Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
ISSN 2302-0180 pp. 8- 16
9 Pages
KEBERADAAN ALAT BUKTI SAKSI SINKRONISASI PEMBUKTIAN TERBALIK ANTARA UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
1)
Cut Nilasari1, Dahlan Ali2, Rizanizarli3 Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Banda Aceh 2) Staf Pengajar Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala
Abstract: Article 37A (1) of the Act Number 31, 1999 which later changed with the Act Number 20, 2001 regarding the Suppression of Corruption and Article 77 of the Act Number 8, 2010 regarding the Prevention and Suppression of Money Laundering. Both the acts regulate the shifting burden of proof. The research findings are that the synchronization of shifting burden of proof in the Act Number 20, 2001 regarding the Suppression of Corruption with the Act Number 8, 2010 regarding the Prevention and Suppression of Money Laundering that there is no maximal synchronization toward the substance of shifting burden of proof that is mentioned in both acts. The strength and weakness of the application of shifting burden of proof, the strength are both acts applying the system only for trial stage and not at the investigation stage hence the transparency of shifting burden of proof is clear at the trial. While, the weakness of both acts is the criminal justice procedure regulating shifting burden of proof has not been ruled yet; hence it causes difficulty in its application. The status of shifting burden of proof system with the principle of presumption of innocence in the Suppression of Corruption and the Prevention and Suppression of Money Laundering is that the proof system on both acts oblige the accused to prove that the property of the accused is not derived from crimes. The system is against the principle of presumption of innocence that the accused is not burdened the obligation of proof, burdening proof is only for prosecutor as regulated on the Indonesian Criminal Process Act and the Act of Human Rights. Keywords: Shifting Burden of Proof and Presumption Innocence Abstrak: Pada Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 77 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kedua Undang-Undang tersebut mengatur mengenai pembuktian terbalik.Hasil penelitian menunjukkan bahwa sinkronisasi pembuktian terbalik dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu belum adanya sinkronisasi yang maksimal terhadap substansi pembuktian terbalik yang tercantum di dalam kedua Undang-Undang tersebut. Kelebihan dan kelemahan penerapan sistem pembuktian yaitu, kelebihannya pada kedua undang-undang tersebut bahwa pembuktian terbalik hanya berlaku di persidangan tidak pada tahap penyidikan, sehingga transparansi pembuktian terbalik sangat jelas di persidangan. Sedangkan kelemahan dari kedua undang-undang tersebut adalah hukum acara yang mengatur pembuktian terbalik ini belum diatur, sehingga dalam pelaksanaannya menimbulkan kesulitan. Kedudukan sistem pembuktian terbalik dikaitkan dengan asas praduga tidak bersalah yaitu pembuktian terbalik pada kedua undangundang ini mewajibkan terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaan terdakwa bukan dari hasil tindak pidana. Pembuktian terbalik ini bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah di mana terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, pembebanan pembuktian hanya ada pada jaksa, sebagaimana yang diatur di dalam KUHAP dan UndangUndang Hak Asasi Manusia (HAM). Kata Kunci: Pembuktian Terbalik dan Asas Praduga Tidak Bersalah
tersebut disebabkan karena landasan hukum yang
PENDAHULUAN Maraknya
terjadi,
dijadikan acuan sangat kurang. Tindak pidana yang
menjadi
terjadi tidak hanya bersifat biasa, namun ada beberapa
kewalahan dalam melakukan penangganannya. Hal
tindak pidana yang memiliki tingkatan khusus, yang
menjadikan
tindak
beberapa
pidana
institusi
yang
hukum
Volume 2, No. 2, Mei 2014
-8
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala penyelesaiannya juga dibutuhkan aturan hukum yang
Chazawi, 2000: 52).
khusus pula.
Dalam Pasal 66 Undang-Undang No. 8 Tahun
Beberapa kejahatan yang sulit dijangkau oleh
1981
tentang
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP)
aturan hukum pidana di antaranya adalah kejahatan
menyebutkan “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani
korupsi dan kejahatan pencucian uang yang telah diatur
kewajiban pembuktian”. Artinya dapat dipahami bahwa
di dalam aturan hukum pidana yang bersifat khusus
beban pembuktian dibebankan pada jaksa bukan pada
yaitu dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
tersangka atau terdakwa. Namun, dalam perkara tindak
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang
telah diganti dengan Undang-Undang No. 20 Tahun
beban pembuktian ada pada tersangka atau terdakwa.
