BAB 2 LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Manajemen Sumber Daya Manusia Berdasarkan pendapat Robert dan Jackson (2003, pp.4-5), Human Resource (HR)
Management the design of formal system in an organization to ensure effective and effecient use of human talent to accomplish organizational goals. Manajemen sumber daya manusia merupakan perancangan sistem formal dari suatu organisasi, yang digunakan untuk memastikan keefektifan dan keefisienan dari kemampuan karyawan dalam memenuhi tujuan organisasi.
Human Resource Management (HRM) the policies and practices involved in carrying out the ”people” or human resource aspects of management position, including recruiting, screening, training, rewarding, and appraising. (Dessler2003, p.2) Berdasarkan pendapat Cushway (2002, pp.4-6): Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) merupakan bagian dari proses organisasi dalam mencapai tujuan. Setelah arah dan strategi umum ditentukan, maka langkah berikutnya adalah merumuskan tujuan yang lebih tegas dan mengembangkan dalam bentuk rencana kerja. Tujuan tidak dicapai tanpa adanya sumber yang diperlukan, termasuk sumber daya manusia. MSDM harus merupakan bagian dari proses yang menentukan apa yang diperlukan oleh manusia, bagaimana menggunakan manusia, bagaimana memperolehnya, dan bagaimana mengatur mereka. MSDM harus diintegrasikan secara penuh dengan prosesproses manajemen yang lain.
Sumber : Cushway, MSDM (2002, p.5)
Gambar 2.1 Letak MSDM Dalam Hubungannya Dengan Aktivitas Organisasi
2.1.1. Tujuan Manajemen Sumber Daya Manusia Berdasarkan pendapat Cushway (2002, pp.6-7) tujuan dari MSDM bervariasi antara satu organisasi dengan organisasi lain, tergantung pada tingkat perkembangan organisasi, yang mencakup hal-hal berikut: •
Memberikan sasaran kepada manajemen tentang kebijakan SDM guna memastikan organisasi memiliki tenaga kerja yang bermotivasi dan
berkinerja tinggi, serta dilengkapin dengan sarana untuk menghadapi perubahan dan dapat memenuhi kebutuhan pekerjanya. •
Melaksanakan dan memelihara semua kebijakan dan prosedur SDM yang diperlukan untuk memastikan pencapaian tujuan organisasi.
•
Membantu perkembangan arah dan strategi organisasi secara keseluruhan, terutama dengan memperhatikan segi-segi SDM.
•
Menyediakan bantuan menciptakan kondisi yang dapat membantu manajer lini dalam mencapai tujuan mereka.
•
Mengatasi krisis dan situasi sulit dalam hubungan antar pegawai untuk memastikan tidak adanya gangguan dalam pencapaian tujuan organisasi.
•
Menyediakan sarana komunikasi antara karyawan dengan manajemen organisasi.
•
Bertindak sebagai penjamin standar dan nilai organisasi dalam pengelolaan SDM.
2.1.2
Aktivitas Utama Manajemen Sumber Daya Manusia Berdasarkan
pendapat
Cushway
(2002,
pp.7-9)
MSDM
adalah
kegiatan
mendapatkan, mengelola, dan melepaskan sumber-sumber, dalam hal ini adalah manusia. Mendapatkan Sumber Daya Merupakan langkah dalam proses penentuan persyaratan organisasi mengenai sumber yang ingin diperoleh dengan memperhatikan kualitas, tipe, dan kualitas. Mengelola Sumber Daya Setelah organisasi mendapatkan semua tenaga yang diperlukan untuk mencapai tujuannya, prioritas berikutnya adalah memastikan bahwa tenaga kerja tersebut akan tinggal
cukup lama di organisasi, sehingga efektif dan dapat menunjukkan kinerja yang baik selama mereka disana. Sala satunya adalah: •
Menasehati dan menetapkan strategi pengupahan yang dapat menunjang tujuan organisasi dan rencana bisnis, yaitu strategi pengupahan yang dapat menarik dan mempertahankan pegawai sesuai dengan kemampuannya.
Pemutusan Sumber Daya Akan tiba masanya dimana pegawai harus melepaskan diri dari organisasi. Alasannya bisa karena pensiun, mengundurkan diri, selesai kontrak, berakhir kontrak pelatihan, pemecatan, redundasi, dan sebagainya.
2.2
Pengertian Wirausaha (enterpreneur) dan Kewirausahaan Dalam Hendro dan Widhianto (2006, p.16), bila diperjemahkan secara literatur,
entrepreneur itu berasal ”between taker” atau ”go between” yang artinya orang yang berani memutuskan dan mengambil resiko dari satu atau lebih pilihan yang semua pilihannya mempunyai manfaat dan risiko berbeda. Entrepreneur itu adalah seorang yang berusaha berpikir beda. Dalam Hendro dan Widhianto (2006, p.16), Entrepreneurship berubah makna dari sekadar mengambil resiko menjadi menjual manfaat untuk menukar risiko yang akan terjadi. Bila manfaat sebuah pekerjaan itu lebih besar dari resiko yang ditawarkan kepada orang lain yang akan mendanainya, maka itulah suatu makna menjadi entrepreneur. Wirausaha, menurut Frinces (2004, p.11) adalah mereka yang selalu bekerja keras dan kreatif untuk mencari peluang bisnis, mendayagunakan peluang yang diperoleh, dan kemudian merekayasa penciptaan alternatif sebagai peluang bisnis baru dengan faktor keunggulan.
Menurut Peggy A. Lambing dan Charles R. Kuehl dalam bukunya Entrepreneurship (1999) sebagaimana dikutip oleh Hendro dan Widhianto (2006, p.21) , kewirausahaan adalah suatu usaha kreatif yang membangun suatu value dari yang belum ada menjadi ada dan bisa dinikmati oleh orang banyak. Kewirausahaan (entrepreneurship) menurut Hisrich (2005, pp.8-9), yaitu process of
creating something new and assuming the risk and rewards, yaitu merujuk pada suatu proses penciptaan sesuatu yang baru dan mengambil risiko dan hasil upah. Sedangkan wirausaha (entrepreneur), adalah individual who takes risks and starts something new, yaitu seorang pribadi yang berani untuk mengambil risiko dan memulai sesuatu yang baru. Istilah kewirausahaan merupakan padanan kata dari entrepreneurship dalam bahasa Inggris. Kata entrepreneurship sendiri sebenarnya berawal dari bahasa Perancis, yaitu “entreprende” yang mengandung arti petualang, pencipta dana pengelola usaha (Lupiyoadi, 2004, p.1). Jadi dari pengertian entrepreneur di atas dapat disimpulkan bahwa entrepreneur adalah suatu kemampuan seseorang untuk mengambil resiko dan mengelola sesuatu yang ada didalam dirinya untuk dimanfaat dan ditingkatkan agar dapat memperoleh suatu value bagi dirinya ataupun orang banyak. Definisi
ini
menekankan
empat
aspek
dasar;
aspek
yang
pertama,
kewirausahaan melibatkan proses penciptaan, yaitu menciptakan suatu nilai yang baru. Penciptaan harus memiliki nilai, baik bagi wirausaha maupun bagi pihak – pihak lain yang baginya nilai tersebut diciptakan. Pihak - pihak tersebut misalnya (1) pasar dari pembeli pihak perusahaan yang melakukan inovasi bisnis, (2) pihak administrasi rumah sakit yang menggunakan prosedur dan program perangkat lunak yang baru, (3) para mahasiswa yang mempelajari studi mengenai kewirausahaan, atau (4) pelanggan jasa yang baru yang
diberikan
oleh
organisasi
nonprofit.
Yang
kedua,
kewirausahaan
menuntut
pengorbanan waktu dan usaha, karena untuk menciptakan sesuatu yang baru dan menerapkannya, diperlukan sejumlah waktu dan usaha. Aspek yang ketiga adalah dapat mengasumsikan risiko. Risiko ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, tergantung pada bidang usaha yang ditekuni, tetapi risiko ini terutama terkait dengan masalah finansial, psikologi dan sosial. Aspek keempat melibatkan penghargaan (reward) dalam menjadi seorang wirausaha. Penghargaan yang paling utama dalam hal ini adalah adanya kemandirian, kebebasan (independence ), yang diikuti dengan kepuasan pribadi (personal satisfaction). Uang juga dapat diperhitungkan sebagai penghargaan, di mana terkadang uang juga dapat dijadikan indikator kesuksesan seorang wirausaha. Sedangkan menurut Prijosaksono dan Bawono (2005, p.xv), kewirausahaan (entrepreneurship) dapat diartikan melalui 3 kata berikut: destiny, courage, action. Ketiga kata tersebut merupakan kata-kata yang penting dalam membangun sikap dan perilaku wirausaha dalam diri seseorang. Destiny berarti takdir, yang sebenarnya lebih merupakan tujuan hidup kita, bukan nasib. Tujuan dan misi hidup kita adalah fondasi awal untuk menjadi seorang wirausaha yang sukses. Dengan memiliki tujuan hidup (life purpose ) yang jelas, kita dapat memiliki semangat (spirit) dan sikap mental (attitude ) yang diperlukan dalam membangun sebuah usaha yang dapat memberi nilai tambah dalam kehidupan kita. Keberanian (courage) untuk memulai dan menghadapi tantangan adalah sikap awal yang kita perlukan. Dalam kewirausahaan, keberanian untuk mulai dan mengambil risiko adalah syarat mutlak. Impian dan cita-cita yang besar, kemudian ditambah dengan kreativitas yang diwujudkan dengan keberanian untuk mencoba dan melakukan (action) langkah pertama adalah awal kesuksesan seorang wirausaha sejati.
Menurut Zimmerer dan Scarborough (2004, p.3), wirausaha adalah orang yang menciptakan bisnis baru dengan mengambil risiko dan ketidakpastian demi mencapai keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi peluang dan menggabungkan sumber daya yang diperlukan untuk mendirikannya.
2.2.1
Profil, Karakteristik, Jiwa Wirausaha Gambaran atau pengertian tentang jiwa wirausaha, dapat diperoleh dengan melihat
uraian ciri – ciri, profil, karakteristik khusus yang melekat pada diri wirausaha, yaitu: Menurut Suparman (Alma, 2001, p.17), ciri – ciri seorang wirausaha antara lain yaitu sebagai berikut: •
Berpikir teliti dan berpandangan kreatif dengan imajinasi konstruktif,
•
Memiliki sikap mental untuk menyerap dan menciptakan kesempatan,
•
Membiasakan diri bersikap mental positif untuk maju dan selalu bergairah dalam setiap pekerjaan,
•
Mempunyai insiatif,
•
Membiasakan membangun disiplin diri,
•
Menguasai salesmanship (kemampuan jual), memiliki kepemimpinan dan mampu memperhitungkan risiko,
•
Ulet, tekun, terarah, jujur dan bertanggung jawab,
•
Berwatak maju, cerdik dan percaya pada diri sendiri.
