5
BAB 2 LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Pengertian Perilaku Organisasi Menurut Stephen Robbins (2002, p.10) perilaku organisasi adalah suatu bidang studi yang menyelidiki dampak perorangan, kelompok dan struktur pada perilaku dalam organisasi dengan maksud menerapkan pengetahuan tentang hal-hal tersebut demi memperbaiki keefektifan organisasi. Perilaku organisasi adalah suatu bidang studi. Ini berarti perilaku organisasi merupakan suatu bidang keahlian dengan suatu tubuh pengetahuan yang sama. Perilaku organisasi mempelajari tiga determinan perilaku dalam organisasi : perorangan (individu), kelompok dan struktur. Disamping itu, perilaku organisasi menerapkan pengetahuan yang diperoleh mengenai perorangan, kelompok, dan efek dari struktur pada perilaku, agar organisasi bekerja dengan lebih efektif. Untuk meringkaskan definisi, perilaku organisasi adalah studi mengenai (yang memperhatikan) apa yang dilakukan orang-orang dalam suatu organisasi dan bagaimana perilaku tersebut mempengaruhi kinerja organisasi itu. Dan karena perilaku organisasi secara spesifik mempedulikan situasi yang dikaitkan dengan kekaryaan (employment), hendaknya kita tidak terkejut bila menemukan bahwa perilaku organisasi menekankan perilaku yang dikaitkan dengan pekerjaan, kerja, kemangkiran, keluar masuknya karyawan, produktivitas, kinerja manusiawi, dan manajemen. Perilaku keorganisasian memberikan sejumlah tantangan dan peluang bagi para manajer. Perilaku organisasi mengenali perbedaan-perbedaan dan membantu para manajer melihat nilai keanekaragaman dan praktik angkatan kerja yang mungkin perlu
6
dibuat ketika mengelola di negara yang berbeda. Perilaku organisasi dapat membantu memperbaiki kualitas dan produktivitas karyawan dengan menunjukkan kepada para manajer bagaimana memberi kuasa kepada orang-orang mereka dan juga bagaimana merancang dan melaksanakan program perubahan. Perilaku organisasi menawarkan wawasan-wawasan spesifik untuk memperbaiki ketrampilan seorang manajer dalam menangani orang. Dalam masa perubahan yang cepat dan berkelanjutan, perilaku organisasi membantu para manajer untuk belajar mengatasi dunia ”kesementaraan” dan mengelola angkatan kerja yang mengalami trauma karena penciutan organisasi. Akhirnya, perilaku organisasi dapat memberikan panduan untuk menciptakan suatu iklim kerja yang secara etis sehat. Perilaku organisasi merupakan suatu ilmu perilaku terapan yang dibangun atas sumbangan-sumbangan dari sejumlah disiplin perilaku. Bidang yang menonjol adalah psikologi, sosiologi, psikologi sosial, antropologi, dan ilmu politik. Sumbangan psikologi terutama pada tingkat analisis individual atau mikro; keempat disiplin yang lain menyumbang pemahaman kita terhadap konsep makro, misalnya proses dan organisasi kelompok. Gambar berikut mengikhtisarkan sumbangan-sumbangan utama bagi studi perilaku organisasi.
7
Psikologi
Sosiologi
Pembelajaran Motivasi Kepribadian Persepsi Pelatihan Keefektifan kepemimpinan Kepuasan kerja Pengambilan keputusan Individu penilaian kinerja pengukuran sikap seleksi karyawan desain kerja stress kerja
Dinamika kelompok Tim kerja Komunikasi Konflik Perilaku antarkelompok
Teori organisasi formal Birokrasi Teknologi organisasional Perubahan organisasi Budaya organisasional
Psikologi sosial
individual
kelompok
Perubahan perilaku Perubahan sikap Komunikasi Proses kelompok Pengambilan keputusan kelompok
Nilai komparatif Sikap komparatif Analisis lintas budaya
Sistem organisasi
Antropologi Budaya organisasional Lingkungan organisasional
Ilmu politik
Konflik Politik intraorganisasional kekuasaan
gambar 2.1 Bagan Struktur Ilmu Pendukung Perilaku Organisasi sumber : Stephen P. Robbins (2002)
Studi perilaku organisasi
8
Berdasarkan gambar diatas maka dapat dilihat bahwa perilaku organisasi sebagai suatu bidang studi ini berkaitan erat dengan lima disiplin ilmu yang masing-masing memberi sumbangan teori kepada perilaku organisasi. Dari berbagai teori yang telah disebutkan diatas, dalam penelitian ini penulis memilih untuk membahas teori mengenai budaya organisasi dan komunikasi organisasi dalam membentuk suatu pola perilaku dalam keorganisasian. Teori budaya organisasi berasal dari ilmu Antropologi sedangkan teori komunikasi berasal dari ilmu Psikologi Sosial.
2.2 Pengertian Budaya Organisasi Kebiasaan-kebiasaan dan tradisi umumnya terjadi pada suatu organisasi merupakan cikal bakal dari tumbuhnya budaya organisasi yang dikembangkan oleh pimpinan puncak organisasi.
