7
BAB 2 LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Jasa 2.1.1 Pengertian Jasa Philip Kotler (2003) yang dikutip Arief (2007, p20) mengemukakan pengertian jasa (service), yaitu setiap tindakan atau kinerja yang ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lain yang secara prinsip tidak berwujud dan tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan. Produksi jasa dapat terikat atau tidak terikat pada suatu produk fisik. Jasa pada dasarnya adalah seluruh aktivitas ekonomi dengan output selain produk dalam pengertian fisik, dikonsumsi dan diproduksi pada saat bersamaan, memberikan nilai tambah dan secara prinsip tidak berwujud bagi pembeli pertamanya. Selanjutnya Zeithaml and
Bitner (2003 : 3) yang dikutip Arief (2007,p20)
mengemukakan definisi jasa, yaitu jasa merupakan semua aktivitas ekonomi yang hasilnya tidak merupakan produk dalam bentuk fisik atau konstruksi, yang biasanya dikonsumsi pada saat yang sama dengan waktu yang dihasilkan dan memberikan nilai tambah (seperti misalnya kenyamanan, hiburan, kesenangan atau kesehatan). Adapun pengertian jasa menurut Rangkuti (2002, p26), yaitu jasa merupakan pemberian suatu kinerja atau tindakan tak kasat mata dari satu pihak kepada pihak lain. Berdasarkan definisi - definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa jasa merupakan hasil produksi dan pemuas keinginan yang tidak berwujud, dalam usaha menghasilkan jasa, dapat dengan atau tanpa bantuan produk berwujud, dan kalaupun dalam usaha jasa tersebut digunakan produk berwujud maka pembeli tidak mempunyai hak kepemilikan atas barang yang digunakan.
8 2.1.2 Karateristik Jasa Menurut Philip Kotler (2003) yang dikutip Arief (2007, p20), jasa memiliki empat ciri utama yang sangat mempengaruhi rancangan program pemasaran, yaitu sebagai berikut: 1.
Tidak berwujud (intangibility) Jasa adalah sesuatu yang tidak berwujud. Tidak seperti produk fisik, jasa tidak
dapat dilihat, dirasa, didengar, atau dicium sebelum jasa itu dibeli. Misalnya seseorang yang menjalani ”perawatan kesehatan” tidak dapat melihat hasilnya sebelum membeli jasa tersebut. Untuk mengurangi ketidakpastian, pembeli akan mencari tanda atau bukti dari mutu jasa tersebut. Konsumen akan mengambil kesimpulan mengenai mutu jasa tersebut dari tempat, orang, peralatan, alat komunikasi, dan harga yang mereka lihat. 2.
Tidak dapat dipisahkan (inseparability) Jasa umumnya diproduksi secara khusus dan dikonsumsi pada waktu yang
bersamaan, sehingga mutu dari suatu jasa terjadi pada saat pemberian jasa. Interaksi yang terjadi antara penyedia jasa dan konsumen sangat mempengaruhi mutu dari jasa yang diberikan. 3.
Keragaman (variability) Jasa sangat beragam, artinya memiliki banyak variasi jenis dan kualitas
tergantung pada siapa, kapan, dan di mana jasa tersebut disediakan. Para pemakai jasa sangat peduli dengan keragaman yang tinggi ini dan seringkali mereka meminta pendapat orang lain sebelum memutuskan untuk memilih. Untuk menjaga mutu pelayanan dapat dilakukan melalui : a.
Investasi dalam seleksi dan pelatihan personalia yang baik.
b.
Melakukan standarisasi terhadap proses kinerja di seluruh organisasi tersebut.
9 c.
Memonitor kepuasan konsumen baik melalui sistem pesan dan kesan, survey konsumen, dan sebagainya.
4.
Tidak tahan lama (perishability) Jasa tidak dapat disimpan karena sifatnya yang tidak berwujud fisik. Ini tidak
menjadi masalah bila permintaannya stabil karena mudah untuk melakukan persiapan pelayanan sebelumya. Tetapi jika permintaan berfluktuasi maka akan menimbulkan masalah. Secara umum, sifat jasa digambarkan sebagai produk yang tidak dapat dipamerkan, tidak dapat disimpan, mudah rusak dan diproduksi pada saat akan dimanfaatkan. 2.1.3 Pemasaran Jasa Pemasaran jasa tidak sama dengan pemasaran produk. Pertama, pemasaran jasa lebih bersifat intangible dan immaterial karena produknya tidak kasat mata dan tidak dapat diraba. Kedua produksi jasa dilakukan saat konsumen berhadapan dengan petugas sehingga pengawasan kualitas dapat segera dilakukan. Hal ini lebih sulit dari pada pengawasan produk fisik. Ketiga, interaksi antara konsumen dan petugas adalah penting untuk dapat mewujudkan produk dibentuk (Arief, 2007, p114). Seperti yang dijelaskan oleh Philip Kotler (2000) di dalam Arief (2007,p111) bahwa kesuksesan suatu industri jasa tergantung kepada sejauh mana perusahaan mampu mengelola ketiga macam aspek secara sukses. a)
Janji perusahaan mengenai jasa yang akan disampaikan kepada pelanggan.
b)
Kemampuan perusahaan untuk membuat karyawan mampu memenuhi janji tersebut.
c)
Kemampuan karyawan untuk menyampaikan janji tersebut kepada pelanggan.
10 Hal ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Pelanggan
EXTERNAL MARKETING
INTERACTIVE MARKETING
Menetapkan janji mengenai
Menyampaikan produk
Produk yang akan disampaikan
atau jasa sesuai dengan yang telah dijanjikan
Manajemen
Karyawan
INTERNAL MARKETING Membuat agar produk atau jasa disampaikan sesuai dengan yang dijanjikan Sumber : Rangkuti (2002,p27)
Gambar 2.1 Diagram Segitiga Pemasaran Jasa
Model kesatuan dari ketiga aspek tersebut dikenal sebagai segitiga jasa, dimana sisi segitiga mewakili setiap aspek. Kegagalan disatu sisi menyebabkan segitiga roboh. Artinya, industri jasa tersebut gagal. Dengan demikian, pembahasan industri jasa harus meliputi perusahaan, karyawan serta pelanggan. Status dan peran perusahaan, karyawan serta pelanggan adalah sebagai berikut :
11 Tabel 2.1 Peran dan Status Segitiga Pemasaran Jasa Status Perusahaan
Peran
Fasilitator terhadap
• Sebagai penyelidikan keinginan pelanggan
karyawan agar
• Sebagai pembuat spesifikasi jasa yang akan
mampu melayani pelanggan
disampaikan • Sebagai pemberdaya karyawan agar mampu menyampaikan jasa kepada pelanggan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan.
