P P A T K AMLNEWS Clipping Service Anti Money Laundering 15 Agustus 2011
Indeks 1. Mantan Dirut PLN Eddie Widiono Jalani Sidang Perdana Tipikor 2. Buron Korupsi Berlindung dengan Identitas Palsu 3. Mafia Anggaran Nazaruddin dibelit 35 kasus korupsi 4. Pemburuan Koruptor TPK belum bisa tangkap 24 buron 5. Nazaruddin Kini Dijerat Kasus Rp 6 triliun 6. Istri Nazar Mengaku Ketakutan 7. Tindak Pidana Korupsi
Syamsul Arifin divonis 2,5 tahun penjara
Mediaindonesia.com
Senin, 15 Agustus 2011 Mantan Dirut PLN Eddie Widiono Jalani Sidang Perdana Tipikor JAKARTA--MICOM: Mantan Direktur Utama PT PLN Persero Eddie Widiono
menyatakan siap menghadapi persidangan, termasuk mungkin adanya intervensi dan kepentingan politik dalam kasusnya.
Senin (15/8), Eddie akan menjalani sidang perdana di pengadilan Tipikor, Jakarta
dalam kasus dugaan korupsi pada proyek Costumer Information System-Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI) PLN Disjaya Tangerang.
Bersama mantan Dirut PLN Fahmi Mochtar dan mantan General Manager PLN Disjaya Margo Santoso, Eddie telah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai terdakwa karena merugikan keuangan negara sebesar Rp46 miliar.
"Pak Eddie sudah siap lahir dan batin menghadapi persidangan. Kalau karena
kebijakannya memberikan yang terbaik untuk PLN kemudian malah dipidanakan,
beliau menyatakan ini merupakan risiko yang harus dihadapi sebagai pimpinan," ujar Maqdir Ismail pengacara Eddie Widiono seusai menemui kliennya di Rutan Polres Jakarta Selatan, Minggu (14/8).
Berdasarkan surat dakwaan dari KPK, Eddie dituduh menerima suap sebesar Rp 2 miliar dari PT Netway Utama yang ditunjuk sebagai rekanan dalam pengadaan peralatan CIS-RISI di PLN Disjaya.
Dalam surat dakwaan disebutkan pemberian uang Rp2 miliar kepada Eddie dan Rp1
miliar masing-masing kepada Fahmi dan Margo tercatat dalam bisnis plan PT Netway 2005-2007. (OL-11)
Mediaindonesia.com
Senin, 15 Agustus 2011 Buron Korupsi Berlindung dengan Identitas Palsu JAKARTA--MICOM: Polisi terkendala menangkap para buron, termasuk buronan
korupsi, karena mereka menggunakan identitas palsu dalam pelariannya ke luar negeri.
Hal itu diungkapkan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Boy Salamudin di Jakarta, Minggu (14/8). "Mereka mengganti nama serta
menggunakan dokumen palsu sehingga itu cukup menyulitkan kami," ungkap Boy. Sebanyak 54 warga Indonesia berstatus buron internasional. Mereka diduga melakukan pelbagai kasus pidana mulai dari pencucian uang, korupsi, penyeludupan manusia, penyalahgunaan senjata api, terorisme hingga narkoba.
Selain itu, lanjut Boy, adanya kendala dari pihak pemerintah Indonesia ke pemerintah negara lain. Sebab, tidak semua negara memiliki perjanjian kerja sama dengan Indonesia untuk mengekstradisi atau mendeportasi para pelarian.
Nama para buron yang saat ini masuk dalam daftar pencarian interpol di antaranya Adelin Lis, Nunun Nurbaeti, Anton Tantular, Theresia Dewi Tantular, dan Irawan Salim. (*/OL-2)
Suarakarya-online.com
Senin, 15 Agustus 2011 MAFIA ANGGARAN
Nazaruddin Dibelit 35 Kasus Korupsi
JAKARTA (Suara Karya): Sepulang ke Indonesia, mantan Bendahara Umum Partai
Demokrat M Nazaruddin harus menghadapi 35 kasus tindak pidana korupsi dengan
nilai proyek diperkirakan lebih dari Rp 8 triliun. Semua proyek bermasalah itu terjadi di sembilan kementerian.
Demikian diungkapkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas usai serah terima Nazaruddin dari tim penjemputnya yang dipimpin Brigjen Anas Yusuf kepada KPK, Minggu (15/8) dini hari, di Jakarta.
