TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN dan HIPOTESIS PENELITIAN
Tinjauan Pustaka Tinjauan teknologi pengolahan sagu Teknologi merupakan sumberdaya buatan manusia yang kompetitif dan selalu mengalami perkembangan yang cepat. Penggunaan teknologi akan mengubah input menjadi output yang diinginkan (Gumbira dkk, 2001). Dalam lingkup industri pengolahan hasil pertanian, teknologi ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah suatu komoditas. Semakin tinggi nilai produk olahan diharapkan devisa yang diterima oleh negara juga meningkat, serta keuntungan yang diperoleh oleh para pelaku industri pengolahan juga relatif tinggi. Ini dapat dilihat dalam industri pengolahan sagu, teknologi sangat berpengaruh pada hasil produksi. Dalam proses produksinya, menurut teori yang disampaikan oleh haryanto dan Pangloli (1992) pengolahan aci sagu dapat dilakukan dengan cara tradisional dan cara pabrikasi (mekanisasi). Pengerjaan dengan cara tradisional menggunakan alat-alat dan cara yang sederhana, yaitu potongan pohon sagu dibelah dua. Belahan pohon sagu ditokok dengan suatu alat, kemudian empulur ditetak-tetak sedikit demi sedikit dari salah satu ujung sampai ke pangkalnya dan dijaga jangan sampai kering. Hasil tokokan empulur yang disebut "ela", dikumpulkan kemudian disaring. Di tempat penyaringan, ela disiram dengan air bersih, maka aci akan keluar bersamaan dengan air siraman, selanjutnya disaring. Air siraman ela yang diperoleh, diendapkan. Hasil endapan dipisahkan dari air yang sudah mulai jernih, sehingga diperoleh aci sagu basah.
Universitas Sumatera Utara
Pengolahan secara pabrikasi (mekanisasi) menggunakan pemarut silinder atau pemarut Cakera yang disambungkan pada motor. Setelah diperoleh “ela”, lalu diproses menjadi zat tepung seperti pengambilan pati yang dilakukan pabrik tapioka biasa, yaitu dengan menggunakan sistem pemisah zat tepung dari ampas secara sentrifugal. Biasanya kapasitas produksi dengan cara pabrikasi tersebut berkisar antara 1-10 pokok/hari. Ini sangat bertolak belakang dengan hasil yang menggunakan alat konvensional, yaitu hanya dapat mengolah 2 pokok/minggu. Dilihat dari segi teknologi, pengolahan batang sagu di Kabupaten Langkat sudah tergolong semi mekanis yaitu dapat menghasilkan sagu basah 1,5 ton/hari. Dengan demikian, diharapkan teknologi tersebut akan berkembang hingga ke alat mekanis dengan kapasitas dan efektifitas yang tinggi sehingga dapat meningkatkan pendapatan pengusaha.
Tinjauan ekonomi tanaman sagu Berdasarkan laporan yang bersumber dari BAPPENAS tahun 2000 tentang luas areal dan produktivitas per pohon dari daerah-daerah produsen sagu serta hasil percobaan di laboratorium, diperkirakan produksi sagu mencapai 40 sampai 60 batang/ha/tahun dengan jumlah empulur 1 ton/batang serta kandungan aci sagu 18,5 % sehingga dapat diperoleh hasil per hektar per tahun adalah 7 sampai 11 ton sagu kering. Secara teoritis, dari satu batang pohon sagu dapat dihasilkan 100 sampai 600 kg aci sagu kering. Rendemen total untuk pengolahan yang ideal adalah 15 %. Sementara itu, harga sagu basah saat ini mulai meningkat yaitu berkisar antara Rp1.200 sampai Rp 2.000 per kg dan. Dengan demikian, peluang bisnis
Universitas Sumatera Utara
sagu di Indonesia masih terbuka lebar. Walaupun masih banyak kendala yang harus dihadapi. Menurut penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Herlina Tarigan dan Ening Ariningsih pada tahun 2007 di Jayapura dapat disimpulkan bahwa pengembangan agroindustri sagu mempunyai peluang yang cukup besar untuk dikembangkan, dilihat dari segi geografis, ketersediaan bahan baku, teknologi, maupun kebijakan pemerintah. Namun kendala terbesar terletak pada budaya bertani petani sagu dan sistem pemilikan lahan yang dikuasai penduduk lokal sementara kegiatan industri dikuasai oleh pendatang. Langkah pertama yang perlu dilakukan dalam rangka mengembangkan agroindustri sagu adalah memutuskan dan menyerahkan pengembangan dan pembinaan komoditas sagu pada salah satu dinas teknis. Ini akan menuntun pemerintah melalui dinas terkait untuk lebih serius melakukan langkah operasional dalam pengembangan baik dari sisi peningkatan produksi agar bahan baku industri tersedia secara kontinu (Disperta/Perkebunan), pengolahan dan pemasaran (Disperindag), teknologi (BPTP), maupun kelembagaan (KIPP). Pengembangan
agroindustri
sagu
sebaiknya
diprioritaskan
untuk
mendorong perkembangan agroindustri kecil dan menengah di pedesaan. Karena subsistem pengolahan merupakan kelanjutan dari subsistem produksi maka bisa berperan sebagai bagian dari pendekatan permintaan. Teknologi yang kurang diadopsi memerlukan rekayasa ulang untuk menciptakan teknologi yang prosedur kerjanya lebih mudah dan murah. Kapasitas olah perlu disesuaikan dengan kemampuan ketersediaan bahan baku namun tetap dengan pertimbangan ekonomis.
