P P A T K AMLNEWS Clipping Service Anti Money Laundering 11 Agustus 2011
Indeks 1. PD Tepis Ada Aliran Dana Dari Permai Group 2. Kasus Wisma Atlet Rosalina akui ada dana untuk anggota DPR 3. Korupsi Mantan Bupati Nias dihukum lima tahun 4. Terdakwa Korupsi masih Aktif Sebagi Bupati 5. Hari Sabarno Segera Disidangkan 6. Suap Wisma Atlet
KPK periksa anak buah Nazaruddin
7. Angelina-Wayan Koster Disebut Terlibat Wisma Atlet
Detik.com
Kamis, 11 Agustus 2011
PD Tepis Ada Aliran Dana Dari Permai Group
Jakarta - Dalam kesaksiannya di Persidangan Tipikor, Wakil Direktur Permai Group, Yulianis, menyebut ada aliran sejumlah dana ke kantong Partai Demokrat (PD). PD langsung menepis adanya aliran dana itu.
"Tidak benar ada aliran dana ke Partai Demokrat, yang kami khawatirkan justru kalau ada oknum yang menyalahgunakan jabatan dengan mengatasnamakan Partai
Demokrat untuk hal yang tidak benar," ujar Ketua DPP PD, Didi Irawadi Syamsudin saat dikonfirmasi detikcom, Rabu (10/8/2011).
Didi pun meminta aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas fakta persidangan tersebut. Partai Demokrat pun, lanjut Didi, akan siap memberikan sanksi kepada kadernya yang mencari dana dari sumber yang tidak halal. "Kalau kelak terbukti adanya oknum-oknum yang nakal tersebut, Partai Demokrat akan menindak tegas orang tersebut," kata anggota Komisi III DPR ini.
Permai Group ternyata pernah mengucurkan dana ke Partai Demokrat sebanyak dua kali. Hal tersebut terungkap dalam persidangan kasus suap wisma atlet dengan terdakwa Rosa, Rabu (10/8). Sidang menghadirkan Wakil Direktur Permai Grup, Yulianis.
"Apakah ada ke Demokrat?" tanya kuasa hukum Rosa, Djufri Taufik kepada mantan Wakil Direktur Permai Group, Yulianis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (10/8/2011).
Yulianis sempat enggan menjawab pertanyaan itu karena tidak ada hubungannya
dengan kasus suap wisma atlet. Yulianis pun meminta izin terlebih dahulu kepada Ketua majelis hakim.
"Apa perlu saya jawab?" tanya Yulianis. "Silakan saja, itu hak saudara," jawab Ketua Majelis, Hakim Suwedya. "Ada," jelas Yulianis kemudian menjawab pertanyaan Djufri. "Untuk partai dua kali, 400 ribu (dollar) dan 1 miliar," jelas Yulianis lagi. Namun uang itu sudah dikembalikan kepada perusahaan. Bahkan Yulianis memiliki bukti pengembalian uang itu.
"Ada tanda terima, saya terima uang pengembalian untuk partai," jelasnya. (adi/rdf)
Suarakarya-online.com
Kamis, 11 Agutstus 2011 KASUS WISMA ATLET
Rosalina Akui Ada Dana untuk Anggota DPR JAKARTA (Suara Karya): Mantan Direktur Marketing Kelompok Usaha Permai Mindo
Rosalina Manulang mengakui ada dana yang diberikan kepada anggota DPR dalam rangka memuluskan pencairan dana pembangunan wisma atlet di Jakabaring, Palembang, untuk SEA Games ke-26. Pemberian dana tersebut atas perintah Nazaruddin.
Pernyataan itu disampaikan Rosa, demikian panggilan Mindo Rosalina Manulang, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) usai mendengarkan kesaksian sesama
mantan karyawan Permai, Yulianis. Perintah memberi uang pelicin itu adalah sebuah perintah langsung.
"Memang saya diperintahkan oleh Pak Nazar untuk memberikan kebutuhan ke DPR," ujar Rosa di persidangan dengan majelis hakim yang dipimpin, Suwidya, kemarin (10/8).
Meski begitu, Rosa tidak menjelaskan secara gamblang siapakah pihak-pihak yang menerima uang itu. Majelis hakim pun, tak mencecar Rosa kepada siapakah aliran dana itu bermuara, karena Rosa mengaku tidak mengetahuinya.