Biasanya cikal bakal tumbuhnya budaya organisasi tersebut dimulai dari
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan pimpinan organisasi itu sendiri yang mana jika pimpinan suatu contoh kebiasaan buruk seperti tidak disiplin, acuh tak acuh terhadap pegawai, tidak pernah melakukan kontrol terhadap kinerja pegawai, akibatnya ada kemungkinan pegawai cenderung akan meniru perilaku yang demikian. Walaupun tidak semuanya demikian, paling tidak segala perilaku pemimpin akan menjadi cermin bagi pegawai untuk bersikap dan bertindak dalam melaksanakan tugas maupun dalam berinteraksi dengan sesama teman kerja maupun dengan atasan. Pada tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, budaya merujuk kepada nilainilai yang dianut bersama oleh orang dalam kelompok dan akan terus bertahan sepanjang waktu dan mungkin sampai pada anggota kelompok itu sudah berubah. Sementara itu, pada tingkatan yang lebih terlihat budaya menggambarkan pola atau gaya perilaku suatu organisasi sehingga pegawai-pegawai baru secara otomatis terdorong untuk mengikuti perilaku temannya.
9
Budaya organisasi akan mempengaruhi cara berpikir, sikap dan perilaku seseorang. Budaya organiasi menjadi relevan untuk mengikat dan memotivasi anggota organisasi yang pada dasarnya berlatar belakang berbeda. Sehingga dengan adanya budaya organisasi yang sama perbedaan-perbedaan itu dapat dijembatani. Dalam konteks seperti di atas, budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggotanya, yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Menurut Kotter dan Heskett (1998, p.6) budaya organisasi adalah nilai dan praktik yang dimiliki bersama seluruh kelompok dalam satu organisasi, sekurang-kurangnya dalam manajemen senior. Budaya organisasi dapat dilihat dalam dua tingkat, yaitu yang terlihat dalam permukaan, yang umumnya menyangkut perilaku dan sikap-sikap dalam hubungan dengan benda-benda fisik dan yang lebih dalam lagi menyangkut nilai-nilai yang dianut bersama. Menurut Robbins dan Coulter (1999, p.76) budaya organisasi adalah suatu sistem makna bersama di dalam sebuah organisasi yang menentukan, dalam tingkat yang tinggi, bagaimana para pegawai bertindak. Menurut Husein Umar (2008, p.207) budaya organisasi adalah suatu sistem nilai dan keyakinan bersama yang diambil dari pola kebiasaan dan falsafah dasar pendiriannya yang kemudian berinteraksi menjadi norma-norma, di mana norma tersebut dipakai sebagai pedoman cara berpikir dan bertindak dalam upaya mencapai tujuan bersama. Dengan mendasarkan berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah suatu sistem nilai yang diyakini bersama yang berasal dari falsafah atau prinsip awal pendirian organisasi kemudian berinteraksi menjadi norma-norma, yang dijadikan sebagai pedoman untuk mencapai tujuan organisasi.
10
2.2.1 Tipe Budaya Organisasi Harrison (2002, p.65) membagi empat tipe budaya organisasi : 1. Budaya kekuasaan (Power culture). Budaya ini lebih mempokuskan sejumlah kecil pimpinan menggunakan kekuasaan yang lebih banyak dalam cara memerintah. Budaya kekuasaan juga dibutuhkan dengan syarat mengikuti esepsi dan keinginan anggota suatu organisasi. Seorang dosen, seorang guru dan seorang karyawan butuh adanya peraturan dan pemimpin
yang
tegas dan
benar dalam menetapkan seluruh perintah dan
kebijakannya. Kerena hal ini menyangkut kepercayaan dan sikap mental tegas untuk memajukan
institusi
organisasi.
Kelajiman
diinstitusi
pendidikan
yang
masih
meenganut manajemen keluarga, peranan pemilik institusi begitu dominan dalam pengendalian sebuah kebijakan institusi akademis, terkadang melupakan nilai profesionalisme yang justru hal inilah salah satu penyebab jatuh dan mundurnya sebuah perguruan tinggi. 2. Budaya peran (Role culture) Budaya ini ada kaitannya dengan prosedur birokratis, seperti peraturan organisasi dan peran/jabatan/posisi spesifik yang jelas karena diyakini bahwa hal ini akan mengastabilkan
sistem.