Menurut Zimmerer dan Scarborough (2004, pp.3-7), profil seorang wirausaha dapat digambarkan sebagai berikut:
•
Menyukai tanggung jawab Wirausaha merasa bertanggung jawab secara pribadi atas hasil perusahaan
tempat mereka terlibat. Mereka lebih menyukai dapat mengendalikan sumber – sumber daya mereka sendiri dan menggunakan sumber – sumber daya tersebut untuk mencapai cita – cita yang telah ditetapkan sendiri. •
Lebih menyukai risiko menengah Wirausaha bukanlah seorang pengambil risiko liar, melainkan seseorang yang
mengambil risiko yang diperhitungkan. Wirausaha melihat suatu bisnis dengan tingkat pemahaman risiko pribadinya. Cita – cita mungkin tampak tinggi - bahkan mungkin mustahil tercapai - menurut orang lain, tetapi wirausaha melihat situasi itu dari sudut pandang yang berbeda dan percaya bahwa sasaran mereka masuk akal dan dapat tercapai. Mereka biasanya melihat peluang di daerah yang sesuai dengan pengetahuan, latar
belakang,
dan
pengalamannya
yang
akan
meningkatkan
kemungkinan
keberhasilannya. •
Keyakinan atas kemampuan mereka untuk berhasil Wirausaha umumnya memiliki banyak keyakinan atas kemampuan mereka untuk
berhasil. Mereka cenderung optimis terhadap peluang keberhasilan dan optimisme mereka biasanya berdasarkan kenyataan. Salah satu penelitian dari National Federation
of Independent Business (NFIB) menyatakan bahwa sepertiga dari wirausaha menilai peluang berhasil mereka 100%. Tingkat optimisme yang tinggi kiranya dapat menjelaskan mengapa kebanyakan wirausaha yang berhasil pernah gagal dalam bisnis – kadang – kadang lebih dari sekali – sebelum akhirnya berhasil.
•
Hasrat untuk mendapatkan umpan balik langsung Wirausaha ingin mengetahui sebaik apa mereka bekerja dan terus - menerus
mencari pengukuhan. Tricia Fox, pendiri Fox Day School, Inc., menyatakan, “Saya senang menjadi seorang yang bebas dan berhasil. Tidak ada umpan balik yang sebaik bisnis milik Anda sendiri.” •
Tingkat energi yang tinggi Wirausaha lebih enerjik dibandingkan orang kebanyakan. Energi ini merupakan
faktor penentu mengingat luar biasanya usaha yang diperlukan untuk mendirikan suatu perusahaan. Kerja keras dalam waktu yang lama merupakan sesuatu yang biasa. •
Orientasi ke depan Wirausaha memiliki indera yang kuat dalam mencari peluang. Mereka melihat ke
depan dan tidak begitu mempersoalkan apa yang telah dikerjakan kemarin, melainkan lebih mempersoalkan apa yang akan dikerjakan esok. Bila manajer tradisional memperhatikan pengelolaan sumber daya yang ada, wirausaha lebih tertarik mencari dan memanfaatkan peluang. •
Keterampilan mengorganisasi Membangun
sebuah
perusahaan
“dari nol”
dapat
dibayangkan
seperti
menghubungkan potong – potongan sebuah gambar besar. Para wirausaha mengetahui cara mengumpulkan orang – orang yang tepat untuk menyelesaikan suatu tugas. Penggabungan orang dan pekerjaan secara efektif memungkinkan para wirausaha untuk mengubah pandangan ke depan menjadi kenyataan. •
Menilai prestasi lebih tinggi dari uang Salah satu kesalahmengertian yang paling umum mengenai wirausaha adalah
anggapan bahwa mereka sepenuhnya terdorong oleh keinginan menghasilkan uang.
Sebaliknya, prestasi tampak sebagai motivasi utama para wirausaha; uang hanyalah cara untuk “menghitung skor” pencapaian sasaran atau simbol prestasi. Seorang peneliti bisnis mengatakan, “Yang membuat wirausaha bergerak maju lebih kompleks - dan lebih luhur – dari sekedar uang. Kewirausahaan lebih mengenai menjalankan sendiri apa yang diinginkan. Tentang sesuatu yang tampaknya tidak mungkin.”
Sedangkan kompetensi - kompetensi yang merupakan karakteristik dari wirausaha yang berhasil yaitu: o
Proaktif: 1. Inisiatif, yaitu: melakukan sesuatu sebelum diminta atau terdesak oleh keadaan. 2. Asertif, yaitu: menghadapi masalah secara langsung dengan orang lain. Meminta orang lain mengerjakan apa yang harus mereka lakukan.
o
Berorientasi prestasi : 1. Melihat dan bertindak berdasarkan peluang, yaitu: menangkap peluang khusus untuk memulai bisnis baru, mencari bantuan keuangan, lahan ruang kerja dan bimbingan. 2. Orientasi efisiensi, yaitu: mencari dan menemukan cara untuk mengerjakan sesuatu dengan lebih cepat atau dengan lebih sedikit biaya. 3. Perhatian pada pekerjaan dengan mutu tinggi, yaitu: keinginan untuk menghasilkan atau menjual produk atau jasa dengan mutu tinggi. 4. Perencanaan yang sistematis, yaitu: menguraikan pekerjaan yang besar menjadi tugas-tugas atau sasaran-sasaran kecil, mengantisipasi hambatan, menilai alternatif.
5. Pemantauan, yaitu: mengembangkan atau menggunakan prosedur untuk memastikan bahwa pekerjaan dapat diselesaikan atau sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan. o
Komitmen pada orang lain: 1. Komitmen terhadap pekerjaan, yaitu: melakukan pengorbanan pribadi atau bisnis yang luar biasa untuk menyelesaikan pekerjaan, menyingsingkan lengan baju bersama karyawan dan bekerja di tempat karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan. 2. Menyadari pentingnya dasar - dasar hubungan bisnis, yaitu: melakukan tindakan agar tetap dekat dengan pelanggan, memandang hubungan pribadi sebagai sumber daya bisnis, menempatkan jasa baik jangka panjang di atas keuntungan jangka pendek.
Sedangkan menurut Hendro dan Widhianto (2006, pp.54-55), yang membedakan seorang entrepreneur dengan orang biasa atau orang lain adalah bahwa seorang
entrepreneur ialah seorang yang mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1. Pandai mengelola ketakutannya Seorang smart and good entrepreneur pandai mengelola ketakutannya untuk membangkitkan keberanian dan kepercayaan dirinya dalam menghadapi suatu risiko (Risk Manager, bukan Risk Taker). 2. Mempunyai “iris mata” yang berbeda dengan yang lain Iris mata adalah cara seseorang memandang sesuatu (masalah, kesulitan, perubahan,
diri
sendiri,
lingkungan,
tren
dan
kejadian)
untuk
memunculkan
kreativitasnya agar tercipta ide - ide, gagasan, konsep dan impiannya, lalu mencoba
untuk meningkatkan nilai (added value ). Jadi, seorang yang mempunyai jiwa
entrepreneur yang kuat itu mempunyai pola pandang akan sesuatu yang berbeda dengan orang lain. 3. Pemasar sejati atau penjual yang ulung
Skill akan mempermudah dalam membangun bisnis, mengakselerasi kecepatan pertumbuhan bisnis, dan mengurangi ketergantungan modal yang besar. 4. Melawan arus dan menyukai tantangan baru Seorang smart and good entrepreneur cenderung tidak suka mengikuti arus tengah, orang atau terperangkap di dalam kehidupan yang monoton (sempurna). Dia selalu tidak bisa diam, berpikir dan terus berpikir. Dia adalah seorang “creative and smart
worker”. 5. High determination (mempunyai keteguhan hati yang tinggi) Perbedaan seorang entrepreneur sejati dengan entrepreneur yang biasa-biasa saja adalah dalam hal durability, firm, dan determination. Keteguhan hati membuat orang berbeda di dalam memandang suatu kegagalan. Kegagalan adalah persepsi orang yang merasa buntu dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan dan cenderung tidak ingin berusaha untuk mencari jalan keluar atau pemecahannya. Kegagalan bukanlah ujung dari perjalanan. Sebetulnya orang-orang tersebut tidak akan gagal, tetapi:
Kehilangan langkah selanjutnya.
Bahwa itu bukanlah jalan yang harus kita lakukan atau ambil – cobalah mundur dan melihat dari sisi lain (dari atas, sebagai penonton, atau dari samping) sehingga kita akan menemukan jalan lain yang menolong kita untuk berubah lebih baik lagi.
Bahwa persiapan kita untuk mengantisipasi risiko tidak sebanding dengan yang terjadi (tidak “proaktif”).
Itu adalah rintangan. Apa yang kita anggap sebagai sebuah kegagalan adalah sebuah rintangan. Kita diberi sinyal bahwa hal itu bukanlah jalan yang baik bagi kita.
Kita kehabisan “napas”, dalam arti bingung atau kekurangan modal.
6. Tidak menerima apa yang ada di depannya dan selalu mencari yang terbaik (perfectionist) Seorang smart and good entrepreneur diharapkan mampu memberikan apa yang lebih baik lagi pada pelanggan. Seorang yang perfeksionis itu seperti pisau bermata dua. Yang pertama ialah bahwa ia berdampak untuk berusaha mencapai yang terbaik dan memberikan yang terbaik. Dan yang kedua, ia berdampak buruk bagi dirinya sendiri bila ia tidak mampu menanggung senjata kesempurnaan dirinya dan pikirannya sehingga berakibat fatal, seperti frustasi dan putus asa karena idealisme yang mengubur impiannya. Wirausaha yang baik harus mengubah hal itu menjadi kekuatannya. Selain itu, menurut Hendro dan Widhianto (2006, p.56), ada beberapa ciri yang biasanya ada dalam diri seorang entrepreneur yang telah sukses, yaitu: •
Mempunyai impian - impian realistis dan tinggi dan mampu diubah menjadi cita – cita yang harus ia capai. Hidupnya ingin berubah karena kekuatan emosionalnya yang tinggi dan keyakinannya yang kuat, sehingga impian itu bisa terwujud (power
of dream). •
Mempunyai empat karakter dasar kekuatan emosional yang saling mendukung untuk sukses:
Sumber : Hendro dan Widhianto (2006, p.56)
Gambar 2.2 Karakter Dasar Kekuatan Emosional Wirausaha Sukses
•
Menyukai tantangan dan tidak pernah puas dengan apa yang didapat (High
Achiever) •
Mempunyai ambisi dan motivasi yang kuat (motivator)
•
Memiliki keyakinan yang kuat akan kemampuannya bahwa dia bisa (power of
mind) •
Seorang yang visioner dan mempunyai daya kreativitas tinggi
•
Risk manager, not just a risk taker.
•
Memiliki strong emotional attachment (kekuatan emosional)
•
Seorang problem solver
•
Mampu menjual dan memasarkan produknya (seller)
•
Ia mudah bosan dan sulit diatur
•
Seorang kreator ulung.