Karyawan
Penyampai jasa
• Sebagai jasa itu sendiri • Sebagai personafikasi atau gambaran dari perusahaan • Sebagai pemasar jasa secara tidak langsung
Pelanggan
Penerima jasa
• Sebagai penilai kualitas jasa
Sumber : Rangkuti (2002,p28)
Pemasaran internal merupakan kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan dalam melatih, mengembangkan, dan memotivasi karyawannya agar dapat melayani pelanggan dengan sebaik mungkin. Hal ini merupakan masalah yang sangat penting, karena tidak mungkin mengharapkan pelayanan kepada pelanggan dengan memuaskan karyawan yang tidak puas terhadap perusahaan. Pemasaran external merupakan normal yang umumnya dilakukan antara perusahaan dengan pelanggan dalam rangka menyiapkan produk, menetapkan harga, melakukan promosi dan mendistribusikan produk kepada pelanggan. Pemasaran
interaktif
menggambarkan
bagaimana
para
karyawan
melayani
pelanggan. Oleh karena pemasaran jasa terjadi interaktif langsung antara perusahaan yang diwakili oleh karyawan dengan pelanggan, maka pemasaran interactive ini menjadi masalah kritis. Kegagalan karyawan dalam melayani pelanggan secara memuaskan mengakibatkan jasa yang diberikan bernilai rendah bagi konsumen. Kalau pada produk fisik, penilaian
12 konsumen cenderung pada produknya maka jasa penilaian konsumen akan terfokus pada proses
pemberian
jasa
yang
dilakukan
oleh
karyawan
perusahaan
tersebut
(Arief,2007,p54).
2.2 Konsep Kualitas dan Kualitas Pelayanan 2.2.1 Pengertian Kualitas Kualitas atau mutu produk perlu mendapatkan perhatian besar dari manajer, sebab kualitas mempunyai hubungan yang langsung dengan kemampuan bersaing dan tingkat keuntungan yang diperoleh perusahaan. Kualitas yang rendah akan menempatkan perusahaan pada posisi yang kurang menguntungkan. Apabila konsumen merasa bahwa kualitas dari suatu produk tidak memuaskan, maka kemungkinan besar ia tidak akan menggunakan produk perusahaan lagi. Bahkan mungkin akan membeli dari pesaing yang menawarkan kualitas yang lebih baik. Pengertian kualitas dapat berbeda - beda tergantung pada siapa yang menggunakan dari sudut pandang setiap orang. Menurut Goesth and David yang dikutip oleh Tjiptono (2005; p51) : ”Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”. Menurut Garvin yang dikutip oleh Tjiptono (2005; p51-53) ada lima macam perspektif kualitas yang berkembang. Kelima macam perspektif inilah yang bisa menjelaskan mengapa kualitas jasa bisa diartikan secara beraneka ragam oleh orang yang berbeda dalam situasi yang berlainan. Adapun kelima macam, perspektif mutu / kualitas tersebut adalah :
a)
Transcendental approach Dalam pendekatan ini, kualitas dipandang sebagai iinate execellence, dimana mutu kualitas dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit didefinisikan dan
13 dioperasikan. Sudut pandang ini biasanya diterapkan dalam dunia seni musik, drama, dan lain - lain.
b)
Product - based approach Pendekatan ini menganggap bahwa kualitas merupakan karateristik atau atribut yang dapat dikuantitatifkan dan dapat diukur. Perbedaan dalam kualitas dapat mencerminkan perbedaan unsur - unsur atau atribut yang dimiliki oleh suatu produk.
Pandangan
ini bersifat
sangat objektif, sehingga tidak dapat
menjelaskan perbedaan dalam hal selera, kebutuhan, dan preferensi konsumen.
c)
Usser - based approach Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa mutu / kualitas tergantung pada orang - orang yang memandangnya, sehingga produk yang paling memuaskan preferensi seseorang merupakan produk yang berkhualitas tinggi.
d)
Manufacturing - based approach Perspektif ini bersifat supply - based dan terutama memperhatikan praktik perekayasaan dan pemanufakturan, serta mendefinisikan mutu / kualitas sebagai kesesuaian dengan persyaratan. Pendekatan ini berfokus pada penyesuaian spesifikasi yang dikembangkan secara internal, yang seringkali didorong oleh tujuan peningkatan produktivitas dan pendekatan biaya. Jadi yang menentukan kualitas adalah standar - standar yang telah ditetapkan perusahaan bukan konsumen yang menggunakannya.
e)
Value - based approach Pendekatan ini memandang mutu / kualitas dari segi nilai dan harga. Dengan mempertimbangkan trade - off antara kinerja dan harga, mutu / kualitas dalam perspektif ini bersifat relative, sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu produk yang paling bernilai. Akan tetapi yang paling bernilai adalah barang atau jasa yang paling tepat dipilih.
14 Pengertian kualitas dalam penelitian ini adalah tinjauan dari sudut pandang pemakaian jasa atau konsumen (user - based). Aspek kualitas ini bisa diukur. Pengukuran tingkat kepuasan erat hubungannya dengan kualitas produk (barang dan jasa). Menurut Wyekok yang dikutip oleh Tjiptono (2005; p59) mendefinisikan kualitas / mutu pelayanan sebagai berikut : ”Kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan”. Konsumen akan memberikan penilaian mengenai tingkat pelayanan yang diberikan perusahaan. Jadi kualitas pelayanan merupakan penilaian konsumen mengenai tingkat pelayanan yang diberikan oleh perusahaan. Dengan kata lain ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan, yaitu pelayanan yang diharapkan dan pelayanan yang dirasakan. Apabila pelayanan yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika pelayanan yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya jika pelayanan yang diterima lebih rendah dari pada yang diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan buruk. 2.2.2 Konsep Kualitas Jasa Definisi kualitas jasa berpusat pada upaya pemenuhan keputusan kebutuhan dan keinginan
pelanggan
serta
ketepatan
penyampaian
untuk
mengimbangi
harapan
pelanggan. Menurut Wyckof (dalam Lovelock, 1988) yang dikutip Arief (2007,p118) kualitas jasa adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Zeithami dan Bitner mengemukakan arti kualitas jasa atau layanan sebagai berikut ”mutu jasa merupakan penyampaian jasa yang baik atau sangat baik dibandingkan dengan ekspetasi pelanggan”. Kualitas jasa juga dapat didefinisikan sebagai seberapa perbedaan antara kenyataan dan harapan yang mereka terima (Lupiyoadi dan Hamdani,2006,p181).
15 2.2.3 Dimensi Kualitas Jasa atau Pelayanan Menurut Groonroos didalam Rambat dan Lupiyoadi (2006,p212). Jasa dapat dibagi menjadi dua dimensi kualitas, yaitu kualitas teknikal (technical quality) dan kualitas fungsional (functional quality). Kedua dimensi ini sangatlah penting bagi pelanggan. Kualitas
teknikal terkait dengan kemampuan mesin, pengetahuan karyawan pada jasa
yang ditawarkan dll. Kualitas fungsional terkait dengan kemudahan konsumen untuk mengakses, tampilan fisik kantor, hubungan jangka panjang dengan pelanggan, hubungan internal didalam perusahaan, serta sikap, perilaku dan jiwa pelayanan dari pemberi jasa. Salah satu pendekatan kualitas jasa yang banyak dijadikan acuan dalam riset pemasaran adalah model SERVQUAL (Service Quality) yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithmal, dan Berry dalam serangkaian penelitian mereka terhadap enam sektor jasa : reparasi, peralatan rumah tangga, kartu kredit, asuransi serta perbankan ritel (Lupiyoadi dan Hamdani,2006,p181). Dalam salah satu studi mengenai SERVQUAL oleh Parasuraman (1988) yang dikutip oleh Lupiyoadi dan Hamdani (2006,p182) disimpulkan bahwa terdapat lima dimensi SERVQUAL, sabagai berikut : 1)
Berwujud (Tangibles) Yaitu, kemampuan suatu perusahaan dalam mewujudkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan yang dapat diandalkan keadaan lingkungan sekitarnya merupakan bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Hal ini meliputi fasilitas fisik (contoh : gedung, gudang, dll), perlengkapan dan peralatan yang digunakan (teknologi), serta penampilan pegawainya.