Universitas Sumatera Utara
Agar kegiatan agroindustri sagu bisa memberi peningkatan nilai tambah yang berkontribusi langsung pada peningkatan pendapatan petani maka perlu membangun pola kemitraan yang adil antara petani produsen sagu, pelaku industri berbahan baku sagu dan pelaku pasar yang dapat memenuhi permintaan pasar lokal maupun ekspor. Pada tahap awal, pembentukan kerjasama ini perlu difasilitasi oleh pemerintah terutama dalam pembangunan infrastruktur, akses terhadap permodalan, pembinaan kewirausahaan dan promosi pasar.
Landasan Teori Pengembangan agroindustri dapat meningkatkan pendapatan penduduk. Menurut Lukminto (2004) agar tercapai tujuan tersebut biasanya dilaksanakan dengan tiga pola yaitu: (1) agroindustri berintegrasi langsung dengan usahatani keluarga, (2) agroindustri berintegrasi langsung dengan perusahaan pertanian, dan (3) agroindustri tidak berlokasi di pedesaan. Agroindustri pangan diharapkan menghasilkan produk-produk yang memiliki nilai tambah tinggi terutama produk siap saji, praktis dan memperhatikan masalah mutu. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah harga produk yang lebih terjangkau, lokasi dekat dengan konsumen, tempat berbelanja yang nyaman dan penyajiannya yang baik. Untuk menganalisis perolehan keuntungan usaha agroindustri tersebut diperlukan ukuran yang menyeluruh sebagai dasar persekutuan atau penolakan atau pengurutan suatu proyek. Telah dikembangkan berbagai macam cara yang dinamakan investment criteria atau kriteria investasi, diantaranya adalah net present value (NPV), yang merupakan perbandingan antara PV kas bersih (PV of proceed) dengan PV investasi selama umur investasi. Dikatakan suatu usaha layak untuk dikembangkan adalah apabila hasil akhir dari nilai bersih sekarang (NPV)
Universitas Sumatera Utara
lebih besar dari nol atau bernilai positif. Dan jika lebih kecil dari nol maka usaha tersebut tidak layak untuk dilanjutkan atau ditolak. Untuk menghitung NPV, terlebih dahulu kita harus tahu berapa PV kas bersihnya. PV kas bersih ini dapat dicari dengan jalan membuat dan menghitung dari cash flow perusahaan, dalam artian semua penerimaan dan pengeluaran perusahaan diestimasi sedemikian rupa sehingga menggambarkan kondisi pemasukan dan pengeluaran di masa yang akan datang. Penerimaan adalah total produksi yang dihasilkan dikali dengan harga jual. Sedangkan pendapatan adalah penerimaan dikurangi dengan biaya produksi dalam satu kali periode produksi. Dari penerimaan dan pendapatan suatu usaha tersebut dibutuhkan informasi tentang biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya ialah pengorbanan-pengorbanan yang mutlak harus diadakan atau harus dikeluarkan agar dapat diperoleh suatu hasil. Untuk menghasilkan suatu barang atau jasa tentu ada bahan baku, tenaga kerja dan jenis pengorbanan lain yang tidak dapat dihindarkan. Tanpa adanya pengorbananpengorbanan tersebut tidak akan dapat diperoleh suatu hasil. Biaya tetap (fixed cost) didefenisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun terjadi perubahan volume produksi yang diperoleh. Jadi, besarnya biaya tetap ini tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh. Di sisi lain biaya tidak tetap (variable cost) didefenisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Untuk mendukung analisis finansial tersebut, diperlukan pengkajian aspek-aspek lain yang saling berkaitan untuk menilai kelayakan dari usaha
Universitas Sumatera Utara