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 37 Ayat (3)
serta Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang
Undang-Undang
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-
diganti dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010
Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Tindak Pidana
Pencucian Uang.
memberikan
No.
31
Korupsi
keterangan
Tahun
yaitu
1999
“Terdakwa
tentang
seluruh
tentang
wajib harta
Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
bendanya, harta benda keluarganya dan setiap orang
dengan menggunakan ketentuan-ketentuan yang ada
atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dengan perkara yang bersangkutan”.Untuk sistem
dinilai kurang memadai karena itu diterapkan dalam
pembuktian terbalik dalam UU No. 8 Tahun 2010 yang
keadaan darurat perang melalui Peraturan Penguasa
ada pada Pasal 77 menyatakan bahwa “Untuk
Perang Pusat AD (P4 AD) Prt/PERPU/031/1958
kepentingan
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan
terdakwa
Perbuatan Korupsi, kemudian pada tahun 1960
Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”.
dibuatlah Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960
pemeriksaan wajib
Walaupun
di
sidang
membuktikan
rancangan
pengadilan,
bahwa
Harta
perundang-undangan
Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak
mengenai pembuktian terbalik masih terus digodok
Pidana Korupsi, yang kemudian persoalan muncul
oleh pemerintah karena masih mengandung pro dan
sehubungan dengan tuntutan untuk menerapkan asas
kontra, akan tetapi dengan terealisasinya penggunaan
pembuktian terbalik yang harus dilakukan oleh
asas pembuktian terbalik telah dilakukan yaitu pada
terdakwa, maka pada tahun 1971 dibentuk Undang-
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, di mana sejak dalam
Tindak Pidana Korupsi yang menggunakan asas
pembahasannya
sebenarnya
pembuktian terbalik (dalam Pasal 12B, 37, 37A, 38A
berkeinginan untuk menggunakan sistem pembuktian
serta Pasal 38 B) dan pada Undang-Undang No. 8
terbalik
alasan
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
pembuktian terbalik bertentangan dengan asas praduga
Tindak Pidana Pencucian Uang (dalam Pasal 77).
tidak bersalah, dan akhirnya pada tahun 1999
Untuk itu yang menjadi pokok permasalahan adalah
diundangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
apakah ada sinkronisasi pembuktian terbalik di dalam
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang
Undang-Undang
menganut sistem pembuktian terbalik terbatas (Adami
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-
9-
namun
undang-undang
selalu
terhalang
ini
dengan
Volume 2, No. 2, Mei 2014
No.
20
Tahun
jo. Undang-
2001
tentang
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak
Pidana
Pencucian
Uang,
Menurut
sistem
menyatakan
telah
ini,
hakim
terbukti
dapat
kesalahan
kelebihan dan kelemahan penerapan sistem pembuktian
terdakwa melakukan tindak pidana yang
terbaik
didakwakan
di
kedua
undang-undang
tersebut
dan
dengan saja,
didasarkan
kedudukan sistem pembuktian terbalik dikaitkan
keyakinannya
dengan asas praduga tak bersalah.
mempertimbangkan dari mana (alat bukti) dia memperoleh
dan
pada
tidak
perlu
alasan-alasan
yang
dipergunakan serta bagaimana caranya dalam
KAJIAN KEPUSTAKAAN Dalam negara hukum segala sesuatu dalam
membentuk keyakinannya tersebut. Juga
dinamika kehidupan kenegaraan haruslah didasarkan
tidak
atas hukum sebagai pegangan tertinggi. Harus diakui
keyakinan yang dibentuknya itu logis atau
bahwa cita-cita ideal Negara Hukum itu tidak mudah
tidak logis. Bekerjanya sistem ini tergantung
diterapkan. Aturan hukum telah dibentuk di tengah-
pada hari nurani hakim (Andi Hamzah, 2002:
tengah masyarakat, akan tetapi tindak pidana masih
58).
saja terjadi, salah satunya tindak pidana korupsi dan
b.