"Pak Nazar yang mengajukan untuk dikasih ke sini, ini, dan ke sini," kata Rosa.
Sebelumnya, mantan Wakil Direktur Keuangan Kelompok Usaha Permai, Yulianis dalam kesaksiannya mengungkapkan bahwa dana sebesar Rp 16 miliar itu adalah
untuk "menggiring" dana pembangunan wisma atlet yang semula diperkirakan Rp 400 miliar dan agar proyek tersebut dikuasai Permai dan Nazaruddin.
Uang untuk DPR RI tersebut, menurut Yulianis, diserahkan kepada Angelina Sondakh dan I Wayan Koster. Ternyata, uang proyek yang dicairkan hanya sekira Rp 191 miliar.
Mengetahui pencairan yang tidak sesuai dengan perkiraan semula, membuat
Nazaruddin berang. Dia sempat memarahi Rosalina. Menurut Yulianis, Nazaruddin semula menyetujui pemberian Rp 20 miliar kepada DPR RI sebagai pelicin untuk
pencairan dana proyek tersebut. Namun, tidak diungkapkan di persidangan mengapa jumlah uang yang diserahkan menjadi Rp 16 miliar.
Pada persidangan itu, Yulianis juga mengungkapkan hubungan PT Duta Graha Indah (DGI) dengan Kelompok Usaha Permai dalam pengerjaan proyek pembangunan
wisma atlet. DGI adalah pelaksana proyek setelah mendapatkannya dari perusahaan milik Nazaruddin tersebut.
Sedianya, DGI akan memberikan komisi 56 persen dari nilai proyek kepada
perusahaan milik Nazaruddin sebagai pemberi proyek. Menurut Yulianis, pemberian komisi itu dilakukan bertahap.
Tahap awal, kerajaan bisnis Nazaruddin tersebut mendapat jatah 14 persen dari pencairan dana awal proyek sebesar Rp 33 miliar sebagai uang muka. Menurut
Yulianis, pencairan dana proyek wisma atlet tersebut kepada PT DGI dilakukan dalam empat tahap. Setiap, tahap pencairan, Nazaruddin memperoleh 14 persennya.
Tetapi, jatah pada pencairan uang muka itu, menurut Yulianis belum dibayarkan
penuh kepada mantan atasannya melalui Kelompok Usaha Permai. Sebab, penyidik KPK lebih dahulu membongkar praktik tersebut.
"DGI baru membayar 13 persen atau sekitar Rp 4,34 miliar. Sedangkan, satu persen lagi hingga kini belum terbayar, karena KPK sudah memperkarakannya. Jadi kekurangannya hampir Rp 2 miliar," kata Yulianis.
Dalam persidangan tersebut, Yulianis juga mengemukakan bahwa perusahaan
Nazaruddin itu tidak hanya banyak memiliki proyek di Kementerian Pemuda dan
Olah Raga serta beberapa proyek di kementerian lain. Kelompok Usaha Permai itu
menurut Yulianis bergerak antara lain bergerak di bidang kontraktor, pengadaan alat kesehatan, pertukaran mata uang, serta biro perjalanan yang usaha intinya adalah ticketing.
Yulianis juga mengungkapkan bahwa modal awal perusahaan itu sepenuhnya dari Nazaruddin. Sedangkan pejabat direktur pada perusahaan itu hanyalah sebagai
boneka yang diberi saham di atas kertas, sedangkan keuntungan semuanya masuk ke keluarga Nazaruddin.
"Misalnya Ibu Rosa sebagai direktur tidak berhak atas saham Permai. Yang berhak
adalah Nasir, kerabat Pak Nazaruddin. Jadi, dia hanya tercantum namanya saja dalam akta pendirian perusahaan. Begitu juga nama Bapak (Nazaruddin--Red) tidak ada dalam akta, juga diwakilkan," kata Yulianis.