agroindustri tersebut diantaranya aspek pasar, teknik, dan ekonomi. Dalam garis besarnya, langkah-langkah pengkajian aspek-aspek tersebut dilakukan secara berurutan. Namun, antara langkah yang satu dengan langkah yang lain terdapat umpan balik sehingga langkah yang lebih awal dapat dipengaruhi oleh langkah berikutnya. Misalnya, pengkajian aspek pasar untuk memperkirakan penawaran dan permintaan, tingkat harga, persaingan, strategi pemasaran dan lain-lain. Ini semua sangat berkaitan dengan aspek teknis dalam hal menentukan kapasitas produksi, pemilihan teknologi produksi, peralatan, fasilitas pendukung dan lain-lain. Hal ini juga berkaitan dengan aspek finansial dan ekonomi, yaitu dalam membuat perkiraan biaya awal dan ongkos produksi, menetapkan jenis dan sumber dana serta dalam melakukan analisis finansial. Dari kegiatan agroindustri ini diharapkan memiliki nilai tambah yang tinggi. Nilai tambah adalah peningkatan nilai dari pengolahan bahan baku menjadi barang jadi yang diperoleh dari selisih nilai output dengan nilai input yang dihitung dalam rupiah per kilogram bahan baku yang digunakan. Nilai output yang dimaksud adalah hasil kali dari jumlah barang jadi dengan harga jualnya dan dibagi dengan jumlah bahan baku yang dipergunakan. Dan nilai input adalah jumlah biaya bahan ( bahan baku dan bahan penunjang) dan biaya lain-lain dibagi dengan jumlah bahan baku yang digunakan. Dalam hal ini, suatu perusahaan dikatakan telah memiliki nilai tambah dalam produksinya apabila nilai output yang dihasilkan lebih besar daripada nilai inputnya. Dengan kata lain, hasil dari selisih nilai output dan input bernilai positif.
Universitas Sumatera Utara
Sudiyono (2004) menyatakan nilai tambah bisa dilihat dari dua sisi yakni nilai tambah untuk pengolahan dan nilai tambah untuk pemasaran. Nilai tambah untuk pengolahan dipengaruhi oleh faktor teknis yang meliputi kapasitas produksi, jumlah bahan baku dan tenaga kerja, serta faktor pasar yang meliputi harga output, harga bahan baku dan harga bahan baku lain selain bahan bakar dan tenaga kerja. Besarnya nilai tambah suatu hasil pertanian karena proses pengolahan adalah merupakan pengurangan biaya bahan baku dan input lainnya terhadap nilai produk yang dihasilkan. Bisa dikatakan bahwa nilai tambah merupakan gambaran imbalan bagi tenaga kerja, modal dan manajemen. Adapun alat analisis yang sering juga digunakan adalah break even point (BEP) yaitu titik pulang pokok dimana total revenue sama dengan total cost. Dilihat dari jangka waktu pelaksanaan sebuah usaha, terjadinya titik pulang pokok tergantung pada arus lama penerimaan sebuah usaha dapat menutupi segala biaya operasi dan pemeliharaan beserta biaya modal lainnya. Perpotongan antara garis biaya total dan penerimaan total disebut dengan titik Break Even Point. Titik ini menunjukkan bahwa pada jumlah produksi tersebut tidak ada rugi dan untung karena jumlah biaya dan total penerimaan tepat sama besarnya.
Universitas Sumatera Utara
Jumlah Penerimaan TR TC BEP
VC
FC
Jumlah Produksi 0
Y1
Y
Gambar 1 Grafik Break Even Point (BEP) Pada Gambar 1 diatas dapat dilihat pada tingkat produksi berapa suatu usaha mencapai titik impas atau break even point (BEP). Bila produksi mencapai di sekitar 0Y 1, maka usaha mengalami kerugian karena penerimaan lebih kecil dari total biaya, sebaliknya bila produksi berada di sekitar Y1Y maka usaha akan untung karena penerimaan lebih besar dari total biaya. Pada prinsipnya, setiap pengusaha melakukan kegiatan produksi dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan.Yaitu setelah produsen menghasilkan output dari setiap kegiatan produksi yang dilakukan maka output tersebut akan dijual pada konsumen. Dengan demikian, produsen akan memperoleh pendapatan dari setiap output yang dijual. Secara ekonomis keuntungan perusahaan diperoleh dari keseluruhan pendapatan yang diterima dikurangi seluruh biaya yang harus dikeluarkan selama proses produksi.
Universitas Sumatera Utara
Kerangka Pemikiran Industri pengolahan sagu merupakan salah satu jenis industri dengan memanfaatkan tanaman sagu sebagai bahan baku utamanya, dimana sagu tersebut akan diolah sesuai dengan kebutuhan untuk dijual secara komersial. Dalam hal ini sagu tersebut diolah menjadi tepung sagu. Industri pengolahan yang ada di daerah penelitian masih tergolong pengolahan yang bersifat semi mekanis dengan kapasitas 1,5 ton per hari serta bahan baku diperoleh dari daerah sekitar industri pembuatannya dan sentra-sentra penghasil sagu di Kabupaten Langkat. Dalam proses produksi industri pengolahan sagu batang tidak lepas dari biaya produksi. Biaya produksi yang dikeluarkan oleh pengusaha terbagi atas biaya tetap antara lain biaya penyusutan dari gedung dan peralatan yang digunakan, biaya pajak serta biaya listrik. Sedangkan biaya variabel terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya bahan bakar, biaya pengemasan serta biaya transportasi. Dalam industri pengolahan sagu ini yang menjadi hal utama adalah produksi yaitu sagu basah yang dihasilkan dari ekstraksi batang sagu. Untuk menghasilkan produksi yang tinggi dan berkualitas diperlukan suatu penanganan yang baik dari semua aspek oleh produsen sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dari hasil yang diproses, yaitu dari bahan baku batang sagu diolah menjadi sagu basah yang kemudian dapat dijadikan bahan baku untuk pembuatan produk turunan lainnya. Dari kegiatan ini diharapkan dapat memberi peningkatan nilai tambah yang berkontribusi langsung pada peningkatan pendapatan pengusaha. Setelah berproduksi, maka sagu basah yang dihasilkan akan dipasarkan langsung ke pabrik-pabrik pengolahan produk turunannya seperti pabrik tepung
Universitas Sumatera Utara
sagu kering, mi tiau, kembang tahu, roti, dan kue-kue lainnya. dengan harga jual yang sesuai. Ini disebabkan karena produk turunan tersebut berbahan baku utama sagu basah. Penjualan setiap ton sagu basah akan menghasilkan penerimaan bagi pengusaha. Seluruh totalitas dalam usaha sagu basah ini sangat menentukan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha dalam suatu periode produksi. Total biaya inilah yang akan mengurangi penerimaan pengusaha dan diperolehlah pendapatan bersihnya. Dari kegiatan tersebut akan dianalisis kelayakan usahanya dengan alat uji kelayakan yaitu analisis finansial (NPV). Analisis finansial merupakan pemeriksaan keuangan yang dilihat dari sudut orang yang menanam modal untuk mengetahui sampai dimana keberhasilan usaha yang telah dijalankan, tingkat pengembalian investasi dan titik pulang pokoknya sehingga mampu berkembang dan berdiri sendiri secara finansial. Dengan analisis finansial ini, responden dapat membuat perhitungan dan menentukan tindakan untuk memperbaiki dan meningkatkan keuntungan usahanya. Dengan mengetahui keuntungan yang diperoleh maka dapat diketahui industri pengolahan sagu ini layak atau tidak untuk diusahakan secara finansial. Untuk lebih memperjelas mengenai kelayakan usaha pembuatan sagu basah serta hubungannya dengan hal-hal yang tercantum pada identifikasi masalah pada bab sebelumnya, maka dapat kita lihat pada skema kerangka pemikiran berikut ini (Gambar 2).
Universitas Sumatera Utara
Batang Sagu
Biaya – Biaya Produksi : - Bahan Baku - Bahan Penunjang - Tenaga Kerja - Penyusutan
Nilai Tambah
Proses Pengolahan
Produk (sagu basah) Harga Jual
Penerimaan Total Biaya Produksi Pendapatan
Kelayakan Usaha Secara Finansial
Layak
Tidak layak
Keterangan : : Menyatakan hubungan.
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran
Universitas Sumatera Utara
Hipotesis Penelitian Berdasarkan landasan teori yang telah disusun, maka diajukan beberapa hipotesis yang akan diuji sebagai berikut: 1) Usaha pembuatan sagu basah di daerah penelitian telah layak diusahakan secara finansial. 2) Produk yang diperoleh dari industri pembuatan sagu basah di daerah penelitian telah memiliki nilai tambah (value added). 3) Volume produksi dan jumlah biaya produksi pada industri pembuatan sagu basah di daerah penelitian telah melampaui titik impas.
Universitas Sumatera Utara