Keyakinan
dan
asumsi
dasar
tentang
kejelasan
status/posisi/peranan yang jelas inilah akan mendorong terbentuknya budaya positif yang jelas akan membantu menstabilkan suatu organisasi. Bagi seorang dosen tetap jauh lebih cepat menerima seluruh kebijakan akademis daripada dosen terbang yang hanya sewaktu-waktu hadir sesuai dengan jadwal perkuliahan. Hampir semua orang menginginkan suatu peranan dan status yang jelas dalam organisasi. Bentuk budaya ini kalau diterapkan dalam budaya akademis dapat dilihat dari sejauhmana peran dosen dalam merancang, merencanakan dan memberikan masukan
11
(input) terhadap pembentukan suatu nilai budaya kerja tanpa adanya birokarasi dari pihak pimpinan. Jelas masukan dari bawah lebih independen dan dapat diterima karena sudah menyangkut masalah personal dan bisa didukung oleh berbagai pihak melalui adanya perjanjian psikologis antara pimpinan dengan dosen yang dibawahnya. Budaya peran yang diberdayakan secara jelas juga akan membentuk terciptanya profesionalisme kerja seorang dosen dan rasa memiliki yang kuat terhadap peran sosialnya di kampus serta aktifitasnya diluar keegiatan akademis dan kegiatan penelitian. 3. Budaya pendukung (Support culture) Budaya dimana didalamnya ada kelompok atau komunitas yang mendukung seseorang yang mengusahakan terjadinya integrasi dan seperangkat nilai bersama dalam organisasi tersebut. Selain budaya peran dalam menginternalisasikan suatu budaya perlu adanya budaya pendukung yang disesuaikan dengan kredo dan keyakinan anggota dibawah. Budaya pendukung telah ditentukan oleh pihak pimpinan ketika organisasi/institusi tersebut didirikan oleh pendirinya yang dituangkan dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jelas didalamnya ada keselarasan antara struktur, strategi dan budaya itu sendiri. Dan suatu waktu bisa terjadi adanya perubahan dengan menanamkan budaya untuk belajar terus menerus (longlife education) 4. Budaya prestasi (Achievement culture) Budaya yang didasarkan pada dorongan individu dalam organisasi dalam suasana yang mendorong eksepsi diri dan usaha keras untuk adanya independensi dan tekananya ada pada keberhasilan dan prestasi kerja. Budaya ini sudah berlaku dikalangan akademisi tentang independensi dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian serta dengan pemberlakuan otonomi kampus yang lebih menekankan terciptanya tenaga akademisi yang profesional, mandiri dan berprestasi dalam melaksanakan tugasnya.
12
Dari empat tipe budaya diatas cukup mengena dalam kaitannya dengan pengaruh budaya terhadap kinerja seorang dosen dapat dilihat dari budaya prestasi atau lebih tepat sebagai bentuk profesionalisme seorang dosen dalam perannya, dimana disebut dengan istilah budaya pribadi (person culture). Istilah profesionalisme dalam dunia kependidikan bukanlah hal yang baru. Penulis beranggapan bahwa profesionalisme itulah sebagian dari apilikasi budaya organisasi secara person culture dalam hal ini dapat dilihat dari karakter dosen dalam mengaplikasikan budaya akademis yang sudah disampaikan oleh pihak institusi kampus.
2.2.2 Fungsi Budaya Organisasi Menurut Robbins (2002, p.253) bahwa budaya menjalankan empat fungsi di dalam sebuah organisasi, yaitu : 1. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas 2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi 3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan pribadi seseorang 4. Budaya meningkatkan kemantapan sistem sosial budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan. 5. budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para perilaku.
13
2.2.3 Proses Pembentukan Budaya
Filosofi pendiri perusahaan
Manajemen puncak Kriteria seleksi
Budaya perusahaan sosialisasi
Gambar 2.2 Proses Pembentukan Budaya sumber : Robbins, 2002, p.262
Budaya organisasi biasanya berasal dari para pendiri perusahaan. Pendiri perusahaan memiliki peran yang besar bagi awal terbentuknya budaya organisasi, karena visi dan misi organisasi yang bersangkutan tidak terlepas pada bagaimana nilai-nilai pendiri tersebut. Pendiri organisasi tidak dikendalai oleh kebiasaan atau ideologi sebelumnya. Ukuran kecil yang lazimnya mencirikan organisasi baru mempermudah pemaksaan pendiri akan visinya pada semua anggota perusahaan.
2.2.4 Pentingnya Budaya Organisasi Menurut Lowney (2005, p.341) menyatakan : dari hasil riset yang diselenggarakan oleh para konsultan manajemen Mckinsey & co untuk melancarkan strategi membantu
14
perusahaan menarik dan mempertahankan karyawan berbakat yang langka, Mckinsey bertanya kepada para eksekutif puncak, apa yang telah memotivasi karyawan berbakat mereka. Berikut ini adalah ringkasan diantara para 200 eksekutif puncak mengenai peringkat faktor yang mutlak essensial untuk memotivasi karyawan : Tabel 2.1 Peringkat Faktor untuk Memotivasi Karyawan
Nilai-nilai budaya
58 %
Kebebasan otonomi
56 %
Tugas mengandung tantangan
51 %
Pengelolaan yang baik
50 %
Kompensasi yang tinggi
23 %
Misi yang mengilhami
16 %
Sumber : Lowney, 2005, p.341 Hasil riset diatas menunjukkan bahwa nilai-nilai dalam budaya organisasi sangat mempengaruhi para anggota dalam bekerja. Supaya seseorang dapat menjalankan fungsinya secara efektif dalam suatu organisasi, seseorang perlu tahu bagaimana mengerjakan atau harus mengerjakan sesuatu, termasuk bagaimana berperilaku sebagai anggota organisasi, khususnya dalam lingkungan organisasinya. Dengan adanya budaya organisasi yang jelas, maka seseorang dapat mengerti aturan main yang harus dijalankan, baik dalam mengerjakan tugas-tugasnya, maupun berinteraksi dengan sesama anggota dalam organisasi. Ketidakraguan dalam menjalani hal ini akan membawa peneguhan bagi seseorang, yang membuatnya mengerti apa yang harus dan tidak boleh dilakukan. Budaya akan meningkatkan komitmen organisasi dan meningkatkan konsistensi dan perilaku
15
karyawan. Dari sudut pandang karyawan, budaya memberitahu mereka bagaimana segala sesuatu dilakukan dan apa yang penting ( Gea, 2005, p.326 ). Menurut Lowney ( 2005, p.295 ), ada tiga ciri khas budaya organisasi yang dapat memberi hasil optimal : 1. Kuatnya budaya bukan hanya di atas kertas, melainkan secara nyata memandu perilaku sehari-hari karyawan 2. Budaya secara strategis telah sesuai dengan kondisi perusahaan 3. Budaya itu tidak menghambat perubahan tetapi mendukung perubahan
2.2.5 Dimensi Budaya organisasi Menurut Stephen P. Robbins (2004, p.15) ada sepuluh dimensi (karakteristik) dari budaya organisasi yaitu sebagai berikut. 1. Inisiatif individu, yaitu tingkat, tanggung jawab, kebebasan yang dipunyai individu 2. Toleransi terhadap tindakan beresiko, yaitu sejauh mana para pegawai dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif dan berani mengambil beresiko. 3. Arah, yaitu sejauh mana organisasi tersebut menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan mengenai organisasi 4. Integrasi, yaitu tingkat sejauh mana unit-unit dalam organisasi didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi 5. Dukungan manajemen, yaitu tingkat sejauh mana para manajer memberi komunikasi yang jelas, bantuan serta dukungan terhadap bawahan mereka 6. Kontrol, yaitu jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai.