perlu
mempertimbangkan
apakah
Sistem keyakinan dengan alasan logis
tidak pidana pencucian uang, untuk menelaah dan
Menurut sistem pembuktian ini dalam hal
menyelesaikan kedua tindak pidana tersebut, maka
membentuk dan menggunakan keyakinan
diperlukan dua teori sebagaimana yang diuraikan di
hakim untuk menarik kesimpulan tentang
bawah ini:
terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan
1.
tindak pidana, didasarkan pada alasan-alasan
Teori Penegakan Hukum Terjemahan perkataan “law enforcement” ke
yang logis. Alasan yang digunakannya dalam
dalam bahasa Indonesia adalah menggunakan
hal membentuk keyakinan hakim masuk akal,
perkataan “Penegakan hukum”. Penegakan hukum
artinya dapat diterima oleh akal orang pada
adalah
umumnya. Sietem ini disebut dengan sistem
proses
dilakukannya
upaya
untuk
ditegakkannya atau berfungsinya norma-norma
keyakinan
hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku
menggunakan alat bukti yang disebutkan di
dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum
dalam
kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara.
undang-undang (Andi Hamzah, 2002: 60).
Menurut teori ini penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum
2.
menjadi
kenyataan.
karena
undang-undang
hakim
maupun
bebas
di
luar
Sistem berdasarkan undang-undang Menurut
sistem
ini
dalam
hal
disebut
membuktikan kesalahan terdakwa melakukan
keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran
tindak pidana didasarkan semata-mata pada
badan pembuat undang-undang yang dirumuskan
alat bukti yang telah ditentukan dalam
dalam
undang-undang. Sisten ini disebut sistem
peraturan-peraturan
Yang
c.
bebas
hukum
tersebut
(Soerjono Seokanto, 2005: 24).
menurut undang-undang secara positif karena
Teori Sistem Pembuktian
hakim
Ada beberapa sistem pembuktian yang telah dikenal dalam doktrin hukum acara pidana, ialah: a.
Sistem keyakinan belaka
dalam
menarik
kesimpulan
sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang (Andi Hamzah, 2002: 61).
Volume 2, No. 2, Mei 2014
- 10
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala d.
Sistem
menurut
undang-undang
secara
terbatas
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini berupa, perundang-undangan (statute approach)
Menurut
sistem
hal
yaitu dengan menelaah semua undang-undang atau
terdakwa
peraturan yang saling berkaitan dengan permasalahan
melakukan tindak pidana yang didakwakan
yang akan diteliti. Penelitian ini juga menggunakan
kepadanya,
sepenuhnya
pendekatan konseptual, perbandingan hukum, dan
mengandalkan alat-alat bukti serta dengan
sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan
cara-cara yang ditentukan oleh undang-
(Peter Mahmud Marzuki, 2008:98).
undang, tetapi harus disertai pula keyakinan
yang diperoleh dalam penelitian ini mengedepankan
bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak
data sekunder melalui penelitian kepustakaan (library
pidana
yang
research), yang meliputi berbagai macam sumber
diperoleh. Jadi, untuk menarik kesimpulan
tertulis seperti buku-buku, makalah, majalah, jurnal,
dari kegiatan pembuktian ini didasarkan pada
dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh
dua hal, ialah alat-alat bukti dan keyakinan
pemerintah. Bahan-bahan yang bersifat primer yang
hakim yang merupakan kesatuan yang tidak
penulis gunakan dalam penelitian ini adalah Undang-
dapat dipisahkan, dan tidak dapat berdiri
Undang Dasar 1945, UU No. 20 Tahun 2001 tentang
sendiri-sendiri (Andi Hamzah, 2002: 63).
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 8
membuktikan
ini
dalam
kesalahan
hakim
tidak
berdasarkan
fakta-fakta
Sumber data
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta peraturan
METODE PENELITIAN Metode
penelitian
adalah
usaha
untuk
menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran
perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan sistem pembuktian terbalik.
suatu pengetahuan yang dilakukan secara metodologis
Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas,
dan sistematis. Metodologis berarti menggunakan
maka untuk melengkapi dan mendukung data yang
metode yang bersifat ilmiah, sedangkan sistematis
diperoleh akan dilakukan metode penelitian lapangan
sesuai dengan pedoman atau aturan penelitian yang
(field research) (Rony Hanitijo Soemitro,1990:27).
