BAB II
KERANGKA LANDASAN TEORI
2.1. AKTIVITAS MENONTON TELEVISI 2.1.1. Pengertian dan Sejarah Televisi Media televisi pada hakekatnya merupakan suatu sistem komunikasi yang menggunakan suatu rangkaian gambar elektronik yang dipancarkan secara cepat, berurutan, dan diiringi unsur audio. Yang dimaksudkan televisi di sini menurut Onong Uchjana Effendy (1993: 21) adalah televisi siaran (television broadcast) yang merupakan media dari jaringan komunikasi dengan ciri-ciri yang dimiliki
komunikasi
massa,
yakni
berlangsung
satu
arah,
komunikatornya melembaga, pesannya bersifat umum, sasarannya menimbulkan keserempakan dan komunikannya heterogen. Menurut Skomis, dibandingkankan dengan media massa lainnya (radio, surat kabar, majalah, buku dan sebagainya), televisi mempunyai sifat istemewa. Bisa bersifat informatif, hiburan maupun pendidikan, bahkan gabungan dari ketiga sifat itu (Wawan Kuswandi, 1996: v). Televisi menurut Wawan Kuswandi (1996: v) dan Onong Uchjana Effendy (1999: 174) merupakan paduan audio dari segi penyiarannya (broadcast) dan video dari segi gambar bergeraknya (moving images). Para pemirsa tidak akan mungkin menangkap
21
siaran televisi, kalau tidak ada prinsip-prinsip radio yang mentransmisikannya, dan tidak mungkin melihat gambar-gambar yang bergerak atau hidup, jika tidak ada unsur-unsur film (video) yang memvisualisasikannya. Yang dipancarkan oleh pemancar televisi, selain suara juga gambar. Istilah televisi diambil dari perkataan “tele” yang berarti jauh dan “vision” yang berarti penglihatan (Onong Uchjana Effendy, 1993: 22). Segi “jauh”nya diusahakan oleh prinsip radio dan segi “penglihatan”nya oleh gambar. Tanpa gambar tak mungkin ada apaapa yang dapat dilihat. Jadi televisi diartikan sebagai suatu perlengkapan elektronik yang pada dasarnya sama dengan gambar hidup yang meliputi gambar dan suara. Menurut
sejarah,
Inggrislah
negara
yang
pertama
menggunakan televisi sebagai media komunikasi massa. Pada tahun 1924, orang Inggris bernama John Logie Baird mendemonstrasikan televisi.
Meskipun
Inggris
adalah
negara
pertama
yang
menanyangkan televisi, namun secara internasional kurang dikenal oleh publik. Ini dikarenakan meletusnya Perang Dunia II yang melibatkan seluruh negara Eropa. Sebaliknya Amerika berhasil mengembangkan televisi melalui pakar di bidang komunikasi massa, antara lain S. Morse, A.G. Bell dan Herbert E. Ives. Pada tahun 1939 untuk pertama
22
kalinya publik Amerika menyaksikan siaran TV di arena World’s Fair, New York (Sam Abede Pareno, 2002: 138) Onong Uchjana Effendy (1993: 54) menyebutkan bahwa di Indonesia, televisi bisa dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia mulai tahun 1962 bertepatan dengan dilangsungkannya Asian Games di gelanggang olah raga Senayan Jakarta yang berlangsung 24 Agustus – 4 September 1962 yang disiarkan oleh TVRI (Televisi Republik Indonesia). Itulah sebabnya tanggal 24 Agustus ditetapkan sebagai hari lahir TVRI. Pada bulan Oktober 1963 terbitlah Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 215 Tahun 1963 tentang Pembentukan Yayasan Televisi Republik Indonesia yang antara lain menegaskan bahwa tujuan TVRI adalah untuk menjadi alat hubungan masyarakat (mass communication media) dalam melaksanakan pembangunan mental / spiritual dan fisik bangsa dan Negara Indonesia serta pembentukan Manusia Sosialis Indonesia pada khususnya. Hal ini mendorong tumbuh dan berkembangnya stasiunstasiun televisi swasta. Dimulai dengan stasiun televisi Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) di tahun 1989, Surya Televisi Indonesia (SCTV, 1989), Televisi Pendidikan Indonesia (TPI, 1991), AN Teve (1993), Indosiar, TV 7, Metro TV, TV G, dan Trans TV (Ishadi S.K., 1997: 18). Disamping itu, di beberapa daerah juga mulai bermunculan stasiun-stasiun televisi daerah dan komunitas.