Sedangkan menurut Prijosaksono dan Bawono (2005, pp.15-19), seorang wirausaha sejati memiliki sikap fokus dan sikap disiplin dalam berwirausaha.
Ada beberapa alasan mengapa seorang wirausaha harus fokus, yaitu sebagai berikut: -
Pertama, dengan fokus seorang wirausaha dapat melihat dengan lebih jelas dan tujuan atau sasaran yang hendak dicapainya.
-
Kedua, dengan lebih fokus, seorang wirausaha dapat melihat peluang – peluang yang ada di sekitarnya. Bila kita mempunyai impian dan sasaran – sasaran dalam membangun bisnis kita dan fokus terhadap impian itu, akan muncul banyak peluang yang dapat kita lihat. Apa yang menjadi fokus, itulah yang akan selalu terlihat.
-
Ketiga, dengan fokus, persepsi terhadap masalah, kegagalan yang dihadapi dalam membangun bisnis akan berubah. Jika kita fokus pada impian atau tujuan akhir kita, maka persepsi kita terhadap hal – hal tersebut akan menjadi positif.
-
Keempat, fokus memberi kita energi untuk bergerak lebih tinggi.
-
Kelima, fokus dapat meningkatkan daya juang terhadap kegagalan dan kesulitan dalam membangun bisnis. Di sisi lain, keunggulan seorang entrepreneur sejati terletak dari kedisiplinannya
untuk terus – menerus membangun kebiasaan – kebiasaan yang dapat senantiasa memperbaiki dan mengembangkan bisnisnya, baik itu kebiasaan untuk melakukan inovasi terus – menerus, kebiasaan untuk mengakumulasi aset, kebiasaan untuk memberikan pelayanan yang terbaik pada pelanggan, kebiasaan untuk terus belajar dan mengembangkan diri dan sebagainya. Untuk menjadi entrepreneur yang sukses, kita harus belajar untuk disiplin dalam segala hal. Dimulai dengan membangun kebiasaan – kebiasaan yang dapat memperbaiki diri kita maupun kebiasaan – kebiasaan yang dapat memperbaiki kinerja bisnis kita.
Berdasarkan uraian – uraian yang telah dikemukakan tentang karakteristik jiwa wirausaha, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang wirausaha akan memiliki sejumlah karakteristik khusus seperti : •
Mampu
menciptakan
kesempatan
usaha,
dapat
memanfaatkan
kesempatan usaha yang ada, serta lebih menyukai kerja mandiri dibandingkan bekerja pada orang lain. Menurut Hendro dan Widhianto (2006, p.54), seorang smart and good
entrepreneur cenderung tidak suka mengikuti arus tengah, orang atau terperangkap didalam kehidupan yang monoton (sempurna). Dia selalu tidak bisa diam, berpikir dan terus berpikir. Dia adalah seorang “creative and smart worker”. Seorang wirausaha yang sejati juga memiliki “iris mata” yang berbeda dari orang lain. Iris mata adalah cara seseorang memandang sesuatu (masalah, kesulitan, perubahan,
diri
sendiri,
lingkungan,
tren
dan
kejadian)
untuk
memunculkan
kreativitasnya agar tercipta ide - ide, gagasan, konsep dan mimpinya, lalu mencoba untuk meningkatkan nilai (added value ). Jadi, seorang yang mempunyai jiwa
entrepreneur yang kuat itu mempunyai pola pandang akan sesuatu yang berbeda dengan orang lain. Menurut Zimmerer dan Scarborough (2004, p.7), salah satu karakteristik dalam wirausaha yang berhasil adalah memiliki kompetensi orientasi prestasi, yaitu diantaranya mampu melihat dan bertindak berdasarkan peluang, yaitu: menangkap peluang khusus untuk memulai bisnis baru, mencari bantuan keuangan, lahan ruang kerja dan bimbingan. Wirausaha memiliki orientasi ke depan. Mereka mempunyai indera yang kuat dalam mencari peluang. Mereka melihat ke depan dan tidak begitu
mempersoalkan apa yang telah dikerjakan kemarin, melainkan lebih mempersoalkan apa yang akan dikerjakan esok. Bila manajer tradisional memperhatikan pengelolaan sumber daya yang ada, wirausaha lebih tertarik mencari dan memanfaatkan peluang (Zimmerer dan Scarborough, 2004, p.5).
•
Menyadari perlu kerja keras agar berhasil, membiasakan untuk disiplin diri dalam kehidupan, selalu melakukan pekerjaan dengan penuh tanggung jawab serta selalu mengerjakan segala hal dengan baik, teliti, dan tekun. Menurut Hendro dan Widhianto (2006, pp.55-56), wirausaha yang sukses
mempunyai impian – impian realistis dan tinggi dan mampu diubah menjadi cita – cita yang harus ia capai. Hidupnya ingin berubah karena kekuatan emosionalnya yang tinggi dan keyakinannya yang kuat, sehingga impian itu bisa terwujud (power of dream). Perbedaan seorang entrepreneur sejati dengan entrepreneur yang biasa-biasa saja adalah dalam hal durability, firm, dan determination. Keteguhan hati membuat orang berbeda di dalam memandang suatu kegagalan. Kegagalan adalah persepsi orang yang merasa buntu dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan dan cenderung tidak ingin berusaha untuk mencari jalan keluar/pemecahannya. Kegagalan bukanlah ujung dari perjalanan. Mereka mengejar peluang dengan disiplin yang ketat. Umumnya wirausaha tidak hanya bersiap untuk peluang yang kecil, namun mereka langsung mengambil tindakan terhadap peluang-peluang yang belum tergali. Mereka sering mengkaji ulang koleksi ide-ide mereka, tetapi mereka merealisasikannya hanya ketika hal
itu diperlukan. Mereka melakukan investasi hanya jika arena suatu kompetisi menarik mereka dan peluang yang ada sudah matang. Mereka juga fokus pada pelaksanaan, khususnya yang bersifat adaptif. Orang dengan kerangka berpikir wirausaha akan memilih melaksanakan apa yang telah mereka tetapkan daripada menganalisis ide baru yang menghancurkan. Adaptasi yang mereka lakukan dengan mengubah arah kerja sesuai dengan peluang yang nyata dan mengambil langkah terbaik untuk merealisasikannya. (Lupiyoadi, 2004, p.22) Keunggulan seorang entrepreneur sejati terletak dari kedisiplinannya untuk terus – menerus membangun kebiasaan – kebiasaan yang dapat senantiasa memperbaiki dan mengembangkan bisnisnya, baik itu kebiasaan untuk melakukan inovasi terus – menerus, kebiasaan untuk mengakumulasi aset, kebiasaan untuk memberikan pelayanan yang terbaik pada pelanggan, kebiasaan untuk terus belajar dan mengembangkan diri dan sebagainya. (Prijosaksono dan Bawono, 2005, p.23). Menurut Zimmerer dan Scarborough (2004, pp.5-7), hambatan, rintangan, dan kekalahan, umumnya tidak menghalangi para wirausaha, yang secara keras kepala menggapai tujuan mereka. “Wirausaha adalah orang yang menikmati permainan bisnisnya dan tidak pernah menyerah – tidak peduli seberapa berat keadaan,“ tutur seorang peneliti. Salah satu karakteristik dalam wirausaha yang berhasil adalah memiliki kompetensi komitmen pada orang lain, yaitu diantaranya komitmen terhadap pekerjaan, yaitu: melakukan pengorbanan pribadi atau bisnis yang luar biasa untuk menyelesaikan pekerjaan, menyingsingkan lengan baju bersama karyawan dan bekerja di tempat karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan.
Meluncurkan sebuah perusahaan agar berhasil membutuhkan komitmen penuh dari wirausaha. Pendiri bisnis sering membenamkan diri sepenuhnya dalam bisnis mereka. Seorang pakar mengemukakan “Wirausaha pada umumnya harus melewati rintangan yang mengecilkan hati pada tahap – tahap awal.” Ini memerlukan komitmen. “Saya menyamakan komitmen dengan kemampuan bertahan.” kata seorang konsultan. Di sisi lain, wirausaha merasa bertanggung jawab secara pribadi atas hasil perusahaan tempat mereka terlibat. Mereka lebih menyukai dapat mengendalikan sumber – sumber daya mereka sendiri dan menggunakan sumber – sumber daya tersebut untuk mencapai cita – cita yang telah ditetapkan sendiri.
•
Memiliki jiwa kepemimpinan Hal ini terkait dengan keterampilan mengorganisasi. Membangun sebuah
perusahaan “dari nol” dapat dibayangkan seperti menghubungkan potong – potongan sebuah gambar besar. Para wirausaha mengetahui cara mengumpulkan orang – orang yang tepat untuk menyelesaikan suatu tugas. Penggabungan orang dan pekerjaan secara efektif memungkinkan para wirausaha untuk mengubah pandangan ke depan menjadi kenyataan. (Zimmerer dan Scarborough, 2004, p.5). Hal ini juga terkait dengan hal bagaimana mereka mengikutsertakan energi setiap orang yang berada dalam jangkauan mereka. Kebiasaan wirausaha diantaranya adalah melibatkan banyak orang baik dari dalam maupun luar organisasi untuk mewujudkan peluang mereka. Mereka memilih membuat dan menyebarkan jaringan kerja daripada mengerjakannya sendiri. Mereka memberdayakan berbagai
potensi intelektual dan sumber daya manusia untuk membantu mereka meraih tujuan sebaik mungkin (Lupiyoadi, 2004, p.22).
•
Mampu mempertimbangkan risiko, serta selalu mempertimbangkan faktor penghambat maupun penunjang dalam mengambil keputusan Menurut Zimmerer dan Scarborough (2004, p.4), wirausaha bukanlah seorang
pengambil risiko liar, melainkan seseorang yang mengambil risiko yang diperhitungkan. Wirausaha melihat suatu bisnis dengan tingkat pemahaman risiko pribadinya. Cita – cita mungkin tampak tinggi - bahkan mungkin mustahil tercapai - menurut orang lain, tetapi wirausaha melihat situasi itu dari sudut pandang yang berbeda dan percaya bahwa sasaran mereka masuk akal dan dapat tercapai. Mereka biasanya melihat peluang di daerah yang sesuai dengan pengetahuan, latar belakang, dan pengalamannya yang akan meningkatkan kemungkinan keberhasilannya. Menurut Hendro dan Widhianto (2006, p.54), seorang smart and good
entrepreneur pandai mengelola ketakutannya untuk membangkitkan keberanian dan kepercayaan dirinya dalam menghadapi suatu risiko. Mereka adalah risk manager, bukan
risk taker.