berlaku
Dimana dalam penelitian lapangan tersebut dilakukan
untuk
sebuah
karya
tulis
(Sutrisno
Hadi,1985:63).
dengan menentukan lokasi dan populasi penelitian,
Dalam penelitian ini penulis menggunakan
lokasi penelitian yang diambil yaitu Perpustakaan
metode penelitian hukum. Penelitian hukum terdiri dari
Fakultas
penelitian hukum normatif dan penelitian hukum
Perpustakaan Induk Universitas Syiah Kuala, dan
sosiologis (Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 2009: 5-
Perpustakaan Wilayah Aceh. Sedangkan populasi
6). Berdasarkan objek masalah yang diteliti dalam
penelitian yaitu para pihak yang dijadikan sebagai
penelitian ini menyangkut Sinkronisasi Pembuktian
informan
Terbalik Antara Undang-Undang Nomor 20 Tahun
mekanisme wawancara dan tanya jawab tentang tindak
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Informan tersebut adalah Hakim Pengadilan Negeri
Pencegahan
Banda
dan
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Hukum
yang
Aceh,
Universitas
memberikan
Kejaksaan
Syiah
informasi
Negeri
Banda
Kuala,
dengan
Aceh,
Pencucian Uang, maka jenis penelitian yang digunakan
Akademisi Hukum Pidana, dan LSM Gerakan Anti
dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.
Korupsi Aceh (GeRAK).
11 -
Volume 2, No. 2, Mei 2014
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
HASIL PEMBAHASAN 1.
Antara
karena rumusan pembuktian terbalik pada Pasal 37A
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dengan
ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam hal ini
Sinkronisasi
Pembuktian
Terbalik
Pada dasarnya terdapat berbagai macam
si terdakwa tidak hanya memberikan keterangan
sistem pembuktian terbalik, yaitu sistem pembuktian
tentang harta bendanya sendiri, akan tetapi juga
terbalik terbatas atau berimbang berdasarkan asas
meliputi harta benda dari istri, suami, anak, dan harta
praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan
benda setiap orang atau korporasi. Sementara
Pembuktian terbalik berdasarkan asas presumption of
Pasal 77 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang
fault yang membebankan pembuktian secara penuh
Pencegahan
kepada terdakwa atau pembuktian terbalik murni
Pencucian Uang, terdakwa hanya wajib membuktikan
(Indriyanto Seno Adji, 2006: 82).
harta kekayaannya sendiri tanpa melibatkan pihak lain
Pembuktian terbalik di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Dan
Pemberantasan
Tindak
pada
Pidana
seperti harta benda dari istri, suami, anak maupun korporasi.
Pidana Korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun
Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
menurut hemat penulis terdapat ketidaksesuaian dalam
serta di dalam Undang- Undang No. 8 Tahun 2010
merumuskan sistem pembuktian terbalik yang ada pada
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
perundang-undangan tindak pidana korupsi maupun
Pencucian Uang yaitu belum adanya sinkronisasi yang
tindak pidana pencucian uang, sehingga pembuktian
maksimal terhadap substansi pembuktian terbalik yang
yang dilakukan oleh terdakwa mengenai asal-usul harta
tercantum di dalam kedua undang-undang tersebut.
kekayaannya tersebut tidak sejalan, padahal di dalam
Pada Pasal 37A ayat (1) UU No.31 Tahun 1999
jo.
UU
No.
Pemberantasan
20
Tindak
Tahun
2001
Pidana
Korupsi
tentang
kedua
undang-undang
tersebut
sama-sama
menggunakan sistem pembuktian terbalik.
yang
menyatakan bahwa “Terdakwa wajib memberikan
2.
Kelebihan dan Kelemahan Penerapan Sistem
keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta
Pembuktian Terbalik di Kedua Undang-undang
benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap
Tersebut
orang
atau
mempunyai
Dalam Undang-Undang ini baik UU No. 31
didakwakan”.
