P P A T K AMLNEWS Clipping Service Anti Money Laundering 24 Agustus 2011
Indeks 1. Ada Dugaan Korupsi Pengadaan Lahan Bandara Soekarno-Hatta? 2. Sidang Tipikor Kurator PT SCI didakwa suap hakim Syarifuddin 3. Kasus Narkotika Tomy Antonio dituntut hukuman seumur hidup 4. Kerjasama DGI Sudah Lama 5. Kasus Korupsi
Jaksa ajukan kasasi kasus Bupati Subang
6. Korupsi Bank jateng
Bank rugi besar, dua tersangka diperiksa 7. Nazar Juga Mainkan Proyek Bandara
Sudah hampir tujuh bulan kami tidak dibayar
8. Gubernur Atut Dilaporkan ke KPK
Dinilai mengobral dana hibah menjelang pemilihan gubernur
9. Dua Mantan Direksi Merpati Belum Dicekal
Mediaindonesia.com
Rabu, 24 Agustus 2011
Ada Dugaan Korupsi Pengadaan Lahan Bandara Soekarno-Hatta? JAKARTA--MICOM: Komisi Pemberantasan Korupsi akan mempelajari laporan
pengaduan dari masyarakat terkait dugaan korupsi pengadaan lahan Bandara
Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, sebelum menindaklanjuti laporan itu.
"Tadi sudah saya cek, memang ada laporan soal lahan Bandara Tangerang," ujar
Kepala Bagian Informasi dan Pemberitaan KPK Priharsa Nugraha di Jakarta, Selasa (23/8).
Menurut dia, KPK masih perlu mempelajari setiap laporan masyarakat yang masuk sebelum menindaklanjutinya. Kasus dugaan korupsi pengadaan lahan bandara Internasional Soekarno-Hatta dilaporkan ke KPK oleh Forum Aspirasi Warga
Tangerang (FAWT). Selama ini penanganan kasus yang mencuat sejak 2006 tersebut terkesan lamban.
Padahal, menurut Ketua FAWT Sarmili, kasus tersebut diduga kuat merugikan negara Rp2,537 miliar. Sarmili mengatakan, pihaknya sengaja melaporkan kasus itu ke KPK karena selama ini terkesan ada tebang pilih dalam pengusutan kasus tersebut.
Karena itu, KPK diminta untuk memeriksa Wali Kota Tangerang Wahidin Halim. "Kami melaporkan kasus dugaan korupsi pengadaan lahan bandara dengan nomor aduan 2011-08-000320," ujarnya.
Sebelumnya pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang membidik calon tersangka
baru dalam kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Soekarno-Hatta yang diduga merugikan negara sebesar Rp2,537 miliar. Peluang tersangka baru ini dimungkinkan muncul setelah kejaksaan beberapa waktu lalu memeriksa staf ahli Wali Kota Tangerang Bidang Politik dan Hukum Affandi Permana.
Saat kejadian pada 2002, Affandi menjabat Sekretaris Panitia Sembilan yang bertugas membebaskan lahan. Sedangkan Ketua Panitia Sembilan adalah Wahidin Halim yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Tangerang. Kini Wahidin menjabat sebagai Wali Kota Tangerang. (Ant/OL-2)
Suarakarya-online.com
Rabu, 24 Agustus 2011 SIDANG TIPIKOR
Kurator PT SCI Didakwa Suap Hakim Syarifuddin
JAKARTA (Suara Karya): Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) mendakwa kurator PT Skycamping Indonesia (SCI), Puguh Wirawan, melakukan penyuapan terhadap hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Syarifuddin.
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Selasa, menyebutkan bahwa terdakwa telah melakukan penyuapan terhadap hakim Syarifuddin sebesar Rp 250 juta.
Jaksa menyebutkan pemberian uang terhadap hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat tersebut bertujuan untuk memperoleh persetujuan penjualan aset Boedoel Pailit DHGB 7251 yang telah dijual secara non-boedoel pailit oleh kurator.
Terdakwa menyerahkan uang suap di rumah hakim Syarifuddin di Kompleks
Kehakiman, Sunter, Jakarta Utara, dan tertangkap oleh penyidik KPK di seputaran Patung Pancoran.