Sementara itu, uang-uang komisi dari rekanan Permai, menurut Yulianis semuanya dikuasai oleh Nazaruddin dan istrinya, Neneng Sriwahyuni. Yulianis mengaku
bersama seorang mantan staf Nazaruddin memiliki angka kombinasi kunci brankas penyimpan uang itu. (Nefan Kristiono)
Cetak.kompas.com
Kamis, 11 Agustus 2011
KORUPSI Mantan Bupati Nias Dihukum Lima Tahun Medan, Kompas - Pengadilan Negeri Medan menghukum mantan Bupati Nias Binahati Benedictus Baeha (62) lima tahun penjara, denda Rp 100 juta, dan harus mengembalikan uang negara Rp 3,144 miliar. Dia dinilai terbukti bersalah dalam kasus korupsi dana penanggulangan bencana Nias tahun 2006-2008. ”Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama. Menjatuhkan pidana selama lima tahun dan denda Rp 100 juta,” kata ketua majelis hakim tindak pidana korupsi Suhartanto dalam pembacaan amar putusan di Pengadilan Negeri Medan, Rabu (10/8). Terkait kewajiban mengganti uang negara Rp 3,144 miliar, majelis hakim memberi Binahati waktu satu bulan. Jika terdakwa tidak membayarnya dalam tempo sebulan setelah keputusan pengadilan memiliki kekuatan hukum tetap, harta bendanya akan disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti itu. Jika hartanya tidak mencukupi, terdakwa dipenjara tiga tahun. Hukuman tersebut lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni delapan tahun penjara. Majelis hakim menjerat Binahati dengan Pasal 2 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Menanggapi putusan itu, Binahati menyatakan banding. ”Ini tidak adil. Banyak terdakwa korupsi puluhan miliar rupiah hanya dituntut 1,5 tahun. Saya ini korban pengkhianatan,” ujarnya. Kuasa hukum Binahati, Farida Sulistiani, menjelaskan, kliennya tidak pernah memerintahkan pengambilan uang ke bank. Dia merupakan korban pengkhianatan. Sebab, saat itu, yang mengambil uang adalah Pelaksana Tugas Kepala Bagian Umum Dana Bantuan Bencana Nias Baziduhu Ziliwu. Ziliwu mengambil dana itu dengan mengajak Bendahara Bantuan Bencana Elizama Mandrofa yang memiliki surat tugas pengambilan uang dari Bupati Nias Binahati. ”Kalau dia diperintahkan oleh Bupati, tentu tidak perlu mengajak Elizama. Ini karena nama Ziliwu tidak ada dalam surat tugas itu. Mengapa ini tidak dijadikan pertimbangan majelis hakim,” kata Farida Majelis hakim menjelaskan, tahun 2006 Pemkab Nias mendapat bantuan Rp 9,4 miliar dari pemerintah pusat melalui daftar isian pelaksanaan anggaran. Sebagian
dana dipindahkan ke rekening pribadi terdakwa dan sebagian lagi diambil secara tunai melalui bank. Sisa Rp 3,9 miliar. Dalam proses pengadilan, aparat menyita sebagian uang tersebut sehingga sisa kerugian negara Rp 3,144 miliar. (MHF) Inilah.com
Kamis, 11 Agustus 2011 Terdakwa Korupsi Masih Aktif Sebagai Bupati
INILAH.COM, Aceh Utara - Meski sudah menjalani proses persidangan perkara deposito Rp. 220 miliar, terdakwa Ilyas A Hamid dan Syarifuddin masih aktif sebagai Bupati dan Wakil Bupati Aceh Utara.
Masih aktifnya Bupati dan Wakil Bupati Aceh Utara meski sudah menjalani
persidangan mengherankan pihak Pengadilan Negeri Banda Aceh, karena seharusnya keduanya sudah non aktif. “Mestinya ketika berkas keduanya dilimpah ke pengadilan oleh penuntut umum,
keduanya sudah harus dinon-aktifkan. Tapi aneh juga, kalau sampai sekarang masih aktif,” kata Humas PN Banda Aceh Jamaluddin SH kepada Harian Aceh, Rabu (10/8/2011).
Pernyataan itu disampaikan Jamaluddin karena hingga sidang ketiga yang beragenda pembacaan jawaban JPU atas eksepsi (replik), kedua terdakwa masih aktif sebagai Buputi/Wabup Aceh Utara.
Jamaluddin juga heran terkait nomor registrasi perkara Ilyas A Hamid dan
Syarifuddin yang disebut menjadi hambatan lambannya usulan Gubernur Aceh ke Mendagri seperti pernah disampaikan Karo Humas Setda Aceh Makmur Ibrahim. Sebelumnya, Makmur Ibrahim mengatakan pihaknya belum menerima nomor
registrasi perkara Ilyas dan Syarifuddin dari PN Banda Aceh sehingga pihaknya belum bisa mengajukan penonaktifan keduanya ke Mendagri.