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Sementara Pasal 77 UU No. 8 Tahun 2010 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta UU No. 8
Pencegahan
Pidana
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan
“Untuk
Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu mengenai
pengadilan,
pembuktian terbalik hanya berlaku di persidangan tidak
hubungan
Pencucian kepentingan terdakwa
korporasi dengan
yang
perkara
diduga yang
dan
Pemberantasan
Uang
menyatakan
pemeriksaan wajib
di
Tindak bahwa
sidang
membuktikan
harta
pada tahap penyidikan karena pembuktian bersifat
kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”.
terbatas, sebab penuntut umum masih berkewajiban
Tidak adanya sinkronisasi pembuktian terbalik antara
untuk membuktikan dakwaannya, jika pembuktian
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang
terbalik diwajibkan pada saat berstatus sebagai
Pemberantasan
dengan
tersangka, maka dikhawatirkan pembuktian terbalik itu
Tindak
Pidana
bahwa
Korupsi
Volume 2, No. 2, Mei 2014
- 12
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala dapat
menjadi
bumerang bagi penegakan hukum
pemberantasan korupsi itu sendiri. Dapat saja terjadi,
sehingga
dalam
pelaksanaannya
menimbulkan
kesulitan.
pembuktian terbalik tersebut disalahgunakan oleh
Ada beberapa alasan-alasan yang menyulitkan
penyidik, penyidik dapat melakukan penyalahgunaan
dipergunakannya
wewenang dengan memeras seseorang yang telah
yaitu :
menjadi tersangka yang diduga telah melakukan tindak
a.
pembalikan
beban
pembuktian,
Sistem pembuktian yang dianut di Indonesia yaitu
pidana korupsi (Wawancara, Askhalani, 10 September
sistem pembuktian biasa atau konvensional yang
2012).
berlandaskan asas praduga tidak bersalah, dengan Menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun
prinsip umum pembuktian biasa ini menyatakan
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
bahwa, barang siapa yang mendakwakan sesuatu
Pidana Pencucian Uang adalah setiap orang
dialah yang dibebani tanggung jawab untuk
menempatkan, membelanjakan,
yang
mentransfer,
mengalihkan,
membayarkan,
menghibahkan,
membuktikan
kebenaran
didakwakannya,
jadi
tentang
apa
yang
beban
pembuktian
menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah
dibebankan kepada jaksa penuntut umum bukan
bentuk,
pada tersangka atau terdakwa.
menukarkan dengan mata uang atau surat
berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang
b.
Karena kurang adanya persamaan persepsi dari
diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak
penegakan hukum dalam menerapkan pembuktian
pidana sebagaimana yang termuat dalam Pasal 2 ayat
terbalik,
(1) undang-undang yang sama (Sutan Remi Sjahdeni,
terkesan kuat bertentangan dengan asas praduga
2004: 115).
tidak bersalah dan melanggar hak asasi manusia,
sehingga pembuktian terbalik sangat
Selanjutnya beralih ke Pasal 77 UU No. 8
jadi JPU tidak mendakwakan Pasal-Pasal yang
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
berkaitan dengan pembuktian terbalik pada surat
Tindak Pidana Pencucian Uang dengan rumusan bahwa
dakwaan yang dilimpahkan ke pengadilan, maka
“Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan ,
dari itu majelis hakim tidak ada dasarnya untuk
terdakwa
melakukan pembuktian terbalik.
wajib
membuktikan
bahwa
harta
kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”.
c.
Lemahnya
dasar
hukum
terhadap
substansi
Seperti yang diungkapkan di atas bahwa pembuktian
pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi
terbalik beban pembuktiannya ada pada terdakwa,
yaitu dalam Pasal 12B, 37, 37A, dan tindak pidana
dalam tindak pidana pencucian uang yang harus
pencucian uang dalam Pasal 69 dengan Pasal 77.
dibuktikan adalah asal-usul harta kekayaan yang bukan
Kelemahan yang ada
berasal dari tindak pidana tujuannya adalah untuk
dalam menerapkan pembuktian terbalik, dengan
menyita harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana,
perkataan lain norma yang ada belum memadai,
jadi bukan untuk menghukum pelaku tindak pidana .
sehingga pembuktian terbalik tidak mempunyai
Kelemahan dari penerapan sistem pembuktian
menyebabkan kesulitan
kekuatan hukum yang kuat, jadi tataran kebijakan
terbalik dari UU No. 20 Tahun 2001 tentang
formulasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 8
penerapan sulit diterapkan sehingga pembuktian
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
terbalik terkesan hanya hiasan saja, sebab kembali
Tindak Pidana Pencucian Uang adalah bahwa hukum
lagi kekuatan dari pada norma yang mengaturnya
acara yang mengatur pembuktian terbalik belum ada,
(Lilik Mulyadi, 2007: 113).
