BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Teori Pada setiap penelitian, diperlukan teori teori untuk mendukung dan
mempermudah proses pengerjaan penelitian tersebut. Berikut adalah teori teori yang digunakan penulis dalam penelitian ini.
2.1.1 Manajemen Menurut Appley dan Lee (2010:p16) manajemen adalah seni dan ilmu, dalam manajemen terdapat strategi memanfaatkan tenaga dan pikiran orang lain untuk melaksanakan suatu aktifitas yang diarahkan pada pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam manajemen terdapat teknik-teknik yang kaya dengan nilai-nilai estetika kepemimpinan dalam mengarahkan, memengaruhi, mengawasi,mengorganisasikan semua komponen yang saling menunjang untuk tercapainya tujuan yang dimaksudkan. Sedangkan menurut Terry (2010:p16) menjelaskan bahwa manajemen merupakan suatu proses khas yang
terdiri
atas
tindakan-tindakan
perencanaan,
pengorganisasian,
penggerakan, dan pengendalian untuk menentukan serta mencapai tujuan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa manajemen adalah suatu proses yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan melalui pemanfaatan sumber daya dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu.
2.1.2 Pengertian Leadership Kepemimpinan berasal dari Bahasa Inggris leader yang memiliki arti pemimpin atau tokoh. Selain itu pemimpin juga memiliki arti secara luas meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, 17
18 memotivasi perilaku pengikut atau anggota untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Menurut Drath dan Palus ( dalam Yukl, 2013:p19) memberikan definisi sebagai berikut : “Leadership is the process of making sense of what people are doing together so that they will understand and be committed” artinya kepemimpinan adalah proses membuat rasa apa yang dilakukan orang bersama-sama
sehingga
mereka
akan
memahami
dan
berkomitmen.
Kepemimpinan didefinisikan ke dalam ciri individual, kebiasaan, cara mempengaruhi orang lain, interaksi, kedudukan dalam administrasi, dan persepsi mengenai pengaruh yang sah. Ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tentang kepemimpinan, diantaranya : Menurut Robbins & Judge (dalam Sriwidadi dan Charlie, 2011) menyebutkan bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok guna mencapai sebuah visi atau serangkaian tujuan yang ditetapkan. Kemudian Rivai dan Mulyadi (dalam Sriwidadi dan Charlie, 2011) menyatakan kepemimpinan adalah sebagai proses mengarahkan dan memengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada hubungannya dengan pekerjaan para anggota kelompok. Didalam buku Kartono (2010), Tead menyimpulkan kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agar mereka mau bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pengertian dari kepemimpinan memiliki banyak sekali pendapat dari para ahli, hal ini dikarenakan setiap orang memandang pemimpin dari sudut pandang yang berbeda-beda. Seorang pemimpin memberikan pengaruh kepada anggota
atau
bawahan
yang
dipimpinnya.
Setiap
anggota
tentunya
mendapatkan pengaruh yang berbeda-beda karena pada dasarnya setiap orang memiliki cara pandang yang berbeda. Teori tentang kepemimpinan selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Hal ini dipengaruhi oleh cara pikir orang yang selalu berkembang sehingga pemahaman atau pengertian dari kepemimpinan selalu berkembang. Pada dasarnya semua pengertian memiliki kekurangan dan kelebihan karena disesuaikan dengan situasi dan masalah yang dihadapi.
19 Di dalam leadership, seperti yang dikatakan sebelumnya, memiliki beberapa tipe. Berikut adalah teori mengenai Transformational Leadership, yang merupakan salah satu variable yang digunakan penulis dalam penelitian ini.