16
7. Identitas, yaitu tingkat sejauh mana para anggota teridentifikasi dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya daripada dengan kelompok kerja tertentu atau dengan bidang keahlian profesional. 8. Sistem imbalan, yaitu tingkat sejauh mana alokasi imbalan (kenaikan gaji, promosi) didasarkan atas kriteria prestasi pegawai sebagai kebalikan dari senioritas, pilih kasih, dan sebagainya. 9. Toleransi terhadap konflik, yaitu tingkat sejauh mana para pegawai didorong untuk mengemukakan konflik kritik secara terbuka. 10. Pola-pola komunikasi, yaitu tingkat sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal.
2.2.6 Cara Mempertahankan Budaya Ada empat kekuatan yang merupakan bagian sangat penting dalam mempertahankan suatu budaya, yaitu 1. praktek seleksi Proses seleksi memberikan informasi kepada para pelamar mengenai perusahaan itu. Para calon belajar mengenal perusahaan itu, dan jika mereka merasakan suatu konflik antara nilai mereka dan nilai perusahaan maka mereka dapat menyeleksi diri keluar dari perusahaan itu. 2. tindakan manajemen puncak Tindakan manajemen puncak juga mempunyai dampak besar pada budaya organisasi. Melaui apa yang mereka katakan dan berperilaku, eksekutif senior merembes ke bawah sepanjang organisasi. 3. sosialisasi Sosialisasi adalah proses mengadaptasikan karyawan pada budaya organisasi itu.
17
4. internalisasi Proses menamkan dan menumbuhkembangkan suatu nila atau
budaya menjadi
bagian dari diri orang yang bersangkutan.
2.3 Pengertian Komunikasi Organisasi Menurut
Kenneth
dan
Gray
(2005,
p.5)
komunikasi
didefinisikan
sebagai
penyampaian informasi antara dua orang atau lebih yang juga meliputi pertukaran informasi antara manusia dan mesin. Menurut Wayne (2003, p.15) komunikasi organisasi adalah suatu pertunjukkan dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu. Suatu organisasi terdiri dari unit-unit komunikasi dalam hubungan-hubungan hierarkis antara yang satu dan lainnya dalam suatu lingkungan. Komunikasi dalam organisasi dapat dilihat dari sisi komunikasi antarpribadi dan komunikasi organisasi. Komunikasi dapat terjadi karena adanya komponen-komponen, yaitu komunikator yang mengirimkan pesan yang diekspresikan melalui lambang dalam bentuk bahasa. Selanjutnya pesan disampaikan melalui perantara yaitu media komunikasi. Pesan diterima oleh para penerima pesan tersebut ditafsirkan.
2.3.1 Konsep Komunikasi Organisasi Tujuan komunikasi keorganisasian antara lain
untuk memberikan informasi baik
kepada pihak luar maupun pihak dalam, memanfaatkan umpan balik dalam rangka proses pengendalian manajemen, mendapatkan pengaruh, alat untuk memecahkan persoalan untuk pengambilan keputusan, mempermudah perubahan-perubahan yang akan
dilakukan,
mempermudah
perubahan-perubahan
yang
akan
dilakukan,
mempermudah pembentukan kelompok-kelompok kerja serta dapat dijadikan untuk menjaga pintu keluar-masuk dengan pihak-pihak luar organisasi.