23
Perkembangan jumlah stasiun pemancar televisi tersebut diikuti
oleh
banyaknya
kepemilikan
pesawat
televisi
oleh
masyarakat. Hampir setiap keluarga, terutama di daerah perkotaan, memiliki televisi sendiri, bahkan bukan hanya satu melainkan lebih dari dua untuk tiap keluarga. Pesawat televisi yang pada dekade 80an merupakan barang mewah dan hanya dimiliki oleh segelintir orang, kini hampir merupakan kebutuhan.jumlah pesawat televisi yang dimiliki masyarakat selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Menurut salah satu sumber yang ditulis oleh Koeswandi sebagaimana dikutip Gati Gayatri (1998: 63), pada tahun 1969 jumlah pesawat televisi yang dimiliki masyarakat masih sekitar 65.000 set, yang kepemilikannya masih terbatas pada masyarakat di Jakarta dan sekitarnya. Lima belas tahun kemudian, 1984, jumlah tersebut meningkat dengan cepat dan menyebar hampir di seluruh nusantara menjadi 7.132.462 set, dan sampai akhir maret 1992 jumlah tersebut telah mencapai 212.580.000 set. Pada tahun 1996 rasio pesawat televisi dan penduduk sudah mencapai 50: 1000 atau 1 : 20. Sekarang ini perkembangan televisi ditanah air menunjukkan bahwa ada sekitar 20 – 23 juta rumah tangga yang memiliki pesawat televisi. Tidak kurang dari 18 jam sehari berbagai mata acara dan
24
informasi disekokkan ke kepala pemirsa di seluruh tanah air. Itu berarti hanya ada sisa 6 jam sehari waktu yang kosong. Kehadiran televisi dan perkembangannya yang semakin pesat dalam saat-saat tertentu memang dibutuhkan dan memberikan pengaruh positif bagi berkembangnya informasi pada masyarakat luas. Namun disisi lain tayangan-tayangan televisi juga berakibat negatif bagi audiennya termasuk dapat mengancam peran orang tua dalam keluarga. Televisi lambat laun menggantikan peran orang tua dalam pembinaan kepada anak-anaknya mengenai nilai-nilai dan kehidupan dalam masyarakat.1 Televisi bukan lagi dipandang sebagai sarana pelengkap untuk mengetahui apa yang terjadi dalam masyarakat, melainkan telah menjadi sarana untuk internalisasi nilai-nilai dan norma-norma yang ada di sekitarnya. 2.1.2. Fungsi televisi Pada prinsipnya media massa (televisi) merupakan satu institusi yang melembaga yang berfungsi dan bertujuan untuk menyampaikan informasi kepada khalayak sasaran agar well informed. Media massa adalah alat bantu yang dipakai oleh suatu organisasi untuk mewujudkan efisiensi dan efektivitas kegiatannya
1 Terlebih bagi keluarga yang hidup di kota-kota besar di mana kedua orang tuanya sibuk bekerja mencari nafkah sepanjang hari, televisi dapat dikatakan sebagai sarana utama bagi anak untuk belajar tentang kehidupan dan budaya dalam masyarakatnya.
25
dalam rangka mencapai tujuan masyarakat organisasi yang bersangkutan. Asep
S.