2.1.2.1 Transformational Leadership Menurut Newstrom dan Bass (dalam Sadeghi dan Pihie, 2012) transformasional leadership memiliki beberapa komponen perilaku tertentu, di antaranya adalah integritas dan keadilan, menetapkan tujuan yang jelas, memiliki harapan yang tinggi, memberikan dukungan dan pengakuan, membangkitkan emosi pengikut, dan membuat orang untuk melihat suatu hal melampui kepentingan dirinya sendiri untuk meraih suatu hal yang mustahil. Menurut Bass dalam Robbins dan Judge (2008, p.387) transformasional leadership adalah pemimpin yang memberikan pertimbangan dan rangsangan intelektual yang diindividualkan dan memiliki kharisma. Menurut Bass (1985) dalam buku Yukl (2013, p.313) menjelaskan bahwa transformasional leadership adalah suatu keadaan dimana para pengikut dari seorang pemimpin transformasional merasa adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan hormat terhadap pemimpin tersebut, dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari pada yang awalnya diharapkan mereka. Pemimpin tersebut mentransformasi dan memotivasi para pengikut dengan cara membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil – hasil suatu pekerjaan, mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi atau tim daripada kepentingan diri sendiri, dan mengaktifkan kebutuhan – kebutuhan mereka pada yang lebih tinggi. Jadi,
persepsi
terhadap
transformational
leadership
(kepemimpinan transformasional) adalah cara pandang terhadap kemampuan memimpin dalam mengubah lingkungan kerja, memotivasi dan menginspirasi bawahan, menerapkan pola kerja dan nilai-nilai moral, menghargai dan memperhatikan kebutuhan bawahan sehingga
20 bawahan akan lebih mengoptimalkan kinerja untuk mencapai tujuan organisasi.
Transformational
leadership
(kepemimpinan
transformasional) didefinisikan para ahli sebagai kepemimpinan yang melibatkan perubahan dalam organisasi. Kepemimpinan ini juga didefinisikan sebagai kepemimpinan membutuhkan tindakan motivasi para bawahan agar bersedia bekerja demi sasaran-sasaran tingkat tinggi yang dianggap melampaui kepentingan pribadinya pada saat itu. Kepemimpinan transformasional pada prinsipnya memotivasi bawahan untuk berbuat lebih baik dari apa yang bisa dilakukan, dengan kata lain dapat meningkatkan kepercayaan atau keyakinan diri bawahan yang akan berpengaruh terhadap peningkatan kinerja. Keberhasilan Transformational Leadership bergantung kepada kemampuan sang pemimpin dalam menyalurkan kemampuannya kepada
pengikutnya,
dan
kemampuannya
untuk
memengaruhi
pengikutnya. Karena Transformational Leadership dianggap efektif dalam situasi atau budaya apa pun (Yukl, 2010:p306). Transformational Leadership itupun sendiri memiliki dimensidimensi yang mencirikan bahwa gaya kepemimpinan seorang pemimpin adalah kepemimpinan yang bergaya transformational. Berikut adalah dimensi dimensi dari transformational Leadership.
2.1.2.2 Dimensi-Dimensi Transformasional Leadership Dalam Zhu, Sosik, Riggio dan Yang 2012, Transformational leadership diusulkan oleh Burns (1978) dan selanjutnya diperluas oleh Bass (misalnya Bass, 1985; Bass & Avolio, 1997; Bass & Riggio, 2006; Sosik & Jung, 2010). Transformational leadership berisi empat komponen yaitu : Idealized Influence, Inspirational Motivation, Intellectual Stimulation, dan Individualized Consideration
• Idealized influence Pengaruh yang ideal berkaitan dengan reaksi bawahan terhadap pemimpin, di mana bawahan terpengaruh oleh pemimpin karena
21 pemimpin
memiliki
sebuah
karisma
yang
kuat
untuk
mempengaruhi bawahannya. Pemimpin diidentifikasikan dengan dijadikan sebagai panutan, dihormati, dipercaya dan mempunyai visi dan misi yang
jelas menurut persepsi bawahan dapat
diwujudkan. • Inspirational Motivation Seorang pemimpin yang bertindak dengan cara memberikan motivasi dan inspirasi kepada bawahannya, yang berarti seorang pemimpin harus mampu mengkomunikasikan ekspektasi yang tinggi kepada bawahannya, menggunakan simbol-simbol untuk berfokus pada upaya bawahannya dan menyatakan tujuan-tujuan penting secara sederhana. • Intelectual Stimulation Perilaku pemimpin yang berupa upaya meningkatkan kepandaian dan rasionalitas dalam menemukan metode-metode baru dalam organisasi, dan sebagai pemecah masalah (problem solver) yang dapat memecahkan masalah secara hati-hati dan kreatif sehingga dapat memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan yang muncul dalam organisasi perusahaan. • Individual Consideration Pemimpin
memberikan
perhatian
secara
pribadi
kepada
bawahannya, seperti memperlakukan mereka sebagai pribadi yang utuh, mempertimbangkan kebutuhan dari bawahannya, serta melatih dan memberikan saran kepada bawahannya.