Menurut Busyro, tiga klasifikasi kasus tindak pidana korupsi melibatkan Nazaruddin. Pertama dalam klasifikasi penyidikan dengan nilai proyek sekitar Rp 200 miliar yang terjadi di dua kementerian.
Saat ini, KPK sudah menetapkan status tersangka terhadap Nazaruddin pada kasus
dugaan suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games XXVI Palembang. Selain itu, satu kasus di Ditjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
Kemendiknas yang diduga juga telah menjerat Nazaruddin sebagai tersangka.
Kasus kedua yang melibatkan Nazaruddin masih dalam tahap penyelidikan. Nilai
proyeknya mencapai Rp 2,64 triliun. Sedangkan kelompok ketiga adalah 31 kasus di
lima kementerian dengan nilai proyek Rp 6,037 triliun. Kasus-kasus itu masih dalam tahap pengumpulan bahan keterangan.
Busyro menegaskan, KPK akan bersikap transparan dalam menangani kasus-kasus
itu. Dalam konteks ini, KPK akan terus menyampaikan setiap kemajuan penanganan kasus-kasus.
Selain Nazaruddin, KPK ternyata sudah menetapkan pula istri politikus muda itu,
Neneng Sri Wahyuni, sebagai tersangka. Neneng telah lama ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus proyek pembangunan dan supervisi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) pada 2008 di Kemenakertrans.
Neneng diduga ikut serta dalam perjalanan suaminya di Kolombia, beberapa waktu lalu, tetapi tidak ikut ditangkap karena namanya tidak masuk daftar red notice di Interpol.
Priharsa Nugraha, Kepala Bidang Pemberitaan KPK, mengatakan, Direktur Keuangan Grup Permai itu disangkakan pasal memperkaya diri sendiri yang dapat merugikan keuangan negara dan pasal penyalahgunaan wewenang.
"Kepada yang bersangkutan disangkakan pasal 2 ayat 1 dan atau pasal 3 Undang-
Undang No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat [1] kesatu 1 KUHP," kata Priharsa.
Menurut anggota tim penjemput Nazaruddin, Rohadi Imam Santoso, selain Neneng,
di Kolombia Nazaruddin ditemani dua orang lain. "Ada tiga orang yang mendampingi Saudara Nazaruddin, yaitu Nazir Rahmat, Neneng, dan Gareth," ujarnya.
Agar keberadaan Neneng bisa terlacak, peneliti ICW Abdullah Dahlan mendesak KPK segera mengajukan red notice ke Interpol. "Dengan memberikan status tersangka kepada Neneng, kita tak akan lagi kecolongan karena selama ini kita tidak rapi
dalam hal teknis seperti itu," ujar Abdullah seraya mewanti-wanti KPK agar tidak mengesampingkan keberadaan Neneng.
Anggota Tim Etik KPK, Said Zainal Abidin, tidak mau berkomentar banyak perihal belumnya KPK mengajukan red notice kepada Interpol.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK M Jasin saat dihubungi malah meminta Neneng
dengan kesadaran tinggi pulang ke Tanah Air, apalagi dengan status hukum yang kini dia sandang.
Apakah KPK sudah merencanakan memberikan red notice? "Kita ini kan profesional, nanti saja," jawab Jasin.
Sementara itu, Nazaruddin mendapatkan pengawalan ketat di Rutan Mako Brimob
Kelapa Dua, Depok. Selain petugas Brimob, KPK menempatkan dua orang penjaga tambahan untuk menjaga sel Nazar.
Jubir Mako Brimob AKBP Budiman mengatakan, petugas di Mako Brimob sempat
menggeledah Nazar saat hendak masuk ke rutan. "Ditemukan pulpen, tapi pulpen
biasa saja," katanya.
Budiman menjamin, Nazaruddin tidak bisa keluar-masuk rutan seperti Gayus
Tambunan sebagaimana dikhawatirkan publik. Dia memastikan, sistem pengamanan di Rutan Brimob sudah berubah.
"Kompol Basuki (Karutan) tidak diragukan integritasnya. Komandan Korps Brimob saja dilarang masuk sel Nazar sama dia, apalagi yang lain," ujar Budiman. (Nefan Kristiono/Jimmy Radjah/Antara) Suarakarya-online.com
Senin, 15 Agustus 2011 PERBURUAN KORUPTOR
TPK Belum Bisa Tangkap 24 Buron JAKARTA (Suara Karya): Tim Pemburu Koruptor (TPK) sampai sekarang belum berhasil menangkap 24 buron koruptor di luar negeri.
Ketua Tim Pemburu Koruptor yang juga Wakil Jaksa Agung Darmono mengakui
ketidakberhasilan itu dan mengatakan sampai sekarang ada 24 buron koruptor yang masih diburu.
"Orang itu (buron) mobile. Ada sebagian di China, Vietnam, Singapura, Australia, semuanya sudah kita lakukan pendeteksian," katanya, kemarin.
Dikatakan, upaya yang dilakukan oleh pihaknya saat ini berupa upaya ekstradisi,
serta rapat membahas bagaimana melakukan pencarian orang yang diduga ada di luar negeri.
Sebagian besar buron koruptor itu terkait dalam kasus pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indoensia (BLBI).
Disebutkan, pihaknya juga meminta pertolongan interpol serta melakukan upaya judicial review terhadap aset Adrian Kiki Ariawan.
Misalnya, Adrian Kiki Ariawan, mantan Direktur Utama Bank Surya yang dipidana
selama seumur hidup karena terlibat kasus BLBI senilai Rp 1,5 triliun. Termasuk juga dengan Wakil Komisaris Utama Bank Surya, Bambang Soetrisno.
Kemudian, terpidana kasus BLBI Bank Global yang dilakukan Rico Hendrawan, Irawan Salim, Lisa Evijanti Santoso, Amri Irawan, Budianto, Hendra alias Hendra Lee,
Chaerudin, dan Hendra Liem alias Hendra Lim yang bersembunyi di Singapura. Kendati demikian, ia tetap optimistis perburuan para buron koruptor itu akan berhasil.
Sementara itu Wakil Kepala Polri Nanan Sukarna mengatakan, Kepolisian Republik
Indonesia kesulitan dalam menangkap sejumlah buronan kasus pelanggaran hukum termasuk tersangka tindak pidana korupsi yang melarikan diri ke luar negeri.
"Polri kesulitan menangkap sejumlah buronan karena tidak semua negara memiliki aparat hukum yang bersedia bekerja sama dalam menangkap buronan asal Indonesia," katanya di Semarang, Jumat, seperti dikutip Antara.
Ia mengemukakan, semua anggota Polri tidak diizinkan menangkap orang atau
buron yang berada di luar negeri. "Yang berhak menangkap adalah aparat penegak hukum setempat," katanya.
Orang yang ditangkap tersebut, katanya, kemudian diserahkan kepada Polri setelah berkoordinasi sebelumnya.
Ia mengaku bersyukur karena pemerintah dan aparat penegak hukum negara
Kolombia bersedia membantu Polri dalam penangkapan, Mohammad Nazaruddin pada Minggu (7/8) malam.
Terkait dengan hal tersebut, ia mengharapkan pemerintah negara Singapura yang
penanganan kasus korupsinya termasuk salah satu terbaik di dunia, juga melakukan hal yang sama seperti pemerintah negara Kolombia. (Jimmy Radjah)
Vivanews.com Senin, 15 Agustus 2011
Nazaruddin Kini Dijerat Kasus Rp6 Triliun
KPK mengatakan ada 35 kasus korupsi diduga melibatkan Nazaruddin. Nilainya mencapai Rp6 T.
VIVAnews - Tamat sudah drama pelarian buronan Interpol, Muhammad Nazaruddin. Bekas bendahara umum Partai Demokrat yang kabur sejak 23 Mei 2011 itu
tertangkap di Kolombia, dan dipulangkan ke tanah air dengan mencarter pesawat khusus Gulfstreams G550. Pesawat carteran dengan ongkos sewa Rp4 miliar itu mendarat di Bandara Halim
Perdanakusuma, Jakarta pada pukul 19.50 WIB, Sabtu 13 Agustus 2011. Pengawalan buronan itu cukup ketat. Nazaruddin muncul dari pintu pesawat setelah petugas
bertopeng turun. Tangannya diborgol, wajahnya tertunduk. Tak ada lagi ekspresi sumringah seperti saat dia muncul lewat wawancara via Skype di televisi nasional beberapa waktu lalu.