2)
Kehandalan (Realibility) Yaitu, kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya, Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan
16 yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi. 3)
Ketanggapan (Responsiveness) Yaitu, kebijakan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsive ) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas.
4)
Jaminan dan kepastian (Assurance) Yaitu, pengetahuan, kesopanan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya pelanggan kepada perusahaan. Hal ini meliputi
beberapa
komponen
antara
lain
komunikasi
(communication),
kredibilitas (credibility), keamanan (security), kompetensi (competency), dan sopan santun (courtesy). 5)
Empati (emphaty) Yaitu, memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen. Dimana suatu perusahaan diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan.
Pelanggan memilih penyedia jasa yang dialami dengan jasa yang diharapkan. Jika jasa yang dialami berada dibawah jasa yang diharapkan, pelanggan tidak berminat lagi pada penyedia jasa.
17 2.3. Citra 2.3.1 Pengertian Citra Ada pepatah yang mengatakan bahwa citra merupakan poin awal untuk sukses dalam pemasaran. Istilah citra atau image ini mulai popular pada tahun 1950-an dalam konteks organisasi, perusahaan, nasional dan sebagainya. Citra tidak dapat dibuat seperti barang dalam suatu pabrik, akan tetapi citra adalah kesan yang diperoleh sesuai dengan pemahaman dan pengetahuan seseorang terhadap sesuatu. Citra yang ada pada perusahaan
terbentuk
dari
bagaimana
perusahaan
tersebut
melakukan
kegiatan
operasionalnya yang mempunyai landasan utama pada segi pelayanan. Jadi citra ini dibentuk berdasarkan impresi atau pengalaman yang dialami oleh seseorang terhadap sesuatu, sehingga pada akhirnya membangun suatu sikap mental. Sikap mental ini nantinya akan dipakai sebagai pertimbangan untuk mengambil keputusan karena citra dianggap mewakili totalitas pengetahuan seseorang terhadap sesuatu. Dengan demikian didalam jurnal Citra Perusahaan oleh Iman Mulyana Dwi Suwandi (www.e-iman.uni.cc,10 mei 2010) terdapat beberapa pengertian citra, antara lain : Menurut Sutisna Citra adalah total persepsi terhadap suatu objek yang dibentuk dengan memproses informasi dari berbagai sumber setiap waktu (2001,p83). Citra didefinisikan menurut Buchari Alma sebagai kesan yang diperoleh sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman seseorang tentang sesuatu (2002, p317-p318). Definisi citra menurut Rhenald Kasali, yaitu kesan yang timbul karena pemahaman akan suatu kenyataan. (2003,p28). Menurut Lawrence L.Steinmetz yang dikutip oleh Sutojo (2004,p1), citra adalah pancaran atau reproduksi jati diri atau bentuk orang perorangan, benda atau organisasi. Berdasarkan pendapat - pendapat tersebut, citra menunjukkan kesan suatu obyek terhadap obyek lain yang terbentuk dengan memproses informasi setiap waktu dari berbagai sumber terpercaya. Obyek meliputi individu maupun perusahaan yang terdiri dari sekelompok orang didalamnya. Citra dapat terbentuk dengan memproses informasi yang
18 tidak menutup kemungkinan terjadinya perubahan citra pada obyek dari adanya penerimaan informasi setiap waktu. Besarnya kepercayaan obyek terhadap sumber informasi memberikan dasar penerimaan atau penolakan informasi. Sumber informasi dapat berasal dari perusahaan secara langsung atau pihak - pihak lain secara tidak langsung. 2.3.2 Citra Perusahaan Konsumen menilai citra perusahaan tidak hanya berdasarkan kualitas fungsional saja, tetapi juga didasarkan pada atribut psikologis yang dicerminkan oleh perusahaan tersebut. Nguyen dan Leblanc menjelaskan bahwa terdapat dua komponen dasar citra perusahaan, yaitu fungsional dan emosional, dimana komponen fungsional berkaitan dengan atribut yang dapat diukur dengan mudah, sedangkan komponen emosional berkaitan dengan dimensi psycological, yaitu perasaan dan sikap konsumen terhadap perusahaan, yang didasarkan pada pengalaman konsumen saat berinteraksi dengan perusahaan dan atribut informasi yang menggambarkan citra perusahaan tersebut. Dengan kata lain, citra dibentuk berdasarkan pengalaman yang dialami konsumen terhadap produk atau jasa perusahaan, yang nantinya dapat dijadikan pertimbangan untuk mengambil keputusan. Pengalaman yang baik dari konsumen atas penggunaan produk atau jasa yang dihasilkan perusahaan akan menghasilkan persepsi yang baik terhadap citra perusahaan tersebut, dan pada saat itulah akan terbentuk apa yang disebut citra korporasi atau citra perusahaan(http://frommarketing.blogspot.com/search/label/Corporate%20Image%20%2F %20Citra%20PerusahaanFaktor-faktor Pembentuk Citra Perusahaan (Corporate Image),10 juni 2010). Citra perusahaan menurut Nguyen dan LeBlanc (2001) didalam Journal of retailing
and consumer services, Vol. 8, p227-p236, menyatakan bahwa citra perusahaan berkaitan dengan atribut fisik dan perilaku dari perusahaan seperti nama bisnis, arsitektur, variasi
19 dari jasa atau produk, dan impresi dari komunikasi yang berkualitas setiap orang yang berinteraksi dengan klien perusahaan. Menurut Lawrence L. Steinmetz yang dikutip Sutojo (2004,p1) bagi perusahaan, citra juga dapat diartikan sebagai persepsi masyarakat terhadap jati diri perusahaan. Lawrence mengemukakan persepsi seseorang terhadap perusahaan didasarkan atas apa yang mereka ketahui atau mereka kira tentang perusahaan yang bersangkutan. Citra itu sendiri dapat berperingkat baik, sedang dan buruk. Citra buruk dapat melahirkan dampak negatif bagi operasi bisnis perusahaan. Ia juga melemahkan kemampuan perusahaan bersaing. Citra perusahaan yang baik dan kuat mempunyai manfaat - manfaat berikut : 1.
Daya saing jangka menengah dan panjang yang mantap
2.
Menjadi perisai selama masa kritis
3.
Menjadi daya tarik eksekutif handal
4.