2.1.3 Empowerment Empowerment (pemberdayaan) merupakan istilah yang cukup populer dalam bidang manajemen khususnya manajemen Sumber Daya Manusia. Banyak penafsiran tentang empowerment, dan salah satu penafsiran yang dikenal oleh sebagian besar dari kita adalah empowerment sebagai pendelegasian wewenang dari atasan kepada bawahan. Empowerment , yaitu
22 upaya mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki oleh individu. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang demikian tentunya diharapkan memberikan peranan kepada individu bukan sebagai obyek, tetapi sebagai pelaku atau aktor yang menentukan keahlian mereka sendiri. Empowerment (pemberdayaan) adalah proses mendelegasikan baik wewenang dan tanggung jawab kepada bawahannya yang mengembangkan rasa kontrol atas pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan. Dengan demikian, empowerment (pemberdayaan) merupakan sumber motivasi untuk memberikan karyawan kendali dan kekuasaan atas pekerjaan yang mereka lakukan. Keyakinan intrinsik individu untuk memiliki rasa kontrol memotivasi ketika mereka diberikan wewenang terhadap pekerjaan yang ditugaskan (Henkin dan Marchiori, 2002) dalam Tazeem Ali Shah, Muhammad Nisar, Kashif-urRehman and Ijaz-ur-Rehman. Menurut Noe et al (2004), empowerment (pemberdayaan) adalah pemberian tanggung jawab dan wewenang terhadap pekerjaan untuk mengambil keputusan menyangkut semua pengembangan produk dan pengambilan keputusan. Sedangkan, menurut Cook dan Macaulay dikutip Wibowo (2008:p112), empowerment (pemberdayaan) merupakan perubahan yang terjadi pada filsafah manajemen yang dapat membantu menciptakan suatu lingkungan dimana setiap individu dapat menggunakan kemampuan dan energinya untuk meraih tujuan organisasi. Empowerment menurut Robert dan Greene dalam Damanik dan Pattiasina (2009, p.93), adalah suatu proses bagaimana orang semakin cukup kuat untuk berpatisipasi dalam berbagi kendali dan mempengaruhi peristiwa dan intistusi yang mempengaruhi kehidupan mereka. Empowerment memerlukan penciptaan budaya yang mendorong pegawai dalam setiap tingkatan untuk melakukan sesuatu yang berbeda dan membantu pegawai untuk percaya diri dan kemampuan untuk melakukan perubahan. Sedangkan Khan (2007) menjelaskan pemberdayaan merupakan hubungan antar personal yang berkelanjutan untuk membangun kepercayaan antara karyawan dan manajemen (Suwatno & Donni Juni Priansa, 2011:p182183).
23 Selain pengertian yang telah disampaikan oleh beberapa ahli tersebut, ada beberapa pengertian atau pemahaman lain tentang empowerment. Namun semua definisi yang ada secara prinsip memiliki kesamaan yaitu bahwa empowerment mengandung unsur-unsur sebagai berikut : •
Adanya pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab untuk membuat keputusan yang didukung oleh sumber daya yang memadai.
•
Adanya kontrol atas pelimpahan kewenangan dari manajemen
•
Adanya penciptaan lingkungan agar pegawai dapat memanfaatkan kemampuan atau kompetensinya secara maksimum untuk mencapai sasaran organisasi. Thomas dan Velthouse (1990), dalam Nur Chasanah (2008)
berargumentasi bahwa pemberdayaan merupakan suatu yang multifaceted yang esensinya tidak bisa dicakup dalam satu konsep tunggal. Dengan kata lain pemberdayaan mengandung pengertian perlunya keleluasaan kepada individu untuk bertindak dan sekaligus bertanggung jawab atas tindakannya sesuai dengan tugas yang diembannya. Beberapa dimensi empowerment yaitu pemungkinan (enabling), penguatan (empowering), perlindungan (protecting), penyokongan (supporting), dan pemeliharaan (fostering).
2.1.3.1 Model-Model Empowerment Khan (2007) menawarkan sebuah model pemberdayaan yang dapat dikembangkan dalam sebuah organisai untuk menjamin keberhasilan proses pemberdayaan dalam organisasi. (Suwatno, Donni Juni,2013:p182) adalah sebagai berikut: Desire, Tahap pertama dalam model empowerment adalah adanya keinginan dari manajemen untuk mendelegasikan dan melibatkan pekerja. Yang termasuk hal ini antara lain : - Pekerja diberi kesempatan untuk mengidentifikasi permasalahan yang sedang berkembang - Memperkecil directive personality dan memperluas keterlibatan pekerja
24 - Mendorong terciptanya perspektif baru dan memikirkan kembali strategi kerja - Menggambarkan keahlian team dan melatih karyawan untuk menguasai sendiri (self control) Trust, Setelah adanya keinginan dari manajemen untuk melakukan pemberdayaan,
langkah
selanjutnya
adalah
membangun
kepercayaan antar manajemen dan karyawan. Adanya saling percaya antara anggota organisasi akan tercipta kondisi yang baik untuk pertukaran informasi dan saran tanpa adanya rasa takut. Hal–hal yang termasuk dalam trust antara lain : - Memberi kesempatan pada karyawan untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan - Menyediakan waktu dan sumber daya yang mencukupi bagi karyawan dalam menyelesaikan kerja - Menyediakan pelatihan yang mencukupi bagi kebutuhan kerja - Menghargai perbedaan pandangan dan menghargai kesuksesan yang diraih oleh karyawan - Menyediakan akses informasi yang cukup Confident, Langkah selanjutnya setelah adanya saling percaya adalah
menimbulkan
rasa
percaya
diri
karyawan
dengan
menghargai terhadap kemampuan yang dimiliki oleh karyawan. Hal – hal yang termasuk tindakan yang dapat menimbulkan confident antara lain : - Menggali ide dan saran dari karyawan - Memperluas tugas dan membangun jaringan antar departemen - Menyediakan
jadwal
job
instruction
dan
mendorong
penyelesaian yang baik Credibility, Langkah keempat menjaga kredibilitas dengan penghargaan
dan
mengembangkan
lingkungan
kerja
yang
mendorong kompetisi yang sehat sehingga tercipta organisasi yang