Muhtadi
dan
Sri
Handajani
(2000:
102)
menyebutkan sebagai media komunikasi massa, televisi adalah sumber informasi yang paling akrab di masyarakat, karena kemampuan daya jangkau (accessability) yang dimiliki, ketersediaan (availability) serta potensi yang sangat besar dalam membentuk pendapat khalayak (public opinion). Ada beberapa unsur penting dalam media massa, yaitu adanya sumber informasi, isi pesan, khalayak sasaran, saluran informasi (media) dan efek dari informasi. Media televisi sebagaimana media massa lainnya mempunyai berbagai fungsi, diantaranya sebagai alat menyebarkan informasi, mendidik, menghibur, mempengaruhi, membimbing, mengkritik dan sebagai kontrol sosial (Wawan Kuswandi, 1996: 98-99). Sebagaimana yang tulis oleh Wawan Kuswandi (1996: 2425), menurut Robert K. Avert dalam bukunya “Communication and The Media” dan Sanford B. Wienberg dalam “Messages – A Reader in Human Communication”, Randon House, New York 1980, mengungkapkan 3 ( tiga ) fungsi media: 2.1.2.1. The surveillance of the environment, yaitu mengamati lingkungan;
26
2.1.2.2. The correlation of the part of society in responding to the environment, yaitu mengadakan korelasi antara informasi data yang diperoleh dengan kebutuhan khalayak asaran, karena komunikator lebih menekankan pada seleksi evaluasi dan interprestasi; 2.1.2.3. The transmission of the social heritage from one generation to the next, maksudnya ialah menyalurkan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ketiga fungsi tersebut pada dasarnya memberikan satu penilaian pada media massa sebagai alat atau sarana yang secara sosiologis
menjadi
perantara
untuk
menyambung
atau
menyampaikan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat. Charles Wrigt menambahkan fungsi media massa adalah sebagai hiburan yang lebih bersifat human interest. Selain itu, menurut Wilbur Schramm, media massa juga berfungsi sebagai “to sell goods for us”. Artinya media massa menjadi sarana efektif untuk mempropagandakan hasil produksi dalam mencari keuntungan secara materi atau bentuk promosi barang. Menurut Roedi Hofmann (1999: 54-58) ada 5 (lima) fungsi televisi dalam masyarakat, karena sekarang ini televisi tidak dilihat lagi sebagai sarana pendidikan dan alat promosi perdagangan. Lima fungsi itu adalah sebagai berikut:
27
2.1.2.1. Pengawasan situasi masyarakat dan dunia Fungsi ini disebut fungsi informasi. Seandainya fungsi ini diperhatikan betul, televisi dapat menjadi media komunikasi yang cukup demokratis, sejauh hidup di dalam masyarakat dikembalikan lagi kepada masyarakat lewat siaran. 2.1.2.2. Menghubungkan satu dengan yang lain Televisi dapat menghubungkan hasil pengawasan satu dengan hasil pengawasan lain secara jauh lebih gampang sesuai dengan keinginan masyarakat. 2.1.2.3. Menyalurkan kebudayaan Sebetulnya kebudayaan rakyat sudah cukup terangkat, kalau televisi
lebih
proaktif
berfungsi
sebagai
pengawas
masyarakat. 2.1.2.4. Hiburan Hiburan itu merupakan rekreasi, artinya berkat hiburan manusia menjadi lebih segar untuk kegiatan-kegiatan lain. Kalau televisi tidak menghibur umumnya tidak akan ditonton, karena hiburan sudah menjadi kebutuhan manusia. 2.1.2.5. Pengerahan masyarakat untuk bertindak dalam keadaan darurat Misalnya kalau terjadi wabah penyakit di suatu daerah, televisi bisa saja memberitakan berdasarkan fungsinya sebagai pengawas. Berita ini kemudian dapat dihubungkan
28
dengan keterangan vaksinasi / sejenisnya. Namun televisi juga harus proaktif memberi motivasi dan menganjurkan supaya orang mau dibantu secara preventif. 2.1.3. Aktivitas menonton televisi Televisi dengan menonton televisi adalah dua hal (kata) yang sangat berbeda. Yang pertama sudah tentu mempelajari medium komunikasi yang bernama televisi, baik sebagai benda material ataupun sebagai tontonan (spectacle). Sebagai benda material, televisi merupakan komoditas atau obyek konsumsi; sebagai tontonan, televisi adalah gugusan-gugusan ikon dan simbol, citracitra audio visual yang bermakna. Sedangkan menonton televisi sendiri adalah suatu tindakan (action) tertentu dari adanya alat komunikasi yakni televisi (Kris Budiman, 2002: vi). Televisi, menurut Asep S. Muhtadi dan Sri Handajani (2000: 55) adalah sebuah kotak ajaib yang ditempatkan secara khusus di salah satu sudut ruangan, barangkali adalah hasil produk kemajuan teknologi yang paling banyak memperoleh “gelar kehormatan”, seperti “jendela dunia” (window of the world), “kotak ajaib” (miracle box), “kotak dungu” (stupid box). Aktivitas menonton televisi adalah sebuah proses yang aktif, baik antar-pasrtisipan maupun antara partisipan dan televisi, yang di dalamnya audiens tidak sekedar mengambil peran sebagai pihak yang secara aktif memilih, namun juga memakai, menafsir serta