18
Ada dua bentuk dasar dari komunikasi organisasi yaitu : 1. komunikasi internal. Merujuk pada pertukaran informasi dan gagasan di dalam organisasi. Komunikasi di antara anggota suatu organisasi penting untuk melakukan fungsi secara efektif. 2. komunikasi eksternal. Membawa informasi ke dalam dan keluar organisasi. Perusahaan selalu bertukar pesan dengan pelanggan, penjual, distributor, pesaing, investor, wartawan, dan perwakilan masyarakat. Komunikasi di dalam organisasi memiliki 3 arah yaitu ke bawah, ke atas dan ke samping. 1. Komunikasi ke bawah, yaitu komunikasi dari atasan ke bawahan. Ia dapat berupa pengarahan, perintah, indoktrinasi, inspirasi maupun evaluasi. Medianya bermacammacam, seperti memo, rapat pengarahan, telepon, surat, dan buku-buku pedoman kerja. 2. Komunikasi ke atas Fungsi komunikasi ke atas biasanya untuk mencari dan mendapatkan informasi tentang
aktivitas-aktivitas
dan
keputusan-keputusan
yang
meliputi
laporan
pelaksanaan kerja, saran serta rekomendasi, usulan anggran, pendapat-pendapat, keluhan-keluhan, serta permintaan bantuan. Medianya biasanya pertemuan tatap muka, laporan, dan memo tertulis. 3. Komunikasi ke samping ( lateral ) Komunikasi ke samping (horizontal) adalah komunikasi yang terjadi antara bagianbagian yang memiliki posisi sejajar dalam suatu organisasi. Fungsi utama komunikasi ke samping adalah untuk melakukan kerjasama dan proaktif pada tingkat yang sejajar, di dalam bagian atau antar bagian lain yang bertujuan untuk memecahkan berbagai masalah
maupun
menceritakan
pengalaman
mereka
dalam
melaksanakan
19
pekerjaannya. Sarana seperti klinik persoalan maupun gugus kendali dapat digunakan untuk komunikasi ke samping atau horizontal ini. Enam fase dalam proses komunikasi yatiu : 1. pengirim mempunyai gagasan. Kita memikirkan suatu gagasan dan ingin mengungkapkannya 2. pengirim mengubah gagasan menjadi pesan. Ketika kita mengubah gagasan menjadi pesan yang akan dipahami oleh penerima, kita menyandikan, memutuskan bentuk pesan (kata, ekspresi, wajah, gerakan badan), panjang, organisasi, nada dan gaya, semuanya bergantung pada gagasan, penerima, dan gaya pribadi serta suasana hati kita. 3. pengirim mengirimkan pesan. Untuk mengirimkan secara fisik pesan kita kepada penerima, kita memilih saluran komunikasi (verbal atau nonverbal, lisan atau tertulis ) dan medium (telepon, suraty, memo laporan, pembicaraan tatap muka, dan seterusnya). Saluran dan medium yang kita pilih bergantung pada pesan anda, lokasi penerima, kecepatan, dan formalitas situasi. Penerima mengirim pesan. Agar komunikasi berlangsung, penerima harus menerima pesan terlebih dahulu. Bila kita mengirimkan surat, penerima harus membaca surat tersebut sebelum memahaminya. Bila kita menyampaikan pidato, orang yang menjadi pendengar harus mampu mendengarkan, dan mereka harus memusatkan perhatian. 5. penerima menginterpretasikan pesan. Penerima pesan harus bekerja sama dengan mengartikan pesan, menyerap dan memahaminya. Kemudian pesan yang diartikan harus disimpan dalam pikiran penerima. Bila semuanya berlangsung dengan baik, pesan diinterpretasikan dengan tepat; artinya, penerima memberikan arti dasar yang sama kepada kata-kata seperti yang anda maksudkan dan menanggapi dengan cara diinginkan.
20
6. penerima bereaksi dan mengirimkan umpan balik kepada pengirim. Umpan balik adalah tanggapan dari penerima pesan kita, hubungan akhir dalam rantai komunikasi. Setelah mendapat pesan, penerima menanggapi dengan suatu cara dan mengirimkan sinyal yang menjawab kita. Umpan balik merupakan elemen kunci dalam proses komunikasi karena itu memungkinkan kita mengevaluasi efektivitas pesan kita. Kita dapat mengetahui bila penerima tidak memahami yang kita maksud lewat respon yang diberikannya dan kita perlu memperbaikinya.
Fase 1 Pengirim mempunyai gagasan
Fase 2 Pengirim mengubah gagasan menjadi pesan
Fase 3 Pengirim mengirimkan pesan
S A L U R A N P E S A N M E D I A
situasi
Gambar 2.3 Proses Komunikasi Sumber : Courtland L. Bovee (2003, p18)
Fase 6 Penerima mengirimkan umpan balik
Fase 5 Penerima menginterpretasikan pesan
Fase 4 Penerima menerima pesan
21
2.3.2 Model Proses Komunikasi Model proses komunikasi perlu diketahui agar unsur-unsur komunikasi dapat terlihat. Menurut Rachmat (2003, p.5), model proses komunikasi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu
gambaran yang dirancang untuk mewakili
kenyataan. Model adalah tiruan gejala yang akan diteliti; ia menggambarkan hubungan antarvariabel tersebut. Jadi model bukanlah teori walaupun
bisa
menerapkan atau melahirkan teori. Model pun mempunyai tujuan untuk mempermudah pemikiran yang sistematis dan logis sehingga dapat membantu seseorang berpikir secara rasional. Model juga membantu peneliti mengambil proses atau gejala yang kompleks yang terlalu besar untuk dianalisis atau dimanipulasi dan mengecilkannya menjadi rangkaian variabel yang berarti. Faktor-faktor yang terdapat dalam model komunikasi yaitu. 1. Pengirim Seseorang yang butuh komunikasi 2. Latar belakang Yaitu ciri khas pengirim yang membedakannya dengan orang lain. 3. Pesan Merupakan tanda-tanda yang dapat berupa bahasa, kode, atau sistem tanda nalar. 4. Saluran (media) Merupakan tempat terbaik yang dipilih di mana suatu pesan melewatinya. 5. penerima dalam proses komunikasi antarpribadi, penerima adalah terminal dari tujuan pesan. Atau bisa dikatakan sebagai seorang pengumpul, penerjemah akhir suatu pesan. 6.Umpan balik. Merupakan alat pengontrol efektivitas pesan yang disampaikan.