25 memiliki performance yang tinggi. Hal yang termasuk credibility antara lain : - Memandang karyawan sebagai partner strategis - Peningkatan target di semua bagian pekerjaan - Memperkenalkan inisiatif individu untuk melakukan perubahan melalui partisipasi - Membantu menyelesaikan perbedaan dalam penentuan tujuan dan priorotas Accountibility, Tahap dalam proses pemberdayaan selanjutnya adalah pertanggung jawaban karyawan pada wewenang yang diberikan. Dengan menetapkan secara konsisten dan jelas tentang peran, standar dan tujuan tentang penilaian terhadap kinerja karyawan, tahap ini sebagai sarana evaluasi terhadap kinerja karyawan dalam penyelesaian dan tanggung jawab terhadap wewenang yang diberikan. Hal yang termasuk accountability antara lain : - Menggunakan jalur training dalam mengevaluasi kinerja karyawan - Memberikan tugas yang jelas dan ukuran yang jelas - Melibatkan karyawan dalam penentuan standar dan ukuran - Memberikan saran dan bantuan kepada karyawan dalam menyelesaikan beban kerjanya - Menyediakan periode dan waktu pemberian feedback Communication, Langkah terakhir adalah adanya komunikasi yang terbuka untuk menciptakan saling memahami antar karyawan dan manajemen. Keterbukaan ini dapat diwujudkan dengan adanya kritik dan saran terhadap hasil dan prestasi yang dilakukan pekerja. Hal yang termasuk dalam communication antara lain : - Menetapkan kebijakan open door communication
26 - Menyediakan
waktu
untuk
mendapatkan
informasi
dan
mendistribusikan permasalahan secara terbuka - Menciptakan kesempatan untuk cross – training
Model di atas menggambarkan bahwa sebuah pemberdayaan merupakan serangkaian proses yang dilakukan secara bertahap dalam organisasi agar dapat dicapai secara optimal dan membangun kesadaran dari anggota organisasi akan pentingnya proses pemberdayaan sehingga perlu adanya komitmen dari anggota terhadap organisasi. Dengan pemberian wewenang dan tanggung jawab akan menimbulkan motivasi dan komitmen karyawan terhadap organisasi.
2.1.3.2 Dimensi Empowerment Menurut
Stewart
(2008:p18),
yang
secara
etimologis
pemberdayaan berasal dari kata power yang berarti kekuasaan, yaitu kemampuan untuk mengusahakan agar sesuatu itu terjadi ataupun tidak sama sekali. Empowerment dapat
diartikan
baik
sebagai
tujuan
maupun sebagai proses. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan adalah suatu keadaan yang ingin di capai, kekuasaan
yakni klien yang memiliki
atau keberdayaan yang mengarah pada kemandirian.
Menurut Thomas dan Velthouse, 1990 dalam Nur Chasanah (2008), ditemukan empat dimensi umum yang dimiliki empowerment, yaitu: a.
Sense of Meaning Sense of meaning adalah nilai dari suatu tujuan kerja yang dinilai dalam kaitannya dengan tujuan atau standar individu yang bersangkutan. Mencakup seberapa besar kepekaan karyawan terhadap tujuan akan pekerjaan yang merupakan tanggung jawab mereka, serta seberapa besar mereka mampu mempengaruhi hasil pekerjaan.
b.
Sense of Competence
27 Sense of Competence merupakan keyakinan individu atas kemampuan
dalam
melaksanakan
kegiatan-kegiatan
dengan
keahlian yang dimiliki dan pengharapan yang berkaitan dengan usaha dan hasil kerja. c.
Self- Determination Self-determination adalah perasaan individu yang berkaitan dengan pilihan dalam membuat keputusan dan melakukan suatu pekerjaan.
d.
Impact Impact atau dampak yang mengarah pada sejauh mana karyawan percaya bahwa dia dapat mempengaruhi organisasi melalui hasil kerjanya.
2.1.4 Organizational Commitment (Komitmen Organisasi) Organizational Commitment adalah sikap karyawan yang tertarik dengan tujuan, nilai dan sasaran organisasi yang ditujukan dengan adanya penerimaan individu atas nilai dan tujuan organisasi dan kesediaan bekerja keras sehingga membuat individu betah dan tetap ingin bertahan di organisasi tersebut demi tercapainya tujuan dan kelangsungan organisasi. Luthans dalam Fatima Bushra 2011 menyatakan komitmen organisasi sebagai "sikap yang mencerminkan loyalitas karyawan kepada organisasi mereka dan proses yang berkelanjutan di mana peserta organisasi mengungkapkan keprihatinan mereka terhadap organisasi dan kesuksesan dan kesejahteraan". Henkin dan Marchiori (2003) didefinisikan organizational commitment sebagai rasa karyawan yang memaksa mereka untuk menjadi bagian dari organisasi mereka dan mengenali tujuan, nilai-nilai, norma dan standar etika organisasi. Blau
&
Global
dalam
Muchlas
(2005:p161)
mendefinisikan
Organizational Commitment sebagai orientasi seseorang terhadap organisasi dalam arti kesetiaan, identifikasi, dan keterlibatan. Dalam hal ini, karyawan mengidentifikasikan secara khusus organisasi atau perusahaan beserta
28 tujuannya dan berharap dapat bertahan sebagai anggota dalam organisasi tersebut. O’Reilly (dalam Coetzee, 2005) menambahkan commitment adalah kelekatan secara psikologis yang dirasakan oleh seseorang terhadap organisasinya, dan hal ini akan merefleksikan derajat dimana individu menginternalisasi organisasinya.
atau
mengadopsi
karakteristik
atau
perspektif
dari
Meyer dan Allen (1997) dalam Kreitner & Kinicki, 2008
merumuskan suatu definisi mengenai commitment dalam berorganisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi. Berdasarkan definisi tersebut anggota yang memiliki komitmen terhadap organisasinya akan lebih bertahan sebagai bagian dari organisasi dibandingkan anggota yang tidak memiliki komitmen terhadap organisasi. serta memiliki tiga dimensi yaitu affective commitment, continuance commitment, dan normative commitment. Menurut Mahis dan Jackson (2000) dalam Sopiah (2008:p155) memberikan definisi ”Organizational Commitment is the degree to which employees believe in and accept organizational goals and desire to remain with the organization” yang artinya ”Komitmen organisasional adalah derajat yang mana karyawan percaya dan menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasi”. Menurut Mowday (1982) dalam Sopiah (2008:p155) Komitmen kerja sebagai istilah lain dari komitmen organisasional. Organizational commitment (komitmen organisasi) merupakan dimensi perilaku penting yang dapat digunakan untuk menilai kecenderungan karyawan untuk bertahan sebagai anggota organisasi. Organizational commitment (komitmen organisasi) merupakan identifikasi dan keterlibatan seseorang yang relatif kuat terhadap organisasi. Menurut Lincoln (1994) dalam Sopiah (2008:p155), organizational commitment (komitmen organisasional) mencakup kebanggaan anggota, kesetiaan anggota, dan kemauan anggota pada organisasi. Sedangkan menurut Blau dan Boal (1995) dalam Sopiah, (2008:p155) organizational commitment (komitmen
organisasional)
didifinisikan
sebagai
suatu
sikap
yang
merefleksikan perasaan suka atau tidak suka dari karyawan terhadap
29 organisasi. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Organizational Commitment (komitmen organisasi) adalah suatu ikatan psikologis karyawan pada organisasi yang ditandai dengan adanya : - Sebuah kepercayaan dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan dan nilainilai dari organisasi - Sebuah kemauan untuk menggunakan usaha yang sungguh-sungguh guna kepentingan organisasi - Sebuah keinginan untuk memelihara keanggotaan dalam organisasi Organizational Commitment merupakan dimensi perilaku penting yang dapat digunakan untuk menilai kecendrungan karyawan untuk bertahan sebagai anggota organisasi. Robbins dan Judge (2008:p100) mengemukakan definisi komitmen organisasi sebagai berikut : “tingkat sampai mana seorang karyawan memihak sebuah organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut”. Kemudian menurut Mathis dan Jackson (2000) seperti dikutip Sopiah
(2008:p155), “
Organizational Commitment (komitmen organisasi) sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya kedalam bagian organisasi”. Selanjutnya menurut Bathaw dan Grant (1994) seperti dikutip Sopiah (2008:p156), “Organizational Commitment sebagai keinginan karyawan untuk tetap mempertahankan keanggotannya dalam organisasi dan bersedia melakukan usaha yang tinggi demi pencapaian tujuan organisasi” Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi adalah suatu ikatan psikologis karyawan pada organisasi yang ditandai dengan adanya : 1. kepercayaan dan penerimaan yang kuat atas tujuan dan nilai-nilai organisasi 2. Kemauan untuk mengusahakan tercapainya kepentingan organisasi 3. Keinginan yang kuat untuk mempertahankan kedudukan sebagai anggota organisasi.