29
menyampaikan. Artinya aktivitas menonton televisi bukanlah sekedar aktivitas menyorotkan mata ke layar kaca, melainkan bersifat multi-faset dan kaya dimensi (Kris Budiman, 2002: 21). Aktivitas menonton televisi biasanya dilakukan di dalam ruang tertentu pada rumah masing-masing2 meskipun tidak dapat dilepaskan
dari
lingkungan
fisik
yang
mengelilingi
atau
menyertainya. Berbagai aspek lingkungan di dalam rumah secara langsung dapat menentukan bagaimana orang menonton televisi. Faktor-faktor fisik ini mungkin menyangkut ketersediaan tempat, jumlah pesawat televisi, serta penempatannya beserta benda-benda lainnya di ruang tertentu (Kris Budiman, 2002: 37). Dalam hal pengaturan ruang, faktor ketersediaan merupakan sebuah persoalan penting. Ketersediaan tempat yang sempit dan terbatas serta kepemilikan pesawat televisi tentu sangat terbatas pula dalam menentukan lokasi untuk meletakkan dan menonton televisi. Dengan keterbatasan itu, salah satu pilihan yang mungkin adalah dengan menempatkan televisi di sebuah ruang yang menjadi pusat kegiatan,3 misalnya ruang keluarga yang biasanya dijadikan tempat istirahat bahkan menjadi tempat transit dari satu ruang ke ruang yang lain.
2
Aktivitas menonton televisi juga dapat disaksikan di ruang-ruang publik (umum) seperti warung makan, restoran, ruang tunggu, bahkan mungkin di pinggir jalan sekalipun. 3
Biasanya memiliki ukuran relatif lebih besar dibandingkan dengan ruang yang lain.
30
Secara tipikal, pesawat televisi akan ditempatkan pada salah satu pojok atau sisi ruang tertentu, karena televisi akan menjadi titik fokal, fokus visual dari organisasi ruang yang ada. Menonton televisi bukanlah aktivitas yang soliter, sendiri dan terpisah dari aktivitas-aktivitas yang lain. Sebaliknya, aktivitas menonton televisi merupakan aktivitas sosial yang jalin menjalin dengan tanggung jawab dan tugas-tugas rutin pengelolaan rumah tangga sehari-hari (Kris Budiman, 2002: 60). Di saat sedang menonton televisi, beberapa jenis aktivitas lain dapat bertumpang tindih atau dilakukan bersamaan. Hal ini bukan berarti bahwa menonton televisi tidak dapat dilakukan secara terisolasi, sendirian dengan pandangan lebih terfokus. Seringkali orang menonton televisi sekaligus melakukan aktivitas lainnya pada saat yang bersamaan. Anggota-anggota keluarga menonton televisi secara simultan dengan aktivitas lainnya seperti makan, mengerjakan tugas-tugas, mendengarkan musik, memasak, membersihkan rumah, bermain, membaca, mengasuh anak dan sebagainya. Bisa saja, ketika tidak ada seorang pun menontonnya, televisi mungkin tetap tidak dimatikan.
31
2.2. PERILAKU KEAGAMAAN 2.2.1. Pengertian Perilaku Keagamaan Perilaku secara etimologi adalah “tantangan / reaksi individu terhadap rangsangan / lingkungan (Depdikbud, 2001: 859). Secara istilah (terminologi) menurut James Drever adalah “behavior is the total response, motor and glandular, which an organism makes to any situation with it if face (James Drever, 1971: 28). Maksudnya tingkah laku adalah reaksi keseluruhan dari motor dan kelenjar yang diberikan kepada organisme terhadap situasi yang dihadapinya. Hasan Langgulung (1980: 139) menyebutkan bahwa perilaku adalah gerak motorik yang termanifestasikan dalam bentuk segala aktivitas seseorang yang dapat diamati. Jadi perilaku merupakan reaksi total individu terhadap perangsang atau situasi dari luar yang terwujud dalam gerak yang dapat diamati. Keagamaan sendiri mempunyai arti segenap kepercayaan (kepada Tuhan / Dewa) dan sebagainya serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu, misal Islam, Kristen, dan lain-lain (W.J.S. Poerwadarminta, 1982: 18). Menurut Harun Nasution (1979: 10), Agama adalah ajaranajaran yang diwahyukan Tuhan kepada Manusia melalui seorang Rasul.