2.2.2
Level-Level Enterpreneur dan Unsur Entrepreneur Yang Sukses Menurut Hendro dan Widhianto (2006, p.44), level demi level dari entrepreneur,
yaitu:
1. Level “zero” – Unemployee Di dalam Rich Dap Poor Dad karangan Robert T. Kyosaki bahwa level ini merupakan level yang paling minimal (zero atau risk free). Ada usaha untuk naik ke level 1, tetapi tidak kunjung bisa karena tidak adanya “selling point”. 2. Level 1 – Employee ( Litttle Risk)
Entrepreneur level 1 ini yaitu employee , maka bisa mempunyai visi jauh ke depan. Risiko yang besar ditanggung oleh pemilik perusahaan. 3. Level 2 – Self Business ( Self Employee) Pada level ini, ciri-ciri entrepreneur sejati sudah mulai muncul, yaitu mempunyai visi yang tidak ingin diatur, tidak mudah puas diri dan seseorang “high achiever”. 4. Level 3 – Businessman (Business Owner) Pada level ini, bisnisman sedikit mempunyai jiwa “challenging ” yang kuat, sehingga ia benar-benar ingin menjadi bos dari sebuah tim atau sistem. Lebih komplet dan mendekati “perfect organization leader”. 5. Level 4 – Investor (Truly Speculative Businessman) Pada level ini, faktor kalkulasi yang spekulatif untuk menentukan bisnisnya, tetapi penuh dengan perhitungan (professional) atau menjurus ke gambling (gambler). Level ini (investor) bisa dicapai oleh level-level yang lain tanpa melalui level 1, 2 dan 3.
Menurut Hendro dan Widhianto (2006, p.21), setiap wirausahawan yang sukses memiliki empat unsur pokok, yaitu: 1. Kemampuan (hubungannya dengan IQ dan skill) -
dalam membaca peluang
-
dalam berinovasi
-
dalam mengelola
-
dalam menjual
2. Keberanian (hubungannya dengan EQ dan mental) -
dalam mengatasi ketakutan
-
dalam mengendalikan resiko
-
untuk keluar dari zona kenyamanan
3. Keteguhan hati (hubungannya dengan motivasi diri) -
persistence (ulet), pantang menyerah
-
determinasi (teguh akan keyakinannya)
-
kekuatan akan pikiran (power of mind ) bahwa Anda juga bisa
4. Kreativitas menentukan
yang
dapat
peluang
menghasilkan berdasarkan
inspirasi
intuisi
sebagai
ide
(hubungannya
untuk dengan
experiences) Seorang enterpreneur harus bisa melihat suatu peluang atau kesempatan dari perspektif yang berbeda dari orang lain atau yang tidak dipikirkan oleh orang lain yang kemudian dapat diwujudkan menjadi value. Dalam Hendro dan Widhianto (2006, p.21), Enterpreneur yang berhasil adalah
entrepreneur yang mampu bertahan dengan segala keterbatasan, memanfaatkan, dan meningkatkannya untuk memasarkan (tidak hanya menjual) peluang tersebut dengan baik serta terus menciptakan reputasi yang membuat perusahaan itu bisa berkembang.
2.3
Pengertian Kepemimpinan dan Pemimpin Menurut Siagian sebagaimana dikutip oleh Gouzali (1995, p.211) menyebutkan
bahwa kepemimpinan merupakan inti manajemen, karena kepemimpinan adalah motor penggerak bagi Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam lainnya. Menurut Prajudi Amosudirdjo dalam bukunya “Beberapa Pandangan Umum tentang Pengambilan Keputusan (Decision Making)” sebagaimana dikutip oleh Gouzali (1995, p.212) mengatakan bahwa kepemimpinan itu dapat: a. Dianggap sebagai penyebab kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang dalam organisasi. b. Dianggap sebagai seni, kesanggupan atau teknik membuat orang-orang mengikuti atau menaati apa yang dikehendakinya. c. Dirumuskan sebagai kepribadian seseorang yang ingin dicontoh oleh orang lain (bawahannya). d. Disebut sebagai pemberi pengaruh terhadap orang-orang tertentu, sehingga mereka bersedia mengubah sikap dan pandangnya dalam suatu organisasi atau perusahaan. e. Dianggap sebagai suatu bentuk persuasive, seni membina kelompok dengan melakukan motivasi yang tepat agar mereka mau bekerjasama dalam pencapaian tujuan organisasi. f.
Dipandang sebagai suatu sarana untuk membuat orang-orang mau bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Arep dan Tanjung (2003, p.93) mengungkapkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk menguasai atau mempengaruhi orang lain atau masyarakat yang berbeda-beda menuju pencapaian tertentu.
Sedangkan menurut Davis sebagaimana dikutip oleh Amirullah dan Budiyono (2004, p.245) kepemimpinan adalah kemampuan untuk membujuk orang lain dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara antusias. Dari pengertian kepemimpinan di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan lebih yang dimiliki oleh seseorang (baik dalam organisasi atau tidak) untuk mempengaruhi dan membujuk orang-orang yang ada dalam lingkungannya, agar mereka bersedia bekerja untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Dalam buku Kartini Kartono (2006, pp.38-39) pemimpin mempunyai bermacammacam pengertian. Beberapa definisi tersebut antara lain: 1. Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya di satu bidang, sehingga mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. Jadi, pemimpin itu ialah seorang yang memiliki satu atau beberapa kelebihan sebagai predisposisi (bakat yang dibawa sejak lahir) dan merupakan kebutuhan dari satu situasi zaman sehingga mempunyai kekuasaan dan kewibawaan untuk mengarahkan dan membimbing bawahan. 2. Menurut Henry Pratt Fairchild yang dikutip oleh Kartini Kartono (2006, p.38) menyatakan bahwa pemimpin dalam arti luas ialah seorang yang memimpin dengan jalan
memprakasai
tingkah
laku
sosial
dengan
mengatur,
mengarahkan,
mengorganisasikan atau mengontrol usaha/upaya orang lain atau melalui prestise , kekuasaan atau posisi. Dalam arti sempit, pemimpin ialah seorang yang membimbing,
memimpin
dengan
bantuan
kualitas
akseptansi/penerimaan secara sukarela oleh para pengikutnya.
persuasifnya,
dan
3. Menurut John Gage Allee yang dikutip oleh Kartini Kartono (2006, p.39) menyatakan bahwa ”Leader ... a guide; a conductor; a commander” (pemimpin itu ialah pemandu, penunjuk, penuntun, komandan). Seorang pemimpin yang baik, adalah seseorang yang tidak melaksanakan sendiri tindakan yang bersifat operasional, tetapi mengambil keputusan, menentukan kebijaksanaan dan menyerahkan orang lain untuk melaksanakan keputusan yang telah diambil sesuai dengan kebijaksanaan yang telah digariskan. Dari beberapa definisi yang dikemukakan dapat ditarik kesimpulan bahwa pemimpin adalah pribadi yang memiliki kecakapan khusus, dengan atau tanpa pengangkatan resmi dapat mempengaruhi kelompok yang dipimpinny, untuk melakukan usaha bersama mengarah pada pencapaian sasaran-sasaran tertentu.
2.3.1
Jenis-Jenis Pemimpin Jenis-jenis pemimpin dalam Kartini Kartono (2006, p.9):
1. Pemimpin Formal Adalah orang yang oleh organisasi/lembaga tertentu ditunjuk sebagai pemimpin, berdasarkan keputusan dan pengangkatan resmi untuk memegang suatu jabatan dalam struktur organisasi, dengan segala hak dan kewajiban yang berkaitan dengannya, untuk mencapai sasaran organisasi. 2. Pemimpin Informal Adalah orang yang tidak mendapatkan pengangkatan formal sebagai pemimpin, namun karena memiliki sejumlah kualitas maka mencapai kedudukan sebagai orang yang mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok atau masyarakat.
2.3.2
Sifat-Sifat Pemimpin Menurut Ordway Tead dalam tulisannya yang dikutip oleh Kartini Kartono (2006,
p.44) mengemukakan 10 sifat pemimpin, yaitu: 1) Energi jasmaniah dan mental (physical and nervous energy) 2) Kesadaran akan tujuan dan arah (A sense of purpose and direction) 3) Antusiasme (enthusiasm; semangat, kegairahan, kegembiraan yang besar) 4) Keramahan dan kecintaan (Friendliness and affection) 5) Integritas (Integrity, keutuhan, kejujuran, ketulusan hati) 6) Penguasaan teknis (technical mastery) 7) Ketegasan dalam mengambil keputusan (decisiveness) 8) Kecerdasan (intelligence ) 9) Keterampilan mengajar (teaching skill) 10) Kepercayaan (faith) Sedangkan menurut George R. Terry dalam bukunya ”Principles of Management” yang dikutip oleh Kartini Kartono (2006, p.47) menuliskan 10 sifat pemimpin yang unggul, yaitu: 1) Kekuatan, kekuatan badaniah dan rohaniah 2) Stabilitas emosi 3) Pengetahuan tentang relasi insani 4) Kejujuran 5) Objektif 6) Dorongan pribadi 7) Keterampilan berkomunikasi
8) Kemampuan mengajar 9) Keterampilan sosial 10) Kecakapan teknis atau kecakapan manajerial
2.3.3
Peran Kepemimpinan Menurut R. Achmad Rustandi dalam bukunya Gaya Kepemimpinan yang mengutip
pendapat Henry Mintzberg sebagaimana dikutip oleh Gouzali (1995, p.214) mengemukakan berbagai macam peranan kepemimpinannya, yaitu: a. Peran Antar Manusia Peran antar manusia itu akan meliputi: 1. Peran selaku tokoh. Peran ini menyebabkan setiap pemimpin merupakan kewajiban untuk melakukan kegiatan yang bersifat seremonial (upacara), seperti meresmikan proyek-proyek, membuka upacara-upacara resmi, menyematkan tanda jasa dan sebagainya. 2. Peran selaku pimpinan. Peran ini, menyebabkan seorang pemimpin bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan para bawahannya, memotivasi dan meningkatkan semangat kerja serta berusaha menyelaraskan kebutuhan bawahan dengan kepentingan perusahaan. 3. Peran selaku penghubung. Peran ini akan menimbulkan kewajiban pada seorang pemimpin untuk melakukan hubungan dengan atasan, teman sejawat dan bawahan, serta dengan orang-orang di luar perusahaannya. b. Peran Informatif Peran informatif yang dilakukan oleh seorang pemimpin maksudnya, adalah peran seorang pemimpin dalam menerima dan mengirimkan informasi dalam rangka
hubungan yang dijalankan dengan lingkungan sekitarnya. Peran informatif ini akan meliputi:
Peran sebagai pemantau (monitor), berarti bahwa ia selaku pemimpin selalu memantau informasi dari berbagai arah untuk kepentingan unit kerja yang dipimpinnya.
Peran selaku penyebar (distributor), berarti ia kadang-kadang perlu memberi informasi yang peru diketahui oleh bawahannya (intern).