Jamaluddin merasa heran dengan keterangan Makmur, yang mengatakan sejauh ini
Humas PN Banda Aceh belum pernah menerima surat atau bentuk apapun dari pihak gubernur terkait nomor registrasi perkara tersebut.
“Kami tidak serta-merta menyampaikan nomor registrasi perkara kepada gubernur
kalau tidak diminta. Selaku humas saya belum mengetahui ada permintaan dari Biro Hukum Setda Aceh,” kata Jamal yang juga seorang hakim di PN Banda Aceh.
Menurut Jamaluddin, tidak ada alasan bagi gubernur soal registrasi perkara tersebut karena ketika jaksa melimpahkan berkas keduanya ke PN Banda Aceh turut mengirimkan tembusan ke gubernur.
“Sehingga saat pelimpahan itu jelas sudah diketahui Biro Hukum Setda Aceh,” tegasnya.
Disinggung mengapa pihak pengadilan tidak menahan kedua terdakwa agar
penonaktifan keduanya cepat diproses? “Penahanan merupakan wewenang majelis hakim yang menyidang perkara itu,” kata Jamalauddin.
Tetapi, lanjut dia, penonaktifan kedua terdakwa dapat dilakukan meski keduanya tidak ditahan.
“Kalau mereka kooperatif setiap sidang, boleh saja tidak ditahan. Soal penonaktifan dari jabatan bupati dan wakil bupati, itu tidak ada kata kooperatif. Bagi yang sudah
menjadi terdakwa dalam kasus tindak pidana, ya dinonaktifkan dulu,” katanya. (bay)
suarapembaruan.com
Kamis, 11 Agustus 2011 Hari Sabarno Segera Disidangkan [JAKARTA] Mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Hari Sabarno yang menjalani
pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka korupsi
pengadaan mobil pemadam kebakaran di sejumlah daerah di Indonesia mengatakan bahwa berkas perkara miliknya telah diserahkan ke Penuntut Umum (PU) untuk segara disidangkan.
"Penyerahan berkas saja terhadap jaksa penuntut. Saya tidak tahu istilahnya apa,"
kata Hari Sabarno usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (10/8). Seperti diketahui, Mantan Mendagri era Presiden Megawati Soekarnoputri tersebut
resmi ditetapkan sebagai tersangka sejak September 2010. Hari Sabarno dinilai ikut
bertanggung jawab atas kasus-kasus korupsi pengadaan alat pemadam kebakaran di sejumlah daerah.
Atas perbuatannya, Hari Sabarno dijerat dengan pasal berlapis, yakni Pasal 2 ayat (1)
atau Pasal 3 UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Dan juga dijerat dengan pasal penyuapan, yakni Pasal 11 atau Pasal 12 huruf b UU Tipikor. [N-8]
vivanews.com
Kamis, 11 Agustus 2011 Suap Wisma Atlet KPK Periksa Anak Buah Nazaruddin
Gerhana adalah orang yang menuliskan pengajuan anggaran bagi DPR. VIVAnews - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Gerhana Sianipar, bekas anak buah Muhammad Nazaruddin di PT Permai Grup terkait kasus suap proyek pembangunan wisma atlet SEA Games.
"Diperiksa sebagai saksi," ujar Kabag Pemberitaan dan Informasi KPK, Priharsa Nugraha, di Jakarta, Kamis 11 Agustus 2011. Dalam persidangan dengan terdakwa Mindo Rosalina Manulang, terungkap peranan dari Gerhana. Saksi Yulianis, Wakil Direktur PT Permai Grup, mengungkapkan
Gerhana merupakan orang yang menulis pengajuan angaran untuk anggota DPR, Wayan Koster dan Angelina Sondakh.
Yulianis menyatakan pengajuan anggaran disusun atas permintaan Mindo Rosalina Manulang, bekas anak buah Nazaruddin di PT Anak Negeri. "Yang menulis
pengajuannya memang Bu Gerhana, tapi saat saya konfirmasi ke Bu Gerhana, yang mengajukannya itu Bu Rosa," kata Yulianis kemarin. Selain Gerhana, dalam kasus yang sama, KPK juga akan memeriksa Kabag Sekretariat Komisi X DPR, Agus Salim sebagai saksi.