32
Perilaku keagamaan menurut Ahmad Amin (1995: 12) adalah tingkah laku yang didasarkan atas kesadaran beragama yakni tentang adanya Yang Maha Kuasa. Jadi perilaku keagamaan adalah suatu tingkah laku sebagai reaksi / tanggapan yang dilakukan dalam suatu situasi yang dihadapinya yang berdasarkan atas kesadaran tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa. Agama yang dimaksud dalam pembahasan skripsi ini adalah agama Islam, maka secara sederhana dapat diambil pengertian bahwa perilaku keagamaan merupakan keseluruhan aktivitas anggota tubuh manusia yang berdasarkan syari’at Islam atau ibadah dalam arti luas. Jadi, perilaku keagamaan adalah serangkaian tingkah laku seseorang yang dilandasi dengan ajaran-ajaran agama Islam. 2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku keagamaan Manusia merupakan makhluk hidup yang paling sempurna bila dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Ini dikarenakan dalam diri manusia terdapat kemampuan yang tidak dimiliki makhluk lain dan mempunyai akal sebagai pembeda dengan makhluk lain. Akibat adanya kemampuan inilah, manusia mengalami perkembangan dan perubahan baik perubahan dalam segi psikologis maupun fisiologis. Perubahan yang terjadi pada diri manusia pada akhirnya akan menimbulkan
perubahan
terhadap
tingkah
lakunya
dimana
perkembangan perilaku manusia ini dipengaruhi banyak faktor.
33
Dalam hal ini Kurt Lewin berpendapat sebagaimana yang dikemukakan oleh Jalaluddin Rahmat, bahwa perilaku manusia bukan sekedar respon pada stimuli, tetapi produk berbagai gaya yang mempengaruhinya secara spontan, gaya psikologis manusia disebut sebagai ruang hayat dan ruang hayat ini adalah totalitas, realitas psikologis yang mempengaruhi tingkah laku individu pada suatu saat. Dengan kata lain, tingkah laku adalah fungsi dari pada ruang hidup, interaksi antara pribadi dan lingkungan psikologis (Jalaluddin Rahmat, 1992: 27). Senada dengan pendapat Kurt Lewin, menurut William Strem dalam bukunya Kartini Kartono (1990: 178) “Psikologi Umum” yang mengatakan bahwa perkembangan individu akan ditentukan oleh faktor yang dibawa sejak lahir (indogen) dan lingkungan (ekstogen). Ada faktor konvergensi baik faktor dari dalam maupun luar, keduanya menyatu bekerja sama. Dari pendapat tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan serta perubahan perilaku manusia pada prinsipnya dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor, yakni: 2.2.2.1. Faktor Internal Faktor internal adalah faktor yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri, yakni kepribadian, sistem nilai, motivasi serta sikap terhadap sesuatu yang ada disekitarnya (Djamaluddin Ancok, 1992: 99-105).