22
7. entropi merupakan gangguan dari seluruh mekanisme komunikasi yang konsepnya menjelaskan bagaimana pesan komunikasi dapat berjalan tersesat dalam suatu rangkaian proses yang akhirnya tidak beraturan sama sekali. 8. Situasi/suasana, maksudnya adalah lingkungan dimana proses komunikasi itu bergerak.
2.3.3 Dimensi Komunikasi Organisasi Menurut Wayne Pace dan Don Faules (2000, p.28) ada 5 dimensi beserta indikator dari komunikasi organisasi yakni sebagai berikut. Dimensi Komunikasi 1. kualitas media
Indikator persepsi karyawan tentang dokumen tertulis
(misalnya
buletin,
laporan,
pedoman kerja dan lain-lain) : 1. daya tarik untuk dibaca 2. cocok atau sesuai 3. efisien 4. dapat diandalkan 2. Kemudahan mendapatkan informasi
persepsi karyawan tentang perolehan informasi dari berbagai sumber, yaitu: -
atasan langsung
-
atasan yang lebih tinggi
-
kelompok
23
3. Penyebaran informasi
-
bawahan
-
dokumen penerbitan
-
obrolan lisan
persepsi karyawan tentang: -
penyebaran
informasi
dalam
informasi
yang
struktur organisasi -
penyebaran
penting/khusus 4. Muatan informasi
penyebaran informasi terkini
pengalaman dan persepsi karyawan tentang:
5. Kemurnian pesan
-
kecukupan informasi
-
kekurangan informasi
-
kelebihan informasi
-
kelewatan informasi/terisolasi
Pengalaman dan persepsi karyawan tentang: -
perbedaan
antara
pesan
yang
dimengerti dan yang sebenarnya ada -
distrorsi:
penghapusan
kesehatan
dan
24
2.4 Pengertian Kinerja Karyawan Pengertian Kinerja dalam organisasi merupakan jawaban berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Para atasan atau manajer sering tidak memperhatikan kecuali sudah amat buruk atau segala sesuatu jadi serba salah. Terlalu sering manajer tidak mengetahui betapa buruknya kinerja telah merosot sehingga perusahaan / instansi menghadapi krisis yang serius. Kesan – kesan buruk organisasi yang mendalam berakibat dan mengabaikan tanda – tanda peringatan adanya kinerja yang merosot. Menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2000 : p.67) “Kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”. Ambar Teguh Sulistiyani (2003, p.223) mengatakan bahwa “Kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya”. Maluyu S.P. Hasibuan (2001, p.34) mengemukakan “kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu”. Menurut Barry Cushway (2002, p.198) “Kinerja adalah menilai bagaimana seseorang telah bekerja dibandingkan dengan target yang telah ditentukan”. Menurut Veizal Rivai ( 2004, p.309) mengemukakan kinerja adalah : “ merupakan perilaku yang nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuaidenganperannya dalam perusahaan”. Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson Terjamahaan Jimmy Sadeli dan Bayu Prawira (2001, p.78), “menyatakan bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan”.
25
2.4.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2005, p.113) tiga faktor utama yang mempengaruhi kinerja individu, yaitu: 1. Kemampuan individual untuk melakukan pekerjaan tersebut, 2. tingkat usaha yang dicurahkan, 3. Dukungan organisasi. Hubungan ketiga faktor diakui secara luas dalam literature manajemen sebagai: Kinerja = kemampuan x usaha x dukungan
Menurut Mangkunegara (2000, p.35) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja antara lain : 1. Faktor kemampuan Secara psikologis kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan realita (pendidikan). Oleh karena itu pegawai perlu dtempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahlihannya. 2. Faktor motivasi Motivasi terbentuk dari sikap (attiude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi (situasion) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai terarah untuk mencapai tujuan kerja
2.4.2 Penilaian Kinerja Penilaian kinerja ( performance appraisal ) pada dasarnya merupakan faktor kunci guna mengembangkan suatu organisasi secara efektif dan efisien, karena adanya kebijakan atau program yang lebih baik atas sumber daya manusia yang ada dalam organisasi. Penilaian kinerja individu sangat bermanfaat bagi dinamika pertumbuhan organisasi secara keseluruhan, melalui penilaian tersebut maka dapat diketahui kondisi sebenarnya tentang bagaimana kinerja karyawan. Menurut Bambang Wahyudi
26
(2002,p.101) “penilaian kinerja adalah suatu evaluasi yang dilakukan secara periodik dan sistematis tentang prestasi kerja / jabatan seorang tenaga kerja, termasuk potensi pengembangannya”.