Jaksa menegaskan bahwa tindakan terdakwa tersebut jelas bertengtangan dengan
kewajiban seorang hakim pengawas dalam mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit dari PT SCI. Kurator PT SCI ini dijerat oleh jaksa dengan pasal berlapis melanggar Pasal 5 ayat 1
huruf a, Pasal 5 ayat 1 hurupf b, Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saat dilakukan penangkapan oleh KPK pada Selasa (7/6), hakim Syarifuddin selaku hakim pengawas Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat ini sempat mengatakan
dirinya dijebak oleh penyidik. "Bukan persoalan (saya) dijebak, tapi perlu dibuktikan nanti. Saya akan memberikan penjelasan, minta supaya saya diberikan kesempatan untuk menjelaskan," katanya.
Sementara itu Government Watch (GOWA) mendatangi KPK melaporkan adanya dugaan korupsi terkait proses pengadaan e-KTP atau KTP elektronik yang merupakan proyek Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri).
Direktur Eksekutif GOWA, Andi W Syahputra di Jakarta, Selasa, mengatakan ada
dugaan upaya pemenangan terhadap satu konsorsium perusahaan untuk proses pelelangan tender proyek e-KTP tersebut.
Menurut dia, apabila dugaan korupsi benar terjadi pada pengadaan KTP elektronik tersebut mulai dari proses perencanaan, pengajuan anggaran hingga pelaksanaan lelang, maka diperkirakan kerugian negara mencapai Rp1 triliun. (Lerman S/Ant) Suarakarya-online.com
Rabu, 24 Agustus 2011
KASUS NARKOTIKA
Tomy Antonio Dituntut Hukuman Seumur Hidup JAKARTA (Suara Karya): Seorang anggota gembong narkotika Tomy Antonio (37),
warga Sunter, Tanjung Priok, dituntut hukuman penjara seumur hidup oleh Jaksa
Penuntut Umum (JPU) Agus Sari Dewi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa. Lelaki tersebut dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan membawa, memiliki dan mengedarkan 10 ribu butir pil ekstasi senilai Rp 10 miliar lebih.
Selain menuntut penjara seumur hidup, jaksa juga meminta majelis hakim yang
diketuai Dwi SH agar menjatuhkan hukuman denda sebanyak Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan.
Berdasarkan fakta persidangaan, kata jaksa, Tomy diketahui hendak mengantarkan ribuan butir ekstasi tersebut ke temannya, Hadi, pada 15 November 2010. Saat itu dia sedang parkir di basement Hotel Le Grendeur, Jl Mangga Dua Raya, polisi menyergapnya.
Dari bagasi mobil Honda Jazz didapati 3 kantong keresek, yang ternyata pil ektasi. Namun demikian, Hadi, belum dapat dibekuk aparat kepolisian.
Selanjutnya polisi menggerebek rumah Tomy di Sunter dan berhasil menemukan satu keresek warna hitam. Setelah dibuka ternyata berisi pil ekstasy.
"Total keseluruhan pil ektasi itu tidak kurang dari 10 ribu butir," tutur JPU Agus Sari Dewi.
Menanggapi tuntutan jaksa tersebut, terdakwa Tomy tampak tenang. Dia sama sekali tidak menunjukkan rasa kaget atau penyesalan atas perbuatannya. Ketika ditanya wartawan bagaimana menyikapi tuntutan penjara seumur hidup tersebut, Tomy mempersilakannya untuk menanyakan kepada penasihat hukumnya.
Penasihat hukum Tomy, Lili Suhamdi mengaku keberatan atas tuntutan jaksa tersebut. Sebab, Tomy bukanlah pengedar tetapi hanya kurir narkotika.
Tuntutan itu terlalu berat. Dia cuma kurir, bukan pengedar. Kami akan ajukan pembelaan," kata Lili usai sidang.
Seorang aktivis antimadat tidak sependapat dengan Lili. Tuntutan seumur hidup
terhadap Lili dinilainya tidak maksimal. Sebab, ada kecenderungan bagai hakimhakim untuk mengurangi tuntutan jaksa dalam vonisnya. "Seharusnya terdakwa itu divonis mati. Kalau sempat beredar luas kepada
masyarakat atau pengguna narkotika sebanyak 10 ribu butir itu, betapa dahsyat atau buruk akibatnya," tutur Mardani, yang kebetulan memantau persidangan tersebut. (Wilmar P)
Cetak.kompas.com
Rabu, 24 Agustus 2011 Kerja Sama DGI Sudah Lama Jakarta, Kompas - Mohammad El Idris, terdakwa kasus suap wisma atlet SEA Games
di Palembang, mengungkapkan telah bekerja sama cukup lama dengan Muhammad Nazaruddin. Untuk mendapatkan proyek pemerintah, mereka ”wajib” memberikan jatah atau fee.
”Dengan Nazaruddin, sebelumnya kami sudah pernah bekerja sama,” kata El Idris
saat diperiksa sebagai terdakwa dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
Jakarta, Selasa (23/8). Kerja sama kedua pihak juga terjadi, antara lain proyek rumah sakit di sejumlah daerah.
El Idris juga mengakui, pihaknya sudah memberikan fee sebesar Rp 4,3 miliar untuk Nazaruddin. Dalam proyek wisma atlet senilai Rp 191 miliar, El Idris mengakui terjadi tawar-menawar seru dengan kubu Nazaruddin soal fee. ”Jatah 13 persen kemudian sempat naik menjadi 14 persen,” kata El Idris.
Ketika hendak memberikan jatah kepada Sekretaris Kementerian Pemuda dan
Olahraga Wafid Muharam, El Idris mengungkapkan, PT Duta Graha Indah (DGI)
menyiapkan enam lembar cek, tetapi hanya tiga cek yang dibawa untuk diserahkan ke Wafid senilai Rp 3,2 miliar.
El Idris menambahkan, bagi-bagi fee dengan pejabat untuk mendapatkan proyek adalah hal biasa. Menurut dia, biasanya pihak pemberi atau pemilik proyek yang
berinisiatif meminta jatah. ”Mereka biasanya yang meminta lebih dulu,” kata El Idris. Nazaruddin mendapatkan sebagian jatahnya berupa cek BCA senilai Rp 4,34 miliar yang diserahkan melalui Yulianis dan Oktarina Furi. Keduanya staf keuangan
Nazaruddin. Penyerahan di kantor PT Anak Negeri setelah PT DGI menyerahkan uang muka Rp 33,8 miliar. Kasus di Sumbar Kasus-kasus yang melibatkan Nazaruddin makin terungkap. Kejaksaan Tinggi
Sumatera Barat akan memeriksa Nazaruddin terkait dugaan korupsi pembangunan rumah sakit umum daerah (RSUD) di Kabupaten Dharmasraya, Sumbar. Kasus itu
juga melibatkan mantan Bupati Dharmasyara Marlon Martua yang sudah ditetapkan sebagai buron.
Kepala Kejaksaan Tinggi Sumbar Fachmi, Selasa, mengatakan, pemeriksaan Nazaruddin akan dilakukan seusai Lebaran. ”Karena Mindo (Mindo Rosalina
Manulang, mantan Direktur Pemasaran PT Anak Negeri) juga mengaitkan kasus ini dengan Nazaruddin,” kata Fachmi.
Seperti diberitakan, Nazaruddin bersama Marlon tersangkut kasus dugaan korupsi
pengadaan tanah untuk pembangunan RSUD Dharmasraya pada 2009 dengan proyek Rp 19 miliar.
Mengenai tudingan Nazaruddin yang menyebut dirinya menyuap Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebesar Rp 1 miliar guna memuluskan langkah jadi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK, Fachmi mengatakan, ”Saya tidak pernah melakukan itu. Silakan buktikan.” Ia justru menyebutkan pada 29 April 2010, Nazaruddin justru menghubunginya.
”Nazaruddin minta tolong agar kasus di Dharmasraya dihentikan atau kalau tidak saya diberhentikan, itu justru bikin saya marah,” kata Fachmi. (INK/RAY) Cetak.kompas.com
Rabu, 24 Agustus 2011
KASUS KORUPSI Jaksa Ajukan Kasasi Kasus Bupati Subang Bandung, Kompas - Kejaksaan bertekad mengajukan kasasi atas vonis bebas
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung terhadap Bupati Subang nonaktif, Eep Hidayat.
Pada sidang Senin (22/8), majelis hakim memutus Eep bebas dari dakwaan jaksa penuntut umum. Jaksa menuntut terdakwa delapan tahun penjara, membayar denda Rp 500 juta, dan mengganti kerugian Rp 2 miliar. Total biaya pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Kabupaten Subang yang dipermasalahkan Rp 14,29 miliar.
Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Fadil Zumhanna di Bandung,
Selasa, menyatakan, jaksa yakin ada upaya memperkaya diri sendiri dan orang lain
pada perkara biaya pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Kabupaten Subang tahun 2005-2008. Selain berdasarkan bukti yang dimiliki, jaksa mengajukan kasasi dengan
berpedoman pada berkas Agus Muharam, mantan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Subang, yang menjadi terdakwa lain dalam kasus ini, dan divonis
bersalah oleh Pengadilan Negeri Subang pada 17 September 2009. Agus dijatuhi
hukuman satu tahun penjara, diwajibkan membayar denda Rp 50 juta subsider dua bulan penjara, dan mengganti kerugian negara Rp 1,189 miliar.
Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan Agus Muharam sekaligus
menguatkan vonis Pengadilan Negeri Subang dan Pengadilan Tinggi Jabar (Desember 2009) yang menyatakan bersalah. Sementara itu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung yang
dipimpin I Gusti Lanang memvonis bebas Eep Hidayat, antara lain, karena surat
keputusan bupati yang dijadikan dasar biaya pemungutan PBB telah ada sejak lama dan selama ini tidak dipermasalahkan oleh DPRD Subang. Pengusaha kasur Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Jabar menyerahkan berkas penyidikan perusahaan
industri kasur, PT GMW, kepada Kejaksaan Tinggi Jabar di Bandung, Selasa. Pemilik perusahaan dan seorang direkturnya diduga melakukan tindak pidana perpajakan, yakni menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) yang isinya tidak benar. Menurut Kepala Kanwil Pajak Jawa Barat Dedi Rudaedi, perbuatan tersangka telah
menimbulkan kerugian negara sekitar Rp 32 miliar, akumulasi pajak yang digelapkan 2002-2008, baik atas Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai
(PPN). Berkas langsung diterima Kepala Kejati Jabar Yuswa Kusuma. (MKN/ELD/DMU) Cetak.kompas.com
Rabu, 24 Agustus 2011
KORUPSI BANK JATENG Bank Rugi Besar, Dua Tersangka Diperiksa Semarang, Kompas - Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah sementara menetapkan dua tersangka yang diduga terlibat dalam pembobolan Bank Jateng Syariah melalui
jaminan fiktif. Akibat praktik kredit jaminan fiktif ini, kerugian negara diperkirakan Rp 37 miliar.
Dua tersangka yang sudah ditetapkan, yaitu Jarot N dan Yanuelva alias EV, Senin
(22/8) malam, ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kedungpane, Semarang,
seusai menjalani pemeriksaan intensif lebih dari lima jam di kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jateng.
Kepala Kejati Jateng Widyopramono, didampingi Asisten Pidana Khusus Kejati Untung Arimuladi, Selasa, mengakui, penahanan kedua tersangka merupakan hasil
penyidikan tim kejaksaan atas kasus Bank Jateng. ”Kedua tersangka itu langsung
kami tahan setelah hasil pemeriksaan mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi di Bank Jateng Syariah. Tidak tertutup kemungkinan jumlah tersangka bisa bertambah,” ujarnya.
Jarot adalah mantan Staf Ahli Gubernur Jateng. Sebelum dicopot dari staf ahli, Jarot
juga mantan Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jateng.
Sementara itu, Yanuelva alias Eva dikenal sebagai Direktur PT Enhat, rekanan kerja yang diduga banyak menangani proyek-proyek pemerintah di lingkungan satuan kerja perangkat daerah Provinsi Jateng. Jangan tebang pilih Untung Arimuladi menambahkan, penahanan keduanya dilakukan setelah Kejati Jateng menemukan bukti adanya praktik jaminan kredit yang merugikan negara
dengan nilai cukup besar tadi. Kerugian muncul akibat praktik jaminan fiktif berupa surat perjanjian pekerjaan (SPP) dan surat perintah mulai kerja (SPMK).
Menurut Arimuladi, untuk memperoleh dana tunai, tersangka diduga memainkan SPP dan SPMK fiktif sebagai jaminan kredit yang berasal dari instansi BPBD Jateng, Dinas
Cipta Karya dan Tata Ruang Provinsi Jateng, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Semarang, serta otonomi daerah Kota Semarang tahun anggaran 2011.
Anggota Komisi C DPRD Jateng, Prajoko Haryanto, mengemukakan, kejaksaan jangan main tebang pilih. Pencairan kredit senilai lebih dari Rp 37 miliar itu mustahil kalau hanya dilakukan oleh rekanan kerja. ”Praktik jaminan kredit fiktif itu diduga juga melibatkan oknum-oknum penentu kredit di internal Bank Jateng,” kata Prajoko. Menurut Prajoko, terungkapnya praktik penjaminan kredit fiktif melalui SPP dan
SPMK itu bermula dari proyek rehabilitasi dan rekonstruksi kawasan yang terkena bencana erupsi Gunung Merapi.
Saat itu, BPBD Jateng dapat anggaran Rp 15 miliar guna penanganan tanggap darurat akibat erupsi Gunung Merapi di tiga daerah, yakni Kabupaten Klaten, Magelang, dan Boyolali. Dana tanggap darurat itu berasal dari non-APBN 2011. (WHO) Epaper.korantempo.com Rabu, 24 Agustus 2011
NAZAR JUGA MAINKAN PROYEK BANDARA Sudah hampir tujuh bulan kami tidak dibayar.
Sepak terjang Muhammad Nazaruddin tak hanya dalam proyek wisma atlet SEA Games di Palembang.
Direktur Operasi PT Duta Graha Indah Denny Basria mengungkapkan, bekas Bendahara Partai Demokrat itu juga menggarap proyek Bandar Udara Sultan Hasanuddin, Makassar, pada 2007.
Denny mengaku mengetahui Nazaruddin berkiprah di proyek itu saat menagih sisa pembayaran proyek paket F bandara yang dikerjakan PT Gunakarya Nusantara. Soalnya, Gunakarya tidak rampung mengerjakan proyek jalan, area parkir, dan saluran air bandara senilai Rp 37,8 miliar.
Saat menagih itulah Denny mengetahui Gunakarya dikendalikan Nazaruddin dan menanggung pembayaran utang. “Sudah hampir tujuh bulan kami tidak dibayar.
Kami pun mendatangi kantor Nazar di kawasan Tebet,“ ujar Denny dalam sidang kasus suap wisma atlet di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kemarin.
Dia menambahkan, PT Angkasa Pura I, selaku pengelola bandara dan pemberi
proyek, meminta PT Duta Graha menyelesaikan proyek tersebut. Setelah rampung, Duta Graha menagih sisa pembayaran Rp 4,5 miliar kepada Gunakarya.
Denny menduga Nazaruddin berkiprah dalam proyek itu dengan meminjam bendera Gunakarya. Kemungkinan Gunakarya mendapat imbalan dari Nazaruddin, dia tidak tahu. Denny hanya sempat melihat adanya surat, yang isinya Nazaruddin
menanggung semua biaya proyek paket F. “Ada surat kuasanya ke Direktur Angkasa Pura,“ ujarnya.
Adapun Haghia Lubis, pengacara Nazaruddin, menyatakan tidak mengetahui
keterlibatan kliennya dalam proyek bandara. “Pemeriksaan terhadap klien kami belum sampai ke sana,“ ujarnya.
General Manager PT Angkasa Pura I Rachman Safrie juga mengaku tidak tahu perkara itu karena baru menjabat pada 2011. Menurut dia, proyek di bandara menjadi
kewenangan PT Angkasa Pura di pusat. “Di sini hanya pelaksana. Untuk mengetahui
nama perusahaan yang terlibat, kami harus mengecek dulu datanya,“ kata Rachman. ISMA SAVITRI | JUMADI | MUNAWWAROH | SUKMA Epaper.korantempo.com Rabu, 24 Agustus 2011
Gubernur Atut Dilaporkan ke KPK
Dinilai mengobral dana hibah menjelang pemilihan gubernur.
Sekelompok orang yang tergabung dalam Aliansi Independen Peduli Publik (Alipp)
kemarin melaporkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Menurut juru bicara Aliansi, Uday Suhada, Atut harus mempertanggungjawabkan penggelontoran dana hibah dan bantuan sosial sekitar Rp 340,46 miliar. Aliansi mencurigai pengucuran dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
2011 Provinsi Banten itu berkaitan dengan kepentingan politik menjelang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Banten periode 2011-2016.
Menurut data yang diperoleh Aliansi, dana hibah dan bantuan antara lain dikucurkan kepada 221 instansi pemerintah dan organisasi nonpemerintah di Provinsi Banten. “Kami menemukan sejumlah kejanggalan yang mengarah pada tindak
pidana korupsi,” kata Uday sebelum berangkat ke kantor KPK kemarin. Uday menguraikan organisasi nonpemerintah penerima dana hibah bernilai ratusan juta hingga miliaran rupiah umumnya dipimpin kerabat dekat Gubernur Atut, seperti anak, menantu, dan adiknya.
Sebagian dana juga mengalir kepada perhimpunan istri pejabat penegak hukum dan keamanan di Banten. Asosiasi pejabat dari tingkat rukun warga hingga kecamatan pun mendapat bagian. Di luar itu, sejumlah lembaga kepanjangan lembaga pemerintah pusat di Banten mendapat jatah dana hibah.
Ada pula dana yang mengalir kepada 150 tokoh pesantren dalam bentuk fasilitas
umrah gratis. Sekretaris Jenderal Forum Silaturahmi Pesantren se-Provinsi Banten, Fa
tah Sulaiman, mengatakan pengurus Forum Pesantren dari tingkat kecamatan sampai kabupaten/kota itu telah kembali dari umrah Rabu lalu.
Namun Fatah menolak bila fasilitas umrah gratis dikaitkan dengan pemilihan gubernur.
Senada dengan Alipp, Indonesia Corruption Watch mencurigai penyaluran dana hibah itu ditumpangi kepentingan kampanye pemilihan gubernur. “Indikasinya sudah jelas untuk kampanye,” ujar Koordinator Divisi Korupsi Publik ICW, Ade Irawan, saat dihubungi kemarin.
Karena itu, ICW hari ini akan melaporkan kasus dana hibah tersebut ke Kementerian Dalam Negeri. “Jangan sampai dana itu disalahgunakan kubu incumbent,” ujar Ade. Pada pemilihan gubernur yang akan digelar Oktober nanti, Ratu Atut kembali
mencalonkan diri sebagai gubernur, berpasangan dengan Rano Karno, aktor film yang kini menjabat Wakil Bupati Tangerang.
Gubernur Atut pernah mengatakan penyaluran dana hibah sudah dipolitisasi. “Dana itu sudah ada sejak dulu. Kenapa saat mau pemilihan gubernur diributkan?“ kata
Atut, setelah pengukuhan anggota Pasukan Pengibar Bendera Provinsi Banten pada 16 Agustus lalu.
Menurut Atut, penyaluran dana hibah sesuai dengan aturan dan melalui seleksi sangat ketat. “Tidak mungkin fiktif,“ katanya. AYU CIPTA |JONIANSYAH | WASI'UL ULUM
Mediaindonesia.com
Selasa, 23 Agustus 2011 Dua Mantan Direksi Merpati belum Dicekal JAKARTA--MICOM: Kejaksaan Agung (Kejagung) belum mencekal Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan serta Direktur Keuangan Guntur
Aradeakasus yang diduga aterlibat kasus korupsi penyewaan dua pesawat jenis Boeing 737-400 dan 737-500 pada PT Merpati Nusantara Airlines.
Pernyataan itu dilontarkan oleh Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM-Intel) Edwin
Pamimpin Situmorang ketika ditemui di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (23/8). Edwin mengatakan belum dicekal kedua tersangka itu karena belum adanya
permintaan dari tim penyidik. "Belum dicekal. Sampai sekarang belum. Karena belum ada permintaan dari tim penyidik di pidana khusus," ujar Edwin ketika dikonfirmasi. Kasus itu berawal pada 2006. Merpati menyewa dua pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 dari perusahaan broker di Amerika Serikat bernama Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG).
Dari setiap pesawat yang hendak disewa, Merpati telah mengirimkan security deposit ke TALG sebesar US$500 ribu. Untuk itu, Merpati merogoh kocek senilai US$1 juta pada 18 Desember 2006. Namun, hingga kini dua pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 itu tidak muncul. (OL-8)
Humas PPATK
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Centre (INTRAC) (P) +62-21-3850455/3853922
(F) +62-21-3856809/3856826 (E)
[email protected]
DISCLAIMER: Informasi ini diambil dari media massa dan sumber informasi lainnya dan
digunakan
khusus
untuk
PPATK
dan
pihak-pihak
yang
memerlukannya. PPATK tidak bertanggungjawab terhadap isi dan pernyataan yang disampaikan dalam informasi yang berasal dari media massa.