Penghematan efektifitas strategi pemasaran
5.
Penghematan biaya opersional
Mengembangkan citra perusahaan yang kuat membutuhkan kreativitas dan kerja keras. Citra tidak dapat ditanam dalam pikiran pelanggan dalam waktu semalam dan disebarkan melalui satu media saja. Sebaiknya citra itu harus disampaikan melalui tiap sarana komunikasi yang tersedia dan disebarkan terus - menerus. 2.3.3 Ciri - ciri Pembentuk Citra Ciri - ciri produk atau jasa yang membentuk suatu citra berkaitan dengan unsur unsur kegiatan pemasaran. Ciri - ciri pembentuk citra yang sering bersinggungan dengan kegiatan pemasaran, misalnya, merek, desain produk atau jasa, pelayanan, label dan lain sebagainya. Program yang baik dalam suatu perencanaan dalam pengembangan produk atau jasa tidak akan lupa untuk mencantumkan kegiatan perusahaan yang mencakup ciri pembentuk citra untuk produk dan jasa atau Citra merupakan variabel yang tidak dapat di kontrol oleh perusahaan, dapat mempengaruhi persepsi pelanggan terhadap layanan yang
20 meliputi nilai, kepuasan dan kualitas layanan perusahaan. Selain citra, variabel harga,
service encounter dan tampilan atau bukti fisik layanan yang merupakan variabel yang dapat dikontrol oleh perusahaan dapat mempengaruhi persepsi pelanggan terhadap layanan. Didalam Jurnal Citra Perusahaan oleh Iman Mulyana Dwi Suyandi (www.eiman.uni.cc,13 mei 2010), Citra mempengaruhi pelanggan dalam beberapa cara. Pertama, citra mengkomunikasikan harapan - harapan, bersamaan dengan kampanye pemasaran eksternal seperti periklanan, penjualan pribadi, komunikasi dari mulut ke mulut. Perusahaan yang mempunyai citra yang positif di mata pelanggannya, cenderung akan mendorong pelanggan untuk melakukan komunikasi dari mulut ke mulut yang positif. Demikian pula sebaliknya, bila perusahaan mempunyai citra yang kurang baik maka cenderung pelanggan akan tidak akan memberikan rekomendasi atau menginformasikan hal - hal yang negatif terhadap jasa yang diterima. Kedua, citra mempengaruhi pelanggan terhadap persepsinya tentang kualitas layanan. Gronross menambahkan dalam (Sutisna,2001,p332) bahwa citra mempengaruhi persepsi pelanggan karena fungsinya sebagai filter operasi perusahaan. Citra dapat mendukung persepsi seseorang terhadap kualitas pelayanan yang diterimanya. Citra dapat menjadi penyangga (buffer) terhadap terjadinya pelayanan yang buruk. Sebaliknya apabila terjadi kualitas yang buruk citra akan menjadi alasan dari ketidak kepuasan pelanggan dan memperkuat persepsi negatif terhadap layanan dalam kegiatan operasional layanan. Ketiga, citra adalah fungsi dari pengalaman dan juga harapan konsumen atas kualitas pelayanan perusahaan. Dan keempat, citra mempunyai pengaruh penting terhadap manajemen atau dampak internal. Citra perusahaan yang kurang jelas dan nyata mempengaruhi sikap karyawan terhadap perusahaan. Dengan kata lain citra mempunyai dampak Internal. Menciptakan dan menjaga citra merupakan hal yang mutlak dilakukan oleh perusahaan, sebab apabila citra perusahaan
21 menjadi rusak, persepsi pelanggan terhadap perusahaan akan buruk. Perusahaan yang telah rusak citranya akan sulit diperbaiki, hal ini disebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat atau pelanggan. Berdasarkan hal itu, menjaga citra perusahaan berarti menjaga konsistensi pelayanan dan kualitas yang dihasilkan. 2.3.4 Faktor Penunjang Keberhasilan Citra Keberasilan perusahaan membangun citra dipengaruhi oleh berbagai macam faktor menurut Sutojo (2004,p45). Kelima faktor tersebut adalah sebagai berikut : 1)
Citra dibangun berdasarkan orientasi terhadap manfaat yang dibutuhkan dan diinginkan kelompok sasaran. Contohnya : Perusahaan boleh saja mempromosikan citra apapun tentang diri dan produknya, walaupun demikian akhirnya kelompok sasaran jumlah yang menentukan apakah citra itu nyata atau hanya ”pepesan kosong” belaka.
2)
Manfaat yang ditonjolkan cukup realistis Citra Perusahaan yang ditonjolkan kepada kelompok sasaran hendaknya realistis sehingga mudah dipercaya. Kelompok sasaran cenderung bersikap sinis atau negatif terhadap penonjolan citra perusahaan yang tidak realistis.
3)
Citra yang ditonjolkan sesuai dengan kemampuan perusahaan Oleh karena manfaat yang dibutuhkan dan diinginkan segmen - segmen kelompok sasaran dari perusahaan atau produk beraneka warna, idealnya perusahaan yang ingin menarik beberapa segmen sekaligus menonjolkan lebih sari satu jenis citra.
4)
Mudah dimengerti kelompok sasaran Kelompok sasaran tidak mempunyai banyak waktu untuk memahami arti berbagai macam citra yang ditonjolkan oleh banyak perusahaan. Oleh karena itu setiap perusahaan yang ingin menonjolkan citranya wajib berusaha agar citra itu
22 mudah dipahami kelompok sasaran memahami citra yang ditonjolkan, adalah membuat ilustrasi citra yang ditampilkan sesingkat dan sesederhana mungkin. 5)
Citra adalah sarana, bukan tujuan usaha Faktor penting lain yang wajib disadari para pengusaha adalah citra perusahaan atau produk yang mereka bangun adalah sarana untuk mencapai tujuan usaha, dan bukan tujuan usaha itu sendiri.
Citra akan tetap bertahan selama organisasi dapat melakukan perubahan perubahan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pasar. Ketahanan citra ini disebabkan bahwa dalam kenyataannya sekali seseorang memiliki citra tertentu terhadap suatu objek, orang - orang akan menerima, apa yang sesuai dengan citra yang dimiliki objek tersebut. Ketidaktahanan suatu citra disebabkan adanya informasi yang diberikan tidak jelas sehingga meningkatkan keragu - raguan dalam pikiran mereka, terlebih lagi ketika orang - orang tidak mengikuti perkembangan perubahan suatu objek.
2.4 Intensi Untuk Membeli Kembali (Repeat purchase Intention) 2.4.1 Intensi Mowen dan Minor (2001) mendefinisikan intensi sebagai sebuah ekspektasi untuk berperilaku dengan sebuah cara untuk mendapatkan dan menggunakan produk atau jasa. Definisi tersebut memberikan gambaran bahwa intensi adalah sebuah ekspektasi seseorang untuk berperilaku, baik itu dalam memperoleh dan menggunakan (mengkonsumsi) produk atau jasa. Patterson dan Spreng (2000) didalam International Journal of Services Industry
Management, Vol. 8 No. 5, p414-p417 juga berpendapat bahwa intensi membeli suatu produk jasa didasari oleh sikap seseorang terhadap perilaku membeli produk tersebut. Jika sikapnya yang diambil adalah loyal
terhadap suatu produk / jasa, maka dia akan
mempunyai niat untuk melakukan repeat purchase, sebaliknya jika konsumen tersebut
23 tidak loyal, maka konsumen tersebut tidak mempunyai niat untuk melakukan repeat
purchase. 2.4.2 Pembelian Ulang Setelah membeli suatu produk, konsumen kemudian mengevaluasi produk atau jasa yang dibelinya tersebut. Bahan evaluasi tersebut akan dijadikan konsumen sebagai dasar untuk melakukan pembelian berikutnya. Salah satu definisi mengenai pembelian ulang dikemukakan oleh Hennig - Thurau, Gwinner dan Gremier (2002), yaitu perilaku pembelian ulang atas produk, jasa atau merek yang sama uang terjadi akibat aktivitas pemasar. Lebih lanjut definisi mengenai perilaku pembelian ulang dikemukakan oleh Mowen dan Minor (2001) yaitu perilaku pembelian ulang adalah konsumen yang seringkali membeli sacara berulang produk yang sama. Definisi tersebut memberikan gambaran bahwa perilaku pembelian ulang adalah suatu perilaku dimana konsumen membeli produk atau jasa yang sama secara berulang. Dalam penelitian yang dilakukan oleh I Gusti Ngurah Budi Kuncara dengan judul Peran Nilai Pelanggan Dalam Membangun Kepuasan Serta Pengaruhnya Pada Keputusan Pembelian Berikutnya, tahun 2006 (p17) mengatakan Repurchase Intention
yaitu
keinginan untuk membeli kembali yang disebabkan karena kepuasan atas produk atau jasa yang mereka peroleh (Monroe 1990). Perilaku konsumen setelah membeli suatu produk atau jasa adalah merasakan tingkat kepuasan atau ketidakpuasan tertentu. Sehingga dari hasil tersebut berdampak kepada tindakan konsumen apakah akan melakukan pembelian kembali atau akan pindah kepada perusahaan lain. Bila pelanggan merasa puas, maka ia akan menunjukkan probabilitas yang lebih tinggi untuk membeli atau menggunakan produk atau jasa itu lagi. Menurut Monroe (1990) sebagaimana yang dikutip oleh I Gusti Ngurah Budi Kuncara (2006), Faktor Intensi Untuk Membeli Kembali (Repurchase Intention) mencakup 4 faktor, yaitu :
24 1)
Niat membeli Seberapa jauh seseorang mempunyai kemauan untuk mencoba (yang menunjukkan pengukuran kehendak seseorang dan berhubungan dengan perilaku yang terus - menerus).
2)
Membeli kembali Sejauh mana konsumen menilainya dan berkeinginan untuk berhubungan terusmenerus.
3)
Jangka panjang pembelian Sejauh mana konsumen mempertimbangkan untuk melakukan pembelian, dan
4)
Hubungan yang baik Akan meneruskan hubungan pembelian terhadap jasa kecantikan saat ini dan dimasa yang akan datang.
Monroe juga mengusulkan bahwa perusahaan harus dapat memahami dan memperluas lagi kepada apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh pelanggan itu sendiri dan menyajikannya dalam kualitas yang sesuai dengan yang dibutuhkan dan memenuhi batas kesediaan pelanggan untuk membayar. Jadi, kita tidak dapat hanya mempertimbangkan apa yang kita bisa berikan kepada pelanggan, tapi lebih jauh lagi kita harus berkonsentrasi pada tingkat kepuasan yang harus diberikan kepada pelanggan tersebut.
2.5 Keputusan Pembelian Menurut Schiffman & Kanuk (2004) keputusan adalah seleksi terhadap dua pilihan atau lebih. Dengan perkataan lain, pilihan alternatif harus tersedia bagi seseorang ketika mengambil keputusan. Pengambilan keputusan konsumen adalah proses pengintegrasian yang mengkombinasikan pengetahuan untuk mengevaluasi dua atau lebih perilaku alternative dan memilih salah satu diantaranya. Hasil pengintegrasian ini adalah suatu pilihan
(choice) yang disajikan secara kognitif sebagai keinginan berperilaku.
25 Perilaku pembelian adalah tindakan yang langsung terlibat untuk mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghasilkan produk dan jasa, termaksud proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan ini (Engel et al,1995 dalam Simamora,2004,p1-2). Dari
beberapa
pendapat
maka
keputusan
pembelian
adalah
suatu
tindakan
mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa, dimana terdapat dua pilihan atau lebih. Dengan kata lain, pilihan alternatif harus tersedia bagi seseorang ketika mengambil keputusan. Menurut Philip Kotler (2005, p183-200) Keputusan pembelian konsumen dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial, pribadi dan psikologis. 1.
Faktor budaya : Faktor budaya memiliki pengaruh yang luas dan mendalam terhadap perilaku konsumen dalam pembelian. Peran budaya (anak - anak mendapatkan kumpulan nilai, persepsi, preferensi dan perilaku dari keluarganya), sub budaya (misalnya agama, kelompok ras, daerah geografis), dan kelas sosial konsumen (strata social) sangatlah penting.
2.
Faktor sosial : Faktor sosial seperti kelompok acuan (rekan kerja, teman, tetangga), keluarga (misalnya orang tua, saudara kandung) serta peran dan status sosial.
3.
Faktor karateristik pribadi : Faktor karateristik pribadi meliputi usia dan tahapan siklus hidup pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup, serta kepribadian dan konsep diri sendiri.
4.
Faktor Psikologis : Faktor psikologis meliputi motivasi, persepsi, pembelajaran, serta keyakinan dan sikap.
26 Hal ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 2.2 Faktor - faktor yang mempengaruhi perilaku pembelian konsumen Sumber : Kotler (2005,p200)
Dalam membeli suatu barang atau jasa, seorang konsumen akan melalui suatu proses keputusan pembelian. Menurut Ma’ruf (2006, p61-62) terdapat tiga proses keputusan pembelian, yaitu : 1.
Proses keputusan panjang (extended decision making) untuk barang durable (rumah, lahan, mobil, kulkas, mesin cuci, dll). Proses itu menurut Berman dan Evans adalah stimulus -> kebutuhan -> mencari info -> evaluasi -> transaksi -> perilaku pasca pembelian. Pengertian stimulus adalah situasi yang menyebabkan munculnya kebutuan dalam diri konsumen.
2.
Proses keputusan terbatas (limited decision making), sama dengan proses diatas tetapi terjadi secara lebih cepat dan kadang meloncati tahapan. Proses terbatas ini biasanya untuk barang seperti pakaian, hadiah, mobil kedua, atau jasa seperti wisata keluar kota atau keluar negeri.
3.
Proses pembelian rutin, keputusan pembelian yang terjadi secara kebiasaan sehingga proses pengambilan sangat singkat saja. Begitu dirasakan ada kebutuhan,
27 langsung dilakukan pembelian, misalnya membeli baterai. Kesetiaan pada merk dan kesetiaan pada toko adalah contoh pengambilan keputusan berdasarkan kebiasaan. Proses pembelian yang panjang dan terbatas dapat dikatakan sebagai pembelian yang bersifat incidental. Sedangkan, proses pembelian rutin merupakan proses yang berlawanan dengan proses pembelian yang bersifat incidental,
yaitu yang hanya sekali atau sekali -
sekali dibeli. Belanja impulsif atau impulse buying adalah proses pembelian barang yang terjadi secara spontan. Menurut Ma’ruf (2006, p64) ada tiga jenis pembelian impulsif, yaitu : 1) Pembelian tanpa rencana sama sekali, 2) Pembelian yang setengah tak direncanakan, dan 3) Barang pengganti yang tidak direncanakan. 2.5.1 Proses Keputusan Pembelian (Philip Kotler, 2005, p204-208) Konsumen melewati lima tahap dalam proses keputusan pembelian. Sebenarnya, proses pembelian telah dimulai jauh sebelum pembelian aktual terjadi dan memiliki konsekuensi jauh setelah pembelian terjadi. Masing-masing tahap proses keputusan pembelian tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut : 1.
Pengenalan kebutuhan / masalah Pengenalan masalah ini ditujukan untuk mengetahui adanya kebutuhan dan
keinginan yang belum terpenuhi. Jika kebutuhan diketahui maka konsumen akan segera memahami adanya kebutuhan yang belum segera dipenuhi atau masih bisa ditunda pemenuhannya, serta kebutuhan yang sama - sama harus dipenuhi. 2.
Pencarian informasi dan penilaian sumber - sumber Tahap kedua ini sangat berkaitan dengan pencarian informasi tentang sumber -
sumber dan menilainya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan yang dirasakan. Pencarian informasi dapat bersifat aktif atau pasif, internal atau eksternal. Pecarian informasi yang bersifat aktif dapat berupa kunjungan terhadap beberapa toko untuk membuat perbedaan harga dan kualitas produk, sedangkan pencarian informasi pasif
28 mungkin hanya dengan membaca suatu pengiklanan dimajalah atau surat kabar tanpa mempunyai tujuan khusus tentang gambaran produk yang diinginkan. 3.
Evaluasi Alternatif Tahap ini meliputi dua tahapan, yakni menetapkan tujuan pembelian dan
menilai serta mengadakan seleksi terhadap alternatif pembelian berdasarkan tujuan pembeliannya. Tujuan pembelian tidak selalu sama, tergantung pada jenis produk dan kebutuhannya. Ada konsumen yang mempunyai tujuan pembelian untuk meningkatkan prestise, ada yang ingin sekedar memenuhi kebutuhan jangka pendek, ada juga yang ingin meningkatkan pengetahuan. 4.
Keputusan Pembelian Keputusan untuk membeli disini merupakan proses dalam pembelian yang
nyata. Jadi, setelah di atas dilakukan, maka konsumen harus mengambil keputusan apakah membeli atau tidak. Bila konsumen membeli, maka akan dijumpai serangkaian keputusan yang harus diambil menyangkut jenis produk atau jasa, merek, penjualan, kuantitas, waktu pembelian dan cara pembayaran. Sikap orang lain
Evaluasi alternatif
Keputusan pembelian
Niat untuk membeli Faktor situasi yang tidak terantisipasi
Gambar 2.3 Tahap-tahap antara Evaluasi alternative dan keputusan pembelian Sumber Kotler 2005, p207
29 5.
Perilaku Pasca Pembelian Semua tahapan yang ada di dalam proses pembelian sampai dengan tahap
kelima adalah bersifat operatif. Bagi perusahaan, perasaan dan perilaku sesudah pembelian juga sangat penting. Perilaku mereka dapat mempengaruhi penjualan ulang dan juga mempengaruhi ucapan - ucapan pembeli pihak lain yang menggunakan produk perusahaan. Jika produk atau jasa ditawarkan oleh perusahaan ke konsumen dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh konsumen tersebut akan merasa puas dan ia akan menunjukkan kemungkinan untuk kembali produk tersebut. Tetapi jika tidak sesuai, maka konsumen akan merasa kecewa. Dan biasanya jika produk atau jasa ditawarkan sesuai dengan harapan konsumen, maka konsumen akan merekomendasikan produk atau jasa tersebut kepada orang lain.
Model lima tahapan proses pembelian Pengenalan masalah
Pencarian informasi
Perilaku pasca pebelian
Evaluasi alternatif
Keputusan pembelian
Gambar 2.4 Model lima tahap proses pembelian Sumber : Kotler Philip, 2005, p203
2.6 Loyalitas Pelanggan 2.6.1 Pengertian Pelanggan Definisi customer (pelanggan) berasal dari kata custom, yang didefinisikan sebagai ”membuat sesuatu menjadi kebiasaan atau biasa” dan ”mempraktikkan kebiasaan”. Pelanggan adalah seseorang yang menjadi terbiasa untuk membeli. Kebiasaan itu terbentuk
30 melalui pembelian dan interaksi yang sering selama periode waktu tertentu. Tanpa adanya hubungan yang kuat dan pembelian yang berulang, orang tersebut bukanlah pelanggan, ia adalah pembeli. Pelanggan yang sejati tumbuh seiring dengan waktu (Griffin,2005,p31). Sesuai pandangan tradisional pelanggan adalah setiap yang membeli dan menggunakan produk perusahaan tersebut. Sesuai pandangan modern pelanggan mencakup pelanggan external dan internal. Pelanggan eksternal adalah setiap orang yang membeli produk dari perusahaan, sedangkan pelanggan internal adalah pihak dalam organisasi yang sama, yang menggunakan jasa suatu bagian atau departemen tertentu (Tjiptono,2002,p5). Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pelanggan yang terdiri dari pelanggan internal maupun pelanggan eksternal, merupakan bagian terpenting bagi perkembangan suatu perusahaan. Tanpa pelanggan suatu perusahaan tidak akan dapat menjalankan kegiatan usahanya, karena pelanggan adalah seseorang yang secara terus menerus dan berulang kali datang ke suatu tempat yang sama untuk memuaskan keinginan atau kebutuhannya dengan memiliki suatu produk atau jasa dari perusahaan tersebut. 2.6.2 Pengertian Loyalitas Pelanggan Didalam Jurnal Manajemen Perhotelan oleh Japarianto, (2007,p34-p42), Kotler (2000) mengatakan “the long term success of the a particular brand is not based on the
number of consumer who purchase it only once, but on the number who become repeat purchase”. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa konsumen yang loyal tidak diukur dari berapa banyak dia membeli, tapi dari berapa sering dia melakukan pembelian ulang, termasuk disini merekonmendasikan orang lain untuk membeli. Oliver (1996) yang dikuti oleh Hurriyati (2005,p129) mengungkapkan bahwa loyalitas pelanggan yaitu komitmen pelanggan bertahan secara mendalam untuk berlangganan kembali atau melakukan pembelian ulang barang atau jasa terpilih secara konsisten dimasa
31 yang akan datang, meskipun pengaruh situasi dan usaha - usaha pemasaran mempunyai potensi untuk menyebabkan perubahan perilaku. Menurut Griffin (2005) yang dikutip oleh Hurriyati (2005,p129) ”Loyality is defined as
non random purchase expressed over time by some decision making unit”. Berdasarkan definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa loyal lebih mengacu pada wujud perilaku dari unitunit pengambilan keputusan untuk melakukan pembelian secara terus - menerus terhadap barang atau jasa suatu perusahaan yang dipilih. Pelanggan menjadi setia (loyal) biasanya disebabkan salah satu aspek dalam perusahaan saja, tetapi biasanya pelanggan menjadi setia (loyal) karena ”paket” yang ditawarkan seperti produk, pelayanan, dan harga. Ada tiga kriteria untuk mendefinisikan pelanggan setia (loyal), yaitu : 1.
Keinginan
untuk
membeli
produk
dan
jasa
dari
perusahaan
tanpa
membandingkan produk atau jasa yang ditawarkan oleh pesaing. 2.
Merekomendasikan perusahaan, produk dan pelayanan perusahaan dari mulut ke mulut kepada orang lain.
3.
Tindakan proaktif untuk memberikan saran produk dan jasa karena perusahaan.
Kesetiaan (loyalitas) pelanggan merupakan sesuatu yang tertanam dalam benak atau pikiran yang memiliki hubungan yang memuaskan dengan penyedia produk atau jasa. Pelanggan akan tetap setia (loyal) memakai produk atau jasa yang disediakan sepanjang ia merasa dipuaskan dengan apa yang akan disediakan. 2.6.3 Karateristik Loyalitas Pelanggan Banyak
perusahaan
mengandalkan
kepuasan
pelanggan
sebagai
jaminan
keberhasilan di kemudian hari tetapi kemudian mengecewakan bahwa para pelanggannya yang merasa puas dapat berbelanja produk pesaing tanpa ragu - ragu. Sebaliknya, loyalitas pelanggan tampaknya merupakan ukuran yang lebih dapat diandalkan untuk memprediksi pertumbuhan penjualan dan keuangan. Berbeda dari kepuasan, yang merupakan sikap,
32 loyalitas dapat didefinisikan berdasarkan perilaku membeli. Pelanggan yang loyal menurut Griffin 2005,p31) adalah orang yang : 1)
Melakukan pembelian berulang secara teratur Maksudnya pelanggan yang telah melakukan pembelian suatu produk sebanyak dua kali / lebih. Mereka adalah yang melakukan pembelian atas produk yang sama banyak dua kali, atau membeli dua macam produk yang berbeda dalam dua kesempatan.
2)
Membeli antarlini produk dan jasa Maksudnya membeli semua barang atau jasa yang ditawarkan dan mereka butuhkan. Mereka membeli secara teratur, hubungan dengan jenis pelanggan ini sudah kuat dan berlangsung lama, yang membuat mereka tidak terpengaruh oleh produk pesaing.
3)
Mereferensikan kepada orang lain Maksudnya membeli barang atau jasa yang ditawarkan dan yang mereka butuhkan, serta melakukan pembelian secara teratur. Selain itu, mereka mendorong teman - teman mereka agar membeli barang atau jasa perusahaan atau merekomendasikan perusahaan tersebut kepada orang lain, dengan begitu secara tidak langsung mereka telah melakukan pemasaran untuk perusahaan dan membawa konsumen untuk perusahaan.
4)
Menunjukkan kekebalan terhadap tarikan dari pesaing Maksudnya tidak mudah terpengaruh oleh tarikan persaingan produk atau jasa sejenis lainnya.
33 2.7 Hubungan Diantara Variabel - Variabel 1.
Hubungan Kualitas Pelayanan dan Citra Perusahaan Citra perusahaan dapat menjadi akar untuk semua pengalaman yang akan
dikonsumsi konsumen, dan kualitas pelayanan adalah fungsi dari pengalaman konsumen tersebut (Kristen et al., 2000). Lebih jauh, persepsi konsumen mengenai kualitas pelayanan
secara
langsung
mempengaruhi
persepsi
konsumen
terhadap
citra
perusahaan. 2.
Hubungan Kualitas Pelayanan dan Intensi Membeli Kembali Kualitas pelayanan adalah penilaian konsumen tentang kehandalan dan superioritas
pelayanan secara keseluruhan. Kualitas pelayanan yang memuaskan konsumen akan menumbuhkan minat untuk melakukan pembelian ulang suatu produk atau jasa, dan akhirnya dapat memelihara loyalitas. Penelitian yang dilakukan oleh Kwandayani (http://www.dewey.petra.co.id,3 mei 2010) mengatakan bahwa kualitas pelayanan berpengeruh positif terhadap pembelian ulang dan minat merekomendasikan perusahaan kepada orang lain. 3.
Hubungan Kualitas Pelayanan dan Loyalitas Pelanggan Boulding et al. (1993) dalam Kusmayadi (2007) melakukan penelitian tenteng
bagaimana pelanggan membentuk dan memperbaharui persepsi mereka terhadap kualitas pelayanan dan bagaimana persepsi ini memprediksi person’s intented behaviors. Hasil dari penelitian tersebut mengindikasikan bahwa persepsi kualitas pelayanan secara positif mempengaruhi Intente behavior. Kesemua perilaku yang dilakukan oleh konsumen tersebut, pembelian ulang, rekomendasi, dan membeli jasa lain dari perusahaan yang sama, dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan yang loyal terhadap perusahaan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan memberikan pengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan.
34 4.
Hubungan Citra Perusahaan dan Loyalitas Konsumen Citra perusahaan dianggap sebagai sikap harus mempengaruhi keinginan perilaku
seperti loyalitas konsumen (Jhonson et al., 2001; Kusmayadi,2007). Nguyen dan Leblanc (2001) menunjukkan bahwa citra perusahaan berpengaruh secara positif dengan loyalitas konsumen. 5.
Hubungan Intensi Membeli Kembali dan Loyalitas Pelanggan Loyalitas pelanggan merupakan suatu ukuran keterikatan konsumen terhadap
perusahaan atau produk. Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya pelanggan beralih keperusahaan lain. Secara umum, dinyatakan bahwa loyalitas adalah suatu ekspresi bahwa konsumen puas dengan keseluruhan kinerja atas produk / jasa yang diterima. Penelitian sebelumnya oleh Jones et al (2001,p441-450) mengatakan bahwa terdapat pengaruh positif antara kualitas pelayanan dengan intensi pembelian dan minat membeli kembali (repurchase intention) yang berhubungan dengan loyalitas pelanggan, sehingga dapat dikatakan bahwa intensi membeli kembali memiliki pengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan.
2.8 Path Analysis Menurut Robert D.Rutherford analisis jalur adalah suatu teknik untuk menganalisis hubungan sebab akibat yang terjadi pada regresi berganda jika variabel bebasnya mempengaruhi varibel tergantung tidak hanya secara langsung, tetapi juga secara tidak langsung. Lain
hal
dengan
Paul
Webley
menjelaskan
bahwa
analisis
jalur
merupakan
pengembangan langsung dari bentuk regresi berganda dengan tujuan untuk memberikan estimasi tingkat kepentingan ( Magnitude ) dan signifikasi ( Significane ) hubungan sebab akibat hipotetikal dalam perangkat variabel.
35 Sedangkan menurut Riduan dan Engkos Achmad Kuncoro, teknik pengolahan data menggunakan metode analisis jalur merupakan suatu metode yang digunakan dalam menguji besarnya sumbangan atau kontribusi yang ditunjukan oleh koefisien jalur pada setiap diagram jalur dari hubungan kausal antar variabel x1,x2,x3,x4,x5 terhadap Y sertadampaknya terhadap Z. Analisis korelasi dan regresi yang merupakan dasar dari perhitungan koefisien jalur. Kemudian, dalam pengolahan data peneliti menggunakan aplikasi berupa software SPSS v16.0. Lalu Riduan dan Engkos Achmad Kuncoro mengutip dari Al Rasyid dalam sitepu (1994:24) mengatakan bahwa dalam penellitian sosial tidak semata - mata hanya mengungkapkan hubungan variabel sebagai terjemahan statistik dari hubungan antara variabel, tetapi berfokus pada upaya untuk mengungkapkan hubungan kausal antar variabel. (Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro.2007,p:115) Tabel 2.2 Kategori Hubungan Pengaruh Variabel Dalam Path Analysis Kategori
Hubungan Pengaruh Variabel
0.05 – 0.09
Lemah
0.10 – 0.29
Sedang
0.30 keatas
Kuat
Sumber : Engkos Achmad Kuncoro,2007
2.8.1 Prinsip-Prinsip Dasar Path Analysis Riduan dan Engkos Achmad Kuncoro menjelaskan bahwa asumsi yang mendasari
path analysis adalah : 1.
Hubungan antar variabel bersifat linear, adaptif dan sifatnya normal.
2.
Hanya sistem aliran kausal kesatu arah artinya tidak ada kausalitas yang berbalik.
3.
Variabel terikat (Endogen) minimal dalam skala ukur interval dan rasio.
36 4.
Menggunakan sample probability sampling yaitu teknik pengambilan sampel untuk memberikan peluang yang sama pada setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel.
5.
Observed variabels diukur tanpa ada kesalahan (instrumen pengukuran valid dan realibel ).
6.
Model yang dianalisis dispesifikasikan (diidentifikasi) dengan benar berdasarkan teori - teori dan konsep yang relevan artinya model teori yang dkaji atau diuji dibangun berdasarkan kerangka teoritis tertentu yang mampu menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel yang diteliti. (Riduan dan Engkos Achmad Kuncoro.2007,p:2).
2.8.2 Manfaat Path Analysis Manfaat Path Analysis menurut Riduan dan Engkos Achmad kuncoro adalah: 1.
Penjelasan terhadap fenomena yang dipelajari atau permasalahan yang diteliti.
2.
Prediksi nilai variabel (Y) berdasarkan nilai variabel bebas (X) dan prediksi dengan Path Analysis bersifat kualitatif.
3.
Faktor determinan yaitu faktor penentuan variabel bebas (X) mana yang berpengaruh paling dominan terhadap variabel terikat (Y) juga dapat digunakan untuk menelusuri mekanisme pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y).
4.
Pengujian model menggunakan theory trimming, baik untuk uji realibilitas (uji keajegan) konsep yang sudah ada ataupun uji pengembangan konsep baru. (Riduan dan Engkos Achmad Kuncoro.2007,p:2)
37 2.9 Kerangka Pemikiran
S A R I
VARIABEL (X1) Kualitas Pelayanan • Tangible • Reliability VARIABEL (Z)
• Responsiveness S A
Loyalitas
• Assurance
VARIABEL (Y)
• Emphaty
Intensi Membeli
L
Kembali
O N VARIABEL (X2) &
Citra Perusahaan • Manfaat kelompok
D A Y S
• Membeli
secara teratur
kembali
• Membeli antar
• Hubungan yang
• Citra yang ditonjolkan
pembelian berulang
pembelian
• Citra yang realistis
• Melakukan
• Niat Membeli
• Jangka panjang
sasaran
Pelanggan
baik
sesuai kemampuan
lini produk dan jasa • Mereferensikan kepada orang lain
• Mudah dimengerti S P A
kelompok sasaran • Citra adalah sarana bukan tujuan usaha
Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran Sumber : Penulis, 2010.
38 2.10 Hipotesis Hipotesis untuk penelitian ini berdasarkan identifikasi masalah yang ada adalah sebagai berikut : 1)
Bagaimanakah pengaruh kualitas pelayanan, citra perusahaan terhadap intensi
membeli kembali pada Sari Salon & Days SPA ? •
Hipotesis pengujian secara simultan antara X1, X2 dan Y.
Ha
: Variabel kualitas pelayanan dan citra perusahaan berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap variabel intensi membeli kembali.
H0
: Variabel kualitas pelayanan dan citra perusahaan tidak berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap variabel intensi membeli kembali.
•
Hipotesis pengujian secara individual antara X1 dan Y.
Ha
: Variabel kualitas pelayanan berpengaruh secara signifikan terhadap variabel intensi membeli kembali.
H0
: Variabel kualitas pelayanan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel intensi membeli kembali.
•
Hipotesis pengujian secara individual antara X2 dan Y.
Ha
: Variabel citra perusahaan berpengaruh secara signifikan terhadap variabel intensi membeli kembali.
H0
: Variabel citra perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel intensi membeli kembali.
2)
Bagaimanakah pengaruh kualitas pelayanan, citra perusahaan, dan intensi membeli
kembali terhadap variabel loyalitas pelanggan. •
Hipotesis pengujian simultan antara X1, X2, Y, dan Z.
Ha
: Variabel kualitas pelayanan, citra perusahaan dan intensi membeli kembali berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap variabel loyalitas pelanggan.
39 H0
: Variabel kualitas pelayanan, citra perusahaan dan intensi membeli kembali tidak berpengaruh secara silmultan dan signifikan terhadap variabel loyalitas pelanggan.
•
Hipotesis pengujian secara individual antara X1 dan Z.
Ha
: Variabel kualitas pelayanan berpengaruh secara signifikan terhadap variabel loyalitas pelanggan.
H0
: Variabel kualitas pelayanan tidak pengaruh secara signifikan terhadap variabel loyalitas pelanggan.
•
Hipotesis pengujian secara individual antara X2 dan Z.
Ha
: Variabel citra perusahaan berpengaruh secara signifikan terhadap variabel loyalitas pelanggan.
H0
: Variabel citra perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel loyalitas pelanggan.
•
Hipotesis pengujian secara individual antara Y dan Z.
Ha
: Variabel intensi membeli kembali berpengaruh secara signifikan terhadap variabel loyalitas pelanggan.
H0
: Variabel intensi membeli kembali tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel loyalitas pelanggan.