Menurut Henry Simamora (2004, p.338) “ penilaian kinerja
adalah proses yang dipakai oleh organisasi untuk mengevaluasi pelaksanaan kerja individu karyawan”. Penilaian kinerja individu sangat bermanfaat bagi dinamika pertumbuhan organisasi secara keseluruhan, melalui penilaian tersebut maka dapat diketahui kondisi sebenarnya tentang bagaimana kinerja karyawan. Menurut Bernardin dan Russell (2000, p.379) ”A way of measuring the contribution of individuals to their organization”. Penilaian kinerja adalah cara mengukur kontribusi individu (karyawan) kepada organisasi tempat mereka bekerja. Menurut Cascio (2002 : p.267) “penilaian kinerja adalah sebuah gambaran atau deskripsi yang sistematis tentang kekuatan dan kelemahan yang terkait dari seseorang atau kelompok”. Aspek-aspek standar kinerja menurut A.A. Anwar Prabu Mangkunegara (2005 : p.18) terdiri dari aspek kualitatif. Aspek kuantitatif meliputi : 1. Proses kerja dan kondisi pekerjaan 2. Waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan pekerjaan 3. Jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan 4. Jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja Sedangkan aspek kualitatif meliputi : 1. Ketetapan kerja dan kualitas pekerjaan 2. Tingkat kemampuan dalam bekerja
27
3. Kemampuan menganalisis data / informasi, kemampuan / kegagalan menggunakan mesin / peralatan 4. Kemampuan mengevaluasi (keluhan / keberatan konsumen)
2.4.3 Tujuan Penilaian Kinerja Menurut Syafarudin Alwi ( 2001 : p.187 ) secara teoritis tujuan penilaian dikategorikan sebagai suatu yang bersifat evaluation dan development. Yang bersifat evaluation harus menyelesaikan : 1.Hasil penilaian digunakan sebagai dasar pemberian kompensasi 2.Hasil penilaian digunakan sebagai staffing decision 3.Hasil penilaian digunakan sebagai dasar meengevaluasi sistem seleksi. Sedangkan yang bersifat development penilai harus menyelesaikan : 1.Prestasi riil yang dicapai individu 2.Kelemahan- kelemahan individu yang menghambat kinerja 3.Prestasi- pestasi yang dikembangkan. Manfaat Penilaian Kinerja Kontribusi hasil-hasil penilaian merupakan suatu yang sangat bermanfaat bagi perencanaan kebijakan organisasi adapun secara terperinci penilaian kinerja bagi organisasi adalah : 1. Penyesuaian-penyesuaian kompensasi 2. Perbaikan kinerja 3. Kebutuhan latihan dan pengembangan 4. Pengambilan keputusan dalam hal penempatan promosi, mutasi, pemecatan, pemberhentian dan perencanaan tenaga kerja. 5. Untuk kepentingan penelitian pegawai 6. Membantu diaknosis terhadap kesalahan desain pegawai
28
2.4.4 Manfaat Penilaian Kinerja Menurut Achmad S. Ruky ada sejumlah manfaat yang biasanya dapat dicapai oleh organisasi dengan menerapkan sebuah system manajemen kinerja, yaitu sebagai berikut. a. meningkatkan prestasi kerja karyawan , baik individu maupun sebagai kelompok, sampai setinggi-tingginya dengan memberikan kesempatan pada mereka untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dalam kerangka pencapaian tujuan perusahaan. Karyawan dan atasan masing-masing menetapkan sasaran kerja dan standar prestasi yang harus dicapai dan meneliti serta menilai hasil-hasil yang sebenarnya dicapai pada akhir kurun waktu yang ditetapkan b. peningkatan prestasi kerja karyawan secara perorangan pada gilirannya akan mendorong kinerja sumber daya manusia secara keseluruhan c. merangsang minat dan pengembangan pribadi dengan tujuan untuk meningkatkan hasil karya dan prestasi pribadi dengan cara memberikan umpan balik kepada mereka tentang prestasi mereka. d. membantu organisasi menyusun program pengembangan dan pelatihan karyawan yang tepat guna. Memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengeluarkan perasaannya tentang pekerjaan atau hal yang ada kaitannya. e. menyediakan alat atau sarana untuk menbandingkan prestasi kerja pegawai dengan tingkat gajinya atau imbalannya sebagai bagian dari kebijakan dan system imbalan yang baik.