34
2.2.2.2. Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor yang timbul dari luar lingkungan sosial budaya sistem nilai yang ada di masyarakat, kondisi lingkungan, kondisi tata ruang dan kondisi ekonomi. Misalnya pengalaman pada masa kecil khususnya dalam keluarga dan cara kedua orang tua mempergauli anak, pengaruh kelas sosial dan berbagai kelompok (M. Ustman Najati, 1995: 271). Jika seseorang atau sekelompok orang memiliki perhatian terhadap sesuatu (obyek) dan memahaminya serta menerima maka akan terjadi perubahan sikap yang sekaligus perubahan tingkah laku (Jalaluddin, 2001: 209). Dengan demikian perilaku manusia tidak bisa lepas dari pengaruh
situasi
dan
kondisi
kehidupan
psikologis
yang
melingkupinya. 2.2.3. Bentuk-bentuk perilaku keagamaan Menurut aliran perilaku (behaviorisme), yang diilhami John Broadus Watson dan digerakkan B.F. Skinner, mengatakan bahwa perilaku keagamaan sebagaimana perilaku yang lain, merupakan akibat dari proses tanggapan fisiologis manusia (Djamaluddin Ancok & Fuat Nashari Suroso , 1995: 72). Salah satu kenyataan yang terjadi dalam sepanjang perjalanan sejarah umat manusia adalah fenomena keberagamaan. Ini
35
diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Oleh karena itu, keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi. Menurut Glock & Stark (dalam Robertson, 1988) yang dikutip oleh Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso (1995: 76-78), ada lima macam dimensi keberagamaan yaitu: 2.2.3.1. Dimensi keyakinan Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan di mana orang beragama berpegang teguh pada pandangan ketuhanan tertentu dan mengakui kebenarannya. 2.2.3.2. Praktik agama Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal
yang
dilakukan
orang
untuk
menunjukkan
komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktek keagamaan ini terdiri atas : a. Ritual, Praktek ini mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek ibadah. b. Ketaatan Praktek ini meliputi, sembahyang, membaca kitab dan lain-lain. 2.2.3.3. Pengalaman
36
Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua
agama
mengandung
pengharapan-pengharapan
tertentu. 2.2.3.4. Pengetahuan agama Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar kenyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi. 2.2.3.5. Pengamalan atau konsekuensi. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan
keagamaan,
praktik,
pengalaman
dan
pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Oleh karena itu, praktek agama sebagai wujud dari keberagamaan itu dapat diwujudkan dalam berbagai kehidupan manusia. Bukan hanya sekedar melakukan ritual (peribadatan) saja, namun juga segala aktivitas (perilaku keagamaan) yang didorong oleh kekuatan supranatural yang dapat memberikan rasa aman bagi manusia itu sendiri. Perilaku keagamaan merupakan akibat dari proses tanggapan fisiologi manusia. 2.2.4.
Shalat wujud praktek ritual keagamaan Secara etimologi shalat berarti do’a, sedangkan secara terminologi sholat adalah suatu perbuatan disertai ucapan-ucapan dengan cara-cara tertentu, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri
37
dengan salam dengan niat untuk bersujud kehadirat Allah SWT (Dja’far Amir, 1986: 44). Menurut A. Malik Ahmad (1987: 11), shalat adalah do’a yang dapat mendekatkan diri kepada Allah untuk beristighfar mohon ampun atau menyatakan kesyukuran atas nikmat Allah atau untuk memohon kepadaNya perlindungan dari bahaya atau beribadah atau berbuat amal kebaikan karena mematuhi seruanNya dan bimbingan RasulNya. Sebagai salah satu bentuk ibadah, shalat merupakan bentuk peribadatan ritual yang wajib dilaksanakan oleh setiap umat Islam, tentunya yang mukallaf. Dalam shalat, seseorang bermunajat langsung kepada Allah tanpa harus ada perantara, di samping itu dapat mencurahkan segala problema hidup serta berserah diri sepenuhnya kepada yang telah menciptakannya, karena pada dasarnya hakekat shalat adalah menyatakan hajat dan kebutuhan seorang hamba terhadap Khaliqnya sebagai Dzat yang patut disembah melalui perbuatan, perkataan atau keduanya dengan sepenuh hati dan jiwa yang mendatangkan rasa keagungan dalam jiwa atas kesabaran dan kesempurnaanNya (TM. Hasbi AshShiddiqie, 1990: 63). Jadi, shalat bukanlah sekedar do’a dan melaksanakan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam saja, tetapi lebih dalam lagi adalah perbuatan yang dilakukan atas
38
kesadaran dengan sepenuh hati dan khusyu’ sehingga dapat menimbulkan rasa takut, kagum atas kebesaran dan keagunganNya serta rela terhadap sesuatu yang datang dariNya, untuk selanjutnya membawa manusia kepada taqwa dan sabar, dapat terhindar dari perbuatan keji, mungkar dan terealisasi dalam tindakan sehari-hari. 2.2.4.1. Dasar kewajiban shalat Firman Allah SWT.
“Dan dirikanlah olehmu akan shalat berikanlah olehmu akan zakat dan ruku’lah kamu beserta orang-orang yang ruku’” (Q.S Al-Baqarah: 43).