Dalam keterangannya di pengadilan Tipikor, Rabu 10 Agustus kemarin, Yulianis
menuturkan uang Rp16 miliar dari Permai Grup ke DPR mengalir dalam sejumlah termin. Yakni US$1,1 juta, Rp3 miliar, Rp500 juta untuk Wafid, Rp150 juta untuk Paulus, Rp50 juta untuk Wafid lagi.
Dinas Pekerjaan Umum Sumatera Selatan juga dapat bagian sebesar Rp100 juta, Rp150 juta untuk Wesler, dan sisanya ia mengaku lupa.
Sebelumnya, Angelina Sondakh sudah membantah keras semua tuduhan terlibat
suap wisma atlet. "Sudah cukup dijelaskan bahwa saya tidak pernah meminta uang. Tapi nanti saya akan jelaskan lebih lanjut kalau dipanggil KPK," ujar mantan Putri
Indonesia ini. Bantahan serupa juga disampaikan Wayan Koster. Politisi PDI Perjuangan itu juga
membantah pernah berhubungan dengan Nazaruddin. Dia menyebut semua tuduhan itu semata-mata untuk merusak citranya dan partai. (eh)
Tempointeraktif.com
Rabu, 10 Agustus 2011
Angelina-Wayan Koster Disebut Terlibat Wisma Atlet TEMPO Interaktif, Jakarta - Nama politikus Partai Demokrat Angelina Sondakh dan
politikus PDIP I Wayan Koster, muncul dalam persidangan terdakwa suap wisma atlet
Jakabaring Mindo Rosalina Manulang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi DKI, Rabu, 10 Agustus 2011.
Dua nama anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu diungkapkan Yulianis, Wakil
Direktur Keuangan Grup Permai, perusahaan milik Nazaruddin saat bersaksi untuk Rosa.
Yulianis mulanya ditanya anggota majelis hakim, Hendra Yospin, siapa saja anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang sering berhubungan dengan Rosa, dalam penanganan proyek wisma atlet. Menurut Yulianis, ada beberapa anggota Dewan yang memang sering berhubungan dengan koleganya di Grup Permai tersebut. "Ada juga yang tidak satu partai," ujarnya.
Hendra pun mendesak anak buah Muhammad Nazaruddin tersebut membocorkan nama anggota Dewan yang punya akses ke Permai Grup. "Angelina Sondakh dan Wayan Koster, Pak," ungkap Yulianis.
Namun saat ditanya apakah Angelina dan Koster sering berkomunikasi dengan Rosa, Yulianis mengaku tak tahu. Ia sekadar menyebut, tahu dua nama itu terlibat penanganan proyek wisma atlet dari cerita Rosa.
"Iya, waktu dia (Rosa) mengajukan untuk mengambil uang (dari Grup Permai ke DPR). Uang itu untuk menggiring Grup Permai (mendapatkan proyek wisma atlet). Katanya untuk Angie dan Wayan. Itu lalu dikonfirmasi ke Pak Nazaruddin," ungkapnya.
Yulianis kemudian ditanya hakim mengenai bahasa sandi dalam percakapan via layanan BlackBerry Messenger (BBM) antara Rosa dengan Angelina. Dalam
percakapan di BBM, keduanya sering menyebut istilah 'apel Malang' dan 'apel Washington'.
Menurut Yulianis, apel Malang adalah istilah yang sering mereka pakai untuk 'rupiah'. Sedangkan apel Washington adalah istilah pengganti untuk 'dollar Amerika'. "Kami kalau bicara begitu, Pak. Kalau Bu Rosa perlu uang ke saya, dia bilang perlu apel Malang," ujarnya. ISMA SAVITRI
Humas PPATK Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Centre (INTRAC) (P) +62-21-3850455/3853922 (F) +62-21-3856809/3856826 (E)
[email protected]
DISCLAIMER: Informasi ini diambil dari media massa dan sumber informasi lainnya dan
digunakan
khusus
untuk
PPATK
dan
pihak-pihak
yang
memerlukannya. PPATK tidak bertanggungjawab terhadap isi dan
pernyataan yang disampaikan dalam informasi yang berasal dari media massa.