13 -
Volume 2, No. 2, Mei 2014
ada
pengaturannya
tetapi
dalam
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Jadi, menurut hemat penulis, dalam kebijakan
menyatakan setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan
formulasi tentang aturan hukum pembuktian terbalik
dituntut karena disangka melakukan tindak pidana
ini tidaklah signifikan, karena adanya kelemahan
berhak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan
perangkat hukum yang ada pada pembuktian terbalik,
kesalahannya secara sah dalam sidang pengadilan .
kelemahan hukum bisa karena ketidakmampuan para
Asas praduga tidak bersalah adalah asas utama
elit politik terutama legislatif dalam menyusun
perlindungan hak warga Negara dalam proses hukum
perangkat hukum yang ideal, sehingga mengandung
yang adil, yang mencakup sekurang-kurangnya:
banyak celah yang dapat membuat para elit politik
a.
Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang
keluar dari sanksi hukum, jadi aturan pembuktian terbalik dibuat bukan untuk memberantas korupsi
dari pejabat negara; b.
secara nyata, melainkan hanya sebagai asesoris hukum.
salah tidaknya terdakwa; c.
3.
Kedudukan Dikaitkan
Sistem dengan
Pembuktian Asas
Praduga
Bahwa sidang pengadilan harus terbuka (tidak boleh bersifat rahasia); dan
Terbalik Tidak
Bahwa pengadilanlah yang berhak menentukan
d.
Bahwa
tersangka/terdakwa
harus
jaminan-jaminan untuk dapat
Bersalah Pembuktian merupakan titik sentral dalam
diberikan
membela diri
sepenuh-penuhnya (Sianturi, S.R., 1996: 48).
pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, karena
Dari penjelasan di atas dapat dinyatakan,
dalam tahap pembuktian ditentukan nasib terdakwa.
bahwa sistem pembuktian terbalik dikaitkan dengan
Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang
asas praduga tidak bersalah kedudukannya tidak sama
ditentukan oleh undang-undang kesalahan terdakwa
dan tidak seimbang karena pembuktian terbalik beban
tidak cukup terbukti maka terdakwa dibebaskan,
pembuktiannya
sedangkan apabila yang terjadi sebaliknya yaitu
sedangkan asas praduga tidak bersalah pembuktiannya
kesalahan terdakwa berhasil terbukti dengan alat-alat
dibebankan
bukti yang ditentukan oleh undang-undang maka
membuktikan kesalahan seseorang atau sekelompok
terdakwa dinyatakan bersalah. Alat bukti yang sah
orang
menurut Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi,
sebagaimana dalam Pasal 66 KUHAP menyatakan
keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
bahwa “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani
terdakwa (Djoko Prakoso, 1988: 42).
kewajiban pembuktian”. Artinya dapat dipahami bahwa
yang
dibebankan
kepada
diduga
kepada
penuntut
melakukan
terdakwa,
umum
tindak
untuk
pidana
Pembuktian dalam hukum acara pidana adalah
beban pembuktian dibebankan pada jaksa penuntut
ketentuan yang mengatur sidang pengadilan tentang
umum bukan pada terdakwa, pembuktian terbalik
tata cara dan penilaian alat bukti sesuai dengan
bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah tetapi
ketentuan undang-undang, jadi dalam menilai dan
adanya pengecualian di dalam undang-undang pidana
mempergunakan alat bukti tidak boleh bertentangan
khusus yaitu di dalam undang-undang tindak pidana
dengan tata cara yang diatur dalam undang-undang.