30 Organizational commitment (komitmen organisasional) mencerminkan bagaimana seorang individu mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi dan terikat dengan tujuan-tujuannya. Para manajer disarankan untuk meningkatkan kepuasan kerja dengan tujuan untuk mendapatkan tingkat komitmen yang lebih tinggi. Selanjutnya, komitmen yang lebih tinggi dapat mempermudah terwujudnya produktivitas yang lebih tinggi. (Kreitner dan Kinicki, 2003, p.274). Jadi, Organizational commitment (komitmen organisasional) adalah keinginan anggota organisasi untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi dan bersedia berusaha keras bagi pencapaian tujuan organisasi yang telah disepakati.
2.1.4.1 Proses Organizational Commitment Bashaw dan Grant (dalam Amstrong, 1994) seperti dikutip oleh Sopiah (2008:p159) menjelaskan bahwa komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan sebuah proses berkesinambungan dan merupakan sebuah pengalaman individu ketika bergabung dalam sebuah organisasi. Miner (1997) seperti dikutip Sopiah (2008:p161) secara rinci menjelaskan proses terjadinya komitmen organisasi, yaitu sebagai berikut : 1.
Fase awal, Initial commitment Faktor yang berpengaruh terhadap komitmen karyawan pada organisasi adalah: • Karakteristik individu • Harapan-harapan karyawan pada organisasi • Karakteristik pekerjaan
2.
Fase kedua, commitment during early employment Pada fase ini karyawan sudah bekerja beberapa tahun. Faktorfaktor yang berpengaruh terhadap komitmen karyawan terhadap organisasi pengalaman kerja yang ia rasakan pada tahap awal ia
31 bekerja,
bagaimana
pekerjaannya,
bagaimana
sistem
penggajiannya, bagaimana gaya supervisinya, bagaimana hubungan dia dengan teman sejawat atau hubungan dia dengan pimpinannya. Semua
faktor ini akan
membentuk
komitmen
awal dan
tanggungjawab karyawan pada organisasi yang pada akhirnya akan bermuara pada komitmen karyawan pada awal memasuki dunia kerja. 3.
Fase ketiga, commitment during later career Faktor yang berpengaruh terhadap komitmen pada fase ini berkaitan dengan investasi, mobilitas kerja, hubungan sosial yang tercipta di organisasi dan pengalaman-pengalaman selama ia bekerja.
2.1.4.2 Dimensi Organizational Commitment Allen dan Meyer (1996) dalam Ahmadi 2014 berpendapat bahwa komitmen menghubungkan individu ke organisasi dan saling berhubungan
seperti
mengurangi
kemungkinan
meninggalkan
pekerjaan (Mayer & Hrrscovitch, 2002). Terdapat tiga dimensi untuk Organizational Commitment, yaitu
•
Normative Commitment Normative Commitment menggambarkan perasaan keterikatan untuk terus berada dalam organisasi. Individu dengan normative commitment yang tinggi akan tetap bertahan dalam organisasi karena merasa adanya suatu kewajiban atau tugas yang memotivasi individu untuk bertingkah laku secara baik dan melakukan tindakan yang tepat bagi organisasi, memiliki perasaan membela organisasi meskipun ada tekanan sosial, maka mereka merasa perlu untuk mempertahankan organisasi.
•
Affective Commitment
32 Individu dengan affective commitment yang tinggi memiliki kedekatan emosional yang erat terhadap organisasi, hal ini berarti bahwa individu tersebut akan memiliki motivasi dan keinginan untuk berkontribusi secara berarti terhadap organisasi dibandingkan individu dengan affective commitment yang lebih rendah. •
Continuance Commitment Individu dengan continuance commitment yang tinggi akan bertahan dalam organisasi, bukan karena alasan emosional, tapi karena adanya kesadaran dalam individu tersebut akan kerugian besar yang dialami jika meninggalkan organisasi. Pekerja yang terlibat
dalam
organisasi
didasarkan
kepada
komitmen
berkelanjutan ini, maka pekerja tersebut akan tetap bertahan dalam organisasi karena mereka merasa bahwa jika mereka keluar akan menimbulkan biaya yang besar bagi diri mereka .
2.1.4.3 Faktor-Faktor
yang
Memengaruhi
Organizational
Commitment Steers & Porter (Sopiah, 2008:p156) mengatakan bahwa suatu bentuk komitmen yang muncul bukan saja bersifat loyalitas yang pasif, tetapi juga melibatkan hubungan yang aktif dengan organisasi kerja yang memiliki tujuan memberikan segala usaha demi keberhasilan organisasi yang bersangkutan. Komitmen dapat dilihat dari 3 faktor, yaitu : 1) Kepercayaan dan penerimaan yang kuat atas tujuan dan nilainilai organisasi 2) Kemauan
untuk
mengusahakan
tercapainya
kepentingan
organisasi 3) Keinginan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan organisasi. Steers dan Porter (Sopiah, 2008:p164) mengemukakan ada sejumlah faktor yang mempengaruhi komitmen pegawai pada organisasi, yaitu :
33 a. Faktor personal yang meliputi job expectations, psychological contract, job choice factor,karakteristik personal. Keseluruhan faktor ini akan membentuk komitmen awal. b. Faktor organisasi, meliputi initial works experiences, job scope, supervision, goal consistency organizational. Semua faktor itu akan membentuk atau memunculkan tanggung jawab. c. Non-organizational faktor yang meliputi availability of alternative jobs. Faktor yang bukan berasal dari dalam organisasi, misalnya ada tidaknya alternatif pekerjaan lain. Jika ada dan lebih baik, tentu pegawai akan meninggalkannya.
2.2
Kerangka Teoritis
Transformational Leadership (X1)
Organizational Commitment (Y)
Empowerment (X2)
Gambar 2.1 Kerangka Teoritis Sumber : Penulis, 2015
34 2.3
Hipotesis
Hipotesis
atas
hubungan
variabel
Transformational
Leadership
dengan
Organizational Commitment H0
:
Transformational
Leadership
tidak
berpengaruh
terhadap
Organizational Commitment Ha
:
Transformational Leadership berpengaruh terhadap Organizational
Commitment
Hipotesis atas hubungan variabel Empowerment dengan Organizational Commitment Ho
: Empowerment tidak berpengaruh terhadap Organizational Commitment
Ha
: Empowerment berpengaruh terhadap Organizational Commitment
Hipotesis atas hubungan variabel Transformational Leadership dan Empowerment bersama-sama berpengaruh terhadap Organizational Commitment Ho
:
Transformational Leadership dan Empowerment secara bersama-sama
tidak berpengaruh terhadap Organizational Commitment Ha
:
Transformational Leadership dan Empowerment secara bersama-sama
berpengaruh terhadap Organizational Commitment
Jawaban sementara atas masalah penelitian ini yang diturunkan dari kerangka pemikiran diatas adalah : •
Terdapat pengaruh Transformational Leadership terhadap Organizational Commitment di PT. Cahaya Kencana Abadi
•
Terdapat pengaruh Empowerment terhadap Organizational Commitment di PT. Cahaya Kencana Abadi
•
Terdapat pengaruh Transformational Leadership dan Empowerment yang bersama-sama berpengaruh terhadap Organizational Commitment di PT. Cahaya Kencana Abadi