Peran selaku PUREL (public relation = hubungan masyarakat), karena ia kadang-kadang perlu pula memberi informasi kepada pihak-pihak luar (ekstern) tentang perkembangan unit kerjanya, macam program yang akan dilaksanakan dan sebagainya.
c. Peran Pembuatan Keputusan Peran selaku pembuat keputusan, maksudnya bahwa seorang pemimpin mempunyai kewajiban melakukan pengambilan keputusan untuk kelancaran mekanisme unit kerjanya. Keputusan yang diambil tentu saja berdasarkan informasi atau masukan (input) yang ada atau sudah dimilikinya selaku pemegang peran informatif. Peran seorang pemimpin selaku pengambil keputusan meliputi:
Peran selaku wiraswastawan (entrepreneur), maksudnya seorang pemimpin itu haruslah memiliki jiwa wiraswasta (bisnis) dalam memajukan unit kerjanya. Ia mempunyai inisiatif dan terobosan-terobosan baru untuk pengembangan diri dan unit kerjanya.
Peran selaku penanggung resiko, maksudnya bahwa seorang pemimpin waktu mengambil keputusan, pelaksanaan keputusan itu belum tentu benar dan tepat 100% seperti apa yang diinginkan. Untuk itu si pemimpin harus berani
menanggung
risiko
(penyimpangan)
tersebut,
dan
berusaha
untuk
menanggulanginya.
Peran selaku pembagi sumber daya, berarti si pimpinan itu berkewajiban melakukan pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab di antara para bawahannya. Dalam keadaan sumber daya yang sangat terbatas itu si pimpinan haruslah pandai-pandai membaginya di antara semua orang, mendelegasikan wewenang,
membina
bawahan
agar
mereka
berkemampuan
dalam
melaksanakan tugas lebih efisien dan efektif.
Peran selaku perunding, maksudnya seorang pemimpin akan menggunakan banyak waktunya untuk melakukan pendekatan (lobying ) baik ke dalam maupun dengan pihak luar. Semua ini dilakukan untuk kelancaran tugas yang diembannya sebagai pemimpin.
2.3.4
Gaya Kepemimpinan Menurut Kartini Kartono (2006, p.27) gaya kepemimpinan “sebagai suatu pola
prilaku manajemen profesional yang dirancang untuk memadukan minat dan usaha pribadi serta organisasi untuk mencapai tujuan” , ada 3 macam kepemimpinan: 1. Kepemimpinan Authoritarian (Authocratic) pemimpin mengutamakan kekuatan dari posisi formalnya: a.
Kurang memperhatikan kebutuhan bawahan
b.
Lebih menciptakan penyelesaian tugas
c.
Semua aktivitas ditentukan oleh atasan
d.
Komunikasi hanya satu arah → kebawah saja
2. Kepemimpinan Partisipaty (Democratie) a.
Melibatkan bawahan dalam perencanaan / pengambilan keputusan
b.
Lebih memperhatikan kepada bawahan → mencapai tujuan organisasi
c.
Menekankan 2 hal → bawahan dan tugas
3. Kepemimpinan Laisser – Faire merupakan kebalikan dari gaya kepemimpinan yang pertama: a.
Disini pemimpin membiarkan bawahannya untuk mengatur dirinya sendiri
b.
Manajer hanya menentukan kebijaksanaan dan tujuan umum
c.
Bawahan dapat mengambil keputusan yang relevan dan mencapai tujuan dalam segala hal yang mereka anggap cocok.
Menurut W.J Reddin dalam artikelnya What Kind of Manager, dan dikutip oleh Wahjosumidjo (Dept. P. & K., Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai, 1982) sebagaimana dikutip oleh Kartini Kartono (2006, p.34), menentukan watak tipe dan tipe pemimpin atas tiga pola dasar, yaitu: Berorientasi pada tugas (task orientation) Berorientasi hubungan kerja (relationship orientation) Berorientasi hasil yang efektif (effectivess orientation) Berdasarkan
penonjolan
ketiga
orientasi
tersebut,
dapat
ditentukan
depalan
tipe
kepemimpinan, yaitu: •
Tipe deserter (pembelot) Sifatnya: bermoral rendah, tidak memiliki rasa keterlibatan, tanpa pengabdian, tanpa loyalitas dan ketaatan.
•
Tipe birokrat Sifatnya: correct, kaku, patuh pada peraturan dan norma-norma.
•
Tipe misionaris (missionary) Sifatnya: terbuka, penolong, ramah-tamah.
•
Tipe developer (pembangun) Sifatnya:
kreatif,
dinamis,
inovatif,
memberikan
wewenang
dengan
baik,
menaruhkan kepercayaan pada bawahan. •
Tipe otokrat Sifatnya: keras, diktatoris, mau menang sendiri, keras kepala, sombong.
•
Benevolent autocrat (otokrat yang bijak) Sifatnya: lancar, tertib, ahli dalam mengorganisasikan.
•
Tipe compromiser (kompromis) Sifatnya: tidak punya pendirian, berpikir pendek dan sempit, tidak mempunyai keputusan.
•
Tipe eksekutif Sifatnya: bermutu tinggi, dapat memberikan motivasi, tekun.
Ada sekelompok sarjana yang membagikan tipe kepemimpinan dikutip oleh Kartini Kartono (2006, p.80) sebagai berikut: 1. Tipe Karismatis Tipe ini memiliki kekuatan energi, daya tarik dan pembawaan yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga pengikut sangat banyak jumlahnya. 2. Tipe Paternalistis dan Maternalistis Tipe kepemipinan yang kebapakan, dengan sifat-sifat antara lain sebagai berikut:
a. Memiliki sikap terlalu melindungi (overly protective ). b. Menganggap bawahannya sebagai manusia yang belum dewasa. c. Jarang memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengambil keputusan sendiri, untuk berinisiatif, untuk mengembangkan imajinasi dan daya kreativitas mereka sendiri. Untuk tipe kepemimpinan maternalistis, mirip dengan tipe paternalistis. Hanya perbedaanya pada sikap yang terlalu over-protective atau terlalu melindungi yang lebih menonjol disertai kasih sayang yang berlebihan. 3. Tipe Militeristis Tipe yang bersifat kemiliteran. Dengan sifat-sifatnya antara lain: a. Lebih banyak memerintah kepada bawahannya, menggunakan kekerasan, sangat otoriter, kaku dan kurang bijaksana. b. Menghendaki kepatuhan mutlak dari bawahan. c. Sangat menyenangi formalitas, disiplin keras. d. Tidak menghendaki kritik, saran, usulan dari bawahannya. e. Komunikasi hanya berlangsung satu arah. 4. Tipe Otokratis (Outhoritative, Dominator) Kepemimpinan tipe ini mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan yang mutlak harus dipatuhi. Pemimpinnya selalu mau berperan sebagai pemain tunggal, berambisi untuk merajai situasi dan keadaan, setiap perintah dan kebijakan yang ditetapkan tanpa berkonsultasi dengan bawahannya, bawahan tidak pernah diberi infomasi secara detail.
5. Tipe Laissez Faire Pada tipe ini, pemimpin tidak berpartisipasi sedikit pun dalam suatu kegiatan kelompoknya. Semua pekerjaan dan tanggung jawab harus dilakukan oleh bawahannya sendiri. Merupakan pemimpin simbol dan biasanya tidak memiliki ketrampilan teknis. Pemimpin yang tidak memiliki kewibawaan, tidak dapat mengontrol bawahannya, tidak mampu melaksanakan koordinasi kerja, tidak dapat menciptakan suasana kerja yang kondusif dan koorporatif. 6. Tipe Populistis Kepemimpinan tipe ini merupakan kepemimpinan yang dapat membangun solidaritas rakyat. Kepemimpinan ini berpegang teguh pada nilai-nilai masyarakat tradisional, lebih mengutamakan nasionalisme. 7. Tipe Administratif atau Eksekutif Kepemimpinan tipe ini adalah kepemimpinan yang mampu menyelenggarakan tugastugas administrasi secara efektif. 8. Tipe Demokratis Kepemimpinan demokratis berorientasi pada manusia, memberikan bimbingan yang efisien kepada para pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan dengan bawahan, kerjasama yang baik, rasa tanggung jawab internal. Kekuatan kepemimpinan demokratis terletak pada partisipasi aktif dari semua orang dalam kelompok. Kepemimpinan demokratis dapat berjalan lancar, walaupun terdapat gejala-gejala sebagai berikut:
Organisasi tetap berjalan lancar walaupun pimpinan tidak ada ditempat.
Otoritas sepenuhnya didelegasikan ke bawah, dan masing-masing orang menyadari tugas serta kewajibannya.
Pada umumnya mengutamakan kesejahteraan dan kelancaran kerja sama dari setiap orang dalam kelompok.
Pemimpin demokratis sebagai katalisator untuk mempercepat dinamisme dan kerjasama demi pencapai tujuan organisasi.
2.3.5
Tugas Kepemimpinan Dalam Manajeman SDM Tugas-tugas kepemimpinan dalam manajemen kepemimpinan cukup banyak, tetapi
ada beberapa tugas-tugas penting yang akan dikemukakan (Saydam 1996, p.233) yaitu : 1. Kepemimpinan Sebagai Konselor Konselor merupakan tugas seorang pemimpin dalam suatu unit kerja, dengan membantu atau menolong SDM untuk mengatasi masalah yang dihadapinya dalam melakukan yang dibebankan kepadanya. Dengan pemberian konseling pada SDM diharapkan karyawan yang bersangkutan akan dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Seorang pemimpin SDM biasanya merupakan orang pertama yang menjadi tempat bertanya bagi karyawan. 2. Tugas Sebagai Instruktur Seorang pemimpin pada peringkat manapun ia berada, sebenarnya pada jabatannya itu melekat sebagai tugas instruktur, atau sebagai pengajar yang baik terhadap SDM yang ada dibawahnya, sehingga pelaksanaan tugas yang dibebankan pada bawahan dapat menjadi lebih berdaya guna dan berhasil guna. 3. Tugas Memimpin Rapat Seorang pemimpin pada peringkat manapun, pada
suatu waktu perlu
mengadakan rapat dan memimpinnya. Seorang pemimpin rapat merupakan motor kehidupan suatu rapat. Apakah rapat akan berhasil atau tidak sangat
ditentukan oleh pemimpin rapat itu sendiri. Oleh sebab itu, peran seorang pemimpin rapat adalah membimbing dan menggerakkan kelompok peserta rapat untuk mencapai sasaran yang tepat dan berguna. 4. Tugas Mengambil Keputusan Seorang pemimpin dalam tugasnya selalu berhadapan dengan pengambilan keputusan. Pemimpin tidak bisa menghindar, karena tugas inilah yang membedakan dengan karyawan biasa. Untuk itu seorang pemimpin mempunyai keberanian dalam mengambil keputusan yang tepat. 5. Tugas Mendelegasikan Wewenang Seorang pemimpin yang bijaksana harus mendelegasikan sebagian tugas dan wewenangnya kepada bawahannya. Pendelegasian ini diperlukan, agar jalannya organisasi tidak mengalami kemacetan dan terhindar dari unsur birokratis (penyelesaian yang bertele-tele dan lama). Dalam pendelegasian ini tanggung jawab dipikul bersama antara yang mendelegasikan dan yang menerima delegasi. Penerapan pendelegasian biasanya dilakukan oleh seorang pemimpin kepada bawahannya yang terdekat.