korupsi dan undang-undang tindak pidana pencucian
Menurut
beberapa
ahli
hukum
pidana
uang karena
tindak pidana
tersebut
merupakan
penggunaan pembuktian terbalik pada kasus tindak
kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) maka
pidana khusus akan bertentangan dengan asas hukum
pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa
pidana di Indonesia yaitu asas praduga tidak bersalah
pula yaitu dengan memberlakukan sistem pembuktian
(presumption of innocence)
terbalik, untuk menjaga keseimbangan tersebut, maka
yang intinya asas ini
Volume…., No. …., Desember 2013
Volume 2, No. 2, Mei 2014
-8
- 14
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala pembuktian
terbalik
sistem
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
keseimbangan kemungkinan (balanced probability
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
principles) yaitu keseimbangan proporsional antara
Pencucian Uang yaitu pembuktian terbalik pada
perlindungan hak individu dengan perampasan hak
kedua undang-undang ini mewajibkan terdakwa
individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya
untuk
yang diduga kuat berasal dari tindak pidana, sehingga
terdakwa
tetap
demikian
Pembuktian terbalik ini bertentangan dengan asas
implementasinya tetap menjunjung tinggi hak asasi
praduga tidak bersalah di mana terdakwa tidak
manusia (HAM) dan ketentuan hukum acara pidana.
dibebani
dijaga
menggunakan
proporsionalnya
dengan
membuktikan bukan
bahwa
dari
kewajiban
hasil
harta tindak
pembuktian,
kekayaan pidana.
pembebanan
pembuktian hanya ada pada jaksa, sebagaimana KESIMPULAN DAN SARAN
yang diatur di dalam KUHAP dan Undang-undang
Kesimpulan
HAM.
1. Pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010
Tentang
1.
Disarankan adanya perubahan terhadap ketentuan
dan
Hukum Acara Pidana di Indonesia karena sudah
pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang
yaitu belum adanya sinkronisasi yang maksimal
terjadi saat ini, di mana dapat kita lihat khususnya
terhadap
pengaturan mengenai beban pembuktian belum
substansi
Pencegahan
Saran
pembuktian
terbalik
yang
tercantum di dalam kedua undang-undang tersebut. 2. Kelebihan
dan
kelemahan
penerapan
diatur mengenai pembuktian terbalik di dalam
sistem
ketentuan
tersebut
sehingga
menimbulkan
pembuktian terbalik di dalam Undang-Undang
kesulitan dari aparat penegak hukum dalam
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
menerapkan sistem pembuktian terbalik padahal
Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang
ketentuan mengenai pembuktian terbalik telah
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
diatur di dalam beberapa peraturan perundang-
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
undangan yang berlaku walaupun sifatnya saat ini
yaitu, kelebihannya pada kedua undang-undang
masih terbatas.
tersebut bahwa pembuktian terbalik hanya berlaku
2.
Diharapkan Pembuktian terbalik dapat menjadi
di persidangan tidak pada tahap penyidikan,
penggerak bekerjanya sistem peradilan pidana
sehingga transparansi pembuktian terbalik sangat
(criminal justice system) dan lembaga-lembaga
jelas di persidangan. Sedangkan kelemahan dari
strategis
kedua undang-undang tersebut adalah hukum acara
enforcement.
yang mengatur pembuktian terbalik ini belum diatur, sehingga
dalam
pelaksanaannya
menimbulkan
kesulitan.
dengan asas praduga tak bersalah pada UndangNomor
20
Tahun
2001
pilar
bekerjanya law
Disarankan ke depan agar dibentuknya peraturan khusus hukum acara terhadap tindak pidana
Volume 2, No. 2, Mei 2014
proses persidangan tidak bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah.
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dengan
15 -
menjadi
korupsi dan pencucian uang, sehingga dalam
3. Kedudukan sistem pembuktian terbalik dikaitkan
Undang
3.
yang
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Adami Chazawi, 2005, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung, Sinar Baru. Andi Hamzah, 2002, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Cetakan kedua, Sinar Grafika. Djoko Prakoso, 1988, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di dalam Proses Pidana, Yogyakarta, Liberty. Indriyanto Seno Adji, 2006, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Jakarta, Diadit Media. Lilik Mulyadi, 2007, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung, Alumni. Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana. Rony Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia. Saleh, K. Wantjik, 1983, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta, Ghalia Indonesia. Soerjono
Soekanto, 2005, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
_______________dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, Raja Grafindo Persada. Sutan Remi Sjahdeni, 2004, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta, Grafiti. Sutrisno Hadi, 1985, Metodologi Research, Yogyakarta, Andi Offset. Sianturi,
S.R.,1996, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Bandung, Alumni.
Volume 2, No. 2, Mei 2014
- 16