29
2.4.5 Unsur yang Dinilai untuk Penetapan Kinerja Secara garis besar kinerja diketahui melalui apa yang perlu dan harus diukur dari perilaku kerja yang mencerminkan unsur-unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan, yaitu aspek kondisi lingkungan kerja fisik dan sosial, dan aspek kepribadian tenaga kerja. Terdapat beberapa unsure yang dinilai untuk untuk menetapkan prestasi pekerja baik dari sisi masukan, maupun dari sisi proses dan keluaran. Menurut Sahlan Asnawi (2004, p.32) ada 16 indikator yang berkaitan dengan penilaian kinerja yaitu : 1. pengetahuan karyawan terhadap tugas yang diberikan 2. inisiatif karyawan terhadap penyelesaian tugas 3. ketajaman persepsi karyawan terhadap bobot pekerjaan 4. kemampuan pengambilan keputusan 5. kualitas kerja yang mampu diselesaikan 6 jumlah pekerjaan yang mampu diselesaikan sesuai jadwal 7. kesehatan fisik untuk menyelesaikan kewasjiban kerja 8. kesadaran akan tugas yang diberikan 9. rasa percaya diri karyawan menyelesaikan pekerjaan 10. rasa bahwa karyawan dapat dipercaya oleh orang lain 11. persahabatan karyawan dengan kolega kerja 12. sikap terhadap pengawasan atasan dan rekan sekerja 13. stabilitas emosi karyawan dalam bekerja 14. kemampuan karyawan dalam menyesuaikan diri 15. kemampuan karyawan bekerja sama menyelesaikan masalah 16. kepuasan atasan atas sikap dan hasil kerja karyawan
30
2.4.6 Unsur-unsur Pengukuran Kinerja Menurut Achmad S. Ruky (2002, p.210) pendekatan penilaian kinerja berdasarkan kajian input-proses-output sebagai berikut. 1. Kinerja berorientasi input. Sistem ini merupakan cara tradisional yang menekankan pada pengukuran atau penilaian ciri-ciri kepribadian karyawan. Karakteristik yang banyak dijadikan objek pengukuran adalah misalnya kejujuran, ketaatan, disiplin, loyalitas, kreativitas, adaptasi, komitmen sopan santun dan lain-lain. 2. Kinerja berorientasi proses. Melalui system ini, kinerja atas prestasi karyawan diukur dengan cara menilai sikap dan perilaku seorang pegawai dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab. 3. Kinerja berorientasi output. Sistem ini biasa juga disebut system manajemen kinerja yang berbasiskan pencapaian sasaran kerja individu. Sistem ini memfokuskan pada hasil yang diperoleh atau dicapai oleh karyawan. Sistem ini berbasis pada metode manajemen kinerja berbasiskan pada konsep manajemen berdasarkan sistem. Menurut Bernandin & Russell (2000, p.135) yang dikutip oleh Faustino Cardoso Gomes dalam bukunya Human Resource Managemen ukuran-ukuran kinerja yaitu sebagai berikut : 1.
Quantity of Work : jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode yang
ditentukan. 2.
Quality of Work : kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat
kesesuaian dan kesiapannya. 3.
Job
Knowledge
keterampilannya.
:
luasnya
pengetahuan
mengenai
pekerjaan
dan
31
4.
Creativeness : keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakan-
tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul. 5.
Cooperation : kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain atau sesama
anggota organisasi. 6.
Dependability : kesadaran untuk dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan
penyelesaian kerja. 7.
Initiative : semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam
memperbesar tanggung jawabnya. 8.
Personal Qualities : menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramah tamahan
dan integritas pribadi. Menurut
Agus
Dharma
dalam
bukunya
Manajemen
Supervisi
(2003,
p.355)
mengatakan ”hampir semua cara pengukuran kinerja mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : A.
Kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. Pengukuran
kuantitatif melibatkan perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan kegiatan. Ini berkaitan dengan jumlah keluaran yang dihasilkan. B.
Kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). Pengukuran kualitatif
keluaran mencerminkan pengukuran ”tingkat kepuasan”, yaitu seberapa baik penyelesaiannya. Ini berkaitan dengan bentuk keluaran. C.
Ketepatan waktu, yaitu sesuai tidaknya dengan waktu yang direncanakan.
Pengukuran ketepatan waktu merupakan jenis khusus dari pengukuran kuantitatif yang menentukan ketepatan waktu penyelesaian suatu kegiatan.
32
2.4.7 Peningkatan Kinerja Pegawai Dalam
rangka
peningkatan
kinerja
pegawai,
menurut
A.A.Anwar
Prabu
Mangkunegara (2005, p.22) terdapat tujuh langkah yang dapat dilakukan sebagai berikut: A.
Mengetahui adanya kekurangan dalam kinerja
B.
Mengenal kekurangan dan tingkat keseriusan
C.
Mengidentifikasikan hal-hal yang mungkin menjadi penyebab kekurangan, baik
yang berhubungan dengan sistem maupun yang berhubungan dengan pegawai itu sendiris D.
Mengembangkan rencana tindakan untuk menanggulangi penyebab kekurangan
tersebut E.
Melakukan rencana tindakan tersebut
F.
Melakukan evaluasi apakah masalah tersebut sudah teratasi atau belum
G.
Mulai dari awal, apabila perlu
33
2.5 Kerangka Pemikiran Secara garis besar, melalui penelitian ini penulis akan :
meneliti pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja karyawan
meneliti pengaruh komunikasi organisasi terhadap kinerja karyawan
meneliti pengaruh budaya organisasi dan komunikasi organisasi terhadap kinerja karyawan
Komunikasi Organisasi (X2) 1. kualitas media 2. kemudahan mendapatkan informasi 3. penyebaran informasi 4. muatan informasi 5. kemurnian pesan
Kinerja karyawan (Y) 1. kemampuan 2. tingkat usaha yang dicurahkan 3. dukungan organisasi
Budaya Organisasi (X1) 1. inisiatif individu 2. toleransi terhadap tindakan beresiko 3. arah 4. integrasi 5. dukungan manajemen 6. kontrol 7. identitas 8. sistem imbalan 9. toleransi terhadap konflik 10. pola-pola komunikasi
Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran
34
2.6 Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, hipotesis penelitian ini ditetapkan sebagai berikut. Hipotesis pertama. Ho : budaya organisasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan H1 : budaya organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan Hipotesis kedua. Ho : komunikasi organisasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan H1 : komunikasi organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan Hipotesis ketiga. Ho : budaya organisasi dan komunikasi organisasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan H1 : budaya organisasi dan komunikasi organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan