Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
ISSN 2302-0180 pp. 9- 15
7 Pages
HARMONISASI IMPLEMENTASI QANUN KHALWAT DENGAN QANUN PEMBINAAN KEHIDUPAN ADAT DAN ISTIADAT (Suatu Penelitian di Kabupaten Bireuen) Azzubaili1, Taqwaddin2, Muzakkir Abubakar3 1) Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Banda Aceh 2) 3) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Abstract: The research shows that there is normative harmonization in settling the case in Aceh, in solving the case by the Customary Trial or Islamic Local Law, in its implementation by the people, its synchronization as the process solved by the trial is a part of its jurisdiction and also the law is also has its jurisdiction that can be solved by the Islamic court. It is recommended that the customary law enforcers should solve the case hence in punishing does not cause and courage a new dispute;, hence it is not causing the perspective that the customary law is not fair. The beholder is providing the report regarding the handling of the cases to parties that have the authority.; hence there is no overlapping and the law is not only for one side interest in solving the case regarding the violation of Islamic local law. Keywords: Harmonization, Implementation, Customs Abstrak: Penelitian menggambarkan bahwa adanya harmonisasi normatif dan sosiologis lembaga-lembaga yang menyelesaikan kasus khalwat di Aceh Tujuan akhirnya adalah sama yaitu menciptakan kedamaian dan ketentraman dalam masyarakat. Penyelesaian khalwat oleh Peradilan Adat maupun Qanun Syariat Islam pada tataran pelaksanaan oleh masyarakat adat sinkronisasi keduanya karena proses yang diselesaikan oleh Peradilan Adat itu adalah bagian dari ranahnya dan juga Qanun Syariat Islam juga ada ranahnya yang diselesaikan oleh Mahkamah Syar'iah. Orientasi akhirnya adalah pelaksanaan penyelesaian kasus khalwat antara Qanun Syariat Islam dengan Qanun Adat adalah sinkronisasi dengan aturan yang berlaku.
Kata kunci: Harmonisasi, Implementasi dan Adat Istiadat.
A. Pendahuluan
tentang
Penyelenggaraan
Keistimewaan
di
Syari’at Islam dan hukum Adat Aceh telah
Provinsi Aceh (Lembaran Negara Republik
dipergunakan oleh masyarakat Aceh baik secara
Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan
individu maupun kolektif semenjak kesultanan
Lembaran Negara Nomor 3839), Kemudian lebih
mulai dari kerajaan Islam Perlak yang pertama
dipertegas lagi dengan lahirnya UU No. 18 Tahun
dalam dunia Melayu raya sampai kepada kerajaan
2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh
Aceh Darussalam. Pada masa itu para ulama dan
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
umara (Sultan) telah berperan secara aktif untuk
(NAD) (Lembaran Negara Republik Indonesia
menyelesaikan persoalan baik yang berhubungan
Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran
dengan tata laksana pemerintah Aceh maupun
Negara
dalam menata kehidupan sosial di kalangan
dioperasionalkan lagi oleh Keputusan Presiden
masyarakat Aceh.
Republik Indonesia (Kepres) Nomor 11 Tahun
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 9-
Volume 2, No. 4, November 2014
Nomor
4134).
Terakhir,
lebih
2003 tanggal 3 Maret 2003 tentang Mahkamah
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Syari`ah dan Mahkamah Syari`ah Provinsi di
2.
Apakah telah sinkronisasi antara putusan
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan hal
Peradilan Adat dengan Qanun Aceh Nomor
ini dimungkinkan lahirnya hukum pidana Islam di
14 Tahun 2003 tentang Khalwat.
NAD. (Pustaka Pelajar, 2005) Konflik politik
Penelitian ini adalah penelitian hukum
telah membawa reformasi terhadap hukum (Islam)
yuridis empiris dengan pendekatan perspektif dan
di Aceh dalam kerangka sistem hukum Nasional,
deskriptif, karena bertujuan untuk memberikan
di mana konflik politik sebagai salah satu faktor
gambaran mengenai fakta-fakta yang relevan
yang mempengaruhi reformasi hukum di Aceh,
dengan permasalahan disertai analisis mengenai
dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
Qanun yang berlaku dihubungkan dengan teori-
tentang pemerintahan Aceh sebagai pengganti
teori hukum dan asas-asas hukum khususnya
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
memberikan
Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh
implementasi antara Qanun Khalwat dengan
sebagai
Qanun Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat
dilakukan
Provinsi sebagai
Nanggroe upaya
Aceh. untuk
Hal
ini
mencegah
gambaran
tentang
harmonisasi
Istiadat.
terjadinya disintegrasi dan tuntutan pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan
Aceh
(UUPA)
telah
B.
Tinjauan Pustaka 1. Harmonisasi Hukum Pemikiran
harmonisasi
bermula
dari
membawa Perkembangan baru bagi Provinsi Aceh.
Rudolf Stammler yang mengemukakan bahwa
Bentuk penyelesaian kasus di Mahkamah Syar’iah
konsep dan prinsip-prinsip hukum yang adil
dan Peradilan Adat tentang khalwat/meusum juga
mencakup “harmonisasi” antara maksud, tujuan
terjadi di wilayah hukum Kabupaten Bireuen. Hal
dan kepentingan individu dengan maksud, tujuan
Ini tentu saja dapat menimbulkan permasalahan
dan kepentingan masyarakat umum. Dengan kata
dalam penerapan kedua qanun tersebut. mengingat
lain, hukum akan tercipta baik apabila terdapat
bahwa ada dua peradilan dan dua sistem hukum di
keselarasan
antara
Provinsi Aceh yang menyelesaikan kasus yang
kepentingan
penguasa
sama.
masyarakat (Maria Fariza Indriati S, (2007). Dari uraian di atas, dapat dirumuskan
maksud,
tujuan
(pemerintah)
dan dengan
Sedangkan harmonisasi hukum menurut Badan
pokok permasalahan yang akan diteliti lebih
Pembinaan
mendalam pada penelitian ini, adalah sebagai
memberikan
berikut:
sebagai kegiatan ilmiah untuk menuju proses
1.
Apakah
terdapat
harmonisasi
dalam
Hukum
Nasional
pengertian
Depkumham,
harmonisasi
perharmonisasian
hukum
(penyela-
penyelesaian kasus khalwat oleh Peradilan
rasan/kesesuaian/keseimbangan) hukum tertulis
Adat menurut Qanun Nomor 9 Tahun 2008
yang mengacu pada nilai-nilai filosofis, sosiologis,
dengan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003
ekonomis dan yuridis. (Dinas Syari’at Islam
tentang Khalwat.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2002). Volume 2, No. 4, November 2014
- 10
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Di Indonesia dalam konteks harmonisasi hukum.
dapat
diketahui
proses
penyusunannya
membutuhkan
Keputusan
waktu yang tidak sebentar bahkan dapat memakan
Presiden Nomor 188 tahun 1998. Pasal 2 yang
waktu bertahun-tahun, sedangkan dari segi tenaga
berbunyi
rangka
dalam penyusunan peraturan perundang-undangan
pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan
dibutuhkan banyak energi, konsentrasi, dan
konsepsi yang akan dituangkan dalam Rancangan
koordinasi dari pembuat peraturan perundang-
Undang-Undang, Menteri atau pimpinan lembaga
undangan
pemrakarsa penyusun rancangan Undang-Undang
harmonisasi
wajib mengkalkulasikan terlebih dahulu konsepsi
undangan yang baik maka potensi berbagai
tersebut dengan Menteri Kehakiman dan menteri
kerugian di atas dapat dicegah.
serta Pimpinan Lembaga lainnya yang terkait.”
Harmonisasi
sebagai
dalam
waktu
berikut
“Dalam
tersebut. vertical
Dengan
adanya
peraturan
proses
perundang-
vertikal
peraturan
Kemudian dikemukakan oleh L. M. Gandhi,
perundang-undangan mempunyai peranan penting.
dalam “Harmonisasi Hukum Menuju Hukum
Selain
Responsif” menyebutkan bahwa;
perundang-undangan yang saling terkait dan
”Harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian
peraturan
berfungsi
membentuk
peraturan
tergantung serta membentuk suatu kebulatan yang
perundang-undangan,
utuh, harmonisasi vertikal peraturan perundang-
keputusan hakim, system hukum asas-asas hukum
undangan berfungsi sebagai tindakan preventif
dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum,
guna mencegah terjadinya Judicial Review suatu
kepastian hukum, keadilan dan kesembandingan,
peraturan perundang-undangan karena jika hal ini
kegunaan
tanpa
terjadi maka akan timbul berbagai macam
pluralism
kerugian baik dari segi biaya, waktu, maupun
dan
mengaburkan
kejelasan
dan
hukum,
mengorbankan
hukum (L. M Gandhi, 1995). Harmonisasi
peraturan
undangan tersebut dalam penyusunannya dibiayai
perundang-undangan mempunyai peranan penting.
dari dana APBN yang tidak sedikit, dari segi
Selain
waktu
berfungsi
vertikal
tenaga. Dari segi biaya peraturan perundang-
membentuk
peraturan
proses
penyusunannya
membutuhkan
perundang-undangan yang saling terkait dan
waktu yang tidak sebentar bahkan dapat memakan
tergantung serta membentuk suatu kebulatan yang
waktu bertahun-tahun, sedangkan dari segi tenaga
utuh, harmonisasi vertikal peraturan perundang-
dalam penyusunan peraturan perundang-undangan
undangan berfungsi sebagai tindakan preventif
dibutuhkan banyak energi, konsentrasi, dan
guna mencegah terjadinya Judicial Review suatu
koordinasi dari pembuat peraturan perundang-
peraturan perundang-undangan karena jika hal ini
undangan
terjadi maka akan timbul berbagai macam
harmonisasi
kerugian baik dari segi biaya, waktu, maupun
undangan yang baik maka potensi berbagai
tenaga. Dari segi biaya peraturan perundang-
kerugian di atas dapat dicegah.
undangan tersebut dalam penyusunannya dibiayai dari dana APBN yang tidak sedikit, dari segi 11 -
Volume 2, No. 4, November 2014
tersebut. vertical
Dengan
adanya
peraturan
proses
perundang-
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 2.
hukum agama serta memperbaharui undang-
Sistem Hukum Nasional Sistem merupakan pengorganisasian dari
undang warisan kolonial dan hukum nasional
bagian-bagian yang saling berhubungan dan
yang diskriminatif. Perilaku aparat penegak
saling menggantungkan diri satu dari yang lain
hukum juga perlu diperbaiki sehingga tidak hanya
dan membentuk satu kesatuan. Suatu sistem
hukumnya
adalah suatu perangkat komponen yang berkaitan
implementasinya pun dapat berjalan dengan baik
secara terpadu dan dikoordinasikan sedemikian
karena dukungan aparat penegak hukum yang
rupa untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
baik pula. Hal-hal tersebut perlu mendapat
Sistem hukum terdiri dari suatu keseluruhan
perhatian
saja
yang
yang
baik
tapi
dalam
sungguh-sungguh
dan
kompleks unsur-unsur yaitu peraturan, putusan,
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya pula oleh
pengadilan, lembaga atau organisasi, dan nilai-
pemerintah dan masyarakat.
nilai.
Sistem
hukum
bersifat
kontinyu,
berkesinambungan dan otonom. Sistem hukum berfungsi untuk menjaga atau mengusahakan keseimbangan
tatanan
dalam
3. Landasan Penetapan Hukuman Khalwat dan Konsep Hukum Adat Landasan Hukum Khalwat
masyarakat Diakui
(restitutio in integrum). Menurut Friedman (1998), suatu sistem hukum terdiri dari: Struktur atau kelembagaan sebagai kerangka dasar dari sistem hukum itu sendiri, substansi hukum yang terdiri dari aturanaturan yang bersifat materiil maupun formil, dan budaya hukum yakni nilai-nilai atau pandangan masyarakat termasuk perilaku aparat dalam sistem
Ada tiga komponen penting yang juga perlu dilihat, yaitu legal structure, legal substance, dan legal culture. Pembangunan sistem hukum yang dilakukan di Indonesia masih dominan substansi
penerapan
Syari’at
merupakan bagian dari upaya menegakkan harkat dan martabat rakyat Aceh yang telah hilang akibat konflik horizontal dan vertikal yang berkepanjangan. Pada dasarnya, Syari’at Islam sebenarnya sudah menyatu mendarah daging dengan rakyat Aceh – sejak abad ke 16
(masa
Sultan
Iskandar
Muda).
Hal
ini
mengindikasikan bahwa pelaksanaan Syari’at Islam ada yang beranggapan bukanlah hal yang baru, dan
hukum itu sendiri.
secara
bahwa
saja, namun
struktur
dan
budayanya masih kurang mendapatkan perhatian. Indonesia belum memiliki sistem hukum nasional
ada pula yang mengatakan bahwa Aceh memasuki babak baru. C. Pembahasan 1. Harmonisasi Penyelesaian Kasus Khalwat Antara Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Dengan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Penyelesaian
masalah
yang representatif. Untuk dapat mewujudkan
kemasyarakatan secara
sistem
berlandaskan
lembaga adat. Klausul ini di lapangan memperkuat
keadilan maka perlu dikembangkan budaya
praktik penegakan hukum adat yang selama ini terjadi,
hukum di seluruh lapisan masyarakat. Kemudian
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
mengakui dan menghormati hukum adat dan
Pemerintahan Aceh memberikan peran kepada
hukum
nasional
yang
adat
ditempuh
sosial
Volume 2, No. 4, November 2014
melalui
- 12
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Lembaga adat sebagaimana disebutkan dalam Pasal
(Keuchik, Imeum Mukim, Imeum Meunasah, Tuha
98 ayat (2) yang menyatakan bahwa penyelesaian
Peut dan Tuha Lapan) untuk dibina dan atau
masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh
diselesaikan dengan ketentuan hukum adat gampong.
secara adat, hal ini juga didukung oleh Konvensi ILO
Penyelesaian dengan ketentuan adat gampong dalam
Nomor
Hak-Hak
konteks pembinaan terhadap pelaku pelanggaran,
Masyarakat Adat di dalam Pasal 34 menyatakan
masyarakat Aceh khususnya Bireuen berpedoman
bahwa masyarakat adat mempunyai hak untuk
pada ungkapan hadih maja/narit maja orang Aceh
memajukan,
mempertahankan
yang sangat kental yaitu: “Nyan rayeuek tapeu ubiet,
struktur-struktur kelembagaan dan kebiasaan yang
nyan ubiet tapeugadoh” artinya masalah yang besar
khas, Spiritualitas, Tradisi, Prosedur dan praktik di
diperkecil,
mana mereka berada, sistem-sistem Peradilan atau
Pemahaman ungkapan tersebut agar kasus jinayat
kebiasaan-kebiasaan sesuai dengan standar-standar
(tindak pelanggaran) dalam penyelesaiannya tidak
hak asasi manusia yang di akui secara internasional.
dibesar-besarkan, bahkan kalau mungkin dihilangkan
Penyelesaian kasus khalwat dapat dilakukan dengan
dari pengetahuan publik, karena kasus tersebut
dua cara, yaitu:
dianggap aib bagi masyarakat. Aib ini bukan hanya
169
Tahun
1989
Membangun
a. Penyelesaian
Tentang
dan
melalui
perdamaian
dan
si
pelaku
kecil
dihilangkan.
pelanggaran
atau
keluarganya saja akan tetapi masyarakat secara
diselesaikan
keseluruhan.
oleh
peradilan
adat
dan
lembaga Wilayatul Hisbah. Pembinaan oleh
Penyelesaian kasus khalwat baik yang
peradilan adat (Keuchik, Imeum Mukim,
dilakukan dengan menggunakan Qanun Nomor 14
Imeum Gampong, Tuha Peut dan Tuha
Tahun 2003 tentang khalwat ataupun Qanun Nomor 9
Lapan) dilakukan dengan musyawarah adat
Tahun
untuk mufakat dengan melibatkan keluarga
menimbulkan pertentangan, di mana kedua qanun
kedua belah pihak (pelaku khalwat pihak
tersebut sama-sama mengarahkan kepada kerukunan
laki-laki
Sedangkan
dan pembinaan baik oleh unsur masyarakat ataupun
pembinaan yang dilakukan oleh lembaga
oleh Petugas WH. Selain itu terdapat mekanisme
WH bertujuan supaya pelaku jarimah
pelimpahan perkara secara timbal balik, yaitu baik
khalwat jangan mengulangi lagi perbuatan
perkara yang diterima oleh masyarakat ataupun
tersebut karena perbuatan itu sangat dibenci
perkara yang diterima atau ditangani oleh WH.
dan dilarang dalam Agama Islam.
Mekanisme penyelesaian kasus khalwat dalam
dan
perempuan).
kedua
2008
sebagai
aturan
hukum
dasar
ini
hukumnya
juga
tidak
sama-sama
berupa hukuman cambuk yang diputuskan
mendasari pada ketentuan hukum agama serta
oleh Hakim Mahkamah Syar’iyah.
kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat,
Kasus-kasus jinayah (tindak pelanggaran) yang
sehingga tidak terjadi pertentangan dari keduanya
terjadi
di
dalam
masyarakat
sering
dikembalikan kepada tokoh masyarakat gampong 13 -
oleh
yang
pembinaan terhadap pelaku khalwat yang
b. Penyelesaian dengan sanksi hukuman ta’zir
pernah
ditanggung
masalah
Volume 2, No. 4, November 2014
atau
terdapat
pelaksanaannya.
harmonisasi
normatif
dalam
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 2. Sinkronisasi Putusan Peradilan Adat Dengan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat
Aceh juga dasar hukum pembentukan Qanun Nomor
9
Tahun
2008 tentang
Pembinaan
Kehidupan Adat dan Adat Istiadat ini adalah Pasal Penyelesaian kasus khalwat dengan menggunakan
Qanun
Khalwat
masih
tetap
diberlakukan dalam praktik pada Mahkamah Syar’iyah meskipun sebenarnya Qanun Khalwat secara hukum sudah tidak berlaku lagi, hal ini karena dasar hukum pembentukan Qanun Khalwat adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sedangkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tersebut telah dicabut dengan Pasal 272 Undang-Undang Pemerintahan Aceh.
Hal
sejalan
dengan
Pendapat
Eddy
Purnama “Bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sudah tidak berlaku lagi, sehingga seharusnya Rancangan Qanun Jinayat harus segera disahkan agar tidak terjadi kekosongan hukum.
18 B UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh serta Konvensi ILO Internasional Nomor 169 Tahun 1989 tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, sehingga lebih tinggi kedudukannya. Penyelesaian kasus khalwat seperti yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat dan Mesuem ini dengan melibatkan Masyarakat dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan perbuatan khalwat/mesum
ini
sejalan
dengan
peran
Perangkat Adat sebagaimana yang diatur dalam Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Adat dan Adat Istiadat. Peran lembaga adat memang yang merupakan salah satu lembaga yang menyelesaikan perkara khalwat mempunyai mekanisme penyelesaian berbagai persoalan yang menjadikan unsur kearifan lokal sebagai salah satu dasar dalam pertimbangannya menjadi salah satu pilihan pagi penyelesaian masalah sosial. Meskipun penafsiran nilai-nilai ini oleh otoritas adat juga berpotensi terjadinya pelanggaran Hak
Permasalahan lain dari penyelesaian
Asasi Manusia.
kasus Khalwat dengan menggunakan Qanun Khalwat adalah adanya Keragaman ini bisa
Kesimpulan dan Saran
disebabkan
Kesimpulan
oleh
penafsiran
yang
beragam
terhadap partisipasi masyarakat dalam Qanun khalwat
itu
sendiri,
sehingga
lebih
1. Mekanisme penyelesaian kasus khalwat baik
tepat
dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang
penyelesaian kasus khalwat dilakukan dengan
Khalwat dan Mesuem dan dalam Qanun
menggunakan Qanun Nomor 9 Tahun 2008
Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan
tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat
Kehidupan Adat dan Adat Istiadat sama-sama
Istiadat, karena secara filosofis selain sudah
mendasari pada ketentuan hukum agama serta
merupakan suatu budaya hukum Masyarakat Adat
kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat, Volume 2, No. 4, November 2014
- 14
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala sehingga tidak terjadi pertentangan dari keduanya atau dalam pelaksanaannya terdapat
DAFTAR KEPUSTAKAAN
adat dengan berdasarkan pada Qanun Nomor
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Direktur Jenderal Perundang-undangan, Kerja sama dengan UNDP, 2005, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, Jakarta
9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan
Dinas
harmonisasi normatif. 2. Penyelesaian kasus khalwat melalui peradilan
Adat dan Adat Istiadat adalah bagian dari ranahnya, demikian pula penyelesaian yang dilakukan
melalui
Mahkamah
Syar’iyah
dengan berdasarkan pada Qanun Nomor 14 Tahun 2003 adalah juga ranahnya. Akan tetapi seharusnya penyelesaian kasus khalwat tidak lagi di selesaikan dengan berpegang pada Qanun Nomor 14 Tahun 2003 karena dasar hukum pembentukan Qanun Khalwat adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi
Khusus
dengan
272
Pasal
Pemerintahan
Aceh,
telah dicabut Undang-Undang
demikian
pula
pembentukan Qanun Nomor 9 Tahun 2008 atas perintah yang lebih tinggi.
1. Disarankan agar penyelesaian kasus khalwat tidak lagi menggunakan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat, akan tetapi menggunakan Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Adat dan Adat Istiadat. 2. Disarankan kepada Pemerintah Aceh agar mengesahkan
Rancangan
Qanun
Jinayah guna adanya kepastian hukum dan menghindari kekosongan hukum.
15 -
Volume 2, No. 4, November 2014
Gandhi, LM, 1995. Harmonisasi Hukum Menuju Yang Responsif, Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada Fakultas Hukum UI, Jakarta. Lawrence M. Friedman, 1998, American Law, W. W. Norton & Company, New York-London, 1984. Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia, LP3ES.
Maria Fariza Indriati S, 2007, Ilmu Hukum Perundang-undangan: Jenis Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2005. Kumpulan Undang-Undang Peradilan Terbaru, Cet. Ke 1, Yogyakarta, Syahrizal Abbas, 2009. Syariat Islam di Aceh, Ancangan Metodologis dan Penerapannya. Penerbit Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh Syamsul Rizal, 2009. Syariat Islam Di Aceh, Problematika Implementasi Syariah. Penerbit, Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh.
Saran
segera
Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2002. Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Taqwaddin, dkk., 2009. Sejarah Lahirnya UUPA, Banda Aceh: Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.