“Dan dirikanlah olehmu akan shalat, karena sesungguhnya shalat itu menghalangi kita dari fahsyaa (kejahatan) dan dari munkar (perbuatan yang keji).” (Q.S. Al-Ankabut: 45). “ “Peliharalah baik-baik olehmu akan segala shalat dan shalat wusthaa (shalat yang paling baik) dan berdiri tegaklah kamu untuk Allah (hal keadaan kamu) kekal dalam khusyu’.” (Q.S. Al-Baqarah: 238).
“ “Maka apabila kamu telah jauh dari kesulitan, atau telah tenteram dirikanlah shalat, karena sesungguhnya shalat fardlu yang telah diwaktu-waktukan atas segala orang yang beriman.” (Q.S. An-Nisaa: 102). Ayat-ayat Allah SWT ini memerintahkan kita mendirikan
shalat,
menyatakan
bahwa
shalat
itu
39
menghalangi kita dari fahsya dan munkar, memerintahkan kita memelihara shalat dengan cara yang paling sempurna, paling baik, menyuruh kita menegakkan shalat di waktuwaktu yang telah ditentukan. Ayat-ayat ini dijelaskan Nabi SAW. dengan sabdanya:
“Islam didirikan dari lima sendi: mengaku bahwasanya tidak ada Tuhan yang sebenar-benarnya disembah melainkan Allah yang Maha Esa, mengaku bahwasanya Muhammad itu pesuruhNya, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji dan berpuasa di bulan Ramadlan.” (H.R. Bukhary-Muslim dari Ibnu Umar) 2.2.4.2. Kedudukan shalat Shalat sebagai suatu ibadah mahdhah untuk berdzikir kepada Allah mempunyai kedudukan yang sangat penting, sebab ibadah shalat merupakan ibadah pokok yang merupakan tiang agama ( sebagaimana sabda Nabi SAW.
“Shalat adalah tiang agama, maka barang siapa yang menegakkan (mengerjakan shalat), berarti menegakkan agama dan barang siapa yang meniadakan shalat (meninggalkannya), maka sesungguhnya ia telah meruntuhkan agama.” (H.R. Al-Baihaqi).
40
Hadits ini mengibaratkan agama sebagai sebuah bangunan sedangkan shalat sebagai tiangnya, dan ini yang mengisyaratkan
bahwa
shalat
itu
begitu
penting
kedudukannya dan mendasar dalam kehidupan manusia. Jika pengamalan shalatnya baik yang disertai dengan pemahaman dan pengetahuan khususnya pengetahuan shalat,
secara
langsung
telah
menegakkan
dan
memperkokoh agama. Ketaatan beragama seseorang diukur berdasarkan shalatnya,
sebab
pelaksanaan
shalat
membias
pada
pelaksanaan ibadah (keagamaan) lainnya. 2.2.4.3. Waktu-waktu shalat Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa shalat yang
difardlukan
itu
mempunyai
waktu
tertentu.
Sebagaimana firmanNya:
“Bahwasanya shalat itu adalah fardlu yang ditentukan waktunya atas segala orang yang beriman.” (Q.S. An-Nisa’: 102) Shalat yang difardlukan ini, sehari semalam ada 5 (lima) kali (Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, 1997: 120-123), yakni: a. Dhuhur
41
Shalat ini terdiri dari 4 (empat) raka’at, yang dilakukan dari tergelincirnya matahari dari pertengahan langit dan akhirnya adalah ketika bayangan sesuatu sama panjang dengan dirinya. b. ‘Ashar Terdiri dari 4 (empat) raka’at dikala bayangan sesuatu
telah
sepanjang
badannya,
yakni
mulai
berakhirnya waktu dhuhur dan akhirnya hingga waktu matahari masih belum kuning. c. Maghrib Terdiri dari 3 (tiga) raka’at yang dilaksanakan dari sempurna terbenam matahari dan akhirnya hilang syafaq (cahaya merah di kaki langit di sebelah barat). d. ‘Isya terdiri dari 4 (empat) raka’at dari hilang syafa’ merah dan akhirnya hingga separuh malam. e. Shubuh Terdiri dari 2 (dua) raka’at yang dilaksanakan dari terbit fajar shadiq (garis putih yang melintang dari selatan ke utara di kaki langit sebelah timur) dan akhirnya hingga sempurna terbit matahari. 2.2.4.4. Shalat jama’ah di masjid
42
Agama Islam menuntut dengan keras supaya kita berjama’ah di masjid pada tiap-tiap shalat, pada tiap-tiap minggu di hari Jum’at, supaya terjadi perkenalan antara penduduk sekampung menjadi lebih luas dan perhubungan antara seseorang dengan yang lain menjadi erat. Artinya, kita wajib mengadakan dan menegakkan jama’ah pada suatu
tempat
di
tiap-tiap
kampung
yang
dapat
mendhahirkan syi’ar agama. Sebagaimana firman Allah:
“Katakanlah olehmu, Tuhanku telah memerintahkan aku berbuat adil, dan tegakkanlah mukamu di tiap-tiap masjid.” (Q.S. A-A’raf: 28). Selain itu keutaman shalat berjama’ah (di masjid), adalah akan diberikan pahala 27 (dua puluh tujuh) derajat, sebagaimana sabda Nabi SAW:
“Shalat jama’ah itu melebihi shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.” (Mutafaq ‘alaih).