2.4
Pengertian Manajemen Kinerja dan Kinerja Manajemen kinerja yang dikutip oleh Payaman (2005, p.1) adalah keseluruhan
kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan atau organisasi, termasuk kinerja masing-masing individu dan kelompok kerja di perusahaan tersebut. Sistem manajemen kinerja yang dikutip oleh Robert dan John (2006, p.377) terdiri atas proses untuk mengidentifikasi, mendorong, mengukur, mengevaluasi, meningkatkan dan memberikan penghargaan atas kinerja karyawan.
Menurut Mangkunegara (2000, p.67) kinerja berasal dari kata job performace atau
actual performance yang artinya hasil kerja secara kualitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kinerja (performance) yang dikutip oleh Robert dan John (2006, p.378) adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja yang dikutip oleh Payaman (2005, p.1) adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu. Dari pengertian kinerja di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan suatu hasil kerja yang dilakukan oleh invidivu ataupun organisasi dalam menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan.
2.4.1
Pengertian Kinerja Individu Menurut Soeprihanto (1996, p.7), kinerja seorang karyawan pada dasarnya adalah
hasil kerja selama periode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, misalnya standar, target/sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Kinerja individu yang dikutip oleh Payaman (2005, p.10), adalah kemampuan dan keterampilan melakukan kerja. Kompetensi setiap orang dipengaruhi oleh beberapa faktor: •
Kemampuan dan keterampilan kerja
•
Motivasi dan etos kerja Kinerja setiap individu dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat digolongkan,
yaitu kompetensi orang yang bersangkutan, dukungan organisasi dan dukungan manajemen.
Sumber : Payaman, Manajemen dan Evaluasi Kinerja (2005, p.14)
Gambar 2.3 Model Kinerja Individual 2.4.2
Elemen Kinerja dan Model Perencanaan Kinerja Menurut Robert dan John (2006, p.378) kinerja yang umumnya untuk kebanyakan
pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut:
Kuantitas dari hasil
Kualitasdari hasil
Ketepatan waktu dari hasil
Kehadiran
Kemampuan bekerjasama Dimensi lain dari kinerja di luar beberapa yang umum ini dapat diterapkan pada
berbagai pekerjaan. Kriteria pekerjaan atau dimensi yang spesifik dari kinerja pekerjaan akan mengidentifikasi elemen yang paling penting dalam pekerjaan tersebut. Perencanaan kinerja yang dikutip oleh Payaman (2005, p.18) adalah proses penyusunan rencana kegiatan untuk meningkatkan kinerja perusahaan dan kinerja setiap orang. Rencana kinerja terdiri dari 3 komponen: 1) Uraian jabatan atau uraian tugas (job discription)
2) Sasaran kinerja 3) Rencana tindakan kinerja Disamping uraian jabatan, hasil analisis jabatan perlu juga menggambarkan: •
Sasaran yang harus dicapai dengan melakukan kegiatan yang dimaksud,
•
Standar pencapaian atau standar prestasi kerja
•
Tingkat kesulitan untuk mencapai sasaran
•
Persyaratan kompetensi yang harus dimiliki seseorang agar mampu melakukan kegiatan dimaksud
2.4.3
•
Tahapan proses dan penjadwalan kegiatan yang akan dilakukan
•
Imbalan yang layak bagi orang yang menduduki jabatan dimaksud.
Pembinaan Kinerja Peningkatan kinerja dapat dilakukan antara lain dengan: •
Mendorong pekerja memahami uraian tugas dan uraian jabatannya, serta memahami tanggung jawabnya
•
Mendorong pekerja memahami sasaran yang harus dicapai
•
Membantu pekerja memahami bagaimana melakuakan pekerjaan dengan menggunakan alat-alat kerja yang sesuai
•
Memberdayakan pekerjaan melalui bimbingan, penyuluhan, pendidikan dan pelatihan, rotasi penugasan, dan lain-lain.
•
Menumbuhkan motivasi dan etos kerja
•
Menciptakan iklim kerja yang kondusif
2.4.4
Evaluasi Kinerja Evaluasi kerja yang dikutip oleh Payaman (2005, p.20) adalah satu sistem dan cara
penilaian pecapaian hasil kerja suatu perusahaan atau organisasi dan penilaian pencapaian hasil kerja setiap individu yang bekerja didalam dan untuk perusahaan tersebut. Evaluasi kinerja terdiri atas beberapa tahapan, yaitu:
2.5
•
Mengumpulkan dan menyeleksi informasi
•
Mendeskripsikan dan menginterpretasikan data
•
Mengembangkan dan mengkaji informasi
•
Menarik kesimpulan.
Pengertian Path Analysis
Path analysis yang dikenal dengan analisis jalur yang diartikan oleh Bohrnstedt (1975 dalam Kusnendi, 2005:1) yang dikutip oleh Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro (2007, p.1) adalah “a technique for estimating the effect’s a set of independent variables has on a
dependent variable from a set of observed correlations, given a set of hypothesized causal asymetric relation among the variables” . sedangkan tujuan utama dari path analysis adalah a method of measuring the direct influence along each separate part in such a system and thus of finding the degree to which variation of a give effect is determined by each particular cause. The method depend on the combination of knowledge og the degree of correlation among the variables in a system with such knowledge as may possessed of the causal relation (Maruyama,1998:16). Jadi model path analysis digunakan untuk menganalisis pola hubungan antar variabel dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh langsung maupun tidak langsung seperangkat variabel bebas (eksogen) terhadap variabel terikat (endogen).
Berdasarkan pendapat Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro (2007, p.115), Teknik analisis jalur akan digunakan dalam menguji besarnya sumbangan (kontribusi) yang ditunjukkan oleh koefisien jalur pada setiap diagram jalur dari hubungan kausal antar variabel X1, X2 terhadap Y. Al Rasyid dalam Sitepu (1994:24) yang dikutip oleh Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro (2007, p.115) mengatakan bahwa dalam penelitian sosial tidak semata-mata hanya mengungkapkan hubungan variabel sebagai terjemahan statistik dari hubungan antara variabel alami, tetapi terfokus pada upaya untuk mengungkapkan hubungan kausal antar variabel.
2.5.1
Asumsi-Asumsi Path Analysis Berdasarkan pendapat Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro (2007, p.2), asumsi
yang mendasari path analysis adalah: 1. Hubungan antar variabel bersifat linear, adaptif dan bersifat normal 2. Hanya sistem aliran kausal ke satu arah artinya tidak ada arah kausalitas yang berbalik 3. Variabel terikat (endogen) minimal dalam skala ukur interval dan ratio 4. Menggunakan sampel probability sampling yaitu teknik pengambilan sampel untuk memberikan peluang yang sama pada setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel 5. Observed variables diukur tanpa kesalahan (instrumen pengukuran valid dan
reliable ) 6. Model yang dianalisis dispesifikasikan (diidentifikasi) dengan benar berdasarkan teori-teori dan konsep yang relevan artinya model teori yang dikaji atau diuji
dibangun berdasarkan kerangka teoritis tertentu yang mampu menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel yang diteliti.
2.5.2
Langkah-Langkah Pengujian Path Analysis Berdasarkan pendapat Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro (2007, pp.116-118),
ada beberapa langkah pengujian part analysis yaitu sebagai berikut: 1. Merumuskan hipotesis dalam persamaan struktural Struktur: Y =
ρ yx1 X 1 + ρ yx 2 X 2 + ρ y ε 1
2. Menghitung koefisien jalur yang didasarkan pada koefisien regresi a. Gambarkan diagram jalur lengkap, tentukan sub-sub strukturnya dan rumuskan persamaan strukturalnya yang sesuai hipotesis yang diajukan. Hipotesis: Naik turunnya variabel endogen (Y) dipengaruhi secara signifikan oleh variabel eksogen (X1 dan X2). b. Menghitung koefisien regresi untuk struktur yang telah dirumuskan. Hitung koefisien regresi untuk struktur yang telah dirumuskan: Persamaan regresi ganda: Y = a + b1 X 1 + b2 X 2 + ε 1 Pada dasarnya koefisien jalur (path) adalah koefisien regresi yang distandarkan yaitu koefisien regresi yang dihitung dari basis data yang telah diset dalam angka bakuatau Z-score (data yang diset dengan nilai rata-rata = 0 dan standar deviasi = 1). Koefisien jalur yang distandarkan (standardized path
coefficient) digunakan utnuk menjelaskan besarnya pengaruh (bukan memprediksi) variabel bebas (eksogen) terhadap variabel lain yang diberlakukan sebagai variabel terikat (endogen).
Koefisien part ditunjukkan oleh output yang dinamakan Coefficient yang dinyatakan sebagai Standardized Coefficient atau dikenal dengan nilai Beta. Jika ada diagram jalur sederhana mengandung satu unsur hubungan antara variabel eksogen dengan variabel endogen, maka koefisien part-nya adalah sama dengan koefisien korelasi r sederhana.
3. Menghitung koefisien jalur secara simultan (keseluruhan) a. Kaidah pengujian signifikansi secara manual: Menggunakan Tabel F
F=
(n − k − 1) R 2 YXk k (1 − R 2 YXk ) Keterangan: n = jumlah sampel k = jumlah variabel eksogen
R 2 YXk = Rsquare Jika Fhitung ≥ Ftabel , maka Ho ditolak atau Ha diterima yang artinya signifikan Jika Fhitung ≤ Ftabel , maka Ho diterima yang artinya tidak signifikan Dengan taraf signifikan (α ) = 0.05 Carilah nilai F tabel menggunakan Tabel F dengan rumus: F tabel =
F{(1−α )(dk = k ),(dk = n − k −1)}atauF {(1−α )( v1= k ),( v 2 = n − k −1) }
Cara mencari F tabel: nilai (dk=k) atau v1 disebut nilai pembilang nilai (dk=n-k-1) atau v2 disebut nilai penyebut
b. Kaidah pengujian signifikansi: Program SPSS
Jika nilai probabilitas 0.05 lebih kecil atau sama dengan nilai probabilitas sig atau
[0.05 ≤ Sig ] , maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya tidak signifikan.
Jika nilai probabilitas 0.05 lebih besar atau sama dengan nilai probabilitas sig
[
]
atau 0.05 ≥ Sig , maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya signifikan.
4. Menghitung koefisien jalur secara individu Secara individual uji statistik yang digunakan uji t yang dihitung dengan rumus (Schumacker & Lomax, 1996:44. Kusnendi, 2005:12)
tk =
ρk sepk
; (dk = n − k −1)
Keterangan: Statistik seρX 1 diperoleh dari hasil komputasi pada SPSS utnuk analisis regresi setelah data ordinal ditransformasikan ke interval. Selajutnya untuk mengetahui signifikansi analisi jalur bandingan antara nilai probabilitas 0.05 dengan nilai probabilitas Sig dengan dasar pengambilan keputusan sebagai berikut:
Jika nilai probabilitas 0.05 lebih kecil atau sama dengan nilai probabilitas sig atau
[0.05 ≤ Sig ] , maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya tidak signifikan.
Jika nilai probabilitas 0.05 lebih besar atau sama dengan nilai probabilitas sig atau
[0.05 ≥ Sig ] , maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya signifikan. 5.
Meringkas dan menyimpulkan
2.6
Pengertian Korelasi Korelasi adalah asosiasi (hubungan) antara variabel-variabel yang diminat, apakah
data sampel yang ada menyediakan bukti cukup bahwa ada kaitan antara variabel-variabel dalam populasi asal sampel, jika ada hubungan, seberapa kuat hubungan antara variabel tersebut. Keeratan hubungan itu dinyatakan dengan nama koefisien korelasi atau bisa disebut korelasi saja. Perlu dicatat bahwa dalam korelasi itu kita belum menentukan dengan pasti variabel independent dan dependent-nya seperti yang kita lakukan dalam analisis regresi. (modul praktikum lab statistik manajemen, universitas Bina Nusantara 2006, p.23). Korelasi digunakan untuk mengetahui erat tidaknya hubungan antar variabel. Apabila ternyata hasil analisis menunjukkan hubungan yang cukup erat, maka analisis dilanjutkan ke analisis regresi sebagai alat meramalkan (forecasting) yang sangat berguna untuk perencanaan. Analisis korelasi yang mencakup dua variabel X dan Y disebut analisis korelasi
linear sederhana. Sedangkan yang mencakup lebih dari dua variabel disebut analisis korelasi linear berganda. Hubungan dua variabel ada yang positif dan ada yang negatif. Hubungan x dan y dikatakan positif apabila kenaikan (penurunan) X pada umumnya diikuti oleh kenaikan (penurunan) Y, dan sebaliknya jika dikatakan negatif kalau kedua variabel tersebut mengalami kenaikan (penurunan) secara tidak bersamaan. Korelasi positif yang tinggi antara kedua peubah terjadi bila titik-titik menggerombol mengikuti sebuah garis lurus dengan kemiringan positif, jika kemiringannya negarif maka terjadi korelasi negatif yang tinggi. Kuat dan tidaknya hubungan antara X dan Y, apabila hubungan X dan Y dapat dengan fungsi linear (paling tidak mendekati). Nilai koefisien korelasi ini paling sedikit -1 dan paling besar 1. jadi jika r = koefisien korelasi, nilai r dapat dinyatakan sebagai berikut: -1 ≤ r ≤ 1. Artinya kalau r = 1 hubungannya sempurna dan positif (mendekati 1, hubungan
sangat kuat dan positif, jika r = -1 hubungannya sempurna dan negatif (mendekati -1, hubungan sangat kuat dan negatif, jika r = 0, hubungannya lemah sekali.
2.6.1
Korelasi Sederhana dan Berganda Berdasarkan pendapat Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro (2007, pp.61-62),
Korelasi Pearson Product Moment (PPM) digunakan untuk mengetahui derajat hubungan antara variabel bebas (independent) dengan variabel terikat (dependent). Rumus yang digunakan Korelasi PPM (sederhana):
rXY =
n(∑ XY ) − ( ∑ X ).(∑ Y )
{n. ∑ X
2
}{
− ( ∑ X ) 2 . n. ∑ Y 2 − ( ∑ Y ) 2
}
Korelasi PPM dilambangkan (r) dengan ketentuan nilai r tidak lebih dari harga
(− 1 ≤ r ≤ +1) . Apabila nilai r = -1 artinya korelasinya negatif sempurna; r = 0 artinya tidak ada korelasi; dan r = 1 berarti korelasinya sangat kuat. Berdasarkan pendapat Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro (2007, p.62), arti harga r akan dikonsultasikan dengan Tabel interpretasi Nilai r sebagai berikut: Tabel 2.1 Interpretasi Koefisien Korelasi Nilai r Interval Koefisien
Tingkat Hubungan
0.80 – 1.000
Sangat Kuat
0.60 – 0.799
Kuat
0.40 – 0.599
Cukup Kuat
0.20 – 0.399
Rendah
0.00 – 0.199
Sangat Rendah
Sumber : Riduan (2005:136)
Besar kecilnya sumbangan variabel X terhadap Y dapat ditentukan dengan rumus koefisien diterminan sebagai berikut: KP = r × 100% 2
Dimana: KP = Nilai Koefisien Diterminan r = Nilai Koefisien Korelasi
Berdasarkan pendapat Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro (2007, p.62), pengujian signifikansi yang berfungsi apabila peneliti ingin mencari makna generalisasi dari hubungan variabel X terhadap Y, maka hasil korelasi PPM
tersebut diuji dengan Uji
Signifikasi sebagai berikut. Hipotesis: Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel X dengan variabel Y Ha : Ada hubungan yang signifikan antara variabel X dengan variabel Y Dasar Pengambilan Keputusan:
Jika nilai probabilitas 0.05 lebih kecil atau sama dengan nilai probabilitas sig atau
[0.05 ≤ Sig ] , maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya tidak signifikan.
Jika nilai probabilitas 0.05 lebih besar atau sama dengan nilai probabilitas sig atau
[0.05 ≥ Sig ] , maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya signifikan. Berdasarkan pendapat Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro (2007, p.63), Analisa Korelasi Ganda berfungsi untuk mencari besarnya hubungan antara dua variabel bebas (X) atau lebih secara simultan (bersama-sama) dengan variabel terikat (Y). Rumus Korelasi Ganda sebagai berikut:
R X 1. X 2.Y =
r 2 X 1.Y + r 2 X 2.Y − 2(rX 1.Y ).(rX 2. y ).(rX 1. X 2 ) 1 − r 2 X 1. X 2
Selanjutnya, untuk mengetahui signifikasi Korelasi Ganda bandingkan antara probabilitas 0.05 dengan probabilitas Sig sebagai berikut: Hipotesis: Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel X 1 dan X 2 dengan variabel Y Ha : Ada hubungan yang signifikan antara variabel X 1 dan X 2 dengan variabel Y
2.7
Uji Validitas dan Reliabilitas
2.7.1
Uji Validitas Menurut Simamora (2004, pp.58-59), validitas merupakan suatu ukuran yang
menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen dianggap valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan. Dengan kata lain, mampu memperoleh data yang tepat dari variabel yang diteliti. Misalnya, meteran dapat mengukur tinggi badan dengan tepat (dalam hal ini tinggi badan adalah variabel penelitian). Dalam menyusun kuesioner, pertanyaan yang ingin diajukan perlu dipastikan. Untuk menentukannya, sebelumnya harus sudah jelas variabel apa yang diukur. Variabel masih bisa dipecah menjadi subvariabel atau indikator. Apabila penyusunannya dilakukan sesuai prosedur, sebenarnya kuesioner telah memenuhi validitas logis. Oleh karena itu validitas logis sangat dipengaruhi oleh kemampuan peneliti dalam memahami masalah penelitian, mengembangkan variabel penelitian, serta menyusun kuesioner. Validitas logis belum memiliki bukti empiris. Sebuah kuesioner yang disusun secara hati – hati dan dapat dipertimbangkan valid logis, ada baiknya diuji untuk mengetahui validitas empirisnya.
Untuk menguji tingkat validitas empiris instrumen, peneliti dapat melakukan try – out dengan memakai responden terbatas dahulu. Dari try – out ini, ada dua macam validitas sesuai dengan cara pengujiannya, yaitu validitas eksternal dan validitas internal. a. Validitas Eksternal Validitas instrumen dapat dicapai apabila data yang dihasilkan dari instrumen tersebut sesuai dengan data atau informasi lain mengenai variabel yang diteliti. Menurut Umar (2005, p.185), validitas eksternal adalah validitas yang diperoleh dengan cara mengkorelasikan alat pengukur baru dengan tolak ukur eksternal, yang berupa alat ukur yang sudah valid. b. Validitas Internal Menurut Simamora (2004, pp.59-60), validitas internal dapat dicapai apabila terdapat kesesuaian antara bagian – bagian kuesioner dengan kuesioner secara keseluruhan. Dengan kata lain, apabila setiap bagian di dalam kuesioner mendukung “misi” kuesioner secara keseluruhan, yaitu mengungkap variabel penelitian yang telah ditentukan sebelumnya. Bagian kuesioner dapat berupa butir – butir pertanyaan secara sendiri – sendiri, dapat pula berupa faktor, yaitu kumpulan beberapa butir yang memiliki keterkaitan. Sehubungan dengan kenyataan ini, maka dikenal adanya validitas butir dan validitas faktor. Dalam penelitian ini akan digunakan uji validitas internal dengan menggunakan teknik validitas butir. Teknik ini dilakukan dengan mengkorelasikan skor butir – butir pertanyaan (sebagai variabel X) dengan skor total (sebagai variabel Y). Menurut Masrun (1979) sebagaimana dikutip oleh Sugiyono (2005, p.124), syarat suatu pertanyaan dianggap valid adalah bila korelasi antara butir dengan skor
total lebih dari 0,3. Jadi bila korelasi antara butir dengan skor total kurang dari 0,3 maka butir dalam instrumen tersebut dinyatakan tidak valid.
2.7.2
Uji Reliabilitas Menurut Umar (2005, p.194), reliabilitas adalah suatu angka indeks yang
menunjukkan suatu konsistensi suatu alat pengukur dalam mengukur suatu gejala yang sama. Setiap alat pengukur seharusnya memiliki kemampuan untuk memberikan hasil pengukuran yang konsisten. Menurut Simamora (2004, pp.63-69) reliabilitas adalah tingkat keandalan kuesioner. Kuesioner yang reliabel adalah kuesioner yang apabila dicobakan secara berulang – ulang kepada kelompok yang sama akan menghasilkan data yang sama. Asumsinya, tidak terdapat perubahan psikologis pada responden. Ada dua jenis reliabilitas, yaitu reliabilitas eksternal dan reliabilitas internal. a. Reliabilitas Eksternal Secara garis besar, reliabilitas eksternal adalah reliabilitas yang diperoleh dengan membandingkan hasil dua kelompok data. Ada dua jenis cara untuk menguji reliabilitas eksternal, yaitu teknik paralel dan teknik ulang. b. Reliabilitas Internal Reliabilitas internal diperoleh dengan menganalisis data yang berasal dari satu kali pengujian kuesioner. Adapun teknik reliabilitas internal yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Alpha. Menurut Simamora (2004, pp.77-78), teknik reliabilitas dengan menggunakan teknik Alpha digunakan untuk mengukur reliabilitas kuesioner dengan kategorisasi
jawaban selain 0 dan 1. Misalnya dari 1 sampai 5, 1 sampai 7, - 3 sampai 3, dan seterusnya. Teknik Alpha dilakukan dengan menghitung varians tiap butir pertanyaan dan varians total dari pertanyaan – pertanyaan. Selanjutnya varians butir dan varians total tersebut dimasukkan ke dalam rumus Alpha : 2 ⎛ k ⎞⎛⎜ ∑ σ b 1 − ⎟ σ t2 ⎝ k − 1 ⎠⎜⎝
r11 = ⎜
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
Keterangan : r11
= reliabilitas kuesioner
k
= banyaknya butir pertanyaan
∑σ σ t2
2 b
= jumlah varians butir = varians total
Langkah berikutnya adalah membandingkan angka tersebut dengan r product
moment (r tabel). Dasar pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut :
2.8
-
Bila rhasil (r11) > r tabel maka kuesioner tersebut dinyatakan reliabel.
-
Bila rhasil (r11) < r tabel maka kuesioner tersebut dinyatakan tidak reliabel.
Menguji Normalitas Data dan Varians Menurut Singgih Santoso (2007, pp.152-155), dalam melakukan kegiatan statistik
inferensi, ada dua hal yang harus diuji terlebih dahulu: a. Apakah beberapa sampel yang telah diambil berasal dari populasi yang sama (populasi data berdistribusi normal)? b. Apakah sampel-sampel tersebut mempunyai varians yang sama?
Dengan kata lain, uji normalitas data dan uji varians adalah hal yang lazim sebelum sebuah metode statistik diterapkan. Uji normalitas dan kesamaan varians sebuah sampel data dilakukan dengan bantuan alat uji SHAPIRO-WILK, LILLIEFORS atau KOLMOGOROVSMIRNOV , serta gambar NORMAL PROBABILITY PLOTS. Menurut Singgih Santoso (2007, p.154), dalam menjelaskan output test of normality, ada pedoman pengambilan keputusan:
Nilai Sig. Atau signifikansi atau nilai probabiltias < 0.05, Distribusi adalah tidak normal.
Nilai Sig. Atau signifikansi atau nilai probabiltias > 0.05, Distribusi adalah normal. Dalam menjelaskan output test of homogenity of varians, ada pedoman pengambilan
keputusan:
Nilai Sig. Atau signifikansi atau nilai probabiltias < 0.05, data berasal dari populasipopulasi yang mempunyai varians tidak sama.
Nilai Sig. Atau signifikansi atau nilai probabiltias > 0.05, data berasal dari populasipopulasi yang mempunyai varians sama. Selain itu, pada gambar Q-Q Plot terlihat ada garis lurus dari kiri ke kanan atas. Garis
itu berasal dari nilai z. Jika suatu distibusi data normal, maka data akan tersebar di sekeliling garis. Menurut Uyanto (2006, pp.35-36) asumsi normalitas merupakan prasyarat dari prosedur statistik inferensial. Ada beberapa cara untuk mengeksplorasi asumsi normalitas ini antara lain: Uji normalitas Shapiro-Wilk dan uji normalitas Lilliefors (Kolmogorov-
Smirnov ). Dalam penelitian ini, uji normalitas yang digunakan adalah uji normalitas Lilliefors (Kolmogorov-Smirnov). Uji normalitas ini terdapat dalam prosedur SPSS Exprole, selain itu juga akan ditampilkan secara grafis normal probability plot dan detrended normal plot
Normal Probability Plot Dalam Normal Probability Plot, setiap nilai data yang diamati dipasangkan dengan nilai harapannya (expected value) dari distribusi normal. Jika sampel data berasal dari populasi yang terdistribusi normal, maka titik-titik nilai data akan terletak kurang lebih dalam suatu garis lurus. Deterended Normal Plot Dalam Deterended Normal Plot yang digambarkan adalah simpangan dari nilai data terhadap garis lurus. Jika sampel data berasal dari suatu populasi yang terdistribusi normal, maka titik-titik nilai data tidak akan membentuk pola tertentu dan akan terkumpul disekitar garis mendatar yang melalui titik nol. Bentuk hipotesis untuk uji normalitas adalah sebagai berikut : Ho : data berasal dari populasi yang berdistribusi normal H1 : data tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal
Dalam pengujian hipotesis, kriteria untuk menolak atau tidak menolak Ho berdasarkan P-value adalah sebagai berikut: Jika P-value < α, maka Ho ditolak. Jika P-value ≥ α, maka Ho diterima.
Dalam program SPSS digunakan istilah Significance (yang disingkat Sig.) untuk P-
value ; dengan kata lain P-value = Sig.
2.8.1
Langkah-Langkah Pengujian Normalitas Data dan Varians Dengan SPSS Menurut Singgih Santoso (2007, pp.152-153), ada beberapa langkah pengujian
normalitas data dan varians dengan bantuan SPSS antara lain:
Buka lembar kerja/file Deskriptif.
Menu Analyze → Descriptive Statistic → Explore..... Tampak di layar kotak dialog EXPLORE. o
Pengisian:
-
Dependent List, masukan variabel yang di uji
-
Factor List, masukan variabel yang menjadi faktor dari variabel yang di uji
Pilih Plots Untuk keseragaman, pilihan diisi: o
Pada Boxplot adalah pilihan None atau tidak akan dibuat Boxplot.
o
Pada Descriptive, tidak ada yang dipilih, atau Stem and Leaf di deselect.
o
Pilih Normality Plots with tests. Pilihan ini untuk membuat gambar uji normalitas.
o
Pada pilihan Spread vs Level with Levene Test, pilih Power estimation untuk menguji kesamaan varians.
Tekan continue untuk kembali ke kotak dialog sebelumnya.
Pada bagian Displays, pilih Both yang berarti, baik statistics maupun Plots akan digunakan.
2.9
Tekan OK jika semua pengisian telah selesai.
Hipotesis Menurut Ronny Kountur (2005, pp.109-111), hipotesis merupakan istilah yang lazim
digunakan dalam prosedur ilmiah. Sesuatu dikatakan ilmiah apabila prosedur membuat kesimpulan mengikuti prosedur prosedur ilmiah. Prosedur ilmiah dimulai dengan identifikasi masalah, kemudian mencoba mencari jawaban (sementara) atas permasalahan tersebut dengan membuat hipotesis,
kemudian menguji hipotesis tersebut dan berdasarkan hasil pengujian lalu dibuat kesimpulan.
Sumber: Ronny Kountur, Statistik Praktis (2005, p.110)
Gambar 2.4 Prosedur Ilmiah
Apabila timbul permasalah, maka akan mencoba mencari jawabannya dan jawaban tersebut dapat diperoleh dari teori-teori yang sudah ada yang dapat diperoleh dari laporan hasil penelitian yang sudah pernah dilakukan atau dari buku-buku teks. Berdasarkan teoriteori yang ada, terutama dari hasil-hasil penelitian yang berhubungan, kemudian peneliti dapat membuat jawaban sementara. Jawaban sementara ini masih berupa dugaan atau solusi dari permasalahan tersebut. Jawaban sementara atau dugaan inilah disebut dengan hipotesis. Dengan kata lain, hipotesis merupakan jawaban sementara atau dugaan jawaban dari suatu permasalahan.
2.9.1
Pernyataan Hipotesis Ronny Kountur (2005, pp.111-113), hipotesis pada umumnya dinyatakan dalam
bentuk:
Hipotesis nol, dan
Hipotesis alternatif
Hipotesis nol atau dikenal pula dengan istilah null hypothesis yang diberi simbol H o adalah penyataan hipotesis yang menunjukkan tidak ada perubahan sedangkan hipotesis alternatif atau dikenal pula dengan istilah alternative hypothesis yang diberi simbol H a adalah penyataan hipotesis yang menunjukkan hasil yang diharapkan. Hipotesis merupakan jawaban sementara yang diharapkan peneliti dinyatakan dalam bentuk hipotesis alternatif. Itu sebabnya, hipotesis alternatif kadang-kadang disebut disebut pula research hypothesis yang diberi simbol H 1 . Kegunaan dari hipotesis perlu dinyatakan dalam dua bentuk sekaligus, yaitu dalam bentuk hipotesis nol dan hipotesis alternatif adalah yang akan diuji oleh statistik adalah hipotesis nol sedangkan yang diharapkan oleh peneliti adalah hipotesis alternatif, itu sebabnya keduanya harus dinyatakan. Hipotesis diuji dengan teknik statitik, apabila hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa hipotesis ditolak, maka yang dimaksud ditolak di sini adalah hipotesis nolnya. Jika hipotesis nol ditolak, berarti hipotesis alternatif secara otomatis diterima dan sebaliknya. Jika hipotesis nol diterima maka hipotesis alternatif ditolak. Tentu yang diharapkan oleh peneliti adalah supaya hipotesis nol ditolak, dengan demikian hipotesis alternatif yang merupakan dugaan peneliti bisa diterima. Namun, tidak harus dipaksakan hipotesis nol ditolak. Jika memang setelah diuji dengan statistik tenyata harus diterima, maka hipotesis nolnya harus diterima.
Menurut J. Supranto (2001, pp.179-196), pengujian hipotesis tentang B (= koefisien regresi) sama dengan pengujian tentang
ρ (= koefisien korelasi).
Pada umumnya, hipotesis dirumuskan sebagai berikut:
H o : B = Bo ( Bo mewakili nilai B yang tertentu, sesuai dengan hipotesis) (kalau pendapat mengatakan bahwa X tidak mempengaruhi Y, maka B o = 0) 1. H o : B > B o (kalau B o > 0, berarti pengaruh X terhadap Y positif) 2. H o : B < B o (kalau B o < 0, berarti pengaruh X terhadap Y negatif) 3. H o : B
≠ B o (kalau B o ≠ 0, berarti X mempengaruhi Y) to =
b − Bo Sb
Kalau B o = 0 => t o =
b , t o = nilai observasi. Sb
to mengikuti fungsi t dengan derajat kebebasan (n – 2) Sb=
Se
∑x
2
⇒ to = i
(b − Bo ) Se
∑x
2 i
,S
2 e
∑e =
2 i
n−2
∑y =
2 i
− b 2 2 xi2
n−2
pengujian hipotesis dilakukan sebagai berikut: 1. kalau t o > t α i H o ditolak dan kalau t o ≤ t α i H o tidak ditolak. 2. kalau t o < - t α i H o ditolak dan kalau t o 3. kalau t o < - t α 2
H o tidak ditolak.
≥ − t α i H o tidak ditolak.
atau kalau t o > - t α , H o ditolak dan kalau - t α 2
2
≤ to ≤ t α 2
Nilai t α i t α
dapat diperoleh dari tabel t dengan menggunakan nilai
α
dan derajat
2
kebebasan (n – 2). Selanjutnya untuk menguji hipotesis tentang parameter A, perumusannya adalah sebagai berikut: H o : A = Ao 1. H o : A > Ao 2. H o : A < Ao 3. H o : A ≠ Ao 2 a − Ao ( a − Ao ) n∑ xi to = = Sa S e ∑ X i2
Dalam kasus sampel kecil, Z diganti t. 2 b − B (b − B ) ∑ xi = t= Sb Se
2.10
Kerangka Pemikiran
Sumber : Penulis
Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran