:
"... involves a process ofsocial and political empowerment whose long term objectives is to re-balance the structure of power in society by making state action more accountable, strenghthening, and making corporate bussines more sodally responsible" Berkaitan dengan upaya pemberdayaan perempuan, Gunawan Sumodiningrat dalam Nugroho (2011: xxi-xxii) menyatakan bahwa untuk melakukan pemberdayaan perlu tiga langkah yang berkesinambungan yaitu :
1. Pemihakan, artinya harus ad.a keberpihakan pada perempuan melalui pemberdayaan.
2.
Penyiapan, artinya pemberdayaan menuntut kemampuan perempuan untuk dapat mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dn mengambil
manfaat 3. Perlindungan, artinya memberikan proteksi sampai dapat dilepaskan. Dalam upaya pemberdayaan perempuan, ketiga tahapan tersebut harus dapat dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan, karena ketiga hal tersebut saling berkait satu dengan lainnya.
127
KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan lnterdisiplin, Vol. XXll No. 2, 2013: 1 1 8-135
� PemberdayaanPerempuan Salah satu cara penularan HIV/AIDS adalah melalui hubungan seksual yang melibatkan alat reproduksi manusia. Kenyataan yang terjadi selama ini, laki-laki berhak atas alat reproduksinya sedangkan perempuan tidak sepenuhnya berhak atas alat reproduksinya. Akar masalahnya adalah
terdapat ketimpangan gender sehingga perempuan tidak berdaya termasuk terhadap kesehatan reproduksinya sendiri (Mujiran, 2012). Budaya patriarkhi yang dipelihara oleh dalil agama dan lingkungan sosial menyebabkan perempuan kurang memiliki akses terhadap sumber daya. Dengan demikian, perempuan memiliki ketergantungan terhadap laki-laki untuk memperoleh sumber daya yang dibutuhkannya (Chafetz,
1990: 83).
Laki-laki
dalam hal ini adalah suami bagi ibu rumah
tangga atau
pelanggan bagi perempuan pekerja seks komersial. Selanjutnya, laki-laki (suami atau pelanggan) yang berkuasa atas sumber daya mempunyai posisi tawar lebih tinggi. Sebaliknya, perempuan (ibu rumah tangga atau PSK) yang tergantung kepada
laki-laki untuk memperoleh sumber daya,
memiliki posisi tawar yang rendah terhadap laki-laki, termasuk
dalam hal
kesehatan reproduksinya. Ak.ibat lebih lanjut dari rendahnya posisi tawar perempuan terhadap laki-laki, perempuan rentan tertular penyakit menular seksual (PMS), salah satunya adalah HIV/AIDS. Hal ini berimbas kepada sulitnya
bagi perempuan untuk membujuk pasangan (suami atau pelanggan) mereka menggunakan
kondom
ketika melakukan
pasangan yang berisiko HIVIAIDS,
13
hubungan
seksual dengan
padahal, penularan
HIVIAIDS
meWui hubungan seksual dapat dicegah dengan penggunaan kondom.
Oleh karena itu, baik ibu rumah tangga maupun perempuan PSK perlu diberdayakan agar mereka memiliki hak atas kesehatan reproduksinya. Perlu dipahami bahwa kegiatan pemberdayaan perempuan bukan berarti
tidak
melibatkan
kaum
laki-laki.
Selama
ini,
kegiatan
pemberdayaan perempuan lebih menekankan perhatian kepada perempuan saja dan dilakukan
mengesampingkan peran laki-laki. perubahan
dengan
Oleh
menggunakan
karena itu, perlu
strategi
yang
lebih
menekankan perhatian kepada masalah hubungan laki-laki dan perempuan
Da1ain makalab ini, maksud hubungan seksual yang berisiko adalah hubungan seksual antara istri (ibu rumah tangga) dengan suami yang ��ya berisilrotertular mv atau hubungan seksual antara perempuan PSK dengan pelanggannya. 13
128
Pemberdayaan Perempuan Dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Salatiga
daripada
perhatian
(Nurhidayati,
yang
hanya
ditujukan
kepada
perempuan
saja
1999: 31-42).
Pemerintah, masyarakat dunia usaha, dan masyarakat umum, baik secara perorangan, kelompok, maupun organisasi LSM, sama
kerja
yang
efektif
untuk
mendorong
harus
menjalin
keberhasilan
upaya
pemberdayaan perempuan. Keberhasilan program-program pemberdayaan perempuan
sangat
ditentukan
dalam
khususnya yang terlibat
oleh
campur
tangan
kelompok
elit,
pemerintahan. Kebijakan-kebijakan yang
pro-pemberdayaan perempuan dalam pembangunan di bidang kesehatan sangat diperlukan untuk menanggulangi penyebaran Pada era otonomi daerah, keterlibatan pemerintah daerah otonom
dalam
pemberdayaan
perempuan
untuk
me��gi
penyebaran
HIV/AIDS menjadi sangat penting. Pemerintah daerah otonom sebagai level pemerintahan terdekat dengan masyarakat memiliki kewenangan yang
lebih
perempuan
dari
cukup
untuk
menentukan
pembangunan
dalam
peng�tamaan gender.
strategi
kesehatan
pemberdayaan
melalui
kegiatan
(1995: 4) mengusulkan tiga strategi yang dapat dilakukan untuk mengalirkan power terhadap disadvantaged yakni melalui: (1) Kebijakan dan Perencanaan (Policy and Planning), (2) Aksi politik dan sosial (Social and Political Actio11), dan (3) Pendidikan dan peningkatan kesadaran Iffe
(Education and Consciousness Raising). tiga aspek yang perlu menjadi perlindungan
hak
Selaras dengan usulan Iffe, terdapat
fokus perhatian dalam pemberdayaan dan
perempuan
untuk
menanggulangi
penyebaran
HIVIAIDS yaitu aspek politi.k, aspek sosial budaya, dan aspek ekonomi. Ketiga aspek tersebut merupakan
terkait, sehingga parsial.
dalam
satu
kesatuan yang integral dan saling
pelaksanaannya tidak dapat dilaksanakan secara
Aspek Politik Sejauh ini, sebenarnya sudah cukup banyak kebijakan pemerintah
yang berusaha menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.
Salah satunya
diwujudkan melalui pembentukan Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA). Meskipun demikian, masih ada beberapa
hal yang perlu
dilakukan
oleh pemerintah untuk menyetarakan peran perempuan dan laki-laki. Beberapa hal tersebut adalah sebagai berikut.
129
KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan lnterdisiplin, Vol. XXll No. 2, 2013: 1 1 8- 1 35
1.
Peningkatkan keterwakilan perempuan meWui lembaga legislatif sekaligus meningkatkan kualitas sumber daya perempuan yang duduk di lembaga legislatif. Peningkatan jumlah perempuan di kelompok elit diharapkan berkorelasi dengan peningkatan akses, partisipasi, dan kontrol perempuan pada umumnya terhadap sumber daya dan meningkatkan manfaat yang diterima perempuan
dari
sumber daya
tersebut. Harapan berikutnya, perempuan di kelompok elit juga dapat mempengaruhi persepsi dan pemikiran laki-laki dalam organisasinya sehingga terbentuk kesadaran terhadap kesetaraan gender.
2.
Menyusun peraturan daerah tentang keterwakilan perempuan
dalam
setiap kelembagaan masyarakat di tingkat kelurahan dan kecamatan. Selama ini, kaum perempuan memang dilibatkan
dalam
banyak
kegiatan di tingkat kelurahan maupun kecamatan, seperti musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Namun demikian,
dalam
kegiatan-kegiatan tersebut, perempuan cenderung hanya sebagai pelengkap daftar hadir.
3.
Mensyaratkan penggunaan teknologi dan sistem kerja yang pro gender
akan memperpanjang dilakukan secara sama
terhadap investor baru maupun investor yang ijin usahanya sehingga setiap pekerjaan dapat oleh
laki-laki
maupun
perempuan.
Dengan
demikian,
pengumuman lowongan ketja, tidak perlu lagi dicantumkan
dalam
jenis
kelamin tertentu.
Aspek Sosial Budaya Kehidupan sosial budaya turut membentuk kesenjangan gender dalam masyarakat.
Dalam
aspek
ini,
beberapa
strategi yang
lebih
menekankan perhatian kepada masalah hubungan laki-laki dan perempuan adalah sebagai berikut.
1.
Memberikan pelayanan konseling yang profesional kepada ibu rumah tangga dan PSK agar kedua kelompok rentan
ini dapat menghargai diri
dan hidupnya sama dengan mereka menghargai pasangannya. Diharapkan,
akan
terbentuk kesadaran pada ibu
rumah
tangga dan
PSK tentang bagaimana kehidupan dan kesehatan mereka sangat berharga sehingga setiap orang harus memperlakukan mereka secara manusiawi.
130
Pemberdayaan Perempuan Dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Salatiga
2.
Memberikan pelayanan konseling clan mobile voluntary counseling test (VCT) untulc memudahkan mereka yang ingin melakukan tes VCT tetapi tidak tahu caranya.
3.
Meningkatkan pemahaman tentang HIV/AIDS secara komprehensif melalui sosialisasi pada semua jenjang pendidikan clan masyarakat (termasuk ibu rumah tangga clan PSK) terkait masalah penularan, pencegahan, clan pendeteksian HIVIAIDS sejak dini. Pemahaman yang salah di kalangan masyarakat akan menyebabkan penilaian yang tidak benar kepada �anya yang telah terinfeksi HIVIAIDS.
4.
Memberikan pendampingan bagi ibu rumah tangga clan PSK yang terinfeksi HIV/AIDS sehingga tidak menjadi sumber daya manusia yang merasa inferior, putus asa, tetap percaya diri, berpikir positif, clan tidak berpikir untuk secara sengaja menularkan HIV/AIDS kepada orang lain.
5.
Pemantauan kesehatan PSK clan pelanggan. Pemantauan dapat berbentulc pemeriksaan clan perawatan serta pengobatan kesehatan PSK maupun pelanggan secara rutin. Saat ini, pemeriksaan kesehatan secara rutin Kota Salatiga baru diberikan kepada PSK, namun belum diberikan kepada pelanggan. Pemeriksaan ini menjadi media yang tepat untulc mendeteksi keberadaan penyakit menular seksual (PMS).
6.
Meningkatkan clan memperluas sosialisasi penggunaan kondom perempuan sebagai pengganti kondom laki-laki karena secara fungsional lebih menguntungkan perempuan sebagaimana rekomendasi Wulansari (2009).
7.
Meningkatkan pemahaman tentang hak atas kesehatan reprod.uksi di kalangan masyarakat, khususnya pada kaum laki-laki. Pemahaman tentang kesehatan reproduksi di kalangan laki-laki sangat diperlukan agar mereka menghormati clan turut menjaga serta melindungi hak hak reproduksi perempuan selain hak hak reproduksi mereka sendiri. Perlu ditekankan bahwa apabila laki-laki melindungi dan menjaga kesehatan reprod.uksinya, berarti dia juga melindungi clan menjaga kesehatan reprod.uksi pasangannya, yang selanjutnya juga berarti menjaga kesehatan generasi-generasi penerusnya. -
131
KRITIS, Jumal Studi Pembangunan lnterdisiplin, Vol. XXll No. 2, 2013: 1 1 8- 1 35
Aspek Pendidikan Pendidikan
merupakan
aspek
yang
sangat
penting
dalam
menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menghormati hak-hak reproduksi diri sendiri maupun lawan jenis.
1.
Menerbitkan buk:u panduan pendidikan seks sejak dini untuk. setiap tahapan tumbuh kembang anak. Pemahaman seks yang benar dalam setiap tahap tumbuh kembang
anak, mencegah anak-anak mencari
informasi dari sumber yang tidak jelas. Dalam jangka panjang, setelah remaja dan dewasa, mereka akan tahu dan paham tentang hak reproduksinya serta bagaimana seharusnya menjaga, merawat, dan menghormati organ reproduksinya.
2.
Mengintegrasikan pendidikan tentang hak atas kesehatan reproduksi dan
kesetaraan
gender
da1am
kurik:ulum
pada
semua
jenjang
pendidikan.
3.
Meningkatkan kesadaran kaum perempuan maupun laki-laki bahwa
pekerjaan domestik bukanlah pekerjaan nonproduktif. Oleh karena itu, ibu rumah tangga tidak perlu memberikan kompensasi atas sumber daya yang diperoleh melalui suaminya.
4.
Memberi pembekalan kepada setiap pasangan yang akan menikah tentang perlunya menghormati dan menjaga kesehatan reproduksi diri sendiri dan pasangan.
Aspek Ekonomi Ketidakberdayaan
untuk
mengakses
sumber
daya
membuat
perempuan tidak memiliki posisi tawar yang lruat terhadap laki-laki. Oleh karenanya, pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi agar tidak tergantung kepada laki-laki untuk mengakses sumber daya menjadi bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari upaya penanggulangan penyebaran HIV/AIDS. Beberapa strategi yang perlu disusun aspek ekonomi adalah sebagai berik:ut.
1.
Peningkatan k:ualitas tenaga kerja perempuan melalui pendidikan dan pelatihan agar memenuhi k:ualifikasi yang dibutuhkan dunia kerja sehingga tenaga kerja perempuan tidak lagi dianggap sebagai tenaga kerja pengganti yang murah.
132
Pemberdayaan Perempuan Dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Kola Salatiga
2.
Membentuk kelompok usaha untuk meningkatkan kapasitas produksi yang pad.a gilirannya juga akan meningkatkan pendapatan.
3.
Menjalin kerja sama dengan masyarakat dunia usaha untuk kegiatan pasca produksi hasil produksi ibu rumah tangga maupun (mantan) PSK sekaligus mendorong penyusunan standar kualitas dan harganya, sebagai awal untuk mengakses pasar.
4.
Penyediaan dana usaha dalam bentuk dana bergulir atau pinjaman lunak perseorangan maupun kelompok usaha.
5.
Peningkatan investasi daerah dalam rangka penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Semakin banyak tenaga kerja perempuan yang terserap di sektor formal maupun informal, diharapkan semakin mengurangi jumlah perempuan yang berprofesi PSK.
Penutup Akar masalah atas ketidakberdayaan perempuan dalam melindungi dirinya dari virus HIV/AIDS adalah keterbatasan mereka mengakses sum.her daya dan kungkungan budaya patriarkhi. Oleh karena itu, pemberdayaan perempuan yang mengintegrasikan aspek politik, sosial budaya, pendidikan, dan ekonomi mutlak diperlukan. Pemberdayaan perempuan harus berorientasi kepada kesetaraan gender, sehingga pemberdayaan perempuan tidak menekankan perhatian kepada perempuan saja, melainkan kepada hubungan antara perempuan dan laki-laki. Upaya pemberdayaan perempuan ini tidak cukup dengan peran pemerintah saja. Pemerintah harus bersinergi dengan masyarakat luas, baik lembaga swadaya masyarakat, komunitas atau kelompok masyarakat, perorangan, lembaga pendidikan, maupun dunia usaha.
Chafetz, Janet Saltzman, 1990.
Gender Equity: An Integrated Theory of Stability and Change, Newbury Park: Sage Publication.
Dewi, Ika Nur Chaerani Tunggal, 2()()C),
Terbadap Perilaku
Seksual
Pengarub Faktor Personal dan Lingkungan Pranika.b pada Remaja di SMA Negeri 1
133
KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan lnterdisiplin, Vol. XXll No. 2, 2013: 1 1 8-135 Baturraden dan SMA Negeri 1 Purwokerto, Thesis, Se�g: Magister
Promosi Kesehatan, Universitas Diponegoro.
Gamble.Sarah. 2010. Sebuah Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, Yogyakarta : Jalasutra Hardisman, 2012. Peranan Pem'berdayaa.n Perempuan dan Analisis Gender pada Penentuan
Kebijakan
Pengentasan
Malnutrisi
Anak
di Indonesia,
Universitas Andalas, http://garuda.dikti.go.id. Hastuti dan Dyah Respati, 2009. Model PemlJerdayaa.nPerempuan Miskin Berbasis
P�tan Sum'berdaya Perdesaan Upaya Pengentasan Kemiskinan di
Perdesaan (Studi di Lereng Merapi Daerab Istimewa
Yogyakarta),
Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta. Hendrya, Pepi, tanpa tahun. Pem'berdayaa.n Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Dalam Perspektif Ketahanan Individu, Studi Kasus Perempuan Korban KDRT Klien P2TP2A DK! Jakarta, Thesis,
Jakarta: Universitas Indonesia, Hikmat, Harry. 2010. Strategi Pem'berdayaa.n Masyaralcat, Bandung: Humaniora Utama --------, dan Adimiharja, Kusnaka., 2006. Partisipatory Research Appraisal dalam Pelaksanaan Pengabdian kepada ��Bandung:Humaniora Hubeis, Aida Vitayala S., Pendekatan Gender dan Pembangunan dalam Pem'berdayaan Perempuan dari Masa ke Masa, IPB Press, Bogar, 2010 --------,Pem'berdayaa.nPerempuan Dari Masa ke Masa, IPB Press, Bogar,
2010.
life, Jum, 1995. Community Development: Creating Community Alternatives Vision, Analysis and Practice, Longman, Australia: Longman Jones, PIP, 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Juliastuti, � 2000 Kebudayaan yang �, Macho, Jantan, dan Gagah, Newsletter KUNCI, 8 September 2000 hlm. 4. ,
.
,
Kartasasmita,
Ginanjar.,
1996.
Pembangunan
Wltuk
Rakyat:
Memadukan
Pertumbuhan clan Pemerataan, Jakarta : CIDES.
.Maimunah; Iskandar Nugraha; Diah Ariani A; dan Lina Puryanti, tanpa tahun.
Pem'berdayaan Perempuan Lokal. Dalam Penanggulangan Epidemi Virus
HN/AIDS Di Propinsi Papua, Surabaya: Universitas Airlangga.
Martalalu, Bondan, 201 1. Implementasi Pemberdayaan Perempuan melalui PNPN
MD ZǨ� Pem'berdayaanMasyaralcat Mandiri Perdesaan)
134
di
Pemberdayaan Perempuan Dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Salatiga
Desa Batursa.ri Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak, Skripsi, Semarang: Universitas Diponegoro, ����
Mosse, Julia Cleves, 2007. Gender dan Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Rifka Annisa Women's Crisis C�, Cetakan V. Nope, C.Y. Marselina, 005. ferat Kapitalisme Atas Perempuan, Yogyakarta: Resists Book Nugroho, Riant, Dr., 2011. Gender dan Strategi Peng�tamaannyadi Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan II. Nurhidayati, Sri Endah, 1999. "Profil. Kedudukan dan Peranan Perempuan di Bidang Elconomi, Kesehatan dan KB di Kabupaten Gresik," Jurnal Masyarakat, Kebudayaan clan Politik, Th XII, No 3, Juli 1999, 31-42, Surabaya: Universitas Airlangga. Paulus Mujiran, 2012. Perempuan, Anak dan HIV/AIDS, Solopos.
Pocha, Sophia, 2010. Feminisme dan Gender dalam Gamble, Sarah. 2010. Sebuab Pengantar � Feminisme dan Postfeminisme, Yogyakarta: Jalasutra Pranarka, AMW., dan
Onny S. Prijono, 1996. Pemberdayaan Konsep, Kebijalcan clan Implementasi, Jakarta:CSIS
Soekirno, Dewi Candraningrum, 2003. Menolalc Universalisme 'Perempuan ': Perempuan Indonesia 'bukan' Perempuan fawa, Jakarta.
Sri 'Peni, 2009. Model Pemberdayaan Perempuan Melalui an Di Penguatan Lem'baga Lolcal Se'bagai Upaya Pengentasan Kemislcin Kabupaten /ember, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, ���
Wulansari, Suci, 2009. Kondom Perempuan, Pemberdayaan Perempuan dalam Kesebatan Reprodulcsi, Majalah Kedokteran Indonesia, Volum: 59 (4), Jakarta: Pusat Penelitian clan Pengem'bangan Sistem clan Kebijalcan Kesebatan,Departemen Kesebatan RI.
135
PEMERIKSAAN CRYPTOCOCCAL ANTIGEN ANTARA METODE SISTEM AGLUTINASI LATEKS ANTIGEN KRIPTOKOKUS DAN LATERAL FLOW ASSAY DI PASIEN AIDS (Cryptococcal Antigen of Acquired Immune Deficiency Syndrome with Lateral Flow Assay and Cryptococcus Antigen Latex Agglutination System) Artiti Aditya1, Indrati AR2, Ganiem AR3
ABSTRACT Cryptococcosis is the fourth most common opportunistic infection among Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) patients. About 100% mortality has been reported within two weeks in patient with cryptococcal meningitis but without specific treatment. The aim of the study was to compare Cryptococcal antigen (CrAg) detection between Cryptococcus Antigen Latex Agglutination System (CALAS) and Lateral Flow Assay (LFA) among AIDS patients. This research was designed as comparative analytic with cross sectional study on 56 serum derived from AIDS patient who visited Teratai Clinic before ARV therapy initiation and who had never been diagnosed as Cryptococcal meningitis. Each sample was tested for CrAg with CALAS and LFA according to the manufacturer instructions. This study was conducted in the Clinical Pathology Laboratory at Dr. Hasan Sadikin Hospital/Centre Research Unit (CRU) Medical Faculty, Padjajaran University between December 2012March 2013. The statistical analysis was done using Chi square test. The result showed that there was no significant difference between CALAS and LFA method with p=0.596 (p>0.05), the positive probability of CrAg detection using LFA was 0.75 times compared to the CALAS method. For the CrAg detection in the AIDS patients there was no significant difference between CALAS and LFA and the positive probability of CrAg for LFA was detected about 0.75 times compared to the CALAS method. Key word: AIDS, CALAS, CrAg, LFA ABSTRAK Kriptokokosis merupakan infeksi oportunistik terbanyak keempat di pasien Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Kematian pasien meningitis Kriptokokus dilaporkan 100% terjadi dalam dua minggu tanpa pengobatan. Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui bandingan periksaan Cryptococcal antigen (CrAg) antara Cryptococcus Antigen Latex Agglutination System (CALAS) dan Lateral Flow Assay (LFA) di pasien AIDS. Penelitian ini merupakan analisis perbandingan dengan rancangan potong silang terhadap 56 serum pasien AIDS yang berobat di klinik Teratai RSUP Dr. Hasan Sadikin yang belum mendapat pengobatan anti retroviral (ARV) dan belum didiagnosis meningitis Kriptokokus. Pemeriksaan untuk mendeteksi CrAg dilakukan dengan aglutinasi CALAS (Meredien, EIA) dan LFA (IMMY,USA) di setiap sampel. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik Dr. Hasan Sadikin/Laboratorium Penelitian Pengabdian Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (LPPM FK UNPAD) pada masa waktu antara bulan Desember 2012Maret 2013. Analisis statistik menggunakan uji X2 (chi –square). Pada pemeriksaan antara metode CALAS dan LFA tidak terdapat perbedaan bermakna [p=0,596 (p>0,05)] dan peluang mendapat hasil positif untuk mendeteksi CrAg dengan yang metode LFA 0,75 kali dibandingkan dengan cara yang pertama. Dalam kajian pemeriksaan CrAg antara menggunakan metode CALAS dan LFA tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Di samping itu pemeriksaan LFA memiliki peluang untuk mendapatkan hasil positif dalam mendeteksi CrAg 0,75 kali dibandingkan dengan metode CALAS untuk serum pasien AIDS. Kata kunci: AIDS, CALAS,CrAg, LFA
PENDAHULUAN Kriptokokosis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh ragi berkapsul. Kasus terbanyak disebabkan karena jamur Cryptococcus neoformans. Jamur ini terdapat luas di alam dan banyak ditemukan dalam debu atau tanah yang tercemar kotoran burung merpati yang sudah mengering. Penyakit kriptokokosis di manusia biasanya berkaitan dengan fungsi imun
yang menurun atau keganasan. Pasien dengan kelainan sel T, yang menengahi pertahanan tubuh, memiliki kebahayaan yang lebih tinggi terhadap infeksi jamur ini.1 Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan faktor predisposisi terhadap kriptokokosis dan sebanyak kurang lebih antara 7−15% pasien AIDS yang terinfeksi Kriptokokus. Infeksi kriptokokosis biasanya terjadi melalui penghirupan, sehingga
1
PPDS Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjajaran, Bandung. E-mail:
[email protected] Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. 3 Departemen/UPF Ilmu Penyakit Syaraf Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran RSUP Dr Hasan Sadikin, Bandung 2 Departemen/UPF
45
terbentuk fokus primer di paru dan biasanya tidak bergejala dan dapat sembuh secara spontan. Fokus primer ini dapat menyebabkan penyebaran melalui peredaran darah ke tulang, visera dan otak pada kondisi imunosupresif.2,3 Meningitis Kriptokokus merupakan infeksi oportunistik keempat paling umum yang ditemukan di pasien AIDS di Afrika dan Asia Selatan, dengan angka kejadian sebesar15-30%. Kejadian meningitis Kriptokokus di Indonesia yang telah dilaporkan yaitu Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) adalah sebesar 21,9% di pasien AIDS tahun 2004. Terdapat 30% pasien AIDS yang mengidap meningitis kriptokokal di Bandung pada tahun 2008.4 Pemeriksaan jamur Kriptokokus yang terkandung dalam cairan Liquor Cerebrospinalis (LCS), biasanya dilakukan dengan perwarnaan tinta india. Pemeriksaan yang lebih sederhana adalah dengan pemeriksaan getah lateks dan imunokromatografi cepat. Pemeriksaan imunokromatografi cepat dan getah lateks dapat mendeteksi antigen kapsul polisakarida Kriptokokus dalam serum atau LCS. Pemeriksaan ini paling baik dilakukan untuk menentukan meningitis yang disebabkan jamur Kriptokokus dengan kepekaan 94% dan kekhasan 100% dengan metode Cryptococcus Antigen (CrAg) Latex Agglutination System (CALAS). Kekhasan 100% dan kepekaan 100% terdapat pada pemeriksaan dengan metode Lateral Flow Assay (LFA).3,4 Pemeriksaan yang teliti dan cepat sangat diperlukan untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian pasien meningitis Kriptokokus. Oleh karena itu perlu diketahui kajian kedua pemeriksaan cepat tersebut lewat penelitian perbandingannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebaran pada banyak orang terkait penyakit kriptokokosis di pasien pengidap AIDS. Penelitian ini membandingkan dua macam pemeriksaan untuk mendeteksi antigen Kriptokokus antara metode CALAS dan LFA di sejumlah sel limfosit T CD4+ yang berbeda dan terdapat di serum pasien AIDS.
METODE Penelitian ini merupakan kajian analisis perbandingan dengan rancangan potong silang di subjek yang diteliti, yaitu pasien AIDS yang berobat di klinik Teratai RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dengan CD4+<200 sel/mm3. Penelitian dilakukan di laboratorium Subbagian Imunologi Kinik UPF/Bagian Patologi Klinik FKUP/RSUP. Dr. Hasan Sadikin/ LPPM FK UNPAD Bandung pada masa waktu bulan Desember 2012−Maret 2013. Seluruh sampel serum ditapis untuk mendeteksi antigen Kriptokokus dengan metode CALAS dan LFA. Patokan kesertaan yaitu pasien AIDS dengan CD4+ <200 sel/mm3, mereka belum mendapatkan pengobatan ARV dan tidak didiagnosis meningitis. Bahan Pemeriksaan (BP) adalah serum subjek penelitian. Serum yang diperoleh dari pengolahan sampel darah subjek, kemudian dikumpulkan dan disimpan dalam tabung krio pada suhu -800C sampai diperiksa. Pembacaan periksaan deteksi antigen dilakukan oleh tiga orang. Tatalangkah pemeriksaan CALAS meliputi: pelabelan spesimen pembanding dan pasien yang diteliti, dicatat di kartu disposibel; penambahan satu (1) tetes reagen pembanding positif ke dalam dua (2) bulatan yang telah disediakan; penambahan 25 µL pembanding antibodi dan negatif ke dalam setiap bulatan; penambahan 25 µL spesimen pasien di setiap bulatan yang telah disediakan tersebut; penambahan satu (1) tetes reagen detection latex ke dalam setiap bulatan; penambahan satu tetes reagen pembanding getah lateks ke dalam setiap bulatan yang sesuai, menggunakan batang aplikator yang berbeda; pencampuran isi setiap bulatan. Tindakan terakhir adalah slide digoyang menggunakan tangan atau diletakkan di pemutar dengan kecepatan 125 ± 25 rpm selama lima (5) menit. Kemudian hasilnya dibaca. Hasil dinilai sesuai dengan skala yang berkisar mulai dari -4 sampai +4. Tatalangkah pemeriksaan dengan metode LFA meliputi: Penambahan satu (1) tetes sampel diluen
Gambar 1. Tatalangkah pemeriksaan dengan metode LFA. Dikutip dari: IMMY5
46
Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 21, No. 1, November 2014: 45–49
ke dalam aliquot; penambahan 40 µL sampel dan homogenisasi dengan diluen, selanjutnya dimasukkan strip antigen Kriptokokus ke dalam suspensi tersebut, lalu diinkubasi selama 10 menit. Tindakan tahap terakhir yaitu pembacaan hasilnya. Tatalangkah pemeriksaan tersebut dapat dilihat di Gambar 1. Hasil uji dianggap positif jika terdapat dua (2) garis di strip pembanding dan yang diuji. Hasil uji dianggap negatif jika terdapat hanya satu (1) garis di strip pembanding.
HASIL DAN PEMBAHASAN Selama kurun waktu Desember 2012 sampai Maret 2013, didapatkan 56 sampel pasien yang memenuhi patokan kesertaan. Penapisan untuk mendeteksi antigen Kriptokokus dilakukan dengan metode CALAS dan LFA terhadap seluruh sampel. Tabel 1. Perbandingan ciri deteksi antigen kriptokokus serum pasien AIDS Antigen Kriptokokus
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Usia (kuartil) <25 26-31 >31
Nilai p
Positif (n=13)
Negatif (n=43)
10 (17,85%) 3 (5,36%)
30(53,57%) 13(23,22%)
0,617*
3 (5,36%) 8 (14,28%) 2 (3,57%)
10 (17,85%) 22 (39,28%) 11(19,64%)
0,508**
Keterangan: * uji ** uji Mann Whitney
Berdasarkan Tabel 1 dapat ditunjukkan bahwa jumlah perbandingan laki-laki dengan hasil positif terhadap antigen Kriptokokus lebih besar (17,85%) dibandingkan dengan perempuan (5,36%). Uji analisis statistik x2 (chi square) dilakukan untuk melihat perbedaan positifitas deteksi antigen Kriptokokus terhadap jenis kelamin. Hasil uji x2 menunjukkan hasil kemaknaan (p=0,617 (p > 0,05),sehingga dapat diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Analisis ciri subjek penelititan berdasarkan usia terhadap antigen Kriptokokus menggunakan uji Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok usia yang berantigen kriptokokus [p = 0,508 (p > 0,05)]. Perbandingan deteksi antigen Kriptokokus serum pasien dengan jumlah sel limfosit T CD4+ < 100 sel/ mm3 dan yang 100 ≤ CD4+ <200 sel/mm3 dapat dilihat di Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa ada perbedaan yang bermakna antara deteksi antigen Kriptokokus serum pasien dengan jumlah sel limfosit T CD4+ <100 sel/mm3 dan yang 100≤CD4+<200 sel/mm3 dengan [p=0,002 (p≤0,05)]. Berdasarkan perhitungan Ratio Prevalens (RP) didapatkan bahwa pengidap dengan jumlah limfosit T CD4+<100 sel/ mm3 memiliki peluang untuk mendapatkan hasil positif pemeriksaan antigen Kriptokokus 1,87 kali lebih besar dibandingkan dengan serum yang bersangkutan, yaitu jumlah limfosit T 100≤CD4+<200 sel/mm3. Tabel 3 dapat menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara pemeriksaan antigen kriptokokus dengan metode CALAS dan LFA [p=0,596 (p>0,05)], serta RP pada pemeriksaan
Tabel 2. Perbandingan deteksi antigen kriptokokus serum pasien yang terdapat jumlah limfosit T CD4+<100 sel/mm3 dan 100≤ CD4+ < 200 sel/mm3 Jumlah CD4+ CD4+ <100 sel/mm3 100≤CD4+<200 sel/ (n=36) mm3 (n=20) Deteksi Positif Negatif
13 (23,22%) 23 (41,07%)
0 (0%) 20 (35,72%)
Jumlah keseluruhan 13(100%) 43 (100%)
RP
Nilai P
1,87 (1,42-2,47)
0,002*
Keterangan: RP = Ratio Prevalens * uji x 2
Tabel 3. Perbandingan pemeriksaan antigen Kriptokokus dengan metode CALAS dan LFA Hasil memeriksa Antigen CALAS Negatif Positif Pemeriksaan antigen LFA Negatif Positif
43 (76,78%) 1 (1,78%)
RP
Nilai p
0,75
0,596*
3 (5,36%) 9 (16,07%)
Keterangan : RP =Ratio Prevalens * uji x2
Pemeriksaan Cryptococcal Antigen Antara - Aditya, dkk.
47
dengan yang LFA memiliki peluang mendapatkan hasil positif pemeriksaan antigen Kriptokokus 0,75 kali dibandingkan dengan metode yang pertama untuk serum pasien AIDS. Berdasarkan ciri jenis kelamin terhadap antigen Kriptokokus, terdapat jumlah perbandingan laki-laki dengan hasil positif lebih besar (17,85%) dibandingkan dengan perempuan (5,36%). Namun tidak terdapat perbedaan bermakna antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan dihubungkan dengan positifitas di deteksi antigen kriptokokus [p=0,617 (p > 0,05)]. Hasil ini sesuai dengan telitian sebelumnya yang dilakukan oleh Cachay dkk6 yang menunjukkan jumlah pasien AIDS dengan infeksi Kriptokokus lebih banyak di laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Ciri subjek penelitian berdasarkan usia dengan uji stastistik Mann whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok usia dan serum antigen Kriptokokus pasien [p=0,508 (p>0,05)]. Berdasarkan beberapa data kepustakaan bahwa infeksi kriptokokosis menunjukkan dapat terjadi di pasien AIDS di semua kelompok usia. Telitian ini memperlihatkan bahwa jumlah pasien di kelompok usia antara 25−31 tahun adalah yang terbanyak, dengan jumlah CrAg positif 14,28% dan negatif 39,28%. Pasien AIDS tertinggi adalah pada usia produktif, yang terjadi karena penggunaan narkoba dengan jarum suntik secara bersama-sama dan berulang yang biasanya terjadi di kelompok usia ini. Sebagian besar pasien infeksi HIV di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung tertular melalui jarum suntik pada pemakaian narkoba.7,8 Perbandingan antara deteksi antigen Kriptokokus dan jumlah sel limfosit T CD4+ di serum pasien terdapat perbedaan bermakna dengan CD4+,100 sel/mm3 dan di yang berlimfosit T 100≤CD4+ <200 sel/mm3. Pasien yang memiliki jumlah limfosit T CD4+<100 sel/mm3 berpeluang untuk mendapatkan hasil positif pemeriksaan antigen kriptokokus 1,87 kali lebih besar dibandingkan serum pasien yang mempunyai 100≤CD4+<200 sel/mm3. Hal ini sesuai dengan teori sebelumnya, yaitu pasien AIDS dengan kriptokokosis biasanya memiliki jumlah CD4 < 100 sel/uL dan kurangnya respons inflamasi.4,9 Pasien datang dengan gejala sakit kepala, malaise, demam, gangguan penglihatan yang dapat disertai dengan meningismus, papiledema, kelumpuhan saraf VI bila terjadi peningkatan tekanan endokranial.2 Pertahanan primer di tubuh terhadap Kriptokokus adalah melalui fagositosis oleh sel Polimorfonuklear (PMN) atau neutrofil yang merupakan sel fagositik yang tepatguna pada masa penyakit awal infeksi. Makrofag memegang peranan penting dalam fagositosis saat terjadi infeksi kriptokokosis. Makrofag dapat memfagosit sel asing melalui hubungan dengan
48
reseptor antibodi Fc dan atau terkait C3 melalui jalur komplemen. Sel makrofag dan PMN menghasilkan Reactive Oxygen Intermediates (ROIs) serta memiliki mekanisme nonoksidatif yang mampu membunuh Kriptokokus. Sitokin yang berperan dalam infeksi ini adalah Granulocytemacrophage (GM-CSF) dan Tumor Necrosis factor (TNF-a) yang akan meningkatkan fagositosis complement mediated. Makrofag hanya dapat membunuh antara 1−2 sel Kriptokokus tanpa sitokin tersebut, sedangkan respons imun yang disertai perangsangan sitokin dapat membunuh antara 6−8 sel kriptokokus.10 Tiga mekanisme yang ada memungkinkan Kriptokokus melewati sawar darah otak, sehingga memasuki sistem saraf pusat yaitu: Melewati mekanisme lewat sel langsung, kriptokoki diinternalisasi oleh sel endotel; Mekanisme Trojan Horse yaitu kriptokoki diliputi oleh sel fagositik pada awal infeksi dan melalui sel pejamu ke sistem saraf pusat dan; Dialihkan langsung dari fagosit yang terinfeksi ke dalam sel endotel dan kemudian keluar melalui permukaan sel albumin.4 Telitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara metode CALAS dan LFA dalam mendeteksi antigen Kriptokokus. Pemeriksaan LFA memiliki peluang untuk mendapatkan hasil positif yang terkait antigen Kriptokokus 0,75 kali dibandingkan dengan cara CALAS. Hasil tersebut berbeda dengan telitan yang dilakukan oleh Clarke et al,11 Saha et al,12 Binnicker et al.13 Metode CALAS memiliki kepekaan 94% dan LFA 100%. Sedangkan untuk kekhasan, kedua macam metode tersebut memiliki 100% terhadap antigen Kriptokokus untuk serum. Beberapa telitian sebelumnya (Boom et al.,1985; Heelan et al., 1991; Kornfeld & Worthington, 1980; MacKinnon et al., 1978; Millon et al., 1995; Sachs et al.,1991; Stoeckli & Burman, 2001; Whittier et al., 1994)12 menyebutkan bahwa metode CALAS merupakan pemeriksaan yang peka, tetapi memiliki keterbatasan berupa positif palsu dan juga negatif. 12 Pemeriksaan CALAS dapat menghasilkan pemeriksaan positif palsu yang disebabkan Rheumatoid factor, sehingga serum perlu dipanaskan dan diberi pronase terlebih dahulu. Hasil negatif palsu disebabkan oleh dampak prozon.14,15 Lateral flow immunoassay merupakan salah satu metode memeriksa yang dapat digunakan untuk mendeteksi antigen Kriptokokus. Lateral flow immunoassay merupakan uji semikuantitatif untuk mendeteksi antigen kapsul polisakarida dari galur Kriptokokus. Perangkat LFA terdiri dari strip uji yang dilapisi oleh antibodi monoklon yang dapat mendeteksi empat (4) serotipe Kriptokokus, stabil pada suhu ruangan selama lebih dari satu (1) tahun.16
Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 21, No. 1, November 2014: 45–49
Beberapa alat uji pendeteksi CrAg terdapat, tetapi tidak dianjurkan pemakaiannya, karena beberapa pemeriksaan memiliki keterbatasan yang menyebabkan kejadian yang tidak terdiagnosis dan mengakibatkan infeksi kriptokokosis lebih mematikan. Pemeriksaan metode LFA sangat dianjurkan untuk mendeteksi CrAg, karena memiliki kepekaan 100% yang telah diuji menggunakan serum yang tersimpan. Pembandingan dengan pemeriksaan bakuan emas, yaitu kultur darah dan juga cara LFA yang memiliki kesesuaian dengan Cryptococcal Enzyme Immunoassay (EIA). Kelebihan pemeriksaan metode LFA adalah waktu Turn Around Time (TAT) yang cepat dalam mendiagnosis, yaitu pada saat kedatangaan pasien di klinik, sehingga pemberian pengobatan dapat dilakukan lebih dini. Sesuai dengan telitian sebelumnya yang dilakukan di Thailand.16 Simpulan telitian ini ialah bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara metode CALAS dan LFA dalam mendeteksi antigen Kriptokokus. Pemeriksaan metode LFA memiliki peluang untuk mendapatkan hasil positif periksaan antigen Kriptokokus sebesar 0,75 kali dibandingkan dengan yang metode CALAS di pasien AIDS.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10. 11.
12.
13.
14.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2. 3.
Prasetyo H, Rahmad A. Penyakit Yang disebabkan Mikrosporidiosis dan Blastosistosis. Dalam: Hadidjaja P, Sri S M, penyunting. Dasar Parasitologi Klinis. pertama ed., Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011; 96-100. Jarvis JN, Harrison TS. HIV-associated cryptococcal meningitis. AIDS Journal. 2007; 21(1): 2119-29. Schop J. Protective immunitiy Against Cryptococcus Neoformans infection. McGill J of Med. 2007; 10 (1): 35-43.
15. 16.
17.
Efrida, Desiekawati. Kriptokokal meningitis: Aspek klinis dan diagnosis laboratorium. Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1 (1): 39-44. Cryptococcal Antigen Lateral Flow Assay Performance Summary [database on the Internet]. www.IMMY.com. 2010 [cited 23 June 2013]. Cachay ER, Caperna J, Sitapati AM, Jafari H, dkk. Utility of Clinical Assessment, Imaging and Cryptococcal Antigen Titer to Predict AIDS-related Complicated Form of Cryptococcal Meningitis. Biomed Central Journal. 2010; 7 (29): 1-6. Ditjen PPM & PL Depkes RI. Statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan: 2010; 1-15 Wicaksana R, Alisjahbana B, Crevel Rv, dkk. Challenges in Delivering HIV-care in Indonesia: Experiance from a Referal Hospital. Indo j Intern med. 2009; 41 (5): 45-51. Dzoyem J, Kechia F, Ngaba G, et a. Prevalence of cryptococcosis among HIV-infected patients in Yaounde, Cameroon. African Health sciences. 2012; 2 (12): 129-13. Schop J. Protective Immunity Against Cryptococcus Neoformans Infection. MJM. 2007; 10 (1): 35-43. Clarke S, Gibb R. Evaluation of The IMMY CrAg Lateral Flow Assay for Detection of Cryptococcal Antigen. 2011 diunduh tanggal 23 Januari 2014, tersedia dari www.IMMY.com Saha DC, Xess I, Biswas A, Bhowmil DM, Padma MV. Detection of Cryptococcus by Conventional, Serological and Molecular Methods. JMM. 2009; 58 (2): 1098-105. Binnicker MJ, Jespersen DJ, Bestrom JE, Rollin KO. A Comparison of Four Assay for the Detection of Cryptococcal Antigen. Clin Vaccine Immunol. 2012; 10 (5): 1-12. Thomas G, Mitchell, John R. Cryptococcosis in the Era of AIDS 100 years after the Discovery of Cryptococcus neoformans. J Clin Microbiol. 1995; 8 (4): 515-48. Bennett J, Bailey J. Control for Rheumatoid Factor in Latex Test for Crytococcosis. Am J Clin Pathol. 2004; 19 (7): 1-7. Lindsley MD, Mekha N, Baggett HC, al e. Evaluation of Newly Developed Lateral Flow Immunoassay for the Diagnosis of Cryptococcosis. Clin Infect Dis. 2011; 53 (4): 321-5. McMullan BJ, Halliday C, Sorrel T, Judd D, al e. Clinical Utility of the Cryptococcal Antigen lateral Flow Assay in a Diagnostic Mycology Laboratory Plos One. 2007; 7 (11):1-7.
Pemeriksaan Cryptococcal Antigen Antara - Aditya, dkk.
49
PENERAPAN UNIVERSAL PRECAUTION UNTUK PENCEGAHAN PENULARAN HIV-AIDS Lusi Andriani Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Bengkulu, Jurusan Kebidanan, Jalan Indragiri Nomor 3 Padang Harapan Kota Bengkulu
[email protected] Abstract: Universal Precaution socialization for midwives in Bengkulu had been realized since 2000 by giving preventive on infection (PI) information, but in fact UP implementation does not implemented properly so the risk of HIV & AIDS transmission becoming higher. The purpose of this research for analyze Universal Precaution practice by the midwives in delivery service for prevent HIV & AIDS transmission. This research is a part of explanatory research with cross sectional approaching. The sample of this research is the number of total population who included in the inclusion criteria, they are 220 midwives. The data collection was using questionnaire and for crosscheck data was using indepth interview on 6 key informants. analyzing data using descriptive analysis and content analysis. There are five variables were giving the influences on this research, they are : the knowledge about HIV with OR=16.990, the knowledge on Universal Precaution with OR= 3.214, attitudes on HIV with OR=9.719, resources with OR= 28.416 and policy with OR= 4.847. Keywords : UP Implementation, Woman delivery Service Abstrak : Sosialisasi mengenai Universal Precaution (UP) pada bidan di kota Bengkulu telah dilakukan sejak tahun 2000 melalui pemberian informasi Pencegahan Infeksi (PI), namun pada kenyataannya praktik UP tidak dilaksanakan secara baik dan benar, sehingga resiko penularan HIV & AIDS semakin besar. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui penerapan UP oleh bidan dalam pertolongan persalinan untuk pencegahan penularan HIV & AIDS. Penelitian ini menggunakan metode explanatory research dengan pendekatan potong silang. Sampel adalah total populasi yang masuk dalam kriteria inklusi yaitu 220 orang bidan, pengumpulan data menggunakan kuesioner dan untuk data Crosscheck dilakukan melalui indepth interview terhadap 6 orang informan. Data dianalisa secara deskriptif dan analisis isi. Terdapat 5 variabel yang berpengaruh yaitu : pengetahuan tentang HIV OR= 16.990, pengetahuan terhadap UP OR= 3.214, sikap terhadap HIV OR= 9.719, sarana prasarana OR= 28.416 dan kebijakan OR=4.847. Kata kunci : Determinan, Penerapan UP, Pertolongan Persalinan
Virus HIV dan Hepatitis memiliki peluang untuk menular di sarana pelayanan kesehatan, baik dari pasien ke petugas kesehatan, maupun dari pasien ke pasien bahkan, dari petugas kesehatan ke pasien. Menurut Schilo dkk (1993) dari penelitian di Michigan Amerika Serikat menunjukkan masih banyak paramedis yang tidak konsisten dalam penerapan universal precaution (UP). Risiko penularan penyakit yang dapat ditularkan melalui darah sangat berpengaruh dari perilaku para petugas kesehatan (Mayfield, 1993).. World Health Organization (WHO) mensinyalir dari 35 juta petugas kesehatan di seluruh dunia, diperkirakan sekitar 3 juta
mengalami pajanan patogen darah setiap tahun, 2 juta terpajan virus Hepatitis B, 0,9 juta terpajan hepatitis C, 17 ribu kasus heaptitis B dan 100 kasus HIV & AIDS, lebih dari 90 % (15.300 kasus) penyakit infeksi terdapat di negara yang sedang berkembang (Depkes RI,2003 dan Wu Sheng, 2008). Sejak tahun 2002 penularan infeksi HIV juga telah meluas ke rumah tangga. Di Jakarta dilaporkan bahwa sekitar 3% dari 500 ibu hamil yang dites secara sukarela dalam kegiatan Voluntary Counseling Testing (VCT) sudah terinfeksi HIV. Bahkan sejak pertengahan tahun 1996 juga dilaporkan HIV merenggut kelompok ibu-ibu rumah tangga
62
Lusi, A Penerapan Universal Precaution Dalam Pelayanan Pertolongan… 63
dan bayi yang lahir dari ibu HIV positif (Kemenkes, 2011). Prevalensi infeksi HIV & AIDS di propinsi Bengkulu setiap tahun jumlahnya meningkat. Jika dilihat dari data 2003 hingga 2011 terjadi peningkatan yang cukup tajam. Dilaporkan sejumlah 296 orang yang terinfeksi HIV pada tahun 2010 terdiri dari 197 orang pria, 98 orang wanita dan 1 waria. Dari 98 orang wanita yang dilaporkan HIV positif tersebut terdapat 2 orang ibu bersalin dengan anak yang juga tertular HIV positif. Sedangkan tahun 2011 dari 400 orang yang terinfeksi terdiri dari 200 orang wanita, 187 pria dan 13 waria (Dinkes Propinsi Bengkulu, 2010) Bidan sebagai salah satu pemberi layanan kesehatan lini terdepan yang dalam tugasnya dapat berisiko terhadap tertular penyakit dari pasien yang ditolongnya seperti penyakit HIV & AIDS dan Hepatitis (Depkes RI, 2003 dan Nursalam, 2009). Dengan meningkatnya kasus HIV & AIDS pada ibu rumah tangga, maka bidan merupakan populasi yang memiliki risiko tinggi untuk dapat tertular, karena sebagian besar pasien bidan adalah ibu rumah tangga yang sebagian besar memeriksakan kesehatan terutama dalam pertolongan persalinannya ditolong oleh bidan (Tietjen, Linda, 2004) Sosialisasi mengenai UP pada bidan di kota Bengkulu telah dilakukan sejak tahun 2000 melalui pemberian informasi PI yang termasuk dalam materi pelatihan APN, namun pada kenyataannya praktik UP tidak dilaksanakan secara baik dan benar sehingga resiko penularan HIV & AIDS semakin besar. Fakta lain sebaran kasus penyakit ini kurang diinformasikan kepada seluruh petugas kesehatan termasuk bidan. Bidan di Kota Bengkulu berjumlah 248 orang sedangkan yang sudah mendapat pelatihan APN sebanyak 200 orang, jumlah persalinan tahun 2010 adalah 5076 persalinan, yang ditolong oleh tenaga kesehatan sebanyak 4512 (88,9 %). Dilaporkan dari jumlah persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan 2700 persalinan (53,19 %) ditolong oleh bidan (Dinkes Propinsi Bengkulu, 2010). Permasalahan yang dihadapi adalah
adalah faktor apa yang mempengaruhi bidan dalam penerapan UP pada pertolongan persalinan sebagai upaya pencegahan penularan HIV & AIDS di Kota Bengkulu. BAHAN DAN CARA KERJA
Jenis penelitian ini merupakan Explanatory Research. dengan pendekatan crosssectional dikombinasikan dengan crosscheck data triangulasi. Populasi penelitian ini adalah semua bidan yang berada di Kota Bengkulu berjumlah 220 orang yang memenuhi kriteria inklusi sudah melakukan pertolongan persalinan minimal 1 tahun dan berdomisili di Kota Bengkulu. Crosscheck dilakukan dengan cara triangulasi sumber yang dilakukan pada subyek penelitian masingmasing 2 orang yaitu pihak Dinas Kesehatan, Pengurus IBI Kota Bengkulu dan Atasan tempat bidan bekerja (2 orang). Varaiabel yang diteliti adalah usia, pendidikan, masa kerja, pengetahuan tentang HIV, pengetahuan tentang UP, sikap terhadap HIV, sikap terhadap UP, kebijakan, dukungan teman, dukungan IBI, dukungan dinas kesehatan dan kepatuhan pelaksanaan UP. Data dianalisis secara univariat, bivariat dengan uji chisquare dan multivariat dengan regresi logistik. HASIL
Analisis Univariat Tabel 1. Distribusi Frekuensi Umur, Pendidikan, Masa Kerja Bidan Variabel
F
%
<30 tahun
178
19.1
≥ 30 tahun Pendidikan DI
42
80.9
51
23.2
≥D III/DIV/S1/S2
169
76.8
< 5 tahun
57
25.1
≥ 5 tahun
163
74.1
Umur
Masa Kerja
Berdasarkan Tabel 1 dari 220 orang responden hampir seluruhnya berada pada ke-
64 Jurnal Media Kesehatan, Volume 7 Nomor 1, Februari 2014, hlm 01- 99
lompok umur ≥30 tahun (80.9%), dilihat dari pendidikan hampir seluruhnya mempunyai pendidikan ≥ DIII/DIV/S1/S2 (76.8%) dan sebagian besar dengan masa kerja ≥ 5 tahun (74.1%). Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pengetahuan HIV dan UP, Sikap Terhadap HIV dan UP, Kebijakan, Dukungan Teman, IBI, DinKes dan Kepatuhan Pelaksanaan UP Variabel
F
%
Baik
111
50.5
Kurang Baik
109
49.5
Baik
112
50.9
Kurang Baik
108
49.1
Baik
106
48.2
Kurang Baik
114
51.8
Tersedia
148
67.3
Tidak Tersedia
72
32.7
Ada
143
65.0
Tidak Ada
77
35.0
Ada
191
86.8
Tidak Ada
29
13.2
Ada
141
64.1
Tidak ada
79
35.9
Ada
106
48.2
Tidak Ada
114
51.8
Patuh
84
38.2
Tidak Patuh
136
61.8
Pengetahuan HIV
Pengetahuan UP
Sikap Terhadap HIV
Sikap Terhadap UP
Kebijakan
Dukungan Teman
Dukungan IBI
Dukungan DinKes
Kepatuhan Pelaksanaan UP
Berdasarkan Tabel 2 Variabel pengetahuan bidan tentang HIV dan pengetahuan tentang UP hampir sama yaitu setengah dari responden mempunyai pengetahuan baik
(50.5%) tentang pengetahuan HIV dan (50.9%) pengetahuan tentang UP, sedangkan sikap terhadap UP sebagian besar responden (61.8%) mempunyai sikap baik lebih banyak dibandingkan sikap terhadap HIV yaitu hanya (48.2%) yang bersikap baik. Sebagian besar responden (51.8%) telah mempunyai sarana dan prasarana lengkap dan sebagian besar (67.3%) tersedia standar pelayanan. Sebagian besar bidan (65%) mengatakan ada kebijakan, hampir seluruh bidan mengatakan ada dukungan dari teman (86.8%), hanya (35.9%) yang mengatakan tidak ada dukungan dari IBI dan hanya (48.2%) ada dukungan dari dinas kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar bidan (61.8%) tidak patuh dalam pelaksanaan UP dalam pertolongan persalinan di Kota Bengkulu tahun 2012. Analisis Bivariat
Berdasarkan tabel 2 diketahui dari 220 orang bidan yang mempunyai pengetahuan baik tentang HIV lebih banyak yang patuh (65.8%) dibandingkan dengan pengetahuan kurang baik (10.1%) (ρ= 0.000), demikian juga dengan bidan yang mempunyai pengetahuan baik tentang UP lebih banyak yang patuh dalam pelaksanaan UP (59.8%) dibandingkan dengan yang pengetahuannya kurang baik (15.7%) ( ρ=0.000). Sikap terhadap HIV dan sikap terhadap UP juga menunjukkan bahwa bidan yang mempunyai sikap baik cenderung patuh dalam pelaksanaan UP (ρ= 0.000). Hasil analisis menunjukkan bidan dengan sarana lengkap lebih banyak yang patuh dalam pelaksanaan UP (65.8%) dibandingkan bidan yang sarana dan prasarana tidak lengkap (8.5%) (ρ= 0.000), demikian juga dengan bidan yang menyatakan ada kebijakan lebih banyak yang patuh (51.7%) dibandingkan bidan yang menyatakan tidak ada kebijakan (ρ= 0.000). Sedangkan untuk variabel standar pelayanan, dukungan teman, dukungan IBI dan dukungan dinas kesehatan dari hasil analisis tidak didapatkan hubungan.
Lusi, A Penerapan Universal Precaution Dalam Pelayanan Pertolongan… 65
Tabel 3. Hasil Analisis Hubungan Variabel Bebas dengan Pelaksanaan UP dalam Pertolongan Persalinan oleh Bidan Penerapan UP Patuh
Variabel
Tidak Patuh
F
%
F
%
Pengetahuan HIV Baik
73
65.8
38
34.2
Kurang Baik
11
10.1
98
89.9
Pengetahuan UP Baik
67
59.8
45
40.2
Kurang Baik
17
15.7
91
84.3
Sikap Terhadap HIV Baik
65
61.3
41
38.7
Kurang Baik
19
16.7
95
83.3
Sikap Terhadap UP Baik
61
44.9
75
55.1
Kurang Baik
23
27.4
61
72.6
Sarana Prasarana Lengkap
75
65.8
39
34.2
9
8.5
97
91.5
Tidak Lengkap Standar Pelayanan Tersedia
51
34.5
97
65.5
Tidak Tersedia Kebijakan
33
45.8
39
54.2
Ada
74
51.7
69
48.3
Tidak Ada
10
13
67
87
Dukungan Teman Ada
76
39.8
115
60.2
Tidak Ada
8
27.6
21
72.4
Dukungan IBI Ada
60
42.6
81
57.4
Tidak Ada
24
30.4
55
69.6
Dukungan Dinas Ada
54
50.9
52
49.1
Tidak Ada
30
26.3
84
73.7
ρ
Analisis Multivariat Tabel 4. Hasil Analisis Pengaruh Variabel Bebas terhadap Penerapan UP oleh Bidan Pada Pertolongan Persalinan Normal
B 0.000
0.000
0.000
0.010
0.000
0.103
0.000
0.207
0.075
0.000
S.E. Wald
Pengetahuan 2.833 .733 14.934 HIV Pengeta1.167 .514 5.167 huan UP Sikap terhadap 2.274 .544 17.470 HIV Sarana 3.347 .677 24.455
Sig.
Exp (B)
95,0% C.I.for EXP(B)
.000 16.990
4.03971.471
.023
3.214
1.1758.793
.000
9.719
3.34628.233
7.542107.071 1.3534.847 17.362
.000 28.416
Kebijak1.578 .651 5.878 .015 an Cons-6.959 1.415 24.189 .000 tant
.001
Hasil uji statistik multivariat pada tabel 4 diketahui bahwa terdapat 5 variabel yang memiliki nilai ρ< 0,05, yaitu variabel pengetahuan tentang HIV ( ρ=0,000, OR=16.990), variabel pengetahuan terhadap UP (ρ=0,023, OR= 3.214), sikap terhadap HIV (ρ=0,000, OR=9.719), sarana prasarana (ρ=0,000, OR= 28.416) dan kebijakan (ρ=0.015, OR=4.847). Dari tabel tersebut diketahui nilai ά adalah 6.956 dan nilai β berturut-turut adalah sarana (β=3.347), pengetahuan HIV (β=2.833), sikap terhadap HIV (β=2.274), kebijakan (β=1.578) dan pengetahuan tentang UP (β= 1.167) sedangkan nilai e adalah konstanta. Bila angka tersebut diatas dimasukkan kedalam persamaan regresi logistik maka diperoleh hasil sebesar 0.9853 (98.53%), yang artinya apabila secara bersama-sama variabel sarana, pengetahuan tentang HIV, sikap terhadap HIV, kebijakan dan pengetahuan tentang UP dalam kategori baik, maka probabilitas untuk terjadinya kepatuhan dalam pelaksanaan UP dalam pertolongan persalinan adalah sebesar 98.53%. PEMBAHASAN
Penelitian ini berfokus pada penerapan UP pada pertolongan persalinan terutama
66 Jurnal Media Kesehatan, Volume 7 Nomor 1, Februari 2014, hlm 01- 99
dalam pencegahan dan penularan HIV/ AIDS, hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden 61.8% tidak patuh dalam penerapan UP dan sebanyak 38.2% yang patuh dalam penerapan UP pada pertolongan persalinan oleh bidan di kota Bengkulu. Hasil wawancara dengan Ketua IBI dan wakil ketua 1 IBI Kota Bengkulu mengatakan dari hasil supervisi yang pernah dilakukan alat perlindungan diri yang seringkali tidak digunakan oleh bidan saat menolong persalinan adalah kacamata pelindung, masker dan sepatu boot. Ketua IBI juga menjelaskan bidan dalam hal dekontaminasi alat sering tidak menyikat alat setelah direndam dengan larutan klorin, jarang menggunakan sarung tangan rumah tangga pada saat mencuci alat, tidak melakukan dekontaminasi lantai dan tempat tidur dengan benar, tidak membuang sampah tajam pada tempat khusus karena tidak tersedia ditempat praktik. Hasil analisis bivariat pada penelitian ini didapatkan variabel yang berhubungan dengan penerapan UP adalah variabel pengetahuan tentang HIV (p=0.000) dan pengetahuan UP (p=0.000), sikap terhadap HIV (p= 0.000) dan sikap terhadap UP (p= 0.010), sarana dan prasarana (p=0.000), implementtasi kebijakan (p=0.000) dan dukungan dinas kesehatan (p=0.000). Hasil uji statistik multivariat diperoleh 5 variabel yang berpengaruh yaitu pengetahuan tentang HIV nilai OR=16.990, pengetahuan terhadap UP nilai OR=3.214, sikap terhadap HIV nilai OR= 9.719, sarana prasarana nilai OR=28.416, kebijakan dengan nilai OR=4.847. Pengetahuan dan sikap bidan tentang HIV & AIDS pada penelitian ini didapatkan pengaruhnya lebih kuat dibandingkan dengan sikap terhadap UP hal ini kemungkinan di sebabkan pengetahuan bidan yang masih kurang tentang HIV & AIDS dan cara penularannya karena masih kurangnya sosialisasi yang diberikan, seperti informasi yang didapatkan dari hasil wawancara dengan pengurus IBI kota Bengkulu yang mengatakan bahwa sosialisasi tentang HIV & AIDS tidak secara rutin diberikan hanya IBI pernah mengadakan seminar pada
saat isu tentang HIV & AIDS sedang berkembang dan setelah itu tidak pernah lagi diberikan. Selain itu masih terdapat bidan yang menganggap bahwa resiko tertular HIV & AIDS kemungkinan kecil karena sebagian besar pasien bidan adalah ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak yang menurut bidan tidak beresiko untuk menularkan padahal jika bidan mengetahui bahwa siapapun bisa tertular HIV & AIDS tidak melihat dari jenis aktivitas dan pekerjaannya. Oleh karena pengetahuan bidan yang kurang tentang HIV & AIDS maka sikap bidan juga kurang mendukung dalam pencegahannya sehingga hal ini berdampak pada kepatuhan dalam pelaksanaan UP, bidan tidak melaksanakan UP secara benar karena bidan menganggap ia tidak beresiko tertular, hal ini didukung dengan tidak adanya monitoring dalam pelaksanaan UP baik dari organisasi profesi IBI maupun dari Dinas Kesehatan dimana dari pihak Dinas Kese-hatan didapatkan informasi dari hasil wawancara memang tidak pernah dilakukan monitoring dalam pelaksanaan UP pada bidan praktik swasta demikian juga dari organisasi profesi IBI hanya melakukan evaluasi setahun sekali. Jika dilihat dari segi pendidikan ilmu pengetahuan tentang HIV & AIDS tidak didapatkan bidan selama menempuh pendidikan dikarenakan pengetahuan tentang HIV & AIDS belum masuk kedalam kurikulum pendidikan bidan yang seharusnya sejak masa pendidikan mahasiswa sudah diberikan pengetahuan tentang hal tersebut sehingga dapat menimbulkan sikap tidak menganggap remeh suatu penyakit terutama HIV & AIDS yang berkembang sangat cepat dewasa ini. Pada variabel sarana dan prasarana mempengaruhi penerapan UP karena secara umum merupakan alat penunjang keberhasilan apabila hal tersebut tidak tersedia maka semua kegiatan yang dilakukan tidak akan dapat mencapai hasil yang diharapkan (Lukman, 2000). Demikian juga seorang bidan dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan PerMenKes RI nomor 572/ MenKes/VI/1996 harus dilengkapi dengan sarana prasarana yang menunjang sehingga bidan
Lusi, A Penerapan Universal Precaution Dalam Pelayanan Pertolongan… 67
dalam bekerja mempunyai panduan yang harus dipedomani dan dilaksanakan (Pengurus IBI Pusat, 2007). Responden dalam penelitian ini yaitu bidan ditempat praktiknya hanya sebagian (51.8%) yang memiliki sarana lengkap yang artinya masih banyak bidan yang belum melengkapi sarana dan prasarana terutama dalam pelaksanaan UP masih banyak bidan yang belum menyediakan masker, sepatu boot, kacamata, penutup kepala, sarung tangan rumah tangga, sarana dekontaminasi, sterilesasi dan pembuangan sampah medis tajam yang memadai. Bidan menganggap bahwa peralatan tersebut tidak perlu disediakan selain karena repot dalam menggunakan bidan menganggap resiko untuk tertular kecil, hal ini juga didukung dengan tidak adanya monitoring dan sanksi yang diberikan oleh organisasi profesi maupun IBI sehingga tidak ada yang mendukung dalam kepatuhan pelaksanaan UP. Demikian juga dengan adanya kebijak-an dimana kebijakan merupakan aturan yang bersifat tertulis dan mengikat yang akan menjadi rujukan bagi bidan dalam melaksa-nakan tugasnya sehingga timbul suatu kepa-tuhan dan apabila didukung oleh pihak yang berwenang dalam hal ini dinas kesehatan maka kepatuhan tersebut akan semakin baik.
KESIMPULAN
Berdasarkan tujuan dan hasil penelitian disimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan bidan tentang HIV/AIDS, pengetahuan bidan tentang UP, Sikap bidan terhadap HIV/AIDS, sikap bidan terhadap UP, sarana dan prasarana, implementtasi kebijakan dan dukungan dinas Kesehatan dengan penerapan UP dalam pertolongan persalinan. Tidak ada hubungan antara umur, masa kerja, pendidikan, standar pelayanan, dukungan teman sejawat, dukungan IBI dengan penerapan UP oleh bidan dalam pertolongan persalinan. Variabel yang berpengaruh terhadap penerapan UP adalah pengetahuan tentang HIV, pengetahuan terhadap UP, sikap terhadap HIV, sarana prasarana, dan kebijakan. Diharapkan IBI bekerjasama dengan dinas kesehatan atau instansi lain untuk mengadakan pelatihan tentang HIV/AIDS dan bekerjasama dengan pihak institusi pendidikan agar materi tentang HIV/AIDS dapat diberikan secara khusus dalam kurikulum pembelajaran, serta melakukan monitoring dan evaluasi dalam pelayanan pertolongan persalinan di tempat praktik bidan minimal 3 bulan sekali.
DAFTAR RUJUKAN Budianto Agung Analisis Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Bidan Dalam Praktek Universal Precaution Pada Pertolongan Persalinan di Wilayah Eks Kawedanan Wanadadi Banjarnegara. Tesis. 2010 Brook G.F, Butel J.S, Morse S.A, Jawets, Melnick & Adelberg. Medical Microbiology 23 th edition. McGra Hill. 2005. Depkes RI. Panduan Pelaksanaan Kewaspadaan Universal. Jakarta. Depkes RI. 2003. Depkes. Ditjen PPM & PL. Statistik Kasus HIV AIDS di Indonesia dilapor s/d September 2011. Jakarta. 2011. , Ibu Rumah Tangga Peringkat Kedua Penderita HIV/AIDS. Suara Merdeka Edisi Rabu 24 September 2008. Depkes RI. Standar Pelayanan Kebidanan. Jakarta. Depkes RI. 2000. Depkes RI. Etika dan Kode Etik Kebidanan. Jakarta. 2002.
Dinas Kesehatan Propinsi Bengkulu. Profil Dinas Kesehatan Propinsi Bengkulu Tahun 2010. Bengkulu. 2010. Dunn WN. Analisis Kebijakan. Jakarta. 1999 Green.L.W. Health Promotion Planning An Educational and Environmental Approach. Mayfield Publishing Company. 2000. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS Tahun 2010-2014. 2010. Mayfield E. Universal Precaution. FDA Consumer. April 1993;27:3 Muninjaya Gde AA. AIDS di Indonesia , Masalah, Kebijakan dan Penanggulangannya. Jakarta. EGC. 1999. Mustika Sofyan, Nur Aini Madjid, Ruslidjah S. Bidan Menyongsong Masa Depan. Cetakan Ke VII. Jakarta. Pengurus Pusat IBI. Jakarta. 2006. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta. Rineka Cipta. 2007.
68 Jurnal Media Kesehatan, Volume 7 Nomor 1, Februari 2014, hlm 01- 99
Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta. Rineka Cipta. 2007. Nursalam. Kurniawati Dian Ninuk. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika; 2009. Schillo Barbara A, Reischl Thomas. M. HIV-Related Knowledge and Precaution Among Michigan Nurses. American Journal Of Public Health. Oktober 1993;83 : 1438-1442
Sugiyono. Statistik Untuk Penelitian. Bandung. Alfabeta. 2006. Tietjen.Linda.dkk. Panduan Pencegahan Infeksi Untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan Sumber Daya Terbatas. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2004.
JURNALYuniarti, GIZI KLINIK INDONESIA 132 Martalena Br Purba, Retno Pangastuti Vol. 9, No. 3, Januari 2013: 132-138
Pengaruh konseling gizi dan penambahan makanan terhadap asupan zat gizi dan status gizi pasien HIV/AIDS The effect of nutrition counseling and nutritional supplementation on the nutritional status and nutritional intake of HIV/AIDS patients Yuniarti1, Martalena Br Purba2, Retno Pangastuti3
ABSTRACT Background: Acquired Immunodeciency Syndrome (AIDS) is a syndrome of opportunistic disease due to decreased immunity in patient HIV/AIDS with the symptom of losing weight progressively and low nutrition status. To cover the condition, it is necessary to give nutrition support. Objective: To compare the effect of nutrition counseling and nutrition supplementation with nutrition counseling only towards the nutrition status and nutrition intake of people living with HIV/AIDS (PLWHA). Method: The study was experimental non randomized control group pre-post test design. Subject consisted of two groups i.e. nutrition counseling plus (with nutrition supplementation) and nutrition counseling only. The study was carried out at Dr. Sardjito Hospital from January to March 2012. The sample were taken purposively with inclusion and exclusion criteria. Data were analyzed by using paired t-test and linear regression to calculate nutrient intake and nutrition status. Results: The energy intake of nutrition counseling plus group showed signicantly higher amount than the group with nutrition counseling only (change of 141.40 kcal vs 15.99 kcal; OR=4.96). Protein intake was insignicantly higher than nutrition counseling (change of 6.28 g vs 5.11 g; OR=1.94), weight were insignicantly lower than nutrition counseling (change of 0.46 kg vs 0.75 kg; OR=1.21), and nutrition status were insignicantly lower than nutrition counseling (changes in body mass index 0.18 kg/m2 vs 0.32 kg/m2; OR=1.25). Conclusion: Nutrition counseling plus could increase energy intake but could not increase protein intake, weight, and body mass index. KEY WORDS: nutrition counseling plus, nutrition counseling, nutrition status, nutrient intake, PLWHA
ABSTRAK Latar belakang: Acquired Immuno Deciency Syndrome (AIDS) adalah sindrom dengan gejala penyakit oportunistik akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi Human Immunodeciency Virus (HIV). Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) umumnya mengalami penurunan berat badan drastis dan berstatus gizi rendah disertai infeksi oportunistik sehingga dibutuhkan pendekatan khusus pada pasien ODHA melalui konseling. Tujuan: Mengetahui pengaruh konseling gizi dan penambahan makanan (konseling gizi plus) dibandingkan yang hanya mendapat konseling gizi terhadap asupan zat gizi (energi dan protein) dan status gizi ODHA. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain non-randomized control group pretest-postest design yang dilakukan di RSUP Dr. Sardjito pada bulan Januari - Maret 2012. Subjek dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kelompok konseling gizi plus (konseling gizi dan penambahan makanan) dan kelompok konseling gizi saja. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi. Data asupan zat gizi dan status gizi dianalisis dengan uji paired t-test dan uji regresi linier. Hasil: Asupan energi kelompok konseling gizi plus secara bermakna lebih tinggi dibandingkan kelompok konseling gizi saja (ada perubahan sebesar 141,40 kcal vs 15,99 kcal; OR=4,96) demikian juga dengan asupan protein meskipun secara statistik tidak bermakna (ada perubahan sebesar 6,28 g vs 5,11 g; OR=1,94). Berat badan dan status gizi pada kelompok konseling gizi plus menunjukkan perubahan yang lebih rendah dibandingkan kelompok konseling gizi saja meskipun secara statistik tidak bermakna (ada perubahan berat badan sebesar 0,46 kg vs 0,75 kg; OR=1,21 dan perubahan IMT sebesar 0,18 kg/m2 vs 0,32 kg/m2; OR=1,25). Simpulan: Konseling gizi plus dapat meningkatkan asupan energi tetapi tidak dapat meningkatkan asupan protein, berat badan, dan indeks massa tubuh. KATA KUNCI: konseling gizi plus, konseling gizi, asupan zat gizi (energi dan protein), status gizi, ODHA
PENDAHULUAN Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi kuman Human Immunodeciency Virus (HIV) (1).
1
2
3
Korespondensi: Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Maluku, Jl. Laksdya Leo Wattimena, Negeri Lama, Ambon, e-mail:
[email protected] Instalasi Gizi Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito, Jl. Kesehatan No 1, Yogyakarta 55281, e-mail:
[email protected] Instalasi Gizi Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito, Jl. Kesehatan No 1, Yogyakarta 55281
Pengaruh konseling gizi dan penambahan makanan terhadap asupan zat gizi dan status gizi pada pasien HIV/AIDS
Data di Indonesia menunjukkan jumlah pasien AIDS dan HIV pada bulan Januari sampai Desember 2010 berjumlah 4.158 orang dan 20.028 orang dengan kematian 612 orang. Lebih memprihatinkan adalah tingginya persentase penderita pada usia produktif (40,0% kelompok usia 20-29 tahun dan sekitar 34,0% pada kelompok usia 30-39 tahun). Kasus AIDS di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sampai dengan Desember 2010 berjumlah 505 pasien dengan jumlah kematian 108 pasien (2). Data terakhir sekretariat pokja HIV/AIDS Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito Yogyakarta, tercatat pasien HIV/AIDS sampai dengan Desember 2010 yang rawat jalan dengan voluntary counseling and testing (VCT) sebanyak 233 pasien dan yang positif terinfeksi HIV/AIDS sebanyak 68 pasien. Memburuknya status gizi merupakan risiko tertinggi penyakit ini sehingga kesehatan umum pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) cepat menurun (3). Hasil penelitian di Zambia melaporkan bahwa jika seseorang dengan infeksi HIV mempunyai status gizi yang baik maka daya tahan tubuh akan lebih baik sehingga memperlambat memasuki tahap AIDS (4). Kekurangan konsumsi makanan terutama asupan energi dan protein menyebabkan malnutrisi yang dapat mempercepat perkembangan penyakit HIV serta menghambat pengobatan. Penggunaan obat antiretroviral (ARV) tertentu mempunyai efek samping yang dapat diperburuk jika obat dikonsumsi tanpa makanan (5,6) dan gizi buruk bisa menghambat kemampuan obat tersebut (7). Hasil penelitian di Zambia dengan penambahan makanan seimbang ke diit normal disertai pemberian konseling gizi, menunjukkan peningkatan asupan energi dan protein pada pasien yang diberi suplemen makronutrien dibandingkan yang hanya diberi plasebo serta bermakna terhadap berat badan dan massa lemak (8). Tanpa dukungan asupan zat gizi yang adekuat, stres metabolik akibat infeksi akan menimbulkan kehilangan berat badan dan rusaknya sel bagian tubuh pada organ vital. Indeks massa tubuh (IMT) yang rendah menjadi prediktor independen terhadap mortalitas awal HIV/AIDS (9). Penyebab utama penurunan berat badan pada pasien terinfeksi HIV yaitu hilangnya nafsu makan, gangguan penyerapan sari makanan pada alat pencernaan, hilangnya cairan tubuh akibat muntah dan diare, gangguan metabolisme zat gizi, infeksi oportunistik, dan penyakit lain penyerta HIV/AIDS (10). Kepatuhan pengobatan penyakit yang bersifat kronik pada umumnya rendah (11). Konseling gizi bagi penyandang ODHA beserta keluarganya diperlukan untuk mengatasi ketidakpatuhan tersebut karena penyakit HIV/AIDS adalah penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup (12). Hasil penelitian di Uyo, Nigeria Timur menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p<0,05) antara kelompok perlakuan dan kontrol terhadap serum protein (status gizi) pada ODHA yang diberi konseling gizi dan suplementasi mikronutrien (13).
133
Di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, pelayanan kepada ODHA dilakukan dengan kegiatan klinik yang meliputi VCT, methadone maintenance therapy (MMT), care support and treatment (CST), dan prevention mother to child transmission (PMTCT). Kegiatan VCT tersebut antara lain kegiatan konseling gizi yang tidak ditunjang dengan pemantauan asupan zat gizi dan status gizi pasien. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk membandingkan pengaruh konseling gizi plus dengan konseling gizi saja terhadap asupan zat gizi dan status gizi pada pasien HIV/ AIDS rawat jalan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen dengan desain penelitian non-randomized control group pretest-postest design (14). Rancangan penelitian ini menggunakan dua kelompok yaitu kelompok pertama merupakan pasien ODHA yang mendapatkan konseling gizi plus sedangkan kelompok kedua mendapatkan konseling gizi saja. Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dengan waktu penelitian kurang lebih 3 bulan yang dimulai bulan Januari sampai Maret 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien ODHA yang berobat jalan di Poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan kriteria inklusi yaitu semua pasien ODHA yang berkunjung saat penelitian berlangsung dan oleh dokter dinyatakan sebagai pasien ODHA rawat jalan, sadar, keadaan umum baik, asupan melalui oral, usia di atas 19 tahun sampai dengan 60 tahun, jumlah sel CD4 dalam darah 200-500 sel/mm3, mendapatkan obat ARV, baik laki-laki maupun perempuan, dan bersedia ikut dalam penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan (informed consent). Kriteria eksklusi yaitu pasien menghentikan atau tidak mau menerima konseling gizi, mengalami rawat inap dan komplikasi berat, tidak suka minum susu, intoleransi laktosa, mengalami kelainan ginjal dan hati, pindah atau kembali ke daerah luar Kota DIY. Jumlah sampel dalam penelitian ini yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 65 pasien ODHA. Pembagian sampel per kelompok ditentukan berdasarkan waktu kunjungan pasien ODHA saat pengambilan obat ARV. Pasien ODHA yang datang pada minggu pertama dan kedua masuk dalam kelompok konseling gizi plus dan pasien yang datang pada minggu ketiga dan keempat masuk dalam kelompok konseling gizi. Sistem blok mingguan ini dimaksudkan untuk mengurangi kontaminasi antar kelompok. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konseling gizi dan penambahan makanan (konseling gizi plus) sedangkan variabel terikatnya adalah asupan energi, asupan protein, berat badan, dan IMT.
134
Yuniarti, Martalena Br Purba, Retno Pangastuti
Konseling gizi dilakukan oleh tenaga konselor gizi dibantu oleh peneliti, menggunakan teknik komunikasi interpersonal dua arah selama kurang lebih 30-45 menit, serta menggunakan media food model dan Ieaet petunjuk diit untuk pasien ODHA. Penelitian ini menggunakan pendekatan konseling behavioral berupa assessment, setting goal, implementasi, dan evaluation (15). Konseling diberikan satu kali pada kunjungan pertama penelitian berlangsung, selanjutnya konseling gizi dilakukan tiap minggu sebanyak empat kali melalui telepon. Penambahan makanan berupa susu bubuk dengan berat 25 g setiap kali saji dan diminum setiap hari untuk memberikan kontribusi energi 110 kcal dan protein 7 g terhadap kebutuhan energi dan protein total. Pemberian susu diberikan satu kali pada kunjungan pertama untuk kebutuhan satu bulan, dipantau kepatuhan minum susu melalui telepon setiap minggu sekali sebanyak empat kali bersamaan dengan pemberian konseling gizi. Asupan zat gizi adalah jumlah energi dan protein dari makanan yang diperoleh melalui catatan makanan (dietary record) dibandingkan dengan kebutuhan individu (16). Pasien mencatat makanan yang dikonsumsi selama tiga hari dalam satu minggu sebelum pengambilan ARV kemudian diambil reratanya. Data diolah dengan menggunakan program Nutrisurvey 2005. Data asupan zat gizi diambil dua kali yaitu di awal dan akhir penelitian. Pengambilan data dibantu oleh enumerator dengan latar belakang pendidikan Sarjana Gizi. Data status gizi diperoleh melalui pengukuran berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) yang dilakukan satu kali pada awal penelitian. Indikator status gizi yang digunakan yaitu perubahan berat badan dan IMT yang dikategorikan menjadi dua yaitu status gizi kurang (IMT<18,5) dan status gizi baik (status gizi normal jika IMT=18,5-22,9 dan status gizi lebih jika IMT≥23,0) (17). Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan formulir penelitian untuk mengetahui karakteristik responden, timbangan injak digital merk seca dengan ketelitian 0,1 kg, alat pengukur tinggi badan menggunakan mikrotoa dengan ketelitian 0,1 cm, formulir catatan makan (dietary record) selama 3 hari, food model, Ieaet petunjuk diit untuk pasien ODHA, dan catatan medis atau status pasien untuk proses skrining pemilihan sampel. Pengolahan data yaitu dengan melakukan uji distribusi normal Shapiro-Wilk W-test dan histrogram normal. Hasil uji tersebut menunjukkan distribusi normal sehingga data dianalisis menggunakan uji before-after (uji paired t-test) dan uji regresi linier untuk membandingkan angka perubahan sebelum dan sesudah intervensi yaitu variabel asupan zat gizi (energi dan protein) dan antropometri (berat badan dan IMT) antara kelompok konseling gizi plus dan konseling gizi. Perbedaan secara statistik bermakna bila nilai p kurang dari 0,05 dengan
Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian Variabel Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Umur (tahun) 19-49 50-64 Pendidikan Rendah Menengah Tinggi Pekerjaan Tidak bekerja Bekerja Lama terdiagnosa ≤ 5 tahun > 5 tahun Anoreksia Ya Tidak Kesulitan menelan Ya Tidak Mual Ya Tidak Muntah Ya Tidak Diare Ya Tidak Kembung Ya Tidak Sembelit Ya Tidak Status gizi Baik Kurang
Konseling plus n %
Konseling n %
p
24 8
75 25
23 10
70 30
0,633
29 3
91 9
32 1
97
0,282
12 15 5
38 47 16
10 21 2
30 64 6
0,293
15 17
47 53
18 15
55 45
0,536
22 10
69 31
27 6
82 18
0,221
15 17
47 53
8 25
24 76
0,056
1 31
3 97
0 33
0 100
0,282
15 17
47 53
11 22
33 67
0,265
6 26
19 81
2 31
6 94
0,120
1 31
3 97
2 31
6 94
0,573
4 28
13 87
4 29
12 88
0,963
1 31
3 97
0 33
0 100
0,306
20 12
62 38
18 15
55 45
0,515
rentang kemaknaan 95%. Penelitian ini dilaksanakan setelah mendapatkan surat ethical clearance penelitian dari Komite Etik Penelitian Biomedis pada Manusia dan izin penelitian dari Kemenkes RI Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. HASIL Hasil analisis Chi-Square menunjukkan tidak ada perbedaan karakteristik pasien ODHA antara kelompok konseling gizi plus dan konseling gizi (Tabel 1). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pada awal penelitian ini tidak terdapat perbedaan bermakna rerata asupan energi, asupan protein, berat badan, dan IMT antara kedua
Pengaruh konseling gizi dan penambahan makanan terhadap asupan zat gizi dan status gizi pada pasien HIV/AIDS
135
Tabel 2. Perbedaan asupan zat gizi pada awal dan akhir penelitian Asupan zat gizi Energi awal (kcal) Energi akhir (kcal) Δ Asupan energi Protein awal (g) Protein akhir (g) Δ Asupan protein
Konseling plus (n=32) mean±SD p 1638,39±393,29 0,004 1779,79±302,03 141,40 50,30±14,96 0,007 56,59±11,11 6,28
Konseling (n=33) mean±SD 1452,02±400,45 1468,01±338,12 15,99 46,78±16,37 51,90±13,70 5,11
p 0,717 0,040 0,003 0,660
Keterangan: Δ=delta ; SD=standar deviasi
Tabel 3. Perbedaan indikator status gizi pada awal dan akhir penelitian Indikator status gizi BB awal (kg) BB akhir (kg) Δ BB (kg) IMT awal (kg/m2) IMT akhir (kg/m2) Δ IMT (kg/m2)
Konseling plus (n=32) mean±SD p 53,14±8,95 0,013 53,60±8,66 0,46 20,10±3,10 0,006 20,28±3,05 0,18
kelompok (p>0,05). Rerata asupan zat gizi (asupan energi dan asupan protein) mengalami peningkatan pada kedua kelompok walaupun masih di bawah kebutuhan. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa adanya pengaruh pemberian konseling gizi plus terhadap perubahan asupan energi (p<0,05), tetapi tidak demikian dengan asupan protein (p>0,05) (Tabel 2). Hasil penelitian ini menunjukkan rerata indikator status gizi (berat badan dan IMT) mengalami peningkatan pada kedua kelompok (Tabel 3). Hasil uji statistik terhadap delta perubahan berat badan menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok konseling gizi plus dan kelompok konseling gizi (p>0,05). Demikian juga dengan delta perubahan IMT yang tidak menunjukkan perbedaan bermakna. Peningkatan berat badan terjadi pada kedua kelompok sehingga ada peningkatan status gizi berdasarkan IMT pada kelompok konseling gizi plus dan konseling gizi. Namun, hasil analisis tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada status gizi akhir antara kelompok konseling gizi plus dan kelompok konseling gizi (p>0,05). BAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien ODHA berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan, baik pada kelompok konseling gizi plus maupun konseling gizi. Hal ini sesuai dengan data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI, 2011) yang menunjukkan bahwa pasien HIV/AIDS berjenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan, dengan rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1.
Konseling (n=33) mean±SD 52,09±9,84 52,84±9,53 0,75 19,65±2,74 19,98±2,67 0,32
p 0,000 0,208 0,000 0,160
Hasil penelitian dengan melakukan surveilans penderita infeksi HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito berdasarkan jenis kelamin, pasien laki-laki lebih banyak (89,5%) dibandingkan perempuan (10,5%) (18). Namun, tahun mendatang bukan tidak mungkin perempuan dan anak-anak dengan HIV/ AIDS akan lebih dominan karena sudah banyak laporan mengenai infeksi HIV yang menyerang ibu rumah tangga karena tertular suami dan anak yang dilahirkan dari ibu dengan HIV positif (19). Sebagian besar kelompok umur subjek pada kedua kelompok yaitu berumur 19-49 tahun. Hasil ini sesuai dengan data laporan Depkes RI (2) yaitu proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-49 tahun (88,1%). Keadaan tersebut tidak dapat dipungkiri lagi karena banyaknya pengguna narkotika suntikan (injections drug user/IDU) pada kalangan umur tersebut (18). Hasil penelitian surveilans penderita infeksi HIV/ AIDS di RSUP Dr. Sardjito menunjukkan bahwa sebagian besar status pendidikan pasien ODHA adalah SMA (47,5%) dan diikuti perguruan tinggi (21,5%) (17). Hal tersebut mendukung hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa sebagian besar subjek berada pada jenjang pendidikan menengah (SMA/sederajat) sehingga dapat menerima konseling gizi yang diberikan. Hal ini dibuktikan dengan adanya perubahan asupan energi dan protein pada subjek setelah menerima konseling gizi. Fokus materi konseling gizi dalam penelitian ini disesuaikan dengan hasil dari goal setting yaitu meliputi strategi diit sesuai dengan keadaan pasien, menjelaskan syarat diit, menjelaskan bahan makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan dengan menggunakan media leaet
136
Yuniarti, Martalena Br Purba, Retno Pangastuti
dan food model, serta memberikan tips-tips bagi pasien yang mempunyai masalah dengan status kesehatan. Penyediaan bahan edukasi merupakan pendukung yang amat kuat dalam memberikan konseling gizi karena dapat mempercepat peningkatan pengetahuan, merangsang klien untuk bertanya, dan menghemat waktu konseling. Selama proses konseling gizi berlangsung, terjadi pengindraan terhadap materi konseling gizi yang diberikan konselor (11). Lebih lanjut, ODHA yang diberikan konseling gizi menunjukkan pengaruh positif terhadap sikap dalam merekomendasikan modikasi diit sehingga berdampak pada peningkatan status gizi, sedangkan pengetahuan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan (12). Sebagian besar subjek tidak bekerja tetapi terdapat sebagian subjek yang bekerja sebagai pekerja paruh waktu, pelayan toko, pedagang, dan petugas keamanan. Penyakit AIDS menyebabkan hilangnya pendapatan dan meningkatkan pengeluaran kesehatan oleh suatu rumah tangga, terdapat juga efek pengalihan dari pengeluaran untuk pendidikan menuju pengeluaran untuk kesehatan dan penguburan. Penelitian di Afrika menunjukkan bahwa rumah tangga dengan pasien HIV/AIDS mengeluarkan biaya dua kali lebih banyak untuk perawatan medis daripada untuk pengeluaran rumah tangga lainnya (20). Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar subjek pada kedua kelompok sudah terdiagnosa HIV selama kurang dari atau sama dengan 5 tahun. Dengan demikian, sebagian besar subjek sudah masuk dalam fase kedua HIV/AIDS. Pada fase ini, pasien tampak baik-baik saja meskipun sebenarnya terjadi replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Pada awal subfase, timbul penyakitpenyakit yang lebih ringan misalnya reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simplex. Namun, penyakit tersebut dapat sembuh spontan atau hanya dengan pengobatan biasa. Penyakit kulit seperti dermatitis seboroik, veruka vulgaris, moluskum kontangiosum, atau kandidiasis oral sering timbul pada fase ini (21). Sebagian besar pasien ODHA pada penelitian ini tidak memiliki masalah kesehatan. Namun, masih terdapat pasien yang mengalami anoreksia dan mual pada kedua kelompok. Kehilangan nafsu makan pada pasien ODHA secara umum dapat disebabkan oleh peningkatan interleukin-1, interleukin-6, faktor nekrosis tumor, infeksi gastrointestinal, manifestasi lanjut penyakit HIV (kelelahan, demam, dan dispnea), dan kecacatan yang mengganggu kemampuan individu untuk makan atau mendapatkan makanan (9). Selain itu, penggunaan obat ARV tertentu mempunyai efek samping mual dan insomnia yang akan lebih diperburuk jika dikonsumsi tanpa makanan (5,6). Hasil analisis terhadap delta perubahan asupan energi menunjukkan perbedaan bermakna antara kelompok konseling gizi plus dan kelompok konseling gizi (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian konseling gizi plus berpengaruh terhadap asupan energi
pada pasien ODHA. Konseling gizi mempunyai pengaruh terhadap peningkatan pengetahuan, sikap, dan praktik ODHA dalam memilih makanan padat energi yang murah sehingga pasien ODHA mampu mengantisipasi gejala infeksi yang mungkin timbul dengan cara mengonsumsi makanan yang sesuai dengan kebutuhan dan penyakitnya. Pemilihan bahan makanan makro dan mikronutrien yang berkualitas sangat berperan dalam membantu perbaikan status gizi sehingga kualitas hidup ODHA akan menjadi lebih baik (3,22). Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan di Sub-Sahara, Afrika pada 118 laki-laki berusia lebih dari 18 tahun yang terinfeksi HIV. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kelompok perlakuan (56%) dan kelompok kontrol (50%) mengalami peningkatan asupan energi mencapai 80%, tetapi tidak bermakna terhadap kenaikan berat badan setelah pasien mendapat konseling gizi plus enteral suplementasi dibandingkan yang hanya mendapat konseling gizi selama 6 minggu (9). Berbeda dengan hasil analisis terhadap delta perubahan asupan protein yang tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p>0,05), artinya pemberian konseling gizi plus tidak berpengaruh terhadap peningkatan asupan protein. Hal ini terjadi karena pemberian konseling gizi plus yaitu konseling disertai pemberian makanan tambahan berupa susu bubuk sebesar 25 g sehari dalam waktu empat minggu hanya memberikan kontribusi protein sebesar 7 g setiap kali minum sehingga belum dapat membantu memenuhi kebutuhan protein pasien (kebutuhan ratarata pasien sehari sebesar 80,5 g). Berbeda dengan hasil penelitian di Zambia yang menambahkan makanan seimbang ke diit normal disertai pemberian konseling gizi dengan tujuan meningkatkan total asupan energi sebesar 560-960 kkal/hari. Penelitian tersebut menunjukkan peningkatan asupan energi dan protein pada pasien yang diberi suplemen makronutrien dibandingkan dengan pasien yang diberi plasebo selama 12 minggu serta bermakna terhadap berat badan dan massa lemak (8). Pada penderita HIV yang terinfeksi secara positif, terjadi pemecahan protein lebih cepat di dalam tubuhnya sehingga konsentrasi albumin rendah. Namun, dengan pemasukan energi dapat memperbaiki keseimbangan protein (23). Pada penelitian ini, makanan tambahan berupa susu yang dikonsumsi satu kali sehari diberikan sebagai rangsangan untuk meningkatkan asupan makan dan hanya memberikan sumbangan energi dan protein sekitar 10% dari kebutuhan energi dan protein total. Tidak adekuatnya efek pemberian konseling gizi plus tidak kemudian dianggap gagal dalam meningkatkan asupan protein karena hasil penelitan menunjukkan bahwa kelompok konseling gizi plus memiliki peningkatan asupan yang lebih besar dibandingkan kelompok konseling gizi saja. Tidak bermaknanya konseling gizi plus kemungkinan akibat adanya anoreksia dan mual pada subjek sehingga asupan protein tidak adekuat.
Pengaruh konseling gizi dan penambahan makanan terhadap asupan zat gizi dan status gizi pada pasien HIV/AIDS
Berat badan awal dan akhir penelitian menunjukkan perbedaan bermakna (p<0,05) pada kedua kelompok, tetapi tidak demikian dengan delta perubahan berat badan (p>0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian konseling gizi plus tidak berpengaruh terhadap peningkatan berat badan. Hal ini berbeda dengan pendapat yang menyatakan bahwa konseling gizi telah terbukti efektif dalam meningkatkan berat badan dan massa sel tubuh pada ODHA, juga untuk membantu mengurangi dampak HIV dan AIDS terkait gejala seperti diare, mual, muntah, anemia, sariawan, kehilangan nafsu makan, dan demam (24). Asupan makanan yang cukup sebagai pengaruh positif dari konseling gizi dapat mencegah malnutrisi dan wasting, mengembalikan dan mempertahankan berat badan ideal, meningkatkan kemampuan tubuh melawan berbagai infeksi oportunistik sepsis, meningkatkan efek obat-obatan, dan memperbaiki serta meningkatkan kualitas hidup (10,22). Tanpa asupan makanan yang baik, stress metabolik akibat infeksi menimbulkan kehilangan berat badan dan rusaknya sel bagian tubuh organ vital. Penurunan berat badan 10-20% akan mengurangi daya tahan tubuh dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas, bahkan kehilangan 40% berat badan dapat menyebabkan kematian (25). Tidak adanya perbedaan berat badan pada penelitian ini terjadi akibat asupan zat gizi yang tidak adekuat. Hasil studi di Boston menjelaskan bahwa kecukupan energi dan asupan zat gizi pada ODHA harus terpenuhi sesuai dengan kebutuhan sehingga dapat mengurangi infeksi oportunistik dan risiko penurunan berat badan akut (26). Selain itu, waktu pemantauan berat badan dalam penelitian ini terlalu singkat sehingga efek terhadap peningkatan berat badan yang diikuti dengan peningkatan asupan energi tidak terlalu nyata. Peningkatan berat badan pada kelompok konseling gizi plus sebesar 0,46 kg sedangkan konseling gizi sebesar 0,75 kg, peningkatan tersebut belum mampu meningkatkan berat badan secara optimal. Berdasarkan hasil analisis, terdapat perbedaan bermakna antara IMT awal dan akhir penelitian pada kedua kelompok (p<0,05), tetapi tidak demikian dengan delta perubahan IMT (p>0,05). Indeks massa tubuh merupakan pengukuran berat badan yang memiliki hubungan linear dengan tinggi badan sehingga penambahan berat badan dalam waktu empat minggu belum memberikan dampak yang bermakna. Berbeda dengan hasil penelitian di US medical center pada 46 pasien HIV yang berusia lebih dari 18 tahun, setelah pasien mendapat ornithine α-ketoglutarate sebanyak 10 g pada kelompok perlakuan dan pemberian plasebo isonitrogenous (susu) selama 12 minggu menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara kedua kelompok terhadap IMT (p=0,02) (9). Keberhasilan konseling gizi berpengaruh terhadap peningkatan asupan makanan (asupan energi). Namun,
137
tidak berpengaruh besar terhadap status gizi berdasarkan peningkatan berat badan dan IMT. Berat badan harus dimonitoring setiap 3-4 hari sekali untuk memberi informasi yang memungkinkan intervensi gizi preventif secara dini, guna mengatasi kecenderungan penurunan atau penambahan berat badan yang tidak dikehendaki serta untuk membedakan status gizi kurang, status gizi baik, atau status gizi lebih (16,27). Hasil studi di Zambia melaporkan jika seseorang dengan infeksi HIV mempunyai status gizi yang baik, maka daya tahan tubuh akan lebih baik sehingga memperlambat memasuki tahap AIDS (4). Hasil penelitian menunjukkan peningkatan status gizi pada kelompok konseling gizi lebih banyak dibandingkan kelompok konseling gizi plus. Hal tersebut terjadi karena pada kelompok konseling gizi plus lebih banyak yang mengalami anoreksia (47%) dan mual (47%) sehingga mempengaruhi asupan makanan. Status gizi ODHA sangat dipengaruhi oleh kebutuhan dan asupan zat gizi. Di samping itu, asupan zat gizi juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pengetahuan ODHA. Diharapkan dari segi pendidikan memungkinkan seseorang memiliki pengetahuan yang lebih baik serta mudah untuk menerima informasi dan edukasi (konseling gizi) terutama berkaitan dengan gizi pada ODHA. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (28). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian di Rumah Sakit Kota Nottingham yang membuktikan bahwa pasien yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik akan memiliki ketaatan yang lebih baik dalam menjalankan diit yang direkomendasikan (29). SIMPULAN DAN SARAN Pengaruh konseling gizi plus dapat meningkatkan asupan energi, tetapi belum dapat meningkatkan asupan protein, berat badan, dan indeks massa tubuh. Peningkatan status gizi berdasarkan IMT pada kelompok konseling gizi lebih tinggi dibandingkan kelompok konseling gizi plus, sehingga kegiatan konseling gizi tetap perlu dilakukan dan lebih intensif khususnya untuk meningkatkan asupan zat gizi dalam upaya perbaikan status gizi ODHA di instansi kesehatan khususnya pusat rehabilitasi narkoba dan HIV/AIDS di Poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Pasien ODHA sebaiknya lebih memperhatikan asupan zat gizi yang dikonsumsi supaya dapat memenuhi kebutuhan tubuhnya sehingga penurunan berat badan yang tidak diinginkan dapat dicegah. Penelitian selanjutnya, perlu mempertimbangkan faktor yang mempengaruhi proses dan hasil konseling untuk meminimalkan terjadinya bias dalam penyusunan desain penelitian konseling gizi kepada pasien ODHA.
138
Yuniarti, Martalena Br Purba, Retno Pangastuti
RUJUKAN 1. Mansjoer A. Kapita selekta kedokteran jilid 2, edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI; 2000. 2. Ditjen PPM & PL Depkes RI. Laporan situasi perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia sampai dengan Desember 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2011. 3. Almatsier S. Penuntun diet. Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama; 2007. 4. Batterham MJ. Investigasi heterogenety in studies of resting energi expediture in person with HIV/AIDS: meta-analisis. Am J Clin Nutr 2005;81(3):702-13. 5. Hardon AP, Akurut D, Comoro C. Hunger, waiting time and transport costs: time to confront challenges to ART adherence in Africa. AIDS Care 2007;19(5):658-65. 6. Bukusuba J, Kikafunda JK, Whitehead RG. Food security status in households of people living with HIV/ AIDS (PLWHA) in a Uganda urban setting. Br J Nutr 2007;98(1):211-7. 7. Fields-Gardner C, Fergusson P; American Dietetic Association; Dietitians of Canada. Position of the american dietetic association and dietitians of Canada: nutrition intervention in the care of persons with human immunodeciency virus infection. J Am Diet Assoc 2004;104(9):1425-41. 8. de Luis D, Aller R, Bachiller P, González-Sagrado M, de Luis J, Izaola O, Terroba MC, Cuéllar L. Isolated dietary counselling program versus supplement and dietary counselling in patients with human immunodeciency virus infection. Med Clin (Barc) 2003;120(15):565-7. 9. Koethe JR, Chi BH, Megazzini KM, Heimburger DC, Stringer JS. Macronutrient supplementation for malnourished HIV infected adults: a review of the evidence in resource-adequate and resourceconstrained settings. Clin Infect Dis 2009;49(5):78798. 10. Friis H. Micronutrient interventions and HIV infection: a review of current evidence. Trop Med Int Health 2006;11(12):1849-57. 11. Basuki ES. Konseling medik: kunci menuju kepatuhan pasien. Maj Kedokt Indon 2009;59(2):55-60. 12. Palmer S. Konseling dan psikoterapi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar; 2011. 13. Opara DC, Umoh IB, John M. Effects of nutritional counseling and micronutrient supplementation on some biochemical parameters of persons living with HIV and AIDS in Uyo, Nigeria. Pak J Nutr 2007;6(3):220-7. 14. Sastroasmoro S, Ismail S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis, edisi ke-4. Jakarta: Sagung Seto; 2011.
15. Cornelia, Sumedi E, Nurlita H, Af I, Ramayulis R, Iwaningsih S, Hartati B, Kresnawan T. Penuntun konseling gizi PERSAGI. Jakarta: PT Abadi; 2010. 16. Gibson RS. Principles of nutritional assessment. New York: Oxford University Press; 2005. 17. WHO. Indeks massa tubuh untuk orang Asia. [series online] 2004 [cited 2011 Mei 26]. Available from: URL: http.//www.who.com 18. Octawati I, Sianipar O. Surveilans penderita infeksi HIV/AIDS di RS Dr. Sardjito Yogyakarta. Berkala Kesehatan Klinik 2005;XI(1):25-35. 19. Georgiev V St. National institut of allergy and infectious diseases, NIH: impact on global health vol 2. USA: Humana Press, a part of Springer Science Business Media; 2009. 20. Over M. The macroeconomic impact of AIDS in SubSaharan Africa, population and human resources department. [series online] 1992 [cited 2011 Dec 5]. Available from: URL: http.//id.wikipedia.org/wiki/ AIDS#citee_note-WBank-166 21. Mandal BK, Wilkins EGL, Dunbar EM, Mayon-White RT. Lecture notes: penyakit infeksi, edisi ke-6. Jakarta: Erlangga; 2008. 22. Kaiser JD, Campa AM, Ondercin JP, Leoung GS, Pless RF, Baum MK. Micronutrient supplementation increases CD4 count in HIV-infected individuals on highly active antiretroviral therapy; a prospective, double blinded, placebo-controlled trial. J Acquir Immune Dec Syndr 2006;42(5):523-8. 23. Jahoor F, Abramson S, Heird WC. The protein metabolic response to HIV infection in young children. Am J Clin Nutr 2003;78(1):182-9. 24. The International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank. HIV/AIDS, nutrition and food security: what we can do. A synthesis of international quidance. [series online] 2007 [cited 2011 Jun 26]. Available from: URL: http.//www.worldbank.org 25. Dwijayanthi L. Ilmu gizi menjadi sangat mudah, nutritional made incredibly easy. ed 2. Jakarta: EGC; 2011. 26. Grinspoon S, Mulligan K. Weight loss and wasting in patients infected with human immunodeciency virus. Clin Infect Dis 2003;36(Suppl 2):S69-78. 27. Hartono A. Terapi gizi dan diet rumah sakit. Jakarta: ECG; 2006. 28. Notoatmojo S. Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: PT. Rineka cipta; 2007. 29. Durose CL, Holdsworth M, Watson V, Przygrodzka F. Knowledge of dietary restrictions and the medical consequences of noncompliance by patients on hemodialysis are not predictive of dietary compliance. J Am Diet Assoc 2004;104(1):35-41.
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4 Desember 2013
341
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4, Desember 2013
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4 Desember 2013 342
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4, Desember 2013
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4 Desember 2013
343
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4, Desember 2013
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4 Desember 2013
344
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4, Desember 2013
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4 Desember 2013 345
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4, Desember 2013
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4 Desember 2013 346
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4, Desember 2013
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4 Desember 2013
347
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 3, No. 4, Desember 2013
PENGARUH PENYULUHAN KESEHATAN TENTANG HIV/AIDS TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN SISWA DI SMA NEGERI 1 SELUPU REJANG TAHUN 2013 (The Effect of Health Counseling on HIV/AIDS on The Knowledge Level of Students at SMA Negeri 1 Selupu Rejang in 2013) Derison Marsinova Bakara1, Farida Esmianti1, dan Chyntamie Wulandari1 Naskah Masuk: 9 April 2014, Review 1: 11 April 2014, Review 2: 14 April 2014, Naskah layak terbit: 3 Juni 2014
ABSTRAK Latar Belakang: Persentase infeksi HIV pada kelompok umur 20–24 tahun (14%) dan Persentase kumulatif kasus AIDS tertinggi pada kelompok umur 20–29 tahun (30,7%), kemudian pada kelompok umur 15–19 tahun (3,3%). Angka kejadian pada anak sekolah atau mahasiswa sebanyak 1.086 orang dan HIV/AIDS terjadi pada remaja yang berusia 15–29 tahun. Prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduk berdasarkan propinsi, Propinsi Bengkulu menduduki peringkat ke-19 dari 33 provinsi di Indonesia, di mana terdapat angka prevalensi kasus AIDS 9,33. Data ini mengindikasikan bahwa usia muda, 15–29 tahun merupakan populasi yang rentan dan perlu menjadi sasaran dalam program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian Pre eksperimen dengan Design One Group Pretest Posttest. Sampel penelitian ini menggunakan Total Sampling, seluruh siswa kelas XI SMA Negeri 1 Selupu Rejang sebanyak 167 orang. Pengumpulan data diperoleh dari data primer langsung dari obyek penelitian, melalui kuesioner. Untuk menguji hasil penelitian menggunakan uji statistik non parametrik yaitu uji wilcoxon dengan taraf kepercayaan α 0,05. Hasil: menunjukkan perbedaan rerata nilai pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan kesehatan dengan nilai p value 0,000. Hal ini berarti penyuluhan kesehatan tentang HIV/AIDS berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan siswa. Kesimpulan: Penyuluhan kesehatan tentang HIV/AIDS dapat meningkatkan pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS. Kata kunci: Penyuluhan Kesehatan HIV/AIDS, Pengetahuan ABSTRACT Background: The percentage of HIV infections in the age group 20–24 years (14%) and the highest percentage of cumulative AIDS cases in the age group 20–29 years (30.7%), then in the age group 15–19 years (3.3%). The incidence in school children or students as much as 1086 people and HIV / AIDS among adolescents aged 15–29 years . The prevalence of AIDS cases per 100,000 population by province, Bengkulu province was ranked 19th out of 33 provinces in Indonesia, where there is a prevalence of 9.33 cases of AIDS. These data indicate that young age, 15–29 years old are the most vulnerable population and need to be targeted in HIV / AIDS in Indonesia . Methods: This study is a Pre experiments with One Group Pretest Posttest Design. The sample of this study uses total sampling, all students of class XI SMA Negeri 1 Selupu Rejang as much as 167 people. Collecting data from primary data obtained directly by administering the object, through a questionnaire. To test the results of studies using non-parametric statistical Wilcoxon test with a level of α 0.05. Results: Showed differences in the mean value of the students knowledge about HIV/AIDS before and after the health education with a p value of 0.000. This means that health education on HIV/AIDS affect knowledge of students. Conclusion: health education about HIV/AIDS may increase adolescent knowledge about HIV/AIDS. Key words: Health Education HIV/AIDS, Knowledge
1
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI Bengkulu Alamat korespondensi:
[email protected]
227
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 3 Juli 2014: 227–231
PENDAHULUAN Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus yang menginfeksi sel-sel dalam sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsi sel tersebut. Selama berlangsungnya infeksi, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan orang menjadi lebih rentan mengalami infeksi. Hal ini dapat memakan waktu 10–15 tahun, dari orang yang terinfeksi HIV untuk berkembang menjadi AIDS, dan obat antiretroviral dapat memperlambat proses menjadi lebih berat. HIV ditularkan melalui hubungan seksual dengan penderita tanpa alat pengaman, transfusi darah yang terkontaminasi, penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi, dan antara ibu penderita HIV dan bayinya selama kehamilan, melahirkan dan menyusui (WHO, 2012). Sejak pertama kali kasus HIV dilaporkan di Indonesia pada tahun 1987, jumlah kasus HIV/AIDS meningkat dengan cepat, data terbaru menunjukkan adanya peningkatan sampai Maret 2013. Secara kumulatif kasus HIV & AIDS 1 April 1987 sampai dengan 30 Maret 2013, terdapat kasus total HIV sebanyak 103.759 orang dan AIDS sebanyak 43.347 orang dan kematian yang disebabkan AIDS sebanyak 8.288 orang dan sebanyak 16.625 kasus AIDS dari tahun 1987 hingga Maret 2013. Persentase infeksi HIV pada kelompok umur 20–24 tahun (14%) dan Persentase kumulatif kasus AIDS tertinggi pada kelompok umur 20–29 tahun (30,7%), kemudian pada kelompok umur 15–19 tahun (3,3%). Angka kejadian pada anak sekolah atau mahasiswa sebanyak 1.086 orang dan HIV/AIDS terjadi pada remaja yang berusia 15–29 tahun. Prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduk berdasarkan propinsi, Propinsi Bengkulu menduduki peringkat ke-19 dari 33 provinsi di Indonesia, di mana terdapat angka prevalensi kasus AIDS 9,33 (Kemenkes, 2013). Statistik terbaru dari global HIV dan AIDS yang diterbitkan oleh UNAIDS (United National Joint Program For HIV/AIDS) pada bulan November 2011 diperkirakan terdapat 34 juta orang terjangkit virus HIV/AIDS naik 17% dari tahun 2001. UNAIDS juga melaporkan jumlah orang yang meninggal karena AIDS turun menjadi 1,8 juta orang dari 2,2 juta orang pada tahun 2005 (UNAIDS, 2011). Berdasarkan hasil wawancara dari staf KPAD Rejang Lebong pada tanggal 28 Desember 2012 jam 09.30 WIB di dinas kesehatan Rejang Lebong bahwa jumlah penderita 228
HIV yang telah terdeteksi sebanyak 14 orang. Data ini mengindikasikan bahwa usia muda, 15–29 tahun merupakan populasi yang rentan dan perlu menjadi sasaran dalam program penanggulangan AIDS di Indonesia dan memberikan gambaran bahwa, remaja memerlukan penyuluhan kesehatan yang benar supaya tidak terinfeksi oleh HIV. Peningkatan pengetahuan untuk pendidikan formal dan non formal maupun pendidikan umum dan agama dilakukan dengan mengintegrasikan materi HIV/AIDS secara sistematis (KPAN, 2003). Pendidikan tentang bagaimana AIDS ditularkan dan dicegah adalah senjata utama melawan HIV/AIDS, karena tidak ada pengobatan atau vaksin yang dapat mencegah penyebaran HIV/AIDS (Abdeyaz dan, 2008). Penelitian ini ingin mengungkapkan pengaruh penyuluhan kesehatan tentang HIV/AIDS terhadap tingkat pengetahuan remaja. Berdasarkan catatan sebagian besar remaja tidak mengetahui tentang HIV/ AIDS, kesehatan reproduksi sehat, dan perilaku seks ke arah seks bebas terutama di kalangan generasi muda. Hasil survei yang dilakukan Dinkes Rejang Lebong, SMA Negeri 1 Selupu Rejang belum pernah diadakan penyuluhan kesehatan HIV/AIDS, oleh sebab itu perlu dilakukan upaya perlindungan, pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS ke arah kelompok ini secara intensif dan komprehensif. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan memberikan pengetahuan tentang HIV/AIDS, kesehatan reproduksi, dan pengetahuan untuk pencegahan perilaku seks ke arah seks bebas terutama siswa SMA Negeri 1 Selupu Rejang. METODE Penelitian ini mer upakan penelitian Pre eksperimen dengan Design One Group Pretest Posttest. Sampel penelitian ini menggunakan Total Sampling, seluruh siswa kelas XI SMA Negeri 1 Selupu Rejang sebanyak 167 orang. Pengumpulan data diperoleh dari data primer langsung dari obyek penelitian, melalui kuesioner. Untuk menguji hasil penelitian menggunakan uji statistik non parametrik yaitu uji wilcoxon dengan taraf kepercayaan α 0,05, dikarenakan hasil uji normalitas menggunakan Kolmogorof-Smirnof, uji homogenitas, didapatkan distribusi data dan varians yang tidak normal.
Pengaruh Penyuluhan Kesehatan tentang HIV/AIDS (Derison Marsinova Bakara, dkk.)
HASIL Sesuai dengan rencana data yang terkumpul dilakukan analisis univariat dan analisis bivariat dengan gambaran sebagai berikut: Pada tabel 1 menunjukkan sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan 94 (56,3%) dan sebagian besar umur responden 17 tahun 110 (65,9%). Pada tabel 2 sebelum dilakukan penyuluhan kesehatan menunjukkan sebagian kecil responden nilai terendah pada nilai 13 (1,2%), sebagian kecil responden nilai tertinggi pada nilai 93 (6%) dan hampir sebagian responden nilai terbanyak pada nilai 80 (27,5%). Sesudah dilakukan penyuluhan sebagian kecil nilai responden terendah pada nilai 33 (0,6%), sebagian kecil nilai responden tertinggi 100 (7,2%). Hampir sebagian responden nilai terbanyak sesudah dilakukan penyuluhan kesehatan pada nilai 93 (35,3%). Hasil perhitungan uji normalitas yang ditunjukkan dalam tabel 3. Pada tabel 4 menunjukkan perbandingan nilai rerata nilai pengetahuan siswa tentang HIV/ AIDS sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis kelamin, dan Umur Siswa Sekolah di SMAN 1 Selupu Rejang Tahun 2013 Variabel
Kategori
Frekuensi
Persentase
Jenis Kelamin
Perempuan Laki-laki
94 73
56,3 43,7
16 tahun 17 tahun 18 tahun 19 tahun
167 9 110 47 1 167
100 5,4 65,9 28,1 0,6 100
Total Umur Total
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Nilai Sebelum dan Sesudah Diberikan Penyuluhan Kesehatan tentang HIV/AIDS di SMAN 1 Selupu Rejang Tahun 2013 Nilai 13 20 27 33 40 47 53 60 67 73 80 87 93 Total
Sebelum Penyuluhan N % 2 1,2 2 1,2 2 1,2 3 1,8 2 1,2 8 4,8 5 3 10 6 27 16,2 37 22,2 46 27,5 13 7,8 10 6 167 100
33 47 53 60 67 73 80 83 87 93 100
Sesudah Penyuluhan N % 1 0,6 1 0,6 2 1,2 3 1,8 4 2,4 10 6 32 19,2 1 0,6 42 25,1 59 35,3 12 7,2
Total
167
Nilai
100
Tabel 3. Uji Normalitas Variabel Penelitian Variabel
Mean
SD
Jenis Kelamin Umur Nilai Sebelum Penyuluhan Nilai Sesudah Penyuluhan
0,44 17,22
0,248 0,000 0,551 0,000
0,36–0,51 17,16–17,32
70,60
15,895 0,000
68,18–73,03
85,92
10,446 0,000
84,32–87,51
p
95% CI
kesehatan dengan nilai p value 0,00 lebih kecil dari α ≤ 0,05. Hal ini berarti penyuluhan kesehatan tentang HIV/AIDS berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan siswa.
Tabel 4. Perbedaan Rerata Nilai Sebelum dan Sesudah Penyuluhan Kesehatan tentang HIV/AIDS Siswa Kelas XI di SMA Negeri 1 Selupu Rejang Tahun 2013 Pengetahuan tentang HIV/AIDS Nilai Sebelum Penyuluhan Kesehatan Nilai Sesudah Penyuluhan Kesehatan
n
Rerata
SD
z
p
167 167
70,60 85,92
15,89 10,445
–9,134
0,000
229
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 3 Juli 2014: 227–231
PEMBAHASAN Pada tabel 4 menunjukkan bahwa penyuluhan kesehatan tentang HIV/AIDS berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan siswa SMA. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan rerata nilai sebelum penyuluhan kesehatan dengan nilai 70,60 dan rerata nilai sesudah diberikan penyuluhan kesehatan dengan nilai 85,92. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Kimani, Kara, and Nyala (2012), mengemukakan bahwa pendidikan kesehatan HIV/AIDS dapat memberikan pengaruh yang bermakna pada pengetahuan tentang praktik perilaku seksual dalam mencegah penyakit, mencegah penyalahgunaan obat serta menunda untuk melakukan hubungan seksual. Pendidikan kesehatan seksual yang efektif menjadi tanggung jawab bagi individu untuk mencapai kesehatan seksualnya. Program pendidikan yang diperlukan individu dapat memberikan informasi yang diperlukan dalam mengambil keputusan kesehatan seksual yang etis (World Association for Sexology, 2008). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jung, Arya, and Viswanath (2013), mengemukakan bahwa pendidikan kesehatan mempunyai pengaruh yang positip pada kesadaran tentang HIV/AIDS dan peningkatan pengetahuan cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS. Pengetahuan merupakan faktor penentu yang penting untuk mengubah perilaku kesehatan (Viswanath, Ramanadhan, and Kontos, 2007). Ada hubungan yang signifikan antara penggunaan media pembelajaran pada pendidikan tentang HIV/AIDS dan dapat meningkatkan pengetahuan remaja tentang penyakit HIV/AIDS (Adekola, 2010). Pentingnya media massa dalam promosi kesehatan dalam pencegahan penyakit, penggunaan media sangat berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan dan perubahan perilaku kesehatan (Li, Rotheram-Borus, Lu, Wu, Lin, et al. 2009). Okoli (2008), menyatakan bahwa pendidikan akan mencapai tujuan lebih baik bila didukung atau menggunakan media pembelajaran. Sharma (2008), mengemukakan bahwa program pendidikan tentang HIV/AIDS bisa meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS. Intervensi pendidikan sebaya adalah strategi yang sering digunakan untuk mencegah HIV dan infeksi menular seksual lainnya (IMS) di seluruh dunia. Intervensi tersebut memilih individu yang
230
memiliki karakteristik demografis (misalnya, usia atau jenis kelamin) atau perilaku berisiko yang sama dengan kelompok sasaran (misalnya, pekerja seks komersial atau pengguna narkoba suntikan) dan melatih mereka untuk meningkatkan kesadaran, memberikan pengetahuan dan mendorong perubahan perilaku di antara anggota yang kelompok yang sama. Pendidikan sebaya dapat disampaikan secara formal dalam pengaturan yang sangat terstruktur (seperti ruang kelas) maupun informal selama interaksi seharihari (Medley, Kennedy, O’Reilly, and Sweat, (2009). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Sebagian siswa SMA Negeri 1 Selupu Rejang memilki pengetahuan dengan rata-rata nilai 70,60 sebelum diberikan penyuluhan kesehatan HIV/ AIDS. Sebagian siswa SMA Negeri 1 Selupu Rejang mengalami peningkatan pengetahuan dengan rata-rata nilai 85,96 setelah diberikan penyuluhan kesehatan HIV/AIDS. Terdapat perbedaan tingkat pengetahuan siswa SMA Negeri 1 Selupu Rejang antara sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan kesehatan tentang HIV/AIDS. Saran Disarankan melakukan penyuluhan secara rutin dengan dinas kesehatan melalui PKPR atau intansi terkait melalui KPA (komisi Penanggulan AIDS) dalam peningkatan pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS. DAFTAR PUSTAKA Abdeyazdan Z. dan Sadhegi N. 2008. Pengetahuan dan Sikap terhadap HIV/AIDS Kalangan Siswa Sekolah Menengah. Isfahan, ( 2), hal. 93–8. Adekola G. 2010. The Impact of Instructional Media on the Education of Youths on HIV/AIDS in Nigeria Urban Communities. International Journal of Scientific Research in Education, 3 (1), p. 64–72. Jung M, Arya M, Viswanath K. 2013. Effect of Media Use on HIV/AIDS-Related Knowledge and Condom Use in Sub-Saharan Africa: Media Use and HIV/AIDS Sub-Saharan Africa, 8. (7). KPAN. 2003. Strategi Penanggulangan HIV/AIDS 2003– 2007. Tersedia pada: http://www.aidsindonesia. or.id/repo/SRAN20102014.pdf [Diakses tanggal 26 Desember 2012].
Pengaruh Penyuluhan Kesehatan tentang HIV/AIDS (Derison Marsinova Bakara, dkk.) Kementerian Kessehatan RI. 2013. Statistik Kasus HIV/ AIDS di Indonesia. Tersedia pada: http://spiritia.or.id/ Stats/StatCurr.pdf [Diakses tanggal 26 Juni 2013]. Kimani GN. Kara ML. and Nyala ML. 2012. Students’ Sexual Behaviour in the Context of HIV/Aids Education in Public Secondary Schools: A Case for Kangudo Division, Kenya. .International Journal of Humanities and Social Science, 2 (23) December. Li L. Rotheram-Borus, M.J. Lu Y. Wu Z. Lin C., 2009. Mass media and HIV/AIDS in China. J Health Commun, (14), p. 424–38. Medley A, Kennedy C, O’Reilly K. and Sweat M. 2009. Effectiveness of Peer Education Interventions for HIV Prevention in Developing Countries: A Systematic Review and Meta-Analysis. AIDS Education and Prevention, Guilford Press, 21(3), 181–206. Okoli NJ. 2008. HIV/AIDS and Youths: Teaching Methods/ Techniques, Awareness Campaign and Community
Service in University of Port Harcourt and Environs. A Paper Presented at the Workshop on the Integration of HIV/IDS into University Curriculum on 22nd July, 2008, at the University of Port Harcourt. Sharma M. 2008. Impact of Educational Intervention on Knowledge Regarding HIV/AIDS among Adults. J Nepal Health Res Counc, 6 (2). Unaids, 2011. UNAIDS World AIDS Day Report. Tersedia pada: http://www.unaids.org [Diakses tanggal 29 Desember 2012]. Viswanath K, Ramanadhan S, Kontos EZ. 2007. Mass media. In: Galea S, (eds.). Macrosocial Determinants of Population Health. NY: Springer. p. 275–94. World Association for Sexual Health, 2008. Sexual health for the millennium: A declaration and technical document. Minneapolis, MN: World Association for Sexology. WHO, 2012. HIV/AIDS. Tersedia pada: http://www.who. int/topics/hiv_aids/en/ [Diakses tanggal 31 Desember 2012].
231
PENGETAHUAN DAN SIKAP WANITA RAWAN SOSIAL EKONOMI (WRSE) TENTANG PENCEGAHAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KOTA PEKALONGAN TAHUN 2014 Ida Baroroh, Nur Hidayati, Dian Kusumawardani (Akademi Kebidanan Harapan Ibu Pekalongan) ABSTRACT Human Immunodeficiency Virus (HIV) is the virus that causes Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), which is a global health problem in both developed and developing countries. HIV / AIDS is a sexually transmitted disease that can be transmitted throughout society from infants to adults both male and female. Women's socio-economic prone included into the vulnerable groups because of poor health status, durability and family welfare would have the potential to perform high-risk of HIV infection and AIDS. The purpose of the research is to analyze the knowledge and attitudes of women's socio-economic prone on the prevention of transmission of HIV / AIDS in Pekalongan. This research method is quantitative and qualitative. The samples of this research are 47 WRSE in Pekalongan, taken 4 WRSE study subjects aged 18-50 years with criteria, are married and have children, widows live / dead widow who becomes the primary breadwinner families or married to a husband who worked at sea for long periods (return 3 months or more), working as a bus driver Inter-City Inter-Province (AKAP), truck drivers, or work outside the city without clarity, have dependents by more than 3 people, stay in Pekalongan. Collecting data through in-depth interviews and analysis with content-analysis. The results showed WRSE knowledge about STDs, HIV / AIDS as well as an overview of HIV disease AIDS is still very limited, limited knowledge society is due to the lack of dissemination to the public of information relating to HIV / AIDS and VCT clinics presence in Pekalongan by the Government. Negative attitudes towards PLHIV community committed (People Living with HIV / AIDS) is caused by ignorance of the community clearly. It is recommended to promote coordination among agencies in providing public education, socialization expanded, the type of information plus, especially socialization related to the prevention of disease transmission, forming an organization engaged in the protection and prevention of HIV/AIDS. Keywords: HIV / AIDS, WRSE, Knowledge, Attitude Literature: 26 (1999 - 2013)
PENDAHULUAN Kasus HIV/AIDS sejak pertama kali ditemukan yaitu pada tahun 1987 sampai Juni 2012 terdapat 30.103 kasus AIDS dan 86.762 terinfeksi HIV di 33 propinsi di Indonesia. Jumlah kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari Papua (7.527 kasus), DKI Jakarta (6.299 kasus), Jawa Timur (5.257 kasus), Jawa Barat (4.098 kasus), Bali (2.939 kasus), Jawa Tengah (2.503 kasus), Kalimantan Barat (1.699 kasus), Sulawesi Selatan (1.377 kasus), Riau (775 kasus), dan Sumatera Barat (715 kasus). Angka kematian AIDS menurun dari 2,8% pada tahun 2011 menjadi 1,6% pada September 2012 (Depkes, 2012). Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
Presentase komulatif AIDS tertinggi pada umur 20-29 tahun (41,5%), kemudian diikuti kelompok umur 30-39 tahun (30,8%), 40-49 tahun (11,6%), 15-19 tahun (4,1%), dan 50-59 tahun (3,7%). Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1 (laki – laki 70% dan perempuan 29%). Presentase faktor resiko AIDS tertinggi adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual (84,5%), pengguna jarum suntik tidak steril pada penasun (6%), dari ibu positif HIV ke anak (3,9%), lelaki seks lelaki (3,9%) (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2012). Kasus AIDS di Jawa Tengah, dari tahun 1993 sampai dengan 31 maret 2012 22
jumlah kasus 4.922 orang dengan HIV: 2.769 kasus, AIDS: 2.153 orang dan meninggal 603 orang. proporsi jumlah AIDS sebanyak 38,3% laki-laki, sebanyak 61,7% kelompok wanita. Dilihat dari kelompok penderita yang terbesar pada kelompok umur 25-29 tahun yaitu 574 (26,66%) sebanyak, umur 30-34 tahun yaitu 447 (20,76%), umur 35-39 tahun yaitu 331 (15,37%) Sedangkan bila dilihat dari pekerjaan penderita ternyata yang paling banyak adalah wiraswasta yaitu 439 (39%), ibu rumah tangga yaitu sebesar 394 (18,3%) disusul kelompok karyawan sebesar 223(10,36%). Ada sekitar 81 anak di bawah usia 15 tahun yang sudah menderita HIV/AIDS yang berasal dari ibunya (Profil Kesehatan Jawa Tengah Tahun 2012). Jumlah penderita HIV/AIDS di Kota Pekalongan meningkat signifikan sepanjang tahun 2013 yaitu mencapai 23 orang. Sementara pada tahun sebelumnya, jumlah penderita HIV/AIDS hanya 13 orang. Peningkatan yang signifikan tersebut salah satunya dikarenakan faktor screening yang mengalami peningkatan. Penderita HIV/AIDS di Kota Pekalongan terdiri dari ibu rumah tangga, karyawan, buruh dan wiraswasta. Dua diantara jumlah penderita adalah anak-anak yang tertular dari ibunya.Sementara itu, dari jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 23 sepanjang tahun 2013, lima orang di antaranya meninggal. Jumlah ini turun dibandingkan tahun sebelumnya (Dinas Kesehatan Kota Pekalongan, 2013). Berdasarkan data dari Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Pekalongan didapatkan jumlah wanita rawan sosial ekonomi (WRSE) di Pekalongan pada tahun 2010 sebanyak 804 orang. Data terbaru tahun 2013 jumlah WRSE di Kota Pekalongan menurun menjadi 615 orang. HIV/AIDS merupakan penyakit menular seksual yang dapat menular seluruh lapisan masyarakat dari mulai bayi Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
sampai dewasa baik laki-laki maupun perempuan.Sedangkan kelompok resiko tertinggi terhadap infeksi HIV adalah homoseksual, pria biseksual, penyalahgunaan obat-obatan intravena, kaum prostitusi, dan mitra heteroseksual pria yang berada dalam kelompok resiko tinggi (Pernoll dan Ralph, 2005). Adanya perilaku menyimpang masyarakat mulai dari pekerja seks komersial, homoseksual, dan pengguna jarum suntik yang saling bergantian sangat mempengaruhi meningkatnya penyebaran HIV/AIDS di Indonesia. Adanya pola transmisi yang berkembang selain hanya transmisi seksual, juga menular melalui transmisi plasental (dari ibu ke janinnya) menjadi ancaman baru yang melahirkan korban yang tidak berdosa. Pola pemberantasan HIV/AIDS di Indonesia harus dilakukan secara nasional melalui kebijakan khusus pemerintah dan diharapkan hal itu mampu menyelamatkan SDM (sumber daya manusia) usia produktif yang berpotensi bagi pembangunan dari penyebaran HIV/AIDS di lingkungan masyarakat (Adisasmito, 2012). Virus HIV/AIDS adalah penyakit menular melalui hubungan seksual. Oleh karena itu, wanita rawan sosial ekonomi rentan terjangkit penyakit ini karena mereka mempunyai kemungkinan yang besar untuk menjadi pekerja seks komersial yang disebabkan desakan ekonomi maupun berhubungan intim dengan suami yang bekerja diluar kota dalam waktu lama dan terbiasa melakukan hubungan seks berisiko selain dengan pasangan tetap (istri) namun tidak mau terbuka kepada keluarga bila terinfeksi virus HIV. Wanita rawan sosial ekonomi termasuk kedalam kelompok rentan karena rendahnya status kesehatan, daya tahan dan kesejahteraan keluarga akan berpotensi melakukan perilaku beresiko terinfeksi
23
HIV dan AIDS (Perda Kabupaten Batang No 3 Tahun 2011). Kajian sosiologi feminis menjelaskan ibu rumah tangga rentan terinfeksi virus HIV/AIDS karena rendahnya daya tawar dan negosiasi dalam hal berhubungan seksual. Kenyataan ini sesuai dengan laporan Badan AIDS PBB atau UNAIDS, yang menyebutkan lebih dari 1,7 juta perempuan di ASIA hidup dengan HIV positif, dan 90%-nya tertular dari suami atau pasangan seksual. Suatu perilaku yang tepat dapat menghindari bahaya HIV/AIDS harus dimulai dari pengetahuan yang memadai mengenai HIV/AIDS itu sendiri. Di samping untuk mencegah diri dari melakukan berbagai hal yang beresiko menularkan HIV/AIDS, juga membantu kita untuk dapat berperilaku yang tepat kepada penderita HIV/AIDS. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Davis, Sloan, MacMaster, dan Kilbourne (2007) dalam Vella (2011), yang meneliti kaitan antara pengetahuan dan aktifitas seksual yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa mengungkap pentingnya kesadaran (pengetahuan) akan HIV/AIDS. Penelitian tersebut menemukan bahwa niat untuk menggunakan kondom pada mahasiswa yang hendak melakukan one-night stand memiliki kaitan yang kuat dengan kesadaran terhadap HIV/AIDS. Suatu niat untuk menggunakan kondom di masa mendatang juga memiliki korelasi yang signifikan dengan peningkatan efikasi diri untuk menggunakan kondom serta sikap positif terhadap hubungan seks yang aman. Pengkajian pengetahuan, sikap wanita rawan sosial ekonomi merupakan suatu upaya pencegahan penularan HIV/AIDS. Upaya pencegahan penularan HIV/AIDS diharapkan dapat mengurangi penularan HIV/AIDS dalam satu keluarga, virus HIV dari suami ke ibu rumah tangga dan dilanjutkan penularan ke anak saat persalinan. Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitian sebagai berikut: ”Bagaimana pengetahuan dan sikap Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) terhadap pencegahan penularan HIV/AIDS di Kota Pekalongan?”. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan kombinasi metode kuantitatif dan kualitatif, dimana variabel kuantitatif terdiri dari variabel pengetahuan dan sikap dengan metode pengumpulan data menggunakan kuesioner. Pengkajian pengetahuan dan sikap digunakan untuk mendapatkan informan utama dalam penelitian kualitatif. Jenis penelitian selanjutnya adalah metode kualitatif yang disajikan secara deskriptif melalui wawancara mendalam dengan pedoman wawancara untuk mendapatkan pemahaman tentang pengetahuan dan sikap Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) sebagai ibu rumah tangga dalam upaya pencegahan penularan HIV/AIDS kepada keluarga maupun orang lain yang belum tertular dan terjangkit HIV/AIDS Untuk mendapatkan informan sesuai dengan tujuan penelitian yaitu informan yang dapat memberikan informasi tentang pencegahan penularan HIV/AIDS terhadap Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE). Ditentukan subyek penelitian sebagai informan utama adalah ibu rumah tangga yang masuk dalam kriteria wanita rawan sosial ekonomi (WRSE). Pengumpulan data primer dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada 1 orang Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) disetiap kelurahan di wilayah Kota Pekalongan yang berisi pengkajian pengetahuan dan sikap terhadap pencegahan penularan HIV/AIDS dan diolah menggunakan analisis univariat pada masing-masing variabel. Hasil analisis univariat dengan perbedaan nilai pengetahuan dan sikap yang signifikan 24
kemudian dipilih 6 orang untuk menjadi informan utama. Enam orang informan utama kemudian dilakukan wawancara mendalam (Indepth Interview) sebagai metode pengumpulan data kualitatif. Wawancara mendalam dilakukan kepada Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) sebagai ibu rumah tangga yang memenuhi kriteria yaitu : umur 18-50 tahun, sudah menikah dan mempunyai anak, janda hidup/mati yang menjadi pencari nafkah utama keluarga atau menikah dengan suami yang bekerja di laut dalam waktu lama (pulang 3 bulan sekali atau lebih), bekerja sebagai supir bus Antar Kota Antar Propinsi (AKAP), supir truk, atau bekerja diluar kota tanpa kejelasan, memiliki tanggungan keluarga sebanyak lebih dari 3 orang dan berdomisili di wilayah kota Pekalongan. Adapun Informan Triangulasi dalam penelitian ini adalah Kepala Bidang P2 dan PL Dinas Kesehatan Kota Pekalongan, Kepala Bidang Sosial Dinas Sosial Kota Pekalongan, Kepala Seksi Pendayaan Perempuan dan Perlindungan Anak BPMP2AKB Kota Pekalongan dan Case Manager Klinik VCT BKPM Kota Pekalongan. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 macam, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini yaitu wawancara mendalam. Wawancara mendalam digunakan untuk mendapatkan data primer. Wawancara mendalam dengan informan utama dan triangulasi tentang pencegahan penularan HIV/AIDS terhadap Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE). Tujuan wawancara mendalam dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi yang dapat dipercaya atau memperoleh pendapat yang didasarkan informasi yang obyektif dan cermat tentang pencegahan penularan HIV/AIDS terhadap Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE). Sedangkan data sekunder dalam Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
penelitian ini adalah data jumlah WRSE dari Dinas Sosial Kota Pekalongan dan Jumlah ODHA di wilayah Kota Pekalongan dari Dinas Kesehatan Kota Pekalongan. Instrumen Pengumpulan data yang digunakan yaitu instrumen pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif. Adapun instrumen pengumpulan data kuantitatif dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner diberikan kepada ibu rumah tangga yang termasuk dalam kriteria inklusi (Wanita Rawan Sosial Ekonomi/WRSE). Sedangkan instrumen penelitian kualitatif adalah peneliti. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth interview), untuk mengumpulkan data didapatkan dari : Pedoman wawancara mendalam, yang berisi pertanyaan terbuka tentang pengetahuan dan sikap dalam pencegahan penularan HIV AIDS dan Tape recorder untuk merekap hasil wawancara, alat tulis (buku dan bolpoint) untuk mencatat informasi yang diperoleh. HASIL DAN PEMBAHASAN a.
Data Kuantitatif Dari 47 responden, sebanyak 31 responden berpengetahuan kurang, 15 responden berpengetahuan cukup dan hanya 1 orang berpengetahuan baik tentang pencegahan penularan HIV AIDS. Dan data sikap diperoleh sebanyak 25 responden mempunyai sikap negatif dan 22 responden lainnya mempunyai sikap positif tentang pencegahan penularan HIV AIDS. Dari Hasil penilaian pengetahuan dan sikap diambil 8 informan utama dengan nilai hasil pengetahuan kurang dan sikap negatif atau pengetahuan cukup dengan sikap negatif.
25
b. Data Kualitatif 1. Karakteristik Informan Utama Tabel 3.1.1 Karakteristik Informan Utama No.
Kode Informan
Usia (Thn)
Pendidik an
Pekerj aan
Status
Tidak sekolah Tidak sekolah SMA
Buruh Batik Dagan g Dagan g Dagan g IRT
Menikah
Tanggun gan Keluarga 7 orang
Menikah
4 orang
Supir Bis AKAP supir truk
Janda Mati Menikah
4 orang
-
7 orang
Supir truk
Menikah
3 orang
Buruh luar kota Buruh luar kota Supir truk
1.
IU.1U
50
2.
IU.2T
50
3.
IU.3B
32
4.
IU.4S
50
5.
IU.5T
21
Tidak sekolah SMP
6. 7.
IU.6B IU.7S
40 24
SD SMP
Buruh IRT
Janda Menikah
3 orang 3 orang
8.
IU.8U
34
SMP
Buruh batik
Menikah
6 orang
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa informan utama sejumlah 8 orang dengan karakteristik umur antara 21-50 tahun, dan riwayat pendidikan terakhir tidak bersekolah - tamatan SMA. Adapun status informan utama adalah 6 orang menikah (suami masih hidup), 1 orang adalah janda mati dan 1 orang janda cerai hidup. Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan 2 informan 2. Karakteristik Informan Triangulasi
utama adalah 7 orang, 1 informan utama memiliki 6 orang tanggungan keluarga, 2 orang informan utama memiliki tanggungan keluarga sebanyak 4 orang dan 3 informan utama yang lain memiliki tanggungan keluarga sebanyak 3 orang. Pekerjaan ratarata suami informan utama adalah 3 orang supir truk, 1 orang supir bis AKAP dan 2 orang buruh luar kota.
Tabel 4.1.2 Karakteristik Informan Triangulasi No
1. 2. 3. 4.
KodeInforman
IT.1 IT.2 IT.3 IT.4
Usia (Tahun) 42 tahun 53 tahun 54 tahun 35 tahun
Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
Pekerjaa n Suami
Pendidikan
S2 S1 S2 DIII
Pekerjaan / Jabatan PP dan PA PP dan PL Kabid sosial Case manajer VCT
Lama Bekerja 3 tahun 3 tahun 1,5 tahun 7 tahun
26
Berdasarkan tabel 4.1.2 diketahui bahwa 2 informan triangulasi berlatar belakang pendidikan terakhir S2 (Sarjana Strata 2), 1 informan triangulasi berlatar belakang pendidikan terakhir S1 (Sarjana Strata 1) dan 1 orang informan utama berpendidikan terakhir Diploma III. Sebanyak 2 informan triangulasi lama bekerja di posisi sekarang sudah selama 7 tahun, 2 orang informan triangulasi dengan lama bekerja 3 tahun dan 1 informan triangulasi selama 1,5 tahun ANALISIS DATA KUANTITATIF a.
Analisis Data Pengetahuan Dari hasil penelitian didiapatkan bahwa dari 47 responden, sebanyak 31 responden berpengetahuan kurang, 15 responden berpengetahuan cukup dan hanya 1 orang berpengetahuan baik tentang pencegahan penularan HIV AIDS. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu dan mempunyai 6 tingkatan dalam domain kognitif seperti tahu, memahamii, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi (Notoatmodjo, 2003). Dalam pengamatan lain pengetahuan lebih menekankan pada pengamatan dan pengalaman inderawi dikenal sebagai pengetahuan empiris atau pengetahuan aposteriori. Pengetahuan ini bisa didapatkan dengan melakukan pengamatan dan observasi yang dilakukan secara empiris dan rasional. Menurut Green dan kawankawan (et.al. 1980) berpendapat bahwa peningkatan pengetahuan tidka selalu menyebabkan perubahan sikap
Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
pada diri seseorang. Pengetahuan adalah sesuatu yang perlu, tetapi bukan merupakan faktor yang cukup untuk merubah sikap yang baik. Perlu ada “isyarat” yang cukup kuat seseorang untuk bertindak sesuai denga pengetahuannya. Sebagian responden yang memiliki pengetahuan kategori kurang tentang HIV AIDS kemungkinan disebabkan oleh responden belum pernah mendapatkan informasi/pembelajaran tentang penyakit HIV/AIDS. Penggolongan pengetahuan termasuk dalam faktor predisposisi (Lawrence Green dalam Notoatmodjo, 2000) yaitu untuk dapat mengenai arti dan manfaatnya tersebut. Pengaruh pengetahuan bisa mendorong terhadap suatu tindakan tergantung dari apa yang akan dilakukan. b. Analisi Data Sikap Dari 47 responden, sebanyak 25 responden mempunyai sikap negatif dan 22 responden lainnya mempunyai sikap positif tentang pencegahan penularan HIV AIDS. Sikap adalah suatu bentuk aktivitas akal dan pemikiran yang ditujukan pada objek tertentu yang sedang dihadapi. Hasil dari aktivitas tersebut yaitu suatu pilihan atau ketepatan hati terhadap objek itu, sering, tidak sering, menerima, menolak, ragu, masa bodoh, curiga dengan sengaja. Kedudukan sikap akan penting dalam suatu pekerjaan maupun kehidupan sosial sehingga dengan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang baik akan menghasilkan sikap yang positif (Moenir, 1995). Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2003) disebutkan bahwa sikap merupakan perilaku yang 27
terselubung, artinya sikap yang positif atau negatif belum tentu mempunyai pengetahuan yang cukup tentang penyakit HIV/AIDS seperti yang diharapkan dan perilaku ini merupakan covert behavior yaitu pada pengetahuan, kesadaran dan sikap. Sikap pada penyakit HIV/AIDS yang kurang baik kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor lain seperti tingkat pengetahuan apabila ibu rumah tangga tidak mengetahui tentang penyakit HIV/AIDS dapat berpengaruh terhadap perubahan sikap, kepahaman terhadap pengertian penyakit HIV/AIDS sangatlah berpengaruh terhadap sikap, ketidakpahaman mengenai pengertian, tanda dan gejala serta proses penularan HIV AIDS akan menimbulkan sikap kurang baik
dalam sikap menerima keberadaan ODHA maupun penyakit HIV/AIDS itu sendiri. ANALISIS DATA KUALITATIF a.
Analisis Pengetahuan 1) Pengetahuan tentang Menular Seksual
Penyakit
Pengetahuan informan utama tentang PMS masih sangat terabatas. Sebagian besar informan mengatakan bahwa PMS merupakan penyakit yang disebabkan oleh hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan namun hanya 4 orang informan yang tidak mengetahui tanda gejala PMS. Seperti terangkum pada Kotak 1 sebagai berikut:
Kotak 1 Kulo mboten.. mboten ngertos nggih, opo sih penyakit hubungan po’? sing nular saking hubungan (IU.4S) Semacam penyakit kulit iku, tapi kadang-kadang metu frustasine niku si bu sampe ngombe baygon, ngombe rinso. Penyakit kulit sing do nglotok. Ono siji meneh penyakit kelamin kuwi juga salah satune bu...(IU.3B) Hahaha.. embuh mbak penyakit opo kuwi. Penyakit hubungan seks pog? Ora ngerti mba...(IU.7S) Wah penyakit nopo niku mba? Kulo nggih mboten ngertos. Sak ngertiku penyakit kulit, penyakit sing disebabke sering gonta-ganti pasangan. Misale WTS opo wong lanang sing sering njajan biasane penyakite koyo kuwi mbak. (IU.8U)
2) Pengetahuan tentang HIV/AIDS Semua informan utama menyatakan bahwa PMS merupakan salah satu gejala penyakit HIV AIDS yang ditularkan lewat hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan. Namun hanya 3 orang informan Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
utama yang mengetahui cara penularan HIV AIDS dengan jarum suntik (PENASUN) dan ibu hamil kepada anaknya serta hanya 2 informan utama yang mengetahui tanda gejala HIV AIDS yaitu batuk lama.
28
Hal ini diungkap dalam hasil wawancara mendalam pada
kotak
1
sebagai
berikut
:
Kotak 2 Nate mireng, ning mboten nate ningali mba. Sing nem-nem sing ngerti. Penyakit saking suntik’an nopo, sing nularke niku jaler sing nakal-nakal nopo. (IU.2T) La juga akibat dari kebebasan seksual pog, penularane saking jarum suntik, seks bebas, ibu hamil pada anaknya. Gejalane yo batuk lama, nek panas dingin co’e ora. Sing risiko yo coe pecandu narkoba (IU.3B) Nggih kados penyakit menular seks, ditularke lewat hubungan seks iku to mba, selaine hubungan biasane narkoba. Penyakit HIV niku dereng wonten obate sak ngertiku mba.(IU.5T) “... ya penyakit nulare lewat seks sing gonta-ganti pasangan, gejalane awake gering, sering batuk-batuk, selain hubungan seks coe yo keluargane cok ketularan mba “ (IU.8U).
Hasil penelitian menyatakan bahwa hanya 1 orang informan utama yang mengetahui
penyakit HIV/AIDS dari radio, seperti yang diungkap pada kotak 3 sebagai berikut :
Kotak 3 “Kalau saya denger dari radio sedikit sedikit, saya tahunya kalau penyakit hubungan kalau permulaan itu gatel gatel, tanda gejala selanjutnya saya tidak tahu..” (IU.4S).
Ada tidaknya sumber pengetahuan informan utama akan mempengaruhi pengetahuan informan utama tentang PMS maupun penyakit HIV/AIDS, karena pengetahuan diperoleh dari informasi baik lisan (misalnya dari petugas kesehatan) maupun tertulis (misalnya dari koran atau majalah) dan pengalaman seseorang. Pengetahuan juga diperoleh dari fakta (kenyataan) dengan melihat dan mendengar radio, televisi, dan sebagainya. Selain itu seseorang yang
Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
mempunyai sumber informasi lebih banyak akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas (Soekanto, 2000). Keterangan dari informan utama berbeda dengan keterangan dari informan triangulasi yang menyatakan bahwa sudah memberikan sosialisasi mengenai PMS ataupun HIV/AIDS kepada tokoh masyarakat. Pernyataan tersebut diungkap dalam hasil wawancara mendalam pada kotak 2 sebagai berikut :
29
Kotak 4 “Tapi kalau menurut kami kalau tentang HIV/AIDSnya sendiri itu pasti disinggunglah dalam pertemuan-pertemuan. Sosialisasi secara tidak formal atau tidak khusus untuk tema HIV/ADIS itu sudah disinggunglah” (IT.1) “Saya kira ada masyarakat tahu akan tetapi masih banyak yang tidak tahu secara detail” (IT.2) “Isi dari medianya yaa terkait tentang pengertian, cara penularannya cara pengobatannya dan lengkap semua ” (IT.2)
Kepedulian pemerintah dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia ditunjukkan dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden RI Nomor 75 Tahun 2006 Tentang Komisi Penanggulanag AIDS Nasional yang salah satu tugasnya mengadakan pengkoordinasian kegiatan penyuluhan, pencegahan, pemantauan, pengendalian, dan penaggulangan AIDS (Kholil, 2012). Dalam penelitian Dermatoto (2010), pengetahuan tentang HIV AIDS yang baik serta dibarengi dengan sikap yang positif belum tentu seseorang dapat berperilaku baik terhadap hal tersebut. Ini disebabkan berbagai alasan seperti : belum adanya keberanian melakukan tes HIV, adanya perasaan takut mengetahui HIV positif dan keengganan melakukan tes HIV karena lebih menyukai untuk tidak mengetahui status terkait dalam masalah HIV/AIDS. Dalam hal ini untuk menurunkan angka penderita HIVAIDS, dibutuhkan peran serta orangtua, keluarga , lingkungan dan penyuluhanpenyuluhan pada semua lapisan
masyarakat umumnya dan ibu hamil khususnya yang juga rentan terhadap HIV/AIDS. Dalam penelitian Rosyidah (2009), pengetahuan, keyakinan dan faktor demografi serta faktor pendukung yang lain juga dapat mempengaruhi seseorang untuk bersikap. Dengan ini sudah dapat terbaca bahwa sikap yang baik dapat terbentuk dari pengetahuan yang baik. Untuk mencegah penularan HIV/AIDS lebih luas lagi, Upaya yang dilakukan adalah membangun pengetahuan dan pemahaman yang memadai bagi anak muda dan wanita usia produktif akan kesehatan seksual dan reproduksi, di mana HIV termasuk di dalamnya. 3) Pengetahuan tentang klinik VCT di Kota Pekalongan Semua informan mengatakan belum mengetahui adanya klinik VCT di Kota Pekalongan, namun 1 informan mengatakan biasanya di rumah sakit ada pelayanan VCT. dinyatakan diungkap dalam hasil wawancara mendalam pada kotak 5 sebagai berikut :
Kotak 5 “Rumah sakit biasane wonten. Klinik’e selain RS ndak tau mba” (IU.6B) Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
30
Sedangkan keterangan yang didapat dari informan triangulasi diungkap dalam hasil
wawancara mendalam pada kotak 6 sebagai berikut :
Kotak 6 “…..Klinik VCT juga ada di RSUD Bendan dan BKPM, tapi setahu saya yang banyak ditemukan di RSUD karena mereka datang dengan penyakit penyerta.” (IT.2)
Hal ini ditunjang dengan keterangan yang didapat dari informan triangulasi BKPM yang
diungkap dalam hasil wawancara mendalam pada kotak 7 sebagai berikut :
Kotak 7 “…..Klinik VCT yang ada di BKPM ini biasanya banyak pasien dari lapas dan mungkin pasiennya lebih banyak di RSUD Bendan karena dari BKPM sendiri rujukannya ke RSUD Bendan..” (IT.4)
Klinik VCT diperlukan karena merupakan pintu masuk untuk menuju keseluruh layanan HIV/AIDS, dapat memberikan keuntungan bagi klien dengan hasil tes positif maupun negatif dengan fokus pemberian dukungan terapi ARV (Anti Retroviral), dapat membantu mengurangi stigma di masyarakat, serta dapat memudahkan akses ke berbagai layanan kesehatan maupun layanan psikososial yang
dibutuhkan klien (Murtiastutik, 2008). 4) Pengetahuan Adanya Organisasi dibidang pencegahan penularan HIV/AIDS Semua informan utama menyatakan tidak tahu organisasi yang bergerak dibidang pencegahan HIV/AIDS di Kota Pekalongan. Pernyataan tersebut diungkap dalam hasil wawancara mendalam pada kotak 8 sebagai berikut :
Kotak 8 “gak tau mbak” (IU.1U) “Mboten wnten kadose, teng balai deso niku mboten wonten” (IU.2T) “Organisasi nopo, mboten wonten kayane bu” (IU.3B) “Nggak tahu mbak, saya rasa tidak ada” (IU.4S) “Mboten genah kulo niku, organisasi nopo si?” (IU.5T) “Ndak tau, apa ada organisasine?(IU.6B) ‘Wah nopo meleh niku, mboten ngertos mba.. ngertine PKK... hahaha”(IU.7S) “Mboten ngertos kulo”(IU.8U)
Pernyataan dari informan utama hampir sama dengan keterangan dari informan triangulasi, namun informan Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
triangulasi menyatakan terdapat komite penanggulangan HIV/AIDS (KPA) yang berada di Dinas Kesehatan Kota 31
Pekalongan. Pernyataan tersebut diungkap dalam hasil wawancara
mendalam pada kotak 9 sebagai berikut :
Kotak 9 “....di dinas sendiri sudah ada Komite Penanggulangan HIV AIDS …” (IT.2)
Penyataan dari informan triangulasi ditunjang dengan pernyataan dari Case Manager klinik VCT yang menyatakan ada
Komite Penanggulangan HIV / AIDS (KPA) pada kotak 10 sebagai berikut:
Kotak 10 “....lewat KPA dulu kemudian turun Perda dan harusnya kepala daerah harus konsentrasi terhadap pengananan HIV AIDS …” (IT.4)
5) Gambaran penderita HIV/AIDS Enam orang informan utama mengatakan tidak mengetahui gambaran penderita HIV/AIDS karena belum pernah melihatnya, dan hanya 2 informan
mengatakan bahwa penderita HIV AIDS berbadan kurus dan sering batuk. Pernyataan tersebut diungkap dalam hasil wawancara mendalam pada kotak 11 sebagai berikut :
Kotak 11 “Lemes, awake alit niku si …” (IU.2T) “La kuwi kayane wonge niku gering, sering batuk-batuk.. ceking niku si.…” (IU.8U)
Informan triangulasi menyatakan bahwa pernah membawa ODHA pada saat memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai HIV/AIDS sehingga peserta dapat
berkomunikasi dan melihat langsung kondisi ODHA. Pernyataan tersebut diungkap dalam hasil wawancara mendalam pada kotak 12 sebagai berikut :
Kotak 12 “…Dulu pernah saya ngasih tu sama dr. Muhis dari Semarang kita bawa testimoni orangnya juga sehingga peserta bisa komunikasi langsung dengan penderita…” (IT.1) “….bahkan sampai mendatangkan ODHA” (IT.2)
Faktor pekerjaan informan utama juga mempengaruhi pengetahuan informan dimana informan utama bekerja dari pagi sampai sore sehingga tidak bisa mengikuti perkumpulanperkumpulan di lingkungannya Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
yang dimungkinkan ada sosialisasi mengenai HIV/AIDS maupun berbagai macam hal yang lain. b. Analisis Sikap 1) Sikap bila bertemu ODHA 32
Semua informan menyatakan tidak akan mendekati penderita HIV/AIDS tetapi masih bersedia untuk bersalaman.
Pernyataan tersebut diungkap dalam hasil wawancara mendalam pada kotak 13 sebagai berikut:
Kotak 13 “ Kalau nyapa ya saya menjawab tetapi tidak saya dekati biar tidak tertular, kalau hanya bersalaman sebentar yaa tidak apa apa, tidak memperlihatkan kalau saya menghindari, kalau menghindar itu kasihan sama orangnya yang sakit, kalau diajak berbincang agak lama beralasan untuk cepat pergi. (IU.1,2,3,4,5,6,7,8)
Rasa takut dan khawatir masyarakat akan menimbulkan hukuman sosial terhadap penderita ODHA. Hukuman sosial berupa stigmasi dan diskriminasi oleh masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap pengidap AIDS terdapat dalam berbagai cara, antara lain tindakan-tindakan pengasingan, penolakan, diskriminasi, dan penghindaran atas orang yang diduga terinfeksi HIV diwajibkannya uji coba HIV tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu atau perlindungan kerahasiaannya dan penerapan karantina terhadap orang-orang yang terinfeksi HIV. Kekerasan atau ketakutan atas kekerasan, telah mencegah banyak orang untuk melakukan tes HIV, memeriksa bagaimana hasil tes mereka, atau berusaha untuk memperoleh perawatan sehingga mungkin mengubah suatu sakit kronis yang dapat dikendalikan menjadi hukuman mati dan menjadikan meluasnya penyebaran HIV.
Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
Dukungan sebaya merupakan dukungan sesama yang dilakukan oleh Odha atau Ohidha kepada Odha dan Ohidha lainnya, terutama Odha yang baru mengetahui status HIV. Dukungan sebaya berfokus pada peningkatan mutu hidup Odha khususnya dalam peningkatan percaya diri; peningkatan pengetahuan HIV/AIDS; akses dukungan, pengobatan dan perawatan; pencegahan positif dengan melakukan perubahan perilaku; dan kegiatan produktif. Keberadaan ODHA harus diperhatikan oleh instansi pemerintah kabupaten/Kota. Hal ini sejalan dengan pernyataan informan triangulasi Kabid BPMP2AKB, menyatakan bahwa jika BPMP2AKB menemukan ODHA baru akan menginformasikan keberadaan ODHA baru tersebut kepada Dinas Kesehatan. Pernyataan tersebut diungkap dalam hasil wawancara mendalam pada kotak 14 sebagai berikut:
33
Kotak 14 “...Kalau ditempat saya tidak ada tupoksi itu. Walau tidak ada tupoksi, kami selalu merapat ke Lapas ya, karena di lapas itu banyak penderitanya disana, tapi itu tidak dianggap sebagai data nya Kota Pekalongan karena mereka bukan asli penduduk Kota Pekalongan dan dinkes menganggapnya itu wilayahnya Kemenham. Tapi menurut kami karena itu berada di Kota Pekalongan itu juga sangat sensitif karena mereka bisa menikah dengan orang sini setelah keluar. Kita masuknya ke wilayah sana karena kita bekerja sama dengan lapas atau rutan mengadvokasi kalau disana ada ODHA, jadi kita bekerja sama dengan lapas itu kalau mereka punya data dan terus kemudian kita menginformasikannya ke Dinkes. Menurut kami harusnya dinkes yang proaktif untuk mengadvokasi ODHA disana karena tahu data. Kalau kami tahu data itu dari lapas jadi ya kerjakan yang di lapas. (IT.1)
Sama seperti hasil wawancara dengan Kabid P2-PL (Dinkes) yang menyatakan bahwa jika menemukan ODHA maka akan dilakukan pendampingan terhadap
ODHA dan keluarganya. Pernyataan tersebut diungkap dalam hasil wawancara mendalam pada kotak 15 sebagai berikut
Kotak 15 : “...Bila menemukan ODHA dari Dinas sendiri melakukan pendampingan terhadap ODHA, pendampingan dilakukan dirumah termasuk pada istrinya pada anaknya biasanya yang disampaikan keistrinya yaaa pelan pelan dari penyebabnya dari mana, mengidap penyakit itu setelah atau sebelum berkeluarga, dengan perilaku itu kemudian diberikan konseling dan pengobatan dengan melakukan pendekatan terhadap keluarga (IT.1)
2) Sikap Pencegahan HIV/AIDS
Penularan
5 informan utama menyatakan harus berhati-hati dan tidak berdekatan dengan penderita HIV/AIDS dan 3 informan
menyatakan HIV/AIDS bisa menular melalui keringat atau kontak kulit. Pernyataan tersebut diungkap dalam hasil wawancara mendalam pada kotak 16 sebagai berikut:
Kotak 16 : “...Tidak dekat dekat dengan yang menderita sakit HIV AIDS, tidak ngobrol lama dengan ODHA “(IU. 2,4) “..HIV kui perasaan ndak menular si, yo ora ngerti kabeh o.. nek kontak ngobrol yo orak menular.. dalam artian nek kojahan mbek kojahan yo orak menular, kulit mbek kulit yo ora menular...” (IU.1-3) “...Ngati-ngati bae, ora pedek-pedek karo wong e…” (IU.5T) “…Nek biso aku ora sebelahan karo wong sing duwe penyakit HIV/AIDS…” (IU.7S)
Sikap stigmasi dan diskriminasi harus dihindari mengingat permasalahan yang dihadapi harus segara ditangani secepatnya, dalam upaya menekan penyebaran HIV/AIDS di Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
masyarakat kedepannya. Sikap lapang dada, toleransi dan kepedulian serta kerjasama masyarakat diharapakan mampu membantu menekan dan meminimalkan bahkan 34
menyelesaikan permasalahan penyebaran HIV/AIDS. Sedangkan menurut hasil wawancara dengan informan triangulasi BPMP2AKB jika menemukan IRT yang ODHA
/OHIDA BPMP2AKB tidak langsung mengadvokasi ODHA hanya pada upaya preventif. Pernyataan tersebut diungkap dalam hasil wawancara mendalam pada kotak 17 sebagai berikut:
Kotak 17 : “...data itu (IRT yang merupakan ODHA) dipegang dinkes by name by address da itu dianggap tidak boleh keluar. Tupoksinya disana. Wilayah kami di Bappermas tidak langsung mengadvokasi penderita, dari kami upayanya ke preventif/pencegahannya. Datanya yang pegang kan dinkes, saya tidak tahu model penanganannya kalau ada kasus. (IT.1)
Sedangkan menurut hasil wawancara dengan Kabid P2-PL (Dinas Kesehatan), jika menemukan IRT yang ODHA /OHIDA penanganannya hanya sebatas jika IRT yang merupakan
ODHA diberikan obat ARV dan penyuluhan. Pernyataan tersebut diungkap dalam hasil wawancara mendalam pada kotak 18 sebagai berikut:
Kotak 18 : “...yaa ini Intinya mereka disuruh minum obat karena minimal bisa memperpanjang usia walaupun bukan menyembuhkan, penyuluhan jelas pada seluruh keluarganya tidak hanya pada IRT saja, biasanya rata-rata IRT yang kena suaminya sudah meninggal dan diharapkan tidak hamil lagi (IT.2)
Hasil wawancara dengan Case Manager Klinik VCT menyatakan bahwa pasien yang datang ke klinik akan diberikan konseling, dilanjutkan dengan tes HIV, lalu dirujuk ke RSUD Bendan
untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Pernyataan tersebut diungkap dalam hasil wawancara mendalam pada kotak 19 sebagai berikut:
Kotak 19 : “...Bila ada yang terinfeksi maka akan diberikan konseling, diperiksa kemudian pasca periksa dirujuk ke RSUD Bendan untuk mendapatkan pengobatan lebih lanjut…” (IT.4)
Diskriminasi yang dilakukan masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS dapat menambah beban secara emosional pada ODHA itu sendiri. Ketidaktahuan masyarakat mengenai HIV/AIDS lah yang mempengaruhi sikap masyarakat kepada ODHA. Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
3) Sikap terhadap tetangga dengan HIV/AIDS 2 informan menyatakan menghindari tapi tidak terlihat. 6 informan menyatakan bersedia untuk saling menyapa dan beralaman tetapi tidak terlalu lama dan berbincang sekedarnya. Pernyataan tersebut diungkap 35
dalam hasil wawancara mendalam
pada kotak 20 sebagai berikut:
Kotak 20 : “...Ngindari tapi ampun ketoro, wong nular kan mbak ya “ (IU.2) “...Yo brusaha ngadohi, aku wedi ketularan. Jenenge penyakit ora ono sing ngerti, menungso mung biso usaha” (IU.7S)
Menjaga hubungan baik dengan tetangga merupakan hal dasar dalam hidup ditengah-tengah masyarakat. Bertegur sapa dengan tetangga mampu mempererat hubungan kekeluargaan dengan tetangga. Apapun kondisi sosial, ekonomi dan kesehatan tetangga bukanlah suatu alasan yang dibenarkan untuk memutus tali silaturahmi, bahkan berlaku pada tetangga dengan HIV/AIDS.
4) Sikap pada nggota keluarga yang merupakan ODHA Semua informan akan memisah alat mandi, alat makan, mencuci pakaian dan tidak tidur atau bermain bersama penderita HIV/AIDS. Pernyataan tersebut diungkap dalam hasil wawancara mendalam pada kotak 21 sebagai berikut :
Kotak 21 : “...Yo memberikan support dorongan, nek wis genah positif yo sukuri jalani hidup ini ambl positife bae. Nek kaakan serumah yo, tapi nek ora ono obate kan buk..nek alat mandi yo karo anak-anak wis tak pisah dewe-dewe, alat mandi, anduk, nek nyuci pakaian yo tetep tak pisah o bu nek apan genah ngerti wis penyakit positif yo jelas alat makane. (IU.1, 2,3,4,5,6,7,8)
Menurut hasil wawancara dengan informan triangulasi BPMP2AKB dalam kaitanannya Pelayanan dan terapi yang disediakan bagi ODHA di wilayah
Kota Pekalongan adalah jika di lapas modelnya terapi kelompok. Pernyataan tersebut diungkap dalam hasil wawancara mendalam pada kotak 22 sebagai berikut:
Kotak 22 : “...modelnya di lapas itu terapi kelompok, jadi tahu. Tapi kan laki-laki semua lapas kita itu. Jadi tahu bahwa resiko para istrinya sudah kena juga. Di Pekalongan kan kita gak tahu ada model, jadi penanganannya itu di dinkes, jadi tupoksinya disana. Jadi kita mlipit-mlipit pada pencegahan (IT.1)
Sedangkan menurut hasil wawancara dengan Kabid P2-PL (Dinas Kesehatan), dalam kaitanannya Pelayanan dan terapi
yang disediakan bagi ODHA di wilayah Kota Pekalongan diungkap dalam hasil wawancara mendalam pada kotak 23 sebagai berikut:
Kotak 23 : “...pelayanan dengan konsultasi yang dilakukan oleh konselor dari Dinas kesehatan dan pendampingan untuk minum obat ARV yang dilakukan dirumah (IT.2) Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
36
ODHA membutuhkan dukungan sosial, ekonomi, emosional dan spiritual yang berkelanjutan. Keluarga merekapun membutuhkan pelatihan, bimbingan dan dukungan. Sejak dinyatakan terinfeksi HIV penderita mengalami stres, dikarenakan tingginya tekanan psikososial yang mereka terima baik dari keluarga maupun masyarakat. Oleh karena itu dukungan sosial terutama dari keluarga penting artinya, dan sangat menentukan perkembangan penyakit yang berdampak pada
ketiga aspek dalam respon sosial (emosional) pasien HIV-AIDS. Sikap yang ditunjukkan oleh informan triangulasi kabid BPMP2AKB, tentang kebijakan BPMP2AKB Kota Pekalongan dalam pemanfaatan klinik VCT di Kota Pekalongan menyatakan bahwa kasus HIV AIDS yang ditemukan maka akan dirujuk ke LPPAR. Pernyataan tersebut diungkap dalam hasil wawancara mendalam pada kotak 24 sebagai berikut:
Kotak 24 : “...menurut saya gak terlalu. Menurut saya yang disana itu, di Panjang. Jadi kebetulan kalau kasus ada yang masuk di LPPAR yang kasus kaitannya dengan homoseks atau apa itu pasti saya rujuk kesana untuk pemeriksaan kan. Jadi untuk ketuntasannya. Kalau yang Bendan saya denger malah gak terlalu ini, terlalu terbuka kayaknya gak banyak sih. Kalau yang sana itu (di Panjang) memang iya, itu milik pemerintah kota (IT.1)
Sedangkan sikap dari Kabid PP-PL (Dinas Kesehatan), tentang kebijakan BPMP2AKB Kota Pekalongan dalam pemanfaatan klinik VCT di Kota Pekalongan menyatakan bahwa klinik VCT sudah ada akan tetapi
pemanfaatannya belum maksimal karena ODHA ditemukan berdasarkan penyakit HIV AIDS melainkan penyakit penyertanya. Pernyataan tersebut diungkap dalam hasil wawancara mendalam pada kotak 25 sebagai berikut:
Kotak 25 : “...HIV terkait tentang TBC selama ini sudah ada 2 klinik VCT yaitu di Balai paru di daerah panjang dan RSUD Bendan, Paling banyak kasus ditemukan adalah di RSUD Bendan karena mereka datang bukan berdasarkan penyakit HIV AIDS melainkan penyakit penyertanya (IT.2)
Sedangkan menurut Informan triangulasi Kabid Sosial (Dinsos) menyatakan bahwa keberadaan organisasi sosial yang bergerak di bidang pencegahan
HIV AIDS belum ada. Pernyataan tersebut diungkap dalam hasil wawancara mendalam pada kotak 26 sebagai berikut:
Kotak 26 : “...Belum ada organisasi sosialyang bergerak di bidang pencegahan HIV AIDS karena sudah ditangani oleh Dinas Kesehatan (IT.3) Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
37
Menurut informan triangulasi Kabid Sosial (Dinsos) tidak ada kebijakan khusus untuk WRSE atau pekerja seks yang telah
menjadi ODHA dari Dinas Sosial. Pernyataan tersebut diungkap dalam hasil wawancara mendalam pada kotak 27 sebagai berikut:
Kotak 27 : “...Tidak ada karena ranahnya kalau terkait tentang HIV AIDS adalah DinKes, yang dibina dari Dinsos sudah mandiri yaitu dibina untuk cari nafkah sendiri (IT.3)
Pernyataan-pernyataan sikap WRSE diatas sebagian besar menunjukkan menghindari ODHA karena takut tertular, bahkan kepada anggota keluarga sendiri. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Pertiwi (2009) bahwa sikap negatif yang dilakukan masyarakat terhadap ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) ini disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat dengan jelas cara-cara penularan HIV, masyarakat hanya mengetahui HIV/AIDS itu merupakan sebatas penyakit menular, penderitanya berbahaya, dan fakta AIDS sebagai penyakit mematikan. Dibutuhkan informasi untuk merubah sikap masyarakat terhadap ODHA sehingga tidak lagi mendiskriminasikan ODHA dalam kehidupan bermasyarakat. SIMPULAN 1. Pengetahuan WRSE tentang PMS, HIV/AIDS serta gambaran penyakit HIV AIDS masih sangat terabatas. 2. Terbatasnya pengetahuan masyarakat salah satunya disebabkan oleh kurangnya sosialisasi. 3. Sikap negatif yang dilakukan masyarakat terhadap ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) ini disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat dengan jelas cara-cara penularan HIV. Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
SARAN 1. Bagi Instansi terkait a. Mengedepankan koordinasi antar instansi dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat, terutama sosialisasi yang berhubungan dengan pencegahan penularan penyakit b. Memberikan sosialisasi tidak hanya kepada pemuda maupun tokoh masyarakat agar informasi yang diberikan bisa tersebar lebih luas, menyertakan pasangan suami istri dalam sosialisasi c. Menambah jenis media informasi yang digunakan untuk sosialisasi HIV/AIDS dan isi informasi yang disampaikan kepada masyarakat untuk lebih detail mengingat mudahnya ibu rumah tangga tertular virus HIV d. Membentuk organisasi masyarakat yang bergerak di bidang pencegahan penularan HIV/AIDS untuk membantu menyebarluaskan informasi mengenai HIV/AIDS kepada masyaraka 2. Bagi Penelitian Lanjutan a. Menambah variabel penelitian yang dikaji mengenai upaya pencegahan penularan HIV/AIDS pada ibu rumah tangga (WRSE) b. Memperkecil bias wawancara penelitian dengan cara peneliti mengumpulkan informasi berbeda
38
dengan peneliti sebelumnya yang melakukan interpretasi hasil test 3. Bagi Pemangku Kebijakan Membentuk organisasi yang bergerak di bidang perlindungan dan pencegahan penularan HIV/AIDS
Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
4. Bagi Instansi Pendidikan Membentuk organisasi/lembaga kemahasiswaan yang bergerak di bidang perlindungan pencegahan penularan HIV/AIDS didalam maupun antar instansi pendidikan.
39
PENGETAHUAN SISWA TENTANG HIV/AIDS SEBELUM DAN SESUDAH PENYULUHAN Rachel Dwi Wilujeng* *Akademi Kebidanan Griya Husada, Jl. Dukuh Pakis Baru II no.110 Surabaya Email :
[email protected] ABSTRAK Pendahulaun: The Joint United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS) dan World Health Organization (WHO) mengindikasikan epidemi HIV di Indonesia adalah paling cepat penyebarannya di Asia. Hasil survei pendahuluan kepada 18 siswa responden di SMAN 1 Bandung menunjukkan 9 orang responden berpengetahuan kurang (50%), 5 orang responden berpengetahuan cukup (28%), dan 4 orang responden berpengetahuan baik (22%). Tujuan penelitian mengetahui gambaran pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS sebelum dan sesudah penyuluhan di SMAN 1 Bandung. Metode : Metode penelitian menggunakan metode quasi eksperimental type pre-test and post-test design without control. Jenis data adalah data primer diperoleh dari kuesioner pengetahuan siswa. Populasinya yaitu seluruh murid SMAN 1 sebanyak 1120 siswa. Sampelnya diambil secara stratified random sampling sebanyak 243 siswa. Hasil: Pengetahuan tentang HIV/AIDS siswa SMAN 1 sebelum diberikan penyuluhan terbanyak adalah berpengetahuan kurang (50,2%), (7,0%) mempunyai kategori pengetahuan baik, (42,8%) mempunyai kategori pengetahuan cukup. Tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS dari 243 responden siswa SMAN 1 sesudah diberikan penyuluhan sebagian besar baik. Sebanyak 214 responden (88,1%) mempunyai kategori pengetahuan baik, 26 responden (10,7%) mempunyai kategori pengetahuan cukup, dan 3 responden berpengetahuan kurang (1,2%). Diskusi: Hasil penelitian rata-rata nilai pengetahuan pada 243 responden siswa SMAN 1 tentang HIV/ AIDS didapatkan perbedaan dengan taraf bermakna (p<0,05). Kata Kunci : Pengetahuan, Penyuluhan, HIV wanita tidak mengetahui fungsi organ reproduksi pria, 36% responden pria tidak mengetahui fungsi organ reproduksi wanita dan sebesar 34% tidak mengetahui apa itu penyakit menular seksual (PMS). Pergaulan bebas di kalangan remaja akhirakhir ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan mereka tentang pendidikan kesehatan reproduksi yang jelas dan benar. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bekerja sama dengan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) meneliti persepsi seks bebas dan kesehatan reproduksi remaja SMA di lima wilayah DKI Jakarta pada bulan Maret-Mei 2002. Penelitian tersebut melibatkan 500 responden yang berusia antara 15-19 tahun sebanyak 59% pria dan 41% wanita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 37% responden wanita tidak mengetahui fungsi organ reproduksi pria, 36% responden pria tidak mengetahui fungsi organ reproduksi wanita dan sebesar 34% tidak mengetahui apa itu penyakit menular seksual (PMS).(6) Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia merupakan suatu proses menjadi tahu setelah orang melakukan penginderaan (indera
PENDAHULUAN Pada akhir abad ke-20 dunia kesehatan menemukan penyakit baru yang sangat berbahaya dan ganas menyerang kehidupan manusia, yaitu penyakit HIV/AIDS. AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) merupakan penyakit menular yang disebarkan oleh virus HIV (Human Immuno-deficiency Virus). The Joint United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS) dan World Health Organization (WHO) mengindikasikan epidemi HIV di Indonesia adalah paling cepat penyebarannya di Asia. Pergaulan bebas di kalangan remaja akhirakhir ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan mereka tentang pendidikan kesehatan reproduksi yang jelas dan benar. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bekerja sama dengan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) meneliti persepsi seks bebas dan kesehatan reproduksi remaja SMA di lima wilayah DKI Jakarta pada bulan Maret-Mei 2002. Penelitian tersebut melibatkan 500 responden yang berusia antara 15-19 tahun sebanyak 59% pria dan 41% wanita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 37% responden 30
dan 4 orang responden berpengetahuan baik (22%). Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: ”Gambaran Pengetahuan Siswa tentang HIV/AIDS Sebelum dan Sesudah Penyuluhan di SMAN 1 Bandung”.
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba) terhadap suatu obyek tertentu. Kegiatan atau proses belajar dapat terjadi dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Seseorang dikatakan belajar apabila dalam dirinya terjadi perubahan, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak dapat mengerjakan sesuatu menjadi dapat mengerjakan. Secara dini remaja tidak hanya dibekali ilmu dan teknologi tetapi juga pengetahuan khususnya tentang kesehatan. Kesehatan reproduksi hendaknya dapat mereka peroleh dengan mudah baik melalui multimedia, seminar, program penyuluhan pemerintah atau lembaga lainnya. Remaja yang mendapatkan banyak informasi mempunyai bekal bagi dirinya sehingga tidak akan salah dalam memilih pergaulan dan tidak terjerumus dalam seks bebas yang dapat mengakibatkan HIV/AIDS. Hasil survei pendahuluan yang dilakukan sebagai langkah awal penelitian kepada 18 siswa responden di SMAN 1 Bandung menunjukkan 9 orang responden berpengetahuan kurang (50%), 5 orang responden berpengetahuan cukup (28%),
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan metode quasi eksperimental type pre-test and post-test design without control. Jenis data adalah data primer yang diperoleh dari hasil kuesioner pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS sebelum dan sesudah penyuluhan. Dalam penelitian ini populasi yang digunakan adalah seluruh murid SMAN 1 kelas 1 sebanyak 9 kelas, kelas 2 sebanyak 9 kelas dan kelas 3 sebanyak 10 kelas total siswa sebanyak 1120 siswa. Sampel diambil secara stratified random sampling sebanyak 243 siswa yaitu kelas I-1, kelas I-9, kelas II IPA1, kelas II IPS 2, kelas III IPA 4, dan kelas III IPS 2 sebanyak 243 siswa.
HASIL 1. Pengetahuan Siswa tentang HIV/AIDS Sebelum diberi Penyuluhan Berdasarkan Kelas Tabel 1.Distribusi Frekuensi Pengetahuan HIV/AIDS Siswa SMAN 1 Sebelum Penyuluhan Berdasarkan Kelas Kelas I II III
F
1 4 13
Baik
%
1,3 4,8 15,3
F 41 30 35
Cukup % 54,7 36,1 41,2
33 49 37
f
Kurang % 44,0 59,1 43,5
F 75 83 85
Jumlah % 100,0 100,0 100,0
KelasI Mean=56,9733 SD=13,83588 KelasII Mean=54,6588 SD=13,69528 Kelas III Mean=52,8875 SD=12,9998
Dari tabel diatas menunjukkan pengetahuan siswa SMAN 1 berdasarkan kelas sebelum diberi penyuluhan HIV/AIDS, kelas I mempunyai tingkat pengetahuan dengan kategori cukup yaitu sebanyak (54,7%). 2. Pengetahuan Siswa SMAN 1 Sebelum Penyuluhan HIV/AIDS Berdasarkan Usia Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pengetahuan HIV/AIDS Siswa SMAN 1 Sebelum Penyuluhan Berdasarkan Usia Usia (tahun) 1. 2.
14-15 16-17
Baik F 1 17
14-15 tahun Mean=53,3363
Cukup
% 0,9 13,1
F 53 53
Kurang
% 47,0 40,8
SD=12,4353 16-17 tahun Mean=
F 59 60
Jumlah
% 52,0 46,1
56,0538
F 113 130
SD=14,4159
% 100 100
Berdasarkan tabel diatas responden usia 14-15 tahun kategori pengetahuannya kurang (52,0%), usia 16-17 tahun (46,1%).
31
3. Pengetahuan Siswa SMAN 1 Sebelum Penyuluhan HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 3. Distribusi Frekuensi Pengetahuan HIV/AIDS Siswa SMAN 1 Sebelum Penyuluhan Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis kelamin
Baik
1. Laki-laki 2. Perempuan
F 9 9
Cukup
% 9 6,3
F 45 60
Kurang
% 44,5 42,3
F 47 73
Jumlah
% 46,5 51,5
Laki-lakiMean=55,1782 SD=12,6842 PerempuanMean=54,4648 SD=14,1735
F 101 142
% 100 100
Dari tabel 3. pengetahuan siswa SMAN 1 sebelum penyuluhan HIV/AIDS siswa laki-laki dan perempuan mempunyai pengetahuan kurang. 4. Pengetahuan Seluruh Responden Siswa SMAN 1 Sebelum Penyuluhan HIV/AIDS Tabel 4. Distribusi Tingkat Pengetahuan Siswa SMAN 1 Sebelum Penyuluhan HIV/AIDS No 1. 2. 3.
Pengetahuan HIV/AIDS Baik (76-100%) Cukup (56-75%) Kurang (≤55%) Total
Mean= 54,7613
SD= 13,5519
F 17 104 122 243
Total
% 7,0 42,8 50,2 100,0
Dari tabel 4. pengetahuan tentang HIV/AIDS dari responden sebelum penyuluhan yaitu sebagian besar mempunyai kategori kurang (50,2%).
5. Pengetahuan Siswa SMAN 1 Sesudah Penyuluhan HIV/AIDS Berdasarkan Kelas Tabel 5. Distribusi Frekuensi Pengetahuan HIV/AIDS Siswa SMAN 1 Sesudah Penyuluhan Berdasarkan Kelas Kelas I II III
F 66 73 75
Baik
Kelas I Mean =85,3333 10,0211
%
88 88 88,2
F
SD =12,3083
7 9 10
Cukup % 9,3 10,8 11,8
2 1 0
F
Kurang % 2,7 1,2 0
F 75 83 85
Jumlah % 100 100 100
Kelas II Mean =85,9277 SD=11,5587 Kelas III Mean = 87,1294
SD =
Tabel 5. menunjukkan pengetahuan siswa SMAN 1 sesudah penyuluhan tentang HIV/AIDS untuk kelas I, II, dan kelas III adalah relatif sama yaitu baik. 6. Pengetahuan Siswa SMAN 1 Sesudah Penyuluhan HIV/AIDS Berdasarkan Kelas Tabel 6. Distribusi Frekuensi Pengetahuan HIV/AIDS Siswa SMAN 1 Sesudah Penyuluhan Berdasarkan Kelas Kelas I II III
F 66 73 75
Kelas I Mean =85,3333 10,0211
Baik
%
88 88 88,2
SD =12,3083
F
7 9 10
Cukup % 9,3 10,8 11,8
2 1 0
F
Kurang % 2,7 1,2 0
F 75 83 85
Jumlah % 100 100 100
Kelas II Mean =85,9277 SD=11,5587 Kelas III Mean = 87,1294
SD =
Tabel 6. menunjukkan pengetahuan siswa SMAN 1 sesudah penyuluhan tentang HIV/AIDS untuk kelas I, II, dan kelas III adalah relatif sama yaitu baik.
32
7. Pengetahuan Siswa SMAN 1 Sesudah Penyuluhan HIV/AIDS Berdasarkan Usia Tabel 7. Distribusi Frekuensi Pengetahuan HIV/AIDS Siswa SMAN 1 Sesudah Penyuluhan Berdasarkan Usia Usia (tahun)
Baik
Cukup
F 98 116
1. 14-15 2. 16-17
% 86,7 89,2
14-15 tahun Mean= 86,4425 16-17 tahun Mean= 86,0615
F 13 13
SD=11,59352 SD=10,77735
Kurang
% 11,5 10,0
F 2 1
Jumlah
% 1,8 0,8
F 113 130
% 100 100
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan responden dengan usia 14-15 tahun sesudah penyuluhan mempunyai kategori pengetahuan baik yaitu (86,7%) demikian juga untuk usia 16-17 tahun mempunyai kategori pengetahuan baik sebesar (89,2%). 8. Pengetahuan Siswa SMAN 1 Sesudah Penyuluhan HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 8. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Siswa SMAN 1 Sesudah Penyuluhan HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis kelamin
Baik
1. 2.
F 90 122
Laki-laki Perempuan
Cukup
% 89,1 86,0
F 10 17
Kurang
% 9,9 12,0
F 1 3
Jumlah
% 1,0 2,0
F 101 142
Laki-lakiMean=85,9406 SD=11,9948 PerempuanMean=86,3239 SD= 10,7654
% 100 100
Dari tabel 8. menunjukkan tingkat pengetahuan siswa SMAN 1 sesudah diberi penyuluhan HIV/AIDS menurut jenis kelamin yaitu siswa laki-laki mempunyai pengetahuan yang lebih baik (89,1%). 9. Pengetahuan Seluruh Responden Siswa SMAN 1 Sesudah Penyuluhan HIV/AIDS Tabel 9. Distribusi Tingkat Pengetahuan Siswa SMAN 1 Sesudah Penyuluhan HIV/AIDS No 1. 2. 3.
Tingkat Pengetahuan HIV/AIDS Baik (76-100%) Cukup (56-75%) Kurang (≤55%) Total
F 214 26 3 243
Mean= 86,1646
Total
% 88,1 10,7 1,2 100,0
SD: 11,2700
Dari tabel 9. pengetahuan tentang HIV/AIDS sesudah penyuluhan yaitu sebagian besar siswa mempunyai kategori berpengetahuan baik (88,1%).
pgt
10. Perbedaan Pengetahuan Siswa SMAN 1 Sebelum dan Sesudah Penyuluhan HIV/AIDS Berdasarkan Kelas Tabel 10. Distribusi Perbedaan Pengetahuan siswa SMAN 1 Sebelum dan Sesudah diberi Penyuluhan HIV/AIDS Berdasarkan Kelas
kls
Baik F %
Sebelum Penyuluhan Cukup Kurang F % f %
Jumlah F %
Baik F %
Sesudah Penyuluhan Cukup Kurang F % F %
jumlah F %
I II III
1 4 13
41 30 35
75 83 85
66 73 75
7 9 10
75 83 85
1,3 4,8 15,3
54,7 36,1 41,2
33 49 37
44 59,1 43,5
100 100 100
Kelas I T-hitung : -18,602 CI 95% (-31,3977 : -25,3223) Kelas II T-hitung : -21,891 CI 95% (-36,0645 : -30,0559) Kelas III T-hitung : -20,641 CI 95% (-35,5989 : -29,3432)
88 88 88,2
p= 0,000<0,05 p= 0,000<0,05 p= 0,000<0,05
33
9,3 10,8 11,8
2 1 0
2,7 1,2 0
100 100 100
penyuluhan HIV/AIDS diperoleh taraf signifikansi pada angka p = 0,000 <0,05 maka ternyata ada perbedaan bermakna pengetahuan siswa SMA pada kelas II sebelum dan sesudah diberi penyuluhan HIV/AIDS, demikian juga pada siswa kelas III menunjukkan adanya perbedaan bermakna sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan HIV/AIDS.
Pada tabel 10. terlihat bahwa setelah dilakukan uji T-paired pada siswa kelas I sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan HIV/AIDS diperoleh taraf signifikansi pada angka p = 0,000 <0,05 maka ternyata ada perbedaan bermakna pengetahuan siswa SMA pada kelas 1 sebelum dan sesudah diberi penyuluhan HIV/AIDS. Hasil uji T-paired pada siswa kelas II sebelum dan sesudah diberikan
11. Perbedaan Pengetahuan Siswa SMAN 1 Sebelum dan Sesudah Penyuluhan HIV/AIDS Berdasarkan Usia Tabel 11. Distribusi Perbedaan Pengetahuan siswa SMAN 1 Sebelum dan Sesudah Penyuluhan HIV/AIDS Berdasarkan Usia Pgth Usia (th) 14-15 16-17
Baik F %
Sebelum Penyuluhan Cukup Kurang F % F %
1
0,9
53
47,0
59
52,0
113
100
98
86,7
13
11,5
2
1,8
113
100
17
13, 1
53
40,8
60
46,1
130
100
116
89,2
13
10,0
1
0,8
130
100
Jumlah F %
Sebelum penyuluhan F-hitung : 2,292 Sesudah penyuluhan F-hitung : 1,495
Baik f %
Sesudah Penyuluhan Cukup Kurang F % f %
Jumlah f %
p= 0,089>0,05 p= 0,223>0,05
yang berusia 16-17 tahun sebelum dilakukan penyuluhan. Demikian pula untuk pengetahuan setelah dilakukan penyuluhan diantara siswa yang berusia 14-15 tahun dan siswa yang berusia 16-17 tahun tidak terdapat perbedaan yang bermakna.
Berdasarkan tabel di atas F hitung pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan P sig 0,089. Karena P > 0,05 maka dapat dikatakan bahwa kedua variance sampel adalah sama. Artinya tidak ada perbedaan yang bermakna antara pengetahuan siswa yang berusia 14-15 tahun dengan siswa 12.
Pgth Seks Lakilaki Perem puan
Perbedaan Pengetahuan Siswa SMAN 1 Sebelum dan Sesudah Penyuluhan HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 12. Distribusi Perbedaan Pengetahuan Siswa SMAN 1 Sebelum dan Sesudah Penyuluhan HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin Baik F % 9 9,0
Sebelum Penyuluhan Cukup Kurang f % F % 45 44,5 47 46,5
Jumlah F % 101 100
Baik f % 90 89,1
Sesudah Penyuluhan Cukup Kurang F % F % 10 9,9 1 1
Jumlah f % 101 100
9
60
142
122
17
142
6,3
42,3
F hitung(sebelum): 1,165 F hitung(sesudah): 1,546
73
51,5
100
p= 0,282 >0,05 p= 0,215 >0,05
86,0
12
3
2
100
Karena P > 0,05 maka dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna, sehingga kedua variance populasi adalah sama.
Berdasarkan tabel 12. tersebut diatas menunjukkan hasil penelitian pada F hitung pengetahuan mengenai HIV/ AIDS sebelum diberikan penyuluhan dengan P sig = 0,282.
34
13. Perbedaan Pengetahuan Seluruh Responden Siswa SMAN 1 Sebelum dan Sesudah Penyuluhan HIV/AIDS Tabel 13. Distribusi Perbedaan Pengetahuan Seluruh Responden Siswa SMAN 1 Sebelum dan Sesudah Penyuluhan HIV/AIDS
Pengetahuan Pnyuluhn Sebelum
F 17
Sesudah
214
T hitung: -35,085
Baik
% 7,0
Cukup f % 104 42,8
88,1
26
CI 95% (-33,1664 : -29,6402)
Berdasarkan tabel 13. hasil penelitian secara keseluruhan rata-rata nilai pengetahuan pada 243 responden siswa SMAN 1 tentang HIV/ AIDS didapatkan
10,7
Kurang F % 122 50,2 3
1,2
Jumlah F % 243 100 243
100
p = 0,000 < 0,05
dengan taraf signifikan p=0,000<0,05 maka menunjukkkan ada perbedaan bermakna sebelum dan sesudah diberi penyuluhan HIV/AIDS.
14. Sumber Informasi Utama yang Didapat Tabel 14. Distribusi Frekuensi Sumber Utama yang didapatkan Responden di SMAN 1 Bandung No 1. 2. 3. 4.
Sumber informasi tentang HIV/AIDS Media massa Tidak pernah mengetahui Guru di sekolah Anggota keluarga Jumlah
Jumlah (siswa) 85 94 38 26 243
Berdasarkan tabel 14. diatas menunjukkan sumber informasi yang didapatkan oleh responden lebih banyak
Persentase 35,0 % 38,7 % 15,6 % 10,7 % 100,0 %
melalui media massa yaitu sebanyak (35,0%).
yang telah mengetahui tentang kesehatan reproduksi.
PEMBAHASAN Pengetahuan Siswa SMAN 1 Sebelum Penyuluhan HIV/AIDS Berdasarkan Kelas Tingkat pengetahuan siswa SMAN 1 berdasarkan kelas sebelum diberi penyuluhan HIV/AIDS adalah kelas I mempunyai nilai pengetahuan rata-rata yang lebih baik daripada kelas II, dan kelas III yaitu dengan kategori cukup sebesar (54,7%). Hasil yang didapat memungkinkan untuk kelas I mendapatkan nilai pengetahuan yang lebih baik daripada kelas II dan kelas III, karena sumber informasi belum lama telah didapatkan oleh siswa kelas I.
Pengetahuan Siswa SMAN 1 Sebelum Penyuluhan HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin Tingkat pengetahuan siswa SMAN 1 sebelum diberi penyuluhan HIV/AIDS menurut jenis kelamin yaitu siswa laki-laki mempunyai kategori pengetahuan kurang (46,5%) dan siswa perempuan kategori pengetahuannya kurang(51,5%)sebelum diberi penyuluhan HIV/AIDS Pengetahuan Seluruh Responden Siswa SMAN 1 Sebelum Penyuluhan HIV/AIDS Pengetahuan tentang HIV/AIDS siswa SMAN 1 sebelum diberikan penyuluhan terbanyak adalah berpengetahuan kurang (50,2%), (7,0%) mempunyai kategori pengetahuan baik, (42,8%) mempunyai kategori pengetahuan cukup. Kurangnya pengetahuan yang didapat oleh responden disebabkan karena kurang maksimalnya informasi yang disebarkan langsung kepada seluruh siswa baik dalam bentuk seminar ataupun penyuluhan kesehatan reproduksi
Pengetahuan Siswa SMAN 1 Sebelum Penyuluhan HIV/AIDS Berdasarkan Usia Responden dengan usia 14-15 tahun sebelum penyuluhan mempunyai kategori pengetahuan kurang yaitu (52,0%) demikian juga untuk usia 16-17 tahun mempunyai kategori pengetahuan kurang sebesar (46,1%). Hal tersebut dikarenakan kemungkinan responden yang berusia 16-17 tahun telah mempunyai pengalaman yang lebih banyak sehingga pengetahuan responden lebih banyak 35
perempuan mempunyai kategori pengetahuan baik (86%). Laki-laki yang cenderung lebih berani untuk mengeatahui segala sesuatu tanpa malu-malu berdampak pada hasil penelitian saat sesudah diberikan penyuluhan siswa lakilaki tetap memiliki angka persentase lebih tinggi daripada perempuan. Hal tersebut bisa dikarenakan adanya anggapan yang sudah ada di masyarakat bahwa membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan seks dan PMS adalah tabu, apalagi untuk seorang perempuan yang cenderung mempunyai sifat pemalu. Hal tersebut sesuai menurut Iskandar (1997) bahwa masih adanya pandangan bahwa segala sesuatu yang mengenai seks termasuk didalamnya mengenai PMS adalah tabu untuk dibicarakan oleh orang yang belum menikah.
yang mereka dapatkan di sekolah serta pemanfaatan situs di internet umumnya digunakan dengan tujuan yang kurang benar. Pengetahuan Siswa SMAN 1 Sesudah Penyuluhan HIV/AIDS Berdasarkan Kelas Tingkat pengetahuan siswa SMAN 1 sesudah diberi penyuluhan tentang HIV/AIDS untuk kelas I mempunyai pengetahuan baik (88%), kelas II berpengetahuan baik (88%), dan kelas III berpengetahuan baik (88,2%). Hasil yang didapat tidak menunjukkan perbedaan hasil yang mencolok tiap kelas karena persentasenya rata-rata sama. Remaja yang telah mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS dan PMS maka pengetahuan mereka akan bertambah lebih banyak dan bahkan bisa diingat sampai kapanpun oleh remaja tersebut. Oleh sebab itu pengetahuan merupakan hal yang sangat penting karena pengetahuan adalah hasil dari tahu.
Pengetahuan Seluruh Responden Siswa SMAN 1 Sesudah Penyuluhan HIV/AIDS Tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS dari 243 responden siswa SMAN 1 sesudah diberikan penyuluhan sebagian besar adalah baik. Sebanyak 214 responden (88,1%) mempunyai kategori pengetahuan baik, 26 responden (10,7%) mempunyai kategori pengetahuan cukup, dan 3 responden berpengetahuan kurang (1,2%). Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penyuluhan yang dilakukan dengan metode yang tepat dan menarik seperti menggunakan gambar-gambar flipchart organ reproduksi manusia dan gambar-gambar akibat HIV/AIDS dapat menarik perhatian siswa SMA serta mempermudah pemahaman siswa terhadap penyuluhan yang diberikan. Oleh sebab itu penyuluhan pada penelitian ini bisa berdampak memberikan hasil yang lebih baik saat sesudah diberikan penyuluhan daripada saat sebelum penyuluhan.
Pengetahuan Siswa SMAN 1 Sesudah Penyuluhan HIV/AIDS Berdasarkan Usia Berdasarkan tabel menunjukkan responden dengan usia usia 14-15 tahun sesudah penyuluhan mempunyai kategori pengetahuan baik yaitu (86,7%) demikian juga untuk usia 16-17 tahun mempunyai kategori pengetahuan baik sebesar (89,2%). Setelah dilakukan penyuluhan yang berusia 16-17 lebih tinggi persentasenya, hal tersebut dapat dilihat dari segi usia yang berpengaruh terhadap kematangan menangkap segala sesuatu dari luar. Pengetahuan yang didapatkan saat sesudah penyuluhan dengan hasil baik terjadi karena pada kelompok remaja tersebut sudah terjadi kematangan dalam berfikir sehingga mudah untuk menyerap hasil penyuluhan. Sesuai dengan apa yang diungkapkan Siagian (1993) bahwa usia dan kedewasaan seseorang mempengaruhi pengetahuan dimana semakin meningkatnya usia maka akan meningkat pula pemahaman terhadap segala sesuatu (pengetahuan), motivasi dan aktivitas.
Perbedaan Pengetahuan Siswa SMAN 1 Sebelum dan Sesudah Penyuluhan HIV/AIDS Berdasarkan Kelas Setelah dilakukan uji T-paired pada siswa kelas I, II, dan III sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan HIV/AIDS diperoleh T hitung dengan taraf signifikansi pada angka p = 0,000 <0,05 maka ternyata ada perbedaan bermakna pengetahuan siswa SMA pada kelas I, II, dan III sebelum dan sesudah diberi penyuluhan HIV/AIDS. Rata-rata skor nilai
Pengetahuan Siswa SMAN 1 Sesudah Penyuluhan HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin Tingkat pengetahuan siswa SMAN 1 sesudah diberi penyuluhan HIV/AIDS menurut jenis kelamin yaitu siswa laki-laki mempunyai kategori pengetahuan baik (89,1%) dan siswa 36
Hal tersebut sama dengan teori Al-Migwar (2006) yang menyebutkan hal ini karena disatu sisi mereka ingin segera menyesuaikan diri dengan tipe orang dewasa yang sudah matang, tetapi disisi lain mereka masih belum lepas dari tipe remajanya yang belum matang.
pengetahuan mereka yang naik menjadi lebih baik dikarenakan perlakuan yang diberikan yaitu berupa penyuluhan tentang HIV/ AIDS. Pengetahuan dapat diperoleh melalui bangku sekolah dan pengalaman-pengalaman. Tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap sosialisasi dimana seseorang bereaksi sesuai rancangan, pengetahuan yang didapat akan membantu seseorang dalam menerima sebuah inovasi. Melihat hasil penelitian tersebut diatas maka penyuluhan yang diberikan bermanfaat untuk menambah pengetahuan remaja, sehingga semakin tinggi tingkat pengetahuan terhadap HIV/ AIDS akan semakin berkurang angka kematian HIV/ AIDS, maka pendidikan kesehatan baik berupa ceramah/ penyuluhan dan sebagainya diperlukan pada kalangan remaja yang rentan pada penularan HIV/ AIDS tersebut.
Perbedaan Pengetahuan Siswa SMAN 1 Sebelum dan Sesudah Penyuluhan HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin Hasil penelitian pada F hitung pengetahuan mengenai HIV/ AIDS sebelum diberikan penyuluhan dengan Equal Variance Assumed adalah 1,165 dengan P sig = 0,282. Karena P > 0,05 yakni 0,282 > 0,05 maka dapat dikatakan bahwa kedua variance populasi adalah sama. Artinya tidak ada perbedaan yang bermakna antara pengetahuan siswa laki-laki dan siswa perempuan sebelum dilakukan penyuluhan. Demikian pula untuk pengetahuan setelah dilakukan penyuluhan diantara siswa laki-laki dan perempuan tidak terdapat perbedaan yang bermakna, Equal Variance Assumned adalah 1,546 dengan P sig = 0,215 > 0,05. Dengan hasil tersebut dapat dilihat bahwa baik laki-laki maupun perempuan tidak membedakan mereka untuk mendapatkan pengetahuan yang sesuai dengan apa yang mereka inginkan, sehingga perbedaan jenis kelamin tidak menjadi pengahalang bagi mereka untuk mendapatkan dan mengakses informasi.
Perbedaan Pengetahuan Siswa SMAN 1 Sebelum dan Sesudah Penyuluhan HIV/AIDS Berdasarkan Usia F hitung pengetahuan mengenai HIV/AIDS sebelum penyuluhan dengan Equal Variance Assumned adalah 2,922 dengan P sig 0,089. Karena P > 0,05 maka dapat dikatakan bahwa kedua variance sampel adalah sama. Artinya tidak ada perbedaan yang bermakna antara pengetahuan siswa yang berusia 14-15 tahun dan siswa yang berusia 16-17 tahun sebelum dilakukan penyuluhan. Demikian pula untuk pengetahuan setelah dilakukan penyuluhan diantara siswa yanng berusia 14-15 tahun dan siswa yang berusia 16-17 tahun tidak terdapat perbedaan yang bermakna, F-hitung 1,495 dengan P Sig. 0.223. Karena P > 0,05 maka kedua varian sampel adalah sama. Artinya tidak ada perbedaan antara pengetahuan mengenai HIV/AIDS antara siswa yang berusia 14-15 tahun dengan siswa yang usia 16-17 tahun sebelum dan sesudah penyuluhan. Remaja usia 14-15 tahun dan remaja usia 16-17 tahun tidak menunjukkkan perbedaan tentang pengetahuan yang mencolok, artinya mereka memiliki pengetahuan dengan taraf yang sama. Banyaknya kasus kejadian HIV/AIDS yang dimulai dari mencoba-coba obat terlarang dan seks bebas yang terjadi pada kelompok remaja kemungkinan disebabkan karena masalah keluarga, pergaulan remaja yang cenderung bebas dan sifaf kepribadian remaja yang masih labil karena belum terjadi kematangan berfikir.
Perbedaan Pengetahuan Seluruh Responden Siswa SMAN 1 Sebelum dan Sesudah Penyuluhan HIV/AIDS Hasil penelitian secara keseluruhan rata-rata nilai pengetahuan pada 243 responden siswa SMAN 1 tentang HIV/ AIDS didapatkan perbedaan dengan taraf bermakna (p<0,05). Pemberian penyuluhan yang telah diberikan berarti sangat bermanfaat meningkatkan pengetahuan seseorang, hendaknya seluruh siswa di sekolah-sekolah diberikan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan mereka. Pengetahuan dapat diperoleh melalui bangku sekolah, pengalaman-pengalaman. Pengetahuan berpengaruh terhadap sosialisasi dimana seseorang bereaksi sesuai rancangan dan pengetahuan yang didapatkan akan membantu seseorang dalam menerima sebuah inovasi. Melihat adanya perbedaan yang signifikan 37
informasi yang didapatkan siswa terbanyak adalah melalui media massa : 35,0%.
pada hasil penelitian bahwa pemberian perlakuan berupa penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan siswa, sehingga dengan demikian diharapkan upaya tersebut dapat mengurangi angka keladian HIV/AIDS khususnya di Indonesia.
Saran Melihat hasil yang kurang terhadap pengetahuan HIV/ AIDS sebelum diberi penyuluhan dan adanya perbedaan yang bermakna setelah diberikan intervensi berupa penyuluhan kepada siswa SMA maka perlu adanya kegiatan yang dikhususkan untuk pemberian penyuluhan Kesehatan Reproduksi Remaja. Diperlukan penelitian lebih lanjut secara analisis dengan menggunakan rancangan penelitian yang lebih baik.
Sumber Informasi Utama Sumber informasi yang digunakan responden untuk mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS yang paling banyak digunakan adalah media massa dengan jumlah 85 responden (35,0%). Sedangkan keluarga merupakan media yang paling jarang digunakan oleh responden sebagai media informasi, yaitu sebanyak 26 responden (10,7%). Hal ini disebabkan karena anak kurang menghargai pengetahuan yang disampaikan oleh orangtua, berbeda jika guru, dokter atau pihak ulama yang menyampaikan. Orangtua merasa pengetahuannya terbatas, sehingga tidak siap memberikan informasi tentang HIV/AIDS. Menurut orangtua anak dapat memperoleh pengetahuan dari membaca buku, surat kabar, TV dan lain-lain.
KEPUSTAKAAN Notoatmodjo, Soekidjo, Dr. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta, 2007. Departemen Kesehatan RI. Penularan HIVAIDS dari Ibu ke Bayi (mother to child transmition). Jakarta: Depkes RI, 2006 Nursalam. Asuhan Keperawatan pada Pasien HIV-AIDS. Jakarta: Salemba Medika, 2007. Dianawati, Ajen. Pendidikan Seks untuk Remaja. Jakarta: Kawan Pustaka, 2006 Yayasan Galang. Yayasan Mitra dan Ford Foundation. Kesehatan Reproduksi. Jakarta: Yayasan Mitra Inti, 2005 Syaifudin, Abdul Bari. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan maternal dan Neonatal. Edisi 1 Jakarta: YBS-SP, 2007 Ari Kunto, Suharsini. Manajemen Penelitian. Jakarta: Bineka Cipta, 2005 Harian Republika. Jurnal Kesehatan. 2007 Al-Mighwar, M. Psikologi Remaja Cetakan Kedua. Pustaka Setia: 2006
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Karakteristik siswa berdasarkan kelas terdiri dari kelas I: 30,9%, kelas II : 34,1%, dan kelas III : 35,0%. Usia responden lebih banyak antara usia 16-17 tahun : 53,5%. Jenis kelamin responden terbanyak perempuan 58,4%. Pengetahuan siswa sebelum diberi penyuluhan adalah kurang : 50,2%. Pengetahuan siswa sesudah diberi penyuluhan meningkat menjadi baik : 88,1%. Secara statistik terdapat perbedaan yang bermakna (p< 0,05). Sumber
38
Volume : V, Nomor : 3 , Pebruari 2015
Majalah Ilmiah
Informasi dan Teknologi Ilmiah (INTI) ISSN : 2339-210X
SISTEM PAKAR UNTUK MENDIAKNOSIS PENYAKIT AIDS DENGAN METODE DEMSPTER – SHAFER Muhammad Rino Prayogi Siahaan (1011685) Mahasiswa Program Studi Teknik Informatika STMIK Budidarma Medan Jl. Pintu Air, Sisingamangaraja Gg. Selamat No. 15 Medan www. Stmik-budidarma.ac.id //Email:
[email protected] ABSTRAK HIV atau Human Immunodeficiency Virus menjadi hal yang mengerikan bagi semua negara didunia, baik negara maju maupun negara berkembang. HIV tidak hanya menjangkiti orang tua, dewasa atau remaja, seorang anak kecil bahkan balita sekalipun dapat terinfeksi virus ini. Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah suatu virus yang dapat menyebabkan penyakit AIDS. Virus ini menyerang manusia dan menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh, sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi. Dengan kata lain, kehadiran virus ini dalam tubuh akan menyebabkan defisiensi (kekurangan) sistem imun. Sehingga orang – orang yang menderita penyakit ini kemampuan untuk mempertahankan dirinya dari serangan penyakit menjadi kurang. Sistem pakar bukanlah untuk menggantikan fungsi dokter, akan tetapi hanya digunakan sebagai pelengkap dan alat bantu. Sistem pakar adalah sistem berbasis komputer yang menggunakan pengetahuan, fakta dan teknik penalaran dalam memecahkan masalah yang biasanya hanya dapat dipecahkan oleh seorang pakar hanya dalam bidang tertentu. Dempster – Shafer adalah suatu teori matematika untuk pembuktian. Hal ini memungkinkan seseorang untuk menggabungkan bukti dari sumber yang berbeda dan tiba pada tingkat kepercayaan (diwakili oleh fungsi keyakinan) yang memperhitungkan semua bukti yang tersedia. Kata kunci: Penyakit HIV/AIDS, Sistem Pakar, Dempster – Shafer. 1. 1.1
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah suatu virus yang dapat menyebabkan penyakit AIDS. Virus ini menyerang manusia dan menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh, sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi. Dengan kata lain, kehadiran virus ini dalam tubuh akan menyebabkan defisiensi (kekurangan) sistem imun. Sehingga orang – orang yang menderita penyakit ini kemampuan untuk mempertahankan dirinya dari serangan penyakit menjadi kurang, Oleh karena itu, penderita perlu untuk secara cepat memperoleh informasi tentang tingkat keparahan penyakit walaupun tidak ada dokter sehingga dapat dilakukan tindakan awal yang seoptimal mungkin. Untuk itu diperlukan suatu aplikasi yang dapat memecahkan permasalahan tersebut. Salah satu implementasi yang di tetapkan sistem pakar dalam bidang kesehatan yaitu sistem pakar untuk melakukan diagnosa penyakit dan termasuk kedalam golongan penyakit. Sistem pakar merupakan aplikasi utama dari kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) yang paling meluas penerapannya pada saat sekarang ini. Hal ini disebabkan kurangnya para ahli untuk memecahkan permasalahan – permasalahan yang rumit dan semakin bertambah.
Untuk itu perlu dibangun suatu sistem yang disebut sistem pakar. Sistem pakar adalah sistem berbasis komputer yang menggunakan pengetahuan, fakta dan teknik penalaran dalam memecahkan masalah yang biasanya hanya dapat dipecahkan oleh seorang pakar hanya dalam bidang tertentu. Sistem pakar mempunyai beberapa metode diantaranya adalah metode Dempster – Shafer. Metode Dempster – Shafer memberikan diagnosis awal dan klasifikasi HIV (Human Immunodeficiency Virus). Teori Dempster - Shafer adalah suatu teori matematika untuk pembuktian berdasarkan belief functions and plausible reasoning (fungsi kepercayaan dan pemikiran yang masuk akal), yang digunakan untuk mengkombinasikan potongan informasi yang terpisah (bukti) untuk mengkalkulasi kemungkinan dari suatu peristiwa. Teori ini dikembangkan oleh Arthur P. Dempster dan Glenn Shafer. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dijelaskan sebelumnya. Maka rumusan masalah dalam skripsi ini adalah : 1. Bagaimana mengumpulkan data – data tentang penyakit AIDS? 2. Bagaimana mengolah data dengan menerapkan metode Dempster – shafer?
Sistem Pakar Untuk Mendiaknosis Penyakit AIDS Dengan Metode Demspter – Shafer. Oleh : Muhammad Rino Prayogi Siahaan
79
Volume : V, Nomor : 3 , Pebruari 2015
Majalah Ilmiah
Informasi dan Teknologi Ilmiah (INTI) ISSN : 2339-210X 3. Bagaimana merancang sebuah aplikasi sistem pakar diagnosa penyakit AIDS dengan metode Dempster – Shafer ? 1.3 Batasan Masalah Untuk menghindari hal – hal yang menyimpang dari tujuan utama penulisan maka penulis perlu membatasi masalah yang meliputi : 1. Pembuatan sistem pakar ini menggunakan metode Dempster – Shafer yang digunakan untuk diagnosa awal penderita. 2. Sistem pakar ini hanya membantu diagnosa agar cepat melakukan tindakan awal. 3. Metode tang digunakan adalah metode Demspter – Shafer. 4. Sistem pakar ini hanya digunakan untuk memberi informasi penyakit dan pencegahannya . 5. Sistem pakar ini menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic 2008 dan Database Mysql. 2. LANDASAN TEORI 2.1 Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) Kecerdasan Buatan/Artificial Intelligence merupakan proses dimana peralatan mekanik dapat melaksanakan kejadian – kejadian dengan menggunakan pemikiran atau kecerdasan seperti manusia (Siswanto, 2005:1). Herbert Alexander Simon “Kecerdasan Buatan (artificial intelligence) merupakan kawasan penelitian, aplikasi dan instruksi yang terkait dengan pemrograman komputer untuk melakukan sesuatu hal yang dalam pandangan manusia adalah cerdas” (http://en.wikipedia.org/wiki/Herbert_Simon/ 3 mei 2014). Jonh McCarthy dari Stanford mendefinisikan kecerdasan sebagai “Kemampuan untuk mencapai sukses dalam menyelesaikan suatu permasalahan” (http://en.wikipedia.org/wiki/john_McCarthy_(com puter_scientist)/ 3 mei 2014). Kecerdasan buatan dapat membuat sebuah sistem komputer yang berfikir seperti manusia dan sistem komputer dapat berfikir secara rasional (masuk akal). Kecerdasan buatan dapat membuat sistem komputer bertingkah laku seperti manusia dan sistem komputer dapat bertingkah laku yang dapat diterima logika/masuk akal. 2.2 Sistem Pakar 2.2.1 Pengertian Sistem Pakar Sistem pakar atau sistem berbasis pengetahuan adalah yang paling banyak aplikasinya dalam membantu menyelesaikan masalah – masalah dalam dunia nyata (Siswanto, 2005:97). Sistem pakar adalah aplikasi berbasis komputer yang digunakan untuk menyelesaikan
masalah sebagaimana yang dipikirkan oleh pakar (Kusrini, 2008:3). Sistem pakar adalah suatu konsep dan metode inferensi simbolik atau penalaran yang dilakukan komputer, dan berkenaan juga dengan bagaimana suatu pengetahuan digunakan untuk membuat suatu kesimpulan yang akan direpresentasikan ke dalam suatu mesin (Anita Desiani dan Muhammad Arhami, 2006:227). 2.2.2 Keuntungan Pemakaian Sistem Pakar Keuntungan dari sistem pakar menurut T.Sutojo, Edy Mulyanto danVincent Suhartono, 2011:163 – 165 yaitu: 1. Meningkatkan produktifitas, karena sistem pakar dapat bekerja lebih cepat daripada manusia. 2. Membuat seorang yang awam bekerja seperti layaknya seorang pakar. 3. Meningkatkan kualitas dengan memberi nasehat yang konsisten dan mengurangin kesalahan. 4. Mampu menangkap pengetahuan dan dan kepakaran seseorang. 5. Dapat beroperasi di lingkungan yang berbahaya. 6. Memudahkan akses pengetahuan sistem pakar. 7. Handal, maksudnya sistem pakar tidak pernah bosan dan kelelahan atau sakit. 8. Meningkatkan kapabilitas sistem komputer. Integrasi sistem pakar dengan sistem komputer lain membuat sistem lebih efektif dan mencakup lebih banyak aplikasi. 9. Mampu bekerja dengan informasi yang tidak lengkap atau tidak pasti. 10. Bisa digunakan sebagai media pelengkap dalam pelatihan. 11. Meningkatkan kemampuan untuk menyelesaaikan masalah karena sistem pakar mengambil sumber pengetahauan dari banyak pakar. 2.3
Metode Dempster – Shafer Teori Dempster – Shafer adalah suatu teori matematika untuk pembuktian. Hal ini memungkinkan seseorang untuk menggabungkan bukti dari sumber yang berbeda dan tiba pada tingkat kepercayaan (diwakili oleh fungsi keyakinan) yang memperhitungkan semua bukti yang tersedia. Teori ini pertama kali dikembangkan oleh Arthur P. Dempster (http://en.wikipedia.org/wiki/Dempster – Shafer_theory, 4 mei 2014). Pada teori ini dapat membedakan ketidakpastian dan ketidaktahuan. Teori Dempster – Shafer adalah representasi, kombinasi dan propogasi ketidakpastian, dimana teori ini memiliki beberapa karakteristik yang secara instutitif sesuai dengan cara berfikir seorang pakar, namun dasar matematika yang kuat. Secara umum teori
Sistem Pakar Untuk Mendiaknosis Penyakit AIDS Dengan Metode Demspter – Shafer. Oleh : Muhammad Rino Prayogi Siahaan
80
Volume : V, Nomor : 3 , Pebruari 2015
Majalah Ilmiah
Informasi dan Teknologi Ilmiah (INTI) ISSN : 2339-210X Dempster – Shafer ditulis dalam suatu interval: [Belief,Plausibility] Belief (Bel) adalah ukuran kekuatan evidence dalam mendukung suatu himpunan proposisi. Jika bernilai 0 maka mengindikasikan bahwa tidak ada evidence, dan jika bernilai 1 menunjukkan adanya kepastian. Plausibility (Pls) akan mengurangi tingkat kepastian dari evidence. Plausibility bernilai 0 sampai 1. Jika yakin akan X’, maka dapat dikatakan bahwa Bel(X’) = 1, sehingga rumus di atas nilai dari Pls(X) = 0. Menurut Giarratano dan Riley fungsi Belief dapat diformulasikan dan ditunjukkan pada persamaan (1): Bel (X) =� m(Y ) Y �X Dan Plausibility dinotasikan pada persamaan (2): Pls (X) = 1 – Bel (X) = 1 – =� m(Y ) Y �X Dimana : Bel (X) = Belief (X) Pls (X) = Plausibility (X) m (X) = mass function dari (X) m (Y) = mass function dari (Y) Teori Dempster – Shafer menyatakan adanya frame of discrement yang dinotasikan dengan simbol (Θ). frame of discrement merupakan semesta pembicaraan dari sekumpulan hipotesis sehingga sering disebut dengan environment yang ditunjukkan pada persamaan (3) : Θ = { θ1, θ2, … θN} Dimana : Θ = frame of discrement atau environment θ1,…,θN = element/ unsur bagian dalam environment Environment mengandung elemen – elemen yang menggambarkan kemungkinan sebagai jawaban, dan hanya ada satu yang akan sesuai dengan jawaban yang dibutuhkan. Kemungkinan ini dalam teori Dempster – Shafer disebut dengan power set dan dinotasikan dengan P (Θ), setiap elemen dalam power set ini memiliki nilai interval antara 0 sampai 1. m : P (Θ) [0,1] Sehingga dapat dirumuskan pada persamaan (4) : � m( X ) � 1 X�P(�) Dengan : P (Θ) = power set m (X) = mass function (X) Apabila diketahui X adalah subset dari θ, dengan m1 sebagai fungsi densitasnya, dan Y juga merupakan subset dari θ dengan m2 sebagai fungsi
densitasnya, maka dapat dibentuk fungsi kombinasi m1 dan m2 sebagai m3, yaitu ditunjukkan pada persamaan (5) : Mass function (m) dalam teori Dempstershafer adalah tingkat kepercayaan dari suatu evidence (gejala), sering disebut dengan evidence measure sehingga dinotasikan dengan (m). Tujuannya adalah mengaitkan ukuran kepercayaan elemen – elemen θ. Tidak semua evidence secara langsung mendukung tiap-tiap elemen. Untuk itu perlu adanya probabilitas fungsi densitas (m). Nilai m tidak hanya mendefinisikan elemen-elemen θ saja, namun juga semua subsetnya. Sehingga jika θ berisi n elemen, maka subset θ adalah 2n. Jumlah semua m dalam subset θ sama dengan 1. Apabila tidak ada informasi apapun untuk memilih hipotesis, maka nilai : m{θ} = 1,0 Dimana : m3(Z) = mass function dari evidence (Z) m1 (X) = mass function dari evidence (X), yang diperoleh dari nilai keyakinan suatu evidence dikalikan dengan nilai disbelief dari evidence tersebut. m2 (Y) = mass function dari evidence (Y), yang diperoleh dari nilai keyakinan suatu evidence dikalikan dengan nilai disbelief dari evidence tersebut. � m1 ( X )m2 =merupakan nilai kekuatan dari evidence Z X �Y �Z 3. PEMBAHASAN 3.1 Analisa Masalah Berdasarkan analisis masalah diatas, maka melalui Tugas Akhir ini dibut alternatif penyajian informasi dan konsultasi tentang penyebab penyakit HIV/AIDS. Sistem pakar berbasis Dekstop yang dapat mengklasifikai awal penyakit HIV/AIDS dengan menggunakan pilhan jawaban yang bervariasi sesuai data gejala dari pakar pada kolom pertanyaan yang menyediakan pertanyan gejala yang diderita oleh pasien dan akan dianalisis oleh sistem yang akn menampilkan klasifikasi awal serta cara pengobatan dini untuk pasien. 3.1.2 Akuisisi Pengetahuan Penyakit HIV/AIDS Sebuah sistem pakar yang berbasis pengetahuan dapat digunakan untuk menirukan apa yang dapat dilakukan oleh seorang pakar. Basis pengetahuan dikumpul untuk membangun sistem pakar yang akan dirancang, dimana akuisisi pengetahuan ini merupakan proses pengumpulan pengetahuan, pemindahan dan perubahan bentuk kedalam suatu pemecahan masalah (problem solving) dari seorang pakar yang akan digunakan pada sistem.
3.1.3 Analisis Data Gejala dan Fase HIV/AIDS Sistem Pakar Untuk Mendiaknosis Penyakit AIDS Dengan Metode Demspter – Shafer. 81 Oleh : Muhammad Rino Prayogi Siahaan
Volume : V, Nomor : 3 , Pebruari 2015
Majalah Ilmiah
Informasi dan Teknologi Ilmiah (INTI) ISSN : 2339-210X Keberhasilan suatu aplikasi terletak pada pengetahuan dan bagaimana mengolah pengetahuan tersebut agar dapat ditarik suatu kesimpulan. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil wawancara dan analisa lewat buku dikonversi kedalam sebuah tabel penyakit dan gejala guna mempermudah proses pencarian solusi. Tabel penyakit dan gejala ini digunakan sebagai pola pencocokan informasi yang dimasukan oleh pemakai dan basis pengetahuan. Pada tabel jenis gejala dan fase HIV/AIDS terdapat 11 jenis gejal yang ditunjukkan oleh G-1, G-2,...,G-11 dan 3 fase yang ditunjukkan oleh F-01, F-02, G-3. Dari 11 jenis gejala disusun sebagai pernyataan dan 3 fase disusun sebagai kesimpulan. Gejala ini merupakan basis pengetahuan untuk membuat suatu kesimpulan yang menjadi tujuan dari sistem pakar ini. Gejala berikut merupakan gejala umum yang dialami pasien terhadap penyakit HIV/AIDS. Berikut ini adalah tabel 3.1 yaitu tabel gejala dan jenis penyakit HIV/AIDS. Tabel 1 : Tabel Gejala dan fase HIV/AIDS
Keterangan dari Gejala : Kode Gejala G1 Sakit kepala kronis G2 Demam tinggi G3 Pembengkakan pada kelenjar getah bening G4 G5 G6 G7 G8 G9 G10 G11
Sakit tenggorokan Kulit tampak kering, gatal dan bersisik. Penurunan berat badan Diare Batuk disertai sesak nafas. Berkeringat dimalam hari Penglihatan kabur Bintik – bintik putih di lidah dan mulut Dari tabel 1 di atas, Sistem dapat memberikan informasi mengenai gejala klinis pada penyakit HIV/AIDS, Jika gejala gejala yang dialami penderita sesuai dengan yang diinput, Maka rule yang dapat digunakan untuk menganalisa suatu gangguan gejala klinis pada penderita HIV/AIDS. Tabel 2 : Nilai Plausibility untuk setiap gejala Penyakit pada penderita HIV/AIDS
3.1.4 Kaidah Produksi (Rule Base) Kaidah produksi (rule base) biasanya dituliskan dalam bentuk jika – maka (IF - THEN). Kaidah dapat dikatakan sebagai hubungan implikasi dua bagian yaitu premis (jika) dan bagian konklusi (maka). Apabila bagian premis dipenuhi maka bagian konklusi juga akan bernilai benar. Sebuah kaidah terdiri dari klausa- klausa sebuah klausa mirip sebuah kalimat subjek, kata kerja dan objek yang menyatakan suatu fakta ada sebuah klausa premis dan klausa konklusi pada sebuah kaidah. Rule 1 : IF Demam AND Pembengkakan pada kelenjar getah bening AND Sakit tenggorokan AND Diare AND Kulit tampak kering, gatal dan bersisik THEN Fase Awal Rule 2 : IF Demam AND Penurunan berat badan AND Diare AND Batuk disertai sesak nafas. THEN Fase Pertengahan Rule 3 : IF Sakit kepala kronis AND Demam AND Penurunan berat badan AND Diare AND Berkeringat dimalam hari AND Penglihatan kabur AND Bintik – bintik putih di lidah dan mulut THEN Fase Akhir 3.2
Analisa Metode Dempster – Shafer Pada metode Dempster – Shafer dibutuhkan seorang pakar untuk menentukan sebuah nilai belief, kemudian dengan adanya nilai belief maka akan ada nilai plausability untuk mengetahui nilai kemungkinan hasil diagnosa penyakit dilakukan penghitungan nilai kemungkinan dengan menggunakan metode Dempster - Shafer. Proses pengujian sistem berupa masukkan data gejala yang dialami pasien. Pada pengujian pertama diberikan beberapa gejala yang dialami pasien antara lain : 1. Faktor-1: Sakit kepala kronis Langkah pertama hitung nilai dari belief dan Plausability dari faktor Pembengkakan pada
Sistem Pakar Untuk Mendiaknosis Penyakit AIDS Dengan Metode Demspter – Shafer. Oleh : Muhammad Rino Prayogi Siahaan
82
Volume : V, Nomor : 3 , Pebruari 2015
Majalah Ilmiah
Informasi dan Teknologi Ilmiah (INTI) ISSN : 2339-210X kelenjar getah bening (G03), yang merupakan diagnosa dari Fase Awal (F1) dengan rumus(1) dan (2): m1 (G01) = 0.82 m1 {θ} = 1 – m1 (G01) = 1 – 0.82 = 0.18 2. Faktor-2: Demam Kemudian apabila diketahui adanya fakta baru, yaitu adanya faktor Demam (G02), yang merupakan diagnosa dari Fase akhir (F1), Fase pertengahan (F2), Fase awal (F3) dengan mengacu rumus (1) dan (2), maka nilai keyakinannya adalah: m2 (G02) = 0.7 = 1 – m2 (G02) m2 {θ} = 1 – 0.7 = 0.3 Tabel 3 : Ilustrasi nilai keyakinan terhadap dua gejala
Selanjutny menghitung tingkat keyakinan(m) combine dengan rumus (5), maka: F3}=( 0.82*0.7 ) ( 0.82*0.3 ) m3 { = 0.57400 .2460 = 0.820 10 10 m3 { F3,F2,F1} =0.18* 0.7 = 0.126 10 m3 {θ} =0.18* 0.3 =0.054 10 Nilai keyakinan paling kuat adalah terhadap Fase akhir {F3} yaitu sebesar 0.820, yang didapatkan dari dua gejala yang ada yaitu G01 dan G02. 3. Faktor-3: Penurunan berat badan Kemudian apabila diketahui adanya fakta baru, yaitu adanya faktor Penurunan berat badan (G06), yang merupakan diagnosa dari Fase pertengahan, dan Fase Akhir dengan dengan mengacu rumus (1) dan (2), maka nilai keyakinannya adalah: m4 (G06) = 0.67 m4 {θ} = 1 – m4 (G06) = 1 – 0.67 = 0.33 Tabel 4: Ilustrasi nilai keyakinan terhadap tiga gejala
1 0 .5494 m5 {F2,F1} =0.08442+0.03116 = 0.26764 1 0 .5494 F3,F2,F1 } =0.0 8442+0.03116 m5 { = 0.26764 1 0 .5494 Nilai keyakinan paling kuat adalah terhadap Fase pertengahan {F2} yaitu sebesar 0.60053, yang didapatkan dari tiga gejala yang ada yaitu G01, G02 dan G06. 4. Faktor-4 : Kulit tampak kering, gatal dan bersisik Kemudian apabila diketahui adanya fakta baru, yaitu adanya faktor Kulit tampak kering, gatal dan bersisik (G5), yang merupakan diagnosa dari penyakit JKR dengan mengacu rumus (1) dan (2), maka nilai keyakinannya adalah: m6 (G5) = 0.8 = 1 – m6 (G5) = 1 – 0.8 = 0.2 m6 {θ} Tabel 5 : Ilustrasi nilai keyakinan terhadap empat gejala
Selanjutnya menghitung tingkat keyakinan(m) c ombine dengan rumus (5), maka: m7 { F3 } =0.60053* 0.8 = 0.68659 10,30027 { F1}= 0.13382 0.04614+0.04614 m7 = 0.28544 10 .30027 m7 { F2,F1}= 0.13382 = 0.19125 10.30027 m7 { F3,F2,F1}= 0.04614 = 0.06594 10.30027 m7 {θ} =0.18* 0.3 = 0.02826 10 .30027 Nilai keyakinan paling kuat adalah terhadap Fase akhir {F3} yaitu sebesar 0.42912, yang didapatkan dari empat gejala yang ada yaitu G01, G02, G06 dan G5. 5. Faktor-5: Diare Kemudian apabila diketahui adanya fakta baru, yaitu adanya faktor Penurunanberatbadan,yang merupakan diagnosa dari F3, F2 dan F1 dengan dengan mengacu rumus (1) dan (2), maka nilai keyakinannya adalah: = 0.75 m8 (G7) = 1 – m8 (G7) m8 {θ} = 1 – 0.75 = 0.25
Selanjutnya menghitung tingkat keyakinan(m) combine dengan rumus (5), maka: m5 {F3} = 0.2706 = 0.60053 Sistem Pakar Untuk Mendiaknosis Penyakit AIDS Dengan Metode Demspter – Shafer. Oleh : Muhammad Rino Prayogi Siahaan
83
Volume : V, Nomor : 3 , Pebruari 2015
Majalah Ilmiah
Informasi dan Teknologi Ilmiah (INTI) ISSN : 2339-210X Tabel 6 : Ilustrasi nilai keyakinan terhadap lima gejala
[5].
[6]. [7]. [8]. Selanjutnya menghitung tingkat keyakinan(m) c ombine dengan rumus (5), maka: M8 { F3}=( 0.8*0.75 ) ( 0.8*0.25 ) = 0.8 10 m9 { F1}= 0.21408+0.07136 = 0.28544 10
[9].
m9 { F2,F1}= 0.14343+0.04781 = 0.19125 10
[13].
m9 { F3,F2,F1}= 0.04945+0.01648+0.02119 = 0.08713 10 m9 {θ} =0.00706 = 0.00706 10 Nilai keyakinan paling kuat adalah terhadap Fase akhir {F3} yaitu sebesar 0.8 dan persentase penyakitnya adalah 100%*0.8= 80 = menderita, yang didapatkan dari lima gejala yang ada yaitu G01, G02, G06, G5 dan G7.
[14].
[10]. [11]. [12].
[15]. [16].
Desianti Anita, Arhami Muhammad, 2006, Konsep Kecerdasan Buatan, Andi, Yogyakarta. http://dimasandree.wordpress.com/2013/12/1 8/sistem-pakar/ 7 mei 2014). http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_pakar, 3 mei 2014. http://pungkasanugrahutami.wordpress.com/ 2012/10/28/definisi-sistem-pakar/ 8 mei 2014. Arhami. M., 2006, Konsep Dasar sistem Pakar, Andi, Yogyakarta. http://id.wikipedia.org/wiki/HIV, 3 mei 2014. http://penyakithivaids.com/, 3 mei 2014. http://en.wikipedia.org/wiki/Dempster – Shafer_theory, 4 mei 2014). Sutedjo Dharma Oetomo Budi, 2006, Perencanaan dan Pembangunan Sistem Informasi, Andi, Yogyakarta. http://id.wikipedia.org/wiki/Microsoft_Visua l_Studio. Wardana, 2008, Aplikasi Toko Dengan Visual Basic 2008, Andi, Yokyakarta. Junindar, 2011, Rekayasa Perangkat Lunak, Andi, Yokyakarta.
4. KESIMPULAN Berdasarkan permasalahan yang dibangun pada sistem pakar untuk mendiagnosa penyakit AIDS, maka dapat diambil beberapa kesimpulan adalah sebagai berikut: 1. Dengan adanya sistem pakar ini, maka dapat menambah informasi tentang pengetahuan dan pemahaman dalam pengenalan tentang penyakit AIDS. 2. Sistem pakar penyakit AIDS ini memudahkan orang awam mendapatkan informasi tentang penyakit AIDS. 3. Sistem pakar mampu memudahkan pasien dalam mendiagnosa penyakit AIDS secara dini. 5. DAFTAR PUSTAKA [1]. [2]. [3]. [4].
Siswanto, 2005, Kecerdasan Tiruan, Graha Ilmu, Yogyakarta. http://en.wikipedia.org/wiki/Herbert_Simon/ 3 mei 2014. http://en.wikipedia.org/wiki/john_McCarthy _(computer_scientist)/ 3 mei 2014. Kusrini, 2008, Aplikasi Sistem Pakar, Andi, Yogyakarta.
Sistem Pakar Untuk Mendiaknosis Penyakit AIDS Dengan Metode Demspter – Shafer. Oleh : Muhammad Rino Prayogi Siahaan
84
TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG HIV / AIDS DI KOTA PEKALONGAN Dwi Edi Wibowo, Saeful Marom ( Universitas Pekalongan )
[email protected],
[email protected]
ABSTRACT Adolescence is a transitional stage between the children with adulthood. Often teens begins when a child is sexually mature and ends when the ripe age. Adolescence this happen some changes or developments that occur, among others, physical development, emotional development and sexual development. With the existence of sexual development, adolescent curiosity about sex become larger and increased sex drive (Hurlock, 1999). Free sex rampant in Semarang city, to look out for by teenagers who live in the region. Because, if they are not careful they could become infected with one of the deadly HIV/AIDS virus.Based on data from the Indonesia family planning Association (PKBI), there are currently as many as 4.472 people have been infected with HIV/AIDS, problems in this research is "how Adolescent level of knowledge About HIV/AIDS in the town of Pekalongan?". The purpose of the research is to know the level of understanding is the teens about HIV/AIDS knowledge, knowing the source of information about HIV/AIDS adolescent, knowing the level of understanding about adolescent attitudes towards HIV/AIDS, knowing the level of knowledge about the behavior of teens who are at risk of contracting HIV/AIDS. The research method used was survey methods, namely data collection includes primary data and secondary data. In this primary data retrieval, researchers conduct interviews using a structured questionnaire, with the selection of the sample using the method of random sampling. Secondary data collection is done using the data – data that has been there before. Based on the results of interviews with some of the teachers at the Senior High School in Pekalongan said that many students saw the independent freedom in class XI (age between 16-18 years) due to the class XI they feel free because they have class X and the junior will be back again when the stable class XII since students have the concentration to face final exams nationally. Based on input from Teachers in high school/MA/SMK so researchers took samples of Class XI in Senior High School in the town of Pekalongan. Next to interviews with teachers due to teacher in school with some questions about the issue of delinquency students answer them all pretty much the same so that the same can be said even so the research team concluded that the State of high school students/SMK/MA can be said to be the same so as to maintain a distribution of respondents and can represent every part of the city of pekalongan researchers record the school in every part of the city of Pekalongan and picking the school at random so that ultimately earned sampelnya is MAN 2: City of Pekalongan represents the Western City of Pekalongan, SMK Gatra Praja represents the northern part of the city of Pekalongan, SMA Hashim Ash'ari represents the eastern part of the city of Pekalongan, pekalongan City HIGH SCHOOL N 4 represents the southern part of the city of Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
11
Pekalongan. Conclusion the level of knowledge about adolescent HIV/AIDS in the town of Pekalongan is quite big (56,73%). Suggestions of stakeholders associated with related Stakeholders, research results can improve the socialization of adolescents about HIV/AIDS knowledge in order to become a teenager boarded the level of knowledge, the coordination of agencies in providing socialization to society, give socialization to all walks of life so that the info given is widespread, adding info media type used for the dissemination of HIV/AIDS. Keywords: Knowledge, Youth, HIV/AIDS Literatur : 4 (1995-2007)
PENDAHULUAN Masa remaja adalah suatu tahap peralihan antara masa anak-anak dengan masa dewasa. Lazimnya masa remaja dimulai saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat mencapai usia matang tersebut. Masa remaja ini terjadi beberapa perubahan atau perkembangan yang terjadi antara lain perkembangan fisik, perkembangan emosional dan perkembangan seksual. Dengan adanya perkembangan seksual, keingintahuan remaja tentang seks menjadi lebih besar dan dorongan seks pun meningkat (Hurlock, 1999). Maraknya seks bebas di Kota Semarang, harus diwaspadai oleh para remaja yang tinggal di wilayah tersebut. Pasalnya, bila tidak berhati-hati mereka bisa tertular salah satu virus mematikan HIV/AIDS. Berdasarkan data dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), saat ini ada sebanyak 4.472 orang yang telah terinfeksi virus HIV/AIDS. Dari jumlah sebanyak itu, 20 persen atau 400 orang di antaranya merupakan remaja yang tinggal di Jawa Tengah 70 persen di antaranya ditemukan di Kota Semarang. Untuk jumlah kasusnya sendiri mulai Oktober-Desember 2013, kami telah menemukan 437 kasus, kata Staf Program HIV/AIDS PKBI, Slamet Riyadi, di Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (1/9). Slamet mengatakan, dengan estimasi itu maka setiap bulannya minimal terdapat 14-15 remaja di Kota Semarang Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
positif terinfeksi virus menular tersebut. Menurut Slamet, hal itu mayoritas dipengaruhi perilaku seks bebas di kalangan anak muda. Sedangkan, 20 persen di antaranya karena penggunaan obat-obatan terlarang “Anak-anak muda di sini yang kena HIV/AIDS berusia rata-rata 15-20 tahun”, urainya. Slamet mengaku sangat mengkhawatirkan perilaku seks bebas ini. Sebab, saat ini remaja yang gemar seks bebas semakin nekat bahkan ada beberapa remaja memilih membuka bisnis pelacuran di dunia maya. “Itu belum lagi ditambah pengaruh kekerasan seksual dan homoseksual”, terang Slamet. Dia menyebut, bahwa kasus penyebaran HIV/AIDS secara keseluruhan di Jateng cenderung meningkat. Bila pada 2012 hanya ada 607 kasus maka pada 2013 mencapai lebih dari 1000 kasus. “Ini artinya, lonjakan kasusnya cukup signifikan. Meski demikian, kami kini terus menekan penyebaran HIV/AIDS dengan memberikan obat pencegah virus HIV”, ucapnya. Kejadian di atas tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, bahkan sudah merambah ke daerah pinggiran kota. Seperti di Pekalongan, Jawa Tengah telah ditemuka adegan mesum selayaknya pasangan suami istri yang dilakukan oleh pelajar SMA Swasta (Resapugar, 2010). Pekalongan khususnya Desa Wonopringgo 12
kini jumlah warung internet (warnet) bertambah. Tahun 2008 terdapat 3 warung internet dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 10 warung internet. Warung internet dengan mudah dapat dimasuki oleh berbagai kalangan usia terutama kalangan remaja. Hal ini harus diwaspadai karena tanpa adanya pengawasan yang baik dari pemilik warnet maka dengan mudahnya remaja-remaja dapat mengakses pornografi. Selain pengaruh adanya warung internet, pergaulan remaja, dan rasa ingin tahu pun juga dapat memicu timbulnya hubungan seks pranikah pada kalangan remaja. Masalah HIV/AIDS merupakan masalah besar yang mengancam banyak negara di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Laporan terakhir Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2010 jumlah kumulatif dari 1 Januari 1987 sampai dengan 30 Juni 2010 kasus AIDS di Indonesia adalah 21.770 orang dengan jumlah kematian 4.128 orang. Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan jumlah kumulatif AIDS yang tinggi yaitu 819 orang dengan jumlah kematian 265 orang . Jumlah pengidap HIV/AIDS di Kota Pekalongan mengalami pelonjakan. Sepanjang Januari hingga September 2012, jumlah pengidap HIV/AIDS sebanyak 12 orang. Jumlah itu ada kenaikan dibanding dalam waktu yang sama dari Januari sampai September 2011 tercatat ada sembilan orang. Demikian disampaikan Kabid Pencegahan Penaggulangan , Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PPL) Dinas Kesehatan Kota Pekalongan. Tuti Widyati pada sosialisasi Pencegahan HIV/AIDS di Ruang Jatayu Setda. Tema kegiatan hari itu “Lindungi Perempuan dan Anak dari HIV/AIDS,” Tuti memaparkan, dari Januari hingga Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
September tahun ini, ada lima orang terdeteksi mengidap HIV dan tujuh orang mengidap AIDS. Sementara pada tahun lalu, pengidap HIV hanya satu orang, sedangkan yang terjangkit AIDS delapan orang. Menurut dia, meningkatnya pengidap HIV/AIDS tersebut disebabkan Komisi pengendalian AIDS Daerah (KPAD) Kota Pekalongan belum operasional secara optimal. Selain itu, klinik Voluntary Counceling and Testing (VCT) juga belum diakses secara maksimal. “Belum banyak masyarakat yang memanfaatkan klinik VCT”, terangnya. Selain itu, terbatasnya obat ARV juga dinilai menjadi salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS di Kota Pekalongan. Badan Narkotika Kota (BNK) Pekalongan menyatakan, kota itu menempati urutan 10 besar daerah peredaran narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba) di Jawa Tengah. Menurutnya, tingginya peredaran narkoba di Kota Batik itu berdampak meningkatnya kasus HIV/AIDS di daerah Pekalongan khususnya bagi pengguna jarum suntik. Berdasarkan data 2011, kata Alf, jumlah penderita HIV/AIDS di Kota Pekalongan sebanyak 38 orang atau meningkat di banding tahun sebelumnya yang mencapai hanya belasan orang. Mereka yang terjangkit penyakit HIV tersebut sebagian besar karena pemakaian jarum suntik secara bergantian saat mengkonsumsi narkoba. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS di Kota Pekalongan dengan sasarannya sebagai berikut mengetahui tingkat pemahaman remaja tentang pengetahuan HIV/AIDS di Kota Pekalongan, mengetahui sumber Informasi remaja tentang HIV/AIDS, mengetahui tingkat pemahaman remaja tentang sikap terhadap HIV/AIDS di Kota Pekalongan, mengetahui tingkat pengetahuan remaja tentang perilaku yang beresiko tertular 13
HIV/AIDS di Kota Pekalongan. Penelitian sejenis sudah dilakukan dengan judul Tingkat Pengetahuan HIV/AIDS dan Sikap Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah di SMA X Jakarta Timur. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan antara tingkat pengetahuan HIV/AIDS dan sikap remaja terhadap perilaku seksual pranikah. Metode dalam penelitian adalah deskriptif korelatif, pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan teknik purposive sampling. Hasil penelitian mayoritas siswa memiliki tingkat peengetahuan HIV/AIDS yang baik dengan sikap tidak mendukung terhadap perilaku sex. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei, yaitu pengumpulan data meliputi data primer dan data sekunder. Dalam pengambilan data primer ini, peneliti melakukan wawancara terstruktur dengan menggunakan questionaire, dengan pemilihan sampel menggunakan metode random sampling. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan menggunakan data – data yang telah ada sebelumnya. Langkah pertama penelitian diawali dengan pengumpulan data sekunder berupa pengumpulan data banyaknya sekolah di Kota Pekalongan. Kota Pekalongan terbagi menjadi empat bagian yaitu pekalongan utara, pekalongan selatan, pekalongan barat, dan pekalongan timur. Pada penelitin ini obyek yang akan diteliti adalah Remaja di Kota pekalongan. Menurut Depkes RI dan BKKBN batasan remaja adalah antara 10-19 Tahun dan Belum kawin. Menurut (Widiastuti, 2009) salah satu sifat atau ciri perkembangannya masa remaja akhir yaitu menampakkan kebebasan mandiri pada usia 16-19 Tahun. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa guru BK di SMA/MA/SMK dikota Pekalongan Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
menyatakan bahwa siswa banyak menampakkan kebebasan mandiri pada kelas XI (usia antara 16-18 tahun) disebabkan pada jenajang kelas XI mereka merasa bebas karena mereka mempunyai yunior yaitu kelas X dan akan kembali stabil lagi ketika kelas XII karena siswa sudah konsentrasi untuk menghadapi Ujian Akhir Nasional. Berdasarkan masukan dari Guru BK di SMA/MA/SMK maka peneliti mengambil sampel kelas XI di SMA/SMK/MA di Kota Pekalongan. Selanjutnya untuk dikarenakan hasil wawancara dengan Guru BK di Sekolah dengan beberapa pertanyaan mengenai masalah kenakalan siswa jawaban semuanya hampir sama bahkan bisa dikatakan sama sehingga jadi tim peneliti menyimpulkan bahwa keadaan siswa SMA/SMK/MA bisa dikatakan sama sehingga untuk menjaga persebaran responden dan dapat mewakili dari tiap bagian kota pekalongan peneliti mendata sekolah di tiap bagian Kota Pekalongan dan memilih secara acak sekolah tersebut sehingga pada akhirnya diperoleh sampelnya adalah : 1. 2. 3. 4.
MAN 2 Kota Pekalongan mewakili Kota Pekalongan Bagian Barat SMK Gatra Praja mewakili Kota Pekalongan Bagian Utara SMA Hasyim Asy’ari mewakili Kota Pekalongan Bagian Timur SMA N 4 Kota pekalongan mewakili Kota Pekalongan Bagian Selatan
Data penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah kuesioner, wawancara, kamera dan alat tulis untuk dokumentasi. Pengumpulan data primer dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada siswa kelas XI di SMA Hasyim As’yari, SMA 4, SMK Gatra Praja, MAN 2 yang berisi pengetahuan tentang HIV/AIDS, sumber informasi tentang HIV/AIDS, sikap terhadap HIV/AIDS, perilaku yang beresiko tertular 14
HIV/AIDS. Wawancara dilakukan dengan guru BK (bimbingan konseling) di tiap SMA yang dijadikan sample : 1.
Analisa pengetahuan HIV/AIDS
tentang
Setelah melakukan wawancara dengan Guru BK di 4 sekolah tersebut pengetahuan tentang HIV/AIDS masih kurang karena mereka kurang mendapatkan pencerahan dari instansi terkait seperti penyuluhan 2.
Analisa tentang sumber informasi tentang HIV/AIDS Setelah melakukan wawancara dengan guru BK sebagian besar guru BK juga belum tahu secara maksimal apa itu penyakit AIDS, ditambah lagi siswanya yang tidak tahu sumber informasi yang benar tentang penyakit HIV/AIDS
3.
Analisa sikap terhadap HIV/AIDS Setelah melakukan wawancara dengan Guru BK sebagian besar siswa tidak paham tentang penyakit HIV/AIDS, dan masih jarang adanya sosialisasi tentang penyakit HIV/AIDS
4.
Analisa perilaku yang beresiko tertular HIV/AIDS
Setelah melakukan wawancara dengan Guru BK sebagian besar siswa belum pernah melakukan perilaku yang beresiko tertular HIV/AIDS Penelitian ini dilakukan di 4 sekolah diantaranya 2 sekolah negeri, 2 sekolah swasta ini untuk membandingkan karena pengamatan peneliti grade 4 sekolah ini hampir sama sehingga hal ini menjadi satu alasan mengapa 4 sekolah dijadikan sample, selain itu letak 4 sekolah tersebut sudah bisa mewakili tiap kecamatan yang ada di Kota Pekalongan, ditambah lagi letak 4 sekolah itu juga lokasi mudah dijangkau sehingga memudahkan peneliti. Letak 4 sekolah itu juga di kota sehingga akses untuk main ke tempat hiburan juga mudah, itulah menjadi alasan pemilihan lokasi penelitian. Jumlah sample, kami peneliti mengambil kelas XI alasan dikarenakan kelas XI adalah usia yang sangat rawan godaan terhadap pergaulan bebas, narkoba yang ujungnya nanti penyakit HIV/AIDS. Jumlah sampel diharapkan dapat mewakili populasi yaitu sama dengan karakter sekolah secara acak. Dalam penelitian ini digunakan tingkat kesalahan 5 persen, agar peluang kesalahan semakin kecil. Adapun persebaran jumlah responden masingmasing Sekolah dapat dilihat pada :
Tabel 1 di bawah ini: Jumlah Siswa
No
Nama Sekolah
1
MAN 2 Pekalongan
2
SMK Gatra Praja
3
SMA Hasyim As’ari 30
4
SMA N 4 Kota 32 Pekalongan
Kota
28 36
Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
15
Data penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah kuesioner, kamera dan alat tulis untuk dokumentasi. Pengumpulan data primer dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada siswa kelas XI di SMA/SMK/MA di Kota Pekalongan yang telah dipilih yang berisi tentang : 1. Pengetahuan Tentang HIV AIDS 2. Sumber Informasi tentang HIV AIDS 3. Sikap terhadap HIV AIDS 4. Perilaku yang beresiko tertular HIV AIDS. dan selanjutnya data penelitian yang diperoleh akan diolah menggunakan analisis univariat pada masing masing variabel. Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan dan visualisasi hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep lainnya, atau antara variabel satu dengan variabel yang lain dari masalah yang akan dieteliti (Notoatmodjo, 2010). Kerangka konsep menyajikan konsep atau teori dalam bentuk kerangka konsep penelitian. Berdasarkan judul penelitian mengenai tingkat pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS di Kota Pekalongan maka kerangka konsep penelitiannya adalah sebagai berikut
Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
Definisi Operasional
Sesuai permasalahan dan tujuan penelitian, maka sebagai pedoman awal pengumpulan informasi digunakan definisi operasional yang dikembangkan seperti uraian dibawah ini : 1. Pengetahuan tentang HIV/AIDS adalah segala sesuatu yang dialami, dilihat dan di dengar tentang HIV/AIDS dan di gali berdasarkan kemampuan menjawab pertanyaan tentang apa itu HIV/AIDS, bagaimana gejala-gejala dini penderita HIV/AIDS, bagaimana cara penularannya, dan bagaimana upaya pencegahannya. Penilaian terhadap pengetahuan remaja terhadap penyakit HIV/AIDS dilakukan dengan mengajukan 42 pertanyaan kepada responden dengan skoring 1 untuk setiap jawaban yang benar dan 0 untuk jawaban yang salah, tidak menjawab maupun tidak tahu. Untuk setiap pertanyaan yang benar 2 diberi skor 2 dan untuk pertanyaan yang benar 3 diberi skor 3, dengan total skor sebanyak 42 dari 42 pertanyaan. Menurut Arikunto (2006), dapat dikategorikan sebagai berikut : a. Skor 32 42 dikategorikan Baik b. Skor 24 31 dikategorikan Cukup c. Skor 23 dikategorikan Kurang. 2. Sumber Informasi tentang HIV/AIDS adalah semua sumber yang menginformasikan remaja tentang HIV/AIDS di Kota Pekalongan meliputi Guru, Orang Tua, Tenaga Kesehatan, Teman, Koran, dan Majalah. 3. Sikap terhadap HIV/AIDS adalah respon atau keyakinan seorang remaja terhadap penyakit HIV/AIDS. Penilaian terhadap sikap remaja terhadap penyakit HIV/AIDS dilakukan dengan mengajukan 12 pertanyaan kepada responden dengan skoring 1 untuk setiap jawaban yang benar dan 0 untuk jawaban yang salah, 16
tidak menjawab maupun tidak tahu, dengan total skor sebanyak 12 dari 12 pertanyaan tersebut. 4. Perilaku beresiko tertular HIV/AIDS adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan menularnya penyakit HIV/AIDS. Penilaian terhadap perilaku beresiko tertular HIV/AIDS dilakukan dengan mengajukan 5 Pertanyaan kepada responden. Selanjutnya akan disajikan data-data hasil riset di lapangan yang diperoleh
mengenai tingkat pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS di Kota Pekalongan Tahun 2014 yang meliputi : 1. Data Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang HIV/AIDS Selanjutnya akan di sajikan rata-rata dari data tingkat pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS di Kota Pekalongan tahun 2014 adalah :
Rata-Rata Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang HIV/AIDS Di Kota Pekalongan No 1 2 3 4
Nama Sekolah MAN 2 Kota Pekalongan SMK Gatra Praja SMA Hasyim Asyari SMA N 4 Kota Pekalongan
Rata-rata Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang HIV/AIDS 25,7 20,9 23,2 25,2
2. Data Sumber Informasi Remaja Tentang HIV/AIDS Selanjutnya akan disajikan data sumber informasi tentang HIV/AIDS di Kota
Koran
Teman Tenaga Kesehatan
Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
Pekalongan berikut:
Tahun
2014
sebagai
Orang Tua
Majalah
Guru
17
3. Data tentang Sikap Remaja terhadap HIV/AIDS Kemudian akan diberikan data tentang sikap remaja terhadap HIV/AIDS di
Kota Pekalongan tentang HIV/AIDS adalah sebagai berikut :
Data Tentang Sikap Remaja Tentang HIV/AIDS Di Kota Pekalongan Tahun 2014 NO Sekolah MAN 2 Pekalongan SMK Gatra Praja SMA Hasyim Asyari SMA N 4 Pekalongan
1 2 3 4
1
2
3
4
5
Nomor Soal 6 7 8 9
2
3
4
2
2
2
3
2
2
10 11 12 13 2 3 2 2
3
3
4
3
2
2
3
1
2
3
4
1
2
2
3
3
2
1
1
3
1
2
2
3
1
1
3
4
3
3
3
2
3
2
2
2
3
2
1
4. Data tentang perilaku beresiko tertular HIV/AIDS Berikut merupakan data tentang perilaku beresiko tertulah HIV/AIDS : Data Tingkat Perilaku Beresiko Tertular HIV/AIDS Di Kota Pekalongan Tahun 2014 NO
Sekolah
Nomor Soal 1
2
3
4
5
1
MAN 2 Pekalongan
0
0
0
0
0
2
SMK Gatra Praja
0
0
0
0
0
3
SMA Hasyim Asyari
0
0
0
0
0
4
SMA N 4 Pekalongan
1
1
0
0
0
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik responden dalam hal ini sangat penting. Responden pada penelitian ini adalah siswa SMA/SMK/MA di Kota Pekalongan dengan rata-rata usia antara 16-18 tahun. Responden pada penelitian ini diambil dari perwakilan sekolah pada tiap-tiap bagian Kota Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
pekalongan yang meliputi Pekalongan Utara, Pekalongan Selatan, Pekalongan Barat, dan Pekalongan Timur. Pada penelitian ini akan diberikan salah satu karakteristik yaitu jenis kelamin. Selanjutnya akan diberikan tabel distribusi Responden berdasarkan Jenis Kelamin :
18
No 1 2 3 4
Nama Sekolah
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
10 8 6 8
18 28 24 24
28 36 30 32
MAN 2 Kota Pekalongan SMK GATRA PRAJA SMA HASYIM ASYARI SMA N 4 Kota Pekalongan
Selanjutnya akan diberikan penjelasan mengenai tingkat pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS dikota Pekalongan pada tahun 2014. 1. Tingkat Pengetahuan tentang HIV/AIDS Pekalongan
Responden di Kota
Pengetahuan responden tentang HIV/AIDS di Kota Pekalongan pada tahun 2014 dapat dilihat pada tabel frekuensi di bawah ini. Pada tabel dapat dilihat bagaimana jawaban dari setiap pertanyaan mengenai pengetahuan yang ditanyakan kepada responden.
Rata-Rata Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang HIV/AIDS (%) Di Kota Pekalongan No
Nama Sekolah
1 2 3 4
MAN 2 Kota Pekalongan SMK Gatra Praja SMA Hasyim Asyari SMA N 4 Kota Pekalongan Rata-rata (%)
Rata-rata Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang HIV/AIDS 25,7 20,9 23,2 25,2
Berdasarkan tabel diatas maka diperoleh rata-rata tingkat pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS adalah 56,73% dengan kata lain bahwa tingkat pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS di Kota Pekalongan adalah dengan kategoi cukup. 2. Sumber Informasi Megenai HIV/AIDS
Responden
Berdasarkan diagram pie chart diatas paling banyak sumber informasi
Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
Presentase 61,90% 49,76% 55,24% 60% 56,73%
(informan) yang memberikan informasi mengenai HIV/AIDS di Kota Pekalongan adalah Guru yaitu sebesar 24,08% kemudian baru disusul dengan tenaga kesehatan dan majalah. 3. Sikap Responden Tentang HIV/AIDS Akan diberikan tabel rata-rata tingkat pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS di Kota Pekalongan Tahun 2014 sebagai berikut :
19
Rata-Rata Data Tentang Sikap Remaja Tentang HIV/AIDS Di Kota Pekalongan Tahun 2014 NO Sekolah MAN 2 1 Pekalongan SMK Gatra 2 Praja SMA Hasyim 3 Asyari SMA N 4 4 Pekalongan Rata-Rata
Nomor Soal 1 2 3
4
5
6
7
8
9
10 11
12 13
2
3
4
2
2
2
3
2
2
2
3
2
2
3
3
4
3
2
2
3
1
2
3
4
1
2
2
3
3
2
1
1
3
1
2
2
3
1
1
3 3
4 3
3 3
3 2
3 2
2 2
3 3
2 1
2 2
2 2
3 3
2 2
1 2
Berdasarkan tabel diatas responden mempunyai menjawab setuju terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mengungkapkan sikap terhadap HIV/AIDS yaitu pertanyaan 1,2,3,7,11. Ada juga responden menyatakan kurang setuju terhadap pertanyaan yang menyatakan sikap yakni pertanyaan 4,5,6,9,10,12, dan 13. Kemudian ada juga responden yang menyatakan sikap
tidak setuju terhadap pertanyaan no 8 yakni penyakit HIV/AIDS adalah penyakit kutukan. 4. Perilaku Beresiko tertular HIV/AIDS Akan diberikan tabel perilaku beresiko tertular HIV/AIDS di Kota Pekalongan Tahun 2014 sebagai berikut :
Tingkat Perilaku Beresiko Tertular HIV/AIDS Di Kota Pekalongan Tahun 2014 NO 1 2 3 4
Sekolah MAN 2 Pekalongan SMK Gatra Praja SMA Hasyim Asyari SMA N 4 Pekalongan
Berdasarkan tabel perilaku beresiko tertular HIV/AIDS di Kota Pekalongan Tahun 2014 hampir semua responden tidak pernah melakukan perilaku beresiko tertular HIV/AIDS tetapi ada satu responden yang menjawab pernah
Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
1 0 0 0 1
Nomor Soal 2 3 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0
5 0 0 0 0
berhubungan sex dengan teman dan pernah berhubungan sex dengan pacar.
20
KESIMPULAN Selanjutnya akan diberikan kesimpulan, saran sebagai berikut : 1. Kesimpulan Penelitian Tingkat pengetahuan remaja tentang HIV/ AIDS di Kota Pekalongan adalah cukup sebesar ( 56,73% ) 2. Saran a. Saran terhadap stakeholder terkait dengan hasil penelitian 1. Stakeholder terkait dapat meningkatkan sosialisasi terhadap remaja tentang pengetahuan HIV / AIDS agar tingkat pengetahuan remaja menjadi lebih baik 2. Adanya koordinasi antat instansi dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat 3. Memberikan sosialisasi kepada seluruh lapisan masyarakat agar info yang diberikan tersebar luas. 4. Menambah jenis media info yang digunakan untuk sosialisasi HIV/AID
Jurnal LITBANG Kota Pekalongan Tahun 2014
b. Usulan penelitian lanjutan adalah Strategi Promosi Kesehatan Bagi Remaja Mengenai HIV/AIDS di Kota Pekalongan. DAFTAR PUSTAKA Moleong, Lexy J, 1995, Metdodologi Penelitian Kualitatif edisi revisi, Bandung : PT Remaja Rasdarkarya Prasetyo, dkk, 2007, Family and Children Affected by HIV and Aids di Indonesia, Pusat Penelitian Kesehatan UI Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010, Jakarta : KPA 2007 Siregar, Fazidah A, 2004, Pengenalan dan Pencegahn AIDS, Fakutas Kesehatan Masyarkat Universitas Sumatera Utara.
21