2.3. HUBUNGAN
AKTIVITAS
MENONTON
TELEVISI
DENGAN
PERILAKU KEAGAMAAN Agama, dalam hal ini Islam, merupakan suatu fenomena sosial. Agama Islam sebagaimana agama-agama yang lain memiliki dimensi
43
individual di samping yang bersifat sosial. Agama, karena itu lalu menjadi berada dalam tataran aktivitas personal, intelektual, kesadaran, sekaligus dalam hal tertentu merupakan suatu pranata dan struktur sosial yang sangat mempengaruhi tindakan sosial, serta merupakan suatu faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat perubahan tingkah laku. Perilaku keagamaan erat kaitannya dengan kehidupan atau fenomena-fenomena yang ada di lingkungannya. Masyarakat akan sangat mudah untuk dipengaruhi atau terpengaruh oleh lingkungan. Melalui informasi yang diberikan oleh televisi mengakibatkan perubahan budaya, perubahan keagamaan, cara pandang dan perilaku masyarakat sangat terbuka seakan tanpa sekat-sekat atau batas-batas yang menyertainya terlepas pengaruh tersebut positif ataupun negatif. Karena sifat dari televisi adalah audio-visual (dapat didengar dan dilihat). Media televisi merupakan sarana utama dengan mana seseorang belajar tentang masyarakat dan kebudayaannya. Melalui kontak dengan televisi, dan media lain, seseorang belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasaannya yang menggambarkan betapa media semakin menentukan kehidupan masyarakat di era informasi kini. Apa yang ditampilkan media, terutama televisi, semakin besar peranannya dalam menentukan norma-norma dan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Lembaga-lembaga sosial konservatif seperti keluarga, sekolah, agama dan masyarakat yang selama ini berperan dalam menanamkan nilainilai dan norma-norma sosial semakin tergeser fungsinya oleh televisi.
44
Penempatan televisi di salah satu ruang, lalu pemanfaatan waktu serta selera yang dimainkan oleh para penonton yang komplek sedikit banyak berkaitan ketika pelaksanaan shalat ini mulai diterapkan. Dengan dekatnya tata letak televisi dengan ruang ibadah, atau waktu menonton televisi dengan waktu-waktu beribadah serta selera (program) televisi yang menjadi favorit para penonton ketika waktu-waktu keagamaan (shalat) mulai
dilakukan.
Hal
ini
mengakibatkan
bagaimana
pengaturan
(manajemen) dalam aktivitas menonton televisi dengan perilaku keagamaan khususnya pelaksanaan shalat. Lebih dari sekedar menghabiskan waktu di depan televisi, seringkali waktu beragama dinomor-sekiankan atau mengabaikan kegiatan lainnya seperti ibadah dan belajar. Berangkat dari alur-pikir demikian, penelitian tentang aktivitas menonton televisi dengan perilaku keagamaan ini mengasumsikan bahwa “potret” perilaku keagamaan masyarakat yang pada dasarnya berkaitan dengan struktur dan pranata sosial. Dalam hal ini aktivitas menonton televisi merupakan suatu struktur yang ada dan terjadi pada sebuah komunitas masyarakat tertentu.