Setelah 35 jam terbang, agak molor dari jadwal karena pesawat carteran itu harus
menunggu izin melintas di sejumlah negara, buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini diangkut mobil van berjeruji besi. Dia dibawa ke Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok.
Di markas Brimob itu, Nazaruddin menempati sel 4x4 meter di Blok B. Ada satu
tempat tidur, satu sofa, dan lemari kecil. "Air conditioner (AC) dan televisi nggak
ada," kata Kepala Humas Mako Brimob, Ajun Komisaris Besar K Budiman di Mako Brimob, Depok, Minggu dini hari, 14 Agustus 2011. Diserahkan ke KPK Setelah cek kesehatan dan persiapan di Mako Brimob, Nazaruddin diboyong menuju gedung KPK di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan untuk diserahterimakan. Sekitar pukul 22.25 WIB, dikawal lebih dari lima mobil, Nazaruddin tiba di gedung KPK.
Serah terima dari Kabareskrim Polri Komjen Pol Sutarman kepada Ketua KPK Busyro Muqoddas berlangsung singkat. Setelah diserahkan ke KPK, hasil buruan itu
digelandang menuju lantai 7 gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan awal. "Dalam pemeriksaan awal, kami berdasarkan prinsip independensi dan transparansi. Jadi publik tak perlu khawatir, semuanya berdasarkan alat bukti yang sah, di luar itu kita tidak," kata Ketua KPK, Busyro Muqoddas.
Beberapa alat bukti yang disita dari Nazaruddin, termasuk satu tas kecil hitam miliknya, dibuka oleh KPK dalam konferensi pers malam itu, yang didampingi
perwakilan dari Kepolisian, Imigrasi, dan tim gabungan penjemput Nazaruddin. Tas kecil milik Nazaruddin itu dibongkar di depan para wartawan. "Ini sebagai bukti bahwa KPK transparan," kata Ketua KPK Busyro Muqoddas di jumpa pers Sabtu tengah malam itu.
Tas itu berisi sejumlah barang milik Nazaruddin, seperti uang dalam bentuk dolar, telepon seluler, dan flash disk. (Baca juga "Isi Tas Nazarruddin Dibuka di Depan
Ketua KPK"). Namun, dalam tas disegel itu tak ditemukan keping CD maupun laptop seperti ditunjukkan Nazaruddin saat wawancara via Skype. Dalam jumpa pers itu,
turut 'dipamerkan' juga topi anyaman yang dipakai Nazaruddin saat muncul di wawancara Skype dari tempat persembunyiannya dulu itu. Kasus Rp6 triliun
Busyro Muqoddas menyampaikan perkembangan penanganan kasus yang menjerat
Nazaruddin. Nazaruddin, ujar Busyro, diindikasikan terlibat dalam 35 kasus. Jumlah ini jauh lebih banyak dari yang terungkap selama ini. Nilai proyeknya pun juga mencengangkan, mencapai angka Rp6,037 triliun.
Busyro mengatakan, ke-35 kasus itu dibagi dalam tiga kategori. Pertama adalah kasus-kasus yang sedang dalam proses penyidikan. Ada dua kasus yang sudah
masuk tahap ini. Keduanya terkait proyek senilai Rp200 miliar di dua kementerian.
Yang kedua adalah kasus yang berada di tahap penyelidikan. Dalam tahapan ini, ada dua kasus di dua kementerian, dengan nilai proyek Rp2,642 triliun.
Sedangkan kategori ketiga adalah kasus yang masih dalam tahap pengumpulan
bahan. Tahap ini meliputi 31 kasus, di lima kementerian yang melibatkan proyek senilai Rp6,037 triliun.
Busyro tak menyebutkan apa saja puluhan kasus yang menjerat Nazaruddin itu. Dia
berjanji akan terus menyampaikan kepada publik perkembangan pengusutan semua kasus itu. "Kami akan terus bekerja," ujarnya.
Berdasarkan catatan VIVAnews.com, setidaknya telah ada sepuluh kasus yang
melibatkan Nazaruddin. Pertama adalah kasus suap pembangunan wisma atlet SEA Games, Palembang. Dalam kasus ini, Nazaruddin diduga membantu mengatur
kemenangan PT Duta Graha Indah dengan jaminan diberi success fee sebesar 13 % dari total nilai kontrak proyek Rp191,6 miliar. Kasus ini dalam tahap penyidikan. Sejumlah tersangka sudah diajukan ke persidangan. Kedua, kasus dugaan korupsi di Kementerian Pendidikan Nasional. Kasus ini terjadi di Ditjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) terkait pengadaan barang di Kementerian Pendidikan Nasional pada 2007. Adapun nilai
proyek pengadaan ini Rp142 miliar. Kasus ini masih dalam tahap penyelidikan sejak Maret 2011.
Kasus ketiga adalah Proyek pembangunan pusat latihan atlet di Hambalang, Citeureup, Bogor oleh Kementerian Pemuda dan Olah Raga tahun 2011. Proyek ini
menelan biaya Rp1.5 triliun. Dalam Pengakuannya, Nazaruddin menyebut ada dana Rp50 miliar dari proyek ini yang digelontorkan untuk pemenangan Anas
Urbaningrum sebagai ketua umum pada kongres Demokrat di Bandung beberapa waktu lalu. KPK masih mengumpulkan bahan dan keterangan terkait kasus ini. Kelima, dugaan korupsi proyek pengadaan vaksin flu burung di Kementerian
Kesehatan. Kasus ini menyangkut PT Anugrah Nusantara dalam proyek pengadaan
peralatan vaksin flu burung senilai Rp718 miliar di Kementerian Kesehatan Desember pada 2008.
Keenam, dugaan korupsi pengadaan alat bantu belajar mengajar dokter dan dokter spesialis di rumah sakit pendidikan dan rumah sakit rujukan oleh PT Mahkota Negara. Proyek ini senilai Rp492 miliar.
Ketujuh, kasus pembangunan Rumah Sakit Dharmasraya, Sumatera Utara. Kasus proyek pembangunan rumah sakit ini terjadi pada 2009. Nazaruddin cs diduga
menggelembungkan harga tanah untuk proyek itu dari harga sebenarnya Rp360 juta
menjadi Rp4,8 miliar. Markup itu diduga diaktori Bupati Dharmasraya, Marlon Martua yang sudah menjadi tersangka kasus ini.
Kedelapan adalah proyek pembangunan rumah sakit infeksi di Surabaya (RS Penyakit Tropis Infeksi di Unair). Proyek ini senilai Rp400 miliar. Kasus ini terungkap saat
persidangan Direktur Utama PT Duta Graha Indah, Muhammad El Idris di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Sementara itu, kasus kesembilan adalah pembangunan Rumah Sakit Adam Malik,
Sumatera Utara. Kasus ini juga terungkap dalam persidangan El Idris. Sementara itu, kasus yang kesepuluh adalah pemenangan proyek RSUD Prof Haryono di Ponorogo.(np) • VIVAnews
Tempointeraktif.com
Senin, 15 Agustus 2011 Istri Nazar Mengaku Ketakutan TEMPO Interaktif, Jakarta -Kuasa hukum tersangka kasus korupsi Muhammad
Nazaruddin, Otto Cornelius Kaligis, menyatakan bahwa istri Nazar, Neneng Sri
Wahyuni, ingin pulang ke Indonesia. "Baru saja Neneng menelepon saya," kata Kaligis ketika dihubungi Tempo tadi malam.
Namun, kata Kaligis, Neneng mengaku ketakutan. "Bagaimana kalau saya
diperlakukan seperti suami saya?" kata Kaligis menirukan ucapan Neneng. Neneng pun meminta keselamatannya dijamin saat kembali ke Tanah Air. Saat ditanya keberadaan Neneng saat ini, Kaligis mengaku tak tahu. "Ia tidak bilang," ucapnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas mengatakan
istri bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu telah ditetapkan sebagai tersangka. "Belum lama ini," kata Busyro kemarin dinihari.
Neneng diduga terlibat dalam kasus korupsi pengadaan pembangkit listrik tenaga surya di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 2008, yang merugikan negara Rp 3,8 miliar.
Anggota tim penjemput Nazar dari Direktorat Jenderal Transmigrasi, Rohadi Imam
Santoso, mengatakan Neneng terlacak saat berada di Dominika. Ia bersama Nazir Rahmat, Gareth Ling Eng Kian, dan Nazar. "Kami pastikan itu mereka setelah berangkat ke Kolombia pada 22 Juli," kata dia.
Gareth dan Neneng meninggalkan Nazar dan Nazir Rahmat di Kolombia pada 25 Juli lalu. Ia diduga menuju Malaysia.
Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, berharap KPK segera menangkap Neneng. Kehadirannya dianggap penting, tak hanya terkait dengan kasus di Kementerian Tenaga Kerja, tapi juga kasus Nazar. "Dia tahu berbagai hal menyangkut suaminya," kata Emerson.
Wakil Ketua KPK M. Jasin mengatakan pihaknya akan melakukan koordinasi untuk
memastikan Neneng di dalam atau di luar negeri. "Kalau di luar, tim kami tentu akan bekerja sesuai dengan standar dan prosedur operasional yang ada," kata Jasin tadi malam.
Menurut dia, KPK tak akan buru-buru meminta kepolisian memasukkan Neneng
sebagai buron internasional. "Penyidik KPK sudah tahu iramanya. Ibarat main musik sudah tahu kapan menabuh gendang, kapan tiup seruling," kata Jasin.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo menyatakan akan bekerja sama dengan KPK untuk mencari Neneng. "Kalau KPK minta bantuan, tentu kami bantu," kata Timur.
AGUSSUP | INDRA WIJAYA | TRI SUHARMAN | EKO ARI WIBOWO
Kompas.com
Senin, 15 Agustus 2011 Tindak Pidana Korupsi
Syamsul Arifin Divonis 2,5 Tahun Penjara
JAKARTA, KOMPAS.com — Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta
yang diketuai Tjokorda Rae menjatuhkan vonis hukuman 2,5 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta kepada Gubernur Sumatera Utara nonaktif, Syamsul Arifin.
Pembacaan vonis berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (15/8/2011). Syamsul dinyatakan terbukti menyalahgunakan wewenangnya untuk
memperkaya diri sendiri saat menjadi Bupati Langkat periode 1999-2004 dan 20042008.
"Syamsul Arifin secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi.
Menjatuhkan pidana penjara 2 tahun dan 6 bulan dan denda Rp 150 juta. Apabila
tidak dibayar diganti dengan kurungan 3 bulan," kata Tjokorda. Perbuatan Syamsul melanggar Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto
Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 65 KUHP Ayat (1) sesuai dengan dakwaan subsider.
Menurut hakim, politisi Partai Golkar itu terbukti menggunakan kas daerah
Kabupaten Langkat 2000-2007. Dia memerintahkan staf keuangannya, Buyung
Ritonga, Surya Jahisa, Aswam Supri, dan Taufik, mengeluarkan kas daerah yang tidak dianggarkan dari APBD. Kemudian dibuat laporan fiktif atas pengeluaran tersebut. "Merupakan perbuatan yang tidak dapat dibenarkan," kata Tjokorda. Uang kas daerah yang dikeluarkan itu mencapai Rp 98,7 miliar. Sebanyak Rp 57 miliar dari Rp 98,7 miliar kas daerah yang dikeluarkannya, digunakan untuk
kepentingan Syamsul pribadi dan keluarganya. Meski demikian, Syamsul tidak
diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 57 miliar sesuai dengan jumlah
yang dinikmatinya. Sebab, kata Tjokorda, Syamsul telah mengembalikan kepada KPK uang senilai Rp 80 miliar.
"Dengan telah dikembalikannya Rp 80 miliar, terdakwa tidak lagi dibebankan membayar uang pengganti," katanya.
Pengembalian uang Rp 80 miliar kepada KPK itu menjadi salah satu hal yang meringankan hukuman Syamsul. "Yang meringankan, berlaku sopan selama
persidangan, mengembalikan uang, memiliki penyakit jantung kronis, dan bersikap kooperatif," ujar Tjokorda.
Adapun yang memberatkan, tindakan Syamsul yang mengeluarkan kas daerah untuk kepentingan pribadinya itu tidak proporsional. Menanggapi vonis tersebut, Syamsul akan pikir-pikir apakah akan mengajukan banding atau tidak.
Humas PPATK
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Centre (INTRAC) (P) +62-21-3850455/3853922 (F) +62-21-3856809/3856826 (E)
[email protected]
DISCLAIMER:
Informasi ini diambil dari media massa dan sumber informasi lainnya dan
digunakan
khusus
untuk
PPATK
dan
pihak-pihak
yang
memerlukannya. PPATK tidak bertanggungjawab terhadap isi dan
pernyataan yang disampaikan dalam informasi yang berasal dari media massa.